Anda di halaman 1dari 127

Sepasang Mata Iblis

Abdullah Harahap
E-Book by Ratu-buku.blogspot.com

LAKI-LAKI itu agak terhuyung ketika tubuhnya dilanda angin


keras yang bertiup-tiup kencang dengan suara bersiut-siut. Untuk
sesaat ia tertegun. Ia tanamkan jari jemari kakinya dalam-dalam
ketanah berbatu yang sudah mulai luka. Tidak ada yang
memprotes. atau marah atau mendorong-dorongkan tubuhnya.
Bahkan tidak ada yang mengusik ketika ia menarik nafas panjang
berulang-ulang, dengan mana ia bisa mengembalikan kekuatan
tubuhnya yang telah semakin lemah. Akan tetapi. kakinya sudah
tidak begitu kuat lagi mencengkeram bumi. Tubuhnya sedikit
lirnbung. Tanpa dapat ia kuasai lagi. la kemudian jatuh
terjerembab. dengan wajah yang bengkak-bengkak lebih dulu
mencium tanah.
Terdengar suara bergelak yang ramai, lelaki itu mencemooh:
"bangkit bung! Kami tak sudi menguburmu di tempat ini!"
Ia menjadi sangat marah. Tetapi, dengan kedua tangan terikat
kencang di belakang tubuhnya, ia tidak dapat berbuat apa-apa,
kecuali menyumpah serapah lewat mulutnya yang berbuih oleh
ludah bercampur darah.
“Apa Apa yang kau nyanyikan barusan?” dengus suara yang tadi.
“Kurang ajar!” Bunyi kalimat itu saja sudah keterlaluan. Ini,
ditambah lagi dengan sebuah jambakan yang menyakitkan di
rambutnya, sehingga kulit kepalanya bagaikan akan terkelupas

1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


seketika. Lehernya terputar mengikuti gerakan tangan yang
menjambak itu, lalu ia bisa melihat wajah yang menyeringai
hanya beberapa inci di depan biji matanya. Mereka bertatapan
sejenak. Mengadu kekuatan mental. Tetapi bagaimanapun posisi
seseorang yang bebas jelas akan menang dibandingkan dengan
posisi orang lainnya yang terhumbalang di tanah dengan kedua
tangan terikat serta sekujur tubuh sakit-sakit akibat pukulan-
pukulan mengerikan yang telah ia terima beberapa saat
sebelumnya. Maka, orang yang malang melintang itu hanya bisa
diam ketika wajahnya yang sudah porak puranda itu disembur
dengan air ludah yang menjijikkan.
Kepalanya kemudian dihempaskan lagi. mencium tanah becek.
Disertai dengan suara tawa yang berderai kian ramai, seolah-olah
sebuah koor yang mengiringi musik yang ditimbulkan oleh bunyi
hujan dan angin topan yang tengah menyapu seluruh daerah itu.
“Ayoh, bangun! Atau mau kutendang lagi?”
“Ah. sudahlah..” cegah yang lain. “Simpan saja tenagamu untuk
berjalan pulang ke rumah menemui binimu yang cantik!”
Baik benar ucapan orang kedua itu. Tetapi alangkah buruk
perbuatannya. la renggut tangan yang terikat itu kuat-kuat,
sampai pemiliknya terasa seperti diangkat naik ke udara. Dan
baru saja kakinya kembali menjejak tanah. la sudah didorong
dengan kasar disertai hentakan, “Ayoh. Maju!”
Laki-laki yang malang itu berusaha sekuat tenaga agar tak sampai
terjerembab lagi seperti tadi. Bukan karena tidak ingin dijambak,
diludahi atau ditendang. Tetapi karena keinginan yang sangat
keras dalam dirinya. la ingin memperlihatkan pada orang-orang
terkutuk itu bahwa ia bukan seorang yang menjadi lemah karena
dipecundangi. la harus memperlihatkan betapa ia kuat dan tabah,
dan ia harus memusatkan jiwanya untuk sebuah pembalasan
dendam yang mengerikan. Sehingga, Orang-orang itu, atau
siapapun yang bernasib malang menjadi keturunan orang-orang
itu, akan menyesal pernah hidup di dunia yang kotor dan berbau
busuk ini.

2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Kakinya berdecak-decak di tanah becek. la terhuyung karena
terantuk batu, tetapi kemudian berhasil menguasai keseimbangan
tubuh. Pelan-pelan ia berjalan diikuti oleh tiga orang laki-laki
yang tidak mengenal belas kasihan barang sepercik pun di
belakangnya. Curah air hujan sebesar butir-butir jagung tidak
saja mengayupi tubuhnya tetapi juga terasa mencabik-cabik luka-
luka menganga di wajahnya. la menggigit bibir menahan sakit.
terlupa bahwa bibirnya juga sedang bengkak membiru. Cepat-
cepat ia lepaskan hunjaman gigi pada bibirnya itu lalu mencaci
maki sepelan mungkin. Cukup untuk ia dengar sendiri. sekedar
pelipur lara rasa yang ia derita.
“Demi setan laknat di atas langit dan di bawah bumi,” makinya
“Biarkan aku hidup setelah mati!” la tersenyum sendiri. Yah. Lucu
juga kedengaran di telinganya. Hidup setelah mati. Puisi mana lagi
yang terlebih indah dari itu, yang pernah diucapkan oleh penyair-
penyair terkemuka di seantero jagat ini? Betul! Betul! Indah sekali
bunyinya. Demikian indah. sehingga berulang-ulang ia
mengucapkan caci makinya yang lama kelamaan terdengar
seperti sebuah lagu mars yang penuh semangat :
“Demi setan laknat di atas langit dan di bawah bumi!” Lalu:
“Biarkan aku hidup setelah mati!”
“Betul sekali,” ia tersenyum lagi, lantas bergumam, “Aku akan
hidup setelah mati. Dan orang-orang terkutuk ini...”
Orang-orang terkutuk itu. serempak bak dikomando, berseru:
“Berhenti, bung!”
Kekompakan suara yang tidak dikompromikan lebih dahulu itu,
rupanya juga sangat lucu dan indah bagi mereka, sehingga ke tiga
orang itu saling pandang memandang, kemudian tertawa
bergelak. Tetapi. alangkah berkilat-kilat mata sebilah pedang
panjang. sebilah sangkur pembunuh, yang dicabut perlahan-lahan
dari sarungnya.
Demikian pelahan, tampak jelas disengaja. Agar orang yang kelak
menerima letakan sangkur pembunuh itu, dan yang sebenar-

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


benarnya tanpa sengaja, telah membalikkan tubuh untuk
menghadang ketiga orang algojo-algojonya dapat melihat dengan
jelas.
Tetapi si empunya pedang menjadi kecewa. Karena dari sepasang
mata calon korbannya, tidak tampak rasa ketakutan, apalagi
warna kengerian. Sepasang mata itu memandang dengan tabah
tetapi tajam dan bersinar-sinar. Sepasang mata yang tidak pernah
mereka lihat sebelumnya. Sinarnya melebihi sinar mata pedang,
menembus kegelapan malam yang menghantu, menembus tabir
angin topan, membalut putus derai air hujan, menghunjam
langsung ke batok kepala.
“lblis!” ucap orang yang memegang pedang. “Aku bisa melihat
iblis di matamu!”
Lalu pada kedua orang temannya ia berteriak lantang: “Kau
lihatlah matanya! Kalian lihatlah! Kita benar. Orang ini memang
anak setan Iblis laknat dalam jiwa leluhurnya, telah menitis dalam
dirinya. Ia pantas untuk menerima hukumannya. Dan
berbanggalah bahwa kita telah mendapat kehormatan untuk
melaksanakan hukuman itu....”
Lantas pada calon korbannya, ia memerintah tanpa berani
menatap pada sinar matanya:
“Berbalik, bung!”
Untuk sesaat, laki-laki itu masih diam. Hanya matanya yang
bergerak. Sepasang mata iblis, memandangi algojonya satu
persatu. Yang dipandang berusaha mengelak. Betapa pun, pada
saat-saat terakhir, jantung mereka mengkerut juga. Bukan soal
mudah untuk mencabut nyawa orang. Apalagi nyawa seseorang
yang leluhurnya mashur dengan ilmu-ilmu magis serta ilmu-ilmu
batin yang tidak setiap orang bisa memilikinya. Puas dengan apa
yang ia lihat, laki-laki itu kemudian berbalik, dengan tangan-
tangannya yang terikat di belakang tubuh, ia cengkeramkan satu
sama lain.
Kini, ia tidak takut lagi menghadapi kematian!

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Dengan mata nyalang ia berusaha menembus kegelapan malam
yang menyelimuti lembah di bawah kakinya. Tempat ini letaknya
lebih dari lima kilometer dari rumahnya, dan tidak kurang dari
dua kilo meter dari rumah paling ujung dari kampung mereka.
Cukup jauh untuk melaksanakan eksekusi tanpa orang-orang
sekampung menjadi ngeri dan ketakutan karenanya. Tetapi jarak
itu juga demikian jauh untuk dilalui, sehingga tubuh dan
wajahnya yang sudah babak belur tidak akan mampu lagi
menempuh perjalanan yang lebih jauh. Sehingga, akhir dari
perjalanan ini. Meskipun dengan sebuah kematian, terasa lebih
enak dari hidup yang terombang-ambing, penuh penderitaan dan
kekecewaan dengan bumbu-bumbu kesakitan dari bengkak-
bengkak berdarah di tubuh serta luka-luka menganga di dalam
hati.
“Jongkok!”
Patuh ia berjongkok.
“Salah!” umpat suara tadi. “Bukan begitu!”
Yang lain menyelak:
“Bagaimana tak salah. Kau suruh jongkok Emangnya mau beol?”
Ucapan yang lucu. Tetapi aneh. ketiga orang itu tidak bisa tertawa
sama sekali. Lantas sipelawak itu meralat ucapan temannya:
“Bersimpuh, bung!”
Dengan patuh pula si terhukum memperbaiki posisi tubuhnya
yang salah. Dengam kedua tangan tetap terikat ke belakang, ia
hunjamkan kedua lutut ke tanah yang becek. tétapi dengan posisi
yang berubah sedemikian rupa, sehingga kelak kalau leher
terpancung kepalanya tidak akan segera menggelinding jatuh ke
dalam kegelapan lembah nun jauh di bawah. Kemudian punggung
ia condongkan sedikit ke depan, dengan leher ditinggikan, dan
sebaliknya kepala direndahkan.
Tengkuk yang telanjang itu tidak putus sama sekali tebas. Kepala
itu baru terpisah dengan tubuhnya setelah ketiga orang itu silih
5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
berganti mengayunkan pedang, Tidak terdengar suara kesakitan
sedikitpun bahkan tidak suara keluhan.
Ketiga orang pelaksana hukuman mati itu menahan nafas dan
dengan mata terbelalak memperhatikan bagaimana kepala itu
jatuh ke tanah yang becek menggelinding dua kali. Kemudian
berhenti dengan leher rata dengan tanah. Terpacak di situ. Diam
mengerikan. Sepi sejenak. Angin seolah-olah segan untuk bertiup,
dan hujan tiba-tiba malas untuk tercurah. Ketiga laki-laki
pembunuh itu berdiri tegak dengan tubuh kaku disiram rintik-
rintik hujan yang mengiris-iris dengan dingin.
Lalu. petir tiba-tiba menyambar.
Ketiga orang itu terpekik, karena sesaat ketika petir menyambar,
tiga pasang mata mereka menangkap sesuatu yang menakutkan
pada kepala yang bagai terpacak di tanah itu. Apa yang membuat
jantung mereka kejut seketika, adalah sepasang mata di kepala
itu. Mata itu tidak tertutup. Tetapi tetap terbuka seperti halnya
saat terakhir tadi mereka melihatnya. Teduh. tetapi tajam
bersinar- sinar. Dan sinar itu seperti tidak ikut mati. Sepasang
mata iblis yang mengerikan itu, seblah-olah memandang mereka
sekaligus untuk mengingat-ingat. Sepasang mata yang bersinar
penuh dendam!
Ketika gelap malam kembali melanda salah seorang di antara
mereka bergumam dengan suara parau, “..... lakukan... sesuatu!”
“Ap-paaa...” sahut yang lain.
“Kepala itu... matanya!”
Suara mereka bergalau tidak karuan, bercampur dengan angin
kencang yang kembali bertiup dan hujan yang menderas dari
langit. Sentakan alam itu menyentakkan pula jantung mereka
yang telah ciut membeku. Bersamaan dengan darah yang mulai
kembali mengalir dalam tubuh, mereka serempak melakukan apa
yang mereka anggap paling baik. Setelah saling berpandangan,
kemudian salah seorang maju ke depan. Tanpa memandang ke
bawah, pada sasarannya orang itu kemudian menarik mundur

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


salah satu kakinya, kemudian secepat kilat melayangkannya ke
depan.
Terdengar bunyi berdetuk yang ganjil. Petir menyambar lagi.
Sekilat saja. Tetapi sudah cukup menerangi apa yang tengah
terjadi. Kepala yang putus itu terbang di udara, kemudian jatuh
melayang ke dalam lembah bagaikan kegelapan.
Melayang, terus melayang, sampai…
***

“Kang ! Kang Pandi! Bangun! Banguuuuuun !”


Supandi tersentak bangun dengan wajah bersimbah peluh. la
terduduk di tempat tidur. Pucat, gemetar, serta sepasang matanya
melotot lebar, menyinarkan rasa takut yang tiada terperi.
“Kang Pandi?”
Supandi menoleh ke samping, pada isterinya yang
memandangnya dengan panik. Perempuan itu mencengkeram
lututnya dengan kuat, sehingga Supandi merasakan kesakitan.
Tetapi perlahan-lahan ia bersyukur dalam hati. Justru
cengkeraman kuku-kuku jari-jemari isterinya yang telah berhasil
menyingkirkan dirinya dari lembah hitam mengerikan serta
kepala yang menggelinding jatuh itu..!
“Tuhanku!” ia mendesah, lega.
“Kau bermimpi buruk lagi?”
“Yaa.”
Isterinya tersenyum. “Hanya bunga-bunga tidur....”
Supandi mengangkat dagu, menatap tajam ke mata isterinya.
Suaranya memang terdengar lega, tetapi matanya masih
memandang dengan takut-takut. Katanya, “Bunga-bunga tidur?
Demi Tuhan. Liah. Aku merasa takut. lni bukan sekedar bunga-
bunga tidur...”
7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
“Baiklah, bukan bunga-bunga tidur. Tetapi itu hanya sebuah
mimpi.”
“Mimpi buruk. Dan... mimpi yang sama Liah- Mimpi yang sama,
selama tiga malam berturut-turut. Dengan urutan peristiwa yang
sama pula. Sehingga aku amat mengenali setiap tokoh yang
muncul dalam mimpiku, andaikan suatu saat aku bisa bertemu
dengan mereka...”
“Kang!”
“Diamlah. Entah mengapa aku yakin, aku akan bertemu dengan
orang-orang itu... atau, keturunannya, barangkali.”
“Aih, kang, jangan berpikir yang tidak-tidak...” Amalia berusaha
tersenyum, seraya mengusap keringat yang membanjir di wajah
suaminya. “Kubikinkan kopi kental untukmu yah..”
Supandi diam saja. Amalia meluncur turun dari tempat tidur.
Tetapi setelah kedua kakinya menjejak lantai, dengan wajah
kemerah-merahan dan senyum tersirat-sirat ia segera
menyambar kimononya yang terhampar di ujung tempat tidur,
dan tergesa-gesa mengenakannya. Setelah itu, ia membungkuk
sedikit, mencium pipi suaminya. lantas berbisik:
“Aku sangat puas malam ini, sayangku.”
Masih tersenyum, puas, ia keluar dari kamar, meninggalkan
Supandi yang duduk termangu-mangu ditempat tidur. Ucapan
serta ciuman mesra dari isterinya tidak ia dengar atau rasakan
sama sekali. Benaknya masih dipenuhi oleh mimpi harimau.
Mimpi yang hampir-hampir nyata, mimpi yang sama. Tiga malam
berturut-turut.
***

PAGI itu cerah dan segar- Supandi bergerak kejendela kamar


untuk menghangatkan tubuh dengan sinar matahari. Ia hirup
udam pagi dengan rasa nikmat yang sangat. seolah sepanjang

8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


malam paru-parunya bekerja teramat keras. Tubuh Amalia panas
berapi-api sempat membuat napas Supandi tasendat-sendat.
Tetapi apa yang paling menyiksa paru-parunya pada malam itu
adalah impian mengerikan itu. Dua hari yang lalu ia memang
sependapat dengan isterinya. Impian buruk itu hanyalah bunga-
bunga! tidur belaka.
Cubit pahamu. bangun, lalu semuanya akan kembali seperti biasa.
Tetapi kemarin pagi, ia sudah mulai ragu.
Dan hari ini, ia malah sangat yakin. Impian tadi malam, adalah
sebuah pertanda. Banyak peramal yang berkata, bahwa impian
tentang kematian akan mendatangkan rejeki nomplok.
Selama bertahun-tahun Supandi mau mempercayainya. Sampai
pada suatu malam ia bermimpi kematian salah seorang sanak
saudaranya. Dan apa yang ia peroleh sebagai kenyataannya
adalah: dipecatnya ia dari kantor tempatnya bekerja. Tanpa uang
pesangon, apalagi pensiun. Masih untung ia tidak dipenjarakan.
Itupun berkat janji yang ia buat di hadapan orang-orang tertentu
termasuk kepala jawatan tempat ia bekerja, untuk menutup
mulut. Lebih baik ia berperan sebagai pion yang disingkirkan dari
meja catur. daripada harus hidup di belakang jeruji besi,
disingkirkan dari Amalia tercinta dan kehidupan yang lepas
bebas. Lalu kini. pengorbanan apa pula yang harus ia berikan?
Impian kematian yang datang dua tiga malam berturut-turut itu
pasti sebuah pertanda pula. Pertanda buruk seperti yang pernah
ia alami- Mimpi yang ini. jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Supandi gemetar.
Sinar matahari pagi yang hangat, tidak mampu mempengaruhi
tubuhnya yang dingin. Peluh bersimbah di jidatnya, tetapi itupun
jelas peluh dingin. la menarik nafas berulang-ulang. la goyangkan
kepala keras-keras, untuk membuang perasaan gundah dan
ketakutan yang melanda dirinya secara aneh. Teringat pada apa
yang ia alami dalam tidurnya, reflek kedua tangan Supandi
terangkat ke atas, untuk memegangi lehernya masih utuh. Tidak
ada yang menebas. Tidak ada kepala yang menggelinding.
9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Kepalanya masih tetap melekat pada tubuhnya. la agak lega
karenanya.
Namun tetap merasa cemas- Gontai, ia kemudian keluar dari
kamar, di atas meja makan. Bau masakannya merangsang seperti
rangsangan bau tubuh Amalia yang tiap kali menambah rasa
cintanya pada perempuan itu. Amalia tersenyum manis ketika
bertemu pandang dengan suaminya, lantas bergumam,
“Cepat mandi dong, kang Pandi. Aku sudah lapar...”
Ia membalas senyuman isterinya, lalu beranjak ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian. mereka sudah duduk berdampingan di
dekat meja makan. Berdampingan, bukan berhadapan. Dengan
demikian sambil makan mereka bisa saling menyentuhkan badan,
saling mencubit.
“Idiih. Lagi makan jangan gitu dong. kang?” sungut Amalia ketika
salah satu tangan Supandi mendarat di pahanya.
Selesai sarapan Supandi duduk membaca koran pagi yang baru
datang, Tidak ada berita yang hangat hari itu. Kegiatan
'pembersihan' baik melemparkan koran begitu saja dan tidak
mencicipi kopi kental yang dihidangkan oleh Amalia.
“Lebih baik ngurus diri sendiri," gerutunya.
Lantas berjalan masuk dalam rumah. Di dapur. Amalia sedang
sibuk beberes. la tidak melihat Supandi lewat, temu berjalan ke
gudang Baru ketika ia menumpukkan pakaian di sebuah bakul,
Amalia melihat suaminya lewat lagi. Kali ini, dengan sebuah pacul
di tangan kanan, serta sebuah sekop di tangan kiri.
“Mau menggali lagi, kang?”
“He-he...?”
“Aku mau mencuci...”
“Pergilah!”
Amalia memandang suaminya dengan mata khawatir.

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kang?”
“..hengg?” sahut Supandi dengan suara di hidung.
“Tutupi saja lagi sumur itu. kang.”
Supandi tercengang.
“Setelah tanahnya mulai lembab dan basah, pertanda air bakal
keluar?” tanyanya, setengah merupakan pernyataan protes.
“Aku... aku cemas, kang.”
“Ah. Kau tentunya terpengaruh oleh ucapan pak lurah!”
Amalia mengambil kotak tempat sabun. Sabun, handuk dan
sebuah ember. Tetapi ia belum juga pergi ke tempat pencucian
umum di kampung itu. la tampak bingung. dan katanya
memperlihatkan rasa cemas. “Kang Pandi,” ujarnya dengan suara
getir. "Sudah tidak ada lagi orang yang mau membantumu!”
“Bah. Aku bisa kerjakan sendiri!”
“Lantas jatuh lagi sebagai korban?”
Pertanyaan isterinya membuat Supandi yang sudah bersiap untuk
ke luar rumah jadi tertegun. Korban! Amalia bicara pula tentang
korban, sekarang ini. Tetapi, ah. Jelas bukan dimaksudkan Amalia
tentang pengorbanan Supandi di jawatan tempatnya bekerja
ketika mereka masih tinggal di kota. Tentu ada hubungannya
dengan sumur, karena ke sanalah Amalia telah melarangnya,
seperti juga pak lurah pernah melarang agar tidak menggali
sumur dalam radius lima ratus meter sekitar rumahnya, yang juga
mencakup letak empat buah rumah lain. Tetanga-tetangganya
juga tidak ada yang membuat sumur sendiri.
“Taruh di tempat kalian kering dan berbatu-batuan.” begitu mula-
mula pak lurah menerangkan. Tetapi karena Supandi bersikeras,
pak lurah mengingatkan: “Lihat. Tanaman kelapa, mati. Cengkeh,
mati. Ubi, mati. Bahkan isterimu berkali-kali mengeluh, karena
banyak dari bunga-bunga itu tumbuh kurus karena kekeringan
air....”
11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Orang lain punya sumur sendiri. Aku? Tidak, pak lurah. Aku tidak
sanggup berletih-letih seumur hidup pergi ke pemandian umum,
mengangkut air ke kamar mandi di rumahku, sekedar hanya
cukup untuk cuci muka dan memasak. lagi pula, aku kasihan
melihat Amalia. Karena tak ingin melihatku kecapaian. ia lebih
suka mandi dan mencuci di tempat umum, padahal waktu kami di
kota...”
“lni kampung Bukan kota.”
“Tetapi...”
“Nak,” lurah menatapnya dengan tajam. “Tahukah kau, bahwa
banyak kematian yang terjadi di sekitar tempat tinggalmu?”
Supandi menarik nafas panjang. Ia tegak termangu-mangu di
depan dapur. Sendirian. Amalia telah pergi mencuci. Kecemasan
isterinya memang masuk akal, karena sesuai pula dengan
peringatan pak lurah. Seorang saudaranya, satu-satunya saudara
Supandi, meninggal ketika masih bayi di rumah ini. Ibunya
kemudian menyusul setahun kemudian. Dan beberapa bulan yang
lalu, ayahnya sakit keras dan memanggilnya pulang, Orang tua itu
kemudian mati dengan rasa puas setelah bertemu anak dengan
menantunya. la mati dengan meninggalkan sebuah rumah untuk
ditempati, dan beberapa petak sawah untuk digarap. Dua hal yang
sangat dibutuhkan oleh Supandi dan isterinya, setelah mereka
disingkirkan suara kejam di kota tempat tinggal mereka.
“Tetapi kematian-kematian itu wajar adanya.” rungut Supandi
sendirian, seraya berjalan di pekarangan belakang rumahnya,
menuju sumur yang sudah hampir selesai digali. “Adikku karena
demam malaria. lbu karena menderita ditinggal mati sibungsu
kesayangannya. Dan ayah, karena sudah tua...!”
la kini berdiri di gundukkan tanah yang seperti bukit kecil, hasil
galian selama hampir satu minggu. Tetapi kini ia sendirian. Mula-
mula mereka berempat ketika sumur itu mulai digali. Pak Atma
tiba-tiba jatuh sakit, lalu tidak sanggup meneruskan pekerjaan.
Suryadi, mendadak lumpuh kedua kakinya ketika sedang berada
di dalam lubang galian. Suryadi buru-buru dikeluarkan. Tetapi
12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kemudian ternyata, bukan saja kakinya yang lumpuh. Melainkan
juga jantungnya. la meninggal setelah berada di rumah orang
tuanya.
Pak Jayusman yang di samping ikut menggali juga merangkap
sebagai tukang baca doa untuk kelancaran penggalian itu.
berkata: “Pekerjaan ini harus dihentikan.”
Dan Supandi tidak bisa menahan orang tua yang baik hati itu.
Selama tiga hari ia sendiri dicengkeram kebingungan. Bukan
karena ia tidak percaya pada tahayul atau tempat-tempat yang
dianggap keramat, karena buktinya toh orang-orang masih berani
tinggal di atas tanah yang ditakuti itu. Melainkan karena.
perjuangan bathinnya. Antara keinginan meringankan pekerjaan
mengangkuti air dari tempat mandi umum ke dalam bak kamar
mandi, meringankan tugas sehari-hari Amalia. Dengan keinginan
untuk menghormati perasaaan orang-orang kampung. Tetapi
kasihan Amalia. Sudah terbiasa buka kraan, lalu cuuuuur- datang
air seberapa banyak ia kehendaki.
Kini, terpaksa harus antri di tempat cuci. dan menahan malu
mandi bersama orang-orang lain yang belum lama dikenalnya.
Belum lagi menghindari mata-mata yang usil, mengintip dari sela
rimbunan bambu....
Lalu tanah galian, mulai lembab dan basah.
Pertanda air akan keluar.
Tidak! la tidak boleh bekerja setengah-setengah. Orang yang sehat
suatu saat toh akan sakit, seperti halnya orang yang hidup suatu
ketika toh akan mati. Apa yang dialami pak Atma dan Suryadi
adalah kehendak alam. Dan Supandi tidak mungkin menahan
kehendak hati pak Jayusman. Tetapi ia masih muda. kuat dan
tidak ingin berputus-asa. Apalagi hanya tinggal sejengkal tanah
lagi...
Supandi kemudian menurunkan tangga. Ember plastik besar ia
jatuhkan ke bawah, berikut sekop dan pacul. Lalu ia mulai

13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menuruni anak-anak tangga. Perlahan-lahan, matahari yang
hangat mulai pergi dari tubuhnya. Cahaya pagi yang terang
bcrderang, enggan pula untuk ikut turun ke lubang yang begitu
dalam. Lima meter lebih. Dan harus ditutup kembali. Setelah
sekian kubik dan batu-batu kecil berhasil mereka keluarkan. Hem.
alangkah terlalunya saran yang bodoh itu!
Udara terasa lembab dan dingin di dalam lubang. Tetapi tidak
mempengaruhi semangat Supandi. la berharap hari ini air mulai
keluar. Biarkan dulu menggenang, kemudian taburkan pasir
beberapa ember. Lalu dua atau tiga hari lagi sesudahnya Amalia
akan bisa menimba air di sumur sendiri, dan selamat tinggal
tempat pemandian umum yang jorok dan berbau kotoran dari
selokannya yang sering mampet itu!
Supandi mengisi ember plastik dengan sebanyak-banyaknya
tanah, lalu mulai menaiki anak tangga demi anak tangga. Tiba di
atas. ia curahkan tanah itu di bagian yang belum membukit. Lalu
turun lagi. menggali, menyekop, naik, curahkan tanah dari ember
turun. naik turun lagi lalu naik pula untuk ke sekian kalinya...,
Entah untuk yang keberapa kali ia telah naik. Supandi tidak ingat
dan memang tidak pernah menghitungnya. Yang jelas, hampir
seluruh urat-urat di tubuhnya bersembulan keluar. Rambut,
wajah dan punggungnya yang telanjang kotor oleh tanah dan licin
Oleh peluh. Ketika itu dia telah mengisi ember plastik dengan
tanah sampai penuh, dan ia sudah siap memanjat tangga untuk
naik keatas.
Pada saat itulah. ia melihat ada bayangan yang menerobos masuk
ke dalam lubang. Seketika itu juga ia menengadah. Tiba-tiba.
jantungnya menjadi ciut karena terkejut. Seraut wajah samar-
samar tampak muncul di atas. Di bibir sumur. la pertajam
matanya dengan menyeka butir-butir tanah yang menghalang.
Pandangan itu kian jelas, dan tampaklah wajah seorang
perempuan tua yang sudah keriput dengan leher yang bagaikan
cagak kecil terpancang pada pundaknya yang kurus kering.
sedang memperhatikan dirinya didalam lubang.

14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jarak ke atas lebih dari lima meter. Tetapi ia bisa menangkap
sinar mata perempuan itu dengan jelas. Sinar mata yang aneh,
dan sesungging senyum yang tidak menarik pada bibirnya yang
tipis, sesekali tertutup oleh rambut yang sudah memutih, tertiup
angin.
“Nenek Ijah!” bisik Supandi tersendat. Mau apa perempuan tua
renta dan berpikiran tidak waras itu di sana? Perempuan itu
terkekeh-kekeh. dengan kilat mata yang menakutkan. Supandi
mulai dihinggapi rasa khawatir. Jangan-jangan inilah bukti mimpi
buruknya, kaki dan tangan kurus kering namun cukup kuat untuk
menggaruk-garuk serta mendorong dorong tumpukan tanah di
atas, menderu jatuh ke bawah, tak ubahnya bukit yang longsor
karena hujan. Dan Supandi tertanam hidup-hidup dalam sumur,
liang lahat yang ia gali untuk dirinya sendiri.
“Nek Ijah!” teriaknya dengan panic, “Menyingkirlah dari situ!”
Bukannya menyingkir, perempuan tua renta yang konon sudah
berumur lebih dai satu abad tetapi secara ajaib masih mampu
luntang- lantung itu, malah kian menjulurkan leher ke depan.
Tampaknya bukan tanah melainkan tubuhnya yang kurus kering
itulah yang bakal jatuh menimpa Supandi. Maka, tanpa ia pikir
panjang lagi, Supandi kembali berteriak :
“Awas, nek!”
Seraya berteriak, ember plastik berisi tanah ia lemparkan, lantas
buru-buru menaiki anak tangga. Demikian buru-burunya,
sehingga pada anak tangga kelima kakinya terpeleset pada kayu
yang licin. Pegangannya terlepas, dan ia meluncur jatuh kembali
ke bawah dengan suara berdebuk yang keras begitu tiba di
permukaan tanah yang lembab dan becek.
Dari atas terdengar suara mengekeh yang semakin keras, tetapi
sumbang dan aneh.
***

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI terjatuh dengan pantat terlebih dahulu tiba di tanah. la
terhenyak merasa seolah-olah tulang punggungnya terlonjak ke
atas sehingga kepalanya terasa pusing dan pandangannya
berkunang- kunang. Dalam keadaan setengah sadar, ia masih
teringat akan bahaya yang sewaktu-waktu menimpanya. Oleh
karena itu ia tergesa-gesa berdiri kembali, seraya menepis-nepis.
pantat celananya yang lengket dan basah oleh lumpur. lamat-
lamat telinganya menangkap suara lain.
Suara seseorang berseru. Dengan cepat ia menengadah keatas.
Wajah nenek Ijah yang mengerikan itu telah lenyap. Hanya sayup-
Sayup sampai masih terdengar suara mengekehnya, yang kian
menjauh. Terengah-engah Supandi menyandarkan punggungnya
ke dinding lubang, menarik napas panjang berulang-ulang. Kepala
digoyang-goyangkan untuk melenyapkan perasaan pusing.
“Kau tak apa-apa, kang Pandi?” tanya suara dari atas.
la segera mengenal suara Amalia. seraya tertengadah, ia
tersenyum. “Hanya sedikit pusing,” katanya.
“Naiklah. Kau akan kubantu.” Amalia menjejakan kaki di anak
tangga yang paling atas.
“Diam di situ. Aku bisa naik sendiri.”
Setelah sampai di atas Supandi duduk terhenyak di samping
isterinya yang berwajah pucat dan panic, “Hampir saja...”
gumamnya, lirih.
“Aduh, kang Pandi,” ujar isterinya setengah berseru karena lihat
nenek pikun itu lewat.
“Kusapa dia, tetapi ia tidak melihatku sama sekali ia terus
berjalan dan aku tidak memperdulikannya, sampai... sampai
kudengar teriakanmu. Wah! jantungku bagai copot rasanya,
waktu kulihat nenek Ijah berjongkok di pinggir sumur...!”
la kemudian menoleh, diikuti oleh Supandi. Di kejauhan tampak
nenek-nenek tua renta itu berjalan terbungkuk-bungkuk dengan
menyeret-nyeret sebelah kakinya yang pincang. Beberapa orang
16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
anak kecil meneriaki, mentertawai bahkan ada yang
melemparinya dengan batu. Entah kena entah tidak, tak seorang
pun yang tahu. Kebetulan seorang perempuan setengah baya
melihat perbuatan anak- anak yang nakal itu, lantas mengusir
mereka Jauh-Jauh. Tetapi perempuan itu tidak pula berusaha
menolong bahkan memperhatikan si nenek tua yang pikun,
melainkan buru-buru masuk ke dalam rumah setelah
menutupkan pintu cepat-cepat, seperti orang ketakutan.
“Ia belum tentu bermaksud mencelakakan kau, kang Pandi. Tetapi
aku demikian takut tadi.”
“Orang sekampung juga takut dan menyingkir bila melihat dia.
Apalagi berjongkok di pinggir lubang. seraya tertawa, terkekeh-
kekeh. Bagaimana aku tidak berteriak.”
Amalia tersenyum mendengar ucapan suaminya. Pandangan
matanya tidak lepas dari nenek Ijah yang terus berjalan di antara
rumah-rumah penduduk tanpa seorangpun yang berani
mendekati maupun menegurnya.
“Perempuan malang. Sebetulnya, di manakah tinggalnya, kang?”
“Di lereng gunung.” jawab Supandi. sambil menggerakkan dagu
kiri-kekanan bermandi sinar matahari yang panas memanggang
bumi. “la tidak punya sanak dan saudara kalau tak salah.”
“Lantas, siapa yang menghidupinya?”
“Tuhan, tentu,” Supandi tersenyum, nakal. Kemudian
melanjutkan, “.... tentu saja, seorang dua penduduk yang
pemberani berbelas kasih dan dermawan mengirimkan makanan
secara rutin untuknya. Aku sendiri ketika masih kecil pernah
menemani ayah mengirimkan sekantong beras dan beberapa
kerat ikan asin untuk nenek Ijah. Ayah bilang. nenek Ijah itu
sebenarnya baik. Hanya karena hidup menyendiri, orang takut
padanya. Apa lagi konon. karena leluhurnya dulu ada yang
dikenal sebagai tukang tenung... Tetapi ah, pekerjaanku sudah
terbengkalai. Mengapa tidak kau siapkan segera makan siang?”

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Iya, ya !” isterinya tersadar. “Lagi aku harus segera pergi
mengajar.” Seraya berkata begitu, ia bangkit berdiri dan berjalan
kembali menuju rumah. Supandi memperhatikan gerak-gerik
isterinya, yang berjalan lemah gemulai pinggulnya bergoyang
lembut ke kiri ke kanan. Pinggangnya ramping. Sepasang betisnya
yang putih indah, tampak berkilat-kilat dalam jilatan Cahaya
matahari. Kalau saja Amalia berbalik, akan tampak perutnya yang
rata, di atasnya sedikit menggelantung sepasang payudaranya
yang tidak begitu besar akan tetapi lembut dan menarik. Dan
wajahnya, sinar mata serta tarikan bibirnya kalau mengajak...
Ingin rasanya Supandi berlari mengejar untuk memeluk,
mencium dan mengajak isterinya masuk ke kamar. Tetapi di siang
hari begini... mana tubuhnya sendiri sangat kotor, dan pekerjaan
yang belum selesai...
“Nanti malam saja deh. Biar sip,” gumamnya sendirian, seraya
menyeringai. Senang. Bunyi pacul terhunjam ke dalam tanah
setelah ia turun kembali, terdengar bagaikan musik seronok
mengiringi lamunannya. Untunglah tanah yang ia gali lembut dan
basah. Malah air sudah merembes ke luar dari beberapa tempat.
Memang masih merupakan tetes-tetesan kecil, tak ubahnya air
mata seorang perawan yang merasa cemas dengan malam
pertamanya di atas tempat tidur.
Tetapi kalau ia menggali sedikit lebih dalam, ia berharap sore
nanti rembesan air itu sudah membesar. dan besuk pagi ia sudah
bisa menimba hasil kerjanya sendiri. Dan pak lurah pasti akan
terheran-heran...
Crcceep!
Paculnya agak tersekat, menyentuh benda aneh. Waktu ia angkat
tanah, dan menjatuhkannya ke dalam ember, samar-samar dalam
jilatan matahari siang yang menerobos sebagian masuk ke dalam
lubang ia melihat benang-benang hitam yang kotor, banyak sekali
terpotong-potong Benang? la membungkuk, dan menyentuh
benda-benda tipis itu. Karena belum puas. ia mencabutnya

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sejumput, lantas menaikkannya ke arah cahaya matahari, tepat di
depan biji mata.
“Rambut?” serunya, tertahan.
la tertegun sebentar.
Bagaimana sampai ada rambut manusia di lubang sedalam ini.
Tanah di atasnya, keras dan berbatu-batu. Rambut itu tentu sudah
berumur puluhan bahkan siapa tahu, ratusan tahun. Ah yang
benar. Aku tidak pernah bercita-cita jadi seorang ahli purbakala,
dan tidak pernah menaruh minat pada penemuan fosil-fosil
leluhur manusia yang pertama-tama mendiami bumi. lagi pula,
mana ada rambut berumur ratusan tahun? Tentu tempat ini dulu
sebuah tempat rata, atau mungkin juga sebuah lubang pembuang
sampah. termasuk rambut orang yang dicukur. pikir Supandi.
Tetapi ketika ia perhatikan, ke tanah bekas paculnya tadi
terhunjam. dari mana tanah terangkat sebagian, ia menjadi
terpana. Rambut itu terlihat lebih banyak di sana. Warnanya
hitam pekat. seolah-olah tanah tempatnya tertanam tidak mampu
mengotori apalagi memusnahkannya. Semacam perasaan aneh
tiba-tiba menyerang dirinya. la tidak tahu, perasaan bagaimana.
Namun dapat ia rasakan, betapa nalurinya berteriak dengan keras
untuk memperingati dan memerintahkannya segera naik ke atas
lantas menutupi sumur itu kembali rapat-rapat sebagaimana
keadaannya semula sebelum digali. Namun, kakinya terpacak
begitu saja di tanah, tanpa dapat ia gerakkan sama sekali. Dan
tangannya gemetar!
Tangannya bergerak. Bukan untuk mencapai tangga. Melainkan
untuk menyentuh rambut di dekat kakinya, seolah-olah ada
tarikan magnit yang luar biasa datang dari tempat tersembunyi di
balik rambut itu. Jari jemarinya menyentuh tempat dingin. tetapi
keras. Tidak sampai di situ saja.
Kekuatan ghaib itu dengan dahsyat telah menggerakkan jari
jemarinya lebih jauh. la kini, tanpa dikehendaki oleh hati kecilnya,
tanpa bisa mengendalikan diri. telah mulai menggali tanah di
sekitar rambut itu dengan jari jemarinya. Bukan dengan pacul,
19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
karena kekuatan gaib itu seolah-olah melarangnya
mempergunakan pacul.
Amalia baru saja meletakkan baskom sayur di atas meja makan,
ketika ia dengar suara gerakan kaki terseret-seret di belakangnya.
lngatannya pada si nenek Ijah menyebabkan wajahnya berubah
pucat dengan ketakutan ia membalikan tubuh.
Lega. “Kukira siapa...!” la meneruskan pekerjaannya, seraya
memerintah: “Cepatlah bersihkan tubuhmu, selagi nasi masih
terkebul.”
Tetapi suaminya tidak bergerak-gerak dari tempatnya berdiri.
Waktu Amalia menoleh, kemudian memutar tubuh untuk dapat
memperhatikan suaminya lebih jelas, laki-laki itu memandangnya
dengan sinar matanya yang letih, berat seperti mengantuk.
Tegaknya tidak lurus, dengan kedua pundak turun, seolah-olah
beban berat tengah ia tanggungkan.
Amalia tersenyum.
“Kau tentu sangat letih, kan. Mari, kubantu kau mandi.”
Lalu, la memegang tangan suaminya yang kotor. Di luar
dugaannya, ia menyentuh tangan yang dingin. Bukan hangat
seperti halnya seorang yang telah menggerakkan tenaga untuk
bekerja di siang bolong.
“Ada apa dengan kau, kang?” tanyanya, heran.
“Aku... aku menemukan...” sahut suaminya, gemetar dan parau.
“Air? Aku tahu, karena kulihat tangan dan kakimu penuh lumpur
yang basah. Dan, aduh...! Lihat, kau juga telah mengotori lantai
Ayo mari kubersihkan badanmu.”
Lantas ia membimbing suaminya ke belakang, dan tiba di kamar
mandi langsung ia seblok sekujur tubuh Supandi dengan seember
besar air. Lumpur segera mengucur jatuh, dari ujung rambut,
wajah, leher menelusuri terus ke bawah, sampai lantai kamar
mandi berubah warna jadi coklat kehitam-hitaman. Ketika ia siap

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
untuk menyiramkan isi ember yang kedua, ketika Amalia
tertegun. Ia memandangi sepasang mata suaminya yang aneh.
Mata itu tidak berkedip waktu ia siramkan air di kepalanya.
Bahkan juga tetap terbuka ketika air lumpur mulai
menggenanginya.
“Kang Pandi, kau....”
Dengan cemas, ia ambil segayung air. Lalu menyiuk isinya dengan
tangan yang langsung dibasuhkan ke sepasang mata suaminya
sampai bersih. Barulah ia bisa melihat warna mata suaminya.
Mata yang tetap terbuka nyalang, tetapi tanpa sinar sama sekali.
Mata yang kosong. mata yang hampa. Mata yang berputus asa.
Amalia menarik nafas. Pikirannya segera bekerja dengan cepat. la
tersenyum, lalu berkata dengan suara menghibur: “Hem. jadi,
yang kau temukan adalah lubang yang hanya berisi beberapa
tetes air. Sudahlah, kang. Aku juga pernah hilang, tidak usah
diteruskan usaha yang sia-sia itu Aku toh masih punya kaki untuk
berjalan ke tempat pemandian umum dan kini aku sudah mulai
mengenal tetangga-tetanggaku lebih baik. Aku tidak akan malu-
malu lagi kepada mereka....”
la kemudian melepaskan kaus oblong suaminya yang masih kotor,
lalu tangannya turun melepaskan kancing-kancing celana. Seraya
merundukkan wajah sedikit, ia berbisik, “Lihat, aku tidak akan
malu biarpun untuk....”
Dan begitu celana suaminya terlepas jatuh, Amalia terpengaruh
oleh rangsangan birahi. la dengan segera telah memeluk
suaminya lantas menciumi wajah dan bibir Supandi sepuas-puas
hati. Tetapi Supandi tidak membalasnya sama sekali, meskipun
sebelah tangannya sempat terangkat untuk memeluk pinggang
Amalia. Perempuan itu menjadi kecewa, namun segera menyadari
kekeliruannya.
“Ah, maafkan aku, mas. Kamar mandi ini memang sangat kotor
untuk...” ia tertawa, lembut, meneruskan dengan manja. “Salahmu
sih, lumpur dibawa-bawa masuk ke rumah.”

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Setelah itu disiramkan air, tidak saja untuk suaminya, tetapi juga
untuknya sendiri. Karena ketika memeluk Supandi pakaian yang
ia kenakanpun telah dikotori sisa-sisa lumpur. Selesai mandi, ia
berikan sehelai handuk untuk Supandi, sementara handuk yang
lain ia belitkan ke tubuhnya.
“Makan siang sudah menanti,” katanya, lalu ia menarik suaminya
masuk ke dalam rumah, terus ke kamar untuk memakai pakaian
ganti. Tetapi kamar tidur tidak sesempit dan sekotor kamar
mandi. Terlebih-lebih lagi, di tengah-tengah ada ranjang yang
lebar, berkasur empuk. dengan sprei yang bersih berwarna merah
muda, yang akan marah kalau dilewatkan begitu saja. Rangsangan
yang muncul tiba-tiba selagi di kamar mandi, menyelusup lagi ke
dalam diri Amalia. Pandangan mata suaminya tidak kosong
seperti tadi, tetapi sudah mulai bersinar-sinar. Dan sinar itu,
tampak sedikit jalang.
Lupa untuk berpakaian mereka justru naik ke tempat tidur.
***

SATU jam kemudian Amalia melirik jam tangan di lengan kirinya


lantas berseru kaget, “Wah, aku sudah terlambat sekolah.”
Ia segera membelitkan handuk kembali ke tubuhnya, kemudian
bergegas turun dan berlari ke kamar mandi. Ketika ia kembali,
Supandi masih tergolek di tempat tidur tertutup selimut sampai
ke dada. Sepasang matanya terpejam, dan dadanya bergerak
teratur. Ketika Amalia mendekat, suaminya tidak bergerak sama
sekali. Hanya dengan nafasnya yang terdengar, lembut dan
tenang, Amalia mengecup pipi Supandi dengan mesra, lalu
berpakaian dan berdandan serapih mungkin.
Setelah selesai, ia berbisik di telinga Supandi. “Kau memang
pantas untuk tidur nyenyak, sayangku. Aku pergi dulu ya?
Makanlah duluan kalau kau bangun sebelum aku pulang.”

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa memperdulikan apakah suaminya yang sedang tidur
mendengar ucapannya atau tidak, ia kemudian mengambil tasnya.
mengenakan kaca mata minus satu, lalu ke luar dari rumah. Suara
pintu ditutupkan Amalia seketika, membuka sepasang mata
Supandi. Lebar dan nyalang. Tetapi betapa lebarpun matanya
terbuka, tidak kelihatan sinar sama sekali. la memandangi langit-
langit kamar, perabotan sampai ke setiap sudut, dengan mata
hampa. la hampir tidak ingat sama sekali bagaimana ia sampai
naik dan terbaring di atas tempat tidur. Setahunya ialah, begitu
keluar dari dalam lubang sumur matanya tidak segera mengenali
tempat dimana ia berada.
Namun naluri kemanusiannya bekerja lebih kuat dari urat-urat
nadanya. Naluri itu menuntunnya masuk ke rumah, bertemu
Amalia yang menyapa dan menghiburnya begitu lembut dan
mesra, sekaligus mengingatkan dirinya bahwa ia berada di dalam
rumahnya sendiri. Lalu. mengapa matanya memandangi Amalia
sedemikian rupa? Sampai teramat sakit, teramat perih. karena
hampir tidak pernah berkedip. Meski sudah diguyur air, bahkan
digenangi lumpur. Mengapa ia memandangi Amalia dengan
sangat birahi, dan menyerah begitu saja ketika diseret Amalia ke
tempat tidur, meskipun nalurinya melakukan penolakan? la ingat,
betapa ganasnya ia beberapa saat berselang menggeluti isterinya,
sehingga Amalia sendiri tampak terheran-heran. Kemudian,
bersama perginya Amalia. Lenyap pulalah birahi yang bersarang
dalam dirinya.
Ia mencoba duduk. Sekujur tubuhnya terasa letih dan berat untuk
digerakkan. la rentangkan tangan serta kaki untuk melenturkan
otot-otot tubuhnya yang kejang. Dengan menarik nafas berulang-
ulang ia berhasil membuang gelembung-gelembung udara yang
kotor nyesak dari dalam paru-parunya. Setelah itu baru ia turun
dari tempat tidur berjalan ke jendela memandang ke luar.
Di halaman samping, beberapa jenis tanaman bunga isterinya
tumbuh tanpa keinginan untuk hidup lebih lama. Beberapa
tangkai malah kering, dengan dedaunan yang hijau kekuning-
kuningan bertaburan kian kemari. Sekelompok bunga ros

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bersinar layu. merah kusam dalam panggangan matahari. Seratus
meter dl seberang taman yang gagal itu berdiri sebuah rumah tua.
Pintu belakang terbuka. Seorang laki-laki berumur kira-kira
setengah abad, berjalan ke sebuah kandang dan kemudian
menghilang di antara pepohonan karet dengan dua ekor kambing
mengekor di belakangnya.
la coba mengingat-ingat. Dan berhasil. Orang tua itu adalah pak
Jayusman yang pernah menasehatinya agar penggalian sumur
dihentikan. Alangkah menyenangkan kalau nasihat orang tua
yang baik hati itu ia turuti. Dan juga menyenangkan, bahwa
dengan mengenali siapa orang tua itu berarti Supandi telah dapat
mengenali dirinya sendiri. la berbalik. dan matanya mulai
bersinar memandang setiap sudut kamar yang sudah tidak asing
lagi baginya.
Dari lemari, ia memilih pakaian yang terbaik untuk dikenakan.
Merapih-rapihkan diri di depan kaca sambil bergumam, “Aku
masih tetap aku yang kukenal selama ini!”
Di ruang tengah. ia melihat makan siang sudah lama terhidang
tanpa disentuh. Baskom nasi penuh. Ada goreng tahu, sayur
terong, dadar telur dan beberapa potong daging gepuk. Ketika ia
menyuruh Amalia menyediakan makan siang, sungguh Supandi
merasa sangat lapar. Tetapi kini, tidak sedikitpun seleranya
terbangkit melihat makanan yang terhidang itu.
la hanya meneguk teh setengah gelas. Ketika itulah pandangan
matanya beradu dengan jejak-jejak kaki berlumpur di permukaan
lantai. Arah datangnya dari belakang rumah, menimbulkan
genangan-genangan memanjang yang kini sudah mulai
mengering. Hem, betapa berat waktu itu kakinya melangkah.
Apakah ia berjalan dengan menyeret-nyeret kaki membawa
beban di kepalanya yang sangat mengerikan?? Amalia menduga ia
kecewa. karena sumur ternyata kering kerontang la ingat bahwa
ia berkata pada Amalia ia menemukan sesuatu. la belum sempat
memberitahukan apa yang ia ketemukan. Amalia sudah
memotong.

24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Air?”
Dan karena sesuatu yang janggal dalam sikap Supandi, Amalia
juga kemudian menyimpulkan.
“Jadi yang kau temukan adalah lubang yang hanya berisi
beberapa tetes air...”
Apa kata Amalia selanjutnya?
“Aku juga sudah bilang, jangan teruskan usaha yang sia-sia itu.”
Andai saja ia menuruti perkataan Amalia jauh sebelum hari itu. di
mana ia menemukan sesuatu dalam sumur. Apakata Amalia kalau
ia terangkan apa sebenarnya yang telah ia temukan? Amalia tentu
tidak akan percaya. Amalia akan mentertawakannya. Tetapi kalau
Amalia percaya?
Atau, karena tidak percaya lantas pergi ke sumur untuk
membuktikan kebenaran perkataan suaminya? Amalia pasti jatuh
pingsan. Shock. Amalia akan terguncang jiwanya. Amalia akan
terganggu syarafnya. Padahal, Amalia telah berkorban banyak
ketika Supandi menikahinya, kemudian ketika Supandi tidak bisa
lagi memberi jatah bulanan demi berasapnya terus dapur mereka
karena Supandi dipecat dari kantor. Amalia juga terpaksa
mengorbankan hidup tenang dan damai di kota dengan hidup
menderita di kampung Supandi yang terpencil.
Tidak. Amalia tidak boleh menderita lebih banyak. Amalia tidak
boleh tahu apa yang ditemukan Supandi di dalam sumur. Ia keluar
dan tertegun setelah berada di belakang rumah. Tidak sampai
sepuluh meter dari tempatnya berdiri, tampak bukit tanah galian
berwarna coklat kemerah-merahan. Bercampur gundukan batu
kehitaman-hitaman. Di balik tabir bukit mini itu terletak lubang
sumur yang telah digali menetapi dalam hampir enam meter Pak
Jayusman yang tak pernah lupa berdoa itu, selamat.
Tetapi pak Atmo jatuh sakit, demikian parah sehingga mantera
obat di kampung tak berdaya menghadapinya. Pak Atmo baru
sembuh setelah diberi minum air yang dimanterai oleh seorang

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dukun. Dan Suryadi? Anak muda yang selanjutnya! itu, lumpuh
kaki dan jantungnya, kemudian mati. Kini, hanya tinggal dirinya
seorang. Orang ke empat yang ikut menggali sumur, orang
terakhir yang masih terus mengerjakan penggalian itu dan orang
yang paling berkepentingan terhadapnya. Supandi. seperti pak
Atmo dan pak Jayusman. masih hidup. tetapi kalau disuruh
memilih. Supandi lebih suka bertukar tempat dengan Suryadi!
“Dan Amalia menambah jumlah persediaan janda,” gumam
Supandi sendirian. Kecut, dan pahit. “Lagi pula Suryadi telah
mati...! Lalu. apakah tidak ada sesuatu yang lain dapat ia
lakukan?”
la berpikir keras. Sambil berpikir. ia mendekatkan diri ke sumur.
Mula-mula kakinya berjalan dengan cepat dan tegap. Tetapi
semakin dekat ke sumur, semakin berat kakinya melangkah. Tiba
di bukit tanah ia tinggal menggerakkan kaki dan tangan sedikit
saja. Gundukan tanah itu akan longsor ke bawah, dan tumpukan
batu itu akan memadatkan seperti semula. Namun uap dingin
yang terlempar ke luar dari dalam lubang uap yang dengan
dahsyat berhasil menaklukkan cahaya matahari yang panas
memanggang telah membekukan persendian tubuh. bahkan jalan
darahnya. la berusaha sekuat tenaga melawan pengaruh ganjil itu.
Otot-otot tubuhnya sampai bersembulan ke luar. dan keringat
merembes dari seluruh pori-pori kulit, mengeluarkan butir-butir
peluh yang besar-besar. Dalam perjuangan bathin yang luar biasa.
dari mulutnya terlontar teriakan lantang:
“Tidaaaak ...!”
Dan teriakan itu mengendurkan otot-ototnya yang kejang.
melancarkan peredaran darahnya yang membeku, mengisi paru-
parunya yang kosong, melapangkan jantungnya yang menyempit.
Seperti orang kesurupan. ia memutar tubuh. berlari masuk ke
dalam rumah terjun kembali ke atas tempat tidur, dan kemudian
menyelimuti tubuhnya rapat-rapat dengan sepasang mata yang
terpejam lebih rapat lagi. Namun pada akhirnya. perjuangan
bathin yang amat sangat beratnya itu mau tidak mau

26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
merembeskan butir-butir air bening dari sela-sela kelopak
matanya yang mengatup.
***

DENTANG lonceng di halaman sekolah memberitahukan bahwa


pelajaran untuk sore itu telah berakhir. Amalia memandang ke
seluruh kelas, kemudian bertanya dengan suara lantang: “Sudah
selesai semua?”
Koor segera berkumandang dalam kelas. “Sudaaaaah buuuuuu ....
..!”
“Nah. Besok semua harus sudah memperlihatkan pe-er itu kepada
ibu. Sekarang kamu boleh pulang...”
Sorak-sorai anak-anak muridnya membuat kelas jadi ramai.
Semua serabutan menuju pintu. saling dahulu mendahului.
Seorang anak perempuan terpekik karena ada yang menginjak
kakinya. Untung yang menginjak bertelanjang kaki. sedangkan
kaki yang terinjak kebetulan memakai sandal jepit. Tapi tak urung
kedua anak ingusan itu bertengkar, sehingga Amalia terpaksa
memelototkan mata. Anak-anak itu berhenti bertengkar.
kemudian merunduk ketakutan.
“Ayo kau, Andi. Minta maaf pada Suci”
Andi mengulurkan tangannya. Mulutnya bergumam
mengucapkan maaf yang tidak terdengar jelas. Suci menerima
uluran tangan itu, lantas keduanya tertawa-tawa, berlari keluar
seraya terus berjabatan tangan. Amalia hanya geleng-geleng
kepala. la bereskan buku-bukunya lalu memasukkan ke dalam tas.
Hari masih pukul empat sore. Tadinya ia bermaksud menjenguk
salah seorang muridnya yang tidak hadir karena sakit keras.
Tetapi begitu keluar dari kelas, ia disambut oleh warna langit
yang pekat. Padahal satu jam yang lalu. matahari masih nyalang
menantang. Perubahan cuaca di kampung memang agak asing
baginya. Terpaksa ia membatalkan niat untuk menjenguk
27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
muridnya yang sakit dan terus saja berjalan menempuh arah
menuju rumahnya. la tidak ingin berhujanan, dan lebih-lebih lagi
tidak ingin membiarkan Supandi sendirian di rumah. Entah
mengapa perasaan Amalia tidak enak saja ketika ia tinggalkan
rumah. lelah-lebih kalau mengingat sikap suaminya yang agak
ganjil begitu masuk rumah setelah menghentikan pekerjaannya
menggali sumur.
Tidak pemah dilihat Amalia suaminya berputus asa serupa hari
itu. Di tengah jalan seorang menyapanya, “Pulang ngajar, bu Lia
?!”
Amalia menoleh, dan mengenali orang itu. “Oh. Pak Wasdri. Dari
sawah?” ia balas bertanya.
“Iya, bu. Padi sudah menua. Besok merupakan hari yang sibuk.
Tolong beritahu pak Pandi. besok padi mulai diketam.”
“He-kang..” ia mau meneruskan perjalanannya, tetapi segera
teringat sesuatu dan berbalik lagi menghadap penggarap sawah
mereka itu. "Berapa orang besok yang bekerja?”
“Mungkin lima. Paling banyak delapan.”
Jadi besok Amalia harus menyediakan makan siang untuk sebelas
orang. Maksimum delapan pekerja, suami isteri pak Wasdri dan
suaminya sendiri- pikir Amalia sambil berjalan pulang. Tambahan
dirinya menjadi dua belas. Bukan jumlah yang banyak akan tetapi
karena ia tidak punya pembantu di rumah. Maka apa yang
barusan diucapkan pak Wasdri memang benar: besok merupakan
hari yang sibuk. Mudah-mudahan saja kesibukan itu akan
membantu suaminya menghilangkan pikiran gundah akibat
harapannya yang kandas di dalam sumur.
la menemukan suaminya masih berbaring di tempat tidur. Ketika
ia masuk ke dalam rumah. Agak kecewa sedikit perasaan Amalia
karena melihat Supandi masih sempat berpakaian rapih akan
tetapi tidak sempat mengepel lantai yang kotor. Namun ia sadar
betapa letih suaminya beberapa hari belakangan ini. Oleh karena
itu. setelah berganti pakaian. menyimpan kacamata, ia kemudian

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengepel lantai. Habis itu menghangatkan makan siang yang
rupanya belum disentuh Supandi.
Amalia baru saja selesai mandi ketika ia temukan suaminya sudah
duduk menghadapi meja makan.
“Aku lapar...” gumam Supandi. dengan suara berat dan lirih.
Amalia cepat-cepat berpakaian, kemudian menghidangkan makan
siang yang tertunda itu di atas meja. Benar saja. Suaminya makan
dengan lahap sekali. Amalia senang melihatnya. Tetapi juga
merasa sedikit gundah, karena selama makan, suaminya lebih
banyak diam. Beberapa kali mereka bertemu pandang. tetapi
suaminya selalu berusaha mengelak. Namun jelas Amalia dapat
melihat bahwa mata suaminya kemerah-merahan.
Jadi ia tak tidur selama ditinggalkan Amalia!
“Kang?”
“Ngng..” sahut Supandi, tanpa memandang isterinya. Tetapi ah,
buat apa Amalia menyinggung soal sumur itu lagi? toh akan
menambah sakit hati suaminya saja. lebih baik ia mencari
pembicaraan lain untuk memecahkan kesepian yang tidak
mengenakkan hati itu. Apa misalnya? Oh ya. ia ingat sekarang!
“Pak Wasdri bilang besok padi akan diketam.”
“Hem!”
“Akang akan ikut mengawasi pekerjaan mereka bukan? Ikut
mengontrol pembagian hasil?” la berharap suaminya menaruh
minat.
Tetapi Supandi hanya menjawab: “Percayakan saja tugas itu pada
pak Wasdri.” lalu kembali masuk ke kamar tidur. “Aku kira aku
tidak enak badan.”
“Kupijitkan ya?”
“Engga usah.”

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia agak tersinggung ditinggalkan begitu saja. Tetapi
semenjak suaminya dipecat dari kantor, Supandi telah berubah
dari seorang suami yang lemah lembut menjadi seorang laki-laki
yang emosional. Dapat saja Amalia memperlihatkan sikap yang
sama. Tetapi mana pernah sebuah pertengkaran membawa hasil
yang menyenangkan, biarpun salah seorang keluar sebagai
pemenang. Karena itu, harus ada yang kalah. Dan Amalia masih
tetap berpegang erat pada prinsip bahwa suami adalah kepala
rumah tangga dan seorang isteri adalah ekornya. Memang bukan
kedudukan yang enak. Tetapi selama sang kepala belum
menginjak sang ekor apa boleh buat. Biarlah ia mengalah demi
tetap langgengnya hubungan kepala dengan 'ekor itu demi rumah
tangga mereka.
Dengan Sabar, ia membereskan meja makan. Biasanya Supandi
ikut membantu. Kadang-kadang ikut cuci piring. Tetapi suaminya
tidak keluar-keluar lagi dari kamar. Barangkali suaminya benar-
benar sakit. Tetapi sikapnya yang keterlaluan itu patut dibalas,
biarkan kesakitan itu ia tangung sendiri. Bukanlah Supandi juga
menolak untuk dipijiti. Oleh karena itu, mumpung belum hujan.
Amalia keluar dari rumah dan pergi berbelanja ke warung untuk
persiapan makan siang orang-orang yang bekerja di sawah, esok
hari.
***

MALAM turun bersama hujan renyai-renyai. Udara sedikit lembab


oleh hawa yang keluar dari permukaan bumi yang telah sekian
lama kering dan tiba-tiba disiram air. Amalia sesekali terbatuk-
batuk waktu mempersiapkan bahan pelajaran untuk esok hari
bagi murid-muridnya di sekolah. Sebenarnya ia ingin tidur saja.
akan tetapi besok ia tidak punya waktu karena masih harus
memikirkan isi perut petani-petani yang akan mengetam padi di
sawah mereka. Namun lama kelamaan ia mengantuk juga, lebih-
lebih setelah udara lembab itu diusir oleh hawa dingin yang
menusuk tulang. la memutuskan untuk tidur saja.

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ketika masuk ke kamar tidur, ia temui suaminya berbaring di
tempat tidur dengan sepasang matanya terbuka lebar. menatap
kosong ke langit-langit kamar. Jidat suaminya basah oleh peluh.
Perasaan tersinggung Amalia lenyap seketika. Digantikan oleh
rasa kasih sayang seorang isteri yang mencintai suami.
“Kang....”
“Hmm?” Supandi menoleh. Terengah. Agak kaget oleh kehadiran
Amalia yang tidak didengarnya.
“Kupijit ya?”
Suaminya menarik nafas panjang mencoba tersenyum. Dan kali
ini tidak menolak ketika seluruh bagian tubuhnya digosok Amalia
dengan minyak angin kemudian diurut dengan teratur. Ketika
masih sebesar anak-anak muridnya di sekolah, Amalia sering
memijit ayahnya dengan upah sepuluh perak sekali pijit. Tak
heran, jari-jemarinya bergerak dengan terlatih, sehingga mata
Supandi beberapa kali terpejam keenakan. Kalau saja pikirannya
tidak terganggu oleh apa yang telah di temukan dalam sumur,
tentulah pijitan Amalia itu bisa merangsang birahinya.
Tetapi sekarang. jangankan terangsang, Untuk memperlihatkan
rasa terimakasihpun. ia tidak ingat sama sekali. Matanya terus
saja terpejam, dengan gerak dadanya yang turun naik dengan
teratur. Oleh karena itu Amalia menyangka suaminya telah
tertidur dengan nyenyak. la tersenyum puas dan bangga akan
hasil pekerjaannya, kemudian berbaring di samping suaminya. la
menarik selimut menutup tubuh dari ujung jari kaki sampai ke
batas leher, membaca doa-do'a selamat dalam hati, sampai kantuk
menyerang kembali. Tidak sampai lima menit, ia telah jatuh tidur.
Lelap sekali.
Tidak ia sadari. begaimana suaminya berbaring dengan gelisah.
Sebentar membalik ke kiri, sebentar ke kanan. Sebentar duduk.
sebentar berbaring lagi. Sesekali ia perhatikan isterinya yang
sudah nyenyak tidur. Maka, ia berusaha untuk tidak menimbulkan
suara berisik waktu turun dari ranjang, kemudian mengambil
rokok dan menyulutnya sebatang. Begitu bernafsu ia menyedot
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
rokok itu, sehingga sekali kerongkongannya tersumbat. la
terbatuk dengan keras. Amalia menggeliat sebentar di tempat
tidur. tetapi tidak terusik oleh suara batuk suaminya. Takut ia
batuk-batuk lagi. Supandi memutuskan untuk keluar dari kamar.
la duduk di kursi sofa rotan diruang tengah, setelah lebih dulu
membikin segelas kopi kental untuk dirinya sendiri. Betapa
inginnya ia tidur lelap seperti isterinya, bergulung di bawah
selimut. Akan tetapi bayangan mengerikan itu setiap detik
muncul di kepalanya mencengkeram dengan kuat- tidak mau
lepas.
Sudah mulai larut. pikirnya. Sebentar lagi tengah malam. Dan ia
harus melakukan sebuah tugas yang entah mengapa tidak
sanggup ia tolak. Sesuatu telah berakar di benaknya. Sesuatu yang
demikian kuat memperlibatkan kekuasaaan yang tidak terlawan
atas diri Supandi. Sesuatu itu merasuki dirinya ketika tadi siang ia
tidak kuasa melawan kehendak tangannya mencakar liar ke
dalam tanah di lubang sumur yang tengah ia gali. Jari jemarinya
mengorek tanah seperti diperintah oleh semacam kekuatan gaib
yang tersimpan di dalam tanah yang ia gali.
Jelas terbayang di matanya. bagaimana tadi siang ia menemukan
lebih banyak rambut, hitam, lebat, panjang dan tertanam kuat
pada sebuah batok kepala manusia. Demi Tuhan. Dalam lubang
yang ia temukan, terdapat sebuah batok kepala manusia yang
masih utuh. hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang ia
temukan. Saking terkejut dan ngeri. ia jatuh terduduk di dalam
lubang, memperhatikan batok kepala manusia itu, yang wajahnya
menghadap langsung ke wajah Supandi. Wajah yang juga masih
utuh. Walaupun tampak kotor oleh tanah. Tidak mencium bau
banyir sama sekali sebagaimana biasanya bau mayat. Tetapi ada
sesuatu yang berubah dalam lubang itu. Udara yang menjadi
sangat dingin dengan tiba-tiba. Udara yang sedingin lemari es.
Supandi duduk terengah-engah tidak tahu apa yang akan ia
perbuat. la malah tidak kuasa untuk berpikir. Yang ia lakukan
hanyalah memandangi batok kepala itu, menatap wajah yang
menghadap ke wajahnya itu. Wajah seorang laki-laki, yang

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
umurnya tidak bisa ia duga. Kulitnya kehitaman-hitaman di balik
kotoran tanah berwarna dekil, dahinya lebar, dengan kulit yang
sudah berkerut-kerut. Demikian juga pipi kulit di bawah mata, di
sekitar bibir, bahkan bibir itu sendiri, berkerut-kerut. Kelopak
matanya yang terkatup juga berkerut-kerut. Pemandangan itu
terlalu mengerikan untuk dilihat. Tetapi Supandi tidak jatuh
pingsan, meskipun ia ingin mengalami hal itu. Hati kecilnya.
meneriakkan perkataan 'lari' berulang-ulang. lari! Lari! Larilah
cepat! Tetap ia tetap tertunduk menunggu dengan diam, seolah-
olah akan ada perintah yang diberikan untuk ia kerjakan.
Dan benar saja!
Sesuatu tiba-tiba bergerak. Lemah. Samar-samar. Tapi gerakan itu
kian lama kian jelas bersamaan dengan udara dalam sumur yang
kian lama kian dingin menusuk. Dengan mata terpentang lebar.
Bagaimana sepasang mata yang lain di dalam sumur itu perlahan-
lahan terbuka. Rasa takut dan ngeri yang dengan luar biasa
melanda diri Supandi, memuncak ketika itu. Segenap daya yang
mampu ia kumpulkan akhirnya dapat menggerakkan persendian
kakinya. la terlonjak berdiri.
Dan siap untuk menaiki tangga ketika.... mata itu mulai bersinar!
Supandi terpaku seketika. Tak ubahnya sebatang tonggak yang
dipatokkan dengan kejam terhunjam dalam ke bumi. Diam. Tak
berdaya. Lalu sesuatu seolah menyelusup lewat batok kepalanya
sendiri, menyentuh langsung ke pusat sarafnya di dalam otak.
Sesuatu yang merupakan sebuah perintah, “duduklah kembali!”
Suara yang menyentuh langsung ke otak itu, berat dan lirih.
Sayup-sayap sampai. Tetapi pengaruhnya demikian dahsyat.
sehingga Supandi tidak sanggup untuk menggerakkan tangan
maupun kakinya untuk mendekati apalagi menaiki tangga. Ia juga
telah berusaha untuk tetap berdiri. Berusaha melawan perintah
gaib itu Seluruh otot-otot tubuhnya mengejang oleh perlawanan
yang luar biasa. Namun dari bulu-bulu kuduknya yang berdiri
tegak ia merasakan suatu tarikan yang sangat kuat untuk tidak
berpaling dari arah datangnya suara gaib itu, Terletak di depan

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kakinya. Bibir keriput dari batok kepala itu kini ikut bergerak
terbuka... memperlihatkan dua baris gigi yang tersusun rapih,
yang warnanya tidak tampak putih lagi, melainkan sudah kuning
kehitam-hitaman. Mulut itu menyeringai.
“Duduklah!” ia dengar perintah ulang, Tetapi bukan berasal dari
mulut yang tengah menyeringai kejam itu. Melainkan dari
pancaran sinar matanya yang menyentuh langsung ke otak
Supandi!
“Tid....”, protes mulut Supandi yang pucat tidak berdarah terhenti
begitu saja. Dan segala sesuatu di dalam hati nuraninya didalam
jiwanya, di dalam phisiknya, ikut terhenti .selama beberapa saat
yakni saat-saat matanya tanpa bisa ia hindari lagi. telah beradu
langsung dengan sepasang mata yang berkilau-kilauan dari batok
kepala itu. Kilauan yang tajam. Dengan warna yang sukar untuk ia
lupakan. Seperti percikan api yang hidup sempurna : merah
kehiru-biruan!
Suatu kepatuhan yang luar biasa. merasuk dalam jiwa Supandi. la
duduk perlahan-lahan. Bersila. Dengan sikap hormat dan takut!
“Teruslah pandang mataku” otaknya kembali menerima perintah
telepathie itu.
Supandi tidak mengerdipkan kelopak matanya barang sekejappun
juga, betapapun hati kecilnya berteriak-teriak histeris "Tutup
matamu! Tutup matamu! Tutup....!"
‘Sejak saat ini. kau telah jadi budakku, siapapun kau adanya. Aku
sudah pernah mengatakan pada mereka... bahwa aku... suatu saat
aku akan bangkit kembali...?’
Otak Supandi berdenyut-denyut, berusaha mencerna kata demi
kata yang terpancar langsung lewat sinar mata itu. Pada saat yang
sama. otaknya juga berusaha untuk menangkap gerakan-gerakan
lemah mulut yang kini ternganga itu. Supandi melihatnya samar-
samar. Melihat sebentuk lidah yang bergerak-gerak tidak teratur.
Lidah yang berwarna merah seperti darah.

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau... kau dengar apa... apa yang kukatakan?”
Supandi menganggukkan kepala.
“Ucapkan ya!”
“...ya... aku..”
“Nah. Begitu," seringai yang lebih kejam bermain di depan mata
Supandi. “Aku tahu...” otak Supandi kembali harus mencerna kata
demi kata dari alam gaib itu. “Akan tiba saatnya... seseorang akan
membalas... kan aku dari siksaan kubur yang terkutuk ini. Aku..!
mulut itu sekonyong-konyong bernafas megap-megap. "Aku
letih...” katanya, lalu matanya terpejam.
Dan saat itu pulalah, Supandi sadar akan dirinya kembali. la sudah
memejamkan mata, dan sudah siap untuk lari ke atas menuruti
perintah hati kecilnya, ketika sekonyong-konyung mata berwarna
merah kebiru-biruan itu terpentang lebar kembali dan sisa-sisa
pengaruhnya dalam diri Supandi, kembali ikut bangkit.
“Diam di tempatmu. budak!” betapa hinanya sebutan itu! Tetapi
dengan sikap hormat dan takut, Supandi diam di tempatnya. Tak
ubahnya sebuah patung batu dalam posisi duduk yang baru saja
selesai dipahat.
“Aku letih... hampir seratus tahun lamanya... aku tersiksa seperti
ini. Tetapi sekarang,... aku bebas... bebas... dan kau, budak, kau
akan menuruti segala perintahku, sejak saat ini...! Kau tidak akan
dapat memperdaya diriku, meskipun tidak terjangkau oleh sinar
mataku lagi. Karena karena sebahagian dari rohku yang terlunta-
lunta telah memasuki jiwamu itu”
Otak supandi menangkap suara terkekeh-kekeh serak dan parau.
Lalu: “Pergilah!”
Supandi tersentak. “Ya..”
“Pergilah pada isterimu. Aku... aku sudah merindukan kehangatan
tubuh perempuan. Pergi, cepat. pergilah!”

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
la dapat berdiri. Ia gerakkan tangan. la mampu memegang tangga.
Dan ia sudah akan naik, ketika.. “lngat!” memperingatkan suara
lirih itu. “Tengah malam nanti kau harus kembali. Aku
membutuhkan tempat yang lebih nyaman dan hangat dari tanah
berlumpur yang kotor ini!”
***

SUATU sentakan yang melenyut belakang kepala Supandi.


Demikian mendadak sehingga kepalanya tersentak agak ke
belakang. Rokok yang sedang ia sedot, terlepas jatuh dari sela-
sela bibirnya. Pangkal pahanya terasa panas menggigit. Refleks,
salah satu tangannya menepiskan puntung rokok yang
menimbulkan lingkaran hitam di paha celananya. Abunya
berserpihan kian kemari, menimbulkan bau pernak.
“Sudah waktunya. budak!” telinganya berdenging oleh sebuah
perintah dari jarak jauh.
Telepathie yang mengerikan itu membuat Supandi menggigil
dengan wajah pucat tidak berdarah jiwanya berontak. Tetapi
otaknya beku, tidak mau bekerja. Denyut jantungnya berpacu
kencang menggebu-gebu. Tetapi sia-sia saja. Hanya keletihan dan
kepatuhan yang pelahan-lahan terasa merasuki dirinya.
Gontai. ia berdiri, dan berjalan tersuruk-suruk ke arah pintu
belakang rumah. Dekat pintu, ia tertegun. Kakinya menyentuh
sebuah bakul besar. Waktu ia perhatikan, ternyata berisi kain
jemuran Amalia, belum sempat dilipat apa lagi disetrika. Diantara
tumpukan kain itu ia melihat sebuah selendang yang masih haru.
Selendang itu segera disambarnya, lalu keluar dari pintu
belakang.
Lolong anjing dikejauhan menyambut kehadirannya. Hujan sudah
mulai menderas. Angin kencang bertiup membawa sentuhan air
hujan itu, menerpa dadanya yang setengah telanjang. la menggigil
lagi lebih hebat, dengan pemberontakan yang perlahan-lahan
mulai padam dalam jiwanya. Dengan mata hampa, ia tengadah,

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menatap langit yang hitam kelam. Lolong anjing menggema lagi di
kejauhan. Sayup-sayup, lemah dan memilukan tulang, Lututnya
yang semula gemetar, dikuatkan oleh pengaruh ganjil yang
menerpa jiwanya.
Supandi kemudian setengah berlari menerobos hujan,
terbungkuk-bungkuk menuju lubang sumur di belakang
rumahnya. Genangan lumpur merembes kian kemari dan galian
tanah yang basah tersiram hujan. la hampir tergelincir ketika
menuruni tangga.
“... aku tahu kau akan datang.” ia disambut oleh suara berat dan
lirih yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Dalam lubang
sumur, gelap seperti dalam hutan. Tetapi sinar mata yang merah
kebiru-biruan itu jelas tampaknya menyambut kemunculannya.
“Tunggu apa lagi?”
Tanpa usaha perlawanan. Supandi membungkuk. Dengan sebelah
tangan, ia korek bagian yang masih menahan batok kepala itu.
Sebuah benda yang berat dan dingin seketika berada di atas
telapak tangannya. Batok kepala itu segera ia selimuti dengan
selendang isterinya, lantas bagai tupai ia memanjat kembali ke
atas. Dari bawah, ia dengar suara bergemuruh yang kian lama
kian deras. Rupanya dari lubang tempat batok kepala itu
terpacak, menyembur ke luar air yang sangat deras. Sumur itu
memiliki sumber mata air yang subur!
Akan tetapi, begitu Supandi menjejakkan kaki di pinggir lubang
tanah yang ia jejak perlahan-lahan bergerak.
“Menyingkir!” sayup-sayup ia mendengar suara yang tersekat.
“Aku tak sudi terkubur hidup sekali lagi!”
Lincah sekali. sepasang kaki Supandi melakukan loncatan-
loncatan di atas tanah yang becek tanpa terpeleset sama sekali.
Tidak sampai satu menit ia telah masuk ke dalam rumah, dengan
selendang Amalia membungkus batok kepala seorang manusia
yang pasti pernah dikutuk semasa hidupnya.
***

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SETELAH berada di dalam rumah, justru Supandi menjadi
kebingungan. Selendang batok kepala manusia yang mengerikan
itu tergantung-gantung di salah satu tangannya, sementara
tangan lain menyeka air hujan yang membasahi wajah. Pakaian
yang ia kenakan melekat basah ke tubuhnya. kotor oleh lumpur.
Tetapi bukan itu yang membingungkan Supandi.
Melainkan pintu kamar tidur yang terpentang lebar. Bagaimana
kalau Amalia terbangun dan melihat apa yang ia bawa masuk ke
rumah? Celakanya, kepala yang terbungkus itu tidak berkata apa-
apa. Diam membeku. Seolah-olah menyuruh Supandi mengambil
keputusan sendiri. Dengan tubuh yang menggigil wajah pucat dan
gigi gemeletuk kedinginan serta ketakutan. Supandi memeras
otaknya di mana tempat yang layak untuk kepala mansuia
mengerikan tapi pengaruhnya tak bisa ia tolak. Akan ia simpan?
Dalam lemari pakaian? ltu lemari bersama Isterinya bebas
membukanya. membongkar segala isinya. Di bawah tempat tidur!
Amalia, maafkan aku. Peluklah aku, tetapi aku tidak akan
membiarkan kau tidur di atas sebuah batok kepala yang telah
menjahanami diriku ini, keluh Supandi dalam hati. Sakit sekali.
Lewat pintu belakang yang terbuka. ia melihat dapur. Tempat itu
adalah tempat Amalia sehari-hari menyibukkan diri. jadi bukan
tempat untuk menyimpan sebuah rahasia. Nah itu gudang. Di
sebelah dapur. Supandi bergerak ke sana. Tetapi tatkala pintu
gudang ia buka, diterangi oleh lampu teplok yang tergantung di
salah satu tiang koridor belakang, ia melihat tumpukan goni-goni.
Sebuah peti besar berisi beberapa perabotan rumah tangga yang
tidak terpakai, lalu sebuah kompor cadangan yang sesekali
dipakai Amalia untuk memasak makanan bila tiba waktunya
menyiapkan santapan petani-petani menggarap sawah mereka.
ltu berarti padi! Dan besok petani-petani itu akan mulai
mengetam kemudian menjemur dan bagian untuk Supandi
sebagai pemilik sawah, akan ditumpukkan ke dalam gudang
seperti biasa. Persetan, ke mana aku akan menyimpan benda
mengerikan ini? Demikian Supandi berpikir keras. Ia mundar-
mandir tidak menentu, dari ruang tengah ke ruang belakang. dari

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dapur ke gudang, bahkan ke kamar mandi. Satu hal yang jelas
tidak mungkin ia lakukan- hanyalah menanam saja kepala itu
kembali di salah satu tempat di sekitar rumahnya. Entah
mengapa, hati nuraninya tidak mengijinkan ia melakukan
perbuatan itu. Hati nurani? Bukankah lebih tepat dikatakan.
jiwanya? jiwa yang telah dititisi sebagian pemilik batok kepala
yang terbungkus dalam selendang isterinya.
Beberapa kali ia menarik nafas, dan suatu saat tertengadahlah
karena putus asa. Justru ketika itu matanya beradu dengan lubang
tirap ke para-para rumah. Matanya yang kosong, tiba-tiba berseri
secara aneh. Jiwanya merasakan kesenangan yang tidak ia
nikmati sepenuhnya, tetapi betapapun. ia telah menentukan
sebuah jalan.
Bungkus berisi kepala itu ia letakkan di atas meja. la harus naik
mempergunakan tenaga. Tetapi, ah. itu ada suara ranjang
berderit. Supandi gemetar dan semakin pucat. Dengan tegang, ia
berdiri menunggu Amalia ke luar dari kamar...
Tetapi suara itu sepi lagi Amalia mungkin cuma terganggu oleh
impian di kala tidur. Sebuah mimpi burukkah? Mimpi melihat
suaminya sedang...
Tidurlah yang nyenyak. Amalia!
Supandi kembali ke belakang rumah. Tetapi ia tidak menemukan
tangga. Setelah lama mencari, baru ia teringat tangga itu
tertinggal di dalam lubang sumur. Disambung dengan tangga pak
Suryadi, agar lebih panjang masuk ke dalam lubang. Memerlukan
tempo untuk mengangkat dan melepaskan sambungannya. lagi
pula ia tidak sudi lagi menempuh hujan deras dan tanah becek
berlumpur. Sayup-sayup lolungan anjing mengalun lagi dari
kejauhan. Lolongan kematian!
Supandi terlonjak, masuk kembali ke rumah. Ia pandangi
bungkusan berisi kepala manusia di atas meja. Meja! Ah, mengapa
ia tidak memikirkannya dari tadi! Dengan hati-hati agar kepala itu
tidak sampai jatuh menggelinding, sekaligus tidak mengusik
Amalia dari tidurnya. Supandi menggeser meja makan persis ke
39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tempat di mana di atasnya terdapat lubang tirap ke para-para
rumah. Dengan bantuan sebuah kursi, ia berhasil naik sampai
sepertengahan dada berada di dalam para yang berbau pengap
dan gelap. Namun cukup aman untuk menyimpan majikannya
yang menakutkan itu.
Ia kemudian turun, mengambil lampu yang tergantung di tembok.
Dengan tangan yang lain menjinjing bungkusan berisi batok
kepala itu. Supandi kembali naik ke atas meja, terus ke kursi, lalu
sebentar kemudian ia telah berada di para-para rumah. Para-para
itu terbuat dari bambu yang dianyam, telah berumur belasan
tahun tetapi masih utuh dan rapih, kecuali oleh debu, sarang laba-
laba yang mengotorinya di sana sini. Supandi berjingkat dengan
tubuh membungkuk dari kaso-kaso yang satu ke kawat kase yang
lain.
Disebuah sudut yang agak bersih dan lapang, diantara dua buah
kase-kase yang letaknya merapat satu sama lain. Begitu
bungkusannya ia buka, begitu kelopak mata yang mengerut itu
membuka. Warna merah kebiru-biruan menerpa matanya. Dan
seulas senyum tipis. namun tidak ramah sama sekali dihadiahkan
untuk Supandi.
“Agak bau... tetapi nyaman...” terdengar suara berat dan lirih yang
dialamatkan ke para-para rumah lewat telinga Supandi.
la diam. Terpaku. Kaku. Setelah memandang berkeliling Sepasang
mata yang aneh itu kembali menatap ke mata Supandi.
“Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padamu, anak
muda.....” makhluk itu tidak menyebutkan "budak" lagi. Tetapi
Supandi belum boleh berlega hati. Karena makhluk itu telah
melanjutkan kata- katanya lagi. Kata-kata berbentuk dan bernada
perintah, “Aku akan memasuki jiwamu, dalam tidurmu... kau
harus membalaskan sakit hatiku... dan menyempurnakan..
kematianku....!”
“Kem.. kematianmu?”

40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kematianku!” jawab makhluk itu tegas. “Sempurnakanlah
kematianku... dengan membalaskan dendam kesumatku... dan dan
mempersatukan anggota tubuhku...”
“Tetapi... dimana.... di mana...”
“Aku sendiri tidak tahu... tidak tahu. Aku letih... aku sangat
kesakitan...,pedang itu... iiih-hhii....” sepasang mata berwarna api
terpejam sesaat, lalu ketika terbuka lagi. keluar perintahnya yang
terakhir untuk malam itu.
“Tinggalkan aku sendirian.”
Supandi mundur dengan pelahan-lahan dan hati-hati. la
kemudian turun dari para-para, tanpa terlepas sedikitpun dari
perhatian sepasang mata di batok kepala yang ia tinggalkan
terhampar berlapiskan selendang Amalia. la sempat melirik mata
yang memancar mengerikan itu ketika akan turun, dan Sadar,
bahwa sejak saat itu, ia bukan lagi Supandi yang pernah dikenal
orang selama ini. Bukan lagi Supandi yang dicintai Amalia....
***

KESABARAN Amalia kembali diuji ketika ia bangun esok paginya.


Supandi tidur mendengkur di sampingnya, bergulung dalam
selimut. Tidak pernah ia tidur seperti itu selama ini. Dengkurnya
sangat keras tersentak-sentak seperti orang kehilangan nafas.
Suara mendengkur yang agak seram itulah yang membangunkan
Amalia. Tadinya ia mengira suara yang ia dengar adalah laguan
aneh yang beberapa hari belakangan ini selalu mengganggu tidur
suaminya. Dengan ketakutan, Amalia menggoyangkan tubuh
suaminya.
Tetapi Supandi tidak terusik sama sekali. la tetap tidur, nyenyak
sekali. dan mendengkur semakin keras!
Perasaan kesal memenuhi kepala Amalia ketika ia turun dari
tempat tidur, lewat ventilasi jendela ia tahu hari sudah pagi. la
harus bangun, dan harus bekerja. Hari ini hari yang sibuk, masih
41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ia ingat apa yang dikatakan wak Wasdri kemarin. Dan Supandi
justeru tidur mendengkur. sedangkan ia adalah satu-satunya
orang yang bisa dimintai bantuan oleh Amalia. Kekesalan hati
Amalia kian menjadi-jadi waktu ia berada di ruangan tengah. Meja
telah ia bersihkan tadi malam, tetapi sekarang ada terlihat tetes-
tetes lumpur yang sudah mengering Bahkan ketika ia perhatikan
lebih jelas, tampak perbedaan yang nyata dari sudut-sudut meja.
Genangan lumpur yang lebih banyak baru saja dibersihkan dari
meja itu. Tetapi seorang lelaki, bahkan seorang yang apik dalam
soal kebersihan rumah. Dan warna kekuning-kuningan jelas
meninggalkan bekas lumpur telah dibersihkan dari meja
Demikian juga lantai, telah dikepel. Padahal kemarin sudah
dikepel sampai mengkilap oleh Amalia. Apa-apaan kang Pandi
malam tadi?
Jejak-jejak kaki berlumpur telah lepas dari perhatian suaminya.
Jejak-jejak itu memenuhi lantai korridor belakang, dapur dan
gudang. Bahkan kamar mandi! Dan pakaian yang dikenakan
suaminya tadi malam, tertumpuk di lantai kamar mandi, Kotor
oleh lumpur.
“Ya ampun.” dengus Amalia. la bermaksud pergi ke kamar tidur,
menarik Supandi dari ranjang dan melampiaskan kemarahan
sepuas hati. Kalau suaminya membantah, ia akan mendebatnya
habis-habisan, memakinya, mengumpatnya. Biarlah ekor dan
kepala itu bertengkar hebat, biarlah ekor dan kepala itu berpisah
satu sama .... Berpisah?
“Ya Tuhan,” ucap Amalia terengah-engah. “Ampunilah niat
jahatku yang terkutuk ini!” la semakin menyesal ketika matanya
menandang ke belakang rumah. Bermandi cahaya pagi yang
terang-terang ayam, ia melihat ke arah lubang sumur hasil galian
suaminya. Bukit tanah galian itu telah lenyap. Ketika Amalia
meninggikan leher, ia juga melihat bahwa lubang sumur telah
tertimbun. Lubang-lubang yang lebih lebar tetapi dangkal serta
bentuknya tidak karuan, terdapat disana sini.
Hujan lebat tadi malam tentulah telah menjadikan tanah di
sekitar lubang sumur itu longsor hebat. Suaminya yang akhir-
42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akhir ini demikian bersemangat dengan pekerjaannya. Tentulah
tadi malam telah bangun dengan perasaan cemas kemudian
melihat apa yang telah terjadi. Untuk meyakinkan diri Supandi
pasti telah berlari ke arah sumur sehingga ia mandi hujan dan
lumpur. Tiba di rumah, mondar-mandir dengan kecewa dan
semakin putus asa. Barangkali sempat pula tengkurap di meja.
“Tetapi... ia tidur nyenyak, mendengkur lagi” pikir Amalia selagi
menyiapkan makan pagi. “Apakah tertimbunnya kembali sumur
itu merupakan anti klimaks, sehingga kang Pandi gembira atau
tidak, yang jelas Supandi masih meringkuk di bawah selimut
ketika makan pagi telah terhidang di atas meja, bahkan setelah
Amalia kembali dari tempat pemandian umum. Ia lihat seseorang
duduk mencangkung dekat sumur.
Tetapi orang itu bukan Supandi, melainkan pak Wasdri yang
segera bangkit menyongsong Amalia. “Tampaknya longsor telah
mengakhiri segala desas-desus,” kata petani itu.
Amalia tersenyum. “Setidak-tidaknya, telah membuat suamiku
bisa tertidur nyenyak!” sahutnya.
“Oh ya? Syukurlah, Tetapi....”
“Maaf pak Wasdri, Kang Pandi mungkin tak ikut kesawah. Tapi
tadi malam ia berpesan bahwa ia percayakan pak Wasdri bisa
mengatasi segala kesulitan.”
“Aku senang mendengarnya,” kata orang tua itu. “Dan eh, apa
perlu saya suruh anak perempuan saya membantu bu Lia
menyediakan makan siang?”
“Untuk berapa orang pastinya?”
“Enam. Plus aku dan isteriku. Empat yang kupilih, adalah tenaga-
tenaga ahli...”
“Kalau begitu, biarlah si Esih di rumah saja menemani adik-
adiknya!” Amalia menolak dengan halus.
***

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Selesai Amalia menjemur pakaian Supandi belum bangun juga.
Kesal, Amalia berceloteh sendirian,
“Sialan! Apa kang Pandi tak perduli sama perut orang? Setan
benar. Biar aku makan duluan, agar ia tahu rasa!”
Tetapi ia belum sempat masuk ke rumah, ketika seseorang ia lihat
mendekat ke bekas lubang sumur, terbungkuk-bungkuk,
menyeret sebelah kakinya yang timpang. Nenek Ijah! Hem, mau
apa pula perempuan tua renta dan pikun itu di sana? Bagaimana
ia bisa muncul begitu saja? Amalia tidak melihatnya sama sekali
datang dari jurusan Utara, pada jalan yang berhadapan dengan
pekarangan belakang rumah mereka.
“Hai. nek.” sapanya, seraya mendekati perempuan tua itu. Nenek
Ijah bergerak, menoleh. Wajahnya yang keriput dan kotor
kehitam-hitaman, bukan sebuah pemandangan yang enak untuk
dilihat. Lebih-lebih sinar matanya yang kecil seperti mata burung
elang mengintai mangsa. Mulutnya terkatup, tidak menjawab. dan
sikapnya tidak bersahabat. Ciut juga hati Amalia.
“.... mari masuk ke rumah, nek..!” ia mengajak, meskipun hatinya
tidak merasa tenteram melihat kehadiran perempuan itu. Sinar
mata nenek Ijah memandangi lebih lunak.
Bukan jawaban yang keluar dari mulutnya. Tetapi gumam lirih
yang tidak berketentuan, ”Kosong lagi. Apa yang ada di tanah
tertutup. Tetapi rasa-rasanya memang akan kutemukan disini...”
“Apa yang kau cari nek?” tanya Amalia ingin tahu.
Nenek tua itu memandang Amalia lurus-lurus, lalu “Emas.”
Jawabnya. Pelan hampir-hampir berupa bisikan. "Emas hatiku!” ia
melanjutkan.
Amalia tercengang Jangan-jangan benar kata orang. bahwa nenek
ini tidak waras. Ia ingin bertanya lebih lanjut. Tetapi perempuan
tua itu sudah bergerak menjauh dan pergi, tanpa menoleh-noleh.
Menyeret sebelah kakinya yang timpang.
***
44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI terengah-engah dalam tidurnya. Bayangan seseorang --
apakah orang itu dirinya sendiri? -- samar-samar bergerak dalam
remang-remang senja yang temaram, Lambat dan hati-hati.
Bayangan itu bahkan bagai menari-nari di antara batang-batang
pohon karet yang menjulang tinggi. dengan daun-daunnya yang
rimbun menambah gelap jalan yang ia lalui. Angin bertiup
kencang, dingin menggigilkan tulang. Bayangan itu mengendap
terus. rasanya lama dan jauh sekali.
Sampai akhirnya, seolah ada sebuah tenaga gaib yang
menyentakkan tubuhnya, bayangan itu sekonyong-konyong
terhempas jatuh... Oh, tidak. Tidak. Bayangan orang itu tidak
jatuh. melainkan berjongkok dengan tiba-tiba, bersamaan dengan
terdengarnya suara percakapan yang sayup-sayup terbawa angin.
Orang itu berhenti sejurus. Menahan napas. Kini suara
percakapan tadi terdengan lebih jelas:
“.... akang berjanji palsu!” ujar seorang perempuan, dengan suara
lirih dan kecewa.
“Mengapa kau bilang begitu. Nengsih?” sahut suara lainnya. Laki-
laki. Berat dan agak parau.
“Buktinya akang belum melamarku juga....”
“Tapi isteriku..”
“Bukankah akang sudah berjanji akan menceraikannya!”
“Aduh, Nengsih. Mana mungkin? la sedang hamil tua dan...”
“Dan aku? Kang. aku.. aku juga sudah hamil. Mama sudah mulai
curiga, kang... tetapi belum bertanya-tanya, kalau semua orang
sampai tahu, aduh. kang.. Namaku dan keluargaku akan
tercemar...” suara perempuan itu kini setengah menangis.
“Husy. jangan cengeng. Aku akan bertanggung jawab. Percayalah,”
si lelaki menghibur.
“Sunguh”
“He-chan”
45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tetapi...”
“Ngg, kau tak percaya akang ya?”
Tidak ada sahutan. Sepi. Sesaat. Dua. Tiga..
Lalu. terdengar berkeresak-keresek. disertai suara mengaduh
yang halus dan manja. Mendengar suara-suara yang ganjil itu,
bayangan orang yang bersembunyi di balik semak belukar
bergerak lebih dekat, menguakkan semak lebat yang menghalangi
pemandangan dia...
Dan ia segera menarik mundur kepalanya ke belakang, duduk
terhenyak. Sepasang matanya membesar dan dadanya naik turun
dengan cepat. la mengaturnya, bahkan meremasnya. la
merasakan sakit yang amat sangat. la ingin menjerit, ingin marah,
ingin memaki-maki. ingin berbuat apa saja. Tetapi yang mampu ia
lakukan hanyalah duduk terhenyak dengan sekujur tubuh terasa
luluh. Hatinya hancur. Teramat hancur. dan sudut-sudut matanya
mulai basah oleh butir-butir air hujan.
Entah berapa lama ia dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu. la
baru tersadar waktu terdengar suara perempuan itu lagi, “Sudah
ah.. kang” lirih dan manja. Manja sekali.
“Mh, sebentar dong...”
“Kang, aduh..”
Bayangan orang di balik semak belukar yang gelap' itu menggigil
dengan hebat. la tak sudi melihat perbuatan orang-orang terkutuk
itu lagi. la tak sudi mendengar ucapan-ucapan mereka yang kotor
dan busuk. Ia harus pergi. Harus!
Lalu pelahan-lahan, bayangan yang itu bergerak mundur..
mundur, terus mundur. Setelah agak jauh. baru ia berdiri,
memutar tubuh, kemudian mulai berlari. Berlari, berlari... terus
berlari, sampai kakinya terasa seperti akan lepas dari
persendiaan tubuhnya, sampai jantungnya tidak kuat lagi
menggebu... Namun ia terus berlari, malah kalau mungkin. ia akan

46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berlari sampai malaikat-maut datang mencabut nyawanya dari
raganya.
Matanya perih, pandangannya menjadi gelap. Pekat. gelap, dan di
antara kegempaan itu beribu-ribu warna bermain-main simpang-
siur. Merah, jingga, lembayung. kuning. merah tua. hitam.. merah
menyala seperti darah. Bergelombang-gelombang, seperti ombak
yang menggulung dilanda topan, menerpa dengan dahsyat,
menenggelamkan tubuhnya dengan kejam. Dalam keadaan yang
putus asa. Ombak itu perlahan-lahan reda, warna-warni yang
mengerikan itu pelahan-lahan berubah lembut. manis dan indah.
la merasa seperti melayang-layang dan kakinya yang berlari
terasa amat ringan.
Entah berapa lama waktu telah berlalu ketika itu. Dan ia tidak
peduli. Tidak mau tahu. Dengan perasaan nyaman, kakinya mulai
berhenti berlari. dan kini berjalan santai ke arah pinggir sebuah
sungai. Udara cerah, langit biru jernih, angin bertiup sepoi-sepoi
basah. Suara air sungai menerpa batu terdengar seperti nyanyian
merdu yang merangsang, Rangsangan itu datang dari sesosok
bayangan perempuan yang sedang duduk tercenung di atas
sebongkah batu besar dan pipih. Sepasang kakinya yang indah
terjuntai ke bawah, dipermainkan air yang menjilat-jilat betisnya
yang mulus dengan mesra.
Ketika ia mendekat, perempuan itu menoleh. Sepasang matanya
yang bulat, tampak redup. Bertentangan sekali dengan alam di
sekitarnya, bahkan dengan kesemarakan tubuh dan rambutnya
yang berkibar-kibar ditiup angin. Mata yang bulat dan redup itu,
basah. dan tetesan-tetesan air bening melebihi kedua belah
pipinya yang halus.
“Apa yang kau tangisi, Nengsih?” ia bertanya.
Gadis itu menunduk, dan tangisnya meledak. la lalu bergerak
turun ke air, mendekati gadis itu, dan merangkulnya dengan
lembut. Gadis itu membalasnya, menangis di dadanya. Ia belai
rambutnya yang panjang bergelombang. ia usap bahunya yang

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
halus dan hangat. ia angkat dagunya yang lembut dan mulus. Bibir
yang merah dan basah itu, terbuka sedikit.
Napasnya yang hangat menggebu-gebu keluar, menarik-narik
kelelakiannya yang sudah terbuai. Dan ketika pelan-pelan ia cium
bibir yang merekah itu, seseorang tahu-tahu, sudah berseru dari
kejauhan :
“Hai, apa yang kalian kerjakan di situ, eh?”
la terdongak, dan di atas tanah yang ketinggian, bukan saja satu.
melainkan dua. tiga, empat... ah, mengapa demikian banyak orang
telah berada di sana? Ketika ia perhatikan, tiba-tiba sekali ia bisa
mengenali salah seorang di antara mereka yang menunjuk-nunjuk
ke arah dirinya dan gadis itu. Orang itulah yang barusan tadi
berseru, dan orang itulah yang kini bersuara lebih keras
mengatasi suara orang-orang lainnya:
“Zinahi Terkutuk! Biadab! Jadi, kau yang membuntingi dia.
yaaaa??”
Mendengar tuduhan itu. ia jadi terkesiap. Tiba-tiba ia sadar,
bahwa ia telah terjebak. Dengan gugup, ia membantah, “Bukan
aku... bukan...”
“Ha?” jerit orang itu, dan yang lain-lainnya berteriak marah.
“Sudah kami buktikan di depan mata. masih membangkang eh?”
Lalu. orang-orang itu bergerak turun, berlari-lari mendekat. Laki-
laki malang itu menjauhi si perempuan dan dalam keadaan panik
ia berteriak,
“Tanya si Nengsih! Tanya si Nengsih!”
Orang-orang kampung yang sudah mengepungnya itu, tertegun.
Lalu seorang bertanya, “Siapa yang membuntingi kau. nengsih?”
Si gadis mengangkat kepalanya memandangi orang-orang itu satu
persatu, dan berhenti agak lama pada wajah orang yang
menggumulinya. Diantara pepohonan karet, orang yang berjanji
akan menceraikan isterinya sendiri, orang berjanji akan

48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengawininya, orang yang kini memandanginya dengan sinar
mata tajam, buas dan penuh ancaman. Nengsih bergidik sedikit,
kemudian matanya beralih pada laki-laki yang telah menciumnya,
dan kini berdiri gemetar diantara pengepung.
Dari mulut Nengsih, terdengar bisikan, “Tar-jo. Dia yang ...”
Ucapan Nengsih tenggelam di antara teriakan-teriakan marah
dari enam orang laki-laki berwajah buas, dan teriakan ketakutan
dari seorang laki-laki yang tidak berdaya. Badai tiba-tiba
menggelegar di pinggir sungai itu. Badai pukulan, tinju,
tendangan. caci maki, sumpah serapah. Badai kemarahan yang
bercampur dengan badai keputus asaan...
“Aduuuuuhu. ampuuuuuun!” seraya mengaduh. Supandi terlonjak
dari tidurnya. Seakan menghindari datangnya hujan pukulan.
Kepala ia rundukkan dan kedua tangan bergerak liar kian kemari
berusaha melindungi diri. la berlaku demikian lama, sampai
kemudian ia merasa letih tanpa menghasilkan sesuatu. Perlahan-
lahan gerakannya berhenti. la menoleh ke sekeliling dan segera
sadar bahwa ia berada dalam kamar tidur. Sendirian.
“Ya Tuhan..” ucapnya dengan suara kering.
“Syukurlah semua itu cuma impian...” Tetapi ketika ia melap
keringat! yang membanjiri jidatnya, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Mimpi? Dan begitu nyata?” bisiknya, lantas tubuhnya mulai
gemetar. “Seperti malam-malam yang lalu...” la coba mengingat
kembali impian yang datang secara berturut-turut itu.
Hujan yang deras. langkah-langkah kaki yang diseret. Suara
cekakakan dan mengejek. Dan seseorang yang dipaksa berjalan
dengan kedua tangan terikat ke belakang sambil sesekali
mendapat tambahan tendang dan tinju. Suara orang memerintah
agar berjongkok. Lalu meralatnya agar bersimpuh.. lalu lagi,
kilatan pedang di udara, dan kepala yang menggelindirlg jatuh.
Sebelum kepala itu melayang ke lembah, lenyap ditelan kegelapan
malam. Masih sempat sepasang matanya yang terbuka lebar,
menatap algojo- algojonya satu persatu, sehingga pembunuh-

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pembunuh itu sama bergidik ketakutan. Jelas tampak wajah laki-
laki yang kepalanya sudah putus dari badannya itu.
Wajah orang yang juga tampak dalam impian…
Supandi sebelum tadi ia terbangun.
Wajah yang sama. Dan kini ia tahu namanya,
Tarjo!
***

DENGAN badan yang letih lesu, Amalia tiba di rumah menjelang


tengah hari. Yang pertama-tama menarik perhatinnya adalah
bekas sumur yang sudah menimbun sendiri itu. Lalu rumahnya
yang sepi. Ketika ia buka pintu dan masuk ke dalam, sarapan pagi
masih lengkap di atas meja. tak disentuh. Keadaan di dapur
berantakan, karena sehabis memasak hidangan untuk pekerja-
pekerja di sawah, ia tidak keburu membereskannya. Rasa letih
dan lesu. Amalia kini bertambah dengan rasa pusing, melihat
keadaan yang berantakan itu. la lantas bergegas masuk ke kamar,
dengan muka yang merah menahan marah.
“Nyenyak tidurnya, paduka?” ia bertanya dengan suara setengah
berteriak. dan jelas dengan nada menyindir.
Supandi yang termangu-mangu di tempat. Wajahnya tampak
pucat, bibirnya kering, dan sinar matanya kosong. Kakinya yang
menjuntai di pinggir tempat tidur, gemetar. Tak sepatah katapun
yang ke luar dari mulutnya. Akan tetapi, keadaannya sudah cukup
menjelaskan segala sesuatu pada Amalia. yang seketika itu juga
menyesali cemoohan yang terlanjur ke luar dari mulutnya.
Setelah tertegun sejenak memperhatikan keadaan suaminya,
Amalia menghambur ke tempat tidur. Memeluk laki-laki itu erat-
erat, mendekapkan wajahnya yang pucat itu ke dadanya yang
hangat. la kembali menyadari bahwa semenjak suaminya frustasi
akibat dipecat dari kantor. Supandi membutuhkan kasih sayang
seorang ibu dari pada kasih sayang seorang isteri.
50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Maafkan aku, sayangku.” Amalia berbisik lembut. “Aku tak tahu,
kalau kau sedang sakit...”
Di dadanya. terasa kepala Supandi bergerak-gerak menggeleng.
“Mimpi buruk lagi. yang?”
Kepala itu mengangguk, lambat-lambat. Amalia berusaha tertawa.
Lembut menghibur.
“Ah, jangan dipikirkan lagi. Ayoh, bangkitlah. Aku akan
menemanimu mandi, kemudian makan, perutku sudah lapar.”
Bagaimanapun, kehadiran Amalia di sisinya sedikit banyak telah
membantu hadirnya semangat Supandi kembali. Tak ubahnya
seorang anak kecil yang ketakutan dan kini mendapat
perlindungan dari ibunya yang penuh kasih. Supandi kemudian
menurut ketika diajak oleh Amalia ke luar dari kamar. Tetapi ia
hanya menemani suaminya sebentar di kamar mandi.
“Kau mandilah ya? Aku akan menghangatkan makanan, dan
menyiapkan pakaian gantimu...”
Lalu ia keluar dan pergi ke dapur. Tetapi sebelum mengerjakan
sesuatu, pikirannya terpecah pada keadaan suaminya. Impian
buruk apa lagi yang mengganggu Supandi, setelah pemenggalan
kepala yang mengerikan itu? Amalia bergidik, lantas bergumam..
“Aku harus tabah. Jangan menambah lemah mental kang Pandi.
Dan aku sebentar lagi harus pergi ke sekolah...” Dan, iapun mulai
bekerja. Terburu-buru. la begitu lelah sepanjang hari. Begitu
banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Pagi-pagi membersihkan
seisi rumah. Mencuci. Lalu memasak hidangan makan siang untuk
setengah lusin orang. Mengantarkannya ke sawah. Ikut mengawal
petani-petani mengetam, dan sempat pula melihat pembagian
hasi. Pulang ke rumah, masih harus membereskan segala
sesuatunya yang berantakan.
Lalu kini harus mengajar. Di depan kelas, matanya terasa sangat
berat. sehingga bunyi lonceng tanda pelajaran terakhir, benar-
benar merupakan hadiah paling menarik untuknya pada hari itu.
51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa menunggu. ia lantas bergegas pulang, Amalia hanya sempat
omong-omong sebentar dengan suaminya.
Begitu malam mulai jatuh ia telah naik ketempat tidur. Begitu
kepalanya menyentuh bantal, ia segera menguap. Sekali. Dua.
Tiga. Banyak sekali. la tidak sempat menghitungnya. Karena ia
sudah jatuh tidur selagi mulutnya masih menguap...
Demikian lelap Amalia tertidur, sehingga ia tidak mendengar
suara berisik dari meja dan kursi yang bergeser di ruang tengah.
Lalu ada suara langkah-langkah kaki di atas para. Karpus yang
melapisi langit-langit lepas dari beberapa tempat. Sebagian jatuh
di atas selimut yang menutup tubuh Amalia. sebagian lagi ke
tempat di sampingnya yang kosong. Tempat yang seharusnya
ditiduri oleh suaminya, Supandi.
Ranjang berderit ketika Amalia menggeliat sedikit. Sepi dan diam
menyentak seketika di atas para. Lalu suara langkah-langkah kaki
lagi dan serpihan-serpihan kapur berupa remeh-remeh putih
kekuning-kuningan bertambah banyak jatuh. Kembali suara meja
dan kursi digezerkan di ruang tengah. langkah-langkah kaki lagi-
kemudian suara pintu dibuka lantas ditutupkan kembali dengan
hati-hati.
Anehnya, dalam tidurnya. Amalia masih pula menguap!
***

Sampai perih mata Supandi karena berkali-kali ia pejamkan tanpa


hasil. Selalu matanya terbuka lagi, terbuka lagi. Lebar dan
nyalang. Dan tiap kali kelopak matanya terbuka, tiap kali pula
terasa ada suatu tarikan magnit yang seakan berusaha untuk
mencabutnya sampai-sampai air matanya merembes ke luar. la
berbaring lemah di samping Amalia yang sudah tidur. Akhirnya
suatu kekuatan gaib seolah memaksanya turun dari tempat tidur.
Entah mengapa ia langsung pergi ke ruang tengah, menggeser
meja ke bawah lubang para dan menempatkannya sebuah kursi di

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bawahnya lalu naik. la tidak mengerti, mengapa harus itu yang ia
lakukan.
Pikirannya tidak bisa bekerja sama sekali otaknya beku.
Syarafnya hanya bergerak menurutkan sebuah perintah yang
datangnya tidak lewat selaput telinga tetapi langsung menyentuh
otak. Seakan-akan, apapun yang harus ia lakukan, sudah tertulis
nyata di otaknya itu, tanpa ia harus memikirkannya lagi. Namun
hati kecilnya masih mampu bekerja. Tetapi demikian lemah.
demikian tidak berdaya. Sehingga hati kecilnya rasanya bisa
berteriak-teriak dengan putus asa.
“Kau sudah diperbudak!”
Kau sudah diperbudak? Sebagai seorang budak yang patuh ia
berjongkok di depan batok kepala yang kotor dan berkeriput itu.
la menunggu dengan patuh menunggu dengan perasaan cemas
dan takut. Bulu kuduknya meremang Jantungnya menggebu
dengan cepat sama cepat dengan teriakan lelah disanubarinya.
“Lari. Cepat lari. Tinggalkan mahluk terkutuk itu!”
Kakinya lebih terkutuk lagi. Kaki yang bergerak menurutkan
perintah otaknya untuk naik ke atas para, dan setelah berhadap-
hadapan dengan batok kepala manusia bernama Tarjo itu, justeru
menjadi lumpuh tanpa daya. Kelopak mata yang berkerut-kerut
itu perlahan-lahan bergerak. Dan warna merah kehiru-biruan
bagai sinar lazer yang tiba-tiba ditembakkan, membentuk
sepasang garis lurus langsung ke mata Supandi yang tidak
berkedip walau sepicingpun, meskipun hati kecilnya berteriak-
teriak dengan marah:
“Tutup! Tutup matamu, jahanam!”
Terlambat sudah. Karena lewat sinar mata itu otaknya sudah
menangkap sebuah kalimat pertanyaan :
“Sudah kau lihat dalam mimpimu apa yang telah terjadi?”
Supandi menelan ludah. la ingin membuka suara, namun hanya
mampu menggerak kepala. la mengangguk-angguk.
53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Nengsih adalah cinta pertamaku. Aku begitu tergila-gila padanya.
Aku tahu, ia lebih menggilai pengawas onderneming yang kaya
raya tetapi sudah punya bini dan anak selusin itu.. Aku terpaksa
menikahinya... Tetapi haram aku menjamah tubuhnya. Bangsat
pengkhianat itu.. dengan anak haram jadah dalam perutnya... Apa
yang lebih baik kau lakukan? Menceraikannya, bukan?”
Lagi. Supandi manggut-manggut, tanpa sempat berpikir apakah
memang itulah jalan yang terbaik. Menikahi si perempuan busuk,
kemudian menceraikannya begitu saja. Barangkali memang itulah
satu-satunya jalan terbaik. Toh si perempuan hanya
membutuhkan seorang laki-laki untuk dicap sebagai ayah dari
anak haramnya. Setelah itu, gampang baginya mencari laki-laki
lain. la masih muda. Cantik. dan bertubuh montok setelah beranak
satu...
“Sekarang adalah bagianku!” suara gaib itu menyentuh otak
Supandi lagi. “Bawa aku ke sana!”
Supandi semula akan membungkus batok kepala itu dengan
selendang Amalia, tetapi batok kepala itu seakan berteriak marah:
“Biarkan aku menghirup udara yang lebih segar!”
Ia hanya kebingungan sebentar. Dengan cepat ia telah bisa
mengambil keputusan. Rambut di batok kepala itu panjang
tergerai. la menjambaknya dengan tangan gemetar.
rnenggumpalkannya di dalam telapak tangannya, kemudian
mengangkat lunak kepala itu dengan hati-hati. Tak ubahnya
mengangkat dinamit yang masih aktif, yang salah sentuh saja
sedikit, bisa meledak... sia-sia Supandi mengingat di mana letak
tempat yang ia lihat dalam impiannya tadi pagi. la dilahirkan di
desa ini, dan sebelum dibawa merantau ke kota oleh pamannya, ia
sempat menjelajah ke desa-desa di sekitarnya bersama anak-anak
yang sebarya dengan dia. Tetapi saat-saat manis itu telah lama
berselang. la mungkin sudah lupa keadaan desa-desa yang pernah
ia kunjungi. Lebih-lebih lagi, desa yang lihat dalam mimpinya,
suasananya adalah suasana kira-kira seratus tahun yang telah

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lampau. Dan meskipun barangkali sempat dikunjungi Supandi,
tentulah keadaannya sudah jauh berubah. Apalagi sekarang!
Namun, ajaib. Otaknya seperti mendapatkan petunjuk. Kedua
kakinya melangkah dengan tetap, dengan tujuan yang pasti.
Melangkah demikian enak dan ringan. Bahkan sesekali ia berlari,
tanpa merasakan letih. Setiap otot di tubuhnya seakan tiba-tiba
telah menyerap tambahan tenaga, entah darimana datangnya.
Dalam gelap pekat, apalagi karena ia harus menjauhi jalan umum
dan menerobos semak belukar dan hutan rimba. Bulan yang pucat
bersinar lemah, tetapi hal itu tidak menghalangi Supandi. la terus
berlari seolah harus berpacu dengan waktu. Balok kepala yang ia
jinjing, berayun-ayun kian kemari. Angin malam bersiut-siut.
Dingin, menusuk.
***

DARMANTO berjalan hilir mudik di kamar tidurnya. Entah sudah


berapa batang rokok yang sudah ia habiskan. ia tidak ingat lagi.
Sudah pula ia berulang kali menuangkan kopi yang ia reguk
panas-panas, namun kegelisahannya tidak juga mereda. Sesekali
ia berhenti kalau mendengar isterinya, Saerah mengerang-erang
kesakitan.
“Aduhh, kanh... Tolonglah, akang...?”
Bergegas Darmanto mendekati isterinya, dan bertanya dengan
gugup:
“Sudah mau keluar? Sudah mau keluar?”
Saerah mengelus perutnya yang membukit menjawab dengan
suara setengah menangis:
“Iya, kang. Rasanya....”
“Tahan dulu! Jangan dulu! Sebentar lagi paraji datang!”
Isterinya menggigit bibir, berusaha mengangguk. Darmanto
melap keringat yang membasahi wajah isterinya. Memijit-mijit
55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tubuh perempuan itu di bagian-bagian tertentu, seraya
mengucapkan kata-kata menghibur. Ketika ia sendiri sudah
sangat berkeringat dan sangat butuh dihibur, isterinya
bergumam:
“Gerakannya sudah berhenti, kang...!”
“Bagaimana rasanya?”
“Sudah lebih enak…”
Sekarang. Saerah sudah tertidur. Tetapi sewaktu-waktu bayi
dalam kandungannya pasti bergerak lagi, dan Saerah akan
mengerang-ngerang kesakitan. Bahkan menjerit-jerit minta
tolong. Darmanto bisa membayangkan penderitaan Saerah. Itu
adalah kandungannya yang pertama, namun telah berumur
hampir sepuluh bulan. Belum juga brojol ke luar.... Malam ini
kandungan isterinya demikian liar gerakannya. Darmanto bahkan
melihat sendiri bagaimana bagian-bagian tertentu dari perut
isterinya seperti ditendang- tendang dari dalam. Adiknya
Damiadi, sudah satu jam pergi untuk memanggil paraji tetapi
belum pulang-pulang juga. Mungkin paraji sedang mengurus
perempuan lain yang mau melahirkan. Memang ia dengar-dengar,
ada sekitar lima orang yang sedang menunggu datangnya bayi di
kampung mereka...
Darmanto berjalan ke dapur, seraya menghirup kopi dengan
pikiran melantur kian kemari.
“Aku tak percaya segala macam omong kosong itu!" gerutunya
sendirian. "Kandungan Saerah mungkin saja hanya karena
kelainan phisik semata...”
Sepuluh tahun sudah ia menikahi perempuan itu. tetapi belum
juga memperoleh keturunan. Mantri Kesehatan di kampung
mereka mengatakan mungkin salah seorang antara suami isteri
itu mandul adanya. Ingat benar Darmanto bagaimana ia marah
mendengar tuduhan itu. Hampir saja Mantri kesehatan ia pukul,
kalau tak disabar-sabarkan oleh Saerah. Dengan mengorbankan
gajinya sebulan sebagai juru tulis desa, Darmanto memboyong

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
isterinya ke kota. la terpaksa pulang lagi ke kampung untuk
menggadaikan dua kotak sawah, karena dokter spesialis
kandungan di kota meminta biaya besar untuk mengubah
susunan kandungan isterinya yang kata dokter itu, menyimpang.
Tetapi setelah isterinya pulang dari opname di Rumah Sakit itu
lewat lima tahun, belum juga isterinya mengandung sehingga
sesekali sempat Darmanto mendoakan hal bukan-bukan yang ia
tujukan kepada si dokter.
“Semoga uangku yang ia makan membuat perutnya busuk dan
bernanah....l”
Darmanto mengisap sebatang rokok lagi.
“Hem!” gumamnya. “Barangkali doaku yang tak pantas itu yang
menyebabkan semua ini terjadi.”
Tetapi apakah memang demikian? Telah berapa orang dukun dan
ahli-ahli kebatinan yang mereka datangi. Hampir semua
memberikan jawaban yang sama:
“Ini mungkin pembawaan kutuk turunan...”
Hampir gila rasanya Darmanto kalau ingat semua itu. la
mempersetankan ucapan mereka, dan hanya memohon agar
mereka membantu. Itu saja. Lalu seorang dukun yang tersohor
memberikan ramu-ramuan untuk diminum dan sebagian dipakai
menyiram tubuh kalau isterinya mandi. Kandung telur Darman
bahkan sempat diurut-urut oleh dukun itu, setelah mana ia
berkata dengan suara puas:
“Kau akan segera dapat keturunan. Tiduri isterimu malam ini
dengan membiarkan jendela terbuka sampai pagi...” dukun itu
malah sempat berseloroh: “Makin dingin makin enak bukan?”
Dan dua bulan kemudian. Saerah berhenti haid.
“Dan kini sudah hampir sepuluh bulan, tetapi anak yang
kurindukan itu belum mau juga melihat bapaknya, sungut
Darmanto lagi. Apakah ada yang salah dalam ramuan dukun itu?

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Atau sesuatu yang salah dari pekerjaan dokter di kota? Atau
dukun-dukun serta ahli kebathinan itu memang mengatakan hal
yang sebenarnya? Ingin rasanya Darmanto mempersetankan
semua itu.
Tetapi sambil menunggu paraji datang, apa salahnya menganalisa
hal itu. Lalu otaknya mulai bekerja keras menyusun silsilah
keturunan mereka berdua. Keturunannya sendiri. dan garis
keturunan Saerah...
Nenek Darmanto sempat menginjak usia delapan puluh tujuh
tahun. Sebelum beliau meninggal dunia dengan tenang. la pernah
bersuami hanya satu dan anaknya hampir selusin. Ia dulu pernah
kawin lagi. Tetapi konon menurut desas-desus, buyut Darmanto
sempat main gila dengan seorang anak kuli penderes karet.
Namun entah bagaimana, desas desus itu lenyap begitu saja
setelah anak gadis penderes karet itu kawin dengan orang lain.
Kalau tak salah, begitu menurut cerita nenek Darmanto, gadis
penderes itu diceraikan suaminya setelah anak mereka lahir. la
kemudian kawin lagi dengan laki-laki lain, dan beroleh beberapa
orang keturunan. Akan halnya anak perempuan yang ia bawa dari
perkawinan yang pertama, lama sekali baru mendapat jodoh.
Karena tersiar kabar bahwa perempuan itu dilahirkan haram.
Baru setelah menginjak usia tiga puluh tahun, si anak perempuan
yang bernama Parijah dan sempat menjadi teman bermain nenek
Darmanto, dilamar seorang laki-laki pendatang dari desa lain.
Lima tahun setelahnya mereka memperoleh keturunan juga
seorang anak perempuan.
Anak itu cantik. pembawaannya menyenangkan. Namun entah
bagaimana, gagal saja setiap usaha orang tuanya untuk
menikahkannya. Setelah berumur dua puluh enam tahun, barulah
anak perempuan yang bernama Sumirna itu mendapat jodoh.
Malang baginya, seperti juga ibu dan neneknya, ia baru
memperoleh keturunan setelah usia perkawinannya melewati
masa 7 tahun. la meninggal ketika melahirkan anaknya, disusul
oleh nenek anak itu, sehingga si bayi merupakan keturunan
terakhir dari generasi si penderes karet.
58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dari hasil hubungan haramnya dengan buyut Darmanto. Juga
anak itu perempuan, dan diberi nama Saerah oleh kepala desa
yang merasa kasihan akan nasibnya yang yatim piatu. Karena
Darmanto bekerja sebagai juru tulis desa. ia jadi sering bertemu
dengan Saerah. Mereka kemudian saling jatuh cinta. Semua orang
menyetujui dan merestui hubungan mereka berdua, termasuk
nenek Darmanto. Malah neneknya yang paling berbahagia dari
semua orang.
“Kalau kau nikahi si Erah,” demikian sering neneknya berkata
sebelum meninggal. “Berarti kau kembalikan nama baik
leluhurmu. Darah turunan kita bersatu kembali. Semoga kalian
berbahagia..!”
Rukun tenteram, hanya satu saja kekurangannya. Kalau nenek
Saerah baru menikah setelah berumur tiga puluh lima dan ibunya
dua puluh enam, tetapi Saerah menikah ketika mekar-mekamya
remaja: tujuh belas. Tetapi sebaliknya kalau nenek Saerah baru
dapat anak setelah lima tahun kawin dan ibunya setelah tujuh,
kini ia sudah menikahi Saerah selama sepuluh tahun, barulah
harapan mereka untuk mendapat keturunan, bisa terpenuhi.
“Mudah-mudahan doa nenek terkabul!” bisik hatinya. “Siapa tahu
dengan bersatunya kembali darah turunan, kebahagiaan yang
tidak sempat dicicipi leluhur Saerah, mulai sekarang malah ia
nikmati sepuas-puasanya...” lantas dengan hati yang agak
terhibur, Darmanto meninggalkan dapur.
Ketika melewati kamar, ia tidak mendengar apa-apa. Tentulah
Saerah belum diganggu lagi jabang bayinya. Darmamto bergerak
ke ruang depan. la membuka pintu. dan memandang ke kegelapan
di luar rumah. Lama benar si Darmadi pergi. Apakah paraji
sedang menunggu yang akan lahir di rumah lain, dan Darmadi
dengan sabar ikut pula menungguinya?
Sepi sekali di luar rumah. Gelap pula lagi. Sayup sayup, ia
mendengar suara lolongan anjing. Lirih, seperti nneratapi
rembulan yang pucat. Darmanto segera menutup pintu kembali. la
hirup lagi kopinya dan berjalan ke kamar tidur untuk menemani

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Saerah. Tetapi baru saja ia duduk di pinggir tempat tidur tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk dari luar. Ah, tentulah itu Darmadi
membawa paraji. Damianto meletakkan cangkir kopinya di atas
meja, lalu berjalan menuju pintu depan. Senyum ramah seorang
tuan rumah bermain di bibirnya ketika membuka pintu. Dan...
Dan. Sebuah kepala manusia tanpa badan tergantung-gantung di
udara tepat didepan biji matanya!
***

UNTUK selama beberapa detik. Darmanto berdiri terpana dengan


jantung yang berdebur. Namun kesadarannya tidak segera lenyap
secepat lenyapnya warna darah dari wajahnya yang telah
berubah pucat pasi. Matanya yang terbelalak lebar sempat
memperhatikan bahwa rambut di batok kepala itu mengeras
lurus ke atas dan samar-samar ia melihat sebuah lengan dengan
jari-jemari mencengkeram bagian atas rambut itu. Lengan yang
hanya tampak sebahagian itu gemetar hebat, sehingga batok
kepala manusia itu terayun-ayun lemah di udara, tampak sangat
kotor dan berkerut-kerut di sana sini.
Darmanto tidak mau berpikir panjang. Tangannya yang masih
memegang daun pintu mengencang. Ia sudah siap
membantingkan pintu itu sampai tertutup, ketika sekonyong-
konyong kelopak mata yang berkerut-kerut di depan biji matanya
sendiri, mulai bergerak terbuka. Bersamaan dengan itu pula, bibir
keriput dari kepala itu ikut bergerak memperlihatkan seringai
yang melemahkan persendian tubuh Darmanto. Bau busuk
menyerang hidungnya, udara di sekelilingnya menjadi lembab
dan dingin membeku. la gemetar. dan tetap berusaha dengan
susah payah untuk menutupkan pintu.
Tetapi sepasang mata yang ganjil itu mulai bersinar. Sinar api
yang sempurna: merah kebiru-biruan. Tetapi itu bukan api. Tidak
terasa uap panas, melainkan kedinginan yang teramat sangat.
Tidak ada kelap-kelip, melainkan cahaya yang lurus menembus ke
bola mata Darmanto sendiri, menembus batok kepalanya,
60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menyentuh sampai ke otak yang syaraf-syarafnya seketika bagai
diputuskan dengan kejamnya. Lalu. otaknya yang seperti mau
pecah itu, menangkap sebuah perintah tanpa suara: “Mundur!”
Darmanto berusaha mengatupkam kelopak matanya. Tetapi
gagal. Tangannya bergerak menutupkan daun pintu. Juga gagal.
Kakinya goyah, berusaha untuk lari. Juga gagal. Lalu sebuah
kepatuhan yang tidak terbatas menyelusupi seluruh jiwanya.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun juga, ia lantas bergerak
mundur menjauhi pintu. la terus mundur, mundur, sampai
pinggangnya membentur tembok di belakangnya.
Ia tersadar di sana dengan punggung yang dingin, dan jantung
yang bekerja teramat cepat dan keras. Demikan cepat dan
demikian keras, sehingga berada di luar kemampuannya.
Dan ketika seseorang muncul di ambang pintu, dengan kepala
manusia tanpa badan itu terjinjing di tangannya, jantung
Darmanto tak mampu lagi untuk bekerja secara nonnal.
Tubuhnya menggelosor jatuh, berdebuk menimpa lantai ubin.
Diam tidak bergerak-gerak lagi.
Supandi melangkah maju dan setelah berada di dalam segera
menutupkan pintu. Selama beberapa saat, ia memperhatikan laki-
laki yang tergeletak di lantai itu. la ingin tahu, apakah laki-laki itu
telah mati, atau hanya pingsan. Tetapi pikirannya tidak mau
bekerja. Bahkan kecemasanpun sama sekali tidak terasa dalam
hatinya.
“.... kang?” dari kamar tidur terdengar suara perempuan.
Supandi tertegun.
“Apakah mereka sudah datang, kang Manto?”
Supandi bimbang sesaat. Tetapi otaknya telah mendapat perintah
yang tidak bisa dibantah: “Bawa aku padanya!”
Seperti seorang budak yang penurut, Supandi berjalan dengan
langkah-langkah gemetar ke arah sebuah kamar dari mana
terdengar suara si perempuan. Pintunya terbuka. Dengan jelas
61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Supandi melihat bayangan sesosok tubuh perempuan yang
sedang hamil tua, berbaring di atas tempat tidur. Ketika ia
melangkah masuk, dengan kepala mahluk terkutuk itu terjinjing
di tangan, perempuan itu segera melihatnya.
Tidak ada jerit sama sekali.
Sepasang mata perempuan itu hanya terbuka lebar-lebar seperti
mau terlempar ke luar. Perempuan itu bahkan berusaha untuk
bangkit, mungkin didorong oleh naluri atau mungkin hanya
didorong oleh sentakan kaget semata. Tetapi secepat bangkit,
secepat itu pula matanya tertutup, lalu tubuhnya terhempas jatuh
kembali di atas kasur. Pingsan.
Supandi diam. Menunggu.
Lalu.
“Letakkan aku di sana. Cepat!”
Supandi bergerak ke tempat tidur. Lalu meletakkan kepala
manusia terkutuk itu di samping si perempuan yang terkapar
diam di atas tempat tidur.
“Buka kainnya!”
Supandi membuka kain perempuan itu.
“Angkat ke atas!”
Supandi menarik kain perempuan itu ke atas.
“Lebih ke atas lagi. Lagi...!”
Kini bagian bawah tubuh perempuan itu tidak tertutupi sehelai
benangpun juga. Otak Supandi menyentuh syarat-syarat di
sekujur tubuhnya. la lalu bergerak tanpa perintah lagi. Kepala itu
di angkat, lalu ia telakkan di antara selangkangan si perempuan.
Setelah yakin kepala itu menghadap langsung ke rahim
perempuan malang itu, kain yang ia pegang kemudian ia
lepaskan. Kemudian ia mundur. Bergerak menjauh, tetapi

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terkutuk benar, ia tidak kuasa untuk mengalihkan matanya dari
pemandangan mengerikan yang akan berlangsung.
Kain yang menutupi bagian bawah perempuan ia bergerak-gerak.
Mula-mula lambat, kemudian liar dan semakin liar, sesekali
tcrlonjak-lonjak. Telinga Supandi seperti mendengar suara
menghisap - ataukah itu suara mulut menghirup? - lalu si
perempuan tiba-tiba membuka lebar kedua matanya. Bersamaan
dengan itu. tubuhnya terlonjak dengan hebat. Sebuah pekik
kesakitan yang menyayat tulang, lepas dari mulutnya yang kering
dan pucat. Pekik kesakitan itu hanya terdengar sejenak, untuk
kemudian lenyap meninggalkan kesepian yang sunyi menyentak.
Perempuan itu terhempas jatuh di tempat tidurnya.
Entah pingsan. Entah mati.
Sesuatu terlonjak-lonjak lagi di bawah kain.
Lalu diam.
“Keluarkan aku sekarang!”
Dengan lutut gemetar dan mata berlinangkan butir-butir air.
Supandi bergerak maju. la singkapkan kain yang menutupi bagian
bawah tubuh perempuan itu. Semula ia menduga akan melihat
darah yang bersimbah. Tapi tidak. Tidak ada darah sama sekali.
Yang ada hanyalah kepala mahluk terkutuk itu yang matanya
menyorot langsung ke mata Supandi. yang bibirnya menyeringai
lebar. Bibir yang kini sudah kemerah-merahan. Ada darah
menetes membasahi dagunya...
Tidak. Masih ada sebentuk benda lain. Yakni, segumpal benda
lembut tak lebih besar dari kepalan tangan. Terdiri dari kulit
membalut daging sepasang tangan yang kecil-mungil, sepasang
kaki, dan sebuah kepala dengan rambut yang gomplok subur
tetapi dengan kelopak mata terkatup dan bibir yang membentuk
garis tajam, seolah ditarik darh dalam oleh sebuah kekuatan gaib.
Bayi itu tidak berwarna merah seperti lazimnya bayi yang baru
lahir. Melainkan pucat, dengan kulit yang kering. Tidak ada suara

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tangis sama sekali. Tangis orok yang beruntung masih mendapat
tempat di pojok dunia yang sudah sempit dan berbau busuk ini.
***

Pintu depan masih terbuka ketika Darmadi tiba bersama seorang


paraji perempuan. Mula-mula kedua mereka tidak
memperlihatkan hal itu. Mereka barulah merasa heran ketika
melihat Darmanto duduk mencangkung di lantai. dengan
punggung bersandar ke tembok. la tidak bangkit untuk
menyongsong adik dan paraji itu. la malah tidak bergerak sama
sekali. la hanya memandang kedatangan mereka dengan tatapan
mata kosong tidak bersinar sama sekali.
“Apa kerjamu ini, kang?” tanya Darmadi, heran.
Darmanto tidak menyahut.
Perasaan tidak enak menyelusup dalam diri Darmadi. Ia segera
berlari ke kamar tidur, diikut oleh ibu Paraji. Di ambang pintu
yang menganga lebar, mereka sama tertegun. Kakak ipar Darmadi
berbaring ditempat semula Darmadi terakhir melihatnya. Tetapi
sebuah perubahan besar telah terjadi atas diri Saerah. Wajah
Saerah pucat tidak berdarah. Tubuhnya diam, tidak
memperlihatkan tanda-tanda hidup sama sekali. Lebih aneh lagi,
perutnya yang menggunung tampak sudah kempes.
Lama mereka berdua terpana di ambang pintu, sampai kemudian
ibu Paraji yang mula-mula sadar lalu bergerak mendekati tempat
tidur. Kain yang menutupi bagian bawah tubuh Saerah, ia angkat
dengan tangan gemetar. Ketika kain itu terlepas dari tangannya,
ibu Paraji menjerit, lalu lari pontang-panting ke luar dari rumah
yang menakutkannya itu.
Darmadi merasakan sekujur tubuhnya dingin. Sesaat ketika ibu
Paraji tadi menyingkapkan kain kakak iparnya, matanya sempat
menangkap benda aneh di sana. la tidak melihat adanya darah...

64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dengan menguat-nguatkan hati. Darmadi kembali ke ruang
depan…
Abangnya masih duduk mencangkung di tempatnya semula. la
melihat ke arah Darmanto. Dan tampaknya ia mendengarkan
dengan serius pertanyaan adiknya:
“Apa yang terjadi, kang manto?”
Sesaat, tidak ada jawaban. Lalu, pelan pelan bibir Darmanto yang
kering membuka. Terdengar suaranya yang parau: “Siapa kau?”
Tengah malam buta itu, seluruh kampung menjadi gempar.
***

HAMPIR tigapuluh kilo meter dari kampung yang tengah dilanda


kegemparan itu. Amalia menghirup udara pagi yang cerah ketika
ia membuka jendela kamar tidurnya. Betapa nyaman dan
tenangnya suasana di sekeliling, sehingga ia untuk beberapa saat
termangu-mangu dengan kagum. Alangkah jauh berbeda dengan
suasana di kota yang hiruk pikuk, serta setiap jam yang berlalu
manusia ditempa untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup
sehari- hari.
Di kampung ini, ia hanya membutuhkan tak lebih dari tiga jam
satu hari untuk mengajar namun gajinya sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Belum lagi dari hasil
panenan padi dua kali setahun dan tambahan penghasilan
suaminya sebagai pembantu tata usaha dikantor kecamatan yang
letaknya di desa mereka. Tanah dipekarangan samping, saat itu
kelihatan basah berembun. Warnanya lebih merah, tidak lagi
kehitam hitaman seperti biasanya. Tanaman kembang di samping
rumah, tumbuh mekar, dan rumput mulai merambat di sana-sini.
Aneh, pikir Amalia.
Semenjak suaminya berhenti menggali sumur yang kemudian
longsor itu. udara di sekitar rumah mereka terasa lebih sejuk dan
tanah lebih lembab dan berudara basah. Barangkali, kalau
65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
suaminya tidak berhenti. mungkin ada saja mata air nun jauh di
bawah tanah. Ataukah mata air itu telah keluar, justru ketika
sumur galian suaminya sebaliknya tertimbun rapat?
“Ada atau tidak mata air di bawah sana, lebih baik suamiku tidak
lagi mulai menggali tanah...” pikir Amalia dengan perasaan
senang. Keputusan itu tentu saja mewajibkan Amalia untuk
bersusah payah setiap hari ke pemandian umum. Kini pun, lewat
jendela yang terbuka ia lihat suaminya sedang berjalan ke arah
pemandian itu, dengan dua ember plastik yang besar terjinjing di
kedua tangannya. Suaminya tampak kekar dan sehat. ltu jauh
lebih menyenangkan. daripada melihat Supandi dengan putus asa
menggali semakin jauh ke dalam tanah, untuk kemudian jatuh
meringkuk ditempat tidur. Sakit-sakitan.
Setelah menghirup udara segar lagi berulang-ulang. Amalia mulai
membereskan tempat tidur. Ketika sprei ia kembangkan, serpihan
kapur kering bertaburan kian kemari. Reflek, Amalia tengadah.
memandang langit-langit, Oh pantaslah, kapur lapisan langit-
langit telah berlepasan di sana-sini. Mungkin ada tikus besar yang
berkejar-kejaran tadi malam diatas para...
Ketika ia menyapu lantai rumah, ia melihat lebih banyak lagi
serpihan-serpihan kapur dan lebih banyak tempat di langit-langit
yang lapisnya berlepasan. Bukan itu saja. Ada semacam bau tidak
enak, menyentuh hidungnya. la telah mengembang-kempiskan
lubang hidung, telah mengendus kian kemari. Mula dari kolong
tempat tidur, kolong lemari, toilet, sampai sudut-sudut dapur.
Tetapi ia tidak menemukan sumber bau yang ganjil itu.
Waktu mereka sarapan pagi bersama, Amalia mengutarakan hal
itu pada suaminya:
“Rasanya bau busuk di rumah ini, kang, siapa tahu ada bangkai
tikus di atas para. Tidaklah lebih baik akang periksa?”
Wajah supandi berubah.
Melihat perubahan di wajah Supandi.

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hai, mengapa pula? Ah, barangkali, karena tidak pantas
mengutarakan soal bangkai tikus, justru selagi mereka sedang
menyantap hidangan pagi. Amalia merasa menyesal dan sudah
akan minta maaf ketika suaminya bergumam:
“Nantilah kuperiksa.”
***

Sementara Amalia membersihkan perabotan makan di kamar


mandi, Supandi naik ke para-para. Hanya sebentar ia di atas.
Ketika Amalia melihatnya, Supandi tengah melap meja sampai
bersih.
“Memang bangkai tikus, Sudah kubuang jauh-jauh, Lia!”
Ketika mengucapkan kalimat itu, wajah Supandi kecut dan pucat.
Tetapi Amalia tidak begitu memperhatikannya. Karena ketika itu
perhatiannya sedang tertuju ke suatu tempat di belakang rumah.
Supandi ikut menoleh. Dan ia melihat seorang perempuan tua
renta, berdiri memandang rumah mereka dari kejauhan.
“Aneh,” bisik Amalia. “Rasanya makin sering nenek Ijah muncul di
desa...!”
Supandi angkat bahu. Setelah merapihkan pakaiannya, ia
mengambil map dan keluar dari rumah setelah pamit pada
isterinya. Sudah berapa hari aku tak masuk kerja, banyak
pembukuan yang harus kukerjakan hari ini, katanya. Lalu ia pergi.
Diantar oleh pandangan sayang isterinya. Ah, juga diiringi
pandangan mata perempuan tua itu.
Nenek itu mengusap wajahnya berulang-ulang, mulutnya seperti
menggumamkan sesuatu. Amalia tidak mendengar apa yang
digumamkan perempuan tua renta itu. la bermaksud
memanggilnya untuk singgah. Tetapi nenek Ijah sudah pergi.
seraya menyeret-nyeret kakinya yang berat.
***

67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
WAJAH Supandi masih kecut setiba ia di kantor kecamatan. Masih
untung kalau Amalia mengira bau busuk di para-para
dikarenakan bangkai tikus, pikimya. Ketika mula pertama
menemukan anggota tubuh mahluk yang mengerikan itu di dalam
sumur, Supandi sendiri memang sudah mencium bau busuk yang
aneh. Tetapi tidak setajam yang tercium oleh hidungnya pagi ini,
ketika ia naik ke para memenuhi permintaan isterinya. Ketika itu,
hati kecilnya berharap batok kepala itu sudah membusuk. Sudah
membangkai. Dengan demikian ia akan terbebas dari
pengaruhnya .
Dan makhluk itu memancarkan api amarah dari sela-sela kelopak
matanya, menembus keremangan di sekitar para, membunuh
langsung harapan Supandi yang sia-sia.
“Budak celaka.” otaknya disentuh oleh sumpah serapah yang
menyakitkan hati. “Jangan harap kau bisa lepas dari
cengkeramanku!”
Pemberontakan dalam hati kecil Supandi mati seketika.
Pikirannya beku. Selama beberapa saat ia hanya tennangu-mangu
seperti orang tidak sadar. Baru ketika ia mendengar suara Amalia
di bawah menanyakan apakah ada bangkai tikus, ia tersadar dan
segera membungkus batok kepala itu rapat-rapat dengan
selendang milik isterinya. Bau busuk itu tidak sekeras tadi lagi.
Tetapi sesuatu yang lain segera menarik perhatian Supandi.
Dasar selendang di mana bagian leher kepala itu terletak, tampak
lembab dan sedikit basah. Warnanya kemerah-merahan, darah!
Supandi menggigil.
la tidak membalas tegur sapa pesuruh kantor yang sedang
mendorong sepedanya ketika mereka berpapasan di pintu pagar.
Ucapan selamat bu Nani, sekretaris Pertiwi dan satu-satunya
pegawai perempuan di kantor kecamatam itu, meski disertai
senyum manis di bibirnya yang merekah, pun tidak berhasil
menggugah lamunan Supandi. la langsung menuju mejanya,
meletakkan map lalu menghenyakkan pantatnya di kursi, duduk
termangu-mangu.
68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tiba-tiba ia sadar bahwa ia merasa asing di tempat itu. la tidak
tahu mengapa ia harus berada di kantor kecamatan. Mengapa
harus duduk di tempatnya sekarang. Dan apa yang harus ia
kerjakan. Seketika. ia tampak lebih bingung dari juru tulis tua
pelupa yang duduk disebelah mejanya. Juru tulis itu sedang sibuk
membongkar kertas- kertas dari satu laci ke laci yang lain. Lalu
seperti orang Iinglung, ia menoleh pada Supandi dan bertanya
dengan penuh harap.
“Den Pandi. Kau melihat kertas-kertas surat dari Bupati?”
Supandi terkejut.
“Ya pak?”
“Surat Bupati. Baru sejam yang lalu kuletakkan di meja ini....”
Supandi menyeringai. Kecut.
“Aku belum lima menit duduk di sini pak.”
“Oh,” dan orang tua itu kalang kabut membongkar laci-laci
mejanya lagi.
Untuk menghilangkan pikirannya yang kacau, Supandi
bermaksud membantu orang tua itu mencari surat yang ia
maksud. Tetapi dari ruangan sebelah keburu muncul kepala tata
usaha dengan setumpuk map di kedua tangannya. la langsung
menuju meja Supandi. mengucapkan selamat pagi dan sedikit
rewel dengan pertanyaan mengapa Supandi tidak masuk
beberapa hari. Lalu meletakkan tumpukan map di tangannya di
depan mata Supandi.
“Laporan tahunan BUUD dan Sekda sekecamatan,” katanya tanpa
penjelasan pendahuluan . “Semrawut. Coba susun kembali.” Lalu
seraya geleng-geleng kepala melihat kebingungan juru tulis, ia
kembali menghilang ke ruangan sebelah.
Supandi memandangi tumpukan map di mejanya. Jadi, itulah yang
harus ia kerjakan hari ini.
***
69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
LEWAT tengah hari, Supandi berhasil menyusun laporan itu
sehingga rapi. tidak semrawut ketika ia terima. Pekerjaan yang
menyita pikiran itu sedikit banyak telah melepaskannya dari
kungkungan perasaan aneh yang ia bawa semenjak meninggalkan
rumah. la pun sudah mulai bisa tersenyum ketika mengetahui
juru tulis telah menemukan surat yang ia cari setengah mati, yang
ternyata sudah agak lusuh terlipat-lipat di saku belakang
celananya. Dengan perasaan lebih enak Supandi menyerahkan
hasil pekerjaannya kepada kepala tata usaha. Pak Camat yang
dulunya adalah bekas kepala sekolah Supandi ketika masih di
sekolah dasar, tersenyum ke alamat Supandi. ltu berarti ada tugas
ekstra untuknya!
“Coba bantu pak Joko membereskan berkas-berkas lama, bung
Pandi. Kalian susun serapih mungkin di rak masing-masing. Dilap
yang bersih. Jangan ketinggalan debu walau setitikpun...!”
Supandi mengangguk lalu berjalan ke ruangan yang lain.
Telinganya masih sempat menangkap pembicaraan antara pak
Camat dengan kepala bagian tata usaha mengenai kesibukan yang
segera mereka hadapi. Kepala tata usaha harus mengeluarkan
biaya yang banyak untuk menyambut kedatangan Bupati minggu
depan. Seekor sapi dan beberapa ekor kambing harus
dikorbankan. Penduduk dikerahkan untuk membersihkan
halaman rumah masing-masing memasang pagar, mengapur dan...
Dan Supandi terbatuk-batuk oleh debu yang beterbangan
menyambutnya ketika memasuki ruang yang mirip gudang itu.
Pak Joko menoleh, dan tampak mulutnya yang tertutup di balik
saputangan, mengguratkan tawa tak bersuara. la kemudian
meneruskan pekerjaannya membongkar isi rak demi rak, laci
demi laci. Membersihkannya satu per satu. Dan di antara debu
yang tak ubahnya kepulan debu jalanan dilanggar kendaraan-
kendaraan yang saling berpacu, seraya terbatuk-batuk Supandi
mengikuti apa yang dilakukan oleh kepala bagian arsip itu.
Banyak sekali map, kotak-kotak penuh surat, buku-buku berbagai
jenis, album-album yang tampaknya sudah jarang dijamah orang.
Sebagian sudah hampir habis dimakan ngengat, sebagian lain

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
warna kertas atau pembungkus albumnya sudah kuning tua
penanda usianya yang sudah tua.
Sambil sesekali menggerutu dari balik sapu-tangan yang menutup
mukanya, pak Joko menerangkan bahwa kebanyakan berkas-
berkas, buku dan abum itu dapat dikumpulkan dari rumah-rumah
penduduk lama dan pertama-sama didirikan di daerah mereka.
Sambil menggapai-gapaikan sebuah buku, ia berkata:
“Ini buku antik. isinya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di
pulau ini. Buku ini semestinya dikirimkan saja ke museum pusat
di ibu kota....”
Supandi mengangguk setuju. la sendiri, iseng-iseng ikut
membolak-balik isi map dan album-album tua yang dibersihkan.
Saat itu ia jongkok di dekat jendela, karena rak tempat album-
album itu letaknya paling bawah, rata dengan lantai. Salah sebuah
dari album itu sudah lepas bagian-bagiannya, sehingga
berantakan.
Hati-hati ia menyusunnya satu persatu tanpa memperdulikan
apakah lembaran-lembaran album berisi potret-potret lama itu
sesuai urutannya. Sesekali matanya menangkap coretan tanggal,
hari dan catatan-catatan kenangan di bawah beberapa buah
photo yang sudah berwarna kuning kecoklat-coklatan.
Entah mengapa. tahu-tahu saja perhatiannya tertarik pada salah
sebuah lembaran album tua itu. Di lembaran itu direkatkan -
hanya sebuah potret ukuran kabinet. Kertasnya mengkilat, sayang
warnanya sudah tidak karuan. Potret itu kabur sekali. Selain
karena ditumpuk tak karuan juga kabur karena dimakan jaman.
Di situ terpampang sebuah keadaan masa silam. Seorang pe
rempuan muda berpakaian adat, cantik, bersangggul, pundak
putih telanjang, duduk di sebuah kursi berbentuk tahta kerajaan,
memangku seorang gadis kecil peranakan. Perempuan itu pasti
orang pribumi. Di sebelahnya, berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, berkumis panjang. berpakaian serdadu Belanda. Dan dari
tampang dan bentuk tubuhnya ia tentulah orang Belanda tulen.
Masih ada beberapa orang lain di latar belakang Tetapi di

71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
samping perempuan muda yang cantik itu, perhatian Supandi
juga tertarik pada seorang laki-laki berselempang, mirip pakaian
pendekar jaman dulu.
Wajah-wajah itu. samar memang. Tetapi, apakah ia pernah
melihatnya?
Supandi merasa jantungnya berdebar. Kencang, berpacu,
sehingga nafasnya agak sesak. Dengan jari jemari gemetar, ia
angkat potret itu lebih tinggi, lebih dekat ke matanya, dan lebih
dekat pada sinar matahari yang menyorot lewat jendela.
Di kaki kunci antik itu, disandarkan sebuah papan kecil
bertuliskan hari. tanggal, bulan dan tahun. Dari penanggalan itu,
Supandi bisa menghitung bahwa potret itu sudah berumur
hampir sembilan puluh tahun!
Tidak. Tidak mungkin ia kenal wajah-wajah itu. Tetapi...
“Ada yang menarik perhatianmu?” Teguran pak Joko itu
mengejutkan Supandi.
“He-eh,” cuma itu jawabnya.
Pak Joko ikut memperhatikan. Mulutnya mendecip-decip. “Begitu
majunya orang-orang kita dulu. Atau ya, potrét yang bagus ini
tentulah hasil kerjaan orang-orang Belanda itu. Bisa
kubayangkan. Sipernotret bersembunyi di balik kamera,
diselubungi kain hitam. Pijit sebuah tombol Tuuuppmmp...!
Terdengar letupan kecil. Asap berkebul ke udara. Dan potret
itupun jadi,” pak Joko mcnggeleng-gelengkan kepala. “Atau
mungkin dengan tehnik yang lebih maju, atau lebih kuno lagi?
Tetapi, bagaimanapun itu sebuah potret yang bagus, bukan?”
Supandi terdiam. Tidak menyahut.
la mempertajam matanya, memperhatikan wajah-wajah itu lebih
jelas. “Siapa mereka-mereka ini?” tanyanya, dengan suara
bergetar.
Pak Joko mengernyitkan dahi. “Eh, kenapa kau? Sakit?”

72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Siapa mereka ini?” ulang Supandi lagi.
“Hem. coba kuingat-ingat.” Pak Joko garuk-garuk kepala.
“Kakekku dulu pernah jadi pegawai residen. la sering bawa album
ke rumah yang ia pinjam dari kantor. Salah satu tidak ia
kembalikan lagi. ltulah abum yang sedang kau susun. Menurut
kakek yang suka mendongeng kalau tengah menidurkan aku dan
adik-adikku, potret itu adalah potret seorang serdadu Belanda
berpangkat opsir...” Pak Joko tertawa kecil. “Lucu ya, waktu itu
aku cuma tahu bahwa opsir adalah pangkat ketentaraan. Tidak
ada jenderal, tidak ada Kolonel, atau perajurit. Semua opsir. Asal
serdadu Belanda. opsir, sampai-sampai kalau tentara pribumi
juga kami sebut...”
“Perempuan cantik ini isterinya?” potong Supandi tak sabar.
“Hem. ya. Dan itu anak mereka satu-satunya, sampai opsir itu
meninggal. Tepatnya, dia tanpa luka, tanpa menderita sakit-sakit.
Mati begitu saja!”
“Mati muda?” cetus Supandi, lirih seraya berpikir-pikir.
“He-eh. Konon diteluh seorang dukun yang menginginkan
isterinya, bagaimana ciri matinya. Yang kuingat. sebelum mati,
opsir itu lebih dulu menembak si dukun. Tetapi pelurunya mental,
Dukun itu kami...”
“Lalu... apakah dukun itu memperoleh apa yang diinginkannya?”
“Tidak. Yang mendapatkan janda muda dan cantik itu. adalah
ajudan sang opsir...”
“Yang mana?”
Pak Joko menunjuk ke orang berpakaian pendekar di potret itu,
yang menarik perhatian Supandi. Bukan tertarik saja. Ketika
mendengar janda itu justru dikawini si pendekar, timbul perasaan
asing di hati Supandi. Perasaan kecewa, muak, benci, dendam dan
marah. Pak Joko yang tidak memperlihatkan perubahan di wajah
Supandi meneruskan ceritanya.

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Pendekar itu seorang bangsawan, konon adalah orang pertama
yang membangun daerah ini. Semua sawah, sungai dan gunung di
sekitar ini adalah miliknya... tepatnya. milik janda muda itu, yang
diwariskan oleh almarhum suami pertamanya... Sayang.
perkawinan mereka konon tak berbahagia. Terutama janda itu. la
sangat sedih ditinggal suami, juga anaknya... itu tuh, anak kecil
yang ia pangku. Mati beberapa hari setelah kematian ayahnya.”
“Mengapa?”
“Hem... entahlah. Kakek tak bercerita sampai di situ. Atau
barangkali ia pernah juga menceritakannya, hanya aku yang
lupa... Hai! Apa yang kau lakukan nak Pandi?” orang tua itu
bertanya dengan suara terkejut.
Tetapi terlambat sudah.
Dengan ujung balpointnya, Supandi telah mencoret habis sampai
menembus kertas potret di tangannya, tepat di bagian wajah sang
ajudan yang tidak saja kebagian warisan tanah berlimpah ruah,
tetapi juga seorang isteri cantik yang mempesona... Tidak sampai
di situ saja. Supandi kemudian juga merobek bagian itu, sampai
wajah dan tubuh si pendekar yang beruntung itu. Tidak
berbentuk lagi!
“Mati kau. jahanam!” suara menggeram keluar dari mulut
Supandi. Suara menggeram yang berat, lirih dan menakutkan.
Pak Joko tersentak mundur.
“Nak Pandi..?” gumamnya terkejut.
Supandi berdiri. Tegak. Nafasnya menderu-deru. Dan ia
memandang orang tua di depannya dengan bola mata yang
kemerah-merahan, dan dagu gemetar menahan gejolak perasaan.
“Kau pasti sakit. Pasti. Lebih baik kau pulang, nak Pandi. Istirahat.
Nanti akan kuceritakan…” Kalimatnya terputus sampai di situ,
karena Supandi sudah bergerak meninggalkan gudang. la
melewati ruangan di mana pak camat masih sibuk berbincang-
bawang dengan kepala tata usaha dan kini juga dengan dua tiga
74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
orang lain. Seperti ketika ia datang. ketika Supandi meninggalkan
kantor kecamatan pun, ia tidak membalas tegur sapa orang-orang
yang dilewatinya. Juru tulis tua itu, memandangi Supandi yang
berjalan pulang kerumahnya, sampai lenyap dari pandangan. la
geleng-geleng kepala, lantas bersungut.
“Jangan-jangan si Pandi itu juga kena kutuk penghuni sumur yang
ia gali...?”
***

AMALIA sedang menyetrika di meja ruang tengah ketika


suaminya muncul di rumah. Ketika mereka berhadapan, ia tidak
melihat sesuatu yang janggal pada wajah suaminya. la hanya
menemukan sinar mata yang aneh, yang membuat ia bertanya
Tanya.
“Aku letih. Ingin tidur!”
“Wah. Siang-siang begini?”
Supandi tidak menyahut, melainkan terus melangkah langsung
masuk tak mau bercakap-cakap sedikitpun. Padahal Amalia ingin
menceritakan, bahwa dia tidak mengerti kemana hilangnya salah
satu selendang yang ia punya. la ingat, ia telah mencarinya
kemaren, atau kemaren dulu. la juga ingat telah mengangkatnya
dari jemuran. Dan baru sekarang. waktu mau disetrika, ia baru
sadar, selendang itu telah tidak ada di mana-mana. Tidak di
keranjang, tidak juga di lemari, tidak kelihatan sama sekali.
Padahal itu adalah selendang kesayangannya. Selendang itu salah
satu dari hadiah perkawinan dari orangtuanya.
***

TANPA melepaskan sepatu, Supandi naik langsung ke tempat


tidur. Tubuhnya yang letih ia hempaskan di atas kasur, dan
matanya terpejam erat menahan sentakan-sentakan aneh dalam

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
otaknya. Sentakan-sentakan itu timbul ketika ia mula pertama
melihat potret tua di kantor kecamatan. Potret perempuan muda
yang cantik jelita. Potret seorang pendekar bangsawan yang tidak
disukainya.... la sudah mengenal mereka. Seolah pernah berjumpa
dengan mereka. Tetapi di mana? Dan bagaimana mungkin? la
bahkan ibunya yang telah melahirkannya, belum lahir ke dunia ini
ketika potret itu dibuat.
Berbagai macam perasaan. berkecamuk dalam dadanya. Perasaan
cinta. Amarah. Kecewa. Cemburu. Dengki. Kebahagiaan yang
direnggut samar-samar ia dengar suara langkah-langkah kaki
memasuki kamar tidur, mendekatinya, terdengar asing di
telinganya. disertai suara yang sangat lembut.
“Kang Pandi. Kau berkeringat. Apamu yang sakit?”
la tidak menyahut. Tidak ingin... Apa urusan orang ini dengan
dirinya?
“Kang Pandi? Kukerok ya?”
Diam sebentar.
“Atau kupijit?”
Jari jemari yang lembut menyentuh kulit kepala. Pundak, lehernya
kemudian jidatnya. la merasa kancing-kancing kemejanya
dilepas, kemudian tali pinggangnya, kemudian sepatu dan kaos
kakinya. Apa yang dikerjakan perempuan itu atas dirinya? Mau
apa dia? Tetapi perempuan asing itu yang tidak lain adalah
Amalia. Isterinya sendiri.
Untunglah tidak menelanjanginya, karena ia sedang marah,
sedang tidak enak perasaan, tidak bernafsu untuk bercumbu.
Perempuan itu hanya mengelus bagian-bagian tubuhnya.
Mengoleskan obat gosok, kemudian memijitnya.
Eh, enak juga pijitan tangan yang halus dan lembut itu. la merasa
agak terhibur. Bahkan mengantuk. Rasanya ia ingin tidur. Malah,
hidungnya seperti melepaskan suara orang tertidur. Suara
mendengkur. Apakah ia tidur? Tidak. Karena ia merasakan pijitan
76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu terus berjalan Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti
sama sekali. la mendengar suara langkah kaki menjauh. Kemudian
pintu yang ditutupkan.
Tidak. la tidak tidur. Pasti- Pasti ia tidak tidur. Coba, ia buka saja
matanya sekarang! Tetapi, mengapa begitu berat? Kelopak
matanya seperti bertaut. Seperti dijalankan, matanya tidak mau
terbuka. Semuanya tampak gelap. Pekat. senyap. Menakutkan.
Tetapi ah... suara apa itu? Suara langkah-langkah kaki di tanah
becek.
Suara hujan menderas turun. Suara nafas-nafas memburu. Suara-
suara memaki. Bentakan. Suara letakan pedang! Lehernya kini
terasa ringan. la dapat menggerakkan, berputar. Dan ia melihat
tidak saja kilatan pedang yang baru saja menabas lehernya. Adu
dua wajah yang lain. Tetapi wajah orang-orang yang memegang
pedang. Wajah seorang bangsawan. Seorang bangsawan yang
berpakaian pendekar. Seorang pendekar bangsawan yang buas.
“Wajah di potret itu?” teriak hati nurani Supandi.
Teriakan yang lemah. Tak bertenaga. Teriakan seorang yang
putus asa, di tengae tengah topan badai yang melanda padang
pasir. Badai? Bukan. ltu suara angin. Bersiut-siut. Suara
pepohonan tumbang Suara teriakan yang riuh rendah. Ah, hanya
gesekan dahan atau batang-batang bambu. Suara binatang-
binatang hutan. Tetapi mana semua benda-berada itu? Mana
semua mahluk-mahluk itu? Tidak ada. Yang ada hanya kepekatan.
Kepekatan yang mengerikan. Rasa letih dan lapar yang menyiksa.
Tetapi sesuatu yang lain lebih menggoda. Hasrat. Hasrat untuk
memperoleh kekuatan. Untuk menjadikan tubuh kebal.
Kebal? Mengapa? Bagaimana? Untuk apa?
Ah, warna pekat itu. lembayung kini. Ada pelangi. tetapi mengapa
begitu lemah dan tidak melingkar? Ah, hanya warna-warna yang
menari oleh tiupan angin, oleh hantaman badai. Di mana ia
sekarang berada? Begitu dingin. Begitu menggigilkan. Heran, ia
telanjang bulat. Dan mengapa ia begini kurus kering...? Tubuhnya
hanya tinggal kulit pembalut tulang Tetapi itu ada dedaunan. Ada
77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akar-akaran. Ada buah-buahan. Mengapa ia tidak memakannya
saja? Dan mata air di dekatnya begitu jernih. Hem. segarrrrrrrr....
nyaman. Perasaannya kini lebih nyaman. Tubuhnya kini lebih
kuat. Tapabrata selama empat puluh hari empat puluh malam
memang bukan pekerjaan yang ringan.
“Kang..?”
Suara halus yang menyapa ..itu mengejutkannya. la menoleh. Dan
melihat seorang gadis yang dadanya baru saja tumbuh mekar
melangkah mendekatinya di sepanjang tepi mata air, menyeret-
nyeret sebelah kakinya yang timpang. Timpang sejak lahir.
Wajahnya yang tidak begitu cantik namun tampak redup dan
merawankan hati itu, kelihatan gembira.
“Aku tahu kau akan tetap hidup, kang Tarjo.”
Tarjo? Mengapa Tarjo? Mengapa bukan Supandi?
la berusaha tersenyum.
“Tetapi aku letih. Dan lapar. ljah…”
Ijah, gadis itu, menurunkan bakul dari gendongannya. “Ini,
kubawakan untukmu. Dalam beberapa hari, kau akan sehat dan
kuat kembali, seperti sediakala...”
Selagi makan. ia teringat seseorang.
“Mana Pariman?” tanyanya, seraya memandang ke sebuah batu
besar yang ditumbuhi lumut. Bersebelahan dengan batu
berbentuk sama, tetapi licin dan bersih, batu yang ia duduki
selama sekian puluh hari sekian puluh malam.
“Rupanya gagal kang Tarjo. la sudah lama pulang. dan kini
mengabdikan diri pada opsir Belanda itu... Malah ia sudah
diangkat jadi centeng kepercayaan. untuk mengawal isteri dan
anak serdadu itu..”
“Hem...!”
“Kau cemburu, kang?”

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Cemburu?” Ia terkejut oleh tuduhan Ijah, adiknya. “Tidak.
Tidak...”
“Perempuan itu punya suami, kang. Dan punya anak.”
Ijah benar. Ningrum, bunga desa yang cantik mempesonakan itu
memang sudah bersuami dan sudah punya anak. Tetapi apa
artinya suami berkulit bule yang gagah, harta yang berlimpah
ruah, anak yang mungil menyenangkan, kalau ranjang dingin saja
dari satu malam ke malam yang lain?
Suaminya yang opsir Belanda itu memang kemudian berhenti dari
ketentaraan dan berusaha lebih memperhatikan keluarga dan
harta miliknya. Tetapi semua itu sia-sia. Kelewang yang telah
membabat selangkangannya dalam salah satu pertempuran, telah
menjadikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang tidak pantas
lagi memangku jabatan seorang jantan.
Dan pada diri Tarjo, anak penderes getah, perkebunan karet milik
suaminya yang opsir Belanda itu, telah mulai menambal hati sang
istri yang kesepian. Sayang, si cantik lebih banyak dikurung dalam
istananya yang indah, sedangkan si kasep, hatinya bisa melamun
di gubuk orangtuanya nun jauh di lembah, seraya sesekali
memandang ke istana di atas bukit. Bak pungguk memandang
rembulan yang minta dicumhu. Pandang yang sesekali beradu.
Banyak nian artinya, tetapi alangkah lebih banyak lagi
halangannya.
Lalu kini, Pariman telah mencoba menembus halangan itu!
Sahabat yang dipercayainya yang menjadi tempat penampungan
duka deritanya telah mencoba menggunting dalam lipatan. la
harus segera kembali ke desa. la harus segera melihat apakah ia
harus segera mundur teratur, atau masih diberi kesempatan
membuat celah-Celah di tembok istana. Untuk itu, ia harus sehat,
harus kuat seperti sedia kala. Ditambah ilmu kebal, dan sebuah
jalan untuk meloloskan diri ke dalam tembok. Yakni. ilmu bathin
yang diturunkan leluhurnya, dan kini telah sempurna dimilikinya.
***

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI tersenyum dalam tidurnya. Amalia memandang heran,
kemudian dengan perasaan yang lebih tenang membaringkan
tubuh di samping suaminya. Selimut ia tarik sampai menutupi
leher. Dan matanya nyalang memandang langit-langit kamar. Sepi
benar malam itu. Tidak terdengar suara apapun juga kecuali
suara burung-burung malam di luar dan sesekali domba-domba
pak Jayusman mengembik di kejauhan. la mencengkeram selimut
kuat-kuat, berusaha mengatasi udara malam yang dingin. Coba ia
bisa memeluk dan mencumbu suaminya, tentulah malam yang
dingin itu akan hangat.
Tetapi suaminya demikian nyenyak tidurnya. Belum bangkit-
bangkit semenjak siang. Kemaren juga begitu. Tetapi ada
perbedaannya. Kemaren mengerang dalam tidurnya. Kini
tersenyum. Mimpi apa gerangan kang Pandi, pikir Amalia dengan
sedikit perasaan cemburu menggurat di hati.
***

Akhirnya apa yang ia harapkan terkabul juga. Suatu hari. opsir


Belanda itu mengirim pesuruhnya menjemput satu- satunya
orang yang diharapkan bisa menyembuhkan penyakit isterinya.
“Telah banyak obat yang diberi den Tarjo.” kata pesuruh itu
seraya mereka berjalan menuju ke istana kecil mungil tempat
berkurang rembulan yang ingin dicumbu itu. “Telah dua tiga
orang dukun pula yang berusaha menyembuhkan. Tetapi tak ada
yang berhasil!”
“Mengapa baru sekarang aku dipanggil?” tanya Tarjo, ingin tahu.
“Karena baru sekarang den Pariman mengatakan, bahwa Aden
bisa menolong,”
“'Hem..”
Pariman. sahabat sepermainan semenjak kecil itu, berdiri diam di
tangga masuk rumah opsir Belanda itu, ketika Tarjo dan

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pengiringnya masuk. Mereka berpandangan sesaat tidak tegur
sapa. Yang ada hanya penukaran pandang mata.
Tarjo berkata lewat sinar matanya: “Tega nian hatimu.”
Sebaliknya. Pariman mengancam: “Jangan coba-coba
menghalangiku merebut perempuan itu!”
Dengan perasaan marah. Tarjo memasuki kamar tidur di mana
sang rembulan sudah lama menanti didampingi suami yang
cemas tiada terperi. Suasana ruangan yang mewah dan indah itu
tidaklah menarik perhatian Tarjo barang sekerdip pun juga.
Karena sesuatu yang lebih indah kini memandangnya. Sepasang
bola mata yang bulat bersinar-sinar. yang dengan penyerahan
kekuatan bathinnya Tarjo bisa menangkap artinya:
“Sering aku ke perkebunan. Tetapi aku tidak melihatmu semenjak
lama...”
Tarje ingin menggoda: “Ah. baru juga beberapa puluh hari.”
Tetapi pandangan mata opsir Belanda yang sudah dipensiunkan
sebelum waktunya itu, membunuh keinginan dalam hati Tarjo. la
kemudian mempersiapkan peralatannya. Sebuah dupa. Setumpuk
menyan. Beberapa potong akar-akaran. Sejemput beras putih,
sejempul beras merah, sebaskom air, segenggam bunga beraneka
macam.
Lalu bibir yang kumat-kamit membaca jampi-jampi, tubuh yang
gemetar bergoyang ke kiri kekanan dengan dahsyat. Padahal. ia
sendiri yakin, semua itu tidak perlu. Semua itu pura-pura belaka.
Karena dengan bertemu muka saja, sang rembulan yang terbaring
lemah, telah memperoleh kekuatan phisik dan jiwanya kembali.
Alangkah halus dan hangatnya wajah Ningrum, ketika ia usap
dengan telapak tangannya, seraya berkata dengan lirih.
“Nyahlah, setan-setan yang menghuni tubuh ini!”
Ningrum memejamkan mata, menikmati sentuhan tangan yang
pertama itu kemudian tersenyum. Dan ketika Tarjo pergi.

81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
perempuan itu segera jatuh tidur dengan pulas. Sang opsir
merasa kagum, senang dan terharu. Hadiah-hadiah yang
dikirimkan ke alamat dukun muda bernama Tarjo itu, kembali ke
alamat si pengirim dengan tambahan pesan:
“Saya lakukan semua itu dengan ketulusan hati semata.”
Sayang, yang jelas hatipun tak kurang adanya. Pariman telah
melancarkan pukulannya yang mematikan. Tarjo menyadari hal
itu, karena di suatu remang petang. opsir yang gagah tetapi tidak
lagi jantan, itu muncul dengan wajah merah padam di depan
rumah Tarjo. Sepucuk pestol berlaras panjang tergenggam di
tangannya. Setelah memaki-maki dalam bahasa leluhurnya, ia
kemudian berkata dengan suara yang patah-patah.
“Kamu kau guna-gunai... aku punya nyonya!”
Tarjo, dibantu oleh adiknya ljah berusaha menenangkan hati sang
opsir. Setelah membantah, ia berusaha menyidik persoalan. Dan
ia segera memperoleh jawabannya. Dalam tidurnya, Ningrum
sering menyebut-nyebut nama Tarjo dengan nada mesra. Pariman
yang mendengar hal itu dari mulut majikannya, segera melihat
kesempatan terbuka baginya untuk memanfaatkan situasi.
“Pasti nyonya diguna-gunai oleh si Tarjo.” katanya dengan
bernafsu. “Aku tahu siapa Tarjo itu. Karena akupun pernah
bertapa bersama dia. Tetapi tapanya tidak benar. Ia berusaha
mencapai ilmu hitam yang mengerikan.”
Akibatnya...
“Duar !” letusan menggema memecahkan kesepian daerah
pegunungan yang tenang itu.
Sang opsir terbelalak. Peluru yang ia tembakan, mental dari
sasaran di dada Tarjo, dan membalik ke arah dirinya. Jarak
tembak yang demikian dekat, dan pukulan balik oleh dorongan
bathin yang dahsyat menyebabkan peluru makan tuan. Langsung
menembus jantung. Opsir Belanda itu mati seketika.

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bukan pandangan orang-orang yang dicemaskan oleh Tarjo.
Melainkan sebuah pertanyaan yang lirih dari mulut Ningrum:
“Mengapa? Mengapa kau harus membunuh dia?”
Lalu perempuan itu mulai menjauh, malah semakin mengurung
diri di istananya. Pariman yang tahu gelagat, semakin
melancarkan fitnah. Desas-desuspun timbul, bahwa kematian
suami Ningrum bukan oleh peluru mental. tetapi oleh teluh.
Terbukti kemudian, anak Ningrum dari suaminya itu, juga mati
secara mengerikan. la diketemukan membusuk di tempat
tidurnya. tanpa menderita sakit setelah masih sehat dan tertawa-
tawa satu hari sebelumnya. Tarjo tidak pernah mengingat apalagi
menjamah anak yang malang itu. Tetapi hatinnya mengetahui apa
yang terjadi.
Dengan melalui seorang dukun, Pariman telah membunuh anak
itu, sebagai jalan untuk memiliki mutlak seluruh apa yang ia
inginkan, Ningrum, dan hartanya yang melimpah. Dan Tarjolah
yang kemudian menjadi kambing hitam satu satunya.
Ketika Ningsih bunting di luar nikah, penduduk banyak yang
menunaikan tangan dan mengayunkan kaki. Tetapi kini, tidak
seorangpun yang berani menjamah tubuh Tarjo. Semua orang
takut diteluh. Satu-satunya jalan yang bisa mereka lakukan,
hanyalah berusaha menjauhi rumah kakak beradik itu, dan
sedapat mungkin tidak punya urusan dengan mereka...
Tarjo tidak bangga atau gembira karenanya. Dengan hati yang
hancur, ia saksikan bagaimana Ningrum mengulurkan tangan ke
arah Pariman. la berusaha semadhi, mencari kekuatan. Tetapi
yang ia peroleh hanyalah sakit hati, dan kekecewaan. Kepalanya
mulai sering berdenyut. Makin lama, denyutan itu makin
menyakitkan, makin mengerikan.
Kini, denyutan itu menyentak dengan kuat! Demikian kuatnya,
sampai Supandi terlonjak dari tidurnya, dan memandangi di
sekitarnya dengan mata yang liar. Tidak ada Pariman. Tidak ada
Ningrum. Tidak ada Ijah yang berusaha menyabarkannya. Yang
ada hanyalah Amalia, yang terbaring di sebelahnya, dan

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menggeliat sedikit waktu Supandi terlonjak duduk di atas ranjang
mereka. Supandi memejamkan mata. Menggigit bibir kuat-kuat,
sampai terasa sakit. Tetapi denyutan yang dahsyat di otaknya itu,
jauh lebih menyakitkan. la cengkeram belakang kepalanya, ia
jambah rambutnya tetapi rasa sakit itu tidak mau berhenti.
Akhirnya, ia meluncur turun dari tempat tidur, dan begitu tegak,
seperti orang mimpi berjalan, ia melangkah pelan tetapi pasti
keluar dari kamar. Kedua tangan tergantung lunglai di sisi
tubuhnya. Matanya kosong, tak bersinar sama sekali.
Tiba di ruang lengah, otaknya bekerja keras. Syaraf-syarafnya
menurut. Lengan kanannya, ia menarik meja ke bawah lubang
para, menempatkan sebuah kursi di atasnya. Kemudian naik dan
lenyap di dalam para... Ia tidak merasa perlu membawa lampu
minyak. Karena kekuatan gaib itu telah menuntun otaknya,
menuntun jiwanya. menuntun phisiknya langsung ke sebuah
bungkusan di salah satu sudut para, diantara kaso-kaso penahan
bilik yang kukuh.
Pelan tetapi pasti, bungkusan itu ia buka. Sebuah batok kepala,
seraut wajah keriput berlipat-lipat, seulas seringai kejam tetapi
berpengaruh, dan selarik sinar api yang ganjil segera terpancar
dari sepasang mata di batok kepala itu. Dan otaknya segera
menangkap suara sayup-sayup:
“Kau sudah tahu... apa yang terjadi... kini kau... harus tahu apa
yang kau... lakukan!” dengan sinar mata yang kosong, Supandi
segera menjambak rambut ikal dan panjang yang terurai di
sekitar batok kepala itu. la mencengkeramnya, kemudian
menariknya seraya bangkit dari duduknya yang tadi bersimpuh.
Rasanya hanya sekejap saja ia telah berada di luar rumah.
Seperti malam sebelumnya, udara malam yang dingin
menyambutnya. Dan seperti malam sebelumnya pula sebuah
kepala manusia terayun-ayun di udara, menurutkan gerakan
tangan Supandi yang berjalan, tepatnya berlari...
***

84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
AMALIA tidur dengan gelisah. Sesekali ia mengeluh, dan dilain
kali nafasnya tampak memburu. la merasa sesak. ingin teriak dan
kemudian terbangun. Perasaan tidak enak menghantui dadanya.
la coba nyalakan kedua belah matanya ke seputar kamar yang
diterangi samar-samar oleh lampu redup di pojok. Tidak ada
sesuatu yang berubah. Kecuali pintu terbuka. Padahal sebelum
masuk tidur telah ia tutupkan terlebih dahulu. Dan kasur di
sampingnya kosong dan dingin.
Amalia mendekatkan lengan kiri ke wajahnya berusaha melihat
jam. tetapi pandangan matanya kabur. Resah. Ia bangkit, dan
duduk menjuntai di pinggir tempat tidur. Barangkali Supandi
sedang di kamar mandi. Kencing malam. Atau barangkali haus.
lalu membikin kopi di dapur Tetapi kok sepi bener? Dari luar
rumah tidak terdengar suara apa-apa, selain deru angin yang
sayup-sayup diselang-seling oleh suara burung malam yang
menyayat, dan jengkerik yang menjerit-jerit. Aneh.
Kesepian malam itu terasa aneh bagi Amalia. Dengan tangan
gemetar ia menyambar kaca mata minusnya di atas toilet,
mengenakannya hati-hati, lalu kembali melirik arloji tangan di
lengannya.
“Sudah larut malam.” gumamnya sendirian.
“Kemana ya kang Pandi? Kok belum muncul-muncul!”
Penasaran, ia keluar dari kamar. Siapa tahu, suaminya karena
terus saja tidur dan tidak makan lebih dahulu, kini kelaparan dan
memerlukan bantuan untuk menghangatkan nasi atau sayur.
Tetapi baru juga satu langkah Amalia ke luar dari kamar tidur ia
tertegun. Sesuatu telah berubah di ruang tengah. Dengan takjub ia
memandang meja yang digeser ke salah satu sudut. Di atas meja
itu terletak sebuah kursi dan di atas kursi lubang masuk ke para.
Eh, ngapain pula Supandi larut malam begini naik ke para? Tetapi,
mengapa gelap betul di atas sana? Dan tidak terdengar suara
sama sekali?
“Kang?” Amalia berseru tertahan.

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada sahutan.
“Kang Pandi?” suaranya diperkeras.
Sepi menyentak Burung malam di luar terdiam tiba-tiba. Tinggal
suara angin bersiut-siut. Karena merasa dingin teramat sangat
yang tiba-tiba, amalia kembali masuk kamar. la mengambil
mantel dan kapstok dekat lemari lalu mengenakannya, agak hagat
kini. Tetapi sesuatu masih terasa menggigil dalam tubuhnya.
Naluri selama yang beberapa hari ini menyentuh uluhatinya,
sering membuatnya takut tanpa sebab.
“Kang Pandi? Dimana kau?” sekali lagi ia memanggil untuk
menyakinkan suaminya tidak mendengar, karena sesuatu hal.
Tetapi tidak ada sahutan. Dengan pikiran gelisah ia ambil lampu
dinding dari gantungannya. membesarkan nyalanya kemudian
bingung dengan tiba-tiba. Apa yang pertama-tama harus ia
lakukan? Naik ke para? Atau ke dapur? Ke kamar mandi untuk
melihat kalau... Tetapi matanya menangkap anak kunci berada di
lubangnya.
Ketika ia bergerak ke sana, ternyata pintu ke arah dapur terkunci.
Jadi suaminya ada di para.
Tetapi, mau apa larut malam begini? Dan mengapa ia tidak
menyahuti panggilannya. Khawatir sesuatu terjadi atas diri
suaminya, Amalia memutuskan untuk melihat ke atas. Dengan
nekat ia naik ke atas meja, terus ke kursi.
Setelah lebih dahulu menyimpan lampu di bagian atas para, ia
berusaha naik ke atas. Karena letaknya sedikit tinggi, terpaksa ia
mengandalkan kekuatan kedua lengan di bibir para dan dorongan
kedua kaki dari bawah. Dalam beberapa saat, ia telah berada di
para. Antara jongkok dan berdiri.
Yang mengherankannya adalah: para itu kosong.
Tidak ada suara tikus berlari menghindar, apalagi gerakan dan
pemujutan suaminya. Tetapi hidungnya yang tajam membaui
sesuatu. Bau busuk yang samar-samar. Bau yang pernah ia cium
86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tadi pagi, bau yang ia sangka berasal dari bau bangkai. Apakah
Supandi tidak jadi membuangnya? Atau ada bangkai itu yang
tersisa di para? Dengan menutup hidung dengan jari-jemari
tangan kiri, tangan kanan menggerakkan lampu ke arah
datangnya bau yang aneh itu. Lalu ia melihat sesuatu yang lebih
mengherankan lagi. Selembar kain di pojok sebelah timur para. la
kenal betul kain itu. Selendang kesayangan hadiah perkawinan
dari ibunya!
“Terlalu kang Pandi.” ia sempat bersungut. “Membungkus bangkai
pakai selendang sebagus itu.”
la berjalan hati-hati, setelah membungkuk, dari satu kaso ke kaso
lainnya. Ketika sampai disudut, ia gerakkan sebelah kaki untuk
melebarkan kaki yang tertumpuk itu. Tetapi tidak ada bangkai
tikus. Tidak ada...eh. tunggu dulu. Apa pula ini? Sebagian dari kain
itu lembab dan basah. Karena selendang dari batik warna krem
dengan lukisan burung kasuari berwarna biru kombinasi hijau,
dan bagian yang lembab justeru di bagian yang polos, maka
dengan seketika Amalia bisa menangkap warna merah. Warna
darah dan... sesungguhnya lah. bau darah. Darah yang telah
membusuk!
Amalia hampir muntah.
Tanpa ingat lagi betapa penting arti selendang itu bagi
perkawinannya, ia segera bergerak mundur. Turun dari para.
meloncati kursi meloncati meja, berlari ke kamar mandi dan...
juuuuaaaaakkkkk! la benar-benar muntah.. Setelah kumur-kumur
kemudian minum setengah gelas air hangat, perasaannya lebih
enak. Ia kemudian keluar dari kamar mandi. Di sana ia tertegun
sebentar.
Di bawah siraman bulan empat belas, ia melihat samar-samar
bekas sumur yang tertimbun longsor itu. Tetapi Supandi tidak ada
di sana sebagaimana yang ia harapkan. Di sebelah sana lagi,
tampak bagian depan rumah pak Jayusman. Gelap, dan sepi. jadi
suaminya juga tidak tengah bertamu.
Lalu, kemana gerangan Supandi pergi, tengah malam buta begini?
87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bingung dan gelisah. Amalia kembali masuk ke dalam rumah.
Keingin tahuan yang sangat menarik, kakinya terus ke ruang
depan, dan ia memeriksa pintu. Ternyata tidak terkunci. Ia
membukanya. Dan angin deras menerpa dari luar, memadamkan
lampu di tangan. Amalia agak terkesiap. Tetapi hanya sebentar.
Matanya kemudian terbiasa dengan kegelapan malam di luar,
yang samar-samar diterangi oleh rembulan.
Sepi. Sepi. Sepi sekali.
Kemana gerangan Supandi larut malam begini?
Sambil memikirkan hal itu, ia nnenutupkan pintu kembali, dan
membiarkannya tidak terkunci. Ia kemudian menyalakan lampu
yang telah padam, meletakkannya di atas meja tamu yang rendah,
dan duduk di sebuah kursi rotan berkaki pendek. Diam.
Menunggu.
***

ROSELA tidak dapat memicingkan mata sekejappun. Mungkin


karena pengaruh kopi kental yang ia minum ketika tadi ia
membaca sebuah novel pop yang ia bawa dari kota, di ruang baca
di wawali. Padahal pak Sasmita sudah memperingatkan:
“Sebaiknya juragan tidur saja. malam sudah larut. Biar saya
sendiri yang akan menunggu sampai Tuan pulang.”
Tetapi novel itu terlalu asyik untuk dilewatkan. Suaminya
memang tahu selera Rosela. Ia selalu membelikan novel-novel
pilihan untuk pengisi waktu sang isteri yang teramat sering ia
tingggal sendirian di rumah. Memang Rosela sering mengikuti
suaminya yang antropoloog itu berkeliling keberbagai daerah. ke
luar masuk tempat-tempat peninggalan kuno, melihat bangunan-
bangunan masa silam, benda-benda peninggalan bersejarah.
Sekedar untuk dapat menyesuaikan diri dengan tugas, tepatnya
jalan hidup sang suami yang sangat tertarik terhadap ilmu
purbakala itu.

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Namun tidak selamanya apa yang menarik hati suaminya, juga
menarik hati Rosela. Sebagai misal saja: suaminya lebih suka
menekuni buku-buku lama, sedangkan Rosela menghabiskan
waktu senggang dengan membaca novel-novel pop.
Sebagai seorang ilmuwan yang pengabdi, gaji suaminya sebagai
seorang dosen di berbagai fakultas tidaklah seberapa. Namun dari
hasil perjalanan yang mereka sering lakukan. Rosela berusaha
memisahkan beberapa buah barang antik yang dikumpulkan
suaminya. Barang-barang itu ia jual dengan harga yang lumayan.
Sayang suaminya tidak menyukai perbuatan Rosela itu.
“Kalau kau butuh, Ella. kau tinggal minta.” suaminya sering
membujuk.
Dan suaminya memang mengatakan yang sebenarnya. Baginya,
uang tidak menjadi persoalan. Ia merupakan seorang pewaris
tunggal sejumlah harta kekayaan berupa sawah dan perkebunan
di kampung asal kelahirannya oleh karena itu Rosela pun tahu
diri.
“Jangan terlalu sering menjual harta warisan itu, sayang.
Biarkanlah semua itu utuh sebagai bekal kita di hari tua bekal
untuk anak-anak kita. Sebagaimana leluhurmu meninggalkannya
untuk bekal keturunan mereka...”
Anak-anak! Wahai, impian kosong belaka, pikir Rosela dengan
pikiran gundah seraya menatap langit-langit kamar yang sudah
lapuk dimakan usia. Enam tahun sudah mereka berumah tangga.
Dan entah berapa tahun lagi. keinginan yang tidak terbendung itu
akan dikabulkan Tuhan. Keponakan Rosela memang banyak dan
sering menginap di rumah mereka, di kota. Akan tetapi, anak-
anak yang manis dan lucu-lucu itu, pada waktunya toh akan
kembali ke orang tuanya masing-masing, Dan selalu Rosela
kembali merasa kesepian.
Ia memejamkan mata yang perih. Apa sebenarnya yang mereka
cari dalam hidup ini? Kebahagiaan? Untuk Rosela memang
jawabannya jelas: ya. Tetapi suaminya? Hendra lebih menyukai
pengabdian. Bukan pada keluarga. Tetapi pada ilmu. Sampai
89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kadang-kadang Rosela takut sendiri menghadapi suaminya yang
sering tampak asing di matanya. Terutama setelah suaminya
berusaha memperdalami ilmu kebatinan, yang katanya akan lebih
mendekatkan dirinya pada usaha untuk mempelajari lebih
banyak kehidupan nenek moyang mereka di jaman dahulu kala.
Tak jarang Hendra berkata; “Konon di antara leluhur, ada yang
ahli kebathinan. Mengapa aku tidak bisa?”
Untunglah tugasnya sebagai seorang dosen, membuat Hendra
tidak punya banyak waktu mendalami ilmu kehathinan itu,
dengan ambil beberapa misalnya, atau- astaga !- memuja kuburan
keramat! Tetapi masa libur panjang yang mereka jalani sekarang,
tampaknya membuat kesempatan lebih banyak buat Hendra. la
mengajak Rosela berlibur ke daerah kelahirannya. Hiruk pikuk
kota besar yang membisingkan, tetapi mencekik di rumah sendiri.
ada kalanya terasa membosankan. Oleh karena itu Rosela dengan
senang hati memenuhi permintaan suaminya, dengan harapan
udara pegunungan yang segar bisa menambah romantis
hubungan mereka yang belakangan ini terasa agak dingin.
Kenyataannya? Rosela lebih banyak ditinggal sendirian di rumah.
Hendra, dengan meninggalkan mobil di garasi sering pergi
berkeliling dengan menunggang kuda. Katanya untuk mengujungi
beberapa orang yang terhitung kaum kerabat, tetapi Rosela
menduga, pasti mencari ahli kebathinan. Rosela dapat merasakan
hal itu, ketika kemaren petang ia diajak berziarah ke kompleks
pemakaman leluhur suaminya di puncak bukit. Tempat itu sangat
menyenangkan, dengan panorama yang indah kemanapun mata
memandang, andai saja tidak ada kuburan-kuburan di dekat
mereka. Dan beberapa di antara makam itu, termasuk makam
yang sudah berumur seratus tahun, yang oleh Hendra dikatakan
termasuk makam keramat.
“Aku bermaksud menjajaki jalan hidup yang ditempuh leluhurku,”
kata Hendra petang itu seraya memandang batu nisan makam
satu persatu. Banyak tertulis nama-nama. tanggal-tanggal bahkan
jabatan almarhum. Rosela masih ingat beberapa nama:
Puradinata, sudah seratus sebelas tahun. Hayati, seratus dua
90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tahun. Kusumawanti, dalam kurung Ningrum, delapan puluh
tahun usia makamnya. Beberapa tahun pula umur mereka
semasih hidup? Ningrum itu misalnya, dan umur Pariman, yang
konon menjadi leluhur langsung dari Hendra, dan konon punya
sejarah tersendiri semasa hidupnya. Sejarah bagaimana, Rosela
tidak begitu tertarik untuk mendengarnya, sama tidak tertariknya
ia pada buku-buku tua suaminya.
Dan Hendra sendiri tidak suka menceritakan, mungkin belum,
atau lebih tepat mungkin pikirannya lebih tercurah pada
hubungan bathinnya dengan leluhumya itu... Rumah tua ini juga
punya sejarah sendiri, kata Hendra.
Tentu saja, sering Rosela berpikir. Karena rumah ini termasuk
rumah peninggalan jaman dulu. Usianya pasti sudah lebih dari
satu abad, dibangun menurut konstruksi bangunan Belanda.
Ruangan bawah untuk ruang tamu yang luas, ruang makan yang
sama luasnya. Kamar-kamar untuk pembantu, dan kamar-kamar
tidur serta ruang perpustakaan di tingkat atas. Perabotannya
kebanyakan antik, Rosela kadangkala berhitung-hitung di kepala.
Berapa juta rupiah uang yang bakal masuk ke kantong kalau saja
ia dan suaminya tidak sayang untuk melepaskannya. Bangunan
itu sendiri, sebagian sudah miring mau runtuh. Hendra punya
rencana untuk suatu ketika memugarnya. Tetapi dipugar atau
tidak. dengan kondisinya yang sekarang, bangunan tua itu masih
mampu menampung setengah lusin keluarga suami isteri, plus
dua atau tiga anak tiap keluarga.
Dan malam ini, hanya ada keluarga pak Sasmita di bawah. Dan ia
sendirian.. di kamar utama di tingkat atas. Tiada televisi. Tiada
aliran listrik. Tiada suara orang mondar-mandir. Sepi. Sunyi
menyentak Kalau saja Rosela tidak sering mengikuti suaminya
mengunjungi tempat-tempat keramat, terutama kalau saja ia baru
pertama kali berdiam di rumah ini, pastilah Rosela tidak akan
mau berpisah sejengkalpun dari sisi suaminya.
Sekarang ia sudah merasa terbiasa, dan terutama karena sore
tadi, Hendra berkata bahwa ia diundang makan oleh salah

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
seorang penduduk lama di balik bukit. Letaknya hampir lima
belas kilo, dan tidak bisa ditempuh dengan mengendarai mobil.
“Punggung kuda akan merontokkan pinggulmu yang indah,” kata
suaminya seraya tersenyum. “Tetapi kalau kau bersikeras...”
“Tidak. Aku tinggal saja di rumah,” potong Rosela. “Asal perginya
tidak lama.”
Hendra berjanji akan pulang sebelum jam sembilan. Tetapi jam
sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat beberapa
menit ketika Rosela naik ke kamar tidur, Hendra belum pulang-
pulang juga. Apakah tuan rumah yang mengundangnya memaksa
menginap? Atau Hendra mengalami kecelakaan di jalan? Kuda
yang ia tunggangi sudah terbiasa jalan malam. Bulan pun selama
beberapa malam terang benderang la juga membawa senter,
sepucuk senjata berburu. Kalau perlu. Hendra katanya akan
meminta seorang anak tuan rumah yang mengundangnya untuk
mengantar pulang ke puncak bukit. Suaminya tidak akan
menemukan rintangan dalam perjalanan pulang.
Tetapi... mengapa ia belum muncul juga? Apakah…
Ya, barangkali ada anak petani di rumah yang ia kunjungi, pikir
Rosela dengan gundah dan perasaan cemburu yang pelan-pelan
merayapi hatinya. Tetapi ah, mustahil. Selama mereka pacaran
dan sampai sekian tahun mereka berumah tangga, ada satu yang
menjadi pendorong Rosela untuk tidak minta cerai dari suaminya.
Kesetiaan. Ya. Hendra seorang kekasih dan suami yang
berpendirian teguh, bahwa isterinya lebih cantik dan lebih
munpesonakan dari perempuan manapun juga...
Nah, itu buktinya! Rosela mendengar suara ketukan-ketukan
halus pada daun pintu masuk di bawahnya. Sepasang mata Rosela
terbuka nyalang. Dengan wajah berseri. Rosela menyambar
lampu minyak di atas toilet, dan bergegas keluar dari kamar.
Koridor panjang dan lurus segera menyambutnya.
***

92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lengang benar rumah itu. Hanya ketukan-ketukan halus itu saja
yang terdengar. Langkah-langkah kaki Rosela sepanjang koridor
berdetak-detak lembut. Sempat ia memandang kepintu kamar
yang ditempati keluarga pak Sasmita di ruangan bawah. Tertutup
rapat. Mereka tentu sedang tertidur nyenyak setelah ikut
membantu pekerjaan penyawah-penyawah yang sedang
mengetam padi di sawah milik Hendra. sepanjang hari.
Namun ketika menuruni tangga. Rosela sempat tertegun.
Mengapa mengetuk? ..biasanya memukul lonceng di samping
pintu. Lebih keras. Lebih nyata. Ah, barangkali karena merasa
bersalah pulang kelewat larut. Hendra enggan mempergunakan
lonceng besi yang berisik itu. Sengaja ia mengetuk agar isterinya
ia sangka sudah tertidur, tidak terbangun dan pak Sasmita yang
membukakan pintu.
Hem. pikir Rosela, aku akan memperlihatkan muka cemberut
pertanda tidak senang dengan kelakuannya!
Lalu ia cemberutkan bibir, meskipun hatinya senang.
Palang pintu iu lepaskan. Kemudian putar. Daun pintu ia buka,
lampu minyak ia naikkan lebih tinggi sedikit ke depan, sehingga
menerangi wajahnya sendiri. dan memandang orang yang berada
di luar pintu.
Tidak! itu bukan orang! bergantungan... kepala seseorang kepala
tanpa badan. tergantung-gantung di udara, dengan mulut keriput
menyeringai memperlihatkan gigi kuning kecoklat-coklatan, lidah
kemerahan seperti darah dan, sinar mata yang berkilauan di
wajah yang mengerikan itu.
Sinar mata yang aneh Sinar mata yang mendatangkan pengaruh
ganjil pada diri Rosela. la tidak sampai jatuh pingsan. la hanya
dipaksa oleh semacam kekuatan untuk tetap tegak di tempatnya
berdiri dengan mata terbuka lebar, hati terpukau, dan otak yang
terasa kaku dengan tiba-tiba.

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Otak yang entah bagaimana telah menangkap suara sayup-sayup,
suara yang dingin. Suara yang tajam berpengaruh. Suara yang
tidak bisa di bantahi.
***

Pak Kartijo berusia tiga perempat abad, ia mempunyai tiga orang


anak perempuan dan dua anak laki-laki. Tetapi semua sudah
menikah dan memilih hidup sendiri sendiri. merantau ke
berbagai daerah. ia beruntung mempunyai serombongan cucu
dan sebagian mereka sudah memberikan cicit. Diantara cicitnya
ada lima orang perawan. dua diantaranya sudah siap dijamah laki
laki. mereka sering menengok moyangnya namun tak seorangpun
mau tinggal bersama pak Kartijo. Jadi sepi keadaan dirumah itu
ketika Hendra datang bertamu. Selain isterinya yang sudah tua.
Pak Kartijo mengundang juga beberapa orang jiran untuk
menghadiri jamuan makan malam itu yang ia adakan setiap
Hendra pulang kampong, istri pak kartijo adalah bekas inang
pengasuh moyang Hendra, yakni Ningrum Kusumawati. la dan
suaminya sebenarnya lebih suka mendatangi bangunan tua di
atas bukit. Tetapi Hendra selalu melarang: “Kalian sudah tua.
Tidak sanggup berjalan jauh. Biarlah aku saja yang datang
menjenguk kalian!”
Dan malam itu, jamuan makan malam yang dihidangkan.
dinikmati sepenuhnya oleh Hendra. Terutama yang paling ia
nikmati adalah dongeng seusai makan. Dongeng yang sudah
sangat sering diceritakan suami isteri tua itu, namun senantiasa
Hendra keranjingan untuk mendengarkan. Kehidupan nenek
moyangnya sering menjadi impian Hendra. Sampai ia hafal setiap
peristiwa yang diceritakan pak Kartijo suami isteri. Bahkan
merasa begitu dekat dengan masa peristiwa lampau itu masih
berlangsung.
Oleh karena itulah ia sangat kecewa, ketika pak Kartijo
mengingatkannya pada waktu: “Sudah pukul sepuluh, nak.

94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah tidak lebih baik pulang saja sekarang? isterimu pasti
gelisah menunggu.”
Ah, Andai saja Rosela ada di sini. Tidak ia tinggalkan di rumah tua
itu!
***

Dengan bantuan sinar rembulan Hendra berpacu menuju pulang.


la sudah sangat mengenal jalan yang harus ia lalui. meskipun hari
telah larut malam. Kudanya, lebih-Iebih lagi. tak heran, kuda dan
penunggangnya dengan mudah selalu dapat menghindari jalan-
jalan terjal dan berbatu-batuan, atau pinggir jurang yang
menganga. Begitupun toh mereka terpaksa juga bergerak sangat
lambat agar tidak sampai tertimpa celaka atau cidera yang
keduanya tidak menghendaki. Dan setiap melihat jalan sedikit
terbuka, ia memacu kudanya dengan cepat.
Heran. Ada semacam perasaan ganjil dalam dirinya. Yang seolah-
olah mengatakan, isterinya mengalami sesuatu di rumah. Sesuatu
apa, ia tidak tahu, tetapi bathinnya mengatakan hal itu dengan
jelas. Tanpa terasa. ia mengokang senjata berburunya, dan
membiarkannya tidak terkunci begitu ia hampir tiba di rumah.
Yang pertama-tama menarik perhatiannya, adalah jendela kamar
tidur di tingkat atas. Jendela itu gelap. Apakah Rosela sedang
tidur? Dari celah-celah pintu depan di bawah Hendra melihat
sinar lampu membersit ke luar. Pintu tertutup, dan tidak ada
suara apa- apa kedengaran dari luar.
Sepi. Sepi sekali. Kalau ada apa-apa, tentulah suasana lebih berisik
atau ada tanda-tanda keributan. Bukankah pak Sasmita, isterinya,
dan dua orang anak mereka sudah berumur belasan tahun ikut
menemani Rosela di rumah? Lagi pula, sepanjang
pengetahuannya. daerah ini aman dari tangan-tangan jahil atau
orang-orang yang berniat busuk. Terutama akibat pengaruh
leluhurnya yang mashur ke seputar daerah itu. Tidak, tidak

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terjadi sesuatu yang memcemaskan di rumah, pikirnya dengan
perasaan lebih tenang.
la kemudian menyimpan kudanya di istal. Dua ekor kuda yang
lain. menyambut kehadiran Hendra dengan mata terbuka lebar
dan suara mendengus yang lirih. Salah seekor dari kuda itu, yang
biasa ditunggangi Rosela, terlalu sering menghentakkan kaki.
Namun tidak begitu diperhatikan oleh Hendra. Dengan senter di
tangan kiri dan senjata berlaras di tangan kanan, ia berjalan
memasuki pekarangan dan tanpa ragu-ragu langsung menuju
pintu. Dan ia terkesiap seketika waktu akan memukul lonceng,
pintu itu telah dibuka dari dalam. Sinar lampu minyak yang
terang segera menerobos ke luar.
Untuk sesaat. Hendra merasa sedikit silau, dan refleks tangannya
memegang senjata lebih erat. Tetapi tidak ada yang mengejutkan
terjadi, kecuali suara isterinya yang menyambut dengan suara
lemah lembut:
“Masuklah Hendraku tersayang....”
Ah, terlalu mesra sambutan itu. Menyindirkah Rosela? la coba
menyelidiki wajah isterinya. Tetapi sinar lampu yang menerangi
wajah mereka menyebabkan Hendra tidak bisa melihat wajah
Rosela yang sedikit pucat serta sinar matanya yang menatap
kosong. dan bahkan kemudian juga gerak-geriknya yang agak
kaku!
Hendra masuk. menutupkan pintu sekaligus Ia dan memalangnya,
menyandarkan senjata berburunya ke tembok yang kapurnya
sudah tak karuan warnanya. Seraya melepaskan jaket kulit yang
menyesakkan dada, ia berusaha bertanya dengan lunak:
“Seharusnya kau tidak menunggu. Mengapa bukan pak Sasmita
saja?”
Tiada sahutan sama sekali.
Yang ada ialah gerakan kaki isterinya yang berjalan melewati
tubuhnya, langsung menaiki tangga ke tingkat atas, tanpa

96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menoleh barang sekalipun. Lampu di tangan ia angkat sama tinggi
dengan dadanya, meninggalkan bayang-bayang tubuhnya yang
meliuk dari anak tangga yang satu ke anak tangga yang lain. Wah
ini gelagat tak baik. la tentu marah, pikir Hendra dengan sedikit
perasaan bersalah dalam dirinya. la kemudian mengikuti istrinya
naik ke tingkat atas.
Ketika melompati anak tangga demi anak tangga, hidungnya
mencium bau yang aneh yang tidak pernah ia cium sebelumnya.
Udara pengap dan sangat dingin menusuk, yang juga belum
pernah ia rasakan. Sesaat. ia tertegun. Hidungnya kembang
kempis untuk lebih menciumi bau itu, dan matanya dengan nanar
memandang ke sekitar.
Namun baru juga beberapa detik ia melakukan hal itu. dari atas,
isterinya sudah menegur:
“Naiklah sayangku. Aku sudah tak sabar menunggumu. Malam ini
teramat dingin, bukan?”
Pikiran Hendra yang bijak, segera menangkap arti lain dari
kalimat itu: Hangatkanlah tubuhku, kekasih!
la berusaha melupakan bau dan udara yang asing itu dan segera
naik ke atas. Setelah kakinya menginjak lantai atas, nalurinya
seolah menyuruh untuk berhenti sesaat. Lalu ia memandang ke
ruang bawah. la memperhatikan meja bundar, kursi-kursi
bersandaran tinggi, vas bunga di atasnya, teko dan cangkir-
cangkir antik di dekatnya, lalu dua buah rak di pojok, sebuah
patung perunggu kecil di dekat pintu masuk, lalu pintu-pintu
kamar untuk para pembantu. yang tertutup rapat. Kemudian,
tangga yang terlindung dari cahaya sehingga kelihatan gelap dan
pekat.
Hidungnym masih mencium bau yang asing itu. Kulit tubuhnya
masih merasakan udara yang dingin yang menusuk itu.
Apakah...
“Hendra!”

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Suara lirih yang sayup-sayup itu menyadarkan Hendra. la untuk
kedua kalinya, berusaha melupakan keadaan yang aneh dan
mencurigakan itu, lalu berjalan tertegun-tegun ke kamar tidur.
Dari pintu yang ternganga lebar, ia melihat lampu minyak yang
sudah dikecilkan. Tetapi cahaya remang-remang dalam kamar
masih cukup terang untuk memperlihatkan tubuh isterinya yang
berbaring menelentang di atas tempat tidur, dengan gaun di
dadanya terbuka lebar dan sebelah lututnya terangkat tinggi,
sehingga...
Betapapun. Hendra adalah lelaki!
Dan udara begitu dinginnya, suasana begitu sepinya. Dengan mata
yang bersinar-sinar ia melepas pakaian yang melekat di
tubuhnya. Tanpa lebih dulu menggantinya dengan kimono yang
tersimpan di lemari. Hendra langsung naik ke tempat tidur dan
mulai mencium bibir Rosela. Lembut, hangat dan memabukkan.
Tubuh Rosela sedikit dingin, tetapi Hendra sudah tidak
memperdulikannya....
***

Satu jam kemudian. Rosela bangkit dari tempat tidur. Sejenak, ia


memandangi suaminya yang dengan cepat telah lelap karena letih
oleh perjalanan jauh, ditambah tugas ekstra sebagai seorang
suami. begitu sampai di rumah. Mulut Hendra memperlihatkan
senyum manis dan puas, namun pemandangan itu tidaklah
mengubah sinar kaku dan kosong di mata serta wajah Rosela. la
besarkan nyala lampu, kemudian membawanya ke luar. la
melewati empat pintu yang tertutup sepanjang korridor lurus
membelok ke kanan melewati ruang perpustakaan, lalu di sebelah
ruangan itu memasuki pintu yang berderit bunyinya ketika
dibuka.
Cahaya lampu segera menerangi kamar. Mata Rosela berusaha
menangkap setiap benda yang ada di ruangan itu. Dari mulai
lampu gantung antik di langit-langit, lukisan besar berbingkai
keemas-emasan di keempat tembok, seperangkat kursi duduk
98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang mungil beberapa buah senjata tua dan... akhirnya berhenti
pada sebilah pedang panjang yang masih berada di sarungnya,
tergantung dalam posisi empat puluh lima derajat pada sebuah
paku besar di dekat lemari.
Senjata kuno itu terasa berat ketika ia lepaskan dari
sangkutannya. Tetapi setelah sangkurnya yang terbuat dari
gading gajah ia tanggalkan dan letakkan begitu saja di atas meja,
pedang yang tajam berkilat-kilat itu kini terasa lebih ringan. la
membawanya ke luar dari kamar, menutupkan pintu hati-hati.
lalu berjalan kembali ke kamar tidur, langkah-langkah kakinya
terdengar teratur. Satu demi satu, agak lambat-lambat, tetapi
mantap. memecahkan kesepian di dalam rumah itu, meski
kakinya tanpa alas kaki. Dari kamar yang ditempati keluarga pak
Sasmita, terdengar suara berisik sedikit.
Rosela tertegun.
Tetapi segera melanjutkan langkahnya, setelah suara berisik itu
kembali menyepi. Tiba di kamar tidur, tanpa mengecilkan nyala
lampu minyak yang ia letakkan hati-hati di tempatnya semula.
Rosela berjalan mendekati ranjang besi berkasur empuk, di atas
mana suaminya tertidur lelap di bawah selimut. Lama ia
memandangi wajah Hendra, dengan dada yang turun naik tidak
teratur, dan nafas kencang menderu-deru ke luar dari lubang
hidung Tatapan matanya yang kosong tidak menyinarkan
perasaan. Tetapi jauh di dalam dadanya, terjadi perjuangan
bathin yang tidak terperikan dahsyatnya.
Tetapi, otaknya tiba-tiba disentak oleh sebuah perintah gaib:
“Sekarang! Sekarang, budakku yang hina. Sekarang!”
Gemetar. Rosela mengangkat pedang di tangannya tinggi-tinggi.
Sementara pedang itu terangkat naik ke udara, mulut Rosela
melontarkan panggilan yang lirih.
“Pariman.... Pariman.... Pariman !”
Hendra resah dengan tiba-tiba dalam tidurnya.

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Pariman, lihatlah padaku!” suara Rosela yang berat dan lirih kini
terdengar lebih nyata.
Hendra pelan-pelan mendengar suara itu. Pelan-pelan pula ia
membuka kedua belah kelopak matanya. Berat sekali. Namun
sesuatu yang aneh memaksanya untuk berusaha melihat. Dan
tampaknya sangat jauh, demikian jauh... sebuah bayangan berkilat
dari sebilah pedang panjang yang tajam mengerikan. Kejutan
yang luar biasa, memukul jantung Hendra. la masih berada di
antara sadar dan tidur. dan berusaha menjeritkan sesuatu. Tetapi
lidahnya kelu, kelu sekali. Tenggorokan jua kering, kering sekali.
Barulah ketika itu. ia bisa melihat wajah isterinya yang buas, dan
tatapan matanya yang kosong Barulah bathinnya berhasil
memperingatkan adanya bahaya yang semenjak semula telah ia
curigai. Tetapi kesadaran itu datang terlambat. Sangat terlambat.
Karena dengan didahului bisikan kejam dari mulut Rosela:
“Rasakan pembalasanku. jahanam!”
Mata, pedang itupun melayang jatuh. Cepat, hampir tidak
kelihatan gerakannya. Terdengar suara benda tajam menembus
daging yang lunak, kemudian memutus batang leher yang keras
namun tidak berdaya oleh tajamnya pedang yang sudah terbiasa
mencabut nyawa manusia itu.
Darah segera. menyembur kian kemari... Tiada suara keluhan,
tiada arang kesakitan, bahkan tiada gerakan tubuh yang
menggelepar. Yang ada hanya sentakan-sentakan lembut.
Sentakan tubuh yang tengah meregang nyawa.
Kemudian. Tak ubahnya orang mimpi berjalan, Rosela kemudian
ke luar dari kamar tidur. Langkah-langkah kakinya seperti tadi,
lambat-lambat tetapi mantap. Tiba di korridor ia terhenti, pada
saat pahanya menyentuh pagar pemisah ke ruangan kosong di
bawah. Pedang yang berlumur darah tergantung lemah di tangan
kanannya.
Mulutnya bergerak, melepas suara lirih: “Telah... telah
kulakukan...!”

100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dari balik kegelapan di bawah tangga muncul seorang laki-laki.
Bertubuh kekar, tingginya sedang, dengan wajah yang kusut
masai, pakaian acak-acakan, bertelanjang kaki yang lecet
berdarah dan kotor oleh debu. Tetapi perhatian Rosela sama
sekali tidak tertarik pada lelaki yang juga bermata kosong tanpa
sinar seperti matanya sendiri itu. Perhatiannya ia pusatkan pada
sesuatu yang diangkat tinggi-tinggi oleh lelaki itu. Sebentuk
kepala manusia yang penuh keriput dan kotor dengan rambutnya
yang lebat panjang membentuk garis menguncup sampai ke
telapak tangan si lelaki yang mencengkeram.
Seringai menggurat di bibir keriput kepala tanpa badan itu.
Sinar mata merah kebiru-biruan menembus dari kejauhan di
bawah sana, langsung ke batok kepala Rosela, dan mencengkeram
otaknya dengan remasan yang menyakitkan. Pengaruh sinar mata
itu dalam sebentar telah menimbulkan reaksi pada diri Rosela. la
mengangkat pedang berdarah di tangannya, menempatkannya di
depan dada dengan ujungnya yang tajam menekan pada
lambungnya, tepat di bagian mana jantung Rosela berada.
Bau busuk itu menerjang dengan hebat.
Udara dingin yang pengap mengerikan itu, bertaburan dengan
dahsyat.
Lalu jresss.
Pedang itu kemudian masuk sampai ke gagangnya. menembus
jantung Rosela. Terdengar suara mengerang sebentar. Kemudian
tubuh perempuan yang malang itu limbung ke depan, setelah
terangkat dari lantai korridor. Terbang melewati bibir pagar.
Terjun langsung ke lantai ruangan bawah dengan suara yang
ribut.
Pak Sasmita yang beberapa saat kemudian terjaga oleh suara-
suara aneh , berlari ke muka kamar. Ia menemukan tubuh
majikannya yang perempuan tergeletak di Lantai ruang tengah
dengan sebilah pedang menembus tubuhnya dan darah merah
yang mengalir kian kemari. Mulut pak Sasmita ternganga sangat

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lebar, seolah ingin mencari pintu keluar rumah yang juga
menganga lebar.
***

KOKOK ayam yang bersahut-sahutan dari rumah-rumah tetangga


menyadarkan Amalia yang sedang melamun dengan pikiran
kosong. Letih sudah ia memikirkan perginya sang suami secara
misterius, bau aneh selendang bekas berdarah di para rumah. la
mengangkat kepala, menajamkan telinga. Hanya kokok ayam yang
terdengar.
Tetapi... suara apa itu? Oh lolong anjing dikejauhan. Lirih.
Menyayat tulang. Amalia memperbaiki letak kainnya, lalu
memperhatikan keluar.
“Hampir subuh...” gumamnya, lesu. “Kenapa kang Pandi belum
pulang-pulangnya?”
la berdiri. bermaksud pergi ke dapur untuk membuat secangkir
kopi kental karena kepalanya sudah mulai terasa pusing. Atau.
barangkali ia lebih membutuhkan sebutir tablet untuk
mengurangi denyut-denyut di belakang kepalanya. la mengurut
jidat kuat-kuat, dan bermaksud mau masuk ke kamar mengambil
tablet dari rak tempat obat-obatan ketika telinganya mendngkap
suara-suara lain. Suara langkah-langkah aneh di luar rumah,
langkah-langkah yang setengah berlari, dan semakin dekat, lari
itu diperlambat, kemudian tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Sepi, mendadak di luar sana. Tak ada suara kaki. Tidak ada kokok
ayam. Tidak juga lolong anjing.
Amalia tertegun sebentar. Lalu:
“Kang? Kang Pandi? Kaukah itu?”
Tidak ada sahutan dari luar.
Tetapi Amalia yakin tadi ia mendengar suara langkah kaki berlari
yang mula-mula cepat kemudian lambat lalu hilang sama sekali.
102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
begitu berada di dekat pintu. Perasaan khawatir tiba-tiba
menjalari kepala Amalia. Kekhawatiran! itu melenyapkan rasa
sakit di benaknya. Dan kekesalan mulai menunggu sekian lama
membuat ia tidak berpikir panjang lagi.
Supandi atau bukan, ia harus melihatnya!
Disambarnya lampu dari atas meja. Nyalanya dibesarkan, sampai
cahayanya cukup terang. Kemudian ia berjalan ke pintu. Mula-
mula ragu, lalu kepenasaran mendorong kakinya untuk
melangkah lebih cepat dan mantap. Entah mengapa jantungnya
berdebar kencang begitu saja. Mungkin kekhawatiran yang ganjil
itu yang menyebabkannya.
Semakin dekat ke pintu, semakin kencang deburan jantungnya
karena... di luar pintu telinganya menangkap suara desah napas
memburu yang berusaha ditahan-tahan.
Kang Pandi. pasti! Amalia menyimpulkan. Mau apa ia
mempermainkan aku?
Sebelum membuka pintu, ia angkat lampu minyak di tangannya
tinggi-tinggi. la khawatir, matanya yang tidak begitu jelas melihat
dalam kegelapan. Meskipun memakai kaca mata, tidak akan
bekerja dengan baik tanpa sinar lampu yang berpencar kian
kemari menerangi apa yang ingin dilihatnya dengan sangat
bernafsu!
Tanpa memperdulikan datangnya bahaya yang tidak terduga-
duga, karena pikirannya hanya tertuju pada perbuatan suami
yang dianggapnya sudah melampaui batas. Amalia menyentakkan
daun pintu sekaligus terbuka. Lampu di tangan, ia angkat sampai
melewati bahu. Gerakan yang serba tergesa itu terasa agak
mengilukan tulang-tulang di tubuhnya. Kegelapan di luar rumah
menyambut Amalia. Tetapi hanya sebentar, karena cahaya lampu
telah mengusir kegelapan itu. Namun ia tetap tidak melihat apa-
apa di luar pintu.
Karena tidak yakin. Amalia melangkah lebih ke depan. Lampu
minyak di tangan, ia tempatkan sejauh panjang lengannya di

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
depan, sehingga kini bisa melihat lebih nyata dalam remang-
remang di luar daya jangkau cahaya lampu. Lalu, jantungnya
berdegup lagi ketika pelan-pelan ia mendengar suara langkah-
langkah kaki. Datangnya dari samping rumah. la segera berpaling
ke arah datangnya suara itu, dan segera melihat suaminya yang
berwajah kusut masai dan berpakaian cumpang-camping
melangkah keluar dari kegelapan.
Tampaknya ia menjinjing sesuatu di tangannya Amalia mau
bertanya. Tetapi suaminya sudah sedemikian dekat, dan sebelum
Amalia sempat membuka mulut… tangan suaminya pelan-pelan
diangkat ke udara. Dan kini, Amalia melihat sesuatu yang tadi
sempat ia perhatikan sekilas. Mula-mula ia melihat rambut
panjang yang tergenggam di cengkeraman telapak tangan
Supandi. Turun lebih ke bawah. ia melihat dahi manusia yang
kotor dan berlipat- lipat, alis yang tebal, kelopak mata yang
seperti membengkak, hidung yang besar dan keras. tapi yang
berkerut-kerut, bibir yang terkatup rapat. dagu yang
menggantung lemah, leher... bukan, melainkan sebagian dari
leher... dan tidak ada lagi bagian lain di bawah potongan leher itu!
la tersentak mundur seketika.
Dengan mata terbeliak di balik kaca matanya, ia melihat kelopak
mata yang mengemban itu terbuka perlahan-lahan. Kemudian
tampak dua buah bola ntata yang bundar menyinarkan sinar api
merah kebiru-biruan. Sorot mata yang mentakjubkan itu hanya
bersinar sebentar, karena sekonyong-konyong kelopak mata itu
telah mengatup kembali dengan cepat. Lalu tahu-tahu keriput itu
bergerak- gerak seperti menahan sakit.
Amalia gemetar dengan hebat.
Demikian hebatnya, sehinga lampu minyak di tangannya terlepas.
dan jatuh dengan suara ribut ke lantai rumah. Bersamaan dengan
itu, tubuh Amalia limbung lalu ia terjerembab jatuh seperti lampu
tadi. Pingsan seketika itu juga. Di dekat kakinya, lampu yang
pecah itu membersitkan nyala yang lebih besar dengan suara
bersiut ketika menjilat minyak yang tertumpah. Namun rupanya

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia terlupa untuk mengisi lampu itu selama menunggu
dengan sabar sampai suaminya pulang.
Kobaran api sudah hampir mencapai kainnya yang tersingkap,
waktu nyala api itu tiba-tiba surut, kemudian mengecil dan
semakin kecil...
***

KELETIHAN dan rasa sakit-sakit akibat berlari menempuh


perjalanan jauh dan berat dengan kaki telanjang seketika lenyap
dari perasaan Supandi waktu lewat ventilasi jendela dan pintu
rumah bagian depan ia melihat cahaya lampu menerobos ke luar.
la segera memperlambat larinya, kemudian berjalan tersuruk-
suruk mendekat. Otaknya bekerja dengan keras memikirkan
kejadian yang tidak diduganya itu. Meskipun benaknya beku oleh
kehampaan di luar kemampuannya, namun ia masih mampu
untuk menyimpulkan bahwa Amalia telah terbangun dari kini
sedang menunggunya.
Benar saja, lamat-lamat telinganya mendengar suara Amalia
memanggil namanya.
Langkahnya terhenti seketika, lalu nalurinya menyentuh
menyingkir ke samping rumah. la mendengar suara pintu dibuka,
lalu melihat sinar terang dari lampu yang dipegang isterinya.
Panik mencekam diri Supandi. Sebentar cuma. Karena otaknya
tiba-tiba berdenyut. dan sentuhan suara gaib itu mendengung
dengan dahsyat:
“Bodohl Apa yang kau takutkan? Datangi dia!”
Bagai kerbau dicocok hidung, Supandi menurut. la keluar dari
kegelapan disertai hati nurani yang menjerit-jerit
memperingatkan agar isterinya segera masuk ke rumah dan
menutupkan pintu. Tetapi tiada suara yang keluar dari mulutnya
dan sebaliknya. justru Amalia melangkah lebih ke depan. Perintah
yang berbau amarah seketika menggerakkan tangan Supandi

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang lunglai. la angkat batok kepala yang terjinjing di tangannya,
sebagaimana yang biasa ia lakukan.
Lalu, terjadilah peristiwa mentakjubkan itu. Amalia terbelalak di
balik kaca matanya. Dan otak Supandi berdenyut mendengar
suara lirih dan kesakitan yang sayup-sayup, kemudian perintah
yang sama sekali diluar dugaannya:
“Terkutuk ! Mata... perempuan itu... berkilau... mata apa itu... aduh,
sakit... sakit kepalaku. Jauhkan aku dari sini. Jauhkan aku dari
perempuan ajaib ini, jauhkan...”
Selama beberapa detik. pikiran Supandi yang terasa sedikit ringan
karena pengaruh kesakitan yang dialami batok kepala di
tangannya, dapat bekerja dengan baik. la sadar, sinar mata
mahluk itu berusaha menghipnotis Amalia, seperti ia
menghipnotis korhan-korbannya yang lain, termasuk Supandi
sendiri. Tetapi letak sinar lampu yang mengantarai tiga pasang
mata yang saling beradu pandang itu, telah menimbulkan
pantulan cahaya dipermukaan gelas kaca mata Amalia, dan
sekaligus telah memantulkan kembali secarik merah kebiru-biru
yang mengerikan itu!
Supandi terjengah ketika melihat Amalia jatuh pingsan, dan nyala
api dari lampu yang pecah tiba-tiba berkobar. Bathinnya
berperang, untuk menuruti kata hati menolong isteri, dan
menuruti perintah gaib dari ‘majikan’nya yang tidak mau
dibantah itu.
Ketika melihat ke arah isterinya, mengetahui nyala api di dekat
kaki Amalia tahu-tahu saja telah mengecil dengan sendirinya. Dan
sebelum padam sama sekali, kemurkaan mahluk mengerikan
yang terjinjing di tangannya itu segera menerpa otaknya: “Kau,
budak hina! Dengar apa yang kubilang? Pergi dari sini... pergi...!”
Tanpa berpikir panjang lagi. Supandi segera memutar tubuh lalu
berlari menjauh, menghilang dalam kegelapan. la berlari. Terus
berlari tanpa tujuan. Otaknya tidak pula mendapat tuntutan.
Rupanya mahluk di tangannya masih kesakitan oleh sinar pantul
yang membalik itu. la terus saja berlari tanpa rasa letih dan sakit
106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
oleh kesadaran bahwa isterinya selamat. Namun diam-diam ia
merasa cemas. Amalia kini sudah tahu apa yang terjadi pada
Supandi. Dan Supandi sendiri, tidak sanggup untuk melepaskan
diri dari mahluk itu.
Sekarang pun, sempat terniat di benaknya untuk membuang
bahkan menghempaskan kepala itu sampai berantakan ke tanah
berbatu-batu, selama kepala itu merasa sakit alang kepalang.
Namun, baru juga niat itu muncul, otaknya seperti rekah.
“Jahanam! Kurengkah kepalamu, kalau kau berani berbuat yang
tidak-tidak...!”
Dan tahu-tahu saja berlari itu, tangannya terangkat oleh kekuatan
gaib ke atas, dan wajah menakutkan itu telah berada di depan
wajahnya. Sinar mata yang merah kebiru-biruan itu berpencaran
ke luar menerpa dengan cepat dan dahsyat. Sehingga otak
Supandi menjadi beku seketika ia tidak teringat lagi pada niat
yang sempat ia pikirkan. Tidak teringat Amalia, bahkan sama
sekali tidak ingat siapa dirinya. Apa yang ia lakukan, bahkan
mahluk jenis apa dirinya yang sebenarnya...!
la tidak merasakan kakinya yang bergerak berlari, menjauh dari
kampung halamannya.
***

AMALIA sadar dari pingsannya dalam keadaan masih pening di


lantai. Tetapi kini ia tidak sendirian. Seseorang sedang bersimpuh
di dekatnya, berusaha menciumkan rempah-rempah berbau
tajam ke hidung Amalia untuk menyadarkannya. Samar-samar
Amalia memperhatikan siapa orang itu, setelah ia berhasil
memusatkan perhatian pada keadaan yang telah menimpa
dirinya.
Cuaca pagi di luar yang sudah terang-terang ayam membantu
pandangan matanya. Lalu kini, dengan terkejut. Ia menyadari
siapa yang asing baginya itu: nenek Ijah!

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perempuan tua renta itu menggerakkan bibirnya yang keriput.
“Bangun, cucuku... Mari kubantu kau naik ketempat tidurmu...”
Amalia berusaha bangkit, dibantu oleh perempuan tua renta itu.
Tetapi ia tidak bernapsu masuk ke kamar tidur, melainkan duduk
menghenyakkan pantat di kursi yang terdekat. Memejamkan
mata sebentar, kemudian membukanya kembali lebar-lebar,
untuk menyakinkan bahwa apa yang ia alami adalah kehidupan
nyata. Bukan impian yang menakutkan. Alangkah senangnya.
kalau kedua keadaan yang saling bertentangan itu, terbalik
adanya!
“Apa yang terjadi, cucuku?”
Amalia memperhatikan perempuan tua renta yang kini ikut
duduk di sampingnya seraya mengusap rambut Amalia dan
memandangnya dengan sinar mata yang lembut dan penuh kasih
sayang. Alangkah berbeda jauh dengan apa yang digembar-
gemborkan orang kampung selama ia tinggal di kampung ini:
jauhi nenek Ijah. la perempuan sinting yang aneh dan
membahayakan! Ta'jub Amalia bertanya. Lemah: “Mengapa nenek
ada disini?”
“Ah. nanti saja kuceritakan!” perempuan itu tersenyum. “lebih
baik kau ceritakan apa yang telah terjadi.”
Amalia gemetar dan pucat ketika teringat apa yang ia alami.
Terbata-bata. dengan suara setengah menangis sambil sesekali
menangkupkan wajah di kedua telapak tangan, ia menceritakan
keanehan-keanehan yang terjadi di rumahnya, sikap Supandi
yang asing dan berakhir dengan peristiwa menjelang subuh yang
mengerikan itu.
Ketika ia selesai bercerita, ia benar-benar menangis terisak-isak.
Nenek Ijah memeluknya, membelai rambutnya. membujuknya
seperti membujuk anak kecil.
“Cup, cucuku yang manis. Diamlah. Nenek ada di sampingmu.
Nenek akan membantu...”

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia mengangkat wajah, la merasa akrab dengan perempuan
itu, dan memperhatikan wajah tua renta yang keriput namun
ramah-tamah. Selagi ia bercerita, ia sempat melihat beberapa kali
wajah nenek Ijah berubah, dan sepasang matanya berkilat-kiiat
ganjil. Menghadapi pandangan Amalia yang penuh tanda tanya,
berubah wajah dan sinar mata perempuan itu menjadi lembut
kembali. la berkata:
“Aku sudah menduga, semua ini akan terjadi.”
“Tetapi nek...” Amalia tak meneruskan ucapannya, oleh karena
ta'jub yang semakin menggebu.
“Diamlah Aku harus mencarikan sesuatu untuk mencegah
timbulnya bencana yang lebih dahsyat!” Nenek Ijah, tertimpang-
timpang kemudian bangkit dari kursi. la bersimpuh di lantai.
Tangannya bersidekap ke dadanya yang kerempeng rata.
Kepalanya tertengadah menatap ke luar pintu, jauh-jauh, teramat
jauh. Kemudian bibirnya komat-kamit. Lalu tubuhnya terguncang
keras.
Bersamaan dengan terpejamnya sepasang mata tuanya. Lalu,
suara yang lebih keras dan jelas terdengar dari mulutnya: “Tarjo.
Aku tahu kau akan kembali. Pulanglah! Aku menunggumu. Sudah
lama aku merindukanmu. Tarjo, pulang, kubilang. Jangan
membantah... demi nama baik keluarga dan adik yang
mencintaimu. Pulanglah...?”
Keringat sebesar butir-butir jagung membersit dari kulit muka
nenek Ijah. ketika ia kemudian melepas keluhan panjang lalu
berpaling ke arah Amalia.
“Kita harus melakukan sesuatu!” Ia pandangi Amalia sebentar,
lalu. “Aku tahu kau tak akan mau... mintalah bantuan seseorang,
Seseorang yang bisa kau percayai dan kau tahu, iman dan
bathinnya cukup berpengaruh!”
Amalia ternganga. Bengong...
***

109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
JAYUSMAN manggut-manggut selama Amalia bercerita di
hadapannya. Laki-laki tua itu sudah berumur hampir enam puluh
tahun, tetapi tubuhnya masih tampak kekar berisi. Wajahnya
berseri dan sinar matanya jernih, sehingga memberi kepercayaan
pada orang yang melihat. Beberapa kali raut wajahnya yang
berkeriput halus itu berubah. Beberapa kali pula mulutnya
mengucapkan istigfar. Akibatnya, setelah Amalia berhenti
bercerita dan tinggal isak tangisnya yang terputus-putus.
Jayusman bergumam: “Andai saja aku tidak pernah mendengar
kisah-kisah buhun itu...” ia geleng-geleng kepala, memperlihatkan
rasa takjub. “Maka aku tidak akan percaya dengan apa yang kau
ceritakan. Hem...” ia berpikir keras, lama. Kemudian, kembali
matanya bersinar. Lewat jendela samping. Ia memandang ke arah
tanah galian bekas sumur yang sudah tertimbun di tanah longsor
itu. Katanya, seperti pada diri sendiri: “Baru mengerti aku
sekarang. Apa yang menyebabkan Asmita sakit, dan jadi lumpuh
kemudian mati.”
Kembali ia geleng-geleng kepala, memandang wajah Amalia
dengan penuh haru. “Aku sudah berulang kali memperingatkan
Supandi, agar menghentikan saja usahanya menggali sumur itu....
Hem... Jadi itulah sebabnya di sekitar rumah kita sering tak berair.
Rupanya tanah di situ menyimpan benda terkutuk. Tahukah kau
apa yang menjadi pikiranku setelah mendengar Ceritamu, Liah?”
Amalia geleng-geleng kepala. Isak tagisnya mulai reda.
“Sumur yang longsor itu. Pernah ada mata air yang subur di
dalamnya. Tetapi selama sekian puluh tahun, telah tersumbat
oleh sesuatu. Sesuatu itu adalah batok kepala Tarjo. Dengan
kekuatan ilmunya ia berusaha agar mata air itu tidak mencari
jalan keluar yang lain. Dengan demikian bentuk kepala dan
tubuhnya tidak akan musnah, berkat pembekuan oleh air... Bisa
kubayangkan, betapa hebat ilmu orang itu dulunya, selagi
tubuhnya masih utuh.” Jayusman menarik napas panjang.
Berulang-ulang. “Jadi. kau bilang nenek Ijah yakin bagian kepala
dari tubuh adiknya itu akan dibawa Supandi ke rumah mereka di
gunung?”
110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“la yakin, pak. Katanya, karena mahluk mengerikan itu merasa
bertemu rintangan setelah gagal mempengaruhi diriku. la akan
melaksanakan usahanya yang terakhir, yang bila berhasil akan
menimbulkan bencana besar...”
“Bencana besar?” Jayusman mengelus janggutnya yang putih.
“Bencana apakah itu?”
“Kata nenek Ijah, nanti saja ia ceritakan selama di jalan.”
“Hem... Dan kau memaksa untuk ikut?”
“Aku harus menyelamatkan suamiku.”
“Tetapi...” Jayusman tidak meneruskan kata-katanya. Setelah
melihat ketetapan hati dalam sinar mata Amalia Setelah berpikir
sejenak, ia berucap: “Baiklah. Akan kupinjam salah seekor kuda
milik pak lurah untuk kau tunggangi.”
***

Matahari pagi sudah muncul di ufuk timur. Ketika rombongan


kecil yang aneh itu meninggalkan kampung, diiringi pandangan
mata beberapa orang penduduk yang terheran-heran. Betapa
tidak. Hanya seorang yang duduk di punggung kuda berpelana itu.
Yakni Amalia. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki, akan
tetapi bukan suaminya sendiri. melainkan pak Jayusman.
Di sebelah laki-laki berumur itu, berjalan timpang-timpang nenek
Ijah yang selama ini tidak pernah berteman dengan siapapun,
kemana pun ia berkelana. Wajah ketiga orang itu sukar
digambarkan. Orang yang menyapa hanya di sahuti mereka
dengan anggukan atau senyum. Tetapi tidak seorangpun yang
menjawab apabila ada yang bertanya. Mau ke mana rombongan
kecil itu pergi?
Dalam perjalanan, nenek Ijah bercerita sangat banyak. Suaranya
jelas, dan kalau ada yang menyahuti atau bertanya, ia
mendengarnya sama jelas. Matanya demikian pula, memandang

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
segala sesuatu tanpa mengalami gangguan, sehingga Amalia yang
masih muda belia namun sudah mengenakan kaca mata minus
satu cemburu juga dibuatnya. Padahal nenek Ijah, setahunya
sudah berumur hampir seratus tahun.
“Semedi, cucuku.” la menyempatkan diri menjawab pertanyaan
yang diajukan Amalia, mengapa seumur itu ia masih kuat
berjalan, meski dengan kaki timpang karena kecil sebelah. “Aku
dan Tarjo sama- sama mewarisi ilmu leluhur. Dan kami tidak
menyia-nyiakannya. Kami mempertebalnya dengan bertapa,
bertapa, bertapa... tentu saja, juga dengan mengatur apa saja yang
boleh kita makan, apa yang tidak, kapan kita harus tidur, kapan
harus berkelana..”
“Kudengar Tarjo itu kebal,” jayusman menyentak.
Nenek Ijah manggut-manggut, dan terbungkuk-bungkuk ketika
mulai mendaki bukit. Menurut ceritanya. Tarjo mendapat ilmu
kebal itu hanya beberapa tahun sebelum kematiannya yang naas.
la bertapa dengan seorang temannya semenjak kecil, bernama
Pariman. Di permulaan tapa itu, mereka sudah mendengar suara
gaib yang mengatakan sejumlah syarat yang harus mereka
penuhi. Dan diperingatkan akan sebuah pantangan yang bila
dilanggar, kelak akan melenyapkan ilmu kebal yang mereka
miliki. Pantangan berbunyi; “Terlarang bersatu darah dengan
orang seketurunan.” Tanpa penjelasan yang lebih lanjut.
“Karena urusan perempuan, Tarjo dan Pariman kemudian
berpisah jalan.” kata nenek ljah, seraya terbatuk-batuk kecil, dan
berhenti sebentar untuk mengambil napas. Setelah meneruskan
perjalanan, iapun meneruskan ceritanya.
“Pariman dan Tarjo sama-sama jatuh cinta pada isteri seorang
opsir Belanda yang setelah memperoleh anak satu dari isterinya,
impotent akibat bertempur sebagai seorang serdadu. Juragan
Ningrum, isterinya yang manik jelita, bunga desa yang diidamkan
setiap lelaki. melampiaskan kesepiannya dengan mulai melirik ke
arah laki-laki lain. Lirikannya jatuh pada Tarjo. Pariman tahu akan
hal itu. la sangat kecewa. dan mulai dengki pada teman karibnya

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu. Lama ia memikirkan jalan. Dan ketika mereka berdua bertapa,
ia melaksanakan tapa brata itu tidak sepenuh hati, karena
pikirannya lebih banyak tertuju pada juragan Ningrum. Akhirnya
ia memutuskan untuk melamar jadi pengawal keluarga opsir
Belanda itu,” ujar nenek Ijah seraya geleng-geleng kepala, sambil
kembali berhenti untuk mengatur napas.
Rupanya, betapapun tinggi ilmu yang ia miliki ternyata kodrat
alam tidak bisa ia lawan. Usianya yang sudah tua, sedikit demi
sedikit menggerogoti kekuatan phisiknya.
“Kudengar ia kemudian kawin dengan isteri Belanda itu.”
“Tepatnya, janda Belanda itu,” Menegaskan nenek Ijah, seraya
mengajak mereka berjalan kembali. Kuda yang ditunggangi
Amalia basah kuyup sekujur tubuhnya, dipanggang matahari yang
terik. Moncongnya mendengus-dengus keras, tetapi kuda itu terus
berjalan dengan tegap. Betapapun jinaknya, kuda itu benar
seperti yang dikatakan pak jayusman kuda pak lurah yang
terbaik. Apalagi, hanya berjalan perlahan-lahan saja. Berpacupun,
berhari-hari kuda itu sanggup tak berhenti.
Nenek Ijah kemudian menceritakan bagaimana cinta kasih
juragan Ningrum membuatnya jatuh sakit sehingga sejumlah
dukun, banyak obat-obatan dari yang termodern ketika itu,
sampai yang paling tradisionil diusahakan oleh suaminya sedapat
mungkin. Tetapi tidak ada yang berhasil menyembuhkannya.
Dalam kepanikan sang opsir, ajudan kepercayaannya, Pariman,
akhirnya dengan berat hati menyebut nama Tarjo.
Saudara satu-satunya dari nenek Ijah itu, kemudian dipanggil.
Juragan Ningrum sembuh seketika. Rupanya apa yang ia derita,
adalah sakit rindu dendam. Pariman menyadari hal itu. la menjadi
sakit hati, dan kedengkiannya kian menjadi-jadi. la mulai
Intimidasi majikannya, setelah mengetahui juragan Ningrum
tidak bisa melupakan Tarjo dalam hatinya. Hasutan itulah yang
menyebabkan opsir itu mendatangi Tarjo. menembaknya. Tetapi
peluru itu mental, dan kembali ke si alamat. Langsung menembus
jantung opsir yang memegang pistol.

113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Karena tidak banyak darah yang keluar. Pariman kemudian
menelurkan fitnah bahwa majikannya mati diteluh oleh Tarjo.
Mula-mula juragan Ningrum tidak percaya. Tetapi Pariman
menempuh jalan lain. Dengan bantuan seorang dukun sakti yang
entah di mana ia temukan, ia berhasil meneluh anak tunggal
juragan Ningrum. sehingga diketemukan mati membusuk tanpa
sebab di atas tempat tidurnya.
Kali ini, juragan Ningrum percaya, bahwa semua itu perbuatan
Tarjo. sebagai balas dendam karena ia mau ditembak suaminya.
Pariman menitipkan pula kabar angin yang mengatakan, bahwa
Tarjo hanya pura-pura mencintai juragan Ningrum. untuk
memiliki harta karun yang ia miliki sebagai warisan dari
suaminya bila meninggal kelak kemudian hari. Oleh karena itulah,
anak mereka pun harus dibunuh, agar tidak ada pewaris yang
lain. Kalau juragan Ningrum kelak mati -tentu saja akan cepat
terjadi- karena diteluh. maka Tarjo akan menjadi pewaris tunggal.
Fitnah yang busuk itu. sebenarnya justeru lebih tepat ditujukan
pada Pariman sendiri, bukan pada Tarjo. Tetapi juragan Ningrum
yang sedang kalut pikirannya, tidak mau lagi mempergunakan
pikiran sehat. Setelah masa berkabungnya lewat beberapa waktu,
ia menerima uluran tangan Pariman, dan menikah dengannya.
Selama beberapa bulan, mereka tampak berbahagia. Tetapi. lama
kelamaan, hati kecil juragan Ningrum memprotes. Ada yang tidak
beres dalam sikap kemaruk suaminya yang kedua itu. Cintanya
yang demikian dalam pada Tarjo, akhirnya bernyala kembali.
Diam-diam ia mendatangi seorang ahli kebathinan, yang
menerangkan bahwa kematian suami pertama dan anak yang ia
peroleh dari suaminya itu, oleh orang yang paling dekat dan
hidup satu ranjang dengannya. Dia yang menjadi sumber
malapetaka.
Belakangan, perbuatan isterinya itu diketahui Pariman. la sangat
marah dan mengancam akan membunuh juragan Ningrum
dengan lebih dahulu membuatnya menderita teramat sangat.
Kalau masih terus memikirkan Tarjo. Juragan Ningrum sangat

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
takut. la berusaha melupakan Tarjo, membuangnya jauh-jauh dari
pikirannya. Tetapi gagal. Perkawinan mereka mulai retak. dan
hanya karena anak yang berada dalam kandungannya yang
menyebabkan juragan Ningrum berusaha untuk tetap hidup.
Tetapi begitu anak itu lahir dan berhenti menyusu, ia langsung
bunuh diri dengan mempergunakan pistol yang pernah mencabut
nyawa suami pertamanya.
Hartanya yang berlimpah hanya sebentar membahagiakan
Pariman. Karena jauh di dasar hatinya, ia tetap mencintai juragan
Ningrum, dan tidak pernah berhasil mengalihkan cintanya itu
pada perempuan. Kenyataan itu membuatnya bukan menjadi
sadar, malah menjadi sangat sakit hati. Dan orang yang lupa diri
tidak pernah melihat kesalahan sendiri. Segala kesalahan, pasti
dilimpahkan pada orang lain. Dan Pariman menimpakan
kesalahan itu kealamat Tarjo. la ingin melampiaskan sakit
hatinya, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Akhirnya ia pergi
menemui dukun sakti yang sering membantunya untuk minta
petunjuk.
Dan begitulah.
Suatu hari, Tarjo merasakan sesuatu yang asing tengah
mengganggu rumah mereka. la mengutarakan hal itu pada Ijah,
tetapi adiknya tidak dapat menduga apa gerangan yang
mengganggu itu. Namun ada sesuatu yang terjadi di antara
mereka. Tiap kali mereka beradu pandang tiap kali pula mereka
merasakan sesuatu yang ganjil dalam diri masing-masing.
Tarjo mengkhayalkan dirinya yang selalu gagal atau ditolak
perempuan, sebaliknya Ijah lebih menderita lagi. Desas-desus
buruk mengenai keluarganya, ditambah kakinya yang timpang,
lagi pula tidak termasuk cantik menyebabkan tak seorangpun
lelaki yang pernah memandang sebelah mata padanya.
“Celaka...!” desis Tarjo hari itu. “Aku sudah mulai mengerti. Ada
yang berusaha untuk memperalat kita berdua?”
Ia kemudian mengajak Ijah untuk sama-sama bersemedi melawan
apa yang mengancam tanpa kelihatan wujudnya itu. Merasa
115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
demikian dekatnya sumber bala itu, menyebabkan mereka
merumuskan untuk bersemedi di tempat di mana mereka teringat
untuk melakukannya. ltulah letak kesalahan yang mereka
perbuat.
Seharusnya Ijah bersemedi di kamarnya. dan Tarjo di luar rumah.
Yang mereka lakukan, justeru bersemedi sambil duduk bersila.
Berhadap-hadapan. Demikian dekat, sehingga mereka bisa saling
jamah, bahkan napas mereka bisa saling beradu. Dan bau asing itu
menyengat lebih keras, semakin keras, sehingga mereka tidak
bisa lagi menghindar.
Pada saat pertama kali mereka beradu pandang, timbullah rasa
sayang yang aneh dalam diri masing-masing. Bukan sayang
sesama saudara, melainkan sayang seorang laki-laki yang
kesepian kepada seorang perempuan yang rindu jamahan lelaki.
Begitu pula sebaliknya. Betapapun mereka mengerahkan
kekuatan batin untuk tetap diam di tempat masing-masing.
Tarikan sinar mata mereka yang beradu. bekerja lebih kuat.
Akhirnya mereka saling berpegangan tangan, saling menuntun
untuk berdiri, kemudian jalan berbimbingan ke kamar tidur.
Maka. apa yang tidak pernah mereka impikan, terjadilah malam
itu juga...
“Terkutuk! Terkutuk benar...” umpat nenek Ijah, berulang-ulang,
dengan kulit muka yang merah. Entah karena malu, entah karena
marah. “Semua ini kuceritakan pada kalian, agar kalian
mengetahui bagaimana kejadian yang sebenarnya dan mengapa
semuanya jadi begini!”
Tanpa terasa. matahari telah mulai beralih ke Barat.
“Aku letih...” bisik Amalia.
Jayusman membantunya turun dari kuda, dan kemudian mereka
bertiga beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang lama
mereka tidak saling berbicara, terpengaruh oleh pikiran masing-
masing. Amalia mengeluarkan sedikit bekal yang ia bawa dari
rumah. la dan pak jayusman melahapnya sampai habis.

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sedangkan nenek Ijah hanya meminta secangkir air. Ketika
minum, pandangannya tertuju padai sebuah perkampungan, nun
jauh di lembah, di antara bukit bukit dan sawah, terlindung di
balik pohon yang rimbun.
“Di sana....” ia tiba-tiba berkata. “Tiga hari yang lalu terjadi
kegemparan. Seorang perempuan bunting tua, diketemukan mati
dengan tubuh mengering tanpa darah, dan bayinya telah keluar
tanpa nyawa, juga tanpa darah. Suaminya menjadi gila...”
“Oh ya?” jayusman mengerutkan dahi. “Baru kudengar hal itu.
Apakah... karena perbuatan setan?”
Nenek Ijah menatap pak Jayusman sebentar. Lalu: “Perbuatan
terkutuk, kukira. Dan aku khawatir, akan lebih banyak perbuatan-
perbuatan terkutuk yang akan segera terjadi...”
***

APA yang diucapkan nenek Ijah, segera menjadi kenyataan. Baru


saja mereka menuruni bukit, mereka telah melihat sejumlah
orang bergegas menuju suatu tempat. Wajah-wajah mereka
menimbulkan kecurigaan nenek Ijah sehingga ia menyuruh
Jayusman agar bertanya pada salah seorang di antara mereka. Pak
jayusman bertanya dengan seorang laki-laki yang berkain sarung
dan berselempangkan selendang di bahu. Orang itu memandang
sebentar ke arah nenek Ijah dan Amalia yang menunggu di
kejauhan, dan kemudian pergi mengikuti teman-temannya.
Pak jayusman kembali untuk memberi laporan. “Sepasang suami
isteri yang sedang menjalani 'liburan', ia menyebutkan nama
kampung dan mengarahkan jari telunjuknya ke puncak sebuah
bukit. Di sana, mereka ditemukan mati dengan cara yang
mengerikan,” ia memandang sebentar pada Amalia, karena
khawatir kisah yang ia dengar bisa membuat shock perempuan
muda itu.

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tetapi nenek Ijah mendesak: “Katakan saja. Supaya Liah tahu,
betapa mengerikan hal-hal yang bakal kita hadapi!”
Dengan berat hati, Jayusman menceritakan apa yang ia dengar.
Suami isteri itu baru tiga hari datang dari kota. Rumah tua di
puncak bukit itu, dan sejumlah tanah sawah serta perkebunan di
sekitarnya, adalah warisan yang diperoleh si suami - seorang
sarjana antropologi, ia menerangkan maksud antropologi itu pada
nenek Ijah - karena Amalia tahu apa yang dimaksud.
Dua hari pertama tidak terjadi sesuatu apa. Tetapi pada malam
ketiga, terjadilah peristiwa yang membuat pingsan isteri dan
salah seorang pembantu yang selalu menjaga rumah itu. Majikan
perempuan mereka, di ketemukan di lantai ruang bawah tanah
dengan pedang menembus jantung. Mati. Lebih mengerikan lagi,
di tempat tidur mereka di ruang atas, sarjana itu juga
diketemukan sudah mati dengan badan dan kepalanya terpisah
oleh letusan pedang!
Amalia menggigil. Pucat pasi seketika, gemetar mendengar kisah
itu. Tiba-tiba, terlintas di benaknya peristiwa yang ia alami subuh
tadi. Apakah kepala yang ia lihat itu yang... ia menggigil lagi, lebih
hebat. Dan apakah suaminya terlibat dalam pembunuhan yang
mengerikan itu?
Nenek Ijah memandangi Amalia, wajahnya tampak mengeras.
Matanya berkilat. Ganjil. “Tenang, cucuku,” la berbisik, parau.
“Bukan suamimu yang melakukannya...” tetapi... ia mengurut dada
diulang-ulang, kemudian mengeluh panjang. Ujarnya. lirih dan
ketakutan: “Bencana. Bencana itu sudah dimulai. Aku sangat
yakin. Dan kalau kita tidak segera menghentikannya....” la tidak
meneruskan ucapannya, melainkan melanjutkan langkah-
langkahnya. Kali ini lebih cepat, meskipun tampak dadanya yang
kerempeng itu bergerak-gerak tidak teratur dan nafasnya
memburu kencang, “Hayo, cepatlah. Kita harus sampai di rumah
sebelum tengah malam!”
Amalia memandang ke langit, matahari telah condong di ufuk
Barat. Berapa jauh lagikah perjalanan mereka? Dan apa yang akan

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terjadi tengah malam nanti? Bagaimana pula dengan suaminya.
Supandi? Dengan penuh harap, ia berkali-kali memandang ke
arah nenek Ijah yang berjalan bergegas di samping kuda yang
ditunggangi Amalia. Harapannya rupanya diketahui perempuan
tua renta yang luar biasa itu, yang segera melanjutkan kisahnya
yang tadi terputus.
Dengan dibuka oleh sebuah kisah sampingan sebagai pendahulu:
“Rumah di puncak bukit sana,” ia menunjuk ke arah mana orang-
orang tadi menuju. “Adalah rumah peninggalan juragan
Ningrum...”
Amalia terpana.
Pak Jayusman mengelus janggut, seraya mulutnya komat-kamit.
“Dari apa yang kudengar, si suami yang mati itu tentulah salah
seorang keturunan langsung juragan Ningrum dari
pernikahannya dengan Pariman! Tarjo sudah membalaskan
dendamnya. Tarjo sudah memulai bencana yang pernah ia
janjikan....!”
Janji yang lebih tepat dikatakan sumpah itu, terjadi pada malam
naas yang menimpa nenek Ijah dan saudara laki-lakinya, Tarjo.
Baru saja mereka tersadar bahwa mereka telah melakukan
perbuatan terkutuk, di luar rumah terdengar suara tertawa
ngakak seorang laki-laki. Ijah merasa seram mendengar suara itu.
Akan halnya Tarjo, wajahnya merah padam, cuping telinganya
sampai merah kehitam-hitaman. Butir-butir keringat merembes
dari seluruh pori- pori kulitnya.
“Si Pariman jahanam itu,” ia memaki. “Dialah penyebab semua
ini!”
Lalu. Tarjo mulai mengumpulkan kekuatan bathinnya, bersemedi
sampai tubuhnya tergoncang-goncang. Dan bukan saja keringat
air, tetapi juga keringat darah sampai keluar dari sebagian
tubuhnya, saking kuatnya mengerahkan- kekuatan bathin.
Sementara itu, dari luar Ijah mendengar suara tertawa yang

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sangat ia kenal dan yang kemudian berkata dengan penuh
perasaan puas.
“Kau telah melanggar pantangan. Tarjo. Kau telah menyetubuhi
adik perempuanmu. Kau telah mempersatukan darah dari orang
seketurunan... hahaha. Tarjo, kini kau tak akan dapat melepaskan
diri dari pembalasanku!”
Baik Tarjo maupun Ijah, memang sama mengerahkan tenaga
bathin pula.
“Jahanam kau manusia busuk,” maki Tarjo.
“Tak usah mengomel. Tarjo. Keluarlah. Kita berperang tanding!”
Pariman menantang.
Dalam kemarahannya. Tarjo tidak bisa lagi menahan diri. la
menerjang ke luar dan segera berhadapan tidak saja dengan
pariman, tetapi juga dengan beberapa orang laki-laki lainnya.
Mereka di kenali Tarjo sebagai orang-orang yang membencinya,
termasuk pengawas perkebunan karet yang telah menjinahi
Ningsih, dan yang dengan bantuan orang-orangnya, telah pernah
menurunkan tangan pada Tarjo. Kini mereka bersatu, untuk
memusnahkan satu-satunya orang yang tahu belang mereka
sesungguhnya.
Tarjo keburu nafsu.
“Katanya kulitmu kebal. Tarjo. Kok, tak lebih keras dari kulit
pisang?”
Mereka kembali mengerubuti Tarjo dan kembali Tarjo
tergelimpang. Ijah berlari-lari mendapatkan saudaranya,
memeluknya menangisinya, dan menyumpah-nyumpahi orang-
orang yang melukainya. Mereka menjawab dengan nada
menghina perbuatan terkutuk yang telah diperbuat dua
bersaudara itu. Bahkan mengejek keburukan rupa dan cacat
phisik Ijah. Tak terperikan marah Ijah mendengarnya.
“Tenang. adikku,” lamat-lamat ia dengar bisikan Tarjo. “Sudah
masih kita begini. Mungkin ini malam naasku. Tetapi aku tidak
120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akan menyerah. Bila aku mati, percayalah.. roh dan jasadku akan
hidup kembali. Dan aku akan membalaskan sakit hatimu dan
hatiku, membalasnya dengan lebih mengerikan...”
la masih mengucapkan sejumlah kata-kata yang lain, yang hampir
tidak seluruhnya tertangkap oleh telinga Ijah yang panas
membara oleh hawa amarah. Kemudian orang-orang itu mengikat
tangan Tarjo, menyeretnya meninggalkan kampung. Hujan turun
deras ketika mereka pergi, dan tak lama kemudian badai melanda
desa...
***

ESOK harinya. Ijah menemukan batang tubuh saudaranya


dipuncak sebuah bukit gundul. Batang tubuh itu tanpa kepala...
“Mayat tanpa kepala itu kubawa pulang, kutanam di halaman
rumah, dan menangisinya hampir sepanjang tahun...!” ujar nenek
Ijah lirih, dengan nafas tersengal-sengal.
Bergidik bulu kuduk Amalia mendengarnya. Dan gemetar
tubuhnya, waktu nenek ljah melanjutkan: “Dan selama sekian
puluh tahun pula, aku mencari-cari di mana kiranya kepala Tarjo
berada. Pencarianku sia-sia. Dan baru beberapa hari yang lalu,
bathinku membisikkan, bahwa apa yang kucari akan segera
kutemukan. Langkahku membawaku langsung ke sebuah tempat.
Yakni, ke sumur yang sedang digali suamimu, cucuku....” ia
menatap Amalia, dan dalam keremangan senja, tampak
perempuan tua itu sangat menderita.
Setelah itu, mereka berjalan dengan berdiam diri.
Apa yang diceritakan nenek Ijah sangat mengganggu pikiran
Jayusman, dan menimbulkan rasa takut yang tidak tertahankan
dalam diri Amalia. Kalau saja tiada kedua orang itu di dekatnya.
dan kalau saja ia tidak teringat akan nasib suaminya, maulah
rasanya ia segera memutar kudanya, lalu tanpa malu-malu lagi
berpacu untuk pulang!

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Hem...” Pak Jayusman mengambil tali kekang kuda,
menuntunnya mengikuti nenek Ijah yang berjalan di depan,
menembus kegelapan hutan yang mereka lalui. Bersama malam
yang telah tiba. Berulang kali kata “Hem,” itu lepas dari mulutnya,
dan dalam kegelapan yang sesekali diterangi oleh rembulan
empat belas itu. Amalia melihat pak jayusman tidak henti-
hentinya mengelus jengot.
“Nek Ijah...” pak Jayusman setengah berseru tiba-tiba
mengejutkan tidak saja Amalia, tetapi juga kuda yang
ditungganginya.
“Heh?” nenek Ijah terus berjalan, menyahut tanpa menoleh.
“... kau katakan, bencana-bencana yang lebih hebat bakal terjadi.
Dan kita harus menghentikannya. Tetapi... bagaimana kau tahu
dan begitu yakin semua itu akan terjadi?”
Nenek Ijah terbatuk-batuk sebentar, sebelum menjawab: “Selama
sekian puluh tahun,” ia senantiasa ingat janji yang diucapkan
saudaranya. Tarjo. Dan lama kelamaan, iapun ingat perkataan lain
yang waktu itu tidak begitu ia perhatikan benar. “Tarjo
mengatakan, ia akan bangkit kembali dari kuburnya. la akan
mencari seorang mahluk manusia, untuk bertukar jasad, dengan
siapa ia kemudian akan lebih leluasa melampiaskan dendamnya....
kukira, jasad suamimu yang segera akan ia pakai!” cetus nenek
Ijah dengan suara serak.
Hampir menjerit Amalia mendengarnya. Tetapi lidahnya kelu.
Pembuluh darahnya tertegun-tegun, dan jantungnya seperti
malas bekerja, ia menghirup udara malam yang agak pengap di
tengah hutan itu. Berulang-ulang, dan berusaha menggerak-
gerakkan persendian tubuhny a untuk mendapatkan kekuatan
mental dan phisiknya yang sempat terbang melayang.
Lama mereka saling berdiri.
Dan kembali pak jayusman yang memecahkan kesepian: “Tetapi
nek... mengapa tiba-tiba kau tidak ingin saudaramu membalaskan
sakit hati kalian berdua?”

122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jawab yang diterima sangat tegas. “Kalau pembalasan itu ia
tujukan langsung pada orang-orang yang telah menghina nama
keluarga kami, aku setuju saja, malah bersedia membantu. Tetapi
kalau kepada keturunan-keturunannya yang tidak tahu
menahu…” ia geleng-geleng kepala, komat-kamit mengucapkan
kalimat-kalimat tidak karuan, lalu meneruskan langkah-
langkahnya yang semakin cepat tanpa berkata sepatahpun lagi.
***

RASANYA banyak kurun waktu telah berlalu, ketika Supandi


berhenti dan berdiri tertegun di depan kuburan tua, jauh di atas
gunung, terpencil dari kehidupan manusia-manusia lain. la
mengerahkan segenap ingatannya yang sisa. Dan lamat-lamat bisa
mengenali lapangan terbuka di mana kini ia berada. Pada rumah
yang terlindung di tempat ini menemani ayahnya untuk mengirim
makanan pada perempuan tua yang hidup terasing ditempat ini.
Kalau tak salah, namanya Ijah. Ijah. Ada beberapa kali ia
mendengar nama itu, akhir-akhir ini. la mmcoba memusatkan
pikirannya. Oh ya, itu adalah nama yang dimiliki oleh seorang
perempuan tua renta yang timpang...
Ah? Tua renta? Timpang? la seorang gadis malang, gadis timpang
yang malang. Adik yang dengan setia menunggu dan merawat
saudara laki-lakinya yang bertapa brata mendalami ilmu. Apakah
gadis itu adalah Ijah yang pemah ia lihat semasa kecil? Dan Ijah
yang beberapa kali ia lihat di depan rumahnya, dan juga sering
dilihat Amalia? Amalia? Bagaimana keadaannya di rumah? Apa
yang sedang ia lakukan? Apa yang ia pikirkan mengenai
suaminya?
Otak Supandi terasa amat letih. Dan, tiba-tiba berdenyut dengan
keras. Keras sekali. Menyentak dengan kejam Ia segera sadar
bawa kepala yang terjinjing di tangannya telah mengirimkan
pengantinnya lewat kekuatan telephati gaib ke otak Supandi.
Dalam sekejap. Supandi telah melupakan keletihannya,
melupakan rasa sakitnya, melupakan nama Ijah, nama Amalia,
123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bahkan namanya sendiri. Matanya menatap kosong tak bercahaya
langsung ke kuburan tua di dekat kakinya. Sesuai dengan gerak
perintah yang menyentuh otaknya:
“Gali!”
Seperti robot, pelan-pelan Supandi meletakkan batok kepala
mengerikan itu di atas rumput. Lalu kemudian berjalan dengan
kaki seperti melayang-layang ke arah rumput di depannya. la
dengan segera menemukan sebuah pacul, sebuah singkup,
kembali ke tempat semula, lalu mulai menggali kuburan satu-
satunya yang ada di tempat itu. Kuburan yang bentuknya
tanggung. Kuburan di mana menurut sentuhan otaknya tertanam
mayat sebatang tubuh manusia, tanpa kepala.
Tidak begitu dalam kuburan itu. Dan, dengan lebih berhati-hati,
Supandi menggerakkan singkup memindahkan tanah, kemudian
menyusun kerangka manusia yang ia temukan dalam lubang
menurut bentuk yang sempurna. Sekujur tubuhnya mandi peluh
ketika keluar dari lubang kuburan, ia memandang ke kepala
mengerikan itu, ke sinar matanya yang merah kebiru-biruan.
“Letakkan kepalaku di tempatnya, budak hina.”
Hati-hati, ia mengambil kepala itu dan meletakkannya di bagian
tulang leher yang terpotong. Setelah melakukannya. Tegak
berdiri. Diam menunggu. Tak ubahnya patung kelabu dan kotor,
terpaku diam di bawah siraman rembulan yang tepat berada di
atas kepala.
“Nadimu. Gigit!”
Pelan-pelan. Supandi menggigit urat nadi lengan kirinya.
“Keras. Lebih keras, budak hina!”
Darah mulai menetes. Kemudian mengalir.
“Percikan ke arah lambungku. Jantungku. Paru-paruku... cepat!
Cepat! Rembulan segera akan berlalu... Aku membutuhkan
jasadmu.. sedang kau tidak lagi membutuhkan jasadmu... karena

124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ruhmu akan melayang sebentar lagi... Hai, mengapa kau
berhenti?”
Bukan karena ucapan-ucapan mengerikan itu yang menyebabkan
gerakan Supandi tertegun. Melainkan bayangan sesosok tubuh
lelaki bertubuh kekar, berambut putih, berjanggut putih yang
entah darimana datangnya telah melayang ke arahnya. Kemudian
memukulnya sampai terjerembab setengah punggung di
permukaan lubang kubur. Belum lagi ia tahu apa yang terjadi,
tubuhnya telah diangkat berdiri dan diseret menjauh dari
kuburan itu. la tidak tahu siapa laki-laki aneh itu. Tidak tahu apa
yang tengah dilakukan orang itu atas dirinya. Tetapi samar-samar
ia mendengar suara perintah yang tajam, tetapi lembut, tidak
dingin dan mengerikan. Suara seorang perempuan:
“Cepat. Lia. Tancapkan sinar matamu yang penuh cinta kasih ke
mata suamimu!”
Kemudian ia samar-samar melihat seraut wajah. Wajah yang
serasa pernah ia kenal, tetapi ia tidak tahu siapa. Dan mengapa
wajah itu tiba-tiba saja telah berada di atas wajahnya. Mengapa
mata itu bersinar-sinar memandangi matanya? Mengapa dari pipi
yang pucat itu menetes butir-bulir air bening membasahi pipinya?
Alangkah mesranya padangan mata itu. Penuh pengabdian.
“Liah...” lidahnya yang kelu, pelan-pelan bergerak, dan mulutnya
yang pucat tak berdarah, mengeluarkan suara, “Sayangku…”
Amalia lantas memeluk suaminya seraya menangis tersedu-sedu...
***

MATAHARI pergi belum lagi terbit, ketika berpasang-pasang mata


memandang ke dalam lubang. Kerangka manusia di dalam
kuburan yang menganga itu, tampak bergerak-gerak sedikit dan
kepalanya yang masih ditumbuhi rambut, daging, dan kulit itu
perlahan-lahan menciut. Dan begitu sinar matahari pagi
menjilatnya, bentuk kepala yang masih utuh itu, perlahan-lahan

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sirna bagian demi bagian. Mulai dari kulit, kemudian daging, lalu
bagian-bagian organ kepala yang lain, lalu pada saat matahari
semakin menyengat, kepala itu tinggal tengkorak putih belaka
dengan rongga mata dan mulut yang kosong serta rambut
panjang lebat menggumpal di dekatnya.
Supandi memegang lengan kirinya yang berbalut perban yang
terbuat dari dedaunan, bertahan dari rasa pusing yang
menyerang kepalanya, dan dengan terkejut mendengar nenek
Ijah bertanya:
“Kau pernah melihat kepala itu, Pandi?”
Supandi menggeleng. “Tidak.” la tidak pernah melihat kepala yang
berubah rupa secara mentakjubkan itu. la tidak pernah melihat
kerangka tubuh itu sebelumnya. la bahkan tidak tahu, mengapa
ketika ia tersadar dari pingsan tubuh tadi, ia…
Amalia, nenek Ijah dan pak Jayusman berada di tempat yang
terasing dan aneh itu mendengar jawab yang keluar dari mulut
Supandi, Amalia kembali memeluk suaminya dan menangis di
dadanya. “Kau melupakannya, syukurlah, sayangku… kau
melupakan semuanya...!” ia tersedu.
“Melupakan apa?” tanya Supandi, heran dan lirih.
Amalia menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan ciuman yang
bertubi- tubi menghujani wajah Supandi, tidak perduli akan
kehadiran orang lain di dekat mereka. Kikuk, Supandi
memalingkan muka dan melihat pak Jayusman yang tengah tekun
berdoa. Orang tua itu telah berdoa semenjak dini hari tidak
bangkit- bangkit dari duduknya. Di sebelahnya, duduk nenek tua
renta itu, yang memandang ke liang kubur tanpa berkata
sepatahpun juga. Mata tuanya tampak layu. Tetapi tidak ada
butir-butir air yang keluar.
Ketika segalanya telah berlalu dan kuburan itu telah ditutup
kembali serta diberi batu, barulah nenek Ijah berjalan masuk ke
rumahnya. la tidak keluar-keluar lagi sampai yang lainnya
bermaksud untuk pulang. Nenek Ijah tak mau diganggu, mereka

126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
meninggalkan tempat itu tanpa masuk ke rumah nenek Ijah dan
pamit padanya.
***

Esok harinya, mereka berdua menjenguk nenek Ijah, dengan


harapan pikirannya sudah mulai tenang dan ia mau menerima
kehadiran mereka. Tetapi yang mereka ketemukan, hanyalah
sebatang tubuh tua kerempeng, yang terbaring diam di atas
sebuah dipan bambu reot dengan nadi maupun jantung tidak lagi
berdenyut. Sepasang kelopak mata tuanya mengatup rapat dan
bibirnya yang pucat keriput mengulas sebentuk senyuman puas.
Amalia menatap suaminya. Supandi, tercenung dengan hati
luruh....

**Tamat**

127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai