Anda di halaman 1dari 5

Cinta Asli atau Imitasi?

Sebuah cerpen karya Nawa Jamil

Namanya Stella. Umurnya diakhir usia 22, baru saja selesai kuliah di fakultas bergengsi
sebuah kampus terbaik di Indonesia Timur. Tampilannya biasa saja. Tapi Stella selalu suka
menampilkan identitas dari baju-baju yang ia pakai. Celana jeans agak longgar, baju kaos oblong
atau kaos kegiatan-kegiatan Himpunan, dan topi; ia menjelaskan tipekal perempuan yang tidak
terlalu peduli harmonisasi tampilan dengan sangat baik. Rambutnya biasa diikat, biasa digerai
saja. Tergantung cuaca hari itu. Stella juga selalu memakai kalung salip perak pemberian ibunya.
Ia bukan Kristen fanatik. Sekali lagi, Stella suka menampilkan identitas dari apa yang
dipakainya.

Sejak selesai dengan studinya, Stella yang asli Pare-Pare sibuk menyiapkan diri untuk tes
CPNS yang akan terbuka bulan Oktober tahun ini. Ia tidak begitu tertarik dengan ide bekerja
didepan komputer seharian dan bergelar pelayan negara. Tapi setidaknya upah dan kenyamanan
finansial seorang PNS cukup menggiurkan. Selesai kuliah, Stella tidak tinggal lama di kampung
halamannya. Ia segera kembali ke Makassar, ke kota besar dengan banyak kemungkinan-
kemungkinan. Ia menjalani persiapan tes sembari bekerja di sebuah toko bunga di sekitaran Jalan
Monumen Emmy Saelan.

Toko bunga tempat Stella bekerja senada dengan namanya, Ennelise. Terasa dingin dan
wangi. Ennelise menjual berbagai macam bunga dan pot keramik cantik. Kau bisa datang dan
melihat-lihat ratusan bunga imitasi berbagai bentuk dan warna. Juga pada sebuah ruangan
dengan pintu geser putih yang terlihat dingin, bunga-bunga asli yang diangkut dari tanah-tanah
indah di pegunungan sana, duduk manis pada ember-ember perak besar yang diisi air. Menunggu
dijemput pasang mata pembeli, atau layu dan terbuang tak terpakai.

Stella kasihan dengan bunga-bunga itu. Seringkali pada hari-hari senggang ia berpikir
untuk mengembalikannya pada tanah-tanah yang sejuk dipegunungan. Seringkali ia berpikir
untuk terlahir sebagai bunga saja. Setidaknya kehidupan singkatnya ada di tempat-tempat indah,
atau untuk orang-orang terkasih. Kepada siapa kau memberi bunga jika bukan kekasih, keluarga,
atau kawan karib yang berharga?

Pada pikiran-pikiran itu selalu diakhiri nafas pasrah.

“Cinta seperti bunga. Jika ia tak lekang berarti ia imitasi. Jika ia asli maka cuma tahan
tiga hari.”

*****
Stella suka pekerjaannya. Setidaknya ia melihat emosi-emosi cinta dari pengunjung lelaki
yang membeli buket bunga merah darah untuk sang kinasih. Beberapa dari mereka datang
dengan setelan rapih, beberapa memakai pakaian ternyamannya. Stella memimpikan pria-pria
itu, orang-orang yang membeli identitas cinta pada sebuah buket bunga-bunga hidup.
Melambangkan kasih pada sebuah penderitaan paling nyata sang bunga yang merah. Cantik
sekaligus marah.

Stella juga melayani beberapa orang tua yang datang membeli buket untuk acara khusus
kerabat pun anak-anaknya. Orang-orang yangvisioner lebih memilih buket bunga imitasi.
Bertahan lama, ekonomis, praktis, dan bisa dijadikan penghias ruang tamu setelahnya. Mereka
melambangkan cinta pada sebuah yang palsu dan wangi parfum imitasi murah lima belas ribuan.
Tapi Stella menyukai kostumer ini sama besar dengan kostumer yang lain. Stella juga setuju
pada gagasan cinta berdasarkan dayagunanya. Setidaknya perempuan itu sudah mengalami
beberapa kali cinta asli yang bertahan sebentar untuk sampai pada kata lelah.

******

Disuatu pagi mendung, seseorang datang dengan setelan jas lengkap. Perawakan tinggi
dengan bahu membungkuk. Air mukanya tidak dapat menyembunyikan sebuah kesedihan
mendalam, terpancar jelas pada kedua mata sendu itu.

“Selamat pagi, Kakek. Ada yang bisa saya bantu?”

Kakek itu tersenyum membuat garis-garis keriput pada wajahnya menegas “tentu, nona
muda. Saya sedang mencari beberapa tangkai bunga krisan dan baby breath.”

“Tentu. Silahkan ikuti saya.”

Stella memberinya 20 tangkai bunga krisan dominan kuning yang berbau manis, putih
yang berbau mint, dan ungu yang berbau manis dengan sedikit menyengat, juga 5 tangkai baby
breath.

“Sempurna!” kakek itu berseru senang. Ia membayar bunganya di kasir.

“Apakah bunganya perlu saya bungkus?”

Ia menggeleng “tidak perlu nona muda. Saya tidak akan mengambil bunganya hari ini.
Bisakah kau awetkan bunga ini untukku? Saya akan datang bulan depan untuk ini”

Begitulah. Seorang pelanggan keluar dari pintu toko, meninggalkan setumpuk tugas
untuk Stella. Sebuah paradox dalam keseharian si penjual bunga yang konstan.

******
Siang harinya seorang pria dengan setelan jas lengkap datang dengan raut muka tegang
“selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Stella. Intonasi dan kata-katanya selalu sama,
seolah kata-kata itu diucapkan robot yang sudah diprogram pemiliknya.

“Selamat siang. Saya butuh bantuan anda. Sebuah bunga indah, tidak terlalu besar tapi
bisa menunjukkan seberapa aku mencintainya.”

Stella terlihat bingung, tentu saja.

“Bunga yang cocok dan bisa menambah peluang lamaranku diterima.”

Stella mengangguk paham “buket bunganya ingin dominan warna apa, pak?”

“Apa saja yang cocok dengan setelan hitam ini.”

******

Stella membuat buket dengan kertas yang mengelilingi setengah tangkai bunganya.
sebuah buket dengan bunga mawar merah darah, merah jambu, dan putih. Dipadupadankan
dengan bunga karnasia putih dan merah jambu, juga baby breath. Katanya mawar melambangkan
perasaan jatuh cinta, sedangkan karnasia melambangkan manusia yang jatuh cinta semakin
mendalam dan kasih sayang besar.

Stella memberikan buket bunga dengan kertas putih lalu diikat pita perak berdiameter dua
senti “bunga ini berarti anda mencintainya sangat dalam” Stella tersenyum sembari
memberikannya kepada pelanggan pria yang dalam beberapa jam akan menghadapi salah satu
momen terpenting dalam hidupnya.

“Ini sempurna. Bahkan artinya juga sangat cocok, terima kasih” lelaki itu keluar setelah
membayar dengan banyak tips.

Stella tersenyum simpul “andai ada yang memberiku bunga dengan arti seindah tadi.”
Tapi terlepas dari arti masing-masing bunga, bukankah memberikan bunga sudah berarti sesuatu
yang indah?

******

Aku sudah mengenal Stella setengah dari periode diriku di Bumi. Sekitar setengah dari
satu, satu dari dua, atau empat dari delapan. Kami rutin bertemu setelah selesai dengan jam kerja
masing-masing. Setelah merantau ke Makassar, aku dan Stella tinggal bersama. Selain ongkos
tinggal lebih murah jika ditanggung berdua, orang tuaku juga lebih percaya jika tinggal dengan
Stella, maklum rumah kami di kampung saling berdekatan, selain itu kami juga alumni SMA
yang sama.
Aku kenal Stella, sama dengan aku mengenal semua pria yang pernah memainkan hati
wanita itu. Pada sebuah kesengajaan atau tidak dalam mematahkan hati perempuan, bukankah
kita semua pemain dalam teater percintaan ini? Hari ini Stella bercerita lagi. Soal betapa
romantisnya semua pelanggannya. Soal wajah carut-marut menunggu bunga pesanan mereka,
juga soal bunga-bunga untuk membuat kekasih mereka tersenyum manja selama sisa kencan.

“Ah andai mantan-mantanku seperti mereka. Setidaknya memberiku bunga yang indah
sebelum mengembalikan hati yang patah.”

Aku mengenal Stella, sama dengan kisah cinta menyedihkannya, sama dengan semua
pria yang dulu dibanggakannya lalu berakhir dengan seribu cacian dalam semalam. Temanku
satu ini sudah lelah pada semua kata-kata manis lelaki. Matanya kehilangan harap untuk sebuah
hubungan romantis, miris sekali dengan pekerjaannya meladeni keromantisan pasangan-
pasangan lain selain dirinya.

“Menurutmu, kau suka kekasihmu memberi bunga asli atau imitasi?”

Stella menanyaiku pada suatu malam saat kami tengah makan di gerobak bakso kaki lima
tidak jauh dari kosan.

“Entahlah”

“Maksudku, kau lebih memilih diberi bunga asli yang sangat wangi, tapi hanya tahan
beberapa hari lalu berakhir di tempat sampah, atau Bunga imitasi dengan wangi palsu dan tidak
terlalu mengesankan tapi bisa bertahan selamanya?”

Aku berpikir beberapa lama, mengunyah beberapa potong bakso.

“Aku memilih bunga asli yang bisa bertahan selamanya.”

“Mana bisa begitu!” Stella berseru, merasa dicurangi.

******

Tepat sebulan setelah seseorang memesan bunga kering, pelanggan itu datang kembali
dijam yang sama. Siang hari saat kebanyakan orang malas keluar rumah saking panasnya.

“Halo pak, selamat datang kembali.” Stella tersenyum menyambut pelanggan lamanya.

“Halo nona. Bagaimana bunga yang kuminta bulan lalu?”

Stella tersenyum “dikeringkan dengan sangat baik. Tunggu saya ambilkan.” Stella pun
pamit kebelakang toko, ruangan di lantai dua tempatnya mengeringkan buket pesanan
pelanggannya yang tidak biasa. Stella belajar hal baru untuk mengeringkan bunga-bunga, agar
bunganya kering dengan indah tanpa merusak struktur kelopak-kelopak bunga. Stellabekerja
ekstra untuk mengeringkan buket bunganya. Ia mengeringkan buket bunganya dengan
menggantungnya pada posisi terbalik selama sebulan lalu disemprot hairspray sebagai sentuhan
akhir.

Stella membawanya keluar, kakek yang memesannya tersenyum senang “indah sekali”
komentarnya.

Stella menyerahkan buket yang telah lunas sejak bulan lalu itu kepada pemiliknya.

“Terima kasih” ucapnya.

“Tentu, sudah tugas saya.”

“Oh iya nona muda, seperti cinta antar manusia kau memilih yang mana? Cinta yang
seperti bunga asli namun hanya tahan beberapa hari, atau cinta yang bertahan selamanya tapi
hanya imitasi?”

Stella terdiam. Mendapati dirinya pada posisi sekarang terasa aneh, dialah yang selalu
menanyakan pertanyaan itu bukannya ditanyai. Stella mengangkat bahu “entahlah”

Kakek itu tersenyum. Ia duduk di sebuah kursi, terlihat lelah karena berdiri terlalu lama.

“Cinta hakekatnya memang seperti itu. Asli tapi sementara, atau selamanya tapi imitasi.
Kita terlahir sebagai manusia yang fitrahnya dinamis. Kita tidak pernah benar-benar sama
dengan pribadi kita kemarin. Begitu juga manusia dalam memperlakukan cinta. Selalu ada
pilihan sementara atau selamanya, asli atau imitasi.”

Stella mengangguk pelan.

“Tapi kamu tahu, nona? Sama seperti bunga ini, tanpa anda yang mengeringkannya
mungkin bunga ini berakhir di tempat sampah berminggu-minggu yang lalu. Begitu juga cinta.
Tanpa perlakuan manusia, ia akan berakhir tidak lama setelah tumbuh. Selalu ada orang yang
berhasil mengabadikan cinta dengan berbagai perlakuan-perlakuan yang baik.”

******

Stella tersenyum sampai pelanggannya itu meninggalkan toko. Perempuan itu tersadar
tentang perihal bunga asli yang abadi. Seperti kataku, cinta yang bertahan selamanya. Tidak
mudah, tapi pantas untuk dipertahankan dengan berbagai perlakuan-perlakuan baik.

Makassar, 2 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai