Anda di halaman 1dari 3

Setelah Malam

Boy Pratama Sembiring

Malam selalu punya cerita, entah merasuki perenung dengan kesendiriannya atau
warna-warna ramai yang benerang. Jalanan dipenuhi dendang desah dan tarian birahi tanpa
henti. Aku mulai terbiasa menjadi janda setelah dinikahi lelaki yang tidak memenuhi
kewajibannya. Belum genap empat tahun kami menikah, yang diwariskan hanya sepasang
anak yang mesti aku urus sendiri. Aku tidak menyesal mempunyai anak, hanya saja biaya
kebutuhan pokok tidak pernah cukup aku dapatkan. Menjadi perempuan tidak semenarik
cerita mengenai dewi-dewi yang dipuja mati atau kisah ratu yang enak hidupnya di istana.
Setiap pagi aku harus bertarung dengan kepulan asap kemudian menyusu anak perempuanku
sebelum berladang. Tidak disarankan sebenarnya, namun apa boleh buat perut harus terus
diisi.

“kulitmu gelap, mana ada yang tertarik padamu”.

Aku tidak menghiraukan ucapan mak Tini, yang penting aku masih sedikit seksi
untuk para cabul. Tubuhku juga tidak kalah dari perempuan-perempuan Jepang yang
mengambil wilayah-wilayah kami.

“aku telah membayar ke mak Tini, ayo” rayu cabul langgananku.

Aku heran, kenapa aku tidak dinikahinya saja. Padahal akan lebih menguntungkan
buatnya. Setiap pagi ada yang memasak, mencuci pakaian, melampiaskan nafsu, dan
membuat kopi untuknya. Tapi, mana mungkin lelaki cabul ini akan setia. Orang-orangnya
saja rela dibunuhnya untuk mendapat nama dari tuannya.

“bagaimana, kau puas?”.

“puas sekali” kibulku.

“seminggu lagi aku kemari?” deriknya sembari memakai kembali pakaiannya.

“kenapa lama?”

“aku mesti ke selatan untuk menertibkan pribumi tidak tahu diri” ucapnya tanpa malu.

“jangan mati!”
Di masa-masa seperti ini aku juga tidak terlalu menyalahkannya. Tidak berkhianat
tidak akan hidup di bumi yang habis dijarah ini. Pintar saja tidak cukup, mesti pintar-pintar
untuk hidup. Sepulang melacur aku menikmati malam sejenak. Melihat kesendirian bulan di
ramai gemerlap bintang.

“hai manis, kenapa duduk sendiri?”

“bukan urusanmu?” sinisku.

“tidakkah kau tahu, bahwa malam sangat menakutkan, apalagi untuk perempuan
cantik seperti dirimu. keadaan sedang tidak aman, banyak orang-orang Jepang, lebih baik
berdiam di rumah”.

Tatapannya menusuk, benar-benar aku tergoda, semua darinya aku suka.

“mau kuhantar pulang?”

“jangan memaksa, aku terima”.

Ia tersenyum, memegang tanganku dan menghantarkanku melalui lorong-lorong gelap


perkampungan. Banyak yang ia tanyakan, tidak satupun yang tidak kujawab. Gelap habis di
ujung jalan juga menghabiskan perjalanan kami. Aku menawarkan teh untuk kebaikannya,
sebenarnya untuk hadirnya, untuk tidak lagi merasa sendiri di bumi ini. Derik jangkrik juga
membaur diperbincangan kami.

“dua hari lagi, aku kembali ke sini”

“mau kemana?” tanyaku penasaran sekaligus bersedih. Baru aku bertemu seseorang
yang benar-benar menghilangkan sepi.

“banyak warga yang mesti dibebaskan” tegasnya kemudian melangkahkan kakinya


keluar dari pandanganku.

Tugasnya memang mulia, tapi apa gunanya kalau mati. Aku jadi bingung sendiri,
kenapa aku malah terus memikirkannya seperti ini. Masih banyak yang mesti aku penuhi.
Aku sampai lupa berkenalan, bahkan pertemuan terus mendesak menjadi kesatuan walau
tidak saling mengenal. Sial, pikirku. Dua hari lagi, aku akan tanyakan.

Anda mungkin juga menyukai