Anda di halaman 1dari 3

Plano Pengusik Rindu

Oleh : Natasya Jeane Pratiwy

Bahana desihan tak terarah itu semakin jelas terdengar di telinga. Desihan orang memerangi plano-
plano tua di ruangan tak bewarna. Terpandang di pojokan, maskulin tua menatap lirih plano-plano
usang yang tertera. Mengagumi plano-plano yang telah pudar warnanya.

Aku melangkah masuk menuju maskulin tua itu, kakekku. Seiringan dengan bahana derap
langkahku, maskulin tua itu tak menoleh sedikit pun. Ia tetap memandangi plano-plano itu. Yang aku
tahu, ia tak menoleh bukan karena efek masa tua, walakin sebab efek plano yang memiliki arti dan
kenangan sebanyak bintang di bumantara.

Aku bersimpuh di sandingnya, ranah tak berkata hanya turut memandangi plano usang di hadapku.
Ribuan pertanyaan memutar saraf otakku, hanya saja hati menitahkan untuk diam menunggu.
Ripuhku bermain dengan teka-teki, memandangi plano usang dengan prangko beragam namun
tertera satu nama wanita-- bukan nenek ku.

"Kau penasaran?" Lontaran lirih tiba-tiba dari maskulin tua itu, tanpa menoleh dari objek utamanya.

Aku hanya berdeham lirih, masih berkutik dengan nama wanita itu.

"Ini planoku masa muda." Tuturnya tak terarah.

"Telah ku duga, kek." Ucapku dengan memandangnya.

"Begitukah? Kau yang terlalu azamat atau aku yang terlalu bodoh ya? Sebab, diriku saja tak dapat
menduganya," ucapnya makin tak terarah.

Aku membisu tak mengerti. Tetap memandanginya.

"Sepertinya aku yang bodoh dan terlalu terlena, hingga aku tak menduganya. Tak pernah terduga,
bahwasanya wanita pertamaku-- penempel prangko di plano ini bukanlah yang menjadi nenekmu.
Aku yang terlalu terlena, slalu menganggap dirinya ratu istanaku pada era itu. Era itu... teringat pada
era itu.
Wajahnya berseri saat merangkai puspa-puspa. Puspa Hydrangea merah muda kesukaannya,
masihkah? Rambutnya hitam legam berseri, namun selalu terikat dengan pita biru mega karena lebih
anggun menurutnya, padahal terurai saja membuatku terlena nona. Matanya seperti layaknya, namun
itu terisi beda. Senyumnya adalah candu terberatku, saat pribumi lain harus menyentuh 'barang
neraka', tapi aku cukup dengan senyumnya nona. Pada masa itu... kuyakinkan bahwasanya dirinya
terlihat lebih indah dari bintang yang dipuja nya." Ceritanya seakan membawanya kembali ke masa
itu.

"Seperti dugaanku, kah? Bahwasanya, wanita itu..." Kalimatku tak terselesaikan dan aku hanya
menatap retina maskulin tua itu.

Dehaman dan anggukannya membuat ku tertegun namun tak berkata. Rancu. Masih itu.

"Wanita itu... lainlah isteri-ku. Dia puteri dari komandanku di masa lalu, sahabat dari isteri-ku di
masa ini. Selain merangkai puspa, kesukaannya adalah mengoleksi perangko-perangko untuk
mengirimi plano untuk orang yang ia kasihi, sebuah kehormatan bahwasanya akulah salah satunya.
Pada masaku, tak bisa kami selalu berbalas pesan kilat seperti di masamu, perlu beberapa perjuangan
kecil untuk dapat berbalas pesan. Menunggu salah satunya. Dulu, sepekan sekali kami bertukar plano
menceritakan hal apapun tentang dunia luas ini. Namun, kala itu sudah lebih lama dari sepekan
plano-nya tak berujung di kotak surat depan rumah. Aku tetap menunggu, berpikir tenang jikalau Pak
Pos sedang ada kendala. Yang berbeda, yang datang saat itu bukanlah Pak Pos seperti biasanya,
namun wanita dengan baju hitam dengan rupa manis yang tiba. Wanita manis itu tiba, membawa
plano terakhir darinya. Sore itulah, hari dimana diriku tahu bahwa ia pergi ke dunia barunya, dan
diriku bertemu dengan dunia baru ku-- nenekmu." Perjelas lnya dengan perlahan.

Aku tertegun, masih menatap iris nya yang telah meneteskan buih air dari mata nya.
"Wanita manis dan dunia barumu adalah nenekku?" Tanyaku kemudian.

"Dirimu tak salah sayang. Saat itu aku memang sempat kehilangan duniaku, namun seiringan waktu
berjalan, dunia baruku menemaniku. Dunia baru ku itu.. dapat mengahlikanku dari dunia lamaku.
Namun bukan berarti diriku melupakan dunia lamaku." Tutur maskulin tua itu sambil tersenyum.

"Lantas, apakah kakek mencintai nenek atau...?" Diriku kembali bertanya, dengan pertanyaan yang
tak sanggup aku selesaikan.

Maskulin tua itu tertawa kecil.


"Ini yang pribumi masa kini kurang mengerti, seperti yang kau tau pernikahan saja atas dasar cinta.
Lalu, untuk membawa ibumu ke dunia? Itu membutuhkan cinta yang lebih, cucuku." Tutur kakekku,
beralih pandangan ke ranjang biru tua menatap wanita tua yang sedang bersila di lambarnya.

Para Pecandu Angka


Oleh : Natasya Jeane Pratiwy

Lukisan wajahnya memang sudah kentara


Tentang kalian para batu bara
Tak ada maksud apa-apa
Hanya ingin bercengkrema,
dengan kalian sang pendekar di zamannya

Bagaimana, handai?
Puaskah atas apa yang kalian gapai?
Tak apa, tak mesti ikhwan beri reaksi
Kami sudah memafhumi

Sabit saja handai belum begitu puas, bukan?


Tunggulah buana ini merunduk, barulah handai pensiun?
Sungguh berselok-belok sekali perjuangan ikhwan
Hanya demi angka tinggi tergores di lembar kertas tak berpengertian

Namun,
Jangan pula menyalahkan angka tinggi itu, kawan
Itu hanya sebatas pengukur materi tak beralasan
Dan, bukankah itu idola ikhwan?

Dan, 

Cobalah sedikit menoleh dari kertas-kertas mu itu kawan


Lihatlah teman di hadapanmu,
menatap ikhwan dengan penuh harap akan memiliki jiwa batu bara seperti kalian
Penuh harap akan bisa mengejar pendekar seperti kalian
Penuh harap akan sedikitnya rasa iba kalian 
Penuh harap akan datangnya hari dimana ikhwan-kanti akan menyadari 'betapa indahnya pertemanan'

Namun kenyataannya?
Selalu terhiraukan
Karena untuk kalian,
untaian materi yang utama

Anda mungkin juga menyukai