Anda di halaman 1dari 283

Kata Pengantar Kepala Perpustakaan

Alhamdulillah, dengan Rahmat Allah Swt.,


kami, tim perpustakaan SMP Negeri 6 Cimahi,
dapat memfasilitasi sebuah buku kumpulan cerpen
dari siswa yang berbakat dalam mengolah ide,
imajinasi, dan pengalamannya menjadi sebuah
karya fiksi.

Antologi cerpen “Dari Titik Nol’ ini adalah


kumpulan cerpen yang ditulis oleh siswa SMPN 6
Cimahi yang mengikuti ekstrakurikuler Libasatra.
Libasatra merupakan ekstrakurikuler yang
memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam menulis
cerpen, puisi, membaca puisi, literasi, dan teater.

Seperti yang kita ketahui, menulis erat


kaitannya dengan membaca. Sebelum menulis,
anak-anak tentu saja memerlukan ide-ide karyanya
melalui sebuah bacaan. Referensi bacaan tersebut
banyak tersedia di Perpustaan SMP N 6 Cimahi.
Oleh karena itu, kami berharap semakin hari,
semakin banyak siswa yang berkunjung ke
Perpustakaan SMPN 6 Cimahi.

i
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Menulis bukanlah hal yang sulit. Diksi yang
dipilih merekapun beraneka ragam, ada yang
memang puitis atau diksi dengan kata-kata
sederhana seperti kata yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, alur cerita yang
mereka ciptakan sangatlah menarik dan
menggambarkan kehidupan nyata di sekitar
mereka yang ditambahkan kreativitas imajinasi
masing-masing.

Dalam antologi cerpen “Dari Titik Nol” ini,


diksi yang digunakan dalam penggambaran tokoh
dibuat semenarik mungkin. Diksi yang digunakan
dapat membawa pembaca masuk langsung ke dalam
situasi penggambaran yang diceritakan penulis.

ii
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Menulis dapat membuat kita panjang umur
sampai beribu tahun lamanya. Sebuah tulisan akan
terus hidup apabila tulisan tersebut dicintai oleh
pembacanya dari generasi ke generasi. Oleh
karena itu, jadilah generasi yang senang menulis.
Cimahi, Juli 2023

Kepala Perpustakaan
SMPN 6 Cimahi

Aep Haerudin, S.Pd.


NIP 196398161985011004

Kepala SMPN 6 Cimahi

Edi Mulyadi, S.Pd., M.Pd.


NIP 196907151995121004

iii
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kata Pengantar

Alhamdulillah berkat rahmat Allah Swt.,


penulis dapat menyelesaikan kisah dalam cerita
pendek ini. Menulis merupakan kegiatan yang
menyenangkan. Dengan menulis, penulis dapat
menuangkan ide atau perasaan dalam bentuk
sebuah cerita.
Cerpen merupakan salah satu genre sastra
yang sangat menarik untuk diapresiasi. Selain itu,
ketika menulis cerpen, kita dapat menuangkan
cerita baik khayalan maupun yang diilhami dari
kisah nyata dengan alur-alur kreatif.
Penulis menyadari bahwa gaya menulis
setiap orang berbeda-beda, begitu pula dengan
selera baca setiap orang. Oleh karena itu, penulis
berharap cerpen ini dapat diapresiasi oleh banyak
pembaca. Antologi cerpen “Dari Titik Nol” ini
merupakan akumpulan cerpen yang ditulis oleh
siswa- siswa yang mengikuti ektrakurikuler
Libasatra (Literasi Bahasa dan Sastra).
Selain itu, penulis berharap banyak bakat-
bakat menulis yang akan berkembang di kemudian

iv
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hari. Setelah membaca kumpulan cerpen ini,
banyak siswa yang tertarik untuk menulis,
terutama menulis cerpen karena menulis bukanlah
hal yang sulit. Namun, perlu adanya keinginan dan
keyakinan yang kuat.

Cimahi, Juli 2023


Penulis

v
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Daftar Isi
Kata Pengantar
Kepala Perpustakaan ...............................................i
Kata Pengantar ........................................................iv
Daftar Isi .................................................................vi
Terhasut Ego ...........................................................1
Nabila Rizqi Ramadhani

Alexithymia’s............................................................28
Wening Nurinnida

Alea ............................................................................51
Kazia Rafa Maulida

Hilangnya Sang Sayap Pelindung ..........................62


Wening Nurinnida

Luka ............................................................................91
Kazia Rafa Maulida

Nanti, Kita Cerita, Ya?...........................................99


Mykaila Athaya Putri R

Jalan Sang Mentasri ..............................................122


Wening Nurinnida

Akal Bulus Setangkai Lili .......................................148


Nabila Rizqi Ramadhani

vi
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Cahaya........................................................................174
Kazia Rafa Maulida

Masa Lalu Lukisan Kuno ...................................................... 182


Wening Nurinnida

Teman ........................................................................201
Kazia Rafa Maulida

Matahari....................................................................208
Aisya Muaziyah

Memori Hangat ........................................................212


Kazia Rafa Maulida

Not Wave to Goodbye ...........................................222


Wening Nurinnida

Pembalasanku ...........................................................250
Kazia Rafa Maulida

Malam untuk Bintang ..............................................260


Wening Nurinnida

vii
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Terhasut Ego
Nabila Rizqi Ramadhani

Bandung, 3 Januari 2018.

Hari itu aku mengunjungi tempat yang biasa kita


kunjungi, kondisinya saat ini sedikit demi sedikit
banyak yang mengalami perubahan. Ayunan yang
kita rakit berdua kini telah putus, beberapa
terarium sudah usang karena tak kurawat dengan
baik, atap mobil van yang terbengkalai ini pun
sudah mulai banyak bagian yang bocor. “Kalau
hujan pasti airnya akan masuk ke mobil dan
menggenang di sini,” gumamku dalam hati.

Aku terus menerus menelusuri tempat itu


bersama perasaan hampa nan kelam yang
menemani ku, saat aku berada di sebelah kanan van
aku melihat sebuah kanvas berdiri dengan tegak di
sana.

1
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ah, lukisan ini? Masih ada rupanya,” gumamku
dengan senyum tipis yang menghiasi wajahku saat
melihat lukisan itu, sebenarnya aku tak tahu apa
bentuk asli dari lukisan itu karena aku sama sekali
tak ahli dalam bidang kesenian. Yoga bilang di
surat, ia membuatnya khusus untukku! Hm tapi
Yoga, kamu sebenarnya melukis apa di kanvas itu?
Aku tidak mengerti.

7 Desember 2014.

Di tengah teriknya matahari perempuan dengan


surai pendek hitam dan ikshana berwarna coklat
berjalan di sebuah pekarangan di dekat danau,
ditemani juga oleh seorang pria yang berjalan di
sebelahnya. Keheningan menyertai mereka selama
beberapa jam, dan akhirnya pecah karena
celetukan sang pria yang berkata, “Kamu udah
dengar kabar belum Kir, di Jl. Melati 24 ada kafe
kucing loh! Di sana juga bisa sekalian melukis, kita
ke sana yuk?”

2
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Perempuan itu tak membalas apa-apa, tampaknya
ia sedang dalam suasana yang bisa dibilang malas
melakukan aktivitas dan tentu saja sebagai pria
yang sudah mengenalinya dari kecil Ia mengerti
harus bagaimana membujuknya.

“Duh Kirana Rahsa Janardana, kamu kenapa lagi?


Kamu mau beli es krim, rakit mahkota bunga lagi,
keliling taman Amorfati pakai sepeda, atau mau
aku gendong? Kita lari-lari mengitari pekarangan
yuk,” bujuk Yoga agar suasana hati Kirana kembali
membaik.

Awalnya Kirana hanya diam dengan rayuan yang


diberikan oleh Yoga, namun lama kelamaan tampak
sebuah senyuman yang manis mulai terbentuk di
wajah ayu Kirana. Ia pun membalas, “Hehe, beli es
krim yuk! Aku mau rasa stroberi ya.”

Setelah pulang Sekolah seperti biasa Kirana selalu


mengunjungi rumah Yoga untuk bermain di markas
biasa mereka tempati, meskipun mereka berdua

3
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah duduk di bangku SMA mereka berdua selalu
menghabiskan waktu mereka bersama-sama sejak
kecil. Kirana sudah mengenal Yoga sejak mereka
berdua masih balita, bahkan mereka terlihat
seperti adik kakak bagi orang lain.

“Yoga, ayo kita ke kafe yang waktu itu kamu beri


tahu ke aku!” Seru Kirana seraya ia membuka pintu
kamar Yoga dengan tiba-tiba. Namun bukannya
Yoga yang ia lihat, Kirana hanya melihat kamar
Yoga yang berantakan oleh alat lukis. Di kasurnya
terdapat tumpahan cat-cat, tergeletaknya
beberapa kuas, dan alat lukis lainnya namun Kirana
tak melihat keberadaan media lukis seperti kertas
atau kanvas di sana.
“Tante, ada apa dengan semua cat ini?” Tanya
Kirana kepada Mama Yoga.

“Maksudnya apa nak? Eh, Yoga kan memang mulai


melukis 3 bulan ini. Masa neng Kiran enggak tahu,”
ucap Mamanya kepada Kirana dengan nada
terkekeh.

4
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kirana diam sejenak sembari ia berpikir sejenak,
“memangnya iya ya? Yoga enggak pernah bilang ke
aku, kok dia menyembunyikan sesuatu seperti ini
sih.”

“Eh, oh iya Tante aku lupa ya sudah kalau gitu


Kirana pulang dulu ya Tante. Nanti kabari kalau
Yoga sudah pulang!” jawab Kirana seraya ia berlari
kecil ke arah pintu keluar untuk secepat mungkin
kembali ke rumahnya.

Di jalan menuju rumah Kirana bergumam, “Sejak


kapan Yoga minat di bidang seni, bukannya ia ingin
menjadi dokter. Akhir-akhir ini aku lihat pun nilai
fisika dia turun, sebenarnya dia menyembunyikan
apa sih? Gelagatnya aneh.”

Di sore itu akhirnya Kirana bertemu Yoga di


halaman rumah Kirana, sontak dengan penuh
semangat yang membara Kirana pun dengan cepat
memeluk Yoga sebagai tanda rindu.

5
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Yoga, aku kangen! Hari ini kita enggak ada main
sama sekali loh. Oh iya, kamu ingat kan tahun baru
nanti aku bakalan menampilkan bakat permainan
pianoku di Aula Sepati 13,” ucap Kirana dengan
penuh semangat dalam pelukannya.

Yoga merasa kaget namun Ia sudah terbiasa


dengan sifat energetik yang dimilik oleh Kirana, Ia
pun membalas celetukan perempuan itu seraya
memeluknya kembali dan mengelus rambut
halusnya, “Maaf Kir, aku lagi sibuk mengerjakan
suatu proyek. Aku ingat kok, tanggal 3 Januari
2015?”

Kirana merasa nyaman dalam pelukan pria itu,


dengan nada yang lembut Ia pun membalas kembali,
“loh proyek apa? Iya, betul! Kok kamu tahu
tanggalnya sih padahal belum ada pengumuman
resminya.”

6
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Yoga tertawa kecil sembari ia melepas pelukannya
lalu meletakkan tangannya di kedua pipi sang gadis
yang lembut, menjawab kembali, “r\Rahasia~, eh
Kirana kamu masih meremehkan kemampuanku
dalam bidang tahu menahu?”
“Hm, iya sih Yoga Pratama mana bisa diremehkan!”
balas Kirana terhadap gurauan yang diberikan oleh
Yoga, mereka berdua pun tertawa satu sama lain.

Beberapa hari kemudian setelah itu mulanya


hubungan mereka tetap baik-baik saja, namun
semua itu berubah semenjak Yoga yang lebih
memilih fokus untuk melakukan proyek rahasianya
ketimbang menghabiskan waktu dengan Kirana. Ia
setiap hari selalu mengunjungi rumah Yoga, namun
kehadirannya ditolak oleh Mamanya dengan alasan
yang tak begitu jelas. Hal ini pun membuat Kirana
merasa kesal dengan Yoga, Kirana mencoba
menghubungi Yoga melewati gawainya namun Ia
tak mendapat respons apa pun dari Yoga.
Berbedanya sekolah mereka pun menjadi salah
satu hal mengapa mereka jarang bertemu dengan

7
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
itu Kirana mulai berpikiran negatif, bagaimana jika
Yoga ingin meninggalkannya?

Suatu hari Kirana mengalami kejadian yang tak


diduga-duga, Ia mengalami kecelakaan saat ia ingin
menyebrangi jalan raya. Ia sudah berhati-hati
namun naasnya seorang pengemudi menabrak
Kirana dan membuat kaki Kirana terluka, namun
bukannya bertanggung jawab atas apa yang telah
terjadi pengemudi motor tersebut langsung lari
setelah menabrak Kirana.

Sore itu Kirana keluar dari Rumah Sakit ditemani


oleh Ayahnya, suasana hati Kirana saat ini tentu
tak pernah jauh dari kata lelah. Beberapa kejadian
yang menimpanya akhir-akhir ini membuat hatinya
terasa hancur, meskipun orang-orang mungkin
menganggap itu adalah hal sepele hati Kirana tak
kuat untuk menahan rintangan yang sedang ia
hadapi.

8
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apa lagi masalah yang akan aku dapatkan setelah
ini. Yoga bakalan kasihan enggak ya lihat
keadaanku seperti ini, sepertinya enggak akan sih,”
gumam Kirana sembari menempuh jalan pulang
bersama Ayahnya.

Tak disangka-sangka tetesan air hujan mulai


menyentuh tanah yang Kirana langkahi, namun
Kirana rasa ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun
yang terjadi di sekitarnya. Ayah Kirana meminta
Kirana untuk mendahuluinya karena Ayahnya
mendapat panggilan dari temannya, hal itu pun
membuat Kirana terpaksa berjalan seorang diri di
tengah-tengah hujan yang mulai membesar.

Di tengah perjalanan Kirana melihat Yoga yang


sedang berjalan di sekitar taman daerahnya,
sontak itu pun membuat Kirana berteriak
memanggil nama Yoga seraya berlari ke arahnya
dengan keadaan kaki yang masih belum pulih.

9
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Yoga? Yoga, tunggu aku Yoga!” Teriak gadis itu
dengan langkah yang compang-camping berlari
mengejar sosok yang Ia rindukan selama ini. Yoga
menoleh ke sumber suara itu, katanya terbelalak
saat melihat keadaan Kirana namun tampaknya
Yoga menahan reaksi aslinya yang
mengkhawatirkan Kirana.

“Kirana, kenapa?” Tanya Yoga terhadap Kirana


dengan nada yang sedikit serius, tampak juga Yoga
yang tak biasanya menunjukkan mata sinisnya.

“Yoga- fyuh, kamu kemana saja sih sebenarnya?


Aku selalu menunggumu setiap hari, apa memberi
kabar kepadaku pun sulit bagimu. Akal kamu
dimana sih lebih mementingkan proyek sialan itu
daripada sahabatmu sendiri!” Seru gadis bersurai
coklat tersebut kepada pria itu di tengah-tengah
hujan yang semakin deras dan membuat langit
menjadi gelap.

10
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Yoga terdiam melihat Kirana yang memarahi nya,
ia hanya bisa diam melihat Kirana yang tampak
bernafas dengan terengah-engah.
“Yoga Pratama jawab-”

Sebelum Kirana menyelesaikan perkataannya,


Yoga dengan sontak menyela pembicaraannya ia
berkata, “Kirana, cukup. Kita berhenti berbicara
dulu untuk beberapa hari, ya? Aku sedang dalam
kebimbangan, beri aku waktu.”
Kirana terdiam mendengar omongan dari orang
terkasihnya, ia merasakan sebuah tusukan yang
sangat amat dalam di hatinya setelah mendengar
itu namun berusaha untuk bersikap seperti biasa.
“Maksud kamu apa? Kamu bisa kan cerita ke aku
seperti dulu-dulu, kok kamu jadi menutup diri dari
aku. Yoga, kamu kenapa sih selalu enggak bisa baca
situasi,” balas Kirana terhadap Yoga.

Yoga dengan cepat membalas, “seharusnya aku


yang berbicara seperti itu ke kamu, Kirana. Aku
butuh waktu, aku mau kamu juga baca situasi! Aku

11
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tahu ego kamu itu tinggi tapi tolong sekali ini saja
dengarkan aku dulu.”

Amarah Kirana kini semakin meninggi, hatinya


terasa sangat panas meskipun keadaannya sedang
hujan deras. Kirana merasa Yoga yang ia lihat
sekarang bukanlah Yoga yang Ia kenal sebelumnya,
matanya yang dari tadi menahan tangisan pun mulai
goyah karena sakit hati terdalam.

“Cowok aneh, kamu pikir enak dicampakkan oleh


orang yang sangat-sangat kamu sayangi tanpa ada
kejelasan apa pun? Gila ya kamu. Setidaknya beri
tahu aku apa inti dari permasalahan ini, aku-”
teriak Kirana kepada Yoga yang lagi-lagi
diinterupsi oleh Yoga.

“CUKUP! Kamu enggak dengar apa? Aku sudah


bilang aku ingin fokus-,” Yoga membalas Kirana
dengan nada yang mulai meninggi, namun tanpa
disangka-sangka ditengah-tengah Ia berbicara
Yoga merasakan sesak yang amat menusuk di

12
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dadanya yang membuatnya kesusahan untuk
bernafas. Kirana yang melihat ini pun sontak
berubah menjadi khawatir dengan kondisi Yoga
yang mendadak seperti itu.

“Yoga, kamu enggak apa-apa?” Tanya Kirana


dengan raut wajah khawatir seraya ia dengan
perlahan menghampiri Yoga yang merasakan sesak
di dadanya.

“D-diam kamu! Aku membencimu, j-jangan coba-


coba untuk menghubungiku lagi!” Balas Yoga yang
sedang menahan rasa sakit yang ia rasakan dengan
cara meremas bajunya tepat di dada lalu berlari
meninggalkan Kirana seorang diri, basah kuyup di
tengah derasnya hujan.

Di malam setelah perdebatan tersebut Kirana


mulai menyalahkan dirinya sendiri, Ia berpikir awal
dari semua permasalahan ini adalah dirinya.
Jahitan benang yang Ia pakai pada tubuhnya tak
bisa menghalau serangan angin malam ini, hingga

13
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
harus ia dengan terpaksa mendekap tubuhku
seorang diri. Gadis itu hanya bisa menangis dan
menangis dengan memorinya yang masih
memikirkan lelaki itu, lelaki yang pernah
memberinya harapan yang sangat dalam.

Malam itu, ia merasa sangat sedih karena dengan


tak sengaja menghancurkannya ikatan antara ia
dengan lelaki yang ia cintai. Sedikit demi sedikit
memorinya terbesit mengingat masa lalu di mana
mereka berdua masih merangkul satu sama lain,
merdu tawanya, rayuan yang ia berikan, indah
senyumannya, dan masih banyak lagi yang ia
rindukan dari sosok cinta pertamanya.

17 Desember 2014.

Masih dengan Kirana yang diselimuti kesedihan,


hari itu Kirana sedang merenungi bagaimana ia bisa
melakukan pertunjukkan piano dengan suasana
hati yang begitu kacau, seperti benang wol yang
diacak menjadi tak beraturan.

14
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Renungan Kirana pecah saat ia mendengar suara
yang familier dari depannya. Tak disangka-sangka
ternyata itu adalah Mama Yoga, Tante Rina.
“Nak Kiran, bisa bicara sebentar?” Tanya Tante
Rina. Kirana heran, namun ia berfirasat Tante Rina
pasti ingin membicarakan hubungannya dengan
Yoga akhir-akhir ini dan ia pun membalas,
“Boleh Tante.”

Tante Rina dan Kirana pun berbincang. Dugaan


Kirana betul, Tante Rina ingin membicarakan
tentang hubungannya dengan Yoga. Setiap kata
yang terucap dari mulut Tante Rina membuat
Kirana dikagetkan dengan fakta yang ada.

“Nak, Tante tahu hubungan kalian merenggang. Di


sini Tante ingin memberitahu sesuatu yang
mungkin bisa membuat Kiran sedikit sedih.
Pertama, Tante tahu sebenarnya Kiran heran saat
tahu Yoga melukis, Yoga memalsukan impiannya.
Sedari awal Kiran hanya tahu bahwa Yoga tertarik

15
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dengan bidang kedokteran, kan? Impian asli Yoga
adalah menjadi pelukis, Kirana,” ucap Tante Rina.
Kirana sontak membeku di saat itu juga, selama ini
Ia telah dibohongi oleh Yoga? Banyak pertanyaan
yang muncul di benak Kirana namun ia menahan diri
untuk tetap menutup mulutnya.
Tante Rina berkata kembali, “Kiran pasti kaget ya?
Maafkan Yoga, ya. Sebenarnya, ada satu hal lagi
yang ingin Tante beri tahu tapi sepertinya akan
Tante berikan kesempatan untuk Yoga sendiri
yang menulisnya. Sekarang, maafkan Yoga terlebih
dahulu ya?”
Menulis?
Kirana mulai merasakan keringat dingin
menyelimuti seluruh tubuhnya, namun ada satu
pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak Kirana.
ia rasa ia harus menanyakan pertanyaan satu ini,
ini penting.

“Aku, aku memaafkan Yoga. Kirana juga, Kirana


minta maaf karena Kirana terlalu mementingkan
ego Kirana. Menurut Tante, Kirana harus

16
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
melakukan apa agar Yoga dapat memaafkan
Kirana?” Tanya Kirana. Sebenarnya, sangat sulit
untuk memaafkan orang yang telah berbohong
selama hidupnya seperti Yoga, namun Kirana rasa
inilah yang terbaik demi berbaikan dengan Yoga.
“Orang-orang seusia kalian tentunya sedang
memikirkan daftar kuliah, kan?” Tanya Tante Rina
pada Kirana, Kirana pun mengangguk untuk
mengiyakan.

31 Desember 2014.

Malam itu malam di mana biasanya orang-orang


mengadakan perayaan tahun baru dengan senyum
di wajah mereka, namun berbeda dengan Kirana.
Tahun ini ia hanya ditemani oleh dinginnya malam
yang menggelitik setiap inci tubuhnya dengan
kehampaan. Kirana sudah memiliki kunci untuk
meminta maaf kepada Yoga, ia akan
mengatakannya saat 3 Januari 2015.
“Yoga pasti datang kan ke pertunjukkanku, aku
harap begitu,” gumam Kirana.

17
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
3 Januari 2015.

Sore itu Kirana sudah bersiap diri di belakang


panggung mengenakan gaun berwarna hitam yang
terlihat sangat elok di badannya, disertai pula
dengan hiasan mawar berwarna merah yang
terlihat indah pada surai pendek berwarna
coklatnya. Saat Kirana akhirnya naik ke panggung,
Ia merasa sangat gugup dan campur aduk karena
di hari itu juga ia akan berbicara kembali dengan
Yoga. Di atas panggung saat memberi salam
kepada penonton Kirana melihat ke sekeliling
bangku penonton untuk mencari keberadaan Yoga,
namun Yoga tak ada di sana.
Fakta bahwa Yoga tak menghadiri acara yang
Kirana bawa membuat Kirana sangat sedih tetapi
Ia bersikap profesional untuk melanjutkan
pertunjukkan piano yang akan Ia bawakan hari itu.
Setelah pertunjukkan selesai Kirana pun buru-
buru kembali ke belakang panggung dan dengan

18
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
cepat menelepon Tante Rina, saat telepon
akhirnya diangkat Kirana langsung bertanya,
“Tante, kok di sini enggak ada Yoga?”
Beberapa detik Kirana tak kunjung mendengar
suara Tante Rina, namun akhirnya terdengar suara
Tante Rina yang berbicara dengan sedikit tangisan?
“Kiran, segera ke pemakaman umum. Yoga,
meninggal Nak,” ucap Tante Rina.

Kabar yang terduga dari Tante Rina sontak


membuat dunia Kirana hancur seketika, hatinya
berdegup dengan kencang sesaat air mata pun
mulai membasahi kedua pipinya. Dengan nafas yang
terengah-engah Kirana pun tanpa berpikir panjang
berlari ke pemakaman umum masih mengenakan
gaun hitamnya.
Saat Kirana sampai di pemakaman umum Ia dengan
cepat mencari keberadaan Tante Rina, setelah ia
melihat keberadaan Tante Rina ia dengan cepat
berlari ke arahnya tak peduli dengan sekitarnya,
tak peduli dengan keadaan kaki yang tak memakai

19
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
alas kaki apa pun, yang Ia pedulikan saat itu hanya,
Yoga Pratama.
“TANTE!” Teriak Kirana sembariiIa menangis dan
berlari.

Ia dengan cepat memeluk Tante Rina dengan


kondisi menangis tersedu-sedu, lalu tanpa
mengatakan sepatah kata apa pun sosok Kirana
tertuju pada batu nisan milik cinta pertamanya itu
dan langsung memeluk batu nisan itu.
Hancur sudah hidup Kirana Rahsa Janardana tanpa
adanya sosok Yoga, di sana ia hanya menangis dan
berteriak dengan rasa sakit yang memenuhi
hatinya.
“YOGA! KENAPA KAMU TEGA MENINGGALKAN
AKU? ..aku belum melihatmu untuk terakhir
kalinya, aku rindu melihat senyuman manismu itu,
aku rindu mendengar tawamu yang merdu, aku
rindu segala hal tentangmu. Maafkan aku,
maafkan- maafkan aku, aku sadar aku terlalu
egois,” ucap Kirana dalam tangisnya.

20
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tanpa sadar Tante Rina ternyata memanggil nama
Kirana sedari tadi, Kirana pun menoleh untuk
melihat Tante Rina. Tante Rina pun berkata,
“Kiran, warga menemukan Yoga tergeletak tak
bernyawa di markas kalian berdua. Di sana warga
pun menemukan sebuah kanvas dan hal lainnya yang
kemungkinan itu untukmu, Tante juga yakin satu
rahasia yang Tante tak beri tahu kepada nak Kiran
ada di sana. Kirana ke sana sekarang, ya?”

Kirana yang mendengarnya membalas dengan


anggukan lalu dengan cepat berlari ke tempat
markas yang mereka berdua bangun saat masih
duduk di bangku SMP, di sana tersimpan banyak
sekali kenangan yang Kirana dan Yoga simpan
bersama. Selama Kirana berlari ia tetap
merasakan sakit yang amat luar biasa pada
dadanya, namun Kirana dengan berat hati harus
menahannya.
Setelah lama berlari akhirnya Kirana pun sampai,
di tempat di mana seribu kenangan berada. Tante
Rina benar, terdapat kanvas yang ditutupi oleh

21
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sebuah kain putih terletak tepat di sebelah kanan
van itu. Kirana menghampirinya dan membukanya
perlahan, terlihat sebuah sepucuk surat
tertempel pada ujung kanvas tersebut disertai
pula dengan bunga mawar putih favorit Kirana.

Namun, di sisi itu mata Kirana tertuju pada kanvas


itu, di sana terdapat lukisan siluet seorang gadis
yang tampaknya Yoga lukis untuk
mempresentasikan siluet Kirana, Kirana Rahsa
Janardana.

Kirana tak mengerti isi dari lukisan tersebut


karena dapat disebut lukisan itu dilukis dengan
teknik abstrak, Kirana menyingkirkan rasa
bingungnya dengan berfokus pada surat yang
tertempel di ujung kanvas. Ia mencabutnya
dengan perlahan lalu sedikit demi sedikit Ia
membuka isi surat tersebut.

22
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bandung, 3 Januari 2015.
Hai, Kirana.
Kirana Rahsa Janardana, gadis cantik pertama
yang aku kagumi selama hidupku. Ah, jika kau
membaca ini pasti kau sudah mendapat kabar
bahwa aku pergi ke Jakarta untuk pindah sekolah
ya? Maaf ya Kirana, aku mengingkari janji masa
kecil kita, “Mau sesulit apa pun keadaannya, kita
enggak boleh pisah” itu janji kita kan? Dari awal
aku sudah mengingkari janji dengan cara
menjauhimu. Aku menjauhimu juga karena aku
bimbang Kir, seperti apa yang sudah aku bilang aku
butuh waktu, waktu untuk berpikir bagaimana aku
mengucapkan selamat tinggal ke kamu dengan cara
yang halus? Maaf, caraku gagal aku malah
membuat kamu mengira bahwa aku membencimu.
Ah, perkataanku hari itu aku enggak bermaksud
untuk mengucapkannya hehe.

Malam itu penyakit asma ku kambuh, iya Kirana iya


aku punya asma. Maaf ya, aku banyak bohong sama
kamu. Aku menutupi semua ini agar kamu enggak

23
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
merasa khawatir sama keadaan aku, aku takut
kalau aku malah membebani pikiranmu untuk
mengejar cita-citamu menjadi pianis dengan
penyakitku.
Kamu abadi dalam lukisan yang aku buat,
kamu abadi dalam setiap inci kanvas itu,
kamu abadi dalam lukisanku.
Kamu mempunyai jiwa yang cukup kuat untuk
melupakanku, kian memori yang kita buat akan
menghilang dalam kepalamu.

Kamu telah abadi dalam setiap makna di lukisanku,


satu persatu garis yang ku kias memiliki makna
tersendiri tentangmu, Meskipun garis tersebut
tak bisa menjalankan tugasnya hingga akhir untuk
menunjukkan kerja kerasnya tuk menjagamu,
aku kan tetap mencintaimu, Kirana.
Salam cinta
Pengagum mu, Yoga Pratama.
Tangis Kirana menjadi-jadi setelah membaca
lembaran kertas berisikan ucapan selamat tinggal
dari Yoga, hutan yang mengelilingi tempat itu

24
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dipenuhi oleh isak tangis dari gadis itu. Dunia
seakan-akan terhenti saat itu juga, kerapuhan
yang menyayat hati Kirana pun tak kunjung selesai
membuat hatinya hancur berkeping-keping. Kirana
mencoba untuk menenangkan hatinya, hari yang
seharusnya menjadi hari berbahagia pada awal
tahun malahan menjadi hari yang sangat-sangat
hancur. Di tengah isak tangisnya Kirana mencoba
untuk berbicara, ia berkata,“Yoga, Yoga aku minta
maaf, aku minta maaf aku enggak bisa mengerti
perasaanmu. Aku tak akan pernah menyesal untuk
mengenal sosok lelaki sebaik kamu, dari lubuk
hatiku yang paling dalam aku juga mencintaimu,
Yoga. Maaf karena aku lebih mementingkan egoku,
aku mengaku aku memang bodoh. Aku baru saja
berpikiran untuk menyatakan perasaanku hari ini
kepadamu, ya memang aku sudah mengatakan
bahwa aku mencintaimu namun takdir berkata lain.

Kita tak bisa bersama, mungkin bisa namun di


kehidupan lain?Ku harap begitu. Yoga, kamu
meninggalkanku bukan karena pindah sekolah. Jika

25
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kau meninggalkanku untuk pindah sekolah mungkin
kita bisa bertemu lagi, namun kini berbeda.
Kamu meninggalkanku untuk pergi ke alam lain dan
kita tak akan pernah bisa untuk bertemu kembali,
Yoga Pratama.”

Kirana terdiam sejenak untuk menenangkan


pikirannya. Lalu, ia kembali berbicara dengan nada
yang masih saja diiringi oleh tangisan,
“Tapi tunggu, kalau kamu akan pindah sekolah lalu
untuk apa aku berjuang sekuat tenaga untuk
mendapatkan kertas ini.”

Kirana termenung lalu mengeluarkan secarik


kertas yang ia simpan di saku gaunnya, ia
membukanya lalu terlihat dalam kertas itu tertulis
“Beasiswa Universitas Seni Indonesia.”
“Tante Rina pasti sudah tahu kan Yoga akan pindah
sekolah? Tapi kenapa Tante Rina bilang kalau Yoga
ingin masuk Universitas Seni,” ucap Kirana dalam
renungannya disertai dengan rasa sakit yang amat

26
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dalam di hatinya karena telah dibohongi sekian
kalinya oleh orang yang ia sayangi.
— Tamat

27
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Alexithymia’s
Wening Nurinnida

Manusia hanya menilai orang dari penampilannya.


Dan apa yang dikatakan mereka itu adalah hal yang
benar. Seperti Bumi. Ia adalah salah satu orang
yang diasingkan oleh lingkungannya. Entah itu
keluarga, teman, bahkan daerah pun tak ada yang
mengenalinya. Berbeda dengan sang kembaran
yang begitu populer di masyarakat.

Bintang dan Bumi adalah sepasang Kakak beradik


dengan latar yang sangat berbanding terbalik.
Bintang populer di sekolahnya. Selain berbadan
tinggi dengan paras yang tampan, Bintang juga
pintar dibidang olahraga. Pengikut di sosmed pun
sama.

Kalau berbicara tentang Bintang, semua akan


mengenalinya si anak jenius dan famous dari kelas
2—3. Jika berbicara tentang Bumi, semua orang
hanya akan menjawab ‘siapa dia? Dia dari kelas
seni itu?’ Bumi sendiri cenderung misterius dan

28
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
enggan bergaul. Dan lagi-lagi sangat berbeda
dengan Bintang yang memiliki banyak teman dan
kenalan di sekolah maupun luar sekolah.

Pada hari itu, matahari bersinar tepat di atas bumi.


Kelas Bumi yang kini tengah mengikuti mata
pelajaran olahraga di lapangan outdoor harus
merasakan panasnya terik matahari. Kelas 2—5,
yakni kelas seni yang biasanya hanya terdiam di
dalam kelas harus merasakan siksaan tiap
datangnya mata pelajaran olahraga yang diajarkan
oleh Pak Rindo.

Bapak berkumis itu sangat ambis untuk mengajar


murid kelas 2—5 yang tampak lemah “Kalian ini tak
ada semangatnya! Kelas 2—3 saja sangat
bersemangat!” oceh Pak Rindo dengan kumisnya
yang bergetar kala ia berbicara. Siswa pun
menyahutnya karena sebal dijemur bak ikan teri

“Iyalah, di kelas sana, kan, ada Bintang! Sudah


tampan, pintar, kebanggaan guru deh,” ucap Satya

29
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ah kamu ini iri terus pada Bintang,” balas
temannya yang berada di sebelahnya. Pak Rindo
hanya menggeleng. Sementara Bumi yang berada
paling belakang terjongkok sembari menunduk
dengan rambut yang basah akibat peluh
keringatnya. Ketika yang lain sedang berdiri, ia
jongkok membuat Pak Rindo menyadarinya.

“Kamu yang di belakang! Tidur kah?” tegas Pak


Rindo membuat Bumi lantas berdiri sembari
mengacak-acak poninya yang basah. Saat Bumi
berdiri, bisik-bisik pun mulai terdengar. Entah itu
dari siswi maupun siswa, Bumi dapat mendengar.

“Hei, itu Bumi, kan? Yang kayak robot.”

“Bukannya dia memang robot?”

“Kau tahu? Dulu saat SMP dia pernah memukul


teman.”

“Haha, dia tak bisa disandingkan dengan Bintang.”

“Kalau saja Bintang ada di kelas kita, bukan beban


kayak dia. Bikin malu.”

30
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Begitulah hal-hal yang Bumi dengar. Dia hanya
mengabaikannya. Tak ada gunanya juga bila dia
marah karena semua yang dikatakannya adalah
kenyataan.

Tapi ia bukan robot. Hanya karena kekurangan


pada emosional mereka dengan gamblangnnya
menyebutkan dirinya seorang robot. Benar,
manusia hanya meliat dari penampilan. Seperti
Bumi yang antisosial dan Bintang yang senang
bersosial.

~~

Bel istirahat sudah berdering sekitar lima menit


yang lalu. Kini Bumi tengah memakan makanannya
di bangku paling pojok seorang diri. Begitu sunyi
dan sepi yang ia dengar. Hingga sekelompok orang
menghampirinya dan meminta izin untuk duduk di
sebelahnya yang masih kosong.

Sialnya sekelompok orang itu adalah kembarannya.


Bumi ataupun Bintang, keduanya sangat tak ingin
apabila identitas mereka terekspos. Itulah yang

31
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyebabkan Bumi sangat jauh dengan
kembarannya.

Bintang melirik Bumi, begitu pula sebaliknya


hingga sorot keduanya bertabrakan. Saat dapat
izin dari Bumi, sekelompok orang pun duduk dan
makan dengan nyaman. Tak lupa mereka
berbincang dengan tawa yang menggelegar
membuat Bumi sangat tak nyaman. Ingin pindah
tapi kakinya begitu sulit digerakan tanpa alasan.

Bumi jadi mendengar semua yang mereka obrolkan.


Dari prestasi Bintang hingga kisah cinta mereka
omongkan. Sekitar lima orang yang berada di sana
membuat Bumi puyeng dengan suara-suara mereka.
Saat Bumi benar-benar akan meninggalkan bangku,
suara berat yang ia kenali membuatnya berhenti
bergerak. “Kenapa sedari awal kau tak pergi saja?”
tanya Bintang membuat keempat lainnya terdiam
sebari menatap Bumi.

Bumi melirik tajam pada Bintang begitupun


sebaliknya. Dengan cepat Bumi pergi tanpa
membalas ucapan Bintang membuat teman-
32
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
temannya dipenuhi kebingungan. “Kau kenal dia?
Siapa?” tanya temannya yang Bintang jawab
dengan gelengan. “Enggak, gw gak kenal dia.
Sayang aja liat rautnya yang kayak robot itu,”
jawab Bintang lalu menyeruput es the miliknya.

Bintang pun mengakui bahwa Bumi hanyalah robot.

Kata dokter, Bumi mengidap Alexithymia.


Alexithymia sendiri ialah gangguan pada
seseorang yang membuatnya sulit untuk
mengekspresikan emosional. Atau orang-orang
sering berkata, Bumi tak memiliki emosi. Iya,
seperti robot. Padahal Bumi juga manusia.

Baru saja akan melangkah masuk, dirinya malah


ditabrak oleh segerombolan anak dari eskul
basket. Terlihat dari mereka yang masih
mengenakan baju basket.

Akibat tabrakan tak sengaja itu membuat Bumi


tersungkur ke lantai. Jujur saja tabrakan tadi
begitu keras hingga ia tak bisa menyeimbangkan
tubuhnya.

33
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
orang yang tak sengaja Bumi tabrak meliriknya
tajam.

Ia mendekat ke arah Bumi yang hendak berdiri


lagi. “Kalau jalan pake mata!” kata orang itu
memegang bahu Bumi.

Dengan sekali sentakan, Bumi langsung berdiri.


Orang itu tersenyum remeh pada Bumi. Tak lama
setelahnya, datanglah Bintang sebagai penengah.
Bumi tahu bahwa yang ia tabrak adalah salah satu
teman basket Bintang, jadi Bumi tak mau macam-
macam karena takut identitas bahwa mereka
bersaudara bocor gitu saja.

Bintang berdiri tepat di tengah-tengah keduanya


yang sedang perang pikiran masing-masing. “Hey,
sebentar lagi bel masuk. Kalau mau berantem
pulang sekolah aja,” ucap Bintang yang terdengar
seperti usulan. Lalu, tak lama setelahnya usul itu
disetujui oleh orang yang tak sengaja tertabrak
olehnya. “Boleh tuh, udah lama gw gak uji kick
boxing gw,” ucap orang itu.

34
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bumi diam. Ia memang tak bisa bertarung, tapi
bukan itu yang membuatnya khawatir. Yang ia
khawatirkan hanyalah Bintang. Entah mengapa
Bumi jadi begitu khawatir melihat kembarannya
yang bersikap seperti itu padanya. Ia merasakan
hal yang sangat tak nyaman akan menimpa
kembarannya. Semoga saja tidak.

“Pergilah ke lapangan belakang sekolah jam


setengah empat, Bumi,” bisik Bintang lalu pergi
bersama teman-temannya. Bumi tak tahu bahwa
pada akhirnya ia akan benar-benar pergi dan
menjadi samsak di sana. Bumi tak tahu bahwa pada
akhirnya ia akan semakin jauh dengan Bintang.
padahal kenyataan Bumi membenci Bintang
hanyalah suruhan dari otaknya. Hatinya sangat
menolak karena Bintang tetaplah saudaranya.

Pada sore harinya, Bumi benar-benar lelah telah


menjadi samsak oleh teman-temannya Bintang.
Bumi sangat lelah sehingga hampir kehabisan
kesadaran.

35
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sepulangnya Bumi dari sekolah, ia merebahkan
tubuhnya yang dipenuhi lebam di atas sofa.
Matanya sangat lelah. Tetapi, ada suara yang
mengintrupsinya agar tidak tidur. “Kau tak bisa
melawan, ya?” ejek Bintang yang kini sudah rapi
dengan setelan baju tidur dan mug digenggaman
tangannya. Bumi menghela nafasnya lalu melirik
Bintang tajam.

Dengan kaki yang berat, Ia melangkah menuju


kamarnya yang tergabung dengan kamar Bintang.
Bumi merebahkan dirinya di atas kasur lalu tidur
dengan keadaan tubuh yang menyakitkan karena
banyaknya lebam keunguan.

Hingga pagi pun datang. Tubuh Bumi yang seakan


remuk harus dipaksakan untuk pergi berangkat ke
sekolah. Saat akan mandi, ia baru menyadari
adanya salep yang menempel mengobati tubuhnya
yang dipenuhi lebam. Ia baru menyadari bahwa
semalam ada seseorang yang mengobati lukanya.

Tapi ia tak mau mengakui bahwa Bintang lah


pelakunya. Ia terlalu enggan untuk diobati olehnya.
36
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Walau ia sedikit peduli akan kembarannya, ia tetap
membenci Bintang dan lagi, ia menemukan secarik
kertas di meja belajar Bintang. karena penasaran
ia pun membacanya.

Hari ini, Bumi tak bisa bersekolah dengan tenang.


Teman-teman Bintang menganggunya hingga akan
menjadikannya samsak. Tapi hal itu tertunda
karena adanya perintah dari atasan mereka.
Perintah dari Bintang lebih tepatnya. Dan
ternyata hari-hari kedepannya Bumi akan
diperlakukan seperti itu.

Hingga hari acara Prom Night pun tiba. Di mana


acara itu diadakan pada jam lima sore hingga jam
10 malam. Para murid dibebaskan untuk
mengenakan kostum apa saja asalkan sopan.

Semua murid wajib datang, Bumi pun harus datang.


Di rumah, Bumi melihat pakaian Bintang yang
begitu rapi dengan setelan jas dan topeng kitsune
di tangannya, dengan rambut setengah berponi.
Bintang bisa dibilang sangatlah tampan.
Sedangkan Bumi, ia sangat tak tahu harus
37
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
memakai apa. Hingga pada akhirnya ia memutuskan
memakai jas dengan dalaman Hoodie dan celana
hitam pasangan jas tersebut, rambut yang
dibiarkan berponi acak-acakan menjadi hal yang
Bumi tuju.

Kalau ia merubah penampilannya, ia takut bahwa


dirinya dianggap Bintang oleh orang. Acara prom
night pun tiba. Bumi sendiri yang tadinya rambut
ia biarkan begitu saja mendadak rapi saat ia
berhadapan dengan guru di depan gerbang
sebelum masuk. Yang biasanya mata selalu
tertutup oleh poni, sekarang ia bisa melihat bebas
ke penjuru aula yang sangat ramai dengan orang.

Ia berdiri entah mau ngapain karena memang tak


memiliki teman, Bumi memutuskan akan putar balik
dan pulang. Toh yang penting Bumi datang. Baru
saja melangkah satu meter, dirinya malah dapat
pelukan pada tangannya juga tangan lain yang
merangkul pundaknya. Siswi perempuan yang
memeluk tangannya tampak asing, tapi yang

38
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
merangkulnya jelas Bumi kenal. Waktu itu kan dia
yang memukulnya.

“Hei, masa mau pulang. Acara kan baru dimulai.”


Mendengar nada bicara orang itu, Bumi tahu
bahwa kedua orang asing teman Bintang itu keliru.
Mereka berpikir bahwa Bumi adalah Bintang. karna
sebal, dengan cepat, Bumi melepas tangan mereka
pada tubuhnya dengan kasar. Tatapan wajah Bumi
menyorotkan kekesalan. Wajah keduanya tampak
bingung. Bumi tak jadi pulang, melainkan ia pergi
ke suatu tempat yang menurutnya sepi.

Kedua orang yang bingung itu dikejutkan dengan


kedatangan Bintang yang menyapanya penuh
semangat. Keduanya terkejut lagi. “Bintang, lo
punya kembaran apa gimana dah?” canda orang
tersebut atau panggil dia Opey.

siswa yang sepertinya pacar Bintang pun


mengangguk. Raut Bintang tiba-tiba saja berubah
menjadi masam. Membuat keduanya merasa tak
nyaman dengan perubahan ekspresi Bintang.

39
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat ketiganya sedang berbicara, datanglah
segerombol senior menghampiri Bintang. Bintang
yang tentu saja kenal dengan senior itu lantas
menyapanya. Tapi sapaan itu hanyalah angin kala
sang senior menarik kerah kemeja yang Bintang
kenakan. Wajah senior itu tampak marah, lalu
sepersekian detik kemudian pukulan demi pukulan
membekas pada wajah Bintang membuat keributan
di acara ini.

Bumi datang dengan nafas yang tak beraturan


habis datang dari suatu tempat. Ia sudah
menyadari hal ini sejak lama, bahwa teman-teman
Bintang semuanya berkhianat. Dan ia baru
menyadari bahwa teman-temannya berada di pihak
Bumi walau hanya sebagian kecil dari mereka.

Opey yang selaku sangat akrab pun sama, ia


terlanjur benci dengan Bintang yang menurutnya
sangat seenaknya. Semua hal yang ia lakukan
berada di tangan Bintang membuatnya muak.
Terlebih harus memukuli orang yang tak bersalah
seperti Bumi. Batin Bumi sangatlah panik melihat

40
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang yang dipukuli tanpa perlawanan. Dengan
gerakan cepat Bumi mendorong sang senior hingga
menjauh beberapa meter. Tangan Bumi terangkat
ke bawah seakan tengah melindungi Bintang yang
tersungkur.

Bintang yang melihatnya cukup terkejut dengan


aksi Bumi. Bintang segera berdiri lalu memutar
tubuh Bumi secara paksa. Beberapa orang yang
menyaksikannya tentu terkejut. Ditambah
kemiripan yang keduanya miliki. Sorot keduanya
memancarkan rasa benci satu-sama lain.

Bintang menatap nyalang pada Bumi, sementara


raut Bumi yang tak bisa berubah merasakan
sesuatu yang aneh pada dirinya. Bintang
mencekram baju Bumi. Ia terlihat marah dengan
rahangnya yang mengeras. “Maksud lo apa? Mau
sok-sok’an ngebantu gw? Mau bikin kalau kita
saudara itu bocor?” tanya Bintang dengan wajah
penuh amarah. Mendengar itu, orang-orang jadi
tahu tentang keduanya yang sebenarnya adala
anak kembar.

41
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bumi menunduk, lalu ia melepas paksa tangan
Bintang yang mencekram bajunya. Desiran aneh
kian menjalar pada tubuh Bumi.

“Lo-“ ucapan Bintang terhenti kala pukulan pada


pipi kanannya membuat ia terhuyung hingga jatuh.
Tangan Bumi yang bekas pukulan tampak bergetar.
Nafasnya tak beraturan dan keringatnya terus
bercucuran keluar dari pelipisnya. Air mata Bumi
jatuh, hal tersebut mengejutkan Bintang. Bumi
yang memiliki Alexithymia tentu Bintang tahu.
Tapi saat melihatnya menangis, Bintang sangat
terkejut akan emosi Bumi yang mendadak muncul.

Bintang mengangkat mulutnya hendak bersuara


yang lagi-lagi terhenti. Suara lainnya membuat
jantung Bintang berdetak lebih kencang dari
biasanya. Dengan badan yang bergetar, Bintang
menangis dengan apa yang ia lihat. Bumi tampak
menangis dengan suara berat yang tak pernah
Bintang dengar. Suara itu milik Bumi. Untuk yang
pertama kalinya, Bumi berbicara. Bukan hanya

42
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
raungan tangis penuh emosi, tetapi beberapa kata
ia ucapkan untuk Bintang.

“Lo sadar gak sih Kalau selama ini lo itu cuman


mikir popularitas dan popularitas! Lo mikir gak apa
yang lo rasain? Lo pikir gak penyakit yang lo alami?
Gw sakit liat lo menderita kayak gitu Bin!” keluh
penuh kesakitan yang keluar dari mulut Bumi. Bumi
yang terlihat sangat membenci Bintang rupanya
satu satunya orang yang sangat peduli dengan
Bintang.

Seakan orang-orang hilang, mereka merasakan


hanya merekalah yang berada di ruangan tersebut.
Bintang hanya melihat kembarannya yang
tertunduk menangis hebat, sedangkan Bintang
melotot tak percaya akan hal yang kini terjadi. “Lo
sakit Bin, gagal ginjal. Gw liat kertas hasil dokter
tadi pagi. Lo punya penyakit bikin gw sakit, Bin.”
Bumi terduduk dengan kepala yang masih
menunduk.

Bintang akhirnya mengangkat suara “Gw benci lo,


Bumi. Selama ini gw jahat sama lo, tapi lo malah
43
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kasihan sama gw? Brengsek lo! Harusnya lo benci
gw bajingan!” teriak Bintang membalas apa yang
semuanya Bumi ucapkan. Bintang menangis dengan
seringai remehnya. “Bagaimana bisa gw benci lo?
Kalau gw benci, harusnya dulu gw biarin lo
tenggelam. Tapi gw malah nyelamatin lo dan malah
gw yang ngegantiin lo tenggelam,” ucapan terakhir
itu menyadarkan Bintang sesuatu.

Bahwa hal yang telah ia alami dan sedang ia alami


bukanlah kenyataan. Ini hanyalah delusi seseorang.
Ini hanyalah sebuah memori seseorang. Bukan di
antara Bintang maupun Bumi. Ini hanyalah
halusinasi seseorang. Karena faktanya, mereka
berdua sudah tiada. Maupun Bintang dan Bumi.
Mereka sudah tiada.

Dengan keringat yang terus bertetesan. Ia


terbangun dengan kertas-kertas di atas meja yang
basah akibat keringatnya. Ia memejamkan mata
lalu membukanya menyesuaikan dengan
pencahayaan dari lampu yang terpasang di meja
belajarnya.

44
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ia menatap lembaran soal dan buku-buku yang
berserakan di meja belajar. Ia baru ingat bahwa
ia tertidur di tengah belajarnya. “Astaga, Bumi,
kau mimpi aneh lagi,” gumamnya dengan wajah
datar yang menatap soal-soal itu. kini ia berada
dalam kamar dengan pintu yang terkunci dari luar
dengan cahaya hanya bermodalkan lampu di atas
meja belajar miliknya, juga cahaya rembulan yang
mengintip masuk melalui jendela. Bumi membaca
beberapa soal yang berada di atas kertas dengan
tangan yang bergetar hebat.

Ia hanya membaca. Tapi telinganya terus-menerus


mendengarkan teriakan dan makian dari orang di
yang berada di luar kamarnya. Beberapa kali
pecahan kaca atau barang-barang mudah pecah
terdengar memuakan memakan indra
pendengarannya yang kini terasa berdenyut
membuatnya meringis.

Matanya tetap tertuju pada huruf-huruf di kertas


yang kini penuh dengan corak darah berasal dari
hidungnya yang kini ia sumbat dengan tisu agar tak

45
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bertetesan mengotori kertasnya hanya karna ia
sangat kelelahan. Bergetarnya tangan dengan
bercucurnya keringat tak mendukung raut wajah
Bumi yang berusaha fokus dengan soal-soalnya.
Menghiraukan kepalanya yang begitu pusing,
bahkan jidatnya telah tertempel penurun panas.

Ia menidurkan kembali kepalanya pada meja lalu


bergumam. “Bukan kah aku sudah mati bersama
Bintang dulu? Bukankah aku mati tenggelam
bersamanya?” Gumam Bumi dengan tatapan kosong.
“Bukan kah barusan aku berbicara dengan
Bintang?” gumamnya.

Setelah reda suara-suara itu, Bumi mengangkat


kepalanya dan kembali mengambil pulpennya yang
sempat ia simpan di atas meja. Terdengar suara
pintu yang kuncinya terbuka, Bumi lantas cepat-
cepat melepaskan pereda pusing di jidatnya dan
melepas penyumbat di hidungnya kala mengetahui
seseorang akan memasuki kamarnya.

46
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Wajah pucat Bumi dipaksakan untuk melihat ke
arah sang Ibu yang ternyata memasuki kamar Bumi.
Sang Ibu berdiri tepat di sebelah Bumi.

“Sudah kubilang, jangan diam saja bodoh!!” Tubuh


Bumi membentur lantai kala sang Ibu
mendorongnya dari kursi. Ringisan keluar dari
mulutnya. “Bodoh! Kau tak mendengar perintah
Ibu mu?! Cepat kerjakan tugas mu!!” teriaknya
tepat di sebelah telinga Bumi yang kini sang Ibu
menjenggut rambutnya kebelakang.

“Anak bodoh seperti mu tak pantas dilahirkan!!


Mati saja kau!!” benturan demi benturan terus
menghantam kepala Bumi hingga pandangan
memburam. Darah terus keluar dari pelipisnya
akibat sang Ibu yang membenturkan kepalanya
pada tembok. Pandangan yang terus memburam,
Tetapi tidak dengan pendengaran yang terus saja
berjalan mendengarkan sesuatu yang ia tangkap.

“Bumi, Bumi, maafkan Ibu. Ibu tak mau Bumi pergi.


Maafkan Ibu.” Dengarnya yang kini ia merasakan
sebuah pelukan yang sebenarnya enggan Bumi
47
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dapatkan. Tiap kali ia mendapatkan kekerasan, Ibu
akan berkata seperti itu agar Bumi tak membenci
Ibu. Ibu tahu bahwa Bumi bisa mendengar walau
kesadarannya tidak utuh. Tapi benar saja, Bumi
tak bisa membenci Ibu walau seringkali lebam di
tubuhnya kian melukisi bagian-bagian tubuh yang
terasa sangat sakit.

Padahal Bumi yakin bahwa ia pernah berdebat


dengan Bintang di acara Prom Night atau bahkan
Bumi yakin bahwa ia sudah mati tenggelam dengan
Bintang dulu. Tapi mengapa dirinya malah berada
di posisi seperti ini? Bumi sangat pusing hingga
kesadarannya kini benar-benar hilang.

Selain Alexithymia, rupanya ia juga mengidap


Skinzofernia. Bumi terlalu banyak berhalusinasi.
Tentang ia memiliki kembaran hingga berdebat
dengan sang kembaran. Semuanya hanya ilusi yang
Bumi cipta di imajinasinya. Hingga ia merasa tak
yakin dengan hidupnya, tak yakin mana hidupnya
yang benar. Kehidupan Bumi dan Bintang, atau
Bumi seorang diri? Entahlah.

48
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tapi semua yang dijabarkan dalam cerita ini
hanyalah kebohongan. Bumi hanya seorang pelajar
yang kini terkurung di rumah sakit jiwa, karena
skinzofernia yang ia alami sangat parah dan sering
kali melukai dirinya sendiri. Setelah kehilangan
sang kembaran dan sang Ibu, Bumi jadi gila.
Imajinasi itu membuatnya terus berhalusinasi. Ia
dipenuhi rasa bersalah pada kedua orang yang ia
sayangi.

Kematian Ibu dan Bintang adalah dampak semua ini.


Ia sangat bersalah, terlebih ia yang membunuh
keduanya. Maka dari itu, Bumi menghukum dirinya.
Semesta menghukum Bumi dengan imjinasinya.
Hingga ia harus merasakan apa yang kedua orang
itu alami akibat ulahnya. Seperti dulu, Bumi
menyuruh temannya membuli Bintang hingga
menenggelamkannya, dan membenturkan kepala
ibu hingga tewas.

End_

49
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Note: semua hal yang Bumi alami sebenarnya hanya
rasa bersalah hingga imajinasi Bumi yang
menyuruh berganti posisi menjadi Bintang maupun
Ibunya. Hehe.

50
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Alea
Kazia Rafa Maulida

"Bertahan ya, aku tau kamu pasti kuat ngadepin


penyakit kamu sekarang sayang," ucapku pada
seorang gadis bertubuh kurus dengan kulit putih
pucat yang tengah berbaring di atas ranjang
rumah sakit yang tak begitu empuk dan nyaman.
"Iya, aku yakin, aku percaya sama kamu sayang,"
sahutnya dengan diiringi oleh senyuman yang tipis
nan memesona.

Situasi di rumah sakit yang sepi nan dingin di pagi


hari itu seolah cukup untuk membuat Alea merasa
nyaman saat kuantar mengelilingi seluruh area
rumah sakit dengan menaiki kursi roda yang
terlihat begitu nyaman untuk dinaiki.

Aku dan Alea mulai mengitari area rumah sakit


yang begitu luas nan asri sebab ada begitu banyak
tanaman dan berbagai macam bunga indah yang
menghiasi seluruh penjuru area di rumah sakit
tersebut, membuat suasana di sana terlihat begitu

51
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hidup dan enak untuk dilihat secara langsung serta
menyegarkan mata.

"Suasananya bagus banget ya? Enak banget buat


diliat," ucapku pada Alea yang terduduk lemah.
"Iya cantik banget buat diliat, bunganya cantik-
cantik ya," sahut Alea dengan suara yang hampir
lirih seraya berusaha untuk tersenyum dengan
lebar. "Iya, cantik dan indah kayak kamu Alea,"
ucapku dengan di sertai oleh tawa kecil yang
lembut. Alea hanya ikut tertawa lembut saat
mendengar ucapanku barusan.

Waktu demi waktu berlalu dan kami jalani dengan


penuh kebersamaan yang hangat dan saling
tertawa satu sama lain. "Langitnya cantik sekali,
kamu setuju nggak?" Tanyaku pada Alea yang
terduduk lemah dengan tatapan kosong yang
mengarah ke langit yang berwarna jingga dengan
matahari yang hampir terbenam dengan begitu
indah dari bangku taman bunga yang berada di
belakang rumah sakit tersebut yang tampak
begitu terawat dengan baik.

52
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
"Hari ini kamu banyak memujiku ya," sahut Alea
dengan senyum tipis yang tersungging di wajahnya
yang kecil nan manis. "Hehe, yang penting kamu
bisa semakin membaik dari penyakit
skizofreniamu, Alea," pujiku padamu dengan di
sertai oleh senyuman manis dari wajahku. "Iya,
makasih banyak Rico, kamu baik banget,'

Aku terdiam selama beberapa saat. "Tapi, aku


bukan Rico sayang. Aku Arga, aku pacarmu. Kamu
tidak ingat?" Tanyaku seraya mengerutkan
keningku dan menatap matamu dengan tatapan
sedih. "Ah, maaf aku lupa siapa kamu, maafin aku.
Kamu , Arga?" Tanyanya saat ia mulai menatapku
untuk waktu yang lama dan aku hanya terdiam
sebentar sembari tipis.

Aku menghela nafas sebelum mulai berbicara


dengan nada yang tenang. "Iya aku Arga, kamu
mungkin lupa sama aku tadi. Tapi nggak apa-apa,
aku ngertiin kamu kok," ucapku sembari mengelus
kepalamu secara perlahan. "Ah, baiklah, maaf aku

53
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tak mengenalmu tadi Arga," ucapnya sembari
tersenyum padaku.

Aku sempat merasa sedikit sedih , apakah selama


ini ia menganggapku sebagai Rico? Mantan
pacarnya yang dulu meninggal sebagai akibat
kecelakaan hebat yang Alea alami hingga
membuatnya menjadi seperti ini.

"Iya , nggak apa-apa," ucapku sembari tersenyum


pahit dan kemudian mengantarnya kembali ke
ruangannya dan menyuruhnya untuk beristirahat
dengan tenang dan cukup. Lalu, keluar dari ruangan
tersebut dengan langkah yang berat. Hari-hari
berikutnya aku jalani dengan setiap langkah yang
terasa begitu berat. Rasanya pedih setiap kali
Alea menganggapku sebagai mantan pacarnya yang
telah lama meninggal yaitu Rico, mungkin karena
postur tubuh kami yang begitu mirip, mata tajam
yang berwarna biru, hidung yang relatif mancung,
serta wajahku yang mampu mengikat hati semua
perempuan sangatlah mirip dengan Rico

54
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
. Jujur, terkadang aku merasa lelah dengan
keadaan. Namun, sebagai teman lama yang
kemudian menjadi pacarnya aku berusaha untuk
tetap berada di sampingnya untuk menemaninya.

Tahun demi tahun terus berlalu, tak terasa sudah


lima tahun semenjak Alea dirawat di rumah sakit.
Keadaan Alea terus menerus membaik meskipun
belum sembuh total dari seluruh penyakit yang ia
derita. Aku memeluk tubuhnya saat aku berada di
ruangannya tepat setelah aku mendengar kabar
bahagia tersebut. "Astaga, aku sangat senang
kamu hampir pulih dari seluruh penyakit yang kamu
derita sayang," ucapku saat aku mulai
membenamkan seluruh wajahku pada pundakmu
yang terasa begitu empuk bagiku. "Haha, iya.
Makasih banyak udah nemenin aku selama lima
tahun ini," jawabnya sembari mengelus helai demi
helai rambutku yang agak panjang secara perlahan.

Alea di perbolehkan untuk keluar dari rumah sakit


dan menjalani pengobatan dengan terapi yang akan
dilakukan secara rutin dari rumah.

55
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Selama di perjalanan menuju rumah yang telah
kubeli untuk kami berdua, aku dan Alea terus-
menerus mendengar perbincangan tentang
'Sepotong surga dari timur Indonesia', yang tak
lain adalah julukan bagi Banda Neira yang terkenal
dengan keindahan alamnya. Keindahan alam yang
ada di sana sudah banyak dibicarakan oleh orang-
orang saat kami sedang berlalu lalang di jalanan
kota.

Hal itu membuat Alea menjadi tertarik untuk


mengunjungi tempat tersebut. "Maaf sayang,
kondisimu belum terlalu baik. Kamu yakin mau
pergi ke sana?" Tanyaku secara lemah lembut
kepadanya. "Aku nggak apa-apa kok, kata dokter
aku udah bisa berpergian," sahutnya sambil
menggenggam erat tanganku.

"Iya,iya. Ayo kita kesana," ucapku dengan senyum


di wajahku sebelum kami mulai berjalan kaki
dengan diiringi oleh canda tawa di antara kami
berdua. Rasanya amatlah bahagia mendengar tawa
lembutnya kembali yang terasa begitu hangat

56
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
untuk di dengar. Wajahnya yang kini penuh akan
senyuman kebahagiaan membuat hatiku terasa
sangatlah bahagia di saat itu, kata-kata bahkan
tak sanggup untuk aku gambarkan tentang
bagaimana bahagianya diriku saat berada di
sampingmu yang penuh dengan keceriaan kala itu.

Walau berjalan kaki dengan jarak yang tak terlalu


jauh, Alea terlihat begitu kelelahan. Itu
membuatku khawatir dan menyuruhnya untuk
beristirahat kembali saat aku membuka pintu
rumah yang di dalamnya begitu luas dan diisi oleh
berbagai macam pernak-pernik dan perabotan
yang begitu mewah dan terkesan sangat elegan.

"Astaga, sepertinya kamu menata seluruh penjuru


rumah dengan berbagai macam barang yang sangat
mewah, aku menghargai usahamu untuk membeli
seluruh barang itu. Namun, aku sudah nyaman
dengan hal-hal yang lebih sederhana daripada ini
sayang," ucapnya dengan senyum tipisnya yang
begitu khas. "Ah, baiklah jika itu yang kamu
inginkan, aku akan mencari perabotan yang lebih

57
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sederhana daripada ini," ucapku dengan senyuman
pahit sebelum mulai mengantarmu ke dalam
kamarmu.

Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak kurasa


kini kami sudah berada di Banda Neira, tempat
indah nan menenangkan yang pernah aku datangi
seumur hidupku. Aku dan Alea menghabiskan
banyak waktu bersama dan kebersamaan kami kian
mewarnai hidupku. Alea tampak begitu menikmati
indahnya langit terbenam saat kami berdua duduk
menatap ke arah langit yang kini di hiasi oleh
matahari yang secara perlahan mulai terbenam.

Aku melihat ke arah Alea dengan senyuman lebar


yang terpampang di wajahku. "Bagaimana langitnya?
Indah bukan?" Tanyaku padanya. "Iya, indah
sekali," jawabnya sembari mendekat ke tubuhku
dan memeluk seluruh tubuhku dengan erat. Aku
agak terkejut dengan tindakanmu yang tiba-tiba.
Namun, aku segera memelukmu kembali dan
menempatkanmu di atas pangkuanku.

58
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kami menikmati waktu bersama dengan pelukan
yang begitu hangat di antara aku dan Alea. Aku
melepas pelukan kami berdua dan menempelkan
hidungku dan hidungnya, membuat jarak kami
sangat berdekatan. "Kamu sangat cantik kamu
tahu itu?" Ucapku padamu dengan lembut dengan
senyuman lebar. "Iya, tentu aku tahu tentang hal
itu," jawabnya sembari tersenyum lebar kepadaku.

"Kamu semakin cantik saat tersenyum."

"Bagaimana, jika ini adalah terakhir kalinya aku


tersenyum?" Tanyanya yang membuatku menjadi
teramat sangat heran. "Hei, apa yang kamu
maksud? Kamu sedang bercanda kan?" Tanyaku
sembari memiringkan kepalaku.

Alea hanya tersenyum tipis sebelum kemudian


mencium pipiku dan menyandarkan kepalanya pada
pundakku. Aku tersipu malu akan sikapnya dan
kemudian mengelus kepalanya sebelum akhirnya
aku menyadari bahwa ia, sudah tiada.

59
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mataku mulai terbelalak saat aku menyadari
bahwa tubuhmu terasa sangat dingin setelah
beberapa waktu yang lama kamu tidak bergerak
sedikitpun ataupun bernafas. Aku mulai melakukan
tindakan pertolongan pertama padamu. Namun, itu
semua terasa sangat sia-sia karena jiwamu sudah
pergi meninggalkan ragamu yang kini kupeluk
dengan sangat erat di dalam pangkuanku.

Air mataku mulai tak terbendung dan secara


perlahan menuruni pipiku. Aku menangis dengan
sangat keras dalam waktu yang lama, aku masih tak
percaya dengan kepergian mu yang terlalu
mendadak dan terasa terlalu cepat untuk kita
berpisah.

Menit demi menit berlalu, dan aku masih belum


bisa menerima kepergiannya. Aku terus menerus
memintanya untuk bangun meskipun aku tahu pada
akhirnya itu tak berguna sama sekali. "Walaupun
pada akhirnya semesta memisahkan kita, ragamu
akan selalu berada di dalam pangkuanku, tak peduli
jika jiwamu masih tetap ada di dalamnya maupun

60
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah tidak ada. Percayalah, bahwa dari lubuk
hatiku yang paling dalam, aku akan selalu
mencintaimu selama-lamanya," ucapku sembari
terisak-isak.

Namun, semua itu berhenti tak kala aku terbangun


di dalam ruangan isolasi. Aku terbangun dalam
kondisi sekujur badanku yang terlilit oleh tali yang
tak memudahkan aku untuk pergi maupun
melepaskan diriku. Aku terdiam dan duduk di
lantai untuk beberapa saat sebelum aku menyadari
sesuatu.

Aku, sedang berada di dalam ruangan isolasi di


dalam rumah sakit jiwa.

61
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Hilangnya Sang Sayap Pelindung
Wening Nurinnida

Sayup-sayup suara rintik diiringi suara tv pada


malam hari menemani Kaeno mengerjakan
pekerjaan rumahnya di atas tikar sederhana di
temani segelas susu yang kakaknya buatkan.
“Kaeno, cepat selesaikan tugasnya lalu tidur!”
perintah sang Kakak yang diangguki Kaeno.

“Selesai!!” pekiknya meletakan buku-buku


tersebut di atas meja sebelah televisi lalu
mematikan televisi yang tak di tonton tersebut.
Sementara kakaknya, Kanna, sedang
menyelesaikan mencuci piringnya.

Mereka tinggal berdua setelah nenek dan kedua


orang tua mereka meninggal dunia. Mau tak mau
Kanna berhenti sekolah demi menghidupkan
keluarga satu-satunya yang ia miliki. Kaeno sendiri
berusia 9 tahun yang masih duduk di bangku SD.

62
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Banyak biaya yang harus dikeluarkan Kanna,
sementara dana bantuan masih belum cukup. Kanna
juga banting tulang untuk perawatan sang adik
yang memiliki penyakit yakni gagal ginjal kronis
yang ia alami sejak usianya menginjak 7 tahun, di
mana saat kedua orang tuanya masih selamat dan
merawat keduanya.

Kanna yang seharusnya duduk di bangku SMP dan


naik ke SMA harus di tunda demi sang adik. Kanna
selalu berdoa kepada tuhan untuk memberikan
kesempatan untuk Kanna bersekolah seperti dulu.
Itu salah satu hal yang Kanna idamkan.

Melihat Kakaknya yang kelelahan bekerja seharian


lalu mengurus rumah, Kaeno segelas air pada Kanna
yang berada di dapur. Tapi nihil, gelas yang Kaeno
bawa jatuh karena ia tak berhati-hati.

Pecahan gelas berserakan membuat Kanna


khawatir bila pecahan kaca tersebut melukai
adiknya. “Kaen gapapa kan? Ada yang luka?”
khawatir Kanna dan di gelengi sedih oleh Kaeno.

63
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna mengulas senyum lalu mengelus kepala
Kaeno dengan penuh kasih sayang. “Kaeno tidur aja,
besok kan sekolah,” ucap Kanna dan dituruti.

Kaeno berlari menuju kamar sedangkan Kanna


membersihkan pecahan gelas yang masih
berceceran.

Paginya setelah sarapan dan mengantar Kaeno ke


sekolah, Kanna melanjutkan kegiatannya, Yakni
bekerja di sebuah katering yang tetangganya
dirikan. Beruntungnya para tetangga sangat
berlapang dada atas kehadiran Kanna, tak ada
satupun dari mereka yang tak menyukai
keberadaanya mengingat Kanna harus banting
tulang demi sang adik di usianya yang seharusnya
masih bersekolah.

“Gimana sekolahnya dek Keno?” tanya Bu Ina pada


Kanna yang tengah merapikan box-box katering.
“Lancar bu, Kaeno akhir-akhir ini juga gampang
buat cuci darah bu.” Ucap Kanna dengan senyum
yang terpatri pada wajahnya yang di penuhi peluh
keringat.
64
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Omong-omong Kaeno sendiri bersekolah dengan
baik. Tak ada masalah dengar pertemanannya,
hanya saja nilai-nilai yang Kaeno hasilkan tidak
seperti apa yang ia mau. Tidak sesuai ekspetasi
para guru juga. Guru-guru pun menyadari
perubahan nilai Kaeno ada hubungannya dengan
orang tuanya. Akhir-akhir ini pun Kaeno jarang
bicara dan sering kali terlihat murung.

Saat ditanya pun Kaeno hanya menggeleng dan


mengatakan tidak apa-apa. Anak laki-laki itu selalu
menyimpan perasaanya di dalam hati. Karena
Kaena selalu ingat apa yang Kak Kanna dan orang
tuanya selalu katakan, yakni Kaeno harus kuat
karena Kaeno adalah anak laki-laki. Kaeno harus
bangkit dari jatuhnya. Karena Kaeno laki-laki.

“Kaen gak ke kantin?” tanya Baron pada Kaeno


yang tengah melamun di pinggir lapangan tepat di
bawah pohon mangga. Kaeno menggeleng karena ia
tak ingin menggunakan uang yang Kakaknya
berikan, lebih baik disimpan dan ditabungkan

65
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
untuk nanti walau Kaeno kini tengah menahan lapar
saat melihat teman-temannya menikmati makanan.

“Ini buat Kaen” tawar teman yang satunya


bernama Azka memberikan sebuah ciki kepada
Kaen yang tentunya Kaeno tolak karena tak enak
bila begitu saja menerimanya. “Eh, gak usah, buat
Azka aja,” tolaknya yang langsung Azka simpan ciki
tersebut pada telapak tangan Kaeno.

“Buat kamu aja, aku udah kenyang tau. Lagian ini


aku beliin buat Kaeno kok,” ujarnya membuat
senyum Kaeno mengambang. “Makasih ya,” lalu
Kaeno menikmati ciki pemberian Azka dan tak lupa
menawarkan pada teman-temannya.

“Haikal, kamu mau gak?” tawar Kaeno pada


temannya yang Kaeno yakini pasti bakal di tolak
mentah-mentah oleh Haikal mengingat
hubungannya yang jauh dengan temannya itu. “Gak
ah, makanan kampungan!” tawarnya dengan kasar
lalu beranjak pergi menjauhi Kaeno.

66
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Padahal kalau mau tinggal ambil aja,” ujar Kaeno
pada Haikal yang belum benar-benar meninggalkan
Kaeno. Ucapan Kaeno tadi tidak di cerna baik oleh
Haikal. Ia terlihat sangat kesal pada Kaeno yang
sebenarnya tak bersalah sama sekali.

“Kamu kok belagu banget sih jadi orang!” Kesal


Haikal hingga mendorong tubuh Kaeno ke belakang
membuat ciki yang berada di tangannya
berhamburan ke tanah. Ciki pemberian Azka jadi
terbuang akibat ulah Haikal.

Kaeno yang hendak berdiri pun malah dapat


pukulan dari Haikal membuat KAeno tumbang.
Kejadian tersebut mengundang guru-guru untuk
memisahkan keduanya. “Ada apa ini?” tanya salah
satu guru pada kedua anak tersebut.

Saat Kaeno hendak menjawab, Haikal terlebih


dahulu menyerbot suaranya.

“Kaeno ngerebut ciki aku makannya aku puku!! Tapi


dia malah dorong aku!!” tuduh Haikal menunjuk
pada Kaeno yang kini menjadi korban. Para guru

67
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
langsung memusatkan perhatian pada Kaeno
memberi jawaban.

Kaeno menggeleng keras tapi ia tak bisa bicara


karena mulutnya yang terasa nyut-nyutan akibat
pukulan dari Haikal pada pipinya sangat keras
hingga mengenai gigi. “Kaeno, ikut ke ruang guru
dan panggil orang tua mu.” Beres guru tersebut
lalu membawa Kaeno ke ruang guru sementara
Haikal dibawa ke UKS untuk memeriksa ada luka
atau tidak. Padahal sudah jelas yang terluka Kaeno
bukan Haikal.

Dengan terburu-buru dan rasa khawatir yang


membara, Kanna berlari menuju sekolah Kaeno dan
langsung ke ruang guru untuk memeriksa keadaan
Kaeno.

Kanna ketakukan setengah mati apa bila kalau saja


Kaeno terluka. Dan benar saja saat Kanna
menemukan Kaeno terduduk di kursi dengan luka
yang sama sekali belum disentuh itu.

68
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“KAEN” Kanna memasuki ruang guru lalu memeluk
Kaeno dengan erat di sertai air mata yang
terjatuh membasahi pipi Kanna. “Wali nya Kaeno?”
tanya guru itu melihat Kanna yang terlihat sangat
muda.

“Apa yang saya katakan ditelepon tadi, Kaeno


telah …“ belum sempat menyelesaikan ucapannya
Kanna menyela sembari berteriak kesal saat
menyadari wajah Kaeno yang di penuhi luka dan
belum diobati.

“Kata anda Kaeno memukul temannya! Tapi kenapa


Kaeno terluka kayak gini! Kanapa juga gak di
obatin!!!” serunya kesal membuat guru tersebut
membolakan matanya dan menyadari keadaan
Kaeno yang di penuhi luka tersebut. “Anda kalau
mau mengarang cerita jangan jatuhkan adik saya
dong! Anda juga hanya mendengaran cerita dari
satu pihak saja! Anda belum, kan, mendengar
cerita dari pihak Kaeno!?” amuknya pada guru
tersebut membuat guru lain yang berada di
ruangan itu menjadi tegang. “Jangan karena Kaeno

69
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
akhir-akhir ini nilainya turun, Anda seenaknya
hanya melihat pandangan orang yang lebih tinggi
dari Kaeno seperti ini!” Amarah Kanna benar-
benar sudah tak terkontrol. Dengan berani ia
marah pada guru tersebut sembari menunjuk-
nunjuk karena tak terima.

Guru tersebut berdiri “Kamu gak di ajari


tatakrama di sekolah, hah!” marah guru tersebut
yang juga tak terima Kanna meneriakinya sembari
menunju-nunjuk seperti itu.

“Aku gak sekolah Bu, lebih tepatnya putus sekolah.”


Final Kanna membawa Kaeno pulang ke rumah.
Kanna sudah tak nyaman berada disana dengan di
sertai air mata yang terus mengalir tak henti-
henti karena telah berdebat dengan seorang guru.
Kaeno yang menyadari cekalan tangan pada
pergelangannya sangat kuat juga tubuh Kanna yang
bergetar membuatnya sangat bersalah pada
Kakaknya itu.

Guru tadi pun terduduk tak percaya dengan aksi


Kanna yang berani tersebut. Dirinya juga sempat
70
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyumpahi Kanna dengan hal-hal yang jelek
karena telah berani dengannya. Guru lain yang
ingin memberi tahu fakta bahwa Kaeno dan Kanna
tak memiliki orang tua hanya menutup mulut
melihat guru itu marah.

Sayangnya, apa yang guru itu sumpahi malah


terjadi dan menimpa Kanna.

Di rumah, Kaeno diolesi obat merah oleh kakaknya.


Ruangan begitu sunyi dengan dua orang beradik-
kakak yang menutup mulut enggan berbicara.

Kaeno menatap Kanna dengan pandangan yang


sendu. Mata lentik Kanna mengobati sang adik
dengan begitu terampil, sesekali Kaeno meringis
kecil.

“Kak, Kaen minta maaf ya,” suara Kaeno yang


pertama kali memecahkan keheningan tersebut
membuat Kanna terdiam sembari meletakkan
obat-obatan itu ke tempatnya.

Kanna mengulas senyum, mata itu menatap mata


kaeno yang tampak sayu dan kelelahan. “Kaeno
71
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sering-sering cerita ya sama Kakak, Kaeno gak
sendirian.” Ujar sang Kakak mengelus surai sang
adik lembut.

Kaeno mengangguk cepat membuat poninya


bergerak di sertai senyum hangat yang
mengambang di bibirnya. “Kaen sayang Kak Kanna!”
Kaeno melompat memeluk sang Kakak begitupun
dengan Kanna, memeluk sang adik yang merupakan
keluarga satu-satunya.

BRAKK, bantingan pintu terdengar mengisi suara


di rumah pada sore hari. Kanna yang tengah
menyapu pun sontak terkejut dengan kehadiran
Kaeno yang datang-datang langsung membuka
pintu secara kasar. “Aku benci Kak Kanna!!” teriak
Kaeno membuat Kanna yang menatapnya
kebingungan.

“Kaen?” tanya Kanna yang bingung dengan teriakan


Kaeno yang tidak jelas. Kanna segera menghampiri
Kaeno yang kini tertunduk dengan kedua
tangannya yang terkepal. “Kenapa Kakak gak bayar
iuran sekolah? Kaeno diolok-olok karena Kakak gak
72
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bayar tahu!!” sentak Kaeno yang tentu saja
membuat Kanna terkejut nyaris terjungkal apabila
ia tidak menjaga keseimbangannya.

Dengan sabar, Kanna mensejajarkan tingginya


dengan Kaeno. Di gengammnya lengan Kaeno yang
tampak bergetar menahan amarah yang mungkin
saja bisa membuncah. Kanna menghela nafas
terlebih dahulu sebelum bebrbicara dengan Kaeno.
“Maafkan Kakak ya, Kakak belum dapat uang,” ucap
Kanna lirih mencoba menatap mata sang adik yang
masih enggan menatap orang yang berada di
depannya.

Tiba-tiba Kaeno berlari menuju luar rumah dan


berteriak “Kaeno benci Kakak!” hal tersebut
membuat Kanna khawatir dan berlari mengejar
Kaeno tak kalah cepat. Anak berumur sembilan
tahun itu tersandung batu dan akhirnya
tersungkur ke tanah. Waktu itu pula Kanna sudah
berada di dekat Kaeno dan memeluknya seerat
pelukan kasih sayang yang biasanya ia berikan
untuk menghangatkan hati sang adik.

73
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna menangis di pelukan tersebut membuat
jantung Kaeno berdetak lebih cepat dari
sebelumnya. Rasa bersalahpun mulai menjalar pada
diri Kaeno yang sudah menyentak dan melukai hati
sang Kakak.

“Kakak minta maaf” lirih Kanna “Kaen, Kakak minta


maaf.” Lanjutnya degan suara yang bergetar
membuat Kaeno tak tahan untuk tidak ikut
menangis. Kaeno memeluk erat sang Kakak dan
menangis disana “Kaeno minta maaf, Kaeno yang
salah!” eratnya pelukan tersebut mebuat Kanna
tersadar akan keadaan Kaeno. Dengan cepat Kanna
melonggarkan pelukan lalu mengusap air mata pada
pipi sang adik.

“Kaen jangan nangis, ya. Kakak gak mau kalau Kaen


drop gara-gara mikirin itu,” ucap Kanna mengulas
senyum dan diangguki Kaeno sembari menyeka
hingusnya yang keluar sehabis menangis.

“Kakak gak bayar iuran karena oprasi Kaen


sebentar lagi, habis ini Kaeno bakal sembuh,” ujar
Kanna membuat mata Kaeno berbinar apalagi ia
74
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mendengar kata sembuh dari mulut Kakaknya.
“Sungguh?!” Kaeno memekik senang memeluk
kembali sang Kakak dengan rasa syukur dan
berterimakasih.

Dengan latar depan rumah mereka yang terisi


rerumputan juga pohon-pohon rindang disertai
memori-memori yang terjadi di tempat tersebut
membuat hati Kaeno tak karuan.

Tempat yang dulunya tempat bermain bersama


orangtuanya kini tersisa kenangan yang harus
Kaeno pendam. Tempat bahagia ini akan terus
menjadi tempat bahagia bagi Kaeno, tempat yang
akan menjadi tempat terbahagia hingga ia besar
nanti. Bersama Kakaknya, Kaeno ingin mengisi
kebahagiaan itu bersama sang Kakak. Di tempat
yang sama, juga orang yang sama. Semoga.

Kaeno melakukan konsul untuk yang terakhir


kalinya sebelum ia akan menjalani operasi pada
ginjalnya. Sejujurnya Kaeno tak terlalu senang.
Ada rasa kekhawatiran pada dirinya saat melihat

75
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna yang masih mengobrol dengan dokter yang
biasa membantu Kaeno cuci darah.

Wajahnya yang ditekukan membuat Kanna yang


sudah selesai berbicara dengan sang dokter pun
bertanya-tanya. “Kenapa mukanya ditekuk gitu?
Gak seneng?” Kaeno menggeleng mengulas senyum
tipis pada bibirnya. “Kaeno agak khawatir aja, kak,”
ujarnya dalam hati.

Di perjalanan pulang, Kaeno terus merasa tidak


nyaman. Ada hal yang mengganjal pada dirinya.
“Kak, Kaeno gak usah oprasi ya?” ucap nya
membuat Kanna terkejut dengan ucapan Kaeno
yang sangat berbanding terbalik dengan saat
Kanna memberi tahu kalau Kaeno akan menjalani
operasi.

“Kenapa? Kamu gak mau sehat?” tanya Kanna yang


sangat terkejut dengan ucapan Kaeno. Kaeno
menggeleng, tangannya ia gengam pada tangan
Kanna.

76
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Firasat Kaeno gak enak, Kak.” Ucap Kaeno lirih
memandang sang Kakak masih dengan raut yang
kebingungan. “Gapapa, itukan Cuma firasat, lagian
Kakak udah ngumpulin banyak uang buat oprasi
Kaeno dari lama,” seru Kanna mencoba memberi
semangat pada sang adik.

Jalanan malam juga semerbak angin membuat


keheningan keduanya melanda, kini Kanna dibuat
takut apabila Kaeno menolak untuk oprasi.
“Uangnya Kakak simpan saja, Kakak kan pingin
sekolah.” Mendengar itu, Kanna terharu dengan
penuturan kata yang Kaeno ucapkan. Kanna
tersenyum sebelum ia memberhentikan langkah
keduanya. “Makasih ya, Kakak memang pingin
sekolah lagi, tapi keinginan terbesar Kakak bukan
itu,” Kanna menjeda ucapannya “Keinginan
terbesar Kakak itu, bisa melihat Kaen sehat kayak
dulu.”

Air mata Kaeno tak tahan untuk tidak berjatuhan.


Bocah sembilan tahun tersebut memeluk sang
Kakak dengan rasa haru. Tapi firasat tersebut

77
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
semakin besar. Firasat buruk itu semakin
menyerang pikirannya dan membuat ia takut.

“Kak, tau gak impian aku apa?” tanya Kaeno pada


sang Kakak yang kini keduanya mampir pada kedai
bakso yang berdiri di pinggir jalan.

Kanna mengangkat alisnya bertanya, “Kaen pingin


lihat Kakak pake seragam putih abu-abu.” Hal
tersebut membuat Kanna teharu.

“Nah, makannya Kaen harus sehat! Kakak juga


pingin lihat Kaen kalau udah gede punya pacar,
hahaha.” Tawa Kanna agar menghilangkan rasa
cemas yang Kanna sadari pada Kaeno. Sang adik
mengangguk mengiya kan.

“Semoga,” ucapnya dalam hati.

Seminggu lagi operasi Kaeno akan dilakukan,


seminggu lagi pula Kaeno akan menaiki ke semester
yang baru. “Seminggu lagi kalian akan naik kelas,
jadi persiapkanlah diri kalian untuk semester yang
baru,” jelas Bu Mia selaku guru matematika yang
waktu itu berdebat dengan Kanna.
78
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bu Mia menatap Kaeno dengan pandangan tak suka
akibat kejadian tempo hari. “Untuk Kaeno, pulang
sekolah temui ibu di ruang guru,” akhir kata dari
Bu Mia sebelum ia pergi keluar kelas. Entah
mengapa suruhan tersebut membuat Kaeno
khawatir dan firasat buruk pun kembali
menyerang.

Pulangnya, Kaeno benar-benar menghampiri Bu Mia


di ruang guru. Terlihat Bu Mia yang kini tengah
menyiapkan berbagai lembar di mejanya sembari
menunggu kehadiran Kaeno. Sesekali guru
tersebut membenarkan kacamata yang sedikit
melorot kala Kaeno yang tak berani menghampiri
sang guru.

Dengan langkah pelan, Kaeno memasuki ruangan


tersebut dan menghampiri sang guru. Saat sudah
berada di hadapannya, Kaeno disuruh duduk dan
diserahkan selembar kertas pada Kaeno. “Karena
nilai mu akhir-akhir ini terus menurun, kerjakan
lah soal-soal itu,” ujarnya memberikan jawaban

79
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pada raut Kaeno yang bertanya melihat soal-soal
tersebut.

Kenapa hanya Kaeno yang berada di sini? Bukan


kah ada murid lain yang nilainya menurun juga? Dan
lagi mengapa soal matematika yang ada di
hadapannya ini belum pernah ia jumpai?

Dari judulnya saja Kaeno tidak tahu, bagaimana ia


menyelesaikan soal-soal ini? dengan lambat, Kaeno
mengambil pensil dengan rasa ragu-ragu. Soal
pertama ialah soal cerita yang menunjukkan
variabel dua. Tentu saja Kaeno tidak tahu, dia kan
masih duduk di bangku SD!

“Selesaikan, atau kamu tidak boleh pulang!” Kaeno


mengangguk dengan kepala yang menunduk
menghadap meja yang tersimpan 20 soal yang
Kaeno tidak tahu. Tiba-tiba saja kepalanya begitu
pusing. Darah segar keluar begitu saja dari hidung
Kaeno mengotori lembar soal matematika
membuat Bu Mia terkejut.

80
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kamu ini lemah! Jawab soal begituan saja gak bisa!
Bisanya menyusahkan orang saja. Mau jadi apa
besar nanti?” sentak Bu Mia sembari memukul
pundak Kaeno membuat dirinya terhuyung jatuh di
atas dinginnya lantai.

Jantung Kaeno berdetak sangat kencang, diiringi


serangan pusing pada kepalanya dan darah yang
terus mengalir di hidungnya. Bu Mia berdiri
menatap Kaeno dengan tatapan tak suka.

“Menyusahkan orang! Pulang saja sana!” dengan


tenaga yang melemah, Kaeno meraih ranselnya
juga lembar matematika di atas meja yang baru
separuhnya ia selesaikan dengan hasil mengira-
ngira.

Langkah yang sempoyongan, bocah sembilan tahun


itu meraih gagang pintu menuju keluar sekolah
yang kini sudah sepi. Di liriknya jam besar di
tengah aula, Kaeno terkejut lalu berlari ke luar
gerbang saat mengetahui waktu sudah pukul 5.25.
Kaeno yakin bahwa Kanna mengkhawatirkannya.

81
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kaeno!!” Panggil seseorang dari arah berlawanan
yang Kaeno sangat kenal. Kanna berlari masih
dengan celemek di kenakannya dengan keringat
yang terus bercucuran. Kanna mendekap sang adik
pada pelukannya. Seolah akan ada hal buruk
terjadi, Kaeno sudah berada di dalam perlindungan.
Sang Kakak membawanya pada ketenangan yang
abadi, Kaeno sangat tenang sekali saat Kanna
dapat memeluknya dengan erat.

“Kak, Kaeno habis di ajari matematika sama Bu


guru,” parau Kaeno menatap mata sang Kakak yang
kini sudah berembun. Air mata Kanna jatuh hingga
membasahi wajah sang adik yang lebih pendek
darinya. Tangis Kanna pecah, Kaeno mengeluarkan
darah itu dari hidungnya lagi. Pucatnya Kaeno
membuat Kanna rapuh. Kanna tak mau melihat
adiknya kesakitan seperti ini.

“Kaen, operasinya dimajuin ya? Kakak gak suka liat


Kaen kayak gini,” Kanna menangkup pipi sang adik
lalu, menghambat darah yang bercucuran itu
dengan sapu tangan yang selalu ia bawa.

82
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kaeno tersenyum hingga kedua matanya ikut
tersenyum menatap sang Kakak masih dengan
tangisnya.

“Iya, Kaen mau.”

Pada pagi harinya, Dokter Anatha menjemput


Kaeno juga Kanna. Selaku dokter andalan Kanna,
dokter Anatha merupakan teman almarhum kedua
orangtua Kanna dan Kaeno. Dokter Anatha pula
sudah menganggap kedua anak itu seperti seorang
keluarga apabila jadwal konsul Kaeno di rumah
sakit.

Di perjalanan, Kaeno tersenyum menatap kedua


tangannya yang berada di lututnya. Ia duduk di
bangku belakang sementara Kanna duduk di
bangku sebelah pengemudi yaitu sebelah Dokter
Anatha yang tengah mengemudi sembari
berbincang dengan Kanna.

Dalam hati, Kaeno sangat senang dengan oprasinya.


Tapi di dalam otak, Kaeno tak ingin melakukan
oprasi karena ia merasakan hal yang tak ia inginkan.

83
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tapi demi Kak Kanna bahagia, Kaeno akan
melakukan apa saja, untuk keluarga satu-satunya.

“Kaeno, jangan cemberut doong. Kamu kan mau


sehat,” ujar dokter Anatha memberi semangat
pada Kaeno yang sedari tadi diam seribu bahasa
karena merasakan hal yang akhir-akhir ini ia
rasakan.

“Jangan khawatir.” Perkataan Kanna menyadarkan


Kaeno. Dengan cepat ia menatap Kanna yang kini
membalikan badannya menatap sang adik dengan
penuh rasa bahagia. Karena Kanna merasakan
bahagia, Kaeno pun bahagia hanya dengan melihat
Kanna yang seperti itu.

Sesampainya di rumah sakit, Kaeno berada di


ruang rawat inap sebelum menjalani operasinya
yang akan dilakukan sore menjelang malam.

Kanna dengan setia menemani Kaeno di sebelahnya


dengan berbagai hal yang Kaeno ucapkan dari
mulutnya.

84
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kanna yang mendengarkan sesekali tertawa
melihat kekonyolan adiknya itu.

“Kak, kalo Kaen udah gede dan udah sembuh, Kaen


mau bikin sekolah!” seru Kaeno mengucapkan cita-
citanya hanya agar rasa cemas itu hilang.

“Waduh, nanti Kakak yang jadi murid pertamanya


ya! Hahaha,” tawa Kanna membuat raut Kaen
berubah ceria.

“Kaeno laper ga? Kakak beliin bubur ya di luar.


Makanan rumah sakit gak enak!” ucap sang Kakak
mengambil jaket yang ia letakkan di atas kursi.
Kaeno menangguk. Keluarnya Kanna dari ruang
rawat membuat perasaan aneh itu menghilang.
Tepat saat Dokter Anatha memasuki ruangan,
Kaeno berteriak bahwa ia bosan ingin berjalan-
jalan ditemani dokter Anatha karena Kanna
sedang keluar.

Dengan baju rumah sakit yang Kaeno kenakan juga


seorang dokter menemani Kaeno, ia berjalan-jalan

85
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyusuri taman rumah sakit sesekali ia melirik ke
arah jalan raya yang di penuhi mobil-mobil.

Ia dudukan dirinya di atas kursi dan diikuti oleh


dokter Anatha, Kaeno menatap jalan raya dengan
tatapan kosong yang tak memiliki arti.

“Kaeno gak seneng ya?” tanya dokter Antha pada


Kaeno yang mengagguk kecil.

“Kaeno cemas, Kak,” ujarnya masih menatap pada


jalan raya.

“Gak usah cemas, nanti kalau Kaeno sehat, Kanna


juga yang senang, kan?” ucap Dokter Anatha yang
langsung diangguki Kaeno.

Kaeno yang menatap jalanan kini tersadar pada


jalanan yang mendadak padat padahal belum lima
menit jalanan lancar sekali. Riuh orang-orang
sekitar membuat dokter Anatha dan Kaeno
bingung. Diikuti petugas medis yang mendadak
keluar dari gedung.

86
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Jalanan tiba-tiba saja ramai. Perasaan cemas
Kaeno makin besar hingga kini dirinya bercucuran
keringat tanpa sebab membuat Dokter Anatha
kebingungan. “Kak Anatha, Kaeno mau kesana,”
tunjuk Kaeno pada gerombolan orang dan petugas
medis berada.

Tibanya di sana, Kaeno terdiam kaku dengan deru


nafas yang tak teratur. Tepat di depan matanya,
tepat di tempat yang sama, dengan mata yang
tertutup sempurna, Kaeno tak menyangka semua
terjadi.

Waktu seakan berhenti begitu saja, pandangan


yang kosong menatap seseorang yang terkapar di
aspal dengan darah yang bercucuran mengotori
jalanan. “Kaeno!” Panggil Kanna menghampiri sang
adik lalu memeluknya. “Kaen, bentar lagi operasi
kan? Ayo masuk, jangan di sini” ujar Kanna
menuntun Kaeno yang masih berdiri mematung
menatap orang yang tergeletak di atas aspal itu.

“Kaeno?” panggil Kanna pada sang adik. “KAK


KANNA!” tangis Kaeno pecah menghampiri sang
87
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kakak. Teriakan tersebut mengundang tatapan
kasihan pada Kaeno yang kini menghampiri orang
yang tergeletak di atas aspal.

Kaeno memeluk jasad Kanna yang sudah tak


bernyawa, masih dengan memegang makanan yang
Kanna janjikan. Isak tangis Kaeno mengaluni
pendengaran orang-orang yang berada di sana.

Petugas medis yang hendak membawa Kanna


kedalam di cegah sementara oleh Anatha,
membiarkan Kaeno meluapkan tangisnya atas
kepergian sang Kakak.

Di genggam erat tangan Kanna yang dingin, Kaeno


letakkan tangan itu pada pipinya. Pandangannya
yang dipenuhi air mata menatap wajah Kanna yang
sudah hilang kehangatannya. Memori-memori yang
mereka berdua jalin bersama berputar pada otak
Kaeno. Pada akhirnya, hal yang Kaeno takuti
terjadi. Kehilangan sang Kakak. Kanna meninggal
akibat tertabrak truk yang melintas dengan
kencang dikarenakan supir yang mengantuk.

88
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Seperti tersambar petir, Kaeno terduduk
menyaksikan pemakaman tanpa seorang pun disisi
nya berada. Tanpa rumah untuk pulang, tanpa
tempat untuk menaruh keluh kesahnya, tanpa
seseorang yang bisa menggantikan peran orangtua.
Kaeno menjadi rapuh. Hal yang ia janjikan untuk
Kanna kini sia-sia. Harapannya untuk melihat sang
Kakak bersekolah kembali itu sia-sia. Pada
akhirnya Kaeno hanya bisa menyimpan jal tersebut
di dalam hati. Sampai ia bisa menemukan sosok
seperti Kanna kembali.

“Katanya Kakak mau liat Kaen sembuh,” ucapnya


menatap batu nisan yang berada di hadapannya.
Dengan menaruh sebuket bunga di sebelah foto
mereka berdua, Kaeno berjongkok membersihkan
dedaunan yang berada di sana. “Apa gunanya sehat
kalau Kakak gak ada di sini? Kaen kangen, Kak.”
Ucap Kaeno menundukan kepalanya. Senyumnya
mengangmabang mengingat memori lama yang
masih Kaeno simpan di dalam kepalanya. Ia
bergegas berdiri dari jonkoknya sembari
membersihkan tanah yang sedikit menempel pada
89
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
celana yang berwarna abu-abu itu. “Kaeno pergi
sekolah dulu ya, Kak.” End_

90
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Luka
Kazia Rafa Maulida

Banyak sekali kesakitan yang kualami sekarang ini ,


berbagai macam rasa kesedihan, kepahitan,
kesengsaraan, mulai meliputi pikiranku. Bagai
sekumpulan benang yang bersatu dan tidak
mempunyai ujung sama sekali.

Sekarang, aku sedang mengurung diri di kamarku.


Berusaha menyembuhkan traumaku meski aku
tahu itu tidak akan berguna sama sekali. Banyak
sekali ketukan dari luar pintu yang kudengar.
Namun, aku tak akan mau membukanya. Takut,
jikalau ada seseorang yang akan melakukan tindak
keji itu lagi, kepadaku.

Hai , namaku Viera. Nama yang begitu menawan,


sampai-sampai semua orang yang mendengar
namaku, langsung menatap ke arah wajahku yang
dikenal dengan kecantikan yang begitu
menawan.Tak hanya wajahku yang yang menawan,
bentuk tubuhku yang ramping semakin membuat

91
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
semua mata tertuju, hanya kepadaku seorang.
Namun,menjadi orang yang memiliki wajah serta
tubuh menawan tak hanya mendatangkan berbagai
pujian dan perlakuan yang begitu baik. Ada kalanya,
seseorang mendapat perlakuan yang buruk. Begitu
buruk hingga membuat seseorang itu menjadi
sangat menderita sepanjang hidupnya, seperti
yang sedang kualami sekarang ini.

Hari itu, aku menjalani serangkaian rutinitas


membosankan yang kuulang setiap pagi hari.
Dimulai dengan menggosok gigi, lalu membersihkan
diri, dan kemudian dilanjutkan dengan memakai
pakaian seragam lengkap dan turun kebawah untuk
memakan sepiring sarapan pagi kesukaanku.

Suasana hening yang kurasakan pagi itu tak jauh


berbeda dari biasanya. Orangtua yang begitu
sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai melupakan
anaknya hanya makanan sehari-hari bagiku,
ditambah dengan statusku yang merupakan anak
tunggal membuat suasana rumah begitu sepi dan
hening.Tak banyak pelayan yang di pekerjakan di

92
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
rumah yang begitu megah ini. Menambahkan kesan
sunyi yang tak ada habisnya di setiap hari.

Setelah aku memakan habis sarapanku, aku


langsung pergi menuju sekolah yang jaraknya tak
begitu jauh dari rumahku. Aku berjalan kaki
dengan sedikit lambat, hanya untuk menikmati
berbagai macam pemandangan nan indah yang
kulihat setiap paginya. Para burung berkicau
dengan lembut dan menawan, bunga Sakura yang
bermekaran menambah keindahan di pagi itu.

Aku menikmati setiap langkah dengan penuh


keceriaan di hatiku. Namun, saat aku sedang ingin
mengikat tali sepatuku yang lepas, aku ditarik
paksa oleh seorang pria yang bahkan tak kukenali.
Tarikannya sangat kencang, seakan tak
membiarkan aku untuk melarikan diri darinya.Aku
yang terkejut sontak berusaha untuk melepaskan
diri.

"Hei, siapa kamu? Apa yang ingin kamu lakukan


kepadaku , hah!" kataku, berteriak sangat kencang
pada pria itu. "Kamu tidak perlu untuk mengetahui
93
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
siapa diriku, kamu hanya perlu diam dan
bertingkah seperti gadis yang baik. Kamu paham
itu?" katanya dengan sangat tegas dan seakan
menyuruhku untuk menurutinya.

Tak peduli berapa banyak aku mencoba untuk


melarikan diri, pria itu tetap saja menarik tubuhku
masuk kedalam suatu gang yang sempit dan gelap.
Secara kasar, pria itu melempar tubuhku kedekat
suatu tempat sampah besar yang berada di tengah
gang sempit tersebut. "Kamu hanya perlu diam,"
katanya sambil mendekat ke arahku. Aku yang
sudah dilempar hanya bisa terdiam menahan
kesakitan di sekujur tubuhku yang seakan remuk.

Sekarang, dia di depanku. Secara perlahan, pria


itu membuka baju atasanku. Aku yang terkejut
berusaha sekuat tenaga untuk melawannya. Namun,
itu tak berarti apa-apa bagi pria itu. Sang pria
sangatlah kuat dan aku yang hanyalah seorang
gadis remaja berumur 12 tahun, tak bisa
melakukan hal banyak untuk setidaknya
menghentikan dia melakukan itu.

94
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Dia tidak bergeming setelah aku berusaha untuk
melawannya.Tak lama , dia sudah melepas semua
pakaianku dan mulai melakukan tindak asusila
kepadaku. Aku hanya bisa menangis, mengapa aku
harus terjebak di keadaan seperti ini? Kenapa aku
yang harus menjadi korban atas tindakan tidak
manusiawi seperti ini? Kenapa aku hanya bisa
terdiam dan menurut kepadanya? Membiarkan dia
untuk melampiaskan nafsu bejatnya kepadaku,
seorang anak yang bahkan tidak mempunyai
masalah apapun yang membuatku harus mendapat
perlakuan seperti ini.

Aku merasakan rasa sakit tak kala dia terus


menerus melakukan 'hal itu' kepadaku. Aku mulai
memelas dan menangis dengan keras agar dia
berhenti untuk melakukan ini kepadaku. Dia tak
menggubrisku sama sekali, tetap melanjutkan
tindakannya tersebut.

Waktu berlalu dan aku masih harus menahan rasa


sakit yang tak terhingga di sekujur tubuhku. Aku
sudah tak tahan lagi dengan situasi yang makin tak

95
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
terkendali ini, aku memutuskan untuk melawan.
Namun, tubuhku sudah sangat lemas untuk
melawan pria itu. Alhasil, aku jatuh pingsan ke atas
tanah dan kehilangan penglihatan secara perlahan.

"Ugh," gumamku saat secara perlahan aku bangun


dari pingsanku. Aku melihat ke sekeliling, tak
banyak yang berubah, aku masih ada di gang yang
sama. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa di
pikiranku, aku berusaha untuk berpakaian kembali
sembari menahan rasa sakit akibat tindakan pria
tadi. Walau rasanya tak mungkin untuk aku
berjalan dengan keadaan seperti ini, aku tetap
berusaha untuk berjalan menuju rumahku
walaupun itu membutuhkan banyak pengorbanan
dari rasa sakit yang kuterima.

Setiap langkah yang kujalani semakin menambah


rasa sakit di sekujur tubuhku. Rasa sakit yang
membuat sekujur badanku terasa sangat remuk
dan hancur. Perasaanku juga ikut hancur saat
mengingat kembali kejadian itu. Keperawananku di
ambil secara paksa dan kejam, bahkan aku masih

96
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
terlalu muda untuk menerima tindakan seperti itu
dari seorang pria yang tak memiliki hati.

Sesampainya di rumah, aku langsung berjalan


menuju kamarku tanpa menghiraukan berbagai
pertanyaan yang keluar dari mulut para pelayan
yang menanyakan kondisiku. Aku terlalu malu
untuk menceritakan apa yang baru saja aku alami
tadi. Itu bagaikan situasi terburuk dalam hidupku,
aib terburuk yang sangat memalukan.

Aku menutup pintu kamarku dengan kencang dan


mulai menangis dengan sangat keras. Berusaha
untuk mengeluarkan emosiku melewati tetesan air
mata yang mengalir deras dari mataku. Aku
meratapi nasibku sekarang. Seorang anak berumur
12 tahun yang baru saja direnggut
keperawanannya oleh seorang pria asing yang
begitu kejam.

Aku menatap cermin dinding ku. Menatap tubuh


seorang anak yang begitu kotor dan hina. Menatap
seorang anak yang tak lagi mempunyai masa depan

97
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
yang cerah dan tak dapat menjalani kehidupan
yang normal seperti sebelumnya.

Aku mulai menulis surat ini kepada ayah dan ibuku


agar setidaknya mereka tahu penyebab masalah
yang akan kusebabkan malam ini. Saat aku sudah
selesai menulis semua rangkaian kejadian dengan
penuh tangisan dan tanganku yang begitu gemetar.
Aku menaruh surat itu tepat di atas meja belajar
yang biasa kupakai setiap hari untuk aku belajar.
Aku meraih seutas tali dan mulai memasangkannya
pada leherku. Membuatku mati dalam penuh
penyesalan yang teramat dalam.

98
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Nanti Kita Cerita, Ya?
Mykaila Athaya Putri Rukmana

Hidup itu ada kalanya kita berbahagia, berduka,


maupun bersedih. Hidup di dunia tidak selalu
mudah, kadang kala sulit di prediksi bagaimana
menjalani hidup selanjutnya.

Aza dan Bunda sedang menikmati masa libur nya


dengan menghabiskan waktu bersama, tanpa
seorang ayah. Aza bukan anak yang tidak punya
sosok ayah, ia mempunyai ayah, tapi entah kemana,
sang ayah sudah menghilang selama 10 tahun
dengan keluarga barunya.

“Nanti kalau Zaza sudah lulus sekolah, Zaza ingin


menjadi apa?” tanya Bunda Ani kepada sang anak
yang sedang berbaring di kakinya. “Apa aja bun,
yang penting kalau Zaza udah lulus dan sukses,
bunda selalu ada buat Zaza.” Dengan riang,
seorang Aza atau yang biasa dipanggil Zaza itu

99
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
selalu bahagia apabila menyangkut tentang masa
depan dan sang bunda.

“Iya dong cantik, bunda selalu disini sayang.


Makanya, kalau ada apa – apa bilang bunda, ya? Kan
kata Zaza, bunda selalu ada untuk anak
kesayangan bunda ini.”

Walaupun mereka tidak memiliki sosok pemimpin


rumah tangga lagi, tapi hidup mereka
berkecukupan, bahkan menurut Aza itu lebih dari
cukup.

Hari libur adalah hari yang selalu dinantikan oleh


semua orang, banyak yang menghabiskan waktu
bersama keluarga maupun bersama teman – teman.

Pagi ini, bunda Ani sedang berbelanja ke pasar


untuk membeli beberapa bahan makanan yang akan
diolah menjadi makanan kesukaan anak satu-
satunya itu.

Aza sedang menunggu sang bunda pulang ke rumah,


ia sembari menunggu membereskan beberapa
pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Ia
100
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tidak pernah mengeluh apabila pekerjaan rumah
nya begitu banyak, justru ia bersyukur karna bisa
membantu bundanya membereskan beberapa
pekerjaan.

Aza sudah membayangkan bagaimana serunya hari


ini, ia akan berkegiatan bersama bunda
tersayangnya itu. Tapi sayangnya bayangannya itu
harus ia kubur dalam -dalam ketika handphone
milik dirinya berdering dan memberi tahu
bagaimana kondisi bundanya saat ini.

Manusia mana yang kuat melihat seseorang yang


melahirkan dan membesarkannya tidak dalam
keadaan baik – baik saja? Manusia mana yang tidak
menangis melihat seorang ibu yang berjuang untuk
hidup?

Aza sudah menangis dari sejam yang lalu, dia


bingung dengan keadaan saat ini. Baru saja
semalam sang bunda bilang akan menemaninya
hingga ia sukses, tapi apa buktinya? Sekarang Aza
pasrah ketika dokter menyatakan bundanya mati
otak karena benturan keras saat kecelakaan tadi
101
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pagi. Bunda akan benar-benar tiada apabila
seluruh alat yang ada pada badannya di lepas. Bisa
dibilang kalau Bunda hanya hidup bergantungan
dengan alat.

Aza bingung apa yang harus ia lakukan karena ia


tidak mungkin membiarkan seorang bunda yang
tidak ingin anak nya sakit, kesakitan di dalam sana.
Aza harus melakukan apa jika melepaskan bunda?

Mungkin sudah saatnya bunda beristirahat karena


bunda sudah cukup menderita di dunia ini. Dia
sudah lelah membesarkan Aza sendirian tanpa
sosok suami, dia sudah lelah banting tulang untuk
mencari bulir – bulir rupiah untuk menghidupi sang
anak. Mungkin saat ini bunda ingin beristirahat?

Aza hanya bisa mengatakan ‘Iya’ saat dokter


memberi pertanyaan apakah bunda nya bisa pergi
sekarang. Aza tidak sanggup mengeluarkan kata –
kata lagi selain itu.

Sudah saatnya Aza berjuang sendirian seperti


bunda berjuang sendirian membesarkan Aza?

102
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sudah saat nya ia mandiri untuk masa depan, Aza
berharap kehidupannya akan baik – baik saja
karena bunda menjaganya dari atas sana.

Pemakaman sudah dilaksanakan sekitar 10 menit


lalu, sekarang Aza hanya mampu terisak di atas
gundukan tanah tersebut. Walaupun sang bunda
sudah tenang di atas sana, tetap saja Aza belum
tenang di sini.

“Bun makasih banyak ya? Makasih banyak udah


besarin Zaza sampai sebesar ini. Bunda tolong jaga
Zaza di atas sana boleh? Zaza pengen ngebuktiin
kalau Zaza bisa sukses dan bunda nemenin Zaza
sampe sukses. Walaupun bunda udah pergi, Zaza
yakin kalau bunda selalu di samping Zaza.
Terimakasih ya bun? Jangan lupa doa’in Zaza dari
sana. Zaza sayang bunda dan gak akan lupain Bunda.
I love you best mother in the word.” Aza tidak
berhanti terisak, dia lalu mencium nisan sang
bunda lalu pergi meninggalkan pemakaman
tersebut.

103
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Hari libur kali ini Aza pakai untuk menangis
seharian karena ia benar – benar merindukan sang
bunda. Ia merindukan tidur bersama bunda,
dibuatkan sarapan oleh bunda, makan bersama
bunda, masak bersama bunda. Apapun kegiatan
yang berhubungan dengan bunda, Aza selalu
merindukannya.

Pagi ini tidak terasa waktunya semua orang


kembali ke aktifitas masing – masing. Aza sedang
bersiap untuk berangkat kesekolah, Aza kali ini
pergi dengan berjalan kaki, karna biasanya ia pergi
bersama bunda.

Aza tidak terlalu bersemangat, tapi Aza tidak bisa


melakukan apa – apa lagi selain berangkat sekolah
dan mengerjakan banyak tugas. Sebenarnya ia
sangat malas sekali untuk bersekolah, tapi
bagaimana bisa sukses tanpa bersekolah? Ia harus
bersekolah dan mewujudkan mimpinya bunda,
yaitu menjadi sukses.

104
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza sekarang duduk di bangku kelas 11 Sekolah
Menengah Akhir. Seperti biasa, ia duduk sendirian,
benar – benar sendirian. Ia tidak terlalu pandai
bergaul, jadi semenjak duduk di bangku SMA, ia
sama sekali tidak memiliki teman.

Bel sudah berbunyi, semua siswa sergap duduk di


bangku masing – masing saat guru datang. Tapi kali
ini aneh sekali, guru pelajaran pertama tersebut
membawa satu anak laki – laki yang terlihat agak
asing.

“Pagi anak – anak, kalian kedatangan murid baru.


Silahkan memperkenalkan diri,” ucap guru
tersebut. Sebenarnya Aza tidak terlalu tertarik,
tapi ia terus memperhatikan murid baru tersebut.

“Hai nama gue Reynard, kalian bisa panggil gue Rey.


Gue pindah dari Jakarta, nice to meet you.”
Selama perkenalan, siswa bernama Reynard itu
tidak berhenti melihat ke arah Aza, Aza
sebenarnya sedikit risih dengan tatapan itu.

105
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Baiklah Rey, kamu bisa cari tempat duduk yang
kosong. Ibu akan mulai pelajaran hari ini.”

Reynard lalu menuju tempat di mana bangku


kosong. “Gue boleh duduk di sini?” tanya Reynard
kepada siapa lagi kalau bukan Aza? Karena di kelas
itu hanya tempat itu yang kosong. “Iya duduk aja,”
jawab Aza yang bahkan tidak melihat lawan
bicaranya tersebut.

“Lo gak ke kantin?” tanya Reynard pada Aza. Aza


benar – benar diam selama pelajaran, Reynard
sedikit tidak nyaman dengan kondisi saling diam
itu. “Engga, kamu aja,” Aza benar – benar tidak
melihat ke arah Reynard, jadi Reynard
memutuskan untuk langsung menuju kantin.

Aza ingin sekali berkenalan dengan Reynard, tapi


ia malu apa bila Reynard tidak mau berteman
dengannya. Reynard terlihat seperti orang baik,
tak luput paras tampannya yang benar – benar
menarik perhatian, tak disangka jika Aza terpikat
dengan pesonanya.

106
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza saat ini sedang membaca buku yang biasanya
ia baca bersama bunda, ini sudah seminggu dari
kejadian tersebut. Aza benar – benar merindukan
bundanya itu.

“Mikirin apa lo?” tiba – tiba Reynard duduk di


bangkunya, ia sedang meminum susu coklat, tapi ia
menaruh susu rasa full cream di meja nya. “Nih
buat lo, sebagai tanda perkenalan gue, nama lo
siapa?” Reynard menyodorkan full cream tersebut
ke arah Aza, Aza tidak enak untuk menolak, jadi ia
menerima full cream tersebut.

“Nama aku Aza, makasih susu nya Rey.” Aza


mengambil full cream itu dengan senang hati.
“Kenapa sendirian? Anak – anak lain pada jajan di
kantin, yang diem di lapang juga banyak,” tanya
Reynard dengan sedikit penasaran. “Mereka bisa
gitu karna punya temen, sedangkan gue gapunya.
Jadi biasanya gue di kelas sambil makan bekel dari
rumah”

Sebenarnya Aza juga iri dengan orang – orang yang


bisa pergi kemana saja dengan teman, tapi apa
107
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
boleh buat? Bahkan mungkin baru Reynard yang
mengajak ia mengobrol selain ketua kelas.

“Terus kenapa gak makan bekelnya?” Reynard


heran memang, Aza bilang selalu makan bekal, tapi
sedari tadi ia hanya membaca buku. “Biasanya yang
bikini bekel aku itu bunda, tapi sekarang bunda
bisa masakin aku kalau aku nyusul dia” Aza sedikit
tersenyum miris mengatakannya. “Bunda lo pergi
kemana emang?”

“Ke surga.” Reynard sedikit kaget mendengarnya,


tapi aneh nya lelaki tersebut sedikit tersenyum.
“Oh gitu, bunda lo sama bunda gue udah ketemu
duluan ya ternyata?”

Oh pantas saja Reynard tersenyum, mungkin


karena hal tersebut. Ternyata yang bernasib
sepertinya bukan hanya Aza, tapi Reynard juga.
“Lo mau jadi temen gue?” Aza sedikit terkejut
dengan kata – kata itu, baru kali ini ada yang
mengajaknya berteman.

108
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Boleh, makasih ya mau ngajak aku temenan!” Aza
sangat senang, mood dia hari ini pulih total karena
Reynard. “Nanti pulang bareng gue ya.” Belum
sempat Aza menjawab, bel tanda pelajaran
selanjutnya sudah berbunyi. Apa boleh buat selain
meng-iya kan permintaan tersebut?

Reynard benar – benar mengantarkan Aza pulang


sampai rumah, baru kali ini Aza diantarkan pulang
oleh teman satu – satunya itu.

Saat sudah sampai depan gerbang rumah Aza,


Reynard lantas berhenti dan melihat rumah yang
sangat sepi itu. “Lo tinggal sama siapa?” ternyata
Reynard orang yang sangat penasaran. “Tinggal
sendiri semenjak bunda pergi. Jangan tanya ayah
aku di mana, yang penting aku tinggal di rumah ini
dengan uang yang ayah aku kasih setiap bulan.”
Benar sekali, walaupun Aza tidak tahu ayahnya ada
di mana, tapi sang ayah masih memenuhi
kebutuhan anak nya itu, salah satunya memberikan
uang bulanan.

109
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Yauda gih lo masuk, gue tau rasanya di tinggal
bunda pergi. Lo jangan keseringan nangis ya? Kalau
ada apa-apa telepon gue ya?” Reynard mengusap
kepala Aza. Aza benar – benar terkejut atas
perlakuan itu, sebab hanya bundalah yang selalu
melakukan hal itu. “Oke Rey makasih ya udah
anterin aku pulang. Hati – hati di jalan.” Aza
langsung bergegas masuk ke dalam rumah saat
Reynard pergi dari depan rumahnya. Jantungnya
benar – benar berdegup sangat kencang sekarang.

Semalam Aza dalam keadaan mood yang baik, tidak


menangis sama sekali. Pagi ini ia sudah duduk manis
di bangkunya, ia sedang menunggu Reynard datang,
karena 5 menit lagi bell jam pertama berbunyi tapi
lelaki itu belum ada sampai sekarang.

Pas sekali saat bell berbunyi, sosok yang sedari


tadi Aza tunggu datang dengan langkah tergesa –
gesa. Aza kebingungan kenapa laki – laki itu
terburu – buru karena saat bell jam pertama guru
akan datang setelah 3 menit kemudian. Mengapa
Reynard sangat terburu – buru?

110
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kamu kenapa lari – lari?” tanya Aza saat Reynard
sudah duduk di sebelah Aza. “Gapapa, gue cuma
takut telat Za.” Walaupun Reynard sudah duduk,
tapi napasnya itu masih terengah karna lelah
berlari.

Mereka melakukan pembelajaran dengan tenang,


hingga tak terasa bell istirahat telah berbunyi.
Saat semua orang sibuk keluar kelas untuk pergi
ke kantin, dua manusia yang kemarin pulang
bersama hanya diam di tempat nya.

“Nih gue bikinin bekel buat lo, gak gue racunin kok.
Tiap hari gue masak buat bokap gue, jadi gak usah
takut makanannya ga enak.” Reynard menyodorkan
spaghetti kepada Aza, lagi – lagi Aza tidak bisa
menolak. “Makasih Rey! Lain kali gak usah ya? Aku
takut ngerepotin kamu.”

Lagi – lagi Rey mengusap kepala Aza, Aza benar


benar dibuat salah tingkah dibuat nya. Selagi Aza
makan, Rey bermain game di handphonenya itu.
Bahkan satu tangannya menggenggam tangan kiri

111
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza, sungguh lelah Aza menghadapi ke salah
tingkahan ini

Sudah 5 bulan sejak Reynard pindah sekolah, dan


sudah 5 bulan Aza kehilangan bundanya. Aza masih
sering menangis tengah malam, bahkan setiap
minggu nya ia berkunjung ke makam bunda untuk
bercerita, dan sudah 5 bulan mereka sangat dekat.

Kali ini, Aza dan Reynard sedang di makam bunda


Ani, Aza sedang bercerita bagaimana 5 bulan
tanpa sosok bunda. “Hallo bunda apa kabar? Kali ini
aku sama Rey kesini. Bunda tau gak? Rey baik
banget sama Zaza, Rey sering buatin Zaza bekel,
Rey sering beliin Zaza susu full cream kesukaan
Zaza, terus Rey juga sering ngusap kepala Zaza
sama kaya bunda.” Rey tersenyum sambil
merangkul pundak temannya itu, ia teringat
bagaimana ia juga merindukan sosok bunda nya.
“Bunda apa kabar di sana? Surga bagus gak bun?
Bunda, di rumah sepi banget kalau gak ada Rey
yang main ke rumah. Bunda tau gak? Aku kangen
banget sama bunda. Lima bulan lalu bunda bilang

112
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mau temenin aku sampe sukses, tapi Zaza belum
sukses bunda, bunda masih temenin Zaza gak ya?
Bunda, bunda, buku Zaza yang biasa di baca bareng
bunda ngeluarin season baru lohh, bunda gamau
baca? Seru banget tau! Cewenya aneh banget, dia
yang putusin tapi dia yang gak bisa lupain cowo itu!
Aneh banget ya bun? Bunda kapan datang ke mimpi
Zaza? Zaza kangen sama bunda! Apa bunda udah
lupain Zaza ya, sampai gak datang ke mimpi Zaza?
Zaza padahal sering meluk barang – barang bunda
pas tidur biar bunda datang ke mimpi Zaza, tapi
bunda tetep gak datang. Gapapa kalau bunda udah
lupa sama Zaza, tapi Zaza di sini bakal inget terus
sama Bunda. Zaza pergi dulu ya? Takut kesorean
terus nanti hujan. Dadah bunda, I miss you and I
love you beautiful mother!”

Aza dan Rey setelah berpamitan dengan bunda,


mereka bergegas masuk ke dalam mobil. Rey terus
menggenggam tangan Aza, karna ia tau Aza sedang
sangat merindukan bundanya itu.

113
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat Aza sedang asik melihat pemandangan di luar
jendela, tiba – tiba mobil yang ia kendarai itu
berhenti. Aza melihat Reynard yang berlari ke
belakang mobil. Saat ingin ikut turun dari mobil,
“diem Za, jangan keluar” Reynard teriak dari
belakang sana. Aza yang tadinya ingin turun pun
tidak jadi karna teriakan tersebut.

Saat Aza menunggu agak lama, Reynard masuk ke


dalam mobil dengan muka yang sangat pucat. Aza
sangat khawatir melihatnya, “Rey, you okey?”
benar – benar Aza sangat cemas kali ini.

“Gapapa Za, paling masuk angin.” Masalahnya


selama 5 bulan ini, Aza sering sekali melihat wajah
pucat Reynard, tapi jika ia ditanya apakah baik –
baik saja pasti ia menjawab ‘Gapapa za’ yang
membuat Aza kebingungan.

Aza dan Rey melanjutkan perjalanan untuk


mengantarkan Aza pulang sampai ke rumah. Aza
selalu khawatir bila Reynard benar – benar pucat
dan tidak banyak omong, karena Reynard adalah
tipikal lelaki yang sangat ceria.
114
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sesampainya Aza di rumah, Aza menawarkan
untuk Reynard beristirahat terlebih dahulu, “Gak
usah Za, gue langsung pulang ya? Jangan nangis
buat malam ini dan malam seterusnya.” Seperti
biasa, sebelum Reynard pergi ia akan mengusap
kepala Aza.

Aza langsung masuk ke dalam rumah, ia masih


terus mencemaskan Reynard. Walaupun pikirannya
benar – benar tidak tenang, ia memutuskan untuk
membersihkan badannya.

Saat selesai membersihkan badan, ia duduk di


depan tv yang menyiarkan berita malam, tapi Aza
tidak menontonnya, melainkan memainkan
handphone.

“Sebuah mobil ber plat D 23345 CA mengalami


sebuah kecelakaan, kecelakaan diketahui akibat
sang pengendara gagal jantung. Pengendara
langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat” Aza
terdiam ketika mendengar plat nomor itu, ia
langsung menghubungi Reynard, karena plat itu
sama persis dengan plat mobil Reynard.
115
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat ia sedang menghubungi Reynard, ponselnya
berdering. Ia sangat berharap yang
menghubunginya adalah Reynard, tapi nyatanya
Andre yang merupakan teman Reynard.

Saat Aza mengangkat telepon tersebut, “Za, Rey


kecelakaan! Cepet kesini, gue pesenin ojol 5 menit
lagi sampe.” Aza hanya bisa diam menahan air mata
yang keluar, ia mengambil jaket dan langsung
menunggu ojol yang menjemputnya datang.

“Tuhan, jangan lagi.” Aza sudah menangis saat


mendengarkan penjelasan dokter tadi. “Saudara
Reynard sudah mengalami tumor jantung stadium
akhir, jika tidak ditangani dengan transplantasi
jantung nyawa saudara Reynard tidak bisa
diselamatkan.

Pengertian dokter tadi terus berputar di kepala


Aza, ia benar – benar bingung sekarang. Saat Aza
sedang bingung, Andre tiba – tiba menghampiri
Aza dan membuat Aza sedikit terkejut mendengar
apa yang Andre sampaikan.

116
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aza sedari tadi hanya menangis melihat Reynard
yang terbujur kaku di depannya. Iya tepat sekali,
Reynard baru selesai melakukan operasi
transplatasi jantung. Siapa yang memberikan
jantungnya itu? Andre, andre yang merelakan
hidupnya untuk Reynard. Aza mungkin benar –
benar berterimakasih dengan Andre.

Jam menunjukan pukul 14.00 WIB. Sudah 2 jam


semenjak Reynard dioperasi, Reynard sudah
membuka mata 5 menit yang lalu. Ia sedari tadi
bertanya, “Siapa yang kasih jantung ini ke gue?”
tanya Reynard yang tentu saja bertanya pada Aza.

“Sembuh dulu, ya? Nanti kita dateng ke orang yang


udah ngasih jantung nya buat kamu.” Sekarang
giliran Aza yang mengusap kepala Reynard, Aza
tahu bagaimana keadaan dia sekarang.

“Kamu bohongin aku, ya? Katanya, kamu baik – baik


aja,” ucap Aza dengan lembut. “Aku udah sembuh,
ya, Za?” sekarang Reynard menatap muka Aza
yang sembab karna menangis. “Aku gak kasih tau
kamu, karena aku takut kamu pergi dari aku. Aku
117
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
takut kamu pergi dan ninggalin aku. Aku pengen
banget cerita ke kamu gimana keadaan aku tiap
aku muntah, tapi aku takut. Faktor pentingnya aku
takut aku mati dan gak bisa jadiin kamu milik aku.
Kita udah 5 bulan bareng, ya, Za? Aku selalu
pengen jadiin kamu milik aku, tapi aku takut kalau
aku mati dan ninggalin kamu.” Aza sudah menangis,
dan sejak kapan Reynard menggunakan kata aku-
kamu? Aza benar – benar terkejut dengan hal ini.

“Aku punya perasaan yang sama kaya kamu, Rey,


sekarang kamu sehat dulu, ya? Nanti kita cerita
tentang ini, ya?” sejak saat itu, Reynard benar -
benar ingin cepat keluar dari rumah sakit dan
menemui siapa yang memberikan jantungnya.

Sudah seminggu Reynard dirawat, dan sudah


seminggu Aza menemaninya di rumah sakit. Hari
ini waktunya Reynard pulang, dan mengunjungi
makam sang pemilik jantung tersebut.

Sekarang mereka sedang berada di makam bunda


Ani, seperti biasa Aza menceritakan harinya
kepada bundanya itu. Setelah dari makam bunda
118
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ani, Aza dan Reynard menuju tujuan utama
tersebut.

Andrea bin Giontara

Saat membaca nisan tersebut, Reynard langsung


terjatuh karna kakinya lemas. Jadi, ternyata
pemilik jantung ini, adalah sahabatnya sendiri? Oh,
sungguh Reynard tidak kuat menahan tangisannya.

Aza menghampiri dan berjongkok di sebelah


Reynard, ia memberikan sepucuk kertas yang
membuat Reynard sedikit bingung. “Ini dari
Andre.” Lalu, Reynard membukanya.

Untuk Reynard dan Aza.

Gimana Rey? Jantung lo udah aman, belum? Aman


lah, jantung gue sehat cuy. Awas aja lo gak jagain
jantung gue baik – baik.

Oh, ya maaf, ya, Za? Gue minta maaf karena


ternyata setelah gue selidiki, ternyata kecelakaan
itu ga murni, tapi ada sangkut pautnya sama

119
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
keluarga gue. Gue gak akan kasih tau lo sekarang.
Lo pasti tau sendiri nantinya.

Kalian saling mencintai, ya? Kalau saling mencintai,


salah satunya gak boleh mati, jadi gue aja yang
mati. Kalian baik – baik, ya? Gue gamau kalian
kehilangan satu sama lain. Be happy ya, bro?
tenang gue jagain tante Ani sama Tante Yita di sini
kok, mereka bahagia banget liat kalian berdua
dengan keadaan baik – baik aja.

Tolong jaga hubungan kalian dengan baik, ya? Gue


harap kalian sama – sama mendukung satu sama
lain. Jangan mikirin kita di sini, tapi pikirin diri
kalian masing – masing, ya? Buat Rey, jangan
merasa bersalah karena gue kasih jantung gue ke
lo, gue kasih jantung ke lo karna gue gamau kalau
Aza merasakan hal yang sama lagi setelah
kehilangan bundanya. Buat Aza, gue suka sama lo
tapi gue gamau nikung temen gue. Jaga Rey baik –
baik, ya? Soalnya dia cupu hidup aja pake jantung
gue.

120
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Makasih kalian udah mau jadi temen gue selama 5
bulan ini, makasih juga udah bikin gue gak dibully
lagi. Sehat – sehat, ya? Gue, tante Ani, tante Yita,
jagain kalian dari sini.

ANDRE, 13 MARET 2018.

Mereka benar-benar tidak kuasa menahan


tangisannya, mereka sudah pasrah atas apapun
yang akan terjadi kedepannya. Dalam keadaan
hujan yang lumayan besar, Reynard melindungi Aza
dengan pelukannya. Mereka sama – sama menangis.

“Lo punya gue, Aza Kiara Lisana”.

Aza yang udah pasrah dengan semuanya, hanya


bisa menangis dipelukan Reynard. Tangisan itu
tidak berhenti sampai di sini. Setiap malam, ia
terus menangis. Untung saja, Tuhan baik sekali
terhadap Aza, Ia ambil sosok paling berharga di
hidup, Aza, dan menggantinya dengan sosok yang
akan selalu mendampingi, Aza, ya sosok itu adalah
Reynard

Tapi, apa hubungannya Andre dengan Aza?


121
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Jalan Sang Mentari
Wening Nurinnida P.R

Di malam hari yang cerah, terdapat suatu istana


terletak pada negri Henara yang dihuni satu
saudara perempuan dan saudara kembar. “El,
cepatlah! Acara sebentar lagi akan dimulai!” seru
putri tertua pada sang adik yang kini masih
menatap dirinya pada pantulan cermin sembari
bersiul-siul. Gaun sang putri tampak bergerak kala
kakinya ia hentakan akibat kesal menunggu lama.
“Kalau kau begini terus, bagaimana kau bisa
mendapatkan gelar dari ayahanda?” sentak putri
tertua membuat sang adik terenung, sementara
kembarannya sedikit terkejut.

“Aku akan pergi duluan.” Final Putri tertua


meninggalkan sang adik di kamarnya, sementara
sang kembaran mengikuti putri tertua tersebut
dengan perasaan khawatir karena melihat
kembarannya yang masih tak bergerak menatap
cermin. Dirinya tahu bahwa sang adik kembar

122
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sedikit sensitif mengenai perihal gelar yang
ayahanda berikan. Hanya sang adik saja yang
belum mendapatkan gelar. Sudahlah, toh sekarang
keduanya kini tengah merayakan pesta ulang tahun.

Herosa Kava Adinadja dan Samuell Rava Adinadja


adalah sepasang kakak beradik yang kini genap
berusia 9 tahun. Kedua anak kembar tak identik
itu kini tengah berada di tengah-tengah istana
dengan banyaknya tamu yang berdatangan hanya
untuk memberi selamat dan mendoakann kedua
kakak beradik juga menyantap hidangan yang ada
di sana.

Herosa atau kerap dipanggil Hero itu memekik


senang kala mendapatkan sebuah kado besar dari
Azaella putri mahkota pada kerajaan Arasone
yang terletak di timur daya. Ia datang bersama
putra mahkota Hessa selaku teman Samuell yang
biasa dipanggil El.

“Saya sangat senang Anda hadir dalam pesta,”


ucap Hero kepada Azaella yang tersenyum manis.
Rambutnya yang diikat dengan gaun pink
123
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bercampur ungu memberi kesan perempuan itu
sangatlah manis dengan bibir yang melengkung ke
atas dan lentiknya bulu mata yang kini terlihat
sangat cantik kala senyum Azaella membuat
matanya menyipit. “Pangeran Bintang, selamat
ulang tahun!” Ujar Azaella menggenggam lengan
Hero.

“Hey!! mana hadiah untukku,” ucap Samuell kasar


pada Azaella yang kini terlihat murung ketika
Samuell sang berbicara sangat kasar di acara
seperti ini. Membuat Putri tertua geram dengan
ucapannya.

“Samuell. Sudah berapa kali saya ingatkan? Anda


tidak boleh berbicara seperti itu di dalam istana!
Contohlah Hero! Ia bahkan sudah mendapatkan
gelar.” Putri tertua Monica Ellza Adinadja
memarahi Samuell yang sikapnya kasar berbanding
dengan Kakak kembarnya, Hero, yang kini hanya
menyimak saja.

Poni cokelat Samuell bergerak kala kepalanya ia


tolehkan dengan kasar akan ucapan Kak Mon tadi.
124
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Samuell sangat kesal. Rautnya sangat memerah
dengan kepalan tangan yang berada di kedua sisi
tubuhnya “El kesal.” Akhir Samuell pergi
meninggalkan tempat itu menuju taman luas di
belakang istana yang sepi dengan pencahayaan
seadannya dengan cahaya bulan yang menyinari
malam.

Samuell menduduki kasar dirinya di atas tanah


sembari meneggerutu. “Selalu saja Hero yang
dibanggakan, Hero saja yang diberi gelar pangeran
bintang!! Kenapa aku tak diberi gelar seperti itu?!”
kesal Samuell menginjak-injak rerumputan dengan
beribu-ribu gerutu yang ia keluarkan. Hingga
seseorang menghampirinya membuat aktivitas
Samuel terhenti.

“Selamat malam Tuan Samuell.” Panggil seorang


lelaki berbadan kekar menuju Samuell yang
menatapnya dengan tatapan bertanya karena ia
tak mengenali orang yang berada di depannya. Ia
yakin orang ini bukanlah tamu undangan. “Saya

125
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ucapkan selamat ulang tahun untuk Anda,” ucap
orang itu.

Samuell memalingkan wajahnya ke samping enggan


untuk menatap matanya karena menurutnya orang
itu sangatlah menyeramkan.

Orang berbadan kekar tersebut tersenyum


sembari mengusap kepala Samuell yang tentu saja
langsung ditangkis oleh Samuell. Orang itu
menyejajarkan tingginya dengan Samuell yang kini
masih terduduk di rerumputan. “Anda
menginginkan gelar, kan?” pertanyaan orang
tersebut membuat Samuell melebarkan matanya
dengan bersemangat.

“Mau! Mau!” seru Samuell yang entah mengapa kini


sangat bersemangat hingga kedua sudut bibirnya
terangkan membentuk sebuah senyuman. “Itu
tidak gratis, tuan,” ujar orang tersebut sembari
bersedekap dada. Karena ambisi Samuell yang
sangat menginginkan gelar, Samuell berdiri
sembari menatap orang tersebut.

126
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apa yang harus saya bayar untuk mendapatkan
gelar tersebut?” ujar Samuell membuat orang
tersebut tersenyum menatapnya yang lebih
pendek. “Sederhana. Anda hanya harus mengikuti
saya menuju tempat kau akan mendapatkannya.
Gelar yang kau inginkan.” Akhir orang itu pergi
menuju suatu tempat dan diikuti oleh Samuell.
Menurutnya, ini adalah pilihan yang sudah tepat,
walau ia tak tahu kenyataan bahwa gelar tersebut
hanya bisa diberikan oleh Raja.

“Anda yakin? Waktunya tak sebentar.” Ucap orang


itu memastikan apabila Samuell akan berubah
pikiran. “Saya sangat yakin akan hal itu,” ujar
Samuell dan diangguki oleh orang tersebut, hingga
keduanya berada dalam sebuah kendaraan modern
yang orang itu bawa.

Sementara, itu pesta masih berjalan dengan


lancar. Hero terdiam memalingkan wajahnya pada
sekitar. Ia mencium aroma yang sangat asing
tetapi ia kenal betul akan bau tersebut. “Ada apa
Pangeran Bintang?” Tanya Azaella hingga Hessa

127
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dan Jay-anak perwira kerajaan, menatap Hero
dengan tatapan bertanya.

“Entahlah, aku mencium bekas bau naga


meninggalkan tempat ini,” ujarnya menatap kepada
teman-temannya. “Jadi, maksudmu ada naga
datang kemari?” tanya Jake selaku anak dari mrs
Jena, guru pribadi mereka. kini Jake tengah
menyantap kue-kue yang ada di sana sembari
mendengarkan apa saja yang Hero katakan dan
teman-temannya.

Hero menganggukan kepalanya lalu teringat


sesuatu. Sudah 30 menit berlalu semenjak
Samuell pergi meninggalkan tempat pesta
membuat Hero panik. Pasalnya anak kerajaan tidak
diperkenakan untuk keluar sendirian di atas jam 8
malam.

“Astaga! Samuell!” dengan cepat Hero berlari ke


arah taman belakang dan diikuti teman-temannya
mengundang kebingungan bagi para tamu yang
datang.

128
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Setibanya di sana, Hero tak mendapati
keberadaan Samuell. Yang ia dapatkan hanya
aroma naga dan aroma Samuell yang bercampur di
tempat itu. Raut Hero sudah panik hingga Pak Jun
sebagai kepala perwira menghampiri mereka.

Tiba-tiba saja kepala Hero mendadak berputar-


putar. Pandangannya memburam hingga Hero
harus kehilangan kesadarannya. Datanglah Mr
Joshua sebagai dokter istana mengahampiri Hero
yang kepalanya sudah berada di pangkuan pak Jun.

“Gawat, ia terlalu memaksakan kekuatannya yang


belum sempurna,” gumam Mr Joshua setelah
memeriksa keadaan Hero yang kini berkeringat
dingin. “Hero!” panggil Ibunda menghampiri Hero
yang pingsan sebari memeluknya.

Sang raja yang sudah berada disana mengerutkan


wajahnya kesal kala ia mendapati sosok bayangan
naga yang tersisa di tempat itu. “Keluarkan para
prajurit ke 6, temukan Samuell ke penjuru negri!”
perintah Ayahanda dan diangguki Mr Jun.

129
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Tempat gelap, sunyi, dingin, dan kosong. Samuell
merasa tak nyaman akan tempat tersebut. Yang ia
lihat hanyalah cahaya yang dipancarkan orang
kekar di depannya.

“Hey kau! Aku akan di bawa ke mana?” tanya


Samuell pada orang di depannya.

“Ke tempat kau akan mendapatkan gelar.” Orang


tersebut menyingkir memperlihatkan pintu megah
yang menjulang tinggi di hadapan Samuell.

“Selamat datang, Pangeran Mentari.”

Hingga kini, sudah tujuh tahun lamanya Samuell


tidak ditemukan keberadaanya. Hal tersebut
tentu saja membuat Hero murung. Selama tujuh
tahun itu, Hero tampak jadi pendiam, Selama
tujuh tahun itu ia melaksanakan pesta ulang tahun
tanpa saudaranya. Para perwira mengatakan bahwa
kemungkinan Samuell telah meninggal dimakan
oleh para naga.

130
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Padahal Hero sangat yakin bahwa kembarannya itu
masih hidup, karena ia percaya bahwa para naga
tak mengaggap manusia sebagai musuh.

Hero mengambil beberapa buku dari


perpustakaan yang tersedia di kerajaan karena
keinginan Hero yang sangat suka sekali membaca.
Beberapa buku di pelukannya ia bawa ke luar
ruangan. Dengan langkah santai, ia berjalan
menuju taman belakang tempat hilangnya Samuell.
Di bawah pohon apel, Herosa membaca buku
dengan khidmat hingga ia mencium aroma kuat
berada di sekitarnya.

Dengan cepat Hero mempersiapkan diri apabila


akan ada seseorang yang menyerangnya. “Dor!”
kejut seseorang dari belakang tubuh Hero yang
menjulang.

“Astaga!” kaget Hero menatap orang tersebut


yang kini cekikikan melihat reaksi Hero.

Ia adaah Tahel, teman Hero, walaupun Tahel hanya


anak pembantu dari kerajaannya, Hero dan Tahel

131
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berteman akrab. Hanya saja Hero masih belum
terbiasa dengan aroma Tahel yang sangat pekat
karena ia adalah seorang ware wolf. Tahel memiliki
paras yang lebih pendek dibanding Hero, dengar
rambut yang berwarna ungu hampir menyentuh
area pundaknya.

“Hero, apakah kau belum juga terbiasa dengan


aromaku?” tanya Tahel diberi gelengan oleh Hero
yang kini hendak melanjutkan membacanya. Tahel
cekikikan melihat reaksi Hero. “Lihat! Air mancur
itu begitu menggiurkan!” Tunjuk Tahel pada air
mancur yang berjarak 60 meter. Tahel sudah
bersiap untuk berlari menuju air mancur tersebut
tetapi ditahan oleh Hero. “Berhentilah meminum
air mancur itu! Air itu belum tentu bersih.” Tahel
hanya mendengus mendengar penuturan Hero.

“Aku malah terbiasa meminum langsung air yang


mengalir di sungai,” ungkapnya cukup membuat
Hero terkejut. Sebagai si pecinta kebersihan, ia
merasa heran dengan sahabatnya. “Nanti kau
sakit.” Ucap Hero hanya dibalas dengusan “Aku ini

132
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ware wolf, mana bisa aku terjangkit penyakit.”
Pedenya memukul dadanya sendiri.

“Justru itu, kau ware wolf. Enggak sakit,


melainkan mati!” dengus Hero yang kini sudah tak
bisa dijawab oleh Tahel.

Tahel mendengus membaringkan tubuhnya di atas


rerumputan. “Kalau kau haus, saya akan ambilkan
minum,” ucap Hero hendak meninggalkan tempat
itu sebelum dicegah Tahel. “Tak apa, aku akan
ambil sendiri. Bisa gawat kalau ibu ku mengetahui
bahwa kau membawakan minum untuk ku,” cegah
Tahel berlari kencang menuju dapur yang
direspons gelengan oleh Hero kepada sahabat
ware wolf nya itu.

Belum lama kepergiannya Tahel, ia mencium aroma


sangat menyengat. Aroma itu lebih menyengat
ketimbang aroma yang dikeluarkan Tahel. Dengan
aroma yang terus menerus menyeruak, datanglah
segerombol kelelawar mengerubungi pohon apel
tersebut.

133
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Di barengi mendungnya langit, Hero bergegas
menuju ke dalam istana karena ia menduga bahwa
hujan sebentar lagi membasahi tanah. Saat sudah
berada di dalam istana, seseorang yang melihat
Hero memasuki ruangan itu mendengus kesal.
Akibat para kelelawar, ia gagal melakukan
rencananya.

Hero berjalan menuju dapur menghampiri Tahel


yang tengah bersama Monica memberi makan
anjing peliharaan kerajaan. “Tahel, jika hujan
berlalu, ayo kita berjalan-jalan melihat-lihat
rumah penduduk!” ajak Hero membuat Tahel
bingung. Pasalnya Tahel mengaggap Hero itu
adalah Pangeran nolep.

“Mengapa tiba-tiba?” tanya Tahel. Hero berpikir


sejenak “Aku sedang melakukan tugas dari mrs
Jena untuk mencatat bagian-bagian unik di negri
kekuasaan Ayahanda,” ujarnya dan diberi jempol
setuju oleh Tahel. “Apapun itu pekerjaan mu,
tetaplah waspada, kau harus berada di sekitar
Tahel yang sudah diberi kepercayaan oleh

134
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ayahanda.” Pesan Putri Monica pada Hero yang
langsung direspons anggukan.

Hujan tak berlangsung lama, Tahel dan Hero kini


berjalan-jalan di sekitar daerah penduduk. Tak
hanya sekali Hero dapat sapaan hangat dari para
penduduk. Sesekali Hero mencatat hal-hal unik
yang ia lihat. “Ini apa?” tanya Hero menunjuk
kucing biru pada Tahel yang kini menggendong
kucing tersebut. Kucing itu diyakini kucing ajaib
bagi para penduduk. Kucing tersebut dapat
memberi pesan apa yang akan terjadi kedepannya.

“Ini, si bulue. Dia bisa ngirim pesan yang akan-


“ ucapan Tahel terhenti kala mendapati perut pada
kucing tersebut mengeluarkan cahaya yang
berkedip menandakan suatu pesan telah masuk.

Bulue mengeong. Ngeongan tersebut berupa


sebuah pesan darurat yang tentunya membuat
para penduduk yang berada di sekitar sana panik.
Hal tersebut membuat raut kebingungan pada diri
Hero membuncah. Pasalnya hanya para penduduk
saja yang diberi kekuatan atas kemampuan
135
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengerti bahasa binatang untuk kepentingan
berkebun.

“Ada apa?” tanya nya pada Tahel yang tentu saja


dapat gelengan. Tahel itu seorang penduduk, hanya
saja ia tak diberi kekuatan seperti itu pasalnya
Tahel aalah seorang ware wolf. “Hey, ada apa?”
tanya Tahel pada seorang remaja berambut pirang
yang kebetulan lewat. “Naga putih akan menyerang
penduduk, juga istana!” ucapnya lalu kembalu
berlari setelah membungkuk hormat.

Tentu saja Hero terkejut. “Ayo kembali.” Ujar


Hero menetralkan paniknya yang menjalar. Ini
pertama kalinya naga putih akan datang ke negri,
wajar saja Hero merasa panik. “Sebentar.” Dengan
sekejap Tahel berubah menjadi serigala yang
berwarna ungu menyesuaikan warna rambutnya.
“Naiklah.” Suruh Tahel yang langsung dituruti oleh
Hero. Dengan cepat, Tahel bergerak menuju
istana.

Di perjalanan menuju istana, keduanya dihadang


dengan sosok naga putih berbadan besar dengan
136
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
seseorang yang menungganginya. Para pengungsi
sontak dievakuasi ke bukit timur. Ayahanda
berdiri tegap memandang sang naga yang kini
sudah menghancurkan beberapa rumah warga.
Ibunda bersama Kak Monica saling menguatkan
dengan cara saling berpelukan.

Hero menatap seseorang yang menunggangi naga


tersebut. Kala Hero sudah benar-benar melihat
orang itu, sontak Hero terkejut hingga matanya
membola sempurna. Mata biru milik Hero
bertabrakan dengan mata berwarna merah milik
orang yang berada di atas naga putih.

Rambut berwarna putih, juga baju berwarna hitam


menandakan ia datang dari kerajaan yang jauh di
sana. “Lama tak berjumpa, Herosa.” Sontak Hero
turun dari punggung Tahel sang serigala. Ia
berjalan mendekat pada naga itu.

“Kau!?” si bermata merah turun dari tunggangan.


Tubuhnya yang lebih tinggi dari Hero membuatnya
merasa sedikit cemas.

137
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Mari berperang. Tuan Bintang.” Pedang itu
terjulurkan. Dengan raut marah, Hero mengambil
pedang dari tempatnya yang sering Hero bawa
kemana-mana. Wajah Hero tampak cemas. Ini
baru pertama kalinya ia bertarung dengan nyata.
Mata birunya menatap sosok orang bermata merah
di depannya.

“Semoga kau sadar, Samuell.”

Perperangan antar pedang itu membuat Tahel mau


tak mau menjauh dari sana untuk mencari aman.
Sedangkan para prajurit di belakang Hero terdiam
tak bisa melakukan apa-apa terlebih perintah yang
Hero ajukan. “Dia adalah lawan ku, kalian diam saja
menyaksikan.”

“Wah wah, Hero, kau tumbuh dengan baik, ya?”


seringai muncul di wajah Samuell dengan mata
merah yang masih terlihat asing di mata Hero.
“Diam dan selesaikan!” pedang keduanya saling
menyerang mencoba melukai satu sama lain.
Samuell terhempas empat meter akibat pedang
dengan cahaya biru yang Hero genggam. “Sadarlah,
138
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
El. Kau menyerang rumah mu sendiri.” Hero
melangkah menghindari serangan Samuell yang
bertubi-tubi.

“Rumah? Huh?” Samuell melayangkan serangan


bertubi-tubi. Pedang yang memancarkan cahaya
gelap itu terus mengeluarkan warna gelap,
menyerang birunya pedang Hero. Karna kekuatan
yang tak sebanding, pedang Hero terlempar 100
meter diikuti tubuh Hero yang terdorong dan
membentur pohon besar di belakangnya. “Apanya
yang rumah? Dulu kau selalu mengucilkan ku
karena tak memiliki gelar! Bodoh jika aku tak kesal
dengan perilaku mu yang tak diketahui Raja dan
Ratu.” Samuell berjalan mendekat Hero yang
terbatuk mengeluarkan darah.

“Kau itu munafik!!” Samuell mengangkat pedangnya


hendak menyerang Hero yang kini sedang lengah.
Tapi tentu saja hal tersebut dicegah oleh Tahel
yang berlari menuju Samuell dan memukulnya
berkali-kali pada bagian wajah. Tenaga yang ware

139
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
wolf miliki bukan main. Ia bisa saja mematahkan
batang pohon hanya dengan lima kali pukulan.

“Hey, lawan mu itu, aku.” Seseorang datang dengan


pakaian sekolah berwarna hitam dan celana abu-
abu di padukan dasi sekolah dan rambut berwarna
merah dan mata berwarna merah yang persis
sekali mirip dengan Samuell.

“Jino, tolong hadapi dia.” Tahel seketika membeku


melihat kehadiran Jino. Tahel kenal betul dengan
Jino. Ia adik angkat Jake, hanya saja Tahel baru
mengetahui fakta yang baru saja ia ketahui. Jino
seorang vampir. Dan dialah yang datang ke taman
pada saat itu.

“Kau mengerti, kan alasan ku menyerang kerajaan


ini?” Samuell berjalan menyeret pedangnya yang
bertabrakan dengan tanah membuat sebuah garis
di tanah. Hero terdiam menunduk. “Apakah kau
sudah merenungi semua kesalahan mu di masa lalu?”
Samuell menyeringai.

140
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Benar, itu terjadi delapan tahun lalu. Saat dimana
Herosa mendapatkan gelar dari sang raja. Hero
diberi jubah khusus berwarna biru toska dengan
sedikit corak bintang yang berkilau. Hanya Hero
yang dapat, Hero berdiri di sebelah Raja, hanya
Samuell yang kini berdiri di bangku penonton
dengan Putri Monica yang tentu saja sudah
mendapatkan gelar.

Hal itu membuat Samuell iri. Setelah diberinya


gelar, tak sekali Hero memamerkannya pada
Samuell juga teman-temannya termasuk Tahel.
Tak hanya sekali Hero diberi pujian sedangkan
Samuell ditinggalkan begitu saja di belakang.
Mereka bermain bola tanpa mengajak Samuell.
Hingga Hero berujar “Orang yang tidak diberi
gelar, mana boleh bergabung dengan kita.” Wajah
Hero yang menutur Samuell sangat menjengkelkan
itu membuatnya memutuskan pergi menjauhi
teman-temannya.

“Tak apa, aku bisa mendapatkannya!” seru Samuell


pada dirinya. Ia berjalan ke dalam istana tetapi

141
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tak sengaja dirinya menubruk patung kepala yang
terpajang di pinggir lorong istana. Dengan panik
Samuell hendak menraihnya. Sayangnya patung itu
terlebih dulu membentur lantai hingga jadi
berkeping-keping membuat para pelayan datang
juga Putri Monica yang kebetulan sedang di dekat
sana.

“Berhati-hatilah! Kalau kau ceroboh begini,


bagaimana bisa kau mendapatkan gelar seperti
Kakak kembar mu!” ujar Putri Monica. Samuell
yang muak langsung berlari meninggalkan tempat
itu sampai ia berpapasan dengan Hero. Ia melirik
kalung emas yang melingkar di leher Hero. Kalung
bersimbol bintang itu, lagi-lagi berhasil membuat
Samuell iri. Ia iri dengan kembarannya.

Hingga berjalan satu tahun. Samuell belum juga


diberi gelar. Sifatnya yang makin liar sontak
sering mendapatkan teguran dari Kak Monica yang
lagi-lagi berhubungan dengan gelar. Pada bulan itu,
Samuell tertari dengan Naga. Ia penasaran hingga

142
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah beberapa buku tentang naga dan pulaunya ia
baca.

Penduduk sana memiliki kekuatan yang lebih besar


dibanding kekuatan negri ini. Membuatnya sangat
ingin pergi ke sana dan mencari gelar untuknya.

Dan hari itu datang, saat pesta ulang tahun. Ia


sedikit khawatir apabila akan ada yang mencarinya.
Tapi keinginan Samuell kuat. Hingga orang itu
membawa Samuell dan merubah warna matanya
yang tadinya berwarna biru.

Hero masih tertunduk membuat Samuell bisa saja


dengan mudah untuk membunuhnya. “Hero!
Pangeran Hero! Sadarlah!!” teriak Tahel yang
masih bergelut dengan Jino yang memiliki
kekuatan api sehingga dirinya seidikit susah untuk
melayangkan pukulan.

“Apa yang kuucapkan benar, bukan?” Samuell


menunjuk Hero dengan ujung pedangnya yang
mengarah tepat di kepala Hero. “Sudah selesai kau
mengoceh?” kepalanya ia angkat menatap Samuell

143
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dengan mata biru yang menajam. “Sudah selesai
kau mengatai dirimu pecundang?”

Bugh.

Dengan menggunakan tangan sebagai penahan


badan, Hero menendang dagu Samuell hingga ia
terhempas kebelakang dengan rasa sakit yang
berada di dagunya. “Selesai.” Hero mengangkat
tangannya sejajar pundak mengeluarkan sihir yang
membuat pedang Samuell terangkat sama dengan
tangannya. Dengan sekejap, Hero mematahkan
pedang tersebut menggunakan sihir yang Hero
miliki dan baru Hero sadari.

Patahnya pedang membuat Samuell terkejut


diikuti tubuhnya yang tumbang seketika. Tubuh
Samuell yang tumbang membuat naga putih pergi
dari situ. Jino pun yang tengah melawan Tahel
mengikuti perginya naga putih meninggalkan
kerajaan.

Hero berjalan mendekat. Pakaian yang dikenakan


keduanya sama-sama kotor dan sedikit compang.

144
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Lalu Hero melirik kalung bersimbol mentari yang
Samuell kenakan. Lengannya menuju kalung
tersebut, Tapi tangan Samuell mendahuluinya
menggegam lengan Hero sebagai tanda penolakan.

“Ini gelar ku, jangan kau rusak,” tolak Samuell


yang tentu saja tak didengar oleh Hero. Tatapan
kosong yang Hero tunjukan, hanya tertuju pada
kalung tersebut. “Aku tak suka dengan kalung itu.”
Dengan gerakan tangan yang cepat, Hero berhasil
menarik kalung itu hingga sudah tak berada di
tubuh Samuell.

Mata Samuell berubah putih. Mulutnya terbuka


kesakitan. Hero menyadarinya, itu adalah sebuah
kutukan yang para penduduk negri naga itu
gunakan untuk menyambut pendatang. Hingga
akhirnya Samuell tersadar. Mata kanannya telah
berubah menjadi biru, tetapi mata kirinya tetap
berwarna merah. Samuell sadar seutuhnya.

“Kau kembali, tapi mengapa mata mu merah?”


komplen Hero tak terima menunjuk mata Samuell.
“Sini aku conkel mata mu!” Samuell melotot
145
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Enak aja!” kegaduhan itu mengundang Raja dan
Ratu datang.

“Samuell!” seru Ibunda memeluk Samuell. Pelukan


hangat yang selalu di berikan oleh sang ibu
membuat Samuell menjatuhkan beberapa air dari
matanya. Ia rindu, setelah tujuh tahun ia
meninggalkan tempatnya hanya karna rasa iri
dengki dan sifatnya yang tak sabaran.

“Itulah, kau harus lebih bersyukur dan bersabar


atas apa yang kau inginkan, saya jamin apa yang kau
inginkan akan terwujud diiringi sifat mu yang akan
berubah menjadi baik apabila kau mau bersabar
dan sering bersyukur.” Ceramah sang Raja dan
diangguki Samuell yang kini menangis.

“Hey, kau sudah 16 tahun. Cengeng sekali!” ejek


Hero diakhiri tawaan.

“Padahal jika kau bersabar, kau akan diberi gelar!”


Putri Monica datang menghampiri dengan
membawa sebuah kalung.

“Selamat datang, Pangeran Matahari.”


146
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
End—

Amanat yang disampaikan ialah bahwa kita harus


lebih sering bersabar dan mensyukuri atas apa
yang kita miliki. Semua yang kita inginkan akan
terwujud apabila dibarengi kesabaran dan usaha.

147
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Akal Bulus Setangkai Lili
Nabila Rizqi Ramadhani

“Mungkin memang benar aku adalah seorang


pengkhianat dimata publik saat ini, namun di sisi
lain ada pengkhianat yang lebih kejam yang berada
di ruangan ini.”

London, Britania Raya, 23 Februari 1883.

Atma bersurai perak putih dengan ikshana ungu


tua tajamnya yang menghiasi keelokan wajahnya,
serta gayanya sendiri yang tak pernah lepas dari
kata modis. Mantel coklat, sepatu pantofel yang
unik, model jam tangan yang di desain khusus, dan
dengan kacamata monokel retro ikoniknya yang
selalu ada menghiasi ikshananya yang tajam. Atma
yang dikenal sebagai anak tunggal dari Keluarga
Bangsawan ternama Augustus dan dengan julukan
ikoniknya Sang Detektif Bermata Elang. Ialah,
Willhelm Augustus.

148
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Willhelm Augustus, namanya akhir-akhir ini sering
disebut dalam koran harian maupun didengar dari
lisan ke lisan, seluruh kasus yang ditangani oleh
Willhelm mampu dipecahkan olehnya dalam waktu
yang singkat dengan hasil yang tak bisa diragukan
lagi kebenarannya. Namun selain dikenal sebagai
detektif yang handal dan dapat memecahkan
misteri di London, di sisi gelap Kota London Ia
menjadi salah satu kriminal paling dikenal oleh
masyarakat London, bahkan dapat disebut sebagai
Raja Kriminal. Ia secara anonim dengan julukan Lili
yang Mematikan tercatat sebagai kriminal
terkejam di Kota London. Ia tercatat melakukan
ratusan kali pembunuhan berencana kepada
beberapa Bangsawan di Kota London namun bukan
Bangsawan yang tak bersalah yang Ia habisi
nyawanya, melainkan sosok-sosok Bangsawan yang
terkenal akan tindakkan kejinya yang menindas
rakyat-rakyat sengsara yang tak berdosa.

Ia dijuluki sebagai Lili yang Mematikan karena


biasanya setelah Ia menghabisi nyawa sang korban,
Ia selalu meletakan setangkai bunga Lili putih
149
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bersih yang masih segar sebagai tanda Ialah yang
membunuh sang korban. Hingga saat ini tidak ada
yang tahu sisi lain dari Sang Detektif Bermata
Elang, karena kemahirannya dalam
menyembunyikan jejak aksi pembunuhan yang Ia
perbuat dengan mengubah penampilannya saat
melaksanakan aksinya. Mantel hitam, top hat,
serta kacamata monokel retro yang Ia ganti
dengan penutup mata hitam yang membuatnya
sulit untuk dikenali.

Eve Tavern, 25 Januari 1883.

Pria itu duduk pada bangku yang Ia biasa duduki


pada kedai minum favoritnya, berjam-jam Ia
termenung dalam dunianya sendiri. Jika bangku
yang Ia duduki dapat berbicara mungkin bangku
itu akan berkata, “biarkanlah dia tenggelam pada
dunianya sendiri, aku sudah biasa menemaninya
bertahun-tahun dengan semua rasa ingin tahu akan
dunia kriminalitas dalam dirinya.” Sebenarnya, apa
yang dipikirkan olehnya? Tak ada yang berani

150
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengusik renungan pria itu kecuali si licik asisten
Willhelm, Arthur Malcolm.

Arthur menghampirinya, menepuk pundaknya dan


duduk di sebelah pria itu. Ia pun bertanya dengan
sedikit tawa dalam kata-katanya, “Hey Willy, hal
apa lagi yang kau renungi saat ini? Bukan kasus
kriminal omong kosong Keluarga Earl White yang
nyawanya dihabisi oleh si Lili yang Mematikan itu,
kan?

“Ah, tentu saja bukan. Kau sudah dengar kabar


kematian Gustave Doré sang seniman terkenal
yang ditemukan tewas di tepi Sungai Jed? Aku
sedang memikirkan itu, menurutku kasus ini
sangat-sangat menarik dan menantang,” balas
Willhelm dengan nada serius.

“Kata-kata sebelumnya yang kau lontarkan, apa


maksudmu dari omong kosong?” Willhelm bertanya
kembali kepada Arthur.

“Hm? Haha! Bukan apa-apa, kenapa kau sangat


sensitif jika mendengar si Lili yang Mematikan?

151
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Apa kau ada hubungan dengannya, Willy?” canda
Arthur kepada Willhelm yang membuatnya sedikit
tertawa namun Willhelm tidak menjawab sepatah
kata apapun pada candaan yang dilontarkan Arthur.

Untuk mencairkan suasana canggung yang ada di


sana, Arthur pun memulai pembicaraan yang bisa
dikatakan pembicaraan yang serius. Ia bertanya
kepada Willhelm, “Omong-omong tentang kasus
Gustave Doré, aku sudah mendengarnya dari
beberapa media koran. Apa kamu mau turun ke
lokasi dan membuat persetujuan untuk menyelidiki
kasus ini, Willy?”

“Tentu saja, aku baru saja ingin mengajakmu,”


balas Willhelm dengan senyum tipis licik pada
wajahnya. Arthur sangat tahu, jika Willhelm sudah
memberi senyum seperti itu kepadanya atau
kepada orang lain berarti Ia sangat amat serius
dengan ucapan yang Willhelm sendiri lontarkan.

Pada saat mereka sampai di sekitar Sungai Jed,


suasana di sana sungguh sangat ramai dengan
adanya polisi, detektif, dokumenter, dan anggota-
152
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
anggota media koran yang ingin menyelidiki dan
mengambil dokumentasi tempat itu. Willhelm
menghampiri salah satu detektif yang ada di sana
dan bertanya dengan spontan, “Berikan kepada
saya beberapa petunjuk yang anda ketahui.”

“Ah! Tuan Will, saya sudah menunggu kehadiran


anda sejak,” pria itu membalas namun sapaannya
dipotong oleh Willhelm.

Dengan tegas dan dingin Willhelm memotong sapa


dari pria itu, “Saya berkata, berikan beberapa
petunjuk.”

Pria itu terlihat kaget namun tak bisa berbuat


apa-apa selain menuruti perkataan dari Willhelm.
Ia pun menelan ludahnya dan membalas, “Studio
mendiang Gustave Doré berada tidak jauh dari sini,
tak ada seorang pun yang berani untuk
menghampiri studio beliau tanpa alasan yang jelas.
Saya yakin terdapat beberapa petunjuk lanjut
untuk kasus ini di studio tersebut, Tuan.”

153
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Di mana letak studionya?” tanya Willhelm dengan
mimik wajah yang serius tanpa ada sedikit pun
tanda senyuman di wajahnya. Pria itu pun menunjuk
pada arah kanan Willhelm dan berkata, “Di sana.”

“Merepotkan,” balas Willhelm seraya Ia langsung


berjalan pada arah yang ditunjukkan oleh pria
tersebut bersama Arthur.

Sesampai di sana, Willhelm rasa pernyataan pria


itu benar. Di sekitar studio terlihat sangat-sangat
usang tampak sama sekali tidak terawat, tanpa
mengatakan sepatah kata apapun Willhelm dan
Arthur pun masuk ke dalam studio tersebut dan
memulai penelitiannya dengan menggunakan sarung
tangan.

Di dalam studio tersebut hanya ada beberapa


kanvas yang ditumpuk di sisi kanan, sisanya
digantung menjulang tinggi di atas, di sebelah kiri
terdapat meja dan rak-rak yang dipakai mendiang
Gustave Doré untuk meletakkan cat yang beliau
miliki, tepat setelah memasuki ruangan tersebut
pemandangan pertama yang mereka berdua lihat
154
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
adalah meja yang terdapat sebuah buku di atasnya
dan dengan kanvas di sisi kanannya. Willhelm
mendapati bahwa kanvas itu terdapat sebuah
lukisan yang belum dituntaskan oleh mendiang
Gustave Doré, namun selain itu Willhelm melihat
bahwa ada sebuah cakaran pada lukisan tersebut!

Di sisi lain Arthur menyusuri meja yang ada di


sebelahnya, Ia membuka sebuah buku yang
ternyata adalah jurnal harian dari sang seniman.
Didalam-Nya tak ada yang aneh sampai di mana
Arthur membuka halaman yang isinya terdapat
coretan berwarna merah dengan gambar bunga Lili
putih di jurnal tersebut, tulisan dan coretan di
jurnal itu tak beraturan sontak membuat Arthur
memanggil Willhelm dengan spontan, “Willy! Kau
harus melihat ini.”

“Ada apa, Arthur?” Balas Willhelm seraya Ia


menghampiri Arthur.

Wajah Willhelm tampak terkejut saat melihat


halaman dari jurnal itu. Ia kaget karena tidak

155
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hanya satu halaman yang terdapat coretan, lebih
dari sepuluh halaman!

“Apa-apaan ini! Lili putih, tulisan tak beraturan,


coretan, dan tunggu!” Willhelm menyentak dan
melihat halaman baru yang tampak tulisannya
masih basah, Ia menyentuhnya dan menjilat cairan
merah tersebut dan membuat pernyataan, “ini
bukan tinta, ini adalah darah manusia.”

“Darah! Apa maksudmu Willy? Tunggu, aku pikir


mungkin pelakunya adalah si Lili yang Mematikan?
Lili putih ini, sangat mencurigakan!” seru Arthur.

“Jangan menyimpulkan pelaku secepat itu Arthur,


tak ada jejak tangkai Lili putih ikonik pada tubuh
korban. Selain itu, jika kau perhatikan diluar,
terdapat taman yang berisi Lili putih mungkin saja
Gustave Doré menyukai bunga ini,” tegas Willhelm.

“Kau benar, ayo kita cari petunjuk lain,” balas


Arthur dengan nada yang sedikit terbata-bata
namun Willhelm menganggap Ia hanya malu dengan
pernyataannya.

156
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mereka pun menyusuri seluruh celah yang ada di
ruangan tersebut, mengambil beberapa sampel
sidik jari yang ditemukan di sana. Meskipun
teknologi penelitian untuk sidik jari belum
ditemukan, Willhelm tahu mungkin Ia dapat
menyelidikinya diam-diam karena Ia memiliki
kecerdasan yang tak ada habisnya.

“Sudah cukup, tak ada lagi yang bisa kita ambil


dari sini,” ucap Willhelm seraya ia berjalan ke arah
pintu untuk keluar.

“Ah, baik! Tunggu aku Willy,” balas Arthur yang


menghampirinya.

Mereka pun kembali ke tempat dimana mereka


biasa melakukan penelitian-penelitian, di sana
mereka berdua menghabiskan waktu hingga
berhari-hari untuk mencoba memecahkan kasus
tersebut.

Di tengah-tengah melakukan penelitian, Willhelm


merasa aneh dan mulai berkata kepada Arthur
dengan nada yang agak licik dan mencurigakan,

157
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Sungguh kasus yang sulit untuk dipecahkan, haha.
Baru kali ini aku merasa kebingungan menalangi
sebuah kasus, pelaku dibalik aksi ini pasti sangat-
sangat pintar.”

“Ah, kau benar Willy. Tak biasanya kau sulit dalam


mengungkapkan masalah seperti ini, aku akui
pelaku kejahatan kali ini memang ahli,” balas
Arthur sembari menulis suatu lembaran penelitian.

“Omong-omong, aku menemukan sebuah sidik jari


di meja mendiang Gustave Doré,” ucap Willhelm
pada Arthur dengan senyum tipis.

Arthur terdiam saat mendengar pernyataan


Willhelm, keheningan muncul beberapa detik pada
ruangan itu dan kembali pecah saat Arthur
membalas pernyataan yang dibuat oleh Willhelm
dengan nada sedikit grogi, “Oh, benarkah? Aha,
aku yakin kau bisa mengungkapkan siapa pemilik
sidik jari tersebut sebagai bukti tersangka
sementara.”

158
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Aku sudah tahu pemilik sidik jari ini,” balas
Willhelm dengan cepat saat Ia menghampiri
Arthur perlahan.

“Dugaanku benar! Kau memang hebat, haha. Ah,


aku lupa aku ada janji dengan Tuan Herder saat ini.
Aku pergi dulu Willy, sampai jumpa lagi,” balas
Arthur dengan nada yang sedikit mencurigakan
seraya Ia membereskan barang-barangnya. Di sisi
lain Willhelm pun meneruskan pernyataannya,
“sidik jari yang ku temukan adalah milik sahabat
dekat mendiang Gustave Doré, Lancaster
Bertram.”

Arthur telihat membuat gelagat yang


menunjukkan bahwa Ia terasa lega. Arthur lupa
bahwa Willhelm dapat membaca gerak-gerik
tubuh dari lawan bicaranya dengan saksama,
julukannya saja Sang Detektif Bermata Elang.
Arthur membalas, “Tuan Lancaster? Aku dengar
pun mendiang Gustave terakhir dilihat sebelum
kematiannya bersama Tuan Lancaster, tandai saja
dulu beliau! Aku harus pergi sekarang haha!”

159
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Willhelm membalas dengan senyum hangat pada
wajahnya saat Arthur meninggalkan tempat itu.
Namun setelah Willhelm berada sendiri disana
wajahnya dengan cepat berubah dengan wajah
yang serius, tak ada senyuman, tatapannya tajam
saat Ia mengambil catatannya dan mencatat,
“tersangka utama, Arthur Malcolm.”

Apa yang membuat Willhelm menulis nama Arthur


di catatannya? Tak ada yang tahu pasti dengan itu
kecuali Willhelm Augustus sendiri.

Beberapa minggu berlalu setelah kematian


mendiang seorang seniman ternama, Gustave Doré.
Hal ini menjadi kontroversi karena Willhelm
Augustus seorang detektif yang dikenal bisa
mengungkapkan sebuah kasus dengan cepat yang
menangani kasus Gustave dengan waktu yang
cukup lama. Beberapa orang menganggap bahwa
kemampuan Willhelm dalam menangani kasus
kriminal mulai berkurang karena berkurangnya
bantuan dari Arthur, mereka mulai berspekulasi
bahwa Willhelm hanya terkenal karena membawa

160
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
nama asistennya yaitu Arthur Malcolm untuk
ketenaran semata. Ya, dalam kasus ini Arthur
terlihat tidak membantu banyak setelah obrolan
tentang sidik jari Lancaster Bertram, dalam sisi
Willhelm ini membuatnya semakin mencurigai
sosok asistennya tersebut.

Suatu hari Willhelm mengirim surat kepada


Arthur yang berisikan ajakan untuk bertemu di
ujung Kota, apa yang akan Willhelm bicarakan
kepada Arthur?

Saat waktu pertemuan tiba, 19 Februari 1883.

Willhelm berdiri tepat di depan lautan, Ia berdiri


tegak dengan tangannya yang memegang sebuah
tembakau dan tangan satunya lagi yang Ia
sembunyikan dalam saku mantelnya. Setelah
beberapa menit Ia menunggu, terdengar suara
langkah kaki dari belakangnya.

“Pantofel dari Toko Hans dengan detail hak


setinggi 3 cm. Benarkan, Arthur?” Ia berkata
sembari menoleh ke arah belakangnya dan di sana

161
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ia menemukan Arthur yang sedang berjalan
menghampirinya dengan senyum tipis.

“Dasar mata elang,” canda Arthur dengan tawanya.

“Jadi, hal apa yang ingin kau bicarakan denganku?”


Tanya Arthur setelah Ia berasa di samping
Willhelm.

“Langsung saja pada intinya,” ucap Willhelm


dengan nada tegasnya, Arthur tahu bahwa
perbincangan ini akan menjadi sangat serius.

“Kau adalah pelaku dibalik kasus Gustave Doré,


kan,” tegas Willhelm. Pernyataan itu sontak
membuat Arthur terdiam, perasaannya menjadi
campur aduk, keringat dingin mulai menetes dari
kepalanya namun Ia tetap berusaha bersikap
santai walaupun Willhelm pun sudah tahu bahwa Ia
grogi.

“Tch! Willhelm Augustus, rupanya kau memang


genius. Ya, akulah orangnya! Aku yang membunuh
sang seniman,” ucap Arthur dengan jujur disertai
aksinya yang ingin menodongkan sebuah pisau kecil
162
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ke leher Willhelm namun ditahannya oleh Willhelm
dengan cepat, di wajahnya terlihat seringai yang
menandakan ancaman sedangkan emosi Willhelm
masih tetap tenang terkendali.

“Ah santai Arthur, kau tak akan bisa


memojokkanku semudah itu. Kau pasti sengaja kan
melakukan semua ini dengan menaruh barang bukti
berupa Lili putih ikonik dari si Lili yang Mematikan
untuk membuat seolah-olah ialah pelakunya, kau
terlalu bodoh untuk melakukan itu,” ucap Willhelm
secara santai.

“Kau! Jangan bersikap seolah-olah kaulah yang


berkuasa dasar brengsek!” Seru Arthur, kali ini
emosi Arthur telah memanas.

Willhelm pun menjawab perkataan Arthur dengan


santai, “Haha, bukankah itulah kenyataannya?
Meskipun namaku telah tercoreng sebagai
detektif yang lambat sekarang, orang-orang akan
menganggapku sebagai Sang Detektif Bermata
Elang kembali setelah aku mengungkapkan
semuanya kepada media.”
163
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Arthur yang mendengarnya sontak menyenggol
melawan Willhelm kembali seraya berteriak, itu
membuat kacamata monokel retro milik Willhelm
terjatuh dan terpecah belah.

“Hm? Menarik,” ucap Willhelm dalam gumamnya.

“DASAR LICIK! Orang-orang akan menganggapmu


sebagai sampah belaka setelah tahu bahwa kau
adalah sang Lili yang Mematikan selama ini!
HAHAHA, aku hanya ingin menyelamatkan
Bangsawan berkelas yang kau bunuh selama ini!”
Seru Arthur yang ternyata mengetahui bahwa
Willhelm adalah sosok dibalik Raja Kriminal atau
biasa disebut sebagai Lili yang Mematikan.

Willhelm pun segera membersihkan mantelnya


yang berserakan beberapa pecahan kaca dengan
tenang seraya menjawab kembali pernyataan dari
Arthur, “oh? Jadi kau sudah tahu bahwa aku
adalah Lili yang Mematikan? Pft, tertebak dari
sikapmu yang selalu menyinggung tentang julukan
sampah itu jika sedang bersamaku.”

164
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ha! Tentu saja dan aku akan memanfaatkan
kesempatan itu untuk mengungkapkan semua
kejahatan kau perbuat di meja hijau nanti, kau
pasti akan melaporkanku kepada pengadilan, kan!
Aku bisa menghancurkan nama baikmu dengan
mudah, Willhelm,” gerutu Arthur.

Ia menyeringai saat mendengar perkataan Arthur,


Ia pun mengambil belati yang Arthur genggam dan
menyerangnya balik dengan cara menahan pisaunya
pada lengan Arthur dan berkata, “Kau sungguh
memiliki tekad yang kuat untuk menyingkirkan ku,
Ethan Malcolm.” ..sraah! Willhelm pun menyayat
lengannya dengan mahir dan meninggalkan luka
yang cukup dalam pada lengan Arthur.

Kota Westminster, London, 23 Februari 1883.

Persidangan untuk mengungkap pelaku dibalik


kasus Gustave Doré pun dilaksanakan pada 23
Februari 1883 di Kota Westminster. Willhelm
serta Arthur tentunya menghadiri persidangan
tersebut sebagai detektif yang menangani kasus
Gustave Doré, Willhelm dan Arthur tampak saling
165
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mencampakkan diri satu sama lain setelah adanya
keributan yang mereka alami pada hari lalu.

Mereka berdua duduk pada bangku khusus yang


bersebelahan, mereka tentunya telah
mempersiapkan diri untuk berbicara di depan
banyak media publik yang mengabadikan momen itu.
Willhelm memiliki rencananya sendiri, begitupun
dengan Arthur.

Di persidangan tersebut Lancaster Bertram


menjadi satu-satunya tersangka yang dicurigai
oleh pihak pengadilan, Tuan Lancaster diinterogasi
secara terus-menerus dengan ditekannya oleh
bukti palsu yang telah direkayasa oleh Willhelm
dan Arthur namun semua bukti tersebut dapat
dibantah oleh pengacara Lancaster Bertram
dengan hasil yang tepat.

Ditengah-tengah perdebatan akan siapakah pelaku


sebenarnya dibalik kasus Gustave Doré, Willhelm
akhirnya angkat bicara dengan cara menutup
matanya dan senyum seringai tipis yang Ia kias
dalam wajahnya dan berkata, “Sebenarnya pelaku
166
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dibalik kasus Gustave Doré berada di ruangan ini,
namun itu bukan Tuan Lancaster Bertram.”
Pernyataan Willhelm sontak membuat seluruh
orang yang ada di sana terdiam sejenak kemudian
berteriak dan bertanya apa yang dimaksud oleh
ucapan Sang Detektif Bermata Elang tersebut.

Wajah Arthur seketika menjadi pucat dan


Willhelm kembali meneruskan pernyataannya
tersebut, Ia berkata seraya membuka matanya,
“seseorang yang kalian kenal sebagai Asisten yang
Licik ternyata memang selicik itu. Ya, Arthur
Malcolm sendirilah yang menjadi tersangka dibalik
kasus Gustave Doré. Selain itu, ia pun memalsukan
identitasnya sebagai Arthur
Malcolm ...mengakulah kepada media publik, Ethan.”
Ethan? Itu adalah nama saudara kembar dari
Arthur Malcolm, ternyata selama ini berita
kehilangannya Ethan Malcolm adalah kebohongan
belaka. Ethan membunuh kakaknya sendiri dan
mengakui dirinya atas nama kakaknya hanya untuk
ketenaran semata.

167
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Orang-orang yang ada di ruangan itu termasuk
anggota Kejaksaan Agung sontak merasakan
sebuah rasa syok yang amat menusuk, selama ini
mereka telah dibohongi oleh keluarga Malcolm
sendiri. Di sisi lain Ethan yang tadinya hanya duduk
diam kini telah merasa dirinya harus membuat aksi
setidaknya berbicara satu buah kata, Ia pun
beranjak dari tempatnya dan berjalan ke tengah-
tengah tersangka, hakim, dokumenter koran, dan
lain-lain lalu Ia berkata dengan lantang,
“HAHAHA! Ya~ ya benar! Akulah orangnya. Akulah
pelaku dibalik kasus pembunuhan seniman Gustave
Doré yang tak bersalah dan akulah orang yang
membunuh saudara kembarnya sendiri hanya
untuk sebuah ketenaran! Lalu apa? Apa yang,”

“Dasar pengkhianat Kota London! Teganya kau


membunuh sang legenda Arthur Malcolm. Kau
hanya seorang detektif kecil yang tak memiliki
kemampuan apa-apa, Ethan brengsek!” Seru salah
satu orang di tengah-tengah keributan tersebut,
menyela pernyataan yang sedang di lontarkan oleh
sang pelaku.
168
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mata Ethan terbelalak saat Ia dipanggil sebagai
pengkhianat Kota London, matanya mulai memerah
menandakan sebuah amarah yang meluap-luap
dalam dirinya, kerutan wajahnya semakin menonjol
disertai pula dengan seringai kejamnya. Situasi di
ruangan tersebut menjadi lebih kacau namun di
sisi lain Willhelm hanya duduk di bangkunya
dengan santai melihat kegaduhan yang Ia perbuat
pada pertengahan Pengadilan Tinggi sedang
berlangsung.

Ethan kemudian membalas seruan orang itu,


“Pengkhianat katamu? Hah! Pengkhianat ya, lucu
sekali. Mungkin memang benar aku adalah seorang
pengkhianat dimata publik saat ini, namun di sisi
lain ada pengkhianat yang lebih kejam yang berada
di ruangan ini.”

Ethan pun menoleh perlahan kepada Willhelm


namun tak mengatakan apa-apa, ini membuat
orang-orang bingung dengan gelagat Ethan yang
sangat aneh.

169
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apa yang kau inginkan, Ethan? Jangan menatapku
dengan tatapan seperti itu, aha,” ucap Willhelm
yang sedikit terkekeh melihat aksi Ethan.

“Oh jangan bersikap seperti kau tak tahu apa-apa,


Willhelm Augustus! Aku akan membuatmu malu di
depan semua orang dan kau harus mengakui bahwa
kau telah mencoreng nama baik Keluarga
Augustus!” Teriak Ethan kepada Willhelm dengan
mata yang berkaca-kaca.

“Lalu, katakanlah yang sesungguhnya jika kau mau,


Ethan. Mencoreng nama baik Keluarga Augustus
katamu? Mungkin kau belum tahu seberapa besar
kekuasaanku di Britania Raya saat ini,
pengkhianatan kecil,” balas Willhelm dengan
santai, ini pastinya membuat Ethan sangat kesal
kepada sikap Willhelm yang begitu santai
menghadapi perdebatan sengit seperti ini.

Keheningan muncul dalam ruangan itu untuk


beberapa menit, tampaknya saksi perdebatan
antara Willhelm dan Ethan. Mata Ethan bertuju

170
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pada mata Willhelm, mata mereka memiliki
tatapan yang sangat-sangat bertentangan.

“Berhenti memanggilku pengkhianat dasar bodoh!


Kau telah melakukan kejahatan yang lebih besar
dosanya dibandingkan dengan kejahatanku yang
bertujuan sebagai bentuk dari sebuah kebaikan,”
bela Ethan.

“Aku melakukan kejahatanku sebagai bentuk dari


sebuah kebaikan juga, Ethan Malcolm! Kau
hanyalah Bangsawan keji yang haus akan
ketenaran yang tak mengerti apa-apa dengan
aksiku!” Seru Willhelm seraya Ia bangkit dari
duduknya dengan wajah yang serius.

“Kau sebut membunuh ratusan keluarga Bangsawan


yang berhati mulia adalah suatu kebaikan, Raja
Kriminal?” Balas Ethan kepada Willhelm sekaligus
menyebutkan sebuah fakta yang membuat satu
ruangan tersebut merasa syok dengan apa yang
baru saja mereka dengar dari lisan pria itu.

171
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kericuhan mulai kembali saat beberapa orang
berusaha menerobos pagar pembatas untuk
menghampiri Willhelm yang masih saja berdiri
dengan tenang disana namun tentu Ia telah dijaga
oleh beberapa petugas disana. Keadaan semakin
ricuh dengan tak adanya sedikit pun kata-kata
perlawanan dari sosok asli dibalik Lili yang
Mematikan tersebut, namun ruangan itu kembali
hening saat Willhelm mengeluarkan tawa kecilnya
yang licik.

Ia masih berdiri dalam keheningan itu dengan


senyum seringai tipis yang ada di wajahnya, Ia
menutup matanya dan mengeluarkan lagi tawa
liciknya. Tawanya yang keras bergema pada ruang
sidang tersebut dan Ia pun membuka matanya
secara perlahan memperhatikan matanya yang
tajam untuk melihat reaksi-reaksi orang yang ada
di ruangan tersebut dan akhirnya berkata,

“Ha! Sekarang seluruh Kota London telah


mengetahui identitas asliku. Sang Raja Kriminal,
Lili yang Mematikan. Orang paling ditakuti di Kota

172
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
London, ya! Itulah aku orangnya, Willhelm
Augustus.”

Tamat.

*Beberapa nama karakter dan tempat saya ambil


dari dunia nyata namun jalan cerita yang saya
ketik sisanya hanyalah serangkaian cerita fiktif
belaka.

173
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Cahaya
Kazia Rafa Maulida

Setiap kali aku sedang berada di titik terendah ku ,


aku sering kali melihat segerombolan cahaya yang
seperti mencoba untuk menghiburku tak kala aku
merasa sangat sedih dan tertekan. Aku sangat
senang melihat segerombolan cahaya bak kunang-
kunang itu berterbangan kesana-kemari membuat
beberapa gerakan nan menggemaskan yang dapat
menenangkan hati dan pikiranku. Aku selalu
berpikir itu aneh.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai


berdamai dengan keadaan ini. Aku menikmati
setiap detik dengan penuh kebahagiaan dan
kesenangan yang tak terhingga saat aku melihat
segerombolan cahaya tersebut yang seringkali
datang secara tiba-tiba hanya untuk menghibur
perasaanku.

174
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
"Sore hari yang menyebalkan," ucapku sambil
memandang seorang gadis remaja bertubuh tinggi
dan memiliki paras yang menawan dengan mata
yang berwarna hijau berkilauan bak permata di
dalam cermin dengan tatapan sayu. Aku mulai
menyisir rambut panjangku yang lurus. Tak lama
setelah itu, aku mulai membersihkan wajahku yang
mungil serta menambahkan beberapa produk
kecantikan pada bibirku yang kering.

"Kamu tampak pucat sekali, Akari," ucapku pada


diriku sembari tetap melihat ke arah cermin di
hadapanku, seorang gadis remaja yang memiliki
kecantikan menawan bak Dewi kecantikan ternama
yaitu Aphrodite. Setelah berbagai macam
rutinitas membosankan yang aku lakukan, aku
berjalan keluar dari kamar mandi dengan pakaian
baru yang telah kukenakan setelah membersihkan
badanku dalam waktu yang cukup
lama.Sesampainya di luar kamar mandi, aku
menatap sekeliling kamarku yang cukup sempit.
Berharap menemukan sesuatu yang menarik yang
dapat mengisi waktu jenuhku.
175
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Namun, aku tak mendapati suatu barang apapun
yang dapat mengisi waktu jenuhku yang tak
terhingga.Pada akhirnya aku memutuskan untuk
pergi dari rumahku, memutuskan untuk sekedar
berjalan-jalan santai menyusuri sebuah hutan
yang rimbun akan pepohonan di sebelah rumahku
yang berada di ujung suatu jalan besar di negaraku.

Setelah aku berada di luar rumah dan bersiap


untuk berjalan menuju hutan tersebut, secara
sekilas aku melihat suatu cahaya yang bagaikan
menuntunku untuk berjalan lurus ke sisi hutan
yang lebih gelap dan lebat akan pepohonan di
banding dengan sisi lain hutan. Aku yang sedikit
terkejut dengan hal itupun hanya terdiam untuk
beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan
untuk berjalan mengikuti cahaya itu masuk ke
dalam hutan.

Belum sempat aku berjalan melangkah masuk ke


dalam hutan, aku disambut dengan suara klakson
sebuah truk. Aku yang terkejut lalu segera
berjalan dengan sangat cepat untuk menghindari

176
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
truk tersebut. Akupun sontak melihat ke arah
truk yang ingin menabrak diriku. Namun, aneh.
Sangat-sangat aneh. Tak ada satupun kendaraan
bahkan tak ada suatu truk yang berada di jalan
pada sore itu. Aku hanya terdiam sembari
membiarkan wajahku terkena angin yang lumayan
kencang di sore hari itu.

Aku yang sedang melamun memikirkan kejadian


barusan memutuskan untuk kembali ke dalam
rumahku dan berusaha untuk menenangkan diriku.
Berfikir mungkin saja tadi itu hanyalah khayalanku
semata karena aku terlalu lelah akan beban
sekolah yang ditanggung oleh gadis remaja berusia
15 tahun ini.Aku yang merasa terlalu terbebani
oleh kejadian tadi memutuskan untuk pergi ke
kamarku dan mencoba untuk tertidur di atas
kasurku yang empuk dan lembut, senyaman dan
sehalus bulu wool. Aku yang secara perlahan
terlelap dalam posisiku mulai tertidur dengan
pulas.

177
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Sangat-sangat pulas hingga aku dapat memimpikan
tentang cahaya itu lagi. Kali ini, ia menuntunku
pada suatu dimensi yang tak kukenal. Dimensi yang
nyaman, dimensi yang terlalu indah untuk berada
di dunia nyata. Aku yang sangat terkejut bisa
berada di sini sontak berteriak dengan kegirangan.
"Tempat yang sangat indah! Tempat terindah yang
pernah kudatangi!" Teriakku tak kala aku melihat
hamparan rerumputan hijau yang berada tepat di
antara dua bukit nan tinggi dan dipenuhi dengan
rerumputan yang bagaikan sebuah permadani yang
menyelimuti seluruh bukit yang sangatlah indah.

Tak sempat aku berlari menyusuri permadani


indah tersebut, seketika aku terbangun dari
tidurku yang singkat. Aku terbangun dengan
keringat yang membasahi seluruh wajahku. Aku
memutuskan untuk pergi keluar rumah dan
menjalani berbagai rutinitas sosial yang
menyebalkan demi memenuhi waktu luangku yang
jenuh.Waktu demi waktu berlalu, langit yang kini
sudah mulai menjadi gelap mengharuskanku untuk
segera pulang ke rumahku yang sunyi.
178
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aku merasa putus asa, tak ada satu orangpun yang
menemaniku di sini. Hanya kesendirianku yang
menemaniku sepanjang hari, bahkan sepanjang
tahun selama lima tahun belakangan ini. Setiap
malam hanya cahaya tersebut yang menemaniku
tidur dalam kesendirian dan kesunyian yang tak
membebaskan diriku untuk melakukan apapun yang
aku mau.Aku terbelenggu oleh kesendirian itu. Aku
sudah muak dengan keadaan ini.

Menit berlalu dan aku mulai merasa bahwa


kssadaranku perlahan menghilang dari diriku.
Seluruh pikiranku kini diliputi oleh rasa frustasi
yang kian membesar. Aku mulai menggoyangkan
meja rias di samping tempat kasurku yang luas.

Setumpuk kertas yang mulanya tersusun dengan


rapih mulai berpencar di bawah lantai sebagai
akibat atas getaran meja yang amat kencang.

Tak lama sesaat setelah aku mulai dapat


meredakan emosiku, aku mulai memungut seluruh
kertas yang berserakan.

179
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
"Tch, penyakit sialan," umpatku saat tak sengaja
aku mengambil secarik kertas diagnosis penyakit
skizofrenia yang di berikan oleh rumah sakit
terkemuka yang berada di pusat kotaku. Waktu
terus berlalu dan kini aku sudah membereskan
setumpuk kertas yang berisikan curahan hatiku
atas permasalahan yang kudapati. Hari ini, aku tak
melihat cahaya itu lagi. Aku yang merasa kesepian
hanya bisa berbaring pada kasurku yang terasa
sangat empuk malam ini.

Detik demi detik berlalu saat aku mulai


memikirkan semua masalah yang terjadi dalam
hidupku. Semuanya terasa sangat berat untukku
fahami. Semuanya terasa begitu menyakitkan
untuk di tanggung oleh gadis seperti remaja
sepertiku. Aku sudah muak, mengapa aku terus-
menerus berimajinasi tentang hal yang tidak ada
kaitannya dengan dunia nyata? Mengapa aku harus
terjebak dan terikat dalam lorong waktu yang tak
ada ujungnya? Batinku saat aku mulai memejamkan
mata.

180
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Mataku mulai terbuka tak kala aku melihat
pemandangan indah yang kulihat sebelumnya.
Permadani indah yang menutupi seluruh bukit
tersebut kembali muncul dalam penglihatanku
malam itu. Aku yang merasa sangat kegirangan
mulai berjalan mengitari seluruh penjuru bukit
untuk sekedar menikmati suasana indah yang tak
terhitung jumlahnya.

Waktu terus berlalu sampai saat mataku tertuju


pada segerombolan cahaya yang seperti
menuntunku untuk berjalan ke tepi bukit yang tak
terlalu tinggi itu. Aku yang merasa penasaran
hanya mengikuti langkah mereka yang tak terpijak
di atas tanah.

Aku mulai berjalan hingga aku menyadari bahwa


aku, jatuh ke dalam tepian jurang yang dipenuhi
dengan kegelapan. Dan jasadku, tidak pernah di
temukan sampai hari ini.

181
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Masa lalu Lukisan Kuno
Wening Nurinnida

Langit sudah berubah jingga. Burung-burung


sudah kembali pada sangkarnya. Pada pengujung
hari, Everyn menyelesaikan bacaanya di bawah
rindangnya pohon mangga yang terletak tepat di
depan rumah Nenek di teras pedesaan yang
tampak tenang. Hembusan angin sore merembus
membuat dedaunan melambai-lambai pada sang
senja yang akan mengakhiri hari yang cerah ini.

Mengatup kedua matanya, merasakan sejuknya


udara tanpa tercampur polusi. Everyn
menyamankan tidurnya di atas tikar dengan kedua
tangan yang ia jadikan bantalan. Nyamannya udara
harus diakhiri kala terdengar suara tua yang
menyeru menyuruh Everyn untuk mengakhiri
kegiatannya.

Suara Nenek mengalun telinga Everyn. Seperti


enggan untuk beranjak, Everyn hanya mengangguk
sebagai jawaban. Nenek yang melihatnya

182
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tersenyum mengamati cucunya itu. “Veryn, ayo
masuk, yuk. Hari sudah mulai malam,” ajak Nenek
dan lagi-lagi hanya diangguki oleh anak perempuan
berusia 15 tahun itu.

Nenek yang duduk di sebelah Everyn mengusap


surai halus kecoklatan milik cucunya yang masih
mengatup kan kedua matanya. “Sebentar lagi, Nek.
Lagian hari ini kan hari terakhir Everyn di sini.”
Lirih Everyn menikmati usapan lembut yang Nenek
berikan. Nenek tersenyum lembut. Surai yang
memutih juga raut capek yang dimilikinya
memberikan kasih sayang penuh pada Everyn.

“Masuklah, hari mulai gelap.” Nenek beranjak


memasuki rumah meninggalkan Everyn dengan
posisi yang sama.

Matanya terbuka. Melihatkan langit yang mulai


berubah warna juga angin yang makin berembus
kencang. Dirapikannya buku-buku yang berserakan
di atas tikar. Everyn berlari kecil memasuki rumah.

183
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Memasuki kamarnya dan meletakkan beberapa
buku di atas meja belajar milik ibunya dulu
sewaktu masih seusia Everyn. Berjejernya foto
usang di tembok yang kini sudah tampak berdebu.
Niat untuk membersihkan kamar sebelum esok
kembali pulang ke kota mengisi otak Everyn. Ia
segera bergegas mencari kemoceng juga pengisap
debu.

Sayangnya kedua barang yang ia cari tak ketemu.


sehingga Everyn harus menanyakannya pada
Nenek. “Nek, Di mana penghisap debu juga
kemoceng? Aku ingin membersihkan kamar,” tanya
Everyn disertai jelasnya. Nenek tersenyum
meletakkan cangkir teh di atas meja. “Tak perlu,
biar nanti Nenek yang bersihkan,” ujarnya
membuat Everyn menggeleng.

“Biar Everyn yang bereskan.” Nenek terkekeh


mendengar ucapan Everyn. “Penghisap debu ada di
gudang bawah tangga. Carilah, kalau tak ketemu
coba tanyakan pada Kakek mu.” Everyn

184
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengangguk sebagai jawaban lalu ia berlari kecil
kearah gudang.

Dibukanya pintu reot gudang dengan debu-debu


yang menghiasi gudang. Matanya mencari kesana-
kemari lalu ia menemukannya tepat di pojok
penghisap debu itu berada. Saat hendak diangkat,
Everyn mendapati sebuah lukisan yang tampak tua
bersandar pada dinding karrna tertarik Everyn
mengambilnya dari tempatnya. Diperhatikannya
lukisan bergambar anak laki-laki mengenakan baju
khas anak jepang pada zaman dulu. Anak lelaki itu
sepertinya sebaya dengannya.

“Sedang apa?” suara serak mengagetkan Everyn


yang kini memegang lukisan. Membalikan badannya
dan mendapati sang Kakek yang kini tersenyum ke
arah Everyn. “Kek, ini lukisan apa?” tanya Everyn
menunjukan lukisan tersebut. Sang Kakek
menerima lukisan itu lalu tertawa khas. “Tadinya
mau Kakek berikan sebagai kado ulang tahun untuk
Everyn.” Tawa sang Kakek lalu memberikan lukisan
itu kembali. Everyn hanya diam menanggapinya.

185
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Bawalah ke kota. Kakek yakin lukisan itu akan
memberikan keberuntungan untukmu,” ujar sang
Kakek dan Everyn mengangguk.

“Terimakasih Kek, Everyn bakal rawat lukisan ini.”


Kakek tersenyum hingga matanya menyipit.

Dibawanya lukisan beserta penyedot debunya.

Hari sudah berganti. Matahari kini bersinar tak


terlalu terik dan hembusan angin yang menerpa
kulit seputih susu milik Everyn. Naiknya ke dalam
mobil, melambaikan tangan perpisahan pada Kakek
dan Nenek. Liburan telah Everyn lalui hingga esok
ia harus berhadapan dengan semester barunya.

Sesampainya di rumah, Everyn meletakkan lukisan


tersebut di atas meja belajarnya. Everyn akan
sedikit membersihkan lukisan itu menggunakan
tisue karna menurutnya lukisan tersebut sedikit
kotor. Keluar kamarnya, lalu mengambil beberapa
tisu depan tv. Saat hendak memasuki kamar, suara
sang Ayah terdengar membuatnya berhenti
melangkah. “Everyn, esok kau bisa bersekolah

186
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sendiri kan? Ayah ada tugas keluar kota dan harus
pergi sekarang,” pesan Ayah dan diangguki lesu
oleh Everyn. “Iya, Ayah hati-hati.” Ayah
tersenyum lalu pamit meninggalkan rumah.
Sebagai seorang reporter tentulang Ayah sangat
sibuk.

Dengan lesu, Everyn membersihkan lukisan itu.


“Aku benci sendiri.” Lirihnya membersihkan
lukisan tersebut dengan pelan. “Tiga minggu lagi
aku kan oprasi. Tiga minggu lagi jantung ku
sembuh.” Usapan pada lukisan itu terhenti
digantinya suara isak tangis yang mengaluni
seluruh ruangan. Everyn tertunduk menjatuhkan
air matanya hingga mengenai lantai. Tiba-tiba saja
sebuah cahaya terpancar di hadapannya. Tetapi
isak Everyn masih saja berlanjut menghiraukan
kilat cahaya itu “Hei, hati-hati! Kau akan melukai
ku!” suara berat tiba-tiba saja terdengar
membuat Everyn berhasil berhenti menangis.
Suara asing terdengar.

187
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Mengapa kau menangis?” Everyn memberanikan
diri untuk mengangkat kepalanya karena
merasakan tangannya yang dicekal oleh seseorang.
Terkejutnya Everyn hingga ia loncat beberapa
meter ke belakang saat mendapati seorang laki-
laki di hadapannya. “Kenapa kau ada di sini!” teriak
Everyn menunjuk lelaki tersebut.

Lelaki itu mengangkat tangannya “Hai, kenalin saya


Akasahi Riki!” ujarnya memperkenalkan diri
sementara Everyn tetap terdiam karena terkejut.
Mulutnya kelu untuk mengucapkan sepatah kata
karena rasa terkejutnya.

Tersadar suatu hal, Everyn mencari kesegala arah


tak mendapati lukisan pemberian Kakek. “Di mana
lukisan ku?!!” panik Everyn mencari-cari lukisan.
Sedangkan yang bernama Riki itu hanya terkekeh
melihat raut Everyn yang tampak panik sekaligus
cemas. Melirik pada lelaki Jepang itu, ia merasa
sesuatu menjanggal. “Hei, kau yang mencuri
lukisan ku, ya?!” tuduh Everyn menunjuk tepat di
depan wajah Riki. Riki tersenyum menampakan

188
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
senyum manisnya pada Everyn yang mendadak
terdiam.

“Padahal kau yang membawa ku kemari. Mengapa


kau yang menuduhku mencurinya?” lagi-lagi Everyn
terdiam mendengar perkataan lelaki itu.

“Hei, aku lapar. Kau punya apa di rumah?” Riki


melangkah melewati Everyn yang mencerna
sesuatu. Terakhir kali ia merasakan hal seperti ini
saat ia membaca cerita novel saat di rumah Nenek.
Di buku itu manusia muncul dari buku komik. Apa
kejadian itu serupa dengan novel yang Everyn baca?

Dengan cepat Everyn menyusuli Riki yang kini


sudah memegang ciki miliknya di atas meja. “Kau…,”
Everyn masih kaku untuk menanyakannya.
Sedangkan Riki hanya mengangkat bahunya
memakan ciki itu hingga tandas. “Lihat wajahku
lecet akibat kau membersihkannya dengan kasar!”
tunjuk Riki pada pipi kanannya yang tampak lecet.
Dan hal tersebut membuat kejutan bagi Everyn.

189
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Ini tahun berapa?” tanya Riki pada Everyn yang
belum menetralkan terkejutnya. “2023,” jawab
Everyn singkat. Jawaban itu mengundang suara
Riki yang menggema akibat terkejut juga.

“Hah?! 2000?” ulangnya.

“2023, sekarang bulan Juli,” jawab Everyn


menambahkan.

Riki tampak terdiam, ia berpikir sejenak. “Aku


terjebak didalam lukisan itu selama 78 tahun.”
Lalu setelah it, Riki tersenyum membuat Everyn
menatapnya kagum akan senyumnya yang begitu
menawan. “Bukan terjebak. Tapi di kenang agar
tercipta selamanya,” ujarnya lirih.

--

Di awal Senin ini, Everyn tumben-tumbennya


membuat dua sarapan. Kalau tidak ada Riki, Everyn
tak mau capek-capek untuk membuat dua roti
bakar. Siapa yang tau bahwa lukisan itu butuh
asupan gizi juga. Seperti tadi malam Riki yang
merengek sangat ingin makan nasi goreng karna di
190
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
zamannya ia susah mendapatkannya. Semalam pula
Riki harus tidur di atas sopa karena entah kenapa
tak bisa berubah wujud seperti yang ada di novel
yang Everyn baca.

“Aku pergi dulu,” pamit Everyn mengenakan sepatu


di depan pintu teras rumahnya. “Kau pergi sekolah
ya? Dulu aku juga pernah sekolah sebelum adanya
romusha.” Everyn menatap Riki yang berdiri di
ambang pintu dengan mug putih berisi susu coklat
“Romusha? Aku baru mempelajari itu di sekolah,”
jawab Everyn. “Romusha pun masuk buku sekolah?!”
terkejutnya Riki dan Everyn mengangguk sebagai
jawaban. “Kalau kau tahu tentang romusha,
ceritakan lah. Aku ada pr tentangnya,” final
Everyn dan diangguki ringan oleh Riki.

“Kau harus tahu betapa kejamnya pemimpin


Jepang dulu!” teriak Riki dan diacungi jempol oleh
Everyn. Toh ada gunanya membuatkan makanan
untuk lukisan yang tiba-tiba menjadi manusia dan
berasal dari tahun 1945. Nilai Everyn akan
meningkat karenanya.

191
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Di sekolah, Everyn belajar dengan tenang dan
sungguh-sunggu. Tak sekali, ia terus terpikirkan
tentang Riki orang yang keluar dari lukisan kuno
itu.

Sorenya Everyn pulang dengan selamat. Ia


membuka pintu utama dengan perlahan dan
langsung mendapati sosok Riki yang sedang
membersihkan rumah. Dengan celemek yang ia
gunakan, Riki menyapa kepulangannya di rumah.

“Cepatlah ganti baju, kita akan mulai bercerita


tentang romusha!” suruh Riki dan diangguki
semangat oleh Everyn yang kini berlari menuju
kamarnya dan tak lupa dikunci. Khawatir Riki akan
masuk bila ia tengah berganti baju. Lelaki itu
memang seenaknya, kan?

Kini Everyn dan Riki sudah siap juga dengan alat


tulis yang tertata rapi di atas meja depan tv yang
padam. Cerita tentang romusha, lebih tepatnya
cerita masalalu Riki sebelum ia diabadikan menjadi
karya seni lukis. Entah ingatan Riki yang begitu
jelas, tapi Everyn menyukai apa pun yang Riki
192
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ceritakan. Terlebih masalalunya yang sangat
bersejarah.

5 Juni 1942 - RIKI POV

Saat itu umurku baru menginjak 12 tahun. Aku


anak dari perwira jepang bernama Akasahi
Ryouchi dengan wanita pribumi yang ia nikahkan
secara diam-diam entah bagaimana ceritanya
mereka saling mencintai. Aku lahir 9 Desember
1930 saat itu hidup Ibu diambang hidup dan mati
mengingat kondisi negara masih di tangan
penjajahan Belanda-Jepang.

Tepat hari ini, aku yang merupakan keturunan


Jepang juga pribumi harus diperlakukan tak adil
oleh warga lainnya. Para warga mengaggap setiap
orang yang berdarah Jepang memiliki kekuasaan
yang kejam. Selain diperlakukan tak adil, mereka
mempekerjakanku di ladang jagung yang sekarang
dikuasai oleh pihak Jepang.

Aku tak memiliki ladang begitu pula dengan


keluargaku. Para warga hanya bilang kepada

193
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tentara Jepang bahwa aku keturunan pemilik lahan
jagung. Aku hanya bisa melakukannya selain
tertembak mati di tangan ayahku yang merupakan
tentara Jepang yang kini mau tak mau
menyaksikanku bekerja diusia yang masih sangat
muda.

6 Januari 1943

Tentang romusha, aku sudah mulai terbiasa walau


tiap 24 jam hanya diberi air tak diberi nasi.
Perlahan aku mulai terbiasa. Demi merawat Ibu
yang tinggal sendiri karna diasingkan warga, aku
harus bertahan hidup demi ibu.

Usia 13 tahun yang sangat muda hingga usia 14


tahun aku habiskan dengan menjalani perintah
Jepang di ladang jagung.

5 November 1944

Aku pulang ke rumah dengan keadaan kurus pucat


dan tak memiliki gairah. Ibu sangat cemas
kepadaku hingga aku jatuh sakit. Di saat itu pula
Ayah tak pulang. Kami diberi kabar bahwa Ayah
194
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dipindahkan ke Jepang karena konflik perang
dunia masih berjalan. Dengan itu juga, Ibu
menyarankan bahwa aku harus ikut ke Jepang.
Karena ibu pikir aku akan lebih selamat apa bila
berada di negara sana.

Walau sedikit fasih berbahasa jepang karena


selalu dengar, aku tetap saja ragu. Pergi ke negara
sana sangatlah susah. Hingga ibu memberi ide. Dan
aku akan berangkat bila kondisi ku sudah pulih.

9 Desember 1944

Tepat dihari ulang tahunku aku akan berangkat ke


Jepang dengan cara menyelinap ke dalam parahu
yang membawa banyaknya senjata. Aku dibekalkan
makanan juga minuman dan pesan untuk Ayah bila
bertemu di sana. Ibu hanya mengingatkan satu
pesan apabila aku sudah berada di sana. “Nagasaki,
Nagasaki. Kau harus selamat sampai sana. Di sana
ada keluarga Ayahmu. Ucapkan saja, ‘Saya
Akasahi’,” begitu ucapnya.

195
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Entah sudah berapa lama aku di dalam kapal. Entah
sudah berapa bulan aku tak mengisi perutku
dengan gizi selain makanan yang ia ambil milik
tentara yang berada di sana.

6 Agustus 1945

Aku selamat sampai Nagasaki. Kini aku hanya harus


mencari nama keluarga Akasahi dan Akasahi
Ryouchi. Sesekali aku berhenti kala seseorang
menawarkan makanan secara percuma. Aku
sungguh bersyukur saat sudah sampai di Nagasaki.
Aku menganggap kota ini adalah rumah bagiku.
Selain banyaknya anak-anak yang berlarian, aku
merasa aman.

Hingga aku menemukan rumah yang Ibu maksud.


Nama itu ‘Akasahi’ tertempel di depan pagar
rumah. Dengan segera aku mengetuk pintu, dan
keluarlah nenek berusia 50 tahun dari luar. “Saya
Akasahi” ucap ku tanpa basa-basi

Nenek itu tampak terkejut. Tiba-tiba saja ia


memukulku tapi tak terlalu keras. “Apa-apaan

196
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pengemis ini! Akasahi hanya ada di sini!” seru
Nenek itu mengundang seseorang keluar dari
dalam bilik rumah. Seseorang itu, selain cantik ia
memiliki kemiripan dari Ayah. “Watashi, Akasahi
Riki.” Jawabku mencoba lagi.

Wanita di sebelah Nenek itu terkejut lalu


memelukku. Ia menangis sambil mendekapku. “Kau
selamat, Syukurlah kau selamat,” ia mendekap ku
begitu erat seakan tak ingin dilepas “Ryouchi
sudah lama menunggumu. Sangat lama hingga
Ryouchi harus pergi meninggalkan mu terlebih
dahulu,” tangisnya dengan menggunakan bahas
Jepang yang tentunya aku ngerti.

Satu hal yang baru aku ketahui. Ayah meninggal


dalam perjalanan. Tapi itu bukanlah beban berat
bagiku. Karena. Aku di Nagasaki memiliki keluarga.
Aku ingin tinggal lama di sini.

Sebelum itu terjadi. Lima menit setelah kami


mengobrol ledakkan bom menghancurkan seluruh
kota. Ntah itu Nagasaki ataupun Hiroshima.

197
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Api membakar seluruh kota. Hingga aku yang baru
saja tiba harus merengut nyawa ku di kota ini. Aku,
dan Nagasaki.

2023-Author POV

Everyn menyimaknya dengan serius. Sesekali ia


menulis hal yang Riki lakukan selama menjalani
Romusha. Tapi yang paling banyak adalah menangis.
Ia begitu sakit kala semua hal yang Riki lalui di
masalalu. Hingga akhir nyawanya yang direngut
oleh bom yang jatuh di Nagasaki.

“Setelah mendengar bahwa Nagasaki dijatuhi bom,


Ibu stress berat dan terciptalah lukisanku. Di
mana aku akan abadi dalam karyanya.” Akhir Riki
yang membuat Everyn menangis kencang.

Riki tersenyum dibuatnya. “Tak perlu ditangisi. Itu


kan sudah terjadi.” Senyum Riki pada Everyn yang
masih menangis mendengar cerita itu. “Berarti,
kau hantu dong?!” tiba-tiba saja Everyn berdiri
menunjuk Riki.

198
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Riki terkekeh geli dibuatnya. “Enggak lah, aku kan
lukisan. Haha.” Tawanya menatap wajah Everyn
yang merah akibat tangisnya juga hingus yang
berada di hidungnya.

“Lalu, setelah itu bagaimana dengan Ibumu?” tanya


Everyn yang langsung dijawab dengan pundaknya
yang terangkat karena tak tahu. Riki diam tampak
berpikir sesuatu. “Kalau begitu. Mari kita bahagia
bersama!” ajak Riki tiba-tiba pada Everyn yang
nampak bingung.

“Untuk apa aku melakukannya bersama mu?” tanya


Everyn pada Riki yang sontak membuat Riki
mengangkat bibirnya mengerucut sebal. “Kau dan
aku sama-sama kesepian. Mari melengkapi,” ajak
Riki lagi. Kini ia sangat bersemangat dari
sebelumnya.

“Baiklah-baiklah.” Pasrah Everyn yang langsung


dapat sorakan bahagia dari Riki.

“Mari kita makan Nasi goreng buatan Everyn!!!”


teriak Riki dan keduanya pun tertawa. Hal

199
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
membahagiakan pun dimulai dari nasi goreng.
Everyn sendiri tak menyangka hidupnya dimulai
dari lukisan kuno yang gemar makan nasi goreng.

Ia pun tak tahu, lukisan itu benar-benar membawa


keberuntungan baginya.

“Ayah pulang~”

“Loh kok udah pulang?!”

-Tamat-

200
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Teman
Kazia Rafa Maulida

Suasana pagi hari yang sejuk membuatku tak ingin


beranjak dari ranjang ku yang hangat. Namun,
cahaya matahari yang masuk kedalam kamarku
seakan ingin aku untuk bangun dari ranjang ku
untuk memulai hari yang baru. Pada akhirnya aku
memutuskan untuk bangun dan bersiap-siap untuk
membersihkan diriku. Aku berjalan menuju kamar
mandi dengan langkah yang sedikit lambat.

Sesampainya di dalam kamar mandi , aku melihat


ke arah cermin . Dan tertegun melihat diriku
sendiri yang berada didalam pantulan cermin
tersebut , aneh rasanya. Kulitku yang pucat
semakin hari semakin bertambah pucat , aku
memutuskan untuk tidak peduli dengan hal itu dan
mengeluarkan sebuah softlens dari laci yang
berada tepat disamping kaca tersebut. Aku
menggunakan softlens berwarna hitam gelap
tersebut demi menutupi warna mata asliku yang

201
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berwarna biru terang bagaikan warna biru langit
yang terang benderang di pagi hari .

Setelah menggunakan softlens tersebut, aku


memilih untuk memotong rambut ikalku yang
semakin hari bertambah panjangnya hingga sudah
mencapai punggungku , waktu demi waktu terus
berlalu dan sekarang rambutku sudah tidak
panjang lagi. Setelah selesai melakukan hal
tersebut aku langsung menggosok gigiku dan mulai
membersihkan badanku secara perlahan. Kini , aku
sudah memakai baju seragamku dan pergi ke
sekolah.

Hai. Namaku Rika. Sekarang ini aku sudah


memasuki ruangan kelas yang tampak sangat
bersih dan rapih. Namun ,aku merasa sangat heran
mengapa hanya aku saja yang berada pada ruangan
kelas tersebut. padahal banyak sekali siswa-siswi
yang berlalu-lalang di sekitaran kelasku. Aku
memutuskan untuk duduk pada salah satu kursi
dan menunggu beberapa siswa yang mungkin , akan
masuk ke dalam kelasku . Aku sudah lama sekali

202
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menunggu , tetap saja tak ada seorang pun yang
masuk kedalam ruangan kelas.

Aku kebingungan, aku tak mengerti tak seorang


pun datang hari ini. Padahal adalah hari Kamis dan
tak sedang ada libur sama sekali . Pada akhirnya
aku memutuskan untuk pergi ke luar kelas untuk
sekedar melihat lihat keadaan . Namun , ketika aku
ingin beranjak dari kursiku , aku melihat seorang
gadis yang datang dari arah pintu.

Gadis tersebut memakai kacamata yang hampir


menutupi setengah mukanya yang kecil. Kulihat dia
memiliki kulit putih pucat yang sama dengan diriku ,
serta mata berwarna coklat terang dan rambut
yang di ikat sepanjang bahu membat merasa
sedikit . Akhirnya ada seseorang yang datang , aku
segera menghampiri gadis tersebut dan
mengajaknya untuk duduk di sampingku dan tak
lupa aku mengajaknya untuk berkenalan terlebih
dahulu .

Gadis tersebut lalu tersenyum dan mulai


memperkenalkan dirinya "Hai namaku Ela. Semoga
203
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kita bisa berteman baik," ucapnya seraya
mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan
dengan diriku, aku pun membalas jabatan
tangannya tersebut dan mengajaknya ke tempat
duduk aku berada. Aku bertanya kepadanya
apakah hanya kita berdua yang hadir pada hari ini?
Atau adakah orang lain selain kita yang berada di
sekolah hari ini?

Dia hanya tersenyum tipis lalu mengajakku ke luar


ruangan kelas untuk melihat keadaan sekitar. Aku
menurutinya dan langsung mengikuti langkahnya
yang secara perlahan keluar dari ruang kelas.
Ternyata , keadaan di luar sudah sangat kacau,
tulisan-tulisan menyeramkan yarg berwarna
merah memenuhi dinding lorong kelas , serta lantai
berberubah warna menjadi warna merah darat
yang pekat. Aku terkejut bukan main Aku seperti
berada pada dunia lain, aku melihat ke sekelilingku.

Tak ada seorang pun kecuali Ela yang menatapku


dengar tajam dari arah ujung lorong, aku merasa
ini semua sangatlah tidak masuk akal dan mulai

204
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berlari menurum anak tangga untuk pergi keluar
dari sekolah ini secepatnya. Akan tetapi, aku
sangat terkejut karena Ela berlari dengan sangat
kencang ke arahku .

Pada akhirnya dia berhasil menangkapku pada saat


aku berada tepat di depan gerbang sekolah yang
tiba-tiba tertutup dengan sangat rapat. Ela
menatapku dengan matanya yang sudah berubah
menjadi warna merah pekat . Dia terus- menerus
mendekat ke arahku seraya berkata
"BANGUN,BANGUN,BANGUN,BANGUN RIKA."
Secara berulang kali. Aku tak tahan dengan
suaranya yang memenuhi pikiranku. Aku dengan
langkah yang pelan berjalan berusaha untuk
menraih batu bata yang entah bagaimana kulihat
ada di belakang badanku.

Saat tanganku sudah berhasil mencampai batu


tersebut, aku langsung menggunakannya untukku
lempar pada kepala Ela. Namun , setelah aku
melempar batu tersebut, aku merasa sangat
pusing dan akhirnya badanku jatuh tergeletak di

205
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
atas tanah. Entah berapa Lama aku pingsan, aku
terbangun di atas ranjang rumah sakit dengan
sekujur tubuhku yang terasa sangat sakit. Aku
menatap ke sekitarku, aku tertegun melihat Ela
yang berjalan ke arahku.

Namun, dia didahului oleh dorter yang sepertinya


ingin berjalan ke arahku, aku sangat terkejut
melihat tubuh Ela dapat menembus tubuh sang
dokter. Kini, keduanya sudah berada di sampingku.
Dokter tersebut berkata kepadaku bahwa
penyakit yang sudah kuderita sejak lama yang
sekarang sudah semakin parah sehingga
membuatku berhalusinasi dengan sangat parah.

Aku terkejut saat dokter tersebut berkata bahwa


aku mengidap penyakit skizofrenia . Aku menatap
ke arah Ela dan bertanya padanya bahwa semua ini
hanyalah bagian dari halusinasiku, seraya
menangis aku terus-menerus berbicara banyak hal
kepada Ela. Namun, dokter menatapku dengan raut
wajah sedih seraya meyakinkanku bahwa sosok Ela

206
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
yang sedari-tadi ku ajak berbicara tidaklah nyata
dan hanya sekedar halusinasiku saja.

Namun, aku tetap bersikeras mengatakan bahwa


Ela nyata dan aku sudah mengenalnya sejak lama.
Pada akhirnya yang ku ingat sebelum aku pingsan
hanyalah raut wajah marah Ela yang menatap
tajam pada arah Dokter yang sedang
menyuntikkan obat bius pada tanganku.secara
perlahan, aku mulai tertidur. Tertidur untuk
selamanya dan memulai kehidupan yang baru di
alam lain bersama dengan Ela.

207
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Matahari
Aisya Muaziyah

Aku, matahari.

Berbentuk bulat dan berwarna kuning, berada di


atas langit dan bumi, dan di kelilingi oleh benda
transparan berwarna putih yang di sebut awan.

Aku dikelilingi oleh planet di angkasa, aku berada


pada pusat tata Surya. Hal itu lah.. yang membuat
ku seperti di puja, semua tertunduk padaku,
karena aku lah yang paling besar dan utama di sini.

Akulah yang menyinari semua dunia ini, tanpa


adanya aku, mereka akan takut dalam kegelapan,
mereka tidak akan pernah mengetahui indahnya
alam dalam keadaan terang.

Aku tidak akan berdiam pada posisi itu saja, aku


akan berputar dan berganti posisi bersama bulan,
yang berbentuk bulat, dan apabila dilihat dari
bumi, bulan akan berbentuk setengah bulat yang
sangat indah di pandang manusia. berbeda dengan

208
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
aku yang dikelilingi awan. bulan dikelilingi oleh
bintang yang menyinari bumi dengan sedikit
cahayanya.

Tetapi, satu hal yang membuat ku sedih, semua


tidak mau berdekatan denganku karena suhu
badanku sangat lah panas hingga bisa membuat
mereka mati kepanasan.

Sekarang, aku sedang melaksanakan tugas ku, aku


memberi cahaya kepada bumi di siang hari, aku
melihat ke bumi di sana para manusia sedang
menutupi area wajahnya, dan meletakan tangannya
pada atas kepala.

"Aduh, panas banget ini, males deh," keluh salah


satu manusia di sana dan disetujui yang lain.

Aku pun sedih dengan ucapan mereka, aku pun


bersembunyi dalam awan yang membuat langit di
sana teduh.

"Yess! teduh, gak panas lagi deh," ucapnya senang

209
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aku mendengar kembali seruan mereka, jadi di sini
aku tidak boleh muncul? Lalu, apakah tidak apa jika
aku meninggalkan mereka? Lagipula mereka tidak
membutuhkan aku kan? Untuk apa aku di sini.

Tiba- tiba suara salah satu manusia dari daerah


lain terdengar.

"Cuaca hari ini bagus ya," Ucap manusia yang


sedang berlibur.

"Enak deh jadi cepet kering deh jemuran


bajunya," ucap manusia yang sedang berjemur.

"Matahari banyak manfaatnya loh, bisa beri kita


vitamin D, yang bermanfaat untuk menyehatkan
tulang, dan lain-lain".

"Wah ternyata panas matahari bawa manfaat ya!


harus sering berjemur Nih".

Aku mendengar seruan mereka pun kembali


memunculkan diri, sepertinya keputusan ku untuk
meninggalkan mereka tidak benar, aku tidak boleh

210
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
egois, banyak manusia disana membutuhkan
cahaya, dan panas ku di sana.

Walaupun sebagian manusia selalu benci apabila di


siang hari aku mengeluarkan sinarku yang amat
terang, dan membuat suhu dibumi sangat lah panas,
tetapi aku lah yang membawa manfaat untuk
mereka.

Cahayaku bisa mereka manfaat kan untuk di


konversi menjadi listrik dengan menggunakan sel
Surya atau fotofoltaik. Di era globalisasi ini
sumber energi listrik sangat amat dibutuhkan
manusia dan kebutuhan listrik saat ini salah satu
nya menggunakan energi ku, matahari.

Dan seharusnya mereka bersyukur dengan ini


semua, tanpa adanya aku, mereka akan mati
kegelapan, dan tidak ada energi listrik.

Tetapi, aku senang, bisa membuat manusia


bahagia, dan aku senang aku membawa manfaat
untuk mereka.

211
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Memori Hangat
Kazia Rafa Maulida

"Jika rambut menyimpan ingatan, aku tidak ingin


memotongnya, sebab tiap helainya akan selalu
mengingatkanku padamu."

Aku termenung sedih sembari melihat wajah


Avara yang kini sedang terbaring lemah di atas
kasur rumah sakit, sedang berusaha melawan
kanker otaknya yang sudah memasuki stadium
empat dalam keheningan yang terasa begitu lama.
Dengan pelan, kubelai helai demi helaian
rambutnya yang kian menipis seiring waktu sebagai
akibat dari pengobatan yang sudah lama ia jalani.

Perasaan sedih tak dapat kubendung saat ia mulai


membuka matanya yang indah secara perlahan dan
menatap mataku kembali dengan tatapan yang
begitu sayu.

"Hai," sepatah kata yang keluar dari bibirnya yang


dihiasi dengan senyum tipis itu terdengar begitu

212
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
lemah namun juga lembut di telingaku. "Hai, tadi
tidur nyenyak? Banyakin istirahat ya, kata dokter
keadaan kamu semakin lemah," sahutku dengan
senyum lebar sembari mengeluarkan kotak makan
dari tas di sebelahku.

"Makan dulu nih, kamu belum makan, kan?"


Tanyaku sembari membuka penutup kotak makan
yang kubawa, memperlihatkan berbagai macam
jenis makan yang sehat untuk dimakan olehnya.

Ia hanya mengangguk pelan, seakan menjawab


"Iya" pertanyaanku. Akupun langsung
membantunya untuk duduk di kasur dan
menyuapinya secara perlahan sembari
mengajaknya untuk berbicara banyak hal meskipun
aku tahu ia tak akan banyak berbicara karena
kondisi tubuhnya yang begitu lemah sehingga
membuatnya tak bisa melakukan banyak kegiatan.

Sejujurnya, aku prihatin dengan keadaannya, ia


terlihat begitu tak berdaya dengan rambut yang
pendek nan tipis dan tubuhnya yang kurus
kerontang.
213
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Waktu berlalu dengan cepat, diisi dengan
perbincanganku yang hangat dengannya. Aku tak
berhenti untuk menebar senyum di depannya
untuk setidaknya membuat ia ikut tersenyum dan
merasa semangat untuk menjalani hidup meski
hanya berada di atas kasur dengan keadaan yang
begitu menyedihkan.

Tak lama begitu aku selesai menyuapinya, aku


membereskan kotak makan dan mengajaknya
untuk berkeliling rumah sakit dengan
menggunakan kursi roda untuk menikmati
pemandangan senja yang terlihat begitu indah di
hari itu.

Aku mengelilingi seluruh sisi rumah sakit yang


tampak sangat sunyi karena adanya pembatasan
pasien.

Dengan suasanya yang terasa begitu sunyi, Avara


tampak sedikit menikmati suasana yang terasa
sedikit menenangkan dirinya. Setelah cukup lama
menyelusuri seluruh sudut di rumah sakit tersebut,
aku dan Avara pergi ke sebuah taman yang berada
214
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tepat di depan bangunan rumah sakit untuk
menikmati hangatnya matahari di senja yang cukup
terik saat itu.

Aku dan Avara duduk bersebelahan walaupun aku


berada di tanah sedangkan Avara masih tetap
berada di kursi roda kesayangannya.

"Mataharinya ngangetin tubuh aku banget, aku


pengen deh nikmatin ini tiap hari. Boleh ya?"
tanyanya dengan senyum tipis yang tersungging
dengan begitu manis di wajahnya yang mungil.
"Boleh, selamanya pun oleh asalkan itu bisa buat
kamu seneng," jawabku sembari mengelus penutup
kepala yang kini telah menutupi rambutnya.
"Gimana? Kamu jadi lebih percaya diri nggak
sehabis pakai ini? Dipake terus ya, untung aku
inget aku udah beliin ini buat kamu."

"Iya, penutup kepalanya bagus dan nyaman,


makasih banyak ya Ray," jawabnya dengan suara
yang hampir lirih. Aku hanya tersenyum sembari
sedikit menyenderkan kepalaku pada kursi
rodanya.
215
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Senja itu kami lewati dengan di temani oleh
berbagai perbincangan yang cukup hangat di
antara kami berdua. Namun, langit yang semakin
gelap menjadikan tanda bahwa Avara harus pergi
ke kamarnya untuk kembali beristirahat dengan
penuh ketenngan.

Aku mengantarnya kembali ke kamarnya dengan


langkah cepat namun tetap berusaha untuk tidak
membuat Avara merasa tidak nyaman.
Sesampainya di kamarnya, aku memanggil perawat
untuk membersihkan tubuh Avara dan sebagai pria
yang baik, aku menunggu di luar meskipun itu
memakan waktu yang sangat lama. Lama sekali,
batinku saat menunggunya di luar kamar dengan
perasaan kantuk yang sudah tak dapat kutahan lagi.

Aku memutuskan untuk memejamkan mataku


setidaknya hanya untuk beberapa menit, berusaha
untuk sedikit melepas penat dari tubuhku.

"Mas, mas udah boleh kedalem," ucap sang


perawat kepadaku sembari menepuk pundakku
dengan sedikit lembut. Aku sedikit kaget dengan
216
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sentuhan yang diberikan oleh perawat tersebut
sebelum membuka mataku dengan cepat, "A,ah
baiklah, makasih ya, mbak," jawabku sembari
melempar senyuman tipis kepada perawat itu dan
langsung berjalan masuk ke dalam kamar Avara.
Setibanya di dalam kamarnya, aku segera
terduduk di sebelahnya dan menyuapinya sepiring
makanan dan juga membantunya untuk meminum
obatnya untuk menyembuhkan efek samping serta
meredakan rasa nyeri pada tubuh lemah dan rapuh
itu.

Dengan tangan yang berukuran lebih besar


darinya, aku membelai rambutnya, berusaha untuk
menenangkannya yang terlihat gelisah sembari
menatap mataku dengan kesedihan yang tampak
dalam di matanya.

"Ray, aku mau kamu lupain aku," ucapnya sembari


memegang tanganku dan matanya yang kini
terlihat sudah mengeluarkan banyak air mata.
"E,eh. Kamu gimana sih? Kamu kan lagi sakit,
kenapa kamu malah minta aku buat lupain kamu!"

217
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
jawabku dengan sedikit kesal saat mendengar
ucapannya tersebut.

"Ray, aku kan, udah nggak ada," ucapnya kembali.


Namun, belum sempat aku menjawab ucapannya
tersebut aku terbangun dari kenangan itu. Aku
mendapati diriku terbangun di atas sebuah
kuburan yang tampak baru saja di buat untuk
seseorang. Hujan tampak turun lebih lebat saat
aku terbangun, dan di saat itu juga, aku merasa
sangat-sangat sedih dan tak terima dengan fakta
yang aku lihat di depanku.

Dengan tangan yang menutupi seluruh wajahku


yang di penuhi oleh isak tangis serta tubuh yang
telah di basahi oleh air hujan. Aku menangis
tersedu-sedu, terus-menerus mengucap namanya,
berusaha untuk memanggilnya kembali. Namun,
semua itu sudah terlambat. Batu nisan dengan
nama Avara yang terukir dengan jelas itu
menjadikan tamparan terberat dan terkeras yang
pernah kuterima.

218
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Berbagai memori hangat yang kita jalani bersama
kembali memenuhi seluruh isi pikiranku. Tawa
manis yang selalu ia berikan kepadaku mulai
membuatku semakin menangis sejadi-jadinya.
Membuat petugas pemakaman menghampiriku dan
secara perlahan membangunkan tubuh kekarku
untuk pergi dari makamnya.

Mencoba untuk meredakan kesedihanku akan


kepergian dirinya.

Namun, itu semua tak mampu untuk meredakan


apalagi menghapus kesedihanku atas kepergian
dirinya yang sangat kucintai.

Meskipun semesta memisahkan kita, percayalah


bahwa bagaimanapun caranya, tak peduli berapa
lamanya sampai kita bertemu lagi di alam yang lain.
Kamu akan tetap menjadi kekasih yang akan selalu
aku cintai. aku tak peduli jika kamu tak memiliki
fisik serta kondisi yang sempurna. Aku
mencintaimu dengan segenap jiwa dan seluruh
ragaku, aku mencintaimu dengan seluruh perasaan
yang kupunya, aku mencintaimu meski waktu sudah
219
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
berlalu dengan sangat cepat dan sudah tepat 11
tahun semenjak kamu meninggal. Aku tak bisa
melupakanmu, kekasih kekalku.

Secarik kertas yang ku tuliskan dengan penuh


perasaan itu membuatku sedikit mengeluarkan air
mata tak kala aku meletakkanya di atas kuburan
Avara yang setiap hari aku datangi selama 11 tahun
lamanya itu.

Dengan langkah yang berat dan pelan, aku berjalan


pergi dari kuburannya. Aku memutuskan untuk
melihat kembali ke arah kuburannya dan secara
tiba-tiba, aku melihat sosok dirinya yang tampak
manis dengan gaun putih sedang tersenyum lebar
kepadaku.

Sontak, aku tersenyum kembali kepadanya.

Ia tampak begitu manis. Walaupun tahun demi


tahun berlalu dengan begitu cepat, cintaku
padamu tak akan hilang dengan begitu mudah. Aku
akan tetap mencintainya meski aku merasa tak
tega saat harus mengakhiri penderitaannya

220
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
dengan cara yang paling menyedihkan yaitu,
membunuhnya.

221
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Not Wave to Goodbye
Bukan Lambaian Perpisahan
Wening Nurinnida

Natha memakan roti bakar yang ia buat sembari


memakai sepatu di depan tv yang sedang
menyiarkan berita terbunuhnya dua orang pelajar
membuat Natha bergidik takut. Ia bingung
mengapa berita itu disiarkan pada pagi hari di
mana orang-orang akan beraktivitas. Membuat tak
selera saat foto dua pelajar itu ditampilkan.

Tahun ajaran baru 202X telah dimulai, Natha


pergi sekolah dengan rambut yang di kepang kuda
juga hoodie berwarna yellow soft dengan seragam
ber rok abu-abu, Natha berjalan kaki dengan
langkah tenang diiringi musik yang ia dengarkan
melalui headphone yang ia kenakan.

Entah lagu yang ia dengarkan terlalu


mencerminkan dirinya atau hati perempuan itu
tengah baik, ia bernyanyi-nyanyi sembari
berlompat kecil dalam langkahnya.
222
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Belum lima menit hal itu terjadi, seseorang
menabrak punggung Natha dengan keras membuat
Natha terhuyung dan terjatuh di atas trotoar
yang keras.

Natha meringis kala lututnya yang mengeluarkan


darah. Si pelaku yang menabrak Natha hanya
menengok sebentar lalu pergi begitu saja ketika
pandangan keduanya bertemu. Natha mendengus
kesal, paginya yang cerah di rusak oleh lelaki yang
menabraknya dan tak bertanggung jawab.

“Awas aja lo, cowok kacamata!” dengus Natha


sembari mengepalkan tangannya ke udara layak
seseorang yang akan menghajar, tapi hanya angin
yang Natha hajar.

Tak ingin terlambat di hari pertama sekolah di sma,


Natha segera berjalan ke sekolah dengan langkah
yang tertatih-tatih.

Sesampainya di kelas, Natha menduduki kursi


dekat dengan jendela, dengan begitu Natha bisa
melihat sesuatu dari luar. Ia mengedarkan

223
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
pandangannya, seisi kelas sudah mendapatkan
teman bahkan membuat sebuah kelompok
pertemanan. Natha yang tak mendapatkan teman
hanya bisa terdiam kala anak lain saling tertawa
dan berbincang-bincang.

30 menit kemudian guru pun datang, semua murid


duduk di tempatnya masing-masing termasuk
Natha yang sedari tadi hanya duduk di sana karena
tak ada yang mengajaknya bicara.

“Selamat pagi anak-anak, di hari pertama ini


saya—“ ucapan guru laki-laki itu terpotong kala
seorang murid membuka pintu dengan mata yang
seperti ingin membunuh orang. Guru itu hanya
menatap murid yang baru masuk tanpa berniat
menegurnya.

“Hanan, cepat masuk!” Sentak sang guru menyuruh


murid yang baru datang untuk duduk. Natha
sedikit tersentak kala guru itu mengetahui nama
murid tak memiliki tatakrama tersebut. Terlebih
lagi guru itu tidak menegurnya.

224
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Setelah itu, guru yang diketahui bernama Pak Nam
berbicara kembali hingga bel istirahat terdengar.
Karena belum masuk pelajaran, setelah istirahat
akan ada kelas kosong, Natha jadi semakin malas
dan ingin pulang saja karena dirinya sangat
mengantuk.

Sebelum ia pergi, dirinya melirik bangku belakang


sekilas. Cowok yang tak memiliki tatakrama itu
sedang tertidur dengan tangan yang ia jadikan
sebagai bantal. Natha yang meliriknya cukup lama
membuat cowok itu terbangun karena ia
merasakan ada yang menatapnya.

Dengan cepat Natha melirik ke arah lain, yaitu ke


bingkai foto di atas papan tulis yang bergambar
dua presiden dengan lambang garuda di tengahnya.

Dengan letak bangku Natha yang hanya berbeda


dua bangku ke belakang dengan cowok itu, Natha
merasakan kini gilirannya yang sedang di tatap.
Karena tak nyaman, Natha berjalan menuju pintu
akan bergegas ke kantin.

225
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Natha baru tersadar bahwa hanya mereka berdua
di kelas. Dengan langkah sedikit cepat Natha pergi
ke kantin.

Tapi, di tengah jalan dirinya tersadar bahwa


dompetnya tertinggal di tas beserta handphone
yang harus Natha bawa kemana-mana.

“Ah sial.” Natha sebenarnya tak ingin kembali ke


kelas karena suasananya yang begitu legang, di
tambah dengan cowok tak bertatakrama belum
beranjak dari tempatnya.

Hanan berjalan memasuki kelasnya kembali, dan


mengambil dompetnya.

Saat hendak kembali keluar, ada suara yang


memanggilnya. “Heh,” panggil orang itu yang
spontan Natha lirik seseorang yang memanggilnya.
Rupanya cowok itu.

“Gua nitip. Lo mau ke kantin kan?” ujar cowok itu


mengangkat selembar uang 20 ribu dengan
enaknya sembari menatap Natha dengan tatapan

226
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
datar. Natha menatapnya aneh, cowok
berkacamata itu terlihat sangat sok akrab.

Tapi Natha baru menyadari sesuatu.

Cowok berkacamata inilah yang menabraknya tadi


pagi!

“Enak aja! Lo kan yang nabrak gue tadi pagi? Mana


gak minta maaf!!” kesal Natha yang kini sudang
berkacak pinggang menatap cowok itu tak suka.

“Oh, elo si cewek kuning?” cowok itu belum


menurunkan selembar uang 20 ribu dari pandangan
Natha. Natha mendengus. Bukannya minta maaf
tapi ia malah di beri kata ejekan soal hoodie
kesayangannya.

“Minta maaf dulu kek”

“Udah”

“Kapan?”

“Dalem hati.”

227
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Natha menatapnya dengan tatapan datar. Malas
meladeni cowok gajelas, Natha meninggalkannya
untuk pergi ke kantin.

“Awas aja lo HANA!!” teriak kesal Natha sebelum


benar-benar pergi meninggalkan kelas.

Cowok itu terkekeh melihatnya “Nama gw Hanan!!!”


cowok berkacamata itu berjalan menyusul Natha
yang sangat jengkel pasal minta maaf.

Cowok bernama Hanan mensejajarkan langkahnya


pada Natha yang meliriknya tajam. Tak suka
dengan cowok di sebelahnya, Natha mempercepat
langkahnya dan di susul oleh Hanan.

“Nama lo siapa?” tanya Hanan dengan wajah yang


tengil menatap Natha yang tengah jengkel

Natha kesal. Belum tahu nama aja udah sok pingin


menitip makanan dari kantin! Memangnya ia siapa?
Babunya? ujar pikiran Natha.

Tak ada jawaban, akhirnya Hanan melirik name tag


bernama Natha.

228
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Hoo. Natha de coco namanya.” Hanan mengangguk
dengan Natha yang hendak protes dengan
namanya sebelum Hanan berjalan lebih cepat
sembari melabaikan tangannya.

“Dadah Coco, nanti gw traktir deh sebagai tanda


maaf” Hanan pergi begitu saja dengan beberapa
orang yang memerhatikannya. Ada sesuatu yang
Natha tak tahu.

“Hei, itu murid kelas 10 yang namanya Hanan, kan?”


sembari menunjuk Hanan yang tengah melahap
makanannya, kata seseorang yang ia yakini kakak
kelasnya tengah bergosip yang tak sengaja Natha
dengar karena dirinya dan kedua kakak kelasnya
itu tengan mengantri.

“Iya, adiknya Kak Hano” Natha terdiam lagi. Dia


sedang berpikir, siapa itu Kak Hano?

Daripada memikirkan hal yang aneh, Natha lebih


baik mengambil pesanannya yang telah jadi.

229
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Esoknya Natha kembali bertemu dengan Hanan
dan lagi-lagi Hanan mengusilinya dengan berbagai
macam hal-hal yang nentu saja menganggu Natha.

“Nat, mau mie ayam Pak Namu gak Nat?”

“Nat, liat deh ada monyet”

“Nat,”

“Nat, ayo olahraga!” seru Hanan menarik narik


lengan Natha yang kini tengah memegang sebuah
jus yang berada di tangan kirinya.

Tarikan tersebut membuat jus yang berada di


tangan Natha terjatuh.

“Anak setan!” marah Natha kala Hanan tak


sengaja menumpahkan jus jambu pada seragam
olahraga yang sama sekali belum Natha kenakan.

“Ups, sorry~~” dengan wajah usilnya Hanan


membuat Natha tak tahan untuk tidak menjewer
Hanan. “Terus nanti aku pake apa olahraganya?”
tarikan pada telinga Hanan makin mengeras
membuat yang di tarik meringis hingga berteriak.
230
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“ADUH NAT SAKIT” dengan tak
berperikemanusiaan Natha memelintir telinga
Hanan dengan kencang.

Karena Natha kasihan, ia melepaskan jewerannya


pada telinga Hanan yang kini memerah akibat
tarikan yang Natha berikan sangat kencang itu.
“Nat, telinga aku putus ya?” ucapnya memegang
telinga yang berdenyut kencang.

“Gatau.” Natha melegang pergi meninggalkan


Hanan yang memegangi telinganya sembari melihat
arah totebag berisi baju olahraga Natha yang
basah kuyup.

“Hanan~~ where are you~~” suara berat dari arah


koridor itu sontak membuat Hanan merasa jengkel.
Ia lepas kacamata yang ia kenakan lalu
menyimpannya di atas baju kotor penuh dengan jus
milik Natha.

Melihat kehadiran kakaknya, Hanan mau tak mau


mengikuti perintah Hano untuk berjalan
mengikutinya. Entah ia akan dibawakan kemana,

231
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tapi Hanan jelas sangat marah kala Hano ternyata
membawa persiapan berupa rokok dengan
koreknya.

Hanan akan bertarung dengan kakaknya.

Kini keduanya telah sampai di rooftop, tempat


yang sangat luas dengan tumpukan meja dan kursi
bekas tak terpakai. Angin yang menghembus
membuat rambut Hanan bergerak mengikuti arah
angin. Mata tajam itu menatap sengit pada
kakaknya yang mengambil sepuntung rokok dari
tempatnya.

Hano menawarkan sepuntung, tetapi ditolak


mentah-mentah oleh Hanan yang sadar ia baru
kelas 10 dan belum ilegal.

Hano yang merasa diperhatikan dengan tatapan


tak suka hanya tersenyum remeh. “Mulai
sekarang?” tanya Hano merasa Hanan telah siap
untuk bertarung dengan seribu alasan mereka
melakukan pertarungan.

232
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Lo kalah, lo harus nurutin kemauan gue,” tantang
Hano menginjak puntung rokok.

“Kalo gue menang, lo harus putusin jabatan lo


sebagai ketua osis.” Hanan menatap puntung rokok
itu lalu tersenyum miring.

Pada akhirnya, kedua kakak beradik itu saling


memukul dan menginjak satu sama lain yang kini
mereka sebut ‘pertarungan’.

“Yang telat push up 10 kali!! Kamu Asep, Push up!”


teriak Pak Mino menggelegar mengisi lapangan
indoor yang kini sudah dengan para murid yang
bersiap berolahraga. Kecuali Natha yang masih
mengenakan seragam.

“Lho, Natha kenapa gak ganti baju?” tanya Iren


teman sebangku Natha. Natha menggeleng pelan
dengan muka yang ia tekuk. “Di tumpahin jus sama
Hanan.” Ujarnya dengan nada yang sangat kesal.

“Si Hanan itu memang—“ perkataan Iren terhenti


kala melihat kehadiran Hanan yang berantakan
juga seragam yang belum ia ganti dengan seragam
233
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
olahraga menghamhampiri Natha yang terduduk
enggan melihat kehadirannya.

“Nat, di panggil Pak Mino,” ujarnya membuat


Natha sontak berdiri. Natha yang sudah berdiri
memberikan celah untuk Hanan tarik pergi menuju
luar. Sayangnya Pak Mino mengetahui aksi Hanan
membuat keduanya terkena hukuman.

“Udah gak pakai seragam, mau bolos juga?!” sentak


Pak Mino pada Natha dan Hanan yang belum
melakukan hukuman. “Maaf pak,” ucap Hanan
bergumam.

“Hanan push up 30 kali, Natha 10 kali.” Hanan yang


hendak protes atas jumlah push up tetapi kakinya
keburu Natha injak sembari menyumpah serapahi.

Saat Natha akan melakukan hukuman, dirinya


terhantam bola basket dengan kencang membuat
Natha kehilangan kesadaran dan pandangan pun
menggelap.

Cahaya memasuki mata Natha membuat dirinya


mengerjap menyesuaikan cahaya di ruangan putih
234
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tersebut. Pemandangan yang Natha lihat adalah
poster-poster kesehatan yang di pajang pada
tembok putih yang ia yakini adalah uks sekolah.

“Natha udah bangun?” suara pertama yang ia


dengar berada di sebelahnya. Menduduki dirinya
pada brangkar kecil UKS “Iren, aku gak geger otak
kan?” tanya Natha pada Iren orang yang berada di
sebelahnya. Poni Iren bergerak kala kepalanya
menggeleng dengan senyum dan tawa terpatri di
wajahnya.

“Minum dulu,” Karin sebagai penjaga uks memberi


teh hangat pada Natha yang ia yakini sangat
manjur. Buktinya Natha langsung bisa bergosip
dengan Iren setelahnya.

“Tadi aku di bawa ke sini sama siapa?” tanya Natha


pada Iren setelah mereka berdua berbincang.
“Sama Hanan,” Iren menatap Natha yang kini
mengedarkan pandangannya mencari kebedaraan
Hanan “Hanan ke ruang BK setelah lukanya di
obati,” jawab Karin yang ikut bergabung pada
pembicaraan keduanya.
235
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Emang Hanan luka?” tanya Natha lagi.

“Tadi kamu gak liat apa wajah Hanan babak belur


gitu?” ucap Iren sedikit berhati-hati. “Emang iya?”
tanya Natha menatap Karin yang mengangguk
mengiyakan. “Nat, kaki kamu luka, sini aku
amputasi.” Gurau Karin sembari mengambil gunting
yang berada di meja. “Karin serem ih kayak mau
bunuh Natha,” ujar Iren menjauh dari Karin
karena Karin menakutkan.

Ketiganya pun tertawa bersama dengan kepala


Natha yang masih nyut-nyutan.

Sejak kejadian saat olahraga, Hanan menjauhi


Natha tanpa alasan. Kepergian Hanan yang
mendadak dari hidupnya membuat Natha bingung.
Yang biasanya tiap pagi mereka selalu berpapasan
dan berjalan bersama menuju sekolah, kini Hanan
sering terlihat menggunakan sepeda dan
meninggalkan Natha berjalan sendiri.

“Hai, kamu Natha bukan?” Seseorang dengan


almameter berjalan ke arah Natha dengan senyum

236
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
yang membuat matanya menyipit memberi kesan
pertama yang sangat bagus apabila berpapasan
dengannya.

Natha mengangguk sembari melihat ke arah name


tag yang tertempel pada jas almameter yang ia
kenakan. ‘Hano’ sontak saja Natha membulatkan
matanya sempurna karna terkejut. “Natha mau
bantuin aku gak?” tanya Hano yang bisa saja Natha
tolak karena pengin bertemu Hanan.

Tapi melihat Hano yang butuh bantuan, mau tak


mau Natha mengiyakan tawaran tersebut dan
mengikuti Hano menuju suatu tempat.

Di lab IPA, Natha membantu Hano merapihkan


barang-barang untuk di pindahkan ke pojok karena
kelas 11 akan menggunakannya. “Kenapa ngajak
Natha, kak? Padahal kan kita juga baru ketemu
hari ini.” Hano melirik Natha sebentar sembari
memamerkan senyumnya.

“Natha tahu berita dua pelajar yang terbunuh itu


kan?” tanya Hano membuat Natha sedikit

237
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tertegun kala ia merasakan bahwa tatapan mata
Hano terlihat berubah.

Natha mengangguk ragu. Hano tersenyum kembali


memegang sebuah box yang akan ia pindahkan.
“Hanan jauhin kamu kan? Itu ada alasannya tau,”
Hano membalikan bandannya menyimpan box
tersebut lalu menatap dinding di depannya dengan
Natha yang menatap punggung itu. “Tanya saja
pada Hanan langsung.” Hano menoleh pada Natha
dengan senyum yang kini Natha lihat adalah
senyum yang mengerikan.

Pelajaran Kimia menjadi mata pealajaran terakhir,


oleh sebab itu Natha buru-buru mengemasi buku-
buku nya yang berada di kolong meja juga di atas
meja.

Ia sudah berencana akan berbicara duluan kepada


Hanan menanyakan mengapa ia menjauhinya.

Lagian Natha kepikiran pasal apa yang Kak Hano


ucapkan pagi tadi. Natha penasaran dengan
jawaban yang akan Hanan berikan nantinya.

238
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ketika selesai merapikan buku, Natha melangkah
mencari keberadaan Hanan yang ia yakini belum
jauh. Dengan langkah cepat Natha menemukan
Hanan yang tengah berjalan menuju sepedanya.

Tarikan pada pergelangan tangan Hanan membuat


yang di tarik pelan itu menoleh dengan raut yang
bertanya “Nan, gue mau tanya,” belum sempat
menyelesaikan ucapannya, Hanan menghempaskan
tangan Natha dengan kasar.

Sorot mata yang dingin tanpa mengenakan


kacamata seperti pertama kali ia bertemu Hanan.
Rasanya asing, yang biasanya sorot mata itu
memancarkan kebahagiaan dan keusilan yang
tertanam pada diri Hanan kini berubah.

“Jauhin gua, Natha.” Sorot mata yang dingin itu


mendadak mengembun membuat Natha tak dapat
berkutik setelah bendungan air mata itu jatuh
membasahi pipi, masih dengan wajah datar di
penuhi luka lebam yang baru Natha sadari.

“Kenapa?” tanya Natha

239
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Gue pembunuh, Nat.” setelah mengatakan tiga
kata itu, Hanan benar-benar pergi menajauh dan
menaiki sepeda nya dengan Natha yang sangat
terkejut.

Sebelum benar-benar pergi, Hanan sempat


melambaikan tangan pada Natha yang ia yakini
bahwa Hanan mengatakannya dengan terpaksa
atau bukan kenyataan. Natha kenal Hanan.

Hanan kini benar-benar pergi, kehampaan itu kian


terasa.

“Sudah tau kan?” suara dari belakang


mengintrupsi Natha untuk membalikan badannya
menatap kehadiran Hano dengan almameter yang
rapi.

Senyum Natha mengembang disertai mata Natha


yang tertutup karena tersenyum. “Padahal gapapa
kok, Natha juga pembunuh.” Hano sangat terkejut
kala tangan Natha yang menjulurkan sesuatu untuk
Hano lihat. Yakni serangga yang kaki dan badannya

240
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sudah terpisah. Siapa lagi yang melakukannya
selain Natha.

Kini malam minggu, Natha, Iren, Karin, berencana


untuk menginap di rumah Natha sembari
berbincang hingga larut malam. Di tengah
semester seperti ini, mereka menghabiskan waktu
dengan bersama-sama.

Natha tengah asyik tertawa tapi dirinya teringat


pada kacamata Hanan yang ia temukan dulu di
totebagnya. Ia belum mengembalikannya pada
Hanan mengingat hubungan pertemanannya
merenggang.

“Ren, Rin. Kacamata Hanan ada di aku,” ucap Hanan


membuat Iren berhenti mengunyah sepotong
pizza menatap Natha yang kini sudah memegang
kacamata yang ia kenali.

“Mau di kembaliin?” tanya Karin sembari membuka


cola di tangannya. “Gausah Nat, kamu simpan aja.”
Dengan cepat Iren menjawab, wajah Iren terlihat
gelisah.

241
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kembaliin ajalah Ren, kalo disimpen yang ada aku
makin cemberut.” Natha mengambil ponselnya
bersiap menghubungi Hanan dan membuat janji
untuk bertemu. “Iya, kembaliin aja Nat. kita
temenin.” Natha mengacungkan jari jempol
menyetujuinya.

Setelah sepakat bertemu, Natha dan kedua


temannya berjalan menuju tempat pertemuannya
yaitu di pasar malam terdekat membuat Iren
gelisah hingga keringatnya bercucuran tanpa
sebab.

“Ren, kamu gapapa?” tanya Karin yang peka gerak


- gerik Iren.

“Gapapa, Cuma gerah.”

Natha menemukan Hanan yang tengah berada di


belakang stand popcron yang pencahayaannya
hanya bermodalkan cahaya dari lampu-lampu
permainan dan lampu stand yang ada di sana.

“Hanan,” panggil Natha menghampiri Hanan yang


tengah bermain ponsel.
242
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Natha tersenyum kala mendapati Hanan berada di
hadapannya. Sudah lama sekali Natha tak melihat
Hanan karena ia sering bolos.

Kini rambut Hanan memanjang, poninya nyaris


menutupi mata yang tak mengenakan kacamata itu.
Natha merogoh jaket abu yang ia kenakan,
mengambil kacamata milik Hanan yang akan ia
kembalikan.

“Lo yang bunuh Kakak gue kan?” tangan Natha


terhenti kala ucapan Hanan memasuki indra
pendengarannya. Sontak Natha terdiam terkejut
dengan sekujur tubuhnya yang merinding. “Kak
Hano?” Natha menutup mulutnya terkejut, kakinya
mendadak lemas.

“Bukan. Kakak gue, dua orang pelajar yang


terbunuh.” Ucapan penuh dengan tekanan itu
membuat Natha takut. Melangkah mundur dengan
pelan, Natha menggeleng dengan ucapan yang kaku
karena takut pada Hanan yang amarahnya kini tak
terkontrol.

243
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Apasih, aku bukan pembunuh.” Ucap Natha
bergetar masih dengan kacamata milik Hanan yang
masih di gengamannya. “Lo pembunuh!!” teriak
Hanan menarik kerah jaket Natha.

“Kak Hano susah payah dapetin jabatan osis buat


nyari siapa pembunuh Kakak-kakak gue. Taunya
LO.” Marah Hanan hingga air matanya membasahi
pipi yang menirus itu. “Gua susah payah bujuk Kak
Hano buat udahan cari pelakunya!. Taunya orang
terdekat gue. Temen gue sendiri.” Hanan melepas
cekalan pada jaket Natha.

“Apa buktinya? Kenapa kamu nuduh aku kayak


gitu?” marah Natha yang tak terima dirinya
tertuduh sebagai pembunuh. Hanan terdiam
sembari menunduk.

“Dua temen lo, mereka yang kasih tahu” sontak


Natha membulatkan matanya terkejut dengan
degup nya yang tak henti-henti membuat detakan
yang sangat kencang.

244
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Kakinya benar-benar lemas hingga ia terduduk di
rerumputan. “Kenapa mereka memfitnah ku
begitu?” lirih Natha menutupi wajahnya dengan
tangan yang masih memegang kacamata itu.

“Duh Natha, maaf ya Hanan emang suka ngaco.”


Datang Kak Hano merangkul Hanan dengan tawa
yang membuncah dengan boneka beruang yang
baru saja Hano dapatkan dari permainan di salah
satu stand.

“Sampai bertemu di sekolah Natha!” ucap Kak


Hano masih merangkul Hanan yang tertunduk
dengan terkepalnya lengan Hanan menahan emosi
yang akan membuncah. Sementara Hano tertawa
bercerita bagaimana ia mendapatkan boneka itu
dengan melirik ke arah Natha yang memandangnya
dengan tatapan sendu.

Akhirnya kacamata itu tak jadi di kembalikan pada


pemiliknya.

Datanglah kedua temannya dengan tergesa


menghampiri Natha. “Udah?” tanya Karin. Tetapi

245
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kala melihat kacamatanya masih berada pada
genggaman Natha membuat Karin berniat
memberikan kekuatan untuk Natha sebelum ia
menghindar dari tangan Karin yang berniat
memegang pundaknya untuk menyalurkan tenaga
antar teman.

“Aku mau pulang.” Natha pergi meninggalkan


keduanya yang sama sekali tak mengejar Natha.
Keduanya saling melirik hingga Natha hilang dari
pandangan keduanya.

Lima bulan sudah berjalan dengan cepat. Suara


berita dari tv memasuki indra pendengar yang
berada di sekitarnya. Lagi-lagi berita dengan
kasus pembunuhan dua pelajar di sekolah yang
sama. Sontak Natha yang mengenali kedua orang
yang terbunuh itu bergegas mengambil telepon.

Suara pembawa berita itu terus terdengar.


Beberapa kali nama Hanan dan Karin terdengar,
beberapa kali pembawa berita itu terus menerus
memberikan informasi membuat Natha menggigit
kukunya dengan tubuh yang bergetar hebat.
246
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Panggilan pun terhubung. Natha berbicara pada
seseorang yang berada di sebrang telpon. “Kak
Hano, ayo tangkap Natha. Natha yang bunuh
mereka.”

“Di duga pembunuhan terjadi akibat dendam yang


tertanam pada sang pembunuh juga akibat sang
pembunuh depresi berat hingga membunuh empat
orang akibat depresinya.

Di ketahui penyebab depresi itu adalah-“

Suara pembawa berita itu terputus karena tv yang


sengaja di matikan.

“Aku, aku penyebab Natha depresi, aku yang


nyuruh Natha depresi dan bunuh orang, bukan
bunuh diri” seringai di wajahnya tercetak sangat
mengerikan. Rambut acak-acakan juga mata
pandanya.

Poninya bergerak kala melihat suatu objek di


dinding rumahnya. Sebuah foto ia dan Natha saat

247
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kecil. Sebuah foto penuh kenangan yang entah
terlupakan oleh Natha.

“Iren! Ayo makan malam!” panggil ibu dari arah


dapur

“Iya buuu”

Seorang psikolog mencatat hal-hal yang pasiennya


ucapkan. Kata demi kata yang tak nyata terus
keluar dari mulutnya. Sesekali kacamata yang ia
kenakan di lepas karena air matanya yang terus
berjatuhan.

Sorot mata penuh kekosongan, juga wajahnya yang


pucat.

“Siapa Natha?” tanya sang psikolog bertanya kala


nama itu terus menerus di ucapkan oleh sang
pasien. “Natha, kekasih saya yang meninggal dua
tahun yang lalu.” Ucapnya dengan tatapan sendu
menatap sang psikolog.

248
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Maaf untuk mengatakannya, tapi, nama itu tak
pernah ada. Semua hanya hayalan anda semata.”
Ucap psikolog itu menatap sang pasien.

“Cepat sembuh ya, Hanan.” Psikolog itu tersenyum.


Karin tersenyum dengan Hanan yang sebagai
pasiennya.

TAMAT HEHEHE

249
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Pembalasanku
Kazia Rafa Maulida

Berbagai macam hinaan aku dapatkan seperti hari-


hari sebelumnya saat aku mulai berjalan ke arah
kantin ketika bel istirahat mulai terdengar dengan
sangat nyaring. Aku yang sudah terbiasa dengan
keadaan ini hanya bisa terdiam di saat orang-
orang menatap dengan berbagai macam ekspresi di
mata dalam mata mereka

Aku berusaha untuk tak menggubris semua


perkataan yang menyayat hatiku dengan berusaha
untuk tetap memakan makan siangku sembari
memasang raut wajah dingin. "Kamu tampak sangat
menyedihkan saat seperti itu Alena," ucap
Rebecca, salah satu gadis terpopuler di sekolah ini.

Aku hanya bisa terdiam tak bergeming saat ia


berkata seperti itu, rasanya hatiku terasa di sayat
oleh ribuan pisau hinaan. "Tutup mulut busukmu itu
Rebbeca, itu menjijikkan," ucapku sembari
memasang raut wajah yang menggambarkan

250
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
ketidaksukaanku pada diriku padamu. Wajah
Rebecca seketika berubah menjadi masam tak
kala ia mendengar tanggapanku atas penghinatn
yang telah ia berikan padaku.

Rebecca hanya memasang raut wajah


menyedihkan seperti itu sembari menatapku
dengan tatapan yang bagai melihat salah satu
makhluk paling hina di muka bumi ini. Aku sudah
tak peduli lagi dengan apa yang akan dilalukan oleh
Rebecca dan sekumpulan teman-temannya saat
aku berjalan menuju kamar mandi untuk
merapihkan penampilanku yang sudah berantakan.

Aku berjalan dengan langkah yang berat sembari


terus menahan rasa sakit akibat hinaan yang
datang dari berbagai bibir-bibir yang menghina
terus-menerus menghina tanpa henti kepadaku.

Sesampainya di dalam bilik kamar mandi yang sepi


dan sunyi, aku hanya bisa menatap diriku yang
memiliki tampang yang tak secantik sekumpulan
gadis populer di sekolah ini. Bentuk tubuhku juga
tak seindah mereka, rambutku yang mejuntai
251
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kebawah hanya memperburuk keadaanku yang
membuat diriku terus-menerus mendapat
berbagai macam hinaan tanpa henti. Aku mulai
menangis tanpa henti sembari menutup seluruh
wajahku dengan kedua tanganku.

Seluruh wajahku kini dipenuhi dengan genangan


air mata kesedihan nan kepedihan. Isak tangisku
kini menggema, memenuhi seisi kamar mandi. Aku,
aku sudah terlalu lemah untuk menahan semua ini.

Aku menatap wajahku yang berada di dalam cermin.


Menatap tubuh seorang gadis remaja berusia 17
tahun yang menahan begitu banyak luka atas
semua penghinaan yang kuterima selama beberapa
tahun kebelakang. Aku bahkan merasa tak berguna
untuk menikmati hidupku sebagai remaja biasa.
Hidupku, terlalu menyedihkan. Aku menanggung
banyak penghinaan.

Aku berjalan keluar dengan wajah yang merah dan


dipenuhi oleh air mata yang telah kering. Aku
mengusap wajahku dengan kasar menggunakan
lengan bajuku, berusaha untuk menyembunyikan
252
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
hal itu dari semua orang. Aku berjalan secara
perlahan menuju kelasku saat mendengar bel telah
berbunyi, menandakan waktuku untuk segera
kembali melanjutkan pembelajaran tanpa
menunjukkan wajah menyedihkanku ini kepada
orang lain yang bahkan tak peduli dengan fakta
bahwa aku hidup di dunia yang kejam ini.

Aku berjalan masuk kedalam kelas yang dipenuhi


oleh kebisingan yang keluar dari mulut orang-
orang yang hanya mementingkan diri mereka dan
aku sendiri mulai duduk diam di kursiku saat guru
mulai masuk kedalam kelas dan menjelaskan
tentang materi biologi di jam terakhir hari ini.
Waktu demi waktu terus berlalu, guru yang
menjelaskan materi secara panjang lebar mulai
berhenti saat bel pulang sekolah berbunyi.
Seluruh murid di dalam kelas mulai mengepak
barang mereka dan keluar dari lingkungan sekolah.

Aku merasa lega karena pembelajaran sudah


berhenti di hari ini dan berjalan dengan penuh
gembira keluar dari lingkungan sekolah yang tidak

253
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
menyenangkan. Aku mulai berjalan menuju
rumahku yang tak terlalu besar serta jaraknya
yang tidak jauh dari sekolahku berada. Aku mulai
mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan.

"Aku pulang," ucapku saat kulihat ayah sedang


meminum sekumpulan botol alkohol dan beberapa
kaleng beer yang berserakan di meja menandakan
bahwa ia sudah terlalu mabuk sore itu. Aku yang
sudah terbiasa dengan keadaan yang tak nyaman
ini hanya bisa membiarkan ayah dan berjalan
menaiki tangga menuju kamarku.

Kubuka pintu kamarku secara perlahan dan


menutupnya kembali saat aku mulai mengganti
bajuku dan mengerjakan berbagai macam
pekerjaan rumah yang di berikan oleh guru tadi.
Saat aku mulai mengerjakan beberapa pekerjaan
rumahku yang sebentar lagi sudah beres, kulihat
pintu kamarku terbuka secara perlahan sembari
aroma alkohol secara sedikit demi sedikit
memenuhi ruangan.

254
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Ayah datang hanya untuk sekedar memegang
tubuhku. Alih-alih menanyakan kabarku, ayah
langsung meraba-raba sekujur tubuhku. Meskipun
aku telah terbiasa dengan sifat ayah yang seperti
ini, aku tetap tak bisa menahan kesedihanku saat
ayah mulai melakukan hal tersebut. Segala macam
emosi yang kurasakan bercampur menjadi dua
emosi. Kemarahan , dan kebencian yang membara
di pikiranku. Aku mulai menitikkan air mata dalam
kesunyian tak kala ayah terus-menerus memegang
bagian tubuhku."Ayah, kumohon hentikan nafsu
bejatmu kepadaku, aku lelah ayah," ucapku dengan
sedikit gemataran."Berisik dasar anak haram!
Kamu itu anak haram yang pantas untuk di
perlakukan seperti ini dasar bodoh!" Teriak ayah
kepadaku.Aku langsung merasa ketakutan dan
memilih untuk diam dan tak banyak bicara.

Waktu berlalu dengan cepat. Ayah sudah pergi


keluar rumah di tengah malam hanya untuk
membayar wanita murahan untuk menemaninya
tidur, meninggalkan aku sendirian di dalam
kamarku dengan kesedihan yang tak dapat ku
255
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
tampung lagi di dalam hati mungilku. Aku mulai
menangis, meluapkan seluruh emosiku pada semua
orang yang telah berbuat kejam kepadaku. Aku
menangis dengan kencang di tengah malam itu,
memecah keheningan di dalam rumah yang sunyi
nan dingin ini.

Aku menangis dan menangis tanpa henti di tengah


malam yang sunyi dan dingin. Membayangkan
betapa jahatnya manusia di muka bumi ini. Lebih
jahat dibandingkan seorang iblis manapun.
Mengapa manusia terkadang bertingkah jauh lebih
jahat dan keji di banding dengan makhluk yang di
buat dengan api neraka?

Aku hanya bisa menangis sepanjang malam yang


dipenuhi dengan kepedihan tersebut. Hingga
akhirnya, aku tidur terlelap karena sudah banyak
air mata yang telah ku keluarkan. Malam itu, aku
bermimpi bertemu dengan ibuku yang telah lama
wafat. Aku melepas rinduku pada ibu dan
meluapkan segala emosiku di dalam pelukannya
yang hangat. Dengan diselingi isak tangis, aku

256
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
bertanya pada ibu apa yang harus aku lakukan agar
aku kuat untuk menghadapi semua ini. Namun,
sebelum ibu bisa menjawab pertanyaanku, aku
terbangun dari tidurku dengan sekujur tubuh yang
di penuhi dengan keringat dingin.

Menandakan bahwa aku terlalu hanyut dalam


mimpiku sehingga aku terlalu merasa emosional.
Aku langsung bangun dari tempat tidurku dan
pergi ke sekolahku seperti biasanya. Aku melihat
aula yang telah ramai dan di penuhi dengan seluruh
murid yang tampak terkejut dengan suatu
informasi yang diberikan oleh pihak sekolah.
Sayup-sayup, aku mendengar suara kepala sekolah
yang mengumumkan kematian Rebecca dan
beberapa orang temannya.

Jujur saja, aku merasa senang dengan kabar


kematian mereka. Terlebih saat mendengar
mereka mati dalam keadaan yang tak wajar dan
begitu mengenaskan. Aku berusaha untuk
menyembunyikan perasaan senangku dan
bertingkah seperti tidak ada apapun yang terjadi.

257
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Aku hanya memasang raut wajah sedih di hari itu,
berpura-pura untuk ikut berduka dengan keadaan
yang terjadi.

Karena kabar kematian yang tersebar di seluruh


sekolah, kepala sekolah memutuskan untuk
meliburkan kegiatan pembelajaran untuk
beberapa saat. Tentu saja semua murid langsung
pulang ke rumahnya masing-masing tak terkecuali
dengan diriku. Aku langsung berjalan menuju
rumahku dengan perasaan bahagia dan bercampur
dengan kesenangan yang luar biasa."hufth,
kuharap mereka tak lagi muncul di hadapanku
meski mereka sudha mati sekalipun," ucapku
sembari menyeringai berjalan melewati gang
sempit untuk menuju rumahku.

Malam itu, aku sedang menonton berita tentang


kasus ayahku yang menghilang serta kabar
kematian Rebecca dan teman-temannya yang
ditemukan tanpa tubuh. Aku hanya bisa bergidik
ngeri saat aku mendengar berita tersebut.

258
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Namun, aku tersenyum lebar saat aku ingat bahwa
aku telah mengubur tubuh mereka dengan baik di
bawah rumahku. Para pengusik itu telah
mendapatkan apa yang seharusnya mereka
dapatkan. Dan aku, mendapatkan apa yang
seharusnya aku dapatkan. Sebuah kebebasan
untuk hidup dengan aman dan nyaman.

Aku berjalan memasuki kamarku tanpa perasaan


bersalah sama sekali saat kulihat wajah Rebecca
yang dipenuhi dengan luka dan memar
memandangiku dengan tatapan menyedihkan.

259
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Malam untuk Bintang
Wening Nurinnida

Bintang-bintang di langit kini terlihat sangat indah


kala langit malam yang begitu cerah di hiasi
beberapa awan di atas sana. Bulan purnama yang
terlihat sangat nyata menyinari bumi dengan
cahaya nya sendiri.

Seperti pemuda dengan rambut hitam yang sangat


berantakan tengah menatap langit dari atas
rooftop, membiarkan hembusan angin menerpa
kulit pemuda itu.

dirinya menatap langit malam dengan tatapan kalut.

Merebahkan tubuhnya di lantai dingin pada


rooftop tersebut tanpa alas, menjadikan
tangannya sebagai bantalan lalu kebali menatap
langit malam yang menenangkan.

Matanya tertutup menikmati hembusan angin


malam yang bisa saja membuat pemuda itu
kedinginan.

260
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Saat membuka matanya, pemuda itu mendapati
adanya bintang jatuh. Dengan segera ia menduduki
dirinya lalu berdoa agar harapannya dapat di
kabulkan. Setelah memejamkan mata sembari
berdoa, pemuda itu membuka matanya kembali.

Tak lama setelah itu, ia kembali merebahkan


dirinya dan menatap langit lagi.

Belum genap 5 menit menutup matanya, ada


seseorang yang menggoyangkan tubuh pemuda itu
hingga ia dapat melihat objek yang mengganggu
ketenangannya.

Spontan ia menduduki dirinya kala melihat


kehadiran cewek berambut kuning sedikit pirang
terang.

Senyumnya mengembang sangat lebar tapi cukup


manis. Tahi lalat di bawah mata dan kulit putih
bersih juga dengan pipi berona merah muda
menambahkan kesan bahwa cewek itu seperti
manusia yang keluar dari cerita dongeng.

261
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Hai! Aku Nathala! Kamu?” ucap cewek itu tiba-
tiba memperkenalkan diri duduk di sebelah
Pemuda itu. dengan tangan yang ragu, ia membalas
jabatan tangan dari cewek yang sebagai lawan
bicaranya.

“Bintang,” singkatnya tanpa senyum ke arah cewek


bernama Nathala itu.

“Kamu sering liat bintang di sini?” tanya Nathala


kepada pemuda bernama Bintang.

yang di tanya hanya mengangguk singkat lalu


kembali menatap langit malam.

Cewek itu tersenyum manis ke arah Bintang


membuat yang di tatap sedikit gugup.

“Aku akan temani kamu di sini deh!” Sontak


Bintang menoleh ke arah Nathala, sedikit terkejut
dengan kehadiran Nathala yang menurutnya tiba-
tiba juga yang tiba-tiba ingin menemaninya.

“Kenapa?” Pertanyaan Bintang hanya dapat


tatapan lucu dari Nathala.

262
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Kenapa kamu tanya? Mulai malam ini kita teman.”
Ungkapnya membuat lagi-lagi Bintang terkejut.

Pantas saj, Bintang bertanya akan hal tersebut,


karena selama hidupnya tak ada yang mau
mendekati Bintang karena rumor-rumor dan
pendapat orang-orang yang mengganggunya
membuat dirinya sulit mendapati teman yang
percaya pada dirinya.

“Kedepannya, aku bakal temani kamu liat bintang,


biar kamu gak sendirian,” senyum Nathala diikuti
dengan kedua matanya yang menyipit membuat
Bintang percaya akan ketulusan Nathala.

Bintang mengangguk semangat dengan senyum


yang tertera pada wajahnya.

“Rambut kamu panjang ya, mata kamu aja hampir


gak kelihatan,” ucap Nathala menunjuk rambut
Bintang yang amat berantakan

“Aku berniat mencukurnya,” ucapnya menatap


Nathala yang terlihat masih memasangkan senyum
itu.
263
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Tapi gapapa kok, itu senyaman kamu aja,” Ucap
Nathala lagi. Dan dapat senyuman dari Bintang
yang masih membisu

Nathala terus tersenyum dan terus berbicara


membuat Bintang sedikit hangat. “Sepertinya kita
seumuran.” Nathala yang tadinya menatap Bintang
di sebelahnya, kini menatap bintang di langit yang
bertebaran sangat banyak dan tak terhitung
berapa jumlahnya.

Bintang hanya mengangguk sembari menatap


Nathala yang duduk selonjoran di sebelahnya.

Keesokannya, Bintang memotong rambut menjadi


lebih rapi dan enak dilihat.

Dan ini untuk pertama kalinya kembali ke sekolah


setelah cuti beberapa minggu karena rumor
tersebut.

Entahlah, kehadiran Nathala membuat dirinya


bangkit kembali.

264
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Suasana sekolah masih sama seperti terakhir kali
Bintang ke sini. Berisik dan menyebalkan.

Semua mata tertuju padanya saat dirinya


memasuki kelas. Suno sebagai orang yang selalu
mengolok olok Bintang begitu puas kala sang biang
kembali ke sekolah.

Bintang cuek, ia berjalan menuju bangkunya yang


terletak paling ujung dengan meja yang sangat
dipenuhi coretan berupa maki-makian dan kata-
kata yang tak pantas terpampang jelas di meja
Bintang yang di tulis dengan tipe-x.

Bintang hanya menghela melihat itu.

Ia bersekolah dengan tenang walau sekali-kali


Suno dan kawan-kawannya mengganggu Bintang
dan mencacinya atas rumor Bintang dan
perusahaan keluarganya.

Sudah satu bulan Bintang kembali bersekolah,


sudah satu bulan pula Nathala menemaninya di
rooftop apartement miliknya. Hubungan mereka

265
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
kian mendekat, Bintang pun terlihat lebih sering
berbicara dibanding dahulu.

Hari Seni, Bintang bersekolah seperti biasa.


Hanya saja saat ia memasuki kelas hawa di sana
sangat tidak enak. Di tambah anak-anak kelas
menatap kedatangan Bintang dengan tatapan
penuh kebencian.

Bintang masih terdiam di ambang pintu hingga


seseorang menyuruhnya untuk menyingkir.

“Menyingkirlah dari sana brengsek,” ucap orang itu


dengan seragam yang berantakan. Ia adalah Suno,
anak brandalan di sekolah.

Suno melewati Bintang begitu saja. “Oh iya,” Suno


membalikan badannya menatap Bintang dengan
tatapan sinisnya.

“Ku dengar perusahaan orang tua mu bangkrut, apa


kau akan baik-baik saja setelah ini?” Bintang
menganggkat satu alisnya bingung ditambah
terkejut dengan ucapan Suno yang ambigu.

266
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Oleh sebab itulah mengapa saya bertanya
keadaan mu nantinya, Karena, bawahan orang tua
ku akan menghancurkan perusahaan keluargamu
lebih dalam dan pada akhirnya kau akan hancur!”
Suno mengangkat ujung bibirnya membentuk
senyuman licik.

Bintang mendengar itu menatap Suno tak


menyangka.

Sudah cukup hidup Bintang hancur karena


perusahaan orang tuanya. Apalagi ketika
perusahaan sedang berantakan dan emosi Ayah
tak beraturan, maka di situlah tubuh Bintang akan
menjadi samsak Ayahnya karna emosi akan
perusahaannya.

Waktu sangat cepat berlalu, Bintang kembali ke


Apartemen. Lalu, mengganti pakaian dengan kaus
putih lengan pendek dan celana hitam selutut. Ia
menggosokan handuk ke rambutnya yang basah
membuat rambut menjadi acak-acakan.

267
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Apartemen sepi dengan pancahayaan hanya
bersumber dari lampu cup di sebelah televisi yang
padam. Lantas Bintang duduk di sopa menatap
televisi yang padam itu dengan tatapan frustasi.

Bintang takut dirinya kembali hidup di rumah


nenek seperti saat kecil dulu. Bintang takut akan
di siksa seperti dulu oleh kakeknya, walau
nyatanya Bintang sendiri kini di penuhi oleh
keheningan dan kesepian yang sudah menjadi
pakan Bintang sehari-hari.

Bintang teringat akan Nathala, satu-satunya


teman yang Bintang miliki sedari kecil.

Satu-satunya orang yang percaya perkataan


Bintang dan menjauhi rumor-rumor aneh tentang
dirinya membuat Bintang tersadar akan Nathala
yang selalu berada di sisinya. Di rooftop, tempat
Nathala dan Bintang selalu bertemu, tempat
Bintang mengeluh kepada Nathala akan
kesepiannya, tempat Bintang menatap sekawannya
yang bertebaran di langit malam, dan tempat

268
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang tersadar kalau selama ia di sebelah
Nathala, kesepian itu tak ia rasakan.

Nathala sangat berharga untuk Bintang.

Mengingat Nathala, Bintang berniat menuju


rooftop tempat favorite nya.

Baru saja mengenakan jaket, pintu utama terbuka


menampilkan sang Ayah dengan setelan jas yang
sangat berantakan.

“Bintang,,” panggilnya dengan suara yang tak


bertenaga. Sang Ayah berjalan mendekati Bintang
yang mendadak berdiri kaku. Tubuhnya bergetar
ketakutan kala sang Ayah menjambak rambutnya
sangat keras hingga beberapa helai terjatuh.

Bintang meringis kesakitan saat kepalanya terasa


begitu pusing, air matanya sudah hampir terjatuh,
tapi ia tak boleh menangis. Ayahnya akan
mengatainya bila Bintang menangis.

Setelah 5 menit Ayah menjambak rambut lembab


Bintang, kini sang Ayah melangkah menuju dapur

269
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
mengambil sesuatu, sedangkan Bintang meringkuk
di lantai memegang kepalanya yang sakit.

“Kau tahu? Perusahaan saya hancur. Itu karena


anda, itu anda, ITU ULAH MU BEDEBAH.” Sang
Ayah mengambil sesuatu di sana setelah berteriak

“Bedebah harus diberi pelajaran, bedebah harus


menghilang dari hidup ku.” Ayah berjalan ke arah
Bintang yang kini dengan posisi yang sama menatap
sang Ayah terkejut dan takut.

Ayah memegang pisau di tangan kirinya. Tangan


Bintang begitu bergetar dan nafasnya tercekat,
keringat meluncur bebas dan sesekali Bintang
menelan ludahnya paksa.

BRAK

Pintu itu terbuka sangat lebar menampilkan


seseorang yang terengah-engah kelelahan akibat
berlari.

“Nathala!” panggil Bintang saat mendapati Nathala


berada di tempat itu.

270
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
“Hai Bintang,” Sapa Nathala menyunggingkan
senyum manisnya dengan kedua mata yang
menyipit juga rambut pirang yang berkibaran akan
angin malam yang terus berhembus.

Bintang tersenyum lalu berlari menuju Nathala


berada. “Syukurlah kau ada di sini,” ucap Bintang
mengelap keringatnya lalu duduk lelah karena
berlari dari lantai 8 sampai rooftop.

“Bintang, aku mau ngomong sesuatu,” sontak


Bintang menatap Nathala yang kini mulai serius
tapi masih dengan senyuman yang tercetak di
wajahnya.

“Aku mau kasih tau ke kamu, soalnya ini sudah satu


bulan saat aku pertama kali bertemu denganmu.”
Bintang tersenyum sembari mengangguk.

“Katakan saja,” Nathala sontak mengangguk

“Sebenarnya, saat kamu berdoa kala ada bintang


jatuh. Bintang jatuh itu adalah aku” ucapnya
dengan volume yang masih bersemangat,

271
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
sementara Bintang terkejut lalu tersenyum
bahagia

“Ahahaha, benarkah?” tawa Bintang sedikit


bergurau

“Kamu gak percaya?” Bintang tertawa lagi, ia


menatap Nathala dengan senyuman bahagianya
kepada Nathala. “Jadi, kamu mau pergi kan setelah
ini? Karena kamu udah ada di samping aku selama
sebulan?” Nathala membola matanya terkejut
bahwa pertanyaan Bintang itu sangat tepat.

“Kamu tau dari mana?” tanya nya dengan ekspresi


yang sangat lucu di mata Bintang.

“Astaga, aku kayak hidup di dunia novel saja”

Nathala hanya menunduk memainkan kukunya tak


ingin bahwa malam ini adalah malam perpisahan.

Bintang merebahkan dirinya menatap langit yang


masih dengan taburan bintang-bintang yang
sangat cantik. Malam ini sungguh cerah dan angin
pun tidak menghembus sangat kencang.

272
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang melirik Nathala sebentar. “Nat, Aku mau
deh gabung jadi bintang-bintang di langit” ujar
Bintang menatap Nathala dengan posisi itu.
Nathala menatap Bintang

“Kenapa?” tanyanya.

Bintang menatap ke langit lalu menghembuskan


nafasnya ke udara. “Di langit enak kayaknya, luas,
memiliki banyak kawanan di sebelahnya, bersinar,
banyak di kagumi orang-orang kalau melihatnya”
ucap Bintang dengan matanya yang berembun.

“Aku pingin mengakhiri ‘bintang’ yang ada di dunia


dan menginjakan kakinya di tanah. Walaupun
begitu, bintang di langit dan Bintang di tanah bumi,
mereka memiliki kesamaan bukan? Contohnya,
walau banyak, mereka bersinar sendiri dari
banyaknya bintang di langit. Sama seperti aku,”
ucap Bintang panjang

“Kalau aku pergi, kamu gapapa?” tanya Nathala


mencoba mengalihkan pembahasan mengenai
bintang itu.

273
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)
Bintang duduk lalu mengulas senyum.

“Aku gapapa kok, mari kita jadi bintang untuk


selamanya,” Nathala mengerutkan alisnya bingung
akan perkataan Bintang.

“Bukan kamu doang yang mau pamit. Aku juga mau


pamit ke kamu,” ucap Bintang menggantungkan
ucapannya. Sementara Nathala menatap Bintang
dengan penasaran.

“Soalnya tadi aku di bunuh sama Ayah, dia


menusukku tepat pada dada ku.” Ucap Bintang
tetap dengan senyum cerah hingga deretan giginya
terlihat.

“Bintang…”

End—

274
Dari Titik Nol (Sebuah Antologi Cerpen Libasatra)

Anda mungkin juga menyukai