Kali pertama saya membaca kisah ''Kutil'' sebagai berita mengenai Peristiwa
Tiga Daerah di Harian Penghela Rakyat, Magelang 1946-1947. Kemudian di
Harian Warta Indonesia, Semarang 1945-1947.
Kedua, saya mendengar ceritera lisan dari alm Bapak H Soetigwo, warga
Slawi pada waktu itu yang pernah menjabat sebagai pimpinan/adminstratur
Pabrik Gula Jatibarang di Brebes tahun 1957-1962.
Kesimpulan, dialog yang ditulis dalam cerbung tersebut oleh sdr Sitok
Srengenge dapat menggambarkan aneka ragam sikap masyarakat dan para
pejabat pangreh praja, baik yang bertemperamen tinggi maupun yang cukup
berhati-hati menghadapi situasi yang belum menentu pada waktu itu.
Karena itu, rasanya tidak berlebihan bila saya mengusulkan agar cerbung
tersebut dapat dibukukan baik oleh Suara Merdeka dan atau Sdr Sitok
Srengenge untuk melengkapi atau menambah kekayaan khasanah
perpustakaan.
=======
Dan hari itu, di suatu siang yang lepas dari kenangan, 429 hari setelah
kemerdekaan negeri ini, Kutil, si gagak, divonis hukuman mati.
Mereka, misalnya, yakin benar adanya Dewi Lanjar. Seorang istri setia yang
belum lama membangun rumah tangga, lalu ditinggal pergi sang suami yang
tak pernah kembali. Duka yang menggenang begitu dalam membuatnya tak
sanggup membayangkan seandainya maut telah menjemput lelaki yang ia
cintai. Ia pun mengembara, menembus hutan melintasi pebukitan, berpuasa
dan bertapa, memohon kepada Sang Pencipta agar mengembalikan belahan
jiwanya. Dan manakala permohonannya tak terkabulkan, rasa putus asa
mendorongnya menceburkan diri ke arus deras sebuah kali. Tubuh yang
singsat berkulit langsat itu pun hanyut berbulan-bulan hingga akhirnya
bermuara di Pantai Selatan. Di sana ia diterima Sang Ratu, diangkat menjadi
dayang pengawal, dan kelak dianugerahi kekuasaan di Pantai Pekalongan.
Kerinduan akan kasih sayang lelaki membuat Dewi Lanjar sesekali
berkeliaran di pasar-pasar.
"Jika ada seorang perempuan yang, meski tanpa ceruk di antara bibir dan
hidungnya, tampak jelita, itu dia!"
"Jika ada yang membayar belanjaan bukan dengan uang melainkan daunan
atau bunga-bunga, itulah dia."
"Tapi, jika kau ingin lekas kaya, turuti saja hasrat asmaranya."
"Syaratnya: kau musti jadi pedagang batik. Dewi Lanjar akan memberimu
motif dan warna yang membuat semua pelangganmu tambah tertarik.
Nah, mengapa tidak mungkin bahwa gagak itu sesungguhnya adalah burung
jejadian? Jelmaan seseorang yang punya kekuatan ilmu hitam? Bukankah
orang semacam itu memang gemar menyamar agar kejahatannya tidak
terbongkar? Jangan lupa pula desas-desus yang mendesing dari kuping ke
kuping, bahwa di daerah Talang, tak jauh di selatan kota Tegal, ada seorang
lenggaong yang sering menggarong para pangreh praja dan orang-orang
kaya di lingkungan pabrik gula lantas membagi-bagikan hasilnya kepada
rakyat jelata. Dan sang perampok itu bernama Kutil. Jadi, tidak mustahil yang
melakukan segala kejahatan itu memang seekor gagak. Dan gagak itu
jelmaan Kutil. Si gagak adalah Kutil. Si Kutil adalah gagak.
========
BAGIAN PERTAMA
6
MERASA lungkrah dan penat, Kutil pun mencoba rebahan. Ia ingin tidur
telentang. Di lantai, tanpa lambaran. Namun, keinginan sederhana itu pun
tak bisa ia dapatkan. Punggungnya terasa sakit, tak tertahankan. Terpaksa ia
harus memiringkan badan. Kedua kakinya menekuk. Meringkuk.
Pada saat seperti ini, sepi terhayati sebagai teman paling sejati. Ya, hanya
ada mereka berdua. Sepi dan dirinya. Bahkan tak terdengar suara, selain
gaung sunyi dan degup jantungnya sendiri. Tidak. Tidak. Kutil menangkap
sesuatu. Suara yang mendayu. Seperti suara yang amat ia kenal di masa
lalu.
Namun Kutil tak membiarkan dirinya terhanyut. Ia tahan beban kantuk yang
menggelayut. Ia tajamkan penglihatan, nanar. Seketika alunan tembang itu
pun tak lagi terdengar. Tak ada sesiapa. Hanya dirinya. Meringkuk di lantai
semen tanpa lambaran. Seorangan. Tidak. Tidak sendiri. Kutil melihat
sesungging senyum perempuan yang amat ia kangeni. Kutil melihat ibunya.
Mengenakan kebaya dan jarik batik. Selembar selendang menyelempang
pada leher, ujung-ujungnya menjuntai pada kedua tangan yang terulur.
Tangan-tangan halus yang hendak merengkuh buah hatinya ke dalam
dekapan kasih yang tulus. Dan Kutil pun menyambut. Dan keduanya pun
bertaut. Saling dekap. Erat. Hangat.
Kini aku baru paham arti kedalaman cintamu, Ibu. Rasa ikhlas tanpa batas.
Begitu agung dan anggun. Telaga yang bening dan tenang. Aku merasakan
aliran kasihmu kepadaku. Selembut air yang tak henti bergulir ke ceruk kali
berbatu. Ya, batu, Ibu. Akulah batu itu. Aku anak bangor, anak yang keras
kepala. Begitu banyak nasihat dan teladanmu telah kulanggar, tak jarang
dengan sengaja. Maafkan aku, Ibu. Ampuni anakmu.
Dan bocah lanang itu pun berlari-lari nakal di atas hamparan pasir. Tak hirau
pada anak-anak ketam yang ketakutan dan bergegas menyingkir. Pandangan
Kutil kecil lurus tertuju pada garis semu di mana langit dan laut bertemu. Ia
dengar ibunya memanggil lebih lantang, tapi kaki-kakinya yang telanjang
justru ia pacu lebih kencang. Ia tak hendak pulang. Sang ibu memanggil-
manggil lagi. Kutil kecil tak juga peduli. Sang ibu mengejar. Kutil kecil
membayangkan dirinya anak kuda paling liar.
Sampai di sebuah kali langkah Kutil kecil terhenti. Ia saksikan air yang deras
mengalir dari hulu, terhalang bongkah bebatu. Ia dengar suara ganjil. Di
kepalanya terbayang hantu. Kutil kecil menggigil. Ia butuh sang ibu. Namun,
begitu melihat sang ibu telah dekat, Kutil kecil melompat. Kaki yang belum
kukuh menghentak batu berlumut. Kutil kecil tergelincir jatuh, luka pada
lutut.
Dan Kutil tersedu. Dalam rengkuhan sang ibu. Dua tubuh satu darah, saling
gamit melawan sakit. Tapi sakit itu tak juga pergi. Bahkan kian menakik
hingga ke ulu hati. Kutil merabai lagi bagian demi bagian badan. Dan
seketika ia merasa ada yang terlepas dari dekapan. Ia tak lagi bersama
ibunya. Ia hanya seorang diri, di dalam bui.
Dan seperti air hitam yang mengalir di kali-kali, racun itu ia rasakan telah
bertahun merambat lambat di dalam setiap sel dan serat syarafnya sendiri.
Mengakutkan rasa sakit yang sungguh ia benci. Sakit badan dan terlebih lagi
sakit hati. Rasa sakit yang menyadarkannya betapa hidup amat berharga.
Sebab itu ia merasa wajib mempertahankan hidupnya dari siapa pun yang
hendak membuatnya tak berharga. Kaum penjajah dan para pangreh praja
tak pernah memberi harga hidup orang-orang seperti dirinya, hidup orang-
orang kecil yang sederhana.
Kutil hanya mencoba bertahan. Dengan mengajak para kerabat dan handai
taulan yang senasib dengan dirinya untuk melawan. Dan lantaran ia
melawan, rasa sakitnya justru kian menjadi. Sampai suatu saat,
sebagaimana telah diputuskan, ia tak akan bisa merasa sakit lagi.
======
BEL di ruang kepala penjara berdering nyaring. Disusul derap sepatu para
sipir yang memeriksa sel demi sel, memastikan tak seorang pun mangkir
dari kewajiban apel. Kutil keluar dari biliknya dengan langkah goyah. Bagian
belakang kepalanya seakan digelayuti berkilo-kilogram beban.
Pandangannya agak kabur. Semalaman ia tak benar-benar tidur.
Ibu, matahari hari ini bukan milikku. Aku bukan benih dalam tanah yang
bakal tumbuh. Baginya matahari adalah harapan. Aku buah basang
menjelang jatuh. Bagiku matahari hanya tanda makin dekatnya kematian.
Kutil telah lama paham, mungkin juga tak pernah paham, tentang arti
sebuah harapan. Tapi ia tahu benar bahwa dirinya pernah punya harapan
besar. Harapan yang ia gelembungkan sendiri sampai tak mungkin lebih
besar lagi. Seumpama balon yang penuh udara, sedikit lagi kauembus,
meletus! Pupus.
Harapan itu mulai mengembang ketika pada suatu hari, pada akhir minggu
pertama Agustus, sebuah radio ilegal menangkap selintas berita tentang
cendawan bom atom di Hiroshima. Beberapa hari kemudian, seorang teman
sepermainan Kutil semasa kecil memberinya selembar selebaran dari
Sukowati. Berisi seruan kepada seluruh rakyat untuk bergerak
menghancurkan tentara pendudukan Nippon tanpa ampun. Tanpa ragu Kutil
melibatkan diri sebagai sepotong kayu demi mengobarkan bara perlawanan
itu.
Namun harapan itu belum seluruhnya habis ketika Kutil ambil bagian dalam
upaya menangani kelangkaan bahan makanan dan sandang. Ia
memandegani penyerbuan gudang-gudang menimbunan beras dan tekstil
untuk dibagiratakan kepada kalangan orang kecil.
Bahkan harapan kembali tumbuh ketika Kutil menjadi seorang kepala polisi,
kedudukan yang tak pernah ia impikan. Sebuah jabatan berwibawa yang
membuatnya merasa perlu lebih waspada. Sebab Kutil punya firasat, dirinya
sedang dijerat dengan pangkat.
Harapan itu masih juga ada walau akhirnya sepasukan tentara menangkap
dan menjebloskannya ke penjara. Saat itu Kutil hanyalah seorang di antara
berlusin-lusin tawanan. Meski di dalam bui, ia tidak sendiri. Tak seorang
tahanan pun tinggal sendiri di dalam selnya. Terlalu banyak penghuni untuk
ruang yang tersedia. Kutil merasa tenang dikelilingi kawan-kawan
seperjuangan. Saat itu Kutil percaya, di mana pun kita, semasih ada teman
bercakap, kita masih layak berharap.
Dan harapan itu menjadi kenyataan ketika pada suatu pagi, pada
penghabisan September, Kepala Penjara -dengan suara yang senantiasa
diusahakan terdengar tegas- menyebut nama-nama yang sejak detik itu
dinyatakan sebagai orang bebas.
Toh Kutil tetap berharap, meski sampai akhir upacara Kepala Penjara tak
menyebut namanya. Jika tidak hari ini, tentu besok atau lusa. Memang
sebagian besar sudah pulang, namun ia masih punya lumayan banyak
teman, tak kurang dari tiga puluh satu orang. Dan di antara mereka ada
anak lelakinya.
Kalau tidak hari ini, tentu besok atau lusa. Kalau tidak besok, tentu lusa atau
besok lusa. Kalau tidak lusa, tentu besok lusa atau lusanya lusa. Lusanya
lusa. Lusanya lusa...
Tak sampai sebulan kemudian, pada sebuah sore ketika Kutil hendak
sembahyang asar, seorang sipir mengunjungi selnya dan berujar, ''Ada
berita penting untuk Anda.'' Seketika Kutil pun menengadahkan tangan dan
wajah. Melafalkan alhamdulillah. Membayangkan laut dan langit yang luas.
Mengenangkan hidup bebas.
Di timur matahari...
Kutil terperanjat, kali ini bukan oleh suaranya sendiri. Ia hafal suara itu. Ia
tak memandang siapa yang meneriakkannya, namun ia tahu, tak jauh dari
tempatnya berdiri, seorang lelaki sedang memelintir ujung kumisnya yang
lebat dengan tangan kiri dan tangan kanannya memutar-mutar tongkat
sesekali.
======
16
Alam khayal memang sangat luas, seolah tanpa tepi. Ya, seolah tanpa tepi,
karena sejatinya ia punya batas juga. Batasnya adalah alam nyata. Bila
sesuatu menyeberangi batas itu, ia bukan khayalan lagi. Begitulah yang
dikhayalkan Abilawa. Ia berkhayal bisa meretas batas, sehingga ia yang
semula hanya penghuni alam maya akan menjelma makhluk nyata. Abilawa
ingin menyeberangi batas itu bersama kekasihnya, Yustina. Tentang semua
ini, Yustina punya cerita menurut versinya sendiri.
Akulah yang memberi tahu Abil tentang batas itu. Kukatakan kepadanya
bahwa khayalan bukan tanpa batas. Jika kami melewati batas itu dan tiba di
alam nyata, kami akan menjelma makhluk yang berbeda dari keadaan asli
kami di alam imajinasi. Aku tahu, segala yang ada dalam imajinasi tak ada
sangkut-pautnya dengan segala hal di alam nyata. Imajinasi tak lain adalah
gagasan. Telah kukatakan kepada Abil, bahwa memiliki kekasih di dalam
gagasan berarti memiliki kekasih dalam kesadaran. Bukan dalam kenyataan.
Bagiku sudah cukup punya kekasih dalam gagasan. Toh sesungguhnya kita
hanya bisa bahagia dalam kesadaran. Dalam kenyataan, tidak gampang kita
merasa bahagia.
Aku yakin Abil hanya kurang mampu merumuskan batas itu, meski
sebenarnya ia tahu. Keyakinan ini kudasarkan atas khayalannya tentang
diriku. Dibuatkannya aku silsilah yang terkait dengan seorang tokoh dalam
sejarah. Kakekku, seorang bupati Tegal bernama kecil Soesmono, bergelar
Reksonegoro, yang kawin dengan putri camat Batang dan kawin lagi dengan
perempuan Belanda, benar-benar pernah ada.
Memang, Abil baru mengisahkan secuwil kehidupan mereka. Aku yakin Abil
tidak lupa, atau tidak tahu, jika ia tidak melanjutkannya. Memang ia suka
pura-pura lupa, atau pura-pura tak tahu. Ia selalu merendah. Itulah yang
membuatku suka padanya. Kalian tak percaya? Mari kita buktikan. Akan
kutanyakan padanya, kalian dengar apa jawabnya.
Abil!
Ya, Kekasih.
Benar, kan? Padahal ia pasti tahu. Abil pasti tahu bahwa penguasa Belanda
saat itu tidak memenuhi janjinya, tapi menepati ancamannya. Penguasa
Belanda tak peduli bahwa mestinya masih satu keturunan Reksonegoro lagi
yang berhak jadi bupati. Penguasa Belanda bahkan menutup mata,
mengabaikan petisi yang dikirim rakyat Tegal demi mempertahankan
pemimpin mereka. Kakekku benar-benar mereka copot. Kalian tahu
akibatnya? Kewibawaan Kabupaten Tegal langsung melorot!
Ada juga yang berpendapat bahwa penggantian kakekku dengan bupati baru
memang sudah seharusnya, demi menyelamatkan Kabupaten Tegal dari
rongrongan perempuan Belanda. Tahu apa mereka? Tahukah mereka, betapa
dalam gairah asmara kakekku terhadap nenekku berkobar juga semangat
perlawanan seorang lelaki Jawa terhadap para penguasa Belanda? Kakek tak
sudi merangkak dan menyembah mereka. Kakek ingin dipandang dan
dihargai setara. Bukan hanya begundal-begundal Belanda saja yang boleh
sesuka hati menzinahi perempuan pribumi, tapi lelaki Jawa pun berhak
bercinta dengan perempuan Belanda. Apalagi jika dasarnya suka sama suka.
Sebaliknya, tahukah mereka, bahwa di dalam cinta nenekku terkandung pula
sikap keberpihakan kepada kebenaran? Jika Nenek hanya mendamba hidup
damai sejahtera, kurang apa dia? Suami pertamanya punya kedudukan
tinggi, ke mana-mana dihormati. Tapi, Nenek tahu, bahwa kesejahteraan itu
semu lantaran menjulang di atas penderitaan, bahwa penghormatan itu
palsu karena dasarnya ketakutan. Semula Nenek hanya iba, lalu tak tega,
lalu ingin membela. Maka ia pun membelot. Ia khianati suami pertamanya. Ia
tunggingi peringatan dan ancaman penguasa Belanda. Ia memilih jadi istri
kedua kakekku, sang bupati, agar bisa membagi cintanya kepada kawula
pribumi.
Kakek dan Nenek adalah sepasang kekasih yang berani melewati batas.
Digerakkan oleh gagasan tentang cinta, kebebasan, dan kebenaran, mereka
menerjang. Dan aku, Yustina, adalah keturunan kedua mereka. Setidaknya
menurut khayalan Abilawa.
======
Angin adalah pengelana jail yang tak letih berkeliaran. Di pantai ia berkesiur
di pucuk-pucuk nyiur, lalu bergulir desir di sela butir pasir dan gigir air,
mengusik tidur ganggang dan ubur-ubur. Sambil melenggang ke dataran ia
sibak-sibak lembar daunan seakan hendak menguak rahasia di baliknya,
lantas berlari kian ke mari seperti ada sesuatu yang ia buru.
Tapi, ternyata, Abilawa keliru. Suatu malam, ketika istrinya telentang dengan
mata terpejam, diam-diam Abilawa pun melolosi pakaiannya sendiri. Lalu
dengan amat sangat perlahan ia merangkak ke ranjang. Dalam siraman
cahaya temaram, ia pandang bibir istrinya sambil membayangkan kelegitan
kue talam. Abilawa ingin menggigit bibir itu, mengunyah-ngunyah dan
menelannya. Namun, sebelum ia berhasil menyentuh, sang istri
mendorongnya menjauh.
Abilawa diam. Berahinya mendadak luruh. Susut ke seprai yang belum lusuh.
Dirasanya udara dalam kamar seketika berubah dingin. Tubuhnya beku.
Sendi-sendinya kaku. Lali ia berguling ke samping. Sang istri juga beringsut
ke sisi lain. Dan terbentuklah pemandangan ini: Sepasang suami-istri di satu
ranjang, keduanya sama-sama telanjang, tapi punggung memunggungi.
Wah, wah! Mestinya kurahasiakan bagian ini. Tapi aku terlanjur bilang bahwa
Abilawa punya istri. Yah. Istri khayalan, tentu. Seorang perempuan yang ia
nikahi belasan tahun lalu. Selama ini Abilawa memang berusaha menutup-
nutupi. Aneh? Bagi Abilawa tidak.
=======
BAGIAN KEDUA
19
Aku bukan kalian! Aku Abilawa, pengarang kelahiran Amerika. Aku ada bukan
untuk menunggu. Akulah yang ditunggu.
Abilawa beranjak dari beranda. Ia masuki ruang tengah rumah Danur yang
sepi. Di meja makan tersaji menu santap siang yang telah disiapkan istri
Danur sebelum mereka sekeluarga pergi ke rumah kerabatnya. Di salah satu
sisi dinding, dekat televisi dan tape recorder dan tumpukan kaset-kaset,
Abilawa melihat sebuah rak kayu dengan buku berderet. Ditelitinya satu per
satu buku-buku itu. Dan pandangnya mendadak nanar begitu dilihatnya dua
jilid Negeri Teko Tembikar. Diraihnya jilid pertama, dibukanya lembar demi
lembar. Foto-foto penyair yang kelewat percaya diri. Di jantungmu cakrawala
dinihari membukakan diri... Apa ini? Kata-kata dangkal, bait-bait majal.
Di sebelah kanan gambar terdapat riwayat singkat: Tjioe Wie Tjiat dilahirkan
di Desa Kemantran, Tegal, Februari 1925. Pendidikan Muhammadyahschool-
Mulo. Mengikuti kursus-kursus jurnalistik dan selanjutnya otodidak. Puisi-
puisinya dimuat di berbagai media massa, daerah dan ibu kota. Ia juga
menulis cerita pendek dan artikel kolom. Kini, ia ingin mengabiskan sisa
umurnya dengan terus menulis puisi.
Ah, luar biasa. Orang ini begitu percaya pada kata. Baiklah, mari kita lihat
karyanya.
hitamku,
sang pemburu
berabad-abad
Tjioe Wie Tjiat, siapa dia? Danur tentu mengenalnya. Tapi Danur tak ada.
Haruskah aku menunggu Danur pulang? Dan Yustina? Mengapa Yustina tak
kunjung datang? Aku tak yakin Yustina mengenalnya, tapi setidaknya ia bisa
mengantarku ke Kemantran. Di manakah Desa Kemantran? Aku perlu
menemuinya. Ya. Kuharap Wie Tjiat tahu lebih detail tentang Gerakan Kutil.
Ia sudah berumur dua puluh tahun, ketika revolusi itu berlangsung.
Siap jalan?
Sudah makan?
Belum. Gampang.
Kita ke Kemantran.
Mobil tua itu menderu. Roda-rodanya yang kasar melempar kerikil ke semak
belukar. Sampai di ujung gang langsung menikung ke selatan. Melewati
kebun-kebun kosong. Warung kelontong. Toko bahan bangunan. Kios tukang
tambal ban. Rumah tua sedang dipugar. Becak dan dokar. Belok kiri. Jalanan
kian sepi. Yustina memacu mobil lebih laju. Angin terasa tambah menderu.
Rambut Yustina berkibaran. Abilawa terpesona pada pucuk daun telinga
Yustina. Abilawa sangat ingin mengulumnya.
=======
57
Berbagai berita miring itu tentu saja mendapat tandingan dari kalangan
pendukung Gerakan Tiga Daerah. Surat kabar Penghela Rakyat menyangkal
pemberitaan Antara yang menuduh Sardjio sebagai antek NICA. Dalam
sebuah edisinya, media massa terbitan Magelang itu memuat secara
lengkap bukti-bukti perjuangan Sardjio dan Kamidjaja semasa pergerakan
kemerdekaan. Penghela Rakyat juga terus menerbitkan artikel-artikel tantang
penahanan para pemimpin revolusioner yang dinilainya tidak adil
berdasarkan alasan politik perjuangan. Empat hari kemudian Antara
meminta maaf dan memuat lengkap tulisan di Penghela Rakyat itu.
Tak sedikit pula tokoh yang memberi kesaksian bahwa tuduhan sebagai
antek NICA yang terbukti keliru itu telah diubah oleh Jaksa, sehingga kaum
revolusioner tetap tersudutkan sebagai penjahat dan perampok, yang
sebagian di antara mereka mengalami penyiksaan kejam di dua rumah yang
dijadikan tempat penahanan di Pekalongan. Tokoh-tokoh itu berpendapat
bahwa inti Gerakan Tiga Daerah adalah masalah penggulingan para pejabat
yang korup, bukan masalah kriminal.
Pernah dalam sebuah sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat,
Supeno -yang kemudian tercatat sebagai Ketua Tim Pembela Gerakan Tiga
Daerah- dengan tegas menyangkal laporan Jaksa Agung yang dianggapnya
tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya merupakan propaganda para
wartawan. Kenyataan yang dimaksud adalah sikap para pangreh praja yang
tidak peduli terhadap Proklamasi dan bahkan melarang pengibaran Merah-
Putih. Berdasarkan penyelidikan, terbukti pula bahwa aksi rakyat terhadap
para pangreh praja terutama disebabkan oleh penindasan Jepang. Bagi
rakyat, pengusiran Jepang berarti pula pembersihan terhadap antek-
anteknya, yakni para pangreh praja.
=====
72
HARI itu Kamidjaja bangun kesiangan karena, menuruti pesan Amir, Prihatini
tak membangunkannya terlalu pagi. Dini hari tadi Kamidjaya mampir, ketika
dalam perjalanan pulang dari rumah Dokter Moerja, dan mereka bertiga
terlibat obrolan tak kurang dari dua jam. Lantaran sebentar lagi pagi tiba,
Amir dan Prihatini memintanya menginap saja.
"Ya, sepulang dari rumah Dokter Moerja, Bung Djaja masih ngobrol dengan
kami sampai subuh tadi," Amir menerangkan.
Kamidjaja hanya tertawa, "Saya sudah tidur cukup, kok." Lalu ia beralih
kepada Dokter Moerja, "Pak Dokter bagaimana, bisa tidur nyenyak?"
Dokter Moerja menelan kopi yang baru saja diseruputnya. "Nyenyak sekali,
Bung. Saking nyenyaknya, saya mimpi aneh sekali. Saya tadi sudah
menceritakannya kepada Bung Tan."
"Mungkin itu wangsit, Bung Djaja," sela Tan Jiem Kwan. "Kan, menurut orang
Jawa, mimpi yang datang pada dini hari itu adalah isyarat yang membawa
wahana."
"Ah, Bung Tan ini ada-ada saja, mentang-mentang dirinya Tionghoa," canda
Amir disambut gelak tawa kawan-kawannya.
"Lebih aneh lagi," tandas Dokter Moerja, " saya mimpi tentang orang-orang
yang juga bermimpi."
"Maksudnya, Dok?" tanya Prihatini yang sejak beberapa saat tadi bergabung
dan menyimak di antara mereka.
"Lebih aneh lagi," tambah Dokter Moerja, "penduduk kota tidak hanya
mengalami mimpi yang sama, tapi cara mereka bercerita pun dengan suara
yang sama, juga gerak-gerik yang sama."
Tatkala mereka melihat matahari yang secerlang perak, yang tampak justru
ribuan cawan hangus berserak. Butir-butir air hujan yang sejuk dan bening
bagai embun, terlihat serupa gelembung-gelembung plastik berisi didihan
racun. Daun-daun yang segar hijau kemilau, jadi seperti sayur yang terebus
sampai lumat, lumer berwarna cokelat pucat.
"Hanya satu yang terasa tidak aneh dalam mimpi itu," kata Dokter Moerja,
seakan hendak mengingatkan.
Semua orang sama-sama merasa lapar. Dan, di dalam mimpi Dokter Moerja,
lapar itu bukan sekadar dapat dirasa, melainkan telah menjelma bentuk
yang kasat mata, serupa nganga gua yang dalam dan kelam, yang dari
rahangnya berjuntaian taring-taring berkarat yang terjelma dari gumpalan
hasrat. Rahang-rahang gua bertaring itu tampak jelas membayang dalam
perut setiap orang. Rupanya, rahang-rahang itulah yang menjadi sumber
gerak mereka. Setiap orang bertindak seirama gerak rahang yang mengatup
dan membuka di dalam perutnya. Dan manakala satu dan lain orang
berpapasan, rahang itu serta merta membuka lebar, dan orang-orang itu pun
saling sambar. Serupa sepasang binatang buas, mereka saling terkam. Buas
dan beringas. Mereka seakan tak lagi mengenal sanak saudara. Pertikaian
terjadi di mana-mana. Bangkai-bangkai bergeletakan. Tubuh-tubuh yang tak
lagi utuh.
=======
BAGIAN KEEMPAT
73
TAN Jiem Kwan, yang sudah mendengar cerita Dokter Moerja sebelumnya,
menyala, "Saya kira, bagian itu yang terpenting. Mungkin kita perlu
menafsirkannya."
Semua orang di ruang itu tampak kaku, wajah mereka penuh rasa ingin tahu.
Kecuali Tan jiem Kwan, dia hanya diam dengan senyum yang ditahan.
Kali ini Amir mendukung gagasan Tan Jiem Kwan bahwa mimpi itu perlu
ditafsirkan. Ia menekankan perlunya memahami bagian demi bagian untuk
sampai pada pemaknaan seluruh mimpi. Siapa orang tinggi-besar itu dan
mengapa muncul dari kelebatan ladang tebu? Apa makna pakaian yang
serbahitam? Isyarat apa yang ada di balik lambang gagak yang menjadi
tunggangannya, karena jelas akan beda andaikata orang itu menunggang
kuda, misalnya? Dan mengapa pula ia menuju kota?
"Leluhur kita percaya mimpi bisa jadi pertanda," Tan Jiem Kwan meyakinkan.
"Leluhur kita?" tanya Amir. "Orang Jawa, memang percaya. Apakah luluhur
Bung Tan, orang China, juga percaya?"
Dokter Moerja menengahi, "Santai saja, Bung Djaja. Saya sendiri hanya
merasa bahwa mimpi itu aneh, tidak lebih. Toh setidaknya berguna buat
belajar bernalar, sebagaimana Bung tadi sarankan, bukan untuk dikukuhi
sebagai kebenaran."
"Ya, ya. Saya setuju. Anggap saja ini permainan," timpal Tan Jiem Kwan.
"Selamat siang, Kawan-Kawan, maaf saya sedikit telat karena mampir dulu
ke rumah Bung Nuh." Sambil menggenggam tangan Prihatini, Kartohargo
berbasa-basi.
"Ya, dan kami harus mampir dulu ke rumah Bung Wid. Untung Bung Pangat
sudah menunggu di sana," tambah Nuh.
"Sudah, sudah," cegah Tan Jiem Kwan. Rupanya ia sadar bahwa yang
mengawali percakapan tentang mimpi memang Dokter Moerja, tapi ia
merasa dirinyalah yang membuatnya berlarut-larut.
"Ya, lebih baik kita dengar kabar terakhir saudara-saudara kita di lain
daerah," tandas Kamidjaja.
"Sebaiknya kita tunggu sebentar," usul Widarta datar. "Bukankah kita akan
kedatangan tamu istimewa hari ini?"
Tak ada yang tak setuju dengan usul Widarta. Karena agenda utama
pertemuan mereka adalah saling tukar kabar tentang keadaan di berbagai
daerah di wilayah Keresidenan Pekalongan, merencanakan kegiatan yang
sesuai dengan garis perjuangan gerakan bawah tanah, dan mengulas
pencapaian maupun hambatan atas kerja yang telah dilaksanakan. Dan
tamu istimewa yang dimaksudkan Widarta adalah seorang pegawai yang
oleh penguasa Jepang ditugasi menjadi pengawas pelaksanaan pembagian
jatah pangan dan sandang di Kebupaten Pemalang. Berhubung sang tamu
istimewa dan para wakil dari beberapa kantung pergerakan belum hadir,
mereka pun harus bersabar sambil menikmati kopi atau teh tanpa gula, tales
rebus, pisang goreng, atau tiwul bertabur parutan kelapa.
84
"Wajib setor padi yang jumlahnya makin ditingkatkan mendorong para petani
terpaksa 'mencuri' padi mereka sendiri." Soewignyo menyampaikan hasil
pengamatannya di wilayah Randudongkal. "Pencurian itu biasanya dilakukan
pada malam hari, dengan memanen secara acak padi yang telah
menguning, kemudian di sembunyikan di bawah timbunan tanah atau di atas
langit-langit rumah."
"Mereka tidak sadar bahwa tindakan seperti itu bisa mengundang risiko yang
membahayakan jiwa," sahut Soepangat.
Salah seorang yang sering hadir dalam pertemuan Pekope adalah Soesmono.
Ia cukup dikanal di kalangan gerakan bawah tanah berkat kekeluasaan
geraknya. Ia bebas menyusup ke seluruh wilayah Keresidenan Pekalongan
karena Jepang mempercayainya sebagai anggota Badan Pembantu Prajurit-
Pekerja-sebuah badan bentukan Jepang untuk mendukung pengadaan
logistik dan hiburan bagi prajurit Peta dan Heiho, serta bagi para pekerja
romusha. Pada suatu kesempatan, Soemono menceritakan perlakuan
Kenpetai terhadap warga desa Ambowetan.
Dikisahkan, hari itu Kenpetai mendapati empat ikat padi di rumah seorang
lenggaong. Ketika ditanya, si lenggaong mengatakan bahwa padi itu milik
seorang janda miskin yang dititipkan kepadanya. Padi itu lantas mereka
ambil sebagai barang bukti pencurian dan mereka pindahkan ke rumah
kepala desa. Sesudahnya, pura-pura menggeledah rumah sang kepala desa
dan menuduh tuan rumah menggelapkan padi yang tadi mereka taruh
sendiri.
"Kepala desa itu mereka hajar hingga jatuh sakit sampai delapan hari."
"Dua bulan kemudian," kata Soesmono, "cark desa yang malang itu diajukan
ke pengadilan Pemalang dengan tuduhan menghalang-halangi
penggeledahan padi dan diganjar hukuman kurungan selama enam bulan."
"Saya juga mendengar kabar itu," kata Soepangat. "Malah, entah benar
entah tidak, istri dan anak gadis carik itu juga diperkosa Kenpetai ketika
mereka hendak menjenguknya sebelum dijebloskan ke penjara."
"Kebenigsan Kenpetai itu telah menjadi contoh buruk bagi Seinendan," sela
Kartohargo, yang lantas menuturkan lagak para anggota Seinendan di
daerahnya.
Para petani sering didatangkan dari Brebes untuk membantu penuaian padi
di Ketanggungan. Umumnya mereka diupah dengan seperlima dari jumlah
yang berhasil mereka tuai. Seminggu sekali mereka diperbolehkan pulang. Di
tengah jalan mereka selalu dihadang para anggota Seinendan dan dipaksa
menjual padinya dengan harga murah. Para anggora Seinendan itu
menyelewengkan tugasnya untuk membantu para pejabat memperoleh padi
untuk memenuhi setorannya yang ditetapkan penguasa Jepang. Meskipun
para petani lebih suka menyimpan padi daripada uang, mereka terpaksa
menyerahkan hasil kerjanya lantaran takut disiksa.
HexWeb XT DEMO from HexMac International
=======
93
LAPORAN Bagus Rawun tidak hanya sesuai, melainkan lebih rinci dibanding
berita-berita yang selama ini didengar Willie. Rawun tidak sekadar
menyampaikan kabar umum, tapi juga menyebut nama-nama tempat yang
dijadikan tujuan rombongan pejuang yang melakukan long march di
sepanjang punggung pegunungan. Laskar Lukas Kustaryo sudah menduduki
Cikampek, pasukan Darsono membangun kembali markas perlawanan di
Karawang, dan batalion Sentot Iskandardinata berpangkal di Purwakarta.
Mereka semua berada di bawah komando umum Sambas Atmadinata
sebagai Komandan Teritorial Jakarta.
Willie selalu senang melihat perubahan mimik dan cara Bagus Rawun
menikmati anggurnya. Rawun akan menyeruput minuman perlahan lalu
matanya rapat memejam, lidah dan bibirnya mengecap-ngecap menghayati
rasa asam-manis-sepet yang teramu dalam cairan merah pekat itu.
Bagus Rawun memang selalu terpesona mendengar janji Willie yang entah
kapan akan mengajaknya ke Negeri Belanda, namun dalam hati ia ragu
bahwa dirinya akan benar-benar bisa menikmati minuman yang menurut
lidahnya tidak enak itu.
Willie tergelak, "Kamu memang bodoh. Tidak hanya otak kamu, tapi juga
lidah kamu." Sambil menuang anggur ke dalam gelas pialanya yang nyarus
habis, Willie melanjutkan, "Ya, arak juga enak. Tapi arak hanya membakar
dan menggores dinding lambung, sedangkan anggur, terutama yang merah,
bisa melancarkan aliran darah. Ini minuman sehat."
Dan malam itu, sambil sesekali diselingi gelak tawa, Willie bercerita tentang
pengalamannya mengintip tetangga sebelahnya yang gila. Terbayang lagi
Mat Saleh bergerak-gerak ganjil dan dengan suara melengking meracaukan
kata-kata aneh dalam bahasa Jawa yang bagi telinga Willie terdengar bagai
mantra.
"Tegal, Tuan?" Bagus Rawun tambah penasaran. Telah dua tahun lamanya ia
mencari sisik-melik tentang keberadaan Kutil yang lolos dan menghilang
ketika sedang akan dipindahkan dari Penjara Pekalongan ke Paninggaran
dulu. Kini setidaknya ada dua penanda yang bisa memberinya petunjuk ke
arah buruannya. Ia seorang tukang cukur dan berasal dari Tegal. Tapi,
bukankah tukang cukur dari Tegal bisa lebh dari seratus orang?
"Jangan pelihara goblok kamu, ya! Di situ jelas tertulis 'Mat Saleh', mana aku
tahu mana yang benar?" Willie menyedot cerutunya kuat-kuat lantas
mengembuskan asapnya dengan kesal. "Mat Saleh atau Amat Saleh, yang
jelas dia gila. Bagiku apa bedanya?"
Ada bedanya, jika memang dia orang yang kucari selama ini, pikir Rawun.
Dia ingat benar, dalam surat keputusan Pengadilan Pekalongan, Kutil
bernama asli Amat Saleh alias Sakhyani.
"Aku akan menyelidikinya. Semoga memang dia," harap Rawun dalam hati.
Beberapa saat kemudian, Bagus Rawun pamit pulang. Sebagaimana ketika
datang, ia pergi dengan kelicikan seekor musang.
108
BEBERAPA hari kemudian surat yang dikirim Willie van den Heuvel
mendapat tanggapan dari koleganya di Pekalongan. Semua pertanyaan
Willie dan data-data yang ia butuhkan dijawab dan dipenuhi. Kini, di
hadapannya, terpapar salinan dokumen-dokumen penting yang melengkapi
informasi tentang Kutil. Selain salinan surat vonis hukuman mati dari
Pengadilan Negeri Pekalongan, yang menyatakan bahwa si pesakitan
bernama asli Amat Saleh alias Sakhyani, pekerjaan tukang cukur; juga
terlampir beberapa lembar berkas tuduhan jaksa lengkap dengan catatan
kejahatan yang dilakukan si barbir itu selama masa revolusi rakyat, serta
laporan dari sebuah lembaga keamanan tentang kaburnya si pesakitan
ketika dalam perjalanan ke penjara darurat di Paninggaran.
Di antara semua bahan itu, tak ada yang lebih menarik bagi Willie kecuali
selembar foto hitam putih. Di sana terpampang dua deret wajah orang-orang
sederhana yang disebut sebagai para pemimpin gerakan Tiga Daerah. Pada
deret belakang, kedua dari kiri, sebuah goresan pensil melingkari sosok
seorang lelaki kurus bergaris wajah keras. Willie mengamat-amati gambar itu
dengan perasaan heran.
"Selain mereka, ternyata ada juga orang seperti kamu!" Telunjuk Willie
seakan hendak menembak kepala Kutil pada foto itu. "Kamu tidak mungkin
sendiri. Para pengikutmu sudah pasti berkeliaran di sekitarmu. Dan jika
amarah rakyat sampai terjadi, siapa lagi biangnya kalau bukan orang macam
kamu!"
"Saya mengerti. Laporan sudah ada di meja saya, tinggal melengkapi," sahut
Willie. Dalam hati ia memaki, kenapa beberapa hari lalu ia mengizinkan
Rawun membatalkan penyelidikannya di Cikampek! Tapi, tunggu dulu,
bukankah Rawun telah mengarahkannya ke seorang buron yang lebih
berharga? Buru-buru Willie meraih foto hitam putih itu dan menatap wajah
Kutil sekali lagi. "Saya akan persembahkan laporan yang bakal memaksa
Tuan Residen menggelar sebuah pesta!" tandas Willie setelah berhasil
menepis keraguannya.
"Satu hal lagi perlu Tuan ketahui," suara sang ajudan, "Wakil Ketua Devisi
Siliwangi, Daan Yahya, dikabarkan baru bebas dari Nusakambangan. Selamat
siang."
122
KUTIL telah (tertangkap) kembali. Begitulah berita yang beredar dari telinga
ke telinga di seantero Keresidenan Pekalongan selama hampir sebulan
kemudian. Kabar yang semula rahasia itu, entah mengapa, bocor setelah
Komandan Militer Kota menerima pemberitahuan resmi dari penguasa militer
di Semarang tentang rencana pelimpahan atas diri seorang pesakitan
bernama Kutil alias Amat Saleh alias Sakhyani, yang ditengarai merupakan
pelarian dari Penjara Pekalongan. Sang Komandan lantas menghubungi
Kepala Penjara untuk menyiapkan sebuah sel yang baik, dalam arti dekat
dari pusat pengawasan dan tak memungkinkan si pesakitan melarikan diri.
Tak seluruh perubahan yang terjadi selaras dengan cita-cita para pemimpin
dan rakyat di keresidenan itu yang sejak lama menghendaki terwujudnya
kedamaian dan pemerataan kesejahteraan. Kehendak mereka untuk
menyingkirkan para pejabat lama, sisa-sisa birokrat peninggalan Jepang dan
Belanda, berkesan sia-sia. Sejumlah pejabat memang bergeser dari tempat
duduknya semula, bukan untuk lengser melainkan untuk menempati
kedudukan yang lebih tinggi. Hakim Soeprapto, mantan Ketua Pengadilan
Negeri Pekalongan yang pernah melarikan diri dengan membawa dua koper
uang, kini telah menduduki posisi tertinggi dalam karier seorang petualang
hukum, sebagai seorang Jaksa Agung. Soedharmo, yang pada saat pecah
Revolusi Oktober di Tiga Daerah menjabat Staf Resimen XVII TKR
Pekalongan, telah pula melompat ke atas menggantikan pemimpinnya,
menjadi Komandan Militer Kota. Adapun di kalangan rakyat, yang dulu
mengelu-elukan para pemimpin revolusi sebagai pahlawan, kini seakan
bungkam tak peduli ketika mendengar bahwa seorang dari mereka, seorang
yang dulu paling disegani, dikabarkan (tertangkap) kembali.
Tanggal tiga belas Februari. Belum tengah malam, tapi jalan-jalan kota
Pekalongan telah sepi. Kutil dapat merasakan kesipan itu ketika ia mengintip
dari lubang udara pada dinding bak truk yang membawanya. Cahaya lampu-
lampu yang berkilasan tak cukup menunjukkan satu tempat pun yang dapat
ia kenali. Sampai akhirnya ia diturunkan di halaman gedung tua itu.
Yang juga tak berubah barangkali adalah kehendak kekuasaan dalam diri
Sang Komandan. Sebagai salah seorang yang dulu aktif dalam penghancuran
Gaboengan Badan Perjoeangan 3 Daerah, keberadaan Kutil diam-diam
menyalakan benih dendam yang selama dua tahun terpendam. Pelarian Kutil
dulu ia anggap telah mencoreng wibawanya. Kini, ketika komando tertinggi
militer kota berada di dalam genggamannya, ia merasa inilah saat paling
tepat melunaskan dendam sekaligus menuntaskan tekad membersihkan
sisa-sisa pemberontakan.
"Bukankah gagak itu telah divonis mati?" tanyanya lewat telepon kepada
Kepala Penjara.
Tanpa didahului kata penutup gagang telepon itu telah mengatup. Sang
Komandan segera memutar nomor lain, bicara dengan Kepala Kantor
Pengadilan.
"Baik, Pak. Tapi, sayang sekali, semua berkas proses pengadilan Kutil,
termasuk dokumen tentang vonisnya, kita tak punya, Pak."
"Maaf, Pak. Bapak tahu sendiri, keadaan sangat kacau pada saat Agresi
Militer Belanda dulu. Semua berkas hilang."
Sang Komandan menahan geram. "Apa tidak bisa dicari cara lain?"
"Kau buat saja suratnya. Kalau memang diperlukan nanti saya sertakan
tanda tangan saya dan stempel institusi saya," Soedharmo menyudahi
pembicaraan sambil membayangkan dirinya memimpin regu tembak yang
hendak mengeksekusi seorang terpidana mati pertama dalam sejarah
hukum formal Republik Indonesia.
Seingatku waktu itu tinggal Cak Wid, Bung Tan dan Bung Djaja yang masih
berstatus tahanan semantara. Semoga mereka dalam keadaan sehat dan
bahagia. Aku yakin mereka tak akan melupakanku begitu saja.
=====
BAGIAN KETUJUH
123
Mati. Ah, telah tiga tahun aku dihantui pikiran seperti ini. Ke mana pun aku
pergi, bayangan kematian itu terus menyertaiku. Selalu berdua, aku dan dia.
Badanku yang kian renta ini tambah keropos digerogoti olehnya.
Sejak saat itulah bayangan Sang Maut seolah ngendon di dalam otakku,
berjalan-jalan di jalur nadiku. Dan sedikit demi sedikit mengisap
kemudaanku, keperkasaanku, dan kenangan-kenanganku. Sejak itu aku
bukan lagi orang bisa leluasa berangan-angan. Jiwaku yang dipenuhi
semangat perlahan meredup, seluruh gambar dan suara indah di kepalaku
kian jauh dan sayup. Gambar dan suara yang dulu selalu hadir satu per satu,
lalu bersulaman menjadi bentangan kain tipis penuh noktah. Setiap noktah
adalah kenangan indah. Istriku yang tabah, anak-anakku yang cantik dan
gagah, para tetangga yang ramah, kelompok pengajian yang rukun, para
pelanggan pangkas rambut yang santun, para kiai yang sakti, dan kawan-
kawan lenggaong yang disegani.
Bahkan dulu, setelah beberapa bulan aku dipenjarakan, aku masih berani
berkhayal bahwa suatu saat aku akan kembali di tengah-tengah mereka.
Namun ketika hakim itu melaknatku dengan hukuman mati, sekadar
berkhayal pun aku tak berani. Semua orang yang kucintai seakan ikut mati.
Aku tahu, bayang-bayang kematian itu tak lain adalah susunan ketakutan
yang dibentuk oleh pikiranku. Tapi pikiran mengerikan ini sungguh tak
mudah dienyahkan. Semakin kutolak malah semakin tampak. Wajahnya keji,
setiap kerutnya menyimpan rasa dengki, senyumnya yang durjana meledek
diriku yang nestapa. Dan manakala aku mencoba memalingkan muka atau
kupejamkan mata agar tak melihatnya, jemarinya yang beku segara
menggelitiki bulu kudukku hingga meremang, hingga aku gelarapan dan
menggelinjang-gelinjang.
=====
''Siang yang cerah, ya?'' tanyaku tanpa menggerakkan sedikit pun tubuhku.
Sebagaimana biasa penjaga itu diam saja. Ya, biasa kubilang, karena
begitulah umumnya lagak para petugas penjara. Mereka hanya
mengeluarkan suara ketika ada yang hendak dikatakan, kadang dengan
teriakan atau bentakan, tapi jarang sekali sudi menanggapi apa pun yang
diungkapkan para pesakitan. Mungkin di telinga mereka kata-kata para
pesakitan terdengar bagai suara binatang, yang tak berarti dan tak patut
ditanggapi.
Aku diam saja. Antara ingin dan tak ingin mendengar apa yang hendak
difatwakannya. Sebab, bagiku dusah gamblang bahwa lelaki yang kuhadapi
ini bukan penentu nasibku. Ia sekadar alat di antara alat-alat lain. Barangkali
ia masih punya kesempatan menjadi manusia ketika berada di tengah-
tengah keluarganya. Tapi, sebagai Kepala Penjara, ia akan bekerja sesuai
gerak mesin kekuasaan yang menjadikannya tak beda dengan terali besi,
tembok, anak kunci, atau gembok. Dan saat ini, di hadapanku, ia akan
menjalankan peran sebagai alat perekam yang hendak menyuarakan ulang
kata-kata entah siapa.
=====
142
TAK seberapa lama setelah Tilam meninggalkan rumah itu, Widarta
sekeluarga disekap di dalam kamar kosong, tanpa perabot, kecuali selembar
tikar. Pintu kamar itu diikat dengan seutas kawat bersimpul melingkar di
bagian luar. Untunglah, meski ruangan itu terasa sumpek ditempati lima
orang, udara masih bebas keluar-masuk dari celah-celah dinding atau
rongga-rongga di bawah lekukan genting.
Widarta tak tahu siapa saja yang mengawasi pintu kamar itu. Ia hanya
mendengar perintah si pemimpin pemuda kepada kawan-kawannya agar dua
orang tetap tinggal dan berjaga-jaga di beranda, sebagian menyebar di
bawah pohon besar atau semak pinggir jalan. Jadi bila sewaktu-waktu Tilam
kembali, mereka tahu siapa saja yang datang bersamanya.
"Tak perlu takut, Anak-anak," bisik Widarta. "Sebentar lagi Paman Tilam pasti
datang dengan bala bantuan."
"Ah, Bapak kok masih sempat berandai-andai segala. Yang penting kapan
Tilam datang dan bersama siapa?" Tanpa sadar istri Widarta menyangkal
sang suami dengan nada lebih tinggi.
"Saya tidak tahu, Bu, tapi Bung Amir pasti tak akan membiarkan kita telantar
di sini."
"Masih mending kalau hanya terlantar. Bagaimana kalau para pemuda itu
membantai kita karena sudah tak sabar?"
"Tadi Bapak bilang, seandainya ada serangan mereka bisa jadi sasaran. Kok
hati nurani tidak memberi tahu kemungkinan itu?"
"Ya para pemuda itu. Coba bayangkan, jika tiba-tiba ada yang menyerang
mereka, kan seharusnya mereka menjadikan kita tameng agar si penyerang
menangguhkan serangan. Tapi, pintu itu malah diikat dengan kawat. Mana
mungkin mereka sempat membuka dan menjadikan kita sandera?"
Wajah perempuan itu seketika berkesan lebih bening dan lapang. Barangkali
penjelasan sang suami membuat hatinya tenang. Ia pandangi ketiga
anaknya yang kini berebahan di gelaran tikar, ia elus kepala si bungsu
dengan kelembutan kasih sayang.
=====
Kini, setelah bertekad bulat hendak menulis novel tentang gerakan Kutil, ia
menyadari bahwa penuturan pengarang tua itu tak seluruhnya keliru.
Seorang pengarang, ternyata, tak selamanya bisa menghadirkan tokoh
secara tiba-tiba. Setiap tokoh memerlukan penjelasan. Kekuatan wataknya
tak cukup hanya dibentuk oleh pikiran, cara bicara, dan tindak-tanduknya;
melainkan harus pula menunjukkan hubungan yang sesuai dengan seluruh
keadaan yang melingkupi keberadaan si tokoh. Itulah sebabnya, apa yang
semula tak hendak ditulis oleh si pengarang, bahkan sebelumnya tak pernah
ia pikirkan, kadang tak kuasa ia hindari dan menjadi sangat perlu
ditambahkan.
Abilawa membayangkan kesulitan yang bakal ia hadapi dalam proses
penulisan novelnya nanti. Novelku tidak semata-mata lahir dari khayalan,
pikirnya. Ia merupakan gabungan yang fakta dan yang fiksi. Para akademisi
punya istilah 'metafiksi' untuk menyebut peleburan fakta dan fiksi dalam
karya sastra. Kelak, aku akan menyebut novelku sebagai faction, bukan
metafiction apalagi sekadar fiction.
Dalam faction terdapat dua jenis tokoh yang berbeda riwayat kehadirannya.
Kehadiran tokoh Kutil berbeda dari Yustina. Keberadaan Kutil dilahirkan oleh
sejarah. Seluruh wacana mengenai latar belakangnya sudah tersedia. Si
pengarang hanya perlu menelisik setiap serpih, mengumpulkan, dan
menyulamnya menjadi serangkaian kisah yang utuh. Keberadaan Yustina
sepenuhnya bergantung padaku, karena akulah yang menciptakannya.
Aku akan meminjam sebagian fakta sebagai kaitan riwayat hidup Yustina. Ia
akan kuandaikan sebagai cucu Soesmono, anak asuh Kardinah, saudara
perempuan Raden Ajeng Kartini. Soesmono kelak menjadi Bupati Tegal dan
bergelar Reksanagara, menempati urutan kesebelas dari dua belas bupati
yang diangkat dan dilindungi oleh penguasa Belanda, sesuai perjanjian yang
pernah ditandatangani leluhurnya. Pada dasawarsa ketiga, sebelum janji itu
terlunaskan seluruhnya, Belanda ingkar janji. Reksanegara XI dipecat dengan
tuduhan telah melecehkan norma-norma Eropa. Selama masa revolusi
Soemono bergabung dengan para nasionalis dan bergiat dalam gerakan
bawah tanah.
Bagiku -batin Abilawa- bukan perkara sulit meracik cerita tentang latar
belakang Yustina. Yang membuatku perlu waspada adalah perkembangan
wataknya, yang seolah-olah ia hidup sebagai manusia nyata, berdarah-
daging, punya kehendak, berpikir dan bertindak. Aku menjadikannya kekasih
dengan harapan aku dapat memahami dirinya. Namun, ternyata, harapanku
sia-sia. Sering kali aku tak mampu memahami pikiran dan tindakannya.
Benar, ia adalah tokoh ciptaanku. Ia akan berwarna merah atau biru,
sepenuhnya terserah aku. Tapi, jusrru karena ia ciptaanku, ia menjadi
tanggung jawabku. Aku harus membebaskan ia berpikir dan bertindak agar
kehadirannya menjadi layak.
Aku berperan sebagai seorang pengarang, lelaki yang hidup dengan dan
dalam imajinasi. Aku seorang suami. Yustina seorang lajang. Aku
berselingkuh, Yustina bertualang. Perempuan lajang macam apakah yang
bertualang dengan suami orang? Setiap tindakan memerlukan alasan. Tidak
harus sejalan dengan hukum masyarakat, namun setidaknya harus sesuai
dengan hukum alam dan hukum akal sehat.
Bahwa Yustina menunjukkan kesan cerdas dan urakan, itu bukan masalah,
karena ia keturunan bangsawan yang kemudian membangkang dan menjadi
pegiat pergerakan. Ia mewarisi naluri pemberani. Bahwa ia berhubungan
gelap dengan seorang pengarang, sejujurnya ini juga bukan masalah,
kakeknya dulu dituduh merendahkan norma Eropa karena ia menggauli
seorang perempuan Belanda, istri Kepala Administratur Pabrik Gula Pangkah.
Apalagi jika hubungan gelap antara Yustina dan pengarang itu dilengkapi
dengan retorika tentang cinta, maka akan punya alasan yang kuat dan tak
melenceng dari hukum alam dan hukum akal sehat.
=====
166
TENGAH MALAM, di dalam selnya, antara tidur dan jaga, Kutil seakan
mendengar seseorang bernyanyi, ''Burung hitam terbang ke selatan, pohon-
pohon kekeringan. Burung hitam terbang berkisar, orang lapar mati
terkapar.'' Suara itu seperti suara Chambali. Apakah anakku telah kembali?
Kutil merasa akrab dengan irama lagu itu, mirip lagu dolanan pada masa
kanak dulu. Tapi kata-katanya sungguh berbeda, terdengar ganjil di telinga.
Adakah seorang pujangga yang mengubahnya? Ada apa di selatan hingga si
burung hitam terbang ke sana? Selatan, bukit-bukit yang diselubungi hutan.
Jika pohon-pohon kekeringan di selatan, lantas apa yang tersisa di barat, di
timur, dan di utara? Hanya orang-orang lapar yang berjatuhan dan mati
berkaparan.
Batang kerontang
Jatuh berserak
Sukma melayang
Menjelma gagak
Ah, betapa kebiasaan itu telah merusak kepekaanku. Ada candu yang
membuatku ketagihan dan tanpa kusadari kemanusiaanku telah
terlumpuhkan. Bahkan lagu yang terdengar dinyanyikan anakku cukup
membuatku gugup, seakan kusaksikan kesuraman masa lalu dan masa
depanku. Seakan kulihat sekuntum melati dalam lagu itu. Berlepotan lumpur
setiap tangkainya. Aku menciumnya. Baunya buruk seperti bangkai binatang
yang diluluhlantakkan hujan!
Kini aku tak akan bisa lari. Keperkasaanku sudah pergi. Dulu aku berlari
bagaikan terbang. Kulintasi lebat hutan dan hamparan ladang. Tak seorang
pun curiga padaku. Sebab, siapa pun melihat tubuh kurus ini, ia akan melihat
penderitaannya sendiri.
Di Stasiun Comal yang sepi malam itu, kucegak kereta yang bergerak ke
arah barat. Tanpa tahu daerah mana yang akan kutuju, kuturutkan laju
kereta hingga berakhir di Stasiun Senen. Aku bingung, tak tahu apa yang
harus kulakukan di Jakarta. Di tempat baru itu aku tak punya kenalan atau
sanak keluarga. Memang, itu bukan kunjunganku yang pertama. Sebelas
tahun sebelumnya, aku pernah diminta menemani Bung Sakirman
mengambil obat-obatan dari temannya, seorang Belanda, di Jakarta. Saat itu
Bung Kirman baru dipindahtugaskan ke Slawi, sebagai inspektur perumahan
dalam program penanggulangan penyakit pes.
Aku tak kerasan terus-terusan hidup berkeliaran dari sampah ke sampah dan
menghabiskan malam di gerbong kereta bersama orang-orang yang gelisah.
Aku tak bisa mengikuti cara hidup mereka. Salma bahkan sering mengolok-
olokku bahwa aku takut berbuat salah semata karena mempertahankan
kesucian namaku, Mat Saleh. Mungkin ia benar. Meskipun lingkungan kelam
itu lebih aman seorang pelarian sepertiku, tapi aku merasa selalu dilimbur
rasa malu kepada Kiai Makdum, guruku. Maka, setelah berhasil
mengumpulkan sedikit uang, aku memutuskan menyewa sebuah rumah
petak di Kebon Kacang. Sejak saat itulah aku tak pernah lagi berjumpa
dengan Anwar, Salma, dan orang-orang yang mencari kebahagiaan dengan
menemu malam.
======
176
"Di mana Cak Wid sekarang, Bung?" tanya Kutil, setelah rasa penasarannya
tak kuasa lagi ia bendung.
Sakirman mengangguk.
Tak lama setelah bebas dari penjara, para pemimpin Gerakan Bawah Tanah
menuntut diadakannya kongres partai demi menyelesaikan konflik internal.
Kongres itu kemudian memang digelar, namun dibelokkan untuk menjebak
Widarta dan para pengikutnya. Beberapa pemimpin Gerakan Bawah Tanah
dipenjara dalam rumah tahanan secara terpisah. Kemudian, sebuah
Mahkamah Partai dibentuk untuk menyidangkan dan menentukan hukuman.
Mahkamah itu menuduh Widarta telah menyebabkan terjadinya perpecahan
di tubuh partai karena sikapnya yang beroposisi terhadap Perjanjian
Linggarjati, juga dianggap tak becus menjalankan garis kebijakan Front
Persatuan di Tiga Daerah, sehingga menjerumuskan partai ke dalam konflik
langsung dengan tentara. Mahkamah akhirnya menjatuhkan hukuman mati
bagi Widarta.
"Ia ditembak di Parangtritis oleh dua orang kader partai," gumam Sakirman.
"Yah, kebanyakan bekas para pengikut Cak Wid sendiri, terutama yang telah
meninggalkannya ketika Cak Wid sedang dipenjara."
"Kok bisa, ya?"
"Bisa saja, Bung. Di dalam politik segalanya bisa jadi mungkin. Mereka
menggunakan otoritas dari Sjarifuddin."
"Lho!" Kutil kaget sampai melongo. "Bukankah Cak Wid adalah tangan kanan
Sjarifuddin sendiri?"
"Banyak yang menganggap saya orang kejam. Tapi, apa pun yang terjadi, tak
mungkin saya membunuh kawan sendiri."
"Tapi, sebanyak apa pun mereka punya tangan, tak akan bisa mencuci sifat
jahat di dalam pengkhianatan!"
"Di mata para penguasa, kita ini adalah pengkhianat, Bung. Perjuangan yang
kita lakukan dengan ikhlas dan jujur, mereka maknai sebagai tindakan
makar, upaya penggulingan pemerintah yang sah. Sebaliknya...."
"Ya, tapi, maksud saya..., di kancah politik predikat seseorang tak ditentukan
oleh sikap pribadi atau kejujuran nurani, melainkan oleh siapa yang punya
kekuatan lebih untuk memaknai." Sakirman pun memaparkan gagasannya.
Ada tiga macam hukum, katanya, yakni hukum alam, hukum masyarakat,
dan hukum akal sehat. Hukum alam berkaitan dengan garis takdir yang
berada di luar kuasa manusia. Hukum masyarakat mengandaikan suatu
pandangan kolektif yang objektif, berupa kesepakatan adat atau hukum
formal negara. Hukum akal sehat mengacu kepada kebenaran nalar.
"Idealnya, kita harus memadukan hukum masyarakat dan hukum akal sehat
sambil menjunjung hukum alam," lanjut Sakirman. "Tapi, karena kita ini
hidup bermasyarakat, maka hukum masyarakatlah yang dominan. Akal sehat
acap dikalahkan. Apalagi, dengan mengatasnamakan masyarakat, para
penguasa yang cenderung korup lantas membuat bermacam aturan yang
hanya menguntungkan kekuasaan mereka. Akal sehat Bung mungkin
menganggap Sjarifuddin mengkhianati Widarta, tapi karena ia lebih punya
kuasa, maka partai yang berada di dalam genggamannya justru menumpas
hidup Widarta."
======
202
KEMATANGAN Muhammad Nuh dalam kancah pergerakan tak membuatnya
gegabah untuk mendatangi Walikota hanya dengan mengandalkan
kedudukannya sebagai Ketua Dewan Barisan Pelopor serta dukungan
anggota organisasinya. Nuh tahu, betapapun penting kedudukannya dalam
organisasi massa hanya akan dipandang dengan sebelah mata oleh para
pangreh praja. Sebab mereka hanya mau mengakui organisasi resmi,
susunan pemerintahan yang secara administratif disahkan oleh penguasa
Jepang. Di luar itu mereka anggap hanya sebagai perkumpulan liar yang
merongrong dan membahayakan kekuasaan.
Menyadari hal itu Nuh tak langsung melabrak Sang Walikota, meski rasa
geramnya terhadap para pejabat pemerintah yang menafikan berita
kemerdekaan nyaris tak kuasa lagi ia tahan. Pada saatnya, tak lama lagi, aku
akan mendesak mereka, pikirnya. Tapi tidak dalam satu-dua hari ini. Aku
masih membutuhkan dukungan kekuatan untuk lebih memantapkan
tekanan.
Berkat citra dirinya yang jujur dan berani, dalam waktu yang singkat Nuh
berhasil mendapat dukungan dari semua tokoh organisasi massa. Maka,
pada waktu yang telah disepakati, Barisan Pelopor bersama orang-orang
sederhana dari Pagoejoeban Toekang Betjak, pemuda-pemudi Angkatan
Moeda Kereta Api (AMKA) dan Negen Broeders, para anggota Sarekat
Boeroeh dari Pabriek Java Textiel, dan Galangan Kapal Zosenjo, bersatu
dalam naungan payung baru, bernama Angkatan Moeda. Bahkan, dukungan
juga datang dari para pegawai muda Dinas Kesehatan Rakjat dan Bank
Rakjat.
''Jadi,'' tandas seorang pemimpin Angkatan Moeda Kereta Api, ''praktis kita
hanya berhadapan dengan Walikota, jajaran pangreh praja, dan Kepala
Kepolisian Kota yang kebingungan karena tiadanya instruksi dari atasan
mereka.''
''Tepat,'' timpal Nuh. ''Nah, apakah mereka masih berani mengingkari
Proklamasi?''
''Baiklah,'' tokoh Negen Broeders paham dan mengalah. ''Lantas apa, kira-
kira, yang akan kita lakukan di Balai Kota?''
=====
BAGIAN KESEbelas
211
Waktu itu, kenang Koreng, ketika sedang pulas di atas selembar papan di
sudut markas, Koreng dibangunkan seorang kawan. Hari masih sangat pagi.
Bias cahaya matahari memang sudah menerangi sebagian atap rumah-
rumah, namun di beberapa bagian, terutama di sudut-sudut bangunan,
bayang-bayang kegelapan belum sepenuhnya menghilang.
Di salah satu pojok kebun ada sebuah sumur tua. Koreng melangkah ke sana
dan membasuh muka.
"Kami tunggu di depan!" teriak kawan tadi. "Jangan lupa bawa senjata."
Ada tiga pesawat telepon di ruangan itu. Sang pemimpin mengambil alih
salah satunya, membaca daftar saluran pada selembar kertas di samping
pesawat telepon dan memutar nomor kepala buruh. Tersambung.
"Halo, Bung," katanya. "Saya dari Gerakan Pemuda Tanjung. Saya sudah
menyandera Kepala Administratur di ruang kerjanya."
"Tenang, Bung," kata sang pemimpin. "Kami butuh bantuan Bung untuk
mengerahkan seluruh buruh ke lapangan."
Tak lama kemudian para pemimpin pabrik gula itu mereka giring ke halaman
depan kantor, di mana para pekerja telah berkumpul meneriakkan yel-yel
kemerdekaan. Sang pemimpin Gerakan Pemuda Tanjung mengucapkan
terima kasih atas dukungan para buruh. Ia juga mengatakan bahwa lima
orang Jepang dan beberapa pejabat pribumi yang bekerja di pabrik itu akan
mereka bawa ke kota untuk dijebloskan ke penjara.
"Sekarang pabrik ini bukan milik Jepang lagi," katanya. "Kita sudah merdeka,
Saudara-saudara. Pabrik gula ini sekarang milik Pemerintah Indonesia."
Pemimpin itu juga meminta mereka kembali bekerja. Untuk mengatur
pekerjaan pabrik, ia meminta kaum buruh mengajukan calon pemimpin
mereka. Beberapa menit kemudian seorang putra Batak bernama Sihombing
ditetapkan sebagai Kepala Administratur dan seorang Batak yang lain,
Tambunan, dijadikan Kepala Tenaga Teknik.
Koreng Kemurang juga ingat, hari itu juga, menjelang petang, dari radio hasil
rampasan di rumah Kepala Administratur Pabrik Gula, ia mendengar siaran
radio lokal yang mengabarkan bahwa tiga orang lelaki Indo-Belanda telah
dibunuh, sedangkan para istri dan anak mereka ditahan di Pekalongan.
=====
=====
BAGIAN KESEBELAS
215
"Sebelah sini!" teriak Tupahamu. Dua orang datang membawa tandu. Atas
petunjukan Sang Dokter, mereka lantas memindahkan tubuh pemuda naas
itu dan mengangkatnya keluar halaman Gedung Kenpeitai.
Kedua pengangkat tandu itu pun berlalu dengan langkah lebih terburu.
Tupamahu memandangi mereka sambil menduga-duga. Ia telah terkapar
berjam-jam di sini, pikirnya. Kalau saja tadi malam tak turun hujan, mungkin
ia tak lagi bisa diselamatkan. Dingin air dan angin telah membantu
menghentikan kucuran darahnya, karena lukanya tersumbat oleh gumpalan
darah beku.
Tiga puluh tujuh pemuda pejuang dan kurang dari selusin serdadu Jepang
tewas dalam pertempuran.
Setelah semua kalangan menunggu dengan perasaan yang tak nenentu, dua
jam kemudian seorang wakil penguasa militer Jepang, bekas staf Shuchokan,
datang ke Kantor Kawedanan dan menyampaikan kabar bahwa Kenpeitai
bersedia memenuhi tuntutan BKR.
Pada saat seluruh serdadu Jepang dari Garnisun Kota dan Kenpeitai bergerak
meninggalkan Pekalongan dengan kawalan BKR, nun jauh di pedalaman,
tepatnya di Desa Cerih, Kecamatan Jatinegara, Tegal Selatan, massa rakyat
mengepung rumah Kepala Desa.
Desa Cerih dikenal sebagai tempat kediaman para tokoh radikal, sejak masa
Sarekat Islam pada dasawarsa 20-an. Malam itu, sehari setelah para korban
penembakan yang dilakukan Kenpeitai dimakamkan, warga di pebukitan
miskin penghasil singkong itu berduyun datang dan berkerumun di seputar
rumah Raden Mas Hardjawijana.
"Tapi, mereka adalah para tetangga dan sanak saudara kita sendiri, Ki
Lurah," kata seorang pengawal.
"Tidak ada lagi tetangga atau sanak keluarga," jawab Hardjawijana. "Kau
lihat sendiri, mereka memperlakukan kita sebagai musuh. Jadi, jangan ragu.
Lindungi dirimu, lindungi majikanmu yang melindungi kehidupanmu."
"Apa salah kita, Pak?" teriak istri Ki Hardjawijana. Perempuan itu meraung
sambil bersimpuh di dekat kaki sang suami.
Lidah-lidah api itu memang masih berjarak beberapa tindak dari dinding
kayu rumah lurah itu. Ancaman orang-orang belum dilaksanakan. Namun
desakan agar Ki Lurah keluar mulai dinyatakan dengan cara yang lebih kasar.
Batu dan kayu berhumbalangan ke atap rumah. Beberapa keping genting
langsung ambyar dan jatuh berkeping-keping.
======
This is Google's cache of
http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/29/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Aug 2017 23:34:50 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more
216
''Hah? Apa?''
Air mata mengucur lebih deras. Perempuan itu bertambah putus asa
lantaran -sebagaimana biasa- sang suami tak pernah hirau pada kata-
katanya. Adakah yang lebih sial ketimbang seorang istri dungu sepertiku?-
pikir perempuan itu. Suaminya baru saja bertanya dan ia menjawab sebisa-
bisa, tapi ia malah dituduh mimpi, ngelindur, dan entah apa lagi cemooh
yang lebih buruk yang masih sembunyi di balik bibir hitam tertimbun kerak
tembakau itu. Karena enggan berkata-kata, perempuan itu hanya menuding-
nudingkan teluncuknya ke halaman depan.
''Hah? Apa?''
''Keluar!''
''Tak apa-apa.''
''Saya juga tak tahu. Saya selalu tak mengerti apa yang terjadi selama ini.
Saya hanya menjalani hidup saya. Hidup yang bahkan bukan milik saya.
Saya ngomong begini-begitu, seperti orang ngelindur, barangkali memang
begitulah takdirku, sudah diatur oleh sang Juru Tutur.''
''Tidak, Pak. Saya sadar sepenuhnya. Mata saya terbuka. Saya melihat
bahaya di luar sana. Saya mau keluar.''
''Anak-anak akan ikut celaka jika kita tak penuhi tuntutan warga. Biar mereka
tetap sembunyi di kamar, mari kita keluar.''
Oi, Ki Lurah! Bukankah ini bukan saat yang tepat untuk bertanya-jawab?
Orang-orang itu memang warga desamu, pribadi-pribadi sederhana yang
selama ini terpaksa mendengar apa katamu. Lihatlah, Ki Lurah, bahkan
dalam keadaan sangat marah pun mereka tetap diam, karena sekian lama
kau telah membenamkan suara mereka. Kau hanya butuh lubang-lubang
telinga mereka sebagai jalan bagi kata-katamu merasuk ke benak mereka
dan mengeram di sana memengaruhi aliran darah dan gerak urat-syaraf
mereka. Percuma, Ki, kau bertanya apa salahmu. Mereka memang
mendengar namun tak hendak dan tak mampu menjawab pertanyaan
sederhana itu, kecuali dengan naluri purba yang selama ini juga berbiak
dalam dirimu.
=====
221
"Mari kita syukuri berkah hidup yang membahagiakan ini dengan bersembah
kepada Gusti Pengeran dan kepada leluhur yang telah mengajari kita
memelihara kehidupan bersama." Kehidupan bersama itu, katanya, hanya
dapat lestari jika dijaga dengan aturan dan kepatuhan sebagaimana
diajarkan Sang Ajisaka.
Di udara yang terang benderang saat itu terlihat beberapa ekor burung
hitam terbang dari jauh lantas lenyap di balik kelebatan pohon-pohon besar.
Sedangkan di depan pemakaman keramat itu, orang-orang mulai
berdatangan namun tak bergabung dengan warga yang lebih dulu datang
dan bergerombol di keteduhan pohonan. Tak ada yang peduli mengapa
orang-orang yang baru datang itu hanya berdiri.
Dan orang-orang yang ketakutan itu, termasuk Sang Camat dan seluruh
pamong desa, bergegas meninggalkan kuburan. Namun, sebelum mereka
sempat melewati gerbang makam, pandangan mereka seakan dirabunkan
oleh alam. Orang-orang yang datang belakangan, yang sejak tadi diam dan
berdiri di depan pagar pembatas tanah makam, tak lagi ada di sana. Yang
ada hanyalah burung-burung gagak yang bertengger di setiap batang
penyangga pagar. Burung-burung itu menatap tajam ke arah mereka. Paruh
burung-burung itu sesekali membuka, namun tanpa terdengar suara. Dan
manakala orang-orang di dalam tanah makam itu mengucek mata, sekilas
burung-burung itu berubah ke bentuknya semula. Sekilas mereka melihat
lagi orang-orang yangt diam berdiri. Sekejap berikutnya, orang-orang yang
mereka lihat telah menjelma puluhan burung hitam. Perubahan bentuk, dari
orang ke burung hitam atau sebaliknya, sungguh membingungkan Sang
Camat dan para pengikutnya.
Terdengar lagi lengking gagak di angkasa. Dan seketika itu pula seluruh
burung hitam yang bertengger di jeruji pagar makam mengepakkan sayap
dan terbang berkisaran di atas kepala Sang Camat dan para pamong desa.
Para pengikut mereka, rakyat yang penurut dan penakut, segara ambyar dan
berpencar. Tinggal Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo dan para pamong
desa yang saling berpegangan, bergerak secepat mereka bisa, menuju
pendapa. Namun, sebelum sempat mereka menginjakkan kaki ke undakan
pertama, burung-burung itu telah melesat ke arah mereka. Si Carik melepas
Ki Lurah, lalu lari. Ki Lurah melepas Sang Camat lantas juga lari. Sang Camat
hendak mengejar mereka, tapi seekor burung langsung menghunjamkan
paruh tajamnya tepat di mata kanan Sang Camat. Lelaki muda itu memekik,
tapi suaranya yang mengandung rasa sakit justru mengundang burung-
burung hitam itu menukik dan dalam sekajap wajah tampan kebanggaan
Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo pun hancur tercabik-cabik.
====
223
Kekuatan orang Indo memang tak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Selama masa pendudukan, orang-orang Belanda melakukan perkawinan
silang, yang legal maupun yang tidak, dan telah melahirkan keturunan yang
terhitung banyak, sekitar sembilan juta jiwa pada tahun 1940. Sejak 1930-
an, sebanyak 12 persen dari jumlah itu bermukim di Keresidenan Pekalongan
dan mendapat kedudukan yang istimewa. Hampir separo dari penduduk
Eropa di keresidenan itu tinggal di Kabupaten Tegal, terutama di kota
kabupaten, dan sisanya tinggal menyebar di kota-kota lain atau tempat-
tempat berdiri pabrik gula. Di Pemalang mereka terpusat di dua tempat: kota
dan Comal. Bagian terkecil tinggal di Kabupaten Brebes. Kebanyakan dari
mereka menempati dataran rendah dan pantai, kecuali sekitar dua puluh
keluarga yang memilih bermukim di daerah pegunungan di bagian selatan.
Kesejahteraan orang-orang Indo itu tergantung pada pabrik gula yang
merupakan lambang penindasan ekonomi terburuk di mata rakyat.
Dalam waktu singkat, desas-desus kekejaman Tentara Nica di ibu kota telah
menyebar ke seluruh Jawa. Bahkan pada tengah malam tanggal 11 Oktber,
dari Markas Barisan Pelopor Tegal diumumkan sebuah seruan agar
menangkap dan menahan semua orang Indo, Ambon, dan Manado, sebagai
balasan atas kekejaman NICA di Jakarta.
=====
226
Gerakan anti-NICA dengan sangat cepat meluas dan menguat. Jika semula
yang menjadi sasaran kemarahan rakyat hanya sebatas orang-orang yang
punya hubungan dengan Belanda, seperti orang Indo dan orang-orang dari
luar Jawa yang bekerja dengan Belanda; akhirnya siapa pun yang selalu
berbahasa Belanda dan siapa pun yang gaya hidupnya seperti orang Eropa
akan dicap sebagai ''Belanda'' dan itu berarti celaka.
Pada hari yang sama, 11 Oktober, pembunuhan atas orang Indo juga terjadi
di Pangkah, sekitar enam kilometer sebelah timur Slawi. Di sana memang tak
terjadi pengadilan terbuka, tak ada orang yang berduyun datang dan
berkerumun di tanah lapang, juga tak terdengar gemuruh hasutan
membunuh. Dibanding Dukuhwaringin, Pangkah hari itu terhitung sepi,
kendati pembunhan yang terjadi tak kalah keji.
Korban segera dikenali, bernama Henry Gill, pemeluk Katolik Roma, kelahiran
Kediri, Jawa Timur, dan pada 1914 menikah dengan seorang gadis Pangkah.
Henry bekerja sebagai ahli mesin di pabrik gula setempat. Dua orang
putranya, Harry dan Bernard, suatu hari pada September pulang dari Kamp
Cimahi demi membujuk sang ayah agar bersedia pindah ke Bandung,
mengingat situasi politik di Tiga Daerah tidak lagi menenteramkan bagi
warga keturunan. Henry Gill menolak bujukan kedua putranya. Ia sangat
paham dan menyadari apa yang sedang berkembang di daerahnya, namun
ia bersikukuh tinggal di Pangkah dengan sejumlah alasan.
''Situasi memang sedang kacau, tapi Papa akan baik-baik saja,'' katanya.
''Tapi, Pa,'' sela Bernard. ''Sejak NICA mendarat bersama Sekutu di Batavia,
lalu muncul desas-desus kekejaman NICA di ibu kota, di mana-mana segera
merebak gerakan antiorang Belanda, yang bukan tidak mungkin berkembang
menjadi gerakan antiorang asing, dan berkembang lagi menjadi gerakan
anti-segala hal yang berbau asing. Dan Papa tahu, gerakan macam itu
cenderung berubah menjadi anarkhi.''
''Tapi, Pa,'' timpal Bernard. ''Kalau yang terjadi adalah amuk massa,
bagaimana mereka bisa memilah mana Belanda yang baik dan yang jahat?
Mungkin pada saat amuk telah berkecamuk, di mata mereka semua orang
Belanda adalah musuh.''
''Kalian tenang saja,'' jawab Henry Gill. ''Orang-orang Jawa ini secara umum
belum punya kesadaran sendiri. Mereka tak ubah wayang yang selalu
meringkuk di dalam kotak dan hanya bergerak jika digerakkan sang dalang.''
Henry Gill menegaskan alasannya tidak mau pindah ke Bandung dan akan
tetap tinggal di Pangkah karena ia yakin didinya tak akan menjadi sasaran
amarah. Keyakinan itu didasarkan atas persahabatannya yang erat dengan
Kiai Badrun, pemimpin Sarekat Islam setempat. Apalagi, kedua anak lelaki
Kiai Badrun, Mansur dan Sidik telah menjadi tokoh Angkatan Pemoeda
Indonesia. Hubungan mereka sudah seperti keluarga. Andaikata terjadi
kekacauan, Sarekat Islam dan para pemuda API tentu melindunginya.
Kepada kedua putranya, Henry Gill lantas bercerita tentang kejadian yang ia
alami sebulan sebelumnya. Saat itu para pemuda sedang giat melaksanakan
kampanye kemerdekaan. Semua orang Indo disuruh berkumpul di halaman
pabrik gula dan satu demi satu ditanyai sikapnya tentang proklamasi. Ketika
tiba giliran Henry Gill, seorang pemuda mendorongnya dengan kasar ke atas
mimbar.
''Papa maju sambil Papa lirik siapa pemuda itu,'' mata Henry menerawang,
mengenang. ''Papa berdiri di mimbar dengan tegap dan tenang, karena Papa
tahu, di depan Papa ada Marsur dan Sidik yang akan membela Papa.''
''Apa boleh buat, karena didesak, Papa katakan saja pendapatnya. Apa
adanya!''
230
Subuh itu sejumlah orang sedang menyatroni rumah keluarga Wijk. Mereka
tak berani terang-terangan menggedor rumah itu karena takut diberondong
dengan senapan mesin. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Orang-
orang di Balapulang tahu bahwa dua anak lelaki Tuan Wijk menjadi serdadu
Belanda. Meski keduanya konon sudah ditangkap dan dipenjarakan, orang-
orang tatap khawatir keluarga Wijk masih menyimpan senapan.
Tuan Wijk adalah mantan pengawas perkebunan tebu, yang bekerja sampai
pabrik gula pemilik perkebunan itu ditutup saat terjadi krisis ekonomi. Pabrik
Gula Balapulang termasuk di antara sejumlah pabrik gula di Jawa yang
ditutup, bersamaan dengan beralihnya minat para pengusaha Eropa dari
tebu ke karet saat itu. Dan sejak saat itu pula Tuan Wijk mengembangkan
usaha pribadi dengan membuka peternakan kuda dan pabrik tahu.
Roda kehidupan terus bergulir sampai penguasa Jepang terusir. Tuan Wijk
yang perkasa akhirnya dapat dijamah oleh para pemuda. Tanpa ada
kekuasaan yang mendukungnya, lelaki Indo itu ditangkap dan dipenjara
bersama istrinya. Penangkapan itu terjadi hampir bersamaan dengan
datangnya kabar tentang kedua anak lelakinya yang berusaha melarikan diri
namun berhasil ditelikung dan dijebloskan di Penjara Bandung.
Sebelas anak Tuan Wijk yang lain tetap tinggal di Balapulang, mencoba
bertahan dengan mengelola perusahaan. Namun benih malapetaka seakan
telah tertanam dalam jalur-jalur darah mereka. Dan maraknya gerakan anti-
NICA serta-merta menjelma pupuk yang menyuburkan semaian dendam.
Sebelas anak lantas dijadikan sasaran lantaran punya pertalian dengan
seorang lelaki mantan pengawas perkebunan yang kejam dan dalam diri
mereka mengalir darah campuran.
Pagi itu beberapa orang berhasil menyelinap masuk ke rumah keluarga Wijk.
Dari dalam mereka membuka palang-palang pintu, menabuh kentongan, dan
secara serentak orang-orang yang berada di luar pun menyerbu. Kesebelas
anak Tuan Wijk yang belum sepenuhnya terjaga dari tidur dengan gampang
mereka giring ke pelataran, masing-masing mereka perintahkan membuka
pakaian, lantas mereka paksa mandi embun dengan cara bergulingan di
rumputan.
Di antara sebelas anak itu terdapat dua orang masib balita: gadis cilik Anne
Wijk, 3 tahun, dan adiknya, Ale, 2 tahun. Kedua bocah kecil itu terus
menangis sejak kakak-kakaknya membopongnya keluar dari kamar. Udara
dingin dan kerumunan orang membuat mereka ketakutan. Dan ketika semua
kakaknya membuka pakaian, kedua bocah itu tak tahu apa yang musti
dilakukan. Orang-orang menghardik dan kakak-kakak mereka pun bersibantu
melolosi pakaian kedua bocah itu. Lantas, dengan ketakutan yang bahkan
tak berani diperlihatkan, anak-anak Tuan Wijk -kecuali dua bocah kecil yang
terus menangis- berguling-guling di rumput basah, di hadapan tatapan mata
orang-orang yang marah.
Ketika tangis kedua bocah kecil itu tak kunjung reda, orang-orang pun
melampiaskan kekesalan kepada kakak mereka. Anak-anak yang lebih
dewasa mereka paksa menghentikan tangis adiknya.
234
''Kenapa membungkuk?''
''Kenapa?''
''Karena....''
Nyonya Soehodo menjerit begitu melihat kelebat samurai dari arah pinggang
suaminya. Lalu perempuan itu melengking lebih nyaring, diikuti tangis
serenak anak-anak, ketika Soehar dan beberapa kawannya telah
menyentuhkan ujung bambu runcing ke perut, ulu hati, dan gelambir lemak
tepat di bawah dagu Tuan Camat Lebaksiu.
Serentak para pemuda menjambak baju dan kain yang dipakai Soehodo dan
merenggutnya dari kereta. Priayi itu terjerembab ke tanah, tapi ujung
sarungnya nyangkut pada besi pegangan kereta hingga robek sampai ke
bagian paha. Istrinya memekik panik, anak-anaknya jejeritan ketakutan.
Ini pasti sebuah kesalahan yang fatal, pikir Soehodo. Ia berusaha bangkit,
hendak menerangkan siapa dirinya. ''Tahan-tahan!'' pintanya, ''kalian tidak
tahu siapa aku!''
Para pemuda yang sesaat tadi berhenti, seketika itu juga langsung
mengarahkan senjata-senjatanya ke tubuh tabun lelaki yang merangkak-
rangkat sambil menyembah minta ampun. ''Jangan bunuh saya ... Ambillah
semua barang yang ada di kereta, tapi jangan bunuh saya dan jangan siksa
keluarga saya.''
''Dengar apa? Kalian sadar bahwa priayi tengik ini hanya minta kita tak
membunuh dirinya dan keluarganya. Dia tak peduli dengan nasib kusirnya.
Dia memang tak pernah peduli nasib orang kecil seperti kita.'
Boegel sudah dapat menduga apa yang hendak dilakukan Soehar terhadap
Camat Lebaksiu itu. Boegel lantas meminta dua orang kawannya mengantar
Nyonya Soehodo dan anak-anaknya ke rumah Haji Nahrawi. ''Jelaskan
kepada Pak Kaji siapa perempuan dan anak-anak ini, dan minta beliau
melindungi.''
Pada langkah kesekian perempuan itu tak lagi tahan. Dalam hatinya ia tak
tega membiarkan sang suami menghadapi kekerasan seorang diri, tapi ia
juga tak tega membiarkan anak-anaknya yang belum dewasa menjadi saksi
atas tindakan orang-orang yang begitu keji. Perempuan itu memberanikan
diri menoleh ke belakang. Namun tak dilihatnya sang suami. Hanya tampak
punggung sekerumun lelaki dan tangan-tangan yang memegang batang-
batang bambu, sekali tangan-tangan itu terangkat tinggi kemudian melesak
ke bawah lagi -serupa serombongan orang beramai-ramai menumbuk padi.
HexWeb XT DEMO from HexMac International
=======
247
''Saya benar-benar tidak suka campur tangan Saudara Sayuti Melik dalam hal
ini, karena dia adalah golongan Tan Malaka,'' kata Kamidjaja dengan nada
murka. ''Dia seorang komunis sejati. Peristiwa di Tiga Daerah ini mestinya
menarik simpatinya dan menggerakkannya untuk menemui kawan-kawan
seperjuangannya di Slawi. Tapi, apa yang dia laklukan, ha?''
''Dia malah lebih suka datang sebagai seorang pembesar, Wakil Gubernur,
untuk meredakan revolusi yang sedang bergolak ini.'' Kamidjaja juga
mengingatkan kawan-kawannya bahwa pada masa penjajahan Belanda,
Sayuti pernah melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan komunis,
partainya sendiri. ''Oleh karena itu,'' lanjut Kamidjaja, ''dia bukan kawan,
melainkan lawan kita. Dan mulai hari ini dia tidak boleh lagi melewati batas
Kabupaten Pekalongan dan Pemalang.'' Kamidjaja melengkapi
pembicaraannya dengan menegaskan bahwa ia akan segera memerintahkan
anggotanya agar melakukan penjagaan ketat di perbatasan.
''Apakah aman kalau kita lewat Talang?'' tanya Sayuti Melik, sedikit panik.
Sebagai seorang komandan resimen, Kolonel Iskandar Idris tentu tak merasa
giris kendati tahu bahwa Talang merupakan wilayah paling rawan dan
ditakuti. Konon, siapa pun yang berani lewat akan dicegat oleh para pengikut
Kutil dan sangat sedikit yang dibiarkan selamat.
''Ya, semoga saja tidak terjadi apa-apa,î sambung Kiai Bisri. ìSaya kenal
pemimpin mereka, kok.''
''Kabarnya si Kutil itu kebal peluru dan bisa menghilang, Kiai?'' tanya Sayuti.
''Saya tidak tahu,'' jawab Kiai Bisri. ''Kalau gurunya memang terkanal
sebagai kiai sakti. Banyak lenggaong, santri, dan pemuda pergerakan yang
mendatanginya untuk mendapatkan jimat kesaktian.''
''Saya dengar Kutil malah bisa menjelma gagak segala,'' kata Sayuti lagi.
Kolonel Iskandar Idris tertawa. ''Ah, kabar burung itu. Gagak itu kan sebutan
yang diberikan para pangreh praja untuk merendahkan Kutil, sejak ia
merampas rumah seorang pedagang untuk digunakan sebagai Markas AMRI
Talang.''
Sesaat kemudian mobil itu terpaksa berhenti. Tak bisa melaju lagi. Jalanan
dirintangi dengan sebatang pohon yang ditebang, dijaga puluhan pemuda.
Sebelum para penumpang turun dan menjelaskan siapa jati diri mereka, para
pemuda itu telah dengan sikap mengepung dan menyeret mereka keluar.
Setiap ada yang mencoba bicara untuk memberi penjelasan, seseorang
serta-merta mendaratkan pukulan.
Dalam tempo yang amat cepat empat orang itu telah diikat tangannya,
ditutup matanya, disumpal mulutnya. Mobil dan dua buah pistol, milik
Iskandar Idris dan ajudannya yang mengemudikan mobil, disita. Keempatnya
kemudian dibawa pergi, bukan dihadapkan kepada Kutil, melainan ditahan di
bekas Kantor BKR Ujungrusi.
======
This is Google's cache of
http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/02/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Sep 2017 06:24:34 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more
249
Para pemuka masyarakat tahu bahwa di Slawi ada AMRI yang sangat radikal.
Banyak tokohnya adalah aktivis politik Angkatan '26 atau Kelompok Digulis,
ditambah beberapa orang dari Angkatan '30-an dan didukung kaum
pegerakan dari lapisan yang lebih muda. Orang juga telah sering mendengar
tentang Kutil, tukang cukur yang mendirikan dan memimpin AMRI Talang dan
konon bersahabat dengan Sakirman, salah seorang Pemimpin AMRI Slawi
yang disegani. Di luar Slawi dan Talang, Adiwerna dan Ujungrusi dikenal
sebagai dua daerah yang termasuk sering bergejolak dengan munculnya
tokoh-tokoh yang gigh melakukan perlawanan sejak masa pendudukan
Belanda hingga Jepang.
Dan pada hari terjadinya serangan umum ke Kotapraja, Kiai Mokhidin, yang
dikenal masyarakat Tegal sebagai seorang tokoh Islam terkemuka,
bersepakat dengan kawannya yang juga terkenal, Kiai Mokhtar, untuk ikut
meredam gejolak dengan cara mereka sendiri. Cara yang mereka tempuh
adalah melakukan pendekatan kepada para pemimpin pergerakan, terutama
Kutil, dan berupaya membujuk mereka agar menghentikan serangan.
"Darah mereka terlalu panas untuk dijinakkan oleh pangreh praja," kata Kiai
Mokhidin. "Harus ada orang lain, orang yang dipercaya masyarakat, untuk
meredam gejolak ini."
"Benar," sahut Kiai Mokhtar. "Dalam situasi kacau begini politik hampir tak
berguna. Insya Allah, kita masih bisa menyadarkan mereka dengan
pendekatan agama. Saya dengar, Kutil juga seorang guru ngaji yang sering
menyampaikan ceramah di kelompok-kelompok pengajian di sekitar Talang
dan Slawi."
"Oh. Mungkin ada baiknya jika kita ajak serta Kiai Makdum untuk
menyadarkan muridnya?"
"Mungkin sudah terlambat," jawab Kiai Mokhidin. "Saya yakin Kiai Makdum
sudah memberinya nasihat. Kita hanya perlu menemui Kutil untuk
menguatkan nasihat gurunya."
"Baiklah," kata Kiai Mokhtar. "Tapi, menurut saya, selain kita sentuh hatinya
dengan ajaran agama, perlu ada alasan lain yang bisa membantu
meyakinkan dia untuk segera menghentikan serangan."
"Sampeyan benar. Dan alasan itu sudah ada." Kiai Mokhidin lantas
mengingatkan bahwa di luar masalah dampak negatif dari serangan itu,
yang nyata-nyata akan mempertajam permusuhan dan akhirnya menambah
penderitaan rakyat, pokok masalahnya tak lain adalah tuntutan rakyat untuk
merombak susunan pangreh praja dan mendesak mereka mengakui
proklamasi serta bersedia bekerja sama dengan rakyat dalam
mempertahankan kemerdekaan. "Nah, kalau soal itu kan sudah jelas.
Komandan TKR sudah membacakan pernyataan resmi di alun-alun,
menegaskan bahwa TKR bukan Tentara Keamanan Residen, bersedia
berpihak kepada rakyat dan mau membantu menemukan agen-agen NICA
yang masih berada di kota."
"Itu hanya sebagian, Kiai," sela Kiai Mokhtar. "Tuntutan mereka lebih dari itu.
Mereka menghendaki diserahkannya para pemimpin API. Mereka juga minta
agar semua pangreh praja diadili."
Tak lama kemudian kedua pemuka agama itu pun meninggalkan kota
kabupaten, menuju Talang. Tentu saja, sebagaimana semua orang yang
melewati Talang dari arah Tegal, perjalanan mereka dihentikan oleh para
pemuda. Sesuai permintaan mereka, kedua kiai itu lantas dipertemukan
dengan Kutil.
Kutil bertanya, apakah mereka membawa surat kuasa dari para pangreh
paja. Tentu saja kedua kiai itu tak memilikinya. Dan lantaran itu, Kutil tak
bisa mempercayai keterangan yang mereka sampaikan. Kutil memang
pernah mendengar kemasyuran mereka, tapi ... Siapakah sesungguhnya
kedua orang ini, tanya Kutil dalam hati, yang dalam sutuasi genting begini,
ketika seluruh rakyat bergerak menentang kebatilan, malah datang seolah
sebagai orang-orang kepercayaan pangreh praja. Dari mana mereka tahu
bahwa para pangreh praja itu akan rela melepas jabatan? Bagaimana kalau
yang disampaikannya tadi tak lebih dari bayangan dan harapan mereka
sendiri? Kutil merasa perlu berhati-hati terhadap kedua tamu mulia itu.
========
250
''Keluarga kami tentu sudah guder mencari kami,'' kata Kiai Mokhtar.
''Kami juga harus kembali mengurus kegiatan para santri,'' timpal Kiai
Mokhidin.
Setelah memerintahkan anak buahnya untuk tetap menjagai kedua kiai, Kutil
beranjak ke ruang depan menemui para utusan AMRI Slawi.
Selesai membaca membaca surat itu, Kutil langsung berkata, ''Baiklah, kami
akan mengurusnya.''
''Sampaikan salam saya kepada Bung Kirman dan Bung Wig, juga kepada
semua kawan seperjuangan di AMRI Slawi,'' kata Kutil ketika melepas mereka
di beranda. Dan sebelum ketiga tamunya beranjak jauh, ia menambahkan,
''Kalau nanti kalian tiba kembali di sini, insya Allah tempatnya sudah kami
siapkan.''
Kembali ke ruang dalam, Kutil melihat-lihat seluruh ruang tanpa
mempedulikan Kiai Mokhidin dan Kiai Mokhtar yang menunggu izinnya untuk
pulang. Ia lalu keluar lagi dan memanggil beberapa nama anak buahnya.
''Dengar,'' katanya. ''Kita akan mendapat limpahan seorang tawanan dari
AMRI Slawi.''
''Itulah masalahnya. Saya tak mau markas ini berubah menjadi penjara.
Tempat ini terlalu sempit untuk tinggal bersama dengan pangreh praja atau
antek mereka.''
''Apakah tawanan yang akan dikirim ke sini seorang pangreh praja?'' tanya
seseorang lainnya.
''Oh, Haji Mawardi yang baru dilantik Mister Besar beberapa hari yang lalu?''
''Kapan ditangkap?''
''Lo, bukankah markas mereka lebih luas ketimbang punya kita?'' seseorang
bertanya.
''Saya juga tak ingin buang air besar,'' tambah Kiai Mokhtar.
252
Kutil tahu bagaimana para pangreh praja itu diam-diam menyiapkan sebuah
organisasi rahasia untuk menyambut kembalinya kekuatan Belanda. Ya,
kawan baiknya, Sakirman, Pemimpin AMRI Slawi, pernah memberi tahu
semua itu. Saat itu Sakirman sedang memberikan penjelasan tentang
keterlibatan Sayuti dalam pergolakan rakyat. Wakil Gubernur Jawa Tengah
yang sekaligus sekretaris pribadi Bung Karno itu sengaja diikutsertakan
dalam pembahasan situasi revolusioner di Tegal, karena diharap dapat
menyumbangkan pemikirannya yang barangkali berguna bagi masa depan
perjuangan rakyat di Keresidenan Pekalongan.
''Kalau itu sudah sangat jelas,'' jawab Sakirman. ''AMRI Slawi dan Sayuti
sependapat bahwa rasa permusuhan tehadap TKR sudah begitu kuat,
sehingga TKR sebaiknya ditarik mundur dari Tiga Daerah.''
''Hasilnya?''
Saat itu ada perintah dari Markas Besar TKR Yogyakarta kepada Resimen XVII
TKR Pekalongan untuk menangkap Mister Besar. Perintah itu tak
dilaksanakan. Lagi-lagi kedekatan hubungan maupun perbedaan status
sosial antara para perwira TKR dengan pangreh praja menjadi masalah pelik
dalam pelaksanaan sistem pemerintahan. Setelah Komandan TRK Iskandar
Idris ditangkap dan ditahan AMRI Slawi, struktur kepemimpinan di TKR
berubah drastis. Wadyono langsung menobatkan diri sebagai Pejabat
Komandan TKR, mengangkat Soedharmo Djajadiwangsa sebagai Kepala Staf
Resimen, dan melantik delapan kepala seksi, di antaranya Wedana
Pemalang, Wadyono Poespajudo, sebagai Kepala Seksi Intelejen.
Tak hanya Mister Besar yang kecut terhadap pergolakan rakyat di Tegal, yang
diperkirakan segera merembet ke seluruh wilayah Tiga Daerah. Rakyat yang
telah bergerak bagaikan gelombang pasang itu tak mungkin lagi dusurutkan,
sekalipun dengan senapan. Mereka terus memburu para pangreh para dan
siapa saja yang dianggap punya dosa di masa lalu, tak terkecuali para
pemimpin organisasi yang diduga punya hubungan dengan TKR atau pihak-
pihak lain yang pro-NICA. Situasi genting itu terasa makin menggiriskan
ketika terbetik kabar tentang terbunuhnya beberapa tokoh di dekat Talang.
=====
256
"Cak Wid ... Cak Wid," Soepangat menepuk-nepuk kaki Widarta untuk
membangunkannya. "Pindah ke kamar, Cak. Besok masih banyak yang harus
kita kerjakan."
Alangkah besar peran dan jasanya bagi pemerintahanku yang masih bayi ini,
kata Soepangat dalam hati. Ia pun terkenang, malam itu, sepulang dari
penjara, Widarta menasihati dia untuk istirakat secara benar agar keesokan
paginya tampak bugar. "Rakyat akan lebih percaya dan bersemangat jika
melihat pemimpinnya tampak sehat," katanya.
Sungguh membesarkan hati bahwa sekarang Cak Wid berada di sini lagi,
pikir Soepangat. Sekali lagi keberadaannya akan meneguhkan sikap saya.
=====
257
''Tak ada orang yang lebih tepat untuk saya serahi tugas ini, selain Bung
Djaja,'' kata Widarta suatu ketika.
Widarta tahu, sebagai tokoh penting dalam Gerakan Bawah Tanah di wilayah
Pantai Utara, Kamidjaja yang sejak lama menjalin hubungan dengan para
dedengkot Sarekat Buruh dan eks-Digulis di Tiga Daerah tentu mampu
melaksanakan tugas yang diberikan Widarta, meski dengan cara yang tidak
mudah.
Ucapan Widarta memang bukan tanpa alasan. Kamidjaja punya andil besar
dalam pergolakan sosial di Brebes dan Tegal, yang berhasil mempreteli
kewenangan para pangreh praja dan menciptakan jalinan mata rantai di
antara kaum nasionalis radikal.
Soelaiman dirangkap Jepang pada awal masa pendudukan dan setelah bebas
ia menjadi anggota Badan Pembantu Prajurit. Setelah Jepang hengkang
Soelaiman kembali ke profesinya yang lama dengan mendirikan sekaligus
memimpin harian Pelita Rakyat. Kamidjaja dan Soelaiman kembali direkatkan
dengan hubungan yang saling menguntungkan. Selain berkesempatan
menyebarkan gagasan melalui tulisan yang dimuat di Pelita Rakyat,
Kamidjaja pun diuntungkan oleh pemberitaan atas berbagai kegiatan politik
yang ia lakukan. Sementara bagi Soelaiman, menyertai perjalanan
Kamidjaja, wartawan kawakan yang kini menjadi tokoh penting pergerakan,
tentu amat menyenangkan. Ia tidak hanya memetik berita dari kegiatan
Kamidjaja, tapi juga bisa bertukar pikiran perihal dunia persuratkabaran.
======
263
SAKIRMAN menerima tugas itu dengan hati yang bimbang. Ia memang
berkarib dengan Kutil, tapi bukan berarti ia akan dengan mudah membujuk
sahabatnya mengakui kebe-radaan dan kewenangan Badan Pekerja.
Sakirman mengakui, tujuan pembentukan Badan Pekerja memang selaras
dengan tuntutan rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang benar-
benar bebas dari kekuatan Belanda maupun Jepang. Badan itu juga
merupakan gabungan dari wakil-wakil semua badan perjuangan. Dengan
demikian, ada tawar-menawar, kompromi-kompromi, dan kesepakatan di
dalamnya. Beberapa badan perjuangan yang di masa lalu tidak secara
langsung berhubungan dengan Belanda atau Jepang, serta hanya menjadi
kolega dan rekanan kerja sama para pangreh praja, bisa diterima dalam
keanggotaan Badan Pekerja. Namun, celakanya, kelompok-kelompok
perjuangan yang muncul dari bawah, seperti AMRI Talang, belum tentu bisa
memaafkan apalagi menerima mereka.
Kutil dikenal sebagai orang yang bisa dan mau bergaul dengan siapa saja,
dari kalangan mana saja. Namun, sebaliknya, ia juga bisa berlawanan secara
frontal terhadap siapa saja. Sakirman mengenal benar watak dan sikap
sahabatnya. Kutil membentuk AMRI Talang dengan tujuan utama membagi
kekayaan kepada kaum miskin dan membasmi siapa saja yang dianggap kaki
tangan NICA. Ya, siapa saja, tak peduli orang itu ternyata teman sendiri. Kutil
juga tak akan membiarkan orang-orang yang pada zaman pendudukan
terlibat dalam tindak penindasan.
Sebelum hari benar-benar sore upacara dombreng pun usai. Kutil meminta
semua warga pulang dan kembali mengerjakan kewajiban. Kutil sendiri,
setelah berpesan kepada Koreng Kemurang agar mengurung Lurah Kajen di
Markas AMRI, lantas nangkring di atas mobilnya, sebuah Ford Mercury
delapan silinder warna kuning, dan memerintahkan seorang Cina -yang telah
ia angkat menjadi sopir pribadi- agar menjalankan mobil itu ke arah kota.
Di dalam salah satu kamar di gedung bekas Bank Rakyat Talang, yang kini
menjadi Markas AMRI, tali yang mengikat kedua angan Lurah Kajen dilepas
oleh Koreng Kemurang. Lurah itu kemudian dibiarkan bebas, tetap
mengenakan karung goni, dan dibiarkan sendiri. Begitu tak ada orang di
dekatnya, lurah itu langsung meraung sejadi-jadinya. Ia juga melontarkan
kata-kata yang kurang jelas lantaran bercampur dengan suara tangis, tapi
sesekali terdengar bahwa ia sedang mengomel tentang Kutil. "Orang macam
apa yang tega memperlakukan teman sendiri seperti ini?"
Sebagai seorang tahanan sang lurah merasa cukup leluasa. Para pemuda
yang menjaganya tampak tenang-tenang, beberapa di antaranya malah
bebaringan. Pintu juga dibiarkan terbuka. Barangkali karena ia bukan orang
asing bagi anak-anak muda yang berjaga. Atau, karena mereka kecapekan
setelah berteriak-teriak sambil berjalan berdesakan dalam arak-arakan yang
menempuh jarak begitu panjang.
======
263
Kutil dikenal sebagai orang yang bisa dan mau bergaul dengan siapa saja,
dari kalangan mana saja. Namun, sebaliknya, ia juga bisa berlawanan secara
frontal terhadap siapa saja. Sakirman mengenal benar watak dan sikap
sahabatnya. Kutil membentuk AMRI Talang dengan tujuan utama membagi
kekayaan kepada kaum miskin dan membasmi siapa saja yang dianggap kaki
tangan NICA. Ya, siapa saja, tak peduli orang itu ternyata teman sendiri. Kutil
juga tak akan membiarkan orang-orang yang pada zaman pendudukan
terlibat dalam tindak penindasan.
Sebelum hari benar-benar sore upacara dombreng pun usai. Kutil meminta
semua warga pulang dan kembali mengerjakan kewajiban. Kutil sendiri,
setelah berpesan kepada Koreng Kemurang agar mengurung Lurah Kajen di
Markas AMRI, lantas nangkring di atas mobilnya, sebuah Ford Mercury
delapan silinder warna kuning, dan memerintahkan seorang Cina -yang telah
ia angkat menjadi sopir pribadi- agar menjalankan mobil itu ke arah kota.
Di dalam salah satu kamar di gedung bekas Bank Rakyat Talang, yang kini
menjadi Markas AMRI, tali yang mengikat kedua angan Lurah Kajen dilepas
oleh Koreng Kemurang. Lurah itu kemudian dibiarkan bebas, tetap
mengenakan karung goni, dan dibiarkan sendiri. Begitu tak ada orang di
dekatnya, lurah itu langsung meraung sejadi-jadinya. Ia juga melontarkan
kata-kata yang kurang jelas lantaran bercampur dengan suara tangis, tapi
sesekali terdengar bahwa ia sedang mengomel tentang Kutil. "Orang macam
apa yang tega memperlakukan teman sendiri seperti ini?"
Sebagai seorang tahanan sang lurah merasa cukup leluasa. Para pemuda
yang menjaganya tampak tenang-tenang, beberapa di antaranya malah
bebaringan. Pintu juga dibiarkan terbuka. Barangkali karena ia bukan orang
asing bagi anak-anak muda yang berjaga. Atau, karena mereka kecapekan
setelah berteriak-teriak sambil berjalan berdesakan dalam arak-arakan yang
menempuh jarak begitu panjang.
======
264
''Bung Kirman mungin tahu, apa masalahnya sehingga Kutil tidak masuk ke
dalam lingkaran sistem Badan Pekerja?''
Sakirman menggeleng. ''Aku benar-benar tak tahu. Kiraku Kutil tak mengerti
seberapa penting Badan Pekerja dan mungkin juga tak tahu bahwa setiap
badan perjuangan perlu mengakui keberadaannya.''
''Kegiatan seperti itu mungkin ada gunanya, tapi kukira Kutil tak begitu hirau
saja. Dia lebih sibuk dengan urusan yang dianggapnya lebih nyata,
menghantam pangreh praja dan para pendukung NICA, serta membagikan
kekayaan mereka kepada rakyat. Sudah. Itulah tujuan dia mendirikan AMRI
Talang.''
Sakirman malah tertawa. ''Aku kenal benar kawan yang satu itu, Bung. Tak
mungkin dia sepongah itu. Meski pengikutnya banyak, ia tidak pernah
merasa menjadi pemimpin.'' Sakirman juga menambahkan bahwa selama ini
Kutil mengajar ngaji, kelompok jamaahnya menyebar dari Talang sampai ke
Slawi, setiap kelompok pengajian rata-rata beranggotakan antara dua puluh
sampai tiga puluh orang. ''Tapi, dia sama sekali tak pernah mau dipanggil
guru atau kiai.''
''Baik. Ya, ya, aku tahu,'' sahut Sakirman. ''Dua arah itu harus bertemu pada
satu jurusan. Aku harus menempuhnya dari arah yang berbeda, bukan dari
jurusan yang kulalui sekarang, melainkan dari kedua arah itu secara
bergantian. Artinya, aku harus menemui para tokoh Badan Pekerja, sesudah
itu baru menemui Kutil.''
Simpulan jitu Sakirman disambut gelak tawa Soewignjo. ''Kalau soal Badan
Pekerja, Bung cukup bertemu saya,'' katanya. ''Tapi, yang juga tak kalah
penting, Bung perlu bertemu dengan Bung Djaja.''
Setelah menyebut nama Kamidjaja, entah mengapa, tanpa sadar Soewignjo
bicara dengan merendahkan suaranya. Ia menuturkan bahwa Kamidjaja dan
sebagian besar tokoh pergerakan dalam Kelompok Widarta sudah lama tak
suka pada Gerakan Kutil yang mereka pandang dapat mencemarkan
perjuangan. ''Coba, menurut Bung Kirman, mengapa Bung Djaja dulu
menyempat-nyempatkan diri datang ke Slawi dan meminta kita untuk
mengakui Pemalang, yang artinya adalah Kelompok Widarta, sebagai Pusat
Pemerintahan Revolusioner?''
''Bagiku itu sangat jelas. Itu adalah langkah awal Bung Djaja untuk
mewujudkan gagasannya tentang Badan Pekerja.''
''Benar. Tapi saya menduga ada yang tersirat. Bung Djaja secara tak
langsung ingin menjinakkan Gerakan Kutil. Karena AMRI Talang punya
hubungan dekat dengan AMRI Slawi, maka jika AMRI Slawi mengakui
kepemimpinan Pemalang, Bung Djaja berharap AMRI Talang pun akan
mengikuti sikap AMRI Slawi. Dan, dalam jangka panjang, Badan Pekerja itu
sendiri antara lain berfungsi untuk menyatukan sekaligus mengawasi semua
gerak-gerik setiap badan perjuangan.''
''Lalu apa masalahnya?'' sela Sakirman. ''Bukankah selama ini Gerakan Kutil
sejalan dengan gagasan mereka, yaitu menyingkirkan sisa-sisa kolonialisme
dan fasisme?''
''Ya, Kutil bukan seorang petualang. Dia tak paham bahwa politik
menyediakan banyak jalan untuk sampai ke satu tujuan.''
267
AKAR seteru yang telah terkubur begitu dalam ternyata masih mudah
mencuatkan tunas-tunas pertentangan ke permukaan. Seumpama persoalan
yang ingin kaulupakan dengan tidur, lalu kau bermimpi tentang pelangi yang
melengkung di pagi hari. Namun, begitu kau bangun, ternyata persoalan
baru telah menunggu di sisi ranjangmu. Dan kau akan heran, mungkin
geram, karena persoalan-persoalan itu menyembul hanya beralaskan remah
kesalahpahaman. Orang cenderung mengukuhi prasangka dan
menganggapnya sebagai kebenaran yang patut dibela. Bahkan ketika apa
yang mereka anggap sebagai kebenaran itu terbukti keliru, mereka tetap tak
mengurungkan pertentangan dengan mengatasnamakan masa lalu.
Pengalaman seperti itulah yang kau alami, sehubungan dengan keberadaan
Iskandar Idris di Slawi.
Memang, rupanya ada ketakutan yang tak mudah ditepis dari kenangan
Sang Komandan. Setelah penangkapan atas dirinya yang dilakukan
sekelompok pemuda di dekat Talang, yang lantas membawanya ke sebuah
rumah tahanan di Adiwerna, Sang Komandan akhirnya memilh tinggal di
Slawi daripada harus kembali ke Pekalongan melalui Adiwerna dan Talang.
Jadi, sebenarnya, ia berada di Slawi juga atas pilihannya sendiri.
''Asal semua itu sesuai dengan rasa keadilan, saya tak keberatan, Bung
Kirman.''
''Oh, tidak ada yang bertenangan dengan rasa keadilan, Bung. Percaya pada
saya!'' Sakirman meyakinkan. ''Badan Pekerja dibentuk untuk merombak
para pangreh praja lama, agar kita punya pemerintahan sendiri, dipimpin
tokoh-tokoh yang kita pilih sendiri, demi terwjudnya tata-masyarakat yang
bersih dan adil.''
=======
========
272
''Kita bekerja sama dalam satu wadah baru, itu benar Bung, tapi tidak
melebur. Setiap badan perjuangan tetap hidup,'' ralat Sakirman. ''Yah,
syukurlah, keadaan memang sedikit lebih tenang, tapi waspada selalu lebih
baik kan? Sidang ini memang akan lebih besar dibanding sidang pertama di
Kantor Parsi tempo hari.''
''Oya, wakil PNI-baru dari Tanjung yang duduk di Gaboengan Badan Ekonomi
itu sapa namanya, ya?''
''Oh, itu Bung Soenarto. Dia juga pasti datang. Apalagi sidang itu nanti akan
banyak membahas masalah ekonomi.''
''Ah, saya memang belum pernah bertemu orangnya. Namanya sering saya
dengar dari Koreng Kemurang.''
''Tentu.''
''Belum.''
''Dia tak kalah hebat dibanding Bung Sismadi.'' Tanpa diminta Sakirman pun
lantas memaparkan pengetahuannya tentang ketokohan Sardjio. Sakirman
menyebutnya sebagai bangsawan yang merakyat. Di depan namanya,
Sardjio memang punya embel-embel Raden, sebab ia adalah putra Raden
Cakradirada, Kepala Desa Bedug, yang menurut silsilah merupakan
keturunan ketujuh Raden Adipati Danoeredja, menantu Sultan Amangkurat II.
''Jiwa kepimpinannya sangat besar, Bung,'' tambah Sakirman. Pada zaman
Jepang Sardjio menjadi anggota Shu Sangi Kai (Dewan Penasihat Residen)
Kedu, kemudian menjadi wakil keresidenan dalam Chuo Sang-in (Dewan
Penasihat se-Jawa). ''Bulan September lalu ia baru bebas dari penjara
Ambarawa.''
''Ya. Ia ditangkap karena dituduh menjadi anggota Gerakan Bawah Tanah dan
divonis kurungan 13 tahun. Coba kalau negara kita tidak merdeka, dia baru
akan keluar penjara ketika usianya sudah sangat tua.''
Kutil merasa ada harapan dalam setiap penjelasan Sakirman. Jika benar
Soenarto seorang yang ahli di bidang ekonomi dan Sardjio punya jiwa
kepemimpinan yang besar, agaknya GBP3D memang dibentuk untuk
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan penindasan. Selama ini,
sebagaimana sering ia dengar, hambatan terbesar dalam menjalankan roda
pemerintahan baru adalah kelangkaan pejabat yang memahami administrasi
serta kurangnya kemampuan mereka di berbagai bidang kemasyarakatan.
275
''Saya bisa memahami, Bung,'' kata Sakirman. ''Saat ini tak ada kekuatan
yang lebih bahaya dibanding NICA. Mereka tak hanya mengancam
kelangsungan revolusi di Tiga Daerah ini, melainkan juga berpotensi
membatalkan kemerdekaan Republik. Sebab itu, arek-arek Surabaya
berjibaku. Kita juga harus waspada, mengingat kekuatan NICA saat ini sudah
sampai di Ambarawa.''
''Tentu, meskipun tidak melulu untuk itu. Saya sependapat bahwa pada
dasarnya kita memerlukan sebuah lembaga keamanan yang kuat, selama
tidak menjadi biang penderitaan rakyat. Nah, yang terjadi selama ini kan
sebaliknya. Tentara yang seharusnya melindungi rakyat justru menjadi
momok sekaligus memedi bagi rakyat. Karena itu pula, dalam sidang tempo
hari itu terjadi perbedaan pendapat.''
Ya, Kutil pun belum lupa. Adalah Kartohargo, Ketua Badan Pekerja Brebes,
yang mengusulkan agar Tentara Keamanan Rakyat diaktifkan lagi di
Keresidenan Pekalongan. Untuk mendukung usulannya, Kartohargo juga
menyampaikan berita bahwa Markas TKR di Yogyakarta sudah bersedia
membentuk TKR baru di Tegal. TKR Pekalongan juga akan menyumbangkan
separuh dari anggotanya lengkap dengan senjata, dan Tegal akan diberi hak
memilih sendiri anggota selebihnya.
''Itu memang perkara yang pelik,'' kata Sakirman lagi. ''Ingat, Bung,
pandangan yang disampaikan Bung Amir?''
''Kesan saya kok, kita ini seperti sedang bersiap perang,'' Kutil menggumam.
''Coba, Bung, kalau kita pikir, keputusan-keputusan rapat itu kan seolah
menyadarkan kita bahwa Tiga daerah ini sedang terkepung?'' Kutil lantas
menyebut langkah-langkah siaga dengan menempatkan logistik di tempat-
tempat tertantu. Misalnya, bensin harus dipusatkan dan disimpan di
Pemalang dan akan dihancurkan jika GBP3D terancam.
Sebagai jawaban atas usulan Kartohargo untuk menggiatkan kembali TKR,
saat itu peserta rapat atas nama rakyat bersepakat akan membentuk
kekuatan bersenjata sendiri. Dan benar, segera setelah itu, Barisan Algojo
dibentuk. Para anggotanya dididik dan dilatih kemiliteran yan disesuaikan
dengan prinsip-prinsip dan tujuan Pemerintah Tiga Daerah.
''Kita sepakat menolak tawaran TKR Yogya untuk membentuk TKR Tegal,
karena TKR jelas tak akan mendukung revolusi,'' sahut Sakirman. ''Kita sudah
punya cukup pengalaman, Bung, selama ini TKR hanya alat yang
memperkuat feodalisme.''
''Kesan saya, kok GBP3D itu kurang terbuka, ya, Bung,'' Kutil bertanya hati-
hati. ''Apakah sikap seperti itu tidak memancing pertentangan?
Bagaimanapun Tiga Daerah ini tempat hidup banyak orang dengan beragam
pandangan dan keyakinan, Bung Kirman. Alangkah baik kalau yang namanya
Gaboengan Badan Perjuangan itu ya benar-benar gabungan, bukan hanya
kumpulan kawan-kawan sehaluan.''
========
277
''Kita belum bisa melaporkan situasi Tiga Daerah kepada Pemerintah Pusat,
Bung, karena kita masih menunggu tanggapan dari Pekalongan,'' kata
Kamidjaja. Ia juga menerangkan bahwa laporan-laporan sebelumnya kurang
mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat karena mereka masih disibukkan
oleh kecamuk perang di Surabaya dan Ambarawa.
''Ya, saya bisa maklum,'' sahut Sardjio. ''Pemerintah Pusat memang harus
mengutamakan penyelesaian masalah dengan musuh asing daripada
mengurusi pertikaian di daerah-daerah.'' Sardjio kemudian menyampaikan
kabar bahwa kemarin, bersamaan dengan diumumkannya tuntutan rakyat
Tiga Daerah, Ambarawa berhasil direbut kembali oleh pasukan Republik.
''Mudah-mudahan situasi tambah membaik dan kita segera mendapat
jawaban dari Pekalongan.''
***
PADA hari yang sama, di Pekalongan, Pejabat Residen Raden Mas Soeprapto
menerima surat dari badan-badan perjuangan Kabupaten Pekalongan yang
isinya senada dengan tuntutan Gaboengan Badan Perjoeangan Tiga Daerah.
Secara kusus, surat itu mendesak diselenggarakannya sidang badan
berjuangan se-Pekalongan sesegera mungkin.
Keesokan harinya sidang itu pun digelar. Dihadiri oleh wakil-wakil dari
sepuluh kelompok, si antaranya Pesindo Batang, Pesindo Pekalongan,
Pesindo Sragi, Polisi Pekalongan, Barisan Banteng, Barisan Pemberontak
Repoeblik Indonesia, dan Badan Pemberontakan Alim Ulama. Sidang itu
sepakat mebentuk Badan Perjoeangan Pekalongan sebagai jawaban atas
surat tuntutan GBP3D. Para peserta sidang juga menyetujui saran Sayuti
Melik -yang juga hadir dalam dalam sidang itu- agar Badan Perjoeangan
Pekalongan segera menemui BGP3D.
Mereka rupanya telah mendapat kabar tentang rencana GBP3D mengadakan
konferensi di Pemalang. Peserta sidang pun mengusulkan agar Sayuti dan
Suprapto ikut hadir bersama mereka.
''Sayang sekali, saat itu saya sudah tidak berada di sini,'' kata Sayuti. ''Tapi,
tidak apa-apa, kan masih ada Bung Prapto.''
''Ya, saya memang ada,'' sahut Soeprapto, ''tapi, sebagai pejabat pemerintah
sebaiknya saya tidak ikut hadir dalam konferensi itu, sehingga pertemuan itu
akan lebih merupakan perundingan antara rakyat dengan rakyat.''
***
Para pemimpin GBP3D hanya tertawa. Bagi mereka yang terpenting Badan
Perjoeangan Pekalongan sudah setuju, bahkan dengan alasan yang
membanggakan: ''demi perbaikan dan kemajuan bangsa.''
Ketika waktu istirahat tiba, Kutil merasakan kelegaan karena para pemimpin
badan perjuangan se-keresidenan akhirnya mencapai kata sepakat tanpa
pertikian. Ia saksikan para ulama, yang hadir mewakili kelompok Islam
maupun badan perjuangan lain, bersembahyang bersama; sementara
sebagian peserta lainnya menyiapkan makan siang untuk mereka.
=======
280
Tantangan yang lebih besar datang dari tentara dan kalangan Islam. TKR
tidak menyetujui tindakan Kompi Pengawal yang menggeledah semua
kendaraan yang keluar-masuk Pekalongan. Pemeriksaan terhadap kendaraan
yang mengangkut para pejuang ke Front Semarang dianggap menghambat
perjuangan melawan agresi militer asing. Pemimpin TKR meminta dukungan
GBP3D untuk melawan kekuatan asing di Semarang, tapi jawabannya
mengecawakan.
Rencana perjalanan mereka rupanya telah diketahui oleh Hassan Ismail pada
malam sebelumnya. Bersama sejumlah mantan anggota Heiho dan Peta,
Hassan segera merencanakan penyergapan. Ketika rombongan Residen tiba
di Jalan Pekajangan, laju kendaraan terhambat oleh beberapa gerobak yang
melintang di tengah jalan. Dan sebelum rombongan sempat menyadari apa
yang terjadi, Hassan yang sejak tadi sembunyi di balik pohon asam
mendadak melompat dan langsung menembaki mobil paling depan, sebuah
Fiat tua yang dikemudikan Kamidjaja. Dengan cekatan Kamidjaja memutar
mobilnya, tapi sebutir peluru berhasil mengoyak lututnya.
Peristiwa tak terduga itu membuat Sardjio terguncang. Ia sempat melompat
dari kendaraan dan memerintahkan rombongan kembali ke Pekalongan.
Sejak saat itu perburuan dan penangkapan terhadap semua orang yang
terlibat atau dituduh terlibat dengan gerakan revolusioner pun berlangsung.
Kalangan Islam bekerja sama dengan tentara melancarkan aksi
''pembersihan'' terhadap gerakan Tiga Daerah. Tentara Keamanan Rakyat
segera bergerak ke Tiga Daerah, membebaskan para pangreh praja yang
meringkuk di penjara-penjara kota, dan menangkapi para pemimpin
revolusioner serta para pengikutnya.
Begitu cepat. Pemerintahan yang baru berumur empat hari itu pun tamat.
***
Allah, ya Rabbi, jerit Kutil dalam hati. Mengapa aku gemetaran seperti ini. O
istri dan anak-anakku! Maafkan bila aku tak memanfaatkan kesempatan
yang ditawarkan padaku. Aku boleh mengajukan permintaan terakhir. Dan,
sungguh, aku ingin minta dipertemukan dengan kalian. Alangkah bahagia
jika aku sempat melihat kalian sehat, meski untuk yang terakhir kali. Tapi,
untuk apa jika kalian bersatu hanya untuk menyaksikan ajalku? Aku tak ingin
menambah penderitaan kalian. Penderitaan kalian sudah melampaui
kesanggupan banyak orang.
Maka biarlah aku mati sendiri. Jasadku akan dilempar ke entah, mungkin ke
suatu tempat yang tak akan kalian ketahui. Kalian dengar gemuruh ombak di
laut itu? Mungkin itulah tangan-tangan alam yang akan menerima tubuhku.
Aku mendengar suara mereka. Ganjil tapi begitu merdu. Ah, andai saja kalian
di sini.
Ya, ya, aku akan mati. Sebentar lagi. Tapi, jangan sedih anak-anakku.
Namaku akan abadi. Benar, tubuhku akan hancur, tapi aku akan terus hidup
dalam dongeng menjelang tidur. Kelak, setiap anak yang lahir di sepanjang
pesisir ini melihat seekor burung hitam melinas di luas angkasa, namaku
akan melintas pula di benak mereka.
Kutil masih sempat menghayati debur ombak dan kesiur angin. Lirih dan
dingin. Dan ia tersentak lagi. Pekik Sang Komandan telah membuat jari-jari
regu tebak begerak. Cahaya menyemburat di langit timur, tapi di mata Kutil
semesta tampak mengabur. Seekor burung hitam melintas di angkasa, tapi
tak seorang pun melihatnya.
TAMAT