Anda di halaman 1dari 124

''Kutil'' agar Dibukukan

Kali pertama saya membaca kisah ''Kutil'' sebagai berita mengenai Peristiwa
Tiga Daerah di Harian Penghela Rakyat, Magelang 1946-1947. Kemudian di
Harian Warta Indonesia, Semarang 1945-1947.

Kedua, saya mendengar ceritera lisan dari alm Bapak H Soetigwo, warga
Slawi pada waktu itu yang pernah menjabat sebagai pimpinan/adminstratur
Pabrik Gula Jatibarang di Brebes tahun 1957-1962.

Ketiga, membaca dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2


hal. 564-552 karangan Drs AH Nasution, penerbit Angkasa-Bandung Cetakan
I, tahun 1977.

Keempat, membaca buku Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi,


karangan Anton E Lucas, Penerbit PT Pustaka Utama Grefiti, Jakarta 14240,
cetakan pertama, 1989 halaman 145-150.

Kelima, membaca sebagai cerbung di Harian Suara Merdeka (sekarang


sudah sampai bagian Kesebelas no. 207).

Kesimpulan, dialog yang ditulis dalam cerbung tersebut oleh sdr Sitok
Srengenge dapat menggambarkan aneka ragam sikap masyarakat dan para
pejabat pangreh praja, baik yang bertemperamen tinggi maupun yang cukup
berhati-hati menghadapi situasi yang belum menentu pada waktu itu.

Karena itu, rasanya tidak berlebihan bila saya mengusulkan agar cerbung
tersebut dapat dibukukan baik oleh Suara Merdeka dan atau Sdr Sitok
Srengenge untuk melengkapi atau menambah kekayaan khasanah
perpustakaan.

Ir H Hardiman Joedo Jl.AR Saleh 25/Jl Sabang 12, Surakarta

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/18/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 28 Jul 2017 13:47:33 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN Pertama

SEBAGIAN orang mungkin bertanya diam-diam: dari mana burung-burung


hitam itu datang? Mengapa mereka datang? Hanya para pangreh praja yang
mampu menjawabnya, sebab telah berpuluh tahun burung-burung itu
bersarang, saling senggama, bertelor dan bertetasan dalam mimpi buruk
mereka.

Ya, para pangreh praja-lah yang menamai mereka, orang-orang yang


memperjuangkan hak kaum jelata, sebagai perampok dan menistakan
mereka sebagai gaok, gagak, burung pemangsa bangkai. Di mata para
pangreh praja, tak ada keadilan yang layak bagi para gagak kecuali dihabisi
dengan cara ditembak. Dan makhluk tirus yang duduk di kursi pesakitan itu
tak lain adalah satu dari sejumlah gagak yang mereka buru.

Dan hari itu, di suatu siang yang lepas dari kenangan, 429 hari setelah
kemerdekaan negeri ini, Kutil, si gagak, divonis hukuman mati.

Begitulah kabar yang menyebar setelah kerumunan orang di gedung


pengadilan itu bubar. Tumpang-tindih, mengurang dan melebih, simpang-
siur, kadang terang dan tak jarang kabur. Sebagian orang yang hadir di
pengadilan dan mengaku menyaksikan langsung jalannya persidangan,
mengatakan dengan mantap bahwa yang menjadi terdakwa memang seekor
burung hitam dengan garis tipis merah yang sesekali timbul gilap pada
jambul dan kedua sayap. Mereka lalu mengaitkan sidang itu dengan
keganjilan alam, dengan meluapnya air laut hingga ke selokan-selokan kota
dan, terutama, dengan kehadiran beribu-ribu burung hitam yang terbang
berkisaran di angkasa lantas memusat di atas gedung pengadilan.

Mereka percaya bahwa kedatangan burung-burung itu setidaknya


menunjukkan dukungan dan rasa setia kawan kepada sang terdakwa. Mereka
memang tidak mengerti bagaimana peristiwa-peristiwa itu bisa terjadi, tapi
ada di antara mereka yang bahkan berani bersumpah bahwa telah melihat
keanehan-keanehan itu dengan mata kepalanya sendiri. Kalau kenyataan
kedua, yakni kehadiran burung-burung hitam itu, yang meskipun ganjil toh
bisa terjadi, mengapa kenyataan pertama bahwa seekor gagak menjadi
terdakwa dianggap mengada-ada? Demikian, lebih-kurang, pernyataan dan
pertanyaan yang mereka kemukakan.

Sebagian orang lainnya, yang meski datang ke persidangan namun tak


berkesempatan melihat langsung lantaran terlalu banyak pengunjung,
cenderung tidak percaya bahwa seekor gagak yang menjadi terdakwa.
Apalagi, menurut mereka, sang terdakwa itu dipanggil dengan nama Kutil.

"Mana ada gagak bernama Kutil?"


"Kalau memang ada, tentu ada yang memberinya nama. Berarti, gagak itu
piaraan seseorang."

Tapi bisakah kaubayangkan: ada seseorang, entah siapa, memelihara seekor


gagak yang mampu melakukan pembunuhan terhadap orang-orang kaya
dan merampas harta mereka? Bagaimana sang majikan melatih burung
piaraannya? Bagaimana si burung menandai para calon korban, bagaimana
caranya menyerang dan merampas kekayaan? Dengan apa burung itu
membinasakan korban dan mengangkut harta rampasan? Tentu saja tak
cukup hanya dengan paruh dan kedua cakar, betapapun kukuh dan kekar.
Sungguh sukar dipercaya. Dan andaikata, sekali lagi andaikata, kabar itu
benar, mengapa bukan orang yang memelihara gagak itu yang dijadikan
terdakwa, kalau memang piaraannya berkeliaran dan melakukan
serangkaian pembunuhan?

"Tapi, masalahnya, siapa dia?"

"Siapa majikan burung maut itu?"

Tak seorang pun tahu.

Ada juga orang-orang yang menimbang kabar-kabur itu sebagai sebuah


kemungkinan. Ya, kemungkinan gagak itu adalah burung jadi-jadian.
Binatang siluman. Mereka memang percaya ada kalanya kekuatan-kekuatan
gaib bisa hadir sebagai makhluk kasat mata.

Mereka, misalnya, yakin benar adanya Dewi Lanjar. Seorang istri setia yang
belum lama membangun rumah tangga, lalu ditinggal pergi sang suami yang
tak pernah kembali. Duka yang menggenang begitu dalam membuatnya tak
sanggup membayangkan seandainya maut telah menjemput lelaki yang ia
cintai. Ia pun mengembara, menembus hutan melintasi pebukitan, berpuasa
dan bertapa, memohon kepada Sang Pencipta agar mengembalikan belahan
jiwanya. Dan manakala permohonannya tak terkabulkan, rasa putus asa
mendorongnya menceburkan diri ke arus deras sebuah kali. Tubuh yang
singsat berkulit langsat itu pun hanyut berbulan-bulan hingga akhirnya
bermuara di Pantai Selatan. Di sana ia diterima Sang Ratu, diangkat menjadi
dayang pengawal, dan kelak dianugerahi kekuasaan di Pantai Pekalongan.
Kerinduan akan kasih sayang lelaki membuat Dewi Lanjar sesekali
berkeliaran di pasar-pasar.

"Jika ada seorang perempuan yang, meski tanpa ceruk di antara bibir dan
hidungnya, tampak jelita, itu dia!"

"Jika ada yang membayar belanjaan bukan dengan uang melainkan daunan
atau bunga-bunga, itulah dia."

Jangan kaupandang kakinya. Kau akan terperangah lantaran ia tak


menyentuh tanah. Jika kau seorang lelaki, jangan kautatap lama-lama
matanya yang bercahaya. Kau akan jatuh cinta. Lalu bagai kerbau dicocok
hidungnya kau akan menurut diajaknya bercumbu di Istana Dasar Laut.

"Tapi, jika kau ingin lekas kaya, turuti saja hasrat asmaranya."

"Syaratnya: kau musti jadi pedagang batik. Dewi Lanjar akan memberimu
motif dan warna yang membuat semua pelangganmu tambah tertarik.

"Berkat pesona sihir Dewi Lanjar, rezekimu akan mengalir lancar."

Nah, mengapa tidak mungkin bahwa gagak itu sesungguhnya adalah burung
jejadian? Jelmaan seseorang yang punya kekuatan ilmu hitam? Bukankah
orang semacam itu memang gemar menyamar agar kejahatannya tidak
terbongkar? Jangan lupa pula desas-desus yang mendesing dari kuping ke
kuping, bahwa di daerah Talang, tak jauh di selatan kota Tegal, ada seorang
lenggaong yang sering menggarong para pangreh praja dan orang-orang
kaya di lingkungan pabrik gula lantas membagi-bagikan hasilnya kepada
rakyat jelata. Dan sang perampok itu bernama Kutil. Jadi, tidak mustahil yang
melakukan segala kejahatan itu memang seekor gagak. Dan gagak itu
jelmaan Kutil. Si gagak adalah Kutil. Si Kutil adalah gagak.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

========

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/23/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 3 Sep 2017 03:09:14 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN PERTAMA

6
MERASA lungkrah dan penat, Kutil pun mencoba rebahan. Ia ingin tidur
telentang. Di lantai, tanpa lambaran. Namun, keinginan sederhana itu pun
tak bisa ia dapatkan. Punggungnya terasa sakit, tak tertahankan. Terpaksa ia
harus memiringkan badan. Kedua kakinya menekuk. Meringkuk.

Pada saat seperti ini, sepi terhayati sebagai teman paling sejati. Ya, hanya
ada mereka berdua. Sepi dan dirinya. Bahkan tak terdengar suara, selain
gaung sunyi dan degup jantungnya sendiri. Tidak. Tidak. Kutil menangkap
sesuatu. Suara yang mendayu. Seperti suara yang amat ia kenal di masa
lalu.

Tak lela lela lela ledung,

cep menenga anakku sing bagus.

Dak kudang bisa urip mulya,

dadiya pendekaring bangsa.

Pelahan, amat sangat pelahan, Kutil merasa tubuhnya mengambang.


Berayun-ayun bagai ditimang. Ia tak merasakan lagi ngilu dan nyeri. Seluruh
deritanya seakan sirna, oleh belaian-belaian lembut pada rambut. Dan penat
yang tadi menyergap sekujur tubuhnya, kini terasa memusat pada kedua
kelopak mata.

Namun Kutil tak membiarkan dirinya terhanyut. Ia tahan beban kantuk yang
menggelayut. Ia tajamkan penglihatan, nanar. Seketika alunan tembang itu
pun tak lagi terdengar. Tak ada sesiapa. Hanya dirinya. Meringkuk di lantai
semen tanpa lambaran. Seorangan. Tidak. Tidak sendiri. Kutil melihat
sesungging senyum perempuan yang amat ia kangeni. Kutil melihat ibunya.
Mengenakan kebaya dan jarik batik. Selembar selendang menyelempang
pada leher, ujung-ujungnya menjuntai pada kedua tangan yang terulur.
Tangan-tangan halus yang hendak merengkuh buah hatinya ke dalam
dekapan kasih yang tulus. Dan Kutil pun menyambut. Dan keduanya pun
bertaut. Saling dekap. Erat. Hangat.

Kini aku baru paham arti kedalaman cintamu, Ibu. Rasa ikhlas tanpa batas.
Begitu agung dan anggun. Telaga yang bening dan tenang. Aku merasakan
aliran kasihmu kepadaku. Selembut air yang tak henti bergulir ke ceruk kali
berbatu. Ya, batu, Ibu. Akulah batu itu. Aku anak bangor, anak yang keras
kepala. Begitu banyak nasihat dan teladanmu telah kulanggar, tak jarang
dengan sengaja. Maafkan aku, Ibu. Ampuni anakmu.

Kutil merasakan air matanya menggenang. Terkenang ia pada masa kanak-


kanaknya di Desa Taman. Di sebuah senja yang gemilang, ia saksikan
permukaan laut laksana hamparan kain sutera yang menampung lempeng-
lempeng logam. Keemasan. Berkilauan. Di atasnya, langit bersaput warna
jingga. Dan nun jauh di cakrawala, tampak berderet bukit-bukit mega. Kutil
kecil terpana. Alam pikirannya yang sederhana tak mampu menyerap dan
mengurai rahasia semesta.

Anak lanang! Sudah petang, sudah saatnya pulang!

Dan bocah lanang itu pun berlari-lari nakal di atas hamparan pasir. Tak hirau
pada anak-anak ketam yang ketakutan dan bergegas menyingkir. Pandangan
Kutil kecil lurus tertuju pada garis semu di mana langit dan laut bertemu. Ia
dengar ibunya memanggil lebih lantang, tapi kaki-kakinya yang telanjang
justru ia pacu lebih kencang. Ia tak hendak pulang. Sang ibu memanggil-
manggil lagi. Kutil kecil tak juga peduli. Sang ibu mengejar. Kutil kecil
membayangkan dirinya anak kuda paling liar.

Sampai di sebuah kali langkah Kutil kecil terhenti. Ia saksikan air yang deras
mengalir dari hulu, terhalang bongkah bebatu. Ia dengar suara ganjil. Di
kepalanya terbayang hantu. Kutil kecil menggigil. Ia butuh sang ibu. Namun,
begitu melihat sang ibu telah dekat, Kutil kecil melompat. Kaki yang belum
kukuh menghentak batu berlumut. Kutil kecil tergelincir jatuh, luka pada
lutut.

Dan Kutil tersedu. Dalam rengkuhan sang ibu. Dua tubuh satu darah, saling
gamit melawan sakit. Tapi sakit itu tak juga pergi. Bahkan kian menakik
hingga ke ulu hati. Kutil merabai lagi bagian demi bagian badan. Dan
seketika ia merasa ada yang terlepas dari dekapan. Ia tak lagi bersama
ibunya. Ia hanya seorang diri, di dalam bui.

Ibu! Ibu, kenapa kautinggalkan aku?

Kutil terkesima oleh gema suaranya sendiri yang dipantulkan dinding-dinding


sepi. Oi, kesepian ini, alangkah panjangnya! Seperti jalur-jalur lori yang
membelah-belah tanah kami. Laksana liuk keluk dari cerobong-cerobong
pabrik gula yang membubung tinggi ke angkasa. Asap hitam keserakahan
yang menjadikan langit di dalam dan di luar diri kami kian kelam.
Keserakahan yang menghisap rasa manis bumi kami dan hanya menyisakan
ampas beracun untuk kami telan.

Dan seperti air hitam yang mengalir di kali-kali, racun itu ia rasakan telah
bertahun merambat lambat di dalam setiap sel dan serat syarafnya sendiri.
Mengakutkan rasa sakit yang sungguh ia benci. Sakit badan dan terlebih lagi
sakit hati. Rasa sakit yang menyadarkannya betapa hidup amat berharga.
Sebab itu ia merasa wajib mempertahankan hidupnya dari siapa pun yang
hendak membuatnya tak berharga. Kaum penjajah dan para pangreh praja
tak pernah memberi harga hidup orang-orang seperti dirinya, hidup orang-
orang kecil yang sederhana.
Kutil hanya mencoba bertahan. Dengan mengajak para kerabat dan handai
taulan yang senasib dengan dirinya untuk melawan. Dan lantaran ia
melawan, rasa sakitnya justru kian menjadi. Sampai suatu saat,
sebagaimana telah diputuskan, ia tak akan bisa merasa sakit lagi.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/24/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 19 Jul 2017 16:31:12 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN Pertama

BEL di ruang kepala penjara berdering nyaring. Disusul derap sepatu para
sipir yang memeriksa sel demi sel, memastikan tak seorang pun mangkir
dari kewajiban apel. Kutil keluar dari biliknya dengan langkah goyah. Bagian
belakang kepalanya seakan digelayuti berkilo-kilogram beban.
Pandangannya agak kabur. Semalaman ia tak benar-benar tidur.

Ketika kaki-kakinya lepas dari lantai koridor bangunan yang menyekapnya


selama ini, saat itu pula ia rasakan cahaya matahari meresap ke seluruh
pori-pori. Kehangatan menjalar ke sekujur tubuh. Bagai elusan lembut pada
bagian-bagian badan yang melepuh. Ibarat tersengat rasa nikmat, Kutil pun
meregang dan menggeliat. Serupa pucuk kecambah sedang merekah dari
dalam tanah.

Ibu, matahari hari ini bukan milikku. Aku bukan benih dalam tanah yang
bakal tumbuh. Baginya matahari adalah harapan. Aku buah basang
menjelang jatuh. Bagiku matahari hanya tanda makin dekatnya kematian.

Di timur matahari ...

Kutil terperanjat mendengar suaranya sendiri. Sadar, baru saja, tanpa


sengaja, mulutnya menyenandungkan lagu yang ia benci. Cuah! Cuah! Cuah!
Ia meludah, tiga kali.

Kutil telah lama paham, mungkin juga tak pernah paham, tentang arti
sebuah harapan. Tapi ia tahu benar bahwa dirinya pernah punya harapan
besar. Harapan yang ia gelembungkan sendiri sampai tak mungkin lebih
besar lagi. Seumpama balon yang penuh udara, sedikit lagi kauembus,
meletus! Pupus.

Harapan itu mulai mengembang ketika pada suatu hari, pada akhir minggu
pertama Agustus, sebuah radio ilegal menangkap selintas berita tentang
cendawan bom atom di Hiroshima. Beberapa hari kemudian, seorang teman
sepermainan Kutil semasa kecil memberinya selembar selebaran dari
Sukowati. Berisi seruan kepada seluruh rakyat untuk bergerak
menghancurkan tentara pendudukan Nippon tanpa ampun. Tanpa ragu Kutil
melibatkan diri sebagai sepotong kayu demi mengobarkan bara perlawanan
itu.

Harapan itu kian mekar ketika kabar tentang proklamasi kemerdekaan


beredar. Kutil membayangkan sebuah negara baru dengan pemerintahan
baru, negara dan pemerintahan yang bakal menyudahi segala bentuk
penindasan dan mengubahnya menjadi tata kehidupan yang sejahtera dan
tenteram. Dengan sukarela Kutil mengerahkan kekuatan untuk
membersihkan berhala, kaum kolonial dan golongan feodal, sisa-sisa laskar
NICA, Nippon, dan para pangreh praja.

Gelembung harapan itu mulai mengempis, ketika -di luar dugaannya-


dengan semboyan ''dalam tempo sesingkat-singkatnya'' pemerintah pusat
serta merta mengangkat para pangreh praja, antek-antek kaum penjajah itu,
menjadi para birokrat baru.

Namun harapan itu belum seluruhnya habis ketika Kutil ambil bagian dalam
upaya menangani kelangkaan bahan makanan dan sandang. Ia
memandegani penyerbuan gudang-gudang menimbunan beras dan tekstil
untuk dibagiratakan kepada kalangan orang kecil.

Bahkan harapan kembali tumbuh ketika Kutil menjadi seorang kepala polisi,
kedudukan yang tak pernah ia impikan. Sebuah jabatan berwibawa yang
membuatnya merasa perlu lebih waspada. Sebab Kutil punya firasat, dirinya
sedang dijerat dengan pangkat.

Harapan itu masih juga ada walau akhirnya sepasukan tentara menangkap
dan menjebloskannya ke penjara. Saat itu Kutil hanyalah seorang di antara
berlusin-lusin tawanan. Meski di dalam bui, ia tidak sendiri. Tak seorang
tahanan pun tinggal sendiri di dalam selnya. Terlalu banyak penghuni untuk
ruang yang tersedia. Kutil merasa tenang dikelilingi kawan-kawan
seperjuangan. Saat itu Kutil percaya, di mana pun kita, semasih ada teman
bercakap, kita masih layak berharap.

Dan harapan itu menjadi kenyataan ketika pada suatu pagi, pada
penghabisan September, Kepala Penjara -dengan suara yang senantiasa
diusahakan terdengar tegas- menyebut nama-nama yang sejak detik itu
dinyatakan sebagai orang bebas.

Toh Kutil tetap berharap, meski sampai akhir upacara Kepala Penjara tak
menyebut namanya. Jika tidak hari ini, tentu besok atau lusa. Memang
sebagian besar sudah pulang, namun ia masih punya lumayan banyak
teman, tak kurang dari tiga puluh satu orang. Dan di antara mereka ada
anak lelakinya.

Kalau tidak hari ini, tentu besok atau lusa. Kalau tidak besok, tentu lusa atau
besok lusa. Kalau tidak lusa, tentu besok lusa atau lusanya lusa. Lusanya
lusa. Lusanya lusa...

Tak sampai sebulan kemudian, pada sebuah sore ketika Kutil hendak
sembahyang asar, seorang sipir mengunjungi selnya dan berujar, ''Ada
berita penting untuk Anda.'' Seketika Kutil pun menengadahkan tangan dan
wajah. Melafalkan alhamdulillah. Membayangkan laut dan langit yang luas.
Mengenangkan hidup bebas.

Beberapa hari kemudian, harapan Kutil kembali kembang, ketika ia diarak


sepanjang jalan dan ia saksikan khalayak melambaikan tangan. Beberapa di
antara mereka memanggil-manggil namanya. Beberapa meraung sekeras-
kerasnya. Beberapa hanya diam menundukkan kepala. Kutil merasa amat
bahagia. Lambaian tangan, panggilan, raungan, rundukan kepala; baginya
adalah doa. Harapan selalu ada.

Di timur matahari...

''Gaok! Cepat masuk ke barisan, goblok!''

Kutil terperanjat, kali ini bukan oleh suaranya sendiri. Ia hafal suara itu. Ia
tak memandang siapa yang meneriakkannya, namun ia tahu, tak jauh dari
tempatnya berdiri, seorang lelaki sedang memelintir ujung kumisnya yang
lebat dengan tangan kiri dan tangan kanannya memutar-mutar tongkat
sesekali.

Cuah! Cuah! Cuah! Kutil meludah, dalam hati.


HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/02/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 20 Jul 2017 23:36:06 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN Pertama

16

MENURUT akar pohon silsilah keluarga Reksonegoro, Yustina merupakan


keturunan kedua. Abilawa lupa mengkhayalkan ibu Yustina, si gadis
blasteran Jawa-Belanda, bercinta dan menikah dengan siapa. Namun,
dengan membayangkan buah cinta mereka, kita dapat menerka bahwa
ayahnya seorang Jawa. Hanya dua puluh lima persen darah Belanda yang
masih mondar-mandir dari hulu ke hilir urat nadi Yustina.

Sesungguhnya Abilawa ingin memperkenalkan Yustina kepada kalian, melalui


potret dirinya yang utuh sebadan, agar kalian tak susah payah
membayangkan sosoknya. Namun, mengingat Abilawa sendiri hanya tokoh
khayalan, ia tak mungkin menghadirkan gambar nyata yang bisa kalian lihat
dan raba. Sebagai tokoh khayalan Abilawa memang bisa mengkhayalkan apa
saja, tapi hanya terbatas di alam khayal itu sendiri.

Alam khayal memang sangat luas, seolah tanpa tepi. Ya, seolah tanpa tepi,
karena sejatinya ia punya batas juga. Batasnya adalah alam nyata. Bila
sesuatu menyeberangi batas itu, ia bukan khayalan lagi. Begitulah yang
dikhayalkan Abilawa. Ia berkhayal bisa meretas batas, sehingga ia yang
semula hanya penghuni alam maya akan menjelma makhluk nyata. Abilawa
ingin menyeberangi batas itu bersama kekasihnya, Yustina. Tentang semua
ini, Yustina punya cerita menurut versinya sendiri.

Akulah yang memberi tahu Abil tentang batas itu. Kukatakan kepadanya
bahwa khayalan bukan tanpa batas. Jika kami melewati batas itu dan tiba di
alam nyata, kami akan menjelma makhluk yang berbeda dari keadaan asli
kami di alam imajinasi. Aku tahu, segala yang ada dalam imajinasi tak ada
sangkut-pautnya dengan segala hal di alam nyata. Imajinasi tak lain adalah
gagasan. Telah kukatakan kepada Abil, bahwa memiliki kekasih di dalam
gagasan berarti memiliki kekasih dalam kesadaran. Bukan dalam kenyataan.
Bagiku sudah cukup punya kekasih dalam gagasan. Toh sesungguhnya kita
hanya bisa bahagia dalam kesadaran. Dalam kenyataan, tidak gampang kita
merasa bahagia.

Abil bisa memahami penjelasanku tentang batas itu. Tapi, ia malah


bersikeras ingin melewatinya. Tentu saja aku tak tega membiarkan ia
menyeberang sendiri. Aku akan menyertainya. Apa pun yang terjadi.

Aku yakin Abil hanya kurang mampu merumuskan batas itu, meski
sebenarnya ia tahu. Keyakinan ini kudasarkan atas khayalannya tentang
diriku. Dibuatkannya aku silsilah yang terkait dengan seorang tokoh dalam
sejarah. Kakekku, seorang bupati Tegal bernama kecil Soesmono, bergelar
Reksonegoro, yang kawin dengan putri camat Batang dan kawin lagi dengan
perempuan Belanda, benar-benar pernah ada.

Memang, Abil baru mengisahkan secuwil kehidupan mereka. Aku yakin Abil
tidak lupa, atau tidak tahu, jika ia tidak melanjutkannya. Memang ia suka
pura-pura lupa, atau pura-pura tak tahu. Ia selalu merendah. Itulah yang
membuatku suka padanya. Kalian tak percaya? Mari kita buktikan. Akan
kutanyakan padanya, kalian dengar apa jawabnya.

Abil!

Ya, Kekasih.

Kenapa tak kaulanjutkan kisah kakekku?

Maaf, karena aku tak tahu.

Benar, kan? Padahal ia pasti tahu. Abil pasti tahu bahwa penguasa Belanda
saat itu tidak memenuhi janjinya, tapi menepati ancamannya. Penguasa
Belanda tak peduli bahwa mestinya masih satu keturunan Reksonegoro lagi
yang berhak jadi bupati. Penguasa Belanda bahkan menutup mata,
mengabaikan petisi yang dikirim rakyat Tegal demi mempertahankan
pemimpin mereka. Kakekku benar-benar mereka copot. Kalian tahu
akibatnya? Kewibawaan Kabupaten Tegal langsung melorot!
Ada juga yang berpendapat bahwa penggantian kakekku dengan bupati baru
memang sudah seharusnya, demi menyelamatkan Kabupaten Tegal dari
rongrongan perempuan Belanda. Tahu apa mereka? Tahukah mereka, betapa
dalam gairah asmara kakekku terhadap nenekku berkobar juga semangat
perlawanan seorang lelaki Jawa terhadap para penguasa Belanda? Kakek tak
sudi merangkak dan menyembah mereka. Kakek ingin dipandang dan
dihargai setara. Bukan hanya begundal-begundal Belanda saja yang boleh
sesuka hati menzinahi perempuan pribumi, tapi lelaki Jawa pun berhak
bercinta dengan perempuan Belanda. Apalagi jika dasarnya suka sama suka.
Sebaliknya, tahukah mereka, bahwa di dalam cinta nenekku terkandung pula
sikap keberpihakan kepada kebenaran? Jika Nenek hanya mendamba hidup
damai sejahtera, kurang apa dia? Suami pertamanya punya kedudukan
tinggi, ke mana-mana dihormati. Tapi, Nenek tahu, bahwa kesejahteraan itu
semu lantaran menjulang di atas penderitaan, bahwa penghormatan itu
palsu karena dasarnya ketakutan. Semula Nenek hanya iba, lalu tak tega,
lalu ingin membela. Maka ia pun membelot. Ia khianati suami pertamanya. Ia
tunggingi peringatan dan ancaman penguasa Belanda. Ia memilih jadi istri
kedua kakekku, sang bupati, agar bisa membagi cintanya kepada kawula
pribumi.

Kakek dan Nenek adalah sepasang kekasih yang berani melewati batas.
Digerakkan oleh gagasan tentang cinta, kebebasan, dan kebenaran, mereka
menerjang. Dan aku, Yustina, adalah keturunan kedua mereka. Setidaknya
menurut khayalan Abilawa.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/26/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 1 Sep 2017 21:30:05 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT
38

DI TENGAH kemarau panjang, malam tak pernah benar-benar kelam.


Sungguh pun tanpa rembulan. Bintang-bintang gegap mengerjap,
menjulurkan sulur-sulur cahaya yang kemudian saling sulam menyaring
gelap. Angkasa membentang bagai satin tembus pandang, di bawahnya
benda-benda mengendap sebagai gumpal-gumpal bayangan. Serupa arsiran
tipis arang pada selembar kertas buram.

Angin adalah pengelana jail yang tak letih berkeliaran. Di pantai ia berkesiur
di pucuk-pucuk nyiur, lalu bergulir desir di sela butir pasir dan gigir air,
mengusik tidur ganggang dan ubur-ubur. Sambil melenggang ke dataran ia
sibak-sibak lembar daunan seakan hendak menguak rahasia di baliknya,
lantas berlari kian ke mari seperti ada sesuatu yang ia buru.

Ketika dari keremangan dusun mengendap dua sosok bayangan ke arah


padang, angin kemarau tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia pun berdesir
memperpanjang bunyi gesekan sayap-sayap belalang dan gangsir.
Hamparan padang terasa lebih hampa. Hanya senyap yang merayap hingga
ke celah tanah. Dan manakala dua sosok bayangan itu meletikkan bunga api,
dari jauhan tampak bagai kerlip sepasang kunang yang timbul tenggelam
ditingkah bayang-bayang daunan, sang api serta merta menyambar dan
menyebar bunga api itu ke seluruh rumpun tebu. Api berkobar dan terus
menjalar. Angin kemarau bersorak. Daun tebu gemerasak. Berhektar-hektar
tebu menjelang tuai di siang hari seketika menjelma ladang api. Ledakan
demi ledakan bersahutan, batang-batang tebu meletus sebelum hangus.

Abilawa tergeragap bangun di dipan ruang kerjanya. Nafasnya terengah.


Tubuhnya basah. Komputernya masih menyala. Dan ketika ia mengamati
sudut kiri bawah monitor kumputer itu, ia tahu hari belum terlalu malam. Ia
melangkahi tumpukan buku dan serakan kertas, melangkah ke ruang tengah.

Melewati dapur yang sepi, Abilawa sempat memerhatikan piring-piring yang


berjajar miring. Diambilnya sebuah gelas, memenuhinya dengan air dan
menenggaknya hingga tuntas.

Di ruang tengah suasana tambah hampa. Pelan-pelan ia buka pintu pintu


kamar. Abilawa tidak masuk, hanya melongok. Dari cahaya remang lampu
bertudung di sisi ranjang dapat ia saksikan tubuh istrinya, telanjang,
memeluk guling.

Abilawa tak mengerti mengapa beberapa tahun belakangan istrinya selalu


tidur telanjang. Jakarta memang panas, tapi jika istrinya tidur tanpa busana
tentu bukan lantaran ia mengidamkan pendingin ruangan. Abilawa pernah
menduga, tindakan itu dilakukan istrinya sebagai protes setelah mengetahui
sang suami punya kekasih gelap. Tapi benarkah si istri tahu? Dari mana ia
tahu? Siapa yang memberi tahu? Abilawa yakin tak ada yang membocorkan
perselingkuhannya. Istrinya bukan tipe perempuan yang suka bergunjing dan
tidak gampang percaya pada kabar burung tanpa bukti. Abilawa percaya,
pada dasarnya perempuan punya intuisi yang tajam. Jika seorang suami
resah, konon sang istri bisa tahu apa yang terjadi di luar rumah.

Abilawa yakin istrinya tahu bahwa ia mencintai perempuan lain. Lalu ia


selalu tidur telanjang dengan tujuan agar Abilawa sadar bahwa kemolekan
tubuhnya pun tak kalah merangsang. Ketelanjangan itu, pikir Abilawa, juga
semacam isyarat bahwa sang istri mau dan mampu melayaninya -apa pun
gaya percumbuan yang ia inginkan.

Tapi, ternyata, Abilawa keliru. Suatu malam, ketika istrinya telentang dengan
mata terpejam, diam-diam Abilawa pun melolosi pakaiannya sendiri. Lalu
dengan amat sangat perlahan ia merangkak ke ranjang. Dalam siraman
cahaya temaram, ia pandang bibir istrinya sambil membayangkan kelegitan
kue talam. Abilawa ingin menggigit bibir itu, mengunyah-ngunyah dan
menelannya. Namun, sebelum ia berhasil menyentuh, sang istri
mendorongnya menjauh.

Mengapa? tanya Abilawa.

Aku tak tahan bau mulutmu.

Abilawa diam. Berahinya mendadak luruh. Susut ke seprai yang belum lusuh.
Dirasanya udara dalam kamar seketika berubah dingin. Tubuhnya beku.
Sendi-sendinya kaku. Lali ia berguling ke samping. Sang istri juga beringsut
ke sisi lain. Dan terbentuklah pemandangan ini: Sepasang suami-istri di satu
ranjang, keduanya sama-sama telanjang, tapi punggung memunggungi.

Wah, wah! Mestinya kurahasiakan bagian ini. Tapi aku terlanjur bilang bahwa
Abilawa punya istri. Yah. Istri khayalan, tentu. Seorang perempuan yang ia
nikahi belasan tahun lalu. Selama ini Abilawa memang berusaha menutup-
nutupi. Aneh? Bagi Abilawa tidak.

Apakah Abilawa merahasiakan statusnya karena Yustina? Bukan. Abilawa


memang mencintai Yustina, tapi bukan berarti ia tak mencintai istrinya.
Abilawa punya seribu bual, selaksa dalih gombal, tentang cinta. Dia bilang,
cinta adalah makhluk pertama karena Tuhan mencipta makhluk lain dengan
cinta. Itu sebabnya semua takluk kepada cinta karena cinta yang tertua.
Cinta itu semesta, katanya. Kalau ada yang bilang cinta bisa dibagi, katanya
lagi, itu tandanya orang itu tak mengerti. Salah mengartikan kebesaran
cinta. Yang bisa dibagi adalah perhatian. Cinta tidak. Semua berada di dalam
cinta. Itu pula sebabnya, seseorang bisa sekaligus mencintai banyak orang
dalam waktu yang bersamaan.

Kesetiaan? Bagi Abilawa, kesetiaan hanya bersangkut paut dengan tanggung


jawab. Cinta memang bisa menumbuhkan tanggung jawab, tapi tanggung
jawab tak harus berlandaskan cinta. Kesetiaan yang diartikan sebagai
mengabdikan diri kepada hanya seorang sampai mati, bagi Abilawa itu
khayal dan sesat. Tidak sesuai akal sehat.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/05/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 5 Aug 2017 22:49:06 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEDUA

19

SAMBIL rebahan di bangku bambu, di bawah rindang dedaun jambu,


Abilawa menunggu. Jam berapa sekarang? Mengapa Yustina belum juga
datang? Ia pandang jalanan batu sepanjang gang. Lengang. Hanya lambaian
pucuk-pucuk daun pisang, seakan membelai hatinya yang gusar. Sabar,
sabar! Lihatlah kami, pohon-pohon yang tak pernah beranjak ini. Di sini kami
hanya menunggu, tanpa tahu apa yang kami tunggu, sampai tiba waktu
untuk tak lagi menunggu.

Aku bukan kalian! Aku Abilawa, pengarang kelahiran Amerika. Aku ada bukan
untuk menunggu. Akulah yang ditunggu.

Abilawa beranjak dari beranda. Ia masuki ruang tengah rumah Danur yang
sepi. Di meja makan tersaji menu santap siang yang telah disiapkan istri
Danur sebelum mereka sekeluarga pergi ke rumah kerabatnya. Di salah satu
sisi dinding, dekat televisi dan tape recorder dan tumpukan kaset-kaset,
Abilawa melihat sebuah rak kayu dengan buku berderet. Ditelitinya satu per
satu buku-buku itu. Dan pandangnya mendadak nanar begitu dilihatnya dua
jilid Negeri Teko Tembikar. Diraihnya jilid pertama, dibukanya lembar demi
lembar. Foto-foto penyair yang kelewat percaya diri. Di jantungmu cakrawala
dinihari membukakan diri... Apa ini? Kata-kata dangkal, bait-bait majal.

Dengan cepat halaman demi halaman ia biarkan berkelebat. Tapi, sebelum


buku itu menutup seluruhnya, sebuah halaman seakan hendak meminta
perhatiannya. Abilawa terkesima. Ia lihat sekolom foto hitam putih. Wajah
seorang tua yang letih. Di bawah rambut yang tersibak ke belakang, tampak
kerut-merut usia pada kening yang lapang. Matanya tajam di balik sepasang
kaca berbingkai logam. Kumisnya jarang. Krah bajunya terbuka, menegaskan
tonjolan tulang rahang.

Di sebelah kanan gambar terdapat riwayat singkat: Tjioe Wie Tjiat dilahirkan
di Desa Kemantran, Tegal, Februari 1925. Pendidikan Muhammadyahschool-
Mulo. Mengikuti kursus-kursus jurnalistik dan selanjutnya otodidak. Puisi-
puisinya dimuat di berbagai media massa, daerah dan ibu kota. Ia juga
menulis cerita pendek dan artikel kolom. Kini, ia ingin mengabiskan sisa
umurnya dengan terus menulis puisi.

Ah, luar biasa. Orang ini begitu percaya pada kata. Baiklah, mari kita lihat
karyanya.

Abilawa kembali ke beranda. Kembali merebahkan diri di atas bangku


bambu, di bawah rindang dedaun jambu. Bait demi bait yang ditorehkan
Tjioe Wie Tjiat berhasil mengendalikan debur darah dalam nadinya,
membuatnya sejenak lupa pada Yustina.

Segarang-garang pandang gagak

hitamku,

menatap ragu desing peluru

sang pemburu

Dengan remah roti sisa tuan

dan nyonya, sekerat demi sekerat

ia bangun dinasti duka

berabad-abad

Tjioe Wie Tjiat, siapa dia? Danur tentu mengenalnya. Tapi Danur tak ada.
Haruskah aku menunggu Danur pulang? Dan Yustina? Mengapa Yustina tak
kunjung datang? Aku tak yakin Yustina mengenalnya, tapi setidaknya ia bisa
mengantarku ke Kemantran. Di manakah Desa Kemantran? Aku perlu
menemuinya. Ya. Kuharap Wie Tjiat tahu lebih detail tentang Gerakan Kutil.
Ia sudah berumur dua puluh tahun, ketika revolusi itu berlangsung.

Abilawa tak mendengar deru mobil bergerak lambat. Ia sedang


membayangkan pertemuannya dengan Tjioe Wie Tjiat. Lalu klakson
menyalak dua kali. Abilawa tersentak, nyaris berdiri. Dilihatnya Yustina
nangkring di atas jip tanpa atap. Gadis itu tak beranjak dari kursi di belakang
kemudi. Senyumnya mekar. Matanya bersinar. Seluruhnya segar. Kaus
kutang ketat putih membalut tubuh yang bersih. Rambutnya basah. Jatuh ke
pundak yang basah. Abilawa menelan ludah.

Siap jalan?

Ya, aku mengunci pintu dulu.

Sudah makan?

Belum. Gampang.

Kita ke Soto Talang?

Kita ke Kemantran.

Mobil tua itu menderu. Roda-rodanya yang kasar melempar kerikil ke semak
belukar. Sampai di ujung gang langsung menikung ke selatan. Melewati
kebun-kebun kosong. Warung kelontong. Toko bahan bangunan. Kios tukang
tambal ban. Rumah tua sedang dipugar. Becak dan dokar. Belok kiri. Jalanan
kian sepi. Yustina memacu mobil lebih laju. Angin terasa tambah menderu.
Rambut Yustina berkibaran. Abilawa terpesona pada pucuk daun telinga
Yustina. Abilawa sangat ingin mengulumnya.

Melewati petak-petak sawah-ladang. Perkampungan demi perkampungan.


Nikung ke kiri dan belok ke kanan. Lalu hamparan ladang tebu musim tanam.
Keluasan yang menenggelamkan perasaan.

Di kejauhan tampak para pekerja, lelaki dan perempuan, duduk bergerombol


di keteduhan pohon-pohon pinggir jalan. Yustina menginjak pedal gas. Mobil
itu meraung keras. Dan, tepat di hadapan para pekerja yang sedang
istirahat, mobil direm mendadak. Ban mencakar aspal jalan. Mobil berhenti
seketika. Orang-orang terperanjat. Yustina menyambar leher dan memagut
mulut Abilawa. Orang-orang terkesima.

Sambil menahan nafas, menahan bau mulut kekasihnya, Yustina melumat


bibir dan lidah Abilawa. Beberapa detik cuma. Sebelum orang-orang itu
memahami adegan yang mereka saksikan, Yustina kembali menancap gas
mobilnya. Debu berhamburan ke udara.

Tawa Yustina menderai sampai jauh. Bergema ke ladang-ladang. Sepasang


kekasih yang gemuruh. Dan orang-orang yang tercengang.
HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/18/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 12 Aug 2017 10:29:11 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT

57

PENOLAKAN Hakim Ketua terhadap tuntutan Tim Pembela agar


membebaskan semua pemimpin gerakan revolusioner dan membatalkan
semua tuduhan demi hukum, karena penangkapan dan penahanan mereka
dilakukan atas prakarsa pribadi Komandan TKR Keresidenan Pekalongan,
sekali lagi menyulut banyak reaksi.

Jaksa Kepala bersikukuh pada pandangan hukumnya yang konservatif,


sebagaimana umumnya pangreh praja, menganggap tindakan TKR sudah
sesuai dengan prosedur hukum dan kemiliteran, serta terbukti berhasil
memadamkan kekacauan. Dengan berpihak kepada para penentang Gerakan
Tiga Daerah, yang menganggap Sardjio dan para pemimpin revolusioner
lainnya telah menggunakan ilmu hitam untuk memaksakan pafam-aham
asing ke dalam kehidupan masyarakat Jawa, dan mencurigai mereka sebagai
bagian dari Kelompok Vander Plas (NICA) yang akan melakukan subversi
terhadap kedaulatan Republik; Sang Jaksa lantas menyusupkan tafsir hukum
yang dangkal dengan menuduh mereka telah melanggar Bab 9 KUHP, yakni:
penyitaan dana pemerintah, pembakaran, dan pembunuhan dengan sengaja.

Jauh hari sebelumnya, dalam laporannya kepada Pemerintah Pusat,


Kejaksaan Agung menitikberatkan masalah ketertiban hukum dan keadaan
sosial pada awal masa revolusi. Di dalamnya dijabarkan bahwa pada tiga
bulan setelah proklamasi kemerdekaan banyak pejabat di daerah bersikap
pasif, lemah, dan bimbang, serta tidak menjelaskan makna kemerdekaan
kepada rakyat, sehingga pemerintah kehilangan wibawa dan tak mampu
mencegah munculnya berbagai kekacauan. Berdasarkan kenyataan itu, Jaksa
Agung meminta agar Pemerintah memandang semangat rakyat yang murni
itu sebagai motor bagi revolusi, dan membedakannya dengan tindakan para
antek musuh yang membuat keonaran.

Meski demikian, para pemimpin Pusat seakan tak mengakui kekurangan-


kekurangan bawahannya dan tetap cenderung memihak pada penafsiran
yang dangkal dari Kepala Kejaksaan Pekalongan. Syahrir, melalui
keponakannya, Johan Syahruzah, dan Menteri Muda Kemananan, Murad,
yang diutus mengunjungi Pemalang; pernah menegaskan sikapnya bahwa ia
bukan seorang pelindung feodalisme, tapi juga tak bisa menerima revolusi
sosial yang tidak patuh hukum. Dalam kunjungannya ke Pekalongan, Syahrir
mengakui bahwa masalah-masalah yang terjadi di Keresidenan Pekalongan
jauh lebih pelik daripada masalah internasional yang ia hadapi. Sedangkan
Hatta, selaku Wakil Presiden, bahkan menganggap rakyat di Keresidenan
Pekalongan terlalu banyak punya kedaulatan. Dan ia mengingatkan bahwa
pangreh praja hanya dapat diganti oleh Pemerintah. Pandangan-pandangan
itulah yang dijadikan landasan bagi tindakan Sang Jaksa.

Pandangan pihak-pihak penentang gerakan revolusioner itu sedikit-banyak


dipengaruhi oleh pemberitaan media massa nasional, terutama Merdeka dan
Antara, yang oleh kalangan lain dinilai sering menyampaikan pemberitaan
tentang Peristiwa Tiga Daerah secara tidak benar. Tuduhan bahwa para
pemimpin Tiga Daerah adalah antek NICA mula-mula diberitakan oleh
Antara, yang kemudian dijadikan dasar tulisan panjang di Merdeka. Rosihan
Anwar dari Merdeka, adalah salah seorang yang dalam banyak tulisannya
ikut mengutuk gerakan revolusioner itu sebagai tindakan-tindakan brutal dan
kejam ala fasis, dan para pemimpinnya ia tuding sebagai pribadi-pribadi
yang dengan sewenang-wenang mengangkat diri sendiri sebagai penguasa
setempat.

Berbagai berita miring itu tentu saja mendapat tandingan dari kalangan
pendukung Gerakan Tiga Daerah. Surat kabar Penghela Rakyat menyangkal
pemberitaan Antara yang menuduh Sardjio sebagai antek NICA. Dalam
sebuah edisinya, media massa terbitan Magelang itu memuat secara
lengkap bukti-bukti perjuangan Sardjio dan Kamidjaja semasa pergerakan
kemerdekaan. Penghela Rakyat juga terus menerbitkan artikel-artikel tantang
penahanan para pemimpin revolusioner yang dinilainya tidak adil
berdasarkan alasan politik perjuangan. Empat hari kemudian Antara
meminta maaf dan memuat lengkap tulisan di Penghela Rakyat itu.

Tak sedikit pula tokoh yang memberi kesaksian bahwa tuduhan sebagai
antek NICA yang terbukti keliru itu telah diubah oleh Jaksa, sehingga kaum
revolusioner tetap tersudutkan sebagai penjahat dan perampok, yang
sebagian di antara mereka mengalami penyiksaan kejam di dua rumah yang
dijadikan tempat penahanan di Pekalongan. Tokoh-tokoh itu berpendapat
bahwa inti Gerakan Tiga Daerah adalah masalah penggulingan para pejabat
yang korup, bukan masalah kriminal.

Ketika sejumlah pemimpin revolusioner dikembalikan dari Jogjakarta ke


Pekalongan, beredar sebuah kupasan tentang Peristiwa Tiga Daerah, yang
menegaskan bahwa revolusi rakyat yang memakan banyak korban itu
mencapai puncaknya pada bulan Oktober 1945. Saat itu Gaboengan Badan
Perjoeangan 3 Daerah belum terbentuk. Sardjio, yang kemudian diangkat
menjadi Residen Pekalongan, baru tiba dari Purworejo pada awal Desember.
Dengan demikian, tidak mungkin ia dan para pemimpin GBP3D menghasut
rakyat untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal. Di samping itu, para
pemimpin yang bukan pangreh praja dan meringkuk dalam penjara itulah
yang pada saat terjadi kemelut tetap menjaga hubungan dengan rakyat
yang justru ditinggalkan para pangreh praja. Berdasarkan kenyataan itu,
Pemerintah didesak agar seyogyanya menilik akar permasalahannya dari
segi-segi ekonomis, sosial, dan psikologis di balik amuk massa yang terjadi.

Pernah dalam sebuah sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat,
Supeno -yang kemudian tercatat sebagai Ketua Tim Pembela Gerakan Tiga
Daerah- dengan tegas menyangkal laporan Jaksa Agung yang dianggapnya
tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya merupakan propaganda para
wartawan. Kenyataan yang dimaksud adalah sikap para pangreh praja yang
tidak peduli terhadap Proklamasi dan bahkan melarang pengibaran Merah-
Putih. Berdasarkan penyelidikan, terbukti pula bahwa aksi rakyat terhadap
para pangreh praja terutama disebabkan oleh penindasan Jepang. Bagi
rakyat, pengusiran Jepang berarti pula pembersihan terhadap antek-
anteknya, yakni para pangreh praja.

Pengusutan ke atas tentang siapa yang memberi perintah penangkapan


Residen Sardjio dan para pemimpin lain, tidak mampu dijawab oleh Menteri
Kehakiman. Sang Menteri hanya memberikan tanggapan dan pernyataan
bahwa aksi-aksi rakyat itu adalah murni dan dapat dimaafkan. Menteri juga
menegaskan bahwa pandangan Pemerintah yang kabur, yang tak mampu
membedakan antara tindakan revolusioner dan kriminal, merupakan dasar
yang lemah dalam menegakkan keadilan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/03/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 27 Aug 2017 06:41:46 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT

72

HARI itu Kamidjaja bangun kesiangan karena, menuruti pesan Amir, Prihatini
tak membangunkannya terlalu pagi. Dini hari tadi Kamidjaya mampir, ketika
dalam perjalanan pulang dari rumah Dokter Moerja, dan mereka bertiga
terlibat obrolan tak kurang dari dua jam. Lantaran sebentar lagi pagi tiba,
Amir dan Prihatini memintanya menginap saja.

"Istirahat di sini saja, Bung. Tanggung!" saran Amir.

"Iya..., kayak di rumah ada yang menunggu saja!" Prihatini meyakinkan.

Kamidjaja memang tinggal seorangan di sebuah rumah sederhana di


Pemalang. Keluarganya yang belum berapa lama diajaknya pindah, terpaksa
dikembalikan lagi ke Solo, tak lama setelah kedatangan balatentara Jepang
di Keresidenan Pekalongan. Hanya beberapa hari setelah mengantar
keluarganya, ia segara balik ke Pemalang untuk melaksanakan arahan
Widarta, membentuk dan memimpin gerakan bawah tanah. Meski tanpa
keluarga, toh hidupnya tak pernah benar-benar sendiri. Hampir tiap hari
selalu ada teman, umumnya anggota gerakan, yang 'menjaga'nya.

Tanggung. Itulah alasan paling tepat mangapa ia bersedia menginap, karena


di rumah keluarga Amir itu pada siang harinya akan diadakan pertemuan
rahasia yang melibatkan dirinya. Setengah jam sebelum waktu yang
ditetapkan untuk pertemuan itu tiba, Prihatini baru menggugahnya. Masih
cukup waktu untuk mandi dan menebus sarapan yang tertunda. Para peserta
pertemuan pun belum ada yang datang.

Usai membasuh badan, Kamidjaja hanya sempat menenggak kopi panas


tanpa gula lantaran ia dengar gemerincing bel sepeda di halaman.
Mendahului tuan rumah, ia segera keluar menyambut sang tamu yang
ternyata Dokter Moerja, berboncengan dengan Tan Jiem Kwan. Setelah
menyandarkan sepeda pada tiang beranda, Kamidjaja mengajak kedua
rekannya menuju ke ruang belakang, sebuah rumah gandok tempat telah
tertata dua meja dan empat bangku panjang. Amir menemui mereka di
dampingi Prihatini yang membawa seteko kopi dan dua piring talas rebus.
Prihatini kemudian pamit mundur untuk melanjutkan persiapan di dapur.
"Wah, Bung Djaja masih karipan kelihatannya," kata Tan Jiem Kwan.

"Ya, sepulang dari rumah Dokter Moerja, Bung Djaja masih ngobrol dengan
kami sampai subuh tadi," Amir menerangkan.

Kamidjaja hanya tertawa, "Saya sudah tidur cukup, kok." Lalu ia beralih
kepada Dokter Moerja, "Pak Dokter bagaimana, bisa tidur nyenyak?"

Dokter Moerja menelan kopi yang baru saja diseruputnya. "Nyenyak sekali,
Bung. Saking nyenyaknya, saya mimpi aneh sekali. Saya tadi sudah
menceritakannya kepada Bung Tan."

"Mungkin itu wangsit, Bung Djaja," sela Tan Jiem Kwan. "Kan, menurut orang
Jawa, mimpi yang datang pada dini hari itu adalah isyarat yang membawa
wahana."

"Ah, Bung Tan ini ada-ada saja, mentang-mentang dirinya Tionghoa," canda
Amir disambut gelak tawa kawan-kawannya.

Atas permintaan kawan-kawannya, Dokter Moerja pun menceritakan ulang


mimpi yang ia alami. Memang aneh kedengarannya. Seseorang tinggi-besar
berpakaian serba hitam menyeruak dari kelebatan kebun tebu lantas
terbang menunggang seekor gagak menembus gelap malam menuju kerlap-
kerlip cahaya di kota dan setibanya di sana lelaki itu menebarkan berlaksa
duri yang seketika tumbuh sebagai batang-batang pohon merasi.

"Lebih aneh lagi," tandas Dokter Moerja, " saya mimpi tentang orang-orang
yang juga bermimpi."

"Maksudnya, Dok?" tanya Prihatini yang sejak beberapa saat tadi bergabung
dan menyimak di antara mereka.

Dokter Moerja melanjutkan ceritanya. Pagi hari, setelah kedatangan si


penunggang gagak tadi, seluruh penduduk kota saling menceritakan
mimpinya. Mulanya seseorang menceritakan mimpinya kepada seseorang
yang lain, ternyata orang yang diceritai itu mengaku mengalami mimpi yang
sama. Kemudian ia menceritakan pengalaman itu kepada orang yang lain
lagi, dan orang itu pun bahkan bersumpah mendapat mimpi serupa.
Begitulah, semua orang akhirnya saling menceritakan mimpi yang sama.

"Aneh sekali...," gumam Prihatini.

"Lebih aneh lagi," tambah Dokter Moerja, "penduduk kota tidak hanya
mengalami mimpi yang sama, tapi cara mereka bercerita pun dengan suara
yang sama, juga gerak-gerik yang sama."

Bahkan, dalam mimpi Dokter Moerja, segala benda dalam pandangan


mereka terlihat sama. Suara yang mereka dengar pun sama. Dan secara
serentak, mereka sama-sama tak merasakan adanya perubahan dahsyat
dalam diri mereka. Padahal, ini yang terjadi: Mata mereka tak bisa
membedakan bentuk dan warna, telinga mereka tak bisa membedakan
suara, hidung mereka tak bisa membedakan aroma, lidah mereka tak bisa
membedakan selera, kulit mereka tak bisa membedakan rasa; mulut mereka
tak bisa membedakan kata, otak mereka tak bisa membedakan apa-apa.

Tatkala mereka melihat matahari yang secerlang perak, yang tampak justru
ribuan cawan hangus berserak. Butir-butir air hujan yang sejuk dan bening
bagai embun, terlihat serupa gelembung-gelembung plastik berisi didihan
racun. Daun-daun yang segar hijau kemilau, jadi seperti sayur yang terebus
sampai lumat, lumer berwarna cokelat pucat.

"Hanya satu yang terasa tidak aneh dalam mimpi itu," kata Dokter Moerja,
seakan hendak mengingatkan.

"Apa itu, Dok?" tanya Amir penasaran.

"Lapar," jawab Sang Dokter singkat.

Semua orang sama-sama merasa lapar. Dan, di dalam mimpi Dokter Moerja,
lapar itu bukan sekadar dapat dirasa, melainkan telah menjelma bentuk
yang kasat mata, serupa nganga gua yang dalam dan kelam, yang dari
rahangnya berjuntaian taring-taring berkarat yang terjelma dari gumpalan
hasrat. Rahang-rahang gua bertaring itu tampak jelas membayang dalam
perut setiap orang. Rupanya, rahang-rahang itulah yang menjadi sumber
gerak mereka. Setiap orang bertindak seirama gerak rahang yang mengatup
dan membuka di dalam perutnya. Dan manakala satu dan lain orang
berpapasan, rahang itu serta merta membuka lebar, dan orang-orang itu pun
saling sambar. Serupa sepasang binatang buas, mereka saling terkam. Buas
dan beringas. Mereka seakan tak lagi mengenal sanak saudara. Pertikaian
terjadi di mana-mana. Bangkai-bangkai bergeletakan. Tubuh-tubuh yang tak
lagi utuh.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/04/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 12 Jul 2017 17:46:33 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT

73

TAN Jiem Kwan, yang sudah mendengar cerita Dokter Moerja sebelumnya,
menyala, "Saya kira, bagian itu yang terpenting. Mungkin kita perlu
menafsirkannya."

"Sssstt, tunggu dulu," Prihatini tak setuju. "Terus, bagaimana selanjutnya,


Dok?"

Dokter Moerja melihat kawan-kawannya sekilas, meminta persetujuan.


Setelah Kamidjaya mengangguk, Sang Dokter pun melanjutkan. "Kemudian,
seseorang dengan mulut penuh darah mengadang saya. Sekejap kemudian
ia menyergap saya, namun saya berkelit dan...," Dokter Moerja menunda,
memabuat pendengarnya tambah penasaran.

Semua orang di ruang itu tampak kaku, wajah mereka penuh rasa ingin tahu.
Kecuali Tan jiem Kwan, dia hanya diam dengan senyum yang ditahan.

"Sungguh malang, saya terpelanting ke dalam jurang. Saya teriak minta


tolong, tapi tak seorang pun datang. Jurang itu benar-benar teramat dalam,
seperti tanpa dasar. Tubuh saya melayang dalam kegelapan, sebelum
akhirnya menghempas sesuatu dengan karas. Saya hanya mengaduh dan
lama-lamat terdengar seseorang mengumandangkan azan subuh.
Alhamdulillah, semua ini hanya mimpi."

Kali ini Amir mendukung gagasan Tan Jiem Kwan bahwa mimpi itu perlu
ditafsirkan. Ia menekankan perlunya memahami bagian demi bagian untuk
sampai pada pemaknaan seluruh mimpi. Siapa orang tinggi-besar itu dan
mengapa muncul dari kelebatan ladang tebu? Apa makna pakaian yang
serbahitam? Isyarat apa yang ada di balik lambang gagak yang menjadi
tunggangannya, karena jelas akan beda andaikata orang itu menunggang
kuda, misalnya? Dan mengapa pula ia menuju kota?

"Saya tidak tahu," jawab Dokter Moerja.


"Saya kira mimpi itu sekadar bunga tidur," sahut Kamidjaja, "Boleh saja kita
menerka-nerka maknanya, anggap saja sebagai belajar bernalar."

"Leluhur kita percaya mimpi bisa jadi pertanda," Tan Jiem Kwan meyakinkan.

"Leluhur kita?" tanya Amir. "Orang Jawa, memang percaya. Apakah luluhur
Bung Tan, orang China, juga percaya?"

Tan Jiem Kwan mengangguk, tak sempat menjelaskan lantaran Kamidjaja


lebih dulu bicara, "Tidak ada kepercayaan yang dapat diterapkan pada
semua persoalan. Jangan kita menjadi kolot seperti para pangreh praja dan
priayi, yang selalu mengaitkan segala sesuatu dengan nilai-nilai warisan
leluhur yang adiluhung. Mana ada leluhur yang mengajarkan agar kita
menindas kaum kita sendiri? Tapi, itulah yang dilakukan para pangreh praja
dan priayi."

Dokter Moerja menengahi, "Santai saja, Bung Djaja. Saya sendiri hanya
merasa bahwa mimpi itu aneh, tidak lebih. Toh setidaknya berguna buat
belajar bernalar, sebagaimana Bung tadi sarankan, bukan untuk dikukuhi
sebagai kebenaran."

"Ya, ya. Saya setuju. Anggap saja ini permainan," timpal Tan Jiem Kwan.

Dokter Moerja mengunyah pelan secuwil talas lantas menelannya dengan


bantuan seseruputan kopi. "Ada bidang ilmu jiwa ada yang menyatakan
bahwa mimpi muncul dari alam bawah sadar. Saya kira pendapat ini masuk
akal. Mungkin karena persentuhan saya para warga yang kelaparan, yang
karena berlangsung cukup lama sehingga terasa sebagai hal yang biasa,
lama kelamaan pengalaman itu mengendap di balik kesadaran saya, lalu tadi
malam mendadak meruyak. Kelaparan itulah, saya kira, yang dalam mimpi
seorah hadir sebagai rahang bertaring tadi, yang kemudian menggerakkan
semua orang saling terkam."

Sang Dokter berhenti sejenak, memancing tanggapan kawan-kawannya.


Setelah beberapa saat tak ada yang bersuara, ia melanjutkan, "Jadi kalau
mau dirujuk ke kenyataan, ya, sekarang ini orang yang tidak kelaparan bisa
dihitung dengan jari: penguasa Jepang, sisa-sisa orang Belanda, sebagian
pedagang Arab dan Cina, selebihnya hanya pangreh praja dan priayi.
Kelangkaan bahan pangan menyebabkan pihak-pihak yang kenyang masih
tetap cakar-cakaran, apalagi yang rakyat pribumi yang memang sudah tidak
bisa lebih lapar lagi."

Terdengar ketukan di pintu depan. Prihatini hendak beranjak, tapi suaminya,


Amir, mencegahnya. Amir berdiri dan bergegas ke ruang depan. Tak lama
kemudian ia kembali bersama Widarta, Soepangat, Muhammad Nuh dan
Kartohargo. Begitu mereka melangkah ke ruang rumah gandok, orang-orang
yang lebih dulu di sana berdiri menyambut dengan uluran tangan.
"Waaah, tamu agung dari jauh...!" sorak Prihatini seraya menghampiri
Kartohargo.

"Selamat siang, Kawan-Kawan, maaf saya sedikit telat karena mampir dulu
ke rumah Bung Nuh." Sambil menggenggam tangan Prihatini, Kartohargo
berbasa-basi.

"Ya, dan kami harus mampir dulu ke rumah Bung Wid. Untung Bung Pangat
sudah menunggu di sana," tambah Nuh.

Merasa cukup bersalam-salaman, Amir menyilakan tetamu yang baru datang


agar segera mengambil tempat yang telah disediakan. Prihatini menghilang
sesaat dan kembali membawa tambahan suguhan.

Setelah sesaat menikmati hidangan, Prihatini berusaha melibatkan tamu-


tamu barunya ke dalam 'permainan' tafsir mimpi. "Bapak-Bapak, kami tadi
baru saja menerka-nerka makna mimpi aneh yang dialami Dokter Moerja,"
katanya.

"Sudah, sudah," cegah Tan Jiem Kwan. Rupanya ia sadar bahwa yang
mengawali percakapan tentang mimpi memang Dokter Moerja, tapi ia
merasa dirinyalah yang membuatnya berlarut-larut.

"Ya, lebih baik kita dengar kabar terakhir saudara-saudara kita di lain
daerah," tandas Kamidjaja.

"Saya lihat peserta pertemuan ini belum lengkap," kata Soepangat.

"Sebaiknya kita tunggu sebentar," usul Widarta datar. "Bukankah kita akan
kedatangan tamu istimewa hari ini?"

Tak ada yang tak setuju dengan usul Widarta. Karena agenda utama
pertemuan mereka adalah saling tukar kabar tentang keadaan di berbagai
daerah di wilayah Keresidenan Pekalongan, merencanakan kegiatan yang
sesuai dengan garis perjuangan gerakan bawah tanah, dan mengulas
pencapaian maupun hambatan atas kerja yang telah dilaksanakan. Dan
tamu istimewa yang dimaksudkan Widarta adalah seorang pegawai yang
oleh penguasa Jepang ditugasi menjadi pengawas pelaksanaan pembagian
jatah pangan dan sandang di Kebupaten Pemalang. Berhubung sang tamu
istimewa dan para wakil dari beberapa kantung pergerakan belum hadir,
mereka pun harus bersabar sambil menikmati kopi atau teh tanpa gula, tales
rebus, pisang goreng, atau tiwul bertabur parutan kelapa.

HexWeb XT DEMO from HexMac International


=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/15/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 21 Aug 2017 14:12:25 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT

84

MENYADARI bahwa barisan rakyat siap melakukan perlawanan terhadap


Jepang beserta para pangreh praja dengan kekerasan, yang kemungkinan
besar justru akan semakin menambah kesengsaraan rakyat sendiri; para
pemimpin gerakan bawah tanah lantas menggagas langkah-langkah baru
yang dianggap mampu mendekatkan kembali hubungan pejabat dengan
rakyat. Gagasan itu kemudian mewujud dalam bentuk koperasi, bertujuan
meringankan beban rakyat pedesaan atas kebijakan Jepang.

Sarinom, seorang tokoh nasionalis Pemalang, mendirikan Koperasi Indonesia,


melibatkan para pangreh praja di kota. Untuk mengambil hati para petinggi,
ia menjadikan Bupati Pemalang sebagai pelindung dan Jaksa sebagai ketua
kehormatan, sedangkan pengelolaan koperasinya ia percayakan kepada
Abdul Mutholib, seorang ketua Muhammadiyah. Kecerdikan Sarinom segera
membuahkan hasil yang gemilang. Berkat kekuasaan Bupati Pemalang, ia
berhasil menghimpun dana dari penjualan sahan koperasinya kepada para
kepala desa. Dana yang terhimpun kemudian ia belanjakan macam-macam
keperluan sehari-hari, seperti sabun, gula, minyak goreng, dan kain.

Barang-barang itu disebarkankan melalui para kepala desa sesuai kebutuhan


tiap desa, untuk dijual kepada warga dengan harga yang lebih murah.
Karena para kepala desa merupakan pemilik saham, maka penyaluran
barang-barang kepada warga berjalan lancar.

Koperasi itu berjalan lancar selama kurang-lebih setahun, kemudian hancur


ketika Sarinom hijrah ke Pati dan Abdul Mutholib mendapat julukan penipu
terbesar di Pemalang.
Menyusul keberhasilan Koperasi Indonesia, sebuah koperasi baru bernama
Penolong Korban Perang (Pekope) dibentuk oleh beberapa tokoh pergerakan
bekerja sama dengan tokoh-tokoh Islam. Di bawah pimpinan Soepangat,
Pekope berkembang menjadi ajang pertemuan antara tokoh-tokoh Islam
nasionalis dengan para pemimpin gerakan bawah tanah. Melalui rapat-rapat
anggota koperasi, mereka juga membicarakan kegelisahan masyarakat di
pedesaan menghadapi kekejian hantu Kenpetai.

"Wajib setor padi yang jumlahnya makin ditingkatkan mendorong para petani
terpaksa 'mencuri' padi mereka sendiri." Soewignyo menyampaikan hasil
pengamatannya di wilayah Randudongkal. "Pencurian itu biasanya dilakukan
pada malam hari, dengan memanen secara acak padi yang telah
menguning, kemudian di sembunyikan di bawah timbunan tanah atau di atas
langit-langit rumah."

"Mereka tidak sadar bahwa tindakan seperti itu bisa mengundang risiko yang
membahayakan jiwa," sahut Soepangat.

"Jelas," kata Soewignjo tandas. "Apalagi polisi desa bersama anggota


Kenpetai sering melakukan penggeledahan, tanpa mereka tahu kapan
waktunya. Banyak warga yang akhirnya ketahuan menyembunyikan padi,
sampai-sampai mereka percaya bahwa para anggota Kenpetai punya
kompas khusus yang mampu menunjuk tempat-tempat yang digunakan
sebagai penampungan padi curian."

Terbongkarnya padi-padi curian itu membawa akibat yang lebih luas.


Kenpetai tidak hanya menyiksa para petani yang, melainkan juga semakin
keras menekan para pamong desa yang mereka nilai tidak becus
mengendalikan hasrat pembangkangan warganya.

Salah seorang yang sering hadir dalam pertemuan Pekope adalah Soesmono.
Ia cukup dikanal di kalangan gerakan bawah tanah berkat kekeluasaan
geraknya. Ia bebas menyusup ke seluruh wilayah Keresidenan Pekalongan
karena Jepang mempercayainya sebagai anggota Badan Pembantu Prajurit-
Pekerja-sebuah badan bentukan Jepang untuk mendukung pengadaan
logistik dan hiburan bagi prajurit Peta dan Heiho, serta bagi para pekerja
romusha. Pada suatu kesempatan, Soemono menceritakan perlakuan
Kenpetai terhadap warga desa Ambowetan.

"Tindakan mencuri dan menyembunyikan padi benar-benar membahayakan


siapa saja," tuturnya. "Saya menyaksikan sendiri bagaimana Kenpetai telah
bertindak sampai melampaui batas yang semestinya."

Dikisahkan, hari itu Kenpetai mendapati empat ikat padi di rumah seorang
lenggaong. Ketika ditanya, si lenggaong mengatakan bahwa padi itu milik
seorang janda miskin yang dititipkan kepadanya. Padi itu lantas mereka
ambil sebagai barang bukti pencurian dan mereka pindahkan ke rumah
kepala desa. Sesudahnya, pura-pura menggeledah rumah sang kepala desa
dan menuduh tuan rumah menggelapkan padi yang tadi mereka taruh
sendiri.

"Kepala desa itu mereka hajar hingga jatuh sakit sampai delapan hari."

Lebih dari itu Soesmono juga menuturkan kesaksiannya atas peristiwa


kekejaman di Kecamatan Ulujami. Suatu hari, Carik Desa Pemutih berusaha
mencegah seorang mantri polisi yang hendak menyita sebuah bedeng padi
karena bedeng itu akan digunakan pemiliknya untuk menyelenggarakan
hajat selamatan. Sang mantri Polisi itu murka dan segera menggeledah
rumah si carik. Di rumahnya di temukan tumpukan padi milik pribadi si carik.
Meski Sang mantri Polisi tahu bahwa si carik selalu memenuhi kewajiban
setorannya, ia tetap menuduh si carik mencuri dan menyembunyikan padi.
Ketika Sang mantri Polisi hendak menyita sembilan puluh persen dari seluruh
jumlah padi si carik, terjadilah perkelahian di antara mereka. Sang mantri
Polisi keok dan konon terpaksa di rawat di sakit. Sorenya, si carik ditangkap
dan dibawa ke markas Kenpetai. Di sana ia disiksa selama tujuh hari tanpa
henti.

"Dua bulan kemudian," kata Soesmono, "cark desa yang malang itu diajukan
ke pengadilan Pemalang dengan tuduhan menghalang-halangi
penggeledahan padi dan diganjar hukuman kurungan selama enam bulan."

"Saya juga mendengar kabar itu," kata Soepangat. "Malah, entah benar
entah tidak, istri dan anak gadis carik itu juga diperkosa Kenpetai ketika
mereka hendak menjenguknya sebelum dijebloskan ke penjara."

"Kebenigsan Kenpetai itu telah menjadi contoh buruk bagi Seinendan," sela
Kartohargo, yang lantas menuturkan lagak para anggota Seinendan di
daerahnya.

Para petani sering didatangkan dari Brebes untuk membantu penuaian padi
di Ketanggungan. Umumnya mereka diupah dengan seperlima dari jumlah
yang berhasil mereka tuai. Seminggu sekali mereka diperbolehkan pulang. Di
tengah jalan mereka selalu dihadang para anggota Seinendan dan dipaksa
menjual padinya dengan harga murah. Para anggora Seinendan itu
menyelewengkan tugasnya untuk membantu para pejabat memperoleh padi
untuk memenuhi setorannya yang ditetapkan penguasa Jepang. Meskipun
para petani lebih suka menyimpan padi daripada uang, mereka terpaksa
menyerahkan hasil kerjanya lantaran takut disiksa.
HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/25/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 21 Aug 2017 12:30:02 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KElima

93

LAPORAN Bagus Rawun tidak hanya sesuai, melainkan lebih rinci dibanding
berita-berita yang selama ini didengar Willie. Rawun tidak sekadar
menyampaikan kabar umum, tapi juga menyebut nama-nama tempat yang
dijadikan tujuan rombongan pejuang yang melakukan long march di
sepanjang punggung pegunungan. Laskar Lukas Kustaryo sudah menduduki
Cikampek, pasukan Darsono membangun kembali markas perlawanan di
Karawang, dan batalion Sentot Iskandardinata berpangkal di Purwakarta.
Mereka semua berada di bawah komando umum Sambas Atmadinata
sebagai Komandan Teritorial Jakarta.

Penyebutan tempat dan nama pemimpin gerombolan pemberontak termasuk


informasi berharga bagi Willie, karena akan memudahkan serdadu Belanda
melakukan pengepungan, penyerangan, dan penangkapan. Dan seperti
biasa, lantaran puas mendengar laporan yang disampaikan sang mata-mata,
Willie lantas mengajak bagus Rawun ke beranda belakang yang menghadap
kebun, menyuguhnya segelas anggur merah dan sebatang lisong.

Willie selalu senang melihat perubahan mimik dan cara Bagus Rawun
menikmati anggurnya. Rawun akan menyeruput minuman perlahan lalu
matanya rapat memejam, lidah dan bibirnya mengecap-ngecap menghayati
rasa asam-manis-sepet yang teramu dalam cairan merah pekat itu.

"Lama-lama kamu akan terbiasa," kata Willie sambil tertawa. Dan


sebagaimana biasa pula ia lantas mengembuskan bujuk rayuannya, "Apalagi
kalau kerja kamu bagus, kelak kamu bisa dikirim ke Holland. Di sana kamu
bisa menenggak berjenis-jenis anggur yang rasanya pun berbeda-beda."

Bagus Rawun memang selalu terpesona mendengar janji Willie yang entah
kapan akan mengajaknya ke Negeri Belanda, namun dalam hati ia ragu
bahwa dirinya akan benar-benar bisa menikmati minuman yang menurut
lidahnya tidak enak itu.

"Saya lebih suka arak, Tuan," kata Rawun lugu.

Willie tergelak, "Kamu memang bodoh. Tidak hanya otak kamu, tapi juga
lidah kamu." Sambil menuang anggur ke dalam gelas pialanya yang nyarus
habis, Willie melanjutkan, "Ya, arak juga enak. Tapi arak hanya membakar
dan menggores dinding lambung, sedangkan anggur, terutama yang merah,
bisa melancarkan aliran darah. Ini minuman sehat."

Obrolan ringan tentang minuman akhirnya mencairkan ketegangan dan


mengakrabkan kembali keduanya. Pada saat seperti itu, Willie lebih berkesan
sebagai seorang teman bagi Rawun. Dan manakala wajahnya sudah
memerah, setelah meneguk isi gelas kesekian, Willie akan berceloteh
tentang apa saja, seakan tak penting lagi bersikap hati-hati demi menjaga
wibawa.

Dan malam itu, sambil sesekali diselingi gelak tawa, Willie bercerita tentang
pengalamannya mengintip tetangga sebelahnya yang gila. Terbayang lagi
Mat Saleh bergerak-gerak ganjil dan dengan suara melengking meracaukan
kata-kata aneh dalam bahasa Jawa yang bagi telinga Willie terdengar bagai
mantra.

"Aku benar-benar heran, masih banyak orang yang menyerahkan kepalanya


kepala si gila itu," katanya.

Giliran Rawun yang merasakan keanehan dalam kalimat Willie.


"Menyerahkan kepala, Tuan?"

Willie tergelak lagi. "Bukan menyerahkan kepala begini...," jawabnya sambil


kedua tangannya menyorongkan gelas piala. "Mereka datang untuk
memangkas rambut," sambungnya kemudian. "Tapi, coba kamu bayangkan,
bagaimana kalau tiba-tiba kegilaan si barbir itu kambuh dan dia sembelih si
pelanggan dengan pisau cukurnya?"

"Ah, Tuan ini mengada-ada. Mungkin saja dia tidak gila."

"Tidak gila? Kalau dia mengucurkan kencingnya sepanjang pagar depan


rumahku itu, lalu telanjang dan mondar-mandir di dalam kiosnya sambil
menari dan teriak-teriak seperti adegan wayang, apa itu tidak gila?"

"Wayang, Tuan?" Rawun tambah tak paham.


"Ya, wayang. Tapi tidak seperti gaya Solo atau Yogya, dia terdengar lebih
aneh karena aksen Tegalnya yang lucu."

"Tegal, Tuan?" Bagus Rawun tambah penasaran. Telah dua tahun lamanya ia
mencari sisik-melik tentang keberadaan Kutil yang lolos dan menghilang
ketika sedang akan dipindahkan dari Penjara Pekalongan ke Paninggaran
dulu. Kini setidaknya ada dua penanda yang bisa memberinya petunjuk ke
arah buruannya. Ia seorang tukang cukur dan berasal dari Tegal. Tapi,
bukankah tukang cukur dari Tegal bisa lebh dari seratus orang?

"Maaf, Tuan. Apakah Tuan tahu namanya?"

Willie mengurungkan niatnya menyulut cerutu. "Hei, kamu ini benar-benar


dungu, ya? Berapa kali kamu datang ke mari?"

Bagus Rawun tak mengerti jawaban Willie.

"Sebagai informan seharusnya matamu jeli mengamati setiap inci daerah


yang kamu lalui. Apa kamu tidak pernah perhatikan, ada tenda terbentang di
depan kios pangkas rambut itu, dan di situ tertulis besar-besar: PANGKAS
RAMBUT MAT SALEH?"

Tratap! Bagus Rawun bagai dihantam godam. Mustinya sudah berkali-kali ia


membaca tulisan itu. Ya. Tapi, selama ini ia memang kurang peduli. Mungkin
karena ia tak tahu kalau Mat Saleh berasal dari Tegal. Lengkaplah sudah.
Seorang tukang cukur, berasal dari Tegal, bernama Mat Saleh.

"Yang benar Mat Saleh atau Amat Saleh, Tuan?"

"Jangan pelihara goblok kamu, ya! Di situ jelas tertulis 'Mat Saleh', mana aku
tahu mana yang benar?" Willie menyedot cerutunya kuat-kuat lantas
mengembuskan asapnya dengan kesal. "Mat Saleh atau Amat Saleh, yang
jelas dia gila. Bagiku apa bedanya?"

Ada bedanya, jika memang dia orang yang kucari selama ini, pikir Rawun.
Dia ingat benar, dalam surat keputusan Pengadilan Pekalongan, Kutil
bernama asli Amat Saleh alias Sakhyani.

"Aku akan menyelidikinya. Semoga memang dia," harap Rawun dalam hati.
Beberapa saat kemudian, Bagus Rawun pamit pulang. Sebagaimana ketika
datang, ia pergi dengan kelicikan seekor musang.

HexWeb XT DEMO from HexMac International


=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/11/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 5 Aug 2017 11:52:30 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEenam

108

BEBERAPA hari kemudian surat yang dikirim Willie van den Heuvel
mendapat tanggapan dari koleganya di Pekalongan. Semua pertanyaan
Willie dan data-data yang ia butuhkan dijawab dan dipenuhi. Kini, di
hadapannya, terpapar salinan dokumen-dokumen penting yang melengkapi
informasi tentang Kutil. Selain salinan surat vonis hukuman mati dari
Pengadilan Negeri Pekalongan, yang menyatakan bahwa si pesakitan
bernama asli Amat Saleh alias Sakhyani, pekerjaan tukang cukur; juga
terlampir beberapa lembar berkas tuduhan jaksa lengkap dengan catatan
kejahatan yang dilakukan si barbir itu selama masa revolusi rakyat, serta
laporan dari sebuah lembaga keamanan tentang kaburnya si pesakitan
ketika dalam perjalanan ke penjara darurat di Paninggaran.

Di antara semua bahan itu, tak ada yang lebih menarik bagi Willie kecuali
selembar foto hitam putih. Di sana terpampang dua deret wajah orang-orang
sederhana yang disebut sebagai para pemimpin gerakan Tiga Daerah. Pada
deret belakang, kedua dari kiri, sebuah goresan pensil melingkari sosok
seorang lelaki kurus bergaris wajah keras. Willie mengamat-amati gambar itu
dengan perasaan heran.

"Orang seperti ini tampak tak berdaya, tapi sesungguh berbahaya,"


gumamnya. Willie terkenang pada pengalaman getirnya ketika menghadapi
laskar rakyat yang melancarkan perang gerilya di daerah-daerah
pegunungan Jawa Tengah. Orang-orang lugu yang pada siang hari
berkeliaran di kota, ternyata adalah mata tombak yang mengarahkan
pasukan berani mati yang secara tak terduga menyergap pada malam hari.
"Dari mana mereka mempelajari ilmu kemiliteran?" tanya Willie pada diri
sendiri. "Kelincahan dan kegigihan mereka tidak hanya membuyarkan
konsentrasi kekuatan penguasa Belanda, melainkan juga menunjukkan daya
tahan yang bisa menimbulkan efek berganda."
Gempuran-gempuran yang langsung dan bertubi-tubi, yang dilancarkan para
gerilyawan sembari sembunyi, setidaknya masih sanggup mereka hadapi.
Kendati banyak serdadu Belanda tumpas di medan peperangan, namun tak
jarang pula gangguan keamanan itu dapat mereka lumpuhkan. Yang paling
merisaukan justru hidupnya daya perlawanan itu. Di satu sisi daya tahan
mereka kian meneguhkan keberadaan republik, yang secara internasional
mampu mengundang simpati negeri-negeri jajahan yang senasib; di sisi lain,
kebersatuan kekuatan laskar dengan rakyat dalam satu penderitaan telah
pula membangkitkan kecemasan sang adidaya Amerika Serikat tentang
kemungkinan menguatnya komunisme di Hindia Belanda. Kecemasan itulah
yang mendorong Amerika menekan Belanda. Karena, di mata Amerika,
ketakberdayaan Belanda menghadapi perlawanan rakyat dinilai kurang
menguntungkan dibanding dengan terbentuknya sebuah negara republik
yang sudah terbukti mampu memadamkan pergolakan kaum kiri di bagian
timur Jawa.

"Sekarang, sebagian dari gerilyawan itu berkeliaran di sini," gumam Willie,


masih terus mengamati wajah Kutil dalam lingkaran pensil. "Penyusupanmu
ke sini memang tak ada dalam laporan, tapi jangan kira kami tak mampu
mengendusmu," katanya lagi sambil menyentuhkan ujung jari ke wajah lelaki
kurus itu.

Memang, sebagian besar laporan yang masuk berkisar tentang penyusupan


kembali secara besar-besaran yang dilakukan kaum nasionalis, yang hijrah
dari Jawa Tengah. Di antara mereka adalah para anggota Lasykar Rakjat
Djakarta Raja dan sebagian anggota Pemerintah Republik Djawa Barat.
Mereka percaya bahwa pada akhirnya penguasa Belanda akan menyerahkan
kedaulatannya kepada Republik, sehingga para tokoh gerilya itu mengubah
strategi mereka-dari gerakan militer ke diplomasi politik.

Peyusupan mereka ke Jakarta membuat penguasa Belanda dilimbur


ketegangan. Situasi politik di dalam dan di luar negeri tak lagi memberikan
peluang bagi penguasa Belanda untuk melakukan tindakan militer maupun
politik terhadap mereka. Sementara itu kehadiran mereka dikhawatirkan
bakal menjadi pemicu bagi ledakan besar amarah rakyat yang mustahil
dapat diatasi oleh kekuatan Belanda di Jakarta.

"Selain mereka, ternyata ada juga orang seperti kamu!" Telunjuk Willie
seakan hendak menembak kepala Kutil pada foto itu. "Kamu tidak mungkin
sendiri. Para pengikutmu sudah pasti berkeliaran di sekitarmu. Dan jika
amarah rakyat sampai terjadi, siapa lagi biangnya kalau bukan orang macam
kamu!"

Telepon berdering, Willie memaki, "Bedebah! Siapa orang bodoh yang


membuatku kaget ini?" Diraihnya gagang telepon itu, "Hello, Willie van den
Heuvel di sini."
"Hello, Meneer," suara seorang Belanda totok itu membuat Willie tanpa
sadar menurunkan kakinya dari atas meja. "Saya ajudan Tuan Residen
Praaning, Tuan van den Heuvel, hendak menyampaikan pesan Tuan Praaning
agar Tuan van den Heuvel segera menyerahkan berkas laporan tentang
gerakan laskar rakyat di Cikampek, Tuan."

Willie terhenyak di sandaran kursinya. Sebelum sempat ia berkata-kata,


suara di seberang mengingatkan, "Laporan itu sudah tertunda beberapa
hari... dan Tuan pasti tahu bahwa Tuan Residen kurang berkenan dengan
keterlambatan ini."

"Saya mengerti. Laporan sudah ada di meja saya, tinggal melengkapi," sahut
Willie. Dalam hati ia memaki, kenapa beberapa hari lalu ia mengizinkan
Rawun membatalkan penyelidikannya di Cikampek! Tapi, tunggu dulu,
bukankah Rawun telah mengarahkannya ke seorang buron yang lebih
berharga? Buru-buru Willie meraih foto hitam putih itu dan menatap wajah
Kutil sekali lagi. "Saya akan persembahkan laporan yang bakal memaksa
Tuan Residen menggelar sebuah pesta!" tandas Willie setelah berhasil
menepis keraguannya.

"Satu hal lagi perlu Tuan ketahui," suara sang ajudan, "Wakil Ketua Devisi
Siliwangi, Daan Yahya, dikabarkan baru bebas dari Nusakambangan. Selamat
siang."

Beberapa detik lamanya Willie masih memegangi gagang teleponnya.


Seakan tak percaya kabar yang baru ia dengar. Jika benar Daan Yahya telah
bebas, besar kemungkinannya ia akan mengerahkan pasukannya ke Jakarta.
Dapat ia bayangkan bagaimana seluruh kekuatan Belanda akan kewalahan.
Terlebih lagi jika kekuatan Siliwangi itu didukung oleh laskar Lukas Kustarjo
dari Cikampek, pasukan Darsono dari Kerawang, dan batalion Sentot
Iskandardinata dari Purwakarta.

"Aku harus bergerak lebih cepat mendahului kedatangan mereka," kata


Willie seraya membanting gagang telepon ke tempatnya semula. Lalu ia
pencet tombol di sebelah kiri meja kerjanya, terdengar bunyi dering, dan
sesaat kemudian seorang polisi muda menghadapnya. "Siapkan dua puluh
orang dari Pasukan Gerak Cepat," perintahnya kepada bawahan itu. "Nanti
malam kita akan melakukan penyergapan!"

HexWeb XT DEMO from HexMac International


======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/26/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 26 Jul 2017 10:04:28 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KETUJUH

122

KUTIL telah (tertangkap) kembali. Begitulah berita yang beredar dari telinga
ke telinga di seantero Keresidenan Pekalongan selama hampir sebulan
kemudian. Kabar yang semula rahasia itu, entah mengapa, bocor setelah
Komandan Militer Kota menerima pemberitahuan resmi dari penguasa militer
di Semarang tentang rencana pelimpahan atas diri seorang pesakitan
bernama Kutil alias Amat Saleh alias Sakhyani, yang ditengarai merupakan
pelarian dari Penjara Pekalongan. Sang Komandan lantas menghubungi
Kepala Penjara untuk menyiapkan sebuah sel yang baik, dalam arti dekat
dari pusat pengawasan dan tak memungkinkan si pesakitan melarikan diri.

Di tengah silang sengkarut dunia yang berbenah dari kehancurannya akibat


perang besar yang belum lama berakhir, ketika beberapa negara bekas
jajahan Eropa mendapatkan kembali kemerdekaannya dan beberapa negara
lain masih terus memperjuangkannya, ketika pemerintahan baru didirikan
dan hubungan ke dalam maupun ke luar negeri ditata kembali; banyak
masyarakat di pelbagai belahan dunia pun sedang mencoba menyembuhkan
luka-luka sosialnya. Perubahan berlangsung di mana-mana dalam kecepatan
yang mencengangkan, tak terkecuali di Keresidenan Pekalongan.

Tak seluruh perubahan yang terjadi selaras dengan cita-cita para pemimpin
dan rakyat di keresidenan itu yang sejak lama menghendaki terwujudnya
kedamaian dan pemerataan kesejahteraan. Kehendak mereka untuk
menyingkirkan para pejabat lama, sisa-sisa birokrat peninggalan Jepang dan
Belanda, berkesan sia-sia. Sejumlah pejabat memang bergeser dari tempat
duduknya semula, bukan untuk lengser melainkan untuk menempati
kedudukan yang lebih tinggi. Hakim Soeprapto, mantan Ketua Pengadilan
Negeri Pekalongan yang pernah melarikan diri dengan membawa dua koper
uang, kini telah menduduki posisi tertinggi dalam karier seorang petualang
hukum, sebagai seorang Jaksa Agung. Soedharmo, yang pada saat pecah
Revolusi Oktober di Tiga Daerah menjabat Staf Resimen XVII TKR
Pekalongan, telah pula melompat ke atas menggantikan pemimpinnya,
menjadi Komandan Militer Kota. Adapun di kalangan rakyat, yang dulu
mengelu-elukan para pemimpin revolusi sebagai pahlawan, kini seakan
bungkam tak peduli ketika mendengar bahwa seorang dari mereka, seorang
yang dulu paling disegani, dikabarkan (tertangkap) kembali.

Tanggal tiga belas Februari. Belum tengah malam, tapi jalan-jalan kota
Pekalongan telah sepi. Kutil dapat merasakan kesipan itu ketika ia mengintip
dari lubang udara pada dinding bak truk yang membawanya. Cahaya lampu-
lampu yang berkilasan tak cukup menunjukkan satu tempat pun yang dapat
ia kenali. Sampai akhirnya ia diturunkan di halaman gedung tua itu.

Tak banyak pasukan yang berjaga-jaga. Hanya Kepala Penjara, beberapa


sipir, Sang Komandan Militer Kota dan empat anak buahnya. Serah-terima
terlangsung singkat dan sederhana. Para pengawal yang membawanya
dengan truk bak tertutup dari Semarang segera kembali malam itu juga. Tak
terdengar kegaduhan akibat ulah para pesakitan. Tak ada yel-yel atau
teriakan memanggil namanya. Ketika Kutil digandeng memasuki lorong
menuju selnya, ia hanya bertatap pandang dengan beberapa pesakitan.
Tatapan mereka datar dan hambar.

Esoknya, dikawal dua orang sipir, Kutil diberi kesempatan melihat-lihat


keadaan di dalam lingkungan penjara. benar-benar menyadari bahwa dirinya
telah tiba kembali di penjara yang dulu pernah ia huni. Perubahan itu terasa
sempurna di mata dan benaknya. Bangunan tua itu pun sudah berdandan.
Tembok-tembok bagian luar yang dulu kusam agaknya telah dipulas dengan
cat putih hingga tampak jauh lebih bersih. Kepala Penjara baru, beberapa
sipir baru, para pesakitan baru. Tak seorang pun kawannya semasa revolusi
ia temui. Hanya pohon trembesi di sudut lapangan yang tetap seperti sedia
kala. Dulu, di bawah pohon itu, ia sering berbincang dengan Widarta.

Yang juga tak berubah barangkali adalah kehendak kekuasaan dalam diri
Sang Komandan. Sebagai salah seorang yang dulu aktif dalam penghancuran
Gaboengan Badan Perjoeangan 3 Daerah, keberadaan Kutil diam-diam
menyalakan benih dendam yang selama dua tahun terpendam. Pelarian Kutil
dulu ia anggap telah mencoreng wibawanya. Kini, ketika komando tertinggi
militer kota berada di dalam genggamannya, ia merasa inilah saat paling
tepat melunaskan dendam sekaligus menuntaskan tekad membersihkan
sisa-sisa pemberontakan.

"Bukankah gagak itu telah divonis mati?" tanyanya lewat telepon kepada
Kepala Penjara.

"Benar, Pak, tapi yang berwenang menentukan pelaksanaan hukuman itu


bukan saya."

Tanpa didahului kata penutup gagang telepon itu telah mengatup. Sang
Komandan segera memutar nomor lain, bicara dengan Kepala Kantor
Pengadilan.

"Kalau si terhukum tak mengajukan putusan itu ke pengadilan yang lebih


tinggi, memang bisa dilaksanakan, Pak."

"Coba diatur secepat mungkin."

"Baik, Pak. Tapi, sayang sekali, semua berkas proses pengadilan Kutil,
termasuk dokumen tentang vonisnya, kita tak punya, Pak."

"Bagaimana bisa tak punya?"

"Maaf, Pak. Bapak tahu sendiri, keadaan sangat kacau pada saat Agresi
Militer Belanda dulu. Semua berkas hilang."

Sang Komandan menahan geram. "Apa tidak bisa dicari cara lain?"

"Dengan bantuan kewenangan Bapak, kemungkinan bisa."

"Kemungkinan? Apa itu kemungkinannya?"

"Kita memerlukan kehadiran Bapak Jaksa Agung Soeprapto. Beliaulah satu-


satunya saksi kunci, karena beliaulah yang menjatuhkan vonis mati itu."

"Kau buat saja suratnya. Kalau memang diperlukan nanti saya sertakan
tanda tangan saya dan stempel institusi saya," Soedharmo menyudahi
pembicaraan sambil membayangkan dirinya memimpin regu tembak yang
hendak mengeksekusi seorang terpidana mati pertama dalam sejarah
hukum formal Republik Indonesia.

Saat itu Kutil sedang mencoba membangkitkan kenangan atas kawan-kawan


seperjuangan. Di manakah mereka sekarang? Banyak di antara mereka
bebas sebelum aku melarikan diri.

Seingatku waktu itu tinggal Cak Wid, Bung Tan dan Bung Djaja yang masih
berstatus tahanan semantara. Semoga mereka dalam keadaan sehat dan
bahagia. Aku yakin mereka tak akan melupakanku begitu saja.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/27/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 31 Aug 2017 22:52:40 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KETUJUH

123

DITEMBAK mati! Tak seorang pun dapat mengatakan bagaimana rasanya


ditembak mati. Hanya bisa dibayangkan. Butir-butir timah melesat dan
melesak ke dalam dada, mungkin ada yang menghantam tulang iga,
menembus jantung hingga kantung darah itu tak lagi berdenyut memompa
dan membagi isinya ke seluruh saluran nadi. Aliran darah berhenti. Seluruh
denyut sel berhenti. Paru-paru tak lagi bisa menghela dan menghembuskan
udara. Otak tak lagi bergerak. Dan tubuh yang semula bekerja bagaian
mesin ajaib ini akan tumbang seperti batang pohon yang ditebang.

Mati. Ah, telah tiga tahun aku dihantui pikiran seperti ini. Ke mana pun aku
pergi, bayangan kematian itu terus menyertaiku. Selalu berdua, aku dan dia.
Badanku yang kian renta ini tambah keropos digerogoti olehnya.

Bayangan kematian itu seakan hantu yang menyedot seluruh kenanganku


tentang kedamaian. Memang, selama hidup aku tak pernah menjadi orang
yang benar-benar bebas. Tak hanya aku, kiraku, tapi hampir seluruh bagian
masyarakatku. Orang-orang Belanda beserta antek-antek mereka telah
merampas kebebasan itu, jauh sebelum kelahiranku. Belanda pergi, Jepang
datang, Belanda kembali, sampai Indonesia merdeka; kebebasan aku pernah
lagi jadi milikku. Sungguhpun begitu, aku tak pernah dihantui bayangan
tentang mati. Penderitaan memang terus menghadang, namun masih ada
keberanian untuk melawan, masih ada harapan untuk hidup lebih baik di
masa mendatang. Sampai harapan itu benar-benar padam ketika seorang
hakim dengan palu mautnya menjatuhkan vonis hukuman mati atas diriku.

Sejak saat itulah bayangan Sang Maut seolah ngendon di dalam otakku,
berjalan-jalan di jalur nadiku. Dan sedikit demi sedikit mengisap
kemudaanku, keperkasaanku, dan kenangan-kenanganku. Sejak itu aku
bukan lagi orang bisa leluasa berangan-angan. Jiwaku yang dipenuhi
semangat perlahan meredup, seluruh gambar dan suara indah di kepalaku
kian jauh dan sayup. Gambar dan suara yang dulu selalu hadir satu per satu,
lalu bersulaman menjadi bentangan kain tipis penuh noktah. Setiap noktah
adalah kenangan indah. Istriku yang tabah, anak-anakku yang cantik dan
gagah, para tetangga yang ramah, kelompok pengajian yang rukun, para
pelanggan pangkas rambut yang santun, para kiai yang sakti, dan kawan-
kawan lenggaong yang disegani.
Bahkan dulu, setelah beberapa bulan aku dipenjarakan, aku masih berani
berkhayal bahwa suatu saat aku akan kembali di tengah-tengah mereka.
Namun ketika hakim itu melaknatku dengan hukuman mati, sekadar
berkhayal pun aku tak berani. Semua orang yang kucintai seakan ikut mati.

Sejak Yang Mulia Tuan Hakim, penitah keadilan, dengan godam


kekuasaannya menancapkan batas pada bentangan hidupku; bukan hanya
tubuhku yang terkurung dalam tembok penjara, lebih dari itu jiwaku pun
terperangkap dalam kungkungan bayang-bayang kematian!

Aku tahu, bayang-bayang kematian itu tak lain adalah susunan ketakutan
yang dibentuk oleh pikiranku. Tapi pikiran mengerikan ini sungguh tak
mudah dienyahkan. Semakin kutolak malah semakin tampak. Wajahnya keji,
setiap kerutnya menyimpan rasa dengki, senyumnya yang durjana meledek
diriku yang nestapa. Dan manakala aku mencoba memalingkan muka atau
kupejamkan mata agar tak melihatnya, jemarinya yang beku segara
menggelitiki bulu kudukku hingga meremang, hingga aku gelarapan dan
menggelinjang-gelinjang.

Sudah itu ia akan menyusup melalui pori-poriku, menghempaskan tubuhku


ke terali besi yang dingin dan terus menekanku lekat di situ dengan
pandangan kosong ke arah lorong, seolah sedang menunggu seseorang
-entah siapa- datang dan meradang, ''Najis kamu!''

Oh, sekejap pun ia tak akan pernah melepaskanku. Tak bosan-bosannya ia


akan memainkan aku selama terjaga. Ketika aku tidur pun terus diawasinya.
Dan jika karena kelelahan aku pulas hingga tak hirau padanya, ia merasa
kuremehkan lantas melesap ke dalam mimpiku dalam wujud yang persis
serupa dengan diriku sendiri: tubuh kering-kerontang, pakaian campang-
camping, dan darah berlelehan dari liang-liang luka yang menganga di
dadanya. Sosok yang mengerikan itu berdiri meringis di depanku,
menjulurkan kedua tangan yang lebih mirip batang-batang tulang lumutan,
dari ujung-ujung jarinya menyembul kuku-kuku yang hitam penuh kotoran,
serupa bilah-bilah pisau yang geripis karena karatan. Pisau-pisau itu selalu
ingin meretas urat leherku!

Biasanya aku lantas terperanjat bangun dan kutenangkan diriku sendiri.


Mimpi, ini cuma mimpi! Tapi, selalu saja, sebelum mataku benar-benar
terbuka, sebelum kusadari bahwa pikiranku yang kacau telah menyebabkan
terjadinya mimpi buruk itu, sebelum kulitku sempat menghayati dingin lantai
selku yang kasar karena kotor atau leleran keringat yang lengket pada
pakianku yang kumal; bayangan kematian jahanam itu lebih dulu
menghadirkan wajah-wajah bengis para serdadu diterpa kilatan-kilatan
cahaya yang memantul dari pucuk bedil mereka. Sementara aku terpana
menyaksikan sosok-sosok algojo yang bakal merenggut hidupku, ia
menghembuskan bau mulutnya yang memualkan perut seraya berbisik
lembut, ''Sebentar lagi kamu mati ....''
Pernahkah kalian bertanya, dari mana pikiran semacam itu bermula? Tak
perlu bertanya, karena kalian tentu tahu jawabnya: dari palu Tuan Hakim
yang mulia. Palu itu berdentam pada suatu hari bulan September yang
muram. Di tengah kerumunan pengunjung sidang yang menyerbu bangku-
bangku, berdiri berdesakan di setiap celah ruang, bahkan bergerombol di
halaman kantor pengadilan dan di ruas-ruas jalan; aku -yang oleh para
pangreh praja dinistakan sebagai gagak- seketika itu seakan langsung
berubah wujud menjadi seonggok bangkai. Para penguasa keadilan dan para
pejabat yang selama berpuluh tahun telah menjadi sumber malapetaka bagi
rakyat, seketika menjelma sekawanan burung pemakan bangkai yang
dengan sayap dan paruh kekuasaan mereka berpesta pora mencabik-cabik
daging busukku.

Aku muntah setiap kali bayangan peristiwa itu berkelebat di antara


kecemasan dan ketakutanku akan mati. Pada bercak muntahan itu terbayang
kembali wajah-wajah mereka. Para hakim, para jaksa, saksi-saksi yang
mereka pilih sendiri. Tampang mereka yang kadang menggelikan dan tak
jarang menyeramkan, timbul-tenggelam di genangan air lambung dan
ampas makanan. Dan yang lebih mengherankan aku, mereka tampak bagai
sekawanan binatang buas yang sedang bertarung secara ganas sambil
melahap menghgisap muntahan itu. Wajah-wajah menjijikkan itu baru lenyap
bersama bau sengak yang membuat kepalaku pening, setelah muntahanku
mengering. Siapakah binatang pemangsa sesungguhnya? Aku atau mereka?
Atas pertanyaan-pertanyaanku ini, bayangan kematian selalu menutupnya
dengan jawaban yang sama: kamulah si burung pemangsa bangkai! Tak
lama lagi kamu akan dibantai!

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/28/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 20 Jul 2017 03:11:09 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KETUJUH
124

HARAPANKU untuk bisa menikmati tidur pulas tanpa mimpi, tanpa


gangguan bayangan kematian yang menakutkan, terkabul. Selama sepertiga
malam tadi aku benar-benar lupa segalanya. Inilah kali pertama bayangan
kematian itu meninggalkanku, membiarkan aku meringkuk seorang diri,
tanpa sadar bahwa tubuh ringkihku terkurung tembok kusam dan jeruji besi.

Lalu suara itu mengusikku. Suara gedebam sepatu petugas penjara,


gemerincing anak-anak kunci, dan derak pintu yang terkuak. Aku tak peduli.
Mataku yang belum seluruhnya terbuka asyik menerobos lubang angin,
menatap bias cahaya kekuningan di langit-langit lorong. Mata yang telah
lama diperam dalam kegelapan ruang penjara dapat mengetahui bahwa
semburat itu adalah cahaya matahari.

''Sudah siang, Pak Tua, bangun!'' suara petugas itu benar-benar


mengganggu.

''Siang yang cerah, ya?'' tanyaku tanpa menggerakkan sedikit pun tubuhku.

Sebagaimana biasa penjaga itu diam saja. Ya, biasa kubilang, karena
begitulah umumnya lagak para petugas penjara. Mereka hanya
mengeluarkan suara ketika ada yang hendak dikatakan, kadang dengan
teriakan atau bentakan, tapi jarang sekali sudi menanggapi apa pun yang
diungkapkan para pesakitan. Mungkin di telinga mereka kata-kata para
pesakitan terdengar bagai suara binatang, yang tak berarti dan tak patut
ditanggapi.

''Ayo bangun, Pak Kepala menunggumu di kantornya!''

Hardikan itu merenggutku dari keasyikan memandang cahaya. Aku mencoba


mengingat wajah Kepala Penjara yang baru pertama kali kulihat beberapa
hari lalu, ketika aku tiba kembali di neraka dunia ini. Seorang lelaki paruh
baya yang tampan, bertubuh kekar dalam balutan pakaian seragam yang
membuatnya tampak berwibawa. Orang yang ramah, mudah-mudahan. Tapi,
sekonyong-konyong, wajah itu berubah. Bulu-bulu kasar tumbuh menggeriap
di seluruh permukaan kulitnya, matanya melebar dengan cahaya hijau di
bagian tengah dilingkari garis merah, rambutnya berkakuan tegak
menyerupai duri-duri landak, dan tepat di tengah jidatnya mencuat
sebonggol tanduk hitam bekilatan. Persis makhluk siluman. Ia
menghunjamkan tatapannya padaku dengan sorot mata yang melumpuhkan.
Dan ketika ia tersenyum, kulihat sepasang caling lancip terselip di kedua
sudut bibirnya yang bergerunjal menyerupai moncong bajul. Dari dalam
mulutnya meruap bau sengak yang membuat kepalaku pening dan mataku
berkunang-kunang. Aku merasa tepat menyebut penjara ini sebagai neraka
dunia.
Sebelum petugas itu kembali menghardikku atau bahkan menyentuh
(biasanya dengan kasar) tubuhku, aku bangkit. Begitu berdiri tubuhku
langsung limbung, sampai kunang-kunang yang terbang berkisaran itu
benar-benar menghilang. Kedua tanganku segera diborgol. Tanpa berkata-
kata, kuikuti petugas itu melangkah ke pintu. Di sana dua orang petugas lain
telah siaga. Ketika kedua petugas itu masing-masing mencekal lengan kanan
dan kiriku, aku membiarkannya. Mereka adalah borgol dalam wujud manusia.

Aku mereka gelandang menyeberangi lapangan. Matahari yang tadi


mengintipku, kini benar-benar mencurahkan cahaya hangatnya ke sekujur
tubuhku. Syaraf-syarafku menggeliat bangkit. Kutengadahkan wajah, hendak
berterima kasih, dan kusaksikan bentangan langit yang biru bersih.
Sekumparan mendung tipis menggantung di sebelah barat daya,
mengingatkanku pada kepulan asap dari cerobong-cerobong pabrik gula.
Siapa menduga bahwa dengus napas pabrik-pabrik itu telah meresapkan
racun hitam ke dalam hidupku, mengeruhkan darah dan memekatkan
amarah, hingga akhirnya -ketika kuluapkan dendam yang berwindu-windu
terperam dalam ceruk-ceruk nadiku- aku terperangkap dalam jala tak
kasatmata yang secara perlahan mengubah kemanusiaanku menjadi
binatang buas yang hanya patut dikerangkeng sampai para jagal
menyerahanku kepada Sang Ajal.

Kami tiba di depan ruang Kepala Penjara. Petugas yang membangunkanku


tadi mengetuk pelan pintu tiga kali dan langsung membukanya. Setelah
mendudukkan aku di kursi depan meja Kepala Penjara, ketiga petugas itu
meninggalkanku dan menutup kembali pintu. Tinggal aku berhadap-hadapan
dengan Sang Kepala. Ah, orang ini mungkin benar-benar siluman. Wajahnya
berubah lagi sekarang. Pahatan parasnya tampak lebih tegas, matanya
jernih, kumisnya rapi terpangkas, dan beberapa helai rambutnya mengilat
putih.

ìSelamat siang, Bapak,î suaranya lirih, terkesan ramah.

Aku diam saja. Antara ingin dan tak ingin mendengar apa yang hendak
difatwakannya. Sebab, bagiku dusah gamblang bahwa lelaki yang kuhadapi
ini bukan penentu nasibku. Ia sekadar alat di antara alat-alat lain. Barangkali
ia masih punya kesempatan menjadi manusia ketika berada di tengah-
tengah keluarganya. Tapi, sebagai Kepala Penjara, ia akan bekerja sesuai
gerak mesin kekuasaan yang menjadikannya tak beda dengan terali besi,
tembok, anak kunci, atau gembok. Dan saat ini, di hadapanku, ia akan
menjalankan peran sebagai alat perekam yang hendak menyuarakan ulang
kata-kata entah siapa.

''Saya hanya ingin memberitahukan bahwa dalam beberapa hari mendatang


kasus Bapak akan disidangkan ulang,'' lanjutnya dengan tenang. ''Saat ini
pihak pengadilan sedang melakukan persiapan, sambil menunggu kepastian
waktu dari Jaksa Agung.''
Aku tergelitik oleh kabar yang ia sampaikan. Disidangkan ulang. Apakah itu
berarti predikat terpidana mati yang selama ini kusandang akan kembali
ditimbang? Adakah kemungkinan vonis yang telah diketukkan dulu berubah
menjadi lebih ringan? Mungkinkah bayangan kematian yang selalu
menghantuiku akan serta merta menghilang? Ah, paling-paling menjadi
hukuman seumur hidup. Apa bedanya, kecuali bahwa aku batal ditembak
mati? Bagiku, seumur hidup di dalam bui sama maknanya dengan mati.
Panjara tak ubahnya kuburan, yang menimbun riwayat hidup si pesakitan.
Hidup dalam penjara seumur hidup, berarti ada namun tak ada. Para
handaitaulan yang menjenguk ibarat para penziarah, hanya bisa menghibur
dengan doa dan sikap pasrah, tanpa kuasa membawa si mati kembali ke
rumah.

Dibanding hukuman mati, vonis kurungan seumur hidup mungkin dipandang


lebih ringan. Tapi, bila kalian merasakan bagaimana nestapa hidup di dalam
penjara, terbelenggu seumur hidup sungguh akan terasa sebagai beban
yang tak tertahankan. Bayangkanlah, seumur hidup ditelikung dan didera
sebagai binatang nista! Jika ditembak mati, hidup berakhir, segala derita dan
cela pun ikut berakhir. Ah, aku tak peduli lagi, apakah vonisku akan diubah
menjadi hukuman seumur hidup atau tetap hukuman mati. Pada usiaku yang
telah renta ini, hukuman seumur hidup berarti hanya mengulur waktu
sebentar lagi. Jika aku tak jadi ditembak mati, esok atau lusa aku akan mati
sendiri.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/15/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 5 Sep 2017 00:04:05 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEdelapan

142
TAK seberapa lama setelah Tilam meninggalkan rumah itu, Widarta
sekeluarga disekap di dalam kamar kosong, tanpa perabot, kecuali selembar
tikar. Pintu kamar itu diikat dengan seutas kawat bersimpul melingkar di
bagian luar. Untunglah, meski ruangan itu terasa sumpek ditempati lima
orang, udara masih bebas keluar-masuk dari celah-celah dinding atau
rongga-rongga di bawah lekukan genting.

Widarta tak tahu siapa saja yang mengawasi pintu kamar itu. Ia hanya
mendengar perintah si pemimpin pemuda kepada kawan-kawannya agar dua
orang tetap tinggal dan berjaga-jaga di beranda, sebagian menyebar di
bawah pohon besar atau semak pinggir jalan. Jadi bila sewaktu-waktu Tilam
kembali, mereka tahu siapa saja yang datang bersamanya.

"Tak perlu takut, Anak-anak," bisik Widarta. "Sebentar lagi Paman Tilam pasti
datang dengan bala bantuan."

Anak-anak itu tersenyum ketika ibu mereka menambahkan, "Siapa bilang


anak-anakku takut? Mereka mewarisi keberanian bapaknya kok!"

"Syukurlah," sahut Widarta bangga. "Tapi, bukannya Bapak tidak pernah


merasa takut. Tidak apa-apa, rasa takut itu wajar. Yang tidak wajar adalah
apabila rasa takut itu berlebihan sehingga mengalahkan akal sehat."

Sementara Widarta sekeluarga berbincang demi menciptakan ketenangan di


benak mereka masing-masing, di sepanjang pinggir jalan sunyi itu para
pemuda yang semalam kurang tidur mencoba mengerahkan kewaspadaan.
Angin yang turun dari pucuk-pucuk pohonan meresapkan kesejukan pada
bayang-bayang keteduhan, terasa bagai tenaga gaib yang menyusupkan
kantuk ke setiap pelupuk mata. Tak perlu ada yang dikhawatirkan, memang,
sebab seandainya selembar daun luruh dan jatuh ke tanah pun mereka akan
mendengar.

Menyadari keadaan begitu sepi, Widarta mengintip ke ruang tengah. Dua


pemuda bertengger di sepasang kursi sambil bermain domino. Tak jauh dari
mereka, si pemimpin mencangkung di jendela memandang entah apa di luar
sana.

Alangkah ceroboh dia, pikir Widarta. Caranya mehan, dengan menyekap


para tahanan di dalam kamar dengan pintu diikat kawat dari luar, memang
lebih memudahkan pengawasan. Cara seperti itu hanya menguntungkan jika
penjagaan di luar sana begitu ketat dan kuat, sehingga seandainya ada
serangan dari lawan dapat dengan gampang mereka adang. Tapi, jika hanya
beberapa pemuda kampung yang sederhana, yang tak memahami strategi
berperang, hanya bersenjatakan pentungan dan parang, penyekapan seperti
itu sungguh membahayakan mereka sendiri.

Widarta berjingkat mendekati sang istri. "Bayangkan," katanya amat pelan.


"Seandainya benar dugaan mereka, seandainya Tilam datang bersama
sepasukan polisi, para pemuda itu akan dengan mudah jadi sasaran,
sedangkan kita justru aman."

Istri Widarta sedikit bingung. "Lho, memangnya Tilam akan melapor ke


polisi?"

"Saya tadi bilang 'seandainya', bukan sebenarnya."

"Ah, Bapak kok masih sempat berandai-andai segala. Yang penting kapan
Tilam datang dan bersama siapa?" Tanpa sadar istri Widarta menyangkal
sang suami dengan nada lebih tinggi.

Segera Widarta memberi isyarat untuk bicara pelan. "Sssttt! Mudah-


mudahan Tilam tak mendapat halangan di jalan. Saya tadi membekalinya
sepucuk surat untuk disampaikan kepada Bung Amir. Saya terangkan
keadaan kita. Juga saya gambarkan watak dan kekuatan kelompok pemuda
yang menahan kita. Saya minta bantuan."

"Siapa kira-kira yang akan menolong kita?"

"Saya tidak tahu, Bu, tapi Bung Amir pasti tak akan membiarkan kita telantar
di sini."

"Masih mending kalau hanya terlantar. Bagaimana kalau para pemuda itu
membantai kita karena sudah tak sabar?"

Widarta memaksakan diri tersenyum. "Tidak mungkin. Membunuh orang itu


bukan perkara mudah, Bu. Kalau si pembunuh itu dasarnya bukan orang
jahat, dia akan dihantui rasa berdosa seumur hidup."

"Ya kalau mereka mengerti akibat itu, kalau tidak?"

"Ada hati nurani yang akan membimbing mereka."

"Tadi Bapak bilang, seandainya ada serangan mereka bisa jadi sasaran. Kok
hati nurani tidak memberi tahu kemungkinan itu?"

"Karena itu menyangkut keteledoran. Itu urusan pikiran."

"Siapa yang teledor?"

"Ya para pemuda itu. Coba bayangkan, jika tiba-tiba ada yang menyerang
mereka, kan seharusnya mereka menjadikan kita tameng agar si penyerang
menangguhkan serangan. Tapi, pintu itu malah diikat dengan kawat. Mana
mungkin mereka sempat membuka dan menjadikan kita sandera?"

Wajah perempuan itu seketika berkesan lebih bening dan lapang. Barangkali
penjelasan sang suami membuat hatinya tenang. Ia pandangi ketiga
anaknya yang kini berebahan di gelaran tikar, ia elus kepala si bungsu
dengan kelembutan kasih sayang.

Widarta termangu, merasa ditampar gelombang rasa haru. Gelombang


perasaan yang menghumbalangkan syukur dan sesal, timpa-menimpa dalam
batinnya. Ia bersyukur betapa kegentingan situasi akhir-akhir ini justru
menyatukannya dengan anak-istri, kedekatan tubuh dan hati yang selama ini
nyaris tak sempat ia alami. Tanggung jawab yang diembannya sebagai
pemimpin gerakan bawah tanah membuatnya lebih sering meninggalkan
rumah, sehingga tanpa ia sadari telah terbentang jurang tak kasatmata yang
memisahkannya dari orang-orang yang paling ia cinta.

Alangkah pedih bahwa keterpaduan ini tercipta dalam bahaya. Tapi,


alangkah penuh pesona suasana yang dijelmakan oleh harapan dan
kecemasan ini -harapan atas keselamatan sekeluarga, kecemasan atas
kemungkinan tindakan brutal oleh para pemuda yang menyekap mereka.
Tapi, apa pun yang terjadi, inilah saat terindah dalam hidupnya: bersanding
tanpa jarak dengan belahan jiwa, juga dengan bagian darahnya sendiri yang
mengarus dalam urat nadi cintanya.

"Ibu," katanya lirih sekali. "Apakah yang sesungguhnya terjadi? Dari


Surabaya aku hanya tahu bahwa pergolakan sedang merebak di sini, tapi
kawan-kawan seperjuangan belum sempat menyampaikan penjelasan
terperinci." Ia tatap wajah perempuan itu, ia saksikan bergulung-gulung
mendung: tebal dan kelabu.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/04/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 3 Sep 2017 05:29:06 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KESEMBILAN
161

KETIDAKMAMPUAN Abilawa memahami Yustina telah mendorong lelaki itu


merenungkan kembali tentang kekuatan imajinasi. Sebagaimana dirinya,
Yustina adalah tokoh yang lahir dari imajinasi. Dulu, ketika Abilawa lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi, ia menganggap
pengakuan kawan-kawannya, sesama pengarang, bahwa setiap tokoh yang
mereka ciptakan benar-benar memiliki kehendak yang begitu besar sehingga
dapat mengalahkan kehendak pengarang, hanyalah bualan. Para tokoh
khayalan itu, kata mereka, bahkan mampu menguraikan sendiri pengalaman
hidupnya dan memaksa pengarang untuk menuliskannya. Sang pengarang,
yang semula bertindak sebagai pencipta, berbalik menjadi sekadar pelayan
yang mengabdi kepada kehendak tokoh-tokoh ia ciptakan.

"Hanya pengarang dungu yang sudi dikuasai khayalannya sendiri," begitu


komentar Abil saat itu.

Ia bahkan tertawa melecehkan ketika mendengar penuturan seorang


pengarang tua, yang mengaku merampungkan sebuah novel hanya dalam
waktu seminggu. "Apa yang kau harapkan dari novel yang ditulis dalam
seminggu?"

Dengan pertanyaan itu Abilawa sesungguhnya tidak ingin membicarakan


mutu novel itu, melainkan meragukan proses penulisannya. Ia tidak bisa
percaya tentang kejadian aneh-aneh yang diungkapkan pengarang sebagai
sebab kelahiran karya. Suatu hari, tutur pengarang itu, dari jendela kereta
yang ditumpanginya, ia merasa melihat bidadari tergelincir jatuh dari
gumpalan awan.

Setiba di rumah sahabatnya, pengarang itu langsung masuk kamar dan


menulis. Selama tujuh hari ia tidak keluar kamar, kecuali ke ruang makan
dan kamar mandi. Ia menulis dan menulis, tanpa bisa berhenti. Ia seperti
seorang yang sedang kesetanan. Imajinasi datang serentak dan berdesakan,
menyerobot masuk ke ruang kepala, menguasai pikiran, dan memerintahkan
jari-jari untuk terus memencet tuts-tuts mesin tulis sampai terciptalah
sebuah dunia rekaan yang sempurna.

Kini, setelah bertekad bulat hendak menulis novel tentang gerakan Kutil, ia
menyadari bahwa penuturan pengarang tua itu tak seluruhnya keliru.
Seorang pengarang, ternyata, tak selamanya bisa menghadirkan tokoh
secara tiba-tiba. Setiap tokoh memerlukan penjelasan. Kekuatan wataknya
tak cukup hanya dibentuk oleh pikiran, cara bicara, dan tindak-tanduknya;
melainkan harus pula menunjukkan hubungan yang sesuai dengan seluruh
keadaan yang melingkupi keberadaan si tokoh. Itulah sebabnya, apa yang
semula tak hendak ditulis oleh si pengarang, bahkan sebelumnya tak pernah
ia pikirkan, kadang tak kuasa ia hindari dan menjadi sangat perlu
ditambahkan.
Abilawa membayangkan kesulitan yang bakal ia hadapi dalam proses
penulisan novelnya nanti. Novelku tidak semata-mata lahir dari khayalan,
pikirnya. Ia merupakan gabungan yang fakta dan yang fiksi. Para akademisi
punya istilah 'metafiksi' untuk menyebut peleburan fakta dan fiksi dalam
karya sastra. Kelak, aku akan menyebut novelku sebagai faction, bukan
metafiction apalagi sekadar fiction.

Dalam faction terdapat dua jenis tokoh yang berbeda riwayat kehadirannya.
Kehadiran tokoh Kutil berbeda dari Yustina. Keberadaan Kutil dilahirkan oleh
sejarah. Seluruh wacana mengenai latar belakangnya sudah tersedia. Si
pengarang hanya perlu menelisik setiap serpih, mengumpulkan, dan
menyulamnya menjadi serangkaian kisah yang utuh. Keberadaan Yustina
sepenuhnya bergantung padaku, karena akulah yang menciptakannya.

Aku akan meminjam sebagian fakta sebagai kaitan riwayat hidup Yustina. Ia
akan kuandaikan sebagai cucu Soesmono, anak asuh Kardinah, saudara
perempuan Raden Ajeng Kartini. Soesmono kelak menjadi Bupati Tegal dan
bergelar Reksanagara, menempati urutan kesebelas dari dua belas bupati
yang diangkat dan dilindungi oleh penguasa Belanda, sesuai perjanjian yang
pernah ditandatangani leluhurnya. Pada dasawarsa ketiga, sebelum janji itu
terlunaskan seluruhnya, Belanda ingkar janji. Reksanegara XI dipecat dengan
tuduhan telah melecehkan norma-norma Eropa. Selama masa revolusi
Soemono bergabung dengan para nasionalis dan bergiat dalam gerakan
bawah tanah.

Bagiku -batin Abilawa- bukan perkara sulit meracik cerita tentang latar
belakang Yustina. Yang membuatku perlu waspada adalah perkembangan
wataknya, yang seolah-olah ia hidup sebagai manusia nyata, berdarah-
daging, punya kehendak, berpikir dan bertindak. Aku menjadikannya kekasih
dengan harapan aku dapat memahami dirinya. Namun, ternyata, harapanku
sia-sia. Sering kali aku tak mampu memahami pikiran dan tindakannya.
Benar, ia adalah tokoh ciptaanku. Ia akan berwarna merah atau biru,
sepenuhnya terserah aku. Tapi, jusrru karena ia ciptaanku, ia menjadi
tanggung jawabku. Aku harus membebaskan ia berpikir dan bertindak agar
kehadirannya menjadi layak.

Abilawa tak hanya berpikir. Ia juga mengenang sejumlah perempuan yang


pernah ia kenal, untuk memilih kepribadian macam apa yang layak ia
tiupkan sebagai ruh Yustina -seorang perempuan yang tak hanya patut
menjadi kekasih, tapi juga pantas menjadi sahabat dan teman berdebat.
Demi memperleh kepatutan itu, Abilawa mau tak mau harus bercermin,
melihat dirinya sendiri.

Aku berperan sebagai seorang pengarang, lelaki yang hidup dengan dan
dalam imajinasi. Aku seorang suami. Yustina seorang lajang. Aku
berselingkuh, Yustina bertualang. Perempuan lajang macam apakah yang
bertualang dengan suami orang? Setiap tindakan memerlukan alasan. Tidak
harus sejalan dengan hukum masyarakat, namun setidaknya harus sesuai
dengan hukum alam dan hukum akal sehat.

Bahwa Yustina menunjukkan kesan cerdas dan urakan, itu bukan masalah,
karena ia keturunan bangsawan yang kemudian membangkang dan menjadi
pegiat pergerakan. Ia mewarisi naluri pemberani. Bahwa ia berhubungan
gelap dengan seorang pengarang, sejujurnya ini juga bukan masalah,
kakeknya dulu dituduh merendahkan norma Eropa karena ia menggauli
seorang perempuan Belanda, istri Kepala Administratur Pabrik Gula Pangkah.
Apalagi jika hubungan gelap antara Yustina dan pengarang itu dilengkapi
dengan retorika tentang cinta, maka akan punya alasan yang kuat dan tak
melenceng dari hukum alam dan hukum akal sehat.

Namun, kendati Yustina sekadar tokoh khayal, ia tetap harus dihadirkan


sebagai bagian dari sesuah sistem sosial. Pengingkarannya terhadap norma-
norma yang hidup dan berkembang di sekitarnya perlu dilandasi oleh sebuah
prinsip pemikiran yang tidak biasa, namun terjadi, bahkan menjadi
kecenderungan gaya hidup perempuan masa kini.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/09/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 24 Aug 2017 17:33:13 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KESEPULUH

166

TENGAH MALAM, di dalam selnya, antara tidur dan jaga, Kutil seakan
mendengar seseorang bernyanyi, ''Burung hitam terbang ke selatan, pohon-
pohon kekeringan. Burung hitam terbang berkisar, orang lapar mati
terkapar.'' Suara itu seperti suara Chambali. Apakah anakku telah kembali?

Tanah menolak akar

Udara menampik bunga

Batang susut kering terbakar

Bayang maut bertaring singa

Kutil merasa akrab dengan irama lagu itu, mirip lagu dolanan pada masa
kanak dulu. Tapi kata-katanya sungguh berbeda, terdengar ganjil di telinga.
Adakah seorang pujangga yang mengubahnya? Ada apa di selatan hingga si
burung hitam terbang ke sana? Selatan, bukit-bukit yang diselubungi hutan.
Jika pohon-pohon kekeringan di selatan, lantas apa yang tersisa di barat, di
timur, dan di utara? Hanya orang-orang lapar yang berjatuhan dan mati
berkaparan.

Anakku, Chambali, kini terkucil jauh di selatan. Bung Soepangat pernah


bilang, ia dipindahkan ke Nusakambangan. Apa yang terjadi di tempatmu,
anakku? Apakah maut juga mengancammu setiap waktu? Aku berdoa
untukmu, anakku, sebagaimana aku percaya kau pun selalu berdoa untukku.

Batang kerontang

Jatuh berserak

Sukma melayang

Menjelma gagak

Batang pohonan, mungkin lambang bagi tubuh-tubuh yang didera derita.


Orang-orang bersahaja, kaum pribumi yang seakan tak lagi punya hak
berpijak di tanah kelahiran sendiri. Dan harapan mereka pun sirna, serupa
bunga yang ditampik udara. Siapa di antara mereka yang luput dari bayang-
bayang maut bertaring singa? Mereka hanya batang-batang kerontang yang
akhirnya jatuh berserakan. Sukma mereka menjelma gagak, burung hitam,
lambang kematian. Ada banyak yang mati, tapi ada yang bangkit kembali.

Tanpa sadar Kutil menirukan suara yang didengarnya. Batang kerontang/


Jatuh berserak/ Sukma melayang/ Menjelma gagak. Tidak, tidak. Aku tak mau
mendengar lagu itu lagi. Hanya sebagian maknanya yang kumengerti,
sebagian lainnya bersembunyi di balik kata-kata dan irama yang ngeri.
Bertahun-tahun aku hidup serupa batang pohonan yang kerontang.
Kemanusiaanku telah mereka matikan. Hingga sukmaku bangkit, seperti
gagak yang sakit. Aku telah berusaha merebut kembali martabatku sebagai
manusia, tapi hingga hari ini aku tetap seekor binatang. Seekor burung hitam
yang menanti ajal atau pengampunan, di dalam kurungan. Aku tak mau
dengar lagu itu lagi. Iramanya membuatku sedih. Kata-katanya membuatku
terhina. Terlalu ngeri, terlebih semua itu seakan keluar dari kerongkongan
anakku.

Aku tak mampu menggambarkan dengan baik bagaimana kesanku terhadap


lagu itu. Seperti lumpur yang menimbun kuntum melati. Iramanya lagu
dolanan -gambaran dunia anak-anak yang lugu- tapi kata-katanya begitu
kental dan pekat. Aku merasa dibelai lalu dibekap. Telingaku telah terbiasa
dengan bahasa penjara. Kata-kata jorok dan kasar, yang di setiap jeda
terselip kekerasan.

Ah, betapa kebiasaan itu telah merusak kepekaanku. Ada candu yang
membuatku ketagihan dan tanpa kusadari kemanusiaanku telah
terlumpuhkan. Bahkan lagu yang terdengar dinyanyikan anakku cukup
membuatku gugup, seakan kusaksikan kesuraman masa lalu dan masa
depanku. Seakan kulihat sekuntum melati dalam lagu itu. Berlepotan lumpur
setiap tangkainya. Aku menciumnya. Baunya buruk seperti bangkai binatang
yang diluluhlantakkan hujan!

Kini aku tak akan bisa lari. Keperkasaanku sudah pergi. Dulu aku berlari
bagaikan terbang. Kulintasi lebat hutan dan hamparan ladang. Tak seorang
pun curiga padaku. Sebab, siapa pun melihat tubuh kurus ini, ia akan melihat
penderitaannya sendiri.

Di Stasiun Comal yang sepi malam itu, kucegak kereta yang bergerak ke
arah barat. Tanpa tahu daerah mana yang akan kutuju, kuturutkan laju
kereta hingga berakhir di Stasiun Senen. Aku bingung, tak tahu apa yang
harus kulakukan di Jakarta. Di tempat baru itu aku tak punya kenalan atau
sanak keluarga. Memang, itu bukan kunjunganku yang pertama. Sebelas
tahun sebelumnya, aku pernah diminta menemani Bung Sakirman
mengambil obat-obatan dari temannya, seorang Belanda, di Jakarta. Saat itu
Bung Kirman baru dipindahtugaskan ke Slawi, sebagai inspektur perumahan
dalam program penanggulangan penyakit pes.

Selama beberapa pekan aku hanya berkeliaran di tempat-tempat yang


dihindari orang. Sesekali aku bergabung dengan orang-orang malam yang
mencari kebahagiaan di antara gerbong kereta. Di sanalah aku bertemu
Salma dan beberapa orang lain yang berasal dari Tegal. Pada minggu kedua
aku berkenalan dengan Anwar, yang kerjanya menulis syair dan gemar
membual sebagai keponakan Sjahrir. Banyak orang menyukai dia karena di
balik bualannya yang ndakik-ndakik terpancar sifat dan sikapnya yang baik.
Pada malam kelima setelah berkenalan, sebagai ungkapan terima kasih atas
jasaku memperkenalkan dia dengan Salma, Anwar menghadiahi aku sebuah
jas. Besoknya jas itu kujual kepada pedagang barang bekas dan dari situlah
aku mendapat gagasan menjadi pemulung barang-barang rongsokan.

Aku tak kerasan terus-terusan hidup berkeliaran dari sampah ke sampah dan
menghabiskan malam di gerbong kereta bersama orang-orang yang gelisah.
Aku tak bisa mengikuti cara hidup mereka. Salma bahkan sering mengolok-
olokku bahwa aku takut berbuat salah semata karena mempertahankan
kesucian namaku, Mat Saleh. Mungkin ia benar. Meskipun lingkungan kelam
itu lebih aman seorang pelarian sepertiku, tapi aku merasa selalu dilimbur
rasa malu kepada Kiai Makdum, guruku. Maka, setelah berhasil
mengumpulkan sedikit uang, aku memutuskan menyewa sebuah rumah
petak di Kebon Kacang. Sejak saat itulah aku tak pernah lagi berjumpa
dengan Anwar, Salma, dan orang-orang yang mencari kebahagiaan dengan
menemu malam.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/19/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 28 Jul 2017 16:02:25 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KESEPULUH

176

KUTIL terhenyak mendengar tuturan Sakirman. Jika orang yang menjadi


pengikut saja diculik dan dikurung di penjara, lantas bagaimana dengan
orang yang diikutinya? Orang bilang, Revolusi Tiga Daerah sebenarnya
digerakkan oleh dua pemimpin utama: Kutil dan Widarta. Pengadilan telah
menjatuhiku hukuman mati, lalu bagaimana nasib Widarta? Ia orang yang
lembut, berperasaan halus, dan pantang melakukan tindak kekerasan.
Karenanya, ia tak mungkin divonis sama berat denganku yang didakwa
melakukan perampokan dan pembunuhan. Tapi, di negeri yang dikuasai para
pemeras ini, siapa bisa menjamin keselamatan seseorang? Terlebih lagi jika
orang itu dianggap membahayakan para penguasa. Mereka bisa saja
menuduh Widarta sebagai otak yang merencanakan, mengatur dan
menggerakkan sebuah pemberontakan.

"Di mana Cak Wid sekarang, Bung?" tanya Kutil, setelah rasa penasarannya
tak kuasa lagi ia bendung.

Sakirman tercengang, namun maklum bahwa Kutil tak mendengar berita


tentang Widarta. Ia merunduk, menahan haru. "Ia telah mendahului kita,
Bung."

Kutil terperanjat. "Maksud Bung, Cak Wid telah wafat?"

Sakirman mengangguk.

"Innalillahi wainnailaihi raajiun..." Kabut menebal di wajah Kutil. "Kapan,


Bung?"

"Tak lama setelah dibebaskan dari panjara."

Kutil menghela napas. Ia ingat, ketika disidangkan dulu, bersama lima


pemimpin lain, kondisi kesehatan Widarta tampak baik. "Karena sakit?"

Sakirman geleng kepala. Ia lantas mengingatkan Kutil tentang penculikan


Kamidjaja. "Cak Wid termasuk yang diciduk," tandasnya. Tanpa harus
ditanya, ia lantas bercerita.

Tak lama setelah bebas dari penjara, para pemimpin Gerakan Bawah Tanah
menuntut diadakannya kongres partai demi menyelesaikan konflik internal.
Kongres itu kemudian memang digelar, namun dibelokkan untuk menjebak
Widarta dan para pengikutnya. Beberapa pemimpin Gerakan Bawah Tanah
dipenjara dalam rumah tahanan secara terpisah. Kemudian, sebuah
Mahkamah Partai dibentuk untuk menyidangkan dan menentukan hukuman.
Mahkamah itu menuduh Widarta telah menyebabkan terjadinya perpecahan
di tubuh partai karena sikapnya yang beroposisi terhadap Perjanjian
Linggarjati, juga dianggap tak becus menjalankan garis kebijakan Front
Persatuan di Tiga Daerah, sehingga menjerumuskan partai ke dalam konflik
langsung dengan tentara. Mahkamah akhirnya menjatuhkan hukuman mati
bagi Widarta.

"Ia ditembak di Parangtritis oleh dua orang kader partai," gumam Sakirman.

Sejenak keheningan bersimaharajalela di benak mereka berdua.

"Siapa yang menjadi anggota Mahkamah itu, Bung?"

"Yah, kebanyakan bekas para pengikut Cak Wid sendiri, terutama yang telah
meninggalkannya ketika Cak Wid sedang dipenjara."
"Kok bisa, ya?"

"Bisa saja, Bung. Di dalam politik segalanya bisa jadi mungkin. Mereka
menggunakan otoritas dari Sjarifuddin."

"Lho!" Kutil kaget sampai melongo. "Bukankah Cak Wid adalah tangan kanan
Sjarifuddin sendiri?"

"Mereka bersahabat, memang." Sakirman menjelaskan. "Cak Wid bahkan


pernah menjadi wakilnya ketika Sjarifuddin menjadi menteri. Tapi,
kalihatannya, prinsip-prinsip ideologi mereka berbeda. Dalam kasus
Linggarjati, misalnya, Sjarifuddin jelas mendukung Sjahrir. Adapun Cak Wid,
dia malah menentang 'kan? Pandangannya lebih condong ke Tan Malaka."

Kutil bergidik. "Saya tidak sanggup seperti itu," katanya.

"Tidak sanggup apa?"

"Banyak yang menganggap saya orang kejam. Tapi, apa pun yang terjadi, tak
mungkin saya membunuh kawan sendiri."

"Kekuasaan selalu punya banyak tangan, Bung," sahut Sakirman. "Jika


tangan yang satu berlumur darah, tangan yang lain segera mencucinya."

"Tapi, sebanyak apa pun mereka punya tangan, tak akan bisa mencuci sifat
jahat di dalam pengkhianatan!"

Sekali lagi Sakirman memandang tajam ke arah sahabatnya. Di tengah


silang sengkarut kemunafikan, ungkapan jujur yang keluar dari nurani
memang terasa mencengangkan. Tapi, sering kali, kejujuran tak berdaya
menghadapi kelicikan tipudaya. Dan bila tipudaya itu dilakukan oleh pihak-
pihak yang berkuasa, yang dengan gampang mengendalikan lembaga-
lembaga moral dan ketertiban, dan karenanya punya citra kebenaran; maka
pengkhianat atau pahlawan hanya perkara sudut pandang.

"Di mata para penguasa, kita ini adalah pengkhianat, Bung. Perjuangan yang
kita lakukan dengan ikhlas dan jujur, mereka maknai sebagai tindakan
makar, upaya penggulingan pemerintah yang sah. Sebaliknya...."

"Sayalah yang pengkhianat, bukan Bung dan kawan-kawan," Kutil menyela.


"Nama baik Bung dan kawan-kawan sudah dipulihkan."

"Ya, tapi, maksud saya..., di kancah politik predikat seseorang tak ditentukan
oleh sikap pribadi atau kejujuran nurani, melainkan oleh siapa yang punya
kekuatan lebih untuk memaknai." Sakirman pun memaparkan gagasannya.
Ada tiga macam hukum, katanya, yakni hukum alam, hukum masyarakat,
dan hukum akal sehat. Hukum alam berkaitan dengan garis takdir yang
berada di luar kuasa manusia. Hukum masyarakat mengandaikan suatu
pandangan kolektif yang objektif, berupa kesepakatan adat atau hukum
formal negara. Hukum akal sehat mengacu kepada kebenaran nalar.

"Idealnya, kita harus memadukan hukum masyarakat dan hukum akal sehat
sambil menjunjung hukum alam," lanjut Sakirman. "Tapi, karena kita ini
hidup bermasyarakat, maka hukum masyarakatlah yang dominan. Akal sehat
acap dikalahkan. Apalagi, dengan mengatasnamakan masyarakat, para
penguasa yang cenderung korup lantas membuat bermacam aturan yang
hanya menguntungkan kekuasaan mereka. Akal sehat Bung mungkin
menganggap Sjarifuddin mengkhianati Widarta, tapi karena ia lebih punya
kuasa, maka partai yang berada di dalam genggamannya justru menumpas
hidup Widarta."

Penjelasan Sakirman membuat Kutil tercenung. Tak kuasa ia membayangkan


ujung garis nasib Widarta. Orang yang pintar dan sabar, tapi berakhir
dengan kematian yang tak wajar. "Di mana Cak Wid dimakamkan, Bung?"
Suaranya mengandung kabung.

"Jasadnya tak ditemukan," jawab Sakirman pelan. Ia lantas membisikkan


bahwa beberapa orang di antara para hakim dan eksekutor Widarta kini jadi
orang penting, dan kematian maupun peran Widarta dalam pergerakan
bawah tanah seolah sengaja dikubur dalam lumpur sejarah.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/14/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 4 Sep 2017 09:26:00 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KESEBELAS

202
KEMATANGAN Muhammad Nuh dalam kancah pergerakan tak membuatnya
gegabah untuk mendatangi Walikota hanya dengan mengandalkan
kedudukannya sebagai Ketua Dewan Barisan Pelopor serta dukungan
anggota organisasinya. Nuh tahu, betapapun penting kedudukannya dalam
organisasi massa hanya akan dipandang dengan sebelah mata oleh para
pangreh praja. Sebab mereka hanya mau mengakui organisasi resmi,
susunan pemerintahan yang secara administratif disahkan oleh penguasa
Jepang. Di luar itu mereka anggap hanya sebagai perkumpulan liar yang
merongrong dan membahayakan kekuasaan.

Hanya selang beberapa hari setelah proklamasi, sejumlah tokoh Negen


Broeders telah menghadap Walikota untuk membicarakan kemerdekaan dan
peralihan kekuasaan. Dalam pertemuan itu Negen Broeders mendesak
Walikota untuk mengakui Proklamasi, menurunkan Hinomaru dan
mengibarkan Merah-Putih, dan segera melakukan pelucutan senjata
terhadap serdadu Jepang, termasuk semua kekuatan milisi bentukan Jepang.
Jawab Sang Walikota, ''Masalah-masalah pemerintahan adalah tanggung
jawab para pangreh praja. Kalian tidak perlu mencampurinya.''

Menyadari hal itu Nuh tak langsung melabrak Sang Walikota, meski rasa
geramnya terhadap para pejabat pemerintah yang menafikan berita
kemerdekaan nyaris tak kuasa lagi ia tahan. Pada saatnya, tak lama lagi, aku
akan mendesak mereka, pikirnya. Tapi tidak dalam satu-dua hari ini. Aku
masih membutuhkan dukungan kekuatan untuk lebih memantapkan
tekanan.

Sejak ia pimpin, jumlah anggota Barisan Pelopor memang meningkat pesat


dan keberadaannya disegani masyarakat. Namun, dukungan dari mereka
saja belum cukup. Apalagi, akibat ulah brutal beberapa anggotanya, Barisan
Pelopor telah menjadi organisasi yang ditakuti sekaligus kurang mendapat
simpati. Maka, muncullah gagasannya untuk merangkul semua organisasi
massa. Diperlukan sebuah wadah baru yang mampu menampung semua
perkumpulan yang ada, pikirnya.

Hari-hari berikutnya, Nuh pun sibuk berhubungan dengan semua tokoh


pergerakan yang pro-kemerdekaan. Kepada mereka ia meyakinkan perlunya
segera dibentuk sebuah organisasi baru yang bisa menjadi saluran gerakan
bersama, tanpa harus menanggalkan identitas dan watak masing-masing
kelompok.

''Yang diperlukan hanya persatuan, bukan peleburan,'' kata Nuh kepada


mereka. ''Sebuah kesatuan yang di dalamnya terdapat banyak keragaman
akan terkesan lebih kuat daripada hanya didukung oleh keseragaman.''

Berkat citra dirinya yang jujur dan berani, dalam waktu yang singkat Nuh
berhasil mendapat dukungan dari semua tokoh organisasi massa. Maka,
pada waktu yang telah disepakati, Barisan Pelopor bersama orang-orang
sederhana dari Pagoejoeban Toekang Betjak, pemuda-pemudi Angkatan
Moeda Kereta Api (AMKA) dan Negen Broeders, para anggota Sarekat
Boeroeh dari Pabriek Java Textiel, dan Galangan Kapal Zosenjo, bersatu
dalam naungan payung baru, bernama Angkatan Moeda. Bahkan, dukungan
juga datang dari para pegawai muda Dinas Kesehatan Rakjat dan Bank
Rakjat.

Mereka melakukan aksi massa secara serentak. Menaikkan bendera Merah-


Putih, menempel slogan-slogan kemerdekaanóbukan hanya di lingkungan
kantor-kantor pemerintah, melainkan juga di dinding-dinding rumah, kios-
kios dan tiang-tiang los di pasar, tembok-tembok bangunan, dan seluruh
tempat yang dikerumuni orang banyak. Tak cukup dengan semua itu, mereka
pun terus memasang bendera dan poster kemerdekaan di semua jenis
kendaraan -kereta, bis, dokar, becak, sepeda, gerobak dorong- yang melintas
ke semua jurusan. Menyaksikan kerukunan dan kebersamaan mereka,
akhirnya warga kota pun turut membantu tanpa diminta.

Walikota dan segenap jajaran pangreh praja tak berkutik menghadapi


gerakan serentak itu. Para anggota milisi dan pegawai yang diperintahkan
melenyapkan Merah-Putih dan selebaran berisi slogan kemerdekaan tak bisa
melaksanakan tugas, karena di mana-mana rakyat bergiliran meronda dan
para pemuda dari berbagai kelompok perjuangan tak henti berkeliling kota.

Merah-Putih dan semua sarana kampanye kemerdekaan yang terus


bertahan, juga dukungan nyata warga kota kepada kaum pergerakan,
meneguhkan niat Nuh untuk memulai gerakan diplomasi. Bersama beberapa
pemimpin Barisan Pelopor, Nuh mengajak serta tokoh-tokoh dari organisasi
lain untuk mendesak Sang Walikota. Seorang tokoh dari Negen Broeders
sempat mengingatkan Nuh tentang sikap Sang Walikota yang keras kepala,
juga kegagalan kaum pergerakan di Pekalongan menghadapi para pangreh
praja.

''Meski sama-sama ada ketegangan antara pangreh praja dan kaum


pergerakan,'' Nuh mencoba menjelaskan, ''setidaknya ada dua hal yang
membedakan watak gerakan di Tegal dan Pekalongan, Bung.'' Di Pekalongan,
katanya, tak terjadi gerak serentak yang merupakan wujud nyata persatuan
kaum pergerakan, ditambah kelemahan sikap para tokoh KNI yang
cenderung mengambil hati penguasa Jepang. Adapun di Tegal, semua
organisasi massa bergerak bersama, menamakan diri Angkatan Moeda. ''Di
Pekalongan KNI menjadi perkumpulan elite para priayi tua,'' sambung Nuh.
''Beda dari di sini, KNI dan semua tokoh nasionalis tua menyatu dengan
kaum pergerakan yang lebih muda.''

''Jadi,'' tandas seorang pemimpin Angkatan Moeda Kereta Api, ''praktis kita
hanya berhadapan dengan Walikota, jajaran pangreh praja, dan Kepala
Kepolisian Kota yang kebingungan karena tiadanya instruksi dari atasan
mereka.''
''Tepat,'' timpal Nuh. ''Nah, apakah mereka masih berani mengingkari
Proklamasi?''

''Baiklah,'' tokoh Negen Broeders paham dan mengalah. ''Lantas apa, kira-
kira, yang akan kita lakukan di Balai Kota?''

Nuh berpikir sejenak. Memang tidak gampang menentukan langkah yang


akan didesakkan kepada Walikota dan kolega-koleganya. Selama ini mereka
dimuliakan hidupnya oleh kaum penjajah, karenanya mereka takluk dan
tunduk kepada perintah penguasa penjajah. Mempertahankan kekuasaan
Jepang bagi mereka jelas lebih menguntungkan daripada mengakui
kemerdekaan Indonesia yang kemungkinan akan mengakibatkan hilangnya
kekuasaan.

''Kita tidak mungkin memaksa mereka,'' kata Nuh kemudian. Di belakang


para pangreh praja masih ada Kepolisian dan serdadu Jepang yang
memegang senjata. Perlu dipikirkan cara-cara yang bijak, yang tidak
menyinggung kehormatan dan harga diri mereka, agar rakyat tak menjadi
sasaran kemarahan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/24/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 16 Jul 2017 16:36:06 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KESEbelas

211

SORE itu Koreng Kemurang dan beberapa kawannya mendapat giliran


berjaga di markas. Bagi Koreng, tugas itu hampir sama artinya dengan
berdiam di rumah. Sejak bergabung dengan Gerakan Pemuda Tanjung,
Koreng memang tinggal di barak tempat pelelangan sebuah rumah gadai
yang tak lagi terpakai. Sebuah rumah kayu tanpa dinding, atap penuh
lubang, lebih mirip kandang kerbau daripada markas kelompok pejuang.
Ketika kawan-kawannya berpamitan hendak meronda jalan utama yang
melintasi tengah kota, iseng-iseng Koreng memutar-mutar kenop radio. Ia
gemar mendengar pidato Bung Tomo atau Bung Karno yang menggelegar.
Dari atas kotak kayu usang, ia ambil sebuah radio Philips yang sudah tua,
milik si pemimpin gerakan. Ya, radio itu memang kepunyaan seorang
pemimpin kelompok pejuang. Tapi, Koreng tahu bagaimana benda ajaib dulu
berpindah tangan.

Waktu itu, kenang Koreng, ketika sedang pulas di atas selembar papan di
sudut markas, Koreng dibangunkan seorang kawan. Hari masih sangat pagi.
Bias cahaya matahari memang sudah menerangi sebagian atap rumah-
rumah, namun di beberapa bagian, terutama di sudut-sudut bangunan,
bayang-bayang kegelapan belum sepenuhnya menghilang.

"Lekas, Bung, ada tugas," kata kawan itu.

Koreng bangkit dengan enggan. Semalaman ia bertugas di perbatasan,


mengadang semua kendaraan yang hendak masuk dan keluar kota,
menggeledah dan menanyai para penumpangnya. "Tugas apa lagi?" Koreng
bertanya. "Belum tiga jam aku tidur. Apa tak ada anggota lain yang bisa
melakukan tugas itu?"

"Kata Pemimpin, ini tugas penting. Dia ingin ngajak kamu."

Di salah satu pojok kebun ada sebuah sumur tua. Koreng melangkah ke sana
dan membasuh muka.

"Kami tunggu di depan!" teriak kawan tadi. "Jangan lupa bawa senjata."

Senjata? Koreng tertegun, melihat bayangan wajahnya sendiri di dalam


sumur. Meskipun tampak capek, wajah itu masih muda. Meskipun hanya
bayang-bayang remang, Koreng bisa merasakan adanya arus semangat
untuk berjuang. Buat apa pagi-pagi bawa senjata? Apakah ia harus
berangkat ke kancah perang? Bagaimana kalau senjata yang dibawanya
nanti melukai orang? Bagaimana kalau justru dirinya yang terkena? Apakah
wajah yang membayang itu masih akan tampak sama? Ah, tidak. Jika leher
itu terpenggal dan kepala yang melongok ke lubang sumur itu terpental,
gairah hidup akan susut darinya, tinggal menjadi segelondong daging dan
tulang. Menakutkan. Menjijikkan.

"Kita berangkat, Bung!" teriak seseorang.

Koreng Kemurang terperanjat. Ia lantas berlari dan menyambar kelewang


yang menggeletak di samping dingklik panjang tempat ia biasa merebahkan
badan. Tiba di jalan, ia lihat tiga pemuda lain yang menenteng bambu
runcing. Ditambah dirinya dan si pemimpin, jadilah mereka berlima.
"Kita seperti keluarga Pandawa," celetuk Koreng ketika mereka melangkah
terburu di sebuah jalan yang membelah ladang tebu.

"Ya, kita akan memerangi para raksasa," sahut seseorang.

"Kita lawan angkara murka," timpal seseorang yang lain.

Tibalah mereka di Pabrik Gula Banjaratma. Sekitar pukul 09.00. Suasana


pabrik cukup sepi. Setelah mengendap-endap di bawah tembok dan dinding
perkantoran, kelima orang itu menyelinap masuk ke ruang Kepala
Administratur. Sang kepala pabrik yang terperanjat melihat mereka langsung
berusaha menelepon seseorang, namun ia mengurungkan niat ketika ujung
kelewang Koreng menyentuh lehernya.

Ada tiga pesawat telepon di ruangan itu. Sang pemimpin mengambil alih
salah satunya, membaca daftar saluran pada selembar kertas di samping
pesawat telepon dan memutar nomor kepala buruh. Tersambung.

"Halo, Bung," katanya. "Saya dari Gerakan Pemuda Tanjung. Saya sudah
menyandera Kepala Administratur di ruang kerjanya."

"Ya... ya... ya," terdengar suara gugup di seberang.

"Tenang, Bung," kata sang pemimpin. "Kami butuh bantuan Bung untuk
mengerahkan seluruh buruh ke lapangan."

"Ya... ya..., apa yang harus kami lakukan?"

"Kami akan menyita pabrik ini dan menyerahkannya kepada Pemerintah


Republik Indonesia. Saudara-saudara kaum buruh kami minta mendukung
langkah ini dengan berdemonstrasi di depan kantor."

"Ya... ya... ya..."

"Sebentar lagi kita bertemu di halaman depan, Bung!" Krupp! Sang


pemimpin menutup gagang telepon. Ia memerintah seorang anak buahnya
mengikat Kepala Administratur dan merangketnya ke ruang-ruang lain.
Dalam waktu singkat sejumlah orang di jajaran pemimpin pabrik telah
mereka kumpulkan. Dari tangan mereka disita 15 pucuk pistol Browning.

Sang pemimpin lantas meminta Koreng menemaninya, membawa Kepala


Administratur ke rumah dinasnya, di lingkungan pabrik gula. Di rumah itulah
sang pemimpin mengambil sebuah radio Philips, sepasang kemeja dan
celana panjang. "Dengan radio ini kita bisa mendengar pidato Bung Tomo,"
katanya.

Tak lama kemudian para pemimpin pabrik gula itu mereka giring ke halaman
depan kantor, di mana para pekerja telah berkumpul meneriakkan yel-yel
kemerdekaan. Sang pemimpin Gerakan Pemuda Tanjung mengucapkan
terima kasih atas dukungan para buruh. Ia juga mengatakan bahwa lima
orang Jepang dan beberapa pejabat pribumi yang bekerja di pabrik itu akan
mereka bawa ke kota untuk dijebloskan ke penjara.

"Sekarang pabrik ini bukan milik Jepang lagi," katanya. "Kita sudah merdeka,
Saudara-saudara. Pabrik gula ini sekarang milik Pemerintah Indonesia."
Pemimpin itu juga meminta mereka kembali bekerja. Untuk mengatur
pekerjaan pabrik, ia meminta kaum buruh mengajukan calon pemimpin
mereka. Beberapa menit kemudian seorang putra Batak bernama Sihombing
ditetapkan sebagai Kepala Administratur dan seorang Batak yang lain,
Tambunan, dijadikan Kepala Tenaga Teknik.

Koreng Kemurang juga ingat, hari itu juga, menjelang petang, dari radio hasil
rampasan di rumah Kepala Administratur Pabrik Gula, ia mendengar siaran
radio lokal yang mengabarkan bahwa tiga orang lelaki Indo-Belanda telah
dibunuh, sedangkan para istri dan anak mereka ditahan di Pekalongan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/28/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 5 Sep 2017 18:32:05 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KESEBELAS
215

SEBAGIAN besar dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu masih dilekati


bekas jejak kucuran darah yang telah membeku. Bagian-batgan tubuh
mereka terkoyak oleh sambaran peluru yang tersembur dari senapan mesin
kemarin. Hujan yang turun semalaman seakan telah melolosi gegumpal
darah dan memindahkannya ke tanah. Lihat, di sekitar tubuh-tubuh kaku itu,
tanah dan rumputan jadi merah. Udara yang berembus pelan terasa asin dan
anyir, campuran rasa garam dan aroma darah.

"Tolonglah saya...," rintihan itu terdengar di antara tubuh-tubuh yang


terkapar kaku. Dokter Tupamahu terperanjat dan buru-buru mendekat.
Dilihatnya seorang pemuda dengan luka tempak di pahanya.

"Sebelah sini!" teriak Tupahamu. Dua orang datang membawa tandu. Atas
petunjukan Sang Dokter, mereka lantas memindahkan tubuh pemuda naas
itu dan mengangkatnya keluar halaman Gedung Kenpeitai.

"Dokter!" salah seorang pengangkat tandu berseru. "Dia pingsan, Dokter!"

Tupamahu berlari menghampiri dan memeriksa detak nadi pemuda itu.


"Benar," katanya pelan. "Segera saja bawa ke rumah sakit."

Kedua pengangkat tandu itu pun berlalu dengan langkah lebih terburu.
Tupamahu memandangi mereka sambil menduga-duga. Ia telah terkapar
berjam-jam di sini, pikirnya. Kalau saja tadi malam tak turun hujan, mungkin
ia tak lagi bisa diselamatkan. Dingin air dan angin telah membantu
menghentikan kucuran darahnya, karena lukanya tersumbat oleh gumpalan
darah beku.

Tiga puluh tujuh pemuda pejuang dan kurang dari selusin serdadu Jepang
tewas dalam pertempuran.

Sore hari itu juga kaum pergerakan di Pekalongan memakamkan 32 jenazah


korban, termasuk di antaranya sejumlah serdadu Jepang. Beberapa korban
lain lebih dulu diambil keluarganya untuk dikuburkan di pemakaman umum
desa atau di makam keluarga.

Demi mengakhiri baku tembak dan mencegah kemungkinan terjadinya


luapan balas dendam, Residen Iskaq Tjokrohadisoerjo sengaja datang ke
Pekalongan bersama Kapten Nonaka dari Garnisun Banyuman, disertai
seorang penerjemah, Saburo Tamuro. Kedatangannya bermaksud
mengadakan perundingan dengan Badan Keamanan rakyat yang dipimpin
Iskandar Idris, seorang tokoh Muhammadiyah dari Pekajangan.

Pada perundingan itu Iskandar Idris menuntut gencatan senjata. Semua


orang Jepang di Keresiedenan Pekalongan harus menyerahkan senjatanya
kepada BKR, lalu secepatnya angkat kaki dari wilayah keresidenan ini.
Nonaka san Saburo Tamuro setuju dengan tuntutan itu. Mereka berjanji akan
melakukan kontak dengan para opsir Kenpeitai di markas mereka yang
terkepung. Perundingan berakhir dan dua orang Jepang itu segera pergi
untuk melunaskan janji. Saat itu pukul 9 malam.

Setelah semua kalangan menunggu dengan perasaan yang tak nenentu, dua
jam kemudian seorang wakil penguasa militer Jepang, bekas staf Shuchokan,
datang ke Kantor Kawedanan dan menyampaikan kabar bahwa Kenpeitai
bersedia memenuhi tuntutan BKR.

Kapten Kenpeitai T Oka malam itu juga langsung menemui Komandan


Garnisun Pekalongan, Iskandar Idris, guna membuat perjanjian tentang
pelaksanaan gencatan senjata dan pemindahan orang-orang Jepang.

Di dalam akta persetujuan itu disebutkan bahwa orang-orang sipil Jepang


untuk sementara berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia, sampai
tersedia alat angkutan yang dapat mengusung mereka ke Banyumas. Truk-
truk yang disediakan BKR diutamakan untuk mengangkut para personil
militer lebih dulu, agar mereka tak menjadi sasaran kekerasan balas
dendam.

Hari itu, 7 Oktober 1945, Keresidenan Pekalongan menjadi daerah pertama


di Jawa, bahkan di seluruh Indonesia, yang bebas dari kekuatan militer
Jepang.

Pada saat seluruh serdadu Jepang dari Garnisun Kota dan Kenpeitai bergerak
meninggalkan Pekalongan dengan kawalan BKR, nun jauh di pedalaman,
tepatnya di Desa Cerih, Kecamatan Jatinegara, Tegal Selatan, massa rakyat
mengepung rumah Kepala Desa.

Desa Cerih dikenal sebagai tempat kediaman para tokoh radikal, sejak masa
Sarekat Islam pada dasawarsa 20-an. Malam itu, sehari setelah para korban
penembakan yang dilakukan Kenpeitai dimakamkan, warga di pebukitan
miskin penghasil singkong itu berduyun datang dan berkerumun di seputar
rumah Raden Mas Hardjawijana.

Lurah Hardjawijana, dibantu para anggota keamanan desa, menutup dan


mengganjal semua pintu dengan barang-barang besar dan berat seperti
meja-kursi atau lemari. Ki Lurah juga meminta para pengawalnya bersiaga
dengan senjata tajam mereka, dan sewaktu-waktu pertahanan mereka
berhasil diruntuhkan massa, sehingga orang-orang merangsek ke dalam, ia
memerintahkan para pengawal itu untuk tidak segan-segan membunuh
sebelum dibunuh.

"Tapi, mereka adalah para tetangga dan sanak saudara kita sendiri, Ki
Lurah," kata seorang pengawal.
"Tidak ada lagi tetangga atau sanak keluarga," jawab Hardjawijana. "Kau
lihat sendiri, mereka memperlakukan kita sebagai musuh. Jadi, jangan ragu.
Lindungi dirimu, lindungi majikanmu yang melindungi kehidupanmu."

Rakyat yang mengepung rumah itu ternyata tak terpancing untuk


mendobrak ke dalam. Obor-obor berkobaran di tengah kegelapan. Teriakan-
teriakan melengking meminta Ki Lurah keluar.

"Jangan keluar!" teriak Ki Lurah kepada seisi rumah.

Massa semakin geram. Mereka mengancam akan membakar rumah Ki Lurah.

Dari celah dinding, Lurah Hardjawijana mengintip kerumunan orang-orang di


halaman. Jumlah mereka terus bertambah. Ia lihat tidak hanya para lelaki
dewasa yang berdesakan di sana, melainkan juga para perempuan dan anak-
anak mereka.

"Apa salah kita, Pak?" teriak istri Ki Hardjawijana. Perempuan itu meraung
sambil bersimpuh di dekat kaki sang suami.

Ki Hardjawijana terus memicing di celah dinding, mengawasi jilatan lidah-


lidah api di pucuk-pucuk obor yang dijulangkan orang-orang. Tubuh Ki Hardja
gemetar. Ia mendengar raungan dan perta nyaan istrinya, namun perasaan
gugup yang mengguncan-guncang dalam dada membuatnya gagap, tak
mampu menjawab.

Lidah-lidah api itu memang masih berjarak beberapa tindak dari dinding
kayu rumah lurah itu. Ancaman orang-orang belum dilaksanakan. Namun
desakan agar Ki Lurah keluar mulai dinyatakan dengan cara yang lebih kasar.
Batu dan kayu berhumbalangan ke atap rumah. Beberapa keping genting
langsung ambyar dan jatuh berkeping-keping.

Raung istri Ki Hardja mendadak meninggi, lalu tubuh perempuan ngembrot


itu seakan kehilangan tenaga, melepaskan pegangan pada kaki suaminya,
menggelosor ke lantai kotor. Ki Hardjawijana tambah kebingungan ketika
melihat istrinya pingsan karena ketakutan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri,
mengharap pertolongan dari para pengawalnya, namun orang-orang itu
telah memencar dan mendepis di balik meja dan dipan, berlindung dari
pecahan genting yang berjatuhan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======
This is Google's cache of
http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/29/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Aug 2017 23:34:50 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEDua BElas

216

LURAH Hardjawijana terbangun. Ia dengar kokok ayam jantan bertingkahan


dengan cericau burung. Hari hampir pagi, ia tertegun. Gerimis turun
bersama embun. Ia heran mendapati dirinya sendiri terlentang di samping
dinding papan, juga istrinya yang tidur dengan deru napas tak teratur. Apa
yang terjadi, pikirnya. Lelaki itu lantas mengguncang-guncang tubuh sang
istri sambil bertanya, ''Bu, bangun. Mengapa kita tidur di sini?''

''Perempuan itu menggeliat dan begitu membuka mata ia langsung memeluk


erat suaminya. Air matanya kembali mengucur, napasnya tambah berdebur,
menyebabkan ia tak begitu jelas dalam bertutur. ''Apakah mereka sudah
pergi, Pak?''

''Hah? Apa?''

''Apakah orang-orang itu masih di sana?''

''Kamu mimpi apa, Bu?''

''Mereka mau membunuh kita, Pak.''

''Ngelindur kamu, Bu!''

Air mata mengucur lebih deras. Perempuan itu bertambah putus asa
lantaran -sebagaimana biasa- sang suami tak pernah hirau pada kata-
katanya. Adakah yang lebih sial ketimbang seorang istri dungu sepertiku?-
pikir perempuan itu. Suaminya baru saja bertanya dan ia menjawab sebisa-
bisa, tapi ia malah dituduh mimpi, ngelindur, dan entah apa lagi cemooh
yang lebih buruk yang masih sembunyi di balik bibir hitam tertimbun kerak
tembakau itu. Karena enggan berkata-kata, perempuan itu hanya menuding-
nudingkan teluncuknya ke halaman depan.

''Gusti Pengeran!'' Saat itulah Ki Lurah Hardjawijana mengerti apa yang


dimaksud sang istri. Ia kembali memicing di celah dinding. Ia saksikan
gumpal-gumpal bayangan, berjumlah puluhan, menggerombol di seputar
rumahnya. Makhluk apakah mereka, pikirnya. Ia lihat lebih cermat lagi. Saat
itu langit belum bersih, gerimis masih, namun nun di dinding langit timur
cahaya keemasan telah menyembur. ''Gusti Pengeran! Bukankah itu adalah
banyangan orang-orang?'' Ki Hardjawijana menggumam. Dan manakala ia
lihat puluhan batang bambu mengacug ke udara, obor-obor yang tak lagi
menyala, ia memekik bertanya, ''Mau apa mereka?''

''Mau membunuh kita, Pak?''

''Hah? Apa?''

''Mereka akan membakar rumah.''

''Gusti Pengeran! Apa salah saya?''

Mengapa engkau masih bertanya, wahai Ki Lurah Hardjawijana? Tidakkah


kau sadar betapa rakyat nyaris tak kuasa menahan lapar? Proklamasi sudah
hampir dua bulan, namun hidup tak tersentuh perubahan. Kemiskinan masih
terus, ketakutan dan kebodohan belum juga bosan menyelubungi tubuh-
tubuh yang teramat tirus. Berton-ton padi yang disetor rakyat seusai panen,
selama Mei dan Juni, hanya menumpuk di gudang-gudang milik Jepang.
Setelah Jepang kalah perang, Indonesia merdeka, dan rakyat terancam
busung lapar, mengapa padi-padi itu tak juga dibagikan? Begitulah Ki,
wargamu menuntut pembagian padi.

''Budak Jepang!'' teriak seseorang.

''Tuanmu telah hengkang!''

''Keluar!''

''Atau rumahmu kami bakar!''

Oi, orang-orang itu! Hujan tercurah semalam, obor-obor mereka sampai


padam, tapi mengapa tak seorang pun bergeser dari tempatnya? Apakah
dendam telah mengebalkan tubuh mereka dari denturan hujan dan angin?
Apakah dendam telah melekatkan telapak kaki mereka dengan tanah
sehingga sejengkal pun mereka tak melangkah sebelum aku menyerah? Ki
Hardjawijana meracau dalam hati. Hari telah benar-benar pagi. Gerimis dan
embun berhenti. Kokok ayam dan cericau burung tak terdengar lagi.
Perempuan gembrot di sampingnya telah terbelalak matanya. Sepasang
mata bundar dan lebar. Maniknya telengas, tambah kelam dipulas rasa
cemas.

''Saya akan keluar, Pak.''

''Jangan, Bu. Mereka bisa mencelakakan kamu.''

''Saya sudah lama celaka.''


''Apa maksudmu, Bu?''

''Tak apa-apa.''

''Tapi mengapa kamu bicara begitu?''

''Saya juga tak tahu. Saya selalu tak mengerti apa yang terjadi selama ini.
Saya hanya menjalani hidup saya. Hidup yang bahkan bukan milik saya.
Saya ngomong begini-begitu, seperti orang ngelindur, barangkali memang
begitulah takdirku, sudah diatur oleh sang Juru Tutur.''

''Kamu ngelindur, Bu!''

''Tidak, Pak. Saya sadar sepenuhnya. Mata saya terbuka. Saya melihat
bahaya di luar sana. Saya mau keluar.''

''Bagaimana dengan anak-anak, Bu?''

''Anak-anak akan ikut celaka jika kita tak penuhi tuntutan warga. Biar mereka
tetap sembunyi di kamar, mari kita keluar.''

Matahari tak hanya menyiramkan cahayanya ke daun-daun dan batang-


batang pohonan. Atap rumah yang pecah, tanah basah, orang-orang lapar,
dan sepasang suami-istri yang gemetar -semuanya, segalanya, pagi itu
tampak tak biasa di bawah curah cahaya sang surya.

Istri Ki Hardjawijana tak berani menegakkan muka dan memandang para


tetangga. Ia melangkah gontai dengan leher terkulai, kepala menunduk,
dadanya terguncang oleh sedu-sedan dan rasa malu yang tak
tertanggungkan.

Ki Lurah mencoba tak menyerah. Ia berusaha berjalan tegak layaknya


seorang bangsawan menghadapi para kawula. Tapi, ah, mata mereka itu!
Siapakah yang menanam benih api di ceruk mata mereka, Gusti? Aku
melihat kilatan-kilatan cahaya, seperti kerinduan yang menggilap di gigir
parang sehabis diasah, caling-caling maut yang mendamba curah darah. Aku
tak kuat lagi, Gusti. Kuserahkan tubuhku, kupasrahkan nasibku, bahkan
melalui cara yang hina-dina ini, bila memang inilah yang Eangkau kehendaki.

ìApa salah saya?î Ki Lurah Hardjawijana bertanya kepada orang-orang yang


menikami tubuhnya dengan sorot mata runcing dan tajam.

Oi, Ki Lurah! Bukankah ini bukan saat yang tepat untuk bertanya-jawab?
Orang-orang itu memang warga desamu, pribadi-pribadi sederhana yang
selama ini terpaksa mendengar apa katamu. Lihatlah, Ki Lurah, bahkan
dalam keadaan sangat marah pun mereka tetap diam, karena sekian lama
kau telah membenamkan suara mereka. Kau hanya butuh lubang-lubang
telinga mereka sebagai jalan bagi kata-katamu merasuk ke benak mereka
dan mengeram di sana memengaruhi aliran darah dan gerak urat-syaraf
mereka. Percuma, Ki, kau bertanya apa salahmu. Mereka memang
mendengar namun tak hendak dan tak mampu menjawab pertanyaan
sederhana itu, kecuali dengan naluri purba yang selama ini juga berbiak
dalam dirimu.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/04/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 6 Aug 2017 07:46:22 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEDUA BELAS

221

DI ATAS makam Sang Amangkurat, sejangkah di depan nisan, Raden Mas


Soeparto Sastrasoeworo berdiri tegak, diapit Lurah dan Carik Lemahduwur,
dalam naungan pohon beringin. Sesekali mata Camat Adiwerna itu
mengerling ke arah cahaya matahari yang menerobos rerimbun daun
trembesi, seolah cahaya itulah wahyu yang hendak merasuki dirinya. Camat
muda yang belum cukup pengalaman bicara di depan massa itu, betapapun
berupaya menyembunyikan gugup, tetap gagap. Pakaian bangsawan yang ia
sandang terasa sesak, membuat gerak-geriknya tidak leluasa. Keringat
merembes di selangkangan dan kedua ketiaknya.

"Saudara-Saudaraku, pewaris kebijakan Ajisaka yang mulia!" Ia memang


datang dengan sebuah angan-angan yang ia sangka akan mampu
membangkitkan kebanggaan diri rakyat, dengan menggali akar yang dapat
ia jadikan peneguh bahwa semua warga Kecamatan Adiwerna, bahkan
seluruh orang Jawa adalah saudara, sebab mereka merupakan para penerus
ajaran seorang ksatria yang sama.

"Mari kita syukuri berkah hidup yang membahagiakan ini dengan bersembah
kepada Gusti Pengeran dan kepada leluhur yang telah mengajari kita
memelihara kehidupan bersama." Kehidupan bersama itu, katanya, hanya
dapat lestari jika dijaga dengan aturan dan kepatuhan sebagaimana
diajarkan Sang Ajisaka.

Ajisaka, menurutnya, bukanlah sembarang orang yang datang dari seberang.


Ia adalah pembawa ajaran kebaikan dan kebenaran yang telah terbukti
menjadi landasan rumah bersama yang menaungi kekerabatan manusia
Jawa.

"Ingatlah, Saudara-Saudara," seru Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo,


"Ajisaka itu memang pendatang, namun kita menghormatinya sebagai
seorang panutan. Kita menghormatinya lantaran ia telah memeberikan
banyak sumbangan yang turut memperkaya warna dalam kehidupan orang
Jawa. Jadi, Saudara-Saudara, di dalam menilai seseorang kita tidak boleh
hanya menimbang dari mana asalnya, melainkan harus lengkap mengetahui
pikiran dan tindakannya. Tidak semua pendatang jahat. Tidak semua
pendatang bisa dianggap musuh masyarakat."

Orang-orang menyimak lebih cermat, mulai menerka-nerka ke mana arah


kata-kata Sang Camat. Adakah pejabat muda itu juga tak beda dengan para
pangrah praja tua yang selalu berusaha membela kaum penjajah yang sudah
jelas tak sesuai dengan dongeng Ajisaka? Kecurigaan orang-orang susut
kembali ketika Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo membabar
pengetahuannya tentang tokoh dongeng itu.

"Ajisaka itu, Saudara-Saudaraku, adalah lambang dari segala perilaku luhur,"


katanya. "Aji berarti utama, berharga, atau berguna. Sedangkan saka berarti
tiang, penyangga. Maka Ajisaka tiang utama, penyangga yang berharga.
Rumah bersama manusia Jawa akan ambruk, kebersamaan para
pengguninya akan remuk, jika kita semua tidak menegakkan tiang utama itu,
Saudara-Saudara!"

Di udara yang terang benderang saat itu terlihat beberapa ekor burung
hitam terbang dari jauh lantas lenyap di balik kelebatan pohon-pohon besar.
Sedangkan di depan pemakaman keramat itu, orang-orang mulai
berdatangan namun tak bergabung dengan warga yang lebih dulu datang
dan bergerombol di keteduhan pohonan. Tak ada yang peduli mengapa
orang-orang yang baru datang itu hanya berdiri.

Di akhir pidatonya, Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo mencoba


menghubungkan antara dongeng Ajisaka dengan kedatangan tentara Sekutu
yang konon diboncengi oleh orang-orang Belanda. Camat itu tak menyadari
bahwa kaum pergerakan telah lebih dulu tahu tentang kedatangan kekuatan
asing pada tanggal 29 September di Jakarta. Camat juga tak tahu bahwa di
seluruh ruang gerak bawah tanah telah beredar desas-desus tentang
kekejaman orang-orang NICA terhadap kaum pribumi. Dan Camat itu bahkan
tak tahu bahwa di antara para warga yang tampak sedang menyimak
pidatonya secara seksama, beredar kabar bahwa NICA telah menangkap dan
menahan Bung Karno.

Ketika Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo melangkah turun dari tempatnya


pidato, sebuah undakan makam yang meskipun tidak mirip namun bisa
dibayangkan sebagai podium, massa yang menggerombol di dalam areal
makam maupun yang berdiri di luar tetap tenang. Satu-dua ekor burung
hitam masih tampak berdatangan dari jauh, jumlahnya semakin banyak
hingga kepekatan bayang-bayang daunan pohon trembesi dan kepuh di
kuburan tampak lebih hitam karena keberadaan burung-burung itu. Menyatu
dengan bayang-bayang, bentuk mereka tak lagi dapat dengan mudah
dipilah, seakan semua warna hitam telaqh menyatu, menggelayut di
cecabang pohon-pohon besar berumur ratusan tahun itu.

Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo hendak duduk di kursi -satu-satunya


kursi di kuburan itu, khusus disediakan oleh Ki Lurah Lemahduwur untuk
sang Camat-mendadak terdengar laung nyaring seekor gagak. Orang-orang,
tak terkecuali sang Camat, pun tersentak. Dan seketika itu pula, gegumpal
hitam, gabungan kawanan gagak dan bayang-bayang di cecabang pohonan
serta-merta ambyar. Burung-burung hitam itu serentak berteriak seirama
sayap-sayapnya yang terkepak. Kuburan keramat itu tampak semakin
angker. Pohon-pohon besar berdaun rindang yang diam, burung-burung
hitam yang berkisaran, dan orang-orang yang gelisah ketakutan.

Dan orang-orang yang ketakutan itu, termasuk Sang Camat dan seluruh
pamong desa, bergegas meninggalkan kuburan. Namun, sebelum mereka
sempat melewati gerbang makam, pandangan mereka seakan dirabunkan
oleh alam. Orang-orang yang datang belakangan, yang sejak tadi diam dan
berdiri di depan pagar pembatas tanah makam, tak lagi ada di sana. Yang
ada hanyalah burung-burung gagak yang bertengger di setiap batang
penyangga pagar. Burung-burung itu menatap tajam ke arah mereka. Paruh
burung-burung itu sesekali membuka, namun tanpa terdengar suara. Dan
manakala orang-orang di dalam tanah makam itu mengucek mata, sekilas
burung-burung itu berubah ke bentuknya semula. Sekilas mereka melihat
lagi orang-orang yangt diam berdiri. Sekejap berikutnya, orang-orang yang
mereka lihat telah menjelma puluhan burung hitam. Perubahan bentuk, dari
orang ke burung hitam atau sebaliknya, sungguh membingungkan Sang
Camat dan para pengikutnya.
Terdengar lagi lengking gagak di angkasa. Dan seketika itu pula seluruh
burung hitam yang bertengger di jeruji pagar makam mengepakkan sayap
dan terbang berkisaran di atas kepala Sang Camat dan para pamong desa.
Para pengikut mereka, rakyat yang penurut dan penakut, segara ambyar dan
berpencar. Tinggal Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo dan para pamong
desa yang saling berpegangan, bergerak secepat mereka bisa, menuju
pendapa. Namun, sebelum sempat mereka menginjakkan kaki ke undakan
pertama, burung-burung itu telah melesat ke arah mereka. Si Carik melepas
Ki Lurah, lalu lari. Ki Lurah melepas Sang Camat lantas juga lari. Sang Camat
hendak mengejar mereka, tapi seekor burung langsung menghunjamkan
paruh tajamnya tepat di mata kanan Sang Camat. Lelaki muda itu memekik,
tapi suaranya yang mengandung rasa sakit justru mengundang burung-
burung hitam itu menukik dan dalam sekajap wajah tampan kebanggaan
Raden Mas Soeparto Sastrosoeworo pun hancur tercabik-cabik.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/06/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Aug 2017 21:38:15 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KeTIGA belas

223

PENDARATAN Tentara Inggris di Jakarta, yang diboncengi kekuatan Tentara


Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL),
dikenal pula sebagai Tentara NICA karena membantu Netherlands Indies Civil
Administration, semakin menguatkan kekhawatiran rakyat akan terjadinya
penjajahan kembali oleh Belanda.

Tahun-tahun penindasan yang mengakibatkan kesengsaraan panjang sampai


masa sebelum perang, ditambah kemelaratan yang ditandai oleh wabah
kelaparan pada akhir pendudukan Jepang, telah menjadi mimpi buruk yang
setiap saat -ketika mendengar berita tentang kedatangan bangsa asing-
langsung membangkitkan kepanikan yang luar biasa di kalangan rakyat
jelata.

Kekhawatiran tambah mengental menjadi ketakutan setelah beredar kabar


bahwa Tentara NICA, dengan bantuan orang-orang Indo -sebutan bagi orang-
orang Eropa yang lahir di Hindia Belanda- telah bertindak kejam terhadap
penduduk Ibu Kota. Mereka konon dibantu pula oleh orang-orang Ambon dan
Manado. Desas-desus kian santer. NICA dan pasukan Indo dikabarkan hendak
menumpas gerakan kemerdekaan dengan menangkap dan membantai para
pemimpin Indonesia. Rakyat semakin resah. Mereka beranggapan bahwa
kemerdekaan Indonesia sedang terancam oleh NICA dan kekuatan orang-
orang Indo bersenjata.

Kekuatan orang Indo memang tak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Selama masa pendudukan, orang-orang Belanda melakukan perkawinan
silang, yang legal maupun yang tidak, dan telah melahirkan keturunan yang
terhitung banyak, sekitar sembilan juta jiwa pada tahun 1940. Sejak 1930-
an, sebanyak 12 persen dari jumlah itu bermukim di Keresidenan Pekalongan
dan mendapat kedudukan yang istimewa. Hampir separo dari penduduk
Eropa di keresidenan itu tinggal di Kabupaten Tegal, terutama di kota
kabupaten, dan sisanya tinggal menyebar di kota-kota lain atau tempat-
tempat berdiri pabrik gula. Di Pemalang mereka terpusat di dua tempat: kota
dan Comal. Bagian terkecil tinggal di Kabupaten Brebes. Kebanyakan dari
mereka menempati dataran rendah dan pantai, kecuali sekitar dua puluh
keluarga yang memilih bermukim di daerah pegunungan di bagian selatan.
Kesejahteraan orang-orang Indo itu tergantung pada pabrik gula yang
merupakan lambang penindasan ekonomi terburuk di mata rakyat.

Berkat pengetahuan dan keahlian, golongan Indo menjadi kekuatan utama


kelangsungan pabrik gula. Mereka menguasai kebudayaan dan bahasa Jawa,
sehingga dengan mudah dapat membujuk rakyat jelata dan menjadikan
mereka tenaga kerja dengan upah rendah. Mereka sendiri selalu menempati
kedudukan yang seolah mustahil ditempati orang pribumi, seperti pengawas
kebun, mandor buruh, kontraktor, analis kimia, atau ahli mesin. Kalaupun
ada orang Jawa yang menempati kedudukan setara dengan mereka,
upahnya tetap lebih rendah.

Pandangan umum mereka terhadap orang Jawa sungguh menyinggung


perasaan. Orang Jawa selalu dianggap sebagai makhluk bodoh, malas, dan
jorok -derajatnya lebih rendah daripada mereka yang berpendidikan, sadar
akan kesehatan dan menghargai ketrampilan bekerja.

Pendidikan mereka jadikan ukuran utama dalam menimbang harkat


kemanusiaan orang per orang. Namun, perilaku mereka ternyata
menunjukkan bukti yang sebaliknya. Terhadap orang-orang Jawa yang
berpendidikan tinggi pun mereka kurang menghargai. Orang Jawa sekolahan
diwajibkan menggunakan krama inggil setiap kali berbicara dengan mereka,
sekalipun orang yang bersangkutan fasih berbahasa Belanda dan bahkan
lebih menguasa tatabahasa ketimbang mereka. Dalam waktu yang begitu
lama, setiap pabrik gula dan usaha ekonomi orang Eropa di Jawa selalu
menjadi sumber prasangka rasial yang tidak hanya memperburuk hubungan
kerja tapi sekaligus meracuni tatakehidupan di sekitarnya.

Kendati kedatangan serdadu Jepang telah menghancurkan tatakehidupan


orang Eropa dan keturunannya di Jawa, ternyata masih banyak orang-orang
Indo-Eropa yang hingga akhir masa perang tetap menempati kedudukan
yang mulia. Pada awal kedatangannya, penguasa Jepang memberlakukan
pemilahan ras atas orang-orang Indo-Eropa, berdasarkan garis keturunan
ayah. Setiap orang Indo harus punya bukti asal keturunannya.

Di Keresidenan Pekalongan keadaannya sedikit berbeda, karena sistem itu


tidak diberlakukan. Perlakuan terhadap orang-orang Indo-Eropa didasarkan
atas persentase darah Eropa dalam diri setiap orang. Semua orang Belanda,
termasuk orang-orang yang punya 50 persen darah Belanda, terutama yang
masih bekerja di pabrik-pabrik gula, diperintahkan agar segera pindah ke
Jakarta. Yang diizinkan tetap tinggal adalah mereka yang hanya memiliki 25
persen darah Belanda, atau orang-orang dari luar Jawa, terutama Manado
dan Ambon yang semula membantu Belanda.

Penguasa Jepang di Keresidenan Pekalongan mengangap bahwa pertalian


darah erat hubungannya dengan kesetiaan. Dua puluh lima persen darah
Eropa dalam diri setiap orang Indo masih bisa menjadi alasan untuk tidak
tunduk terhadap penguasa Jepang. Sebab itu, sampai akhir masa perang,
penguasa Jepang masih mewajibkan orang-orang Indo untuk melaporkan diri
sebulan sekali, bahkan beberapa di antara mereka masih dipenjara.

Perlakuan penguasa Jepang terhadap orang-orang Indo hanya dipandang


sebagai bagian dari perebutan kekuasaan bangsa asing yang tidak
mendatangkan perubahan berarti bagi rakyat pribumi. Terlebih lagi ketika
pabrik-pabrik gula kemudian pindah ke tangan penguasa Jepang dan
kesengsaraan rakyat justru meningkat, maka kepercayaan terhadap Saudara
Tua, Pelindung Asia Timur Raya, berubah menjadi kebencian.

Dalam waktu singkat, desas-desus kekejaman Tentara Nica di ibu kota telah
menyebar ke seluruh Jawa. Bahkan pada tengah malam tanggal 11 Oktber,
dari Markas Barisan Pelopor Tegal diumumkan sebuah seruan agar
menangkap dan menahan semua orang Indo, Ambon, dan Manado, sebagai
balasan atas kekejaman NICA di Jakarta.

Seruan itu segera mendapat sambutan dari rakyat. Desas-desus kekejaman


NICA bahkan tidak hanya membangkitkan dendam mereka terhadap orang-
orang yang punya hubungan dengan Belanda. Kecurigaan dan rasa
permusuhan mereka kian meluas dan menjelma gerakan anti-orang asing
dan anti-antek orang asing.
HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

BAGIAN KETIGA BELAS

226

PERISTIWA Dukuhwaringin bukanlah satu-satunya kejadian yang


menggemparkan hari itu. Balas dendam yang dilakukan oleh massa di
wilayah selatan Tegal itu hanyalah merupakan satu bisul yang pecah
menyusul pembunuhan Camat Adiwerna dan beredarnya hasutan yang
tertulis di semua gerbong kereta api yang melintas di Slawi: Bunuh semua
orang NICA! Kereta menjalar dan kemarahan pun menyebar.

Gerakan anti-NICA dengan sangat cepat meluas dan menguat. Jika semula
yang menjadi sasaran kemarahan rakyat hanya sebatas orang-orang yang
punya hubungan dengan Belanda, seperti orang Indo dan orang-orang dari
luar Jawa yang bekerja dengan Belanda; akhirnya siapa pun yang selalu
berbahasa Belanda dan siapa pun yang gaya hidupnya seperti orang Eropa
akan dicap sebagai ''Belanda'' dan itu berarti celaka.

Pada hari yang sama, 11 Oktober, pembunuhan atas orang Indo juga terjadi
di Pangkah, sekitar enam kilometer sebelah timur Slawi. Di sana memang tak
terjadi pengadilan terbuka, tak ada orang yang berduyun datang dan
berkerumun di tanah lapang, juga tak terdengar gemuruh hasutan
membunuh. Dibanding Dukuhwaringin, Pangkah hari itu terhitung sepi,
kendati pembunhan yang terjadi tak kalah keji.

Korban segera dikenali, bernama Henry Gill, pemeluk Katolik Roma, kelahiran
Kediri, Jawa Timur, dan pada 1914 menikah dengan seorang gadis Pangkah.
Henry bekerja sebagai ahli mesin di pabrik gula setempat. Dua orang
putranya, Harry dan Bernard, suatu hari pada September pulang dari Kamp
Cimahi demi membujuk sang ayah agar bersedia pindah ke Bandung,
mengingat situasi politik di Tiga Daerah tidak lagi menenteramkan bagi
warga keturunan. Henry Gill menolak bujukan kedua putranya. Ia sangat
paham dan menyadari apa yang sedang berkembang di daerahnya, namun
ia bersikukuh tinggal di Pangkah dengan sejumlah alasan.

''Situasi memang sedang kacau, tapi Papa akan baik-baik saja,'' katanya.

''Papa memang dikenal masyarakat sekitar sebagai Belanda baik,'' sahut


Harry Gill. ''Papa bersahabat dengan para tetangga yang semuanya Jawa,
tapi bukan berarti Papa tidak harus berhati-hati.''

Henry Gill tersenyum, mencoba menepis kecemasan putra-putranya. ''Sejak


kecil Papa menyukai mesin, Nak. Papa bergaul dengan benda-benda kecil
dalam sistem yang rumit dan itu berarti Papa selalu berhati-hati.''

''Tapi, Pa,'' sela Bernard. ''Sejak NICA mendarat bersama Sekutu di Batavia,
lalu muncul desas-desus kekejaman NICA di ibu kota, di mana-mana segera
merebak gerakan antiorang Belanda, yang bukan tidak mungkin berkembang
menjadi gerakan antiorang asing, dan berkembang lagi menjadi gerakan
anti-segala hal yang berbau asing. Dan Papa tahu, gerakan macam itu
cenderung berubah menjadi anarkhi.''

Orang tua itu manggut-manggut, memahami kecemasan anak-anaknya,


namun ia tetap tetawa. ''Yeah, saya paham. Sangat mungkin terjadi
kebrutalan-kebrutalan balas dendam. Tapi, yang namanya balas dendam
selalu punya sasaran yang jelas, bukan? Papa percaya, yang akan menjadi
sasaran pembalasan adalah perlakukan yang tidak semena-mena, bukan
sembarang orang Belanda atau yang dianggap Belanda.''

''Maksud Papa, yang dibalas adalah tindakannya, bukan orangnya?'' Harry


kurang mengerti.

Henry Gill terkekeh. ''Ya orang yang melakukan tindakan sewenang-wenang


kepada rakyat, itulah yang akan dibabat. Itu saja, bukan semua orang
berkulit merah lantas jadi sasaran amarah.''

''Tapi, Pa,'' timpal Bernard. ''Kalau yang terjadi adalah amuk massa,
bagaimana mereka bisa memilah mana Belanda yang baik dan yang jahat?
Mungkin pada saat amuk telah berkecamuk, di mata mereka semua orang
Belanda adalah musuh.''

''Kalian tenang saja,'' jawab Henry Gill. ''Orang-orang Jawa ini secara umum
belum punya kesadaran sendiri. Mereka tak ubah wayang yang selalu
meringkuk di dalam kotak dan hanya bergerak jika digerakkan sang dalang.''

Henry Gill lantas menerangkan bahwa sepanjang pengetahuannya, belum


pernah terjadi rakyat melakukan perlawanan karena kesadaran mereka
sendiri. Selalu ada yang menggerakkan. Hampir semua gerakan rakyat
terjadi karena diprakarsai oleh tokoh-tokoh dari kalangan priayi. ''Tak perlu
takut pada tangan dan kaki, bila kita bisa mesra dengan kepala.''

''Maksud Papa?'' tanya Harry lagi.

Henry Gill menegaskan alasannya tidak mau pindah ke Bandung dan akan
tetap tinggal di Pangkah karena ia yakin didinya tak akan menjadi sasaran
amarah. Keyakinan itu didasarkan atas persahabatannya yang erat dengan
Kiai Badrun, pemimpin Sarekat Islam setempat. Apalagi, kedua anak lelaki
Kiai Badrun, Mansur dan Sidik telah menjadi tokoh Angkatan Pemoeda
Indonesia. Hubungan mereka sudah seperti keluarga. Andaikata terjadi
kekacauan, Sarekat Islam dan para pemuda API tentu melindunginya.

''Kalau mereka tidak melindungi Papa,'' katanya mantap, ''mungkin sekarang


Papa sudah tak ada.''

Kepada kedua putranya, Henry Gill lantas bercerita tentang kejadian yang ia
alami sebulan sebelumnya. Saat itu para pemuda sedang giat melaksanakan
kampanye kemerdekaan. Semua orang Indo disuruh berkumpul di halaman
pabrik gula dan satu demi satu ditanyai sikapnya tentang proklamasi. Ketika
tiba giliran Henry Gill, seorang pemuda mendorongnya dengan kasar ke atas
mimbar.

''Papa maju sambil Papa lirik siapa pemuda itu,'' mata Henry menerawang,
mengenang. ''Papa berdiri di mimbar dengan tegap dan tenang, karena Papa
tahu, di depan Papa ada Marsur dan Sidik yang akan membela Papa.''

''Papa bicara apa di mimbar itu?'' Bernard ingin tahu.

''Apa boleh buat, karena didesak, Papa katakan saja pendapatnya. Apa
adanya!''

Tanpa menunggu pertanyaan berikutnya, Henry Gill menuturkan bahwa ia,


dengan tenang dan suara lantang, menyatakan sikapnya tentang
kemerdekaan. ''Mula-mula Papa bilang, 'Saya menyetujui proklamasi, tapi
nanti'. Tapi lalu ada yang mendesak Papa untuk menjelaskan apa maksud
Papa.'' Henry berhenti sejenak, terkekeh. ''Maklumlah, mereka bukan
pemuda-pemuda yang sepintar kalian. Yah, akhirnya Papa katakan dengan
cara yang lebih gamblang. Papa bilang, 'Saya terpaksa menerima
proklamasi, tapi prinsipnya saya tidak menyetujui'.'' Nah, katanya, tidakkan
pernyataan sikap seperti itu cukup berbahaya? Kalau mereka ingin
melenyapkannya, tentu sudah dilakukan hari itu juga.

HexWeb XT DEMO from HexMac International


KUTIL

Karya Sitok Srengenge


BAGIAN KETIGA BELAS

230

BEBERAPA ekor kuda di istal peternakan itu meringkik bersama. Beberapa


yang lain bergerak-gerak resah, mendongakkan kepala dan meninggikan
ekornya, sesekali menggerombol berdesakan di sudut kandang, mata
mereka mengarah ke kegelapan. Tak terlihat apa-apa, selain bayang-bayang
yang masih pekat di rerimbun tumbuhan. Binatang-binatang yang ditangkar
dalam istal luas di belakang rumah itu pun kembali tenang. Gemeretak
ranting kering dan gemerisik dedaunan tak lagi terdengar. Juga kelebat
bayangan segerombol orang yang mengendap-endap dan menyelinap tak
lagi kelihatan. Suara dan gerak bayangan itu telah pindah di sudut lain,
dekat rumah kayu yang menebarkan aroma tahu.

Subuh itu sejumlah orang sedang menyatroni rumah keluarga Wijk. Mereka
tak berani terang-terangan menggedor rumah itu karena takut diberondong
dengan senapan mesin. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Orang-
orang di Balapulang tahu bahwa dua anak lelaki Tuan Wijk menjadi serdadu
Belanda. Meski keduanya konon sudah ditangkap dan dipenjarakan, orang-
orang tatap khawatir keluarga Wijk masih menyimpan senapan.

Tuan Wijk adalah mantan pengawas perkebunan tebu, yang bekerja sampai
pabrik gula pemilik perkebunan itu ditutup saat terjadi krisis ekonomi. Pabrik
Gula Balapulang termasuk di antara sejumlah pabrik gula di Jawa yang
ditutup, bersamaan dengan beralihnya minat para pengusaha Eropa dari
tebu ke karet saat itu. Dan sejak saat itu pula Tuan Wijk mengembangkan
usaha pribadi dengan membuka peternakan kuda dan pabrik tahu.

Semasih bekerja di perkebunan Tuan Wijk dikenal sebagai pengawas yang


kejam. Orang-orang di kalangan bawah masyarakat Balapulang diam-diam
menyimpan kenangan hitam tentang perlakukan Tuan Wijk yang selalu kasar
dan sewenang-wenang terhadap kuli-kuli perkebunan. Orang-orang kecil
yang menjadi sasaran kekejiannya tak berani melawan lantaran mereka giris
terhadap pengaruh kekuasaan Tuan Wijk yang punya hubungan erat dengan
penguasa Belanda dan para pangreh praja. Orang-orang kecil itu juga takut
melawan karena, dalam bayangan mereka, sewaktu-waktu dua anak lelaki
Tuan Wijk yang jadi serdadu bisa datang bersama sepasukan tentara Belanda
untuk menghancurkan kehidupan mereka.
Hasrat perlawanan rakyat setempat tak juga tersalurkan ketika pabrik gula
ditutup dan Tuan Wijk bukan lagi majikan mereka. Bahkan mereka tetap tak
berdaya ketika kekuasaan pindah ke tangan militer Jepang. Tuan Wijk yang
sudah menjadi peternak kuda dan juragan tahu ternyata menjalin hubungan
dagang dengan para pejabat pemerintah pendudukan yang baru.

Roda kehidupan terus bergulir sampai penguasa Jepang terusir. Tuan Wijk
yang perkasa akhirnya dapat dijamah oleh para pemuda. Tanpa ada
kekuasaan yang mendukungnya, lelaki Indo itu ditangkap dan dipenjara
bersama istrinya. Penangkapan itu terjadi hampir bersamaan dengan
datangnya kabar tentang kedua anak lelakinya yang berusaha melarikan diri
namun berhasil ditelikung dan dijebloskan di Penjara Bandung.

Sebelas anak Tuan Wijk yang lain tetap tinggal di Balapulang, mencoba
bertahan dengan mengelola perusahaan. Namun benih malapetaka seakan
telah tertanam dalam jalur-jalur darah mereka. Dan maraknya gerakan anti-
NICA serta-merta menjelma pupuk yang menyuburkan semaian dendam.
Sebelas anak lantas dijadikan sasaran lantaran punya pertalian dengan
seorang lelaki mantan pengawas perkebunan yang kejam dan dalam diri
mereka mengalir darah campuran.

Pagi itu beberapa orang berhasil menyelinap masuk ke rumah keluarga Wijk.
Dari dalam mereka membuka palang-palang pintu, menabuh kentongan, dan
secara serentak orang-orang yang berada di luar pun menyerbu. Kesebelas
anak Tuan Wijk yang belum sepenuhnya terjaga dari tidur dengan gampang
mereka giring ke pelataran, masing-masing mereka perintahkan membuka
pakaian, lantas mereka paksa mandi embun dengan cara bergulingan di
rumputan.

Di antara sebelas anak itu terdapat dua orang masib balita: gadis cilik Anne
Wijk, 3 tahun, dan adiknya, Ale, 2 tahun. Kedua bocah kecil itu terus
menangis sejak kakak-kakaknya membopongnya keluar dari kamar. Udara
dingin dan kerumunan orang membuat mereka ketakutan. Dan ketika semua
kakaknya membuka pakaian, kedua bocah itu tak tahu apa yang musti
dilakukan. Orang-orang menghardik dan kakak-kakak mereka pun bersibantu
melolosi pakaian kedua bocah itu. Lantas, dengan ketakutan yang bahkan
tak berani diperlihatkan, anak-anak Tuan Wijk -kecuali dua bocah kecil yang
terus menangis- berguling-guling di rumput basah, di hadapan tatapan mata
orang-orang yang marah.

Ketika tangis kedua bocah kecil itu tak kunjung reda, orang-orang pun
melampiaskan kekesalan kepada kakak mereka. Anak-anak yang lebih
dewasa mereka paksa menghentikan tangis adiknya.

''Jangan ada yang menangis!'' bentak seseorang, bengis.

Dalam keadaan yang serbagugup, di tengah teriakan dan ancaman


penganiayaan, tangis kedua bocah kecil itu tidak berhenti, malah kian
menjadi. Orang-orang pun kian kalap. Mereka mulai memukul anak-anak
yang lebih besar, memaki mereka dengan segala macam kata-kata kasar.
Bermacam nama binatang berhamburan dari mulut orang-orang itu, seakan
hendak saling meyakinkan bahwa di mata mereka kesebelas anak Tuan Wijk
yang gemetar ketakutan itu bukan lagi manusia.

Siksaan demi siksaan justru memperuncing keadaan. Bukan hanya dua


bocah kecil yang menangis, tapi kakak-kakaknya yang sudah besar pun tak
kuasa menahan sakit. Mereka bersijerit. Kepanikan kian menjadi. Orang-
orang tambah galak, tambah lantang membentak, tambah kuat
menggampar dan mendupak. Rumput di pekarangan itu tambah basah oleh
darah.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya gagasan keji itu, orang-orang


memaksa anak-anak Tuan Wijk berdiri dan berbaris. Anne dan Ale megap-
megap kehabisan suara tangis. Seseorang memerintahkan dua kakak untuk
menggendong mereka. Seseorang yang lain memberi aba-aba agar mereka
mulai berjalan. Dan mereka pun berjalan. Telanjang. Tertatih-tatih menuju
pusat kota. Menahan sakit, perih, dan hina.

Di sebuah sumur tua, di tengah kota, orang-orang murka menyambut


mereka. Amarah dan gairah seketika menjelmakan orang-orang itu sebagai
segerombolan serigala yang dengan ganas mencabik-cabik mangsanya.
Dalam sekejap tujuh dari sebelas anak malang itu, termasuk Anne, binasa.
Jasad mereka hancur, kecuali tubuh Si Ale yang dihumbalangkan ke dalam
sumur.

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/09/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 4 Sep 2017 05:13:49 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/17/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 1 Sep 2017 09:34:20 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KETIGA BELAS

234

PADA jarak pandang sekian depa kereta kudanya, Mas Soehodo


Gondosasmito sudah mengamati seorang lelaki berkerudung sarung itu.
Orang malas, pikirnya. Ini waktunya orang bekerja, tapi mengapa lelaki yang
tampak sehat itu hanya mencangkung di pinggiran jalan kampung?
Menengoklah ke mari, menengok! Lihat siapa yang bertengger di atas pedati
ini. Bersiaplah bangkit dari jongkokmu. Bukan untuk tegak berdiri.
Membungkuk. Hormati priayi agung yang sebentar lagi lewat di depanmu.
Kalau perlu berlarilah di samping kereta kudanya. Ulurkan tanganmu,
usahakan menyentuh tangannya. Agar getaran berkah kemuliaan menjalari
urat-urat lenganmu yang kaku.

''Lihat, orang itu!'' Ia tegak-luruskan wajah anak pertama yang duduk di


pangkuannya ke pemandangan di depan sana. ''Dia orang malas. Tak mau
kerja. Lihat, Sayang, sebentar lagi dia akan berdiri dan membungkuk.''

''Kenapa membungkuk?''

''Karena ia harus menghormat kepada Ayahanda.''

''Kenapa?''

''Karena....''

Raden Mas Soehodo belum sempat merampungkan kalimatnya ketika ia lihat


lelaki berkerudung sarung itu bergerak bangkit. Lihat, apa kataku, dia
hendak menghormatiku -pikirnya. Namun, seketika itu juga, Raden Mas
Soehodo terkesiap karena lelaki di hadapannya mendadak menyingkap
sarung dan mengadang kereta.

''Berhenti!'' Sebilah padang panjang teracung tepat ke arah si kusir yang


sambil gemetaran terpaksa menarik tali kekang. Leher si kuda tersentak ke
belakang dan kaki-kakinya menghunjamkan ladam-ladam ke tanah lebih
dalam. Kereta berhenti. Secepat itu pula Raden Mas Soehodo telah
memindahkan anak pertama dari pangkuannya ke pangkuan istrinya,
sementara ia hendak beranjak sembari menghunus pedang samurai hadiah
dari seorang komandan Kenpeitai.

Nyonya Soehodo menjerit begitu melihat kelebat samurai dari arah pinggang
suaminya. Lalu perempuan itu melengking lebih nyaring, diikuti tangis
serenak anak-anak, ketika Soehar dan beberapa kawannya telah
menyentuhkan ujung bambu runcing ke perut, ulu hati, dan gelambir lemak
tepat di bawah dagu Tuan Camat Lebaksiu.

Raden Mas Soehodo Gondosasmito tak berdaya. Ia mengangkat kedua


tangan, tanda tak hendak melawan. Namun ia tak juga melepaskan pedang
samurainya. Dengan perlahan Soehar lantas meraih gagang pedang itu dari
genggaman pemiliknya yang terpaksa melepasnya begitu saja, seraya
mengucapkan perintah ''Seret dia!'' kepada kawan-kawannya.

Serentak para pemuda menjambak baju dan kain yang dipakai Soehodo dan
merenggutnya dari kereta. Priayi itu terjerembab ke tanah, tapi ujung
sarungnya nyangkut pada besi pegangan kereta hingga robek sampai ke
bagian paha. Istrinya memekik panik, anak-anaknya jejeritan ketakutan.

Ini pasti sebuah kesalahan yang fatal, pikir Soehodo. Ia berusaha bangkit,
hendak menerangkan siapa dirinya. ''Tahan-tahan!'' pintanya, ''kalian tidak
tahu siapa aku!''

Boegel tertawa lirih, lantas bicara kepada kawan-kawannya. ''Orang seperti


dia ini memamg selalu beranggapan bahwa kita tak pernah tahu apa-apa.''
Boegel lalu menyentuhkan ujung kelewangnya ke leher Soehodo. ''Kamu pikir
kami tak tahu siapa dirimu, ha?'' Ia tekan pelan-pelan kelewang itu, sehingga
Soehodo terpaksa meliukkan badan ke belakang. ''Kamu begundal Jepang
dari Lebaksiu!'' Boegel menghentakkan kalimat dan kelewang berbarengan,
sampai Soehodo terjengkang.

Para pemuda yang sesaat tadi berhenti, seketika itu juga langsung
mengarahkan senjata-senjatanya ke tubuh tabun lelaki yang merangkak-
rangkat sambil menyembah minta ampun. ''Jangan bunuh saya ... Ambillah
semua barang yang ada di kereta, tapi jangan bunuh saya dan jangan siksa
keluarga saya.''

Soehar menyeruak ke tenah kepungan. ''Kalian dengar?'' Entah kepada


siapa, Soehar bertanya dengan nada kasar. ''Orang ini hanya mementingkan
diri dan keluarganya sendiri. Kalau sudah kepepet begini, dia tak peduli harta
benda yang selama ini dia kumpulkan dengan memeras rakyat jelata.
Sekarang dia menyerahkan hartanya kepada kita, sebagai tebusan
keselamatan jiwanya dan jiwa keluarganya.''

''Ya, ya, semua sudah dengar, Har!'' bentak Boegel.

''Dengar apa? Kalian sadar bahwa priayi tengik ini hanya minta kita tak
membunuh dirinya dan keluarganya. Dia tak peduli dengan nasib kusirnya.
Dia memang tak pernah peduli nasib orang kecil seperti kita.'

''Kawan-Kawan, ambil semua barang yang berharga,'' perintah Boegel. ''Tapi


biarkan ibu dan anak-anak itu turun dulu.''

Sebagian pemuda itu pun serta-merta merangsek ke dalam kereta. Setelah


menyilakan Nyonya Soehodo gemetaran membawa turun anak-anaknya
sambil bercucuran air mata, mereka pun segara memindahkan barang-
barang dari dalam kereta ke pinggir jalan.

''Wah, arem-arem, kita bisa meneruskan sarapan!'' teriak seseorang.

''Tunggu!'' potong Soehar. ''Bawa ke sini semua makanan.''

Boegel sudah dapat menduga apa yang hendak dilakukan Soehar terhadap
Camat Lebaksiu itu. Boegel lantas meminta dua orang kawannya mengantar
Nyonya Soehodo dan anak-anaknya ke rumah Haji Nahrawi. ''Jelaskan
kepada Pak Kaji siapa perempuan dan anak-anak ini, dan minta beliau
melindungi.''

Sambil menggendong anak paling kecil, kedua tangan menggandeng anak-


anak lain, Nyonya Soehodo berjalan menjauh dari orang-orang yang masih
mengepung suaminya. Anak ragil di gendongan tak juga terhibur setelah ia
jejalkan puting susunya ke mulut mungil itu. Sementara kedua anak lainnya
terus kejer menangis, sambil sesekali memanggil nama ayahnya.

Perempuan itu mencoba melangkah lebih cepat. Ia tak kuasa menyaksikan


siksaan yang mendera suaminya. Ia ingin menutup mata, tapi telinganya tak
juga terhindar dari raung kesakitan sang suami di tengah sorak-sorai dan
caci-maki. Dengan mengerahkan seganap ketabahan, juga keberanian,
Nyonya Soehodo ingin menghindarkan anak-anak dari pemandangan yang
mengerikan. Ia tak ingin para buah hatinya menyaksikan sang ayah
teraniaya dan tak berdaya.

Pada langkah kesekian perempuan itu tak lagi tahan. Dalam hatinya ia tak
tega membiarkan sang suami menghadapi kekerasan seorang diri, tapi ia
juga tak tega membiarkan anak-anaknya yang belum dewasa menjadi saksi
atas tindakan orang-orang yang begitu keji. Perempuan itu memberanikan
diri menoleh ke belakang. Namun tak dilihatnya sang suami. Hanya tampak
punggung sekerumun lelaki dan tangan-tangan yang memegang batang-
batang bambu, sekali tangan-tangan itu terangkat tinggi kemudian melesak
ke bawah lagi -serupa serombongan orang beramai-ramai menumbuk padi.
HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/30/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 7 Aug 2017 22:09:03 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BELAS

247

TERBERSIT rasa heran di benak kawan-kawan, ketika Kamidjaja begitu


murka kepada Sayuti Melik. Bukankah selama ini Sayuti termasuk tokoh yang
banyak membantu Gerakan Bawah Tanah? Sayuti jugalah yang memberi
perlindungan kepada Widarta dan mempertemukannya dengan Pamoedji,
sebelum Widarta menjadi pemimpin gerakan. Sayuti bahkan berbaik hati
memberi ruang di majalah yang ia pimpin agar Widarta dapat
memasyarakatkan gagasan dan prinsip-prinsip perjuangan. Kini Widarta
telah menjadi Pemimpin Gerakan Bawah Tanah, menjadi atasan sekaligus
orang yang paling didengar dan dipercaya Kamidjaja. Entah mengapa,
Kamidjaja begitu benci terhadap campur tangan Sayuti.

''Saya benar-benar tidak suka campur tangan Saudara Sayuti Melik dalam hal
ini, karena dia adalah golongan Tan Malaka,'' kata Kamidjaja dengan nada
murka. ''Dia seorang komunis sejati. Peristiwa di Tiga Daerah ini mestinya
menarik simpatinya dan menggerakkannya untuk menemui kawan-kawan
seperjuangannya di Slawi. Tapi, apa yang dia laklukan, ha?''

Kawan-kawan Kamidjaja merasa tak perlu menjawab pertanyaan itu. Mereka


biarkan saja Kamidjaja menuntaskan penjelasannya.

''Dia malah lebih suka datang sebagai seorang pembesar, Wakil Gubernur,
untuk meredakan revolusi yang sedang bergolak ini.'' Kamidjaja juga
mengingatkan kawan-kawannya bahwa pada masa penjajahan Belanda,
Sayuti pernah melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan komunis,
partainya sendiri. ''Oleh karena itu,'' lanjut Kamidjaja, ''dia bukan kawan,
melainkan lawan kita. Dan mulai hari ini dia tidak boleh lagi melewati batas
Kabupaten Pekalongan dan Pemalang.'' Kamidjaja melengkapi
pembicaraannya dengan menegaskan bahwa ia akan segera memerintahkan
anggotanya agar melakukan penjagaan ketat di perbatasan.

Jawaban badan-badan perjuangan Tegal yang menolak usulannya, dan


terutama reaksi keras dari Kamidjaja, cukup membuat Sayuti terpana. Ia
sama sekali tak menduga bahwa tanggapan kawan-kawannya seperti itu. Ia
sempat berharap, dengan langkah yang ia usulkan, akan mendapat
dukungan kompak dari badan-badan perjuangan. Seharusnya kaum
revolusioner merasa beruntung, pikirnya, karena ia sebagai ëorang
pemerintahí telah bersedia membantu mereka mencapai apa yang mereka
perjuangkan tanpa harus menempuh jalan kekerasan.

Kekecewaan itu tak membuat Sayuti lantas bersedeku. Ia tinggalkan


Pekalongan untuk sementara waktu, demi menyertai rombongan Presiden
dalam perjalanan keliling dengan kereta api, seusai melakukan perundingan
Sekutu-Republik di Magelang. Ketika rombongan Presiden kembali ke Jakarta,
Sayuti memilih tinggal di Tegal. Ia segera terlibat dalam serangkaian
pergolakan rakyat. Sayuti melihat pergolakan itu bisa menjadi momen
sejarah yang penting dan menentukan, baik bagi kelanjutan revolusi sosial di
Tiga Daerah maupun bagi penyatuan berbagai unsur politik yang ingin
merebut kekuasaan dari Jepang.

Kendati begitu Sayuti tak pernah tahu tentang rencana penyerbuan ke


Kotapraja yang disusun Sakirman. Sehari sebelum penyerbuan terjadi, Sayuti
menemui Komandan Resimen 17 TKR, Kolonel KH Iskandar Idris, yang sedang
berada di Tegal dalam rangka menghadiri Konperensi Muhammadyah yang
digelar di Pagongan. Ditemani Kiai Bisri, seorang tokoh Islam dari Tegal,
Sayuti dan Iskandar Idris pun berangkat ke arah selatan.

''Apakah aman kalau kita lewat Talang?'' tanya Sayuti Melik, sedikit panik.

Sebagai seorang komandan resimen, Kolonel Iskandar Idris tentu tak merasa
giris kendati tahu bahwa Talang merupakan wilayah paling rawan dan
ditakuti. Konon, siapa pun yang berani lewat akan dicegat oleh para pengikut
Kutil dan sangat sedikit yang dibiarkan selamat.

''Mereka tentu berpikir untuk bertindak kurang ajar terhadap seorang


komandan TKR, toh?'' Iskandar Idris berseloroh.

''Ya, semoga saja tidak terjadi apa-apa,î sambung Kiai Bisri. ìSaya kenal
pemimpin mereka, kok.''

''Kiai Bisri kenal Kutil?'' tanya Iskandar Idris.

''Gurunya, Kiai Makdum, adalah teman baik saya.''

''Kabarnya si Kutil itu kebal peluru dan bisa menghilang, Kiai?'' tanya Sayuti.
''Saya tidak tahu,'' jawab Kiai Bisri. ''Kalau gurunya memang terkanal
sebagai kiai sakti. Banyak lenggaong, santri, dan pemuda pergerakan yang
mendatanginya untuk mendapatkan jimat kesaktian.''

''Saya dengar Kutil malah bisa menjelma gagak segala,'' kata Sayuti lagi.

Kolonel Iskandar Idris tertawa. ''Ah, kabar burung itu. Gagak itu kan sebutan
yang diberikan para pangreh praja untuk merendahkan Kutil, sejak ia
merampas rumah seorang pedagang untuk digunakan sebagai Markas AMRI
Talang.''

''Bukankah itu semacam perlambang, karena Kutil suka membunuh orang


dan merampas kekayaan si korban?'' Sayuti Melik penasaran.

''Memang terjadi banyak kekacauan akhir-akhir ini,'' Iskandar Idris


menjelaskan. ''Banyak pejabat, juga orang Tionghoa dan Indo, dibunuh dan
dirampok. Ada pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang API, tapi,
anehnya, desas-desus yang beredar mengatakan bahwa kekerasan itu
dilakukan oleh sekawanan gagak.'' Kolonel itu tertawa lagi. ''Mungkin karena
itulah, orang lantas mengait-kaitkan dengan Kutil. Tapi kan belum ada bukti.''

Mobil yang mereka tumpangi mendadak mengurangi kecepatan. Dari


kejauhan tampak segerombol orang sedang menghadang jalan. Sebelum
serdadu yang menjadi sopir bertanya kepada komandannya, Iskandar Idris
lebih dulu memerintahkan agar terus berjalan. ''Tenang,'' katanya.
''Pencegatan seperti ini sering terjadi di mana-mana.''

Sesaat kemudian mobil itu terpaksa berhenti. Tak bisa melaju lagi. Jalanan
dirintangi dengan sebatang pohon yang ditebang, dijaga puluhan pemuda.
Sebelum para penumpang turun dan menjelaskan siapa jati diri mereka, para
pemuda itu telah dengan sikap mengepung dan menyeret mereka keluar.
Setiap ada yang mencoba bicara untuk memberi penjelasan, seseorang
serta-merta mendaratkan pukulan.

Dalam tempo yang amat cepat empat orang itu telah diikat tangannya,
ditutup matanya, disumpal mulutnya. Mobil dan dua buah pistol, milik
Iskandar Idris dan ajudannya yang mengemudikan mobil, disita. Keempatnya
kemudian dibawa pergi, bukan dihadapkan kepada Kutil, melainan ditahan di
bekas Kantor BKR Ujungrusi.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======
This is Google's cache of
http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/02/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Sep 2017 06:24:34 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BELAS

249

BERITA tentang penyerbuan ke markas-markas TKR dan pemblokiran jalan-


jalan raya yang disusul dengan serangan umum ke Kotapraja Tegal, dengan
cepat menyebar ke seantero Keresidenan. Beberapa tokoh masyarakat,
selain menduga, pun mendapat selentingan kabar bahwa gejolak rakyat itu
bermula dari daerah-daerah di sebelah selatan kota. Dengan demikian tidak
sulit bagi mereka untuk menyimpulkan bahwa sumber gerakan adalah Slawi,
lantas menyebar ke Talang, Adiwerna, dan Ujungrusi.

Para pemuka masyarakat tahu bahwa di Slawi ada AMRI yang sangat radikal.
Banyak tokohnya adalah aktivis politik Angkatan '26 atau Kelompok Digulis,
ditambah beberapa orang dari Angkatan '30-an dan didukung kaum
pegerakan dari lapisan yang lebih muda. Orang juga telah sering mendengar
tentang Kutil, tukang cukur yang mendirikan dan memimpin AMRI Talang dan
konon bersahabat dengan Sakirman, salah seorang Pemimpin AMRI Slawi
yang disegani. Di luar Slawi dan Talang, Adiwerna dan Ujungrusi dikenal
sebagai dua daerah yang termasuk sering bergejolak dengan munculnya
tokoh-tokoh yang gigh melakukan perlawanan sejak masa pendudukan
Belanda hingga Jepang.

Dan pada hari terjadinya serangan umum ke Kotapraja, Kiai Mokhidin, yang
dikenal masyarakat Tegal sebagai seorang tokoh Islam terkemuka,
bersepakat dengan kawannya yang juga terkenal, Kiai Mokhtar, untuk ikut
meredam gejolak dengan cara mereka sendiri. Cara yang mereka tempuh
adalah melakukan pendekatan kepada para pemimpin pergerakan, terutama
Kutil, dan berupaya membujuk mereka agar menghentikan serangan.

"Darah mereka terlalu panas untuk dijinakkan oleh pangreh praja," kata Kiai
Mokhidin. "Harus ada orang lain, orang yang dipercaya masyarakat, untuk
meredam gejolak ini."

"Benar," sahut Kiai Mokhtar. "Dalam situasi kacau begini politik hampir tak
berguna. Insya Allah, kita masih bisa menyadarkan mereka dengan
pendekatan agama. Saya dengar, Kutil juga seorang guru ngaji yang sering
menyampaikan ceramah di kelompok-kelompok pengajian di sekitar Talang
dan Slawi."

"Ya, itu benar. Dia belajar agama dari Kiai Makdum."

"Oh. Mungkin ada baiknya jika kita ajak serta Kiai Makdum untuk
menyadarkan muridnya?"

Kiai Mokhidin diam sebentar. Ia mencoa menduga apa kira-kira yang


dilakukan Kiai Makdum jika mengetahui bahwa salah seorang muridnya,
mungkin juga diikuti oleh ratusan santrinya, memimpin pergolakan yang
mengakibatkan kekacauan. Mungkinkah Kiai Makdum hanya berpangku
tangan? Atau, ia justru merestui tindakan yang mengarah kepada revolusi
ini? Ah, siapa tahu. Kiai Makdum memang bukan orang politik. Lebih mudah
menebak arah pandangan para tokoh agama yang gemar berkiprah di
wilayah politik dan bermain kekuasaan. Tidak sedikit orang yang termasuk
kelompok ini berkesan abai pada prinsip-prinsip agama demi kepentingan
politiknya, atau sengaja menggunakan agama untuk mencadari persoalan
batil yang mustinya mereka hindari.

"Mungkin sudah terlambat," jawab Kiai Mokhidin. "Saya yakin Kiai Makdum
sudah memberinya nasihat. Kita hanya perlu menemui Kutil untuk
menguatkan nasihat gurunya."

"Baiklah," kata Kiai Mokhtar. "Tapi, menurut saya, selain kita sentuh hatinya
dengan ajaran agama, perlu ada alasan lain yang bisa membantu
meyakinkan dia untuk segera menghentikan serangan."

"Sampeyan benar. Dan alasan itu sudah ada." Kiai Mokhidin lantas
mengingatkan bahwa di luar masalah dampak negatif dari serangan itu,
yang nyata-nyata akan mempertajam permusuhan dan akhirnya menambah
penderitaan rakyat, pokok masalahnya tak lain adalah tuntutan rakyat untuk
merombak susunan pangreh praja dan mendesak mereka mengakui
proklamasi serta bersedia bekerja sama dengan rakyat dalam
mempertahankan kemerdekaan. "Nah, kalau soal itu kan sudah jelas.
Komandan TKR sudah membacakan pernyataan resmi di alun-alun,
menegaskan bahwa TKR bukan Tentara Keamanan Residen, bersedia
berpihak kepada rakyat dan mau membantu menemukan agen-agen NICA
yang masih berada di kota."

"Itu hanya sebagian, Kiai," sela Kiai Mokhtar. "Tuntutan mereka lebih dari itu.
Mereka menghendaki diserahkannya para pemimpin API. Mereka juga minta
agar semua pangreh praja diadili."

Kiai Mokhidin kembali terdiam. Dalam pikirannya sudah terpilah sifat-sifat


tuntutan yang diajukan rakyat. Ada tuntutan yang hanya membutuhkan
pernyataan sikap, sebagaimana telah dipenuhi oleh Komandan TKR, ada pula
yang pemenuhannya membutuhkan waktu cukup lama. "Justru itulah yang
harus kita tekankan, Kiai," katanya kemudian. "Menyerahkan dan mengadili
orang, apalagi kalau orang-orang itu punya senjata dan kuasa, kan tidak
gampang. Tuntutan seperti itu tidak mungkin dipenuhi seketika."

"Baiklah. Semoga kedatangan kita membuat Kutil, juga orang-orang


pergerakan, merasa tidak ditinggalkan."

Tak lama kemudian kedua pemuka agama itu pun meninggalkan kota
kabupaten, menuju Talang. Tentu saja, sebagaimana semua orang yang
melewati Talang dari arah Tegal, perjalanan mereka dihentikan oleh para
pemuda. Sesuai permintaan mereka, kedua kiai itu lantas dipertemukan
dengan Kutil.

Di depan pemimpin rakyat Talang itu kedua kiai menjelaskan maksud


kedatangannya, meminta Kutil menghentikan serangan. Mereka bahkan
mengatakan bahwa para pangreh praja bersedia meletakkan jabatan mereka
apabila serangan atas Kota Tegal disudahi.

Kutil bertanya, apakah mereka membawa surat kuasa dari para pangreh
paja. Tentu saja kedua kiai itu tak memilikinya. Dan lantaran itu, Kutil tak
bisa mempercayai keterangan yang mereka sampaikan. Kutil memang
pernah mendengar kemasyuran mereka, tapi ... Siapakah sesungguhnya
kedua orang ini, tanya Kutil dalam hati, yang dalam sutuasi genting begini,
ketika seluruh rakyat bergerak menentang kebatilan, malah datang seolah
sebagai orang-orang kepercayaan pangreh praja. Dari mana mereka tahu
bahwa para pangreh praja itu akan rela melepas jabatan? Bagaimana kalau
yang disampaikannya tadi tak lebih dari bayangan dan harapan mereka
sendiri? Kutil merasa perlu berhati-hati terhadap kedua tamu mulia itu.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

========

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/03/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 3 Sep 2017 08:58:39 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BElas

250

BANYAK gagasan dikatakan, banyak alasan dikemukakan, oleh Kiai Mokhidin


maupun Kiai Mokhtar, demi meyakinkan Kutil bahwa mereka berdua bukan
utusan pangreh praja, bahwa mereka hanya prihatin terhadap masib rakyat
yang akan semakin tidak menentu jika pemerintahan dibubarkan. Tak lupa
mereka menyebut nama Kiai Makdum, mengaku saling mengenal sebagai
sesama ulama. Dan setelah semua upaya meyakinkan Kutil mereka rasa tak
berhasil, Kiai Mokhidin akhirnya memohon agar dirinya dan Kiai Mokhtar
diperkenankan pulang ke Tegal.

''Keluarga kami tentu sudah guder mencari kami,'' kata Kiai Mokhtar.

''Kami juga harus kembali mengurus kegiatan para santri,'' timpal Kiai
Mokhidin.

Kutil belum sempat mempertimbangkan semua alasan kemanusiaan yang


dikemukakan kedua kiai itu, ketika seorang anak buahnya menghadap dan
melaporkan bahwa di depan markas mereka telah datang tiga orang utusan
dari AMRI Slawi yang meminta waktu untuk bertemu dengannya guna
menyampaikan surat penting dari Bung Sakirman dan Soewignjo.

Setelah memerintahkan anak buahnya untuk tetap menjagai kedua kiai, Kutil
beranjak ke ruang depan menemui para utusan AMRI Slawi.

''Assalamu'alaikum,'' Kutil menyapa tiga orang pemuda yang telah


menunggunya.

''Wa'alaikum salam,'' ketiga pemuda menjawab serentak.

Pertanyaan Kutil tentang kabar para pemimpin mereka dijawab dengan


senyuman. ''Alhamdulillah, semuanya sehat. Pak Kirman dan Pak Wig
meminta kami menyampaikan surat ini,'' kata seorang di antara ketiga
pemuda sambil menyerahkan selembar kertas yang terlipat.

Selesai membaca membaca surat itu, Kutil langsung berkata, ''Baiklah, kami
akan mengurusnya.''

Ketiga utusan itu pun minta diri.

''Sampaikan salam saya kepada Bung Kirman dan Bung Wig, juga kepada
semua kawan seperjuangan di AMRI Slawi,'' kata Kutil ketika melepas mereka
di beranda. Dan sebelum ketiga tamunya beranjak jauh, ia menambahkan,
''Kalau nanti kalian tiba kembali di sini, insya Allah tempatnya sudah kami
siapkan.''
Kembali ke ruang dalam, Kutil melihat-lihat seluruh ruang tanpa
mempedulikan Kiai Mokhidin dan Kiai Mokhtar yang menunggu izinnya untuk
pulang. Ia lalu keluar lagi dan memanggil beberapa nama anak buahnya.
''Dengar,'' katanya. ''Kita akan mendapat limpahan seorang tawanan dari
AMRI Slawi.''

''Akan kita tahan di mana?'' tanya seseorang.

''Itulah masalahnya. Saya tak mau markas ini berubah menjadi penjara.
Tempat ini terlalu sempit untuk tinggal bersama dengan pangreh praja atau
antek mereka.''

''Apakah tawanan yang akan dikirim ke sini seorang pangreh praja?'' tanya
seseorang lainnya.

''Ya. Wedana Adiwerna yang baru.''

''Oh, Haji Mawardi yang baru dilantik Mister Besar beberapa hari yang lalu?''

''Kapan ditangkap?''

''Kenapa dilimpahkan ke sini?''

Untuk menjawab pertanyaan beruntun itu Kutil menjelaskan -berdasarkan


keterangan dalam surat yang baru ia terima dari Pemimpin AMRI Slawi-
bahwa Haji Mawardi, yang resmi menjabat Wedana Adiwerna sejak lima hari
sebelumnya, ditangkap dalam perjalanan pulang, sehabis menghadiri
Kongres Muhammadyah di Pagongan.

''Kok, dia ikut ditangkap? Bukankah ia menggantikan wedana lama yang...''

Sebelum orang itu merampungkan kalimatnya, Kutil lebih dulu menyambar.


''Menurutmu harus dibiarkan bebas berkeliaran dan merajalela menebar
penderitaan? Dia memang wedana baru, tapi dia dipilih oleh Residen Besar.
Kita tidak percaya kepada Residen Besar. Dia antek NICA. Kita akan bubarkan
pemerintahan mereka. Kita akan turunkan semua pangreh praja. Kita ganti
dengan orang-orang yang mengerti nasib kita.''

Beberapa di antara anak buah Kutil manggut-manggut. Tak ada yang


bersuara, sampai Kutil kembali bicara. ''Wedana itu akan diserahkan kepada
kita, karena di Slawi tak ada tempat untuk menampung lagi.''

''Lo, bukankah markas mereka lebih luas ketimbang punya kita?'' seseorang
bertanya.

Kutil membenarkan, tapi, ''Mereka harus menampung empat tawanan lain


yang mereka ambil dari Adiwerna. Dan jangan lagi bertanya, mengapa
mereka mengambil terlalu banyak tawanan. Itu urusan mereka. Tentu ada
pertimbangan lain yang tak harus kita ketahui.''

''Baru saja kita singkirkan dua tawanan!'' keluh seseorang. ''Sekarang di


dalam sudah ada dua orang lagi, masih mau ditambah satu lagi. Mau kita
tampung di mana?''

''Ya, kita singkirkan lagi saja,'' jawab seseorang yang lain.

''Huss!'' sergah Kutil. ''Bukan kalian yang memutuskan! Sudah, bubar.


Berjaga dan bersiaga,'' tambah Kutil seraya beranjak ke dalam.

Sekali lagi ia melihat-lihat ruangan, lalu memanggil Koreng Kemurang. Begitu


yang dipanggil datang, Kutil membisikkan sesuatu sebelum memasuki
ruangannya sendiri di salah satu bagian rumah tembok mungil bekas Kantor
Bank Rakyat itu.

Setelah Kutil menutup pintu, Koreng Kemurang segera mendekati kawannya


yang menjagai Kiai Mokhidin dan Kiai Mokhtar, lalu membisikkan sesuatu.
Sambil minta maaf, kedua kiai itu mereka minta berdiri dan pindah ke ruang
sempit di bagian belakang gedung.

''Maaf, Dik,'' kata Kiai Mokhidin. ''Saya tak ingin kencing.''

''Saya juga tak ingin buang air besar,'' tambah Kiai Mokhtar.

''Bapak-Bapak perlu mandi!'' jawab Koreng Kemurang sambil mendorong


tubuh kedua tawanan ke ruang sempit yang berfungsi sebagai kakus
sekaligus kamar mandi. Begitu keduanya berada di dalam, Koreng langsung
mengikat gerendel pintunya dengan kawat, mengaitkannya dengan paku di
tembok luar pintu.

Menjelang sore, beberapa pemuda berlompatan dari mobil dan menuntun


seorang tawanan. Mereka diterima para petugas jaga. Serah terima tawanan
terjadi dalam tempo yang amat cepat. Kutil masih mengurung diri saat itu.
Mereka menduga sang pemimpin belum bangun dari tidur siang. Tak seorang
pun berani membangunkan. Akhirnya, Koreng Kemurang memutuskan untuk
menyatukan Wedana Adiwerna itu dengan Kiai Mokhidin dan Kiai Mokhtar
dalam satu ruangan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International


======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/05/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Aug 2017 15:39:41 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT belas

252

KEPADA para pengikutnya, Kutil selalu menekankan perlunya segera


membesihkan antek-antek penjajah dan para pendukung NICA. Jangan
sampai seorang pun dari mereka berhasil minggat, karena harus
mempertanggung jawabkan kejahatan yang mereka lakukan terhadap
rakyat. Sekaranglah saatnya, ketika majikan-majikan asing mereka tak
berdaya, para penindas itu harus secepatnya dihabisi sebelum sempat
menyatu dengan kekuatan majikan mereka yang baru.

Kutil tahu bagaimana para pangreh praja itu diam-diam menyiapkan sebuah
organisasi rahasia untuk menyambut kembalinya kekuatan Belanda. Ya,
kawan baiknya, Sakirman, Pemimpin AMRI Slawi, pernah memberi tahu
semua itu. Saat itu Sakirman sedang memberikan penjelasan tentang
keterlibatan Sayuti dalam pergolakan rakyat. Wakil Gubernur Jawa Tengah
yang sekaligus sekretaris pribadi Bung Karno itu sengaja diikutsertakan
dalam pembahasan situasi revolusioner di Tegal, karena diharap dapat
menyumbangkan pemikirannya yang barangkali berguna bagi masa depan
perjuangan rakyat di Keresidenan Pekalongan.

''Sayuti berpendapat bahwa Residen Besar tidak patut dipertahankan lagi,''


kata Sakirman. ''Tuduhan pro-NICA kepadanya semakin keras.''

Sakirman juga menyampaikan dua alasan yang dikemukakan Sayuti


sehubungan dengan tuduhan terhadap Mister Besar. ''Pertama,'' sambung
Sakirman menirukan Sayuti, ''Residen Besar telah memberikan perintah agar
menginternir semua orang Indo dan melindungi harta mereka. Kedua, dia
dikabarkan telah menyambut dengan baik kedatangan mayor Inggris dan
seorang perwira Belanda, yang datang ke Pekalongan di bawah pengawalan
lima belas serdadu Gurkha.''
Kutil memang pernah mendengar selentingan kabar itu. Dalam minggu
terakhir Oktober, rombongan itu menemui Residen Mister Besar, Komandan
TKR Iskandar Idris dan wakilnya, Wadyono, serta sejumlah pejabat
keresidenan. Tak ada kabar yang lebih gamblang tentang kepentingan
mereka yang sesungguhnya, kecuali untuk meninjau kondisi para tawanan
Belanda dan Indo di penjara-penjara Pekalongan.

''Bagaimana dengan TKR?'' tanya Kutil.

''Kalau itu sudah sangat jelas,'' jawab Sakirman. ''AMRI Slawi dan Sayuti
sependapat bahwa rasa permusuhan tehadap TKR sudah begitu kuat,
sehingga TKR sebaiknya ditarik mundur dari Tiga Daerah.''

Sakirman juga menceritakan bahwa Sayuti telah menghubungi Markas Besar


TKR di Yogyakarta lewat interlokal, menyarankan agar menarik mundur TKR
dan memindahkan Mister Besar dari Pekalongan.

''Hasilnya?''

Pertanyaan Kutil terjawab tak lama kemudian. Hanya sehari setelah


serangan rakyat ke Kotapraja Tegal, Residen Mister Besar meninggalkan
kantor keresidenan, melarikan diri dan meminta perlindungan kepada
Gubernur Jawa Tengah di Semarang.

Saat itu ada perintah dari Markas Besar TKR Yogyakarta kepada Resimen XVII
TKR Pekalongan untuk menangkap Mister Besar. Perintah itu tak
dilaksanakan. Lagi-lagi kedekatan hubungan maupun perbedaan status
sosial antara para perwira TKR dengan pangreh praja menjadi masalah pelik
dalam pelaksanaan sistem pemerintahan. Setelah Komandan TRK Iskandar
Idris ditangkap dan ditahan AMRI Slawi, struktur kepemimpinan di TKR
berubah drastis. Wadyono langsung menobatkan diri sebagai Pejabat
Komandan TKR, mengangkat Soedharmo Djajadiwangsa sebagai Kepala Staf
Resimen, dan melantik delapan kepala seksi, di antaranya Wedana
Pemalang, Wadyono Poespajudo, sebagai Kepala Seksi Intelejen.

Soedharmo Djajadiwangsa, kepala staf resimen yang baru, yang mendapat


mendat menangkap Mister Besar, saat itu beru berusia dua puluh dua. Selain
umur yang terlalu muda, kedudukan sosial pun turut memengaruhi sikapnya
dalam menjalankan perintah atasan. Soedharmo adalah putra seorang
pegawai Bank Rakyat Pare, Jawa Timur, yang baru bergabung dengan TKR
Pekalongan setelah tamat dari Middelbaar Handel School Surabaya.

Kemudaan dalam usia dan pengalaman membuat Soedharmo tak berdaya


menghadapi Mister Besar yang telah menjadi sarjana ilmu hukum, lulusan
Universitas Leiden, setahun sebelum dirinya lahir. Ia akan merasa bersalah
jika harus menahan seorang tokoh penting berusia 50-an tahun yang pantas
menjadi ayahnya. Kedudukan dan wibawa Miste Besar rupanya telah
menghadapkan Soedharmo kepada dua pilihan sikap yang pelik: patuh
kepada perintah militer atau perasaan bersalah yang akan terus
menghantuinya. Soedharmo memilih patuh kepada perasaannya. Dan entah
mengapa, Pejabat Komandan TKR Wadyono tidak memberi sanksi terhadap
Soedharmo.

Mister Besar pun bebas melenggang ke Semarang. Namun, rupanya, Sang


Gubernur tak bisa melindunginya. Dengan demikian, hari itu juga, 5
November, berakhirlah jabatan Mister Besar sebagai Residen Pekalongan. Ia
lantas ditangkap dan dibawa ke Yogyakarta untuk menjalani tahanan rumah.

Tak hanya Mister Besar yang kecut terhadap pergolakan rakyat di Tegal, yang
diperkirakan segera merembet ke seluruh wilayah Tiga Daerah. Rakyat yang
telah bergerak bagaikan gelombang pasang itu tak mungkin lagi dusurutkan,
sekalipun dengan senapan. Mereka terus memburu para pangreh para dan
siapa saja yang dianggap punya dosa di masa lalu, tak terkecuali para
pemimpin organisasi yang diduga punya hubungan dengan TKR atau pihak-
pihak lain yang pro-NICA. Situasi genting itu terasa makin menggiriskan
ketika terbetik kabar tentang terbunuhnya beberapa tokoh di dekat Talang.

Demi menyelamatkan diri, Bupati Tegal meninggalkan rumah dan kantor. Ia


bahkan tak percaya lagi bahwa penjara kota maupun Markas TKR bisa
menjadi tempat perlindungan yang aman. Maka, ketika Walikota Sungeb dan
sejumlah pangreh praja bersembunyi di penjara kota, Sang Bupati memilih
pergi diam-diam, entah ke mana. Rakyat yang menyerbu dan mengobrak-
abrik isi rumahnya memang hanya menemukan istrinya, mertuanya, Ny
Kardinah, seorang cucu perempuan, dan seorang pembantu. Tak ada yang
dijarah di antara harta benda sang Bupati, kecuali pakaian kebesarannya
yang dibuang dan diinjak-injak di halaman.

Ketika hari rembang petang, sang Bupati keluar dari persembunyian.


Bersama dua orang Pemimpin API -seorang di antaranya adalah Mansur,
saudara laki-laki Sidik yang telah terbunuh- diam-diam pergi ke Stasiun
Tegal, menyamar sebagai masinis dan kondektur kereta api.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/09/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Aug 2017 07:59:24 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT BELAS

256

KAWAN-KAWAN seperjuangan telah pulang. Setelah mengantarkan mereka


ke halaman, Soepangat kembali ke dalam dan ia dapati Widarta yang
mengegelosor di bangku panjang ruang tamu, tangan kanannya terkulai di
atas kening, matanya terpejam. Soepangat maklum. Ia dapat
membayangkan kelelahan yang membelit di setiap persendian sahabatnya.
Sejak siang tadi, begitu tiba dari Sukowati, ia menguraikan gagasan-
gagasannya, menanggapi bantahan dan sanggahan, sampai akhirnya
berhasil meyakinkan semua kawan.

"Cak Wid ... Cak Wid," Soepangat menepuk-nepuk kaki Widarta untuk
membangunkannya. "Pindah ke kamar, Cak. Besok masih banyak yang harus
kita kerjakan."

Widarta menggeliat dan dengan langkah malas ia menuruti saran


sahabatnya, mengeloyor ke kamar yang sudah ditata untuknya.

Hampir bersamaan dengan Widarta, Soepangat pun masuk ke ruang


kerjanya. Banyak masalah yang sudah teratasi hari ini, pikirnya, tapi masih
banyak yang menungguku besok pagi. Tubuhnya sudah lunglai, tapi gerak
pikirannya belum usai. Ia lantas duduk bersandar di kursi, menyelonjorkan
kaki, sambil membaca kembali catatan rapat yang belum rapi. Matanya
memang menghunjam ke kertas yang ia pegang, namun pikirannya
bersijingkat ke luar ruang kerja dan memasuki kamar Widarta.

Ya, Soepangat membayangkan Widarta meringkuk di ranjang. Ah, lelaki


kurus itu-pikir Soepangtat, tubuhnya selalu tampak layu, namun
semangatnya melebihi seribu serdadu. Belum genap sebulan mereka
berpisah, namun selama menghadapi banyak masalah tanpa kehadiran
Widarta, terasa waktu berjalan lebih lambat bagi Soepangat. Ya, ya, belum
sebulan lalu, ketika ia dinobatkan rakyat menjadi bupati, Widarta
mendampinginya berpidato di alun-alun kota, meredam keberingasan massa.

Ketika itu, kenang Soepangat, Widarta memperkenalkan diri sebagai utusan


Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Di depan kerumunan rakyat, Widarta
berseru agar segala tindakan yang merusak dan merugikan sesama warga
dihentikan saat itu juga. Kekuatan perlu memang perlu digalang dan
disatukan, bukan untuk saling bermusuhan terhadap sesama pribumi,
melainkan untuk menghadapi kekuatan Belanda yang akan kembali.

"Jangan lagi Saudara-saudara melibatkan diri dalam perampokan,


pembunuhan, dan pembakaran!" seru Widarta. "Sekarang kita sudah
merdeka. Kita bukan lagi hamba penguasa penjajah, karena kita telah
menjadi warga Neraga Republik yang merdeka." Widarta lantas membabar
makna republik, kadaulatan rakyat. "Kekuasaan di tangan rakyat itu bukan
berarti kita berhak untuk berlaku tidak semana-mena. Hanya kedaulatan
yang dilaksanakan secara tepat yang akan menjelma kebahagiaan bagi
rakyat." Hampir setiap akhir kalimat Widarta disambut riuh tepuk tangan,
pertanda bahwa rakyat memahami dan mendukung gagasan-gagasannya
yang agung.

Seusai rapat umum di alun-alun kota, Widarta dan Soepangat menghadiri


rapat API di Penjara Pemalang yang akan membahas masalah pangreh praja.
Dalam rapat itu secara resmi Widarta mengubah nama Angkatan Pemoeda
Indonesia (API) menjadi Pemoeda Republik Indonesia (PRI).

"Tolong mereka diperlakukan dengan baik," nasihat Widarta kepada


Soepangat, setelah memeriksa keadaan para pangreh praja yang ditahan.

"Jangan khawatir, Cak Wid," jawab Soepangat. "Mereka ditempatkan di


penjara atas tuntutan rakyat. Akan segera kami bebaskan setelah keadaan
kembali aman."

Alangkah besar peran dan jasanya bagi pemerintahanku yang masih bayi ini,
kata Soepangat dalam hati. Ia pun terkenang, malam itu, sepulang dari
penjara, Widarta menasihati dia untuk istirakat secara benar agar keesokan
paginya tampak bugar. "Rakyat akan lebih percaya dan bersemangat jika
melihat pemimpinnya tampak sehat," katanya.

Esok paginya Soepangat memang tampak secerah bunga yang baru


merekah. Sedang Widarta sendiri sekuyu daun layu. Tapi toh ia tetap
menepati janjinya, menemani Soepangat menempuh perjalanan jauh, tanpa
sekali pun mengeluh. Hari itu Widarta menemani Soepangat dalam
perjalanan dinas ke desa-desa di daerah hutan di selatan Pemalang,
meninjau pelaksanaan pemilihan kepala desa. Keikutsertaan Widarta tentu
saja sangat berharga bagi Soepangat. Di mata rakyat, sebagai bupati baru
Soepangat mendapat dukungan kuat dari seorang Pemimpin Gerakan Bawah
Tanah yang sekaligus wakil dari pemerintah pusat.

Supulang dari perjalanan ke desa-desa, Widarta langsung ke Surabaya. Saat


itulah masalah pangreh praja yang sebagian besar menjadi tahanan di
penjara kota mengemuka. Pihak karesidenan meminta agar semua pejabat
yang ditahan dipindahkan ke ibu kota keresidenan, dengan alasan bahwa di
Kota Pekalongan tidak terjadi kekacauan sehingga mereka akan lebih aman.
Bagi Soepangat, permintaan itu justru bisa menjadi bumerang. Jika para
pangreh praja yang ditangkap dan ditahan rakyat itu benar-benar
dipindahkan, rakyat bisa tambah curiga bahwa para musuh rakyat itu
dilindungi. Kemarahan rakyat bisa memuncak dan kekacauan yang lebih
parah bisa meletus lagi.

Sungguh membesarkan hati bahwa sekarang Cak Wid berada di sini lagi,
pikir Soepangat. Sekali lagi keberadaannya akan meneguhkan sikap saya.

Sayup-sayup terdengar kokok ayam jantan. "Ah, alangkah pagi datang


terlalu cepat," gumam Soepangat. "Aku harus benar-benar istirahat, sejam
dua jam, agar besok tak terlalu pucat menyambut tamu dari Pusat." Pelan-
pelan Soepangat lantas meninggalkan ruang kerjanya, menuju ke kamar
tidur untuk menghimpun tenaga.

Tamu dari Pusat yang dimaksud Soepangat adalah Mister Kasman


Singodimejo. Jaksa Agung itu datang dari Jakarta khusus untuk mengetahui
secara langsung, mengapa Bupati Pemalang dan para pangreh praja
ditempatkan di penjara dan apa saja yang telah dilakukan terhadap mereka.

Didampingi Widarta, Soepangat merasa lebih tenang berhadapan dengan


Mister Kasman. Soepangat bahkan dengan tenang membantah tuduhan
Sang Jaksa Agung bahwa para pangreh praja itu berstatus sebagai tahanan.
Sebagaimana pernah dikatakannya kepada Widarta, Soepangat meyakinkan
Mister Kasman, "Karena tekanan dan ancaman dari rakyat," katanya,
"mereka terpaksa kami amankan semantara. Begitu keadaan aman, mereka
akan segara kami bebaskan."

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=====

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/10/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 2 Aug 2017 11:00:25 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BELAS

257

KEKUATAN pengaruh AMRI Slawi menempati urutan pertama dalam deret


perhatian tokoh-tokoh pergerakan di Pemalang. Di bawah kepemimpinan
Sakirman dan Soewignjo, AMRI Slawi benar-benar merupakan badan pekerja
paling menentukan arah gerak revolusi di Tiga Daerah. Jaringan para
pemimpinnya luas dan kuat berkat pengalaman berorganisasi dan berbagai
akibat politiknya, seperti penangkapan, penganiayaan, dan pemenjaraan.
Hampir semua tokoh atau pemimpin badan perjuangan lain mengenal baik
dan menaruh hormat kepada dwi-tunggal pemimpin AMRI Slawi ini.

Di kalangan kaum pergerakan banyak yang heran sekaligus kagum melihat


kekompakan Sakirman dan Soewignjo. Keduanya berasal dari latar sosial
yang berbeda, ideologi maupun afiliasi politiknya juga tidak sama; namun
mereka bahu-membahu mendirikan dan mengembangkan wadah politik
yang sama serta mengarahkan gerak perjuangan dalam cakupan yang lebih
luas daripada penanda kewilayahan yang melekat pada nama organisasi.
Kantung gerakan yang mereka rintis memang berkedudukan di Slawi, namun
organisasi mereka seakan menjadi penentu arah, poros sejarah dalam
evolusi dan revolusi sosial di Tiga Daerah.

Menyadari semua itu, Widarta meminta Kamidjaja untuk melakukan


pendekatan kepada mereka. Ya, Widarta memercayakan tugas ini kepada
Kamidjaja, karena dialah salah seorang tokoh pergerakan yang punya
stamina dan mobilitas yang tinggi. Kamidjaja juga dianggap menguasai
medan, berkat penyamaran dan penyusupan yang ia lakukan semasa
pendudukan Japang. Ketika itu Kamidjaja adalah orang yang paling dicari dan
diburu.

''Tak ada orang yang lebih tepat untuk saya serahi tugas ini, selain Bung
Djaja,'' kata Widarta suatu ketika.

Widarta tahu, sebagai tokoh penting dalam Gerakan Bawah Tanah di wilayah
Pantai Utara, Kamidjaja yang sejak lama menjalin hubungan dengan para
dedengkot Sarekat Buruh dan eks-Digulis di Tiga Daerah tentu mampu
melaksanakan tugas yang diberikan Widarta, meski dengan cara yang tidak
mudah.

Ucapan Widarta memang bukan tanpa alasan. Kamidjaja punya andil besar
dalam pergolakan sosial di Brebes dan Tegal, yang berhasil mempreteli
kewenangan para pangreh praja dan menciptakan jalinan mata rantai di
antara kaum nasionalis radikal.

Kamidjaja pun bangga, bersemangat, dan merasa terhormat, dapat berjuang


bersama Widarta, pembawa mandat dari Menteri Sjarifuddin, pemegang
wewenang untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna memulihkan
ketertiban dan menegakkan pemerintah Republik Indonesia yang sejati di
Keresidenan Pekalongan. Dengan bekal otoritas yang lebih dari sekadar
memadahi, Kamidjaja lantas menemui Soewignjo, yang ia ketahui sebagai
tokoh penting Angkatan 1926, dan Raden Sakirman, priayi asal Yogyakarta
yang menanggalkan kebangsawanannya dan dikenal sebagai aktivis politik
yang radikal.

Setelah berhasil mengeratkan hubungan antara kaum radikal di Pemalang


dan para tokoh AMRI Slawi, langkah Kamidjaja selanjutnya adalah melakukan
''suksesi''. Dengan cara halus Kamidjaja menyarankan AMRI Slawi mengakui
kepemimpinan perjuangan revolusioner Pemalang di Tiga Daerah. Soewignjo
dan Sakirman menyatakan setuju dengan saran itu. Dengan demikian,
seluruh elemen revolusioner yang selama ini secara sporadis melakukan
gerakan dan pergolakan, akan berada di dalam satu kesatuan. Gerak radikal
mereka akan diarahkan oleh para pemimpin politik yang punya wawasan dan
jaringan luas, yakni Gerakan Bawah Tanah yang dipelopori oleh Kelompok
Widarta.

Demi mempererat jalinan dan meluaskan wawasan politiknya, Kamidjaja


yang sudah telah tampil sebagai tokoh terkemuka itu masih berendah hati
dengan secara rutin berkunnung ke Slawi guna mengikuti kursus politik yang
diadakan oleh para pemimpin AMRI Slawi.

Bersamaan dengan itu, Kamidjaja juga kerap mengunjungi Pabrik Gula


Jatibarang. Sesekali ia ditemani oleh Soelaiman Darmoprawiro, kawan
lamanya yang ia kenal tak lama setelah Soelaiman kembali dari Digul dan
menjadi wartawan harian Het Nordern di Tegal. Pertemanan dua wartawan
tambah erat ketika Soelman menjadi Pemimpin Sarekat Islam Petarukan.
Kamidjaja dan Soelaiman kemudian berpisah dalam waktu yang lama
lantaran Soelaiman harus pindah ke Bandung sehubungan dengan
kedudukannya yang baru sebagai Pemimpin Sarekat Rakyat cabang Bandung
dan Priangan.

Soelaiman dirangkap Jepang pada awal masa pendudukan dan setelah bebas
ia menjadi anggota Badan Pembantu Prajurit. Setelah Jepang hengkang
Soelaiman kembali ke profesinya yang lama dengan mendirikan sekaligus
memimpin harian Pelita Rakyat. Kamidjaja dan Soelaiman kembali direkatkan
dengan hubungan yang saling menguntungkan. Selain berkesempatan
menyebarkan gagasan melalui tulisan yang dimuat di Pelita Rakyat,
Kamidjaja pun diuntungkan oleh pemberitaan atas berbagai kegiatan politik
yang ia lakukan. Sementara bagi Soelaiman, menyertai perjalanan
Kamidjaja, wartawan kawakan yang kini menjadi tokoh penting pergerakan,
tentu amat menyenangkan. Ia tidak hanya memetik berita dari kegiatan
Kamidjaja, tapi juga bisa bertukar pikiran perihal dunia persuratkabaran.

Suatu hari, dalam kunjungan ke pabrik gula Jatibarang, Soelaiman mendapat


berita yang menurutnya penting dan berharga. Saat itu, di hadapan para
buruh pabrik gula, Kamidjaja menegaskan bahwa segala gelar
kebangsawanan, seperti Raden Mas atau Kanjeng Gusti tidak berlaku lagi.

''Semua orang punya kedudukan sederajat,'' katanya. ''Karena itu, mulai


sekarang, Saudara-Saudara jangan lagi menganggap diri sebagai hamba.
Saudara-Saudara bukan budak dan mereka bukan majikan. Sekarang tidak
ada budak dan tidak ada majikan. Saya dan Saudara-Saudara sama. Kita
semua sama. Kalau ada orang yang masih bangga dengan gelar bangsawan,
atau orang yang menganggap dirinya seorang tuan, orang-orang semacam
itu tidak pantas hidup di zaman kemerdekaan.''

Kamidjaja juga menyerukan kepada mereka agar memanggil siapa saja


dengan Bung atau Bapak atau Saudara, bukan dengan Ndara, Paduka,
Nyonya, atau Tuan. ''Bahkan untuk menyebut Presiden saja cukup dengan
Bung,'' katanya. ''Kita tidak memanggil presiden kita dengan Tuan Soekarno,
melainkan Bung Karno.'' Kamidjaja juga mengajak mereka untuk
meninggalkan bahasa Jawa krama. Sebagai orang Jawa, tegasnya, mereka
bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko atau bahasa Indonesia.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/16/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 1 Aug 2017 20:13:06 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT BELAS

263
SAKIRMAN menerima tugas itu dengan hati yang bimbang. Ia memang
berkarib dengan Kutil, tapi bukan berarti ia akan dengan mudah membujuk
sahabatnya mengakui kebe-radaan dan kewenangan Badan Pekerja.
Sakirman mengakui, tujuan pembentukan Badan Pekerja memang selaras
dengan tuntutan rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang benar-
benar bebas dari kekuatan Belanda maupun Jepang. Badan itu juga
merupakan gabungan dari wakil-wakil semua badan perjuangan. Dengan
demikian, ada tawar-menawar, kompromi-kompromi, dan kesepakatan di
dalamnya. Beberapa badan perjuangan yang di masa lalu tidak secara
langsung berhubungan dengan Belanda atau Jepang, serta hanya menjadi
kolega dan rekanan kerja sama para pangreh praja, bisa diterima dalam
keanggotaan Badan Pekerja. Namun, celakanya, kelompok-kelompok
perjuangan yang muncul dari bawah, seperti AMRI Talang, belum tentu bisa
memaafkan apalagi menerima mereka.

Kutil dikenal sebagai orang yang bisa dan mau bergaul dengan siapa saja,
dari kalangan mana saja. Namun, sebaliknya, ia juga bisa berlawanan secara
frontal terhadap siapa saja. Sakirman mengenal benar watak dan sikap
sahabatnya. Kutil membentuk AMRI Talang dengan tujuan utama membagi
kekayaan kepada kaum miskin dan membasmi siapa saja yang dianggap kaki
tangan NICA. Ya, siapa saja, tak peduli orang itu ternyata teman sendiri. Kutil
juga tak akan membiarkan orang-orang yang pada zaman pendudukan
terlibat dalam tindak penindasan.

Sakirman ingat bagaimana Kutil memperlakukan temannya, Lurah Kajen.


Hubungan keduanya memang tergolong unik. Boleh dibilang, keduanya
merupakan pemimpin masyarakat: Lurah Kajen pemimpin formal, Kutil yang
informal. Suatu hari Kutil merencanakan penggerebekan rumah seorang
pegawai, mantan pemimpin Bank Rakyat pada masa pendudukan Jepang.
Rencana itu diketahui sang lurah yang tentu saja menentangnya. Kutil pun
murka. Ia cari lurah itu tapi tak ketemu. Sang Lurah rupanya lebih dulu lari
dan sembunyi. Kutil terus mencari. Bertanya kepada semua warga desa dan
mengingatkan mereka jangan sampai berani melindungi lurah yang ia juluki
sebagai antek Jepang dan biang kesengsaraan.

Dalam sekejap peringatan Kutil pun menyebar ke seantero desa. Orang-


orang tak sanggup membayangkan kemarahan Kutil dan para pegikutnya
jika ternyata ada yang ketahuan menyembunyikan sang lurah. Mereka pun
kemudian sepakat mengirim utusan kepada Kutil dan memberitahukan
tempat sang lurah bersembunyi.

Diiringi para pengikutnya, Kutil menjemput sang lurah di persembunyian.


Sementara penjemputan berlangsung, Kutil memerintahkan beberapa anak
buah agar meminta semua warga desa berkumpul di depan rumah masing-
masing. Tak lama kemudian seluruh warga menyaksikan sang lurah
didombreng. Pakaiannya telah diganti karung goni, kedua tangannya diikat,
dan dipaksa berjalan di depan iring-iringan yang sepanjang jalan menyoraki
dan memakinya di antara bunyi tetabuhan. Sang lurah menunduk sepanjang
jalan. Perasaan warga desa terharu-biru, antara benci dan kasihan terhadap
pemimpin yang malang itu. Namun mereka tak berdaya ketika Kutil meminta
mereka bergabung dalam arak-arakan.

Arak-arakan berhenti ketika tiba di daerah Pecinan, Kajen. Orang-orang yang


semula berbaris memanjang ke belakang seketika begerak dan berkerumun
di seputar setumpuk kotak kayu yang disusun di tengah jalan. Kutil menarik
Lurah Kajen naik ke atas kotak itu dan berseru, "Biarlah ini menjadi contoh
bagi kamu semua! Orang ini dulu sekutuku, tapi kini ia menjadi musuhku.
Kenapa? Karena ia tidak membantuku, tapi malah lari dan sembunyi."

Sebelum hari benar-benar sore upacara dombreng pun usai. Kutil meminta
semua warga pulang dan kembali mengerjakan kewajiban. Kutil sendiri,
setelah berpesan kepada Koreng Kemurang agar mengurung Lurah Kajen di
Markas AMRI, lantas nangkring di atas mobilnya, sebuah Ford Mercury
delapan silinder warna kuning, dan memerintahkan seorang Cina -yang telah
ia angkat menjadi sopir pribadi- agar menjalankan mobil itu ke arah kota.

Di dalam salah satu kamar di gedung bekas Bank Rakyat Talang, yang kini
menjadi Markas AMRI, tali yang mengikat kedua angan Lurah Kajen dilepas
oleh Koreng Kemurang. Lurah itu kemudian dibiarkan bebas, tetap
mengenakan karung goni, dan dibiarkan sendiri. Begitu tak ada orang di
dekatnya, lurah itu langsung meraung sejadi-jadinya. Ia juga melontarkan
kata-kata yang kurang jelas lantaran bercampur dengan suara tangis, tapi
sesekali terdengar bahwa ia sedang mengomel tentang Kutil. "Orang macam
apa yang tega memperlakukan teman sendiri seperti ini?"

Sebagai seorang tahanan sang lurah merasa cukup leluasa. Para pemuda
yang menjaganya tampak tenang-tenang, beberapa di antaranya malah
bebaringan. Pintu juga dibiarkan terbuka. Barangkali karena ia bukan orang
asing bagi anak-anak muda yang berjaga. Atau, karena mereka kecapekan
setelah berteriak-teriak sambil berjalan berdesakan dalam arak-arakan yang
menempuh jarak begitu panjang.

Lurah Kajen terbangun ketika ia rasakan pegal di punggungnya. Ah, sudah


malam, pikirnya. Ia sadar bahwa dirinya tertidur dalam duduk, bersandar
tembok. Ia dengar suara dengkur. Satu, dua, tiga dengkur. Para pemuda itu
begitu pulas. Dari pintu yang terbuka terlihat dunia luar yang terhampar
luas. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, sang lurah pun melenggang dan
kabur secepat ia bisa, langsung menuju kota, dan tak henti-hentinya
mengucap syukur ketika merasa mendapat perlindungan di Kantor
Kawedanan. Rupanya ia belum menyadari bahwa seluruh pejabat telah
diganti dan orang yang melindunginya itu adalah wedana baru.

Sambil bersimpuh dan menggigil, Lurah Kajen berkesah dan bersumpah,


"Demi Allah, juga demi almarhumah ibu saya yang ada di surga, Pak; saya
tidak melakukan tanggem, tidak korupsi seperti yang dituduhkan Kutil."

Sang wedana tak menanggapi keluh-kesahnya. Ia hanya menyilakan Lurah


Kajen beristirahat, setelah menenangkannya bahwa sang lurah telah berada
di tempat aman.

Paginya, Lurah kajen benar-benar terperanjat ketika Kutil bersama beberapa


anak buah datang ke Kantor Kawedanan, menjemputnya. Di perjalanan Kutil
meminta maaf karena telah menuduhnya korupsi seperti kebanyakan lurah
lain. Kutil juga minta maaf karena terpaksa mengambil alih empat hektar
tanah bengkok jatah sang lurah, untuk membiayai kegiatan AMRI. Selain itu
Kutil meminta sang lurah, sebagai teman, agar saling membantu.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/16/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 1 Aug 2017 20:13:06 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT BELAS

263

SAKIRMAN menerima tugas itu dengan hati yang bimbang. Ia memang


berkarib dengan Kutil, tapi bukan berarti ia akan dengan mudah membujuk
sahabatnya mengakui kebe-radaan dan kewenangan Badan Pekerja.
Sakirman mengakui, tujuan pembentukan Badan Pekerja memang selaras
dengan tuntutan rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang benar-
benar bebas dari kekuatan Belanda maupun Jepang. Badan itu juga
merupakan gabungan dari wakil-wakil semua badan perjuangan. Dengan
demikian, ada tawar-menawar, kompromi-kompromi, dan kesepakatan di
dalamnya. Beberapa badan perjuangan yang di masa lalu tidak secara
langsung berhubungan dengan Belanda atau Jepang, serta hanya menjadi
kolega dan rekanan kerja sama para pangreh praja, bisa diterima dalam
keanggotaan Badan Pekerja. Namun, celakanya, kelompok-kelompok
perjuangan yang muncul dari bawah, seperti AMRI Talang, belum tentu bisa
memaafkan apalagi menerima mereka.

Kutil dikenal sebagai orang yang bisa dan mau bergaul dengan siapa saja,
dari kalangan mana saja. Namun, sebaliknya, ia juga bisa berlawanan secara
frontal terhadap siapa saja. Sakirman mengenal benar watak dan sikap
sahabatnya. Kutil membentuk AMRI Talang dengan tujuan utama membagi
kekayaan kepada kaum miskin dan membasmi siapa saja yang dianggap kaki
tangan NICA. Ya, siapa saja, tak peduli orang itu ternyata teman sendiri. Kutil
juga tak akan membiarkan orang-orang yang pada zaman pendudukan
terlibat dalam tindak penindasan.

Sakirman ingat bagaimana Kutil memperlakukan temannya, Lurah Kajen.


Hubungan keduanya memang tergolong unik. Boleh dibilang, keduanya
merupakan pemimpin masyarakat: Lurah Kajen pemimpin formal, Kutil yang
informal. Suatu hari Kutil merencanakan penggerebekan rumah seorang
pegawai, mantan pemimpin Bank Rakyat pada masa pendudukan Jepang.
Rencana itu diketahui sang lurah yang tentu saja menentangnya. Kutil pun
murka. Ia cari lurah itu tapi tak ketemu. Sang Lurah rupanya lebih dulu lari
dan sembunyi. Kutil terus mencari. Bertanya kepada semua warga desa dan
mengingatkan mereka jangan sampai berani melindungi lurah yang ia juluki
sebagai antek Jepang dan biang kesengsaraan.

Dalam sekejap peringatan Kutil pun menyebar ke seantero desa. Orang-


orang tak sanggup membayangkan kemarahan Kutil dan para pegikutnya
jika ternyata ada yang ketahuan menyembunyikan sang lurah. Mereka pun
kemudian sepakat mengirim utusan kepada Kutil dan memberitahukan
tempat sang lurah bersembunyi.

Diiringi para pengikutnya, Kutil menjemput sang lurah di persembunyian.


Sementara penjemputan berlangsung, Kutil memerintahkan beberapa anak
buah agar meminta semua warga desa berkumpul di depan rumah masing-
masing. Tak lama kemudian seluruh warga menyaksikan sang lurah
didombreng. Pakaiannya telah diganti karung goni, kedua tangannya diikat,
dan dipaksa berjalan di depan iring-iringan yang sepanjang jalan menyoraki
dan memakinya di antara bunyi tetabuhan. Sang lurah menunduk sepanjang
jalan. Perasaan warga desa terharu-biru, antara benci dan kasihan terhadap
pemimpin yang malang itu. Namun mereka tak berdaya ketika Kutil meminta
mereka bergabung dalam arak-arakan.

Arak-arakan berhenti ketika tiba di daerah Pecinan, Kajen. Orang-orang yang


semula berbaris memanjang ke belakang seketika begerak dan berkerumun
di seputar setumpuk kotak kayu yang disusun di tengah jalan. Kutil menarik
Lurah Kajen naik ke atas kotak itu dan berseru, "Biarlah ini menjadi contoh
bagi kamu semua! Orang ini dulu sekutuku, tapi kini ia menjadi musuhku.
Kenapa? Karena ia tidak membantuku, tapi malah lari dan sembunyi."

Sebelum hari benar-benar sore upacara dombreng pun usai. Kutil meminta
semua warga pulang dan kembali mengerjakan kewajiban. Kutil sendiri,
setelah berpesan kepada Koreng Kemurang agar mengurung Lurah Kajen di
Markas AMRI, lantas nangkring di atas mobilnya, sebuah Ford Mercury
delapan silinder warna kuning, dan memerintahkan seorang Cina -yang telah
ia angkat menjadi sopir pribadi- agar menjalankan mobil itu ke arah kota.

Di dalam salah satu kamar di gedung bekas Bank Rakyat Talang, yang kini
menjadi Markas AMRI, tali yang mengikat kedua angan Lurah Kajen dilepas
oleh Koreng Kemurang. Lurah itu kemudian dibiarkan bebas, tetap
mengenakan karung goni, dan dibiarkan sendiri. Begitu tak ada orang di
dekatnya, lurah itu langsung meraung sejadi-jadinya. Ia juga melontarkan
kata-kata yang kurang jelas lantaran bercampur dengan suara tangis, tapi
sesekali terdengar bahwa ia sedang mengomel tentang Kutil. "Orang macam
apa yang tega memperlakukan teman sendiri seperti ini?"

Sebagai seorang tahanan sang lurah merasa cukup leluasa. Para pemuda
yang menjaganya tampak tenang-tenang, beberapa di antaranya malah
bebaringan. Pintu juga dibiarkan terbuka. Barangkali karena ia bukan orang
asing bagi anak-anak muda yang berjaga. Atau, karena mereka kecapekan
setelah berteriak-teriak sambil berjalan berdesakan dalam arak-arakan yang
menempuh jarak begitu panjang.

Lurah Kajen terbangun ketika ia rasakan pegal di punggungnya. Ah, sudah


malam, pikirnya. Ia sadar bahwa dirinya tertidur dalam duduk, bersandar
tembok. Ia dengar suara dengkur. Satu, dua, tiga dengkur. Para pemuda itu
begitu pulas. Dari pintu yang terbuka terlihat dunia luar yang terhampar
luas. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, sang lurah pun melenggang dan
kabur secepat ia bisa, langsung menuju kota, dan tak henti-hentinya
mengucap syukur ketika merasa mendapat perlindungan di Kantor
Kawedanan. Rupanya ia belum menyadari bahwa seluruh pejabat telah
diganti dan orang yang melindunginya itu adalah wedana baru.

Sambil bersimpuh dan menggigil, Lurah Kajen berkesah dan bersumpah,


"Demi Allah, juga demi almarhumah ibu saya yang ada di surga, Pak; saya
tidak melakukan tanggem, tidak korupsi seperti yang dituduhkan Kutil."

Sang wedana tak menanggapi keluh-kesahnya. Ia hanya menyilakan Lurah


Kajen beristirahat, setelah menenangkannya bahwa sang lurah telah berada
di tempat aman.

Paginya, Lurah kajen benar-benar terperanjat ketika Kutil bersama beberapa


anak buah datang ke Kantor Kawedanan, menjemputnya. Di perjalanan Kutil
meminta maaf karena telah menuduhnya korupsi seperti kebanyakan lurah
lain. Kutil juga minta maaf karena terpaksa mengambil alih empat hektar
tanah bengkok jatah sang lurah, untuk membiayai kegiatan AMRI. Selain itu
Kutil meminta sang lurah, sebagai teman, agar saling membantu.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/17/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 8 Aug 2017 00:48:46 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BElas

264

DENGAN perasaan yang kurang nyaman Sakirman membawa kebimbangan


hatinya kepada Soewignjo. Ia berharap sahabatnya dapat membantu
memecahkan persoalan perihal sikap keras Kutil yang tetap berkeliaran di
luar lingkaran sebagai kelompok mandiri, ketika semua badan perjuangan
telah bersedia menjadi bagian dari Badan Pekerja. Sakirman benar-benar
merasa tak enak, karena tugas membujuk Kutil itu justru datang dari
Soewignjo selaku Ketua Badan Pekerja. Sakirman tidak heran mengapa
Soewignjo membebankan tugas itu kepadanya. Ia juga tidak terkejut
mengapa Kutil harus dibujuk dan tidak diabaikan saja. Yang pertama tentu
karena Sakirman punya hubungan pertemanan yang erat dengan Kutil,
hubungan yang besifat antarpribadi maupun dalam kapasitas mereka
sebagai Pemimpin AMRI Slawi dan Pemimpin AMRI Talang. Yang kedua, jelas,
Kutil tak mungkin diabaikan karena ia punya pengikut yang jumlahnya cukup
banyak, menyebar di berbagai wilayah sampai ke luar Tiga Daerah, dan itu
berarti dapat menjadi gangguan utama andaikata Kutil dan para pengikutnya
tak menyetujui apalagi menentang keberadaan Badan Pekerja.

''Bung Kirman mungin tahu, apa masalahnya sehingga Kutil tidak masuk ke
dalam lingkaran sistem Badan Pekerja?''

Sakirman menggeleng. ''Aku benar-benar tak tahu. Kiraku Kutil tak mengerti
seberapa penting Badan Pekerja dan mungkin juga tak tahu bahwa setiap
badan perjuangan perlu mengakui keberadaannya.''

''Maksud Bung, kita kurang memasyarakatkan keberadaan dan tugas-tugas


Badan Pekerja sebagaimana dilakukan oleh Bung Kartohargo di Brebes?''

''Kegiatan seperti itu mungkin ada gunanya, tapi kukira Kutil tak begitu hirau
saja. Dia lebih sibuk dengan urusan yang dianggapnya lebih nyata,
menghantam pangreh praja dan para pendukung NICA, serta membagikan
kekayaan mereka kepada rakyat. Sudah. Itulah tujuan dia mendirikan AMRI
Talang.''

Soewignjo mengemukakan alasan yang berbeda. Ia menduga, Kutil merasa


bahwa dirinya punya pengaruh yang lebih luas dan lebih langsung dibanding
Badan Pekerja. Nalarnya, Badan Pekerjalah yang harus mendekati dia dan
bukan sebaliknya. ''Sebab itulah, Bung,'' kata Soewignjo, ''Saya meminta
Bung Kirman yang mendekatinya.''

Sakirman malah tertawa. ''Aku kenal benar kawan yang satu itu, Bung. Tak
mungkin dia sepongah itu. Meski pengikutnya banyak, ia tidak pernah
merasa menjadi pemimpin.'' Sakirman juga menambahkan bahwa selama ini
Kutil mengajar ngaji, kelompok jamaahnya menyebar dari Talang sampai ke
Slawi, setiap kelompok pengajian rata-rata beranggotakan antara dua puluh
sampai tiga puluh orang. ''Tapi, dia sama sekali tak pernah mau dipanggil
guru atau kiai.''

''Baiklah. Baiklah,'' Soewignjo tidak menyerah. Ia kemukakan alasan


mengapa Kutil tak boleh diabaikan, karena banyak tokoh pergerakan menjadi
resah akibat perilaku kelompok Kutil yang semakin liar.

''Memang tidak gampang menjinakkan dia.''

''Begini, Bung,'' kata Soewignjo sambil membersihkan meja di depannya. Jari


telunjuk kanannya lantas begerak menorehkan garis dari tiga jurusan.
''Anggaplah ini jalan simpang,'' katanya. ''Bung berada di sini. Di hadapan
Bung ada dua arah yang berbeda. Ini Kutil,'' Soewignjo menunjuk garis yang
kiri, ''dan ini Badan Pekerja,'' Soewignjo beralih ke garis yang kanan.

''Baik. Ya, ya, aku tahu,'' sahut Sakirman. ''Dua arah itu harus bertemu pada
satu jurusan. Aku harus menempuhnya dari arah yang berbeda, bukan dari
jurusan yang kulalui sekarang, melainkan dari kedua arah itu secara
bergantian. Artinya, aku harus menemui para tokoh Badan Pekerja, sesudah
itu baru menemui Kutil.''

Simpulan jitu Sakirman disambut gelak tawa Soewignjo. ''Kalau soal Badan
Pekerja, Bung cukup bertemu saya,'' katanya. ''Tapi, yang juga tak kalah
penting, Bung perlu bertemu dengan Bung Djaja.''
Setelah menyebut nama Kamidjaja, entah mengapa, tanpa sadar Soewignjo
bicara dengan merendahkan suaranya. Ia menuturkan bahwa Kamidjaja dan
sebagian besar tokoh pergerakan dalam Kelompok Widarta sudah lama tak
suka pada Gerakan Kutil yang mereka pandang dapat mencemarkan
perjuangan. ''Coba, menurut Bung Kirman, mengapa Bung Djaja dulu
menyempat-nyempatkan diri datang ke Slawi dan meminta kita untuk
mengakui Pemalang, yang artinya adalah Kelompok Widarta, sebagai Pusat
Pemerintahan Revolusioner?''

''Bagiku itu sangat jelas. Itu adalah langkah awal Bung Djaja untuk
mewujudkan gagasannya tentang Badan Pekerja.''

''Benar. Tapi saya menduga ada yang tersirat. Bung Djaja secara tak
langsung ingin menjinakkan Gerakan Kutil. Karena AMRI Talang punya
hubungan dekat dengan AMRI Slawi, maka jika AMRI Slawi mengakui
kepemimpinan Pemalang, Bung Djaja berharap AMRI Talang pun akan
mengikuti sikap AMRI Slawi. Dan, dalam jangka panjang, Badan Pekerja itu
sendiri antara lain berfungsi untuk menyatukan sekaligus mengawasi semua
gerak-gerik setiap badan perjuangan.''

''Lalu apa masalahnya?'' sela Sakirman. ''Bukankah selama ini Gerakan Kutil
sejalan dengan gagasan mereka, yaitu menyingkirkan sisa-sisa kolonialisme
dan fasisme?''

Soewignjo tidak menyanggah. Ia hanya mengatakan bahwa pada dasarnya


Kutil bukan orang politik. Gerakannya terlalu lugas, keras, dan tanpa
kompromi. ''Kita tahulah, Bung,'' Sowignjo menyambung. ''Di dalam kancah
politik kan diperlukan kemampuan bergerak yang lebih luwes.''

''Ya, Kutil bukan seorang petualang. Dia tak paham bahwa politik
menyediakan banyak jalan untuk sampai ke satu tujuan.''

Tetap dengan suara rendah, Soewignjo menyampaikan cerita yang membuat


Sakirman tercengang. ''Kelompok Widarta, terutama Bung Djaja, telah
menunjukkan perasaan tak suka kepada Kutil setelah terjadi pembunuhan
terhadap Wakil Ketua KNI.'' Latar belakang pembunuhan itu, diduga bukan
semata-mata karena Wakil Ketua KNI, Mardjono, dianggap korup dan menjadi
antek Jepang, melainkan karena rasa perseteruan yang sudah lama terjadi
antara AMRI Talang dengan KNI, sejak peristiwa pembagian bahan sandang
yang pertama. ''Apalagi Kutil juga merampas mobil dan pistol milik Mardjono
untuk dipakai sendiri.'' Kelompok Widarta tak ingin perjuangan ini cemar
karena kekerasan dan perampokan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International


========

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/20/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 18 Aug 2017 21:14:19 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT BELAS

267

AKAR seteru yang telah terkubur begitu dalam ternyata masih mudah
mencuatkan tunas-tunas pertentangan ke permukaan. Seumpama persoalan
yang ingin kaulupakan dengan tidur, lalu kau bermimpi tentang pelangi yang
melengkung di pagi hari. Namun, begitu kau bangun, ternyata persoalan
baru telah menunggu di sisi ranjangmu. Dan kau akan heran, mungkin
geram, karena persoalan-persoalan itu menyembul hanya beralaskan remah
kesalahpahaman. Orang cenderung mengukuhi prasangka dan
menganggapnya sebagai kebenaran yang patut dibela. Bahkan ketika apa
yang mereka anggap sebagai kebenaran itu terbukti keliru, mereka tetap tak
mengurungkan pertentangan dengan mengatasnamakan masa lalu.
Pengalaman seperti itulah yang kau alami, sehubungan dengan keberadaan
Iskandar Idris di Slawi.

Memang, rupanya ada ketakutan yang tak mudah ditepis dari kenangan
Sang Komandan. Setelah penangkapan atas dirinya yang dilakukan
sekelompok pemuda di dekat Talang, yang lantas membawanya ke sebuah
rumah tahanan di Adiwerna, Sang Komandan akhirnya memilh tinggal di
Slawi daripada harus kembali ke Pekalongan melalui Adiwerna dan Talang.
Jadi, sebenarnya, ia berada di Slawi juga atas pilihannya sendiri.

Aku memang menghinanya dengan julukan ''kudanya Mister Besar'', kenang


Sakirman. Sebab, sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat, ia tak
tampak berpihak kepada rakyat, malah lebih kentara membela para pangreh
praja. Tak heran jika rakyat mengubah kepanjangan TKR menjadi Tentara
Keamanan Residen. Tapi, aku tak mungkin meremehkannya sebagai pribadi.
Aku tahu, dia seorang tokoh penting di kalangan Muhammadiyah Pekajangan
yang pengaruhnya tak bisa diabaikan.
Kesadaran itulah yang mendorong Sakirman selalu memperlakukan Sang
Komandan dengan baik. Sakirman bahkan meminta orang-orang
kepercayaannya untuk mengajak Sang Komandan meninjau tempat-tempat
latihan pemuda dan mengunjungi pabrik tekstil di Slawi. Namun toh
kecurigaan tetap membayang. Meski Soewignjo -selaku Ketua Badan Pekerja-
telah menjelaskan bahwa Iskandar Idris berada di Slawi atas keinginannya
sendiri, para pemuda santri tetap meragukan tujuan AMRI.

''Menjalin persatuan jauh lebih sulit daripada menyebar benih pertentangan,


Bung,'' kata Sakirman, pelan. Ia seakan merasa akan terjadi pertentangan
yang lebih besar terhadap AMRI. Ia membaca gelagat itu dari dalam, dari
gerak-gerik dan desas-desus para anggota kelompok perjuangan yang kini
berada di bawah naungan AMRI Slawi. Dari laporan orang-orang
kepercayaan, Pemoeda Adiwerna sudah mulai membangkang setiap kali
dilatih baris-berbaris. Mereka merasa terhina, seolah AMRI Slawi
menganggap Pemoeda Adiwerna tak perna melakukannya. Itu masalah
disiplin, pikir Sakirman, bukan perkara pernah atau tidak penah. Dan jika
baris-berbaris yang dipersoalkan, mengapa pembangkangan itu tidak
tampak sejak mula? Tentu, gejala keretakan dari dalam seperti itu bukan
tanpa penyebab, simpulnya.

Jika kelompok yang semula sehaluan saja bisa bertenangan, lantas


bagaimana dengan pihak-pihak lain yang memang sudah menjadi seteru
sejak dulu? Pendekatan yang dilakukan Badan Pekerja agaknya sudah
terlambat. Kerukunan antar-kalangan tidak mungkin terbentuk dalam
sebulan-dua bulan.

''Saya paham, Bung Djaja mencoba melakukan pendekatan terhadap


kalangan Islam,'' suara Kutil menyadarkan lamunan Sakirman. ''Tapi,
menurut saya, usahanya tak banyak berguna.'' Sambil tertawa Kutil lantas
menceritakan kenaifan yang dilakukan Kamidjaja di hadapan Bupati Aboe
Soedja'i. ''Masa, hanya karena ingin dianggap berasal dari pesantren, Bung
Djaja memperkenalkan diri dengan nama Abdoel Hamid!''

Sakirman ikut tertawa lirih. Hatinya perih. Dalam perkara pendekatan


terhadap tokoh-tokoh Islam, Kamidjaja dinilainya terlalu menggampangkan
persoalan. Ia merasa sudah berbuat banyak hanya dengan mengangkat dua
orang kiai menjadi bupati. Dikiranya itu cukup untuk meraup dukungan dari
kalangan Islam. Dalam pandangan Sakirman, Kamidjaja juga terlalu
mengacu kepada masa silam. Hanya karena Sarekat Rakyat pernah berjaya
di Tegal, ia menganggap hubungan yang mesra dan intim dengan kalangan
Islam kurang diperlukan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

''Mungkin karena ia bukan asli sini, Bung Djaja seperti kurang


memperhitungkan perubahan nilai-nilai sosial di wilayah pesisir ini,'' tanggap
Sakirman. Kegagalan pemberontakan petani tahun 1926, katanya
menambahkan, dengan dibuangnya tokoh-tokoh masuarakat, termasuk
beberapa orang yang diasingkan ke seberang Jawa, telah menjadi mimpi
burung yang senantiasa membayang dalam tidur banyak orang. Sejak saat
itu, orang yang semula dekat mulai membuat jarak dan setiap perbedaan
nilai -terutama di kalangan Islam dan nasionalis radikal- seakan ancaman
yang setiap saat bisa menjelma pertikaian. ''Sebab itu, Bung, di antara kita
sendiri perlu kita selaraskan pemahaman dan kita perkuat kekompakan.''

''Asal semua itu sesuai dengan rasa keadilan, saya tak keberatan, Bung
Kirman.''

''Oh, tidak ada yang bertenangan dengan rasa keadilan, Bung. Percaya pada
saya!'' Sakirman meyakinkan. ''Badan Pekerja dibentuk untuk merombak
para pangreh praja lama, agar kita punya pemerintahan sendiri, dipimpin
tokoh-tokoh yang kita pilih sendiri, demi terwjudnya tata-masyarakat yang
bersih dan adil.''

Sakirman memerhatikan Kutil, seakan hendak tahu bagaimana


tanggapannya. Namun ia tak segara mendapat gambaran yang nyata. Kutil
hanya mengangguk-angguk pelan, tapi tetap diam dan matanya masih
menyimpan keraguan.

''Semua badan perjuangan sudah mengakui Badan Pekerja, Bung,'' desak


Sakirman. ''Kecuali AMRI Talang. Tak ada jeleknya Bung juga bergabung, agar
kesatuan di antara kita jauh lebih kuat dan utuh.'' Karena Kutil tetap diam,
Sakirman menambahkan, ''Bung boleh meragukan beberapa orang di Badan
Pekerja, tapi apakah ung juga sangsi terhadap saya?''

Kutil tehenyak. Tak menyangka Sakirman mengajukan pertanyaan seperti itu.


Tapi ia tak semat berkata-kata, karena Sakirman masih saja berusaha
membujuknya. Sakirman menjadikan dirinya jaminan. Jika kelak Badan
Pekerja tak sesuai dengan rasa keadilan, katanya, dialah orang pertama
yang akan keluar dan menjadi penentang. Ia juga menekankan pentingnya
dukungan semua kalangan, sebab tak lama lagi Badan Pekerja akan
membentuk Front Persatuan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======
========

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/25/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 22 Aug 2017 00:36:05 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BELAS

272

BEBERAPA hari kemudian Sakirman selaku anggota Gaboengan Badan


Penerangan, bagian dari Gaboengan Badan Perjoeangan Tiga Daerah,
menghubungi Kutil dan memintanya bekerja sama dengan pihak kepolisian
Brebes, memastikan keadaan aman, sehubungan dengan akan
dilangsungkannya sidang kedua GBP3D di Brebes pada tanggal 25
November.

''Apa perlu pengamanan khusus, Bung?'' tanya Kutil. ''Bukankah sekarang


lebih tenang karena sebagian besar badan perjuangan telah melebur jadi
satu.''

''Kita bekerja sama dalam satu wadah baru, itu benar Bung, tapi tidak
melebur. Setiap badan perjuangan tetap hidup,'' ralat Sakirman. ''Yah,
syukurlah, keadaan memang sedikit lebih tenang, tapi waspada selalu lebih
baik kan? Sidang ini memang akan lebih besar dibanding sidang pertama di
Kantor Parsi tempo hari.''

Seketika Kutil pun bersimpulan. Ia menduga para anggota GBP3D sudah


mulai meluaskan jaringan kerja sama dengan menggandeng tokoh-tokoh dari
luar lingkaran. ''Akan dihadiri juga oleh tokoh-tokoh Islam, Bung?'' Kutil
bertanya.

Sakirman yang tanpa prasangka dan belum menyadari ke mana arah


pertanyaan Kutil, menjawab lugas, ''Wah, itu saya tidak tahu. Yang pasti,
beberapa wakil badan perjuangan akan datang, juga wakil masyarakat China
dari Tegal.''

''Oya, wakil PNI-baru dari Tanjung yang duduk di Gaboengan Badan Ekonomi
itu sapa namanya, ya?''

''Oh, itu Bung Soenarto. Dia juga pasti datang. Apalagi sidang itu nanti akan
banyak membahas masalah ekonomi.''

''Ah, saya memang belum pernah bertemu orangnya. Namanya sering saya
dengar dari Koreng Kemurang.''

Sakirman menyahut, ''Dia memang cocok mengurusi ekomomi. Cukup


banyak pengalamannya.'' Selain pendapat pendidikan yang baik,
tambahnya, bidang ekonomi merupakan keahlian yang ia warisi dari
ayahnya, seorang pemegang tata buku pabrik gula zaman Belanda. Soenarto
pernah bekerja di Kantor Keresidenan Jakarta, tapi dipecat penguasa Belanda
gara-gara membocorkan informasi rahasia kepada Handel in Pers Artikelen,
sebuah kantor berita yang diasuh eks-Digulis.

''O, jadi dia dari Jakarta?''

''Bukan. Dia lahir di Brebes. Masa perjuangannya yang terpenting justru


setelah dia meninggalkan Jakarta.'' Setelah dipecat, lanjut Sakirman,
Soenarto mengajar di kursus-kursus Taman Kemajuan yang didirikan PNI-
baru. Karena ancaman para anggota Politieke Inlichtingen Dienst, intel politik
Belanda, yang akan mencelakakan ayahnya, Soenarto lantas pindah ke
Cirebon, mengajar di sekolah yang didirikan Sugra, tokoh PNI-baru Walet.
Soenarto sempat menjadi komisaris PNI-baru cabang Cirebon dan bersama
Sugra membentuk Koperasi Rakyat Indonesia. Semasa pendudukan Jepang ia
menggunakan koperasinya sebagai front kegiatan bawah tanah, sebelum
akhirnya memimpin gerakan revolusioner di Tanjung.

''Em, Bung Kirman, boleh saya bertanya soal lain?''

''Tentu.''

''Dengar-dengan Bung Sismadi mengundurkan diri dan Bung Djaja sudah


punya nama lain untuk calon residen?''

''Ya, benar. Bung Djaja mengusulkan Bung Sardjio Kartodihardja dari


Purworejo. Sudah pernah dengar namanya, Bung?''

''Belum.''

''Dia tak kalah hebat dibanding Bung Sismadi.'' Tanpa diminta Sakirman pun
lantas memaparkan pengetahuannya tentang ketokohan Sardjio. Sakirman
menyebutnya sebagai bangsawan yang merakyat. Di depan namanya,
Sardjio memang punya embel-embel Raden, sebab ia adalah putra Raden
Cakradirada, Kepala Desa Bedug, yang menurut silsilah merupakan
keturunan ketujuh Raden Adipati Danoeredja, menantu Sultan Amangkurat II.
''Jiwa kepimpinannya sangat besar, Bung,'' tambah Sakirman. Pada zaman
Jepang Sardjio menjadi anggota Shu Sangi Kai (Dewan Penasihat Residen)
Kedu, kemudian menjadi wakil keresidenan dalam Chuo Sang-in (Dewan
Penasihat se-Jawa). ''Bulan September lalu ia baru bebas dari penjara
Ambarawa.''

''Lo, dia dipenjara oleh penguasa Jepang?''

''Ya. Ia ditangkap karena dituduh menjadi anggota Gerakan Bawah Tanah dan
divonis kurungan 13 tahun. Coba kalau negara kita tidak merdeka, dia baru
akan keluar penjara ketika usianya sudah sangat tua.''

Kutil merasa ada harapan dalam setiap penjelasan Sakirman. Jika benar
Soenarto seorang yang ahli di bidang ekonomi dan Sardjio punya jiwa
kepemimpinan yang besar, agaknya GBP3D memang dibentuk untuk
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan penindasan. Selama ini,
sebagaimana sering ia dengar, hambatan terbesar dalam menjalankan roda
pemerintahan baru adalah kelangkaan pejabat yang memahami administrasi
serta kurangnya kemampuan mereka di berbagai bidang kemasyarakatan.

Secara pribadi Kutil tidak pernah meragukan kemampuan berorganisasi


orang-orang sekelas Soewignjo, Sakirman, Moehammad Noeh, dan sejumlah
tokoh lain yang konon sangat piawai seperti Widarta, Kamidjaja, Amir
Nataatmadja, dan Soepangat. Namun, untuk menata kembali kehidupan
masyarakat sekeresidenan yang telah lama porak-poranda, keberadaan
mereka, betapapun hebat gagasan dan ketrampilannya, tentu saja kurang
mencukupi.

Menurut cara berpikir Kutil yang sederhana, sungguh merupakan gagasan


baik jika para pemuka di Tiga Daerah berlapang dada, mau berendah hati,
dengan mengundang dan menerima tokoh-tokoh lain untuk bersama-sama
memulihkan kebahagiaan masyarakat yang telah lama tercabik-cabik.
''Baiklah, Bung Kirman, saya akan segera menghubungi Kepala Kepolisian
Brebes,'' kata Kutil. ''Saya jamin tidak akan ada gangguan, sebelum dan
sesudah sidang itu berlangsung!''

Sambil mengakhiri percakapan, Kutil membatin bahwa ia harus bersabar


untuk sementara waktu. Ia masih perlu menunggu waktu yang tepat untuk
membicarakan pembebasan para kiai dari tahanan AMRI Slawi. Jangan
sampai pembebasan itu justru mengundang perhatian masyarakat dan
mengganggu persiapan sidang Gaboengan Badan Perjoeangan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International


=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/28/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 31 Aug 2017 22:09:35 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT BELAS

275

DI LUAR bidang ekonomi yang dicanangkan Gaboengan Badan Perjoeangan


Tiga Daerah dengan penuh percaya diri, sebagai kepala polisi Kutil diam-
diam mencemaskan masalah keamanan, mengingat dalam sidang di Brebes
itu tak disinggung sedikit pun kemungkinan terjadinya pertentangan
antarkalangan. Badan Pertahanan terkesan hanya memusatkan seluruh
perjuangan untuk mempertahankan revolusi dari ancaman lawan utama,
yakni NICA dan agen-agennya.

''Saya bisa memahami, Bung,'' kata Sakirman. ''Saat ini tak ada kekuatan
yang lebih bahaya dibanding NICA. Mereka tak hanya mengancam
kelangsungan revolusi di Tiga Daerah ini, melainkan juga berpotensi
membatalkan kemerdekaan Republik. Sebab itu, arek-arek Surabaya
berjibaku. Kita juga harus waspada, mengingat kekuatan NICA saat ini sudah
sampai di Ambarawa.''

Sambil mengangguk-anggukkan kepala, Kutil bertanya, ''Apakah munculnya


usul agar GBP3D membentuk kembali kekuatan tentara juga berkaitan
dengan kecemasan terhadap NICA?''

''Tentu, meskipun tidak melulu untuk itu. Saya sependapat bahwa pada
dasarnya kita memerlukan sebuah lembaga keamanan yang kuat, selama
tidak menjadi biang penderitaan rakyat. Nah, yang terjadi selama ini kan
sebaliknya. Tentara yang seharusnya melindungi rakyat justru menjadi
momok sekaligus memedi bagi rakyat. Karena itu pula, dalam sidang tempo
hari itu terjadi perbedaan pendapat.''

Ya, Kutil pun belum lupa. Adalah Kartohargo, Ketua Badan Pekerja Brebes,
yang mengusulkan agar Tentara Keamanan Rakyat diaktifkan lagi di
Keresidenan Pekalongan. Untuk mendukung usulannya, Kartohargo juga
menyampaikan berita bahwa Markas TKR di Yogyakarta sudah bersedia
membentuk TKR baru di Tegal. TKR Pekalongan juga akan menyumbangkan
separuh dari anggotanya lengkap dengan senjata, dan Tegal akan diberi hak
memilih sendiri anggota selebihnya.

Kamidjaja tampak kurang setuju dengan usulan itu. Ia berpendapat bahwa


TKR tak lebih dari kekuatan konservatif yang berasal dari lapisan masyarakat
tertentu, yan juga konservatif lantaran kebanyakan dari mereka hidup dalam
kemapanan. Karena itu, menurutnya, tanggung jawab keamanan tidak bisa
dipercayakan hanya kepada mereka. Kamidjaja justru menganjurkan
dibentuknya angkatan bersenjata baru, dalam wujud Barisan Algojo, dengan
alasan bahwa yang sanggup melawan tentara kolonial hanyalah kekuatan
gerilya dengan basis utama kaum miskin, karena merekalah yang langsung
dan terus-menerus didera penderitaan sehingga mereka pula yang paling
bersemangat untuk mengubah nasib.

''Itu memang perkara yang pelik,'' kata Sakirman lagi. ''Ingat, Bung,
pandangan yang disampaikan Bung Amir?''

''Ya,'' jawab Kutil singkat. Ia bahkan melihat ada kebenaran dalam


pandangan Amir. Saat itu Amir menuturkan bahwa Barisan Pemberontak
Republik Indonesia, badan perjuangan yang dipimpin Bung Tomo di
Surabaya, melalui anggotanya yang tersebar sampai ke Pekalongan sudah
berjanji akan memberi senjata kepada Weleri dan Kendal. Senjata-senjata itu
akan diminta dari TKR Pekalongan dan TKR Yogyakarta. Tapi, konon TKR
sudah dimasuki para pengkhianat. Utusan dari Tegal dan Pemalang mereka
tangkap.

Mendengar penjelasan Amir itu, Soewignjo berang. ''Siapa yang


berkhianat?!''

Widarta lantas menyebut sejumlah nama dan peristiwa. Banyak orang


terhenyak lantaran beberapa nama yang disebut Widarta adalah tokoh-tokoh
penting pergerakan, orang-orang yang sering tampil sebagai pahlawan. Di
akhir jabarannya, Widarta menegaskan bahwa TKR hanya berguna untuk
memperteguh keningratan para pangreh praja. Ungkapan itu sejalan dengan
kaum radikal yang menganggap bahwa di mana-mana tentara hanya
mendukung status-quo dan biasanya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
luar yang sukar dipercaya.

''Kesan saya kok, kita ini seperti sedang bersiap perang,'' Kutil menggumam.
''Coba, Bung, kalau kita pikir, keputusan-keputusan rapat itu kan seolah
menyadarkan kita bahwa Tiga daerah ini sedang terkepung?'' Kutil lantas
menyebut langkah-langkah siaga dengan menempatkan logistik di tempat-
tempat tertantu. Misalnya, bensin harus dipusatkan dan disimpan di
Pemalang dan akan dihancurkan jika GBP3D terancam.
Sebagai jawaban atas usulan Kartohargo untuk menggiatkan kembali TKR,
saat itu peserta rapat atas nama rakyat bersepakat akan membentuk
kekuatan bersenjata sendiri. Dan benar, segera setelah itu, Barisan Algojo
dibentuk. Para anggotanya dididik dan dilatih kemiliteran yan disesuaikan
dengan prinsip-prinsip dan tujuan Pemerintah Tiga Daerah.

''Kita sepakat menolak tawaran TKR Yogya untuk membentuk TKR Tegal,
karena TKR jelas tak akan mendukung revolusi,'' sahut Sakirman. ''Kita sudah
punya cukup pengalaman, Bung, selama ini TKR hanya alat yang
memperkuat feodalisme.''

Memang sudah lama kaum radikal mencurigai tentara, terutama karena


pengaruh latar sosial yang menyebabkan tentara lebih bersetia kepada
pangreh praja daripada kepada rakyat jelata. Kecurigaan itu pula yang,
antara lain, mendorong para tokoh GBP3D berhati-hati dalam memasukkan
tokoh dari kalangan lain di dalam wadah baru perjuangan mereka. Dalam
rapat di Brebes itu, Widarta bahkan menegaskan bahwa para anggota yang
berasal dari luar lingkaran hanyalah simpatisan.

''Kesan saya, kok GBP3D itu kurang terbuka, ya, Bung,'' Kutil bertanya hati-
hati. ''Apakah sikap seperti itu tidak memancing pertentangan?
Bagaimanapun Tiga Daerah ini tempat hidup banyak orang dengan beragam
pandangan dan keyakinan, Bung Kirman. Alangkah baik kalau yang namanya
Gaboengan Badan Perjuangan itu ya benar-benar gabungan, bukan hanya
kumpulan kawan-kawan sehaluan.''

Sakirman meyakinkan Kutil bahwa GBP3D bukan bermaksud melenyapkan


keragaman. Namun, katanya, prioritas utamanya adalah menanamkan
kekuasaan di Keresidenan Pekalongan. Untuk itu, dua belas hari setalah
berdiri, Sekretariat GBP3D mengeluarkan surat yang ditujukan kepada
seluruh organisasi atau badan perjuangan di Tegal agar mendukung
perubahan di Pekalongan.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

========

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/30/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 4 Aug 2017 15:51:08 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.

BAGIAN KEEMPAT BELAS

277

TANGGAL 6 Desember atau sehari setelah pengumuman tuntutan rakyat


terhadap pemerintah dan badan-badan perjuangan Pekalongan, Sardjio
berkunjung ke Tegal memenuhi undangan Gaboengan Badan Perjoeangan
Tiga Daerah. Di sana ia bertemu dengan para tokoh GBP3D yang sedang
mempersiapkan sebuah pertemuan antara para pemimpin GBP3D dan wakil-
wakil dari seluruh badan perjuangan Pekalongan yang rencananya akan
mereka gelar di Pemalang.

''Kita belum bisa melaporkan situasi Tiga Daerah kepada Pemerintah Pusat,
Bung, karena kita masih menunggu tanggapan dari Pekalongan,'' kata
Kamidjaja. Ia juga menerangkan bahwa laporan-laporan sebelumnya kurang
mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat karena mereka masih disibukkan
oleh kecamuk perang di Surabaya dan Ambarawa.

''Ya, saya bisa maklum,'' sahut Sardjio. ''Pemerintah Pusat memang harus
mengutamakan penyelesaian masalah dengan musuh asing daripada
mengurusi pertikaian di daerah-daerah.'' Sardjio kemudian menyampaikan
kabar bahwa kemarin, bersamaan dengan diumumkannya tuntutan rakyat
Tiga Daerah, Ambarawa berhasil direbut kembali oleh pasukan Republik.
''Mudah-mudahan situasi tambah membaik dan kita segera mendapat
jawaban dari Pekalongan.''

***

PADA hari yang sama, di Pekalongan, Pejabat Residen Raden Mas Soeprapto
menerima surat dari badan-badan perjuangan Kabupaten Pekalongan yang
isinya senada dengan tuntutan Gaboengan Badan Perjoeangan Tiga Daerah.
Secara kusus, surat itu mendesak diselenggarakannya sidang badan
berjuangan se-Pekalongan sesegera mungkin.

Keesokan harinya sidang itu pun digelar. Dihadiri oleh wakil-wakil dari
sepuluh kelompok, si antaranya Pesindo Batang, Pesindo Pekalongan,
Pesindo Sragi, Polisi Pekalongan, Barisan Banteng, Barisan Pemberontak
Repoeblik Indonesia, dan Badan Pemberontakan Alim Ulama. Sidang itu
sepakat mebentuk Badan Perjoeangan Pekalongan sebagai jawaban atas
surat tuntutan GBP3D. Para peserta sidang juga menyetujui saran Sayuti
Melik -yang juga hadir dalam dalam sidang itu- agar Badan Perjoeangan
Pekalongan segera menemui BGP3D.
Mereka rupanya telah mendapat kabar tentang rencana GBP3D mengadakan
konferensi di Pemalang. Peserta sidang pun mengusulkan agar Sayuti dan
Suprapto ikut hadir bersama mereka.

''Sayang sekali, saat itu saya sudah tidak berada di sini,'' kata Sayuti. ''Tapi,
tidak apa-apa, kan masih ada Bung Prapto.''

''Ya, saya memang ada,'' sahut Soeprapto, ''tapi, sebagai pejabat pemerintah
sebaiknya saya tidak ikut hadir dalam konferensi itu, sehingga pertemuan itu
akan lebih merupakan perundingan antara rakyat dengan rakyat.''

***

KONFERENSI itu berlangsung pada hari Minggu, 9 Desember, di Pendapa


Kabupaten Pemalang. Sebelum berangkat para wakil Badan Perjoangan
Pekalongan berkumpul di Hotel Merdeka. Di antara mereka tampak Kiai Haji
Syirat, tokoh Badan Pemberontakan Alim Ulama, Kiai Haji Syafi'i, tokoh
Muhammadiyah mewakili Barisan Pemberontak Repoeblik Indonesia, Kepala
Keplisian Keresidenan, seorang tokoh Komite Nasional Indonesia, dan tokoh
dari Barisan Boeroeh Indonesia.

Setelah semua wakil badan perjuangan telah bergabung, mereka pun


berangkat menuju Pemalang. Ketika rombongan sampai di perbatasan
Pekalongan-Pemalang, mereka dihentikan dan diperiksa oleh segerombolan
rakyat yang bersenjata bambu runcing. Pemeriksaan itu berlangsung amat
teliti, namun akhirnya mereka dipersilakan melanjutkan perjalanan setalah
tak ditemukan benda yang membahayakan. Tapi, rupanya, penggeledahan
itu terjadi sampai beberapa kali. Setiap beberapa ratus meter mereka
diminta berhenti oleh sekelompok rakyat untuk diperiksa lagi. Begitu
seterusnya sampai mereka tiba di Pendapa Kabupaten Pemalang ketika hari
sudah beranjak siang.

Pencegatan dan pemeriksaan seperti itu tidak hanya terjadi di jalur


Pekalongan-Pemalang. Para wakil badan perjuangan yang berangkat dari
Brebes dan Tegal pun mengalami perlakuan serupa. Kartohargo, Ketua Badan
Pekerja Brebes, merasakan betapa kekuatan rakyat yang berhasil digalang
Kelompok Widarta sangat berperan dalam pengamanan. Tak hanya itu,
kehadiran para pemuda bersenjata yang berjaga-jaga di sekeliling pendapa
bahkan tak hanya menjadi jaminan keamanan, tapi sekaligus merupakan
tekanan bagi para peserta untuk menyetujui keputusan konferensi.

Konferensi dibuka oleh Kamidjaja dengan kalimat-kalimat lembut yang setiap


katanya seakan telah disiapkan. Namun, di antara kelembutannya, Kamidjaja
sempat menyindir para utusan dari Pekalongan yang tak seorang pun datang
memenhi undangan sidang GBP3D yang diadakan di Kantor Parsi Tegal,
hampir seminggu yang lalu. Sudah itu, Kamidjaja menerangkan arah dan
tujuan perjuangan Tiga Daerah sampai munculnya tuntutan rakyat kepada
pemerintah dan seluruh badan perjuangan di Pekalongan.

''Tuntutan itu merupakan suara terbanyak dari seluruh penduduk


Keresidenan Pekalonan, karena mewakili rakyat Brebes, Tegal, dan
Pemalang,'' kata Kamidjaja lantang. ''Maka tidak ada alasan bagi Pekalongan
untuk tidak menerimanya.''

Ketika akhirnya Kamidjaja mempersilakan wakil-wakil dari Pekalongan untuk


menyatakan tanggapan, semua menyatakan setuju, kecuali wakil dari
Pesindo yang tampak kurang puas karena ia merasa persetujuan itu tercapai
di bawah ancaman. Ia merasa tak diberi peluang untuk bersikap bebas.
''Jangan-jangan, kalau kami tidak setuju dengan tuntutan itu, kami tidak akan
pernah kembali ke Pekalongan,'' sindirnya.

Para pemimpin GBP3D hanya tertawa. Bagi mereka yang terpenting Badan
Perjoeangan Pekalongan sudah setuju, bahkan dengan alasan yang
membanggakan: ''demi perbaikan dan kemajuan bangsa.''

Ketika waktu istirahat tiba, Kutil merasakan kelegaan karena para pemimpin
badan perjuangan se-keresidenan akhirnya mencapai kata sepakat tanpa
pertikian. Ia saksikan para ulama, yang hadir mewakili kelompok Islam
maupun badan perjuangan lain, bersembahyang bersama; sementara
sebagian peserta lainnya menyiapkan makan siang untuk mereka.

HexWeb XT DEMO from HexMac International

=======

This is Google's cache of


http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/02/cerbung.htm. It is a snapshot
of the page as it appeared on 6 Aug 2017 02:16:26 GMT.
The current page could have changed in the meantime. Learn more

Full versionText-only versionView sourceTip: To quickly find your search


term on this page, press Ctrl+F or ⌘-F (Mac) and use the find bar.
BAGIAN KEEMPAT BELAS

280

PERALIHAN kekuasaan yang belangsung cepat dan aman itu berangsur


menjelma keresahan. Setiap hari Staf Pengoperan terpaksa harus menerima
kelompok-kelompok masyarakat yang datang membawa pengaduan.
Pembekuan dana kantor-kantor pemerintah dengan cepat membawa dampak
kelumpuhan. Para pegawai keuangan dari luar kota yang datang hendak
mengambil gaji terpaksa pulang dengan tangan hampa. Mereka gelisah
karena para pegawai di daerahnya secara hukum sudah saatnya menerima
gaji bulanan. Kepala Jawatan Kesehatan sangat prihatin lantaran obat-obatan
bagi rumah sakit dan klinik tidak tersedia. Ada pula yang mengadu tentang
tingkah laku para pemuda anggota Kompi Pengawal Tiga Daerah. Kelakuan
mereka nyaris tak beda dengan serdadu Jepang. Setiap warga yang lewat di
depan pos jaga harus memberi salam, jika tidak akan mereka gampar.

Tantangan yang lebih besar datang dari tentara dan kalangan Islam. TKR
tidak menyetujui tindakan Kompi Pengawal yang menggeledah semua
kendaraan yang keluar-masuk Pekalongan. Pemeriksaan terhadap kendaraan
yang mengangkut para pejuang ke Front Semarang dianggap menghambat
perjuangan melawan agresi militer asing. Pemimpin TKR meminta dukungan
GBP3D untuk melawan kekuatan asing di Semarang, tapi jawabannya
mengecawakan.

Pernyataan Kamidjaja bahwa kalangan Islam Pekalongan kurang revolusioner


menimbulkan amarah yang meluas. Mereka menuduh Kamidjaja telah
melecehkan Islam. Amarah itu pun dikaitkan dengan penahaman Iskandar
Idris, Komandan Resimen XVII TKR Pekalongan. Kakaknya, Hassan Ismail,
Pemimpin Muhammadiyah Pekajangan, menggalang kekuatan massa dan
menemui Kepala Polisi Pekalongan. Ia meminta izin untuk menyelenggarakan
rapat akbar umat Islam untuk membuktikan bahwa kalangan Islam
Pekalongan sejajar dengan kaum pejuang revolusioner. Dengan dalih
menghormati residen baru, rapat itu bergerak menjadi demonstrasi di depan
Hotel Merdeka, markas kaum revolusioner.

Keesokan harinya, Residen Sardjio beserta sejumlah stafnya melakukan


perjalanan dinas ke beberapa kecamatan di wilayah Pekalongan Selatan,
sekaligus hendak mengadakan rapat penyusunan pemerintahan baru di
Kecamatan Kedungwuni. Sardjio didampingi Maksoem, sekretaris
keresidenan, dan dua pemuda pengawal pribadi, mengendarai mobil
pertama. Mobil kedua dikemudikan Kamidjaja dan di dalamnya terdapat dr
Soejono dan tiga pengawal pribadi. Mobil terakhir, sepenuhnya berisi
pasukan polisi.

Rencana perjalanan mereka rupanya telah diketahui oleh Hassan Ismail pada
malam sebelumnya. Bersama sejumlah mantan anggota Heiho dan Peta,
Hassan segera merencanakan penyergapan. Ketika rombongan Residen tiba
di Jalan Pekajangan, laju kendaraan terhambat oleh beberapa gerobak yang
melintang di tengah jalan. Dan sebelum rombongan sempat menyadari apa
yang terjadi, Hassan yang sejak tadi sembunyi di balik pohon asam
mendadak melompat dan langsung menembaki mobil paling depan, sebuah
Fiat tua yang dikemudikan Kamidjaja. Dengan cekatan Kamidjaja memutar
mobilnya, tapi sebutir peluru berhasil mengoyak lututnya.
Peristiwa tak terduga itu membuat Sardjio terguncang. Ia sempat melompat
dari kendaraan dan memerintahkan rombongan kembali ke Pekalongan.

Berita penyergapan itu segera menjalar ke mana-mana. Komandan TKR yang


baru, Wadyono, yang saat itu sedang rapat bersama anggota resimennya,
langsung mengerahkan pasukan untuk mengepung Hotel Merdeka dan
memerintahkan para pemimpin revolusioner menyerah.

Sejak saat itu perburuan dan penangkapan terhadap semua orang yang
terlibat atau dituduh terlibat dengan gerakan revolusioner pun berlangsung.
Kalangan Islam bekerja sama dengan tentara melancarkan aksi
''pembersihan'' terhadap gerakan Tiga Daerah. Tentara Keamanan Rakyat
segera bergerak ke Tiga Daerah, membebaskan para pangreh praja yang
meringkuk di penjara-penjara kota, dan menangkapi para pemimpin
revolusioner serta para pengikutnya.

Puluhan orang, ratusan orang, ditangkap dan dianiaya. Seluruh ruang


penjara tak mampu menampung jumlah mereka, sehingga banyak rumah
rakyat diubah menjadi tempat tahanan darurat.

Begitu cepat. Pemerintahan yang baru berumur empat hari itu pun tamat.

***

Allah, ya Rabbi, jerit Kutil dalam hati. Mengapa aku gemetaran seperti ini. O
istri dan anak-anakku! Maafkan bila aku tak memanfaatkan kesempatan
yang ditawarkan padaku. Aku boleh mengajukan permintaan terakhir. Dan,
sungguh, aku ingin minta dipertemukan dengan kalian. Alangkah bahagia
jika aku sempat melihat kalian sehat, meski untuk yang terakhir kali. Tapi,
untuk apa jika kalian bersatu hanya untuk menyaksikan ajalku? Aku tak ingin
menambah penderitaan kalian. Penderitaan kalian sudah melampaui
kesanggupan banyak orang.

Maka biarlah aku mati sendiri. Jasadku akan dilempar ke entah, mungkin ke
suatu tempat yang tak akan kalian ketahui. Kalian dengar gemuruh ombak di
laut itu? Mungkin itulah tangan-tangan alam yang akan menerima tubuhku.
Aku mendengar suara mereka. Ganjil tapi begitu merdu. Ah, andai saja kalian
di sini.

Kami, lautan bernyanyi

Menyapa yang hidup, menyapa yang mati

Ya, ya, aku akan mati. Sebentar lagi. Tapi, jangan sedih anak-anakku.
Namaku akan abadi. Benar, tubuhku akan hancur, tapi aku akan terus hidup
dalam dongeng menjelang tidur. Kelak, setiap anak yang lahir di sepanjang
pesisir ini melihat seekor burung hitam melinas di luas angkasa, namaku
akan melintas pula di benak mereka.

Kutil tersentak. Ia saksikan bayangan sosok selusin orang bersenjata sedang


membidiknya. Aku merasakan lutut mereka juga gemetar, pikir Kutil. Karena
langit masih gelap, mereka mungkin tak akan melihat peluru-peluru
menembusi tubuhku. Darah akan mengucur dari lubang-lubang daging,
sebagian jatuh ke tanah, sebagian membuncah di tubuhku yang kering. Aku
akan tumbang seperti pohon tumbang.

Kutil masih sempat menghayati debur ombak dan kesiur angin. Lirih dan
dingin. Dan ia tersentak lagi. Pekik Sang Komandan telah membuat jari-jari
regu tebak begerak. Cahaya menyemburat di langit timur, tapi di mata Kutil
semesta tampak mengabur. Seekor burung hitam melintas di angkasa, tapi
tak seorang pun melihatnya.

TAMAT

HexWeb XT DEMO from HexMac International

Anda mungkin juga menyukai