Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, ”barangkali yang terlalu
praktis, itulah kegilaan”. Barangkali terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itulah
kegilaan.
Berjuang dengan setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun mustahil,
adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia. Aldonza akan bisa menemukan yang luhur
dalam hidup. Ia bisa terbebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau menghitung
laba-rugi. Ia bisa tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi.
Don Kisot tetap merasa bahwa ia heroik tanpa ia sadari bahwa di mata masyarakat yang
dilakukannya adalah kebodohan tidak tertolong. Sebagai gambaran, dalam kisah Don Kisot ia
adalah lelaki tua berkecukupan namun masih saja memimpikan hal-hal aneh. Misalnya ia merasa
bahwa dirinya hidup di zaman kerajaan dongeng-dongeng, menyelamatkan putri, bertempur
melawan raksasa dan naga, dan berpetualang layaknya Sinbad. Padahal zamannya sudah lain,
sudah tidak ada naga, petualangan dan semacamnya. Hidup sudah sedemikian mekanistis,
pemaknaan hanya dapat diperoleh melalui mengkonsumsi benda-benda, fiksi disingkirkan, dan
inilah hidup. Segalanya harus serba realistis.
Realistis! barangkali inilah kata kuncinya. Teman Sysiphus saya barangkali tidak realistis dalam
memandang hidup sebagaimana pilihan Bu Muslimah untuk mempertahankan proses belajar
mengajar (dalam Laskar Pelangi). Teman saya di-Sysiphuskan dirinya sendiri dan di-Don
Kisotkan masyarakatnya. Aduh betapa susah ya..
Kalau disuruh memilih antar keduanya saya sih lebih suka dengan Don Kisot. Lebih heroik bagi
diri saya sendiri meskipun tak kalah Sysipusnya(baca-sia-sia) di mata masyarakat. Setidaknya
ada kebanggaan terhadap profesi yang saya tekuni secara positif misalnya. Dan celakanya dua-
dua tetap tidak realistis bukan? tetapi penggeseran perspektif antara menjadi Don Kisot maupun
Sysiphus tetaplah penting. Bisa jadi keduanya saling olak-alik, posisinya sewaktu-waktu berubah
dan tidak tetap. Karena seringkali menjadi Don Kisot dan merasa heroik terhadap diri sendiripun
adalah kebodohan dalam bentuk yang lain. Sampai di sini belum ada jalan keluar dari kesia-siaan
yang dibicarakan sebelumnya.
Namun saya tetap belum mengerti kekuatan macam apa yang membuat daya tahan Sysiphus.
Bukankah tetap memilih hidup seperti itu adalah kutukan dahsyat dan tidak terselamatkan? tidak
ada jalan lari dan absurd. Kondisi ketidakbermaknaan (meaningless) ini oleh beberapa filsuf
eksistensialis sudah tidak ada jalan keluar. Makanya bagi yang ekstrim bunuh diri adalah pilihan
yang realistis. Tetapi betulkah Sysiphus benar-benar karakter yang pesimistis? saya kira tidak
orang boleh saja menganggap ia tidak kalah sia-sianya dengan Don Kisot, tetapi saya yakin
kekuatan untuk mengangkat batu tentunya lahir dari daya gerak yang luar biasa: optimistis.
Meskipun di puncak batu itu tetaplah harus digelindingkan. Senantiasa kalah namun tak pernah
menyerah, begitulah kata Dorothea. Meski tahu tak bisa memenangkan nasib tapi tetap berusaha.
Bagi saya sendiri perjuangan kawan saya mengangkat batu saya anggap sebagai salah satu cara
untuk memaknai hidup, dan makna tidak selalu harus diproduksi melalui konsumsi benda-benda
tatapi juga hal-hal yang bersifat immaterial; vitalitas dalam mengatasi ketidakbermaknaan; daya
hidup sebelum seluruh layar akan dilipat. Dalam bahasa Chairil semua ini dilakukan untuk
menunda kekalahan. Pada proses penundaan inilah kita ditempatkan pada ruang antara, ruang
tunggu. Mengutip penulis lain yang saya lupa namanya ruang tunggu adalah keberadaan setelah
keberangkatan dan tertundanya tujuan. Telah sekian lama kita menempati ruang tunggu itu dan
orang-orang yang mempunyai vitalitas kuat tentu tidak akan berpangku tangan, ruang tunggu
harus diisi sesuatu. Barangkali mengangkat batu merupakan pilihan realistis bagi kawan saya itu.
selamat menunggu kawan. Semoga tidak ada yang sia-sia bagi yang mencari makna.
Cerita Don Quixote berkisah tentang seorang lelaki yang terganggu kewarasannya karena terlalu
banyak membaca kisah-kisah kepahlawanan. Ia percaya bahwa dia pun seorang ksatria. Bersama
seorang petani buta huruf, Sancho Panza, Quixote kemudian bertualang. Ia melawan kincir angin
yang ia sangka sebagai raksasa.
Lukisan pasir kincir angin di sebuah tanah lapang pada layar perlahan-lahan berubah, kincir
tersebut kemudian dilengkapi dengan mata besar yang melotot dan kumis panjang lebat yang
mengancam.
Orang Indonesia dikenalkan kepada cerita karangan Miguel de Cervantes ini oleh Abdul Moeis,
seorang sastrawan angkatan Balai Pustaka. Abdul Moeis menterjemahkan cerita Don Quixote
pada tahun 1933. Saya beruntung masih menyimpan buku terjemahan Moeis itu sehingga lebih
mudah memanggil ingatan saat membuat tulisan ini [1].
Namun menurut Goenawan Mohamad, Carvantes sebenarnya cuma pencerita kedua, Carvantes
mendengar kisah Don Quixote pertama kali dari Sayid Hamid Benengeli. Kita tidak harus
percaya soal Sayid Benengeli ini katanya, namun Benengeli disebut kembali namanya pada
halaman 45 dan 48,
Cerita Don Quixote berkisah tentang seorang lelaki yang terganggu kewarasannya karena terlalu
banyak membaca kisah-kisah kepahlawanan. Ia percaya bahwa dia pun seorang ksatria. Bersama
seorang petani buta huruf, Sancho Panza, Quixote kemudian bertualang. Ia melawan kincir angin
yang ia sangka sebagai raksasa.
Lukisan pasir kincir angin di sebuah tanah lapang pada layar perlahan-lahan berubah, kincir
tersebut kemudian dilengkapi dengan mata besar yang melotot dan kumis panjang lebat yang
mengancam. Lampu sorot tiba-tiba mengarah pada Naniek L. Karim,
"Jin !"
ujar Naniek tajam.
Saat Quixote menginap dalam sebuah losmen pinggir jalan yang ia bayangkan sebagai istana
berpagar benteng,
Saya pernah bertanya kepada Penyair beberapa tahun lalu, mengapa kita menulis puisi. Dia diam
sebentar, menengok ke arah lain, kemudian dia kembali lagi, "buat apa kita bersiul?" katanya."
Anda sendiri, buat apa suka memajang dan memandangi lukisan?" wajahnya tertuju ke saya.
Mungkin jawabnya ada pada sepenggal alenia dalam buku Dead Poet Society,
...... Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu elok. Kita membaca dan menulis
puisi karena kita adalah bagian dari ras manusia. Ras manusia itu berisi atas gairah. Sementara
obat, hukum, bisnis, uang, teknik, adalah hal yang mulia dan diperlukan untuk bertahan
hidup. Tetapi puisi, kecantikan, romance, cinta, adalah apa-apa yang kita butuhkan agar kita tetap
hidup dan menjadi berarti. [4]
Dan kisah Don Quixote adalah sebuah gairah. Tentang seorang kaya yang menjual tanah luasnya
sepetak demi sepetak demi membeli buku-buku kepahlawanan sampai akhirnya waham ksatria
melanda Quichada, nama asli Don Quixote sebelum dia gila.
"Ia menangis untuk lelaki di atas kuda kurus
yang akhirnya sampai pada teluk
di mana fantasi adalah hijau hujan
yang hilang ujung
di laut asing
Ia menangis,
dan lelaki itu mendengarnya.
(Ia menangis, h. 9)
Kumpulan puisi Don Quixote ini dibuka dengan puisi "Ia menangis" sebagai puisi pertama. Puisi
ini mengandung permasalahan sejak kata pertama. Siapakah "Ia" disini? Dulciena? Bukankah
Dulciena cuma tokoh khayalan Don Quixote saja? Atau Ia itu adalah Magdalena,
kemenakannya? Atau Ia adalah monolog Penyair itu sendiri. Bisa siapa saja. Mungkin Ia itu
siapa tidak penting. Tetapi "lelaki di atas kuda kurus" sudah pasti menunjuk kepada Don Quixote
yang menunggang Rocinante, sang kuda kurus.
Dimanakah letak "teluk di mana fantasi adalah hijau hujan yang hilang ujung di laut asing"? Jika
kalimatnya dibuat menjadi terang, orang biasa akan membuat seperti ini : "teluk di mana (lelaki
itu) (ber)fantasi ada(lah) hijauhujan (berwarna) hijau yang menghilang (di) ujung di laut asing”.
Namun kalimat normal seperti itu (“teluk di mana lelaki itu berfantasi ada hujan berwarna hijau
yang hilang di ujung laut) terlalu jelas, terlalu biasa dan tidak membawa pembaca berimajinasi.
Penyair ingin membawa pembaca pada momen sepi dan misteri.
Pemilihan susunan diksi “hijau hujan yang hilang ujung” juga dibuat dengan perhitungan.
Penggunaan akar kata hi-hu-hi (hijau hujan yang hilang) dan jau-jan-jung (hijau hujan yang
hilang ujung) membawa pembaca ke suasana gundah, rasa berat. Untuk kemudian diikuti dengan
larik lirih,
Dari awal Penyair sudah menyatakan bahwa Don Quixote adalah seorang gila. “Cinta tampak
telah menyihirnya/ jadi ksatria dengan luka di lambung”. Di lambung? Kenapa tidak di jantung
atau hati? Sekali lagi kita dibuat silap dengan manuver Penyair. Dia piawai dalam membuat
ketegangan. Kalau "di hati" sudah umum, tapi "di lambung" membuat kita jadi membayangkan
apakah Don Quixote luka hatinya atau luka beneran.
"Tapi ia menanti perempuan itu melambai/ dalam interval grimis/ sebelum jalan ditutup."
Dulcinea ada di kejauhan meninggalkannya dalam gerimis. Apakah dia melambai? Sebelum
jalan ditutup. Jalan disini dapatkah kita bayangkan atau kita ganti menjadi "cerita"? Kalau ya,
berarti puisi ini sebuah kisah penutup, bukan pembuka : "ia menanti perempuan itu melambai
sebelum cerita ditutup."
Dan bait terakhir menegaskan hal ini, "dan mereka mengirim polisi, tanda
waktu, kematian." Kalau larik ini disusun ulang menjadi teratur maka bisa menjadi kalimat tidak
puitis seperti ini : "dan mereka (membuat) (garis) polisi, dan (catatan) waktu kematian".
Demikianlah prolog "cerita" Don Quixote dibuat pada momen detik-detik kematiannya.
Dalam buku saduran Abdul Moeis itu, setelah mabuk dengan dongeng kepahlawanan,
kini saatnya Quichada mewujudkan mimpinya. Mula-mula dibuangnya nama Quichada yang
sama sekali tidak pantas untuk menjadi nama seorang besar. Dipungutnya Don Quixote sebagai
nama baru yang cocok untuk peran pahlawan. Di usia yang menjelang 50 itu dia berkaca, sambil
memakaikan ketopong pada kepalanya. Seorang ksatria harus bertopi baja dan berbaju besi.
"Selamat tinggal"
Dan ksatria membutuhkan kuda. Diraihnya Rocino, seekor kuda tua. Memang Rocino artinya
adalah kuda yang sudah tua. Antes dalam bahasa Spanyol artinya adalah "dimuka". Kalau
digabungkan kedua kata itu menjadi "Rocinante", artinya : benar tua tapi terkemuka juga !
Di suatu subuh yang hening, pergilah Don Quixote dari La Mancha, kampung kelahirannya di
lembah yang dikelilingi ladang dan pohon Encina yang rindang. Bersama Rocinante, sang kuda
renta dengan baju zirah lengkap serta sebuah pedang.
Demikianlah, saat senja datang, Don Quixote terdampar pada sebuah losmen murahan yang
banyak terkandung perempuan nakal.
Kegilaan Don Quixote rupanya sudah mengganggu lingkungan, setidaknya dia sudah mulai
dibuli dan dipukuli. Namun luka yang muncul dan kuda Rocinante yang babak belur
diterjemahkan sebagai upaya kepahlawanan membasmi begal dan perampok. Magdalena, sang
kemenakan, mengutus pendeta Pero Perez dan tukang cukur Nicolaas, dua sahabat Don Quixote,
untuk mencarinya karena sudah menghilang dari rumah sehari semalam.
(Rocinante, h. 18-19)
Setelah 2 minggu Don Quixote dirawat, akhirnya dia ingin mengembara lagi. Pendeta Pero Perez
mencarikan seorang baik, jujur dan setia untuk menemani hasrat Don Quixote berkelana. Orang
yang cocok untuk itu adalah seorang petani bernama Sancho Panza. Hanya satu kelemahan
Sancho, bahwa dia itu buta huruf dan bodoh. Bagaimanapun Sancho Panza akan bisa menuntun
Don Quixote dari tersesat dan gangguan orang.
Teresa, istri Sancho Panza, tidak setuju suaminya ikut mengembara dengan Don Quixote yang
tidak jelas kapan pulangnya. Namun karena imbalan yang diberikan sangat besar menyebabkan
Sancho rela pergi mengendap-endap dari istrinya di tengah malam.
Berhari-hari ia berjalan
seperti ksatria Amadis
menyimpan kesetiaan
dan serenade
yang 10 baris"
Namun perjuangan orang Kristen terus berlangsung, pada abad XI misalnya, Paus Gregorius VII
mendorong pangeran Kristen untuk ikut serta dalam gerakan di Spanyol untuk mengusir orang
kafir [5]. Beberapa cerita pahlawan abad 15 seperti Amadis de Gaula, anak haram Raja Celtic
yang bernama Perion, juga menjadi dongeng legenda di Spanyol. Amadis terkenal dengan baju
zirah yang terbuat dari besi mulai kepala hingga kaki. Gambar Amadis berbaju besi diatas kuda
dengan lembing dan pedang menjadi tipikal gambaran pahlawan Kristen dan model film-film
Hollywood untuk cerita abad tengah.
Cerita kepahlawanan orang Visigoth, Charlemagne dan Amadis terus membayangi Don Quixote
melalui buku-buku yang dikuasainya. Perang sudah usai, orang Kristen sudah menang. Tetapi
bagi Don Quixote perang masih berlangsung. Segerombolan kambing yang sedang lewat
disangkanya pasukan bangsa Mur yang masih menyerang. Sancho Panza diajak untuk ikut
bertarung dengan bangsa Mur yang berupa kambing itu.
Hal itu membuat marah sang pengembala. Disambitnya Don Quixote dengan batu sebesar tinju
sehingga 2 tulang rusuknya patah. Batu yang kemudian, menimpa wajahnya sehingga 5 gigi Don
Quixote rontok.
Suara jerit
ratap Visigoth
lagu pengungsi
telah memekakkan pentas ini
sebelum nyanyian dari bukit-
Ia menghunus pedang.
Ruang itu termangu.
Siapakah Dulcinea de Toboso itu? Seorang putri dari kampung Toboso, apakah dia ada?
Nampaknya Dulcinea adalah tokoh dalam pikiran Don Quixote saja, semacam sambungan atas
konsekuensi seorang Ksatria harus mempunyai permaisuri yang cantik jelita.
(Jin, h. 27)
(Justru, h. 39)
"Dulcinea adalah
cinta yang gagu, tuanku,
imajinasi adalah kabut pagi.
Dan selebihnya sunyi."
Ia mungkin lelah. Ia semakin tahu cinta yang tak pernah jelas telah ditasbihkan jadi mimpi,"
Kesadaran Don Quixote atas kegilaan atau waham yang diidapnya terkuak kepada pembaca
selapis demi selapis. Apakah Don Quixote sadar bahwa dirinya seorang yang tidak waras?
Nampaknya ya ! Beberapa bait dibawah ini menunjukkan itu,
(Rocinante, h. 19)
"Tidurlah dengan mimpi tanpa arah,
dengan lelap dalam sihir
orang-orang tak berdaya"
(Justru, h. 39)
Kini ia gagap
seperti seorang yang berdosa: "Hamba Don Quixote,
yang tak akan mendapatkan nama
selama-lamanya."
Ia ingin tidur.
Ia bayangkan di kedai itu,
seorang mengoleskan selai
pada roti dan pada serbet
meja terbentuk huruf sisa
negasi dinihari."
"Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju."
Puisi Modern memerlukan keahlian untuk dibaca dan dipahami. Keahlian itu terdiri atas
kemampuan sistem konvensi budaya dan bahasa, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat
khusus; tanpa pengetahuan tentang konvensi yang menjadi dasar puisi modern itu, maka
pemahaman sajak-sajak individual menjadi tidak mungkin [6].
Dalam puisi kumpulan puisi Don Quixote, menjadi muskil apabila kita memahami keseluruhan
puisi tanpa pernah tahu cerita Don Quixote itu sendiri. Kita harus mengerti setidaknya tentang
sejarah Spanyol, sistem budayanya, diksi-diksi yang digunakan terkait dengan bahasa, lokasi
kejadian, dan konteks waktu.
Penyair juga menambah-nambah kejadian yang mungkin tidak ada dalam cerita asli Don
Quixote. Kejadian di Teater Boneka, rumah di tepi Jucar, kota Algodor yang gelap oleh darah,
dialog dengan Sancho Panza. Itu semua adalah cara Penyair membangun citraan dalam rangka
penyampaian pesan atau gagasan.
Nh. Dini pernah melakukan hal serupa dalam membahas puisi-puisi Amir Hamzah [7]. Dini
merekonstruksi urutan sajak sehingga memudahkan pembaca untuk memahami konteks pada
saat puisi itu dibuat. Walau sajak itu sendiri adalah sistem yang otonom, dimana pengertian atas
isi sajak didasarkan pada struktur dan susunan kata yang membangun sajak itu sendiri. Namun
pada akhirnya membaca sebuah sajak adalah sebuah proses kreatif - bahwa pembacalah yang
memberi makna dalam rangka kemungkinan intepretasi yang diberikan oleh kata-kata dalam
karya sastra itu sendiri.
Beruntung orang sekarang mempunyai piranti Google Map dan Google Earth, sehingga kita tahu
dimanakah Algodor berada, demikian pula Algiers, Albacete, Guadalen, Sierra Morena. Adalah
nama-nama tempat yang tidak ada dalam cerita asli. Barangkali Penyair mencatat tempat-tempat
berkesan dalam perjalanannya ke Spanyol. Tempat-tempat eksotis yang enak untuk dituangkan
ke dalam sajak. Mungkin di tempat-tempat itulah syair-syair tercipta. Dari tahun pembuatannya,
kita mengerti bahwa puisi dalam Don Quixote dibuat dengan tidak urut dalam waktu yang tak
sekali jadi, mereka lahir pada tahun 2007-2010.
Tugas pembaca adalah memahami kata demi kata, sebelum bisa paham pengertian keseluruhan.
Diksi yang dipilih Penyair, membutuhkan kamus untuk bisa mahfum : somnabulis, xin, sierra,
korsase, pohon encina, alabaster, pohon gabus - semua dipilih untuk membangun ketepatan
suasana dan menciptakan efek bunyi.
Keindahan dari kumpulan sajak Don Quixote adalah keindahan akan metafor yang tidak pernah
basi. Pembaca dibuat terpukau oleh serentet kata indah yang kita tidak sempat menalar apa
artinya. Memang puisi bukanlah ladang logika, dia hidup dengan aturannya sendiri, perhatikan
metafor dibawah ini,
(Ia menangis, h. 7)
"Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju."
"Nasib adalah persentuhan di sebuah losmen sebelum fajar. Tak lebih, tak kurang."
(Justru, h. 40)
"para ksatria hanya tanda: angan-angan dan epilepsi yang tak ingin selesai."
Pada akhirnya kita semua adalah Don Quixote. Setiap dari kita mempunyai Don Quixote-nya
sendiri. Ada kegilaan dalam diri kita semua. Kegandrungan kepada sesuatu yang tak ada, kepada
angan-angan, kepada cita-cita, impian, kepada Dulcinea yang fatamorgana. Tanpa kita sadari.
Setiap kita mempunyai Dulcinea. Sehingga Don Quixote menjadi cerita yang universal. Itulah
sebabnya Goenawan Mohamad percaya kepada Don Quixote, percaya kepada cinta Dulcinea.