Anda di halaman 1dari 29

LAN FANG

Bai She Jing


Cerpen Lan Fang (Jawa Pos, 10 Juli 2011)

TIK tak tik tak.

Jam sudah menunjukkan pukul 23.24. Jarum jam terdengar seperti jantung yang berdetak.
Perempuan itu berdiri, bergerak untuk meluruskan bahu dan punggungnya. Tetapi baru
sedikit bergerak saja, sudah terdengar bunyi bergemeretak, suara yang sangat nyaring sampai
menyaingi detak jantung jam, seakan-akan tubuhnya sudah amat renta.

Disingkapkannya kain jendela. Tampak lampu jalanan yang tidak terlalu terang memantulkan
jalanan basah dan meluapkan air dari selokan.

Segerombolan air melata.

Deras sekali, senyumnya pucat.

Tik tak tik tak.

Entah kenapa tahun ini hujan begitu liar. Kerap sekali debam di langit terdengar seperti
raksasa sedang membanting pintu neraka. Konon, ada raksasa yang tidak betah di sana lalu
memutuskan untuk minggat saja. Aku tidak tahu kemanakah raksasa itu melarikan diri sebab
tiba-tiba semua mendadak gelap. Lampu padam.

Ketika itulah kau masuk.


Deras sekali, kau seakan-akan sedang menyelamatkan diri dari kepungan bencana.

Tik tak tik tak.

Itu bunyi terakhir yang dipukulkannya ke tubuhku. Kemudian dua telunjuk kanan dan kirinya
berhenti bergerak. Berhenti pulalah irama malam. Yang tertinggal hanyalah kegelapan dan
suara deras yang kian mencekam.

Kulihat keningnya membentuk selajur parit. Dasar, mesin ketik tua! dia memukul badanku.

Kemudian dia meraih minyak kayu putih di sebelahku. Dioleskannya minyak kayu putih di
beberapa bagian tubuhnya : leher, perut dan dada. Aroma minyak kayu putih membuatnya
seharum bayi. Aku suka harumnya.

Tetapi dia terus menggerutu panjang pendek sambil memijit ujung-ujung jemari, lengan, bahu
sampai pundaknya. Dasar, rematik! Dasar, asam urat! Dasar, hujan! cekungan parit di
keningnya semakin dalam. Sepertinya dia sedang tidak senang hati.

Dia tidak pernah senang hati sejak laki-lakinya.

Tik tak tik tak.

Aku sudah mencari laki-laki itu, ujarmu dengan lidah yang mengintip-intip. Tetapi aku
bisa melihat lidahmu dengan jelas, lidahmu bercabang dua.

Tik tak tik tak.

Perempuan itu tidak pernah senang hati sejak kehilangan laki-lakinya. Dia mati gairah
sehingga tidak ada satu kalimat pun bisa diselesaikannya. Penyebabnya tidak jelas. Dia bukan
ditinggalkan karena tampak peyot, renta dan berpenyakitan. Dia masih muda dan cantik
walau pun sekilas seperti tidak terawat.

Kalian tidak percaya padaku?

Lihatlah!

Tik tak tik tak.

Kau merayap dan bergelung di kakinya. Dia diam saja. Bahkan dia sama sekali tidak menjerit
ketika kau menuju pahanya, menelusup ke dalam daster lunturnya yang kedodoran, membelit
perutnya kemudian menyusuri dadanya.
Apakah kau mencium harum bayi dari dadanya?

Tidak. Hanya ada bau kerinduan yang kian membusuk.

Dia membiarkan setiap inci kulitnya kau intimi. Kemudian kepala runcingmu mengalungi
lehernya. Aku kuatir bila kau mengetatkan lilitanmu di lehernya. Tetapi rupanya dia sudah
akrab denganmu. Dibiarkannya dirimu bermanja-manja meliliti lehernya. Kalian saling
bertatapan. Mata dengan mata.

Xiao Qing, kau pasti kedinginan. dia berkata padamu.

Saat itu kulihat, lidahnya serupa lidahmu, bercabang dua juga.

Tik tak tik tak.

Dia mengusap butir-butir air yg menempel di sisik-sisik yang berwarna hijau. Butiran air
yang sama juga sedang meleleh dari sudut matanya.

Kau masih belum bisa menemukannya, Xiao Qing? Sudah berapa ribu tahun sudah berapa
kali kehidupan aku sudah tua untuk yang kesekian kali. dia meratap.

Tidak ada suara lain kecuali detak jam dinding berjarum tiga. Suara Xiao Qing rupanya hanya
sedesis.

Apa katamu? Aku selalu muda dan cantik? Kau pandai menghiburku, Xiao Qing. dia
tertawa sengau.

Lalu dia meletakkan Xiao Qing di sisiku. Ular hijau sebesar lengan manusia itu melingkar
manis di sebelahku. Aku tidak bisa menyentuh Xiao Qing. Dan tampaknya Xiao Qing juga
tidak berminat menempel pada besi sepertiku. Baginya aku terlalu dingin dan kaku.

Dia berjalan terseok-seok menuju sudut ruangan. Di sana ada seutas tambang yang terentang
dari ujung dinding ke dinding yang lain. Tambang itu lebih besar dari tali atau kabel.
Jalinannya bisa dipakai untuk menali jangkar kapal tanker. Beberapa serabut tercerabut dari
pilinannya.

Kemudian aku tidak melihatnya berjalan lagi. Sekarang aku melihat sesuatu merayap di atas
tambang.

Aku heran, kenapa saat hujan sederas ini masih ada sepucuk remang tergantung di bibir
malam?

Tik tak tik tak.


Di ruangan ini tidak ada siapa-siapa lagi kecuali aku dan kau. Kita tetap berdampingan di atas
meja bagaikan sepasang tetangga yang rukun dan damai. Pandangan kita terarah pada sudut
ruangan. Kita sama-sama menahan nafas ketika melihatnya.

Kulit keriputnya retas. Kemudian sobekannya semakin lebar. Terkelupas seperti aspal jalan
yang terlalu lama dipanggang matahari. Dagingnya kenyal dan putih. Sisiknya berkilau
seperti koin logam perak. Dia merambat di tambang dengan perutnya. Rambutnya luruh
berserakan di atas lantai. Kepalanya licin, bulat telur, tanpa sehelai rambut pun.

Dia muda dan cantik, bukan? kau mendesis pelan.

Tik tak tik tak.

Aku terpukau. Dia memang muda dan cantik.

Aku Bai She Jing, Siluman Ular Putih, sepasang sinar matanya memandangku dengan
tatapan manusia. Lembut dan merana.

Tik tak tik tak.

Siapa yang bisa menghancurkan angin dan meluruhkan hujan? Di luar mereka semakin
menggila bagaikan sedang bertengkar memperebutkan rintik.

Kujepit erat-erat sehelai kertas yang belum selesai ditulisnya.

Baiklah, kubacakan untuk kalian.

Puluhan ribu tahun yang lalu, aku hanyalah seekor ular kecil. Ketika datang musim
berangin, sebatang pohon menjatuhiku. Aku tergencet, ekorku gepeng. Aku hanya mampu
menggelepar di tanah berpasir kerikil.

Ketika itulah, seorang laki-laki penggembara melintas. Langkahnya terhalang batang pohon.
Ia melihatku dan aku memandangnya. Tatapan manusia laki-laki itu menghilangkan semua
rasa takut dan sakitku. Tiba-tiba saja aku percaya dan memasrahkan diriku padanya.
Sebenarnya itu bukan sifat seekor ular, bukan?

Tik tak tik tak.

Dia manusia ketika bertemu Xu Xian, katamu bagaikan halaman pembuka sebuah cerita.

.
Bai She Jing sudah membaca mantra selama sembilan ratus sembilan puluh sembilan tahun.
Ia sudah bukan ular putih kecil yang sekarat ditimpa pohon. Tubuhnya sudah bisa
melingkari bukit. Bai She Jing juga bisa terbang walau pun tanpa sayap dan bisa menyelam
walau pun tak bersirip. Setahun lagi, masa bertapanya selesai dan dia akan menjadi dewi.

Sampailah pada sebuah sore bercuaca baik. Di tepi Danau Xi Hu, kami keluar dari
kelembaban tanah. Kami membutuhkan sedikit terang dan kehangatan. Ketika melihat kami,
orang-orang menjerit dan berlarian.

Bai She Jing berkata, Itu karena kita berjalan dengan perut. Mari, kita berjalan dengan
kaki, dan kami pun memiliki sepasang kaki.

Tik tak tik tak.

Aku terus membaca kertas yang diketiknya tadi.

Ternyata berjalan dengan kaki sangat menyenangkan. Aku bisa berdiri tegak dan berlarian
ke sana kemari. Ketika itulah aku menubruk seorang manusia laki-laki. Hidungku menempel
di dadanya. Dari dadanya aku mencium harum masa lalu.

Dui bu qi, aku meminta maaf dan kami bertemu pandang.

Astaga! Walau pun ratusan tahun sudah lalu dan waktu telah berulang kali mengubah
manusia laki-laki itu, namun aku tidak mungkin melupakan sepasang mata yang pernah
menghilangkan semua rasa sakit dan takutku. Tiba-tiba saja aku merasa harus membayar
semua hutang masa laluku. Sebenarnya itu bukan sifat seekor ular, bukan?

Tik tak tik tak.

Tiga jarum jam tidak berdetak lagi. Mereka berhenti bukan karena baterainya sudah aus.
Tetapi karena mereka ingin mendengar kelanjutan ceritamu.

Manusia laki-laki yang bertemu dengan Bai She Jing di tepi Danau Xi Hu itu bernama Xu
Xian. Pakaiannya sederhana seperti orang desa. Tetapi tutur katanya halus dan tertata.
Rupanya ia lulusan pendidikan guru. Ia bisa membaca dan menulis kaligrafi. Ia hendak
pergi ke ibukota negara untuk mengikuti ujian menjadi pejabat. Ia bertekad akan menjadi
pejabat negara yang jujur dan mencintai rakyat. Ia akan menolong rakyat yang bodoh dan
menderita banyak penyakit.

Namun Bai She Jing menahan perjalanannya dengan berbagai macam alasan. Tetapi aku
tahu alasan yang sebenarnya adalah Bai She Jing ingin memilikinya.
.

Tik tak tik tak.

Di luar angin masih tertengkar dengan hujan. Kata-kata yang ditumpuknya masih belum
sempurna.

Xu Xian mendengarkan kata-kataku. Kukatakan padanya bahwa aku menguasai sedikit ilmu
pengobatan. Aku adalah tabib yang bisa mengobati orang sakit. Aku mengajaknya hidup
menjadi rakyat biasa saja.

Maka ia membatalkan perjalanan ke ibukota. Ia mengawiniku dan semua uang bekal


perjalanan dibelikannya rumah. Di rumah, kami membuka toko obat. Dan di halaman
samping ia menerima anak-anak yang belajar menulis dan membaca kaligrafi. Nah,
bukankah kami tetap bisa menolong orang lain walau pun tidak menjadi pejabat negara?

Kami dikenal sebagai pasangan tabib dan guru. Aku meracik obat dan memeriksa orang-
orang yang datang karena sakit. Aku tidak pernah memungut bayaran sebab mereka adalah
petani, nelayan, peternak bahkan juga ada gelandangan. Sedangkan Xu Xian mengajari
anak-anak mereka membaca dan menulis kaligrafi. Ketika panen, banyak orang yang
mengirim beras, jagung, sayur, buah, ikan, ayam dan membantu membersihkan rumah kami.
Hidup kami tidak berlebihan tetapi juga tidak pernah kekurangan.

Xu Xian sangat memperhatikan dan memanjakanku. Aku pun sangat memujanya. Ia tampan
sekali dengan sepasang mata yang berbintang. Ia selalu memandangku dengan mesra,
pandangan yang selalu kuingat walau pun telah ribuan tahun yang lampau. Ternyata hidup
sebagai manusia itu bahagia sekali.

Tik tak tik tak.

Xiao Qing terdiam lama. Tidak ada suara sama sekali. Ini situasi yang menggelisahkan.
Sangat tidak sehat bagiku.

Xiao Qing, bagaimana selanjutnya?

Begitulah, Bai She Jing memiliki seorang suami manusia yang tidak tahu bahwa ia
beristrikan seorang perempuan yang bukan manusia.

Bai She Jing tidak berniat lagi meyempurnakan semedinya yang hanya tinggal setahun. Ia
terlalu bahagia hidup sebagai manusia, sebagai istri Xu Xian.

Xiao Qing, kau harus merahasiakan siapa kita sebenarnya. Sebentar lagi aku akan
melahirkan anak Xu Xian, anak manusia. air mata mengaliri wajahnya yang berseri.
Hanya manusia yang bisa menangis seperti itu, bukan?

Tik tak tik tak.

Aku mendengar suara gemuruh. Sepertinya langit rubuh karena ada air mata yang tumpah.

Air mataku menghujan ketika seorang rahib mengetahui asal-usulku. Mahluk apakah kau?
Kembalilah ke asalmu.

Aku tidak mau kembali kepada gelapnya lorong-lorong gua. Aku manusia tolong, jangan
ganggu kehidupanku, aku takut sekali ia mengatakan siapa aku sebenarnya kepada Xu
Xian.

Kau siluman.

Tidak. Aku mengandung anak manusia.

Lahirkanlah anakmu sebagaimana siluman melahirkan. Kemudian serahkan anakmu


padaku. Aku akan mengasuh dan membesarkannya sebagaimana manusia.

Tidak. Aku akan melahirkannya dan membesarkannya.

Siluman tidak boleh hidup dengan manusia.

Tidak. Aku mencintai suami dan anakku. Aku tidak akan meninggalkan mereka.

Kau jangan memaksa takdir. Atau aku yang memaksamu kembali?

Rahib itu membangkitkan kemarahanku. Ia memaksaku berwujud siluman.

Tik tak tik tak.

Kau menoleh kepadaku. Apakah kau hendak melihat siluman? Pandanglah mataku.

Aku memandangmu tetapi tidak bisa mengiaskan sepasang matamu seperti apa. Aku takut
menceritakan kepada orang lain tentang apa yang kubaca dari sepasang matamu.

Ketika rahib itu membawa Xu Xian, kemarahan Bai She Jing bahkan melebihi siluman. Dia
terbang tinggi sekali. Dari ketinggian, dia menukikkan kepalanya sampai amblas ke bumi
dan menghempaskan ekornya mengaduk-aduk lautan. Gelombang bergulung-gulung seperti
sebarisan rayap yang melahap gunung, sawah, ladang, rumah dan manusia. Langit koyak,
bumi retak dan laut bergolak.
Di tengah amuknya, dia melahirkan anak Xu Xian, anak manusia. Lalu Bai She Jing
tergeletak lemah seperti manusia. Dia tidak punya kekuatan siluman lagi.

Rahib itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menangkap Bai She Jing, Bertapalah
sampai seribu tahun lagi untuk menebus kesalahanmu, si rahib mengurungnya di sebuah
pagoda yang dikunci dengan mantra.

Qing, tolong selamatkan anakku dan carilah Xu Xian sampai seribu tahun lagi. ada
yang menitik dari mataku ketika Bai She Jing melengkingkan luka cinta.

Tik tak tik tak.

Tiba-tiba saja pintu jebol dan jendela berderai. Dari luar, air menyerbu seperti sekompi
pasukan perang.

Aku hanya sebuah mesin ketik tua yang mati-matian menyelamatkan sehelai cerita cinta yang
kuanggap belum usai. (*)

Catatan:

Ide cerita berasal dari legenda China: Bai She Jing, Siluman Ular Putih.

Qiu Shui Yi
Cerpen Lan Fang (Jawa Pos, 20 Februari 2011)
AKU menekukkan punggung seperti panda yang malas bergerak. Angin menggasak dada.
Dingin menghajar kulit. Kunaikkan retsliting jaket tipisku, agak macet. Jaketku tampak tua,
pudar dan lepek. Warna birunya sudah tidak sempurna seperti tarikan retslitingku yang
tersendat-sendat.

Dengan kesal, kutarik retsliting jaket sekuat-kuatnya. Seketika itu juga gigi retsliting lepas
dari relnya. Aku tidak tahu apa sebabnya. Apakah aku yang terlalu kuat menariknya atau jaket
yang kukenakan ini.

Tiba-tiba aku teringat kata-kata si pramuniaga toko ketika ia memajang sebuah jaket yang
tampak begitu sempurna.

Jaket ini terbuat dari kulit kualitas nomor satu. Kulitnya halus, kencang dan gemerlap. Tidak
berserat, retas atau kerut. Jahitannya rapi sampai ke pelipit. Bagian sebelah dalam dilapisi
wol tipis sehingga menghangatkan.

Hm, jaket kualitas satu. Artinya ada jaket kualitas dua, kualitas tiga. Lalu jaket yang
kukenakan ini termasuk katagori kualitas ke berapa ya? Atau sama sekali tidak berkualitas?

Aku sudah lupa kapan dan dimana aku mulai mengenakan jaket bulukan ini. Tetapi yang pasti
jaketku bukan dari toko, plaza apalagi butik. Aku mendapatkannya dari seorang perempuan
tua pedagang kaki limaseperti diriku.

Ketika itu kami sama-sama berjualan di trotoar Zhongzhan Beilu. Perempuan tua itu bertubuh
pendek, gempal dengan banyak bercak di wajahnya. Ia memakai sweater dekil yang benang-
benangnya sudah banyak terlepas. Ia jarang sekali mengajakku bercakap apalagi berbasa-basi
menawariku bakpao hangat. Ia hanya bertanya satu kali siapa namamu?

Qiu Shui Yi, jawabku sambil mengamati betapa giatnya ia menawari para pejalan kaki
yang lewat.
Ia menjual jaket-jaket. Ada yang terbuat dari jeans, kaos, katun tipis atau kulit sintetis. Ada
yang panjangnya sampai selutut, sepinggang atau cuma menggantung di dada. Model dan
warnanya juga bermacam-macam. Menurutnya, jaket-jaket itu semua baru. Dijualnya dengan
murah, hanya 15 RMB [1] karena ada diskon besar dari perusahaan garmen.

Bah! Dipikirnya aku bisa dibohongi dengan mudah?

Aku tahu jaket-jaket itu adalah stok lama yang sudah ketinggalan model. Itu barang yang
sudah tidak laku dijual di toko. Parahnya lagi, warnanya sudah luntur dan baunya apek.
Banyak calon pembeli yang mengeryitkan kening ketika membolak balik jaket yang mereka
pilih. Mereka menemukan kancingnya yang lepas, lubang di lengannya, kerahnya yang
sobek, dan banyak cacat ini itu sehingga mereka batal membelinya.

Ia ulet sekali merayu calon pembeli. Ia tidak hanya memuji-muji barang jualannya saja, tetapi
ia juga setengah merengek sekaligus setengah memaksa. Bahkan kadang-kadang ia mengejar
pembeli yang sudah menjauh. Bila kebetulan kami bertemu pandang, ia segera melengos
seakan-akan aku kuman menular yang menjijikkan.

Sebagai sesama pedagang kaki lima, aku merasa lebih berkelas dibanding penjual jaket
loakan itu. Sebab aku tidak menjual barang bekas. Aku menjual gantungan kunci dan
gantungan handphone dengan berbagai macam bentuk yang lucu dan menggemaskan. Ada
bentuk mickey mouse, pucha, amor, teddy bear, peluit, pengantin Cina, dan lainnya.

Para pembeliku kebanyakan gadis-gadis muda dengan penampilan trendi. Saat musim
panas mereka lalu lalang dengan mengenakan rok mini, stoking jala laba-laba, sepatu boot
pendek, tank top yang ditutupi jaket pendek penuh rantai-rantai yang bergelantungan. Ketika
musim dingin mereka hilir mudik dengan memakai celana legging ketat, rok berimpel, sepatu
boot setinggi lutut dan syal yang berjuntai di tengah jaket panjang. Aku berharap suatu saat
aku juga bisa tampil secantik mereka.

Zhongzhan Beilu adalah sebuah jalan protokol di Quanzhou. Di sepanjang jalan ini banyak
butik yang memajang pakaian pengantin. Ada pakaian pengantin ala Cina dengan model
kerah Shanghai yang menutupi leher, berwarna merah dengan belahan rok samping sampai ke
atas paha. Ada juga berbagai macam model baju pengantin Eropa berwarna putih gading,
bahu terbuka dengan bagian bawah yang mekar bertumpuk-tumpuk. Butik itu menamai
koleksi gaun pengantin untuk musim dingin kali ini The Winter Bride. Di emperan butik
itulah aku meletakkan meja kecil untuk menata jualanku.

Tetapi pada suatu malam ketika lampu-lampu toko di sepanjang Zhongzhan Beilu belum
dipadamkan, tiba-tiba serombongan polisi menyisir trotoar dari ujung terminal.
Segerombolan pengemis dan orang-orang yang pura-pura mengemis, pemulung dan orang-
orang yang pura-pura memulung, pencopet yang belum atau sedang sungguh-sungguh
mencopet langsung bubar dengan menggerutu.

Biasanya mereka berkumpul dan mengorek-ngorek tong sampah mengambil sisa burger dan
soft drink. Kalau ada mangkuk mie instan bekas, mereka pergunakan untuk menyeruput teh
panas atau kuah mie. Kemudian mereka merokok sambil menghitung pendapatan mereka.
Bila lewat tengah malam, barulah mereka mengambil plastik dan kardus untuk dipakai alas
tidur.
Rupanya para polisi tidak hanya menangkapi pengemis, pencopet dan pemulung yang
menjajah Zhongzhan Beilu dengan merdeka. Mereka juga mengobrak-abrik pedagang kaki
lima, sudah tentu termasuk diriku. Mereka bergerak secepat angin puting beliung
menggulung semua yang tercecer di trotoar. Tetapi jangan pernah ada yang meremehkan
pedagang kaki lima. Kami mirip para triad yang mempunyai kemampuan mengendus kemana
arah angin bertiup.

Tanpa perlu dikomando, aku segera meraup barang-barang daganganku. Tanganku sudah
terlatih seperti tangan pesulap. Hanya dalam hitungan detik, gantungan-gantungan kunci dan
handphone yang tidak seberapa banyak itu sudah aman berada di dalam kantung plastik kecil.
Meja kecil yang kupergunakan untuk menata barang dagangan kudekap bagaikan memeluk
lelakiku. Punggungku disergap dingin ketika menempel di etalase The Winter Bride.

Pada saat itu ada sesuatu melayang menutupi kepalaku. Kau bawa dulu! aku hanya
mendengar suara perempuan tua penjual jaket itu.

Ketika aku berhasil melepaskan diri dari timpukannya barulah kusadari bahwa ia
melemparkan sebuah jaket bulukan kepadaku.

Ingat, besok kembalikan padaku! perintahnya sambil menyelamatkan seluruh harta


bendanya. Ia menarik dua kardus besar yang belum sepenuhnya tertutup dengan rapi. Banyak
lengan jaket yang masih bergelantungan di bibir kardus, berjuntai seperti mengepel trotoar.

Tetapi besok, lusa dan hari-hari selanjutnya kami tidak pernah bertemu lagi. Sebab di
sepanjang Zhongzhan Beilu, polisi rajin mondar mandir seperti setrika merapikan trotoar dari
pengemis, pemulung, pencopet dan pedagang kaki lima. Sejak itu maka jaket bulukan ini
kukenakan. Memang jaket ini tidak lebih bagus dari kain pel tetapi lumayan juga untuk
menahan gempuran angin yang menabrak dada.

Lalu pindahlah aku ke jalan di sebelah Zhongzhan Beilu, yaitu: Dong Jie Lu. Sepanjang jalan
ini ada toko-toko kecil, depot mie, bank, hotel, rumah teh, juga pangkalan angkatan laut.
Sebuah kios pulsa, toko handphone dan rombong jagung rebus ada di tikungannya. Aku
menggelar daganganku di pinggir sebuah toko pakaian besar yang menjual berbagai macam
pakaian laki-laki dan perempuan. Kaca etalasenya lebar. Di sana berdirilah banyak manekin
dengan pakaian-pakaian model terbaru.

Aku naksir sebuah jaket berkerah tinggi. Kerahnya terbuat dari bulu lembut bagaikan ekor
musang yang meliliti leher. Aku jatuh cinta pada jaket itu pada pandangan pertama. Jaket itu
tampak jinak, tidak mematikan.

Pada bagian depan ada empat kancing besar seperti jas para pajabat saat mereka disorot
kamera televisi. Warnanya bukan shocking pink, atau putih suram yang mudah menampakkan
kotor, juga bukan hitam gelap seperti pada saat lampu-lampu toko dipadamkan. Warna jaket
itu coklat maroon, necis dan elegan. Warna yang selalu mengingatkanku pada saat-saat
perpindahan musim. Aku sempat melirik bandrol harga yang ditautkan di belakang kerah.
1.250 RMB.

Sejak dipajang, banyak orang tertarik pada jaket itu. Setiap hari ada saja orang yang melihat,
menyentuh, mencoba dan mematut-matut diri dengan mengenakan jaket itu. Dari emperan
toko, kupandangi mereka dengan sengit dan perasaan tidak rela. Semakin kupandang, aku
kian merasa jaket itu adalah milikku.

Aku bahagia sebab sudah tiga bulan tidak ada seorang pun yang membeli jaket itu. Jaket itu
tetap dikenakan si manekin yang berada di balik kaca tebal. Ia berdiri dengan tubuh miring ke
belakang, posisi salah satu kakinya tersilang di depan dan berselimut jaket idamanku. Ia
mengulum senyum. Aku sirik sekali dengan nasib baiknya!

Kularikan pandangan kepada jalanan yang basah. Dalam hati kusumpahi langit yang sejak
pagi membuat jualanku belum ada yang laku satu pun. Sampai malam begini, hujan masih
terus membuat orang-orang sibuk mencari tempat berteduh daripada membeli gantungan
kunci.

Tiba-tiba seorang perempuan singgah dengan terburu. Ia merapat padaku untuk ikut berteduh
di bawah teras toko. Harum jagung rebus menguap dari kantong kecil yang ditentengnya. Ia
menepis bulir-bulir yang belum terlalu banyak membasahinya. Bulir-bulir itu menimpaku.
Betapa kurang ajarnya dia!

Hey! seruku. Aku sedang ingin membuat persoalan.

Ups! Dui bu qi [2]. jawabnya dengan logat yang aneh. Aku jadi ingin lebih
memperhatikannya.

Rambutnya hitam, tidak kuning seperti surai-surai jagung. Warna kulitnya seperti sari
kedelai, tidak putih juga tidak coklat. Bentuk matanya seperti kuaci. Ia mengenakan jaket
katun yang dipenuhi gambar.

Gambar-gambar di jaketnya semarak, tetapi aku belum pernah melihat gambar-gambar


seperti itu sebelumnya. Seperti gambar kuntum bunga persik, tetapi lebih mirip kelopak
awan. Mirip kelopak awan, tetapi lebih menyerupai tanduk menjangan. Serupa tanduk
menjangan, tetapi persis sekali ekor phoenix. Persis ekor phoenix tetapi bagaikan

Ni hao [3]? ia tersenyum menyapaku karena merasa kuperhatikan.

Kau bukan orang Cina ya? Kau darimana? aku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin
tahuku.

Indonesia, sahutnya dengan langgam Mandarin yang terdengar aneh di telingaku.

Oh, Indonesia. seruku.

Belakangan ini, aku sering melihat berita Indonesia muncul di televisi. Ini negara yang
banyak mengirim orang bekerja ke Hongkong. Dan semalam kudengar ada banjir tsunami,
gempa dan gunung merapi yang meletus di sana. Lalu apakah perempuan ini sedang
mengungsi ke Quanzhou? Atau ia adalah salah seorang dari perempuan-perempuan Indonesia
yang bekerja di Hongkong? Aku menerka dalam hati.

Iya, aku dari Indonesia, tegasnya.


Lalu ia nyerocos seperti petasan kampung dengan bahasa Mandarin yang patah-patah. Ia
berusaha keras membuatku mengerti apa yang dimaksudkannya dengan mimik wajah yang
membuatku teringat pemain opera layar tancap di desaku. Ia kelihatan bersemangat walaupun
penontonnya cuma aku seorang.

Diam-diam aku terus memperhatikan jaketnya yang penuh gambar itu. Menurutku, jaket
manekin di dalam etalase itu jauh lebih keren. Tetapi entah kenapa jaket yang dipakainya
begitu menarik perhatianku. Atau aku sedang terpesona dengan gaya bicaranya?

Hei, apakah kau menjual gantungan kunci yang bertulis Quanzhou? tanyanya sambil
meneliti gantungan-gantungan kunci di meja kecilku.

Aku langsung bersukacita. Seharian belum ada satu pun gantungan kunci yang terjual.
Kusodorkan gantungan kunci berbentuk sepasang boneka pengantin yang berciuman. Ini
bagus, murah dan lucu sekali. Cuma 10 RMB.

Ia menggeleng-gelengkan kepala.

Ayolah, sepasang boneka pengantin ini cocok untuk gantungan kunci. Kau satu dan
kekasihmu satu. Kalian adalah sepasang yang saling mengunci. Aku meniru perempuan tua
penjual jaket itu pada saat merayu calon pembeli. Aku terkejut dengan kata-kata manis yang
terlontar begitu saja. Rupanya pada saat membutuhkan uang, orang bisa berbicara sangat
manis.

Ia tetap menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi kali ini gelengannya tidak sedashyat


gelengannya yang pertama.

Bagaimana kalau gantungan kunci peluit ini saja? aku mulai mengeluarkan jurus setengah
memaksa. Pada saat kau merindukan kekasihmu, tiuplah. Begini, kutiup peluit kecil itu
sampai mengeluarkan suara mendenging.

Apakah suaranya bisa sampai ke Indonesia? tanyanya.

Oh, bisa! Coba saja.

Ia mengambil sebuah gantungan kunci peluit. Ia mengembangkan dada untuk menghimpun


udara sebanyak-banyaknya. Lalu pipinya menggelembung seperti balon. Ia meniup peluit
sekuat tenaga.

Bunyi peluit terdengar panjang membelah gerimis. Berkelok di setiap tikungan jalan,
berputar di lampu setopan, memantul dari dinding-dingin gedung, menggelinding di trotoar
pejalan kaki, mampir sejenak di badan bis kota, kemudian menempel pada biji-biji hujan,
diterbangkan angin, menembus awan, langit, laut

. bunyinya panjang, tidak meratap, tidak merintih, tidak meraung. Tetapi melengking.
Seperti suara jantung yang diiris dengan pecahan beling. Itu suara kerinduan yang
menggelepar sekarat sendirian.

Setelah selesai meniup peluit, ia berkata, Aku menginap di Golden Star Hotel. Tetapi sudah
dua malam aku tidak bisa tidur. Anginnya kencang sekali seperti berteriak-teriak kehausan.
Padahal bukankah ia membawa banyak kantung-kantung air? Ia menabrak kaca jendela
kamarku sampai berderak-derak. Kamarku di lantai lima. Aku kuatir kalau hotel itu ambruk
dan aku terperangkap di dalamnya, sambungnya dengan ketololan yang tidak tertolong lagi.

Bagaimana tidak? Hotel yang disebutkannya adalah hotel berbintang empat di belokan
pertama Dong Jie Lu. Hotel itu berada di depan pangkalan angkatan laut. Logikanya, ia aman
dan nyaman menginap di sana.

Tiba-tiba ia bertanya, Ng, apakah besok kau ada waktu mengantarku berjalan-jalan? Lusa
aku pulang ke Indonesia. ia setengah bergumam sambil mengangsurkan sebongkol jagung
rebus.

Aku tidak mau bergengsi-gengsi lagi untuk menolak tawarannya. Sejak tadi harum jagung
rebus itu begitu menggiurkan. Apalagi saat dingin dan basah begini. Aku membutuhkan
sesuatu yang bisa menghangatkan kulit dan darahku.

Dui bu qi, besok aku harus berjualan, ujarku sambil mengerokoti biji-biji jagung,
mengunyah ampasnya, memamahnya sampai halus dan sari jagung meluncur, menyumpal
dingin di perutku. Sekarang aku merasa jauh lebih baik.

Sebenarnya aku ingin menanyakan berapa ia akan membayarku untuk mengantarnya


berkeliling Quanzhou. Tapi kulihat ia tidak berpotongan perempuan kaya. Jika ia perempuan
kaya, saat ini ia makan di meja jamuan dengan cucuran red wine. Atau keluar masuk mal
sambil menenteng tas belanjaan yang berisi baju dan sepatu bermerk, membeli perhiasan,
minum teh sepat panas di tea house, kemudian memilih gelang giok yang kilau hijaunya
berkualitas nomer satu.

Aku mendadak teringat jaket kualitas nomer satu yang dipakai manekin di dalam etalase
toko.

Begini saja, besok antarkan aku dan aku akan membeli semua barang jualanmu, kata-
katanya membuatku terkesiap.

Ia akan memborong barang daganganku?! Apakah telingaku tidak salah mendengar? Wow,
rejeki nomplok!

***

Tepat seperti dugaanku semula, ia bukan perempuan kaya. Sehari penuh kami berkeliling
Quanzhou tapi ia tidak berbelanja apa-apa. Ia justru membawaku ke tempat yang belum
pernah kudatangi. Kami pergi ke komplek kuburan suci di Bukit Ling Zhan.

Di sana ia mencatat dan memotret batu-batu bertitik, bergaris, berlengkung dan berbujur,
yang dibaca dari atas ke bawah dan dari kanan ke kiri. Titik, garis, lengkung, bujur yang
mengguratkan sejarah perjalanan mulia, yang mencetak keindahan abad demi abad, yang
menuliskan nama manusia di dalam sepetak tanah, yang dibaca manusia lain ketika debu
kembali ke abu, yang bila ditarik lebih panjang akan menjadi catatan baru.

Sampai petang datang, barulah kami mengakhiri perjalanan. Gerimis menderas. Angin kian
keras menampar dada. Kami terdampar di emperan toko, di depan etalase manekin yang
mengenakan jaket kualitas nomor satu. Ia mengibaskan bulir-bulir yang membasahi
tubuhnya. Aku bersidekap melawan dingin.

Lalu aku mengeluarkan kantung plastik yang berisi semua gantungan kunci dan gantungan
handphone. Kuserahkan padanya. Seharusnya ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya,
bukan?

Aku tidak mau berkata apa-apa seperti, Ini semua barangku, kau berjanji akan membelinya.
Untuk siapa saja sih? Kok banyak sekali? Ini cukup berat loh. Kurasa, kata-kata ini itu
hanya akan menciptakan suasana sentimental. Bahkan aku kuatir bisa membatalkan niatnya
memborong semua jualanku.

Ia mengangsurkan 2.000 RMB. Ini uang yang kujanjikan kemarin. Xie-xie [4] untuk
sepanjang hari yang menyenangkan ini.

2.000 RMB! Uang yang lebih dari cukup untuk membeli jaket kualitas nomor satu itu

Tetapi ia tidak mengambil semua barang yang kuserahkan padanya. Ia hanya mengambil
sebuah peluit. Aku hanya ingin peluit ini, peluit kerinduan. kantung plastik yang masih
penuh berisi gantungan kunci dan gantungan handphone dikembalikannya lagi kepadaku.

Aku terkejut, terkesima dan semakin melongo ketika tiba-tiba ia melepaskan jaketnya yang
penuh gambar itu. Ia menyorongkannya kepadaku. Wo song gei ni [5] Aku tidak punya
apa-apa untuk kenang-kenangan. Aku ingin kau mengingatku. Nah, bila kau memakai jaket
ini, maka kau akan ingat padaku.

Aku terperangah karena mendadak rasa sedih menyergapku. Walau pun aku hanya pedagang
kaki lima, tetapi aku cukup cerdas untuk mengerti sebuah kalimat perpisahan. Kata-katanya
membuat mataku terasa panas. Ada sesuatu hampir tumpah dari sana.

Aku terdiam. Ia pun terdiam.

Aku memandangnya. Ia pun memandangku.

Zai jian [6]. ia menghela nafas, bangkit dan melambaikan tangan.

Hei, tunggu. aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Juga belum sempat
menanyakan siapa namanya, apa pekerjaannya, kapan ia akan datang lagi, nomor handphone-
nya, atau bagaimana caranya agar kami bisa bertemu lagi.

Tetapi ia sudah menerjang hujan. Bayangannya diterkam malam.

Sedangkan di etalase, si manekin masih mengenakan jaket kualitas nomor satu, masih berdiri
miring, masih tersenyum.

Sayup-sayup kudengar lengking peluit. Panjang menjeritkan kerinduan. (*)


Catatan:

[1] RMB: Ren Ming Bi = mata uang China. 1 RMB setara kurang lebih Rp. 1.300,-

[2] Dui bu qi = maafkan saya

[3] Ni hao? = apa kabar?

[4] Xie-xie = terima kasih

[5] Wo song gei ni = aku memberikan (ini) untukmu

[6] Zai jian = sampai jumpa lagi

Gandrung
Cerpen Lan Fang (Jawa Pos, 26 September 2010)

APAKAH kau pernah melihat bulan bulat dengan kilap mentega? Itu hanya terjadi setahun
sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru
dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan.

Konon, dahulu, pada saat bulan bulat sekilap mentega, orang-orang Cina berkumpul di
halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang
manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat
malam.

Hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl.
Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari
dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada
saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-
orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan
menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli.

Bulan purnama di pertengahan musim gugur? Kita tidak mengenal musim gugur. Saat ini
kita berada pada mangsa labuh, sebuah musim yang terjepit di antara hujan dan kemarau,
gumammu tumpang tindih antara gemerisik dan bisik. Aku tidak bisa membedakannya. Sama
saja.

Sebenarnya aku ingin menyanggah kata-katamu. Siapa bilang musim gugur tidak menyapa
kita? Tadi aku berjumpa dengannya di sebuah jalan protokol dengan jalur kendaraan dua arah
yang selalu sibuk. Pada bagian tengah jalan, lekuk-lekuk pohon meliuk. Mereka menjadi
peneduh dari kegarangan sebiji matahari. Pada akar-akar mereka debu-debu mengabu.

Di sana daun-daun gugur. Dari ujung-ujung ranting, mereka melayang dengan pasrah.
Mereka berputar-putar sebentar bagai dipermainkan angin lalu terkapar dengan lembut.
Seakan-akan mereka tidak berniat untuk melawan. Atau mereka sadar bahwa melawan pun
akan percuma?

Ketika itu, lidahku ingin menyeru, Lihatlah! Angin saja tak tega menghempaskan daun.
Kenapa kau begitu kepadaku?

Tetapi aku terbungkam ketika mereka menyerbu bumi. Beruntun mereka menamparku
dengan lembut, tamparan yang tidak mau kuhindari. Kemudian mereka bergerombol, saling
menyelip, saling menyelinap, saling menumpuk, saling memenuhi kepalaku. Aku jadi putri
dengan mahkota daun, mahkota ringkih yang dipersembahkan sang pedih.

Tetapi, lihatlah. Aku secantik Chang Erl, bukan?

Tiba-tiba ada laki-laki sekaya saudagar yang menggerutu, Kau selalu tidak pernah tampil
cantik.

Laki-laki lain yang matanya sekeruh danau berpasir mencibiriku, Hanya dengan daun,
embun, hujan, kau sudah merasa cantik? Hah! Masih ada laki-laki yang mulutnya dengan
murah menyerapahiku, Kau bukan cantik tapi binal!

Kemudian saudagar laki-laki itu membawaku kepada seorang perempuan lalu berkata,
Belajarlah tentang kecantikan padanya.

Sehari-hari, saudagar itu selalu tampak sebaik malaikat. Jadi aku yakin ia pun bermaksud
baik padaku. Ia kerap berbisik padaku, berbisik seakan-akan tidak mau dan tidak boleh ada
orang lain yang mendengar bisikannya. Aku ingin mati saja.

Aku heran, kenapa ia selalu ingin mati padahal seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan
kekayaannya? Atau karena aku fakir maka aku takut mati?

Aku capai terbang dengan sebelah sayap, gumamnya setengah tertawa sekaligus setengah
menangis. Sejak itu aku mengerti bahwa ia bukan malaikat melainkan anak burung bersayap
sebelah. Dengan letih ia mengayuh sayapnya yang sebelah, sayap kering tanpa bulu-bulu
sehalus beludru. Pantas, ia selalu ingin mati.
Perempuan yang diperkenalkannya itu tampaknya juga setulus bidadari. Ia suka sekali
menggeliat-geliat untuk mempertontonkan kecantikannya. Matanya selalu berkedip-kedip,
lidahnya selalu dijulur-julurkan, kepalanya selalu digoyang-goyangkan, dan wajahnya rata
seperti wajan penggorengan martabak.

Si saudagar laki-laki memandang perempuan itu dengan penuh kekaguman. Lihatlah, betapa
cantiknya dia tanpa hidung. Ia bergairah bagaikan kerbau dicocok hidung. Pasti ia telah
membatalkan keinginannya untuk mati.

Lalu perempuan tanpa hidung itu mengajariku cara mempercantik diri. Setiap malam, dengan
mahir ia mencopoti hidung-hidung perempuan lain yang sedang bermimpi untuk ditempelkan
di mulut, telinga, mata, dan hidungnya sendiri. Ia selalu tampil mempesona dengan wajah
yang berhiaskan banyak hidung sampai subuh karena sebelum terang ia sudah harus
mengembalikan hidung-hidung yang diambilnya tanpa izin itu.

Sekarang aku tahu kenapa aku selalu bermimpi buruk tentang perempuan tanpa hidung itu.
Sebab aku tidak mau memberikan hidungku untuknya sekaligus aku tidak mau mempercantik
diri dengan hidung-hidung imitasi.

Kemudian tentang laki-laki bermata pasir. Ia tidak pernah membawaku kepada perempuan
lain. Ia kerap mengajakku duduk-duduk saja. Percakapan kami cenderung pembicaraan basi,
seperti kau suka apa? tetapi ia tidak pernah memberikan apa yang kusukai. Bahkan ia suka
melakukan apa yang tidak kusukai. Salah satunya adalah ia suka memegang stopwatch yang
berbunyi untuk setiap detik yang telah terlampaui. Ia mirip sekali dengan pelatih atletik yang
memacu anak latihnya berlari lebih cepat dari angka stopwatch.

Kesukaan lain yang disukainya adalah cerita tentang perempuan setengah baya yang
menempel seperti lintah sehingga ia tidak pernah punya waktu untukku. Ia bercerita tanpa
pernah bermaksud memperkenalkan diriku dengan perempuan yang kerap diceritakannya itu.
Logikaku mengatakan bahwa ia pun betah menempel pada lintah betina tua itu dengan riang
gembira. Karena setiap kali, tepat bersamaan dengan akhir ceritanya, setiap stopwatch
berbunyi tittittit, kulihat matanya mengeruh tetapi aku tidak menemukan pandangan
bersalah di sana. Saat kami bertaut pandang ia tersenyum setulus bulus yang sedang berusaha
menyenangkan hatiku.

Aku berkata, Perjumpaan kita seperti pertandingan lari jarak pendek.

Tetapi tampaknya ia tidak berniat memperpanjang waktu dengan memutar kembali


stopwatch. Maaf, sekarang sudah waktunya aku melayani lintah betina tua itu. Ia suka
sekali mengucapkan kata-kata itu.

Walaupun demikian, aku yakin bahwa ia juga suka padaku sebab laki-laki hanya mau minta
maaf kepada perempuan yang disukainya. Jadi, seketika itu, dengan perasaan suka cita, aku
menjawab, Maaf, aku tidak suka dengan maafmu itu.

Lain lagi dengan laki-laki yang mulutnya begitu murah serapah. Aku tahu betul dari mana ia
berbelanja kata-kata sampah. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak
pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang
mungkin belum pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat lagi. Ia membelinya dari perempuan
terhormat yang mungkin sudah pernah diam-diam membinali laki-laki. Oh, kuralat untuk
kesekian kalinya. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak suka
membinali laki-laki, mungkin perempuan terhormat itu suka membinali yang lainnya.

Jadi, terus terang kukatakan padanya bahwa aku perempuan yang mungkin tidak terhormat
tetapi mungkin cantik dan mungkin suka membinali laki-laki. Tentu saja laki-laki yang sesuai
seleraku. Seketika itu juga ia menjual semua koleksi kata-katanya: Pelacur, sundal, lonte
recehan! Percuma. Aku sama sekali tidak berminat membeli kata-kata itu, apalagi
membinali dirinya.

Nah, kau tidak seperti mereka. Kita bertemu pada suatu beranda tanpa lampion. Aku tidak
yakin saat itu dalam keadaan gelap karena sumbu lilin cukup terang untuk melihatmu dalam
keadaan memejam. Tampak wajahmu begitu tenang dan bersih sehingga aku langsung tergila-
gila.

Aku ingat sebuah dongeng tentang Putri Tidur yang tertenung sampai seorang pangeran baik
hati membangunkannya dengan ciuman. Aku yakin kau juga sedang dalam kuasa tenung
sehingga aku ingin membebaskanmu dengan ciumanku.

Atau kau adalah drakula, Pangeran Kegelapan yang akan bangun pada saat gelap tiba? Bila
demikian, aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, akan kurelakan hidupku tidak untuk
hidup dan matiku tidak untuk mati. Aku ingin kau segera membuka mata; melihatku dan
mendengarkanku, Inilah leher kekasihmu, Taring Runcing. Aku menunduk untuk
menyentuhkan bibirku pada bibirmu.

Tes!

Lilin yang kupegang lebih dahulu menjatuhkan minyaknya di bibirmu. Aku khawatir bibirmu
terkelupas atau melepuh. Ternyata tidak. Bibirmu tetap seindah pualam. Minyak lilin
mengental di sudut bibirmu. Pasti bibirmu dingin sekali. Aku kian ingin menghangatinya.
Untuk kedua kalinya aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.

Blep!

Lilinku padam karena desis angin membuatnya tak berdaya. Tetapi keadaan tetap tidak gelap.
Ada remah-remah cahaya yang jatuh sehingga aku bisa melihat dengan jelas bibirmu terkuak
dengan indah. Lalu dengan ikhlas kusongsong kilaumu yang menancap padaku. Dingin
sejenak saja kemudian kurasakan ada yang menetes, bercucuran, mengalir dengan cara yang
sangat sepi. Begitu kekal.

Perlahan-lahan kelopak matamu membuka. Aku melihatmu, zahir yang menyihir. Sssttt, ini
aku, Tuan Mimpi. Bungkuslah rapat-rapat setiap pertemuan kita. Jangan sampai ada yang
terselip di bulu mata, nanti orang lain menafsirkannya. Berjanjilah, hanya kita yang tahu
rindu begitu syahdu. Aku hanya mampu setia untuk setiap katamu.

Abad pun berganti abad, kunjunganmu kian paripurna. Mimpi bisa terjadi kapan saja. Tetapi
aku yakin tidak sedang bermimpi setiap bertemu denganmu. Sebab aku menyimpan dirimu
dalam ingatan paling mesra. Segenap ingatan yang bisa kubangunkan setiap saat aku mau.

Kemudian sampailah kita pada mangsa labuh, yang ujarmu kemarau tidak, hujan pun tidak.
Pagi-pagi jadi terlukai dan malam-malam jadi terkulai. Nganga dada membuat hari-hari kian
berbatu. Kemesraanmu rontok seperti dedaunan yang bergelimpangan sehingga kerinduanku
bagai gelandangan tak bertuan. Musim ini ngungun sekali.

Apakah kau lupa padaku? Ke mana kau tersesat? Mangsa labuh ini hanya sebuah musim
yang menjebak!

Aku sudah total berubah, tidak dan bukan yang dulu, jawabanmu persis politisi bertelinga
tebal yang tengah meliukkan lidah pada konstituennya.

Bila kau bukan Tuan Mimpi lagi lalu jadi apakah kau sekarang? Apakah jadi gunung, jadi
laut, jadi jurang? Aku tidak percaya kau sejahat itu padaku. Kau tidak mungkin berhitam hati
dan berputih mata padaku. Aku tetap meratap seperti tidak punya harga diri. Bukankah cinta
tidak pernah berhitung dengan harga?

Sambil menangis sejadi-jadinya, aku mengitari jalan demi jalan, jalan yang itu-itu juga;
tikungan demi tikungan, tikungan yang itu-itu juga; ceruk demi ceruk, ceruk yang itu-itu
juga; tanjakan demi tanjakan, tanjakan yang itu-itu juga; masjid demi masjid, masjid yang
itu-itu juga; sampai

Sampai aku menangisi azan demi azan, azan yang itu-itu juga; harum demi harum, harum
yang itu-itu juga; puisi demi puisi, puisi yang itu-itu juga; rindu demi rindu, rindu yang itu-itu
juga; mimpi demi mimpi, mimpi yang itu-itu juga; sampai.

Sampai aku tersungkur.

Tidak kuhiraukan ujung-ujung pepohonan yang mendongak pongah padahal sesungguhnya


mereka menderita karena terik. Mereka sudah terlalu cerdas untuk menyombongkan diri dari
guncangan angin. Seperti itulah diriku yang tidak memedulikan apakah kau mencintaiku atau
tidak, apakah kau merindukanku atau tidak, apakah kau mengharapkanku atau tidak. Sebab
aku juga sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukaku karena diammu. Kau bahagia bisa
membuatku begitu kan?

Aku tidak mendengar apa-apa kecuali semilir angin mengirim gema gumam dari semesta
yang menato gendang telinga.

Duh, wong ganteng pepujaning ati. Mung sliramu kang tansah nglelewa. Rina klawan wengi
ranane wong lagi gandrung. Among eling sira wong ganteng. Batin ora kuwawa nandang
lara wuyung. Enggala paring usada mring wak mami kang lagi ngidam sari uga nandang
asmara.

Hoi, sejoli mana yang akan berjodoh malam ini? Pandanganku mengabur. Aku menyesali
Hou Yi yang hanya memadamkan sembilan matahari. Kenapa ia membiarkan sebiji matahari
itu tetap menyala? (*)

Lan Fang , penulis prosa, puisi & esai, bertempat tinggal Surabaya, novel terbarunya:
Ciuman di Bawah Hujan (2010)
Terbang
dengan 3 komentar

11 suara

Untuk Bona dan Weni

Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan
suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal.
Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya.

Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya.

Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.

Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa
meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami
dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus
terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang
lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung
tidak menurutseperti kemarin ia mengurus tiket kamiia akan tahu rasa. Aku
membatalkan tiketku dan memesan sendiri.

Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat.
Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu
statistik.

Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer,
suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air
terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas.
Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!

Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak,
nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. Karena itulah,
daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu
anak kita tidak jadi yatim piatu.

Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan.

Titik.
Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya
seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di
negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira
begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps.
Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang
pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai
hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.

Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum.
Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya
ada tiba dengan selamat.

Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit
dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang
bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu
yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih
payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit.
Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.

Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi
kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun
anak-anak. Aku yang lajang petualang.

Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang cemberut karena ia
membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke dalam kabin di atas kepalaku. Ia
mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat
manusia. Aku membalas ringan dia, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai
ber- gerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!

Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa
di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan
kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya
mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada
ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG.
Dengan stiker kurangi plastik. Ia mengenakan sepatu gunung Eiger.

Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan
perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi
hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia
empat puluhan.

Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik
baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita
pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia
sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.

Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas
dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger
Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak.
Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia
orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan.

Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman. Sialan. Kuno
amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas lega yang pertama,
dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia bereaksi terhadap
bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan sekalian, seperti apa mukanya.

Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak
sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang
setia kepada keluarga, bisa saja sa- ngat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan
citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol
bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.

Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!

Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk.

Sudah pernah baca? tanyaku.

Boleh lihat?

Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya
beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang
duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak
bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara
bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?

Macam-macam sudah saya coba, katanya. Saya pernah kerja di pertambangan. Saya
pernah kerja di kapal.

Di kapal?

Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer.

Jadi juru masak?

Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal.

Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia
memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti.

Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-
kecilan pernah juga.

Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi wajahnya tulus
seperti hewan.

Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak
begitu, kan? tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.
Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius.

Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman
yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak
ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di
kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?

Tebakanku tidak terlalu meleset.

Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya tidaklah
saya motret binatang dibunuh.

Oh, berhati haluskan dia. Jadi motret apa?

Saya, ia berdehem, saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya
potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?

Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?

Untuk satu majalah luar negeri.

Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia.
Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-
halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika
menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar
berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja.

Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih purba dan yang lebih
baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia neanderthal, dengan ciri-ciri
bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua
spesies itu ada bercampur pula. Maka, keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-
kadang ditemukan di kehidupan sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan
tulang alis lebih menonjol. Seperti saya, barangkali. Ia nyengir lucu.

Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan?

Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung.

Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?

Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang
tak terkalahkan.

Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang
elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.

Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu
muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?
Kenapa, kataku agak grogi, mencari tema baru. kenapa kamera digital semakin tahun
semakin biru pucat gambarnya? Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang
kecemasan menjadi tua.

Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah
kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus
ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca.

Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?

Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.

Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas
orgasme.

Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.

Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis, kataku lagi.

Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu apa motifku.
Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku sesungguhnya sudah merasa
intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu apa yang kukatakan.

Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku
merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi
tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab
telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.

Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?

Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk
pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang
mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat
dinginku merembes sedikit di dahi.

Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami.
Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.

Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di
bahunya.

Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi.

Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari
kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi.
Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong
jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati.

13 Maret 2008
(Kreativitas dalam menciptakan Tokoh dan Karakternya Untuk Cerpen dan Novel)

Saya sering mendapat pertanyaan dari pada penulis pemula, demikian:


Mbak, bagaimana sih caranya menciptakan tokoh dan karakternya untuk cerpen atau
novel? pertanyaan ini melalui e-mail, surat maupun secara lisan ketika saya dan sponsor
menggelar pelatihan Creative Writing.

Ayu Utami

Pada bulan Februari tahun lalu (2004), Majalah MATABACA menyelenggarakan Pelatihan
Creative Writing. Kebetulan, saya yang diundang sebagai tutor dan novelis Ayu Utami
sebagai bintang tamu pembicara. Pesertanya pada waktu itu sekitar 100 orang yang terdiri
dari anak muda yang penuh semangat ingin menjadi penulis, dosenr , pencinta sastra dan
sebagainya. Kami menggelar pelatihan dengan sistem inrteraktif, sehingga peserta
mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya apa saja yang mereka inginkan. Antara lain,
pertanyaan mereka seputar penciptaan tokoh dan karakter yang dihadirkan dalam cerpen
maupun novel. Berikut ini saya paparkan sekilas mengenal hal tersebut, sekaligus untuk
menjawab pertanyaan yang disampaikan melalui e-mail dan surat kepada saya.

1. Masing-masing pengarang punya cara sendiri untuk menciptakan tokoh dan karakternya.
Ayu Utami mengaku, untuk memperoleh hal itu paling enak dari pergaulan yang dihadapi
sehari-hari (jadi tidak terlalu mengarang-ngarang). Saya juga demikian. Untuk memperoleh
tokoh dan karakter melihat orang-orang yang ada di sekitar saya ditambah membaca buku-
buku seputar ilmu manusia (buku-buku psikologi), buku kebudayaan, sejarah dan
sebagainya. Banyak bergaul alias mingle menurut saya sangat diperlukan bagi siapa pun yang
ingin menjadi pengarang sehingga banyak menyelami jiwa dan berbagai karaker orang-
orang sekitar kita. Ketika saya belajar di luar negeri, senang sekali bergaul dengan berbagai
bangsa, sehingga tahu siapa dan dunia mereka. Sungguh menarik, karena tidak ada yang
sama.

2. Untuk menciptakan karakter tokoh, tentu saja ita tidak bisa lepas dari jalan cerita yang
akan kita buat. Maka dari itu, sebelum menciptakan karakter perlu mempunyai gambaran
phisik dari tokoh yang akan kita tampilkan dalam cerita. Misalnya, secara phisik bagaimana?
Gemuk, kurus, langsing, rambut ikal. hidung pesek atau yang lainnya. Ayu Utami lebih jeli
dalam menggambarkan tokoh lelaki. Saya akan mengamati, bagaimana aroma keringat
lelaki itu, jadi tidak hanya melukiskan postur tubuhnya saja, demikian papar Ayu Utami
ketika ia menjawab pertanyaan para peserta Pelatihan Creative Writing bulan Februari tahun
lalu. Lebih lanjut ia menjelaskan, Makanya, kalau kita mengalami, dekat dengan obyek yang
kita jadikan bahan tulisan, maka cerita yang kita tulis akan lebih hidup. Saya sependapat
dengannya. Memang, untuk menciptakan karakter kita harus tahu benar karakter yang kita
berikan pada tokoh yang kita tampilkan. Maka saya perlu model tertentu untuk dijadikan
tokoh karya-karya yang saya tulis. Model itu, atau tokoh nyata itu saya transformasikan ke
tokoh fiktif, sehingga tidak bersifat otobiografis! demikian papar Korrie Layun Rampan,
yang dikenal sebagai pengarang yang amat produktif.

3. Penciptaan tkohtidak lepas dari konteks cerita yang akan kita tulis. Yaitu, dari berbagai
aspek: sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan akar budaya. Bila kita tampilkan tokoh orang
Batak tentu saja, namanya harus memakai nama orang Batak atau paling tidak berbau
Batak. Demikian pula gaya bahasanya (dialeknya) kecuali Batak yang sudah jadi
nasional. Faktor pendidikan tokoh juga mempengaruhi karakternya. Misalnya, tokoh itu
seorang buta-aksara tentu tidak mungkin kalau diceritakan punya hobi membaca atau kirim
SMS. Ini masalah logika. Walaupun fiktif logika harus jalan. Atau misalnya, tokoh yang
ditampilkan seorang guru desa tentunya kendaraannya bukan motor apalagi mobil mewah
(kecuali ia orang desa yang kaya lalu menjadi guru, ceritanya menjadi lain).

4. Apakah sulit mencari tokoh yang ditampilkan? Jawabannya tidak. Karena kita sudah
memiliki alur cerita yang akan disajikan, sehingga tahu tokoh apa saja yang akan kita
tampilkan. Yang penting diperhatikan adalah, bagaimana cara kita memberi karakter tokoh itu
agar bisa tampil hidup, logik dan menjadi media cerita. Bagi saya, tokoh-tokoh yang ada
dalam cerpen saya (silakan baca: SEBILAH PISAU DARI TOKYO) 90% adalah ada, karena
digali dari kisah nyata yang saya lihat atau saya mendengar cerita dari seseorang dan
sebagian lagi saya dapatkan dari berita (media cetak maupun elektronik). Ketika tokoh nyata
itu dijadikan fiksi, maka disamarkan dengan daya imajinasi kita. Bila Anda membaca karya
Ratna Indraswari Ibrahim (LEMAH TANJUNG), akan merasakan bahwa yang ditulis Ratna
adalah kisah nyata. Kenyataannya memang demikian, tetapi lalu disamarkan. Karya-karya
Pramudya Ananta Toer yang luar biasa itu juga dilhami sejarah yang mana tokoh-tokoh
memang ada, kemudian disamarkan. Apalagi jika kita membaca novel FRIDA KAHLO
Pelukis Meksiko itu, hampir semua karakternya adalah nyata. Anda juga bisa mendapati hal
ini dalam novel karya Tonni Morisson yang berjudul BELOVED dan masih banyak lagi.

Terima kasih, sampai jumpa di lain topik

Lan Fang: Tidur Panjang yang Cantik dan Mati Indah


Diposkan oleh IBOEKOE pada 25 Dec 2011 | Beri Tanggapan

Catatan: Tulisan ini diambil dari Tentang Penulis Novel Kembang Gunung Purei, penerbit
Gramedia Pustaka Utama, April 2005, halaman 225. Disusun dan dibagi ulang Bamby
Cahyadi di hari wafatnya Lan Fang.
Lan Fang lahir di Banjarmasin pada tanggal 5 Maret 1970 dari pasangan Johnny Gautama
dan Yang Mei Ing, sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Janet
Gautama. Pada tahun 1988, ia menyelesaikan SMA-nya di Banjarmasin lalu meneruskan dan
menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA).

Walaupun terlahir dalam keluarga keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih
berkonsentrasi kepada dunia bisnis, Lan Fang sudah suka menulis dan membaca sejak usia
sekolah dasar. Buku-buku Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah anak-
anak, seperti Bobo dan Donal Bebek, telah mengantar imajinasinya ke dunia lain. Di sekolah
pun, pelajaran kesukaannya adalah pelajaran Bahasa Indonesia, terutama mengarang.
Sebetulnya keinginan Lan Fang untuk menulis cerpen sudah mulai ada sejak SMP ketika
bacaannya mulai beralih kepada majalah-majalah remaja seperti Anita Cemerlang dan Gadis.
Tetapi karena dianggap ganjil dan tidak tertangkap mata oleh keluarganya, tidak ada
motivasi kuat untuk mempertajam talentanya. Keinginan menulis itu pun terlupakan begitu
saja.

Ketika ia berusia 13 tahun, ibunya meninggal dunia karena kanker otak yang ganas. Sejak itu
ia selalu merasa dirinya tidak lengkap, namun cinta pertamanya pada seorang pemuda di usia
15 tahun, memberinya inspirasi yang tak pernah kering. Walaupun bukan penulis, tetapi
pemuda itu telah memberikan ruang gerak yang luas dan waktu yang tidak terbatas pada Lan
Fang sehingga memacunya untuk berkarya. Ketika semua isi kepala dan hatinya itu
dituangkan ke dalam tulisan dengan sangat lancer, Lan Fang merasa takjub ketika menyadari
tulisan itu sudah berbentuk cerita. Sekadar iseng, ia kemudian mengirim cerita pendek
pertamanya yang berjudul Catatan Yang Tertinggal itu ke majalah Anita Cemerlang pada
tahun 1986. Ternyata cerpen tersebut langsung dimuat sebagai cerita utama di halaman
depan.

Setelah itu Lan Fang jadi ketagihan menulis. Ketika menulis, ia menemukan dimensi baru
tanpa ruang dan waktu, tempat ia bias merasa bebas melompat-lompat dari dunia satu ke
dunia lain. Ia merasa bebas mengungkapkan apa yang ia pikirkan, rasakan, bayangkan,
pertanyakan, tanpa adanya benturan dengan batasan-batasan.

Pada periode 1986-1988, ia cukup banyak menulis cerpen remaja yang bertebaran di majalah-
majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang. Kebanyakan cerpen yang ia tulis
bernapaskan cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran.

Sejak tahun 1997, ibu dari kembar tiga ini berulang kali memenangkan berbagai lomba
penulisan. Di tahun tersebut, cerbernya Reinkarnasi menjadi Juara Penghargaan Lomba
Mengarang Cerber Femina dan cerpennya Bicara Tentang Cinta, Sri menjadi Juara II
Lomba Cerpen Tabloid Nyata. Di tahun 1998, karyanya yang berjudul Pai Yin menjadi
Pemenang Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina. Di tahun yang sama cerpennya
Bayang-Bayang pun menjadi Pemenang II Lomba Mengarang Cerpen Femina. Selain itu,
cerpen Ambilkan Bulan, Bu menjadi karya layak muat untuk Femina.

Ia sempat vakum selama lima tahun dari dunia tulis-menulis, karena sibuk berkonsentrasi
dalam merintis karier di sebuah bank nasional swasta di Surabaya sampai tahun 2000. Saat
ini, ia bergabung di sebuah perusahaan asuransi jiwa asing di kantor cabangnya di Surabaya.
Akhirnya pada tahun 2003 ini, Lan Fang berhasil menyelesaikan tulisannya yang mengendap
selama jangka waktu itu. Karyanya yang berjudul Kembang Gunung Purei tersebut pun
menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Novel Femina 2003.

Dalam kesehariannya, ibu dari Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya
Kusala ini sangat mensyukuri keberadaan 3 Vajra = 3 Kekuatan yang di-milikinya sebagai
sumber semangat dan motivator kuat untuk selalu bias bertahan di saat-saat sulit.

Pada pembukaan novel Kembang Gunung Purei, Lan Fang menulis puisi sebagai berikut :

(Surabaya, 5 Agustus 2003)

Saat-saat kutulis bagian tengah buku ini di


Ujung kakinya
Saat-saat tidak bias menyelesaikan bagian akhir
Buku ini
Karena
Ia memberiku
Tidur panjang yang cantik
Mati indah,
Tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
Sehingga
Buku ini
Tidak pernah selesai..

Lan Fang meninggal dunia pada tanggal 25 Desember 2011 di Rumah Sakit Mont Elisabeth
Singapura, Minggu siang ketika sebagian dari kita merayakan hari Natal. Lan Fang
mengalami tidur panjang yang cantik dan mati yang indah.

Jakarta, 25 Desember 2011

Anda mungkin juga menyukai