Anda di halaman 1dari 89

Cerpen-cerpen yang Dimuat di

Koran Tempo (Minggu)

dikumpulkan dan disusun oleh


Ardy Kresna Crenata
Daftar Isi

 Muslihat Membunuh Panglima Langit


(Triyanto Triwikromo, 25 Agustus 2013)
 Kisah Seorang Pandai
(Bertolt Brecht, 18 Agustus 2013)
 Selembar Daun
(A. Muttaqin, 4 Agustus 2013)
 Teman Kami
(Dias Novita Wuri, 28 Juli 2013)
 Penembak Jitu
(Liam O’Flaherty, 21 Juli 2013)
 Sangkar di Atas Leher
(Adi Zamzam, 14 Juli 2013)
 Pintu
(Yudhi Herwibowo, 7 Juli 2013)
 Orang-orang yang Setia
(Ardy Kresna Crenata, 30 Juni 2013)
 Para Penjual Rumah Ustazah Nung
(Ben Sohib, 16 Juni 2013)
 Hari yang Sempurna untuk Kangguru
(Haruki Murakami, 9 Juni 2013)
Muslihat Membunuh
Panglima Langit
Cerpen Triyanto Triwikromo

T
AK ada yang memperhatikan dua perempuan yang
tengah mempercakapkan rencana pembunuhan di Dante
Coffee yang sunyi itu. Musik mengalun pelan dan bisik-
bisik mereka nyaris tak terdengar.
“Aku meminta tolong kamu membunuh Panglima Langit Abu
Jenar untuk Tuhan,” kata perempuan cantik berumur 40-an itu
kepada Widanti.
“Membunuh untuk Tuhan?”
“Ya, siapa pun yang bisa membunuh Abu Jenar akan
menyelamatkan sebuah tanjung, sebuah dunia. Dan
menyelamatkan dunia, berarti menyelamatkan Tuhan, bukan?”
Hmm, aku bukan siapa-siapa, batin Widanti. Aku bukan
Aomame yang memiliki alat pemecah es ramping yang bisa
digunakan untuk membunuh siapa pun. Bahkan jika aku punya
senjata penghilang nyawa itu, aku belum tentu berani
menusukkan ujung jarum yang halus itu ke titik maut di tengkuk
lelaki yang belum kukenal.
“Kau tidak perlu memikirkan dengan apa kau harus
membunuh Panglima Langit,” kata perempuan berwajah dingin
itu, seperti mengerti apa pun yang ada di benak orang lain.
“Siapa Abu Jenar?”
“Dia sesungguhnya orang yang pernah berada dalam
kekuasaanku juga,” kata perempuan itu masih dalam nada datar.
Widanti tidak suka pada ungkapan berada dalam
kekuasaanku. Selama 15 tahun melepaskan diri dari kehidupan
karut-marut keluarga dan memilih tinggal sendiri di kos-kosan
pada usia 15 tahun, dia telah menjadi perempuan yang nyaman
jika tidak berada dalam pengaruh orang lain.
“Dia orang yang kau suruh membunuh orang-orangmu juga?”
tanya Widanti.
Perempuan yang menguarkan harum Dior itu menggeleng.
Kini dia tampak berhati-hati memilih kata-kata yang pas untuk
menjawab pertanyaan itu.
“Aku tidak pernah bertemu dengan Abu Jenar. Aku hanya
meminta orang-orang suruhanku agar dia menghancurkan makam
keramat Syekh Muso dan menjadikan seluruh keluarga di jantung
itu bertekuk lutut kepadanya. Setelah tak ada lagi yang berani
melawan Panglima Langit, orang-orang suruhanku akan merebut
seluruh jengkal tanah dan menjadikannya sebagai resor.”
Widanti masih menangkap kejemawaan dalam ucapan
perempuan itu.
“Sayang sekali,” perempuan itu mencerocos, “Abu Jenar
kemudian tidak bisa dikendalikan. Dia ingin sekali menjadi syekh
baru di kampung itu. Siapa pun telah bisa dia kendalikan. Kiai Siti,
tetua kampung, tampak sudah bertekuk lutut. Rajab, pemuda
pemberang yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan, juga
tak memiliki taring lagi. Kufah, bocah kencur manis, bahkan akan
dijadikan istri. Dan menurut perhitungan kami, dia akan menolak
menjadikan
tanjung itu
sebagai resor.
Dia akan
meledakkan
makam, tetapi
tidak akan
menghilangkan
apa pun yang
pernah ada di tanjung itu. Dia tak akan mengusir bangau-bangau
dan membabat hutan bakau...”
Ada rasa ngeri yang berkecamuk di otak Widanti saat
membayangkan sosok Panglima Langit Abu Jenar. Dia pasti laki-
laki bertubuh kokoh, mahir bersilat, memiliki mata yang menyihir,
dan mungkin tak bisa dikalahkan oleh perempuan mana pun.
“Kau tidak perlu takut,” perempuan itu lagi-lagi seperti bisa
membaca apa pun yang dipikirkan oleh Widanti.
“Aku tak takut. Aku hanya...”
“Kau tidak perlu khawatir,” perempuan yang mungkin paling
pas digambarkan sebagai Gong Li bersetelan Calvin Klein itu
mencoba meyakinkan, “Semua yang kau butuhkan untuk
membunuh Abu Jenar sudah kami siapkan. Bahkan orang-orang
yang akan membantumu melenyapkan Panglima Langit itu juga
sudah kami hubungi...”
Widanti terdiam. Dia hanya membatin: Pasti perempuan ini
tidak akan memberikan pistol baja otomatis Heckler & Koch 9
mm—sebagaimana dihadiahkan seorang bodyguard kepada
Aomame—untuk sewaktu-waktu kutembakkan kepada orang lain
atau diri sendiri. Apalagi aku bukan pembunuh bayaran. Aku
hanya lulusan antropologi budaya yang rapuh dan perempuan
yang suka mendongeng. Karena itu, aku harus berusaha
mendapatkan pistol itu. Dari mana pun. Dari siapa pun.
Karena penasaran, Widanti memotong perkataan perempuan
itu. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan lenyap-melenyapkan
nyawa. “Tugas itu terlalu berat untukku. Aku tak tahu mengapa
kau memilihku.”
“Justru karena kau antropolog budaya dan pendongeng, aku
memilihmu. Hanya pendongeng dan antropolog yang bisa
mengalahkan pembual. Percayalah, kau akan gampang menyusup
ke tanjung itu. Kau hanya akan pura-pura menulis riwayat tanjung
itu, berwawancara dengan Panglima Langit Abu Jenar, bersahabat
dengan Zaenab dan Rajab, bermain-main dengan Kufah,
mengawasi segala hal yang terjadi di kampung itu dan melaporkan
kepadaku.”
Widanti mencoba menghapalkan nama-nama yang disebut
dan membenamkan ke otak dalam-dalam. Dia seperti dipaksa
merapal mantra.
“Lalu kapan aku harus membunuh Abu Jenar dan dengan apa
aku menghabisi nyawa Panglima Langit yang tak bisa dikendalikan
itu?”
“Kau tidak perlu memikirkan dengan apa harus membunuh
Abu Jenar. Semua akan berlangsung spontan. Senjata apa pun
akan mematikan. Kau juga tidak perlu mengetahui kapan waktu
yang tepat untuk membunuh. Jika waktunya telah datang kau
akan dengan gampang membunuhnya.”
“Tapi melihat kecoa pun aku takut. Bagaimana aku harus
membayangkan pria yang kubayangkan sebagai raksasa itu?”
Widanti berbohong.
“Aku yakin kau akan bisa melakukannya.”
“Mengapa kau begitu yakin aku akan mau melakukan tugas
gila ini?” kata Widanti sambil mengingat kali pertama dia
menyiramkan bensin pada anjing yang telah dia salib di tiang dan
membakarnya hidup-hidup.
“Sudah kubaca semua tulisanmu. Aku tahu kau adalah penulis
kolom di berbagai media yang sangat habis-habisan menyerang
siapa pun pemuja pedofil di negeri ini Kau juga tak suka
menentang pemujaan individu yang berlebihan. Waktu remaja kau
bahkan penentang utama Soeharto.”
“Ya, tetapi semua kulakukan dengan tulisan,” kata Widanti
berbohong lagi sebab pada usia 15 tahun dia pernah menendang
kemaluan teman sepermainan yang kurang ajar mencolek
payudaranya yang mulai membesar, “Sedikit pun aku tak
menggunakan kekerasan.”
“Kau tidak akan menggunakan pistol, kau tidak akan
menggunakan pisau, kau hanya akan menjadi bagian dari kisah
pembunuhan yang kami rancang.”
“Kalau aku menolak, apakah kau akan melakukannya juga?”
“Kau tak akan bisa menolak.”
“Tak bisa menolak?”
“Ya, kami sudah menculik ibumu dan akan kami bunuh jika
kau menolak tugas ini,” kata perempuan itu sambil menunjukkan
beberapa foto.
Widanti terkejut. Dia melihat beberapa pria bertopeng
mengikat ibunya di sebuah kursi di sebuah tempat yang tidak dia
kenal. Dia tidak menyangka keluarganya akan terlibat dalam
urusan berat yang membuat perutnya mual. Sebenarnya kalian
culik ibuku, aku tak peduli. Sudah sejak lama kami bermusuhan.
Hanya, sangat biadab jika dia harus mati karena terlibat dalam
urusanku. Karena itu, apa boleh buat, aku tak akan menolak
tawaran untuk membunuh Abu Jenar, musuh konyolmu itu.
Widanti membatin lagi: Perempuan ini benar-benar serupa
Don Corleone. Dia memberikan tawaran yang tak mungkin
kutolak. Tentu aku tak ingin kepala ibuku dihajar dengan tongkat
pemukul bola kasti hingga pecah, hingga otaknya memburai dan
berhamburan tak karuan.
Widanti berpendapat: Permusuhanku dengan ibuku akan
imbang jika dia tak diancam oleh siapa pun. Karena itu
membunuh Abu Jenar lebih merupakan upayaku untuk
menyelamatkan ibuku. Aku tak punya kepentingan lain kecuali
mengembalikan kemerdekaan ibuku untuk membenci dan
memusuhiku.
“Mulai besok hiduplah dengan duniamu yang baru. Lihatlah
dengan cermat foto-foto Abu Jenar, Kiai Siti, Kufah, Zaenab, dan
Rajab. Belajarlah mengenakan hijab dan bertingkahlah sebagai
muslimah yang memesona,” perempuan itu berkata sambil
menyerahkan map merah. “Pelajari apa pun yang membuatmu
nyaman tinggal di tanjung itu.”
Widanti tercenung. Dia dan perempuan itu tak pernah
meminum cappuccino dan espresso yang telah disediakan
pramusaji. Mereka juga tidak pernah mendengarkan “Imagine”
John Lennon dan lagu-lagu lain yang mengalun sepanjang
percakapan. Mereka bergegas meninggalkan kafe seakan-akan tak
ada waktu lagi untuk membunuh hewan bantaian.

S
ESEORANG telah memaksa agar aku tak menjadi diriku
sendiri, Widanti membatin di depan cermin di atas wastafel.
Dia merasa meskipun sepanjang waktu akan mengenakan
kerudung tipis warna ungu, wajahnya sebentar lagi akan
bermetamorfosis dari kelinci manis menjadi serigala yang
menyeringai. Dia tidak membayangkan sebelumnya bagaimana
seorang pendongen dan antropolog yang rapuh harus terlibat
dalam rencana pembunuhan yang sangat mungkin
membahayakan.
Tak apa-apa. Ini takdir dan nasib yang harus kujalani.
Widanti lalu mencoba membayangkan aneka satwa sehabis
menancapkan taring di daging segar dan menemukan wajah paling
mengerikan yang akan dia kenakan saat selesai membunuh
Panglima Langit. Celaka! Dia merasa tak menemukan wajah itu.
Dia justru dipaksa menatap wajah teduh berkerudung ungu.
Wajah yang mungkin bakal dia temukan di surga. Saat itu, cermin
seakan-akan bilang, “Kau bunuh seribu orang pun wajahmu bukan
wajah pembunuh.”
Widanti sekali lagi memeriksa wajahnya. Aku akan bisa
menghilangkan wajah itu kalau aku bunuh diri. Tapi aku tak
akan bunuh diri. Aku masih harus menyelamatkan ibuku.
Menyelamatkan? Mungkin tidak. Widanti hanya ingin
bertarung secara imbang dengan ibunya. Lebih tepat lagi, dia ingin
membalas segala perbuatan sang ibu pada masa lalu. Dia lalu
teringat betapa pada usia 10 tahun setiap sehabis mendengar ibu
dan ayahnya bertengkar, saling gigit, dan terengah-engah di ruang
tamu sang ibu dengan mata menyala menghajar punggung
rapuhnya dengan ban dalam sepeda motor.
“Sudah bilang jangan mengintip kami, masih juga kau lakukan
perbuatan busukmu ini. Dasar anak anjing!”
Meskipun tak pernah paham mengapa diperlakukan semacam
itu, Widanti tidak pernah merasa lahir dari rahim anjing. Dia juga
tak pernah berani membayangkan di wajah ibunya yang cantik
tumbuh moncong panjang penuh liur.
Tetapi setelah dua puluh tahun, kini dia tahu siapa yang
sesungguhnya layak disebut sebagai anjing. Dia selalu
menghajarku setelah menjerit-jerit ketika bercumbu dengan
ayah. Sebelum kutinggal minggat ke rumah nenek, ibu bahkan
berusaha menusukku dengan pisau dapur. Saat itu aku tahu
ayah dan ibu mabuk berat sebelum mereka bercinta di sofa.
“Kau masih suka mengintip percumbuan kami ya? Kau kira
hanya ayahmu yang sanggup menyiksaku? Kau sangka aku tak
berani membunuhmu?” kata ibuku dengan geram sambil
mengacungkan pisau.
Tak kujawab pertanyaan itu, tetapi sejak itu aku mulai
paham ada darah hewan berliur yang menjijikan di tubuhku.
Saat itu pula sambil menghindar dari amuk ibu aku berkhayal
menjadi anjing herder kuat yang sewaktu-waktu bisa
menancapkan taring kokoh di tengkuk satwa tua yang kian dan
rapuh. Kini kau kian tahu mengapa aku berhasrat
menyelamatkan ibuku, bukan?
Widanti tidak pernah ingin menjawab pertanyaan itu. Dia
lebih memilih bergegas ke ruang tamu. Dia membuka map merah
berisi foto-foto dan keterangan singkat orang-orang yang akan
ditemui di tanjung yang belum pernah dia kunjungi itu.
Ketika dengan cermat Widanti menatap foto seorang pria
tinggi berjenggot dan bersorban, ponselnya berbunyi. Sebuah
nama muncul di layar dan dia tidak mungkin menolak ajakan
bicara dari perempuan yang siang tadi memberi instruksi agar
Widanti membunuh Panglima Langit Abu Jenar.
“Jangan pernah menganggap dia sebagai Ayatullah Khomeini
meskipun sorban yang dia kenakan sama,” kata suara dari
seberang. “Yang harus kau mengerti dia merasa diutus oleh Allah
untuk menyelamatkan tanjung dari kemungkaran. Sihir terkuat
yang paling dia miliki, Abu Jenar hapal hampir seluruh ayat Allah.
Ini membuat warga tanjung, termasuk Kiai Siti, tak berani
melawan segala yang dia inginkan. Sebelum ke tanjung, dia sudah
memiliki tiga istri. Setelah tiba di tanjung, dia ingin memperistri
Kufah. Kau tahu berapa umur Kufah?”
“Berapa?”
“Baru 11 tahun. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana
bocah sekencur itu dipaksa bercumbu oleh lelaki kekar yang
seharusnya jadi kakeknya.”
“Tentu mengerikan,” darah Widanti mendidih dan mulai
punya alasan utnuk membenci Abu Jenar.
“Dan lelaki semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup, bukan?”
Hening. Widanti bungkam.
“Bukan hanya itu kejahatan yang dia lakukan.”
“Dia suka membunuh perempuan-perempuan yang
dipersitri?”
“Tidak. Justru dia sangat menyayangi mereka.”
“Lalu apalagi yang dia lakukan?”
“Dia suka menyodomi laki-laki kencur.”
“Hah!” Widanti kaget. “Sungguh sangat bajingan Abu Jenar.
Mengapa tak seorang pun menghentikan perbuatan busuk itu?”
“Karena hampir semua orang tanjung—kecuali Zaenab yang
dianggap Abu Jenar sebagai perempuan gila—percaya dia bisa
melakukan keajaiban apa pun yang dimiliki para nabi. Dia
dipercaya bisa menguras air laut dan menjadikan dasar samudera
sebagai jalanan, berjalan di atas air, atau menari di mulut ikan hiu
raksasa.”
“Kau percaya Abu Jenar memiliki keajaiban semacam itu?”
“Aku meragukan seluruh kecakapan yang dia miliki. Tetapi
hingga sekarang aku belum bisa membuktikan kebohongan Abu
Jenar. Karena itu segeralah ke tanjung. Beri tahu aku apakah dia
benar-benar lelaki digdaya.”
“Kau mengira aku akan pergi ke sana karena menuruti
perintahmu?” Widanti tiba-tiba memotong percakapan
perempuan yang tampaknya menelepon dari sebuah kamar yang
sangat sunyi itu. “Kini tidak lagi. Tidak kau suruh pun aku akan ke
tanjung itu.”
Tak menunggu jawaban, Widanti mematikan ponsel. Dia
merasa terbebas dari tekanan.

P
ERLU dua minggu untuk mendapatkan pistol baja otomatis
9 mm Heckler & Koch. Seorang penjual barang antik yang
memperoleh senjata itu dari penyelundup di pelabuhan
menjual murah alat pembunuh yang canggih pada masa 1984-an
dan belum teruji jika dipakai pada 2010 itu. Akan tetapi ternyata
justru lebih sukar mencapai tanjung yang kelak disebut oleh
Widanti sebagai dunia setengah jadi atau surga ½ tuhan itu pada
saat kegelapan sudah menyuruk dan di langit tergantung bulan
purnama yang begitu indah. Sopir taksi sebenarnya tak mau
mengantar andai saja Widanti tidak membayar tiga kali lipat.
“Menuju ke kawasan itu kita akan seperti memasuki tahun-
tahun saat Soeharto membunuh para gali,” kata sopir taksi.
“Maksudmu kita akan menemukan begitu banyak mayat
tergeletak di jalan?”
“Tentu saja tidak,” jawab sopir taksi itu tanpa melihat Widanti
yang duduk di jok belakang. “Tetapi jika kita melihat rumah-
rumah, lampu-lampu, atau model pagar, serta mendengarkan
percakapan orang-orang di warung, kita seperti berada pada tahun
1980-an.”
“Jangan membual. Aku ini seorang pendongeng. Aku tahu
mana bualan mana kenyataan.”
“Buktikan saja,” kata sopir taksi lagi-lagi tanpa memandang
Widanti.
Ya, akan kubuktikan. Dan Widanti memang membuktikan
betapa ketika memasuki jalan kecil bergelombang dia merasa
seperti memasuki gerbang selamat datang ke tahun-tahun silam.
Kian menyuruk ke dalam dia seperti terputus dengan masa kini
dan masa depan. Sepeda dan sepeda motor yang berpapasan
rasanya memang berasal dari tahun 1980-an. Pakaian orang-orang
yang bisa dilihat dari taksi juga berasal dari masa lalu.
“Saya hanya bisa mengantar sampai di sini,” kata sopir taksi
begitu sampai di kampung yang menghubungkan kota dengan
tanjung. “Untuk sampai ke tanjung, Sampean harus menyeberang
dengan perahu.”
Perahu? Seumur hidup aku tak pernah berlayar di tasik yang
tenang. O, mengapa untuk membunuh Abu Jenar, aku harus
berjuang menghilangkan ketakutanku terhadap amuk badai
terlebih dulu?

T
ENTU saja perahu bukanlah Siratal Mustaqim. Akan tetapi
Widanti—yang kini telah berkerudung tipis warna ungu—
merasa perahu itu merupakan jembatan yang
memungkinkan dia bertemu dengan Abu Jenar. Karena itu dia
menganggap tukang perahu yang nyaris tidak pernah tersenyum
itu, sebagai sesosok malaikat yang bakal membantu mencabut
nyawa Panglima Langit dengan cepat. Akan tetapi tampaknya
tukang perahu terlalu rapuh untuk berhadapan dengan Abu Jenar.
“Akulah yang mengantar Panglima Langit ke tanjung itu. Aku
tak tahu apakah dia berwajah tampan atau tidak. Aku tak berani
menatap wajahnya yang bercahaya. Aku takut buta,” kata tukang
perahu setengah berteriak untuk mengimbangi suara mesin
perahu.
“Apakah di bahunya tumbuh semacam sayap? Apakah dia bisa
berjalan di dasar laut Apakah dia bisa menari di perut ikan hiu
raksasa?” Widanti juga tak kalah keras berteriak.
“Aku tidak tahu,” kata tukang perahu. “Yang jelas badai reda
ketika dia mengibaskan jubahnya.”
“Menurutmu apakah dia lelaki yang berbahaya?”
“Aku tidak tahu. Bertahun-tahun aku mengantarkan para
peziarah ke Makam Syekh Muso, bertahun-tahun pula kucium bau
mawar di tubuh para pemuja Sang Junjungan. Tetapi entah
mengapa ketika mengantar Panglima Langit, aku mencium bau
bangkai.” Tukang perahu tidak meneruskan percakapan.
“Apa maknanya?”
Tukang perahu tetap diam.
“Hoe, apa maknanya? Mengapa tercium bau bangkai di
tubuhnya?” teriak Widanti.
“Sebaiknya jika tak perlu benar, urungkan niat Sampean
untuk bertemu dengannya.”
“Mengapa?”
“Bahaya. Apalagi Sampean cuma seorang perempuan.”
“Hmm, jadi hanya karena aku perempuan, kamu anggap aku
tidak berani membunuhnya?”
“Membunuhnya?” tanya tukang perahu kaget. “Jangan main-
main. Sampean hanya ingin mengaji kitab kuning kepada
Panglima Langit, bukan?”
Widanti tidak menjawab. Dia membiarkan tukang perahu
takjub pada segala perkataannya.

M
ULAI terdengar suara ribuan bangau ketika Widanti
meloncat ke daratan penuh pohon bakau itu. Dia
bingung apakah akan menuju ke makam menemui
Zaenab terlebih dulu atau langsung ke mesjid dan langsung
bergabung dengan para pembunuh Abu Jenar. Jika bertemu
Zaenab, apakah perempuan penunggu makam pembenci Abu
Jenar, itu juga akan langsung bergegas menusukkan pisau ke ulu
hati Panglima Langit?
Aku kira meminta Zaenab membunuh Abu Jenar dengan
berbagai cara merupakan pilihan terbaik. Tak perlu ada
cipratan darah di tanganku. Hanya, apakah tindakan ini
menjadi bagian dari rencana pembunuhan yang sudah
dirancang?
Bingung menjawab pertanyaan itu, membuat Widanti
memutar otak. Aku harus menggunakan bagian otakku yang
miring untuk merancang pembunuhan Abu Jenar. Aku tak mau
mengikuti rancangan dari siapa pun.
Pada saat-saat kritis semacam itu, pada saat dia tidak
memercayai muslihat apa pun yang dilakukan orang lain, Widanti
memiliki gagasan sableng. Kegilaan harus dilawan dengan
kegilaan. Widanti berencana menggunakan kemolekan tubuh
untuk menghancurkan Panglima Langit. Aku akan menari
telanjang di mesjid. Aku berharap Abu Jenar menganggapku
kesurupan dan tertantang menghilangkan setan dalam tubuhku.
Saat sudah begitu dekat, aku akan melihat wajahnya. Aku
berharap wajahnya tidak menyilaukan sehingga aku akan
dengan gampang menggapai pistol yang kusembunyikan di
pinggang, mengacungkan senjata mematikan itu, menarik
pelatuk, meletuskan berkali-kali, sehingga membuat kepala Abu
Jenar pecah dan otaknya memburai.
Memikirkan tindakan itu dan mulai melangkah, tubuh
Widanti yang hanya mengenakan celana panjang bergetar hebat di
bawah bulan purnama yang amis. Lalu ketika dari mesjid, dia
mendengar semacam dzikir, semacam salawat, Widanti
memutuskan segera menari dan meneriakkan aneka ayat Allah
yang dia gabung secara serampangan.
Apakah kau akan mampu melawan muslihatku, wahai
Panglima Langit? Apakah kau akan mampu menatap tubuh
molekku? Apakah kau mampu menghindar dari tembusan peluru
pistol cantikku?(*)

Semarang, 24 Juli 2013

Catatan:
1. Aomame adalah tokoh perempuan dalam novel 1Q84 karya
Haruki Murakami. Widanti pernah secara serampangan
membaca novel yang strukturnya mirip Linghan atau Gunung
Jiwa karya Gao Xingjian itu.
2. Gong Li adalah bintang film yang mendapat Hongkong Film
Award untuk permainannya dalam Curse of The Golden
Flower pada tahun 2006.
3. Widanti pernah menonton sepak terjang Don Corleone yang
menciutkan nyali lawan atau kawan dalam film The
Godfather.

Triyanto Triwikromo mendapat Penghargaan Sastra Pusat


Bahasa untuk kumpulan cerita pendeknya Ular di Mangkuk Nabi
(2009). Buku cerita pendek terbarunya Celeng Satu Celeng Semua
(2013).

(Dimuat di Koran Tempo, 25 Agustus 2013.)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman.)
Kisah Seorang Pandai
Cerpen Bertolt Brecht

A
LKISAH, hiduplah seorang anak lelaki yang pandai.
Sangai pandai. Bahkan luar biasa pandai. Karena
kepandaiannya ia dapat mendengar tanaman yang
sedang tumbuh di kesunyian malam, dan bahkan kadal
yang sedang batuk sekalipun. Ya, kepandaiannya masih banyak
lagi. Semua orang mempercayainya, dan tentu saja yang paling
percaya adalah dirinya sendiri. Mau tidak mau ia menjadi teladan
bagi setiap orang. Ia sendiri juga menyadarinya. Syahdan, suatu
ketika ia pun menjadi orang yang sangat pandai. Ia begitu sangat
dihargai. Akan tetapi ia masih punya kepandaian lain yang
ratusan.. bukan.. ribuan.. bukan.. ratusan ribu kali lebih
terhormat. Oleh karenanya ia pun tidak pernah berpikir lamban
seperti seekor keledai atau unta; yang menurutnya tidak mungkin
terjadi sama sekali. Ya, tentu saja tidak mungkin! Ia berkata pada
dirinya sendiri. Ia harus menyadari hal ini. Bukankah begitu?
Anak itu tumbuh dewasa, bertambah bijaksana dan baik.
Keluarganya
sungguh-sungguh
memikirkan masa
depannya dan
apakah ada banyak
orang sepandai anak
ini?
Sementara itu
saudara-saudara dan
teman-temannya
berembuk dan
membicarakan
persoalan besar
sekali lagi: harus
menjadi apa anak
muda yang sangat
pandai ini?
Pertanyaan penting
yang sangat
mendesak ini juga
menghantui dirinya.
Ia bimbang antara
menjadi seorang bangsawan sastrawan atau panglima bala tentara.
Kedua pekerjaan ini sama baiknya.
Seorang bangsawan sastrawan? Hmm, kalau ini setiap orang
mudah melakukannya. Keluarganya juga tidak memungkirinya. Ia
telah menulis sajak-sajak indah. Bakatnya jelas telah terbukti.
Sajak indahnya yang berjudul “Cinta” adalah sebuah mahakarya
klasik yang terindah. Salah satu baitnya berbunyi demikian:
Cinta yang indah penuh berkah
Dari seluruh hati yang terasa
Adalah naluri nan indah,
Mengalahkan segala derita

telah mendapatkan banyak pujian. Keistimewaan sajaknya yang


lain telah ditunjukkannya, yaitu sajak serupa yang muncul di
dalam karya terbarunya berjudul “Dangau”. Menjadi bangsawan
sastrawan sudah dipertimbangkannya.
Yang kedua, menjadi panglima bala tentara. Juga tidak lazim.
Tentu saja di bawah kekuasaan Kekaisaran Perancis-Spanyol,
pemuda pandai ini tidak bisa berbuat apa-apa. Mustahil! Cukup
mudah baginya untuk menaklukkan mereka. Karena ia mudah
menjalin persahabatan dengan Raja Portugis yang sedang
berkuasa. Maka saat ia kembali ke Spanyol bersama mereka, ia
pun bertitah sebagai seorang Kaisar; tentu saja setelah ia
membunuh kaisarnya lebih dahulu. Sangat mudah! Bukankah
begitu? Kepandaian militernya ia tunjukkan di usia sangat muda.
Menjadi panglima bala tentara tidaklah jelek!
Tangannya tampak menimbang-nimbang. Anak pandai ini
sekarang terombang-ambing di antara dua pilihan pekerjaan ke
sana ke mari. Dua pekerjaan yang sama-sama mempunyai
kejelekan dan kebaikan masing-masing. Bangsawan sastrawan,
sayangnya, harus dapat menulis sesuatu. Panglima bala tentara
juga pertama-tama harus mencari seorang raja yang bodoh, yang
nantinya bakal digantikannya.
Lama ia menimbang-nimbang.
Akhirnya ia memutuskan menjadi pegawai di sebuah toko.
Dan ia pun melakukannya karena sekali ia memutuskan bahwa itu
akan dilaksanakannya. Beruntung sekali ia kini berada di antara
kaleng-kaleng ikan haring dan peti-peti berisi topi.
Idealnya sekarang adalah menjadi pengusaha. Tapi ia sudah
lebih dahulu dikenal sebagai pengemis muda yang sosialis. Karena
kini usianya menginjak lima belas tahun, ia pun mengalami suatu
peristiwa. Lelaki muda yang pandai itu jatuh cinta. Gejala
pertamanya adalah eros bunga mawar yang lapar menghinggapi
penjaga toko alias bangsawan sastrawan sehingga membuatnya
menulis sebuah sajak.. oh.. oh sajak apa itu? Sajaknya bagaikan
sebuah wahyu. Panjangnya dua puluh bait dengan kalimat
panjang-panjang. Tiap bait terdiri dari sepuluh baris, tiap baris
terdiri dari dua belas kata. Sangat kolosal. Mahakarya luar biasa!
Tapi itu adalah karya yang pertama. Untuk karya yang kedua ia
bersumpah akan menulis sajak berjudul “Mata Hitam Nan Indah”
untuk wanita itu. Ia pun bersumpah disaksikan cahaya lilin malam
yang terdiam dan juga janggutnya yang panjang, yang sayangnya
salah satunya tercabut tidak sengaja. Kemudian mulailah. Terlihat
bangsawan sastrawan kita yang tercinta melakukan satu kesalahan
kecil. Ia menjadi malu-malu. Semakin sering ia bertemu dengan
calon istrinya, semakin ia khawatir menjadi jauh dari
pergaulannya yang lain.
Bulan demi bulan berlalu. Tahun demi tahun. Dekade demi
dekade. Abad demi abad. Ya.. sekarang aku jadi bertindak terlalu
jauh sekali. Semua ini terjadi hanya dalam tempo dua bulan.
Kemudian suatu hari saat hujan turun, ia melihat wanita itu
sedang bergandengan tangan dengan lelaki lain. Bagaimana ia
akan pulang malam ini ia tidak peduli lagi. Ia duduk di kamarnya
yang kecil seorang diri. Dijauhi Tuhan dan manusia-manusia
lainnya. Lalu ia pun menangis.
Pertanda buruk jika seorang lelaki sejati menangis.. Tetapi
kemudian ia menjadi kesal dengan janggutnya. Selanjutnya
dicabutnya helai janggut terakhir di dagunya. Ia menjadi murung.
Duduk seharian dengan pikiran kacau. Berbaring di balik peti ikan
haring sambil melamun. Melamunkan sebuah persoalan.
Persoalan yang tidak biasa. Pokok persoalannya adalah bagaimana
mungkin seseorang yang sangat pandai berpikir lamban?
Lama ia duduk dan berpikir...
Karena waktu ia pun menjadi gila. Ia selalu bergumam: Aku
tidak berpikir lamban. Kalau sampai hari ini belum mati juga,
maka aku masih terus hidup...(*)

Bertolt Brecht (1898-1956) adalah penyair, penulis naskah


drama dan sutradara Jerman. Cerita pendek di atas diterjemahkan
dari versi aslinya, “Die Geschicte von einem, der nie zu Spat Kam”
oleh Riva Julianto.

(Dimuat di Koran Tempo, 18 Agustus 2013.)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman.)
Selembar Daun
Cerpen A Muttaqin

D
AUN ini, entah daun apa—bentuknya bergerigi dan
gerigi itu masih seperti beranak-pinak lagi, seperti
kombinasi daun sakun, pepaya dan daun ganja—yang
entah jatuh dari ranting mana, memintaku jadi pohon.
Suatu sore, di jalan pulang, tepat di sisi kelokan yang
menghubungkkan langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik
bersalin, daun itu tiba-tiba bangkit dari tanah dan menghadang
langkahku.
“Aku mohon, jadilah kau pohon, agar aku bisa
menggantungkan tubuhku. Aku daun yang terkutuk. Angin telah
menerbangkan aku ke tujuh penjuru, tapi tanah dan air tetap
menolak. Aku mohon, jadilah pohon....”
Daun terkutuk? Kenapa selembar daun terkutuk? Apa dosa
yang telah diperbuat daun ini, sehingga air dan tanah tak
menerima jasadnya?
Kembali kuamati daun itu. Geriginya lima. Warnanya merah.
Merah tua agak kehitaman, seperti ada dendam diredamnya. Ia
berdiri dengan dua gerigi bawah yang bentuknya mirip kaki.
Sedang gerigi kanan dan kiri di bawah satu gerigi lain, seperti
tangan yang kadang membuat gerakan-gerakan kecil ketika daun
itu bicara. Sementara satu gerigi lagi di atas tangannya yang
sebelah kanan tak henti-henti bergerak ke atas dan ke bawah.
Anehnya, setelah kuamati dengan teliti, daun ini ternyata
tidak punya mata. Ia hanya punya mulut yang bergelambir dan
hampir-hampir
selebar mulut
manusia. Dari
selingkar mulut itu
urat-urat menjalar ke
sekujur badan daun,
seolah mulut itulah
pusat rahasia dan
uratnya. Melihat
posisi mulutnya, aku
curiga mulut itu juga
pusat tenaga yang
menghembuskan
angin sehingga si
daun sanggup
bergentayangan
kemana-mana.
Tiga semut
keranggang
merambat ke badannya, namun daun itu bergeming dan terus
memintaku jadi pohon.
“Aku mohon, jadilah pohon...”
Tubuhku mulai gemetar. Aku teringat cerita tentang kakekku
yang menjelma jadi ulat setelah didatangi maut yang berwujud
selembar daun. Semula, aku menganggap cerita itu isapan jempol
belaka. Aku menduga, karena kakek seorang petani militan, ia
mengenali beragam hal ihwal (termasuk sang maut) dengan
perangkat tanaman. Bukan hanya itu. Kakek bahkan menyebut
padi sebagai Dewi. Pohon jati ia panggil Kiai. Dan segerumbul
bambu suwung di ujung ladang kami ia sebut Ki Blungki.
Begitulah. Dan pada sepertiga malam, ketika bulan bundar
dan dingin melebar, selembar daun datang mengetuk pintu. Kakek
yang tersohor punya semacam linuwih segera mengenali siapa
gerangan daun itu. Dan ternyata, taksiran kakek tidak meleset.
Daun itu bilang, bahwa jatah umur kakek telah habis, bahwa
rohnya telah ditunggu Sang Pohon, di mana segerumbul roh telah
menggantung menunggu dan menunggu sampai datang kiamat.
Untungnya kakek berhasil mengecoh daun itu. Kakek yang
sudah tahu bahwa si daun sesungguhnya utusan maut yang
menyamar, segera menjelma jadi seekor ulat. Dengan santun ia
berkata pada daun itu: “Wahai daun, karena jiwaku lember dan
anakku jelek, aku perlu menempuh laku sebagai ulat bulu. Beri aku
waktu menebus dosaku, meringankan siksa yang kelak di hari
pembalasan akan memberati punggungku...”
Konon, setelah menjadi ulat, bulu-bulu di tubuh kakek
berkilat-kilat sehingga daun itu terjingkat lalu terjungkal ke
gerumbul kembang di pojok halaman. Kemudian daun itu lenyap.
Bersama lenyapnya daun itu, lenyap pula kakekku.
“Aku mohon, jadilah pohon, agar aku bisa menggantungkan
tubuhku.”
Tubuhku gemetar. Daun itu tiba-tiba melebar dan kini berdiri
sama tinggi dengan tubuhku. Kulihat mulut daun itu terus komat-
kamit seolah ingin menguntal tubuhku. Aku ingin menjadi ulat
seperti kakek. Kurapal doa dan mantra. Tapi entah mengapa
mantra yang kubaca tidak manjur. Tubuhku kian gemetar. Dan di
tengah geletar itu kusaksikan tanganku bercabang dan jemariku
memanjang. Kakiku kemudian menelusup ke haribaan tanah dan
jemarinya memanjang seperti akar yang menyusup celah-celah
tanah. Sementara tubuhku mengeras dan kulitku terkelupas.
Seperti yang diminta daun itu, aku pun pelan-pelan jadi pohon.
“Jadilah pohon.”
Itulah suara terakhir yang kudengar dari daun itu, sebelum
kupingku saling dempet menempel dan menjelma menjadi
selembar daun yang bentuknya mirip daun waru. Angin bertiup.
Tubuhku gemetar. Daun yang memintaku jadi pohon juga
gemetar. Dan di tengah gemuruh getar itu, kusaksikan daun yang
memintaku jadi pohon itu kembali mengisut dan menempel di
rerantingku. Rantingku pun kini punya dua daun. Kau tahu, daun
itu—seperti halnya daun jelmaan kupingku—membuat aku bisa
mendengar suara-suara lembut dari jauh hingga segala suara
seperti terbuka untukku.
Kini tubuhku seperti pohon gundul di musim kemarau. Ada
dua daun menggigil di rantingku. Sementara sepasang mataku
menjadi kuncup. Anak-anak yang pulang mengaji sore itu takjub
melihat kuncup yang terjelma dari mataku. Seorang dari mereka
bahkan memetik satu di antara kuncup mataku dan menciumnya
bergantian.
Dengan dua daun dan satu kuncup yang bertengger di ranting,
aku melihat tubuhku seperti satu-satunya pohon nekad yang
selamat dari penebangan. Dengan dua daun dan satu kuncup itu,
aku seperti pohon yang bersikeras tumbuh di ruas jalan ini, di
mana langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin
dulu dijaga pohon-pohon asam yang berjajar seperti barisan
Kompeni berbaju hijau.
Seekor kupu-kupu datang dan hinggap di salah satu batangku.
Kepada sepasang daunku kupu-kupu itu mengaku sebagai
kakekku. Si kupu-kupu bilang, setelah menjadi ulat dan
menempuh puasa di sebujur kepompong, kesabaran memberinya
sungut dan sayap sehingga jadilah ia kupu-kupu. Kupu-kupu itu
kemudian mengibaskan sebelah sayapnya di satu kuncup yang
tertinggal di rerantingku. Kuncup terakhir yang terjelma dari
mataku itu pun jatuh. Bersamaan dengan itu, kusaksikan daun-
daun di langit juga jatuh. Seperti hujan turun dari pohon raksasa
yang tampak sudah sangat tua dan teduh, tapi tak selembar pun
daun itu menempel di tubuhku.
Aku ingin tersedu. Tapi tak bisa. Sebab aku sudah tidak punya
mata. Dengan susah payah kukumpulkan tenaga. Dan akhirnya
aku terbangun. Entah bagaimana mulanya tadi aku bisa tertidur.
Ternyata kompor belum kumatikan. Panciku gosong. Dan bayam
yang kumasak telah hangus.(*)

Surabaya, 2013

A. Muttaqin dilahirkan di Gresik dan tinggal di Surabaya.

(Dimuat di Koran Tempo, 4 Agustus 2013)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Teman Kami
Cerpen Dias Novita Wuri

“N
AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi
permintaan-permintaanmu. Kami datang saat
kau panggil, dan kami sudah membantu
membuatmu kaya tanpa kau harus bekerja
apa-apa seumur hidupmu. Kau sudah punya sebuah mobil yang
nilainya hampir dua ratus juta mata uangmu, kau berhasil
menikahi perempuan cantik itu (tadinya ia benci padamu, tentu
saja, dan selalu mengerutkan alisnya tiap kali kau muncul di depan
pagar rumahnya, tapi kami punya cara untuk membujuknya,
mengisiki hatinya dengan tipu daya), dan kini kau punya dua
rumah—besar dan terletak di lokasi yang bagus, meskipun tidak
megah. Kau berkecukupan tanpa harus berusaha, karena
perempuanmu yang bekerja seumur hidupnya hingga kalian punya
semua itu. Ia cantik, serba-bisa, dan pintar, ia yang bekerja
membanting tulang di sebuah bank asing selama dua puluh lima
tahun sementara tugasmu hanya menjemputnya setiap sore di
kantornya. Itu pun kau selalu mengeluh. Kau marah-marah,
memukulkan kepalan tanganmu ke klakson mobil, memaki-maki
pengendara lain saat jalanan macet.
“Jadi sekarang biarkan kami berbuat semau kami padamu.”
Saat usianya menginjak lima puluh lima, pelan-pelan kami
membuatnya gila. Kami membuat dunianya tampak tak lagi masuk
akal di matanya. Kami mengosongkan otaknya, mengacaukan
segala sistem di tubuhnya. Kami menjadikannya boneka kami.
Awalnya hanya
serangan-
serangan tak
berarti yang
para dokter
artikan sebagai
“stroke
ringan”: ia
kehilangan
kendali akan
otot-otot di
kaki dan tangannya, menjatuhkan gelas saat sedang
memegangnya, lupa arah dan menerobos lampu-lampu merah saat
mengemudi. Pelan-pelan kami membuat semua itu memburuk. Ia
mulai berteriak-teriak karena hal-hal sepele. Kemudian ia juga
kehilangan kemampuannya bicara. Ia tidak lagi dapat memahami
dan dipahami.
Ini rahasia. Kalian tidak perlu tahu keberadaan kami. Namun,
jika kalian cukup mampu, kalian akan bisa melihat kami di sana,
mengelilinginya. Kami duduk ketika ia duduk, berdiri ketika ia
berdiri, berbaring ketika ia mengistirahatkan tubuhnya yang kian
lama kian kami buat renta, tubuh yang dagingnya menyusut dari
hari ke hari seberapa pun banyaknya ia makan. Kami ada
bersamanya ketika ia dikunci dalam kegelapan kamarnya, di atas
kasur kapuk yang telah mengeras dengan seprai yang bercak-
bercak air seni dan liur, hanya ditemani sebuah televisi kecil yang
menayangkan saluran belanja-dari-rumah yang tak ada habis-
habisnya, dua puluh empat jam sehari.
Kami menyenangi rumahnya. Tempat itu dipadati berbagai
patung kayu dan lukisan: kesukaaan kami adalah sesosok dewi
berkepala dan sayap burung rajawali tapi bertubuh manusia.
Kadang kami akan berkerumun saja di sekitar dewi burung itu
untuk mengagumi sepasang payudara bulat montok pada dada
telanjangnya. Itu, dan lukisan gadis sedang memandangi lilin,
dinaungi bayangannya sendiri. Oh, bagaimana kami bisa tidak
senang. Ada alat-alat musik juga, segala yang berdenting dan
bergemerincing. Tempat itu bagaikan surga bagi kami.
Kalau kalian bisa melihat kami, temukan kami di sudut
tergelap dari sebuah ruangan yang gelap.
S
ETIAP pagi, sebelum semua orang bangun, kami akan
menyuruhnya buang air besar. Ia selalu menurut. Sama
sekali tidak pernah melawan. Kami memilihkan tempat
terbaik untuk melakukannya. “Dapur,” kami berkata. “Tahukah
kamu, di dapurmu itu kita bisa menemui seorang teman. Ia
kadang-kadang ada di sana. Ia jiwa yang penuh dendam, yang suka
mewujud menjadi seorang kakek tua berlumuran darah di mata
mereka yang mampu melihat. Dapur juga tempat istrimu
memasak berbagai makanan, menanak nasi, dan merebus air.
Sana, pergi dan kotori tempat itu.”
Setiap pagi ia ke sana dan memelorotkan celana kolornya, lalu
celana dalamnya, lalu berjalan berkeliling sambil melaksanakan
hajat. Ceprot-ceprot-ceprot. Tahinya yang encer berair pun
berjtuhan di mana-mana dan kami bersorak kegirangan. “Lagi.
Lebih banyak lagi! Ambil tahi itu dengan tanganmu, lalu usapkan
tanganmu ke bajumu.” Ia melakukannya. Lebih banyak lagi tahi
berjatuhan. Seperti bom, atau seperti buah masak yang jatuh ke
tanah dari tangkainya. Tak lupa ia bermain-main dengan tahinya
sendiri dan mengusapkan tangannya ke bajunya.
Lalu bau tajam akan menguar membangunkan istrinya. Ia
keluar dari kamarnya sendiri—bukan, tentunya bukan dari kamar
yang dulu ia bagi denganmu, Teman, sekarang istrimu telah
membangun sarangnya sendiri jauh darimu—mengenakan daster
dan melangkah tergopoh-gopoh dengan sisa-sisa mimpi masih
menyelubungi pikirannya (dan mimpinya kebetulan sebuah mimpi
aneh yang indah, nanti akan ia ceritakan ke anak perempuannya).
Namun ia selalu tahu itu ulah suaminya, karena ini merupakan
skenario sehari-hari. Kami mengamati wajahnya yang kini
berkeriput dan pucat, gelung rambutnya longgar menyentuh
tengkuk. Tiga puluh tahun yang lalu, ia merupakan kembang desa
di kampung halamannya di Pati. Ia membuat pria-pria tak
terhitung banyaknya bertekuk lutut di kakinya, kemudian
mematahkan hati mereka semua. Dua puluh lima tahun yang lalu
ia datang ke kota metropolitan ini untuk mencari pekerjaan. Dua
puluh tahun yang lalu ia bertemu dengan teman kami yang gila ini.
“Papa!” ia berseru. Benaknya yang gusar bertanya-tanya
mengapa ia masih bisa merasa marah, teramat sangat marah,
padahal ia mengalami kejadian ini setiap hari. Suaminya hanya
berdiri menatapnya, seperti biasa dengan kedua bahu yang kini
telah bungkuk. Kami beri tahu kalian, bahu itu membungkuk
sedemikian rupa karena ia harus memanggul kami, bukan? Ya, ia
memanggul kami selama ini.
“Sana, Papa minggir dulu,” ujar si istri di antara gigi yang
terkatup beradu. Gigi itu berfungsi sebagai penahan
kemarahannya, yang sudah menggelak ingin menyembur keluar.
Tapi suaminya gila. Mana mungkin orang yang masih waras punya
hak untuk memarahi orang tak waras? Lagi pula tidak ada
gunanya. “Masuk kamar lalu pakai celana yang bersih. Tunggu,
tunggu. Langsung masuk kamar mandi, nanti aku mandikan
sehabis aku kelar membersihkan kotoranmu.” Tapi semua itu tidak
pernah dilakukan. “Lepaskan bajumu. Keluar ke halaman tanpa
baju,” kata kami. Itulah yang dilakukannya.
Kami gembira menyaksikan istrinya kalang-kabut, dikerjai,
merasakan hatinya yang tersayat perlahan. “Kalau besok begini
lagi, Pa,” ancamnya, “nanti Papa dikirim ke rumah sakit jiwa.
Mau?” Wah, itu sudah pernah terjadi, tapi tidak bertahan lama
Karena tahukah kalian berapa biaya rumah sakit jiwa per harinya?
Jadi kemudian istrinya pun harus menghadapi hal ini setiap hari
di rumah, tanpa kami berikan jeda. Kami gembira menyaksikan
kedua tangannya yang dulu indah kini pelan-pelan menguning dan
kering. Karena air pel, usia tua, dan tahi.
Setiap siang kami menurunkan sedikit tenaga teman kami itu.
Tiap kali ia diberi makan, kami akan melipatgandakan rasa
laparnya. Kami ikut makan, jadi ia tak pernah merasa kenyang.
Kami membuatnya berkeliling mencari wadah-wadah makanan
yang disembunyikan, lalu ia akan mengobok-obok makanan dalam
wadah-wadah itu dengan jari gilanya yang kotor. Kesukaan kami
adalah kembang sepatu mentah (istrinya punya persediaan
kembang sepatu untuk dimasak jadi kimlo), juga gula pasir, dan
sisa-sisa kopi bekas menyuguhi tamu, dan terutama makanan
dalam wadah-wadah yang disembunyikan.

S
ETELAH setengah tahun, pelan-pelan kami membuatnya
semakin sakit. Kali ini para dokter bisa dengan percaya diri
memberikan diagnosis yang bukan lagi hasil meraba-raba
seperti “stroke ringan” senjata pamungkas mereka yang dulu itu.
Kali ini “pecah pembuluh darah otak”, “level kolesterol mendekati
titik bahaya”, dan ia pun dilarikan ke Unit Gawa Darurat rumah
sakir anyar milik sebuah universitas. Hari itu sudah lewat tengah
malam, istri dan anak laki-lakinya tampak duduk menemani
teman kami di dalam mobil ambulan. Tentunya kami juga ikut
berada di sana, kami duduk dengan leluasa di antara orang-orang
yang saling berdesakan. Si anak perempuan ditinggal di rumah
untuk menjaga rumah. Di dalam ambulan, kami bersenang-senang
dengan ikut berguncang-guncang kapan pun roda mobil masuk ke
gerowong di aspal atau melewati gundukan polisi tidur. Si istri
mengenakan dasternya lagi. Si anak laki-laki tampak tegar dan
kokoh menyerupai laki-laki dewasa (tanpa disadarinya, sudah
lama ia menjadi kepala keluarga).
Malam itu teman kami mengalami koma, tapi ia kembali lagi.
Kami tahu ia belum akan mati. Semua ada waktunya. Malam demi
malam terlewati, keluarganya menunggui di rumah sakit itu
kecuali si anak perempuan teman kami yang membencinya. Ia tak
pernah memunculkan batang hidungnya, ia menetap di benteng
kamarnya di malam hari dan bekerja keras mengurus rumah di
pagi hari sampai suatu ketika ibunya memaksanya datang. “Kalau
Papa meninggal, nanti kamu menyesal.” Jadilah si anak
perempuan pun muncul hari itu dengan berat hati, ditemani
kawan laki-lakinya. “Mama pulang ya, ganti kamu jaga Papa di
sini,” kata ibunya, dan si anak perempuan tak berkomentar apa-
apa.
Malam itu kami menggoda si anak perempuan. Kami bisikkan
di telinga teman kami, “Bangun, mari kita berkeliling. Bangun, kau
harus buang air besar. Bangun, kau harus buang air kecil tapi tidak
melalui selang goblok itu. Kau cabut selang itu.” Anak
perempuannya sedang tidur meringkuk di lantai yang beralaskan
sajadah untuk sembahyang dan berselimut sehelai sarung, ketika
teman kami terbangun dan mulai mencabuti keteter air seni
hingga air kuning pesing berceceran di lantai. Noda tahi tertinggal
di seprai. Makanan rumah sakit di atas nampan berjatuhan. “Papa
mau ke mana?” seru si anak perempuan. “Jalan-jalan,” jawab
ayahnya dengan bahasa yang tak jelas. “Nggak boleh, Pa, lagian
mau jalan-jalan ke mana? Papa mesti di tempat tidur, nggak boleh
ke mana-mana!”
Tapi tentu saja ia tak mendengarkan. Anak perempuannya
menahannya, tapi kami sangat kuat. Kami buat dia menyambar
tangan kurus milik anak perempuannya, memuntir tangan itu,
menggigit tangan itu hingga berdarah-darah. Si anak perempuan
menjerit-jerit, perawat berdatangan ke dalam kamar itu. Kami
tertawa puas sekali, seluruh peristiwa ini lucu sekali. Lalu si anak
perempuan berdiri di sudut, menyaksikan para perawat dan kawan
lelakinya menangani ayahnya yang mengamuk, menangis sedikit
tapi segera meraih kain serbet yang dibawa dari rumah dan mulai
membersihkan kencing yang tercecer di lantai.
Kami ulangi kesenangan itu beberapa kali dalam minggu itu,
kami buat anak perempuannya hancur hingga kebencian di
hatinya berakar semakin kokoh, tidak tergoyahkan.

S
ETELAH setengah tahun lagi, kami tahu perjalanan teman
kami ini akan segera berakhir.
Hari itu berlangsung sebagaimana biasanya baginya
(karena setiap hari selalu berlangsung sebagaimana biasanya
baginya). Kami menghabiskan waktu-waktu terakhir itu dengan
berbaring bersamanya di ranjang, semua lampu dimatikan, televisi
menyala dengan suara keras, kasur berbau ompol, semua jendela
dan pintu ditutup. Keluarganya sedang tidak ada, hanya ada anak
laki-lakinya, tetapi ia sedang tidur pulas (istrinya pergi
mengunjungi salah satu sahabat karibnya yang sakit, anak
perempuannya sedang pergi ke bandara untuk mengantar
pacarnya kembali ke Jogjakarta). Hari itu ia tidak tampak betul-
betul sakit ataupun sepenuhnya gila. Hanya biasa-biasa saja.
Tetapi, ia akan mati.
Kami mendampinginya.
“Tahukah kau,” kata kami dengan mendayu-dayu, mendesikan
dongeng menjelang tidur abadi ke telinganya yang kisut, “tahukah
kau, di depan rumahmu ada sesosok jiwa. Ia berdiam di tiang
listrik, terkadang ia akan memanjat dan bertengger di puncak,
terkadang ia akan duduk saja di tanah. Ia juga jiwa yang penuh
dendam, yang suka mewujud menjadi gadis pucat berbokong tipis
di mata mereka-mereka yang mampu melihat. Ketika ia sangat
marah, ia akan mengaburkan penglihatan manusia-manusia yang
berkendara melewatinya hingga mereka terjatuh dan menabrak
tiang listrik tempatnya berdiam. Lalu manusia-manusia itu akan
terluka parah, kaki mereka patah, kepala mereka pecah. Belum ada
yang mati, tapi itu akan terjadi suatu saat nanti.
“Tahukah kau, kami datang dari kerajaan yang besar di dasar
samudera. Kami tertarik dengan panggilanmu dan dedaunan yang
kau bakar di atas tungku, dengan jampi-jampi yang kau lantunkan
dan garam kasar yang kau tebar, mantra-mantra yang kau simpan
di dalam dompetmu. Kami tertarik dengan busuk di dasar hatimu
dan bagian belakang kepalamu. Kami mencintai dirimu ketika
muda, dan karena itulah kami menyertaimu hingga tua.
“Kau tidak punya teman lain, tidak ada yang lain kecuali kami.
Tapi sekarang kami harus meninggalkanmu karena tugas kami
sudah usai.”
Ia memandangi kami dengan matanya yang kuyu dan merah
berurat-urat.
“Bagaimana perasaanmu, Teman?” tanya kami. “Seumur
hidupmu kau bukanlah siapa-siapa.”
Perlahan-lahan, satu per satu dari kami melepaskan diri
darinya. Kami terbang ke langit seraya memandanginya meregang
nyawa. Apakah kami merasa sedih? Ia memandangi kami, dan
kami merasa sedih karena ia tampak begitu bahagia telah lepas
dari kami, begitu lega karena ia akan mati.
Kemudian kami beterbangan untuk mencari petualangan baru
di tempat baru, dan terutama, teman yang baru.(*)

Dias Novita Wuri lahir di Jakarta, 11 November 1989.


Lulus dari Program Studi Rusia, Universitas Indonesia.
Ia tinggal di Jakarta.

(Dimuat di Koran Tempo, 28 Juli 2013)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Penembak Jitu
Cerpen Liam O’Flaherty
(Diterjemahkan oleh An. Ismanto)

P
ETANG bulan Juni yang panjang telah pudar menjadi
malam. Selain redup sinar bulan, yang menerobos
bongkah-bongkah awan putih lembut dan menyiramkan
berkas-berkas pucat di jalanan dan perairan gelap di
sekitar Liffey, hanya kegelapan yang menyelimuti Dublin. Di
sekitar Four Courts yang terkepung, senjata berat meletup-letup.
Di seluruh penjuru kota itu, senapa mesin dan bedil mencabik-
cabik kesunyian malam tanpa henti seperti anjing yang menyalak-
nyalak di sebuah peternakan terpencil. Kaum pendukung Republik
dan Free State masih sengit bertempur.
Seorang penembak jitu Republik berjaga di atap sebuah
gedung dekat Jembatan O’Bridge. Senapan teronggok di sisinya
dan tali teropong terkulai di atas bahunya. Wajahnya adalah wajah
seorang mahasiswa yang tirus dan mirip pertapa, namun dengan
tatapan seorang fanatik yang berkilat-kilat di matanya. Mata itu
dalam dan bijak, mata seorang lelaki yang telah terbiasa menatap
kematian.
Ia tengah makan sandwich dengan lahap. Perutnya belum
kemasukan apa-apa sejak pagi. Ia terlalu gugup untuk makan. Ia
menandaskan sandwich, mengambil sebotol wiski dari sakunya,
dan meneguk sekali. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang
apakah ia berani mengambil risiko dengan merokok. Sangat
berbahaya. Kerlip api dapat terlihat dalam kegelapan dan banyak
musuh sedang berjaga di luar sana. Ia memutuskan untuk
mengambil risiko itu.
Setelah menjepitkan sebatang rokok di antara bibirnya, ia
menyalakan sebatang korek api, menghisap asap cepat-cepat dan
mematikan
korek. Hampir
seketika itu juga,
sebutir peluru
menghantam
dinding
pembatas atap.
Si penembak jitu
menghisap
rokok sekali lagi
lalu
mematikannya.
Ia memaki dengan suara pelan dan merayap ke kiri.
Dengan hati-hati, ia mendongak dan mengintip melalui
dinding kecil pembatas atap. Kerlipan api terlihat lalu sebutir
peluru mendesing di atas kepalanya. Cepat-cepat ia tiarap. Ia telah
melihat kerlipan api di seberang jalan itu.
Ia berguling ke arah cerobong di bagian belakang atap lalu
pelan-pelan berlindung di balik cerobong hingga matanya sejajar
dengan bagian atas dinding kecil pembatas atap. Tak terlihat apa
pun—hanya garis tepi atap rumah seberang yang tampak kabur
berlatar langit biru. Musuhnya tersembunyi.
Sebentar kemudian, sebuah mobil lapis baja melintasi
jembatan dan melaju pelan di jalan. Mobil itu berhenti di
seberang, sekitar lima puluh yard dari si penembak jitu. Ia dapat
mendengar deru mesin mobil itu.
Jantungnya berdetak lebih keras. Itu mobil musuh. Ia ingin
menembak, namun ia tahu akan sia-sia saja. Pelurunya tak akan
pernah sanggup mengoyak lempengan baja yang melapisi monster
abu-abu itu.
Lalu, dari sudut sebuah gang, muncul seorang wanita tua
berkerudung selendang compang-camping. Ia berbicara kepada
tentara yang bersiap di menara senjata mobil itu. Ia menunjuk-
nunjuk atap tempat si penembak jitu tiarap. Seorang informan.
Menara senjata terbuka. Kepala dan bahu seorang lelaki
tampak dan menatap ke arah si penembak jitu. Si penembak jitu
membidik dan menembak. Kepala itu tersentak ke dinding menara
senjata. Si wanita tua lari tergopoh-gopoh ke seberang jalan. Si
penembak jitu kembali menembak. Wanita tua itu terhuyung
sebentar lalu roboh seraya mengerang di selokan.
Tiba-tiba dari atas gedung seberang jalan sebuah letusan
terdengar dan si penembak jitu melemparkan senapannya seraya
menyumpah-nyumpah. Senapannya terlempar dengan suara
berisik di atap. Si penembak jitu berpikir bunyi gaduh itu bisa
membangkitkan orang mati. Ia berkisar untuk meraih senapan itu
tetapi ia tak mampu mengangkatnya. Lengannya tak terasa. “Aku
tertembak,” gumamnya.
Tiarap di atap, ia merangkak kembali ke dinding kecil
pembatas atap. Dengan tangan kirinya, ia meraba lengan
kanannya yang terluka. Darah mengucur membasahi lengan
bajunya. Tak ada rasa sakit—hanya sensasi tanpa rasa, seolah-olah
lengan itu telah terpotong.
Cepat-cepat ia menghunus belati dari saku, membukanya di
dinding pembatas atap, lalu mengoyak lengan bajunya. Sebuah
lubang menganga di tempat peluru itu masuk. Di sisi lainnya tidak
ada lubang. Peluru itu bersarang dalam tulang.
Tulangnya pasti sudah hancur. Ia menekuk siku di bawah luka
itu. Sikunya terkulai begitu saja. Ia mengertapkan gigi untuk
mengatasi rasa sakit.
Lalu, setelah mengeluarkan perban, ia menyobek bungkusan
itu dengan belati. Ia membuka leher botol yodium dan menuang
cairan dingin itu pada lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi
sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas lukanya. Rasa perih
yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas
luka dan melilitkan perban di atasnya. Ia menyimpulkan perban
itu dengan giginya.
Lalu ia tiarap tanpa bergerak di samping dinding kecil
pembatas atap dan, setelah memejamkan mata, ia menghimpun
tekad untuk mengatasi rasa sakit.
Di bawah sana, jalan sepi sekali. Mobil lapis baja telah
mundur dengan sigap ke jembatan, dengan kepala penembak
senapan mesin terkulai tanpa nyawa di menara senjata. Mayat
wanita tua itu masih teronggok di selokan.
Selama beberapa saat, si penembak jitu tetap bertiarap untuk
merawat lengannya yang terluka dan menyusun rencana untuk
meloloskan diri. Dia tidak boleh tetap di atap dalam keadaan
terluka saat pagi tiba. Musuh di atap gedung seberang pasti
menutup setiap jalan keluar. Ia harus membunuh musuh itu,
namun ia tak bisa menggunakan senapannya. Ia hanya dapat
menggunakan revolver. Lalu sebuh rencana terbersit di
pikirannya.
Ia melepaskan topi lalu meletakkannya di moncong senapan.
Lalu ia mendorong senapan itu perlahan-lahan ke atas dinding
kecil pembatas atap sehingga topi dapat terlihat dari gedung di
seberang jalan. Hampir seketika itu juga terdengar letusan, dan
sebutir peluru mengoyak topi itu. Si penembak jitu memiringkan
senapannya ke depan. Topi terjatuh ke jalan. Lalu, sambil
memegang bagian tengah senapan, si penembak jitu menjatuhkan
tangan kirinya di atap dan membiarkannya menggelantung tanpa
bergerak. Sejenak kemudian, ia melepaskan senapannya ke jalan.
Lalu ia merayap mundur di atas atap seraya menarik tangannya.
Seraya berdiri dengan cepat, ia mengintip dari sudut atap.
Siasatnya berhasil. Penembak jitu musuh itu, karena melihat topi
dan senapan yang jatuh, mengira ia telah berhasil membunuh
sasarannya. Sekarang ia berdiri di depan barisan cerobong,
menatap ke arah seberang, dengan kepala yang membentuk siluet
terlihat dengan jelas berlatar langit barat.
Penembak jitu Republik itu tersenyum dan mengangkat
revolvernya ke tepi dinding kecil pembatas atap. Jaraknya sekitar
lima puluh yard—tembakan yang sulit dalam cahaya remang dan
lengan kanannya sakit bukan kepalang. Ia membidik. Tangannya
gemetar karena gembira. Seraya mengatupkan bibir, ia menghela
napas melalui hidung dan menembak. Ia hampir tuli oleh bunyi
letupan itu dan lengannya bergetar oleh rekoil.
Lalu, saat asap menyisih, ia mengintip dan berseru gembira.
Musuhnya tertembak. Lelaki itu terhuyung-huyung sekarat di
dinding kecil pembatas atap. Ia berjuang untuk berdiri, namun
dengan pelan ia terhuyung ke depan seperti dalam mimpi.
Senapan terlepas dari tangannya, membentur dinding kecil
pembatas atap, terpelanting membentur tiang sebuah kios tukang
cukur di bawah dan kemudian berderak di trotoar.
Si penembak jitu melihat musuhnya terjatuh dan ia menggigil.
Gairah pertempuran dalam dirinya telah padam. Ia tercekam
penyesalan. Butir-butir keringat mengucuri keningnya. Lemah
karena luka dan puasa yang panjang di hari musim panas dan
berjaga di atap, ia mengalihkan pandangan dari jasad remuk
musuhnya yang telah mati itu. Giginya gemeretak, ia mulai
meracau, mengutuk perang, mengutuk dirinya sendiri, mengutuk
semua orang.
Ia menatap revolver yang masih berasap di tangannya, lalu
seraya memaki ia melemparkan revolver itu ke atap. Suara letupan
menyusul jatuhnya revolver itu dan peluru mendesing di samping
kepala si penembak jitu. Terkejut, ia kembali merasakan
ketakutan. Syarafnya kembali tenang. Kabut ketakutan
berhamburan dari pikirannya dan ia tertawa.
Setelah mengambil botol wiski dari sakunya, ia mengosongkan
botol itu dengan sekali teguk. Ia merasa nekat karena pengaruh
minuman keras itu. Ia memutuskan untuk meninggalkan atap
sekarang dan melapor kepada komandan kompinya. Sepi ada di
mana-mana. Tidak berbahaya jika menyeberang jalan. Ia meraih
revolver dan menyarungkannya lagi. Lalu ia merangkak menuruni
jendela loteng rumah di bawahnya.
Saat mencapai gang yang sejajar dengan jalan, tiba-tiba si
penembak jitu merasa ingin tahu identitas penembak jitu musuh
yang baru saja dibunuhnya. Ia menganggap musuhnya itu cukup
jitu, siapa pun dia. Ia bertanya-tanya apakah ia mengenal
musuhnya itu. Mungkin mereka pernah satu kompi sebelum
pemisahan Angkatan Darat. Ia memutuskan untuk mengambil
risiko dengan memeriksa musuhnya itu. Ia mengintip dari sudut
Jalan O’Connell. Ada tembak-menembak sengit di hulu jalan,
namun di sekitar sini hanya ada kesunyian.
Si penembak jitu melesat menyeberangi jalan. Sebuah
senapan mesin menghamburkan peluru yang mencabik-cabik
tanah di sekitarnya namun ia berhasil lolos. Cepat-cepat ia
bertiarap di samping mayat itu. Senapan mesin telah sepi.
Lalu si penembak jitu membalikkan mayat itu dan melihat
wajah kakak laki-lakinya sendiri.(*)

Liam O’Flaherty (1896-1984) adalah penulis novel dan cerita


pendek Irlandia. Ia pernah bertempur di pihak Republik dalam
Perang Saudara Irlandia yang berlangsung sebelas bulan, tak lama
setelah Irish Free State didirikan pada 6 Desember 1922. Irish Free
State mencakup seluruh Irlandia, termasuk daerah yang kini
dikenal sebagai Republik Irlandia Utara. Irish Free State resmi
dibubarkan pada 29 Desember 1937. Cerita pendek di atas
diterjemahkan oleh An. Ismanto.

(Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2013)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Sangkar di Atas Leher
Cerpen Adi Zamzam

A
KAN kuceritakan kepadamu tentang keanehan yang
kualami sejak empat hari kemarin, yang terus saja
menyiksaku hingga detik ini. Adalah kicauan seekor
burung terdengar seperti permintaan tolong dan
kadang terdengar pula seperti ratapan. Kicauan itu terus bergema
dalam kepalaku. Tak henti-henti. Ya, di dalam kepalaku!
Saat kicauan itu berdenging di telinga kiriku, segera saja
kusumpal lubang telinga kiriku. Pun ketika kicauan itu meriuhi
telinga kananku, segera saja kusumpal lubang telinga kananku.
Tapi semua itu sia-sia belaka. Kicauan itu justru kemudian
meloncat ke atas.
Lalu, setelah kugetok-getok ubun-ubunku, kicauan itu pun
menghindar ke bawah.
Seperti ada seekor burung dalam kepalaku. Dan ia tengah riuh
mencari pintu keluar. Kicaunya membuatku serasa memiliki
sangkat di atas leher. Sekarang kau tentu dapat mengukur kadar
siksaan yang tengah menderaku.
Aku telah
mencoba berbagai
cara untuk mengusir
burung yang
terkurung dalam
kepalaku itu. Pernah
kedua telinga
kusumpal dengan
headset telepon
genggam. Kicau itu
memang segera
tersingkir. Namun itu
hanya sementara
karena aku takut jika
gendang telingaku
rusak karenanya.
Aku juga pernah
hampir seharian hanya tidur dan tidur. Dua kali aku
melakukannya. Suara kicau itu hanya hilang saat aku terlelap. Tapi
begitu aku bangun, burung itu ikut bangun juga. Cara ini akhirnya
kuakhiri karena hanya membuang-buang waktu. Hanya akan
membuatku semakin tertekan saja.

“W
AH, saran apa? Apa kau sudah menceritakannya
kepada Toto?” ujar Rani ketika kuceritakan
perihal kicau burung dalam kepala yang amat
menyiksa itu.
“Belum. Aku dikurungnya di rumah, dan dia begitu terobsesi
dengan pekerjaan. Sedikit sekali waktu yang disisakannya
untukku.” Kuhela napas berat sambil memandang foto si kecil Nia
yang terpajang manis di dalam bulet di ruang tamu. Terasa ada
yang menyumpal dalam dadaku.
“Jika kau butuh teman, datang saja ke rumah Mami,” Rani
menatapku erat. Mungkin dia coba memahami keadaanku.
“Kau pasti berpikir bahwa aku sedang tertekan,” aku balas
menatapnya lekat. Mencoba melawan prasangkanya.
“Tidaklah. Aku hanya ingin memberi tahu, sekarang di sana
sudah banyak perubahan. Tidak seperti dulu lagi. Siapa tahu itu
bisa memberi hawa segar buatmu. Siapa tahu jika ketemu dengan
kawan-kawan lama itu bisa mengendapkan masalahmu.”
Aku coba mendengar bujukan Rani.
“Ayolah, Mami masih sering menanyakanmu. Kau dulu murid
kesayangannya. Kaulah yang paling berbakat di antara kami,”
cerocos Rani lagi, yang seperti sepoi angin saja di telingaku.
Aku tertegun sejenak. Kesadaranku tersedot ke sebuah
imajinasi masa depan. Andai aku kembali ke tempat Mami lagi.
Menari. Setiap hari menari. Merentangkan sayap. Kembali
menikmati kebebasan. Kembali merasai gairah ketika
mendapatkan tepuk tangan dari penonton. Tapi sepertinya itu
amat mustahil. Aku bukan Rani. Suamiku juga tak seperti suami
Rani.
Ingatanku tiba-tiba kembali ke sebuah peristiwa ganjil suatu
pagi. Sebuah kejadian tak disengaja, namun membuatku terganggu
hingga kini. Membangunkan sesuatu yang telah cukup lama
tertidur dalam dada.
Itu terjadi ketika aku pulang dari toko perlengkapan bayi.
Langkahku terhenti di sebuah kerumunan yang riuh. Semuanya
lelaki. Dan kemudian aku tahu, pusat dari kerumunan itu adalah
seekor burung mungil yang dilelang oleh pemiliknya. Aku tidak
tahu itu burung apa. Mungil. Terlihat begitu cantik. Warnanya
adalah perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Membuat
burung itu tampak tiada duanya. Baru kali ini aku tersihir oleh
seekor burung. Juga oleh kicauannya.
Tapi inilah yang kemudian terjadi dalam pandanganku. Ia
hanya burung kecil yang malang. Di telingaku, kicaunya yang riuh
justru terdengar seperti minta tolong.
Orang-orang riuh menawar harganya. Sementara aku sibuk
menyandarkan diri sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, suara
kicau burung itu tak mau pergi dari dalam kepalaku. Seolah
kepalaku telah menjadi sangkarnya. Bahkan hingga detik ini,
ketika semuanya aku ceritakan kepada Rani, juga kepadamu.
“Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali ke sana. Titip salam
buat Mami ya,” ujarku, meski tak yakin. Wajah Toto membayang
ganjil.
Rani menepuk pundakku.

T
AK semudah yang kubayangkan. Bahkan hanya untuk
sekadar menengok rumah Mami demi mengobati rindu.
Tujuh tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk
membuat kaku semua persendianku. Meski ternyata kurang lama
untuk mengikis rindu kepada suara musik yang menghentak-
hentak. Tubuhku bahkan masih panas-dingin tiap kali
menyaksikan para penari bermunculan. Mereka tampak selalu
muda, segar, dan lincah sekali. Mereka terlihat begitu menikmati
kebebasannya. Dan siksaan ringan semacam itu kini bertambah
dengan adanya burung malang yang meratap dalam kepalaku.
“Burung kecil? Yang mana? Lihat, di sini banyak sekali burung
kecil,” ujar lelaki yang kulihat pernah melelang burung kecil itu
tempo hari. Melihat puluhan burung yang terkurung dalam
sangkar, aku semakin tersiksa saja. Membuatku ingin bergegas ke
tempat Mami. Melemaskan seluruh persendian tubuh.
Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu membebaskan
semua burung itu.
“Yang memiliki warna perpaduan kuning, hijau tua, dan
sedikit merah. Yang kemarin kau lelang di depan banyak orang.”
“Oh, yang itu,” katanya sambil menyemprot seekor burung
dalam salah satu sangkar dengan semprotan kecil. Kicaunya yang
begitu riuh, serta loncatannya yang tak terkendali, menjadi seperti
siksaan di mataku. Meski lelaki itu terlihat senang.
“Sudah dibeli orang, Mbak.”
“Boleh saya tahu siapa orangnya?”
“Memang ada apa, Mbak?” Keningnya berlipat oleh rasa
heran.
“Apa kau punya alamatnya?”
“Mbak mau membelinya?” Ia menatap tak percaya.
“Aku serius.”
Lelaki itu malah tertawa. “Sungguh, baru kali ini saya
mendapati penggemar burung yang seorang perempuan,”
suaranya terdengar nakal. “Burung satu itu memang raja di
berbagai lomba. Tapi lihat-lihatlah dulu, di sini juga masih banyak
yang kicaunya bisa dipertandingkan.”
“Beri aku alamatnya.” Tak kupedulikan ocehannya yang tak
penting itu.
“Baiklah, catatlah alamatnya baik-baik. Tapi dengarkanlah
saranku. Sebaiknya jangan kau perlihatkan hasratmu di depannya.
Itu akan dipakainya untuk menaikkan harga semau-maunya.”
Itu nasihat yang sama sekali tak berguna bagiku.

Y
ANG terpenting bagiku adalah ketika akhirnya mendapati
burung malang itu. Suaranya terdengar semakin
menyayat-nyayat dada. Semakin membuat kepalaku
berdenyut hebat. Aku pun langsung menawarkan harga di atas
harga keuntungannya.
“Baru saja beberapa hari yang lalu saya memilikinya. Saya
belum berniat menjualnya. Maaf,” ujarnya ringan.
Kepalaku bertambah pening. Pandangan mataku mengabur.
Kutatap tajam wajah lelaki itu. Aku melihat Toto di sana.
“Apa kau tak lihat? Dia rindu kebebasan. Apa kau ingin dia
merelakan seluruh hidupnya untukmu. Sampai kapan kau akan
mengurungnya?” kusemburkan semua yang menyumpal dalam
dada ke wajah Toto itu.
“Maksud anda?” Dahinya mengernyit. Pura-pura tak
mengerti.
“Kau ingin menghargainya berapa?”
“Sudah saya bilang saya belum berniat menjualnya. Saya baru
beberapa hari memilikinya.”
Kedua tanganku gemetar. Aku tahu ini ilusi. Aku tak tahu apa
yang membuat mataku jadi seperti ini. Aku melihat burung itu
menjelma seorang perempuan mungil dalam sangkar. Ia
melompat ke sana-ke mari demi mencari pintu keluar. Riuh
kicaunya berubah seperti riuh suara kesedihanku sendiri!
“Jika kau tak membebaskannya, perlahan-lahan dia akan mati
dalam sangkar,” rahangku mengeras.
Raut lelaki itu mulai menunjukkan rasa khawatir.
“Bebaskanlah. Berikan padaku. Berapa pun harganya,” ujarku
mendesak.

“M
AAF, Mbak. Buat apa Mbak membawa sangkar
burung ke mall ini?” tanya seorang satpam.
“Pintu atap? Buat apa Mbak membawa
sangkar burung itu ke atap gedung?” tanya seorang pramuniaga.
Dari tempatku berdiri sekarang, angin begitu suka-suka
mempermainkan rambut dan pakaianku. Udara kehilangan bau
apa pun—bau bensin, makanan, manusia, bahkan debu. Dunia
terlihat begitu datar, lapang, seolah tak bertepi. Menggoda
hasratku untuk segera membebaskan diri.
Hawa kebebasan telah berembus kuat dalam kepala. Suara
kicau burung yang beberapa hari lalu menyesaki kepala kini telah
sirna entah ke mana. Saat pintu sangkar di tangan kananku
kubuka lebar-lebar, pintu dalam kepalaku juga ikut terbuka lebar.
Membuat penghuninya terbang keluar entah ke mana. Dan kini
aku hanya menyisakan kekosongan yang paling kosong.
“Terbanglah. Ayo, bebaskan dirimu!” kuangkat tinggi-tinggi
sangkar di tangan kananku. Berharap si burung kecil segera
membebaskan diri. Terbang sesuka hati ke mana pun ia mau.
Ya, lelaki itu akhirnya memang bersedia melepasnya, meski
aku harus menebusnya dengan harga lima kali lipat.
Dan burung kecil itu akhirnya terbanglah. Menuju awan.
Menuju kebebasan. Aku pun bisa merasakannya. Ada sayap yang
tumbuh di punggungku. Lalu tubuhku tiba-tiba saja menjadi
ringan, begitu ringan.
Semenit, dua menit, tiga menit...
Kubiarkan angin meniup keras-keras semua yang berkecamuk
dalam dadaku. Alangkah lega rasanya. Semua yang menyesak
dalam dada langsung menguap. Rani yang membujuk aku untuk
kembali kepada Mami, Toto yang membuang semua kostum
penariku, Toto yang membuat rumah jadi sangkar dengan sepatah
kalimat “demi si kecil Nia”—semuanya berlesatan satu per satu.
Dan aku semakin ke tepi. Merentangkan sayap.
“Lia, ini aku, Lia. Lihat aku, Lia,” sebuah suara yang amat
kukenal tiba-tiba menyeruak ke telinga. Membuatku menoleh.
Toto! Sementara di sampingnya, beberapa pasang mata
menatapku dengan cemas.
Adakah makhluk yang bernama Lia di sini? Adakah burung
yang dipanggil Lia di sini? Tapi tak ada burung lain selain aku.
“Ke sini lah, Lia. Ayo pulang. Demi Nia,” ujar lelaki itu lagi.
Siapa Lia? Siapa Nia? Lelaki itu pasti sudah gila. Aku tak kenal
mereka. Aku seekor burung sekarang. Aku ingin bebas!(*)

Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih di kawasan Jepara,


Jawa Tengah.

(Dimuat di Koran Tempo, 14 Juli 2013)


(Gambar oleh Yudha AF)
Pintu
Cerpen Yudhi Herwibowo

P
INTU itu ada di ujung halaman belakang. Mengusam
karena waktu. Tersembunyi di antara pohon-pohon
besar yang tak henti membayanginya, seakan sengaja
menyatukan kegelapan. Tanaman rambat yang entah
berakar di mana kemudian membuatnya semakin sempurna tak
terlihat.
Tak mengherankan bila mata gadis kecil itu mendapatinya, ia
akan selalu merasa takut. Pintu itu seperti mampu menarik
dirinya. Padahal sejak dulu, ia selalu teringat teriakan ayah dan
ibunya bila ia muai bermain bersama teman-temannya, “Jangan
sampai melewati pintu itu!” Dan ia selalu menurut.
Pintu itu memang seakan menakutkannya. Menatapnya saja
membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan bayang-bayang yang
terbentuk dari pohon-pohon di sekitarnya, seperti bisa
menghentikan jantungnya untuk beberapa saat.
Namun entah kenapa, perlahan-lahan gadis kecil itu semakin
merasa tertarik
pada pintu itu.
Mungkin karena
hanya di dekatnya
ia bisa merasakan
rasa ingin tahu
yang tak biasa.
Terlebih semenjak
pohon besar di
dekat pintu itu
rubuh terkena
petir, pintu itu
semakin mudah
tertangkap oleh
matanya.
Sejak itulah muncul berulangkali pertanyaan di kepalanya:
apa yang ada di balik pintu itu?
Ini memang terasa berlebihan. Saat teman-temannya datang,
ia memang akan melupakan sejenak pertanyaan itu. Ketika teman-
temannya itu pulang, ia akan kembali lagi mengalihkan
pandangannya ke arah pintu itu.
Pernah suatu kali, gadis kecil itu bertanya pada Bi Ijah,
pembantu di keluarganya yang asli orang desa. Bi Ijah hanya
mengangkat bahu dengan enggan, “Kata orang-orang, di situ
rumah para lelembut. Ada peri-peri jahat yang suka menculik
anak-anak!”
Gadis itu terkesiap. Peri-peri? Entah kenapa begitu saja
terbayang olehnya makhluk-makhluk kecil bersayap rapuh yang
kerap dilihatnya di film-film. Sosok-sosok yang beterbangan
dengan jejak cahaya.
Tapi tentu saja ia tak puas dengan jawaban itu. Ia pikir para
peri tak akan membuatnya ketakutan. Maka ia kemudian
menanyakan pada ayah salah satu temannya, yang kebetulan
rumahnya bersebelahan dengan rumahnya.
Konon, puluhan tahun lalu, tepat di belakang rumah ini
adalah sebuah kuburan tua. Itulah yang membuat pemilik rumah
sebelumnya membangun tembok tinggi untuk menghalangi
pandangan para penghuninya ke arah situ.
Ini jawaban yang lebih masuk akal bagi otaknya yang masih
terlalu belia. Ketakutannya selama ini pada pintu itu pun jadi
beralasan.
Maka ia tak lagi bertanya-tanya soal pintu itu dan apa yang
ada di baliknya. Ia akan bermain saja di teras belakang. Bila
teman-teman belum datang, ia akan bermain sendiri tanpa
memperhatikan pintu itu.
Seperti hari ini. Gadis kecil itu masih menunggu teman-
temannya datang sambil memainkan bola bekelnya sendiri. Ia
memantulkan, meraup, menangkap, memantulkan lagi, meraup
lagi, menangkap bola itu lagi. Tapi hari ini ada sekali ia luput
menangkap bola bekel itu.
Bola itu memantul jauh.
Gadis kecil itu mencoba mengejarnya. Namun bola bekel itu
terus memantul dengan sempurna di batu-batu di halaman
belakang rumah ini. Arahnya menjadi tak menentu. Semakin jauh,
dan begitu saja mengarah pada pintu itu.
Lalu bola bekel itu hilang ke salah satu celah pintu itu!
Gadis itu terkesiap. Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sudah
berdiri di depan pintu itu sedemikian dekat. Ia menelan ludah. Ia
pastilah sempat berpikir kalau ia harus pergi saja. Ayah dan ibunya
tentu bisa membelikannya bola bekel yang baru. Tapi entah
mengapa, ia seperti tak rela kehilangan miliknya.
Maka dengan tangan gemetar ia meraih gagang pintu itu.

A
KU lebih baik mati di sini!
Kebosanan telah sampai pada puncaknya. Tak ada
artinya lagi hidup di sini. Kesepian telah merasuk ke
dalam diriku dari tahun ke tahun.
Telah ratusan tahun aku hidup di sini. Telah sepanjang hidup,
aku menemani tubuh-tubuh yang dikuburkan di sini.
Ya, tanah ini awalnya memang penuh dengan tubuh-tubuh
yang pergi dengan doa dan tangisan. Namun itu dulu. Dulu sekali.
Sebelum tanah ini ditinggalkan. Sekian lama kurasakan
kesendirian, tak terusik selama puluhan tahun. Kesendirian yang
mengundang burung-burung untuk bersarang di pucuk-pucuk
ranting, juga ular-ular berbisa di liang-liang akar.
Kupikir aku akan mati dalam suasana seperti itu. Tua dan
terlupakan. Namun ternyata beberapa tahun lalu, semuanya
berubah. Ini diawali dengan datangnya beberapa orang yang
membuat sebuah lubang besar di sini. Mereka bekerja hampir
sehari penuh, seperti mengusir burung-burung dan ular-ular itu.
Kau tahu, sebuah lubang biasanya berarti awal kehidupan.
Aku ingat ketika orang-orang menanam pohon-pohon di sini.
Mereka mengawalinya dengan membuat lubang-lubang di
hamparan tanah ini. Aku pun menebak bahwa lubang itu pun
sebuah awal kehidupan. Tentu aku tak berpikir bahwa mereka
akan menanam sebuah pohon raksasa. Tidak. Yang kubayangkan,
mereka akan membuat sebuah kolam besar yang nantinya penuh
dengan ikan-ikan beraneka rupa.
Tapi dugaanku salah! Beberapa hari kemudian, segerombolan
orang kembali datang dalam dua truk besar. Satu kelompok yang
berseragam dan memegang senjata, tampak memerintah
kelompok lainnya yang terikat tangannya. Mereka dijejerkan di
pinggir lubang. Lalu tanpa banyak bicara, seseorang yang
tampaknya pemimpin kelompok berseragam itu menembaki
mereka satu demi satu.
Tubuh-tubuh itu langsung jatung ke dalam lubang.
Sejak itulah, suasana di sini menjadi berbeda. Entahlah, telah
puluhan tahun aku berakar di sini, di atas tubuh-tubuh manusia
yang mati, namun baru kali ini aku mendengar suara-suara dari
dalam tanah. Raungan menyayat. Teriakan minta tolong. Ratapan
berkepanjangan. Sepanjang hari. Sepanjang bulan. Sepanjang
tahun. Tempat ini benar-benar tumbuh menjadi lebih mengerikan
daripada sebelumnya.
Namun itu belum selesai.
Beberapa tahun kemudian, ada sekelompok laki-laki menarik
seorang gadis kecil ke sini. Mereka orang-orang tak bertuhan,
sehingga mereka mengabaikan keberatan kami. Deru angin yang
mengencang, guguran daun yang menerpa wajah mereka, desis
ular dari dalam tanah, semuanya mereka sepelekan.
Mereka menyumpal mulut gadis kecil itu dan melucuti
bajunya dan bergiliran mengerjainya. Lalu, setelah semuanya
selesai, salah satu dari mereka mencekik leher gadis itu hingga ajal
menjemputnya. Jenazah gadis kecil itu mereka tinggalkan begitu
saja.
Gadis kecil itu menangis di sampingku. Memandangi
tubuhnya yang tergeletak tak lagi bergerak. Mula-mula air
matanya hanyalah air mata biasa.
Namun, sewaktu ia melihat tubuhnya semakin membusuk dan
hancur, air matanya pun bercampur dengan tetesan darah.
Aku mencoba menghiburnya. Mengatakan padanya bahwa
banyak sekali musibah terjadi tiba-tiba tanpa terelakkan. Ia tak
mau mendengar ucapanku. Untunglah, waktu selalu bisa
menyembuhkan luka. Beberapa tahun kemudian, aku mulai
mendengar suara senandungnya. Aku tahu, sebenarnya ia gadis
periang. Awalnya ia hanya menyanyikan lagu-lagu sedih. Namun,
setelah ia tahu kami semua mendengarkannya di sini, ia mulai
menyanyikan lagu-lagu riang.
Aku suka suaranya. Dan ternyata, tak hanya aku yang
menyukainya. Rusa, ular, kera, dan beberapa binatang lainnya
mulai berdatangan padanya. Ini membuatnya semakin gembira. Ia
kini tak hanya sekadar menyanyi, ia juga menari. Tampaknya ia
telah dapat melupakan apa yang terjadi padanya.
Namun itu tak berlangsung lama. Sewaktu orang-orang dari
desa menemukan tubuhnya dan membacakan doa untuknya,
sosoknya lenyap dari sisiku, menyatu dengan udara.
Sungguh, aku terus berharap ia muncul kembali. Ia telah
membuat suasana hutan belukar ini menjadi lebih gembira. Tapi
inilah yang kemudian terjadi: sebuah rumah besar dibangun di
tanah yang terbentang di depan kami. Sebuah tembok bata yang
sisi luarnya tak disemen didirikan menutupi wilayah kami.
Sejak itu aku tak lagi bisa melihat ke depan. Hanya sebuah
pintu berwarna kusam di dinding itu yang selalu memunculkan
harapan bagiku. Namun itu pun ternyata harapan yang sia-sia.
Sampai bertahun-tahun, pintu itu tak pernah terbuka.
Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah
pintu dibuat tanpa pernah dibuka?
Hingga akhirnya aku benar-benar merasa lelah. Kesendirian
ini membuatku ingin mati saja. Namun di puncak keinginan inilah
tiba-tiba saja dari sebuah celah pintu itu sesuatu memantul ke
arah kami. Sebuah bola karet kecil.
Kulihat gagang pintu mulai bergerak pelan.
Napasku seakan berhenti. Angin menepi. Daun-daun berhenti
bergerak. Kicau burung dan desis ular lenyap. Suara-suara
teriakan itu pun tak terdengar. Semua mendadak senyap.
Lalu seorang gadis kecil kulihat muncul dari balik pintu.
Sungguh, ia begitu mirip dengan gadis kecil yang dulu pernah
datang ke mari. Wajahnya cantik, dengan mata berbinar dan
rambut panjang yang terkuncir dua.
Aku tahu wajahnya penuh ketakutan saat memandangi kami
semua. Tapi bola karet kecil yang tak berhenti memantul itu
seakan membuat ketakutannya lenyap.
Ah, gadis kecil, kemarilah! Jangan takut!
Sungguh, aku dan semua yang ada di sini telah siap
menyambutmu di langkah pertamamu di tanah kami.(*)

Yudhi Herwibowo giat di buletin sastra Pawon, Solo.

(Dimuat di Koran Tempo, 7 Juli 2013)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Orang-orang yang Setia
Cerpen Ardy Kresna Crenata

S
EPERTI biasa, ia tak menoleh ketika aku menggeliat
mengeluarkan suara manja. Aku pun bangkit. Kubiarkan
selimut yang semula menempel di dada akhirnya
terjatuh. Dingin memang. Tapi itu justru memberiku
cukup alasan untuk bersegera merangkak mendekatinya dan
menekankan payudaraku ke punggungnya. “Sudah terbangun
cukup lama?” tanyaku. Ia masih saja tak menghiraukanku dan
tampak bersungguh-sungguh menatap layar laptopnya yang penuh
sesak oleh kata-kata.
Aku dan lelaki ini pertama kali bertemu tujuh bulan yang lalu.
Saat itu kami sedang sama-sama menghadiri malam pemberian
hadiah bagi para pemenang sebuah sayembara penulisan puisi
tingkat nasional di luar kota. Kebetulan, ialah yang jadi pemenang
pertama. Aku saat itu menghampirinya, sebagai seorang
penggemar. Sebelum malam itu aku telah banyak membaca puisi-
puisinya yang dimuat di beberapa koran nasional dan jujur saja
aku sangat menyukainya. Dan aku senang, karena ia merespon
ajakan pertemananku itu dengan hangat. Dan aku lebih senang
lagi, karena
rupanya lelaki
itu tertarik
kepadaku—bisa
kupastikan itu
dari tatapan
matanya yang
sesekali terarah
ke beberapa
bagian di
tubuhku. Sebelum akhirnya maju ke panggung, untuk menerima
piala dan berkata-kata di podium, ia meminta nomorku yang bisa
ia hubungi. Kuberikan.
Beberapa jam setelah kami berpisah malam itu, ia
mengirimiku SMS. Dua hari kemudian, ia meneleponku. Lima hari
setelahnya, ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku. Maka
kubilang, “Ke sinilah. Mungkin kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol
soal puisi dan kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya
memenangkan sebuah sayembara penulisan puisi.” Rupanya, ia
menanggapi perkataanku itu dengan serius. Pada hari kedelapan
belas sejak malam penghadiahan itu kami bertemu di etalase
sastra sebuah toko buku di Botani Square. Ada rasa tersengat,
tentu saja, melihat sosoknya itu berdiri (lagi) di hadapanku.
Singkat kata kami pun berbicara tentang berbagai hal sambil
berkeliling melihat-lihat dan mengomentari buku-buku yang ada
di sana. Malamnya, kami berada di sebuah kamar. Ia sempat
mengabulkan permintaanku dengan mengajakku berdebat soal
baik-buruknya puisi esai lalu mengajariku bagaimana membuat
sebuah puisi khusus untuk memenangkan sayembara sebelum
akhirnya ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Aku
menyukaimu dan ingin kembali bertemu denganmu,” katanya
besok harinya, sesaat sebelum ia memasuki bis. Aku tersenyum.
Dua bulan setelah saat itu ia datang lagi, dan mengajakku berdebat
lagi dan mengajariku lagi menulis puisi khusus untuk sayembara
lantas menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Kalau
kuhitung-hitung, dengan yang tadi malam, sudah tiga belas kali
kami melakukannya.
Di salah satu malam yang kami lalui bersama, aku pernah
menanyakan padanya bagaimana sesungguhnya perasaannya
padaku. Ia bilang, ia menyukaiku, tapi tak lebih dari itu. Tak bisa.
“Kenapa?” tanyaku. “Karena aku sudah memiliki seseorang,”
jawabnya. “Dan aku berniat menikahinya, meski tidak dalam
waktu dekat,” lanjutnya. Aku pun mengerti. Ia sempat cemas dan
bertanya apakah kejujurannya itu mengusikku. Kujawab dengan
menciuminya. Pada malam selanjutnya kami bersama ia
memberiku sebuket mawar merah dan beberapa buku. “Ini untuk
mengurangi rasa bersalahku,” katanya. Kukatakan bahwa itu tak
perlu, sebab aku sama sekali tak pernah menganggap ia bersalah.
“Tapi aku merasa bersalah,” desaknya. Jadi kuterima saja. Namun
rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir,
di pipi, di leher, di bahu.. “Kamu tahu, kurasa aku mulai
mencintaimu,” ucapnya suatu hari. “Apakah itu berbahaya?”
tanyaku. “Sangat,” jawabnya. Namun lagi-lagi rupanya itu tak
menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher,
di bahu..

S
EBULAN lamanya sejak saat itu kami tak berkomunikasi
melalui telepon maupun SMS. Kukira saat itu ia akhirnya
memutuskan untuk berhenti dan mulai sepenuhnya
mempersiapkan diri untuk membangun masa depannya yang
sesungguhnya dengan seseorang itu. Akan tetapi, suatu pagi, ia
membangunkanku, dan mengatakan betapa ia merindukanku dan
tak bisa berhenti memikirkan malam-malam yang kami lalui
bersama itu. “Aku juga,” kataku, yang kemudian kusesali.
Beberapa hari setelahnya kami kemudian bertemu. Kali itu aku
yang berkunjung ke kota tempat ia tinggal.
Di kamarnya itu, ia begitu antusias menunjukkan padaku
buku-buku tentang puisi yang ia miliki. Ia pun seperti berteori,
memintaku menanggapi pendapatnya dan akhirnya kami berdua
terjebak dalam suatu diskusi panas yang nyaris saja membuat
kami saling meneriaki satu sama lain. Aku ingat, untuk mengakhiri
perdebatan itu aku sampai harus mengalah dengan menyetujui
tuduhannya bahwa kredo penyair Malna itu berbahaya bagi para
penulis muda, bahwa kematangan teknik harus lebih dulu dimiliki
untuk menyelami kredo itu. “Jangan sampai seseorang meloncat
justru karena ia tak bisa melangkah biasa. Itu namanya melarikan
diri,” katanya. Aku mengangguk-angguk saja meski sesungguhnya
begitu dongkol dan dalam hati terus bergumam: seorang pelukis
surealis toh tidak perlu lebih dulu piawai membuat lukisan-
lukisan realis.
Ketika ketegangan sudah benar-benar menghilang, ia akhirnya
tersenyum, meraih tanganku, dan berkata, “Aku merindukanmu
beberapa hari ini. Sangat.” Beberapa detik setelahnya ia
membawaku bersandar di dinding kamarnya lantas menciumiku di
bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dini harinya ketika akhirnya aku
terbangun kutemukan ia tengah duduk memunggungiku, dan
sepertinya sedang menatap layar laptopnya lekat-lekat. “Kamu
sedang menulis puisi?” tanyaku, dan ia sama sekali tak
menggubrisnya.

S
ETELAH beberapa kali menginap di kamar kostnya,
barulah aku mengerti bahwa ia memang seperti itu ketika
menulis puisi: sama sekali tak bisa diganggu. Beberapa kali
usai menulis puisi itu ia meminta maaf, dan selalu langsung
kujawab dengan “tak apa”. Di satu waktu ia menjelaskan padaku
bahwa puisi yang baru saja dibuatnya itu akan dikirimkannya ke
sebuah sayembara dan ia merasa luar biasa puas karena puisi itu
seperti apa yang diinginkannya. “Kurasa ini karena aku habis tidur
denganmu,” katanya, sebelum menciumku tiga kali. Kukatakan
padanya (dengan maksud menggodanya) bahwa sebelumnya ia
telah beberapa kali tidur denganku namun sesuatu seperti yang
dikatakannya itu tak pernah terjadi. “Itu karena saat itu aku
memang tak berniat menulis puisi,” sanggahnya cepat. “Waktu kita
kan singkat. Sayang sekali kalau harus kuhabiskan dengan menulis
puisi,” sambungnya. Dan kalau kupikir-pikir sekarang, yang
dikatakannya itu ada benarnya juga. Selama ini peristiwa aku
terbangun dini hari dan menemukan punggungnya yang telanjang
hanya terjadi ketika aku berkunjung ke kota tempat ia tinggal,
menginap dua atau tiga malam di kamar kosnya. Dan kalau
kupikir-pikir lagi, rupanya, lelaki ini cukup pintar mengatur
waktu. Sejauh ini aku sudah beberapa kali mengunjunginya di kota
tempat ia tinggal, menginap dua-tiga malam di kamar kosnya, dan
selalu sepanjang waktu itu ia habiskan berdua saja denganku.
Kadang itu membuatku bertanya-tanya, apakah ia dan seseorang
itu masih bersama-sama.
Suatu malam akhirnya kuutarakan keherananku itu padanya
dan ia menjawab cepat, “Masih kok.” Sambil sesekali menatap
mataku ia menjelaskan bahwa apapun yang telah terjadi di antara
kami, ia tak akan mengubah keputusannya untuk mempersunting
seseorang itu kelak. “Apakah kau mencintainya?” tanyaku. “Tentu
saja,” jawabnya, dengan raut muka seperti awan gelap yang
memadat. Ketika kuungkapkan keherananku dengan sikapnya itu,
betapa ia bersikeras memilih seseorang itu sebagai istri namun tak
juga berhenti tidur denganku yang berarti ia terus saja
mengkhianatinya, ia mengatakan sesuatu yang membuatku
terdiam, “Ia tahu kok apa yang kita lakukan ini.” Lima detik, dua
belas detik, kuhabiskan dengan ternganga. “Benarkah itu?”
tanyaku. “Ya,” jawabnya. Di sisa malam itu aku terus
memikirkannya dan akhirnya aku jadi tak bisa menikmati
persetubuhan kami, membuatnya cemberut. Dua minggu setelah
saat itu, aku memberanikan diri untuk menemui seseorang itu dan
mengajaknya bercakap-cakap.
Sebenarnya, lelaki itu sudah sejak lama mewanti-wanti agar
aku tak mencoba-coba menemui seseorang itu. Jika ia tahu
pertemuan dan percakapan kami itu, ia tentu akan benar-benar
memarahiku. Tapi aku sudah memikirkannya masak-masak
selama dua minggu dan kusimpulkan bahwa hari-hariku tak akan
tenang jika aku dan seseorang itu tak bertemu. Maka, ketika
pertemuan riskan itu terjadi, besar harapanku seseorang itu
memberikan pernyataan yang entah bagaimana bisa
menghapuskan kegelisahanku.
Namun ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya. Usai
kuutarakan kepadanya apa yang dikatakan lelaki itu malam itu,
respon seseorang itu bukannya tersenyum atau mengangguk atau
menyentuh tanganku dan berkata, “Ya. Aku tahu.” Yang kulihat
saat itu, sorot matanya memudar, dan tak lama setelahnya setetes
air mata meluncur di pipinya yang kiri. Seseorang itu, rupanya tak
pernah tahu apa-apa soal kedekatan lelaki itu denganku, soal
malam-malam yang kami lalui bersama, soal keputusan lelaki itu
untuk melamarnya kelak. Dengan kikuk, aku meminta maaf dan
berjanji akan mengakhiri hubunganku dengan lelaki itu, bahkan
sekalian saja menghilang dari kehidupan mereka jika memang
seseorang itu menginginkannya. Aku sedih, melihat ia seperti itu.
Aku membayangkan aku lah yang berada di posisinya. Pastinya
hatiku hancur. Namun apa yang dikatakannya kemudian benar-
benar tak bisa kupercaya. Ia memintaku untuk meneruskan
hubungan rahasiaku dengan lelaki itu. Dan katanya tegas, “Jangan
khawatir. Itu tak akan mengganggu hubungan kami. Kami akan
baik-baik saja. Dan suatu saat nanti, kami akan menikah.”
Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindari pertemuan
dengan lelaki itu. Alasan demi alasan kuberikan. Rindu demi rindu
aku simpan. Hingga akhirnya, pertemuan itu tak terhindarkan lagi.
Ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu..
“Menurutmu, apakah aku ini orang yang setia?” tanyanya.
Aku terpaku, lantas menggeleng.
“Entahlah,” kataku. “Kau bilang apapun yang terjadi di antara
kita, istrimu nanti adalah dia. Kurasa, itu suatu wujud
kesetiaanmu padanya. Tapi kita...”
“Tak berhenti melakukan hal ini?” potongnya.
“Ya,” jawabku.
Ia diam, beberapa detik.
“Bukankah itu suatu wujud kesetiaanku padamu, bahwa
meskipun kelak aku akan menikahi perempuan lain, aku tetap
memberikan diriku padamu?”
Giliranku yang terdiam. Benarkah itu? pikirku. Dan senyum di
wajah lelaki itu seperti berkata, “Ya.”
Maka aku pun tak lagi ambil pusing dengan semua itu. Biarlah
ia kelak menikah dengan seseorang itu dan kami masih terus
bertemu seperti ini. Biarlah ia terus mengatakan padaku bahwa
seseorang itu baik-baik saja dan apa yang kami lakukan ini tak
akan mengganggu hubungan mereka. Satu hal kutanyakan, “Dulu
di malam penghadiahan itu, kau sendirian. Mengapa dia tak
mendampingimu?” Sambil menyentuh-nyentuh bibirku, ia
menjawab, “Malam itu, kami sedang bertengkar.” Oh.. Aku pun
sepertinya mengerti mengapa malam itu ia begitu hangat
merespon ajakan pertemananku, mengapa malam itu ia
mengirimiku SMS dan beberapa hari setelahnya dengan
menggebu-gebu ia meneleponku. “Aku mencintaimu,” bisiknya,
sebelum akhirnya ia menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di
bahu..
Dan saat ini adalah dua puluh tujuh malam setelah saat itu.
Baru saja, ia memintaku kembali ke tempat tidur. Baru saja, ia
mematikan laptop dan menoleh menatapku penuh arti. Baru saja,
ia menanyakan sesuatu yang membuat pipiku rasanya memerah,
“Setelah aku dan ia menikah nanti, maukah kau terus menemaniku
seperti ini? Masihkah kau akan setia kepadaku?” Sambil
menunggu ia merangkak menghampiriku, aku memikirkan
pertanyaannya itu. Barangkali bagi lelaki ini, aku, juga seseorang
itu, adalah orang-orang yang akan selalu setia—kepadanya.(*)

Ardy Kresna Crenata tinggal di Dramaga, Bogor. Ia lulusan


Matematika Institut Pertanian Bogor. Kumpulan cerita pendeknya,
Pendamping (2012).

(Dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2013)


(Gambar oleh Imam Yunni)
Para Penjual Rumah
Ustazah Nung
Cerpen Ben Sohib

K
AU harus melihat sendiri bagaimana si bungsu itu
memainkan drama di hadapan ibunya. Ia tahu ibunya
selalu merasa iba kepadanya dan lekas terharu pada
apa pun yang dikeluhkannya. Lelaki itu memang
bebal dalam banyak hal, tapi tidak untuk urusan yang satu ini.
Ketiga kakaknya, dua perempuan dan satu laki-laki, dibuat tak
berkutik dan hanya bisa pasrah saat ibu akhirnya menuruti
keinginannya: menjual rumah pusaka.
“Dulah tsudah tak tahan hidup tsendiri. Dulah ingin menikah
lagi tsecepatnya,” itu yang ia katakan sambil tangannya mengusap
sepasang pipi tembam yang basah oleh air mata.
Lihat, dia selalu berbicara dengan memanggil namanya
sendiri, menegaskan bahwa ia memang anak bontot yang manja.
Memang benar dia anak bungsu dari empat bersaudara. Tapi
usianya 38 tahun, berperut buncit, berkepala botak, dan tak fasih
melafalkan “s” karena dua gigi depannya sudah rompal (soal
kenapa dua gigi depannya rompal akan kuceritakan nanti).
Aku tak tahu apa
yang ada di pikiranmu
jika kau berada di sana
menyaksikan rapat
keluarga sore itu, melihat
seorang lelaki dewasa
berbicara dengan
memanggil namanya
sendiri, sesuatu yang
hanya pantas dilakukan
anak balita atau paling
tidak gadis remaja.
Mungkin kau ingin
menamparnya. Ketiga
kakaknya ingin sekali
membunuhnya.
“Kau tak memikirkan Umi?” tanya salah seorang kakak
perempuannya.
“Umi bitsa membeli rumah kecil di kampung dekat-dekat
tsini. Buat apa rumah sebetsar ini jika penghuninya cuma Ummi
dan Dulah? Lagipula, kalau nanti menikah Dulah kan juga ingin
punya rumah tsendiri, punya mobil, punya utsaha, tseperti kalian
semua!”
Namanya memang Abdulah, dan ia memang dipanggil Dulah,
tapi percayalah, kau akan merasa jengah melihat seorang lelaki
dewasa dengan potongan seperti yang sudah kugambarkan tadi,
berbicara dengan gaya memanggil namanya sendiri. Dan
kejengahanmu akan menjadi-jadi setiap kali ada kata yang
mengandung huruf “s” di tengah-tengah pembicaraannya.
“Tapi Umi belum tentu betah di rumah baru,” sergah kakak
perempuannya yang lainnya.
“Betul, selain banyak kenangan dengan almarhum Abah, Umi
kan ada majelis taklim di rumah ini. Itu hiburan tersendiri buat
masa tua Umi,” kali ini kakak laki-lakinya yang angkat bicara.
Si bungsu berdiri. “Hiburan? Hiburan buat kalian karena
kalian tsudah punya tsegalanya! Kalian egoits! Kalian...” Ia tak
mampu melanjutkan kalimatnya. Ia kembali duduk dan menutup
wajah dengan kedua telapak tangannya. Sekarang ia tersedu.
Kakak-kakaknya yang duduk di depannya terdiam, sementara sang
ibu yang duduk di sampingnya tampak seperti linglung.
Mungkin ia bingung menghadapi situasi seperti ini, apalagi
pikirannya masih terganggu dengan kata-kata Abdulah seminggu
yang lalu. Saat menyampaikan niatnya hendak menikah lagi
setelah delapan tahun menduda, anak bungsunya itu mengawali
dengan keluh-kesah bahwa ia tak pernah merasa bahagia
sepanjang hidupnya, dan bahwa sekarang ia ingin menikmati
hidup selagi usianya belum terlanjur tua. Pikiran Ustazah Nung—
demikian perempuan itu dipanggil—makin ruwet ketika ia tahu
dengan siapa anaknya hendak menikah (soal dengan siapa
Abdulah hendak menikah juga akan kuceritakan nanti).
Setelah tangisnya mereda, si bungsu melanjutkan bicaranya,
“Kalian tak pernah memikirkan hidup Dulah yang hancur, yang
ketsepian, yang tak punya rumah tangga, yang tak punya apa-apa!”
“Kami semua memikirkan hidupmu, dan kau bebas
mengawini setan mana pun yang kau suka, tapi jelas kami tak
setuju dengan usulmu menjual rumah ini, kita juga harus
memikirkan kehidupan Umi!” kata kakak perempuannya yang
pertama.
“Umi akan baik-baik tsaja, kalian berlebihan! Ini mumpung
tsekarang harga tsedang tinggi, mau menunggu apa lagi? Kalian
tega melihat Dulah hidup merana tseperti ini bertahun-tahun?
Kalau begitu teruts, Dulah bitsa-bitsa duduk dan jalan-jalan
telanjang di depan rumah!”
“Akan kujual rumah ini, dan kubagi-bagikan uangnya sesuai
hak waris masing-masing!” akhirnya Ustazah Nung ambil
keputusan. Perempuan tua itu berbicara tegas dan lantang, dengan
suara bergetar.

K
INI tiba saatnya aku bercerita tentang bagaimana dua
gigi depan Abdulah rompal, dan beberapa hal lainnya.
Giginya masih utuh seandainya ia tak berbuat bodoh.
Bahkan rumah tangganya juga mestinya masih utuh. Tapi ia
terlalu bodoh untuk mempertahankan keutuhan gigi depan
maupun rumah tangganya.
Itu bermula dari petualangannya dengan seorang perempuan
bernama Lola. Saat itu Abdulah sudah beristri. Tapi, dua tahun
usia pernikahan tampaknya masih terlalu singkat untuk bisa
memadamkan api cinta pertamanya kepada Lola. Ia memang
sudah tergila-gila kepada perempuan itu sejak ia masih murid
SLTA. Mereka belajar di sekolah yang sama. Abdulah murid kelas
3, Lola duduk di bangku kelas 1. Tapi mereka lulus dalam waktu
yang bersamaan lantaran dua kali Abdulah tak naik kelas (Abdulah
juga pernah tak naik kelas sebelumnya, dua kali saat di SD, sekali
di SLTP).
Selama tiga tahun menjadi teman satu sekolahan, Abdulah tak
berhasil menjadikan Lola sebagai pacarnya, tapi ia cukup senang
telah berhasil membuat Lola bersedia menerima apa saja yang ia
berikan, baik berupa barang maupun uang. Tak sekali pun
pemberiannya pernah ditolak Lola. Rasa bahagia Abdulah
berlipat-ganda saat Lola mulai berani meminta uang jajan
seminggu sekali, yang langsung ia terjemahkan sebagai kesediaan
gadis itu untuk menjadi istrinya.
“Lola memang cantik, tapi sepertinya dia bukan gadis baik-
baik, aku sering melihat ia merokok di warung Bu Mameh,” kata
Ustazah Nung saat Abdulah memintanya untuk meminang Lola,
enam bulan setelah mereka berdua lulus SLTA.
“Lola cinta pertama Dulah, tak ada yang bisa
menggantikannya,” jawab Abdulah.
Dengan berat hati Ustazah Nung akhirnya melangkah ke
rumah Lola menemui ibunya, menyampaikan niat Abdulah. Dan ia
pulang dengan membawa kabar buruk untuk anak laki-laki
terkasihnya: Lola “sudah ada yang punya”, seorang pengusaha biro
perjalanan. Mereka akan menikah tahun depan.
Sejak saat itu Abdulah menjadi pemurung dan sering
melamun. Keadaan yang membuat Ustazah Nung risau ini
berlangsung selama hampir dua tahun, sampai salah seorang
kakak perempuannya datang bersama seorang perempuan
bernama Hilda.
“Ini adik temanku. Dia dari Tasikmalaya, ke Jakarta mau
mencari pekerjaan,” katanya saat memperkenalkan kepada
Abdulah.
Mereka menikah enam bulan kemudian. Ustazah Nung
menjual sebidang tanah di Kebon Baru untuk biaya perkawinan,
dan sebagian sisanya diberikan kepada Abdulah untuk modal
usaha membuka warung sate kambing di Jalan Otista.
Di luar dugaan banyak orang yang mengenalnya. Abdulah
berhasil mengelola warung itu dengan baik. Kian hari Warung Sate
Kambing “Bang Dulah” kian banyak mendapatkan pelanggan.
Dalam waktu dua tahun, Abdulah sudah berani mengambil kredit
mobil. Saat itulah Lola kembali muncul dalam kehidupannya. Lola
yang tak kunjung menikah, baik dengan pengusaha biro
perjalanan atau biro apa pun juga, datang ke warung itu.
“Satemu enak,” katanya saat akan membayar di meja kasir.
“Kau tak perlu membayar,” jawab Abdulah dengan gemetar.
Lola mengeluarkan dua lembar kertas, selembar uang kertas
pecahan lima puluh ribu dan selembar lainnya kertas putih
bertuliskan nomor telepon genggamnya. Abdulah menerimanya
dengan tangan bergetar seperti orang sakit buyutan. Dan Lola
sengaja menyentuhkan jemari tangannya ke telapak tangan
Abdulah yang berkeringat dingin. Abdulah buru-buru
memasukkan kedua lembar kertas itu ke laci, dan lupa
memberikan uang kembalian.
Tak sampai dua minggu setelah kunjungan itu, kabar bahwa
Abdulah sering pergi berdua dengan Lola sudah santer terdengar
di seantero kampung. Menurut sas-sus yang beredar di antara
warga, Abdulah memberi Lola uang bulanan. Sepeda motor bebek
baru yang dikendarai Lola konon juga merupakan pemberian
Abdulah. Kabar-kabar burung itu akhirnya hinggap di telinga
Hilda. Saat Abdulah ke dapur hendak mengambil segelas air pada
satu sore di hari Minggu, Hilda yang sedang mencuci wajan
bertanya, “Benarkah semua yang aku dengar dari orang tentang
hubunganmu dengan Lola?”
Entah apa yang saat itu ada di benak Abdulah. Awalnya ia
diam saja, matanya sebentar memandang Hilda, sebentar
memandang ke jendela. Lalu mendadak ia lancar berbicara setelah
si itri berkata, “Ceritakan saja yang sebenarnya, aku lebih senang
mendengar dari mulutmu sendiri.”
Abdulah membenarkan semua yang diceritakan orang dan
didengar istrinya. Ia menutup pengakuannya dengan “Mungkin
Dulah masih mencintai Lola” yang ia ucapkan sambil tersenyum.
Hantaman punggung wajan di mulutnya itu begitu keras, dua
gigi depannya langsung rompal. Mendengar suara ribut-ribut,
Ustazah Nung yang sedang rebahan di kamar bergegas
menghampiri sumber suara. Ia menjerit melihat mulut Abdulah
penuh darah. Malam itu juga Hilda pulang ke Tasikmalaya dan tak
pernah kembali ke Jakarta. Sementara Lola memilih hengkang ke
kampungnya. Ia tinggal bersama salah seorang sepupunya di
daerah Kota. Konon di sana ia bekerja di sebuah restoran yang
juga menyediakan karaoke. Sebulan sekali ia pulang ke rumahnya.
Abdulah kembali menjadi pemurung dan sering melamun.
Entah karena sebab yang mana. Warung satenya dibiarkan tak
terurus dan tutup tiga bulan kemudian, mobilnya dibawa pergi
oleh dua orang debt collector yang datang ke rumahnya tak lama
setelah itu. Pada tahun pertama setelah kejadian itu, juga pada
tahun-tahun selanjutnya, Abdulah lebih banyak menghabiskan
waktunya dengan duduk sambil merokok, berpindah-pindah dari
satu kursi di ruang tamu, ke kursi lainnya di teras belakang atau
teras depan. Setiap kali ibunya menganjurkan menikah lagi, selalu
ia tanggapi dengan gelengan kepala.
Hingga pada satu malam di tahun yang kedelapan, setelah
beberapa minggu sebelumnya sering terlihat berdiri di depan
cermin memegang sisir, berusaha sedemikian rupa menyisir ke
kanan sejumput rambut yang tumbuh di sisi kiri kepalanya agar
bagian atas kepalanya yang botak licin itu tampak seolah-olah
masih ditumbuhi rambut tipis, Abdulah tiba-tiba menghampiri
ibunya dan mengatakan hendak menikah dengan Lola.
Abdulah bercerita bahwa Lola sudah beberapa kali
menemuinya dalam sebulan terakhir ini. Ia berkata bahwa Lola
yang sekarang berstatus janda itu mencintai dirinya, bahwa Lola
ingin ia menjadi ayah baru yang bertanggungjawab bagi anaknya
satu-satunya. Mata Abdulah berkaca-kaca saat menceritakan
bagaimana anak lelaki berusia tiga tahun itu, dalam waktu
demikian singkat, sudah terbiasa memanggilnya “Papa”.

“T
AK ada cacatnya” adalah istilah yang digunakan para
calo tanah dan rumah yang banyak berkeliaran di
daerah ini ketika mereka mengomentari rumah
Ustazah Nung. Ukurannya ideal, surat-suratnya “bersih”. Rumah
tua itu berada tepat di pinggir jalan Raya Kampung Melayu Besar.
Lebar depannya 30 meter, sementara panjangnya mencapai 50
meter, sangat bagus untuk gedung berlantai empat.
Bukan sekali dua kali para pengembang dan spekulan tanah
yang menanyakan rumah Ustazah Nung kepada Bang Sanip,
makelar bangkotan yang menguasai seluk-beluk pertanahan di
daerah ini. Bang Sanip hapal hampir seluruh riwayat rumah dan
tanah di wilayang yang—sejak dibangunnya jalan layang ke pusat
kota—menjadi incaran para pengembang dan spekulan tanah itu.
Sejak jalan layang mulai dibangun tiga tahun lalu, harga
rumah dan tanah yang terletak di pinggir jalan raya itu
melambung. Kebanyakan warga memilih menjual rumahnya dan
pindah ke daerah pinggiran yang harga tanahnya jauh lebih
murah. Hanya tersisa beberapa gelintir warga yang memilih
mempertahankan rumah dan tanah warisan leluhurnya, dan
Ustazah Nung termasuk salah seorang dari mereka.
“Ini kesempatan emas, harganya bagus. Ustazah bisa membeli
rumah baru, naik haji lagi, atau umroh. Sisa uang Ustazah bisa
disimpan di bank syariah, tujuh turunan tidak bakal habis,” bujuk
Bang Sanip pada suatu sore. Sudah tiga kali ia bersama dua
temannya datang menemui Ustazah Nung dalam setahun ini.
“Aku masih betah di sini,” jawab Ustazah Nung.
Bang Sanip dan kedua rekannya meninggalkan Ustazah Nung
setelah menenggak habis air putih yang disuguhkan, tapi
tenggorokannya masih terasa kering. Air liurnya nyaris habis
setelah hampir satu jam ia merayu Ustazah Nung dengan berbagai
jurus agar mau melepas rumahnya. Tapi perempuan berkerudung
itu seperti tidak mengenal kalimat lain kecuali “Aku masih betah di
sini”.
Entah sudah berapa kali Ustazah Nung mengucapkan kata-
kata ini. Dan setiap kali kalimat itu terucap, Bang Sanip dan kedua
temannya merasa seperti dicekik.
Jawaban singkat yang diberikan Ustazah Nung setiap kali
Bang Sanip menyelesaikan kalimatnya yang panjang lebar, benar-
benar membuat pemimpin makelar itu putus asa. Kedua temannya
yang bertugas membenarkan semua yang diucapkan Bang Sanip
ikut putus asa. Mereka merasa kalimat-kalimat pendek seperti “itu
benar”, “tepat sekali”, dan “betul sekali”, yang mereka sisipkan di
tengah-tengah pembicaraan Bang Sanip, terbukti tak berpengaruh
apa-apa.
Begitu sampai di luar pagar rumah Ustazah Nung, sebelum
melanjutkan langkahnya, Bang Sanip menoleh dan menatap
rumah tua itu beberapa waktu. Aih, rumah yang sangat cantik
seandainya si pemilik tak suka mengulang-ulang kalimat “aku
masih betah di sini”.
Saat itulah Bang Sanip melihat Abdulah muncul dari dalam
rumah, berjalan sambil membetulkan gulungan sarungnya menuju
sofa tua yang diletakkan di pojok teras. Abdulah duduk
mengangkat kedua kakinya sebelum menyalakan rokok. Wajahnya
kusut seperti orang yang tak tidur berhari-hari.
Tiba-tiba Bang Sanip mengusap mulut, menyembunyikan
senyumnya. Lalu ia berjalan dengan cepat, bergegas menyusul
kedua temannya. Benaknya dipenuhi wajah Lola. Ingatannya
dengan cepat menyusun kembali riwayat percintaan dan
perselingkuhan yang melibatkan Abdulah dan Lola. Bang Sanip
tahu di mana Lola bisa ditemui, dan ia juga tahu apa yag sedang
dibutuhkan perempuan itu saat ini.
Malamnya, para makelar itu menggelar rapat hingga
menjelang dini hari.(*)

Ben Sohib giat di Komunitas Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di


Cililitan, Jakarta Timur.

(Dimuat di Koran Tempo, 16 Juni 2013)


(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Hari yang Sempurna untuk
Kangguru
Cerpen Haruki Murakami
(Dialihbahasakan oleh Habi Hidayat)

A
DA empat ekor kangguru di kandang—satu jantan, dua
betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru yang
baru lahir.
Aku dan pacarku berdiri di depan kandang
kangguru. Kebun binatang ini tidak terlalu populer di pagi hari
Senin seperti ini, jumlah binatangnya melebihi jumlah
pengunjung. Tidak ada yang menarik di kebun binatang ini.
Hal yang menarik kami mendatangi kebun binatang ini adalah
seekor bayi kangguru. Maksudku, apa lagi coba yang bisa dilihat di
kebun binatang ini?
Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik di sebuah koran lokal,
kami tak sengaja membaca sebuah pemberitahuan tentang
lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah
menunggu-
nunggu sebuah
pagi yang
sempurna untuk
mengunjungi bayi
kangguru tersebut.
Namun bagaimana
pun juga, hari
yang tepat tidak
juga datang. Suatu
pagi, turun hujan
deras, dan kami
cukup yakin hujan
bakal turun lagi di
hari-hari
berikutnya, dan
angin pun
berembus-embus kencang untuk dua hari berturut-turut. Suatu
pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi yang lain aku punya
urusan yang harus aku selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak
membuat pernyataan yang dibesar-besarkan di sini, namun aku
berani untuk mengatakan bahwa:
Inilah kehidupan.
Jadi bagaimana pun juga satu bulan itu waktu yang singkat.
Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak
pernah benar-benar mengingat sesuatu yang sudah kulakukan
selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah aku sudah melakukan
banyak hal, namun sewaktu-waktu yang lain aku merasa tidak
menyelesaikan satu hal pun. Satu hal yang membuatku sadar kalau
satu bulan telah berlalu adalah ketika lelaki yang mengantarkan
koran harian datang ke rumah untuk menagih uang langganan.
Ya, itulah hidup.
Pada akhirnya, pagi yang kami tunggu-tunggu untuk melihat
bayi kangguru datang juga. Kami bangun dari tidur pada pukul
enam pagi, membuka gorden, dan yakin hari itu adalah hari yang
sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri,
sarapan, memberi makan kucing, buru-buru mencuci baju lalu
mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun
berangkat.
“Apa kau pikir bayi kangguru itu masih hidup?” pacarku
bertanya saat kami di kereta.
“Aku yakin ia masih hidup. Tak ada satu berita pun yang
mengabarkan bahwa bayi kangguru itu mati. Jika saja ia mati, aku
yakin kita sudah membacanya di koran.”
“Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja ia sakit dan dirawat di
rumah sakit.”
“Ya, tapi kalau pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.”
“Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan bersembunyi di
sudut kandang?”
“Apa bayi kangguru punya rasa takut?”
“Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin ia mengalami trauma
dan menyudutkan diri bersama bayinya di kandang yang gelap.”
Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap
kemungkinan yang bakal terjadi. Trauma? Trauma macam apa
coba yang bisa menyerang seekor kangguru?
“Jika aku tak melihat bayi kangguru hari ini, aku pikir aku
tidak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi,” katanya.
“Kupikir juga begitu.”
“Maksudku, pernahkah kau melihat bayi kangguru?”
“Tidak, aku tak pernah melihatnya.”
“Apa kau yakin kau bakal punya kesempatan lain untuk
melihat bayi kangguru?”
“Aku tak tahu.”
“Nah, karena itulah aku gelisah.”
“Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah
melihat seekor jerapah melahirkan, atau bahkan melihat hiu yang
berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi kangguru?”
“Ya karena ia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.”
Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan halaman
koran. Aku tidak pernah satu kali pun menang-argumen dengan
seorang perempuan.
B
AYI kangguru itu, sesuai perkiraan, masih hidup dan
sehat, ia (entah jantan atau betina) terlihat tampak jauh
lebih besar dibandingkan dengan gambarnya yang dimuat
di koran, bahkan ia melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia
tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru mini. Pacarku pun
kecewa.
“Ia bukan bayi lagi,” katanya.
“Tentu saja ia masih bayi,” kataku mencoba menghiburnya.
Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan
menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia cuma menggelengkan
kepala. Aku ingin berbuat sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa
pun yang kukatakan tidak bakal mengubah kenyataan bahwa si
bayi kangguru ternyata sudah besar. Jadi aku cuma diam.
Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua
cokelat es krim, dan ketika aku kembali ia masih bersandar
menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekat-
lekat.
“Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.”
“Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim.
“Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.”
Aku mengangguk dan menjilat es krimku.
“Tapi yang ini tidak lagi berada di kantung induknya.”
Kami berusaha mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah
untuk dilihat, ia tampak paling besar dan begitu tenang di antara
lainnya. Layaknya seorang komposer yang bakatnya telah
memudar, ia hanya diam saja, menatapi dedaunan yang menjadi
makanannya. Dua kangguru lainnya adalah betina, terlihat dari
bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu si
bayi kangguru.
“Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu
lagi bukan,” kataku berkomentar.
“Um.”
“Jadi yang mana yang bukan ibunya?”
“Aku tak tahu,” katanya.
Kami tak sadar bahwa ternyata bayi kangguru itu melompat-
lompat di pagar kandang, lalu sesekali mengorek-ngorek tanah
untuk alasan yang tidak jelas. Ia (entah jantan atau betina)
tampaknya menemukan cara untuk membuat dirinya sibuk. Si bayi
kangguru melompat-lompat di sekitar bapaknya berdiri,
mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur,
mengganggu kangguru betina, lalu berbaring di tanah, berdiri lalu
melompat-lompat lagi.
“Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?”
“Agar bisa melarikan diri dari musuh?”
“Musuh apa?”
“Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan
bumerang dan menyantap mereka.”
“Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?”
“Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri bersama
ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari cepat.”
“Jadi mereka terlindungi?”
“Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.”
“Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?”
Aku sadar aku seharusnya membaca beberapa hal tentang
kangguru di sebuah ensiklopedia sebelum kami bertamasya kecil
seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah
seharusnya aku perkirakan.
“Sebulan sampai dua bulan, aku bayangkan.”
“Tapi bayi itu cuma berumur sebulan sekarang,” katanya
seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi mestinya ia masih di
kantung ibunya.”
“Ya, aku pikir juga begitu.”
Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa
mendengar teriakan anak-anak di kolam renang di dekat kami.
Sepotong awan putih melintasi kami.
Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang
dibentuk layaknya sebuah minivan dengan beberapa kotak
pengeras suara yang mengedarkan alunan suara Stevie Wonder
dan Billy Joel saat aku menunggu hotdog yang tengah dimasak.
Saat aku kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru
berkata, “Lihat!” menjerit, seraya menunjuk satu di antara
kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong
ibunya!”
Aku cukup yakin bayi kangguru itu sudah meringkuk di
kantung ibunya (anggap saja kangguru betina itu adalah benar-
benar ibunya). Kantung kangguru betina itu benar-benar terisi
penuh, dan sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor
mengintip dari balik kantungnya. Ini benar-benar pemandangan
yang luar biasa dan benar-benar membuat tamasya kami tak sia-
sia.
“Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam
kantung,” katanya.
“Jangan khawatir, kangguru itu hewan yang kuat.”
“Betul begitu?”
“Ya, tentu. Karena itulah mereka bertahan hidup.”
Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak
menderita. Pacarku terlihat layaknya seorang perempuan yang
baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di
sekitar wilayah Aoyama yang indah, dan tengah bersantai istirahat
menikmati secangkir kopi di warung kopi.
“Ibu kangguru itu benar-benar melindungi bayinya, bukan?”
“Ya.”
“Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.”
“Ya, mungkin saja.”

K
AMI menyantap hotdog dan meminum kola seraya
berjalan meninggalkan kandang kangguru.
Saat kami pergi, sang ayah kangguru masih menatapi
makanannya seolah mencari sesuatu yang hilang. Sang ibu
kangguru dan bayinya menyatu, istirahat di antara aliran waktu
yang tenang, ketika satu kangguru misterius lainnya melompat-
lompat di pagar seolah-olah ingin melarikan dirinya dari kandang.
Hari itu rupanya jadi hari yang panas, hari yang panas
pertama bagi kami setelah beberapa waktu yang lama.
“Hei, kau ingin minum bir?” taya pacarku.
“Ayo.”(*)
(Dimuat di Koran Tempo, 9 Juni 2013)
(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)

Anda mungkin juga menyukai