i
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Menulis bukanlah hal yang sulit. Diksi yang
dipilih merekapun beraneka ragam, ada yang
memang puitis atau diksi dengan kata-kata
sederhana seperti kata yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, alur cerita yang
mereka ciptakan sangatlah menarik dan
menggambarkan kehidupan nyata di sekitar
mereka yang ditambahkan kreativitas imajinasi
masing-masing.
ii
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Menulis dapat membuat kita panjang umur
sampai beribu tahun lamanya. Sebuah tulisan akan
terus hidup apabila tulisan tersebut dicintai oleh
pembacanya dari generasi ke generasi. Oleh
karena itu, jadilah generasi yang senang menulis.
Cimahi, Juli 2023
Kepala Perpustakaan
SMPN 6 Cimahi
iii
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kata Pengantar
iv
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hari. Setelah membaca kumpulan cerpen ini,
banyak siswa yang tertarik untuk menulis,
terutama menulis cerpen karena menulis bukanlah
hal yang sulit. Namun, perlu adanya keinginan dan
keyakinan yang kuat.
v
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Daftar Isi
Kata Pengantar
Kepala Perpustakaan ...............................................i
Kata Pengantar ........................................................iv
Daftar Isi .................................................................vi
Terhasut Ego ...........................................................1
Nabila Rizqi Ramadhani
Alexithymia’s............................................................28
Wening Nurinnida
Alea ............................................................................51
Kazia Rafa Maulida
Luka ............................................................................91
Kazia Rafa Maulida
vi
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Cahaya........................................................................174
Kazia Rafa Maulida
Teman ........................................................................201
Kazia Rafa Maulida
Matahari....................................................................208
Aisya Muaziyah
Pembalasanku ...........................................................250
Kazia Rafa Maulida
vii
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Terhasut Ego
Nabila Rizqi Ramadhani
1
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ah, lukisan ini? Masih ada rupanya,” gumamku
dengan senyum tipis yang menghiasi wajahku saat
melihat lukisan itu, sebenarnya aku tak tahu apa
bentuk asli dari lukisan itu karena aku sama sekali
tak ahli dalam bidang kesenian. Yoga bilang di
surat, ia membuatnya khusus untukku! Hm tapi
Yoga, kamu sebenarnya melukis apa di kanvas itu?
Aku tidak mengerti.
7 Desember 2014.
2
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Perempuan itu tak membalas apa-apa, tampaknya
ia sedang dalam suasana yang bisa dibilang malas
melakukan aktivitas dan tentu saja sebagai pria
yang sudah mengenalinya dari kecil Ia mengerti
harus bagaimana membujuknya.
3
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah duduk di bangku SMA mereka berdua selalu
menghabiskan waktu mereka bersama-sama sejak
kecil. Kirana sudah mengenal Yoga sejak mereka
berdua masih balita, bahkan mereka terlihat
seperti adik kakak bagi orang lain.
4
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kirana diam sejenak sembari ia berpikir sejenak,
“memangnya iya ya? Yoga enggak pernah bilang ke
aku, kok dia menyembunyikan sesuatu seperti ini
sih.”
5
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Yoga, aku kangen! Hari ini kita enggak ada main
sama sekali loh. Oh iya, kamu ingat kan tahun baru
nanti aku bakalan menampilkan bakat permainan
pianoku di Aula Sepati 13,” ucap Kirana dengan
penuh semangat dalam pelukannya.
6
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Yoga tertawa kecil sembari ia melepas pelukannya
lalu meletakkan tangannya di kedua pipi sang gadis
yang lembut, menjawab kembali, “r\Rahasia~, eh
Kirana kamu masih meremehkan kemampuanku
dalam bidang tahu menahu?”
“Hm, iya sih Yoga Pratama mana bisa diremehkan!”
balas Kirana terhadap gurauan yang diberikan oleh
Yoga, mereka berdua pun tertawa satu sama lain.
7
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
itu Kirana mulai berpikiran negatif, bagaimana jika
Yoga ingin meninggalkannya?
8
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apa lagi masalah yang akan aku dapatkan setelah
ini. Yoga bakalan kasihan enggak ya lihat
keadaanku seperti ini, sepertinya enggak akan sih,”
gumam Kirana sembari menempuh jalan pulang
bersama Ayahnya.
9
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Yoga? Yoga, tunggu aku Yoga!” Teriak gadis itu
dengan langkah yang compang-camping berlari
mengejar sosok yang Ia rindukan selama ini. Yoga
menoleh ke sumber suara itu, katanya terbelalak
saat melihat keadaan Kirana namun tampaknya
Yoga menahan reaksi aslinya yang
mengkhawatirkan Kirana.
10
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Yoga terdiam melihat Kirana yang memarahi nya,
ia hanya bisa diam melihat Kirana yang tampak
bernafas dengan terengah-engah.
“Yoga Pratama jawab-”
11
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tahu ego kamu itu tinggi tapi tolong sekali ini saja
dengarkan aku dulu.”
12
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dadanya yang membuatnya kesusahan untuk
bernafas. Kirana yang melihat ini pun sontak
berubah menjadi khawatir dengan kondisi Yoga
yang mendadak seperti itu.
13
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
harus ia dengan terpaksa mendekap tubuhku
seorang diri. Gadis itu hanya bisa menangis dan
menangis dengan memorinya yang masih
memikirkan lelaki itu, lelaki yang pernah
memberinya harapan yang sangat dalam.
17 Desember 2014.
14
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Renungan Kirana pecah saat ia mendengar suara
yang familier dari depannya. Tak disangka-sangka
ternyata itu adalah Mama Yoga, Tante Rina.
“Nak Kiran, bisa bicara sebentar?” Tanya Tante
Rina. Kirana heran, namun ia berfirasat Tante Rina
pasti ingin membicarakan hubungannya dengan
Yoga akhir-akhir ini dan ia pun membalas,
“Boleh Tante.”
15
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dengan bidang kedokteran, kan? Impian asli Yoga
adalah menjadi pelukis, Kirana,” ucap Tante Rina.
Kirana sontak membeku di saat itu juga, selama ini
Ia telah dibohongi oleh Yoga? Banyak pertanyaan
yang muncul di benak Kirana namun ia menahan diri
untuk tetap menutup mulutnya.
Tante Rina berkata kembali, “Kiran pasti kaget ya?
Maafkan Yoga, ya. Sebenarnya, ada satu hal lagi
yang ingin Tante beri tahu tapi sepertinya akan
Tante berikan kesempatan untuk Yoga sendiri
yang menulisnya. Sekarang, maafkan Yoga terlebih
dahulu ya?”
Menulis?
Kirana mulai merasakan keringat dingin
menyelimuti seluruh tubuhnya, namun ada satu
pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak Kirana.
ia rasa ia harus menanyakan pertanyaan satu ini,
ini penting.
16
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
melakukan apa agar Yoga dapat memaafkan
Kirana?” Tanya Kirana. Sebenarnya, sangat sulit
untuk memaafkan orang yang telah berbohong
selama hidupnya seperti Yoga, namun Kirana rasa
inilah yang terbaik demi berbaikan dengan Yoga.
“Orang-orang seusia kalian tentunya sedang
memikirkan daftar kuliah, kan?” Tanya Tante Rina
pada Kirana, Kirana pun mengangguk untuk
mengiyakan.
31 Desember 2014.
17
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
3 Januari 2015.
18
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
cepat menelepon Tante Rina, saat telepon
akhirnya diangkat Kirana langsung bertanya,
“Tante, kok di sini enggak ada Yoga?”
Beberapa detik Kirana tak kunjung mendengar
suara Tante Rina, namun akhirnya terdengar suara
Tante Rina yang berbicara dengan sedikit tangisan?
“Kiran, segera ke pemakaman umum. Yoga,
meninggal Nak,” ucap Tante Rina.
19
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
alas kaki apa pun, yang Ia pedulikan saat itu hanya,
Yoga Pratama.
“TANTE!” Teriak Kirana sembariiIa menangis dan
berlari.
20
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tanpa sadar Tante Rina ternyata memanggil nama
Kirana sedari tadi, Kirana pun menoleh untuk
melihat Tante Rina. Tante Rina pun berkata,
“Kiran, warga menemukan Yoga tergeletak tak
bernyawa di markas kalian berdua. Di sana warga
pun menemukan sebuah kanvas dan hal lainnya yang
kemungkinan itu untukmu, Tante juga yakin satu
rahasia yang Tante tak beri tahu kepada nak Kiran
ada di sana. Kirana ke sana sekarang, ya?”
21
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sebuah kain putih terletak tepat di sebelah kanan
van itu. Kirana menghampirinya dan membukanya
perlahan, terlihat sebuah sepucuk surat
tertempel pada ujung kanvas tersebut disertai
pula dengan bunga mawar putih favorit Kirana.
22
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bandung, 3 Januari 2015.
Hai, Kirana.
Kirana Rahsa Janardana, gadis cantik pertama
yang aku kagumi selama hidupku. Ah, jika kau
membaca ini pasti kau sudah mendapat kabar
bahwa aku pergi ke Jakarta untuk pindah sekolah
ya? Maaf ya Kirana, aku mengingkari janji masa
kecil kita, “Mau sesulit apa pun keadaannya, kita
enggak boleh pisah” itu janji kita kan? Dari awal
aku sudah mengingkari janji dengan cara
menjauhimu. Aku menjauhimu juga karena aku
bimbang Kir, seperti apa yang sudah aku bilang aku
butuh waktu, waktu untuk berpikir bagaimana aku
mengucapkan selamat tinggal ke kamu dengan cara
yang halus? Maaf, caraku gagal aku malah
membuat kamu mengira bahwa aku membencimu.
Ah, perkataanku hari itu aku enggak bermaksud
untuk mengucapkannya hehe.
23
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
merasa khawatir sama keadaan aku, aku takut
kalau aku malah membebani pikiranmu untuk
mengejar cita-citamu menjadi pianis dengan
penyakitku.
Kamu abadi dalam lukisan yang aku buat,
kamu abadi dalam setiap inci kanvas itu,
kamu abadi dalam lukisanku.
Kamu mempunyai jiwa yang cukup kuat untuk
melupakanku, kian memori yang kita buat akan
menghilang dalam kepalamu.
24
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dipenuhi oleh isak tangis dari gadis itu. Dunia
seakan-akan terhenti saat itu juga, kerapuhan
yang menyayat hati Kirana pun tak kunjung selesai
membuat hatinya hancur berkeping-keping. Kirana
mencoba untuk menenangkan hatinya, hari yang
seharusnya menjadi hari berbahagia pada awal
tahun malahan menjadi hari yang sangat-sangat
hancur. Di tengah isak tangisnya Kirana mencoba
untuk berbicara, ia berkata,“Yoga, Yoga aku minta
maaf, aku minta maaf aku enggak bisa mengerti
perasaanmu. Aku tak akan pernah menyesal untuk
mengenal sosok lelaki sebaik kamu, dari lubuk
hatiku yang paling dalam aku juga mencintaimu,
Yoga. Maaf karena aku lebih mementingkan egoku,
aku mengaku aku memang bodoh. Aku baru saja
berpikiran untuk menyatakan perasaanku hari ini
kepadamu, ya memang aku sudah mengatakan
bahwa aku mencintaimu namun takdir berkata lain.
25
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kau meninggalkanku untuk pindah sekolah mungkin
kita bisa bertemu lagi, namun kini berbeda.
Kamu meninggalkanku untuk pergi ke alam lain dan
kita tak akan pernah bisa untuk bertemu kembali,
Yoga Pratama.”
26
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dalam di hatinya karena telah dibohongi sekian
kalinya oleh orang yang ia sayangi.
— Tamat
27
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Alexithymia’s
Wening Nurinnida
28
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
enggan bergaul. Dan lagi-lagi sangat berbeda
dengan Bintang yang memiliki banyak teman dan
kenalan di sekolah maupun luar sekolah.
29
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ah kamu ini iri terus pada Bintang,” balas
temannya yang berada di sebelahnya. Pak Rindo
hanya menggeleng. Sementara Bumi yang berada
paling belakang terjongkok sembari menunduk
dengan rambut yang basah akibat peluh
keringatnya. Ketika yang lain sedang berdiri, ia
jongkok membuat Pak Rindo menyadarinya.
30
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Begitulah hal-hal yang Bumi dengar. Dia hanya
mengabaikannya. Tak ada gunanya juga bila dia
marah karena semua yang dikatakannya adalah
kenyataan.
~~
31
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyebabkan Bumi sangat jauh dengan
kembarannya.
33
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
orang yang tak sengaja Bumi tabrak meliriknya
tajam.
34
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bumi diam. Ia memang tak bisa bertarung, tapi
bukan itu yang membuatnya khawatir. Yang ia
khawatirkan hanyalah Bintang. Entah mengapa
Bumi jadi begitu khawatir melihat kembarannya
yang bersikap seperti itu padanya. Ia merasakan
hal yang sangat tak nyaman akan menimpa
kembarannya. Semoga saja tidak.
35
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sepulangnya Bumi dari sekolah, ia merebahkan
tubuhnya yang dipenuhi lebam di atas sofa.
Matanya sangat lelah. Tetapi, ada suara yang
mengintrupsinya agar tidak tidur. “Kau tak bisa
melawan, ya?” ejek Bintang yang kini sudah rapi
dengan setelan baju tidur dan mug digenggaman
tangannya. Bumi menghela nafasnya lalu melirik
Bintang tajam.
38
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
merangkulnya jelas Bumi kenal. Waktu itu kan dia
yang memukulnya.
39
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat ketiganya sedang berbicara, datanglah
segerombol senior menghampiri Bintang. Bintang
yang tentu saja kenal dengan senior itu lantas
menyapanya. Tapi sapaan itu hanyalah angin kala
sang senior menarik kerah kemeja yang Bintang
kenakan. Wajah senior itu tampak marah, lalu
sepersekian detik kemudian pukulan demi pukulan
membekas pada wajah Bintang membuat keributan
di acara ini.
40
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang yang dipukuli tanpa perlawanan. Dengan
gerakan cepat Bumi mendorong sang senior hingga
menjauh beberapa meter. Tangan Bumi terangkat
ke bawah seakan tengah melindungi Bintang yang
tersungkur.
41
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bumi menunduk, lalu ia melepas paksa tangan
Bintang yang mencekram bajunya. Desiran aneh
kian menjalar pada tubuh Bumi.
42
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
raungan tangis penuh emosi, tetapi beberapa kata
ia ucapkan untuk Bintang.
44
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ia menatap lembaran soal dan buku-buku yang
berserakan di meja belajar. Ia baru ingat bahwa
ia tertidur di tengah belajarnya. “Astaga, Bumi,
kau mimpi aneh lagi,” gumamnya dengan wajah
datar yang menatap soal-soal itu. kini ia berada
dalam kamar dengan pintu yang terkunci dari luar
dengan cahaya hanya bermodalkan lampu di atas
meja belajar miliknya, juga cahaya rembulan yang
mengintip masuk melalui jendela. Bumi membaca
beberapa soal yang berada di atas kertas dengan
tangan yang bergetar hebat.
45
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bertetesan mengotori kertasnya hanya karna ia
sangat kelelahan. Bergetarnya tangan dengan
bercucurnya keringat tak mendukung raut wajah
Bumi yang berusaha fokus dengan soal-soalnya.
Menghiraukan kepalanya yang begitu pusing,
bahkan jidatnya telah tertempel penurun panas.
46
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Wajah pucat Bumi dipaksakan untuk melihat ke
arah sang Ibu yang ternyata memasuki kamar Bumi.
Sang Ibu berdiri tepat di sebelah Bumi.
48
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tapi semua yang dijabarkan dalam cerita ini
hanyalah kebohongan. Bumi hanya seorang pelajar
yang kini terkurung di rumah sakit jiwa, karena
skinzofernia yang ia alami sangat parah dan sering
kali melukai dirinya sendiri. Setelah kehilangan
sang kembaran dan sang Ibu, Bumi jadi gila.
Imajinasi itu membuatnya terus berhalusinasi. Ia
dipenuhi rasa bersalah pada kedua orang yang ia
sayangi.
End_
49
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Note: semua hal yang Bumi alami sebenarnya hanya
rasa bersalah hingga imajinasi Bumi yang
menyuruh berganti posisi menjadi Bintang maupun
Ibunya. Hehe.
50
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Alea
Kazia Rafa Maulida
51
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hidup dan enak untuk dilihat secara langsung serta
menyegarkan mata.
52
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
"Hari ini kamu banyak memujiku ya," sahut Alea
dengan senyum tipis yang tersungging di wajahnya
yang kecil nan manis. "Hehe, yang penting kamu
bisa semakin membaik dari penyakit
skizofreniamu, Alea," pujiku padamu dengan di
sertai oleh senyuman manis dari wajahku. "Iya,
makasih banyak Rico, kamu baik banget,'
53
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tak mengenalmu tadi Arga," ucapnya sembari
tersenyum padaku.
54
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
. Jujur, terkadang aku merasa lelah dengan
keadaan. Namun, sebagai teman lama yang
kemudian menjadi pacarnya aku berusaha untuk
tetap berada di sampingnya untuk menemaninya.
55
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Selama di perjalanan menuju rumah yang telah
kubeli untuk kami berdua, aku dan Alea terus-
menerus mendengar perbincangan tentang
'Sepotong surga dari timur Indonesia', yang tak
lain adalah julukan bagi Banda Neira yang terkenal
dengan keindahan alamnya. Keindahan alam yang
ada di sana sudah banyak dibicarakan oleh orang-
orang saat kami sedang berlalu lalang di jalanan
kota.
56
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
untuk di dengar. Wajahnya yang kini penuh akan
senyuman kebahagiaan membuat hatiku terasa
sangatlah bahagia di saat itu, kata-kata bahkan
tak sanggup untuk aku gambarkan tentang
bagaimana bahagianya diriku saat berada di
sampingmu yang penuh dengan keceriaan kala itu.
57
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sederhana daripada ini," ucapku dengan senyuman
pahit sebelum mulai mengantarmu ke dalam
kamarmu.
58
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kami menikmati waktu bersama dengan pelukan
yang begitu hangat di antara aku dan Alea. Aku
melepas pelukan kami berdua dan menempelkan
hidungku dan hidungnya, membuat jarak kami
sangat berdekatan. "Kamu sangat cantik kamu
tahu itu?" Ucapku padamu dengan lembut dengan
senyuman lebar. "Iya, tentu aku tahu tentang hal
itu," jawabnya sembari tersenyum lebar kepadaku.
59
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mataku mulai terbelalak saat aku menyadari
bahwa tubuhmu terasa sangat dingin setelah
beberapa waktu yang lama kamu tidak bergerak
sedikitpun ataupun bernafas. Aku mulai melakukan
tindakan pertolongan pertama padamu. Namun, itu
semua terasa sangat sia-sia karena jiwamu sudah
pergi meninggalkan ragamu yang kini kupeluk
dengan sangat erat di dalam pangkuanku.
60
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah tidak ada. Percayalah, bahwa dari lubuk
hatiku yang paling dalam, aku akan selalu
mencintaimu selama-lamanya," ucapku sembari
terisak-isak.
61
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Hilangnya Sang Sayap Pelindung
Wening Nurinnida
62
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Banyak biaya yang harus dikeluarkan Kanna,
sementara dana bantuan masih belum cukup. Kanna
juga banting tulang untuk perawatan sang adik
yang memiliki penyakit yakni gagal ginjal kronis
yang ia alami sejak usianya menginjak 7 tahun, di
mana saat kedua orang tuanya masih selamat dan
merawat keduanya.
63
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna mengulas senyum lalu mengelus kepala
Kaeno dengan penuh kasih sayang. “Kaeno tidur aja,
besok kan sekolah,” ucap Kanna dan dituruti.
65
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
untuk nanti walau Kaeno kini tengah menahan lapar
saat melihat teman-temannya menikmati makanan.
66
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Padahal kalau mau tinggal ambil aja,” ujar Kaeno
pada Haikal yang belum benar-benar meninggalkan
Kaeno. Ucapan Kaeno tadi tidak di cerna baik oleh
Haikal. Ia terlihat sangat kesal pada Kaeno yang
sebenarnya tak bersalah sama sekali.
67
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
langsung memusatkan perhatian pada Kaeno
memberi jawaban.
68
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“KAEN” Kanna memasuki ruang guru lalu memeluk
Kaeno dengan erat di sertai air mata yang
terjatuh membasahi pipi Kanna. “Wali nya Kaeno?”
tanya guru itu melihat Kanna yang terlihat sangat
muda.
69
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
akhir-akhir ini nilainya turun, Anda seenaknya
hanya melihat pandangan orang yang lebih tinggi
dari Kaeno seperti ini!” Amarah Kanna benar-
benar sudah tak terkontrol. Dengan berani ia
marah pada guru tersebut sembari menunjuk-
nunjuk karena tak terima.
73
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna menangis di pelukan tersebut membuat
jantung Kaeno berdetak lebih cepat dari
sebelumnya. Rasa bersalahpun mulai menjalar pada
diri Kaeno yang sudah menyentak dan melukai hati
sang Kakak.
75
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna yang masih mengobrol dengan dokter yang
biasa membantu Kaeno cuci darah.
76
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Firasat Kaeno gak enak, Kak.” Ucap Kaeno lirih
memandang sang Kakak masih dengan raut yang
kebingungan. “Gapapa, itukan Cuma firasat, lagian
Kakak udah ngumpulin banyak uang buat oprasi
Kaeno dari lama,” seru Kanna mencoba memberi
semangat pada sang adik.
77
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
semakin besar. Firasat buruk itu semakin
menyerang pikirannya dan membuat ia takut.
79
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pada raut Kaeno yang bertanya melihat soal-soal
tersebut.
80
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kamu ini lemah! Jawab soal begituan saja gak bisa!
Bisanya menyusahkan orang saja. Mau jadi apa
besar nanti?” sentak Bu Mia sembari memukul
pundak Kaeno membuat dirinya terhuyung jatuh di
atas dinginnya lantai.
81
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kaeno!!” Panggil seseorang dari arah berlawanan
yang Kaeno sangat kenal. Kanna berlari masih
dengan celemek di kenakannya dengan keringat
yang terus bercucuran. Kanna mendekap sang adik
pada pelukannya. Seolah akan ada hal buruk
terjadi, Kaeno sudah berada di dalam perlindungan.
Sang Kakak membawanya pada ketenangan yang
abadi, Kaeno sangat tenang sekali saat Kanna
dapat memeluknya dengan erat.
82
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kaeno tersenyum hingga kedua matanya ikut
tersenyum menatap sang Kakak masih dengan
tangisnya.
83
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tapi demi Kak Kanna bahagia, Kaeno akan
melakukan apa saja, untuk keluarga satu-satunya.
84
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna yang mendengarkan sesekali tertawa
melihat kekonyolan adiknya itu.
85
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyusuri taman rumah sakit sesekali ia melirik ke
arah jalan raya yang di penuhi mobil-mobil.
86
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Jalanan tiba-tiba saja ramai. Perasaan cemas
Kaeno makin besar hingga kini dirinya bercucuran
keringat tanpa sebab membuat Dokter Anatha
kebingungan. “Kak Anatha, Kaeno mau kesana,”
tunjuk Kaeno pada gerombolan orang dan petugas
medis berada.
88
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Seperti tersambar petir, Kaeno terduduk
menyaksikan pemakaman tanpa seorang pun disisi
nya berada. Tanpa rumah untuk pulang, tanpa
tempat untuk menaruh keluh kesahnya, tanpa
seseorang yang bisa menggantikan peran orangtua.
Kaeno menjadi rapuh. Hal yang ia janjikan untuk
Kanna kini sia-sia. Harapannya untuk melihat sang
Kakak bersekolah kembali itu sia-sia. Pada
akhirnya Kaeno hanya bisa menyimpan jal tersebut
di dalam hati. Sampai ia bisa menemukan sosok
seperti Kanna kembali.
90
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Luka
Kazia Rafa Maulida
91
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
semua mata tertuju, hanya kepadaku seorang.
Namun,menjadi orang yang memiliki wajah serta
tubuh menawan tak hanya mendatangkan berbagai
pujian dan perlakuan yang begitu baik. Ada kalanya,
seseorang mendapat perlakuan yang buruk. Begitu
buruk hingga membuat seseorang itu menjadi
sangat menderita sepanjang hidupnya, seperti
yang sedang kualami sekarang ini.
92
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
rumah yang begitu megah ini. Menambahkan kesan
sunyi yang tak ada habisnya di setiap hari.
94
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Dia tidak bergeming setelah aku berusaha untuk
melawannya.Tak lama , dia sudah melepas semua
pakaianku dan mulai melakukan tindak asusila
kepadaku. Aku hanya bisa menangis, mengapa aku
harus terjebak di keadaan seperti ini? Kenapa aku
yang harus menjadi korban atas tindakan tidak
manusiawi seperti ini? Kenapa aku hanya bisa
terdiam dan menurut kepadanya? Membiarkan dia
untuk melampiaskan nafsu bejatnya kepadaku,
seorang anak yang bahkan tidak mempunyai
masalah apapun yang membuatku harus mendapat
perlakuan seperti ini.
95
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
terkendali ini, aku memutuskan untuk melawan.
Namun, tubuhku sudah sangat lemas untuk
melawan pria itu. Alhasil, aku jatuh pingsan ke atas
tanah dan kehilangan penglihatan secara perlahan.
96
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
terlalu muda untuk menerima tindakan seperti itu
dari seorang pria yang tak memiliki hati.
97
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
yang cerah dan tak dapat menjalani kehidupan
yang normal seperti sebelumnya.
98
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Nanti Kita Cerita, Ya?
Mykaila Athaya Putri Rukmana
99
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
selalu bahagia apabila menyangkut tentang masa
depan dan sang bunda.
102
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sudah saat nya ia mandiri untuk masa depan, Aza
berharap kehidupannya akan baik – baik saja
karena bunda menjaganya dari atas sana.
103
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Hari libur kali ini Aza pakai untuk menangis
seharian karena ia benar – benar merindukan sang
bunda. Ia merindukan tidur bersama bunda,
dibuatkan sarapan oleh bunda, makan bersama
bunda, masak bersama bunda. Apapun kegiatan
yang berhubungan dengan bunda, Aza selalu
merindukannya.
104
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza sekarang duduk di bangku kelas 11 Sekolah
Menengah Akhir. Seperti biasa, ia duduk sendirian,
benar – benar sendirian. Ia tidak terlalu pandai
bergaul, jadi semenjak duduk di bangku SMA, ia
sama sekali tidak memiliki teman.
105
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Baiklah Rey, kamu bisa cari tempat duduk yang
kosong. Ibu akan mulai pelajaran hari ini.”
106
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza saat ini sedang membaca buku yang biasanya
ia baca bersama bunda, ini sudah seminggu dari
kejadian tersebut. Aza benar – benar merindukan
bundanya itu.
108
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Boleh, makasih ya mau ngajak aku temenan!” Aza
sangat senang, mood dia hari ini pulih total karena
Reynard. “Nanti pulang bareng gue ya.” Belum
sempat Aza menjawab, bel tanda pelajaran
selanjutnya sudah berbunyi. Apa boleh buat selain
meng-iya kan permintaan tersebut?
109
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Yauda gih lo masuk, gue tau rasanya di tinggal
bunda pergi. Lo jangan keseringan nangis ya? Kalau
ada apa-apa telepon gue ya?” Reynard mengusap
kepala Aza. Aza benar – benar terkejut atas
perlakuan itu, sebab hanya bundalah yang selalu
melakukan hal itu. “Oke Rey makasih ya udah
anterin aku pulang. Hati – hati di jalan.” Aza
langsung bergegas masuk ke dalam rumah saat
Reynard pergi dari depan rumahnya. Jantungnya
benar – benar berdegup sangat kencang sekarang.
110
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kamu kenapa lari – lari?” tanya Aza saat Reynard
sudah duduk di sebelah Aza. “Gapapa, gue cuma
takut telat Za.” Walaupun Reynard sudah duduk,
tapi napasnya itu masih terengah karna lelah
berlari.
“Nih gue bikinin bekel buat lo, gak gue racunin kok.
Tiap hari gue masak buat bokap gue, jadi gak usah
takut makanannya ga enak.” Reynard menyodorkan
spaghetti kepada Aza, lagi – lagi Aza tidak bisa
menolak. “Makasih Rey! Lain kali gak usah ya? Aku
takut ngerepotin kamu.”
111
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza, sungguh lelah Aza menghadapi ke salah
tingkahan ini
112
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mau temenin aku sampe sukses, tapi Zaza belum
sukses bunda, bunda masih temenin Zaza gak ya?
Bunda, bunda, buku Zaza yang biasa di baca bareng
bunda ngeluarin season baru lohh, bunda gamau
baca? Seru banget tau! Cewenya aneh banget, dia
yang putusin tapi dia yang gak bisa lupain cowo itu!
Aneh banget ya bun? Bunda kapan datang ke mimpi
Zaza? Zaza kangen sama bunda! Apa bunda udah
lupain Zaza ya, sampai gak datang ke mimpi Zaza?
Zaza padahal sering meluk barang – barang bunda
pas tidur biar bunda datang ke mimpi Zaza, tapi
bunda tetep gak datang. Gapapa kalau bunda udah
lupa sama Zaza, tapi Zaza di sini bakal inget terus
sama Bunda. Zaza pergi dulu ya? Takut kesorean
terus nanti hujan. Dadah bunda, I miss you and I
love you beautiful mother!”
113
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat Aza sedang asik melihat pemandangan di luar
jendela, tiba – tiba mobil yang ia kendarai itu
berhenti. Aza melihat Reynard yang berlari ke
belakang mobil. Saat ingin ikut turun dari mobil,
“diem Za, jangan keluar” Reynard teriak dari
belakang sana. Aza yang tadinya ingin turun pun
tidak jadi karna teriakan tersebut.
116
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza sedari tadi hanya menangis melihat Reynard
yang terbujur kaku di depannya. Iya tepat sekali,
Reynard baru selesai melakukan operasi
transplatasi jantung. Siapa yang memberikan
jantungnya itu? Andre, andre yang merelakan
hidupnya untuk Reynard. Aza mungkin benar –
benar berterimakasih dengan Andre.
119
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
keluarga gue. Gue gak akan kasih tau lo sekarang.
Lo pasti tau sendiri nantinya.
120
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Makasih kalian udah mau jadi temen gue selama 5
bulan ini, makasih juga udah bikin gue gak dibully
lagi. Sehat – sehat, ya? Gue, tante Ani, tante Yita,
jagain kalian dari sini.
122
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sedikit sensitif mengenai perihal gelar yang
ayahanda berikan. Hanya sang adik saja yang
belum mendapatkan gelar. Sudahlah, toh sekarang
keduanya kini tengah merayakan pesta ulang tahun.
125
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ucapkan selamat ulang tahun untuk Anda,” ucap
orang itu.
126
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apa yang harus saya bayar untuk mendapatkan
gelar tersebut?” ujar Samuell membuat orang
tersebut tersenyum menatapnya yang lebih
pendek. “Sederhana. Anda hanya harus mengikuti
saya menuju tempat kau akan mendapatkannya.
Gelar yang kau inginkan.” Akhir orang itu pergi
menuju suatu tempat dan diikuti oleh Samuell.
Menurutnya, ini adalah pilihan yang sudah tepat,
walau ia tak tahu kenyataan bahwa gelar tersebut
hanya bisa diberikan oleh Raja.
127
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dan Jay-anak perwira kerajaan, menatap Hero
dengan tatapan bertanya.
128
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Setibanya di sana, Hero tak mendapati
keberadaan Samuell. Yang ia dapatkan hanya
aroma naga dan aroma Samuell yang bercampur di
tempat itu. Raut Hero sudah panik hingga Pak Jun
sebagai kepala perwira menghampiri mereka.
129
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tempat gelap, sunyi, dingin, dan kosong. Samuell
merasa tak nyaman akan tempat tersebut. Yang ia
lihat hanyalah cahaya yang dipancarkan orang
kekar di depannya.
130
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Padahal Hero sangat yakin bahwa kembarannya itu
masih hidup, karena ia percaya bahwa para naga
tak mengaggap manusia sebagai musuh.
131
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berteman akrab. Hanya saja Hero masih belum
terbiasa dengan aroma Tahel yang sangat pekat
karena ia adalah seorang ware wolf. Tahel memiliki
paras yang lebih pendek dibanding Hero, dengar
rambut yang berwarna ungu hampir menyentuh
area pundaknya.
132
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ware wolf, mana bisa aku terjangkit penyakit.”
Pedenya memukul dadanya sendiri.
133
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Di barengi mendungnya langit, Hero bergegas
menuju ke dalam istana karena ia menduga bahwa
hujan sebentar lagi membasahi tanah. Saat sudah
berada di dalam istana, seseorang yang melihat
Hero memasuki ruangan itu mendengus kesal.
Akibat para kelelawar, ia gagal melakukan
rencananya.
134
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ayahanda.” Pesan Putri Monica pada Hero yang
langsung direspons anggukan.
137
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Mari berperang. Tuan Bintang.” Pedang itu
terjulurkan. Dengan raut marah, Hero mengambil
pedang dari tempatnya yang sering Hero bawa
kemana-mana. Wajah Hero tampak cemas. Ini
baru pertama kalinya ia bertarung dengan nyata.
Mata birunya menatap sosok orang bermata merah
di depannya.
139
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
wolf miliki bukan main. Ia bisa saja mematahkan
batang pohon hanya dengan lima kali pukulan.
140
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Benar, itu terjadi delapan tahun lalu. Saat dimana
Herosa mendapatkan gelar dari sang raja. Hero
diberi jubah khusus berwarna biru toska dengan
sedikit corak bintang yang berkilau. Hanya Hero
yang dapat, Hero berdiri di sebelah Raja, hanya
Samuell yang kini berdiri di bangku penonton
dengan Putri Monica yang tentu saja sudah
mendapatkan gelar.
141
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tak sengaja dirinya menubruk patung kepala yang
terpajang di pinggir lorong istana. Dengan panik
Samuell hendak menraihnya. Sayangnya patung itu
terlebih dulu membentur lantai hingga jadi
berkeping-keping membuat para pelayan datang
juga Putri Monica yang kebetulan sedang di dekat
sana.
142
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah beberapa buku tentang naga dan pulaunya ia
baca.
143
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dengan mata biru yang menajam. “Sudah selesai
kau mengatai dirimu pecundang?”
Bugh.
144
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Lalu Hero melirik kalung bersimbol mentari yang
Samuell kenakan. Lengannya menuju kalung
tersebut, Tapi tangan Samuell mendahuluinya
menggegam lengan Hero sebagai tanda penolakan.
147
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Akal Bulus Setangkai Lili
Nabila Rizqi Ramadhani
148
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Willhelm Augustus, namanya akhir-akhir ini sering
disebut dalam koran harian maupun didengar dari
lisan ke lisan, seluruh kasus yang ditangani oleh
Willhelm mampu dipecahkan olehnya dalam waktu
yang singkat dengan hasil yang tak bisa diragukan
lagi kebenarannya. Namun selain dikenal sebagai
detektif yang handal dan dapat memecahkan
misteri di London, di sisi gelap Kota London Ia
menjadi salah satu kriminal paling dikenal oleh
masyarakat London, bahkan dapat disebut sebagai
Raja Kriminal. Ia secara anonim dengan julukan Lili
yang Mematikan tercatat sebagai kriminal
terkejam di Kota London. Ia tercatat melakukan
ratusan kali pembunuhan berencana kepada
beberapa Bangsawan di Kota London namun bukan
Bangsawan yang tak bersalah yang Ia habisi
nyawanya, melainkan sosok-sosok Bangsawan yang
terkenal akan tindakkan kejinya yang menindas
rakyat-rakyat sengsara yang tak berdosa.
150
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengusik renungan pria itu kecuali si licik asisten
Willhelm, Arthur Malcolm.
151
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Apa kau ada hubungan dengannya, Willy?” canda
Arthur kepada Willhelm yang membuatnya sedikit
tertawa namun Willhelm tidak menjawab sepatah
kata apapun pada candaan yang dilontarkan Arthur.
153
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Di mana letak studionya?” tanya Willhelm dengan
mimik wajah yang serius tanpa ada sedikit pun
tanda senyuman di wajahnya. Pria itu pun menunjuk
pada arah kanan Willhelm dan berkata, “Di sana.”
155
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hanya satu halaman yang terdapat coretan, lebih
dari sepuluh halaman!
156
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mereka pun menyusuri seluruh celah yang ada di
ruangan tersebut, mengambil beberapa sampel
sidik jari yang ditemukan di sana. Meskipun
teknologi penelitian untuk sidik jari belum
ditemukan, Willhelm tahu mungkin Ia dapat
menyelidikinya diam-diam karena Ia memiliki
kecerdasan yang tak ada habisnya.
157
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Sungguh kasus yang sulit untuk dipecahkan, haha.
Baru kali ini aku merasa kebingungan menalangi
sebuah kasus, pelaku dibalik aksi ini pasti sangat-
sangat pintar.”
158
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Aku sudah tahu pemilik sidik jari ini,” balas
Willhelm dengan cepat saat Ia menghampiri
Arthur perlahan.
159
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Willhelm membalas dengan senyum hangat pada
wajahnya saat Arthur meninggalkan tempat itu.
Namun setelah Willhelm berada sendiri disana
wajahnya dengan cepat berubah dengan wajah
yang serius, tak ada senyuman, tatapannya tajam
saat Ia mengambil catatannya dan mencatat,
“tersangka utama, Arthur Malcolm.”
160
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
nama asistennya yaitu Arthur Malcolm untuk
ketenaran semata. Ya, dalam kasus ini Arthur
terlihat tidak membantu banyak setelah obrolan
tentang sidik jari Lancaster Bertram, dalam sisi
Willhelm ini membuatnya semakin mencurigai
sosok asistennya tersebut.
161
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ia menemukan Arthur yang sedang berjalan
menghampirinya dengan senyum tipis.
164
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ha! Tentu saja dan aku akan memanfaatkan
kesempatan itu untuk mengungkapkan semua
kejahatan kau perbuat di meja hijau nanti, kau
pasti akan melaporkanku kepada pengadilan, kan!
Aku bisa menghancurkan nama baikmu dengan
mudah, Willhelm,” gerutu Arthur.
167
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Orang-orang yang ada di ruangan itu termasuk
anggota Kejaksaan Agung sontak merasakan
sebuah rasa syok yang amat menusuk, selama ini
mereka telah dibohongi oleh keluarga Malcolm
sendiri. Di sisi lain Ethan yang tadinya hanya duduk
diam kini telah merasa dirinya harus membuat aksi
setidaknya berbicara satu buah kata, Ia pun
beranjak dari tempatnya dan berjalan ke tengah-
tengah tersangka, hakim, dokumenter koran, dan
lain-lain lalu Ia berkata dengan lantang,
“HAHAHA! Ya~ ya benar! Akulah orangnya. Akulah
pelaku dibalik kasus pembunuhan seniman Gustave
Doré yang tak bersalah dan akulah orang yang
membunuh saudara kembarnya sendiri hanya
untuk sebuah ketenaran! Lalu apa? Apa yang,”
169
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apa yang kau inginkan, Ethan? Jangan menatapku
dengan tatapan seperti itu, aha,” ucap Willhelm
yang sedikit terkekeh melihat aksi Ethan.
170
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pada mata Willhelm, mata mereka memiliki
tatapan yang sangat-sangat bertentangan.
171
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kericuhan mulai kembali saat beberapa orang
berusaha menerobos pagar pembatas untuk
menghampiri Willhelm yang masih saja berdiri
dengan tenang disana namun tentu Ia telah dijaga
oleh beberapa petugas disana. Keadaan semakin
ricuh dengan tak adanya sedikit pun kata-kata
perlawanan dari sosok asli dibalik Lili yang
Mematikan tersebut, namun ruangan itu kembali
hening saat Willhelm mengeluarkan tawa kecilnya
yang licik.
172
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
London, ya! Itulah aku orangnya, Willhelm
Augustus.”
Tamat.
173
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Cahaya
Kazia Rafa Maulida
174
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
"Sore hari yang menyebalkan," ucapku sambil
memandang seorang gadis remaja bertubuh tinggi
dan memiliki paras yang menawan dengan mata
yang berwarna hijau berkilauan bak permata di
dalam cermin dengan tatapan sayu. Aku mulai
menyisir rambut panjangku yang lurus. Tak lama
setelah itu, aku mulai membersihkan wajahku yang
mungil serta menambahkan beberapa produk
kecantikan pada bibirku yang kering.
176
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
truk tersebut. Akupun sontak melihat ke arah
truk yang ingin menabrak diriku. Namun, aneh.
Sangat-sangat aneh. Tak ada satupun kendaraan
bahkan tak ada suatu truk yang berada di jalan
pada sore itu. Aku hanya terdiam sembari
membiarkan wajahku terkena angin yang lumayan
kencang di sore hari itu.
177
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sangat-sangat pulas hingga aku dapat memimpikan
tentang cahaya itu lagi. Kali ini, ia menuntunku
pada suatu dimensi yang tak kukenal. Dimensi yang
nyaman, dimensi yang terlalu indah untuk berada
di dunia nyata. Aku yang sangat terkejut bisa
berada di sini sontak berteriak dengan kegirangan.
"Tempat yang sangat indah! Tempat terindah yang
pernah kudatangi!" Teriakku tak kala aku melihat
hamparan rerumputan hijau yang berada tepat di
antara dua bukit nan tinggi dan dipenuhi dengan
rerumputan yang bagaikan sebuah permadani yang
menyelimuti seluruh bukit yang sangatlah indah.
179
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
"Tch, penyakit sialan," umpatku saat tak sengaja
aku mengambil secarik kertas diagnosis penyakit
skizofrenia yang di berikan oleh rumah sakit
terkemuka yang berada di pusat kotaku. Waktu
terus berlalu dan kini aku sudah membereskan
setumpuk kertas yang berisikan curahan hatiku
atas permasalahan yang kudapati. Hari ini, aku tak
melihat cahaya itu lagi. Aku yang merasa kesepian
hanya bisa berbaring pada kasurku yang terasa
sangat empuk malam ini.
180
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mataku mulai terbuka tak kala aku melihat
pemandangan indah yang kulihat sebelumnya.
Permadani indah yang menutupi seluruh bukit
tersebut kembali muncul dalam penglihatanku
malam itu. Aku yang merasa sangat kegirangan
mulai berjalan mengitari seluruh penjuru bukit
untuk sekedar menikmati suasana indah yang tak
terhitung jumlahnya.
181
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Masa lalu Lukisan Kuno
Wening Nurinnida
182
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tersenyum mengamati cucunya itu. “Veryn, ayo
masuk, yuk. Hari sudah mulai malam,” ajak Nenek
dan lagi-lagi hanya diangguki oleh anak perempuan
berusia 15 tahun itu.
183
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Memasuki kamarnya dan meletakkan beberapa
buku di atas meja belajar milik ibunya dulu
sewaktu masih seusia Everyn. Berjejernya foto
usang di tembok yang kini sudah tampak berdebu.
Niat untuk membersihkan kamar sebelum esok
kembali pulang ke kota mengisi otak Everyn. Ia
segera bergegas mencari kemoceng juga pengisap
debu.
184
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengangguk sebagai jawaban lalu ia berlari kecil
kearah gudang.
185
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Bawalah ke kota. Kakek yakin lukisan itu akan
memberikan keberuntungan untukmu,” ujar sang
Kakek dan Everyn mengangguk.
186
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sendiri kan? Ayah ada tugas keluar kota dan harus
pergi sekarang,” pesan Ayah dan diangguki lesu
oleh Everyn. “Iya, Ayah hati-hati.” Ayah
tersenyum lalu pamit meninggalkan rumah.
Sebagai seorang reporter tentulang Ayah sangat
sibuk.
187
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Mengapa kau menangis?” Everyn memberanikan
diri untuk mengangkat kepalanya karena
merasakan tangannya yang dicekal oleh seseorang.
Terkejutnya Everyn hingga ia loncat beberapa
meter ke belakang saat mendapati seorang laki-
laki di hadapannya. “Kenapa kau ada di sini!” teriak
Everyn menunjuk lelaki tersebut.
188
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
senyum manisnya pada Everyn yang mendadak
terdiam.
189
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ini tahun berapa?” tanya Riki pada Everyn yang
belum menetralkan terkejutnya. “2023,” jawab
Everyn singkat. Jawaban itu mengundang suara
Riki yang menggema akibat terkejut juga.
--
191
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Di sekolah, Everyn belajar dengan tenang dan
sungguh-sunggu. Tak sekali, ia terus terpikirkan
tentang Riki orang yang keluar dari lukisan kuno
itu.
193
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tentara Jepang bahwa aku keturunan pemilik lahan
jagung. Aku hanya bisa melakukannya selain
tertembak mati di tangan ayahku yang merupakan
tentara Jepang yang kini mau tak mau
menyaksikanku bekerja diusia yang masih sangat
muda.
6 Januari 1943
5 November 1944
9 Desember 1944
195
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Entah sudah berapa lama aku di dalam kapal. Entah
sudah berapa bulan aku tak mengisi perutku
dengan gizi selain makanan yang ia ambil milik
tentara yang berada di sana.
6 Agustus 1945
196
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pengemis ini! Akasahi hanya ada di sini!” seru
Nenek itu mengundang seseorang keluar dari
dalam bilik rumah. Seseorang itu, selain cantik ia
memiliki kemiripan dari Ayah. “Watashi, Akasahi
Riki.” Jawabku mencoba lagi.
197
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Api membakar seluruh kota. Hingga aku yang baru
saja tiba harus merengut nyawa ku di kota ini. Aku,
dan Nagasaki.
2023-Author POV
198
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Riki terkekeh geli dibuatnya. “Enggak lah, aku kan
lukisan. Haha.” Tawanya menatap wajah Everyn
yang merah akibat tangisnya juga hingus yang
berada di hidungnya.
199
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
membahagiakan pun dimulai dari nasi goreng.
Everyn sendiri tak menyangka hidupnya dimulai
dari lukisan kuno yang gemar makan nasi goreng.
“Ayah pulang~”
-Tamat-
200
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Teman
Kazia Rafa Maulida
201
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berwarna biru terang bagaikan warna biru langit
yang terang benderang di pagi hari .
202
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menunggu , tetap saja tak ada seorang pun yang
masuk kedalam ruangan kelas.
204
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berlari menurum anak tangga untuk pergi keluar
dari sekolah ini secepatnya. Akan tetapi, aku
sangat terkejut karena Ela berlari dengan sangat
kencang ke arahku .
205
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
atas tanah. Entah berapa Lama aku pingsan, aku
terbangun di atas ranjang rumah sakit dengan
sekujur tubuhku yang terasa sangat sakit. Aku
menatap ke sekitarku, aku tertegun melihat Ela
yang berjalan ke arahku.
206
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
yang sedari-tadi ku ajak berbicara tidaklah nyata
dan hanya sekedar halusinasiku saja.
207
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Matahari
Aisya Muaziyah
Aku, matahari.
208
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
aku yang dikelilingi awan. bulan dikelilingi oleh
bintang yang menyinari bumi dengan sedikit
cahayanya.
209
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aku mendengar kembali seruan mereka, jadi di sini
aku tidak boleh muncul? Lalu, apakah tidak apa jika
aku meninggalkan mereka? Lagipula mereka tidak
membutuhkan aku kan? Untuk apa aku di sini.
210
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
egois, banyak manusia disana membutuhkan
cahaya, dan panas ku di sana.
211
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Memori Hangat
Kazia Rafa Maulida
212
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
lemah namun juga lembut di telingaku. "Hai, tadi
tidur nyenyak? Banyakin istirahat ya, kata dokter
keadaan kamu semakin lemah," sahutku dengan
senyum lebar sembari mengeluarkan kotak makan
dari tas di sebelahku.
217
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
jawabku dengan sedikit kesal saat mendengar
ucapannya tersebut.
218
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Berbagai memori hangat yang kita jalani bersama
kembali memenuhi seluruh isi pikiranku. Tawa
manis yang selalu ia berikan kepadaku mulai
membuatku semakin menangis sejadi-jadinya.
Membuat petugas pemakaman menghampiriku dan
secara perlahan membangunkan tubuh kekarku
untuk pergi dari makamnya.
220
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dengan cara yang paling menyedihkan yaitu,
membunuhnya.
221
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Not Wave to Goodbye
Bukan Lambaian Perpisahan
Wening Nurinnida
223
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pandangannya, seisi kelas sudah mendapatkan
teman bahkan membuat sebuah kelompok
pertemanan. Natha yang tak mendapatkan teman
hanya bisa terdiam kala anak lain saling tertawa
dan berbincang-bincang.
224
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Setelah itu, guru yang diketahui bernama Pak Nam
berbicara kembali hingga bel istirahat terdengar.
Karena belum masuk pelajaran, setelah istirahat
akan ada kelas kosong, Natha jadi semakin malas
dan ingin pulang saja karena dirinya sangat
mengantuk.
225
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Natha baru tersadar bahwa hanya mereka berdua
di kelas. Dengan langkah sedikit cepat Natha pergi
ke kantin.
226
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
datar. Natha menatapnya aneh, cowok
berkacamata itu terlihat sangat sok akrab.
“Udah”
“Kapan?”
“Dalem hati.”
227
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Natha menatapnya dengan tatapan datar. Malas
meladeni cowok gajelas, Natha meninggalkannya
untuk pergi ke kantin.
228
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Hoo. Natha de coco namanya.” Hanan mengangguk
dengan Natha yang hendak protes dengan
namanya sebelum Hanan berjalan lebih cepat
sembari melabaikan tangannya.
229
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Esoknya Natha kembali bertemu dengan Hanan
dan lagi-lagi Hanan mengusilinya dengan berbagai
macam hal-hal yang nentu saja menganggu Natha.
“Nat,”
231
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tapi Hanan jelas sangat marah kala Hano ternyata
membawa persiapan berupa rokok dengan
koreknya.
232
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Lo kalah, lo harus nurutin kemauan gue,” tantang
Hano menginjak puntung rokok.
236
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
yang membuat matanya menyipit memberi kesan
pertama yang sangat bagus apabila berpapasan
dengannya.
237
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tertegun kala ia merasakan bahwa tatapan mata
Hano terlihat berubah.
238
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ketika selesai merapikan buku, Natha melangkah
mencari keberadaan Hanan yang ia yakini belum
jauh. Dengan langkah cepat Natha menemukan
Hanan yang tengah berjalan menuju sepedanya.
239
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Gue pembunuh, Nat.” setelah mengatakan tiga
kata itu, Hanan benar-benar pergi menajauh dan
menaiki sepeda nya dengan Natha yang sangat
terkejut.
240
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah terpisah. Siapa lagi yang melakukannya
selain Natha.
241
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kembaliin ajalah Ren, kalo disimpen yang ada aku
makin cemberut.” Natha mengambil ponselnya
bersiap menghubungi Hanan dan membuat janji
untuk bertemu. “Iya, kembaliin aja Nat. kita
temenin.” Natha mengacungkan jari jempol
menyetujuinya.
243
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apasih, aku bukan pembunuh.” Ucap Natha
bergetar masih dengan kacamata milik Hanan yang
masih di gengamannya. “Lo pembunuh!!” teriak
Hanan menarik kerah jaket Natha.
244
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kakinya benar-benar lemas hingga ia terduduk di
rerumputan. “Kenapa mereka memfitnah ku
begitu?” lirih Natha menutupi wajahnya dengan
tangan yang masih memegang kacamata itu.
245
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kala melihat kacamatanya masih berada pada
genggaman Natha membuat Karin berniat
memberikan kekuatan untuk Natha sebelum ia
menghindar dari tangan Karin yang berniat
memegang pundaknya untuk menyalurkan tenaga
antar teman.
247
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kecil. Sebuah foto penuh kenangan yang entah
terlupakan oleh Natha.
“Iya buuu”
248
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Maaf untuk mengatakannya, tapi, nama itu tak
pernah ada. Semua hanya hayalan anda semata.”
Ucap psikolog itu menatap sang pasien.
TAMAT HEHEHE
249
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Pembalasanku
Kazia Rafa Maulida
250
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ketidaksukaanku pada diriku padamu. Wajah
Rebecca seketika berubah menjadi masam tak
kala ia mendengar tanggapanku atas penghinatn
yang telah ia berikan padaku.
253
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyenangkan. Aku mulai berjalan menuju
rumahku yang tak terlalu besar serta jaraknya
yang tidak jauh dari sekolahku berada. Aku mulai
mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan.
254
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ayah datang hanya untuk sekedar memegang
tubuhku. Alih-alih menanyakan kabarku, ayah
langsung meraba-raba sekujur tubuhku. Meskipun
aku telah terbiasa dengan sifat ayah yang seperti
ini, aku tetap tak bisa menahan kesedihanku saat
ayah mulai melakukan hal tersebut. Segala macam
emosi yang kurasakan bercampur menjadi dua
emosi. Kemarahan , dan kebencian yang membara
di pikiranku. Aku mulai menitikkan air mata dalam
kesunyian tak kala ayah terus-menerus memegang
bagian tubuhku."Ayah, kumohon hentikan nafsu
bejatmu kepadaku, aku lelah ayah," ucapku dengan
sedikit gemataran."Berisik dasar anak haram!
Kamu itu anak haram yang pantas untuk di
perlakukan seperti ini dasar bodoh!" Teriak ayah
kepadaku.Aku langsung merasa ketakutan dan
memilih untuk diam dan tak banyak bicara.
256
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bertanya pada ibu apa yang harus aku lakukan agar
aku kuat untuk menghadapi semua ini. Namun,
sebelum ibu bisa menjawab pertanyaanku, aku
terbangun dari tidurku dengan sekujur tubuh yang
di penuhi dengan keringat dingin.
257
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aku hanya memasang raut wajah sedih di hari itu,
berpura-pura untuk ikut berduka dengan keadaan
yang terjadi.
258
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Namun, aku tersenyum lebar saat aku ingat bahwa
aku telah mengubur tubuh mereka dengan baik di
bawah rumahku. Para pengusik itu telah
mendapatkan apa yang seharusnya mereka
dapatkan. Dan aku, mendapatkan apa yang
seharusnya aku dapatkan. Sebuah kebebasan
untuk hidup dengan aman dan nyaman.
259
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Malam untuk Bintang
Wening Nurinnida
260
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat membuka matanya, pemuda itu mendapati
adanya bintang jatuh. Dengan segera ia menduduki
dirinya lalu berdoa agar harapannya dapat di
kabulkan. Setelah memejamkan mata sembari
berdoa, pemuda itu membuka matanya kembali.
261
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Hai! Aku Nathala! Kamu?” ucap cewek itu tiba-
tiba memperkenalkan diri duduk di sebelah
Pemuda itu. dengan tangan yang ragu, ia membalas
jabatan tangan dari cewek yang sebagai lawan
bicaranya.
262
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kenapa kamu tanya? Mulai malam ini kita teman.”
Ungkapnya membuat lagi-lagi Bintang terkejut.
264
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Suasana sekolah masih sama seperti terakhir kali
Bintang ke sini. Berisik dan menyebalkan.
265
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kian mendekat, Bintang pun terlihat lebih sering
berbicara dibanding dahulu.
266
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Oleh sebab itulah mengapa saya bertanya
keadaan mu nantinya, Karena, bawahan orang tua
ku akan menghancurkan perusahaan keluargamu
lebih dalam dan pada akhirnya kau akan hancur!”
Suno mengangkat ujung bibirnya membentuk
senyuman licik.
267
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Apartemen sepi dengan pancahayaan hanya
bersumber dari lampu cup di sebelah televisi yang
padam. Lantas Bintang duduk di sopa menatap
televisi yang padam itu dengan tatapan frustasi.
268
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang tersadar kalau selama ia di sebelah
Nathala, kesepian itu tak ia rasakan.
269
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengambil sesuatu, sedangkan Bintang meringkuk
di lantai memegang kepalanya yang sakit.
BRAK
270
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Hai Bintang,” Sapa Nathala menyunggingkan
senyum manisnya dengan kedua mata yang
menyipit juga rambut pirang yang berkibaran akan
angin malam yang terus berhembus.
271
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sementara Bintang terkejut lalu tersenyum
bahagia
272
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang melirik Nathala sebentar. “Nat, Aku mau
deh gabung jadi bintang-bintang di langit” ujar
Bintang menatap Nathala dengan posisi itu.
Nathala menatap Bintang
“Kenapa?” tanyanya.
273
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang duduk lalu mengulas senyum.
“Bintang…”
End—
274
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)