Abdullah Harahap
E-Book by Ratu-buku.blogspot.com
10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kang?”
“..hengg?” sahut Supandi dengan suara di hidung.
“Tutupi saja lagi sumur itu. kang.”
Supandi tercengang.
“Setelah tanahnya mulai lembab dan basah, pertanda air bakal
keluar?” tanyanya, setengah merupakan pernyataan protes.
“Aku... aku cemas, kang.”
“Ah. Kau tentunya terpengaruh oleh ucapan pak lurah!”
Amalia mengambil kotak tempat sabun. Sabun, handuk dan
sebuah ember. Tetapi ia belum juga pergi ke tempat pencucian
umum di kampung itu. la tampak bingung. dan katanya
memperlihatkan rasa cemas. “Kang Pandi,” ujarnya dengan suara
getir. "Sudah tidak ada lagi orang yang mau membantumu!”
“Bah. Aku bisa kerjakan sendiri!”
“Lantas jatuh lagi sebagai korban?”
Pertanyaan isterinya membuat Supandi yang sudah bersiap untuk
ke luar rumah jadi tertegun. Korban! Amalia bicara pula tentang
korban, sekarang ini. Tetapi, ah. Jelas bukan dimaksudkan Amalia
tentang pengorbanan Supandi di jawatan tempatnya bekerja
ketika mereka masih tinggal di kota. Tentu ada hubungannya
dengan sumur, karena ke sanalah Amalia telah melarangnya,
seperti juga pak lurah pernah melarang agar tidak menggali
sumur dalam radius lima ratus meter sekitar rumahnya, yang juga
mencakup letak empat buah rumah lain. Tetanga-tetangganya
juga tidak ada yang membuat sumur sendiri.
“Taruh di tempat kalian kering dan berbatu-batuan.” begitu mula-
mula pak lurah menerangkan. Tetapi karena Supandi bersikeras,
pak lurah mengingatkan: “Lihat. Tanaman kelapa, mati. Cengkeh,
mati. Ubi, mati. Bahkan isterimu berkali-kali mengeluh, karena
banyak dari bunga-bunga itu tumbuh kurus karena kekeringan
air....”
11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Orang lain punya sumur sendiri. Aku? Tidak, pak lurah. Aku tidak
sanggup berletih-letih seumur hidup pergi ke pemandian umum,
mengangkut air ke kamar mandi di rumahku, sekedar hanya
cukup untuk cuci muka dan memasak. lagi pula, aku kasihan
melihat Amalia. Karena tak ingin melihatku kecapaian. ia lebih
suka mandi dan mencuci di tempat umum, padahal waktu kami di
kota...”
“lni kampung Bukan kota.”
“Tetapi...”
“Nak,” lurah menatapnya dengan tajam. “Tahukah kau, bahwa
banyak kematian yang terjadi di sekitar tempat tinggalmu?”
Supandi menarik nafas panjang. Ia tegak termangu-mangu di
depan dapur. Sendirian. Amalia telah pergi mencuci. Kecemasan
isterinya memang masuk akal, karena sesuai pula dengan
peringatan pak lurah. Seorang saudaranya, satu-satunya saudara
Supandi, meninggal ketika masih bayi di rumah ini. Ibunya
kemudian menyusul setahun kemudian. Dan beberapa bulan yang
lalu, ayahnya sakit keras dan memanggilnya pulang, Orang tua itu
kemudian mati dengan rasa puas setelah bertemu anak dengan
menantunya. la mati dengan meninggalkan sebuah rumah untuk
ditempati, dan beberapa petak sawah untuk digarap. Dua hal yang
sangat dibutuhkan oleh Supandi dan isterinya, setelah mereka
disingkirkan suara kejam di kota tempat tinggal mereka.
“Tetapi kematian-kematian itu wajar adanya.” rungut Supandi
sendirian, seraya berjalan di pekarangan belakang rumahnya,
menuju sumur yang sudah hampir selesai digali. “Adikku karena
demam malaria. lbu karena menderita ditinggal mati sibungsu
kesayangannya. Dan ayah, karena sudah tua...!”
la kini berdiri di gundukkan tanah yang seperti bukit kecil, hasil
galian selama hampir satu minggu. Tetapi kini ia sendirian. Mula-
mula mereka berempat ketika sumur itu mulai digali. Pak Atma
tiba-tiba jatuh sakit, lalu tidak sanggup meneruskan pekerjaan.
Suryadi, mendadak lumpuh kedua kakinya ketika sedang berada
di dalam lubang galian. Suryadi buru-buru dikeluarkan. Tetapi
12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kemudian ternyata, bukan saja kakinya yang lumpuh. Melainkan
juga jantungnya. la meninggal setelah berada di rumah orang
tuanya.
Pak Jayusman yang di samping ikut menggali juga merangkap
sebagai tukang baca doa untuk kelancaran penggalian itu.
berkata: “Pekerjaan ini harus dihentikan.”
Dan Supandi tidak bisa menahan orang tua yang baik hati itu.
Selama tiga hari ia sendiri dicengkeram kebingungan. Bukan
karena ia tidak percaya pada tahayul atau tempat-tempat yang
dianggap keramat, karena buktinya toh orang-orang masih berani
tinggal di atas tanah yang ditakuti itu. Melainkan karena.
perjuangan bathinnya. Antara keinginan meringankan pekerjaan
mengangkuti air dari tempat mandi umum ke dalam bak kamar
mandi, meringankan tugas sehari-hari Amalia. Dengan keinginan
untuk menghormati perasaaan orang-orang kampung. Tetapi
kasihan Amalia. Sudah terbiasa buka kraan, lalu cuuuuur- datang
air seberapa banyak ia kehendaki.
Kini, terpaksa harus antri di tempat cuci. dan menahan malu
mandi bersama orang-orang lain yang belum lama dikenalnya.
Belum lagi menghindari mata-mata yang usil, mengintip dari sela
rimbunan bambu....
Lalu tanah galian, mulai lembab dan basah.
Pertanda air akan keluar.
Tidak! la tidak boleh bekerja setengah-setengah. Orang yang sehat
suatu saat toh akan sakit, seperti halnya orang yang hidup suatu
ketika toh akan mati. Apa yang dialami pak Atma dan Suryadi
adalah kehendak alam. Dan Supandi tidak mungkin menahan
kehendak hati pak Jayusman. Tetapi ia masih muda. kuat dan
tidak ingin berputus-asa. Apalagi hanya tinggal sejengkal tanah
lagi...
Supandi kemudian menurunkan tangga. Ember plastik besar ia
jatuhkan ke bawah, berikut sekop dan pacul. Lalu ia mulai
13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menuruni anak-anak tangga. Perlahan-lahan, matahari yang
hangat mulai pergi dari tubuhnya. Cahaya pagi yang terang
bcrderang, enggan pula untuk ikut turun ke lubang yang begitu
dalam. Lima meter lebih. Dan harus ditutup kembali. Setelah
sekian kubik dan batu-batu kecil berhasil mereka keluarkan. Hem.
alangkah terlalunya saran yang bodoh itu!
Udara terasa lembab dan dingin di dalam lubang. Tetapi tidak
mempengaruhi semangat Supandi. la berharap hari ini air mulai
keluar. Biarkan dulu menggenang, kemudian taburkan pasir
beberapa ember. Lalu dua atau tiga hari lagi sesudahnya Amalia
akan bisa menimba air di sumur sendiri, dan selamat tinggal
tempat pemandian umum yang jorok dan berbau kotoran dari
selokannya yang sering mampet itu!
Supandi mengisi ember plastik dengan sebanyak-banyaknya
tanah, lalu mulai menaiki anak tangga demi anak tangga. Tiba di
atas. ia curahkan tanah itu di bagian yang belum membukit. Lalu
turun lagi. menggali, menyekop, naik, curahkan tanah dari ember
turun. naik turun lagi lalu naik pula untuk ke sekian kalinya...,
Entah untuk yang keberapa kali ia telah naik. Supandi tidak ingat
dan memang tidak pernah menghitungnya. Yang jelas, hampir
seluruh urat-urat di tubuhnya bersembulan keluar. Rambut,
wajah dan punggungnya yang telanjang kotor oleh tanah dan licin
Oleh peluh. Ketika itu dia telah mengisi ember plastik dengan
tanah sampai penuh, dan ia sudah siap memanjat tangga untuk
naik keatas.
Pada saat itulah. ia melihat ada bayangan yang menerobos masuk
ke dalam lubang. Seketika itu juga ia menengadah. Tiba-tiba.
jantungnya menjadi ciut karena terkejut. Seraut wajah samar-
samar tampak muncul di atas. Di bibir sumur. la pertajam
matanya dengan menyeka butir-butir tanah yang menghalang.
Pandangan itu kian jelas, dan tampaklah wajah seorang
perempuan tua yang sudah keriput dengan leher yang bagaikan
cagak kecil terpancang pada pundaknya yang kurus kering.
sedang memperhatikan dirinya didalam lubang.
14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jarak ke atas lebih dari lima meter. Tetapi ia bisa menangkap
sinar mata perempuan itu dengan jelas. Sinar mata yang aneh,
dan sesungging senyum yang tidak menarik pada bibirnya yang
tipis, sesekali tertutup oleh rambut yang sudah memutih, tertiup
angin.
“Nenek Ijah!” bisik Supandi tersendat. Mau apa perempuan tua
renta dan berpikiran tidak waras itu di sana? Perempuan itu
terkekeh-kekeh. dengan kilat mata yang menakutkan. Supandi
mulai dihinggapi rasa khawatir. Jangan-jangan inilah bukti mimpi
buruknya, kaki dan tangan kurus kering namun cukup kuat untuk
menggaruk-garuk serta mendorong dorong tumpukan tanah di
atas, menderu jatuh ke bawah, tak ubahnya bukit yang longsor
karena hujan. Dan Supandi tertanam hidup-hidup dalam sumur,
liang lahat yang ia gali untuk dirinya sendiri.
“Nek Ijah!” teriaknya dengan panic, “Menyingkirlah dari situ!”
Bukannya menyingkir, perempuan tua renta yang konon sudah
berumur lebih dai satu abad tetapi secara ajaib masih mampu
luntang- lantung itu, malah kian menjulurkan leher ke depan.
Tampaknya bukan tanah melainkan tubuhnya yang kurus kering
itulah yang bakal jatuh menimpa Supandi. Maka, tanpa ia pikir
panjang lagi, Supandi kembali berteriak :
“Awas, nek!”
Seraya berteriak, ember plastik berisi tanah ia lemparkan, lantas
buru-buru menaiki anak tangga. Demikian buru-burunya,
sehingga pada anak tangga kelima kakinya terpeleset pada kayu
yang licin. Pegangannya terlepas, dan ia meluncur jatuh kembali
ke bawah dengan suara berdebuk yang keras begitu tiba di
permukaan tanah yang lembab dan becek.
Dari atas terdengar suara mengekeh yang semakin keras, tetapi
sumbang dan aneh.
***
15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI terjatuh dengan pantat terlebih dahulu tiba di tanah. la
terhenyak merasa seolah-olah tulang punggungnya terlonjak ke
atas sehingga kepalanya terasa pusing dan pandangannya
berkunang- kunang. Dalam keadaan setengah sadar, ia masih
teringat akan bahaya yang sewaktu-waktu menimpanya. Oleh
karena itu ia tergesa-gesa berdiri kembali, seraya menepis-nepis.
pantat celananya yang lengket dan basah oleh lumpur. lamat-
lamat telinganya menangkap suara lain.
Suara seseorang berseru. Dengan cepat ia menengadah keatas.
Wajah nenek Ijah yang mengerikan itu telah lenyap. Hanya sayup-
Sayup sampai masih terdengar suara mengekehnya, yang kian
menjauh. Terengah-engah Supandi menyandarkan punggungnya
ke dinding lubang, menarik napas panjang berulang-ulang. Kepala
digoyang-goyangkan untuk melenyapkan perasaan pusing.
“Kau tak apa-apa, kang Pandi?” tanya suara dari atas.
la segera mengenal suara Amalia. seraya tertengadah, ia
tersenyum. “Hanya sedikit pusing,” katanya.
“Naiklah. Kau akan kubantu.” Amalia menjejakan kaki di anak
tangga yang paling atas.
“Diam di situ. Aku bisa naik sendiri.”
Setelah sampai di atas Supandi duduk terhenyak di samping
isterinya yang berwajah pucat dan panic, “Hampir saja...”
gumamnya, lirih.
“Aduh, kang Pandi,” ujar isterinya setengah berseru karena lihat
nenek pikun itu lewat.
“Kusapa dia, tetapi ia tidak melihatku sama sekali ia terus
berjalan dan aku tidak memperdulikannya, sampai... sampai
kudengar teriakanmu. Wah! jantungku bagai copot rasanya,
waktu kulihat nenek Ijah berjongkok di pinggir sumur...!”
la kemudian menoleh, diikuti oleh Supandi. Di kejauhan tampak
nenek-nenek tua renta itu berjalan terbungkuk-bungkuk dengan
menyeret-nyeret sebelah kakinya yang pincang. Beberapa orang
16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
anak kecil meneriaki, mentertawai bahkan ada yang
melemparinya dengan batu. Entah kena entah tidak, tak seorang
pun yang tahu. Kebetulan seorang perempuan setengah baya
melihat perbuatan anak- anak yang nakal itu, lantas mengusir
mereka Jauh-Jauh. Tetapi perempuan itu tidak pula berusaha
menolong bahkan memperhatikan si nenek tua yang pikun,
melainkan buru-buru masuk ke dalam rumah setelah
menutupkan pintu cepat-cepat, seperti orang ketakutan.
“Ia belum tentu bermaksud mencelakakan kau, kang Pandi. Tetapi
aku demikian takut tadi.”
“Orang sekampung juga takut dan menyingkir bila melihat dia.
Apalagi berjongkok di pinggir lubang. seraya tertawa, terkekeh-
kekeh. Bagaimana aku tidak berteriak.”
Amalia tersenyum mendengar ucapan suaminya. Pandangan
matanya tidak lepas dari nenek Ijah yang terus berjalan di antara
rumah-rumah penduduk tanpa seorangpun yang berani
mendekati maupun menegurnya.
“Perempuan malang. Sebetulnya, di manakah tinggalnya, kang?”
“Di lereng gunung.” jawab Supandi. sambil menggerakkan dagu
kiri-kekanan bermandi sinar matahari yang panas memanggang
bumi. “la tidak punya sanak dan saudara kalau tak salah.”
“Lantas, siapa yang menghidupinya?”
“Tuhan, tentu,” Supandi tersenyum, nakal. Kemudian
melanjutkan, “.... tentu saja, seorang dua penduduk yang
pemberani berbelas kasih dan dermawan mengirimkan makanan
secara rutin untuknya. Aku sendiri ketika masih kecil pernah
menemani ayah mengirimkan sekantong beras dan beberapa
kerat ikan asin untuk nenek Ijah. Ayah bilang. nenek Ijah itu
sebenarnya baik. Hanya karena hidup menyendiri, orang takut
padanya. Apa lagi konon. karena leluhurnya dulu ada yang
dikenal sebagai tukang tenung... Tetapi ah, pekerjaanku sudah
terbengkalai. Mengapa tidak kau siapkan segera makan siang?”
17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Iya, ya !” isterinya tersadar. “Lagi aku harus segera pergi
mengajar.” Seraya berkata begitu, ia bangkit berdiri dan berjalan
kembali menuju rumah. Supandi memperhatikan gerak-gerik
isterinya, yang berjalan lemah gemulai pinggulnya bergoyang
lembut ke kiri ke kanan. Pinggangnya ramping. Sepasang betisnya
yang putih indah, tampak berkilat-kilat dalam jilatan Cahaya
matahari. Kalau saja Amalia berbalik, akan tampak perutnya yang
rata, di atasnya sedikit menggelantung sepasang payudaranya
yang tidak begitu besar akan tetapi lembut dan menarik. Dan
wajahnya, sinar mata serta tarikan bibirnya kalau mengajak...
Ingin rasanya Supandi berlari mengejar untuk memeluk,
mencium dan mengajak isterinya masuk ke kamar. Tetapi di siang
hari begini... mana tubuhnya sendiri sangat kotor, dan pekerjaan
yang belum selesai...
“Nanti malam saja deh. Biar sip,” gumamnya sendirian, seraya
menyeringai. Senang. Bunyi pacul terhunjam ke dalam tanah
setelah ia turun kembali, terdengar bagaikan musik seronok
mengiringi lamunannya. Untunglah tanah yang ia gali lembut dan
basah. Malah air sudah merembes ke luar dari beberapa tempat.
Memang masih merupakan tetes-tetesan kecil, tak ubahnya air
mata seorang perawan yang merasa cemas dengan malam
pertamanya di atas tempat tidur.
Tetapi kalau ia menggali sedikit lebih dalam, ia berharap sore
nanti rembesan air itu sudah membesar. dan besuk pagi ia sudah
bisa menimba hasil kerjanya sendiri. Dan pak lurah pasti akan
terheran-heran...
Crcceep!
Paculnya agak tersekat, menyentuh benda aneh. Waktu ia angkat
tanah, dan menjatuhkannya ke dalam ember, samar-samar dalam
jilatan matahari siang yang menerobos sebagian masuk ke dalam
lubang ia melihat benang-benang hitam yang kotor, banyak sekali
terpotong-potong Benang? la membungkuk, dan menyentuh
benda-benda tipis itu. Karena belum puas. ia mencabutnya
18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sejumput, lantas menaikkannya ke arah cahaya matahari, tepat di
depan biji mata.
“Rambut?” serunya, tertahan.
la tertegun sebentar.
Bagaimana sampai ada rambut manusia di lubang sedalam ini.
Tanah di atasnya, keras dan berbatu-batu. Rambut itu tentu sudah
berumur puluhan bahkan siapa tahu, ratusan tahun. Ah yang
benar. Aku tidak pernah bercita-cita jadi seorang ahli purbakala,
dan tidak pernah menaruh minat pada penemuan fosil-fosil
leluhur manusia yang pertama-tama mendiami bumi. lagi pula,
mana ada rambut berumur ratusan tahun? Tentu tempat ini dulu
sebuah tempat rata, atau mungkin juga sebuah lubang pembuang
sampah. termasuk rambut orang yang dicukur. pikir Supandi.
Tetapi ketika ia perhatikan, ke tanah bekas paculnya tadi
terhunjam. dari mana tanah terangkat sebagian, ia menjadi
terpana. Rambut itu terlihat lebih banyak di sana. Warnanya
hitam pekat. seolah-olah tanah tempatnya tertanam tidak mampu
mengotori apalagi memusnahkannya. Semacam perasaan aneh
tiba-tiba menyerang dirinya. la tidak tahu, perasaan bagaimana.
Namun dapat ia rasakan, betapa nalurinya berteriak dengan keras
untuk memperingati dan memerintahkannya segera naik ke atas
lantas menutupi sumur itu kembali rapat-rapat sebagaimana
keadaannya semula sebelum digali. Namun, kakinya terpacak
begitu saja di tanah, tanpa dapat ia gerakkan sama sekali. Dan
tangannya gemetar!
Tangannya bergerak. Bukan untuk mencapai tangga. Melainkan
untuk menyentuh rambut di dekat kakinya, seolah-olah ada
tarikan magnit yang luar biasa datang dari tempat tersembunyi di
balik rambut itu. Jari jemarinya menyentuh tempat dingin. tetapi
keras. Tidak sampai di situ saja.
Kekuatan ghaib itu dengan dahsyat telah menggerakkan jari
jemarinya lebih jauh. la kini, tanpa dikehendaki oleh hati kecilnya,
tanpa bisa mengendalikan diri. telah mulai menggali tanah di
sekitar rambut itu dengan jari jemarinya. Bukan dengan pacul,
19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
karena kekuatan gaib itu seolah-olah melarangnya
mempergunakan pacul.
Amalia baru saja meletakkan baskom sayur di atas meja makan,
ketika ia dengar suara gerakan kaki terseret-seret di belakangnya.
lngatannya pada si nenek Ijah menyebabkan wajahnya berubah
pucat dengan ketakutan ia membalikan tubuh.
Lega. “Kukira siapa...!” la meneruskan pekerjaannya, seraya
memerintah: “Cepatlah bersihkan tubuhmu, selagi nasi masih
terkebul.”
Tetapi suaminya tidak bergerak-gerak dari tempatnya berdiri.
Waktu Amalia menoleh, kemudian memutar tubuh untuk dapat
memperhatikan suaminya lebih jelas, laki-laki itu memandangnya
dengan sinar matanya yang letih, berat seperti mengantuk.
Tegaknya tidak lurus, dengan kedua pundak turun, seolah-olah
beban berat tengah ia tanggungkan.
Amalia tersenyum.
“Kau tentu sangat letih, kan. Mari, kubantu kau mandi.”
Lalu, la memegang tangan suaminya yang kotor. Di luar
dugaannya, ia menyentuh tangan yang dingin. Bukan hangat
seperti halnya seorang yang telah menggerakkan tenaga untuk
bekerja di siang bolong.
“Ada apa dengan kau, kang?” tanyanya, heran.
“Aku... aku menemukan...” sahut suaminya, gemetar dan parau.
“Air? Aku tahu, karena kulihat tangan dan kakimu penuh lumpur
yang basah. Dan, aduh...! Lihat, kau juga telah mengotori lantai
Ayo mari kubersihkan badanmu.”
Lantas ia membimbing suaminya ke belakang, dan tiba di kamar
mandi langsung ia seblok sekujur tubuh Supandi dengan seember
besar air. Lumpur segera mengucur jatuh, dari ujung rambut,
wajah, leher menelusuri terus ke bawah, sampai lantai kamar
mandi berubah warna jadi coklat kehitam-hitaman. Ketika ia siap
20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
untuk menyiramkan isi ember yang kedua, ketika Amalia
tertegun. Ia memandangi sepasang mata suaminya yang aneh.
Mata itu tidak berkedip waktu ia siramkan air di kepalanya.
Bahkan juga tetap terbuka ketika air lumpur mulai
menggenanginya.
“Kang Pandi, kau....”
Dengan cemas, ia ambil segayung air. Lalu menyiuk isinya dengan
tangan yang langsung dibasuhkan ke sepasang mata suaminya
sampai bersih. Barulah ia bisa melihat warna mata suaminya.
Mata yang tetap terbuka nyalang, tetapi tanpa sinar sama sekali.
Mata yang kosong. mata yang hampa. Mata yang berputus asa.
Amalia menarik nafas. Pikirannya segera bekerja dengan cepat. la
tersenyum, lalu berkata dengan suara menghibur: “Hem. jadi,
yang kau temukan adalah lubang yang hanya berisi beberapa
tetes air. Sudahlah, kang. Aku juga pernah hilang, tidak usah
diteruskan usaha yang sia-sia itu Aku toh masih punya kaki untuk
berjalan ke tempat pemandian umum dan kini aku sudah mulai
mengenal tetangga-tetanggaku lebih baik. Aku tidak akan malu-
malu lagi kepada mereka....”
la kemudian melepaskan kaus oblong suaminya yang masih kotor,
lalu tangannya turun melepaskan kancing-kancing celana. Seraya
merundukkan wajah sedikit, ia berbisik, “Lihat, aku tidak akan
malu biarpun untuk....”
Dan begitu celana suaminya terlepas jatuh, Amalia terpengaruh
oleh rangsangan birahi. la dengan segera telah memeluk
suaminya lantas menciumi wajah dan bibir Supandi sepuas-puas
hati. Tetapi Supandi tidak membalasnya sama sekali, meskipun
sebelah tangannya sempat terangkat untuk memeluk pinggang
Amalia. Perempuan itu menjadi kecewa, namun segera menyadari
kekeliruannya.
“Ah, maafkan aku, mas. Kamar mandi ini memang sangat kotor
untuk...” ia tertawa, lembut, meneruskan dengan manja. “Salahmu
sih, lumpur dibawa-bawa masuk ke rumah.”
21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Setelah itu disiramkan air, tidak saja untuk suaminya, tetapi juga
untuknya sendiri. Karena ketika memeluk Supandi pakaian yang
ia kenakanpun telah dikotori sisa-sisa lumpur. Selesai mandi, ia
berikan sehelai handuk untuk Supandi, sementara handuk yang
lain ia belitkan ke tubuhnya.
“Makan siang sudah menanti,” katanya, lalu ia menarik suaminya
masuk ke dalam rumah, terus ke kamar untuk memakai pakaian
ganti. Tetapi kamar tidur tidak sesempit dan sekotor kamar
mandi. Terlebih-lebih lagi, di tengah-tengah ada ranjang yang
lebar, berkasur empuk. dengan sprei yang bersih berwarna merah
muda, yang akan marah kalau dilewatkan begitu saja. Rangsangan
yang muncul tiba-tiba selagi di kamar mandi, menyelusup lagi ke
dalam diri Amalia. Pandangan mata suaminya tidak kosong
seperti tadi, tetapi sudah mulai bersinar-sinar. Dan sinar itu,
tampak sedikit jalang.
Lupa untuk berpakaian mereka justru naik ke tempat tidur.
***
22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa memperdulikan apakah suaminya yang sedang tidur
mendengar ucapannya atau tidak, ia kemudian mengambil tasnya.
mengenakan kaca mata minus satu, lalu ke luar dari rumah. Suara
pintu ditutupkan Amalia seketika, membuka sepasang mata
Supandi. Lebar dan nyalang. Tetapi betapa lebarpun matanya
terbuka, tidak kelihatan sinar sama sekali. la memandangi langit-
langit kamar, perabotan sampai ke setiap sudut, dengan mata
hampa. la hampir tidak ingat sama sekali bagaimana ia sampai
naik dan terbaring di atas tempat tidur. Setahunya ialah, begitu
keluar dari dalam lubang sumur matanya tidak segera mengenali
tempat dimana ia berada.
Namun naluri kemanusiannya bekerja lebih kuat dari urat-urat
nadanya. Naluri itu menuntunnya masuk ke rumah, bertemu
Amalia yang menyapa dan menghiburnya begitu lembut dan
mesra, sekaligus mengingatkan dirinya bahwa ia berada di dalam
rumahnya sendiri. Lalu. mengapa matanya memandangi Amalia
sedemikian rupa? Sampai teramat sakit, teramat perih. karena
hampir tidak pernah berkedip. Meski sudah diguyur air, bahkan
digenangi lumpur. Mengapa ia memandangi Amalia dengan
sangat birahi, dan menyerah begitu saja ketika diseret Amalia ke
tempat tidur, meskipun nalurinya melakukan penolakan? la ingat,
betapa ganasnya ia beberapa saat berselang menggeluti isterinya,
sehingga Amalia sendiri tampak terheran-heran. Kemudian,
bersama perginya Amalia. Lenyap pulalah birahi yang bersarang
dalam dirinya.
Ia mencoba duduk. Sekujur tubuhnya terasa letih dan berat untuk
digerakkan. la rentangkan tangan serta kaki untuk melenturkan
otot-otot tubuhnya yang kejang. Dengan menarik nafas berulang-
ulang ia berhasil membuang gelembung-gelembung udara yang
kotor nyesak dari dalam paru-parunya. Setelah itu baru ia turun
dari tempat tidur berjalan ke jendela memandang ke luar.
Di halaman samping, beberapa jenis tanaman bunga isterinya
tumbuh tanpa keinginan untuk hidup lebih lama. Beberapa
tangkai malah kering, dengan dedaunan yang hijau kekuning-
kuningan bertaburan kian kemari. Sekelompok bunga ros
23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bersinar layu. merah kusam dalam panggangan matahari. Seratus
meter dl seberang taman yang gagal itu berdiri sebuah rumah tua.
Pintu belakang terbuka. Seorang laki-laki berumur kira-kira
setengah abad, berjalan ke sebuah kandang dan kemudian
menghilang di antara pepohonan karet dengan dua ekor kambing
mengekor di belakangnya.
la coba mengingat-ingat. Dan berhasil. Orang tua itu adalah pak
Jayusman yang pernah menasehatinya agar penggalian sumur
dihentikan. Alangkah menyenangkan kalau nasihat orang tua
yang baik hati itu ia turuti. Dan juga menyenangkan, bahwa
dengan mengenali siapa orang tua itu berarti Supandi telah dapat
mengenali dirinya sendiri. la berbalik. dan matanya mulai
bersinar memandang setiap sudut kamar yang sudah tidak asing
lagi baginya.
Dari lemari, ia memilih pakaian yang terbaik untuk dikenakan.
Merapih-rapihkan diri di depan kaca sambil bergumam, “Aku
masih tetap aku yang kukenal selama ini!”
Di ruang tengah. ia melihat makan siang sudah lama terhidang
tanpa disentuh. Baskom nasi penuh. Ada goreng tahu, sayur
terong, dadar telur dan beberapa potong daging gepuk. Ketika ia
menyuruh Amalia menyediakan makan siang, sungguh Supandi
merasa sangat lapar. Tetapi kini, tidak sedikitpun seleranya
terbangkit melihat makanan yang terhidang itu.
la hanya meneguk teh setengah gelas. Ketika itulah pandangan
matanya beradu dengan jejak-jejak kaki berlumpur di permukaan
lantai. Arah datangnya dari belakang rumah, menimbulkan
genangan-genangan memanjang yang kini sudah mulai
mengering. Hem, betapa berat waktu itu kakinya melangkah.
Apakah ia berjalan dengan menyeret-nyeret kaki membawa
beban di kepalanya yang sangat mengerikan?? Amalia menduga ia
kecewa. karena sumur ternyata kering kerontang la ingat bahwa
ia berkata pada Amalia ia menemukan sesuatu. la belum sempat
memberitahukan apa yang ia ketemukan. Amalia sudah
memotong.
24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Air?”
Dan karena sesuatu yang janggal dalam sikap Supandi, Amalia
juga kemudian menyimpulkan.
“Jadi yang kau temukan adalah lubang yang hanya berisi
beberapa tetes air...”
Apa kata Amalia selanjutnya?
“Aku juga sudah bilang, jangan teruskan usaha yang sia-sia itu.”
Andai saja ia menuruti perkataan Amalia jauh sebelum hari itu. di
mana ia menemukan sesuatu dalam sumur. Apakata Amalia kalau
ia terangkan apa sebenarnya yang telah ia temukan? Amalia tentu
tidak akan percaya. Amalia akan mentertawakannya. Tetapi kalau
Amalia percaya?
Atau, karena tidak percaya lantas pergi ke sumur untuk
membuktikan kebenaran perkataan suaminya? Amalia pasti jatuh
pingsan. Shock. Amalia akan terguncang jiwanya. Amalia akan
terganggu syarafnya. Padahal, Amalia telah berkorban banyak
ketika Supandi menikahinya, kemudian ketika Supandi tidak bisa
lagi memberi jatah bulanan demi berasapnya terus dapur mereka
karena Supandi dipecat dari kantor. Amalia juga terpaksa
mengorbankan hidup tenang dan damai di kota dengan hidup
menderita di kampung Supandi yang terpencil.
Tidak. Amalia tidak boleh menderita lebih banyak. Amalia tidak
boleh tahu apa yang ditemukan Supandi di dalam sumur. Ia keluar
dan tertegun setelah berada di belakang rumah. Tidak sampai
sepuluh meter dari tempatnya berdiri, tampak bukit tanah galian
berwarna coklat kemerah-merahan. Bercampur gundukan batu
kehitaman-hitaman. Di balik tabir bukit mini itu terletak lubang
sumur yang telah digali menetapi dalam hampir enam meter Pak
Jayusman yang tak pernah lupa berdoa itu, selamat.
Tetapi pak Atmo jatuh sakit, demikian parah sehingga mantera
obat di kampung tak berdaya menghadapinya. Pak Atmo baru
sembuh setelah diberi minum air yang dimanterai oleh seorang
25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dukun. Dan Suryadi? Anak muda yang selanjutnya! itu, lumpuh
kaki dan jantungnya, kemudian mati. Kini, hanya tinggal dirinya
seorang. Orang ke empat yang ikut menggali sumur, orang
terakhir yang masih terus mengerjakan penggalian itu dan orang
yang paling berkepentingan terhadapnya. Supandi. seperti pak
Atmo dan pak Jayusman. masih hidup. tetapi kalau disuruh
memilih. Supandi lebih suka bertukar tempat dengan Suryadi!
“Dan Amalia menambah jumlah persediaan janda,” gumam
Supandi sendirian. Kecut, dan pahit. “Lagi pula Suryadi telah
mati...! Lalu. apakah tidak ada sesuatu yang lain dapat ia
lakukan?”
la berpikir keras. Sambil berpikir. ia mendekatkan diri ke sumur.
Mula-mula kakinya berjalan dengan cepat dan tegap. Tetapi
semakin dekat ke sumur, semakin berat kakinya melangkah. Tiba
di bukit tanah ia tinggal menggerakkan kaki dan tangan sedikit
saja. Gundukan tanah itu akan longsor ke bawah, dan tumpukan
batu itu akan memadatkan seperti semula. Namun uap dingin
yang terlempar ke luar dari dalam lubang uap yang dengan
dahsyat berhasil menaklukkan cahaya matahari yang panas
memanggang telah membekukan persendian tubuh. bahkan jalan
darahnya. la berusaha sekuat tenaga melawan pengaruh ganjil itu.
Otot-otot tubuhnya sampai bersembulan ke luar. dan keringat
merembes dari seluruh pori-pori kulit, mengeluarkan butir-butir
peluh yang besar-besar. Dalam perjuangan bathin yang luar biasa.
dari mulutnya terlontar teriakan lantang:
“Tidaaaak ...!”
Dan teriakan itu mengendurkan otot-ototnya yang kejang.
melancarkan peredaran darahnya yang membeku, mengisi paru-
parunya yang kosong, melapangkan jantungnya yang menyempit.
Seperti orang kesurupan. ia memutar tubuh. berlari masuk ke
dalam rumah terjun kembali ke atas tempat tidur, dan kemudian
menyelimuti tubuhnya rapat-rapat dengan sepasang mata yang
terpejam lebih rapat lagi. Namun pada akhirnya. perjuangan
bathin yang amat sangat beratnya itu mau tidak mau
26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
merembeskan butir-butir air bening dari sela-sela kelopak
matanya yang mengatup.
***
28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengepel lantai. Habis itu menghangatkan makan siang yang
rupanya belum disentuh Supandi.
Amalia baru saja selesai mandi ketika ia temukan suaminya sudah
duduk menghadapi meja makan.
“Aku lapar...” gumam Supandi. dengan suara berat dan lirih.
Amalia cepat-cepat berpakaian, kemudian menghidangkan makan
siang yang tertunda itu di atas meja. Benar saja. Suaminya makan
dengan lahap sekali. Amalia senang melihatnya. Tetapi juga
merasa sedikit gundah, karena selama makan, suaminya lebih
banyak diam. Beberapa kali mereka bertemu pandang. tetapi
suaminya selalu berusaha mengelak. Namun jelas Amalia dapat
melihat bahwa mata suaminya kemerah-merahan.
Jadi ia tak tidur selama ditinggalkan Amalia!
“Kang?”
“Ngng..” sahut Supandi, tanpa memandang isterinya. Tetapi ah,
buat apa Amalia menyinggung soal sumur itu lagi? toh akan
menambah sakit hati suaminya saja. lebih baik ia mencari
pembicaraan lain untuk memecahkan kesepian yang tidak
mengenakkan hati itu. Apa misalnya? Oh ya. ia ingat sekarang!
“Pak Wasdri bilang besok padi akan diketam.”
“Hem!”
“Akang akan ikut mengawasi pekerjaan mereka bukan? Ikut
mengontrol pembagian hasil?” la berharap suaminya menaruh
minat.
Tetapi Supandi hanya menjawab: “Percayakan saja tugas itu pada
pak Wasdri.” lalu kembali masuk ke kamar tidur. “Aku kira aku
tidak enak badan.”
“Kupijitkan ya?”
“Engga usah.”
29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia agak tersinggung ditinggalkan begitu saja. Tetapi
semenjak suaminya dipecat dari kantor, Supandi telah berubah
dari seorang suami yang lemah lembut menjadi seorang laki-laki
yang emosional. Dapat saja Amalia memperlihatkan sikap yang
sama. Tetapi mana pernah sebuah pertengkaran membawa hasil
yang menyenangkan, biarpun salah seorang keluar sebagai
pemenang. Karena itu, harus ada yang kalah. Dan Amalia masih
tetap berpegang erat pada prinsip bahwa suami adalah kepala
rumah tangga dan seorang isteri adalah ekornya. Memang bukan
kedudukan yang enak. Tetapi selama sang kepala belum
menginjak sang ekor apa boleh buat. Biarlah ia mengalah demi
tetap langgengnya hubungan kepala dengan 'ekor itu demi rumah
tangga mereka.
Dengan Sabar, ia membereskan meja makan. Biasanya Supandi
ikut membantu. Kadang-kadang ikut cuci piring. Tetapi suaminya
tidak keluar-keluar lagi dari kamar. Barangkali suaminya benar-
benar sakit. Tetapi sikapnya yang keterlaluan itu patut dibalas,
biarkan kesakitan itu ia tangung sendiri. Bukanlah Supandi juga
menolak untuk dipijiti. Oleh karena itu, mumpung belum hujan.
Amalia keluar dari rumah dan pergi berbelanja ke warung untuk
persiapan makan siang orang-orang yang bekerja di sawah, esok
hari.
***
30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ketika masuk ke kamar tidur, ia temui suaminya berbaring di
tempat tidur dengan sepasang matanya terbuka lebar. menatap
kosong ke langit-langit kamar. Jidat suaminya basah oleh peluh.
Perasaan tersinggung Amalia lenyap seketika. Digantikan oleh
rasa kasih sayang seorang isteri yang mencintai suami.
“Kang....”
“Hmm?” Supandi menoleh. Terengah. Agak kaget oleh kehadiran
Amalia yang tidak didengarnya.
“Kupijit ya?”
Suaminya menarik nafas panjang mencoba tersenyum. Dan kali
ini tidak menolak ketika seluruh bagian tubuhnya digosok Amalia
dengan minyak angin kemudian diurut dengan teratur. Ketika
masih sebesar anak-anak muridnya di sekolah, Amalia sering
memijit ayahnya dengan upah sepuluh perak sekali pijit. Tak
heran, jari-jemarinya bergerak dengan terlatih, sehingga mata
Supandi beberapa kali terpejam keenakan. Kalau saja pikirannya
tidak terganggu oleh apa yang telah di temukan dalam sumur,
tentulah pijitan Amalia itu bisa merangsang birahinya.
Tetapi sekarang. jangankan terangsang, Untuk memperlihatkan
rasa terimakasihpun. ia tidak ingat sama sekali. Matanya terus
saja terpejam, dengan gerak dadanya yang turun naik dengan
teratur. Oleh karena itu Amalia menyangka suaminya telah
tertidur dengan nyenyak. la tersenyum puas dan bangga akan
hasil pekerjaannya, kemudian berbaring di samping suaminya. la
menarik selimut menutup tubuh dari ujung jari kaki sampai ke
batas leher, membaca doa-do'a selamat dalam hati, sampai kantuk
menyerang kembali. Tidak sampai lima menit, ia telah jatuh tidur.
Lelap sekali.
Tidak ia sadari. begaimana suaminya berbaring dengan gelisah.
Sebentar membalik ke kiri, sebentar ke kanan. Sebentar duduk.
sebentar berbaring lagi. Sesekali ia perhatikan isterinya yang
sudah nyenyak tidur. Maka, ia berusaha untuk tidak menimbulkan
suara berisik waktu turun dari ranjang, kemudian mengambil
rokok dan menyulutnya sebatang. Begitu bernafsu ia menyedot
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
rokok itu, sehingga sekali kerongkongannya tersumbat. la
terbatuk dengan keras. Amalia menggeliat sebentar di tempat
tidur. tetapi tidak terusik oleh suara batuk suaminya. Takut ia
batuk-batuk lagi. Supandi memutuskan untuk keluar dari kamar.
la duduk di kursi sofa rotan diruang tengah, setelah lebih dulu
membikin segelas kopi kental untuk dirinya sendiri. Betapa
inginnya ia tidur lelap seperti isterinya, bergulung di bawah
selimut. Akan tetapi bayangan mengerikan itu setiap detik
muncul di kepalanya mencengkeram dengan kuat- tidak mau
lepas.
Sudah mulai larut. pikirnya. Sebentar lagi tengah malam. Dan ia
harus melakukan sebuah tugas yang entah mengapa tidak
sanggup ia tolak. Sesuatu telah berakar di benaknya. Sesuatu yang
demikian kuat memperlibatkan kekuasaaan yang tidak terlawan
atas diri Supandi. Sesuatu itu merasuki dirinya ketika tadi siang ia
tidak kuasa melawan kehendak tangannya mencakar liar ke
dalam tanah di lubang sumur yang tengah ia gali. Jari jemarinya
mengorek tanah seperti diperintah oleh semacam kekuatan gaib
yang tersimpan di dalam tanah yang ia gali.
Jelas terbayang di matanya. bagaimana tadi siang ia menemukan
lebih banyak rambut, hitam, lebat, panjang dan tertanam kuat
pada sebuah batok kepala manusia. Demi Tuhan. Dalam lubang
yang ia temukan, terdapat sebuah batok kepala manusia yang
masih utuh. hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang ia
temukan. Saking terkejut dan ngeri. ia jatuh terduduk di dalam
lubang, memperhatikan batok kepala manusia itu, yang wajahnya
menghadap langsung ke wajah Supandi. Wajah yang juga masih
utuh. Walaupun tampak kotor oleh tanah. Tidak mencium bau
banyir sama sekali sebagaimana biasanya bau mayat. Tetapi ada
sesuatu yang berubah dalam lubang itu. Udara yang menjadi
sangat dingin dengan tiba-tiba. Udara yang sedingin lemari es.
Supandi duduk terengah-engah tidak tahu apa yang akan ia
perbuat. la malah tidak kuasa untuk berpikir. Yang ia lakukan
hanyalah memandangi batok kepala itu, menatap wajah yang
menghadap ke wajahnya itu. Wajah seorang laki-laki, yang
32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
umurnya tidak bisa ia duga. Kulitnya kehitaman-hitaman di balik
kotoran tanah berwarna dekil, dahinya lebar, dengan kulit yang
sudah berkerut-kerut. Demikian juga pipi kulit di bawah mata, di
sekitar bibir, bahkan bibir itu sendiri, berkerut-kerut. Kelopak
matanya yang terkatup juga berkerut-kerut. Pemandangan itu
terlalu mengerikan untuk dilihat. Tetapi Supandi tidak jatuh
pingsan, meskipun ia ingin mengalami hal itu. Hati kecilnya.
meneriakkan perkataan 'lari' berulang-ulang. lari! Lari! Larilah
cepat! Tetap ia tetap tertunduk menunggu dengan diam, seolah-
olah akan ada perintah yang diberikan untuk ia kerjakan.
Dan benar saja!
Sesuatu tiba-tiba bergerak. Lemah. Samar-samar. Tapi gerakan itu
kian lama kian jelas bersamaan dengan udara dalam sumur yang
kian lama kian dingin menusuk. Dengan mata terpentang lebar.
Bagaimana sepasang mata yang lain di dalam sumur itu perlahan-
lahan terbuka. Rasa takut dan ngeri yang dengan luar biasa
melanda diri Supandi, memuncak ketika itu. Segenap daya yang
mampu ia kumpulkan akhirnya dapat menggerakkan persendian
kakinya. la terlonjak berdiri.
Dan siap untuk menaiki tangga ketika.... mata itu mulai bersinar!
Supandi terpaku seketika. Tak ubahnya sebatang tonggak yang
dipatokkan dengan kejam terhunjam dalam ke bumi. Diam. Tak
berdaya. Lalu sesuatu seolah menyelusup lewat batok kepalanya
sendiri, menyentuh langsung ke pusat sarafnya di dalam otak.
Sesuatu yang merupakan sebuah perintah, “duduklah kembali!”
Suara yang menyentuh langsung ke otak itu, berat dan lirih.
Sayup-sayap sampai. Tetapi pengaruhnya demikian dahsyat.
sehingga Supandi tidak sanggup untuk menggerakkan tangan
maupun kakinya untuk mendekati apalagi menaiki tangga. Ia juga
telah berusaha untuk tetap berdiri. Berusaha melawan perintah
gaib itu Seluruh otot-otot tubuhnya mengejang oleh perlawanan
yang luar biasa. Namun dari bulu-bulu kuduknya yang berdiri
tegak ia merasakan suatu tarikan yang sangat kuat untuk tidak
berpaling dari arah datangnya suara gaib itu, Terletak di depan
33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kakinya. Bibir keriput dari batok kepala itu kini ikut bergerak
terbuka... memperlihatkan dua baris gigi yang tersusun rapih,
yang warnanya tidak tampak putih lagi, melainkan sudah kuning
kehitam-hitaman. Mulut itu menyeringai.
“Duduklah!” ia dengar perintah ulang, Tetapi bukan berasal dari
mulut yang tengah menyeringai kejam itu. Melainkan dari
pancaran sinar matanya yang menyentuh langsung ke otak
Supandi!
“Tid....”, protes mulut Supandi yang pucat tidak berdarah terhenti
begitu saja. Dan segala sesuatu di dalam hati nuraninya didalam
jiwanya, di dalam phisiknya, ikut terhenti .selama beberapa saat
yakni saat-saat matanya tanpa bisa ia hindari lagi. telah beradu
langsung dengan sepasang mata yang berkilau-kilauan dari batok
kepala itu. Kilauan yang tajam. Dengan warna yang sukar untuk ia
lupakan. Seperti percikan api yang hidup sempurna : merah
kehiru-biruan!
Suatu kepatuhan yang luar biasa. merasuk dalam jiwa Supandi. la
duduk perlahan-lahan. Bersila. Dengan sikap hormat dan takut!
“Teruslah pandang mataku” otaknya kembali menerima perintah
telepathie itu.
Supandi tidak mengerdipkan kelopak matanya barang sekejappun
juga, betapapun hati kecilnya berteriak-teriak histeris "Tutup
matamu! Tutup matamu! Tutup....!"
‘Sejak saat ini. kau telah jadi budakku, siapapun kau adanya. Aku
sudah pernah mengatakan pada mereka... bahwa aku... suatu saat
aku akan bangkit kembali...?’
Otak Supandi berdenyut-denyut, berusaha mencerna kata demi
kata yang terpancar langsung lewat sinar mata itu. Pada saat yang
sama. otaknya juga berusaha untuk menangkap gerakan-gerakan
lemah mulut yang kini ternganga itu. Supandi melihatnya samar-
samar. Melihat sebentuk lidah yang bergerak-gerak tidak teratur.
Lidah yang berwarna merah seperti darah.
34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau... kau dengar apa... apa yang kukatakan?”
Supandi menganggukkan kepala.
“Ucapkan ya!”
“...ya... aku..”
“Nah. Begitu," seringai yang lebih kejam bermain di depan mata
Supandi. “Aku tahu...” otak Supandi kembali harus mencerna kata
demi kata dari alam gaib itu. “Akan tiba saatnya... seseorang akan
membalas... kan aku dari siksaan kubur yang terkutuk ini. Aku..!
mulut itu sekonyong-konyong bernafas megap-megap. "Aku
letih...” katanya, lalu matanya terpejam.
Dan saat itu pulalah, Supandi sadar akan dirinya kembali. la sudah
memejamkan mata, dan sudah siap untuk lari ke atas menuruti
perintah hati kecilnya, ketika sekonyong-konyung mata berwarna
merah kebiru-biruan itu terpentang lebar kembali dan sisa-sisa
pengaruhnya dalam diri Supandi, kembali ikut bangkit.
“Diam di tempatmu. budak!” betapa hinanya sebutan itu! Tetapi
dengan sikap hormat dan takut, Supandi diam di tempatnya. Tak
ubahnya sebuah patung batu dalam posisi duduk yang baru saja
selesai dipahat.
“Aku letih... hampir seratus tahun lamanya... aku tersiksa seperti
ini. Tetapi sekarang,... aku bebas... bebas... dan kau, budak, kau
akan menuruti segala perintahku, sejak saat ini...! Kau tidak akan
dapat memperdaya diriku, meskipun tidak terjangkau oleh sinar
mataku lagi. Karena karena sebahagian dari rohku yang terlunta-
lunta telah memasuki jiwamu itu”
Otak supandi menangkap suara terkekeh-kekeh serak dan parau.
Lalu: “Pergilah!”
Supandi tersentak. “Ya..”
“Pergilah pada isterimu. Aku... aku sudah merindukan kehangatan
tubuh perempuan. Pergi, cepat. pergilah!”
35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
la dapat berdiri. Ia gerakkan tangan. la mampu memegang tangga.
Dan ia sudah akan naik, ketika.. “lngat!” memperingatkan suara
lirih itu. “Tengah malam nanti kau harus kembali. Aku
membutuhkan tempat yang lebih nyaman dan hangat dari tanah
berlumpur yang kotor ini!”
***
36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menatap langit yang hitam kelam. Lolong anjing menggema lagi di
kejauhan. Sayup-sayup, lemah dan memilukan tulang, Lututnya
yang semula gemetar, dikuatkan oleh pengaruh ganjil yang
menerpa jiwanya.
Supandi kemudian setengah berlari menerobos hujan,
terbungkuk-bungkuk menuju lubang sumur di belakang
rumahnya. Genangan lumpur merembes kian kemari dan galian
tanah yang basah tersiram hujan. la hampir tergelincir ketika
menuruni tangga.
“... aku tahu kau akan datang.” ia disambut oleh suara berat dan
lirih yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Dalam lubang
sumur, gelap seperti dalam hutan. Tetapi sinar mata yang merah
kebiru-biruan itu jelas tampaknya menyambut kemunculannya.
“Tunggu apa lagi?”
Tanpa usaha perlawanan. Supandi membungkuk. Dengan sebelah
tangan, ia korek bagian yang masih menahan batok kepala itu.
Sebuah benda yang berat dan dingin seketika berada di atas
telapak tangannya. Batok kepala itu segera ia selimuti dengan
selendang isterinya, lantas bagai tupai ia memanjat kembali ke
atas. Dari bawah, ia dengar suara bergemuruh yang kian lama
kian deras. Rupanya dari lubang tempat batok kepala itu
terpacak, menyembur ke luar air yang sangat deras. Sumur itu
memiliki sumber mata air yang subur!
Akan tetapi, begitu Supandi menjejakkan kaki di pinggir lubang
tanah yang ia jejak perlahan-lahan bergerak.
“Menyingkir!” sayup-sayup ia mendengar suara yang tersekat.
“Aku tak sudi terkubur hidup sekali lagi!”
Lincah sekali. sepasang kaki Supandi melakukan loncatan-
loncatan di atas tanah yang becek tanpa terpeleset sama sekali.
Tidak sampai satu menit ia telah masuk ke dalam rumah, dengan
selendang Amalia membungkus batok kepala seorang manusia
yang pasti pernah dikutuk semasa hidupnya.
***
37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SETELAH berada di dalam rumah, justru Supandi menjadi
kebingungan. Selendang batok kepala manusia yang mengerikan
itu tergantung-gantung di salah satu tangannya, sementara
tangan lain menyeka air hujan yang membasahi wajah. Pakaian
yang ia kenakan melekat basah ke tubuhnya. kotor oleh lumpur.
Tetapi bukan itu yang membingungkan Supandi.
Melainkan pintu kamar tidur yang terpentang lebar. Bagaimana
kalau Amalia terbangun dan melihat apa yang ia bawa masuk ke
rumah? Celakanya, kepala yang terbungkus itu tidak berkata apa-
apa. Diam membeku. Seolah-olah menyuruh Supandi mengambil
keputusan sendiri. Dengan tubuh yang menggigil wajah pucat dan
gigi gemeletuk kedinginan serta ketakutan. Supandi memeras
otaknya di mana tempat yang layak untuk kepala mansuia
mengerikan tapi pengaruhnya tak bisa ia tolak. Akan ia simpan?
Dalam lemari pakaian? ltu lemari bersama Isterinya bebas
membukanya. membongkar segala isinya. Di bawah tempat tidur!
Amalia, maafkan aku. Peluklah aku, tetapi aku tidak akan
membiarkan kau tidur di atas sebuah batok kepala yang telah
menjahanami diriku ini, keluh Supandi dalam hati. Sakit sekali.
Lewat pintu belakang yang terbuka. ia melihat dapur. Tempat itu
adalah tempat Amalia sehari-hari menyibukkan diri. jadi bukan
tempat untuk menyimpan sebuah rahasia. Nah itu gudang. Di
sebelah dapur. Supandi bergerak ke sana. Tetapi tatkala pintu
gudang ia buka, diterangi oleh lampu teplok yang tergantung di
salah satu tiang koridor belakang, ia melihat tumpukan goni-goni.
Sebuah peti besar berisi beberapa perabotan rumah tangga yang
tidak terpakai, lalu sebuah kompor cadangan yang sesekali
dipakai Amalia untuk memasak makanan bila tiba waktunya
menyiapkan santapan petani-petani menggarap sawah mereka.
ltu berarti padi! Dan besok petani-petani itu akan mulai
mengetam kemudian menjemur dan bagian untuk Supandi
sebagai pemilik sawah, akan ditumpukkan ke dalam gudang
seperti biasa. Persetan, ke mana aku akan menyimpan benda
mengerikan ini? Demikian Supandi berpikir keras. Ia mundar-
mandir tidak menentu, dari ruang tengah ke ruang belakang. dari
38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dapur ke gudang, bahkan ke kamar mandi. Satu hal yang jelas
tidak mungkin ia lakukan- hanyalah menanam saja kepala itu
kembali di salah satu tempat di sekitar rumahnya. Entah
mengapa, hati nuraninya tidak mengijinkan ia melakukan
perbuatan itu. Hati nurani? Bukankah lebih tepat dikatakan.
jiwanya? jiwa yang telah dititisi sebagian pemilik batok kepala
yang terbungkus dalam selendang isterinya.
Beberapa kali ia menarik nafas, dan suatu saat tertengadahlah
karena putus asa. Justru ketika itu matanya beradu dengan lubang
tirap ke para-para rumah. Matanya yang kosong, tiba-tiba berseri
secara aneh. Jiwanya merasakan kesenangan yang tidak ia
nikmati sepenuhnya, tetapi betapapun. ia telah menentukan
sebuah jalan.
Bungkus berisi kepala itu ia letakkan di atas meja. la harus naik
mempergunakan tenaga. Tetapi, ah. itu ada suara ranjang
berderit. Supandi gemetar dan semakin pucat. Dengan tegang, ia
berdiri menunggu Amalia ke luar dari kamar...
Tetapi suara itu sepi lagi Amalia mungkin cuma terganggu oleh
impian di kala tidur. Sebuah mimpi burukkah? Mimpi melihat
suaminya sedang...
Tidurlah yang nyenyak. Amalia!
Supandi kembali ke belakang rumah. Tetapi ia tidak menemukan
tangga. Setelah lama mencari, baru ia teringat tangga itu
tertinggal di dalam lubang sumur. Disambung dengan tangga pak
Suryadi, agar lebih panjang masuk ke dalam lubang. Memerlukan
tempo untuk mengangkat dan melepaskan sambungannya. lagi
pula ia tidak sudi lagi menempuh hujan deras dan tanah becek
berlumpur. Sayup-sayup lolungan anjing mengalun lagi dari
kejauhan. Lolongan kematian!
Supandi terlonjak, masuk kembali ke rumah. Ia pandangi
bungkusan berisi kepala manusia di atas meja. Meja! Ah, mengapa
ia tidak memikirkannya dari tadi! Dengan hati-hati agar kepala itu
tidak sampai jatuh menggelinding, sekaligus tidak mengusik
Amalia dari tidurnya. Supandi menggeser meja makan persis ke
39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tempat di mana di atasnya terdapat lubang tirap ke para-para
rumah. Dengan bantuan sebuah kursi, ia berhasil naik sampai
sepertengahan dada berada di dalam para yang berbau pengap
dan gelap. Namun cukup aman untuk menyimpan majikannya
yang menakutkan itu.
Ia kemudian turun, mengambil lampu yang tergantung di tembok.
Dengan tangan yang lain menjinjing bungkusan berisi batok
kepala itu. Supandi kembali naik ke atas meja, terus ke kursi, lalu
sebentar kemudian ia telah berada di para-para rumah. Para-para
itu terbuat dari bambu yang dianyam, telah berumur belasan
tahun tetapi masih utuh dan rapih, kecuali oleh debu, sarang laba-
laba yang mengotorinya di sana sini. Supandi berjingkat dengan
tubuh membungkuk dari kaso-kaso yang satu ke kawat kase yang
lain.
Disebuah sudut yang agak bersih dan lapang, diantara dua buah
kase-kase yang letaknya merapat satu sama lain. Begitu
bungkusannya ia buka, begitu kelopak mata yang mengerut itu
membuka. Warna merah kebiru-biruan menerpa matanya. Dan
seulas senyum tipis. namun tidak ramah sama sekali dihadiahkan
untuk Supandi.
“Agak bau... tetapi nyaman...” terdengar suara berat dan lirih yang
dialamatkan ke para-para rumah lewat telinga Supandi.
la diam. Terpaku. Kaku. Setelah memandang berkeliling Sepasang
mata yang aneh itu kembali menatap ke mata Supandi.
“Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padamu, anak
muda.....” makhluk itu tidak menyebutkan "budak" lagi. Tetapi
Supandi belum boleh berlega hati. Karena makhluk itu telah
melanjutkan kata- katanya lagi. Kata-kata berbentuk dan bernada
perintah, “Aku akan memasuki jiwamu, dalam tidurmu... kau
harus membalaskan sakit hatiku... dan menyempurnakan..
kematianku....!”
“Kem.. kematianmu?”
40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kematianku!” jawab makhluk itu tegas. “Sempurnakanlah
kematianku... dengan membalaskan dendam kesumatku... dan dan
mempersatukan anggota tubuhku...”
“Tetapi... dimana.... di mana...”
“Aku sendiri tidak tahu... tidak tahu. Aku letih... aku sangat
kesakitan...,pedang itu... iiih-hhii....” sepasang mata berwarna api
terpejam sesaat, lalu ketika terbuka lagi. keluar perintahnya yang
terakhir untuk malam itu.
“Tinggalkan aku sendirian.”
Supandi mundur dengan pelahan-lahan dan hati-hati. la
kemudian turun dari para-para, tanpa terlepas sedikitpun dari
perhatian sepasang mata di batok kepala yang ia tinggalkan
terhampar berlapiskan selendang Amalia. la sempat melirik mata
yang memancar mengerikan itu ketika akan turun, dan Sadar,
bahwa sejak saat itu, ia bukan lagi Supandi yang pernah dikenal
orang selama ini. Bukan lagi Supandi yang dicintai Amalia....
***
43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Selesai Amalia menjemur pakaian Supandi belum bangun juga.
Kesal, Amalia berceloteh sendirian,
“Sialan! Apa kang Pandi tak perduli sama perut orang? Setan
benar. Biar aku makan duluan, agar ia tahu rasa!”
Tetapi ia belum sempat masuk ke rumah, ketika seseorang ia lihat
mendekat ke bekas lubang sumur, terbungkuk-bungkuk,
menyeret sebelah kakinya yang timpang. Nenek Ijah! Hem, mau
apa pula perempuan tua renta dan pikun itu di sana? Bagaimana
ia bisa muncul begitu saja? Amalia tidak melihatnya sama sekali
datang dari jurusan Utara, pada jalan yang berhadapan dengan
pekarangan belakang rumah mereka.
“Hai. nek.” sapanya, seraya mendekati perempuan tua itu. Nenek
Ijah bergerak, menoleh. Wajahnya yang keriput dan kotor
kehitam-hitaman, bukan sebuah pemandangan yang enak untuk
dilihat. Lebih-lebih sinar matanya yang kecil seperti mata burung
elang mengintai mangsa. Mulutnya terkatup, tidak menjawab. dan
sikapnya tidak bersahabat. Ciut juga hati Amalia.
“.... mari masuk ke rumah, nek..!” ia mengajak, meskipun hatinya
tidak merasa tenteram melihat kehadiran perempuan itu. Sinar
mata nenek Ijah memandangi lebih lunak.
Bukan jawaban yang keluar dari mulutnya. Tetapi gumam lirih
yang tidak berketentuan, ”Kosong lagi. Apa yang ada di tanah
tertutup. Tetapi rasa-rasanya memang akan kutemukan disini...”
“Apa yang kau cari nek?” tanya Amalia ingin tahu.
Nenek tua itu memandang Amalia lurus-lurus, lalu “Emas.”
Jawabnya. Pelan hampir-hampir berupa bisikan. "Emas hatiku!” ia
melanjutkan.
Amalia tercengang Jangan-jangan benar kata orang. bahwa nenek
ini tidak waras. Ia ingin bertanya lebih lanjut. Tetapi perempuan
tua itu sudah bergerak menjauh dan pergi, tanpa menoleh-noleh.
Menyeret sebelah kakinya yang timpang.
***
44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI terengah-engah dalam tidurnya. Bayangan seseorang --
apakah orang itu dirinya sendiri? -- samar-samar bergerak dalam
remang-remang senja yang temaram, Lambat dan hati-hati.
Bayangan itu bahkan bagai menari-nari di antara batang-batang
pohon karet yang menjulang tinggi. dengan daun-daunnya yang
rimbun menambah gelap jalan yang ia lalui. Angin bertiup
kencang, dingin menggigilkan tulang. Bayangan itu mengendap
terus. rasanya lama dan jauh sekali.
Sampai akhirnya, seolah ada sebuah tenaga gaib yang
menyentakkan tubuhnya, bayangan itu sekonyong-konyong
terhempas jatuh... Oh, tidak. Tidak. Bayangan orang itu tidak
jatuh. melainkan berjongkok dengan tiba-tiba, bersamaan dengan
terdengarnya suara percakapan yang sayup-sayup terbawa angin.
Orang itu berhenti sejurus. Menahan napas. Kini suara
percakapan tadi terdengan lebih jelas:
“.... akang berjanji palsu!” ujar seorang perempuan, dengan suara
lirih dan kecewa.
“Mengapa kau bilang begitu. Nengsih?” sahut suara lainnya. Laki-
laki. Berat dan agak parau.
“Buktinya akang belum melamarku juga....”
“Tapi isteriku..”
“Bukankah akang sudah berjanji akan menceraikannya!”
“Aduh, Nengsih. Mana mungkin? la sedang hamil tua dan...”
“Dan aku? Kang. aku.. aku juga sudah hamil. Mama sudah mulai
curiga, kang... tetapi belum bertanya-tanya, kalau semua orang
sampai tahu, aduh. kang.. Namaku dan keluargaku akan
tercemar...” suara perempuan itu kini setengah menangis.
“Husy. jangan cengeng. Aku akan bertanggung jawab. Percayalah,”
si lelaki menghibur.
“Sunguh”
“He-chan”
45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tetapi...”
“Ngg, kau tak percaya akang ya?”
Tidak ada sahutan. Sepi. Sesaat. Dua. Tiga..
Lalu. terdengar berkeresak-keresek. disertai suara mengaduh
yang halus dan manja. Mendengar suara-suara yang ganjil itu,
bayangan orang yang bersembunyi di balik semak belukar
bergerak lebih dekat, menguakkan semak lebat yang menghalangi
pemandangan dia...
Dan ia segera menarik mundur kepalanya ke belakang, duduk
terhenyak. Sepasang matanya membesar dan dadanya naik turun
dengan cepat. la mengaturnya, bahkan meremasnya. la
merasakan sakit yang amat sangat. la ingin menjerit, ingin marah,
ingin memaki-maki. ingin berbuat apa saja. Tetapi yang mampu ia
lakukan hanyalah duduk terhenyak dengan sekujur tubuh terasa
luluh. Hatinya hancur. Teramat hancur. dan sudut-sudut matanya
mulai basah oleh butir-butir air hujan.
Entah berapa lama ia dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu. la
baru tersadar waktu terdengar suara perempuan itu lagi, “Sudah
ah.. kang” lirih dan manja. Manja sekali.
“Mh, sebentar dong...”
“Kang, aduh..”
Bayangan orang di balik semak belukar yang gelap' itu menggigil
dengan hebat. la tak sudi melihat perbuatan orang-orang terkutuk
itu lagi. la tak sudi mendengar ucapan-ucapan mereka yang kotor
dan busuk. Ia harus pergi. Harus!
Lalu pelahan-lahan, bayangan yang itu bergerak mundur..
mundur, terus mundur. Setelah agak jauh. baru ia berdiri,
memutar tubuh, kemudian mulai berlari. Berlari, berlari... terus
berlari, sampai kakinya terasa seperti akan lepas dari
persendiaan tubuhnya, sampai jantungnya tidak kuat lagi
menggebu... Namun ia terus berlari, malah kalau mungkin. ia akan
46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berlari sampai malaikat-maut datang mencabut nyawanya dari
raganya.
Matanya perih, pandangannya menjadi gelap. Pekat. gelap, dan di
antara kegempaan itu beribu-ribu warna bermain-main simpang-
siur. Merah, jingga, lembayung. kuning. merah tua. hitam.. merah
menyala seperti darah. Bergelombang-gelombang, seperti ombak
yang menggulung dilanda topan, menerpa dengan dahsyat,
menenggelamkan tubuhnya dengan kejam. Dalam keadaan yang
putus asa. Ombak itu perlahan-lahan reda, warna-warni yang
mengerikan itu pelahan-lahan berubah lembut. manis dan indah.
la merasa seperti melayang-layang dan kakinya yang berlari
terasa amat ringan.
Entah berapa lama waktu telah berlalu ketika itu. Dan ia tidak
peduli. Tidak mau tahu. Dengan perasaan nyaman, kakinya mulai
berhenti berlari. dan kini berjalan santai ke arah pinggir sebuah
sungai. Udara cerah, langit biru jernih, angin bertiup sepoi-sepoi
basah. Suara air sungai menerpa batu terdengar seperti nyanyian
merdu yang merangsang, Rangsangan itu datang dari sesosok
bayangan perempuan yang sedang duduk tercenung di atas
sebongkah batu besar dan pipih. Sepasang kakinya yang indah
terjuntai ke bawah, dipermainkan air yang menjilat-jilat betisnya
yang mulus dengan mesra.
Ketika ia mendekat, perempuan itu menoleh. Sepasang matanya
yang bulat, tampak redup. Bertentangan sekali dengan alam di
sekitarnya, bahkan dengan kesemarakan tubuh dan rambutnya
yang berkibar-kibar ditiup angin. Mata yang bulat dan redup itu,
basah. dan tetesan-tetesan air bening melebihi kedua belah
pipinya yang halus.
“Apa yang kau tangisi, Nengsih?” ia bertanya.
Gadis itu menunduk, dan tangisnya meledak. la lalu bergerak
turun ke air, mendekati gadis itu, dan merangkulnya dengan
lembut. Gadis itu membalasnya, menangis di dadanya. Ia belai
rambutnya yang panjang bergelombang. ia usap bahunya yang
47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
halus dan hangat. ia angkat dagunya yang lembut dan mulus. Bibir
yang merah dan basah itu, terbuka sedikit.
Napasnya yang hangat menggebu-gebu keluar, menarik-narik
kelelakiannya yang sudah terbuai. Dan ketika pelan-pelan ia cium
bibir yang merekah itu, seseorang tahu-tahu, sudah berseru dari
kejauhan :
“Hai, apa yang kalian kerjakan di situ, eh?”
la terdongak, dan di atas tanah yang ketinggian, bukan saja satu.
melainkan dua. tiga, empat... ah, mengapa demikian banyak orang
telah berada di sana? Ketika ia perhatikan, tiba-tiba sekali ia bisa
mengenali salah seorang di antara mereka yang menunjuk-nunjuk
ke arah dirinya dan gadis itu. Orang itulah yang barusan tadi
berseru, dan orang itulah yang kini bersuara lebih keras
mengatasi suara orang-orang lainnya:
“Zinahi Terkutuk! Biadab! Jadi, kau yang membuntingi dia.
yaaaa??”
Mendengar tuduhan itu. ia jadi terkesiap. Tiba-tiba ia sadar,
bahwa ia telah terjebak. Dengan gugup, ia membantah, “Bukan
aku... bukan...”
“Ha?” jerit orang itu, dan yang lain-lainnya berteriak marah.
“Sudah kami buktikan di depan mata. masih membangkang eh?”
Lalu. orang-orang itu bergerak turun, berlari-lari mendekat. Laki-
laki malang itu menjauhi si perempuan dan dalam keadaan panik
ia berteriak,
“Tanya si Nengsih! Tanya si Nengsih!”
Orang-orang kampung yang sudah mengepungnya itu, tertegun.
Lalu seorang bertanya, “Siapa yang membuntingi kau. nengsih?”
Si gadis mengangkat kepalanya memandangi orang-orang itu satu
persatu, dan berhenti agak lama pada wajah orang yang
menggumulinya. Diantara pepohonan karet, orang yang berjanji
akan menceraikan isterinya sendiri, orang berjanji akan
48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengawininya, orang yang kini memandanginya dengan sinar
mata tajam, buas dan penuh ancaman. Nengsih bergidik sedikit,
kemudian matanya beralih pada laki-laki yang telah menciumnya,
dan kini berdiri gemetar diantara pengepung.
Dari mulut Nengsih, terdengar bisikan, “Tar-jo. Dia yang ...”
Ucapan Nengsih tenggelam di antara teriakan-teriakan marah
dari enam orang laki-laki berwajah buas, dan teriakan ketakutan
dari seorang laki-laki yang tidak berdaya. Badai tiba-tiba
menggelegar di pinggir sungai itu. Badai pukulan, tinju,
tendangan. caci maki, sumpah serapah. Badai kemarahan yang
bercampur dengan badai keputus asaan...
“Aduuuuuhu. ampuuuuuun!” seraya mengaduh. Supandi terlonjak
dari tidurnya. Seakan menghindari datangnya hujan pukulan.
Kepala ia rundukkan dan kedua tangan bergerak liar kian kemari
berusaha melindungi diri. la berlaku demikian lama, sampai
kemudian ia merasa letih tanpa menghasilkan sesuatu. Perlahan-
lahan gerakannya berhenti. la menoleh ke sekeliling dan segera
sadar bahwa ia berada dalam kamar tidur. Sendirian.
“Ya Tuhan..” ucapnya dengan suara kering.
“Syukurlah semua itu cuma impian...” Tetapi ketika ia melap
keringat! yang membanjiri jidatnya, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Mimpi? Dan begitu nyata?” bisiknya, lantas tubuhnya mulai
gemetar. “Seperti malam-malam yang lalu...” la coba mengingat
kembali impian yang datang secara berturut-turut itu.
Hujan yang deras. langkah-langkah kaki yang diseret. Suara
cekakakan dan mengejek. Dan seseorang yang dipaksa berjalan
dengan kedua tangan terikat ke belakang sambil sesekali
mendapat tambahan tendang dan tinju. Suara orang memerintah
agar berjongkok. Lalu meralatnya agar bersimpuh.. lalu lagi,
kilatan pedang di udara, dan kepala yang menggelindirlg jatuh.
Sebelum kepala itu melayang ke lembah, lenyap ditelan kegelapan
malam. Masih sempat sepasang matanya yang terbuka lebar,
menatap algojo- algojonya satu persatu, sehingga pembunuh-
49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pembunuh itu sama bergidik ketakutan. Jelas tampak wajah laki-
laki yang kepalanya sudah putus dari badannya itu.
Wajah orang yang juga tampak dalam impian…
Supandi sebelum tadi ia terbangun.
Wajah yang sama. Dan kini ia tahu namanya,
Tarjo!
***
52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bawahnya lalu naik. la tidak mengerti, mengapa harus itu yang ia
lakukan.
Pikirannya tidak bisa bekerja sama sekali otaknya beku.
Syarafnya hanya bergerak menurutkan sebuah perintah yang
datangnya tidak lewat selaput telinga tetapi langsung menyentuh
otak. Seakan-akan, apapun yang harus ia lakukan, sudah tertulis
nyata di otaknya itu, tanpa ia harus memikirkannya lagi. Namun
hati kecilnya masih mampu bekerja. Tetapi demikian lemah.
demikian tidak berdaya. Sehingga hati kecilnya rasanya bisa
berteriak-teriak dengan putus asa.
“Kau sudah diperbudak!”
Kau sudah diperbudak? Sebagai seorang budak yang patuh ia
berjongkok di depan batok kepala yang kotor dan berkeriput itu.
la menunggu dengan patuh menunggu dengan perasaan cemas
dan takut. Bulu kuduknya meremang Jantungnya menggebu
dengan cepat sama cepat dengan teriakan lelah disanubarinya.
“Lari. Cepat lari. Tinggalkan mahluk terkutuk itu!”
Kakinya lebih terkutuk lagi. Kaki yang bergerak menurutkan
perintah otaknya untuk naik ke atas para, dan setelah berhadap-
hadapan dengan batok kepala manusia bernama Tarjo itu, justeru
menjadi lumpuh tanpa daya. Kelopak mata yang berkerut-kerut
itu perlahan-lahan bergerak. Dan warna merah kehiru-biruan
bagai sinar lazer yang tiba-tiba ditembakkan, membentuk
sepasang garis lurus langsung ke mata Supandi yang tidak
berkedip walau sepicingpun, meskipun hati kecilnya berteriak-
teriak dengan marah:
“Tutup! Tutup matamu, jahanam!”
Terlambat sudah. Karena lewat sinar mata itu otaknya sudah
menangkap sebuah kalimat pertanyaan :
“Sudah kau lihat dalam mimpimu apa yang telah terjadi?”
Supandi menelan ludah. la ingin membuka suara, namun hanya
mampu menggerak kepala. la mengangguk-angguk.
53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Nengsih adalah cinta pertamaku. Aku begitu tergila-gila padanya.
Aku tahu, ia lebih menggilai pengawas onderneming yang kaya
raya tetapi sudah punya bini dan anak selusin itu.. Aku terpaksa
menikahinya... Tetapi haram aku menjamah tubuhnya. Bangsat
pengkhianat itu.. dengan anak haram jadah dalam perutnya... Apa
yang lebih baik kau lakukan? Menceraikannya, bukan?”
Lagi. Supandi manggut-manggut, tanpa sempat berpikir apakah
memang itulah jalan yang terbaik. Menikahi si perempuan busuk,
kemudian menceraikannya begitu saja. Barangkali memang itulah
satu-satunya jalan terbaik. Toh si perempuan hanya
membutuhkan seorang laki-laki untuk dicap sebagai ayah dari
anak haramnya. Setelah itu, gampang baginya mencari laki-laki
lain. la masih muda. Cantik. dan bertubuh montok setelah beranak
satu...
“Sekarang adalah bagianku!” suara gaib itu menyentuh otak
Supandi lagi. “Bawa aku ke sana!”
Supandi semula akan membungkus batok kepala itu dengan
selendang Amalia, tetapi batok kepala itu seakan berteriak marah:
“Biarkan aku menghirup udara yang lebih segar!”
Ia hanya kebingungan sebentar. Dengan cepat ia telah bisa
mengambil keputusan. Rambut di batok kepala itu panjang
tergerai. la menjambaknya dengan tangan gemetar.
rnenggumpalkannya di dalam telapak tangannya, kemudian
mengangkat lunak kepala itu dengan hati-hati. Tak ubahnya
mengangkat dinamit yang masih aktif, yang salah sentuh saja
sedikit, bisa meledak... sia-sia Supandi mengingat di mana letak
tempat yang ia lihat dalam impiannya tadi pagi. la dilahirkan di
desa ini, dan sebelum dibawa merantau ke kota oleh pamannya, ia
sempat menjelajah ke desa-desa di sekitarnya bersama anak-anak
yang sebarya dengan dia. Tetapi saat-saat manis itu telah lama
berselang. la mungkin sudah lupa keadaan desa-desa yang pernah
ia kunjungi. Lebih-lebih lagi, desa yang lihat dalam mimpinya,
suasananya adalah suasana kira-kira seratus tahun yang telah
54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lampau. Dan meskipun barangkali sempat dikunjungi Supandi,
tentulah keadaannya sudah jauh berubah. Apalagi sekarang!
Namun, ajaib. Otaknya seperti mendapatkan petunjuk. Kedua
kakinya melangkah dengan tetap, dengan tujuan yang pasti.
Melangkah demikian enak dan ringan. Bahkan sesekali ia berlari,
tanpa merasakan letih. Setiap otot di tubuhnya seakan tiba-tiba
telah menyerap tambahan tenaga, entah darimana datangnya.
Dalam gelap pekat, apalagi karena ia harus menjauhi jalan umum
dan menerobos semak belukar dan hutan rimba. Bulan yang pucat
bersinar lemah, tetapi hal itu tidak menghalangi Supandi. la terus
berlari seolah harus berpacu dengan waktu. Balok kepala yang ia
jinjing, berayun-ayun kian kemari. Angin malam bersiut-siut.
Dingin, menusuk.
***
56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
isterinya ke kota. la terpaksa pulang lagi ke kampung untuk
menggadaikan dua kotak sawah, karena dokter spesialis
kandungan di kota meminta biaya besar untuk mengubah
susunan kandungan isterinya yang kata dokter itu, menyimpang.
Tetapi setelah isterinya pulang dari opname di Rumah Sakit itu
lewat lima tahun, belum juga isterinya mengandung sehingga
sesekali sempat Darmanto mendoakan hal bukan-bukan yang ia
tujukan kepada si dokter.
“Semoga uangku yang ia makan membuat perutnya busuk dan
bernanah....l”
Darmanto mengisap sebatang rokok lagi.
“Hem!” gumamnya. “Barangkali doaku yang tak pantas itu yang
menyebabkan semua ini terjadi.”
Tetapi apakah memang demikian? Telah berapa orang dukun dan
ahli-ahli kebatinan yang mereka datangi. Hampir semua
memberikan jawaban yang sama:
“Ini mungkin pembawaan kutuk turunan...”
Hampir gila rasanya Darmanto kalau ingat semua itu. la
mempersetankan ucapan mereka, dan hanya memohon agar
mereka membantu. Itu saja. Lalu seorang dukun yang tersohor
memberikan ramu-ramuan untuk diminum dan sebagian dipakai
menyiram tubuh kalau isterinya mandi. Kandung telur Darman
bahkan sempat diurut-urut oleh dukun itu, setelah mana ia
berkata dengan suara puas:
“Kau akan segera dapat keturunan. Tiduri isterimu malam ini
dengan membiarkan jendela terbuka sampai pagi...” dukun itu
malah sempat berseloroh: “Makin dingin makin enak bukan?”
Dan dua bulan kemudian. Saerah berhenti haid.
“Dan kini sudah hampir sepuluh bulan, tetapi anak yang
kurindukan itu belum mau juga melihat bapaknya, sungut
Darmanto lagi. Apakah ada yang salah dalam ramuan dukun itu?
57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Atau sesuatu yang salah dari pekerjaan dokter di kota? Atau
dukun-dukun serta ahli kebathinan itu memang mengatakan hal
yang sebenarnya? Ingin rasanya Darmanto mempersetankan
semua itu.
Tetapi sambil menunggu paraji datang, apa salahnya menganalisa
hal itu. Lalu otaknya mulai bekerja keras menyusun silsilah
keturunan mereka berdua. Keturunannya sendiri. dan garis
keturunan Saerah...
Nenek Darmanto sempat menginjak usia delapan puluh tujuh
tahun. Sebelum beliau meninggal dunia dengan tenang. la pernah
bersuami hanya satu dan anaknya hampir selusin. Ia dulu pernah
kawin lagi. Tetapi konon menurut desas-desus, buyut Darmanto
sempat main gila dengan seorang anak kuli penderes karet.
Namun entah bagaimana, desas desus itu lenyap begitu saja
setelah anak gadis penderes karet itu kawin dengan orang lain.
Kalau tak salah, begitu menurut cerita nenek Darmanto, gadis
penderes itu diceraikan suaminya setelah anak mereka lahir. la
kemudian kawin lagi dengan laki-laki lain, dan beroleh beberapa
orang keturunan. Akan halnya anak perempuan yang ia bawa dari
perkawinan yang pertama, lama sekali baru mendapat jodoh.
Karena tersiar kabar bahwa perempuan itu dilahirkan haram.
Baru setelah menginjak usia tiga puluh tahun, si anak perempuan
yang bernama Parijah dan sempat menjadi teman bermain nenek
Darmanto, dilamar seorang laki-laki pendatang dari desa lain.
Lima tahun setelahnya mereka memperoleh keturunan juga
seorang anak perempuan.
Anak itu cantik. pembawaannya menyenangkan. Namun entah
bagaimana, gagal saja setiap usaha orang tuanya untuk
menikahkannya. Setelah berumur dua puluh enam tahun, barulah
anak perempuan yang bernama Sumirna itu mendapat jodoh.
Malang baginya, seperti juga ibu dan neneknya, ia baru
memperoleh keturunan setelah usia perkawinannya melewati
masa 7 tahun. la meninggal ketika melahirkan anaknya, disusul
oleh nenek anak itu, sehingga si bayi merupakan keturunan
terakhir dari generasi si penderes karet.
58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dari hasil hubungan haramnya dengan buyut Darmanto. Juga
anak itu perempuan, dan diberi nama Saerah oleh kepala desa
yang merasa kasihan akan nasibnya yang yatim piatu. Karena
Darmanto bekerja sebagai juru tulis desa. ia jadi sering bertemu
dengan Saerah. Mereka kemudian saling jatuh cinta. Semua orang
menyetujui dan merestui hubungan mereka berdua, termasuk
nenek Darmanto. Malah neneknya yang paling berbahagia dari
semua orang.
“Kalau kau nikahi si Erah,” demikian sering neneknya berkata
sebelum meninggal. “Berarti kau kembalikan nama baik
leluhurmu. Darah turunan kita bersatu kembali. Semoga kalian
berbahagia..!”
Rukun tenteram, hanya satu saja kekurangannya. Kalau nenek
Saerah baru menikah setelah berumur tiga puluh lima dan ibunya
dua puluh enam, tetapi Saerah menikah ketika mekar-mekamya
remaja: tujuh belas. Tetapi sebaliknya kalau nenek Saerah baru
dapat anak setelah lima tahun kawin dan ibunya setelah tujuh,
kini ia sudah menikahi Saerah selama sepuluh tahun, barulah
harapan mereka untuk mendapat keturunan, bisa terpenuhi.
“Mudah-mudahan doa nenek terkabul!” bisik hatinya. “Siapa tahu
dengan bersatunya kembali darah turunan, kebahagiaan yang
tidak sempat dicicipi leluhur Saerah, mulai sekarang malah ia
nikmati sepuas-puasanya...” lantas dengan hati yang agak
terhibur, Darmanto meninggalkan dapur.
Ketika melewati kamar, ia tidak mendengar apa-apa. Tentulah
Saerah belum diganggu lagi jabang bayinya. Darmamto bergerak
ke ruang depan. la membuka pintu. dan memandang ke kegelapan
di luar rumah. Lama benar si Darmadi pergi. Apakah paraji
sedang menunggu yang akan lahir di rumah lain, dan Darmadi
dengan sabar ikut pula menungguinya?
Sepi sekali di luar rumah. Gelap pula lagi. Sayup sayup, ia
mendengar suara lolongan anjing. Lirih, seperti nneratapi
rembulan yang pucat. Darmanto segera menutup pintu kembali. la
hirup lagi kopinya dan berjalan ke kamar tidur untuk menemani
59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Saerah. Tetapi baru saja ia duduk di pinggir tempat tidur tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk dari luar. Ah, tentulah itu Darmadi
membawa paraji. Damianto meletakkan cangkir kopinya di atas
meja, lalu berjalan menuju pintu depan. Senyum ramah seorang
tuan rumah bermain di bibirnya ketika membuka pintu. Dan...
Dan. Sebuah kepala manusia tanpa badan tergantung-gantung di
udara tepat didepan biji matanya!
***
62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terkutuk benar, ia tidak kuasa untuk mengalihkan matanya dari
pemandangan mengerikan yang akan berlangsung.
Kain yang menutupi bagian bawah perempuan ia bergerak-gerak.
Mula-mula lambat, kemudian liar dan semakin liar, sesekali
tcrlonjak-lonjak. Telinga Supandi seperti mendengar suara
menghisap - ataukah itu suara mulut menghirup? - lalu si
perempuan tiba-tiba membuka lebar kedua matanya. Bersamaan
dengan itu. tubuhnya terlonjak dengan hebat. Sebuah pekik
kesakitan yang menyayat tulang, lepas dari mulutnya yang kering
dan pucat. Pekik kesakitan itu hanya terdengar sejenak, untuk
kemudian lenyap meninggalkan kesepian yang sunyi menyentak.
Perempuan itu terhempas jatuh di tempat tidurnya.
Entah pingsan. Entah mati.
Sesuatu terlonjak-lonjak lagi di bawah kain.
Lalu diam.
“Keluarkan aku sekarang!”
Dengan lutut gemetar dan mata berlinangkan butir-butir air.
Supandi bergerak maju. la singkapkan kain yang menutupi bagian
bawah tubuh perempuan itu. Semula ia menduga akan melihat
darah yang bersimbah. Tapi tidak. Tidak ada darah sama sekali.
Yang ada hanyalah kepala mahluk terkutuk itu yang matanya
menyorot langsung ke mata Supandi. yang bibirnya menyeringai
lebar. Bibir yang kini sudah kemerah-merahan. Ada darah
menetes membasahi dagunya...
Tidak. Masih ada sebentuk benda lain. Yakni, segumpal benda
lembut tak lebih besar dari kepalan tangan. Terdiri dari kulit
membalut daging sepasang tangan yang kecil-mungil, sepasang
kaki, dan sebuah kepala dengan rambut yang gomplok subur
tetapi dengan kelopak mata terkatup dan bibir yang membentuk
garis tajam, seolah ditarik darh dalam oleh sebuah kekuatan gaib.
Bayi itu tidak berwarna merah seperti lazimnya bayi yang baru
lahir. Melainkan pucat, dengan kulit yang kering. Tidak ada suara
63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tangis sama sekali. Tangis orok yang beruntung masih mendapat
tempat di pojok dunia yang sudah sempit dan berbau busuk ini.
***
64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dengan menguat-nguatkan hati. Darmadi kembali ke ruang
depan…
Abangnya masih duduk mencangkung di tempatnya semula. la
melihat ke arah Darmanto. Dan tampaknya ia mendengarkan
dengan serius pertanyaan adiknya:
“Apa yang terjadi, kang manto?”
Sesaat, tidak ada jawaban. Lalu, pelan pelan bibir Darmanto yang
kering membuka. Terdengar suaranya yang parau: “Siapa kau?”
Tengah malam buta itu, seluruh kampung menjadi gempar.
***
66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hai, mengapa pula? Ah, barangkali, karena tidak pantas
mengutarakan soal bangkai tikus, justru selagi mereka sedang
menyantap hidangan pagi. Amalia merasa menyesal dan sudah
akan minta maaf ketika suaminya bergumam:
“Nantilah kuperiksa.”
***
67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
WAJAH Supandi masih kecut setiba ia di kantor kecamatan. Masih
untung kalau Amalia mengira bau busuk di para-para
dikarenakan bangkai tikus, pikimya. Ketika mula pertama
menemukan anggota tubuh mahluk yang mengerikan itu di dalam
sumur, Supandi sendiri memang sudah mencium bau busuk yang
aneh. Tetapi tidak setajam yang tercium oleh hidungnya pagi ini,
ketika ia naik ke para memenuhi permintaan isterinya. Ketika itu,
hati kecilnya berharap batok kepala itu sudah membusuk. Sudah
membangkai. Dengan demikian ia akan terbebas dari
pengaruhnya .
Dan makhluk itu memancarkan api amarah dari sela-sela kelopak
matanya, menembus keremangan di sekitar para, membunuh
langsung harapan Supandi yang sia-sia.
“Budak celaka.” otaknya disentuh oleh sumpah serapah yang
menyakitkan hati. “Jangan harap kau bisa lepas dari
cengkeramanku!”
Pemberontakan dalam hati kecil Supandi mati seketika.
Pikirannya beku. Selama beberapa saat ia hanya tennangu-mangu
seperti orang tidak sadar. Baru ketika ia mendengar suara Amalia
di bawah menanyakan apakah ada bangkai tikus, ia tersadar dan
segera membungkus batok kepala itu rapat-rapat dengan
selendang milik isterinya. Bau busuk itu tidak sekeras tadi lagi.
Tetapi sesuatu yang lain segera menarik perhatian Supandi.
Dasar selendang di mana bagian leher kepala itu terletak, tampak
lembab dan sedikit basah. Warnanya kemerah-merahan, darah!
Supandi menggigil.
la tidak membalas tegur sapa pesuruh kantor yang sedang
mendorong sepedanya ketika mereka berpapasan di pintu pagar.
Ucapan selamat bu Nani, sekretaris Pertiwi dan satu-satunya
pegawai perempuan di kantor kecamatam itu, meski disertai
senyum manis di bibirnya yang merekah, pun tidak berhasil
menggugah lamunan Supandi. la langsung menuju mejanya,
meletakkan map lalu menghenyakkan pantatnya di kursi, duduk
termangu-mangu.
68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tiba-tiba ia sadar bahwa ia merasa asing di tempat itu. la tidak
tahu mengapa ia harus berada di kantor kecamatan. Mengapa
harus duduk di tempatnya sekarang. Dan apa yang harus ia
kerjakan. Seketika. ia tampak lebih bingung dari juru tulis tua
pelupa yang duduk disebelah mejanya. Juru tulis itu sedang sibuk
membongkar kertas- kertas dari satu laci ke laci yang lain. Lalu
seperti orang Iinglung, ia menoleh pada Supandi dan bertanya
dengan penuh harap.
“Den Pandi. Kau melihat kertas-kertas surat dari Bupati?”
Supandi terkejut.
“Ya pak?”
“Surat Bupati. Baru sejam yang lalu kuletakkan di meja ini....”
Supandi menyeringai. Kecut.
“Aku belum lima menit duduk di sini pak.”
“Oh,” dan orang tua itu kalang kabut membongkar laci-laci
mejanya lagi.
Untuk menghilangkan pikirannya yang kacau, Supandi
bermaksud membantu orang tua itu mencari surat yang ia
maksud. Tetapi dari ruangan sebelah keburu muncul kepala tata
usaha dengan setumpuk map di kedua tangannya. la langsung
menuju meja Supandi. mengucapkan selamat pagi dan sedikit
rewel dengan pertanyaan mengapa Supandi tidak masuk
beberapa hari. Lalu meletakkan tumpukan map di tangannya di
depan mata Supandi.
“Laporan tahunan BUUD dan Sekda sekecamatan,” katanya tanpa
penjelasan pendahuluan . “Semrawut. Coba susun kembali.” Lalu
seraya geleng-geleng kepala melihat kebingungan juru tulis, ia
kembali menghilang ke ruangan sebelah.
Supandi memandangi tumpukan map di mejanya. Jadi, itulah yang
harus ia kerjakan hari ini.
***
69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
LEWAT tengah hari, Supandi berhasil menyusun laporan itu
sehingga rapi. tidak semrawut ketika ia terima. Pekerjaan yang
menyita pikiran itu sedikit banyak telah melepaskannya dari
kungkungan perasaan aneh yang ia bawa semenjak meninggalkan
rumah. la pun sudah mulai bisa tersenyum ketika mengetahui
juru tulis telah menemukan surat yang ia cari setengah mati, yang
ternyata sudah agak lusuh terlipat-lipat di saku belakang
celananya. Dengan perasaan lebih enak Supandi menyerahkan
hasil pekerjaannya kepada kepala tata usaha. Pak Camat yang
dulunya adalah bekas kepala sekolah Supandi ketika masih di
sekolah dasar, tersenyum ke alamat Supandi. ltu berarti ada tugas
ekstra untuknya!
“Coba bantu pak Joko membereskan berkas-berkas lama, bung
Pandi. Kalian susun serapih mungkin di rak masing-masing. Dilap
yang bersih. Jangan ketinggalan debu walau setitikpun...!”
Supandi mengangguk lalu berjalan ke ruangan yang lain.
Telinganya masih sempat menangkap pembicaraan antara pak
Camat dengan kepala bagian tata usaha mengenai kesibukan yang
segera mereka hadapi. Kepala tata usaha harus mengeluarkan
biaya yang banyak untuk menyambut kedatangan Bupati minggu
depan. Seekor sapi dan beberapa ekor kambing harus
dikorbankan. Penduduk dikerahkan untuk membersihkan
halaman rumah masing-masing memasang pagar, mengapur dan...
Dan Supandi terbatuk-batuk oleh debu yang beterbangan
menyambutnya ketika memasuki ruang yang mirip gudang itu.
Pak Joko menoleh, dan tampak mulutnya yang tertutup di balik
saputangan, mengguratkan tawa tak bersuara. la kemudian
meneruskan pekerjaannya membongkar isi rak demi rak, laci
demi laci. Membersihkannya satu per satu. Dan di antara debu
yang tak ubahnya kepulan debu jalanan dilanggar kendaraan-
kendaraan yang saling berpacu, seraya terbatuk-batuk Supandi
mengikuti apa yang dilakukan oleh kepala bagian arsip itu.
Banyak sekali map, kotak-kotak penuh surat, buku-buku berbagai
jenis, album-album yang tampaknya sudah jarang dijamah orang.
Sebagian sudah hampir habis dimakan ngengat, sebagian lain
70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
warna kertas atau pembungkus albumnya sudah kuning tua
penanda usianya yang sudah tua.
Sambil sesekali menggerutu dari balik sapu-tangan yang menutup
mukanya, pak Joko menerangkan bahwa kebanyakan berkas-
berkas, buku dan abum itu dapat dikumpulkan dari rumah-rumah
penduduk lama dan pertama-sama didirikan di daerah mereka.
Sambil menggapai-gapaikan sebuah buku, ia berkata:
“Ini buku antik. isinya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di
pulau ini. Buku ini semestinya dikirimkan saja ke museum pusat
di ibu kota....”
Supandi mengangguk setuju. la sendiri, iseng-iseng ikut
membolak-balik isi map dan album-album tua yang dibersihkan.
Saat itu ia jongkok di dekat jendela, karena rak tempat album-
album itu letaknya paling bawah, rata dengan lantai. Salah sebuah
dari album itu sudah lepas bagian-bagiannya, sehingga
berantakan.
Hati-hati ia menyusunnya satu persatu tanpa memperdulikan
apakah lembaran-lembaran album berisi potret-potret lama itu
sesuai urutannya. Sesekali matanya menangkap coretan tanggal,
hari dan catatan-catatan kenangan di bawah beberapa buah
photo yang sudah berwarna kuning kecoklat-coklatan.
Entah mengapa. tahu-tahu saja perhatiannya tertarik pada salah
sebuah lembaran album tua itu. Di lembaran itu direkatkan -
hanya sebuah potret ukuran kabinet. Kertasnya mengkilat, sayang
warnanya sudah tidak karuan. Potret itu kabur sekali. Selain
karena ditumpuk tak karuan juga kabur karena dimakan jaman.
Di situ terpampang sebuah keadaan masa silam. Seorang pe
rempuan muda berpakaian adat, cantik, bersangggul, pundak
putih telanjang, duduk di sebuah kursi berbentuk tahta kerajaan,
memangku seorang gadis kecil peranakan. Perempuan itu pasti
orang pribumi. Di sebelahnya, berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, berkumis panjang. berpakaian serdadu Belanda. Dan dari
tampang dan bentuk tubuhnya ia tentulah orang Belanda tulen.
Masih ada beberapa orang lain di latar belakang Tetapi di
71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
samping perempuan muda yang cantik itu, perhatian Supandi
juga tertarik pada seorang laki-laki berselempang, mirip pakaian
pendekar jaman dulu.
Wajah-wajah itu. samar memang. Tetapi, apakah ia pernah
melihatnya?
Supandi merasa jantungnya berdebar. Kencang, berpacu,
sehingga nafasnya agak sesak. Dengan jari jemari gemetar, ia
angkat potret itu lebih tinggi, lebih dekat ke matanya, dan lebih
dekat pada sinar matahari yang menyorot lewat jendela.
Di kaki kunci antik itu, disandarkan sebuah papan kecil
bertuliskan hari. tanggal, bulan dan tahun. Dari penanggalan itu,
Supandi bisa menghitung bahwa potret itu sudah berumur
hampir sembilan puluh tahun!
Tidak. Tidak mungkin ia kenal wajah-wajah itu. Tetapi...
“Ada yang menarik perhatianmu?” Teguran pak Joko itu
mengejutkan Supandi.
“He-eh,” cuma itu jawabnya.
Pak Joko ikut memperhatikan. Mulutnya mendecip-decip. “Begitu
majunya orang-orang kita dulu. Atau ya, potrét yang bagus ini
tentulah hasil kerjaan orang-orang Belanda itu. Bisa
kubayangkan. Sipernotret bersembunyi di balik kamera,
diselubungi kain hitam. Pijit sebuah tombol Tuuuppmmp...!
Terdengar letupan kecil. Asap berkebul ke udara. Dan potret
itupun jadi,” pak Joko mcnggeleng-gelengkan kepala. “Atau
mungkin dengan tehnik yang lebih maju, atau lebih kuno lagi?
Tetapi, bagaimanapun itu sebuah potret yang bagus, bukan?”
Supandi terdiam. Tidak menyahut.
la mempertajam matanya, memperhatikan wajah-wajah itu lebih
jelas. “Siapa mereka-mereka ini?” tanyanya, dengan suara
bergetar.
Pak Joko mengernyitkan dahi. “Eh, kenapa kau? Sakit?”
72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Siapa mereka ini?” ulang Supandi lagi.
“Hem. coba kuingat-ingat.” Pak Joko garuk-garuk kepala.
“Kakekku dulu pernah jadi pegawai residen. la sering bawa album
ke rumah yang ia pinjam dari kantor. Salah satu tidak ia
kembalikan lagi. ltulah abum yang sedang kau susun. Menurut
kakek yang suka mendongeng kalau tengah menidurkan aku dan
adik-adikku, potret itu adalah potret seorang serdadu Belanda
berpangkat opsir...” Pak Joko tertawa kecil. “Lucu ya, waktu itu
aku cuma tahu bahwa opsir adalah pangkat ketentaraan. Tidak
ada jenderal, tidak ada Kolonel, atau perajurit. Semua opsir. Asal
serdadu Belanda. opsir, sampai-sampai kalau tentara pribumi
juga kami sebut...”
“Perempuan cantik ini isterinya?” potong Supandi tak sabar.
“Hem. ya. Dan itu anak mereka satu-satunya, sampai opsir itu
meninggal. Tepatnya, dia tanpa luka, tanpa menderita sakit-sakit.
Mati begitu saja!”
“Mati muda?” cetus Supandi, lirih seraya berpikir-pikir.
“He-eh. Konon diteluh seorang dukun yang menginginkan
isterinya, bagaimana ciri matinya. Yang kuingat. sebelum mati,
opsir itu lebih dulu menembak si dukun. Tetapi pelurunya mental,
Dukun itu kami...”
“Lalu... apakah dukun itu memperoleh apa yang diinginkannya?”
“Tidak. Yang mendapatkan janda muda dan cantik itu. adalah
ajudan sang opsir...”
“Yang mana?”
Pak Joko menunjuk ke orang berpakaian pendekar di potret itu,
yang menarik perhatian Supandi. Bukan tertarik saja. Ketika
mendengar janda itu justru dikawini si pendekar, timbul perasaan
asing di hati Supandi. Perasaan kecewa, muak, benci, dendam dan
marah. Pak Joko yang tidak memperlihatkan perubahan di wajah
Supandi meneruskan ceritanya.
73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Pendekar itu seorang bangsawan, konon adalah orang pertama
yang membangun daerah ini. Semua sawah, sungai dan gunung di
sekitar ini adalah miliknya... tepatnya. milik janda muda itu, yang
diwariskan oleh almarhum suami pertamanya... Sayang.
perkawinan mereka konon tak berbahagia. Terutama janda itu. la
sangat sedih ditinggal suami, juga anaknya... itu tuh, anak kecil
yang ia pangku. Mati beberapa hari setelah kematian ayahnya.”
“Mengapa?”
“Hem... entahlah. Kakek tak bercerita sampai di situ. Atau
barangkali ia pernah juga menceritakannya, hanya aku yang
lupa... Hai! Apa yang kau lakukan nak Pandi?” orang tua itu
bertanya dengan suara terkejut.
Tetapi terlambat sudah.
Dengan ujung balpointnya, Supandi telah mencoret habis sampai
menembus kertas potret di tangannya, tepat di bagian wajah sang
ajudan yang tidak saja kebagian warisan tanah berlimpah ruah,
tetapi juga seorang isteri cantik yang mempesona... Tidak sampai
di situ saja. Supandi kemudian juga merobek bagian itu, sampai
wajah dan tubuh si pendekar yang beruntung itu. Tidak
berbentuk lagi!
“Mati kau. jahanam!” suara menggeram keluar dari mulut
Supandi. Suara menggeram yang berat, lirih dan menakutkan.
Pak Joko tersentak mundur.
“Nak Pandi..?” gumamnya terkejut.
Supandi berdiri. Tegak. Nafasnya menderu-deru. Dan ia
memandang orang tua di depannya dengan bola mata yang
kemerah-merahan, dan dagu gemetar menahan gejolak perasaan.
“Kau pasti sakit. Pasti. Lebih baik kau pulang, nak Pandi. Istirahat.
Nanti akan kuceritakan…” Kalimatnya terputus sampai di situ,
karena Supandi sudah bergerak meninggalkan gudang. la
melewati ruangan di mana pak camat masih sibuk berbincang-
bawang dengan kepala tata usaha dan kini juga dengan dua tiga
74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
orang lain. Seperti ketika ia datang. ketika Supandi meninggalkan
kantor kecamatan pun, ia tidak membalas tegur sapa orang-orang
yang dilewatinya. Juru tulis tua itu, memandangi Supandi yang
berjalan pulang kerumahnya, sampai lenyap dari pandangan. la
geleng-geleng kepala, lantas bersungut.
“Jangan-jangan si Pandi itu juga kena kutuk penghuni sumur yang
ia gali...?”
***
75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
otaknya. Sentakan-sentakan itu timbul ketika ia mula pertama
melihat potret tua di kantor kecamatan. Potret perempuan muda
yang cantik jelita. Potret seorang pendekar bangsawan yang tidak
disukainya.... la sudah mengenal mereka. Seolah pernah berjumpa
dengan mereka. Tetapi di mana? Dan bagaimana mungkin? la
bahkan ibunya yang telah melahirkannya, belum lahir ke dunia ini
ketika potret itu dibuat.
Berbagai macam perasaan. berkecamuk dalam dadanya. Perasaan
cinta. Amarah. Kecewa. Cemburu. Dengki. Kebahagiaan yang
direnggut samar-samar ia dengar suara langkah-langkah kaki
memasuki kamar tidur, mendekatinya, terdengar asing di
telinganya. disertai suara yang sangat lembut.
“Kang Pandi. Kau berkeringat. Apamu yang sakit?”
la tidak menyahut. Tidak ingin... Apa urusan orang ini dengan
dirinya?
“Kang Pandi? Kukerok ya?”
Diam sebentar.
“Atau kupijit?”
Jari jemari yang lembut menyentuh kulit kepala. Pundak, lehernya
kemudian jidatnya. la merasa kancing-kancing kemejanya
dilepas, kemudian tali pinggangnya, kemudian sepatu dan kaos
kakinya. Apa yang dikerjakan perempuan itu atas dirinya? Mau
apa dia? Tetapi perempuan asing itu yang tidak lain adalah
Amalia. Isterinya sendiri.
Untunglah tidak menelanjanginya, karena ia sedang marah,
sedang tidak enak perasaan, tidak bernafsu untuk bercumbu.
Perempuan itu hanya mengelus bagian-bagian tubuhnya.
Mengoleskan obat gosok, kemudian memijitnya.
Eh, enak juga pijitan tangan yang halus dan lembut itu. la merasa
agak terhibur. Bahkan mengantuk. Rasanya ia ingin tidur. Malah,
hidungnya seperti melepaskan suara orang tertidur. Suara
mendengkur. Apakah ia tidur? Tidak. Karena ia merasakan pijitan
76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu terus berjalan Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti
sama sekali. la mendengar suara langkah kaki menjauh. Kemudian
pintu yang ditutupkan.
Tidak. la tidak tidur. Pasti- Pasti ia tidak tidur. Coba, ia buka saja
matanya sekarang! Tetapi, mengapa begitu berat? Kelopak
matanya seperti bertaut. Seperti dijalankan, matanya tidak mau
terbuka. Semuanya tampak gelap. Pekat. senyap. Menakutkan.
Tetapi ah... suara apa itu? Suara langkah-langkah kaki di tanah
becek.
Suara hujan menderas turun. Suara nafas-nafas memburu. Suara-
suara memaki. Bentakan. Suara letakan pedang! Lehernya kini
terasa ringan. la dapat menggerakkan, berputar. Dan ia melihat
tidak saja kilatan pedang yang baru saja menabas lehernya. Adu
dua wajah yang lain. Tetapi wajah orang-orang yang memegang
pedang. Wajah seorang bangsawan. Seorang bangsawan yang
berpakaian pendekar. Seorang pendekar bangsawan yang buas.
“Wajah di potret itu?” teriak hati nurani Supandi.
Teriakan yang lemah. Tak bertenaga. Teriakan seorang yang
putus asa, di tengae tengah topan badai yang melanda padang
pasir. Badai? Bukan. ltu suara angin. Bersiut-siut. Suara
pepohonan tumbang Suara teriakan yang riuh rendah. Ah, hanya
gesekan dahan atau batang-batang bambu. Suara binatang-
binatang hutan. Tetapi mana semua benda-berada itu? Mana
semua mahluk-mahluk itu? Tidak ada. Yang ada hanya kepekatan.
Kepekatan yang mengerikan. Rasa letih dan lapar yang menyiksa.
Tetapi sesuatu yang lain lebih menggoda. Hasrat. Hasrat untuk
memperoleh kekuatan. Untuk menjadikan tubuh kebal.
Kebal? Mengapa? Bagaimana? Untuk apa?
Ah, warna pekat itu. lembayung kini. Ada pelangi. tetapi mengapa
begitu lemah dan tidak melingkar? Ah, hanya warna-warna yang
menari oleh tiupan angin, oleh hantaman badai. Di mana ia
sekarang berada? Begitu dingin. Begitu menggigilkan. Heran, ia
telanjang bulat. Dan mengapa ia begini kurus kering...? Tubuhnya
hanya tinggal kulit pembalut tulang Tetapi itu ada dedaunan. Ada
77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akar-akaran. Ada buah-buahan. Mengapa ia tidak memakannya
saja? Dan mata air di dekatnya begitu jernih. Hem. segarrrrrrrr....
nyaman. Perasaannya kini lebih nyaman. Tubuhnya kini lebih
kuat. Tapabrata selama empat puluh hari empat puluh malam
memang bukan pekerjaan yang ringan.
“Kang..?”
Suara halus yang menyapa ..itu mengejutkannya. la menoleh. Dan
melihat seorang gadis yang dadanya baru saja tumbuh mekar
melangkah mendekatinya di sepanjang tepi mata air, menyeret-
nyeret sebelah kakinya yang timpang. Timpang sejak lahir.
Wajahnya yang tidak begitu cantik namun tampak redup dan
merawankan hati itu, kelihatan gembira.
“Aku tahu kau akan tetap hidup, kang Tarjo.”
Tarjo? Mengapa Tarjo? Mengapa bukan Supandi?
la berusaha tersenyum.
“Tetapi aku letih. Dan lapar. ljah…”
Ijah, gadis itu, menurunkan bakul dari gendongannya. “Ini,
kubawakan untukmu. Dalam beberapa hari, kau akan sehat dan
kuat kembali, seperti sediakala...”
Selagi makan. ia teringat seseorang.
“Mana Pariman?” tanyanya, seraya memandang ke sebuah batu
besar yang ditumbuhi lumut. Bersebelahan dengan batu
berbentuk sama, tetapi licin dan bersih, batu yang ia duduki
selama sekian puluh hari sekian puluh malam.
“Rupanya gagal kang Tarjo. la sudah lama pulang. dan kini
mengabdikan diri pada opsir Belanda itu... Malah ia sudah
diangkat jadi centeng kepercayaan. untuk mengawal isteri dan
anak serdadu itu..”
“Hem...!”
“Kau cemburu, kang?”
78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Cemburu?” Ia terkejut oleh tuduhan Ijah, adiknya. “Tidak.
Tidak...”
“Perempuan itu punya suami, kang. Dan punya anak.”
Ijah benar. Ningrum, bunga desa yang cantik mempesonakan itu
memang sudah bersuami dan sudah punya anak. Tetapi apa
artinya suami berkulit bule yang gagah, harta yang berlimpah
ruah, anak yang mungil menyenangkan, kalau ranjang dingin saja
dari satu malam ke malam yang lain?
Suaminya yang opsir Belanda itu memang kemudian berhenti dari
ketentaraan dan berusaha lebih memperhatikan keluarga dan
harta miliknya. Tetapi semua itu sia-sia. Kelewang yang telah
membabat selangkangannya dalam salah satu pertempuran, telah
menjadikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang tidak pantas
lagi memangku jabatan seorang jantan.
Dan pada diri Tarjo, anak penderes getah, perkebunan karet milik
suaminya yang opsir Belanda itu, telah mulai menambal hati sang
istri yang kesepian. Sayang, si cantik lebih banyak dikurung dalam
istananya yang indah, sedangkan si kasep, hatinya bisa melamun
di gubuk orangtuanya nun jauh di lembah, seraya sesekali
memandang ke istana di atas bukit. Bak pungguk memandang
rembulan yang minta dicumhu. Pandang yang sesekali beradu.
Banyak nian artinya, tetapi alangkah lebih banyak lagi
halangannya.
Lalu kini, Pariman telah mencoba menembus halangan itu!
Sahabat yang dipercayainya yang menjadi tempat penampungan
duka deritanya telah mencoba menggunting dalam lipatan. la
harus segera kembali ke desa. la harus segera melihat apakah ia
harus segera mundur teratur, atau masih diberi kesempatan
membuat celah-Celah di tembok istana. Untuk itu, ia harus sehat,
harus kuat seperti sedia kala. Ditambah ilmu kebal, dan sebuah
jalan untuk meloloskan diri ke dalam tembok. Yakni. ilmu bathin
yang diturunkan leluhurnya, dan kini telah sempurna dimilikinya.
***
79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI tersenyum dalam tidurnya. Amalia memandang heran,
kemudian dengan perasaan yang lebih tenang membaringkan
tubuh di samping suaminya. Selimut ia tarik sampai menutupi
leher. Dan matanya nyalang memandang langit-langit kamar. Sepi
benar malam itu. Tidak terdengar suara apapun juga kecuali
suara burung-burung malam di luar dan sesekali domba-domba
pak Jayusman mengembik di kejauhan. la mencengkeram selimut
kuat-kuat, berusaha mengatasi udara malam yang dingin. Coba ia
bisa memeluk dan mencumbu suaminya, tentulah malam yang
dingin itu akan hangat.
Tetapi suaminya demikian nyenyak tidurnya. Belum bangkit-
bangkit semenjak siang. Kemaren juga begitu. Tetapi ada
perbedaannya. Kemaren mengerang dalam tidurnya. Kini
tersenyum. Mimpi apa gerangan kang Pandi, pikir Amalia dengan
sedikit perasaan cemburu menggurat di hati.
***
80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pengiringnya masuk. Mereka berpandangan sesaat tidak tegur
sapa. Yang ada hanya penukaran pandang mata.
Tarjo berkata lewat sinar matanya: “Tega nian hatimu.”
Sebaliknya. Pariman mengancam: “Jangan coba-coba
menghalangiku merebut perempuan itu!”
Dengan perasaan marah. Tarjo memasuki kamar tidur di mana
sang rembulan sudah lama menanti didampingi suami yang
cemas tiada terperi. Suasana ruangan yang mewah dan indah itu
tidaklah menarik perhatian Tarjo barang sekerdip pun juga.
Karena sesuatu yang lebih indah kini memandangnya. Sepasang
bola mata yang bulat bersinar-sinar. yang dengan penyerahan
kekuatan bathinnya Tarjo bisa menangkap artinya:
“Sering aku ke perkebunan. Tetapi aku tidak melihatmu semenjak
lama...”
Tarje ingin menggoda: “Ah. baru juga beberapa puluh hari.”
Tetapi pandangan mata opsir Belanda yang sudah dipensiunkan
sebelum waktunya itu, membunuh keinginan dalam hati Tarjo. la
kemudian mempersiapkan peralatannya. Sebuah dupa. Setumpuk
menyan. Beberapa potong akar-akaran. Sejemput beras putih,
sejempul beras merah, sebaskom air, segenggam bunga beraneka
macam.
Lalu bibir yang kumat-kamit membaca jampi-jampi, tubuh yang
gemetar bergoyang ke kiri kekanan dengan dahsyat. Padahal. ia
sendiri yakin, semua itu tidak perlu. Semua itu pura-pura belaka.
Karena dengan bertemu muka saja, sang rembulan yang terbaring
lemah, telah memperoleh kekuatan phisik dan jiwanya kembali.
Alangkah halus dan hangatnya wajah Ningrum, ketika ia usap
dengan telapak tangannya, seraya berkata dengan lirih.
“Nyahlah, setan-setan yang menghuni tubuh ini!”
Ningrum memejamkan mata, menikmati sentuhan tangan yang
pertama itu kemudian tersenyum. Dan ketika Tarjo pergi.
81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
perempuan itu segera jatuh tidur dengan pulas. Sang opsir
merasa kagum, senang dan terharu. Hadiah-hadiah yang
dikirimkan ke alamat dukun muda bernama Tarjo itu, kembali ke
alamat si pengirim dengan tambahan pesan:
“Saya lakukan semua itu dengan ketulusan hati semata.”
Sayang, yang jelas hatipun tak kurang adanya. Pariman telah
melancarkan pukulannya yang mematikan. Tarjo menyadari hal
itu, karena di suatu remang petang. opsir yang gagah tetapi tidak
lagi jantan, itu muncul dengan wajah merah padam di depan
rumah Tarjo. Sepucuk pestol berlaras panjang tergenggam di
tangannya. Setelah memaki-maki dalam bahasa leluhurnya, ia
kemudian berkata dengan suara yang patah-patah.
“Kamu kau guna-gunai... aku punya nyonya!”
Tarjo, dibantu oleh adiknya ljah berusaha menenangkan hati sang
opsir. Setelah membantah, ia berusaha menyidik persoalan. Dan
ia segera memperoleh jawabannya. Dalam tidurnya, Ningrum
sering menyebut-nyebut nama Tarjo dengan nada mesra. Pariman
yang mendengar hal itu dari mulut majikannya, segera melihat
kesempatan terbuka baginya untuk memanfaatkan situasi.
“Pasti nyonya diguna-gunai oleh si Tarjo.” katanya dengan
bernafsu. “Aku tahu siapa Tarjo itu. Karena akupun pernah
bertapa bersama dia. Tetapi tapanya tidak benar. Ia berusaha
mencapai ilmu hitam yang mengerikan.”
Akibatnya...
“Duar !” letusan menggema memecahkan kesepian daerah
pegunungan yang tenang itu.
Sang opsir terbelalak. Peluru yang ia tembakan, mental dari
sasaran di dada Tarjo, dan membalik ke arah dirinya. Jarak
tembak yang demikian dekat, dan pukulan balik oleh dorongan
bathin yang dahsyat menyebabkan peluru makan tuan. Langsung
menembus jantung. Opsir Belanda itu mati seketika.
82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bukan pandangan orang-orang yang dicemaskan oleh Tarjo.
Melainkan sebuah pertanyaan yang lirih dari mulut Ningrum:
“Mengapa? Mengapa kau harus membunuh dia?”
Lalu perempuan itu mulai menjauh, malah semakin mengurung
diri di istananya. Pariman yang tahu gelagat, semakin
melancarkan fitnah. Desas-desuspun timbul, bahwa kematian
suami Ningrum bukan oleh peluru mental. tetapi oleh teluh.
Terbukti kemudian, anak Ningrum dari suaminya itu, juga mati
secara mengerikan. la diketemukan membusuk di tempat
tidurnya. tanpa menderita sakit setelah masih sehat dan tertawa-
tawa satu hari sebelumnya. Tarjo tidak pernah mengingat apalagi
menjamah anak yang malang itu. Tetapi hatinnya mengetahui apa
yang terjadi.
Dengan melalui seorang dukun, Pariman telah membunuh anak
itu, sebagai jalan untuk memiliki mutlak seluruh apa yang ia
inginkan, Ningrum, dan hartanya yang melimpah. Dan Tarjolah
yang kemudian menjadi kambing hitam satu satunya.
Ketika Ningsih bunting di luar nikah, penduduk banyak yang
menunaikan tangan dan mengayunkan kaki. Tetapi kini, tidak
seorangpun yang berani menjamah tubuh Tarjo. Semua orang
takut diteluh. Satu-satunya jalan yang bisa mereka lakukan,
hanyalah berusaha menjauhi rumah kakak beradik itu, dan
sedapat mungkin tidak punya urusan dengan mereka...
Tarjo tidak bangga atau gembira karenanya. Dengan hati yang
hancur, ia saksikan bagaimana Ningrum mengulurkan tangan ke
arah Pariman. la berusaha semadhi, mencari kekuatan. Tetapi
yang ia peroleh hanyalah sakit hati, dan kekecewaan. Kepalanya
mulai sering berdenyut. Makin lama, denyutan itu makin
menyakitkan, makin mengerikan.
Kini, denyutan itu menyentak dengan kuat! Demikian kuatnya,
sampai Supandi terlonjak dari tidurnya, dan memandangi di
sekitarnya dengan mata yang liar. Tidak ada Pariman. Tidak ada
Ningrum. Tidak ada Ijah yang berusaha menyabarkannya. Yang
ada hanyalah Amalia, yang terbaring di sebelahnya, dan
83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menggeliat sedikit waktu Supandi terlonjak duduk di atas ranjang
mereka. Supandi memejamkan mata. Menggigit bibir kuat-kuat,
sampai terasa sakit. Tetapi denyutan yang dahsyat di otaknya itu,
jauh lebih menyakitkan. la cengkeram belakang kepalanya, ia
jambah rambutnya tetapi rasa sakit itu tidak mau berhenti.
Akhirnya, ia meluncur turun dari tempat tidur, dan begitu tegak,
seperti orang mimpi berjalan, ia melangkah pelan tetapi pasti
keluar dari kamar. Kedua tangan tergantung lunglai di sisi
tubuhnya. Matanya kosong, tak bersinar sama sekali.
Tiba di ruang lengah, otaknya bekerja keras. Syaraf-syarafnya
menurut. Lengan kanannya, ia menarik meja ke bawah lubang
para, menempatkan sebuah kursi di atasnya. Kemudian naik dan
lenyap di dalam para... Ia tidak merasa perlu membawa lampu
minyak. Karena kekuatan gaib itu telah menuntun otaknya,
menuntun jiwanya. menuntun phisiknya langsung ke sebuah
bungkusan di salah satu sudut para, diantara kaso-kaso penahan
bilik yang kukuh.
Pelan tetapi pasti, bungkusan itu ia buka. Sebuah batok kepala,
seraut wajah keriput berlipat-lipat, seulas seringai kejam tetapi
berpengaruh, dan selarik sinar api yang ganjil segera terpancar
dari sepasang mata di batok kepala itu. Dan otaknya segera
menangkap suara sayup-sayup:
“Kau sudah tahu... apa yang terjadi... kini kau... harus tahu apa
yang kau... lakukan!” dengan sinar mata yang kosong, Supandi
segera menjambak rambut ikal dan panjang yang terurai di
sekitar batok kepala itu. la mencengkeramnya, kemudian
menariknya seraya bangkit dari duduknya yang tadi bersimpuh.
Rasanya hanya sekejap saja ia telah berada di luar rumah.
Seperti malam sebelumnya, udara malam yang dingin
menyambutnya. Dan seperti malam sebelumnya pula sebuah
kepala manusia terayun-ayun di udara, menurutkan gerakan
tangan Supandi yang berjalan, tepatnya berlari...
***
84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
AMALIA tidur dengan gelisah. Sesekali ia mengeluh, dan dilain
kali nafasnya tampak memburu. la merasa sesak. ingin teriak dan
kemudian terbangun. Perasaan tidak enak menghantui dadanya.
la coba nyalakan kedua belah matanya ke seputar kamar yang
diterangi samar-samar oleh lampu redup di pojok. Tidak ada
sesuatu yang berubah. Kecuali pintu terbuka. Padahal sebelum
masuk tidur telah ia tutupkan terlebih dahulu. Dan kasur di
sampingnya kosong dan dingin.
Amalia mendekatkan lengan kiri ke wajahnya berusaha melihat
jam. tetapi pandangan matanya kabur. Resah. Ia bangkit, dan
duduk menjuntai di pinggir tempat tidur. Barangkali Supandi
sedang di kamar mandi. Kencing malam. Atau barangkali haus.
lalu membikin kopi di dapur Tetapi kok sepi bener? Dari luar
rumah tidak terdengar suara apa-apa, selain deru angin yang
sayup-sayup diselang-seling oleh suara burung malam yang
menyayat, dan jengkerik yang menjerit-jerit. Aneh.
Kesepian malam itu terasa aneh bagi Amalia. Dengan tangan
gemetar ia menyambar kaca mata minusnya di atas toilet,
mengenakannya hati-hati, lalu kembali melirik arloji tangan di
lengannya.
“Sudah larut malam.” gumamnya sendirian.
“Kemana ya kang Pandi? Kok belum muncul-muncul!”
Penasaran, ia keluar dari kamar. Siapa tahu, suaminya karena
terus saja tidur dan tidak makan lebih dahulu, kini kelaparan dan
memerlukan bantuan untuk menghangatkan nasi atau sayur.
Tetapi baru juga satu langkah Amalia ke luar dari kamar tidur ia
tertegun. Sesuatu telah berubah di ruang tengah. Dengan takjub ia
memandang meja yang digeser ke salah satu sudut. Di atas meja
itu terletak sebuah kursi dan di atas kursi lubang masuk ke para.
Eh, ngapain pula Supandi larut malam begini naik ke para? Tetapi,
mengapa gelap betul di atas sana? Dan tidak terdengar suara
sama sekali?
“Kang?” Amalia berseru tertahan.
85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada sahutan.
“Kang Pandi?” suaranya diperkeras.
Sepi menyentak Burung malam di luar terdiam tiba-tiba. Tinggal
suara angin bersiut-siut. Karena merasa dingin teramat sangat
yang tiba-tiba, amalia kembali masuk kamar. la mengambil
mantel dan kapstok dekat lemari lalu mengenakannya, agak hagat
kini. Tetapi sesuatu masih terasa menggigil dalam tubuhnya.
Naluri selama yang beberapa hari ini menyentuh uluhatinya,
sering membuatnya takut tanpa sebab.
“Kang Pandi? Dimana kau?” sekali lagi ia memanggil untuk
menyakinkan suaminya tidak mendengar, karena sesuatu hal.
Tetapi tidak ada sahutan. Dengan pikiran gelisah ia ambil lampu
dinding dari gantungannya. membesarkan nyalanya kemudian
bingung dengan tiba-tiba. Apa yang pertama-tama harus ia
lakukan? Naik ke para? Atau ke dapur? Ke kamar mandi untuk
melihat kalau... Tetapi matanya menangkap anak kunci berada di
lubangnya.
Ketika ia bergerak ke sana, ternyata pintu ke arah dapur terkunci.
Jadi suaminya ada di para.
Tetapi, mau apa larut malam begini? Dan mengapa ia tidak
menyahuti panggilannya. Khawatir sesuatu terjadi atas diri
suaminya, Amalia memutuskan untuk melihat ke atas. Dengan
nekat ia naik ke atas meja, terus ke kursi.
Setelah lebih dahulu menyimpan lampu di bagian atas para, ia
berusaha naik ke atas. Karena letaknya sedikit tinggi, terpaksa ia
mengandalkan kekuatan kedua lengan di bibir para dan dorongan
kedua kaki dari bawah. Dalam beberapa saat, ia telah berada di
para. Antara jongkok dan berdiri.
Yang mengherankannya adalah: para itu kosong.
Tidak ada suara tikus berlari menghindar, apalagi gerakan dan
pemujutan suaminya. Tetapi hidungnya yang tajam membaui
sesuatu. Bau busuk yang samar-samar. Bau yang pernah ia cium
86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tadi pagi, bau yang ia sangka berasal dari bau bangkai. Apakah
Supandi tidak jadi membuangnya? Atau ada bangkai itu yang
tersisa di para? Dengan menutup hidung dengan jari-jemari
tangan kiri, tangan kanan menggerakkan lampu ke arah
datangnya bau yang aneh itu. Lalu ia melihat sesuatu yang lebih
mengherankan lagi. Selembar kain di pojok sebelah timur para. la
kenal betul kain itu. Selendang kesayangan hadiah perkawinan
dari ibunya!
“Terlalu kang Pandi.” ia sempat bersungut. “Membungkus bangkai
pakai selendang sebagus itu.”
la berjalan hati-hati, setelah membungkuk, dari satu kaso ke kaso
lainnya. Ketika sampai disudut, ia gerakkan sebelah kaki untuk
melebarkan kaki yang tertumpuk itu. Tetapi tidak ada bangkai
tikus. Tidak ada...eh. tunggu dulu. Apa pula ini? Sebagian dari kain
itu lembab dan basah. Karena selendang dari batik warna krem
dengan lukisan burung kasuari berwarna biru kombinasi hijau,
dan bagian yang lembab justeru di bagian yang polos, maka
dengan seketika Amalia bisa menangkap warna merah. Warna
darah dan... sesungguhnya lah. bau darah. Darah yang telah
membusuk!
Amalia hampir muntah.
Tanpa ingat lagi betapa penting arti selendang itu bagi
perkawinannya, ia segera bergerak mundur. Turun dari para.
meloncati kursi meloncati meja, berlari ke kamar mandi dan...
juuuuaaaaakkkkk! la benar-benar muntah.. Setelah kumur-kumur
kemudian minum setengah gelas air hangat, perasaannya lebih
enak. Ia kemudian keluar dari kamar mandi. Di sana ia tertegun
sebentar.
Di bawah siraman bulan empat belas, ia melihat samar-samar
bekas sumur yang tertimbun longsor itu. Tetapi Supandi tidak ada
di sana sebagaimana yang ia harapkan. Di sebelah sana lagi,
tampak bagian depan rumah pak Jayusman. Gelap, dan sepi. jadi
suaminya juga tidak tengah bertamu.
Lalu, kemana gerangan Supandi pergi, tengah malam buta begini?
87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bingung dan gelisah. Amalia kembali masuk ke dalam rumah.
Keingin tahuan yang sangat menarik, kakinya terus ke ruang
depan, dan ia memeriksa pintu. Ternyata tidak terkunci. Ia
membukanya. Dan angin deras menerpa dari luar, memadamkan
lampu di tangan. Amalia agak terkesiap. Tetapi hanya sebentar.
Matanya kemudian terbiasa dengan kegelapan malam di luar,
yang samar-samar diterangi oleh rembulan.
Sepi. Sepi. Sepi sekali.
Kemana gerangan Supandi larut malam begini?
Sambil memikirkan hal itu, ia nnenutupkan pintu kembali, dan
membiarkannya tidak terkunci. Ia kemudian menyalakan lampu
yang telah padam, meletakkannya di atas meja tamu yang rendah,
dan duduk di sebuah kursi rotan berkaki pendek. Diam.
Menunggu.
***
88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Namun tidak selamanya apa yang menarik hati suaminya, juga
menarik hati Rosela. Sebagai misal saja: suaminya lebih suka
menekuni buku-buku lama, sedangkan Rosela menghabiskan
waktu senggang dengan membaca novel-novel pop.
Sebagai seorang ilmuwan yang pengabdi, gaji suaminya sebagai
seorang dosen di berbagai fakultas tidaklah seberapa. Namun dari
hasil perjalanan yang mereka sering lakukan. Rosela berusaha
memisahkan beberapa buah barang antik yang dikumpulkan
suaminya. Barang-barang itu ia jual dengan harga yang lumayan.
Sayang suaminya tidak menyukai perbuatan Rosela itu.
“Kalau kau butuh, Ella. kau tinggal minta.” suaminya sering
membujuk.
Dan suaminya memang mengatakan yang sebenarnya. Baginya,
uang tidak menjadi persoalan. Ia merupakan seorang pewaris
tunggal sejumlah harta kekayaan berupa sawah dan perkebunan
di kampung asal kelahirannya oleh karena itu Rosela pun tahu
diri.
“Jangan terlalu sering menjual harta warisan itu, sayang.
Biarkanlah semua itu utuh sebagai bekal kita di hari tua bekal
untuk anak-anak kita. Sebagaimana leluhurmu meninggalkannya
untuk bekal keturunan mereka...”
Anak-anak! Wahai, impian kosong belaka, pikir Rosela dengan
pikiran gundah seraya menatap langit-langit kamar yang sudah
lapuk dimakan usia. Enam tahun sudah mereka berumah tangga.
Dan entah berapa tahun lagi. keinginan yang tidak terbendung itu
akan dikabulkan Tuhan. Keponakan Rosela memang banyak dan
sering menginap di rumah mereka, di kota. Akan tetapi, anak-
anak yang manis dan lucu-lucu itu, pada waktunya toh akan
kembali ke orang tuanya masing-masing, Dan selalu Rosela
kembali merasa kesepian.
Ia memejamkan mata yang perih. Apa sebenarnya yang mereka
cari dalam hidup ini? Kebahagiaan? Untuk Rosela memang
jawabannya jelas: ya. Tetapi suaminya? Hendra lebih menyukai
pengabdian. Bukan pada keluarga. Tetapi pada ilmu. Sampai
89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kadang-kadang Rosela takut sendiri menghadapi suaminya yang
sering tampak asing di matanya. Terutama setelah suaminya
berusaha memperdalami ilmu kebatinan, yang katanya akan lebih
mendekatkan dirinya pada usaha untuk mempelajari lebih
banyak kehidupan nenek moyang mereka di jaman dahulu kala.
Tak jarang Hendra berkata; “Konon di antara leluhur, ada yang
ahli kebathinan. Mengapa aku tidak bisa?”
Untunglah tugasnya sebagai seorang dosen, membuat Hendra
tidak punya banyak waktu mendalami ilmu kehathinan itu,
dengan ambil beberapa misalnya, atau- astaga !- memuja kuburan
keramat! Tetapi masa libur panjang yang mereka jalani sekarang,
tampaknya membuat kesempatan lebih banyak buat Hendra. la
mengajak Rosela berlibur ke daerah kelahirannya. Hiruk pikuk
kota besar yang membisingkan, tetapi mencekik di rumah sendiri.
ada kalanya terasa membosankan. Oleh karena itu Rosela dengan
senang hati memenuhi permintaan suaminya, dengan harapan
udara pegunungan yang segar bisa menambah romantis
hubungan mereka yang belakangan ini terasa agak dingin.
Kenyataannya? Rosela lebih banyak ditinggal sendirian di rumah.
Hendra, dengan meninggalkan mobil di garasi sering pergi
berkeliling dengan menunggang kuda. Katanya untuk mengujungi
beberapa orang yang terhitung kaum kerabat, tetapi Rosela
menduga, pasti mencari ahli kebathinan. Rosela dapat merasakan
hal itu, ketika kemaren petang ia diajak berziarah ke kompleks
pemakaman leluhur suaminya di puncak bukit. Tempat itu sangat
menyenangkan, dengan panorama yang indah kemanapun mata
memandang, andai saja tidak ada kuburan-kuburan di dekat
mereka. Dan beberapa di antara makam itu, termasuk makam
yang sudah berumur seratus tahun, yang oleh Hendra dikatakan
termasuk makam keramat.
“Aku bermaksud menjajaki jalan hidup yang ditempuh leluhurku,”
kata Hendra petang itu seraya memandang batu nisan makam
satu persatu. Banyak tertulis nama-nama. tanggal-tanggal bahkan
jabatan almarhum. Rosela masih ingat beberapa nama:
Puradinata, sudah seratus sebelas tahun. Hayati, seratus dua
90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tahun. Kusumawanti, dalam kurung Ningrum, delapan puluh
tahun usia makamnya. Beberapa tahun pula umur mereka
semasih hidup? Ningrum itu misalnya, dan umur Pariman, yang
konon menjadi leluhur langsung dari Hendra, dan konon punya
sejarah tersendiri semasa hidupnya. Sejarah bagaimana, Rosela
tidak begitu tertarik untuk mendengarnya, sama tidak tertariknya
ia pada buku-buku tua suaminya.
Dan Hendra sendiri tidak suka menceritakan, mungkin belum,
atau lebih tepat mungkin pikirannya lebih tercurah pada
hubungan bathinnya dengan leluhumya itu... Rumah tua ini juga
punya sejarah sendiri, kata Hendra.
Tentu saja, sering Rosela berpikir. Karena rumah ini termasuk
rumah peninggalan jaman dulu. Usianya pasti sudah lebih dari
satu abad, dibangun menurut konstruksi bangunan Belanda.
Ruangan bawah untuk ruang tamu yang luas, ruang makan yang
sama luasnya. Kamar-kamar untuk pembantu, dan kamar-kamar
tidur serta ruang perpustakaan di tingkat atas. Perabotannya
kebanyakan antik, Rosela kadangkala berhitung-hitung di kepala.
Berapa juta rupiah uang yang bakal masuk ke kantong kalau saja
ia dan suaminya tidak sayang untuk melepaskannya. Bangunan
itu sendiri, sebagian sudah miring mau runtuh. Hendra punya
rencana untuk suatu ketika memugarnya. Tetapi dipugar atau
tidak. dengan kondisinya yang sekarang, bangunan tua itu masih
mampu menampung setengah lusin keluarga suami isteri, plus
dua atau tiga anak tiap keluarga.
Dan malam ini, hanya ada keluarga pak Sasmita di bawah. Dan ia
sendirian.. di kamar utama di tingkat atas. Tiada televisi. Tiada
aliran listrik. Tiada suara orang mondar-mandir. Sepi. Sunyi
menyentak Kalau saja Rosela tidak sering mengikuti suaminya
mengunjungi tempat-tempat keramat, terutama kalau saja ia baru
pertama kali berdiam di rumah ini, pastilah Rosela tidak akan
mau berpisah sejengkalpun dari sisi suaminya.
Sekarang ia sudah merasa terbiasa, dan terutama karena sore
tadi, Hendra berkata bahwa ia diundang makan oleh salah
91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
seorang penduduk lama di balik bukit. Letaknya hampir lima
belas kilo, dan tidak bisa ditempuh dengan mengendarai mobil.
“Punggung kuda akan merontokkan pinggulmu yang indah,” kata
suaminya seraya tersenyum. “Tetapi kalau kau bersikeras...”
“Tidak. Aku tinggal saja di rumah,” potong Rosela. “Asal perginya
tidak lama.”
Hendra berjanji akan pulang sebelum jam sembilan. Tetapi jam
sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat beberapa
menit ketika Rosela naik ke kamar tidur, Hendra belum pulang-
pulang juga. Apakah tuan rumah yang mengundangnya memaksa
menginap? Atau Hendra mengalami kecelakaan di jalan? Kuda
yang ia tunggangi sudah terbiasa jalan malam. Bulan pun selama
beberapa malam terang benderang la juga membawa senter,
sepucuk senjata berburu. Kalau perlu. Hendra katanya akan
meminta seorang anak tuan rumah yang mengundangnya untuk
mengantar pulang ke puncak bukit. Suaminya tidak akan
menemukan rintangan dalam perjalanan pulang.
Tetapi... mengapa ia belum muncul juga? Apakah…
Ya, barangkali ada anak petani di rumah yang ia kunjungi, pikir
Rosela dengan gundah dan perasaan cemburu yang pelan-pelan
merayapi hatinya. Tetapi ah, mustahil. Selama mereka pacaran
dan sampai sekian tahun mereka berumah tangga, ada satu yang
menjadi pendorong Rosela untuk tidak minta cerai dari suaminya.
Kesetiaan. Ya. Hendra seorang kekasih dan suami yang
berpendirian teguh, bahwa isterinya lebih cantik dan lebih
munpesonakan dari perempuan manapun juga...
Nah, itu buktinya! Rosela mendengar suara ketukan-ketukan
halus pada daun pintu masuk di bawahnya. Sepasang mata Rosela
terbuka nyalang. Dengan wajah berseri. Rosela menyambar
lampu minyak di atas toilet, dan bergegas keluar dari kamar.
Koridor panjang dan lurus segera menyambutnya.
***
92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lengang benar rumah itu. Hanya ketukan-ketukan halus itu saja
yang terdengar. Langkah-langkah kaki Rosela sepanjang koridor
berdetak-detak lembut. Sempat ia memandang kepintu kamar
yang ditempati keluarga pak Sasmita di ruangan bawah. Tertutup
rapat. Mereka tentu sedang tertidur nyenyak setelah ikut
membantu pekerjaan penyawah-penyawah yang sedang
mengetam padi di sawah milik Hendra. sepanjang hari.
Namun ketika menuruni tangga. Rosela sempat tertegun.
Mengapa mengetuk? ..biasanya memukul lonceng di samping
pintu. Lebih keras. Lebih nyata. Ah, barangkali karena merasa
bersalah pulang kelewat larut. Hendra enggan mempergunakan
lonceng besi yang berisik itu. Sengaja ia mengetuk agar isterinya
ia sangka sudah tertidur, tidak terbangun dan pak Sasmita yang
membukakan pintu.
Hem. pikir Rosela, aku akan memperlihatkan muka cemberut
pertanda tidak senang dengan kelakuannya!
Lalu ia cemberutkan bibir, meskipun hatinya senang.
Palang pintu iu lepaskan. Kemudian putar. Daun pintu ia buka,
lampu minyak ia naikkan lebih tinggi sedikit ke depan, sehingga
menerangi wajahnya sendiri. dan memandang orang yang berada
di luar pintu.
Tidak! itu bukan orang! bergantungan... kepala seseorang kepala
tanpa badan. tergantung-gantung di udara, dengan mulut keriput
menyeringai memperlihatkan gigi kuning kecoklat-coklatan, lidah
kemerahan seperti darah dan, sinar mata yang berkilauan di
wajah yang mengerikan itu.
Sinar mata yang aneh Sinar mata yang mendatangkan pengaruh
ganjil pada diri Rosela. la tidak sampai jatuh pingsan. la hanya
dipaksa oleh semacam kekuatan untuk tetap tegak di tempatnya
berdiri dengan mata terbuka lebar, hati terpukau, dan otak yang
terasa kaku dengan tiba-tiba.
93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Otak yang entah bagaimana telah menangkap suara sayup-sayup,
suara yang dingin. Suara yang tajam berpengaruh. Suara yang
tidak bisa di bantahi.
***
94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah tidak lebih baik pulang saja sekarang? isterimu pasti
gelisah menunggu.”
Ah, Andai saja Rosela ada di sini. Tidak ia tinggalkan di rumah tua
itu!
***
95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terjadi sesuatu yang memcemaskan di rumah, pikirnya dengan
perasaan lebih tenang.
la kemudian menyimpan kudanya di istal. Dua ekor kuda yang
lain. menyambut kehadiran Hendra dengan mata terbuka lebar
dan suara mendengus yang lirih. Salah seekor dari kuda itu, yang
biasa ditunggangi Rosela, terlalu sering menghentakkan kaki.
Namun tidak begitu diperhatikan oleh Hendra. Dengan senter di
tangan kiri dan senjata berlaras di tangan kanan, ia berjalan
memasuki pekarangan dan tanpa ragu-ragu langsung menuju
pintu. Dan ia terkesiap seketika waktu akan memukul lonceng,
pintu itu telah dibuka dari dalam. Sinar lampu minyak yang
terang segera menerobos ke luar.
Untuk sesaat. Hendra merasa sedikit silau, dan refleks tangannya
memegang senjata lebih erat. Tetapi tidak ada yang mengejutkan
terjadi, kecuali suara isterinya yang menyambut dengan suara
lemah lembut:
“Masuklah Hendraku tersayang....”
Ah, terlalu mesra sambutan itu. Menyindirkah Rosela? la coba
menyelidiki wajah isterinya. Tetapi sinar lampu yang menerangi
wajah mereka menyebabkan Hendra tidak bisa melihat wajah
Rosela yang sedikit pucat serta sinar matanya yang menatap
kosong. dan bahkan kemudian juga gerak-geriknya yang agak
kaku!
Hendra masuk. menutupkan pintu sekaligus Ia dan memalangnya,
menyandarkan senjata berburunya ke tembok yang kapurnya
sudah tak karuan warnanya. Seraya melepaskan jaket kulit yang
menyesakkan dada, ia berusaha bertanya dengan lunak:
“Seharusnya kau tidak menunggu. Mengapa bukan pak Sasmita
saja?”
Tiada sahutan sama sekali.
Yang ada ialah gerakan kaki isterinya yang berjalan melewati
tubuhnya, langsung menaiki tangga ke tingkat atas, tanpa
96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menoleh barang sekalipun. Lampu di tangan ia angkat sama tinggi
dengan dadanya, meninggalkan bayang-bayang tubuhnya yang
meliuk dari anak tangga yang satu ke anak tangga yang lain. Wah
ini gelagat tak baik. la tentu marah, pikir Hendra dengan sedikit
perasaan bersalah dalam dirinya. la kemudian mengikuti istrinya
naik ke tingkat atas.
Ketika melompati anak tangga demi anak tangga, hidungnya
mencium bau yang aneh yang tidak pernah ia cium sebelumnya.
Udara pengap dan sangat dingin menusuk, yang juga belum
pernah ia rasakan. Sesaat. ia tertegun. Hidungnya kembang
kempis untuk lebih menciumi bau itu, dan matanya dengan nanar
memandang ke sekitar.
Namun baru juga beberapa detik ia melakukan hal itu. dari atas,
isterinya sudah menegur:
“Naiklah sayangku. Aku sudah tak sabar menunggumu. Malam ini
teramat dingin, bukan?”
Pikiran Hendra yang bijak, segera menangkap arti lain dari
kalimat itu: Hangatkanlah tubuhku, kekasih!
la berusaha melupakan bau dan udara yang asing itu dan segera
naik ke atas. Setelah kakinya menginjak lantai atas, nalurinya
seolah menyuruh untuk berhenti sesaat. Lalu ia memandang ke
ruang bawah. la memperhatikan meja bundar, kursi-kursi
bersandaran tinggi, vas bunga di atasnya, teko dan cangkir-
cangkir antik di dekatnya, lalu dua buah rak di pojok, sebuah
patung perunggu kecil di dekat pintu masuk, lalu pintu-pintu
kamar untuk para pembantu. yang tertutup rapat. Kemudian,
tangga yang terlindung dari cahaya sehingga kelihatan gelap dan
pekat.
Hidungnym masih mencium bau yang asing itu. Kulit tubuhnya
masih merasakan udara yang dingin yang menusuk itu.
Apakah...
“Hendra!”
97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Suara lirih yang sayup-sayup itu menyadarkan Hendra. la untuk
kedua kalinya, berusaha melupakan keadaan yang aneh dan
mencurigakan itu, lalu berjalan tertegun-tegun ke kamar tidur.
Dari pintu yang ternganga lebar, ia melihat lampu minyak yang
sudah dikecilkan. Tetapi cahaya remang-remang dalam kamar
masih cukup terang untuk memperlihatkan tubuh isterinya yang
berbaring menelentang di atas tempat tidur, dengan gaun di
dadanya terbuka lebar dan sebelah lututnya terangkat tinggi,
sehingga...
Betapapun. Hendra adalah lelaki!
Dan udara begitu dinginnya, suasana begitu sepinya. Dengan mata
yang bersinar-sinar ia melepas pakaian yang melekat di
tubuhnya. Tanpa lebih dulu menggantinya dengan kimono yang
tersimpan di lemari. Hendra langsung naik ke tempat tidur dan
mulai mencium bibir Rosela. Lembut, hangat dan memabukkan.
Tubuh Rosela sedikit dingin, tetapi Hendra sudah tidak
memperdulikannya....
***
99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Pariman, lihatlah padaku!” suara Rosela yang berat dan lirih kini
terdengar lebih nyata.
Hendra pelan-pelan mendengar suara itu. Pelan-pelan pula ia
membuka kedua belah kelopak matanya. Berat sekali. Namun
sesuatu yang aneh memaksanya untuk berusaha melihat. Dan
tampaknya sangat jauh, demikian jauh... sebuah bayangan berkilat
dari sebilah pedang panjang yang tajam mengerikan. Kejutan
yang luar biasa, memukul jantung Hendra. la masih berada di
antara sadar dan tidur. dan berusaha menjeritkan sesuatu. Tetapi
lidahnya kelu, kelu sekali. Tenggorokan jua kering, kering sekali.
Barulah ketika itu. ia bisa melihat wajah isterinya yang buas, dan
tatapan matanya yang kosong Barulah bathinnya berhasil
memperingatkan adanya bahaya yang semenjak semula telah ia
curigai. Tetapi kesadaran itu datang terlambat. Sangat terlambat.
Karena dengan didahului bisikan kejam dari mulut Rosela:
“Rasakan pembalasanku. jahanam!”
Mata, pedang itupun melayang jatuh. Cepat, hampir tidak
kelihatan gerakannya. Terdengar suara benda tajam menembus
daging yang lunak, kemudian memutus batang leher yang keras
namun tidak berdaya oleh tajamnya pedang yang sudah terbiasa
mencabut nyawa manusia itu.
Darah segera. menyembur kian kemari... Tiada suara keluhan,
tiada arang kesakitan, bahkan tiada gerakan tubuh yang
menggelepar. Yang ada hanya sentakan-sentakan lembut.
Sentakan tubuh yang tengah meregang nyawa.
Kemudian. Tak ubahnya orang mimpi berjalan, Rosela kemudian
ke luar dari kamar tidur. Langkah-langkah kakinya seperti tadi,
lambat-lambat tetapi mantap. Tiba di korridor ia terhenti, pada
saat pahanya menyentuh pagar pemisah ke ruangan kosong di
bawah. Pedang yang berlumur darah tergantung lemah di tangan
kanannya.
Mulutnya bergerak, melepas suara lirih: “Telah... telah
kulakukan...!”
100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dari balik kegelapan di bawah tangga muncul seorang laki-laki.
Bertubuh kekar, tingginya sedang, dengan wajah yang kusut
masai, pakaian acak-acakan, bertelanjang kaki yang lecet
berdarah dan kotor oleh debu. Tetapi perhatian Rosela sama
sekali tidak tertarik pada lelaki yang juga bermata kosong tanpa
sinar seperti matanya sendiri itu. Perhatiannya ia pusatkan pada
sesuatu yang diangkat tinggi-tinggi oleh lelaki itu. Sebentuk
kepala manusia yang penuh keriput dan kotor dengan rambutnya
yang lebat panjang membentuk garis menguncup sampai ke
telapak tangan si lelaki yang mencengkeram.
Seringai menggurat di bibir keriput kepala tanpa badan itu.
Sinar mata merah kebiru-biruan menembus dari kejauhan di
bawah sana, langsung ke batok kepala Rosela, dan mencengkeram
otaknya dengan remasan yang menyakitkan. Pengaruh sinar mata
itu dalam sebentar telah menimbulkan reaksi pada diri Rosela. la
mengangkat pedang berdarah di tangannya, menempatkannya di
depan dada dengan ujungnya yang tajam menekan pada
lambungnya, tepat di bagian mana jantung Rosela berada.
Bau busuk itu menerjang dengan hebat.
Udara dingin yang pengap mengerikan itu, bertaburan dengan
dahsyat.
Lalu jresss.
Pedang itu kemudian masuk sampai ke gagangnya. menembus
jantung Rosela. Terdengar suara mengerang sebentar. Kemudian
tubuh perempuan yang malang itu limbung ke depan, setelah
terangkat dari lantai korridor. Terbang melewati bibir pagar.
Terjun langsung ke lantai ruangan bawah dengan suara yang
ribut.
Pak Sasmita yang beberapa saat kemudian terjaga oleh suara-
suara aneh , berlari ke muka kamar. Ia menemukan tubuh
majikannya yang perempuan tergeletak di Lantai ruang tengah
dengan sebilah pedang menembus tubuhnya dan darah merah
yang mengalir kian kemari. Mulut pak Sasmita ternganga sangat
101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lebar, seolah ingin mencari pintu keluar rumah yang juga
menganga lebar.
***
103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
depan, sehingga kini bisa melihat lebih nyata dalam remang-
remang di luar daya jangkau cahaya lampu. Lalu, jantungnya
berdegup lagi ketika pelan-pelan ia mendengar suara langkah-
langkah kaki. Datangnya dari samping rumah. la segera berpaling
ke arah datangnya suara itu, dan segera melihat suaminya yang
berwajah kusut masai dan berpakaian cumpang-camping
melangkah keluar dari kegelapan.
Tampaknya ia menjinjing sesuatu di tangannya Amalia mau
bertanya. Tetapi suaminya sudah sedemikian dekat, dan sebelum
Amalia sempat membuka mulut… tangan suaminya pelan-pelan
diangkat ke udara. Dan kini, Amalia melihat sesuatu yang tadi
sempat ia perhatikan sekilas. Mula-mula ia melihat rambut
panjang yang tergenggam di cengkeraman telapak tangan
Supandi. Turun lebih ke bawah. ia melihat dahi manusia yang
kotor dan berlipat- lipat, alis yang tebal, kelopak mata yang
seperti membengkak, hidung yang besar dan keras. tapi yang
berkerut-kerut, bibir yang terkatup rapat. dagu yang
menggantung lemah, leher... bukan, melainkan sebagian dari
leher... dan tidak ada lagi bagian lain di bawah potongan leher itu!
la tersentak mundur seketika.
Dengan mata terbeliak di balik kaca matanya, ia melihat kelopak
mata yang mengemban itu terbuka perlahan-lahan. Kemudian
tampak dua buah bola ntata yang bundar menyinarkan sinar api
merah kebiru-biruan. Sorot mata yang mentakjubkan itu hanya
bersinar sebentar, karena sekonyong-konyong kelopak mata itu
telah mengatup kembali dengan cepat. Lalu tahu-tahu keriput itu
bergerak- gerak seperti menahan sakit.
Amalia gemetar dengan hebat.
Demikian hebatnya, sehinga lampu minyak di tangannya terlepas.
dan jatuh dengan suara ribut ke lantai rumah. Bersamaan dengan
itu, tubuh Amalia limbung lalu ia terjerembab jatuh seperti lampu
tadi. Pingsan seketika itu juga. Di dekat kakinya, lampu yang
pecah itu membersitkan nyala yang lebih besar dengan suara
bersiut ketika menjilat minyak yang tertumpah. Namun rupanya
104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia terlupa untuk mengisi lampu itu selama menunggu
dengan sabar sampai suaminya pulang.
Kobaran api sudah hampir mencapai kainnya yang tersingkap,
waktu nyala api itu tiba-tiba surut, kemudian mengecil dan
semakin kecil...
***
105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang lunglai. la angkat batok kepala yang terjinjing di tangannya,
sebagaimana yang biasa ia lakukan.
Lalu, terjadilah peristiwa mentakjubkan itu. Amalia terbelalak di
balik kaca matanya. Dan otak Supandi berdenyut mendengar
suara lirih dan kesakitan yang sayup-sayup, kemudian perintah
yang sama sekali diluar dugaannya:
“Terkutuk ! Mata... perempuan itu... berkilau... mata apa itu... aduh,
sakit... sakit kepalaku. Jauhkan aku dari sini. Jauhkan aku dari
perempuan ajaib ini, jauhkan...”
Selama beberapa detik. pikiran Supandi yang terasa sedikit ringan
karena pengaruh kesakitan yang dialami batok kepala di
tangannya, dapat bekerja dengan baik. la sadar, sinar mata
mahluk itu berusaha menghipnotis Amalia, seperti ia
menghipnotis korhan-korbannya yang lain, termasuk Supandi
sendiri. Tetapi letak sinar lampu yang mengantarai tiga pasang
mata yang saling beradu pandang itu, telah menimbulkan
pantulan cahaya dipermukaan gelas kaca mata Amalia, dan
sekaligus telah memantulkan kembali secarik merah kebiru-biru
yang mengerikan itu!
Supandi terjengah ketika melihat Amalia jatuh pingsan, dan nyala
api dari lampu yang pecah tiba-tiba berkobar. Bathinnya
berperang, untuk menuruti kata hati menolong isteri, dan
menuruti perintah gaib dari ‘majikan’nya yang tidak mau
dibantah itu.
Ketika melihat ke arah isterinya, mengetahui nyala api di dekat
kaki Amalia tahu-tahu saja telah mengecil dengan sendirinya. Dan
sebelum padam sama sekali, kemurkaan mahluk mengerikan
yang terjinjing di tangannya itu segera menerpa otaknya: “Kau,
budak hina! Dengar apa yang kubilang? Pergi dari sini... pergi...!”
Tanpa berpikir panjang lagi. Supandi segera memutar tubuh lalu
berlari menjauh, menghilang dalam kegelapan. la berlari. Terus
berlari tanpa tujuan. Otaknya tidak pula mendapat tuntutan.
Rupanya mahluk di tangannya masih kesakitan oleh sinar pantul
yang membalik itu. la terus saja berlari tanpa rasa letih dan sakit
106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
oleh kesadaran bahwa isterinya selamat. Namun diam-diam ia
merasa cemas. Amalia kini sudah tahu apa yang terjadi pada
Supandi. Dan Supandi sendiri, tidak sanggup untuk melepaskan
diri dari mahluk itu.
Sekarang pun, sempat terniat di benaknya untuk membuang
bahkan menghempaskan kepala itu sampai berantakan ke tanah
berbatu-batu, selama kepala itu merasa sakit alang kepalang.
Namun, baru juga niat itu muncul, otaknya seperti rekah.
“Jahanam! Kurengkah kepalamu, kalau kau berani berbuat yang
tidak-tidak...!”
Dan tahu-tahu saja berlari itu, tangannya terangkat oleh kekuatan
gaib ke atas, dan wajah menakutkan itu telah berada di depan
wajahnya. Sinar mata yang merah kebiru-biruan itu berpencaran
ke luar menerpa dengan cepat dan dahsyat. Sehingga otak
Supandi menjadi beku seketika ia tidak teringat lagi pada niat
yang sempat ia pikirkan. Tidak teringat Amalia, bahkan sama
sekali tidak ingat siapa dirinya. Apa yang ia lakukan, bahkan
mahluk jenis apa dirinya yang sebenarnya...!
la tidak merasakan kakinya yang bergerak berlari, menjauh dari
kampung halamannya.
***
107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perempuan tua renta itu menggerakkan bibirnya yang keriput.
“Bangun, cucuku... Mari kubantu kau naik ketempat tidurmu...”
Amalia berusaha bangkit, dibantu oleh perempuan tua renta itu.
Tetapi ia tidak bernapsu masuk ke kamar tidur, melainkan duduk
menghenyakkan pantat di kursi yang terdekat. Memejamkan
mata sebentar, kemudian membukanya kembali lebar-lebar,
untuk menyakinkan bahwa apa yang ia alami adalah kehidupan
nyata. Bukan impian yang menakutkan. Alangkah senangnya.
kalau kedua keadaan yang saling bertentangan itu, terbalik
adanya!
“Apa yang terjadi, cucuku?”
Amalia memperhatikan perempuan tua renta yang kini ikut
duduk di sampingnya seraya mengusap rambut Amalia dan
memandangnya dengan sinar mata yang lembut dan penuh kasih
sayang. Alangkah berbeda jauh dengan apa yang digembar-
gemborkan orang kampung selama ia tinggal di kampung ini:
jauhi nenek Ijah. la perempuan sinting yang aneh dan
membahayakan! Ta'jub Amalia bertanya. Lemah: “Mengapa nenek
ada disini?”
“Ah. nanti saja kuceritakan!” perempuan itu tersenyum. “lebih
baik kau ceritakan apa yang telah terjadi.”
Amalia gemetar dan pucat ketika teringat apa yang ia alami.
Terbata-bata. dengan suara setengah menangis sambil sesekali
menangkupkan wajah di kedua telapak tangan, ia menceritakan
keanehan-keanehan yang terjadi di rumahnya, sikap Supandi
yang asing dan berakhir dengan peristiwa menjelang subuh yang
mengerikan itu.
Ketika ia selesai bercerita, ia benar-benar menangis terisak-isak.
Nenek Ijah memeluknya, membelai rambutnya. membujuknya
seperti membujuk anak kecil.
“Cup, cucuku yang manis. Diamlah. Nenek ada di sampingmu.
Nenek akan membantu...”
108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia mengangkat wajah, la merasa akrab dengan perempuan
itu, dan memperhatikan wajah tua renta yang keriput namun
ramah-tamah. Selagi ia bercerita, ia sempat melihat beberapa kali
wajah nenek Ijah berubah, dan sepasang matanya berkilat-kiiat
ganjil. Menghadapi pandangan Amalia yang penuh tanda tanya,
berubah wajah dan sinar mata perempuan itu menjadi lembut
kembali. la berkata:
“Aku sudah menduga, semua ini akan terjadi.”
“Tetapi nek...” Amalia tak meneruskan ucapannya, oleh karena
ta'jub yang semakin menggebu.
“Diamlah Aku harus mencarikan sesuatu untuk mencegah
timbulnya bencana yang lebih dahsyat!” Nenek Ijah, tertimpang-
timpang kemudian bangkit dari kursi. la bersimpuh di lantai.
Tangannya bersidekap ke dadanya yang kerempeng rata.
Kepalanya tertengadah menatap ke luar pintu, jauh-jauh, teramat
jauh. Kemudian bibirnya komat-kamit. Lalu tubuhnya terguncang
keras.
Bersamaan dengan terpejamnya sepasang mata tuanya. Lalu,
suara yang lebih keras dan jelas terdengar dari mulutnya: “Tarjo.
Aku tahu kau akan kembali. Pulanglah! Aku menunggumu. Sudah
lama aku merindukanmu. Tarjo, pulang, kubilang. Jangan
membantah... demi nama baik keluarga dan adik yang
mencintaimu. Pulanglah...?”
Keringat sebesar butir-butir jagung membersit dari kulit muka
nenek Ijah. ketika ia kemudian melepas keluhan panjang lalu
berpaling ke arah Amalia.
“Kita harus melakukan sesuatu!” Ia pandangi Amalia sebentar,
lalu. “Aku tahu kau tak akan mau... mintalah bantuan seseorang,
Seseorang yang bisa kau percayai dan kau tahu, iman dan
bathinnya cukup berpengaruh!”
Amalia ternganga. Bengong...
***
109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
JAYUSMAN manggut-manggut selama Amalia bercerita di
hadapannya. Laki-laki tua itu sudah berumur hampir enam puluh
tahun, tetapi tubuhnya masih tampak kekar berisi. Wajahnya
berseri dan sinar matanya jernih, sehingga memberi kepercayaan
pada orang yang melihat. Beberapa kali raut wajahnya yang
berkeriput halus itu berubah. Beberapa kali pula mulutnya
mengucapkan istigfar. Akibatnya, setelah Amalia berhenti
bercerita dan tinggal isak tangisnya yang terputus-putus.
Jayusman bergumam: “Andai saja aku tidak pernah mendengar
kisah-kisah buhun itu...” ia geleng-geleng kepala, memperlihatkan
rasa takjub. “Maka aku tidak akan percaya dengan apa yang kau
ceritakan. Hem...” ia berpikir keras, lama. Kemudian, kembali
matanya bersinar. Lewat jendela samping. Ia memandang ke arah
tanah galian bekas sumur yang sudah tertimbun di tanah longsor
itu. Katanya, seperti pada diri sendiri: “Baru mengerti aku
sekarang. Apa yang menyebabkan Asmita sakit, dan jadi lumpuh
kemudian mati.”
Kembali ia geleng-geleng kepala, memandang wajah Amalia
dengan penuh haru. “Aku sudah berulang kali memperingatkan
Supandi, agar menghentikan saja usahanya menggali sumur itu....
Hem... Jadi itulah sebabnya di sekitar rumah kita sering tak berair.
Rupanya tanah di situ menyimpan benda terkutuk. Tahukah kau
apa yang menjadi pikiranku setelah mendengar Ceritamu, Liah?”
Amalia geleng-geleng kepala. Isak tagisnya mulai reda.
“Sumur yang longsor itu. Pernah ada mata air yang subur di
dalamnya. Tetapi selama sekian puluh tahun, telah tersumbat
oleh sesuatu. Sesuatu itu adalah batok kepala Tarjo. Dengan
kekuatan ilmunya ia berusaha agar mata air itu tidak mencari
jalan keluar yang lain. Dengan demikian bentuk kepala dan
tubuhnya tidak akan musnah, berkat pembekuan oleh air... Bisa
kubayangkan, betapa hebat ilmu orang itu dulunya, selagi
tubuhnya masih utuh.” Jayusman menarik napas panjang.
Berulang-ulang. “Jadi. kau bilang nenek Ijah yakin bagian kepala
dari tubuh adiknya itu akan dibawa Supandi ke rumah mereka di
gunung?”
110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“la yakin, pak. Katanya, karena mahluk mengerikan itu merasa
bertemu rintangan setelah gagal mempengaruhi diriku. la akan
melaksanakan usahanya yang terakhir, yang bila berhasil akan
menimbulkan bencana besar...”
“Bencana besar?” Jayusman mengelus janggutnya yang putih.
“Bencana apakah itu?”
“Kata nenek Ijah, nanti saja ia ceritakan selama di jalan.”
“Hem... Dan kau memaksa untuk ikut?”
“Aku harus menyelamatkan suamiku.”
“Tetapi...” Jayusman tidak meneruskan kata-katanya. Setelah
melihat ketetapan hati dalam sinar mata Amalia Setelah berpikir
sejenak, ia berucap: “Baiklah. Akan kupinjam salah seekor kuda
milik pak lurah untuk kau tunggangi.”
***
111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
segala sesuatu tanpa mengalami gangguan, sehingga Amalia yang
masih muda belia namun sudah mengenakan kaca mata minus
satu cemburu juga dibuatnya. Padahal nenek Ijah, setahunya
sudah berumur hampir seratus tahun.
“Semedi, cucuku.” la menyempatkan diri menjawab pertanyaan
yang diajukan Amalia, mengapa seumur itu ia masih kuat
berjalan, meski dengan kaki timpang karena kecil sebelah. “Aku
dan Tarjo sama- sama mewarisi ilmu leluhur. Dan kami tidak
menyia-nyiakannya. Kami mempertebalnya dengan bertapa,
bertapa, bertapa... tentu saja, juga dengan mengatur apa saja yang
boleh kita makan, apa yang tidak, kapan kita harus tidur, kapan
harus berkelana..”
“Kudengar Tarjo itu kebal,” jayusman menyentak.
Nenek Ijah manggut-manggut, dan terbungkuk-bungkuk ketika
mulai mendaki bukit. Menurut ceritanya. Tarjo mendapat ilmu
kebal itu hanya beberapa tahun sebelum kematiannya yang naas.
la bertapa dengan seorang temannya semenjak kecil, bernama
Pariman. Di permulaan tapa itu, mereka sudah mendengar suara
gaib yang mengatakan sejumlah syarat yang harus mereka
penuhi. Dan diperingatkan akan sebuah pantangan yang bila
dilanggar, kelak akan melenyapkan ilmu kebal yang mereka
miliki. Pantangan berbunyi; “Terlarang bersatu darah dengan
orang seketurunan.” Tanpa penjelasan yang lebih lanjut.
“Karena urusan perempuan, Tarjo dan Pariman kemudian
berpisah jalan.” kata nenek ljah, seraya terbatuk-batuk kecil, dan
berhenti sebentar untuk mengambil napas. Setelah meneruskan
perjalanan, iapun meneruskan ceritanya.
“Pariman dan Tarjo sama-sama jatuh cinta pada isteri seorang
opsir Belanda yang setelah memperoleh anak satu dari isterinya,
impotent akibat bertempur sebagai seorang serdadu. Juragan
Ningrum, isterinya yang manik jelita, bunga desa yang diidamkan
setiap lelaki. melampiaskan kesepiannya dengan mulai melirik ke
arah laki-laki lain. Lirikannya jatuh pada Tarjo. Pariman tahu akan
hal itu. la sangat kecewa. dan mulai dengki pada teman karibnya
112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu. Lama ia memikirkan jalan. Dan ketika mereka berdua bertapa,
ia melaksanakan tapa brata itu tidak sepenuh hati, karena
pikirannya lebih banyak tertuju pada juragan Ningrum. Akhirnya
ia memutuskan untuk melamar jadi pengawal keluarga opsir
Belanda itu,” ujar nenek Ijah seraya geleng-geleng kepala, sambil
kembali berhenti untuk mengatur napas.
Rupanya, betapapun tinggi ilmu yang ia miliki ternyata kodrat
alam tidak bisa ia lawan. Usianya yang sudah tua, sedikit demi
sedikit menggerogoti kekuatan phisiknya.
“Kudengar ia kemudian kawin dengan isteri Belanda itu.”
“Tepatnya, janda Belanda itu,” Menegaskan nenek Ijah, seraya
mengajak mereka berjalan kembali. Kuda yang ditunggangi
Amalia basah kuyup sekujur tubuhnya, dipanggang matahari yang
terik. Moncongnya mendengus-dengus keras, tetapi kuda itu terus
berjalan dengan tegap. Betapapun jinaknya, kuda itu benar
seperti yang dikatakan pak jayusman kuda pak lurah yang
terbaik. Apalagi, hanya berjalan perlahan-lahan saja. Berpacupun,
berhari-hari kuda itu sanggup tak berhenti.
Nenek Ijah kemudian menceritakan bagaimana cinta kasih
juragan Ningrum membuatnya jatuh sakit sehingga sejumlah
dukun, banyak obat-obatan dari yang termodern ketika itu,
sampai yang paling tradisionil diusahakan oleh suaminya sedapat
mungkin. Tetapi tidak ada yang berhasil menyembuhkannya.
Dalam kepanikan sang opsir, ajudan kepercayaannya, Pariman,
akhirnya dengan berat hati menyebut nama Tarjo.
Saudara satu-satunya dari nenek Ijah itu, kemudian dipanggil.
Juragan Ningrum sembuh seketika. Rupanya apa yang ia derita,
adalah sakit rindu dendam. Pariman menyadari hal itu. la menjadi
sakit hati, dan kedengkiannya kian menjadi-jadi. la mulai
Intimidasi majikannya, setelah mengetahui juragan Ningrum
tidak bisa melupakan Tarjo dalam hatinya. Hasutan itulah yang
menyebabkan opsir itu mendatangi Tarjo. menembaknya. Tetapi
peluru itu mental, dan kembali ke si alamat. Langsung menembus
jantung opsir yang memegang pistol.
113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Karena tidak banyak darah yang keluar. Pariman kemudian
menelurkan fitnah bahwa majikannya mati diteluh oleh Tarjo.
Mula-mula juragan Ningrum tidak percaya. Tetapi Pariman
menempuh jalan lain. Dengan bantuan seorang dukun sakti yang
entah di mana ia temukan, ia berhasil meneluh anak tunggal
juragan Ningrum. sehingga diketemukan mati membusuk tanpa
sebab di atas tempat tidurnya.
Kali ini, juragan Ningrum percaya, bahwa semua itu perbuatan
Tarjo. sebagai balas dendam karena ia mau ditembak suaminya.
Pariman menitipkan pula kabar angin yang mengatakan, bahwa
Tarjo hanya pura-pura mencintai juragan Ningrum. untuk
memiliki harta karun yang ia miliki sebagai warisan dari
suaminya bila meninggal kelak kemudian hari. Oleh karena itulah,
anak mereka pun harus dibunuh, agar tidak ada pewaris yang
lain. Kalau juragan Ningrum kelak mati -tentu saja akan cepat
terjadi- karena diteluh. maka Tarjo akan menjadi pewaris tunggal.
Fitnah yang busuk itu. sebenarnya justeru lebih tepat ditujukan
pada Pariman sendiri, bukan pada Tarjo. Tetapi juragan Ningrum
yang sedang kalut pikirannya, tidak mau lagi mempergunakan
pikiran sehat. Setelah masa berkabungnya lewat beberapa waktu,
ia menerima uluran tangan Pariman, dan menikah dengannya.
Selama beberapa bulan, mereka tampak berbahagia. Tetapi. lama
kelamaan, hati kecil juragan Ningrum memprotes. Ada yang tidak
beres dalam sikap kemaruk suaminya yang kedua itu. Cintanya
yang demikian dalam pada Tarjo, akhirnya bernyala kembali.
Diam-diam ia mendatangi seorang ahli kebathinan, yang
menerangkan bahwa kematian suami pertama dan anak yang ia
peroleh dari suaminya itu, oleh orang yang paling dekat dan
hidup satu ranjang dengannya. Dia yang menjadi sumber
malapetaka.
Belakangan, perbuatan isterinya itu diketahui Pariman. la sangat
marah dan mengancam akan membunuh juragan Ningrum
dengan lebih dahulu membuatnya menderita teramat sangat.
Kalau masih terus memikirkan Tarjo. Juragan Ningrum sangat
114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
takut. la berusaha melupakan Tarjo, membuangnya jauh-jauh dari
pikirannya. Tetapi gagal. Perkawinan mereka mulai retak. dan
hanya karena anak yang berada dalam kandungannya yang
menyebabkan juragan Ningrum berusaha untuk tetap hidup.
Tetapi begitu anak itu lahir dan berhenti menyusu, ia langsung
bunuh diri dengan mempergunakan pistol yang pernah mencabut
nyawa suami pertamanya.
Hartanya yang berlimpah hanya sebentar membahagiakan
Pariman. Karena jauh di dasar hatinya, ia tetap mencintai juragan
Ningrum, dan tidak pernah berhasil mengalihkan cintanya itu
pada perempuan. Kenyataan itu membuatnya bukan menjadi
sadar, malah menjadi sangat sakit hati. Dan orang yang lupa diri
tidak pernah melihat kesalahan sendiri. Segala kesalahan, pasti
dilimpahkan pada orang lain. Dan Pariman menimpakan
kesalahan itu kealamat Tarjo. la ingin melampiaskan sakit
hatinya, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Akhirnya ia pergi
menemui dukun sakti yang sering membantunya untuk minta
petunjuk.
Dan begitulah.
Suatu hari, Tarjo merasakan sesuatu yang asing tengah
mengganggu rumah mereka. la mengutarakan hal itu pada Ijah,
tetapi adiknya tidak dapat menduga apa gerangan yang
mengganggu itu. Namun ada sesuatu yang terjadi di antara
mereka. Tiap kali mereka beradu pandang tiap kali pula mereka
merasakan sesuatu yang ganjil dalam diri masing-masing.
Tarjo mengkhayalkan dirinya yang selalu gagal atau ditolak
perempuan, sebaliknya Ijah lebih menderita lagi. Desas-desus
buruk mengenai keluarganya, ditambah kakinya yang timpang,
lagi pula tidak termasuk cantik menyebabkan tak seorangpun
lelaki yang pernah memandang sebelah mata padanya.
“Celaka...!” desis Tarjo hari itu. “Aku sudah mulai mengerti. Ada
yang berusaha untuk memperalat kita berdua?”
Ia kemudian mengajak Ijah untuk sama-sama bersemedi melawan
apa yang mengancam tanpa kelihatan wujudnya itu. Merasa
115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
demikian dekatnya sumber bala itu, menyebabkan mereka
merumuskan untuk bersemedi di tempat di mana mereka teringat
untuk melakukannya. ltulah letak kesalahan yang mereka
perbuat.
Seharusnya Ijah bersemedi di kamarnya. dan Tarjo di luar rumah.
Yang mereka lakukan, justeru bersemedi sambil duduk bersila.
Berhadap-hadapan. Demikian dekat, sehingga mereka bisa saling
jamah, bahkan napas mereka bisa saling beradu. Dan bau asing itu
menyengat lebih keras, semakin keras, sehingga mereka tidak
bisa lagi menghindar.
Pada saat pertama kali mereka beradu pandang, timbullah rasa
sayang yang aneh dalam diri masing-masing. Bukan sayang
sesama saudara, melainkan sayang seorang laki-laki yang
kesepian kepada seorang perempuan yang rindu jamahan lelaki.
Begitu pula sebaliknya. Betapapun mereka mengerahkan
kekuatan batin untuk tetap diam di tempat masing-masing.
Tarikan sinar mata mereka yang beradu. bekerja lebih kuat.
Akhirnya mereka saling berpegangan tangan, saling menuntun
untuk berdiri, kemudian jalan berbimbingan ke kamar tidur.
Maka. apa yang tidak pernah mereka impikan, terjadilah malam
itu juga...
“Terkutuk! Terkutuk benar...” umpat nenek Ijah, berulang-ulang,
dengan kulit muka yang merah. Entah karena malu, entah karena
marah. “Semua ini kuceritakan pada kalian, agar kalian
mengetahui bagaimana kejadian yang sebenarnya dan mengapa
semuanya jadi begini!”
Tanpa terasa. matahari telah mulai beralih ke Barat.
“Aku letih...” bisik Amalia.
Jayusman membantunya turun dari kuda, dan kemudian mereka
bertiga beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang lama
mereka tidak saling berbicara, terpengaruh oleh pikiran masing-
masing. Amalia mengeluarkan sedikit bekal yang ia bawa dari
rumah. la dan pak jayusman melahapnya sampai habis.
116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sedangkan nenek Ijah hanya meminta secangkir air. Ketika
minum, pandangannya tertuju padai sebuah perkampungan, nun
jauh di lembah, di antara bukit bukit dan sawah, terlindung di
balik pohon yang rimbun.
“Di sana....” ia tiba-tiba berkata. “Tiga hari yang lalu terjadi
kegemparan. Seorang perempuan bunting tua, diketemukan mati
dengan tubuh mengering tanpa darah, dan bayinya telah keluar
tanpa nyawa, juga tanpa darah. Suaminya menjadi gila...”
“Oh ya?” jayusman mengerutkan dahi. “Baru kudengar hal itu.
Apakah... karena perbuatan setan?”
Nenek Ijah menatap pak Jayusman sebentar. Lalu: “Perbuatan
terkutuk, kukira. Dan aku khawatir, akan lebih banyak perbuatan-
perbuatan terkutuk yang akan segera terjadi...”
***
117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tetapi nenek Ijah mendesak: “Katakan saja. Supaya Liah tahu,
betapa mengerikan hal-hal yang bakal kita hadapi!”
Dengan berat hati, Jayusman menceritakan apa yang ia dengar.
Suami isteri itu baru tiga hari datang dari kota. Rumah tua di
puncak bukit itu, dan sejumlah tanah sawah serta perkebunan di
sekitarnya, adalah warisan yang diperoleh si suami - seorang
sarjana antropologi, ia menerangkan maksud antropologi itu pada
nenek Ijah - karena Amalia tahu apa yang dimaksud.
Dua hari pertama tidak terjadi sesuatu apa. Tetapi pada malam
ketiga, terjadilah peristiwa yang membuat pingsan isteri dan
salah seorang pembantu yang selalu menjaga rumah itu. Majikan
perempuan mereka, di ketemukan di lantai ruang bawah tanah
dengan pedang menembus jantung. Mati. Lebih mengerikan lagi,
di tempat tidur mereka di ruang atas, sarjana itu juga
diketemukan sudah mati dengan badan dan kepalanya terpisah
oleh letusan pedang!
Amalia menggigil. Pucat pasi seketika, gemetar mendengar kisah
itu. Tiba-tiba, terlintas di benaknya peristiwa yang ia alami subuh
tadi. Apakah kepala yang ia lihat itu yang... ia menggigil lagi, lebih
hebat. Dan apakah suaminya terlibat dalam pembunuhan yang
mengerikan itu?
Nenek Ijah memandangi Amalia, wajahnya tampak mengeras.
Matanya berkilat. Ganjil. “Tenang, cucuku,” la berbisik, parau.
“Bukan suamimu yang melakukannya...” tetapi... ia mengurut dada
diulang-ulang, kemudian mengeluh panjang. Ujarnya. lirih dan
ketakutan: “Bencana. Bencana itu sudah dimulai. Aku sangat
yakin. Dan kalau kita tidak segera menghentikannya....” la tidak
meneruskan ucapannya, melainkan melanjutkan langkah-
langkahnya. Kali ini lebih cepat, meskipun tampak dadanya yang
kerempeng itu bergerak-gerak tidak teratur dan nafasnya
memburu kencang, “Hayo, cepatlah. Kita harus sampai di rumah
sebelum tengah malam!”
Amalia memandang ke langit, matahari telah condong di ufuk
Barat. Berapa jauh lagikah perjalanan mereka? Dan apa yang akan
118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terjadi tengah malam nanti? Bagaimana pula dengan suaminya.
Supandi? Dengan penuh harap, ia berkali-kali memandang ke
arah nenek Ijah yang berjalan bergegas di samping kuda yang
ditunggangi Amalia. Harapannya rupanya diketahui perempuan
tua renta yang luar biasa itu, yang segera melanjutkan kisahnya
yang tadi terputus.
Dengan dibuka oleh sebuah kisah sampingan sebagai pendahulu:
“Rumah di puncak bukit sana,” ia menunjuk ke arah mana orang-
orang tadi menuju. “Adalah rumah peninggalan juragan
Ningrum...”
Amalia terpana.
Pak Jayusman mengelus janggut, seraya mulutnya komat-kamit.
“Dari apa yang kudengar, si suami yang mati itu tentulah salah
seorang keturunan langsung juragan Ningrum dari
pernikahannya dengan Pariman! Tarjo sudah membalaskan
dendamnya. Tarjo sudah memulai bencana yang pernah ia
janjikan....!”
Janji yang lebih tepat dikatakan sumpah itu, terjadi pada malam
naas yang menimpa nenek Ijah dan saudara laki-lakinya, Tarjo.
Baru saja mereka tersadar bahwa mereka telah melakukan
perbuatan terkutuk, di luar rumah terdengar suara tertawa
ngakak seorang laki-laki. Ijah merasa seram mendengar suara itu.
Akan halnya Tarjo, wajahnya merah padam, cuping telinganya
sampai merah kehitam-hitaman. Butir-butir keringat merembes
dari seluruh pori- pori kulitnya.
“Si Pariman jahanam itu,” ia memaki. “Dialah penyebab semua
ini!”
Lalu. Tarjo mulai mengumpulkan kekuatan bathinnya, bersemedi
sampai tubuhnya tergoncang-goncang. Dan bukan saja keringat
air, tetapi juga keringat darah sampai keluar dari sebagian
tubuhnya, saking kuatnya mengerahkan- kekuatan bathin.
Sementara itu, dari luar Ijah mendengar suara tertawa yang
119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sangat ia kenal dan yang kemudian berkata dengan penuh
perasaan puas.
“Kau telah melanggar pantangan. Tarjo. Kau telah menyetubuhi
adik perempuanmu. Kau telah mempersatukan darah dari orang
seketurunan... hahaha. Tarjo, kini kau tak akan dapat melepaskan
diri dari pembalasanku!”
Baik Tarjo maupun Ijah, memang sama mengerahkan tenaga
bathin pula.
“Jahanam kau manusia busuk,” maki Tarjo.
“Tak usah mengomel. Tarjo. Keluarlah. Kita berperang tanding!”
Pariman menantang.
Dalam kemarahannya. Tarjo tidak bisa lagi menahan diri. la
menerjang ke luar dan segera berhadapan tidak saja dengan
pariman, tetapi juga dengan beberapa orang laki-laki lainnya.
Mereka di kenali Tarjo sebagai orang-orang yang membencinya,
termasuk pengawas perkebunan karet yang telah menjinahi
Ningsih, dan yang dengan bantuan orang-orangnya, telah pernah
menurunkan tangan pada Tarjo. Kini mereka bersatu, untuk
memusnahkan satu-satunya orang yang tahu belang mereka
sesungguhnya.
Tarjo keburu nafsu.
“Katanya kulitmu kebal. Tarjo. Kok, tak lebih keras dari kulit
pisang?”
Mereka kembali mengerubuti Tarjo dan kembali Tarjo
tergelimpang. Ijah berlari-lari mendapatkan saudaranya,
memeluknya menangisinya, dan menyumpah-nyumpahi orang-
orang yang melukainya. Mereka menjawab dengan nada
menghina perbuatan terkutuk yang telah diperbuat dua
bersaudara itu. Bahkan mengejek keburukan rupa dan cacat
phisik Ijah. Tak terperikan marah Ijah mendengarnya.
“Tenang. adikku,” lamat-lamat ia dengar bisikan Tarjo. “Sudah
masih kita begini. Mungkin ini malam naasku. Tetapi aku tidak
120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akan menyerah. Bila aku mati, percayalah.. roh dan jasadku akan
hidup kembali. Dan aku akan membalaskan sakit hatimu dan
hatiku, membalasnya dengan lebih mengerikan...”
la masih mengucapkan sejumlah kata-kata yang lain, yang hampir
tidak seluruhnya tertangkap oleh telinga Ijah yang panas
membara oleh hawa amarah. Kemudian orang-orang itu mengikat
tangan Tarjo, menyeretnya meninggalkan kampung. Hujan turun
deras ketika mereka pergi, dan tak lama kemudian badai melanda
desa...
***
121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Hem...” Pak Jayusman mengambil tali kekang kuda,
menuntunnya mengikuti nenek Ijah yang berjalan di depan,
menembus kegelapan hutan yang mereka lalui. Bersama malam
yang telah tiba. Berulang kali kata “Hem,” itu lepas dari mulutnya,
dan dalam kegelapan yang sesekali diterangi oleh rembulan
empat belas itu. Amalia melihat pak jayusman tidak henti-
hentinya mengelus jengot.
“Nek Ijah...” pak Jayusman setengah berseru tiba-tiba
mengejutkan tidak saja Amalia, tetapi juga kuda yang
ditungganginya.
“Heh?” nenek Ijah terus berjalan, menyahut tanpa menoleh.
“... kau katakan, bencana-bencana yang lebih hebat bakal terjadi.
Dan kita harus menghentikannya. Tetapi... bagaimana kau tahu
dan begitu yakin semua itu akan terjadi?”
Nenek Ijah terbatuk-batuk sebentar, sebelum menjawab: “Selama
sekian puluh tahun,” ia senantiasa ingat janji yang diucapkan
saudaranya. Tarjo. Dan lama kelamaan, iapun ingat perkataan lain
yang waktu itu tidak begitu ia perhatikan benar. “Tarjo
mengatakan, ia akan bangkit kembali dari kuburnya. la akan
mencari seorang mahluk manusia, untuk bertukar jasad, dengan
siapa ia kemudian akan lebih leluasa melampiaskan dendamnya....
kukira, jasad suamimu yang segera akan ia pakai!” cetus nenek
Ijah dengan suara serak.
Hampir menjerit Amalia mendengarnya. Tetapi lidahnya kelu.
Pembuluh darahnya tertegun-tegun, dan jantungnya seperti
malas bekerja, ia menghirup udara malam yang agak pengap di
tengah hutan itu. Berulang-ulang, dan berusaha menggerak-
gerakkan persendian tubuhny a untuk mendapatkan kekuatan
mental dan phisiknya yang sempat terbang melayang.
Lama mereka saling berdiri.
Dan kembali pak jayusman yang memecahkan kesepian: “Tetapi
nek... mengapa tiba-tiba kau tidak ingin saudaramu membalaskan
sakit hati kalian berdua?”
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jawab yang diterima sangat tegas. “Kalau pembalasan itu ia
tujukan langsung pada orang-orang yang telah menghina nama
keluarga kami, aku setuju saja, malah bersedia membantu. Tetapi
kalau kepada keturunan-keturunannya yang tidak tahu
menahu…” ia geleng-geleng kepala, komat-kamit mengucapkan
kalimat-kalimat tidak karuan, lalu meneruskan langkah-
langkahnya yang semakin cepat tanpa berkata sepatahpun lagi.
***
124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ruhmu akan melayang sebentar lagi... Hai, mengapa kau
berhenti?”
Bukan karena ucapan-ucapan mengerikan itu yang menyebabkan
gerakan Supandi tertegun. Melainkan bayangan sesosok tubuh
lelaki bertubuh kekar, berambut putih, berjanggut putih yang
entah darimana datangnya telah melayang ke arahnya. Kemudian
memukulnya sampai terjerembab setengah punggung di
permukaan lubang kubur. Belum lagi ia tahu apa yang terjadi,
tubuhnya telah diangkat berdiri dan diseret menjauh dari
kuburan itu. la tidak tahu siapa laki-laki aneh itu. Tidak tahu apa
yang tengah dilakukan orang itu atas dirinya. Tetapi samar-samar
ia mendengar suara perintah yang tajam, tetapi lembut, tidak
dingin dan mengerikan. Suara seorang perempuan:
“Cepat. Lia. Tancapkan sinar matamu yang penuh cinta kasih ke
mata suamimu!”
Kemudian ia samar-samar melihat seraut wajah. Wajah yang
serasa pernah ia kenal, tetapi ia tidak tahu siapa. Dan mengapa
wajah itu tiba-tiba saja telah berada di atas wajahnya. Mengapa
mata itu bersinar-sinar memandangi matanya? Mengapa dari pipi
yang pucat itu menetes butir-bulir air bening membasahi pipinya?
Alangkah mesranya padangan mata itu. Penuh pengabdian.
“Liah...” lidahnya yang kelu, pelan-pelan bergerak, dan mulutnya
yang pucat tak berdarah, mengeluarkan suara, “Sayangku…”
Amalia lantas memeluk suaminya seraya menangis tersedu-sedu...
***
125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sirna bagian demi bagian. Mulai dari kulit, kemudian daging, lalu
bagian-bagian organ kepala yang lain, lalu pada saat matahari
semakin menyengat, kepala itu tinggal tengkorak putih belaka
dengan rongga mata dan mulut yang kosong serta rambut
panjang lebat menggumpal di dekatnya.
Supandi memegang lengan kirinya yang berbalut perban yang
terbuat dari dedaunan, bertahan dari rasa pusing yang
menyerang kepalanya, dan dengan terkejut mendengar nenek
Ijah bertanya:
“Kau pernah melihat kepala itu, Pandi?”
Supandi menggeleng. “Tidak.” la tidak pernah melihat kepala yang
berubah rupa secara mentakjubkan itu. la tidak pernah melihat
kerangka tubuh itu sebelumnya. la bahkan tidak tahu, mengapa
ketika ia tersadar dari pingsan tubuh tadi, ia…
Amalia, nenek Ijah dan pak Jayusman berada di tempat yang
terasing dan aneh itu mendengar jawab yang keluar dari mulut
Supandi, Amalia kembali memeluk suaminya dan menangis di
dadanya. “Kau melupakannya, syukurlah, sayangku… kau
melupakan semuanya...!” ia tersedu.
“Melupakan apa?” tanya Supandi, heran dan lirih.
Amalia menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan ciuman yang
bertubi- tubi menghujani wajah Supandi, tidak perduli akan
kehadiran orang lain di dekat mereka. Kikuk, Supandi
memalingkan muka dan melihat pak Jayusman yang tengah tekun
berdoa. Orang tua itu telah berdoa semenjak dini hari tidak
bangkit- bangkit dari duduknya. Di sebelahnya, duduk nenek tua
renta itu, yang memandang ke liang kubur tanpa berkata
sepatahpun juga. Mata tuanya tampak layu. Tetapi tidak ada
butir-butir air yang keluar.
Ketika segalanya telah berlalu dan kuburan itu telah ditutup
kembali serta diberi batu, barulah nenek Ijah berjalan masuk ke
rumahnya. la tidak keluar-keluar lagi sampai yang lainnya
bermaksud untuk pulang. Nenek Ijah tak mau diganggu, mereka
126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
meninggalkan tempat itu tanpa masuk ke rumah nenek Ijah dan
pamit padanya.
***
**Tamat**
127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m