Anda di halaman 1dari 25

Don’t Kisot

Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, ”barangkali yang terlalu
praktis, itulah kegilaan”. Barangkali terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itulah
kegilaan.

Berjuang dengan setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun mustahil,
adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia. Aldonza akan bisa menemukan yang luhur
dalam hidup. Ia bisa terbebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau menghitung
laba-rugi. Ia bisa tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi.

Don Kisot tetap merasa bahwa ia heroik tanpa ia sadari bahwa di mata masyarakat yang
dilakukannya adalah kebodohan tidak tertolong. Sebagai gambaran, dalam kisah Don Kisot ia
adalah lelaki tua berkecukupan namun masih saja memimpikan hal-hal aneh. Misalnya ia merasa
bahwa dirinya hidup di zaman kerajaan dongeng-dongeng, menyelamatkan putri, bertempur
melawan raksasa dan naga, dan berpetualang layaknya Sinbad. Padahal zamannya sudah lain,
sudah tidak ada naga, petualangan dan semacamnya. Hidup sudah sedemikian mekanistis,
pemaknaan hanya dapat diperoleh melalui mengkonsumsi benda-benda, fiksi disingkirkan, dan
inilah hidup. Segalanya harus serba realistis.
Realistis! barangkali inilah kata kuncinya. Teman Sysiphus saya barangkali tidak realistis dalam
memandang hidup sebagaimana pilihan Bu Muslimah untuk mempertahankan proses belajar
mengajar (dalam Laskar Pelangi). Teman saya di-Sysiphuskan dirinya sendiri dan di-Don
Kisotkan masyarakatnya. Aduh betapa susah ya..
Kalau disuruh memilih antar keduanya saya sih lebih suka dengan Don Kisot. Lebih heroik bagi
diri saya sendiri meskipun tak kalah Sysipusnya(baca-sia-sia) di mata masyarakat. Setidaknya
ada kebanggaan terhadap profesi yang saya tekuni secara positif misalnya. Dan celakanya dua-
dua tetap tidak realistis bukan? tetapi penggeseran perspektif antara menjadi Don Kisot maupun
Sysiphus tetaplah penting. Bisa jadi keduanya saling olak-alik, posisinya sewaktu-waktu berubah
dan tidak tetap. Karena seringkali menjadi Don Kisot dan merasa heroik terhadap diri sendiripun
adalah kebodohan dalam bentuk yang lain. Sampai di sini belum ada jalan keluar dari kesia-siaan
yang dibicarakan sebelumnya.
Namun saya tetap belum mengerti kekuatan macam apa yang membuat daya tahan Sysiphus.
Bukankah tetap memilih hidup seperti itu adalah kutukan dahsyat dan tidak terselamatkan? tidak
ada jalan lari dan absurd. Kondisi ketidakbermaknaan (meaningless) ini oleh beberapa filsuf
eksistensialis sudah tidak ada jalan keluar. Makanya bagi yang ekstrim bunuh diri adalah pilihan
yang realistis. Tetapi betulkah Sysiphus benar-benar karakter yang pesimistis? saya kira tidak
orang boleh saja menganggap ia tidak kalah sia-sianya dengan Don Kisot, tetapi saya yakin
kekuatan untuk mengangkat batu tentunya lahir dari daya gerak yang luar biasa: optimistis.
Meskipun di puncak batu itu tetaplah harus digelindingkan. Senantiasa kalah namun tak pernah
menyerah, begitulah kata Dorothea. Meski tahu tak bisa memenangkan nasib tapi tetap berusaha.
Bagi saya sendiri perjuangan kawan saya mengangkat batu saya anggap sebagai salah satu cara
untuk memaknai hidup, dan makna tidak selalu harus diproduksi melalui konsumsi benda-benda
tatapi juga hal-hal yang bersifat immaterial; vitalitas dalam mengatasi ketidakbermaknaan; daya
hidup sebelum seluruh layar akan dilipat. Dalam bahasa Chairil semua ini dilakukan untuk
menunda kekalahan. Pada proses penundaan inilah kita ditempatkan pada ruang antara, ruang
tunggu. Mengutip penulis lain yang saya lupa namanya ruang tunggu adalah keberadaan setelah
keberangkatan dan tertundanya tujuan. Telah sekian lama kita menempati ruang tunggu itu dan
orang-orang yang mempunyai vitalitas kuat tentu tidak akan berpangku tangan, ruang tunggu
harus diisi sesuatu. Barangkali mengangkat batu merupakan pilihan realistis bagi kawan saya itu.
selamat menunggu kawan. Semoga tidak ada yang sia-sia bagi yang mencari makna.

Cerita Don Quixote berkisah tentang seorang lelaki yang terganggu kewarasannya karena terlalu
banyak membaca kisah-kisah kepahlawanan. Ia percaya bahwa dia pun seorang ksatria. Bersama
seorang petani buta huruf, Sancho Panza, Quixote kemudian bertualang. Ia melawan kincir angin
yang ia sangka sebagai raksasa.

Lukisan pasir kincir angin di sebuah tanah lapang pada layar perlahan-lahan berubah, kincir
tersebut kemudian dilengkapi dengan mata besar yang melotot dan kumis panjang lebat yang
mengancam.

Orang Indonesia dikenalkan kepada cerita karangan Miguel de Cervantes ini oleh Abdul Moeis,
seorang sastrawan angkatan Balai Pustaka. Abdul Moeis menterjemahkan cerita Don Quixote
pada tahun 1933. Saya beruntung masih menyimpan buku terjemahan Moeis itu sehingga lebih
mudah memanggil ingatan saat membuat tulisan ini [1].

Namun menurut Goenawan Mohamad, Carvantes sebenarnya cuma pencerita kedua, Carvantes
mendengar kisah Don Quixote pertama kali dari Sayid Hamid Benengeli. Kita tidak harus
percaya soal Sayid Benengeli ini katanya, namun Benengeli disebut kembali namanya pada
halaman 45 dan 48,

"30 menit sebelum Sayid Hamid Benengeli


menghentikan hikayatnya, Don Quixote telah merasa sesuatu tengah terjadi .....

Don Quixote mengerti.


Pada saat itulah Sayid Hamid
Benengeli mulai membuat tanda terakhir dengan dawat di kertasnya,
seperti sebuah titik, seperti melankoli.” [2]

Cerita Don Quixote berkisah tentang seorang lelaki yang terganggu kewarasannya karena terlalu
banyak membaca kisah-kisah kepahlawanan. Ia percaya bahwa dia pun seorang ksatria. Bersama
seorang petani buta huruf, Sancho Panza, Quixote kemudian bertualang. Ia melawan kincir angin
yang ia sangka sebagai raksasa.

Lukisan pasir kincir angin di sebuah tanah lapang pada layar perlahan-lahan berubah, kincir
tersebut kemudian dilengkapi dengan mata besar yang melotot dan kumis panjang lebat yang
mengancam. Lampu sorot tiba-tiba mengarah pada Naniek L. Karim,

"Jin !"
ujar Naniek tajam.

"Jin yang menyulap kincir


dan gergasi
telah terbang ke bukit Algiers
dan tak akan kembali
ke plateau ini,"
ujarnya saat gambar kincir tersebut sempurna berubah wujud menjadi sebentuk kepala yang
menakutkan. [3]

Saat Quixote menginap dalam sebuah losmen pinggir jalan yang ia bayangkan sebagai istana
berpagar benteng,

"Nasib adalah persentuhan


di sebuah losmen
sebelum fajar
Tak lebih, tak kurang.
Dan di luar,
hanya ada lorong batu"

(Di Sebuah Losmen, h. 29)

Saya pernah bertanya kepada Penyair beberapa tahun lalu, mengapa kita menulis puisi. Dia diam
sebentar, menengok ke arah lain, kemudian dia kembali lagi, "buat apa kita bersiul?" katanya."
Anda sendiri, buat apa suka memajang dan memandangi lukisan?" wajahnya tertuju ke saya.
Mungkin jawabnya ada pada sepenggal alenia dalam buku Dead Poet Society,

...... Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu elok. Kita membaca dan menulis
puisi karena kita adalah bagian dari ras manusia. Ras manusia itu berisi atas gairah. Sementara
obat, hukum, bisnis, uang, teknik, adalah hal yang mulia dan diperlukan untuk bertahan
hidup. Tetapi puisi, kecantikan, romance, cinta, adalah apa-apa yang kita butuhkan agar kita tetap
hidup dan menjadi berarti. [4]

Dan kisah Don Quixote adalah sebuah gairah. Tentang seorang kaya yang menjual tanah luasnya
sepetak demi sepetak demi membeli buku-buku kepahlawanan sampai akhirnya waham ksatria
melanda Quichada, nama asli Don Quixote sebelum dia gila.
"Ia menangis untuk lelaki di atas kuda kurus
yang akhirnya sampai pada teluk
di mana fantasi adalah hijau hujan
yang hilang ujung
di laut asing

Ia menangis,
dan lelaki itu mendengarnya.

"Aku Don Quixote de La Mancha majenun yang mencarimu."

Tubuhnya agak tinggi, tapi rapuh dan tua sebenarnya.


Ia berdiri kaku.
Cinta tampak telah menyihirnya
jadi ksatria dengan luka
di lambung.
Tapi ia menanti perempuan itu melambai
dalam interval grimis
sebelum jalan ditutup
dan mereka mengirim polisi, tanda
waktu,
kematian."

(Ia menangis, h. 9)

Kumpulan puisi Don Quixote ini dibuka dengan puisi "Ia menangis" sebagai puisi pertama. Puisi
ini mengandung permasalahan sejak kata pertama. Siapakah "Ia" disini? Dulciena? Bukankah
Dulciena cuma tokoh khayalan Don Quixote saja? Atau Ia itu adalah Magdalena,
kemenakannya? Atau Ia adalah monolog Penyair itu sendiri. Bisa siapa saja. Mungkin Ia itu
siapa tidak penting. Tetapi "lelaki di atas kuda kurus" sudah pasti menunjuk kepada Don Quixote
yang menunggang Rocinante, sang kuda kurus.

Dimanakah letak "teluk di mana fantasi adalah hijau hujan yang hilang ujung di laut asing"? Jika
kalimatnya dibuat menjadi terang, orang biasa akan membuat seperti ini : "teluk di mana (lelaki
itu) (ber)fantasi ada(lah) hijauhujan (berwarna) hijau yang menghilang (di) ujung di laut asing”.
Namun kalimat normal seperti itu (“teluk di mana lelaki itu berfantasi ada hujan berwarna hijau
yang hilang di ujung laut) terlalu jelas, terlalu biasa dan tidak membawa pembaca berimajinasi.
Penyair ingin membawa pembaca pada momen sepi dan misteri.

Pemilihan susunan diksi “hijau hujan yang hilang ujung” juga dibuat dengan perhitungan.
Penggunaan akar kata hi-hu-hi (hijau hujan yang hilang) dan jau-jan-jung (hijau hujan yang
hilang ujung) membawa pembaca ke suasana gundah, rasa berat. Untuk kemudian diikuti dengan
larik lirih,

"Aku Don Quixote de La Mancha majenun yang mencarimu."

Dari awal Penyair sudah menyatakan bahwa Don Quixote adalah seorang gila. “Cinta tampak
telah menyihirnya/ jadi ksatria dengan luka di lambung”. Di lambung? Kenapa tidak di jantung
atau hati? Sekali lagi kita dibuat silap dengan manuver Penyair. Dia piawai dalam membuat
ketegangan. Kalau "di hati" sudah umum, tapi "di lambung" membuat kita jadi membayangkan
apakah Don Quixote luka hatinya atau luka beneran.

"Tapi ia menanti perempuan itu melambai/ dalam interval grimis/ sebelum jalan ditutup."
Dulcinea ada di kejauhan meninggalkannya dalam gerimis. Apakah dia melambai? Sebelum
jalan ditutup. Jalan disini dapatkah kita bayangkan atau kita ganti menjadi "cerita"? Kalau ya,
berarti puisi ini sebuah kisah penutup, bukan pembuka : "ia menanti perempuan itu melambai
sebelum cerita ditutup."

Dan bait terakhir menegaskan hal ini, "dan mereka mengirim polisi, tanda
waktu, kematian." Kalau larik ini disusun ulang menjadi teratur maka bisa menjadi kalimat tidak
puitis seperti ini : "dan mereka (membuat) (garis) polisi, dan (catatan) waktu kematian".

Demikianlah prolog "cerita" Don Quixote dibuat pada momen detik-detik kematiannya.

Dalam buku saduran Abdul Moeis itu, setelah mabuk dengan dongeng kepahlawanan,
kini saatnya Quichada mewujudkan mimpinya. Mula-mula dibuangnya nama Quichada yang
sama sekali tidak pantas untuk menjadi nama seorang besar. Dipungutnya Don Quixote sebagai
nama baru yang cocok untuk peran pahlawan. Di usia yang menjelang 50 itu dia berkaca, sambil
memakaikan ketopong pada kepalanya. Seorang ksatria harus bertopi baja dan berbaju besi.

"Ia menghitung umurnya


dari cermin,
pada pintu kastil terakhir,
lalu menetakkan pedangnya
ke permukaan yang
menakutkan itu.

"Selamat tinggal"

Kaca itu pun menghilang.


Dan ia melangkah ke luar."
(Di Kastil Terakhir, h. 67)

Dan ksatria membutuhkan kuda. Diraihnya Rocino, seekor kuda tua. Memang Rocino artinya
adalah kuda yang sudah tua. Antes dalam bahasa Spanyol artinya adalah "dimuka". Kalau
digabungkan kedua kata itu menjadi "Rocinante", artinya : benar tua tapi terkemuka juga !

Di suatu subuh yang hening, pergilah Don Quixote dari La Mancha, kampung kelahirannya di
lembah yang dikelilingi ladang dan pohon Encina yang rindang. Bersama Rocinante, sang kuda
renta dengan baju zirah lengkap serta sebuah pedang.

Demikianlah, saat senja datang, Don Quixote terdampar pada sebuah losmen murahan yang
banyak terkandung perempuan nakal.

"Ke arah balkon itu Don Quixote de La Mancha bertanya,


"Ke manakah jalan ke kastil yang dulu ada dan kini tidak?"

Dan laki-laki yang merasa dirinya gagah itu


pun turun dari kudanya.

Ia berjalan mendekat. Ia melihat, sekilas.


tangan Peri Kesepian
mengangkat tubuh rapuh itu ke dalam sebuah gumpalan mega,
dimana setiap perempuan akan ditinggalkan.”

(Ke Arah Balkon, h. 10-11)

Kegilaan Don Quixote rupanya sudah mengganggu lingkungan, setidaknya dia sudah mulai
dibuli dan dipukuli. Namun luka yang muncul dan kuda Rocinante yang babak belur
diterjemahkan sebagai upaya kepahlawanan membasmi begal dan perampok. Magdalena, sang
kemenakan, mengutus pendeta Pero Perez dan tukang cukur Nicolaas, dua sahabat Don Quixote,
untuk mencarinya karena sudah menghilang dari rumah sehari semalam.

"Rocinante. Tukang Cukur


dan padri dusun
mendengar alarm itu:
luka waktu,
pada ringkikmu,

jerit yang panjang


dari sunyi sierra,
tiga jam nasib
sebelum ajal tiba.

Itu rambutmu, Rocinante,


seperti ilalang bukit
yang basah merah
karena darah.

Tapi katakan, apa sebenarnya


yang telah kukalahkan?
Bintang, batu karang, mimpi manusia,
atau kesedihan? Aku takut.

Maka jika esok aku mati,


dengan kaki tetap di sanggurdi,
bawa aku ke laut, Rocinante,
dari kegilaan ini."

(Rocinante, h. 18-19)
Setelah 2 minggu Don Quixote dirawat, akhirnya dia ingin mengembara lagi. Pendeta Pero Perez
mencarikan seorang baik, jujur dan setia untuk menemani hasrat Don Quixote berkelana. Orang
yang cocok untuk itu adalah seorang petani bernama Sancho Panza. Hanya satu kelemahan
Sancho, bahwa dia itu buta huruf dan bodoh. Bagaimanapun Sancho Panza akan bisa menuntun
Don Quixote dari tersesat dan gangguan orang.

Teresa, istri Sancho Panza, tidak setuju suaminya ikut mengembara dengan Don Quixote yang
tidak jelas kapan pulangnya. Namun karena imbalan yang diberikan sangat besar menyebabkan
Sancho rela pergi mengendap-endap dari istrinya di tengah malam.

"Telah kuikuti seorang yang murung, Teresa.


ke dalam hutan panjang sebelum Murcia
Ia yang menorehkan pedangnya
ke pohon-pohon
di batas ngarai.

Aku tahu ia terbujuk


soneta yang sedih
dan kecewa
pada repetisi sungai.

Berhari-hari ia berjalan
seperti ksatria Amadis
menyimpan kesetiaan
dan serenade
yang 10 baris"

(Sancho Panza mendiktekan sepucuk surat buat istrinya, h. 21)


Cerita Don Quixote yang telah berumur 400 tahun itu tidak terlepas dari bayang-bayang Perang
Salib. Orang Mur adalah sebutan untuk orang Islam di semenanjung Iberia yang memerintah
Spanyol dari tahun 711-1492. Pada saat cerita Don Quixote diciptakan, Spanyol belum 1 abad
terbebas dari penguasaan orang Mur. Orang Mur berasal dari Maroko. Sebelum orang Mur
datang, Spanyol dikuasai oleh kaum Visigoth. Orang Mur pernah kalah juga dari pasukan
Charlemagne di Perancis, pada tahun 732. Sejak itu orang Islam lebih fokus untuk menguasai
Andalusia.

Namun perjuangan orang Kristen terus berlangsung, pada abad XI misalnya, Paus Gregorius VII
mendorong pangeran Kristen untuk ikut serta dalam gerakan di Spanyol untuk mengusir orang
kafir [5]. Beberapa cerita pahlawan abad 15 seperti Amadis de Gaula, anak haram Raja Celtic
yang bernama Perion, juga menjadi dongeng legenda di Spanyol. Amadis terkenal dengan baju
zirah yang terbuat dari besi mulai kepala hingga kaki. Gambar Amadis berbaju besi diatas kuda
dengan lembing dan pedang menjadi tipikal gambaran pahlawan Kristen dan model film-film
Hollywood untuk cerita abad tengah.

Cerita kepahlawanan orang Visigoth, Charlemagne dan Amadis terus membayangi Don Quixote
melalui buku-buku yang dikuasainya. Perang sudah usai, orang Kristen sudah menang. Tetapi
bagi Don Quixote perang masih berlangsung. Segerombolan kambing yang sedang lewat
disangkanya pasukan bangsa Mur yang masih menyerang. Sancho Panza diajak untuk ikut
bertarung dengan bangsa Mur yang berupa kambing itu.

Hal itu membuat marah sang pengembala. Disambitnya Don Quixote dengan batu sebesar tinju
sehingga 2 tulang rusuknya patah. Batu yang kemudian, menimpa wajahnya sehingga 5 gigi Don
Quixote rontok.

"Di teater boneka ini


siapakah yang akan mencegah
orang Mur datang kembali
menguasai lembah?
Tujuh ksatria gugur.
Alir Algodor gelap
oleh darah.

Mungkin kastil berikutnya


akan jatuh.

Suara jerit
ratap Visigoth
lagu pengungsi
telah memekakkan pentas ini
sebelum nyanyian dari bukit-

Di adegan itu penonton hening.


Sejenak. Sampai ketika
seorang lelaki kurus di bagian depan
berkata nyaring, "Diam ! Hentikan !
Beri aku bagian yang tenteram
dari kenyataan !"

Ia menghunus pedang.
Ruang itu termangu.

"Tapi aku datang untuk membebaskan,"


jawab Don Quixote gemetar.

"Benar, Tuan. Tapi kenyataan


tak bisa saya temukan lagi
setelah layar ini."
Di sanalah Don Quixote akan menghadang
orang-orang Mur yang datang kembali."

(Di Teater Boneka, h. 33-37)

"Sementara Maut orang Mur


mengejarnya
dari pantai,
hitam dan tajam,
seperti sabit tua,"

(Sancha Panza Mendiktekan Sepucuk Surat Buat Istrinya, h. 23)

Siapakah Dulcinea de Toboso itu? Seorang putri dari kampung Toboso, apakah dia ada?
Nampaknya Dulcinea adalah tokoh dalam pikiran Don Quixote saja, semacam sambungan atas
konsekuensi seorang Ksatria harus mempunyai permaisuri yang cantik jelita.

"Aku akan tugur sepanjang malam


di puri tua itu, Dulcinea.
Menjaga mimpimu,
meski kau tak pernah ada."

(Aku Akan Tugur, h. 13)

"Tiap pagi ia lafalkan


nama seorang gadis
yang dikenalnya
dalam kaligrafi
di porselen yang berakhir pada X --
X yang tak diketahui,
atau X dari 'Xin,'
X yang berarti 'hati'

Dan ia ucapkan itu, Teresa,


dengan jurang di matanya"

(Sancho Panza Mendiktekan Sepucuk Surat Buat Istrinya, h. 22)

"Cinta yang cepat selesai,


Kisah kita yang klise"

(Jin, h. 27)

"di dekat jendela.


Aku akan melihatmu.
Dan kau tak ada."

(Di Sebuah Losmen, h. 29)

"Tapi ternyata hari bisa berkelindan


dengan mimpi, dan kau dan aku
lahir kembali, tercengang dalam
cinta yang fiktif, percaya pada harap
yang tak bersungguh-bersungguh."

(Justru, h. 39)

"Dulcinea adalah
cinta yang gagu, tuanku,
imajinasi adalah kabut pagi.
Dan selebihnya sunyi."

(30 menit sebelum Sayid Hamid, h. 47)

"Mungkin ini imajinasi lain, yang


memilih logat lain,
dan perempuan itu mendengarnya
seakan dari tuhan
yang hendak bercinta dari kejauhan."

(Di Depan Sancho Panza, h. 65)

"Kau harus pergi," laki-laki itu bergumam"


"kau harus pergi dari sini."

Ia mungkin lelah. Ia semakin tahu cinta yang tak pernah jelas telah ditasbihkan jadi mimpi,"

(Di Kastil Terakhir, h. 68)

Kesadaran Don Quixote atas kegilaan atau waham yang diidapnya terkuak kepada pembaca
selapis demi selapis. Apakah Don Quixote sadar bahwa dirinya seorang yang tidak waras?
Nampaknya ya ! Beberapa bait dibawah ini menunjukkan itu,

"Maka jika esok aku mati,


dengan kaki tetap di sanggurdi,
bawa aku ke laut, Rocinante,
dari kegilaan ini."

(Rocinante, h. 19)
"Tidurlah dengan mimpi tanpa arah,
dengan lelap dalam sihir
orang-orang tak berdaya"

(Tidurlah Sancho, h. 24)

"Di pulau imajiner ini


waktu adalah gurau."

(Duduklah di Tempat ini, h. 30)

"Tapi ternyata hari bisa berkelindan dengan mimpi,

Justru karena tenung, aku tak akan membebaskanmu

Kemarin kucambuk sendiri tubuhku,


sakit, agar bangun,
tapi apa yang terjadi? Mimpi itu hanya berubah sedikit"

(Justru, h. 39)

"sungai adalah imajinasi


ke muara
yang mustahil."

(Di Tepi Jucar, h. 42)

"Ia merasa letih sebenarnya, setelah


Sierra Morena.
Ia berbisik, seperti berdoa: "Jika aku boleh memilih.
Sayid, aku tak ingin di sini lagi.
Barangkali kita hanya sebuah parodi,
ia ingin berkata lagi,
tapi ia tak yakin kepada siapa."

(30 menit sebelum sayid hamid, h. 47)

"Di sini masa lalu tak berfungsi lagi,


Maka ia masuki jurang gua itu dengan tungkai letih: sebuah ruang alabaster;
empat cermin putih, dinding transparan,
ke mana khayal datang
ke mana khayal pergi,

Kini ia gagap
seperti seorang yang berdosa: "Hamba Don Quixote,
yang tak akan mendapatkan nama
selama-lamanya."

(Di Jurang Gua, h. 51&53)

"Pada bulan yang takabur


kukaitkan tali,
dan sebait mazmur
dan potret seorang mati

Mungkin potretku, Sancho

Aku ingin kau mengenalku, Sancho


Tapi kau tak mengenalku.
Maka kupanjat tali sampai angin
tak datang lagi:
dan langit menghapusku"

(Pada bulan, h. 55-57)

"Sebab para ksatria hanya tanda:


angan-angan dan epilepsi
yang tak ingin selesai."

(Dari Gurun Orang Tartar, h. 61)

"Pagi adalah depresi yang dingin,

seperti ingatan makin pendek

"Kau harus pergi," laki-laki itu bergumam,


"kau harus pergi dari sini."

Ia ingin tidur.
Ia bayangkan di kedai itu,
seorang mengoleskan selai
pada roti dan pada serbet
meja terbentuk huruf sisa
negasi dinihari."

(Di Kastil Terakhir, 68-69)

"Surga telah melupakanmu, Don Quixote,


neraka tak mengenalmu."

(Sancho Panza Mendiktekan Sepucuk Surat Buat Istrinya, h. 34)


Pada awalnya adalah sebuah cinta, "Saya percaya kepada Don Quixote, saya percaya cinta Don
Quixote kepada Dulcinea." Itulah pembukaan pertunjukan Don Quixote di malam Minggu yang
nglangut itu. Suatu statement dalam video, yang diucapkan sendiri oleh pengarang kumpulan
sajak ini, Goenawan Mohamad. Jadi kepada apakah cinta kita sandarkan sementara Dulcinea itu
sendiri tidak ada. Dulcinea hanya ada dalam khayal Don Quixote semata. Namun Penyair
percaya kepada cinta, sehingga larik-larik cinta dalam puisi Don Quixote sebenarnya jalan
pikiran Penyair itu sendiri yang ditiupkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita, bisa itu Don
Quixote, atau Dulcinea atau Sancho Panza, atau bisa siapa saja.

"Kutulis sajak yang lelah,


mungkin
di pelana dingin
seperti somnabulis terakhir

yang menempuh pasir, sepanjang malam


dari tingkap itu, Dulcinea.
dengan kasut sedih
kata-kata"

(Aku Akan Tugur, h. 13&15)

"Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju."

(Tidurlah Sancho, h. 25)

"Cinta terbaik seharusnya diperpendek


pada pagi,
oleh daun
yang ditemukan matahari.
Oksigen pertama,
akan menyelamatkan kita
dari pengharapan
tengah malam."

(Di Sebuah Losmen, h. 29)

"Tentu saja Sancho tak mengerti


bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh.

Memang sebenarnya perempuan itu cemar:


Seseorang mencintainya dan ia tak tahu untuk apa.
Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang dan laki-laki itu tetap menuliskannya,

Sebab ia pernah melihat


seorang kurus, tua dan majenun,
yang memungut sajak yang lumat dalam hujan,
yang percaya telah mendengar sedu-sedan dan cinta dari cuaca,"

(Di Depan Sancho Panza, h. 62-65)

Puisi Modern memerlukan keahlian untuk dibaca dan dipahami. Keahlian itu terdiri atas
kemampuan sistem konvensi budaya dan bahasa, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat
khusus; tanpa pengetahuan tentang konvensi yang menjadi dasar puisi modern itu, maka
pemahaman sajak-sajak individual menjadi tidak mungkin [6].

Dalam puisi kumpulan puisi Don Quixote, menjadi muskil apabila kita memahami keseluruhan
puisi tanpa pernah tahu cerita Don Quixote itu sendiri. Kita harus mengerti setidaknya tentang
sejarah Spanyol, sistem budayanya, diksi-diksi yang digunakan terkait dengan bahasa, lokasi
kejadian, dan konteks waktu.

Penyair juga menambah-nambah kejadian yang mungkin tidak ada dalam cerita asli Don
Quixote. Kejadian di Teater Boneka, rumah di tepi Jucar, kota Algodor yang gelap oleh darah,
dialog dengan Sancho Panza. Itu semua adalah cara Penyair membangun citraan dalam rangka
penyampaian pesan atau gagasan.

Penyair menggunakan cerita Don Quixote sebagai wahana meletakkan sajak-sajaknya.


Sementara pembaca menyusun kembali puzzle larik-larik yang berserakan ke dalam mosaic
pengertian berdasarkan konvensi cerita Don Quixote. Penyair meletakkan sajak-sajaknya hampir
linear sesuai dengan jalan cerita Don Quixote, namun larik-larik di dalamnya berkelindan dalam
hubungan yang maju mundur. Kita bisa mencari relasi antara suatu larik di sajak bagian tengah
dengan larik lain pada sajak bagian awal, misalnya. Dan Penyair mengecoh kita dengan
menitipkan pesannya bertukar-tukar melalui aku-lirik dan orang kedua, ketiga - yang eksplisit
dengan yang implisit.

Nh. Dini pernah melakukan hal serupa dalam membahas puisi-puisi Amir Hamzah [7]. Dini
merekonstruksi urutan sajak sehingga memudahkan pembaca untuk memahami konteks pada
saat puisi itu dibuat. Walau sajak itu sendiri adalah sistem yang otonom, dimana pengertian atas
isi sajak didasarkan pada struktur dan susunan kata yang membangun sajak itu sendiri. Namun
pada akhirnya membaca sebuah sajak adalah sebuah proses kreatif - bahwa pembacalah yang
memberi makna dalam rangka kemungkinan intepretasi yang diberikan oleh kata-kata dalam
karya sastra itu sendiri.

Beruntung orang sekarang mempunyai piranti Google Map dan Google Earth, sehingga kita tahu
dimanakah Algodor berada, demikian pula Algiers, Albacete, Guadalen, Sierra Morena. Adalah
nama-nama tempat yang tidak ada dalam cerita asli. Barangkali Penyair mencatat tempat-tempat
berkesan dalam perjalanannya ke Spanyol. Tempat-tempat eksotis yang enak untuk dituangkan
ke dalam sajak. Mungkin di tempat-tempat itulah syair-syair tercipta. Dari tahun pembuatannya,
kita mengerti bahwa puisi dalam Don Quixote dibuat dengan tidak urut dalam waktu yang tak
sekali jadi, mereka lahir pada tahun 2007-2010.

Tugas pembaca adalah memahami kata demi kata, sebelum bisa paham pengertian keseluruhan.
Diksi yang dipilih Penyair, membutuhkan kamus untuk bisa mahfum : somnabulis, xin, sierra,
korsase, pohon encina, alabaster, pohon gabus - semua dipilih untuk membangun ketepatan
suasana dan menciptakan efek bunyi.

Keindahan dari kumpulan sajak Don Quixote adalah keindahan akan metafor yang tidak pernah
basi. Pembaca dibuat terpukau oleh serentet kata indah yang kita tidak sempat menalar apa
artinya. Memang puisi bukanlah ladang logika, dia hidup dengan aturannya sendiri, perhatikan
metafor dibawah ini,

"fantasi adalah hijau hujan yang hilang ujung di laut asing."

(Ia menangis, h. 7)

"Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju."

(Tidurlah Sancho, h. 25)

"Nasib adalah persentuhan di sebuah losmen sebelum fajar. Tak lebih, tak kurang."

(Di Sebuah Losmen, h. 29)

"Orang-orang berbincang tentang apa arti soka


bila ditanam di dekat tanjung,
apa arti ranting
yang disunting dengan sajak,
apa arti korsase
yang disematkan pada topi

hidup terkadang tak sia-sia,


ada kerja, ada politik, dan sedikit amal
ketika tuhan tampak dari lobang langit
dan sorga seperti lantai sehabis dipel,
hijau, hijau, hijau ..."

(Duduklah di Tempat ini, h. 30)

"hidup adalah tenung"

(Justru, h. 40)

"Sungai adalah imajinasi ke muara yang mustahil."

(Di Tepi Jucar, h. 42)

"malam adalah monolog pohon-pohon"

(30 menit sebelum sayid hamid, h. 47)

"para ksatria hanya tanda: angan-angan dan epilepsi yang tak ingin selesai."

(Dari Gurun Orang Tartar, h. 61)

"Pagi adalah depresi yang dingin"

(Di Kastil Terakhir, h. 68)


Ada daerah kosong yang Penyair buat untuk pembaca mengisinya sendiri dengan imajinasi.
Disitulah letak keindahan dari puisi Goenawan. Satu larik dengan larik berikutnya terasa tidak
nyambung. Dan Penyair nampaknya membiarkan pembaca pada ketidakpastian. Kita dihadapkan
pada titik ragu. Kita menemukan kata "barangkali", "entah" dan "mungkin" disana-sini,

"Barangkali kita hanya sebuah parodi,"

(30 menit sebelum sayid hamid, h. 42)

"Ia pernah dengar nama itu, mungkin dari hikayat."

(Di Jurang Gua, h. 52)

"Mungkin protretku, Sancho.


mungkin potret si pandir itu,"

(Pada Bulan, h. 55)

"Di Entah itu, Sancho Panza,


kita cuma nunggu."

(Dari Gurun Orang Tartar)

"Mungkin ini imajinasi lain, yang memiliki logat lain,"

(Di Depan Sancho Panza, h. 64)

"Ia mungkin lelah."

(Di kastil terakhir, 68)


Namun jika kita membaca satu puisi secara keseluruhan maka kumpulan larik yang seperti tidak
berhubungan itu akan membentuk suatu "pengertian" yang dirasakan oleh pembacanya. Pembaca
dituntut untuk mengisi sendiri ruang kosong antar larik dan bait dengan imajinasi. Disitulah letak
indahnya "Don Quixote".

Pada akhirnya kita semua adalah Don Quixote. Setiap dari kita mempunyai Don Quixote-nya
sendiri. Ada kegilaan dalam diri kita semua. Kegandrungan kepada sesuatu yang tak ada, kepada
angan-angan, kepada cita-cita, impian, kepada Dulcinea yang fatamorgana. Tanpa kita sadari.
Setiap kita mempunyai Dulcinea. Sehingga Don Quixote menjadi cerita yang universal. Itulah
sebabnya Goenawan Mohamad percaya kepada Don Quixote, percaya kepada cinta Dulcinea.

Anda mungkin juga menyukai