Anda di halaman 1dari 4

Kancil sesungguhnya menolak atau sadar bahwa ia tak sepenuhnya serupa dengan

gambaran generasi Kampung Item. Ia sadar betul itu. Berkelahi lebih sering kalah,

menenggak sedikit alkohol atau secuil pil koplo sudah teler, mencuri tak punya nyali,

berbohong jelas bukan keahliannya. Pernah suatu malam, dalam ritual ujian

kedewasaan di makam Cina yang dijadikan lokalisasi liar, Kancil yang masih kelas 1

SMP malah terjerembab di lubang makam karena teler berat, lalu ditolong waria yang

seharusnya memberinya layanan perdana.

Bukannya iba, teman-temannya yang menjadi mentor hidup di jalanan malahan

terbahak-bahak. Kejadian itu menjadi legenda konyol si Kancil yang selalu menjadi

lelucon berkelanjutan di antara mereka. Di dalam hati, Kancil mensyukuri kejadian

malam itu, karena ia pun sesungguhnya merasa ada yang keliru. Bukan karena rasa

berdosa, jijik, aib, atau hal-hal lain seperti dijejalkan para pengkhotbah. Lebih karena ia

merasa tak nyaman terlalu cepat dipaksa menjadi dewasa.

Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di kampung keras itu.

Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi. Sebenarnya, ia terhitung pintar

secara akademis di kelas, tetapi tidak ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih

mengakrabi dunia seni yang lebih luwes. Di sekolahnya, ia beberapa kali mewakili

lomba menggambar antarsekolah yayasan dan tak jarang menang. Ia juga menekuni

teater dan pantomim, sesuatu yang kerap menjadi olok-olok di Kampung Item. Itu pula

yang membuat Wanto menyebutnya badut.

Semua pencapaian dalam lomba-lomba seni jelas bukanlah bentuk sebuah prestasi bagi

warga Kampung Item. Apalagi dibangga-banggakan. Hidup ini keras, tak bisa
ditaklukkan dengan laku-laku lain selain kekuatan fisik dan keberanian, jika perlu

nekat.

Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di


kampung keras itu. Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi.
Sebenarnya, ia terhitung pintar secara akademis di kelas, tetapi tidak
ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih mengakrabi dunia seni yang
lebih luwes.

Tak peduli itu semua. Kancil abaikan konsesi kekerasan dan olok-olok itu. Kali ini ia

bertekad melanjutkan melatih anak-anak usia sekolah di Kampung Item bermain peran,

dalam sebuah drama sederhana setelah membaca pengumuman di Pusat Balai Budaya

tentang lomba pentas seni budaya antarkampung yang akan digelar di Balai Kota dalam

rangka peringatan ulang tahun kota. Tak lama lagi.

Namun, sekalipun yakin melangkah, ia merasa perlu mengadu, mengumpulkan energi.

Jika sudah begitu, ia tahu kemana harus menuju. Hanya ratusan langkah dari mulut

gang Kampung Item.

“Tidak usah jadi pikiranmu,” kata Wasih, perempuan setengah baya itu.

“Tapi aku, kan bukan badut, bulik”. Kancil terdengar seperti merengek.

“Wanto masmu itu, kan, hanya asal ngomong.” Wasih menyodorkan segelas cairan

hitam beraroma kuat yang biasa ditemui di kios-kios jamu, sahabat akar rumput kota.

Perempuan yang dipanggil bulik itu sudah seperti ibu bagi Kancil. Sehari-hari ia

menjaga warung gerobak hingga dini hari. Wasih pula yang sejak kecil merawat,
menjaga Wanto dan Kancil. Tak jarang ia menginap di bilik pengap itu, juga ketika ayah

keduanya sedang berada di bilik bersekat itu.

“Kamu mirip ibumu,” ujar si bulik.

“Ibu, yaa...” Kalimat itu terpotong. Pikiran Kancil menerawang jauh.

Ia tak punya kenangan sama sekali tentang ibu. Bahkan, definisi seorang ibu pun ia

belum paham benar. Ia bingung ketika teman-temannya di sekolah dasar dulu

berceloteh riang tentang sosok ibu yang memandikan, menidurkan, menyiapkan

sarapan, mengantar sekolah, bekerja, atau mengambil rapor. Kancil hanya tahu sosok

itu ada pada bulik Wasih, itupun tak sepenuhnya utuh.

Dari Wasih pula ia tahu jika ibu kandungnya pergi meninggalkan rumah sejak ia bayi.

Perempuan itu seorang penari ledhek tradisional yang mencari nafkah bersama

kelompoknya dari kampung ke kampung. Turut berjuang menafkahi keluarga kecilnya,

pada akhirnya perempuan tangguh itu tak tahan lagi menghadapi perangai suaminya,

pekerja serabutan temperamental dan terlalu mencintai judi dan alkohol. Hampir tiada

hari tanpa adu mulut jika keduanya sedang satu atap.

Hingga suatu pagi buta, sembari menenteng tas kain kecil, ia mengetuk pintu rumah

Wasih. Tubuhnya kuyu, matanya sembab, entah menahan sakit, pedih, atau sedih. Atau,

lebih dari itu. “Nitip bocahku, ya, sih,” katanya sesenggukkan. Wanto kecil masih

terlelap di rumah. Lalu, ia menghilang meninggalkan sekaleng susu, hampir 18 tahun

lalu. Tak ada kabar berita. Entah kini di mana.

“Cil, malah ngelamun ki piye, tho?”


“Ohh…nggak kok bulik.” Kancil tersadar. Minuman hitam tadi tandas dalam sekali

teguk. Sensasi hangat menjalar dari kerongkongan, dada, hingga seluruh tubuhnya di

malam gerimis itu.

“Kampung ini butuh orang seperti kamu, Cil. Bocah-bocah yang latihan drama itu

kelihatan senang bukan main. Bulik belum pernah melihat rasa bungah seperti itu di

sini. Kalau perlu beli perlengkapan buat lomba, omong saja. Piro?”

“Mboten, lek. Cukup”.

Kancil sungguh merasa beruntung memiliki bulik Wasih. Perempuan itu pula satu-

satunya yang menangisinya ketika sebulan lebih menghilang bersama gerombolan kecil

sebayanya untuk sebuah petualangan. Mereka jadi penumpang gelap kereta,

“nggerenjeng” menyinggahi sejumlah kota di Jawa Tengah, hidup dari mengamen dan

mengutil, lalu tidur di mana saja. Kembali ke kampung, remaja-remaja itu menemui

kenyataan bahwa tak satupun keluarga mereka merindukan. Hanya si bulik yang

menginterogasi Kancil dan memintanya bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Dan,

seperti sebuah mantra: kasih sayang tulus tak pernah sia-sia.

Sejak itu, Kancil tahu apa arti dirindukan dan dicintai, meskipun ia tidak bisa

memahami sepenuhnya pengalaman perasaan itu. Seperti mati rasa, meskipun tidak

benar-benar mati. Mungkin, ya mungkin, karena itu pulalah yang membuatnya berbeda

dengan Wanto dan generasi muda kampung itu.

Anda mungkin juga menyukai