Anda di halaman 1dari 6

Cerpen Pramoedya Ananta Toer : Jakarta

Jakarta

Oleh : Pramoedya Ananta Toer


Almanak Seni 1957

Sekarang tiba gilirannya: dia juga mau pergi ke Jakarta.

Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin jadi warga kota Jakarta pula. Besok atau lusa keinginan
dan cita itu akan timbul juga. Engkau di pedalaman terlampau banyak memandang ke Jakarta. Engkau
bangunkan Jakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan yang tak terdapat di tempatmu sendiri.
Kau gandrung padanya. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.

Ah, kawan, biarlah aku ceritakan kau tentang Jakarta kita.

Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinya aku injak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh
delman. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota—hanya tujuh belas tahun kemudian!
Becak yang menggantikannya. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-
manusia menjadi kuda dan sopirnya sekali: begini tidak ada ongkos pembeli rumput! Inilah Jakarta.
Demi uang manusia bersedia jadi kuda. Tentu saja kotamu punya becak juga tetapi sudah jadi adat
daerah meniru kebobrokan ibukota.

Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau juga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil
demi segumpil, perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani
sendiri yang bidang tanahnya telah didih di dalam perasaannya, warga-warga dusun yang dibuat porak
poranda oleh gerombolan, pelajar-pelajar yang hendak meneruskan pelajaran, juga engkau sendiri—
dan dengan penuh kepercayaan akan keindahan nasib baik di ibukota.

Kemudian bila mereka sampai di Jakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman yang datang kemari
sekedar cari makan, dia dapat makan, lupa cari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam
berderet di depan gedung tempat kerjanya masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat
pekerjaan, dan akhirnya menjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini menjadi begitu
penuh sesak dengan otot yang terlampau banyak dipaksa kerja. Tiap minggu mereka menelan telur
ayam mentah. Dan jalan raya memberinya kemerdekaan penuh. Bila datang bahaya ia lepas becak,
berjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima. Juga tanggung jawab delman hilang di tangan kuda-
kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia ‘ngejengkang’ di balenya karena jantungnya menjadi besar,
desakan darahnya meninggi: ia invalid—puluhan! Ratusan ribu! Kembali ke kampung sebagai
sampah. Bila ada kekayaan, adalah kekayaan membual tentang kepelesiran. Tetapi untuk selama-
lamanya ia telah mati, sudah lama mati. Jumlah kurban ini banyak daripada kurban revolusi bakalnya.

Jadi engkau pun ingin jadi warga Jakarta!

Jadi engkau pun ingin jadi sebagian kegalauan ini.

Dari rumah masing-masing orang bertekad mencari uang di Jakarta. Juga orang-orang daerah yang
kaya mengandung maksud: ke Jakarta—hamburkan uangnya. Dan juga bajingan-bajingan daerah: ke
jakarta—menangguk duit. Demi duit ini pula Jakarta bangun. Sebenarnya sejak masuknya Kompeni
ke Jakarta, Jakarta hingga kini belum juga merupakan kota, hanya kelompokan besar dusun. Hingga
sekarang. Tidak ada tumbuh kebudayaan kota yang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan
di -import dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai macam
agama.

Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk belajar. Tetapi barangkali patut pula kau jadikan
kenangan, pusat belajar daerah kita adalah Jakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Jakarta kita
bukanlah pusat belajar yang mampu menyebabkan para mahasiswa ini menjadi perspektif kesarjanaan
Indonesia di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini
telah bangkit kembali dengan hebatnya. Titel akademi yang diperoleh tiap tahun beku di kantor-
kantor, dan daerahmu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-
gantung jauh di angkasa biru. Semua orang asing, dengan warna politiknya masing-masing, yang
memberi kau remah-remah daripada kekayaan kita terbaik yang diisapnya.

Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman mendewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku
lebih dekat pada kenyataan ini. Aku tahu engkau berteriakteriak tentang perekonomian nasional,
tetapi basis kehidupan yang didasarkan atas perdagangan ekspor, bukan saja tipikal negara agraria,
juga negara kolonial. Sepandjang sejarah negara-negara petani menjadi negeri jajahan, dan tetap
menjadi negeri jajahan.

Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di jaman Majapahit, Sriwijaja atau
Mataram? Siang kepunyaan raja, malam kepunyaan durjana! Dan raja di jaman merdeka kita ini
adalah naik-turunnya harga hasil pertaniannya sendiri. Sedang durjananya tetap juga durjana
Majapahit, Sriwijaja dan Mataram yang dahulu: perampok, pencuri, gerombolan, pembunuh,
pembegal.

Jadi beginilah, kawan. Jakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Jakarta. Tapi Jakarta
sendiri hanya kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan yang masak tidak punya. Anak-
anak menjadi terlampau cepat masak, karena baji-baji, kanakkanak dan orangtuanya digiring ke dalam
ruanganruangan yang teramat sempit sehingga tiap waktu mereka bergaul begitu rapat. Masalah
orangtua tak ada jang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua menjadi hilang, dan segi-
segi yang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini mendjadi tumpul. Agama
telah menjadi gaya kehidupan, bukan perbentengan rohani yang terakhir. Aku ceritai kau, kemarin
anakku yang paling besar enam tahun umurnya, bercerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah
ranjang ini dibuat oleh-Nja juga? Ia pandangi aku. Waktu kutanyakan kepadanya bagaimana warna
Tuhan: hitam ataukah merah? Ia menjawab putih! Ia pilih warna yang tidak mengandung interpretasi,
tidak diwarnai oleh pretensi. Sebaliknya kehidupan Jakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau
ketahui: penuh sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di segala lapangan! Lebih menjengkelkan
daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunjaannya masing-masing kepada orang lain,
kepada lingkungannya. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah pelajari
sejarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnya kau akan dikutuki celaka.

Tetapi jangan kau kira, bahwa kegalauan ini berarti mutlak. Barangkali adanya kegalauan ini hanyalah
suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa
kita ini, terutama di ibukota kita, adalah semacam kerbau yang salah mendarat di tanah tandus.
Setidak-tidaknya kegalauan ini memberi rahmat juga bagi golongan-golongan tertentu, terutama bagi
para pedagang nasional, yakni yang berjual-belikan kenasionalan tanah-airnya dan dirinya. Mungkin
engkau tidak setuju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menyenangkan bagimu
bila masih punya pegangan pada kepercayaan akan kebaikan segala yang dimiliki oleh tanah-airmu
dalam segala segi dan variasinya. Kami golongan pengarang, biasanya tiada lain daripada tenaga
penentang, golongan oposisi yang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: oposisi periuk terbaik!
Dengan sendirinya saja begitu, karena kami bicara dengan seluruh ada kami, kami hanya punja satu
moral. Itu pula sebabnya, bila kami tewas, tewas secara keseluruhan. Bukannya tewas di moral yang
pertama, tetapi menjadi tambun di moral yang keempat! Menjadi melengkung di moral yang ketiga!

Aku kira terlampau jauh lantaranku ini. Padamu aku mau bicara tentang Jakarta kita.

Sekali waktu di suatu peristiwa, Umar pernah bicara dengan sombongnya: Bakar semua khasanah,
karena segalanya telah termaktub di dalam Qur’an! Permunculan yang grandiues tapi tak punya
kontour-kontour kenyataan ini adalah gambaran kejiwaan Jakarta: rencana-rencana besar, galangan-
galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan moral terbesar! segala
terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak ada mur, tak ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan
ring pada permesinan semua ini.

Sekali waktu di suatu peritiwa, Pascal mencatat di dalam bukunya: Manusia hanya sebatang rumput,
tetapi rumput yang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan yang mempunyai kesadaran tanpa
kekuasaan, terinjak dan termakan. Yang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun menjadi
permulaan dari pada kehidupan, seperti yang disaksikan oleh Schweitzer, serta risalah Kan Ying Pien.

Berbagai macam angkatan campur-baur menjadi satu, seperti sambal yang menerbitkan satu rasa,
tetapi dengan teropong masih jelas nampak perpisahan antara bagian satu dengan yang lain. Namun
penggolongan semacam yang ditegakkan oleh Remarque tidak memperlihatkan diri.

Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Cobalah ikuti tulisan-
tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan yang muda mencaci yang tua, yang muda dicaci oleh yang
lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH yang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi
kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lebih menjadi badut lagi. Artinya badut di lingkungan
badut. Tokoh-tokoh pemikiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan ada tidaknya Tuhan, di
dalam kekacauan sosiologis, ekonomis dan politis, kultural dan intelektual! Apakah kita mesti ikut
pukul kaleng untuk membuat segala ini menjadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah
demikian giat dengan membanggakan pengetahuannya tentang para cabul dan ‘rakyat kecil’ plus
saduran Toto Sudarto Bahtiar Cabul Terhormat karangan Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran
Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? Ya, Hamka.

Akhirnya, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang datang dan berkumpul ke Jakarta, menjadi warga
Jakarta, untuk mempercepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banyak yang datang
tambah cepat lagi.

Selagi aku belum jadi penduduk Jakarta, dambaanku mungkin seperti kau punya. Impian yang indah,
bayangan pada pembangunan hari depan. Diri masih penuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan
kepercayaan diri. Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang
takkan jadi warga negara yang 100% sebelum melihat Jakarta dengan mata kepala sendiri.

Barangkali engkau akan bertanya kepadaku, mengapa tak juga menyingkirkan diri dari Jakarta! Ah,
kau. Golongan kami adalah semacam kerbau yang mendarat di tanah tandus. Golongan kami
reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnya penghidupan golongan kami, justru
Jakartalah yang bisa memberi, sekalipun hanya remah-remah para pedagang nasional, atau petani
pasar minggu. Tambah lama nasi yang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknya. Dan
anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknya sendiri.
Kanak-kanak Jakarta yang tak punya lapangan bergerak, tak punya lapangan bermain, tak punya
daerah perkembangan kejiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa yang
tertangkap oleh matanya. Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami likuidasi, di Jakarta!
Tetapi nyamuk merajalela, dan cicak dan sampah. Juga mereka ini hidup di alam ketaksenangan.
Taman-taman hanya di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, Jadi orang apa kanak-
kanak semacam ini jadinya di kemudian hari.

Engku tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: daerah yang punya taman adalah lahir dan berkembang
karena telah menghisap darah daerah yang tak punya taman. Tentu saja bisikan ini konsekwensi
daripada prinsip perjuangan kelas. Barangkali engkau tak setuju, karena ini membawa-bawa politik
atau pergeseran kemasyarakatan yang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin juga hanya
suatu kedengkian yang tak sehat. Tapi apakah yang dapat kauharapkan dari suatu masyarakat dimana
sebahagian besar warganya hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepercayaan
pada hari depan! Sedang para pedagang nasional juga tak punya hari depan, karena kemanisan yang
diperolehnya hari kini diisapnya habis hari kini pula, untuk dirinya sendiri tentu, atas nama kenaikan
harga tentu, sehingga mereka menjadi para turis di daerah kehidupannya sendiri.

Segala yang buruk berkembang-biak dengan mantiknya di Jakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah
runcingnya dan melukai orang yang tersinggung olehnya. Tetapi warga kota yang sebelum proklamasi
bersikap apatis—apatisnya seorang hamba—kini kulihat apatisnya orang merdeka dengan jiwa
hambanya. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa sebagai
penghinaan. Di dalam kehidupan yang tidak menyenangkan apakah yang tak terasa sebagai
penghinaan! Dan tiap titik yang menyenangkan dianggap pujian, atau setidak-tidaknya secara
subjektif: pengakuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa yang
memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannya. Barangkali engkau menghendaki
ketegasan ucapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang warga kota belum lagi 25% bertindak
sebagai bangsa merdeka. Anarki kecil-kecilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam
lingkungan yang serba kecil-kecil pula: buang sampah digot! Banjir tiap hujan akibatnya; pendudukan
tanah orang lain yang disadari benar bukan tanahnya sendiri menurut segala hukum yang ada,
sekalipun sah menurut hukum yang dikarang-karangnya sendiri: ketimpangan hak tanah adalah
ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesejahteraan sosial. Mengapa? Karena besok atau lusa
tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannya sendiri-sendiri. Kejorokan dan
kelalaian yang dengan langsung menuju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan jalan-jalan raja serta
segala macam jalanan umum menjadi medan permainan Jibril mencari mangsa. Juga ini akibat hati
orang tidak senang. Bawah sadarnya bilang: dia tak dilindungi hukum—dia, baik yang melanggar
maupun yang dilanggar.

Nah demikianlah Jakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.

Barangkali engkau mengagumi kaum cerdik-pandai yang sering diagungkan namanya disurat-surat
kabar. Hanya sedikit di antara mereka itu yang benar-benar bekerja produktif-kreatif. Yang lain-lain
terpaksa mempopulerkan diri agar tak tumbang di medan penghidupan! Apakah yang telah ditemukan
oleh Universitas Indonesia selama ini yang punya prestasi internasional! Di lapangan kepolitikan,
apakah pancasila telah melahirkan suatu kenyataan di mana engkau sadar di hati kecilmu bahwa kau
sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari yang
tak terpilih, diucapkan lima belas kali kata pancasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang.
Sejalan dengan tradisi penjajahan yang selalu dideritakan oleh rakyat kita, maka nampak pula garis-
garis yang tegas dalam masa penjajahan priyayipedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa
fundamen. Ah, kawan, kita mengulangi sejarah kegagalan Revolusi Perancis.

Barangkali kau menyesalkan pandanganku yang pesimistis.

Aku pun mengerti keberatanmu. Asal saja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bicara
apa-apa bagi mereka yang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bicara
tentang iblis-iblis yang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa juga bicara
tentang iblis-iblis yang haus akan kurban, akan kaum invalid penghidupan dan kehidupan. Dan bila
kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah
tanda yang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa yang dinamai ’zakelijkheid’ dengan pintarnya. Dan
bila iblis-iblis ini tetap apa yang biasa dinamai bajingan.

Ini bukanlah yang kita kehendaki dengan zakelijkheid!

Ini bukanlah yang kita kehendaki dengan kehidupan kesarjanaan! kepriyayian dan perdagangan!

Sarjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mencari pegangan dalam lalulintas kebendaan di
kekinian dan di masa-masa mendatang. Sarjanamu, sarjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu,
politisiku, melihat adanya kesumbangan, dan: titik, stop. Juga seperti turis di dalam gelanggang
kehidupannya sendiri.

Barangkali, engkau pun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi aku
pun tahu, bahwa engkau tidak melupakan syarat ini: kekuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-
lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu caranya mendapatkan dan menelannya. Semacam
kucingmu sendiri. Sekali pun sejak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannya daging
akan dilahapnya juga. Jadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi yang
terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahyukan kepadaku, baik
melalui inderaku yang lima-limanya atau pun yang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam
masa kita ini, janganlah tiap hal kau anggap mengandung kebenaran 100%, dengan menaksir dua
puluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang kekecewaan. Juga demikian halnya dengan
uraianku ini.

Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan jiwamu, karena engkau orang daerah yang jauh
dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Engkau akan berjasa bila bisa membendung tiap
orang yang hendak melahirkan diri dari daerahnya hendak memadatkan Jakarta. Tinggallah di
daerahmu. Buatlah usaha agar tempatmu mempunyai sekolah menengah atas sebanyak mungkin. Dan
buatlah tiap sekolah menengah atas itu menjadi bunga bangsamu di kemudian hari: jadi sumber
kegiatan sosial, sumber kesadaran politik secara ilmu, sumber kegiatan penciptaan dan latihan kerja.
Pernah aku beri ceramah di kota kelahiranku dua tahun yang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk
berbakti pada masyarakatnya, untuk belajar berbakti, untuk membelokkannya daripada
intelektualisme yang hanya mengetahui tanpa kecakapan mempergunakan pengetahuannya. Apa ilmu
pasti yang mereka terima itu bagi kehidupannya di kemudian hari bila tidak berguna?

Jangan kau sangka, aku hendak mendiktekan kemauanku sendiri. Aku kira aku telah cukup tua untuk
menyatakan semua ini kepadamu—engkau yang kuharapkan jadi pahlawan pembangun daerahmu.
Juga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan priyayi—penjajah petani
sepanjang sejarah penjajahan: Jepang, Belanda, Inggris, Mataram, Majapahit, Sriwijaya, Mataram dan
kerajaan-kerajaan perompak kecil yang tidak mempunyai tempat khusus di dalam sejarah.

Kawan, sebenarnya revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa yang homogen, bangsa
yang bisa menyalurkan kekuasaan itu sehingga menjadi tenaga pencipta raksasa, dan bukan
menyerbit-nyerbitnya dan melahapnya sehingga habis sampai pada kita, pada rakyat yang kecil ini.
Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas yang
benar-benar pada tempatnya hanya sedikit, dan suaranya biasa habis punah ditelan agitasi politik—
sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menyadari gentingnya situasi tanahairnya
dalam lalulintas sejarah dunia!

Kita mesti kerja.


Tetapi apa yang mesti kita kerjakan, bila mereka yang kerja tak mendapat penghargaan dan hasil
sebagaimana mesti ia terima?

Aku kira takkan habis-habisnya ngomong tentang Jakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini.
Setidak-tidaknya aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan
ke Jakarta untuk menambah jumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri.
Apakah karena itu engkau jadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku
mendengar bisikan orang pada telingaku: mana yang lebih penting, kemerdekaan ataukah persatuan?
Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme
secara sadar dianggap juga sebagai kejahatan atau tidak! Setidak-tidaknya aku tetap berharap
kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanya kau melancong ke ibukota untuk
mencontoh kefatalan di sini.

Kawan, sekianlah.

Jakarta, 17-XII-1955.

Anda mungkin juga menyukai