Anda di halaman 1dari 16

KUMPULAN CERPEN

Knock Knock
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri
Kategori: Cerpen Horor (Hantu), Cerpen Thriller (Aksi)

Hitam
Cerpen Karangan: Ayu Churiyatul Jannah
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Misteri, Cerpen Slice Of Life

Lapek Tujuah
Cerpen Karangan: Monalisa
Kategori: Cerpen Dongeng (Cerita Rakyat)

Cia dan Pia Mau Beli PS4


Cerpen Karangan: Azizah Nurul
Kategori: Cerpen Gokil, Cerpen Lucu (Humor)

Hanya Pelampiasan
Cerpen Karangan: Vira Ulandari
Kategori: Cerpen Patah Hati

Tiara Asya da Rosta


Kelas IX/9

2018
Knock Knock
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri
Kategori: Cerpen Horor (Hantu), Cerpen Thriller (Aksi)
Lolos moderasi pada: 23 August 2018

Ini merupakan malam yang amat mengerikan bagi Michael dan yang lain. Mereka terpaksa terkurung
di rumah dengan Edward, psikopat yang mengincar nyawa mereka.
Derap langkah kaki terdengar. Rinto membungkam mulut Lucy agar mau diam. Michael dan Azazel
bersembunyi di ruangan yang berbeda.

Edward memainkan pisaunya. Mulutnya mulai menyanyikan sebuah lagu.


Just wait
You can’t hide from me
I’m coming

Sesaat dia terdiam. Berdiri di depan pintu. Di dalamnya ada Rinto dan Lucy.

Knock knock
I’m at you’re door now
I’m coming
No need for me to ask permission

Langkahnya terseret. Tangan Edward terulur ke arah pintu lemari.


“Dan aku menemukanmu!” BRAK! Keduanya tak ada di sana. Rinto menendangnya keras hingga
Edward tersungkur dan menguncinya di dalam sana.
“Azazel! Michael! Kalian di mana?! Cepatlah keluar!” Rinto berteriak mencari mereka. Ruangan demi
ruangan dia masuki. Namun, tak menemukan Azazel dan Michael.

“Hahaha! Berusaha mengunciku? Dasar sampah! Kemarilah kau, keparat!” Edward mengejar Rinto
dan Lucy dengan pisau yang dia pegang sejak awal. Pintu keluar ada di ujung sana.
“Cepat, Lucy! Kita akan keluar, adikku!” Rinto menggendongnya. Mendobrak pintu dan segera lari ke
luar. Keadaan menjadi semakin buruk. Banyak badan yang terpotong. Darah berceceran. Bau anyir
menyeruak dan menguasai hidung Rinto.

“Kakak, aku takut,” Lucy menangis dalam gendongan Rinto.


“Tenanglah! Akan kubawa kau ke tempat yang aman!” Rinto terus saja berlari. Sesekali menoleh ke
belakang. Edward tak mengejarnya.
“Aakk..” entah dari mana asalnya pisau itu. Namun, sudah menancap di leher belakang Lucy.
“Lu-lucy!”
Tawa Edward meledak. Menatap Rinto sembari menyeringai aneh.
“Hmph. Dia sudah mati, bodoh. Kini tinggal Azazel dan Michael. Setelah itu, giliranmu. Bye.”
Rinto benar benar terpaku di tempatnya. Melihat Lucy yang sudah tewas. Darah menggenangi
kakinya.

“Aku harus menolong mereka. Jika tidak, mereka akan mengalami hal yang serupa dengan Lucy.”
Rinto menarik pisau yang menancap di leher Lucy. Menjilat darahnya. Seketika dia berubah.
“Akan kubalaskan dendammu padanya, adikku Lucy,”

Edward memasuki kamar mandi. Tak ada siapapun di sana. Ia mulai bernyanyi lagi. Kakinya
melangkah keluar. Memasuki ruang sebelah.

Knock knock
I’m inside your room now
Where is it you’ve hide?
Out game of Hide And Seek’s about to end!

“Jangan bersuara, Azazel,” Keduanya saling membungkam mulut. Berusaha tak menciptakan suara
yang akan mengundang kedatangan Edward. Keduanya bersembunyi di lemari pakaian. Badan mereka
sangat pendek. Lumayan tertutupi dengan baju baju yang ada di dalamnya.

I’m coming closer


Looking undermeath your bed, but
You’re bot here, I wonder
Could you be inside the closet?

Tatapan Edward terarah ke lemari pakaian yang ada di pojok ruangan. Dia berjalan ke sana.
“Kumohon jangan dibuka..” hati kecil Azazel terus berdoa. Memohon Tuhan menolongnya.
“Diam di sini, Azazel. Akan kuselesaikan semuanya.” Entah apa yang diambil Michael.
“Mau ke mana kau? Jangan meninggalkanku sendiri di sini.” Michael tak menjawab rengekan kecil
Azazel.
BRAK! BRUAK!
“Aakk..!” Teriakan itu seolah tertelan begitu saja. Azazel tak tau siapa yang mati. Tubuhnya gemetar.
“Azazel?”
Tangisnya mulai pecah. Ternyata itu Michael. Bajunya penuh dengan darah.
“Kau apakan dia?”
“Sudah, diamlah. Dia sudah mati. Aku membunuhnya.” Azazel buru buru melepaskan pegangannya.
Berjalan mundur.
“Jangan.. pergilah! Jangan mendekatiku! Aku tak mau mati!”
“Tenanglah, Azazel. Aku tak akan membunuhmu. Aku akan membawamu pulang ke kota. Dan kau
akan bertemu kedua orangtuamu. Kemarilah,”
Azazel menggeleng keras.
“Baiklah. Tapi jangan jauh dariku ok? Aku akan melindungimu. Aku janji.” Azazel mulai berani
mendekatinya.
Michael berjalan ke luar. Dan dia berpapasan dengan Rinto
“Mana psikopat itu?” Tanyanya.
“Dia sudah mati, Rin. Aku membunuhnya. Mana Lucy?”
“Bajingan itu membunuhnya! Aku kehilangan adikku!” Rinto terduduk. Menangis. Merasa benar
benar kehilangan Lucy.
“Sudahlah. Ayo, kita akan segera keluar dari kota ini,” Michael membantunya berdiri.

Kota ini benar benar sepi. Mana mungkin, hanya Edward yang menghabisi penduduk kota di sini?
Michael melihat mobil terparkir di sana. Dan pemiliknya mati terlindas mobilnya sendiri. Tentu saja,
Edward pelakunya. Orang itu benar benar sudah gila.

“Percepat langkahmu, Rinto. Kuharap, bensin mobil itu masih ada.”


Michael menyalakan mesinnya. Syukurlah, bensinnya masih penuh. Tanpa babibu, Michael langsung
saja tancap gas.
“Hei, apa kau membawa pistol dari polisi mati tadi?” Tanya Michael.
“Ini. Aku membawa semua yang perlu dibawa,” jawab Rinto.
Ketiganya membisu.

Ledakan besar tiba tiba saja terjadi. Kobaran api melalap mobil yang mereka naiki. Ketiganya mati
dalam insiden tersebut.
Samar samar, Michael melihat bayangan seseorang. Dia tertawa dengan begitu puasnya.
Edward?! Bukannya dia sudah mati?!
Padahal, sudah sangat jelas. Michael menusuk jantung Edward bertubi tubi.

Entahlah. Mungkin, ini hari terakhir mereka. Semoga saja ini juga hari terakhir manusia tanpa akal
sehat itu.

Edward terduduk di sudut ruangan putih. Badannya diikat sedemikian rupa. Ia tak mengerti kenapa
harus ada di sini, di rumah sakit jiwa.
“Kenapa aku bisa ada di sini?” Tanya Edward pada salah seorang perawat yang mengantarinya makan.
“Diamlah kau, psikopat gila.”
Psikopat? Kata itu selalu memghantui pikirannya. Apa itu yang membuat dirinya menjadi disekap di
ruangan putih ini?

--- END ---

Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri


Blog / Facebook: Qoylila Azzahra Fitri
Hitam
Cerpen Karangan: Ayu Churiyatul Jannah
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Misteri, Cerpen Slice Of Life
Lolos moderasi pada: 30 September 2018

Hembusannya kian sunyi, membisu di pelataran desa yang penuh dedaunan jatuh, angin bisu. Kini
jalan-jalan desa berwarna hitam, merata dengan bebatuan kecil yang berada di dalamnya persis seperti
brownies yang kupegang di tanganku, hitam pekat. Lantas apalagi yang tampak hitam di sekelilingku?
Kurasa kutahu hitam mana lagi yang kulihat, sesuatu yang ada pada balik sutera di tubuhnya.

Setiap kali kulihat ibu mengusapnya dengan tomat, entah untuk apa sebenarnya dan bagaimana bisa
ibu selalu melakukannya disaat-saat ia tengah tidur, ada apa?. Ibu tak pernah tahu betapa sering aku
diam-diam melihatnya mengusap-usap sesuatu yang hitam itu, setiap malam dan dini hari ketika ibu
tidur.

Tangan kananku menutupi sebagian kening dan mataku yang sebenarnya tidak tertutup penuh. Dibalik
sela yang sempit itulah aku melihatnya menggerak-gerakan tangan kirinya ke tubuhnya, seperti
memutar namun tidak Nampak jelas karena ibu membelakangiku sambil berdiri.

Bermenit-menit aku terus memperhatikannya, sambil terkadang pikiranku melayang entah ke mana
saja, seperti tentang teman-teman sekolah, Risa yang tadi siang menjailiku dengan debu kapur putih
yang ia oleskan ke wajahku, si Fikri yang sempat membuatku kesal dengan menaruh cermin di
dekatku yang sedang berdiri di sampingnya, lalu si Putri yang meledekku dengan sebaris tulisan Siska
cinta Andi di papan tulis hitam di kelasku yang amat membuatku malu. Kalau sudah begitu, aku tidak
pernah marah, hanya saja aku langsung membalasnya lagi sampai hatiku puas. Namun, kadang aku
juga dimarahi karena ketahuan ibu wali kelasku, lalu ibu guru akan menghukum kami semua dengan
berdiri di luar kelas, dengan begitu akan banyak teman-teman lain atau adik kelas yang menertawai
kami sambil berteriak “woy! kakak-kakak kelas lima!”.

Sek! hampir saja ibu melihatku saat aku hendak menggeser tanganku dari posisi semula, untungnya
aku cepat menyadari itu lalu mengubah posisi tidurku menjadi miring ke kanan membelakangi
tubuhnya. Di sana aku mulai berpikir lagi, mengapa ibu menggosokkan tomat pada tanda hitam di
perutnya? Bukankah itu bekas luka dari asap panas alat pemasak nasi yang ibu ceritakan seminggu
yang lalu? Mengapa harus dengan tomat? Pikiranku terus bertanya-tanya.

--- END ---

Cerpen Karangan: Ayu Churiyatul Jannah


Blog: Sastramania45.blogspot.co.id
Ayu Churiyatul Jannah kelahiran dari Harjamukti kota Cirebon.
Cerpen ini merupakan cerpen bergaya daya ingat, yang memiliki makna berbeda dengan alur cerita.
Lapek Tujuah
Cerpen Karangan: Monalisa
Kategori: Cerpen Dongeng (Cerita Rakyat)
Lolos moderasi pada: 5 February 2018

Pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami-istri serta tujuh orang anak mereka. Mereka adalah
keluarga petani miskin yang tinggal di suatu kampung dekat aliran sungai. Setiap hari sang ayah pergi
ke ladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Pada suatu hari sang ayah
menyuruh istrinya untuk memasak ‘lapek’ untuk dimakan ketika pulang dari ladang.

Pagi-pagi sekali sang istri telah menyediakan bahan-bahan untuk membuat ‘lapek’ setelah suaminya
berangkat ke ladang. Setelah bahan-bahan yang dibutuhkan telah tersedia, sang istri tidak lupa
mengambil daun pisang untuk pembungkus ‘lapek’ di belakang rumah.

Saat sibuk membuat adonan ‘lapek’, membungkus, dan mengukusnya, tiba-tiba si sulung terbangun.
Lalu bertanya pada ibunya, “Ibu sedang membuat apa?”
Sang ibu menjawab, “Ibu sedang memasak ‘lapek’ untuk ayahmu.”
“Bu, minta ‘lapek’nya,” rengek si sulung.
“Tidak nak! ‘lapek’ ini untuk ayahmu, yang nanti kelelahan pulang dari ladang.”

“Bu, aku hanya minta satu,” rengek si sulung lagi.


“Baiklah, ambillah satu saja, tapi dengan satu syarat!”
Si sulung menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Syaratnya adalah, jangan kau bangunkan adik-adikmu. Jika adik-adikmu bangun, maka semua
‘lapek’ ini akan habis dan tidak tersisa untuk ayahmu, karena ibu hanya membuat tujuh buah ‘lapek’
saja. Mengerti kan?”

“Iya bu, aku mengerti.” Si sulung mengambil satu ‘lapek’ dan menghabiskannya. Rasa ‘lapek’ itu
sangat lezat dan jarang sekali mereka dapat makan ‘lapek’. Si sulung berinisiatif untuk
membangunkan adik pertama dengan membisikkan sesuatu di telinganya.

Tak lama kemudian, anak kedua bangun, dan pura-pura ingin pipis. “Bu aku mau pipis!”
“Pipislah di lubang itu nak,” jawab sang ibu yang masih sibuk memasak ‘lapek’.
“Ibu sedang memasak apa?” Tanya anak kedua pura-pura tidak tahu.
“Ibu sedang memasak ‘lapek’ untuk ayahmu, nak.”

“Boleh aku minta ‘lapek’nya bu?” Rengek anak kedua.


“Tidak, nak!” Jawab ibunya pelan.
“Ayolah buuu!” Dengan rengekkan yang kencang.
Sambil meletakkan jari telunjuk ke mulutnya sang ibu berkata, “Baiklah, ambillah satu, tapi dengan
syarat jangan bangunkan adik-adikmu. Mengerti!”

Anak kedua menganggukkan kepala dan mengambil satu ‘lapek’ dan memakannya. Karena tidak ingin
menikmati ‘lapek’ itu berdua saja dengan si sulung, anak kedua berinisiatif membangunkan adik-
adiknya satu persatu dengan pesan pura-pura, seperti yang dilakukannya. Begitu seterusnya hingga si
bungsu.

“Ibu aku mau pipis!” Teriak si bungsu.


“Pipislah di lubang itu nak!”
“Ibu sedang membuat apa?” Tanya si bungsu.
“Ibu sedang membuat ‘lapek’ untuk ayahmu.”

“Boleh aku minta satu bu,” bujuk si bungsu dengan penuh harap.
“Tidak, nak! ‘lapek’nya hanya tinggal satu untuk ayahmu saja.”
Setengah menangis si bungsu meminta ‘lapek pada ibunya. Akhirnya hati sang ibu luruh dan
memberikan satu-satunya ‘lapek’ kepada bungsunya.

Pulanglah sang ayah dari ladang dan menanyakan ‘lapek’ yang dibuat istrinya. Kemudian sang istri
menjelaskan bahwa ‘lapek’ yang dibuatnya sudah habis dimakan oleh anak-anak mereka. Sang ayah
marah dan berniat membuang dua anaknya. Sang istri tidak setuju, namun karena kepatuhannya pada
suaminya, akhirnya ia setuju. Mereka sepakat membuang sulung dan bungsu.

Pada suatu siang yang telah disepakati, mereka mengajak ketujuh anaknya mencari kayu bakar ke
hutan. Sesampainya di hutan, mereka berpencar. Si sulung dan bungsu bersama ayah mereka. Namun,
si sulung dan si bungsu ditinggalkan di tengah hutan dengan alasan mengambil air di sungai untuk
minum mereka.

Setelah sekian lama menunggu orangtua dan saudara-saudara mereka yang tidak kunjung terlihat dari
jauh. Mereka sudah kelaparan dan membuka perbekalan yang dibawa dari rumah.

“Kak, ayo kita makan! aku sudah tidak tahan lagi.” Kata si bungsu.
“Baiklah, mari kita makan!”
Namun apalah daya, ketika membuka bungkusan itu, tidak ada nasi maupun lauk di dalamnya,
melainkan beberapa genggam abu tungku dan tai kucing.
“Sepertinya orangtua kita sengaja membuang kita dik,” kata si sulung sambil menangis.

Pecahlah suara tangis mereka di hutan itu. Sebentar lagi hari akan gelap, mereka mencari jalan untuk
pulang, walau pun mereka tidak tahu arah jalan pulang. Hingga mereka tiba di dekat sebatang pohon
kelapa. Si sulung memanjatnya untuk melihat adakah kampung yang akan terlihat di atas sana, dan
mengambil buah kelapa untuk mengusir rasa lapar mereka.
Dari puncak pohon kelapa itu, tampaklah rumah gergasi yang indah. Mereka memutuskan untuk
menuju rumah itu dan mendengar percakapan gergasi.
“Aku paling takut dengan terung, jarum, dan puyuh.” Kata gergasi dari dalam rumah.

Mereka berdua tidak membuang-buang waktu dan mencari ketiga benda tersebut saat gergasi
meninggalkan rumahnya beberapa saat.

Dua kakak beradik itu menjalankan misinya, mereka meletakkan jarum di tempat tidur gergasi, terung
di dapur dan puyuh di meja makan, serta membuat lubang besar di dekat tangga.

Saat gergasi kembali ke rumahnya, ia terkejut melihat benda-benda yang ditakutinya ada di rumahnya.
Karena ketakutan sang gergasi berguling-guling dan berteriak minta tolong tanpa disadari telah
menyakiti tubuhnya sendiri. Tanpa basa-basi kedua kakak beradik itu memukul gergasi itu hingga
masuk ke dalam lubang besar yang telah mereka siapkan dan menguburkannya.

Mereka langsung masuk ke rumah, tampaklah oleh keduanya berbagai makanan telah tersedia di atas
meja, dengan lahap mereka memakan makanan itu.

Bertahun-tahun lamanya, mereka merawat sawah dan ladang gergasi hingga mereka telah menjadi
orang kaya. Suatu hari, saat panen padi, gabahnya hanyut ke sungai dan tampaklah oleh sepasang
suami-istri yang sedang mencari kayu bakar di hutan. Mereka mengikuti dari mana datangnya gabah
tersebut.

Sampailah mereka di sebuah rumah yang amat indah, mereka disuguhi makanan yang enak-enak dan
tuan rumahnya yang begitu ramah. Mereka menyampaikan kedatangannya.

“Sebenarnya, kami ke sini untuk meminta padi, karena kami dari keluarga miskin yang mempunyai
tujuh orang anak, dan dua orang anak kami sudah…,” belum selesai sang bapak berbicara dan di
potong oleh si sulung.
“Kami berdua adalah dua orang anak yang bapak dan ibu buang beberapa tahun yang lalu di tengah
hutan.”

--- END ---

Cerpen Karangan: Monalisa


Facebook: Monalisa
Cia dan Pia Mau Beli PS4
Cerpen Karangan: Azizah Nurul
Kategori: Cerpen Gokil, Cerpen Lucu (Humor)
Lolos moderasi pada: 23 September 2018

“Piaaaaaa! Ciiiaaaaa!” Sebuah teriakan menggelegar dari sebuah rumah di dalam komplek perumahan
padat penduduk. Teriakan itu membuat panik semua warga. Seketika, 8 unit mobil patroli polisi dan 4
unit mobil brimob lapis baja segera meluncur ke sumber teriakan.
“Maaf, maaf, tidak ada apa-apa sersan Rona.” Pak Bayu meminta maaf pada sersan polisi yang baru
saja datang untuk memastikan keadaan.
Dengan wajah dongkol, sersan Rona kembali melanjutkan patroli.
“Memangnya teriakanku keras ya?” Tanya ibu Dewi dengan wajah tanpa dosa pada suaminya. Pak
Bayu hanya mengelus dada.

Di lantai dua, masih di dalam rumah yang sama. Dua orang gadis kecil berusia delapan tahun masih
terlelap. Wajah mereka sangat mirip. Cia tidur dengan mulut menganga dan pose yang sangat brutal.
Pia tidur dengan kaki menempel di pipi Cia dan kepala yang menggantung di tepi ranjang.

Pia terbangun dari mimpi buruk yang membuatnya panik, ia menendangkan kakinya. Bruakk!
Cia pun terjatuh dari tempat tidur, Pia segera melihat keadaan kakaknya di bawah ranjang.
“Aw sakit.” Rengek Cia sambil memegangi bagian belakang kepalanya.
Pia malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kakaknya yang malang.
“Dasar adik jahat!!” Pekik Cia kesal.
Pia masih tertawa terpingkal-pingkal ketika tanpa ia sadari bahwa Cia sudah tiba di sisi tempat tidur
dengan niat jahat. Bruakk!
Cia mendorong tubuh Pia hingga jatuh dari atas ranjang. Balas dendam sukses!
“Aw!” Pia histeris sambil memegangi pantat kecilnya yang baru saja beradu dengan ubin.
Cia dan Pia beradu pandang penuh aura membunuh. Memikirkan cara untuk saling membalas.

Sementara mereka bertarung.


Di ruang tamu, di mana Ibu Dewi dan Pak Bayu sedang menonton TV. Bu Dewi mengernyitkan dahi,
sepertinya ia lupa akan sesuatu, tapi apa?
“Pa, sepertinya mama lupa sesuatu deh.” Ujar Ibu Dewi pada suaminya.
“Lupa nyimpen uang? Paling di bawah bantal atau di dalam kloset.” Pak bayu menjawab seadanya.
Bu Dewi menggeleng, “Bukan pa, kayaknya ini bukan uang, tapi…” Bu Dewi menghentikan
ucapannya yang mendapat tatapan penuh tanya dari Pak Bayu.
“KITA KAN MAU KE RUMAH BIBI NENSY!! KOK LUPA SIH? ANAK-ANAK MANA LAGI?”
Teriak Bu Dewi yang membuat Pak Bayu harus menutup telinganya menggunakan bantal sofa, kalau
tidak ditutup begitu, telinganya bisa pecah.
Bu Dewi tidak mempedulikan keadaan suaminya, “Istri siapa sih ini? Bunuh tidak ya bunuh tidak ya?”
Batin Pak Bayu.

Bu Dewi segera tiba di depan pintu kamar kedua putri kembarnya. Tok… Tok…
“Sayang bangun, kita…” Ucapan Bu Dewi di potong oleh Pia.
“Emang sekarang jam berapa ma?”
“Jam setengah delapan sayang, sa…” Lagi-lagi ucapan bu Dewi dipotong, kali ini oleh Cia.
“APAA???”
“Oke ma, tunggu kita di bawah.” Ujar kedua putrinya serentak.
Bu Dewi senang karena kedua putrinya nampak bersemangat. Ia segera kembali ke ruang tengah.

Cia dan Pia berebut masuk ke kamar mandi.


“Kak Cia, Pia duluan mandi, awas ihh!” Ujar Pia sambil mendorong Cia.
“Ihh adik itu ngalah sama kakak, kamu yang awas!” Cia tidak mau mengalah.
Alhasil mereka berdua kembali berkelahi hebat. Namun tiba-tiba sersan Rona muncul entah dari mana,
ia berkata “Mandi berdua saja, kalian kan anak-anak. Lagipula kalian ini saudara kembar.” Sersan
Rona kembali menghilang secara ajaib.
Pia dan Cia menghentikan perkelahian mereka, menebak-nebak ke mana orang tadi pergi. Namun
mereka tidak mau terlalu lama ambil pusing. “Ide bagus om!” Mereka segera masuk ke dalam kamar
mandi bersama-sama.

Tidak lama kemudian Cia dan Pia sudah selesai mempersiapkan diri dan segera turun ke ruang tengah
dengan terburu-buru. Bu Dewi dan Pak Bayu yang melihat penampilan kedua putrinya langsung
tertawa terbahak-bahak.
“Anak kamu tuh!” Ucap bu Dewi.
“Anak kamu!” Jawab pak Bayu.
“Kamu!”
“Kamu!”
“Kamu!”
“STOPP!!” Jerit Pia dan Cia kompak. “Kita anak sersan Rona! Ups, anak kalian!”
“Ah iya-ya.” Ucap Pak Bayu sambil menggaruk kepalanya sendiri.

“Kalian ngapain pakai baju sekolah?” Tanya Bu Dewi yang masih menahan tawa.
“Lah kan sekolah ma?” Jawab Pia polos.
“Buahahahaha… Ini masih libur lebaran sayang! Kita kan mau ke rumah bibi Nensy.” Jawab Bu Dewi
mantap pada kedua putri kecilnya yang kebingungan.
“Ah, benar! Hari ini mama papa akan membelikan kita PS4!” Pia dan Cia ingat, mereka segera
kembali ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

Bu Dewi dan Pak Bayu saling bertatapan.


“Waduh, mereka masih ingat janji kita tahun lalu pa.” Ujar Bu Dewi.
“Wah, PS4 itu kan barang yang mahal ma.” Pak Bayu bergumam.
Akhirnya, Pak Bayu, Bu Dewi, Cia dan Pia berangkat lebih lambat dari yang seharusnya.
Pak Bayu beserta keluarga tiba di kediaman Bibi Nensy. Bibi Nensy yang mendengar deru mobil butut
pun segera keluar dari dalam rumah dan berkacak pinggang. “Kenapa gak dateng besok aja sekalian!”
Dengan wajah datar Bu Dewi menjawab “Oke! Kami kembali lagi besok ya.”
Bibi Nensy langsung menyeret Bu Dewi masuk ke dalam rumahnya.
“Aaa lihat Pia, bunganya cantik!” Cia menghampiri koleksi bunga dalam vas di ruang tengah.
“Aaa iya kak, lihat yang ini juga bagus!” Pia tak kalah antusias pada bunga-bunga itu.

Bibi Nensy, Pak Bayu dan Bu Dewi berbincang-bincang di halaman belakang. Topiknya tidak jauh-
jauh dari dunia gosip selebriti. Cia dan Pia asik bermain dengan koleksi bunga di ruang tengah.
Mbok Ade muncul dari dapur. “Halo non Cia, non Pia.”
“Halo mbok!” Jawab Cia dan Pia kompak.
“Mbok Ade kenapa gak mudik?” Tanya Cia.
“Apa boleh buat non, wong saya tidak dapat jatah cuti karena nilai matematika saya merah.” Jawab
mbok Ade sedih.
“Mbok Ade kan pembantu, kok punya nilai matematika?” Pia bingung.
Mbok Ade menggelengkan kepalanya, “lagian mau mudik ke mana? Mbok Ade kan rumahnya di
belakang komplek!” Mbok Ade tertawa sendiri.
Pia dan Cia saling bertatapan tak mengerti.

“Mbok Ade kita mau main!” Usul Cia.


“Main apa non? Lego? Jangan berantem tapi ya.” Mbok Ade memberi syarat.
Pia dan Cia menganggukkan kepala.

Mbok Ade segera mengambil setumpuk lego dari atas lemari dan meletakkannya di meja. Pia dan Cia
bermain dengak akrab.
“Aku maunya buat gedung!” Seru Cia sambil melindungi lego yang sudah tersusun setengah jalan.
“Aku maunya istana!” Pia menentang usul kakaknya.
“Gedung!”
“Istana!”
“Gedung!”
“Istana!”
Pia dan Cia berkelahi hebat, jambak-jambakan, cakar-cakaran, tabok-tabokan. Mbok Ade yang
melihat pertarungan dua bocah ajaib itu hanya bisa menghela nafas, “Mendingan nih ya saya disuruh
nyapu dan ngepel istana plus gedung sekaligus, daripada harus meladeni dua bocah jelmaan iblis ini.”
Batin mbok Ade.

Mbok Ade pun berkali-kali mencoba memisahkan kedua anak itu tapi tidak pernah berhasil, sampai
akhirnya mbok Ade putus asa.
Tapi mbok Ade menemukan cara, ia segera menempatkan dirinya di tengah-tengah, di antara Cia dan
Pia. Mbok Ade tersenyum senang karena tubuhnya memisahkan posisi Cia dan Pia. Sayangnya itu
tidak bertahan lama, Pia dan Cia menginjak kaki mbok Ade, Pia kaki kanan dan Cia kaki kiri. Mereka
dengan kompaknya menginjak kaki mbok Ade sekuat tenaga.
“Tolong… Tolong saya disakiti, ini KDRT! Tolong panggil polisi!” Teriak mbok Ade histeris.
“Ada apa ini?” Bibi Nensy muncul.
“Tolong nyonya, sakit!” Mmbok Ade merintih penuh derita.
Bibi Nensy melihat Pia dan Cia yang sedang memukuli mbok Adek penuh semangat. “ayo Cia! Pia
semangat! Jambak!” Bibi Nensy bersorak-sorai.

8 menit kemudian pertikaianpun berakhir. Pia dan Cia kelelahan. Bibi Nensy kecewa karena
pertunjukan kesukaannya berakhir. Mbok Ade pergi dibawa Ambulan menuju rumah sakit terdekat
untuk segera dioperasi, sepertinya ia kena serangan jantung.

Bibi Nensy menggiring dua bocah itu ke halaman belakang, berusaha mengambalikan mereka pada
orangtuanya.
“Pia, Cia,” Bibi Nensy membisik.
“Iya? Mau kasih THR kah?” Tanya si kembar kompak.
Bibi Nensy mendecak sebal, lalu berkata “Ya, karena kalian udah buat pertunjukan seru. Ini bibi kasih
THR.” Bibi Nensy menyodorkan dua buah amplop bergambar hello kitty pada Pia dan Cia.
Pia dan Cia berteriak kegirangan. “Terima kasih bibi!” Namun ekspresi wajah kedua bocah ini segera
berubah asam ketika membuka isi amplop yang ternyata hanya satu lembar uang dua ribu rupiah.
“Sudah kuduga.” Gumam Pia.
“Nenek sihir ini memang pelit.” Tambah Cia.
Bibi Nensy tersenyum iblis. “Oh iya! Tadi mama dan papa kamu bilang ke bibi kalau kalian mau
dibelikan PS4 tapi mereka enggak tau kalian suka atau tidak.”
“Hah serius ma? Pa?” Tanya Pia dan Cia penuh harap.
Pak Bayu dan Bu Dewi tersedak. Bu Dewi menatap bibi Nensy dengan tatapan tajam penuh aura
membunuh. Bibi Nensy hanya menanggapinya dengan senyum yang santai.
“habislah kalian,” Batin bu Nensy.

Kedua gadis kembari itu terlalu bersemangat, membuat Pak Bayu dan Bu Dewi menyerah. Mereka
sekeluarga segera meninggalkan rumah Bibi Nensy untuk menuju toko game.

Di area sebuah mall yang besar.


Keluarga bahagia itu tiba di sebuah toko game yang di pintunya terpasang tulisan CLOSED. Cia dan
Pia langsung berlari ke area playstation. Mereka sibuk memilih model terbaru dari PS4.

Pak Bayu dan Bu Dewi berjalan dengan malas menyusul anak-anaknya. Pak bayu terkejut ketika
melihat sang pedagang PS ternyata adalah orang yang sangat familiar baginya.

“Loh? Bukankah kau Sersan Rona? Kenapa polisi ada di sini?” Tanya pak Bayu heran.
“Wah pak polisi! Apa kabar pak!” Sapa Bu Dewi sambil memukul bahu sersan Rona.
“Wah iya pak polisi akakakak bapak dipecat ya?” Tanya Cia polos.
“Ssst… Kalian diam. Saya sedang menyamar. Apa kalian tidak lihat bahwa toko ini sedang tutup?
Kenapa menerobos masuk begini?” Sersan Rona kesal.
Bu Dewi tidak menggubris perkataan Sersan Rona. Sersar Rona mengerti betul maksud dan tujuan
orang ini.
“Ya sudah, mau PS yang mana? Cepat! Saya sedang mengintai teroris. Ayo cepat yang mana?” Sersan
Rona mulai gelisah.
Bu Dewi tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Ia langsung mengambil kesempatan.
“Menyamar? Hmm… PS4 Ini setengah harga kan?”
Sersan Rona mendelik tajam “Tentu saja tidak! Tidak ada diskon!”
“Ah PAK SER…” Bu Dewi sengaja meninggikan suaranya, namun terhenti karena sersan Rona
menyumpal mulut Bu Dewi menggunakan stik PS.

Cia dan Pia menarik-narik celana Sersan Rona.


“Bongkar nih pak!” Ancam Pia.
“Hm! Bongkar! Bongkar! Bongkar!” Tambah Cia meyakinkan.

Sial, mereka mengambil keuntungan dari keadaanku. Jika aku mempertahankan harga, kemungkinan
dua bocah kembar ini akan berteriak untuk membongkar penyamaranku dan buronan itu bisa lolos.
Cih, keluarga ini jauh lebih merepotkan daripada menangani teroris yang membawa bom ke dalam
mall ini. Batin Sersan Rona.
“Ya sudah iya setengah harga. Sudah cepat ambil dan pergi dari sini!”
Keluarga bahagia itu pun tersenyum lebar penuh kemenangan.

Cia dan Pia keluar dari toko PS sambil menggendong sebuah dus game besar penuh suka cita. Bu
Dewi dan Pak Bayu tidak kalah senang.

--- TAMAT ---

Cerpen Karangan: Azizah Nurul


Blog: Naciwritersindonesia.wordpress.com
Hanya Pelampiasan

Cerpen Karangan: Vira Ulandari


Kategori: Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 30 September 2018

Kuawali pagi ini dengan senyuman. Pagi-pagi sekali aku datang ke sekolahanku. Terlihat suasananya
masih sepi. Tak banyak siswa yang datang. Aku pun menuju kelas.

“Karin” pangggil seseorang di belakangku.


Ternyata itu aldo, pria yang paling tampan di sekolahku (menurutku).
“eh aldo, ada apa?” tanyaku
“kamu mau ke kelas? Jalan bareng yuk, kita kan sekelas” ajaknya.
Aku hanya menganggukan kepala. Entah apa yang membuat aldo bersikap aneh, tak seperti biasanya
aldo yang selalu cuek dan dingin pada wanita.

Bel berbunyi menandakan seluruh siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Hari ini di kelasku
pelajaran bu ani, guru matematika yang sangat galak. Kelas sangat hening tak ada murid yang
berbicara semua memperhatikan bu ani yang mengajar.

Bel istirahat pun berbunyi, banyak siswa yang berpergian ke kantin atau semacamnya termasuk juga
aldo. Hanya ada aku di dalam kelas, setiap harinya aku mengisi jam istirahat dengan membaca buku.
Tiba-tiba aldo menghampiriku “Hey rin, lagi sibuk ya?”
“Enggak kok aku udah selesai baca bukunya, ada apa ya do?” tanyaku keheranan.
“kamu gak capek seharian belajar, ke kantin yuk aku traktir” ajakan aldo sangat mengagetkanku. Dan
aku tak bisa menolak kesempatan itu.

Hari demi hari pun berlalu, aku semakin dekat dengan aldo sampai kami pun menjadi sahabat.
Mungkin aldo tak tau jika aku mempunyai perasaan padanya.

Pagi itu tepat tanggal 27 Februari 2017 ulang tahunku yang ke 16 Tahun. Tapi seperti tahun lalu
orangtuaku tak bisa menemaniku di hari paling berarti ini. Dalam kesunyianku aku menangis dalam
hati.

Tok… Tok.. Tok, pintu kamarku berbunyi. Terdengar suara dari luar. “rin, aldo nyamperin tuh dia di
ruang tamu” ternyata itu suara tanteku. Aku bergegas turun menuju ruang tamu.
“Eh aldo, kok kamu gak bilang-bilang mau ke sini?” tanyaku
“Emang kenapa gak boleh aku ke sini? Aku kangen sama kamu, nanti malem kita makan yuk ke
Restoran kesukaanmu aku yang traktir deh” ajak aldo tiba-tiba.
“Beneran nih? Ya udah nanti malem jemput aku ya jam 7 oke!” seruku padanya.
“Siap bos, jangan lupa dandan yang cantik ya! Aku mau pulang dulu”
“Oke deh sampai jumpa nanti malem.” jawabku kegirangan.
Aldo pun pulang, sejenak aku melupakan soal orangtuaku.

Malam pun tiba aldo pun menjemputku.


“Waw… Kamu cantik banget malam ini, dandannya khusus buat aku ya?” kata-kata aldo
menghanyutkan pikiranku.
“Emang dari dulu aku cantik, Eh ya udah berangkat yuk” ajakku padanya

Dalam perjalanan aku hanya terdiam, aldo hanya menatap heran diriku dan tak berkata apa-apa.
“Oke kita sampai” aldo pun mengajakku turun dan masuk restoran itu. Sudah disiapkan meja khusus
untukku dan aldo malam ini, berhias bunga dan lilin mrmbuat suasana menjadi romantis diiringi
dengan musik yang menambah suasana. Pelayan pun datang aldo memesan beberapa hidangan. Kami
sangat menikmati malam ini. Jam pun menunjukan pukul 21:00. Tiba-tiba aldo memegang tanganku.
“Rin, sebenernya aku ngajak kamu kesini buat ngucapin selamat ulang tahun dan ini kado buat kamu”
sambil menyodorkam sebuah kado yang berbentuk hati.
“makasih banget ya do, aku gak nyangka kamu tau kalo sekarang aku ulang tahun ” jawabku dengan
menerima kado pemberiannya.
“Dan aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu”
Deg jantungku berdegub kencang. “Apakah dia akan mengungkapkan perasaannya?” Pikirku dalam
hati.
“Aku udah lama suka sama kamu, aku pengen hubungan kita lebih dari seorang teman jadi kamu mau
gak jadi kekasihku?”
Pertanyaan itu sontak membuatku sesak nafas. Betapa bahagianya aku mendengar perkataannya. Aku
hanya mengganggukan kepala sebagai isyarat aku menerimanya.
Aldo pun berjanji padaku bahwa akan setia dan tidak akan meninggalkan ku. Sejak malam itu aku dan
aldo berjalin kasih, sudah 5 bulan kami bersama. Dan hari adalah pengumuman kelulusan dan Ya! aku
menduduki ranking pertama di kelasku dan ranking kedua adalah aldo. Wisuda pun telah usai. Kini
tinggal libur panjang dan menanti masa kuliah.

Saat malam itu aldo datang ke rumahku, mengajakku ke suatu tempat.


“Ngapain kita ke taman?” tanyaku padanya. Tak berlangsung lama hujan pun turun lebat aku
mengajaknya berteduh tapi aldo menarik tanganku.
“Rin aku mau putus”
Deg.. jantungku sejenak tak berdetak, air mataku menetes berbaur dengan air hujan.
“Aa, apa katamu? Kamu jangan bercanda do, kamu tau kan aku sayang banget sama kamu kenapa
kamu tega do kenapa?” tanyaku dengan tersedu sedu.

“Aku gak bercanda, sebenernya dari dulu aku gak suka sama kamu. Aku cuma pengen ngelupain amel,
mantan pacar aku yang terpisah saat SMA. Jujur aku belum bisa ngulupain dia dan aku deketin kamu
karna kamu mirip sama amel, sekarang aku mau sekolah di Bandung tempat amel Tinggal. Aku akan
mengejar cinta amel lagi. Sebelum perasaan kamu sama aku semakin dalam lebih baik kamu lupain
aku, aku akan pergi selamanya darimu” kata kata itu sangat menyayat hatiku. Aldo pun pergi
meninggalkanku di tengah hujan lebat. Kaki ku lemas tak bisa melangkah, badanku lesu tak bisa
menerima kenyataan tak kusangka orang yang aku sayangi kini telah pergi, meninggalkan luka yang
terukir jelas di dalam hatiku. Aku pun terjatuh pandangaku kabur hingga akhirnya aku tak sadarkan
diri. Aku pingsan.

Aku membuka mata agak kabur dan semakin jelas. Di sampingku berdiri 3 orang yang sangat ku
kenal, tak lain mereka adalah orangtua dan tanteku.
“mama, papa sejak kapan kalian pulang?” tanyaku sambil memeluk mereka.
“kemarin malam rin, papa melihatmu sendirian di taman kota.” ucap papa menjelaskan.
“kamu ngapain rin malam-malam sendirian di taman, kamu kan tau hujan turun lebat” mamaku
bertanya.
Aku hanya terdiam dan air mataku menetes dengan sendirinya, aku menceritakan kejadian yang
menimpaku. Keluargaku mencoba menguatkanku.

Tak terasa satu minggu aku dirawat dirumah sakit. Akhirnya dokter pun mengizinkanku pulang karna
keadaanku telah membaik.

Di rumah aku hanya melamun dan menangis kata-kata aldo masih menggentayangi fikiranku. Nafsu
makanku berkurang aku sering ngengurung diri di kamar, hasratku untuk melanjut kan sekolah sudah
tak ada. Banyak cara yang di lakukan keluargaku untuk membuat ku pulih dari kesedihanku. “untuk
apa aku bersedih itu tak membuat aldo kembali” ucapku dalam hati dengan menguatkan diri. Selalu
kuingat kejadian itu di saat aku hanya pelampiasanmu. Tapi aku tetap menjalani hidupku dan mencoba
melupakan masalalu.

--- TAMAT ---

Cerpen Karangan: Vira Ulandari


Blog / Facebook: Oxsa Cha Virra

Anda mungkin juga menyukai