...
ATHEIS
Roman
oleh
ACHDIAT K. MIHARDJA
BALAI PUSTAKA
Jakarta 1990
1949
1953
1957
1960
1969
Cetakan keenam
1976
Cetakan ketujuh
- 1981
,
- 1983
Cetakan kedelapan
- 1989
-1990
808.83
Mih
a
, -
Mihardja. Achdiat
K.
185 - 4
Kata Pengantar
Indonesia
sejak
permulaan
abad
kedua
puluh,
yakni
pergeseran gaya hidup yang tradisional ke gaya hidup yang modem. Per
geseran ito membawa serta perselisihan dan bentrokan antara paham
paham yang lama dengan yang barn, terjadi khususnya di lapangan sosial
budaya dan politik. Perkembangan di dalam masyarakat ito tidak luput
meninggalkan pengaruhnya kepada pengalaman batin manusia. Keresah
terkenal
Achdiat
K.
Mihardja.
Kecuali
itu,
kita
boleh
Balai Pustaka
dan ketidakbenmtunjan
BBSC
..
Bagian I
Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk mem
perbaiki segala kesalahan? Untuk menebus segala dosa?
Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan un tuk mene
bus dosa itu telah hHang? Ab, bila demikian halnya, barangkali
takkan seberat itu segala dosa menekan jiwa Kartini. Tapi tidak
kah malah sebaliknya? Bahwa semakin hHang harapan, semakin
. berat pula sesal menekan?
Sempoyongan Kartini keluar dari sebuah kamar dalam kantor
Ken Peitai. *) Matanya kabur terpancang dalam muka yang pucat.
Selopnya terseret-seret di atas lantai gedung yang seram itu. Ta
ngan kirinya berpegang lemah pada pundak RusH yang membim
bingnya, sedang saya memegang lengan kanannya.
Perempuan malang itu amat lemah dan lesu nampaknya, seolah
olah hanya seonggok daging layaknya yang tak berhayat diseret
seret di atas lantai.
Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang berkerumun
kerumun di gang-gang dan di ruangan-ruangan yang kami lalui.
Semuanya kelihatannya sangat lesu juga. Serupa onggokan-ong
gokan daging juga yang tak berdaya apa-apa pula. Ada juga yang
masih tertawa-tawa, seakan-akan tidak mau dipandang sebagai
onggokan daging yang tak berdaya. Akan tetapi terdengar ter
tawanya itu dibikin-bikin.
Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya singa
yang suka makan daging. Kini telah menjadi daging yang hendak
yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya yang Kekal. Tapi
apakah yang demikian itu manusia tidak mengetahuinya, sebab
abadi, tetap, kekal itu adalah pengertian waktu, sedang waktu
*)
. ';
"
"
.
I I'}'"
,..
I
"
'.'
/'
,
"
Alon-alon Rus1i lllembimbing perempuan yang lemah itu.
Terseok-seok Kartini beIjalan. Kepalanya tunduk. Hidung
terbenam dalam saputangan yang basah karena air mata.
Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama mahluk
nya. Berbuat jasa atau dosa terhadap sesama hidupnya. Merasa
bahagia, bila ia telah berjasa. Menebus dosa terhadap siapa ia
berbuat dosa.
Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya, harus
menyatakan sesalnya,
Satu jam yang lalu, ...... . tidak! Bahkan lima menit yang lalu
Kini harapan itu sudah mati sama sekali. Sejak lima menit yang
lalu.
Tak ada lagi pegangan baginya.
jatuh Kartini ketika ia turun dari tangga gedung itu, jika karni
berdua tidak menopangnya.
Ya,
ke
kami dengan agak kaget sedikit, seolah-olah baru sekali itu mereka
mendengar jeritan yang. pedih itu. Tapi sejurus kemudian muka
muka kuning yang bermata sipit itu berpaling lagi dengan tak
acuh. Mereka merunduk kembali, seakan-akan masing-masing me
neruskan lagi pertanyaan dalam hati: nasib apakah yang akan kita
dapati sekarang?
Belum eminggu yang lalu pemerintahnya telah menyerah kalah
kepada kekuatan kaum Sekutu dan Rusia.
Kartini menangis terisak-isak.
RusH berdaya upaya untuk membujuk-bujuknya, untuk me
Iipurkan segala kesedihannya. Dengan payah ia ...rriengemukakan
pendapatnya seolah-olah akan banyak faedahnya sebagai pelipur,
"Ya, Tin, umur manusia singkat, tapi kemanusiaan lama, begitu-
10
11
Bagian II
1
Ketika itu saya lagi menganggur. Tapi ah, dikatakan mengang
bisa hidup dengan menganggur, kalau harga beras yang dulu hanya
6 sen satu liter, ketika itu sudah memuncak sampai dua rupiah
uang Jepang, bahkan sampai tiga rupiah?! Karena itu di sarnping
kesan pertama.
Kalau kesan pertama itu baik, maka itu bagiku seperti ilham bagi
12
itu mempunyai nama yang lain sekali. Tapi biasa saja di dalam
suatu eerita .[)ichtung und Wahrheit seperti yang dibikin Hasan
Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa saja,
selalu
Tapi suatu kesan pula, bahwa ia bukan seorang peneari yang baik.
dia.
2
Baru satu bulan saya berenalan dengan Hasan.
Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku.
13
14
15
Bagian III
1
Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah-tengah pergunungan
balik hijau pohon-pohon jeruk Garut, yang segar dan subur tum
buhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan sejuk ..
16
tidak ada pula yang lebih nikmat bagi penggemar film daripada
mobil, tapi tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Ya, ki
ta bisa mengucapka usali s"ampai awesalam, bisa membungkuk,
benar untuk sampai kepada tujuan kita. Bukan begitu, Kak? "
itu sama-sama perlu bagi kita. Sareat yaitu ibarat bungkus, tarekat
17
yaitu . . .... tapi ah, lebih baik saya ambit kiasan yang lebih tepat.
Kiasan mutiara misalnya. "
of ..
Haji itu berhenti sebentar, minum. Dan Ayah segera mengisi
mutiara kalau tidak punya kafal dan tidak punya tenaga serta
pedoInan untuk mendayung serta menyelam ke dalam segara.
Alhasil semuanya perlu ada dan perlu kita jalankan bukan? Kapal
tidak akan ada artinya kalau kita tidak ada tenaga untuk menda
yungnya dan
bukan?"
Ayah mendengarkan dengan sungguhungguh. . Duduknya
rapi, bersila, dan badannya agak condong ke depan. Telunjuk
nya
punya. Bukan begitu, Kak? Padahal, seperti tadi adik sudah kata
kan, semua-muanya sarna perlunya. Jadi pun tarekat. Bamlah kita
bisa sampai kepada makrifat dan hakekat. Jadi sekali lagi, tarekat
pun perlu, sehab dengan tidak ada pedoman, kapal tentu akan ter
18
.(
2
Sebulan kemudian ayahku memecahkan celengannya, dan
dengan uang yang ada di dalamnya itu berangkatlah ia ke Banten
bersama-sama dengan ibu.
Aku, masih ingat hari berangkatnya. Subuh-subuh benar mereka
sudah berangkat dari rumah hendak memburu kereta api yang
paling pagi. Aku terbangun oleh keributan orang-orang yang
19
Lamas
dibuj uk-bujuk
dengan
uang
setaH
yang
gilang-gemilang.
Ayah dan Ibu takkan lama. Nanti engkau dikirim oleh-oleh ya.
Mau apa? .. . Jangan lupa, rajin-rajinlah mengaji."
3
Sebetulnya anak Ayah ada empat orang, tapi yang masih hidup
euma aku sendiri. Yang lain mati, ketika masih keeil. Kemudian,
itrinya.
tuaku. Baik Ayah maupun Ibu merasa sangat bahagia dengan anak
suami-istri
yang
masih
muda.
hati. Karena itulah mereka menjadi lebih alim lagi. Entahlah, benar
juga rupanya kdta pepatah Belanda "in de nood leert men bid
den. "*) Dan rupanya saja pada orang yang sudah gemar bersem-
*)
20
bahyang seperti pada ayah dan ibuku, "nood " itu menambah me
reka makin rajin bersembahyang.
Orang tuaku sangat cmta kepadaku dan Fatimah.
Tapi biarpun begitu aku tidak menjadi anak yang manja. Malah
sebaIiknya, aku merasa bahwa aku adalah seorang anak yang mau
menurut kata orang tua dan amat sayang serta hormat kepada
mereka.
Pada usia lima tahun aku sudah dididik dalam agama. Aku
sudah mulai diajari mengaji dan sem bahyang.
Sebelum tidur, ibuku sudah biasa menyuruh aku menghafal
neraka, " begitu selalu kata ibu. "Di neraka anak yang nakal itu
hidupnya, seoiah-olah
neraka.
melihat
menolong, tapi tidak bisa. Aku menjerit, "Ibu, I bu, tolong! Ini
,
jangan nakal. Mesti selalu turut kpa a perintah Ayah dan Ibu
l
kepada orang-orang tua, dan mesh rajln bersembahyarlg dan me
ngaji. Insyaallah Nak, Ibu doakan kau semoga selalu selamat dunia
akhirat."
21
22
Tapi biarpun begitu tidak ada cerita yang lebih berkesan dalam
jiwaku yang masih hijau itu daripada eerita-cerita yang plastis
tentang hukuman-hukuman neraka yang harus diderita oleh
orang-orang yang berdosa di dalam hidu pnya di dunia.
"Mereka," kata Siti, "larus melalui sebuah jembatan pisau
yang sangat tajam, lebih tajam dati sebuah pisau cukur, sebab
pisau itu tajamnya seperti sehelai rambut dibelah tujuh."
Jembatan pisau itu terbentang di atas godogan timah yang
panas mendidih. Orang yang tidak pernah berbuat dosa dalam
hidupnya akan mudah saja melalui jembatan itu seakan-akan ia
berjalan di atas jalan aspal. Sesudah menyeberangi jembatan itu,
maka sampailall ia ke depan pintu gerbang surga.
"Akan .tetapi," kata Siti selanjutnya, "orang yang banyak
dosanya di dunia ini akan merangkak-rangkak seperti siput di atas
seutas benang yang tajam, dan ia akan selalu terpeleset. Dan tiap
kali ia terpeleset, jatuhlah ia ke dalam gOdokan timah di bawah
llya. Mulai lagi ia mencoba menyeberangj jembatan terse but.
Berkali-kali ia akan jatuh. Seluruh badannya penuh dengan luka
luka seperti diiris-iris karena harus menarik-narik dirinya di atas
jembatan pisau itu. Darahnya bereucuran dari tiap luka. Tapi ia
mesti merangkak teTUS.
Maka merangkaklah ia terus sambil menjerit-jerit kesak tan. Ia
merangkak-rangkak, berengsot-engsot, minta tolong, tidak ada
yang bisa menolongnya. Kalau sutlah tidak tahan lagi, jatuhlah ia
23
4
Pada suatu hari, ketika aku sudah dewasa dan kebetulan ber
pakansi ke Panyeredan, berkatalah aku kepada Ayah, "Ayah,
bolehkah saya turnt pula memeluk ilmu yang Ayah dan Ibu
anuti?"
24
,i
ATHEIS3
25
Ibu di dapur segera diberi tahu ten tang niatku itu. Maka berlinanglah air rnata Ibu.
i'-.
"Syukurlah anakku," katanya seraya rneletakkan tangannya di
atas bahuku.
Aku tunduk terharu. Terasa tangan yang terletak di atas bahuku
itu bergetar. Dan bergetar pula suaranya.
26
27
28
"
29
Bagian IV
I
30
putih .
Orang penghabisan sudah kuladeni.
"Sekarang Tuan, " kataku .
" Betul, Tuan! . . . " (sejurus ia menatap wajah ku) " . . . Tapi . . . tapi
(tiba-tiba) astaga, ini kan Saudara Hasan, bukan? ! "
"An ! Tentu saja aku tidak lupa? Masa lupa ! Ini kan Saudara
yang
bergoyang-goyang
turun-naik
seolah-olah
menjadi
31
Kami tertawa.
"Eh perkenalkan dulu, adikku, Kartini (menoleh kepada pe
rempuan itu) . Tin ! Tin ! Perkealkan, ini Saudara Hasan, ternan se-
""
Akan tetapi aneh sekali, sam bil bekerja demikian itu, terasa
olehku bah wa ada suatu perasaan yang, entahlah, tak mungkin
aku m engatakannya perasaan apa. Yang tegas saja ialah bahwa
aku merasa gem bira seperti tiap orang yang bertemu dengan
seorang sahabatnya yang su dah lam a tidak beIjump a. Akan tetapi
biarpun begitu hams kukatakan, bahwa padaku ada lagi sesua tu
yang agak lebih daripada hanya perasaan gembira saja semata
m ata.
RusH itu adalah seorang kawanku ketika keeil . .Agak karib
juga kami berteman, bukan saja oleh karena satu kelas, tapi pun
juga oleh karena kam i berttangga. Kami banyak bersama . Sepak
bola di alun-alun , main gundu di pekarangan orang, memungu t
buah kenari yang banyak tum buh di tepi jalan raya, selalu kami
bersama. Malah sakit pun pernah bersama-sam a , sebab terlalu
banyak m akan rujak Uuga bersama-sama).
Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama, yaitu
kalau Rusli berbuat nakaI, dan apabila aku sem bahyang. Orang
tuaku melarang nakaI, menyumh sem bahyang. Orang tua RusIi
tak peduli.
Dan kalau kami bersama-sama pergi ke mesjid, m aka aku
untuk sembahyang, sed ang Rusl i untuk mengganggu kh atib tua
yang tuIi atau u n tuk m emukul-mukul bedug. Dan tak jarang pula
aku sendiri diganggunya dalam sembahy ang, dikili-kilinya teIinga
ku, aku dipeluk nya dari belakang, kalau aku sedang berd iri hend ak
nlelakukan rakaat pertama.
Sesungguhnya, kami berdua sangat berbedaan tabiat, tapi
anehnya, biarpun begitu m asih juga kami bisa bergaul dengan
karib. Memang anak-anak belum merenggangkan satu dari yang
lainnya lantaran sikap hidup yang berlainan. Oleh karena itu barangkali
dunia ini baru akan bisa aman dan damai, kalau penduduknya hanya
terdiri dari kanak-kanak melulu.
Sed ang aku asyik m enulis dalam buku permintaan pasang air,
lewatlah lagi Rusli dan K artini pulang dari loket keuangan.
"Sampai n anti sore, Bung! " seru Rusli sambii m engangkat
tangannya Ydng kan an , m enabik.
"Ya," sahutku.
Kartini m engangguk sedikit. Beradu pula pandanganku un tuk
kedu a kalinya dengan pandangan Kartini. Aku tunduk. Terasa
darah tersirap ke muka.
33
" Mari merokok, Bung! Saya sendiri tidak begitu suka merokok
sigaret. Saya lebih suka menggulung sek saja, atau kalau ada malah lebih
suka rokok kawung saja."
34
Maka seju rus kemu dian kami berdua sudah asyik mencerita
kan lakon masing-masing semenjak berpisahan lima belas tahun
y ang lalu. Sambil bercerita kam i merokok terus.
Rusli bercerita, bahwa setelah tarnat dari sekolah rendah di
Tasikmalaya, ia lantas mengunjungi sekolah dagang di J akarta.
Tapi tidak tamat, hanya sampai klas tiga, oleh karena ia l antas
tertarik, oleh pergerakan politik. Sebagai seorang pemuda yang
berkobar-kobar semangat kebangsaannya, ia masu k anggota
salah satu partai politik . Setelah partai tersebut dilarang dan banyak
pemimpin-pemimpinnya ditangkap, maka Rusli menyingkir ke Singa
pura .
35
" Kaulihat sendiri, " sahut Rusli sambil ' menunjuk ke dapur yang
"
masih sunyi dan dingin.
o jadi dia belum kawin , pikirku dengan sedikit gem bira. Tapi
kataku
sambil
menjangkau sebua1
jam bangan bunga di atas sebuah rak. Tapi dalam kegugupan, raJ<
itu tersinggung oleh tanganku, sehingga j a tuh j am bangannya
Berdering-dering suaranya, seolah-olah menjerit kesakitan, pecat
di atas lantai.
Aku makin gugup. Mau memungut semu a pecah an-pecahar
itu satu per satu dari lantai seraya bersungut-sungut mengutuk
36
dia
kepadaku
tadi
sebagai
adikmu.
Kukira
Aku tidak menjawab. Tidak mengerti, apa yang dim aksu dkan
oleh RusIi itu . Apa etika fcodal? Apa etika buIjuis? Mendengar
kata-katanya pun baru sekali itu aku .
'!;
41
"E-e-eeh ," kata Rusli, "Ap a ini? Masa tidak mengh onn ati
tamu yang barn datang? O(ang barn datang, ini m au pergi. Wah ,
itu tidak bagus dong! "
Aku agak malu , terasa darah mem bakar telinga lagi. Hidung
bergerak tak keru an . Dan sam bil menarik-n arik jari mele barlah
bi birku seolah-olah hendak tertawa atau ada yang hendak ku
katakan .
Tapi tiada su ara y ang kelu ar.
Rupanya nampak kep ada RusIi, bahwa aku malu karena ucap
annya itu , dan untu k memperbaiki lagi su asana, m aka lekaslah ia
berkata dengan senyuman yang ramah dan lagu yang setengah
membuj u k , "Ah tentu saja Saudara Hasan mau duduk-duduk se
ben tar sampai saya selesai mandi dan berpakaian, bukan? Masih
sore toh? "
Aku mengangguk, gembira karena ada harapan un tuk mem
perbaiki sikapku y ang kurang honn at itu .
RusIi kemudian masu k kamarnya, dan segera kelu ar lagi me
nyelamp aikan handukny a di atas bahu, sedang tangannya mem
bawa tempat sabun ddn se buah gelas berisi sebuah sikat gigi.
"Tu an su dah lama? " tiba-tiba Kartini bertanya.
"Su dah satu jam kira-kira , " sahu tku, sedikit terperanjat, kare na pikiranku su dah melayang-I ayang tak tentu lagi .
" Rumah Tuan di mana? "
"Di mana? " (se betulnya aku su dah tahu dari RusH tadi, dan
rasanya dia pun tahu alam atku, sebab bukankah tadi siang telah
kukatakan kepada Rusli ketika mereka datang ke kantorku?
Tapi mungkin juga K artini tidak menarnh perhatian) .
"Saya di Lengkong Besar 2 7 . "
Beberapa jurus hening.
Kemudian Kartini mengelu arkan satu pak sigaret dari tasnya
lantas disodorkannya kepadaku, " Silakan Tuan ! "
Aku tertegun sejenak. Tim bul lagi perasaan h eran dalam hatiku .
Sungguh perempuan aneh dia, pikirku , bukan saja bebas tapi
pun merokok pula.
"Tu an tidak merokok harangkali, " katanya pula sam bil meno
kok-nokok sebatang rokok di atas meja.
"Saya terlalu banyak merokok," jawabku sekedar jangan te
rus bungkem saja.
42
mancung.
43
it1 t. Apa kata orang nanti? Dan memang aku pun tidak suka me
nonton. Didikan keagamaanku tidak sesuai dengan sifat-sifat
keriahan dan keduniawian macam menonton bioskop itu. Maka
jawabku pun tegas, "Ah tidak! "
"Sayang, mengapa tidak mau iku t? Filmnya bagus . Gone with
the wind . Clark Gable pegang peranan utama. "
"Ya, San, ikutlah ! " kata RusH setengah berteriak dari dalam
kamar yang ditutupkan pintunya. I a sudah selesai mandi dan
sedang berpakaian . " Makin banyak ternan, m akih gembira. Dan
ingatlah kita su dah lama berpisahan. Marilah untuk m alam ini
kita sama-sama bersuka-ria. "
"Saya ada urusan l ain mesti ke rumah Parnan," jawabku se
kedar alasan yang kucari-cari. Entah terdengar atau tidak oleh
Rusli, sebab berteriak di muka Kartini aku tidak berani.
Aku berbohong, ti dak biasa berbohong. Tapi tidak mengapa,
agama pun memperkenankan bohong, kalau mem ang perlu u ntuk
kcselamatan agama dan sesama hidup. Aku merasa terpaksa ber
bohong demikian, karcna aku tidak suka menonton. Dan ter
u tama sekali: apa akan kata orang nanti. Aku sudah dikenal
orang se bagai seorang alim dan saleh, dan tiba-tiba kelihatan
duduk di bioskop bersama-sama dengan seorang perempuan
yang bukan muhrim. Dan perempuan macam apa lagi ! Macam
Kartini ! Perempuan yang terlalu modern, dan . . . . . mungkin harus
disangsikan pula kesusilaannya. Tidak! Aku tidak mau, tidak
boleh.
3
45
yal dan pikiran su dah mati. Pun diriku sendiri sudah hilang teng
gelam ke dalam ketiadaan. Scene-scene tak ada lagi. Hilang semua.
Tiada nampak apa-apa lagi keoadaku', selain mang yang terang
terang kabur, tak berbatas tak berbentuk. Tapi entahlah, apakah
ruang itu, apakah waktu apakah apa, aku tidak tahu. Hanya aku
tahu, bahwa itulah sembahyang yang dianggap sembahyang yang sem
k eadaan
dalam
rakaat
k etiga.
Tapi
tak
lama
karena ia berpu tar, dan jika ia tidak bcrpu tar lagi, dengan sendiri
nya akan jatuh? Ke mana? ). Dan dalam kecepatan dzikir yang
memuncak
itu,
maka
kalimat
" lailaha
il lallah"
itu
pun
sudah
aku
dengan
berzi k ir.
lan tas
bertawadzu h .
Duduk
baru
guna
membulatkan
lagi
seluruh jiwa
rohani
kepada
selesai
keluarlah
aku
dari
kamar dengan
hati
sebagai
penambah-nambah n afkah ,
bibi
itu
membikin
47
rajin .
Mungkin
itu,
bibi
sangat
raj i n
48
di jaman
voc
kami
menj adi
korban
daripada
per
tentangan antara dua klas, klas feodal dan klas burjuis. (Begitulah
menuru t istilah Rusli, ketika tadi kuceritakan hal riwayat itu ke
padanya).
Orang tua Rukmini tidak mau anaknya dikawinkan dengan seorang
49
" Mari kita makan dulu , " ajak bibi, seraya pergi
ke serambi
belakang. Kuiku ti dia dengan hati yang lebih suka ngelamun tents
daripada dengan perut yang minta isL
Si Minah, babu kecil berumur dua belas tahun, sedang mcngan
tuk menunggu kami makan.
"Hai Minah ! " B ibi membentak sam bil bcrtepuk tangan. "8a
ngun ! "
Si Minah bangun terperanjat, " Ada kucing, ya? ! Ada ku cing? !
Aku tidak begitu nafsu makan . Entahlah, gigi serasa menjadi
panjang, lidah menjadi tebal dan geraham menjadi besi.
" Kenapa sedi k i t amat
makannya,
San? "
" Sudah kenyang, Bi! Ta(li disuguhi kue-kue oi rumah ternan ! "
jawabku berbohong.
Sehabis makan, bibi lalu duduk seperti biasa di atas dipan di
seram bi tengah. Kedua belah kakinya dilunjurkannya. M akan
sirih.
"Pijat kakiku, sunaya hilang kantukmu ! " pcrintah nya kepada
si Minah yang bam habis makan.
Dari kamar makan dku tcrus saja masuk ke karnar tidur. Lampu
kunyalakan , sebab terasa belum ngantuk. Kusi akkan kelam bu ,
sebab ingin berbarin.g-baring sambil merokok. Enak merokok se
su dah m akan. PadGhal aku tidak boleh banyak merokok. Asap
berkepul-kepul dari mulut, menipis hilang seperti ka ta-kata pidato
yang kosong, tak berkesan apa-apa.
Maka terbayang-bayanglah lagi segala apa yang diceritakan oleh
RusH tadi. Riwayat Rusli yang begitu banyak pengalamannya,
di Singapura, di Palembang, di J akarta.
Tapi riwayat Rusli itu tidak begitu berkesan kepadaku, bila
dibandingkan dengan riwayat Kartini yang kudengar tddi juga
dari mulut Rusli. Tapi mengapa sebetulnya m aka begitu? Pernah
pertanyaan itu terkilat dalam hatL
Entahlah, aku tidak tahu, dan tidak pula aku bentsaha untuk
membcri jawaban kepada pertanyaan kilat itu. Tapi biarpun
begitu, tidak mudah aku melupakan "dia".
Tiba-tiba tcrkilatlah pula pertanyaan d alam hatiku, "Tidak
mungk inkah ini su atu kcmurahan Tuhan ju a? "
50
. .. .... .
- '";
... 1
- -
",
..
:=.:.",:.';-
.-
- I'
0,
. ..
F
Y
.
:
1
/
.:: '
.
-"
" - .
/'
--
',-
(j\It. . '
.
,i
,/
."
hanls meyakinkan aku akan keluh uran ilm u tarekat yang kuanu t
wanita yang persis dia? Tidakkah ini berarti bahwa Kartini itu
pengganti Ruk?
Mengkilat pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati.
*)
Kedunia-duniaan.
53
54
takabur.
M aka
lekas-Iekaslah
aku
pun
m engusap
hasil jiwa terkungkung tidak mau kalah suaranya oleh hasil jiwa
yang merde.k a. Sepeda-sepeda berkerining-kerining, lincah
melancar-Iancar di an tara hasil dua abad itu. Indahnya sore mem
bikin aku lebih gembira l agi. Dan agaknya di antara ribuan
rnanusia yang berkeliaran di jalan-jalan i tu tidak ada seorang pun
yang seperti aku mau menundukkan kapir-kapir.
Tapi bagaimanakah caranya nanti aku mengislamkan mereka
itu? pikirku sambil men dayung. Tapi ah, kenapa itu harus kupi
kirkan sekarang. Bagaimana nanti saja, Insyaallah, Tuhan tentu ada
di sampingku, sebab maksudku baik, sud.
Ning-neng! Ning-neng!
Un tung aku lekas mengelak. Hampir ketabrak delman.
"J angan ngelamu n B ung? ! " ben tak bung kusir.
Aku pura-pura tak mendengar, tersenyum-senyum saja, m em
bikin-bikin sikap seakan-akan kemarahan bung kusir itu bukan
dial amatkan kepada diriku. Maka aku pun mendayung terus,
bcrpikir terus. Atau "ngel amu n " terns, kalau m enurut bentakan
bung kusir tadi.
56
Va, bagaimana aku mesti mulai? Tapi agak ragu, akan adakah
RusH di rumahnya? Dan juga Kartini? Aku tahu, K artini tidak
tinggal di sana, tapi siapa tahu, h rangkali dia sekarang ada di san a,
untuk keperluan ini itu barangkali.
Sedetik dua detik timbul perasaan euriga dalam hatiku ter
hadap Rusli itu. Memang siapa yang tidak akan menaruh keeuriga
an kalau ia tahu, bahwa Rusli seorang bujangan yang su dah lebih
dari dewasa, bersahabatan dengan seorang janda muda yang
begitu bebas dalam gerak-geriknya. Lebih-lebih lagi karena aku
tah u betul, bahwa Rusli i tu adalah seorang anak yang nakal ketika
masih keeil . Anak yang n akal su dah membawa bakat un tuk men
jadi orang yang jahat, begitulah kata ayah dulu . Pendeknya se
kurang-kurangnya anak yang nakal demikian tidak akan begitu
baik kesusilaannya.
Ning-neng! Ning-neng!
Aduh hampir ketabrak lagi. Napas ku da sudah terasa di atas
pundak. Kudengar seorang laki-Iaki penumpang metn bentak dari
delman yang menyisir melalui sepedaku.
"Borong jalan, Bung? " teriak bung kusir, sam bi1 m elemparkan
pandangnya yang marah dari matanya yang melotot, melalu i
pundaknya yang tetap tegak m engarah ke depan.
Aku tak aeuh. Mendayung terns. Curiga terus kepada Rusli.
Dan lihatlah saja, di mana Rusli i tu memilih tem pat tinggal
nya? Bukankah di gang yang banyak rumah-rumah pel acuran?
Sebetulnya aku merasa malu untuk masuk gang itu . Tapi ya,
karena masih siang, tentu tidak akan. meneu rigakan apa-apa, pi
kirku selanjutnya.
Ning-neng! Ning-ne ng!
Sekarang aku hati-hati, lekas sedikit ke pinggir. Sesaat kemu dian
terdengarlah orang berseru-seru dari dclman yang dal am pada itu
sudah meliwati aku dengan sangat cepatnya.
Dan ketika kulihat , maka tampaklah Rusli menoleh ke belakang
dengan wajahnya berseri-seri, "San ! San ! Mau ke mana? ! "
Mau ke rumahmu ! Begitulah setadinya aku mau menjawab,
akan tetapi ketika kulihat, bahwa Rusl i tidak sendirian , melainkan
bersama-sama Kartini, maka kujawablah dengan eepat, "Ah tidak !
Mau jalan-jalan saja ! "
"Kami hendak ke Bojongloa! Ada perlu ! " teriak Rusli. Kartini
mengangguk. ketika aku m emandangnya. Kemu dian ia tersenyum
senyum saja, mel ih at kepadaku yang mengintil di bel akang delATHEIS 5
57
K uusap
mukak u .
M enggigil
lagi
seluruh
ba
jalan yang sesat. Dan bukankah kata gu ru pula, bahwa kita sebagai
orang Islam diwajibkan untuk mem bawa semua ummat kepada
j alan yang baik, sekurang-kurangnya harus mem beri nasihat kepa
da orang-or&ng yang telah tersesat menempuh jalan yang haram
seperti RusH dan Kartini i tu? Va, itu adalah kewajibanku . Mere ka
harus kuislamkan. Sekurang-kurangnya h arus kuberi nasih at.
Sam pailah aku ke rumah Rusli.
Ia menyam bu t kedatanganku dengan membukakan pintu. Ia
memakai kimono coklat. Aku masuk, sesu dah mengunci sepeda.
Dan seperti perasaanku, bahwa sepedaku itu tidak akan dicuri
orang, seperti itulah pula perasaanku, bahwa aku akan berhasil
dalam "mengislam kan kapir modern " itu. Maka dengan kepas
tian demikianlah wajahku berseri-se ri menyam bu t sam bu tan Rusli
itu kenl bali.
"Silakanlah du du k ! " kata Rusli dengan ramah . "Tapi permisi
dulu ya, saya belum mandi. Wah sekarang saya bisa berkecim
pung di kamar mandi . " Sambil tertawa badan berkimono itu
m enghilang ke belakang.
Aku du duk seraya m embebaskan mata melihat-lihat keadaan di
dalam serambi muka itu . Sekarang segala-gala sudah beres ter
atu f. Tidak banyak perkakas rum ahny a di seram bi itu. Hany a
satu stel kursi, tempat aku du duk, dan se buah dipan rapat pada
dinding dekat se belah kiri yang ditilami dengan sehelai kain batik.
Selanju tnya di su du t kanan sebuah m eja kecil dengan sebu ah
kursi makan di belakangnya, yang bila menilik buku-buku dan
tempat tin ta yang ada di atasnya menunju kkan bah wa m eja itu
dimaksu dkan u n tuk dip akai sebagai meja tulis. Kesan itu d i
perku at pula oleh sebuah kalender yang kadang-kadang bergelebar
gelebar alon-alon tertiup angin kedl bergantung d i sebelah k iri dari
meja itu dan se buah rak di sebelah kanan yang pelluh dengan buku
bu ku. Pada din ding bergantung pula beberapa pigura yang melukis
kan potre t orang-orang yang tidak ku kenal. Tidak ada lapad-Iapad
atau gam bar Mekah dengan Kaabah di tengah-tengah seperti yang
menghiasi kam arku. Aku berdiri ingin tahu siapa sebetu lnya pigu
ra-pigura i tu . Melangkah ke bawah salah-satunya, ku baca, di ba
wahnya: Friedrich Engels.
En tahlah , aku tidak tahu siapa Friedrich Engels itu. Seorang
petani Belanda yang kaya raya barangkali, pikirku.
Tidak jauh dari potret itu tergantung sebu ah lagi potret seperti
itu, berj anggu t kaya-ray a. Kubaca di bawahnya: Karl ,Marx .
62
k e dalam
saputanga n nya ,
saudara
64
tang Keadaan dan hakekat nyawa itu'? Tahu akan unsu r-unsur
nya dan bagaimana proses kimianya dan sebagainya? Nah, tidak
mungkinkah pula, bahwa manusia itu sekaH ke1ak akan bisa
menemui unsur-unsu r yang belum ditemuinya di udara sekarang
in i, unsu r-unsur mana akan tenlyata bisa kita ambil dan gunakan
untuk membikin nyawa manusia? "
"Hahaha ! Hahaha ! " Tiba-tiba terbahak-bahak aku tertawa.
Entahlah, aku yang selama itu diam saja, tiba-tiba karena kalimat
RusH yang penghabisan ini menjadi cetusan ketawa yang hebat.
Tapi RusH nampaknya tenang saja walaupun ia turnt tertawa
juga, tapi tentu saja bukan mentertawakan kalimatnya barusan
itu.
"Saudara ketawa," kata RusH dengan mata yang riang tapi
bercampur sedikit heran , "tapi kita jangan lupa, bah wa j uga Pas
teur, Stevenson, Wright, Edison d an lain-lain raksasa-raksasa
ahH pikir d an ahli ilmu pengetahuan yang besar-besar itu , dalam
hidupnya itu mula-mula ditertawakan orang juga, tapi kemudian
ternyata, bahwa dunia dan kemanusiaan lebih berhutang budi
kepada mereka daripada kepada orang-orang yang mentertawa
kan itu . "
"Saya tertawa," jawabku, "oleh karena bagiku manusia yang
berangan-angan mau membikin ny awa, adalah orang yang miring
o taknya, kemasukan setan. Dan sebetuln ya bukan harus tertawa
saya tadi itu , melainkan harus menangis. Orang macam begitu itu
adalah orang yang kufu r, yang murtad, yang durhaka, karena
mau menyamai Tuhan Maha Pencipta. "
"Ah mengapa Saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan
tidak ada, Saudara ! "
A' udzubilah !" sepert i geledek ucapan Rusli itu meny a mba r
kepalaku. Perkataan "k olot" terasa seperti batu berdentar kepada
batu kepalaku. Aku merasa sangat tersinggung dalam harga diriku.
Akan tetapi itu tidak seberapa, kalau dibandingkan dengan pera
saan keagamaan yang sangat tertusuk .
Beberapa jurus aku tidak b isa mengucapkan apa-apa. Bukan
saja karena terlalu tercengang oleh ucapan Rusli yang tak ku
sangka-sangka itu , melainkan juga oleh karena aku mesti mena
han amarahku . Sesak rasa dadaku, serasa dibakar dalamnya tiada
hawa .
Gila d ia ! Kapir dia! Murtad dia ! pikirku . Hampir-hampir ke
tuar kata-kata pikiran itu.
67
Marah benar aku dalam hati, beberapa jurus aku membere ngu t
saja. Tanganku kaku menggeserkan tempat abu .
Tapi lama-lama insyaflah ak u , bahwa dengan marah-marah aku
tidak akan bisa mencapai maksudku. Dan memang tidak baik
aku, sebagai seorang tamu , marah kepada tuan rumah. Begitulah
suara pikiran, tapi suara nafsu masih berteriak-teriak j uga. Dan
pertempuran antara pikiran dan nafsu amarah itu rupanya ter
bayang pada mukaku dan kelihatan oleh Rusli, sehingga berkata
lah Rusli dengan suara yang mengandung sesal , "0 maaf Saudara,
bukan sekali-kali maksud saya untuk menyinggung hati Saudara,
apalagi menyinggung kepercayaan Saudara- sekali-kali itu bukanlah
maksu d saya."
Merendah sekali suara RusH itu seperti matahari yang dalam pa
da itu sudah merendah pula hendak terbenam di belakang gunung.
Entahlah, barangkali agar menenteramkan hatiku , bangkitlah ia
min ta permisi hendak ke belakang dulu . Pergilah ia.
Terdengar benar olehku bahwa Rusli sungguh-sungguh menyesal
hatinya, sehingga - perkataannya tadi itu bisa kupandang sebagai
suatu kekhilafan lidah yang tidak diinsyafi benar olehnya. Maka
kemarahanku pun menjadi reda sedikit.
Sebentar kemudian RusH kembali lagi dari belakang dengan dua
gelas berisi air teh dalam kedua belah tangannya, yang ditaruhnya
di atas meja, satu untuk dia dan satu lagi untukku.
"Mari minum B ung," ujarnya dengan ramah seraya mendahului
mcnyeropot airnya. "Masa kita ngobrol seperti di tanah Arab , eh
di gurun pasir saja. Tapi yah, begitulah nasib orang bujangan .
Maaf saja Bung, hanya teh Inelulu ."
"Ah tidak mengapa," sahutku , menyeropot pula airku.
Setelah beberapa kali kami meneguk air masing-'masing, RusH
mengulang lagi minta maaf, "Jadi sekali lagi Saudara, janganlah
Saudara sampai salah faham."
Rupanya Rusli ingin melanjutkan pembicaraan kami ten tang
agama itu, sebab kalau tidak, mengapa tidak meloncat kepada
soal lain , sedang dia tahu , bahwa sedikit banyaknya aku merasa
tersinggung hatiku. Atau mu ngkin juga karena ia merasa terlalu
menyesal akan ucapannya tad i itu, sehingga tidak cukuplah ia
minta maaf dengan sekali saja.
" Ah tidak me ngapa, Saudara, saya pun tidak marah, mengapa
Saudara harus minta maar? Saya tadi hanya merasa agak heran,
karena scsungguhnya tidak masuk di hati saya, hagaimana mung68
kin orang seperti Saudara, yang saya kenaI dari keeil sebagai
keturunan orang-orang muslimin, sampai bisa m enjadi seorang
kafir yang tidak percaya lagi kepada adanya Tuhan . Saya heran
sebab tidakkah itu suatu penghianatan te rhadap agama leluhur
sendiri?"
Rusli tersenyum . Katanya, "Ya , kafir! Atau dengan kata asing
disebut j uga atheis. Memang banyak sekarang orang-orang atheis.
Tidak pereaya lagi kepada Tuhan atau agama ."
Tenang saja Rusli berkata demikian itu . Rupanya sering ia ber
debat tentang agama dengan orang-ora n g lain yang dijumpainya
di dalam hidupnya yang penu h pengalaman itu .
la tersenyum saja, seolah-olah perkataan seperti yang kuueap
kan itu bukan sekali itu didenganlya.
Senyuman yang samar-samar itu disertai dengan pandangan ma
ta yang mengerling ke dalam wajahku , membikin aku agak gelisah.
" Bagaimana? Enak tehnya? Tidak tcrlalu pahi t?" katanya menentang.
"Tidak."
"Barangkali mau pakai guIa?"
"Tidak . Cukup begini saja."
Diputar-putarnya rokoknya di antara b ibirnya. Ditariknya
hisapan dua kali . Asap berkepul-kepui . Meludah-ludah keeil,
memb uang potongan-potongan tembakau yang melengket pada
b ibirnya.
Sikap Rusli yang tenang dan senyuman yang samar-samar itu
malah membikin aku menjadi gelisah dan jengkel . Maka kataku ,
" Bagi saya, orang-orang yang tidak pereaya kepada Tuhan dan
agama itu, tak ada bedanya dengan b inatang."
Tersenyum lagi dia . Aku agak ragu-ragu, tapi m elanj utkan,
"Bagi saya, manusia itu ialah mahluk yang pereaya kepada Tuhan.
Karena itulah, maka manusia yang tidak pereaya kepada Tuhan
berarti sarna dengan hewan."
"Ha ! Itu bagus ! . S?udara bisa berpikir rasionil , berpikir seeara
a = b ; . b = e ; a = e. Kenapa tidak konsekwen berpikir
logis,
rasional? (berhnti sebentar) . 0 ya, pernah Saudara memikirkan
lebih dalam lagi tentang perbedaan an tara manusia dengan hewan
itu, selain daripada perbedaan yang berupa ada dan tidak adanya
kepereayaan kepada Tuhan?"
Aku berpikir. RusH memandang dengan mata yang tajam ke
dalam wajahku. Terasa tajamnya.
69
kemanusiaan
dan
atau
geweten, * * )
* ) Secara aljabar.
** ) Hari nurani.
70
gung
j awab
akan
keselamatan
seluruh
kehidupan
semua
umat
sangka padaku , bahwa j ika pun aku mendebat nya, RusH toh
sudah bersedia dengan jawahanDya . Pun juga, oleh karena ber
'
kali-kali Rusli menegaskan, ha hwa "kita harus pandai menero
pong soaloal hidup itu dcngan akal dan pikiran yang bebas lepas.
Pik iran dan -penglihatan k ita tidak boleh dikaburkan oleh fana
tismc atau d ogma . Apalagi olh perasaan takut yang bukan
bukan."
7
Sampai di rumah, ak u terus bergegas ke k amar mandi. Bunyi
tabuh telah me nghildng, ketika aku masih men dayung d i jalan
Raden Dewi.
" Dari mana, San? " tanya bibi, keluar dari kamar mandi , se
lama
orang
kemudian a k u
pun
berazan
pula.
Bergemalah
se
memungk inkan
kaumelihat
dunia dan
hidup
73
"Tidak usah Bi ! " Tapi dalarn pada itu bibi sudah berseru-seru,
itu su dah harus bcrhadapan dengan alam . Ia harus hidup dari alam .
dari tanam-tanaman yang tidak tumbuh di atas tanah, dari ikan
yang hidup di dalam air, dari burung-burung yang beterbangan di
udara, pendek kata dari segala apa y ang ada di dalam alamo Dalam
berkclana mencari m akanan-makanan itu ia sering ditifnpa hujan
yang lebat, ditimpa banjir yang dahsyat, kadang-kadang gunung
meletus memuntahkan api dan lahar, menyebarkan m aut, m em75
saya itu . I tu say a dapat mengerti dan hargai, dan m emang tak
usah Saudara Hasan :nenerima segala apa yang saya katakan itu .
Aku tak tahan lagi diam dalam kamarku . Pan as rasanya dalam
kamar itu. Padahal malam Bandung cukup sejuk. Kupakai pici,
lalu keluar.
78
" Mau ke mana, San?" tanya bibi dari kamarnya, ketika ter
korban-k orban
kapitalisme,
pikirku .
Artinya
sepanjang
pendapat Rusli.
"Ah berlianku rupany a sudah lupa lagi kepada si kembang
kampung dari gunung i ni," kata perempuan yang mula-mula
menegurku tadi itu .
''Tentu saja, m ana m a u berl ian berteman batu dan kali,"
sambung temannya.
Mereka tertawa-tawa lagi. Aku rnakin taku t, karena tak mus
tahil mereka itu mengcjar aku. Maka aku pun percepat lagi l ang
kahku.
Aku berjalan terus sampai suara yang tertawa-tawa ra111ai itu
h anya sayup-sayup saja lagi terdengar di belakangku.
Tiba-tiba persis dekat simpangan ke Gang Asmi, terdengarlah
di belakangku scorang-orang yang setengah lari menyusul.
''Tuan ! Tuan! " sent nya. Suara seorang perempuan. Aku ter
kejut dan setengah taku t.
''Tuan ! Tunggu dulu ! " Suaranya makin mendekat .
1au apa dia, pikirku setengah lari. Ten tu salah seorang kupu
kupu itu ! Tapi rnengapa ia ke takutan? . . . Atau hanya
pura
pura saja? Aku merasa taku t. Mau belok ke Gang Asmi, lebih takut
lagi, sebab gang itu lebih gelap daripada jalan hesar.
Perem puan itu makin cepat jalannya. Ia Iarl malah. Dan seketika
itu juga ia sudah terdcngar terengah-engah hanya sem eter lagi agak
nya daripadaku.
' 'Tuan ! Tolong say a ! " katany a terkapah-kapah.
Sangat ketaku tan ia rupanya.
" Serdadu mabuk, Tuan! "
Dan dcngan perkataan itu ia sudah berada di sarnpingku. B cr
" Oi warung kopi itu barusan. Saya lew at di sana, tiba-tiba dari
" Ya, ya, betul Tuan ! Tapi; tapi eh, maaf saja, kalau saya tidak
keliru, bukanlah tuan itu tuan . . eh tuan yang Suddh saya berkenal
an di rumah Saudara Rusli tempo hari? 0 ya, ya, saya ingat se
karang, tuan kan Tuan Hasan, bukan? ' :
" Betul, Nya! "
"Ah .maaf saja, k,arena malatn kurang terang, saya ti dak lekas
mengenal tuan. Dan juga karena tuan se,k arang memakai piyama."
"Ya begitu juga saya. Maaf saja. Saya pun tidak segera mengenal
nyonya, karena gclap, dan nyonya pakai kudungan dan m antel.
Dari m ana nyonya malam-malam begini? "
"Dari Gang Yuda. "
Maka berceritalah Kartini bahwa malam itu ia nergi k e sebuah
pertemuan di rumah Bung Sura, sal ah seorang kawan "sefaham "
d i Gang Yuda.
Biarpun Kartini bukan anggota partai mereka, tapi ia sering
diajak oleh Bung Rusli untuk menghadiri pertemuan-pertemuan
sem acam i tu. Sebetulnya pertemu an-pertemuan itu biasa saja
tidak bersifat apa-apa yang khas. Hanyalah yang mengu njungi
nya biasanya orang-orang itu juga, dan soal-soal yang dipercakap
kan adalah soal-soal ideologi politik atau kejadian-kejadian se
h ari-hari yang penting. Akan tetapi segala-galanya dengan secara
mengobrol saja, artinya tidak secara rapat atau secara kursus.
Dengan cara demikian, m aka mereka mengobrolkan ten tang stel
sei stelse1 kapitalisme, feodalisme, sosialisme, komunisme dan
la i n-l ain.
Rusli biasanya berl aku. sebagai pembicara yang terpen ting.
Orang suka sekali mendengarkan uraian-uraiannya, karena sangat
jelas dan mu dah difahami , juga oleh orang-orang y ang tidak
begitu terpelajar. Memang, tujuan Rusli pun bukan m engemuka
k an kepandaian dan pengetahuannya, melainkan semata-mata
untuk memberi penerangan ten tang cita-cita politik y.ang dianut
nya. Tidak pernah ia berlagak-lagak memakai perkataan-perkata
an asing. Itulah m aka penerangannya pun sangat jelas seperti
gclas. Begitulah kata Kartini.
"Bagaimana menarik juga scm ua itu untuk nyonya? "
"Ah kenapa Saudara bHang 'nyony a'? Panggil sajalah 'saudari '. "
Sejak Kartini berbicara begitu bebas terhadapku ten tang pertemu an-pertemuan tadi itu, maka aku pun m erasa lebih bebas
_
82
. *)
85
9
a
Hari Minggu.
lendela-jen dela dan tingkap-tingkap kaca di seram bi muka
kubuka luas-Iuas. Hawa pagi sejuk, membikin segar segala. Sinar
matahari condong masuk ke dalam melalui jendela dan tingkap
tingkap. Aku berbaring-baring di at as kursi-kursi, dengan badanku
terpotong dua : dari perut ke kaki enak hangat dal am sinar surya,
dari perut ke atas dalam teduh. Lal at-Ial at benn ain-m ain, m e
lompat-Iompat di atas dan di sekitar kakiku . Enak j uga rupanya
benn ain-main dalam sinar matahari pagi itu.
Sejak mal am Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku seolah
olah terombang-ambing di antara riang dan bimbang. Riang aku ,
apabil a tcrkenang-kenang kepada Kartini yang sejak malam i tu
makin mengikat hatiku saja. Tapi bimbanglah aku , apabila aku
teringat-ingat kepada segala pemandangan dan pendirian Rusli,
yang sedikit banyakny a mempengaruhi juga pikiran dan pendirian
ku.
Hari Rabu dan Kamis aku ti dak masuk kantor. Salahku sendiri
juga. Kenapa dalam malam yang sedingin itu , aku jalan-jalan ke
luar dengan hanya berpakaian piyam a yang tip is saja sehingga aku
masuk angin?
Akan tetapi yang membikin aku sakit itu , mungin juga bukan
karena masuk angin saja, sebab dengan acetosal satu tablet pun
masuk angin itu sudah bisa hilang, melainkan boleh jadi juga di
tambah pula dengan kebimbangan dan kerawanan hati i tulah.
Sekarang aku lebih bayak lagi bersunyi-sunyi, mengunci dari
dalam kamar, atau bila di kantor tidak suka lagi bertamu ke meja
Dan ketika aku menolel; ke tangga, nam pak lah Rusli se dang
tertawa-tawa. Seperti biasa ia sangat rapi dan necis pa k a i a nnya .
Tapi lebihnya dari biasa terletak pada sehelai sapu tangan fantasi
dari sutra merah yang terjepit oleh sebuah vulpen tersusuk pada
saku atas baju gaberdinnya warna abu-abu. Se buah peniti mas,
berbentu k keris mengkil ap pada dasinya seperti sepatuny a pada
kakiny a.
"Asyik ngelamun, Bung? " tegurnya, sambil m asuk.
Aku tidak menjawab, hanya tertawa-tawa saja selaku tiap orang
yang dikejutkan orang lain dalam ngel amun. Malu, seolah-olah
orang lain i tu tahu apa y ang sedang kulamunkan.
Tapi sementara itu juga kupersilakan Rusli duduk .
"Enak benar rumah ini," katanya sam bil memu tarkan kepala
nya ke kiri, "cat dindingnya creme, enak untuk mata, (ke kanan)
jendel any a tepat memberi pemandangan y ang lapang ke Gunung
Tangkuban Perahu , (ke atas) sayang para-paranya bukan dari
eternit, (ke bawah) tapi wah tegelnya bagus mengkilap, pabrik
Iris punya, (kern bali memandang kepadaku) berapa sewanya? "
"Bibi punya,"
"Jadi saudara tidak usah sewa? "
" B ukan ! Saya menumpang pada bibi itu . "
"O ! " mengangguk-angguk.
tulnya saya datang ke sini , selain dari ingin tahu rumah Saudara
89
Tapi pada saat itu juga, Kartini sudah menjenguk dan dalam
.
rumah ke serambi muka.
"0 mari ! Mari masuk," tegurnya dengan ramah seraya mem
bukakan pintu . Pin tu terbuka, meluncurl ah pancaran senyum dan
tawa. Kami beIjabatan tangan, dan dengan tidak menunggu d i
..
tauteuil y ang besar model KeTo. Aku ditarikny a untuk m engam bil
temp at di sebelah nya, sedang Kartini kemudian duduk di atas
salah sebuah kursinya dari stelan Kero itu .
Aku sedikit kagum m elihat perkakas rum ah y a n g serba modem
dan serba mengkilap itu. Semuanya m erupakan stelan stu sarna
lainny a. Dan agaknya satu .stel pula dengan penghuninya, pikirku.
Stelan fau teuil temp at kami duduk itu ada d i bagian kanan dari
seram bi, dengan dipan yang kami duduki , rapat pada dinding,
sehingga aku dan RusH mempuny ai pemandangan sepenuhnya
kepada seluruh ruangan. Tempat "strategis", kata Rusli. Rapat
pada d inding sebelah kananku , berdiri sebuah p i an o. Sedang di
SUdllt dekat pintu kamar depan, ada sebuah meja teh yang ber
kaca. Di dalamnya terlihat stelan servis teh buatan Tsyeko Slowa
kia, dan di sudut l ain -lagi sebuah radio Phillips.
Kartini duduk membelakangi pin tu y ang ke seramb i tengah,
berhadap-h adapan dengan kami. Ia berp akaian p iy am a dari sutra
yang terdiri dari sebuah blus m odel kozak y ang berwama hijau
muda dan celana y ang warna kopi. Sandalnya dari kulit beranyam
merah putih . Rambutnya yang ikal dibelah dari kiri ke kanan dan
sanggulnya bertonggok lepas di atas tengkuk. Sebagai biasa bibir
nya merah dengan lipstick dan p ipinya dengan rouge, tapi tidak
berlebih-lebihan.
" Mari merokok ! " (riang tersenyum menyodorkan sebuah selapa dari
perak bakar yang berisi sigaret Mascot dan cerutu . Kemudian sambil
bangkit) , " Kopi susu atau coklat? "
"Saya kopi SllSU , " jawa b Rusli.
diperiksa amandelnya.
Aku bingung, sebab tidak mengerti, tapi akhimya turut juga
tertawa sambil pungak-pinguk seperti seorang anak sekolah yang
ditertawakan kawan-kawannya, karena di belakang punggungnya
diganteli kertas "boleh pukul".
"Maksud Saudara Hasan barangkali kopi susu , " kata RusH se
,"'"
susu. "
"Tapi saya kopi susu ," kat a RusH pUla.
"Ya itulah, saya juga kopi susu saja. "
Dengan masih tertawa-tawa, Kartini menghilang ke belakang,
memberi perintah kepada si Mimi. Tidak berapa l am a kopi susu,
'
dan kue-kue sudah keluar dibawa si Mimi.
"Mari saudara-saudara! Cicipi ! "
Kartini mau mengedarkan kue-kuenya, tapi dicegah oleh Rusli,
"Biarlah saj a, Tin ! Nanti kami ambil sendiri. l anganlah kita kaku
kaku seperti kaum feodal yang kolot! (kepada saya) Marl, Bung!
Kita hantam ! "
Temyata, bahwa Kartini sebagai nyonya rum ah sangat pandai
'
men ggembirakan para tamunya. Sambil m inum-minum dan m akan
kue, kami bercakap-cakap ten tang h al-hal yang sehari-hari saj a.
Dan entahlah, seolah-olah telah dirundingkan lebih dahulu , m aka
dalam percakapannya dengan aku , Kartini dan Rusli itu meng
ambil sikap yang sarna, mereka sangat berhati-hari rupanya, supaya
jangan sampai mereka mem bicarakan soal-soal y ang bisa menim
bulkan perasaan yang kurang senang bagiku atau perbedaan yang
mungkin menganggu suasana , hari Minggu i tu . Itulah rupanya,
menyimpang dari kebiasaan, m aka mereka pun hanya bercakap
cakap tentang soal-soal sehari-hari saja.
Pada suatu saat berkatalah Rusli, "Cobalah Tin, m ain piano
sebcntar. Saudara Hasan belum pernah mendengar kau main . "
"Ah tidak bisa," kata Kartini agak m alu-malu .
"Sebentar saja," kata RusH pula.
Kartini me nggeleng-gelengkan kepalanya. "Malu," katanya.
Tapi bisa kulihat bahwa dalam h atinya ia sebetulnya m au ,
m alah merasa megah diminta m a i n itu. lari-jarinya menokok-no
kok tangan kursinya. Dan hidungnya kembang, sedang m atanya
n ampak bersinar. Tapi seperti biasanya dengan orang y ang diminta
memperlihatkan kepandai annya, m aka ia pun menunggu sampai
91
"Ah kita ambil lagu yang mudah saja," kat a Kartini setelah
dilihatnya aku diam saja.
Maka mulailah ia menarikan jari-j arin.,va di atas piano. Kukunya
yang kemerah-merahan dengan cutex bergerak-gerak seperti buah
lobi-lobi yang m asak berlompat-Iompatan. Wals Strauss "Donau
Wellen " mengalun membuai-buai j i wa Kartini. B adannya turut
mengalun pula dalam irama l agu itu.
Rusli mendengarkan dengan khusuk. Matanya dipejam kannya.
Seperti orang yang sedang bertawadzuh saja, pikirku .
Bagus ! Bagus! Bis ! " kata Rusli sambi) bertepuk tangan , ketika
Kartini selesai deng"an mainnya. Aku turut bertepuk juga. Turut
berseru juga, "Bagus! Bagus! Bis! Bis ! "
Beberapa lagi lagu lain dimainkan oleh Kartini. Semuanya yang
ringan-ringan saja. Artinya menuru t pendapat Rusli. Kartini belum
sanggup memainkan yang berat-berat. Menurut pendapat RusH
juga.
Sesudah main piano, kami lantas beromong-om ong l agi. Juga
dal am hal musik dan seni umumnya, Rusli temyata m empunyai
pengetahuan dan pemandangan yang luas. Apa yang kuanggap
sebagai buah "kebudayaan kapir", oleh RusH disebut buah "ke
budayaan butjuis", yang katanya, dengan sendirinya akan hilan g
apabila masyarakat kapitalis sekarang sudah berganti menjadi ma
syarakat sosialis. Sebab, katanya pula, seperti cabang-cabang
kebudayaan lainnya seni dan musik pun adalah hasil masyarakat.
Masyarakatnya kapitalis, kebu dayaannya pun kapitalis. Demikian
selanjutnya. Begitulah kata Rusli. Dan . . . aku tidak begitu mengerti
akan uraiannya itu. Terlalu tinggi teori itu bagi k u.
Tapi kata Rusli pula, oleh karna m asyarakat sosialis itu se
karang belum ada pada kita, sehingga belum mungkin ada keseni
an yang dihasilkan oleh masyarakat demikian, m aka sebagai
seorang penggemar musik, musik burjuis pun bisa dinikm atinya.
Bisa kulihat pada matamu yang kaupej amkan tadi itu, kataku
dala:m hati.
Kartini pennisi pergi dulu ke belakang, m au menyediakan ma
kanan. Kira-kira jam satu , maka masuklah kami ke ruangan tengah
u ntuk makan.
"Wah makan besar! " kata Rusli, dan matanya dibelalakkannya
melihat sebuah meja yang penuh dengan tidak kurang dari sepuluh
macam makanan. Dan karena bentuk meja itu bundar, maka ke
luarlah pula ucapannya, "Konperensi meja bundar ini ! "
93
"Makan nasi meja bun dar! " Kartini menyahu t. Kami tertawa
semua.
Setelah kami duduk semu anya, maka dengan mengangguk se
dikit kepadaku (sebelah kirinya) dan kemu dian kepada Rusli (se
bel ah kanan) , Kartini mempersilakan kami mulai makan.
"Ya, marilah kita gempur," kata RusH. Dan dengan garpunya
mulail ah ia mengambil sepotong paha ayam .
"Ay o ! Jangan m alu-m alu ! " katanya pula kepadaku.
Kartini pandai sekali menyusun mejanya. Taplaknya putih ber
sih, baru dari benatu. Dernikian pula serbet-serbetnya yang masih
dalam lipatan, wama merah pu tih berkotak-kotak pinggimya.
Piring, sendok dan gelas rapi dan beres teratur pada tempatnya,
nya masih penuh dengan bihun goreng. Seperti mulut kuda penuh
rumput.
"Ya," sahu t Kartini tertawa, "memang ini pun dipesan dari
restoran Wang Seng. "
Aku turut tertawa juga, tapi tiba-tiba terdiamlah aku .
Wang Seng? Restoran Wang Seng? !
Mataku terpaneang kepada daging y ang ada di atas n asiku.
Kemerah-merahan
warnanya,
dan banyak
lemaknya.
Sekonyong
" Lagi pula saya pun tahu, bahwa Saudara Hasan itu seorang
kiyai. Masa kupesankan makanan dari sebnah restoran Cina.
Masa aku.... "
Belum juga habis Kartini bicara, maka menonjollah sudah aku
dari kamar. Kataku dengan sangat gembira, "Jadi tadi itu bukan
dari restoran Cina, Saudara? Bukan? ! "
Kartini dan Rusli terperanjat melihat aku itu. Kartini lekas
memburu, lalu dibimbingnya aku ke dipan tempatku tadi.
' 'Terima kasih! Terima kasih Saudara!" (menjatuhkan diri ke
atas dipan). "Jadi tadi itu betul-betul bukan dari restoran Cina?!
Bukan? ! Sunguh-sungguh bukan?!"
"Ah masa saya mau menipu Saudara? Saya pun tahu, bahwa
saudara seorang yang alim."
"0 maaf saja Saudara. Maaf! Saya sudah bikin onar. Bukan
maksud saya . . Sesungguhnya, saya merasa malu terhadap Saudara
berdua. Sekali lagi, janganlah berkurang-kurang memaafkan aku.
Saya menyes.a l. Saya terburu-buru...... "
97
BBSC
98
Bagian V
Hari Sabtu kantor-kantor pemerintah hanya bekerja sampai
jam satu siang.
Melancar sepedaku di atas j alan Merdeka Lio. Aku tak usah
banyak mendayung, karena j al annya mudun.
Alangkah ramainya di j alan. Apalagi di jalan Braga, "Urat
nadi masyarakat burjuis di Bandung, " kata Rusli.
Bennacam-macam kendaraan simpang-siur. Delman, m obil
demmo dan yang sangat banyak ialah sepeda, oleh karena kantor
kantor dan sekolah-sekolah semuanya baru bubar. Anak-anak
sekolah, guru-guru, klerek-klerek, komis-komis, sernuanya naik
sepeda. Hanya tuan-tuan besar, dari referendaris ke atas atau opsir
opsir, naik rno bil.
Seperti kendaraan yang bennacam-macam itu di atas aspal,
bersimpang siurlah pula bennacam-macam suara di u dara. Mem
bikin keadaan lebih rarnai l agi. Delman berkeleneng-keleneng,
m obil berdedot-dedot, sepeda berkerining-kerining. Dan seringkali
pula terdengar "Hallo Piet" atau Udag zus! " dari belakang stang
stirnya, yang segera disambut dengan "hallo! " kern bali atau ka
dang-kadang pula dengan " hou je kop, aap ! " *)
Aku tidak suka kepada keriuhan dan keramaian seperti itu.
Oleh karena itu aku tidak mengambil jalan B raga, rnelainkan rn em
belok ke kanan, kejalan Landraad, terus ke alun-alun, lewat Ban
ceuy.
Aku rnendayung dengan tenang. Tidak terlalu cepat, tidak pula
terlalu alon-alon. Fongersku sudah hafal j alan.
Sampai di depan mesjid, terdengarlah tiba-tiba dari tepi jalan
orang berseru-seru.
USan ! Saudara Hasan ! "
Segeralah aku rnenoleh ke arah suara itu. Maka d i antara orang
orang yang beratus-ratus berjalan di atas trotoir itu , nampaklah
'
kepadaku wajah RusH berseri-seri dengan tangan melambai-Iflm
bai rnemanggil aku. Dan di belaka dia kelihatan pula wajah
*)
"Diarr Iu
monyet ! "
99
Lain tamu lagi, seorang laki-Iaki yang setengah putih ram but
nya, yang rupanya sedang mencoba meyakinkan istrinya, bahwa
ia bend kepada perempuan-perempuan yang modern, berhenti
untuk melirik sebentar dengan ekor matanya ke arah Kartini.
' 'Teruskan biearamu ! " bentak istrinya.
Kami mengambil tempat di sudut y .:,g mejanya agak j auh
terpisah dari tamu-tamu lain oleh deretan meja-meja yang masih
kosong. Jongos memburu dengan sebuah menu dan bloknot dalam
tangannya.
"Hai Rus! "
Tiba-tiba terdengar seruan itu melayang dari sudut belakang
,
101
"
"
Mengapa seorang bujang yang karena mem bikin sembah saja harus
ditempeleng? Sungguh aneh orang ini, pikirku .
"Nee zeg, weg met dat mensonterende feodalistisch ged oe*)
(membanting tusuk giginya). En weet je, lain kali lagi saya terang
terangan berkata begini kepada ayahku sendiri . Ayahku, kau tahu
Rus, dia seorang bupati. Jadi seorang fenrlalis nomor wahid,
bukan? Nah, dengan terang-terangan kukatakan begini kepadanya.
"Pa, tidakk ah Bapa merasa diri seperti seorang raja dari ke toprak,
kalau Bapa dengan berpakaian kebesaran model kuno itu di
payungi oleh seorang opas? Kenapa Bapa mesti dipayungi orang
lain? Pa yung toh satu barang yang ringan, bisa Bapa pegang sen
diri. Dalam mata saya, semua itu sangat lucu, Pa ! " (menoleh ke
padaku). Bagaimana pendapat Saudara? (kemu dian m en oleh
kepada Kartini). You m iss Tini, what's your opinion? It is ridicu
lous, isn't it? * *) (mengedip). Sesungguhnya, dalam mata saya,
semua itu sangat lucu . Kehormatan, katanya. Pada hal dat is toch
gewoon badutisme, nietwaar? * * *).
Dari sebuah meja lain, seorang tamu mendelik-delik matanya.
Mendelik-delik seperti mata ikan gurami. Rupanya ia seorang
pegawai Pamong Praja m odel kuno.
"Ha! Gado-gadoku datang! " teriak Anwar.
D engan Iincah j ongos menaruh segala makanan dan minuman
yang dipesan. Mej a terlalu kecil. Diseret lagi sebuah mej a yang
lain.
"Ayo, kita mulai saja," kata RusH, setelah j ongos selesai.
"Marilah kita makan seperti buruh tani yang kclaparan", kata
Anwar sambi! mengaduk-ngaduk gado-gadonya dengan sendok
dan garpunya.
"Ya, sam bung RusH. Jangan seperti kapitalis yang h arus makan
m akanan kaum prole tar. "
Mereka makan sangat gelojoh. Terntama Anwar. Ia m akan
seperti kuda. Rupanya karena memang ia yang paling lapar, sebab
makannya pun paling cepat pula selesainya.
"Coba keluarkan dulu rokoknya, Bung! "
Rusli yang masih menguyah kerupuk Palem bang, merogoh
dulu p ak sigaret barn dari dalam kan tongnya.
*)
* *)
** *)
1 03
"Ini sudah habis! " sam bung Anwar, sambil meramas bungkus
rokok yang sudah kosong y ang lalu dibantingnya ke lantai.
Anwar mengambil satu batang dari rokok Rusli. Kemudian dari
kantongnya sendiri diam bilnya se buah tube keeil.
"Apa itu? " tanya RusH, sambil memasukkan suapnya yang
penghabisan.
"Madat," sahut Anwar, seraya mengelus-elus zat yang hitam
itu kepada batang sigaret yang hendak dirokoknya itu.
Kami bertiga
memperhatikan
Orang
104
fl
1 05
'
Sam bil berkata dem ikian itu , ia melihat ke arah jo ngos yang
lincah melenggok-lenggok cJi antara kursi-kursi dan meja-meja,
mem buru ke drah kam i . "Minta air teh , Tuan? "
"Ha ! Zie je ! (memu kul mcja sambil melihat kepada Kartini).
Toh sa araku masih kufang keras juga! fa bertanya juga . . . .
( kepada j ongos). Va, air teh satu gelas! Lekas! "
J ongos bergegas ke belakang.
Selingan air teh itu berlangsu ng beberapa menit . Tapi sem entara
itu pjkiranku masih terikat juga kepada keterangan Rusli tadi itu .
"J adi pada hemat saya" begi tulah RusH mulai lagi pembicara
annya tadi , "kiasan tiang atau obor yang biasa kita dengar itu,
dengan kiasan m ddat dari Marx, pada hakekatnya sarna saja.
}\ed ua-duanya hanya kiasan semata. Bagaimana pendapat Sau
dara? "
Aku tidak menj awab . Terasa olehku Kartini memandang aku.
Anwar m engepu l-ngepulkan asap dari rokoknya . Rupanya per
hatiannya sudah berpindah kepada tamu-tamu yang eluar-masuk .
"Lillat, montok seperti Mae West , " katanya mengungkitkan
dagu nya ke arah perempuan gemu k yang barn masu k diiringi oleh
suam inya.
"Tapi sem entara itu , sau dara-sau dara, tidakkah sudah tiba wak
tu nya kita pulang? " tanya Kartini seolah-olah menghitung-h itung
bdhwa saat itulah yang setepat-tepatnya u n tuk menyetop per
debatan.
"Aku m esti tu nggu air tehku dulu , " kata An war.
"0, ya. Tapi kam i pergi duluan saja ya! " ujar Rusli. "Di mana
kau m enginap? "
"Sementara in i di rumah seorang paman di Kaca-kaca Wetan.
Tapi besok atau lu sa mu ngkin aku datang ke ru m ahmu . Bersama
koporku ten tu . Rumahmu kan besar, bukan? "
"Boleh.! sahu t RusH pula. "B aiklah ! ( bangkit). Sekarang kami
pergi dulu an, ya. "
Setelah selesai semu a bon dibayar ol eh RusH, maka kam i pu n
min ta diri dari Anwar. Dan ketika kam i hampir sampai di am bang
pintu ke lu ar, berteriaklah pula Anwar, "Hai Rus! Bonku sudah
dibayar juga toh? "
"Ah , seperti aku tidak kenal kau saja," sahu t RusH berolok
olok, sam bi) m engedipkan m atanya sebelah.
"All righ t ! All righ t! (setengah menyanyi sambil jari-jarinya
menokok-nokok meja). Hai jongos! Mana air tehku? "
1 06
'"II
Bagian VI
l.
108
(f
rnu dah saja ia terpikat dan dibawa I ari. Dibawa Iari seperti seekor
burung yang sudah lama menunggu kurungannya terbuka.
Tapi sang suami yang pertam a itu kemu dian ternyata tidak setia
(barangkali karena i tulah bibi itu selalu men:tperingatkan aku,
bahwa tabah dan berani itu tidak berarti bahwa aku tidak usah
berhati-hati) . Si bibi itu lantas lari dari dia . Lari , tapi tidak mau
dibutuhkan
benar
pertolongan
bibi
itu .
Akan
tetapi
orang itu tidak seperti kakak beradik. Seperti dua orang "ber
sahabatan"? Va, kira-kira begitulah. Semacam dua oran bersa
habatan. Akan tctapi, mungkinkah ada persahabatan antara se
orang laki-laki bujangan dengan seorang janda muda, dengan tidak
mengandung perasaan-perasaan yang !ebih mendalam dari cuma
perasaan persailabatan saja? Ah nonsens, aku tidak percaya akan
adanya persahabatan demikiaTl.
Kad ang=kadang aku merasa sebal memikirkannya. Terbayang
bayang olehku, bahwa persahabatan semacam itu tentu tidak
lepas dari perbuatan-perbuatan yang keji, yang h aram, yang kotor.
Dalam keadaan demikian aku ingin sekali melepaskan diri dari
cengkeraman pergaulan kedua orang itu. Akan tetapi ternyatalah,
bahwa tali asmara tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Kartini pun rupanya sudah merasa pula apa yang terkandung
dalam h atiku itu. Kadang-kadang ia suka pul a mem bikin aku
cemburuan, terutama terhadap RusH. Dalam saat-saat demikian,
maka aku pun selalu berdaya upaya un tuk menyembunyikan pe
rasaan cemburuanku itu. Akan tetapi kadang-kadang serasa dari
kaca kulit mukaku ini. Tak sanggup m enyembunyikan api yang
menyala di belakangnya.
Akan tetapi Kartini bukan seorang wani ta yang su dah banyak
pengalamannya, kalau ia tidak b isa membujuk-bujuk, membelai
belai lagi hatiku , sehingga cemburuku itu lantas berbalik menjadi
perasaan kasih yang lebih mesra lagi.
Pendek kata, makin lam a aku bergaul dengan dia, makin tum
buh cintaku kepadanya, dan makin besar pula pengaruhnya atas
d iriku. Dan melalui dia, pengaruh RusH.
1 10
Bagian VII
1
berdiri hendak menyodorkan kursi. ada pula yang duduk saj3 tapi
tertawa riang.
Kartini mencari tempat dekat ketiga wanita itu, sedang aku
d iberi kursi di samping Anwar, yang menggeserkan kursinya se
dikit ke pinggir un tukku. Mulutnya menggigit sebuah pisang go
reng. Ia ternyata sudah dua hari itu pindah ke rumah RusH.
Ketiga wanita dekat Kartini itu adalah istri Bung Yahya,
Bu ng Mitra, dan B ung Ramli yang juga turut had ir pada perte
m nan itu.
" Ini Bung Parta dari Garut, " kata RusIi memperkenalkan seorang
laki-Iaki yang kira-kira 38 tahun umurnya, yang du duk di sebelah
nya, kepada Kartini dan aku . "Bapa kita semu a. "
Sambil beIjabatan tangan Bung Parta tersenyum-senyum .
Senyum gad is yang senang karena dipuji cantik.
Kawan-kawan yang lain sudah kuken aJ. ; mereka sudah biasa
datang ke rumah RusIi, di antaranya B ung Suma, Bung Gondo
dan Bung Bakri. Ketiga kawan ini adaJ ah bekas pegawai pemerin
tah jajah an. Ten tang riwayat hidup mereka telah kuketahui dari
Rusli.
111
1 12
1 13
kenapa
115
:-
....
..
..
'-
i , .""
, " . . .
,/
,......
.......
....,..
",
-'
..,
[ill :/
...-
'"
./ ,-
/'
"..
. /
."
If .
"-
&
Bermacam-macam pcrasaan....
1 16
1 17
1 19
Mengeluh
ia
serta
sambungnya,
"Karban
kapitalisme !
121
mu?"
. "Ah memang kami suka mengemukakan kepada orang lain,
merasa seperti adiknya, dan dia seperti kakak saya . Dan . . . . (diam
sebentar). Dan dia adalah pelindungku. "
"Pelindung? "
Maka diceritakannyalah kepadaku apa yang telah kudengar
dulu dari RusH ten tang riwayat hidupnya, tentang ancaman dan
gangguan dari keponakan Arab tua itu.
Pada akhirnya berkatalah ia, "Jadi perhubungan dengan Bung
Rusli itu, hanyalah sebagai kakak-beradik semata-mata. "
Aku
tetap tidak
percaya akan
perhubungan
" kakak-beradik"
mungkinnya per
menjadi
1 2'3
.A
.
-
.
.
\
Mengapa tidak suka memanggil aku Tin ...
1 25
Bagian VIII
Memang benar kata Rusli, bahwa hidup itu adalah untaian
perubahan, tak ada yang diam, tak ada yang kekal, melainkan
berganti-ganti, berubah-ubah terus, bergerak terus. Panta rei,
seperti kata Herakleitos, mengalir terus.
Sejak malam di taman itu, aku pun sudah merasa menjadi
seorang manusia baru lagi. Dunia pun sudah berganti pula bagiku.
M akin indah. Makin riang. M emberi harapan. Memberi bahagia.
Sesungguhnya, alangk ah bahagianya bercinta.
Tapi kini aku bukan lagi hanya bercinta saja, tapi pun tahu,
bahwa aku dicintai kembali .
Dan itulah agaknya yang disebut bahagia sejati : bercinta d an
dicintai.
Dengan merasakan sedalam-dalamnya akan kebahagiaan sejati
itu, maka m engertilah aku, mengapa para nabi besar seperti Budha,
Jezus, Muhammad , dan pada j aman modern sekarang ini Gandhi,
di antara seluruh umat itu , akan berarti bahagia yang lebih sej ati ,
1 27
pemah
capai
apabila seluruh
umat
manusia ci'nta-mencintai
dan
kasih
mengasihi. Bila hal itu baru hanya berlangsung di antara dua orang
- saja seperti halnya antara aku dan Kartini maka bahagia semacam
itu b elum lagi cukup, belum lagi sempuma.
Dan teoriku itu dibenarkan oleh praktek yang nyata.
Di dalam k ebahagiaanku berkasih-kasihan dengan Kartini itu
ada suatu gangguan yang bagiku laksana pasir di atas n asi p utih
yang sedang kunikmati.
Maksudku adanya Anwar dalam pergaulan kamL
Anwar rapat bergaul dengan RusH , malah serumah dengan
Rusli. Oleh karena kami suka datang ke rumah Rusli , maka mau
tak mau dengan Anwar pun terpaksalah kami bergaul dengan
agak rapat j uga. Akan tetapi, entahlah, terhadap Anwar itu , sejak
mulai berkenalan di restoran dulu, tidak pemah aku menaruh
perasaan simpati k epadanya . Selalu ada semacam penghalang di
antaraku dengan dia itu, sekalipun tidak bisa dngan pasti kukat a
kan , apakah yang menjadi penghalang iu : bend, iri, dengki,
cemburu? Entahlah mungkin salah satunya, mungkin pula semua
nya. Mungkin juga hal itu dilantarankan , karena kesan pertama
dari pada dia kepadaku sudah menimbulkan perasaan yang tidak
enat , yaitu jilatan matanya kepada Kartini dan scgala gerak-gerik
nya, sampai-sampai k epada sikapnya mengemukakan dirinya
sebagai Tuhan.
Tapi di samping itu, yang terutama merenggangkan hatiku dari
dia itu , ialah caranya ia mengambil sikap terhadap segala sesuatu
di dalam pergaulan hidup. Untuk dia seolall-olah tak ada yang
baik, tak ada yang benar. Harus dirombak semuanya, harus dihan
curkan. Apalagi segala tali-temali yang dipandangnya mengikat
diri dan pribadi individu, baik tali-temali yang berupa adat-isti
adat yang dipandangnya hanya untuk rrtenjamin kekuasaan klas
feodal dan kolonial melulu , maupun tali-temali yang diadakan oleh
1 29
1 30
Bagian IX
Kami, Anwar dan aku , dijemput dengan sebuah delman yang
sengaja dikirim oleh ayahku ke halte Wanaraja. Dengan delman itu
kami dibawa ke kampung Panyeredan, kira-kira lima kilometer ke
atas.
Beberapa hari yang lalu, aku bercerita kepada Anwar, bahwa
aku hendak menengok orang tuaku di Panyere dan . Aku mengata
kannya begitu saja dengan tiada maksud apa-apa. Tidak mengira,
bahwa Anwar mau ikut. Tentu saja orang "mudah" seperti aku
sukar menolak permintaannya itu.
"Biarlah aku jadi kusir, Kang! " kata Anwar sambil merebut
kendali dan tangan k usir serta menyuruhnya duduk di belakang
bersama-sama aku.
Sepanjang jalan Anwar memegang kendalL Dicambuknya
kuda berkali-kali, sehingga ia lari cepat-cepat di at as aspal.
"Hus! Husss! ! ! " teriak Anwar dan kakinya memijak-mijak bel
seperti seorang drummer yang bermain lagu hot. Orang-orang
yang lewat beterbangan ke pinggir seperti ayam ketakutan. Anwar
tertawa gembira. Tapi sebaliknya aku cemas-cemas menahan
napas. Takut delman akan terbalik atau menabrak tukang j ualan
sirop .
. "Pelan-pelan, War ! " teriakku, kalau Anwar melarikan kuda
nya seperti Caesar mengejar fentara Cleopatra.
Tiba-tiba Anwar menyetop k udanya. Tersentak-sentak kuda
menahan cepatnya. Kakinya bergelosor di atas aspal. Hampir
terpelecok . Busa bercipratan dari mulutnya.
Mau apa tiba-tiba menyetop, pikirku keheran-heranan.
" Kebon siapa ini, sir?" ia bertanya, sesudah kudanya berhenti,
sambil menunjuk ke sebuah kebon jeruk tepi jalan yang lebat
buahnya dan sudah banyak yang kuning.
" Kebon Haji Kosasih,Tuan ! "
"Ah jangan sebut Tuan, dong! Bung saja ! Bung Anwar! Begitu
namaku ! Ya ! "
Kusir heran bercampur malu .
"Banyak kebon haji itu?" sambung Anwar.
131
"Banyak juga."
"Kalau begitu ia kenyang akan jeruk."
Kusir tertawa seraya kata n ya, "Masa dimakan semua, Tuan ! "
"Ah Tuan lagi, Tuan lagi! Tidak ada Tuan , semua saudara,
semua sarna, sarna-sarna manusia, tahu ! Say a sarna bung kusir
sarna anak jajahan, jadi sama-sama saudara."
Kusir t ertawa heran. Demikian juga aku. M emang kadang
kadang aku heran akan pendirian Anwar itu . Seringkali ia tidak
k onsekwen. Ia menganggap dirinya Tuhan, tapi kenapa ia meng
anggap orang-orang lain sebagai "sesamanya"? Barangkali ia mau
konsekwen dalam arti anarkhismenya, dalam tidak beraturan dan
tidak berketetapannya. Entahlah.
"Untuk apa haji itu tanam jeruk b anyak-banyak? " tanya An.
war pula.
" Heheh, tentu saja untuk dijual. Dan ini pun sudah dijual.
"Dikemplang" kata orang di sini. Artinya dijual sedang buahnya
masih keeil, kadang-kadang malah masih b erupa b unga. Diju
alnya dengan harga borongan k epada tengkulak-tengkulak ."
"0 kalau begitu, j eruk itu bukan kepunyaan h aji itu lagi. "
" Bukan lagi. Sekarang sudah kepunyaan tengkulak haji Ramli,
atau seben amya kepunyaan si A Heng."
"Si A Heng? Siapa si A Heng tu?" tanya Anwar pUla.
"Babah yang punya modal; y ang menyuruh tengkulak-teng
kulaknya memborong jeruk-jeruk dari daerah ini dengan jalan
dikemplang tadi itu. Si tengkulak-tengkulak itu sebetulnya hanya
kaki tangan dari Cina yang punya modal itu.
D alam pada itu Anwar sudah loneat dari delman dan mengem
balikan kendalinya k epada kusir. Dengan beberapa langkah ia
sudah tiba ke pinggir pagar k ebun j eruk itu, dan d engan satu lang
kah saja ia d engan kakinya yang panjang seperti Uncle Sam , sudah
ad a di dalamnya m emetik buah-buah jeruk dengan semena-men a
seolah-olah kebun itu kepunyaannya sendiri.
Kusir melongo saj a k eheran-heranan , sedang aku tertawa.
'
Sebentar kemudian Anwar sudah k embali lagi dengan semua
kantong bajunya dan eelananya serta k edua b elah tangannya
penuh d engan buah jeruk .
"Nah ! Mak anlah !" katanya sambil m elimpahkan buah-buah
jeruk d ari k an tong-kan tong baju d an eelananya ke dalam delman.
"Toh k apitalis punya ! " (menggerutu), k emudian sambil mengu
pas y ang paling besar, "Jalan , sir ! "
1 32
"Curi dan curi ada dua macam, Bung! " ujar Anwar, seolah
olah m au membenarkan tindakannya. "Mencuri dari penindas
halal !"
Di sini Anwar memperlihatkan lagi tidak konsekwennya.
Agama Islam dicelanya. Dinamakannya "agama buIjuis", karena
tidak melarang pedagang merdeka, konkirensi merdeka yang bisa
mengakibatkan bertimbunnya kekayaan dalam beberapa tangan
kapitalis saja. Tapi kalau ia mencela "perdagangan merdeka" ,
kenapa ia tidak mencela "pencurian merdeka" seperti yang dilaku
kannya itu? Kenap a agama Islam dicelanya, tapi kenapa dirinya
sendiri tidak? Itukah barangkali akibat pendiri annya yang meng
anggap dirinya Tuhan?
Sedang aku berpikir-pikir demikian itu, Anwar masih terus
mengunyah-ngunyah jeruknya.
Ayah sedang mcmbaca kitab "Illya Ulum Adin " di serambi
muka, ketika delman berhenti di muka rumahku . Bila dilihatnya
kami d atang, m aka bangkitlah dia dengan segera sambil mencopot
kacamatanya. Berseru-seru dia, "Bu, Ibu ! Ini anakmu datang! "
Ibu menonjol dari dapur. Pada tangan kirinya berayun-ayun
sebuah sinduk sayur.
"Tim ! Tim ! Ini kak akmu datang ! "
Fatimah, adik pungutku, menonjol pula dari kamarnya. Ketiga
orang itu memburu ke halaman, memancarkan sinar matahari
pagi dari masing-masing wajahnya.
Aku lekas membungkuk-bungkuk bersalaman secara Sunda
dengan Ayah dan Ibu, yaitu dengan membikin sembah dulu.
Anwar mengangkat bahu melihat aku membikin sembah.
"Anwar, Pa, seorang ternan baru . "
Ayah mengulurkan tangannya hendak bersalaman . Anwar
menyambutnya secara intemasional dengan tangan sebelah.
Begitu pula terhadap Ibu dan Fatimah . Kerlua, orang tua itu
1 33
Aom -
1 35
1 36
scperti peluru dari mulut mitraly ur. Ditujukan semua kepadaku. Kepada hatiku !
Tapi tenang saja kujawab , "Memang aku pun tahu, bahwa
aku bermain sandiwara dengan diriku sendiri. Tapi itu terpaksa."
" l tulah yang kubenci. Main pura-pura, dan menipu diri-sendiri.
Dan kalau dicela, cuma mengangkat bahu sambil menj awab ; ya,
karena terpaksa."
"Tapi aku tidak mau menyakiti hati orang lain. Apalagi orang
tuaku sendiri. Mercka sudah tua."
" Ya, itulah kelemahan Saudara. Saya berpendirian lain . Saya
mau berterus terang dalam segala hal. Dan terhadap siapa pun juga.
Kalau berterus terang itu menyakiti hati orang lain , itu pun bukan
salah saya. Itu salah yang menerimanya saja. Sebab maksudku
bukan mau menyakiti hati orang lain. Maksudku hanya berterus
terang saja. Konsekwen berterus terang. Dan berterus terang yang
konsekwen itu bertentangan dengan main pura-pura, main sandi
wara, main menipu diri sendiri."
Peralihan "aku" menjadi "saya" dan "engkau" menjadi "sau
dara" terasa benar dalam hatiku . Anwar nyata merasa kecewa.
Tapi biarpun begitu , aku masih menjawab j uga:
"Ya, tapi dalam hid up ini segala-gala lneminta cara. Sikap ber
terus terang yang baik tidak identik dengan k urang ajar, atau de
ngan cara lain yang menyinggung hati orang lain ! "
Anwar diam. Entahlah, karena perkataanku itu barangkali me
resap j uga ke dalam hatinya, atau mungkin juga, malah karena ia
merasa terlalu "benar" untuk berdebat terus dengan aku .
Aku pun tidak berkata apa-apa- Iagi. Tunduk saja di atas tempat
tidur dengan kedua belah kakiku berjuntai ke bawah. Anwar se
tengah d uduk di atas meja kedl depan jendela dengan kakinya
yang kiri berjengket di atas lantai. Bersiul-siul lagi ia. Membuang
pandangan lepas ke luar jendela.
Walaupun aku mentenang-tenangkan hatiku , namun perkataan
Anwar dan seluruh sikapnya itu , membikin aku agak bimbang.
ATHEIS 10
1 37
Ayah,
Ibu dan
Fatimah .
Kira-kira pukul sepuluh, barulah kami pun mencari tem pat tidur
masing-masing. Fatimah membereskan dulu meja yang penuh de
ngan mangkok, stoples, puntung rokok dan k ulit pisang.
Anwar sudah mendengkur, ketika aku masuk . Aku merayap
ke sampingnya, membungkus diri dalam selimut. Maklum hawa
malam di gunung. Anwar merongkol seperti arit. D , ketika tak
sengaja kusinggung punggungnya dengan sikut maka memanjang
lah arit itu menjadi linggis. Tangannya memeluk bantal di bawah
kepalanya, sehingga linggis menjadi palu .
Aku tidak bisa memejamkan mata. Hati dan pikiran mengait ke
Bandung. Ke Lengkong Besar. Baru sekali ini aku meninggalkan
Kartini.
Kira-kira pukul dua belas, aku belum juga tid ur. Hanya meng
uap makin sering. Oi kamar samping kudengar Ayah bersembah
yang. Salat taat. Pad a akhirnya kudengar dia berzi kir.
Lai laha i l la l lah ! Lailaha i l lal la h ! M akin lama makin cepat . Makin
cepat makin keras.
1 38
orang berzikir
sekeras
itu .
Dalam
1 39
141
" Jangan pergi! " kata Anwar, menarik Pak Ahim pada lengan
nya. Kainnya yang tidak diikat dengan sabuk , lepas, sehingga
kakinya hampir terjerat olehnya. Semua itu samar-samar masih
bisa kulihat dalam eahaya bintang yang beribu-ribu berkedip
kedipan di langit hitam.
"Ah, biarlah bapa duduk di atas dingklik itu saja. "
"
naik dari mulut ke bawah, dari bawah ke mulut. Tiap kali dihisap,
hidung masing-masing menjadi merah.
Pak Artasan, suara geram tadi itu , ternyata bukan saja pandai
memb entak , tapi juga pandai mendongeng. Dongeng-dongeng si
Kabayan dan Abunawas banyak dikenalnya. Juga ia meneeritakan
pengalaman-pengalamannya ketika keeil yang sangat lueu. Aku
sangat suka mendengarkan orang kampung yang sederhana itu
mendongeng. Aeapkali kami meletus dalam tertawa yang berderai
derai di malam sunyi, sehingga sampai ke kampung, dan membikin
anjing-anjing di kampung menggonggong-gonmong.
"Sayang orang ini anak jajahan," kata Anwar kepadaku dalam
bahasa Belanda. "Di negeri yang merdeka ia bisa mengembangkan
bakatnya yang lueu itu sebagai seorang Bernard Shaw atau Pallie
ter."
Siapa kedua badut yang lueu itu , aku tidak tahu. Setahu aku
Chaplinlah yang paling terkenal.
Mendengar Anwar berbahasa Belanda itu , Pak Artasan agaknya
pungak pinguk saja, seperti si Piet mendengar si Husin ngomong
Sundae
"Pak, mau tUTUt saya ke Bandung? " tanya Anwar.
"Ah berabe, Den ! Anak saya ada selusin, masih kecil-keeil
semuanya. "
Menurut keterangannya, Pak Artasan sudah kawin empat bel as
kali, dan Pak Ahim yang lebih muda baru delapan katie Anwar
merasa h e ran mendengarnya, tapi segeralah katanya, "Ini adalah
1 43
*)
144
Perlontean berkedok.
,.
Manteranya.
145
bapa
tidak
lupa
lagi,
pertengahan
Ruwah
ia
mulai
sakit dan meninggal kira-kira akhir bulan Sawal. Kau masih ingat
j uga Ahim, kira-kira begitu, bukan?"
"Ah, kalau begitu itu kan penyakit tipus," kata Anwar kepada
ku dalam bahasa Belanda." Sorry, m ereka itu seharusnya mem
bawanya ke dokter, tapi mereka takut sarna d okter. Dan dokter
pun begitu jauh. Dan mahal lagi ! Verdomd ! Beroerd , zeg! Wat'n
toestand - Wat'n toestand - Alles en overal nog Middeleeuws onder
ons volk. ! *)
Itu harus kita brantas lekas-Iekas ! Segala ketahyulan pada bang
sa k ita itu ! Revolusi jiwa ! Revolusi dari kebodohan kepada kepin
taran, dari kegelapan ke dunia terang. Potverdorie, we moeten
van deze halve karbouwen mensen maken, echte individualisten,
intellectualisten, anarchisten desnoods!* * ) Seperti aku yang tidak
mau terikat lagi oleh apa saja yang bisa mengikat jiwaku sebagai
individu. Dan meinang, kit a semua harus menj adi anarkhis. Harus
membasmi segala norma dan ikatan yang membelenggu hidup
kita sebagai man usia. Segala kepercayaan dan ketahyulan yang
menggelapkan pikiran kita (kepada Pak Ahim yang duduk di sam
pingnya). Eh . : . di mana Bapak melihat si Jambrong itu? ! "
" Eh,
. eh, sebetulnya saya sendiri tidak melihat , tapi.. . .. "
"Nah you see, begitulah selamanya. Mereka tidak melihat
send iri (kembali kepad a Pak Ahim). Tapi bagaimana menunlt
orang-orang yang katanya sudah melihatnya itu? Di mana si J am
brong itu? ! "
"Di kuburan G arawangsa. Dan tidak pada sembarangan waktu
bisa bertemu."
" Kapan saja?"
"Pada malam Jumat atau malam Selasa."
..
*)
**)
Sungguh buruk se kali ! Keadaan yang sangat buru k ! Pada bangsa kit a
segalagalany a masih seperti d alam abad pertengahan .
Mahl ukmahluk setengah kerbau itu harus kita bik in manusia-manusia,
ind ividualis-ind ivid ualis,
intelektualisin telektualis,
146
materialismaterialis
Pohon Ara.
147
1 49
1.50
3
Esok harinya kami
kesiangan.
Matahari sudah
sepenggalah
be-be- beee !
kuburan itu kira-kira ada dua meter lebih Dekat nisan sebelah
kepala, ada sebuah pendupaan, yang penuh berisi dengan abu dan
ruhak arang. Basah. Di samping itu, sebuah tempurung yang
"
seperempatnya berisi air. Air hujan rupanya. "Inilah kuburan si
Jambrong itu! " kata Anwar dengan bertopangkan tan gan di ping
gang. "Hai Jambrong! Ini kami ! Dua putra Embah yang ingin
meiihat wajahmu yang kata orang seperti muka singa galak itu !
Haha ! "
Anwar tertawa. Aku tertawa kecii'. Entahlah, sekarang aku
.
Setelah Anwar merasa eukup melihat-lihat kuburan itu, dan
set-e lah dirasainya eukup pula memanggil-manggil Embah Jam
brong yang tidak muneul juga itu, maka kami pun mening galkan
. tempat istimewa itu. Sebelum berangkat, pendupaan disepak dulu
juga. Kuburan itu-itu juga. Dan tadi malam kami berempat orang.
sedang sekarang cuma berdua. Alhasil, menurut pikiranku, tiada
lain yang menjadi sebab aku takut itu, ialah oleh karl!na tadi
malam gelap. Dalam keadaan gelap orang menjadi takut. Ta,i
sebaJiknya, datam keadaan terang, oran tidak takut.
ATHEIS 1 1
I S3
lagi sebagai
"penambah pengetahuan dalam nafsu mau tahu
se mua", namun kedua-duanya adalah sarna kesirnpulannya, ialah
bahwa Tuhan itu adalah bikinan man usia sendiri.
Dan sesudah kualami pengalaman dengan "peristiwa Embah
Jambrong" itu , ..setelah kualami perbedaan perasaan yang timbul
karena perbedaan keadaan malam dan siang, gelap dan terang,
atau tidak tahu dan tahu, maka harus sangsikah terus aku akan
kebenaran kesimpulan kedua kawan itu?
dan ketidakberuntungan
BBSC
I SS
Bagian X
Kereta
api
merayap-rayap,
seakan-akan
segan
ditumpangi
1 56
I S8
Pada m asa tuanya mereka maslll harus mendapat puk ulan yang
begitu getir. Dan notabene dari anaknya sendiri ! Sedang sebabnya
cuma karena
ak u
tidak
t uak u send iri. Tapi m aksud baik bisa h ilang sarna sekali oleh eara
yang tidak baik , oleh cara yang tidak bij ak sana, oleh cara yang
kurang
aj ar.
St\sungguhnya,
cara
itu
alangkah
pentingnya
di
dalam hidup.
Demikianlah aku bercak ap-cakap send iri d i d alam hatL M encela
sikapku yang sudah lalu.
Kuperlihat kan
karcisku .
Dan
setelah
d i bol ak ba l ik nya ,
-
maka
Tapi oleh karena dia itu dari keeil bersama-sama hidup dengan
ak u , m ak a sudah tak terasa lagi olehk u , b ahwa dia itu bukan adik
gad is, anak seo rang menak kepad aku . Aku tolak , karena cintaku
itu mau m encoba lagi me ngaw inkan aku dengan gadis yang d i
setuj u inya, se telah mereka tahu, bahwa Ruk mini itu sudah ada
pe nggantiny a , ya itu Kartini.
Tc r b a y a ng baya ngla h
-
wajah
1 59
sampai
kepada
Kenapa
dapat d ibuk tikan itu adalah ciptaan khayali manusia belaka dalam
'
itu cuma penam bah belaka
bordes. Kad ang-k adang pin dah ke gerbong lain, mengobrol d engan
mutar stang remnya. Dan kalau t idak keburu d itegur oleh tukang
rem , "j angan tuan ! " maka bisa j adi kereta api yang melun eur
nya lagu "Di Tim u r matah ari ". J elas-j elas ia menyanyi, " Di Timur
1 60
perintis jalan? Tidak tahu? lalah, bah,wa orang tua itu tidak
selamanya benar. Liliat saja kepada Nabi Muhammad! Ayahnya
161
... )
1 62
2
Tidak tetap langkahku , ketika malam itu kira-kira pukul tujuh
ak!J . berjalan ke rumah Kartini di Lengkong.
Kucurahkan segala isi hatik u , ketika ditanya mengapa aku
begitu sedih. Sungguh sakti kata hati seorang kekasih sebagai
peJipu r lara. Alangkah bedanya kesaktian kata-kata Anwar tadi
di kereta api, dan kata-kata Kartini sekarang.
Sebimbang aku berjalan ke Lengkong Besar, seringan aku ke
mudian pulang. Pulang setelah tiga jam kurang-Iebih aku dibuai
buai dalam kemesraan berkasih-kasihan dengan kekasihku itu.
Pulang setelah ada sesuatu yang ' menetapkan hatik u , setelah ada
putusan yang membulatkan tekadku .
Memang, seperti jasadku ' dengan tetap menuj u kc rumahku ,
demikian pula tekadku sekarang menuj u ke suatu tujuan yang
pasti, yaitu kawin selekas mu ngkin dengan Kartini .
Masih terdengar suara kekasihku yang lembut dan mesra "aku
mau" , ketika aku menanyanya dalam peluka'n.
1 63
Kami
kawin
dengan
sangat
sederhana.
Sebagai "perayaan"
1 64
Bagian XII
Wak tu beredar terus. Dan tak bosan-bosannya manusia meng
hitungnya. Hari dijum lahnya menjadi minggu . Min ggu dikumpul
kannya menjadi bulan . Bulan ditumbah-tambahnya, sehingga
genap menjadi tahun, dan seterusnya.
Manusia suka me nghitung waktu dan seluruh hidupnya dikuasai
oleh waktu . Dan alam membantu manusia dalam kesukaannya.
Tak bosan-hosannya pula alam me nyuruh d unia, matahari , bulan ,
b intang-bintang, planet-planet berpu tar-putar terus, bergerak terus.
Pan ta rei, me ngalir terus, gerak terus. Memang, adakah sesuatu
yang d iam? Adakah sesuatu yang tidak beru bah? Tidakkah semua
itu berubah-ubah terus? J uga kepercayaan manusia? J uga keadaan
sesuatu bangsa? Juga kek uasaan sesuatu stelsel?
Scbagai man usia , aku pun suka menghitung waktu .
Kusobckkan satu halaman dari kalender. Lagi satu bulan umu r
ku ta mbah . Lagi satu bulan du nia lebih dekat pada saatnya untuk
"diam " . Untuk "d iam", sebab tidakkah dunia pun seperti gundu
yang berplltar pula, yang pada akhirnya akan habis putaran nya,
lan tas "diam" ?
I Ok tobcr!
K uhit-u ng dengan jari: Februari , Mare t, April, Mei , J uni . . . . . . .
t iga tahlln se tengah ki"ia-kira sejak 12 Februari 1 94 1 . Sejak aku
kawin dengan Kartin i .
Banyak , banyak sekal i k ejadian-kejadian dalam tempo kurang
leb ih em pat pllluh bulan itu . Di antaranya yang penting-penting
ia lah : I . pcmerintah Hindia-Bc1 anda tek llklutut kepada kekuasaan
balate ntara Dai N i ppon dengan tidak me makai syarat apa-apa,
2. Rusl i menjadi " catut besar" dengan maksu d , su paya bisa
me ngongkosi dan membiayai "gerakannya di bawah tanah" me
lawan fasc isme Jepang, 3. beberapa kawa n , di an taranya Bung
Gondo masuk polisi rahasia Je pang sebagai "pe mbantu" Kenpei,
de ngan maksud in filtrasi , su paya melind ungi gerakan di bawah
tanah d ari B u ng Rusli c s , 4. kawan-kawan lain menginfiltrasi
hadan-hJdan J c pang lain nya yang pen ting, di antaranya mem asuki
J 6S
Karena itu, maka aku pun tidak mau melih at meja makan
dengan sebelah mata. Aku duduk-duduk di atas fauteuil di serambi
muka, tempat ak u empat tahun yang lalu mula-m ula mengagumi
diri Kartini dalam piyamanya yang modern itu . Dia sangat cantik ,
sangat ramah dan sangat lincah dalam me ladeni aku dan Rusl.
Sedang aku sangat asyik bercita-dta. Cita-cita yang dibik in indah
oleh fantasi. Tapi yang sekarang telah hilang keindahannya oleh
kenyataan-kenyataan . Dan payahnya, fantasi tidak lari ke cit
cita lain, tidak memindahkan keindahan ke cita-cita baru, sehingga
aku sekarang telah putus pengharapan ; telah kehilangan segala
cita-cita, segala keindahan.
Sangat lesu aku duduk di atas fauteuil itu . Lesu karena amarah
terlalu mendesak . Terlalu mencek ik .
Aku belum berganti pakaian . Hanya jas sudah kugantunglcan
pada kapstok di kamar tidur.
sedang nlembakar ak u.
Surat itu sebetulnya surat yang sudah lama umurnya, yang
bertanggal kurang lebih t iga tahun yang lalu . Ditulis oleh ayah
kepadaku. Dan maksudnya, mencela perkawinanku dengan Kar
lanla-Iamanya.
167
Dalam surat itu diajukan pula sekali lagi diri Fatimah , yang
katanya dengan "sabar masih menunggu-nunggu" aku, dan yang
kata ayah " sesungguhnya prempuan yang sederajat dan seting
'
kat' untuk menjadi jodohk u .
Surat itu sudah lama aku lupakan , bahkan aku mengira, bahwa
ia telah aku bakar atau aku sobek-sobek . Tapi rupnya saja dalam
keteledoranku, kusimpan surat itu dalam buku tadi itu. Entahlah
peristiwanya telah menjadi begitu, telah menjadi celaka bagi
perhubungan hidupku sebagai suami-istri dengan Kartini.
168
.
1 69
*)
171
.'
2
Jam bertiktak di din ding. M enghitung detik demi detik de
ngan cermat, dengan teratur. Tak terasa olehnya cepat atau lambatnya
dengan
tirai
renda.
Kusiakkan
tirai,
lalu
mengintai
ke
"Ah salahku juga, " pikirku. M engeluh berat, sam bi! menyen
derkan badan kepada senderan fau teuil. Kepala terk ulai lemah,
sedang mata kabur-kabur melihat ke kejauhan yang tiada tentu.
Kukatupkan kedua belah tangan di atas pangkuan. Tulang deng
kul memonclot tegas di bawah striptrip eelana piyamaku. Va,
alangkah kurusnya badanku sekarang.
"Salahku juga ! " Bergemalah lagi seolah-olah suara hatiku itu.
"Mengapa aku sekarang begitu mudah naik darah? "
Va, setiap kali aku habis bertengkar, mestilah aku ditimpa
oleh perasaan sesal yang mendalam , mestilah aku mengakui,
bahwa aku terlalu lekas marah, terlalu lekas mengayun tangan
atau menghamburkan kutuk.
Serasa habis ludes segala perasaan bahagiaku sekarang. Serasa
terpencil sendirian aku hidup di dunia kini. Terpeneil dari is
trik u, terpencil dari orang tuaku, terpencil juga dari cita-citaku
semula.
Cita-citaku semula : Rukmi.ni di sampingku sebagai seorang istri
yang sejati, yang alim dan saleh , yang bersama-sama dengan aku
mengamalkan segala perintah agama. H idup sederhana dalam
lingkungan rumah tangga yang tenang. Mendidik anak-"anak
kami dalam suasana keagamaan. Menabung uang untuk bekal di
hari tua. Kalau sudah pensiun , membeli rumah dan halaman de
ngan sedikit kebun dan sawah di lu ar kota. M emelihara temak.
Di halaman rumah membikin sebuah k olam , memelihara ikan
mclS dan m ujair, dan di tepi k olam itu dengan setengahnya berdiri
di at as air, mendirikan sebuah langgar keeil , temp at aku ber
sembahyang bersamaama dengan orang-orang sefaham , atau
beromong-omong dengan mereka ten tang soaloal agama. Pen
deknya, cita-cita yang persis seperti jalan hidup yang ditempuh
oleh ayahku sekarang. Dan sekarang sudah terpeneil aku dari
cita-citaku sernula itu . Sudah terasing sarna sekali . Alangkah lain
yangan ki tao
Maka terbayang-bayanglah pula wajah Ayah . Berkatalah ia
dengan suara yang geram, sambil mengacungkan telunjuknya ke
atas, " I ngatlah anakku ! IngatIah ! Kau telah berbuat dosa ! Dosa
yang kej i ! Membunuh orang! Mencabut nyawa orang lain yang
bukan hakmu . Kau durhaka ! Melanggar hukum Tuhan ! Belum
cukupkah j uga kau berdosa? ! Harus kauperberat juga siksa dan
lSI
1 82
Ba g ian XIII
1
Neng-neng-neng !
Persis pukul tiga malam, say a tamat me m baea naskah Hasan
i tu . En tah k arena sud ah lewat wak tu nya , entah karena saya ter
belenggu oleh isi n askah tersebut, maka biarpun malam sudah
selarut itu , n am u n saya tidak merasa me ngan tuk .
Setama t membaeanya, saya beberapa j u rus tenn angu-mangu
saja. Terharu . Tak mengi ra sed ikit pun , bahwa o rang yang kurus
eekung dan sak it tbe itu , mendukung soal-soal yang rupanya
saj a telah mengu asai seluruh jiwanya, sedemikian ru pa sehingga
ia tidak lepas dari ak ibat-akibatnya yang bu ruk yang mengenai
kesehatan badan nya. Dan soal-soal itu agaknya te tap menjadi soal
bagin ya dengan tidak bisa mengamb il sesu atu penye lesaian yang
menenteramkan j iwanya.
Saya renungkan sebentar oisi naskahnya itu .
lelas kepadak u , bahwa di samping b imbang karena belum ada
keyak in an yang teguh perihal kepercayaannya terhadap Tuhan ,
Hasan itu terd ampar-dampar pula oleh perasaan-perasaan cem
buru dan kompleks- kompleks lain terhadap Anwar, Rusli dan Kartin i. Dan ia sangat roman tis sifatnya . Lebih mudah dibawa meng
alun oleh gelombang perasaan d aripada dibawa mengorek -ngo rek
sesuatu so al o leh pikiran sampai habis kepada d asamya yang se
dalam-d alamnya.
Kusimpan n askah itu baik-baik dalam laci meja tulisku . Sam
b il memutar ku nci laci itu , yakin"lah saya , bahwa saya pun sang
gu p untuk mempengaruhi Hasan yang bimbang itu . Saya sanggup
mcmpengaruhinya seperti o ran g-orang yang d iceritakannya dalam
n ask ahnya itu . Saya sanggu p membimbingnya ke arah sesuatu
tujuan menu ru t fah am saya send iri.
Dalarn pada itu ingin sekali say a berkenalan j uga dengan orang
oran g yang ada di sekitar pergaulannya itti, dengan orang-orang
yang d alam n ask ahnya ini d iberi n ama Kartini , Rusli dan Anwa r.
1 83
2
Beberapa h ari kemudian H asan datang lagi ke rumahku. J uga
pada malam hari lagi. J ad i juga memakai man telnya y ang hijau tua
dan topi viltnya yang hitam itu .
Saya mempersilakannya du duk. Tapi sejenak ia berdiri saja di
ambang pintu, seperti ad a y ang dipikirkann ya dulu .
" Duduk Saudara ! " kataku u n tuk k e d u a kalinya.
Dudu klah ia baru . Dan seperti y ang sudah-su dah topi hitamnya
itu setengah d ilemparkannya ke atas kursi di sampingnya. Sedang
man teln ya, seperti yang su dah-sudah juga, tidak d ibukanya . Hals
duknya mengikat lehernya d engan erat, sehingga dagunya hampir
terbenam d alamnya. Berdehem-d ehem ia , sambit m enutupi mulut
nya dengan tangan kan an nya yang setengah dik epalkan. Gugup
dia n amp aknya.
Setelah saya bertanya "apa kabar" d an lain-lain lagi yang me
ngenai hal-h al sehari-h ari, mulailah dia bercerita. Masih agak gugup
dia. Memang malam itu sangat berbeda n ampak nya. Belum pemah
saya melihatnya demik in .
" E ntahlah Sau dara," katan ya dengan lemah, "saya merasa ta
kut. Saya merasa seperti . . . . "
Terd iam dia. Tidak dih abiskannya kalimatnya itu.
Saya perhatik an dengan penuh betas kasihan. Wajahnya yang
cekung itu pucat sekali nampakny a. Dengan bergetar tangannya,
dia menarik-narik jari-jarin ya yang kuru s it u satu demi satu. Di
tarik-tarik nya sehingga b erbunyi berk etak-ketak .
" Kenapa Saud ara? " tanya saya dengan lembut, setelah say a
biarkan dia duduk merunduk beberapa jurus. "Kenapa taku t?"
Ia mengan gkat k epalanya . Memandang sej en ak ke dalam muka- ..
'
ku . Batu k-b atuk sebentar, lantas katanya, "Saya merasa, bahwa
. . . . bahwa u m u rku ini t ak kan lama lagi . . . . "
" Hahah a ! (tiba-tiba saya tertawa). Kenapa saudara begitu pe
simis. "
Saya tertawa itu setengah dibuat-buat dengan maksud, supaya
jiwa yang agak nya telah patah itu menjadi tegak k embali.
"Ah itu hany a - perasaan Sau dara yang l esu saj a , " sambungku.
" Ti dak boleh kita membiarkan diri kita dikungkung oleh perasaan
yang demikian. "
D i a diam . Meru n duk lagi seperti bunga yang layu .
1 84
1 85
Mungkin kah dia m enj adi sangat takut itu, karena penyakitnya itu?
Karena ia me rasa sudah lebih dekat l agi ke l ubang ku bur? Dan
merasa banyak dosa? . . . .
Aku agak heran , mengapa d i a tadi bertany a, apakah saya per
caya k epada n eraka, tapi kemudian dengan tidak m e nu nggu
j awabanku yang tegas, dia sen diri su dah m engemu kakan pen dapat
nya, malah seolah-olah mau m eyakin kan say a, bah wa neraka itu
memang ada. Dengan demikian, m aka dia bertanya itu, mungkin
cuma karena ingin me ncocokkan pendapatnya itu dengan pen
d apat saya. A tau mu ngkin juga memancing uraian dari say a yang
bisa meyakinkan dia, bahwa neraka itu sebetulnya tidak ada.
Maksudnya, supaya dia bisa m e rasa agak tenteram dan tidak
takut-taku t lagi. En tahlah !
Maka saya pun bungkam saja. Memberi kesempatan kepada
dia untu k m elanju tkan bic aranya.
" Tapi saya perc aya ftu ( begi tulah sambungnya dengan suara
yang merendah lagi) bukan seperti yang biasa diperdengarkan
oleh kiyai-kiyai kolot, i al ah bahwa neraka itu adalah di bal ik
kubur, di akhirat. Tidak ! Tapi pu n j uga tidak seperti yang kadang
kadang kita dengar dari mulu t kiyai-kiyai m odem, bah wa neraka
itu bukan di akh irat, melainkan di dunia ini juga, di dalam hidup
ini juga. Ti dak ! Saya percaya bah wa neraka adalah d i antara h i dup
dan mati i tu , yaitu di dalam kita berjuang dengan m al aikalmaut,
di atas jembatan d i an tara hidup dan mati. Tegasnya di dalam
kita sekara t . Itul ah nerak ! "
"Bagairnana itu persisnya, Saudara? " tanya saya dengan penuh
perhatian .
Maka berceritalah dia, bahwa h ari kem arinnya dia bertem u
dengan seorang bekas tern an sekolahnya dulu di M ulo, yang
1 86
sekarang sudah menj adi guru pada sekolah rendah. Dalam ber
cakap-c akap dengan Hasan, gu ru itu m en gu raikan soal psychoa
nalyse Freud dengan tingkatan-tingkatan sadar-bawah dan sadar
atasnya. Di antara kedua tingkatan itu ada suatu batas y ang di
sebut "sensor" at au j u ru periksa (begitulah Hasan menguraikan
l agi uraian guru i tu). Tingkatan sadar-bawah itu tidak te rbatas,
penuh dengan 1 00 I macam pikiran , perasaan , hayal, keinginan
dan l ain-l ain y ang bermacam-m acam corak dan isi nya. Pikiran
perasaan , hayal, keinginan yang gila-gil a, peIik-pelik, yang buruk
buruk bercampur-baur dengan y ang baik-baik, yang logis, yang
teratur. Dan semua pikiran, perasaan, hayal, keinginan dan lain
lain di dalam daerah sadar-bawah itu sernu anya m au m u ncul ke
daerah tingkatan sadar-atas. Akan tetapi tidak bisa, oleh karena
1 87
pali ng hebat lagi, ialah pada saat k ita sedang sekarat . "
Sampai di sini Hasan terdiam sebe ntar dalam uraiannya itu.
Selatna bercerita itu dia be rkali-kali batu k. Untung selamany a
menu tup mu lutnya dengan sapu tangannya. B iarpun begitu , say a
selalu melengoskan muka sedikit.
"Dan kata temanku itu," begitulah Hasan m el anju tkan bicara,"
p ada waktu kita sedang sekarat , segala m acam h ayal , pi kiran dan
lain-lain yang bukan-bukan akan mu ncul semuanya ke daerah
sadar-atas. Terutama sekali perasaan-perasaan yang hingga sekarang
bisa didesak oleh sensor ke daerah sadar-bawah seperti perasaanperasaan berdosa atau "gewe tenswroeging. " Dan . . . . . . "
Dia diam lagi. Mengeluh berat. Ingin saya m en asihatkan lagi,
sup aya dia memp elajari l agi teori Freud itu dan m embaca sendiri
buku-bu kunya. Tapi men arik juga bagiku untuk menge tahui be
tapa
pengaruh penge tahuan setengah-setengah atas p ribadi se
seorang.
"Saya m erasa sangat banyak dosaku . Dan segala perasaan di
seki tar dos.aku itu kelak akan muncul semu anya , akan m encam
buk , menyiksa aku dalam sekarat. "
Diam lagi dia. Sangat " taku t n ampaknya dia . Menarik-narik lagi
jari-j arinya dengan tidak mengangkat tangannya dari pang ku an
nya. Matanya terpancang atas m eja seolah-olah ada yang dilihat
di atasnya. Tapi jauh agaknya tinjau an nya itu . Jauh , en tah ke
alam mana.
"D an tem anku itu , " sam bun gnya seben tar kemudian , "p ernah
menyaksikan seorang-orang yang sedang sekarat. Orang itu paling
lam a satu jam sekaratnya. Tapi lama sebelum ia m enarik nap as
penghabisan , tiba-tiba berkatalah ia seraya berat sekal i m enghela
n apas dengan dadanya yang turu n-naik , " Aduh Tuhan ! "Ampuni
lah ham baMu ini. Amp un ! Ham ba su d ah tak t ah an lagi ! Aduh ,
tolonglah aku ! Tol onglah aku ! " Ia m enangis seperti kanak-kanak,
karena bercltnya yang harus dideri ta olehnya. Dan sam bit m eng
aduh -aduh terus, serta dengan m a tanya terbelalak ke atas, ber
ka talah ia seperti m engigau , "Aduh Tuhan , ampunilah dosa ham
ba-Mu ini! Aduh , alangkah panasnya ini! Seribu t ahun aku h arus
menem puh api yang panas" ini ! Seribu tahun aku su dah m en empuh
lau tan ! Harus berenang, berkecipak tern s su paya j angan m ati aku
tenggelam ! " Nah , wak tu yang cum a beberapa menit itu , dirasai
oleh orang sedang sekarat itu seolah-olah beribu tahun . B egitul ah
kata tem anku , gu ru itu .
1 88
"J adi pun ilmu jiwa, dus ilmu pengetahu an mem benarkan ada
nya neraka, " sam bungnya lagi. "Dan saya sangat taku t. J adi
baga im a n a saya bisa d ise bu t ath eis, kalau saya taku t akan adanya
neraka? ! Akan adanya siksaan Tuh an , yang akan menim pa diriku
ju ga? ! "
B a tu k-batu k lagi dia. Agak hebat k ali ini. Sangat kasihan saya
m elih atnya . Apa y ang harus saya perbuat un tuk m el ipu rkan
kebim bangan dan ketaku tannya itu? Ternyata d ia sudah menj adi
" korban" lagi dari orang yang dianggapnya " lebih tah'u " .
Habis batuk dia sangat capek n am p aknya. Lesu sekali . D u du k
nya seperti orang pesakitan yang sed ang menunggu pu tu san h akim .
Kepalanya terkulai, seolah-olah lehernya tak bertulang. D adanya
turun- naik, dan matanya dipejamkannya sebentar.
"Sau dara sakit ru panya," tanyaku .
Dia menganggu k lemah .
Saya am bilkan air. D im inum nya.
"Sakit dad aku terasa lagi , " ujarnya dengan suara lem ah , sambil
menekan dadanya dengan t angannya sebelah kanan. Sangat
sedih dia nampaknya. Seperti su dah pu tuslah h arapannya. Dan
sangat taku t pUla.
.
sau dara. Penyakit sau dara bukan penyakit yang tidak bisa di
obati. Saya t ahu seorang k en alan yang juga pernah diserang
penyakit itu . Berbulan-bu lan ia dirawat di sanatoriu m . Kemu dian
sem buh . Dan sekarang dia su dah lebih enampuluh u mu rnya. Masih
ku at beketj a, malah kawin lagi dengan gadis muda. Dia t ah u
"hidup . . . . "
Dengan banyak kata-kata saya coba h iburkan lagi jiwa y ang
telah patah i tu . Ya dengan kata-kata, karena kepatahan jiwanya
i tu pun disebabkan oleh kata-kata pula.
1 89
1 90
Hampir
tak
kelihatan .
Karena dia tidak bertanya apa-apa, m aka saya lanju tkan pula ,
"Dan apa yang harus mcnjadi pedom an bagi kita dalam usaha
menyempurnakan perhubungan kita ini? B agi saya, pedom an itu
adalah rasa kemanusiaan sem ata-m ata. Rasa kemanusiaan -yang
berpokok lagi pada rasa sayang-menyayangi , kasih-mengasihi ,
cinta-mencintai antara sesama mahluk di dunia ini. Sesungguhnya,
saudara, perikemanusiaan dengan kasih-mengasih i , sayang-me
nyayangi dan cinta-mencintai itu adalah dasar hidup yang ter
utama, yang abadi, yang harus hidup su bur dalam hati tiap-tiap
kita . Dan dengan itu sebagai pedom an dan scbagai dasar, kita
gunakan alat penyempurnaan yang paling u tama, ialah akal dan
pik iran yang sehat. "
Hasan diam saja, seakan-akan tak acuh. Memang dia m ungkin
tak acuh, karena rupanya saja segal a perkataanku itu sudah di
anggapnya sebagai "kue basi" baginya, sebagai pendapat yang
su dah lama d ik etahuinya. Jadi bukan pikiran yang memberi
tinjauan bafl:l kepadanya dalam m enghadapi soalnya . Kesan ini
terasa benar olehku . Dan memang bukanlah usaha atau m aksu d
saya u n tuk m em beri tinjauan baru kepadanya dalam soalnya, oleh
karena soalnya itu bukan su atu soal yang bisa kita selesaikan.
Jadi segal a kata-kata saya i tu tidak lain m aksudnya hanyalah
untuk m em belokkan pik irannya kepada soal-soal yang lebih m an
faat untuk direnungkan dan diselesaikan, oIeh karena soal-soal
ini ada "di dal am daerah kekuasaan kita" u n tuk m enyelesaikan
nya.
"Dalam naskah Sau dara, Anwar pernah berkata, bahwa salah
satu sifat m anusia itu ialah "selalu ingin tahu semua". Bukan
begitu, Sau dara? "
Hasan mengangguk lagi. Masih lem ah seperti tadi.
"Nah , dengan akal pikiran yang terbatas i tu , m anusia insyaf,
bah wa ia tak mungkin bisa mengetahui semua-muanya rahasia
yang ada di sckcliling soal "hidup " atau soal "ada" itu . Dalam
keadaan demikian i tu maka dibentuknya bermacam-macam "pe
nambah" k ep ad a kekurangan penge tahuannya itu, ialah sepcrti
d isebut oleh An war berupa hayal, kepercayaan, tahyul, hypotese
dan lain-lain. "
"Masih kue basi! " seakan-akan kata Hasan y ang m asih duduk
191
benar .
atau " we
rahasia " ada" dan "hidup" ini sampai kepada segala seluk-beluk
reda kembali
saya
tanya,
" Barangkali
saudara mau
Hasan
i tu.
me ngangguk
lemah.
Menyetujui
agaknya
anjuranku
Mem a ng soal perang dan damai i tu adalah soal hi dup y ang m aha
pen ting. J auh lebih pen ting daripada soal neraka di balik kubur
atau di pin tu ku bur. Sam p ai sekarang m anusia selalu diancam
oleh bahaya peperangan. Seluruh sejarah kem anusiaan menunjuk
kannya. Akan tetapi apa yang menjadi pokok alasan dari segala
macam peperangan itu? Soal ini harus bisa kita kupas supaya bisa
lekas me nyelesaikannya. _
Hasan mengangguk lagi dengan lem ah seperti tadi. Kemu dian
mem benarkan duduknya. Agak tegak sekarang. Mulai tertarik
kah ia oleh uraianku ini?
" Ada saya baca dalam naskah saudara itu, bahwa ' dunia baru
a kan damai, kal au pendu duknya hanya te rdiri dari kan ak-kanak
melulu '. Mengemu kakan pernyataan begitu , sebetuInya su dah
berarti satu tanda, bahwa saudara ada mempunyai sesuatu pokok
pikiran tentang soal itu . Baiklah, kalau saudara sudi megupas
ny a terus dengan berpegang kepada pokok pikiran tersebu t. Jadi
_
1 94
tiap nafsu mau perang? ! Itu sudah berupa satu usaha yang ber
harga ke arah perdamaian . Tapi itu tidak cukup, karena di samping
itu , kita tidak boleh melupakan, bahwa m anusia adal ah juga ' 'ha
sil" masyarakatnya sendiri. Bahwa keadaan m asyarakat itu besar
sekali pcngaruhnya.l kepada gerak-gerik jiwa dan pikiran serta
tingkah laku manusia dalam hidupnya. Masyarakat yang penuh
ketidakadilan an penindasan , tidak akan mungkin m empunyai
a nggo,ta-anggot any a
yang ingin damai. Bahkan sebaliknya,
mereka itu malah mau perang, mau be{on tak, m au mengguling
kan penin das-penindasnya. Keadaan demikian misalnya dal am
masa kita sekarang ini, dalam masa kita ditindas oleh suatu bangsa
penjajah yaitu p enjajah Jepang, seperti sebelum itu oleh penjajah
Belanda. Dalam masyarakat jajahan tidak mungkin ada suasana
damai. Tapi bukan di tanah-tanah jajahan saja suasana dam ai itu
tidak akan ada, tapi pun juga di negara merdeka, yang masyarakat
nya bercorak klas-klas yang saling tindas, di m ana ke tidakadilan
m asih merajalela dengan hebatnya. Dengan demikian, m aka ber
usaha ke arah perdam aian itu tidak hanya harus berupa pendidik
an orang-orang saja, nlelainkan juga h arus berupa perbaikan keada
an dan susunan masyarakat, yang harus bebas dari segala hal yang
berbau penindasan , dan hanya berdasar atas keadilan semata
mata. Hanya dan semata-mata dalam keadaan dan susunan m asya
rakat demikianlah kita bisa hidup dalam keadaan yang dam ai. "
Terasa oleh saya, bahwa saya telah jauh m em bawa Hasan me
nyimpang dari soal neraka dan hal-hal yang gaib-gaib itu . Mem ang
itulah pula maksudku , ialah mem bawa dia kem bali kepada dunia
yang "nyata" ini. Akan berhasilkah segal a usah.a saya itu?
Saya m enoleh kepadanya. Menggeliat ia . se d ikit. Menggeliat
seperti orang yang sakit pinggang, karena terlalu lama du duk .
Su dah kesalkah dia, dan m au pulang?
Tiba-tiba batuk-batuk lagi dia. Batuk"-batuk seperti tadi, agak
hebat . Maka ketika sudah reda kern bali, aku pun bertanya pula
seperti tadi, "Saudara sakit rupanya. Tidakkall lebih baik ber
baring-baring saja dulu dalam kamarku? "
Terasa oleh saya, bahwa pertanyaanku itu hanya sekedar per
tanyaan "kehonnatan " saja. Tidak dengan hati yang tulus dan
rela. Dan ru panya saja, keadaan hatiku itu terasa juga oleh Hasan
sendiri, se bab katanya, "Ah, terim a kasih Saudara, jangan susah
susah (bangkit, m enggeleng sedikit, karena lytu tnya agak lemah ) .
Baiklah saya pennisi saja dulu . "
1 95
kit a
belum
membicarakan
naskah
saudara
itu . "
" Lain kali, lebih baik saudara jangan datang malam-malam, ; '
akan hancu r
ibunya d_i kampng Pany eredan itu (ya, saya sebu t saja Panyered
an , padahal bu kan di Panyeredan tempat tinggal ibunya itu),
maka dalam tiga minggu selesailah su dah pckerjaan saya.
Bagian-bagian beriku tnya ini ialah suatu lukisan dari kejadian
kejadian di sekitar diri Hasan , yang saya susun dengan m emper
gunakan bahan-bahan keterangan dan lain-lain sebagai hasH pe
nyelidikan saya. Banyak sekali keterangan yang saya dapat dari
Kartini sen diri, yang un tunglah, sangat besar kepercayaannya
kepada saya un tuk mencurahkan segal a ! si h atinya.
1 98
Bagian XIV
1 99
200
"0 ya, kopi susu es dan coklat susu satu ! Juga p akai es ya!
Dan itu gado-gado, jangan lupa pakai gula bumbunya, ya! "
J ongos mengangguk-angguk, lalu menghilang ke belakang.
Anwar kembali duduk. Kaki kursinya y ang belakang dijeng
ketkannya lagi ke atas, sehingga ia duduk dengan perutnya mene
kan kepada pinggir meja, sedang kedua belah sikutnya terpancang
di atas daun meja. Tangan kanannya bennain-main dengan cang
klongnya.
"Coba Tin , teruskan ceritamu tadi itu. "
*) Penjajah J e pang menamakan dirinya " sa udara t uaU bangsa Indonesia.
ATHEJS
14
201
*)
202
jurusan, maka tenaga itulah yang menguasai dia. Maka akan tiba
Iah dia ke tempat mana tenaga itu menariknya.
Demikianlah layaknya K-artini, ketika Anwar setengah mem
buju k setengah mendesak mengusulkan, supaya m alam itu ia
menginap saja di sebuah penginapan dekat stasiun , agar besok
paginya Kartini bisa terus berangkat dengan kereta api yang paling
pagi ke Padalarang.
" Kamar kosong kebetulan masih ada satu , Tuan ! " kata j ongos
Amat.
"Aku pun cuma perlu satu, " sahu t Anwar.
Sesudah mengisi buku tamu, Anwar lantas kern bali lagi ke
seram bi muka dari penginapan itu, tempat Kartini sedang duduk
di atas sebuah kursi, menunggu .
Hari sudah mulai gelap. Lampu-Iampu su dah mulai dinyalakan.
Dn semu anya ditu tupi dengan sebuah selubu ng h itam atau biru ,
supaya tidak memancar ke atas atau ke p inggir.
''Tin , kamar ada. (dan kepada Amat) Di mana kam ar itu ,
Bung? "
"Sini, Tuan , " sahut Amat.
Anwar dan K artini mengiku ti Amat. Melalui deretan kamar
kamar yang bernomor. Seperti di rumah penjara, m aka dari be
berapa kamar m engintai dari belakang jendela yang berjerajak
orang-orang yang ingin tahu siapa yang lewat. Dari beberapa kamar
lain terdengar orang bercum bu-cum buan seperti dalam kamar
pengantin .
"Ini Tuan ," kata Amat. Setelah mereka sampai depan kamar 8
Amat mem buka pintu .
"Silakan Tuan."
Anwar segera masuk, tapi Kartini segan-segan. Hawa apek
mendupak h idungnya.
"Masuk, Tin ! " kata Anwar sam bil melihat-lihat keadaan di
dalam kamar itu . Setengah gelap dalamnya karena lampunya
seperti lampu-Iampu yang lain ditu tupi dengan selubu ng h itam .
Kartini masih berdiri saja depan pin tu , selaku seorang raden
ayu melihat kamar jongos yang kotor.
"Masuklah ! " kata Anwar pula, menarik tangan Kartini .
Kartini masuk agak tersentak.
Trak! Kunci dipu tar.
"Kenapa dikunci, War? "
Dengan cemas K artini melihat kepada Anwar, yang tangannya
204
o.
207
turun-naik .
oleh api berahi. Dan pada saat itu pula kedua belah tangannya ti
ba-tiba h endak merangkum badan K artini yang su dah lenlas itu .
Tapi Kartini lekas berdiri m engelak, Kursi menggelotrak, jatuh
- tersinggung, dibarengi oleh suara cangklong yang tetjatuh juga di
atas lantai.
"War! Anwar, insyaflah akan dirimu ! Sedarlah engkau ! "
208
209
Bagian XV
I
"
yang satu dari yang lain , seperti ragu-ragu agaknya m emberikan
cahayanya, lasana pu tri Timur, yang ragu-ragu pula menyinarkan
210
"
seperti neraca.
Ia terseok-seok terus. Berkali-kali tersusul oleh orang-orang lain
yang lebih cepat j alannya.
Hari makin gelap .
Persis pada persimpangan jalan Suniaraja, terdengarlah tiba
tiba sirene berbunyi. Ngeeeoooooong, ngeeeooong!
21 1
Bung !
Lekas
berlindung ! "
teriak
seorang
keibodan* * )
dep gan picinya dari anyaman bam bu, dan memegang senapan dari
kayu.
Dengan menyeret-nveret mantelnya yang m enyapu jalan,
Hasan bergegas lagi mencari perlindungan lain . Lari ia tidak
berani. Taku t akan paru-parunya. Napasnya m engkrak-meng
krik.
Sirene menggaung-gaung terus. Dan lampu-Iampu sudah p adam
semua. Mati serentak, seolah-olah tertiup semuanya oleh napas
sirene yang berpu tar-pu tar di udara seperti kincir. Radio umum
su dah bungkem juga, seperti suara gaang dalam tanah yang tiba
tiba berh en ti karena mendengar langkah orang. Dan m obil-m obil
serta kendaraan-kendaraan lain sudah berIindung di tepi-tepi jalan
yang tersembunyi tidak terlihat dari u dara. lalan-jalan mendadak
sepi. Hi tam . Bungkam. Mati.
Ya, mati semua-muanya. Gedung-gedungnya mati, toko-toko
nya mati , rumah-rumah nya mati, l ampu-Iampunya, radio-radionya,
m obil-mobilny a m ati semu a. Akan tetapi tidak demikian halnya
dengan orang-orangnya. Orang-orangnya tidak mati . B aru hanya
taku t m ati.
Hasan sudah berada dalam perlin dungan lain.
"Mask terus! " perin tah si Amin, seorang keibodan yang ker
jany a sehari-hari m enjadi benatu. Hasan d idorong-dorongnya
dari be1akang, sehingga ia tersonggok-songgok m akin menyusuk
*) Bahaya Udara.
**) Penjaga keamanan kampung
212 .
mulut
si Amin).
Mas Karto yang lupa akan kusyu keih o lekas m em buang rokok
kreteknya.
Bok Karto mengomei, "Kok, wong tua tidak tahu aturan ,
kaya boeah eilik saja. D ari p ada min ta-minla kepada Tuhan
supaya pada selamat semuanya, ini kok mengepooool saja. Us! "
Kemudian bibir perempuan tua itu kernyat kernyit membaea
surat fatehah dan kulhu dengan maksu d supaya jangan ada born
jatuh ke sana.
Hasan duduk di samping Ias Karto. Hasan pun mengueap
syukur, karena m as K arto tidak merokok lagi. Asap rokok tidak
baik bagi orang t be.
Seben tar kemu dian sunyi senyaplah dalam lobang perlindungan
itu, seperti dalam kuburan . Sirene sudah tidak berbunyi lagi.
Dan orang-orang su dah pad a bungkem semu anya, seperti mayat
d alam kuburan. Hanya sekali-sekali jangkerik mengerik-kerik di
bawah bangku perIindungan . Krik-krik, krik-krik. Sekali-sekali
terdengar juga suara bibir Bok K arto mendesis-desis m em baea
kulhu dan fatehah .
Masing-masing orang dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tapi
tiap hati berdenyu t seirama : taku t m a ti. Berdenyu t seirama pula :
mohon selamat kep ada Tuhan . Dan tiap muka tak bersinar,
seperti daun pisang didiang, layu .
I\iemang, apa bedanya keadaan m ereka itu dengan tiku s-tikus
yang taku t kueing, atau anak-anak ayam yang takut elang? Mung
kin bedanya euma, karena ayam atau kucing tidak berdenyu t
hatinya m in ta selamat kepada Tuh an. Tapi entahlah , itu tidak bisa
kita kon trol, karena kita tidak mengerti bahasa kucing a tau
bahasa ayam.
Hasan merenung-renung. Ia pun taku t .m ati. Perasaan demikian
itu sudah bukan perasaan yang akhir-akhir ini makin sering meng
ganggu dia. Mungkin , karena ia merasa, bahwa penyakit paru
parunya sudah makin berat lagi. Dan dalam ketakutan itu segala
dongeng-dongeng dahulu ketika ,keeil tentang neraka, m alaikat,
jin dan lain-lain itu hidup kembali .dalam khayaln ya. Makin hidup
khayalnya, makin takut ia. Dan makin takut ia, makin hidup pula
21 3
lagi itu sudah menjadi putih sarna sekali seperti rarn bu t Tagore .
Kul it mUkanya kerisu t-kerisu t dan sinarnya pu dar. Am at lesu dan
am at tua narnpaknya.
Ia berbaring telentang dengan mUkanya lurus ke ats. Mulu t
nya ternganga sedikit.
Dadanya turun-naik.
217
Mendesing-desing lagi.
"Sampai sejauh itu kekejam anmu? ! Kamu kan tahu , bahwa
ayahmu itu seorang tua yan g alim , yang taat kepada Tuhan? "
"Kejam? ! Kejam kejam? ! Tidakkah fanatisme ayahku sendiri
yang menghukum dia? ! Bukankah selalu ia berkata, bah wa agama
memerintah kan
kepada
u matnya
supaya
saling
cinta-mencintai ,
tapi kenapa dia mem bend orang yang berpendirian lain? "
Tapi euma sayup-sayu p suara itu terdengar dalam hati Hasan.
Ham pir tak terdengar. Dan sekilas cuma.
Maka terbayang-bayanglah lagi peristiwa dahulu, ketika ayahlya
berkata kepadanya, "B aiklah , mulai sekarang kita berpisahan
jalan saja."
Hasan m akin gelisah lagi duduknya. Menutu p l agi m atanya de
ngan kedua belah tangannya, seakan-akan bayangan batin bisa
mati dengan m enutu pi mata j asmaninya.
"Tapi kau sebagai seorang anak harus m enghormati orang tua
mu sen diri. Kesom bonganmu su dah m elukai hatinya, sehingga
ia meninggal karenanya. Va, itu euma kesombonganmu belaka!
Sombong, seolah-olah kau ini orang yang paling pinter, yang
-paling tah u , sehingga berani bermulu t laneang, menyatakan kepada ayahmu yang kau tahu
bahwa Tuhan yang dipujanya itu tidak ada! Bah wa yang ada itu
hanya khayal m anusia belaka, seperti juga h alnya dengan han tu ,
j i n , m am bang d a n lain-lain . Tidakkah itu berarti, bahwa kamu itu
sudah m enganggap kepada orang tu amu sebagai orang-orang yang
mimpi, yang tidak sehat lagi otaknya? ! l tu eum a kesombongan !
Tahu ! "
Mendesing-desing semua itu ! Memusingkan kepalanya.
Muncullah lagi kenangan kepada kejadian di kuburan Em bah
J am brong.
"Ya, si Anwar itulah yang m enyesatkan daku ! . . . . Va, tapi
aku sendiri pun bodoh. Aku bodoh, karena aku selalu mudah
dipengaruhi dan tak sanggup m embikin keyakinan sendiri yang
kukuh kuat ! "
atau
sekarang?
Dan
bukankah
hal itu berartilah pula, bahwa Tuhan pun akan habiskah riwayat
nya, bah wa Tuhan pun akan tum t tidak ada Jagi bersama-sama
dengan jenis m anusia itu? Tidakkah m alah lebih masuk di akal ,
bahwa Tuhan itu akan terns ada? Terus ada sebagai Pencipta
Alam Semesta yang tidak tum t pula Iampus bersama dengan Iam
pusnya jenis manusia, seperti h alnya juga dengan aku, ibu dan
Fatimah y ang m asih terus ada dan hidup, biarpun ayah sudah me
n inggal? Jadi dengan sendirinya, ucapan yang mengatakan bahwa
Tuhan itu adalah bikinan manusia, tidak bisa aku terima. Tidak
boleh aku terima ! Va, kenapa hal ini sampai tidak terpikirkan
olehku dulu? ! "
220
1.-, -,
. . .
.:.
.- ..;," - - .- - '\ .:
-
-
":':- . .....:
.,.-
.,.":..---.
I I)
/.'
222
di atas lantai, dan sekali-sekali suara pintu ditu tup dan dibuka,
223
kata Rusli? Bah wa mere ka itu , yang setiap malam h arus meladeni
kad ang-kad ang sam pai bela san orang laki-laki yang pada m elepas
kan nafsu-h ewaninya , tidak mungkin bisa merasakan kenikm atannya, m elain kan tentu h anya merasa sebal belaka? Dan dalam
kepalsu an ju stru ada pada cabo-cabo itu, karena tiap kali ia hams
bersand iwara, pu ra-pura cin ta untu k mem bangkitkan hawa nafsu
si pembel inya itu . Dan hidup semacam i tu yang penuh dengan
kekotoran dan kepalsu an itu , tapi pun juga penuh dengan kese
dihan dan kesengsaraan , oleh si Anwar dianggap sebagai 'bet
echte leven ! " Entahlah , aku tidak m engerti, apa sebetulnya
yang dimaksu dkan dengan h et leven i tu? ! "
*)
226
227
nya lem baran itu dengan telunjuk dan ibu-jari tangan kirinya.
Gemetar lembaran itu seperti selembar pidata,
'4\
yang sedang di
229
u
ya untuk pelestarian buk
--.e- d book (sbook) ini han
c-G MENGKOMERSILKAN
.
dari kemusDabane DlLARAN
ketidakbahagIaaD
a u hidup anda mengalami
dan ketidakberuntungan
BBSC
232