Bulan yang purnama itu dengan leluasa menjatuhkan cahayanya pada
sebuah puing bangunan, mendedahkan pemandangan remang, yang sungguh berantakan: tiang-tiang cor beton pada berdiri telanjang seperti habis terlucutkan dari, tembok bangunan yang berguguran menjadi bongkahan-bongkahan batu, kerikil, yang bersama bangkai- bangkai barang membentuk gundukan-gundukan di sana-sini. Dan semuanya melegam seperti pantat panci yang tak kenal dicuci. Di sana-sini masih mengapung bau sangit, seperti mengepung indra penciuman: bau sangit plastik meleleh, bau sangit kayu mengabu, bau sangit daging menggosong. Tiba-tiba, dari balik keremangan terdengar suara orang batuk- batuk. Polisi!? Ia langsung tercekat. Cepat-cepat (diperosotkan) tubuhnya. Mendekam, bertopang lengan dan kedua lutut. Sepasang matanya nyalang, mencari-cari arah sumber suara. Ada tertangkap oleh matanya bayangan dua sosok manusia. Yang satu berjarak lima belas langkah, yang satunya lagi berjarak dua puluh langkah dari sampingnya. Tanpa dimaui jantungnya kemudian berdegup hebat. Apa benar mereka polisi? "Payah, nggak ada lagi yang bisa diambil!" seru bayangan yang satu. Bayangan yang satunya lagi menimpali, "Iya, ludes semua. Ludes!" Ia rasakan degup jantungnya sedikit mereda. Syukurlah, mereka bukan polisi ternyata, hanya pemulung saja, sama seperti dirinya. "Kita keliling sekali lagi, (yuk!)" Celaka! Degup jantungnya menghebat lagi kini. Ia rendahkan tubuhnya lebih rebah, nyaris tiarap sejajar dengan permukaan tanah. "Ah, percuma! Tinggal sampah doang. Mau kamu [ngambilin] sampah?" "He... he, kali aja ada harta terpendam!" Sesaat sepi. Dilihatnya kemudian sosok yang seorang menjauh darinya, menghampiri sosok yang satunya lagi. "Si Ardi dapat [tivi] tadi, ya?" suara itu terdengar agak sayup di telinganya sekarang. "He-eh, mujur ia, Si Mamat juga, ia dapat komputer." "Si Pendul yang sial!" "Kena ditangkap, ya? Aku juga sial, [nih], benjol kena dipentung rotan." "Bokong “gua” juga kena! ..., Eh, cabut saja, yuk!?" Tidak terdengar jawaban. Tapi kemudian dilihatnya bayangan kedua orang itu melangkah menjauh. Mengarah ke luar gedung. Dari arah sana, terdengar sesaat bunyi kaleng ditendang berklontang- klontang. Gemanya memanjang, kemudian sama sekali menghilang. Seperti seekor anjing kemudian ia memanjangkan lehernya. Celingak-celinguk kesana-kemari. Pelan-pelan kemudian ia pun mengangkat kedua lengannya, kedua lututnya, bangkit, lalu tegak berdiri seperti layaknya seorang manusia. [Shrooot]! Yang pertama-tama dilakukannya adalah membuang ingus. Lalu sambil terus menggaruki rambut gimbalnya, ia berjalan berkeliling. Sesekali ia berhenti, berjongkok, memungut sesuatu dari tengah-tengah gundukan, menaksir-naksir, mengelap-ngelap, lalu membuangnya kembali. Sesekali juga terpaksa ia harus mendekamkan tubuhnya kembali jika mendadak terdengar bunyi- bunyian di sekitar: meski hanya bunyi dari anjing geladak saja ternyata, yang sibuk mengais-ngais sampah ,sama seperti dirinya, meski hanya bunyi dari tikus-tikus got saja ternyata, yang keluar dari persembunyian dan kasak-kusuk ke sana-kemari entah tengah mencari apa. Seluruh isi bangunan, jengkal demi jengkalnya, telah ia telusuri. Telah ia punguti pula segala macam barang rongsokan yang kemudian pada dibuangnya kembali. Dan hanya rasa pegal di pangkal betis yang ia dapatkan: lelah yang lalu memaksa ia untuk begitu saja mendudukkan pantatnya di atas sepotong kayu. [Ngaso.] Bulan purnama di atas sana, terasa membosankan untuk ditatap. Lalu jatuhan cahayanya, yang samar-samar menyingkapkan semrawutnya pemandangan, juga sama membosankan; tapi, [hei], tunggu dulu, matanya berbinar, ketika dari dalam kegelapan timbunan sampah yang berjarak lima langkah dari tempat mengasonya, nampak menyembul dua sorot mata yang berkilauan diterpa cahaya dari atas langit sana. Sorot mata kucingkah? Tapi rasa-rasanya sorotan mata itu terlalu lunak untuk dipunyai hewan pemangsa. Sorot mata tikuskah? Tapi sorotan itu pun terlalu lugu untuk ukuran hewan pengerat. Atau, sorotan mata manusiakah? Dadanya, karenanya, kontan bergemuruh hebat. Nyaris saja ia langsung meloncat: [ngacir!]. Tapi masa sih sorotan itu berasal dari mata manusia? pikirnya lagi, sebab yang ia tahu, sore tadi petugas pemadam kebakaran telah menyisir jengkal demi jengkal isi bangunan, mengangkuti mayat-mayat yang terpanggang; tapi masa sih itu berasal dari mata manusia? Sebab sorotan itu, dalam pandangannya, terlihat begitu lunak, begitu lugu, begitu memikat... "Husy! ... husy!" kedua lengannya lalu menggebah-gebah, seperti sedang menghalau ayam yang masuk pekarangan. Dilemparkannya sepotong batu ke arah sana hingga menimbulkan bunyi kerosak. Tak ada reaksi. Dua sorot mata itu tetap saja berkilau-kilauan di tempatnya semula. Pelan-pelan, dengan disangga sepasang kaki yang gemetar, ia melangkah mendekat. Dari jarak lebih dekat, lebih jelaslah terlihat kalau sorotan yang berkilauan itu memang berasal dari sepasang mata; Ya, sepasang mata yang hanya bisa membelalak pasrah dalam timbunan potongan kayu sebesar paha, bongkahan- bongkah babatuan.... Gemetar tangan ia saat menyingkirkan semua penghalang dan, yang dilihatnya kemudian, nyaris membuat detak jantungnya berhenti. Betapa tidak, di hadapannya kini terkulai [sehelai] tubuh, [helai] karena ia terkulai begitu lunglai, seperti tanpa disangga tulang kerangka seperti balon tanpa udara. Tapi seonggok rambut berwarna pirang, seperti juga sepasang mata, dua lobang hidung, segaris bibir, dua titik puting di bagian dada, lalu gerumbul rambut di bawah pusar, dan sepasang kaki yang lemas terkulai, tidakkah itu semua adalah bagian dari sesosok tubuh yang sempurna? Tubuh perempuan, yang ketika ia menyadarinya tiba-tiba saja membuat seluruh tubuhnya menggigil hebat. Untuk sesaat ia hanya bisa memelototinya saja. Mahluk apakah ini gerangan? Bidadarikah, yang turun dari kayangan dan lalu terperangkap dalam reruntuhan gedung yang terbakar? Jari-jari tangan ia yang selalu bergetar kemudian mulai menyentuh-nyentuhnya, menelusuri jengkal demi jengkal anatomi tubuhnya: kulit yang sedemikian mulus, sedemikian halus, tanpa ditumbuhi bulu-bulu pun tanpa [dikerekoti] lapisan pori; sentuhan yang kemudian menimbulkan gelenyar di ujung kelima jarinya dan lalu menggetarkan simpul-simpul saraf di seluruh tubuhnya.... Di bagian pusar, tangannya berhenti, ada sebuah benda sebesar kacang yang [nyempil] di situ. Ia menyimaknya lebih teliti: Pentil! Pikirnya kemudian, barangkali mahluk ini memang hanyalah balon yang berwujud perempuan, atau... atau entah apa. Tanpa mau berpusing-pusing lagi langsung saja ia dekatkan mulutnya ke arah itu pentil: meniupnya kuat-kuat. Yang terjadi kemudian adalah semacam keajaiban, tubuh itu pelan- pelan mulai mengembang: mula-mula bagian pantat membentuk dua lekukan padat, lalu terjulur sepasang kaki yang ramping, lalu dua titik puting di bagian dada seperti tumbuh dan membentuk sepasang payudara utuh, lalu bibir yang merekahkan senyuman, hidung yang menjadi mancung, sepasang mata yang kian menyala, dan geraian rambut yang ternyata panjang dan mewarna keperak- perakan... semua itu akhirnya menjelmakan sosok seorang perempuan, yang begitu mempesonakan. Takjub ia. Tersihir ia. Kedua matanya membelalak. Mulutnya menganga. Oh, betapa indahnya, betapa berkilauannya tubuh perempuan itu dalam siraman cahaya bulan yang purnama. Dan ia tak kuat untuk berlama-lama menatapnya. Gugup. Cepat- cepat matanya melengos. Dalam pikirannya, perempuan itu tentu akan segera beranjak berdiri kemudian berlalu pergi, tanpa akan menolehnya lagi. Tapi perempuan itu tetap saja diam ternyata, tetap saja terkulai lunglai dihadapannya. Seperti pasrah. Seperti menyerah. Apa yang sedang ia tunggu? Ditatapnya perempuan itu kembali. Dalam-dalam. Sedalam tatapannya pada layar-layar kaca, pada jalan-jalan raya tempatnya perempuan-perempuan menampakkan diri dan lalu meniggalkannya pergi. Sedang dihadapannya kini, perempuan ini begitu setia.... Setia, heh? Dan sedia diapakan saja? Bergetar, telunjuknya sekarang diulurkan, mengarah ke bagian payudara. Beberapa inci sebelum sampai, telunjuk itu berhenti. Ragu. Tapi bibir perempuan itu dilihatnya tetap saja merekahkan senyuman, dan sepasang matanya tetap saja berkilau-kilauan. Kepalanya celingak-celinguk dulu kesana-kemari sebelum kemudian sambil menarik napas panjang telunjuknya itu disodokkannya kuat- kuat. Kenyal! Dan seperti ada arus balik yang mementalkan telunjuknya kembali. Dadanya tersengal-sengal. Sekali lagi kepalanya celingak- celinguk. Tetap sepi. Hanya puing yang terserak di sana-sini. Sama seperti tadi. Ia jadi sedikit rileks sekarang. Sambil duduk bersila dikeluarkannya segulung tembakau, kertas rokok, beserta geretan dari saku celananya. Dicomotnya seraup, disimpan di selembar kertas rokok, dilintingnya. Lintingan itu lalu diselipkan di sela bibirnya. Seperti baru tersadar, buru-buru ia mengangkat tubuh perempuan itu, disenderkannya, hingga jadinya mereka duduk berhadap- hadapan sekarang. Rokok dibakar. Dihisapnya dalam-dalam. Lalu ia hembuskan asapnya ke arah muka itu perempuan. Tak ada suara batuk-batuk terdengar. Tak ada omelan. Tak ada juga makian. Senyumnya melebar. Perlihatkan barisan gigi yang menguning dan tak beraturan. Sekali lagi ia hisap rokoknya, ia hembuskan asapnya ke arah muka itu perempuan. Tetap saja tak ada reaksi. Seperti tanpa beban, sebelah lengannya lalu dijulurkan dan tanpa ragu dijawilnya payudara yang menggantung di hadapannya. Tak ada tamparan yang menempelak pipinya kemudian. Tak ada umpatan. Tak ada juga jeritan. Perempuan itu tetap saja menyunggingkan senyuman: untuknya. "Ha... ha... ha... ha...," Tawanya terdengar begitu purba, tawa yang seperti telah sekian lama hanya mendekam saja dalam perutnya, dan kini dimuntahkannya, sepuas-puasnya, "hwa... hwa... hwa... hwa...." Oleh angin, tawanya dihembuskan ke sudut-sudut bangunan, menempias ke celah-celah tiap rongsokan sampah, menimbulkan gema, di mana-mana. Tikus-tikus pada menegakkan telinga, lalu [nyungsep] berlari entah ke mana, anjing-anjing geladak mendadak melolong panjang bagai lolongan serigala menguapkan api berahinya dalam siraman cahaya bulan purnama. Di kejauhan, dari jalan besar terdengar sirene polisi meraung- raung panjang. Di perkampungan sekitar, beberapa orang yang sedang berjaga-jaga di mulut gang, menghentikan obrolannya, lalu sama-sama pandangan mereka diarahkan ke puing-puing bangunan. Bergegas mereka pun melangkah ke sana. Dan ia terus tertawa. Kini sambil berdiri berkecak-pinggang. Dalam siraman cahaya bulan, ia lihat bayangan dirinya membias di muka tanah yang diseraki onggokan sampah, menjelmakan sosok raja-raja, sosok dewa-dewa, sosok para raksasa. Dan mereka tertawa-tawa. Oh, alangkah membahagiakannya ternyata tertawa. Enyahlah kau ketakutan yang nista, datanglah kau wahai kekuasaan. Oh, betapa ia rasakan dadanya kini bagai menggelembung disesaki udara kekuasaan.... Kemudian, dengan tangan yang gemetar dibakar gairah, ia buka kancing celananya, memerosotkannya, lalu melemparkannya asal hingga menimbulkan bunyi kerosak di dekatnya. Bunyi kerosak yang kemudian disusul dengan bunyi kerosak di kejauhan disusul lagi dengan bunyi derap langkah orang-orang berlarian mendekat. Ia tidak memperdulikannya. "Hei!" Telinganya seperti mendadak tuli. Cepat tangannya menjambak rambut itu perempuan lalu ditariknya ke arah bagian bawah pusarnya. "Hei! Hei!" Suara itu terdengar kian mendekat. Tapi ia seperti terbius oleh siraman cahaya bulan yang membiaskan bayangan dirinya di muka tanah: bayangan dirinya yang menghitam berdiri tegak menantang, dengan sebelah lengan berkecak-pinggang, sedang yang sebelahnya lagi menjambak rambut beruntai-untai milik itu perempuan yang tengah bersimpuh, seperti menyembah-nyembah, seperti menghiba- hiba, kepadanya. "Ha... ha... ha..." "Dasar gila!" Tiba-tiba, di atas muka tanah itu, berloncatan bayangan-bayangan tak dikenal. Mengerumuninya. memukulinya. [Goro-goro]. Di atas muka tanah, kerumunan itu seperti membentuk gumpalan awan hitam, sesekali sepotong lengan terkepal nampak menyembul keluar, kali lain sepotong lengan menggenggam pentungan yang menyembul. Lalu mereda. Sesosok bayangan, dengan bertelekan sepasang lengan dan kedua lututnya, tertatih-tatih keluar. Sesosok bayangan lain nampak membuntuti, lalu tiba-tiba saja menyepak bokongnya. Seperti seekor anjing, bayangan itu lalu terkaing-kaing. Sebuah tendangan mendarat lagi. Ia terkaing-kaing lagi. Sudah itu, dengan kecepatan yang sungguh mengagumkan bayangan itu mengangkat kedua lengannya, kedua lututnya, bangkit berdiri, lalu ngacir berlari hingga bayangannya melenyap dari permukaan tanah. * Bulan yang purnama dengan leluasa menjatuhkan cahayanya pada petak-petak lapangan di dekat lintasan rel kereta api itu. Cahayanya berkilauan pada barisan rerumputan, pada botol-botol minuman dan plastik-plastik makanan yang tergelar di meja-meja panjang dan silih berganti dicomoti oleh orang-orang yang duduk berderet di bangku-bangku panjang depan meja, pada atap seng dari gubuk-gubuk liar yang berjajar di sana, pada sebuah kertas yang ditempel di pintu sebuah gubuk. Kertas itu bertuliskan: HOT! BONEKA SEX BULE CANTIK. MONTOK. HEBAT BISA DIAPAIN SAJA) Rp. 5.000/5 Menit
Pintu itu terkuak. Seorang lelaki dengan muka lega menampak.
Sambil melangkah keluar ia mengacungkan jempolnya pada seseorang yang terduduk di dekat pintu. Lelaki lain, dari deretan orang yang duduk-duduk di bangku panjang, segera masuk menggantikannya. Agak jauh dari keramaian, di dekat selokan yang limbahnya memantulkan bayangan bulan, seorang lelaki berjongkok sendirian. Tangannya berkali-kali menggaruk rambutnya, sedang sepasang matanya seakan tak pernah berkedip menatap ke arah pintu gubuk yang baru diisi lelaki tadi. [Shroooot!] Segumpal ingusnya jatuh tercebur, pecahkan bayangan bulan dalam selokan.
Bandung, November 1999
Data Pengarang:Deny Budiman.
Dilahirkan di Bandung, 7 Maret 1971. Sarjana Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung. Bertempat tinggal di Jl. Adisuren No. 22 Bandung 40251 Telp. (022)4200126 Cerpen dan Esai dimuat H.U Pikiran Rakyat, H.U Bandung Pos, dan majalah Hai.