Anda di halaman 1dari 6

Bulan Dalam Selokan

Cerpen: Deny Budiman

Bulan yang purnama itu dengan leluasa menjatuhkan cahayanya pada


sebuah puing bangunan, mendedahkan pemandangan remang, yang
sungguh berantakan: tiang-tiang cor beton pada berdiri telanjang
seperti habis terlucutkan dari, tembok bangunan yang berguguran
menjadi bongkahan-bongkahan batu, kerikil, yang bersama bangkai-
bangkai barang membentuk gundukan-gundukan di sana-sini. Dan
semuanya melegam seperti pantat panci yang tak kenal dicuci. Di
sana-sini masih mengapung bau sangit, seperti mengepung indra
penciuman: bau sangit plastik meleleh, bau sangit kayu mengabu,
bau sangit daging menggosong.
Tiba-tiba, dari balik keremangan terdengar suara orang batuk-
batuk. Polisi!? Ia langsung tercekat. Cepat-cepat
(diperosotkan) tubuhnya. Mendekam, bertopang lengan dan kedua
lutut. Sepasang matanya nyalang, mencari-cari arah sumber suara.
Ada tertangkap oleh matanya bayangan dua sosok manusia. Yang
satu berjarak lima belas langkah, yang satunya lagi berjarak dua
puluh langkah dari sampingnya. Tanpa dimaui jantungnya kemudian
berdegup hebat.
Apa benar mereka polisi?
"Payah, nggak ada lagi yang bisa diambil!" seru bayangan yang
satu. Bayangan yang satunya lagi menimpali, "Iya, ludes semua.
Ludes!"
Ia rasakan degup jantungnya sedikit mereda. Syukurlah, mereka
bukan polisi ternyata, hanya pemulung saja, sama seperti
dirinya.
"Kita keliling sekali lagi, (yuk!)" Celaka! Degup jantungnya
menghebat lagi kini. Ia rendahkan tubuhnya lebih rebah, nyaris
tiarap sejajar dengan permukaan tanah.
"Ah, percuma! Tinggal sampah doang. Mau kamu [ngambilin]
sampah?"
"He... he, kali aja ada harta terpendam!"
Sesaat sepi. Dilihatnya kemudian sosok yang seorang menjauh
darinya, menghampiri sosok yang satunya lagi.
"Si Ardi dapat [tivi] tadi, ya?" suara itu terdengar agak sayup
di telinganya sekarang.
"He-eh, mujur ia, Si Mamat juga, ia dapat komputer."
"Si Pendul yang sial!"
"Kena ditangkap, ya? Aku juga sial, [nih], benjol kena dipentung
rotan."
"Bokong “gua” juga kena! ..., Eh, cabut saja, yuk!?"
Tidak terdengar jawaban. Tapi kemudian dilihatnya bayangan kedua
orang itu melangkah menjauh. Mengarah ke luar gedung. Dari arah
sana, terdengar sesaat bunyi kaleng ditendang berklontang-
klontang. Gemanya memanjang, kemudian sama sekali menghilang.
Seperti seekor anjing kemudian ia memanjangkan lehernya.
Celingak-celinguk kesana-kemari. Pelan-pelan kemudian ia pun
mengangkat kedua lengannya, kedua lututnya, bangkit, lalu tegak
berdiri seperti layaknya seorang manusia.
[Shrooot]!
Yang pertama-tama dilakukannya adalah membuang ingus. Lalu
sambil terus menggaruki rambut gimbalnya, ia berjalan
berkeliling. Sesekali ia berhenti, berjongkok, memungut sesuatu
dari tengah-tengah gundukan, menaksir-naksir, mengelap-ngelap,
lalu membuangnya kembali. Sesekali juga terpaksa ia harus
mendekamkan tubuhnya kembali jika mendadak terdengar bunyi-
bunyian di sekitar: meski hanya bunyi dari anjing geladak saja
ternyata, yang sibuk mengais-ngais sampah ,sama seperti dirinya,
meski hanya bunyi dari tikus-tikus got saja ternyata, yang
keluar dari persembunyian dan kasak-kusuk ke sana-kemari entah
tengah mencari apa.
Seluruh isi bangunan, jengkal demi jengkalnya, telah ia
telusuri. Telah ia punguti pula segala macam barang rongsokan
yang kemudian pada dibuangnya kembali. Dan hanya rasa pegal di
pangkal betis yang ia dapatkan: lelah yang lalu memaksa ia untuk
begitu saja mendudukkan pantatnya di atas sepotong kayu.
[Ngaso.]
Bulan purnama di atas sana, terasa membosankan untuk ditatap.
Lalu jatuhan cahayanya, yang samar-samar menyingkapkan
semrawutnya pemandangan, juga sama membosankan; tapi, [hei],
tunggu dulu, matanya berbinar, ketika dari dalam kegelapan
timbunan sampah yang berjarak lima langkah dari tempat
mengasonya, nampak menyembul dua sorot mata yang berkilauan
diterpa cahaya dari atas langit sana.
Sorot mata kucingkah?
Tapi rasa-rasanya sorotan mata itu terlalu lunak untuk dipunyai
hewan pemangsa.
Sorot mata tikuskah?
Tapi sorotan itu pun terlalu lugu untuk ukuran hewan pengerat.
Atau, sorotan mata manusiakah?
Dadanya, karenanya, kontan bergemuruh hebat. Nyaris saja ia
langsung meloncat: [ngacir!]. Tapi masa sih sorotan itu berasal
dari mata manusia? pikirnya lagi, sebab yang ia tahu, sore tadi
petugas pemadam kebakaran telah menyisir jengkal demi jengkal
isi bangunan, mengangkuti mayat-mayat yang terpanggang; tapi
masa sih itu berasal dari mata manusia? Sebab sorotan itu, dalam
pandangannya, terlihat begitu lunak, begitu lugu, begitu
memikat...
"Husy! ... husy!" kedua lengannya lalu menggebah-gebah, seperti
sedang menghalau ayam yang masuk pekarangan. Dilemparkannya
sepotong batu ke arah sana hingga menimbulkan bunyi kerosak.
Tak ada reaksi. Dua sorot mata itu tetap saja berkilau-kilauan
di tempatnya semula.
Pelan-pelan, dengan disangga sepasang kaki yang gemetar, ia
melangkah mendekat. Dari jarak lebih dekat, lebih jelaslah
terlihat kalau sorotan yang berkilauan itu memang berasal dari
sepasang mata; Ya, sepasang mata yang hanya bisa membelalak
pasrah dalam timbunan potongan kayu sebesar paha, bongkahan-
bongkah babatuan....
Gemetar tangan ia saat menyingkirkan semua penghalang dan, yang
dilihatnya kemudian, nyaris membuat detak jantungnya berhenti.
Betapa tidak, di hadapannya kini terkulai [sehelai] tubuh,
[helai] karena ia terkulai begitu lunglai, seperti tanpa
disangga tulang kerangka seperti balon tanpa udara. Tapi
seonggok rambut berwarna pirang, seperti juga sepasang mata, dua
lobang hidung, segaris bibir, dua titik puting di bagian dada,
lalu gerumbul rambut di bawah pusar, dan sepasang kaki yang
lemas terkulai, tidakkah itu semua adalah bagian dari sesosok
tubuh yang sempurna? Tubuh perempuan, yang ketika ia
menyadarinya tiba-tiba saja membuat seluruh tubuhnya menggigil
hebat.
Untuk sesaat ia hanya bisa memelototinya saja. Mahluk apakah ini
gerangan? Bidadarikah, yang turun dari kayangan dan lalu
terperangkap dalam reruntuhan gedung yang terbakar?
Jari-jari tangan ia yang selalu bergetar kemudian mulai
menyentuh-nyentuhnya, menelusuri jengkal demi jengkal anatomi
tubuhnya: kulit yang sedemikian mulus, sedemikian halus, tanpa
ditumbuhi bulu-bulu pun tanpa [dikerekoti] lapisan pori;
sentuhan yang kemudian menimbulkan gelenyar di ujung kelima
jarinya dan lalu menggetarkan simpul-simpul saraf di seluruh
tubuhnya....
Di bagian pusar, tangannya berhenti, ada sebuah benda sebesar
kacang yang [nyempil] di situ. Ia menyimaknya lebih teliti:
Pentil!
Pikirnya kemudian, barangkali mahluk ini memang hanyalah balon
yang berwujud perempuan, atau... atau entah apa. Tanpa mau
berpusing-pusing lagi langsung saja ia dekatkan mulutnya ke arah
itu pentil: meniupnya kuat-kuat.
Yang terjadi kemudian adalah semacam keajaiban, tubuh itu pelan-
pelan mulai mengembang: mula-mula bagian pantat membentuk dua
lekukan padat, lalu terjulur sepasang kaki yang ramping, lalu
dua titik puting di bagian dada seperti tumbuh dan membentuk
sepasang payudara utuh, lalu bibir yang merekahkan senyuman,
hidung yang menjadi mancung, sepasang mata yang kian menyala,
dan geraian rambut yang ternyata panjang dan mewarna keperak-
perakan... semua itu akhirnya menjelmakan sosok seorang
perempuan, yang begitu mempesonakan.
Takjub ia. Tersihir ia. Kedua matanya membelalak. Mulutnya
menganga. Oh, betapa indahnya, betapa berkilauannya tubuh
perempuan itu dalam siraman cahaya bulan yang purnama.
Dan ia tak kuat untuk berlama-lama menatapnya. Gugup. Cepat-
cepat matanya melengos. Dalam pikirannya, perempuan itu tentu
akan segera beranjak berdiri kemudian berlalu pergi, tanpa akan
menolehnya lagi. Tapi perempuan itu tetap saja diam ternyata,
tetap saja terkulai lunglai dihadapannya.
Seperti pasrah. Seperti menyerah.
Apa yang sedang ia tunggu? Ditatapnya perempuan itu kembali.
Dalam-dalam. Sedalam tatapannya pada layar-layar kaca, pada
jalan-jalan raya tempatnya perempuan-perempuan menampakkan diri
dan lalu meniggalkannya pergi. Sedang dihadapannya kini,
perempuan ini begitu setia....
Setia, heh? Dan sedia diapakan saja?
Bergetar, telunjuknya sekarang diulurkan, mengarah ke bagian
payudara. Beberapa inci sebelum sampai, telunjuk itu berhenti.
Ragu. Tapi bibir perempuan itu dilihatnya tetap saja merekahkan
senyuman, dan sepasang matanya tetap saja berkilau-kilauan.
Kepalanya celingak-celinguk dulu kesana-kemari sebelum kemudian
sambil menarik napas panjang telunjuknya itu disodokkannya kuat-
kuat. Kenyal! Dan seperti ada arus balik yang mementalkan
telunjuknya kembali.
Dadanya tersengal-sengal. Sekali lagi kepalanya celingak-
celinguk. Tetap sepi. Hanya puing yang terserak di sana-sini.
Sama seperti tadi.
Ia jadi sedikit rileks sekarang. Sambil duduk bersila
dikeluarkannya segulung tembakau, kertas rokok, beserta geretan
dari saku celananya. Dicomotnya seraup, disimpan di selembar
kertas rokok, dilintingnya. Lintingan itu lalu diselipkan di
sela bibirnya.
Seperti baru tersadar, buru-buru ia mengangkat tubuh perempuan
itu, disenderkannya, hingga jadinya mereka duduk berhadap-
hadapan sekarang.
Rokok dibakar. Dihisapnya dalam-dalam. Lalu ia hembuskan asapnya
ke arah muka itu perempuan.
Tak ada suara batuk-batuk terdengar. Tak ada omelan. Tak ada
juga makian.
Senyumnya melebar. Perlihatkan barisan gigi yang menguning dan
tak beraturan. Sekali lagi ia hisap rokoknya, ia hembuskan
asapnya ke arah muka itu perempuan.
Tetap saja tak ada reaksi.
Seperti tanpa beban, sebelah lengannya lalu dijulurkan dan tanpa
ragu dijawilnya payudara yang menggantung di hadapannya.
Tak ada tamparan yang menempelak pipinya kemudian. Tak ada
umpatan. Tak ada juga jeritan.
Perempuan itu tetap saja menyunggingkan senyuman: untuknya.
"Ha... ha... ha... ha...,"
Tawanya terdengar begitu purba, tawa yang seperti telah sekian
lama hanya mendekam saja dalam perutnya, dan kini
dimuntahkannya, sepuas-puasnya, "hwa... hwa... hwa... hwa...."
Oleh angin, tawanya dihembuskan ke sudut-sudut bangunan,
menempias ke celah-celah tiap rongsokan sampah, menimbulkan
gema, di mana-mana. Tikus-tikus pada menegakkan telinga, lalu
[nyungsep] berlari entah ke mana, anjing-anjing geladak mendadak
melolong panjang bagai lolongan serigala menguapkan api
berahinya dalam siraman cahaya bulan purnama.
Di kejauhan, dari jalan besar terdengar sirene polisi meraung-
raung panjang. Di perkampungan sekitar, beberapa orang yang
sedang berjaga-jaga di mulut gang, menghentikan obrolannya, lalu
sama-sama pandangan mereka diarahkan ke puing-puing bangunan.
Bergegas mereka pun melangkah ke sana.
Dan ia terus tertawa. Kini sambil berdiri berkecak-pinggang.
Dalam siraman cahaya bulan, ia lihat bayangan dirinya membias di
muka tanah yang diseraki onggokan sampah, menjelmakan sosok
raja-raja, sosok dewa-dewa, sosok para raksasa. Dan mereka
tertawa-tawa. Oh, alangkah membahagiakannya ternyata tertawa.
Enyahlah kau ketakutan yang nista, datanglah kau wahai
kekuasaan. Oh, betapa ia rasakan dadanya kini bagai
menggelembung disesaki udara kekuasaan....
Kemudian, dengan tangan yang gemetar dibakar gairah, ia buka
kancing celananya, memerosotkannya, lalu melemparkannya asal
hingga menimbulkan bunyi kerosak di dekatnya. Bunyi kerosak yang
kemudian disusul dengan bunyi kerosak di kejauhan disusul lagi
dengan bunyi derap langkah orang-orang berlarian mendekat.
Ia tidak memperdulikannya.
"Hei!"
Telinganya seperti mendadak tuli. Cepat tangannya menjambak
rambut itu perempuan lalu ditariknya ke arah bagian bawah
pusarnya.
"Hei! Hei!"
Suara itu terdengar kian mendekat. Tapi ia seperti terbius oleh
siraman cahaya bulan yang membiaskan bayangan dirinya di muka
tanah: bayangan dirinya yang menghitam berdiri tegak menantang,
dengan sebelah lengan berkecak-pinggang, sedang yang sebelahnya
lagi menjambak rambut beruntai-untai milik itu perempuan yang
tengah bersimpuh, seperti menyembah-nyembah, seperti menghiba-
hiba, kepadanya.
"Ha... ha... ha..."
"Dasar gila!"
Tiba-tiba, di atas muka tanah itu, berloncatan bayangan-bayangan
tak dikenal. Mengerumuninya. memukulinya.
[Goro-goro]. Di atas muka tanah, kerumunan itu seperti membentuk
gumpalan awan hitam, sesekali sepotong lengan terkepal nampak
menyembul keluar, kali lain sepotong lengan menggenggam
pentungan yang menyembul.
Lalu mereda. Sesosok bayangan, dengan bertelekan sepasang lengan
dan kedua lututnya, tertatih-tatih keluar. Sesosok bayangan lain
nampak membuntuti, lalu tiba-tiba saja menyepak bokongnya.
Seperti seekor anjing, bayangan itu lalu terkaing-kaing. Sebuah
tendangan mendarat lagi. Ia terkaing-kaing lagi. Sudah itu,
dengan kecepatan yang sungguh mengagumkan bayangan itu
mengangkat kedua lengannya, kedua lututnya, bangkit berdiri,
lalu ngacir berlari hingga bayangannya melenyap dari permukaan
tanah.
*
Bulan yang purnama dengan leluasa menjatuhkan cahayanya pada
petak-petak lapangan di dekat lintasan rel kereta api itu.
Cahayanya berkilauan pada barisan rerumputan, pada botol-botol
minuman dan plastik-plastik makanan yang tergelar di meja-meja
panjang dan silih berganti dicomoti oleh orang-orang yang duduk
berderet di bangku-bangku panjang depan meja, pada atap seng
dari gubuk-gubuk liar yang berjajar di sana, pada sebuah kertas
yang ditempel di pintu sebuah gubuk. Kertas itu bertuliskan:
HOT!
BONEKA SEX BULE
CANTIK. MONTOK. HEBAT
BISA DIAPAIN SAJA)
Rp. 5.000/5 Menit

Pintu itu terkuak. Seorang lelaki dengan muka lega menampak.


Sambil melangkah keluar ia mengacungkan jempolnya pada seseorang
yang terduduk di dekat pintu. Lelaki lain, dari deretan orang
yang duduk-duduk di bangku panjang, segera masuk
menggantikannya.
Agak jauh dari keramaian, di dekat selokan yang limbahnya
memantulkan bayangan bulan, seorang lelaki berjongkok sendirian.
Tangannya berkali-kali menggaruk rambutnya, sedang sepasang
matanya seakan tak pernah berkedip menatap ke arah pintu gubuk
yang baru diisi lelaki tadi.
[Shroooot!]
Segumpal ingusnya jatuh tercebur, pecahkan bayangan bulan dalam
selokan.

Bandung, November 1999

Data Pengarang:Deny Budiman.


Dilahirkan di Bandung, 7 Maret 1971.
Sarjana Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran Bandung.
Bertempat tinggal di Jl. Adisuren No. 22 Bandung 40251
Telp. (022)4200126
Cerpen dan Esai dimuat H.U Pikiran Rakyat, H.U Bandung Pos, dan
majalah Hai.

Anda mungkin juga menyukai