Anda di halaman 1dari 830

(Na Yi Jian Di Feng Qing, 1982) Karya : Gu Long, Ting Jing Saduran : Tjan I D

Pendahuluan. Sebuah bilik, sebuah lampu lentera, sepoci arak, seorang kakek, seorang pemuda. Berpisah biasanya untuk bertemu kembali, kakek itu berkata sambil menegak arak, Tiada perpisahan, darimana datangnya pertemuan? Tiada pertemuan, apa ada perpisahan?

Betul. Senjata kait Nyo Cing dinamakan Kait perpisahan karena dia ingin bertemu dan berkumpul sepanjang masa dengan kekasih hatinya. Benar! Lalu apa nama pisau setipis kertas milik Ti Cing-ling? Ada bayangan tanpa jejak, ada bentuk tanpa wujud, cepat bagai sambaran kilat, lembut bagai rambut seorang gadis, pisau setipis kertas itu bernama Un-lo (Kelembutan). Kelembutan? golok yang seperti pisau digunakan untuk membunuh disebut Golok Kelembutan? Betul, sebab setiap kali membunuh, golok itu selalu melakukan dengan amat lembut, bagai pelukan lembut seorang kekasih. Shau Gong-cu telah membuat golok kelembutan dengan menggunakan lempengan baja ribuan tahun yang dibawa Ban Kun-bu, kemudian benda itu telah ditukar Ing Bu-ok dengan sejilid kitab ilmu pedang yang tidak utuh. Sisi kiri kitab pedang itu telah terbakar hangus, karena itu setiap jurus serangan yang tercantum dalam kitab pusaka itu tinggal setengah jurus, boleh dibilang mustahil untuk menguasai sebuah ilmu pedang yang sempurna.

Justru lantaran ada kitab pedang yang tidak utuh, maka muncul senjata Kait perpisahan. Benar, dengan menggunakan inti baja milik Lan toasianseng yang tidak utuh, Shau Gong-cu telah menempanya menjadi sebilah senjata Kait perpisahan. Dengan cacad menutupi cacad, dengan tidak utuh menutupi tidak utuh, karena muncul kitab pedang yang tidak utuh maka muncul senjata pedang yang cacad kemudian berubah jadi senjata kaitan. Inikah yang dimaksud kehendak Thian? Mungkin bukan kehendak Thian, mungkin saja kehendak Shau suhu pribadi? Kalau memang ada golok dan senjata kaitan, bukankah seharusnya ada juga sebilah pedang? Benar. Kalau memang ada pedang, kenapa tidak ada yang tahu kabar beritanya? Menurut cerita yang beredar dalam dunia persilatan, Shau suhu menghabisi nyawa sendiri lantaran gagal menempa inti baja yang dibawa Lan Toa-sianseng menjadi sebilah pedang, padahal cerita itu keliru besar, Shau suhu bunuh diri bukan lantaran senjata kaitan, tapi karena senjata yang ketiga. Oh?

Setelah golok kelembutan dan Kait perpisahan muncul dalam dunia persilatan, lamat-lamat seakan muncul sebuah kekuatan kasat mata yang mendesak Shau Gong-cu untuk melebur sisa dari baja yang dipakai untuk membuat golok kelembutan serta sisa baja yang dipakai untuk membuat kait perpisahan, ditambah cucuran darah yang meleleh keluar dari kawanan jago di bukit Thay-heng-san untuk menempa pedang ketiga. Pedang macam apa itu? Nu-kiam (Pedang Amarah)! Pedang itu bernama pedang amarah? Benar, sebab ketika pedang itu selesai ditempa, garis yang timbul ditubuh pedang ruwet bagai serat ulat sutera, garis cahaya diujung pedang mirip cahaya api yang memancar ke empat penjuru, malah secara kebetulan ketika pedang itu baru diangkat dari perapian, langit tiba-tiba menjadi mendung gelap, halilintar menyambar-nyambar dan guntur menggelegar tiada hentinya, hujan musim semi jatuh setengah bulan lebih awal dari jadwal biasa. Ketika pedang diangkat dari perapian, hujan musim semi turun lebih awal dari jadwal? Betul, karena itulah dinamakan Pedang amarah, disebut juga kemarahan musim semi. Berada dimana pedang itu sekarang?

Pedang tersebut adalah sebuah benda maksiat pembawa bencana, persis seperti orang yang dilahirkan dengan sifat buas, sejak lahir sudah membawa hawa sesat, karena itulah ketika selesai menempa pedang itu, Shau suhu tidak segan mengakhiri hidupnya sendiri. Dia mengubur pedang itu lalu mengubur dirinya sendiri? Benar. Dikubur di mana? Sebuah tempat yang menyeramkan! Sebuah penjara yang sempit, gelap, lembab dan penuh dengan kutu busuk, mendampingi seorang kakek cacad yang kurus, ceking, bau dan amis, seorang kakek yang cacad kedua belah kakinya dan batuk tiada hentinya. Biarpun sinar matahari di bulan ke sembilan terasa cerah dan lembut, selembut belaian tangan gadis cilik yang mencorong masuk melalui jendela penjara, namun yang tersisa hanya bayangan tubuh si kakek yang terbias dipermukaan tanah, bayangan seorang kakek yang masih batuk tiada hentinya. Kakek itu merangkak ditanah mengelilingi ruangan yang sempit, dia merangkak dengan kedua belah tangannya sambil menyeret sepasang kakinya yang cacad.

Memang hanya gerakan semacam ini yang bisa dia lakukan, inilah satu-satunya hiburan yang dia miliki dan bisa dia nikmati. Dengan menyeret sepasang kakinya yang cacad, sepasang kaki yang sudah kehilangan perasa, dia sengaja menggesekkannya diatas dinding penjara yang kasar, menggesek diatas batu cadas yang tidak rata, membiarkan kulit kakinya robek lalu terkoyak, membiarkan darah bercucuran, meski terluka namun mimik muka kakek itu justru memperlihatkan kenikmatan, suatu kenikmatan yang diperoleh dari menyiksa diri, dari suatu perbuatan yang sadis. .............Menyiksa diri, kadangkala merupakan semacam pelampiasan, semacam pelampiasan yang mengandung maksud mengejek diri sendiri. Tampak selembar daun kering melayang dan meronta ditengah udara, ditengah hembusan angin musim gugur, seolah-olah sedang mencari tempat akhir bagi dirinya. ........... daun yang rontok akhirnya akan jatuh ke tanah, dekat akarnya, tapi bagaimana dengan para perantau? Para gelandangan? Apakah kalian telah menemukan persinggahan yang terakhir? Daun kering menembusi cahaya matahari, melayang masuk lewat daun jendela lalu melayang jatuh dihadapan orang tua itu tanpa daya. Seakan dia tahu,

kehidupan kakek itu pun segera akan berakhir, maka dia khusus datang untuk menemaninya. Daun-daunan selalu rontok dimusim gugur, kakek itupun tahu, hari ini merupakan hari terakhirnya sejak dia menghuni penjaranya tujuh tahun berselang. Memandang daun dilantai yang kering dan kuning, paras muka kakek itu nampak semakin layu, kusut, tua dan letih. Tiba tiba dia bergumam, bergumam dengan penuh rasa syukur disamping perasaan duka yang mendalam, Thian dilangit Tee dibumi, tiada kejadian lain yang lebih nyata daripada sebuah kematian! Kembali kakek itu menghela napas, pelan-pelan memungut rontokan dedaunan kering itu lalu dipeluknya dengan lembut, selembut seorang pemuda yang sedang memeluk kekasihnya. Mendadak terdengar Derap kaki manusia bergema dari serambi panjang yang hening, derap kaki manusia yang amat nyaring. Kakek itu tidak bergumam lagi, dia terbungkam. Langkah kaki kian mendekat lalu berhenti, disusul terdengar suara gemerincing gembokan yang dibuka orang, suara gemerincing yang bergema nyaring dalam penjara itu, bergaung tiada hentinya. Daun-daunan kering semakin banyak berguguran ke tanah ketika tertimpa angin, musim gugur telah

mendekati penghujung. Tiada perasaan takut atau ngeri yang melintas diwajah kakek itu, yang tersisa hanya wajah pasrah, wajah tidak berdaya. Komandan sipir penjara yang membuka gembokan kunci tadi sudah mulai berjalan menelusuri serambi panjang, dua orang petugas sipir dengan satu di kiri, satu di kanan, menggotong kakek yang cacad kedua belah kakinya, berjalan ikut di belakangnya. Serambi itu panjang sekali, selama perjalanan yang terasa hanya keangkeran dan suasana seram, ditambah suara gemerincing borgol di kaki orang tua itu ketika bergesek dengan lantai batu. Suara itu amat membuat pedih hati, bagaikan jeritan tikus menjelang ajalnya, membuat hati orang merasa miris, ngeri....... Tatkala rombongan itu tiba dipertengahan jalan di serambi panjang itu, tiba-tiba komandan sipir itu membalikkan badan sambil berjongkok, entah sejak kapan ditangannya telah bertambah dengan dua batang jarum yang lembut tapi panjang ramping. Dengan satu gerakan cepat dia menusukkan jarumjarum tajam itu ke atas jalan darah Giok-swan-hiat di tumit si kakek yang cacad. Belum sempat dua orang sipir yang menggotong kakek cacad itu mengetahui apa yang lelah terjadi, tahu tahu mereka sudah dipukul roboh oleh komandan

sipir itu, sementara kakek cacad itu mendadak berdiri sendiri, berdiri tegak setelah dua batang jarum tajam itu menancap di tumitnya. Darah berwarna hitam memancar keluar dari jalan darah giok-swan-hiat, menetes ke lantai menelusuri batang jarum itu, sang komandan yang menggenggam jarum itu hanya mengawasi kakek tersebut dengan pandangan tenang. Lambat laun kakek cacad yang terbatuk batuk itu mulai menunjukkan perubahan, mimik mukanya mulai berubah menjadi semu merah, pinggangnya yang semula terbungkuk kini mulai berdiri lurus dan tegak. Mendadak dia merentangkan sepasang lengannya, kemudian terdengarlah serentetan bunyi ledakan yang beruntun, bagai bunyi mercon bambu bergemuruh dari balik tubuh kakek tua itu. Wajah kuyuh, sayu dan lemah dari seorang kakek yang terbatuk-batuk telah hilang lenyap entah ke mana, orang yang berdiri dihadapannya sekarang adalah seseorang yang seolah-olah telah berganti rupa, seorang lelaki dengan wajah yang sangat dingin, hambar dan senyum tidak senyum. Tiba-tiba komandan sipir yang menggenggam jarum itu kembali mencabut keluar sebilah pisau, sebilah pisau yang tipis bagaikan kertas, sebilah pisau tipis yang memancarkan cahaya kebiru-biruan, dengan sikap

yang sangat hormat dia menpersembahkan pisau tersebut kehadapan kakek itu. Cahaya kebiru-biruan yang tawar memantul diwajah kakek itu, membiaskan sekilas cahaya yang menyilaukan mata. Disaat dia menggenggam pisau tipis bercahaya biru itulah, paras muka kakek itu seolah telah pulih kembali dengan wajah ganteng yang anggun seperti masa lalu, wajah Ti Cing-ling, Ti Siau-hoya yang memandang nama dan harta bagaikan sampah, memandang kuda jempolan dan wanita cantik bagaikan nyawa sendiri. Cahaya pisau sangat tawar, amat tipis, setipis dan setawar cahaya bulan sabit yang tergantung diawangawang. Kini pisau tidak bergerak, Ti Cing-ling pun tidak bergerak. Kecuali sepasang matanya, dia seolah-olah telah berubah jadi sebuah patung arca, berubah menjadi patung semenjak menggenggam pisau itu. Seluruh kekuatannya, semangatnya, hawa murninya, tenaganya, rohnya, sukmanya seakan telah terhimpun didalam pisau tipis yang berada dalam genggamannya itu, terhimpun dalam waktu singkat. Ti Cing-ling mengawasi pisau tipis itu lekat-lekat, sampai lama kemudian dia baru membuka mulut dan berbicara, mengucapkan sepatah kata yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pisau tersebut.

Kau tentu sudah lama... lama sekali tidak pernah makan dengan nikmat, makan dengan kenyang, karena raut mukamu sudah menunjukkan tanda-tanda kelaparan. Komandan sipir yang menggenggam jarum itu berdiri tertegun, dia seakan tidak mengerti mengapa orang itu mengucapkan kata-kata yang sama sekali tidak dipahami. Setiap benda mestika yang diciptakan seorang ahli, seorang empu kenamaan, persis sama seperti kehidupan manusia biasa, ujar Ti Cing-ling dengan sorot mata setajam sembilu, Bukan saja dia berwajah, bahkan punya aura, punya nyawa, bila lama sekali tidak menikmati segarnya darah manusia, dia pasti akan perlihatkan tanda-tanda kelaparan. Sorot mata Ti Cing-ling pelan pelan mulai bergeser, dari atas pisau tipisnya dialihkan ke tempat kejauhan sana, tiba-tiba sekilas rasa benci dan dendam yang amat dalam memancar dari balik matanya. Nyo Cing, gembirakah kehidupanmu selama tujuh tahun terakhir ini?

BAGIAN - 1 Pedang amarah Bunga kalap.

BAB 1. Pembicaraan ditengah hujan.

Perasaan hati Cong-hoa amat gembira, tapi sayang cuaca amat buruk. Hujan sudah turun selama dua hari dua malam, kalau dilihat dari derasnya hujan yang turun, mungkin sampai hari ketiga pun belum tentu akan reda. Walaupun hujan di musim gugur sangat meresahkan hati, bila Cong-hoa teringat kembali mimik muka Thi-juibu-cing (tangan besi tanpa perasaan) Tu Thian, Tu toaya sewaktu menderita kekalahan pagi tadi, dia pingin sekali berjumpalitan beberapa kali saking gembiranya. Thi-jiu-bu-cing, Tangan besi tanpa perasaan memang sebuah julukan yang gagah dan keren, tapi tidak menjamin pemiliknya adalah seorang opas kenamaan atau seorang enghiong hohan yang gagah berani. Namun juga tidak berarti Tu Thian adalah seseorang perampok ulung yang gampang marah, tidak berperasan dan selalu telengas bila turun tangan, tidak pernah membiarkan korbannya tetap hidup.

Thi-jiu-bu-cing, tangan besi tanpa perasaan hanya melukiskan kekikiran Tu Thian, orang yang kelewat hitungan dalam soal duit. Tu Thian bukan nama aslinya, nama sesungguhnya adalah Tu It-toa. Tapi lantaran dia anggap nama Tu Ittoa susah disebut, lagipula untuk menulis nama sendiri pun terlalu banyak membuang waktu, maka dia berpendapat mempunyai dua huruf jauh lebih berhemat ketimbang tiga huruf. Apalagi bila diartikan secara harfiah, It-toa hanya mengartikan satu lembar yang besar, itu tidak cukup baginya, dia berharap bisa lebih besar daripada langit, oleh karena itulah dia pun mengubah namanya dari Tu It-toa menjadi Tu Thian. Di kota ini, hampir sebagian besar pedagang dan tuan rumah kenal dengan Tu Thian, tapi jangan harap ada seorang pun yang mampu membawa pulang uang setengik pun dari tangannya, apalagi mendapatkan semacam barang. Dia selalu ingin ikut campur dalam bisnis macam apapun yang bisa mendatangkan keuntungan, asal dia sudah ikut campur, biasanya rekan-rekan seprofesi yang ada disekelilingnya akan segera angkat kaki untuk mencari selamat. Kalau tidak, bukan saja uang gagal diperoleh, pada akhirnya ceceran darah sendiri pun akan ikut mengering.

Untuk meminjam uang setengik saja dari orang ini jauh lebih susah ketimbang memanjat ke langit, apalagi untuk mendapatkan tiga puluh guci arak Li-ji-ang yang telah berusia banyak tahun. Tapi hari ini, Cong-hoa telah berhasil menangkan tiga puluh guci arak Li-ji-ang dari tangannya. Udara di pagi hari memang selalu paling segar, paling pas untuk dinikmati, pagi hari juga merupakan saat yang paling tenang dikala segala makhluk bumi belum mendusin dari tidurnya. Tu Thian amat senang pagi hari, dia berpendapat pagi hari merupakan saat otak seseorang paling segar, paling terang, saat seperti inilah merupakan saat yang paling cocok untuk mengurusi segala persoalan dan menganalisa pelbagai masalah. Oleh sebab itu dia selalu keluar dari rumah setiap pagi hari, mengunjungi pelbagai toko dan warung untuk memeriksa dan menyelesaikan pelbagai persoalan. Walaupun hujan dimusim gugur telah turun selama dua hari berturut turut, tidak lantaran persoalan ini Tu Thian lantas menghentikan kebiasaannya melakukan pekerjaan di pagi hari. Ketika keluar dari rumah pagi tadi, dia telah menjumpai satu kejadian yang sangat aneh, satu kejadian aneh yang dia anggap sangat lucu dan menggelikan.

Dia menjumpai seorang gadis, ditengah hujan yang amat deras sedang berusaha memanjat naik keatas salah satu diantara tiga puluh batang pohon besar yang tumbuh di kedua belah sisi pintu gerbang rumahnya. Untuk memanjat ke atas sebatang pohon yang demikian besar memang amat sulit, apalagi ditengah hujan lebat, namun gadis itu masih tetap berusaha dengan sepenuh tenaga untuk memanjat ke atas. Batang pohon itu amat licin, ditambah lagi perempuan itu memang tidak memiliki kekuatan tubuh yang kuat, tidak heran setiap kali memanjat sampai separuh jalan, tubuhnya selalu terpeleset jatuh lagi ke bawah. Namun gadis itu tidak putus asa, setiap kali terpeleset jatuh ke bawah, dia selalu bangkit berdiri dan memanjat lagi, jatuh lagi, memanjat lagi... Melihat caranya memanjat ke atas pohon yang begitu lucu, Tu Thian tidak tahan untuk tertawa geli. Ketiga puluh batang pohonku itu tidak pernah berbuah aneh, juga tidak pernah menghasilkan emas lantakan, kenapa sih kau terburu-buru ingin memanjat ke atas? Tiba tiba gadis itu berpaling sambil melotot besar, serunya, Pertama, aku tidak terburu-buru ingin memanjat ke atas, kedua aku pun tidak ingin mengambil buah mestika atau emas lantakan dari atas

pohon, aku hanya ingin menikmati keindahan air hujan dari puncak pohon, ketiga aku ingin membuktikan bukan hanya lelaki yang mampu memanjat pohon. Baik, baik, tapi kalau memanjat dengan cara begitu, sampai tahun kapan baru bisa sampai diatas? Ooh? gadis itu berhenti memanjat, berpaling menengok Tu Thian dan serunya, Jadi maksudmu, kau dapat memanjat lebih cepat ketimbang aku? Sebenarnya aku ingin sekali bertanding melawanmu, sayang kondisi tubuh dan usiaku sudah tidak mendukung untuk berbuat begitu. Tu Thian tidak terhitung kelewat gemuk, bobot tubuhnya baru mencapai seratus enam puluh kati, usianya juga belum termasuk tua, paling banter baru empat-lima puluh tahunan. Kalau suruh orang semacam ini bertanding minum arak, dia yakin pasti dapat memenangkan pertarungan itu, tapi kalau suruh dia memanjat pohon, tidak usah dijawab pun sudahjelas semuanya. Apalagi dia adalah Tu Toaya, tauke Tu, mana mungkin Tu toaya mau bertanding memanjat pohon dengan orang lain? Tentu saja tidak mungkin. Tu Thian memang enggan memanjat, tapi dia bisa suruh orang lain memanjat, maka dia pun mengajukan usul kepada gadis tersebut.

Asal dalam seperempat jam kau sanggup memanjat ketiga puluh batang pohon itu, apa pun yang kau inginkan pasti akan kuberi. Kalau gagal memanjat seluruh pohon itu? gadis itu mulai bertanya dengan wajah tertarik. Kau mesti bekerja untukku selama tiga tahun! Baik! Tentu saja gadis itu tidak lain adalah Cong-hoa. Sudah lama Cong-hoa merasa sebal dengan watak kikir dan hitungan dari Tu Thian, ia berjanji suatu ketika pasti akan mengerjainya, dia selalu menunggu datangnya kesempatan seperti itu. Tapi kehidupan pribadi Tu Thian seperti gadis perawan dalam pingitan, dia tidak pernah memberi kesempatan kepada orang lain. ................ Tapi, biarpun seorang perawan pingitan, suatu hari toh tetap harus menjadi seorang ibu. Kelemahan terbesar dari Tu Thian adalah senang bertaruh, bertaruh sesuatu yang hasil kemenangannya seratus persen pasti berada dipihaknya. Oleh sebab itu Cong-hoa sudah pasti akan kalah dalam taruhan ini, menyelesaikan panjatan tiga puluh batang pohon dalam seperempat jam? Jelas bukan satu pekerjaan yang gampang.

Tentu saja Tu Thian tahu kalau gadis itu bakal kalah dalam taruhan ini, mustahil gadis itu dapat menyelesaikan panjatannya dalam waktu seperempat jam kepada ketiga puluh batang pohon itu. Maka dia pun mengajaknya bertaruh. Ketika Conghoa menyelesaikan panjatannya pada pohon keempat, Tu Thian mulai tidak dapat tertawa, namun ketika gadis itu mulai memanjat pohon yang kedua puluh lima, senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya. Dia yakin dan percaya, gadis itu paling banter Cuma mampu memanjat sampai pohon yang kedua puluh sembilan. Pada satu setengah menit terakhir, Cong-hoa baru mulai memanjat pohon yang ketiga puluh, dia sudah pasti tidak punya waktu lagi untuk turun dari pohon itu. Tertawa Tu Thian sangat lebar, dia sangat gembira. Biarpun keberhasilan Cong-hoa untuk memanjati pohon yang ketiga puluh merupakan satu kejadian yang jauh diluar dugaannya, namun dia yakin gadis itu sudah kehabisan waktu untuk turun dari pohon tersebut. Ketika dia sudah bersiap sedia menerima pekerja gratis itu bekerja rodi untuknya, mendadak satu peristiwa yang sama sekali tidak masuk diakal telah terjadi dihadapannya.

Dia menyaksikan Cong-hoa menjatuhkan diri dari atas pohon, dia bukan melompat turun tapi membiarkan badannya terbanting jatuh ke atas tanah. Pada detik yang terakhir, tubuh Cong-hoa telah mencium bumi. Karena itulah gadis ini berhasil memenangkan taruhan. Mimik muka Tu Thian waktu itu persis seperti seorang jejaka yang baru saja menyaksikan seorang nenek berusia delapan puluh tahun telanjang bulat. Dia sangat kecewa, sangat galau... pada saat seperti itulah dia mendengar ada orang sedang terbatuk-batuk di belakang tubuhnya. Seorang lelaki gelandangan yang memakai jubah panjang berwarna abu-abu muncul dari belakang pohon sambil batuk tiada hentinya. Padahal tadi, mereka semua tidak pernah melihat kehadiran orang itu, di belakang pohon jelas tidak pernah ada orangnya, tapi... mengapa pada saat ini orang tersebut bisa tiba-tiba muncul dari belakang pohon? Orang itu berjalan lamban sekali, suara batuknya amat keras dan berat. Bersama dengan munculnya orang itu, air hujan dimusim gugur seakan ikut berubah warna karena kehadirannya, langit tampak berubah jadi putih keabuabuan, kosong, hampa dan mengenaskan.

Orang itu mempunyai sepasang mata berwarna hitam, sepasang mata yang hitam pekat. .............. Putih keabu-abuan atau hitam pekat, semuanya merupakan warna yang dominan ketika seseorang mendekati saat ajalnya! Bukankah kematian merupakan batas akhir dari kekosongan, kehampaan dan kesepian? Sambil terbatuk tiada hentinya lelaki gelandangan itu berjalan mendekat dengan langkah yang sangat lamban, tiba tiba dia berhenti, menghentikan langkahnya persis di hadapan Cong-hoa, suara batuknya juga tiba-tiba ikut berhenti. Apa artinya? Cong-hoa tidak mengerti apa maksud dari perkataan itu, belum sempat bertanya, orang itu sudah membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke arah Tu Thian. Dengan perasaan terkesiap Tu thian memandang lelaki gelandangan itu, tiba tiba orang itu tertawa kepadanya dan berkata pula, Buat apa? Baru selesai dia berkata, lelaki gelandangan itu sudah berbatuk-batuk lagi, bahkan pelan-pelan berjalan meninggalkan tempat itu.

Dengan wajah terkesima Tu thian mengawasi bayangan punggungnya, begitu juga dengan Conghoa, dia awasi orang itu dengan pandangan keheranan, dia seakan tidak paham apa maksud dari perkataannya itu. Baru saja Cong-hoa hendak menyusulnya untuk bertanya lebih jauh, ternyata bayangan tubuh orang itu sudah hilang lenyap tidak berbekas. Walaupun langkah kakinya sangat lamban, namun dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas, bahkan suara batuknya juga sama sekali tidak kedengaran lagi. Aneh...sungguh aneh... gumam Tu thian keheranan, Mengapa aku merasa seperti amat mengenal dengan wajah orang itu? Cong-hoa juga sedang bergumam, Aneh...sungguh aneh...sudah jelas aku yang menang, kenapa belum ada yang bertanya kepadaku mau minta apa? Benda yang diminta Cong-hoa tentu saja tiga puluh guci arak Li-ji-ang yang sudah berusia tua. Menjatuhkan diri dan melompat turun adalah dua gerakan turun yang beda sekali unsur kecepatannya. Berbicara dari unsur kecepatan, melompat turun jelas masih termasuk jenis gerakan yang lebih lamban, karena masih terbuka kemungkinan terhambat oleh rentangan batang dan ranting pohon.

Berbeda sekali dengan menjatuhkan diri, gerakan tersebut adalah gerakan jatuh dengan punggung menghadap ke bawah, berhubung separuh tubuh atas manusia biasanya lebih berat ketimbang separuh tubuh bagian bawah, maka kecepatan meluncurnya jelas jauh lebih cepat. Tapi, berhubung harus menjatuhkan diri dari atas pohon yang begitu tinggi dan besar, jelas tidak setiap orang berani dan mampu melakukannya. Hingga kini, punggung Cong-hoa masih terasa sakit sekali, namun hatinya berbunga, sangat gembira, bagaimana pun juga belum pernah ada orang kedua di dunia ini yang mampu menipu Tu Thian hingga masuk perangkap. Tidak heran bila perasaan hati Cong-hoa gembira sekali, amat riang. Hujan dimusim gugur masih mengguyur permukaan bumi, sang surya sudah mulai condong ke langit barat. Sinar matahari senja memang jarang muncul dibalik deraian air hujan. Sinar matahari senja tampak begitu lembut, begitu halus menerobos keluar dari balik kabut hujan, sinar itu nampak begitu sepi, begitu menyendiri... Begitu pula dengan manusia, selalu merasa kesepian, selalu terasing, tersendiri....

............... Kecuali ada urusan penting, biasanya amat jarang ada orang mau berjalan-jalan ditengah hujan deras. Sejak kecil Cong-hoa senang air hujan, terutama hujan dimusim gugur, dia senang sekali dengan perasaan kemalas-malasan yang terbias dari balik hujan dimusim gugur. Hanya sewaktu berada ditengah curahan hujan, dia dapat melupakan untuk sementara semua kenangan yang sudah terkubur dalam-dalam di lubuk hatinya, terkubur dibalik tulang belulangnya yang paling dalam. ......................Apakah manusia macam dia juga memiliki penderitaan yang sudah merasuk hingga ke tulang sumsum? ................... Benarkah semua penderitaan mudah dilupakan? Sinar matahari seperti senjata memancar dari balik hujan, menerangi jalan raya, menerangi pula tubuh Cong Hoa, selain dia seorang, dijalan raya tidak nampak bayangan manusia lain, termasuk bayangan setan sekalipun. Sementara Cong Hoa masih terbuai dalam mabuk ditengah curahan hujan yang deras, saat itulah tiba-tiba dia menyaksikan satu rombongan manusia. Satu rombongan pemuda berusia tujuh-delapan belas tahunan, semuanya berwajah tampan, mereka

muncul dari ujung jalan raya sana dan perlahan-lahan berjalan mendekat, ditangan mereka ada yang membawa tiang bambu, ada yang membawa permadani ada pula yang membawa perabot. Selama hidup belum pernah Cong Hoa mempunyai kesempatan untuk menyaksikan satu rombongan besar pemuda tampan, maka dengan seksama dia awasi setiap pemuda itu, mengawasinya dengan bersungguh hati. Agaknya kehadiran kawanan pemuda itu memang bertujuan mendatangi Cong Hoa, mereka berhenti persis dihadapannya, kemudian dengan cepat mendirikan sebuah tenda bambu, menyiapkan permadani merah dan menata rapi meja dan kursi. Ketika semuanya telah selesai dipersiapkan, seorang pemuda yang agak jangkung perawakannya maju mendekat sembari mem-beri hormat. Hoa toa siocia, silahkan duduk! katanya. Cong Hoa tidak mengucapkan perkataan apapun, dia maju mendekat, menarik sebuah bangku dan langsung duduk. Diatas meja tersedia aneka macam hidangan, tapi lebih baik kau jangan memakannya, kata seorang pemuda lagi dengan hormat, Karena didalam aneka macam hidangan itu sudah dibubuhi sedikit racun.

Cong Hoa mengambil sumpit dan dengan cepat mencicipi semua hidangan yang tersedia dimeja. Racun didalam botol arak itu paling banyak, lebih baik jangan diminum! Cong Hoa tetap membungkam, dia sambar sebotol arak, membuka penutupnya dan langsung menuang isi botol itu ke dalam perutnya, nyaris tanpa berganti napas dia telah habiskan isi botol itu dalam sekali tegukan. Tiba-tiba terdengar seseorang menghela napas panjang dari belakang tubuhnya. Arak yang begitu wangi ternyata diteng-gak dengan cara sekasar itu, benar benar telur busuk makan bakmi, hanya membuang percuma barang bagus. Kau keliru besar, bukan telur busuk yang makan bakmi, tapi seekor kura-kura yang sedang makan bakmi, dengan kata yang sama Cong Hoa balas menjawab. Seorang kakek muncul sambil tertawa terbahakbahak. Hahaha... Ternyata kau bukan telur busuk, melainkan seekor kura-kura, ejeknya. Kalau seekor telur busuk makan semangkuk bakmi, mungkin dia menyia-nyiakan makanan enak, tapi jika kura-kura yang minum arak, tidak mungkin dia menyia-

nyiakan barang bagus. Apalagi kalau arak itu adalah arak Li-ji-ang yang telah berusia lima puluh tahun. Bagus, bagus sekali! seru si kakek sambil tertawa riang, Ternyata Hoa toa-siocia memang tidak malu disebut Hoa toa-siocia. Tiba-tiba Cong Hoa merasa kakek itu sangat menarik hati, bila bertemu orang yang menarik tanpa minum arak, keadaan tersebut persis seperti bermain catur melawan diri sendiri. Maka Ciong Hoa pun kembali mengambil sebotol arak, kali ini dia meneguknya sedikit lebih lambat. Arak Li-ji-ang sebagus ini bila tidak diminum dalam keadaan hangat, sungguh patut disayangkan. katanya. Benar! Kakek itu segera mengulapkan tangannya memberi tanda, seorang pemuda segera muncul dengan membawa sebuah anglo, didalam anglo ada arang, arang itupun sudah menyala. Kakek itu segera mengambil sebuah j apitan untuk menggeser arang arang menyala itu, kemudian meletakkan satu guci arak Li-ji-ang diatas anglo tersebut, setelah itu dia baru membuka mulut guci dengan sangat berhati-hati.

Semua perbuatan itu dilakukan si kakek dengan penuh kasih sayang, seakan seorang nenek yang sedang membelai cucu perempuannya. Ketika penutup guci telah dibersihkan, kakek itu baru mengambil selembar kertas dan disegelkan di mulut guci tadi, kemudian dengan rasa puas katanya, Menghangatkan arak persis sama seperti membuat air teh, besar kecilnya api harus diperhatikan, suhu kehangatannya juga mesti pas, kakek itu menerangkan, Bila api kelewat besar, suhu kelewat tinggi, maka rasa asli arak itu pasti akan turut menguap hingga rasanya jadi tawar. Cong Hoa sangat setuju dengan perkataan itu, dia mengangguk cepat. Sebaliknya bila api kelewat kecil hingga tingkat kehangatannya berkurang banyak, arak itu pasti rasanya kecut, kakek itu seakan sedang membicarakan satu masalah yang amat serius, Bila api nya cukup, kehangatannya juga cukup, bau asli arak itu baru akan terasa, dengan sendirinya arak itupun akan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Api yang cukup, waktu yang cukup dan kehangatan yang cukup, tidak gampang untuk mencapai taraf seperti ini, dibutuhkan kegagalan yang berulang kali untuk mendapatkan pengalaman yang semakin meningkat.

Waktu hawa arak dalam gunci baru saja mengepulkan asap, kau mesti angkat guci itu dari atas anglo, kakek itu meletakkan guci arak ke atas meja sambil menerangkan, kemudian tunggu sampai uap panas membasahi kertas segel diatas mulut guci, saat itulah usahamu telah berhasil. Kakek itu menuangkan secawan arak hangat untuk Cong Hoa. Saat ini tingkat kehangatan dari arak tersebut persis selisih dua derajat setengah dibandingkan suhu badan manusia, dan itulah suhu yang paling ideal, kakek itu melanjutkan. Belum lagi arak diteguk, bau harum semerbak telah terendus diseluruh ruangan. Begitu arak mengalir di dalam tenggorokan, terasa bagaikan ada sebuah cairan manis mengalir lewat secara perlahan masuk ke dalam rubuh, membuat seluruh badan serasa berada diatas awan. Bagus, arak bagus! puji Cong Hoa dengan bersungguh hati, Tapi yang lebih bagus adalah karya sianseng. Terima kasih, kakek itu menuding guci arak itu dan menambahkan, Guci arak tersebut merupakan salah satu diantara tiga puluh guci arak yang harus dibayar Tu toaya karena kekalahannya, sisanya yang dua puluh

sembilan guci Hoa toa-siocia dapat mengambil setiap saat. Bisa menenggak arak hangat hasil karya lo-sianseng sudah merupakan satu kejadian besar bagi hidupku, apalah artinya sisa arak yang lain? Bukan begitu maksudnya, mengapa kau harus membuat Tu toaya memikul beban sebagai orang yang ingkar janji?

BAB 2. Dongeng yang misterius.

Cong Hoa tentu saja tidak bermarga Cong, juga bukan merupakan julukan yang disandang sebagaimana para enghiong hohan pada umumnya. Sejak kecil Cong Hoa memang bernama Cong Hoa. Semenjak kecil dia senang dengan bunga, seringkali Dia berdiri termangu hanya demi sekuntum bunga yang tidak diketahui namanya. Dia pernah cukup lama bersedih hati lantaran kuncup bunga yang layu sebelum berkembang, lalu mencari sebuah tempat yang tersembunyi dan mengubur kuncup bunga itu.

Justru lantaran Dia suka bunga maka ada orang yang memanggilnya siau-hoa, bunga kecil, ada juga yang memanggilnya Siau Cong-hoa, penyembunyi bunga kecil, bahkan ada yang memanggilnya Conghoa-ji. Apa pun nama panggilannya, tidak ada seorangpun yang tahu dia datang dari mana dan berasal dari mana? Cong Hoa tidak pernah menjelaskan soal itu, hingga akhirnya ada juga yang memanggilnya Siau Ya-hoa si bunga liar kecil. Selain berarti bunga liar kecil, siau Ya-hoa sendiri juga mengartikan bahwa dia adalah bocah buangan, bocah yang tidak dikehendaki siapapun. Tentu saja Cong Hoa tahu akan hal ini, juga mengerti, namun dia tidak pernah marah, jangan lagi berdebat, membantah pun tidak. Namun anehnya, orang-orang yang sering memanggilnya si bunga liar kerapkali merasakan gebukan tongkat yang aneh dan tidak jelas sumbernya, malah kadangkala, ketika mendusin dari tidur, mereka jumpai mulutnya sudah penuh dijejali lumpur kotor. Secara garis besar, orang kaya terbagi jadi berapa jenis: jenis orang pelit, berjiwa kerdil, sayang keluar duit dan sering berlagak miskin dengan mencari keuntungan dari orang lain.

Ada pula yang berlagak macam orang kaya mendadak, kalau bisa dia ingin orang diseluruh dunia tahu kalau dia berduit, ada juga yang mau keluar duit tapi sering mencari kambing hitam. Diantara sekian jenis orang kaya, tentu saja orang yang pandai menggunakan uang, pandai menikmati hidup dengan uangnya merupakan jenis yang paling ideal, Tu Thian termasuk orang kaya jenis ini. Seluruh lantai rumah Tu Thian dilapisi dengan karpet berbulu putih yang khusus didatangkan dari negeri jauh yang bernama Persia, ketika orang berjalan melalui lapisan karpet itu maka terasa bagaikan sedang melayang-layang ditengah lapisan kabut putih yang nyaman. Konon semua perabot rumahnya juga didatangkan dari negeri yang lebih jauh lagi, negeri barat. Bukan saja tiap benda sangat indah, antik dan menawan, bahkan amat leluasa bila digunakan. Ambil contoh kursi yang sedang diduduki Cong Hoa sekarang, ukuran kursinya khusus dirancang dan dibuat sesuai dengan perawakan tubuh manusia. Punggung kursi sedikit dibuat melengkung ke dalam, bikin orang yang mendudukinya serasa bagaikan pedang yang masuk kedalam sarungnya, begitu rapat, begitu pas dan begitu nyaman.

Baru saja duduk dikursi itu, Cong Hoa sudah merasakan kenyamanan yang luar biasa, diam-diam dia punya rencana, bila ada uang nanti dia pun ingin membeli kursi semacam ini untuk dinikmati di dalam rumah. Ada kursi tentu saja ada meja, meja yang berada dirumah Tu Thian ini jauh lebih hebat, jauh lebih menarik lagi. Permukaan meja itu bulat, ditengah bulatan meja terdapat pula sebuah bulatan kecil yang bisa diputar, aneka macam hidangan diletakkan pada bulatan kecil ditengah meja itu. Bulatan meja kecil itu dapat berputar, ketika kau pingin mengambil sejenis hidangan, tidak usah bangkit berdiri, asal kau putar bulatan itu maka hidangan yang kau inginkan segera akan berputar sendiri ke hadapanmu. Cong Hoa memutar bulatan meja kecil itu tiada hentinya, bukan untuk mengambil hidangan yang ada disitu, dia hanya merasa aneh, lucu dan amat menarik hati. Meja ini khusus didatangkan dari negeri barat yang jauh sekali letaknya, sengaja dirancang untuk para bangsawan dan ningrat di negeri barat, Tu Thian menerangkan dengan penuh rasa bangga, Aku lihat cocok sekali bila digunakan sewaktu bersantap, maka aku telah memberi sebuah nama untuk meja ini.

Apa namanya? Meja makan ala barat. Jadi kursi yang disinipun ada namanya? Cong Hoa bertanya keheranan, Apakah dinamakan bangku makan raja barat? Sambil tersenyum Tu Thian manggut-manggut. Kalau begitu rumah makannya disebut rumah raja barat? lanjut si nona cepat. Rasanya memang begitu, dengan perasaan riang Tu Thian meneguk habis isi cawannya. Kembali si kakek penghangat arak menuang penuh cawan araknya kemudian sekali lagi mundur ke samping. Cawan itu terbuat dari kristal putih, sementara araknya berwarna merah muda. Ketika arak berwarna merah muda dituang kedalam cawan kristal putih, kelihatan sekali bentuknya bagai bibir basah seorang gadis perawan. Cara membuat arak inipun berasal dari negeri barat, kembali Tu Thian menerangkan. Apakah dinamakan arak raja barat? Arak itu terbuat dari campuran sejenis arak anggur dengan beberapa macam cairan buah yang diaduk

menjadi satu, Tu Thian angkat cawannya sambil mengawasi isi cawan dengan termangu, Sewaktu diramu, warnanya terdiri dari lima macam warna yang aneka ragam, persis seperti ekor ayam jago, karena itu arak semacam ini dinamakan Khee-wi-ciu arak ekor ayam. Khee-wi-ciu? Cong Hoa mengalihkan sorot matanya keluar jendela, memandang suatu tempat dikejauhan sana, Bila ada kesempatan, mungkin akupun akan berpesiar ke negeri barat itu. Kau pasti akan mendapatkan kesempatan ini, kemungkinan itu selalu terbuka untukmu. Apakah aku sudah mabuk, atau telinga ku ada penyakitnya? suara Cong Hoa persis seperti orangnya, penuh keraguan dan rasa curiga, Aku seakan mendengar ada seseorang sedang mengucapkan perkataan yang amat menarik. Kujamin telingamu pasti normal, kembali Tu Thian menenggak arak dicawannya, Aku lihat takaran minum arakmu tidak kelewat cetek. Maukah kau mengulang sekali lagi perkataan yang menawan itu? Kau pasti akan mendapatkan kesempatan ini, kemungkinan itu selalu terbuka untukmu. Heran, aku tahu kalau itu omongan bohong, mengapa kedengarannya selalu nyaman di hati.

Ini bukan omongan bohong tapi kata yang sejujurnya! Tu Thian menegaskan dengan wajah serius. Kaupun mesti perhatikan, tempat yang ingin kudatangi bukan dapur dirumahmu tapi sebuah tempat yang jauh sekali. Jangan bilang kau akan ke negeri barat untuk mengambil kitab seperti dalam cerita See-yu, mau belajar falsafat ajaran Khong-hu-cu pun tidak jadi soal, ujar Tu Thian sambil menatap Cong Hoa serius, Asal kau selesaikan dulu satu hal. Tiba-tiba Cong Hoa tidak bicara lagi, dengan sepasang matanya yang bulat besar dia awasi wajah Tu Thian, matanya mirip dengan bintang yang terang di ufuk timur. Maksudmu sudah kupahami, kata Cong Hoa kemudian sambil menempelkan cawan araknya disisi hidung, Bukankah ada satu masalah yang tidak mampu kau selesaikan sendiri, maka kau minta aku yang tampil, asal dapat kuselesaikan persoalan itu maka kaupun bersedia menghantar aku pergi, bukan begitu? Benar, ada sedikit urusan kecil yang harus kau selesaikan dulu, terlepas berhasil atau tidak, kau tetap akan peroleh imbalan yang setimpal, soal ke mana kau akan pergi, itu bukan urusanku! Aku boleh tidak kesana? tanya Cong Hoa serius.

Tentu saja boleh, Tu Thian segera bertepuk tangan, Hantar tamu. Kakek penghangat arak segera berjalan menuju ke tepi pintu dan berseru pelan, Siapkan kuda. Malam sudah menjelang tiba, ujar Tu Thian pula sambil tersenyum, Selisih jarak dari sini hingga ke gerbang kota masih butuh waktu setengah jam, maka sering kusediakan kuda untuk digunakan para tamu yang mau berlalu, Terima kasih untuk pelayananmu, aku pergi dulu, ujar Cong Hoa sambil bangkit berdiri. Tidak menghantar, tidak menghantar. Dengan satu langkah cepat Cong Hoa keluar dari ruangan, tidak selang berapa saat kemudian terdengar suara ringkikan kuda yang semakin menjauh. Aaai... sepeninggal Cong Hoa, Tu Thian menghela napas panjang, Kukira asal mencari dia maka urusan segera akan beres, ternyata dia jauh berbeda dengan apa yang tersiar dalam dunia persilatan selama ini. Manusia macam apa aku ini di dalam dongeng yang tersiar selama ini? tiba tiba Cong Hoa berseru sambil melompat masuk lewat jendela. Haah, bukankah kau sudah pergi? Tu Thian kelihatan terkejut bercampur ragu. Sudah pergi? Itu mah kudanya yang pergi, Cong Hoa duduk kembali di bangkunya, Sedang aku? Aku

pingin tahu manusia macam apa aku ini didalam dongeng yang tersiar dalam dunia persilatan. Latah, angkuh dan ngawur! Aku ngerti maksud kata latah dan angkuh, tapi ngawur.....? Cong Hoa memenuhi cawan sendiri dengan arak, Kenapa aku dibilang ngawur? Ngawur artinya jauh lebih berani bertindak daripada berani, berani berbuat berani menghadapi! nada ucapan Tu Thian dipenuhi sindiran dan tertawa. Berani berbuat berani menghadapi memang terhitung perbuatan seorang lelaki sejati, bahkan dewasa ini tidak banyak pendekar yang sanggup melakukan hal tersebut. Ada budi harus dibalas, ada dendam harus dituntut, kau menghadiahkan satu bacokan golok kepadaku dan akupun membalas satu tusukan pedang untukmu, mana budi mana dendam selamanya terpisah secara jelas, dalam kehidupan seorang pendekar, hal semacam ini adalah lumrah. ...... Selama hidup tidak pernah merugikan diri sendiri, menunggang kuda tercepat, mendaki gunung tertinggi, makan hidangan terpedas, minum arak terkeras, main golok tercepat dan membunuh orang terkejam. Seperti misalnya Hong Su-nio sang pengantin wanita yang harus kabur pada malam pertama pengantinnya......KoYa-lam sang murid Hoa-san yang dikejar Oh Thi-hoa sampai

dua-tiga tahun lamanya dan memaksanya untuk kawin....... Yan Jit yang pernah mati tujuh kali dan menyamar jadi lelaki untuk merecoki Kweek Taylok..... Cu toa-siocia Cu Jit-Jit. yang mengembara hampir tiga puluh tahun dengan Sim Long, So Yong-yong si bunga anggrek malam yang dari cinta tumbuh rasa bencinya hingga berusaha membunuh Cho Lu-hiang. Kesemuanya itu adalah jago-jago persilatan kenamaan yang sangat menggemparkan sungai telaga, mereka adalah pendekar wanita yang sulit dilupakan siapapun, namun bila dibandingkan dengan Cong Hoa, maka terasa mereka ada sedikit kekurangannya.... mereka kurang latah, kurang gila. Angin malam dipermulaan musim gugur meski tidak terlampau dingin, namun mendatangkan suara yang mengibakan. Kau pernah tahu manusia yang bernama Ti Cingling? tanya Tu Thian sambil mene-rawang keluar jendela, Ti Siauho bangawan Ti yang memandang harta kekayaan bagaikan sampah, tapi menganggap kuda jempolan dan wanita cantik melebihi nyawa sendiri? Aku tahu, sebuah jawaban yang dingin, hambar dan ringkas. Berarti kau pasti tahu juga tentang Nyoo Cing? Dulu dia hanya seorang opas tidak ternama, sikap Tu Thian sedikit agak aneh. Sayang Cong Hoa tidak terlalu

menaruh perhatian, ketika tahu pun kejadian tersebut sudah lewat sangat lama. Aku paling kagum dengan orang ini! seru Cong Hoa penuh semangat, Dulu, dia hanya seorang opas kecil, tapi dengan kekuatan dan kemampuan seorang diri dia berhasil membongkar kebusukan yang dilakukan Ti Cingling, bangsawan nomor wahid masa itu. Tu Thian tidak bicara, pelan-pelan dia letakkan kembali cawannya ke meja, seakan ada satu masalah serius yang sedang dipikirkan dan dipertimbangkan. Masalah serius apa yang membuatnya berpikir begitu serius? Rasa ingin tahu Cong Hoa semakin bertambah, apalagi persoalan tersebut sudah menyangkut masalah Nyoo Cing dan Ti Cing-ling. Aku minta kau pergi menolong Ti Cing-ling! akhirnya sepatah demi sepatah kata Tu Thian berbisik. Cong Hoa tertegun, sampai lama kemu-dian dia baru berbisik, Tampaknya kau sudah mabuk berat... Tidak, dia tidak mabuk! sela kakek penghangat arak sambil memenuhi cawan Tu Thian dengan arak. Berarti dia pasti sedang sakit, sambung Cong Hoa tertawa, Hanya pikiran orang yang sedang sakit ngawur dan tidak waras, hanya orang macam begini yang senang mengigau dan bicara tidak karuan.

Sungguh tidak beruntung dia pun sama sekali tidak sakit, kembali si kakek berkata sambil tertawa. Kalau begitu aku sendiri yang lagi bermimpi? Malam belum larut, kaupun belum tidur, dari mana bisa bermimpi? ujar Tu Thian sambil mengangkat cawannya. Daripada kau kebingungan, biar aku saja yang menuturkan masalahnya, kakek penghangat arak akhirnya mengambil tempat duduk dan menuang secawan arak untuk diri sendiri, dulu ada sebuah negeri di timur jauh yang amat jauh dan misterius... ................. Konon keluarga bangsawan di negeri misterius itu bila mati, jenasahnya selalu diawetkan dengan sejenis ramuan rahasia, kemudian seluruh tubuhnya diperban dengan memakai sejenis kain yang khusus. .............. Setelah melalui kedua proses pengawetan itu, mereka menyebut jenasah itu sebagai Mummi. .............Mereka pun menyimpan mummi itu ke dalam sebuah peti berbentuk kotak. ........ dibawah bimbingan dan pengawasan seorang Hoatsu, mummi itu dikirim ke dalam sebuah bangunan piramida yang besar dan tinggi dan menyimpannya disitu.

........Konon bila dilakukan semua upacara ritual itu, biar sudah melewati ratusan bahkan ribuan tahun pun, dalam suatu kondisi dan situasi tertentu, mummi itu dapat bangkit dan hidup kembali. Ramuan dan resep rahasia pembuatan mummi itu dibawa masuk kenegeri kita oleh seorang pendeta asal negeri Thian-tok (India) dan konon akan dipersembahkan kepada Baginda raja, si kakek menurut ceritanya dengan meneguk cawan arak ke tujuh. Tapi begitu memasuki wilayah negeri kita, tiba-tiba pendeta itu hilang lenyap tidak berbekas, lanjut Tu Thian, Kabar beritanya hilang begitu saja bagai uap air yang lenyap di udara. Biarpun lenyap tidak berbekas, sebelumnya pasti ada orang yang pernah bersua dengannya bukan? tanya Cong Hoa. Benar, memang ada, dia adalah Ti Cing-ling. Ti Cing-ling? seru Cong Hoa tercengang. Benar, dia adalah utusan rahasia yang dikirim Sri baginda untuk menjemput pendeta itu, jadi hanya Ti Cing-ling seorang yang tahu jejak pendeta itu. Karenanya kalian minta aku untuk pergi menolong Ti Cing-ling? ujar Cong Hoa sambil mengawasi kakek itu dan Tu Thian lekat-lekat, Tapi apa hubungannya urusan ini dengan kalian berdua?

Gara-gara persoalan ini, sudah hampir dua puluh tahun lamanya kami hidup mengasingkan diri dan menyembunyikan identitas asli, kata si kakek sambil menghela napas panjang. Cong Hoa menyumpit sepotong daging dan dikunyahnya perlahan-lahan, dia seperti mencoba meresapi apa yang dituturkan si kakek barusan. Berapa saat kemudian dia baru berkata, Sudah dua puluh tahun? Aku dengar pada dua puluh tahun berselang, ketika Ti Cing-ling berhasil dijebloskan ke dalam penjara besar oleh Nyoo Cing, dua orang tokoh kenamaan dalam kerajaan pun ikut hilang lenyap secara tiba-tiba... Ditatapnya Tu Thian lekat-lekat, kemu-dian terusnya, Yang seorang adalah pengawal kelas satu dari istana terlarang, Tu Bu-heng. Satu tusukan pedang tanpa meninggalkan jejak, Tu Bu-heng, sambung Tu Thian. Benar, kata Cong Hoa manggut manggut, kemudian sambil berpaling ke arah kakek penghangat arak, lanjutnya, yang lain adalah wajah besi berhati lembut. Un-hwee sianseng, sambung sang kakek. Yaa, aku dengar Un-hwee sianseng adalah ketua mahkamah termuda dalam sejarah kerajaan, sejak berusia dua puluh lima tahun sudah memangku jabatan,

orang kejaksaan menyebutnya Un It-to, konon ilmu goloknya luar biasa dahsyat dan cepatnya! Lalu sambil menatap tajam wajah kakek itu, dia melanjutkan, Apa yang kuucapkan tidak keliru bukan Un-hwee sianseng? Tepat sekali! Un-hwee sianseng manggut-manggut, Sungguh tidak kusangka setelah hidup mengasingkan diri hampir dua puluh tahun lamanya, masih ada juga orang yang teringat akan diriku. Un-hwee sianseng berusia empat puluh tujuh tahun, dia adalah petugas mahkamah agung yang memegang peran penting dalam penyelidikan kasus besar. Yang membuat banyak orang tidak habis mengerti adalah disaat namanya makin mero-ket dan jabatannya makin memegang peranan penting, tahutahu di usianya yang kedua puluh tujuh dia telah menyerahkan jabatannya kepada orang lain, bahkan sejak itu kabar beritanya hilang lenyap tidak berbekas. Dibawah sinar lentera, wajah Un-hwee sianseng kelihatan jauh lebih tua dari usia sebenarnya. ......... Alasan apa yang membuat wajahnya nampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya? Apakah lantaran dia terlalu banyak membunuh orang? Sementara itu Cong Hoa telah berpaling ke arah Tu Thian, kemudian ujarnya lagi, Sinar pedang berkelebat,

pinggang putus darah berhampuran, tiada bekas tertinggal dibadan... apakah kau adalah Tu Bu-heng? Tiba-tiba tampak cahaya tajam berkelebat lewat, entah sedari kapan tahu-tahu Tu Bu-heng sudah meloloskan sebilah pedang. Pedang ini sudah dua puluhan tahun tidak pernah menghirup darah, ujar Tu Bu-heng kemudian sambil mengamati pedangnya, Tidak dinyana masih juga ada orang yang mengenalinya. Mengapa kalian berdua meninggalkan jabatan dan hidup mengasingkan diri justru disaat kedudukan kalian sedang tinggi dan pamor kalian sedang tersohor? Aaai..... apa lagi kalau bukan lantaran Ti Cing-ling, sahut Tu Bu-heng sambil menghela napas. Kami mendapat perintah rahasia dari Sri Baginda untuk menyelidiki kabar berita pendeta dari Thian-tok itu, sambung Un-hwee sianseng perlahan, Tapi biarpun sudah peras tenaga dan keringat hampir tiga bulan lamanya, jangan lagi bayangan tubuhnya, bau kentutnya pun tidak berhasil kami temukan. Gagal menyelesaikan tugas yang dititahkan sang Kaisar berarti harus potong kepala, sambil memegang tengkuk sendiri Tu Bu-heng berkata lebih jauh, Mengingat jasa kami bagi kerajaan sudah terlalu banyak maka hukum pacung dapat ditiadakan, namun

karena kegagalan tersebut terpaksa kami harus lepaskan semuajabatan dan hidup mengasingkan diri. Oleh karena itu kalian hidup bersem-bunyi disini karena Ti Cing-ling memang berada dalam penjara besar di Lam-koen-ong-hu? sela Cong Hoa cepat, Tapi ada satu hal yang membuat aku tidak habis mengerti, persoalan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kalian, mengapa kalian tetap ngotot akan menolong Ti Cingling? Haai... sebelum pengharapan kami terpenuhi, masalah itu terasa masih mengganjal di dalam hati, membuat kami selalu tidak enak makan tidak nyenyak tidur. Oooh rupanya begitu, Cong Hoa manggut manggut, Dua puluh tahun berselang kalian tidak berhasil mengorek keterangan dari mulutnya, memangnya dua puluh tahun kemudian kalian punya cara untuk mendapatkan keterangan? Kami berpendapat, sekeras apapun hati seseorang, bila sudah merasakan siksaan dan penderitaan selama dua puluh tahun dalam penjara, paling tidak pikiran dan hatinya akan berubah lebih lunak, Un-hwee sianseng menerangkan. Persoalannya sekarang, mengapa kalian tidak turun tangan sendiri melakukan pertolongan, mengapa harus aku yang tampil?

Karena Lo Kay-sian tidak takut kepada siapa pun, namun cuma takut kepadamu. Padahal Ti Cing-ling sudah ditolong orang semenjak tiga belas tahun berselang, mengapa Tu Bu-heng dan Un-hwee sianseng masih tetap bersikeras minta Cong Hoa menyerbu ke penjara besar untuk menolong orang itu? Apa yang sebenarnya terjadi dan ada rahasia apa dibalik kesemuanya itu?

BAB 3. Bertemu lagi dengan Nyoo Cing.

Hujan di musim gugur baru saja berhenti, suasana di dalam hutan selain gelap pun amat becek dan lembab, bukan saja sinar matahari di siang hari tidak mampu menembus masuk, dimalam haripun tidak bisa tampak bintang dan rembulan, tidak heran kalau tidak seorang manusia pun berani memasuki hutan itu kelewat dalam, orang dusun disekitarnya juga karena takut, bisa tersesat hingga selama hidup jangan harap bisa keluar dari hutan itu dalam keadaan selamat.

Orang lain demikian takut, namun Nyoo Cing tidak takut. Sejak kecil dia memang suka berjalan menelusuri hutan belantara itu, tatkala mencapai usia sembilan tahun, dia bahkan saban hari bermain satu dua jam lamanya dalam hutan itu, malah kadangkala ditengah malam buta dia juga berani menerobos masuk ke dalam hutan. Tidak seorang pun tahu apa yang dia lakukan didalam hutan itu, dia pun tidak pernah mengijinkan siapa pun turut serta bersamanya. Hingga dua puluh tahun berselang, gara-gara harus berduel melawan Ti Cing-ling, saat itulah dia baru mengajak Lu Siok-bun pindah ke situ. Bila menelusuri jalan setapak dalam hutan lebat itu, setelah berbelok kiri kanan hampir setengah jam lamanya, maka akan tiba ditepi sebuah mata air yang muncul jauh ditengah hutan belantara, disamping mata air itulah berdiri sebuah rumah kayu kecil yang sudah kuno dan bobrok. Setelah lewat puluhan tahun lamanya, hari ini untuk pertama kalinya Nyoo Cing datang kembali ke situ, tampak bangunan rumah kecil itu masih berdiri seperti sedia kala, tapi bagaimana dengan manusia yang dirindukan?

Pintu rumah masih berada dalam keadaan terkunci, dibalik ruangan hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah meja, sebuah bangku, sebuah mangkuk kasar, sebuah lentera dan sebuah anglo yang terbuat dari tanah liat. Semua benda sudah dipenuhi debu, sarang labalaba hampir menyelimuti seluruh sudut ruangan, lumut hijau yang tebal bagai permadani terhampar dipintu depan, hal ini membuktikan kalau sudah sangat lama tempat itu tidak pernah dijamah manusia. Dulu, sewaktu masih ada orang tinggal disini, tempat ini pasti amat sederhana, sepi dan susah, tidak kuasa Lu Siok-bun bertanya kepada Nyoo Cing, Tempat apa ini? Kenapa kau bisa menemukan tempat seperti ini? Karena dulu hampir setiap hari aku berada disini, kadangkala dalam sehari bisa datang berkunjung hampir dua kali. Mau apa datang kemari? Datang menjenguk seseorang! Siapa? Nyoo Cing termenung berapa saat lamanya, perasaan hormat dan tersiksa tiba-tiba melintas diatas wajahnya, lama kemudian dia baru menjawab, sepatah demi sepatah kata, Aku datang menjenguk ayahku. Kemudian sambil mengawasi lapisan lumut diluar jendela, dia melanjutkan, Disaat dia orang tua akan

meninggal dunia, hampir setiap hari aku selalu berdiri di muka jendela ini, menunggu dia datang menengokku. Lu Siok-bun nampak agak tertegun. Sejak Nyoo Cing masih bayi, dia sudah hidup didusun tepi hutan lebat ini, ibunya selalu hidup menjanda dan bekerja sebagai tukang cuci baju dan menjahit pakaian orang untuk menyambung hidup. Selama ini Lu Siok-bun tidak tahu kalau Nyoo Cing mempunyai ayah, orang dusun pun tidak ada yang tahu. Sebenarnya dia ingin bertanya kepada Nyoo Cing, mengapa ayahnya hidup seorang diri ditengah hutan lebat dan tidak mau bertemu dengan orang lain? Namun dia tidak bertanya. Setelah melalui pelbagai pengalaman hidup, dia sudah belajar ikut memikirkan orang lain, belajar menyimpan rahasia orang lain, tidak berusaha mencari tahu rahasia orang dan tidak mengajukan pertanyaan yang orang lain enggan untuk menjawab. Untung saja Nyoo Cing mengatakannya sendiri. ... Walaupun mereka tidak pernah menikah secara resmi, namun Nyoo Cing dan Lu Siok-bun selalu hidup bersama layaknya suami istri.

... Diantara suami istri biasanya memang tidak akan saling merahasiakan sesuatu. Ayahku berwatak kasar dan berangasan, musuh besarnya tersebar diseantero jagad, ketika aku dilahirkan, orang tua kami bersembunyi dalam hutan karena kuatir disatroni orang, cerita Nyoo Cing dengan wajah sedih, Ketika aku berusia delapan tahun, ayahku terluka sangat parah sehingga harus mengungsi ke dalam hutan untuk merawat lukanya, saat itulah aku baru berkesempatan untuk bertemu dengannya. Ap luka ayahmu berhasil disembuhkan? Dengan sedih Nyoo Cing menggeleng, Setelah dia mengungsi ke dalam hutan itu, para musuh besarnya yang tersebar di seantero dunia tidak pernah berhasil menemukannya kembali. Itulah sebabnya ketika kita mengha-dapi ancaman dulu, aku pun membawamu mengungsi kemari, sebab tidak akan ada orang yang bisa menemukan tempat ini. Malam sudah semakin kelam, suasana disana amat gelap karena tidak ada lentera yang menerangi ruangan, ditengah kegelapan itulah Nyoo Cing mengenang kembali masa lalunya yang penuh dengan masalah. ------Aku sengaja membawamu kemari karena setelah kepergianku nanti, tidak mungkin ada orang yang bisa menemukan dirimu disini.

Tiba-tiba Nyoo Cing merasa bibirnya seakan berubah jadi dingin dan membeku, namun dia berusaha keras untuk mengendalikan gejolak perasaan hatinya. Ketika dia berhasil mengalahkan Ti Cing-ling dan balik kembali ke rumah gubuk ditengah butan itu, bukan Lu Siok-bun yang ditemukan didalam rumah gubuk itu, melainkan hanya selembar kertas. Sepucuk surat ancaman yang isinya berbunyi begini, Karena kau menawan Ti Cing-ling, maka aku menawan Lu Siok-bun. Tertanda: Cing-liong-hwee Rembulan masih memancarkan sinarnya yang redup di angkasa, malam itu penuh bintang, angin malam pun berhembus kencang. Sinar rembulan yang redup menembusi daun-daunan yang lebat, memancar masuk ke dalam ruang gubuk melalui jendela dan menerangi wajah Nyoo Cing yang murung. Angin kencang berhembus menggoyangkan daun dan ranting sehingga menimbulkan suara gemerisik yang nyaring. Tiba tiba Nyoo Cing merasakan munculnya segulung hawa panas dari belakang punggungnya, hawa panas itu segera menyebar ke seluruh tubuh dan seakan hendak mencabik cabik tubuhnya.

Dengan perasaan kaget Nyoo Cing berpaling, dia menyaksikan ada segulung semburan api telah menerjang masuk melalui pintu depan, semburan api itu bagaikan sebuah toya baja yang membara, langsung disodokkan keatas tubuhnya. Bara api itu luar biasa panasnya, jangan lagi tubuh manusia, besi baja pun akan meleleh bila tersembur olehnya. Belum lagi semburan api itu mengenai tubuhnya, Nyoo Cing sudah merasakan hawa panas yang luar biasa. Buru buru dia menyambar permukaan meja dan menekannya ke bawah, tekanan yang kuat membuat kaki meja patah jadi dua. Menggunakan kesempatan itu Nyoo Cing menerobos ke bawah untuk berkelit, semburan api itu dengan cepat menyambar lewat persis dari atas punggungnya. Untung sejak kecil dia sudah melatih diri dengan tekun, reaksinya sangat cepat dan pendengarannya tajam, coba kalau bukan begitu, saat ini mungkin dia sudah mati tersembur kobaran api dahsyat itu. Biarpun berhasil lolos dari maut, tidak urung baju yang dikenakan hangus sebagian, bahkan lamat-lamat dia merasakan punggungnya amat sakit. Ketika gagal mengenai sasarannya, semburan api itu segera lenyap dibalik pohon-pohonan sana, namun

sebagai gantinya muncul semburan air yang kuat dari balik jendela, semburan air itu menyambar datang dengan cepatnya, bahkan membawa suara gemuruh bagaikan ada beribu-ribu kuda yang sedang lari bersama. Kembali Nyoo Cing berjumpalitan meloloskan diri dari sergapan semburan air itu, sementara tubuhnya masih melambung di udara, semburan api kembali muncul dan langsung menghantam tubuhnya yang masih berada di udara. Pada saat bersamaan, serangan air muncul lagi dari arah bawah. Tampaknya serangan air dan api itu berusaha menggencet tubuh Nyoo Cing yang sedang melambung, kini dia kehabisan jalan dan terdesak hingga musti mundur ke sudut ruangan. Tampaknya tubuh Nyoo Cing segera akan tertelan oleh gulungan api dan air yang datang menyerang secara dahsyat itu. Nyoo Cing memiliki sebuah kelebihan ketika sedang bertarung melawan orang, setiap waktu setiap saat dia bisa menyerang secara nekad, bila dia sudah nekad, biasanya cara yang digunakan jauh lebih nekad dari siapa pun. Yang dia pergunakan bukan ilmu silat yang benar, belum pernah ada orang melihat dia bertarung

menggunakan jurus silat yang benar, begitu pula ketika sedang menghadapi ancaman yang lain, modalnya hanya satu, nekad! Tapi kali ini dia dibuat kelabakan, karena yang dihadapinya sekarang sama sekali berbeda, bukan manusia yang harus dihadapi melainkan semburan air dan api yang maha dahsyat. Bagaimana mungkin dia bisa nekad? Bagaimana mungkin dia bisa mengadu jiwa bila lawannya adalah benda yang tidak bernyawa? Tapi Nyoo Cing tidak ambil perduli, dia tetap nekad, dia tetap menerjang tanpa memperdulikan nyawa sendiri. Tentu saja yang dia terjang bukan semburan api, juga bukan semburan air, tiba-tiba ia membalikkan badan lalu menumbukkan batok kepalanya ke atas dinding ruangan, tumbukan yang keras sekali. Dia harus menumbuk dinding itu kuat-kuat karena dinding yang tebal tidak akan jebol bila tidak diterjang dengan tenaga besar. Blaaaam....! Dinding tembok itu seketika jebol dan rontok ke tanah, namun sebagai gantinya darah segar menyembur keluar dari atas jidat Nyoo Cing. Tapi dia tidak ambil perduli, lebih baik jidat sendiri terluka daripada mati konyol karena dibakar semburan api.

Dengan cepat Nyoo Cing merangkak bangun sambil bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Bagus, bagus sekali, ternyata Nyoo Cing memang tetap nekad! seseorang berbaju putih berwajah bersih berseru memuji dengan suaranya yang dingin. Nyoo Cing segera berpaling, ternyata orang itu berdiri di bawah sebatang pohon, wajahnya tampak dingin membeku dan dihiasi dengan mimik muka senyum tidak senyum. Begitu bertemu dengan orang itu, kontan Nyoo Cing merasakan tubuhnya dingin membeku, tubuhnya seolah olah sudah terperosok ke dalam bongkahan salju yang sudah berusia ribuan tahun. Wajah yang dingin dengan mimik muka senyum tidak senyum itu sangat dikenal olehnya, biar sudah berubah jadi abu pun Nyoo Cing tidak bakal melupakan raut wajah orang itu. Karena orang inilah terpaksa dia harus menggunakan Kait perpisahan. Karena orang inilah terpaksa dia harus berpisah dengan Lu Siok-bun. Orang ini tidak lain adalah.. .Ti Cing-ling. Sudah dua belas tahun tujuh bulan empat belas hari berlalu, ujar Ti Cing-ling dengan nada dingin, Selama ini apakah kehidupanmu amat gembira?

Gembira, gembira sekali! jawab Nyoo Cing sambil berusaha mengendalikan amarahnya, Bagaimana denganmu? Walaupun kehidupanku jauh lebih baik ketimbang sewaktu hidup dalam penjara, namun setiap hari aku selalu paksakan diri untuk bergabung dengan Un-lo (kelembutan) Entah sejak kapan tahu-tahu Ti Cing-ling telah meloloskan sebilah golok yang tipis melebihi kertas, kemudian terusnya, Karena aku percaya suatu saat nanti kita bakal bertemu kembali. Sekilas cahaya biru memancar keluar dari tubuh golok, sekilas cahaya yang sangat tawar, setawar cahaya fajar yang baru muncul diufuk timur. ... Golok tipis itu adalah sebilah golok pembunuh, namun dia memberi nama senjata pembunuh itu sebagai kelembutan. Dengan pandangan tajam Nyoo Cing mengawasi kelembutan, sementara Ti Cing-ling mengawasi Nyoo Cing tanpa berkedip. Kini aku sudah mempersiapkan golokku, bagaimana denganmu? jengek Ti Cing-ling dengan senyum tidak senyum, Mana kait perpisahanmu? Secara tiba-tiba Nyoo Cing merasa tidak mampu berbicara lagi, sebab dia sadar selama belasan tahun terakhir, genggamannya sudah bukan memegang kait

perpisahan, bukan juga golok atau pedang melainkan cawan, cawan arak. Dengan satu getaran ringan, pedang kelembutan kembali lenyap dari genggaman Ti Cing-ling. Dua puluh tahun berselang kau sudah kalah, bukan kalah oleh ilmu silatku, Nyoo Cing menatap tajam wajah Ti Cing-ling, Kau kalah karena kesombonganmu, yang tidak pernah memandang sebelah matapun kepada orang lain. Ti Cing-ling memang seorang jago yang kelewat sombong, tapi dia mempunyai alasan yang nyata untuk bersikap sombong: Kepandaian silatnya memang tidak nanti bisa ditandingi Nyoo Cing, diapun tidak menggunakan ilmu pedang yang luar biasa untuk menghadapi lawannya, senjata yang dipergunakan hanya sebilah golok yang amat pendek dan amat tipis. Kelembutan tidak jauh berbeda dengan senjata Kait perpisahan milik Nyoo Cing, sama-sama hasil tempaan seorang empu yang sama, karena salah menempa sebilah pedang maka muncullah senjata kait perpisahan dan golok kelembutan. Kepandaian Ti Cing-ling dalam memakai golok kelembutan telah mencapai tingkat yang luar biasa, setiap serangan dapat dia lancarkan sesuai dengan kehendak hatinya, seakan-akan gerakan golok itu sudah menyatu dengan jalan pikirannya, kemana dia berpikir, kesanalah golok itu menyambar, jika dia ingin menusuk

ulu hati seseorang, tidak nanti golok itu akan melenceng biar setengah inci pun. Tampak cahaya golok berkelebat lewat, ujung golok segera menembusi jalan darah ci-ti-hiat di tubuh Nyoo Cing, karena memang tempat itulah yang ingin Ti Cingling tusuk dengan golok kelembutannya. Dia tidak ingin Nyoo Cing mati kelewat cepat, dia pun tahu bila jalan darah Ci-ti-hiat seseorang sampai tertusuk, maka separuh badan korbannya akan kesemutan, kaku dan akhirnya kehilangan rasa, dan dia tidak akan mampu mengerahkan tenaganya lagi. Sebetulnya rencana dan jalan pemikirannya sudah tepat dan bagus, sayang dia tidak menyangka kalau Nyoo Cing bukan saja tidak menghindar, sebaliknya justru malah menerjang ke depan dengan penuh kekuatan. Tidak ampun golok kelembutan langsung menusuk diatas jalan darah ci-ti-hiat hingga tembus ke dalam tulang belulangnya, menanti dia ingin mencabut goloknya, cahaya kilat yang memancar keluar dari senjata kait perpisahan telah menyambar tiba diatas tenggorokannya. ... Siapa sombong dia pasti kalah, perkataan ini memang sangat tepat, sudah sewajarnya bila diingat oleh setiap manusia.

Siapa sombong dia pasti kalah... Ti Cing-ling berbisik hambar, Aku telah mengorbankan waktu hampir dua puluh tahun lamanya untuk menebus hal ini. Cahaya rembulan memancarkan sinarnya menembusi hutan belukar, menyinari jalan setapak yang tidak rata, menyinari pula wajah Nyoo Cing. Tiba tiba satu perubahan mimik muka yang sangat aneh melintas diatas wajahnya. Biarpun Ti Cing-ling hanya berdiri bermalas-malasan disitu, namun dia seperti mendatangkan tenaga tekanan seberat ribuan kati diatas dadanya. Seandainya saat itu ada orang berdiri di belakang Nyoo Cing, dia pasti akan melihat kalau pakaiannya sudah basah kuyup oleh peluh yang jatuh bercucuran. Sekalipun Ti Cing-ling belum menggerakkan senjata goloknya, bahkan dia masih berdiri agak jauh dihadapannya, namun secara lamat-lamat Nyoo Cing dapat merasakan hawa golok yang luar biasa tajamnya. ... Dia merasa seluruh tubuh Ti Cing-ling seolah merupakah sebilah golok yang sedang diasah, dari seluruh tubuhnya memancarkan hawa pembunuhan yang mengerikan. Mimpi pun Nyoo Cing tidak menyangka, setelah berpisah belasan tahun bukan saja Ti Cing-ling bertambah hebat bahkan berubah lebih tajam dan menggidikkan hati.

Angin malam berhembus lewat, mengibarkan ujung baju Ti Cing-ling, biarpun kakinya sama sekali belum bergeser, namun Nyoo Cing merasa seakan lawannya sudah mulai bergerak. Dia tahu Ti Cing-ling telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, mengubah tenaga dalam menjadi hawa setajam golok, membuat orang lain hanya bisa merasakan tekanan hawa goloknya yang mengerikan dan melupakan kehadiran dari wujud tubuhnya. Tubuhnya seolah-olah telah menyatu dengan hawa golok, hawa tekanan maha dahsyat yang menyelimuti seluruh jagad, itulah sebabnya walaupun tidak bergerak, orang merasa dia sedang bergerak, ketika dia mulai bergerak, orang mengira dia sama sekali tidak bergerak. Angin malam meski berhembus amat kencang, namun seluruh jagad seolah-olah telah membeku. Nyoo Cing merasakan butiran keringat jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, dia merasa seluruh jagad telah berhenti, sama sekali tidak bergerak, bahkan waktu pun seperti ikut berhenti berputar. Dia seakan merasa ada sebuah tangan tanpa wujud yang sedang mencekik tengkuknya, membuat dia tidak mampu bernapas. Tidak seorang pun bisa membayangkan betapa tersiksa dan menderitanya Nyoo Cing, tapi pada saat itulah, tiba-tiba dia menghem-buskan napas lega

kemudian menatap wajah Ti Cing-ling dengan pandangan tercengang. Pada detik yang terakhir, disaat mati hidupnya segera akan ditentukan, tiba-tiba hawa golok yang mengerikan itu hilang lenyap tidak berbekas. Sudah jelas Ti Cing-ling telah bersiap-siap menghabisi nyawa Nyoo Cing, bahkan dia bisa mencabut nyawa musuhnya secara gampang, mengapa secara tiba-tiba dia lepaskan kesempatan baik itu dengan begitu saja? Dengan perasaan tidak habis mengerti Nyoo Cing mengawasi wajah Ti Cing-ling. Aku masih ingat, bulan sepuluh tanggal tujuh merupakan hari pertunanganmu dengan Lu Siok-bun ujar Ti Cing-ling, Juga merupakan kali pertama Lu Siokbun memasuki rumah kayu kecil ini. Nyoo Cing terbungkam, hatinya serasa diiris-iris dengan beribu bilah pisau tajam. Hari ini adalah bulan sembilan tanggal dua puluh enam, lewat berapa hari lagi merupakan ulang tahun pertunanganmu dengan Lu Siok-bun, suara Ti Cing-ling seolah datang dari tempat yang jauh sekali, Apakah kau ingin bertemu dengannya? Rindu memang merupakan siksaan batin yang amat berat bagi umat manusia.

Bagaimana pula rasanya bila seseorang berusaha mengendalikan rasa rindu yang mencekam hatinya? Itu berarti kau harus memendam rasa cinta mu kedalam hatimu yang terdalam, harus dipendam dibalik tulang belulangmu. Jika Rindu adalah sebilah golok yang mengiris hati maka tidak berani rindu merupakan sebilah golok yang sedang mengiris tulang belulangmu. Dia mengiris dirimu dari dasar tulang belulang yang paling dalam, sekali demi sekali menyayat terus tiada hentinya, ketika kau gunakan arak untuk membuatnya membeku maka hanya penderitaan yang semakin menghimpit perasaan hatimu. Nyoo Cing sesungguhnya bukan seseorang yang banyak pikiran dan gampang murung, dia selalu berpandangan terbuka terhadap masalah apa pun, mau kumpul, mau pisah, baginya bukan siksaan yang berat, sebab dia bisa menerima semua kenyataan. Baginya, kehidupan manusia di dunia ini hanya berlangsung sesaat, seandainya dapat berkumpul, berapa lama kau bisa berkumpul? Seandainya harus berpisah, berapa lama perpisahan itu harus berlangsung? Cepat atau lambat semuanya akan beres sendiri, buat apa dia mesti memandang serius hal seperti itu? Sekarang dia sadar bahwa pandangannya dulu adalah keliru besar.

Hubungan antar manusia ibarat bintang meteor yang melintas diangkasa, kau hanya akan menjumpainya dalam waktu sekejap, karena semuanya segera akan berlalu. Nyoo Cing dapat menerima pandangan seperti ini, tapi dia pun bukan manusia yang tidak berperasaan. Walaupun Lu Siok-bun sudah tidak berada disana, namun gerak-geriknya, luapan perasaan hatinya, keharuman tubuhnya seakan tetap tertinggal di atas ranjang, tersisa ditepi meja, tertinggal disetiap sudut ruangan rumah kayu itu. Perasaan itu pun masih tertinggal di hati Nyoo Cing, dalam benaknya, dalam pandangan nya, dalam pikirannya, dia selalu dan selamanya tetap tertinggal pada dirinya. Sekalipun dia tahu tidak mungkin istrinya akan balik, namun dia seperti masih mendengar dengus napasnya, tetap bisa merasakan kehadirannya. Itulah sebabnya kenangan dalam kesepian telah dia ubah menjadi kenikmatan dalam kehangatan. Kau ingin bertemu dengannya? Nyoo Cing menatap tajam wajah Ti Cing-ling, bukan curiga akan keseriusan perkataan itu, tapi dia sedang menganalisa apa maksud dan tujuan perkataannya.

Ti Cing-ling adalah anggota perkumpulan naga hijau, dia pasti tahu kasus penculikan ini. Lu Siok-bun jelas diculik oleh orang-orang perkumpulan naga hijau, sudah pasti Ti Cing-ling mengetahui kabar beritanya, tapi pada saat ini mengapa dia mengajukan pertanyaan seperti itu? Tadi, seharusnya kau bisa melihat, kalau aku ingin membunuhmu maka hal itu bisa kulakukan segampang memotong tahu, sekulum senyuman licik menghiasi ujung bibir Ti Cing-ling, Tapi sebelum kulakukan hal tersebut, ada satu hal perlu kau ketahui, kini kau sudah menjadi seorang ayah. Perkataan tersebut ibarat sebuah martil yang menghantam batok kepala Nyoo Cing keras-keras, sorot mata kegembiraan bercam-pur perasaan ngeri segera terpancar keluar dari balik matanya. Dia gembira karena Lu Siok-bun terbukti belum mati, bahkan melahirkan seorang anak untuknya. Dia merasa ngeri karena secara lamat lamat sudah dapat menebak maksud dan tujuan Ti Cing-ling. Tiba-tiba muncul segulung kabut tebal dari balik hutan, kabut itu perlahan-lahan melayang datang dan menyelimuti sekeliling tempat itu. Dibalik tebalnya kabut, dia melihat ada sesosok bayangan manusia sedang berkelebat.

Senyuman licik yang menghiasi ujung bibir Ti Cing-ling nampak semakin menebal, senyuman itu terasa semakin menggidikkan hati. Tapi Nyoo Cing tidak ambil perduli, dia masih mengawasi bayangan manusia dibalik kabut tebal itu tanpa berkedip. Kabut tebal telah menyelimuti angkasa, membungkus seluruh tubuh Nyoo Cing, menyelimuti pula seluruh hutan belukar itu. Bayangan manusia yang muncul dari balik kabut kelihatan makin lama semakin mendekat sebelum akhirnya muncul dihadapannya. Ternyata seorang gadis muda! Dia memiliki pandangan mata yang lembut dan bening bagaikan sinar matahari dimusim semi. Rambutnya halus mengkilap, pinggangnya ramping menawan, tidak ubahnya seperti ranting pohon liu yang berhembus angin sepoi. Perempuan itu bukan jenis perempuan yang bisa mendatangkan rangsangan napsu ketika dipandang kaum lelaki, sebab pria mana pun yang pernah bertemu dengannya, dia seperti akan melupakan segalanya, melupakan semua persoalan kecuali raut mukanya. Dan sekarang, perempuan itu sedang berjalan keluar dari balik kabut. Berjalan dengan langkah yang amat lambat.

Meskipun perempuan itu melangkah dengan santai, namun gerak-geriknya menampilkan keindahan dan keanggunan yang menawan. Pakaian yang dia kenakan bukan pakaian mewah, dia tidak mengenakan perhiasan apa pun, sebab benda-benda mewah semacam itu sama sekali tidak berguna baginya, sama sekali tidak akan mempengaruhi keanggunannya. Betapa pun mahalnya perhiasan dan pakaian, tidak akan menutupi kecerahan dari penampilan tubuhnya. Betapapun tebalnya dandanan yang dia kenakan juga tidak bakal menambah kecantikan wajahnya. Kini, dia muncul dihadapan Nyoo Cing. Begitu bertemu dengan perempuan itu, nyaris Nyoo Cing menjerit keras...betapa miripnya wajah perempuan ini dengan wajah Lu Siok-bun. Terutama ujung matanya yang memancarkan kekerasan hati, satu penampilan yang mirip sekali dengan istrinya. Ditengah remang-remangnya cahaya bintang yang menembusi ketebalan kabut, gadis itu seakan sedang mandi dibawah cahaya bintang. Tangannya begitu lembut dan halus, wajahnya putih bersih dan mulus bagaikan sinar bintang.

Pakaian yang dikenakan berwarna putih, amat ringan, amat tipis, ketika terhembus angin, ujung baju yang tipis itu berkibar tiada hentinya. Kecantikan wajah gadis ini tidak terlukiskan dengan kata-kata, semacam kecantikan yang mendekati kesempurnaan. Kecantikan yang mendatangkan rasa mabuk bagi yang memandang, kecantikan yang gampang membuat perasaan manusia terkoyak koyak. Dengan pandangan mata yang sayu gadis itu balas mengawasi wajah Nyoo Cing, dari balik pandangan matanya itu seakan terlintas perasaan sedih yang mendalam. Nyoo Cing merasakan hatinya remuk, perasaan hatinya seakan tersayat-sayat, dia ingin sekali menerjang ke muka dan memeluknya erat erat, tapi dia tidak melakukannya karena (diantara mereka berdua seolah sudah dipisahkan oleh sebuah sekat, sebuah dinding pemisah yang amat tinggi dan tebal. Dinding pemisah itu tidak lain adalah kehadiran Ti Cing-ling. Dia dari marga Hoa, bernama U-gi, Ti Cing-ling menerangkan. Dari marga Hoa? benarkah dia putriku? Tapi, mengapa wajahnya begitu mirip dengan Lu Siok-bun?

Dengan pandangan ragu dan penuh tanda tanya Nyoo Cing melihat Ti Cing-ling. Sebetulnya dia dari marga Nyoo, tapi lantaran ibunya kuatir ditertawakan orang karena punya anak tidak punya bapak, maka sebelum kelahirannya, dia telah menikah dengan seorang lelaki yang bernama Hoa Ciok, kembali Ti Cing-ling menerangkan. Sorot mata Hoa U-gi memancarkan sinar kepedihan yang semakin tebal, setebal kabut yang sedang menyelimuti tempat tersebut. Nyoo Cing tidak berani menatapnya, dia takut pertahanan batinnya runtuh. Dia terlebih tidak berani menanyakan tentang kabar berita ibunya, semua pertanyaan, semua perasaan harus disimpan dalam dalam didasar hatinya. Dua puluh tahun berselang, sebenarnya kau punya kesempatan untuk membunuhku, tapi hal tersebut tidak kau lakukan, kembali Ti Cing-ling berkata sambil menatap tajam wajah lawannya, Maka hari ini, akupun memberi satu kesempatan untukmu, bawalah putrimu dan pergilah dari sini, setahun kemudian bawa senjata kait perpisahanmu, tunggulah aku ditempat ini. Begitu selesai bicara, bayangan tubuh Ti Cing-ling sudah lenyap dibalik tebalnya kabut. Kini dalam hutan hanya tinggal Nyoo Cing dan U-gi berdua.

Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi gadis ini, dia tidak tahu apa yang harus diucapkan sekarang? Menanti dia berpaling kembali, menatap wajah gadis itu sekali lagi, semua kenangan masa lalu yang sudah lama hilang dari pikirannya, kini muncul kembali dihadapan mata. Oh Thian! Betapa miripnya wajah nona ini dengan dirinya. Sekali lagi Nyoo Cing merasakan hatinya hancur lebur. Ulah CongHoa. Senja telah menjelang, hanya sebuah cahaya lentera menerangi sebuah ruangan. Api yang membara dibawah tungku tidak terlalu besar, Lo-kaysian seorang kakek tua sedang menggunakan sebuah garpu besi membakar ikan diatasnya, sambil memanggang ikan, tiada hentinya dia semir tubuh ikan dengan bumbu minyak. Agaknya seluruh perhatian orang tua itu sedang tertuju pada bakaran ikan, dia seolah tidak memperdulikan suasana disekelilingnya. Sewaktu Cong Hoa masuk ke dalam, lo-kaysian juga tidak tahu. Setiap kali sedang memanggang ikan, biar langit runtuh pun dia tidak pernah ambil perduli, sekalipun

terjadi peristiwa besar, urusan baru bisa dibicarakan setelah dia selesai membakar ikannya. Bau harum makin lama semakin menyengat hidung, akhirnya Cong Hoa tidak kuasa menahan diri, dia menghela napas panjang. Kelihatannya panggang ikanmu sudah matang? Lo Kaysian tidak menggubris, dia tetap membungkam diri. Kalau dipanggang lebih lama apa tidak hangus? kembali Cong Hoa bertanya.

BAB 4.

Aaai! Kenapa sih kau mengganggu terus? keluh Lo Kaysian sambil menghela napas, Setelah perhatianku terpecah, rasa ikan ini tentu kurang sedap. Biar aku berikan untukmu saja! Sambil menyodorkan garpu besi berisi ikan panggang itu kembali Lo Kaysian bergumam, Orang yang tidak sabaran, mana mungkin bisa menikmati hidangan lezat? Paling tidak, bagi orang yang tidak sabaran masih bisa menikmati hidangan gratis, sela Cong Hoa sambil

tertawa tergelak, tanpa sungkan dia menyambar pula dua guci arak. Kau memang seorang teman yang bermuka tebal... sekali lagi Lo Kaysian menghela napas, dia mengambil seekor ikan dan mulai memanggangnya kembali, Bertemu manusia macammu, entah kesalahan siapa? Cong Hoa benar-benar tidak berlaku sungkan, dia langsung duduk bersila dan mulai melahap ikan panggang itu. Caramu makan pun jauh lebih cepat dari kecepatan orang biasa, berhadap manusia macam mu, aku benar benar mati kutu, orang lain baru menghabiskan seekor, kau sudah menghabiskan sepuluh ekor. Kali ini Cong Hoa yang tidak ambil perduli, dia giat melahap ikan bakar itu, ketika selesai melahap, sorot matanya kembali mengincar ikan yang sedang dibakar Lo Kaysian. Sudah matang belum? Cong Hoa menelan air liurnya. Dimeja sebelah sana masih ada sedikit arak dan hidangan, Hoa toa-siocia, kenapa kau tidak mengisi perutmu dengan hidangan tersebut. Mana ada hidangan lain selezat ikan panggangmu? Cong Hoa pejamkan matanya seraya menggeleng, Telapak beruang pernah kucicipi, ikan paohi pernah kusantap, tapi bila dibandingkan ikan hasil

bakaran Lo Kaysian, aku rela melepaskan telapak beruang dan ikan paohi. Ooh, tidak kusangka pengetahuanmu soal makan hebat juga! Bulan sembilan tanggal dua puluh enam, lewat tengah hari. Udara hari ini amat cerah, matahari memancarkan sinarnya menerangi empat penjuru, meski tidak sampai menyinari ruang sempit yang lembab lagi remang itu, paling tidak masih ada sedikit cahaya yang menerobos ke dalam. Cong Hoa mengisi dua cawan arak, satu diberikan kepada Lo Kaysian. Sementara kakek tua itu sedang mengawasi si nona dengan mata melotot besar. Kau tahu sekarang sudah jam berapa? Sudah tengah hari! Tengah hari sudah mulai minum arak? Memangnya minum arak harus melihat waktu? Tengah hari tidak boleh minum, malam hari baru boleh, hari terang tidak boleh, harus menunggu sampai hujan turun, Je-it dan Cap-ngo juga tidak boleh minum, harus menunggu sampai ji (dua) Si (empat) lak (enam) sambil mengoceh, Lo Kaysian mengangkat cawannya

dan menegak habis isinya, Sekarang arak sudah kuhabiskan Hoa toa siocia! Tidak bisa, kau mesti meneguk tiga cawan. Bagaimana kalau dua cawan saja? Cong Hoa menggeleng. Kalau begitu dua cawan setengah? Cong Hoa tetap menggeleng, dia tunjukkan ketiga jari tangannya. Aaai...kelihatannya pada penghidupanku yang lalu aku sudah banyak hutang kepadamu.... keluh Lo Kaysian sambil mengisi kembali araknya. Kau memang tidak tahu diri! omel Cong Hoa, Padahal orang yang ingin minum arak denganku sampai berbaris dari sini hingga luar pintu gerbang kota, aku tulus mengundangmu minum, kau masih mengomel melulu... Baik, baik...lain kali bisa kah kau tidak usah mengundangku minum? Tidak bisa, aku harus mengundangmu! Cong Hoa kembali duduk, mengawasi hidangan diatas meja lalu gelengkan kepalanya. Kau tidak punya bini, tidak punya anak, tidak punya saudara, uang yang kau peroleh selama ini, untuk apa kalau tidak untuk dinikmati?

Justru lantaran tidak punya keluarga maka aku harus tinggalkan sedikit modal, kalau tidak, setelah mati nanti siapa yang sudi mengurusi diriku? Benar juga perkataanmu, Cong Hoa mengangguk sambil menyumpit sepotong sayur, Tapi, bila kau benar-benar sudah mampus, siapa yang akan membantu menguburkan jenasahmu? Aaah, pengetahuanmu benar-benar amat cetek, masa kau tidak tahu kalau ada semacam kuil yang bisa disewa? Aku tahu, orang-orang yang sudah tua, yang tidak ingin hidup sendirian di rumah, bisa mengeluarkan sedikit uang untuk menyewa sebuah kamar didalam kuil, kemudian meminta penghuni kuil merawat mereka. Betul tahukah kau selain tempat untuk menumpang hidup, ada lagi semacam kuil yang disebut Ki-poan? Ki-poan? Cong Hoa mengulang, dia segera menggeleng, Aku kurang tahu. Hahaha...rupanya ada juga persoalan yang tidak kau ketahui! Lo Kaysian tertawa senang, Kau tahu bukan, banyak anak yang tidak berbakti di dunia ini, seringkali mereka hidup berfoya-foya hingga menghabiskan semua harta orang tuanya, maka dari itu untuk menghindari setelah mati terlantar, orang bisa menitipkan dulu uangnya di kuil, agar setelah dia mati

nanti, pihak kuil yang akan mengurusi segala urusan terakhir orang tersebut. Selain yang berkeluarga, ternyata ada juga jenis manusia lain yaitu orang macam kau, hidup sebatang kara di dunia ini, sela Cong Hoa. Benar, sistim seperti inilah yang dinamakan Kipoan(titip untuk dikerjakan), mengerti? Cong Hoa manggut-manggut, mendadak tanyanya lagi, Kalau ada orang hukuman yang mati, siapa yang mengurusi layonnya? Tentu saja keluarga dari terhukum. Kalau dia tidak punya keluarga? Biasanya akan dilakukan pihak pemerintah, tentu saja penguburan secara sederhana dan ala kadarnya. Bagi komandan sipir penjara macammu, masa setelah meninggal, pihak pemerintah tidak membantumu? Jangan bermimpi! seru Lo Kaysian sambil mempertinggi suaranya, Tapi aku dengar Lam-ong-ya sangat menyayangi anak buahnya. Bagaimana dengan Nyoo Cing? Dia amat menyayangi anak buahnya, selalu bijaksana dan bijaksana, siapa salah dihukum, siapa berjasa diberi hadiah.

Konon dimasa lalu seorang diri dia berhasil membongkar rencana keji yang dilakukan bangsawan nomor wahid Ti Cing-ling? tanya Cong Hoa. Kalau menyinggung soal sepak terjangnya, diceritakan selama tiga hari tiga malam pun tidak bakal habis, ucap Lo Kaysian, Ketika itu Ong-ya pun tidak lebih hanya seorang komandan opas kota keresidenan itu, konon dia tidak kenal susah, tidak kenal menderita, dengan gagah berani dia lawan perbuatan semenamena bangsawan kaya itu... Mengenai kegagahan dan kepahlawanan Nyoo Cing, sudah banyak kali Cong Hoa mendengar orang bercerita, tapi setiap kali mendengar kisah itu, dia selalu merasakan darah ditubuhnya bergolak. Dalam pandangannya, baik dia seorang pria atau wanita, patut meniru teladan dari Nyoo Cing, harus belajar memiliki keberanian, ketulusan dan kejujuran seperti dirinya. -------Dalam beberapa hal, sepak terjang yang dilakukan Cong Hoa memang mirip sekali dengan perbuatan Nyoo Cing. Manusia busuk macam Ti Cing-ling, sudah sepantasnya dihukum pacung dari dulu, kenapa mesti dikurung dalam penjara? tanya Cong Hoa. Itu semua merupakan keputusan atasan, kami orang bawahan tahu apa?

Cong Hoa mendongakkan kepalanya mengawasi sekejap ruang penjara diujung lorong sebelah depan, lalu katanya lagi, Kalau aku yang mesti dikurung selama dua puluh tahun ditempat seperti ini, kalau bukan edan, aku pasti sudah mampus, mati konyol! Aaai, siapa sih manusia di dunia ini yang rela masuk ke tempat semacam ini? Lo Kaysian menghela napas panjang, Asal tidak melakukan tindak pidana, sekalipun kau ingin masukpun belum tentu akan menemukan pintunya. Aku dengar Ti Cing-ling pada dua puluh tahun berselang adalah seorang pemuda yang tampan, perlente dan romantis, entah bagaimana keadaannya setelah melewati tujuh tahun siksaan disini? gumam Cong Hoa. Kalau soal itu, aku kurang tahu. Aneh, bukankah dia dikurung dalam sel nomor satu? Bukankah setiap hari kau mengontrol penjara dan bertemu dengannya? Siapa bilang dia dikurung disini? Lo Kaysian membelalakkan matanya, Kalau dia disekap disini, tidak nanti orang itu bisa kabur dari penjara. Jadi dia tidak dikurung disini? Benar! Dan dia berhasil kabur dari penjara?

Benar! Lo Kaysian balik bertanya, Masa berita seheboh itupun kau tidak pernah dengar? Cong Hoa mulai meraba ujung hidungnya. ...Setiap kali menghadapi kesulitan, dia punya kebiasaan suka meraba ujung hidungnya sendiri. Dulu, dia dikurung di mana? Sejak kapan kabur dari penjara? Dia disekap dalam sebuah gua granit dibukit Bu-hoasan, sebelah barat kota. Kabur pada tiga belas tahun berselang, dimusim gugur. Bukit Bu-hoa-san? Tiga belas tahun berselang? Cong Hoa termenung sejenak, Lalu siapa yang dikurung dalam ruang penjara nomor satu itu? Cong Hui-miat! Maksudmu Hui-thian-miat-tee, thian-he-tok-cun (Penghancur langit pemusnah bumi, jago tunggal di kolong langit) Cong Hui-miat? Benar! Cong Hoa mengangkat cawan araknya dan pelanpelan menegak habis isinya. Ti Cing-ling tidak pernah dikurung dalam penjara ini bahkan sudah kabur dari penjara sejak tiga belas tahun berselang, apakah Tu Bu-heng dan Un-hwee mengetahui kejadian ini?

Mustahil kalau mereka tidak tahu. Tapi seandainya mereka sudah tahu, kenapa masih memerintahkan Cong Hoa untuk datang menyelamatkan Ti Cing-ling? Pesanggrahan salju penuh diliputi bunga salju, di situ pun ada bunga, aneka bunga yang mekar dengan indahnya. Saat ini baru musim gugur, saat bunga seruni mekar dengan indahnya. Keng Siau-tiap dengan mengenakan baju yang dibawanya dari negeri Hu-siang (Jepang) sedang merawat tanaman bunganya dalam pesanggrahan salju. Dia sangat menguasahi ilmu pertanaman, dia tahu bunga itu jenis apa, kapan harus dirabuk, kapan harus disirami, kapan harus dipotong dan kapan harus dirawat, kemampuannya tidak ada yang mampu menandinginya. Sejak kecil dia memang mendapat didikan yang ketat dari ayahnya, bahkan dia amat menguasahi kepandaian tentang Hoa-liu. Hoa-liu merupakan sejenis ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tanaman bunga dan berasal dari negeri Hu-siang, ilmu ini terbagi dalam dua kelompok besar, pertama tentang ilmu menanam dan kedua tentang ikebana yaitu ilmu merangkai bunga.

Oleh karena Keng Siau-tiap adalah seorang yang sangat ahli dalam hal tanam-menanam, ilmu merangkai bunga yang dimiliki juga nomor satu, maka Nyoo Cing tidak segan mengundang nya datang dari ngeri Husiang khusus untuk merawat pesanggrahan soat-lu nya. Sinar senja di musim gugur meski cerah namun terasa lembut, sinar yang lembut menyinari diatas permukaan salju, menyinari juga diatas aneka bunga yang tumbuh dengan indahnya. Saat senja merupakan saat untuk menyiram bunga dan memotong ranting, tidak heran kalau saat ini merupakan saat yang paling sibuk bagi Keng Siau-tiap. Biasanya, saat inilah raja muda Lam-kun-ong Nyoo Cing datang ke kebun untuk menikmati keindahan aneka bunga. Bunga mawar itu ibarat kecantikan seorang wanita, bunga teratai melambangkan kesucian, bunga bwee melambangkan keteguhan dan kesabaran, Nyoo Cing berkata kepada Siau-tiap, Tahukah kau, kalau bunga seruni itu melambangkan apa? Kesepian, jawab Siau-tiap tanpa berpaling. Kesepian? seru Nyoo Cing agak terperanjat, Kenapa? Bunga seruni itu berbeda dari jenis bunga lainnya yang memiliki banyak kuntum bunga dalam satu ranting,

bunga seruni hanya memiliki sekuntum bunga di setiap batangnya. Siau-tiap memandang sekejap bunga seruni yang sedang bergoyang terhembus angin, kemudian terusnya, Tangkai bunga seruni ramping lagi panjang, bunga tumbuh dipuncak tangkainya, coba lihat sewaktu terhembus angin, mirip sekali dengan seorang manusia yang dengan susah payah mendaki sebuah puncak bukit, tapi setibanya diatas puncak, dia merasa bahwa dirinya hanya seorang diri, saat itulah dia baru menyadari bahwa dirinya telah mencapai kesuksesan dari sebuah kesepian. Kesuksesan dari sebuah kesepian? gumam Nyoo Cing. Apakah kesepian itu? Hidup seorang diri? Tidak ada yang menemani minum arak dan berbincang-bincang? Inikah yang dinamakan kesepian? Tiada orang yang bisa memahami perasaan hatimu, meski punya teman banyak tapi tidak seorang pun yang bisa memahami dirimu, tidak bisa diajak bertukar pikiran, mengeluarkan isi hati, apakah inipun yang dinamakan kesepian? Kalau kau mengatakan benar, maka pendapatmu keliru besar, keadaan seperti itu bukan bernama kesepian, apa yang kau rasakan hanya merupakan perasaan yang kesepian.

Kesepian yang sebenarnya adalah sebuah perasaan hamba yang sudah merasuk ke tulang sumsum, membuat kau merasakan kehampaan yang luar biasa. Walaupun kau sedang bergembira, meski kau sedang tertawa, namun perasaanmu tetap hampa, kau akan tetap merasa sedih, murung dan masgul dihati kecilmu. Nyoo Cing bukan Cuma tahu, diapun sangat memahami, karena perasaan hampa seperti inilah yang setahap demi setahap menggerogoti tulang belulangnya. Orang bilang, menjumpai kegembiraan akan menyegarkan semangat, tapi aku lihat perkataan ini tidak sesuai untukmu, ujar Siau-tiap sambil menatap wajah Nyoo Cing. Oya? Kenapa? Nyoo Cing balik bertanya sambil tertawa. Tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu muncul seorang anak perempuan yang bukan saja berwajah cantik, tubuhnya pun indah dan perangainya lembut, siapa sih yang tidak menginginkan perempuan seperti ini? Benarkah begitu? U-gi memang seorang gadis yang sempurna, belum sehari tiba di pesanggrahan itu, dia sudah dapat bergaul hangat dengan semua orang.

Dia ramah, halus dalam bertutur kata bukan karena dirinya adalah putri dari seorang raja muda, dia tidak pernah berlagak sok. Gadis semacam ini memang merupakan harapan dari setiap orang, tapi bagaimana dengan Nyoo Cing? Ketika secara tiba-tiba dan diluar dugaan dia harus menerima seorang anak perempuan, untuk berapa waktu Nyoo Cing jadi kebingungan sendiri, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana untuk menghadapinya. Seandainya U-gi masih seorang bocah, mungkin dia bisa menggunakan waktu untuk membangun hubungan batin antara ayah dan anak. Seandainya U-gi adalah seorang anak lelaki, hal ini lebih mudah lagi untuk menjalin hubungan, asal arak dan sayur dihidangkan, tiga empat cawan arak kemudian hubungan mereka akan mencair dan dapat berkembang makin akrab. Tapi kenyataannya sekarang, U-gi adalah seorang gadis muda yang cantik jelita, apalagi gadis itu sudah memiliki jalan pikiran sendiri, punya kemampuan untuk mengambil keputusan. Terbayang kembali sewaktu pertama kali bertemu didepan rumah kayu kecil, sorot mata kesedihan dan kemurungan yang terpancar dari balik mata gadis itu, hingga kini masih terkesan dalam benak Nyoo Cing.

Apa yang dia sedihkan? Apa yang dia murungkan? Apakah dia sedih dan murung karena dirinya tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah? Dibalik kelembutan U-gi terpancar keteguhan hatinya, dia tidak pernah sembarangan mengutarakan perasaan hatinya, dia telah mewarisi watak dari Lu Siok-bun, ibunya. Sebenarnya Nyoo Cing ingin sekali bertanya tentang kondisi Lu Siok-bun, dia ingin tahu istrinya kini berada dimana? Dia pun ingin tahu apa yang telah terjadi selama dua puluh tahun perpisahan, dia ingin tahu setelah Lu Siokbun kawin lagi dengan Hoa Coat, apakah dia hidup dengan gembira dan bahagia? Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya ingin dia tanyakan, namun setiap kali terbentur dengan sorot matanya yang murung dan sedih, semua perkataan seolah tertelan kembali ke perut. Inilah sebab utama mengapa dia tidak bersemangat walaupun sedang mengalami satu kejadian yang menggembirakan. Sinar matahari senja masih memancarkan sisa cahayanya dari balik bukit, namun angin telah berhenti berhembus.

Aneka bunga dengan aneka warna tumbuh memenuhi seluruh tanah kebun, sejauh mata memandang aneka bunga itu mirip sekali dengan segerombol ikan yang sedang berenang ditengah samudra luas, penuh dengan tenaga kehidupan, penuh dengan keindahan dari sebuah kehidupan. Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi aneka bunga itu, sementara minum arak, menikmati bunga adalah sebuah acara yang tidak boleh ketinggalan. Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil, membuka penutupnya dan mene-guk isinya, kemudian dia bergumam, Arak wangi, bunga indah, wanita cantik, apa lagi yang diharapkan seorang lelaki? Dia alihkan sorot matanya ke wajah Siau-tiap, lalu katanya lagi, Udara sangat dingin, bagaimana kalau kau juga meneguk secawan arak untuk menghangatkan tubuh? Terima kasih atas pemberianmu. Siau-tiap menerima botol itu dan meneguk satu tegukan, Nyoo Cing memang amat mengagumi type manusia semacam ini. Ketika dia sedang menerima balik botol arak itu dari tangan Siau-tiap, mendadak Nyoo Cing mendengar sebuah suara yang aneh. Semacam suara hancurnya lapisan salju yang tebal.

Menyusul kemudian lamat-lamat terlihat ada dua sosok bayangan manusia berjumpalitan ditengah udara kemudian langsung meluncur ke tubuh Nyoo Cing. Kedua sosok bayangan manusia itu tidak membawa senjata, namun Nyoo Cing dapat merasakan tekanan hawa golok yang sangat menggidikkan, hawa golok yang semakin menghimpit tubuhnya sejalan dengan kemunculan bayangan itu. Tatkala bayangan manusia itu semakin mendekat, tiba tiba Nyoo Cing menyaksikan adalahnya sekilas cahaya tajam dari balik tangan orang-orang itu. ... Kalau tidak membawa senjata, darimana munculnya pantulan cahaya tajam? Nyoo Cing yang sudah siap menangkis dengan tangannya tapi tiba-tiba mengurungkan niatnya, cepat dia mengegos ke samping. Serangan pembunuh gelap yang muncul secara tibatiba itu tidak sampai membuat Siau-tiap ketakutan, dengan jelas dia dapat menyaksikan kalau pembunuh itu menggerakkan tangannya dengan cepat ketika selisih jarak dengan lengan kiri Nyoo Cing tinggal tiga depa jauhnya. Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan membabat, seakan-akan pembunuh itu sedang memegang sebilah golok dan waktu itu sedang membabat lengan kiri lawannya.

Apakah pembunuh itu tidak sadar kalau dia tidak memegang senjata? Siau-tiap mulai tertawa, tapi belum selesai senyumannya mengembang, tiba-tiba wajahnya kembali membeku kaku. Ternyata dia menyaksikan lengan kiri Nyoo Cing mulai berdarah, dia seakan tidak percaya dengan pandangan mata sendiri, setelah mengucak matanya berulang kali, dia coba memastikan penglihatannya. Benar saja, ternyata lengan kiri Nyoo Cing sudah berlumuran darah. Mungkinkah si pembunuh itu benar benar menyembunyikan sebilah golok tidak berwujud didalam genggamannya? Setelah berhasil dengan serangannya, kawanan pembunuh itu tidak melanjutkan kembali serangannya, mereka hanya meng-awasi Nyoo Cing dengan pandangan dingin. Sebaliknya Nyoo Cing sendiri masih bersikap malasmalasan, senyuman malas tersungging diujung bibirnya. Kau adalah satu-satunya korban yang berhasil lolos dari serangan golok salju, kata pembunuh itu dingin. Rupanya senjata yang mereka gunakan bukan senjata biasa melainkan golok yang terbuat dari salju. Selain berwarna putih bening, ketika digunakan didaerah yang diliputi salju maka bentuknya jadi tidak nampak hingga sekilas pandang mirip sekali dengan sebuah senjata tak berwujud.

Tadi, apabila perkiraan Nyoo Cing keliru atau dia agak terlambat menganalisa situasi, mungkin saat ini sebuah lengannya sudah berpisah meninggalkan badannya. Peng-to-ji-sat (Dua pembunuh golok salju) sudah kutemui satu orang, mana pembunuh lainnya? jengek Nyoo Cing kemudian. Hmmm, selamanya tidak pernah ada manusia hidup yang pernah berjumpa dengan pembunuh kedua! suara seseorang menyahut dari balik pepohonan. Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, tiba-tiba tampak selapis tenaga tekanan yang maha dahsyat diiringi selapis demi selapis bunga salju yang tebal menyebar ke empat penjuru, menyusul kemudian tampak sekilas cahaya golok berkelebat lewat, langsung mengancam dada Nyoo Cing. Serangan golok ini bukan saja meluncur datang dengan kecepatan luar biasa bahkan tanpa wujud, kehebatannya mengerikan, meski hanya satu bacokan namun membuat lawan serasa sulit untuk menghindari. Sekalipun waktu itu Nyoo Cing mengenakan mantel yang tebal, tidak urung dia merasakan juga hawa tajam yang menggidikkan hati menekan badannya, tahu-tahu cahaya tajam dari golok salju itu sudah muncul di depan mata.

Dalam posisi demikian, andaikata dia berkelit kekiri maka tulang rusuk sebelah kanannya akan berlubang, sebaliknya bila dia menghindar kekanan berarti lengan kirinya harus di korbankan, sebaliknya jika dia berkelit ke arah timur maka dadanya bakal bertambah dengan dua lubang besar. Atau dengan perkataan lain, ke arah manapun dia menghindar, sulit baginya untuk menandingi kecepatan gerak serangan maut itu. Nyoo Cing adalah seorang jagoan yang sudah banyak pengalaman dalam menghadapi pelbagai pertarungan, namun sepanjang hidupnya belum pernah dia jumpai serangan golok seaneh dan secepat ini. Sreeet! tahu-tahu golok salju itu sudah menyambar lewat dan merobek mantel bulu yang dia kenakan. Pada saat yang bersamaan itulah dengan menempel disisi mata golok lawan Nyoo Cing menggeser badannya ke samping, ketika mata golok yang dingin menempel diatas kulit tubuhnya, ia merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri. Agaknya si pembunuh gelap kaget juga setelah mengetahui babatan goloknya mengenai sasaran kosong, golok salju yang lain segera diayunkan ke udara langsung membabat ke depan dengan gerakan mendatar, kali ini serangannya jauh lebih cepat dan tajam.

Kendatipun serangan yang pertama berhasil dihindari Nyoo Cing, sebenarnya dia sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, belum lagi tenaganya pulih kembali, serangan kedua dari golok salju telah tiba di depan mata. Siau-tiap yang mengikuti jalannya pertarungan itu dari tepi arena ikut bergidik juga setelah menyaksikan keadaan tersebut, tanpa sadar peluh dingin telah membasahi seluruh tubuhnya, dia merasa Nyoo Cing sudah tidak sanggup lagi untuk menghindarkan diri dari serangan yang kedua. Pada detik terakhir yang amat kritis itulah tiba-tiba Nyoo Cing menyambitkan botol arak dalam genggamannya ke arah serangan golok yang kedua itu. Criiing! begitu botol itu meluncur ke udara dan membentur diatas golok salju lawan, diiringi suara gemerincingan nyaring, golok salju itu hancur berantakan. Meskipun Nyoo Cing berhasil memunahkan serangan golok yang kedua, namun hancuran golok salju yang berhamburan ibarat beribu-ribu keping senjata rahasia segera meluncur ke depan menyongsong tubuhnya. Jurus serangan kedua dari golok salju itu sudah termasuk aneh dan luar biasa, namun perubahan jurus yang terjadi saat ini terlebih diluar dugaan siapa pun, tampaknya ancaman yang datang sulit untuk dihindari.

Dengan perasaan bangga dan puas kawanan pembunuh itu siap menyaksikan Nyoo Cing tewas dibawah serangan maut itu. Mendadak hancuran golok salju yang berkepingkeping itu berguguran keatas tanah, seolah terhadang oleh sebuah lapisan dinding yang tidak berwujud, bukan saja serangan itu gagal menerjang lebih ke depan, bahkan seakan kehilangan kekuatan tahu tahu kepingan salju itu sudah rontok semua ke tanah... Diantara hancuran salju yang berguguran, Nyoo Cing menyaksikan sesuatu yang aneh, dia melihat diantara guguran bunga salju itu ternyata terselip pula putik bunga seruni yang berwarna kuning. Entah sejak kapan, tahu-tahu didepan pesanggrahan salju telah muncul seorang pemuda yang berbaju perlente, dalam genggaman orang itu terlihat sebatang bunga seruni berwarna kuning. Hei anak muda! mendadak Nyoo Cing menegur sambil menatap wajah pemuda itu, sudah tahu bunga seruni itu berumur pendek, kenapa kau malah memetiknya? Sudah diselamatkan jiwanya oleh pemuda itu, bukan saja dia tidak tahu berterima kasih, sebaliknya malah menegur orang itu karena memetik bunga seruninya, kecuali Nyoo Cing, siapa lagi yang bisa bersikap begitu?

Bunga seruni meski sudah kupetik, lain waktu dia akan tumbuh kembali, sahut pemuda itu sambil tertawa ewa, Sebaliknya kalau orang sudah mati, memangnya dia bisa bangkit dan hidup lagi? Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, Aku benar-benar heran, bagaimana mungkin kemunculan dua orang manusia salju di pesanggrahanmu bisa lolos dari pengamatanmu? Mungkin lantaran kau kuatir aku terlalu lama hidup menganggur, maka dengan sengaja membiarkan mereka datang kemari untuk mengajakku melemaskan otot, sahut Nyoo Cing tertawa. Anak muda itu tersenyum dan tidak bicara lagi. Dalam pada itu paras muka kedua orang pembunuh itu nampak berubah sangat hebat, seakan melihat ada delapan puluh ekor harimau yang siap menerkam mereka, dengan perasaan terkejut dan keheranan mereka berdiri mematung ditempat. Semula mereka mengira serangan bokongan yang dilakukan kali ini pasti akan berhasil merenggut nyawa lawan, tidak disangka bukan saja serangannya gagal total, bahkan mereka berhasil dibikin keok secara gampang oleh pihak lawan. Serangan maut yang selama ini mereka anggap luar biasa dan sangat mematikan, dalam kenyataan tidak

sanggup membendung serangan lawan yang Cuma memakai sekuntum bunga seruni. Kegagalan berarti kematian, inilah prinsip yang dipegang anggota persilatan selama ini. Kalian boleh pergi sekarang! tiba-tiba Nyoo Cing berkata hambar, Semoga dengan pelajaran yang kalian terima hari ini, dikemudian hari kamu berdua bisa lebih memahami bagaimana cara bersikap sebagai seorang manusia. Kedua orang pembunuh itu nyaris tidak percaya dengan pendengaran sendiri, mereka tidak menyangka pihak lawan mempersilahkan mereka berlalu dalam keadaan hidup. Siau-tiap juga merasa keheranan, serunya tanpa sadar, Kau akan melepaskan mereka dengan begitu saja? Hahahaha...kalau tidak dilepas, memang nya aku harus memelihara mereka sepanjang hidup? Nyoo Cing balik bertanya sambil tertawa tergelak, Aku pun tidak ingin tahu siapa dalang dibalik layar yang perintahkan mereka melakukan percobaan pembunuhan ini. Setelah berhenti sejenak, dia menengok kearah dua orang pembunuh itu, kemudian lanjutnya, Segera pulang dan beritahu kepada tauke dibelakang layarmu,

katakan, jika dia tidak ingin hidup tenteram, lebih baik utus orang yang lebih berguna. Setiap masalah pasti ada si penghutang dan si terhutang, orang-orang diluar lingkup itu tidak lebih hanya boneka boneka yang bekerja berdasarkan perintah, lalu apa gunanya menyusahkan para boneka itu? Inilah prinsip hidup yang dipegang Nyoo Cing selama ini. Maka berlalulah kedua orang pembunuh itu tanpa kekurangan sesuatu apa pun, berbareng dengan menyingkirnya mereka berdua, Nyoo Cing mendengar pula suara tepuk tangan yang keras. Pertama kali mendengar suara tepuk tangan, suara itu berasal dari rumah kayu kecil ditengah hutan, waktu itu yang bertepuk tangan adalah Ti Cing-ling, lalu siapa pula yang bertepuk tangan kali ini? Bagus, bagus sekali, Nyoo Cing memang tidak malu bernama Nyoo Cing, suara tepuk tangan kali ini berasal dari atas dinding pekarangan yang dilakukan seorang nona. Anak perempuan tidak baik memanjat dinding pekarangan, apalagi yang kau panjat adalah dinding pekarangan orang! tegur Nyoo Cing. Aach, perduli amat, asal aku senang, perduli baik atau tidak baik! sahut perempuan itu yang tidak lain

adalah Cong Hoa Apalagi yang kupanjat bukan dinding pekarangan orang lain tapi dinding pekaranganmu. Apa bedanya? seru Nyoo Cing keheranan. Aku memanjat pekaranganmu tentu saja karena mau mencari kau, masa ada tamu berkunjung, kau sebagai tuan rumah malah mengusir tamunya? Itu tergantung tamu macam apa dia! sang pemuda yang selama ini membungkam tiba-tiba ikut menimbrung, Selain itu juga mesti diketahui dulu ada urusan apa datang mencari tuan rumah. Hey, siapa kau? tegur Cong Hoa. Aku bernama Thay Thian, sahut sang pemuda, Suya dari ong-ya! Ooh! Jadi kau adalah Thay Thian yang disebut orang sebagai siau-lautau si kakek kecil? seru Cong Hoa sambil mengamati lawannya lekat-lekat. Siapa pula kau? Aku? Aku bernama Cong Hoa! Oooh, rupanya kau adalah Cong Hoa yang disebut orang sebagai Yajin Huang-hoa, Put-cong-ya-huang (manusia liar bunga latah, tidak disimpan pun tetap latah) timbrung Nyoo Cing dari samping.

Memangnya kau pernah berjumpa dengan Cong Hoa kedua? Untung Cuma ada satu! Mau apa kau memanjat ke dinding pekaranganku? Aku ingin minta bantuanmu, ucap Cong Hoa sepatah demi separah, Aku ingin tahu bagaimana ceritanya semenjak kau selamatkan Cong Hui-miat dari penjara bawah tanah!

BAB 5. Daya pikat kekasih.

Salju kembali turun dengan derasnya. Bunga salju telah menyelimuti seluruh permukaan tanah, menyelimuti juga daun jendela, begitu lembut bunga-bunga salju itu persis seperti bisikan lembut seorang kekasih. Jalan raya tampak bersih bagaikan baru dicuci, walaupun tumpukan salju yang turun semalam sudah disapu ke tepian, namun bunga salju yang turun pagi ini kembali menyelimuti seluruh permukaan. Dalam suasana seperti ini, tampak dua orang masih terjaga, semalaman suntuk mereka telah bergadang.

Tu Bu-heng duduk sambil memandang ke tempat kejauhan, meski dia memegang cawan arak namun tidak setegukpun yang dia minum, hidangan dimeja pun tidak disentuhnya, dalam cuaca sedingin ini tampak hidangan itu sudah mulai membeku. Un Hwee duduk disampingnya sambil menikmati semangkuk bakmi tarik. Dalam cuaca sedingin ini, bakmi tarik yang masih panas memang merupakan hidangan yang sangat nikmat. Namun paras muka Un hwee sama sekali tidak menunjukkan perasaan gembira atau menikmati, berulang kali keningnya berkerut kencang, seolah-olah bakmi kuah yang sedang dimakannya sama sekali tidak lezat. Apa dia benar-benar bisa menyelamatkan Cong Hui-miat? Un Hwee bertanya kepada Tu Bu-heng. Kalau orang lain mungkin tidak sanggup, perlahan Tu Bu-heng menghirup araknya, Tapi bagi Cong Hoa, urusan ini tidak terlalu sulit. Mengapa kau tidak terus terang beritahu kepadanya kalau orang yang akan diselamatkan adalah Cong Hui-miat? Kenapa kau harus membohonginya? Kalau kita berterus terang, belum tentu dia bersedia menolongnya!

Setibanya di penjara bawah tanah, dia pasti akan tahu kalau kita sedang membo-honginya, bagaimana kalau saat itu dia menolak untuk menyelamatkannya? Tidak mungkin, dia pasti akan menyelamatkannya, kata Tu Bu-heng yakin, Setiap orang tentu mempunyai rasa ingin tahu, dia pasti akan berpikir mengapa kita harus membohonginya, apa tujuan membohonginya? Setelah memenuhi kembali cawan dengan arak, kembali dia melanjutkan, Dia pasti pingin tahu apa maksud dan tujuan kita dibalik kesemuanya itu, untuk mengetahui rahasia ini, mau tidak mau dia mesti selamatkan dulu Cong Hui-miat setelah itu baru melihat permainan apa yang sedang kita lakukan. Tapi Lo Kaysian yang menjaga penjara bawah tanah bukan lentera yang kehabisan minyak, Un Hwee masih sedikit sangsi. Dia tak nanti akan minta tolong kepada Lo Kaysian untuk selamatkan Cong Hui-miat. Terus dia akan minta tolong kepada siapa? Nyoo Cing! Nyoo Cing? Un Hwee tercengang, Belum pernah ada seorang manusiapun bisa menyelamatkan seseorang dari tangan Nyoo Cing. Ada! Dan Cong Hoa pasti berhasil! sahut Tu Bu-heng sangat yakin.

Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar seseorang berseru lantang, Terima kasih, terima kasih atas pujianmu! Dengan wajah penuh senyuman Cong Hoa melangkah masuk ke dalam ruangan. Bagus sekali, Tu Bu-heng turut tertawa, Kedatanganmu memang tepat waktu, jadi aku tidak perlu mengulang lagi apa yang barusan kukatakan. Kelihatannya kau sangat memahami watakku, Cong Hoa ambil tempat duduk, menyambar cawan arak dan meneguk isinya, Kau telah memperhitungkan watak dan jalan pemikiranku secara tepat sekali. Sayang aku tidak mengira kalau kau bakal datang seorang diri. Kadangkala watak dan jalan pemikiran seseorang bisa sedikit melenceng dari kebiasaan, kata Cong Hoa sambil menatap tajam Tu Bu-heng, Kalau toch kau bisa meraba watakku sejelas itu, semestinya kau bisa menduga kalau aku pasti akan sangat penurut dengan kata-katamu bukan? Lain kali aku pasti akan memperhatikan lebih seksama. Bagus, tahu salah dan mau berubah itu baru lelaki sejati! jengek Cong Hoa tertawa.

Angin diluar rumah masih berhembus kencang, hembusan angin yang membawa bau lembab daundaunan yang telah membusuk. Walau dipagi hari, lentera masih menerangi ruangan itu, Tu Bu-heng sedang mengawasi api lentera dengan termangu, seolah dia sedang memikirkan sesuatu. Un Hwee tetap sibuk dengan anglo nya, mengkonsentrasikan diri menghangati arak, sikapnya seakan dia sama sekali tidak tersangkut dengan persoalan ini. Cong Hoa menghirup araknya dengan santai, dia sama sekali tidak gelisah pun tidak usah terburu napsu, karena dia tahu Tu Bu-heng tentu akan memberikan sebuah jawaban yang memuaskan. Untuk sesaat suasana jadi hening, ketiga orang itu sama sama membungkam, sama-sama tidak berbicara. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Tu Bu-heng buka suara namun sorot matanya masih tetap bergeming, mengawasi lidah api diujung lentera. Cerita tentang kedatangan pendeta Ku-heng-ceng dari negeri Thian-tok yang membawa rahasia mummi sebenarnya bukan kabar bohong, nada suara Tu Buheng seolah datang dari kejauhan sana, Tujuan kedatangannya yang paling utama adalah membawa sebuah tugas yang amat rahasia. Tugas rahasia apa?

Dia datang dengan membawa sebuah Sebuah nama? Benar, nama seorang pengkhianat negara, seorang penjahat penjual negara, Tu Bu-heng menerangkan, Dua puluh tahun berselang, seorang pejabat kerajaan telah bersekongkel dengan seorang jenderal perang dari negeri Thian-tok, mereka berencana berkhianat dan melakukan pemberontakan. Setelah berhenti sejenak, sambil mengalihkan sorot matanya mengawasi wajah Cong Hoa, lanjutnya, Nama yang dibawa pendeta Ku-heng-ceng adalah nama si pengkhianat kerajaan itu. Tampaknya Cong Hoa menaruh minat yang besar terhadap kejadian yang menyangkut keamanan kerajaan. Terdengar Tu Bu-heng berkata lebih jauh, Jauh sebelum pendeta Ku-heng-ceng berjum-pa dengan Ti Cing-ling, kami telah melakukan kontak dengannya. Maksudmu, kau dan Un Hwee sianseng? Betul, sayangnya ketika kami berhasil bertemu dengan pendeta itu, napasnya sudah tinggal satu dua. Kenapa? Rupanya ada orang yang datang lebih awal daripada kami, di tempat yang dijanjikan kami jumpai pendeta itu sudah terkapar ditanah, saat itu dia sedang

menulis sesuatu dilantai dengan menggunakan hidungnya yang penuh berpelepotan darah. Menulis dengan hidung? gumam Cong Hoa keheranan, Hey, apa kau lupa, kalau ingin menulis sesuatu harus memakai tangan? Tentu saja aku tahu, tapi saat itu dia sudah tidak mampu menulis dengan tangannya lagi, Un Hwee sianseng menerangkan, Sebab kedua tangan dan kedua kakinya sudah ditebas orang hingga kutung. Cong Hoa paling benci dengan tindakan kejam seperti ini, tidak aneh dia langsung menggeram gusar. Kelihatannya orang yang berusaha membunuhnya mengira dia sudah mati, ujar Tu Bu-heng lagi, Siapa sangka ilmu yang dilatih pendeta Ku-heng-ceng adalah kepandaian untuk mempertahankan diri, daya kemampuannya untuk tetap hidup luar biasa besarnya. Tapi sayang baru menulis dua huruf dia sudah keburu putus nyawa, sambung Un Hwee sianseng, Selama hidup belum pernah kusaksikan satu sorot mata ketakutan yang begitu mengerikan daripada sorot matanya. ... Tidak jelas ketakutan itu lantaran dia merasa ngeri dengan sang pembunuh? Atau dia ketakutan karena harus menghadapi maut? Mungkin saja perasaan takutnya lantaran alasan lain, kata Tu Bu-heng sambil menghela napas panjang,

Sayangnya, rahasia ini telah dia bawa pergi untuk selamanya. Tapi kadangkala satu huruf pun sudah bisa mengungkap banyak rahasia, apalagi dia telah menulis dua huruf, apa yang dia tulis? tanya Cong Hoa. Dia hanya meninggalkan dua huruf, Tanpa dosa! Tanpa dosa? seru Cong Hoa tercengang. Benar! Lalu apa arti dari kedua hurud itu? Dia melambangkan apa? gumam Cong Hoa, Tanpa dosa itu dimaksudkan pembunuhnya yang tidak berdosa atau dia menjelaskan dirinya yang tanpa dosa? Kami butuh tujuh belas tahun untuk berpikir dan menganalisa sebelum akhirnya berhasil memecahkan rahasia kedua huruf itu, ucap Un Hwee sianseng. Tujuh belas tahun? Wouw... satu perjuangan yang luar biasa, lalu rahasia apa yang berhasil kalian singkap? Ternyata kedua huruf itu melambangkan nama seseorang, Tu Bu-heng menerangkan. Nama dari si pengkhianat penjual negara itu? Mula mula kamipun menduga begitu, ujar Tu Buheng setelah menghirup arak setegukan, Semua arsip dan buku catatan yang ada didalam istana telah kami

bongkar, namun tidak seorangpun yang ada hubungannya dengan kedua huruf itu. Kami butuh waktu dua tahun lamanya untuk membongkar pula arsip yang berhubungan dengan pendeta Ku-heng-ceng, Un Hwee sianseng berkata pula setelah memenuhi cawan Cong Hoa dengan arak, Ternyata pendeta itu berasal dari marga Cong, dia mempunyai seorang putra yang sudah belasan tahun hidup berpisah, putranya itu bernama Cong Bo-cui! (Cong tanpa dosa) Cong Bo-cui? Cong si Tanpa dosa? Masa sang anak membunuh bapaknya sendiri? seru Cong Hoa tercengang. Menurut hasil penyelidikan kami, ternyata maksud kedatangan Ku-heng-ceng masuk ke daratan kali ini selain hendak melaksanakan tugas rahasia itu, dia pun bermaksud untuk menjumpai putranya. Kini putranya berada di mana? Apa sangkut pautnya dengan masalah yang berhu-bungan dengan Cong Hui-miat ? Ternyata Cong Hui-miat tidak lain adalah Cong Bocui! Benar, kata Un Hwee sianseng pula, Kami duga, setelah kematian pendeta itu, seluruh rahasia yang dia bawa tentu sudah terjatuh ke tangan putranya.

Oleh sebab itu kami inginkan kau pergi menolong Cong Hui-miat, sambung Tu Bu-heng, Cuma kamipun berharap jangan sampai kejadian ini diketahui pihak kerajaan, termasuk Nyoo Cing sekalipun. Setelah melewati sebuah jembatan kecil yang berlapiskan salju, sebuah hutan bunga bwee terbentang luas. Sisi hutan bwee adalah ujung dari sebuah air terjun. Sebuah air terjun yang memuntahkan airnya dari tengah bukit, melatar belakangi sebuah hutan bunga bwee yang luas, pemandangan semacam ini persis seperti sebuah lukisan indah. Di dalam lukisan itu terdapat pula sebuah rumah kecil, juga ada manusianya. Manusia itu berpakaian panjang berwarna hijau, dandanannya amat rapi bahkan rambutnya juga disisir hingga berkilap. Di tangan kanannya terlihat menggotong sebuah gentong air, sementara tangan kirinya nampak kosong.... karena dia memang berlengan tunggal. Usianya seputar tujuh puluh tahunan, tapi bila diamati dengan teliti, usianya paling banter baru empat-lima puluh tahunan. Usianya memang sukar diduga, waktu itu dia sudah menggotong tong berisi air melewati hutan bunga bwee memasuki rumah kayu. Dalam bangunan itu meski tiada

perabotan yang mewah namun segala sesuatunya nampak bersih mengkilap, tidak sedikit debu pun yang kelihatan. Disudut ruangan terdapat sebuah meja bulat, lelaki setengah umur itu mengambil selembar kain lap dari dalam tong air kemudian mulai membersihkan meja. Dia membersihkan dengan amat lambat tapi cermat, seakan-akan tidak satu debu pun yang boleh tertinggal disitu. Lan toako, kau sedang membersihkan ruangan? dari balik ruangan terdengar suara teguran seorang wanita. Daripada menganggur hujin! sahutnya sambil berpaling. Orang ini tidak lain adalah Sin-gan-sin-kiam (mata sakti pedang sakti) Lan Toa-sianseng, Lan It-ceng. Walaupun wajahnya nampak jauh agak tuaan namun mimik mukanya sama sekali tidak berubah, hanya sorot matanya tidak setajam tempo hari. Sebagaimana diketahui, demi menjajal kepandaian Nyoo Cing dalam menggunakan senjata kait perpisahan, dia tidak segan telah mengorbankan sebuah lengannya. Dia pernah berjanji kepada Nyoo Cing untuk tetap tinggal di rumah kayu diluar hutan belukar itu untuk menemani Lu Siok-bun hingga sepulangnya Nyoo Cing.

Tapi mengapa dia berada disana saat ini? Apakah dia tersangkut dengan peristiwa lenyapnya Lu Siok-bun?

Tirai kamar disingkap orang dan muncullah seorang perempuan setengah umur. Perempuan itu berparas putih pucat, sepasang matanya yang semula indah kini nampak sudah kehilangan pamornya, namun tidak menutupi sifat kekerasan hatinya. Wajah itu hambar tanpa perasaan, seolah dia sudah merasa hambar dalam menghadapi hiruk pikuknya kehidupan duniawi. Melihat kemunculan perempuan itu, Lan Toa-sianseng segera maju menghampiri sambil menegur, Hujin, kesehatanmu belum pulih, kenapa turun dari pembaringan? Aku sudah bosan berbaring terus, tulang belulangku terasa pada kendor, jawaban perempuan itu kedengaran begitu tawar, begitu kesendirian dan kesepian, Mumpung cuaca hari ini agak segar, aku ingin sedikit beroleh raga. Lan Toa sianseng segera membimbingnya untuk duduk dibangku dekat jendela, perempuan itu duduk dengan perlahan lalu membuang pandangan matanya keluar jendela, mengawasi hutan bunga bwee dikejauhan sana.

Tampaknya bunga bwee di tahun ini berkembang lebih awal, katanya lagi perlahan, Ini artinya musim dingin akan datang pula lebih cepat. Benar, Lan Toa-sianseng mengangguk, Itulah sebabnya bunga bwee tumbuh lebih semarak dan lebat di tahun ini. Kembali perempuan itu mengalihkan sorot matanya ke tempat kejauhan sana, setelah lama sekali dia baru berkata lagi, Aaai... entah bagaimana dengan bunga bwee di sana, apakah tahun ini ikut mekar dengan indahnya? Pasti mekar sangat indah, suhu udara disana jauh lebih dingin daripada tempat ini. Kalau tidak ada yang merawatnya, apakah bungabunga itu bisa mekar? Dia pasti akan merawatnya dengan baik! sahut Lan Toa-sianseng setelah termenung berapa saat. Suasana kembali hening berapa saat lamanya, tibatiba perempuan itu menarik kembali pandangan matanya dan mengawasi wajah Lan Toa-sianseng lekatlekat, tanyanya lirih, Apakah dia....dia masih hidup? Pasti masih hidup! jawab Lan Toa-sianseng penuh keyakinan, Ada semacam manusia di dunia ini yang tidak gampang mati, kebetulan dia termasuk manusia jenis ini.

Hari ini sudah bulan sembilan tanggal dua puluh delapan, berarti dua puluh tahun telah lewat... air mata mulai mengembang diujung mata perempuan itu. Hujin, apakah perlu aku menemanimu pergi ke sana? tanya Lan Toa-sianseng perlahan. Waktunya belum tiba, mana mungkin kita boleh melanggar janji? sahut perempuan itu sedih, Dua puluh tahun sudah kita lewati, kenapa mesti kita hiraukan sisa waktu yang terus berjalan? Aaai, benar juga, Lan Toa-sianseng menghela napas panjang. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Hoa-ji saat ini? Mungkin dia sudah tumbuh semakin dewasa... Pasti dia tambah cantik dan pintar! senyuman yang menghiasi ujung bibir Lan Toa-sianseng penuh diliputi kelembutan yang mendalam. Walaupun dia tahu mengenang kembali masa lalu ibarat meneguk arak yang getir, namun perempuan itu seakan rela mencicipi arak kegetiran itu. Bulan sembilan tanggal dua puluh delapan, selewat tengah hari, beruntung sinar matahari masih memancarkan cahayanya yang hangat. Sinar sang surya yang lembut menembusi daun jendela, menerangi kulit tubuh Hoa U-gi yang halus licin bagaikan kaca, air dalam bak kayu masih tampak

hangat, dia berbaring didalam air dengan bermalasmalasan. Walaupun berada dalam suasana santai, namun perasaan Hoa U-gi sangat tidak gembira. Padahal bisa mandi air hangat ditengah cuaca musim salju yang begini dingin merupakan satu kejadian yang sangat menggembirakan, namun apabila seseorang sedang dirundung pikiran dan perasaan seperti apa yang dialaminya saat ini, mungkin mereka pun ikut merasa murung. Sejak tiba di istana Ongya-hu tiga hari berselang, dia baru dua kali bersua dengan ayahnya, apakah dia kelewat sibuk sehingga tidak punya waktu? Ataukah sedang berusaha menghindarinya? Sejak kecil dia sudah mendambakan bisa bersua dengan ayahnya, seringkaki dia menciptakan sebuah bayangan yang indah tentang ayahnya itu, bahkan kadangkala, ditengah mimpi pun dia berharap senyuman hangat ayahnya secemerlang bintang di langit. Kadangkala diapun memungut daun kering yang berguguran di halaman rumah dan menganggapnya sebagai surat yang dikirim ayahnya, menyimpan surat itu dengan penuh seksama, lalu ketika malam sudah tiba, dia akan mengeluarkannya dan memandangnya dengan penuh kerinduan.

Segala sesuatu yang dia lakukan pertanda betapa besarnya dia mengharapkan kehadiran seorang ayah, tapi kini...? Biarpun hidup seatap dengan ayahnya, namun hubungan mereka terasa lebih asing daripada orang dijalanan. Pikir punya pikir, Hoa U-gi merasa semakin sedih, tanpa terasa butiran air mata jatuh berlinang membasahi pipinya. ... Mengapa kenyataan selalu berbeda dengan impian? Air hangat dalam bak kayu semakin mendingin, Hoa U-gi tidak melanjutkan lamunannya... air yang dingin tidak lebih menyiksa daripada dinginnya perasaan hati. Daripada berjumpa, lebih baik tidak, kini, Hoa U-gi dapat menyelami apa arti yang sebenarnya dari perkataan itu. Butir air mata perlahan-lahan meleleh keluar membasahi pipinya dan menetes ke dalam air, riak air yang terjadi bagaikan pergolakan perasaan hatinya saat ini. Nona, kau baik-baik saja bukan? tiba-tiba terdengar suara sapaan dayang dari luar pintu, Ong-ya sedang menunggu bersantap.

Berbinar sepasang mata Hoa U-gi, mimik mukanya sedikit berubah tapi tidak ketahuan dia sedang girang? Ataukah kaget? Dua orang dengan delapan macam hidangan tertata rapi dimeja, selain aneka macam sayuran, hidangan daging musang buah yang langka pun ikut dihidangkan diatas meja. Apa kau terbiasa dengan hidangan disini? tanya Nyoo Cing. Asal kau temani, hidangan apa pun akan terasa lezat, sahut Hoa U-gi dengan kepala tertunduk. Nyoo Cing merasakan hatinya pedih bagaikan ditusuk jarum tajam, dia awasi wajah gadis itu sekejap, kemudian baru katanya lagi, Mumpung masih panas, makanlah yang banyak, nanti kalau sudah dingin malah kurang lezat. Sembari berkata dia menghabiskan isi cawannya kemudian menuang lagi secawan penuh arak. Ayah... nada panggilan ini kedengaran begitu asing, Jangan banyak minum arak, kurang baik untuk kesehatan! Jarang kita bisa makan bersama, aku... ayah sangat gembira, apa salahnya minum sedikit lebih banyak? Kembali dia meneguk habis isi cawannya.

Langit semakin gelap, bunga salju kembali berhamburan diseluruh angkasa, udara yang semakin dingin membuat perasaan hatinya semakin gundah. Apa... apakah ibumu baik baik saja? tanya Nyoo Cing lirih. Sebuah pertanyaan yang amat bodoh. Hoa U-gi mendongakkan kepalanya, mengawasi wajah Nyoo Cing sekejap lalu balik bertanya, Bagaimana pula dengan kehidupan ayah selama dua puluh tahun terakhir? Aku... Nyoo Cing tidak tahu bagaimana mesti menjawab pertanyaan ini. Ibu pernah berkata begini kepadaku, nada suara Hoa U-gi kedengaran sedih dan murung, Di dalam perjalanan hidupnya kali ini, dia pernah hidup, pernah mencintai, pernah datang dalam kehidupan ini, apa pun akibat yang harus dideritanya, dia tidak pernah akan menyesal. Pernah datang dalam kehidupan, pernah hidup dan pernah mencintai seseorang, kalau seseorang sudah pernah mengalami ketiga hal itu, apalagi yang harus disesalkan? Pernah datang, pernah hidup, pernah mencintai? Nyoo Cing mengangkat cawannya sambil termangu, entah sampai berapa saat kemudian dia baru melanjutkan, Mengapa manusia harus hidup? Apa

tujuan manusia hidup di dunia ini? Karena duit? Karena cinta? Atau karena ingin berkarya? Setelah menghela napas panjang, terusnya, Sayang sekali... apa pun tujuanmu hidup, kemurungan dan kemasgulan tetap akan menyertai kehidupanmu. Dia teguk habis isi cawannya, arak yang mengalir masuk melalui tenggorokan ke dalam lambung terasa panas bagaikan dibakar, namun sepanas apa pun tidak akan mengatasi rasa sakit yang dia rasakan dalam hatinya. Hoa U-gi mengawasi ayahnya dengan penuh rasa sayang, namun dia hanya termangu- mangu. Air mata mengembang dalam kelopak matanya membuat pandangan jadi kabur, sekabur cahaya bintang di langit yang makin redup. Ayah, apakah dia... benar-benar selihay apa yang dikatakan orang selama ini? tiba-tiba Hoa U-gi bertanya. Yang dia maksudkan sebagai dia adalah Ti Cingling. Aku hanya tahu, sejak dulu hingga sekarang, kaum sesat tidak akan bisa menangkan kaum lurus, sahut Nyoo Cing. Lalu, mengapa kau tidak berusaha untuk mengalahkannya dan menangkap lagi dirinya?

Setiap orang yang berlatih silat, disaat ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan maka dia akan mulai merasa kesepian, karena saat itu akan semakin sulit baginya untuk menemukan seorang lawan yang benar-benar sanggup menghadapinya. Oleh karena itu ada sementara orang yang tidak segan mengharapkan kekalahan, karena dia beranggapan, asal dapat berjumpa dengan seorang lawan yang betul-betul tangguh, biar kalah pun kekalahan itu akan diterima dengan gembira. Sekalipun begitu, perasaan Nyoo Cing saat itu sama sekali tidak gembira, pikiran dan perasaan hatinya sangat kalut.. ... Ketika secara tiba-tiba dia mendapat tahu kalau orang yang dicintai belum tewas, ketika secara tiba-tiba dia tahu kalau dirinya punya keturunan dan keturunannya mendadak berdiri dihadapannya, bagaimana mungkin perasaan hatinya tidak kalut? Waktu itu dia pun sadar, bila harus berduel melawan jago tangguh macam Ti Cing-ling dengan membawa perasaan hati sekalut ini, kecil sekali kemungkinannya untuk meraih kemenangan. Dia bukan lelaki yang takut mati, tapi dalam keadaan begini, dapatkah dia mati dengan begitu saja?

BAB 6. Pengalaman Cong Hoa.

Musim gugur sudah mencapai ujungnya, daun kering berguguran memenuhi seluruh permukaan bumi. Biarpun angin yang berhembus sudah makin mereda, namun bunga salju mulai berguguran di seluruh udara. Dalam suasana begini, langit terasa begitu suram, sesuram perasaan hati manusia yang sedang dirundung kesedihan. Jalan perbukitan itu Berliku-liku tidak rata, namun sambung-menyambung dari kaki bukit menuju ke arah kota. Meski Cong Hui-miat mengenakan satu stel baju yang masih baru, namun tidak dapat menutupi raut mukanya yang penuh kesendirian, kesepian dan penderitaan yang amat menekan batinnya. Terutama bekas bacokan golok yang melintang diantara alis matanya, terkesan perasaan sendu yang mendalam. Biarpun dia mengayunkan langkahnya cukup cepat, namun kecepatannya sangat terbatas, penghidupannya selama banyak tahun dalam penjara

membuat semangat, kekuatan dan pamornya terlibas habis. Dengan wajah penuh keheranan dan rasa ingin tahu yang besar Cong Hoa mengawasi cara Cong Hui-miat berjalan, dia merasa cara orang ini berjalan amat berbeda dengan kebanyakan orang, berjalan selangkah demi selangkah. Kaki kirinya selalu melangkah lebih duluan kemudian baru disusul dengan ayunan langkah kanannya, setiap kali melangkah kelihatan sekali kalau dia amat tersiksa dan menderita. Apakah dia berjalan dengan cara begini lantaran sudah kelelahan? Ataukah sepasang kakinya memang sudah cacad? Cong Hoa pingin sekali menanyakan persoalan ini, dia ingin tahu mengapa dia berjalan dengan cara begitu? Namun akhirnya gadis itu mengurungkan niatnya, dia memang selalu menghargai rahasia pribadi seseorang. Dia beranggapan, setiap orang berhak untuk merahasiakan masalah pribadinya yang tidak ingin diketahui orang lain, setiap orang pun berhak untuk menolak menjawab pertanyaan yang tidak berkenan di hatinya. Sejauh mata memandang hanya salju putih yang menyelimuti seluruh permukaan, bunga salju yang masih melayang turun tiada hentinya salju telah mengotori

rambut, wajah dan ujung hidung Cong Hui-miat, membuat ayunan langkahnya semakin melambat. Anehnya, dia sama sekali tidak berusaha untuk menyeka wajahnya dari noda bunga salju, orang ini seakan sudah begitu malas untuk hidup sehingga dia enggan untuk melakukan perbuatan apapun. Dengan susah payah Cong Hoa telah selamatkan dia dari siksaan penjara, walaupun nona ini tidak berharap orang lain menangis dihadapannya karena terharu, paling tidak orang itu harus mengucapkan rasa terima kasih kepadanya. Tapi dia tidak melakukannya. Dengan pandangan yang sangat tenang dia hanya mengawasi Cong Hoa sambil bertanya hambar, Kau ingin aku melakukan apa untukmu? Mula mula Cong Hoa melengak, akhirnya dengan rasa geli bercampur mendongkol ia tertawa getir dan menjawab, Tidak perlu melakukan apa pun, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Kembali Cong Hui-miat mengawasinya sesaat, setelah itu dengan cara berjalan yang sangat aneh ia mulai meninggalkan kota menuju ke tanah perbukitan itu. Tentu saja Cong Hoa harus mengikuti dari belakangnya, tujuannya menolong orang ini tidak lain karena dia ingin tahu rahasia dibalik Mummi yang penuh misteri itu.

Dia masih berjalan terus, walaupun tidak terhitung lamban namun setiap langkahnya dilalui dengan penuh siksaan. Kalau berjalan terus dengan cara begini, harus menunggu sampai kapan dia baru tiba ditempat tujuan? Dia tidak tahu, bahkan untuk dibayangkan pun malas. Setelah mulai berjalan, dia tidak ingin berhenti lagi, sekalipun ancaman maut sudah menanti dihadapannya, dia tidak akan menghentikan ayunan kakinya. Sebelum mencapai tujuan, dia tidak akan berhenti. Waktu itu hari masih pagi, memandang jauh ke kaki bukit didepan sana, lamat-lamat kelihatan bayangan sebuah kota. Jalan raya yang membentang dalam kota itu meski tidak terlalu panjang dan lebar, namun disisi kiri kanannya terdapat puluhan buah warung dan toko. Saat itu suasana dijalanan itu cukup ramai, bahkan seramai suasana di kotaraja, aneka macam barang dijual disitu, kaki lima memenuhi pinggir jalan. Tiba di tempat seperti ini, sepasang mata Cong Hoa segera berbinar, dia tidak menyangka kalau Cong Huimiat akan menuju ke tempat seperti ini.

Sejak pandangan pertama Cong Hoa sudah menyukai suasana di kota ini, dia merasa setiap orang dan benda yang ada disitu mendatangkan kesan yang mendalam baginya, keramah tamahan penduduk disitu tebal dengan perasaan kemanusiaan. Para nona dengan dandanan yang sederhana bergerombol dimuka penjual kelontong, mencari bedak dan gincu yang memenuhi selera mereka. Sementara si tauke penjual kelontong, mencuri kesempatan untuk diam diam melahap tahu si nona bergaun merah. Nona bergaun merah itu segera tertawa cekikikan, dengan wajah memerah lantaran jengah dia buru buru berlalu dari situ. Seorang nyonya setengah umur yang gemuk dengan membawa seorang bocah yang rambutnya dikuncir seperti sebuah mercon, mendekati penjaja makanan kecil dan membeli gula gulali. Tiga orang kakek yang wajahnya sudah penuh keriput dimakan usia, duduk bergerombol disudut dinding dan menikmati air teh sambil mengisahkan kembali kegagahannya di masa muda dulu. Seorang lelaki kekar berbaju kasar, dengan mendorong sebuah kereta barang bergerak dari ujung jalan sana menuju kemari, sambil mendorong keretanya dia berteriak minta jalan.

Sementara disudut lain, serombongan penjual akrobatik sedang memainkan topeng monyet. Tempik sorak yang gegap gempita mengiringi pertunjukkan itu, banyak malah diantara penonton yang sudah kerogoh kocek dan melemparkan kepingan uang ke tengah arena. Kehidupan yang manusia, suasana kota yang tebal mendatangkan perasaan yang nyaman bagi Cong Hoa, dia berpendapat, bila seseorang dapat mempertahankan suasana seperti ini, maka tidak nanti akan terjadi kejahatan disitu. Bagi Cong Hui-miat sendiri meski dia tidak dapat mendalami suasana seperti itu, namun kepedihan yang tersirat diantara kerutan alis matanya, kini nampak jauh lebih tawar. Tanpa terasa mereka telah tiba dibagian tengah dari jalan raya itu, persis dekat lapangan dimana pertunjukkan topeng monyet sedang berlangsung. Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang meneriakkan dua kata dengan lantang, kemudian semua peristiwa pun terjadi dalam waktu sekejap, sedemikian cepatnya sampai sebelum Cong Hoa mengetahui apa yang terjadi, semuanya telah berakhir. Ternyata dua kata yang diteriakkan itu adalah kata: Tanpa dosa.

Belum habis teriakan itu, si monyet yang semula sedang melakukan pertunjukkan topeng monyet itu sudah melompat melewati gerombolan orang banyak dan langsung mencakar wajah Cong Hui-miat. Bersamaan waktunya, perempuan setengah umur penjual gula gulali itu pun sudah turun tangan pula, dengan satu ayunan kuat, gulali yang ada ditangannya sudah disodokkan ke dada orang she-Cong. Bukan Cuma begitu, tiga orang kakek yang sedang duduk bergerombol pun tiba-tiba melejit ke udara, lalu dengan gerakan tubuh yang gesit mereka menyerang sepasang kaki lawan, sedangkan lelaki yang mendorong kereta barang telah memutar keretanya lalu diterjangkan ke tubuh Cong Hui-miat. Seluruh serangan yang dilancarkan hampir semuanya ditujukan ke tubuh Cong Hui-miat, ketika Cong Hoa baru saja ingin maju memberi bantuan, tiba-tiba si nona bergaun merah yang baru saja membeli bedak itu sudah melemparkan bedak ditangannya ke wajah perempuan itu. Dalam waktu singkat bedak beterbangan di udara, menutupi seluruh pemandangan disitu, untung sebelum datangnya serangan dia sudah menyadari kalau atap rumah merupakan tempat yang paling aman untuk meloloskan diri. Maka sambil memejamkan matanya dia melejit ke udara, sesaat sebelum melompat, ia menyempatkan diri

berteriak ke arah Cong Hui-miat, Cepat sembunyi ke atap rumah! Dalam suasana yang amat kabur dia seolah menyaksikan Cong Hui-miat melompat naik ke atap rumah, dia pun lamat-lamat menyaksikan si tauke penjual barang kelontong meloloskan sebatang cambuk panjang kemudian diayunkan ke udara untuk menggulung tubuh Cong Hui-miat. Bagaikan seekor ular berbisa, cambuk panjang itu langsung menjerat tengkuk orang she-Cong itu. Bagaimana kejadian selanjutnya, dia tidak tahu. Waktu itu, meski tubuhnya sudah berada diatap rumah, namun matanya tidak mampu dibuka lantaran kemasukan bedak. Dalam keadaan begini, dia hanya bisa mendengar dengan menggunakan telinga, tapi tempat yang semula ramai dan penuh suara hiruk pikuk itu tiba tiba berubah jadi hening, sepi, tidak kedengaran sedikit suara pun, sedemikian sepinya hingga mirip dengan suasana di tanah pekuburan. ... Sebenarnya apa yang telah terjadi disitu? ...Apakah Cong Hui-miat berhasil kabur dari sergapan itu? ...Mengapa orang-orang dikota ini menyerang Cong Hui-miat secara serentak?

... Kenapa secara tiba-tiba suasana jadi hening, sama sekali tidak kedengaran suara? Cong Hoa ingin sekali segera mengetahui jawabannya, apa mau dikata sepasang matanya yang kemasukan bedak terasa pedih sekali, sedemikian pedihnya sehingga tidak mampu dibuka kembali. Ada angin berhembus lewat. Sebuah papan nama yang ada disisi jalan bergoyang kencang ketika terhembus angin, goncangan keras menimbulkan suara denyutan yang nyaring. Papan nama itu sebenarnya merupakan papan nama sebuah toko, tapi kini keadaannya sudah rongsok dan lapuk, persis seperti gigi orang tua. Dibalik noda darah yang mengotori papan nama itu, lamat-lamat masih terbaca berapa tulisan, toko keluarga Li. Sayang suasana dijalan raya itu jauh lebih parah ketimbang keadaan papan nama tersebut. Cong Hoa berdiri ditengah jalan dengan termangu, berdiri sambil mengawasi papan nama yang bergoyang dihembus angin, menanti hembusan angin telah berlalu, dia baru perlahan-lahan mengalihkan pandangan matanya ke ujung jalan. Walaupun tempat itu bukan sebuah kota besar, namun kota ini amat ramai, tamu yang kebetulan dalam perjalanan dari utara ke selatan atau sebaliknya, selalu akan menginap selama dua-tiga hari disitu.

Tapi sekarang, keadaan kota itu seolah sebuah kota kecil yang sudah tiga tahun tidak pernah dihuni manusia. Coba kalau bukan masih terlihat sisa-sisa barang dagangan yang berserakan di sepanjang jalan, Cong Hoa akan mengira dia sedang bermimpi buruk. Seburuk apa pun mimpi itu suatu ketika orang akan mendusin kembali dari tidurnya, tapi impian buruk yang dialami Cong Hoa, sampai kapan baru bisa mendusin dari tidurnya? Apakah Cong Hui-miat masih hidup? Atau sudah mati? Mengapa penghuni kota itu berniat membunuhnya? Kini, kemana perginya orang-orang itu? Mengapa dalam waktu sekejap sudah lenyap tidak berbekas? Mengapa Cong Hui-miat mengajaknya kemari? Mungkinkah kota kecil ini adalah kota dimana Ku-heng-ceng menemui ajalnya? Iblis bengis macam apa yang bersembunyi dalam kota itu? Apakah dia sedang menanti kedatangan orang asing, lalu menelannya bulat-bulat? Tengah hari baru saja lewat, ada sinar matahari, ada angin, tapi tidak ada salju. Dalam akhir musim gugur yang sangat dingin ini, hari ini merupakan hari yang paling hangat udaranya, namun sayang Cong Hoajustru merasakan munculnya hawa dingin dari dasar telapak kakinya dan merasuk ke dalam tulang sumsumnya. Dalam keheningan yang mendekati suasana mati, hanya angin yang berhembus melewati jendela menimbulkan suara desis, tapi dalam suasana dan

keadaan seperti ini, suara itu justru lebih mirip suara depakan sayap kelelawar yang sedang terbang keluar dari pintu neraka. Mengapa Cong Hoa masih berdiri tenang disana? Dia sedang memikirkan semua peristiwa yang baru saja dialami? Ataukah sedang menantikan sesuatu? Kalau sedang membayangkan kembali semua peristiwa yang baru lewat, sejak awal hingga akhir dia tidak pernah bisa menyaksikan secara jelas, lalu apa pula yang mesti dibayangkan? Jika sedang menantikan sesuatu, apa pula yang sedang dia nantikan? Menanti kemunculan orang-orang tadi? Atau kematian? Kalau kematian? Apakah kematian yang kedua kalinya? Langit sudah mendekati senja, salju mulai turun membasahi permukaan tanah. Ada salju, angin pun tetap berhembus. Diantara deru angin, mendadak dia menangkap suara nyanyian... Suara nyanyian yang muncul dari balik keheningan, muncul dari balik kemisteriusan, seolah-olah nyanyian yang datang dari neraka. Diujung jalan kehidupan, lenyap musnahkan manusia. Manusia tengah diujung jalan kematian, belum putus nyawa sudah terlanjur musnah.

Begitu mendengar suara nyanyian itu, dari balik pandangan mata Cong Hoa yang kosong, tiba-tiba terbesit cahaya yang sangat aneh. ...Terlepas seaneh apapun penampilannya waktu itu, yang pasti bukan penampilan kesedihan atau penderitaan. Suara nyanyian makin lama semakin mendekat, akhirnya muncullah sang penyanyi, ternyata dia adalah seorang pengemis. Ternyata pengemis itu berjalan keluar dari dalam ruang toko dimana masih tergantung papan namanya, toko keluarga Li. Pengemis itu bernyanyi sambil menundukkan kepalanya, dalam genggaman tangannya dia memegang sebiji goanpo, langkahnya tidak terhitung cepat, namun dia pun tidak pernah memperhatikan jalanan. ... Apakah dia sudah tahu kalau kota kecil ini tidak berpenghuni? Apakah dia tahu kalau sesosok mayatpun tidak ada disitu maka dengan perasaan lega dia berjalan sambil menundukkan kepala? Cong Hoa masih berdiri disitu, berdiri di satu-satunya tempat dijalanan itu yang masih bisa dilewati, maka tidak ampun pengemis itupun menumbuk tubuh Cong Hoa.

Kenapa kau berdiri disitu sehingga tertabrak aku? teriakan pengemis itu ternyata keras sekali. Cong Hoa sangat geli, biasanya dia memang geli bila bertemu manusia macam begini. Sobat, siapa namamu? Aku bukan sahabatmu, kaupun bukan sahabatku! pengemis itu melotot besar, Buat apa kau menanyakan namaku? Cong Hoa masih tetap tersenyum. Sobat, siapa kau? kembali bertanya. Aduuh... bagaimana sih kau ini? Aku paling benci kalau ada orang bertanya begitu kepadaku, siapa pula kau? teriakan pengemis itu semaian keras. Aku justru paling senang bertanya begitu, siapa kau? Tampaknya pengemis itu memang bloon, biarpun satu pertanyaan yang sederhana namun dia mesti mengulangnya berulang kali seperti orang kebingungan saja. Sementara Cong Hoa akan berganti cara lain, pengemis itu sudah berkata duluan, Dengarkan baikbaik, sekarang akan kukatakan siapa aku.

Sambil menunjuk hidung sendiri, katanya, Aku she-Ui, bernama Sauya, Ui sauya adalah aku, aku adalah Ui Sauya. Ui sauya? Cong Hoa sedikit tercengang. Ternyata pengemis itu bernama Ui sauya atau Tuan muda Ui! Sudah ingat baik-baik? pengemis itu seakan kuatir gadis itu lupa dengan namanya, kembali dia bertanya, Siapa namaku? Siapa aku? Sudah kuingat baik-baik, kau adalah Ui sauya, Ui sauya adalah kau. Betul, lain kali jangan bertanya lagi kepadaku, siapa kau? pengemis itu menggelengkan kepalanya berulang kali, Aku paling benci kalau ada yang bertanya kepadaku, siapa kau. Tapi orang lain justru selalu bertanya kepadaku, siapa kau? Aaai....! Pengemis itu menghela napas panjang, tiba-tiba dia menyusup melalui bawah ketiak Cong Hoa kemudian kabur secepat cepatnya meninggalkan tempat itu. Cepat sekali lari orang itu, bahkan kecepatannya tidak berada dibawah orang yang punya dasar ilmu meringankan tubuh. Tampaknya lari cepat memang merupakan kepandaian khas para pengemis.

Sayang Cong Hoa dapat berlari jauh lebih cepat darinya. Hey, mau apa sih kau ini? sambil belari pengemis itu berseru dengan napas terengah, Apakah kau hendak merampas goanpo yang ada ditanganku? Cong Hoa tertawa geli, tiba-tiba dia menyambar ke muka dan betul-betul meram-pas goanpo yang berada dalam genggaman pengemis itu. Tolong, tolong... ada rampok merampas uangku! kontan pengemis itu menjerit keras. Masih untung jalanan itu sepi dan tidak ada orang, kalau tidak entah apa yang akan dilakukan Cong Hoa, kalau sampai uang milik seorang pengemis pun dirampas, bukankah dia sudah menjadi seorang bandit kelas teri? Cepat kembalikan uang itu kepadaku! teriakan si pengemis semakin keras, Kalau tidak, aku akan beradu nyawa denganmu. Asal kau bersedia menjawab berapa pertanyaanku, bukan saja uang ini akan kukembalikan, bahkan akan kutambah dengan sekeping goanpo yang jauh lebih besar dari yang ini. Pengemis itu mengerdipkan matanya berulang kali, setelah mempertimbangkan lama sekali dia baru mengangguk.

Baik, apa yang ingin kau tanyakan? Sudah lama kau berdiam di kota kecil ini? Benar. Apakah kau ikut menyaksikan semua peristiwa yang telah terjadi di jalanan ini tengah hari tadi? Pengemis itu kelihatan agak gemetar, tapi dia segera mengangguk. Coba ceritakan, apa yang telah terjadi di kota ini? Apakah sahabatku itu masih hidup atau sudah mati? Ke mana perginya semua penghuni kota ini? Secara beruntun Cong Hoa mengajukan tiga buah pertanyaan, tapi ketiga buah pertanyaan itu seolah tiga batang tiang salju yang menghujam ke tubuh pengemis itu, tubuhnya seketika gemetar keras, bahkan giginya pun seakan sedang berkelahi. Aaku.. .aku.. .melihat.. .tidak.. .tidak.....melihat... Pada dasarnya dia memang tidak pernah bicara secara jelas, apalagi sekarang, dalam keadaan ketakutan setengah mati, ucapannya semakin melantur tidak jelas. Mendadak Cong Hoa mengeluarkan sekeping goanpo besar lalu digoyang-goyangkan dihadapan pengemis itu.

Ternyata goanpo itu jauh lebih berkasiat ketimbang obat mujarab, bukan saja pengemis itu sudah tidak gemetar, sepasang matanya terbelalak lebar lebar, mengawasi goanpo yang ada ditangan perempuan itu tanpa berkedip. Dapatkah kau menceritakan kembali peristiwa yang terjadi tengah hari tadi? tanya Cong Hoa perlahan. Dapat... boleh... Baru saja pengemis itu akan mengambil goanpo tersebut, Cong Hoa telah menariknya kembali, ujarnya, Ceritakan dulu kejadiannya, kemudian baru kuberikan kepadamu. Baik! pengemis itu menengok sekejap ujung jalanan, wajahnya mulai diselimuti perasaan ngeri, tampaknya dia sedang mengenang kembali kejadian yang dialaminya tengah hari tadi. Ketika kau melompat ke atap rumah, sobat yang punya bekas bacokan di alis matanya juga ikut melompat... Kejadian sebelum itu sudah diketahui semua oleh Cong Hoa, justru yang dia ingin tahu adalah peristiwa yang terjadi kemudian. Ketika tauke penjual gincu melihat sobatmu ikut melompat, tiba-tiba dari dalam tangannya me.... melompat keluar seutas cambuk yang amat panjang... makin berbicara pengemis itu nampak semakin

ketakutan, Cambuk panjang yang meliuk-liuk di udara itu seakan mempunyai mata, dengan cepatnya dia menyambar tengkuk sahabatmu, kemudian... Kemudian...kemudian bagaimana? tanya Cong Hoa gelisah. Kemudian... kemudian... pengemis itu menelan air liurnya sambil menatap si nona tanpa berkedip, Kemudian tidak ada lagi. Tidak ada lagi? Barang apa yang tidak ada lagi? Tidak ada lagi yaa tidak ada lagi, pengemis itu menyengir lirih, Tak ada lagi maksudnya aku hanya menonton sampai disitu saja, karena selanjutnya aku pingsan. Kau... saking jengkelnya Cong Hoa sampai tidak mampu berbicara. Kau... kau kenapa kau? Aku pun manusia yang terdiri dari darah dan daging. Memangnya kau suruh aku menyaksikan semua peristiwa tragis itu dengan mata melotot? Karena aku tidak sanggup menolong sahabatmu, maka aku pun jatuh tidak sadarkan diri. Cong Hoa hanya bisa mengawasi pengemis itu dengan mata melotot, dia tidak tahu mesti mendongkol atau geli? Mendadak pengemis itu merebut goanpo yang ada ditangannya sambil berseru, Kau berjanji akan berikan

goanpo ini kepadaku begitu selesai aku menjawab pertanyaanmu, sekarang aku sudah selesai menjawab, maka goanpo ini sudah menjadi milikku. Biarpun sudah ditanyakan, hasilnya tetap percuma, karena apa yang dia katakan, diketahui juga oleh nona itu, tapi apa yang ingin dia ketahui justru tidak terjawab oleh pengemis itu. Jika kejadian ini dialami dimasa dulu, mungkin dia sudah merampas balik goanpo itu kemudian menghadiahkan pula dua tempelengan keras. Untung Cong Hoa sekarang bukan manusia semacam itu, dia hanya menghela napas sambil ujarnya sedih, Pergilah, goanpo itu sudah menjadi milikmu. Sungguh? pengemis itu sedikit kurang percaya. Cong Hoa m anggut m anggut. Kau tidak akan merampasnya kembali? sambil melangkah pergi, tiada hentinya pengemis itu berpaling. Cong Hoa menggeleng. Aku boleh pergi dari sini? kembali dia menggeserkan tubuhnya. Sekali lagi Cong Hoa mengangguk. Aku pergi dulu? Kali ini Cong Hoa sudah malas untuk mengangguk.

Aku betul-betul boleh pergi? tampaknya pengemis itu seakan tidak percaya, kali ini dia malah berjalan balik satu langkah. Cong Hoa merasa muak, dia benar benar sudah sebal untuk mendengarnya. Sekali lagi pengemis itu melangkah pergi, bisiknya, Kali ini aku benar benar akan pergi? Sudah selesai belum ributmu? Cong Hoa mulai mendidih hatinya. Sudah, sudah selesai, pengemis itu segera kabur terbirit birit, dari kejauhan sana dia masih menyempatkan diri untuk berpaling memandang kearah Cong Hoa, kalau ditinjau dari mimik mukanya, mungkin dia sudah menganggap gadis itu sebagai satu makhluk aneh. Cong Hoa masih berdiri tenang ditengah jalan, paras mukanya sama sekali tidak menampilkan perubahan apa pun. Namun perasaan hatinya amat kalut. Walaupun Tu Bu-heng bisa menebak kalau dia bakal menolong Cong Hui-miat dari tangan Nyoo Cing, namun tidak seorang pun yang tahu dengan cara apa dia menyelamatkan Cong Hui-miat dari dalam penjara. Tentu saja kecuali Nyoo Cing seorang.

Tapi sekarang, jangan lagi berbicara soal Cong Huimiat, apakah dia masih hidup atau sudah mati pun sama sekali tidak diketahui olehnya, bagaimana mungkin dia bisa menghadap Nyoo Cing? Dengan cara apa pula dia memberikan tanggung jawabnya kepada Nyoo Cing? Kabur. Bisa saja dia melarikan diri ke ujung langit, sekalipun Nyoo Cing punya kekuasaan sehebat seorang Kaisar pun belum tentu dia bisa berbuat banyak. Tapi gadis itu tidak sudi kabur, dia pun tidak bisa kabur. Karena itulah prinsip hidupnya selama ini. Betapa pun serius dan beratnya suatu masalah, dia tetap akan menghadapinya secara jantan, betapa beratnya hukuman yang bakal dilimpahkan kepadanya, dia tetap akan menjalaninya. Yang pasti, dia tidak akan melarikan diri. Siapa pun tidak akan mengabulkan permintaanmu yang kelewatan ini, Nyoo Cing berkata sambil menatap tajam wajah Cong Hoa. Tapi aku percaya kepadamu, kau boleh membawa pergi Cong Hui-miat, tapi setengah bulan kemudian harus kau bawa kembali kemari. Aku pasti akan mengembalikan kemari, membawanya balik dalam keadaan utuh! dengan nada serius dan meyakinkan Cong Hoa berjanji.

Bila hingga waktunya kau belum juga membawa balik, aku akan menuduhmu sebagai komplotan yang bersekongkel untuk membawa kabur narapidana penting kerajaan, sepatah demi sepatah kata Nyoo Cing berkata, Kau bisa dijatuhi hukuman mati, bahkan seluruh keluargamu akan ditumpas! Hari ini, kendatipun jaraknya dengan setengah bulan masih ada tiga belas hari, namun Cong Hoa tidak tahu Cong Hui-miat berada di mana, bahkan mati hidupnya pun tidak diketahui. Dengan cara apa dia akan mencarinya? Kemana dia harus pergi untuk mencari jejaknya? Kegelapan malam hari akhirnya mulai menyelimuti seluruh jagad. Walaupun salju sudah lama berhenti, namun hawa yang dingin dan membeku telah mengubah jalan raya itu seakan lapisan salju yang keras, tiang salju yang bergelantungan di wuwungan rumah persis seperti gigi serigala yang sedang menyeringai, seolah sedang bersiap-siap akan menggigit manusia. Tidak ada manusia yang berlalu lalang di jalanan, seluruh kota kecil itu tercekam dalam keheningan yang luar biasa, keheningan bagaikan sebuah tanah pekuburan, seluruh angkasa dan bumi seolah telah diselimuti oleh selapis hawa kematian yang membeku.

Tiada angin, bahkan air hujan pun seakan ikut membeku jadi bongkahan salju. Cong Hoa duduk didalam sebuah rumah makan, rumah makan diujung jalan, ternyata diatas meja tersedia arak dan hidangan. Hidangan ditemukan dari dalam dapur, tentu saja arak diperoleh dari guci dibelakang meja kasir. Dia duduk disisi jendela, saling berhadapan dengan jalanan yang sepi dan mati, sorot matanya dialihkan keujung langit, mengawasi bayang bayang kegelapan nun jauh di sana. Dia masih tetap berada di kota kecil itu, bukan berarti dia sedang menunggu munculnya kemukjijatan, dalam keadaan seperti ini, dia butuh sebuah tempat yang tenang, duduk manis sambil mereka ulang seluruh kejadian yang dialaminya, dari awal hingga akhir. ... Tempat mana lagi yang jauh lebih tenang ketimbang tempat ini? Cong Hoa memang manusia macam begitu, diwaktu biasa, tingkah lakunya macam orang sinting, perbuatan apapun berani dilakukan, terhadap masalah apa pun tidak acuh. Tapi setelah menjumpai persoalan yang pelik, dia dapat berpikir secara tenang dan kepala dingin, dia dapat menganalisa dan mengambil kesimpulan, kemudian mengatur strategi guna menyelesaikan persoalan itu.

Diambilnya cawan arak dimeja, lalu pelan pelan meneguk isinya. Dia mulai mereka ulang semua peristiwa itu, sejak dia mencari Tu Thian dan mengajaknya bertaruh, hingga Tu Thian dan Un-hwee sianseng mengemukakan identitas sebenarnya serta tujuan mereka. Diantara peristiwa ini, semestinya tidak ada bagian yang pantas dan patut dicurigai, satu satunya yang mencurigakan hanya munculnya seorang lelaki gelandangan yang batuk tiada hentinya disaat dia sedang bertaruh dengan Tu Thian, waktu itu si gelandangan mengucapkan berapa kata yang hingga kini masih belum dipahami maksudnya. Buat apa? Kenapa harus begitu? Sebenarnya siapakah lelaki gelandangan itu? Apa maksud dia mengucapkan dua kata itu? Kembali Cong Hoa meneguk habis isi cawannya, kendatipun kota kecil ini amat sepi dan terpencil, ternyata arak yang tersedia disitu adalah arak kenamaan Tiok-yap-cing. Tentu saja hidangan yang tersedia bukan terhitung lezat dan mewah, tapi dalam situasi seperti ini, hidangan tersebut sudah lebih dari cukup.

Cong Hoa meletakkan kembali cawan araknya, sekali lagi dia mengalihkan sepasang matanya yang bening dan penuh kehangatan itu memandang ke tempat kejauhan sana. Tu Bu-heng telah menggunakan Ti Cing-leng sebagai umpan, memancing hingga kegembiraannya mulai berkobar maka dia pun menceritakan rahasia yang menyangkut Cong Hui-miat dengan boneka 'mummi' itu. Kalau urusan sudah menjadi begini, biar Cong Hoa tidak ingin mencampuri urusan juga sudah tidak mungkin... siapa suruh dia punya watak ingin tahu yang kelewat besar? Dia menggunakan cara yang paling tidak masuk akal berhasil 'meminjam' Cong Hui-miat dari tangan Nyoo Cing, maka diapun bersama Cong Hui-miat tiba di kota kecil ini. Kemudian pada hari ini terjadilah peris-tiwa yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling, kejadian aneh yang sangat mencengangkan hati. Dan akibatnya dia pun jadi perempuan linglung yang harus menunggu macam orang bodoh di tempat gersang, dimana burungpun enggan bertelur, meneguk arak 'pengangguran' yang masam. Walaupun persoalan ini menyangkut masalah 'mummi' yang penuh misteri, tapi secara keseluruhan rasanya tidak ditunggangi rencana busuk lainnya.

Semakin berpikir Cong Hoa merasa semakin aneh dan keheranan, dia sendiri tidak tahu dimana letak keanehan itu, tapi dia sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kejadian ini. Malam, tiada rembulan tiada bintang. Rembulan dan bintang yang biasanya menghiasi angkasa, saat ini pada sembunyi semua, seolah merasa takut juga dengan suasana 'kematian' yang mencekam kota kecil itu. Hembusan angin gunung membawa bau tanah lumpur dari tanah perbukitan dike-jauhan sana, membawa pula suara batuk yang lirih. Cong Hoa seketika membelalakkan matanya lebarlebar, dia segera pasang telinga sambil mendengarkan dengan seksama. Kembali suara batuk bergema memecahkan keheningan, kali ini suara tersebut muncul dari tengah jalan raya. Tidak tahan lagi Cong Hoa melongok ke luar jendela. Dari balik kegelapan malam, lamat-lamat dia seperti melihat ada sesosok bayangan manusia sedang berjalan mendekat dari ujung jalan sana, setiap berjalan dua langkah, orang itu kembali terbatuk batuk hingga membungkukkan tubuh.

Setiap kali setelah meludahkan riak kentalnya, dia baru meluruskan tubuhnya dan melanjutkan perjalanan menuju ke rumah makan itu. Menanti dia sudah muncul di depan pintu, Cong Hoa baru dapat melihat jelas raut mukanya. Dia mengenakan sebuah jubah panjang berwarna putih yang kini telah berubah jadi keabu-abuan lantaran kelewat sering dicuci, perawakan tubuhnya tinggi kurus, wajahnya pucat pias persis seputih bunga ombak samudra yang memecah ditepian karena menghantam batu karang. Usianya sudah tidak muda, diujung matanya terlihat banyak kerutan, dari setiap kerut matanya seakan tersimpan kepedihan dan kesendirian yang dideritanya selama perjalanan hidup. Biarpun wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan apa pun, tapi meninggalkan kesan hampa dan murung bagi siapa pun yang memandangnya. Hanya sepasang matanya yang kelihatan masih muda. Sepasang mata anehnya itu seakan berwarna biru tua, sebiru langit disiang hari, mata itupun seakan hembusan angin musim semi yang menggoyangkan ranting pohon liu, lembut tapi lincah. Ada tamu yang datang dari jauh, kenapa tuan rumah tidak menyapa? itulah ucapan pertama yang diutarakan begitu memasuki pintu rumah makan.

Ternyata dia telah menganggap tempat itu sebagai rumah kediaman Cong Hoa dan menganggap gadis itu sebagai tuan rumah. Mula-mula Cong Hoa agak melengak, tapi segera disahutnya sambil tertawa, Telah kusiapkan arak kasar dan hidangan seadanya, anggap saja sebagai rasa hormatku. Orang itu menarik napas panjang, lewat lama kemudian dia baru berbisik, Ehmm, arak bagus, jelas tiok-yap-cing ini paling tidak telah berusia dua puluh tahunan. Benar benar seorang setan arak, hanya dari bau nya saja dia sudah dapat membedakan kwalitas arak itu. Cong Hoa menuangkan secawan arak dan disodorkan kepadanya, lalu memenuhi juga cawan arak sendiri. Keringkan secawan arak ini! ujar Cong Hoa, Perduli siapa kah kau dan apa tujuanmu kemari, memandang kemampuan yang baru saja kau perlihatkan, aku sudah putuskan untuk bersahabat denganmu. Selesai menghabiskan secawan arak itu, lelaki setengah umur itu kembali batuk tiada hentinya, batuk yang hebat dan tiada putusnya membuat paras mukanya yang semula memucat muncul semu merah membara.

...Cahaya merah yang mirip jilatan api dari neraka, api neraka yang sedang membakar tubuh dan sukmanya. Aneh, sungguh aneh... Cong Hoa mulai bergumam, Aku seakan pernah bertemu dengannya? Akhirnya berhenti juga batuk lelaki setengah umur itu, dia menarik napas dalam-dalam, mengatur napas, kemudian memenuhi kembali cawan araknya dan mengangkat cawan itu dengan penuh keriangan. Sekali lagi kita telah berjumpa muka, terima kasih banyak atas hadiah arakmu. Berjumpa sekali lagi? Cong Hoa mulai berpikir, mendadak dia teringat akan sesuatu, kontan teriaknya, Yaaa. Sekarang teringat sudah aku! Bukankah kau adalah lelaki gelandangan yang berjalan keluar dari belakang pohon ketika hari itu aku sedang bertaruh dengan Tu Thian? Sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibir lelaki setengah umur itu. Tadi aku malah sempat terpikir akan dirimu, tidak tahunya kau benar-benar telah muncul! seru gadis itu lagi. Oya? Apa maksud perkataan yang kau ucapkan pada hari itu?

Kau benar benar tidak mengerti? Tidak mengerti. Lelaki setengah umur itu meneguk araknya lalu tertawa, tampaknya dia ingin batuk lagi, tapi akhirnya ditahan, ditatapnya wajah Cong Hoa sambil tertawa. Buat apa? senyuman secerah udara yang baru diguyur hujan kembali tersungging diujung bibirnya, Padahal kau sudah tahu dengan jelas, tidak perlu menjatuhkan diri kebawah, buat apa kau tetap membiarkan tubuhmu tersiksa rasa sakit dan penderitaan? Ooh, jadi kau telah melihatnya? ujar Cong Hoa, Bayangkan saja, dalam sepuluh menit aku harus selesai memanjat tiga puluh batang pohon. Aku hanya rikuh untuk membuat dia kalah secara mengenaskan. Kau anggap Tu Thian benar-benar telah kalah bertaruh? kembali lelaki setengah umur itu bertanya. Memangnya tidak? Sekalipun dia tidak kalah dalam pertaruhan ini, kujamin Tu Thian tetap akan pergi mencarimu. Mencari aku? Cong Hoa tercengang, Lantaran urusan Cong Hui-miat? Sebetulnya persoalan itu hanya satu urusan kecil diantaranya.

Jadi masih ada urusan lain? berkilat sepasang mata Cong Hoa, Berarti urusan lain itulah baru persoalan besar yang sebenarnya? Nah begitu baru agak mirip Cong Hoa yang sebenarnya. Perkataan apa itu? Tapi Cong Hoa sangat memahaminya. Jika harus ditukar dengan perkataan lain, kira kira dia sedang berkata begini,Nah begitu baru mirip Cong Hoa yang konon sangat pintar dan cekatan. Cong Hoa meneguk habis isi cawannya, kemudian menatap cahaya lentera dengan termangu. Jadi cerita tentang Mummi dan pengkhianat penjual negara yang dikisahkan Tu Bu-heng, semuanya hanya cerita bualan belaka? Tidak, semuanya merupakan kenyataan, bahkan kejadian sebenarnya jauh lebih serius daripada apa yang dia kisahkan. Kelihatannya aku harus sedikit mengubah sifat rasa ingin tahuku. Sudah terlambat! kata lelaki setengah umur itu hambar, Menurut apa yang kuketahui, dalam lima hari mendatang, paling tidak akan muncul enam tujuh orang yang mencarimu.

Mencari aku? Demi persoalan besar itu? Kalau demi urusan besar itu, mungkin Coh Liu-hiang dan Siau-Li si pisau terbang sudah ikut datang sejak dulu, senyuman yang menghiasi bibir lelaki setengah umur itu makin tebal, Mereka datang karena persoalan mummi. Aneh, kenapa dari jaman dulu hingga sebelum kejadian ini belum pernah ada orang yang bicara soal mummi itu, tapi sekarang, tiba tiba saja benda itu seolah merupakan harta karun, setiap orang ingin mendapatkannya. Masalah ini disebabkan ada orang yang sengaja menyiarkan berita ini ke dalam dunia persilatan. Benarkah rahasia seputar mummi itu sangat menarik perhatian orang banyak? Jaman dulu, raja Chin Shi-huang saja sampai mengirim utusan untuk mencari obat panjang umur, apalagi kalau sekarang terdapat ilmu rahasia yang bisa membuat orang yang sudah mati bisa bangkit kembali, ujar lelaki setengah umur itu sambil tertawa getir. Sesungguhnya bukan masalah seseorang bisa hidup panjang umur atau tidak, yang penting justru hidupmu cukup berharga atau tidak? Mendatangkan makna yang berarti atau tidak? Jika setiap orang bisa memiliki pemikiran seperti kau, dunia ini pasti aman.

Manusia itu memang tidak kenal puas! ... Tidak kenal puas memang merupakan salah satu kelemahan manusia yang terbesar. Musim gugur telah berakhir, namun malam belum kelewat larut. Hembusan angin terasa makin kencang, membuat satu satunya papan nama yang masih tersisa di kota kecil itu bergoyang tiada hentinya. Kau bilang dalam lima hari mendatang ada enamtujuh orang akan datang mencariku, kata Cong Hoa, Manusia macam apa sih ke enam orang itu? Tentu saja jagoan yang memiliki kungfu hebat, terutama tiga orang diantaranya. Cong Hoa tidak memberi komentar, tapi dia mendengarkan dengan asyik. Kau pernah mendengar tentang Say Siau-li? tanya lelaki setengah umur itu. Say Siau-li? Benar! lelaki setengah umur itu meneguk secawan arak, Sudah enam tahun dia terjun ke dalam dunia persilatan, tapi pisau terbangnya baru digunakan sebanyak enam belas kali. Tidak pernah meleset?

Tidak pernah meleset! sorot mata lelaki itu menerawang ke tengah jalan raya. Sekalipun pisau terbangnya lebih hebat pun, ada satu hal dia tidak akan mampu menandingi Li Sin-huan. Dalam hal apa? Pisau terbang Li Sin-huan digunakan untuk menolong orang, sementara pisau terbang dia digunakan untuk membunuh orang, kata Cong Hoa, Dalam hal ini jelas dia tidak akan mampu mengungguli Siau-Li si pisau terbang. Lelaki setengah umur itu manggut-manggut, lanjutnya, Nama orang yang kedua amat tersohor diseantero jagad, jarang yang tidak pernah mendengar namanya. Benarkah? Betul, dia adalah Liong-ngo kongcu! Liong Ngo dari Kwangtong? Cong Hoa berkerut kening. Rasanya Cuma ada seorang Liong Ngo di dunia kangouw saat ini. Waaah, tampaknya sangat menarik... seru Cong Hoa, setelan termenung sejenak bertanya lagi, Lantas siapakah orang ketiga?

Lelaki setengah umur itu tidak langsung menjawab, sebaliknya malah perlahan-lahan mengangkat cawannya lalu menghirup isinya dengan santai, dari mimik mukanya bisa diduga kalau dia sedang mempertimbangkan sesuatu. Entah sedari kapan angin telah berhenti berhembus, suasana terasa hening dan sepi, sedemikian heningnya hingga mendatangkan perasaan tidak enak bagi siapa pun. Kendatipun angin telah berhenti, hawa dingin justru semakin merasuk tulang. Setelah ditunggu sekian waktu belum juga kedengaran lelaki setengah umur itu berbicara, Cong Hoa tidak sanggup menahan diri lagi, teriaknya keras, Malaikat darimana sih orang ketiga itu? Aku tidak tahu. Jawaban dari lelaki setengah umur itu kontan membuat Cong Hoa terperanjat, ia memandang orang itu dengan mata terbelalak. Tidak tahu? Sebenarnya akupun berharap bisa tahu siapakah dia, kata lelaki setengah umur itu sambil meletakkan kembali cawannya ke meja, Konon orang itu bertingkah laku macam orang sinting, setiap hari dia selalu mondar mandir ke sana kemari sambil memegang sekeping goanpo ditangannya.

Dalam benak Cong Hoa segera terlintas bayangan si pengemis cilik yang dijumpainya sore tadi. Jika dia berikan goanpo miliknya kepadamu sambil tertawa cengar-cengir, itu berarti sebentar lagi kau akan berpesta bersama raja akhirat, kata lelaki setengah umur itu lebih jauh, Biasanya tidak sampai tiga hari, orang itu akan lenyap tidak berbekas! Memangnya kalau lenyap lantas berarti sudah mampus? tanya Cong Hoa. Mati atau tidak, paling tidak mesti ada mayatnya, tapi kalau bertemu dengan orang ini, kau tidak akan menemukan apa-apa lagi. Maksudmu selain nyawanya diambil, mayatnya pun ikut diambil? Rasanya begitu. Bayangan tentang si pengemis cilik itu semakin jelas melintas dalam benak Cong Hoa. Benarkah seorang pengemis cilik yang begitu menarik sesungguhnya adalah seorang raja iblis pembunuh manusia? Darimana kau bisa mengetahui semua persoalan itu secara jelas? dengan sorot mata setajam sembilu Cong Hoa mengawasi lelaki setengah umur itu, Siapa pula dirimu?

Aku hanya seseorang yang sudah mati, sekilas perasaan pedih melintas diwajah lelaki setengah umur itu, Semestinya aku adalah seseorang yang sudah mati. Kau orang mati? Orang mati berarti setan? Lelaki setengah umur itu tidak menjawab, namun senyuman dingin segera tersungging diujung bibirnya. Kau ini termasuk setan gantung atau setan penasaran? Atau mungkin setan penuntut balas? kembali Cong Hoa menggoda. Namanya adalah setan yang sepantasnya mampus! mendadak seseorang menanggapi, suara itu seakan datang dari ujung jalan, tapi seperti juga berasal dari dalam ruangan rumah makan itu.

BAB 7. Kehilangan satu hari.

Namanya adalah setan yang sepantasnya mampus! Mendengar teriakan tersebut, kembali lelaki setengah umur itu menghela napas panjang, namun kepedihan diwajahnya sudah jauh berkurang, sebagai gantinya terlintas perasaan hormat yang tebal.

Sementara itu Cong Hoa sudah tertawa terbahakbahak, dia merasa amat geli dengan seman itu. Bersamaan dengan bergemanya suara teriakan itu, terendus juga bau ikan bakar yang harum semerbak. ... Ikan bakar mana yang bisa menangkan ikan bakar hasil olahan Lo Kay-sian? Sekarang aku baru sadar, ternyata menilai orang jangan hanya menilai dari wajahnya, kata Cong Hoa sambil menghela napas panjang. Kenapa? suara itu masih mengalun ditengah udara. Bukan saja kepandaianmu memanggang ikan terhitung nomor wahid, pura-puramu jadi orang bodoh jauh lebih hebat lagi. Darimana kau bisa tahu kalau aku...? Aku toh bukan seekor kucing, siapa yang tahan dengan bau amis ikanmu? ejek Cong Hoa tertawa. Sekalipun bukan kucing, tapi hidungmu lebih tajam daripada hidung seekor anjing, menyusul perkataan itu, Lo kay-sian muncul dari mulut tangga. Tapi ada sementara orang yang justru jadi anjing pun tidak pantas! kata Cong Hoa uring-uringan, Sudah jelas memiliki kemampuan untuk melacak jejak orang, tapi dia masih bersikeras tidak mau mengakui.

Dia tidak punya kemampuan untuk melacak, kata lelaki setengah umur itu sambil tertawa, Akulah yang telah mengundangnya kemari. Sambil tertawa terkekeh Lo Kay-sian mengambil tempat duduk, ternyata ditangannya telah membawa sebuah cawan. Orang ini memang kebangetan, memangnya dia anggap kita tidak bakal mengundangnya minum arak? Masa membawa cawan sendiri! seru Cong Hoa lagi. Kau toh sudah tahu kalau aku ini malas sekali, kata Lo Kay-sian sambil memenuhi cawannya dengan arak, Kalau urusan bisa sekaligus diselesaikan, kenapa aku mesti mengerjakannya dua kali? Tapi kau pandai berlagak edan, sudah puluhan tahun kau berlagak begitu. Dia bukan berlagak edan, sesungguhnya dia hanya pegang janji, lelaki setengah umur itu menerangkan. Pegang janji siapa? Cong Poan-long. Cong Poan-long? Siapa Cong Poan-long? Cong Poan-long adalah bapanya Cong Hui-miat, yaitu pendeta Ku-heng-ceng, lelaki setengah umur itu mulai batuk-batuk.

Setelah meneguk secawan arak dan menarik napas panjang, dia melanjutkan, Ketika pertama kali masuk ke daratan Tionggoan, orang pertama yang hendak dijumpai Cong Poan-long adalah dia! Dia menuding ke arah Lo Kay-sian, kemudian terusnya, Mereka adalah sahabat yang amat karib. Lo Kay-sian tertawa, namun tertawanya amat sedih dan getir. Tempat pertemuan yang mereka janjikan kebetulan adalah tempat ini. Berarti disinilah Ku-heng-ceng menemui celaka. Dia datang selangkah lebih awal ketimbang Tu Buheng serta Un-hwee, tapi toh tetap terlambat! kata lelaki setengah umur itu, Ketika tiba disini, dia jumpai Cong Poan-long sudah tergeletak bersimbah darah, buru buru dia bertanya siapakah pembunuhnya, tapi Cong Poan-long hanya mengawasinya dengan sinar mata penuh ketakutan. Aku cukup mengerti apa yang menjadi kehendaknya, kata Lo Kay-sian pula hambar, Dia tahu kepandaian silatku masih kalah jauh bila dibandingkan pembunuh itu, dia takut setelah kuketahui namanya maka akan pergi mencarinya dan balaskan dendam sakit hatinya. Cong Poan-long memohon kepadanya agar merawat Cong Hui-miat secara baik baik, ujar lelaki

setengah umur itu, Untuk melaksanakan permohonan tersebut maka selama puluhan tahun dia berlagak bodoh. Kalau memang Cong Poan-long datang dengan membawa rahasia, kenapa dia tidak langsung bertemu dengan Tu Bu-heng sekalian? tanya Cong Hoa. Inilah salah satu sebab yang tidak kami pahami, kata lo Kay-sian. Dia takut kau tidak mampu melawan pembunuh itu, kenapa dia tidak beritahu kepada Tu Bu-heng sekalian? Masa dengan kekuatan kerajaan, merekapun tidak sanggup menghadapinya? Persoalan inipun merupakan salah satu hal yang mencurigakan. Kalau dia memang membawa rahasia itu untuk diserahkan kepada Pemerintah, kenapa setelah dibunuh, rahasia tersebut malah tidak disampaikan? Kemudian jika masalah ini menyangkut satu kejadian yang luar biasa, kenapa hingga akhir-akhir ini persoalan tersebut baru mencuat? Setelah berhenti sejenak, kembali Cong Hoa berkata kepada lelaki setengah umur itu, Jika kau memang orang yang sepatutnya mati, kenapa sekarang bisa bangkit dan hidup kembali? Kenapa kau pun mengetahui dengan sangat jelas semua seluk beluk mengenai peristiwa ini?

Setelah menarik napas, lanjutnya, Kenapa Cong Huimiat mengalami kejadian begitu sampai disini? Kenapa pula kau mengundang Lo Kay-sian untuk berjumpa disini? Tiada rembulan, tiada bintang, yang tersisa hanya awan gelap yang bergeser terhembus angin. Pikiran dan perasaan Cong Hoa pun diliputi pelbagai kecurigaan dan perasaan tidak habis mengerti. Lelaki setengah umur itu meski sedang memandang Cong Hoa, namun ditinjau dari mimik mukanya yang penuh diliputi kedukaan, seakan dia sedang melamunkan kembali kejadian lama... Tiga puluh enam orang bocah berbaju putih dengan membawa tujuh puluh dua batang tempat lilin yang terbuat dari tembaga hijau perlahan-lahan berjalan masuk, meletakkan tempat lilin itu disekeliling dinding ruangan, kemudian mengundurkan diri dari situ. Tempat itu merupakan sebuah bangunan rumah yang luas, dindingnya berwarna putih bersih tanpa debu, lantainya terbuat dari keramik yang bening bagaikan cermin. Dalam ruangan itu tidak ada benda lain, kecuali dua buah alas duduk. Ing Bu-oh duduk bersila diatas salah satu alas duduk, sebuah tongkat bambu hijau yang didalamnya terselip sebilah pedang ular berbisa, diletakkan diatas lututnya,

dia duduk tidak bergerak, seakan sedang berada dalam keadaan 'tenang'. Ti Cing-ling juga duduk di sebuah alas duduk yang lain, mereka berdua duduk saling berhadapan, siapa pun tidak tahu sudah berapa lama mereka duduk disitu. Malam semakin larut... saat itupun akhir musim gugur. Tiba-tiba Ti Cing-ling bangkit berdiri, dengan sangat hormat dia menjura ke arah Ing Bu-oh, ujarnya, Tecu Ti Cing-leng akan melakukan percobaan pedang untuk ke sebelas kalinya, mohon suhu sudi memberi petunjuk. Pertarungan antara dua jago tangguh seringkah akan selesai dalam satu gebrakan, mati hidup menang kalah pun akan ditentukan sesaat. Tapi sekarang mereka sedang menjajal pedang, menjajal pedang milik Ti Cing-ling. Cahaya fajar sudah mulai mencorong masuk melalui atap ruangan, Ti Cing-ling memutar cahaya pedangnya satu lingkaran, tiba-tiba dia menghentikan serangannya. Mereka sudah bertempur semalam suntuk. Ing Bu-ok mundur beberapa langkah kemudian perlahan lahan duduk diatas alas duduk, tampaknya dia amat kelelahan. Paras muka Ti Cing-ling sama sekali tidak berubah, pakaiannya yang berwarna putih tetap bersih tanpa

debu, setetes keringat pun tidak nampak membasahi wajahnya. Kali ini adalah kali ke sebelas kau menjajal pedang, tidak kusangka kau telah berhasil! kata Ing Bu-ok perlahan, dia tidak tahu harus gembira atau sedih karena kejadian ini. Ti Cing-ling tidak mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba dia berjalan keluar dengan langkah lebar, sewaktu lewat disamping Ing Bu-ok, tiba tiba dia membalikkan pedangnya dan menusuk punggung gurunya hingga tembus ke jantung. Kembali lelaki setengah umur itu termenung, dia merasakan juga sakit yang luar biasa di bekas lukanya persis disisi jantung, sorot matanya yang semula dipenuhi kehangatan kini mulai suram dan dicekam kesedihan, matanya redup seakan mata seorang lelaki buta. Tiba-tiba paras muka Lo Kay-sian berubah amat serius, sambil menatap lelaki setengah umur itu perlahan-lahan ujarnya, Dialah Ing Bu-ok! Ku-bok sinkian (pedang sakti mata buta) Ing Bu-ok. Ketika nama besar Ing Bu-ok menggetarkan sungai telaga, mungkin orang tua Cong Hoa belum lagi mulai 'berpacaran'. Tentu saja diapun tahu kalau Ing Bu-ok tewas diujung pedang Ti Cing-ling.

Tapi, kenapa Lo Kay-sian mengatakan kalau lelaki setengah baya ini adalah Ing Bu-ok? Bukankah Ing Bu-ok sudah dibunuh oleh Ti Cing-ling? tanya Cong Hoa. Benar, Ing Bu-ok memang sudah dibunuh! Lalu... kenapa bisa muncul seorang Ing Bu-ok lagi? tanya Cong Hoa sambil melirik lelaki setengah baya itu sekejap. Dia adalah guru Ti Cing-ling, Ing Bu-ok. Dia juga Ing Bu-ok yang telah dibunuh Ti Cing-ling. Cong Hoa semakin kebingungan, dengan termangu diawasinya kedua orang itu, lama kemudian ia baru bertanya lagi, Memangnya waktu itu Ti Cing-ling merasa tidak tega sehingga memperingan tusukannya? Atau Ing Bu-ok yang memiliki dua buah jantung? Aku tidak mempunyai dua buah jantung, serangan Ti Cing-ling pun tidak lembek, lelaki setengah umur itu berkata hambar, Tapi, aku mempunyai seorang sahabat karib. Sepasang mata lelaki setengah baya yang sudah bagaikan mata orang buta itu kembali bersinar, dia memandang ke arah Lo Kay-sian kemudian katanya lagi, Meskipun aku sudah tahu dengan jelas manusia macam apakah Ti Cing-ling, namun aku tetap melengak juga sewaktu dia membalikkan tubuh sambil menghadiahkan sebuah tusukan ke tubuhku, aku tidak

menyangka kalau dia bisa menggunakan saat, tempat dan situasi semacam itu untuk melancarkan tusukannya. Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Mungkin lantaran aku melengak itulah tusukan yang dilancarkan Ti Cingling jadi sedikit melenceng. ... Disaat orang melengak bercampur kaget, konon jantung seseorang bisa menyusut kecil lantaran terkena rangsangan. Oleh sebab itu ketika Bong Si-khong datang kesitu, kendatipun napasku sudah tinggal satu dua, namun setelah berusaha hampir tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya dia berhasil juga menarik keluar diriku dari pintu gerbang Kui-bun-kwan. Ooh, pendekar pedang rindu? Cong Hoa menghela napas panjang, Biarpun jantungku sudah berapa kali berdebar hari ini, namun debaran jantungku benar-benar menghebat setelah tahu kalau kau adalah Bong Si-khong. Puluhan tahun sudah lewat, tidak kusangka masih ada orang yang masih teringat akan diriku, gumam Lo Kay-sian sambil meneguk isi cawannya. 'Pendekar pedang rindu, satu tusukan bikin orang selalu rindu'. Dengan sebilah pedangnya, dulu dia pernah mengalahkan tujuh orang jago pedang paling kosen dalam dunia persilatan.

Jurus pedangnya bukan Cuma ganas dan telengas, reaksi dan gerakannya luar biasa cepatnya, membuat orang tidak menyangka kalau serangan itu telah merenggut nyawanya. Pendekar ini memang selalu membuat orang merasa rindu.... khususnya kaum wanita. Aku berani jamin, dari seratus orang paling tidak ada sembilan puluh sembilan setengah orang tidak akan percaya jika Pendekar pedang rindu telah menjadi seorang kepala sipir penjara, kata Cong Hoa sambil menatap orang tua itu. Pendekar pedang rindu sudah mati lama sekali, ucapan Lo Kay-sian lirih tidak bertenaga, Sudah mati semenjak belasan tahun berselang. Dengan termangu Cong Hoa mengawasi Lo Kay-sian, setelah lama kemudian dia baru berkata, Benar, pendekar pedang rindu sudah mati! Dengan perasaan berterima kasih Lo Kay-sian melirik sekejap ke arahnya. Tidak gampang bagi seseorang mendapat 'nama besar', untuk mempertahankannya juga teramat sulit, tapi untuk memusnahkannya, ternyata dapat dilakukan dalam waktu sekejap. Mari kita bersulang satu cawan arak! Cong Hoa mengangkat cawannya, Manusia yang tidak dapat dipercaya tidak akan bisa tancapkan kaki di dunia ini,

ucapan tersebut bisa saja diucapkan setiap orang, tapi ada berapa banyak yang sanggup melaksanakannya? Sekali teguk menghabiskan isi cawan, hawa kehangatan seketika muncul dari perut dan menyebar ke seluruh bagian tubuh. Darimana kau bisa tahu kalau aku akan kemari? tanya Cong Hoa kemudian sambil berpaling ke arah Ing Bu-ok, Mau apa kau undang Bong Si... Lo Kay-sian datang kemari? Seandainya kau menjadi Cong Hui-miat, setelah keluar penjara, pertama-tama tempat mana yang akan kau kunjungi? bukannya menjawab, Ing Bu-ok malah baik bertanya. Tentu saja datang kemari, jawab Cong Hoa setelah berpikir sejenak. Itulah dia, aku pun mengajak Lo Kay-sian untuk berjumpa disini, kami bermaksud bersama-sama pergi mencari Cong Hui-miat dan menerangkan beberapa masalah, kemudian merundingkan bagaimana langkah berikut, tidak disangka.... Tidak disangka telah terjadi peristiwa di pagi hari tadi, sambung si nona. Betul, tidak kusangka tindakan yang dilakukan pihak lawan jauh lebih cepat daripada apa yang kuduga. Siapa sih pihak lawan?

Perkumpulan naga hijau, Cing-liong-hwee. Perkumpulan naga hijau? tampaknya Cong Hoa agak terperanjat, Wah, tampaknya aku mesti membayar mahal untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya! ... Ada benarnya juga perkataan ini, sebab peristiwa tesebut merupakan sebuah intrik paling besar yang pernah terjadi selama seratus tahun terakhir dalam dunia persilatan, bukan saja menyangkut banyak pihak, yang mati dan terluka pun sudah banyak sekali, sebuah peristiwa yang tidak mudah dibayangkan. Hampir selama belasan tahun lamanya aku selalu melacak dan menyelidiki sebab musabab kematian Cong Poan-long, ujar Ing Bu-ok, Hasil analisaku adalah terdapat dua hal yang sangat aneh! Hal aneh? Apa itu? Ternyata sebelum tiba disini, Cong Poan-long telah bertemu lebih dulu dengan Cong Hui-miat. Mereka sudah berpisah hampir belasan tahun lamanya, kenapa begitu sampai di daratan Tionggoan, dia langsung dapat menemukan jejaknya? kata Cong Hoa, Kenapa selama ini Cong Poan-long selalu merahasiakan kejadian nya? Ketika Lo Kay-sian tiba di tempat kejadian, kendatipun kondisi Cong Poan-long sudah kritis dan napasnya tinggal satu dua, namun kaki dan tangannya

masih dapat bergerak, anehnya, kenapa ketika Tu Buheng sekalian berjumpa dengan Cong Poan-long, kaki dan tangannya sudah dipotong orang? Kenapa pula dia meninggalkan tulisan Tidak berdosa dua patah kata? Arak sudah tidak jelas mengisi poci yang ke berapa, namun ketiga orang itu sama sekali belum menunjukkan pertanda mabuk. Rahasia dibalik peristiwa ini tampaknya jauh lebih manjur ketimbang air teh penyadar mabuk, membuat peredaran darah ditubuh mereka beredar lebih cepat dan panas. Cahaya fajar sudah mulai menghiasi ufuk timur, kini angin telah berhenti berhembus, namun bunga salju belum lagi beterbangan. Seluruh bumi dicekam dalam keheningan dan udara beku. ...Mengapa udara selalu terasa dingin membeku, suasana selalu dicekam keheningan disaat malam hampir lewat, fajar hampir menyingsing? Aku pernah bertemu dengan Ui sauya, kata Cong Hoa sambil menerawang ujung jalan. Kau pernah bertemu? tanya Ing Bu-ok keheranan, Kapan? Di mana?

Kemarin, disini. Dia adalah seorang lelaki yang bertubuh mungil tapi punya kepala yang sangat besar, waktu bicara senang membalikkan bola matanya sehingga sekilas pandang, dia lebih mirip dengan seorang bocah idiot. Dia tidak menghadiahkan goanponya kepadamu? tanya Lo Kay-sian agak tegang. Tidak! sahut Cong Hoa sambil menarik kembali pandangan matanya dan berpaling ke arah Lo Kay-sian, Justru dia yang telah melarikan goanpoku. Lo Kay-sian maupun Ing Bu-ok segera menghembuskan napas lega. Ui Sauya tidak menghadiahkan goanpo nya kepada gadis itu, berarti untuk sementara waktu nyawa si nona masih dapat dipertahankan. Ui sauya sangat percaya dengan hukum karma, dia tidak pernah mau berhutang pada orang lain, maka setiap kali hendak membunuh seseorang, dia selalu akan menyerahkan dulu sejumlah uang, uang untuk membeli nyawa orang tersebut, Ing Bu-ok menerangkan. Anehnya, kalau toh dia tidak berniat membunuhmu, kenapa pula malah merebut uangmu? sambung Lo Kay-sian. Jangan jangan...dia pernah menyelamatkan nyawamu, maka uangmu baru dibawa lari?

Cong Hoa berpikir sejenak, kemudian menggeleng. Tidak mungkin, dia mengambil uangku lantaran aku mengajukan pertanyaan kepadanya. Bertanya soal apa? Tanya apa yang telah terjadi setelah aku melompat naik ke atap rumah. Apakah dia telah menyaksikan peristiwa itu sejak awal hingga akhir? Dia hanya bilang... Mendadak Cong Hoa menghentikan perkataannya, perasaan terkejut, kaget, ngeri dan tidak percaya berkecamuk diatas wajahnya. Dia mengawasi ujung jalan tanpa berkedip, seakanakan ditempat itu sudah menyaksikan sesosok bayangan setan yang gemar makan manusia. Sebenarnya apa yang telah dia saksikan? Kejadian berharga apa yang telah dia saksikan di jalanan itu sehingga membuatnya terkesiap? Bukan hanya di kota propinsi atau kota besar saja, di desa kecil pun pasti ada rumah penduduk, juga ada pertokoan.

Dimana ada rumah penduduk dan pertokoan, ibarat muncul cahaya terang dari balik kegelapan, suasana pasti lebih hidup dan ramai. Tatkala cahaya pertama memancar keluar dari ufuk timur, ayam pun mulai berkokok dan anjing pun mulai menggonggong. Bunga salju yang melapisi permukaan jalan kini sudah mulai mencair, lamat lamat dapat terlihat alas batu hijau yang tertanam dibalik lapisan salju. Hari kesibukan untuk penduduk kota pun dimulai. Para pedagang mulai membuka pintu toko nya dan berharap dagangannya hari ini laris manis. Asap mulai mengepul dari arah dapur, para ibu mulai mempersiapkan sarapan untuk keluarganya, sementara bocah bocah nakal mulai kelayapan di tengah jalan. Tapi keramaian semacam itu tidak dijumpai di kota kecil ini, suasana yang mencekam tempat itu sangat berbeda dengan suasana di kota kota lain. Semenjak usaha pembunuhan terhadap Cong Huimiat terjadi dikota itu, seluruh penduduk kota seakan ikut lenyap tak berbekas. Suasana yang mencekam kota itu sedemikian sepi dan heningnya hingga melebihi suasana di tanah pekuburan, jangan lagi manusia, kokokan ayam dan gonggongan anjing pun sama sekali tidak kedengaran.

Mengapa setelah lewat satu malaman, orang-orang itu kembali muncul disitu? Bahkan seolah tidak pernah terjadi peristiwa di siang kemarin? Tauke penjual bedak dan gincu masih dengan pakaian yang dikenakan kemarin, menjajakan barang dagangannya ditepi jalan. Tiga orang kakek masih tetap duduk di kaki lima, berbincang tentang kegagahan mereka di masa lampau. Bahkan nona bergaun merah yang melemparkan bedaknya ke arah Cong Hoa pun, hari ini muncul kembali dengan senyuman yang penuh keriangan. Semua orang, semua kejadian, sama persis seperti keadaan kemarin siang, bayangkan saja bagaimana mungkin Cong Hoa tidak terperanjat dibuatnya? Sinar sang surya menebarkan kehangatan ditengah suasana yang dingin membeku, tapi gadis ini justru merasakan tubuhnya makin menggigil, semakin kedinginan, seakan akan tubuhnya telah terjerumus ke dalam sebuah jurang yang dalamnya mencapai ribuan kaki. Dia seakan merasakan tubuhnya terperosok ke dalam neraka. Apa yang dia saksikan di jalan raya itu bahkan jauh lebih menakutkan daripada apa yang terdapat di dalam neraka.

Apakah orang-orang itu yang kau saksikan kemarin? bisik Lo Kay-sian. Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Jadi merekalah yang menyerang Cong Hui-miat kemarin siang? tanya Ing Bu-ok pula. Meski Cong Hoa sudah mengangguk, namun dia merasa tubuhnya seakan sudah membeku kaku. Dengan termangu Ing Bu-ok mengawasi orang yang berlalu lalang ditengah jalan, entah lewat berapa saat kemudian, sekilas perasaan aneh melintas diatas wajahnya. Pada saat itulah terdengar ada orang sedang berbicara. Tuan bertiga, tampaknya kalian sedang bergembira, sepagi ini sudah datang minum arak? Dengan mata masih mengantuk dan berjalan sambil menguap, seorang pelayan muncul dari belakang ruangan, kendatipun dia berbicara dengan penuh sopan namun nadanya jelas sedang menegur, mengapa sepagi ini Cong Hoa sekalian sudah datang mengusik tidurnya. Menyaksikan munculnya pelayan rumah makan itu, rasa kaget dan tercengang yang semula menghiasi wajah Cong Hoa seketika hilang lenyap.

Kau keliru besar, bukan sedari pagi tadi tapi sejak semalam aku sudah minum disini, sahut Cong Hoa sambil tertawa, Memangnya semalam kau sedang libur? Tidak ada ditempat? Kekkoan, kau sedang bergurau nampaknya, tamu terakhir yang meninggalkan rumah makan ini adalah Sam sauya keluarga Tan yang tinggal di seberang jalan, kata si pelayan cepat, Dia malah minum sampai menjelang kentongan pertama, akulah yang memayangnya pulang. Benarkah begitu? Masa kau tidak melihat peristiwa yang terjadi ditengah jalan siang kemarin? Masa kau tidak mengetahuinya? Peristiwa yang terjadi kemarin siang? walaupun sang pelayan tidak paham apa maksud perkataan itu, namun sahutnya juga sambil tertawa, Tempat kami adalah kota kecil, jarang orang yang berlalu lalang disini, sekalipun pernah terjadi urusan kecil, paling tidak kejadian tersebut akan menjadi bahan perbincangan sampai tiga hari tiga malam. Boleh tahu kejadian mana yang kekkoan maksudkan? Sikap maupun nada bicaranya masih amat jujur dan sopan, namun dalam hati kecilnya dia sudah menganggap ketiga orang tamunya itu sebagai orang sinting.

Ing Bu-ok berlagak memandang sekejap cahaya sang surya diluar ruangan, lalu katanya sambil menghela napas panjang. Aaaai... melihat sang surya pada tanggal satu bulan sepuluh, dikemudian hari pasti akan terjadi bencana besar. Untung hari ini baru akhir bulan Sembilan, sambung pelayan itu sambil tertawa. Ooh, aku sangka hari ini sudah tanggal satu bulan sepuluh! Ing Bu-ok diam-diam memberi tanda kepada Cong Hoa dan Lo Kay-sian, kemudian terusnya, Kelihatannya aku sudah mulai pikun, masa sampai hari apa pun tidak jelas. Hari ini jelas sudah tanggal satu bulan sepuluh, mengapa pelayan itu masih ngotot mengatakan hari ini baru akhir bulan sembilan? Jangan-jangan dia pun mengidap penyakit lupa hari? Atau mungkin ada sebab yang lain? Kelihatannya mereka sudah kehilangan satu hari, ketika beranjak keluar dari rumah makan itu Ing Bu-ok berbisik. Kehilangan satu hari? tanya Cong Hoa, Maksudmu, semua penduduk kota yang muncul di hari kemarin bukan orang-orang ini?

Dia memandang sekejap orang yang sedang berlalu lalang di jalanan, kemudian lanjutnya, Berarti orang yang membunuh Cong Hui-miat adalah anggota perkumpulan naga hijau yang menyamar jadi penduduk kota? Tidak menunggu Ing Bu-ok menjawab, kembali dia menambahkan, Ini berarti semua penduduk kota telah dibius dengan semacam obat pemabuk sehingga mereka tertidur sehari semalam, karena itulah mereka jadi kehilangan satu hari. Rasanya memang begitu, kata Ing Bu-ok tertawa getir, Dan memang kejadiannya juga begitu. Ketika sinar matahari menyinari wajah Ing Bu-ok, siapa pun semestinya dapat melihat betapa sangsi perasaan hatinya, dia merasa curiga, merasa serba salah... Cong Hoa berlagak seakan tidak melihat apa-apa, tiba di tengah jalan, dia menarik napas panjang lalu membenahi bajunya yang kusut. Salju yang melapisi permukaan jalan kini sudah mencair, entah darimana datangnya hembusan angin, selembar daun kering melayang dari udara dan jatuh ke tanah. Cong Hoa memungut daun itu dan diselipkan disisi bajunya, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, dia menghampiri Lo Kay-sian dan

katanya sambil tertawa, Coba tebak, apa yang sedang kupikirkan sekarang? Lo Kay-sian bukan Cuma terperanjat, tampaknya ia sudah tertegun dibuatnya. Ing Bu-ok pun tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Aku ingin mencari sebuah tempat dan tidur. Saat ini kau ingin tidur? Lo Kay-sian semakin terkejut. Besok aku masih ada urusan, tentu saja aku harus menyimpan tenaga. Memangnya kau bisa.... bisa tidur? Kenapa tidak bisa.... Tapi kota ini...Cong Hui-miat lenyap di kota ini... Bagaimana pun sekarang kita sudah tahu kalau Cong Hui-miat tewas ditangan perkumpulan naga hijau, jadi urusan yang lain bisa kita bicarakan dikemudian hari. Dengan wajah melongo Ing Bu-ok mengawasi gadis itu, dia seolah belum pernah berjumpa dengan manusia semacam ini. Tapi sejujurnya, manusia macam begini memang jarang sekali dijumpai. Bila orang lain yang sedang menghadapi masalah semacam ini, mereka tentu murung, kesal dan sedih, tapi gadis itu? Dia seakan sudah melupakan semua

persoalan, seolah semua kemurungan dan kesedihan telah dibuangnya jauh jauh. Setelah menghela napas panjang dan tertawa getir, kata Lo Kay-sian, Kelihatannya meski sedang menghadapi persoalan yang lebih besar pun, dia sanggup membuang semuanya dalam waktu singkat. Di dunia ini sesungguhnya memang tidak ada persoalan yang berharga untuk dirisaukan. Aaai, manusia macam kau memang orang yang paling hokki, Ing Bu-ok menghela napas panjang. Cong Hoa tidak menyangkal. Besok kau masih ada urusan apa lagi? tidak tahan Lo Kay-sian bertanya. Sebuah urusan yang amat penting. Sambil tersenyum Cong Hoa menggapaikan tangannya, lalu seakan selembar pelangi yang menyambar lewat, tahu-tahu dia sudah jauh meninggalkan tempat itu. Mengawasi hingga bayangan tubuh nona itu lenyap diluar kota, Lo Kay-sian baru menghela napas panjang, ujarnya sambil tertawa getir, Sekarang aku baru tahu kenapa dia tidak pernah risau, rupanya dia bisa berjumpalitan, setiap setelah berjumpalitan maka semua kerisauan pun ikut lenyap.

Cong Hoa memang memiliki kemampuan itu, bila tidak menguasai kepandaian ini, mungkin sekarang dia sudah menumbukkan kepalanya diatas dinding.

BAB 8. Dia sudah mengerti.

Tanggal dua, tengah hari. Cong Hoa sudah balik ke kota propinsi, dengan langkah lebar dia memasuki rumah makan Cin-cun-wan. Bila berganti orang lain yang menjumpai pelbagai kejadian seperti apa yang dialaminya sekarang, mungkin orang itu sudah mampus sejak dulu, tapi ketika memasuki rumah makan, wajahnya masih tetap berseri, semangatnya bugar seakan akan baru saja mendapat rejeki nomplok. Begitu melihat kehadirannya, sang pelayan segera maju menyambut dengan hormat, Selamat pagi nona. Pagi! sambil tersenyum Cong Hoa men-cari tempat duduk yang dekat jendela.

Selama dua hari belakangan mencari rejeki di mana? Sudah tidak kelihatan selama berhari-hari. Aaah, menemani teman lama keluar kota. Silahkan duduk, silaukan duduk, segera akan kupersiapkan hidangan. Matahari bersinar cerah, hari ini udara memang nampak segar. Setelah balik ke sana, Cong Hoa merasakan perasaan hatinya jauh lebih riang, jauh lebih gembira. Dia memang patut gembira, sebab dia sudah mengerti, telah berhasil memahami sesuatu... Jika bukit tidak datang ke hadapanmu, kaulah yang mendatangi bukit itu. Sekalipun peristiwa ini aneh dan penuh misteri, asal mau rajin melacak dan menyelidiki, Cong Hoa yakin akhirnya dia pasti akan berhasil mencapai tujuan. Tapi Cong Hoa tetap bingung, kejadian ini nampaknya saja sederhana tanpa liku liku, akan tetapi dia tidak tahu harus dimulai dari mana. Karena bingung tidak tahu harus berbuat apa, maka diapun putuskan untuk menunggu disitu.... biar orang lain yang datang mencarinya.

Tapi mimpi pun Cong Hoa tidak menyangka kalau orang pertama yang datang mencarinya ternyata adalah dia. Meskipun agak kepagian untuk minum arak sepagi ini, namun ditengah udara yang begini dingin, tidak ada salahnya untuk meneguk satu dua cawan arak guna menghangatkan tubuh. Setelah melahap sesuap sayur dan menghirup seteguk arak, Cong Hoa menghembuskan napasnya perlahan. Ditepi jalan tumbuh sebatang pohon, seseorang duduk disisi pohon sambil memegang sebuah cupucupu berisi arak, anehnya orang itu tidak menenggak isinya tapi hanya mengendusnya dengan hidung, kemudian setelah menghirup napas dalam dalam, dia membuang napas itu perlahan. Kalau dilihat dari tampangnya, orang itu seperti ingin sekali meneguk arak wangi itu, tapi dia pun merasa sayang untuk menghabiskan isinya, maka dia hanya mengendusnya untuk memenuhi hasratnya. Menyaksikan orang itu Cong Hoa langsung tertawa, bahkan tertawanya sangat gembira. Orang persilatan menyebut Ui sauya, hanya sayang otaknya sedikit miring.

Ternyata orang yang sedang duduk dibawah pohon itu tidak lain adalah si pengemis yang tidak tahu diri itu, Ui sauya. Hari ini dia tidak muncul sambil mem-bawa goanpo tapi memegang sebuah cupu-cupu berisi arak, apakah kehadirannya hari ini bukan untuk membunuh orang? Benarkah dia seseram apa yang diberitakan dalam dunia persilatan? Cong Hoa merasa dia tidak mirip, sekalipun wajah senyum tidak senyumnya memang kelihatan sangat jelek, tapi jelek yang menarik, jelek yang tidak mendatangkan rasa muak, jelek yang membuat orang jadi tertarik. Baru saja Cong Hoa hendak membawa arak menghampiri Ui sauya yang menarik itu, mendadak dia merasakan hawa pembunuhan yang sangat kuat muncul dari seberang jalan. Diseberang jalan sanapun terdapat sebatang pohon, dibawah pohon berdiri manusia. Empat orang manusia. Seorang sedang minum arak, dua orang sedang bermain catur dan seorang lagi pemuda berbaju putih sedang menggunakan sebilah pisau belati untuk membersihkan kukunya. Paras muka pemuda itu memang kelihatan seperti pisaunya, dibalik warna putih terselip semu hijau, hijau yang sangat menakutkan.

Dari dua orang yang sedang bermain catur, seorang adalah hwesio, meski alis matanya sudah memutih namun wajahnya merah bagaikan wajah bayi, sementara seorang yang lain memakai baju hijau celana putih, sebuah cincin menghiasi jari tangannya, cincin itu adalah sebuah batu kemala putih Pek-hangiok yang tidak ternilai harganya. Pupil mata Cong Hoa tiba-tiba menyusut kencang, wajahnya yang munggil pun men-dadak berubah jadi semu merah. Ternyata orang yang sejak tadi hanya tundukkan kepala sambil minum arak itu, kini sedang mendongakkan kepalanya dengan perlahan. Bagaimana daganganmu akhir-akhir ini? Cong Hoa segera menegur. Masih lumayan...sejelek apa pun, masih ada juga suami istri bodoh yang menyumbang uang minyak untukku, sahut hwesio beralis putih itu cepat, Apalagi mendekati musim gugur, inilah musim makmur bagi kami. Biarpun dandanannya adalah seorang pendeta, namun lagak dan cara berbicaranya persis seperti seorang toa tauke. Banyak toa tauke yang tidak menyenangkan, tidak nyana kau justru amat menyenangkan, Cong Hoa tertawa terkekeh kekeh.

Hahahaha... aku memang bernama Yu Ki (menyenangkan) hwesio beralis putih itu ikut tertawa. Yu Ki? Kau dari marga apa? senyuman Cong Hoa mulai nampak agak dipaksakan. Aku she-Bwee! Bwee? Bwee Yu Ki? Sekarang Cong Hoa tidak bisa tertawa lagi. Dia cukup mengenal nama orang itu. Dua puluh tahun berselang, dia adalah salah satu dari empat pelindung hukum kuil Siau-lim-si, bukan saja tingkah lakunya sedikit sinting bahkan ambisi nya besar sekali. Waktu itu hongtiang kuil Siau-lim, Un-sim taysu sudah mengetahui akan rencana busuknya, tapi sayang tidak punya bukti atau saksi. Setiap hari Bwee Yu-ki menyembunyikan diri bagaikan seorang gadis pingitan, jangan lagi mendekatinya, mau bertemu saja susahnya setengah mati. Tapi suatu ketika, akhirnya dia masuk perangkap hingga diusir keluar dari pintu siau-lim-si. Cong Hoa mengawasi Bwee Yu-ki tanpa berkedip, dia tidak berani bersikap gegabah bahkan mengendorkan perhatiannya sekejap pun tidak berani. Siapa tahu baru saja dia berpaling, bidak catur yang ada ditangannya telah diletakkan diatas papan catur.

Tapi baru dia letakkan biji bidak tadi, dengan cepat tangannya kembali mengobrak abrik seluruh bidak yang ada di papan catur sembari berseru, Aku mengaku kalah! Kau kalah karena perhatianmu sudah terpecahkan, mana boleh dianggap satu kekalahan, sahut lelaki setengah umur berbaju hijau bercelana putih itu cepat. Hanya gara-gara salah langkah, seluruh permainan jadi berantakan, mana boleh dianggap tidak kalah? Betul, apalagi bermain catur sama seperti bermain pedang, tidak seharusnya pikiran bercabang, kalau konsentrasi sampai buyar, mana mungkin bisa menjadi seorang jagoan tangguh? sambung lelaki setengah umur penjual gincu dan pupur itu cepat. Masih untung kendati sewaktu bermain catur pikiran taysu bisa bercabang, namun setelah menggenggam tombak Ciang-liong-ngo-bwee-ciang (tombak lima bunga bwee penakluk naga), konsentrasi mu tidak pernah buyar. Cong Hoa memandang sekejap lelaki setengah umur berbaju hijau bercelana putih itu, kembali perasaan keheranan melintas diatas wajahnya. Jadi kau dari marga Li? tanyanya kemudian. Bok Cu-li, jawab lelaki itu sambil mengangguk. Ooh, jadi kau adalah Li Ki-tong (Li si bocah catur)?

Persoalan di dunia ibarat permainan catur, apalah arti dari sebuah nama? Li Ki-tong menghela napas panjang, Aku tidak lebih hanya seorang anak catur. Siapa pun tidak akan menyangka kalau orang yang kelihatannya sangat sederhana ini ternyata adalah seorang pembunuh bayaran yang paling misterius dan paling tinggi bayarannya dalam dunia persilatan. Mungkin saja namanya kalah tenar bila dibandingkan Bwee Yu-ki, namun tidak akan lebih bijaksana dan welas kasih daripada dirinya. ... Pembunuh bayaran memang selalu hidup dalam kesepian dan keterpencilan. Asal tawaran harganya cocok, tidak ada sasaran yang ditolak untuk dibunuh. Konon untuk membantai si pisau kilat Tan Beng, dia telah menghabiskan waktu selama tujuh tahun enam bulan lewat tiga hari. Ketika usaha pembunuhannya gagal maka dia akan mengulang untuk kedua kalinya, ketika usahanya yang kedua kembali gagal maka dia akan mengulang yang ketiga dan seterusnya hingga usaha pembunuhannya berhasil, untuk membinasakan si pisau kilat Tan Beng, dia telah melakukan dua puluh lima kali percobaan pembunuhan.

Menghadapi manusia penyabar dan tidak kenal putus asa macam dia, siapa lagi manusia di dunia ini yang tidak mampu dibunuhnya? Biarpun senyuman masih menghiasi bibir Cong Hoa, namun perasaan hatinya sudah gelisah bagai semut yang ada di kuali panas. Kelihatannya dalam gerakan kali ini perkumpulan naga hijau telah mempertaruhkan jumlah uang yang sangat banyak. Bagi Cong Hoa, dia tidak lebih hanya mendapat titipan untuk membawa Cong Hui-miat keluar dari penjara bawah tanah, sedang masalah yang menyangkut kabar angin serta hubungannya dengan pihak pemerintah, baginya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Tapi sekarang, mengapa perkumpulan naga hijau mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi dirinya? Kemarin, bukankah kalian sudah berhasil membunuh Cong Hui-miat? kata Cong Hoa kepada lelaki penjual gincu itu, Andaikata menginginkan juga nyawaku, bukankah kalian bisa melakukan bersamaan waktunya? Kenapa harus menunggu hingga hari ini? Sebetulnya dalam operasi yang dilakukan waktu itu, kami memang berencana akan membunuh kau dan Cong Hui-miat, ujar lelaki setengah umur itu hambar, Tapi secara tiba-tiba kami tidak berani melakukannya.

Kenapa? Karena bila kami membunuhmu maka kamilah yang bakal mampus! Kalian yang bakal mampus? Cong Hoa membelalakkan matanya lebar-lebar, Memangnya kalian anggap kemampuanku sanggup untuk membunuh kalian? Mungkin kau memang tidak sanggup, tapi dia sanggup, kata lelaki itu sambil memandang ke arah seberang jalan, lamat-lamat perasaan ngeri dan takut memancar keluar dari balik matanya. Tanpa berpaling pun Cong Hoa tahu siapa yang dimaksud, tapi, benarkah hari itu Ui sauya yang telah menyelamatkan jiwanya? Tiba tiba dia teringat kembali dengan perkataan Ing Bu-ok... Dia mengambil uang milikmu, jangan-jangan dia telah selamatkan jiwamu? Dalam pada itu Ui sauya telah berjalan mendekat sambil tertawa cengengesan, ketika dekat disamping gadis itu sapanya, Waah, kelihatannya kita memang punya jodoh, baru berpisah kemarin, hari ini sudah bertemu lagi. Ada apa? Apa goanpo mu sudah habis dipakai? tegur Cong Hoa sambil tertawa, Apakah hari ini kau ingin merampas goanpo milikku lagi?

Kau? Tentu saja kau, goanpo siapa lagi yang bisa dirampas segampang milikmu? Ehmm, betul juga perkataanmu itu, Cong Hoa mengangguk. Sincia sudah hampir tiba, kalau tidak merampas sedikit goanpo lagi, bagaimana caraku merayakan tahun baru kali ini? kembali Ui sauya menghela napas. Kami mempunyai banyak goanpo, apakah anda tertarik untuk mengambilnya? mendadak lelaki setengah umur itu menawarkan. Goanpo milik perkumpulan naga hijau susah diperoleh, kalau kau dermakan sembarangan, apa tidak kuatir si naga yang ada diatas loteng itu mencak-mencak marah? Berubah hebat paras muka lelaki setengah umur itu, baru saja akan berkata lagi, Bwee Yu-ki sudah memotong duluan, Kalau soal itu mah kau tidak perlu kuatir, dia sama seperti kau, percaya akan karma dan reinkarnasi. Lalu berapa banyak goanpo yang telah dia sediakan untuk membeli karma baikku ini? tanya Ui sauya. Paling tidak cukup untuk membuat sebuah peti mati dari emas murni untukmu. Waah, itu sih kebanyakan, kalau aku hanya pingin mendapat goanpo yang cukup membuatku merayakan tahun baru dengan gembira.

Hmm! Bwee Yu-ki segera tertawa dingin. Cong Hoa cukup memahami maksudnya, apakah Ui sauya masih bisa hidup melewati hari inipun masih menjadi tanda tanya besar, buat apa dia memikirkan tahun baru? Cong Hoa segera berpaling dan mengawasi Ui sauya, tapi pengemis itu masih menampilkan tampangnya yang bloon dan acuh tidak acuh. Say Siau-li masih membersihkan kuku jarinya, tangan itu masih tetap tenang dan mantap, namun dibalik sinar mata kejinya kini sudah mulai menampilkan perasaan gelisah dan tak tenangnya. Ternyata Ui sauya sedang mengawasi dirinya. Lamat-lamat otot hijau sudah mulai mengejang keras dibalik tangannya, seakan dia harus menggunakan tenaga yang ekstra besar untuk membuat sepasang tangannya itu tetap tampil mantap. Gerakannya masih tetap sangat ringan dan lamban, bahkan gayanya sama sekali tidak berubah, memang tidak gampang baginya untuk tetap tampil dalam sikap seperti ini. Tanganmu amat stabil! tiba-tiba Ui sauya menegur. Memang selamanya stabil, jawab Say Siau-li hambar.

Seranganmu tentu cepat sekali, kembali Ui sauya tertawa cengir, Bahkan setelah golok lepas dari tangan pun, golok itu masih dapat melakukan pelbagai perubahan. Kau dapat melihatnya? Aku dapat melihat kalau kau melempar pisaumu dengan menggunakan tiga jari, oleh sebab itu diatas mata pisau masih tersisa tenaga untuk berputar, kata Ui sauya, Akupun dapat melihat kalau kau melempar pisaumu dengan tangan kiri, mula-mula bergerak lewat samping lalu baru mengarah ke sasaran. Bagaimana mungkin kau dapat melihatnya? akhirnya Say Siau-li menghentikan juga kegiatannya membersihkan kuku jari. Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu kelewat bertenaga. Tajam amat pandangan matamu, Say Siau-li tertawa, walau tertawanya sangat dipaksakan. Pisau bagus! Pisau ini memang bagus! Biarpun pisau itu bagus, sayang kau bukan Li Sinhuan.

Tentu saja Say Siau-li mengerti apa yang diartikan Ui sauya dengan perkataan itu, tidak heran kalau otot hijau pada punggung tangannya pada menonjol semua. Ui sauya tidak menggubrisnya lagi, sambil tertawa dia berpaling ke arah Li Ki-tong dan menegur, Mana pedangmu? Pedangku ada disini. Bersamaan dengan perkataan itu, Li Ki-tong meloloskan sebilah pedang dari balik bajunya ... Pedang bunga mawar! Biasanya pedang itu disembunyikan di-balik bajunya sebagai sebuah sabuk, pedang itu memang lembek, sarung pedangnya juga lembut lagi lembek, warnanya merah menyala. Warna merah itu tidak ubahnya seperti bunga mawar merah di musim semi. Inikah pedang bunga mawar, pedang yang dulu digunakan Yan Lam-hui? Ui sauya memandang pedang itu sekejap, Walaupun pedangnya memang pedang bunga mawar, tapi sayang... Tapi sayang aku bukan Yan Lam-hui? sambung Li Kitong. Ui sauya tidak menanggapi, dia hanya tertawa.

Mana kapakmu? kini giliran Li Ki-tong yang mengawasi Ui sauya, Akupun tahu kalau kau menggunakan senjata kapak. Hahahaha... kapan kau pernah melihat ada orang mencabut bunga dengan menggunakan kapak? Ui sauya tertawa tergelak. Mencabut bunga? Memangnya mawar bukan termasuk bunga? Kalau kau ingin mencabut bunga mawar, semestinya tidak lupa dengan duri ditangkai mawar bukan? Bukan saja duri itu bisa melukai tanganmu, juga dapat melukai perasaan hatimu. Aku sudah tidak punya perasaan hati yang bisa dilukai lagi, tukas Ui sauya. Tapi tanganmu bisa terbuka! Jika dia melukai tanganku, akupun akan melukai hatinya, kembali Ui sauya tertawa tergelak. Mana mungkin hati pedang bisa terluka? Pedang sih tidak punya, tapi kau punya. Pertama kali bertemu Ui sauya, Cong Hoa merasa orang ini agak dogol, tidak pintar, ketika barusan melihat dia sedang minum arak di bawah pohon, diapun merasa orang ini menarik, tapi setelah menyaksikan tampang mukanya sekarang, dia merasa

penampilan orang ini seakan seorang pendekar kenamaan. Sebetulnya manusia macam apakah dia? Tidak kuasa Cong Hoa mulai mengamati wajahnya dengan seksama. Dia mempunyai perawakan tubuh yang tidak terlampau tinggi, bentuk kepalanya kelewat besar, kulit mukanya mirip kulit jeruk, dibawah lubang hidungnya terlihat kumis yang tidak terlalu tebal. Cara dia tertawa amat istimewa, pun amat menarik dipandang. Kalau orang lain mulai tertawa, ada yang matanya tertawa duluan, ada juga mulutnya tertawa duluan. Tapi jika dia yang mulai tertawa maka hidungnya yang tertawa duluan, mula-mula hidungnya sedikit berkerut kemudian dari pipinya pelan pelan muncul lesung pipitnya yang amat dalam. Sekarang dia sedang tertawa, dikala lesung pipinya menampilkan senyuman yang paling dalam itulah si lelaki setengah umur penjual gincu yang selama ini hanya berdiri tenang disamping mulai melancarkan serangan. Sebatang cambuk lemas yang sangat panjang secara diam-diam melingkar ke tengkuk Ui sauya, persis seperti lilitan yang menggulung tengkuk Cong Hui-miat ketika berada di jalan raya tempo hari.

Menanti Cong Hoa menyadari akan hal itu, ujung cambuk sudah berada tiga inci dari tengkuk Ui sauya, dalam jarak sedekat ini, biar dia memberi peringatan pun sudah tidak ada gunanya. Plaaak! cambuk panjang itu sudah melingkar ke depan. Ternyata yang digulung bukan tengkuk Ui sauya melainkan buli-buli arak yang berada dalam genggamannya. Padahal ancaman itu jelas mengarah ke atas tengkuk dan serangan itu serasa mustahil untuk dihindari, tapi entah mengapa tiba-tiba saja cambuk itu hanya berhasil melilit buli-buli arak. Lelaki setengah umur itu tampak terperanjat, buruburu dia buang buli-buli itu ke tanah, tapi pada saat itulah Ui sauya sudah melempar buli-buli itu ke depan, secepat petir benda itu menerjang ke arah Bwee Yu-ki. Dalam pada itu Bwee Yu-ki telah mempersiapkan tombak lima bwee penakluk naganya, begitu ujung tombak bergetar, segera muncullah lima kuntum bunga bwee yang menyelimuti angkasa. Ketika buli-buli itu masuk ke balik pusaran bunga bwee, seakan kuntum bunga yang diterbangkan angin topan, seketika membuyar jadi beribu keping dan berhamburan kemana-mana.

Li Ki-tong tertawa dingin, dia menyerang dengan pedangnya, serangan dilancarkan cepat lagi tepat sasaran. Pengalamannya menghadapi pelbagai pertempuran sengit membuat dia sangat menguasahi jurus serangannya, setiap gerakan yang digunakan biasanya akan mendatangkan hasil yang luar biasa. Ui sauya masih tertawa tapi tangannya sudah mulai bergerak, gerakannya sangat lamban, pada setiap gerakannya disertai irama yang aneh, seakan pohon Yang-liu yang berkibar terhembus angin, sama sekali tidak terlihat tenaga kekuatan yang bisa merenggut nyawa. Saat itu pedang bunga mawar dari Li Ki-tong sudah menusuk ke wajah lawan, tapi ketika ujung pedangnya hampir menyentuh tubuh lawan, tiba-tiba saja senjatanya sudah tergulung masuk ke balik pusaran angin yang sangat aneh itu, seakan sebuah kerang yang berbentuk tajam digulung oleh ombak samudra. Tatkala air mulai surut, seluruh tenaga serangan yang disertakan pun turut hilang lenyap tidak berbekas. Menyusul kemudian Li Ki-tong seperti mengendus semacam bau yang sangat aneh, semacam bau yang anyir seperti bau darah. Pandangan matanya tiba-tiba berubah jadi selapis warna merah, kecuali warna merah menyala, nyaris dia tidak dapat melihat apa-apa, dia pun merasa seakan

ada sekilas bayangan merah yang tiba-tiba bergerak naik didepan matanya. Perasaan hatinya terkesiap, dia ingin menyingkirkan kabut merah itu dengan pedang bunga mawarnya, menusuk dan menembusnya, tapi reaksinya sudah amat lamban, gerak-geriknya jadi lambat sekali, menanti cahaya merah itu hilang lenyap, dia baru menjumpai kalau tenggorokannya terasa amat kering, mulutnya terasa getir bercampur pahit. Disamping itu dia pun merasa amat lelah, sedemikian lelahnya hingga nyaris mau muntah. Trinng! diiringi dentingan nyaring, pedang bunga mawar itu sudah rontok ke tanah. Cong Hoa menghembuskan napas panjang, tampaknya barusan dia pun merasakan juga tenaga tekanan yang sangat lembut tapi aneh itu. Bwee Yu-ki menghembuskan napas panjang, keringat dingin telah membasahi jidatnya, sekalipun dia sudah empat puluh tahun belajar silat namun tidak sedikitpun bisa melihat gerak serangan apa yang barusan digunakan Ui sauya. Say Siau-li masih berdiri ditempat sembari membersihkan kukunya, ternyata sejak tadi dia belum juga bergerak. Kepandaian macam apa itu? gumam lelaki setengah umur itu sambil mengawasi Li Ki-tong yang

tergeletak di tanah, Apa benar di dunia ini terdapat kungfu macam ini? Belum habis dia bergumam, tiba-tiba Ui sauya sudah membalikkan badan mengawasi Say Siau-li. Seketika itu juga Say Siau-li menghentikan semua gerak-geriknya. Lama Ui sauya mengawasi wajahnya, kemudian baru berkata, Seandainya Yap Kay yang melepaskan pisau terbangnya, mungkin hanya satu orang dalam dunia persilatan saat ini yang bisa menghadapinya. Bagaimana dengan pisau terbangku? Paling tidak ada dua orang yang hadir disini saat ini dapat menghadapi pisau terbangmu itu! sahut Ui sauya hambar. Apa salah satunya dirimu? tanya Sau Siau-li sambil menatap tajam lawannya. Tentu saja. Perlahan-lahan Ui sauya membalikkan tubuhnya, menarik tangan Cong Hoa dan tanpa berpaling lagi segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Bwee Yu-ki dan lelaki setengah umur itu tidak bergerak, ternyata Say Siau-li juga tidak bergerak, bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pisau terbang sudah siap, tangan pun sudah siap, tapi pisau terbangnya tidak pernah dilepaskan, dia hanya mengawasi bekas kaki yang membekas diatas permukaan salju. Dari balik paras mukanya yang tanpa perasaan, tersungging segulung senyuman yang sangat dingin. Bekas telapak kaki membekas sangat dalam, bekas kaki yang ditinggalkan Ui sauya, sebab dia harus menghimpun segenap tenaga yang dimilikinya untuk bersiap siap menghadapi pisau terbang dari Say Siau-li. Namun Say Siau-li sama sekali tidak turun tangan, dia tidak pernah melepaskan pisau terbangnya. Setelah meninggalkan jalan raya itu Ui sauya baru mendongakkan kepalanya sambil menghembuskan napas panjang, tampaknya dia merasa amat kecewa. ... Bukan Cuma kecewa, bahkan sedih dan murung. Kau sedang sedih? Murung? tegur Cong Hoa. Ternyata Say Siau-li jauh lebih menakutkan daripada siapa pun yang telah kujumpai berapa tahun terakhir. Kenapa? Sebenarnya aku sudah melihat jelas aliran pisau terbangnya, aku sudah berusaha memanasi hatinya agar dia turun tangan, kata Ui sauya, Jika dia turun

tangan saat ini, mungkin aku masih bisa menghadapinya, aku punya keyakinan itu. ... Siapa tahu sikap dingin dan tenang dari Say Siau-li jauh lebih dingin ketimbang pisau terbang yang berada dalam genggamannya, jauh lebih menakutkan. Bila tiga tahun kemudian dia baru turun tangan, aku tidak tahu apakah masih sanggup untuk menghadapinya? Walaupun di pagi hari matahari masih bersinar cerah, tapi begitu lewat tengah hari cuaca sudah mulai berubah, ketika malam menjelang tiba, angin dan salju mulai berhamburan. Bunga salju beterbangan diseluruh angkasa, hembusan angin puyuh membuat seluruh benda serasa bergoncang keras. Dalam cuaca separah ini, tidak seorang pun yang bersedia keluar dari rumah. Tentu saja Tu Bu-heng juga tidak bisa keluar dari rumah, sejak tadi dia sudah memasak air panas untuk mandi, kemudian setelah berganti pakaian bersih, dia membaringkan diri diatas bangku berselimut bulu domba, meneguk arak hangat dan menikmati bunga salju yang beterbangan diluar jendela. Menikmati bunga salju yang beterbangan di angkasa, benar-benar merupakan satu perbuatan yang amat seni, tentu saja perkataan semacam ini hanya

diucapkan mereka yang mengenakan pakaian tebal, duduk dalam ruangan yang hangat dan menikmati arak wangi yang panas. Coba kalau kau melepaskan seluruh pakaiannya kemudian melemparkan dia ke tengah jalan dan menyuruhnya minum secangkir air dingin, lihat saja apakah dia masih sanggup mengucapkan perkataan tersebut. Meskipun Tu Bu-heng tidak mengucapkan perkataan itu, tapi dia dapat merasakan juga bahwa apa yang dialaminya sekarang benar benar merupakan satu kenikmatan. Dia tidak pernah mau membagi kenikmatan semacam itu dengan orang lain, termasuk juga Un-hwee sianseng. Lewat berapa hari lagi musim salju akan tiba, Tu Buheng memandang ke tempat kejauhan, Waktu itu, persoalan tersebut pasti sudah beres! Setiap kali teringat akan hal ini, dengan penuh riang gembira dia akan meneguk habis isi cawannya kemudian dengan cepat meme-nuhi lagi cawannya dengan arak. Inilah tuangan araknya yang paling akhir dalam masa kehidupannya sekarang. Gaya tubuhnya masih sama persis seperti ketika dia menuang arak itu, senyuman masih menghiasi

wajahnya, akan tetapi sepasang matanya sudah tidak bersinar, pupil matanya lambat laun berubah jadi pucat keabu-abuan. Arak masih tetap memenuhi cawannya, tidak setetes pun yang tumpah keluar, sekarang biar kau membalik cawan araknya pun arak dalam cawan tidak akan tumpah. Karena arak dalam cawan itu sudah membeku jadi es. Seluruh wajah Yu Bu-heng dilapisi juga oleh selembar salju yang amat tipis. Suhu udara didalam ruangan itu seakan anjlok secara tiba-tiba, entah sejak kapan, entah datang dari mana, tahu tahu selapis kabut telah menyelimuti tempat itu. Ketika kabut sudah menyelimuti seluruh ruangan, lamat lamat terlihat ada sesosok bayang manusia, tapi seakan juga bayangan manusia itu terbentuk dari kabut yang membeku. Bayangan manusia ditengah kabut itu melayang perlahan dihadapan Tu Bu-heng, sepasang matanya yang berada ditengah kabut terlihat seakan cahaya bintang yang muncul ditengah hujan. Biarpun kemampuan Un-hwee sianseng mengolah arak sangat hebat, dia sendiri tidak pernah minum arak yang dihangatkan.

Seperti juga koki yang sangat jarang menikmati hidangan yang dimasak sendiri. Kamar tidurnya tidak lebih besar dari kamar milik Tu Bu-heng, tapi jauh lebih nyaman, waktu itu dia pun sedang minum arak. Dia tidak sedang menikmati bunga salju di luar jendela, dia sedang membaca buku, sejilid buku yang tebal, buku cerita Kim-ping-bwee yang menceritakan lakon Phoa Kiem-lian dan Seebun Khing. Ketika capai membaca, dia letakkan kembali bukunya dan pejamkan mata untuk beristirahat sejenak. Tapi ketika dia membuka matanya kembali, dijumpai seluruh kamar tidurnya telah diselimuti kabut yang amat tebal. Dia berpaling mengawasi sekejap daun jendelanya yang terbuka, sudah pasti kabut masuk melalui jendela itu, dia bangkit berdiri dan menutup rapat daun jendela ruangannya. Dalam udara sedingin ini masa ada kabut setebal ini? Bukan hanya ada kabut, disitu pun ada seseorang. Sesosok bayangan manusia sedang duduk ditempat dimana dia membaca buku tadi. Biar kaget bercampur tercekat, Un-hwee sianseng masih bersikap sangat tenang.

Sobat, siapa namamu? Ada urusan apa datang kemari? Orang dibalik kabut masih duduk tidak bergerak disitu. Perlahan-lahan Un-hwee berputar menuju ke depan meja, menanti dia dapat melihat jelas wajah orang dalam kabut itu dia nampak terperangah, mulutnya melongo seperti akan mengucapkan sesuatu, namun tidak sepotong suara pun yang bisa diucapkan. Dia sama seperti Tu Bu-heng, berdiri kaku dan tidak mampu bergerak lagi, wajahnya tiada rasa kaget atau ngeri, yang tertinggal hanya perasaan tidak percaya. Tidak percaya apa? Tidak percaya orang itu bisa membunuhnya? Atau tidak percaya orang itu bisa muncul di tempat itu? Kabut sudah mulai menipis, orang dibalik kabut juga telah lenyap tidak berbekas, saat itulah terdengar seseorang menghela napas. Aaaai! Rahasia hanya akan membawa kematian bagi seseorang, mengapa kalian masih juga tidak mengerti? Ucapan telah lenyap, kabut pun sudah buyar.

Di dalam ruangan hanya tersisa tubuh Un-hwee sianseng yang sudah membeku serta sejilid kitab yang sangat tebal, buku cerita Kim-ping-bwee. Apa yang dimaksud rahasia? Rahasia adalah sesuatu yang bisa kau nikmati seorang diri. Mungkin dia bisa membuat kau gembira, mungkin bisa membuat kau menderita, apa pun dia, seluruhnya menjadi milikmu seorang. Bila dia adalah penderitaan, hanya kau seorang yang menanggung. Bila dia adalah kegembiraan, kau juga yang akan menikmati tanpa membagi rasa dengan orang lain. Bahkan tidak untuk sahabat karibmu sekalipun. Sebab jika ada orang kedua yang mengetahui rahasiamu, maka rahasia tersebut sudah tidak bisa dianggap sebagai rahasia lagi. Ada sementara rahasia memang benar-benar merupakan semacam kenikmatan. Ketika kau selesai bersantap, selesai mandi air panas, mengenakan baju yang lebar, duduk seorang diri di kursi malas yang empuk, memandang sinar senja diluar jendela kemudian teringat kembali rahasiamu dimasa lalu, dari hati kecilmu akan muncul semacam perasaan hangat yang tidak terlukiskan dengan kata...

Bila rahasiamu hanya satu macam, maka simpanlah baik-baik untuk selamanya, atau cepatlah kau ungkap keluar rahasia tersebut. Tapi jika rahasiamu adalah kau mengetahui rahasia dari seseorang atau rahasia dari suatu gerakan gelap, kuanjurkan kepadamu, lebih baik cepatlah mencari tempat yang sangat jauh, sangat tersembunyi untuk menyembunyikan diri, makin cepat makin baik. Lebih baik lagi jika kau dapat bersem-bunyi sepanjang hidupmu. Kalau tidak, bagaimana akhir dari nasibmu, tentunya kau lebih jelas dari siapapun. Rahasia tidak mungkin bisa dinikmati bersama orang lain. Cong Hoa duduk dibawah emperan rumah, dia sudah lama sekali duduk disitu. Selama masih ada pekerjaan yang bisa dilakukan, tidak nanti dia bisa duduk ditempat itu. Ada orang yang lebih suka kelayapan diluaran, menyaksikan orang lain berlalu lalang, melihat anjing liar berkelahi disudut jalan, ketimbang mengunci diri didalam rumah. Cong Hoa adalah type manusia semacam ini. Tapi sekarang, satu-satunya perbuatan yang bisa dia kerjakan hanya duduk disitu, sebab dia butuh mencari

sebuah tempat yang tenang untuk memikir ulang seluruh peristiwa yang dialaminya selama ini. Lagipula malam sudah semakin larut, udara pun dinginnya setengah mati, bukan saja dijalanan tidak dijumpai sesosok manusia pun, bahkan anjing anjing liarpun entah sudah pada sembunyi dimana. Dia sudah hidup selama dua puluh tahun, sudah menjalani dua puluh kali musim dingin, tapi belum pernah dia alami musim dingin sedingin sekarang. Seluruh permukaan bumi seolah sudah kembali ke jaman es dulu, semuanya beku, semuanya dingin setengah mati. Lamunan Cong Hoa pun terbawa kembali ke setiap kunci persoalan yang menyangkut peristiwa aneh ini. Sepintas lalu, kelihatannya Cong Hoa lah yang berkemauan pergi mencari Tu Bu-heng, tapi bila dipikirkan kembali dengan seksama, dia seakan sejak awal sudah terjerumus ke dalam sebuah perangkap. Kepicikan Tu Bu-heng, kegemarannya bermain judi dan segala sesuatu tentang Tu Bu-heng, dia peroleh dari sang pelayan yang ada di Sim-cun-wan. Maksud pelayan itu, manusia macam Tu Bu-heng sudah sepantasnya mendapat ganjaran. Maka Cong Hoa pun pergi mencari Tu Bu-heng dan menantangnya bertaruh, karena itu diapun mulai

memanjat pohon, minum arak sambil kongkouw dan pembicaraan pun mulai berlangsung. Dengan termangu Cong Hoa menerawang memandang kegelapan malam, pikirannya terbayang kembali ke wajah sang pelayan yang dijumpainya di Sim-cun-wan. Sepintas lalu pelayan itu kelihatan seperti orang di luar garis, tapi Cong Hoa percaya kalau kejadian ini merupakan satu jebakan maka pelayan itu pastilah umpannya. Bila ingin mengungkap kejadian yang sesungguhnya dari kejadian ini, dia mesti turun tangan dimulai dari sang umpan. Berpikir sampai disitu, bagaikan kelinci yang terkena panah, Cong Hoa segera melompat bangun dan berlarian menuju keluar. Dia tidak ambil perduli sekarang sudah jam berapa, dia pun tidak mau tahu apakah pelayan itu sudah tertidur atau belum. Dia tidak berani membuang waktu lagi, biar sekejap pun, dia takut jika kenyataan sesuai dengan apa yang dibayangkan maka keselamatan jiwa pelayan itu pasti terancam. Dia harus secepat mungkin menemukan pelayan itu, kalau tidak...

Kebanyakan pelayan yang bekerja di rumah makan adalah para bujangan, sebab mereka harus berdiam didalam rumah makan, disamping lebih leluasa, pun sekalian menjaga rumah makan itu. A-ci juga tinggal didalam rumah makan, meskipun malam sudah kelam, jarak dengan fajar pun semakin dekat, namun A-ci tidak bisa tidur, dia kelewat gembira sehingga tidak sanggup memejamkan matanya. Selesai tutup warung tadi, dia bermain judi dengan berapa orang rekannya, hari ini adalah hari keberuntungannya, dia berhasil menang besar. Baru pertama kali ini dia berhasil menang besar, dia berencana besok malam akan menantang berapa orang rekannya untuk sekali lagi bertaruh. Kemudian dia pun mencari Siau Tho-hong untuk kembali ke dalam biliknya yang kecil, memasak berapa macam sayur, dan mereka berdua bersembunyi disitu sambil berpacaran. Kejadian semacam ini memang selalu menjadi kejadian yang paling menggembirakan, apalagi bila membayangkan tubuh Siau Tho-hong yang begitu bahenol, Aci merasakan bagian tubuh tertentunya mulai mengalami perubahan. Dia benar-benar ingin sekali kalau sekarang adalah besok malam.

Disaat bagian tubuh tertentunya berubah mencapai puncak nya itulah, tiba-tiba Cong Hoa menerjang masuk ke dalam kamarnya. Begitu menyaksikan kemunculan gadis itu, buru-buru Aci menutupi tubuh bagian tertentu nya dengan sepasang tangan, sementara paras mukanya berubah jadi merah padam bagaikan buah apel yang ranum. Begitu bertemu dengan Aci, perasaan Cong Hoa pun ikut lega sekali, setelah mengatur sebentar napasnya yang tersengal, ujarnya sambil tertawa, Kalau lelaki memikirkan perempuan, itu adalah kejadian lumrah, sejak dulu hingga sekarang selalu begitu. Buat apa pipimu jadi semu merah? Aku... aku... Aci gelagapan dan tidak tahu apa yang harus diucapkan. Biarpun kaum cewek suka jual mahal, tapi uang jauh lebih menarik ketimbang orangnya, Cong Hoa mulai duduk dihadapan Aci, Asal ada uang, biar ditengah malam buta pun kau tetap bisa menyeretnya keluar dari balik selimut, dan dia tetap akan melayanimu sambil tertawa. Betul, kenapa tidak terpikir sejak tadi? Aci betul betul menyesal, tahu begini, mungkin saat ini dia sudah berbaring disamping Siau Tho-hong, bahkan mungkin bisa dapat menya-lurkan hasratnya sejak tadi dan tidak perlu merasa jengah seperti saat ini.

Akhirnya perubahan yang dialami Aci mulai mereda dan pulih jadi normal kembali, dia menuangkan secawan arak untuk Cong Hoa. Walaupun aku tahu kalau cara kerjamu rada sedikit sinting, tapi aku benar-benar tidak habis mengerti, ada urusan apa kau menerjang masuk ke dalam kamarku ditengah malam buta begini macam seekor kuda liar? Menurutmu? Tidak perlu ditebak lagi, siapa sih yang bisa menebak cara kerja serta sepak terjangmu! Sebenarnya aku ingin mengucapkan beberapa patah kata yang enak didengar, tapi kau pasti tidak akan percaya. Belum tentu, sahut Aci sambil meneguk araknya, Aku tidak pernah melarang orang lain mengucapkan kata-kata pujian padaku! Terus terang aku takut kau mati secara mendadak! kata Cong Hoa dengan wajah serius. Begitu mendengar perkataan itu, Aci pun balas memandangnya dengan serius, lewat berapa saat kemudian dia baru menghela napas panjang. Apakah siang tadi aku sudah salah menghitung uang rekeningmu? Tidak, malah untung aku!

Jadi aku telah menyalahimu? Mana mungkin? Atau temanmu kurang senang terhadapku? Tidak ada! Kalau tidak ada urusan, kenapa kau malah menyumpahi aku cepat mati? Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi wajahnya, lewat sesaat kemudian ia baru mengambil cawan araknya, menghirup setegukan kemudian baru berbisik, Cepat beritahu urusan mengenai Tu Thian, sebetulnya waktu itu kehendakmu sendiri atau ada orang menyuruh kau berbuat begitu? Tu Thian? Kau maksudkan si pelit? tanya Aci tak habis mengerti. Benar! Tentu saja maksudku, juga maksud semua orang. Apa artinya? Dia kelewat pelit, kelewat itungan, setiap orang yang pernah dirugikan selalu ingin mengerjai dirinya. Benarkah begitu? Kelihatannya kau seperti tak percaya?

Aku hanya curiga, curiga ada orang minta bantuanmu untuk mengerjai aku. Mengerjaimu? Aci tertawa terbahak-bahak, Yaa, memang ada satu orang. Siapa? berbinar sepasang mata Cong Hoa. Belum lahir, jawab Aci cepat, Asal dia adalah manusia hidup, tidak seorang pun berani mengerjai dirimu. Kelihatannya cara inipun tidak berjalan lancar, Cong Hoa merasa sedikit kecewa bercampur sedih. Tapi ada satu hal yang membuatnya sedikit terhibur, merasa agak lega, ternyata Aci bukan umpan seperti apa yang semula dibayangkan. Persahabatan tidak pernah dinilai dari kaya miskin terhormat tidaknya seseorang, juga bukan dinilai dari tinggi rendahnya jabatan serta status sosial seseorang. Teman tetap teman. Teman adalah mereka yang bisa mendatangkan kehangatan setiap kali kau terbayang akan dirinya ditengah bekunya cuaca. Dalam hati kecil Cong Hoa pun lamat-lamat terasa munculnya secerca perasaan hangat. Betapa pun tebalnya bunga salju yang beterbangan ditengah jalan, betapa pun kencangnya angin dingin

yang berhembus lewat, betapa dinginnya hawa beku yang merasuk ke tulang sumsum melalui lapisan pakaiannya, namun Cong Hoa tidak merasa kedinginan. Baru saja nyaris dia kehilangan seorang sahabat, kehilangan sahabat yang mana pun merupakan kejadian yang sangat tidak diharapkan Cong Hoa. Bunga salju yang tertimpa cahaya bintang membiaskan sinar putih keperak perakan, begitu putih sehingga mirip buih ombak yang memecah ditepian. Segumpal salju jatuh diatas kepala Cong Hoa, melayang lewat diujung hidungnya, perlahan ia membersihkan bunga salju itu, seakan dia sedang membersihkan debu yang mengotori dedaunan.

BAB 9. Ikan dalam jala.

Bintang sudah makin memudar, malam sudah mencapai pada ujungnya. Dari balik kegelapan malam yang masih menyelimuti angkasa, secerca cahaya merah tampak bersinar dari ufuk timur. Sinar fajar memang selalu mendatangkan cahaya, kegembiraan dan pengharapan bagi umat manusia.

Tapi yang dibawa Lu Siok-bun hanya kesedihan, hanya duka dan nestapa. Kembali fajar telah menyingsing, gumam Lu Siokbun sambil duduk di pembaringan dan mengawasi malam hari yang segera berakhir, langit pasti akan terang benderang! Langit tentu saja akan terang benderang, sama seperti manusia tetap akan mati juga. ... Bila perjalanan hidup manusia hanya singkat, jadi orang buat apa berpikiran sempit dan berhati picik? Ketika angin berhembus lewat, embun pagi baru saja melayang naik dari balik kegelapan malam, membasahi pepohonan bunga bwee. Kini bintang telah lenyap di balik kabut. Hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tiga. Sebuah hari yang amat sederhana. Namun bagi Lu Siok-bun, tanggal itu merupakan tanggal yang paling menyakitkan hatinya, membuat dia pedih, membuat dia selalu tenggelam dalam kenangan. Dua puluh tahun sudah lewat. Hari ini pada dua puluh tahun berselang, didalam sebuah hutan bunga bwee yang persis seperti hutan ditempat ini, dalam sebuah rumah kayu yang tidak beda dengan rumah sekarang, dia dan dia telah

menanamkan kenangan, sebuah kenangan yang penuh kegembiraan, sebuah kenangan yang penuh penderitaan. Hari sudah terang tanah, minyak lentera sudah mengering, asap hijau yang membumbung tinggi tak ubahnya seperti embun dipagi hari. Lu Siok-bun sudah semalaman suntuk duduk terpekur ditempat itu. Semalam tanpa tidur sudah cukup membuat badan jadi kurus, apalagi ditambah kenangan pahit yang sangat membekas dalam hatinya, bagaimana mungkin tidak membuatnya lesu dan layu? Cinta terkadang membuat orang terbuai, membuat orang mabuk, tapi terkadang mendatangkan juga perasaan sedih yang menyayat. Bagaimana pula rasanya cinta yang tidak kesampaian? Mungkin hanya orang yang pernah merasakan, pernah mengalaminya, baru bisa memahami bagaimanakah rasanya waktu itu. Bunga bwee ditengah kabut pagi nampak jauh lebih dingin, menambah kemurungan, menambah kemasgulan. Apakah bunga bwee di sana sama dinginnya? Sama menambah kemurungan dan kemasgulan?

Apakah orang yang ada disana sama seperti orang yang ada disini, dipenuhi kenangan, dipenuhi perasaan rindu yang meluap? Siapa bilang tidak ada setan di dunia ini? Siapa bilang? Didalam hutan di belakang pepohonan tampak kabut tebal menyelimuti permukaan bumi, ada manusia dibalik kabut, orang itu berada didalam hutan bunga bwee. Bayangan yang sedang melayang ditengah kabut, apakah sukma gentayangan yang untuk memasuki pintu neraka pun ditolak? Tubuh Nyoo Cing seakan telah menyatu dengan kabut dingin yang menyelimuti permukaan bumi, mulutnya serasa terbenam dalam kabut, hidungpun terbenam didalam kabut. Yang tersisa saat itu hanya sepasang matanya yang memancarkan sinar tajam. Cahaya dibalik matanya sudah tidak secerah tadi, kini sinar matanya dibalut dalam kepedihan dan kesedihan. Sekarang matanya sedang menyapu perlahan sekeliling tempat itu, setiap pohon bunga bwee, setiap jengkal tanah, tidak satupun yang dilewatkan.

Menyusul kemudian secerca senyuman lega terpancar dari balik matanya. Bunga bwee masih mekar menyambut datangnya sinar fajar, rumah kayu kecil masih berdiri kokoh diatas permukaan bumi. Pemandangan masih sama seperti dulu, tapi bagaimana dengan manusianya? Nuyoocing nyaris sudah menelusuri setiap jengkal tanah disekitar sana, sudah menginjak setiap kuntum bunga bwee yang ada dalam hutan itu. Setiap pohon, setiap jengkal tanah yang ada disana telah mendatangkan kenangan yang tak sanggup dihadapinya, kenangan masa lalu yang sangat memabukkan. Embun pagi telah membasahi bajunya, setiap ayunan langkahnya segera menimbulkan suara mencicit dari sepatu yang dia kenakan, alas sepatu telah basah oleh embun pagi. Hari ini, hari ini pada dua puluh tahun berselang, untuk pertama kalinya dia mengajak Lu Siok-bun mendatangi tempat ini. Pada malam itulah dia telah menanamkan bibit cintanya dalam rahim sang kekasih. Pada hari itu juga, untuk pertama kalinya dia mengeluarkan senjata kait perpisahan andalannya.

Nyoo Cing membongkar sekeping papan dari permukaan tanah, dari lubang dibawah papan itu mengeluarkan sebuah peti besi yang mulai berkarat. Ternyata didalam peti besi itu tersedia korek api. Ketika Nyoo Cing menyulut obor, Lu Siok-bun pun menyaksikan sebuah senjata yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Dibawah cahaya api, didalam peti besi itu tersimpan sebilah senjata yang sangat aneh bentuknya, membiaskan cahaya dingin yang amat tajam, membuat alis mata Lu Siok-bun segera berkerut. Benda apakah itu? tidak tahan dia bertanya dengan tubuh gemetar. Sebilah senjata, senjata yang pernah digunakan ayahku semasa hidupnya, Nyoo Cing menjelaskan dengan wajah sedih, Inilah satu satunya barang yang diwariskan ayah kepadaku, tapi berulang kali dia orang tua berpesan, kalau bukan mengancam jiwamu, jangan sekali kali kau gunakannya bahkan menyinggung nama senjata inipun jangan. Sudah banyak orang persilatan yang kujumpai, pelbagai jenis senjata tajam telah kusaksikan, kata Lu Siok-bun, Tapi belum pernah kusaksikan bentuk senjata seaneh ini.

Tentu saja kau tidak pernah menjumpainya, sebab senjata langka semacam ini tiada duanya dikolong langit. Sebenarnya senjata ini sebilah pedang atau senjata kaitan? Sebetulnya sebilah pedang, tapi ayahku telah memberikan sebuah nama istimewa padanya, senjata ini disebut Kait perpisahan. Kalau memang sebuah kaitan, seharusnya senjata itu disebut kaitan, kenapa harus ditambahi dengan kata perpisahan? Sebab bagian tubuh manapun yang terkena kaitan, bagian itu pasti akan menimbulkan perpisahan, ucap Nyoo Cing sambil mengamati senjatanya, Bila dia mengait tanganmu maka tanganmu akan mengucapkan selamat berpisah, bila kakimu yang digaet maka kakimu akan menyampaikan salam perpisahan. Bila tenggorokanku yang terkait, apakah aku akan mengucapkan salam perpisahan dengan dunia ini? Benar. Mengapa kau harus menggunakan senjata yang begitu kejam, begitu sadis?

Karena aku tidak ingin berpisah, Nyoo Cing menatap wajah Lu Siok-bun lekat lekat, Aku tidak ingin berpisah denganmu. Nada ucapannya mengandung semacam perasaan lembut yang nyaris mendekati penderitaan. Aku sengaja menggunakan kait perpisahan karena aku ingin selalu berkumpul denganmu, sepanjang hidup sepanjang masa selalu berkumpul denganmu, selamanya tidak akan berpisah lagi. Aku sengaja menggunakan kait perpisahan karena aku ingin selalu berkumpul denganmu, kata-kata inilah yang selama dua puluh tahun selalu melekat dalam benak Lu Siok-bun. Dia sudah menyimpan selama dua puluh tahun dalam hatinya. Dua puluh tahun berselang, ketika dia pergi membawa kait perpisahan, tidak sepatah kata pun yang dia katakan, dia lebih suka seorang diri tetap tinggal ditempat itu, menantinya kembali dalam keadaan putus asa, daripada memaksanya untuk tetap tinggal disitu. Sebab dia tahu, dia harus melakukan tugasnya, melakukan kewajibannya, jika dia tetap tidak mengijinkannya pergi maka dia pasti akan tersiksa sepanjang masa, menderita dan menyesal sepanjang hidup. Dia lebih rela dirinya yang merasakan

penderitaan ini daripada mencegah lelakinya melakukan pekerjaan yang dia anggap harus dikerjakan. ... Dibutuhkan berapa besar keberanian bagi seorang wanita untuk melakukan hal tersebut? Hari ini, walaupun tidak ada cahaya matahari, salju pun belum turun, suhu udara terasa sedikit lebih hangat. Lu Siok-bun mendongakkan kepalanya memandang cuaca, sinar fajar telah menyelimuti seluruh bumi. Dia menghela napas panjang, baru saja akan turun dari ranjang, mendadak teringat olehnya, diwaktu biasa pada saat seperti ini Lan It-ceng selalu berada di hutan bunga bwee sambil merawat bunga, mengapa sampai saat ini belum nampak juga dia munculkan diri? Apakah semalam dia tidur agak larut sehingga pagi ini tidak dapat bangun? Atau dia sakit? Dengan perasaan sangsi Lu Siok-bun turun dari ranjangnya, mengenakan mantel dan keluar dari pintu kamarnya. Lan toako! Tiada jawaban, di ruang tamu pun tidak nampak Lan It-ceng.

Dia berjalan menuju ke depan pintu lalu perlahanlahan mengetuk pintu kamarnya. Suasana didalam kamar sangat hening, sekali lagi Lu Siok-bun mengetuk, kali ini dia mengetuk lebih keras. Tetap tiada jawaban, suasana tetap hening. Dia membuka pintu kamar lalu melongok ke dalam. Seprei pembaringan masih tertata rapi, seakan tidak pernah digunakan semalam, atau malam tadi dia tidak tidur? Apakah dia terjaga sepanjang malam? Lu Siok-bun masuk ke dalam kamar, celingukan kesana kemari, tapi makin memandang keningnya makin berkerut. Gejala semacam ini belum pernah dijumpai sebelumnya, selama dua puluh tahun Lan It-ceng merawat dan menjaganya, belum pernah sekalipun dia melakukan tindakan yang membuatnya merasa kuatir. Ke mana dia pergi? Sepagi ini kenapa sudah tak nampak batang hidungnya? Baru saja akan beranjak keluar, menda-dak Lu Siokbun menemukan sepucuk surat, sepucuk surat yang ditujukan kepadanya. Membaca isi surat itu Lu Siok-bun merasakan matanya mulai basah, lelehan air mata tak terbendung lagi, dari ujung matanya mengalir turun ke bawah.

Dua puluh tahun pun sudah terlewatkan, mengapa kau tidak menggubris aku hanya untuk dua tahun yang terakhir? gumam perempuan itu, Lan toako, buat apa kau harus mengingkari janjimu? Nyoo Cing perlahan-lahan berjalan keluar dari hutan. Mengunjungi kembali tempat lama, tiada perubahan yang terpancar dari balik wajahnya. Kendatipun dalam hati dia merasa amat sedih, amat pedih dan sangat menderita, namun dia tak akan memperlihatkan diatas wajahnya. Siapa pun itu orangnya, bila dia pernah merasakan penderitaan dan siksaan seperti apa yang dialaminya, sudah pasti mereka pun akan belajar bagaimana menyembunyikan perasaan didalam hati. Pelbagai perasaan disembunyikan di dalam hati. Tapi sayang perasaan sama seperti arak, semakin dalam kau simpan dia, semakin lama kau simpan dia maka dia akan berubah lebih kental, berubah lebih keras. Dia berjalan sangat lamban, sudah tiga kali dia mengelilingi tempat itu. Angin masih berhembus, udara terasa sangat dingin, sedingin mata pisau, mata pisau yang sedang menyayat kulit wajahnya.

Perlahan dia menembusi hutan bunga bwee, diamdiam menghitung kuntum bunga yang mekar sepanjang ranting. Berapa banyak kuncup bunga yang telah mekar? Berapa kuncup yang belum mekar? Dia mengetahui dengan sangat jelas. Dia menghentikan langkah kakinya sambil mengawasi sekuncup bunga bwee, didalam kelopak bunganya masih tersisa air embun kemarin malam. Butiran embun yang bening, sebening biji mata nya, setegas sorot matanya. ... Bila saat ini usiaku sepuluh tahun lebih muda, aku pasti akan berkata begini, pasti akan kuusahakan dengan pelbagai cara untuk menahanmu, minta kepadamu untuk membuang jauh jauh semua persoalan, tinggal bersamaku disini dan hidup berbareng hingga akhir jaman. Perkataan itulah yang ia dengar sebagai perkataannya yang terakhir. Waktu itu, seandainya dia benar-benar berbuat demikian, perasaan hati Nyoo Cing mungkin malah jauh lebih lega, tapi dia begitu dingin, dia begitu tenang. ... berapa besar pengorbanan yang harus dilakukan seseorang untuk memperoleh ketenangan dan sikap sedingin itu?

Perasaan hati Nyoo Cing sedang sakit, namun tiada pancaran perasaan diatas wajah. Selama dua puluh tahun dia telah berusaha dengan sepenuh tenaga, mencari dengan pelbagai cara, tapi tetap gagal untuk menemukan jejak Lu Siok-bun. Sejak perempuan itu diculik perkumpulan naga hijau, dia seolah hilang lenyap tidak berbekas, sejak itu dia tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya. Masih hidupkah Lu Siok-bun? Atau dia sudah mati? Persoalan inilah yang amat merisaukan perasaan hati Nyoo Cing. Berapa hari berselang, Ti Cing-ling telah muncul secara tiba-tiba bukan saja membawa kabar berita tentang dirinya, juga mengajak serta satu satunya putri Nyoo Cing... Hoa U-gi. Lu Siok-bun kawin lagi dengan Hoa Ciok, dia pasti berbuat demikian karena suatu alasan yang sulit dijelaskan. Dia dapat memahami perasaan hatinya, dia pun mau memahami situasi yang sedang dihadapinya, kendatipun hingga kini belum sempat bersua, asal sudah memperoleh berita mengenainya, dia sudah merasa lebih dari cukup. Nyoo Cing menghela napas panjang, dia melangkah masuk ke dalam rumah kayunya, menyusul kemudian

dia menjumpai seseorang yang membuatnya terkesiap, membuat hatinya amat gembira. Orang itu duduk di bangku depan meja, dia mengenakan jubah panjang berwarna biru, baju bagian lengan kirinya nampak kosong melompong. Waktu itu dia sedang mengawasi Nyoo Cing yang berdiri didepan pintu dengan pandangan tidak berkedip. Nyoo Cing balas menatapnya, memandang tanpa bicara. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Nyoo Cing berkata, Aku masih ingat, kau pun pernah berjanji akan menantiku disini? Benar. Sungguh tidak kusangka, janji ini baru bisa terpenuhi setelah dua puluh tahun kemudian. Akupun tidak menyangka! Sahabat lama kembali berjumpa, perjumpaan ini tidak boleh tidak ada arak! Aku membawa arak! Orang berlengan tunggal itu mengeluarkan sebotol arak kemudian meneguknya satu tegukan, setelah itu dia baru melemparkan botol araknya ke tangan Nyoo Cing.

Nyoo Cing tidak banyak bicara, dia sambut botol itu, meneguk isinya kemudian baru menyapa, Dua puluh tahun tidak berjumpa, apakah penghidupanmu cukup baik? Baik sekali, akupun sudah terbiasa hidup dengan tangan sebelah. Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi lengannya yang kutung, lengan itu kutung karena terbabat oleh kait perpisahan, senjata andalannya. Tentu saja orang berlengan buntung itu tidak lain adalah Lan It-ceng. Dengan amat seksama Lan It-ceng mengawasi Nyoo Cing, mengamatinya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dua puluh tahun sudah lewat, ada berapa banyak dua puluh tahun dalam kehidupan manusia? Usia tidak meninggalkan bekas diwajah Nyoo Cing, yang ada hanya telah terhapusnya sikap angkuh dan jumawa yang pernah dimilikinya. Nyoo Cing menatap pula Lan It-ceng lekat lekat, dia merasa jagoan pedang yang disebut orang sebagai sinwan-sin-kiam (pedang mata sakti) Lan toa sianseng ini sudah tidak kegagah dan kekeren dulu. Sekarang dia ibarat seekor singa ompong yang hanya bisa mendekam diatas bukit sambil menyaksikan kelinci

liar berlarian dihadapannya, mau menerkam sayang sudah tidak punya tenaga. Jalannya usia telah meninggalkan bekas yang amat mendalam ditubuhnya. Walaupun saat itu matahari sudah berada diatas angkasa, namun cuaca serasa kelam, seakan selapis kabut abu abu menyelimuti seluruh permukaan bumi. Kedua orang itu berdiri saling berhadapan bagaikan patung arca, lama, lama sekali, akhirnya Lan It-ceng baru berkata, Dulu kau hanya seorang opas desa yang tidak punya nama, tapi sekarang kau sudah menjadi seorang raja muda, seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Kau keliru, aku masih tetap Nyoo Cing yang dulu! Tapi sayang aku sudah bukan Lan It-ceng yang dulu. Kau tetap Lan It-ceng yang dulu, berjalannya usia telah menyelimuti cahaya diwajahmu tapi tidak menutupi kegagahanmu, bila perlu, kau pasti bisa bangkit kembali seperti yang dahulu. Sungguh? berbinar sepasang mata Lan It-ceng. Kapan aku pernah berbohong kepadamu? Sekarang, saat ini kau sedang berbohong, sekarang kau sedang berpura-pura!

Nyoo Cing tidak menanggapi, dia hanya mengawasi Lan It-ceng tanpa menjawab. Bukankah kau sangat ingin mengetahui kabar beritanya? seru Lan It-ceng agak emosi, Bukankah kau ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang? Mengapa kau tidak bertanya? Nyoo Cing tahu siapakah dia yang dimaksud, sahutnya tetap tenang, Aku sangat memahaminya. Memahaminya? Lan It-ceng tertawa dingin, penderitaan selama dua puluh tahun hanya ditukar dengan kata memahami? Nyoo Cing tidak menjawab, padahal dalam dua puluh tahun terakhir dia sendiripun hidup dalam penderitaan, apa pula yang dia peroleh? ...Kata-kata yang menyakitkan hati mengapa selalu mendatangkan perasaan kecut? Mengapa membuat jantung orang berdebar keras? Nyoo Cing mengambil cawannya, meneguk habis isi cawannya kemudian baru berkata, Kau bilang akan menungguku disini, tapi ketika aku kembali, bukan saja tidak menjumpai kau, bahkan Lu Siok-bun pun ikut lenyap... ditatapnya wajah rekannya lekat lekat, Pernahkah aku bertanya kepadamu apa yang telah terjadi? Pernahkah aku mencurigaimu? Tidak pernah.

Tahukah kau mengapa? Sebab aku percaya kepadamu, seperti aku memahami perasaan Lu Siokbun. Lan It-ceng membungkam, apa yang diucapkan rekannya memang satu kenyataan, ucapan sejujurnya yang muncul dari sanubari. Kau tidak menungguku disini, diapun lenyap tidak berbekas, dua kejadian yang cukup membuatku sewot, naik darah dan marah marah, tapi kenyataannya aku tidak berbuat begitu, tahukah kau mengapa? Karena kau adalah sahabatku. Kata sahabat kedengaran begitu lembut, begitu hangat, begitu menawan tapi juga begitu menakutkan. Sahabat tidak bedanya dengan arak, dapat membuat orang mabuk, dapat membuat orang pikun, dapat membuat orang melakukan kesalahan. Walaupun sahabat adalah orang dekat mu, tapi sebagian besar merupakan juga musuh mu, kalau bukan sahabatmu, dari-mana dia bisa mengetahui segala sesuatu tentang dirimu? Tapi dalam dunia dewasa ini jarang sekali ada sahabat yang benar benar mau sehidup semati denganmu. Suami istri saja jarang yang mau sehidup semati, apalagi teman?

Walaupun dari dulu hingga sekarang amat jarang ada teman yang benar benar mau sehidup semati bukan berarti teman semacam ini sama sekali tidak ada. Tapi ada satu hal yang tidak bisa disangkal, yang bisa membuat kau sedih, menderita dan menyesal biasanya hanya sahabat. Lan It-ceng tertawa, ketika Nyoo Cing mulai mengucapkan kata kau adalah sahabatku, dia mulai tertawa, mengawasi Nyoo Cing sambil tertawa. Jadi kau menegur aku karena tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang sahabat, menyalahkan aku karena tidak sepenuh tenaga melindungi Lu Siokbun? Terlebih menyalahkan dia karena pergi meninggalkan tempat ini dengan begitu saja? Cuaca saja gampang berubah, bunga gampang gugur, pohon gampang mengering, apalagi manusia? Tahukah kau sepeninggalmu dari sini, apa yang telah terjadi ditempat ini? Mungkin sedikit yang kuketahui. Mungkin sedikit? Seberapa sedikitnya? Sepeninggalku dari situ, meski orang-orang perkumpulan naga hijau datang membuat onar dan mungkin saja kalian sempat bertarung, tapi mengapa kalian tidak mencoba untuk kabur? Memangnya secara

tiba-tiba kalian lupa kalau bisa menggunakan kaki untuk kabur? Aaai...! Lan It-ceng menghela napas panjang, kalau sudah tahu siapa yang muncul waktu itu, mungkin sekarang kau akan bersyukur karena kami masih tetap hidup. Oya? Tidak usah menyebut yang lain, cukup menyinggung salah satu diantaranya saja sudah cukup membuat hati orang bergidik. Siapa? Seng Sam! Begitu mendengar nama tersebut, mendadak Nyoo Cing memperlihatkan semacam sikap yang sangat aneh. Seng Sam mungkin saja bukan bermarga Seng dan tidak menempati urutan ketiga, orang lain menyebutnya Seng Sam lantaran orang yang pernah dia permak biasanya hanya ada tiga hal yang bisa tersisa. Ketiga hal yang mana? Orang yang sudah dia permak biasanya akan berada dalam kondisi.... kehilangan nyawa, rambutnya rontok semua, matanya dicongkel keluar, hidung lidah telinga nya dipotong orang, gigi dan kuku sudah

dicabut keluar, kulit sudah dikelupas, anggota badan dikutungi bahkan tulang belulang pun dipukul hingga hancur. Lalu tiga hal apa pula yang tersisa dari manusia macam begini? Biasanya tidak pasti, bagian mana yang ingin disisakan Seng Sam maka bagian itulah yang akan disisakan. Selesai permak seseorang, biasanya dia akan meninggalkan tiga jenis barang untuk orang itu. Aku ini penuh welas kasih, seringkali Seng Sam berkata demikian kepada orang lain, Aku sangat perasa dan tahu penderitaan orang, maka aku paling tidak suka melakukan pembantaian hingga seakar akarnya. Malah dia sering berkata begini, Apa pun yang kulakukan, aku selalu akan menyisakan sedikit untuk orang lain, malah terkadang yang kutinggalkan bukan Cuma tiga macam benda. Suatu kali dia memang meninggalkan lebih dari tiga macam benda untuk orang yang baru dipermak nya yaitu selembar rambut kepala, sebiji gigi, sebiji kuku dan sebuah lubang dari hidung. Seng Sam? dengan perasaan terperanjat Nyoo Cing berseru, sungguh tidak kusangka perkumpulan naga hijau berhasil mengundangnya.

Bukan mengundangnya, tapi dia memang anggota perkumpulan naga hijau, Lan It-ceng menerangkan, bahkan dia adalah Tongcu dari Jit-gwee-tong (ruang bulan ke tujuh) dari Cing-liong-hwee. Tampaknya perkumpulan naga hijau benar benar merupakan sarang naga gua harimau, keluh Nyoo Cing. Sebetulnya aku adalah seekor naga, tapi dalam perkumpulan naga hijau aku tidak lebih hanya dianggap sebagai seekor tikus, mendadak terdengar seseorang berkata. Suara itu berasal dari luar pintu. Suara itu selain tinggi melengking, bahkan sangat tak enak didengar, seperti suara tikus yang keinjak ekornya. Ketika Nyoo Cing berpaling, seseorang telah berdiri di depan pintu. Orang itu tampak seperti seorang yang ramah dan saleh, wajahnya bundar, waktu tertawa matanya hanya kelihatan bagaikan sebuah garis. Sekarang dia sedang tertawa, sepasang matanya kelihatan merapat bagai sebuah garis, garis panjang itu sedang memandang ke arah Lan It-ceng. Mendengar suara orang itu, paras muka Lan It-ceng seketika berubah hebat, begitu bertemu orangnya, dia seakan membeku karena tercebur ke dalam kubang

salju, bukan Cuma putih memucat bahkan mulai gemetar. Menjumpai orang itu, Nyoo Cing pun ikut tertawa, sepasang matanya seakan membentuk sebuah garis panjang juga. Kenapa orang lain menyebutmu sebagai seorang ahli permak? tegur Nyoo Cing kemudian. Karena aku memang tukang permak. Kau pandai permak apa? Manusia! Manusia juga perlu dipermak? Tentu saja, justru benda yang paling perlu dipermak di dalam dunia ini adalah manusia! Betul juga perkataanmu itu, ternyata Nyoo Cing setuju dengan pendapatnya, Tempat sampah perlu dibersihkan, tahi juga perlu dibersihkan, kalau semua tidak disapu bersih, bagaimana mungkin dunia ini bisa bersih dari segala yang berbau, tapi memang manusia yang perlu dikerjakan nomor satu, sebab ada sementara orang bila tidak segera dibersihkan, kujamin dunia ini pasti akan bertambah bau, bukan begitu Seng Sam sianseng? Tepat sekali, jawab Seng Sam, Tapi siapa yang kau maksud?

Yang kumaksud adalah mereka yang telah melanggar hukum tapi tidak mau mengakui kesalahannya, mereka yang berhati busuk, pinginnya membongkar rahasia orang lain, serta mereka yang jelas harus dihukum seberat beratnya tapi masih saja dapat keluyuran secara bebas. Manusia macam begitu memang patut dibersihkan, agak berubah wajah Seng Sam, Tapi ada semacam orang yang terlebih harus dibereskan lebih dulu. Manusia macam apa?' Orang mampus, jika orang mati tidak dibereskan, mana ada tempat di dunia ini bagi orang lain? Suhu udara tampaknya anjlok berapa derajat semenjak kemunculan Seng Sam ditempat itu, hawa dingin yang membeku serasa mencekam setiap sudut ruangan. Hari ini merupakan kunjunganmu yang pertama disini, boleh tahu siapa yang akan kau permak? Siapa yang akan kau bereskan? tanya Nyoo Cing. Sebenarnya sih Cuma satu orang, tapi kalau ditambah seorang lagi pun tidak masalah. Satu orang harus dibersihkan, dua orang tetap harus dibersihkan, bahkan sepuluh orang pun tetap harus dikerjakan, kalau toh memang bermaksud melakukan pembersihan, jumlah sebetulnya bukan masalah.

Tepat sekali! Yang menjadi persoalan sekarang adalah dengan kekuatanmu seorang, bagaimana mungkin kau bisa membereskan kami berdua? Seng Sam hanya tertawa, sama sekali tidak menjawab. Bangunan rumah kayu yang sebetulnya kokoh dan kuat itu tiba tiba hilang lenyap bersamaan dengan senyuman dari Seng Sam tadi. Biarpun kau memiliki peralatan yang paling bagus pun mustahil bisa membongkar rumah kayu itu dalam waktu singkat, tapi kenyataannya sekarang, rumah kayu itu sudah roboh terbongkar hanya dalam waktu sekejap. Orang mampus, jika orang mati tidak dibereskan, mana ada tempat di dunia ini bagi orang lain? Suhu udara tampaknya anjlok berapa derajat semenjak kemunculan Seng Sam ditempat itu, hawa dingin yang membeku serasa mencekam setiap sudut ruangan. Hari ini merupakan kunjunganmu yang pertama disini, boleh tahu siapa yang akan kau permak? Siapa yang akan kau bereskan? tanya Nyoo Cing. Sebenarnya sih Cuma satu orang, tapi kalau ditambah seorang lagi pun tidak masalah.

Satu orang harus dibersihkan, dua orang tetap harus dibersihkan, bahkan sepuluh orang pun tetap harus dikerjakan, kalau toh memang bermaksud melakukan pembersihan, jumlah sebetulnya bukan masalah. Tepat sekali! Yang menjadi persoalan sekarang adalah dengan kekuatanmu seorang, bagaimana mungkin kau bisa membereskan kami berdua? Seng Sam hanya tertawa, sama sekali tidak menjawab. Bangunan rumah kayu yang sebetulnya kokoh dan kuat itu tiba tiba hilang lenyap bersamaan dengan senyuman dari Seng Sam tadi. Biarpun kau memiliki peralatan yang paling bagus pun mustahil bisa membongkar rumah kayu itu dalam waktu singkat, tapi kenyataannya sekarang, rumah kayu itu sudah roboh terbongkar hanya dalam waktu sekejap. Nyoo Cing juga sedang mengawasi ke delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu, dia mengawasi mereka dengan seksama, mengawasi setiap bagian tubuh mereka dengan teliti, seakan seorang lelaki hidung bangor yang sedang mengawasi seorang gadis perawan yang sedang bertelanjang bulat. Sejak Seng Sam muncul disitu sampai rumah kayu itu dibongkar orang, Lan It-ceng hanya duduk tenang ditempat semula tanpa melakukan suatu gerakan pun,

dia hanya mengawasi gerak-gerik orang-orang itu tanpa komentar. Apapun yang dilakukan orang-orang itu, Lan It-ceng merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi tubuhnya, bahkan sekarang, setiap jengkal otot dan daging tubuhnya mulai menyusut, termasuk pantatnya pun mulai mengejang keras. Namun bila kau perhatikan mimik mukanya, dia seakan tidak menunjukkan perubahan perasaan apa pun. Terhadap cara kerja dan sikap yang diperlihatkan anak buahnya, Seng Sam merasa sangat puas. Dia senang melakukan pekerjaan semacam ini, tapi dia tidak senang menjumpai kejadian diluar dugaan, kini jumlah anak buahnya sudah tidak banyak, dia berharap mereka masih bisa hidup hingga usia delapan puluh tahun. Kendatipun situasi saat ini sudah berada dalam kendalinya, akan tetapi dia tetap tidak ingin melakukan sedikit kesalahan pun, bagi mereka yang melakukan pekerjaaan semacam ini, kesalahan sedikitpun berarti akan mendatangkan bencana kematian. Oleh sebab itu dia ingin mengajukan pertanyaan terlebih dulu, mencari keterangan sejelas jelasnya

sebelum bertindak lebih jauh, tentu saja yang menjadi sasaran pertanyaan adalah Nyoo Cing. Benarkah sahabatmu bernama Lan It-ceng? Benar! Jadi kau adalah Nyoo Cing? Benar. Putra dari Nyoo Heng? Rasanya begitu. Tidak bakal salah? Rasanya tidak. Kalau begitu tampaknya aku tidak salah masuk dan tidak salah mencari orang, Seng Sam menghembuskan napas panjang. Kau memang tidak keliru, Nyoo Cing turut menghela napas, Kau tidak salah tempat, juga tidak salah orang, tapi kau telah melakukan satu kesalahan. Kesalahan apa? Kau tidak seharusnya membongkar rumah kayu ini. Begitu dia selesai bicara, tidak menunggu Seng Sam memahami maksud ucapannya, dia sudah mulai melakukan tindakan.

Serangan yang dilancarkan Nyoo Cing bukan ditujukan ke arah Seng Sam, juga bukan terhadap ke delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu, tinju nya langsung disodokkan ke tubuh Lan It-ceng. Mengapa dia malah menyerang Lan It-ceng? Tindakan diluar dugaan yang dilakukan Nyoo Cing ini seketika membuat Seng Sam serta anak buahnya melengak, tidak habis mengerti, dengan wajah melongo mereka saksikan kepalan dari Nyoo Cing menghajar perut Lan It-ceng. Pukulan itu sangat kuat. Bukan saja Lan It-ceng dibuat melengak, dia bahkan terperanjat dan melongo. Dia benar benar tidak habis mengerti, mengapa Nyoo Cing malah menghajarnya? Dalam keadaan begini dia hanya bisa mengawasi pukulan itu bersarang telak diatas perutnya... sebuah pukulan yang amat bertenaga. Ketika melayangkan pukulannya itu, gaya Nyoo Cing tak ubahnya seperti seorang jagal yang sedang mengayunkan goloknya. Sedemikian keras pukulan itu, mungkin termasuk pukulan paling bertenaga yang pernah dilancarkan Nyoo Cing sepanjang hidupnya. Dia harus memukul dengan sepenuh tenaga, bila kekuatannya berkurang sedikit saja maka pengharapannya tak akan tercapai.

Apa pengharapannya dengan pukulan itu? Tatkala tenaga pukulan Nyoo Cing yang sangat kuat itu hampir menghantam perut Lan It-ceng, mendadak tenaga serangannya yang keras berubah jadi lunak, jotosan berubah jadi dorongan. Rupanya dia sedang melontarkan tubuh Lan It-ceng dengan sekuat tenaga, melemparnya keluar dari kepungan, melemparnya ke dalam hutan bunga bwee. Tubuh Lan It-ceng bagaikan sebuah batu kerikil yang dilempar ke tengah udara, langsung meluncur ke dalam hutan lebat itu. Menanti Seng Sam sadar akan apa yang telah terjadi, bayangan tubuh Lan It-ceng sudah lenyap dibalik pepohonan yang lebat. Terdengar Nyoo Cing berkata sambil tertawa, Sekarang, kau pasti sudah tahu bukan dimana letak kesalahanmu? Paras muka Seng Sam saat ini persis seperti seseorang yang mulutnya sekaligus dijejali tiga butir telur ayam. Ke delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu tetap berdiri ditempat, sebelum ada perintah dari Seng Sam, mereka tak bakalan melakukan suatu gerakan. Perlahan lahan Nyoo Cing duduk kembali, mengambil cawan araknya dan seteguk demi seteguk menikmati isinya.

Sewaktu kau munculkan diri tadi, aku masih kuatir dengan cara apa bisa menghantar Lan It-ceng keluar dari tempat ini, sungguh tidak disangka rekan rekanmu itu telah membantu aku, kata Nyoo Cing sambil tertawa, Hal ini menjadi pelajaran bagimu bahwa segala kejadian pasti ada sisi untungnya diluar sisi rugi. Angin dingin berhembus lewat membawa udara yang sangat dingin, tapi seakan membawa pula keluh kesah yang datang dari utara. Lamat-lamat dari balik hutan pohon bwee itu seakan terdengar juga suara jeritan ngeri yang memilukan hati. Dalam situasi dan kondisi tertentu, reaksi yang ditunjukkan setiap orang ketika mendengar suatu suara selalu berbeda-beda. Bila kau sedang berjalan seorang diri disebuah lorong sempit ditengah malam buta, bila scara tiba-tiba mendengar suara rintihan, apa reaksimu waktu itu? Ada orang akan tercengang, ada orang terperangah, ada orang ingin tahu, ada orang tidak acuh bahkan ada orang merasa gembira atau bahkan menangis. Tapi terlepas bagaimana reaksi dan perubahan mimik wajah orang-orang itu, yang pasti tidak akan seperti reaksi yang ditunjukkan Nyoo Cing saat ini.

Sorot mata yang semula terang cemerlang tiba tiba saja berubah jadi redup, alis matanya yang tebal mulai berkerut bahkan hidungnya ikut berkerut. Bibirnya yang digigit kuat-kuat kini mulai terluka dan berdarah, otot-otot hijau di tengkuknya pada menonjol keluar semua bagai kawat baja. Paras mukanya juga berubah, berubah menjadi warna yang kelabu, warna yang mendekati kematian. ... Warna kematian sesungguhnya berbentuk warna apa? ... Benarkah warna kematian termasuk satu jenis warna yang tidak bisa dilukiskan dengan perkataan? Ketika berkumandang suara jeritan ngeri yang terbawa hembusan angin utara, paras muka Nyoo Cing mulai berubah hebat. Suara itu datang dari balik hutan pohon bwee, bukan saja Nyoo Cing sangat mengenal suara tersebut bahkan tahu suara itu berasal dari mulut siapa. Sebenarnya dia mengira dengan tenaga dorongannya yang kuat tadi, dia telah mengirim Lan Itceng menuju ke suatu tempat yang aman. Paling tidak dia mengira hutan pohon bwee itu merupakan sebuah tempat yang cukup aman. Tapi kenyataannya?

Ketika hembusan angin utara membawa suara jerit kesakitan, Nyoo Cing sadar bahwa dugaannya ternyata keliru besar. Inilah kesalahan kedua yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya. Dua kali kesalahan yang dilakukan dari tempat yang sama. Kesalahan pertama adalah meletakkan Lu Siok-bun ditempat ini, tempat yang dianggapnya paling aman. Untuk kedua kalinya lagi lagi dia melakukan kesalahan yang sama, dia mengira hutan pohon bwee itu merupakan tempat yang aman, oleh karena itulah dia mengirim Lan It-ceng ke tempat itu. Kini dia hanya bisa bersumpah, sejak hari ini tidak akan melakukan kesalahan lagi, kesalahan yang pertama sudah membuat dia harus menuai penderitaan selama dua puluh tahun. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang kedua? Apakah dia harus menjalani penderitaan lagi selama dua puluh tahun? Tidak! Nyoo Cing tidak ingin mengalami hal semacam ini, dia sudah tidak punya cukup waktu untuk menanti selam dua puluh tahun lagi. Oleh sebab itu begitu jeritan ngeri berkumandang, tubuhnya bagaikan anak panah yang terlepas dari busur telah menerjang menuju ke dalam hutan.

Pada saat tubuhnya melambung ke udara itulah, Seng Sam beserta anak buahnya ikut melambung ke tengah udara. Tubuh Seng Sam beserta anak buahnya segera membentuk selembar jaring ditengah udara. - selembar jaring yang sukar ditembus. - selembar jaring yang dipenuhi ancaman bahaya. Menyusul kemudian lembaran jaring itu menggulung ke tubuh Nyoo Cing, persis seperti sebuah jala yang menjaring seekor ikan. Ketika sang ikan masuk ke dalam jaring, tak seekor pun akan berhasil meloloskan diri. Tapi bagaimana dengan Nyoo Cing? Kini sang jaring sudah mulai mengencang, Nyoo Cing terjebak di dalam jaring itu. Mungkinkah sang ikan yang terjaring dalam jala manusia berhasil meloloskan diri?

BAB 10. Pesanggrahan Tabib sakti.

Manusia macam apakah orang yang sedang sakit?

Penjelasannya sangat banyak, ada yang bilang: Orang sakit adalah seseorang yang sedang menderita suatu penyakit. Tentu saja keterangan semacam ini sangat masuk diakal, namun penjelasannya masih kurang begitu pas, kurang tepat. Terkadang orang yang tidak menderita suatu penyakit pun disebut orang sakit. Seperti misalnya, orang yang terluka, orang yang keracunan, apakah mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori orang sakit? Tentu saja tidak mungkin bukan? Setiap jaman, dalam dunia persilatan pasti akan muncul pendekar besar, pahlawan, pencuri sakti bahkan seorang pendekar wanita. Dalam setiap kasus pasti akan terjadi pula proses kelahiran, ternama, terluka akhirnya kematian, oleh karena itu dalam setiap jaman pasti akan muncul juga seorang tabib sakti. Tabib sakti yang muncul dari jaman mana pun selalu disanjung dan dihormati orang, akan tetapi tidak akan ada yang lebih termashur daripada Hong Coan-sin. Hong Coan-sin adalah tabib sakti jaman itu, namun namanya masih sering disebut orang pada jaman berapa generasi kemudian. Manusia macam apakah dia? Mengapa begitu termashur namanya?

Karena ilmu tabibnya yang luar biasa? Atau karena orangnya? Dia disebut orang Tabib sakti, tentu saja ilmu pengobatannya luar biasa, tapi nama besarnya bukan ilmu pengobatan, juga bukan dirinya. Pengobatan adalah pekerjaannya. Pesanggrahan Coan-sin-ie-khek dibangun bersandar pada bukit. Pintu gerbangnya berada di kaki bukit, begitu masuk ke pintu depan maka sejauh mata memandang yang terlihat hanya jalan besar yang tegak lurus beralaskan batu granit hijau. Dikedua sisi jalan besar tumbuh aneka pohon, bunga dan rumput, disitu pun banyak dipelihara unggas terbang yang langka.. Ketika tiba diujung jalan maka sampailah di pesanggrakan lapis pertama, Tee-it-tiong-khek. Tee-it-tiong-khek merupakan sebuah ruangan yang besar, besar sekali, ditengah ruangan yang sangat besar itu terdapat sebuah kolam air yang tidak terhitung kecil, tentu saja dalam kolam dipelihara pelbagai jenis ikan. Disebelah kiri ruang utama itu terdapat sebuah meja yang amat panjang, di belakang meja duduk empatlima orang gadis berbaju putih.

...Semua penghuni pesanggrahan Coan-sin-ie-khek memang mengenakan pakaian seragam berwarna putih. Meja panjang itu disebut para penghuni pesanggrahan pengobatan sebagai Leng-ho-so (tempat mengambil nomor). Semua pasien yang datang ke pesanggrahan itu untuk memeriksakan penyakitkan, mereka wajib menuju ke Leng-ho-so untuk mendaftarkan diri kemudian mengambil nomor urut sesuai dengan urutan terdepan. Didalam ruang utama banyak tersedia kursi dan meja, selesai mendaftarkan diri dan mengambil nomor urut mereka bisa menunggu dalam ruangan itu sambil menunggu panggilan. Bila nomornya dipanggil, maka pasien bisa masuk ke ruang dalam melalui sebuah pintu disisi kanan ruangan. Setelah masuk ke dalam pintu, akan terlihat sebuah serambi panjang yang dibangun sangat indah dan artistik. Diujung serambi panjang itu terdapat sebuah ruangan, biasanya didalam ruangan itu sudah siap dua sampai tiga orang pemuda berbaju putih. Mereka semua sudah masuk ke dalam pesanggrahan semenjak kecil, disana mereka belajar pelbagai cara pengobatan, biasanya orang-orang itu dimulai sebagai petugas yang menanyai para pasien, bagian tubuh

mana yang kurang enak, bagian tubuh mana yang terluka? Kemudian berdasarkan kasus penyakit yang diderita, para pasien dikirim ke ruang bagian penyakit dalam atau ruang bagian penyakit luar. Yang disebut bagian penyakit dalam adalah pelbagai penyakit yang menyangkut isi tubuh seseorang, diantaranya termasuk juga soal keracunan. Sebaliknya bagian penyakit luar meng-urusi luka luar, seperti misalnya terluka boleh bacokan senjata, tulang patah, diantaranya termasuk juga operasi wajah. Masuk ke bagian mana pun, pasien akan dikirim ke dalam sebuah ruangan yang ditata secara apik dan mewah. Ruangan ini disebut para penghuni pesanggrahan sebagai ruang pemeriksaan. Para pasien biasa bila datang memeriksakan penyakitnya, mereka akan diperiksa oleh murid pesanggrahan kemudian akan dibukakan resep disitu. Dengan membawa resep obat, pasien harus pergi dulu ke loket pembayaran, setelah membayar semua ongkos, resep itu baru bisa ditukar dengan obat-obatan. Tapi bagi pasien yang sakitnya agak parah, mereka harus mondok disitu untuk perawatan.

Kamar pasien pun ada yang besar, ada yang kecil, ada yang mewah ada pula yang sederhana Tapi yang pasti, sekali pasien mondok di pesanggrahan tersebut, bersiap-siaplah mengeluarkan sejumlah uang untuk beaya perawakan disitu. Karena itulah tatkala Seng Sam mulai membentuk jaringan yang kuat untuk mengurung Nyoo Cing, tentu saja tanpa memperdulikan apa pun Nyoo Cing bersiapsiap untuk adu jiwa. Bila tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan di rumah kayu kecil itu, sudah pasti tidak akan percaya dengan keteguhan hatinya untuk berjuang mati-matian. Sengitnya pertempuran disitu sudah tidak bisa dilukiskan lagi dengan kata-kata. Pertempuran itu merupakan pertempuran paling tragis yang pernah terjadi dalam dunia persilatan dewasa ini. Sambaran angin pukulan yang menderu-deru diselipi cahaya berkilauan, menghantam ke arah Nyoo Cing secara membabi buta. Kalau hanya pukulan, kenapa bisa muncul cahaya berkilauan? Kalau bukan golok yang menyambar, kenapa cahaya bisa berkilauan?

Jaring yang terbentuk dari rajutan benang telah membelenggu Nyoo Cing di tengah udara. Nyoo Cing tidak bisa bertarung, tapi dia bisa menghindar, namun berapa besar yang bisa dia hindari? Namun mana mungkin dia mandah dipukul? Maka terpaksa dia harus mengadu nyawa. Dia tidak menghindar, dia sengaja membiarkan tubuhnya dihantam seorang lelaki setengah baya yang berada disisi kirinya. Pukulan itu keras sekali. ... Berapa orang yang mampu menerima pukulan sedemikian kerasnya? Nyoo Cing seakan lupa kalau kepalan pun sama saja, bisa dipakai untuk membunuh, dia seolah lupa kalau tubuhnya bukan terbuat dari besi atau baja. Tubuhnya segera terkena bogem mentah, dihajar lelaki setengah baya itu bertubi-tubi. Diantara deruan angin pukulan, tiba-tiba terpercik darah segar. Begitu darah mulai menyembur keluar, seseorang pun mulai berteriak keras, Bunuh dia! Jangan biarkan dia kabur! ada yang mulai mengumpat.

Tentu saja Nyoo Cing tidak boleh mati. Dalam hal ini tentu saja dia tahu sangat jelas. Tapi diapun tahu, asal dia masih hidup, maka tidak akan ada orang yang bisa membunuh Lan It-ceng dihadapannya. Tapi dugaannya keliru besar. Dengan tubuhnya yang terdiri dari darah dan daging, meskipun untuk sementara bisa menghadang serbuan Seng Sam beserta para begundalnya, namun mana mungkin dia bisa menolong Lan It-ceng tepat pada waktunya? Justru karena perhitungannya yang salah, Lan It-ceng pun mati sia-sia. Justru karena itu, Nyoo Cing terpaksa digotong masuk ke pesanggrahan pengobatan Coansin-ie-khek. Pukulan yang dilontarkan lelaki setengah baya yang berada disebelah kiri itu dengan telak bersarang di lambung Nyoo Cing. Sementara Nyoo Cing pun dengan senang hati menerima sodokan keras itu, karena pada saat yang bersamaan Seng Sam sedang melambung ke udara dari sisi kanannya. Karena dia terhajar pukulan itu, tubuhnya mencelat kesamping dan kebetulan menumbuk diatas tubuh Seng Sam yang sedang menerjang tiba. Tentu saja tubrukannya persis menerjang tepat ditubuh Seng Sam.

Karena terjadi tubrukan, Nyoo Cing pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menceng keram tubuh Seng Sam. Tangan Nyoo Cing segera mencengkeram tengkuk Seng Sam, sementara tangan yang lain menekan diatas jalan darah pada tulang iganya. Tidak ada yang tahu jalan darah apa yang kena disodok tersebut, tapi siapapun bisa menduga kalau jalan darah tersebut pastilah sebuah jalan darah yang mematikan. Begitu Seng Sam kena dicengkeram tengkuknya, semua rekan-rekannya pun serentak menghentikan serangan mereka, mimik muka mereka sangat jelek dan tidak sedap dipandang, seolah baru saja perutnya kena ditendang keras-keras. Kini Nyoo Cing tertawa, mengawasi lelaki setengah baya yang barusan menghantamnya dengan senyuman. Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan, kenapa kubiarkan tubuhku kau tinju! ujar Nyoo Cing sambil tertawa riang. Oleh karena dia kena dihajar orang, Seng Sam pun pasti kurang waspada, kejadian ini sangat lumrah karena siapa pun pasti akan mengendorkan konsentrasinya setelah menyaksikan anak buah sendiri berhasil menghajar lawannya.

Mau apa kau sekarang? tanya Seng Sam kemudian sambil menghela napas. Aku tidak ingin apa-apa, hanya ingin mengajakmu bicara soal barter. Barter apa? Menggunakan selembar nyawamu untuk ditukar dengan dua lembar nyawa. Bagaimana tukarnya? Sederhana sekali, Nyoo Cing tertawa, Bila salah satu diantara mereka ada yang mati, maka jangan harap kau bisa hidup terus! Bila aku pun mati? Bila kau mati, tentu saja akupun tidak akan hidup terus, tapi mana mungkin aku biarkan kau mati dengan begitu saja? Bagus. Siapa pun tidak akan mengerti apa arti dari perkataan bagus itu, tiba-tiba saja terlihat dalam genggaman Seng Sam telah bertambah dengan sebilah pisau dan pisau itu langsung dihujamkan ke bawah. Ternyata pisau itu dihujamkan ke dadanya sendiri. Nyoo Cing adalah jago kawakan, sebagai jago kawakan dia pasti sudah memperhitungkan semua

kemungkinan yang terjadi, terma-suk berusaha melukai orang. Sebetulnya perhitungannya sudah sangat tepat, hanya sayang dia telah melupakan satu hal. Walaupun Seng Sam tidak mampu membunuhnya, namun dia masih mempunyai kemampuan lebih untuk membunuh diri sendiri. Semburan darah segar pun segera berhamburan kemana-mana. Cairan darah berwarna hitam gelap itu menyembur keluar melalui dada Seng Sam, sebagian menyembur ke wajah Nyoo Cing bagai hujan gerimis. Seketika itu juga sepasang mata Nyoo Cing tertutup oleh noda darah, menyusul kemudian dia pun mendengar suara teriakan gusar bagai binatang buas yang terjatuh dalam perangkap. Prajurit nekad jangan diserang. Dalam pertempuran antar dua negera, kejadian semacam ini merupakan satu kejadian yang amat menakutkan. Sebab prajurit nekad tidak bakal takut mati, semangat juang mereka pasti tinggi, bahkan seringkah melakukan tindakan yang sama sekali diluar dugaan siapa pun.

Dalam hal ini Nyoo Cing mengetahui jauh lebih jelas dari siapa pun, namun sekarang dia tidak bisa untuk tidak menggempurnya. Begitu Sam Seng mati, kawanan anak buahnya segera menyerang bagai orang gila, dengan kalap mereka menyerang Nyoo Cing habis-habisan. Jeritan keras, deraan angin pukulan datang dari empat arah delapan penjuru dan semuanya tertuju ke tubuh Nyoo Cing. Dalam keadaan begini dia hanya bisa melompat, menghindar, berkelit, berusaha keras membuka matanya kembali. Sudah berapa kali dia berusaha namun belum berhasil juga melihat sesuatu dengan jelas, yang dia saksikan hanya selapis cahaya darah yang amat silau. Dia melompat kebawah kemudian melejit lagi ke atas, baru mengigos ke kiri, sebuah sodokan tinju telah melayang tiba dari kanan, tahu-tahu pahanya terasa sangat dingin, seperti tersayat sesuatu, menyusul kemudian seluruh kekuatan kakinya seolah hilang lenyap tidak berbekas. Tidak ampun tubuhnya segera terperosok ke bawah. Dia tahu bila dia terperosok terus maka selamanya dia akan tenggelam dalam kegelapan yang tiada tepian, anehnya, dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri meski harus menghadapi situasi yang

berbahaya, yang muncul hanya perasaan pedih yang tidak terhingga. Tibatiba saja dia teringat akan Lu Siok-bun. ... Sesaat menjelang ajalnya, apa pula yang dipikirkan seorang manusia? Tidak seorangpun bisa menjawab pertanyaan ini. Karena setiap orang, dalam situasi seperti ini, pasti sedang membayangkan hal yang berbeda. Yang dipikirkan Nyoo Cing hanya Lu Siok-bun, membayangkan pandangan matanya yang begitu teguh, membayangkan juga perasaannya yang panas dan membara. Sekilas senyuman segera tersungging diujung bibirnya, menyusul kemudian tubuhnya tenggelam ke bawah. Cahaya golok yang berkilauan serasa bagai pusaran air yang kencang, menimbulkan gelombang di permukaan telaga lalu hening, sepi... Mendadak terlihat seseorang melayang turun dari tengah udara, dengan membawa sepasang golok dia menerjang ke tengah kepungan. Menyusul kemudian Nyoo Cing merasakan suatu perasaan yang amat santai, segala sesuatunya terasa mengendor, karena dia telah mendengar suara dari orang yang membawa sepasang golok itu.

Akhirnya dia tenggelam ke bawah, roboh terkapar di tanah, bahkan sepasang mata pun terasa malas untuk dipentangkan kembali. Untung matanya tidak sempat dipentangkan lebar. Jika dia sempat membuka matanya dan menyaksikan keadaan sekarang, mungkin perasaan hatinya akan hancur, usus pun mungkin akan ikut putus dan remuk. Cahaya golok yang berkilauan kembali saling menyambar di udara. Rekan-rekan Seng Sam seakan sudah sinting semua, sepasang mata mereka sudah berubah jadi merah, mereka seakan sudah lupa kalau tubuh merekapun terdiri dari darah dan daging, mereka seakan sudah lupa kalau golok si pendatang itu diayunkan untuk membunuh mereka. Bagaikan rombongan manusia kalap, manusia yang tidak punya otak, mereka langsung menerjang masuk ke tengah berkele-batnya cahaya golok. Kembali percikan darah segar berhamburan ke empat penjuru. Sudah dua orang roboh bersimbah darah, namun rekan lainnya seakan tidak sadar, mereka masih menerjang, masih menyerang bagaikan orang kesurupan. Gelombang golok kembali menggulung angkasa, pusaran kencang kembali menggulung seluruh arena.

Dalam waktu singkat sekujur tubuh si pembawa sepasang golok itu sudah berubah jadi merah padam, merah karena bermandikan darah.. Matahari ditengah udara yag dingin memancar masuk melalui jendela dengan kemalas malasan, menyinari wajah Nyoo Cing yang berbaring diatas ranjang. Menyinari pula Tay Thian yang berada disisinya. Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi wajah Tay Thian. Sudah sejak awal aku tahu kalau kepandaian silatmu sangat bagus, katanya perlahan, Tapi hingga hari ini aku baru tahu kalau permainan sepasang golokmu memang tiada keduanya dikolong langit. Tay Thian hanya tertawa, sama sekali tidak menjawab. Seseorang yang disebut orang yang menakutkan pasti mempunyai bagian yang menakutkan, kata Nyoo Cing sambil membuang pandangan matanya ke luar jendela, seperti misalnya Seng Sam, dia menakutkan karena orang itu tidak pernah takut mati. Sebenarnya dendam kesumat apa sih yang terjalin antara kau dengan Seng Sam? Mengapa dia begitu ngotot ingin menghabisi nyawamu? tanya Tay Thian.

Karena dia tahu, jika tidak mampu membunuhku maka sekembalinya dari sini dia akan mati dalam keadaan yang lebih mengenaskan, lebih menakutkan. Perkumpulan naga hijau paling tidak memiliki tiga puluh macam cara untuk menghabisi nyawa seseorang, cara mana pun yang digunakan pasti akan membuat orang itu menyesal kenapa mesti dilahirkan di dunia. Tay Thian mengalihkan juga sorot matanya ke luar jendela. Perkumpulan naga hijau? tanyanya, organisasi macam apakah itu? Kenapa dalam jangka waktu seratus tahun terakhir belum pernah ada seorang manusia pun yang bisa mengungkap rahasia ini? Kemudian setelah menatap wajah Nyoo Cing sesaat, lanjutnya, Seandainya pemimpin perkumpulan naga hijau belum mati, semestinya saat ini sudah berusia seratus tahun lebih? Kenapa kau tidak langsung bertanya sendiri kepada yang bersangkutan? Sebetulnya aku ingin, sayang dia enggan berjumpa denganku. Siapa tahu kalian sudah pernah bersua, hanya saja kau tidak menyadarinya. Apa yang dia katakan memang bisa sebuah kenyataan, perkumpulan naga hijau memang

merupakan organisasi paling rahasia semenjak seratus tahun terakhir. Jangan lagi siapa pemimpinnya, untuk melacak siapa saja yang menjadi anggotanya pun sudah susahnya setengah mati. Mungkin saja dia adalah Thio Sam atau Li su? Mungkin juga dia adalah sahabat yang paling akrab. Bahkan ada kemungkinan dia hanya seseorang yang sama sekali tidak menyolok, seseorang yang amat bersahaja. Pokoknya bila dia sampai muncul dalam wajah aslinya, pasti akan dibuat siapapun terperanjat setengah mati. Lan It-ceng mati ditempat atau dia baru mati setelah dikirim kemari? tanya Nyoo Cing kemudian. Sewaktu aku tiba disana, dia sudah putus nyawa, sahut Tay Thian, Waktu itu aku terburu-buru akan menghantarmu kemari, maka sekalian kubawa dia kemari. Tolong kuburlah jenasahnya secara layak. Sudah ada petugas yang menanganinya. Siapa? Masa kau tidak tahu aturan yang berlaku di pesanggrahan Coan sin-ie-khek?

Aturan apa? Asal sudah memasuki pesanggrahan pengobatan Coan sin-ie-khek, maka hanya ada sejenis manusia yang bisa pergi meninggalkan tempat ini, manusia hidup! Bagaimana dengan yang mati? Dikubur disini. Hong Coan-sin menganggap bila ada yang sampai mati disini berarti ilmu pengobatan mereka kurang canggih, maka sebagai pengganti dari rasa kecewa keluarganya, mereka akan mengubur jenasahnya secara baik-baik. Sungguh sebuah kejadian yang aneh, kata Nyoo Cing, Tapi Lan It-ceng bukan tewas disini! Tapi dia sudah masuk ke dalam pesang grahan Coan sin-ie-khek. Jadi jenasahnya tetap mereka urus? Benar. Jadi kita pun tidak boleh mencampuri urusan penguburannya? Orangnya toh sudah mati, mau dikubur dengan cara apapun tetap sama saja, kata Tay Thian tertawa, Asal hati kita tulus, itu sudah lebih dari cukup. Nyoo Cing merasa perkataan itu cengli sekali, maka dia pun mengangguk tanda setuju.

Butuh berapa lama untuk membangun kembali rumah kayuku itu? Ketika kau keluar dari pesanggrahan pengobatan, kujamin rumah kayumu sudah berdiri kembali seperti sedia kala. Rumah yang sudah rubuh dapat dibangun kembali, musim semi yang lewat, tahun mendatang akan datang kembali, bila perut lapar, setiap saat dapat makan. Tapi bagaimana dengan orang yang mati? Apakah perasaanmu terhadapnya akan semakin memudar dengan berjalannya waktu?

BAB 11. Satu tambah satu adalah dua.

Bau panggangan ikan yang harum semerbak telah menyelimuti seluruh ruangan. Tiga ekor ikan bakar sudah berpindah ke dalam perut Cong Hoa, tapi sepasang matanya masih mengawasi terus ikan yang sedang dibakar Lo Kay-sian. Saat ini Lo Kay-sian sudah kembali ke dalam kamarnya yang sempit, kecil lagi pengap, sudah

memulihkan kembali jabatannya sebagai kepala sipir penjara. Kenapa ikan hasil bakaranmu selalu berbeda dengan hasil bakaran orang lain? tanya Cong Hoa, dengan ikan yang sama, resep yang sama, cara membakar yang sama, tapi hasil akhir yang diperoleh selalu berbeda? Perhatian khusus, sahut Lo Kay-sian dengan wajah serius, Jik segala persoalan dikerjakan dengan perhatian khusus, hasil yang diperoleh pasti akan beda. Perhatian khusus dalam membakar? Benar. Tampaknya saja gampang, padahal berapa banyak orang yang benar-benar bisa melaksanakannya? Kau, jawab Lo Kay-sian, Ketika menikmati ikan bakar, tampaknya kau pun menaruh perhatian khusus. Ketika aku ingin membuatmu jengkel, akupun menaruh perhatian yang khusus, sambung Cong Hoa sambil tersenyum, Tapi hasilnya kenapa tidak selalu sukses? Ini dikarenakan aku pun menaruh perhatian khusus, sama sekali tidak ambil perduli denganmu, Lo Kay-sian tertawa tergelak.

Jadi menurutmu, aku belum cukup perhatian dalam menangani kasus itu? Oooh? Kalau tidak mengapa Cong Hui-miat bisa mati, setelah mati kenapa jenasahnya pun tidak kutemukan? Secara keseluruhan persoalan ini nampaknya tidak ada ancaman bahaya apa pun, namun aku selalu merasa adanya ancaman bahaya maut yang datang dari empat penjuru, seakan disemua tempat telah dipenuhi oleh perangkap dan jebakan. Jadi kau menganggap persoalan ini sangat rumit? Cong Hoa mengangguk. Kau merasa seolah seluruh tubuhnya diliputi kabut tebal, bukan saja tidak dapat melihat jalanan, sekeliling tempatmu pun tidak bisa kau raba dengan jelas? Benar! Cong Hoa menghela napas panjang. Lo Kay-sian segera meletakkan garpu ikan ke meja, mengawasi gadis itu lekat-lekat, sampai lama kemudian dia baru berkata, Kau kelewat cerdas! Apa maksud perkataanmu? Oleh karena kau kelewat pintar, kelewat pandai berpikir maka kau jadi kebingungan setengah mati, ucap Lo Kay-sian, Seandainya kau sedikit lebih bodoh,

tidak berpikir yang aneh-aneh, mungkin persoalan ini tidak akan kelewat sulit untuk dipecahkan. Aneh, kenapa kau semakin berbicara, kepalaku terasa semakin membesar? Coba jawab satu tambah satu jadi berapa? tibatiba Lo Kay-sian bertanya, lima tambah tiga kurangi tujuh tambah satu jadi berapa? Kelihatannya kau seperti lagi menguji ilmu berhitungku? seru Cong Hoa, tentu saja jawabannya dua! Nah itulah dia, kembali Lo Kay-sian mulai sibuk membakar ikan, Sama-sama jawabannya adalah dua, hanya cara berhitungnya saja yang beda. Maksudmu caraku menyelesaikan persoalan ini yang keliru? Aku telah menggunakan cara rumit yang gampang membuatku kebingungan sendiri? tanya Cong Hoa dengan mata berkilat. Benar! Satu persoalan yang sama, bila diselesaikan oleh orang yang berbeda maka hasil yang diperoleh pun pasti beda. Seperti juga sebuah hutang, setiap orang mempunyai cara yang berbeda untuk menghitung, cara menghitung setiap orang tidak ada yang sama.

Bagi orang persilatan, hutang biasanya hanya bisa diselesaikan dengan satu macam cara. Cara yang mana? Seharusnya sudah tahu cara apakah itu. Ada hutang yang Cuma bisa dilunasi dengan darah, tanpa darah mustahil hutang itu bisa dibayar lunas. Malah terkadang darah yang kelewat sedikit tidak bisa menyelesaikan persoalan, dibutuhkan darah dalam jumlah yang banyak. Jika darah seorang belum cukup, dibutuhkan darah dari orang yang lebih banyak lagi. Lalu hutang dari Cong Poan-long harus dibayar dengan berapa banyak darah agar bisa lunas? Jika dibutuhkan darah dari dua puluh orang untuk membayar lunas, lalu bagaimana dengan Cong Huimiat? Dendam lama ditambah permusuhan baru, dibutuhkan berapa banyak darah lagi untuk bisa dianggap impas? Terlepas itu dendam lama atau permusuhan baru, persoalan itu merupakan masalah keluarga Cong, dengan Cong Hoa sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Dia tidak lebih hanya seorang manusia yang gemar mencampuri urusan orang lain.

Bila manusia gemar mencampuri urusan orang lain yang harus membuat pertimbangan, tentu saja dia tidak akan mempertimbangkan penggunaan darah untuk menyelesaikan persoalan ini. Benarkah sama sekali tidak perlu mema-kai darah? Rencanamu akan pergi kemana? Dengan wajah tercengang Lo Kay-sian bertanya. Ketika selesai menghabiskan ikan bakar ke enam yang disiapkan Lo Kay-sian, Cong Hoa membesut mulutnya, bertepuk tangan sambil bangkit berdiri kemudian beranjak dari tempat itu. Disini sudah tidak tersedia ikan bakar lagi, padahal perutku masih sangat lapar, kata Cong Hoa, Kalau tidak pergi mencari sasaran lain, memangnya aku bisa mengatasi perutku yang kosong? Tampaknya kau memang pandai menerima kenyataan, tapi siapa yang akan kau cari? Sambil memandang gunung dikejauhan sana, sahut Cong Hoa, Tiba-tiba saja aku jadi kangen dengan Tu Bu-heng, khususnya arak kegirangannya. Mendadak Lo Kay-sian menuang dua cawan dihadapannya dengan arak, satu diserahkan ke tangan Cong Hoa, satu lagi untuk diri sendiri. Biar aku bersulang untukmu! katanya.

Tindak tanduk Lo Kay-sian yang sangat aneh ini segera membuat Cong Hoa kebingungan sendiri. Apa-apaan kau ini? Aku hanya berharap kau bersedia menghabiskan secawan arak itu, sebab setibanya di alam baka, kau akan bertemu dengan banyak sahabat lama. Kau mendoakan aku agar cepat mampus? Tidak, kau sendiri yang bilang begitu. Aku hanya berkata akan pergi menjumpai Tu Buheng. Nah itulah dia! seru Lo Kay-sian sambil menatapnya tajam, Bila kau ingin menemukan Tu Bu-heng, maka satu-satunya tempat yang bisa kau tuju hanyalah neraka. Maksudmu dia... Benar, dia sudah mati sejak dua hari yang lalu! Mati? Cong Hoa terkesiap, Kenapa tidak ada kabar berita tentang kematiannya? Kenapa dia bisa mati? Aku sendiripun tidak tahu sebab berita ini disampaikan Tay suya. Cong Hoa termenung berapa saat, kemudian dia baru bertanya, Tu Bu-heng dikubur di mana?

Aku tidak tahu! Tidak tahu? Cong Hoa makin terkesiap, Tay Thiahong telah menyampaikan berita kematiannya, masa dia sendiripun turut lenyap tak berbekas? Rasanya nasib Tay suya tidak sedrastis itu. Lantas kenapa kau bilang tidak tahu? Tidak tahu maksudnya aku tidak tahu Tu Bu-heng sudah dikubur di mana? Sudah dikubur atau belum, aku sama sekali tak tahu. Lalu siapa yang tahu? Hong Coan-sin! Hong Coan-sin? Pemilik pesanggrahan pengobatan Coan sin-ie-khek? Benar. Kenapa kau hubungkan Tu Bu-heng dengan dirinya? Karena hanya dia yang bisa menyelidiki sebab musabab kematian Tu Bu-heng. Cong Hoa kembali termenung, tapi kali ini dengan cepat ia berseru lagi, Bagaimana dengan Un-hwee sianseng? Apakah dia.... Tidak! jawab Lo Kay-sian singkat.

Cong Hoa segera menghembuskan napas lega, belum lagi sempat bicara, Lo Kay-sian sudah berkata lagi, Maksudku dia tidak berhasil melarikan diri, dia sama seperti rekannya, sudah mati! Kau... Cong Hoa membelalakkan matanya lebarlebar. Ada apa? Bukankah kau bertanya apakah dia... maka kujawab tidak! Aku bertanya kepadamu, apakah dia sudah mati? Oooh, kukira kau bertanya apakah dia berhasil kabur dari musibah ini. Jika sorot mata bisa digunakan untuk membunuh orang, sekarang paling tidak Lo Kay-sian sudah mati enam ratus kali, mati dibantai Cong Hoa. Setelah berhari-hari salju turun dengan derasnya, hari ini udara sangat cerah bahkan matahari mulai memancarkan sinarnya menerangi seluruh bumi. Biasanya cuaca seperti ini sangat digemari orang banyak, tidak heran kalau di jalan raya banyak manusia berlalu lalang, malah ada yang memindahkan kursinya duduk di tepi jalan sambil menikmati hangatnya sinar sang surya. Banyak orang bersuka ria dalam cuaca secerah ini, bahkan anjing dan kucing pun saling bergumulan ditepi

jalan. Semua orang bergembira ria, hanya satu orang terkecuali. Mimik muka Cong Hoa saat ini seperti dinamit yang sudah disulut sumbu nya, asal ada yang berani mendekat, dijamin tubuhnya segera akan diledakkan hingga hancur berkeping. Berapa orang yang dihari biasa punya hubungan cukup akrab dengan Cong Hoa, sebenarnya sudah mengangkat tangannya hendak menyapa, tapi begitu melihat mimik mukanya yang masam, mereka segera menarik kembali tangannya yang sudah diangkat lalu pura-pura garuk kepalanya yang tidak gatal, setelah itu secara diam-diam ngeloyor pergi. Cong Hoa dalam keadaan gembira saja sudah bikin orang pusing kepala, apalagi dalam kondisi marah marah. Tidak heran kalau ada berapa orang yang secara diam-diam mulai pergi menjauhi jalanan itu. Dalam suasana seperti inilah tiba-tiba dari ujung jalan meluncur datang sebuah kereta kuda yang dilarikan kencang. Kuda jempolan, kereta mentereng lagi mewah, ruang kereta yang masih baru berkilat bagai sebuah cermin, sang kusir dengan sebuah cambuk panjang berwarna hitam diayunkan berulang kali ke tengah udara. Cong

Hoa seolah tidak melihat, seakan sama sekali tidak mendengar. Siapa tahu kereta kuda itu ternyata berhenti persis disampingnya, enam orang lelaki kekar segera berlompatan keluar dari dalam kereta dan mengepung gadis itu. Seorang lelaki dengan mata melotot gusar dan gerakgerik lincah segera menegur, Jadi kau si Bunga latah? Jika kedatangan kalian untuk berkelahi, semua sudah menemukan sasaran yang tepat. Sejak dibuat jengkel dan mendongkol di rumah Lo Kay-sian tadi, Cong Hoa memang sedang bingung kemana harus melampiaskan rasa mendongkolnya, dia merasa kedatangan ke enam orang lelaki ini tepat waktu. Kawanan lelaki itu tertawa dingin, tampaknya mereka tidak pandang sebelah mata pun terhadap gadis ini. Sayang sekali kedatangan kami bukan untuk mencarimu berkelahi. Bukan? Kami hanya berharap kau bersedia ikut kami pergi sejenak. Aaai.... Cong Hoa menghela napas panjang, agaknya dia merasa sangat kecewa.

Kau jangan menganggap kami adalah manusia yang takut berkelahi! kembali lelaki itu berseru keras, Sayangnya tauke kami bersikeras ingin bertemu denganmu, memaksa kami harus membawamu pulang dalam keadaan hidup, jika sampai patah lengan atau kakinya, dia tentu akan merasa sangat tidak senang hati. Siapa tauke kalian? Setelah bertemu nanti kau akan tahu sendiri. Seorang lelaki diantaranya segera mengeluarkan secarik kain hitam. Buat apa kain hitam itu? tanya Cong Hoa. Kain hitam dipakai untuk menutup mata, tanggung tidak bakal bisa melihat apa pun. Mau dipakai untuk menutup mata siapa? Kau! Ohh, jadi kalian tidak membiarkan aku mengetahui jalan? Kelihatannya kali ini kau lebih pintar. Kalau aku menolak ditutup matanya atau menolak untuk pergi?

Lelaki kekar itu tertawa dingin, mendadak dia mengayunkan tinjunya dan menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh ditepi jalan. Kraaaak! sebuah lubang besar segera muncul diatas dahan pohon itu. Lihay! Sungguh lihay! seru Cong Hoa sambil bertepuk tangan. Lelaki itu mendengus angkuh, sambil membelai tinjunya dia berkata lagi, Kalau sudah tahu kelihayanku, lebih baik ikut saja dengan kami tanpa melawan. Kepalanmu tidak merasa sakit? tanya Cong Hoa seakan menaruh perhatian. Lelaki itu nampak sangat bangga, terlihat seorang rekannya tidak mau unjuk kelemahan sendiri, mendadak dia berjongkok sambil melancarkan sebuah sapuan, sebuah bangku batu yang tertanam lebih kurang dua depa diatas tanah seketika terangkat berikut akarnya.

Woouw, hebat, hebat, kakimu tidak sakit? seru Cong Hoa seakan makin terkejut. Jika kau menolak untuk ikut pergi, kau yang bakal kesakitan, bahkan seluruh tubuhmu akan kesakitan. Bagus sekali! Apa maksudmu berkata bagus sekali?

Bagus sekali artinya sekarang aku sudah mempunyai alasan untuk berkelahi. Begitu selesai dia berkata, tangan Cong Hoa sudah bekerja keras, sebuah jotosan menghancurkan hidung seorang lelaki, sebuah tamparan membuat rekannya kehilangan tujuh biji gigi, lalu sambil membalik tangan, sikutnya menghajar patah lima kerat tulang iga lelaki ketiga. Kakinya juga tidak tinggal diam, dengan satu tendangan dia menyepak tubuh seseorang hingga menggelinding bagaikan bola, rekan yang lain kena dijejak perutnya sampai terbongkok-bongkok tubuhnya lantaran kesakitan, bukan Cuma tubuhnya yang terbung-kuk, air mata, ingus serta keringat dinginnya ikut bercucuran keluar. Sisanya yang seorang hanya bisa berdiri kaku tanpa mampu bergerak, dia jadi kaku lantaran kaget bercampur ngeri, saking lemasnya seluruh tubuh sampai basah kuyup oleh keringat. Cong Hoa mulai tertawa terkekeh kekeh. Lelaki kekar itu pingin tertawa, namun tertawanya jauh lebih jelek ketimbang menangis. Aku rasa tertawamu merupakan tertawa paling jelek yang pernah kujumpai tahun ini, ujar Cong Hoa sambil menatapnya.

Lelaki itu seketika terbungkam, tidak berani tertawa lagi. Apakah sekarang kalian masih ingin memaksaku untuk ikut pergi? Lelaki itu segera menggeleng, menggeleng kuat-kuat. Bagus sekali! Begitu mendengar perkataan tersebut, paras muka lelaki itu seketika berubah jadi pahit bagaikan buah paria. Kenapa kali ini kau tidak bertanya kepadaku, bagus sekali itu apa artinya? Aku... hamba... Kau tidak berani bertanya? Lelaki itu segera mengangguk, mengangguk kuatkuat. Tidak berani pun tidak bisa, mendadak Cong Hoa menarik wajahnya sambil melotot besar, Kalau tidak bertanya berarti ingin digebuk! Aku... terpaksa lelaki itu harus keraskan kepala dan bertanya dengan suara tergagap, ba... .bagus sekali itu apa artinya? Bagus sekali itu artinya sekarang aku sudah siap ikut kalian pergi, kata Cong Hoa tertawa.

Ternyata Cong Hoa benar-benar menyingkap tirai kereta dan siap naik keatas kereta itu, mendadak serunya lagi sambil berpaling, Bawa kemari. Aa...apanya yang bawa kemari? lelaki itu terperanjat. Kain hitam itu, yaaa...kain hitam yang berada dalam genggamanmu itu, kain untuk menutupi mata. Lelaki itu segera menggunakan kain hitam itu untuk menutup matanya sendiri. Hey, kenapa kau menutup mata mu sendiri? Bawa kemari, tutup mataku! teriak Cong Hoa lagi. Lelaki itu jadi melongo, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dia tak tahu sebenarnya gadis ini orang gila atau orang goblok? Cong Hoa segera merampas kain hitam itu dari tangan lelaki tadi dan benar benar ditutupkan keatas mata sendiri, setelah itu dia melompat naik ke dalam kereta, duduk dengan santai dan menghela napas panjang. Tampaknya menutupi mata dengan kain hitam memang enaknya luar biasa... gumamnya. Cong Hoa tidak edan, diapun tidak goblok.

Tapi jika orang lain ingin memaksanya untuk melakukan sesuatu, biar tubuhnya dilubangi enam tujuh belas tempat pun dia tidak bakal mau melakukannya. Selama hidup dia hanya melakukan pekerjaaan yang dia ingin lakukan dan senang melakukannya. Dia mau duduk didalam kereta kuda itu karena dia merasa pekerjaan ini selain penuh kemisteriusan juga sangat menarik. Maka sekarang, biar orang lain melarangnya ikut pun dia tetap memaksa akan ikut. Kereta bergerak sangat cepat, tiba-tiba dia teringat kembali dengan Cong Hui-miat. Cong Hoa bukannya tidak pernah bertemu dengan orang-orang dari kalangan atas, dalam sepanjang hidupnya, tempat semegah dan semewah apapun sudah pernah dia kunjungi. Maka sewaktu berada dalam kereta, dia pun mulai menduga-duga kereta itu akan membawanya menuju ke tempat macam apa. Padahal tempat seperti apa pun sudah dia bayangkan semua, tapi dia tidak pernah menyangka akan tempat semacam ini. Mimpi pun dia tidak akan menyangka kalau kereta itu akan membawanya menuju ke tempat semacam ini. Ketika angin berhembus lewat, kabut tebal berwarna abu-abu telah menyelimuti seluruh angkasa.

Salju terasa dingin membeku, kabut sangat tebal, di sebuah rumah yang terpencil tidak nampak seorang manusia pun, bahkan setan pun tidak kelihatan. Ternyata kereta itu membawa Cong Hoa menuju ke sebuah tanah pekuburan. Langit diselimuti warna putih kelabu, cahaya sang surya yang baru saja masih bersinar kini sudah bersembunyi dibalik awan, yang nampak saat itu hanya selapis kabut yang amat tebal, apa pun tidak terlihat. Perlahan-lahan Cong Hoa melepaskan kain hitam penutup matanya dan turun dari kereta, kendatipun apa yang kemudian terlihat membuat perasaan hatinya terkejut namun sekulum senyuman masih menghiasi bibirnya. Biarpun dihati kecilnya merasa ngeri bercampur seram, perasaan tersebut tak nanti akan diperlihatkan diwajahnya. ... siapa pun itu orangnya, asal pernah mengalami kejadian seperti apa yang dia alami, sudah semestinya dia telah belajar bagaimana menyembunyikan setiap perubahan perasaan hatinya di dalam dasar hati yang terdalam. Angin yang berhembus ditanah pekuburan seolah jauh lebih dingin daripada ditempat lain, sedemikian dinginnya hingga mirip sebilah pisau, pisau tajam yang menyayat kulit wajah Cong Hoa, juga menyayat tanah

pekuburan, menyayat batu nisan di depan gundukan tanah itu. Batu nisan ada yang sudah tumbang, ada pula yang sudah dilapisi salju tebal, membuat tulisan yang tertera disitu sama sekali tidak terbaca. ...Siapa saja yang telah dikubur di tanah pekuburan itu? Tidak seorang pun yang menggubris, tidak seorang pun yang menaruh perhatian. Ketika mereka masih hidup dulu, orang-orang itupun memiliki kebanggaan, kenistaan, kegembiraan dan kepedihan. Dan kini? Mereka tidak memiliki apa-apa, tidak satu pun yang dimilikinya lagi. ...Lalu sebagai manusia hidup, buat apa mereka selalu mengingat semua kebanggaan, semua kenistaan, semua kegembiraan dan semua kepedihan? Cong Hoa menghela napas panjang. Pada saat itulah dia seakan merasa lapisan kabut yang ada dihadapannya mulai menipis. Lamat-lamat dari balik lapisan kabut, dia menyaksikan ada tiga buah tenda besar yang didirikan ditengah tanah pekuburan itu. Bentuk tenda itu sangat aneh, berapa bagian mirip tenda peternak Mongol yang biasa digunakan dipinggir

perbatasan, tapi berapa bagian mirip juga dengan tenda yang digunakan tentara. Didepan tenda itu terlihat seonggok api unggun. Tiga buah tenda dengan tiga onggok api unggun. Dengan sorot mata yang tajam Cong Hoa mengawasi ketiga buah tenda itu. Tiba-tiba dari tenda bagian tengah terlihat ada seseorang berjalan keluar. Orang itu adalah seorang kakek yang mengenakan baju berwarna hitam, seluruh tubuhnya dibungkus kain hitam, wajahnya sedingin salju dan rambutnya telah beruban, dalam genggamannya dia membawa selembar kartu undangan berwarna merah. Selangkah demi selangkah dia berjalan menuju ke hadapan Cong Hoa, lalu dengan sorot mata yang tajam mengawasinya. Hoa toa-siocia? Cong Hoa! Disini ada selembar kartu undangan yang khusus dihantar kemari untuk mengundang Hoa toa-siocia. Ada orang mengundang aku makan? Benar. Kapan? Sekarang!

Di mana? Di tempat ini? Waaah, kalau begitu tidak usah repot-repot! seru Cong Hoa sambil tertawa. Benar, memang tidak usah repot-repot, asal Hoa toa-siocia maju berapa langkah saja ke depan, maka kau sudah sampai di tempat tujuan. Lalu siapa tuan rumahnya? Tuan rumah sudah menunggu, asal Hoa toa-siocia masuk ke situ, kau pasti akan bertemu dengannya. Kalau memang begitu, buat apa kau mesti mengirim surat undangan? Tata krama tidak boleh diabaikan, surat undangan itu penting, silaukan Hoa toa-siocia menerimanya. Sekali kakek berbaju hitam itu mengang-kat tangannya, surat undangan itupun perlahan-lahan melayang kedepan, melayang sangat tenang, sangat lambat, seakan akan ada sebuah tangan tidak berwujud yang menyunggih dibawahnya dan dihantar ke depan. Cong Hoa tertawa, dia segera menerimanya, kemudian baru ujarnya hambar, Ooh, rupanya kau sengaja datang kemari mengirim surat undangan

karena ingin aku saksikan kehebatan tenaga khikang mu? Hoa toa-siocia mentertawakan. Ternyata tuan rumah adalah Liong Ngo dari Kwangtong. Liong Ngo duduk diatas kursi malas berlapis kulit macannya sambil menatap tajam wajah Cong Hoa, begitu tajam pandangan matanya seolah dia hendak membuat dua buah lubang diatas wajah gadis itu. Bahkan saat ini Cong Hoa sendiripun merasa kalau diatas wajahnya telah bertambah dengan dua buah lubang. Selama hidup belum pernah dia saksikan sorot mata setajam ini, juga belum pernah berjumpa dengan manusia seperti ini. Dalam bayangannya, Liong Ngo dari Kwangtong tidak seperti ini. Lalu seperti apakah Liong Ngo dari Kwangtong? Dia pasti tinggi besar, sangat berwibawa, sangat kekar berotot, mungkin rambutnya sudah beruban namun pinggangnya pasti masih tegak dan selurus toya, tampangnya mirip dengan dewa penjaga pintu yang sering dilihatnya dalam lukisan.

Suaranya sewaktu berbicara pun pasti senyaring genta, yang dapat membuat kendang telingamu terasa sakit, apalagi jika dia sudah naik pitam, cara yang terbaik adalah menyingkir sejauh jauhnya dari orang tersebut. Cong Hoa benar-benar pingin sekali melihat tampang wajahnya ketika sedang marah, pingin mendengar auman teriakannya sewaktu naik pitam. Sayang apa yang dia bayangkan semuanya keliru besar. Begitu berjumpa dengan Liong Ngo, dia segera tahu bahwa tidak gampang untuk membuat naik pitam orang semacam ini. ... Hanya orang yang tidak pernah naik darah merupakan manusia yang betul betul sangat menakutkan. Paras mukanya pucat pasi, rambutnya jarang, kumisnya kelimis, tapi semuanya terawat dan ditata sangat rapi dan bersih, sepasang tangannya juga terpelihara dengan baik, membuat orang lain susah untuk percaya kalau tangan semacam ini pernah digunakan untuk membunuh banyak orang. ... Sama seperti ada sementara orang desa yang tidak percaya kalau pelacun pun dulunya pernah jadi gadis perawan.

Pakaian yang dia kenakan sangat sederhana, karena dia sendiripun tahu, tanpa mengenakan baju mewah, perhiasan mahal, intan permata, Mutu manikam pun orang sudah tahu kalau dia kaya raya dan berstatus sosial tinggi. Didalam tenda yang amat besar itu suasana terasa amat sepi, kecuali Cong Hoa dan Liong Ngo, tidak ada orang ketiga yang ikut hadir di situ. Sudah cukup lama Cong Hoa masuk ke dalam tenda, namun dia hanya mengucapkan empat patah kata, Aku adalah Cong Hoa! Sebaliknya tak sepatah kata pun yang diucapkan Liong Ngo, bila berganti orang lain, dia pasti menganggap orang ini tidak mendengar perkataannya tadi. Tapi Cong Hoa sama sekali tidak berpikir begitu. Ada semacam orang yang selamanya tidak pernah salah bicara, jelas dia termasuk manusia macam ini. ... anehnya, justru manusia semacam inilah yang sering salah bicara sepuluh laksa patah kata namun dia tetap menganggapnya benar. Cong Hoa tahu, dia pasti sedang mengambil sikap sebelum akhirnya buka suara, maka dia menunggu. Menunggu dalam posisi berdiri.

Mendadak Liong Ngo menggerakkan jari tangannya menunjuk ke arah sebuah bangku beralas kulit serigala yang berada dihadapannya. Duduk! Lalu dia menuding lagi ke arah sebuah poci arak yang ada diatas meja kecil. Arak! Cong Hoa menuang secawan dan langsung diteguk hingga habis. Liong Ngo mengangkat juga cawan porselen dihadapannya dan pelan-pelan meneguk satu tegukan, lalu dia alihkan sorot matanya yang tajam menatap wajahnya. Apakah kau tahu, siapa aku? Memangnya dikolong langit terdapat Liong Ngo lebih dari satu? sahut Cong Hoa sambil tertawa. Kau tidak takut? Kenapa aku harus takut? suara Cong Hoa semerdu burung nuri, Apalagi kau yang mengundangku kemari, aku adalah tamu, mana ada tuan rumah membunuh tamunya? Sudah tahu kenapa kuundang kau datang kemari? Masalah Cong Hui-miat? balik bertanya.

Perlahan-lahan sorot mata Liong Ngo yang tajam mulai melemah, tapi dia masih menatap gadis itu tanpa berkedip. Aku suka orang yang berterus terang, akupun suka orang pintar, kebetulan kau memiliki keduanya. Terima kasih! Bolehkah aku berjumpa dengannya? Tidak boleh! Kenapa? Sebab aku sendiripun tidak tahu berada di mana dia sekarang! Kembali berkilat sorot mata Liong Ngo, bahkan lebih tajam dari sebilah golok. Bukankah kau yang membawanya keluar dari penjara bawah tanah? tegurnya. Benar! Apakah dia yang membawamu ke kota Say-cu-tin? Ternyata kota dimana Cong Hui-miat lenyap bernama Say-cu-tin. Benar. Lantas kenapa kau masih mengatakan tidak tahu dia berada dimana sekarang?

Sebab setibanya di kota Say-cu-tin, dia telah diculik orang. Siapa yang telah menculiknya? Perkumpulan naga hijau! Perkumpulan naga hijau? Benar! Cong Hoa mengangguk. Kembali Liong Ngo menatapnya tanpa berkedip, dia seakan sedang memeriksa apakah jawaban dari Cong Hoa itu jujur. Cong Hoa balas menatapnya, sikap maupun gerakgeriknya sangat tenang. Ketiga buah tenda raksasa itu didirikan persis ditengah tanah pekuburan liar itu. Kini langit semakin kelam, awan kelabu menyelimuti seluruh bumi. Lama sekali Liong Ngo mengawasi wajah Cong Hoa, berapa saat kemudian dia baru mengambil cawan kemalanya dan pelan-pelan menghirup setegukan arak. Perkataanmu sulit untuk dipercaya orang lain, katanya, Tapi aku percaya! Apa yang kukatakan memang kejadian yang sesungguhnya. Kini Liong Ngo membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan, katanya kemudian, Tampaknya

pertarunganku melawan perkumpulan naga hijau sudah tidak terelakkan lagi. Bagaimana kalau kau tunggu sampai aku selesaikan dulu perhitungan hutang piutangku dengan mereka kemudian baru bertindak? Kau juga ingin bertarung melawan perkumpulan naga hijau? Bukan ingin, tapi pasti! tukas Cong Hoa, Mereka telah melarikan Cong Hui-miat persis di hadapanku, jelas tindakan mereka sama sekali tidak memberi muka kepadaku, mana mungkin aku bisa berpeluk tangan dan menyudahi begitu saja peristiwa ini? Bila kau masih ingin hidup berapa tahun lebih lama, lebih baik urungkan pikiran seperti itu. Maksudmu, kungfuku masih belum memadai? Benar. Hmm! kontan Cong Hoa tertawa dingin. Tahun ini berapa usiamu? mendadak Liong Ngo bertanya lagi. Walaupun Cong Hoa tidak tahu apa maksudnya menanyakan soal umur, tapi jawabnya juga, Dua puluh tahun. Sejak usia berapa kau berlatih silat?' Tiga tahun.

Itu berarti kau baru tujuh belas tahun berlatih silat, mana mungkin bisa menandingi kemampuan perkumpulan naga hijau? Sekalipun baru belajar silat selama satu hari, aku tetap akan menantang perkumpulan naga hijau untuk bertarung habis-habisan. Bagus! Punya nyali, punya semangat! mendadak Liong Ngo mendongakkan kepalanya dan tertawa nyaring. Ditengah gelak tertawanya yang keras, tiba tiba tubuhnya melambung ke tengah udara, tubuhnya melayang seolah ada tangan tak nampak yang sedang mengangkat dan menahan tubuhnya di tengah udara. Tanpa sadar Cong Hoa bangkit berdiri, dia kenali gerakan jurus ini sebagai Thian-liong-ngo-si (lima gerakan naga langit) yang sering didengarnya. Gerakan pertama Cian-liong-sin-thian (naga mendekam terbang ke langit). Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata dikolong langit ada orang yang bisa menguasahi ilmu meringankan tubuh sedemikian sempurna. Mendadak terdengar Liong Ngo berseru lagi, Hati hati jalan darah Cing-leng-hiat kiri dan kananmu. Jalan darah Cing-leng-hiat berada sepertiga didalam tekukan ketiak orang, jika tertotok maka sepasang

lengannya sama sekali tidak mampu diangkat, tapi pabila kau tidak mengangkat sepasang lenganmu, mustahil orang lain akan menotok kedua buah jalan darahmu itu. Cong Hoa tertawa dingin, pikirnya, Sekalipun aku bukan tandinganmu, tapi bila ingin menotok jalan darah Cing-leng-hiat ku, jangan harap bisa kau lakukan dengan gampang. Dia memutuskan dalam keadaan seperti apa pun, dia tidak akan mengangkat sepasang lengannya. Dengan status dan kedudukan Liong Ngo dalam dunia persilatan, setelah mengatakan akan menotok jalan darah Cing-leng-hiat nya, tidak nanti dia akan menyerang bagian lain. Diiringi deruan angin kencang tahu-tahu Liong Ngo sudah tiba dihadapan Cong Hoa, deruan angin dahsyat membuat pakaian yang dikenakan berkibar kencang. Buru-buru gadis itu memutar tubuhnya, baru saja dia ingin menggunakan gerakan tersebut untuk memunahkan kekuatan yang tiba, mendadak tangan kanan Liong Ngo sudah ditebas ke jalan darah Ciancing-hiat di bahu kiri kanannya. Plaak, plaaak! tahu-tahu kedua lengan tersebut sudah tidak sanggup diangkat kembali.

Entah sejak kapan Liong Ngo sudah berbaring lagi diatas ranjang empuknya, dia masih kelihatan santai, seolah belum pernah menggerakkan tubuhnya. Merah padam selembar wajah Cong Hoa saking jengkelnya, dengan lantang teriaknya, Jalan darah yang kau totok itu jalan darah Cian-cing-hiat, bukan Cing-leng-hiat. Tidak usah kau jelaskan, masa aku tidak bisa membedakan mana jalan darah Cian-cing-hiat, mana Cing-leng-hiat? Hey, janjimu bisa dipercaya tidak? Kapan aku mengatakan akan menotok jalan darah Cing-leng-hiatmu? Tadi jelas kau mengatakan begitu Aku hanya suruh kau menaruh perhatian, jika sedang bertarung melawan orang, setiap jalan darah ditubuhmu harus kau perhatikan dengan seksama, cara bicara Liong Ngo seperti seorang guru sedang memberi nasehat kepada muridnya, Apalagi ilmu silat memang digunakan untuk menghadapi segala perubahan yang terjadi, selain cekatan, otak juga harus encer, karena tidak bisa menotok jalan darah Cing-leng-hiat mu, tentu saja aku harus menotok jalan darah Cian-cing-hiat mu. Setelah meneguk secawan arak, kembali lanjutnya, Hasilnya toh sama saja, kedua lenganmu sudah tidak bisa digerakkan lagi, buat apa aku mesti susah susah

mengarah jalan darah Cing-leng-hiat mu? Kalau teori semacam ini saja tidak kau pahami, biar harus berlatih seratus tujuh puluh tahun lagi pun jangan harap kau bisa menjadi seorang jagoan tangguh. Saking mendongkolnya Cong Hoa tidak sanggup mengucapkan perkataan apapun. Kenapa? Kau tidak puas? Tentu saja tidak puas! jawab Cong Hoa sambil menggigit bibirnya. Baik. Tampak dia mengayunkan tangannya, entah benda apa yang disambitkan keluar, tahu-tahu jalan darah Sinhong-hiat ditubuh Cong Hoa sudah kena ditimpuk. Cong Hoa segera merasakan ada segulung kekuatan muncul dari dadanya dan menyebar ke empat anggota tubuhnya, dalam waktu singkat kedua lengannya sudah dapat digerakkan lagi. Menimpuk udara menghajar jalan darah merupakan ilmu silat langka yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan, sungguh tidak disangka Liong Ngo bahkan bisa menggunakan ilmu menimpuk udara membebaskan jalan darah. Baru saja Cong Hoa dapat menggerakkan kedua lengannya, mendadak kembali terasa segulung angin hangat berhembus lewat, jalan darah Cing-leng-hiat di

kiri kanan ketiaknya mendadak jadi kaku dan kedua lengan tersebut kembali jadi kaku dan tidak bisa digerakkan. Ketika berpaling ke arah Liong Ngo, tampak dia sudah berbaring kembali di tempat semula, sikapnya tetap amat santai. Cong Hoa menengok sekejap ke arahnya, mendadak dia tertawa tergelak. Apa yang kau tertawakan? Liong Ngo tampak melengak. Aku sedang mentertawakan ilmu silatmu. Ilmu silatku tidak bagus? Bagus, bagus sekali! sahut Cong Hoa sambil tertawa, Tapi sayang, biarpun pemimpin perkumpulan naga hijau memiliki kungfu sepuluh kali lipat lebih lihay dari kungfu mu pun, aku tetap akan pergi mencarinya. Kau tidak takut mati? Takut, takut setengah mati. Cuma... takut adalah satu persoalan, mencari balas adalah persoalan lain. Jadi kau tetap nekad akan pergi mencarinya? Benar. Cerita tentang Opium.

Disudut timur laut Pesanggrahan pengobatan Coansin-ie-khek terdapat sebuah bangunan rumah, biasanya jarang ada orang yang muncul disitu. Penghuni pesanggrahan pengobatan sebisa mungkin tidak berjalan menuju ke rumah tersebut, bila perlu pun biasanya akan muncul dengan terburu-buru, begitu selesai dengan tugasnya tergesa-gesa pula pergi meninggalkan rumah itu. Rumah itu hanya diurus seorang kakek yang tuli lagi bisu, penghuni pesanggrahan memanggilnya paman bisu. Diatas pintu rumah tergantung sebuah papan nama, diatas papan itu tertera tiga huruf besar: Tay-peng-uh (rumah ketenangan/aman). Tempat itu memang selalu aman, karena orang yang dikirim ke tempat itu biasanya memang aman aman saja, mereka jarang ribut, jarang berkelahi, juga tiada luapan perasaan maupun napsu. ... Orang mati memang tidak pernah ribut, tidak pernah berkelahi, mereka pun tiada luapan perasaan maupun napsu. Oleh sebab itu orang mati selalu aman, selalu damai dan tenang. Yang dimaksud rumah ketenangan tidak lain adalah ruangan untuk meletakkan layon orang yang telah mati.

BAB 12.

Jenasah Tu Bu-heng, Un-hwee sianseng serta Lan Itceng semuanya disimpan dalam ruangaitu. Paman bisu dengan membawa segenggam hio yang sudah disulut berjalan masuk ke dalam rumah ketenangan. Biarpun waktu itu masih pagi hari, namun suasana dalam rumah ketenangan terasa dingin menyeramkan, cahaya disitu pun terasa sangat redup. Bila kelewat lama berada dalam ruangan itu, meski kau kenakan pakaian tebal sepuluh lapis pun, sepasang kakimu tetap akan gemetaran. Paman bisu hanya mengenakan satu stel pakaian kasar, dia berjalan masuk ke dalam ruangan dan terlihatlah tubuh Tu Bu-heng, Un-hwee serta Lan It-ceng dibaringkan diatas sebuah altar yang berbentuk panjang. Tanpa perubahan mimik muka paman bisu menancapkan dua batang hio diujung kaki Lan It-ceng, kemudian menuju ke depan Tu Bu-heng dan menancapkan lagi dua batang hio. Menanti dia sudah menancapkan dua batang hio didepan Un-hwee sianseng, dengan tanpa perubahan mimik muka paman bisu berlalu dari situ.

Enam batang hio didepan tiga sosok tubuh manusia, perlahan lahan mengepulkan asapnya ke udara. Sekalipun semasa hidup kau adalah seorang enghiong atau seorang hohan atau bahkan seorang pengemis, pembesar atau rakyat jelata, setelah mati, semuanya adalah sama. Yang diperoleh waktu itu hanya dua batang hio serta sebuah gundukan tanah pekuburan. Oleh sebab itu buat apa hidup sebagai manusia harus berpikiran picik dan berhati sempit? Ditengah keheningan dan suasana seram yang menyelimuti rumah ketenangan, mendadak terdengar suara gemerutuk yang sangat perlahan bergema memecahkan keheningan. Menyusul suara tersebut, altar panjang yang dipakai untuk membaringkan tubuh Un-hwee tiba-tiba tenggelam ke bawah. Tidak selang berapa saat kemudian tubuh Un-hwee sudah sama sekali tenggelam ke bawah tanah dan tidak terlihat lagi. Ke mana perginya tubuh Un-hwee? Didalam rumah yang amat tenang ini, mengapa bisa terjadi peristiwa seperti ini? Kalau orangnya sudah mati, apa mungkin junasahnya masih punya nilai untuk dipergunakan lagi? Kenapa

jenasahnya amblas ke bawah? Apakah dibawah sana masih terdapat rahasia lain? Kalau memang ada rahasianya, rahasia macam apakah itu? Dibawah sana memang ada rahasia, semacam rahasia yang bisa membuat orang tidak percaya. Ternyata dibawah rumah ketenangan masih terdapat sebuah ruangan lagi yang aneh sekali bentuknya. Didalam ruangan itupun terdapat sebuah altar panjang, altar itu bukan terbuat dari kayu melainkan dibuat dari besi putih. Disisi altar panjang yang terbuat dari besi putih itu terdapat pula berapa buah meja kecil yang terbuat dari besi putih juga. Diatas meja kecil tersedia aneka macam benda yang aneh, ada pisau kecil, ada penjepit, ada tang, ada kapak kecil juga ada gergaji kecil, anehnya disitu pun terdapat gunting, jarum dan benang. Diatas meja kecil yang lain terletak aneka macam botol dan guci kecil, ada yang tinggi, ada yang pendek, bulat, gepeng bahkan ada botol botol berbentuk aneh. Didalam aneka botol itu tersimpan aneka macam cairan yang berwarna-warni. Biarpun ruangan itu terletak di bawah tanah, namun suasananya jauh lebih benderang ketimbang ruang atas, disekeliling tempat itu tergantung berapa buah

lampu kristal. Selain itu terendus pula bau semerbak obat obatan yang amat tebal. Tubuh Un Hwee yang barusan amblas dari ruang atas, kini berbaring membujur diatas altar panjar terbuat dari besi putih itu. Apa kegunaan ruangan ini? Kenapa terdapat begitu banyak barang aneh disitu? Disekeliling ruangan tidak tampak jendela, juga tak nampak pintu. Pada saat itulah dari dinding ruangan sebelah kiri mendadak muncul sebuah pintu. Pintu itu muncul dari balik dinding, ketika lapisan dinding bergerak naik ke atas maka muncullah sebuah lubang pintu disitu. Menyusul kemudian tampak seseorang berjalan keluar dari balik pintu. Hong Coan-sin dengan mengenakan baju panjang berwarna hijau rumput dan menutup lubang hidung dan mulutnya dengan secarik kain berwarna hijau pula berjalan keluar dari pintu dan mendekati altar tersebut. Rambutnya tampak ditutup juga dengan kain hijau, bahkan tangannya mengenakan sarung tangan yang tembus pandang. Perlahan-lahan dia menghampiri altar itu, wajahnya serius namun tidak menutup rasa girangnya yang meluap, dia menatap tubuh Un Hwee tanpa berkedip.

Dia mulai melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan Un-hwee, tidak selang berapa saat kemudian Un-Hwee sudah berada dalam keadaan telanjang bulat. Hong Coan-sin mengeluarkan sebilah pisau kecil, kemudian dengan menggunakan tangan yang lain dia mulai menekan perut jenasah itu. Ketika dia sudah puas menekan, pisau kecilnya baru mulai digunakan untuk membelah perut Un-hwee. Biarpun pisau itu kecil namun tajamnya luar biasa, tanpa mengeluarkan banyak tenaga dia sudah membelah perut Un-hwee hingga terbelah lebar. Hong Coan-sin meletakkan kembali pisau kecilnya, lalu mengambil sebuah tang dan mulai menjepit usus yang ada didalam perut, tangan yang lain mengambil gunting dan dia mulai memotong usus tersebut. Usus yang sudah tergunting dia masukkan ke dalam sebuah kotak bulat yang berisi cairan berwarna merah. Tidak sampai setengah jam kemudian, seluruh isi perut Un-hwee sudah dikeluarkan oleh Hong Coan-sin dan masing-masing dimasukkan ke dalam pelbagai tempat yang berbentuk aneh itu. Setelah itu dia baru menghembuskan napas panjang, dengan perasaan puas ditatapnya kotak kotak berisi isi perut tadi. Hong Coan-sin berjalan ke depan sebuah lampu kristal, menekan sebuah tombol pada lampu tadi dan dari sisi lentera itupun muncul sebuah lemari.

Didalam almari itu tersimpan puluhan buah kotak kecil, Hong Coan-sin mengambil sebuah kotak yang berisi bubuk berwarna coklat dan segera dituang ke dalam perut Un-hwee. Kemudian setelah menyimpan kembali kotak kecil itu, dia mengambil jarum dan mulai menjahit bekas luka di perut itu. Gulungan kain perban berada disebuah tongkat yang lembut lagi panjang, Hong Coan-sin menarik ujung perban itu kemudian mulai membungkus kaki Un-hwee dengan kain perban itu, tidak selang berapa saat kemudian seluruh tubuh Un-hwee sudah terbalut oleh kain perban itu hingga keadaannya mirip dengan sebuah mummi. Kembali Hong Coan-sin memutar sebuah lampu lentera, lagi lagi dari balik dinding muncul sebuah almari besar. Dari balik almari yang besar itu Hong Coan-sin mengeluarkan sebuah peti sebesar tubuh manusia, membuka penutupnya, membopong tubuh Un-hwee dan memasukkan ke dalam peti. Setelah merapatkan kembali peti itu, Hong Coan-sin baru memberi tanda diatas peti itu dengan nomor urut serta tanggal. Peti itu bernomor tujuh puluh tiga dan tertanggal bulan sepuluh tanggal lima. Bulan sepuluh tanggal lima adalah hari ini. Lantas nomor tujuh puluh tiga melambangkan apa?

Apakah mayat ke 73 yang di otopsi olehnya? Atau akan disimpan selama 73 hari? Kini peti panjang itu sudah diletakkan kembali di tempat semula. Hong Coan-sin memandang sekejap sekeliling tempat itu, ketika merasa puas dia baru membalikkan tubuh sambil memutar lampu lentera yang lain. Kembali muncul sebuah pintu rahasia, dengan tubuh yang penat dia berlalu dari situ, perlahan-lahan bayangan tubuhnya lenyap dibalik kegelapan. Walaupun hari ini tidak nampak cahaya matahari, namun udara tidak sedingin kemarin. Pakaian yang dikenakan Tay Thian jauh lebih sedikit dibandingkan kemarin. Saat ini dia sedang duduk saling berhadapan dengan Hong Coan-sin. Diantara kedua orang itu dipisahkan sebuah meja besar, sebuah meja yang berben-tuk melengkung. Meja itu terbuat dari kayu wangi, besar lagi bagus ukirannya, dalam sekilas orang akan tahu kalau meja tersebut tidak ternilai harganya. Ruangan ini digunakan Hong Coan-sin sebagai ruang kerja, biasanya disitu juga dia menerima kunjungan tamu agung. Sudah diketahui racun penyebab kematian Tu Buheng sekalian? Tay Thian membuka pembicaraan.

Didekat negara kita terdapat sebuah wilayah yang disebut orang segitiga emas, ditempat itu dihasilkan sejenis tanaman yang disebut bunga opium, Hong Coan-sin menjelaskan, Mereka menyebutnya sebagai buah kejahatan. Bunga opium merupakan sejenis bahan obat yang sangat aneh, bila kadar penggunaannya sedikit dia akan menjadi obat yang mustajab, dapat mencegah kau kesakitan, tapi bila kau gunakan dalam kadar banyak, maka bibit bencana segera akan menempel ditubuhmu, kau akan selamanya diperbudak obatobatan sampai akhirnya mati secara mengenaskan. Jadi Tu Bu-heng dan Un-hwee tewas karena bunga opium itu? tanya Tay Thian. Benar! Hong Coan-sin membenarkan. Mereka menelannya sendiri? Atau dipaksa orang? Semuanya bukan, perlahan Hong Coan-sin mengalihkan pandangan matanya ketempat kejauhan, nada suaranya pun seolah datang dari tempat yang jauh. Pengaruh bunga opium yang menyerang mereka bukan lewat makanan, tapi melalui semacam hawa tubuh. Hawa tubuh?

Benar, hawa tubuh yang menyusup masuk melalui pori-pori kulit, kemudian tanpa disadar mereka keracunan dan mati. Maksudmu bunga opium itu diolah menjadi semacam hawa tubuh, kemudian menyebarkan hawa tersebut di udara, asal ada orang tersentuh hawa beracun itu maka serbuk racun akan menembusi poripori badan dan menyebabkan kematian? Benar. Siapa yang memiliki kepandaian sehebat itu, dapat mengubah racun itu menjadi sejenis hawa tubuh? Pernah dengar tentang bubuk pemabuk Ngo-masan? Bubuk pemabuk Ngo-ma-san? seru Tay Thian, Obat yang dibuat dari resep rahasia Hoa Tuo? Bukankah setelah kematian Hoa Tuo, resep itu turut lenyap? Tapi ada seseorang yang bertekad akan mempelajari kembali resep rahasia itu, dia telah menghabiskan waktu selama enam belas tahun untuk mempelajarinya, bukan saja telah memburu pelbagai rumput obat yang ada di kolong langit, bahkan tidak segan menggunakan istri dan putrinya sebagai kelinci percobaan. Dia berhasil?

Betul, dia berhasil, Hong Coan-sin mengangguk, Tapi putrinya telah menjadi buta sementara istrinya edan. Dari balik kelopak mata Hong Coan-sin seakan terlintas perasaan yang sendu, lanjutnya, Konon putranya menjadi orang pertama yang berkorban karena terkena bubuk racun Ngo-ma-san itu. Siapakah orang itu? Dari marga apa? Aku kurang tahu, tapi menjelang dia terjun ke sungai untuk bunuh diri, resep rahasia ini telah dia wariskan kepada seseorang. Dia melompat ke sungai, bunuh diri? tanya Tay Thian terperanjat. Seandainya bini dan putrimu berubah jadi seperti mereka, aku yakin kau pun akan terjun ke sungai untuk bunuh diri. Tay Thian berpikir sebentar kemudian mengangguk tanda setuju, tanyanya lagi, Resep rahasia itu dia wariskan kepada siapa? Seseorang dari marga Toan, bernama Toan Capsa. Toan Capsa? Dia memiliki tiga belas bilah pisau, semuanya merupakan pisau menolong nyawa.

Aneh, kenapa belum pernah aku dengar tentang orang ini? Sebab selama Yan Capsa masih hidup, dia tidak akan berani tampilkan diri. Maksudmu Toh-mia si pencabut nyawa Yan Capsa? Benar! Yan Capsa sudah mati, kenapa Toan Capsa belum berani menongolkan diri? Karena Toan Capsa pun sudah mati! Toan Capsa sudah mati? Tay Thian semakin tercengang, siapa yang telah membunuhnya? Yan Capsa. Aaah, makin bicara semakin membingungkan, bukankah Toan Capsa selalu bersembunyi dari Yan Capsa? Kenapa dia malah mati ditangan Yan Capsa? Karena Toan Capsa adalah Yan Capsa. Matahari telah condong ke barat, sang surya nampak sangat merah. Aneka bunga dalam pesanggrahan pengobatan sedang mekar dan menyiarkan bau harum semerbak, membuat suasana di senja itu nampak lebih cantik menawan. Sesaat menjelang tibanya kegelapan yang mencekam seluruh jagad, langit selalu meninggalkan

secercah sinar yang amat terang, seakan seperti orang yang menjelang kematiannya, dia akan selalu tampil lebih bijak, lebih pintar dan lebih segar. Itulah kehidupan. Bila kau benar benar memahami arti dari hidup maka banyak kesedihan bisa kau abaikan, hidup pun akan bertambah senang dan bahagia. Tiba tiba sorot mata tajam berkilat dari balik mata Tay Thian, dia menghembuskan napas panjang dan bergumam, Mengerti aku sekarang, mengerti aku sekarang... Aku tahu, kau pasti mengerti! kata Hong Coan-sin pula sambil menghela napas panjang. Bila seseorang ingin menjadi seorang pendekar pedang yang sejati, dia harus tidak punya perasaan, kata Tay Thian, Tapi orang itu sebelum melompat ke sungai untuk bunuh diri telah menyerahkan rahasia pertabibannya kepada dia, hal ini sama artinya dia telah menanamkan bibit perasaan dihatinya. Hong coan-sin setuju dengan pandangan itu, karenanya dia manggut-manggut. Oleh sebab itulah muncul manusia yang bernama Toan Cap-sa. Yan Capsa gemar membunuh orang, sementara Toan Capsa gemar menolong orang. Dua orang dengan karakter yang bertolak belakang, tidak heran kalau Toan Capsa selalu harus menghindari Yan Capsa.

Betul! Pertarungan antara Yan Capsa melawan Sam sauya Cia Siau-hong harus tetap diselenggarakan, kembali Tay Thian memandang ke tempat kejauhan, Dalam pertarungan itu Cia Siau-hong terkena racun, sebetulnya racun itu susah dipunahkan, tapi Toan Capsa telah selamatkan jiwanya. Padahal hanya bubuk Ngo-ma-san yang bisa digunakan untuk menyelamatkan nyawa Sam sauya! Aku dengar ilmu pedang paling lihay yang dimiliki Yan Capsa bukan Toh-mia Capsa-kiam (tiga belas jurus pedang pencabut nyawa) nya, melainkan perubahan ke lima belas yang ada diluar tiga belas jurus pedangnya itu, kata Tay Thian lagi, Konon jarang ada yang mampu menghindarkan diri dari serangan mautnya itu. Apakah Sam sauya sendiripun tidak mampu? Tidak mampu. Tapi dia tidak menggunakan jurus serangan andalannya untuk membunuh Sam sauya? Jika dia gunakan jurus serangan tersebut, dapat dipastikan Sam sauya akan segera tewas, Tay Thian menghela napas panjang, Sayang hingga detik terakhir, dia tidak sanggup menggunakan jurus serangan itu lagi!

Kenapa? Karena dia sudah kehilangan hawa napsu untuk membunuh. Bukankah Yan capsa sangat bernapsu ingin membunuh Sam sauya? Kenapa sampai detik yang terakhir justru dia kehilangan napsu untuk membunuh? Karena Toan Capsa pernah selamatkan nyawa Sam sauya, sekalipun antara Toan Capsa dan Yan Capsa merupakan watak dua orang manusia yang bertolak belakang, tapi bibit perasaan yang tertanam dalam hatinya sudah mulai tumbuh sebagai kecamba. Jika kau pernah selamatkan nyawa seseorang, maka sulit bagimu untuk melakukan pembunuhan, kata Hong Coan-sin, Sebab kau sudah mempunyai perasaan terhadap orang yang pernah kau tolong itu. Betul! Tay Thian manggut manggut, Perasaan semacam ini memang sulit diterangkan dengan perkataan, karena hanya manusia yang bisa merasakan perasaan seperti itu, justru karena hanya manusia yang bisa merasakan maka manusia tetaplah manusia. Sekalipun Yan Capsa tidak tega membunuh Sam sauya, dia sendiri toch tidak perlu harus mati! Sebetulnya aku sendiripun tidak mengerti, kenapa dia harus mati! Dan sekarang kau telah memahaminya?

Waktu itu, meski dihati kecilnya dia tidak ingin membunuh Sam sauya, namun pikirannya sudah tidak mampu mengendalikan pedang yang berada dalam genggamannya, kata Tay Thian, Karena kekuatan yang timbul pada pedangnya merupakan suatu kekuatan yang tidak mungkin bisa dikendalikan oleh manusia manapun, asal dilancarkan, pasti ada orang akan mati diujung pedangnya. ...Setiap manusia pasti pernah menghadapi sebuah persoalan yang diri sendiripun susah mengendalikan, diri sendiripun susah memahaminya. Karena di dunia ini memang terdapat suatu kekuatan misteri yang sukar dikendalikan oleh kekuatan manusia. Sebetulnya yang ingin dia musnahkan bukan diri sendiri, melainkan pedangnya, Tay Thian melanjutkan. Bukankah pedang itu merupakan ilmu pedang yang tiada duanya di kolong langit, ilmu pedang yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan? Kenapa dia ingin memusnahkannya? Karena secara tiba-tiba dia menjumpai bahwa yang didatangkan pedang tersebut hanya kepunahan dan kematian, dia tidak ingin membiarkan ilmu pedang semacam ini tetap berada di dunia ini, dia tidak ingin menjadi manusia paling berdosa dalam dunia persilatan.

Tapi.... bukankah perubahan serta kekuatan yang ditimbulkan pedang tersebut sudah tidak bisa dia kendalikan lagi? kata Hong Coan-sin. Yaa, kondisinya saat itu seperti seseorang yang memelihara seekor ular, tiba-tiba diketahui olehnya bahwa ular tersebut ternyata seekor ular berbisa, sekalipun melingkar ditubuhnya namun tak mau mentaati perintahnya, bahkan mau dibuang ke tanah pun susah dilepaskan, akhirnya dia pun hanya bisa menunggu sampai ular berbisa itu menggigitnya, menghisap darahnya dan merenggut nyawanya. Sekilas perasaan duka melintas dibalik mata Tay Thian, terusnya, Oleh sebab itu terpaksa dia harus memusnahkan diri sendiri. Yaa, sebab nyawa dan tubuhnya telah melebur jadi satu dengan ular berbisa itu, karena ular berbisa tersebut tidak lain adalah inti kekuatan yang dimiliki dalam tubuhnya, maka bila ingin memusnahkan ular berbisa itu, dia harus memusnahkan dulu diri sendiri. Peristiwa semacam ini selain tragis juga sangat mengerikan, dipenuhi pelbagai misteri dan teror namun mengandung juga makna serta falsafah yang tinggi. Biarpun sekilas pandang cerita ini kelewat tak masuk diakal, namun sesungguhnya merupakan sebuah kenyataan, tidak ada orang yang bisa memastikan keberadaannya.

Pendekar pedang yang termashur di seantero jagad Yan Capsa telah menghabisi nyawa sendiri, oleh sebab itu Toan Capsa pun ikut mati. Jurus pedang pencabut nyawa yang diciptakan Yan Capsa pun turut musnah bersama kematiannya, resep mestika Ngo-ma-san pun ikut lenyap bersama kematian Toan Capsa. Beginilah kehidupan seorang manusia. Manusia memang hidup dalam suasana serba salah, antara memperoleh dan kehilangan selalu susah dijelaskan secara nyata. Jago pedang kenamaan memang sudah lenyap, namun pedangnya masih utuh. Bagaimana dengan ilmu pertabiban? Bagaimana dengan resep mustajab? Apakah bubuk Ngo-ma-san diolah dari sari bunga opium? tanya Tay Thian kemudian sambil menatap tajam wajah Hong Coan-sin. Benar! Jago pedang telah mati, ilmu pedang telah punah, resep Ngo-ma-san juga telah kembali ke bumi, siapa pula yang kini mulai berusaha menggalinya kembali? Tidak menanti Hong Coan-sin menang-gapi, kembali Tay Thian melanjutkan, Apakah sejarah akan terulang kembali? Haruskah ada bini yang jadi gila, anak

perempuan yang jadi kalap sebelum resep obat itu berhasil tercipta? Entahlah! ... Hingga saat ini tidak seorang manusia pun dapat menjawab pertanyaan itu. Daun berguguran diterpa hembusan angin yang dingin. Mengawasi daun yang berguguran, Tay Thian tampak masgul dan murung. Andaikata orang mati masih bisa merasakan, saat ini apakah Yan capsa akan berpikir lebih baik dia yang hidup dan membiarkan Sam sauya yang mati? gumam Hong Coan-sin seorang diri. Pertanyaan semacam inipun tidak ada yang bisa menjawab. Angin musim gugur berhembus kencang, perasaan hati Hong Coan-sin terasa murung dan bergelombang seakan terhembus oleh angin. Benarkah Yan Capsa bisa mati tanpa menyesal? Benar! jawab Tay Thian. Kau yakin ular beracun yang telah membunuh dirinya, tidak akan hidup lagi ditubuh orang lain? Bisa, mungkin juga tidak bias!

Jawaban macam apa itu? Bila di kolong langit saat ini masih ada orang yang mampu menggunakan jurus pedang tersebut, orang itu sudah pasti Sam sauya. Oleh sebab itu ketika mata pedang menggorok tenggorokan Yan Capsa, sorot matanya sudah tidak memperlihatkan lagi perasaan takut dan ngeri, saat itu sorot matanya berubah jadi tenang sekali, kata Hong Coan-sin sambil memandang ke tempat kejauhan, Karena dia telah menanamkan bibit ular beracun itu didalam hati Sam sauya. ...Bibit yang ditanam itu suatu saat pasti akan tumbuh, bila saatnya telah tiba maka ular beracun itupun akan bangkit dan hidup kembali. Mungkinkah ular berbisa itu akan tumbuh dan hidup dalam tubuh Sam sauya? Kalau memang hingga detik terakhir Yan Capsa enggan membunuh Sam sauya yang pernah ditolongnya, mengapa dia justru menanamkan bibit tersebut di dalam hati Sam sauya? Kenapa?

BAGIAN - 2 Bertemu lagi Kait perpisahan.

BAB 1. Manusia persilatan.

Ada sementara orang sama persis seperti senjata tajam yang terbuat dari baja asli, sekalipun lenyap dari peredaran namun masih ada wujudnya. Di dunia memang selamanya terdapat dua jenis manusia. Jenis pertama adalah manusia yang hidup untuk membakar diri, untuk menempa diri, karena dengan membakar diri dia baru tampak bercahaya. ....Sekalipun cahaya tersebut hanya memancar sekilas. Jenis kedua adalah manusia yang selamanya menyaksikan orang lain membakar diri, menyaksikan orang lain menempa diri, membiarkan cahaya yang muncul dari tubuh orang lain menyinari dirinya sendiri. Manusia semacam inikah yang disebut manusia pintar?

Padahal perubahan jurus pedang ke lima belas yang dimiliki Yan Capsa bukan hanya Sam sauya seorang yang pernah menjumpainya. Tatkala Yan Capsa mengggunakan jurus serangan tersebut, secara diam-diam Thiat Kay-seng berdiri menonton disisi arena. Thiat Kay-seng terhitung salah satu orang yang pernah mendapat petunjuk dari Yan Capsa, namun tidak pernah diakui sebagai muridnya. ...Dia pasti sangat ingin bertemu denganmu, sebab walaupun kau bukan muridnya namun kaulah satu satunya ahli waris yang pernah memperoleh petunjuk darinya, dia pasti berharap dapat melihat pedangmu untuk terakhir kalinya. Perkataan itu disampaikan Sam Sauya kepada Thiat Kay-seng dikemudian hari. Oleh sebab itu orang yang bisa menggunakan jurus ke lima belas hasil gubahan Yan Capsa bukan hanya Sam sauya seorang. Thiat Kay-seng pun bisa. Seandainya ular berbisa akan muncul kembali, belum tentu itu terjadi di tubuh Sam sauya. Sekali kau menjadi orang persilatan, selamanya kau akan menjadi seorang manusia persilatan, perkataan itu diucapkan Sam sauya kepada Thiat Kay-seng.

Sekali kau menjadi Cia Siau-hong, selamanya kau tetap Cia Siau-hong! inilah jawaban dari Thiat Kay-seng. Padahal hidup sebagai orang persilatan, walaupun mereka bagaikan daun yang gugur terhembus angin, daun teratai diatas permukaan air. Walaupun mereka tidak berakar, namun orang-orang itu mempunyai semangat, memiliki jiwa setia kawan. Sekalipun mereka kerap berada dalam kesulitan namun tidak pernah mengeluh kepada langit, tidak pernah mengeluh pada bumi. Mereka tetap memiliki penghidupan yang penuh warna-warni, penghidupan yang senang dan bahagia. Jalan raya yang membentang dalam dunia persilatan walaupun tidak pernah bisa diramalkan, tapi hidup sebagai orang persilatan, mereka tetap akan merindukan semua kejadian yang ada dalam dunia kangouw. Jika ada orang dapat menemukan kembali resep Ngo-Ma-San berarti ada orang yang dapat menciptakan juga hawa tubuh, kata Tay Thian sambil menatap Hong Coan-sin. Banyak kejadian di dunia ini yang sukar untuk diramalkan, ada orang rela terjun ke sungai, ada pula yang senang bunuh diri.

Tay Thian menghela napas panjang, sambil membalikkan tubuh ujarnya, Kuburlah mereka baik baik! Yang dimaksud adalah Tu Bu-heng serta Un-hwee. Pasti! jawab Hong Coan-sin serius, Memang begitulah peraturan yang berlaku dalam Pesanggrahan pengobatan Coan-sin. Benarkah begitu? Ada saat matahari terbit, ada saat matahari terbenam, oleh sebab itu ada malam hari. Ada orang jahat, ada pula orang baik, maka muncul orang yang bertugas menegakkan hukum. Semuanya itu bukan berubah dalam waktu sekejap, semenjak kehidupan dimulai, semuanya pun dimulai. Tapi ada satu hal yang sudah ada, sudah ditentukan sejak adanya kehidupan, yaitu ... kejahatan tidak akan bisa memenangkan kebenaran. Selamanya hukum itu berlaku, dari dulu hingga nanti. Istana raja muda Lam-ong sangat lebar, luas dan megah. Apalagi bila malam telah menjelang tiba, orang selalu merasakan hawa menyeramkan yang tidak terlukiskan dengan perkataan. Orang tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan seram seperti ini, mungkinkah lantaran bangunan

istananya kelewat luas? Atau karena suasananya kelewat hening? Malam semakin larut, udara pun terasa makin membeku, kedipan bintang bertaburan diseluruh angkasa. Cu congkoan sudah belasan tahun bertugas di istana raja muda Lam-ong, diawali dari seorang kacung hingga kini menjabat seorang congkoan, suatu perjalanan karier yang tidak mudah. Sekalipun sudah amat lama dia berdiam disitu, namun jika malam tiba, dia sendiripun tidak berani berjalan seorang diri dalam kebun yang luas itu. Cu congkoan bernama Cu Liok, liok yang berarti hijau. Dia mempunyai tiga orang saudara, semuanya menggunakan warna sebagai namanya, lotoa bernama Cu Lan (biru), loji bernama Cu Pek (putih), losam bernama Cu Liok (hijau) dan si buncit bernama Cu Cing (hijau pupus). Walaupun Cu Liok bernama si hijau (liok), dia justru paling benci mengenakan pakaian berwarna hijau, tentu saja dia terlebih tidak suka bila mesti mengenakan topi berwarna hijau, (mengenakan topi hijau artinya punya bini yang selingkuh). Dalam hal ini, asal dia seorang lelaki, hampir semuanya tidak suka dengan hal tersebut.

Malam ini Cu congkoan mengenakan jubah berwarna biru tua, dengan susah payah dia telah meronda satu putaran disekeliling gedung Lam-ong-hu. Itulah tugas yang harus dia selesaikan setiap malam menjelang naik ranjang untuk tidur. Tidak mungkin ada pencuri berani mencuri barang dalam istana raja muda, dalam hal ini Cu congkoan sangat paham, namun setiap malam dia tetap harus melakukan perondaan. Selesai meronda di loteng Teng-gwee-siau-lo, perlahan-lahan Cu Liok menghembuskan napas lega, dia memutuskan sekembalinya ke kamar nanti dia akan menyuruh bininya menyiapkan berapa macam hidangan untuk teman minum arak. Malam sudah semakin kelam, suasana pun bertambah sepi, semua orang sudah mulai terlelap tidur di kamar masing masing. Sejak tadi Hoa U-gi sudah naik ke pembaringannya, dia tinggal di loteng Teng-gwee-siau-lo. Raja muda selatan Nyoo Cing berdiam di pesanggrahan pengobatan untuk merawat lukanya, Thay suya mendampingi disisinya. Inilah kesempatan bagi anak buah yang bekerja di istana Lam-ong-hu untuk mengendorkan kewaspadaannya, sebagian ada yang sudah kabur, sebagian sudah molor.

Tidak heran kalau suasana dalam istana itu sangat hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit suarapun. Ditengah keheningan yang mencekam itulah mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat masuk ke balik pepohonan. Bayangan itu ramping dan langsing, mirip sekali dengan tubuh seorang wanita. Dia mengenakan pakaian Ya-heng-ie berwarna hitam, wajah berikut kepalanya ditutup dengan kain kerudung hitam sehingga yang nampak hanya sepasang matanya yang jeli. Begitu tiba dalam hutan, dia menengok sekeliling tempat itu sekejap kemudian dengan cekatan menyelinap ke balik kegelapan. Sekali lagi dia melayang turun didepan pintu kamar tidur raja muda, setelah menyapu sekeliling tempat itu sebentar, perlahan dia mendorong pintu dan menyelinap masuk ke dalam. Suasana dalam kamar itu gelap gulita, tapi perempuan itu tetap melakukan penggeledahan diseluruh ruangan. Gerak-geriknya cekatan, teliti dan terlatih, sekilas pandang dapat diketahui kalau dia adalah seorang jago yang sudah mendapat latihan ketat. Tidak selang berapa saat kemudian dia sudah selesai menggeledah seluruh ruangan, tapi kelihatannya benda yang dicari tidak berhasil ditemukan.

Dengan cepat orang itu melakukan penggeledahan lagi, satu ruangan demi satu ruangan, hampir semuanya diperiksa dengan seksama. Sebenarnya apa yang sedang dia cari? Tampaknya orang itu semakin gundah bercampur gelisah, baru saja akan menerobos jendela untuk meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dari luar sana meluncur lagi sesosok bayangan manusia. Sungguh cekatan orang itu, sepasang tangannya yang tajam bagai golok secepat kilat membacok ke arah tubuh si pendatang. Serangkaian serangan berantai dilancarkan bertubi tubi, selain cepat, serangannya pun ganas dan telengas. Dia tidak ingin rahasianya ketahuan pihak lain, maka dia harus menghabisi nyawa si pendatang secepatnya. Sudah tiga puluh enam jurus serangan yang dia lancarkan, namun jangan lagi melukai musuhnya, menyentuh ujung bajunya pun tidak mampu. Baru saja si penjalan malam itu siap melancarkan serangan mematikan, tiba tiba terdengar orang itu berkata, Seharusnya, sejak awal melancarkan serangan tadi kau sudah menggunakan ilmu andalanmu. Begitu mendengar perkataan tersebut, si pejalan malam segera menghentikan serangannya, dengan pandangan keheranan dia berseru, Kau adalah.......

Langit bening bagai air, naga terbang di angkasa. Bulan berapa tanggal berapa? si pejalan malam segera membalas. Bulan tiga tanggal tujuh. Jelas bukan nama seseorang tapi suatu tanggal, mungkin juga bukan nama tanggal tapi sebuah kode rahasia. Tapi kode rahasia itu kini melambangkan seseorang, melambangkan salah satu anggota dari suatu organisasi rahasia yang sangat besar. Dalam empat ratus tahun terakhir belum pernah di dalam dunia persilatan terdapat sebuah organisasi rahasia yang sedemikian besarnya melebihi perkumpulan Cing-liong-hwee (perkumpulan naga hijau). Anak buahnya terdapat di tiga ratus enam puluh buah cabang yang tersebar di seantero jagad dengan penanggalan Imlek sebagai kode rahasianya. Sa-gwee-je-jit atau bulan tiga tanggal tujuh hanya melambangkan seorang Toucu dari sebuah kantor cabang. Kau? kedengaran si pejalan malam berseru kaget. Kau pasti tidak menyangka kalau aku adalah Sagwee Je-jit bukan?

Ketika cahaya bintang memancar masuk melalui jendela dan menerangi wajah orang itu, terlihatlah selembar wajah yang cantik, bersih dan sama sekali polos. Ternyata orang ini tidak lain adalah Siau-tiap. Sambil tertawa dia awasi pejalan malam itu kemudian katanya, Jarang sekali ada orang yang tahu kalau aku adalah anggota perkumpulan naga hijau. Yaa, memang sama sekali tidak kuduga, kata orang itu sambil menghela napas, Bahkan mimpi pun aku tidak pernah menyangka. Siau-tiap tertawa cekikikan. Akupun tidak mengira kalau kau akan turun tangan pada malam ini, katanya. Bila melewati malam ini, mungkin kita sudah tidak akan menemukan kesempatan baik seperti ini lagi. Selewat malam ini, sang ular pun telah diusik, mana mungkin bisa dijumpai kesempatan baik lagi? dibalik senyuman Siau-tiap terselip nada menyindir. Bagaimana menurut pendapatmu? Ketika pertama kali masuk kemari, waktu itu aku masih berusia enam belas tahun, sama seperti kau, akupun ingin cepat cepat mencetak pahala dengan

segera melakukan tindakan, Siau-tiap menghela napas panjang, Aaai! Akhirnya nyaris aku kehilangan nyawa. Oya? Sepintas lalu Nyoo Cing kelihatan seperti orang polos yang tidak punya akal, jika kau menganggapnya begitu, kuanjurkan lebih baik cepat-cepatlah siapkan peti mati untuk dirimu. Setelah menarik napas panjang, dia melanjutkan, Terlebih manusia yang bernama Tay Thian itu, dia adalah seorang jagoan yang harus diwaspadai. Benarkah? Tidak perduli pada saat apa, dimana dan berada dalam suasana apapun, asal kau berbincang dengan Tay Thian maka secara diam-diam dia akan mencatat semua pembicaraannya dalam sebuah buku catatan, ujar Siau-tiap, Mungkin dia akan mengarsip data tersebut dan tidak pernah akan digunakan untuk selamanya, tapi bila suatu ketika kau berhadapan dengannya sebagai lawan, maka catatan itu akan menjadi titik kelemahanmu. Pejalan malam itu mendengarkan dengan seksama. Kembali Siau-tiap berkata, Semua orang yang pernah bersua dengannya pasti ada data didalam buku catatannya, termasuk data tentang dirimu maupun aku.

Bagaimana dengan Nyoo Cing? Apakah dia pun menyimpan data raja muda? Benar. Aku pikir aku sudah memiliki kelemahan dari Tay Thian, kata orang itu sambil memandang ke tempat kejauhan. Kau keliru. Kenapa? Jika kau anggap karena dia menyimpan data tentang Ong-ya maka hal ini bisa kau jadikan titik kelemahannya, pemikiranmu itu keliru besar. Lantas apa yang harus kulakukan sekarang? Balik ke kamarmu dan segera tidur, anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya begitu? Benar. Baiklah, pejalan malam membalikkan badan dan berlalu. Dengan tenang Siau-tiap mengawasi pejalan malam itu hingga lenyap dari pandangan, sekulum senyuman dingin tiba-tiba tersungging diujung bibirnya.

Dia menutup kembali daun jendela lalu membuka pintu dan berjalan keluar dari situ, setelah itu dia merapatkan kembali pintu ruangan. Suasana dalam ruang baca itupun pulih kembali dalam keheningan. Betulnya sangat hening? Tidak lama sepeninggal Siau-tiap, dari balik kamar baca yang hening tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia. Langkah itu sangat lirih, meski lirih namun masih bisa diketahui kalau suara itu memang langkah kaki manusia. Dari balik sudut ruangan yang gelap muncul seseorang, dia menuju ke depan jendela, menghentikan langkahnya kemudian baru menengok ke arah luar. Cahaya bintang menyinari wajahnya membuat raut muka orang itu kelihatan sangat jelas, ternyata dia adalah Cu congkoan, Cu Liok. Sejak tadi Cu Liok bersembunyi di dalam kamar baca, mengapa Siau-tiap dan pejalan malam itu tidak menyadari kehadirannya? Padahal ilmu silat yang dimiliki Siau-tiap berdua sangat tangguh, mengapa mereka tidak sadar kalau didalam kamar masih terdapat orang ketiga? Apakah ilmu silat yang dimiliki Cu Liok jauh lebih tangguh dari mereka?

Atau ketajaman pendengaran mereka tidak setinggi kungfu yang mereka miliki? Kedua duanya bukan! Siau-tiap bisa diutus perkumpulan naga hijau menjadi mata-mata ditempat itu, jelas kepandaiannya pasti hebat, ketajaman pendengarannya pasti luar biasa. Mereka tidak berhasil menemukan jejak Cu Liok karena Cu congkoan sangat sederhana. Sedemikian sederhana dan bersahajanya sehingga walau dia berada disisimu pun kau tetap tidak menyadari. Sedemikian sederhananya sehingga kau tidak memperhatikannya. Oleh karena dia kelewat sederhana maka kau tidak berdaya untuk memperhatikannya.

BAB 2. Kait perpisahan yang tidak berdaya.

Siau-tiap berjalan menuju ke balik hutan kemudian berhenti, dengan tenang diawasinya loteng Teng-gweesiau-lo. Entah berapa saat kemudian, senyuman dingin tersungging diujung bibirnya yang mungil.

Berapa saat setelah itu tangannya berge-rak perlahan di udara, melakukan sebuah gerakan yang sangat aneh. Belum selesai gerakan aneh itu dilakukan, entah sejak kapan, dihadapannya telah muncul seseorang. Seorang pemuda berbaju hijau telah memberi hormat kepadanya sambil berbisik, Sa-gwee-je-jit cu-si (bulan tiga tanggal tujuh jam Cu) datang melapor! Terhadap anak buahnya yang mampu bekerja, biasanya Siau-tiap menaruh kepercayaan sangat besar, dia segera menurunkan perintah, Ajak serta Yu-si dan Su-si, masuk ke kamar tidur Nyoo Cing serta kamar baca dan ciptakan keonaran. Baik! Harus pakai cara kerja seorang ahli! Baik. Dengan rasa puas Siau-tiap mengangguk, orang berbaju hijau itupun lenyap dibalik kegelapan. Malam semakin gelap, di langit tidak nampak cahaya rembulan, tidak ada bintang, yang ada hanya awan gelap yang menyelimuti seluruh angkasa. Pada malam yang sama, disebuah tempat yang jauh sekali dari gedung raja muda.

Di tempat itu sebenarnya terdapat sebuah bangunan rumah kayu yang kecil dan reyot, sekarang pun terdapat sebuah rumah kayu yang sama, tapi tidak reyot pun tidak kuno, bangunan itu nampak masih baru. Meskipun bangunan rumah itu sudah dirobohkan oleh Seng Sam dan anak buahnya, namun dengan cepat Tay Thian telah memerintahkan orang untuk membangunnya kembali. ..... Ada orang pandai membongkar rumah, ada pula yang pandai membangun rumah, di dunia ini memang tersedia pelbagai macam kejadian, tinggal kau pilih apa yang hendak dilakukan. Bangunan baru ini tidak jauh berbeda dengan bentuk bangunan lama, bahkan bahan yang digunakan untuk membangun pun sama, balok balok kayu besar. Tentu saja semua perabotan dan dekorasi yang ada didalam rumah kecil itu pun tidak jauh berbeda. Sekalipun Tay Thian telah berusaha dengan sepenuh tenaga untuk membangun kembali rumah ini, tapi sayang ada satu hal yang tidak mungkin bisa dia tampilkan kembali. Dia tidak mungkin bisa mengembalikan kenangan. Kenangan yang tertinggal di rumah kayu itu, kenangan yang sudah lewat bertahun-tahun lamanya.

Seperti misal di depan pintu rumah tergantung sebuah gembokan yang telah berkarat, kini gembokan itu sudah diganti dengan yang baru. Meja kursi, ranjang, mangkuk, lentera serta anglo yang ada dalam rumah pun sebenarnya diliputi debu dan terkesan kuno, tapi sekarang semuanya nampak bersih dan baru. Sekalipun semuanya serba baru, masih untung ada sebuah tempat yang masih menyimpan benda lama, sebuah tempat yang sangat rahasia dalam rumah kecil itu. Dibalik tanah terdapat sebuah peti besi yang penuh dengan debu, pasir dan karat. Dalam peti besi yang karat itu masih tersimpan pemetik api serta sebilah senjata yang dulu pernah menghebohkan dunia persilatan. Kait perpisahan. Aku tahu kait adalah sejenis senjata, berada dalam urutan ke empat dari urutan daftar senjata, tapi mengapa disebut Kait perpisahan? Sebab senjata kait tersebut, bila mengaet bagian mana pun pasti akan menciptakan perpisahan, jika dia menggaet tanganmu maka tangan akan berpisah dengan pergelangan, bila menggaet kakimu, kaki pun akan berpisah dengan pangkal paha.

Jika leherku yang terkait, bukankah aku akan berpisah dengan dunia ini? Benar. Mengapa kau harus menggunakan senjata yang brutal dan keji semacam ini? Sebab aku tidak ingin dipaksa orang untuk berpisah dengan orang yang kucintai. Aku mengerti maksudmu. Kau benar-benar mengerti? Kau menggunakan kait perpisahan tidak lain karena ingin berkumpul terus. Benar. Tapi kini? Kait perpisahan telah terkunci kembali di dalam peti besi itu. Nyoo Cing tetap Nyoo Cing. Bagaimana dengan Lu Siok-bun? Di manakah dia sekarang? Ketika dia mengeluarkan kait perpisahan dulu, bukankah tujuannya agar mereka selalu berkumpul menjadi satu? Tapi bagaimana hasilnya?

Kait perpisahan masih tetap seperti sedia kala, tetap terkunci didalam peti besi yang telah karatan, tetap disimpan dalam tempat yang sangat rahasia. Apakah suatu saat nanti dia akan muncul kembali dalam dunia persilatan? Sekalipun senjata itu amat tersohor, namun bila ada ada orang yang menggunakannya, benda itu tidak beda jauh dengan sebatang balok kayu. Malam semakin larut. Sepanjang apapun malam hari akhirnya harus berlalu juga. Sinar fajar sudah mulai muncul di ufuk timur, menembusi ranting pepohonan dan kebetulan menyinari wajah Siau-tiap. Angin pagi menggoyangkan ranting,. Membuat cahaya sang surya seakan sedang melompat, seperti juga detak jantungnya saat ini, berdetak sangat cepat. Dia tahu hari ini gedung raja muda akan luar biasa sibuknya. Semalam ada tiga orang tamu tidak diundang telah menyusup masuk ke dalam kamar tidur serta kamar baca raja muda. Siau-tiap tersenyum lebar, tiga orang tamu diundang itu adalah anak buahnya, dia yang mengutus mereka untuk membuat keonaran.

Ketiga orang tamu tidak diundang itu pasti akan tertangkap, karena memang itulah tujuannya yang terutama. Jika tertangkap mereka pasti akan disiksa, cara Tay Thian menghadapi para tawanannya paling tidak ada tiga puluh tiga macam. Cara manapun yang akan dipergunakan sudah lebih dari cukup untuk mengungkap seluruh rahasia yang dimiliki mereka, ketiga orang tamu tidak diundang itu pasti tidak akan kuat menahan siksaan, mereka pasti akan mengakui kalau mereka diutus oleh perkumpulan Cing-liong-hwee. Mereka hanya akan mengakui sebagai anggota Cing-liong-hwee, tidak akan mengakui kalau diutus oleh Siau-tiap. Semalam, pejalan malam telah menyusup ke dalam kamar tidur dan kamar baca, walaupun cara kerjanya bersih tanpa meninggalkan jejak, tapi dia percaya tidak bakal bisa lolos dari ketajaman mata si rase tua Tay Thian. Padahal rahasia identitas pejalan malam tidak boleh terbongkar, oleh sebab itu harus ada orang lain sebagai kambing hitamnya. Itulah salah satu tujuan Siau-tiap mengutus ketiga orang anak buahnya, tujuan yang paling utama adalah membiarkan mereka tertangkap.

Tay Thian pasti akan mengompas mereka, pasti akan memaksa mereka untuk mengakui, mengapa malam malam menyatroni gedung raja muda. Dan diapun pasti akan peroleh jawabannya, ingin mencuri kait perpisahan. ..... Tujuan terutama kedatangan Siau-tiap dan pejalan malam itu memang bertujuan untuk mendapatkan kait perpisahan. Tay Thian pasti dapat mengetahui kalau jawaban dari para tamu tidak diundang itu adalah jawaban yang jujur. Tentu sajajawaban mereka adalah jawaban yang sejujurnya. Asal Tay Thian percaya maka tujuan mereka pun sudah tercapai. Dia percaya Tay Thian pasti akan melakukan suatu tindakan, asal dia melakukan satu tindakan, bagaimanapun hati hatinya dia, bagaimana pun rahasianya gerak-geriknya, Siau-tiap pasti dapat menyelidikinya. Sudah cukup lama perkumpulan Cing-liong-hwee mengawasi gerak-gerik Nyoo Cing, tujuannya tidak lain adalah untuk mengincar kait perpisahan. Sehari kait perpisahan masih berada ditangan Nyoo Cing, sehari pula perkumpulan Cing-liong-hwee tidak

berani bergerak, oleh sebab itu kait perpisahan merupakan benda yang harus didapatkan mereka. Nyoo Cing pasti mengetahui juga akan hal ini, dan dia pasti akan menyimpan senjata itu tidak jauh dari tempat tinggalnya, dia pasti menyimpan benda tersebut disuatu tempat yang mudah diambil bilamana perlu. Sekalipun Tay Thian belum tentu mengetahui letaknya, yang pasti dia akan melaporkan kejadian ini kepada Nyoo Cing. Mungkin saja Nyoo Cing tidak akan melakukan sesuatu tindakan, tapi dia tentu akan menaruh curiga, mungkinkah senjata kait perpisahannya telah tercuri orang? Jika timbul kecurigaan dalam hati Nyoo Cing, maka tujuan perkumpulan Cing-liong-hwee pun tercapai. Pagi ini, Siau-tiap bangun dari tidurnya dengan penuh pengharapan, selesai menyisir rambut dia berjalan keluar dari kamarnya, menembusi udara dingin yang membekukan badan. Dari kamarnya bila ingin menuju ke ruang depan, dia harus melalui Taman bunga Soat-lu, baru saja dia tiba di depan taman, Siau-tiap segera menjumpai ada seseorang baru saja berjalan keluar dari situ. Cu Liok dengan membawa sebongkok bunga bwee berjalan keluar dari Soat-lu dengan amat santainya,

begitu bertemu Siau-tiap, dia segera menyapa sambil tersenyum, Selamat pagi nona Siau-tiap. Selamat pagi, waah.... kelihatannya Cu congkoan suka bunga, sepagi ini sudah menggunting bunga Bwee, mau ditaruh ke mana? Sekalipun aku suka bunga, sayang aku hanya manusia biasa, bukan aku yang menggunting bunga Bwee itu, mana mungkin aku memiliki kepandaian seperti itu. Lalu siapa yang mengguntingnya? Sebetulnya aku ingin minta tolong nona Siau-tiap, siapa tahu ketika tiba disini, kulihat toa-siocia sudah berada disini. Hoa toa-siocia? Benar. Jadi dia yang membantumu menggunting bunga Bwee ini? Benar. Hoa U-gi muncul dari dalam taman bunga. Seharusnya pekerjaaan semacam ini adalah tugasku, buru buru Siau-tiap berkata, Tapi semalam tidurku kelewat nyenyak hingga bangun agak siangan........ Aaaah, siapa pun yang mengerjakan sama saja, tukas Hoa U-gi, Apalagi pagi ini aku memang

bermaksud membawa bunga untuk menjenguk ke pesanggrahan pengobatan. Kebetulan juga Tay Thian baru memberi kabar kepadaku untuk mengirim bunga bwee ke pesanggrahan pengobatan, maka akupun datang kemari, Cu Liok menimpali. Sebetulnya tugas itu merupakan tanggung jawabku, kata Siau-tiap, sekalipun ditengah malam buta pun, tetap akan kukerjakan. Aku sendiripun baru memperoleh pemberitahuan pagi tadi, kata Cu Liok. Pagi tadi? Cu congkoan tidur sampai pagi? Benar, semalam tidurku amat nyenyak. Tidak ada peristiwa apa-apa semalam? tanya Siautiap lagi agak tertegun. Tidak ada! mendadak Cu Liok menarik kembali senyumannya, Apakah menurut nona Siau-tiap, semestinya semalam telah terjadi sesuatu peristiwa? Aaah mana mungkin, buru buru Siau-tiap menutupi kelengahan yang baru saja dia lakukan, Aku hanya merasa seperti mendengar sesuatu ditengah malam buta tadi! Seperti?

Maksudku, dalam tidurku aku seperti mendengar sesuatu, atau mungkin aku sedang bermimpi? Betul, terkadang aku pun mengalami hal yang sama, Hoa U-gi segera menimpali, Memangnya dalam istana telah terjadi sesuatu? Tidak mungkin bukan? Betul, seharusnya tidak mungkin, kata Cu Liok sambil tertawa, Ooh ya, aku masih ada urusan lain, sampai jumpa! Ayoh kita jalan bersama! seru Hoa U-gi, Kebetulan aku pun hendak menuju ke ruang depan. Baik. Hoa U-gi manggut-manggut ke arah Siau-tiap kemudian bersama Cu Liok beranjak pergi dari situ, tinggal Siau-tiap seorang masih berdiri melongo. Mana mungkin tidak terjadi apa-apa? Dia cukup memahami kemampuan yang dimiliki anak buahnya, tapi, kemana perginya ketiga orang anak buahnya itu? Kenapa tidak terjadi sesuatu dalam istana raja muda? Mungkinkah perbuatan yang dilakukan anak buahnya kelewat ahli sehingga tidak diketahui siapa pun? Mustahil, perintah yang harus mereka lakukan bukan begitu.

Atau mungkin Tay Thian sengaja merahasiakan kejadian ini? Kalau memang begitu, seharusnya rahasia tersebut hanya berlaku untuk orang luar, bukankah Siautiap bukan orang luar? Jangan jangan...... jangan jangan mereka sudah mengetahui rahasianya? Mustahil. Sudah enam tujuh tahun lamanya Siau-tiap bergabung di istana raja muda, tidak mungkin rahasia identitasnya terbongkar, apalagi cara kerja Tay Thian selalu berpegangan pada prinsip, jika dia sudah mengetahui rahasia penyamarannya, mustahil orang itu masih bisa bersikap begitu tenang. Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi? Siau-tiap menjumpai dirinya seakan sudah terperosok ke dalam jurang sedalam ribuan kati, dia merasa tubuhnya seolah sudah terjebak dalam kobaran api neraka. Dia benar benar tidak habis mengerti apa yang telah dikerjakan ketiga orang anak buahnya semalam, ke mana mereka telah pergi? Dia mulai sadar, pagi ini bukan pagi yang dipenuhi dengan pelbagai harapan. Baginya mungkin tidak ada pengharapan, tapi tidak demikian bagi orang lain, apalagi bagi mereka yang berbaring sakit.

Nyoo Cing berbaring sambil mengawasi bunga bwee yang memenuhi ruang tidurnya, tentu saja Tay Thian yang mengirim bunga itu ke situ, hasil petikan Hoa U-gi. Sudah selesai dibangun? tanya Nyoo Cing sambil mengawasi bunga Bwee dalam kamarnya. Sudah. Rumah yang roboh bisa dibangun kembali, bunga yang layu bisa tumbuh kembali.........kalau manusia telah berpisah? nada suara Nyoo Cing kedengaran amat sendu. Pasti akan berkumpul kembali, sahut Tay Thian, Bukankah kalau ada perpisahan baru ada perjumpaan? Berpisah biasanya hanya untuk berkumpul dengan orang lain, ucap Nyoo Cing sambil tertawa getir. Perkataan ini memang sangat tepat, sejak dulu hingga kini, bila seseorang berpisah dengan seseorang, biasanya dia akan berkumpul dengan orang lain. Tanpa perpisahan dari mana datangnya perjumpaan? Tapi... Tanpa perjumpaan, darimana pula datangnya perpisahan?

Sebenarnya berapa jauh jarak antara perjumpaan dan perpisahan? Berapa kesulitan dan kesedihan yang harus dialami? Ada orang bilang, berkumpul itu susah, ada juga yang bilang berpisah itu susah. Bagaimana denganmu? Kalau menurut aku, yang susah itu menjadi manusia, setuju dengan pendapat ini? Aku tidak setuju! Tay Thian langsung menjawab. Tampaknya Nyoo Cing sudah menduga kalau dia akan bicara begitu, maka wajahnya sama sekali tidak tercengang. Kenapa? tanyanya. Biasanya berpisah karena akan berjumpa dengan orang lain, beda dengan kau. Kenapa? sekali lagi Nyoo Cing bertanya. Biarpun senjata kaitan yang kau gunakan bernama kait perpisahan, tapi dalam kenyataan kau berbuat begitu karena ingin selamanya berkumpul dengan orang yang dicintainya, kalau tiada perpisahan dari orang itu, bagaimana mungkin kalian bisa berkumpul? Kembali sebuah ucapan yang sangat masuk akal. Bukankah berkumpulnya kalian merupakan perpisahannya orang lain? Oleh sebab itu

perpisahannya kalian akan merupakan kegembiraan, karena berkumpulnya orang lain. Berpisah kenapa harus sedih? Bertemu kenapa harus digirangkan? Asal kau bisa memandang lebih terbuka, dapat berpikir lebih terbuka, persoalan apa lagi yang bisa mendatangkan penderitaan bagimu? Tidak ada orang lain yang berpisah, mana mungkin kalian dapat berkumpul? gumam Nyoo Cing. Dia mengulang perkataan itu sekali, dua kali..... entah sudah berapa kali, entah sudah berapa lama, tiba-tiba dia tertawa, tertawa sangat riang, tertawa sangat kalap, tertawanya pun nampak sangat menderita. Gelak tertawa segera memenuhi seluruh ruangan. Bagus sekali, suara Nyoo Cing kedengaran agak sedih, Benar-benar sebuah perkataan yang amat bagus. Tidak menunggu Tay Thian bicara, dia kembali katanya lagi, Berpisah? Berkumpul? Kalau memang tidak ada perjumpaan, dari mana datangnya perpisahan? Matahari di musim dingin kendatipun nampak indah dan menyenangkan, sayang tidak dapat mengusir hawa dingin yang menggidikkan hati.

Kalau memang tidak pernah ada perjumpaan, dari mana datangnya perpisahan? kata Nyoo Cing. Kalau memang ada perpisahan, pasti akan ada perjumpaan, kata Tay Thian, Ada sementara perjumpaan sesungguhnya hanya terjadi di dalam hati, tidak pernah terwujud. Dalam hati? Nyoo Cing mengulang sepatah demi sepatah, Perjumpaan di hati, perpisahan pun di hati? Benar, walaupun kalian berkumpul, namun bila hatinya tetap renggang, darimana kau bisa nikmati indah dan gembiranya suatu perjumpaan? Atau dengan perkataan lain ... Walaupun kalian berpisah, selama dihati tetap berkumpul, tetap bersatu, kenapa kau mesti menderita karena perpisahan? Nyoo Cing tertawa, benar-benar tertawa yang muncul dari sanubari hatinya. Biarpun berpisah, asal bertemu dan bersatu didalam hati, mengapa mesti risaukan deritanya suatu perpisahan? Dalam dua puluh tahun terakhir, baru kali ini semua kemasgulannya tersapu bersih oleh sepatah perkataan itu. Dengan pandangan berterima kasih dia tatap wajah Tay Thian.

Ganjalan yang selalu menyesakkan napasnya selama dua puluh tahun terakhir, bila secara tiba tiba hilang tidak berbekas, tentu saja Nyoo Cing merasa sangat gembira. Angin fajar meski dingin namun membawa bau tanah lembab yang harum, mendatangkan pula harapan musim semi yang datang lebih awal. Nyoo Cing berbaring diatas pembaringan dengan wajah berseri, sorot matanya kelihatan lebih lembut dan hangat. Tampaknya musim semi tahun ini akan datang lebih awal, katanya. Bukan datang lebih awal, tapi sudah dating! jawab Tay Thian. Sudah datang? Benar. Sejak kapan datangnya? Sejak semalam! Berapa orang? Tiga orang di tempat terang dan dua orang ditempat gelap. Cukup besar?

Yang seorang sudah kita ketahui sejak awal, kata Tay Thian, Yang seorang lagi tidak dikenali Cu Liok. Kenapa? Bukan saja dia mengenakan pakaian Ya-Heng-ie (pakaian berjalan malam), tampaknya dengan ilmu Sutkut-kang (ilmu penyusut tulang) dia sengaja memperkecil tubuhnya dan bicara dengan menggunakan ilmu perut dari negeri Thian-tok. Oya? Nyoo Cing kelihatan seperti termenung sebentar, Lalu tiga yang terang? Sudah disekap dalam penjara bawah tanah di ruang baca! Hembusan angin tentu pernah terasa hangat, curahan hujan tentu pernah lembut dan manusia pun pasti pernah muda. ..... Karena manusia ada yang muda, tentu ada pula yang tua. Jika musim dingin telah datang, musim semi sudah tidak jauh menunggu. Mengawasi udara musim dingin yang membeku, Nyoo Cing bergumam, Jika musim dingin telah berlalu, musim semi segera akan menjelang tiba bukan? Betul. Kalau begitu, marilah kita sambut datangnya musim semi!

Benar benar akan menyambut datangnya musim semi? Tay Thian seakan tidak percaya. Benar, sahut Nyoo Cing hambar, kau anggap terlalu awal? Tidak. Dengan perasaan puas Nyoo Cing mengangguk, katanya sambil menghembuskan napas lega, Musim dingin kali ini betul betul kelewat membekukan badan, jika musim semi bisa datang lebih awal, kenapa kita mesti menolak kehadirannya? Benar. Ayoh kita tinjau rumah kayu kecil ditengah hutan bunga bwee!

BAB 3. Tiga belas bilah pisau tipis.

Kabut sangat tebal, air mengalir dengan lembutnya, bunga bwee masih tampak mekar dan menyiarkan harum semerbak. Ternyata kabut pada malam ini sangat tebal.

Kabut melayang diatas air yang mengalir lembut, menyelimuti hutan bunga bwee, menyusup ke dalam bangunan rumah kayu kecil itu. Air selokan mengalir perlahan ditengah kegelapan malam, bunga bwee bergoyang lembut diterpa angin lembut, kabut diatas bukit masih tebal bagaikan asap. Malam terasa begitu sendu, sungai pun sendu, bahkan udara pun serasa sendu. Tidak berbeda suasana di dalam bangunan rumah kayu itu. Cong Hoa berjalan masuk menembusi hutan bunga bwee, melalui tepi sungai kecil, mendekati bangunan rumah kayu itu dan menghentikan langkahnya sambil mengawasi bangunan itu dengan termangu. Dia awasi bangunan itu dengan khusuk, dengan seksama, mengawasinya dengan penuh perasaan. .......Sedemikian berperasaannya dia menatap, pancaran perasaan yang tebal segera muncul dari balik matanya, begitu tebal bagai musim gugur. Padahal dia sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan bangunan rumah itu, diapun baru pertama kali ini datang kemari, mengapa dari balik matanya terpancar sinar perasaan yang begitu tebal? Angin berhembus lewat, membuyarkan kabut tebal yang mengelilingi sekitar tubuhnya, tapi dengan cepat menyelimuti kembali seputar bangunan rumah kayu itu.

Selangkah demi selangkah Cong Hoa mendekati bangunan rumah itu, tangannya mulai meraba dinding kayu diseputarnya. Dia meraba dengan sangat lambat, meraba dengan sangat lembut. Sikapnya seakan seseorang yang sudah lama merindukan desa kelahirannya, dan kini dia sudah muncul kembali di rumah kenangan, dia seolah ingin meraba dan mengenali kembali suasana disekeliling situ. Suatu perubahan mimik muka yang sulit dilukiskan dengan perkataan lambat laun muncul diwajah Cong Hoa, tangannya mulai gemetar keras. Kenapa? Mengapa dia tunjukkan sikap seperti itu? Perlahan-lahan tangan Cong Hoa mulai meraba pintu rumah, memegang sebuah gembokan sementara tangan lain mengeluarkan sebuah anak kunci. Dia segera membuka pintu itu lebar lebar. Pemandangan didalam rumah kayu itu masih seperti semula, hanya ada sebuah meja, sebuah pembaringan, sebuah bangku, sebuah mangkuk kasar, sebuah lentera dan sebuah anglo yang terbuat dari tanah liat. Cong Hoa masuk ke dalam, suasana dibalik ruangan gelap gulita, tapi dia seakan sangat hapal dengan keadaan disitu, berjalan menghampiri bangku dan pelan-pelan terduduk. Walaupun diatas meja tersedia lampu, dia tidak ingin menyulutnya, dia tidak ingin menerangi suasana disitu.

Kabut tebal menyusup masuk ke dalam ruangan melalui pintu yang terbuka lebar, membuat ruangan makin kabur, menyelimuti pula seluruh tubuh Cong Hoa. Ditengah kegelapan yang mencekam dia awasi setiap sudut ruangan itu, seolah sedang mengawasi desa kelahirannya. Waktu berlalu sangat cepat, namun sikap Cong Hoa masih belum berubah, dia tetap duduk pada posisi semula, hingga sepasang kakinya mulai terasa kesemutan, dia baru menghela napas panjang, bangkit berdiri, menuju ke sudut dinding sebelah kiri dan kembali berjongkok. Malam semakin kelam, walaupun lentera dimeja penuh berisi minyak, dia tidak menyulutnya, karena itu suasana di dalam ruangan tetap gelap gulita. Cong Hoa yang berjongkok seakan sedang memikirkan sesuatu, seakan juga sedang mempertimbangkan sesuatu, tapi akhirnya dia membuka selembar kayu yang ada diatas tanah. Kemudian dari bawah papan kayu itu dia mengeluarkan sebuah peti besi yang telah berkarat, ditatapnya peti itu tanpa berkedip. Sepasang matanya seakan bintang timur ditengah kegelapan. Perlahan dia membuka peti besi itu. Didalam peti terdapat pematik api, akhirnya dia mengambil pematik itu dan membuat obor. Cahaya terang segera

memancar ke empat penjuru, menyinari wajah Cong Hoa, menyinari bangunan rumah itu, menyinari juga peti besi itu. Cahaya lentera bersinar terang di dalam ruangan, begitu terangnya seakan berada di siang hari saja. Walaupun Nyoo Cing sedang mengajukan pertanyaan kepada Tay Thian, namun sorot matanya masih mengawasi luar jendela tanpa berkedip. Da sudah ke sana? Benar, jawab Tay Thian. Berapa bagian kemungkinannya untuk menang? Empat bagian. Empat bagian? Kelewat besar! sahut Nyoo Cing masih mengawasi luar jendela. Tidak berlebihan, pun tidak kurang, pas sekali! Ooya? Kenapa? Jika dia memiliki peluang sepuluh bagian untuk meraih kemenangan, maka rencana kita pasti akan gagal total, bila dia hanya memiliki dua bagian kesempatan maka rencana kitapun akan gagal, Tay Thian menerangkan, Apakah perkumpulan Cing-lionghwee mau percaya kalau kau hanya mengutus seorang manusia macam dia untuk mengambil kait perpisahan?

Nyoo Cing mengangguk dengan perasaan setuju. Setiap orang pandai membuat ca sawi, tapi masalah enak atau tidak masakannya, kemampuan setiap orang berbeda, kata Tay Thian lebih jauh. Nyoo Cing mengalihkan sorot matanya mengawasi luar jendela, mengamati bintang yang bertaburan di angkasa, namun pikiran dan perasaan hatinya justru tidak ada disitu, dia sedang memikirkan seseorang disuatu tempat yang amat jauh... Ketika cahaya api memancar ke empat penjuru, terlihatlah sebuah senjata berbentuk sangat aneh tersimpan rapi didalam peti besi itu, senjata aneh yang memancarkan cahaya dingin, begitu dingin menggidikkan hati membuat kening Cong Hoa langsung berkerut. Tidak kuasa gadis itu gemetar perlahan. Entah karena hawa yang kelewat dingin, atau... Cong Hoa awasi senjata kait perpisahan yang berada dalam genggamannya dan bergumam, Kait perpisahan wahai kait perpisahan... ada orang mengharapkan kehadiranmu di dunia ini demi suatu perjumpaan, tapi yang kau hadirkan justru hanya perpisahan... Kait perpisahan tidak menyahut, tapi pancaran hawa dinginnya semakin menguat, seakan dia sedang memprotes atas perkataan tersebut.

Kalau toch kau sudah mati selama dua puluh tahun, mengapa masih ada orang yang mengharapkan kebangkitanmu kembali? Dibawah cahaya api, kait perpisahan itu seakan memancarkan kepedihan yang tipis. Mungkinkah kebangkitanmu kali ini akan mendatangkan suatu perjumpaan? Suatu pertemuan? Tidak mungkin! Cong Hoa menjawab sendiri pertanyaannya, Yang kau hadirkan hanya penderitaan, ketidak berdayaan, kesedihan dan kepedihan yang menyayat hati. Seandainya kait perpisahan bisa berpikir, dapat berbicara, akankah dia bantah perkataan dari Cong Hoa itu? Cong Hoa masih menatapnya, mengawasinya dengan tenang, mengawasinya sangat mendalam. Semestinya sekarang, dia sudah dapatkan kait perpisahan itu bukan? kali ini Nyoo Cing menatap tajam wajah Tay Thian. Memandang sekejap suasana malam diluar jendela sana, sahut Tay Thian perlahan, Bila ditinjau dari waktunya, sekarang seharusnya dia sudah pergi meninggalkan bangunan rumah itu.

Maksudmu, andaikata terjadi penyerangan, seharusnya pertempuran sengit sudah berlangsung di saat ini? Benar. Cahaya api sudah padam, yang tersisa di alam jagad hanya kabut yang sangat tebal. Cong Hoa berjalan keluar dari rumah kayu itu, mengunci kembali pintu depan. Dalam bopongannya terlihat sebuah peti besi yang sudah berkarat. Tiada suara ataupun sesuatu yang aneh diseputar hutan bunga Bwee, air masih mengalir tenang, bunga bwee masih bergoyang dipermainkan angin. Kabut yang tebal pun masih menyelimuti seluruh jagad. Dengan langkah perlahan Cong Hoa melalui tepi sungai, berjalan masuk ke tengah hutan bunga bwee. Tiba tiba... setitik cahaya terang seolah sedang bergoyang dibalik permukaan air, seakan berkilauan dari ujung selokan sana. ....... Aneh, darimana munculnya cahaya berkilauan itu? Dalam suasana dan situasi semacam ini, darimana munculnya sinar itu? Tampaknya Cong Hoa tidak menyadari akan munculnya setitik cahaya terang itu, dia masih

melanjutkan perjalanannya memasuki hutan bunga bwee. Kabut yang menyelimuti hutan itu semakin pekat, sedemikian tebalnya hingga susah melihat ke lima jari tangan sendiri, tapi Cong Hoa masih melanjutkan langkahnya, berjalan menelusuri jalan setapak dalam hutan. Dimana ada tikungan, dia pun berbelok, di mana ada batu yang menghadang, dia pun jalan berputar. Dia masih berjalan terus menembusi kabut ditengah hutan, langkahnya begitu mantap dan tenang seakan sedang berjalan di dalam rumah sendiri, biar tanpa lampu pun hapal diluar kepala. Suasana makin hening, makin sepi. Cong Hoa berjalan terus menembusi keheningan....... Mendadak terdengar suara aneh berkumandang dari balik tebalnya kabut, suara yang amat ringan, amat lembut, langsung mendekati kepala Cong Hoa. Sedemikian lembut dan lirihnya suara itu membuat orang tidak menaruh perhatian, tapi Cong Hoa segera mendengarnya, dengan penuh kewaspadaan dia mendongakkan kepalanya. Kecuali kabut, di udara tiada benda lain, dia sama sekali tidak menjumpai sesuatu apa pun.

Cong Hoa segera melejit ke tengah udara, menerobos kabut langsung menghampiri sumber berasalnya suara itu. Baru saja tubuhnya melejit ke udara, mendadak dari sisi kirinya berkumandang suara desingan angin tajam, Sreeet! menyusul kemudian muncul segumpal bola api yang langsung menerjang tempat di mana Cong Hoa berdiri tadi, lalu terlihatlah semburan api yang sangat ganas membakar sekeliling tempat itu. Gumpalan demi gumpalan api itu membara membakar apapun yang dijumpai, lingkarannya pun makin lama menyusut makin mengecil, akhirnya gumpalan api yang paling atas membakar persis ditempat Cong Hoa berdiri tadi. Rupanya berapa puluh lingkaran bola api itu membentuk sebuah kerucut yang pada ujungnya persis menghimpit tempat dimana Cong Hoa berada tadi. Sewaktu tubuh Cong Hoa melambung ke udara tadi, dia segera menyaksikan datangnya bola api tersebut, maka ketika api mulai membakar, dia pun melayang turun kembali ke bawah. Kenapa dia harus melayang turun? Kenapa bukannya menyingkir ke tempat lain? Sebetulnya Cong Hoa ingin menyingkir ke tempat lain, tapi tatkala tubuhnya melejit ke udara tadi, kepalanya segera menyentuh ujung sebuah lingkaran tali yang sudah menghadang diatasnya.

Begitu menyentuh ujung tali, dia pun sadar tiada harapan lagi baginya untuk menerobos keluar dari situ, sebab lingkaran tali itu merupakan sejenis rotan yang tumbuh di seputar wilayah Biau, bila kulit rotan diambil kemudian direndam dalam arak selama delapan kali delapan, enam puluh empat hari, maka tali yang terbentuk akan ulet dan sangat alot. Tali jenis ini bukan saja susah dipotong dengan golok maupun pedang, lagipula tahan dibakar. Sekali kau sudah terjerat tali jenis ini, biar meronta dengan cara bagaimana pun jangan harap bisa terlepas dengan gampang. Maka bila kau yang dihadapkan situasi seperti apa yang dialami Cong Hoa sekarang, hanya ada satu jalan yang bisa ditempuh membiarkan tubuhmu terbakar hangus oleh kobaran api dahsyat itu. Api makin lama berkobar makin membesar, lingkaran yang terbakar pun kian lama kian bertambah ciut. Tampaknya sebentar lagi tubuh Cong Hoa akan terbakar hangus, tapi dia sama sekali tidak gelisah. ..... Aneh kalau orang tidak gelisah dalam keadaan seperti ini. Dia tengok ke sekeliling tempat itu, memeriksa apakah ada peluang untuk melarikan diri. Ternyata tidak ada. Setitik peluang pun tidak dijumpai. Kobaran api yang membara dibalik tebalnya kabut seakan datang dari neraka!

Cahaya api yang memancar dari balik lampu kristal amat cerah, tidak heran seluruh ruangan terang benderang. Mengawasi bara api dibalik lentera Nyoo Cing berkata lirih, Seandainya melakukan sergapan secara tiba-tiba, entah cara apa yang mereka pergunakan? Tay Thian berpikir sejenak, kemudian sahutnya, Kait perpisahan merupakan senjata yang diincar perkumpulan Cing-liong-hwee, mereka bersumpah akan mendapatkan benda tersebut dengan cara apapun, meski Cong Hoa hanya seorang gadis, tapi hingga kini belum seorang manusia pun pernah menyaksikan kepandaian sesungguhnya yang dia miliki, semisal aku harus bertarung melawannya, terus terang, aku sendiripun agak takut. Dia tatap wajah Nyoo Cing sekejap, kemudian lanjutnya, Andaikata Cing-liong-hwee bertekad ingin mendapatkan benda tersebut, aku yakin cara yang digunakan pasti dapat membuat Cong Hoa kaget setengah mati. Disambut dengan kobaran api yang membara memang cukup membuat Cong Hoa terperanjat. Lingkaran api yang makin lama makin mengecil membuat Cong Hoa merasakan hawa panas yang menusuk tulang, lamat lamat diapun mulai mengendus bau hangusnya rambut.

Nyoo Cing menghembuskan napas panjang, berpaling memandang kegelapan malam yang membentang di angkasa. Aku sangat menikmati manusia macam Cong Hoa, katanya sambil tertawa, Dalam banyak hal, dia mirip sekali dengan diriku. Tay Thian tidak menjawab, dia tahu Nyoo Cing pasti akan melanjutkan perkataannya. Perasaan hatiku sekarang seolah seperti memperoleh sesuatu tapi terasa pula seakan kehilangan sesuatu, dia tertawa lebar, Aku harap sambutan yang diberikan Cing Liong Hwee kali ini tidak membuat dia tersiksa. Cong Hoa bersumpah dalam hati kecilnya, lain kali dia tidak akan sudi makan ikan panggang lagi, sekarang dia baru tahu bagaimana rasanya kalau menjadi ikan panggang. Berapa bagian bajunya sudah mulai terbakar, buruburu dia memadamkannya. Dengan tangan sebelah membopong peti besi, tangan yang lain memadamkan jilatan api, gerak-geriknya betul betul sangat tidak leluasa. Peti besi. Mendadak Cong Hoa teringat dengan peti besi yang berada dijepitannya, menyusul kemudian sekulum senyuman menghiasi bibirnya, senyuman yang disertai air mata.

Begitu senyuman mulai menghiasi bibirnya, dia sudah mengangkat peti besinya tinggi-tinggi, melampaui kepalanya, kemudian tubuhnya ikut menerjang ke atas, menerjang ke ujung lingkaran api itu. Ketika peti besi itu membentur ujung lingkaran api, Cong Hoa pun menembus keluar dari kepungan api itu sambil meluncur ke arah lain. Tubuhnya dengan membawa kobaran api langsung terjun ke dalam sungai yang penuh berisi air. Cessss....! diiringi suara desisan panjang, asap putih mengepul keluar dari permukaan sungai, gelembung air pun bermunculan diseputar permukaan. Tidak selang berapa saat kemudian Cong Hoa telah muncul kembali dari dasar sungai, menarik napas panjang dan menggeleng dengan penuh kepuasan. Lo Kay-sian memang keji, dia sukanya memanggang ikan. Cong Hoa menggunakan tangannya memeras rambutnya yang basah kuyup, ketika sudah agak mengering dia baru berjalan menuju ke tepi sungai. Baru berjalan tiga langkah, rasa sakit mendadak muncul diwajah Cong Hoa, diikuti kemudian kaki kirinya menekuk ke depan, darah segar segera berhamburan membasahi permukaan air.

Dia menggertak gigi kuat kuat, kaki kanannya menjejak dan tubuhnya segera melompat ke tepi sungai. Tampak sesosok bayangan manusia mengikutinya dari balik sungai, sebuah golok panjang model Jepun berada dalam genggamannya, kini golok tersebut sedang menyapu ke pinggang Cong Hoa. Begitu menyentuh pinggir sungai, Cong Hoa segera menggelinding ke depan, meloloskan diri dari babatan maut itu. Orang itu tidak tinggal diam, dengan tangan kiri menahan diatas permukaan, tangan kanan menggenggam golok, dia berdiri dengan kaki kiri setengah berjongkok, sepasang matanya mengawasi gadis itu lekat-lekat. Dengan cepat Cong Hoa menjumpai sebuah luka memanjang membekas di kaki kirinya, darah masih mengalir keluar dengan derasnya. Dari dandanan dan gerak-gerik sang pembunuh, dia segera tahu kalau orang itu adalah seorang ninja dari negeri Hu-Siang (Jepang). Jangan-jangan dia adalah salah satu ninja dari negeri Hu-Siang yang tersohor dengan ilmu membunuh dalam air nya? pikir Cong Hoa dalam hati, aneh, kenapa aku belum pernah mendengar kalau di daratan

Tionggoan pun ada orang yang berhasil mempelajari ilmu sesat dari negeri manusia kate itu? Cong Hoa menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa, berhadapan dengan musuh tangguh, dia tidak berani bersikap gegabah. Gegabah berarti kematian, maka sambil menatap tajam ninja itu, tegurnya, Kau datang dari negeri HuSiang? Benar! jawabannya sama dinginnya dengan wajah ninja tersebut. Siapa namamu? Thian-hong Capsi-long! Thian-hong Capsi-long? seru Cong Hoa terperanjat. Dulu di dalam dunia persilatan kedatangan seorang ninja yang berasal dari lembah Giho di negeri Hu-Siang, dia datang ke daratan Tionggoan dengan mengajak kedua orang putranya, mula-mula dia menantang ketua Kay-pang untuk berduel, tapi akhirnya terhajar sebuah pukulan. Menyusul kemudian diapun menantang ketua Siau-lim-pay, Thian-hong thaysu untuk berduel. Ninja tersebut mengaku bernama Thian-hong Capsilong. Tiga puluh tahun berselang pernah muncul seorang ninja yang sangat hebat dan tiada tandingan,

cianpwee kah ninja tersebut? tanya Cong Hoa sambil menatap tajam ninja itu. Benar. Boleh tahu apa maksud kedatangan cianpwee pada malam ini? Untuk menagih hutang sebuah pukulan tinju dan sebuah pukulan telapak tangan di masa lalu. Sayang Jin locianpwee dan Thian-hong Thaysu sudah wafat, harapan cianpwee sulit untuk terpenuhi. Tidak perlu mereka berdua! Tidak perlu mereka berdua? Benar, kau bisa mewakili mereka berdua. Cong Hoa melengak tapi segera tertawa lebar. Sayang hari ini aku ada urusan penting hingga tidak bisa memenuhi harapanmu, lain waktu saja kita bertemu kembali, katanya. Mendadak Thian-hong Capsi-Long mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, suaranya nyaring dan memekik telinga, membuat bunga bwee yang tumbuh disekeliling tempat itu berguguran ke tanah. Kembali Cong Hoa tercengang, dia tidak mengerti apa yang sedang ditertawakan?

Apa lain waktu bertemu lagi? jengek ninja itu sambil tertawa seram, ketika termakan sebuah jotosan dan sebuah pukulan telapak tangan dulu, aku pulang ke negeri Hu-Siang dengan membawa malu, aku bersumpah ketika muncul lagi di daratan Tionggoan, aku pasti akan menghajar sebelas ribu seratus orang. Kemudian sambil menatap tajam wajah Cong Hoa dengan sorot mata setajam pisau lanjutnya, Kau adalah orang ke delapan puluh tiga. Kau adalah orang ke delapan puluh tiga. Begitu ucapan tersebut selesai diucapkan, terlihat sekilas cahaya tajam meluncur keluar dari bawah ketiak kiri ninja itu. Cong Hoa merasa cahaya tajam yang amat menyilaukan mata melintas dihadapannya, sekilas cahaya perak seperti paruh burung elang telah muncul persis dihadapannya dengan kecepatan bagaikan sambaran petir. Dengan cepat dia memutar tubuhnya sambil bergeser tujuh kaki dari posisi semula, siapa tahu cahaya perak tersebut seakan mempunyai mata, bagaikan bayangan tubuh saja segera ikut bergeser pula ke samping. Cong Hoa menjejakkan kakinya bergantian, bayangan tubuh berkelebat lewat, beruntun dia menghindar sebanyak tujuh kali, tapi cahaya perak itu

ibarat bintang ditengah malam buta, mau dihindari dengan cara apapun tetap mengikutinya. Mendadak Cong Hoa menggerakkan tangan kanannya ke muka, dari kiri berputar ke kanan membetuk sebuah garis lingkaran, dari balik gerak melingkar yang dibentuk tahu-tahu melesat keluar dua titik cahaya bintang berwarna gelap. Criiing! cahaya perak yang menyelimuti angkasa itu tahu-tahu hilang lenyap tidak berbekas. Kurang ajar! Tidak nyana kau berhasil menghancurkan ilmu gulungan maut ku! umpat ninja itu penuh amarah, Hmmm! Bagus, sekarang rasakan kehebatan ilmu ketulusan hatiku! Ninja itu membalikkan tubuhnya sambil mengayunkan tangan, selapis kabur asap berwarna ungu bagaikan gulungan ombak samudra langsung menghantam ke arah Cong Hoa. Dibalik tebalnya asap kabut itu terselip setitik cahaya bintang berwarna ungu. Begitu kabut ungu meliputi udara, tubuh Cong Hoa segera mundur ke belakang kemudian melejit ke tengah udara. Blaaamm! ledakan dahsyat menggelegar di angkasa, bagaikan petir yang menyambar bumi, asap ungu itu dengan cepat menyebar ke empat penjuru. Sebatang pohon bwee yang tumbuh persis di belakang Cong Hoa seketika hancur berkeping-keping,

hanya dalam waktu yang amat singkat pohon itu layu kemudian mati, putik bunga yang semula putih bagaikan salju kini berubah jadi kuning layu. Waaah, ternyata ilmu membunuh yang dimiliki kaum ninja memang mengerikan hati! pekik Cong Hoa terperanjat. Tiba-tiba dari balik mata ninja itu terpancar keluar cahaya seperti gembira, seperti juga berduka, dia tatap wajah Cong Hoa tanpa berkedip. Lambat laun cahaya mata itu memancarkan sejenis sinar yang aneh, seolah olah mengandung daya hipnotis yang mengerikan. Biarpun senyuman masih menghiasi ujung bibir Cong Hoa, namun secara diam diam dia tingkatkan kewaspadaannya, tanpa berkedip dia awasi terus golok samurai yang berada di tangan ninja itu. Samurai yang sudah terangkat melampaui alis mata perlahan lahan diangkat tegak lurus keatas, tangan kirinya ditempelkan diatas gagang samurai lalu sambil menggenggam, mengerahkan tenaga, dia memutar senjatanya secepat kilat. Cahaya hijau yang menusuk tulang segera terpancar keluar dari tubuh samurai itu. Inikah jurus Eng-hong-it-to-cian (menyongsong angin sekali tebasan)? tanya Cong Hoa dengan kening berkerut.

Benar, ninja itu menyeringai seram, Jurus Eng-hongit-to-cian merupakan seluruh inti sari dari ilmu pedang yang ada, begitu serangan dilancarkan, korban pasti tewas mengenaskan. Mata samurai telah tertuju ke arah Cong Hoa, dengan sorot mata siluman ninja itu awasi lawannya tajam-tajam. Cahaya samurai dan sinar matanya telah mengepung sekujur tubuh Cong Hoa. Samurai sama sekali tidak bergerak, biar tidak bergerak namun hawa membunuh yang terpancar keluar makin lama kian bertambah menebal. Cong Hoa tidak berani bergerak. Dia sadar, asal tubuhnya bergerak, pasti ada lubang kelemahan yang terbuka, samurai pembunuh sang ninja pun segera akan manfaatkan peluang itu untuk melancarkan babatannya dan dia pasti akan terbabat mampus. Dengan tenang mengatasi gerak, inilah teori tingkat tinggi dari ilmu silat. Musuh tidak bergerak, aku tidak bergerak, musuh bergerak, aku bergerak duluan tidak menyerang berarti melindungi diri, begitu menyerang sasaran pasti kena! Jika ada dua jago tangguh sedang bertarung, maka menang kalah selalu ditentukan hanya dalam sedetik.

Kabut makin tebal menyelimuti angkasa, angin pun berhembus kencang, hawa pembunuhan semakin menyelimuti seluruh arena pertempuran. Suara air yang mengalir terdengar kian lama kian bertambah jauh, bahkan sama sekali tidak terdengar, di alam jagad seolah tinggal dengus napas sang ninja dan Cong Hoa. Makin lama dengusan napas semakin bertambah berat. Disaat saling berhadapan dalam keadaan tenang, ternyata jauh lebih menakutkan ketimbang saling berhadapan dalam suasa membunuh. Karena tenang jauh lebih sulit dilakukan daripada gerak. Gerak dapat kau saksikan, setiap saat dapat kau hadapi dan waspadai. Sebaliknya tenang diliputi ketidak tahuan, ancaman mara bahaya yang bisa muncul setiap saat. ..... Tidak seorangpun dapat menduga, serangan golok Eng-hong-it-to-cian dari sang ninja akan dibabat dari arah sebelah mana. Biarpun berada ditengah malam ujung musim gugur yang sangat dingin, Cong Hoa dapat merasakan butiran keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi ujung hidungnya.

Sorot mata sang ninja masih saja memancarkan cahaya siluman yang aneh, bahkan ujung samurainya sama sekali tidak bergetar. Pada saat itulah tiba-tiba terasa ada segulung desingan angin tajam menyergap wajah Cong Hoa. Sepasang matanya berkedip. Disaat matanya berkedip, samurai pun mulai bergerak. Ninja itu membentak nyaring, samurai yang berada dalam genggamannya secepat kilat membabat ke bawah. Ayunan itu kelihatan biasa dan sangat sederhana, tapi cepatnya menakutkan, demikian cepatnya sehingga tidak meninggalkan kesan bahwa dia sedang bergerak. Sedemikian cepatnya hingga seakan sama sekali tidak bergerak. Babatan samurai itu memang kelihatan sederhana, namun dibalik kesederhanaan terselip inti sari dari ilmu silatnya, kecerdasan dalam menghadapi lawan serta kemampuan tingkat tinggi yang terhimpun dan melebur menjadi satu. Sepasang mata ninja itu telah berubah jadi merah, seluruh pakaian yang dikenakan ikut menggelembung karena himpunan tenaga dalam yang telah disalurkan hingga pada puncaknya.

Tampaknya dia bertekad akan menghabisi lawannya dalam bacokan itu, dia sama sekali tidak menyisakan kekuatannya lagi. Betulnya bacokan samurai dengan jurus Eng-hong-itto-cian merupakan sebuah serangan yang tiada tandingannya di kolong langit? Ketika angin serangan menyambar tiba, tubuh Cong Hoa sudah berbaring sejajar dengan tanah, sementara peti besi yang berada dalam genggamanya diangkat ke atas menyongsong datangnya serangan itu. Traaang! percikan bunga api menyebar ke empat penjuru, ternyata peti besi itu terpapas hingga terbelah jadi dua. Dengan meletupnya bunga api, hawa pembunuhan yang menakutkan pun ikut hilang lenyap tidak berbekas. Ketika peti besi itu terbelah, ujung samurai pun tampak gumpil sebagian. Dengan sekali jumpalitan tahu-tahu Cong Hoa sudah menyelinap ke belakang punggung ninja itu, sepasang tangannya langsung disodokkan ke muka dan menghajar punggung lawannya kuat-kuat. Duuukkk! ninja itu tersungkur ke depan sambil memuntahkan darah segar, tiada rasa sakit atau penderitaan yang terlintas diwajarinya, orang itu malah mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.

Cong Hoa sama sekali tidak bergerak, ia berdiri mematung ditempat, tiada perubahan mimik muka diwajahnya, sementara butiran keringat masih bercucuran membasahi jidatnya. Noda darah terlihat di sepasang tangannya, lelehan darah segar masih menetes melalui sela sela jari tangannya. Ninja itu bangkit berdiri sambil tertawa nyaring, dia ambil peti besi yang telah terbelah dua itu. Cong Hoa masih tidak bergerak, hanya sepasang matanya mengawasi terus bagaimana ninja itu mengambil peti besi yang terbelah dari atas tanah. Itulah jurus tanpa penyesalan dari perguruan Giho, ujar ninja itu sambil tertawa keras, Yang terkena pukulan ringan akan mampus dalam satu jam, sementara kau telah menggunakan tenaga sangat besar, paling banter usiamu hanya tinggal dua jam. Cong Hoa masih menggigit bibirnya tanpa menjawab, namun darah segar nampak meleleh keluar, air mukanya tetap hambar tiada perubahan. Tiada penderitaan, tiada rasa sakit, tiada penyesalan, tiada perasaan, yang ada hanya perasaan dendam. Sekali lagi ninja itu tertawa keras. Ditengah gelak tertawa yang nyaring, bayangan tubuhnya lenyap dibalik kegelapan hutan bunga bwee yang rimbun. Tentu saja senjata kait perpisahan pun ikut bersamanya lenyap dari pandangan mata.

Dialam jagad yang hening kini hanya tersisa Cong Hoa seorang. Titik cahaya terang diujung sungai terasa makin lama semakin bertambah terang, makin lama semakin membesar. Suasana tetap hening, kabut tebal masih menyelimuti seluruh permukaan. Ditengah keheningan itulah, tibatiba berkumandang suara yang seruling yang lembut. Angin dingin masih berhembus kencang. Titik cahaya yang muncul diujung sungai dari balik kabut, kini sudah bertambah terang. Bukan cahaya lentera, melainkan cahaya api dari tungku. Api dalam tungku itu berada diatas sebuah sampan, dari atas sampan itulah suara seruling berkumandang. Sebuah sampa kecil, setitik api merah dari tungku tanah liat. Cahaya api yang berkerdip menyinari wajah seorang kakek yang duduk bersila diujung perahu. Dia mengenakan topi caping dengan jas hujan dari jerami, rambutnya telah beruban, saat itu sang kakek masih asyik meniup serulingnya. Irama yang dibawakan terdengar rendah, berat dan mengenaskan. Ditengah hembusan angin yang dingin, lamat lamat terendus bau harum semerbak yang menyegarkan, bau

harum itu berasal dari sebuah guci keramik yang ada diatas tungku api. Entah air teh atau obat yang sedang dimasak dalam guci itu? Sebuah sampan, setitik api tungku, seorang kakek, sebatang seruling. Irama seruling mengalun makin sendu.... Bagi kakek yang berada di sampan itu, semua kesedihan, kegembiraan, perjumpaan maupun perpisahan yang ada dalam perjalanan hidupnya kini telah lewat bagai awan di angkasa. Apakah dia merasa sudah mendekati ajalnya? Mendengar irama seruling itu, Cong Hoa yang sama sekali tidak tertarik tiba-tiba jadi tertarik, dia membalikkan tubuh dan menengok ke arah orang tua yang ada diujung sampan. Lotiang yang ada di sampan, dapatkah kau dayung sampan mu mendekat? Irama seruling seketika terhenti. Mau apa kau? kakek itu bertanya. Kau seorang diri meniup seruling diujung sampan, sementara aku seorang diri melongo diatas daratan, mengapa kita berdua tidak duduk bersama sambil

kongkow? Paling tidak bisa kita usir malam yang sepi ini bersama sama? Kakek itu tidak menjawab, irama seruling kembali berkumandang sementara sampan pun perlahan-lahan mendekati daratan. Air dalam guci keramik mulai mendidih, bau harum yang lembut semakin menusuk penciuman. Ini air teh atau obat? tanya Cong Hoa setelah duduk diatas sampan. Air teh, juga obat, sahut si kakek hambar. Kakek itu mengawasi sekejap bunga api yang masih membakar pepohonan, sebuah perubahan aneh melintas diatas wajahnya, terdengar dia bergumam, Kau masih sangat muda, mungkin belum bisa memahami makna dari getirnya air teh. Aku tahu, kau harus menikmati dulu getirnya air teh sebelum timbul rasa manis. Kakek itu mengangkat wajahnya, mengawasi gadis itu sekejap kemudian tertawa, setiap garis kerutan diatas wajahnya seolah ikut tertawa. Kakek itu mengambil guci keramik itu, menuang secawan lalu katanya, Bagus sekali, kau boleh mencicipi satu cawan. Dan kau?

Aku tidak minum. Kenapa? Karena pelbagai macam air teh yang paling getir pun di dunia ini sudah pernah kucicipi. Sebuah ucapan yang mengenaskan, tapi sewaktu diutarakan dari mulutnya, justru kedengaran membawa aroma yang berbeda. Kalau toch tidak minum, buat apa kau memasak air teh? Belum tentu orang yang masak air teh, dia harus seorang peminum teh. Banyak sekali kejadian di dunia yang persis seperti keadaan tersebut, sebagai orang muda tentu saja dia tidak akan memahami teori tersebut. Cong Hoa telah menerima cawan berisi penuh dengan air teh. Teh itu masih panas, meski cawannya agak besar da kasar namun tanpa ragu gadis itu meneguknya hingga habis. Setiap kali sedang minum, baik minum teh maupun minum arak, dia selalu meneguknya dengan cepat. Dalam mengerjakan tugas apa pun, dia juga selalu melakukannya dengan cepat.

Apakah ini disebabkan diapun merasa bahwa kehidupan sendiri segera akan berakhir? Kini air teh telah dikeringkan, apakah diapun akan segera mati? Ada sepatah kata ingin kuutarakan, kata Cong Hoa sambil tertawa, aku harap kau jangan terperanjat. Katakan saja! Aku adalah seseorang yang mendekati ajal! Setiap manusia, begitu dilahirkan maka dia sudah mulai menunggu saat kematiannya! Aku bersungguh-sungguh! Aku tahu. Kau tidak mengusirku turun dari sampan mu? Setelah naik ke atas sampan, kenapa pula harus kuusir? jawab kakek itu tenang. Tapi setiap saat mungkin aku bakal mati disini, mati dihadapanmu. Aku sudah kenyang melihat manusia dilahirkan di dunia ini, sudah sering pula melihat manusia mati meninggalkan dunia ini. Kalau aku jadi kau, aku pasti tidak ingin menyaksikan seorang asing mati diatas perahuku.

Perkataanmu memang betul! kata si kakek, Sayang kau bukan aku, kaupun tidak bakal mati diatas perahuku. Kenapa? seru Cong Hoa terperanjat. Sebab kau telah bertemu dengan Bu Capsa. Bu Capsa? Siapa itu Bu Capsa? tanya Cong Hoa. Aku! Kau? kembali Cong Hoa berseru, Berjumpa dengan kau berarti aku tidak bakal mati? Benar, suara kakek itu dingin lagi hambar, Setelah bertemu aku, biar ingin mati pun tidak bakalan bisa mati. Kenapa? Karena akupun tidak ingin menyaksikan seorang asing mati diatas sampan ku. Begitu mendengar jawaban tersebut, Cong Hoa segera tertawa. Kau anggap aku tidak sanggup selamatkan jiwamu? kembali kakek itu bertanya. Kau hanya menyaksikan lukaku, kata Cong Hoa sambil mengawasi sepasang tangan sendiri, Tapi tidak melihat kalau aku sudah keracunan, oleh sebab itu kau beranggapan dapat selamatkan nyawa ku.

Oya? Biarpun luka ku hanya luka lecet, tapi racun yang datang dari tempat kejauhan kini sudah merasuk hingga ke tulang sumsum. Oya? mimik muka kakek itu tetap hambar. Tidak seorang pun sanggup memunahkan racun dalam tubuhku. Tidak seorang pun? Mungkin masih ada satu orang, kata Cong Hoa sambil mengawasi kejauhan. Siapa? Cong Hoa tertawa getir, sambil menepuk bajunya dan bangkit berdiri, ujarnya, Yang pasti orang itu bukan kau. Oleh sebab itu kau ingin pergi? Aku tidak ingin mati diatas perahumu! Kau tidak bakal bisa pergi! Kenapa? Karena kau telah minum secawan teh getirku. Teh getir? Kau minta ganti kerugian?

Kau tidak bakalan bisa mengganti, tidak mungkin bisa mengganti... kakek itu kembali mencukil arang dibawah tungku nya. Cong Hoa ingin tertawa namun tidak sanggup, tibatiba dia merasa jari tangan dan jari kakinya mulai kesemutan bahkan rasa kesemutan itu lambat laun menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Tahukah kau, air teh apa yang barusan kau minum? Air teh apa? Ngo-ma-san, jawab kakek itu hambar, ngo yang artinya lima, Ma yang artinya mati rasa dan San yang berarti bubuk. Ngo-ma-san? Bukankah resep itu berasal dari Tabib Hoa Tuo? Konon sudah lama resep itu punah dari dunia ini? Tapi ada seseorang yang bertekad akan menemukan kembali resep langka itu, dia telah mengorbankan enam belas tahun lamanya sebelum berhasil menciptakan kembali resep tersebut. Sewaktu mengucapkan perkataan itu, lamat-lamat kelihatan sepasang mata kakek itu berkaca-kaca. Dan orang tersebut adalah kau? tanya Cong Hoa.

Kakek itu tidak menjawab, tiba-tiba pancaran sinar matanya kembali berubah jadi dingin, Bayangkan sendiri, sanggupkah kau mengganti air teh seperti ini? Aku tahu, tidak mungkin aku bisa menggantinya, sahut Cong Hoa sambil tertawa getir, Tapi andaikata sejak awal aku tahu air teh macam apakah itu, tidak nanti aku akan meminumnya! Tapi sayang sekarang kau telah meneguknya! Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya tertawa getir. Oleh sebab itu, sekarang ke empat anggota badanmu pasti sudah kaku dan mati rasa, seandainya aku mengiris kulit badanmu, kau pun tidak akan merasa sakit. Benarkah begitu? Kakek itu tidak menjawab, perlahan-lahan dia mengeluarkan sebuah kotak kulit berwarna coklat tua dari sakunya. Sebuah kotak kulit berbentur lonjong dan pipih, sekalipun sudah amat kuno namun kelihatan licin dan bersinar karena kelewat sering dipegang orang. Perlahan-lahan kakek itu membuka kotak kulit itu, dari dalam kotak segera terpancar keluar semacam cahaya terang berwarna hijau muda. Cahaya tajam dari mata pisau. Tiga belas bilah pisau.

Tiga belas bilah pisau berbentuk aneh, ada yang berupa kaitan, ada yang berupa gergaji, ada yang pajang langsing, ada pula yang melengkung bagai bulan sabit. Dari ketiga belas bilah pisau itu hanya ada satu kesamaan... mata pisau amat tipis, tipis tapi tajam. Kakek itu mulai mengawasi ketiga belas bilah pisaunya, dari balik sorot mata yang sayu tiba tiba memancar keluar sinar yang lebih tajam dari mata pisau. Dengan ketiga belas bilah pisau inilah aku akan menghadapimu, ujar si kakek dengan wajah serius. Pisau itu begitu tipis, bila dipakai untuk mengiris pasti tidak akan terasa sakit, kata Cong Hoa, dia ingin sekali tertawa namun senyumannya justru kelihatan kaku. Obat pemati rasa itu memang menakutkan, kini sekujur badannya nyaris mati rasa, kecuali matanya bisa melihat, mulutnya masih bisa berbicara. Kini dia sedang mengawasi ketiga belas bilah pisau itu, mau tidak mau dia harus melihatnya. Arus sungai masih mengalir sangat tenang, api dibawah tungku kian lama kian bertambah redup, namun kabut tebal masih menyelimuti seluruh permukaan.

Kakek itu sudah mengambil sebilah pisau yang sempit lagi panjang, pisau itu panjang sembilan inci dan lebar enam mili. Mula-mula aku akan menggunakan pisau ini untuk menyayat dagingmu! kata si kakek sambil memegang tangan gadis itu, Sebagian daging ditanganmu ini sudah mulai membusuk. Kemudian? Kemudian aku akan menggunakan pisau yang ini untuk menghadapimu! kembali si kakek mengambil sebilah pisau berbentuk kaitan, Dengan pisau ini akan kucongkel daging bagian bawah. Lalu? Si kakek meletidakkan kembali pisau berbentuk kaitan itu dan memilih pisau jenis lain. Setelah itu aku akan menggunakan pisau ini untuk mengorek tulangmu, mengorek keluar seluruh sisa racun yang mengendap disitu, mengoreknya hingga tuntas berikut seakar akarnya. Kakek itu benar benar membelah daging dilengan Cong Hoa, mengorek tulangnya dan membersihkan racun yang tersisa disitu, selama operasi berjalan, gadis itu sama sekali tidak mengerdipkan matanya, dia malah mengawasi terus cara kerja si kakek dengan ketiga belas bilah pisau bedahnya.

Kujamin kau tidak akan merasakan sakit barang sedikitpun, kata si kakek sambil menatap wajahnya. Lantaran aku sudah minum bubuk Ngo-ma-san? Cong Hoa balik bertanya. Benar, inilah kasiat utama dari bubuk Ngo-ma-san. Kau tahu kalau aku sudah keracunan? Racun jenis ini sangat jahat dan mengerikan, hanya manusia bejad dari negeri Hu-Siang (Jepang) yang bisa melakukannya, kata kakek itu sambil mengawasi tangannya, Ilmu tanpa penyesalan? Hmmmm, tidak nyana bangsa kerdil pun bisa memikirkan nama seindah itu. Berarti kau sudah tahu kalau aku keracunan? tegas Cong Hoa sambil menatap tajam wajah kakek itu, Karena sudah tahu, maka kau siapkan cara terbaik ini untuk menolongku? Benar. Darimana kau bisa tahu? Karena aku telah berhutang budi kepada seseorang. Hutang budi? Kepada siapa? Seseorang, sahut si kakek sambil memandang ke tempat kejauhan, Seorang sahabat karib yang sudah tua, tua sekali.

Siapakah orang itu? Aaai, kalau orang sudah tua, biasanya gampang kelupaan. Aku pun sudah lupa siapakah orang itu. Jelas dia sedang berbohong. Cong Hoa tahu akan hal ini tapi dia enggan membongkarnya. Dia memang tidak senang memaksa orang lain melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Jadi dia yang memintamu untuk menolong aku? tanyanya hambar. Benar. Kalau aku enggan menerima pertolonganmu? Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Cong Hoa sudah merasakan rasa kesemutan yang menakutkan itu mulai menjalar ke otaknya, ke jantungnya... Apa kau ingin mati? dia mendengar kakek itu bertanya. Tidak! lamat-lamat dia mendengar jawaban sendiri. Suara terakhir yang terdengar oleh Cong Hoa adalah suara ujung pisau yang sedang mengorek diatas tulang. Jelas tulang itu adalah tulang sendiri.

Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasakannya, sama sekali tidak terasa sakit... Fajar telah menyingsing, kabut pun sudah membuyar. Salju yang sudah lama tidak nampak, kini mulai melayang dan bertaburan di udara. Malam kemali menjelang. Salju masih turun dengan derasnya. Diujung putik bunga bwee kini sudah penuh dilapisi bunga salju. Entah di pagi hari ataupun di malam hari, kehidupan manusia selalu akan mengalami satu sisi yang paling indah. Bila seseorang masih bisa hidup, mengapa pula dia harus mati? ..... Sejujurnya, siapa sih manusia di dunia ini yang benar-benar ingin mati?

BAB 4. Irama sendu dari rebab tiga senar.

Sebuah lorong sempit, sebuah warung bakmi, seorang kakek, sebatang huncwee. Malam sudah sangat larut, namun salju masih turun dengan derasnya.

Dalam iklim seperti ini, dalam udara sedingin ini, siapa yang akan datang membeli bakmi? Kakek Tan sadar tidak akan ada orang yang mau bersantap malam dalam suasana begini, dia pun sadar sudah saatnya mulai bebenah untuk menyimpan sayur asin dan bakmi yang tersisa, walaupun biasanya dia akan berjualan hingga fajar. Sebetulnya sudah lama Dia ingin pensiun, namun setiap kali terbayang sobat-sobat miskinnya yang setiap hari datang bertandang, dia tetap berjualan hingga pagi menyingsing. Bakmi yang dia jual selain enak, harganya murah sekali bahkan boleh berhutang lagi. Bila suatu hari secara tiba-tiba kakek Tan berhenti berjualan, bisa jadi banyak orang akan menahan kelaparan. Langit begitu dingin, bumi begitu membeku, penghidupan tiap haripun begitu sengsara dan menderita, sementara kehidupan paling hanya berlangsung sekejap, mengapa dia harus berjualan hingga larut malam? Mengapa Dia tidak tidur lebih awal? .....Kehidupan seseorang di dunia ini terkadang bukan hidup demi diri sendiri, banyak orang justru hidup demi kelangsungan hidup orang lain, sekali kau sudah memikul beban tersebut maka jangan harap beban itu bisa kau lepas dengan seenaknya.

Kakek Tan menghela napas dalam hati, dengan ibu jarinya dia tekan sisa tembakau yang ada didalam huncwee, kemudian menghisapnya kuat kuat, dia berusaha untuk menghidupkan kembali percikan api yang sedang membakar tembakaunya. Asap tipis perlahan-lahan menyembur keluar dari lubang hidung kakek Tan. Warung bakmi itu terletak dalam sebuah lorong persis di belakang penjara, kebetulan letaknya berada disisi kiri pintu rumah Lo Kay-sian. Oleh sebab itu terkadang bila tidak ada urusan penting, Lo Kay-sian kerap duduk nongkrong di warung kakek Tan sambil minum arak. Bakmi kecut pedas buatan kakek Tan sangat membangkitkan selera makan Lo Kay-sian, apalagi di malam dingin yang begini membeku, bisa menikmati semangkuk bakmi pedas yang hangat sudah merupakan satu peristiwa yang paling menyenangkan. Malam ini, sedari awal Lo Kay-sian sudah bersembunyi di balik selimut, tapi sudah setengah harian dia bolakbalik kesana kemari namun belum juga tertidur, hatinya seakan sedang dililit beribu macam masalah yang tidak terpecahkan. Akhirnya dia memutuskan untuk nongkrong di warung bakmi kakek Tan sambil minum berapa cawan arak, biasanya bila dua orang kakek rentan kumpul berbareng, waktu akan berlalu tanpa terasa.

Baru tiba di depan warung bakmi, belum sempat Lo Kay-sian buka suara, dia sudah menyaksikan kakek Tan sedang memandang wajahnya dengan perasaan kaget bercampur keheranan. Kau sakit? tegur kakek Tan tercengang. Sakit? Lo Kay-sian melengak, Tidak! Kalau bukan lagi sakit, biasanya disaat ini kau sudah tidur dibalik selimutmu, mau apa kau malah nongkrong di sini? Apa lagi kalau bukan kangen dengan arakmu! jawab Lo Kay-sian sambil mencari tempat duduk, Di udara sedingin ini, keliru besar kalau tidak menenggak berapa cawan arak. Sama seperti biasanya? Benar. Benar, benar... gumam kakek Tan, Setiap kali pesan lima piring sayur asin, sisanya tetap lima piring sayur asin. Dia seakan tidak tahu, ada sementara orang ketika minum arak dia enggan makan sayur, yang dinamakan sayur biasanya hanya dijadikan pelengkap, sebagai tontonan. Tingkah lakunya memang seperti orang yang takut kesepian, padahal didalam rumah tersedia ikan, daging

dan arak kelas satu, tapi dia lebih suka duduk nongkrong dipinggir jalan sambil menikmati arak murahan. Yang dia cari memang bukan arak atau hidangan, dia sedang menikmati manusia yang ada disitu, hawa dari manusia manusia itu. Sepiring tahu kering, sepiring kuping babi, sepiring babi sam-can, sepiring daging sapi asin, sepiring kacang goreng. Lima macam hidangan sudah berjajar diatas meja, cawan ada dua, poci arak pun ada dua. Lo Kay-sian dan kakek Tan duduk saling berhadapan, masing-masing ditemani sebuah cawan dan sepoci arak. Dalam cawan penuh dengan arak, arak putih Sau-tocu. Sepoci arak didepan meja, hingga kapan mata baru terpejam? gumam Lo Kay-sian sambil meneguk secawan arak. Menginap diluar rumah, meja sebelah ditemani si tukang arak, sambung kakek Tan sambil meneguk pula secawan arak. Lo Kay-sian tertawa, sambil memandang ke tempat kejauhan kembali gumamnya, Orang kalau sudah tua, biasanya jadi cerewet, banyak bicara, padahal mereka

bukannya bawel, yang benar mereka takut akan kesepian. Apa yang dia ucapkan memang kenyataan. Orang tua kalau banyak omongnya, cerewet, bawel, bukan berarti mereka itu suka bicara, mereka hanya takut akan kesepian. Sepi sebetulnya hanya sebuah kata yang amat bersahaya, biasa, amat sederhana, tapi justru merupakan sebuah kata yang sukar dipahami, susah dicerna. Orang tua banyak bicara, karena mereka kuatir tidak bisa bicara. Binatang yang selalu berisik pun karena mereka takut akan kesepian. Oleh sebab itu bila usia seseorang makin tua, bicaranya pasti makin banyak, semakin bawel, bukan begitu? ujar kakek Tan. Betul, tepat sekali! Padahal kebawelan mereka karena bicara menurut pengalaman yang pernah dialaminya, kakek Tan menghela napas. Tapi biasanya, generasi muda segan mendengarkan, mereka segan menuruti nasehat orang tua.

Itulah sebabnya di dunia ini orang tua dan orang muda selalu dipisahkan oleh pandangan yang bertolak belakang. Begitu sekarang, begitu juga seribu tahun mendatang, bahkan mungkin sejuta tahun lagi pun keadaan tidak akan jauh berbeda. Gelak tertawa kedua orang itupun bergema memecahkan keheningan, mengalun dari warung bakmi lalu meluas ke empat penjuru. Belum putus gelak tertawa kedua orang itu, tiba tiba diatas wajah mereka terlintas semacam perubahan mimik muka yang sangat aneh. ..... Terlepas perubahan mimik muka macam apakah itu, yang pasti bukan mimik muka orang sedang gembira. Dari balik kegelapan malam yang sepi bagaikan liang kubur, tiba-tiba berkumandang irama lagu yang dipetik dari rebab bersenar tiga, dentingan itu sedih, rendah, berat dan datang dari kejauhan mengikuti hembusan angin. Dalam suasana, saat dan keadaan seperti ini, dentingan lagu dari rebab bersenar tiga itu seolah datang dari dalam neraka. ..... Kau pernah mendengar suara yang berasal dari neraka?

Lantas bagaimana pula suara yang datang dari Nirwana? Belum pernah ada yang mendengar, belum ada yang tahu. Dapat dipastikan, belum pernah ada yang mendengar! Bila ada semacam suara sewaktu kau dengar dapat membuat perasaan hatimu yang paling dalam terjadi perubahan, balikan dapat membuat seluruh tubuhmu seolah melebur dan menyatu dalam irama musik itu, orang pasti akan menganggap suara tersebut sebagai suara yang datang dari Nirwana. Lo Kay-sian maupun kakek Tan tidak terlebur, mereka sudah mabuk berat, mabuk didalam alunan musik yang dipetik dari rebab bersenar tiga itu. Irama rebab makin lama semakin bertambah dekat, menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki seseorang. Biarpun lorong itu sempit, sebetulnya tidak terlalu panjang, dari mulut lorong muncullah seorang kakek yang membopong sebuah rebab bersenar tiga. Semestinya dia memiliki perawakan tubuh yang sangat tinggi, tapi sekarang sudah bongkok dan layu seperti ebi kering, rambutnya telah beruban, wajahnya penuh keriput, begitu banyak keriputnya hingga susah dihitung satu per satu.

Dalam iklim sedingin ini, mau apa dia muncul di lorong yang serba sempit ini? Mau jajan bakmi? Atau mau menabuh rebab? Seandainya mau menabuh rebab, mau didengarkan kepada siapa? Irama yang ditabuh kelewat memedihkan hati, gampang membuat orang merasa sedih, gampang membuat orang teringat kembali kejadian masa lampau... Lo Kay-sian berdua masih duduk dengan tenang, mendengarkan dengan seksama. Irama rebab bersenar tiga semakin sendu, seakan akan muncul dari mulut seorang dayang yang sudah lama hidup dalam lingkungan istana, seakan dia sedang menuturkan seluruh suka duka yang dialaminya sepanjang masa. Walaupun dalam kehidupan ada masa masa gembira, namun hanya sekejap mata semuanya telah sirna, hanya kepedihan yang berlangsung langgeng, mengapa kehidupan manusia sangat pendek? Mengapa dari dulu hingga kini selalu ada manusia yang berperan sebagai orang jahat? Manusia mengapa harus berjuang? Mengapa harus mengalami pelbagai penderitaan? Mengapa hanya kematian yang bisa mendatangkan ketenteraman? Criiing, criiing...! menyusul kemudian irama rebab kembali berubah, kini dia mengisahkan tentang betapa tenteramnya sebuah kematian, betapa indahnya alam baka, semacam keindahan dan ketenteraman yang

tidak bisa diungkap melalui perkataan, hanya bisa diutarakan melalui irama lagu. ..... Karena dia sendiri sebetulnya sudah mabuk di dalam impian indah tentang kematian. Tangan malaikat elmaut seolah ikut membantunya memetik ketiga senar rebab itu, membujuk orang agar mau melepaskan semua beban, mau berangkat ke alam kematian untuk mencari ketenteraman yang abadi. Disana, bukan saja tiada penderitaan, juga tidak perlu berjuang, tidak perlu bersaing dengan siapa pun. Di sana tidak ada orang ingin membunuh orang lain, juga tidak ada orang yang memaksa seseorang untuk pergi membunuh orang lain. Irama rebab semacam ini tidak disangkal merupakan sebuah daya tarik yang susah ditentang, susah dilawan oleh siapa pun. Tangan kakek Tan mulai gemetar, pakaian yang dikenakan mulai basah oleh keringat dingin. ..... Kalau toh kehidupan amat pahit dan penuh penderitaan, mengapa harus hidup terus? Malam semakin kelam, irama rebab terdengar semakin menyayat hati. Tiada harapan, tiada cahaya terang.

Irama rebab seakan sedang memanggil manggil, kakek Tan seolah menyaksikan mendiang istrinya sedang mengawasinya sambil tersenyum, memandangnya dari tempat sana. Kemudian dia mulai menggapai. Apakah dia sedang membujuk, agar ikut bersamanya pergi menikmati ketenangan yang penuh keindahan dan kedamaian itu? Salju masih turun, irama rebab yang memilukan hati seakan datang bersama hembusan angin yang menderu. Irama lagu yang mengalun, persis seperti suara sapaan, suara panggilan mesra dari orang yang dicintainya, panggilan yang datang dari tempatjauh. Dari lubuk hati Lo Kay-sian yang paling dalam mulai tumbuh reaksi yang aneh, dia merasa seolah seluruh tubuhnya sudah melebur dan menyatu dengan irama rebab tersebut. Janji janji kesetiaan, kejadian kejadian berdarah, peristiwa pembunuhan, tiba-tiba berubah jadi amat jauh... jauh sekali. Lo Kay-sian merasa seluruh otot tubuhnya mengendor, irama rebab telah menggiringnya menuju ke alam yang lain, disana tidak ada hawa sesat, tidak ada golok, tidak ada pembunuhan, tidak ada kekerasan, juga tidak ada sumpah setia.

Sorot mata Lo Kay-sian lambat laun memancarkan cahaya yang membingungkan, sementara tubuhnya makin lama makin bertambah kendor. Tapi tangannya masih menggenggam cawan arak, menggenggamnya kuat kuat. Saking kuatnya menekan, ibu jarinya telah berubah jadi putih memucat. Salju turun semakin lebat, irama rebab melantun makin memilukan hati. Seluruh tubuh kakek Tan sudah tergeletak lemas, sementara jari tangan Lo Kay-sian bertambah pucat, bahkan kini mulai gemetar keras. Mendadak cawan yang digenggam Lo Kay-sian diayunkan ke udara dan meluncur lewat... Irama rebab seketika terhenti, senar rebab tiba tiba putus. Mengapa dia harus melempar cawan untuk memutuskan tali senar rebab? Kakek pemetik rebab mendongakkan kepalanya, mengawasinya dengan pandangan terkesiap. Begitu irama rebab terhenti, Lo Kay-sian merasa seluruh tubuhnya seakan terbebas dari belenggu, keringat dingin masih membasahi jidatnya, wajah yang pucat pasi kelihatan bagaikan pualam putih ditengah kegelapan. Biarpun irama rebabku tidak berkenan dalam pendengaran anda, ketiga senar itu tidak bersalah,

mengapa kau harus memutusnya? tegur kakek pemetik rebab gusar, Kenapa kau tidak langsung saja memecah batok kepalaku? Tiga senar tidak bersalah, manusia pun tidak bersalah, jawab Lo Kay-sian hambar, Daripada aku mati, lebih baik senar yang putus. Aku tidak mengerti! Kau pasti mengerti, tapi rasanya memang ada banyak hal yang tidak kau pahami. Setelah memandang kakek pemetik rebab itu sekejap, lanjutnya, Boleh saja kau memberitakan betapa pendeknya kehidupan manusia, kau boleh mengajarkan bahwa pada akhirnya manusia bakal mati, tapi tahukah kau bahwa kematian pun ada banyak ragamnya. ... Mati ada yang enteng bagai bulu angsa, ada pula yang berat bagai bukit Thay-san. Karena seseorang telah dilahirkan di dunia ini, sekalipun harus mati, diapun mesti mati dengan membawa sebuah keberhasilan yang luar biasa, dengan begitu dia baru bisa mati dengan perasaan tenang, ucap Lo Kay-sian. .....Arti yang sesungguhnya dari kehidupan adalah berjuang terus, asal kau sudah memahami akan makna ini maka mustahil kehidupanmu tanpa arti.

Kepedihan yang dialami umat manusia, pada dasarnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diperjuangkan setiap orang untuk mengendalikan dan mengatasinya. Seluruh tubuh kakek penabuh rebab itu sudah dilapisi bunga salju, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke warung bakmi, menilik dari raut mukanya yang murung dapat diketahui betapa sedih dan menderitanya kakek ini. Aku hidup hanya untuk menderita, katanya dengan suara yang kedengaran amat sendu. Kalau begitu berusahalah untuk melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat, dengan melakukan hal itu maka penderitaanmu akan berkurang, jika tidak kau lakukan, biar sudah matipun kau tetap akan menderita, kata Lo Kay-sian, Mati bukan berarti bisa menyelesaikan semua persoalan, hanya orang bodoh lemah yang tidak sanggup menghadapi tekanan akan menyelesaikan persoalannya dengan sebuah kematian. Tapi penderitaanku hanya bisa diselesaikan dengan kematian! kata kakek penabuh rebab. Kenapa? Karena aku... ucapan kakek itu makin lama makin bertambah lirih.

Lo Kay-sian sama sekali tidak mendengar apa yang sedang dia katakan, maka tegurnya, Hey, kau bicara apa? Keras sedikit suara mu. Biarpun bibirnya bergetar namun tidak kedengaran jelas apa yang sedang diucapkan kakek penabuh rebab itu, kepalanya makin tertunduk rendah, seolah ia sedang menahan penderitaan yang luar biasa. Bicaralah lebih keras! Lo Kay-sian pingin tahu kenapa orang itu harus menggunakan kematian untuk meng-atasi penderitaannya, maka terpaksa dia maju lebih mendekat, menempelkan wajahnya dekat bibir kakek itu. Kembali teriaknya, Mengapa hanya kematian yang bisa membebaskan penderitaanmu? Sebab... tiba-tiba kakek itu mendongakkan kembali kepalanya dan tertawa, Sebab jika kau tidak mati, akulah yang harus mampus. Belum selesai perkataan itu diucapkan, kakek penabuh rebab telah menggunakan rebab bersenar tiga nya untuk mencekik tengkuk Lo Kay-sian. Perubahan ini terjadi mendadak dan sama sekali diluar dugaan, kakek Tan jadi ketakutan setengah mati. Lo Kay-sian dengan menggunakan sepasang tangannya berusaha menyingkirkan senar rebab dari atas tengkuknya, tapi kakek itu menjepit dan menekannya semakin kuat.

Paras muka Lo Kay-sian telah berusah jadi merah padam, merah karena kehabisan napas. Buru buru ia menjejakkan kakinya sambil menekuk pinggang, dengan sepenuh tenaga dia membalik badannya melalui samping kepala kakek itu. Begitu melayang turun ke sisi lain, senar rebab yang melilit tengkuknya pun ikut mengendor dan terlepas. Baru saja Lo Kay-sian ingin meraba tengkuknya yang sakit, kakek tersebut kembali melancarkan serangan dengan senar senar rebabnya, hanya kali ini dia tidak mencekik melainkan menusuk dengan senarnya yang telah menegang bagai paku baja. Tusukan demi tusukan dilancarkan secara berantai, dalam waktu singkat dia telah melancarkan lima kali lima, dua puluh lima buah tusukan ke arah tenggorokan lawan. Nyaris sulit bagi Lo Kay-sian untuk meloloskan diri dari serangkaian serangan berantai itu, masih untung dalam warung bakmi itu berjajar banyak sekali meja dan bangku yang bisa digunakan untuk menangkis. Ketika selesai melancarkan tusukan yang kedua puluh lima, mendadak kakek itu menghentikan serangannya, mengawasi Lo Kay-sian dengan tenang. Bagus, bagus sekali, tidak malu disebut orang Pendekar kerinduan! pujinya.

Lo Kay-sian melengak, ditatapnya kakek itu dengan penuh ragu. Sri.. .siapa kau? tegurnya. Kakek penabuh rebab itu tertawa terbahak-bahak. Sebelum malam ini, tidak seorangpun mengenali aku, mulai besok pagi, orang akan membicarakan tentang aku, sahutnya. Jadi kau khusus datang untuk membunuhku? Betul! kata kakek itu lagi sambil tertawa, Kau adalah rencana pertamaku dari dua belas rencana lain yang tersisa. Kau ada tiga belas rencana? Apa saja ketiga belas rencana mu itu? Setibanya didepan raja akhirat, dia pasti akan beritahu kepadamu. Baiklah, kata Lo Kay-sian kemudian sambil tertawa, Setibanya disana, aku pasti tidak lupa untuk bertanya. Sebelum kau mati, akan kuperlihatkan semacam barang kepadamu. Dari punggungnya kakek penabuh rebab itu melepaskan sebuah buntalan. Ternyata di belakang punggungnya terikat sebuah bungkusan, tadi Lo Kaysian tidak memperhatikan oleh sebab itu dia tidak melihatnya.

Buntalan itu diletidakkan diatas meja, dengan senyuman penuh arti perlahan-lahan kakek itu membuka buntalan tersebut. Kujamin setelah menyaksikan benda itu bukan saja kau tidak akan percaya, bahkan pasti akan terperanjat setengah mati! katanya. Aku sudah hidup lima-enam puluh tahunan, kalau mesti terperanjat, mungkin yang bisa membuatku terperanjat sudah habis. Benarkah begitu? Akhirnya si kakek membuka buntalan itu, dia mengambil sesuatu benda dari balik buntalan lalu mengangkat wajahnya menatap Lo Kay-sian. Perlahan tangannya diangkat ke udara, sekilas cahaya berkilat segera meluncur menyusul gerakannya itu. Tiba-tiba saja Lo Kay-sian berdiri terpaku. Disaat tangan si kakek meninggalkan buntalan tadi, dia sudah melihat dengan jelas benda apakah itu, tapi dia masih berharap matanya yang kabur hingga salah melihat, menunggu tangan kakek itu sudah terangkat seluruhnya, mau tidak mau dia harus percaya bahwa pandangannya tidak keliru, itulah sebabnya dia berdiri terpaku, terperangah! Mustahil, bagaimana mungkin benda tersebut bisa berada ditangannya?

Lo Kay-sian membelalakkan matanya semakin lebar, dia ingin melihat benda itu dengan lebih seksama. Ternyata tidak salah. Dengan perasaan tidak percaya Lo Kay-sian gelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya, Mana mungkin? Mana mungkin? Inilah salah satu peralatan utama yang akan membantuku menyelesaikan ketiga belas rencanaku, kata kakek penabuh rebab itu sambil tertawa bangga. Sebenarnya benda apa yang telah diperlihatkan kakek penabuh rebab itu hingga membuat Lo Kay-sian terperangah? Benda apa lagi di kolong langit yang bisa membuatnya terkejut, keheranan dan tidak percaya? Sebenarnya bukan suatu benda istimewa yang berada dalam genggaman kakek penabuh rebab itu, dia hanya menggenggam sebilah senjata. Sejenis senjata yang bentuknya agak aneh dan lain daripada bentuk senjata pada umumnya. Sebilah senjata yang golok tidak mirip golok, pedang tidak mirip pedang, meskipun ujungnya melengkung bagai kaitan namun jelas bukan senjata yang digunakan untuk menggaet sesuatu. Lo Kay-sian menatap senjata aneh itu tanpa berkedip, dengan suara yang gemetar bisiknya, Kait perpisahan...!

BAGIAN - 3 Salah? Salah? Salah?

BAB 1. Kakek penabuh rebab bersenar tiga.

Kakek penabuh rebab bersenar tiga? Ketika Cong Hoa mendengar nama tersebut, Lo Kaysian sudah mati selama tiga hari. Sekarang Cong Hoa berdiri disamping tubuh Lo Kaysian. Tubuh Lo Kay-sian berbaring dalam ruang kedamaian yang ada di pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek. Dua batang hio ditancapkan didepan kakinya, asap tipis mengepul tidak berdaya di udara. Dengan termangu mangu Cong Hoa berdiri didepan altar panjang dimana tubuh Lo Kay-sian berbaring, sudah hampir setengah jam dia berdiri dalam posisi begitu, garis darah sudah muncul dalam kelopak matanya, air mata pun sudah hampir tidak terbendung lagi.

Bibirnya sudah penuh noda darah, darah yang muncul dari luka bekas gigitan sendiri .....Bukankah menyiksa diri termasuk salah satu cara untuk melampiaskan kekesalan sendiri? Lo Kay-sian merupakan korban kedua yang harus berpisah dari sisinya. Orang pertama adalah Cong Hui-miat, kendatipun hingga kini dia belum tahu bagaimana nasibnya. Orang kedua adalah Lo Kay-sian, kendatipun sewaktu kejadian dia tidak hadir disampingnya, tapi secara moral dia merasa turut bertanggung jawab. Paling tidak senjata kait perpisahan direbut musuh dari tangannya. Bila dia tidak kehilangan senjata kait perpisahan, tidak mungkin kakek pemetik rebab bisa memaksa Lo Kay-sian berpisah dari dunia dengan senjata kaitan tersebut. Apa pun yang terjadi, dia akan menagih hutang ini kepada perkumpulan Cing Liong Hwee. Tapi sayang para pemimpin perkumpulan Cing Liong Hwee seperti orang yang punya hutang bermilyar-milyar tahil banyaknya, sampai hari ini tidak seorangpun berani tampil didepan umum. Dengan termangu Cong Hoa mengawasi sepasang mata Lo Kay-sian yang terpejam rapat.

Mungkin ada seseorang yang bisa membantunya menemukan Cing Liong Hwee, paling tidak orang itu masih ada sedikit hubungan dengan organisasi rahasia itu. Cong Hoa memutuskan akan berhadapan dengannya, dia tidak akan menghindari dirinya lagi. Cepat atau lambat bakal berjumpa, mengapa dia harus selalu menghindar? Menghindar bukan sebuah penyelesaian yang bijaksana. Bunga bwee yang menghiasi kamar tidur Nyoo Cing meski sudah ditaruh berapa hari, bunga-bunga itu tampak masih segar dan indah. Hingga kini Nyoo Cing masih berbaring diatas pembaringan, dia belum mampu turun dari ranjang, namun dibandingkan berapa hari berselang, paras mukanya tampak jauh lebih segar, jauh lebih bertenaga. Kini, dia sedang mengawasi wajah Cong Hoa dengan sorot mata yang penuh semangat. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Yaa, masih tersisa lima hari lagi. Hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tujuh, dari batas waktu lima belas hari masih ada sisa lima hari.

Kelihatannya daya ingatmu sangat bagus! puji Nyoo Cing sambil tertawa getir. Mau tidak mau terpaksa harus kuingat terus secara baik, sahut Cong Hoa, Orang itu kupinjam dari tanganmu, aku pula yang menyanggupi batas waktu lima belas hari. Kalau toh sudah kau setujui, sekarang pun masih ada sisa waktu lima hari, buat apa kau datang lebih awal? Tidak mungkin lagi bagiku untuk tidak dating! Kenapa? Aku tidak pingin jadi kura-kura yang selalu sembunyikan kepalanya, orang memang hilang ditanganku, kait perpisahan pun direbut orang dari tanganku. Setelah menatap tajam wajah Nyoo Cing, lanjutnya, Sekarang terserah keputusanmu! Biarpun tinggal lima hari, lima hari adalah waktu yang cukup lama, banyak pekerjaan yang masih bisa dilakukan, sahut Nyoo Cing sambil membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan. Nun jauh disana, terlihat ada segumpal awan sedang bergerak pelan. Tentang senjata kait perpisahan, aku sama sekali tidak menyalahkan dirimu, kembali Nyoo Cing

menambahkan, Perkumpulan Cing Liong Hwee memang bersumpah akan mendapatkan senjata tersebut, walau dengan cara apa pun, bila orang lain yang pergi mengambil, mungkin hasilnya jauh lebih parah ketimbang kau. Reaksi yang diperlihatkan Nyoo Cing sama sekali diluar dugaan Cong Hoa. Melepaskan narapidana kelas satu merupakan dosa yang bisa diancam dengan hukuman penggal kepala, tapi Nyoo Cing seolah tidak acuh. Kehilangan senjata kait perpisahan pun dia anggap seperti seorang pendekar pedang yang terpapas kutung sebuah jari tangannya, biar tidak bisa menggunakan senjata lagi seumur hidup, namun Nyoo Cing tetap tidak acuh. Dengan sinar mata tidak percaya Cong Hoa memandang Nyoo Cing, dia seakan sedang memandang seekor dinosaurus yang aneh dan langka. Sebetulnya kau ini manusia atau bukan? tanya Cong Hoa. Nyoo Cing tertawa, berpaling, dengan pandangan penuh senyuman ditatapnya wajah Cong Hoa, Kau heran mengapa reaksiku sama sekali berbeda dari orang lain? Bukan hanya berbeda, pada hakekatnya reaksimu bukan reaksi normal dari seorang manusia.

Lantas apa yang harus kuperbuat hingga memenuhi kriteria pandanganmu? Apakah menangkapmu? Menjebloskan kau ke dalam penjara? Paling tidak kau mesti bertanya kepadaku, kemana larinya Cong Hui-miat, siapa yang telah merebut Kait perpisahan. Tidak perlu! Apa artinya tidak perlu? Tidak perlu artinya aku percaya kepadamu. Percaya kepadaku? tanya Cong Hoa, Apa yang dipercayanya? Percaya kau pasti dapat memberi hasil akhir yang sangat memuaskan, ujar Nyoo Cing sambil tertawa, Dengan tabiatmu, sifatmu dan cara kerjamu, memangnya kau akan biarkan semua kejadian berlalu dengan begitu saja? Tidak mungkin! Aku bersumpah akan memenggal kepala naga hijau busuk itu dan memasaknya jadi kaldu. Nah, itulah dia! Kalau begitu, cepatl laksanakan! Sayang kepala naga itu tidak ubahnya seperti kurakura, sepanjang hari hanya menyembunyikan kepalanya dalam kerangka.

Konon, jika ingin memaksa si kura-kura memperlihatkan kepalanya, kau mesti membe-tot ekornya. Aku pun tidak berhasil menemukan ekornya, kata Cong Hoa, Tidak menemukan ekornya, mana mungkin bisa dibetot? Nyoo Cing tidak menjawab, kembali dia mengalihkan pandangan matanya keluar jendela. Di halaman luar ruangannya terlihat ada banyak pasien sedang berjalan jalan. Musuh terbesar bagi umat manusia adalah diri sendiri, ujar Nyoo Cing, Tapi musuh yang paling menakutkan adalah sahabat. Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan lagi dengan hambar, Tapi ada sejenis musuh yang paling menyedihkan dan paling membuat kita tidak berdaya. Musuh macam apa itu? Mata-mata. Mata-mata? Betul! kata Nyoo Cing, Untuk menjadi seorang mata-mata yang sukses maka syarat pertama adalah menghilangkan identitas sendiri. Itu berarti kau harus mengorbankan semua persoalan yang paling bisa membuat kau bahagia, terkadang kaupun harus bisa menerima segala macam penghinaan, siksaan dan

cemoohan yang tidak terbayangkan sekalipun, ada kalanya untuk menyukseskan sebuah tugas, diapun tidak segan menghabisi nyawa orang yang paling dikasihi. Kembali Nyoo Cing berhenti, ditatapnya wajah Cong Hoa lekat lekat, kemudian melanjutkan, Tahukah kau mata-mata mana yang selama ini paling mengenaskan hidupnya? See Si? Betul, dan tahu mata-mata mana yang paling sukses menjalankan misinya? Siapa? See Si! Dia juga? Benar, ujar Nyoo Cing, Demi membantu Kou Jian membangun kembali negerinya, Huan Tay-hu tidak segan mengirim wanita kesayangannya, See Si menjadi seorang mata-mata, demi cinta See Si menjalankan misinya, tahukah kau betapa tersiksa dan menderitanya penghidupan wanita itu? Aku dapat menyelami penderitaannya. Akhirnya Kou Jian berhasil membangun kembali negerinya, sebenarnya See Si ingin bunuh diri, tapi demi menenteramkan perasaan hatinya Huan Tay-hu tidak

segan melepaskan jabatannya dengan membawa wanita itu hidup menyepi di desa kelahirannya. Oleh sebab itu See si menjadi mata-mata yang paling mengenaskan hidupnya, tapi paling berhasil menjalankan misinya?' kata Cong Hoa. Benar. Sekali lagi Cong Hoa menatap Nyoo Cing. Secara tiba-tiba kau menyinggung soal mata-mata, apakah... Nyoo Cing menggoyangkan tangannya mencegah gadis itu bicara lebih lanjut, dari atas pot bunga diambilnya sebatang bunga bwee kemudian ditatapnya dengan termangu. Konon bunga sakura yang tumbuh di negeri Husiang, juga berbunga di musim dingin, kata Nyoo Cing, Sekarang adalah musim dingin, sudah pasti bunga sakura pun sedang mekar-mekarnya. Bunga sakura? Negeri Hu-siang (Jepang)? Cong Hoa seakan teringat akan sesuatu, berbinar sepasang matanya, ia nampak sangat gembira. Betul, bunga sakura memang berkem-bang di saat musim salju! serunya.

Dengan penuh kepuasan Nyoo Cing menatap wajah gadis itu, katanya, Asal bunga sakura dari negeri Husiang dikirim kemari, belum tentu tidak akan berbunga. Perawakan tubuhnya setinggi enam kaki delapan inci, kurus kering bagai tongkat bambu, tidak heran kalau orang menyebutnya Ui si bambu ceking. Tahun ini berusia tiga puluh delapan tahun, bermarga Ui bernama Ceng-piau. Dia berada di urutan pertama sebagai lotoa, dirumah masih punya dua orang adik, seorang cici dan seorang moay-moay. Wataknya suka mencari keuntungan kecil, sikapnya terhadap khalayak ramai terhitung cukup ramah.. Bininya dari marga Hie, terhitung seorang wanita cantik. Hanya sayang sejak kecil tubuhnya lemah dan penyakitan, tidak tahan terhadap hembusan angin, tidak kuat dengan teriknya matahari. Ilmu silatnya bersumber dari Siau-lim-pay, beragam, sayang tidak cukup matang. Resminya dia adalah seorang tauke sebuah toko kelontong, diapun termasuk mata-mata dari Nyoo Cing dengan kode panggilan Tiong-ie. Dalam daftar tiga belas rencana: Kode panggilan: Tiong-ie Nama dalam daftar perencanaan: Ui Ceng-piau.

Julukan: Ui si bambu ceking. Usia: 38 tahun. Pekerjaan: tauke toko kelontong. Ilmu silat: aliran Siau-lim-pay. Ilmu andalan: ilmu toya Ciang-mo-kun dari Siau-lim. Batas waktu: 30 hari. Yang perlu diwaspadai: bini. Alasan: menjadi mata-mata Nyoo Cing dengan kode rahasia Tiong-gi. Tauke, siapkan dua kati telur! teriak enso Cho yang ada dirumah tetanggal memang keras lagi nyaring. Segera! jawab Ui Ceng-piau cepat, Delapan belas butir telur, persis dua kati! Setelah menerima pembayaran, sembari tertawa kembali Ui Ceng-piau bertanya, Enso Cho, memangnya lagi cia-po (makan bergizi tinggi)? Tidaklah! enso Cho tertawa cekikikan, Suamiku senang makan telur, lagi pula menurut tabib banyak makan telur bisa menambah tenaga kelakiannya! Waah, kalau engkoh banyak makan telur dan napsunya tambah kuat, enso Cho yang paling senang! Aaah, salah kau! goyangan pinggul dan pantat enso Cho bertambah keras.

Ui Ceng-piau mengawasi goyangan pantat orang hingga lenyap dari pandangan, kemudian baru bergumam sambil tertawa getir, Waah, biar sudah tua, kelihatannya malah bertambah joss! Ui Ceng-piau gelengkan kepalanya berulang kali, belum lagi memutar tubuh, tiba-tiba matanya menangkap bayangan seorang kakek sedang berjalan mendekat dari ujung jalan sana. Seorang kakek yang seharusnya memiliki perawakan tubuh yang sangat tinggi, namun karena dimakan usia, sekarang sudah bongkok dan berkeriput hingga mirip ebi kering, rambutnya sudah beruban dan wajahnya penuh keriput. Yang paling mencolok adalah sebuah rebab bersenar tiga yang berada dalam bopongannya. Caranya berjalan pun sangat istimewa, mula-mula kaki kanannya melangkah duluan kemudian kaki kirinya baru perlahan-lahan menyusul ke muka. Kakek itu berjalan sangat lambat, tapi anehnya hanya sekejap kemudian ia sudah tiba di muka pintu toko kelontong. Sepasang matanya yang sayu mengawasi Ui Ceng-piau beberapa kejap. Lo-sianseng, kau ingin membeli apa? sapa Ui Cengpiau sambil tertawa, Persediaan barang kami lengkap, silahkan memilih sesuai dengan yang dibutuhkan.

Aku datang untuk membunuhmu! ujar si kakek dengan suara yang lirih tidak bertenaga. Mula-mula Ui Ceng-piau terperangah, menyusul kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Hahahaha... Losianseng memang senang bergurau! katanya. Kakek itu menggeleng, ujarnya lagi sambil menghela napas, Heran, kenapa setiap kali aku berbicara, orang selalu tidak mau percaya. Dari punggungnya kakek itu melepaskan sebuah buntalan kemudian perlahan-lahan membukanya. Bukankah kau bernama Ui Ceng-piau? tanyanya kemudian. Benar! jawab Ui Ceng-piau sambil tertawa, namun diam-diam dia sudah mening-katkan kewaspadaannya. Bukankah kode rahasiamu Tiong-Ie? Senyuman diwajah Ui Ceng-piau kontan membeku, diawasinya kakek itu dari atas hingga ke bawah. Kau adalah Cuang? Aku? kembali kakek itu tertawa, Aku tidak lebih hanya seorang kakek pemetik rebab bersenar tiga. Kakek pemetik rebab bersenar tiga? Ui Ceng-piau mulai terkesiap, Jadi kaulah orangnya?

Sekarang sudah percaya bukan kalau kedatanganku untuk membunuhmu? akhirnya kakek itu membuka buntalannya. Siapa disitu? Ditengah hari bolong sudah ribut mau membunuh? seorang perempuan kecil mungil berwajah cantik menyingkap tirai pintu dan berjalan keluar. Kemudian sambil menggapai bahu Ui Ceng-piau, lanjutnya, Ceng-Piau, keluarga mana yang mau bunuh ayam untuk cia-po? kelihatannya dia masih belum sadar kalau ada gelagat tidak beres, malah sambil picingkan matanya dan tertawa kembali menambahkan, Apakah lo sianseng ini? Enso cilik, aku memang ingin potong ayam untuk ciapo, tapi nanti, setelah selesai membunuh suamimu, jawab si kakek sambil picingkan pula matanya. Ketika mendengar separuh perkataannya yang diatas, perempuan itu masih tertawa, tapi begitu selesai mendengar semua ucapannya, paras muka perempuan itu telah berubah jadi pucat pias. Ceng.... piau, dia... dia... apakah dia... sedang bergurau? nada suaranya mulai kedengaran agak gemetar, gemetar lantaran takut. Masuklah dulu, sebentar semua akan beres, bujuk Ui Ceng-piau. Baik.... baiklah.....

Dengan tubuh gemetar perlahan-lahan dia mundur ke belakang, mungkin saking takutnya, kakinyajadi lemas dan nyaris jatuh tertelungkup, terpaksa dia berdiri bersandar dimeja sambil mengawasi kakek itu dengan pandangan penuh ketakutan. Ui Ceng-piau mengawasi terus buntalan itu tanpa berkedip, apakah isi buntalan itu adalah kait perpisahan yang amat menakutkan? Bila senjata ini berada ditangan Nyoo Cing, mungkin saja semua kehebatannya akan terpancar keluar, tapi sekarang benda itu berada ditangan orang lain, apakah dia pun bisa mengerahkan seluruh kehebatannya? Diam diam ia mengambil keputusan, terlepas bakal selamat atau mati, dia ingin menjajal kekuatannya. Maka diam diam dia menghimpun tenaga dalamnya dan disalurkan ke ujung jari tangan, dalam waktu singkat ujung jari itu berubah jadi merah tua. Kepandaian silat yang paling diandalkan Ui Cengpiau memang ilmu cakar elang dari Hway-lam. Orang persilatan tahunya dia mempelajari ilmu toya penakluk iblis dari Siau-lim-pay, padahal ilmu tersebut baru dipelajari selama berapa tahun terakhir. Kepandaian yang sangat diandalkan olehnya adalah ilmu Eng-jiau-kang, ilmu cakar elang yang maha sakti. Cakar elang selalu mencengkeram mangsanya secara jitu, cepat, tepat dan telengas.

Akhirnya kakek itu mencabut keluar kait perpisahan, kening Ui Ceng-piau pun berkerut makin kencang. Inilah kait perpisahan! kata kakek itu. Aku tahu. Sekali kait langsung berpisah, sebetulnya untuk bersua, kata kakek itu lagi dengan suara hambar, Meskipun kau bakal berpisah dengan dunia ini, tapi dengan cepat akan bersua lagi dengan rekan-rekan lamamu yang sudah berada di alam baka, bukankah kejadian semacam ini amat menggembirakan hati? Ui Ceng-piau tidak bicara lagi, tiba tiba sepasang tangannya diayunkan ke muka, kiri kanan saling mendukung melancarkan segulung cakar maut yang mengerikan. Lingkaran cakar yang terbentuk dari kecil makin mengembang lebar, gulung demi gulung menghimpit tubuh kakek itu. Si kakek sama sekali tidak bergerak. Mendadak gaya serangan Ui Ceng-piau kembali berubah, berubah jadi amat sederhana. Cakar yang sederhana, langsung mencekik ke leher kakek itu. Kembali si kakek tidak bergerak, Cuma senjata kait perpisahan yang berada dalam genggamannya mulai beraksi.

Begitu kait perpisahan menyambar, lagi-lagi sebuah perpisahan telah terjadi. Tiba-tiba percikan darah segar menyembur membasahi wajah kakek itu, kemudian bagaikan bunga salju berhamburan ke mana-mana. Sebuah telapak tangan telah rontok ke tanah, tangan dengan jari berwarna merah tua. Tangan kiri Ui Ceng-piau memegangi lengan kanannya yang masih menyemburkan darah segar, wajahnya tampak sangsi, dia masih tidak percaya kalau lengan kanannya telah berpisah. Dengan cepat dia mendongakkan kepalanya, menanti kepalanya terangkat, tiba-tiba dia pun dapat menyaksikan tengkuk sendiri. Aneh! Bagaimana mungkin seseorang dapat menyaksikan bentuk dari tengkuk sendiri? Bukan saja Ui Ceng-piau dapat menyaksikan tengkuk sendiri, diapun sempat menyaksikan semburan darah yang memancar keluar dari tengkuknya itu, kemudian diapun sempat mendengar jeritan ngeri dari bininya, setelah itu dia tidak dapat melihat apa-apa lagi, tidak bisa mendengar apaapa lagi. Kakek itu mengeluarkan selembar saputangan berwarna putih, perlahan-lahan dia menggosok kait perpisahan sementara sepasang matanya mengawasi perempuan di belakang meja tanpa berkedip.

Sekarang aku sudah siap cia-po, katanya dengan mata setengah terpicing. Dengan tubuh gemetar perempuan itu bangkit berdiri, tubuhnya menggigil keras. Aaaaii, kembali kakek itu menghela napas panjang, Mestinya, orang seusia ku sudah tidak pantas melakukan perbuatan semacam ini. Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat, kemudian tambahnya, Tapi kecantikanmu benar-benar membuat aku tidak tahan, kalau tidak kulakukan, rasanya aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Dia simpan kembali senjata kait perpisahan, lalu dengan wajah kesemsem selangkah demi selangkah maju menghampiri. Tampaknya perempuan itu semakin ketakutan, terdengar dia sedang bergumam, Satu, dua, tiga....... Begitu angka ketiga disebut, tiba-tiba kakek itu menghentikan langkahnya, kening berkerut kencang, paras mukanya mendadak berubah jadi amat tidak sedap. Sepasang matanya masih mengawasi perempuan itu tanpa berkedip. Kau...

Perempuan itu tertawa. Rasa ketakutan, tubuhnya yang tadi menggigil, tiba-tiba hilang lenyap tidak berbekas, dengan penuh daya pikat dia bangkit berdiri. Tampaknya kau lupa kalau aku bermarga Hie! ujarnya merdu. Hie? mendadak pancaran sinar ngeri melintas diwajah kakek itu, Hie Bijin (perempuan cantik), Hie Bojin (tidak ada manusia)..? Tepat sekali! suara tertawa perempuan itu makin memikat, Hie Bo-jin... Atasan telah mengingatkan agar aku lebih berhati hati terhadapmu, aku... rupanya aku telah memandang ringan kemampuanmu, kata kakek itu kemudian, Tidak kusangka ternyata kau adalah putri dari si ratu racun Hie Ciu-si, ternyata kau adalah Hie Bwee-jin! Belum pernah ada orang yang mampu meloloskan diri dari racunku, kembali Hie Bwee-jin berkata, Sekalipun lotoa dari Cing Liong Hwee dating! Dia tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Si kakek sudah kesakitan hingga sepasang kakinya mengejang keras, perlahan-lahan tubuhnya berjongkok ke bawah, rasa menyesal, benci, dendam terpancar dari balik matanya. Disaat rasa bencinya makin menebal itulah, mendadak dari balik toko kelontong menyembur keluar selapis kabut yang sangat tebal.

Dengan cepat kabut itu menyelimuti kakek pemetik rebab bersenar tiga, menyelimuti juga Hie Bwee-jin. Kabut itu muncul secara tiba-tiba, buyar pun secara tiba-tiba. Aneh benar kabut ini, terdengar Hie Bwee-jin bergumam keheranan, Muncul secara tiba-tiba, hilangpun secara mendadak. Kau merasa heran? Si kakek yang semula sudah keracunan hingga terjongkok, mendadak bangkit berdiri lagi, semua rasa sakit dan tersiksa yang terpancar diwajahnya kini hilang lenyap tidak berbekas, seolah lenyap bersama berlalunya gumpalan kabut itu. Racun dari si Ratu racun memang susah dihadapi, kata si kakek lagi sambil tertawa, Aaai! Sayangnya, walaupun ada orang pandai melepaskan racun, tapi ada pula yang pandai memunahkannya. Diawasinya perempuan itu dengan senyuman mengejek, lanjutnya, Ada sementara orang, bukan saja pandai memunahkan racun, diapun sanggup melepaskan racun, percaya kau? Hie Bwee-jin tidak menjawab, peluh sebesar kacang kedele membasahi jidatnya, paras mukanya pun lambat laun berubah jadi menghitam.

Orang yang barusan memunahkan racunku tidak lain adalah liong-tau (ketua) dari Cing Liong Hwee! kembali kakek itu berkata, Dia juga yang telah meracunimu! Seluruh tubuh Hie Bwee-jin telah berubah jadi hitam, namun sepasang matanya justru bersinar terang. Seterang batu kristal! Angin dingin berhembus lewat menggoyang kuntum bunga diatas ranting. Bunga bergerak, bunga pun berguguran. Ketika bunga mulai berguguran, bunga pun akan tumbuh kembali. Siau-tiap perlahan-lahan bangkit berdiri, dengan tangannya yang lembut dia petik sebatang bunga. Bunga bwee. Siau-tiap kelihatan sangat riang, seriang kupu-kupu yang beterbangan mengelilingi bunga, persoalan yang selama dua puluh tahun membuat pusing para pemimpin Cing Liong Hwee, akhirnya berhasil dia selesaikan secara sukses. Jelas keberhasilannya merupakan sebuah pahala besar, bagaimana mungkin dia tidak merasa gembira? Cong Hoa pun sangat gembira, bagaimana tidak? Begitu memasuki kebun bunga Soat-lu, dia sudah menyaksikan orang yang sedang dicarinya... Siau-tiap.

Dengan wajah penuh senyuman dia berdiri di depan pintu Soat-lu, mengawasi terus gerak-gerik Siau-tiap, rasa tercengang bercam-pur kagum terlintas diwajahnya. Kecantikan Siau-tiap sungguh diluar dugaannya. Kecantikan wajah Siau-tiap ibarat sekuntum bunga... bunga... aaah betul! Ibarat sekuntum bunga sakura. Selembut, seindah dan sehalus bunga sakura. Hari ini dia mengenakan setelan baju berwarna kuning dengan sebuah ikat pinggang berwarna merah menyala, tubuhnya yang semampai kelihatan bergoyang bagai ranting pohon yang-liu yang terhembus angin. Rambutnya yang hitam berkilat sama seperti senyumannya yang manis, sangat menggetarkan perasaan siapa pun yang memandangnya, yang lebih penting lagi, keseluruhan dari nona itu mendatangkan perasaan nyaman bagi siapa pun. Cong Hoa mengawasi terus Siau-tiap tanpa berkedip, diakah orang yang menyergapnya ditengah hutan bunga bwee, diluar rumah kayu kecil pada malam itu? Sama-sama berasal dari negeri Hu-siang, bunga sakura berasal dari negeri Hu-siang! Ninja pun berasal dari negeri Hu-siang!

Setelah memetik setangkai bunga bwee, dengan riang gembira Siau-tiap bangkit berdiri, lalu dia pun menyaksikan Cong Hoa berdiri persis di depan pintu. Dengan pandangan tercengang Siau-tiap mengawasi tamu tidak diundang itu, kemudian dia membalikkan tubuh meski sorot matanya masih mengawasi terus wajah Cong Hoa. Siapa kau? tegur Siau-tiap kemudian. Cong Hoa, Cong yang berarti sembunyi, Hoa yang berarti bunga. Mau apa datang kemari? Menengok kau. Menengok aku? Siau-tiap pura-pura tercengang, Apa bagusku untuk ditengok? Banyak sekali, kata Cong Hoa sambil tertawa, Wajahmu amat cantik. Karena kecantikanku, kau khusus datang menengokku? Sejujurnya aku ingin sekali menjawab begitu, tapi sayang kedatanganku lantaran maksud lain. Apa tujuanmu?

Aku ingin melihat, kau kah orang yang akan membunuhku di hutan bunga bwee pada berapa hari berselang? Aku? Siau-tiap segera tertawa merdu. Aneh jika orang itu adalah kau, suara orang itu kasar dan serak seperti suara babi, tapi terus terang, perawakan tubuhnya maupun gerak-geriknya, persis sekali dengan dirimu. Sungguh? Betul. Jadi kau menganggap aku adalah ninja itu? ... Ninja? Aneh sekali, padahal dia tidak menyinggung soal ninja, kenapa begitu buka mulut, dia sudah menyinggung soal ninja? Tentu saja Cong Hoa mendengar juga akan hal ini, dia tahu Siau-tiap telah salah bicara, namun dia sama sekali tidak menegurnya, yang dilakukan sekarang hanya tertawa, tertawa puas. Bila bunga tidak disirami setiap hari, apakah dia tetap nampak cantik? tanya Cong Hoa kemudian. Tidak mungkin! Kalau disirami setiap hari?

Tergantung apakah kau bersungguh hati atau tidak, tulus hati atau tidak? Bersungguh hati? Tulus hati? Masa menyirami bunga pun harus bertulus hati? Benar, dalam melakukan pekerjaan apa pun, tulus hati merupakan hal pokok yang harus ada. Setelah berhenti sejenak, ditatapnya wajah Cong Hoa, kemudian lanjutnya, Jika kau melakukan semua pekerjaan secara tulus hati, paling tidak bisa bertanggung jawabkan pada diri sendiri. Aku percaya dengan perkataanmu itu, Cong Hoa balas menatap tajam Siau-tiap, Aku selalu melakukan semua pekerjaan secara sungguh sungguh dan tulus hati, itulah sebabnya dengan perasaan tulus hari ini aku datang menyambangimu. Buat apa menyambangi aku? Memangnya ada yang bisa kau nikmati? Ada, tubuhmu, wajahmu, gerak-gerikmu, potongan rambutmu, bedak dan gincumu, sepasang matamu. Setelah tertawa lebar, tambahnya, Tapi yang paling utama adalah ingin melihat ke tulusan hatimu. Ketulusan hatiku? Kenapa mesti aku? tanya Siautiap tercengang.

Karena kau mempunyai ketulusan hati menjadi begundal orang, sepatah demi sepatah Cong Hoa berkata. Begundal orang? tampaknya Siau-tiap semakin tercengang. Rela diperintah orang, rela tunduk kepada orang, kalau bukan begundal lantas apa namanya? Siau-tiap tidak bicara, dia hanya tertawa, tentu saja suara tertawanya tidak leluasa karena dia seolah mendengar bunga bunga yang tumbuh disekelilinginya pun ikut tertawa. Hanya Cong Hoa yang tidak tertawa, dia hanya mengawasi Siau-tiap dengan tenang. Siau-tiap tertawa, tiba tiba dia menghentikan tertawanya secara mendadak. Dari balik sepasang matanya yang jeli bagai cahaya matahari dimusim semi, sekonyong konyong memancar keluar sinar yang lebih tajam dari mata pisau. Nyoo Cing memang tidak malu menjadi Nyoo Cing, perkataan Siau-tiap pun setajam mata golok, tampaknya sejak aku memasuki istana raja muda, ia sudah mengetahui identitasku yang sebenarnya. Cong Hoa tidak menjawab. Kalau memang sejak awal sudah mengetahui rahasiaku, kenapa baru hari ini dia bongkar kedokku? Cong Hoa masih tetap tidak menjawab.

Apakah dia baru merasakan seriusnya permasalahan setelah kehilangan senjata kait perpisahan? kata Siautiap, Oleh karena itu kau diminta datang untuk menanyai aku? Cong Hoa tetap tidak menjawab. Bila dia suruh kau menanyakan siapa yang telah merebut kait perpisahan, organisasi macam apakah Cing Liong Hwee itu dan siapa liong-taunya? Maaf, aku tidak nanti akan menjawab semua pertanyaan itu. Walaupun salju tidak sedang turun, langit berwarna keabu abuan, seluruh jagad pun terlihat keabu-abuan, pemandangan di dalam Soat-lu bagaikan sebuah lukisan cat air yang sangat tawar, seolah semua warna yang ada telah terlebur dalam warna kelabu. Cong Hoa sendiripun seakan terlebur ke dalam warna abu-abu, seperti juga baru menetas dari balik gumpalan berwarna abu abu. Kau keliru! ujarnya kemudian sambil memandang Siau-tiap dengan hambar. Aku keliru? Dimana letak kekeliruanku? Mungkin saja sejak awal Nyoo Cing sudah mengetahui rahasiamu, tapi belum pernah dia minta kepadaku untuk membongkar rahasia ini, kata Cong Hoa dingin, Sebab dia beranggapan, dari dulu hingga sekarang, pekerjaan yang paling mengenaskan dan

paling tidak berdaya adalah menjadi seorang matamata. Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Seorang mata-mata bukan saja tidak memiliki kebebasan, setiap saat dia perlu mengorbankan diri, bahkan bila perlu orang yang terdekat pun akan dikorbankan. Siau-tiap hanya mendengarkan dengan seksama, sementara sepasang matanya memancarkan sinar yang lebih tajam dari sembilu. Oleh sebab itu dia selalu memberi kesempatan kepadamu, lanjut Cong Hoa, dia selalu memberi peluang agar kau sadar akan kesalahan dan kembali ke jalan benar. Angin dingin di akhir musim gugur berpusing didalam pesanggrahan salju, mengalir diantara sela sela tubuh kedua orang itu. Bunga sedang bergerak, pakaian sedang berkibar, rambut panjang Siau-tiap pun sedang berkibar, berkibar seolah ranting pohon liu yang sedang meliuk liuk. Dalam kehidupan manusia hanya ada tiga kali kesempatan baik, bila kau tidak dapat memanfaatkannya secara baik dan selalu melepaskannya dengan begitu saja, maka pada akhirnya kesempatan yang paling biasa pun tidak akan kau peroleh, ujar Cong Hoa sambil menatap

wajah gadis itu, Maka dari itu, hari ini akupun akan memberi sebuah peluang kepadamu. Peluang apa? Asalkan dapat merobohkan aku, kau boleh pergi dari sini. Mau pergi, mau tetap tinggal disini, siapa yang sanggup menghalangi aku? Jadi kau anggap gampang untuk meninggalkan tempat ini? jengek Cong Hoa hambar, kau anggap Nyoo Cing dan Tay Thian adalah orang mampus? Bicara sejujurnya, memang bukan pekerjaan yang mudah untuk meninggalkan tempat itu. Siau-tiap mencoba untuk memeriksa sekeliling tempat itu, dia ingin mencari adakah suatu tempat yang menguntungkan baginya, terakhir pandangan matanya terhenti disekeliling tembok pembatas. Agaknya Cong Hoa dapat membaca jalan pikirannya, dengan suara hambar kembali ujarnya, Kujamin diluar dinding pembatas itu paling tidak ada lima puluh pasang busur, tiga puluh bilah golok dan dua puluh batang tombak yang sedang menanti kedatanganmu! Siau-tiap berkerut kening, kembali dia mengalihkan pandangan matanya ke wajah Cong Hoa, tampaknya

ia sedang mencari tahu dari mimik muka gadis itu, apakah ucapannya bisa dipercaya atau tidak. Hanya ada satu cara bila kau ingin meninggalkan tempat ini dengan selamat, kata Cong Hoa, kalahkan aku! Kalau aku yang kalah? tanya Siau-tiap. Yang menang jadi raja, yang kalah jadi perampok, Cong Hoa tertawa, Sebagai orang yang asor tentu saja harus bersikap sebagai orang yang asor! Maksudmu, jika aku kalah maka aku harus menjawab semua pertanyaanmu? Benar. Kalau aku segan menjawab? Aku sendiripun tidak bisa berbuat apa-apa, kata Cong Hoa hambar, Tapi aku dengar, paling tidak Tay Thian mempunyai tujuh puluh macam cara untuk memaksa orang bicara jujur, entah kau sempat melihat berapa macam? Paras muka Siau-tiap berubah hebat, tentu saja dia sangat mengerti cara Tay Thian menyiksa orang. Jagad raya yang semula berwarna keabu abuan, mendadak berubah jadi gelap.

Entah sejak kapan, awan gelap telah menyelimuti seluruh angkasa, kelihatannya sebentar lagi akan turun hujan badai. Melihat perubahan cuaca yang sedang berlangsung, diam diam Siau-tiap kegirangan. Kepandaian yang dipelajarinya memang termasuk cara meloloskan diri dalam situasi seburuk apapun, semakin buruk cuaca disitu, semakin menguntungkan baginya. Cong Hoa ikut mendongakkan kepalanya melihat perubahan cuaca, dia hanya gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. Kelihatannya Thian lagi lagi memberi kesempatan kepadamu, ujarnya, Bila hari ini kau tidak baik-baik manfaatkan peluang ini, perbuatanmu benar benar telah menghina Thian. Siau-tiap tidak menjawab, bunga yang berada ditangannya digetarkan perlahan, sementara mimik mukanya menunjukkan perubahan yang aneh. Orang tidak tahu apakah dia sedang sedih atau gembira. Dengan tangan kiri memegang bunga, tangan kanan meraba putik bunga, dalam waktu singkat gadis itu telah berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu Siau-tiap tidak lebih hanya seorang nona yang cantik, polos dan suci, sama sekali tidak berbau orang persilatan, tapi sekarang, dia seakan akan seorang jago pedang yang sangat berpengalaman.

Perubahan ini mirip sekali dengan sebilah pedang tajam yang disarungkan dalam sebuah sarung kuno yang amat jelek, begitu diloloskan keluar, segera terpancarlah sinar yang berkilauan. Seluruh tubuhnya seolah memancarkan cahaya terang, cahaya itu membuat dia tampak lebih berhawa, hawa napsu membunuh. ..... Memang sangat aneh, mengapa begitu menggenggam bunga, dia langsung berubah jadi begitu menakutkan... atau pada dasarnya dia memang seseorang yang sangat menakutkan? Bunga bergoyang dimainkan angin, angin berhembus menembusi tanaman bunga. Siau-tiap lama sekali menatap bunga yang berada dalam genggamannya, mendadak dia menggunakan bunga sebagai pengganti pedang dan melancarkan sebuah tusukan. Padahal tangkai bunga itu sangat lembek, mana mungkin bisa digunakan sebagai pedang untuk melancarkan tusukan? Tapi begitu Siau-tiap melancarkan tusukan, tangkai bunga itu seketika berubah, berubah lebih bercahaya, lebih bernyawa, lebih mengandung hawa pembunuhan. Tampaknya dia telah menyalurkan segenap kekuatan yang dimilikinya ke dalam tangkai bunga itu. Tusukan tersebut tampaknya saja amat ringan, sama sekali tidak ada perubahan, tapi begitu perubahan

dimulai maka semuanya mengalir selancar alur air di sungai. Tangkai bunga itu seketika berubah bagai kapak sakti milik Lu Pan, senjata pena ditangan Kiang Ci, pedang dalam genggaman Sam sauya, bukan saja bernyawa, bahkan punya roh, punya hawa pembunuhan. Dengan gerakan yang ringan dan cepat, dalam waktu singkat tangkai bunga itu sudah melancarkan tujuh buah tusukan maut. Semua tusukan tertuju ke sepasang mata Cong Hoa serta bagian mematikan lainnya. Cong Hoa hanya merasa ada cahaya terang berkelebatan didepan mata, semuanya terasa bagai mengambang di angkasa, perubahan yang terjadi sudah melampaui kekuatan manusia biasa, nyaris membuat siapa pun sukar mempercayainya. Kini, benda yang berada ditangan Siau-tiap sudah bukan berupa tangkai bunga lagi, tapi sebilah senjata maut yang bisa mencabut nyawa siapa pun. Tiba-tiba dia menggetarkan tangkai bungannya, putik bunga yang ada ditangkai seketika meluncur ke depan dan mengancam tubuh musuh, perubahan yang terjadi ini sama sekali diluar dugaan siapa pun. Sebuah jurus serangan yang sangat mematikan.

Bukan saja jurus serangan itu aneh, ganas, telengas dan tepat sasaran, bahkan mengarah bagian tubuh Cong Hoa yang tidak terduga sebelumnya. Dalam jurus serangan ini selain disertai seluruh inti kemampuan yang dimiliki, bahkan terkandung pula inti sari dari ilmu perang yang menakutkan. Jurus serangan itu sangat menakutkan, sebuah jurus serangan yang mematikan, dia yakin musuhnya pasti akan tumbang oleh serangan mautnya ini. Sayang dugaannya meleset, kecuali Cong Hoa, di dunia ini memang tidak ada orang kedua yang sanggup menghindari serangan maut itu, sebab dikolong langit tidak ada orang kedua yang begitu memahami Siautiap ketimbang Cong Hoa. Dia bisa lolos dari ancaman tersebut bukan lantaran dia sudah memperhitungkan waktu serta tempat sasaran serangan itu, melainkan karena dia sudah memperhitungkan bagaimanakah watak Siau-tiap yang sesungguhnya. .... Dia tahu, semua manusia yang datang dari negeri Hu-siang, tidak nanti akan melancarkan serangan secara gagah berani, terus terang dan terbuka. Dia sudah perhitungkan secara tepat, dibalik jurus serangan yang digunakan Siau-tiap sekarang pasti masih tersembunyi jurus serangan lain yang lebih mematikan.

Maka ketika sekilas cahaya terang melintas didepan matanya, diapun segera pejamkan matanya rapat rapat. ..... Jika kau tidak menggunakan matamu untuk melintas, mana mungkin silaunya cahaya bisa mempengaruhi dirimu. Begitu memejamkan matanya, Cong Hoa mulai pasang telinga baik-baik, kemudian dia pun mendengar suara desiran angin yang sangat lirih. Waktu itu seluruh bunga telah melesat meninggalkan tangkai, semua putik bunga telah menyebar ke udara, beribu ribu helai bunga bagaikan serangan senjata rahasia mengancam perut Cong Hoa. Jika waktu itu Cong Hoa tidak pejamkan mata, dia pasti akan terpengaruh oleh silaunya cahaya, bila konsentrasinya telah buyar, bagaimana mungkin dia bisa mendengar serangan mematikan yang justru tersembunyi di belakang cahaya terang yang menyilaukan itu? Bukan begitu saja, ternyata Cong Hoa cukup mengayunkan sepasang tangannya, beribu helai bunga yang menyerang bagaikan hujan senjata rahasia itu tahu-tahu hilang lenyap tidak berbekas. Walaupun Siau-tiap merasa sangat terperanjat namun reaksinya cukup cepat, sambil menarik

tangannya memutar pinggul, dia sudah berpusing bagaikan sebuah gangsingan. Menanti putaran tubuhnya berhenti, dalam genggaman Siau-tiap telah bertambah dengan sebilah pedang samurai yang panjangnya satu kaki delapan inci. Samurainya diayun ke udara, jurus serangan pun ikut berubah, berubah jadi lebih kuat, lebih bertenaga, tanpa perasaan. Kalau tadi serangan dengan tangkai bunganya ibarat awan hitam yang menyelimuti seluruh angkasa, dipenuhi hawa pembunuhan yang menakutkan, maka setelah samurainya dihunus, keadaannya seperti awan hitam yang mulai membuyar dan muncul cahaya matahari, bukan saja hawanya panas menyengat bahkan memancarkan cahaya emas yang amat menyilaukan mata. Sebuah ilmu samurai yang hebat! puji Cong Hoa tanpa terasa. Baru selesai kata pujian itu meluncur keluar, lagi-lagi Siau-tiap melancarkan empat buah bacokan, hampir semuanya seakan mengandung perubahan yang tidak terhingga, terkadang seperti melayang, terkadang seperti melesat, nyaris semua ancamannya ganas dan telengas.

Cong Hoa tidak melancarkan serangan balasan, diapun tidak menangkis. Dia bahkan hanya meperhatikan...... seakan seorang pemuda yang baru pertama kalinya melihat perempuan cantik telanjang bulat. Biarpun ke empat buah serangan itu sangat ganas dan mematikan, akan tetapi jangan lagi melukai Cong Hoa, menyentuh pun tidak. Siau-tiap keheranan, ke empat serangannya itu jelas sudah diarahkan ke tenggorokan lawan, tapi entah mengapa semua serangannya itu seolah tergelincir dan lewat dengan begitu saja, bacokan yang seharusnya bersarang di dada, apa mau dikata tidak satupun yang berhasil menyentuh ujung bajunya. Setiap gerak serangan, setiap perubahan yang terjadi, seolah olah sudah berada dalam dugaan Cong Hoa. Tiba tiba Siau-tiap mengubah gaya serangannya, kali ini dia menyerang dengan sangat lambat, lambat sekali. Begitu goloknya dibacokkan ke depan dengan gerakan melambat, Cong Hoa tidak sanggup menghindarkan diri lagi, bahu kirinya segera tersambar hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang. Rupanya gerak serangan yang nampaknya sangat lambat itu sebenarnya telah mencapai batas

kecepatan yang paling luar biasa, begitu cepatnya hingga sulit dilukiskan dengan perkataan. Ketika samurai itu diayunkan ke depan, Cong Hoa sama sekali tidak bergerak, seluruh gerakan tubuhnya seakan terhenti secara tiba tiba. Tampak ayunan samurai yang lambat lagi bebal itu membacok ke tubuhnya, kemudian seluruh udara pun seakan memercikkan selapis hujan bunga...... Bunga samurai memenuhi angkasa, bunga darah memercik di udara. Bunga samurai kembali berputar, dari lambat berubah jadi cepat, dari bebal berubah jadi cepat, sekonyong-konyong selapis cahaya bianglala kembali membias di udara. Bianglala berwarna tujuh, tujuh buah bacokan samurai, begitu semarak begitu beraneka warna... Darah bercucuran dari bahu kirinya, tapi Cong Hoa tidak ambil perduli, keningnya berkerut, ditatapnya wajah Siau-tiap setengah ragu. Jadi inikah yang disebut ilmu samurai tujuh warna? Siau-tiap hanya membungkam, membungkam berarti mengakui. Bagus, sebuah ilmu samurai yang hebat! Cong Hoa menghela napas panjang, Hanya sayang, sayang sekali.

Sayang? Apanya yang sayang? tidak tahan Siautiap bertanya. Sayang kau hanya memiliki satu serangan, andaikata ada serangan kedua, aku tentu sudah mati. Apa mungkin ada serangan yang kedua? Ada, pasti ada, Cong Hoa sedang termenung, lewat lama kemudian ia baru berkata lebih jauh, sebenarnya pada serangan yang kedua lah seluruh inti sari dari ilmu samurai itu terhimpun. Seluruh perubahan dan kekuatan yang terkandung dalam ilmu samurai tujuh warna hanya berhasil melukai bahu Cong Hoa pada ayunan yang kedua, waktu itu dia sudah kehabisan tenaga, dalam tangan pun tidak bersenjata, dalam keadan seperti itu mustahil dia bisa lolos dari serangan berikut. Masih untung hujan turun dengan derasnya waktu itu, air hujan membuat bajunya basah kuyup, membuat rambutnya ikut basah kuyup. Ketika cahaya samurai berkelebat, gadis itupun mengebaskan rambutnya dengan sepenuh tenaga, dengan kebasan kepalanya, rambut pun ikut menggulung ke atas, rambut yang basah membuat ayunan itu jadi bertenaga. Bila orang biasa yang mengebaskan rambutnya, tentu saja tidak akan menghasilkan kekuatan apa-apa, tapi Cong Hoa yang memang secara sengaja

mengebaskan rambutnya segera membuat air hujan yang membasahi rambutnya itu memercik keluar bagai rentetan tembakan senapan mesin. Criiing, criiiing! bacokan samurai yang terbentur air hujan menggaungkan suara dentingan nyaring. Bukan hanya samurai itu yang terpercik air hujan, wajah Siau-tiap pun terpercik keras bagaikan diserang jarum tajam, buru buru dia pentangkan ke lima jari tangannya untuk melindungi mata, sementar samurai ditangan kanannya kembali melanjutkan bacokan ke depan. Sebetulnya sasaran yang dituju adalah tenggorokan Cong Hoa, tapi Siau-tiap merasa hanya tempat kosong yang tersentuh, rupanya bacokan itu mengenai sasaran kosong. Ke mana perginya Cong Hoa? Ketika bacokan mengenai tempat kosong, Siau-tiap pun tidak bergerak lagi, sebab ia mendengar suara tertawa dari Cong Hoa berkumandang dari balik hujan, suara itu berada di belakang tubuhnya, lebih kurang dua depa di belakangnya. Serangan ketiga yang hebat! Dengan cara apa kau berhasil lolos dari seranganku ini?

Karena Thian telah memberi kesempatan kepadaku. Siau-tiap membalikkan tubuhnya, dia tahu Cong Hoa berada di belakang tubuhnya, dia pun dapat menyaksikan luka memanjang yang menghiasi tengkuknya, persis seperti sebuah pita merah yang dikalungkan di leher seorang gadis. Seandainya aku sedikit terlambat untuk menghindar, andaikata tidak ada hujan ini, mungkin tengkuk ku butuh berapa jahitan untuk menyambungnya kembali. Kini samurai ditangan Siau-tiap sudah terkulai lemas, semua keangkerannya sirna, semua hawa membunuhnya lenyap, yang tersisa hanya kepolosan wajahnya sebagai seorang gadis muda. Aku kalah! bisiknya. Suara dari Siau-tiap itu kedengaran tanpa perasaan. Cong Hoa tidak bicara, dia hanya mengawasi gadis itu dengan tenang. Sudah dua puluh tahun aku belajar silat, sudah dua puluh kali aku bertempur sengit, tapi belum pernah sekali pun menderita kekalahan, kata Siau-tiap sambil membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan, Semula aku mnegira, hujan yang turun sangat deras akan menguntungkan posisiku, tidak disangka justru kau yang telah mendapatkan keuntungan itu.

Dengan pandangan mata yang agak cemas dia menatap wajah Cong Hoa, kemudian tambahnya, Sekalipun kau yang berhasil menang, sayang tidak akan kau peroleh jawaban dari mulutku. Kenapa? Sebab kabut segera akan datang! Cong Hoa melongo, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan Siau-tiap dengan perkataan itu. Kabut? Kenapa kabut segera akan datang? Siau-tiap tidak menjawab, sambil memandang nun jauh ke depan sana dia berbisik lagi, Sejak menyadari kalau aku sudah kalah, tiba-tiba saja aku seperti jadi memahami akan semua hal. Setelah tarik napas panjang, terusnya, Sebetulnya apa yang telah kita berdua kerjakan dan rencanakan, tidak lebih hanya merupakan sebiji anak catur yang sedang dimainkan orang lain. Cong Hoa masih belum paham. Nyoo Cing memang cukup cerdik, tapi pada akhirnya dia akan sadar kalau langkahnya keliru besar. Tiba-tiba Siau-tiap mendongakkan kepalanya dan tertawa kalap, cara tertawanya sama sekali tidak mirip seperti tertawa seorang nona kecil.

Caranya tertawa pada hakekatnya lebih mirip tertawa orang gila. Begitu dia mulai tertawa, kabut tebal pun mulai muncul. Sama seperti suara tertawa itu, kabut muncul secara tiba tiba dan sama sekali diluar dugaan. Dengan pandangan terperangah Cong Hoa mengawasi Siau-tiap, mengawasi kabut tebal yang tibatiba menyelimuti sekeliling tubuhnya. Dalam waktu singkat kabut tebal telah menggulung seluruh tubuh Siau-tiap, sebentar lagi Cong Hoa pun akan segera tergulung di dalamnya. Tiba tiba gadis itu mengernyitkan dahinya dengan wajah berubah hebat, secepat anak panah yang terlepas dari busurnya dia melejit keluar dari dalam pesanggrahan salju. Senyuman Siau-tiap mulai kaku, mulai membeku, paras mukanya mulai menghitam, makin lama makin pekat, tapi gelak tertawanya masih bergema di udara.

BAB 2. Bungkusan obat dari Nyoo Cing.

Nama: Siau-tiap. Usia: 24 tahun.

Tempat lahir: negeri Hu-siang. Kepandaian andalan: Ninja, ilmu samurai tujuh warna. Kode rahasia: bulan tiga tanggal tujuh. Keahlian: bercocok tanam, ikebana. Lokasi: Seputar istana raja muda, sebagai tukang kebun Nyoo Cing. Tinggi badan: lima kaki tiga inci. Berat badan: delapan puluh empat kati. Itulah data yang tercatat dalam buku catatan rahasia Cing Liong Hwee. Disuatu tempat rahasia yang lain, ternyata tercatat pula data yang agak berbeda, data itu berbunyi: Nama: Siau-tiap. Usia: 24 tahun. Tempat lahir: negeri Hu-siang. Kepandaian andalan: Ninja, ilmu samurai tujuh warna. Kode rahasia: bulan tiga tanggal tujuh. Tanggal kematian: bulan sepuluh tanggal tujuh. Pembunuh: Cong Hoa.

Catatan: karena sebab tertentu, akhirnya utusan kabut yang melaksanakan eksekusi terakhir. Lagi-lagi obat ini. Ini obat lambung, untuk melindungi lambungmu dari luka, dia membuka bungkusan berisi obat. Tapi lambungku tidak bermasalah. Darimana kau bisa tahu kalau lambungmu tidak bermasalah, perempuan itu membantu Nyoo Cing untuk duduk lebih enak, Sekalipun lambungmu tidak bermasalah, diminum pun tidak akan merugikan! Bagaikan seorang bocah saja Nyoo Cing minum obat itu dengan terpaksa, kemudian cepat-cepat minum seteguk air hangat. Melihat gaya Nyoo Cing itu, perempuan itu tertawa, kembali dia mengeluarkan sebuah bungkusan obat yang bentuknya jauh lebih kecil. Bungkusan obat apa lagi itu? Entahlah, bungkusan obat ini baru dibuka resepnya pada hari ini, mungkin untuk mengobati tulang belulangmu. Nyoo Cing kembali meneguk air hangat, kemudian setelah menarik napas panjang dia memejamkan matanya.

Belum pernah ada orang takut minum obat sepertimu, kata perempuan itu sambil tertawa. Tidak lama sepeninggal perempuan itu, Nyoo Cing baru membuka matanya kembali, memandang pintu kamarnya sekejap, ketika yakin pintu sudah tertutup, dia baru memuntahkan seluruh obat yang baru ditelannya, membungkus dengan selembar kertas dan disembunyikan dibawah bantal. Pada saat itulah kedengaran pintu kamarnya diketuk orang. Tok, tok tok tok tok, tok tok! Setiap kali mengetuk pintu, Tay Thian selalu menggunakan irama ketukan tertentu. Apa yang dikatakan Hong Coan-sin? Nyoo Cing segera mengajukan pertanyaan begitu berjumpa dengan Tay Thian. Sama seperti Tu Bu-heng serta Un-hwee sekalian, jawab Tay Thian, Termasuk keracunan oleh buah opium, sari racun menyusup masuk melalui pori kulit dan detak jantung pun segera terhenti, sebuah cara kematian yang sama sekali tidak menimbulkan penderitaan. Bagaimana dengan jenasah Siau-tiap? Sudah dikirim ke rumah perdamaian.

Nyoo Cing mulai meraba ujung hidungnya, setiap kali berjumpa dengan permasalahan yang tidak terpecahkan, dia akan selalu meraba ujung hidung sendiri. Untuk membina seorang kader jagoan macam Siautiap, bukankah butuh banyak waktu, tenaga dan uang? dia bertanya. Benar. Setelah bersusah payah membina seorang jagoan macam begini, kenapa secara tiba-tiba perkumpulan Cing Liong Hwee mematikan peranannya? Rahasia identitasnya sudah terbongkar, dia sudah tidak memiliki nilai untuk dipergunakan lagi, kata Tay Thian, Bagi organisasi semacam Cing Liong Hwee, sudah pasti dia akan membungkam mulut kadernya yang sudah tidak berguna. Sebetulnya tidak harus bertindak sekeji itu, gumam Nyoo Cing, kalau bisa membunuhnya, seharusnya bisa juga untuk selamatkan dirinya, lagipula Siau-tiap adalah seorang jagoan berbakat yang banyak kegunaannya. Tay Thian tidak menjawab, rupanya dia sedang termenung, alis matanya berkerut kencang, keraguan dan rasa sangsi menyelimuti perasaan hatinya. ..... Sekalipun identitas Siau-tiap sudah terbongkar, tidak seharusnya gadis itu dibunuh.

..... Hingga detik terakhir, dia sama sekali tidak membongkar rahasia perkumpulan naga hijau, dia pun tidak menunjukkan sikap akan berkhianat, kenapa orang-orang Cing Liong Hwee justru menghabisi nyawanya? .....Apakah pihak perkumpulan naga hijau tidak berkemampuan untuk menyelamatkan dirinya dari dalam istana raja muda? Mustahil, mana mungkin ada pekerjaan yang tidak mampu mereka laksanakan? ... Kenapa? Kenapa perkumpulan naga hijau harus membunuh Siau-tiap? Jelas dibalik semua peristiwa ini masih tersimpan rahasia lain yang tidak diketahui orang. Belum pernah pihak perkumpulan naga hijau melakukan pengorbanan secara percuma, apalagi manusia macam Siau-tiap merupakan manusia berbakat yang bisa diandalkan, kata Nyoo Cing, sudah pasti mereka berbuat demikian karena mereka punya alasan yang jelas, pasti mereka mempunyai maksud tujuan tertentu. Setelah berpikir sejenak, sesaat kemudian kembali ia berkata, Disamping itu, ada satu hal lagi membuat aku keheranan. Soal apa? Ketika masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, apa julukan Lo Kay-sian? Si pendekar pedang kerinduan!

Kendatipun sudah dua puluh tahun dia tinggalkan dunia persilatan, sekalipun orang lain belum tentu mengetahui taraf kepandaian silat yang dimilikinya, tapi kita berdua toch tahu sangat jelas, ujar Nyoo Cing, Kalau mesti bertarung beneran, belum tentu kita berdua sanggup merobohkan dirinya dalam lima puluh gebrakan. Tay Thian manggut-manggut tanda sependapat. Tapi menurut kakek Tan si penjual bakmi, Lo Kay-sian cepat sekali menemui ajalnya, ujar Nyoo Cing lebih jauh, Begitu kakek penabuh rebab bersenar tiga membuka buntalannya, belum lagi bertarung sebanyak tiga gebrakan, kepala Lo Kay-sian telah berpisah dari tengkuknya. Bahkan tidak sampai tiga gebrakan. Mungkin saja kait perpisahan akan memancarkan kehebatannya dikala berada ditanganku, bila terjatuh ke tangan orang lain, paling banter senjata tersebut hanya sebilah senjata berbentuk aneh, kenapa Lo Kaysian tidak bisa bertahan lebih dari tiga gebrakan? Mungkin si kakek penabuh rebab bersenar tiga pun menguasai ilmu silat rahasia mu? Tidak mungkin! kata Nyoo Cing, Setelah ayahku berhasil mempelajari jurus serangan kait perpisahan, dia telah memusnahkan kitab pusaka tersebut, tidak mungkin di kolong langit terdapat orang kedua yang

sanggup menggunakan jurus serangan dari kait perpisahan. Nyoo Cing mengalihkan pandangan matanya ke luar jendela, mengawasi rembulan yang ada di angkasa, lama, lama kemudian ia baru berkata lagi, Jika masih ada orang kedua yang mampu menggunakan jurus serangan tersebut, maka orang itu pastilah dia! Dia? berbinar sorot mata Tay Thian, Maksudmu Ti Cing-ling? Benar! Kakek penabuh rebab bersenar tiga adalah penyamaran Ti Cing-ling? Rasanya hanya kemungkinan ini yang bisa menjelaskan kenapa Lo Kay-sian menemui ajalnya secepat itu. Kakek penabuh rebab bersenar tiga yang peyot lagi tua itu adalah si bangsawan ganteng Ti Cing-ling? Tiba tiba Nyoo Cing bertanya kepada Tay Thian, Bukankah Cu congkoan mempunyai seorang saudara jauh yang sangat mahir dalam masalah obat obatan dan ramuan obat? Benar, sahut Tay Thian, Orang itu bernama Cu Hayjing, berusia tiga puluh dua tahun, bukan saja mahir dalam masalah obat-obatan dan ramuan, dia pun sangat ahli dalam soal obat beracun, dia mampu

mengenali dan membedakan setiap jenis racun yang dijumpai. Bagus sekali! Nyoo Cing segera mengeluarkan bungkusan berisi obat yang disembunyikan dibawah bantalnya itu dan diserahkan ke tangan Tay Thian. Suruh Cu Liok berangkat malam ini juga, minta tolong saudara jauhnya itu untuk melacak apa isi dari bubuk obat yang ada dalam bungkusan ini. Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, Suruh Cu Liok menunggu, begitu peroleh hasil, segera balik untuk memberi laporan. Baik. Awas, jangan sampai ada orang ketiga yang tahu. Baik. Sepeninggal Tay Thian, Nyoo Cing baru merasakan hatinya lega, diapun mulai kantuk dan tidak lama kemudian sudah terlelap tidur. Menjelang fajar. Setitik cahaya terang mulai muncul di ufuk timur, sebentar lagi langit akan mendusin dari tidurnya, tapi suasana di dalam kota kecil itu masih amat sepi, para penghuninya masih terlelap dalam tidur yang nyenyak.

Ketika Cu Liok tiba di kota kecil itu, sudah ada dua tiga rumah yang dapurnya mulai mengepul asap, beberapa ekor anjing terlihat bergerombolan disudut jalan. Rumah saudara jauhnya berada di selatan kota, dalam sebuah lorong disudut jalan besar. Didalam lorong itu, sebagian besar bangunan rumah sudah berdinding batu bata, hanya rumah saudara jauhnya merupakan satu satunya rumah yang terbuat dari bambu. Mengawasi bangunan rumah dari bambu itu cu Liok gelengkan kepalanya berulang kali. Saudara jauhnya ini pandai dalam semua hal, wataknya pun tidak terhitung jelek, sayang dia mempunyai sebuah penyakit, tidak suka tinggal di rumah yang terbuat dari bata. Dia beranggapan, tinggal dalam rumah berbatu bata serasa tinggal dalam ruang penjara, bisa mendatangkan perasaan tertekan, tidak bebas dan susah napas. Berbeda bila tinggal di rumah bambu, selain tembus angin, bermanfaat pula bagi kesehatan badan. Cu Liok masih ingat, dulu sebelum fajar menyingsing, biasanya Cu Hay-jing sudah mempersiapkan peralatanya, siap naik ke gunung untuk mencari daun obat.

Kini langit belum terang, pintu rumah bambu pun masih tertutup rapat, mungkinkah penghuninya belum bangun dari tidurnya? Cu Liong mendekati pintu bambu, lalu serunya keras keras, Tabib Cu, tabib Cu! Seperminum teh kemudian baru kedengaran ada orang bangun dari tidurnya. Siapa disitu? Kenapa datang pagi-pagi? Apakah terserang angin duduk? Piauko, aku yang datang! Cu Liok! Pintu bambu terbuka dan muncul seorang lelaki setengah umur yang masih terkantuk-kantuk, sambil mengucak matanya dia awasi Cu Liok sekejap, kemudian dengan wajah berseri ia baru berseru, Cu Liok? Benar aku, sahut Cu Liok gembira, Piauko, sudah lama kita tidak bersua! Masih untung cawan yang ada di rumah piauko bukan terbuat dari bambu, Cu Liok mengangkat cawannya dan meneguk satu tegukan teh panas. Piaute, kedengarannya hidupmu dalam berapa tahun terakhir bertambah makmur? Aaah, siapa bilang? sahut Cu Liok sambil menatap sekejap wajah kakak misannya, Tidak seperti kau, Cu

Hay-jing, tabib Cu, anak kecil berusia tiga tahun pun pasti tahu! Hahahaha... sudah tua... Cu Hay-jing tertawa tergelak, eeh.. ada urusan apa sepagi ini kau datang mencari aku? Aaah, hanya satu urusan kecil! Ada apa? Dua hari lalu iparmu merasa kepala pusing dan tubuh lemas, akupun datang ke toko obat It-sim-tong untuk beli obat, tapi setelah minum obat tersebut keadaannya bertambah parah. Panasnya lebih tinggi? Bukan, dia malah berak-berak! jawab Cu Liok cepat, Tentu saja akupun minta pertanggungan jawab dengan pihak kamar obat, tapi mereka ngotot bilang resep obat itu untuk pusing kepala, padahal aku sama sekali tidak paham soal obat obatan, dalam jengkelnya tiba-tiba aku teringat dengan piauko. Mana obatnya? Dari dalam saku Cu Liok segera mengeluarkan bungkusan obat yang diserahkan Tay Thian kepadanya itu.

Cu Hay-jing menerima bungkusan itu, membukanya dan mengendus sebentar, kemudian dia ambil sebutir obat, setelah diremas hancur, dicicipinya diujung lidah. Aaah, ini mah campuran daun Ok-put-si-cau dengan Kau-kan-cay ditambah sedikit rumput pencegah angin yang dicampur sedikit madu, kata Cu Hay-jing menjelaskan, Biasanya dipakai untuk mengobati tulang retak, tapi ada kasiatnya juga untuk mengobati sakit kepala atau turunkan panas. Sungguh? Tapi kenapa berak terus? Atau... mungkin obat itu ada racunnya? Semua orang yang tahu tentang obat-obatan pasti bisa membeli bahan obat semacam ini di rumah obat. Berarti sakit perutnya iparmu bukan lantaran obatobatan ini? Bukan. Waah, kalau begitu aku telah salah menuduh orang. Cu Hay-jing tertawa, dia bungkus kembali obat itu dan diserahkan kepada Cu Liok. Buru buru Cu Liok menyimpan bungkusan obat tadi, berpamitan dan perlahan lahan meninggalkan lorong. Waktu itu fajar baru menyingsing, terlihat ada berapa orang penduduk kota mulai berlalu lalang. Tanpa

membuang waktu lagi Cu Liok melompat naik ke atas kudanya, karena terburu-buru dia baru teringat tangan kirinya masih memegangi bungkusan obat itu, sambil tertawa dia segera masukkan bungkusan itu ke dalam saku kemudian baru melarikan kudanya meninggalkan tempat itu. Belum berapa kaki dia pergi, mendadak dia seperti teringat akan sesuatu, tubuhnya kontan jadi kaku, wajahnya berubah sangat hebat, diawasinya tangan kiri sendiri dengan tertegun. Tangan kiri. Sejak kecil Cu Hay-jing sudah gemar memanjat pohon, suatu hari ketika berusia sepuluh tahun, dia terjatuh dari atas pohon hingga patah tangan kanannya. Sejak itu dia hanya bisa melakukan kegiatan sehari harinya dengan tangan kiri, bahkan sewaktu makan pun dia harus menggunakan tangan kirinya. Tapi Cu Liok masih ingat, orang itu mengerjakan semua hal dengan tangan kanannya, menerima bungkusan obat, membuka bungkusan, meremuk obat, semuanya menggunakan tangan kanan. Mana mungkin Cu Hay-jing bisa melakukan semua pekerjaannya dengan tangan kanan? Apakah tangan kanannya sudah sembuh?

Tanpa terasa Cu Liok berpaling dan sekali lagi menengok ke arah bangunan bambu dalam lorong. Ketika Cu Liok masuk kembali ke rumah bambu itu, dia benar benar dibuat bodoh, bukan saja terperangah, bahkan sorot matanya mengawasi sekeliling ruangan dengan pandangan orang tolol. Kursi bambu yang baru saja diduduki, kini hilang tidak berbekas, yang tersedia kini adalah sebuah bangku yang terbuat dari kayu. Cawan air teh yang sebelum meninggalkan ruangan masih tergeletak di meja, sekarang ditempat yang sama terletak sebuah vas bunga seruni yang besar. Bukan Cuma itu saja, pada hakekatnya semua perabot, semua dekorasi yang ada dalam ruangan itu sudah berubah sama sekali. Jangan-jangan dia salah masuk ke rumah orang, atau sedang bermimpi buruk? Cu Liok dengan perasaan tidak percaya mencoba meraba bangku kayu itu, dengan perasaan ragu ragu ia mencoba untuk mendudukinya. Mana mungkin bisa terjadi hal seperti ini? Mengapa hanya di dalam waktu singkat, segala sesuatu yang ada disini telah berubah? Ke mana perginya Cu Hay-jing? Sudah kabur ke mana orang itu?

Jangan jangan dia sudah dicelakai orang? Berpikir sampai disitu, dengan perasaan terkesiap Cu Liok segera menerjang masuk ke ruang dalam, tapi kembali dia dibuat tertegun. Dari dalam kamar muncul seorang gadis muda, sebetulnya si nona sedang berjalan keluar dengan wajah berseri, tapi begitu melihat kehadiran Cu Liok, rasa gembiranya segera berubah jadi ketakutan. Dengan penuh ketakutan gadis itu mengawasinya, serunya gemetar, Si... siapa kau Kenna... kenapa bisa berada di kamarku? Mau.... mau apa kau? Aku... dalam keadaan begini Cu Liok tidak tahu mesti bicara apa, dia hanya berdiri bodoh ditempat, mengawasi nona itu dengan pandangan goblok. Agaknya tampang Cu Liok tidak mirip orang jahat, sesaat kemudian si nona sudah tidak setakut tadi lagi, agak ragu tegurnya, Apakah kau.....kau tidak salah masuk rumah orang? Tampaknya memang begitu, jawab Cu Liok sambil tertawa getir. Yaa, dalam keadaan begini dia memang hanya bisa tertawa getir. Bayangkan saja, jika anda yang mengalami kejadian seperti ini, kecuali tertawa getir, apa lagi yang bisa kau perbuat?

Tiba tiba gadis itu tertawa cekikikan. Tadi, kusangka kau adalah perampok! serunya. Mana ada perampok yang begitu goblok macam aku? Memang tidak ada, sahut si nona sambil tertawa, Apakah kau datang mencari seseorang? Benar, bukankah rumah ini milik tabib Cu? Tabib Cu? Apakah Cu Hay-jing yang kau maksud? Benar, sahut Cu Liok, Apakah dia ada dirumah? Tentu saja ada di rumah. Boleh aku bertemu dengannya? Kalau itu mah aku tidak bisa berbuat apa-apa! Kenapa? Dia memang ada di rumah, tapi aku tidak tahu di mana rumahnya, jawab nona itu sambil tertawa, Kalau aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya, mana mungkin bisa kuundang dia keluar? Apa? Dia.... dia tidak tinggal di sini? seru Cu Liok tertegun. Dulu disini, tapi sekarang tidak! Sekarang tidak disini? gumam Cu Liok.

Benar. Kau tinggal disini dengan siapa? Sudah berapa lama kalian pindah kemari? Hampir lima tahun, aku tinggal bersama nenekku. Semalam kalian tidak pernah meninggalkan tempat ini? Jangan lagi semalam, sejak lima tahun berselang kami tidak pernah meninggalkan tempat ini. Pagi tadi jam berapa kalian bangun dari tidurmu? Pagi sekali, karena hari ini adalah ulang tahun nenekku, maka aku bangun lebih awal. Dan selama ini tidak pernah meninggalkan rumah? Benar. Wah, kalau begitu aku benar benar telah salah masuk, kata Cu Liok sambil tertawa getir. Terkadang setiap, orang bisa melakukan kesalahan yang tidak disengaja, kau tidak perlu bersedih hati, hibur gadis itu sambil tertawa, Setelah sampai disini, bagaimana kalau makan dulu sebelum pergi, hari ini aku memotong seekor ayam. Tidak usah, terima kasih banyak atas penawaranmu, aku masih banyak urusan, lain kali saja akan berkunjung kembali.

Selesai berkata dia membalikkan badan siap beranjak pergi, mendadak ujung matanya menemukan sesuatu benda yang terasa amat dikenalnya, benda itu berada diatas meja bambu. Dengan satu gerakan cepat dia lari ke depan meja, menjepit benda yang tergeletidak disitu kemudian tertawa. Dia tertawa sangan riang. Benda yang ditemukan Cu Liok dari meja bambu itu tidak lain adalah bubuk obat yang diremukkan Cu Hayjing tadi. Semestinya kau sudah berada dalam perjalanan menuju ke rumahmu, kata nona itu kemudian sambil menatap wajah Cu Liok. Rasanya memang seharusnya begitu. Sebenarnya kesalahan apa yang telah kami perbuat hingga kau bisa menaruh curiga? Kesalahan kalian hanya terletak tidak terlampau paham akan diri Cu Hay-jing, Cu Liok menerangkan, Aku tidak tahu darimana kau bisa tahu kalau aku akan datang kemari, semua yang kalian atur disini meski cermat dan bagus, sayang kurang sempurna, aku tidak menyangka orang yang menyamar sebagai Cu Hay-jing pun mirip sekali dengan Cu Hay-jing. Ditatapnya gadis itu sekejap, kemudian lanjutnya, Bukan hanya gerak-geriknya, cara berbicara maupun gayanya memang mirip dengan Cu Hay-jing, nyaris aku

berhasil kalian kelabuhi. Tapi sayang, kalian telah teledor memperhatikan satu gerakan Cu Hay-jing yang normal baginya tapi tidak normal bagi orang pada umumnya. Apa itu? Waktu kecil piaukoku pernah patah tangan kanannya, meskipun telah diobati namun belum sembuh seratus persen, oleh sebab itu dalam melakukan pekerjaan apa pun, dia selalu menggunakan tangan kirinya. Gadis itu balas menatap Cu Liok, ujarnya tiba tiba, Keteledoran kami akan menjadi kesialan bagimu! Mimik muka Nyoo Cing sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apapun. Benar-benar tidak menunjukkan perubahan apapun. Dia hanya berbaring diatas ranjang, sementara sorot matanya mengawasi Tay Thian dengan termangu. Jenasahnya dijumpai sore tadi di lembah Hui-yasan, ujar Tay Thian dengan wajah tanpa perasaan, Kudanya si arak tua, tergeletak pula disamping tubuhnya. Arak tua adalah nama kuda, seekor kuda jempolan, seekor kuda yang mampu berlari cepat. Dengan kekuatan larinya, sebelum tengah hari seharusnya dia sudah tiba di rumah? tanya Nyoo Cing hambar.

Benar! Walaupun bukit Hui-ya-san amat curam dan berbahaya, sudah beribu kali Cu Liok melewati tempat itu, mengapa dia bisa terpeleset hingga jatuh ke dalam jurang? Semalam dia berangkat dengan menunggang si arak tua, menjelang fajar sudah tiba di tempat tujuan, kata Tay Thian, Tapi satu jam kemudian, ada orang melihat dia bersama seorang lelaki dan dua orang wanita minum arak di dalam kedainya janda Ciu. Kemudian? Menurut janda Ciu, mereka berempat minum hampir satu jam lamanya, kemudian setelah membayar rekening mereka pun berangkat menuju ke timur. Menuju ke timur? seru Nyoo Cing, Bukankah arah itu menuju ke desa Hohan? Benar, setibanya di desa Hohan, mereka berdua masing-masing membawa seorang wanita masuk ke dalam kamar losmen. Kemudian? Kemudian? Sudah tidak ada lagi! Tidak ada?

Sejak masuk ke dalam losmen hingga jenasahnya ditemukan di dasar jurang, tidak seorangpun tahu kabar beritanya lagi. Kalau Tay Thian sudah mengatakan tidak seorangpun, berarti dalam kenyataan tidak mungkin ada orang tahu jejaknya lagi. Bagaimana dengan bungkusan obat itu? Masih berada didalam sakunya, hanya salah satu obatnya sudah diremuk orang. Apa mungkin dia kebanyakan minum arak hingga susah mengendalikan diri dan terpeleset jatuh ke dalam jurang? Kalau ditinjau dari situasi yang ada, semestinya memang begitu ceritanya, apa perlu kukirim bungkusan obat itu ke tempat lain...... Tidak perlu, tidak menunggu Tay Thian menyelesaikan perkataannya Nyoo Cing telah menukas, Aku berani jamin, obat yang berada dalam bungkusan itu pasti hanya berisi obat penambah darah. Kemudian dia bertanya lagi, Apakah Cu Hay-jing masih hidup? Entahlah, tapi yang pasti dia sudah tidak tinggal di rumah bambu lagi, sudah pindah sejak lima tahun berselang, tidak seorangpun yang tahu ia sudah pindah ke mana!

Nyoo Cing kembali menarik batang hidungnya dengan tangan kiri. Tay Thian tahu, lagi lagi ia sedang memikirkan persoalan itu, setiap kali Nyoo Cing sedang menarik hidungnya, lebih baik kau jangan mengusik ketenangan hatinya. Lama, lama kemudian, akhirnya Nyoo Cing menghentikan juga perbuatannya. Bagaimana dengan si arak tua? Apakah mati juga karena terpeleset? tanya Nyoo Cing. Benar, kuda itu mati disamping Cu Liok. Berapa selisih jarak antara mereka berdua? Tidak tercantum dalam laporan. Tapi begitu perkataan itu diucapkan, sepasang mata Tay Thian segera berbinar, serunya lagi, Sekarang juga aku akan ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan. Soal ini penting sekali. Aku tahu. Semula Tay Thian memang tidak terlalu perhatian, tapi sekarang dia sadar kalau hal tersebut merupakan sebuah keteledoran. Bila dia bisa memperhitungkan jarak antara bangkai kuda dengan jenasah Cu Liok, kemudian ditambah

dengan jarak ketinggian tebing maka denga cepat bisa diketahui apakah mereka terpeleset sendiri ataukah memang sengaja dilemparkan orang ke dalam jurang. Moga-moga saja masih sempat, Nyoo Cing menghela napas panjang. Sekarang juga akan kulaksanakan. Tidak ada gunanya berangkat ditengah malam buta, perkiraanmu bisa meleset. Kalau begitu aku segera akan berangkat setelah terang tanah nanti... Yang betul berangkat ditengah malam dan tiba disitu persis disaat fajar telah menyingsing, Nyoo Cing menambahkan. Baik. Apa yang akan kau lakukan dengan bangkai si arak tua dan jenasah Cu Liok? Silahkan memberi perintah, Nyoo Cing tertawa. Kalau tidak ada orang lain, kau tidak usah bersikap resmi, katanya. Baik. Kalau begitu serahkan saja kepada Siau tua! Aaah, cocok dengan jalan pikiranku.

BAB 3. Jarum Pembetot sukma Langit dan Bumi.

Tahun ini lo-Siau atau si Siau tua telah berusia tujuh puluh tiga tahun. Orang tua yang dihari hari biasa mirip seorang kakek rentan yang hampir masuk peti mati, begitu ada pekerjaan yang harus dilakukan, Dia sama sekali berubah, berubah jadi lebih bersemangat, bahkan gerak-geriknya mirip seorang lelaki yang baru berusia empat puluh tahunan, berubah menjadi seorang ahli. Lo-Siau bernama Siau Pek-cau, dia adalah seorang yang sangat ahli melakukan pembedahan jenasah. Ia tinggal disebuah rumah yang berjarak dua gang dari penjara besar, tempat tinggalnya merupakan juga tempatnya bekerja. Pekerjaan utamanya adalah membedah jenasah. Oleh sebab itu tempat tinggalnya tidak banyak dikunjungi orang luar. Di siang hari saja jarang ada yang singgah, apalagi ketika malam telah menjelang tiba, yang tersisa hanya deruan angin yang berhembus kencang. Kini malam sudah menjelang tiba, angin malam berhembus sangat kencang. Kecuali suara angin,

suasana amat hening, sepi, tidak kedengaran sedikit suara pun. Jenasah Cu Liok sudah tiba di rumah lo-Siau, diletakkan diatas meja altar berbentuk panjang. Wajah lo-Siau yang semula nampak kelelahan, murung dan kesepian, dengan cepat berubah jadi lebih bersemangat, dia sedang mengawasi jenasah Cu Liok yang tergeletidak dihadapannya. Dia adalah seorang yang sangat baik, kata lo-Siau dengan suara yang berduka, seringkali dia membawa arak ditengah malam dan datang mencariku, aku sangat tahu maksud kedatangannya, dia bukan mencari aku untuk menemaninya minum, tapi dia memang khusus datang untuk menemani aku. Tay Thian mendengarkan, dia hanya mendengarkan. Tahukah kau, setelah orang seusia ku, apa yang paling ditakuti? Tidak menanti Tay Thian memberi jawaban, Dia sudah menjawab duluan. Kesepian, kata lo-Siau lebih jauh sambil tertawa getir, biasanya yang menemani kami hanya kesepian. Seakan akan setiap orang yang sudah menjadi tua hanya sebuah barang pajangan. ..... Kesepian, memang merupakan sebuah ketidak berdayaan didalam kehidupan.

Semakin besar usia seseorang, semakin sedikit teman yang dimiliki, bahkan aku tidak memiliki walau seorangpun, ujar lo-Siau lebih jauh dengan wajah kesepian, yaa, bicara sejujurnya, siapa sih yang sudi bergaul dengan seorang kakek yang setiap saat hanya bergumul dengan mayat? Ini memang sebuah kenyataan, sebuah kesedihan bagi seseorang yang bertugas sebagai petugas autopsi. Kesedihan semacam ini merupakan kesedihan yang merasuk ke dalam tulang, merupakan sebuah kesepedihan yang menunjukkan ketidak berdayaan. Usia makin tua, hidup makin kesepian, semakin hidup kesepian makin susah untuk tidur malam, lo-Siau kembali menatap jenasah Cu Liok, oleh sebab itu hanya dia yang sering datang menemani aku, minum arak hingga fajar, bahkan terkadang aku pun diajak makan siang bersama, makan di rumah makan....... Dia mulai meraba rambut Cu Liok. Coba kau lihat, rambutnya masih hitam, tidak seperti aku, telah beruban semua, katanya, Aaai, hidup manusia memang bagai awan putih yang bergerak di angkasa... Dia bungkukkan tubuh, mengeluarkan sebuah tas kulis dari bawah altar, lalu dibukanya. Dalam tas itu penuh berisikan pelbagai peralatan bekerja serta botol-botol

yang berbentuk aneh, dalam botol-botol itu berisikan aneka ragam bubuk obat. Kemudian dia mulai membuka kelopak mata Cu Liok dan memeriksanya sekejap, setelah itu kembali gumamnya, Aku tidak menyangka suatu saat bakal mengautopsi tubuhmu. Lo-Siau, kau masih bisa mengendalikan diri? tegur Tay Thian kuatir. Memang inilah pekerjaanku, tidak nanti aku jadi begitu lemah sehingga tidak sanggup menggerakkan pisauku. Lo-siau mengambil sebatang pisau yang tipis sekali, kembali ujarnya, Terlepas apa penyebab kematianmu, asal pernah kulihat sebelumnya, aku yakin tabir kematiannya pasti dapat kusingkap! Sebilah pisau yang tipis, harus berada dalam genggaman sebuah tangan yang mantap. Pisau itu sangat tajam, dibawah kendali jari tangan yang lincah, memancarkan cahaya putih yang menyilaukan mata. Mata pisau mulai membelah, kulit dan daging mulai teririt, cairan darah mulai meleleh keluar. Darah berwarna hitam! Meski belum membeku, paling tidak sudah hampir menggumpal. Tempat yang diiris loSiau dengan pisaunya adalah kaki Cu Liok yang patah.

Tidak lama kemudian tulang kakinya yang remuk pun kelihatan. Sekalipun disekeliling ruangan penuh disinari cahaya terang, tidak urung Tay Thian merasakan seram juga, dia merasa udara didalam ruangan itu dipenuhi bau busuk mayat yang mulai menyengat dicampur bau harumnya pelbagai obat obatan, campuran bau itu menciptakan sejenis bau yang tidak terlukiskan dengan kata. Jika bukan seseorang yang sudah terbiasa dengan suasana macam begini, mungkin dia akan dibuat ngeri oleh bau aneh yang menyelimuti tempat tersebut. Bau ngeri semacam ini baru pertama kali dirasakan Tay Thian, membedah tubuh mayat pun baru pertama kali ini dia saksikan, perasaan ngeri dan muak membuat dia sudah berpaling ke arah lain. Satu jam sudah lewat, duajam sudah lewat. Walaupun malam itu adalah malam di akhir musim gugur, walaupun udara terasa sangat dingin, butiran keringat telah membasahi jidat Tay Thian. Pakaian yang dikenakan lo-siau pun sudah basah kuyup oleh keringat. Maka udara dalam ruangan pun bertambah lagi dengan sejenis bau, bau busuk keringat! Kalau boleh, ingin sekali Tay Thian keluar dari ruangan itu untuk menghirup udara segar diluaran sana. Tapi dia tidak berani melakukan hal terseut, diapun tidak bisa.

Kini, masalahnya sudah mencapai taraf yang paling penting, sedikit saja melakukan kesalahan bisa berakibat semua urusan jadi berantakan, dia tidak ingin terjadi hal seperti ini, bagaimana caranya dia memberi pertanggungan jawab kepada Nyoo Cing nanti? Kebetulan lo-Siau telah menghentikan pekerjaannya waktu itu. Sudah ditemukan penyebab kematiannya? buru buru Tay Thian bertanya. Dia sudah tewas sebelum terpeleset jatuh ke dalam jurang, kata lo-Siau dengan wajah lusuh. Itu berarti jenasahnya dilempar orang ke dalam jurang? Benar, lo-Siau manggut-manggut, Dia mati karena keracunan! Terkena racun apa? Tidak tahu. Tidak tahu? Tenggorokannya tidak menunjukkan gejala yang aneh, ini berarti racun tersebut bukan masuk melalui kerongkongannya. Kalau bukan masuk melalui kerongkongan, berarti disambit dengan senjata rahasia, kata Tay Thian, Apakah sudah ditemukan mulut luka yang lain?

Belum, kecuali luka tulang patah akibat terlempar ke dalam jurang, tidak ditemukan mulut luka lainnya. Mungkin tidak masuk melalui pori pori kulit tubuh? mendadak Tay Thian teringat dengan gejala kematian yang ditemukan di tubuh Tu Bu-heng. Tidak mungkin! sahut lo-Siau pasti, Bila racun itu masuk melalui pori-pori kulit tubuh, maka diatas permukaan tubuhnya akan ditemukan pertanda yang jelas. Berarti kau tidak berhasil menemukan penyebab kematiannya? Pasti bisa ditemukan, toch aku belum membedah isi perutnya. Kau akan mengeluarkan isi perutnya? Benar, bahkan harus, jika dalam isi perutnya tidak ditemukan gejala yang mencurigakan, aku akan membedah otaknya. Bila dalam otak pun tidak ditemukan sesuatu hasil, tempat mana lagi yang akan dibedah? Lo-Siau kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Usus, lambung, hati, jantung, paru paru sudah dikeluarkan semua dari rongga badan dan dikumpulkan jadi satu, saat ini lo-siau sedang memeriksa bagian usus.

Setelah semua isi perut dibongkar dan dikeluarkan dari rongga tubuhnya, sanggupkah lo-Siau untuk mengembalikan lagi seperti keadaan semula? Bukan setiap manusia mempunyai kesempatan untuk melihat isi perut seseorang, bagi Tay Thian, kejadian ini terhitung sebuah keberuntungan. Tapi, siapakah yang mengharapkan keberuntungan macam begini? Dalam waktu singkat seluruh isi perut sudah selesai diperiksa, tapi jawabannya tetap nihil. Maka lo-Siau pun mulai membedah tengkorak kepala Cu Liok dan mengeluarkan isi otaknya. Pemandangan yang terpapar dihadapannya sekarang jauh lebih mengerikan, jauh lebih memuakkan, Tay Thian semakin tidak berani mengikutinya jalannya pembedahan, bahkan nyaris ayam ca mete yang disantapnya malam tadi menyembur keluar saking muaknya. Dia benar benar merasa kagum dengan kemampuan Siau Pek-cau, membedah mayat manusia macam menggorok seekor ayam saja, apalagi korban yang harus dia kerjakan malam ini adalah sahabat karibnya, andaikata dia yang harus melakukan pekerjaan tersebut, Tay Thian sadar, dia tidak nanti sanggup melakukannya.

Waktu berlalu tanpa terasa, akhirnya lo-Siau menghembuskan napas lega, dia letakkan kembali pisau bedahnya, peluh telah membasahi seluruh tubuhnya, wajah yang kelihatan sangat penat membuat punggungnya nampak semakin membengkok... bagaimana pun dia memang seseorang yang sudah tua. Dengan pandangan mata yang luruh ditatapnya wajah Tay Thian sekejap, kemudian ujarnya, Aku telah menemukan tiga buah lubang jarum yang sangat kecil diatas tempurung kepalanya. Seberapa kecil? Lebih kecil dari jarum jahit, ujar lo-Siau sambil duduk, Aku harus memeriksa sebanyak tiga kali sebelum berhasil menemukan ketiga mulut jarum itu. Lebih kecil dari jarum jahit? Tay Thian termenung sejenak, Senjata rahasia apa itu? Tidak ditemukan racun pada senjata rahasia tersebut, jarum-jarum itu menembusi ubun-ubun cu Liok dan langsung menembusi otak besarnya, Lo-Siau menerangkan, Waktu itu Cu Liok pasti mati seketika, mati tanpa terasakan penderitaan sedikitpun. Kalau ada mulut jarumnya, berarti pasti ada senjata rahasianya, di mana senjata rahasianya? Ini dia, disini! kata lo-Siau sambil merentangkan tangan kirinya.

Benar juga, ternyata jarum itu sangat lembut lagi kecil, ketiga batang jarum itu semuanya memancarkan sinar kebiru biruan yang sangat tawar. Tidak mungkin senjata rahasia selembut ini dilancarkan dengan tangan. Benar, jarum-jarum itu pasti disambit dengan menggunakan semacam alat. Tay Thian telah pergi, pergi sambil membawaketiga batangjarum lembut itu. Isi perut Cu Liok sudah dimasukkan kembali ke tempat asalnya, mulut luka pun sudah dijahit kembali. Siau Pekcau duduk seorang diri sambil mengawasi j enasah Cu Liok yang masih berbaring diatas meja altar. Jarum selembut itu dilepaskan dengan alat apa? bagaimana bisa menembusi kulit tengkorak yang keras? Diantara bayangan yang bergerak diluar jendela, tiba-tiba terdengar seseorang menyahut dengan nada dingin, Disambit dengan kotak pembetot nyawa, ketiga batang jarum itu adalah jarum pembetot nyawa langit dan bumi! Saat itu langit sudah hampir terang tanah, namun belum seratus persen terang. Kabut masih menyelimuti seluruh udara, kabut yang sangat tebal.

Kabut membuat langit serasa membeku, udara terasa dingin menggigilkan tubuh. Kabut menyelimuti pula pepohonan, tanah rumput dan jalanan kecil, membasahi juga rambut, alis mata dan pakaian yang dikenakan Cong Hoa. Saat itu Cong Hoa sedang duduk diatas tanah, duduk persis dihadapan kuburan Lo Kay-sian. Tempat itu adalah belakang bukit Pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek, yaitu taman yang khusus disiapkan pesanggrahan pengobatan sebagai tempat pekuburan. Sebelum fajar menyingsing, Cong Hoa telah membawa arak datang ke situ, kemudian diapun minum arak didepan kuburan Lo Kay-sian. Setiap kali meneguk satu cawan, dia pun menyiram kuburan Lo Kay-sian dengan secawan arak juga. Waktu berlalu detik demi detik, arak yang disiramkan keata permukaan tanah telah menguap, semangat yang berada dalam rongga dada Cong Hoa pun semakin berkobar. Tidak lama kemudian, tiga botol arak yang dibawanya telah habis diteguk, setengahnya masuk ke dalam perut Cong Hoa, dan setengahnya lagi dituang diatas tanah pekuburan. Cong Hoa telah bangkit berdiri, selesai membersihkan pasir yang melekat ditubuhnya, dia berpaling ke arah batu nisan yang bertuliskan: Disini disemayankan Lo

Kay-sian, kemudian ujarnya sambil tertawa, Lo Kaysian, hari ini kita minum sampai disini dulu, masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan, lain waktu akan kutemani dirimu lagi. Batu nisan tidak menjawab, pun tidak bersuara, tapi dari alam yang luas kedengaran ada suara. Suara itu datang dari jalan bukit nun jauh didepan sana. Suara nyanyian orang, membawakan lagu rakyat yang jenaka, paling tidak ada dua orang sedang nyanyi bersama. Siapa yang sepagi ini membawakan lagu rakyat keras keras? Apakah mereka pun membawa perasaan yang sama seperti apa yang dirasakan Cong Hoa sekarang? Di situ merupakan tanah pekuburan, tempat orang mengenang kembali sanak keluarganya yang telah tiada, mengapa mereka malah membawakan lagu rakyat yang bertema jenaka? Dengan cepat pertanyaan itu diperoleh jawabannya. Ada empat orang lelaki dengan riangnya menggotong sebuah peti mati baru dan berjalan menuju ke bawah bukit, sambil berjalan mereka membawakan lagu dengan riangnya. Ternyata mereka adalah para petugas penggotong peti mati, tidak heran kalau lagu yang mereka nyanyikan begitu riang.

Cong Hoa tertawa sendiri, maklum kalau mereka masih berselera untuk menyanyi, ternyata yang mereka gotong bukan peti mati sanak keluarganya, bahkan sama sekali tidak ada hubungan dengan mereka. Selamat pagi teman teman, sepagi ini sudah mulai bekerja? sapa Cong Hoa sambil tertawa. Yaa selamat pagi, agar cepat masuk liang, biar segera bisa dititiskan kembali, sahut para kuli sambil menurunkan peti mati itu di sebuah liang kosong dan mulai mengambil peralatannya untuk menggali. Siapa yang kalian kubur kali ini? tanya Cong Hoa keheranan. Seorang nona, konon cantik sekali. Yaa, katanya dia adalah pengurus kebun di istana raja muda, datang dari negeri Hu-siang. Aaah! Rupanya Siau-tiap! Sambil tertawa Cong Hoa mengawasi peti mati yang berada dihadapannya. Terlepas semasa hidupnya dulu dia adalah seorang mata-mata atau seorang enghiong hohan, setelah mati, tubuhnya tidak lebih hanya seonggok tanah liat. Memang inilah yang dinamakan kehidupan! Cong Hoa gelengkan kepalanya berulang kali dan mulai meninggalkan tempat itu. Jalanan bukit itu sangat sempit lagi curam, aneh, kenapa jalanan menuju ke tanah pekuburan itu tidak

dibikin lebih lebar dan lebih datar sehingga lebih mempermudah para kuli penggotong peti mati menyelesaikan tugasnya? Sambil berpikir Cong Hoa melanjutkan perjalanannya. Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu dan segera menghentikan langkahnya. Para penggotong peti mati? Jalanan yang sempit dan curam? Cong Hoa segera berpaling kembali ke arah tanah pekuburan. Aneh, sungguh aneh, sewaktu menggotong peti mati mendaki ke jalanan yang curam tadi, mengapa ke empat orang itu tidak nampak kepayahan? Mungkinkah lantaran mereka sudah terbiasa menggotong barang berat? Tapi, paling tidak j enasah manusia akan lebih berat setelah menjadi jenasah bukan? Jangan jangan... Cong Hoa mengawasi tanah pekuburan itu dengan paras muka semakin serius. Aaaah, ini mah jarum pembetot sukma langit dan bumi, ujar Nyoo Cing sambil mengawasi ketiga batangjarum lembut itu. Jarum pembetot sukma langit dan bumi? ulang Tay Thian dengan wajah terkesiap, Maksudmu raja dari segala macam senjata rahasia, begitu disambit segera mencabut nyawa? Benar!

Aku dengar jarum pembetot sukma langit dan bumi diciptakan oleh seseorang yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat? Di dunia terdapat enam macam benda yang paling menakutkan, jarum pembetot sukma adalah satu diantaranya, Nyoo Cing menerangkan, Orang yang menciptakan senjata rahasia ini sesungguhnya masih termasuk keturunan dari seorang tokoh persilatan, dia bernama Ciu Sie-bin, waktu itu ayahnya termashur sebagai Lam-ouw-siang-kiam (sepasang pedang dari telaga selatan)! Tapi menurut apa yang kuketahui, orang yang menciptakan senjata rahasia itu sama sekali tidak pandai bersilat, kata Tay Thian, Sebagai putra dari sepasang pedang Lam-ouw-siang-kiam, mana mungkin dia tidak pandai bersilat? Apa yang saudara Tay dengar memang tidak salah, ujar Nyoo Cing sambil tertawa, Ciu Sie-bin memang tidak pandai bersilat, ini disebabkan sejak kecil dia sudah menderita sebuah penyakit aneh, tulangnya lemas hingga jangan lagi belajar silat, untuk bangkit berdiri pun tidak mampu. Tay Thian mendengarkan dengan seksama, dia sama sekali tidak menimbrung. Keluarga mereka terdiri dari lima bersaudara, Ciu Siebin menempati urutan ketiga, tapi kecerdasan otaknya jauh melebihi saudara saudara lainnya, Nyoo Cing

berkata lebih lanjut, Tapi sayang dia cacad badan, ketika melihat saudara lainnya berhasil memperoleh nama besar dalam dunia persilatan, otomatis diapun merasa sangat bersedih hati, maka diam-diam dia bersumpah akan melakukan suatu karya yang bisa menggetarkan seluruh kolong langit, agar tidak kalah dengan kemampuan saudara-saudara lainnya. Apakah ke empat bersaudara itu yang terkenal dalam dunia persilatan sebagai Kanglam-su-gie (empat persaudaraan dari Kanglam)? Benar! Ciu Sie-bin yang cacad badan sepanjang tahun hanya bisa membaca buku, tapi dasar otaknya memang amat cerdas lagipula dia memiliki sepasang tangan yang trampil, maka tidak heran kalau di setiap sudut ruangan tidurnya dilengkapi dengan pelbagai alat jebakan yang luar biasa. Waah, ruangan itu pasti sangat menarik hati! seru Tay Thian tertawa, Coba kalau tokoh sakti ini masih hidup, aku pasti akan berkunjung ke situ. Suatu tahun, dengan sebatang kayu dia menciptakan sebuah kotak rahasia, dia minta saudarasaudaranya untuk mencarikan seorang pandai besi yang bisa membuatkan sebuah kotak yang sama seperti contohnya. Waktu itu saudara saudaranya mengira dia sedang membuat mainan higga tidak terlalu diperhatikan, maka diundanglah seorang pandai besi yang ternama untuk datang ke rumah, tukang besi itu bernama 'Kiau Jiu-song'

Setelah berhenti sejenak, kembali Nyoo Cing melanjutkan, Hampir dua tahun lamanya Kiau-jiu-song berdiam di rumah Ciu Sie-bin, tidak banyak yang tahu apa yang sedang mereka kerjakan di dalam rumah, tapi setiap bulan Ciu sie-bin selalu mengutus orang untuk mengirim sejumlah uang kepada istri tukang besi itu, tidak heran kalau keluarga Kiau Jiu-song sama sekali tidak kuatir. Tampaknya bini Kiau Jiu-song tidak sadar kalau uang yang diterimanya itu sebetulnya adalah biaya untuk membeli nyawa suaminya, ujar Tay Thian sambil menghela napas. Benar, dua tahun kemudian begitu Kiau Jiu-song meninggalkan gedung itu, diapun roboh untuk tidak bangun kembali, konon mati lantaran kelelahan. Tapi bagaimana kejadian yang sesungguhnya tidak banyak diketahui orang. Apalagi nama besar keluarga Ciu dalam dunia persilatan waktu itu sangat tersohor, oleh sebab itu keluarga pandai besi itupun tidak berani melakukan penyelidikan. Si pandai besi Kiau Jiu-song menguasai tehnik pembuatan alat penembak senjata rahasia tersebut, untuk menjaga kerahasiaan alat tersebut tentu saja Ciu Sie-bin tidak akan membiarkan dia hidup terus, kata Tay Thian, Mungkin dialah orang pertama yang tewas terhajar jarum pembetot sukma langit dan bumi. Setelah lewat setengah bulan kemudian, tiba-tiba Ciu Sie-bin menyebar undangan dengan mengundang

semua jago senjata rahasia yang paling tersohor saat itu, kata Nyoo Cing kemudian, Waktu pertemuan adalah hari Tiong-ciu, saat bulan sedang purnama. Banyak orang persilatan yang terpaksa datang memenuhi undangan karena memandang wajah Kanglam Su-gie, tidak sedikit yang hadir saat itu. Setelah arak dihidangkan, secara tiba-tiba Ciu Siebin meminta kepada Ho Lam-hui untuk beradu senjata rahasia melawannya. Ho Lam-hui? kata Tay Thian, Apakah jagoan yang disebut orang Pat-pit-sin-wan (monyet sakti berlengan delapan) Ho Lam-hui? Betul, bukan saja dari seluruh tubuhnya dapat memancarkan senjata rahasia, konon pada saat yang bersamaan dia sanggup melepaskan dua belas jenis senjata rahasia secara bersamaan, bahkan kemampuannya dalam melepaskan amgi sudah mencapai tingkatan yang luar biasa. Orang ini boleh dibilang merupakan jago kelas satu dalam dunia persilatan. Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, Sebagai jagoan terkemuka, mana mungkin dia mau bertanding senjata rahasia melawan seorang cacad, apalagi diapun sahabat karib dari Kanglam Su-gie. Yaa, biar menangpun, bukan sebuah kemenangan yang terhormat.

Semua orang mengira Ciu Sie-bin hanya bergurau, siapa sangka Ciu Sie-bin bersikeras memaksa Ho Lam-hui untuk beradu kepandaian, bahkan sempat melontarkan perkataan yang menyakitkan hati, hal mana memaksa Ho Lam-hui kehilangan muka dan akhirnya tidak sanggup mengendalikan diri. Kemudian? Akhirnya Ho Lam-hui tewas diujung jarum pembetot sukma langit dan bumi, bahkan ada berapa orang jago am-gi yang kehilangan nyawanya juga waktu itu, kata Nyoo Cing, Sekalipun semua orang tahu kalau senjata rahasia itu dibidikkan melalui sebuah kotak besi yang berada di tangan Ciu Sie-bin, apa lacur tidak seorang jago pun yang sanggup menghindarkan diri. Sungguh keji perbuatan Ciu Sie-bin! seru Tay Thian kemudian, Sejak kecil dia sudah cacad, mungkin karena itu wataknya jadi aneh, tapi masa sepasang pedang dari telaga selatan maupun empat jagoan dari Kanglam tidak berusaha mencegah? Waktu itu Lam-ouw siang-kiam sudah lama meninggal, sementara Kanglam Su-gie nampaknya mempunyai tujuan lain! Apa tujuan mereka? Menyaksikan senjata rahasia yang dimiliki saudara sendiri begitu lihay, rupanya mereka ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk semakin

mempopulerkan nama besar keluarga Ciu, kata Nyoo Cing, Mimpi pun mereka tidak menyangka, gara-gara kejadian ini, banyak orang persilatan yang mulai memusuhi keluarga Ciu, siapa pun tidak ingin membiarkan senjata rahasia yang maha dahsyat itu tetap berada di tangan keluarga Ciu, karena mereka kuatir, suatu saat nanti senjata rahasia itu bakal dipergunakan untuk menghadapi diri mereka. Yaa, apalagi mereka yang sejak semula sudah bermusuhan dengan keluarga Ciu, kata Tay Thian, Mereka pasti sadar, suatu saat mereka pun akan menjadi korban berikut. Oleh sebab itu semua orang berebut untuk turun tangan terlebih dulu, dengan pelbagai cara mereka singkirkan Kanglam su-gie satu per satu, kemudian mereka bakar perkampungan keluarga Ciu sehingga Ciu Sie-bin pun ikut tewas dalam kebakaran dahsyat itu. Dia memang pantas mati! umpat Tay Thian tanpa sadar, kemudian tambahnya, Setelah peristiwa itu, jarum pembetot sukma langit dan bumi itu jatuh ke tangan siapa? Tidak ada yang tahu senjata rahasia itu jatuh ke tangan siapa, sebab siapa pun yang berhasil mendapatkan senjata tersebut, tidak seorangpun mau mengakuinya, kata Nyoo Cing, Tapi setiap tiga sampai lima bulan, selalu ada jagoan persilatan yang tewas oleh jarum thian-te-soh-hun-ciam ini, sebaliknya orang yang berhasil memiliki senjata maut itupun biasanya tidak

berumur panjang, sebab begitu rahasianya ketahuan, maka berbondong bondong orang akan datang mencarinya dan berusaha merebutnya. Waah, kalau begitu bukankah senjata Thian-tee-sohhun-ciam menjadi benda pembawa sial? Selama puluhan tahun terakhir, entah sudah berapa ratus kali barang itu berpindah tangan, biasanya orang yang berhasil mendapatkan benda itu pasti tewas dalam keadaan mengenaskan, hingga berapa tahun berselang, tiba tiba senjata rahasia itu lenyap dari peredaran dunia persilatan, mungkin orang yang berhasil mendapatkan benda itu belum pernah mempergunakannya... Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, Itulah sebabnya walaupun banyak jago yang pernah mendengar tentang kehebatan senjata rahasia Thiantee-soh-hun-ciam, bahkan ada banyak orang yang tahu bagaimana bentuknya serta sampai dimana kehebatannya, namun belum pernah ada seorang manusia pun yang benar-benar melihat sendiri benda itu. Kalau begitu nasib Cu Liok terhitung cukup bagus. Mungkin kali ini pihak perkumpulan naga hijau bersiap untuk menghadapiku, maka mereka pun mengusung datang orang yang memiliki senjata rahasia Thian-tee-soh-hun-ciam itu.

Tapi anehnya, kalau memang pihak perkumpulan Cing Liong Hwee telah bersusah payah mendapatkan senjata rahasia Thian-tee-soh-hun-ciam, mengapa secara sembarangan mereka gunakan terhadap Cu Liok? Mungkin Cu Liok telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui orang, atau keadaan sangat mendesak sehingga mau tidak mau terpaksa mereka harus menggunakannya. Menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui orang? Tay Thian termenung berapa saat, Kalau memang telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui orang, berarti kejadian itu tentu ada di rumah bambu. Nyoo Cing mengangguk membenarkan. Tiba tiba Tay Thian tidak bicara lagi, dia membuang pandangan matanya ke luar jendela. Sedemikian sempurnanya kotak pembidik senjata rahasia itu dan sedemikian dahsyatnya kekuatan yang dipancarkan membuat benda ini tidak malu disebut raja diantara senjata rahasia! tiba tiba ujar Nyoo Cing, Bila senjata itu dibandingkan dengan berapa macam senjata rahasia terhebat yang ada saat ini, masalah kecepatan bahkan masih selisih dua bagian, apalagi dalam hal ketepatannya mengenai sasaran, boleh dibilang senjata yang ada sekarang masih ketinggalan jauh.

Bagaimana bila dibandingkan dengan anak panah kekasih? Kehebatan dari anak panah kekasih bukan terletak pada kecepatan, melainkan dalam hal kekuatan tangan, sementara bidikan jarum maut thian-tee-sohhun-ciam boleh dibilang belum seorang manusia pun sanggup menghindarinya. Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya, Konon jarum maut Thian-tee-soh-hun-ciam bisa membidikkan tiga puluh enam batang jarum pada saat yang bersamaan, sementara Cu Liok hanya mendapat hadiah tiga batang. Berarti masih ada tiga puluh tiga batang jarum yang ketinggalan dalam rumah bambu? Benar, sahut Nyoo Cing sambil menatapnya tajam, Untuk menghadapi Cu Liok, tiga batang pun sudah lebih dari cukup, tapi berbeda untuk menghadapi kau, mungkin ketiga puluh tiga batang jarum itu harus digunakan semua. Hahahaha... mungkin malah kurang dari tiga puluh tiga batang! seru Tay Thian sambil tertawa tergelak. Aku tahu, apa yang telah kau putuskan susah untuk dicegah lagi, Cuma untuk mengunjungi rumah bambu itu kau mesti berhati-hati, sebab tempat tersebut pasti sangat berbahaya! Aku tahu!

BAB 4. Kakak tua berdarah.

Sehabis hujan bintang kelihatan jauh lebih bersih, jauh lebih cemerlang, membuat orang semakin menyukainya. Sejak kecil Cong Hoa memang suka akan bintang, kerapkali dia berkhayal membayangkan masa kecil, menikmati indahnya impian dimasa dulu, kegembiraan seorang bocah. Malam ini bukan saja banyak bintang yang bertaburan di angkasa, lagipula merupakan bintang setelah hujan. Sore tadi telah turun hujan guntur yang amat kencang, membawa kesegaran dan kebersihan di seluruh permukaan bumi, namun mendatangkan juga kemurungan bagi Cong Hoa. Setelah turun hujan yang begitu deras, jalan setapak jadi penuh berlumpur dan becek. Di hari biasa saja sudah sulit dilalui, apalagi setelah hujan. Dengan susah payah akhirnya berhasil juga Cong Hoa mencapai puncak bukit di belakang pesanggrahan pengobatan, kini dia berdiri diatas bukit sambil menarik napas panjang.

Malam ini, cahaya bintang terasa jauh lebih bening dan bersinar, cahayanya seolah sempat menyinari seluruh tanah perbukitan itu. Cong Hoa memperhatikan sejenak tanah gundukan baru dimana pagi tadi Siautiap dikubur...empat orang penggotong peti mati itu berjalan begitu ringan dan santainya mencapai puncak bukit. Apa arti dari kesemuanya itu? Mungkin-kah peti mati itu tanpa jenasah? Atau ke empat penggotong peti mati itu adalah jago jago berilmu tinggi? Untuk peroleh jawaban yang pasti, hanya ada satu jalan yang bisa ditempuh yakni membongkar tanah pekuburan itu. Tapi ada satu hal yang pasti, apa pun yang bakal terjadi, jelas masalah ini ada sangkut pautnya dengan Pesanggrahan pengobatan Coan-sinIe-khek. Seandainya kuburan Siau-tiap ada yang tidak beres, bukankah kuburan Lo Kay-sian pun...? Tanpa terasa Cong Hoa berpaling ke arah kuburan Lo Kay-sian, andaikata kuburannya pun ada yang tidak beres, berarti seluruh tanah pekuburan itu... Cong Hoa tidak berani berpikir lebih lanjut, dia gelengkan kepalanya berulang kali, berusaha untuk membuang jauh jauh semua kecurigaan didalam hatinya.

Tidak selang seperminum teh kemudian, kuburan itu sudah dibongkar, peti mati pun sudah nampak. Inilah detik paling penting untuk menyingkap rahasia ini, tangan Cong Hoa kelihatan sedikit gemetar, entah karena takut atau mungkin lantaran udara yang terasa amat dingin? Ternyata peti mati itu tidak dalam keadaan terpaku, Cong Hoa mulai berkerut kening, perlahan-lahan dia dorong penutup peti mati itu, ternyata dengan sangat mudah berhasil digeser ke samping. Dibawah sinar bintang yang menyoroti peti mati tersebut, tampak pakaian yang dikenakan Siau-tiap. Hanya pakaian, sama sekali tidak ada jenasah! Rupanya peti mati itu adalah sebuah peti mati kosong. Lalu ke mana larinya jenasah Siau-tiap? Mengapa pihak pesanggrahan pengobatan hanya mengubur sebuah peti mati yang kosong? Cong Hoa mulai berpaling mengawasi kuburan Lo Kay-sian, moga moga... Dalam waktu singkat kuburan Lo Kay-sian pun telah dibongkar. Kosong!

Ternyata isi peti mati itupun kosong, yang ada hanya satu stel pakaian. Paras muka Cong Hoa telah berubah amat serius, dia mulai termenung sambil mengawasi kedua peti mati yang kosong itu. Tidak perlu diragukan lagi, seluruh kuburan yang ada disitu sudah pasti hanya menanam peti mati yang kosong. Tapi mengapa? Mengapa pihak pesanggrahan pengobatan Coansin-ie-khek hanya mengubur peti mati yang kosong? Lalu ke mana larinya jenasah mereka yang telah mati? Setiap orang yang dikirim ke pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek, bila akhirnya mati disitu maka pihak pesanggrahan pasti akan mengurusi jenasah mereka, konon sebagai ungkapan penyesalan mereka lantaran tidak berhasil menyembuhkan sakitnya. Cong Hoa berdiri termangu diatas puncak bukit sambil mengawasi pesanggrahan Coan-sin-ie-khek yang bermandikan cahaya lampu di kaki bukit sana. Mungkinkah di balik cahaya lampu yang terang benderang itu, tersimpan sebuah rahasia besar yang luar biasa? Tapi rahasia besar apakah itu?

Mendadak Cong Hoa teringat kembali akan pembicaraannya dengan Ing Bu-ok, dulu ketika berada di rumah makan sebuah kota kecil. .....Dari sebuah negeri di wilayah Timur nun jauh di sana, terbawa sebuah rahasia cara serta resep untuk mengawetkan tubuh manusia yang telah mati. ..... Ketika jenasah itu berhasil diawetkan dengan cara serta resep rahasia itu, maka mereka akan disebut Mummi. .....Mummi-mummi itu bisa disimpan suatu jangka waktu tertentu, suatu hari akan bangkit dan hidup kembali. Pelbagai pikiran dan ingatan berkecamuk dalam benak Cong Hoa, jangan-jangan... Jangan-jangan pesanggrahan Coan-sin-ie-khek ada hubungannya dengan lenyapnya Cong Hui-miat? Mungkinkah tempat ini ada sangkut pautnya dengan teka-teki serta rahasia yang sudah berlangsung sejak dua puluh tahun berselang? Berbinar sepasang mata Cong Hoa, begitu terang cahaya yang terpancar keluar, seolah lebih terang dari pantulan sinar yang dipancarkan bintang di langit. Fajar sudah hampir tiba, inilah saat saat terakhir kegelapan menyelimuti angkasa.

Ketika kegelapan malam mulai tergeser, setitik cahaya terang mulai muncul di ufuk sebelah timur. Kabut melayang diatas permukaan bumi, menyelimuti seluruh jalan dan lorong di kota kecil itu. Rumah bambu pun terbungkus oleh lapisan kabut yang tebal. Ditengah remang remangnya suasana, diantara tebalnya kabut yang melapisi permukaan tanah, tampak seseorang berdiri tenang dibalik kegelapan. Walaupun pakaian yang dikenakan orang itu sudah dilapisi debu dan pasir, namun tidak menutupi keangkeran serta kewibawaan yang terpancar dari balik wajahnya. ..... Keangkeran dari seorang pengurus rumah tangga! Dia tidak lain adalah Tay Thian. Setelah menempuh perjalanan hampir semalaman suntuk, tibalah dia di depan lorong jalan itu. Sekarang, Tay Thian sedang mengawasi rumah bambu itu dengan wajah serius. Ditinjau dari luar, bangunan rumah bambu itu amat sederhana dan tidak menunjukkan ancaman bahaya apa pun, tapi justru dibalik ketenangan tersembunyi ancaman jarum maut Thian-tee-soh-hun-ciam yang

sangat menakutkan, bahkan bisa jadi masih tersimpan kejadian kejadian lain yang jauh lebih menyeramkan. Tiada perasaan takut atau jeri yang terlintas diwajah Tay Thian, dia hanya berharap dari tempat ini dapat ditemukan ekor dari sang naga, asal ekornya sudah ditemukan maka tidak sulit untuk mencari di mana kepala sang naga menyembunyikan diri. Selangkah demi selangkah dia berjalan mendekati pintu 'rumah bambu', dia melangkah dengan sangat hati-hati, penuh kewaspadaan, serangan jarum maut thian-tee-soh-hun-ciam bukan serangan main main, dia tidak mau pertaruhkan nyawanya dengan bergurau, sebab terhajar sebatang jarum saja sudah lebih dari cukup untuk menghantarnya pulang ke langit barat. Tidak terjadi apa-apa! Hingga tiba di pintu masuk 'rumah bambu', sama sekali tidak terjadi suatu kejadian yang luar biasa. Diam-diam Tay Thian menghembuskan napas lega, namun berbarengan timbul juga perasaan kecewanya. .... Mungkinkah peristiwa yang diharapkan t idak akan terjadi? Dari balik rumah bambu itu masih tidak nampak reaksi apapun, yang terlihat hanya setitik cahaya lampu yang memancar keluar dari sela-sela dinding. Pintu depan rumah bambu berada dalam keadaan setengah terbuka.

Dengan sangat hati hati Tay Thian mendorong pintu itu hingga terbuka, kemudian diapun melangkah masuk ke dalam. Tapi begitu melangkah masuk, dia pun berdiri terperangah. Tay Thian sudah pernah berkunjung ke banyak tempat, pelbagai tempat aneh pernah dikunjunginya, dia pun tahu dengan pasti tempat mana yang indah bagaikan surga dan tempat mana yang menakutkan bagaikan neraka. Tapi rumah bambu ini benar-benar sangat indah, setiap benda yang ada didalam ruangan rata-rata sangat indah dan menawan, namun dibalik keindahan terasa pula bagaikan sebuah neraka. Sebuah neraka yang sangat indah! Benda pertama yang disaksikan Tay Thian adalah sebuah lukisan, sebuah lukisan yang tergantung diatas dinding. Diatas dinding rumah yang panjangnya lima depa (8 m), dipenuhi pelbagai lukisan bergambar iblis berkepala siluman. Iblis berkepala siluman! Berbagai iblis, berbagai siluman. Ada yang berwajah manusia bertubuh hewan, ada yang mirip manusia tapi bukan manusia, ada pula yang hewan tapi justru memiliki jantung manusia.

Diatas dinding ruangan yang lebarnya mencapai lima depa itu, selain dipenuhi lukisan siluman, disitu pun terdapat seekor burung kakak tua. Kakak tua berdarah! Dalam genggaman semua iblis siluman itu memegang sebilah golok melengkung, dari ujung golok meleleh keluar tetesan darah, tetesan darah yang mewujudkan seekor kakak tua berdarah. Burung kakak tua berdarah itu sedang pentang sayap siap terbang ke arah seorang lelaki setengah umur yang mengenakan kopiah raja terbuat dari emas putih. Seorang lelaki setengah umur yang lembut lagi tampan. Para siluman iblis sedang menyembah ke arahnya, seakan akan para hamba setia yang sedang menyembah kaisarnya. Mungkinkah dia adalah iblis diantara siluman iblis? Apakah lelaki setengah umur yang mirip manusia itu adalah raja dari kaum iblis? Burung kakaktua berdarah pun memiliki anak buah. Tiga belas ekor burung aneh yang sangat cantik sedang mengelilinginya, terbang di kiri dan kanannya. Ketiga belas ekor burung aneh itu memiliki bulu seekor merak, sayap seekor kelelawar, lincah dan gesit seperti seekor walet dan memiliki jarum beracun seperti seekor tawon.

Tay Thian terperangah dibuatnya. Di dalam ruangan itupun tersedia sebuah ranjang yang sangat besar, ranjang yang membuat orang langsung membayangkan adegan yang syuur, disamping ranjang adalah sebuah meja, diatas meja tersedia enam macam hidangan, enam macam hidangan yang membuat air liurmu meleleh keluar, disamping hidangan tersedia juga enam botol arak, cukup dari botolnya dapat diketahui kalau arak tersebut adalah arakjempolan. Ternyata Tay Thian tidak menaruh perhatian pada hal yang lain, seluruh konsentrasinya hanya tertuju pada lukisan yang tergantung diatas dinding rumah. Sedemikian kesemsemnya dengan lukisan itu hingga dia sama sekali tidak sadar kalau diatas ranjang berbaring seseorang. Masih untung pada akhirnya dia mendengar juga suara dari perempuan itu. Suaranya merdu merayu, terselip pula suara tertawa yang sedap didengar. Kau menyukai lukisan itu? Tay Thian berpaling dan terlihatlah seorang perempuan yang selama hidup belum pernah terlihat olehnya. Belum pernah terlihat kecantikannya, belum pernah terlihat keanehan dandanannya. Pakaian yang dikenakan sangat aneh, pakaian yang hanya separuh bagian. Yang separuh bagian bukan baju yang di atas, pun bukan separuh bagian yang ada dibawah.

Pakaian yang disebelah kanan dikenakan sangat rapi sementara yang disebelah kiri justru telanjang bulat, telinganya mengenakan anting anting besar, wajahnya yang separuh berbedak dan bergincu, rambutnya pun diberi tusuk konde bermutiara. Tapi semuanya hanya dibagian kanan. Sementara di bagian kirinya polos dan bugil, persis seperti bayi yang baru dilahirkan. Tay Thian semakin terperangah. Lama sekali ia berdiri termangu, kemudian buru berpaling lagi memandang lukisan diatas dinding, lukisan dengan tiga belas ekor burung aneh yang amat cantik. Kali ini dia memperhatikan dengan lebih seksama. Akhirnya diapun menemukan hal yang sama atas burung-burung aneh didalam lukisan itu... separuh bagian bersayap kelelawar sementara separuh bagian yang lain bersayap burung elang, separuh bagian berbulu seperti merak sementara separuh bagian yang lain berbulu burung hong. Perempuan itu mulai tertawa. Ketika tertawa, senyumannya nampak lembut bagaikan hembusan angin dimusim semi, indah dan cantik bagai sekuntum bunga, tapi mirip juga dengan arus air sungai yang lembut dan tenang.

Namun kelopak matanya justru mendelong agak ke dalam, pandangan matanya lebih dingin dari salju, lebih tajam dari sembilu. Kakak tua berdarah, suara bisikannya pun indah bagaikan kicauan burung nuri. Kakak tua berdarah? Betul, lantaran dia tercipta oleh tetesan darah siluman iblis. Tiga belas ekor burung aneh yang terbang mengelilinginya merupakan budaknya, karena itu dinamakan Hiat-nu (budak darah) Hiat-nu? Budak darah? Tay Thian mencoba menatapnya lebih tajam, Kenapa kau menggantungkan begitu banyak lukisan yang menakutkan diatas dinding rumahmu? Karena aku senang melihat orang ketakutan, sahut perempuan itu sambil tertawa merdu, Ketakutan merupakan sebuah rangsangan, seringkah' dapat merangsang kaun lelaki hingga mendekati kalap. ... Tampaknya dia sangat memahami sifat seorang lelaki. Lantas apa pula yang dimaksud dengan kawanan siluman iblis itu? Mereka sedang merayakan ulang tahun raja iblis, perempuan itu menuding ke arah lelaki setengah umur yang tampan itu, dialah raja dari segala siluman iblis!

Masa raja iblis berwajah tampan? Bagi pandangan kaum wanita, hanya lelaki yang paling tampan pantas menjadi raja dari segala siluman iblis. Kerlingan matanya mulai merayu, debar jantung Tay Thian pun bertambah kencang. Seratus ribu siluman iblis dengan seratus ribu tetes darah iblis menciptakan seekor burung, yaitu kakak tua berdarah, suara bisikannya semakin memabukkan, semakin merangsang napsu, Karena hanya dibutuhkan sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam puluh empat tetes darah untuk mewujudkan kakak tua berdarah maka sisanya yang seribu tiga ratus tetes berubah menjadi ketiga belas budak darah itu. Masih ada sisa yang tiga puluh enam tetes? Tiga puluh enam tetes darah yang terakhir telah berubah menjadi jarum. Jarum? seru Tay Thian terkesiap, Jarum apa itu? Jarum berwarna biru, jarum yang mampu membetot sukma manusia dalam sekejap mata! Jarum berwarna biru? Jarum pembetot sukma thiantee-soh-hun-ciam? Betul!

Konon kawanan setan dan iblis yang menghuni dalam alam baka tidak memiliki darah. Berita tersebut sesungguhnya kurang tepat. Setan memang tidak punya darah, tapi iblis mempunyai darah. Darah iblis! Konon suatu ketika, demi merayakan ulang tahun ke seratus ribu tahun dari raja iblis nomor wahid, para iblis dari langit timur dan kawanan iblis dari langit barat sama-sama berkumpul di suatu tempat yang disebut kilong-ka-ka-bu. Tempat macam apakah Kilong kakabu itu? Konon tempat itu merupakan dunianya kaum iblis, diatas tidak ada langit, dibawah pun tidak ada bumi, yang ada hanya angin, kabut, hawa dingin yang membeku dan bara api yang panas. Hari itu, para iblis telah merobek ujung jari sendiri, dengan menggunakan darah iblis mereka yang menetes keluar menciptakan seekor burung kakak tua, kakak tua itu mereka persembahkan sebagai kado ulang tahun. Seratus ribu iblis dengan seratus ribu tetes darah iblis! Konon kakak tua berdarah itu bukan saja dapat menyingkap seluruh rahasia yang ada dilangit maupun di bumi, lagipula dapat memenuhi tiga permintaan orang. Asal kau dapat berjumpa dengannya,

menangkapnya, dia akan memenuhi tiga permintaanmu. Konon setiap tujuh tahun sekali, kakak tua berdarah akan datang ke alam semesta, dan sekarang sudah tujuh tahun lamanya semenjak terakhir kali kakak tua berdarah itu munculkan diri. Setiap tujuh tahun, kakak tua berdarah akan berkunjung satu kali ke alam semesta? Tay Thian meneguk secawan arak, Konon dia pun akan memenuhi tiga permintaanmu? Benar, asal kau dapat berjumpa dengannya maka dia pun akan memenuhi tiga buah permintaanmu. Apa permintaan apa pun pasti akan terkabul? Benar, semua permintaannya pasti akan terkabul. Aku tidak percaya. Kau tidak percaya? Betul, itu mah Cuma dongeng, tidak mungkin ada orang yang benar benar dapat bertemu. Coba pandanganlah aku! mendadak perempuan itu berkata. Memandangnya? Siapa takut? Siapakah aku?

Kau? Tentu saja seorang wanita, sahut Tay Thian sambil tertawa, Seorang wanita yang sangat cantik dan menawan hati. Coba perhatikan sekali lagi, perhatikan lebih seksama, siapakah aku? dari balik matanya yang bening seolah memancar keluar jilatan api yang panas membara, jilatan api yang memikat. Ternyata Tay Thian sangat penurut, dia menghampiri perempuan itu dan memandangnya dengan lebih seksama. Siapakah aku? Tay Thian menghela napas panjang, Aaai, bagaimana pun kupandang, rasanya kau tetap seorang wanita. Benarkah? Tiba-tiba pandangan sinar api yang membara itu padam seketika, yang muncul kini adalah kesenduan dan kesedihan, semacam kesedihan yang tidak bisa diungkap dengan ucapan. .....Kesedihan yang tidak terungkap, bukankah jauh lebih menggetarkan hati? Benarkah? kembali perempuan itu mengulang pertanyaannya hingga tiga kali, sementara air mata tiba-tiba berlinang membasahi pipinya.

Tay Thian merasa hatinya jadi lemah. .....Dari dulu hingga sekarang, lelaki mana yang bisa tahan menyaksikan wanita melelehkan air mata? Tay Thian kembali menghela napas, ditatapnya air mata yang berlinang itu dengan termangu. Perempuan itu tidak bicara lagi, hanya sepasang matanya masih berkaca-kaca. Pandangan yang sendu, air mata yang bening. Tay Thian merasa hatinya seolah-olah hampir remuk, diapun hampir terbuai karena mabuk. Biarpun air matanya meleleh, sorot matanya sama sekali tidak berubah, matanya tidak berkedip, kelopak matanya tidak bergerak, seakan semuanya sudah berubah jadi kaku dan membeku. Ditengah pandangan mata yang membeku, diantara air mata yang menyilaukan, sekonyong-konyong muncul seseorang. Yaa, seseorang! Selama ini Tay Thian selalu mengawasi matanya, tentu saja diapun dapat menyaksikan munculnya seseorang dari balik biji matanya yang bening. .....Seberapa besar matanya? Seberapa besar biji matanya? .....Seberapa besar pula manusia yang muncul dibalik matanya yang bening? Yang ada dibalik matanya yang bening sebetulnya hanya bayangan tubuh sendiri, tapi sekarang, setelah kemunculan orang itu, bayangan tubuh sendiri justru hilang entah ke mana.

Dengan ketajaman mata Tay Thian, dia pun tidak bisa melihat jelas bayangan sendiri yang terpantul dibalik matanya, tapi kemunculan orang tersebut justru dapat terlihat olehnya dengan sangat jelas. Wajah yang tampan dan lembut, kopiah putih bagaikan kemala, dia memandang Tay Thian sambil tersenyum. Bukankah orang itu adalah lelaki setengah umur yang berada pada lukisan diatas dinding? Bukankah dia adalah lelaki yang sedang disembah seratus ribu setan iblis, yang dikitari kakak tua berdarah? Bukankah dia adalah raja diraja dari segenap setan iblis yang ada di jagat ini? Raja iblis! Raja iblis! Tay Thian berpekik kaget. Bagaimana mungkin raja iblis itu bisa berjalan keluar dari balik matanya yang sendu? Bagaimana mungkin bisa terjadi peristiwa semacam ini? Tay Thian tertegun, terperangah. Orang itu persis sama seperti orang yang berada dalam lukisan dinding. Raut muka wanita itu kembali berubah, berubah bagaikan asap, berubah bagaikan kabut. Orang yang muncul dari balik matanya pun seakan ikut berubah...

Kini asap telah hilang, kabut pun telah buyar, ternyata wanita itupun ikut lenyap dari pandangan mata. Sementara lelaki tampan itu justru duduk di tempat dimana perempuan itu duduk tadi. Akhirnya Tay Thian dapat melihat jelas diri nya. Dia berwajah putih bagai pualam, tangannya pun sama putihnya, kini dia sedang tertawa, senyumannya lembut tapi anggun. Raja iblis! pekik Tay Thian gembira. Berapa banyak manusia di dunia ini yang pernah bertemu dengan raja iblis? Tidak disangkal, dapat bertemu dengan raja iblis pun merupakan semacam kebanggaan. Raja iblis sedang tertawa. Tay Thian menatapnya lekat-lekat, dia ingin mengucapkan sesuatu tapi segera diurungkan, dia ingin bertanya kepada raja iblis itu, Kilong Kakabu sebenarnya terletak dimana? Konon bila dapat bertemu dengan kakak tua berdarah maka dia bisa mengajukan tiga permintaan? Tim tahu, banyak pertanyaan yang ingin kau ajukan kepadaku, tampaknya raja iblis benar-benar dapat membaca suara hatinya, dia berkata dengan suara yang lembut bagai seorang wanita, tapi bernada keren penuh kewibawaan. Tanpa sadar Tay Thian mengangguk.

Bukankah kau ingin mengetahui rahasia dari kakak tua berdarah? kembali raja iblis berkata sambil tertawa, Bukankah kaupun ingin tahu Kilongkakabu terletidak di mana? Benar. Sekarang berdirilah, ikuti aku! kata raja iblis sambil bangkit berdiri. Tanpa sadar Tay Thian bangkit berdiri. Raja iblis membalikkan tubuh, berjalan menuju ke lukisan diatas dinding. Terpaksa Tay Thian mengikutinya. Selangkah demi selangkah akhirnya sampailah didepan lukisan diatas dinding, namun raja iblis sama sekali tidak menghentikan langkahnya, dia berjalan terus menuju ke lukisan diatas dinding. Tay Thian berdiri bodoh, berdiri mematung didepan lukisan diatas dinding, dia bukan siluman iblis, juga bukan raja iblis, mana mungkin bisa memasuki lukisan diatas dinding? Mengapa kau tidak mengikuti tim masuk kemari? ternyata suara itu muncul dari balik lukisan diatas dinding. Tapi... tapi disitu kan dinding tembok? Kalau tim suruh kau masuk, kau masuk saja! Baik!

Terpaksa Tay Thian bulatkan hati dengan melangkah masuk ke dalam dinding itu, ternyata kakinya dengan gampang melangkah masuk ke balik dinding. Tay Thian merasa girang bercampur tercengang, bagaimana mungkin seluruh tubuhnya dapat memasuki dinding itu? Kini seluruh tubuhnya sudah masuk ke dalam lukisan, mula-mula dia merasa gelap kemudian terlihatlah secercah cahaya, cahaya yang kabur, cahaya yang redup, tidak diketahui bersumber dari mana? Ada angin berhembus lewat, angin menggoyangkan ujung baju Tay Thian. Angin yang sangat dingin, begitu dingin sehingga terasa menyeramkan, tapi aneh, tubuhnya sama sekali tidak merasa kedinginan. Ada kabut, kabut yang putih dan tebal melayang disekeliling tubuh Tay Thian, namun tebalnya kabut ternyata sama sekali tidak menghalangi pandangan matanya. Kembali Tay Thian melangkah maju ke depan. Kini dia menyaksikan cahaya yang amat menyilaukan mata. Cahaya api! Jilatan api yang melayang datang, bagaikan gulungan ombak muncul dari sisi kanan tubuhnya. Tergopoh gopoh dia menyingkir ke samping kiri. Jilatan api segera lenyap dari pandangan mata, kini yang muncul adalah hawa dingin. Hawa dingin yang membeku, hawa dingin yang menggulung bagaikan ombak, menerjang ke arah tubuhnya.

Jilatan api berhenti ditengah ruangan, gulungan hawa dinginpun berhenti ditengah ruangan, kini yang tersisa hanya jalan selebar setengah depa. Melalui jalanan seluas setengah depa itulah Tay Thian berjalan, tanpa terasa dia tundukkan kepalanya memandang ke arah bawah. Dibawah pijakan kakinya ternyata tidak ada tanah, tidak ada bumi. Tay Thian terkejut setengah mati, nyaris dia terperosok jatuh ke bawah. Apa akibatnya bila dia terperosok ke bawah? Tidak terlukiskan dengan kata. Kini mati hidupnya hanya bertumpu pada sepasang kakinya. Yang aneh, ternyata dia tidak sampai terperosok ke bawah. Diantara angin dan kabut, ditengah kobaran api dan hawa dingin, ternyata muncul sebuah jalanan yang tidak berwujud, dan sekarang dia sedang berjalan menelusuri jalanan tidak berwujud itu. Tay Thian menghembuskan napas dinding, dia mendongakkan kepalanya, mencoba memperhatikan bagian atas. Diatas tidak nampak langit, hanya hawa dingin yang menggulung, jilatan api sedang terbang menari, angin sedang menderu dan kabut menyelimuti semua tempat. Di manakah letak langit? Di mana pula terletak bumi?

Di atas kepala tidak ada langit, dibawah kaki tidak ada bumi, yang ada hanya angin dan kabut, hawa dingin dan jilatan api. Jangan-jangan tempat inilah yang disebut dunianya kaum setan iblis? Jangan-jangan disinilah ke seratus ribu iblis meneteskan darahnya untuk menciptakan seekor burung kakak tua berdarah? Jangan-jangan tempat inilah yang disebut Kilongkakabu? Benarkah tempat ini adalah Kilong-kakabu? Tay Thian berpekik didalam hati, tidak sepatah katapun sanggup diucapkan keluar, pandangan matanya penuh pancaran sinar gembira, tapi terselip juga pandangan ngeri dan seram. Baru pertama kali ini dia mendengar tentang kota iblis, sebetulnya dia tidak percaya kalau dalam jagad ini benar-benar terdapat sebuah tempat yang disebut Kilongkakabu, tapi sekarang dia sudah hadir ditempat tersebut, mau tidak percaya pun tidak mungkin. Dengan penuh keheranan, tidak percaya, rasa ingin tahu, dia mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu. Bluuup! tiba-tiba segumpal kobaran api terjatuh persis dihadapannya, jilatan api bagaikan bunga teratai yang sedang mekar, dari balik jilatan api bagaikan teratai yang sedang mekar itu mendadak berdiri seseorang.

Bukan manusia, pun bukan hewan. Tay Thian tidak dapat mengenali manusia yang muncul dari balik kobaran api itu sebenarnya makhluk apa. Seluruh tubuhnya bening tembus pandang, namun tidak memiliki wujud yang pasti. Kemudian dia mulai melihat dengan jelas tulang demi tulang muncul dihadapan matanya, tulang rusuk, tulang dada, setelah itu dari dada disebelah kiri muncul sebuah jantung merah sebesar kepalan tangan. Jantung manusia! Jantung itu merah bagaikan tetesan darah, namun tidak ada darah yang meleleh, seluruh tubuhnya dari atas hingga ke bawah tidak nampak setetes darah pun. Di dalam tubuh itu hanya ada sebuah jantung manusia. Baru saja Tay Thian akan periksa raut mukanya, jilatan api bagai bunga teratai mekar itu sudah menutup kembali, api itu berubah menjadi segumpal kobaran api dan meluncur ke sisi kanan dimana lautan api berada. Dengan cepat Tay Thian mengalihkan pandangannya ke arah gumpalan api itu, mengikuti gerakannya hingga mencebur ke lengah lautan api, mendadak dia jumpai disana bukan hanya ada jilatan api saja, ditengah api masih terdapat manusia, manusia dalam jumlah yang tidak terhitung.

Dalam waktu singkat sekeliling tubuhnya sudah dipenuhi oleh manusia, ada yang melayang mengikuti hembusan angin, ada yang muncul dari balik kabut, malah tidak terhitung jumlahnya mereka yang berada hawa dingin yang menggulung. Tidak diketahui berasal dari mana kemunculan orangorang itu, mereka seakan sudah lama berada disitu, hanya sekarang baru menampilkan wujudnya. Tay Thian tidak merasa asing dengan Orang-orang itu, dia sudah pernah menjumpai lukisannya diatas dinding ruangan dalam rumah bambu itu. Mereka bukan manusia, mereka adalah siluman iblis, berbagai macam iblis, pelbagai macam siluman. Ada diantara mereka yang berbentuk setengah manusia setengah hewan, ada yang bukan manusia pun bukan hewan, ada yang berbentuk manusia tapi bukan manusia, ada yang berbentuk hewan tapi justru memiliki jantung manusia.

Ditengah hembusan angin, dibalik kabut, ditengah lautan api, didalam bekunya hawa dingin, hampir semuanya terlihat ada siluman iblis yang bermunculan. Sebenarnya ada berapa banyak siluman iblis yang berdatangan kali ini?

Mengapa mereka berkumpul di Kilongka-kabu? Apa yang hendak mereka lakukan? Apakah hari inipun hari ulang tahun raja iblis? Hadiah apa pula yang akan mereka persembahkan kepada raja iblis? Ke mana perginya raja iblis? Sekarang Tay Thian baru teringat akan raja iblis, sementara kawanan siluman iblis itu telah lenyap dibalik angin, kabut, panas dan dingin. Begitu banyak siluman iblis yang tadi berkumpul disitu, sekarang hampir semuanya telah lenyap, tak tertinggal setengah pun. Begitu kawanan siluman iblis itu lenyap tidak berbekas, Tay Thian pun kembali berjumpa dengan raja iblis. Waktu itu raja iblis sedang berdiri didepan sana, ia sedang menggapai ke arahnya. Buru buru Tay Thian menyusul ke depan, namun tidak pernah berhasil menyusulnya, betapa cepatnya dia lari, iblis itu tetap berada di depannya. Selama ini dia tidak pernah menyaksikan gerakan kaki si raja iblis itu. Pada hakekatnya raja iblis itu bukan bergerak dengan langkah kakinya, tapi melayang diantara hembusan angin dan lapisan kabut.

Entah sudah berapa lama mereka berlarian, entah sudah berapa jauh mereka pergi, sepanjang jalan hanya angin, kabut, api dan hawa dingin yang menyelimuti sekelilingnya. Betapapun baiknya sifat sabar yang dimiliki Tay Thian, tidak urung dia mulai gelisah, baru saja ingin bertanya masih berapa jauh dan akan pergi ke mana mereka berdua, mendadak si raja iblis yang berada didepan sudah lenyap tidak berbekas. Baru saja dia ingin mencegah kepergian raja iblis itu, tahu-tahu hawa yang dingin disisi tubuhnya telah berubah jadi tebing yang tinggi lagi curam. Kobaran api yang membara pun berubah jadi dinding api yang sangat tinggi. Dari balik dinding api dan dinding salju itulah kawanan siluman iblis kembali menampakkan diri, berdiri berbanjar dengan wajah serius. Sebuah bangunan istana yang megah hampir bersamaan waktu muncul dihadapan mukanya. Bangunan istana itu seakan melayang turun dari dunia luar, seakan akan mengambang ditengah angin dan awan. Tay Thian berdiri terbelalak, mulutnya melongo, disaat dia masih dicekam perasaan heran bercampur kaget, terdengarlah suara rentetan bunyi keleningan yang merdu.

Suara keleningan itu datang dari tempat yang jauh, kemudian tampak tiga belas ekor burung aneh terbang melintasi lautan api dan terbang sambil melayang di angkasa. Burung aneh yang sangat indah dengan bulu dari merak, sayap dari kelelawar, ekor dari burung walet, jarum beracun dari lebah, separuh bersayap elang, setengah bersayap kelelawar, setengah berbulu merak setengahnya lagi berbulu burung hong. Komposisi warna pun sangat serasi dan segar, sebuah keindahan yang luar biasa, sebuah keanehan yang luar biasa. Pada leher setiap burung tergantung sebuah keleningan, suara keleningan yang aneh dan khas seakan ingin membetot sukma semua yang mendengarnya. Sukma Tay Thian tidak sampai terbetot oleh suara itu, tapi keadaannya sekarang tidak beda dengan orang yang kehilangan nyawa. Sebenarnya dia tidak percaya ada burung seaneh itu, karena di dunia ini tidak pernah terdapat burung sedemikian anehnya, belum pernah dia saksikan burung semacam ini. Tapi sekarang, mau tidak mau dia harus mempercayainya.

Dia bahkan mulai curiga dengan mata sendiri, apa mau dikata sepasang matanya justru tidak pernah berpenyakitan. Pada hakekatnya burung seaneh ini tidak mungkin berasal dari alam dunia. ... Tempat tersebut, pada hakekatnya juga bukan alam dunia. Burung aneh itu sebetulnya memang milik istana iblis, tercipta oleh darah iblis. ..... Seratus ribu iblis sakti, seratus ribu tetes darah iblis, tercipta seekor kakak tua berdarah, karena dalam kenyataan hanya membutuhkan sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam puluh empat tetes, maka sisanya yang seribu tiga ratus tetes terwujud menjadi tiga belas ekor burung iblis. Tiga belas ekor burung yang menjadi budaknya kakak tua berdarah. Budak darah! ...... Masih ada sisa tiga puluh enam tetes, membeku dan berubah menjadi tiga puluh enam batang jarum. Jarum pembetot sukma Thian-tee-soh-hun-ciam! Tiga belas ekor budak darah beterbangan dihadapan Tay Thian, sekonyong-konyong mereka berkumpul jadi satu, dalam waktu singkat...Ting, tang!

kembali suara keleningan berbunyi, ketiga belas ekor burung budak darah itu segera menyebar ke empat penjuru dan terbang balik ke arah asalnya. Kobaran api yang dilewati burung burung itu segera membara dan menjilat makin tinggi, bunga api meletup dan menyebar kemana-mana. Bunga api yang meletup memancarkan tujuh warna, merah bagaikan lelehan darah. Diseluruh angkasa pun tersebar selapis hujan darah yang menyeramkan. Hujan darah itu menyebar kemana-mana, sebagian ada yang menodai tubuh Tay Thian, tapi begitu menyebar, hujan darah itupun kembali lenyap tidak berbekas, anehnya, darah yang menodai pakaiannya ikut lenyap tidak berbekas. Tay Thian semakin termangu, semakin berdiri bodoh. Ditengah ledakan bunga api, tiba-tiba muncul seekor burung kakak tua, kakak tua berwarna merah darah. Itulah kakak tua berdarah! Bulu yang berwarna merah, paruh dan cakar yang berwarna merah, sepasang mata pun berwarna merah darah.

Dari sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam puluh empat tetes darah iblis yang terwujud menjadi seekor burung kakak tua, burung kakak tua berdarah. Mengawasi kakak tua berdarah itu, tidak kuasa lagi Tay Thian mendecak kagum. Saat itulah dia mulai mendengar suara tertawa, suara tertawa yang aneh, jelas suara tertawa manusia. Suara tertawa itu berasal dari arah depan, padahal disitu tidak ada seorang manusia pun, dihadapannya hanya ada tiga belas budak darah dan seekor kakak tua berdarah. Ternyata suara tertawa itu berasal dari burung kakak tua berdarah. Suara tertawa kakaktua berdarah, sama persis seperti suara tertawa manusia. Dibalik suara tertawanya, penuh diliputi hawa sesat, hawa siluman yang sangat aneh. Tidak kuasa lagi seluruh tubuh Tay Thian berubah jadi dingin membeku, hawa dingin yang tajam bagai tusukan jarum timbul dari belakang punggungnya, menembusi tulang belulangnya, menembus hingga ke tulang sumsum, menembusi ulu hatinya. Suatu perasaan ngeri yang membingungkan tiba-tiba muncul dari dasar hatinya dan menyebar luas kemanamana.

Dia mulai merasakan tubuhnya gemetar, bulu kuduknya pada bangun berdiri, meski begitu, kakinya tetap berdiri tegap di posisi semula. .....Setiap tujuh tahun, kakak tua berdarah selalu berkunjung satu kali ke alam dunia, setiap kali datang dia selalu akan meluluskan tiga permintaan. ..... Asal kau adalah orang pertama yang bertemu dengannya, maka tiga buah permintaanmu pasti akan terkabulkan. ..... Apa pun permintaanmu, pasti akan terwujud menjadi kenyataan. Sekarang dia telah bertemu dengan kakak tua berdarah, permintaan apa yang akan diajukan? Permintaan pertama, dia berharap bisa hidup terus tanpa pernah tua, lalu apa permintaan yang kedua? Tay Thian tertawa, disaat senyuman mulai muncul dan menghiasi ujung bibirnya, mendadak suara tertawa yang sesat itu berhenti seketika. Kakak tua berdarah dengan matanya yang merah membara sedang menatap wajahnya. Tay Thian! Ternyata dia mampu mengucapkan perkataan manusia, ternyata dia sanggup memanggilnya sebagai Tay Thian.

Kakak tua berdarah? bisik Tay Thian dengan bibir gemetar. Dalam keadaan begini, ternyata dia masih sanggup berbicara, bahkan dia sendiripun merasa keheranan. Dia tidak tahu, suara sendiri justru telah berubah jadi begitu tidak sedap di dengar, boleh dibilang sama sekali tidak mirip suara manusia. Sekali lagi kakak tua berdarah itu tertawa. Tay Thian pun ikut tertawa, tertawa getir. Konon kau akan mengabulkan tiga permintaan yang diajukan? Lantas apa permintaanmu? Permintaanku yang pertama, aku ingin mengetahui rahasiamu. Begitu perkataan itu diucapkan, Tay Thian segera merasa amat menyesal. Kembali suara tertawa burung kakak tua berdarah itu berkumandang, kali ini suara tertawanya lebih tajam melengking, lebih menusuk pendengaran, dibalik suara tertawanya penuh terkandung hawa sesat, penuh mengandung sindiran. Seratus ribu siluman iblis yang berdiri berjajar diatas lautan api dan dinding salju seakan ikut tertawa, tertawa tergelak, tertawa bersama.

Bisa dibayangkan bagaimana suasananya ketika ada seratus ribu siluman iblis tertawa bersama...... Jangan lagi siluman iblis, suara tertawa seratus ribu manusia pun sudah cukup menggetarkan seluruh langit dan bumi. Disini tidak ada langit, juga tidak ada bumi. Disaat ke seratus ribu siluman iblis itu mulai tertawa, tiba-tiba kakak tua berdarah itu lenyap tidak berbekas, tiga belas budak darah pun ikut lenyap entah ke mana. Dari balik dinding api dan salju, dari balik angin dan kabut bermunculan seratus ribu bilah golok iblis, golok lengkung yang memantulkan cahaya aneh. Golok itu berada ditangan para siluman iblis. Mereka menggenggam golok sambil menengadah ke atas, wajahnya yang aneh tersisip keseriusan yang luar biasa. Mengikuti arah yang dipandang, Tay Thian turut menengadah, lagi-lagi dia melihat kemunculan Raja iblis. Raja iblis yang muncul kali ini jauh berbeda dengan kemunculannya tadi, kini dia berubah jadi tinggi besar, paling tidak ketinggiannya mencapai tiga meter. Wajahnya masih tetap tampan seperti tadi, masih tetap lembut dan ramah.

Serentetan bunyi irama musik yang aneh mendadak bergema, serentak kawanan siluman iblis yang menggenggam golok ditangan kanan, mengacungkan jari tengah tangan kirinya ke depan, wajah mereka bertambah serius. Terlihat cahaya golok berkelebat, hujan darah kembali memercik kemana-mana. Seratus ribu bilah golok iblis memotong diatas seratus ribu jari tangan, seratus ribu tetes darah iblis memercik ditengah cahaya golok dan secepat kilat meluncur ke arah raja iblis, terhimpun jadi satu persis dihadapannya. Setetes menggumpal dengan tetesan yang lain, tetes demi tetes terkumpul jadi satu, sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam puluh empat tetes darah iblis menggumpal jadi satu dan terwujudlah kakak tua berdarah. Seribu dua ratus tetes berubah menjadi tiga belas budak darah. Sekali lagi kakak tua berdarah menampakkan diri, diiringi budak-budak darah disisi kiri kanannya. ..... Beginikah pemandangan yang pernah terjadi di hari ulang tahun raja iblis waktu itu? Sekali lagi cahaya golok berkelebat, seratus ribu golok iblis hilang lenyap di balik kabut yang tebal. Irama musim yang aneh pun ikut sirna, bersama lenyapnya raja iblis yang berapa depa tingginya.

Dua belas budak darah masih beterbangan mengitari tuannya, sementara burung kakak tua berdarah kembali tertawa, nada sindiran semakin tebal terkandung dalam suara tertawanya. Inilah rahasia ku! Walaupun dapat berbicara namun dia tidak pergunakan kata lain untuk menjabarkan lebih jauh, dia hanya mengulang kejadian yang berlangsung disaat raja iblis merayakan ulang tahunnya yang ke seratus ribu. Menggunakan kenyataan untuk menjawab pertanyaan Tay Thian, menggunakan kenyataan untuk memenuhi permintaan Tay Thian. Hampir saja Tay Thian menendang diri sendiri kemudian ditambah dengan seratus ribu tempelengan diatas wajah sendiri. Paling tidak rahasia burung kakak tua berdarah pernah dilihatnya dari lukisan yang tertera di dinding rumah bambu, sekalipun sebelumnya dia mengira itu hanya sebuah lukisan biasa, sebuah dongeng. Sebab dia belum pernah berkunjung ke Kilongkakabun, diapun belum pernah bersua raja iblis, tapi sekarang dia pernah berkunjung ke Kilongkakabun, diapun telah berjumpa dengan raja iblis. Jelas mereka bukan makhluk manusia yang hidup di alam semesta. Bila mereka semua terwujud sebagai

sebuah kenyataan, mana mungkin rahasia kakak tua berdarah hanya cerita isapan jempol? Dia sudah tahu dengan jelas rahasia dari kakak tua berdarah, buat apa harus menanyakan lagi rahasia kakak tua berdarah? Bahkan telah menggunakan permintaannya yang pertama dari tiga permintaan yang dimiliki, bukankah perbuatannya sangat menggelikan? Bukan Cuma menggelikan, bahkan teramat tolol, teramat goblok dan boros? Apa permintaanmu yang kedua? Kali ini dia tidak boleh goblok lagi. Tay Thian mulai berpikir, walaupun dia masih muda, suatu ketika tentu akan berangkat tua dan akhirnya mati, kenapa tidak menggunakan kesempatan ini dia memohon kehidupan yang kekal dan tidak pernah tua? Ingatan tersebut segera dihapus kembali oleh Tay Thian, dia tahu raja iblis pasti berharap bisa mendatangkan musibah dan bencana bagi umat manusia, permintaan yang bisa dipenuhi kakak tua berdarah pun pasti hal hal yang bisa mendatangkan bencana dan ketidak beruntungan. Lantas permintaan apa yang harus diajukan? Perkumpulan Cing Liong Hwee sudah berdiri sejak ratusan tahun berselang, tapi belum pernah ada seorang manusia pun yang tahu organisasi macam

apakah itu, juga tidak pernah ada orang yang tahu siapa pemimpin perkumpulan naga hijau itu. Perselisihan Nyoo Cing dengan perkumpulan naga hijau sudah berlangsung hampir dua puluh tahun, banyak korban telah tewas gara-gara perseteruan itu, bukankah kedatangannya ke rumah bambu kali ini pun bertujuan untuk itu? Tampaknya yang bisa mengungkap rahasia Cing Liong Hwee saat ini hanya raja iblis dan kakak tua berdarah. Dikemudian hari, sudah pasti dia tidak akan menjumpai kesempatan lagi untuk berkunjung ke Kilongkakabu, diapun tidak akan mempunyai peluang untuk bertemu lagi dengan burung kakaktua berdarah. Sekarang merupakan satu satunya kesempatan baginya, satu-satunya kesempatan untuk menyingkap rahasia Cing Liong Hwee. Permintaanku yang kedua adalah ingin tahu siapa pemimpin perkumpulan Cing Liong Hwee? Organisasi macam apakah itu? Baru selesai dia berkata, kali ini yang tertegun justru burung kakak tua berdarah. Menyaksikan reaksi yang begitu aneh, Tay Thian segera menegur, Bagaimana? Kau tidak bisa penuhi permintaanku?

Bisa! Asal bisa, itu lebih dari cukup, kenapa kau kelihatan melengak? kata Tay Thian sambil tertawa. Aku hanya merasa keheranan. Apa yang kau herankan? Setiap orang selalu ingin awet muda dan tidak bisa mati, bisa memiliki uang dan kekayaan yang tidak pernah habis digunakan, kini kau telah memperoleh peluang ini, kenapa tidak kau pergunakan? Sebab aku tak ingin satu barisan dengan bencana dan ketidak beruntungan. Ternyata kau adalah seorang yang pintar. Boleh juga. Mendadak kakak tua berdarah tertawa tergelak, sambil tertawa dia membalikkan tubuh seraya berseru, Ikut aku! Angin menderu deru, kabut melayang diatas permukaan, jilatan api mulai membara, dinding salju yang membeku kembali menjulang tinggi. Burung kakak tua berdarah langsung terbang menuju istana iblis, siluman iblis yang berdiri serius di kedua sisi jalan tiba-tiba hilang tidak berbekas. Kini Tay Thian sudah berada di muka istana iblis.

Begitu tiba disitu, tiga belas budak darah pun ikut lenyap, sementara raja iblis entah sudah berada dimana. Kau naiklah hingga ke puncak altar, setelah tiba disana kau akan menyaksikan sebuah samudra, disisi samudra terdapat sebuah sampan, sampan itu akan membawamu pergi. Kenapa aku harus pergi? tanya Tay Thian. Bukan suruh kau pergi, sampan itu hanya akan menghantarmu ke suatu tempat. Tempat apa? Sebuah tempat yang bisa memenuhi permintaanmu kedua. Begitu selesai bicara, kakak tua berdarah itupun berubah jadi segumpal bara api dan lenyap dari pandangan. Tay Thian segera menaiki anak tangga, tiba dipuncak altar dia pun menyaksikan sebuah samudra, anehnya air samudra tidak berwarna biru, juga tidak hijau tapi berwarna merah, merah bagaikan bara api. Tay Thian mulai mencari sampan yang dimaksud, tapi disitu tidak ada sampan, yang ada hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu.

Apakah rakit kayu ini sanggup membawanya menyeberangi samudra api? Rakit itu akan membawanya kemana? Bertemu dengan siapa? Tay Thian tidak membuang waktu lagi, dia bersiapsiap melompat ke atas rakit itu. Apa yang bakal terjadi setelah dia melompat ke atas rakit? Apakah dia akan tercebur ke dalam luutan api? Seandainya dia benar benar tercebur ke dalam lautan api, apa yang kemudian akan terjadi? Apa yang bakal dialaminya?

BAB 5 Jurus pedang ke lima belas.

Sampan iblis masih mengapung. Tay Thian tidak ragu ragu lagi, dengan satu lompatan dia meluncur ke atas rakit itu. Dia telah melompat dengan menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya......... Pada saat itulah mendadak Dia mendengar seseorang berteriak nyaring, suara dari seseorang yang terasa amat asing, tapi juga seperti amat dikenalnya, suara itu seolah datang dari tempat yang jauh.

Bahaya! Menyusul kemudian dia melihat datangnya sebuah cambuk panjang, muncul dari belakang tubuhnya dan langsung melilit pinggangnya. Begitu cambuk itu melilit di pinggang, tubuhnya yang sedang melompat pun berhasil melayang turun diujung altar. Menyusul kemudian batok kepalanya serasa menumbuk sebuah benda secara keras, duuuk! dan dia pun tidak sadarkan diri. Suasana amat gelap, sejauh mata memandang hanya kegelapan yang mencekam. Dari balik kegelapan seolah terdengar ada suara, seolah ada pula setitik cahaya. Semua suara, semua cahaya seolah-olah berasal dari tempat yang sangat jauh, seolah-olah pula berasal dari sisi telinganya. Dia mendengar seakan ada suara wanita, diapun merasa cahaya itu seolah berasal dari bara api yang menyala. Suara itu seperti berasal dari atas langit, mengalun dan menggema mengikuti hembusan angin. Cahaya api itupun seolah sedang berkedip, seakan akan sedang meronta-ronta...

Semuanya, segala sesuatunya seakan berasal dari tempat yang begitu jauh, tapi seolah tampak begitu jelas dan nyata. Tay Thian sekuat tenaga gelengkan kepalanya berulang kali. Gelengan kepalanya bukan saja tidak berhasil membuang semua penderitaan dan siksaan karena hal yang maya, sebaliknya malah menambah kenyataan yang terpampang didepan mata. Gema suara yang mendengung terdengar makin keras, cahaya yang memancar terasa makin menusuk pandangan mata. Buru buru Tay Thian pejamkan matanya rapat rapat, selang berapa saat kemudian dia baru membuka kembali matanya, membukanya perlahan-lahan. Begitu dia membuka matanya, lagi-lagi terlihat lautan api terbentang didepan mata. Lautan api itu tiada ujung tiada pangkal, lautan api itu seolah tiada bertepian... tapi aneh, ternyata lautan itu memiliki ujung akhir. Ujung akhir dari lautan api itu adalah ranjang, ranjang yang terletak didekat jendela. Lautan api yang membara ternyata berada diatas ranjang itu. Bagian tengah ranjang itu sudah retak terbelah, bara api itu muncul dari bagian ranjang yang retak.

Tay Thian menjumpai tubuhnya sedang berada diatas lantai, persis disisi ranjang. Dia berdiri disudut ranjang, menghadap ke arah pembaringan, berhadapan langsung dengan lautan api yang berada ditengah ranjang, sementara sebuah cambuk panjang melilit dipinggangnya. Tay Thian segera berpaling. Begitu berpaling, dia pun menyaksikan kembali Kilongkakabu, lukisan Kilongkakabu yang tergantung diatas dinding ruangan. Didepan lukisan dinding terdapat sebuah meja, meja yang pernah diduduki sebelum memasuki kerajaan iblis tadi. Diatas meja masih ada arak, enam botol arak, ada pula hidangan sayur, enam macam hidangan sayur. Disamping meja terlihat pula seseorang. Seorang gadis yang masih sangat muda! Gadis itu telanjang disisi kirinya dan berpakaian indah disisi kanannya, dia tidak lain adalah gadis yang menerangkan soal burung kakak tua berdarah kepadanya tadi. Wajahnya masih tampak cantik, sebuah kecantikan yang sangat aneh, tapi sekarang rasa takut dan ngeri sudah menyelimuti wajahnya.

Apa yang dia takuti? Apa yang membuatnya ngeri? Pandangan matanya bukan tertuju ke wajah Tay Thian, melainkan terarah ke depan pintu sana. Dengan perasaan sangsi bercampur ingin tahu Tay Thian berpaling ke arah pintu. Ternyata seseorang berdiri di depan pintu. Seseorang yang berdiri sambil memegang cambuk panjang, ujung cambuk tidak lain adalah cambuk yang melilit di pinggang Tay Thian. Saat itu, orang tersebut sedang tertawa, tertawa keras. Ui sauya? seakan tidak percaya Tay Thian berseru. Rasanya betul! jawab Ui sauya sambil tertawa, Rasanya aku memang Ui sauya. Kenapa kau bisa berada disini? Seharusnya saat seperti ini aku sedang berada di rumah sambil menikmati arak Li-ji-ang, ujar Ui sauya sambil menghela napas, Tapi ada seseorang justru ingin terjun ke tengah lautan api, coba bayangkan sendiri, mana mungkin aku bisa menikmati arak dengan perasaan lega? Tay Thian mengawasi jilatan api ditengah ranjang, kemudian memandang pula cambuk yang melilit dipinggangnya, tiba-tiba saja dia tersadar kembali.

Rupanya orang yang hendak terjun ke dalam api tidak lain adalah dirinya. Tapi, bukankah dia sedang berada di dalam kerajaan iblis? Bukankah dia sedang berada di Kilongkakabu? Kenapa secara tiba- tiba bisa muncul kembali dalam rumah bambu? Tay Thian berpaling, mengawasi si nona yang berada disamping meja, kemudian memperhatikan pula enam botol arak yang tersedia diatas meja. Arak itu memang arak kwalitas bagus! ujar Ui sauya, Lagipula terhitung arak Tiok-yap-cing kelas satu, hanya sayangnya, dalam arak bagus itu telah dicampur dengan sedikit bubuk. Opium? tanya Tay Thian. Rasanya begitu, sahut Ui sauya, Paling tidak bubuk sebangsa itulah. Aaah! Rupanya begitu... tiba-tiba saja Tay Thian jadi paham, paham sekali. Ternyata apa yang dilihat, apa yang dirasakan, apa yang diperbuat barusan tidak lebih hanya sebuah ilusi, semua khayalan yang tercipta dalam benaknya sendiri, tercipta karena terpengaruh lukisan setan yang terpampang diatas dinding ruangan. Semuanya yang telah terlihat, raja iblis, burung kakak tua berdarah, budak darah, tiga permintaan, kerajaan

iblis Kilongkakabu, semuanya hanya ilusi, semuanya hanya khayalan, semuanya kosong... kosong... Semua khayalan dan ilusi itu timbul karena dia sudah meneguk arak wangi yang tersedia diatas meja, karena campuran bubuk opium yang ada dalam arak. Kobaran api ditengah ranjang benar-benar sangat besar dan membara. Seandainya Ui sauya tidak datang tepat waktu, seandainya dia sudah melompat ke dalam lautan api itu, bisa dibayangkan apa akibat yang harus dialaminya. Mati! Mati terbakar! Jadi kau adalah budak darah? Tay Thian menegur. Benar! ternyata gadis itu mengakuinya. Budak darah dari burung kakak tua berdarah? Bukan! ternyata suara itu muncul dari balik lukisan yang tergantung diatas dinding ruangan. Tentu saja dia adalah budak darahmu! seru Ui sauya sambil tertawa, Bila dia menjadi budak darahku, sudah pasti aku yang tidak tahan, dapat kupastikan, saat itu topi yang kukenakan pasti tidak akan berwarna lain kecuali topi warna hijau! Gadis itu tidak dapat menahan diri, ternyata dia tertawa cekikikan, tertawa geli.

Bagus, kembali suara dari balik lukisan itu bergema, Kau memang tidak malu disebut Ui sauya! Masih untung aku adalah Ui sauya, coba berganti orang lain, pasti akan dibuat ketakutan setengah mati oleh sandiwara kalian yang begitu menyeramkan, tanggung saat itu aku sudah berubah jadi si kura-kura Ui. Bicara sampai disitu kembali dia menggetarkan tangannya, cambuk itu segera balik kembali ke tangannya. Begitu lilitan cambuk dipinggangnya terlepas, Tay Thian pun segera membenarkan posisi berdirinya. Kura-kura selalu menyembunyikan kepalanya, takut bertemu orang, kata Ui sauya lagi, Hey, apakah kaupun seekor kura-kura? Tiada jawaban. Tiba-tiba persis ditengah lukisan yang terpampang diatas dinding ruangan itu terbelah jadi dua dan muncul sebuah pintu rahasia, dari balik ruang rahasia muncul seseorang. Senyuman menghiasi wajah orang itu, senyuman yang angkuh... Orang itu mengenakan pakaian panjang berwarna hijau, sepatunya hijau bahkan pita pengikat rambutnyajuga berwarna hijau.

Tangan kanannya sedang membenahi rambutnya yang agak kusut, sementara tangan kirinya terkulai lurus ke bawah, kosong, tidak berisi. Ternyata dia tidak memiliki tangan kiri, tangan kirinya kosong... Rupanya dia adalah seorang berlengan tunggal. Begitu munculkan diri, orang itu menatap Tay Thian sambil berkata, Kau tidak menyangka kalau aku bukan? Benar, Tay Thian menghela napas panjang, Biar dipukul sampai mampus pun aku tidak akan percaya kalau yang muncul adalah kau. Padahal sejak hilangnya kait perpisahan disusul kematian dari Lo Kay-sian, seharusnya kau sudah teringat akan diriku. Tiba-tiba dia terbatuk-batuk, batuk dengan suara keras, menanti napasnya teratur kembali dia baru melanjutkan, Manusia mana yang bisa lolos dari kematian bila Ti Cing-ling menginginkan kematiannya? Walaupun kau tidak sampai mampus, tapi harga yang harus kau bayar pun tidak terhitung kecil, kata Tay Thian, Kau harus kehilangan tangan kirimu! Jika ingin menjadi seorang jagoan yang hebat, kau harus bayar dengan suatu nilai yang pantas, apa artinya kehilangan sebuah lengan kiri?

Kalau memang tidak berarti apa-apa, buat apa harus kau lakukan? sela Ui sauya sambil tertawa, Ing Bu-ok, kau anggap pengorbanan mu itu sudah pantas? Ternyata orang yang barusan muncul dari balik lukisan dinding itu tidak lain adalah Ing Bu-ok. Demi perkumpulan Cing Liong Hwee, tidak ada perkataan pantas atau tidak, jawab Ing Bu-ok cepat. Bagus! Sungguh beruntung perkumpulan Cing Liong Hwee memiliki seorang jagoan macam kau, juga tidak menyesal Ti Cing-ling hanya memotong sebuah lenganmu. Perkataan macam apakah itu? Mungkin hanya Ui sauya seorang yang berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sebuah perkataan yang mengandung maksud mendalam. Perkataan semacam ini mungkin hanya manusia segolongan Ing Bu-ok yang memahami artinya. Jelas perkataan itu mengandung sindiran. Tentu saja Ing Bu-ok mengerti maksud perkataan itu, tapi dia tak ambil perduli. .... Ketika seseorang sudah menjadi budak, sudah menjadi orang bawahan, kebanyakan mereka sudah terbiasa menghadapi kata kata sindiran semacam itu. Mau tak mau mereka harus membiasakan diri, seseorang yang sudah terbiasa menjadi seorang budak,

sudah terbiasa menjadi kaki tangan orang, mana mungkin dia akan terbiasa dengan kebiasaan seorang manusia? Ing Bu-ok mulai tertawa dingin, dia memang hanya bisa tertawa dingin. Jika kepandaian silatmu dapat setajam dan sehebat perkataanmu, aku pasti akan takluk kepadamu! ujarnya ketus. Aku tidak berharap kau tunduk kepadaku, Ui Sauya tetap tertawa, Aku hanya ingin mengikatmu diatas garpu besi kemudian memanggang tubuhmu diatas kobaran api itu. Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Aku jadi ingin merasakan bagaimana rasanya panggangan seseorang yang sudah menjadi anjing kaki tangan orang lain. Pasti tidak enak rasanya, baunya pun pasti busuk! seru Tay Thian segera. Aku tahu, tapi aku tetap ingin tahu, terlebih ingin mendengar kaingan anjing yang sedang dipanggang diatas api. Seandainya kau datang terlambat selangkah saja, kujamin kau pasti akan mendengar suara itu, kata Ing Bu-ok sambil melirik Tay Thian sekejap, Kau pasti dapat menyaksikan adegan tersebut!

Waaah lain, sudah pasti lain! seru Ui sauya lagi, Mana mungkin jeritan manusia bisa dibandingkan dengan kaingan anjing? Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, Kalau manusia yang dipanggang, itu kejam namanya, kelewat sadis, tapi kalau anjing yang dipanggang, aku mah bilang pantas dan sudah seharusnya! Saat itu seharusnya fajar telah menyingsing. Tapi suasana fajar tidak dapat dirasakan didalam rumah, sebab semua pintu dan jendela berada dalam keadaan tertutup rapat, didalam ruangan itu hanya ada lampu lentera. Cahaya lentera yang menerangi seluruh ruangan. Kecuali cahaya lentera, kini pun muncul cahaya lainnya, cahaya yang menyilaukan mata. Cahaya pedang! Sebilah pedang yang panjang lagi sempit, dari ujung pedang memancarkan cahaya ke biru-biruan. Tampak cahaya tajam berputar kemudian terbias bunga pedang yang bergetar, tahu-tahu Ing Bu-ok sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Cahaya pedang berkilauan, sinar mata Ing Bu-ok pun ikut berkilauan. Berkilau seperti cahaya pedang.

Sudah hampir dua puluh tahun pedang ini tidak pernah keluar dari sarungnya, ujar Ing Bu-ok sambil menatap pedangnya, Aku berharap hari ini dia dapat menyantap sebuah hidangan yang teramat lezat. Tidak mungkin hidangan yang lezat, kata Ui sauya, Sejak dulu, daging anjing begundal selalu kecut dan masam rasanya, terlebih darahnya, pasti teramat busuk. Aaai! Ing Bu-ok menghela napas panjang, cahaya pedang kembali berputar. Walaupun lenganku buntung sebelah, tapi dengan cepat kalian akan tahu dimana letak kelebihan yang dimiliki si tangan buntung, ujar Ing Bu-ok sambil menatap Ui Sauya. Ketika dua jago lihay saling bertarung, seringkah menang kalah ditentukan dalam satu gebrakan, tentu saja satu gebrakan yang dimaksud belum tentu akan terjadi pada jurus yang pertama, mungkin saja jurus ke berapa puluh bahkan beratus-ratus gebrakan kemudian. Sekarang mereka sudah bertarung hampir lima puluh jurus, Ing Bu-ok melancarkan tiga puluh tujuh jurus sementara Ui sauya membalas tiga belas jurus. Dia memang tidak ingin menyelesaikan pertarungan itu secara terburu-buru, dia ingin tahu sejauh mana kehebatan jurus pedang yang dimiliki Ing Bu-ok, terlebih

ingin tahu sampai dimana kelebihan yang dimiliki lengan buntungnya. Tampaknya Ing Bu-ok pun menyadari akan hal ini, maka dia tidak melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, dia sendiripun hanya menggunakan jurus serangan yang sederhana untuk menghadapi ancaman lawan. Tay Thian tidak berpeluk tangan, ketika Ing Bu-ok mulai melancarkan serangan, dia sendiripun sudah terlibat dalam pertarungan sengit melawan gadis aneh itu. Jangan dilihat perawakan tubuh gadis itu lembut, ramping dan menawan, begitu melancarkan serangan, Tay Thian mulai keteteran dan sedikit tidak tahan menghadapi gempurannya. Sebagaimana diketahui, pakaian yang dikenakan terbelah setengah, waktu tidak bergerak, keadaan masih rada mendingan, tapi begitu bergerak, pakaian yang dikenakan pun ikut tersingkap, bagian-bagian tubuh yang paling rahasia pun seketika terlihat sangat jelas. Asal kau adalah seorang pria, ditanggung pasti tidak akan tahan setelah menyaksikan bagian rahasianya itu. Padahal yang dibutuhkan dalam sebuah pertarungan adalah konsentrasi, mana mungkin pikiran dan perhatiannya boleh bercabang?

Tidak heran kalau berapa kali Tay Thian terjerumus dalam keadaan yang sangat berbahaya, buru-buru dia memperingatkan diri sendiri, jangan tengok bagian terlarang gadis itu. Tapi aneh, sepasang matanya seolah bukan miliknya, matanya selalu berusaha untuk menengok bagian terlarang gadis itu. Makin bertarung, keringat dingin semakin membasahi tubuh Tay Thian, sementara suara tertawa gadis itu makin cabul dan menggoda. Kalau pertarungan harus dilanjutkan dalam keadaan begini, mana tahan? Pertarungan sudah berlangsung berapa ratus gebrakan tanpa ada yang menang atau kalah, ketika Ui sauya mulai merasa bosan dengan keadaan tersebut, tiba-tiba jurus serangan yang dilancarkan Ing Bu-ok mulai berubah. Jurus pedangnya yang semula datar tanpa perubahan mendadak berubah jadi sangat aneh, suara tajam mendesing dari ujung pedangnya. Kalau tadinya semua serangan dilancarkan amat cepat, maka saat ini gerak serangannya justru melambat. Malah lambat sekali. Biarpun lambat namun gerak serangannya berubah terus.

Dalam waktu singkat Ing Bu-ok sudah melancarkan tujuh buah tusukan, serangan demi serangan dilancarkan semakin melambat, tapi sinar mata yang terpancar dari mata Ui sauya justru makin bertambah cemerlang. Ketika serangan ketujuh sudah mencapai puncaknya dan belum sempat tenaga baru tumbuh, Ui sauya segera manfaatkan kesempatan itu untuk menghimpun kekuatannya siap menyambut serangan lawan yang ke delapan, pada saat itulah ujung baju kirinya yang kosong tiba-tiba menyapu datar ke depan. Waktu itu seluruh konsentrasi Ui sauya hanya tertuju untuk menghadapi pedang ditangan Ing Bu-ok, mimpipun dia tidak menyangka kalau dalam saat seperti ini dia bisa melancarkan sapuan dengan ujung bajti kirinya. Plaaaak! pipi kanan Ui sauya segera terhajar hingga merah membengkak, merah padam bagai pantat babi. Ternyata lengannya yang kutung memang memiliki kelebihan yang diluar dugaan. Ui sauya bersumpah bila lain kali harus bertarung lagi melawan seorang musuh buntung, dia tidak akan memusatkan konsentrasi untuk menghadapi pedangnya saja tanpa menaruh perhatian pada lengannya yang kutung, dia tidak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

Tatkala ujung bajunya menghajar Ui sauya tadi, serangan ke delapan dari Ing Bu-ok telah dilancarkan. Walaupun Ui sauya berhasil menghindari serangan yang ke delapan ini, tidak urung dadanya terbabat juga hingga muncul sebuah luka yang memanjang. Darah mulai meleleh keluar dari lukanya itu. Sekarang kau pasti sudah mengetahui kelebihan dari si tangan buntung bukan? jengek Ing Bu-ok sambil tertawa dingin. Hmmm, hanya orang cacad macam kau yang bisa memikirkan jurus serangan tidak tahu malu seperti itu. Dipihak lain Tay Thian sendiripun bagaikan orang bisu makan empedu, pahit tapi tidak bisa diutarakan, terkadang dia merasa yakin dapat meraih kemenangan dalam tiga gebrakan, tapi setelah bertarung ternyata dugaannya meleset, bukan lantaran tidak tega untuk membunuh gadis cantik itu, melainkan karena tidak mampu melakukan serangan yang merobohkan. Setiap kali dia akan melancarkan serangan mematikan, tahu-tahu bagian tubuh yang menjadi sasaran berubah menjadi bagian yang paling rahasia dari gadis itu, mana mungkin dia boleh menyerang bagian itu? Bagian tubuhnya yang boleh diserang hampir semuanya dilindungi gadis itu secara ketat, sebaliknya bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh terlihat

oleh lelaki, dia justru pamerkan. Jika Tay Thian adalah seorang siaujin, pertarungan ini pasti sudah berakhir sejak tadi. Seandainya Tay Thian adalah seorang pemogoran, jangan lagi melakukan pertarungan, mungkin bertarungan gaya lain sudah berlangsung sedari tadi. Sayang Tay Thian bukan siaujin, terlebih bukan pemogoran, maka mau tidak mau dia harus bertarung dengan perasaan tersiksa. Kemudian dengan cara apa kau berhasil menaklukan gadis itu? pertanyaan itu diajukan Nyoo Cing dikemudian hari setelah mendengar penuturan dari Tay Thian. Aku terdesak hebat sehingga tidak tahu harus berbuat apa, maka satu satunya jalan akupun melepaskan ikat pinggangku. Jadi kau tidak tahan? Waktu itu, Agaknya gadis itupun berpendapat demikian, ujar Tay Thian sambil tertawa, Begitu aku mulai melepaskan ikat pinggangku, pipinya kontan berubah jadi merah dadu. Kalau tidak merah baru aneh namanya. Begitu pipinya berubah jadi merah, tiba-tiba saja gerak serangannya jadi kacau, sepasang paha yang seharusnya dipentang lebar mendadak malah

dirapatkan kencang- kencang. Bahkan sepasang tangannya mulai sibuk menutupi baju dibagian dadanya. Perempuan memang begitu, semakin kau takut kepadanya, nyalinya semakin besar! kata Nyoo Cing sambil tertawa, Tapi begitu kau mulai menunjukkan reaksi, dia malah kabur jauh-jauh. Karena aku tidak bisa memukul dengan tangan, terpaksa kugunakan ikat pinggang, dengan bangga Tay Thian menjelaskan, Ikat pinggangku segera ku getarkan dan menotok jalan darah hian-ki-hiat di perutnya. Dia pasti akan menarik kaki kanannya dan mengubah tangan kiri menjadi rentangan telapak untuk melindungi jalan darah hiat-ko-hiat nya, kata Nyoo Cing. Aku memang mengharapkan dia berbuat begitu! seru Tay Thian, Begitu tangannya digunakan untuk menangkis, maka ikat pinggangku langsung menotok jalan darah giok-ji-hiat di payudaranya. Jadi kau benar-benar menotok jalan darah di payudaranya? Tentu saja, toch aku tidak menggunakan jari tanganku. Nyoo Cing menghela napas panjang.

Aai, aku benar benar Tidak habis mengerti, kenapa disaat saat terakhir kau selalu berhasil mendapatkan cara yang amat jitu, dan cara jitu itu selalu berhasil mengubah posisimu yang berbahaya menjadi selamat? Kemudian setelah menatapnya tajam, tambahnya, Sebetulnya hal ini karena kemampuanmu yang hebat, atau karena nasibmu yang selalu baik? Setelah berhasil menaklukkan gadis itu, Tay Thian berpaling ke arah Ui sauya. Saat itu Ing Bu-ok sedang melepaskan tusukan pedangnya yang ke sebelas. Aku datang membantu! segera serunya. Tay Thian mulai bergerak mendekati Ui sauya. Hati hati dengan lengan baju kirinya! Ui sauya memperingatkan. Bagus, Ing Bu-ok tertawa terbahak-bahak, Lebih baik kalian berdua maju bersama, ketimbang aku mesti membuang waktu lagi. Untuk kesekian kalinya cahaya tajam berkelebat di udara, mata pedang berputar arah, dengan membentuk sebuah lembayung dia melancarkan serangan pedangnya yang kedua belas. Diantara berkelebatnya cahaya aneh, Ui sauya merasa sinar aneh itu seakan melintas diatas alis matanya, tapi seolah melayang nun jauh di sana.

Sementara Tay Thian yang menyaksikan serangan kedua belas dari Ing Bu-ok itu segera mengernyitkan alis matanya, perasaan sangsi sempat melintas dibalik matanya, dia merasa jurus serangan itu seakan sangat dikenalnya, tapi seakan pula sangat asing. Hanya melintas sekejap, tahu-tahu cahaya aneh itu kembali hilang lenyap tidak berbekas. Ui sauya mengernyitkan dahinya, dia dapat melihat serangan yang ketiga belas diam-diam telah meluncur tiba, tapi sekali lagi dia dibikin bodoh. Selama hidup belum pernah dia saksikan gerak serangan yang begitu bodoh, seperti seorang bocah yang sedang belajar berjalan, benar-benar kaku dan lamban. Ui sauya tidak habis mengerti, mengapa Ing Bu-ok bisa menggunakan jurus serangan semacam ini untuk melancarkan serangan kepadanya. Berbeda sekali dengan reaksi dari Tay Thian, belum selesai Ing Bu-ok melancarkan serangannya yang ketiga belas, sekonyong-konyong tubuhnya melambung ke tengah udara, kemudian kakinya menendang Ui sauya hingga mencelat ke belakang. Reaksi yang dilakukan Tay Thian boleh dibilang amat cepat, namun tidak urung bahunya terbabat juga hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang. ..... Tusukan yang tampak begitu bodoh, mengapa justru susah bagi Ui sauya untuk menghindarinya? Ui

sauya sendiri pun tidak habis mengerti, dia hanya bisa berdiri melongo. Andaikata Tay Thian tidak menendangnya hingga mencelat ke belakang, mungkin saat ini tenggorokannya sudah bertambah dengan sebuah lubang besar. Sambil melompat bangun, Ui sauya mengawasi Ing Bu-ok dengan wajah tercengang, mata terbelalak. Ilmu pedang apaan itu? serunya. Ing Bu-ok tertawa dingin, butiran darah masih menetes dari ujung pedangnya. Jurus itu adalah Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukma) seru Tay Thian, Itulah Toh-mia-cap-sa-kiam milik Yan Capsa dulu! Toh-mia-cap-sa-kiam? Sungguh? seru Ui sauya. Apakah pingin dicoba sekali lagi? jengek Ing Bu-ok dengan wajah mengejek. Baik! jawab Ui sauya dengan wajah serius, Tapi aku ingin melihat jurus pedang yang ke lima belas. Hmmm, pedang ketiga belas pun sudah nyaris merenggut nyawamu, kau masih ingin menyaksikan pedang ke lima belas? Benarkah pedang ke lima belas tiada tandingannya di kolong langit?

Belum tentu, sela Tay Thian, Di dunia ini tidak akan ada yang tiada tandingan. Sekalipun tidak sampai tiada tandingan, untuk membunuh kalian berdua mah lebih dari cukup. Ketika menyelesaikan perkataannya itu, dari balik mata Ing Bu-ok segera terpancar keluar selapis hawa pembunuhan yang menggidikkan hati. Selapis hawa pembunuhan yang Cuma bisa dipancarkan dari seorang tokoh maha sakti setara dengan Yan Capsa. Angin berhembus lewat, entah menerobos masuk melalui celah yang mana, tapi suasana di dalam rumah bambu itu tiba tiba saja berubah jadi amat dingin. Ing Bu-ok beserta pedangnya sudah mulai melakukan gerakan, kembali sebuah gerakan yang sangat lambat tapi disertai gaya yang teramat indah, gerakan yang begitu bebas leluasa seperti hembusan angin. Ketika angin berhembus lewat, siapa yang mampu membendungnya? Siapa pula yang bisa menduga datang dari arah manakah hembusan angin itu? Kelopak mata Ui sauya mulai menyusut kencang. Gerakan pedang Ing Bu-ok teramat lambat, menusuk ke muka dengan gerakan yang lambat sekali. Yang paling tidak masuk diakal arah arah sasaran dari tusukan itu, sebab disaat tusukan dilancarkan, tiba-tiba saja terjadi sebuah perubahan yang tidak masuk diakal.

Pada saat itulah mendadak Tay Thian menggaet sebuah bangku bambu dengan kakinya, kemudian tangan kanannya mencekal kaki bangku sementara tangan kirinya membacok, bangku bambu itu segera hancur hingga tersisa sebatang kaki bangku nya saja. Dengan bambu sebagai pengganti pedang Tay Thian melancarkan sebuah tusukan ke depan, menyambar dari bawah menuju ke atas. Sebuah tusukan yang sederhana ternyata menghasilkan sebuah akibat yang luar biasa, tusukan itu dengan tepat telah menjebol kehebatan dati tusukan ke empat belas Ing Bu-ok. Kali ini Ing Bu-ok betul betul terkesiap. Ternyata gerak serangan yang digunakan Tay Thian saat ini persis sama seperti gerak serangan yang pernah digunakan Sam sauya, Cia Siau-hong untuk mematahkan ketiga belas jurus pedang dari Yan Capsa. Tapi sayang jurus serangan telah dilancarkan Ing Buok, dalam keadaan demikian mustahil baginya untuk mengubah gerak serangannya lagi, tampaknya dia segera akan tertusuk oleh pedang bambu ditangan Tay Thian. Ing Bu-ok tidak mati. Meskipun jurus serangannya berhasil dipatahkan, walaupun tusukan lawan jelas ditujukan bagian tubuhnya yang mematikan, namun setelah tusukan

lawan datang, tiba-tiba saja gerak serangan yang dilancarkan Ing Bu-ok kembali terjadi perubahan yang sangat besar. Semacam perubahan yang bahkan dia sendiripun tidak menyangka, perubahan yang bahkan dia sendiripun tidak mungkin bisa ciptakan. ......Perubahan tersebut merupakan perkembangan dari perubahan yang muncul secara otomatis pada gerak serangannya itu. Seperti air terjun yang mengalir dari puncak gunung, sewaktu air mengalir ke bawah, jelas kau akan melihat ruang yang kosong, tapi ketika kau masukkan tanganmu ke balik ruang kosong itu, ternyata air sudah memenuhi seluruh ruang kosong tersebut. Tiing...! suara dentingan nyaring bergema memecahkan keheningan. Pedang bambu itu patah, patah menjadi beribu kepingan, sementara tubuh Tay Thian terpental mundur ke belakang. Perubahan yang muncul rupanya membuat Ing Bu-ok sendiripun terperanjat, terkesiap bahkan terperangah, dia seakan sudah lupa kalau disisi tubuhnya masih ada Ui sauya yang sedang melancarkan serangan. Tatkala bacokan Ui sauya tepat menghajar diatas tenggorokannya, tiada rasa sakit yang terlintas diatas wajahnya, juga tidak nampak rasa ngeri atau takut,

yang tampak hanya semacam hawa dingin yang susah diurai dengan ucapan. Semacam hawa dingin yang begitu membeku, seperti bongkahan salju abadi yang tertanam didasar bumi yang membeku. Kemudian, ketika tubuhnya hampir menyentuh permukaan tanah, tiba-tiba saja wajahnya kembali terlintas perubahan baru. Semacam perubahan yang menunjukkan kalau secara tiba-tiba dia berhasil memahami akan sesuatu. Menjelang ajalnya, sekulum senyuman masih sempat menghiasi ujung bibir Ing Bu-ok. Menjelang ajalnya, Ing Bu-ok baru paham bahwa pedang ke lima belas dari tiga belas pedang pembetot sukma milik Yan Capsa sesungguhnya tidak mungkin bisa dipatahkan oleh siapa pun. Tidak seorangpun! Bahkan Sam sauya Cia Siau-hong pun tidak mampu. Siapa pun yang ingin mematahkan serangan tersebut, dia harus rela menyerahkan selembar nyawanya.

BAB 6 Rahasia Rumah Perdamaian.

Sejak jaman dulu, orang yang melakukan pekerjaan sebagai pencuri selalu melakukan aksinya ditengah malam buta. Sebab disaat malam, banyak orang sudah mengendorkan pikirannya, sudah malas untuk berpikir maupun bereaksi, saat orang terlelap tidur dan saat kegelapan menyelimuti seluruh angkasa. Bila kau sudah mengenakan seperangkat baju yaheng-i, sudah mengenakan sepasang sepatu dengan sol yang tebal, lalu dengan gerakan enteng tanpa suara melakukan kegiatan maksiat, biasanya tingkat keberhasilanmu sangat besar. Tentu saja tingkat keberhasilan yang tinggi hanya berlaku untuk wilayah yang biasa. Bila kau harus menyatroni sebuah tempat yang 'istimewa', bila kau harus melacak 'rahasia' yang sangat penting dan bila kau hanya menggunakan cara yang 'biasa', maka hasil yang kau peroleh pun seringkah... kegagalan! Bukan hanya kegagalan, bahkan terka- dan g harus disertai dengan kematian.

Cong Hoa bukan manusia 'biasa', oleh sebab itu dia tak pernah menggunakan cara yang 'biasa'. Diwaktu siang hari, Pesanggrahan pengobatan Coansin-ie-khek amat ramai suasananya dengan suara orang berbicara dan manusia yang berlalu lalang. Semakin banyak manusia yang berlalu lalang, semakin hidup suasananya, Cong Hoa selalu menyukai suasana seperti ini, berdiri di ruang tengah, dengan wajah riang dia nikmati pelbagai mimik muka yang melintas dihadapannya. Pelbagai macam manusia berkumpul di pesanggrahan itu, ada yang datang untuk menjenguk orang sakit, ada yang datang menjenguk teman, ada yang datang untuk mencari teman kongkouw, ada yang datang untuk mencari kesempatan menggaet perempuan, bahkan ada pula yang datang khusus untuk mempraktekkan kecepatan tangannya memindah barang milik orang ke dalam saku sendiri. Entah dia tua, muda, laki, perempuan, orang kaya maupun pengemis, kedatangan mereka semua karena punya satu tujuan. Begitu juga Cong Hoa saat ini, kedatangannya pun karena punya tujuan. Tujuannya adalah memasuki rumah perdamaian di dalam pesanggrahan pengobatan itu.

Rumah perdamaian adalah ruangan tempat menyimpan orang mati, disitulah dia ingin menyelidiki apa sebabnya hanya peti mati kosong yang dikubur. Cong Hoa percaya, bila ingin menyingkap tabir rahasia tersebut maka dia harus mendatangi rumah perdamaian. Dia lebih percaya kalau Pesanggrahan Coan-sin-iekhek menyimpan sebuah rahasia yang luar biasa dan penjagaan yang dilakukan diseputar rumah perdamaian pasti sangat ketat. Bila dia datang dimalam hari, sama artinya dengan mencari mati buat diri sendiri. Hanya disaat siang hari, disaat banyak orang berlalu lalang maka penjagaan diseputar sana baru sedikit agak kendor. ..... Siapa yang berani melakukan aksi 'rahasia' disaat siang hari, disaat banyak orang berlalu lalang? Banyak orang berlalu lalang berarti sebuah kamuflase yang hebat, dan siang hari merupakan saat yang sangat tepat. Itulah sebabnya Cong Hoa mendatangi pesanggrahan Coan-sin-ie-khek disiang hari yang ramai. Dia tahu Nyoo Cing masih menginap disitu, tapi dia tidak ingin pergi menjumpainya.

Daripada bertemu, lebih baik tidak usah berjumpa. Sebelum kasus hilangnya Cong Hui-miat terungkap, dia tidak ingin bertemu dengannya., bukannya tidak ingin, tapi dia merasa sungkan untuk bertemu. Mengikuti arus manusia Cong Hoa berjalan dari ruang utama menuju ke beranda samping, kemudian diapun menelusuri setiap jalan yang dijumpai dengan berlagak menikmati keindahan disitu. Masih untung sepanjang perjalanan dia tidak bertemu dengan orang yang dikenalnya Cong Hoa memang tidak terburu buru mencapai tempat tujuannya. Ketika mendekati rumah perdamaian, arus manusia bertambah jarang, suara hiruk pikuk pun mulai berkurang. Sejauh mata memandang, sekeliling rumah perdamaian seolah dilapisi oleh suasana yang menyeramkan, asap hijau tampak mengepul keluar melalui jendela ruangan dan perlahan lahan menyebar di udara. Saat ini waktu menunjukkan tengah hari. Inilah saat makan siang bagi sebagian besar pegawai pesanggrahan, orang yang tersisa pun tinggal sedikit dan kebanyakan sedang berkumpul sambil kongkouw.

Ketika tidak banyak orang yang memperhatikan, Cong Hoa segera menyelinap masuk ke dalam rumah perdamaian. Di dalam rumah perdamaian terdapat tujuh buah meja altar berbentuk memanjang, tiga diantaranya sudah berisi jenasah. Tiga jenasah dengan enam batang hio. Asap hijau muncul dari ujung hio yang menyala, menyiarkan bau harum ke seluruh ruangan. Cong Hoa mulai mengendus bau yang aneh, bau harumnya hio bercampur dengan hawa kematian. Cong Hoa mencoba untuk memeriksa ketiga jenasah itu, ternyata tidak seorangpun yang dikenal, dengan sigap dia segera menengok ke sekeliling tempat itu. Tidak ada suara, tidak ada orang lain. Cong Hoa tersenyum puas, dia mulai meggelar aksinya untuk mencapai tujuan kedatangannya kali ini. Tidak ditemukan apa-apa, sama sekali tidak ditemukan apa-apa! Rumah perdamaian masih tetap sangat damai, tidak ditemukan suatu tempat pun yang tidak damai. Dengan perasaan tidak puas Cong Hoa mulai memeriksa sekeliling tempat itu.

Tidak mungkin! Rahasia tersebut pasti berada disini! Cong Hoa yakin, bila ingin menyingkap tabir rahasia tentang peti mati kosong, dia harus melakukan penyelidikan di tempat ini, sebab disinilah dia akan peroleh jawaban. Tapi aneh, mengapa dia tak berhasil menemukan apa-apa? Mungkinkah pemeriksaannya kurang teliti? Mustahil. Rahasia itu pasti berada disini, untuk kesekian kalinya Cong Hoa melakukan pelacakan dengan seksama. Tidak ditemukan apa-apa, sama sekali tidak ditemukan hal yang mencurigakan. Kenapa? Jelas rahasia tersebut berada disini, mengapa justru tidak berhasil ditemukan? Dengan sedih Cong Hoa duduk diatas meja altar yang kosong, apakah dugaannya keliru? Mungkinkah di tempat ini memang tidak ada rahasia apa-apa? Kalau memang begitu, apa sebabnya semua peti mati yang dikubur dipuncak bukit hanya peti mati kosong? Atau mungkin si penggotong peti mati yang berulah? Atau mungkin setelah peti mati itu terkubur, muncul orang lain yang mencuri mayat-mayat tersebit? Tapi buat apa mereka curi mayat-mayat itu?

Mendadak pintu dibuka orang... Disaat pintu belum terbuka, Cong Hoa segera berjumpalitan menyembunyikan diri di bawah meja panjang itu. Pintu segera terbuka dan muncullah seorang kakek yang sudah rentan. Dia membawa enam batang hio, setelah merapatkan kembali pintu ruangan, selangkah demi selangkah dia mendekati jenasah itu dan masing-masing menancapkan tiga batang hio dibawah kakinya. Cong Hoa tidak sempat melihat wajahnya, dia hanya bisa melihat kakinya. Orang itu mengenakan sepasang sepatu kain hitam yang sudah lusuh dan kuno, tidak mengenakan kaus kaki. Permukaan sol sepatunya dipenuhi lumpur tapi betisnya terlihat amat bersih dan mulus. Seorang kakek yang sudah rentan, mengapa bisa memiliki sepasang betis yang begitu bersih dan mulus? Biasanya hanya orang kaya yang hidup makmur, hidup berlebihan dan mengerti merawat diri baru akan memiliki sepasang betis semulus, sebersih dan seputih itu. Aneh, mengapa kakek ini memiliki sepasang kaki semacam itu?

Cong Hoa merasa sangat tertarik, tampaknya dia memang tidak salah datang. Kakek rentan itu berdiri cukup lama didepan meja jenasah, sorot matanya yang semula sayu lambat laun mulai bersinar tajam, sinar kecerdasan. Kemudian punggungnya yang semula bungkuk, potongan tubuhnya yang semula rentan dan lemah kini berubah jadi segar dan kuat, bahkan sama sekali tidak ditemukan lagi jej ak ketuaannya. Senyuman mulai menghiasi wajahnya, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya melakukan gerakan berputar di udara ke arah diding berukiran dihadapannya. Jarak dari tempat dia berdiri hingga dinding dihadapannya paling tidak mencapai dua depa lebih, tapi dengan sangat mudahnya dia berhasil memencet tombol yang berada diujung hidung ukiran tersebut. Jelas inilah ilmu Li-khong-ta-hiat (memukul jalan darah dari udara) yang sudah lama punah dari dunia persilatan. Belum sempat Cong Hoa berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara aneh dari bawah tanah menyusul kemudian permukaan tanah yang diijaknya itu bergerak tenggelam ke bawah.

Mula mula suasana sangat gelap, tapi setelah suara aneh itu berhenti, suasana pun berubah jadi terang benderang. Setelah yakin tak ada orang lain disekeliling tempat itu, Cong Hoa baru perlahan lahan menongol keluar, mula-mula dia saksikan sebuah meja panjang yang persis seperti meja tempat menyimpan jenasah, meja itu diberi alas kain putih. Disampingnya terdapat sebuah meja kecil, diatas meja terletak berbagai bentuk pisau kecil, berapa diantaranya pernah disaksikann Cong Hoa dan dia pun pernah 'mencicipi'nya. ...... Diatas sungai ditengah hutan bunga bwee, diatas sebuah sampan kecil, seorang kakek dengan tiga belas bilah pisau kecilnya yang berbentuk aneh pernah mengobati luka beracunnya. Pada meja kecil yang lain terletak berapa puluh buah botol, ada yang berisi cairan ada pula yang berisi bubuk, tampaknya sebangsa obat obatan. Cong Hoa mencoba memperhatikan bagian lain, dia merasa tempat itu semuanya bersih dan teratur, bahkan terasa dingin, sepi dan dipenuhi bau obat obatan. Apa kegunaan ruangan ini? Mengapa harus dibangun dibawah rumah perdamaian? Mengapa disitu tersimpan pelbagai benda yang aneh? Apa gunanya

benda-benda itu? Siapa pula kakek rentan yang menjaga rumah perdamaian itu? Baru saja Cong Hoa akan bangkit berdiri, mendadak terdengar lagi suara mencicit yang aneh, buru-buru dia sembunyikan diri lagi. Tidak lama kemudian dari atas dinding disisi kiri muncul kembali sebuah pintu rahasia, dari balik pintu muncul seseorang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Orang itu mengenakan topi yang terbuat dari kain putih, topi yang membungkus seluruh rambutnya, bagian hidung dan mulutpun tertutup selapis kain putih bahkan tangannya mengenakan sarung tangan yang tembus pandang, satu-satunya yang bisa dilihat Cong Hoa hanya bagian matanya. Orang itu mempunyai mata yang sangat besar, sangat bulat dan amat berkilauan, pancaran sinar matanya menunjukkan kecerdasan dan kesewenangan, perawakan tubuhnya tinggi besar mencapai dua meter lebih, tidak gemuk pun tidak kurus. Dia memiliki sepasang tangan yang kuat lagi bertenaga, jari tangannya panjang panjang, jelas dia sangat memperhatikan soal perawatan kuku. Biasanya orang yang memiliki jari tangan seperti ini tentu jagoan dalam melepaskan senjata rahasia.

Gerak-geriknya pun lincah dan cekatan, setiap langkahnya sama sekali tidak menimbulkan suara, ini menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pun sangat hebat. Tanpa mengeluarkan banyak tenaga ia sudah menggeser jenasah itu diatas meja panjang yang berlapiskan besi putih, kemudian dengan cepat melepaskan semua pakaian yang dikenakan. Dari meja dia mengambil sebuah botol berisi cairan, menuang sedikit ke perut mayat itu lalu menggosokkan hingga merata. Mula-mula dia mengambil sebilah pisau kecil, Cong Hoa tahu apa kegunaan pisau itu yakni untuk mengerat kulit tubuh, bentuknya panjang lagi pipih, ukurannya sembilan inci. Dengan amat cekatan dia mulai membelah dada dan perut mayat kemudian dengan menggunakan sebilah pisau berbentuk gergaji, dia mulai memisahkan ruas tulang belulangnya. Cong Hoa berusaha menahan napas, dia tidak ingin suara napasnya sampai kedengaran orang itu, apalagi suasana dalam ruangan amat hening, sedemikian heningnya cenderung menakutkan. Apalagi pemandangan yang terpampang dihadapannya saat ini merupakan satu kejadian yang cukup mendirikan bulu roma. Begitulah, dengan tenang dia saksikan orang itu membelah tubuh mayat, mengeluarkan isi perutnya,

memasukkan ke dalam kotak, kemudian menaburkan sejenis bubuk ke dalam rongga tubuh mayat yang telah kosong itu. Ketika menganggap sudah cukup memuaskan, dia baru mengambil sebatang jarum lalu menjahit luka yang menganga itu satu per satu, menurut hitungan Cong Hoa, paling tidak dia butuh tujuh puluh dua jahitan untuk merapatkan seluruh mulut luka itu. Selesai dengan pekerjaaannya dia berjalan ke depan sebuah lentera, memutar tombol rahasia yang ada disitu, dari balik dinding segera muncul sebuah almari. Dari dalam almari itu dia mengeluarkan segulung kain lalu membalut mayat itu dari kaki hingga ke ujung kepalanya, tidak lama kemudian seluruh tubuh mayat itu sudah terbalut seperti bacang. Setelah itu dia masukkan mummi itu ke dalam sebuah kotak dan diberi tanggal dan kode: Tujuh puluh enam, bulan sepuluh tanggal sembilan. Setelah memandang kotak berisi mayat itu dengan perasaan puas, diapun berseru, Inilah yang disebut mummi! Dengan siapa dia berbicara? Pikir Cong Hoa, Apakah dia sudah tahu kalau dalam ruangan masih ada orang lain?

Tadi yang kau saksikan adalah cara membuat mummi, orang itu berbicara sambil membelakangi tempat dimana Cong Hoa bersembunyi, Bagus tidak? Bagus, bagus sekali, akhirnya Cong Hoa bangkit berdiri sambil bertepuk tangan dan tertawa, Caramu berpraktek sungguh luar biasa! Terima kasih, perlahan-lahan orang itu membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan Cong Hoa. Seandainya kau masuk ke lak-san-bun, dapat dipastikan akan menjadi opas nomor wahid, dia berkata sambil tertawa, Terbukti tempat yang begini rahasia pun berhasil kau temukan. Bukan aku yang temukan, tapi kau yang membawaku kemari! Kenapa kau bisa menaruh curiga kalau persoalan muncul di rumah kedamaian? Tanah kuburan, kuburan dipuncak bukit sebelah belakang sana. Maksudmu peti mati kosong? Betul! Aah, tidak nyana peti mati kosong itu malah menjadi titik terangmu, dia menghela napas. Andaikata kau tambahkan batu cadas didalam peti mati itu hingga bobotnya bertambah, mungkin tidak

secepat ini kecurigaanku sampai ke alamat pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek. Kau mengerti tehnik pembuatan mummi, berarti kaulah pelaku kasus berdarah yang menimpa Cong Poan-long di kota Say-cu-tin pada dua puluh tahun berselang? seru Cong Hoa sambil menatapnya tajam. Memangnya orang yang pandai membuat babi panggang, dia pasti seorang tukang jagal babi? orang itu balik bertanya sambil tertawa. Dua puluh tahun berselang, Cong Poan-long dengan membawa rahasia tentang Mummi pergi menghadap pemerintah, tapi baru melalui perbatasan dan tiba di kota Say-cu-tin, dia sudah mati dibunuh orang, pembunuhnya pastilah orang yang telah merampas rahasia mummi itu. Diapun seorang pengkhianat penjual negara yang sedang dicari pemerintah, orang itu menambahkan. Darimana kau bisa tahu? Kalau tehnik untuk menciptakan mummi pun sudah aku kuasai, masa persoalan ini tidak kuketahui? jawabnya sambil tertawa. Dengan tatapan tajam Cong Hoa mengawasi sepasang matanya yang muncul dari balik kain putih itu.

Aneh, kenapa aku merasa seperti amat kenal dengan sepasang matamu itu, kata Cong Hoa, Mungkinkah pernah kujumpai diwajah orang lain? Berkilat sepasang mata orang itu, menyusul kemudian dia sengaja berlagak tertawa keras. Semua benda yang ada di alam semesta sumbernya tetap satu, apa anehnya kalau terjadi kemiripan, katanya. Aaah salah, bukan mirip, kata Cong Hoa yakin, Aku pasti pernah bersua denganmu, bahkan bersua dalam setengah bulan terakhir. Sekilas perasaan takut melintas dari balik matanya yang bulat besar. Apa yang dia takutkan, kuatir Cong Hoa berhasil mengenali identitasnya? Semua rahasia yang ada dalam ruangan telah diketahui Cong Hoa, apakah dia akan membiarkan Cong Hoa pergi meninggalkan tempat itu dalam keadaan selamat? Jangan-jangan dia adalah Hong Coan-sin? Tapi kalau dilihat dari perawakannya, dia tidak mirip Hong Coansin. Kalau dia bukan Hong Coan-sin, mengapa dalam ruang rahasia ini terdapat begitu banyak rahasia? Mengapa ruang rahasia bisa berada disini dan mengapa dia muncul disitu? Apakah sedang membuat mummi?

Kalau dia bukan Hong Coan-sin, lalu apa hubungan antara mereka berdua? Hari ini dia sengaja muncul disitu, menciptakan mummi yang diberi kode tujuh puluh enam, tampaknya kesemua ini memang sengaja dia lakukan untuk diperlihatkan kepada Cong Hoa, lalu apa alasannya melakukan hal ini? Kalau dilihat dari gelagatnya, dia seakan tidak berniat membunuh Cong Hoa, lalu apa alasannya berbuat begitu? Dia tidak segan mengorbankan rahasia ini, berarti dia pasti sedang melindungi rahasia lain yangjauh lebih besar. Lalu apakah rahasia yang lebih besar itu? Kau pasti dapat melihat bahwa aku tidak mengerti ilmu silat, dia berkata sambil menatap Cong Hoa. Aku pun dapat mengenali bahwa kau pasti seseorang yang kukenal, sambung Cong Hoa, Sekalipun kau telah berusaha untuk mengubah logat suara mu. Perasaan takut, ngeri semakin tebal menyelimuti wajahnya. Tentu saja aku pun tahu kalau kau tidak pandai bersilat, ujar Cong Hoa lagi hambar, Itulah sebabnya

aku keheranan, kenapa dia suruh kau melakukan ini semua, sebenarnya apa tujuannya? Dia? Siapakah dia? Dia adalah orang yang mengajarkan ilmu pembuatan mummi kepadamu, Cong Hoa menatapnya makin tajam, Dia pula orang yang menyuruh kau datang kemari untuk membocorkan rahasia yang ada disini. Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Dia pasti mempunyai tujuan tertentu, tahukah kau? Dari... darimana aku bisa tahu? Aku percaya kalau kau tidak tahu, tapi mengapa dia tidak segan mengorbankan rahasia yang ada disini? ujar Cong Hoa sambil mengamati sekeliling tempat itu. Cong Hoa mulai meraba pisau kecil yang dipakai untuk operasi, kemudian mendekati kotak yang digunakan untuk menyimpan mummi, dia seakan sedang melakukan pemeriksaan yang seksama. Padahal apa yang dia lakukan bukan berniat untuk mencari tahu, tapi ingin manfaatkan kesempatan itu untuk mempertim-bangkan pelbagai persoalan. Ketika sebuah rahasia sudah tidak mungkin dirahasiakan lagi, cara terbaik apa yang harus dilakukan? tanya Cong Hoa kemudian.

Dibuka secara umum, jawab orang itu, Kalau memang sudah bukan rahasia lagi, kenapa tidak diumumkan saja? Caramu memang termasuk salah satu cara, tapi bukan termasuk yang terbaik. Lalu cara apa yang terbaik? Memusnahkannya! Memusnahkannya? Betul, asal rahasia itu dimusnahkan maka rahasia tersebut akan tetap menjadi rahasia, gumam Cong Hoa, Persoalannya sekarang, mengapa dia tidak mendahulu aku datang kemari dan memusnahkan rahasia ini? Apakah lantaran kedatanganku kelewat cepat sehingga dia tidak sempat memusnahkannya? Atau... Mendadak paras muka Cong Hoa berubah hebat, serunya tertahan, Aduh celaka! Dia mendongak keatas lalu melompat dan meraba dinding diatas ruangan itu. Orang itu berdiri kebingungan, dia seakan tidak mengerti mengapa gadis tersebut bertingkah aneh. Setelah melompat turun kembali, Cong Hoa pun bertepuk tangan sambil bergumam, Ooh, rupanya begitu.

Apanya yang begitu? Ditempat ini, kecuali altar panjang yang membawaku turun ke bawah serta pintu rahasia yang kau lewati, apakah masih ada jalan keluar lainnya? Tidak ada, jawab orang itu makin kebingungan, Buat apa kau menanyakan soal ini? Cara apa yang paling baik untuk memusnahkan sebuah rahasia? Dibakar! Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka orang itu kontan berubah hebat. Apakah jalan menuju ke atas sudah... Benar, malah kobaran api sudah semakin membesar. Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh dan lari menuju ke pintu rahasia diatas dinding. Percuma! seru Cong Hoa segera, Jalan itu pasti sudah tersumbat mati! Benar saja, pintu rahasia itu sudah tidak bisa dibuka. Dengan wajah ketakutan orang itu mundur kembali lalu menengok ke arah Cong Hoa dengan perasaan gelisah.

Bagaimana sekarang? serunya. Diberi kecap lalu didinginkan! sahut Cong Hoa sambil tertawa getir. Sekarang dia benar benar berharap bisa didinginkan, seandainya saat ini turun hujan deras, bisajadi Cong Hoa berdua akan tertolong. Tapi dia tahu, tidak mungkin nasibnya semujur itu. Setelah dia berniat akan memusnahkan rahasia ini, sudah pasti api yang dilepas tidak akan secepat itu padamnya, bisa jadi sebagai bahan bakarnya dia pergunakan minyak hitam yang dihasilkan di wilayah Biau. Teringat akan minyak hitam, tiba-tiba sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Cong Hoa. Dalam keadaan begini kau masih bisa tertawa? tegur orang itu. Coba tebak, barusan aku teringat dengan siapa? tanya Cong Hoa sambil tertawa. Sun Go-khong! sahut orang itu jengkel, Kecuali Sun Go-khong yang memiliki ilmu 72 perubahan, siapa yang bisa menolong kita? Meskipun orang itu tidak memiliki ilmu 72 berubah, tapi kisah pengalamannya mungkin bisa selamatkan kita berdua.

Siapa? Siapa orang itu? Bagaimana kisahnya? Coh Liu-hiang! Coh Liu-hiang? Benar, ketika Coh Liu-hiang melacak ke pulau kelelawar, dia pun pernah diserang dengan api sewaktu berada ditengah lautan. Orang itu tidak komentar, dia mendengarkan dengan seksama. Waktu itu semua orang yang ada di kapal sudah panik, sebab sejauh mata memandang hanya lautan api yang ada, tidak satu bagian tempat pun yang bisa digunakan untuk meloloskan diri, saat itulah coh Liuhiang beritahu kepada semua orang, bila ingin tetap hidup, melompatlah ke dalam api. Setelah tarik napas, kembali lanjutnya, Semua orang mengira Coh Liu-hiang sudah edan, tapi menanti dia sudah terjun ke dalam lautan api, semua orang baru tahu kalau Coh Liu-hiang memang tidak malu disebut Coh Liu-hiang! Kenapa? Sebab api hanya membakar diatas permukaan air sementara dibawahnya tetap air, satu-satunya cara untuk meloloskan diri waktu itu hanyalah terjun ke dalam api.

Sayang kita saat ini tidak berada di lautan, dibawah api pun tidak ada air, yang ada hanya kita berdua. Sekalipun dibawah tidak ada air, diatas kita toch ada api. Orang itu tidak mengerti apa maksud dari perkataan Cong Hoa. Dulu dengan beraninya Coh Liu-hiang melompat ke dalam api, sekarang kita pun harus menirunya, katanya. Dengan gagah berani kita terjun ke dalam api. Betul, asal terjun ke api ditanggung kita akan menjadi manusia panggang! Saat ini kobaran api diatas pasti amat besar, tentu ada banyak orang sedang berusaha untuk memadamkan api, maka begitu kita muncul diatas, larilah menuju ke arah kerumunan orang banyak. Andaikata kita gagal mencapai kerumunan orang banyak? Berarti kita hanya bisa berjumpa dua puluh tahun kemudian. Tampaknya hanya ada jalan ini saja buat kita. Terletak di mana tombol rahasia untuk menggerakkan meja altar panjang ini? tanya Cong Hoa kemudian.

Dia tidak menjawab dengan perkataan tapi dengan perbuatan, tangannya segera menarik tombol yang berada sebuah lampu diatas dinding ruangan. Diiringi suara gemericit nyaring, meja altar itu mulai bergerak naik ke atas. Dengan cepat Cong Hoa melompat ke atas meja seraya berseru, Cepat, cepat naik kemari! Ketika orang itu berhasil naik keatas meja, altar panjang itu sudah hampir mencapai atap ruangan. Semakin mendekati ke atas permukaan tanah, udara terasa semakin panas. Tiba-tiba atap bangunan membelah jadi dua, berapa batang kayu yang membara seketika ambruk dan longsor ke bawah. Cong Hoa sudah mulai mengendus bau hangus bekas terbakar yang sangat tajam. Benar saja, kobaran api yang membara diatas permukaan tanah sangat besar, orang yang berkerumun disekitar tempat itu pun sangat banyak. Setelah menyaksikan kerumunan orang yang sedang menolong api, Cong Hoa baru menyadari kalau dia telah salah memperhitungkan satu hal. Semakin banyak orang berkerumun, kobaran api di tempat itu pasti sangat besar, karena orang yang berusaha memadamkan api pasti akan mulai bekerja

dari titik api yang terbesar, kobaran api begitu besar dan dahsyat, bagaimana mungkin manusia bisa melampauinya? Baru saja Cong Hoa berusaha mencegah orang itu agar lari menuju ke arah kerumunan orang banyak, orang itu sudah melompat keluar dan langsung lari menerjang ke arah tempat dimana api sedang membakar dengan hebatnya. Bahaya! pekik Cong Hoa keras keras. Terlambat, orang itu sudah lari menuju ke tengah jilatan api yang membara. Orang ini benar-benar sangat penurut, ternyata dia benar benar lari menuju ke tempat kerumunan orang paling banyak. Andaikata orang itu sampai mati terbakar, jelas kejadian ini merupakan kesalahannya. Bila dia tidak menganjurkan kepadanya untuk lari menuju ke arah kerumunan orang banyak, secara naluri, seharusnya dia akan lari menuju ke tempat dimana jilatan api paling kecil. Kesalahan yang Dia lakukan kali ini betul betul merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Cong Hoa tidak ingin menyaksikan orang itu mati terbakar, tidak boleh dan tidak harus terjadi, sekonyongkonyong dia melejit ke tengah udara, kemudian melesat

ke arah tempat dimana jilatan api berkobar paling besar.

BAGIAN - 4. Jurus pedang ke lima belas.

BAB 1. Rahasia Pesanggrahan Coan-sin-ie-khek.

Cong Hoa memang manusia macam begitu. Demi melakukan sebuah pekerjaan yang dia anggap harus dilakukan dan dia rela melakukannya, maka gadis itu tidak pernah akan memikirkan akibatnya. Sekalipun ada golok yang dipalangkan diatas tengkuknya, tidak nanti dia akan berubah pikiran. Mungkin manusia semacam ini dianggap sedikit goblok, tapi bisa kah kau mungkir bahwa diapun terhitung seseorang yang menawan? Api menjilat dengan dahsyatnya, sekalipun ada seekor gajah raksasa yang lari masuk pun dalam waktu singkat akan terbakar hangus, apalagi hanya seorang manusia?

Dalam hal ini bukannya Cong Hoa tidak memikirkan, hanya saja dia terlambat berpikir ke situ, karena orang itu begitu penurut dan lari menuju kearah yang dianjurkan, bagaimana mungkin dia hanya berpeluk tangan saja? Kobaran api begitu dahsyat, bisa jadi baru melangkah masuk, tubuh mereka sudah terbakar jadi abu, tapi bagaimana pun dia tetap nekad akan memasukinya. Menanti kobaran api berhasil dipadamkan, dia tetap tidak berhasil menemukan dia diantara reruntuhan dan puing yang hangus. Yang tersisa di tempat kejadian hanya kayu arang dan abu bekas kebakaran, tidak dijumpai tulang belulang manusia. Jangan lagi tulang belulang manusia, bahkan bangkai semut yang kecil pun tidak dijumpai satu pun. Cong Hoa sudah enam kali melakukan penelusuran, sudah enam kali membongkar sisa puing yang berserakan ditempat itu, sekali demi sekali, dia mencari terus, gagal yang pertama dilanjutkan pencarian yang kedua. Hasilnya? Tetap tidak ditemukan apa-apa. Bagaimana mungkin bisa begitu?

Dengan jelas sekali dia saksikan orang itu lari menuju ke tengah kobaran api, kenapa tidak berhasil ditemukan jenasahnya? Sekalipun dia sudah mati terbakar, paling tidak tentu akan ditemukan sisa-sisa tulang belulangnya. Tidak ditemukan apa-apa. Sama sekali tidak ditemukan apa-apa. Cong Hoa gelengkan kepalanya berulang kali, mengawasi sisa puing yang berserakan, mimik mukanya saat ini seperti seseorang yang baru saja melihat setan, dia hanya mengawasi ke tengah arena dengan pandangan mendelong. Kemana larinya orang itu? Dengan mata kepala sendiri dia saksikan orang itu lari menuju ke tengah kobaran api, kemudian diapun segera menyusul dari belakangnya, kenapa tidak dijumpai jenasahnya? Kenapa bisa muncul kejadian seperti ini? Kemana kaburnya orang itu? Sebenarnya dia sudah tiba di mana? Atau mungkin kobaran api yang membara kelewat dahsyat sehingga tulang belulangnya pun ikut terbakar hingga jadi abu? Sewaktu Cong Hoa berhasil lolos dari jilatan api tadi, pakaian yang dikenakan sudah terbakar hingga tidak berbentuk, bahkan kulit tubuhnya lamat-lamat terasa sakit, tentu saja sebagian rambutnya ikut terbakar hangus.

Tapi orang itu, kenapa dia bisa hilang lenyap tidak berbekas? Mungkin pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab oleh siapa pun. Satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan tersebut mungkin hanya dia seorang. Tapi dimanakah 'ia' sekarang? Suasana di arena kejadian amat kalut, suara manusia hiruk pikuk, namun Cong Hoa bagaikan puncak bukit karang yang bersalju abadi, berdiri tidak bergerak, walaupun sepasang matanya tertuju ke tengah puing dan memandangnya tanpa berkedip, namun sorot matanya justru sedang memandang ke tempat kejauhan sana. Sungguh keji perbuatan orang itu, sadar kalau rahasianya sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kuatir kalau sudah tidak punya cukup waktu untuk melaksanakan operasi pemusnahan, ternyata dia tidak segan untuk mengirim seorang jagoannya untuk memancing perhatian Cong Hoa, agar dia punya waktu untuk melepaskan kobaran api. Bukan saja dia ingin memusnahkan rahasianya, membantai Cong Hoa, bahkan keselamatan orang kepercayaannya pun ikut dikorbankan. Abu bekas kebakaran yang berwarna hitam meninggalkan jelaga di mana-mana, abu yang

beterbangan terhembus angin melayang di udara bagaikan asap putih... Selewat tengah hari terlihat awan tipis mulai terhimpun jadi gumpalan mega, tampaknya sore nanti ada kemungkinan turun salju. Suara hiruk pikuk masih menggema memecahkan keheningan, masing-masing orang sedang membanggakan kehebatan sendiri ketika menolong api tadi, tidak seorangpun yang memperhatikan kehadiran Cong Hoa di tempat itu. Tiba-tiba Cong Hoa merasa ada sepasang mata diantara kerumunan orang banyak sedang mengawasi tengkukya dengan sorot mata yang setajam sembilu, dengan cepat dia berpaling, namun tidak berhasil menemukan pemilik dari sepasang mata yang tajam itu. Sorot mata yang tajam bagai mata golok, manusia yang kabur bagai kabut tebal. Siapakah pemilik sorot mata setajam sembilu itu? Diakah pelaku pembakaran ini? Cong Hoa mulai melakukan pelacakan, mulai melakukan pencarian, dia berharap bisa menemukan pemilik sorot mata yang tajam itu. Tapi sejauh mata memandang, hampir sebagian besar yang hadir adalah pegawai dari pesanggrahan ditambah mereka yang rasa ingin tahunya besar.

Mungkinkah pemilik sepasang mata tajam itu bersembunyi dibalik kerumunan orang banyak? Tidak ada. Cong Hoa yakin orang itu sudah tidak ada. Mungkin 'dia' sudah pergi dari situ. Baru saja Cong Hoa akan melakukan pencarian ke arah lain, mendadak ekor matanya menangkap sesosok bayangan manusia yang terasa amat dikenalnya. Dengan cepat dia membalikkan tubuh, lalu dia pun menyaksikan ada tujuh-delapan orang sedang bersiapsiap meninggalkan tempat itu. Ketika dia mencoba memperhatikan dengan lebih seksama, ternyata dari ke tujuh-delapan orang itu tidak dijumpai bayangan manusia yang amat dikenalnya itu, tapi dia dapat merasakan bahwa gerak-gerik berapa orang itu ada yang tidak benar, hanya saja dia tidak bisa menjelaskan dimana letak ketidak benaran itu. Tiga orang yang berada dipaling depan dapat segera dikenali sebagai pegawai dari pesanggrahan pengobatan, mereka mengenakan pakaian seragam berwarna putih, kendatipun wajahnya diliputi kemurungan, namun tidak bisa menutupi perasaan hatinya yang gembira karena menyaksikan bencana itu. Berikutnya adalah seorang kakek berusia setengah abad lebih, walaupun tubuhnya sedang bergerak meninggalkan tempat itu namun pikirannya seakan masih tertinggal di arena kebakaran, berulang kali dia

berpaling untuk menengok ke arah tempat kejadian, wajahnya nampak sangat murung. Menyusul dibelakang kakek setengah umur itu adalah dua orang wanita, mereka mengenakan jubah panjang berwarna hijau, diantara kerumunan orang banyak, suara kedua orang inilah yang kedengaran paling besar. Dibelakangnya lagi adalah seorang lelaki yang gemuknya bukan kepalang, setiap berjalan satu langkah, dia segera berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Menurut perkiraan Cong Hoa, paling tidak orang itu berbobot dua ratusan kati lebih, mana gemuk, perawakan tubuhnya pendek lagi sehingga sekilas pandang bentuknya mirip sekali dengan segumpal bola daging. Caranya berjalan sangat lucu, seperti seekor gayah yang sedang dilatih berjalan. Cong Hoa tidak tahan untuk tertawa, tapi dengan cepat senyumannya membeku, caranya berjalan, betul, caranya berjalan, dia segera menyadari bahwa hal yang tidak beres pada ke tujuh delapan orang itu adalah cara mereka sewaktu berjalan. Dia merasa bahwa paling tidak ada satu orang diantara rombongan itu yang caranya berjalan tidak seperti cara jalan orang pada umumnya, dia berpendapat, tidak seharusnya dalam keadaan seperti ini orang tersebut berjalan dengan cara begitu,

semestinya dia berjalan dengan cara berjalan yang 'normal'. Sekali lagi Cong Hoa memperhatikan rombongan orang itu. Tiga orang pegawai pesanggrahan berjalan dengan ringan dan gembiranya. Si kakek setengah umur berjalan sambil tiada hentinya berpaling. Lalu kedua orang perempuan yang berjalan sambil ngoceh tiada habisnya dan terakhir si bola daging yang berjalan seperti gajah melangkah. Semuanya normal, semuanya tidak ada yang aneh. Cong Hoa mulai meraba ujung hidung sendiri, disaat itulah mendadak dia berhasil menemukan sesuatu hal yang amat 'normal'. Ternyata kakek setengah umur yang tiada hentinya berpaling itu dalam waktu singkat telah berhasil melampaui tiga orang yang berada didepannya, bahkan dengan cepat telah berbelok ke sebilah jalan kecil. Bagaimana mungkin seorang kakek setengah umur seperti itu bisa berjalan jauh lebih cepat ketimbang tiga orang pemuda yang masih kuat? Bahkan berhasil melampauinya? Disamping itu, caranya berjalan pun sangat aneh, kaki kanannya melangkah dulu kemudian kaki kirinya baru diseret maju ke depan.

Benar, ternyata cara berjalan kakek setengah umur ini yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres, ketika berjalan masuk ke jalan kecil yang lain itulah mestinya dia telah menggunakan cara berjalannya yang 'normal'. Sebelum hari ini, rasanya dulu dia sudah pernah menyaksikan cara berjalan seperti ini. Orang itu tidak lain adalah seseorang yang mempunyai bekas luka bacokan diantara alis matanya, orang yang mengajaknya menuju ke kota Say-cu-tin. Cong Hui-miat! Cong Hoa mulai tertawa, dia segera melakukan pengejaran, kali ini dia tidak ingin kehilangan jejaknya lagi. Menanti Cong Hoa menyusul sampai dijalan setapak itu, si kakek setengah baya itu sudah berjalan keluar dari pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek. Saat itu dia sudah berjalan ditengah daun kering yang berguguran di akhir musin gugur. Cong Hoa segera menjejakkan kakinya dan melambung ke udara, kemudian dalam berapa kali lompatan ia sudah menyusul di belakangnya. Keluar dari pesanggrahan Coan-sin-ie-khek, Cong Hoa mempercepat gerakan tubuhnya, tidak selang berapa saat kemudian dari kejauhan dia sudah saksikan bayangan punggung kakek setengah umur itu.

Ketika berjalan tadi kakek itu nampak sangat bebal dan lamban, tapi begitu menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, kecepatan geraknya benarbenar luar biasa dan tidak malu disebut seorang jago kelas satu. Sudah seperminum teh berlalu, namun selisih jarak diantara mereka berdua masih tetap bertahan pada posisi semula. Setelah melewati punggung bukit, jalan semakin menurun, dibawah kaki bukit itu terdapat sebuah dusun. Jalanan ditempat itu pasti banyak orang berlalu lalang, berarti tidak mungkin bagi mereka untuk menggunakan ilmu meringankan tubuh lagi. Jarak dengan dusun itu makin mendekat, tidak heran kalau suasana pun bertambah ramai, kini dikiri kanan jalan bukan saja banyak orang berlalu lalang bahkan mulai muncul penjual kaki lima yang mendirikan tenda disepanjang jalan. Begitu memasuki dusun, seperti yang diduga Cong Hoa tadi, kakek setengah umur itu tidak berani berlarian dengan ilmu meringankan tubuhnya lagi, cara berjalan yang bebal dan bodoh pun kembali muncul didepan mata. Sekarang Cong Hoa berani memastikan kalau kakek setengah umur itu tidak lain adalah Cong Hui-miat, walaupun caranya berjalan sangat bodoh dan bebal namun cepat sekali gerakannya, seandainya Cong Hoa

harus meniru caranya berjalan, mungkin selama hidup jangan harap bisa menyusulnya, maka terpaksa dia mulai berlarian. Sekalipun berlarian ditengah jalan gampang memancing perhatian orang banyak, paling tidak jauh lebih mendingan dari pada berlarian dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Ketika dia mulai lari, selisih jarak diantara mereka berdua pun makin lama semakin bertambah pendek, ketika hampir saja berhasil menyusul, mendadak kakek setengah umur itu berpaling seraya berteriak keras, Rampok! Rampok! Ada perampok wanita ingin merampas uang peti matiku! Teriakan itu segera menarik perhatian banyak orang, caci maki segera bergema disana sini, Cong Hoa pun menjadi pusat perhatian orang banyak, sementara kakek setengah umur itu segera berlagak gemetaran dengan muka pucat, malah sudah ada berapa orang pemuda yang datang memayangnya. Sekarang, biar Cong Hoa menceburkan diri ke dalam samudra pun tidak akan bisa mencuci bersih tuduhan itu, ditengah hari bolong apalagi ditengah jalan raya ternyata seorang gadis muda ingin merampok uang beli peti mati milik seorang kakek setengah umur, siapa pun pasti akan menyingsingkan lengan baju untuk memberi pertolongan.

Tiba-tiba saja Cong Hoa ingin tertawa, pekerjaan macam apapun pernah dia kerjakan tapi belum pernah jadi perampok, apa mau dibilang justru berulang kali dia dituduh sebagai perampok, pertama dituduh Ui sauya dan sekarang oleh si kakek celaka, yang jelas adalah penyaruan dari Cong Hui-miat ini. Betul, aku memang akan merampas uangmu! tibatiba Cong Hoa berseru lantang, wajahnya menunjukkan rasa gusar yang luar biasa, Aku memang ingin merampas modalmu untuk membeli peti mati, aku ingin menyaksikan kau mampus tanpa liang kubur. Suamiku sudah berbaik hati dengan menampungmu dirumah kami, melihat usiamu yang sudah tua, luntang lantung tidak punya tempat pemondokan, kau bisa tinggal dirumah kami secara bebas, tapi kau... siapa tahu kau manusia berhati binatang, menggunakan kesempatan disaat suamiku pergi, kau telah melolohku dengan arak, lalu ketika aku mabuk, kau... kau... Bicara sampai disini Cong Hoa pun berlagak sesenggukan hingga tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Tidak ampun lagi, caci maki dan kata umpatan segera berganti sasaran, hampir semua orang yang ada disitu mulai memaki maki kakek setengah umur itu. Perbuatan apa lagi yang bisa lebih bejad daripada usaha seorang kakek hidung belang merogol gadis muda, kerumunan orang banyak pun selangkah demi selangkah menghampiri kakek itu.

Diam-diam Cong Hoa melirik sambil tertawa girang, ingin mencelakai aku? Hmm! Sekarang rasain pembalasanku! Selangkah demi selangkah kakek setengah umur itu mundur ke belakang, sementara kepungan orang banyak semakin merapat. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berseru keras, Salah sasaran, salah sasaran, semuanya salah besar, hari itu sewaktu kau mabuk, dia tidak berbuat kurangajar kepadamu, justru dia datang mencariku dan minta aku pulang untuk merawatmu, mana mungkin dia telah melakukan perbuatan tidak senonoh? Desakan semua orang pun seketika berhenti, tanpa terasa mereka berpaling. Begitu mendengar teriakan itu, Cong Hoa segera tahu siapa yang telah datang, diam-diam dia menyumpah didalam hati, kalau mau datang kenapa justru datang disaat ini? Ui sauya dengan wajah penuh senyuman munculkan diri dari kerumunan orang banyak. Aku tahu, kau pasti akan salah paham kepadanya, ternyata dia masih bermain sandiwara, Aaai ....biniku, kalau ada urusan mari kita bicarakan dirumah saja.

Kurangajar! Berani amat dia menyebutnya sebagai 'bini', untuk sesaat Cong Hoa tidak tahu haruskah marah atau tertawa? Ketika para penonton mendengar kalau urusan hanya salah paham, merekapun segera membubarkan diri. Baru saja Cong Hoa hendak menghalangi kakek itu agar tidak melarikan diri, tahu-tahu Ui sauya telah menarik tangannya. Lepaskan aku! Dengan gelisah Cong Hoa meronta, berusaha melepaskan diri, siapa tahu Ui sauya memegangnya kuat kuat, malah sambil tertawa ujarnya, Biniku, jangan marah lagi..... Kalau kau tidak lepas tangan, aku benar benar akan marah! seru Cong Hoa sambil menarik muka. Baik, lepas, lepas...... Dia benar benar lepas tangan, tapi sewaktu Cong Hoa berpaling lagi, dia sudah kehilangan jejak kakek setengah umur itu. Sinar senja di musim gugur meski tidak secantik sinar matahari di musim panas, namun memiliki pula sebuah keindahan yang khas.

Cong Hoa sedang duduk termangu ditepi jendela sambil memandang cahaya senja dikejauhan sana. Menurut kau, orang itu adalah Cong Hui-miat? tanya Ui sauya. Mungkiin! Kau yakin? tanya Tay Thian pula. Diluar jendela ada angin, didalam ruangan ada api, diatas api terdapat tuingku, diatas tungku terdapat kuali, di dalam kuali terdapat hidangan Huo-ko yang lezat. Sambil menghirup kuah, Tay Thian mengamati wajah Cong Hoa. Perlahan-lahan dia berpaling, mengambil cawan dimeja dan meneguk habis isi cawannya, kemudian baru berkata, Kemarin pagi aku datang ke kuburan Lo Kay-sian... Secara ringkas Cong Hoa menceritakan semua kisah yang dialaminya kemarin pagi, ketika menyinggung soal proses pembuatan mummi yang disaksikan diruang bawah tanah, tiba-tiba Ui sauya menghela napas panjang. Aaai! Sungguh tidak disangka di dunia ini benarbenar terdapat kemampuan seperti ini, katanya setelah meneguk secawan arak, Setelah mati dan menjalani berbagai proses, benarkah suatu ketika nanti mereka akan hidup kembali?

Di dunia ini memang terdapat banyak orang pintar, ilmu pertabiban pun kian hari kian bertambah maju, siapa tahu suatu ketika nanti benar benar bisa terwujud kejadian seperti itu, kata Tay Thian. Arak dengan cepat telah habis diteguk, A-kit si pelayan dari Cin-cun-wan dengan cepat menyuguhkan kembali dua botol arak Tiok-yap-cing. Secara ringkas Cong Hoa melanjutkan kembali kisahnya hingga bagaimana dia lolos dari api kebakaran yang amat dahsyat itu. Aku tidak berhasil menemukan jenasahnya meski sudah kucari kemana-mana, demikian dia berkata, Sementara aku masih murung dan masgul, tiba-tiba kujumpai diapun hadir di arena kejadian. Dia? Apakah kau maksudkan si kakek rentan yang kau kejar itu? tanya Tay Thian. Dan orang itu kau maksud sebagai Cong Hui-miat? sambung Ui sauya pula. Sebetulnya aku tidak berani terlalu yakin, tapi caranya berjalan telah meninggalkan kesan yang kelewat dalam bagiku, kaki kanannya selalu melangkah lebih dulu kemudian baru disusul kaki kirinya secara terlahan-lahan. Cara berjalan Cong Hui-miat memang sedikit agak aneh, kata Tay Thian kemudian, Tapi kau tidak bisa

menuduhnya sebagai Cong Hui-miat hanya lantaran caranya berjalan. Bila tidak ada sesuatu yang tidak beres, kenapa dia langsung kabur setelah bertemu aku? Mungkin dia benar-benar mengira kau adalah perampok! sela Ui sauya sambil tertawa, Bukankah barusan dia menuduhmu sebagai rampok perempuan? Aku malah mengira aku adalah seorang Thaykam! sela Cong Hoa jengkel. Sekalipun tadi aku sempat memanggilmu sebagai bini, toch tidak perlu kau sumpahi aku jadi seorang kasim. Coba kalau tidak kau halangi tadi, sekarang kita sudah tahu malaikat dari manakah dia itu. Belum tentu, ujar Tay Thian, Bila dia benar-benar seperti apa yang kau katakan, hebat ilmu meringankan tubuhnya, biar Ui sauya tidak munculpun, dia pasti masih mempunyai cara lain untuk meloloskan diri. Sekalipun dia bukan Cong Hui-miat, paling tidak pasti ada hubungannya dengan rahasia mummi. Tay Thian tidak bicara lagi, dia hanya termenung sambil putar otak, sementara Ui sauya meneguk arak tiada hentinya.

Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon waru yang tumbuh ditepi jalan, berapa lembar daun berguguran dan terbang melayang dimainkan angin. Mendadak Tay Thian berkerut kening menyusul tangan kirinya diayunkan ke depan, Pryaaang! sebuah mangkuk kuah sudah terbanting hancur diatas lantai, kuah yang tumpah pun mengalir membasahi seluruh permukaan tanah. Dengan tertegun Ui sauya mengawasi mangkuk yang pecah itu, kemudian menengok pula ke arah Tay Thian. Hey tegurnya, Kalau kau memang jemu melihat tampangku, aku bisa pindah ke meja lain. Cong Hoa pun tidak habis mengerti, dia tidak tahu mengapa secara tiba-tiba Tay Thian bersikap begitu, baru saja dia ingin bertanya, tampak peluh dingin telah bercucuran membasahi wajah Tay Thian, darah meleleh diujung bibirnya yang digigit kuat-kuat bahkan tubuhnya mulai gemetar keras. Hey, kenapa kau? serunya. Tay Thian tidak menjawab, sepasang matanya mengawasi hidangan yang ada diatas tungku api tanpa berkedip. Dalam kuah ada racunnya? kembali Cong Hoa bertanya. Tay Thian mengangguk kaku.

Berhubung waktu itu udara sangat dingin, begitu hidangan mulai mendidih, Tay Thian dan Ui sauya segera menghabiskan dua mangkuk kuah, sementara Cong Hoa tidak ikut minum kuah itu lantaran sejak kecil dia memang tidak terbiasa minum panas-panas, maka dia membiarkan kuah dalam mangkuknya dingin terlebih dulu. Tidak disangka justru karena kebiasaan tersebut, hal ini malah selamatkan dirinya. Cong Hoa tidak membuang waktu lagi, dengan cepat dia totok tiga buah jalan darah penting di tubuh Tay Thian, kemudian menotok pula berapa buah jalan darah ditubuh Ui sauya. Gunakan tenaga dalam untuk mendesak keluar racun, paling baik lagi kalau bisa disalurkan lewat ujung jari! seru Cong Hoa kemudian. Percuma, tidak ada gunanya! suara itu tiba-tiba muncul dari belakang meja kasir. Sambil tertawa terkekeh A-kit si pelayan rumah makan sudah muncul sambil mengunci pintu depan. Waktu itu adalah saat beristirahat rumah makan itu, maka dalam ruangan yang luas hanya tinggal Cong Hoa bertiga. Racun itu bernama Sau-li-cing (asmara seorang gadis), biar tabib Hoa Tuo lahir kembali pun jangan

harap bisa memunahkan pengaruh racunnya, kata Akit lagi. Sau-li-cing? Benar, begitu racun itu masuk ke dalam tubuh maka rasanya seperti berada dalam pelukan sang kekasih, begitu hangat, lembut dan mesra, siapa pun enggan untuk melepaskan diri dari keadaan itu. Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Bayangkan saja, siapa sih orang di dunia ini yang bisa melayani pelukan mesra seorang kekasih? Sungguh dahsyat pengaruh dari pelukan kekasih ini, keluh Tay Thian sambil tertawa getir, pandangan matanya memancarkan penderitaan yang hebat. Benar, pelukan mesra sang kekasih benar benar bikin orang tidak tahan, sambung Ui sauya sambil tertawa getir pula, Aku bersumpah tidak akan berani bercinta lagi dikemudian hari... Hingga tahun ini paling tidak usia Ui sauya sudah melampaui tiga puluhan tahun, walaupun dia sudah puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan, meski sudah banyak kejadian besar yang dia lakukan, namun belum pernah ada seorang manusiapun yang menyaksikan dia berpacaran atau bercinta. Cong Hoa memandang ke arahnya dengan wajah murung, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. A-kit pun sedang mengawasi mereka, tentu

saja memandang dengan senyuman dikulum, senyum kebanggaan. Racun ini meski tidak sampai mematikan, paling tidak dalam satu jam mendatang kau tidak akan bisa menggunakan tenaga dalammu lagi, suara A-kit kedengaran semakin bangga. Cong Hoa mulai tertawa dingin. Sekalipun mereka sudah keracunan, tapi aku toch tidak ikut minum, katanya. Kau? Biarpun kau habiskan sebaskon kuah, racun tersebut tidak nanti akan berpengaruh bagimu, kapan kau pernah menyaksikan seorang gadis berbaring dalam pelukan gadis lain? Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, Aku pun telah mencampurkan sejenis obat khusus untukmu. Oya? Bahkan obat ini memiliki sebuah ciri khas yang sangat aneh. Apa keanehannya? Obat itu memang khusus dirancang untuk para setan arak, ujar A-kit sambil mengawasi guci arak dihadapannya, Jika racun itu dicampurkan ke dalam benda lain maka sama sekali tidak ada reaksinya, tapi

kalau dicampurkan ke dalam arak, keadaannya akan berbeda sekali. Bagaimana bedanya? Semakin keras arak itu semakin berkasiat racun tersebut, karena itu aku menyebutnya sebagai arak tua. Arak tua? Bagus, bagus sekali! Cong Hoa tertawa tergelak, Justru arak tua yang makin diminum makin nikmat. Aku senang kalau kaupun bisa menikmati arak tua itu, sehingga tidak menyia-nyiakan pengorbananku. Apakah arak tua sama dengan arak sau-li-cing? Tentu saja, meski tidak semesra pengaruh arak cinta seorang gadis, arak tua pun memiliki ke istimewaan yang berbeda. Dengan susah payah kau carikan dua arak bagus, memang tujuannya agar kami bisa mencicipi? peluh mulai membasahi ujung hidung Cong Hoa. Orang bilang kuda jempolan untuk enghiong, arak wangi untuk jagoan, memangnya aku salah? Aku tidak menyangka caramu menyamar jadi pelayan sangat hebat, kata Cong Hoa sambil gelengkan kepalanya berulang kali. A-kit tidak marah, dia malah tertawa.

Aku tidak perlu menyamar, karena sejak dulu aku memang seorang pelayan, jauh sebelum menjadi anggota Cing Liong Hwee aku memang sudah pelayan, justru yang kupelajari sekarang adalah bagaimana memanfaatkan peranku sebagai seorang pelayan. Ucapan yang bagus, pantas didenda tiga cawan arak! seru Ui sauya tiba-tiba sambil meneguk lagi tiga cawan arak. Kalau toh identitasmu sudah tersimpan sangat rapi, mengapa kau bongkar rahasiamu hari ini? tanya Tay Thian pula, Memangnya kau ingin naik pangkat jadi seorang ciangkwee? Kau kira aku tidak tahu apa tujuan kedatangan kalian hari ini? ujar A-kit hambar, Ketika pertama kali Hoa siocia curiga kepadaku, waktu dia takut aku diperalat orang, takut aku dibunuh orang untuk menghilangkan saksi, menanti terjadi peristiwa di hutan bunga bwee, ketika kait perpisahan direbut orang, kalian tentu mulai curiga pasti ada yang membocorkan rahasia ini. Setelah menatap Tay Thian sekejap, lanjutnya, Sewaktu kau mendatangi rumah bambu, tentu saja kau curiga kalau Ing Bu-ok besar kemungkinan adalah anggota perkumpulan naga hijau, menanti hal ini berhasil kau buktikan, kaupun pasti menduga tentu masih ada orang lain yang bekerja sama dengan Ing Buok, dan siapakah orang itu?

Sambil tertawa A-kit mengawasi mereka bertiga. Setelah dipertimbangkan berulang kali, akhirnya hanya aku orang yang paling dicurigai, kata A-kit sambil menuding hidung sendiri, Sekalipun kelihatannya sejak awal hingga akhir aku sama sekali tidak terlibat, tapi kalau ditelaah kembali, kelihatannya aku memang sedikit tersangkut. Kau keliru, seandainya sampai sekarang kau tetap menyaru jadi cucu kura kura, kami malah sama sekali tidak menaruh curiga kepadamu, ujar Cong Hoa. Betul! Ui sauya menambahkan, Curiga urusan curiga, kalau tanpa bukti, kami toh tidak mungkin menuduh orang secara sembarangan. Sebenarnya aku sendiripun kurang setuju untuk membongkar identitasku pada saat ini, sayang ada seseorang yang tidak setuju, kata A-kit tetap tertawa. Siapa? Aku! suara itu muncul dari anak tangga, disusul suara langkah manusia yang naik ke atas loteng. Suara langkah yang tetap, mantap dan penuh bertenaga. Entah sejak kapan kegelapan malam telah menjelang tiba.

Seluruh ruangan rumah makan Cong-cun-wan telah bermandikan cahaya lentera. Dengan mata terbelalak lebar Cong Hoa, Tay Thian dan Ui sauya mengawasi orang yang sedang berjalan naik ke atas loteng. Mimik muka ketiga orang itu menunjukkan perubahan yang berbeda, ada yang tercengang, terperangah, ada pula yang kaget, seakan tidak percaya. Ternyata orang yang berdiri di mulut tangga tertawa sangat lebar, tertawa sangat menawan. Ternyata kau! seru Tay Thian sambil menghela napas. Tentu saja aku, kecuali aku, siapa lagi didunia saat ini yang memiliki begitu banyak resep dari tabib Hua Tuo? Jadi kau juga yang memusnahkan semua rahasia pembuatan mummi yang berada di ruang bawah tanah? tanya Cong Hoa. Benar. Siapakah si setan pengganti yang kau utus kemarin? Apakah diapun ikut mati terbakar? Siapakah dia sudah bukan urusan penting lagi, kata orang itu dengan suara yang ramah, Bukankah aku yang menjadi incaran kalian semua?

Ui sauya menghela napas panjang, selanya, Kau memiliki kedudukan yang bagus, status yang terhormat, mengapa rela menurunkan derajat sendiri dengan menjadi begundal orang lain? Orang itu tidak menjawab, terhadap pertanyaan sebangsa itu dia memang selalu menolak untuk menjawab, dia hanya tertawa. Padahal pesanggrahan Coan-sin-ie-khek sudah dianggap sebagai tempat keramat, tempat yang disegani dan dihormati setiap umat persilatan, bahkan nama besar Hong Coan-sin pun sudah amat termashur dikolong langit, kenapa kau tidak segan untuk menghancurkannya? kata Tay Thian pula. Ternyata orang itu tidak lain adalah Hong Coan-sin. Hong Coan-sin hanya tertawa, dengan langkah yang amat santai dia berjalan ke dalam ruangan, sementara sorot matanya memandang ke arah Tay Thian. Sejak kapan kau mulai curiga kepada-ku? tanya dia. Sepintar lalu orang mengira kematian Lo Kay-sian disebabkan terkena kait perpisahan, padahal kau seharusnya mengerti juga, dia bukan mati karena terhajar kait perpisahan, dia mati karena terkena sejenis racun yang membuatnya tidak sanggup mengerahkan tenaga dalamnya. Yaa, racun Sau-li-cing!

Waktu itu aku tidak tahu apa namanya, tapi secara lamat-lamat bisa kuduga kalau racun itu sebangsa bubuk Ngo-ma-san yang bisa membuat orang mati rasa, kata Tay Thian, Bila bubuk Ngo-ma-san yang hebat pun berhasil ditemukan orang, rasanya tidak sulit untuk membuat racun sebangsa sau-li-cing. Oleh sebab itu kau mulai mencurigai aku? Belum, aku belum menaruh curiga kepadamu, Tay Thian menggeleng, Kemudian aku tiba di rumah bambu, minum arak yang sudah dicampuri opium sehingga muncul khayalan tentang burung kakak tua berdarah, beruntung waktu itu Ui sauya muncul tepat waktu dan selamatkan jiwaku. Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Tapi yang membuat aku sangat terkejut adalah ternyata Ing Bu-ok dapat menggunakan ilmu pedang toh-mia-cap-sakiam. Menunggu kau bertemu dengan Cong Hoa dan mengetahui masalah peti mati kosong dan ruang bawah tanah, kemudian bila kalian rangkai semua persoalan menjadi satu, memangnya saat itu aku bisa menyangkal lagi? kata Hong Coan-sin dengan nada hambar. Tahukah kau, selama ini aku selalu menghormatimu? kata Tay Thian, Bukan saja menghormati kehebatan ilmu pertabibanmu, akupun menghormati kau sebagai seorang kuncu sejati,

mengapa kau justru melakukan perbuatan terkutuk macam ini? Bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee bukan perbuatan yang terkutuk, kata A-kit sambil tertawa, Perkumpulan naga hijau... Hmm, manusia macam kau pun bisa bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee? tidak tahan Cong Hoa berseru. Hong Coan-sin termenung sejenak, lewat berapa saat kemudian dia baru menghela napas panjang. Oleh karena aku adalah manusia semacam ini, maka baru bergabung dengan perkumpulan mokau, sahutnya. Berarti kau masuk atas dasar suka rela? tanya Ui sauya. Benar. Aku benar-benar tidak habis mengerti, gumam Cong Hoa seraya menggeleng, Aku benar-benar tidak habis mengerti. Mungkin kau tidak mengerti lantaran kau sama sekali tidak tahu manusia macam apakah dirimu ini. Tiada perubahan apapun diatas wajah Hong Coansin, tapi kelopak matanya justru menyusut kencang, sekilas perasaan apa boleh buat terlintas di wajahnya.

Sekalipun begitu, paling tidak aku masih percaya kalau kau bukan seorang siaujin berhati telengas seperti anggota perkumpulan Cing Liong Hwee lainnya, kata Tay Thian. Untuk kesekian kalinya Hong Coan-sin termenung, setelah itu perlahan-lahan dia baru berkata, Aku belajar ilmu pertabiban memang bertujuan untuk menolong orang, sebab aku mendapat tahu, dari sepuluh orang tabib yang ada didunia ini, sembilan setengah diantaranya hanya manusia goblok. Ehmm, dalam hal ini aku sangat setuju, Ui sauya manggut-manggut. Tapi kemudian, aku belajar ilmu pertabiban sudah bukan untuk menolong orang. Lalu untuk apa? Terakhir aku belajar ilmu pertabiban karena aku sudah sama sekali keranjingan, kesetanan. .... Dalam melakukan pekerjaan apa pun, bila sudah keranjingan, dia gampang kesetanan. Maka kaupun bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee? tanya Ui sauya. Perkumpulan Cing Liong Hwee tidak lebih hanya sebuah organisasi pembunuh, kata Cong Hoa, Aku tidak habis mengerti, apa hubungannya dengan ilmu pertabiban?

Aku mengerti, ujar Tay Thian, Meskipun dalam perkumpulan Cing Liong Hwee banyak terdapat tehnik membunuh yang sangat menakutkan, namun terdapat juga banyak resep rahasia untuk mengobati orang, seperti misalnya obat campuran opium yang kuteguk di rumah bambu tempo hari, bila digunakan pada jalan yang benar, khususnya bila dipakai untuk mengobati penyakit, seringkali kasiatnya jauh diluar dugaan. ...Air bisa membuat sampan mengambang, dapat pula membuat sampan tenggelam. Bila kau menggunakan untuk hal yang positip, serbuk Bi-suang pun bisa menjadi obat penyembuh yang mustajab, kata Hong Coan-sin cepat. Bi-suang? Bukankah benda itu sangat beracun? Bisa dipakai untuk mengobati apa? tanya Cong Hoa tidak habis mengerti. Pernah dengar sistim pengobatan dengan racun melawan racun? Benar. Nah, itulah kegunaannya. Sekujur badan Cong Hoa sudah mulai gemetar tiada hentinya. Entah karena udara semakin dingin? Atau karena reaksi 'arak tua'. Kelopak matannya terasa semakin berat dan ingin dipejamkan, tapi perasaan hatinya

tetap meronta, dia tetap meronta dan berusaha membuka matanya kembali, dia seakan melihat Hong Coan-sin sedang tertawa, diapun seolah mendengar Ui sauya sedang bertanya, Berarti kau bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee karena ingin belajar ilmu pertabiban? Benar. Kalau memang untuk mengobati orang, kenapa masih membunuh orang? Terkadang untuk membunuh, terkadang untuk menolong. Sewaktu mendengar perkataan itu, kulit mata Cong Hoa sudah terasa sangat berat, kemudian dia tidak mendengar suara apa-apa lagi. Pada saat itulah dia terbayang kembali sorot mata Ui sauya yang seakan sedang dirundung kekesalan. Bubur kedele dari Nona hitam. Ruangan itu dominan berwarna putih, Nyoo Cing berbaring ditengah warna putih. Dinding yang putih, tirai jendela yang putih, seprei yang putih, tapi kegelapan pekat berada diluar jendela. Sedemikian hitamnya hingga membuat perasaan hati remuk redam. Walaupun sepasang mata Nyoo Cing sedang mengawasi kegelapan malam diluar jendela, namun

sinar matanya entah sudah berpetualangan hingga ke mana? Nun jauh didepan sana terlihat awan sedang bergerak, ditengah hembusan angin lamat-lamat terdengar suara auman anjing yang saling bersahutan. Malam, mengapa selalu mendatangkan kesepian? Mendatangkan kesedihan? Malam ini bintang bertaburan di angkasa, rembulan bersinar tanpa suara, suasana tercekam dalam keheningan yang luar biasa. Keheningan yang membuat perasaan hati orang berbuai mabuk. Sinar mata masih melayang kian kemari, namun telinga nya mulai bergerak. Malam sangat hening, oleh sebab itu suara langkah kaki yang ringan selalu memancing perhatian khusus.

BAB 2.

Suara langkah itu ringan lagi pendek pendek, jelas suara langkah kaki seorang wanita. Belum terdengar suara ketukan pintu, dengan kemalas-malasan Nyoo Cing telah berseru, Masuklah! Suara langkah kaki itu seketika terhenti, tampaknya si pendatang merasa amat terkejut. Akhirnya pintu dibuka

orang dan masuklah seorang wanita yang amat cantik, amat lembut dan amat manis. Ayah, kau belum tidur? ternyata wanita yang barusan muncul adalah Hoa U-gi. Ingin tidur, hanya malam ini kelewat hening, keheningan membuat aku pingin minum arak, jawab Nyoo Cing masih memandang keluar jendela. Boleh minum arak? Semua tabib pasti berkata, seorang pasien tidak boleh minum arak, Nyoo Cing membalikkan tubuh dan menyahut sambil tertawa, Menurutmu, bolehkah aku minum arak? Kalau ayah ingin minum, siapa yang mampu menghalangi? Hoa U-gi turut tertawa. Mendengar perkataan itu, diatas wajah Nyoo Cing segera tampil suatu perasaan apa boleh buat yang sukar dilukiskan dengan kata, ujarnya sambil tertawa getir, Semua orang sukses, seringkali tidak dapat mendengar kata hati yang sesungguhnya. Tentu saja Hoa U-gi mengerti apa maksud perkataannya itu, namun dia hanya tertawa. Biarpun wajahnya dipenuhi senyuman namun dibalik matanya sama sekali tidak ada niat tersenyum, tertawa semacam

ini jauh lebih menggidikkan hati ketimbang sama sekali tidak tertawa. Malam semakin hening, angin berhembus makin dingin, diujung musim gugur, tiada bintang yang berbicara di udara. Aneh, hari ini Tay suya tidak berada disini, juga tidak balik ke istana, sebenarnya dia pergi kemana? tanya Hoa U-gi. Kesebuah tempat, sebuah tempat yang amat jauh, sebuah tempat yang sangat dekat, jawab Nyoo Cing. Sangat jauh? Amat dekat? Apa maksud perkataan ini? Tempat yang dia kunjungi boleh dibilang sangat dekat, tapi bisa juga dibilang amat jauh, kata Nyoo Cing sambil menatap wajahnya, Ini mah tergantung kejadian apa yang sedang dihadapinya? ..... Bila nasibnya buruk berarti dia mati, kalau mati berarti pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Bila bertemu jebakan hingga nasibnya kurang beruntung dan ditangkap, dia pasti berada dekat dari situ. Hoa U-gi mengawasi kerutan diatas wajah Nyoo Cing, tidak berjumpa selama berapa hari, dia merasa kerutan diwajah ayahnya bertambah banyak, bahkan bertambah dalam.

Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatan Tay suya, apa yang bisa kuperbuat? setelah mengawasi kakinya yang masih dijepit dengan papan, lanjutnya, Aku hanya seorang pasien, kakiku sedang diikat dengan papan yang menyiksaku setengah mati, mau bergerak pun sama sekali tidak mampu, biarpun berhasil menemukan dia, apa yang bisa kuperbuat? Membantunya? Biar punya keinginan berbuat begitupun tidak punya kekuatan. Ayah sudah memangku jabatan banyak tahun, kau pasti masih mempunyai orang kepercayaan, ujar Hoa U-gi seakan sangat menguatirkan keselamatan Tay Thian, Apakah perlu kuberitahu kepada mereka, agar orang-orang itu pergi mencari Tay suya? Darimana kau bisa tahu kalau aku masih memiliki orang kepercayaan? tanya Nyoo Cing sambil menatapnya tajam. Sejak dulu, tidak seorang jenderal pun yang tidak memiliki orang kepercayaan, Hoa U-gi tertawa, Sekalipun tidak pernah digunakan sepanjang masa hidupnya, paling tidak pasti sudah mempersiapkan jauh sebelumnya. Nyoo Cing tertawa. Biarpun saat ini masih selisih jauh menjelang fajar menyingsing, namun masa gelap akhirnya pasti akan berlalu dan hari terang pasti akan muncul juga, Nyoo Cing mengalihkan pandangannya ke luar jendela,

Disaat menjelang fajar, ketika hawa dingin masih menyelimuti udara pagi, bisa menikmati semangkuk bubur kedele memang merupakan satu kenikmatan yang luar biasa. Ayah ingin minum bubuk kelede? Sudah cukup lama aku tidak menikmati bubur kedele dari nona hitam. Bubur kedele nona hitam? seru Hoa U-gi, Maksud ayah, bubur kedele asin yang dijual di kedai bubur asin? Benar. Konon resep mereka diwariskan secara turun menurun? Itulah sebabnya dagangan mereka sangat laris, biasanya sebelum fajar menyingsing, dagangan mereka sudah habis terjual. Baik, kalau begitu aku akan ke sana dan membelikan semangkuk untuk ayah. Bila dia sudah selesai membungkus bubur itu, terimalah dengan tangan kiri kemudian kembalikan kepadanya lagi dengan tangan kanan, kata Nyoo Cing, Katakan, kau ingin minum semangkuk dulu disitu. Berbinar sepasang mata Hoa U-gi setelah mendengar perkataan itu.

Dia pasti akan bertanya kepadamu, mau menggunakan mangkuk apa, ujar Nyoo Cing lebih jauh, Maka jawab saja sembarang mangkuk asal bukan mangkuk yang sudah gumpil. Hanya begitu? Benar. Apakah kata-kata itu merupakan kode rahasia untuk berhubungan? Jadi si nona hitam adalah orang kepercayaan ayah? desak Hoa U-gi lebih jauh. Nyoo Cing mengangguk tanda membenarkan. Apakah perlu disampaikan suatu berita? Tidak perlu, tidak usah bicara apapun! Baik, aku tahu! Kabut tebal berwarna putih muncul dari tengah hutan diatas bukit, menguap ke udara dari permukaan tanah yang lembab, sementara asap putih mengepul dari atas kuali. Si nona hitam baru saja membuka penutup kuali dan mengambil semangkuk bubur kedele, setelah diberi sedikit bumbu maka semangkuk bubur kedele asin dari nona hitam sudah dihidangkan didepan tamu yang antri.

Saat itu fajar belum menyingsing, tapi didalam kedai nya sudah ada enam tujuh orang tamu yang sedang antri. Nona hitam sedikitpun tidak hitam, bukan saja tidak berwarna hitam, kulit tubuhnya justru kelihatan sangat merah, semerah gadis perawan yang baru pertama kali bertemu kekasihnya, warna merah yang menghiasi pipi mereka. Usianya seputar dua puluh lima, enam tahunan, mukanya bulat, alis matanya melengkung bagai bulan, biji matanya hitam berkilat bagaikan rembulan yang muncul sehabis hujan deras, hidungnya kecil mancung, bibirnya bagai buah delima merekah. Diapun memiliki sepasang kaki yang mulus, ramping dan halus, ditambah celana hitamnya yang ketat, membuat nona itu nampak sangat menawan. Biarpun sepasang tangannya sudah terbiasa bekerja keras, namun jari jemarinya masih tampak mulus, ramping dan indah, selembut tahu yang baru diangkat dari dalam kuali. Sewaktu Hoa U-gi tiba disitu, tujuh delapan buah meja yang tersedia dalam kedai sudah ditempati belasan orang, setiap tamu asyik menikmati bubur kedele dan seakan saling tidak mengenal. Selamat pagi! sapa nona hitam sambil tertawa, Pagi amat nona sudah sampai disini?

Katanya kalau datang terlambat, tidak akan kebagian bubur, sahut Hoa U-gi sambil tertawa pula. Maklumlah, mulai memilih kedele, mencuci, menumbuk hingga memasak, semuanya kulakukan sendiri, jadi yaa beginilah... Tapi akibatnya semua pembeli jadi sengsara, sebab harus datang lebih awal, Hoa U-gi seakan sedang mengomel. Sementara kedua orang itu saling berbincang, belasan tamu lainnya seakan tidak mendengar, mereka semua masih asyik menikmati bubur kedelenya sehingga tidak berminat untuk memperhatikan urusan lain. Tolong siapkan dua mangkuk bubur, aku akan membawanya pulang, kata Hoa U-gi sambil menyodorkan mangkuk yang dibawanya. Baik. Ketika bubur itu telah siap dan diserahkan kepada Hoa U-gi, gadis itu segera menerimanya dengan tangan kiri lalu mengem-balikan kepada nona hitam itu dengan tangan kanannya. Lebih baik aku menikmati semangkuk dulu disini. Oya? berkilat sepasang mata nona hitam, Mau memakai mangkuk apa? Sembarang, asal bukan mangkuk yang gumpil.

Hoa U-gi telah melaksanakan semua tugasnya sesuai dengan perintah Nyoo Cing. Dan seharusnya persoalan pun sudah selesai sampai disitu. Siapa tahu baru saja menerima kembali mangkuk berisi bubur dari tangan Hoa U-gi, mendadak terlihat nona hitam mengernyitkan dahinya, mangkuk berisi bubur panas yang berada ditangannya tahu-tahu sudah dilemparkan ke arah sebuah meja ditengah ruangan, meja yang ditempati tiga orang tamu. Bubur panas itu segera meluncur ke udara dan menyiram ke wajah tiga orang itu. Dengan cekatan ketiga orang itu berjumpalitan lalu menyingkir ke samping, berbarengan dengan gerakan itu, tiba-tiba sisa tamu yang lain telah melompat bangun, dalam genggaman mereka pun sudah bertambah dengan belasan macam senjata tajam. Pedang, golok, kapak, senjata rahasia, ruyung, poankoan-pit, hampir semua jenis senjata tajam ditujukan ke tubuh nona hitam. Dengan amat cekatan nona hitam menyambar kualinya kemudian melesat ke atas udara dengan menjebol atap rumah, kemudian dengan satu gerakan yang indah dia berdiri diatas wuwungan rumah. Baru saja tubuhnya berdiri tegak, mendadak dari hadapan wuwungan rumah meluncur datang sebaris

anak panah, nona hitam segera membungkukkan tubuh sambil melayang turun ke tengah jalanan. Seorang pemuda bersenjata sepasang kapak segera menyongsong kedatangannya, bagaikan putaran roda pedati sepasang senjatanya membacok tubuh gadis itu berulang kali. Dari balik kegelapan terlintas sekilas cahaya darah, disusul percikan darah segar berhamburan ke mana mana. Tahu-tahu pemuda bersenjata kapak itu sudah roboh terkapar ke tanah, darah masih bercucuran membasahi wajahnya, perasaan kaget, tercengang, ngeri bercampur aduk diwajahnya, seakan hingga saat ajalnya dia masih belum percaya kalau nona hitam bisa menghabisi nyawanya. Ditengah hujan darah, kembali ada empat orang muncul dari balik warung, dengan membagi diri jadi dua arah, satu rombongan menyerang tubuh bagian atas nona hitam itu sementara rombongan yang lain membabat bagian bawah tubuhnya. Orang ke lima yang kemudian munculkan diri bersenjatakan sebuah ruyung panjang, senjatanya bagaikan seekor ular berbisa langsung melilit ke arah pinggangnya. Pletakk..! dengan cepat ruyung itu melilit dipinggang nona hitam, sementara senjata tajam yang berada ditangan ke empat orang lainnya sudah berada tidak sampai satu inci dari tubuh nona itu.

Semua peristiwa berlangsung dalam waktu sekejap, belum sempat Hoa U-gi melihat jelas apa yang terjadi, tahu-tahu ruyung itu sudah melilit dipinggang nona hitam disusul kemudian senjata ditangan ke empat orang itu sudah dibacokkan ke atas tubuihnya.

BAB 3. Ti Cing-ling yang berada di rumah batu.

Sebuah rumah batu, sebuah meja batu, dua buah bangku batu, sebuah lentera, sebuah anglo tembaga, sepoci arak, sebuah cawan kristal, sebuah mangkuk kristal, seorang manusia. Anglo berada diatas meja batu, diatas anglo sedang memasak semangkuk bubur teratai, bau harum semerbak memenuhi seluruh ruangan berbatu itu. Si manusia duduk ditepi lentera. Dia mengenakan pakaian serba putih, bersih tidak berdebu, wajahnya pucat, bersih namun selalu membawa mimik muka senyum tidak senyum yang dingin menggidikkan hati. Diatas lantai berlapiskan sebuah permadani bulu domba yag didatangkan dari negeri Persia.

Ti Cing-ling dengan mengenakan jubah panjang berwarna putih, bertelanjang kaki, duduk bersila didepan meja batu, duduk diatas permadani berbulu domba dan perlahan-lahan menikmati arak anggurnya yang memenuhi cawan kristal. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang perlahan bergema dari luar pintu, disusul pintu ruangan dibuka dan seorang perempuan berbaju putih bagai sesosok sukma gentayangan berjalan masuk ke dalam ruangan. Ti Cing-ling sengaja tidak memandang ke arahnya, dia masih menikmati arak anggurnya dengan santai. Perempuan berbaju putih itu langsung duduk dihadapannya, dia menuang sendiri secawan arak anggur lalu memandang kearah lelaki dihadapannya dengan tenang. Lama sekali mereka duduk saling berhadapan, saling minum arak tanpa berbincang. Lama, lama kemudian, akhirnya Ti Cing-ling mendongakkan kepalanya memandang ke arah perempuan itu. Rupanya kau? Kau sudah datang? Tentu saja aku, tentu saja aku yang dating! Tapi seingatku, seharusnya kau sudah datang semenjak setengah jam berselang?

Setengah jam berselang semestinya aku sudah duduk disini, tapi si kura-kura tua itu bukan manusia sederhana, aku mesti bertindak lebih hati-hati, berputar dulu ke tempat lain sebelum datang kemari. Ti Cing-ling menatapnya lekat-lekat. Sejak kau datang kemari dulu, sampai sekarang sudah selisih berapa lama? Tiga belas tahun. Tiga belas tahun lewat sembilan bulan tujuh hari! Ti Cing-ling segera mengkoreksi, Ketika kau datang selamatkan jiwaku, hari itu adalah bulan dua belas tanggal dua puluh sembilan, sementara hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tujuh. Kembali ditatapnya perempuan itu lekat lekat, terusnya, Itu berarti sudah lewat tiga belas tahun sembilan bulan tujuh hari. Sungguh cepat waktu berlalu, perempuan itu menghela napas panjang. Dalam tiga belas tahun ini, nyamankah hidupmu? Sangat tenang, sahut perempuan itu setelah menghirup seteguk araknya. Apakah kura-kura tua itu seringkah munculkan diri?

Tidak, tapi jauh lebih menakutkan dari pada dia muncul dihadapanku, suara perempuan itu kedengaran agak gemetar. Oya? Bila dia munculkan diri, kau akan tahu kalau dia berada dihadapanmu, tapi kalau tidak muncul, maka setiap waktu setiap saat kau seolah olah merasa kalau dia berada disekelilingmu. Setelah meneguk secawan arak, lanjutnya, Perasaanku waktu itu seperti berada ditengah hutan lewat, meskipun tidak menjumpai binatang apapun yang berbahaya, namun setiap mengayunkan langkah, kau selalu harus waspada, siap menghadapi terkaman dari binatang buas. Dengan tenang Ti Cing-ling menyuap bubur bunga teratainya, diapun mengambilkan semangkuk untuk perempuan itu. Kapan janjimu dengan kura-kura tua itu? dia bertanya. Dua puluh tahun lebih satu bulan. Dua puluh tahun lebih satu bulan? dengan termangu Ti Cing-ling mengawasi asap yang mengepul dari kuali, Mengapa bukan dua puluh tahun, mengapa bulan dua puluh satu tahun tapi justru dua puluh tahun lewat satu bulan?

Setelah menyuap lagi sesendok bubur, lanjutnya, Mengapa harus dilampaui selama satu bulan? Mungkin saja dia merasa lebih asyik dengan ditambah satu bulan. Tidak, pasti ada maksud tertentu, ujar Ti Cing-ling, Aku sangat memahami watak kura-kura tua itu, belum pernah dia melakukan pekerjaan yang tidak bermakna. Mungkin saja tujuannya agar kita selalu menaruh perasaan sangsi, curiga dan ragu. Moga moga saja begitu, kata Ti Cing-ling setelah berpikir sejenak, Cara kerja kura-kura tua ini selalu lebih aneh ketimbang cara kerja Siau gongcu, ilmu silatnya juga sukar ditebak, betul-betul membuat kepala pusing. Sudah lama dia tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, mengapa justru menaruh perhatian yang berlebihan terhadap Nyoo Cing? Sebab ayahnya Nyoo Cing, Nyoo Heng adalah satusatunya sobat kental dia, Ti Cing-ling menerangkan setelah menghirup seteguk arak anggur. Kalau memang ingin membantu Nyoo Cing, kenapa tidak dilakukan terus terang? Sebab dia tidak berharap Nyoo Cing menjadi seseorang yang tidak punya pendirian dan selalu tergantung pada orang lain, dia ingin Nyoo Cing menjadi Nyoo Heng kedua.

Ditatapnya perempuan berbaju putih itu sekejap, kemudian sambil tersenyum kembali Ti Cing-ling melanjutkan, Kalau bukan begini, buat apa dia paksa kau untuk menepati sumpah janjimu selama dua puluh tahun? Kalau bukan karena begini, kau sudah mati sejak dua puluh tahun berselang. Dia suruh aku menepati sumpahku bertahan selama dua puluh tahun lebih satu bulan, bukankah tujuannya agar Nyoo Cing membunuh aku dengan tangannya sendiri? kata perempuan berbaju putih itu hambar. Rasanya memang begitu. Mendadak dari balik mata perempuan berbaju putih itu terpancar sebuah perubahan yang tidak terlukis dengan perkataan, semacam rasa benci, dendam, murung, kesal, sedih dan perasaan apa boleh buat yang bercampur aduk. Kalau bukan begini, rasanya kau pun sudah mampus sejak dua puluh tahun berselang? sindir perempuan berbaju putih itu sambil tertawa, tertawa dingin. Tapi paling tidak alasannya tidak membunuhku sedikit berbeda dengan alasanmu. Dibagian mana yang berbeda? Dia pasti akan memberi sebuah kesempatan kepada Nyoo Cing, sebuah kesempatan yang benarbenar adil, dia menginginkan Nyoo Cing dengan

menggunakan kekuatan sendiri untuk berduel melawanku. Setelah tertawa, kembali terusnya, Kalau bukan begitu, ketika tiga belas tahun berselang kau mengingkar janji dengan secara diam-diam datang menolongku, bagaimana mungkin kau bisa lolos dari incaran serta pengamatannya? Dia telah memberi sebuah kesempatan yang adil kepada Nyoo Cing untuk berduel, bagaimana dengan kau? Tampaknya kau tidak memberi kesempatan kepada Nyoo Cing untuk berduel secara adil? kata perempuan berbaju putih itu. Ada, disaat duel itu berlangsung, aku pasti akan memberi kesempatan yang adil untuk Nyoo Cing, kata Ti Cing-ling sambil tersenyum, Tapi sebelum duel itu berlangsung, kita harus tergantung pada kemampuan masing-masing. Tapi cara kerjamu kelewat keji, kelewat sadis, mulamula kau hantar putrinya agar bertemu dengannya, agar tumbuh perasaan kasih diantara mereka berdua, bila rasa kasih sudah tumbuh, perasaan orang akan bertambah lembek, kemudian setiap saat kau berusaha menciptakan ancaman bahaya kepada putrinya, agar dia merasakan tekanan batin yang berat. Ti Cing-ling hanya mendengarkan, sama sekali tidak komentar.

Tekanan batin bisa menimbulkan kekosongan pikiran, pikiran yang kosong akan membuatnya sangat tergantung pada orang kepercayaannya, saat itulah kau akan menyingkirkan orang kepercayaannya satu demi satu, agar dia hidup sendirian lagi. Dengan sorot mata yang tajam perempuan berbaju putih itu mengawasinya lekat-lekat, kemudian katanya lagi, Bila keadaan ini dibiarkan berkembang terus, maka ketika tiba saatnya untuk berduel, kau pun bisa meraih kemenangan tanpa harus bertarung. Ti Cing-ling balas menatapnya. Apakah kau tidak berharap aku menang? Apakah kau berharap aku kalah? serunya. Menghadapi pertanyaan ini, untuk sesaat perempuan berbaju putih itu tidak sanggup menjawab, dia sendiripun tidak jelas, seharusnya mengharapkan Nyoo Cing menang atau kalah. Tapi sejujurnya, dia memang berharap Nyoo Cing kalah, tapi tidak berharap Nyoo Cing mati. Tampaknya posisi Nyoo Cing saat ini sudah sendiri, apa langkahmu berikut? tanya perempuan berbaju putih itu. Langkah berikut tentu saja merupakan langkah terpenting, kata Ti Cing-ling, Aku akan membuat pertahanan terakhirnya ikut runtuh.

Pertahanan terakhir? tanya perempuan berbaju putih, Apa pertahanan yang terakhirnya? Perasaan, hubungan kekeluargaan. Perasaan? Hubungan kekeluargaan? Benar, hubungan kekeluargaan, kita bisa manfaatkan putrinya Hoa U-gi, sementara perasaannya tentu kita hadapi dengan orang yang paling dicintai. Perasaan bangga terpancar dari balik mata Ti Cingling, sinar penuh kesadisan. Aku akan mengirim sebuah benda milik perempuan yang paling dicintai kepadanya. Bagi seorang pasien, pekerjaan yang paling membuat mereka tidak leluasa adalah kencing dan buang air, apalagi bagi Nyoo Cing yang patah tulang kakinya. Mulai dari pinggang hingga ke bawah tubuhnya dijepit dengan papan kayu, membuat dia sama sekali tidak mampu bergerak, jangan lagi untuk membalikkan tubuh. Untung sekali bukan saja pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek memiliki tehnik pengobatan yang hebat, pelayanan mereka pun terhitung top.

Apalagi untuk seorang tokoh macam Nyoo Cing, tentu saja ada orang khusus yang melayani semua kebutuhannya. Diujung ranjang dekat dinding terdapat seutas tali, tali itu dihubungkan melalui jendela luar langsung ke ruang istirahat para petugas pesanggrahan, tali itu dihubungkan pula dengan sebuah keleningan. Bila pasien butuh pelayanan, cukup menarik tali itu maka petugas segera akan muncul untuk memberikan pelayanannya. Baru saja Nyoo Cing akan menarik tali, seorang gadis cantik sudah muncul didalam ruangan sambil bertanya, Ongya, ada urusan apa? Aku merasa ruangan ini sumpek, bisa kau buka daun jendela disebelah sana? Tentu saja, jawab gadis itu cepat. Tidak lama sepeninggal gadis itu, Nyoo Cing menarik napas panjang kemudian berbisik, Sekarang kau boleh masuk, sudah seharian aku menunggu kedatanganmu. Padahal suasana waktu itu hening, tiada suara langkah, tiada suara ketukan pintu, darimana dia tahu kalau ada orang yang datang? Pintu segera dibuka, kemudian terdengar seseorang berkata, Darimana kau tahu kalau aku sudah datang?

Sebab bubur kedele buatan nona hitam selalu harum dan sedap. Ooh, rupanya ayah sudah mengendus baunya! seru Hoa U-gi sambil menghampiri pembaringan, Pagi tadi sehabis membeli bubur, aku masih ada sedikit urusan maka baru sekarang datang kemari. Tidak apa-apa, sahut Nyoo Cing sambil membuka matanya dan memandang dia sekejap. Ayah mau mencicipinya semangkuk? Baik, bubur kedele buatan nona hitam ini pasti istimewa rasanya. Ketika mengucapkan kata istimewa, Nyoo Cing seakan sengaja menandaskannya. Tapi Hoa U-gi seperti tidak menyadari akan hal itu, dengan riangnya dia mengambil semangkuk bubur kemudian dihidangkan didepan Nyoo Cing. Mau aku suapi? Tidak usah, biar aku sendiri. Kalau tiduran terus, tulangku bisa kaku semua. Nyoo Cing mencoba setengah terduduk, lalu sambil menerima mangkuk bubur dari tangan Hoa U-gi, katanya lagi, Hmm, baunya memang harum, tidak heran kalau dagangannya laris sekali, tiap kali ke

sana, semua meja nya nyaris ditempati belasan orang tamu. Hoa U-gi tampak mengernyitkan alis matanya, tapi Nyoo Cing berlagak tidak melihat, dia hanya mengawasi bubur dalam genggamannya dengan termangu. Cepat diminum, mumpung masih hangat, bujuk Hoa U-gi lagi. Baik. Dengan penuh riang gembira Nyoo Cing menyuapi bubur itu dan menghabiskan isi mangkuknya. U-gi! mendadak Nyoo Cing berseru, Tiba-tiba aku teringat akan satu hal, boleh minta tolong kepadamu? Tentu saja, urusan apa? Malam ini aku belum minum obat, maukah kau pergi mengambilkan untukku?' Aku segera pergi. Sebelum meninggalkan pintu ruangan, kembali Hoa U-gi berpesan, Kau harus minum bubur itu sampai habis. Jangan kuatir, sewaktu kau datang nanti, tanggung tidak setetespun yang ketinggalan, sahut Nyoo Cing sambil tertawa.

Tapi begitu Hoa U-gi lenyap dari pandangan, senyuman yang semula menghiasi wajah Nyoo Cing pun seketika lenyap tidak berbekas, dengan pandangan serius diawasinya bubur itu. Angin malam diawal musim dingin terasa menggigilkan tubuh. Mendadak Nyoo Cing menekan perutnya kuat-kuat, kemudian dia pentang mulutnya dan menyemburkan semua isi perutnya keluar jendela, segulung cairan yang ternyata bubur yang baru diteguknya, segera menyembur ke arah kebun. Berbareng dengan perbuatannya itu, mangkuk ditangan kanannya segera dilontarkan keluar jendela, seakan terdapat sepasang tangan tidak berwujud yang menyunggih mangkuk itu, benda tadi meluncur persis disamping semburan buburnya tadi. Dari balik pepohonan tampak seakan ada sesosok bayangan manusia menyambut mangkuk itu dan menuang seluruh sisa bubur ke tanah kemudian melempar balik mangkuk kosong itu ke dalam ruangan Baru saja Nyoo Cing menyambut kembali mangkuk kosongnya, dari luar sudah terdengar seseorang mengetuk pintu. Masuk! Hoa U-gi muncul didalam ruangan, begitu masuk, matanya seakan melirik dulu ke arah mangkuk kosong

ditangan Nyoo Cing, setelah itu sambil tertawa baru ujarnya, Menurut mereka, bila kau tidak bisa tidur malam nanti, obat itu baru diminum, kalau tidak, tidak usah! Oya? Tapi aku rasa malam ini tidurku pasti sangat nyenyak, apalagi setelah menghabiskan semangkuk bubur. Bicara sampai disitu tiba-tiba Nyoo Cing mulai menggeliat dan matanya tampak sangat mengantuk. Kenapa tiba-tiba kau mengantuk? kembali Hoa U-gi menegur. Mungkin lantaran capek! Kalau begitu cepat tidurlah, Hoa U-gi membantunya berbaring lalu dengan nada riang bisiknya, Besok, kau ingin aku bawakan apa? Besok.....bawakan bunga saja...... kelopak mata Nyoo Cing terlihat bertambah berat. Baik. Hari itu tanggal lima belas, persis bulan sedang purnama. Cahaya rembulan yang lembut bagai belaian tangan seorang gadis yang sedang mengelus wajah Nyoo Cing. Semenjak Hoa U-gi meninggalkan tempat itu, dia tertidur terus tanpa bergerak sedikitpun.

Daun jendela masih dibiarkan terbuka, ditengah hembusan angin malam yang sejuk terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat. Sesosok bayangan tubuh yang ramping, lembut tapi cekatan. Bayangan itu melesat masuk ke dalam ruangan melalui jendela yang terbuka, dia mengenakan baju Yaheng-ie berwarna hitam pekat, berdiri didepan pembaringan bagai sukma gentayangan, dari balik sorot matanya yang bening terpancar hawa pembunuhan yang tebal. Ketika Nyoo Cing menggerakkan tangannya, dengan cepat bayangan hitam itu menempekan tubuhnya rapat-rapat diatas dinding, mengawasi gerak-gerik lelaki itu sambil menahan napas. Agaknya dalam tidurnya Nyoo Cing merasa kedinginan, sebab tangannya yang bergerak hanya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dia sama sekali tidak mendusin, apalagi mengetahui kalau ada orang sedang menghampirinya bahkan dengan membawa hawa napsu membunuh. Perlahan-lahan orang berbaju hitam itu menghembuskan napas panjang, sekali lagi dia bergerak menghampiri ranjang, sorot matanya yang penuh napsu membunuh mengawasi Nyoo Cing tanpa berkedip.

Tangannya mulai diayunkan ke tengah udara, tampak jelas sebilah pedang pendek sudah terhunus keluar. Sebilah pedang dengan pita merah digagangnya, sebilah pedang milik seorang wanita. Mata pedang yang memancarkan sinar kehijauan, ibarat sorot mata setan iblis yang menyeramkan. Angin malam berhembus makin dingin, hawa pedang terasa semakin menggidikkan hati. Sorot mata manusia berbaju hitam itu kembali memancarkan hawa pembunuhan yang dingin membeku... Mendadak... Criiing! pedang pendek itu sudah dihujamkan ke bawah, menembusi selimut dan menusuk ke tubuh Nyoo Cing. Craaap! ketika pedang itu menembusi tubuh, bergema suara yang aneh. Suara itu mirip suara senjata rahasia yang menembusi balok kayu, suara benturan yang tidak semestinya bergema pada keadaan seperti ini. Dengan perasaan tercengang orang berbaju hitam itu menatap ke arah Nyoo Cing, tampak lelaki itu sudah membuka matanya kembali, bahkan sedang mengawasinya sambil tertawa, tidak nampak

penderitaan yang melintas diwajahnya karena tertusuk pedang. Manusia berbaju hitam itu mengernyitkan dahinya, baru saja akan mencabut pedangnya, sekonyongkonyong Nyoo Cing berkata, Jangan keras-keras, kau bisa merobek selimutku! Ternyata Nyoo Cing membantu orang berbaju hitam itu untuk mencabut keluar pedangnya. Diujung pedang tidak nampak noda darah, dengan terperangah orang berbaju hitam itu mengawasi ke arah lawannya. Sasaran yang kau tusuk tadi adalah jalan darah sanma-hiat di lambungku, ujar Nyoo Cing kemudian, Bila jalan darah ini sampai tertusuk, maka sama seperti tertusuk tepat di jantung, aku pasti akan mampus seketika, bukan begitu? Memangnya kau sudah menguasai ilmu mengalihkan posisi jalan darah? tanya orang berbaju hitam itu keheranan. Sebenarnya aku ingin mempelajari ilmu tersebut, sayang hingga hari ini aku belum berhasil menemukan kitab rahasianya. Tapi tusukanku tadi... perasaan tercengang semakin terpancar dari wajah orang itu.

Kau merasa heran bukan, kenapa aku belum mati walaupun jalan darah san-ma-hiat ku sudah tertusuk? tanya Nyoo Cing sambil tertawa. Orang berbaju hitam itu mengangguk, dia mengawasi lubang diatas selimut itu tanpa berkedip. Bila keheranan, kenapa tidak kau periksa sendiri? Singkap selimut itu, kau akan menjadi jelas dengan sendirinya. Orang berbaju hitam itu sudah menggerakkan tangannya tapi dengan cepat ditarik kembali, seakan takut dibalik selimut ada ular berbisanya, dia mundur selangkah kemudian menyingkap selimut itu dengan ujung pedang. Begitu selimut tersingkap, orang berbaju hitam itu makin terperangah. Ternyata bagian tubuh Nyoo Cing sebatas dada ke bawah sama sekali tidak tampak, begitu selimut terbuka maka terlihatlah sebatang kayu balok tergeletak disitu, sementara tubuh bagian perut dan kaki Nyoo Cing tidak terlihat. Bagaimana mungkin bisa begini? Ke mana larinya separuh badan lelaki itu? Tanpa separuh bagian tubuhnya, mana mungkin ia bisa hidup? Tiba-tiba Nyoo Cing tertawa tergelak.

Apa yang terlihat di depan mata belum tentu semuanya benar, mengerti kata-kata ini? ujarnya. Tapi tubuh bagian bawahmu? suara orang berbaju hitam itu mulai gemetar. Kenapa kau tidak berjongkok untuk melihat bagian bawah ranjang ini?' kata Nyoo Cing sambil menuding ke bawah. Orang itu sedikit agak ragu, tapi akhirnya dia berjongkok juga. Apa yang kemudian terlihat membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Nyoo Cing ikut tertawa, kedua orang itu tertawa amat keras, seakan sedang amat gembira. Ternyata separuh tubuh Nyoo Cing yang tidak terlihat itu berada dibawah ranjang. Separuh tubuh bagian atas tetap diatas ranjang, sedang separuh tubuh bagian bawah berada dibawah ranjang, tidak heran kalau tubuhnya sama sekali tidak nampak. Nyoo Cing memang tidak malu disebut Nyoo Cing! akhirnya orang berbaju hitam itu berseru. Nyoo Cing tidak bicara apa-apa, dia hanya menghela napas panjang. Orang berbaju hitam itu masih tertawa.

Dia sangat kagum atas kecerdikan Nyoo Cing, tidak disangka dengan cara yang unik dia berhasil menghindari usaha pembunuhan yang dilakukan orang. Kini Nyoo Cing sudah duduk kembali diatas ranjang, duduk bersila diujung pembaringan. Menyaksikan gerakan yang dilakukan Nyoo Cing, orang berbaju hitam itu segera menghentikan gelak tertawanya, dengan pandangan terkejut dia awasi sepasang kaki lawan tanpa berkedip. Bu...bukankah kakimu sudah terluka? Bukankah kakimu diikat dengan papan? Kenapa bisa bergerak bebas sekarang? tanyanya. Orang mengira tulangku masih patah, padahal pada hari ke empat setelah diobati, kakiku sudah sama sekali sembuh, bahkan secara diam diam aku sudah mulai melatih kembali kekuatan kakiku ini. Tidak nyana Coan Hong-sin pun berhasil kau kelabui! Tentu saja, sebab sesuai dengan metode penyembuhannya, paling tidak butuh seratus hari untuk pulih kembali seperti sedia kala. Tampaknya tidak ada yang mengira kalau kau sudah sembuh secepat itu. Bukan sembuh lebih cepat, melainkan luka di kakiku memang tidak terlampau parah.

Masa Coan Hong-sin tidak bisa melihat serius tidaknya luka mu?' Dia toch tidak membelah tulang kakiku, darimana bisa tahu kalau lukaku parah atau tidak? Nyoo Cing tertawa, Makanya jangan terlalu percaya dengan apa yang terlihat didepan mata, sebab tidak ada yang tahu bagaimana keadaan didalam yang sebenarnya. Aku pasti akan mengingat terus perkataanmu ini! tiba-tiba orang berbaju hitam itu tertawa dingin, Akupun perlu memberitahukan satu hal kepadamu, bila ada orang ingin membokongmu, janganlah banyak bicara dengannya, apalagi kalau sampai membiarkan dia tahu akan rahasiamu. Pedangnya digetarkan dan seketika menciptakan tujuh kuntum bunga pedang yang menyebar ke empat penjuru dan mengancam tujuh buah jalan darah kematian di tubuh Nyoo Cing. Menghadapi datangnya ancaman, Nyoo Cing sama sekali tidak bergerak. Tidak berhenti sampai disitu, kembali orang berbaju hitam itu memutar tubuhnya bagai gangsingan, semakin berputar semakin cepat, bahkan menimbulkan suara pekikan yang amat menu suk pendengaran. Rupanya dibalik suara pekikan yang dipancarkan melalui perputaran tubuhnya itu, terkandung gelombang suara pembunuh yang amat menakutkan.

Ilmu gelombang suara pembunuh manusia termasuk salah satu ilmu andalan kaum ninja dari negeri Hu-siang. Disaat suara pekikan itu mulai mendengung, Nyoo Cing telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi gendang telinga, tidak heran bila ilmu gelombang suara pembunuh ini sama sekali tidak berpengaruh terhadapnya. Disaat kertas kertas daun jendela mulai retak kemudian hancur berkeping, dari tengah pusaran yang kencang mendadak berkelebat keluar berapa titik cahaya tajam berwarna hijau tua. Dibawah cahaya bintang yang redup, sinar hijau itu sangat lemah dan tidak mencolok, sekalipun diperhatikan dengan seksama pun tidak gampang untuk menjumpainya, apalagi bagi Nyoo Cing dalam keadaan begitu. Cahaya tajam berkelebat lalu lenyap. .....Biasanya, hilangnya cahaya menandakan sebuah kematian. Itulah cahaya pembunuh, sebuah ilmu ninja yang menakutkan dari negeri Hu-siang. Yang mematikan dari cahaya pembunuh bukan terletak pada sinarnya, melainkan pada senjata rahasia yang dilancarkan berbareng kilauan cahaya itu.

Tatkala kau menyadari ada cahaya berkelebat lewat, biasanya senjata rahasia sudah menghujam ke dalam tubuhmu, menanti kau merasakan datangnya hawa kematian, cahaya itupun hilang lenyap tidak berbekas. Nyoo Cing bukan jagoan kemarin sore, begitu cahaya tersebut berkelebat, dia sudah menyambar kain selimutnya untuk menghadang didepan tubuh. Cahaya tajam telah lenyap, senjata rahasia pun sudah musnah dibalik tebalnya kain selimut. Dengan lenyapnya cahaya hijau itu, pusaran tubuh pun ikut berhenti, untuk kesekian kalinya orang berbaju hitam itu memandang lawannya dengan perasaan terkesiap. Nyoo Cing sendiri seharusnya gembira karena berhasil mematahkan ilmu mematikan yang diandalkan kaum ninja, tapi dia sama sekali tidak nampak senang, bahkan mimik muka yang tidak seharusnya tampil diwajahnya, kini terlintas diatas wajahnya. Mimik muka itu penuh dengan perasaan murung, sedih, ketidak berdayaan dan masgul. Sepasang matanya seakan berkaca-kaca, menahan air mata yang nyaris jatuh berlinang. Nyoo Cing yang dihari biasa selalu tampil tegar dan penuh wibawa, saat ini hanya duduk mematung bagaikan sebuah arca tanah liat.

Belum pernah terlintas dalam benakku untuk membunuhmu, ujar Nyoo Cing sedih. Tapi aku.... aku harus membunuhmu! nada suara orang berbaju hitam itupun kedengaran amat pedih. Aku tahu, Nyoo Cing manggut-manggut, Sebab sejak lahir di dunia ini, kau sudah ditakdirkan untuk memainkan peranan ini! Peranan apa? Memerankan seseorang yang harus membunuhku, wajib membunuhku tapi tidak tega untuk melakukannya, ujar Nyoo Cing sambil menatapnya tajam, Karena kau memang tidak pernah berpikir ingin membunuh aku. Sekilas perasaan sedih melintas di wajah orang berbaju hitam itu, tubuhnya mulai gemetar keras. Kena... kenapa aku tidak ingin membunuhmu? Buat apa aku mesti menerangkannya lebih jauh? kata Nyoo Cing sambil menghela napas panjang, Padahal kaupun sudah tahu kalau aku telah mengetahui identitasmu, buat apa mesti bertanya lagi? Siapakah dia sebenarnya? Permulaan musim dingin, rembulan bersinar terang, bintang bertaburan di angkasa, tapi aneh,

dalam cuaca seindah ini mengapa suasananya justru memedihkan hati? Siapakah aku? sepasang mata orang berbaju hitam itu mulai kabur. Aku tahu, sudah sejak dulu aku tahu siapakah kau, kata Nyoo Cing makin sedih. Katakanlah, siapakah aku? Sebenarnya siapakah aku? Hoa U-gi! suara Nyoo Cing berubah sangat tenang, Kau adalah putri kesayanganku, Hoa U-gi!

BAB 4. Perasaan kasih dari Hoa U-gi.

Suasana diluar jendela sangat tenang, sedemikian tenangnya hingga suara serangga yang seharusnya mulai berbunyi, saat ini seolah ikut bungkam, ikut menikmati keheningan yang mencekam. Tubuh orang berbaju hitam yang semula gemetar, kini sudah mulai tenang kembali, pancaran sinar matanya pun tidak seemosi tadi. Benar, aku adalah Hoa U-gi!

Dia melepaskan kain penutup wajahnya dan memperlihatkan raut mukanya yang cantik. Dengan mata yang sembab merah, Hoa U-gi mengawasi Nyoo Cing lekat lekat, kemudian dengan suara yang aneh ujarnya, Rupanya kau sudah tahu identitasku yang sebenarnya sejak bertemu pertama kali dulu di rumah kayu kecil. Benar. Mengapa kau tidak membongkar kedokku? Apa gunanya membongkar kedokmu? Bila kau gagal, tentu ada orang lain yang akan menggantikan posisimu, bila rencana yang satu gagal tentu akan muncul rencana yang lain. Setelah menghela napas, lanjutnya, Demi melaksanakan tugas ini, berapa banyak sudah yang menjadi korban. .....Kenapa aku harus mengorbankan pula dirimu? meski ucapan tersebut tidak sampai diutarakan Nyoo Cing, tapi Dia percaya gadis tersebut tentu mengerti. Kalau sudah mengetahui identitasku, apakah kau tidak kuatir aku akan membunuhmu? Kalau belum tiba saatnya, tidak nanti kau akan turun tangan, apalagi tujuan utama dari Ti Cing-ling dengan menempatkan dirimu disisiku bukan lantaran ingin membunuhku.

Lalu karena apa? Dia berharap agar perasaan hatiku jadi lembek, agar tumbuh perasaan kasihku kepadamu, ujar Nyoo Cing sambil tertawa getir. Tapi sejak awal kau sudah mengetahui identitasku, berarti rencananya sudah gagal semenjak dulu. Tidak, dia tidak gagal. Tidak gagal? Kenapa dia tidak gagal? tanya Hoa Ugi. Meskipun kau bukan putri kandungku, namun raut wajahmu mirip sekali dengannya. Dia yang dimaksud adalah Lu Siok-bun. Setiap kali berjumpa denganmu, akupun teringat akan dirinya, lebih banyak memandangmu sama seperti lebih banyak merindukan dirinya, semakin merindukan dia, perasaanku makin kalut, karena semakin kalut maka hatiku pun semakin tersiksa. Dengan termangu Hoa U-gi mengawasi lelaki dihadapannya, orang ini adalah target yang harus dibunuh, tapi sekarang dia sadar ternyata dia tidak sanggup untuk melakukannya. Kendatipun dia bukan putri kandungnya, juga bukan orang yang dirindukan olehnya, mengapa dia tidak tega untuk turun tangan? Yaa, kenapa?

Hoa U-gi sendiripun tidak tahu, dia sendiripun tidak sanggup menjawab pertanyaan ini, apakah lantaran dia sudah jatuh hati kepada lelaki itu? Atau perasaan hatinya sudah tersentuh, sudah dibuat terenyuh oleh sikap lelaki itu? Cinta tumbuh karena pergaulan yang rutin, ternyata ungkapan ini memang tidak keliru. Mereka berdua boleh dibilang selalu bersua tiap hari, tidak bisa dijamin tidak ada perasaan cinta atau sayang yang tumbuh diantara mereka berdua, apalagi urusan ini menyangkut urusan antara lelaki dan wanita, siapa yang bisa menjamin, siapa yang bisa menduga kalau hal ini tidak mungkin terjadi? Tahun ini Nyoo Cing sudah berusia empat puluh delapan tahun, sementara Hoa U-gi baru dua puluh tahunan, biarpun selisih usia mereka berdua sangat banyak, bukan berarti tiada cinta yang bisa tumbuh dalam hati mereka berdua. Hoa U-gi mulai termangu, dengan sorot mata yang memancarkan rasa cinta, rasa sayang, dia mulai mengawasi wajah lelaki itu. Nyoo Cing berusaha menghindar dari pandangan mesra itu, buru-buru dia membuang pandangan matanya ke luar jendela. Rupanya hari ini kau mendapat perintah untuk membunuhku? dia berkata.

Benar. Kau gagal dalam melaksanakan tugas, bagaimana pertanggungan jawabmu nanti? Aku tidak perlu memberikan pertanggungan jawab. Kenapa? Seperti yang kau ungkap tadi, bila aku gagal, akan muncul orang lain untuk melanjutkan tugasku, kini pancaran sinar matanya sudah tidak selembut tadi lagi, Gerakan pembunuhan yang datang gelombang demi gelombang, apakah tidak membuatmu ketakutan? Takut! jawab Nyoo Cing, Tapi apa yang bisa kuperbuat? Apakah kau tidak berusaha untuk pergi mencarinya? Mencarinya? Siapa dia? Perkumpulan Cing Liong Hwee? Atau Ti Cing-ling? Semua perencanaan dan semua perbu-atan diatur dan diperintahkan oleh Ti Cing-ling, ujar Hoa U-gi, Asal kau berhasil menemukan Ti Cing-ling maka semua persoalan dapat segera diselesaikan. Aku rasa persoalan yang sebenarnya tidak sesederhana apa yang kau bayangkan.

Menurut apa yang kuketahui, untuk mendukung rencana dari Ti Cing-ling ini, pihak perkumpulan Cing Liong Hwee hanya mengu-tus dua orang Tongcu, ini membuktikan kalau perkumpulan Cing Liong Hwee sebenarnya tidak bermaksud untuk menghadapi dirimu, nada suara Hoa U-gi kedengaran makin lembut dan menawan hati, Aku bersedia membantumu untuk menemukan Ti Cing-ling. Akhirnya Nyoo Cing berpaling, menatap wajahnya. Mengapa kau harus berbuat begini? Tindakan yang kau lakukan bisa mendatangkan nasib tragis untukmu, tahukah kau bahwa perbuatan semacam ini tidak boleh kau lakukan? serunya. Tentu saja Hoa U-gi tahu, bahkan mengetahui dengan amat jelas. Akhir bagi seseorang yang berani mengkhianati perkumpulan Cing Liong Hwee biasanya merupakan akhir yang tragis, semacam kematian yang amat mengenaskan. Gadis itu mulai tertawa, sekulum senyuman yang penuh dengan perasaan apa boleh buat. Masa kau belum pernah melakukan sesuatu perbuatan yang jelas tahu kalau itu tidak boleh dilakukan? dia balik bertanya. Nyoo Cing segera terbungkam.

Tentu saja dia pernah melakukannya. Bukan saja pernah, sekarangpun sedang dia lakukan dan dikemudian hari pun tetap akan dia lakukan. .....Ada sementara persoalan, walaupun kau tahu tidak patut dilakukan, tapi kau tetap nekad untuk melakukannya, sebab terkadang diri sendiripun tidak sanggup untuk mengendalikannya. Ada sementara persoalan, seakan mempunyai daya tarik yang sukar dilawan, perasaan kasih termasuk salah satu diantaranya. .....Ada pula sementara persoalan yang mau tidak mau harus kau lakukan, karena kau sudah didesak oleh keadaan, kau sudah terjepit sehingga ingin menghindar pun tidak mungkin bisa dihindari. Masa kau masih belum tahu mengapa aku berbuat begini? dari balik pandangan mata Hoa U-gi seakan terpancar nada teguran. Nyoo Cing masih tetap membungkam. Tentu saja dia sangat paham dengan niat gadis itu, tapi bagaimana mungkin dia dapat menerimanya? Sebagai seorang lelaki dewasa tentu saja Nyoo Cing mengerti apa sebabnya gadis itu berbuat begini, diapun sangat memahami perasaan hatinya. Orang tua adalah manusia, orang muda juga manusia, orang jahat manusia, orang baikpun manusia,

selama dia adalah manusia maka dia mempunyai hak untuk mencintai orang lain. Perasaan terharu, terima kasih terpancar dari balik mata Nyoo Cing, namun terselip juga perasaan sedih dan ketidak berdayaan. Aku mengerti maksudmu, akupun mengerti mengapa kau berbuat begini, kata Nyoo Cing, Tapi sayang...... tapi sayang perjumpaan kita terlalu lambat. Tapi sayang perjumpaan kita terlalu lambat! Dari dulu hingga sekarang, entah berapa banyak manusia yang pernah mengucapkan perkataan itu, entah berapa banyak manusia yang pernah mendengar perkataan itu. Tapi kecuali kau sendiri pernah mengucapkan, kau sendiri pernah mendengarnya, tidak nanti kau bisa meresapi betapa pedih dan tersayatnya perasaan hatimu waktu itu. Mengawasi Nyoo Cing yang penuh ketidakberdayaan, mendengar ucapan yang begitu memilukan hati, Hoa U-gi hanya merasakan seluruh tubuhnya menjadi ringan, pikirannya kosong, perasaannya hampa. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya, mengawasi bayangan tubuh sendiri, dalam keadaan

seperti ini Hoa U-gi tidak tahu apa yang mesti diperbuat, tidak tahu apa yang meski diucapkan. Aneh, kenapa kabut ini datang secara aneh? mendadak terdengar Nyoo Cing berseru sambil mengamati kabut tipis yang mulai menyelimuti ruangan mereka. Kabut? Mendadak Hoa U-gi tersentak kaget, menyaksikan kabut tipis yang mulai mengalir masuk ke dalam ruangan, paras mukanya berubah hebat, serunya tertahan, Kabut itu beracun, cepat tutup pernapasan! Belum selesai berkata, gadis itu sudah menerjang ke depan Nyoo Cing. Saat itu paras muka Nyoo Cing telah berubah, berubah bukan lantaran dalam kabut mengandung racun, wajahnya berubah karena melihat Hoa U-gi menubruk ke arahnya. Jangan mendekat, berbahaya! segera jeritnya. Begitu berteriak, diapun melompat ke depan dan menubruk ke arah gadis itu. Menyaksikan Nyoo Cing menubruk ke arahnya, sekulum senyuman manis segera menghiasi ujung bibir Hoa U-gi, tapi sayang belum selesai senyuman itu berkembang, tubuhnya sudah menjadi kaku.

Saat itulah Nyoo Cing sudah tiba disisi tubuhnya, menyambar pinggangnya dan memeluk tubuhnya yang mulai roboh terjungkal. Ketika kabur tipis mulai mengalir masuk ke dalam ruangan, ketika Hoa U-gi berteriak memberi peringatan, tiba-tiba Nyoo Cing menyaksikan berkelebatnya dua titik cahaya hitam dan merah dari luar jendela, tapi ketika dia berusaha menarik untuk Hoa U-gi untuk menghindari serangan tersebut, sayang kedua titik cahaya tadi sudah menghujam masuk melalui punggungnya. Kini Nyoo Cing hanya bisa memeluk tubuh Hoa U-gi yang terkulai lemas. Kabut itu beracun! gadis itu masih berusaha memperingatkan dengan suara yang lemah. Aku tahu, jawab Nyoo Cing lembut, Permainan busuk macam itu tidak nanti bisa mengelabuhi aku, tidak nanti bisa meracuni aku. Ku... kukira kau tidak tahu, bisik Hoa U-gi semakin lemah, pancaran sinar matanya bertambah lembut dan mesrah. Lo Kay-sian, Tu Bu-heng, Un-hwee, mereka semua tewas oleh kabut tersebut, justru yang aku kuatirkan adalah kau... Mereka pun tahu, kabut beracun semacam ini tidak nanti bisa membunuhku, senjata sesungguhnya yang

mematikan adalah sepasang Cing-jin-ciam (panah kekasih) berwarna hitam dan merah dibalik kabut itu... ... Yang hitam bagaikan sepasang mata kekasih, yang merah bagaikan darah kekasih. Cing-jin..cing-jin-ciam? (panah kekasih)? Gadis itu mulai tertawa, tapi tertawa semacam ini jauh lebih memedihkan hati, jauh lebih menyayat hati ketimbang kematian itu sendiri. Tidak mungkin aku... tidak mungkin aku menjadi kekasihmu lagi, tapi aku... aku dapat merasakan bagaimana disayang seorang... seorang kekasih... suara Hoa U-gi semakin lirih, Kini aku... aku sudah puas... puas sekali... Dia berpaling, memandang keluar jendela sana. Apa yang sedang dia lihat? Diluar jendela hanya ada kegelapan? Apakah dia masih berharap bisa melihat cahaya matahari di hari esok? Tapi... sekalipun bisa melihat, apa gunanya? Pergilah... kembali Hoa U-gi berbisik, Aku sadar, tidak mungkin lagi aku tetap hidup... kau.... kau tidak usah menemani aku. Tidak, aku harus menemanimu, menungguimu hingga sembuh kembali, bisik Nyoo Cing sambil menggenggam tangannya erat-erat, Aku tahu, kau pasti akan hidup terus.

Hoa U-gi menggeleng, menggeleng sambil tertawa pedih. ..... Bila seseorang sudah kehilangan keyakinan untuk hidup terus, siapa yang bisa selamatkan dirinya? Bila kau benar-benar mati, maka kau telah menyakiti hatiku, bisiknya. Kenapa? Karena... karena aku sudah siap meminangmu....aku sudah siap mengawinimu... Wajah Hoa U-gi yang pucat terlintas warna semu merah karena jengah. Sungguh? bisiknya. Tentu saja sungguh! tegas Nyoo Cing sambil berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir, Setiap saat kita bisa menikah. Lagi-lagi sebuah perkataan bohong yang selamanya tidak mungkin bisa terwujud. Pipi Hoa U-gi semakin memerah, sorot matanya pun seakan memancarkan bara api asmara yang kuat. Aku selalu berharap bisa menikmati suasana seperti hari ini... dia mulai memejamkan sepasang matanya, Pergilah, kau cepat pergi... Kenapa aku harus pergi?

Karena aku... aku tidak ingin kau menyaksikan saat kematianku, sekujur tubuhnya mulai mengejang, Maka kau harus pergi... Tidak, aku tidak akan pergi, aku tidak bakal pergi! teriak Nyoo Cing tiba-tiba. Dengan penuh keharuan dia genggam sepasang tangannya, dia seakan kuatir gadis itu meninggalkan dirinya secara tiba-tiba. Sekalipun kau harus mati, kau harus mati dalam pelukanku. Nyoo Cing tidak kuasa membendung air matanya lagi, butiran air mata meleleh mebasahi pipinya, menetes ke bawah, membasahi mata gadis itu. Tapi Hoa U-gi tidak berkedip lagi, dia tidak sanggup membuka matanya kembali, namun ketika air mata membasahi matanya, tiba-tiba sekulum senyuman yang tenang, penuh rasa puas tersungging diujung bibirnya. Maut datang bagaikan sambaran kilat. Gadis itu tidak sanggup melawan datangnya maut. Memang tidak seorang pun bisa melawan datangnya maut. Lilin sudah padam, air mata belum juga mengering.

Nyoo Cing masih memeluk tubuh Hoa U-gi erat-erat, sementara air mata meleleh terus bagaikan bendungan yang jebol. Fajar sudah mulai menyingsing diufuk timur, malam yang gelap akhirnya berlalu. Kini lilin sudah lumer, air mata pun sudah mengering. Bekas air mata sudah tidak nampak lagi tapi bekas noda darah masih meninggalkan jejaknya, noda yang hanya bisa dicuci bersih dengan air mata darah. Gigitan dibalas gigitan, darah dibalas darah. Selama ini Nyoo Cing selalu menggunakan pengampunan untuk menggantikan pembalasan dendam, goloknya tidak pernah digunakan untuk membunuh manusia, tapi sekarang, perasaan hatinya penuh diliputi hawa amarah, benci dan dendam. Matahari sudah memancarkan sinarnya, langit pun sudah terang benderang. Nyoo Cing membaringkan tubuh Hoa U-gi diatas ranjangnya, menutupi dengan selimut lalu dia sendiri duduk disampingnya, sorot mata yang sayu mengawasi luar jendela, mengikuti gerakan cahaya matahari yang kian lama kian meninggi. Dia mengawasi ke luar jendela karena dari situ dia mendengar suara petikan rebab bersenar tiga.

Irama rebab yang memilukan seolah menyebar bersama melayangnya kabut pagi. Menyusul kemudian dari balik pepohonan diluar taman, tampak sesosok bayangan tubuh munculkan diri. Begitu mendengar suara rebab, Nyoo Cing kontan tertawa dingin, raut mukanya nampak semakin murung dan penuh perasaan dendam. Hmm, orang bilang bila irama rebab bergema, usus akan putus hati akan hancur, hmmm, tiga senar yang tidak berguna! Irama rebab seketika berhenti, tampak orang itu berjalan semakin mendekat. Kau tahu siapakah aku? dia menegur. Tiga puluh tahun berselang, banyak gadis terpikat oleh irama rebab bersenar tiga, berapa banyak nyawa harus hilang dengan percuma, kenapa aku tidak tahu? Siapa menang dia adalah raja, siapa kalah dia adalah penyamun, dari dulu hingga sekarang teori itu tidak pernah berubah, kata kakek itu hambar. Jadi kedatanganmu hari ini adalah untuk melaksanakan perintah, membunuhku? ejek Nyoo Cing sambil tertawa dingin.

Ketika mengucapkan Melaksanakan perintah, kata itu sengaja ditekan keras-keras dan penuh dengan nada penuh penghinaan. Tentu saja Bu Sam-sian si kakek rebab bersenar tiga dapat menangkap nada menghina itu, tapi dia tidak menggubris pun tidak menanggapi, dia hanya tertawa. Konon kait perpisahanku sudah terjatuh ke tanganmu? Benar. Hari ini kau akan menggunakan kait perpisahan untuk menghadapiku? Mana mungkin? sahut Bu Sam-sian tertawa, Kapan kau pernah melihat orang menimpuk anjing dengan menggunakan bakpao? Perumpamaan macam apa itu? Untuk menghadapi manusia macam kau, tentu saja aku harus menggunakan rebab bersenar tiga. Irama rebab kembali bergema, ditengah alunan suara tampak tiga titik cahaya berkelebat lewat. Cahaya tajam dengan tujuh warna. Begitu irama rebab berkumandang, Nyoo Cing sudah menyambar vas bunga yang ada dimeja dan menimpuknya ke depan.

Ketiga titik cahaya terang itu segera menyongsong datangnya vas bunga itu, Blaaaam! terjadi ledakan di udara menyusul meletupnya tiga kuntum bunga cahaya yang menyilaukan mata. Kilauan cahaya berwarna warni. Vas bunga itu hancur berkeping dan berhamburan ke mana-mana. Ditengah kilatan cahaya warna warni, Nyoo Cing sudah melejit ke udara dan melesat keluar melalui jendela, langsung menerkam ke balik pepohonan. Belum lagi tubuhnya mencapai sasaran, angin pukulan sudah meluncur keluar, langsung menghantam keatas rebab bersenar tiga itu. Bu Sam-sian segera berkelit ke samping kemudian berjumpalitan di utara, mengikuti gerakan tersebut dia melepaskan sebuah pukulan ke punggung Nyoo Cing. Dibawah sinar matahari pagi, terlihat sekilas cahaya biru berkilauan diantara jari tengahnya, ternyata dia sudah selipkan sebatang jarum beracun diantara jari tangannya. Ketika tubuh Nyoo Cing sudah berada tiga inci dari ujung jarum, mendadak dia terperosok ke bawah, seakan-akan sebuah batu cadas yang tiba-tiba tercebur ke dalam jurang. Gagal dengan pukulannya Bu Sam-sian seketika membalikkan tubuh, dari balik rebabnya tahu-tahu dia

meloloskan sebilah pedang yang tajam, tipis lagi sempit, kemudian secara beruntun melancarkan tiga tusukan. Dari balik tiga tusukan tercipta enam kuntum bunga pedang. Sreet, sreet, sreeet! tiga desingan tajam bergema di udara, dada kiri Nyoo Cing sudah tersambar hingga muncul tiga buah luka memanjang. Tahu-tahu Bu Sam-sian sudah menarik balik pedangnya disusul melancarkan sebuah serangan lagi. Semua gerakan nyaris dilakukan hampir bersamaan waktu. Lagi-lagi sebuah serangan pedang, tiga tusukan, enam kuntum bunga pedang, yang ditusuk pun dada sebelah kiri Nyoo Cing. Kali ini Nyoo Cing sudah membuat persiapan, kaki kanannya sedikit menekuk, tubuhnya mengigos dari samping kanan sementara tangan kirinya diangkat melakukan tangkapan ke udara. Ternyata dia berusaha merebut pedang itu dengan tangan kosong. Begitu jari tangannya menggenggam, darah pun bercucuran melalui sela jari tangannya dan menetes dari ujung pedang. Bu Sam-sian nampak sangat terkesiap, dia tidak menyangka ada manusia semacam ini dikolong langit, merampas pedang tajam dengan tangan kosong?

Ketika tangan kirinya mencengkeram pedang, tinju di tangan kanannya sudah disodokkan ke muka. Belum sempat Bu Sam-sian melakukan reaksi, tiba-tiba terdengar suara tulang yang hancur terkena bogem mentah. Suara tulang retak itu berasal dari tulang hidungnya. Menyusul kemudian diapun menyaksikan cucuran darah segar menyembur keluar dari bawah matanya dan memercik ke empat penjuru. Akhirnya dia merasakan juga bagaimana rasanya darah segar, darah yang bercucuran dari tubuh sendiri. Tulang hidungnya telah hancur, meski tidak sampai mencabut nyawanya namun dia sudah tidak sanggup bangkit berdiri lagi. Bukan saja bogem mentah itu sudah menghancurkan tulang hidungnya, menghancurkan pula rasa percaya diri serta semangat tempurnya yang semula berkobar kobar. Matahari sudah bersinar terang, hawa hangat telah menyelimuti udara, namun Bu Sam-sian merasa sangat kedinginan, dia merasa hawa dingin telah merasuk hingga ke tulang sumsumnya. Berhasil dengan serangan pertamanya, Nyoo Cing tidak melanjutkan dengan serangan berikut, dia hanya mengawasi Bu Sam-sian dengan pandangan dingin.

Pulang dan beritahu Ti Cing-ling, tidak perlu menunggu satu tahun lagi, setiap saat aku sudah menantikan kedatangannya. Tempat pertemuan adalah rumah kayu diluar hutan Bwee. Walaupun rumah itu sudah dibangun kembali, namun kenangan masa lalu telah musnah. Kepala pusing. Kepala yang amat pening menyadarkan Cong Hoa dari pingsannya, dia seakan baru sadar dari mabuk berat, kepalanya terasa pening, mulutnya kering dan lidahnya seperti terbakar. Dia mencoba meraba kepalanya, tapi segera sadar kalau tubuhnya sudah diikat orang, terikat diatas sebuah bangku. Dia mencoba mengerdipkan matanya sambil memperhatikan sekeliling tempat itu, segera dijumpai ada dua orang lain mengalami nasib yang sama seperti dirinya, terikat diatas bangku. Bangku itu terbuat dari bambu, bahkan dinding rumah pun terbuat dari batang bambu. Berada di manakah dia?

Baru saja Cong Hoa hendak bertanya, tiba-tiba terdengar seseorang berkata/Tempat inilah rumah bambu! Kedengaran jelas, suara itu berasal dari Tay Thian. Cong Hoa pun menengok ke arah Tay Thian yang terikat di bangku sebelah kanan. Darimana kau tahu? serunya. Karena hampir saja dia mampus disini! Suara itu berasal dari Ui sauya yang berada disisi kirinya. Jadi kalian sudah sadar semua? Tay Thian dan Ui sauya mengalami nasib sama seperti Cong Hoa, terikat diatas bangku bambu. Di dalam rumah bambu itu hanya ada mereka bertiga. Kelihatannya kita dikirim kemari pada saat tidak sadarkan diri, kata Cong Hoa. Kemana perginya Hong Coan-sin? tanya ui sauya, Kenapa dia mengirim kita ke tempat ini? Kenapa lagi? Tentu saja akan memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada kita semua! seru Cong Hoa tertawa.

Tepat sekali! berbareng dengan bergemanya ucapan tersebut tampak seseorang munculkan diri. Dia masih mengenakan pakaian yang sama, dia masih memiliki kecantikan yang sama, dia pun masih bertingkah laku aneh, mengenakan pakaian yang terbelah dua, satu sisi berpakaian, sisi yang lain telanjang bulat. Budak darah dengan membawa suara tertawanya yang merdu bagai keleningan berjalan masuk ke dalam ruangan. Menyaksikan dandanan yang dikenakan perempuan itu, tidak kuasa Cong Hoa menghela napas panjang. Kalau di musim dingin pun kau mengenakan pakaian cara begini, bagaimana kalau di musim panas? Kalau musim panas tentu saja telanjang bulat, sambung Ui sauya sambil tertawa, Selain sejuk juga irit, sekali raih mendapat dua. Biasanya aku tidak berpakaian bila berada dalam satu keadaan, ujar budak darah. Keadaan apa? Diatas ranjang, jawab budak darah genit, Lagipula biasanya disaat sedang berduaan. Sewaktu diatas ranjang, biasanya aku pun suka telanjang bulat, kata Ui sauya cepat, Tapi kalau

sedang berduaan, bukan saja aku akan berpakaian bahkan akan mengenakan pakaian lebih banyak banyak dan lebih rapi. Itulah sebabnya sampai hari ini masih belum ada perempuan yang mau denganmu, tukas budak darah sambil menghela napas panjang. Ucapan tersebut bagaikan sebatang jarum tajam yang menusuk hati Ui sauya. Tapi hanya sejenak dia tertegun menyusul kemudian dia pun tertawa terbahak-bahak, bukan saja suara tertawanya tidak sedap didengar, bahkan jauh lebih mengenaskan daripada suara tangisan. Kemana perginya Hong Coan-sin? agaknya Tay Thian pun mengetahui keadaan Ui sauya yang sedang dibikin malu, buru-buru dia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, Kenapa dia tidak berani datang menjumpai kami? Dia sedang mempersiapkan peralatan untuk menjamu kalian dengan sebaik-baiknya, tanggung jamuan yang bakal dia berikan akan sulit dilupakan untuk selamanya, bahkan setelah itu kalian bertiga pun tidak pernah akan berpisah lagi. Tidak pernah akan berpisah lagi? Apa maksudmu? tanya Cong Hoa. Asal sudah menyaksikan benda yang kutunjukkan, kalian pasti mengerti!

Budak darah tertawa makin jalang, tiba-tiba dia bertepuk tangan tiga kali. Tidak lama kemudian, Cong Hoa sekalian pun menyaksikan seseorang berjalan masuk ke dalam ruangan. Tapi begitu menyaksikan orang itu, mereka semua segera terbelalak dengan perasaan tertegun. Orang itu mempunyai sepasang mata yang besar, wajahnya menampilkan kekerasan hatinya yang kuat, hidungnya mancung dan bibir mulutnya tebal. Ternyata orang itu adalah Nyoo Cing. Tidak tepat, seharusnya dibilang mirip Nyoo Cing, khususnya Nyoo Cing pada dua puluh tahun berselang. Begitu menyaksikan wajah orang itu, Cong Hoa segera merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar bulu romanya pada bangkit berdiri. Rupanya raut wajah orang itu dipenuhi dengan bekas jahitan yang malang melintang, jahitannya tidak berbeda dengan bekas jahitan diatas pakaian. Aneh sekali, kenapa wajah orang itu bisa muncul begitu banyak bekas jahitan? Mengapa orang ini bisa memiliki wajah yang mirip sekali dengan Nyoo Cing? Kalian terperanjat bukan? ujar budak darah sambil tertawa terkekeh.

Si.... siapa orang ini? tanya Cong Hoa. Dia bukan satu, melainkan lima orang, budak darah menjelaskan. Lima orang? Benar, dia terbentuk dari penggabungan lima orang. Penggabungan lima orang? gumam Tay Thian. Tepat sekali, dari tubuh lima orang diambil bagian tubuh yang berbeda, kemudian setelah melalui semacam tehnik yang canggih digabungkan kembali di tubuh orang ini, maka terbentuklah sebuah wujud manusia yang berbeda. Setelah berhenti sejenak, sambil menatap ketiga orang itu kembali budak darah melanjutkan, Dia baru contoh produk kami yang pertama! Contoh produk? tanya Ui sauya. Ehmm! budak darah mengangguk. Berarti benda yang di produk sesungguhnya lebih mirip.... lebih mirip dengan Nyoo Cing? tanya Tay Thian. Bukan mirip lagi, boleh dibilang bagai pinang dibelah dua. Mendadak Tay Thian teringat akan satu peristiwa yang menyeramkan, meski penampilannya masih tetap

biasa dan berusaha tenang, namun suaranya sudah kedengaran agak gemetar. Apakah kalian akan suruh dia untuk.....untuk menggantikan Nyoo Cing? Bukan menggantikan, tapi dialah Nyoo Cing, ujar budak darah dengan bangganya. Lantas bagaimana dengan Nyoo Cing yang asli? tanya Ui sauya. Lenyap. Lenyap? Apa maksudnya lenyap? Lenyap itu artinya sudah tidak ada lagi, setelah Nyoo Cing produk baru diciptakan, tentu saja Nyoo Cing yang asli harus dimusnahkan. Hmm, aku rasa tidak segampang itu untuk memusnahkan dirinya, sela Cong Hoa. Budak darah hanya tertawa dingin. Kadangkala tertawa dingin menandakan kalau pandangannya berbeda. Walaupun kalian dapat menciptakan seorang Nyoo Cing yang persis bagai pinang dibelah dua, sayang tetap masih ada satu kelemahan, kata Tay Thian, Bagaimana dengan ilmu silatnya? Masa dia pun bisa menguasai jurus maut kait perpisahan yang tidak pernah diwariskan kepada siapa pun?

Jika dikolong langit terdapat seseorang yang sang.it memahami Nyoo Cing, bisa ditebak siapakah dia? tanya budak darah. .....Musuh bebuyutan. Hanya musuh bebuyutan yang berusaha untuk memahami dan mendalami segala sesuatu yang dimiliki lawannya. Hampir pada saat yang bersamaan Cong Hoa, Tay Thian serta Ui sauya teringat akan seseorang. Ti Cing-ling? serunya serentak. Benar, meskipun dia tidak menguasai jurus kait perpisahan sepenuhnya, namun baginya sudah melebihi dari cukup, ujar budak darah sambil tertawa, Bayangkan saja, siapa sih orang di dunia ini yang tidak jemu-jemunya pergi mencari Nyoo Cing dan mengajaknya berduel tanpa sebab yang jelas? Angin dingin berhembus lewat, mengalir masuk melalui celah celah bambu dan meniup ditubuh Cong Hoa bertiga. Tanpa terasa mereka semua bergidik, bulu roma pada bangkit berdiri. Tadi kau bilang akan membuat kami bertiga tidak pernah berpisah lagi, apakah akan kau gunakan bagian tubuh kami untuk dilebur ke dalam tubuh tuan Nyoo Cing tersebut? tanya Cong Hoa.

Bukan. Lalu kami bertiga akan dilebur menjadi siapa? Tay Thian! jawab budak darah sambil berpaling ke arah Tay Thian. Tay Thian? Cong Hoa merasa sedikit terkejut, Disini sudah hadir Tay Thian yang asli, buat apa kalian membentuk lagi Tay Thian baru? Sebab Tay Thian yang ini tidak mau menuruti perintah kami, bukan begitu? kata budak darah, Sekalipun kami menguasai tehnik membentuk produk baru, tapi kemampuan kami baru terbatas pada penampilan, sementara pikiran dan tingkah lakunya masih belum berhasil kami kuasai. Oleh sebab itu kalian harus mencari seseorang yang dapat dikendalikan untuk menjadi bonekamu semua? Benar. Siapa yang menjadi bonekanya Nyoo Cing? Biar kusebut namanya, kalian juga tidak kenal! Lalu siapa yang menjadi bonekanya Tay Thian? Sahabat karib kalian semua. Sahabat karib? Cong Hoa tertawa, Masa kami mempunyai sahabat karib yang begitu tidak tahu malu?

Sekali lagi budak darah tertawa dingin, kadangkala tertawa dingin pun melambangkan pengakuan, dia bertepuk tangan perlahan. Ketika menyaksikan orang yang muncul kali ini, mau tidak mau Cong Hoa harus merasa amat terperanjat, diawasinya orang itu dengan mata terbelalak lebar. Ternyata kau? serunya. Betul, memang aku, orang itu tertawa, namun dari kerutan bekas lukanya yang melintang diatas alis mata, dia kelihatan sedang tertawa dingin. Bertemu dengan orang itu, Tay Thian sama sekali tidak menampilkan mimik muka kaget, dia hanya mendengus dengan nada menghina. Sebaliknya Ui sauya langsung berteriak keras, andaikata kaki dan tangannya bisa bergerak bebas, mungkin dia sudah menyerbu ke hadapan orang itu, menempelengnya berulang kali kemudian membanting tubuhnya didepan Cong Hoa, memaksanya berlutut dan minta maaf kepadanya. Gara-gara kau, nyaris Cong Hoa tidak bisa mempertanggung jawabkan diri kepada Nyoo Cing, gara-garamu, dia tidak segan bermusuhan dengan perkumpulan Cing Liong Hwee, demi kau, dia sempat sedih karena mengira kau sudah mampus, siapa sangka bukan saja kau masih hidup segar bugar, bahkan malah

bergabung dengan perkumpulan naga hijau! umpat Ui sauya gusar. Dia memang anggota perkumpulan Cing Liong Hwee! sela Tay Thian. Apa? Kalau dia memang anggota perkumpulan Cing Liong Hwee, kenapa masih meminta Cong Hoa untuk membawanya pergi? Walaupun kita jelas mengetahui kalau dia adalah anggota Cing Liong Hwee, namun sama sekali tidak punya bukti, lagipula masa tahanannya juga segera akan berakhir, kata Tay Thian, Oleh sebab itu kita berlagak seolah-olah masuk perangkap dengan membiarkan Cong Hoa membawanya pergi, maksudnya menggunakan kesempatan ini kita mencari tahu markas perkumpulan Cing Liong Hwee, siapa tahu... Siapa tahu setibanya di kota Say-cu-tin mendadak dia lenyap, sela Cong Hoa sedikit agak mendongkol. Yaa, kami tidak menyangka kalau perkumpulan Cing Liong Hwee akan memainkan sandiwara tersebut di kota Say-cu-tin, tiada nada menyesal dibalik perkataan Tay Thian. Masih banyak urusan yang kalian tidak duga! seru Cong Hoa, Tahukah kau, gara-gara perbuatan kalian, nyaris aku ikut kehilangan nyawa. Hmm, coba aku tidak

dilibatkan dalam urusan ini, mungkin saat ini aku sedang berbaring sambil minum arak. Atau mungkin juga kau sudah terperosok dalam keadaan berbahaya lainnya, sambung Ui sauya. Apa yang diucapkan memang ada benarnya juga, Cong Hoa bukan orang yang bisa duduk tenang, dia usil dan suka mencampuri urusan orang lain, kalau disuruh berdiam diri didalam rumah, belum sampai tiga hari mungkin dia sudah gila. Maka setelah mendengar perkataan Ui sauya itu, perasaan hatinya terasa agak tenang kembali. Ternyata orang yang munculkan diri itu tidak lain adalah Cong Hui-miat. Dengan penuh rasa bangga dia awasi Cong Hoa ribut dengan Tay Thian berdua, apalagi pokok persoalan yang sedang diributkan adalah masalah yang menyangkut dia. Menyaksikan rasa bangga yang ditampilkan Cong Hui-miat, tanpa terasa Cong Hoa teringat kembali dengan Lo Kay-sian, terbayang pula akan Cong Poanlong beserta rahasia manusia mummi nya. Cong Hui-miat adalah anggota perkumpulan Cing Liong Hwee, lantas bagaimana dengan ayahnya, Cong Poan-long? tanya Cong Hoa. Kali ini yang menjawab ternyata bukan Tay Thian.

Bila dia tidak keras kepala dan tidak tahu diri, tidak nanti nasibnya akan begitu tragis, ujar Cong Hui-miat tawar. Jadi kau yang membunuhnya dan membawa lari rahasia tentang manusia mummi? dengan perasaan terkejut Cong Hoa menatap ke arahnya. Yang menjawab kali ini ternyata bukan Cong Huimiat. Bukan dia, tapi aku! sambil menjawab Hong Coansin munculkan diri dari balik ruangan. Berjumpa dengan pembunuh orang tuanya ternyata Cong Hui-miat tidak menunjukan sikap apapun, Cong Hoa mulai menaruh curiga terhadap orang ini, sebetulnya dia masih terhitung manusia atau bukan? Dia adalah pembunuh ayahmu, masa kau sama sekali tidak bereaksi? tegur Cong Hoa. Dalam organisasi Cing Liong Hwee, yang berlaku hanya perintah, sama sekali tidak mengenal perasaan, Cong Hui-miat bicara tanpa emosi. Waah mending jadi seekor anjing ketimbang jadi kaki tangan organisasi Cing Liong Hwee, paling tidak bila anjingnya mampus, majikannya akan berusaha untuk menguburnya. Tampaknya Cong Hoa sudah mulai muak menyaksikan wajah orang ini, dia berpaling

memandang kearah Hong Coan-sin, kemudian ujarnya lebih lanjut, Jadi kau berencana melebur tubuh kami bertiga ke dalam tubuh orang... orang itu? Tampaknya sedemikian muak Cong Hoa terhadap orang itu sehingga untuk menyebutkan namanya saja segan. Benar. Aku boleh memohon satu hal? Soal apa? Lebih baik bunuhlah aku kemudian buang mayatku ke hutan biar dimakan anjing! Jadi kau lebih ikhlas tubuhmu dimakan anjing liar daripada membiarkan bagian tubuhmu menempel diatas tubuhnya? Benar. Hong Coan-sin segera tertawa terbahak-bahak, sambil tertawa dia menepuk bahu Cong Hui-miat berulang kali. Tampaknya kau memang tidak malu menjadi Tongcu cap-ji-gwee dari perkumpulan Cing Liong Hwee! serunya. Dia adalah Tongcu bulan dua belas? tanya Ui Sauya.

Benar. Dalam perkumpulan Cing Liong Hwee terdapat dua belas orang tongcu, tongcu cia-gwee bertanggung jawab mencari target, tongcu ji-gwee bertugas penyusupan, tongcu sa-gwee.. Tongcu sa-gwee bertanggung jawab menyampaikan berita, Si-gwee bertanggung jawab masalah sumber dana, Go-gwee bertanggung jawab soal hukuman, Lak-gwee bertanggung jawab soal pelatihan, jit-gwee soal perencanaan, peh-gwee, kaugwee, cap-gwee bertanggung jawab dalam aksi, cap-it gwee bertanggung jawab soal pembersihan, siapa yang berkhianat dialah yang harus melakukan pembersihan, sedang cap-ji gwee bertanggung jawab soal pembokongan, jika ada target yang tidak boleh diumumkan secara terbuka, cap-ji gweelah yang bertanggung jawab melenyapkannya secara diamdiam. Waah, kalau begitu tongcu cap-ji gwee adakan tongcu tukang membokong? Benar, kali ini yang menjawab adalah budak darah, Bukan saja dia adalah tongcu cap-ji gwee, diapun menjabat sebagai tongcu lakgwee yang bertanggung jawab soal pelatihan. Kalau begitu dia satu orang merangkap dua jabatan? Imbalannya tentu dobel juga?

Benar, Cing Liong Hwee tidak pernah pelit soal imbalan. Dia telah membunuh ayahnya sendiri Cong Poanlong, untuk jasanya itu apakah diapun mendapat imbalan? tanya Ui sauya sambil melirik sinis ke arah Cong Hui-miat. Dia sama sekali tidak menjadi gusar, malah senyuman masih menghiasi wajahnya. Cong Hoa mau tidak mau harus kagum juga terhadap orang ini, sekalipun sedang berhadapan muka dengan pembunuh ayahnya, dia masih bisa menghadapinya sambil tertawa. Sebenarnya aku ingin menjamu kalian secara baikbaik, sayang waktunya sudah tidak sempat lagi! terdengar Hong Coan-sin berkata. Kalau begitu kami sudah tidak disukai disini? Kalian ingin cepat cepat suruh kami gelinding pergi? Terhadap sindiran semacam ini, Hong Coan-sin sama sekali tidak menanggapi, dari meja dia menuang tiga cawan arak. Satu jam sebelum melakukan pembedahan, perut harus dibiarkan kosong, kata Hong Coan-sin lagi, Tapi untuk menghindari perut kalian keroncongan dan gelisah dalam penantian, maka sudah kusiapkan sejenis arak yang bisa membuat kalian tertidur sangat pulas.

Arak yang barusan kau tuang ke dalam tiga cawan itu? tanya Tay Thian. Benar. Setelah meneguknya, kami tidak pernah akan mendusin lagi? tanya Ui sauya. Ooh tidak, aku pasti akan memberi kesempatan kepada kalian untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana aku melebur tubuh kalian bertiga kedalam tubuhnya. Menyaksikan bagian tubuh kami dipisah lalu dilebur ke dalam tubuh Cong Hui-miat? tanya Cong Hoa. Benar. Aku boleh menolak untuk minum? tiba-tiba Ui sauya bertanya. Tentu saja tidak boleh. Maka mereka bertiga pun terpaksa harus meneguk habis isi ketiga cawan arak itu. Kini arak sudah mengalir ke dalam perut, mungkinkah saat kematian sudah semakin mendekat? Lagi-lagi kasih yang tidak berdaya. Berjalan menuju ke tengah hutan, perasaan kecut dan sedih kembali mencekam perasaan Nyoo Cing.

Bunga bwee harum semerbak, cahaya matahari memancar masuk melalui sela sela dedaunan, cahaya yang terang menyinari permukaan tanah yang becek. Bangunan rumah kayu itu sudah dibangun kembali, tapi perasaan sedih tidak pernah sirna dari dalam hatinya. Dia mendorong pintu dan berjalan masuk, tirai jendela dibuka lebar, membiarkan angin dan cahaya matahari menyusup masuk ke balik ruangannya yang lembab. Nyoo Cing sudah cukup lama duduk ditepi meja, duduk sambil melamunkan si dia yang entah berada dimana. Lama kemudian, akhirnya dia berpaling mengawasi selembar papan yang tergeletak disudut ruangan. ..... Dibawah papan, tertanam sebuah peti besi yang telah berkarat. Dia berjalan menghampiri, perlahan-lahan berjongkok. Meskipun dia tahu dibawah tanah mustahil akan muncul lagi sebuah peti besi yang berkarat, namun tidak tahan dibukanya juga papan kayu itu.

BAB 5.

Ketika papan disingkap, Nyoo Cing segera menjumpai sebuah peti besi yang telah berkarat tertanam disana. Peti besi itu sangat dikenalnya, karena memang miliknya. ..... Mengapa peti besi itu bisa muncul dari situ? Apakah didalamnya masih berisi kait perpisahan? Didalam peti besi itu tidak ada kait perpisahan, yang ada hanya seikat rambut manusia. Rambut itu hanya rambut yang sangat biasa, berwarna hitam, panjang, tidak harum pun tidak bau, sama persis seperti rambut manusia pada umumnya. Tapi Nyoo Cing memandang rambut itu dengan termangu. ..... Sebenarnya apa keistimewaan rambut itu? Tidak terlihat, siapa pun tidak dapat membedakan. Wajah Nyoo Cing bertambah berat, sepasang matanya mulai memerah. Selama hidup belum pernah dia bersikap demikian, biar sedang mabuk beratpun sepasang matanya tetap memancarkan sinar tajam.

Rambut itu panjang sekali, pasti rambut seorang wanita. Kesimpulan ini tentu saja betul dan Nyoo Cing yakin analisanya tidak bakal keliru, sebab rambut seorang pria jarang yang dipelihara sepanjang itu. Bagaimana pun, benda itu tidak lebih hanya berapa ikat rambut, apa istimewanya? Suara itu muncul secara tiba-tiba dari belakang Nyoo Cing, jelas suara seorang wanita. Nyoo Cing sama sekali tidak kaget, seakan dia sudah tahu siapakah perempuan itu dan mengapa dia bisa sampai di tempat tersebut. Ada keistimewaannya, dia menjawab tanpa berpaling. Apa keistimewaannya? Aneh, bahkan sangat aneh, ujar Nyoo Cing masih mengawasi rambut itu. Bagian mana yang aneh? Banyak sekali, umpama kenapa rambut itu bisa berada dalam peti besiku, kenapa peti besi itu bisa muncul lagi disini? Siapa yang meletakkannya disitu? Apa maksud tujuannya berbuat begitu? Agaknya perempuan itu sempat tertegun, akhirnya tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berjalan

menuju ke hadapan Nyoo Cing dan duduk, sementara sorot matanya yang bening mengawasi lelaki itu lekat lekat. Ternyata gadis itu tidak lain adalah si nona hitam, Hek-niu. Nona hitam ikut memperhatikan ikatan rambut diatas meja, sekali lagi dia menghela napas panjang. Bila tebakanku tidak meleset, seharusnya benda ini adalah hasil karya Ti Cing-ling, tiba-tiba Nyoo Cing mendongakkan kepalanya dan memandang nona itu. Ti Cing-ling? Mengapa dia berbuat begitu? Tujuannya agar aku melihat rambut tersebut. Tapi apa istimewanya rambut itu? Biar sudah dilihatpun tidak akan bereaksi apa-apa? Tindakannya ini bukan sangat lucu dan menggelikan? Meskipun bicara begitu namun dalam hatinya sudah timbul perasaan tidak beres, dia tahu persoalan tidak mungkin sesederhana itu. Manusia macam Ti Cing-ling tidak nanti akan melakukan perbuatan yang menggelikan. Aku melepaskan Bu Sam-sian dalam keadaan hidup, tujuannya adalah agar Ti Cing-ling tahu kalau aku sedang menunggunya disini, ujar Nyoo Cing, Sekalipun Bu Sam-sian tidak menyampaikan berita ini kepadanya, diapun pasti sudah menduga kalau aku bakal datang

kemari, itulah sebabnya dia siapkan dulu peti besi ini dibawah papan kayu. Nona hitam mengawasi Nyoo Cing berapa saat, mendadak seperti teringat akan sesuatu, tanyanya dengan suara gemetar, Berarti kau sudah tahu rambut siapakah itu? Nyoo Cing termenung, lama kemudian dia baru menghela napas panjang. Yaa, aku tahu. Apakah kau yakin? Aku... Kau tidak yakin bukan? seru nona hitam. Kemudian tanpa menanti Nyoo Cing buka suara, dia berkata lebih jauh, Ti Cing-ling sengaja berbuat begitu karena dia ingin kau mengira rambut itu adalah rambut milik Lu Siok-bun, dia berharap kau mengira Lu Siok-bun sudah terjatuh ke tangannya, agar perasaanmu tidak tenang, agar dia memiliki kesempatan untuk membunuhmu. Nada suara nona hitam agak emosi, dia menatap lelaki itu tanpa berkedip. Setelah berhenti sejenak, katanya lagi, Kenapa kau mesti tertipu? Seandainya nona Lu benar-benar terjatuh ke tangannya, kenapa dia tidak langsung tunjukkan

dihadapanmu kemudian memaksa kau untuk menuruti kehendaknya? Mungkin orang lain akan berbuat begitu, tapi dia tidak akan, kata Nyoo Cing sambil menghela napas, Sebab dia tidak boleh berbuat begitu. Kenapa dia tidak boleh berbuat begitu? Karena dia adalah Ti Cing-ling! Bila umat persilatan mengetahui kalau Ti Cing-ling menggunakan cara semacam itu untuk meraih kemenangan, mungkin dia akan dipermalukan oleh seluruh manusia di dunia ini. Tapi sekarang dia tidak mengatakan apa pun, dia tidak lebih hanya memperlihatkan seutas rambut saja, kata nona hitam. Justru disinilah letak kehebatan dan kelicikannya. Bisa saja rambut itu bukan miliknya. Bisa bukan, bisa benar, Nyoo Cing mencoba menerawang angkasa diluar jendela sana, Siapa pun tidak bisa meyakini mana yang benar. Bila kau tidak menggubrisnya sama sekali, bila kau tidak menganggapnya sebagai sebuah persoalan dan bila kau berlagak seolah-olah tidak melihat, maka jerih payahnya akan mengalami gagal total. Tapi sayang aku telah melihatnya.

Justru karena dia tidak mengatakan apa-apa maka kau jadi curiga, sebab dia sudah memperhitungkan secara tepat kalau kau bakal curiga, maka dari itu dia berbuat begini! seru nona hitam, Kaupun sudah mengetahui dengan jelas maksud tujuannya, tapi mengapa kau tetap nekad untuk masuk ke dalam perangkapnya? Begitulah kejadian di dunia ini, Nyoo Cing tertawa hambar, Ada sementara persoalan, walaupun sadar sudah tertipu namun kau tetap melakukannya. Sekarang kau sudah curiga kalau rambut itu milik nona Lu, itulah sebabnya pikiranmu kalut, bila saat ini harus bertarung melawan seseorang, biar kungfu musuhmu lebih rendah pun, kau tetap akan kalah ditangannya. Sekalipun harus kalah, apa yang bisa dia lakukan? Tujuan Ti Cing-ling memang ingin membuat pikiran Nyoo Cing kalut, terlepas dia mau percaya atau tidak, selama Nyoo Cing mulai memikirkan persoalan itu maka tujuan Ti Cing-ling boleh dianggap sudah tercapai. Bagaimana mungkin Nyoo Cing tidak memikirkannya? Perempuan itu memang merupakan sosok bayangan yang diimpikan siang malam, bagaimana mungkin dia dapat melupakannya?

Sekalipun dia tahu dengan pasti bahwa rambut itu bukan miliknya, tidak urung pikiran dan perasaannya kalut juga dibuatnya. Karena Ti Cing-ling telah berhasil mencongkel keluar perasaan hati Nyoo Cing yang sebenarnya, sebab Ti Cing-ling telah membuatnya teringat dan terbayang kembali perempuan impiannya itu. Sebuah bilik batu, sebuah meja batu, seorang Ti Cingling dan seorang wanita berbaju putih. Diatas meja batu tersedia arak. Perlahan-lahan Ti Cing-ling menghirup satu tegukan arak, kemudian sambil menga-wasi perempuan berbaju putih itu, ujarnya perlahan, Persoalannya bukan terletak pada rambut siapakah itu, melainkan pada Nyoo Cing adalah manusia macam apa? Perempuan berbaju putih itu tetap membungkam. Siasat ini memang khusus dirancang untuk menghadapi Nyoo Cing, kembali Ti Cing-ling berkata sambil tertawa, Seandainya digunakan pada orang lain, mungkin siasat tersebut sama sekali tidak ada gunanya, sebab orang lain tidak bakal berpikir terlalu banyak, terlalu jauh. Ditatapnya perempuan itu dalam dalam, kemudian terusnya, Sebab orang lain tidak akan romantis macam dia.

Nyoo Cing masih duduk dengan tenang, sorot matanya mulai bergeser dari rambut diatas meja ke luar jendela sana. Kau pasti sedang merindukannya? nona hitam berbisik. Nyoo Cing tetap tidak menjawab, terkadang tidak menjawab itu berarti sedang menjawab. Tentu saja kau harus memikirkannya, nona hitam mewakilinya menjawab, sebab kalau tidak memikirkannya, kau akan lebih sedih, lebih tersiksa ketimbang memikirkannya. Ditatapnya wajah lelaki itu lekat lekat, kemudian tambahnya, Sebab kau kelewat romantis! Kadangkala orang yang kelewat romantis, kelewat perasaan pun merupakan orang yang tak berperasaan, sebab bila rasa cinta sudah mencapai pada puncaknya maka perasaan itu akan berubah jadi tak berperasaan. Tampaknya Ti Cing-ling sudah melupakan akan hal ini, tapi dengan kecerdasannya dia pasti akan mengetahui kesalahannya itu, mungkin bukan hari ini, bukan hari esok, bukankah masih ada hari lusa dan hari yang lebih lama lagi? Satu hari dia tidak muncul, pikiranmu akan kalut selama satu hari, sepuluh hari tidak muncul, pikiranmu akan kalut selama sepuluh hari, nona hitam menghela napas panjang, semakin dia mengulur waktu, pikiranmu

semakin kalut, makin resah, aku lihat siapa menang siapa kalah dalam pertarungan ini sudah jelas terpampang. Nyoo Cing termenung lama sekali, tapi akhirnya ia berkata juga, Tapi ada sementara persoalan, walaupun kau sadar tak dapat melakukannya, tapi kau toch melakukannya juga. Memangnya dia teramat penting bagimu? Sedemikian pentingnya hingga jauh lebih berharga dari nyawamu sendiri? tanya nona hitam. Sepasang mata nona hitam kelihatan mulai basah, basah oleh air mata. Tapi aneh, mengapa dia bisa begitu? Dalam pikiranmu, apakah tiada orang lain yang bisa menggantikannya? Kembali Nyoo Cing termenung, termenung sampai lama sekali, kemudian dia baru mendongakkan kepalanya, menatap tajam perempuan itu. Tapi buru buru nona hitam menghindari sorot matanya. Aku hanya berharap kau memahami akan satu hal, sepatah demi sepatah Nyoo Cing berkata, seandainya kau berganti jadi aku, aku yakin kaupun akan berbuat demikian, bila dia berganti kau, akupun akan bersikap demikian terhadapmu.

Nona hitam tidak bergerak, dia seakan sama sekali tidak mendengar perkataan itu, namun air matanya telah jatuh bercucuran. Kedua orang itu saling berhadapan dengan mulut membungkam, entah berapa lama sudah lewat seolah sudah melebihi sepuluh tahun, akhirnya nona hitam buka suara terlebih dulu, katanya, Ketika berkenalan denganmu waktu itu, aku masih berumur dua belas tahun, pertama kali berjumpa dengan kau di tempat ini. Hari itu sama dinginnya seperti hari ini, aku bersembunyi dibalik pintu sambil berdiri menggigil, ketika malam semakin larut, udara semakin dingin, tubuhku makin lama semakin membeku, namun angin yang menusuk tulang tanpa perasaan menyusup terus melalui pakaianku yang tipis, waktu itu aku benar benar membenci langit dan bumi, membenci semua manusia yang ada di dunia ini, membenci diriku sendiri, mengapa hidup sebagai seorang anak yatim piatu, mengapa musim dingin selalu begitu menggigil... Suaranya seolah datang dari balik angkasa yang membeku, dingin dan menyakitkan. Saat itulah kau muncul dihadapanku, muncul bagaikan pangeran berkuda putih dalam cerita dongeng, lanjut nona hitam setengah bergumam, Kau mengajakku masuk kemari, melepaskan jubah luarmu dan kau kenakan ditubuhku yang menggigil, kemudian kaupun serahkan hidangan malammu yang paling lezat untuk mengisi perutku yang lapar.....

Akhirnya gadis itu berpaling, mendongakkan kepalanya dan menggunakan sorot mata yang penuh kemesrahan menatap lelaki dihadapannya. Sejak saat itu kau selalu muncul dalam impianku, gadis itu melanjutkan, Lima tahun kemudian, suatu hari kau berkata kepadaku bahwa seorang musuh tangguhmu telah melarikan diri dari dalam penjara, kemungkinan besar setiap saat orang itu akan datang mencarimu untuk menuntut balas, bila dia muncul maka pertempuran sengit tak terhindarkan, kaupun bertanya kepadaku, bersediakah melakukan satu tugas deminya? Tentu saja nona hitam menyanggupinya. Kau suruh aku meninggalkan tempat itu, minta aku membuka toko dan menjual sesuatu, kata si nona lebih jauh, Kemudian kaupun memberitahukan sejumlah kata sandi, bila suatu hari ada orang mengucapkan kata sandi tersebut maka kau suruh aku membunuh orang tersebut seketika, kemudian datang kemari untuk menunggu kau, sebab saat itu pasti menyangkut soal mati hidupmu. Pancaran sinar minta maaf mencorong keluar dari balik mata Nyoo Cing. Setiap malam aku selalu berdoa, minta kepada Thian agar hari semacam ini jangan pernah datang! bekas air mata belum mengering dari wajah nona hitam, Kemarin, sewaktu gadis itu datang ke tempatku, waktu

itu aku benar-benar amat cemas, ingin sekali aku segera menyusul kemari untuk membantumu, setelah menunggumu seharian, tidak disangka akhirnya yang kusaksikan adalah sikapmu seperti saat ini. Nyoo Cing tidak berbicara, dia memang tidak tahu harus bicara apa, berhadapan dengan nona hitam, berhadapan dengan cinta kasihnya yang tulus, dia merasa pikirannya semakin kalut. Bila seorang wanita betul-betul mencintai seorang lelaki, dia selalu berharap dirinya menjadi satusatunya wanita yang berada dalam benaknya, dia tidak akan mengijinkan pihak ketiga menyusul masuk ke dalam kehidupannya. Tapi sayang dalam pikiran dan perasaan Nyoo Cing, dia hanya ada Lu Siok-bun seorang. Dengan termangu-mangu nona hitam mengawasinya, entah bagaimana perasaan hatinya waktu itu? Kecut? Getir? Manis? Atau ketidak berdayaan? Tiba-tiba aku sadar kalau diriku adalah seorang tolol, kau sudah kenal dengannya jauh sebelum bertemu aku, sebelum kehadiranku, diantara kalian sudah terjalin banyak persoalan dan kejadian, aku baru muncul belakangan, maka tidak seharusnya aku marah kepadamu, yang salah sebetulnya adalah aku.

Tiba-tiba dia tertawa, meski senyumannya penuh kegetiran, kepahitan dan ketidak berdayaan, namun senyuman tetap senyuman. Bila kau anggap perbuatan ini merupakan perbuatan yang ingin kau lakukan dan harus kau lakukan, pergilah untuk melakukan! katanya tajam, Tapi ada satu hal perlu kusampaikan kepadamu, ada satu hal akupun harus dan tetap akan kulakukan. Apa yang hendak kau lakukan? Kau memikirkan dia disini dan aku memikirkan kau disini! Selapis kabut tebal seolah melintas dan menyelimuti mata Nyoo Cing. Kabut itu bagai kabut tebal dimusim gugur, dingin, sepi dan tidak berdaya. Cinta mengapa selalu membuat seseorang jadi tidak berdaya? Angin masih berhembus kencang diluar jendela, daun kering mulai berguguran memenuhi permukaan, kini matahari senja sudah condong di langit barat. Ada satu hal aku selalu merasa keheranan! tiba tiba nona hitam mengalihkan pokok pembicaraan, Yang mengetahui tempat dimana Ti Cing-ling disekap hanya berapa orang, selain jalan darahnya sudah tertotok, diapun sudah diborgol dengan besi baja yang terbuat dari inti baja hasil tambang bukit Hong-san, borgol itu bukan setiap orang sanggup membukanya, rahasia

inipun paling banter hanya lima orang yang tahu, tapi anehnya kenapa ada orang tetap berhasil menyelamatkan dirinya? Nyoo Cing tidak menjawab, dia hanya mendengarkan dengan serius. Menurut hasil analisa yang dilakukan kemudian, konon seorang wanita yang telah menyelamatkan Ti Cing-ling dari penjara, siapa sih wanita itu? Kenapa dia bisa mengetahui rahasia ini? Siapa yang mampu menjawab pertanyaan pelik ini? Pada mulanya aku sangka perempuan itu adalah Siau-tiap, tapi kenyataan membuktikan kalau bukan hasil perbuatannya, jadi aku simpulkan perempuan yang berhasil menolongnya tentu sangat memahami tentang dirimu, atau bisa jadi dia adalah orang yang sangat kau percaya. Orang yang memenuhi seluruh syarat tersebut rasanya hanya kau seorang, ujar Nyoo Cing sambil tertawa. Betul, kalau melihat semua fakta yang ada, memang aku seorang yang paling mencurigakan, kata nona hitam sambil menatapnya tajam, Tapi aku percaya kau pasti tidak akan mencurigai diriku. Nyoo Cing hanya tertawa tanpa menjawab. Apa pula arti dari senyuman itu? Percaya? Atau tidak?

Kalau bukan aku, lantas siapa? katanya lagi. Mungkin saja orang yang menyelamatkan Ti Cingling bukan seorang wanita. Laki laki maksudmu? Mungkin saja. Bila kita dapat selidiki siapakah orang itu maka tidak sulit untuk melacak tempat persembunyian Ti Cing-ling saat ini, kata nona hitam lagi, Dengan begitu kita pun tidak usah menanti kedatangannya di tempat ini, kita bisa langsung pergi mencarinya. Tidak perlu! Apa arti tidak perlu? Tidak perlu artinya walau kita mengeta-hui tempat persembunyiannya pun tidak usah pergi mencarinya. Kenapa? Sebab dia telah melupakan satu hal! Soal apa? Dia lupa, meskipun pikiran dan perasaanku sekarang amat kalut, namun dia sendiripun tidak pernah akan tenang karena pikirannya dipenuhi dengan prasangka dan keraguan.

Maksudmu, diapun sedang menduga-duga bagaimana reaksimu sekarang? Benar. ....Bila kau berharap orang lain menunggu kedatanganmu, bukankah kau sendiripun berada dalam kondisi menanti? Banyak kejadian didunia ini sebenarnya merupakan pedang bermata dua, disaat kau sedang mencelakai orang lain, terkadang kau sendiripun mengalami keadaan yang sama bahkan seringkali penderitaan yang kau peroleh justru jauh lebih parah dan berat. Bila seseorang sudah terbiasa hidup menyendiri, hidup kesepian, maka baginya penantian sudah bukan merupakan sebuah penderitaan lagi. Nona hitam menghembuskan napas panjang, akhirnya dia berhasil mengetahui titik kelemahan yang dimiliki Ti Cing-ling dalam rencana kejinya. Ini berarti dalam pertarungan tersebut, sesungguhnya Ti Cing-ling tidak berhasil peroleh keuntungan apa pun, atau dengan perkataan lain belum tentu Nyoo Cing akan menderita kekalahan dalam pertarungan ini. Ruang batu itu tidak berjendela, oleh sebab itu sulit bagimu untuk mengetahui bagaimana cuaca saat itu, apakah di siang hari atau sudah menjelang tengah malam.

Diatas anglo tembaga terlihat sebaskom bubur bunga teratai yang masih hangat, uap putih masih mengepul dari balik hidangan tersebut. Ditengah kabut yang tipis, Ti Cing-ling seakan sudah tertidur pulas, wanita berbaju putih itu masih mengawasinya dengan seksama. Sudah banyak tahun dia kenal dengan orang ini, sudah banyak tahun mereka bekerja sama menggalang suatu perencanaan besar, namun hingga kini dia masih belum dapat menebak manusia macam apakah dirinya itu. Jelas kepandaian silatnya sangat tangguh, latar belakang keluarganya sangat terhormat bahkan diapun terhitung seorang bangsawan kelas satu yang kaya raya, tapi justru dengan status sosialnya yang terhormat, dia senang terlibat dalam pertikaian dunia persilatan. Apakah kesemuanya ini merupakan masalah kejiwaan baginya? Wanita berbaju putih itu menuang secawan arak, baru saja akan diteguk, mendadak terdengar suara Ti Cing-ling berkata, Aku selalu keheranan dengan satu hal. Soal apa? Siau-tiap bukan saja merupakan sagwee Tongcu dari perkumpulan Cing Liong Hwee kalian, diapun seorang

gadis berbakat hebat, mengapa pihak Cing Liong Hwee menghabisi nyawanya? Wanita berbaju putih itu tidak menjawab, dia hanya meneguk araknya. Apakah dia berkhianat? Wanita itu menggeleng. Apakah lantaran identitasnya sudah tersingkap? Juga bukan. Atau karena dia sudah tidak berharga lagi untuk dipergunakan? Ti Cing-ling menatap tajam wajah wanita berbaju putih itu, Atau mungkin dia sudah mengetahui sebuah rahasia yang tidak seharusnya dia ketahui? Kenapa secara tiba-tiba kau punya pikiran semacam itu? bukan menjawab wanita berbaju putih itu malah balik bertanya. Bukannya tiba-tiba, tapi persoalan tersebut selalu membelenggu jalan pikiranku, katanya cepat, Sekalipun identitas Siau-tiap sudah tersingkap, namun dengan kepandaian silat serta kecerdasan otaknya, bukan masalah sulit baginya untuk lolos dari ancaman bahaya, seandainya dia tidak mampu pun, bagi Cing Liong Hwee, menolong seseorang bukanlah satu perbuatan yang sulit dilakukan.

Sambil menatap wanita itu tajam tajam, sepatah demi sepatah kata tanyanya, Mengapa Cing Liong Hwee tidak menolongnya? Mengapa harus membunuhnya? Apa arti dan makna dari ucapan Siautiap menjelang ajalnya? Menjelang ajalnya? Apa yang dia katakan? tanya wanita itu keheranan. Dia bilang, semua gerakan dan rencana yang kita lakukan sesungguhnya tidak lebih hanya sebiji bidak dalam papan catur orang lain, apa maksud dari perkataannya itu? Wanita berbaju putih itu termenung sambil berpikir, kelihatannya dia pun seakan tidak mengerti apa maksud dari perkataan Siau-tiap itu. Aku tidak mengerti, tiba-tiba wanita itu berkata. Kau tidak mengerti? Kau pun tidak memahami arti dari perkataannya itu? Aku tidak mengerti kenapa atasan harus membunuhnya, dulu belum pernah terjadi peristiwa semacam ini, seperti apa yang telah kau katakan, Siautiap merupakan seorang gadis berbakat yang sangat pintar, akupun tidak mengerti mengapa atasan harus membunuhnya? Sebetulnya Ti Cing-ling ingin mencari jawaban dari pertanyaan tersebut dari mulut wanita berbaju putih itu,

siapa sangka bukan saja tidak peroleh apa-apa, malah sebaliknya wanita itu yang bertanya kepadanya. Ti Cing-ling pun tertawa getir, dia memang hanya bisa tertawa getir. Pertanyaan ini seharusnya aku yang bertanya kepadamu, sekarang malah kau yang bertanya kepadaku. Karena aku sama seperti kau, tidak mengerti kenapa atasan harus membunuh Siau-tiap, kata wanita berbaju putih itu, Mengenai berapa patah kata yang dia ucapkan menjelang ajalnya, aku rasa hanya atasan saja yang memahami. Jawaban tersebut jelas jawaban gombal, sama artinya tidak diucapkan. Tapi Ti Cing-ling seolah bisa menerima perkataan dari wanita berbaju putih itu, dengan riang dia mengangguk. Kait perpisahan milik Nyoo Cing adalah demi bisa berkumpul kembali dengan wanita kecintaannya, oleh sebab itu disebut kait perpisahan, lalu bagaimana dengan golok tipismu itu, apa pula nama golok milikmu itu? Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibir Ti Cing-ling, tangan yang semula menggenggam cawan, tiba-tiba saja berubah jadi sebilah golok.

Sebilah golok yang tipis sekali, cahaya kebiru-biruan terpancar keluar dari tubuh golok itu. Ada bayangan tidak berwujud, ada bentuk tidak bisa diraba, cepat bagai kilat, lembut bagai rambut, kata Ti Cing-ling sambil memandang golok andalannya, Karena golok ini lebih tipis dari kertas maka kuberi nama sebagai golok kelembutan. Golok kelembutan? gumam wanita berbaju putih itu sambil menatap golok tersebut berapa kejap, Golok yang biasa digunakan untuk membunuh orangpun kau sebut sebagai golok kelembutan? Benar, sebab disaat golok itu merenggut nyawa manusia, keadaannya persis seperti seorang kekasih yang sedang memeluk cintanya, bukan saja lembut bahkan amat romantis. Konon golok ini bersama kait perpisahan milik Nyoo Cing merupakan hasil tempaan dari empu Siau Gongcu? Benar. Kau masih memiliki golokmu sementara kait perpisahan sudah tidak berada ditangan Nyoo Cing lagi, sekarang kau dapat menggunakan golok kelembutan maupun kait perpisahan, siapa yang bisa menandingimu lagi dikolong langit saat ini?

Tangan kiri Ti Cing-ling yang semula kosong, kini sudah bertambah dengan sebuah senjata kaitan, kait perpisahan. Setelah meneliti sekejap bentuk aneh dari senjata itu, dengan senyuman makin melebar katanya, Tahukah kau, apa sebabnya kait milik Nyoo Cing ini bisa menebar begitu banyak perpisahan di dunia ini? Karena semua jurus serangan yang tercipta untuk senjata tersebut merupakan jurus perpisahan, konon kitab yang digunakan Nyoo Heng untuk mempelajari jurus maut tersebut berasal dari sejilid kitab pusaka yang sudah cacad dan tidak utuh? Tapi bukan itu penyebabnya. Bukan? Lalu lantaran apa? Meskipun jurus serangan yang digunakan kait perpisahan berasal dari sejilid kitab yang tidak utuh, namun yang paling menakutkan justru kecepatan Nyoo Cing. Kecepatan? Benar, inilah yang paling menakutkan, biarpun dia menyerang belakangan namun serangannya selalu mencapai sasaran jauh melebihi orang lain, ketika tenaga serangan musuh belum sempat mencapai pada puncaknya, kait milik Nyoo Cing seringkah sudah menghabisi dulu nyawa lawannya.

Dan musuhnya pun segera berpisah dengan dunia ini? Benar. Bila kait perpisahan jatuh ke tangan orang lain, dapatkah orang lain melakukan hal yang sama? Tidak dapat. Kenapa? Sekalipun kungfu yang dimiliki orang lain jauh lebih hebat pun tidak mungkin dia sanggup menggunakan kelebihan yang dimiliki senjata kait perpisahan ini. Aku mengerti maksudmu, kecuali Nyoo Cing sendiri, rasanya tidak ada orang lain yang bisa memanfaatkan setiap peluang yang muncul. Kelihatannya ilmu silatmu sudah bertambah maju. Wanita berbaju putih itu tertawa. Tidak diketahui apa makna dari tertawanya itu, namun Ti Cing-ling ikut tertawa, senyumannya jelas senyuman gembira. Ada keinginan untuk mencoba kecepatan Nyoo Cing? Tidak!

Jadi kau tahu kalau kemampuanmu masih bukan tandingannya? Menurut apa yang kuketahui, di dunia saat ini mungkin hanya ada tiga sampai lima orang yang sanggup menandinginya. Salah satu diantaranya adalah Liongtau lotoa dari perkumpulan Cing Liong Hwee? Benar. Satunya lagi tentu aku? Benar. Keliru besar, perlahan-lahan Ti Cing-ling berkata, Tidak ada orang yang bisa mengendalikan dia, akupun paling banter hanya bisa menghabisi nyawanya. .....Sebab manusia yang bernama Nyoo Cing persis seperti senjata kait perpisahannya, kau bisa mematahkannya namun tidak akan mampu membuatnya bengkok. Tapi sekarang aku masih belum ingin membunuhnya. ..... Karena kau masih sangsi untuk menghadapi kemampuannya! Perkataan ini hanya melintas dalam benak wanita berbaju putih itu, tentu saja tak sampai diutarakan.

Sekarang aku hanya ingin agar dia pergi membunuh orang, kata Ti Cing-ling, Makin banyak yang dibunuh semakin baik. ..... Agar dia pergi membunuh? Sampai kapan pembunuhan itu baru berhenti? Membunuh hingga semua orang ingin membunuhnya? Membunuh sampai dia jadi kalap? Dengan sorot mata yang tajam wanita berbaju putih itu mengawasinya. Siapa saja yang telah kau persiapkan agar dibunuh olehnya? dia bertanya. Tentu saja orang-orang yang paling menarik, sekarang aku sudah teringat akan seseorang yang paling menarik itu... Malam bersalju yang sangat dingin. Semakin larut malam, salju turun semakin deras. Nyoo Cing masih duduk bersandar didepan jendela sambil mengawasi bunga bwee dikebun muka. Bunga salju beterbangan dari angkasa, berhamburan ke mana mana, melapisi bunga bwee yang ada di ranting. Ranting yang menerima beban berat segera melengkung, makin tebal salju yang melapisi, makin melengkung ranting itu tapi dia tidak pernah patah karena beban salju yang berat.

Sebagai manusia, kau harus belajar dari sifat ranting pohon, makin besar tekanan yang kau hadapi, semakin ulet kau menghadapi, jangan hanya disebabkan sedikit tekanan, kau sudah kehilangan rasa percaya diri serta semangat untuk bertempur. Nyoo Cing sudah berjalan keluar dari rumah kayu, seorang diri duduk ditepi sungai yang mulai membeku, duduk sambil mengawasi bunga bwee disekelilingnya. Salju yang tebal membuat seluruh permukaan berubah jadi putih keperak-perakan, air yang mengalir ditengah malam bergerak perlahan tanpa menimbulkan suara. Aliran air disungai bagaikan napas seorang yang sekarat, air tetap akan mengalir untuk selamanya tapi napas manusia setiap saat kemungkinan akan berhenti. Mati sebetulnya bukan sesuatu yang menakutkan, juga bukan sesuatu yang menyedihkan. Yang menakutkan justru kepedihan hati. Angin kembali berhembus menggoyangkan ranting pepohonan. Bunga salju beterbangan ke bawah, sebagian menodai tubuh Nyoo Cing. Dalam suasana begitulah dari ujung sungai terlihat ada sebuah sampan, sebuah tungku, seorang kakek kesepian pelan-pelan bergerak mendekat.

Kakek itu masih duduk bersila diujung perahu, bertopi lebar, mengenakan jas hujan dari jerami dan rambutnya telah beruban semua. Air dalam teko diatas tungku sudah lama mendidih, bau harum semerbak terendus makin kental, sekental darah segar. Air teh? Atau obat? Air teh, juga obat. Perduli teh atau obat, aku sudah tidak ingin mencicipinya. Aku pun tidak akan membiarkan kau untuk mencicipinya, kakek itu berpaling, memandang Nyoo Cing yang ada di daratan dan tiba-tiba tertawa. Orang yang memasak teh belum tentu akan menjadi peminum teh, aku bukan orang yang membuat teh, akupun tidak ingin minum air teh itu, kata Nyoo Cing sambil tertawa pula. Manusia macam apa yang akan minum air tehku? Seseorang yang hampir mampus, termasuk juga sejenis manusia. Sejenis manusia? Orang yang datang menagih hutang.

Air teh masih panas sekali, tapi cawannya sudah lama dingin membeku. Kakek itu menuang air teh di cawannya, kemudian meneguknya sendiri. Teh ini teh ampas! kakek itu berkata. Aku tahu. Kau tahu? Walaupun kau bisa meracik bubuk ngo-ma-san, namun bahan untuk membuat obat tersebut susah diperoleh, kata Nyoo Cing sambil tertawa, Apalagi hari ini tidak ada orang yang hampir mati ditempat ini, apa gunanya disediakan bubuk ngo-ma-san? Tiba-tiba kakek itu tidak bicara lagi, dengan sepasang mata tuanya dia awasi Nyoo Cing dengan tenang, lewat lama, lama kemudian dia baru membungkukkan tubuh dan meloloskan sebilah pedang hitam pekat dari samping tungku. Sarung pedangnya berwarna hitam, gagang pedang pun berwarna hitam pekat. Sedemikian hitamnya hingga menyerupai lapisan kegelapan yang menyelimuti ujung langit nun jauh disana.

Selamat bersua kembali! Nyoo Cing pun sedang mengawasi pedang hitam itu, tiba-tiba dia mengucapkan perkataan tersebut kepada benda itu. Sudah berapa lama kau tidak pernah bertemu dengannya? tanya kakek itu. Delapan tahun, Nyoo Cing menghela napas panjang, Delapan tahun delapan bulan delapan hari. Ditambah delapan jam, kakek itu menambahkan, Waktu itu baru menjelang senja dan sekarang sudah lewat tengah malam. Kelihatannya daya ingat mu sangat bagus. Kakek itu tertawa ewa. Hampir setiap menit, setiap detik, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun aku selalu mendoakan agar kau bisa tidur dengan nyenyak. Tampaknya doamu sudah dikabulkan, sebab setiap hari aku dapat tidur dengan sangat nyenyak. Aku telah berhutang kepadamu..... Aku rasa hutang itu sudah impas! Sudah impas? Benar.

Akhirnya kakek itu mendongakkan kepalanya, mengawasi Nyoo Cing dengan wajah tanpa perasaan, sinar matanya kelihatan sangat aneh, entah sorot mata kegembiraan ataukah sorot mata kesedihan. Nyoo Cing pun balas menatapnya, sorot matanya pun memancarkan sinar yang tidak terurai dengan perkataan. Aku telah dating! tiba-tiba kakek itu berkata. Aku tahu kau pasti akan datang. Tentu saja aku akan datang dan tentu saja kau pasti tahu, kata kakek itu sambil menatapnya makin tajam, Kalau tidak, mengapa kau biarkan aku pergi pada delapan tahun berselang? Sekali lagi Nyoo Cing memandang pedang hitam yang berada ditangan kakek itu, lewat sesaat kemudian dia baru menghembuskan napas panjang.

BAB 6. Pedang hitam bagai kegelapan malam.

Pedang itu melebur jadi satu dengan kegelapan malam, karena sama-sama hitamnya.

Mengawasi pedang hitam yang berada dalam genggamannya, kakek itupun menghela napas panjang. Delapan tahun berselang, aku kalah diujung kait perpisahan. Mungkin tidak seharusnya kau kalah, kata Nyoo Cing hambar, Tapi sayang meski usiamu belum tua, ilmu pedangmu justru sudah kelewat tua. Kakek itu termenung seolah sedang mencoba untuk mencerna apa yang barusan dia dengar, lewat lama kemudian baru perlahan-lahan tanya nya, Menurut pandanganmu, berapa usiaku sekarang? Kakek itu rambutnya sudah beruban, wajahnya penuh keriput dan kelihatan sudah amat lelah, lemah dan tua, jauh lebih tua dibandingkan sewaktu Nyoo Cing bertemu untuk pertama kalinya dulu. Aku sudah termashur ketika berusia tujuh-delapan belas tahun, ketika bertemu delapan tahun berselang, usiaku tidak lebih baru tiga puluh enam tahun, dan tahun ini aku baru berusia empat puluh enam tahun. Dengan wajah terperangah Nyoo Cing mengawasi kakek itu, delapan tahun berselang, rambut kakek itu sudah mulai memutih, menurut taksirannya waktu itu, meski belum mencapai usia enam puluh, paling tidak sudah mencapai lima puluh tujuh, delapan tahunan.

Aku tahu, tampangku memang mirip orang tua, sejak delapan tahun berselang rambutku sudah mulai beruban, ujar kakek itu sambil tertawa. Nyoo Cing menghela napas panjang. Akupun tidak menyangka kalau delapan tahun berselang Liong Ngo dari Kwang-tong baru berusia tiga puluh enam tahun. Kakek itu tertawa pedih. Ini semua disebabkan aku terlalu memusatkan konsentrasi dan kekuatan tubuhku untuk melatih diri, kendatipun dengan mengandalkan pedang ini aku berhasil meraih nama besar dan reputasi, namun pedang tersebut telah menghisap seluruh darah dan sumsum dalam tubuhku. Nyoo Cing cukup memahami maksud perkataannya, bila seseorang kelewat kesemsem dalam satu bidang tertentu, maka keadaan itu ibarat sudah melakukan transaksi dengan setan iblis. Kaupun terhitung seseorang yang pernah belajar ilmu pedang, bila kau mengalami keadaan seperti aku, setelah mengorbankan segala sesuatunya demi ilmu pedang, tahu-tahu suatu saat kau dirobohkan dalam sekali gebrakan saja, bagaimana perasaanmu waktu itu? Nyoo Cing tidak menjawab.

Tentu saja kau tidak akan memahami perasaanku waktu itu, kata si kakek lagi sambil menghela napas, Sebab kau belum pernah dikalahkan orang! Nyoo Cing pingin tertawa, tertawa keras, tentu saja dia tidak sanggup tertawa. ..... Tak pernah kalah? Dua puluh tahun berselang dia pernah kalah, kalah oleh nasib. Tapi, siapa yang mengetahui akan hal ini? Kalau dia tidak pernah mengatakannya siapa yang akan tahu? Meja batu yang besar dan lebar bersih tanpa debu, Ti Cing-ling pun selalu bersih tanpa sedikit debu pun yang menempel ditubuhnya. Siapakah manusia menarik yang kau maksudkan? tanya wanita berbaju putih itu. Liong Ngo dari Kwang-tong. Liong Ngo si pedang hitam? wanita itu sedikit terperanjat, Liong Ngo inikah yang kau maksud? Benar. Kenapa dia ingin membunuh Nyoo Cing? Sebab dia berhutang kepada Nyoo Cing. Hutang apa? Hutang pedang, jawab Ti Cing-ling hambar, Delapan tahun berselang, Liong Ngo dari Kwangtong

ibarat matahari ditengah hari, dengan sebilah pedang hitamnya dia malang melintang tanpa lawan, suatu hari tiba-tiba dia bertemu Nyoo Cing... .... Senjata kaitan termasuk jenis pedang, sebab Liong Ngo hanya mau bertanding dengan orang yang menggunakan pedang, dia telah memasukkan senjata kaitan milik Nyoo Cing sebagai salah satu jenis senjata pedang. Dua orang itu bertempur lama sekali, dari tengah hari hingga menjelang senja, disaat matahari mulai terbenam itulah Nyoo Cing berhasil menggaet pedang hitam milik Liong Ngo hingga berpisah. Padahal sejak pertarungan dimulai, Nyoo Cing seharusnya sudah menang, kata Ti Cing-ling, Sebagaimana diketahui, Nyoo Cing adalah seseorang yang sangat mengagumi bakat alam, dia tidak tega membuat Liong Ngo menderita kekalahan secara mengenaskan, oleh sebab itu pertarungan dibiarkan berlangsung hingga senja. Kalah berarti mati, kalau memang Liong Ngo sudah kalah, mengapa dia tidak mati? tanya wanita berbaju putih itu. Nyoo Cing tidak membunuhnya sudah dapat diduga sejak awal, tapi dengan status dan posisi Liong Ngo dalam dunia persilatan, mana sanggup dia menanggung rasa malu dan terhina?

Sebelum pertarungan dimulai, Nyoo Cing sudah memberi pernyataan lebih dahulu kalau pertarungan ini bukan pertarungan antara mati dan hidup, ujar Ti Cingling, Siapa yang kalah anggap saja berhutang budi satu kali, dan dia harus membayar kapan saja dan dalam masalah apa saja, pokoknya yang kalah tidak boleh menampik. Oleh sebab itu Liong Ngo berhutang budi kepada Nyoo Cing? Benar. Sudah terbayar? Belum lama hutang itu terbayar, kata Ti Cing-ling sambil tertawa, Sewaktu Cong Hoa pergi mengambil kait perpisahan, dia bertemu ninja dalam hutan bunga bwee dan terkena ilmu Bu-hwee-sut, seandainya tidak ada Liong Ngo, mungkin nyawanya sudah lama melayang dan sekarang dia tidak perlu lagi hidup tersiksa ditangan Hong Coan-sin. Jadi Liong Ngo mengerti ilmu pertabiban? Kau jangan lupa, marga asli dari Liong Ngo adalah Toan. Toan capsa? Benar. Jadi dia adalah putra Toan Capsa?

Bukan, dia hanya keponakannya, Ti Cing-ling menjelaskan, Bukan saja dia telah pelajari ilmu pertabiban milik Toan Capsa, bahkan dia pun berhasil menguasahi ilmu pedang ke lima belas. Ilmu pedang ke lima belas? wanita berbaju putih itu terperanjat, Ilmu pedang ke lima belas dari tiga belas ilmu pedang pembetot sukma milik Yan Capsa? Benar. Jadi Toan Capsa sesungguhnya adalah Yan Capsa? Konon begitu. Kenyataannya keliru? Ti Cing-ling manggut manggut. Demi mengalahkan Sam sauya, Yan Capsa tidak segan membarter ilmu pedang tiga belas jurus pembetot sukmanya dengan ilmu pertabiban milik Toan Capsa. Resep Ngo-ma-san? Betul! sekali lagi Ti Cing-ling mengangguk, Yan Capsa sengaja menolong Sam sauya bukan lantaran menghendaki balas jasa dari Sam sauya, tapi demi kelangsungan pertarungannya melawan orang itu, bila dia tidak dapat mengobati racunnya, bagaimana

mungkin bisa melangsungkan pertarungan melawannya? Lantas kenapa dia tidak langsung suruh Toan capsa yang pergi menolong? Kenapa dia mesti menukar ilmu tersebut dengan tiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukmanya? Sebab saat itu Toan Capsa sudah sakit parah dan hampir mati. Yan Capsa telah mempelajari resep Ngo-ma-san dan ilmu pertabiban dari Toan Capsa, berarti Toan Capsa tentu sudah mempelajari pula ketiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukmanya? Justru lantaran dia sudah hampir mati, maka Yan Capsa baru bersedia menukarnya dengan ilmu pedang? Yan Capsa mengira Toan Capsa segera akan mati, biar mendapatkan tiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukma pun tidak ada gunanya, kata Ti Cingling sambil tersenyum lebar, Tidak disangka ternyata Toan Capsa telah mewariskan simhoat dari tiga belas ilmu pedang pembetot sukma itu kepada Toan In-seng. Toan In-seng? Apakah dia adalah Liong Ngo dari Kwangtong? Benar.

Wanita berbaju putih itupun termenung, termenung sambil meneguk araknya. Kalau memang Liong Ngo sudah mewarisi tiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukma, mengapa dia masih bisa dikalahkan oleh Nyoo Cing? Bahkan Sam sauya sendiripun sulit untuk menghindari serangan ke lima belas, kenapa Nyoo Cing malah mampu menghadapinya? Yan Capsa harus mengalami banyak kegagalan dan kekalahan sebelum akhirnya berhasil menguasahi jurus yang ke lima belas, sementara Toan In-seng masih muda, belum pernah menderita, belum pernah kalah, bagaimana mungkin dia bisa menyelami dan memahami inti sari dari jurus ke lima belas? Oleh sebab itu delapan tahun berselang dia kalah? Ti Cing-ling manggut-manggut. Oleh karena dia sudah merasakan menderita dan tersiksanya karena kekalahan, maka dalam delapan tahun terakhir ia berhasil menyelami inti dari jurus ke lima belas? Benar. Kalau begitu, pertarungan kali ini bukankah menjadi milik Liong Ngo? Menurut kau?

Tangan yang pucat telah meloloskan pedang yang hitam, dibawah cahaya rembulan, pedang itu nampak jauh lebih hitam dan gelap. Berbinar sepasang mata Toan In-seng, bisiknya tibatiba, Aku telah membayar hutangku kepadamu. Benar, hutang sudah terbayar. Tapi pertarungan pada delapan tahun berselang belum tuntas, kata Toan In-seng hambar, kau tentu tahu bukan, kepandaian yang kugunakan adalah tiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukma? Aku tahu. Dulu, sebenarnya aku sangat membencimu karena kau telah memaksaku merasakan menderita dan tersiksanya sebuah kekalahan, ujar Toan In-seng sambil mengulumkan senyuman, Tapi setelah lewat delapan tahun, aku sudah tidak membencimu lagi. Tiba-tiba kelopak mata Nyoo Cing menyusut kencang, dia seakan agak takut untuk menengok ke arah lawannya. ..... Kekalahan pada delapan tahun berselang, penderitaan selama delapan tahun, apakah kesemuanya ini justru membuat dia dapat menyelami jurus ke lima belas? Dari balik sinar ngeri yang terpancar dari wajah Nyoo Cing, terselip juga sekilas perasaan gembira. Seandainya

Toan In-seng berhasil menyelami inti sari dari jurus ke lima belas, kejadian ini memang pantas digembirakan. Cahaya pedang berkelebat, pedang itu lagi lagi disarungkan ke dalam sarungnya yang gelap. Bila pedang sudah terhunus dan disarungkan kembali sebelum mencium darah, ini pertanda tidak mujur. Mengapa Toan In-seng menyarungkan kembali pedangnya? Nyoo Cing ikut tertegun, dia tidak habis mengerti kenapa orang itu melakukan tindakan tersebut. Ketika bertarung delapan tahun berselang, belum sampai lima puluh gebrakan aku seharusnya sudah kalah, kata Toan In-seng hambar, Tapi kau telah menemani aku bertempur hingga senja, dan hari ini kau tidak memegang senjata kaitan, sama seperti waktu itu dihatiku pun tidak ada pedang. Tiba tiba ia melemparkan pedangnya ke arah Nyoo Cing sambil berseru, Sambut pedang itu! Nyoo Cing sama sekali tidak tercengang sebab dia memahami maksud lawannya, namun dengan sorot mata tidak berdaya ditatapnya orang itu sekejap sambil ujarnya, Pedang digunakan untuk membunuh, bukan untuk ditonton, pedang ini tak ingin bertemu orang, dia hanya ingin melihat darah.

Pedang tajam yang pernah dipakai untuk membunuh, pasti ingin membunuh lagi bila diloloskan dari sarungnya, terkadang si pemiliknya sendiripun tidak mampu menguasahi, aku yakin perasaan semacam itu pasti pernah kau rasakan. Benar, memang begitu rasanya, kata Nyoo Cing sambil mengawasi pedang itu. Pedang tajam berjiwa, begitu juga orang yang pandai menggunakan pedang, jika tubuh dan pedang telah bersatu, bila perasaan dan pedang telah terpadu, saat itulah kau bisa menggunakannya sekehendak hati. Aku mengerti. Oleh sebab itu bila pedang tersebut sudah memiliki hawa membunuh, otomatis orang yang memegang senjata itupun akan tergerak hawa pembunuhannya, kata Toan In-seng, Bila hawa pembunuhan telah bangkit, setiap serangan yang dilancarkan pasti tak akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk tetap hidup. Aku tahu. Perlahan-lahan Toan In-seng berdiri tegak, tubuhnya masih berada disampan, seakan sama sekali tidak bergerak, tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berada ditengah hutan pohon bwee, mematahkan sebatang ranting dan ranting itupun seakan berubah begitu berada dalam genggamannya.

Dengan ibu jari, jari manis dan jari kelingkingnya dia membentuk satu gerakan melingkar, sementara ranting pohon itu ditarik ke belakang hingga sejajar dengan kepala, tampaknya ia sudah mempersiapkan sebuah serangan dahsyat ke arah Nyoo Cing. Nyoo Cing tak berani berayal, dia pegang gagang pedang kuat kuat, mimik mukanya memancarkan perubahan aneh, siapa pun tak bisa menebak apakah dia sedang gembira, sedih atau tidak berdaya. Begitu memegang gagang pedang, tubuhnya ikut bangkit berdiri dan Criiing! pedang itu sudah diloloskan dari sarungnya. Kini Nyoo Cing sudah meluruskan tubuhnya, sama sekali telah berdiri, ujung pedangnya masih menuding ke bawah tapi seluruh tubuhnya seakan telah berubah. Toan In-seng berdiri disisi sungai, mengawasi lawannya tanpa berkedip, ranting dalam genggamannya telah berubah jadi pedang, dengan satu gerakan ringan dia lancarkan sebuah tusukan ke muka. Hampir pada saat bersamaan Nyoo Cing melancarkan serangan juga, tidak ada yang tahu bagaimana dia menggerakkan pedangnya, tahu-tahu senjata itu sudah melesat ke depan dengan kecepatan bagaikan petir.

Criiing! benturan keras terjadi, cahaya kilat berhamburan ke empat penjuru, mendadak cahaya pedang lenyap, gerak seranganpun seakan terhenti. Toan In-seng memeriksa sekejap batang rantingnya, bara api seakan memancar dari matanya, walaupun pedang masih berada dalam genggaman namun dia telah melakukan pelbagai perubahan yang tidak terhingga. Pedang hitam ditangan Nyoo Cing masih tertuju ke arah ranting lawan, bila ranting Toan In-seng bagai seekor ular berbisa maka pedang ditangan Nyoo Cing bagai sebatang paku. Paku yang telah memantek diatas tujuh inci dari kepala sang ular, membuat ular berbisa itu mati kutu. Pertarungan yang seharusnya telah berakhir itu mendadak kembali terjadi perubahan, suatu perubahan yang aneh. Daun yang semula beterbangan di udara tiba tiba saja rontok semua ke tanah, bumi yang semula bergetar tiba-tiba berubah jadi hening dan sepi. Tiba-tiba kelopak mata Nyoo Cing berkerut kencang, sekilas rasa ngeri dan seram melintas diwajahnya, dia merasa pedangnya seakan sudah tidak mampu bergerak lagi, seakan setiap saat serangan lawan akan menembusi dada dan tenggorokannya, seolah tiada kekuatan lagi di dunia ini yang dapat membendung datangnya serangan lawan.

Ancaman itu seolah datangnya kematian, tatkala maut datang menjemput, kekuatan apa di dunia ini yang sanggup mencegahnya? Tidak ada, kecuali kematian itu sendiri. Inilah jurus ke lima belas dari tiga belas jurus ilmu pedang pembetot sukma. Dulu, Sam sauya yang sangat ampuh pun sulit untuk menghindarkan diri, apalagi Nyoo Cing! Jadi itulah jurus ke lima belas dari Toh-mia-capsakiam milik Yan Capsa yang tidak bisa dipatahkan Sam sauya tempo dulu? tanya wanita berbaju putih itu sambil menatap wajah Ti Cing-ling, Bagaimana dengan Nyoo Cing? Mampukah dia menghindari serangan maut itu? Tidak mungkin! Ti Cing-ling menggeleng, Menurut apa yang kuketahui, belum ada seorang manusia pun di dunia ini yang mampu menghindari serangan dari jurus ke lima belas. Kalau begitu Nyoo Cing pasti mati kali ini? Ti Cing-ling tertawa, sorot matanya lembut, selembut cahaya yang memancar dari lampu kristal asal Persia, ujarnya, Tujuh tahun, yaaa.....sudah tujuh tahun, tahukah kau bagaimana aku melewatkan hidupku dalam tujuh tahun itu? Wanita berbaju putih itu tidak menjawab.

Selama tujuh, tahun, yang kuminum adalah air yang mengalir keluar dari celah batu, yang ku makan adalah serangga yang lewat dihadapanku, jika kebetulan nasibku lagi beruntung, ada bajing yang lewat dihadapanku, tapi dalam setahun paling hanya terjadi satu kali. Siapa pun orangnya, bila dia harus melewatkan hidupnya selama tujuh tahun dalam kondisi se tragis itu, tidak kejam pun pasti akan berubah jadi buas dan jahat. Bila hanya menginginkan kematian Nyoo Cing, buat apa aku mesti membuang banyak tenaga dan pikiran? kembali Ti Cing-ling berkata sambil tertawa sinis. Kalau memang tidak menginginkan kematiannya, kenapa kau biarkan Toan In-seng pergi membunuhnya? tanya perempuan berbaju putih itu, kalau sampai sam sauya pun tak sanggup menghindari serangan tersebut, mana mungkin dia bisa lolos dari kematian? Ada sebangsa orang, dia selalu ditakdirkan beruntung, setiap kali sedang bertemu musibah seberat apapun, pasti akan muncul tuan penolong yang menyelesaikan masalahnya. Apakah Nyoo Cing adalah manusia semacam itu? Benar. Siapa tuan penolongnya kali ini?

Menurut kau? Bunga bwee telah berguguran ke tanah, daun pun sudah berguguran bagaikan hamparan permadani hijau, seluruh langit dan bumi serasa dicekam dalam suasana kematian. Air sungai seakan berhenti mengalir, salju dan kabut pun seolah membeku semua. Menyaksikan jurus ke lima belas yang penuh diliputi kematian, pancaran mata Nyoo Cing mulai memperlihatkan rasa ngeri yang luar biasa, bahkan jauh lebih ngeri ketimbang yang diperlihatkan Sam sauya tempo hari. Yang membuatnya merasa ngeri bukan kematian, tapi dia seakan menyaksikan bagaimana jurus serangan itu mendatangkan bencana demi bencana, musibah demi musibah dalam dunia persilatan. Bila jurus serangan ini dibiarkan berkembang terus, maka masa depan dunia persilatan pasti suram, sekarang dia baru mengerti kenapa Yan Capsa waktu itu tidak membunuh Sam sauya melainkan justru menggorok leher sendiri. Rupanya disaat terakhir, Yan Capsa telah menemukan ancaman bahaya maut, kemusnahan dan kematian yang dibawa jurus serangan tersebut, dia tidak ingin jurus mematikan itu diwariskan ke generasi berikut,

dia tak ingin menjadi manusia paling berdosa bagi umat persilatan. Dibalik kegelapan, hanya sorot mata Toan In-seng yang memancarkan cahaya tajam, itulah cahaya yang mendekati kekalapan. Dalam pandangannya sudah tak ada yang lain, yang tersisa hanya kemusnahan dan kematian. Hanya kemusnahan dan kematian yang bisa memadamkan api kekalapannya. Serangan berikut langsung diarahkan ke ulu hati Nyoo Cing, langsung menusuk ke jalan kematian. Disaat kematian hampir menjelang tiba, mendadak dari balik rumah kayu berkelebat lewat sesosok bayangan manusia, bayangan itu langsung menerkam ke tengah badai kematian. Tusukan itu langsung menghujam ke tubuh bayangan itu, darah pun menyembur keluar membasahi seluruh permukaan. Seluruh wajah Nyoo Cing basah kuyup oleh semburan darah, namun secara lamat-lamat dia masih dapat melihat penderitaan dan siksaan yang tercermin diwajah orang itu, wajah sekarat. Seluruh wajah Toan In-seng ternoda pula oleh semburan darah, ketika pedangnya berhasil menghujam di dada lawan, disaat darah segar mulai menyembur

keluar, dia pun mulai tertawa, tertawa keras, tertawa seperti orang kalap. Darah yang meleleh diwajah Nyoo Cing makin lama makin bertambah banyak, hawa amarah yang menyelimuti wajahnya pun makin lama semakin menebal, dengan tangan kanan memegang pedang, tangan kirinya merangkul tubuh seseorang. Ternyata tusukan pedang dari Toan In-seng bukan menghujam di dada Nyoo Cing, tapi menembusi dada si nona hitam yang pada detik terakhir melesat keluar dari dalam rumah. Ranting pohon itu masih menancap di dada nona hitam, darah segar masih menyembur keluar tiada hentinya. Kini Toan In-seng baru sadar kalau sasaran yang tertusuk bukan Nyoo Cing, dia pun sempat melihat pancaran hawa amarah yang mencorong dari mata lawannya. Dalam keadaan begini, buru-buru dia ingin mencabut keluar ranting pohon itu, tapi dengan sekuat tenaga nona hitam memeganginya. Bersamaan waktunya, Nyoo Cing mengayunkan pula pedang hitamnya, langsung menusuk ke balik kegelapan, menusuk ke sumber cahaya kebrutalan. Setelah itu Nyoo Cing tidak bergerak lagi, dia hanya mengawasi tubuh nona hitam yang berada dalam

pelukannya, mimpi pun dia tak menyangka semalam orang yang masih menyatakan kasih kepadanya, kini harus mati dalam pelukannya. Tapi, mau tidak mau dia harus percaya, karena nona hitam memang terbukti sudah mati, denyut nadi nona hitam telah berhenti, tangan dan kakinya telah membeku. Yang seharusnya mati adalah Nyoo Cing, bukan dia. Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi wajah nona hitam yang menampilkan kepuasan, rasa sedih yang tidak terhingga seketika menyelimuti seluruh perasaannya. Akhirnya dia melepaskan jubah yang dikenakan dan ditutupkan diatas tubuh nona hitam, kemudian dengan penuh kasih dibelainya rambutnya yang halus. Lama, lama kemudian, dengan membopong tubuh nona hitam, selangkah demi selangkah Nyoo Cing berjalan meninggalkan arena pertarungan, perlahanlahan dia balik kembali ke rumahnya, rumah kayu kecil.

BAGIAN - 5. Pedang amarah, musim semipun marah.

BAB 1. Kejadian di rumah bambu.

Matahari bersinar cerah diluar rumah, namun lentera masih menerangi ruangan dalam, satu satunya pintu yang tembus ke dunia luar berada dalam keadaan tertutup. Tampaknya Ti Cing-ling mempunyai bakat untuk meramal perubahan cuaca, sambil memandang cahaya lentera, ujarnya perlahan, Hari ini, cuaca diluar pasti amat cerah, sedemikian cerahnya hingga membuat perasaan orang gampang gembira. Kelihatannya wanita berbaju putih itu tidak terlalu memperhatikan soal cuaca, yang ingin dia ketahui segera adalah bagaimana akhir dari pertarungan Nyoo Cing. Sekarang pagi hari sudah lewat, semestinya pertarungan itupun telah berakhir, kata perempuan itu sambil menatap lawannya, apakah si nona hitam bakal mati? Apakah Nyoo Cing berhasil lolos dari musibah kali ini?

Ti Cing-ling tidak segera menjawab, dia memenuhi cawannya dulu dengan arak anggur, setelah itu baru ujarnya, Ada dua jenis lelaki yang selalu menarik perhatian kaum wanita, yang pertama adalah lelaki muda yang banyak duit. Contohnya seperti kau! Dalam hal ini Ti Cing-ling selamanya tidak pernah menyangkal, bukan saja dia banyak duit, wajahnya terhitung tampan, perawakan tubuhnya tinggi besar dan pandai merayu wanita, perempuan mana di dunia ini yang bisa lolos dari cengkeramannya? Lelaki jenis kedua adalah lelaki yang kelewat serius dalam bercinta, bila dia sudah mencintai seorang wanita maka tidak nanti dia mau menerima cinta kedua dari wanita lain, tapi apa mau dikata justru banyak wanita yang tergila-gila terhadap lelaki macam begini, kata Ti Cing-ling sembari melirik sekejap ke arah wanita berbaju putih itu, sekilas rasa iri sempat melintas diwajahnya. Mereka bilang lelaki semacam inilah baru merupakan lelaki sejati, dia menambahkan. Contohnya Nyoo Cing? Benar, Ti Cing-ling tertawa, Bukan saja perempuan menyukai lelaki semacam ini, ada kalanya terhadap sesama lelaki pun banyak yang merasa tidak tega untuk membunuhnya.

Bukannya tidak tega, semestinya lebih tepat kalau dikatakan banyak lelaki yang tidak menginginkan dia mati kelewat gampang, sela wanita berbaju putih itu. Ternyata didalam hal inipun Ti Cing-ling tidak menyangkal, perlahan dia meneguk habis isi cawannya, membiarkan arak memenuhi mulutnya kemudian baru sedikit demi sedikit menelan arak itu ke dalam perut. Akibat yang dihasilkan jurus ke lima belas dari Tohmia-cap-sa-kiam hanya kemusnahan dan kematian, hanya ada satu cara untuk mematahkan serangan tersebut yaitu dengan kematian, kata Ti Cing-ling, Dengan kematian mematahkan kematian, atau dengan perkataan lain hanya kematian saja yang dapat memunahkan kekuatan dari hawa serangan tersebut. Seandainya nona hitam yang mati, bukankah Nyoo Cing masih tetap hidup? Betul, dan kuduga pasti demikian yang bakal terjadi, kata Ti Cing-ling sambil mengangguk, Dengan matinya nona hitam, maka Nyoo Cing pun terbebas dari ancaman kematian itu. Tapi dia pun akan hidup sendirian, tidak ada yang menunjang, tidak ada yang mendukungnya lagi. Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, Semangat dan pikirannya akan terjerumus dalam situasi yang pelik, dia akan hidup dalam kesendirian, tiada bala bantuan, tiada harapan.

Jangan lupa, dia masih mempunyai seorang kurakura tua. Kura-kura itu hanya bisa membantu Nyoo Cing mengemukakan usul atau saran, tidak nanti dia akan turun tangan membantunya, kata Ti Cing-ling lagi sambil tertawa, Sejak tiga puluh tahun berselang, dia sudah bersumpah untuk mundur dari keramaian dunia persilatan. Empat buah meja panjang berlapis besi putih berjajar jadi satu, tiga diantaranya berisi tiga sosok tubuh manusia. Dalam ruangan itu tergantung tujuh buah lentera kristal, cahaya yang terang hampir menyinari setiap sudut ruangan itu. Disisi meja panjang terdapat berapa buah meja pendek, diatas meja tersebut tersedia pelbagai bentuk pisau kecil, ketika tersorot cahaya lentera segera memantulkan sinar hijau yang menggidikkan. Bila ditinjau dari susunan dekorasi yang ada dalam ruangan itu, tidak disangkal tempat ini merupakan sebuah ruangan yang khusus dipakai untuk pembuatan manusia mummi. Tidak disangkal pula, tiga sosok tubuh manusia yang berbaring diatas meja panjang pun tidak lain adalah Cong Hoa, Tay Thian serta Ui sauya.

Sejak minum ketiga cawan arak itu hingga kini, satu jam sudah lewat tanpa terasa, tapi kalau dilihat dari keadaan ketiga orang itu, tampaknya mereka belum menunjukkan gejala mendusin. Ruangan yang semula tenang mendadak dipecahkan oleh suara pintu yang dibuka orang, menyusul kemudian terlihat Budak darah berjalan menghampiri meja panjang itu, memandang sekejap ketiga orang yang berbaring disana dan tiba-tiba tertawa tergelak. Bila kalian anggap tidur semacam ini sangat nyenyak dan nikmat, aku bersedia memberi tiga cawan arak lagi untuk kalian bertiga, kujamin kalian pasti akan tertidur untuk selamanya! Tiga orang manusia yang tampaknya seakan belum mendusin itu seketika ada yang menghela napas setelah mendengar perkataan dari budak darah. Aaai! Setelah terjatuh ke tangan kalian, rasanya pingin tidur sedikit lebih lama pun susah, gumam Ui sauya sembari membuka matanya dan menatap budak darah. Aku tidak ingin tidur lagi, ujar Cong Hoa pula sambil membuka matanya, Saat ini aku hanya pingin makan sekenyang-kenyangnya, kemudian menenggak empat puluh cawan arak.

Kalau aku mah tidak senapsu itu, paling hanya ingin minum dua puluh cawan arak, sambung Tay Thian, kemudian sambil berpaling ke arah budak darah, ujarnya lagi, Setiap narapidana yang sudah di vonis hukuman mati, mereka punya kesempatan untuk menikmati hidangannya yang terakhir menjelang dilaksanakannya eksekusi, entah fasilitas semacam itu berlaku tidak untuk kami bertiga? Kalau arak mah tidak masalah, jawab budak darah tertawa, Tapi soal makanan, aku rasa lebih baik kalian nikmati setelah menitis kembali jadi manusia dalam penghidupan berikut. Belum tentu! tiba-tiba Hong Coan-sin sudah muncul di depan pintu. Belum tentu? tanya Cong Hoa, Maksudmu kita masih punya kesempatan untuk menikmati hidangan yang diinginkan? Bukan kita tapi kalian, salah seorang diantara kalian. Ooh, aku mengerti sekarang, rupanya ada satu tugas yang harus dilakukan oleh salah satu diantara kami bertiga, sebagai imbalannya kami dapat hidup terus? seru Cong Hoa. Benar! Kalau kami tidak ingin hidup terus?

Tidak masalah, jawab Hong Coan-sin sambil tertawa, Aku yakin pasti ada orang yang bersedia melakukannya. Tugas apa yang harus kami lakukan? mendadak Tay Thian bertanya. Cap kerajaan, kata Hong Coan-sin, Asal bersedia memberitahukan kepada kami dimana cap kerajaan dari Raja muda Lam-kun-ong disimpan, kalian bisa hidup terus dengan riang gembira. Tiba-tiba Cong Hoa tertawa keras, tertawa sangat gembira. Bukankah kalian punya kemampuan hebat untuk menciptakan seorang Nyoo Cing baru? Kenapa tidak mampu menciptakan sebuah cap palsu? Cong Hoa tertawa tergelak, Tentu saja kalian tidak sanggup, sebab setiap kerajaan, setiap raja muda, cap kekuasaannya tentu punya gambar rahasia yang unik dan rumit, kode rahasia itu tidak mudah ditiru apalagi dipalsukan, tujuannya adalah agar tidak setiap orang bisa menurunkan perintah palsu. Kau memang sangat cerdik, ujar budak darah, Sayangnya, orang pintar selalu mampus lebih cepat. Siapa tahu orang yang pintar itu mendadak berubah jadi bodoh, saking bodohnya sehingga secara tiba-tiba memberitahukan letak penyimpanan cap tersebut?

Kujamin asal kau lakukan hal itu maka keinginanmu untuk makan besar dan menghabiskan empat puluh cawan arak segera akan terkabulkan! Tapi sayangnya begitu berjumpa dengan kau, aku malah susah jadi bodoh, kata Cong Hoa sambil menatap si budak darah, Siapa tahu secara tiba-tiba aku malah melompat bangun dan menggigitmu. Biar mau digigit sepuluh kalipun aku tidak bakal takut! tertawa si budak darah sangat nyaring, Kalian sama sekali tidak mampu bergerak, aku sendiri yang telah menotok jalan darah di kaki kalian bertiga. Yaa, siapa tahu... Cong Hoa ikut tertawa tergelak, Siapa tahu kaki kami bisa bergerak secara tiba-tiba, siapa tahu kau lupa menotok jalan darah kakiku, siapa tahu barusan ada orang yang masuk kemari dan membebaskan jalan darahku yang tertotok..... Budak darah yang semula masih tertawa riang seketika terbungkam dalam seribu bahasa, senyumannya ikut membeku, apa yang dikatakan Cong Hoa bukannya tidak mungkin terjadi, mendadak dia maju mendekat dan memeriksa jalan darah di kaki ketiga orang itu. Tidak usah diperiksa lagi, kujamin mereka bertiga tidak mampu bergerak, kata Hong Coan-sin cepat, Dia memang sengaja bicara begitu, tujuannya agar pikiranmu gugup dan kalut.

Rupanya jahe makin tua memang semakin pedas! sindir Ui sauya sambil tertawa, Beda dengan manusia yang suka telanjang ini, tidak kuasa menahan napsu... Budak darah mencak-mencak saking gusarnya, dengan wajah merah padam dia segera menghampiri Ui sauya kemudian menempelengnya keras-keras. Aneh, kenapa kaum wanita sukanya hanya tempeleng orang, kembali Ui sauya menghela napas, Kecuali berbuat begitu, sebenarnya apa lagi yang bisa kau lakukan? Aku pintar naik ranjang dengan lelaki, mau gaya model apapun aku bisa, budak darah tertawa cabul, Eei aku dengar kau masih jejaka tulen, betul tidak? Dengan matanya yang jalang budak darah mengawasi tubuh Ui sauya dari atas hingga ke bawah, kemudian sambil gelengkan kepalanya berulang kali katanya lagi, Belum sempat merasakan surga dunia, masa kau bisa mati dengan mata merem? Bicara sampai disitu, tangannya mulai meraba benda paling sensitip yang dimiliki Ui Sauya diantara dua pahanya, bukan hanya meraba, tangannya mulai merogoh ke dalam celana dan meremasnya. Tidak terlukiskan rasa gusar dan kaget Ui sauya menghadapi kejadian seperti ini, sayang seluruh tubuhnya tidak mampu berkutik sehingga gelisah pun tidak ada gunanya.

Apa gunanya kau hanya meraba dengan cara begitu, kurang mantap! seru Cong Hoa sambil tertawa, Kalau ingin yang lebih hot, lebih baik langsung saja menunggang kuda maju perang, kujamin kau pasti akan menikmati barang baru. Ternyata dia telah samakan Ui sauya sebagai barang baru. Tay Thian tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa terbahak-bahak. Lelaki sudah pernah dilukiskan sebagai apa saja, tapi belum pernah diibaratkan barang baru. Hahaha. baru pertama kali ini aku mendengarnya. Sayang, barang baru pun tidak akan bertahan lagi. Waktu itu seluruh wajah Ui sauya sudah merah padam karena jengah, bahkan benda miliknya sudah mulai bereaksi dan makin membengkak besar. Untunglah disaat itu Hong Coan-sin sudah berseru, Cukup! Tampaknya budak darah sangat taat dengan perkataan Hong Coan-sin, dia segera menghentikan ulahnya dan mengundurkan diri. Akhirnya Ui sauya dapat lolos dari bahaya, tidak tahan dia menghembuskan napas panjang. Bagaimana dengan apa yang barusan kuusulkan? Apakah kalian bertiga berminat? kembali Hong Coan-

sin bertanya sambil tertawa, Asal menganggukkan kepala maka kalian boleh pergi ke mana saja yang disuka. Aaai! Dulu, kenapa aku tidak bertanya kepada Nyoo Cing dimana dia simpan cap kekuasaannya, gumam Cong Hoa dengan wajah seperti menyesal, Kalau tidak sekarang aku bisa pergi bebas ke ujung dunia. Apalagi aku, selama hidup paling takut berurusan dengan orang pangkat, kata Ui sauya sambil tertawa getir, Jangan lagi cap kekuasaan, memasuki rumah pejabat pun takutnya setengah mati. Tay Thian tidak bicara apa-apa, ketika sorot mata semua orang tertuju ke wajahnya, dengan santai diapun balas memandang setiap orang, setelah itu baru ujarnya, Tentu saja aku mengetahui tempat penyimpanan cap kekuasaan itu, tapi sayang aku jadi orang paling takut hidup sendirian, kalau disuruh melanglang dunia seorang diri, tanggung belum sampai dua hari aku sudah mati kesepian. Dia memandang Hong Coan-sin sekejap, kemudian lanjutnya, Daripada mati kesepian, lebih baik mati sekarang juga, paling tidak dalam perjalanan menuju ke alam baka aku masih mempunyai teman untuk mengobrol. Bagus, ternyata kalian bertiga sama-sama setia kawan, tidak takut mati, kalau memang begitu biarlah aku kabulkan permintaan kalian semua.

Jubah panjang berwarna putih terletak diatas meja pendek, Hong Coan-sin segera mengambil dan mengenakannya dengan cepat, setelah itu diapun mengenakan penutup kepala berwarna putih. Ketika semuanya sudah siap, Hong Coan-sin baru mengenakan sarung tangan dan mengambil sebilah pisau kecil yang amat tipis. Mata pisau yang tajam memantulkan cahaya perak kebiru biruan. Apakah kau akan segera melakukan pembedahan? tanya Cong Hoa. Benar. Apakah meja panjang yang kosong itu kau persiapkan untuk menampung potongan tubuh kami sebelum dilebur menjadi satu? Benar. Kenapa tidak melihat dia berbaring disitu? Sekarang dia sedang mandi, menanti aku selesai membedah tubuh kalian bertiga, diapun kebetulan sudah selesai membersihkan tubuh. Dengan susah payah membuang banyak pikiran dan tenaga, apakah tujuannya hanya akan menciptakan seorang Nyoo Cing dan Tay Thian yang baru? mendadak Tay Thian bertanya.

Kesemuanya ini baru sebuah permulaan. Sebuah permulaan? Permulaan apa? Hong Coan-sin memandang Tay Thian sekejap, lewat berapa saat kemudian dia baru berkata, Cong Poanlong telah menanggung nama busuk sebagai pengkhianat negara, tentu saja kami tidak bisa membiarkan nama ini tercatat terus dalam sejarah kerajaan, oleh sebab itu dia harus segera dimusnahkan dari muka bumi, kemudian kami pun berhasil mendapatkan rahasia cara pembuatan mummi, dengan mengandalkan resep rahasia ini maka sebuah rencana besar pun segera dibuat. Maksudmu... kalian., kalian akan menciptakan seorang kaisar baru?' tanya Tay Thian dengan suara agak gemetar. Betul, untuk mewujudkan rencana besar ini, kami telah melakukan percobaan demi percobaan selama dua puluh tahun lamanya, dan inilah hasil jerih payah kami. Maka kau pun menggunakan Nyoo Cing dan aku sebagai kelinci percobaan, bila berhasil maka rencana berikut adalah menciptakan seorang kaisar baru? Benar. Kalau begitu Liongtau lotoa dari perkumpulan Cing Liong Hwee adalah orang yang suruh Cong Poan-long datang ke daratan Tionggoan?

Pertanyaan ini tidak ditanggapi Hong Coan-sin, dia hanya tertawa. Kenapa tidak dijawab? Apakah lantaran perkataanku sudah mendekati kebenaran? Benar atau salah, setibanya di akhirat nanti kalian pasti akan tahu. Dengan membawa pisau kecil dan mengawasi Cong Hoa, selangkah demi selangkah Hong Coan-sin mendekati gadis itu, wajahnya segera menampilkan kecabulan yang luar biasa. Mau.... mau apa kau? teriakan Cong Hoa kedengaran agak gemetar. Mula-mula aku akan membuka pakaianmu dengan pisau ini, kemudian... suara tertawa Hong Coan-sin kedengaran makin cabul, makin sesat. Kenapa kau.... kau tidak membedah mereka duluan? Semestinya perempuan harus didahulukan. Tidak usah sungkan, biar yang laki-laki duluan, Cong Hoa mulai kelihatan ketakutan. Sorot mata Hong Coan-sin yang cabul ibarat sebuah tangan tidak berwujud, bergeser terus diseputar dada Cong Hoa, dengus napasnya makin lama makin bertambah berat, setiap kali menghembuskan napas,

hanya hawa panas yang dihembuskan, dia sudah mulai menggeser sorot matanya dari atas dada turun ke perut, turun ke bagian terlarang dan berputar terus disekitar situ. Bulu kuduk mulai bangun berdiri, hawa dingin serasa menusuk ke dalam ulu hati, Cong Hoa benar-benar bergidik, rasa ngeri bercampur malu menyelimuti wajahnya... Tangan kiri Hong Coan-sin sudah mulai diletakkan diatas dada gadis itu sementara pisau ditangan kanannya mulai ditempelkan diatas pakaiannya, kelihatannya sebentar lagi dia akan mulai menelanjangi gadis tersebut. Kalau kau tidak segera keluar, aku akan berteriak! mendadak Cong Hoa berseru keras. Hong Coan-sin melengak, dia tidak habis mengerti apa maksud dan makna gadis itu meneriakkan ucapan tersebut. Dia boleh melengak dan tidak mengerti, ternyata ada orang lain yang mengerti, maka terdengarlah seseorang menghela napas panjang. Dengan sigap Hong Coan-sin berpaling, menengok ke arah sumber suara itu. Aku tahu, wanita memang selalu tidak mampu menahan diri, kata orang itu.

Siapa? bentak Hong Coan-sin. Aku! jawab orang itu, Masa kau tidak mengenali suaraku? Tiba-tiba paras muka Hong Coan-sin berubah hebat, berubah jadi amat tidak sedap dipandang, berubah seakan akan tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Rupanya kau? serunya tertahan. Tentu saja aku, kecuali aku siapa lagi yang bisa membuat tabib sakti kita begitu terperanjat? Bersama dengan selesainya perkataan itu, seseorang telah melangkah masuk ke dalam ruangan. Begitu berjumpa dengan orang itu, Cong Hoa segera menghembuskan napas lega, kalau tadinya jengah maka lambat laun paras mukanya berubah jadi normal kembali. Seandainya kau bisa sedikit menahan diri lagi, kujamin semakin banyak rahasia yang dapat kau dengar, kata orang itu. Akupun berpendapat begitu, sahut Cong Hoa, Sayangnya aku adalah seorang wanita. Darimana kau tahu kalau ada orang akan datang menolongmu?

Karena aku kelewat memahami watak manusia, akhirnya Cong Hoa mulai tertawa, Tidak ada seorang manusia pun yang dapat bersikap tenang sewaktu menghadapi maut. Setelah memandang Tay Thian sekejap, ujarnya lebih jauh, Tapi sejak awal hingga akhir, Tay sauya kita ini tidak menunjukkan perasaan takut bahkan sikap tidak tenang pun tidak terlihat, maka akupun mulai bertanyatanya, kenapa dia bisa begitu? Kenapa dia sama sekali tidak merasa takut? Kalau dia orang normal, mustahil reaksinya begitu aneh dan lain daripada yang lain. Kemudian setelah memandang kembali ke arah Hong Coan-sin, lanjutnya, Maka aku pun mulai menduga, dia pasti sudah mempersiapkan rencana besar, dia pasti sudah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna, dia pasti sudah menyiapkan jurus terakhir yang luar biasa. Dan kenyataan, segala sesuatunya sesuai dengan apa yang kau bayangkan? Memang paling baik jika persis sama seperti apa yang kubayangkan. Sejak kemunculan orang itu, Hong Coan-sin hanya berdiri mematung ditempat semula, sama sekali tidak bergerak.

Heran dengan orang ini, kenapa mendadak dia tidak bergerak lagi? gumam Cong Hoa, Memangnya kau telah membuatnya tertegun karena ketakutan? Bukan kehadiranku yang membuatnya tertegun, tapi sarung tangan yang dia kenakan. Sarung tangan? Kenapa dengan sarung tangannya? Kenapa tidak kau tanyakan langsung kepadanya? Tidak menunggu Cong Hoa mengajukan pertanyaan, Hong Coan-sin sudah menjawab duluan. Aku sama sekali tidak menyangka kalau dalam perkumpulan Cing Liong Hwee ternyata terdapat pengkhianat, dan lebih tidak kusangka kalau pengkhianat tersebut ternyata adalah kau. Sepantasnya kau bisa menduga akan hal ini, jika kau masih memiliki sedikit saja sifat manusia, sudah sepantasnya kau menduga ke situ. Kelihatannya perkumpulan Cing Liong Hwee masih belum cukup mendalam memahami tentang kau, kalau tidak, tidak mungkin akan terjadi peristiwa semacam ini. Rupanya kedatanganmu hari ini adalah untuk membalas dendam bagi kematian ayahmu? kata Hong Coan-sin kemudian sambil menatap tajam orang itu.

Siapa bilang bukan? Sudah belasan tahun dia menunggu kesempatan baik ini, sela Cong Hoa riang. Darimana kau bisa tahu kalau bakal ada yang datang menolong kalian? tanya Hong Coan-sin, Darimana kau tahu kalau orang yang bakal menolong kalian adalah dia? Cong Hui-miat? ..... Ternyata orang itu tidak lain adalah Cong Huimiat! Bagaimana mungkin? Bukankah dia adalah seorang Tongcu dalam perkumpulan Cing Liong Hwee? Bukankah dia yang akan menggantikan posisi Tay Thian? Bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang pengkhianat? Aku tidak tahu, dengan bangga Cong Hoa berkata, Tapi ada satu hal aku tahu dengan pasti, manusia macam Tay Thian tidak mungkin bisa bersikap tenang apalagi disaat menghadapi maut jika dia tidak mempersiapkan sesuatu sebelumnya, aku yakin dia pasti sudah mempunyai rencana lain. Kemudian sambil berpaling ke arah Tay Thian, katanya lagi sambil tertawa, Kalau ditanya persiapan apa yang telah dia lakukan? Aku pun tidak tahu, aku hanya yakin asal berteriak pasti ada orang yang akan memberi tanggapan dan pertolongan.

Aaai... ternyata wanita memang tidak bisa diajak melakukan karya besar, keluh Tay Thian sambil menghela napas. Bukan Cuma tidak bisa diajak melakukan karya besar, kalau punya rahasia lebih baik jangan sampai mereka ketahui, kalau tidak..... Kalau tidak kenapa? teriak Cong Hoa sambil melotot ke arah Cong Hui-miat. Sebetulnya juga tidak apa-apa, hanya biasanya mereka tidak tahan kalau mendengar kelewat banyak, kata Cong Hui-miat hambar. Aku tidak menyangka kalau kau sudah mempoleskan racun di dalam sarung tanganku! tegur Hong Coan-sin sambil melotot gusar ke arah Cong Huimiat. Kalau bukan dipoleskan ke dalam sarung tangan, mana mungkin aku bisa meracuni? Apakah kau tidak takut dengan pembalasan dari perkumpulan Cing Liong Hwee? Aku masuk menjadi anggota Cing Liong Hwee karena aku memang ingin menghancurkan perkumpulan ini, kata Cong Hui-miat hambar, mengenai pembalasan dari mereka...? hmm, tentu saja aku sangat mengerti, kalau ingin membalas, silahkan saja dilakukan.

Kau sudah membuang banyak pikiran dan tenaga untuk menyusup masuk ke pusat perkumpulan Cing Liong Hwee, mengapa tidak menunggu sedikit hari lagi? Kenapa kau tidak menunggu sampai bisa menyusup ke markas besar dan bertemu dengan Liongtau lotoa sebelum membongkar identitasmu? Sebetulnya aku ingin berbuat begitu, tapi sayang waktu sudah tidak mengijinkan lagi, kata Cong Huimiat, Aku tidak bisa berpeluk tangan membiarkan nyawa mereka bertiga diujung tanduk, apalagi Nyoo Cing pun sudah dipojokkan hingga ke posisi mati. Posisi mati? Apakah Nyoo Cing berbahaya? tanya Cong Hoa. Hingga detik ini mah belum, kata Tay Thian, Sekarang Ti Cing-ling baru berperan sebagai si kucing yang menangkap tikus, dia pasti akan mempermainkan Nyoo Cing habis-habisan sebelum membunuhnya. Dia berada di mana sekarang? Dalam rumah kayu kecil. Dari mana kau tahu kalau dia pasti berada di rumah kayu kecil itu? Jauh sebelumnya diantara kami berdua sudah ada perjanjian. Sebelumnya? Sejauh mana itu?

Tiga belas tahun berselang. Berakhir pada saat tahun pertama Ti Cing-ling kabur dari penjara? Betul. Kalau begitu aku adalah salah satu boneka yang berada dalam perencanaan kalian? teriak Cong Hoa sambil menatap wajah Tay Thian. Bukan boneka, kau malah salah satu pemeran utamanya, Tay Thian berkilah, Tanpa kau, semua rencana kami tidak mungkin bisa terwujud seperti sekarang. Cong Hoa tertawa, sekarang dia berpaling ke arah Cong-Hui-miat. Orang tua yang muncul di tempat kebakaran tempo hari apa benar kau? tanyanya. Betul! Cong Hui-miat mengangguk. Tidak heran sewaktu hampir tertangkap tangan di dusun itu, tahu-tahu Ui sauya munculkan diri untuk menyelamatkan dirimu. Kalau aku tidak munculkan diri hari itu, mungkin dia sudah kau paksa untuk unjukkan diri, kata Ui sauya. Kenapa tidak beritahu kepadaku terlebih dulu?

Kadangkala tidak mengetahui satu persoalan malah menguntungkan bagimu, paling tidak mengurangi resiko terjebak dalam ancaman bahaya, Cong Hui-miat menerangkan. Totokan jalan darah sudah dibebaskan, Cong Hoa pun melompat turun dari altar panjang, dia pun meluruskan tulang belulangnya yang kaku, maklum tidur terlalu lama membuat tulangnya malah sakit dan linu. Hong Coan-sin masih berdiri ditempat, sama sekali tidak bergerak. Racun telah merambat naik dari jari tangan menuju ke bahunya, butiran keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi jidatnya, mengalir melalui pipinya dan menetes diatas pakaian. Hey, kemana kaburnya budak darah? mendadak Cong Hoa berteriak keras. Dia berada di belakang, dikurung bersama yang lain! kata Cong Hui-miat. Pada akhirnya kita berhasil juga menjebol markas penting dari Cing Liong Hwee di tempat ini. Belum, kita masih belum berhasil, kata Tay Thian. Belum? tanya Cong Hoa tercengang, Masa tempat ini bukan markas penting dari perkumpulan Cing Liong Hwee?

Baik tempat ini maupun Pesanggrahan pengobatan Coan-sin-Ie-khek, kedua-duanya hanya merupakan kantor ranting. Apa bedanya kantor cabang dengan kantor ranting? Jelas beda, setiap kantor cabang memiliki tiga ranting, setiap tiga kantor cabang tergabung dalam satu kantor yang disebut kantor musim. Kantor musim? Apa itu kantor musim? tanya Cong Hoa. Ciagwe, jigwee, sagwee tergabung dalam kantor musim semi, sigwee, gogwee, lakgwee tergabung dalam kantor musim panas. Berarti jitgwee, pehgwee, kaugwee tergabung dalam kantor musim gugur? Benar. Lantas kantor musim apa yang diutus perkumpulan Cing Liong Hwee untuk mengurusi tempat ini? Kantor musim semi. Itu berarti ciagwee, jigwee dan sagwee, siapa sih Tongcu mereka? tanya Cong Hoa lagi. Tongcu dari sagwee adalah Siau-tiap, tongcu dari ciagwe adalah pemilik pesanggrahan pengobatan ini,

kata Cong Hui-miat sambil berpaling kearah Hong Coansin. Lalu siapakah Tongcu jigwee? Hoa U-gi! Apa? Hoa U-gi? sekali lagi Cong Hoa terkesiap, Bukankah dia adalah putri kesayangan Nyoo Cing? Bukan! sahut Tay Thian, Dia hanyalah seorang mata-mata yang sengaja disusupkan ke dalam istana raja muda. Waah, Cing Liong Hwee benar-benar hebat, manusia berbakat macam apa pun berhasil mereka rekrut, tapi ada tidak yang sengaja diutus untuk dijadikan bini peliharaannya? gurau Cong Hoa sambil tertawa. Setelah tertawa terkekeh, kembali lanjutnya, Ciagwee, jigwee dan sagwee sudah jebol, apakah sudah diketahui siapa yang menjabat ketua kantor musim semi? Belum tahu, jawab Cong Hui-miat, Aku belum terlalu lama bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee, kecuali pernah bersua dengan para tongcu dari ciagwee, jigwee dan sagwee, yang lain aku tidak tahu apa-apa, jangan lagi siapa yang menduduki posisi ketua kantor musim.

Waah, kalau begitu kita hanya berhasil menangkap ikan kecil sementara para ikan kakapnya masih berenang dengan bebas. Justru perkumpulan Cing Liong Hwee menakutkan lantaran hal ini, kata Tay Thian, Membuat orang lain selamanya tidak pernah tahu siapa saja yang menjadi anggota perkumpulan naga hijau. Tiba tiba Cong Hoa berpaling ke arah Hong Coan-sin, serunya, Mungkin kita bisa mengorek beberapa rahasia dari mulutnya? Percuma, sesama anggota Cing Liong Hwee selalu berhubungan dengan menggunakan kata sandi, lagipula menggunakan cara yang khas dalam berhubungan, kecuali diri sendiri, siapa pun tidak akan tahu siapa pihak lawanmu. Bagaimana kalau sampai terjadi gontok-gontokan diantara sesama anggota? Mustahil, sistim kerja mereka berdasarkan satu garis kebijaksanaan yang ketat, tidak nanti bisa terjadi peristiwa semacam ini. Tapi terkadang kejadian yang tidak mungkinpun bisa saja terjadi. Orang yang mengucapkan perkataan itu adalah Hong Coan-sin, begitu selesai bicara, dia segera mengayunkan tangan kanannya, cahaya pisau segera berkelebat lewat.

Sinar tajam itu langsung menghujam ke tubuh Cong Hoa. Selisih jarak diantara mereka berdua amat dekat, biar Cong Hoa ingin menghindarpun tidak sempat lagi, tampaknya pisau tipis itu segera akan menembusi tenggorokannya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring bergema di udara, menyusul kemudian tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, langsung menghadang dihadapan Cong Hoa. Cahaya kilat berkelebat lalu lenyap, percikan darah segar pun berhamburan kemana-mana, membasahi rambut Cong Hoa, menodai pakaiannya, mengotori seluruh badannya. Ternyata orang yang menghadang didepan Cong Hoa adalah Ui sauya. Ketika Hong Coan-sin menyelesaikan perkataannya tadi dan belum sempat menggerakkan tangan kanannya, Ui sauya sudah merasa kalau gelagat tidak beres, maka disaat pisau tipis itu baru meluncur keluar, dia sudah menyelinap ke depan menyongsong datangnya sambaran cahaya itu. Selesai melemparkan pisaunya, Hong Coan-sin segera melejit ke udara, melewati pintu sempit dan lenyap diluar ruangan.

Tay Thian dan Cong Hui-miat membentak gusar, serentak mereka melakukan pengejaran. Semburan darah masih memancar dengan derasnya, darah itu menyembur keluar dari dada kiri Ui sauya, diantara tulang rusuk ketiga dan ke empat, pisau tipis itupun masih tertinggal disana. Paras muka Ui sauya telah berubah jadi pucat pias, peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran, kendatipun kulit mukanya mengejang keras lantaran menahan sakit namun mimik wajahnya masih tampilkan perasaan gembira. Sepasang matanya yang mengejang menatap terus wajah Cong Hoa, seolah dia mempunyai beribu patah kata yang hendak disampaikan kepada gadis itu. Kenapa kau... kau harus... Cong Hoa sudah tidak sanggup melanjutkan perkataannya lagi, sekuat tenaga dia gigit bibir sendiri sementara air mata bercucuran bagai bendungan yang jebol. Hanya dengan cara begini... kau baru bisa selamat. Napas Ui sauya mulai tersengkal-sengkal, wajahnya makin lama semakin memucat, darah yang mengalirpun makin deras, rasa kesal dan murung sekali lagi melintas dibalik matanya.

Ketika kalian sedang berbicara lagi, aku... aku selalu mem... memperhatikannya, dengan bibir gemetar Ui sauya berkata, Aku berpendapat manusia macam... macam Hong Coan-sin tidak.... tidak semestinya keracunan de... dengan begitu gampang. Dia tertawa getir, setelah berhenti sejenak lanjutnya, Ternyata... ternyata dugaanku benar, dia... dia pasti......pasti telah meletakkan obat...obat pemanahnya dibali sela gigi... Cong Hoa manggut-manggut. Masih.... masih untung tidak.... tidak sampai melukaimu... ..... Tapi sekarang kau yang terluka, bagaimana dengan aku? Cong Hoa tidak sampai mengucapkan perkataan itu, bukannya lantaran dia tidak ingin mengatakan tapi dia tahu meski tidak usah diucapkan pun Ui sauya pasti mengerti maksud hatinya. Memandang tangan Cong Hoa yang sedang memeluknya, Ui sauya tertawa pedih. ... Sekalipun tertawa pedih, namun terselip pula perasaan manis dan mesranya. Sampai se tua ini aku... aku... baru pertama kali ini aku... aku dipeluk perempuan.

Air mata Cong Hoa sudah tidak terbendung lagi, dia tahu luapan perasaan Ui sauya saat ini boleh dibilang luapan perasaan yang paling tulus dan suci. Sayang masalah Cinta tidak bisa dipaksakan, karena itu Cong Hoa hanya bisa memandangnya tanpa bicara. Dia memandang, memandang terus... ......terus sampai mati. Mati dalam kedamaian, kepuasan dan luapan rasa gembira. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cong Hoa memeluk tubuh Ui sauya, walaupun air mata masih meleleh namun sudah tidak mengalir lagi, bibirnya yang digigit kuat meninggalkan bekas luka yang berdarah. Andaikata Ui sauya tidak menghadang tusukan tersebut, apakah dia masih hidup? Mengapa dia rela menerima tusukan tersebut? Apakah karena...? Begitu mengayunkan pisau, tanpa berpaling Hong Coan-sin segera kabur melalui pintu sempit, dia tahu lemparan pisaunya pasti akan mengenai sasaran, masalah siapa yang terkena sudah bukan masalah lagi baginya.

Asal ada yang terkena lemparan pisau itu, suasana disitu pasti kalut, Hong Coan-sin memang hanya membutuhkan sedikit waktu untuk melarikan diri. Menurut perhitungannya, kekalutan itu akan menyedot perhatian mereka dan diapun akan manfaatkan kesempatan itu untuk kabur jauh jauh dari situ. Cuaca diluar rumah sangat cerah, setelah melalui lorong sempit, Hong Coan-sin kabur menuju ke arah jalan raya. Dalam cuaca yang begini cerah, banyak orang berlalu lalang di jalan raya, gerombolan manusia itu merupakan penghambat yang baik bagi para pengejar. Saat ini melarikan diri merupakan hal yang paling penting, maka Hong Coan-sin tidak ambil perduli bagaimana orang banyak memandangnya dengan keheranan, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dia berlarian menelusuri jalan raya. Dalam berapa lompatan lagi dia segera akan meninggalkan pintu kota, tiba-tiba Hong Coan-sin merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu dua sosok bayangan manusia telah melayang turun dari atas tembok kota. Sewaktu diperhatikan, ternyata kedua sosok bayangan manusia itu adalah Tay Thian dan Cong Huimiat.

Satu dari depan yang lain dari belakang kedua orang itu langsung menghadang jalan mundurnya, melihat tidak ada jalan lagi untuk kabur, Hong Coan-sin pun tertawa tergelak. Sungguh tidak kusangka ilmu meringankan tubuh yang kalian miliki sangat hebat, katanya. Masih banyak persoalan yang tidak kau duga, kata Tay Thian, Pernahkah kau bayangkan, tidak sampai sepuluh gebrakan aku mampu mencabut nyawa anjingmu? Tidak perlu sepuluh jurus, tujuh jurus pun sudah lebih dari cukup, Cong Hui-miat menambahkan. Menonton keramaian merupakan ciri khas dari umat manusia. Ketika melihat ada orang berlarian dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhpun sudah merupakan sesuatu yang menarik, apalagi ketika ada orang mau berduel, tentu saja semakin banyak orang datang berkerumun untuk melihat keramaian. Tidak selang berapa saat kemudian kerumunan orang banyak sudah makin mendekat, mereka mulai menuding ke sana kemari sambil berbisik bisik. Hong Coan-sin masih tertawa tergelak bahkan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau kuatir, perlahan-lahan dia melepaskan jubah putih nya

kemudian sambil menyeringai dan mengejek dia tatap wajah Tay Thian serta Cong Hui-miat. Tampaknya pertarungan diantara kita tidak bisa dihindari lagi hari ini, kata Hong Coan-sin kemudian, Aku percaya orang-orang itu pasti ingin menonton keramaian. Begitu melihat kawanan penonton berjalan semakin mendekat, Tay Thian sebenarnya ingin membujuk mereka agar lebih menjauh karena dia kuatir Hong Coan-sin menggunakan siasat dengan menjadikan mereka sebagai perisai hidup, jika sampai demikian keadaannya, bisa jadi dia hanya bisa mengawasi orang itu kabur tanpa dapat berbuat apa-apa. Baru saja dia bersiap membujuk, mendadak dijumpainya satu hal yang sangat aneh, ternyata walaupun para penonton itu tersebar disekitar sana namun hampir semuanya telah menghadang jalan mundur Tay Thian berdua, bahkan posisi mereka justru merupakan posisi strategis. Tampaknya Cong Hui-miat merasakan juga gelagat tidak menguntungkan, dia segera memberi tanda kepada Tay Thian dan mereka berdua pun manggutmanggut dengan penuh pengertian. Tampaknya kawanan penonton itu bukan penonton biasa, delapan sampai sembilan puluh persen rupanya adalah kawanan jago dari perkumpulan Cing Liong Hwee, bahkan bisa jadi mereka merupakan para

pembunuh kelas satu yang sudah lama mendapat latihan dan pendidikan ketat. Sekilas meski mereka kelihatan kalut, namun dalam kenyataan gerak-gerik mereka sangat beraturan dan tinggi disiplinnya, bahkan sorot mata mereka nyaris merupakan sorot mata binatang yang buas dan tajam, siap menerkam mangsanya. Tidak kusangka ternyata penduduk kota ini hampir semuanya merupakan jago-jago berilmu tinggi, ujar Tay Thian sambil tertawa. Perasaan bangga mulai memancar keluar dari wajah Hong Coan-sin. Tajam amat matamu, pujinya sambil tertawa, kemudian sambil berpaling ke arah Cong Hui-miat terusnya, Kau sudah cukup lama bercokol dalam perkumpulan Cing Liong Hwee, masa belum pernah mendengar tentang kawanan manusia ini? Aku tahu pihak kantor pusat sedang melatih sekelompok orang yang disebut serat, kelompok ini khusus untuk mengatasi pelbagai kejadian yang diluar dugaan, aku hanya tidak tahu siapakah kelompok itu dan biasanya berada dimana? Padahal, sekalipun sudah bertemu dengan orangorang itupun belum tentu akan kau sangka kalau mereka adalah kelompok serat, sebab pada dasarnya mereka hanya kaum rakyat biasa.

Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, Di waktu biasa, mereka hidup disekelilingmu sebagai layaknya rakyat biasa, penghidupan mereka, kebiasaan mereka tidak jauh berbeda dengan kehidupan pada umumnya. Serat? gumam Tay Thian tercengang, Maksudmu serat sutera? Benar, Cong Hui-miat mengangguk. Kenapa mereka disebut serat? Sebab mereka direkrut secara khusus, harus melalui seleksi yang ketat dan sejak kecil sudah mendapat latihan dan pendidikan yang ketat dan keras mengenai pelbagai cara pembunuhan yang sadis dan keji, ujar Hong Coan-sin, Mereka harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada dalam suasana dan kondisi yang paling tidak tepat, mereka pun harus memiliki cara paling cepat untuk membunuh lawan bahkan bisa mundur dengan selamat selesai melakukan pembunuhan. Apakah ada yang tidak lulus seleksi? Tentu saja, ada yang tidak lulus seleksi dan terpaksa disingkirkan. Maksudmu disingkirkan? Dibunuh? Benar, setelah dilakukan seleksi yang ketat setiap tahunnya, jumlah yang tersisa sudah tidak terlalu banyak. Kawanan manusia itu hampir semuanya dingin, sadis, tidak berperasaan, mereka rata rata licik bagai

rase, buas bagai serigala, sabar bagai unta bahkan hampir semuanya menguasahi ilmu penyusut tulang, ilmu berganti wajah, sergapan, bokongan, pembunuhan gelap. Setelah berhenti sebentar, terusnya, Kelompok yang tersisa bukan secara otomatis lulus pendidikan, mereka semua harus menjalani pendidikan lagi di lembah Giho-kok yang terletak di negeri Hu-siang dan menjalani latihan sebagai ninja selama tiga tahun. Kemudian jelasnya lebih jauh, Setelah menjalani pendidikan yang ketat, sadis dan buas sebagai seorang ninja, gerak-gerik mereka semua ibarat seekor ular berbisa yang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka pandai bersembunyi ditempat tempat persembunyian yang tidak mungkin bisa ditemukan orang lain, ketika suatu saat kemampuan mereka dibutuhkan maka orang-orang itu akan muncul secara tiba-tiba, melakukan penyergapan dan pembunuhan kemudian menghilang kembali. Oya? Terkadang mereka sanggup tidak makan tidak minum, tidak tidur tidak bergerak, mereka mampu menyelinap ke dalam sebuah lubang yang kecil lagi sempit, hidup tanpa bergerak selama dua tiga hari, tapi begitu mulai bergerak, biasanya pihak lawan bakal mati secara mengenaskan, kata Hong Coan-sin lagi sambil tertawa, Mereka pun sangat menguasahi medan, tahu semua seluk beluk diwilayah sini, kemampuan mereka

yang tangguh bisa diibaratkan seekor ular serat bambu yang merupakan ulat paling beracun di dunia ini. Kenapa mereka tidak disebut saja sebagai kelompok ular serat bambu hijau? Sebab kamuflase yang mereka gunakan tidak selalu berwarna hijau, bentuk mereka pun tidak mirip seekor ular. Tay Thian segera tertawa, pujinya, Ehmm masuk diakal, sangat masuk diakal, serat tetap serat, mana mungkin ada nama lain yang jauh lebih bagus daripada sebutan ini? ..... Biasanya analisa yang dilakukan Tay Thian, suya dari istana raja muda selatan ini sangat canggih dan akurat, mungkin dalam hal ini jarang ada yang menyangkalnya. Kalau ada serat, seharusnya ada juga jalan serat sutera, Tay Thian seakan mulai tertarik dengan masalah ini. Benar, ternyata dengan sabar Hong Coan-sin menyahut. Apakah jalan sutera yang inipun sama seperti jalan sutera jaman kuno, menghubungkan kota Tiang-an melalui kota Tun Huang menuju ke barat? Hong Coan-sin menggeleng, Bukan? tanya Tay Thian lagi, Jalan sutera ada dua, berarti jalan yang lain

adalah dari kota Tiang-an menuju ke utara, setelah keluar perbatasan baru berbelok ke barat? Sekali lagi Hong Coan-sin menggeleng. Yang inipun tidak benar, lalu jalan sutera mana yang digunakan? desak Tay Thian lebih jauh. Semuanya bukan, jalan sutera ini bukan sebuah rute jalan melainkan nama dari seorang manusia. Seorang manusia? Aneh, masa manusia bernama jalan sutera? Sebab orang ini selalu menganggap nyawa sendiri bagaikan jalur serat sutera yang tipis tapi rapat, dia sudah menganggap dirinya bukan manusia lagi melainkan sebuah jalanan, karena tanpa kehadiran orang ini, kawanan 'serat' itu pun tak punya jalan untuk ditempuh. Oleh sebab itu orang tersebut dinamakan jalan sutera? Benar. Bagus, bagus sekali, sekali lagi Tay Thian memuji, serat, jalan sutera, nama yang luar biasa, mungkin biar ada pedang yang mengancam tenggorokanku pun aku tak akan bisa menemukan nama lain yang jauh lebih bagus.

Jalan sutera sesungguhnya belum tentu merupakan seorang manusia, dia bisa berwujud sebuah jalanan, jalan kematian! tiba tiba Cong Hui-miat menyela. Jalan kematian? Betul! sekali lagi Cong Hui-miat tertawa, Meskipun kawanan serat itu beranggapan tanpa dia maka tidak ada jalan, kalau ada dia pun sebenarnya tetap todak ada jalanan, kalau semisal dibilang ada, aku lihat jalanan itu tidak lebih hanya sebuah jalan kematian. Berubah hebat paras muka Hong Coan-sin, berubah menjadi sangat tidak sedap dipandang. Terlebih kawanan manusia yang disebut 'serat' itu, paras muka mereka berubah menjadi amat tidak sedap, bukan Cuma tidak sedap bahkan terkenan rasa kaget dan tercengang yang luar biasa, agaknya mereka tidak menyangka kalau ada orang berani memperbincangkan tentang mereka secara begitu santai bahkan bernada mengejek dan menghina. Berapa diantara mereka sudah mulai mengggenggam senjata andalannya, asal perintah diturunkan, mereka segera akan menyerbu ke depan dan mencincang tubuh kedua orang itu hingga hancur berkeping. Cong Hui-miat seolah tidak menyadari akan kemarahan kawanan manusia itu, kembali ujarnya, Dari kelompok 'serat' tersebut, kini sudah muncul dua puluh

tujuh orang, ditambah kau berarti berjumlah dua puluh delapan orang. Setelah melirik Hong Coan-sin sekejap, lanjutnya, Sementara kami hanya berdua saja, kelihatannya hari ini kami bakal mati. Dalam kenyataan agaknya memang seperti itu, sambung Tay Thian cepat. Kelompok serat ini merupakan kelompok manusia yang sudah terlatih untuk membunuh, tapi bila kuhitung sampai angka ketiga, mereka semua pasti akan mampus, percaya tidak? tanya Cong Hui-miat lagi. Menghitung sampai angka ketiga? Aku tidak percaya, Tay Thian menggeleng, Dihitung sampai angka tiga ratus pun aku tetap tidak percaya! Kau benar benar tidak percaya? Tidak percaya? Bagaimana kalau kita bertaruh? Baik. Cong Hui-miat pun berpaling ke arah Hong Coan-sin, tanyanya pula, Bagaimana dengan kau? Percaya tidak? Berani bertaruh? Kelihatannya orang ini sudah mabuk, apakah dia sedang mengigau dalam mabuknya?

Dua orang berhadapan dengan dua puluh delapan orang, dalam hitungan ketiga dia mengatakan semua 'serat' itu bakal mati, mana mungkin? Tentu saja Hong Coan-sin tidak percaya, tentu saja diapun bersedia untuk bertaruh. Baik, aku ikut bertaruh.

BAB 2. Kasus berdarah disiang hari bolong.

Pertaruhan sudah diputuskan, berarti pertarungan segera akan dimulai. Bagaimana dengan barang taruhan? Apa Yang dipertaruhan? Berada dalam keadaan seperti ini, menurut anda apa yang mereka pertaruhkan? Kecuali kematian, apa lagi yang bisa dipertaruhkan? Sang pemenang akan hidup, sedang pihak yang kalah jangan harap punya kesempatan untuk merebut kembali kemenangan. Lalu siapa yang menang dan siapa yang kalah? Hong Coan-sin yang menang? Atau Cong Hui-miat?

Cahaya matahari yang cerah menyinari permukaan bumi, menyoroti wajah setiap orang. Suasana dijalan raya seketika berubah jadi hening, setiap wajah menampilkan perasaan tercengang dan tidak percaya, sementara senyuman Cong Hui-miat begitu wajar, begitu leluasa seakan dialah yang akan menjadi pemenang dalam pertaruhan ini. Tay Thian ikut tertawa, bukan hanya bibirnya yang tertawa, bahkan hidung pun seakan ikut tertawa, dengan sorot mata yang penuh dengan senyuman dia pandang wajah Hong Coan-sin. Tentu saja Hong Coan-sin pun sedang tertawa, tapi tertawanya jauh lebih jelek daripada menangis, bocah umur tiga tahun pun dapat melihat kalau senyuman tersebut kelewat dipaksakan. Tertawanya memang kelewat dipaksakan, biarpun dia berusaha untuk bersikap sewajar mungkin namun kulit dan otot wajahnya seolah sudah membeku, sudah menjadi kaku, dia tidak habis mengerti kenapa dalam kondisi jumlah yang lebih kecil dan kemampuan silat yang lebih lemah, Cong Hui-miat berani bicara begitu meyakinkan? Dia benar benar pingin segera tahu apa akibat yang terjadi setelah orang itu selesai menghitung angka ketiga. Untuk menghitung dari angka satu ke angka tiga hanya dibutuhkan waktu yang amat singkat, bahkan perhitungan segera telah dimulai.

Ketika perhitungan angka satu mulai diteriakkan, Hong Coan-sin baru menyadari bahwa orang yang melakukan perhitungan bukan Cong Hui-miat juga bukan Tay Thian, melainkah Cong Hoa yang entah sedari kapan sudah nongkrong diatas tembok kota. Cong Hoa berada jauh diatas tembok kota, dia sedang membopong seseorang dan orang itu tidak lain adalah Ui sauya. Begitu melihat kemunculan Cong Hoa, Hong Coan-sin kagetnya setengah mati, tapi kejadian berikut membuat dia semakin terbelalak dengan mulut melongo. Ketika Cong Hoa mulai menghitung angka 'satu', peristiwa yang tidak mungkin terjadi telah berlangsung di depan mata. Hong Coan-sin menyaksikan dinding kota mendadak merekah dan terbelah dua, pasir dan batu berguguran ke mana mana, menyusul berhamburnya debu dan pasir dia saksikan munculnya satu baris manusia diatas tembok kota itu, berdiri sambil mementangkan busur dan anak panah. Busur telah dipentang, diujung anak panah pun telah disulut api, ketika terpantul cahaya matahari terperciklah sinar kehijau hijauan. Sreeet, sreeet..... desingan angin tajam membelah seluruh angkasa, busur telah dilepas, anak panah pun berhamburan ke bawah.

Lima puluh empat batang anak panah menghujam ditubuh dua puluh tujuh orang, setiap orang 'serat' mendapat jatah dua batang anak panah. Tatkala dinding kota mulai merekah, kelompok 'serat' sebetulnya sudah mulai bergerak, reaksi yang mereka tunjukkan sebetulnya sangat cepat dan terhitung nomor satu. Tapi sayangnya baru saja tubuh mereka bereaksi, dua puluh enam batang anak panah sudah melesat membelah bumi dan menyongsong tubuh mereka. Buru buru mereka berjumpalitan di tengah udara, kemudian bagaikan batu cadas yang terguling ke dasar jurang secepat kilat kedua puluh tujuh orang itu melayang turun ke bawah. Reaksi mereka pun terhitung luar biasa, apa mau dikata baru saja tubuh mereka meluncur turun, kembali ada dua puluh enam batang anak panah yang membawa api meluncur tiba bahkan bagaikan rangkusan cewek cantik, langsung menggulung ke tubuh mereka semua. Api itu langsung membakar pakaian yang dikenakan orang-orang itu, ada yang seketika tewas setelah terbidik panah, ada yang berusaha lari sambil membawa api yang masih berkobar, ada pula yang berusaha bergulingan diatas tanah.

Jeritan ngeri yang menyayat hati berkumandang silih berganti, ada sebagian orang yang segera terbakar hingga tubuhnya melingkar bagaikan ebi, ada pula yang masih bergulingan di tanah sambil menjerit kesakitan. Hanya dalam waktu singkat dua puluh tujuh orang 'serat' yang lebih beracun dari ular berbisa, kini berubah jadi tikus 'mampus'. Bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri maka sulit untuk membayangkan betapa ngerinya suara jeritan kedua puluh enam orang itu, suara jeritan mereka kedengaran begitu mengerikan, begitu mengenaskan dan begitu mengecutkan hati siapa pun yang mendengarnya. Paras muka Hong Coan-sin mengejang keras, entah karena merasa ngeri? Atau sedih? Dibawah cerahnya sinar matahari, tubuhnya nampak gemetar keras. Entah sejak kapan Cong Hoa sudah melayang turun ke bawah, dia berdiri disisi barat Hong Coan-sin, tangannya masih membopong tubuh Ui sauya. Dengan pandangan mata tanpa perasaan, dengan nada ucapan tanpa perasaan dia berkata, Orang ini tewas diujung pisaumu yang kau lempar seenaknya, sekarang kau masih meninggalkan pisau tipismu didalam dadanya.

Hong coansin mengalihkan sorot matanya ke atas pisau yang masih menghujam di dada Ui sauya, darah di seputar mulut luka telah membeku, warnanya telah berubah jadi merah kehitam-hitaman, namun mata pisau memancarkan sinar kehijau-hijauan. Kau kalah! ujar Cong Hui-miat kemudian. Yaa, aku kalah, sahut Tay Thian sambil menghela napas, Aku memang kalah, tapi aku benar-benar kalah dengan perasaan puas. Berbicara sampai disitu dia berpaling memandang Hong Coan-sin yang masih melengak, kemudian lanjutnya, Bagaimana dengan kau? Apakah mengaku kalah? Apakah kalah dengan puas? Hong Coan-sin tidak langsung menjawab, dia masih berdiri ditempat tanpa bergerak, seakan sebongkah batu cadas, entah berapa lama sudah lewat, dia baru berkata, Takluk! Akhirnya sekulum senyuman menghiasi bibirnya, senyuman getir, Bukan Cuma takluk, akupun mengaku kalah! Perlahan dia mengalihkan pandangan matanya mengawasi Cong Hoa bertiga, memandangnya dari atas hingga ke bawah, dari kiri ke kanan dan akhirnya dia menghembuskan napas panjang. Sekarang aku baru tahu, ternyata butuh waktu yang sangat lama untuk menghitung angka satu hingga ke

angka tiga, sedemikian lamanya sehingga lebih dari cukup untuk menghabisi nyawa dua puluh enam orang pria jagoan. Hari ini, semestinya merupakan hari yang terpanjang dalam sejarah hidupku. Kembali ia tertawa, tetap tertawa getir. Tumbuh hingga hari ini, pada hakekatnya aku tidak tahu di tahun berapa? Bulan ke berapa? Dan pada hari apa adalah saatku untuk mendusin? Betul. Demikian juga dengan orang yang berbaring didalam boponganku sekarang, dia pun tidak tahu pada tahun berapa, bulan berapa dan hari apa baru akan mendusin kembali, sambung Cong Hoa, Sebab hari inipun merupakan hari terpanjang yang harus dialaminya dalam sejarah kehidupannya. Angin berhembus kencang, membawa suara desingan bagaikan jeritan setan, bikin hati orang bergidik, membuat tamu yang kebetulan lewat merasa ketakutan. Masih untung ditempat itu tidak ada kaum wanita lemah, pun tidak ada tamu yang kebetulan lewat. Disana memang tidak ada apa-apa kecuali empat manusia, namun orang yang mati jauh lebih banyak daripada orang hidup. Suasana amat hening, sepi bagai di tanah pekuburan.

Entah sedari kapan, tiba-tiba angin tidak berhembus lagi, suasana dijalan raya hening dan sepi, hanya seekor anjing putih yang berjalan menelusuri jalan raya sambil mengendus ke sana kemari. Darah sudah lama mengering, tapi wajah Hong Coan-sin kuning bagaikan tanah liat, dia masih berdiri termangu sambil mengawasi kabut tipis yang tiba-tiba muncul dari kejauhan sana. Ketika kabut itu kian mendekat, mendadak sorot matanya memancarkan perasaan ngeri dan takut yang luar biasa. Cong Hui-miat tidak melihat datangnya kabut, dia sedang mengawasi anjing putih itu, anjing putih yang sedang mengendus disudut jalan raya. Dengan cepat kabut itu menyelimuti seluruh tubuh anjing putih itu. Mendadak anjing itu membelalakkan matanya lebar lebar sambil mengawasi mereka yang berada ditepi pintu kota, sewaktu kabut itu melayang lewat, kakinya nampak seolah mengejang keras, disusul kemudian kepalanya terkulai lemas dan tidak bergerak lagi. Perasaan ngeri seketika melintas dibalik mata Cong Hui-miat, teriaknya tiba-tiba, Mundur, cepat mundur ke atas tembok kota! Rupanya Tay Thian dan Cong Hoa pun sempat menyaksikan perubahan yang dialami anjing putih itu,

maka begitu Cong Hui-miat berteriak memberi peringatan, serentak mereka melejit ke udara dan kabur ke atas dinding kota. Hong Coan-sin sama sekali tidak bergerak, paras mukanya yang semula tegang, ngeri dan ketakutan, kini telah berubah jadi wajah pasrah dan ketidak berdayaan, tanpa bergerak sedikitpun dia membiarkan kabut itu menyelimuti tubuhnya. Aneh benar kemunculan kabut itu, kata Cong Hoa kemudian, Setiap kali identitas seorang anggota Cing Liong Hwee terungkap, pada pada detik yang terakhir akan muncul kabut semacam itu. Bila kabut itu muncul, berarti ada orang bakal mampus! kata Tay Thian, Bahkan biasanya orang yang mampus pastilah anggota perkumpulan Cing Liong Hwee. Ini namanya membunuh orang menghilangkan saksi, Cong Hui-miat menimpali sambil mengawasi kabut yang menyelimuti kaki dinding kota. Kalau sudah tahu setiap kemunculan kabut itu bakal mencabut nyawa seseorang, mengapa mereka tidak berusaha untuk melarikan diri? kembali Cong Hoa bertanya. Hari ini mungkin kau berhasil lolos, tapi jangan harap bisa lolos selamanya, kata Cong Hui-miat, Perkumpulan Cing Liong Hwee paling benci terhadap

anggotanya yang melarikan diri, orang semacam itu biasanya akan diganjar dengan hukuman yang amat keji dan telengas. Anehnya bagaimana mungkin kabut itu bisa membunuh orang? Dibalik kabut terkandung semacam racun keji yang sangat mematikan, racun jenis ini tidak perlu menyusup masuk melalui lubang hidung tapi bisa langsung menyusup melalui pori pori di kulit tubuh manusia. Kabut semacam ini pasti ada yang melepaskan, mengapa tidak pernah menjumpai orang yang melepaskan kabut itu? Sudah cukup lama aku selidiki persoalan ini, hingga sekarang pun aku tetap belum tahu siapa yang melepaskan kabut itu, kata Cong Hui-miat. Apa mungkin dilakukan oleh Liongtau perkumpulan Cing Liong Hwee? Tidak mungkin! Tay Thian menggeleng, Manusia semacam dia tidak nanti akan turun tangan sendiri. Cong Hui-miat manggut-manggut, dia sangat setuju dengan pendapat itu. Tidak selang berapa saat kemudian, kabut yang semula menyelimuti jalan raya itu kini sudah buyar dan hilang lenyap.

Kabut itu datang dengan cepat, waktu buyar pun sama cepatnya. Angin barat masih berhembus kencang, Hong Coansin masih berdiri tegak ditempat semula, bergerak sedikitpun tidak. Kenapa dia belum roboh? tanya Cong Hoa keheranan, Jangan-jangan kabut tadi tidak beracun? Atau mungkin dia sudah menelan obat penawar racunnya? Semuanya bukan, tukas Cong Hui-miat, Aku jamin dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya sudah mati, hanya saja dia mati dengan tidak ikhlas, oleh sebab itu rasa gusar dan tidak puasnya membuat tubuhnya tetap bertahan pada posisi semula, dia seolah ingin menunjukkan bahwa kematiannya dalam posisi berdiri merupakan protes atas ketidak puasannya. Darimana kau tahu kalau dia sudah mati? Bukankah sewaktu berada di rumah bambu pun dia pernah keracunan, tapi racun itu berhasil dia punahkan sendiri, j angan j angan... Aku rasa dia memang sudah mati! tiba-tiba Tay Thian menyela, Coba kau perhatikan tangannya! Cong Hoa segera mengalihkan perhatiannya ke tangan Hong Coan-sin, betul juga, jari tangannya sudah menghitam semua, pertanda kalau dia sudah keracunan hebat.

Kakek pengasah pisau. Senja telah tiba, matahari sudah condong ke langit barat, kegelapan malam pun sudah mulai menurunkan tirainya. Guguran bunga bwee masih berserakan di permukaan hutan, meninggalkan bau lembab yang tajam di seputar tempat itu. Kabut amat tipis. Nyoo Cing masih duduk di depan kuburan, pandangan matanya masih kosong, hampa. Mendadak muncul sesosok bayangan dari balik kabut, ketika semakin mendekat, terlihatlah kalau dia adalah seorang kakek. Seorang kakek yang berperawakan tubuh pendek. Orang itu mengenakan jubah pendek warna putih yang terbuat dari bahan kain kasar, ikat pinggangnya berwarna hitam dan sepatu kain yang dikenakan dipenuhi noda lumpur. Wajahnya sudah penuh keriput, tangannya menggembol sebuah buntalan kuno sementara dipinggangnya terselip dua bilah pedang. Ketika tiba ditepi kuburan, kakek itu menurunkan buntalannya dan perlahan lahan membukanya, dari

dalam buntalan tersebut dia mengeluarkan sebuah batu untuk mengasah pisau. Setelah meletakkannya ke tanah, dia pun meloloskan dua bilah pedang yang tersoren dipinggangnya. Criiing! ketika mata pedang tertimpa cahaya matahari senja, segera terbiaslah cahaya berwarna kuning yang amat menyilaukan mata. Dengan ujung jarinya kakek itu memeriksa sejenak mata pedangnya, kemudian gelengkan kepalanya berulang kali dengan wajah tidak puas. Setelah membasahi batu pengasahnya dengan air, kakek itu berjongkok dan mulai mengasah pedangnya dengan khusuk. Sejak kakek itu munculkan diri, melepaskan pedang, mengasah senjata, Nyoo Cing seolah tidak melihatnya, dia masih belum bergerak, sorot matanya masih memandang ke tempat kejauhan. Kakek itupun sama sekali tidak menaruh perhatian, dia hanya mengasah pedangnya dengan serius, seolaholah kedatangannya hanya untuk mengasah pedang sementara urusan lain bukan urusannya. Matahari lambat laun makin meninggi, kabut pun makin lama makin menipis.

Butiran keringat mulai membasahi jidat kakek itu, keringat yang bercucuran karena dia telah menggunakan tenaganya untuk mengasah pedang. Ketika pedang pertama selesai diasah, dia pun mulai mengasah pedang yang kedua. Pedang yang selesai diasah diletakkan disamping, ketika sinar matahari menimpa ditubuh pedang, terbiaslah cahaya terang yang berkilauan. Akhirnya kedua bilah pedang itu telah selesai diasah. Kakek itupun menghembuskan napas lega, dengan ujung bajunya ia mulai menyeka keringat yang membasahi jidatnya. Bila tujuan kedatangannya adalah untuk mengasah pedang, sudah saatnya untuk pergi dari situ. Tapi kakek itu seolah tidak ada niatan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Nyoo Cing sendiripun sepertinya enggan mengusik kakek itu, masih sama seperti sebelum kedatangan kakek itu, dia duduk tanpa bergeser sedikitpun. Akhirnya kakek pengasah pedang itu bangkit berdiri, tangannya menggenggam pedang yang baru saja diasahnya kemudian membalikkan badan dan duduk membelakangi Nyoo Cing.

Sisa cahaya senja menyinari wajah kakek itu, membuat kerutan wajahnya nampak lebih tegas dan jelas. Tiba-tiba dia tertawa, tangan kirinya diayunkan dan pedang yang berada dalam genggamannya sudah meluncur ke tangan Nyoo Cing. Pedang itu meluncur tepat ke tangan kanan Nyoo Cing, seakan-akan ada orang yang menyodorkan senjata itu dengan dua belah tangan. Pedang diterima, digetarkan dan bunga pedang pun memancar ke udara. Diantara kilauan cahaya tajam, tubuhnya ikut melompat bangun. Sambil mengawasi pedang dalam genggamannya, Nyoo Cing menghadapkan mata pedang ke arah cahaya senja, membiarkan pantulan cahayanya berkilauan. Kini kakek pengasah pedang sudah mulai bergerak, tiba-tiba dia melancarkan sebuah tusukan ke arah Nyoo Cing, gerakannya sangat mendadak, jurus serangannya ganas dan buas. Nyoo Cing mengangkat pedangnya menangkis kemudian tubuhnya mengigos ke samping. Traaang! ditengah bentrokan nyaring, terlihat percikan bunga api memancar ke empat penjuru,

namun hanya sekejap kemudian sudah lenyap tak berbekas. Semua jurus serangan yang digunakan kakek itu ganas, buas dan telengas, tapi satu demi satu berhasil dipunahkan Nyoo Cing secara manis. Tusukan dibalas dengan tusukan, babatan dibalas dengan babatan, dalam waktu singkat kedua orang itu sudah saling menyerang sebanyak enam puluh empat jurus. Akhirnya terlihat garis kerutan diwajah kakek itu makin lama semakin bertambah jelas, tiba tiba dia menghela napas dan mengucapkan perkataan yang tidak terduga oleh siapa pun, Putra Nyoo Heng memang tidak malu menjadi putra Nyoo Heng. Nyoo Cing membalikkan tubuhnya, kepada kakek pengasah pedang itu sahutnya singkat, Terima kasih banyak. Tampang dan lagakmu saat ini sama persis seperti saat aku berjumpa dengannya dulu, bahkan termasuk wataknya pun persis sama. Benarkah begitu? Benar. Tampaknya kakek pengasah pedang itu sudah terjerumus dalam kenangan lamanya.

Peristiwa ini sudah berlangsung lama, lama sekali, waktu itu usianya jauh lebih muda ketimbang usiamu sekarang, dia masih dalam taraf belajar pedang, belajar menggunakan pedang, diapun sedang melatih pedang. Meskipun gurunya, Siau Gong-cu tidak terlalu bagus ilmu pedangnya, namun kemampuannya dalam menempa pedang terhitung nomor wahid dilkolong langit. Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, Sayang cita cita dan konsentrasi ayahmu hanya tertumpu pada ilmu pedang, itulah sebabnya kemampuan gurunya dalam menempa senjata pun jadi punah. Ayahku sudah meninggal lama, semasa hidupnya dulu diapun sering merasa menyesal karena persoalan ini, kata Nyoo Cing, Dia sering berkata kepadaku, seandainya yang dia pelajari bukan ilmu pedang melainkan kepandaian menempa senjata, mungkin penghidupannya saat itu jauh lebih senang dan bahagia. Kakek pengasah pedang kelihatan semakin murung dan sedih. Kehidupan manusia sudah ditentukan oleh takdir, setiap orangpun mempunyai cita-cita sendiri, hal semacam ini memang tidak bisa dipaksakan, kata kakek itu sambil memandang pedang dalam genggamannya, Seperti contohnya pedang ini.

Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, Pedang pun mempunyai garis takdirnya, sama persis seperti manusia, ada saat beruntung ada pula saat sial, ketika aku mengunjungi Siau Gong-cu waktu itu, tujuanku sebenarnya hanya ingin meramalkan nasib dari pedang tajam yang baru berhasil ditempanya, pedang Lenggong. Pedang Leng-gong? tanya Nyoo Cing. Benar, pedang tersebut adalah pedang pembawa sial, siapa yang membawanya bakal tidak selamat bahkan terancam keluarga bubar manusianya mampus, oleh sebab itu Siau gong-cu memusnahkan pedang itu, kemudian dengan sisa tubuh yang ada dia menempa lagi sebilah pisau baru, pisau yang lebih tipis dari kertas. Golok kelembutan? Betul, golok tipis itu dinamakan kelembutan, akhirnya senjata itu jatuh ke tangan Ing Bu-ok setelah menukarnya dengan sebilah kitab pusaka kuno yang tidak utuh. Tiba-tiba paras muka Nyoo Cing berubah, dia seolah terbayang kembali semua peristiwa tragis yang dialami ayahnya dulu. Konon separuh bagian buku yang sebelah kiri sudah terbakar hangus sehingga setiap jurus serangan yang tercantum dalam kitab itu hanya tersisa setengah jurus,

pada hakekatnya tidak mungkin bisa terlatih menjadi sebuah ilmu pedang yang hebat, ujar kakek itu lagi. Aku tahu. Kemudian Nyoo Heng dengan mengandalkan senjata kaitan malang melintang dalam dunia persilatan, ada pun jurus serangan yang dia pergunakan tidak lain adalah hasil latihannya dari kitab pusaka tidak utuh itu. Justru karena jurus serangan yang tercantum dalam kitab itu tidak utuh, bila digunakan untuk berlatih ilmu pedang jelas tidak akan menghasilkan apa-apa, tapi ketika digunakan untuk berlatih dengan senjata pedang yang sudah berubah bentuk jadi kaitan, terciptakan serangkaian ilmu silat yang luar biasa hebatnya, setiap jurus serangan bertentangan dengan jurus pada umumnya bahkan selalu mengancam datang dari arah yang sama sekali tidak terduga, itulah sebabnya jarang ada orang yang sanggup menghadapinya, Nyoo Cing menjelaskan. Pedang yang berubah bentuk tidak lain adalah kait perpisahan, itulah pedang yang dipesan Lan Toa sianseng untuk ditempa namun gagal menjadi sebilah pedang. Benar. Inilah yang disebut kehendak Thian, kata kakek itu lagi, Dengan tidak utuh melengkapi tidak utuh,

seandainya ada kitab tidak ada senjata, atau ada senjata tidak ada kitab, mustahil akan tercipta sebuah ilmu yang luar biasa ampuhnya. Mendadak terpancar sinar yang sangat aneh dari balik mata kakek itu, tambahnya, Atau jangan jangan ini bukan kehendak Thian, melainkan niat dari Siau Gong-cu sendiri? Nyoo Cing membungkam, dia sama sekali tidak menanggapi. Oleh karena dia sudah memiliki kitab kiam-boh yang tidak utuh maka dengan sengaja dibuatlah sebilah pedang yang tidak utuh, tujuannya agar bisa diwariskan kepada anak muridnya, kakek itu menghela napas panjang, Dia sadar kalau ilmu pedangnya kurang bagus, kalau bisa membuat anak muridnya menjadi seorang jago pedang kenamaan, jelas hal ini merupakan satu kebanggaan tersendiri baginya. Nyoo Cing merasa bergidik, hawa dingin serasa merasuk hingga ke tulang sumsumnya, lewat lama kemudian dia baru berkata, Golok kelembutan saat ini sudah terjatuh ke tangan satu satunya murid tunggal Ing Bu-ok, sang bangsawan kelas satu Ti Cing-ling! Bila membunuh orang dengan menggunakan golok kelembutan, mulut luka diluar pasti tidak terlihat, tidak ada darah yang mengalir keluar, tapi orang yang tertusuk pasti akan mengalami pendarahan hebat

didalam rongga badannya hingga menyebabkan kematian. Ada bayangan tanpa wujud, ada bentuk tanpa rupa, cepat bagai kilat, lembut bagai rambut, kata Nyoo Cing, Ayahku pernah memberitahukan kepadaku, lebih baik sepanjang hidup jangan bertemu dengan golok kelembutan. Lembut bisa menaklukkan keras, ujar kakek itu perlahan, kemudian sambil menatapnya tajam katanya lagi, Mungkin kau masih belum mengerti kenapa aku membiarkan kait perpisahan terjatuh ke tangan Ti Cingling. Benar, aku memang tidak habis mengerti mengapa kau suruh aku berbuat begitu, sebenarnya apa alasannya? Ketika terjadi pertarungan pada dua puluh tahun berselang, yang kalah seharusnya kau. Ti Cing-ling bisa kalah karena dia kalah oleh kesombongan sendiri, kalah karena kelewat pandang remeh dirimu, kelewat pandang enteng kemampuan kait perpisahan, dia selalu tak percaya kalau kelembutannya tidak mampu mengungguli kait perpisahan. Jadi kau beranggapan golok kelembutan pasti dapat mengatasi kait perpisahan?

Benar, kait perpisahan ibarat sekeping baja, keras, alot dan kuat, hanya manusia macam ayahmu yang pantas dan cocok menggunakan senjata macam kait perpisahan. Setelah menelan air liurnya kakek itu berkata lebih jauh, Seperti misalnya golok kelembutan yang lemah gemulai bagai kasih seorang gadis, benda itu tidak mungkin cocok digunakan oleh manusia sebangsa Ing Bu-ok, itulah sebabnya dia serahkan senjata tersebut kepada Ti Cing-ling. Kelembutan hanya diberikan untuk sang kekasih, hanya kelembutan yang bisa merontokkan iman banyak manusia, bila Ti Cing-ling dapat memahami bagaimana mengendalikan kelembutan, maka ibarat harimau memiliki sayap, dia akan manusia tidak tertandingi di kolong langit. Nyoo Cing tidak berbicara, dia hanya membungkam. Dua puluh tahun berselang dia sudah kalah, dua puluh tahun kemudian dia pasti akan menggunakan golok kelembutan untuk menghadapi kait perpisahan. Dan kait perpisahan pasti tidak akan mampu menghadapi golok kelembutan? tanya Nyoo Cing. Pasti! jawab kakek itu meyakinkan, Bila kait perpisahan masih berada ditanganmu, maka dalam pertarungan nanti yang kalah pasti kau, yang mati pun pasti kau.

Tanpa kait perpisahan, memangnya aku mampu mengunggulinya? Tidak dapat! Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang mampu menghadapi golok kelembutan dengan tangan kosong. Berarti aku pasti akan kalah dalam pertarunga ini? Belum tentu. Nyoo Cing tidak mengerti apa maksud perkataannya, maka dia mengawasinya dengan mata terbelalak lebar. Kakek itu menengadah memandang sekejap ke ujung langit, tiba-tiba perubahan aneh terlintas diwajahnya, dengan nada suara yang aneh dia berkata, Setelah muncul golok kelembutan dan kait perpisahan, berarti pasti akan muncul pula senjata yang ketiga. Senjata ketiga? Benar. Apa namanya? Kenapa belum pernah ada yang mendengar tentang hal ini? Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya siau gong-cu bunuh diri karena gagal menempakan sebilah pedang untuk Lan toa sianseng, padahal berita tersebut keliru besar, Siau Gong-cu bisa

tewas karena dia mengorbankan diri demi pedang yang ketiga ini. Kenapa? Setelah golok kelembutan dan kait perpisahan beredar dalam dunia persilatan, Siau Gong-cu mendapat wangsit yang memintanya untuk melebur sisa bahan pembuat golok kelembutan dan kait perpisahan menjadi satu, dari bahan bahan yang tersisa itulah dia menciptakan senjata yang ketiga. Dalam bentuk apa senjata yang ketiga itu? Pedang, sebilah pedang, jawab kakek itu sambil menatapnya tajam. Pedang? Apa namanya? Pedang amarah! Pedang amarah? Benar, mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata kakek itu. Disaat pedang ketiga selesai ditempa, garis yang muncul pada tubuh pedang itu kacau bagai serat sutera, ujung pedang pun memancarkan cahaya merah bagai bara api, kata kakek itu, bahkan ketika pedang tersebut selesai ditempa, cuaca tiba-tiba berubah, iklim pun jadi kacau, musim hujan datang setengah bulan lebih dini dari jadwalnya.

Begitu pedang itu selesai ditempa, musim hujan datang lebih dini? Benar, oleh sebab itu pedang tersebut disebut pedang amarah, disebut juga musim semi yang marah! Musim semi yang marah? kembali Nyoo Cing bertanya, Saat ini pedang tersebut berada di mana? Sebenarnya pedang ini merupakan benda pembawa bencana, seperti orang yang lahir cacad, sejak dilahirkan sudah membawa hawa sesat yang menakutkan, oleh sebab itu begitu pedang tersebut selesai ditempa, Siau suhu pun tidak segan menggunakan nyawanya untuk menemani pedang ketiga itu terkubur bersama. Dikubur di mana? Sebuah tempat yang sangat menakutkan! Pedang ketiga. Sebuah tempat yang sangat menakutkan? Tempat manakah di dunia ini yang pantas disebut tempat yang sangat menakutkan? Apakah tanah pekuburan menakutkan? Apakah pembunuh menakutkan? Apakah setan iblis menakutkan? Apakah ayam yang sudah mati berapa hari dan mulai dikerubuti belatung disebut menakutkan? Apa yang disebut menakutkan?

Menurut kau, apa yang paling menakutkan? tanya kakek pengasah pisau sambil menatap tajam Nyoo Cing. Nyoo Cing termenung sambil berpikir, lama kemudian dia baru menjawab, Sahabat, sahabat yang paling menakutkan. Kenapa? Sebab hanya teman yang bisa sangat memahami tentang dirimu, hanya teman yang bisa memperoleh kesempatan untuk mendekatimu, hanya teman yang membuat kau sama sekali tidak waspada, kata Nyoo Cing, Tapi seringkah justru mereka yang mengkhianatimu, justru mereka yang membuat kau sengsara dan menderita, oleh sebab itu sahabat yang paling kau percaya, sahabat yang paling akrab denganmu justru perlu diwaspadai terus.

BAB 4.

Kemudian sambil menatap kakek itu, dia menambahkan, Dan lantaran sahabatmu telah berkhianat kepadamu, maka hidupmu jadi sengsara, menderita dan penuh siksaan. Berarti musuh yang paling menakutkan sebetulnya bukan musuh besarmu melainkan sahabat karibmu?

Benar, hanya serangan telak yang dilancarkan seorang sahabat yang bisa merenggut nyawa kita. Sebab bila seorang sahabat yang berkhianat kepadamu, serangannya pasti mematikan, mereka pasti akan menyerang titik kelemahanmu, serangannya pasti diarahkan ke bagianmu yang paling lemah, paling tidak kau waspadai dan seringkah sangat mematikan. Tiba-tiba kakek pengasah pedang itu mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang. Sahabat... wahai sahabat... kata Bong sahabat terdiri dari dua huruf gwee (rembulan), mana mungkin di dunia ini terdapat dua buah rembulan? katanya, Itulah sebabnya sejak jaman dulu orang sudah tahu kalau sahabat adalah barang yang paling menakutkan, karena itu pula sahabat diciptakan dari perpaduan dua huruf yang tidak mungkin bisa terjadi, yakni dua rembulan. Setelah menghela napas panjang, kembali lanjutnya, Di dunia ini mustahil bisa terdapat dua rembulan, berarti di dunia inipun mustahil terdapat sahabat yang benarbenar sejati. Makna yang menakutkan seringkah tumbuh dari pemikiran seseorang, kembali gumamnya, Seperti misalnya ada seseorang yang takut dengan ular, dia pasti menganggap sarang ular merupakan tempat yang paling menakutkan, padahal bila sejak kecil kau sudah terbiasa bermain ular, biarpun harus memasuki sarang

ular pun, tempat itu akan kau anggap seperti di rumah sendiri. Kembali kakek itu menjelaskan, Ada orang mengatakan minum arak adalah kejadian yang paling menakutkan, padahal sementara orang yang lain justru menganggap minum arak merupakan kejadian yang paling menyenangkan. Kalau begitu jika ada seribu orang manusia, berarti ada seribu tempat kemungkinan berbeda yang dianggap paling menakutkan? kata Nyoo Cing cepat, Berarti pedang ketiga ada kemungkinan disembunyikan di seribu tempat yang berbeda, atau dengan perkataan lain terdapat seribu bilah pedang ketiga yang disembunyikan di seribu tempat menakutkan yang berbeda? Betul! kakek itu mengangguk, Seribu orang kemungkinan terdapat seribu tempat paling menakutkan yang beda, tapi kemungkinan juga hanya ada satu tempat sama yang mereka anggap sebagai tempat yang paling menakutkan. Kalau begitu ada kemungkinan pedang ketiga hanya disembunyikan di sebuah tempat yang paling menakutkan? Rasanya mah begitu, dengan wajah senyum tidak senyum kakek pengasah pedang mengawasi Nyoo Cing.

Malam hari dengan cepat telah menjelang tiba. Cahaya rembulan yang memantul di permukaan air menimbulkan kilauan sinar yang gemerlapan. Nyoo Cing sedang duduk di tepi sungai, mengawasi cahaya berkilauan yang memantul di permukaan. Sampai lama kemudian sepasang matanya baru berbinar terang. Tiba-tiba dia berpaling, berpaling memandang kakek pengasah pedang itu, kemudian serunya dengan nada yang gembira, Jika dalam hati seseorang tiada rasa takut atau ngeri, maka baginya tidak akan terdapat tempat yang paling menakutkan, atau dengan perkataan lain tidak ada tempat paling menakutkan baginya, itu berarti pedang ketiga pun tidak pernah ada. Kakek itu tidak menanggapi tapi hanya mengawasi Nyoo Cing tanpa berkedip, memandangnya dengan penuh rasa kagum. Kalau toh tiada tempat yang menakutkan di dalam hati, maka tidak akan pernah ada pedang ketiga, ujar Nyoo Cing lebih lanjut, Sebab tempat yang paling menakutkan ditentukan oleh pikiran seseorang, maka tempat yang paling menakutkan justru berada dalam pikiran setiap orang, itu berarti pula bahwa pedang ketiga sesungguhnya disembunyikan dalam pikiran seseorang.

Ditatapnya kakek itu sekejap, kemudian lanjutnya, Siau suhu telah mengubur pedang amarah di tempat yang paling menakutkan, bukankah tempat paling menakutkan yang ada di dunia ini sesungguhnya berada dalam pikiran manusia? Cahaya gembira bercampur kagum semakin kental mencorong dari balik mata kakek itu. Bukankah pedang ketiga telah dia kubur didalam pikiran manusia? Nyoo Cing menambahkan. Baru selesai dia mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba menyambar lewat sekilas halilintar ditengah udara, disusul suara guntur yang menggelegar membelah bumi. Ditengah alam yang begitu tenang, mengapa secara tiba-tiba muncul kilatan halilintar? Mengapa secara tibatiba menggelegar suara guntur yang memekik telinga? Langit mengalami perubahan secara tiba-tiba, apakah dikarenakan umat manusia berhasil membongkar rahasia alam? Apakah perubahan terjadi karena alam menjadi gusar? Sekali lagi halilintar membelah angkasa dan berakhir ditengah hutan bwee, disusul suara guntur yang menggelegar menyambar pepohonan tertinggi di hutan itu. Nyoo Cing sama sekali tidak bergerak, tapi sorot matanya semakin berbinar, tiada luapan emosi atau

perasaan gembira yang melintas di wajahnya, yang ada hanya perasaan tenang dan tenteram yang luar biasa. Mendadak terdengar kakek pengasah pedang itu bergumam, Bodhi sesungguhnya tidak berpohon, cermin sesungguhnya tidak berpegangan, dunia tiada benda, debu pun segera sirna. Tiada aku, tiada pikiran, tiada pedang, ada aku, ada pikiran namun tiada pedang... Nyoo Cing hanya termenung sambil konsentrasi, dia pasang telinga baik baik untuk mendengarkan setiap perkataan yang diucapkan kakek pengasah pedang. Terdengar kakek itu menghela napas panjang, katanya lagi, Bila Bodhi pun tidak berpohon, dalam pikiran kita pun tidak berpedang, bila tidak berpedang maka tiada tempat yang menakutkan lagi di dunia ini. Benar, mendadak Nyoo Cing menanggapi, Cermin memang tidak perlu pegangan, kalau dunia tidak ada apa-apanya, darimana datangnya debu? Kemudian katanya lagi, Ada aku tiada pikiran ada pedang, tiada aku ada pikiran ada pula pedang, tiada aku tiada pikiran namun pedang tetap ada. Ada dimana? tanya si kakek. Alam semesta amat luas tidak bertepian, didalamnya terdapat aneka benda, tiada wujud, tiada berbentuk, melayang di mana-mana.

Kenapa tidak berada dalam pikiranmu? Kalau pikiran kita tidak terkendali oleh ketakutan, apa gunanya sebilah pedang? Kalau memang tiada rasa takut, buat apa ada alam semesta? buat apa ada benda? Buat apa melayang tanpa wujud? Mana ada pedang di alam semesta? Buat apa dia melayang tidak berwujud, pedang sebetulnya tidak ada di alam semesta, tidak ada dimana-mana dan tidak perlu melayang tanpa wujud. Lalu berada di mana pedangmu? Pedang berada ditanganku. Berarti ditanganmu ada pedang? Benar. Kenapa tidak terlihat? Kenapa harus terlihat? Sebuah jawaban yang mengandung arti sangat mendalam, tapi kakek pengasah pedang itu seakan mengerti maksudnya, maka diapun pejamkan matanya sambil menghela napas panjang. Takdir! gumamnya.

Nyoo Cing tidak menjawab, dia hanya mengawasi kakek itu. Bila takdir menghendaki demikian, kau boleh menerima dengan perasaan tenteram, kata kakek pengasah pedang sambil sekali lagi membuka matanya mengawasi Nyoo Cing. Sekarang pergilah, kemana pun kau akan pergi, perbuatan apa pun yang hendak kau lakukan, siapa pun yang hendak kau hadapi, tidak nanti kau akan gagal. Ucapan kakek itu seolah mengandung daya pengaruh yang misterius, dia berdoa bagi kesuksesan Nyoo Cing, diapun mengutuk terhadap musuh Nyoo Cing. Ti Cing-ling yang berada dalam ruang batunya, berapa ratus li dari tempat itu seakan akan merasakan juga firasat yang jelek, pada saat yang bersamaan secara tiba-tiba dia merasa sangat gelisah dan tidak tenang.

BAB 5. Pedang ditangan, nasib di tangan.

Pohon bwee yang tersambar halilintar telah roboh, api pun telah padam, bunga api yang memercik bagai taburan bintang ikut lenyap dibalik kegelapan. Alam semesta pulih kembali dalam keheningan yang luar biasa. Sinar tajam sudah lenyap dari mata kakek pengasah pisau itu, kini yang tersisa hanya keletihan yang luar biasa serta kemurungan yang amat kental. Perlahan-lahan dia menyimpan kembali batu asahannya, perlahan-lahan memasukkan kedalam buntalan kemudian mengikatnya kuat-kuat. .....Baru saja dia membebaskan sebuah tali simpul yang membelenggu jagad, tapi sekarang dia telah membuat tali simpul lain bagi dirinya sendiri, sebuah simpul mati yang selamanya tidak mungkin bisa diurai. Nyoo Cing hanya memandang, mengawasi semua gerak-gerik yang dilakukan kakek itu, dia seakan sedang menonton seorang ahli silat sedang mempraktekkan jurus serangannya. Tali simpul telah terbentuk, sudah saatnya kakek itu untuk berlalu.

Kakek pengasah pisau telah bangkit berdiri, tapi punggungnya serasa bungkuk, seolah terdapat beban beribu kati beratnya yang menindih tubuhnya, membuat dia tidak sanggup berdiri tegak. .....Padahal setiap orang pasti sedang memikul buntalan di punggungnya, setiap orang yang hidup pasti memikul beban berat di pundaknya. Siapa yang bisa bebas dari buntalan seperti ini? Nyoo Cing mengawasi buntalan di punggung kakek itu sekejap, mendadak dia bertanya, Baik-baikkah dia? Pergilah, setiap persoalan pasti ada saatnya untuk berakhir, dia pasti akan menanti kedatanganmu di tempat yang kalian janjikan! Suara langkah makin lama semakin jauh dan akhirnya lenyap dari pendengaran. Manusia pada akhirnya harus pergi juga, sama seperti kegelapan malam pada akhirnya pasti akan lewat juga. Ketika malam sudah berlalu, pagi hari yang cerah pun segera akan muncul, karena dia sudah berada tidak jauh dari sana.

BAGIAN - 6. Duel.

BAB 1. Penantian di luar rumah batu.

Sebuah bukit tinggi, sebuah rumah batu, sebatang pohon siong, sebuah sungai yang bening. Walaupun diluar hujan turun dengan derasnya, suasana didalam ruang batu amat kering dan bersih, karena rumah batu itu tidak berjendela, hanya ada sebuah pintu, pintu yang selalu dalam keadaan tertutup, cahaya matahari selamanya tidak pernah menyorot masuk, tentu saja hujan pun tidak pernah mampir disitu. Kini, dalam ruangan batu itu hadir dua orang manusia. Yang seorang berpakaian putih bersih tidak berdebu, dia mempunyai wajah yang bersih namun sikapnya selalu dingin dengan bibir yang senyum tidak senyum, dia bukan lain adalah Ti Cing-ling. Masih seperti waktu waktu yang lewat, dia sedang duduk bersila diatas permadani bulu domba nya yang berwarna putih bersih.

Seorang yang lain sedang berdiri didepan meja batu, berdiri saling berhadapan dengan Ti Cing-ling, wajahnya yang sudah berkeriput tidak menampilkan perasaan apapun, namun bibirnya menunjukkan sikap hatinya yang teguh, ulet dan pantang mundur. Dia berdiri kokoh bagaikan sebuah bukit karang. Dengan sangat tenang dia berdiri disitu, memandang ke arah Ti Cing-ling tanpa bergerak sedikitpun. Ti Cing-ling pun sedang memandangnya, memandang dengan sorot mata yang sangat aneh. Silahkan duduk. Dia tidak duduk tapi ujarnya tiba-tiba, Jadi inilah tempat tinggalmu sekarang? Kau merasa tidak puas dengan tempat ini? tanya Ti Cing-ling. Lama sekali orang itu termenung, tapi akhirnya tertawa juga. Paling tidak tempat ini sangat kering. Yaa, memang sangat kering, kujamin tidak akan kau jumpai setetes air pun, jawab Ti Cing-ling. Kemudian lanjutnya dengan suara hambar, Ditempat ini tidak pernah ada teh, tidak ada air, belum pernah ada yang melelehkan air mata di sini.

Mendadak dia tertawa tergelak, tambahnya, Ditempat ini hanya ada arak, pelbagai jenis arak. Bagaimana dengan darah? orang itu bertanya, Pernahkah seseorang mengucurkan darah di tempat ini? Tidak pernah ada. Sekalipun ada orang ingin mati di sini, sebelum dia mampu melangkah masuk ke tempat ini, darah sudah berceceran diluar sana, ujar Ti Cing-ling sambil tertawa, Bila aku tidak menghendaki dia masuk kemari, mau hidup mau mati jangan harap dia bisa melangkahkan kakinya di tempat ini. Terus terang, walaupun hidup ditempat ini sangat tak nyaman, tapi lumayan juga bisa mati ditempat ini, orang itu tertawa. Oya? Tempat ini mirip sekali dengan kuburan. Kalau kau memang menyukai tempat ini, tidak ada salahnya akan kukubur dirimu di tempat ini. Dari balik mata Ti Cing-ling terlintas secerca senyuman yang sadis, sambil menuding tanah dibawah alas duduknya, kembali dia melanjutkan, Biar kukubur tubuhmu disini, dengan begitu setiap kali aku sedang duduk ditempat ini maka akan terbayang olehku bahwa si kait perpisahan Nyoo Cing berada dibawah kakku, mungkin cara kerja ku juga akan semakin jernih dan lancar.

.....Rupanya orang yang berdiri dihadapan Ti Cing-ling tidak lain adalah Nyoo Cing. Semakin jernih dan lancar? Nyoo Cing mengernyitkan dahinya. Sebab bila aku tidak selalu menjaga kejernihan pikiranku, tidak selalu lancar dalam mengolah otak, suatu ketika toch kakiku bakal diinjak orang, ujar Ti Cingling sambil menatap tajam ,lawannya, Setiap kali teringat akan dirimu, tentu saja aku selalu mengingatkan diri sendiri agar bersikap lebih waspada. Tapi bila saat berpikiran jernih terlalu panjang, seringkah hal tersebut malah mendatangkan penderitaan dan siksaan. Aku tidak bakal tersiksa, tidak bakal menderita, selamanya tidak pernah. Itu disebabkan karena kau tidak pernah merasakan apa yang dinamakan kegembiraan! jengek Nyoo Cing cepat. Ujung mata Ti Cing-ling seakan sedikit bergetar, tapi seakan juga tidak pernah bergerak. Sebuah sungai kecil, dibawah sebatang pohon siong, ada tiga manusia berdiri disitu. Walaupun hujan dimusim dingin telah membasahi seluruh pakaian yang dikenakan, namun tidak bisa

mengusir perasaan ngeri dan takut yang mencekam perasaan mereka bertiga. Tiga orang manusia, enam buah mata, hampir semuanya tertuju ke pintu batu dihadapannya. Pintu batu itu dalam keadaan tertutup, pintu batu yang sangat tebal. Pintu itu berada dalam keadaan tertutup, seakan seluruh penghidupan yang ada di dunia ini sudah dikurung dibalik pintu itu. Apa yang tersisa dibalik pintu itu? Apakah hanya kematian yang tersisa di balik pintu batu itu? Tapi siapa yang mati? Nyoo Cing? Atau Ti Cing-ling? Dulu, walaupun pertempuran mereka sempat menggetarkan langit dan bumi, sayang tidak seorangpun yang ikut menyaksikan, ujar Cong Hui-miat, Sekarang, sekali lagi mereka melangsungkan pertarungan yang mengerikan, tapi tetap sama seperti dulu, tidak seorangpun dapat menyaksikan. Cong Hoa membiarkan air hujan membasahi wajahnya, membasahi bibirnya, dalam keadaan seperti ini diapun hanya merasakan ketidak berdayaan, yaa, apa lagi yang bisa mereka lakukan kecuali menanti?

Pertarungan dimasa lalu, meski tidak sempat dia saksikan sendiri namun sudah banyak yang didengar dari pemberitaan orang lain. Bahkan Nyoo Cing sendiripun pernah mengakui bahwa ilmu silat yang dimiliki Ti Cing-ling memang jauh lebih hebat dari kemampuannya, bahkan dia memiliki banyak kesempatan untuk menghabisi nyawa sendiri, yang lebih mengerikan lagi, dia bahkan bisa membuatnya tidak berdaya untuk membela diri, apalagi melancarkan serangan balasan. Ti Cing-ling dengan sengaja melepaskan semua kesempatan itu dengan begitu saja karena dia kelewat sombong, dia selalu ingin membuktikan, benarkah dia mampu menghindarkan diri dari kait perpisahan milik Nyoo Cing yang amat tersohor itu. Kali ini, tentu saja Ti Cing-ling tidak ingin melakukan kesalahan yang sama, apalagi kait perpisahan sudah tidak berada ditangan Nyoo Cing sementara golok kelembutan masih berada ditangannya. Kali ini dia bertekad akan menggunakan golok kelembutan untuk menghadapi Nyoo Cing. Dengan tenang Nyoo Cing mengawasi wajah Ti Cing-ling, setelah itu ujarnya, Mungkin saja ada sementara orang hidup dalam penderitaan dan siksaan, tapi masih ada orang lain yang penghidupannya jauh lebih mengenaskan ketimbang mereka, sebab mereka hidup tanpa mengetahui karena apa mereka hidup dan

mau apa mereka hidup, mereka kehilangan arah, mereka tidak tahu apa tujuannya mempertahankan hidup. Bagiku, mungkin masalah tersebut tidak penting, mungkin aku memang tidak ingin mengetahuinya. Kau tidak ingin mengetahuinya? Tidak, sama sekali tidak ingin! tiba-tiba Ti Cing-ling tertawa kembali, Karena aku tahu, hari ini kau pasti akan mampus. Dia tertawa sangat gembira, bahkan ujung alis matapun seolah turut tertawa, lanjutnya, Sebab bukan saja kau sudah tidak memiliki kait perpisahan, bahkan secuwil senjata pun tidak kau bawa, sementara aku? Bukan saja golok kelembutan masih berada ditanganku, kait perpisahan pun berada ditanganku. Diantara kilauan cahaya biru, tahu-tahu dalam genggaman tangan kanan Ti Cing-ling telah bertambah dengan sebilah golok pendek yang amat tipis. Menyusul kemudian sekali lagi terlihat cahaya berkilauan, ditangan kirinya telah bertambah pula dengan sebilah senjata kaitan yang aneh bentuknya, kait perpisahan. Dengan tenang Nyoo Cing memandang, bukan golok kelembutan yang dipandang, bukan pula kait perpisahan, dia justru sedang memandang sorot mata Ti Cing-ling yang terbesit senyuman sadis.

Hujan turun makin lama semakin deras, hawa dingin yang merasuk bagai sayatan golok semakin menembusi tulang belulang. Ketiga orang itu diluar pintu rumah masih menunggu, mereka memang hanya bisa menunggu. Tidak seorangpun sanggup membuka pintu batu tebal yang berada dihadapan mereka, kecuali pintu itu dibuka dari sebelah dalam. Tapi siapa yang akan membuka pintu itu? Ti Cing-ling? Atau Nyoo Cing? Atau bahkan selamanya pintu itu tidak pernah akan terbuka kembali? Cong Hoa sudah terbungkuk-bungkuk, dia nyaris memuntahkan seluruh isi perutnya, penantian yang mendebarkan membuatnya nyaris runtuh, nyaris ambruk karena tidak kuasa menahan diri. Yang lebih mengenaskan lagi adalah gadis itu sama sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya dia nantikan? Siapakah orang yang berada dalam ruang batu itu? Sanak keluarganya? Sahabatnya? Atau kekasihnya? Mungkin saja yang dia nantikan hanya sebuah kematian. Terbayang kembali kelicikan dan kebusukan hati Ti Cing-ling, terbayang pula golok kelembutan beserta

kehebatan ilmu silatnya, Cong Hoa sama sekali tidak tahu sebenarnya Nyoo Cing masih punya peluang berapa persen untuk bisa keluar dari ruangan itu dalam keadaan selamat. Jika Ti Cing-ling tahu kalau kita masih menunggu di tempat ini, dia pasti senangnya setengah mati! tibatiba Tay Thian berkata. Kalau begitu biarkan saja dia bersenang hati! kata Cong Hoa sambil menggertak gigi, Di dunia ini hanya orang baik yang selalu hidup menderita, sementara yang senang, yang gembira selalu orang berhati busuk. Kau keliru. Tiba-tiba terdengar suara orang ke empat berkumandang memecahkan keheningan. Pintu batu yang tebal itu meski beratnya bukan kepalang, namun ketika dibuka, sama sekali tidak kedengaran sedikit suara pun. Entah sedari kapan pintu batu itu sudah terbuka lebar. Dari balik pintu perlahan-lahan berjalan keluar seseorang, dia adalah Nyoo Cing. Walaupun wajahnya tampak sangat letih, namun dia masih dalam keadaan hidup. .....Tetap hidup merupakan hal yang paling penting dibandingkan lainnya.

Cong Hoa, Tay Thian, Cong Hui-miat serentak berpaling, ketika menyaksikan Nyoo Cing berjalan keluar dari balik pintu, air mata perlahan-lahan meleleh keluar membasahi wajah mereka bertiga. Tentu saja air mata itu air mata kegirangan. Disaat orang gembira sebetulnya keadaan itu tidak berbeda dengan disaat orang bersedih hati, sebab kecuali lelehan air mata, tidak sepotong perkataan pun bisa diucapkan, tidak sebuah perbuatan pun bisa dilakukan, bahkan terkadang untuk bergerak pun susah rasanya. Sekilas terlihat sepasang mata Nyoo Cing pun seolah berkaca kaca, namun senyuman masih menghiasi ujung bibirnya. Kau keliru, orang baik di dunia ini selamanya tidak pernah akan menderita, ujarnya perlahan, Sebab saat gembira bagi orang jahat selalu lebih sedikit dibandingkan saat-saat mereka menderita. Tiba-tiba Cong Hoa buang muka ke arah lain, kini dia sudah tidak mampu menahan diri lagi, air mata sudah mengalir keluar bagaikan bendungan yang runtuh. Inilah air mata kegembiraan! Lewat lama kemudian dia baru menghembuskan napas panjang sambil berpaling, ditatapnya wajah Nyoo Cing.

Mana Ti Cing-ling? dia bertanya. Aku yakin dia sangat menderita, sahut Nyoo Cing hambar, Sebab bagaimana pun juga dia kembali melakukan satu kesalahan yang fatal. Melakukan kesalahan yang fatal? Kali ini, sebetulnya dia memiliki banyak kesempatan emas untuk membunuhku, bahkan dia sanggup membuatku mampus tanpa sempat melakukan perlawanan, tapi semua kesempatan emas itu sudah dia lewatkan dengan begitu saja. ..... Manusia semacam Ti Cing-ling, bagaimana mungkin bisa melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya? Kenapa begitu? tanya Cong Hoa tanpa terasa. Pertanyaan inipun ingin diajukan oleh Tay thian maupun Cong Hui-miat. Sebab dia ingin bertaruh lagi didalam hati, kata Nyoo Cing tertawa. Bertaruh? Apa yang dipertaruhkan? Apakah kali ini dia ingin bertaruh, mampukah kau membunuhnya dengan tangan kosong? Bukan, kali ini yang dia pertaruhkan adalah pedang yang ada ditanganku.

Pedang yang ada ditanganmu? Kau memiliki pedang itu? tanya Cong Hoa. Betul! kembali Nyoo Cing tertawa, Ditanganku terdapat pedang ketiga! Pedang ketiga? tanya Tay Thian pula, Apakah pedang amarah yang tersiar dalam dunia persilatan itu? Benar, Nyoo Cing mengangguk. Cong Hoa segera menengok ke tangan Nyoo Cing, tapi tangan itu kosong. Tapi aku tidak melihat pedang milikmu itu! serunya kemudian. Sebenarnya memang tanpa pedang. Tanpa pedang? berbinar sepasang mata Cong Hoa, dia pun tertawa, diapun segera mengerti apa yang dimaksud. Jadi dia mempertaruhkan pedang ditanganmu itu? tanyanya lagi. Benar. Tentu saja hasilnya dia yang kalah! Tidak, dia menang! Dia yang menang? Cong Hoa melengak.

Benar, dia yang menang! sekali lagi Nyoo Cing menandaskan. Ditanganmu jelas tidak berpedang, bagaimana mungkin dia yang menang? Siapa bilang ditanganku tidak berpedang? Pedang itu memang selalu berada ditanganku, sekali lagi Nyoo Cing tertawa. Kali ini senyuman Cong Hoa makin riang, sebab dia sudah mengerti. Benar, ditanganmu memang selamanya terdapat pedang, maka dialah yang menang, tapi dia juga yang kalah! serunya. Yaa, dia sudah kalah! Menang kalah memang selalu terjadi dalam sekejap mata. Walaupun hanya sekejap, namun bisa dibayangkan betapa tegang, betapa merangsangnya situasi waktu itu. Cong Hoa hanya menyesal mengapa tidak punya kesempatan untuk menyaksikan Romantika nya sebilah pedang, dia menyesal mengapa tidak sempat menyaksikan kejadian yang sesaat itu. Sekalipun tidak dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, namun setiap kali membayangkan

adegan tersebut, dia selalu merasa napas sendiri jadi sesak.

BAB 2 Romantika sebilah pedang.

Pintu sudah terbuka. Tidak seorang manusia pun yang bisa mengurung diri untuk selamanya didalam lingkungan yang sempit, tidak mungkin dia bisa memutuskan hubungan dengan dunia luar. Tay Thian sudah melangkah masuk ke dalam ruang batu itu. Pemandangan pertama yang ditangkap oleh matanya adalah sebilah golok yang tipis, tipis sekali, sebilah golok pembunuh. Golok Kelembutan! Golok itu masih tergenggam ditangan Ti Cing-ling, mata golok mengarah ke depan pintu. Tubuh golok pun masih memancarkan cahaya kebiru biruan, cahaya yang mendatangkan perasaan bergidik. Golok adalah tetap golok.

Biar ditangan manusia hidup atau pun ditangan orang mati, golok tetap adalah golok. Kematian pun tetap merupakan kematian. Kematian seorang enghiong tetap mati, kematian orang miskin pun tentu saja tetap mati. Kehidupan sesungguhnya adalah sama rata, apalagi bila kematian sudah menjelang tiba, setiap orang mempunyai taraf yang tidak berbeda. Tapi sayang, ada sementara orang justru tidak mau mengerti akan hal ini, justru mereka baru mau mengerti ketika saat ajal sudah hampir merenggutnya. Paras muka Ti Cing-ling penuh dicekam perasaan kaget, ngeri, ragu dan tidak percaya. Apa yang membuatnya tidak percaya? Apa tidak percaya kalau ditangan Nyoo Cing benarbenar terdapat sebilah pedang? Apa tidak percaya kalau pedang itu benar-benar mampu membunuhnya? Ketika ajal merenggut nyawa tokoh luar biasa ini, keadaannya tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami orang-orang yang dipandang rendah, orangorang yang dipandang hina olehnya, sama-sama gugup, sama-sama ngeri dan sama-sama merasa seram.

Luka mematikan berada di tenggorokan Ti Cing-ling, sebuah luka pedang. Luka itu sempit tapi sangat dalam, persis seperti bekas luka yang ditinggalkan Tionggoan It-tiam-hong (setitik merah dari daratan tiongoan). Tay Thian benar-benar sukar untuk percaya dengan kenyataan itu, bahkan dia tidak habis mengerti bagaimana tusukan pedang itu bisa merenggut nyawanya. Benarkah di dunia ini terdapat pedang ketiga? Tangan kiri Ti Cing-ling menggenggam kencang, seakan-akan dia ingin mencengkeram sesuatu, mungkinkah dia masih enggan menyerah kalah? Sayangnya, sekarang dia sudah tidak mampu mencengkeram apa pun, tidak sanggup memegang apa pun. Mendadak Tay Thian merasa amat letih, tiba-tiba timbul perasaan simpatiknya terhadap orang yang dikalahkan itu. Mengapa bisa begitu? Bahkan dia sendiripun tidak tahu kenapa. Mungkin bukan Ti Cing-ling yang membuatnya simpatik, mungkin dia sedang merasa simpatik terhadap diri sendiri.

Sebab dia manusia, Ti Cing-ling pun manusia. Semua manusia mempunyai perasaan sedih yang sama, penderitaan yang sama. Biarpun dalam perjalanan hidupnya Tay Thian belum pernah kalah, tapi apa pula yang berhasil dia peroleh selama ini? Apa yang berhasil diraihnya? Hujan masih turun sangat deras, orang-orang itu masih berdiri di bawah pohon siong. Empat manusia, semuanya kehujanan hingga basah kuyup, walaupun dihadapan mereka terdapat sebuah rumah batu yang bisa digunakan untuk berteduh, tapi mereka lebih suka berdiri kehujanan diluar ketimbang menunggu di situ. Hal ini bukan disebabkan dalam ruangan terdapat sesosok mayat, tapi mereka ingin menggunakan air hujan itu untuk membersihkan semua debu dan kotoran yang menempel ditubuh mereka. ...... Kotoran ditubuh bisa dicuci sampai bersih, bagaimana pula dengan kotoran yang menempel dalam pikiran? Sebagai manusia, mengapa yang diperhatikan selalu penampilan? Mengapa mereka lupa atau mengabaikan kebersihan didalam? Ketika seseorang berhasil meraih sebuah kemenangan, biasanya dia akan merasa amat letih,

amat kesepian, tiba-tiba Cong Hoa berkata sambil tertawa. Kenapa? tanya Nyoo Cing. Karena kau telah meraih kemenangan mutlak, karena kau telah sukses besar, sudah tidak ada persoalan lain yang membuatmu harus berjuang lagi. Berarti kemenangan itu tidak enak? Meski membuat perasaan tidak enak, paling tidak jauh lebih nyaman dari pada merasakan kekalahan, timbrung Cong Hui-miat. Tiba-tiba Nyoo Cing terbungkam, walaupun dia masih berada ditempat itu, namun pikiran dan perasaannya sudah berpindah entah ke mana. ...... Dia seakan menyaksikan ada seseorang sedang menunggunya ditepi sungai, diantara pepohonan.... Kemenangan dan kesuksesan belum tentu mendatangkan kepuasan bagimu, belum tentu mendatangkan kegembiraan bagimu. Kegembiraan yang sesungguhnya justru terletak disaat kau memperjuangkannya, berjuang untuk maju, berjuang untuk berhasil. Nyoo Cing masih termenung, sorot matanya seakan sedang memandang ke suatu tempat di kejauhan sana.

.....Di situ dia seakan menyaksikan sesosok bayangan ramping sedang menantikan kedatangannya. Tay Thian memandang rekannya sekejap, mendadak sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya. Aku harus pergi dari sini, setelah lama termenung akhirnya Nyoo Cing berbisik. Pergi? Mau pergi ke mana? Kau akan pergi? tanya Cong Hoa, Kenapa harus pergi? Sebab dia harus pergi! tiba-tiba Tay Thian mewakilinya untuk menjawab, Walaupun Ti Cing-ling sudah mati namun perkumpulan Cing-liong Hwee belum runtuh, paling tidak pemeran utama yang diutus Perkumpulan Cing-liong-hwee dalam menangani kasus ini belum....belum dikalahkan. Sebenarnya dia ingin menyebut kata mati, namun setelah memandang Nyoo Cing sekejap, tiba-tiba kata mati diubahnya menjadi kata kalah. Mungkinkah pemeran utama dari perkumpulan Cingliong-hwee mempunyai sesuatu hubungan khusus dengan Nyoo Cing? Sebenarnya siapakah dia (laki) atau dia (wanita)? Tampaknya Tay Thian sudah mengetahui siapakah orang itu, karenanya perasaan sedih melintas

diwajahnya, namun sekali lagi, dia hanya bisa memandang dengan ketidak berdayaan. Bagaimana pun juga manusia akhirnya harus pergi, persoalan pun akhirnya akan beres, Nyoo Cing tertawa getir, Sepahit apa pun, segetir apa pun, kenyataan tetap harus kita hadapi! Betul, hanya manusia bangsa kurcaci yang berusaha kabur dari kenyataan, Tay Thian menimpali. Nyoo Cing mendongakkan kepalanya, mengawasi hujan yang masih turun dengan derasnya. Sampai lama kemudian dia baru menghembuskan napas panjang, perlahan-lahan sorot matanya dialihkan kembali ke wajah Tay thian. Tay thian pun balas menatap Nyoo Cing, begitulah, kedua orang itu hanya saling bertatapan muka tanpa bicara. Lama kemudian akhirnya Tay Thian baru menghela napas panjang, perlahan-lahan dia pejamkan matanya sambil berbisik, Aku pasti bisa! Mendengar perkataan itu Nyoo Cing baru menghembuskan napas lega. Kemudian dia pun berjalan menembusi hujan yang deras, berjalan menuju ke depan sana.

Ketika meninggalkan tempat itu dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan memandang Cong Hoa sekejap pun tidak. Dia pergi dengan begitu saja. Sebenarnya Cong Hoa ingin memanggilnya, tapi segera dicegah Tay Thian. Dia bersikeras akan pergi, maka biarlah dia pergi! Kalau tidak, selama hidup dia akan tersiksa di sini. Mengawasi bayangan tubuhnya yang semakin menjauh, tiba-tiba Cong Hoa ikut menghela napas. Sekalipun dia sudah pergi, memangnya semua penderitaan dan siksaan bisa dia tinggalkan disini? gumamnya. Tampaknya Cong Hoa pun tahu kemana Nyoo Cing akan pergi, dan siapa yang akan dijumpai. Sesungguhnya hanya orang itu yang bisa mengusir semua penderitaan dan siksaan batinnya, dan hanya orang itu yang bisa memaksanya harus pergi dari situ. Tapi siapakah orang itu? Dia (laki)? Atau dia (wanita)? Kalau dia (laki), siapakah dia? Kalau dia (wanita), siapa pula dia?

Dia yang akan dijumpai Nyoo Cing, apakah akan menanti kedatangannya? Kepergiannya kali ini akan membuatnya tetap hidup? Atau mati? Tidak seorang pun yang tahu. Tapi hal ini memang tidak penting lagi karena paling tidak dia pernah datang, pernah hidup dan pernah mencintai. Asal pernah datang dalam hidupnya, pernah hidup mendampinginya, pernah mencintai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Dan dia sudah seharusnya merasa puas! TAMAT

Anda mungkin juga menyukai