Anda di halaman 1dari 18

Petualangan Seorang Introvert Menemukan Jati Dirinya

Oleh : Firdan Fadlan Sidik

Ikatlah ilmu dengan menulis.

Penggalan kata Ali bin Abi Thalib itulah yang membuatku bersemangat
untuk tetap menulis dalam kondisi apapun. Terlebih aku, si introvert yang sangat
ulung berpidato dalam diamnya, berdebat dengan dirinya, dan yang mencerna
segala hal dalam heningnya. Itulah kelebihanku satu-satunya. Pasalnya seringkali
aku berusaha untuk berbicara di depan orang banyak, tapi alih-alih mendapatkan
apresiasi dan perhatian, yang ada hanya “vitamin E” di setiap kata, alias sering
terbata-bata dan spontan gagap dengan kata-kata tersendat bervokal “e”.

Dalam keadaan miskin inspirasi, bad mood, krisis waktu dan tempaan
cobaan lainnya pun aku tetap usahakan menulis. Kecintaannku terhadap dunia tulis-
menulis tidak lahir serta merta dalam diri ataupun warisan genetika dari orang tua.
Tidak pula lahir secara ajaib, cling begitu saja menghinggapi jari-jemariku lantas
aku lancar menyemai kata-kata. Bukan. Semuanya melalui proses.

Kala itu, ketika aku masih imut-imut duduk di bangku kelas satu aliyah
MAPK MAN 1 Surakarta, secara iseng-iseng dan harapan yang jelas, saya
nimbrung menghadiri acara bernama forum lingkar pena, sebuah kegiatan ekstra
kulikuler yang menempa para siswa untuk belajar menulis. Forum itu dihadiri salah
seorang penulis handal yang membagikan pengalaman pahit getirnya perjuangan
menjadi seorang penulis. Dari yang dulunya karya tulisannya dijual eceran dengan
cara memfotocopy-kan naskah secara manual hingga kini bukunya tersebar di toko-
toko buku. Dari yang dulunya kaku menulis hingga menjadi seorang akrobat kata.
Salah satu hal yang masih mengiang di ingatanku adalah membuat komitmen dalam
menulis.

Aku pulang dari forum itu membawa oleh-oleh sepercik ilmu dan kumulai
mencoba untuk mengaplikasikannya. Sejak detik itu, kugoreskan di kertas daftar
target capaianku: sebuah komitmen untuk menulis. Kunamai komitmen baruku ini
dengan ODTW (One day ten minutes writing). Sejak saat itulah di setiap hari pada
jam yang sama, yaitu pukul 9 malam, aku berjanji pada diriku sendiri, yang bernama
Fadlan untuk senantiasa menulis. Jika tidak, Fadlan berhak menghukumku, diri
Fadlan yang lain, yaitu Firdan dengan membayar infaq seribu rupiah yang harus
diinfaq-kan di hari Jumat. Final project dari komitmenku ini adalah menghasilkan
dua buah buku sebelum tamat SMA. Dan itulah yang harus aku kejar.

Learning by Doing

Sebagai bahan belajar menulis, aku merancang untuk membuat sebuah


novel. Novel inilah yang nantinya akan menjadi saksi, bukti, sekaligus produk dari
learning by doing yang sedang aku galakkan. Alhasil, semua rintangan berupa
kekakuan dalam menuliskan kata, kerancuan kalimat, kemubadziran kosa kata, dan
sekelumit masalah lainnya yang sempat menggerogoti motivasi menulisku, aku
tahan sekuat tenaga. Satu dua hari, aku kesal dan malas untuk menulis dikarenakan
miskin inspirasi. Tapi seketika aku halau. Daftar target yang aku pasang di meja
belajarku ini seolah terus mengejarku. Ayo Fadlan. Ingat, 2 buku di akhir kelulusan.

Bisa karena biasa. Aku juga teringat kata ayah yang seringkali
dilontarkannya. Akupun mencoba untuk menjadi bunglon, alias berpura-pura
menjadi seorang penulis handal yang terus menulis setiap hari. Ya, aku lakukan itu
tanpa memikirkan susunan kata yang sudah betul atau tidak. Yang jelas, aku
membiasakan diri untuk terus menulis. Tentunya setiap hari itu pula aku selalu
mengisi bahan bakar kamusku dengan membaca. Di tahun kedua menulis, artikelku
berhasil dimuat sebuah majalah regional Solo raya. Isi dari artikel itu tiada lain
adalah ceramah guruku di asrama yang aku kemas mutiara hikmahnya dengan
bahasa dan gayaku sendiri. Artikel itu kuberi judul Antum Khairun Minni¸ kalian
lebih baik daripada aku. Sebuah artikel yang melukiskan tawadhu seorang santri ini
berhasil meniupkan hawa semangatku dalam kembali menulis.

Aku kian lengket dengan guru sastra di sekolah. Setiap minggunya tidak
lepas dari sebuah karya yang disetorkan kepada guruku untuk dikoreksi. Komentar-
komentar pedaspun menjadi santapan keseharianku. Ini cerpen atau naskah
khutbah? Begitulah komentarnya ketika naskahku saat itu masih penuh dengan
ucapan salam dan kalimat-kalimat Arab yang tak lazim. Dan masih banyak
komentar-komentar pedas lainnya yang berhasil membuatku merasakan kesal dan
marah. Namun aku berusaha untuk tidak marah, karena justru dari kesalahan itulah
aku belajar, dan syarat untuk menjadi orang hebat adalah harus tahan celaan dan
kritikan. Itu yang aku dapatkan dari ilmu kehidupan.

Akhirnya, berkat izin Allah dan sekumpulan usaha-usaha kecilku, sebuah


novel dan antologi cerpen berhasil dicetak dan mengelabui pasar buku online. Di
akhir kelulusan, aku membedah novelku yang berjudul Dermaga di depan teman-
teman seangkatan. Tidak kurang dari 15 orang temanku yang mengapresiasi
karyaku dengan membeli 2 buku perdanaku.

Merangkai Mosaik Prestasi melalui Pena

Perjalanan mengarungi jerih payah dunia kepenulisan selama di SMA


berhasil mengantarkanku pada kemudahan dan kelancaran prestasi di perkuliahan.
Belum genap satu semester, naskah cerpenku berhasil lolos dalam sebuah event
National Youth Camp bertema Blue Carbon Emission di Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta. Aku merasa diberi sebuah kado dari komitmenku yang telah aku bangun 3
tahun silam dengan sebuah paket wisata ke Pulau Ayer selama 4 hari 3 malam.
Namun di sisi lain, aku juga mendapatkan nilai perjuangannya dari event itu. Di
sanalah aku bersama 20 pemuda lainnya berkumpul dalam suatu forum ilmiah
untuk mengupas seluk beluk kemaritiman Indonesia.

Pada semester yang sama, aku mendapatkan berbagai penghargaan dari


dunia pena. Aku memenangkan juara 3 lomba penulisan cerpen tingkat nasional
bertema Cinta Indonesia yang diselenggarakan oleh Karyapedia Publisher. Di event
lain, yaitu sayembara antologi papyrus bertema Pahlawan yang diselenggarakan
oleh Qalifa Media, aku lolos menjadi kontributor dan mendapatkan sertifikat
sebagai Tokoh Pemikir Muda Indonesia 2017. Pujangga Tasikmalaya, CSSMoRA
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Syifastina Publisher pun juga memberiku
penganugerahan sebagai penulis puisi dan cerpen terpilih dalam antologi karya
sastra nasional.

Berhasil memenangkan berbagai event kepenulisan tidak lantas membuatku


besar kepala. Aku tetap menulis karena merasa tulisanku masih selevel anak SMA
yang belum tajam dalam tulisan ilmiahnya. Menjelang semester baru, aku mulai
mengggeluti dunia tulisan nonfiksi -Sebenarnya sudah aku mulai sejak SMA,
namun tidak seserius karya fiksi-. Kumulai menulis sebuah esai dengan tema Santri
di Era Millenial dan Digital. Kuangkat sebuah judul “Dari Persamaan Menuju
Persatuan.” Dalam esai itu aku tumpahkan gagasan dan opini ilmiahku terhadap
realita sosial-keagamaan terkini. Alhamdulilah, karyaku berhasil menjadi juara 3
lomba esai nasional yang diadakan oleh CSSMoRA nasional.

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja
untuk keadabian.

Kata-kata Pramoedya Ananta Tour inilah yang memotivasiku untuk


melangkahkan kaki di dunia kepenulisan secara serius. Bukan uang hadiah lomba,
ketenaran, ataupun popularitas yang dikejar dari profesi mulia ini. Melainkan
terdapat nilai utama yang ada dalam menulis, yaitu keadadian. Jika para ulama
terdahulu tidak giat menulis, adakah ilmu-ilmu kitab kuning sampai kepada kita?

Ketika Si Introvert Menjadi Wartawan Kampus

Akulah pejuang pena, penebar kemanfaatan. Tujuan akhir dari passion-ku


dalam menulis adalah untuk sebuah kemanfaatan. Hari demi hari tak lepas dari
projek tulisan yang kubuat. Terlebih setelah aku resmi menjadi anggota Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) DinamikA. Sebuah UKM yang mewadahi mahasiswa di
bidang jurnalistik. Semenjak itu aku menjadi seorang pemburu acara dan
narasumber untuk diwawancarai. Di belakangku, deadline seolah ingin
memangsaku. Itulah wartawan. Kesempatanku untuk menebar kemanfaatan
semakin terbuka lebar dengan jalan memberikan informasi berita teraktual dan
terpercaya untuk dikonsumsi netizen, minimal warga kampus.

Aku kembali menulis. Kali ini dengan genre lain, yaitu kisah inspiratif
autobiografi. Tulisan ini sekaligus akan aku kirimkan untuk lomba kisah inspiratif
nasional mahasiswa bidikmisi. Aku angkat tema Hadiah Bidikmisi untuk
Kesabaran Si Penjual Jelly. Saatnya bagiku untuk menyuarakan perjuangan
seorang tukang jelly, -yang tiada lain adalah aku sendiri- untuk dipertontonkan
kepada khalayak umum bahwa setiap orang berhak menggapai cita-citanya.
Nothing impossible. Kuceritakan dalam kisahku ini perjuangan yang aku lalui
selama menempuh pendidikan sampai bisa menginjakkan kaki di perguruan tinggi.
Aku ingin kisahku ini dapat mengangkat semangat orang-orang yang senasib
denganku untuk bisa berkuliah. Aku ingin menunjukan bahwa kuliah itu bukan
suatu hal yang mustahil bagi orang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah,

Lomba tersebut diselenggarakan oleh PERMADANI DIKSI dan


FORMADIKSI Universitas Banga Belitung. Alhamdulillah, kisah inspiratifku lolos
masuk final dan diundang ke Universitas Bangka Belitung untuk mengikuti tahap
final, yaitu wawancara. Di sana, aku bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa lain
dari seluruh penjuru tanah aiar. Aku bertemu dengan teman-teman baru. Di usia
semesterku yang masih muda ini, aku harus bertanding dengan mahasiswa-
mahasiswa semester atas. Hal ini sempat membuat mentalku menciut karena salah
satu berkas yang harus dibawa dan menjadi bidang penilaian adalah sertifikat. Di
usia mudaku ini, tentunya secara logika belum mampu menyaingi mereka yang
telah melalui 4,6 atau 8 semester masa perkuliahan. Namun, takdir Allah tidaklah
selalu tunduk pada logika. Jika Ia berkenan, maka akan dengan mudah terjadi. Hal
itu terjadi pada nasibku di pengumuman kejuaraan. Aku berhasil menjadi juara
harapan 2 lomba kisah inspiratif autobiografi nasional sekaligus menjadi duta
mahasiswa Bidikmisi.

Tetes cinta Allah memang tak pernah habis. Di tengah potensi kepenulisan
yang kian aku geluti dan aku tempa, akhirnya nama penaku kian terukir indah di
berbagai media massa dan kompetisi. Di angka 3 Kartu Studi kuliahku, tak kurang
dari 3 piala kompetisi kepenulisan berskala nasional aku juarai, dan bahkan bisa
memberangkatkanku trip dan konferensi nasional di pesisir Makassar dan Lombok.
Sungguh membuat seorang anak introvert tertawa dan haru menangis bahagia.
Semester berikutnya, buah penaku menyangkut di majalah Kearsipan Provinsi Jawa
Tengah yang membuat ATMku gemuk dan mampu memuntahkan isinya ke
rekening orang tuaku di rumah. Kebaik-hatian Allah semakin aku rasakan ketika
aku terpilih menjadi satu di antara sepuluh duta Santri Nasional 2018.

Dan sekarang, di tahun ketiga aku kuliah, prestasi tak berhenti mengalir dan
berkelanjutan. Segudang amanah dititipkan oleh almamaterku untuk senantiasa
menginspirasi dan berkontribusi mengharumkan nama institusi. Aku ditunjuk untuk
menjadi ketua Komunitas Literasi di beberapa institusi dan menjadi editor di media.
Aku berharap kesederhanaan gaya hidupku tak lantas membuatku lupa diri dan
angkuh. Aku berjuang dari kesederhaaan, dan menyukai berbagai kesederhanaan
dalam hidup.
SEONGGOK SAMPAH DAN ANGAN UNTUK KULIAH
Oleh : Firdan Fadlan Sidik

“Kemiskinan adalah energi penggenjot semangat hidup yang kaya akan pundi-pundi
kesuksesan. Ia bagaikan harta karun yang Tuhan rancang untuk alur kisah hidupku.”
Tak banyak yang kuketahui tentang kehidupan. Hanya saja mungkin ia terlalu
kejam bagi orang-orang yang tidak berani bermimpi dan mempunyai mimpi. Mosaik rumit
dan pelik tentang halang rintang yang menghadang akan senantiasa menjadi pemandangan
pilu para pejuang mimpi. Terkadang perlu menulikan terlinga, membutakan mata, menekuk
lidah dan membisukan mulut untuk dapat melewati tiap pos ujian hidup. Proses perjuangan
penuh tangis akan bersahabat dalam jiwa, goresan luka akan akrab dengan raga, namun
Tuhan percaya kita mampu melewatinya, mengubah mimpi menjadi nyata untuh hidup
kelak yang bahagia.
Apa yang ada di benak orang lain ketika mendengar seorang pemulung sampah
yang berangan untuk kuliah? Mungkin hanya akan menjadi bualan belaka dan mengundang
cercaan sepaket dengan ejekan orang. Dialah Fadlan, mahasiswa “nekad” yang terlahir dari
keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Ayahnya adalah seorang buruh bengkel
dan ibunya hanya bekerja di rumah, menjadi guru setia bagi kelima anaknya.
Fadlan kecil sudah peka dan bisa merasakan kondisi ekonomi keluarga. Sejak dini
ia lakukan segala cara –yang halal- untuk meraih rupiah demi rupiah supaya bisa membantu
meringankan beban keluarga. Minimal untuk ia sendiri dan keempat adik-adiknya. Sahabat
kecilnya adalah celengan ayam. Setiap hari ia masukan koin demi koin rupiah. Sepulang
sekolah ia selalu menyisihkan uang jajan. Bahkan uang jajan itu seringkali tidak ia gunakan
sama sekali dan dimasukkan seluruhnya ke dalam celengan.
Setiap hari sepulang sekolah dan di hari-hari libur lainnya, ia berjalan-jalan keliling
rumah dengan membawa sebuah karung berukuran sedang, berharap di antara tumpukan
sampah yang dilewatinya ada seonggok sampah plastik, kertas atau kaca yang layak dijual
ke pengepul. Satu per satu sampah dipungutnya dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika
karung sudah penuh, ia lantas pergi ke pengepul untuk disetorkan. Lembaran rupiah ia
dapatkan, tidak kurang dari lima ribu setiap kali menyetor. Jika ia mendapatkan sampah
kaca yang lebih banyak dari sampah plastik, ia bisa mendapatkan uang yang lebih dari
nominal itu.
Hasil dari memulung sampah cukup untuk uang bekalnya ke sekolah. Ayahnya
seringkali merasa heran mengapa anaknya tidak lagi meminta uang jajan. Fadlan takut jika
ayahnya mengetahui jika ia memulung sampah. Akhirnya untuk menutupi hal itu, keesokan
harinya ia berjualan jelly. Setidaknya ia bisa menjawab pertanyaan ayahnya dengan
jawaban yang tidak perlu ditutup-tutupi lagi. Fadlan tahu jika ayahnya tidak akan pernah
rela membiarkan anaknya memulung sampah.
Fadlan berangkat ke pasar untuk mencari bahan-bahan jelly, yaitu bubuk jelly, gula
pasir, dan ceres untuk topping. Sebelum ia berangkat mengaji ke masjid, ia mendidihkan
air yang telah dicampuri bubuk jelly dan gula pasir. Kemudian setelah masak, ia tuangkan
ke dalam cetakan lonjong kecil-kecil lalu ia kemasi jelly itu ke dalam plastik berisi lima
butir jelly dan diberi ceres. Setelah terkumpul sekitar 40 bungkus, ia taruh ke dalam
keranjang lalu dibawa ke tempatnya mengaji. Keranjang jelly itu kemudian ia taruh di
serambi masjid dan dijual dengan sistem WAJUR alias warung kejujuran. Setiap koin 500
rupiah yang dimasukkan ke keranjang berhak mengambil sebungkus jelly.
Bagi Fadlan, menjadi seorang anak seusia SD yang menghabiskan waktunya untuk
memulung sampah dan berjualan jelly sangat menyenangkan walaupun kadangkala ia
merasa minder dan malu dengan teman-temannya. Namun lambat laun ia sudah kebal dari
ejekan dan sindiran teman-temannya.

Dari Sampah, Jadi Rupiah


Tidak semua sampah ia setorkan ke pengepul, melainkan sebagiannya dijadikan
kerajinan tangan seperti bingkai foto, hiasan bunga, dan miniatur-miniatur unik. Hobinya
dalam bidang seni kriya ini tumbuh sejak kecil dan berbuah prestasi di sekolah dasar. Ia
seringkali mewakili kabupaten untuk mengikuti ajang lomba seperti Lomba Siswa
Berprestasi yang didalamnya mengkompetisikan penguasaan materi sekolah dan kerajinan
limbah berikut manfaat dan kontribusinya untuk kehidupan. Ketika lomba, ia
menghadirkan kerajinan kotak surat dari stik es krim dan miniatur sepeda yang terbuat dari
lintingan koran dan bungkus semen.
Ia menawarkan kerajinan-kerajinan itu kepada teman-temannya. Hanya bingkai
foto saja yang ia jual karena tidak memakan waktu lama dalam membuatnya. Satu bingkai
foto ukuran 5 x 5 cm itu ia hargai dua ribu rupiah saja. Dari hasil jualannya ini menambah
pundi penghasilan yang cukup untuk memberi uang jajan adik-adiknya.

Menuai Berkah dari Sampah


Demikianlah keseharian Fadlan kecil dalam melanjutkan hidupnya. Di tengah
ekonomi orang tuanya yang lemah, ia tetap tegar membantu meringankan beban orang tua.
Suatu ketika, uang hasil jualan ingin ia berikan kepada ibunya. Namun ibunya menolaknya.
“Kamu tabung saja Nak buat besok kamu sekolah. Sebagian kasih adik-adikmu,”
jawabnya. Akhirnya ia kembali memasukkan uang itu ke dalam celengan ayam.
Dinamika kehidupan ekonomi keluarganya tidak berubah semenjak ia duduk di
bangku SD, SMP, dan SMA, bahkan kuliah.

Menjadi Mahasiswa ‘Nekad’


Tak habis pikir jika Fadlan harus menyudahi prestasi-prestasi di sekolahnya tanpa
kuliah. Alhasil, ia berusaha mencari sokongan dana untuk membayar uang masuk kuliah.
Ia pun menerobos menjadi mahasiswa di IAIN Salatiga lewat pintu bernama “hutang”.
Perjuangan tak sampai di situ. Ia masih mencari cara untuk meringankan beban ke
depannya. Ia pun mencari beasisiwa. Setelah melewati tahapan ketat seleksi Bidikmisi,
akhirnya ia keterima. Senangnya bukan main. Fadlan akhirnya bia melanjutkan estafet
pundi-pundi prestasinya di masa kuliah. Tulisan-tulisan sederhananya yang ia rintis sejak
SMA, kini mengalir halus. Di tahun pertamanya kuliah, ia telah menjuarai beberapa event
kepenulisan, di antaranya : juara 3 Esai Nasional (CSSMoRA), juara 3 cerpen nasional
(Karyapedia Publisher), Juara 1 Esai Nasional (IAIN Surakarta), juara 1 Esai Nasional
(Darul Arqom, Bandung), juara 3 Esai (UIN Jakarta) dan juara 2 Karya Tulis Sejarah (Pusat
Kebudayaan UGM).
Selain event kepenulisan, ia juga seringkali lolos event kepemudaan nasional
seperti Climate Youth Camp di Kepulauan Seribu, Iqropolly mengabdi goes to Baduy, dan
Bilateral Workcamp Pekalongan.
Adapun penghargaan sekaligus amanah terbesar di tahun pertamanya kuliah adalah
menjadi Duta Santri Nasional 2018. Selama dua tahun ke depan, ia mendapat amanah untuk
mensyiarkan ajaran keislaman dan memberi motivasi bagi santri lainnya di lingkungan
kampus dan masyarakat luas.
Demikianlah kisah seorang pemulung sampah yang nekad kuliah, mencari rupiah
dari kerja kerasnya yang payah. Namun ia tidak pernah menyerah, dan selalu yakin atas
kebaik-hatian Allah.
AKU, BIDIKMISI, DAN MASA DEPAN CERAH

Oleh : Firdan Fadlan Sidik

Terdapat tiga variabel penting yang ada dalam kamus hidupku. Aku adalah
seorang penggenggam cita-cita. Bidikmisi adalah uluran tangan Tuhan yang
disalurkan melalui pemerintah. Masa depan cerah adalah cahaya yang tersibak di
pelupuk mata setelah Bidikmisi merangkulku.

Inilah kisahku. Bukan kisah dendam antara aku dan nasib hidupku,
melainkan tentang pigmen cinta yang Allah teteskan ke dalam kisah hidupku yang
sederhana. Kisah seorang anak buruh bengkel yang memberanikan dirinya untuk
terjun di antara onggokan sampah, yang berusaha menggapai masa depan cerah.
Aku dan Sampah Penyambung Hidup
Aku terlahir di sebuah desa yang lumayan jauh dari kota, sekitar setengah
jam. Ayahku seorang tukang bengkel yang setiap hari bertempur dengan lumuran
oli dan kepulan asap knalpot. Setiap kali ada motor yang ingin ditambal atau
dipompa, di sanalah rupiah yang akan ayah dapat. Ibuku seorang guru istimewa
bagi aku dan keempat adikku di rumah. Orang mengenalnya dengan Ibu Rumah
Tangga. Namun bagiku, itu adalah pekerjaan istimewa bagi seorang ibu. Di setiap
sore, ibu mengajar ngaji anak-anak kampung. Tidak ada rupiah pasti yang masuk
ke kantongnya kecuali ketika hari besar Islam dan uluran zakat.

Ketika ditanya rumahku di mana, aku kesulitan untuk menjawab. Apa daya,
rumah yang kuhuni bersama keluarga adalah rumah warisan yang harus dibagi
Sembilan ahli waris. Aku pun sering kali tidak nyaman berada di rumah warisan ini
karena selalu diperdebatkan. Kedelapan saudara ayah selalu meributkannya.
Bahkan ayah dan ibu kami pernah diusir. Sebagai anak bungsu, ayah memiliki
kedekatan istimewa dengan nenek sehingga sulit untuk meninggalkan rumah
warisan. Sebenarnya “numpang” di rumah warisan bukanlah keinginan ayah.
Kondisi ekonomilah yang membuat kami menumpang, menjadi tamu di rumah
sendiri.

Tidak hanya saudara, yang membentak keluarga kami juga seorang debt
collector dari bank. Ayah seringkali berusaha menyembunyikan nominal hutang
kepada anak-anaknya. Namun hal itu selalu gagal dari pengetahuanku. Sebagai
anak pertama, aku selalu ingin tahu kondisi keluarga. Di balik daun pintu kamar,
aku pernah mengintip ayah ketika dibentak debt collector, dicaci saudara
sekandung ayah dengan nada tinggi, dan bahkan ketika diusir dari rumah.

Sejak usia kelas 1 Sekolah Dasar, aku paham betul kondisi ekonomi
keluarga. Hal itulah yang membuatku berinisiatif untuk mencari rupiah dari
onggokan sampah. Bagiku ini adalah pekerjaan sederhana, tanpa modal, hanya
berbekal kreativitas dan mental. Aku tahu, ayah akan marah jika mengetahui bahwa
aku memulung sampah. Tapi aku lebih tahu kondisi ekonomi keluarga, dan aku
mustahil untuk diam.

Sepulang sekolah, aku dan kedua adikku mengitari kampung dengan karung
yang aku pikul, berharap di setiap tumpukan sampah ada rupiah yang akan aku raih.
Saat itu, uang 10 ribu dari sekarung sampah sangat membuatku bahagia. Di balik
cerita indah ketika menerima rupiah dari pengepul, ada kejadian yang membuat
bulu kudukku berdiri. Sewaktu-waktu, aku sering menjumpai ular berukuran
dewasa di balik semak-semak. Tapi aku selalu berhasil dari kejaran ular dan tak
membuatku jera.

Aku tahu, ayah selalu tidak ingin jika anaknya mengetahui atau bahkan
merasakan penderitaan yang ayah rasakan. Bukannya ayah gengsi, melainkan ia
selalu menampakkan kebahagiaan. Kesengsaraannya selalu ia cerna dalam diri.
Buktinya, ketika aku ingin melanjutkan sekolah tingkat lanjut, ayah mengiyakan.
Padahal aku tahu, ayah meminjam uang dari bank dan menjual barang berharga dari
rumah.

Ayah akan marah besar jika mengetahui bahwa aku memulung sampah. Aku
siasati hal ini dengan menjual jelly. Sepulang sekolah, aku dan adikku memasak
jelly dan membungkusnya di plastik untuk kemudian aku jual di madrasah diniyah
setiap sore hari. Upah memulung sampah aku satukan dengan keuntungan
penjualan jelly. Dari hasil jualanku ini, aku bisa menabung dan memberi bekal
sekolah untuk adik-adikku.
Ayahku adalah pejuang keras. Di tengah ekonomi yang berkecukupan, aku
bisa menyambung pendidikan menengah pertama hingga menengah atas meski
mobil sederhana rakitan ayah sebagai satu-satunya barang berharga harus rela dijual
tanpa sepengetahuanku. Penderitaan yang ayah rasakan inilah yang memompa
semangatku untuk belajar hingga akhirnya aku bisa mendapatkan beasiswa
Bidikmisi.

Aku dan Usaha Kecil untuk Bidikmisi

Sebagai mahasiswa pilihan dalam program Beasiswa Bidikmisi, aku ingin


meyakinkan bahwa pemerintah tidak salah dalam membidik aku. Aku punya hasrat
keinginan untuk berkontribusi. Pikirku, jika mahasiwa yang dibiayai pemerintah
tidak berkontribusi, maka tidak berbeda jauh dengan korupsi yang memakan uang
rakyat bukan pada tempatnya dan tidak semestinya. Ditambah lagi motivasi
penderitaan orang tua di kampung yang membisikkan telingaku dan menguatkan
dadaku untuk gigih mencapai cita-cita.

Berbekal segenggam motivasi, aku selalu aktif ketika menjadi mahasiswa.


Bahkan semenjak di tingkat Sekolah Dasar hingga menengah atas, aku aktif
mengikuti kegiatan akademik dan organisasi. Kemampuanku belum menonjol, kala
itu. Hanya bebekal kesadaran bahwa ada orang yang memotivasi dan
mendo’akanku di belakang. Aku coba berbagai ekstrakulikuler hingga menemukan
Paskibra sebagai tempatku berpretasi. Prestasi akademik kelas tak pernah absen aku
juarai hingga saat wisuda, ayahku dipanggil maju ke panggung, menemaniku ketika
pengalungan Wisudawan Terbaik.

Semangat itu tak luntur ketika aku mengemban amanah menjadi


“Mahasiswa”. Di bangku perkuliahan, aku diperkenalkan dunia kepenulisan ilmiah
oleh seniorku. Dengan berbekal rasa ingin tahu yang tinggi, aku giat
belajarmenggeluti dunia kepenulisan. Aku mencoba mengirim tulisan untuk
dilombakan dan dikirim ke media untuk dipublikasikan. Setelah gagal dan ditolak
berkali-kali, akhirnya belum genap satu semester, naskah tulisanku berhasil lolos
dalam sebuah event National Youth Camp bertema Blue Carbon Emission di
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Aku merasa diberi sebuah kado dari komitmenku
di dunia kepenulisan dengan sebuah paket wisata gratis ke Pulau Ayer selama 4 hari
3 malam. Di event itulah aku bersama 20 pemuda terpilih lainnya berkumpul dalam
suatu forum ilmiah untuk mengupas persoalan kemaritiman di Indonesia.

Di semester yang sama, aku mendapatkan berbagai penghargaan dari dunia


kepenulisan. Aku memenangkan juara 3 lomba penulisan cerpen tingkat nasional.
Di event lain, tulisanku menjadi nominasi favorit di berbagai media nasional.
Tulisan lainnya dipublikasikan secara akademik di jurnal dan prosiding konferensi
internasional. Di tahun selanjutnya, karyaku berhasil menjadi juara 3 lomba esai
nasional yang diadakan oleh CSSMoRA, sebuah komunitas penerima beasiswa
Kementerian Agama RI.

“Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang
di dalam masyarakat dan dari sejarah..”

Kata-kata Pramoedya Ananta Tour inilah yang memotivasiku untuk


melangkahkan kaki di dunia kepenulisan secara serius. Bukan uang hadiah lomba,
ketenaran, ataupun popularitas yang dikejar dari profesi mulia ini. Ada nilai utama
dalam menulis, yaitu keadadian dan juga misi profetik sebagaimana para ulama
terdahulu giat menulis, menyampaikan risalah kenabian.

Tetes cinta Allah memang tak pernah habis. Di tengah potensi kepenulisan
yang kian aku geluti, akhirnya nama penaku kian terukir di berbagai media massa
dan kompetisi. Di angka semester 3 Kartu Studi kuliahku, tak kurang dari 3 piala
kompetisi kepenulisan berskala nasional aku juarai dan bahkan bisa
memberangkatkanku trip dan konferensi nasional di pesisir Bangka Belitung,
Makassar dan Lombok. Tulisanku juga terpublikasi di beberapa majalah lokal yang
membuat ATMku gemuk dan mampu menyalurkan isinya ke rekening orang tuaku
dan adikku di rumah. Kebaik-hatian Allah semakin aku rasakan ketika aku terpilih
menjadi Duta Santri Nasional 2018, Duta Mahasiswa IAIN Salatiga, dan
Mahasiswa Berprestasi bidang kepenulisan ilmiah.
Aku dan Masa Depan Cerah
Aku memutuskan untuk menjadi pejuang pena. Tujuan akhir dari passion-
ku dalam menulis adalah untuk sebuah kemanfaatan. Hari demi hari tak lepas dari
projek tulisan yang kubuat. Terlebih setelah aku resmi menjadi anggota Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika semenjak tahun pertama kuliah. Dunia jurnalistik
menjadi keseharianku. Aku hampir tidak pernah absen dari agenda besar kampus
untuk aku liput. Setiap hari, ada deadline yang seolah ingin memangsaku. Itulah
wartawan. Aktualitas berita selalu diutamakan. Inilah kesempatanku untuk menebar
kemanfaatan melalui jalan memberikan informasi berita yang sehat, aktual dan
terpercaya untuk dikonsumsi netizen.

Pengalaman menjadi wartawan tidak hanya aku dapatkan di dalam kampus.


Aku pernah magang di sebuah media ternama. Selain kampus, media berita nsional
juga menjadi target tulisanku. Keseharian inilah yang membuat beberapa dosen
mempercayaiku untuk menjadi asisten dosen kejurnalistikan dan menjadi ketua
komunitas literasi. Di beberapa lomba kepenulisan, aku menjadi juri. Sedangkan di
acara seminar motivasi dan literasi, aku beberapa kali menjadi narasumber. Aku
senang bisa mendapatkan media menyebarkan kemanfaatan sesuai apa yang aku
miliki.

Aku berharap kesederhanaan gaya hidupku tak lantas membuatku lupa diri
dan angkuh. Aku berjuang dari kesederhaaan, dan menyukai berbagai
kesederhanaan dalam hidup. Aku berharap antara Aku, Bidikmisi, dan Masa
Depanku ada Tuhan yang membimbingku dari segala bentuk keangkuhan dan
kekufuran dalam mensyukuri nikmat. Do’aku dalam duka harus tetap sama dalam
suka. Tuhan ada dalam setiap keadaan yang menyelimutiku.
HADIAH BIDIKMISI UNTUK KESABARAN SI PENJUAL JELLY

Oleh : Firdan Fadlan Sidik

Terlahir dari keterbatasan ekonomi bukanlah impian setiap orang.


Walaupun hidup adalah sebuah pilihan, namun tidak semua pilihan dikehendaki
Tuhan. Seperti kisah seorang penjual jelly yang satu ini. Namanya Fadlan. Ia anak
pertama dari lima bersaudara yang terlahir dari seorang ibu rumah tangga dan buruh
bengkel di sebuah desa.

Keterbatasan ekonomi yang dimilikinya tidak menjadikannya lemah dan


minder. Ia menilai keterbatasan sebagai salah satu cara Tuhan untuk menguji
keimanan hamba-Nya dengan bersabar. Jika orang lain hanya merengek kepada
orang tuanya untuk meminta sesuatu, lain halnya dengan Fadlan. Orang tua Fadlan
harus membanting tulang dengan keras, memeras keringatnya untuk memenuhi
kebutuhan anaknya. Penagih hutang dari bank, cacian, dan hinaan dari orang lain
bagaikan makanan sehari-hari bagi mereka. Kondisi inilah yang membuatnya selalu
gigih dan bersemangat dalam bekerja.

Ketika usianya menginjak bangku kelas satu sekolah dasar, ia berinisiatif


untuk membantu meringankan beban orang tuanya dengan berjualan. Ia memulai
dengan berjualan makanan ringan yang ia jajakan di kantin sekolah. Karena dirasa
hasilnya kurang menguntungkan, akhirnya ia beralih menjual jelly. Ia belajar
membuat jelly dari ibunya. Satu bungkus diisi lima butir jelly dengan taburan meses
di atasnya dan dijual seharga lima ratus rupiah. Ia menjajakan dagangannya di
keranjang bekas parsel buah lalu meletakkannya di dekat kantin sekolah dengan
sistem penjualan “wajur” alias warung kejujuran. Para pembeli hanya mengambil
dagangannya dan meletakkan uang pembelian di keranjang.

Selain menjual jelly, Fadlan mencari pekerjaan lain. Memulung, itulah yang
dilakukannya. Waktu liburannya selalu ia manfaatkan untuk mengitari hutan dan
perkampungan berharap menemukan sampah yang layak jual. Setelah berkeliling
selama 2 jam, ia menjualnya ke pengepul dan mendapat uang 10 ribu rupiah. Cara
ini justru lebih menguntungkan daripada berjualan jelly. Namun setelah ayahnya
mengetahui pekerjaannya, saat itu pula ayahnya melarang Fadlan untuk memulung
sampah. Ayahnya tidak menyukai hal itu. Fadlan pun fokus untuk berjualan jelly.

Kemandiriannya sudah terlihat dan kedewasaannya mulai tumbuh sejak


kecil. Ia sudah mengerti kondisi ekonomi keluarga dan selalu bertindak layaknya
orang dewasa yang berkewajiban untuk bekerja dan memberi sebagian hasilnya
untuk orang tua. Fadlan kecil memang punya pemikiran seperti itu. Namun orang
tuanya tidaklah setega itu menyuruhnya bekerja. Ketika ia menyetorkan hasil
penjualan kepada ibunya, uangnya diserahkan ibunya kepada Fadlan. Fadlan pun
membaginya untuk jajan dan bekal sekolah adik-adiknya.

Namun lagi-lagi nasib buruk menimpanya. Seringkali barang dagangannya


tidak laku sama sekali karena persaingan dagang dengan penjual kaki lima yang
semakin marak di sekolahan. Jangankan keuntungan, modal awal pun hampir ludes.
Akhirnya jelly yang tersisa itu dibagikan kepada teman-temannya secara gratis
karena kalaupun disimpan untuk dijual esok hari pasti sudah tidak enak lagi. Fadlan
tidak punya lemari es di gubuknya.

Keterbatasan ekonomi tidak menjalar pada keterbatasan prestasi. Fadlan


tidak pernah alfa meraih peringkat pertama di kelasnya. Ia pun seringkali
menorehkan berbagai kejuaraan dan menjadi delegasi dari sekolah bahkan
pemerintah kecamatan. Di antaranya adalah lomba siswa berprestasi dan olimpiade
matematika. Ia pun mendapatkan kembali modalnya untuk berdagang dari uang
pembinaan yang didapat dari sekolah.

Buah dari Kesabaran

Fadlan memang terlahir dengan keterbatasan ekonomi, namun tidak dengan


keterbatasan agama. Orang tua Fadlan dapat dikatakan cukup dalam memahami
ilmu agama sehingga kehidupannya selalu diwarnai dengan kedamaian di tengah
keterbatasan. Keluarga mereka memandang ketetapan Tuhan dengan bijak. Mereka
memandang keterbatasan sebagai sarana untuk bersabar yang merupakan ibadah,
bukan sebuah halangan atau kecaman bagi mereka. Alhasil ia menikmati titian demi
titian kemelaratan, kesulitan ekonomi, dan kesempitan harta dengan tenang dan
penuh penerimaan.
Orang tuanya selalu memberikan contoh yang baik dan selalu
menginspirasinya. Salah satunya adalah shalat malam. Tak sedikitpun orang tuanya
menyuruh Fadlan untuk bangun dini hari dan shalat malam. Fadlan hanya terenyuh
oleh teladan orang tuanya dan mulai berinisiatif untuk melakukan hal yang sama
dengan apa yang ia lihat.

Logikanya keterbatasan adalah sebuah halangan untuk beraksi dan


berprestasi. Peralatan primer untuk sekolah seperti buku, sepatu, dan seragam tidak
mampu dibeli. Tetapi Fadlan punya cara tersendiri. Ketika sepatu sudah rusak, ia
jahit sendiri bagian sobeknya. Sementara seragam sekolah ia membeli pakaian
lawas dengan harga yang super murah. Di setiap penghujung semester, ia
mengumpulkan buku-buku bekas kemudian ia menghimpun halaman yang masih
kosong dan disteples hingga menjadi sebuah buku. Secara tidak langsung, Fadlan
telah melakukan hal bijak terhadap lingkungan. Buku yang biasanya habis pakai
langsung dibuang, ia justru memanfaatkan ulang bukunya. Dengan menggunakan
kertas bekas menjadi hal yang bernilai guna, ia telah berkontribusi menjaga hutan
kayu dari penggundulan.

Singkat cerita, Fadlan masuk SMP. Merupakan suatu anugerah baginya bisa
melanjutkan pendidikan menengah pertama walaupun tidak lepas dari berbagai
rintangan. Sebagaimana anak miskin lainnya, Fadlan selalu punya masalah. Ketika
musim ujian tiba, ia tidak bisa mengikutinya secara serempak karena belum lunas
membayar SPP. Fadlan menerimanya dengan lapang dada dan tidak berani
memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Percuma, hal itu hanya akan
menyisakan beban pikiran mereka. Kemudian ketika musim study tour tiba, ia
melewatkannya dengan alasan yang sama.

Pada masa SMA, suasana yang dirasakan tetaplah sama dengan berbagai
tekanan ekonomi. Walau demikian prestasinya tak berbanding lurus dengan
keadaan ekonominya. Karena Fadlan yakin bahwa kenikmatan mengenyam
pendidikan adalah karunia Tuhan, maka ia menjalaninya semaksimal mungkin.
Alhasil selama 3 tahun masa pendidikan ia tidak pernah alfa menorehkan prestasi.
Beberapa kali ia menjuarai lomba MTQ tingkat kota dan provinsi, lomba debat
Bahasa Arab dan Inggris, menulis cerpen, puisi, esai, dan karya tulis ilmiah.
Setelah sekian lama berjualan jelly, berkat kesabaran, kegigihan, dan tekad
yang ia miliki, sebuah hadiah besar ia terima. Ia mendapatkan bantuan dana
pendidikan bernama BIDIKMISI dan akhirnya ia dapat menyambung pendidikan
tinggi tanpa bersusah payah lagi. Akhirnya ia berhenti berjualan jelly dan fokus
studi di luar kota. Setelah mendapat beasiswa, jiwa kewirausahaannya tidak lantas
luntur. Ia meraup rupiah dengan tulisan-tulisan yang ia kirim ke berbagai media
massa. Laptop yang ia beli dari uang beasiswa membuatnya semakin mudah
menyemai keahliannya di bidang kepenulisan.

Sebuah kesabaran dan kegigihan adalah hal yang harus dipegang teguh
setiap orang. Sementara menyerah dan berputus asa adalah perbuatan yang sia-sia
karena hal itu merupakan bukti ketidakterimaannya atas ketetapan Tuhan. Teruslah
berusaha karena siapa tahu kemenangan hanya tinggal satu langkah lagi setelah kita
gagal.

Anda mungkin juga menyukai