Anda di halaman 1dari 8

Nama: Cindy Putri Ghinaya

NPM/Kelas: 180110220005 (A)


Mata kuliah: Telaah Cerkan

Godlob

Gagak-gagak hitam bertebahan dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang


dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran
sendiri-sendiri, besar dan kecil tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang
compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana
loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke
gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki
kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat tidak membara dan membakar padang gundul
yang luas itu, yang diatasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik,
yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa ! Ibarat sumber
yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan menangis karena habisnya susu ibu.

Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-tengger di atasnya, hingga
padang gundul itu sudah merupakan gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak
seolah-olah kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.

Suara-suaranya bagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di atas lantai ubin, merupakan


panduan suara lagu-lagu maut yang dahsyat, tak henti-hentinya memenuhi seluruh padang
bekas pertempuran itu, jalinan-jalinan nada yang kacau-balau seolah setan-setan itu ketakutan
oleh ancaman setan-setan lain atau sebuah persidangan tempat terjadi perdebatan-perdebatan
yang tak menentu, dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu kemampuan memberikan rakyat
berkaparan di tong-tong sampah.

Senjata berserakan di mana-mana. Beberapa senapan dengan sangkur terhunus, menancap


disisi-sisi mayat dengan topi bajanya terpasang diatas. Mungin seorang teman sempat berbuat
begini, sebelum ia sendiri ditolong oleh teman lainnya diberi tanda begitu.
Beberapa ekor gagak bermain-main dengan granat dan beberpa ekor yang lain
menyeret-nyeret tali pinggang yang penuh peluru. Yang lain kelihatan hinggap diatas bren
sambil menggaruk-garuk tubuhnya dan merentang-rentangkan sayapnya.
Bau busuk, anyir, menegang-negang seluruh bentangan padang gundul itu, hingga udara
siang hari ingar-bingar oleh daging-daging yang menguap dan malam hari terasa pengap,
seolah-olah mayat-mayat itu ada dalam kaleng.

Kalau angin bertiup keras, maka bau itu terbang ke mana-mana jauh dan jauh sekali, seolah
kabar-kabar buruk yang diwartakan kepada tiap hidung, untuk dirasakan bersama bahwa
perang itu busuk. Tetapi prajurit adalah prajurit, ia tabah akan semua perintah, walaupun
bagaimana bentuk dan beratnya, dan perang itu pun berjalan lancar dan memuaskan dengan
hasil yang gilang-gemilang, yaitu pembunuhan berpuluh-puluh ribu manusia sebagai babatan
alang-alang. Ya, manusia adalah alang-alang.

Matahari makin condong, bagai gumpalan emas raksasa yang bagus, membara menggantung
di awang-awang dan pelan-pelan mau menghilang di balik bukit sana.
Dari ujung padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobak tanpa atap yang ditarik oleh
dua ekor kerbau. Kelihatan di dalamnya dua orang laki-laki. Seorang anak muda terbaring
parah di atas jerami. Yang seorang lagi tua, tetapi masih kelihatan kuat. Gerobak itu bergerak
lambat dan karena keadaan jalan yang tidak rata, banyak lubang bekas meledaknya bom-bom
atau peluru-peluru meriam hingga kedua penumpang itu terangguk-angguk, bahkan
kadang-kadang terbanting pada dinding gerobak. Kerbau-kerbau itu berjalan gontai dan
lemah, seolah-olah sudah segan untuk menarik kedua pemumpangnya dan ingin berhenti saja.
Tiap kali gerobak itu melewati gerombolan gagak-gagak yang sedang pesta itu, gerombolan
yang satu ke gerombolan yang lain, hingga mengingatkan lalat-lalat yang diusir dari koreng
kerumunannya.

‘’Bangsat, kamu sinting!’’ bentak orang tua itu sambil memukul beberapa ekor gagak ke sana
kemari yang tiba-tiba menyerang gerobak itu.
‘’Kau kira! Kau kira!’’ ia memukul seekor yang hinggap di kepala anak muda yang berdarah
itu. ‘’Kau kira kami bangai-bangkai ?’’ tetapi pukulan meleset dan mengenai kaleng hingga
berderang terpelanting jauh dan burung itu terbang tertawa-tawa.
Ia meloncat mengambil kaleng itu. Kemudian geronak itu dibiarkannya ja;an di muka, ia
terpukau berdiri. Pandangannya berkeliling. Raut mukanya menyeringai menatap gerombolan
gagak-gagak mengerumuni bangkai-bangkai itu. Puluhan, ratusan, memenuhi padang itu.
Kemudian ia lari dan tertawa-tawa, meloncat ke dalam gerobak.

‘’Anakku.’’katanya sambil memapah anak muda itu.’’Kau lihat. Kau lihat. Baru sekarang aku
takjub atas pemandangan ini. Kau lihat.’’
‘’Ayah, cukuplah,’’jawab anak muda itu sambil merebahkan sirinya siatas jerami
lagi.;;bukankah aku menarin-kemarin juga terbaring seperti mereka, sebelum Ayah
mendapatkan aku ?
‘’Yah, seperti mereka, sebelum aku mendapatkan kau! Dan berhari-hari tangan-tanganmu
yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung yang menyerangmu. Dan
hidupmu yang mearisi hidung ibumu itu sudah cukup kebal untuk bau busuk bangkai
kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu. Dan udara menghantarkan kuman-kuman untuk
mngunyah sedikit demi sedikit luka-lukamu yang parah itu.’’
‘’Ayah, cukuplah,’’ keluh prajurit muda itu sambil membetulkan balutan luka-luka yang kotor
dan membusuk itu.
‘’Kau masih ingat sajak ‘Sang Politikus’?’’tanya orang tua itu. Tapi karena kata-kata itu
seolah-olah ditunjukan kepada dirinya sendiri, maka anak muda itu tidak menjawab. Orang
tua itu lalu berdiri, tangannya merentang dan memandang sekeliling:
Oh, bunga penyebar bangkai
Di sana, di sana pahlawanku tumbuh mewangi
Ia berhenti deklamasi, sejenak ia termangu, sedang tangannya masih tetap terentang, lalu
meledaklah tawanya dan bubarlah gerombolan gagak di kanan kirinya.
‘’Sajak itu cukup baik, cukup bermutu, bukan ?’’kata orang tua itu.’’Anakku, kau tahu
bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dan seorang penyair?’’
Orang tua itu lalu memandang berkeliling lagi.

‘’Kalau ada seorang yang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah
luka itu, hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dari lari tunggang
langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu akan di elus-elusnya
hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga tidak seorangpun dari kedia
macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka itu. Bagaimana pendapatmu,
Anakku?’’
‘’Ayah, cukuplah,’’
Dan gagak-gagak itu bubar berkerumun kembali. Lalu ganti berganti: bau busuk-kerbau
gontai, bau busuk-sore redup, bau busuk-derap gerobak, bau busuk-kaok gagak.
‘’Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum juga kenyang.’’
Keadaan telah gelap gulita, hanya sekali-kali jauh dsana melayang-layang pistol cahaya,
mencari-cari nyawanya yang masih hinggap di badan.
‘’kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya.
Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak ada
sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin, Rutin.
‘’Ayah, cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun
keadaanya rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah di atur. Tanpa kuminta dan di luar
pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan Ayah,’’ia berhenti bicara
karena napasnya tersengal-sengal. Dan roda-roda gerobak berderak-derak, sedang dua ekor
kerbau ogah-ogahan.
‘’Aku anak bungsu. Kenapa aku tidak meminta sebagai anak sulung ? Aku kagum kepada
tentara. Aku ingin memasukinya. Aku dilarang. Perang pecah dan membawaku ke sana.
Sekarang aku luka parah, mungkin bisa hidup terus, mungkin sebentar nanti mati. Tetapi kini
aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia yang percaya kepada manusia
lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorng nya untuk mengorbankan segala-galanya,
harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.’’

‘’Ya manusia yang mulia di mata Tuhan.’’kata orang tua itu.’’Ayah, kenapa aku tak memilih
lapangan yang lain ?Seandainya pilihanky itu sesuatu bencana bagiku, sang nasiblah yang
mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang juga.
‘’Apa yang ada ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalu sesuatu meleset dari pasangannya,
manusialah yang salah mengerjakannya. Satu senti meleset mengakibatkan melesetnya
seratus senti yang lain’’.
‘’Sebagaimana perang ini terjadi, umpamanya, nukanlah baegitu, Anakku?’’tukas
ayahnya.’’Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibaykan puluhan,
ratusan ,ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki betul-betul.
Mungkin perkara sepuluh persen komisi atau membela celana kotor yang cengeng. Atau
tentang kebenaran bibir cewek.’’
‘’Ayah, cukuplah,’’potong anak muda itu, sambil menggeliat dan mengaduh karena menahan
sakit.
‘’Mungkin. Seratus satu kemungkinan. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi bubur, tidak
berguna disesali. Yang terang, aku sudah bekerja sebaik-baiknya, O, Nasibku. . ..’’
‘’Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku berbicara, sehingga tidak cukup
sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anakku kepada sang Politikus dan
tidak ada satupun yang kuterima. Sekarang ia merenggut anakku yang terakhir dan nyawanya
paling kusayangi, kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk kebenaran macam
apakah menghallalkan itu semuanya? Anakku! Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi . . ..’’
‘’Ayah, cukuplah! Cukuplah!’’
‘’Belum cukup! Aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tidak diragukan
habis-habisan! Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Saking gelapnya hampir
hampir aku tak bisa melihat tubuhku sendiri. Tidak ada setitik cahaya pun. Florance
Nightingale telah digondol gagak-gagak. Lembah kebenaran sudah diganti padang kurus
kesangsian. Kau lihat di sana, katedral telah disapu habis rata dengan tanah dan sekarang
ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana masjid digerayangi cacing-cacing dan ula-ulat.
Kau ihat di sana, perawan-perawan telah diseka di kamar-kamar. Kau lihat di sana,
kuris-kursi pemerintahan sudah digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi, Anakku?’’
‘’Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul-menyusul, kita
telah mampu menyambungkan tangan kita.’’
‘’Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus memutuskan sesuatu yang
hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan. Anakku, aku minta sumbanganmu?’’
‘’Lukamu cukup parah, bukan ?’’
‘’Aku tidak tahu . . ..’
‘’Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari pagi ghingga petang
atau dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-kalau suaminya, saudaranya, anaknya,
kawannya, pulang dari pertempuran. Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa
yang terjadi sesunggunya di padang gundul ini! Ibumu akan menyambutmu, juga
kawan-kawanmu, juga para tetangga. Engkau sejenak akan dikagumi untuk kemudian
dilupakan selama-lamanya.’’
‘’Ayah! Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua kejadian
ini?’’
‘’Tidak! Aku tidak melhatnya, sebab di situ memang tidak ada apa-apa!
Beberpa ekor gagak menubruk-nubruk dinding gerobak. Sedang udara dingin mnusuk-nusuk
malam yang lengang itu.
‘’Supaya aku tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit lebih baik, aku minta sumbanganmu.’’
‘’Apa maksud Ayah sebenarnya?’’
‘’Anakku. Aku ingin kau jadi pahlawan.’’
‘’Ayah???’
‘’Begitu bukan sajak sang Politikus?
Oh, bunga penyebar bangkai
Di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi
Betapa lezatnya sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunuhan
dalam sajak itu?’’
‘’Ayah???”Orang tua itu bangkit dan seandainya ada cahaya yang menerangi wajahnya, akan
tampak betapa tegang urat-uratnya dan menyerengai merah. Lalu ia berkata keras-keras,
‘’Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’
‘’Ayah dengan cara demikian ayah hendak menjadikan ku pahlawan? Ayah menghalallkank?
Aku dan Aya adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah di atur oleh yang lain!
‘’Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!’’
‘’Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!’’
‘’Ayah!!!’’
‘’Anakku!!!’’
‘’Ayah . . ..’’
‘’Anakku . . ..’’
************
Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai
kota, maka pagi harinya iring-iring jenazah yang panjang itu menuju makam pahlawan
dengan kemegahan upacara militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak semuda dia
dengan keyakinanya, terlalu sayang untuk pergi.
Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di
halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu
penuh bertebaran debu-debu.

Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahri mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba


jalan di depan balai kota di gemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat.
Orang berduyun-duyun menuju kepadanya, hingga suasana hiuk-pikuk. Masing-masing
menanya apa yang terjadi:
Siapakah wanita aneh itu ? tidak jijikkah ia? Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar?
Mayat pahlawan kemarin? Digali lagikah ia? Ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi,
yang membopong itu ibunya? Aduhai, satu paduan yang bagus: Ibu Pertiwi membopong
Pahlawanya. Bukan begitu> kenapa tidak demikian? Tmpaknya suatu pemandangan yang
mengerikan.
Mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?

Kemudian para pembesar pada keluar dari balai kota dan turun mendapatkan orang-orang.
Dalam sekejap, orang-orang yang berkerumun itu sudah sama banyaknya dengan rombongan
pengantar jenazah kemarin. Lau di antara orang-orang yang mengelilingi perempuan dengan
mayat itu, tersembullah seorang tua yang serta-merta berhadapan dengan peristiwa itu.
‘’Ini daia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah
kuceraiakn. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang
membawa tiupan-tiupan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia
sanggup banhun, ia akan berkata kepada kita bahwa ia tdak ingin jadi pahlawan, aku tahu
tabiat anak-anakku. Daialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia
membunuhnya! Dia menipu kita!’’

‘’Sebaiknya, aku kena tipu oleh mereka!’’ Tangis laki-laki itu sambil menunjuk dengan
garangnya kepada para pemvesar. Yang ditunjuk melongo dan menarik dadanya undur.
‘’Kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada satu
pun yang kudapat!’’
‘’Penghianat!’’ teriak para pembesar bersama-sama
‘’Menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain penghianat atau
pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya
yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan
mesranya. Dalam sekejap mata mayat ini diangkat jadi pahlawan. Aku sudah mengira, aku
sudah menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkan ke
kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pingkal!’’
‘’Dengan berpijak pada nilai-nilai objektif, akan ada tipuan-tipuan,’’ kata para pembesar
bersama-sama.
‘’Adakah nilai-nilai Objektif? Semuanya adalah Subjektif!’’
‘’Apa yang kau harapkan sekarang?’’ kata para pembesar bersama-sama.
‘’Apa yang bisa kau harapkan dari kalian?’’
Lalu laki-laki itu memandang sekeliling, menatapi wajah demi wajah:
‘’Kalian orang-orang kecil, sekali-kali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga
berbicara tentang negara, tentang perang, tentang ekonomi, tentang sajak, tentang kebun
binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya semua. Lanyas kiya sidiuruh bicara tentang
apa?
‘’Oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja!’’
Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar
bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan sejenak laki-laki tua yang ada di hadapannya itu.
Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya. Ait matanya meleleh.
Suaminya menggeliat menoleh kepadanya:
‘’Perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu.’’
Kemudian ia meraih mayat anaknya dan jatuh.
Suasana hening. Sekaliannya dipaku di tempat berdirinya masing-masing.
Perempuan itu berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke atas:
‘’Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.’’

Anda mungkin juga menyukai