Anda di halaman 1dari 399

Eps 120 Kembali Ke Tanah Jawa

BAB I

Malam gelap gulita. Tak nampak rembulan tak kelihatan kelipan bintang. Udara dingin menusuk
tulang sampai ke sumsum. Hembusan angin laksana menyayat kulit. Suasana sunyi di kawasan
bukit-bukit karang sesekali dipecah oleh suara deburan ombak yang datang dari arah Teluk
Penanjung – Pangandaran, menghantam kaki bukit karang. Di arah timur, dua bukit karang
menjulang tinggi menghitam. Di antara dua batu karang ini terbentang satu jurang dalam gelap
gulita. Sesekali terdengar suara aneh seperti ngiang tiupan seruling. Itulah suara angin yang
terpesat berputar masuk ke dalam jurang, tenggelam lalu menebar di dasarnya tak mampu
bergerak naik kembali.

Di salah satu sisi barat jurang pada kedalaman hanya sekitar dua puluh kaki terdapat bagian
dinding jurang mencekung ke dalam membentuk goa seluas hampir 20 kaki persegi. Dari atas
jurang goa besar ini tidak kelihatan karena tertutup tubir batu dan semak belukar rimbun. Di
pertengahan goa, tenggelam dalam kegelapan ada sebentuk batu berlumut setinggi menusia
yang duduk bersila.

Beberapa benda hidup bergerak menjalar di permukaan batu. Yang pertama adalah sepasang
ular besar berwarna coklat kehitaman. Walau tempat itu gelap gulita tapi dua sosok binatang
ini memancarkan kilap yang menggidikkan. Benda hidup lainnya yang menjalar di atas batu
adalah empat ekor kalajengking berkaki biru. Lalu masih ada tiga ekor lipan berwarna merah
yang disebut lipan bara.

Dari bentuk dan warna binatang-binatang itu jelas sekali mereka semua adalah binatang-
binatang berbisa sangat berbahaya. Jangankan manusia, seekor kerbaupun jika sampai dipatuk
atau disengat akan menemui ajal dalam waktu singkat!

Tak berapa jauh di sebelah kiri belakang batu besar di tengah pedataran, satu sosok kelihatan
mendekam duduk. Dari mulutnya yang berkomat-kamit tiada henti keluar suara halus
berkepanjangan seperti orang tengah membaca. Dua lututnya dilipat di atas dada, dua tangan
memegang sebuah benda yang ternyata adalah lembaran-lembaran daun kering dibentuk
demikian rupa hingga menyerupai sebuah kitab. Salah satu jari kelingkingnya yakni yang
sebelah kiri buntung. Sikapnya saat itu benar-benar lagak seorang yang tengah membaca. Dia
memegang kitab sambil sepasang mata dan kepala bergerak dari kiri ke kanan, kembali ke kiri
lalu balik lagi ke kanan.

Pada bagian depan kitab yang merupakan sampul depan tertera tulisan “Kitab Wasiat Iblis”.
Tapi di sebelah belakang ada lagi tulisan lain berbunyi “Kitab Wasiat Malaikat”. Dan yang
anehnya, halaman halaman dalam kitab dua judul itu sama sekali tidak ada tulisannya, kosong
melompong. Lalu apa yang dibaca orang ini demikian asyiknya sampai-sampai mata dan
kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan sementara mulutnya mengeluarkan suara menyerupai
orang sedang membaca?!
Sesekali sambil membaca orang ini melirik ke arah batu besar yang dijalari ular, lipan dan
kalajengking.

Mulutnya sesaat berhenti berkomat-kamit. Dia menyeringai lalu teruskan bacaannya. Begitu
terus menerus.

Orang ini sebenarnya masih muda. Tapi cacat di wajahnya serta badan dan rambut yang tidak
terpelihara membuat dia kelihatan tua. Hidungnya yang mancung agak miring ke kiri pertanda
tulang hidungnya pernah patah. Lalu pipi dan rahang sebelah kiri melesak ke dalam hingga
wajahnya kelihatan pencong. Mungkin tulang pipi serta rahang itu juga pernah cidera.

Kemudian mata kiri tidak wajar keadaannya, agak terbenam ke dalam rongga, memberi kesan
bahwa orang ini dulunya pernah menderita hantaman yang hebat. Masih ada satu cacat lagi di
bagian kepala orang ini. Yaitu satu luka besar yang telah mongering dan meninggalkan bekas di
keningnya sebelah kiri.

Di atas batu, ular coklat hitam menjalar ke bagian atas diikuti oleh pasangannya dan binatang-
binatang berbisa lainnya. Di pertengahan batu dua ular membuat gerakan melilit lalu mematuk
bagian atas batu.

Tiga ekor lipan dan empat kalajengking mencengkeramkan kaki masing-masing lalu menyengat.

Saat itu juga terjadi satu keanehan. Bagian atas batu di tengah pedataran mendadak
mengembang seolah binatang atau tetumbuhan laut yang tiba-tiba bergerak mekar
membentengi diri dari bahaya.

Ketika sekali lagi dua ular besar mematuk, dan lipan serta kalajengking menyengat, dari dalam
batu berlumut keluar suara mengaum. Lalu batu itu bergerak. Dari sisi kiri dan kanan mencuat
duia benda menyerupai tangan. Astaga! Benda di tengah pedataran yang disangka batu hitam
berlumut ternyata adalah makhluk hidup yang sulit diduga apa adanya sebenarnya.

Sekali ada suara mengaum. Lalu menyusul bentakan keras. “Binatang keparat! Kalian mematuk
dan menyengat! Apa kalian kira enak daging tua renta ini?! Kalian merusak ketenteramanku!
Lagi-lagi kalian mengacaukan samadiku! Selama ini aku biarkan kalian hidup bersama di jurang
ini! Tapi dasar makhluk tidak berbudi! Saat ini putus sudah kesabaranku! Hari ini aku akan
menghabisi kalian!” yang membentak ternyata adalah makhluk yang disangka batu tadi.

Begitu bentakan lenyap, sosok si makhluk melompat ke atas. Dalam keadaan tegak berdiri
ujudnya terlihat lebih nyata. Sosoknya ternyata tinggi besar. Kepalanya tertutup rambut lebat
berwarna coklat kemerahan mengembang berjingkrak. Lapisan lumut yang menutupi mukanya
laksana leleh dan kini tampak kepala dengan raut muka yang mengerikan. Muka makhluk ini
ternyata menyerupai seekor singa berwarna merah!
Dua ekor ular masih menggelung. Lipan dan kalajengking masih menyengat. Tiba-tiba sosok
berkepala singa ini memancarkan cahaya merah. Semua binatang yang ada di tubuhnya
menggeliat dan kepulkan asap menebar bau daging terbakar!

Makhluk kepala singa mengaum lalu hentakkan tumit kaki kirinya ke pedataran batu!

“Wuttt… wuutttt… wuuuuttt!”

Semua binatang berbisa yang masih menempel di tubuhnya tapi sudah mati terpanggang
hangus melesat mental ke satu arah. Yakni ke arah orang berpakaian hitam yang duduk
membaca di belakang sana.

Orang ini langsung berhenti membaca kitab kosong. Matanya memperhatikan dua ekor ular,
tiga lipan dan empat kalajengking yang bergeletakan di depannya. Dia melirik sebentar pada
sosok tinggi besar berkepala singa yang tegak di sebelah sana, lalu menyeringai.

Tenggorokannya naik turun, lidahnya dijulurkan menjilat air liur.

“Singo Abang!” orang berpakaian hitam berucap. “Enam ratus hari lebih aku berada di tempat
ini bersamamu! Baru hari ini kau berbaik hati menyuguhkan makanan lezat untukku!”

Orang ini masukkan kitab daun ke balik pakaiannya. Lalu beringsut ke depan.

Di sebelah sana sosok tinggi besar keluarkan suara mengaum. Lalu lontarkan ucapan keras.
“Pangeran Miring! Tidak usah banyak mulut! Makan saja pembagianmu!”

“Ha… ha… ha! Akan aku santap dan habiskan semua!” Si baju hitam mengambil tubuh ular yang
matang terbakar dan masih mengepulkan asap. Seperti orang kelaparan baru bertemu
makanan, ular besar dilahapnya. Dalam waktu sebentar saja ular panggang itu amblas itu
masuk ke dalam perutnya.

“Ha… ha! Tidak sangka enak juga makanan pembagian Singo Abang ini!” Si baju hitam tepuk-
tepuk perutnya. “Ah, masih kosong! Aku masih lapar!” Lalu orang ini sambar sosok ular ke dua.
Seperti tadi dalam waktu sebentar saja ular besar itu habis dimakannya. Tertawa-tawa dia
melirik pada tiga lipan dan empat kalajengking. Lalu sambil usap-usap perutnya dia bertanya
pada diri sendiri. “Apakah aku masih lapar?”

“Pangeran Miring! Kalau kau mau makan, makan saja. Jangan banyak bicara! Selesai makan
kembali ke tempatmu duduk semula! Ingat, kau hanya boleh berada sejauh sepuluh langkah
dari dinding batu itu ! Jangan berani melanggar!”

Mendengar kata-kata makhluk berkepala singa yang dipanggilnya dengan nama Singo Abang
itu, orang berpakaian hitam unjukkan muka merengut. Dia mencibir lalu meludah. “Aku tidak
lupa pada larangan kentut busuk itu! Lebih dari enam ratus hari aku tidak boleh berjalan
melewati sepuluh langkah! Aku mulai bosan! Aku ingin jalan jauh. Aku ingin lari! Aku ingin
menghirup udara di luar jurang ini! Di atas sana pasti indah pemandangannya. Bukit-bukit
batu… jurang… laut di teluk. Aku tahu. Dulu aku pernah melihat…”

Singo Abang mengaum.

“Kalau kau berani melakukan apa yang barusan kau ucapkan, siap-siap saja menerima gebukan
dariku!

Mukamu akan kubuat tambah pencong! Matamu akan kubuat melesak kedua-duanya. Dan
otakmu tambah kubuat miring! Biar kau benar-benar jadi Pangeran Miring seumur-umur!”

“Miring! Miring! Kau selalu menyebut aku Pangeran Miring! Padahal otakmu sendiri tidak
waras!”

“Wuttt!”

Sekali lompat saja manusia kepala singa itu sudah berada di hadapan orang yang selalu
dipanggilnya dengan Pangeran Miring. Tangannya bergerak menjambak rambut orang lalu
ditarik ke atas hingga muka mereka saling bertatapan dan terpisah hanya setengah jengkal.

“Aku bicara apa adanya! Otakmu memang miring sejak kepalamu terbentur batu waktu jatuh di
jurang ini! Kalau aku tidak menolong, hidupmu pasti lebih celaka dan lebih sengsara dari
sekarang ini! Kau bukan cuma miring tapi benar-benar gila! Sinting!”

“Singo Abang! Kau selalu membangkit-bangkit semua budi pertolonganmu! Aku merasa lebih
baik dulu mati saja dari pada menerima pertolonganmu! Apa aku pernah meminta?!”

“Jangan bicara yang bisa membuat aku marah! Pangeran Miring! Apa kau lupa aku ini bukan
cuma penolongmu, tapi juga gurumu?!”

Pangeran Miring mendongak lalu tertawa gelak-gelak. “Kau yang bilang begitu! Tapi aku tidak
pernah mengakuimu sebagai guru! Guruku hanya satu. Dia Si Muka Bangkai alias Si Muka
Mayat. Orangnya sudah mati! Selama ini apa yang kau ajarkan padaku! Malah aku merasa kau
diam-diam menyelidiki diriku, mempelajari semua ilmu yang aku miliki! Bukan begitu! Ha… ha…
ha…!”

“Murid geblek!” Singo Abang mengaum. Tangannya yang menjambak bergerak. Tubuh
Pangeran Miring dilemparkannya ke dinding batu. Saking kerasnya sampai batu itu ada yang
retak dan gompal. Tapi sebaliknya Pangeran Miring tidak merasa sakit malah menyeringai.

Hanya dua matanya memandang berkilat-kilat tanda ada kemarahan dalam dirinya.
“Kau tidak berani mambunuhku! Tidak berani! Mengapa? Aku tahu! Aku tahu! Kau
menginginkan sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu lewat diriku!

Jika aku mati kau tidak akan menemukan apa yang kau cari! Bukan begitu? Ha… ha… ha…!”

“Dasar manusia miring! Kalau aku bunuh benaran baru tahu rasa!”

“Singo Abang! Aku tidak takut kau bunuh di tempat celaka ini!” Pangeran Miring keluarkan
kitab daun kering dari balik pakaian hitamnya.

Singo Abang keluarkan tawa mengekeh yang aneh serta menggidikkan. “Kasihan kau Pangeran
Miring! Kitab itu kau sendiri yang membuat. Dari daun-daun kering! Kau tulisi di sebelah depan
Kitab Wasiat Iblis! Di sebelah belakang kau tulis Wasiat Malaikat! Di dalamnya kosong
melompong! Lalu kau membaca seolah ada isi ilmu kesaktian dan ilmu silat! Otak miringmu
mengada-ada! Itu yang aku ketahui! Pangeran Miring! Berhentilah bermimpi! Ha… ha… ha…!”

“Singo Abang! Makhluk penghuni jurang celaka! Namaku bukan Pangeran Miring!

Walau aku banyak lupa tentang masa laluku akibat benturan keras pada kepalaku waktu jatuh
di jurang jahanam ini, tapi satu hal aku masih ingat siapa namaku. Aku adalah Pangeran
Matahari.

Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!”

Singo Abang mengaum lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya membahana menggetarkan
jurang batu karang.

“Masa lalumu telah lewat, sirna dan amblas! Pangeran Matahari tak ada lagi! Yang ada kini
hanyalah sisa sisa berupa rongsokan yang aku panggil dengan nama Pangeran Miring!”

“Mungkin aku kalah mengadu mulut denganmu1 tapi layani aku mengadu kekuatan!”

teriak Pangeran Miring marah sekali lalu melompat sambil kirimkan satu jotosan keras dan
cepat ke arah rusuk kanan Singo Abang.

Makhluk berkepala singa mengaum. Ketika mulutnya terbuka kelihatan deretan gigi besar dan
taring mencuat runcing. Rambut-rambut panjang tebal coklat kemerahan yang menutupi
kepala, leher dan tengkuknya mengembang berjingkrak pertanda diapun marah besar. Dia tidak
melakukan gerakan mengelak malah langsung angkat tangan kanannya, menggebrak dengan
satu tangkisan yang juga merupakan serangan dahsyat.

“Bukkk!”

Dua lengan beradu keras.


BAB 2

Pangeran Miring mengeluh tinggi dan terpental menghantam dinding batu lalu melosoh jatuh
terduduk di pedataran dengan kepala termiring-miring dan wajah pucat. Tubuhnya bergeletar.
Lengan kanannya merah membengkak. Sesaat kemudian dia berdiri kembali. Walau agak
terbungkuk-bungkuk karena masih menahan sakit tapi dia masih sanggup menyeringai dan
berucap.

“Kau tidak bisa mengalahkanku Singo Abang! Kau tidak bisa membunuhku!”

Makhluk berkepala singa sendiri saat itu tegak tertegun sambil pegangi lengannya yang sakit
bukan main. Dia meraba-raba karena kawatir tulang lengan itu telah patah. Akibat pukulan tadi
dadanya mendenyut sakit dan jalan darah jadi tidak karuan. Muka singanya yang coklat
kemerahan tampak kelam membesi. Dia membatin. “Selama dua tahun aku coba mengikis
kekuatannya ternyata tidak ada yang hilang dalam dirinya. Malah tenaga dalamnya seperti
bertambah hebat. Kalau aku tadi tidak mengerahkan dua pertiga tenaga dalamku pasti aku
sudah dibuatnya celaka! Dia bisa meraba hatiku!

Jahanam betul! Kalau aku tidak mengharapkan benda itu sudah sejak dulu dia kubunuh!
Otaknya tak karuan. Berapa lama aku musti menunggu sampai pikirannya kembali jernih dan
dia bisa mengatakan dimana benda itu berada…"

"Singo Abang! Kau makhluk jahat! Aku tidak akan menyantap sisa-sisa lipan dan kalajengking
itu! Silahkan kau habiskan sendiri!” Pangeran Miring Ialu melangkah surut hingga punggungnya
membentur dinding batu. Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri di tepi pedataran batu.

Kitab daun dikembangkan. Mulunya komat-kamit, mata bergerak ke kiri dan ke kanan
bersamaan dengan gerakan kepala. Mulut mengeluarkan suara seperti orang membaca padahal
sebenarnya dia entah meracau apa.

Tiba-tiba di udara melesat satu benda memancarkan cahaya keputih-putihan. Singo Abang
mendongak, keluarkan auman halus. Bola matanya yang berwarna kelabu tampak membesar.

Pada saat benda yang melesat di udara tadi lenyap di selatan jurang batu, sosok makhluk
kepala singa itu serta merta berkelebat ke atas. Dalam gelap dia membuat beberapa kali
lompatan. Luar biasa!

Pinggiran jurang itu merupakan dinding yang hampir tegak lurus dan hanya ada beberapa
gundukan kecil menonjol keluar. Namun dengan cepat dia mampu bergerak ke atas.

Di satu gugusan batu Singo Abang hentikan gerakannya dan memandang ke bawah. Muka
singanya menunjukkan rasa kaget. Di bawah sana dia tidak melihat lagi sosok Pangeran Miring.
"Jahanam itu, kemana lenyapnya?” Singo Abang bertanya dalam hati. "Mungkin kabur
melarikan diri? Tapi bagaimana aku bisa tidak mengetahui. Tak mungkin dia bergerak
mendahului gerakanku!" Agak lama juga Singo Abang berpikir-pikir. Akhirnya dia kembali
melompat, meneruskan rnenuju bagian atas jurang.

Di bagian selatan jurang batu, dalam kegelapan dan dinginnya udara malam yang mulai
merayap memasuki pagi, sesosok tubuh tergeletak menelungkup di tanah. Kulit muka, tangan
dan kakinya kelihatan memar kemerahan. Di sekitar hidung, liang telinga dan sudut bibir ada
bekas darah mengering. Pakaian putih yang melekat di tubuhnya cabik-cabik dan ada yang
hangus di beberapa tempat, Orang ini berambut panjang sebahu. Rambut ini menjulai
menutupi sebagian wajahnya.

Ketika makhluk bertubuh manusia berkepala singa Singo Abang sampai di tempat itu, dia
terkejut besar karena dapatkan Pangeran Miring telah lebih dulu berada di tempat itu dan
tengah memeriksa sosok tubuh yang tergeletak di tanah.

"O ladalah! Apa ini benda yang tadi aku lihat melayang bercahaya? Walah! Ternyata manusia
juga adanya! Tapi heh?!" Pangeran Miring pergunakan ujung kaki untuk menggulingkan tubuh
yang tengkurap itu. Tidak bisa.

"Gila! Apa tubuh manusia satu ini lebih berat dari gajah" Sang pangeran lalu membungkuk. Dia
sibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah orang. "Eh! Aku… aku seperti
mengenali manusia ini!" Kepala Pangeran Miring termiring-miring, bibirnya digigitnya berulang
kali dan matanya sebentar membesar mengerenyit mengecil. Lalu dengan tangan kanan
ditepuk-tepuknya punggung orang.

"Hai! Kau ini pingsan, atau tidur! Atau memang sudah mampus?!"

Tak ada jawaban. Sosok yang tergeletak tengkurap sama sekali tidak bergerak.

Pangeran Miring kembali sibakkan rambut gondrong itu dan memandang dengan mata tak
berkesip.

"Mungkin dia… rasa-rasariya memang dial Kalau benar… ha… ha…ha! Akan kubunuh! Akan
kubikin mati, saat ini juga! Tapi mengapa? Mengapa aku harus membunuhnya? Ah Otakku tak
bisa bekerja … ! Harus kubalikkan tubuhnya. Kalau sudah tertelentang aku akan bisa melihat
seluruh wajahnya!"

Pangeran Miring Ialu ulurkan dua tangannya untuk membalikkan tubuh yang tertelungkup.
Dalam gelap walau tubuhnya tidak bergerak dan mulut tidak mengeluarkan suara namun orang
yang kini tertelentang di tanah perlahan-lahan membuka sedikit sepasang matanya.

Samar-samar dia melihat satu wajah. Dadanya bergetar, matanya terpejam kembali.
Pangeran Miring membungkuk. Mendekatkan kepalanya ke wajah orang yang tergeletak di
tanah.

“Memang dia…. Benar, memang dia! aku boleh gila! Otakku boleh miring! Tapi yang satu ini tak
bisa lepas dari alam pikiranku! Tapi…. aku perlu satu kepastian lagi! Rajah itu… Rajah tiga
angka!"

Pangeran Miring alihkan pandangannya ke dada pakaian orang di bawahnya. Tangan kirinya
bergerak hendak menyibakkan bagian dada pakaian putih orang itu.

Saat itulah Singo Abang muncul berkelebat dan mendorong bahu Pangeran Miring hingga dia
terguling ke samping!

"Makhluk jahat! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Pangeran Miring marah sekali karena
maksudnya hendak menyelidik dada orang tidak kesampaian.

"Kau sudah melanggar pantangan Pangeran! Ingat! Kau tidak boleh bergerak lebih sepuluh
langkah darl dinding jurang! Kini kau berada di sini! Sudah berapa ratus langkah yang kau

langgar?!"

"Persetan dengan.aturanmu! Aku mau membunuh orang ini kalau memang dia adanya!"

"Tidak! Kau tidak boleh membunuh orang itu siapapun dia adanya! Kau harus kembali ke
jurang.

Sekarang!”

“Tidak!"

"Kau minta kugebuk!"

"Akan kupecahkan kepalamu!” jawab Pangeran Miring.

Singo Abang mengaum. Rambut di kepala dan lehernya mengembang. Di mata Pangeran Miring
scsok makhluk ini kelihatan menjadi dua kali lebih besar. Dua tangannya yang sebelumnya
berbentuk tangan manusia tiba-tiba berubah menjadi tangan singa yang mencuatkan kuku-
kuku hitam panjang! Belum pernah Pangeran Miring melihat Singo Abang seperti ini.

Selagi dia memandang tercekat seperti itu Singo Abang telah berkelebat. Satu jotosan keras
melabrak dada Pangeran Miring membuat orang ini terpental dan menjerit keras. Belum
sempat kaki atau bagian tubuhnya menyentuh tanah satu jotosan lagi melanda ulu hatinya. Tak
ampun lagi sosok Pangeran Miring laksana dilemparkan ke udara lalu jatuh di tanah. Walau dia
mampu jatuh dengan berlutut dan satu tangan menopang diri agar tidak rubuh namun dada
dan perutnya seperti pecah. Dari mulutnya mengucur darah.

"Aku sudah lama menahan diri melakukan ini!Tapi kau sengaia meminta! Kau memberi jalan
aku menjajal jurus pukulan Dua Singa Berebut Mataharil Ha… ha … ! Ternyata kau tidak sanggup
mengelak ataupun menangkis! Jangan bilang aku tidak bisa membunuhmu! Saat ini mudah
sekali bagiku membeset tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki!"

Pangeran Miring hanya mendengar suara Singo Abang. Dia tidak melihat sosoknya apa lagi
gerakannya dan tahu-tahu satu hantaman lagi mendarat di kepalanya. Tak ampun Pangeran
Miring tersungkur terguling-guling dan sosoknya tergeletak pingsan hanya satu langkah dari
pinggiran jurang.

Singo Abang mengaum. Tubuhnya yang tadi berubah besar perlahan-lahan mengecil ke bentuk
semula. Dia menatap sosok Pangeran Miring sesaat lalu berpaling dan melangkah mendekati
tubuh yang tengkurap di sebelah sana. Ketika dia memeriksa orang ini, termasuk memeriksa
bagian dada yang terlindung di balik pakaian putih, makhluk kepala singa ini sampai berjingkat
dan mundur dua langkah. Mulut singanya mengerenyit dan dua bola matanya yang kelabu
membesar.

"Pendekar 212!” Singo Abang berucap dengan suara bergetar. "Sekian lama dia tidak pernah
muncul, tak pernah diketahui berada di mana.Kini mengapa bisa berada di tempat ini? Rajah
tiga angka itul Tak pelak lagi! Memang dia. Tapi ……Singo Abang memeriksa pinggang pakaian
orang yang tergeletak di tanah. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang membuat tangannya
serasa dingin dan cepat-cepat ditarik. Ketika pakaian di bagian pinggang disingkapkannya,
kelihatanlah menyembul kepala senjata berbentuk kapak bermata dua."Kapak Maut Naga Geni
212! Manusia ini memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Sulit dipercaya Apa yang membuatnya
sampai terlempar ke sini?

Siapa yang melempar? Manusia atau setan?! Tubuh penuh lecet. Pakaian hangus…. Tapi jangan-
jangan dia sudah mati!"

Singo Abang tekapkan telapak tangannya ke lengan kiri orang. "Ada denyutan…. Dia masih
hidup!"

Lama Singo Abang tercekat diam sambil pegangi dagu. "Aku tak ada permusuhan dengan
manusia ini Apakah aku harus membunuhnya?!" Singo Abang memandang sebentar ke arah
Pangeran Miring yang tergeletak di dekat jurang sana. “Mereka yang saling bermusuhan.

Tidak…. Mungkin lebih baik aku tidak membunuhnya. Jika dia kubiarkan hidup, siapa tahu bisa
membuka jalan untuk mendapatkan benda yang aku cari. Sekarang, apa yang harus aku
lakukan…. Kapak mustika itu. Senjata itu harus aku ambil! Rasanya, itu lebih berguna dari pada
membunuhmya!"
Makhluk setengah manusia setengah singa ini ulurkan tangan hendak mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 dari balik pinggang pakaian tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia

mendengar suara aneh mendatangi. Sepasang telinga singanya yang.menyembul di balik


rambut-rambut coklat merah bergerak.

"Suara aneh. Seperti derap kaki kuda tapi aku yakin bukan kuda yang berlari. Tadi kedengaran
masih jauh. Kini sudah berada di belakangku!” Rambut di kepala dan tengkuk Singo Abang
mengembang mekar pertanda dia mencium datangnya bahaya!

Singo Abang palingkan kepala. Dia benar-benar tercekat ketika melihat siapa yang berlari
mendatangi ke arahnya.

“Momok Dempet Berkaki Kuda!” desis makhluk berkepala singa ini. “Agaknya aku tidak
berkesempatan mengambil kapak sakti itu. Kalau aku paksakan pasti makhluk dempet jahanam
ini akan menyerangku!

Mencari urusan di saat Pangeran Miring masih tergeletak pingsan di sebelah sana sangat tidak
menguntungkan1 Lagi pula selama ini aku tidak dapat menjajagi sampai dimana kehebatan
sepasang momok ini!”

Sebelum menjauhkan diri dari sosok yan tergeletak di tanah, Singo Abang tepukkan tangan
kirinya ke dada orang itu, mengalirkan setengah tenaga dalam yang dimilikinya. Sosok yang
ditepuk tersentak ke atas lalu menggeliat. Singo Abang sendiri cepat-cepat berdiri. Tepat pada
saat dua sosok aneh mendatangi dan berhenti lima langkah di hadapannya.

BAB 3

2121

Yang tegak di depan Singo Abang saat itu adalah dua orang lelaki bertubuh kurus kering,
memiliki tinggi hampir satu setengah kali tingginya sendiri. Mereka tegak seperti sengaja
bersisian tapi jika diperhatikan ternyata tangan mereka-yang satu sebelah kanan dan satunya
lagi sebelah kiri-saling berdempetan satu sama lain! Berarti kemanapun mereka pergi dan
dimanapun mereka berada akan selalu bersisian seperti itu. Jika yang satu menggerakkan
tangan kiri, berarti yang satunya lagi harus ikut menggerakkan tangan kanan!

Masih ada keanehan lain pada sepasang manusia dempet ini. Yakni ke empat kaki mereka. Kaki-
kaki itu tidak berbentuk kaki manusia tapi berupa kaki kuda lengkap dengan ladam besinya!

Jika mereka berjalan atau berlari kaki-kaki itu akan mengeluarkan suara seperti kuda berlari tapi
akan terdengar aneh karena mereka berlari bersisian, bukan seperti kuda sungguhan yaitu dua
kaki di depan dan dua kaki di belakang.
Sejak dua tahun belakangan ini sepasang makhluk dempet ini muncul di rimba persilatan tanah
Jawa dengan menebar nama memperkenalkan diri sebagai Momok Dempet Berkaki Kuda.
Orang yang di sebelah kanan bernama Tunggul Gono sedang yang di sebelah kiri bernama
Tunggul Gini. Mereka diketahui jelas bukan dari golongan putih. Tetapi di kalangan para tokoh
golongan hitam mereka kurang mendapat tempat. Karena sering ikut campur urusan orang
bahkan tidak segan-segan menjatuhkan tangan jahat. Kabar terakhir dua tokoh silat di Jawa
Timur telah menjadi korban mereka. Yang pertama adalah tokoh golongan hitam sedang
satunya masih kerabat keraton Surakarta. Tidak heran kalau kini keduanya menjadi buronan
yang selalu dikejar oleh para pimpinan pasukan dan pendekar Keraton.

“Malam tidak berbulan tidak berbintang. Udara dingin pula. Kerabat bernama Jolo Pengging
keluar dari sarang di dalam jurang! Tentu ada kepentingan luar biasa!” Si tinggi kurus Si

sebelah kanan yang berambut awut-awutan dan bermata besar membuka mulut.

“Saudaraku Tunggol Gono, kau betul. Hal ini membuat aku ingin bertanya. Gerangan apa yang
tengah ia lakukan di tempat ini!” Menyahuti si tinggi di sebelah kiri yang juga berambut awut-
awutan tapi bermata sipit. “Di sebelah sana aku lihat ada sosok berpakaian hitam menggeletak
tak bergerak. Lalu di dekatmu juga ada satu sosok lagi. Berpakaian putih, juga menggeletak tak
bergerak! Siapa mereka?

Kami bertanya apakah kami akan mendapat jawaban?!”

Singo Abang menyeringai lalu mengaum.

“Kawasan Teluk Penanjung dan bukit-bukit karangnya adalah kawasan kekuasaanku!

Kemana aku pergi, dimana aku berada dan kapan aku mau adalah suka-suka diriku! Mengenai
pertanyaan kalian tadi tak ada sulitnya menjawab. Di sana tergeletak seorang muda berpakaian
putih. Siapa dirinya aku tidak tahu. Kalian silahkan memeriksa dan menyelidiki sendiri. Sosok
yang tergeletak di dekat jurang sana adalah muridku!”

Momok Dempet Berkaki Kuda saling berpandangan lalu tertawa bergelak. Tunggul Gono di
sebelah kanan berkata. “Kerabat kita Singo Abang rupanya berhati jujur. Mau menjawab
pertanyaan kita apa adanya Tapi nada bicaranya agak sombong. Lagi pula aku rasa ada sesuatu
yang disembunyikannya pada kita…”

“Kurasa demikian. Bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan, baru hari ini aku tahu
kalau Singo Abang punya murid! Ha… ha…ha!”

Singo Abang tidak perdulikan ucapan orang. Dia melangkah ke arah sosok Pangeran Miring
tergeletak. Tapi kemudian dia ingat akan sosok yang satu lagi. “Kalau aku tinggalkan Pendekar
212 bersama orang-orang ini, kapak sakti itu pasti akan mereka rampas. Dari pada mereka yang
mendapatakan lebih baik aku ambil saja!”
Singo Abang dengan cepat memutar langkahnya lalu berkelebat ke arah sosok berpakaian
putih.

Tangannya diulurkan untuk mengambil kapak sakti. Namun sebelum sempat menyentuh
senjata itu tibatiba Momok Dempet Berkaki Kuda gerakkan tangan mereka yang dempet.
Selarik sinar hitam menderu dari sela tangan yang bertempelan. Membuat Singo Abang
mengaum keras dan terpaksa melompat mundur.

“Wusssss! Braaaakkkk!”

Dinding batu terbongkar dihantam larikan sinar hitam. Sebuah lobang besar menguak
mengerikan.

“Kapak itu agaknya tidak berjodoh denganku! Perlu apa aku mempertaruhkan nyawa untuk
mendapatkannya!” kata Singo Abang lalu dengan cepat dia berkelebat ke arah sosok Pangeran
Miring. Sebelum tinggalkan tempat itu sambil memanggul muridnya dia berpaling pada dua
makhluk dempet.

“Momok Dempet! Harap kalian terima balasan penghormatan dariku!” Lalu Singo Abang
hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang sinar merah yan menghampar hawa panas
berkiblat.

Tunggul Gono dan Tunggul Gini berseru kaget. Tidak menyangka orang berani membalas
serangannya.

Keduanya melompat setinggi satu tombak. Sinar merah lewat di bawah kaki mereka terus
menghantam gundukan batu karang di ujung pedataran hingga hancur berkeping-keping dan
mengepulkan asap panas!

“Singo Abang! Kau minta mati!” Teriak Tunggul Gini marah. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya yang berdempet dengan tangan kiri Tungul Gono dipukulkan ke arah Singo Abang.

Untuk kedua kalinya larikan sinar hitam melabrak ke arah makhluk kepala singa. Kali ini lebih
dahsyat karena dua makhluk dempet ini mengerahkan hampir seluruh hawa sakti yang mereka
miliki. Tapi saat itu Singo Abang sudah melompat terjun ke dalam jurang. Serangan maut
Momok Dempet hanya menghantam dinding batu karang di salah satu sudut jurang. Untuk
kesekian kalinya jurang itu digelegari oleh suara hancurnya bebatuan.

“Jahanam Singo Abang! Berani dia menantang kita! Aku ingin mengejarnya walau sampai ke
dasar jurang!” Tunggul Gini berkata.

“Jangan perturutkan amarah!” menjawab Tunggul Gono. “Hari masih gelap. Kita tidak tahu
seluk beluk jurang! Salah-salah bisa celaka kena dijebak musuh! Bangsat kepala singa itu tidak
seumur-umur mendekam di dalam jurang. Kita minta bantuan beberapa kawan mengawasi
keadaan sekitar jurang ini.

Satu saat pasti dia akan keluar. Kita cari kesempatan lain untuk menghajarnya!”

“Menurutmu apakah dia memang menyembunyikan dua kitab yang kita cari?”

“Tak dapat kupastikan. Tapi jika keterangannya benar bahwa orang berpakaian hitam tadi
adalah muridnya, bukan mustahil salah satu kitab itu ada padanya.” Jawab Tunggul Gono.

“Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya.”

Tunggul Gini menatap ke arah jurang kelam. “Pangeran Matahari diketahui menemui ajal di
jurang itu dua tahun silam. Bukan mustahil Singo Abang menemukan Kitab Wasiat Iblis pada
mayat Pangeran Matahari. Tentang Kitab Wasiat Malaikat masih kabur bagi kita dimana
beradanya…” (Momok Dempet Berkaki Kuda rupanya tidak mengetahui apa yang terjadi
dengan Kitab Wasiat Iblis yang memang pernah dimiliki oleh Pangeran Matahari. Seperti
diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yakni Episode terakhir dari 8 Episode
berjudul “Kiamat Di Pangandaran”, kitab Wasiat Iblis telah ditelan oleh Datuk Rao Bamato Hijao
harimau sakti pelindung Wiro sewaktu terjadi pertempuran hidup mati antara Pendekar 212
dengan Pangeran Matahari).

“Sekarang apa yang kita lakukan?” Bertanya Tunggul Gini.

Tunggul Gono menunjuk ke arah sosok berpakaian putih di seberang sana. “Kita periksa siapa
adanya orang itu. Tadi kulihat Singo Abang seperti hendak mengambil sesuatu dari orang itu…”

“Bukan itu saja,” sahut Tunggul Gini. “Aku sempat melihat dia memukul dada orang,
mengalirkan hawa sakti.’

“Dia coba menyelamatkan orang. Berarti yang tergeletak itu seorang yang amat penting. Mari
kita selidiki siapa dia!” kata Tunggul Gono pula. Kedua orang itu segera melangkah mendekati
sosok berpakaian putih yang kini tergeletak menelentang. Sementara kegelapan malam mulai
bias oleh kedatangan pagi.

“Seorang pemuda berambut gondrong. Wajah dan tubuh penuh lecet. Pakaian putih hangus…”
kata Tunggul Gini begitu sampai di hadapan sosok yang tergeletak di tanah. Tunggul Gono
angkat tangannya, memberi isyarat agar Tunggul Gini hentikan ucapan.

Lalu dia membungkuk. Karena tangan mereka dempet, gerakan ini membuat Tunggul Gini ikut
membungkuk. “Lihat! Dada orang ini! Ada rajah tiga angka!”

Tunggul Gini delikkan mata lalu ternganga. “Gila! Pemuda ini Pendekar 212 Wiro Sableng!”
katanya kemudian setengah berseru.
“Sejak dua tahun lalu dia dikabarkan lenyap! Bahkan ada yang menduga sudah mati!

Mengapa sekarang bisa muncul di sini?! Jangan-jangan ini hantunya!” kata Tunggul Gono pula.

Tunggul Gini tidak perdulikan ucapan orang. Dia sibakkan pakaian putih orang yang tergeletak
di tanah di bagian pinggang. “Lihat! Kapak Naga Geni 212!”

“Tidak diduga tidak dinyana! Benar Pendekar 212 rupanya! Rejeki kita besar sekali di malam
buta ini!

Mungkin kitab sakti itu juga ada padanya!” seru Tunggul Gono. Tunggul Gini menyeringai lebar.
Tangan kanannya bergerak dengan cepat hendak mencabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang
orang. Tapi tidak terduga tiba-tiba kaki kanan orang yang tergeletak di tanah melesat ke depan.

“Bukkk!”

Tunggul Gini menjerit. Satu tendangan keras mendarat di dadadnya. Tubuhnya bersama-sama
Tunggul Gono terpental lalu jatuh terjengkang di tanah.

“Jahanam berani mati!” teriak Tunggul Gono lalu menolong Tunggul Gini bangun. Begitu
keduanya berdiri pemuda berambut gondrong dan berpakaian putih hangus telah tegak di
depan mereka, memandang tajam tapi sambil salah satu tangannya memijit-mijit kening
sendiri.

BAB 4

2121

“Aku tidak percaya pemuda itu Pendekar 212 Wiro Sableng!” kata Momok Dempet Tunggul
Gono. “Tegaknya menghuyung seperti mau roboh! Terus-terusan memijit kening seperti orang
sinting sakit kepala! Sikapanya macam orang bego! Lagi pula apa kau lupa kabar yang
mengatakan bahwa murid Sinto Gendeng itu menghilang entah kemana sejak dua tahun lalu?”

“Aku barusan merasakan tendangannya! Jika dia bukan pemuda berkepandaian tinggi tak
mungkin bisa menendang diriku!” jawab Tunggul Gini bersungut sambil urut-urut dadanya yang
masih terasa sakit.

Di depan sana pemuda berpakaian putih hangus dan berambut gondrong yang memang
Pendekar 212, murid Eyang Sinto Gendeng adanya masih berdiri dan terus memijit kening.

Sambil matanya menatap ke depan, melirik ke samping dia bertanya-tanya dalam hati.
“Heran, apa yang terjadi dengan diriku. Sekujur badan terasa ngilu. Pemandangan berkunang.
Kepala mendenyut sakit tak karuan. Dimana aku saat ini! Gelap semua. Apa saat ini malam
hari? Mana bocah brengsek Naga Kuning? Aku tidak mencium bau pesing. Berarti kakek Si Setan
Ngompol itu juga tidak ada di sini. Lalu dua mahkluk bertangan dempet itu, siapa mereka?
Manusia atau setan jangkungan?!”

Dalam keadaan seperti itu Wiro tidak dapat menjawab semua pertanyaannya sendiri. Dia
melihat satu gundukan batu di samping kiri. Pemuda ini melangkah mendekati batu lalu duduk
di atasnya. Tangan kiri masih memijit kening. Tangan kanan menggaruk kepala.

Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Istana Kebahagiaan) sewaktu Batu Pembalik
Waktu patah dua bersama dengan meledaknya Istana Kebahagiaan, Wiro dan kawan-kawan
bahkan semua orang yang ada dalam Ruang Seribu Kehormatan tersedot oleh satu lingkaran
cahaya tujuh pelangi yang berputar laksana sebuah tong raksasa. Ketika lingkaran cahaya itu
melesat menembus angkasa, semua orang yang ada dalam Istana Kebahagiaan termasuk
Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terseret dan lenyap seolah ditelan langit.

“Latanahsilam… Latanahsilam, apakah aku masih berada di Negeri Latanahsilam? Hantu Muka
Dua… Luhrembulan, Luhcinta… Orang-orang itu, dimana semua mereka?” Pikiran dan hati
Pendekar 212 kembali dipenuhi setumpuk pertanyaan.

“Tunggul Gini, kau lihat pemuda itu. Dia bicara sendirian. Jangan-jangan kita cuma berhadapan
dengan seorang gila!”

“Kau tolol amat!” maki Tunggul Gini. “Orang gila mana bisa berkelahi. Dia menendangku
dengan pengerahan tenaga dalam! Kau buta tidak melihat senjata berbentuk kapak yang

terselip di pinggangnya?!”

Tunggul Gono masih sangsi. Dia lantas berteriak. “Kampret! Apa kau orangnya bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar 212?!”

“Kepalaku lagi sakit! Bangsat berujud setinggi galah itu mamaki seenaknya…” Wiro berkaa
dalam hati. “Eh, apa memang aku sudah benaran berubah ujud? Jangan-jangan aku benaran
sudah jadi kampret!” Wiro usap tubuhnya sendiri. Pegang kepalanya. Gosok-gosok telinga kiri
kanan. Mengusap mulut. Lalu perhatikan dua kaki dan sepasang tangannya. “Sialan betul.
Ternyata aku masih berbentuk manusia, dibilang kampret! Tapi…” Wiro meraba-raba ke balik
pakaian. Dua tangannya menyelinap ke bawah ketiak lalu ditarik dan jari-jarinya ditempelkan ke
hidung. “Ih… bau asem! Jangan-jangan aku betulan sudah jadi kampret!”

Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.


Melihat tingkah laku Wiro itu Tunggul Gini jadi jengkel. “Benar-benar kurang ajar! Dia tidak
memperdulikan kita. Sepertinya kita tidak ada di tempat ini! Dia juga tidak menjawab
pertanyaan kita!

Aku ingin membunuhnya!”

“Jangan dibunuh. Kita perlu menguras banyak keterangan dari mulutnya! Kalau sudah dapat
baru dihabisi!” kata Tunggul Gono. Lalu dia mendahului menerjang. Tunggul Gini seta merta
ikut melompat.

Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget ketika dalam gelap dia melihat
empat kaki aneh berbentuk kuda lengkap dengan ladam besi berkilat, menghantam ke arah
dirinya. Dua menderu ke arah kepala, dua lagi mencari sasaran di perut dan dada! Inilah jurus
serangan Momok

Dempet yang disebut Empat Ladam Kematian.

Masih dalam keadaan terhuyung dan kepala mendenyut sakit, Wiro menyadari datangnya
bahaya maut ini. Tubuhnya dijatuhkan ke belakang. Sambil menggulingkan punggung ke
pedataran batu tangannya dibabatkan ke atas untuk menangkis serangan yang mengarah
kepala.

Bersamaan dengan tiu dua kakinya ikut menendang untuk membabat dua serangan ke arah
perut.

“Ganti jurus!” salah satu dari Momok Dempet berteriak.

Dua sosok jangkung setinggi galah berputar bergulung, mengambang di udara lalu di lain kejap
menggebrak ke arah Pendekar 212 yang saat itu baru saja berguling di pedataran batu dan siap
bangkit berdiri.

Momok Dempet Berkaki Kuda memang memiliki ilmu silat aneh. Setengah jalan, jika merasa
serangan mereka tidak akan menemui sasaran atau bakal menghadapi tangkisan hebat, maka
kejapan itu juga mereka mampu merubah jurus dan serangan yang dilancarkan. Pertama
menggebrak mereka menghantam dengan jurus yang disebut Empat Ladam Kematian. Begitu
Wiro bergerak menangkis dan balas menendang keduanya langsung batalkan serangan dan
ganti dengan serangan baru dalam jurus bernama Empat Ladam Menghembus Roh.

“Wuss!”

Empat angin menderu dahsyat. Empat kaki berbentuk kuda terbungkus ladam keras menderu
mengeluarkan angin dingin menggidikkan.
“Edan!” maki Pendekar 212. Salah satu tendangan lawan lewat dekat sekali di bawah dagunya.
Yang dua bisa dielakkan, yang ketiga menyerempet dada pakaiannya hingga baju putih yang
telah hangus itu robek besar!

Wiro jatuhkan diri sama rata dengan pedataran batu. Saat itu dia merasakan pedataran
bergetar seperti digoyang gempa. Di belakangnya ada suara benda keras menancap di batu.
Lalu ada debu dan batu kerikil beterbangan. Ketika Wiro berpaling memperhatikan kaget murid
Sinto Gendeng ini bukan kepalang. Empa kaki kuda Momok Dempe tenggelam amblas ke dalam
dinding batu karang!

Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dapat dibayangkan bagaimana kalau empat kaki itu tadi sempat
menancap di kepala atau tubuhnya! Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat berdiri.
Saat itu Momok Dempet telah mencabut empat kaki mereka yang menancap di batu karang.
Keduanya melesat di udara, berputar seperti baling-baling. Begitu berada di atas Wiro tangan
masing-masing menghantam ke bawah. Dari mulut mereka keluar teriakan menyebut jurus
pukulan yang dilancarkan.

“Sepasang Palu Kematian!”

Belum lagi serangan dua pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat Wiro goyang!

“Gila!” maki Pendekar 212. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil rundukkan
tubuh dia balas menghantam dengan salah satu jurus ilmu silat yang didapatnya dari Kitab Putih
Wasiat Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh.

“Tangan Dewa Menghantam Matahari!” teriak sepasang Momok Dempet hampir berbarengan
lalu cepat cepat menyingkir. Dua pukulan laksana palu godam yang dihantamkan Momok
Dempet lewat di kiri kanan Pendekar 212. Kalau mereka tidak cepat menyingkir dan menarik
tangan masing-masing, niscaya salah satu dari mereka akan berantakan dimakan pukulan
Tangan Dewa Menghantam Matahari.

“Astaga! Bagaimana dua makhluk galah sialan ini tahu jurus serangan yang lancarkan! Kenalpun
baru hari ini. Di malam gelap pula!” Wiro tersentak kaget dan berkata dalam hati.

Momok Dempet saling berbisik. “Tunggul Gono, betul rupanya kabar yang kita sirap. Pemuda
itu memang menguasai ilmu langka inti Delapan Sabda Dewa! Kita harus berhati-hati.

Waktu pukulannya lewat di sisiku, tulang-tulang serasa mau remuk!”

“Kalau tidak mau celaka kita harus serang dia dengan pukulan sakti Ladam Setan. Lalu susul
dengan Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata Tunggul Gono dengan rahang
menggembung.
“Hantam!” teriak Momok Dempet. Keduanya membuat gerakan melompat. Setengah jalan,
sesaat tubuh mengapung di udara, keduanya pukulkan tangan kiri dan kanan yang saling
berdempetan. Dari celah dua telapak tangan menghambur sinar hitam. Saat itu kegelapan
masih menyungkup namun gelapnya sinar pukulan sakti kedua orang ini lebih pekat hingga
kelihatan nyata menggidikkan. Inilah pukulan berbahaya Ladam Setan yang sejak dua tahun
belakangan ini telah banyak merenggut nyawa para tokoh silat golongan putih maupun
golongan hitam.

Wiro terkejut bukan main. Apalagi tidak menyangka lawan bisa selamatkan diri dari pukulan
Tangan Dewa Menghantam Matahari. Sambil membentak Wiro melesat satu tombak ke udara
untuk selamatkan diri dari sambaran maut sinar hitam. Di samping bukit sebelah kiri
menggelegar suara menggemuruh.

Dinding karang terbongkar, mengepulkan asap, merah membara lalu menghitam berubah jadi
arang keras meninggalkan satu lobang besar mengerikan.

“Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!”

Wiro mendengar Momok Dempet berteriak berbarengan. Lalu tubuh keduanya lenyap. Di lain
kejap kelihatan satu benda tinggi hitam, berputar dahsyat. Di sebelah atas merentang palang
seperti baling baling siap membabat apa saja yang ada di depannya. Secara tak terduga putaran
itu berubah menjadi kemplangan laksana palu godam. Lalu terdengar pula suara hentakan-
hentakan yang menggetarkan bukit batu.

“Kraakk! Byaaarrr!”

Satu tonjolan batu karang runcing putus dibabat palang berputar. Di sebelah bawah tanah dan
batu terbongkar membentuk lobang-lobang. Melihat hal ini Wiro yang semula hendak
menangkis dan balas menghantam jadi berpikir dua kali. Dia siapkan pukulan Bentang Topan
Melanda Samudera di tangan kiri sementara tanagn kanan membuat gerakan jurus Di Balik
Gunung Memukul Halilintar yang kemudian akan segera disusul dengan pukulan Dewa Topan
Menggusur Gunung.

Namun baru dia hendak bergerak menderu angin yang sangat keras membuat Pendekar 212
terdorong dan tersurut terhuyung-huyung. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tak
bisa bertahan dan terpaksa kembali mundur hingga akhirnya pungunggnya membentur dinding
batu.

“Celaka!” keluh Wiro. Dia segera menyingkir ke kiri sambil melepas pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera. Sosok lawan yang satu setengah kali lebih tinggi menimbulkan kesulitan
baginya. Dia terpaksa memukul ke arah dada. Lalu dengan cepat membungkuk sambil susupkan
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa mengejek. “Nama besar Pendekar 212 ternyata kosong
belaka!”

“Braakkk!”

Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental. Tulang tangannya sebelah kiri seperti hancur. Untuk
sesaat dia tidak bisa menggerakkan tangan itu. Dalam keadaan seperti itu dari atas tangan
dempet sepasang Momok datang mengemplang ke arah batok kepalanya. Inilah pukulan maut
Palu Dan Ladam Membongkar Bumi! Wiro terlambat bergerak, tidak sempat menangkis!

“Mati aku!”

Murid Sinto Gendeng masih berusaha kirimkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang dengan tangan kanan.

“Bukkk! Desss!”

Wiro menyangka dia berhasil memukul salah satu bagian tubuh lawan. Ternyata jotosannya
diredam oleh telapak tangan kiri Tunggul Gini. Lalu dipelintir dan didorong hingga Wiro terjajar
ke belakang.

“Tanggal tulangku!” keluh Wiro. Dalam keadaan terjajar begitu rupa tak mungkin lagi baginya
untuk selamatkan kepalanya yang dikejar pukulan Palu Membongkar Bumi. Sesaat lagi batok
kepala murid Sinto Gendeng itu akan dibuat hancur berantakan tiba-tiba melesat satu
bayangan biru. Momok Dempet Berkaki Kuda berteriak kaget dan marah. Tubuh mereka
terdorong ke samping. Pukulan Palu Membongkar Bumi walau masih terus mendera ke bawah
namun menyerempet dinding batu hingga menimbulkan guratan panjang dan dalam serta
menebar debu karang!

“Jahanam! Setan dari mana berani campur tangan urusan Momok Dempet!” Tunggul Gini
berteriak marah. Tangan kirinya langsung menghantam dengan pukulan sakti Ladam Setan.

Walau hanya dia sendiri yang melepas pukulan ini tapi kehebatannya tetap saja mengandung
kematian!

BAB 5

2121

Angin pukulan maut Palu Membongkar Bumi yang lewat satu jengkal di sampingnya membuat
Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung dan jatuh terduduk. Ketika dia mencoba bangkit dan
memandang ke depan dilihatnya seorang lelaki berpakaian ringkas warna biru tegak
menghadapi Momok Dempet Berkaki Kuda. Rambutnya tersisir rapi dan berkilat pertanda dia
memakai sejenis minyak pengkilap rambut. Karena membelakangi Wiro tidak bisa melihat
wajah si penolong ini. Sambil terus

memperhatikan Wiro berdiri lalu bersandar ke dinding batu di belakangnya.

Momok Dempet memandang garang. Keduanya maju satu langkah lalu hentakkan kaki ke tanah
hingga tanah berhamburan dan batu berpecahan.

“Bangsat baju biru! Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Pendekar 212 hingga mau mauan
menyelamatkan batok kepalanya dari kehancuran?!” Tunggul Gono membentak.

Sepasang alis orang berpakaian biru mencuat naik ke atas. Keningnya sesaat mengerenyit.

Tanda terkejut mendengar bentakan Tunggul Gono tadi. Dia tidak menduga sama sekali kalau
yang barusan ditolongnya adalah Pendekar 212.

“Selama ini dia dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Mengapa tahu-tahu ada di sini. Apa
yang terjadi dengan dirinya?” Orang ini tak bisa berpikir lebih panjang karena Tunggul Gono
kembali menghardik.

“Kalau kau ak mau menjawab kupecahkan batok kepalamu saat ini juga! Katakan hubunganmu
dengan Pendekar 212! Katakan juga siapa kau punya nama!”

“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan
hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar
atau julukan!”

Sementara Wiro terheran-heran mendengar jawaban orang berpakaian biru, sepasang Momok
Dempet malah tertawa gelak-gelak.

“Satu lagi kita menemui orang gila malam ini!” kata Tunggul Gono.

"Betul! Orang gila yang barusan datang ini rupanya pendekar sejati. Itu sebabnya dia tidak mau
perkenalkan nama apalagi mengatakan julukan! Ha… ha… ha!”

“Dia tidak mau merepotkan kita!” menyahuti Tunggul Gini. “Karena dia tidak mau memberi
tahu nama, berarti kalu dia mati kita tidak perlu susah-susah membuat papan nisan namanya
segala! Ha… ha…ha…!”

Orang berpakaian biru yang tegak membelakangi Wiro rangkapkan dua tangan di depan dada
lalu berkata. “Momok Dempet. Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah perkara mudah.
Semudah membalikkan telapak tangan. Bertahun-tahun malang melintang hanya membuat
keonaran, menumpah darah mencabut nyawa. Tubuh kalian sudah bau tanah! Apakah akan
menebar kejahatan sampai ke liang kubur?!”
Diam-diam Wiro mendengarkan dengan seksama semua percakapan orang. Dia semakin
menyadari kalau saat itu dia memang tidak lagi berada di Negeri Latanahsilam. "Di Latanahsilam
seingatku tidak ada makhluk bernama Momok Dempet. Melihatnya pun baru sekali ini… Tapi
kalau kulihat sepasang kaki mereka menyerupai kaki kuda… Keanehan seperti itu hanya ada di
Negeri Latanahsilam!”

Wiro garuk kepalanya. “Dimana aku berada saat ini sebenarnya?”

“Ha… ha! Manusia satu ini ternyata bukan cuma pendekar sejati ! Tapi dia juga pandai
membaca syair di luar kepala!” kata Tunggul Gini menanggapi ucapan si baju biru tadi. Lalu
bersama Tunggul Gono dia tertawa terpingkal-pingkal.

“Malam begitu dingin. Tapi mengapa hawa terasa panas?” Orang berpakaian biru berucap
aneh.

Tangannya meraba ke balik dada lalu srettt! Sebuah kipas lipat tujuh warna terkembang di
tangan kirinya. Dia mulai berkipas-kipas sambil dongakkan kepala ke langit kelam.

“Pendekar Kipas Pelangi!” seru sepasang Momok Dempet berbarengan dan sama-sama tersurut
satu langkah. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat perubahan pada air muka sepasang
momok. Mata keduanya memandang mendelik ke arah kipas di tangan si baju biru.

“Pendekar Kipas Pelangi,” Wiro mengulang dalam hati. “Belum pernah kudngar nama itu
sebelumnya”.

“Bertangan kidal. Memegang kipas di tangan kiri, pakaian biru, wajah cakap berkumis! Itu ciri-
ciri yang pernah aku dengar. Dia memang Pendekar Kipas Pelangi…“ Bisik Tunggul Gini dengan
suara bergetar.

Tunggul Gono diam saja hanya dua matanya masih terus menatap ke depan tak berkesip.

“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan
hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar
atau julukan!” Orang berpakaian serba biru berambut rapi berminyak mengulang ucapan yang
tadi dikeluarkannya.

“Pendekar Kipas Pelangi, kami berdua menghormat nama besarmu. Selama ini tidak ada
pertikaian antara kita. Tapi mengapa hari ini kau muncul dan mencampuri urusan kami?!”

Bertanya Tunggul Gono. Nada suaranya tidak segalak dan seberangas sebelumnya.

“Tadi aku berucap, mungkin kalian tidak menyimak. Biar kuulang sekali lagi. Perkara bunuh
membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Padahal nyawa manusia bukan di tangan
manusia lainnya. Mengapa kalian begitu berani menentang kodrat dan kuasa Tuhan Seru
Sekalian Alam?!”

Sesaat Momok Dempet Berkaki Kuda jadi terdiam mendengar kata-kata orang berkipas yang
disebut dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi.

“Kami tidak bicara tentang Tuhan. Kami bertanya mengapa kau mencampuri urusan kami!”
bentak Tunggul Gono. Keberanian rupanya muncul secara tiba-tiba dalam diri orang ini.

“Rupanya kau masih kurang menyimak. Biar aku memberi penjelasan. Nyawa manusia bukan
milik manusia lainnya. Jika ada nyawa seseorang terancam adalah keawajiban seorang lain
untuk menolong…”

“Kalau sebelumnya Momok Dempet memang merasa agak leleh nyalinya menghadapi si baju
biru, namun lama-lama keduanya menjadi jengkel juga.

“Dengar Pendekar Kipas Pelangi. Kalau kami katakan kami menghormatimu, bukan berarti kami
takut atau bisa dilecehkan begitu saja. Jangan berkata pongah di balik nama Tuhan serta dalih
budi baik menolong sesama manusia! Takdir manusia hidup mempunyai berbagai macam
urusan.

Tapi banyak di antara manusia menjadi sombong, hendak menunjukkan kehebatan dengan
dalih menolong sesama. Salah satu di antaranya adalah kau!”

Orang berjuluk Pendekar Kipas Pelangi tersenyum dan angguk-anggukkan kepala mendengar
ucapan Tunggul Gono. Semenatara pasangannya yang bernama Tunggul Gini batuk-batuk
beberapa kali lalu berucap.

“Maafkan saudaraku ini. Dia memang penaik darah dan mulutnya terkadang tidak terbendung.
Pendekar Kipas Pelanbgi, sebenarnya kami tidak bermaksud membunuh pemuda itu.

Tapi dia menyerang lebih dulu. Selain itu kami tengah mencari satu benda pusaka sakti. Jika kau
mau bersikap lunak, siapa tahu kau kelak akan kebagian rejeki besar pula seandainya kami
berhasil menemukan benda keramat itu.”

“Mencari rejeki besar dengan membunuh sesama bukan namanya mencari rejeki. Tapi mencari
dosa dan permusuhan. Tinggalkan tempat ini. Pergilah mencari rejeki di tempat lain!”

Ucapan Pendekar Kipas Pelangi ini membuat sepasang Momok Dempat menjadi geram.

“Kami mencari rejeki dimana kami suka!” menyahuti Tunggul Gono. “Kalau disini tidak ada
rejeki, atau ada orang lain yang coba mengais di lahan yang sama, apa boleh buat! Tapi
sebelum pergi kami ingin mendapat beberapa pelajaran darimu. Kami ingin mengukir satu
kenangan sampai dimana sebenarnya kehebatan Pendekar Kipas Pelangi.”
“Sahabat! Serahkan dua makhluk galah itu padaku!“ Wiro yang sejak tadi diam jadi tak tahan
hati dan mulai membuka mulut berseru. “Nyawaku yang diinginkannya! Jangan kau
menyusahkan diri sendiri!”

Orang berpakaian biru tidak menoleh. Dia hanya angkat tangan kanannya memberi isyarat
bahwa urusan itu akan dihadapinya sendiri. “Menantang adalah sikap pongah menyombong
kekuatan. Tidak melayani tantangan adalah sikap bersih dan jujur. Tapi dilecehkan dengan
tantangan adalah pantangan para pendekar. Momok Dempet Berkaki Kuda, aku tidak akan
memberi petunjuk apa-apa pada kalian karenaaku memang tidak memiliki ilmu kepandaian
yang patut diajarkan. Justru aku yang akan meminta budi pelajaran dari kalian berdua. Mudah-
mudahan ada manfaatanya bagi diriku…”

Mendengar ucapan orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet jadi melengak, saling
pandang lalu saling berbisik. Tiba-tiba keduanya keluarkan suara aneh. Meringkik seperti kuda
sambil kaki masing-masing dihentak-hentakkan ke tanah berbatu.

“Langit terlalu tinggi, samudera terlalu dalam. Satu-satunya tempat lari adalah liang kematian!”

Yang keluarkan seruan itu adalah Momok Dempet di sebelah kiri yakni Tunggul Gini. Lalu
bersama Tunggul Gono secara berbarengan dia hantamkan tangan kiri dan kanan. Di saat yang
sama tangan mereka yang dempet juga memukul ke depan. Empat larik sinar hitam Pukulan
Ladam Setan menghantam mengurung Pendekar Kipas Pelangi. Dua menderu di kiri kanan, dua
lagi melabrak di sebelah atas dan bawah. Orang berbaju biru itu terjepit empat serangan maut.

Seperti ucapan sepasang momok, tempat larinya hanyalah liang kematian! Tapi sungguh
mengagumkan, sikapnya tenang saja mengahdapi bahaya!

“Sahabata awas!” teriak Wiro lalu melompat ke depan sambil lepaskan Pukulan Sinar Matahari.
Sinar putih panas berkiblat. Tempat itu serta merta menjadi terang benderang.

“Terima kasih kau mau membantu!” kata Pendekar Kipas Pelangi. Masih dengan sikap tenang.
“Biar aku tambahkan bumbu penyedap pada pukulan saktimu!”

Habis berkata begitu srett! Pendekar Kipas Pelangi tutupkan kipas lipatnya. Srettt! Ketika kipas
itu dengan cepat kembali dikembangkan maka terlihatlah satu pemandangan luar biasa!

Tujuh sinar pelangi menderu membentuk sinar puitih setengah lingkaran tegak lurus,
mendukung sinar puith pukulan Sinar Matahari yang berada di sebelah atas. Pendekar Kipas
Pelangi putar lengan kirinya yang memegang kipas. Tujuh sinar pelangi ikut berputar rebah
membentuk benteng bersusun lalu bersama Pukulan Sinar Matahari melabrak dahsyat empat
cahaya hitam Pukulan Ladam Setan!

“Blaarrr! Blaaarrr! Blaarrr! Blaarr!”


BAB 6

2121

Bukit karang bergoncang hebat ketika empat suara letusan seperti kilat menyambar berdentam
empat kali berturut-turut. Di Teluk Penanjung suara deburan ombak seolah tenggelam lenyap.
Gelombang seperti tertahan tak bergerak.

Pendekar 212 Wiro Sableng tegak terhuyung. Mukanya kelihatan pucat. Debu menutupi rambut
dan sekujur pakaiannya. Di sebelah depan Pendekar Kipas Pelangi mengalami goncangan hebat.
Sepasang lututnya goyah. Bagaimanapun dia bertahan, perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut.
Dada berdenyut keras, aliran darah tak menentu. Seperti Wiro, wajahnya kelihatan pucat
seolah tak berdarah. Dia putar tangan kirinya yang memegang kipas.

“Sreetttt!”

Kipas lipat tertutup kembali. Dengan cepat dia atur jalan darah, pernafasan serta alirkan hawa
sakti ke beberapa bagian tubuh. Ketika dia memandang ke arah tempat dari mana tadi
sepasang Momok Dempet melancarkan serangan, makhluk aneh itu atak ada lagi di tempatnya.

Di tanah kelihatan cabikan-cabikan pakaian hitam serta muntahan darah segar! Bentrokan
pukulan sakti mengandung tenaga dalam tadi rupanya telah membuat sepasang Momok
Dempet mengalami luka dalam hebat lalu melarikan diri.

Perlahan-lahan Pendekar Kipas Pelangi memutar tubuhnya, membuatnya kini untuk pertama
kali berhadap-hadapan saling tatap dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ternyata pendekar ini
berwajah lumayan cakap. Sepasang kumis kecil rapi meelintang di bawah hidungnya.

Wiro membungkuk memberi penghormatan seraya berkata. “Sahabat, aku mengucapkan


terima kasih atas budi pertolonganmu. Entah kapan aku bisa membalas hutang besar ini!”

Pendekar Kipas Pelangi tertawa lebar. Dia masukkan kipasnya ke balik pakaian.

“Sahabat, kalau tadi kau tidak ikut menghantam dengan pukulan yang memancarkan cahaya
menyilaukan itu, belum tentu aku bisa menghadapi pukulan dua momok itu. Mungkin aku
sendiri saat ini sudah terluka parah!”

“Kau pandai merendah,” kata Wiro

“Saling menolong antara sesama sahabat dalam rimba persilatan, bukankah itu satu kebajikan
yang selalu diajarkan oleh para guru?” berkata Pendekar Kipas Pelangi.

“Betul sekali, betul sekali…”


“Sahabat, selama ini aku hanya mendengar cerita. Pukulan sakti bercahaya menyilaukan serta
menebar hawa panas tadi, apakah itu Pukulan Sinar Matahari yang tersohor di delapan penjuru
angin?”

Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.

“Apakah saat ini aku benar berhadapan dengan tokoh rimba persilatan bernama Wiro Sableng
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”

Masih tersenyum murid Eyang Sinto Gendeng menyahuti. “Turut ucapanmu tadi, manusia lahir
diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan hanya legenda
kebiasaan.

Kependekaran sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan….”

Pendekar Kipas Pelangi tertawa lepas mendengar ucapan Wiro itu. “Tepat sekali! Kau
mengingat setiap baris kata-kataku tanpa salah! Sungguh luar biasa! Sungguh aku beruntung
bisa bersahabat denganmu!”

“Sepasang makhluk aneh Momok Dempet tadi, siapa mereka?” bertanya murid Sinto Gendeng.

“Mereka belum lama muncul di rimba persilatan. Konon bersal dari sebuah pulau di laut
selatan. Sepak terjang mereka tidak disenangi berbagai pihak. Malah para tokoh silat keraton
dan pasukan kerajaan mencari mereka karena beberapa pembunuhan yang mereka lakukan
terhadap orang-orang istana.”

Wiro ingat kejadian beberapa saat sebelumnya. Salah seorang dari Momok Dempet itu hendak
mengambil kapak sakti yang terselip di pinggangnya. Apakah kemunculan mereka di tempat ini
memang sengaja hendak merampas kapak itu atau ada maksud lain? Maka diapun bertanya
pada Pendekar Kipas Pelangi.

“Sahabat, apakah kau bisa menduga apa tujuan sepasang momok itu datang ke tempat ini?”

“Namanya saja momok. Mereka bisa muncul secara tak terduga dimana saja. Turut apa yang
aku dengar mereka tengah kasak kusuk mencari sesuatu. Tadipun sudah mereka ucapkan.
Malah menawarkan mau membagi rejeki besar itu bersamaku. Yang tengah mereka cari adalah
sebuah kitab…”

“Sebuah kitab?” mengulang Wiro. “Kitab apa?”

Pendekar Kipas Pelangi mengangkat bahu. “Sebuah kitab sakti. Aku lupa namanya.
Konon kitab ini sudah jadi pembicaraan di rimba persilatan dan dicari banyak tokoh rimba
hijau…” “Aku tidak membawa kitab. Tadi salah seorang dari mereka hendak mengambil
senjataku…” Wiro berpikir sejenak. Lalu berkata. “Keadaan mereka aneh. Dua tangan saling
dempet, empat kaki seperti kaki kuda, lengkap dengan ladam besi…”

“Menurut ceritanya, mereka dilahirkan kembar dan dalam keadaan cacat demikian rupa.
Tangan dempet, kaki tidak punya tapak tidak berjari. Keanhean ini telah menarik perhatian
seorang tokoh jahat yang pernah hidup di selat Madura. Tokoh ini memang suka
mengumpulkan orang-orang aneh, lalu melakukan percobaan-percobaan sambil menciptakan
ilmu silat dengan jurus-jurus aneh pula. Masih kanak-kanak kedua orang itu dibawanya ke
tempat kediamannya, diberi pelajaran silat aneh. Agar bisa berjalan empat kaki mereka
dibungkus dengan besi menyerupai ladam kuda. Ternyata bukan cuma untuk memungkinkan
bisa berjalan saja, tapi juga merupakan senjata luar biasa. Jangankan tubuh manusia, batupun
bisa mereka bobol!”

Wiro memandang berkeliling lalu bertanya. “Tempat ini. Terus terang aku masih bingung saat
ini berada di mana. Daerah ini apa namanya? Aku mendengar suara tiupan angin seperti bunyi
seruling. Di kejauhan lapat-lapat ada suara seperti deburan ombak…”

Mendengar pertanyaan Wiro itu, Pendekar Kipas Pelangi jadi terheran-heran. Dalam hati dia
membatin.

“Dia berada di sini. Tapi tidak tahu tempat apa dan daerah apa. Lalu bagaimana bisa datang ke
sini?

Aneh… Apa yang terjadi dengan dirinya sebenarnya? Sebentar-sebentar dia menggaruk kepala.
Apa dia tengah berpikir atau memang kebiasaannya begitu. Orang-orang mengatakan dia
bertingkah laku aneh.

Tapi mengapa kulihat saat ini dia seperti ada yang tidak beres? Apa perlu aku memberitahu
dimana dia berada?”

“Sahabat Wiro, saat ini kau berada di satu bukit karang. Dekat sebuah teluk di kawasan
Pangandaran.

Teluknya bernama Teluk Penanjung. Bertahun-tahuan kau malang melintang di tanah Jawa ini.
Mustahil kau tidak tahu saat ini berada di mana. Aku tidak yakin kau tersesat atau kesasar
berada di kawasan ini…”

“Teluk Penanjung… Pangandaran… jadi saat ini aku berada di tanah Jawa? Benarkah?!”

Wiro memandang dengan mata dibesarkan pada Pendekar Kipas Pelangi sambil garuk-garuk
kepala.
Yang dipandang bertambah heran.

“Kau ini aneh, masakan kau tidak tahu kalau saat ini berada di tanah Jawa? Memangnya ada
Teluk Penanjung dan Pangandaran di tempat lain?”

“Tanah Jawa! Tuhan Maha Besar! Benar aku saat ini sudah kembali ke tanah Jawa?

Berada di tanah Jawa?! Lalu dimana teman-temanku yang lain? Setan Ngompol, Naga Kuning…

Ah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?” Sedikit demi sedikit ingatan Wiro kembali pulih. “Negeri
Latanahsilam… Terakhir sekali aku berada di Istana Kebahagiaan! Lalu ada ledakan. Aku sempat
menghantam kening Hantu Muka Dua. Lalu… Aku terseret oleh satu gelombang tujuh warna,
membumbung ke angkasa menembus langit….” Wiro menatap lekat-lekat ke arah Pendekar
Kipas Pelangi.

“Wiro, apa yang ada dalam benakmu? Apa yang kau pikirkan? Barusan kau bicara seorang
diri…”

“Tunggu….” Wiro berkata. “Aku coba mengingat. Aku…. Mungkin sekali aku pernah berada di
tempat ini sebelumnya. Aku…” Sepasang mata Pendekar 212 membesar. Tengkuknya seperti
dijalari binatang merayap. Dia ingat. “Dulu di kawasan ini pernah terjadi bentrokan hebat
antara para tokoh silat golongan hitam melawan golongan putih. Eyang Sinto Gendeng guruku…

Bujang Gila Tapak Sakti sahabatku… Dewa Ketawa… Dewa Tuak… Ratu Duyung, Bidadari Angin
Timur… Semua mereka itu…”

“Dua nama terakhir yang kau sebutkan itu.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula. “Mereka sekian
banyak dari gadis-gadis cantik yang mencarimu…”

“Aku dicari gadis-gadis cantik?” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiba-tiba senyumnya
lenyap.

“Pangeran Matahari!” desisnya. Tubuhnya mendadak bergeletar. Dia memandang berkeliling.


Bola matanya membesar.

“Manusia itu sudah lama mati.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.

Wiro gelengkan kepala. “Aku melihat satu wajah…. Wajah Pangeran Matahari. Wajah orang
yang tadi membalikkan tubuhku sewaktu tergeletak menelungkup…”

Kini Pendekar Kipas Pelangi yang gelengkan kepala. Dipegangnya bahu Wiro lalu berkata.
“Sahabat, agaknya ada satu guncangan besar membuat kau banyak lupa tentang masa lalumu.
Kau tadi menyebut satu tempat bernama Negeri Latanahsilam. Kau juga menyebut nama-nama
aneh.

Apakah… pasti sebelumnya kau telah mengalami satu kejadian…”

“Mungkin tadi aku hanya menerawang. Atau setengah bermimpi…” kata Pendekar 212.

“Wiro, selama ini kau dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Dua tahun lebih kau
menghilang. banyak orang berusha mencari tapi mereka menemui jalan buntu. Sahabatku,
apakah kau sengaja memencilkan diri menuntut ilmu baru di satu tempat? Atau bersamadi
menambah kehebatan tenaga dalam?”

“Aku… Jadi, benar selama dua tahun aku berada di Negeri Latanahsilam.” Wiro garuk
kepalanya. Dalam hati dia berkata. “Tidak mungkin aku ceritakan padanya. Selain baru kenal
mungkin dia juga tidak akan bisa mempercayai. Salah-salah aku bisa dianggapnya gila. Benar-
benar sableng!” (Mengenai riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam harap baca serial Wiro
Sableng terdiri dari 18 Episode, dimulai dari “Bola-Bola Iblis”) Wiro berpikir lagi. “Kalau kini aku
benar berada di tanah Jawa, apakah beberapa ilmu yang aku dapat di Negeri Latanahsilam
masih kumiliki? Tadi sewaktu menghadapi dua momok sialan itu mengapa tidak aku jajal
dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang diberikan Luhrembulan?

Ah… gadis itu. Aku…”

“Pendekar 212! Kau melamun atau tengah memikirkan sesuatu?!”

Teguran Pendekar Kipas Pelangi membuat Wiro tersadar. Dia menatap ke depan dan melihat
pemuda berkumis di hadapannya itu memandang terheran-heran padanya. Wiro segera
mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Pendekar Kipas Pelangi, aku tidak tahu banyak
mengenai dirimu. Mengapa kau juga bisa berada di tempat ini?”

Yang ditanya tak segera menjawab. Setelah perhatikan wajah Pendekar 212 sejurus lamanya
baru dia membuka mulut.

“Aku tengah mencari seseorang…”

“Pasti seorang gadis cantik!” kata Wiro pula.

Pemuda berkumis rapi itu gelengkan kepala. “Aku mencari kakak kandungku. Kami berpisah
ketika aku berusia empat tahun dan dia enam tahun. Lebih dari lima belas tahun kami tidak
pernah bertemu. Begitu turun gunung sekitar tiga tahun lalu, aku berusaha mencarinya., tapi
tak kunjung kutemui. Kakakku itu bernama Adisaka. Apakah kau pernah mendengar nama itu?

Syukur-syukur kau kenal orangnya…”


“Adisaka… Tak pernah aku mendengar nama itu. Bagaimana kisahnya kalian bisa berpisah.
Apakah orang tua kalian…”

“Desa kami musnah dilanda bencana alam. Gunung meletus. Kami tercerai berai. Semua
penduduk menemui ajal. Termasuk orang tua kami…”

“Apa kau yakin kakakmu itu masih hidup?” tanya Wiro.

“Aku yakin sekali. Aku sering kedatangan firasat bahwa dia masih hidup. Itu yang menimbulkan
semangat untuk mencarinya…”

“Mengapa tidak memulai penyelidikan dari desa kelahirannya?” tanya Wiro.

“Bukannya tidak pernah. Ketika aku kembali ke sana, desa itu sudah berubah menjadi hutan
jati. Tak ada seorangpun tinggal di sana.”

“Kau tentunya mempunyai riwayat hidup luar biasa. Aku senang kalau kau mau
menceritakannya.”

Pendekar Kipas Pelangi terdiam sesaat. Kemudian dia berkata.

“Tidak ada salahnya aku menuturkan riwayat diriku. Siapa tahu kau memberi jalan, bisa
membantu urusan yang kuhadapi. Mari kita mencari tempat duduk yang baik…”

Wiro mengangguk. Dua orang ini pergi duduk di atas gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi
lalu mulai menceritakan kisahnya.

BAB 7

2121

Sebelum mengetahui kisah hidup yang akan diriwayatkan Pendekar Kipas Pelangi kepada
Pendekar 212 Wiro Sableng, kita kembali dulu pada satu kejadian beberapa waktu sebelumnya,
yakni sebelum Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terpesat ke Negeri Latanahsilam.

KESUNYIAN di tepi rimba belantara kawasan selatan dipecahkan oleh suara derap kaki kuda tak
berkeputusan. Baik kuda maupun penunggangnya masih belum nampak. Tak lama berselang,
dari tikungan jalan berdebu baru kelihatan muncul dua kuda hitam, berlari kencang menuju ke
barat. Di atas punggung kuda sebelah kiri duduk seorang kakek berpakaian serba hitam. Walau
usianya sudah mencapai delapan puluh tahun tapi kumisnya yang melintang di bawah hidung
masih hitam berkilat, juga rambutnya yang menjulai keluar dari balik destar hitam yang
bertengger di atas kepala. Sepasang mata si kakek memandang tajam ke depan. Di balik
ketenangan wajah tua ini, di lubuk hatinya si kakek dibebani oleh satu ganjalan. Itu sebabnya
dia menoleh ke samping dan berkata.
“Kita sudah mencarinya di Nusakambangan. Manusia keparat itu tidak ada di sana.

Padahal petunjuk terakhir membuktikan dia memang ada di situ, membantai satu keluarga
besar yang hendak menuntut balas atas kematian seorang gadis yang diculik dan
diperkosanya.”

Orang yang diajak bicara yakni penunggang kuda hitam sebelah kanan adalah seorang nenek
berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang keriputan berwarna hitam legam sedang sebelah
kanan putih seperti bulai. Begitu juga alis dan bulu matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam
mencorong, sebaliknya bagian kanan putih memirang.

Di atas kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah tengah lalu dijalin menjulai
panjang ke punggung. Seperti wajahnya rambut si nenek sebelah kiri berwarna hitam sedang
sebelah kanan putih pirang. Lalu anggota badannya yakni tangan dan kaki juga hitam di sebelah
kiri dan putih di sebelah kanan.

Yang luar biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna berlainan. Bola mata
sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan putih mengidikkan!

Pada ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain sebagai penghias. Tapi yang ada di
ujung jalin nenek muka hitam putih ini bukannya pita, melainkan seekor kalajengking hidup.
Aslinya binatang ini berwarna hitam legam. Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh
kalajengking ini dengan cat warna putih hingga sosoknya menyerupai dirinya.

Nenek ini mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan warna wajah serta rambutnya. Di
sebeleh kiri pakaian ini hitam sementara sebelah kanan berwarna putih.

“Riku Pulungan,” kata si nenek yang sebenarnya bernama Nini Wetan. Namun orangorang
rimba persilatan lebih suka menyebutnya dengan nama Nini Setan. Dia adalah kakak si kakek
berkumis hitam. “Kalau otakmu masih terang, sekitar empat tahun lalu aku memberi ingat.

Jangan kau memberikan Kipas Pemusnah Raga pada mujridmu si Warangas itu!”

“Siapa bilang aku memberikan!” memotong si kakek bernama Riku Pulungan. “Waktu aku
menyerahkan kipas padanya, jelas-jelas kukatakan kipas itu aku pinjamkan. Bukan aku berikan.
Tiga tahun setelah dia kulepas dari pertapaan dia harus mengembalikan senjata itu.

Karena dalam waktu tiga tahun itu aku sudah bisa mengira dia pasti telah mendapat nama
besar dalam rimba persilatan. Jadi sudah cukup sekian lama saja dia memegang senjata itu.”

Nini Setan menyeringai. “Nyatanya ucapanku asin, tidak meleset! Warangas mempergunakan
kipas sakti itu untuk berbuat seribu satu macam kejahatan! Kau tahu dan sudah dengar dosa
apa yang telah dilakukan muridmu itu! Merusak kehormatan anak gadis dan istri orang! Salah
satu korbannya adalah istri Kebo Panaran, Adipati Gombong. Kebo Panaran sendiri kemudian
dihabisinya secara biadab. Lalu dia juga membunuh salah seorang dari guru-gurunya yakni
kakek sakti di puncak gunung Slamet bernama Wulur Pamenang. Itu terjadi setelah dia
ketahuan menghamili adik seperguruannya bernama Wulandari. Salah seorang gurunya yang
lain, bernama Jagat Kawung kabarnya juga tengah mengejar muridmu itu. Hemmm… Kalau saja
kau mendengar nasihatku dulu, semua malapetaka angkara murka ini tidak akan terjadi…
Berkat perbuatan tololmu Warangas memang telah mendapat nama besar. Tapi nama besar
penuh kekejian! Kurasa tidak ada makhluk lain yang dosanya seabrek-abrek seperti muridmu
itu!

Jangan kau menyesal Pulungan! Hik… hik… hik!”

Riku Pulungan menghela nafas panjang. “Kata orang penyesalan selalu terjadi belakangan. Aku
mungkin keliru memberi pinjam kipas sakti itu. Tapi aku tidak merasa menyesal. Karena aku
tetap akan meminta pertanggung jawaban murid celaka itu! Aku akan mencarinya sampai ke
liang neraka sekalipun!”

“Sekarang kau mau mengajak aku mencarinya kemana?” Tanya Nini Setan. “Liang neraka tidak
ada di dunia ini.

Adanya di akhirat! Hik… hik!” Nini Setan mengejek lalu tertawacekikikan.

Wajah putih si kakek sesaat jadi merah mendengar ejekan saudaranya itu.

“Jangan kau membuat hatiku tambah panas. Turut yang aku dengar dari beberapa orang yang
pernah tahu Warangas,pemuda itu memencilkan diri di satu tempat di kawasan Teluk Segara
Anakan. Dari sini Segara Anakan tidak berapa jauh. Kita menuju ke sana sekarang juga.”

“Turut yang aku ketahui, muridmu itu bukan memencilkan diri, tapi melarikan diri.

Karena banyak orang berkepandaian tinggi mengejarnya!” kata Nini Setan pula.

“Itu lebih baik. Berarti aku tidak akan terlalu repot untuk menangani manusia bejat itu!

Nyawanya aku tidak akan peduli. Kalau dia mati di tanganku ya syukur-syukur. Kalaupun dia
dicincang dihabisi sekian banyak musuhnya rasanya itu sudah jadi bagiannya. Yang pentin aku
harus dapatkan Kipas Pemusnah Raga itu kembali. Aku harus mempertanggung jawabkannya
pada Eyang Guruku!”

PENUNGGANG kuda coklat yang sejak tadi memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan,
mendadak sontak menarik lalu menahan tali kekang tunggangannya hingga kepala binatang ini
terdongak ke atas. Busah menyembur dari hidung dan mulutnya. Dua kaki depan naik ke atas
sementara sepasang kaki belakang menyerosot meninggalkan guratan panjang dan dalam di
tanah.
Siapakah adanya penunggang kuda ini? Namanya Suramanik. Dulu dia adalah Kepala Pengawal
Kadipaten Gombong. Suramanik terpkasa melepaskan jabatannya karena dipecundangi oleh
seorang pemuda bernama Handaka. Handaka ini bukan lain adalah Warangas murid Riku
Pulungan si pemilik Kipas Pemusnah Raga. Dia juga pernah berguru pada seorang kakek sakti di
puncak gunung slamet yakni Eyang Wulur Pamenang yang kemudian dibunuhnya. Lalu dia
muncul di banyak tempat dengan nama-nama samaran seperti Prana, Dipasingara dan
sebagainya.

Sejak dia dikalahkan dalam satu pertandingan adu jotos dan kehilangan jabatannya sebaai
Kepala Pengawal Kadipaten Gombong, sejak itu pula Suramanik memendam dendam terhadap
Handaka yang saat itu memakai nama Dipasingara. Dendam kesumat itu semakin menggunung
ketika dia menyirap kabar bahwa atasannya, Adipati Gombong Kebo Panaran tewas dibunuh
Dipasingara. Setelah suaminya menemui ajal dan Dipasingara meninggalkannya begitu saja,
Galuh Resmi lalu nekad bunuh diri di hadapan mayat suaminya.

Selesai menimba ilmu baru untuk bekal menghadapi Dipasingara maka Suramanik lalu
menemui pencarian terhadap si pemuda. Dia mendapat kabar konon sejak dirinya dikejar
sekian banyak orang yang sakit hati padanya, Dipasingara memencilkan diri di suatu tempat di
kawasan Teluk Segara Anakan si pantai selatan. Saat itu Suramanik dalam perjalanan menuju
kawasan tersebut.

Apa yang terjadi? Mengapa Suramanik tiba-tiba menghentikan kudanya? Tadi, sayupsayup di
antara deru angin dan derap suara kaki kuda, dia mendengar suara orang menangis.

“Suara tangis perempuan. Memilukan sekali,” kata Suramanik dalam hati lalu melompat turun
dari kudanya. Tegak di tanah dia memasang telinga kembali, untuk mengetahui dari mana arah
datangnya suara tangisan tadi. Begitu dia bisa memastikan arah sumber suara dengan cepat dia
melangkah .

Tak selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat dilihatnya seorang
perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya mengenaskan sekali. Pakaiannya bukan
saja lusuh dan kotor tapi juga banyak robekan. Rambutnya yang panjang tergerai awut-awutan.

“Aku tak dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka. Perutnya…

Astaga! Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil. Paling tidak sekitar enam bulan…”

Suara tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah tiba-tiba melesat ke atas
dalam satu gerakan melompat yang cepat.

“Srettt!”
Sebilah pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan perempuan hamil.
Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini dapat melihat wajah perempuan itu.

Ternyata dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun kecantikannya tidak
dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil ini membelalak, memandang berputar.

Air mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai lalu satu jeritan
dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan dibabatkan beberapa kali. Semak
belukat rambas bertebaran.

“Mampus! Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!”

“Kasihan sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras,” kata Suramanik dalam hati. “Dari gerakan
tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan ini memiliki kepandaian silat tidak rendah.
Siapa dia adanya? Siapa pula orang bernama Handaka yang seperti hendak dicincangnya.
Apakah aku harus mendatanginya.

Tapi gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah aku bisa dibabat sambaran pedangnya!”

Selagi Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba perempuan hamil tadi
kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur lari, cepat sekali., ke jurusan satu
pedataran diapit bukitbukit tandus dia arah selatan yakni arah Teluk Segara Anakan. Suramanik
terkejut menyaksikan.

“Dugaanku tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ilmu
larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya beberapa kali berkelebat dia sudah berada
di ujung sana!” Suramanik menunggu sesaat lalu naik ke atas punggung kudanya mulai
menguntit mengikuti perempuan hamil tadi.

Siapakah adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu? Dia bukan lain adalah Wulandari,
murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah terbujuk rayuan Handaka alias Warangas
alias Dipasingara hingga gadis ini mau menyerahklan kehormatannya. Padahal sebenarnya dia
telah ,mempunyai seorang kekasih, seorang pemuda bernama Sanjaya yang merupakan murid
tertua Eyang Wulur Pamenang.

Selagi mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng berlari kencang mendatangi
dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.

“Kalau bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat ini. Lari
mereka seperti angin…”

“Berhenti!” Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak. Sesaat kemudian ke tiganya
sudah berkelebat, memotong jalan di depan kuda Suramanaik.
BAB 8

2121

Maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan sembarangan, Suramanik
serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda berhenti dia segera memperhatikan tiga orang
di hadapannya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong.

Lalu seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga seorang pemuda berwajah
gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Di atas punggung kudanya Suramanik
duduk tak bergerak.

Dia menunggu sambil memperhatikan penuh waspada.

“Bukan dia…” berkata pemuda berambut gondrong.

“Memang bukan murid celaka itu,” menyahuti si orang tua.

“Ki sasak bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap menghindar dari hadapan
kuda.

Aku ada keperluan lain.” Suramanik akhirnya angkat bicara menegur.

“Harap maafkan,” yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara pemuda gondrong
tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan dada. “Kami kira kau adalah orang yang
tengah kami cari. Bapak, apakah Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?”

“Tak seberapa jauh lagi. Di ujung sana,” jawab Suramanik. Dia perhatikan pemuda berambut
gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan. “Kalian bertiga ini siapa adanya? Siapa pula orang
yang tengah kalian cari?”

Kakek muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan ke sela bibir lalu
meraba-raba pakaiannya. “Ah, sial sekali. Batu apiku entah kemana! Mulutku bakalan asam
seharian ini!” Si kakek cabut rokok kawungnya lalu bicara perkenalkan diri.

“Si tua buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku ini bernama Sanjaya.
Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng…”

“Astaga! Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama besar! Harap maafkan
aku yang tidak melihat tingginya gunung!” Suramanik cepat-cepat melompat turun dari
kudanya lalu membungkuk memberi penghormatan.

Jagat Kawung menyeringai. “Kau sendiri siapakah adanya?” Tanya orang tua ini kemudian.
“Ah, ah…” Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak memberitahu bahwa
dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong dia merasa sungkan. Tapi akhirnya
dia bicara juga. “Namaku Suramanik. Aku berasal dari gombong.”

“Gombong… Gombong… Gombong…” Jagat Kawung mengulang-ulang. “Apa kau pernah


mendengar peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?”

Suramanik merasakan dadanya berdebar. “Peristiwa apa maksudmu orang tua?”

“Istri Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang jadi Kepala
Pengawal.

Adipati tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya tiu. Sang istri kemudian msnikam
dada bunuh diri.” Suramanik menatap wajah ke tiga orang itu berganti-ganti. Sebenarnya dia
sudah mengetahui peristiwa itu. Justru saat itu dia tengah mencari si pembunuh Adipati
Gombong itu.

Dia berpaling pada Sanjaya dan berkata. “Orang muda, tadi kau mengatakan tengah mencari
seseorang.

Dari pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara Anakan. Siapakah orang yang
kalian cari?

Terus terang aku sendiri juga tengah mencari seseorang.”

“Orang yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam berbagai sosok. Tapi
orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama Dipasingara alias Handaka alias Prana…”

Berubahlah wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu. Sebenarnya dia ingin
bertanya mengapa ke tiga orang tersebut mencari Dipasingara. Suaranya bergetar ketika dia
berkata.

“Kita mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada baiknya aku memberi
keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal Kadipaten Gombong! Suatu ketika
muncul seorang pemuda mengaku bernama Dipasingara. Dia inginkan jabatanku dengan cara
menantang berkelahi. Jika aku dikalahkannya maka aku harus menyerahkan jabatanku
padanya. Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan oleh sikap perbuatan dan ucapan pemuda
itu. Aku tak mungkin mengelakkan tantangannya. Kami melakukan adu kekuatan. Pemuda itu
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Aku kalah.

Jabatanku hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian aku mendengar berita
menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui. Adipati Kebo Panaran tewas di tangan
Dipasingara.
Istrinya menemui ajal bunuh diri.”

Suramanik diam sebentar lalu berkata. “Saudara bertiga, aku terpaksa meninggalkan kalian.”

Si gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama kalinya membuka
mulut.

“Sobat berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?”

Kalau orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan meradang tersinggung. Tapi
karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong yang menyandang julukan

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini maka dia menjawab apa adanya.

“Ketika kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang perempuan muda aneh
mengenaskan.” “Aneh bagaimana?” Sanjaya yang bertanya.

“Otaknya tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana…” Suramanik
menunjuk ke arah timur.

“Pasti Wulandari!” kata Sanjaya setengah berteriak. “Aku punya firasat buruk sejak tadi pagi.
”Muka pemuda ini tambah pucat. Dia memandang pada Wiro dan si kakek. Lalu tanpa tunggu
lebih lama dia menghambur lari ke arah timur yang ditunjuk Suramanik. Wiro dan Jagat Kawung
segera mengejar.

Suramanik melompat naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti
orangorang itu.

Tak selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar bergulung-gulung
memecah di pantai.

“Ini Teluk Segara Anakan!” menerangkan Suramanik. “Ada sebuah goa di sekitar sini.

Belakangan ini kabarnya Dipasingara sering berada di tempat itu…”

“Kita cari goa itu sekarang juga!” kata Sanjaya.

Ketika orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi isyarat.

“Tunggu… Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-jeritan
perempuan…”
Semua orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua Jagat Kawung
berubah. “Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara tertawanya si keparat murid murtad
Warangas! Datangnya dari balik gundukan karang besar sebelah sana…”

“Mari kita menyelidik!” kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak sabaran lalu mendahului
berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro dan Jagat Kawung menyusul. Suramanik
mengikuti.

Semakin dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara tawa. Suara jeritan
perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan keras.

“Handaka manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!”

Begitu sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan disambut oleh satu
pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang awut-awutan dalam keadaan
mengandung besar, dengan sebilah pedang di tangan menyerang habis-habisan seorang
pemuda.

Dari gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Namun bila diperhatikan
kentara sekali walau bagaimanapun hebatnya gebrakan ilmu pedang perempuan hamil, tingkat
kepandaiannya masih di bawah lawannya. Kenyataannya si pemuda menghadapi gempuran
mautnya sambil terus tertawa bergelak. Kedua orang itu bertempur di depan sebuah goa. Di
mulut goa seorang gadis berkulit hitam manis berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan
setengah mati. Gadis ini adalah anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di goa itu
hendak digagahi oleh si pemuda.

Namun sebelum niat mesumnya kesampaian, perempuan muda bersenjata pedang keburu
memergoki.

“Jahanam! Betul murid sesat itu rupanya!” merutuk Jagat Kawung dengan mata mendelik
begitu dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur melawan perempuan muda
bersenjata pedang.

“Warangas! Ajalmu sudah di depan mata!”

Sementara ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun dengan mata membeliak
mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan perempuan muda itu.

“Wulandari…” suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan pandangan ke arah si
pemuda, darahnya langsung mendidih. Dia tidak kenal dan sebelumnya tidak pernah melihat
pemuda lawan bekas kekasihnya itu. Tapi dia yakin pemuda itu adalah Handaka alias Prana alias
Dipasingara. Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya segera hunus pedangnya dan menyerbu ke
kalangan pertempuran.
“Durjana keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!”

Warangas tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat hanya satu jengkal di
samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua langkah, bersikap waspada sambil
memasang kuda-kuda.

Pandangan matanya tidak berkesip. Hatinya mengira-ngira.

“Pemuda muka pucat! Siapa kau!” bentak Warangas.

Belum sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari. Gadis ini seperti
melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya membentur Sanjaya. Dia lari ke balik
gundukan batu karang rendah.

Di sini dia menangis dan berteriak-teriak tak karuan.

Belum sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang barusan
menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat. Tangan kanannya bergerak
ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke seluruh tubuh Warangas alias Dipasingara.

“Jahanam Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan di Kadipaten
Gombong!” teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan diri.

“Penyesalanmu akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang ada yang mau
mengubur!” jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan goloknya, dari arah lain
Sanjaya telah menyerbu pula.

“Kalian boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad aku yang punya! Aku
akan patahkan batang lehernya!” Kakek bernama Jagat Kawung menyerbu dengan tangan
kosong, melepas Pukulan Baja Merah. Selarik sinar merah berkiblat menggidikkan.

Diserang tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat Warangas membuang diri
ke samping lalu melompat setinggi satu tombak. Selagi mengapung di udara dia keluarkan
senjata saktinya yaitu Kipas Pemusnah Raga.

“Srettt!”

Sinar hitam bertabur ke arah tiga penyerang.

“Lekas menyingkir!” teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya segera dipukulkan ke
depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa Topan Manggusur Gunung. Pukulan
sakti ini adalah warisan dari Tua Gila, tokoh sakti di Pulau Andalas.

“Bummm!”
Satu ledakan menggoncang teluk.

“Dess… desss!”

BAB 9

2121

Warangas merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti dipelintir.

Kipas hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat Warangas dorongkan tangan kirinya
lalu melompat ke samping. Baru satu kakinya menginjak tanah tiba-tiba Sanjaya, Suramanik dan
Jagat Kawung telah datang menyerbu kembali.

“Mengeroyok tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar aku yang
mempesiangi!” teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya ketika pedang Sanjaya
berkelebat dingin di samping telinga kirinya.

“Tidak perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala peradatan! Mari kita sama-
sama berebut pahala mencincangnya!” teriak Sanjaya lalu kirimkan satu tusukan dan dua kali
babatan.

Warangas kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar hitam yang memiliki daya kekuatan luar biasa
membuat Sanjaya terdorong. Pemuda ini berlaku nekad. Sambil pukulkan tangan kiri kembali
dia mengejar dengan serangan pedang.

“Sahabat, jangan berlaku bodoh!” berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat tarik tangan
kiri Sanjaya.

“Wussss!”

Sinar hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk! Menghantam satu gundukan
batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan berpelantingan di udara,.

“Breettt!”

Pakaian Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum habis kejutnya dari
samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat Kawung mengarah leher. Kakek ini agaknya
memang ingin mematahkan batang leher murid bejat itu. Warangas berlaku sigap.

Sambil miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.
Jagat Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh. Tendangan lawan hanya
menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan dengan itu si kakek susupkan satu jotosan ke
perut Warangas.

“Bukkk!”

Warangas keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana jebol. Dadanya sesak.
Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi hebatnya dia masih bisa berdiri walau dengan
dua lutut sedikit tertekuk. Rahangnya menggembung.

“Awas. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Pendekar 212 Wiro Sableng ketika
melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur mengempis. Murid Sinto Gendeng
ini segera pula alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Cepat sekali tangan itu berubah
menjadi putih seperti perak menyala!

“Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!”

Warangas marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia melompat ke atas sebuah
batu.

Tangan kanannya berputar setengah lingkaran bergerak ke atas seperti mencungkil.

Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu menyapu ke arah
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di mulut goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang ini terguling roboh dalam
keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas Pemusnah Raga menghantam dirinya.

Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran selamatkan diri.

Suramanik menjerit. Sosoknya berlutut di tanah. Pakaiannya sebelah kiri kelihatan hangus. Kulit
dan sebagian dagingnya merah seperti terpanggang. Dengan kertakkan rahang dia mecoba
bangkit berdiri.

Namun saat itu tanah dirasakannya bergetar hebat. Lalu ada sinar putih berkiblat menyilaukan
disertai bertaburnya hawa sangat panas. Di depan sana Warangas keluarkan teriakan keras.

“Pukulan Sinar Matahari!” Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi diri.

Ketika taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur cahaya putih panas, satu
letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk. Percikan bunga api bertebar dimana-mana.
Kuda coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri jatuhkan diri ke tanah
mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan cahaya putih. Secara cerdik dia sengaja
menggulingkan diri ke arah musuh yang dikenalnya dengan nama Dipasingara.

Jagat Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro sendiri terhuyung-
huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit
dan pelipisnya seperti ditusuk-tusuk.

Warangas sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya keluar jeritan setinggi langit
ketika melihat bagaimana kipas saktinya robek bertaburan di udara.

“Kipasku… kipasku…” Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah hangus kehitaman.
Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang masih ada dalam genggamannya
dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti mana mungkin dia menghadapi empat musuh
berkepandaian begitu tinggi. Tak ada jalan lain. Dia harus melarikan diri mencari selamat.

Tidak menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu karang. Dia sama sekali
tidak menduga kalau di balik batu karang ini justru ada yang menunggunya.

Satu sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari atas ke
bawah.

“Wulandari!” Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan seruan tertahan. Dia
berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi terlambat.

Mendadak sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit seperti mengoyak seluruh
tubuhnya.

Seakan-akan tanah yang dipijaknya roboh amblas, tubuh Warangas terbanting jatuh. Dua
kakinya buntung sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan Wulandari. Darah
membanjir! Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya bertambah dahsyat ketika
Suramanik yang bergulingan mendatanginya membabatkan golok besarnya. Lalu dari jurusan
lain pedang Sanjaya bertubi-tubi melanda tubuhnya.

“Orang muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!” Sosok Jagat Kawung melesat ke arah
Warangas.

Dijambaknya rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika dia hendak memuntir
tanggal kepala Warangas tiba-tiba satu sinar putih menderu. Cairan merah kental hangat
membasahi pakaian dan muka putih kakek keriput itu. Jagat Kawung melompat mundur.

Sosok Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas pasir. Lalu sewaktu dia
memperhatikan benda yang masih dijambaknya, kakek ini tersentak kaget. Benda itu adalah
kepala Warangas yang sudah putus!
“Ih!” si kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke tanah.

Wulandari menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang berdarah masih di tangan gadis
ini lari ke arah laut. Wiro coba menghalangi. Tapi sambaran pedang ganas Wulandari
membuatnya terpaksa mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat meneruskan larinya ke
arah laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga sudah maklum apa yang akan hendak
dilakukan bekas kekasihnya itu.

Dengan cepat dirangkulnya tubuh Wulandari.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!” teriak Wulandari.

“Sadar Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh diri
adalah kesesatan tak terampuni!”

“Aku memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan! Aku sudah ditunggu
Eyang Guru! Hik… hik… hik!” Wulandari meronta coba melepaskan rangkulan Sanjaya tapi tak
berhasil. Mendadak dia ingat kalau saat itu masih memegang pedang. Secepat kilat senjata itu
ditusukkannya ke dadanya.

“Wulan! Jangan!” teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi terlambat. Pedang menancap
masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini berteriak lalu tertawa panjang. Tiba-tiba
tawanya lenyap.

Sepasang matanya mendelik. Tapi ajalnya belum sampai. “Wulan… kenapa kau lakukan ini.
Aku… aku masih mencintaimu. Kenapa kau tega meninggalkan diriku, Wulan?”

Suara Sanjaya tersendat serak.

Di saat kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah jernih. Air mata mengucur
di kedua pipinya yang pucat. “Semuanya sudah kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus
hidup di dunia ini. Ampuni dosaku Sanjaya. Aku telah mengkhianati janji cinta kita.

Sebenarnya akupun tetap mencintaimu… Selamat tinggal kakak…”

“Wulan! Adikku!”

Kepala Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan kedua tangannya.

Berurai air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.

Suramanik tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali. Pendekar 212 Wiro
Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk kepala. (Kisah segitiga antara Wulandari,
Sanjaya dan Handaka alias Dipasingara bisa pembaca ikuti secara utuh dalam serial Wiro
Sableng berjudul “Hidung Belang Berkipas Sakti”)

SEPERTI diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku Pulungan dan Nini Setan
tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara Anakan dalam mencari pemuda bernama
Warangas.

Di satu tempat si kakek hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si nenek bermuka
belang agar berhenti di sebelahnya.

“Aku mendengar suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi…” kata Riku Pulungan.

Nini Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. “Suara itu datang dari balik gugusan
karang.

Kita menyelidik ke sana!”

Dua orang tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih cepat sampai ke balik
gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan berputar tapi lansung menerjang mendaki
bukit rendah. Tepat pada saat mereka mencapai puncak salah satu gugus bukit karang tiba-tiba
satu dentuman dahsyat menggelegar di seantero teluk. Bukit karang bergetar keras.

Sepasang kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing sebelum kuda-kuda
mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke atas batu. Memandang ke bawah,
kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan seruan tertahan. Wajahnya pucat, matanya
mendelik dan sekujur tubuhnya terasa lemas.

“Nini, kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu…”

Si nenek bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam. Lalu
berucap.

“Kipas itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari segala-galanya. Kita akan
menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan bekas murid bejatmu ….. Orang-orang itu pasti akan
membantainya!”

Ucapan si nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat kemudian.

Di bawah sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas alias Dipasingara tengah
menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas saktinya hancur dihantam pukulan Sinar
Matahari dia berusaha melarikan diri. Tapi di balik bukit karang dihadang oleh Wulandari lalu
diserbu oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat Kawung hingga akhirnya menemui ajal secara
mengerikan.
Sosoknya tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.

“Aku mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi…” Riku Pulungan berucap perlahan.

Kakek ini mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.

“Kau mau kemana?!” bertanya Nini Setan. “Mau membuat perhitungan dengan orangorang
yang telah membunuh muridmu?! Jangan bertindak bodoh!” Riku Pulungan hentikan
langkahnya. Dia memandang pada si nenek saudaranya lalu gelengkan kepala. “Aku yakin
orang-orang itu menghabisi Warangas karena mereka mempunyai dendam kesumat amat
besar. Malah aku bersyukur mereka telah meringankan bebanku… Aku terlalu kecewa pada
manusia satu itu.”

“Lalu mengapa kau mau turun ke pantai sana?” tanya Nini Setan kembali.

“Kipas Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa kayu dan
gagangnya….”

Jawab Riku Pulungan.

“Kau gila? Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?”

“Aku akan membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku kembalikan padanya.
Kalau dia bersedia aku akan minta Eyang Guru menggabung-gabunkannya kembali.

Menjadikannya untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti mandraguna. Kelak
senjata baru itu akan kuberikan kepada muridku yang sekarang…”

“Hemm… Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya penuh pada
muridmu yang sekarang ini?”

“Aku percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang dengan malam.
Mungkin ini satu satunya kebajikan terakhir yang bisa aku buat sebelum menghadap Gusti
Allah.”

“Terserah kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke balik karang sana dulu.
Dari tadi aku menahan kencing! Hik… hik… hik…!”

Ketika Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga tiba-tiba seorang
pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak di hadapannya. Sesaat ke dua orang
ini saling beradu pandang.

“Kek, kau tengah melakukan apa?” si pemuda menegur.


Sepasang mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat rajah tiga
angka tertera di dada penuh otot.

“Jika mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah menduga, bukankah saat ini
aku berhadapan dengan tokoh muda berkepandaian tinggi bergelar Pendekar 212, murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede?”

Si pemuda yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali orang tapi orang
mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dia berkata. “Orang jelek ini
memang murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Kau sendiri siapakah adanya Kek? Sedang
apa di tempat ini?

Kulihat kau memunguti cabikan-cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana kemana
menghilangnya?”

Wiro melirik ke puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang di atas
sana.

“Saudaraku itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa menahan kencing…” Si
kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah Raga yang dipegangnya. Lalu berkata.
“Seperti kau lihat sendiri, aku tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas ini… “

“Untuk apa?” Tanya Wiro heran.

“Aku tak bisa mengatakannya padamu, anak muda…”

“Kau juga tidak mau mengatakan siapa namamu?”

“Aku Riku Pulungan,” jawab si kakek.

Wiro tertawa bergelak.

“Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya si kakek heran.

“Cocok dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala sisa kipas
rongsokan kau kumpulkan. Ha… ha… ha… “

Wajah putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan tertawa.

Wiro lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.

“Anak muda, tunggu dulu…” si kakek berseru.

“Ada apa?” tanya Wiro pula.


“Kalau umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan
rongsokan kipas ini…”

Wiro pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya. Sambil melangkah
pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. “Sial, dia bilang kalau umurku panjang.

Memangnya aku ini mau mati besok apa? Beberapa tahun di muka, aku akan bertemu lagi
dengan kipas rongsokan itu. Edan…” Wiro garuk kepalanya. Ketika dia berpaling ke belakang,
kakek aneh bernama Riku Pulungan itu tak ada lagi di tempatnya semula!

DUA HARI dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun orang yang
ditunggu tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam ketiga, selagi matanya setengah
terpejam karena tidak sanggup menahan kantuk, orang tua ini tiba-tiba merasa ada sambaran
angin disusul berkelebatnya satu bayangan.

Satu sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku Pulungan.

Orang ini sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut itu begitu
panjang hingga hampir menjela tanah.

“Eyang Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu menyangkut Kipas
Pemusnah Raga…” Riku Pulungan sendiri adalah seorang kakek berusia hampir delapan puluh
tahun.

Jika dia memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia paling tidak di atas
seratus tahun.

“Tiga tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku Riku
Pulungan, ikuti aku.”

Orang tua berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya enteng sekali
seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia menyalakan sebuah lampu minyak
lalu duduk di atas sebuah bantalan tipis. Riku Pulungan sendiri duduk membungkuk hormat di
hadapannya.

“Apakah kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?” bertanya sang Eyang Guru.

“Saya sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam keadaan
seperti ini.”

Lalu dari balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan robekan-robekan kipas, patahan kayu
kipas serta bagian gagang kipas yang hangus. Benda itu semuanya diletakkan di lantai di
hadapan Eyang Guru.
“Jika ada satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku ingin tahu
siapa gerangan yang melakukannya?”

“Menjelang ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang ingin menuntut balas.
Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng….”

“Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?” Tanya Eyang Guru.

“Benar sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah menghantam murid
saya dengan pukulan Sinar Matahari…”

Orang tua berjubah hijau terdiam sesaat. “Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan muridmu yang
bernama Warangas itu?”

“Dia menemui ajal di tangan orang-orang itu,” jawab Riku Pulungan.

“Dia telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,” kata sang
Eyang Guru.

Lalu dia menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini membuat Riku Pulungan merasa
seperti ditindih batu besar. “Aku senang bertemu denganmu. Sisa-sisa kipas bisa kau tinggalkan
di sini. Sebelum kita berpisah, apakah ada sesuatu yang hendak kau tanyakan atau hendak kau
sampaikan?”

“Ada Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau permintaan saya ini Eyang
anggap satu kelancangan atau tak mau belajar dari pengalaman. Saya mohon dari sisa-sisa
Kipas Pemusnah Raga ini Eyang bisa membuatkan satu senjata baru dalam bentuk yang sama,
yakni sebuah kipas…”

Orang tua berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama
lain. “Riku Puliungan, permintaanmu akan kuperhatikan. Tapi ada satu nasihatku padamu.

Jika kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan kaji dulu
dalam-dalam.

Kau harus tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin peristiwa murid sesat seperti si Warangas itu
terulang kembali. Hal semacam itu membuat rohku kelak tidak akan tenteram di alam barzah…”

“Nasihat Eyang akan saya ingat baik-baik…” kata Riku Pulungan pula.

“Aku dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain…”
“Benar sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Harapan
saya sangat besar padanya…”

“Jika dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu senjata baru dan kuserahkan
padamu,

apakah kelak senjata itu akan kau berikan pada muridmu bernama Adimesa itu?”

“Saya tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi Eyang nasihatkan, saya
harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung dan membuat kesalahan sampai dua kali.”

Eyang Guru anggukkan kepalanya. “Kau boleh pergi. Datanglah kemari satu tahun lagi.

Siapa tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku bisa menciptakan satu senjata yang
bermanfaat bagi dunia persilatan di tanah Jawa ini…”

“Saya mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk meninggalkan tempat
ini.” Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa lalu berdiri. Setelah membungkuk
dalamdalam dia segera tinggalkan tempat itu. Hatinya terasa lega. Satu tahun tidak terlalu
lama.

Sementara menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang bernama
Adimesa itu.

BAB 10

2121

Kita kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dan ditolong
oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang itu
duduk berhadap-hadapan di atas sebuah gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi memulai
penuturan riwayat dirinya.

CUACA pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih kebiruan. Angin segar bertiup
sepoi sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar riak arus kali kecil, salah satu anak sungai
Bengawan Solo yang mengalir dan menyuburi desa Kaliurang.

Di satu jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak lelaki duduk dia atas dua
ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan enam tahun. Tubuh mereka walau kecil tapi
tegap dan pipi mereka kelihatan merah segar pertanda keduanya memiliki badan yang sehat.

Sambil menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak tawa ceria.
“Kakak Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari batang padi untukku.
Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang padi?”

“Adikku,” jawab anak satunya. “Membuat puput bisa kita lakukan kemudian. Kita harus
melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini perlu dimandikan. Kau lihat sendiri, badan
mereka sangat kotor,

tubuh mereka mulai bau…”

“Tapi kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak mampir saja
dulu di sawah.

Jadi tidak pulang balik…”

Anak bernama Adisaka tersenyum. “Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku senang punya adik
cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi pkiran nakal. Perintah orang tua tidak boleh
diabaikan dengan alasan apapun. Jadi kita tetap harus memandikan kerbau-kerbau ini sesuai
perintah ayah. Nah, sekarang kau mau memilih mana. Ikut jalan pikiranmu atau taat perintah
orang tua…”

Si adik tertawa lebar. “Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang punya kakak
sebaikmu.”

Adisaka ikut tertawa lebar. “Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah tinggi. Makin cepat kita
memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa ke sawah mencari batang padi untuk
puput…”

“Baik Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita sama-sama menyanyikan
lagu Kami Anak Desa. Kau mau?” Adisaka mengangguk. Lalu dua anak kakak adik itu mulai
menyanyi di atas punggung kerbau masing-masing.

Kaliurang desa tercinta

Terletak di kaki Gunung Merapi

Di sana kami dilahirkan

Alamnya indah penduduknya ramah

Kami anak desa

Bangun pagi sudah biasa

Hawa dingin tidak terasa


Kerja di sawah membuat sehat

Kerja di ladang membuat kuat

Kami anak desa

Rajin membantu orang tua

Menolong Ibu di rumah

Membantu Ayah di sawah

Kami anak desa

Tidak lupa sembahyang mengaji

Rendah hati dan tinggi budi

Selalu unjukkan jiwa satria.

Dua kakak adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya mencapai satu pertigaan jalan.
Di hadapan mereka kini terbentang daerah persawahan. Untuk menuju kali kecil tempat
mereka biasa memandikan jerbau, keduanya harus membelok ke kiri. Belum selang berapa
alam Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan tiba-tiba ada suara menggemuruh
keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau hentikan lari melenguh keras ketakutan. Adimesa
pegangi leher kerbaunya kuat-kuat. Dengan muka pucat dia memandang pada kakaknya. “Kak,
kau dengar suara aneh di dalam tanah itu?”

“Aku dengar…”

”Apa yang terjadi?”

Adisaka memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah timur.

“Agaknya mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan sinarnya
yang terik…”

Tanah kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari yang tadi.

“Kak, aku ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang dirantai
mengamuk mau melepaskan diri…” kata Adimesa.
“Aku mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda meringkik, gaduh suara ayam,
kambing dan ternak lainnya…” Adisaka juga mulai ketakutan.

“Kita pulang saja Kak,” kata adiknya.

“Ya, mari kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa…”

Baru saja Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan sinar terang disertai suara
menggemuruh seperti ada satu ledakan berangkai di dalam perut bumi. Dua kakak beradik ini
samasama memalingkan kepala ke utara dimana menjulang Gunung Merapi.

“Kakak! Lihat!” Adimesa berteriak. “Ada api menyembur dari puncak gunung!”

“Gunung itu meletus! Gunung Merapi meletus!” teriak Adisaka.

Saat itu udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi pemandangan. Udara mulai
panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur cahaya merah menggidikkan lalu ada cairan
membara mengucur ke luar dan cepat sekali menebar ke berbagai penjuru, menuju lereng dan
seterusnya ke kaki gunung.

“Kak, kerbau-kerbau kita lari!” bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua kerbau yang tadi hendak
dimandikan berlari ketakutan meninggalkan tempat itu. “Aku akan mengejar!”

“Jangan!” mencegah si kakak. “Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan memintas kembali ke
Kaliurang!”

Dua kakak beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan. Keduanya mengalami
kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga suara gemuruh dahsyat yang
menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh terhenyak berulang kali.

“Kak, aku takut!” Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.

Adisaka cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat aman. Namun saat
itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang adalah semburan-semburan sinar dan
bendabenda aneh dari mulut gunung. Adisaka berlaku cerdik. Dia membawa adiknya lari
menjauhi cahaya terang itu. Akan tetapi dua anak ini tak sempat lari jauh karena semburan
benda-benda panas membara yang jatuh di rimba belantara menyebabkan kebakaran hebat
luar biasa.

“Api dimana-mana…” ujar Adisaka. “Kita lari ke sungai. Harus ke sungai…”

Kembali Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.
Namun dua buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah belakang muncul
suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang keluar dari mulut gunung Merapi. Dua
anak kecil itu terkurung tak mungkin lari, tak mungkin menyelamatkan diri. Mereka tinggal
menunggu mana yang lebih cepat. Dilahap api kebakaran atau digulung lumpur menyala!

“Kak…! Aku takut! Aku kepanasan…!” ratap Adimesa. “Kita … kita mau lari kemana?”

Saat itu mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa panas memanggang.

Walau takut setengah mati tapi anak ini masih bisa berucap. “Adimesa, jangan takut! Pasti ada
yang menolong kita! Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil Tuhan!”

Lalu dua anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak. “Ayah!

Ibu! Tuhan! Tolong kami!”

Suara teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak pohon-pohon yang
terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh gemuruh ledakan gunung yang menggoncang
bumi. Dua tubuh kecil ini tak sanggup bertahan. Adimesa jatuh lebih dulu. Satu patahan batang
pohon yang dikobari nyala api entah dari mana datangnya tiba-tiba melayang turun ke arah
sosok si kecil Adimesa yang tergeletak di tanah. Melihat hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di
atas tubuh adiknya untuk melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam
menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam benaknya adalah
ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan mengalami bahaya yang bakal
merenggut jiwanya.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. Dari kobaran api di samping
kiri melesat seekor kuda besar berwarna putih. Bersamaan dengan itu serangkum angin
dahsyat menderu membelah udara. Batang kayu besar menyala yang hendak menimpa tubuh
Adisaka dan Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih, penunggangya seorang nenek
berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan dengan satu gerakan cepat luar biasa
menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia menggebrak tali kekang kudanya maka bersama
tunggangannya itu dia menghambur lenyap dari tempat itu.

Hanya sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari jurusan yang hampir
bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya ternyata seorang kakek berjubah putih.
Kobaran api dan tebaran debu menghalangi pemandangannya.

“Jangan-jangan aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan anak itu
lebih dulu…”

Penunggang kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan tubuhnya seolah terpanggang
oleh kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari kaki kudanya hampir menginjak sosok kecil
Adimesa yang tergeletak menelungkup di tanah. Binatang ini meringkik keras dan hentak-
hentakkan kaki depannya sebelah kanan. Si kakek cepat meneliti ke bawah. Dalam keadaan
begitu rupa untuk pertama kali dia melihat tubuh Adimesa. Tanpa tunggu lebih lama kakek ini
segera membungkuk menyambar tubuh itu lalu secepat kilat menghilang dari tempat tersebut.

BAB 11

2121

DUA PULUH tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek berkuda hitam, di satu
tikungan sungai yang arus airnya menderu keras, seorang pemuda berpakaian biru melompat
dari satu potongan bambu ke potongan bambu lainnya yang bertebaran di atas permukaan air.
Ada tujuh potongan bambu dan satu sama lain saling diikat dengan seutas tali. Di tangan kiri dia
memegang setangkai daun kering berbentuk kipas. Sambil melompat daun kering di tangannya
dipukulkan kian kemari. Ternyata angin yang keluar dari kipas daun ini sanggup membuat luruh
daun-daun pepohonan rendah di tepi sungai!

Dari apa yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua jenis ilmu silat. Pertama
ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang ilmu meringankan tubuhnya tanggung-
tanggung saja pasti tidak akan mampu melompat di atas bambu-bambu yang berada di
permukaan air sungai berarus deras dan selalu begerak kian kemari. Lalu ilmu kedua yang
tengah dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu mempergunakan senjata aneh dari daun kering
berbentuk kipas tadi dijadikan sebagai senjata pengganti.

Hampir seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya dia tidak akan berhenti
kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu bahwa Ki Riku Pulungan memanggilnya. Si
pemuda hentikan latihannya. Sambil melayang dia menyambar salah satu potongan bambu lalu
menyeretnya naik ke daratan. Setelah menggulung tujuh potong bambu itu dengan tali
pengikat dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar si pemuda merapikan pakaian
dan rambutnya lalu cepat-cepat melangkah ke sebuah pondok terletak di satu tanah ketinggian.

Di dalam pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang tua ini memberi isyarat
agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak seperti biasanya, kali ini si pemuda merasa ada
debaran aneh di dadanya. Agaknya ada sesuatu hal penting yang hendak dikatakan orang tua
itu padanya.

“Adimesa muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan tahun. Sambil menduga-
duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan dirimu boleh meninggalkan pondok ini.

Muridku, ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di sini. Besok pagi-pagi sekali,
selesai kau melakukakn sembahyang Subuh, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kemana kau
akan pergi, apa yang akan kau lakukan terserah padamu. Namun selalu ingat, setiap langkah
yang kau jalani, setiap perbuatan yang kau lakukan, bahkan setiap ucapan yang kau keluarkan
hendaklah selalu mengingat kepada Dia Yang Maha Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena
hanya dengan selalu mengingat Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala perbuatan yang
tidak baik dan terlindung dari marabahaya…”

“Semua ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik…” jawab pemuda bernama Adimesa itu.

Dalam hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun menunggu akhirnya dia
diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di balik kegembiraan itu ada rasa sedih.
Belasan tahun dia bersama Ki Riku Pulungan, menerima segala budi kebaikan, bukan cuma ilmu
kesaktian dan ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan. Hingga dia tahu jalan lurus yang harus
ditempuhnya demi keselamatan dunia akhirat.

“Sebagai bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata padamu. Senjata ini tidak
aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kau harus
mengembalikannya padaku di pondok ini. Apakah kelak senjata ini akan kuserahkan padamu
lagi atau tidak, belum dapat kuputuskan sekarang…”

Kembali Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang akan diberikan
gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu silat dengan memakai
senjata. Yang paling sering dilatihnya adalah ilmu silat aneh mempergunakan daun kering
berbentuk kipas sebagai senjata.

Dari balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang ketika dikembangkan dan
diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah sebuah kipas lipat memiliki tujuh buah jalur
lipatan dan masing-masing jalur berlainan warna.

“Mungkin selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu melatih diri
mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku sudah merencanakan bahwa
kelak

senjatamu adalah benda sederhana ini. Sederhana bentuknya tapi kehebatannya tidak di
bawah keris, pedang ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas Pelangi, dibuat oleh guruku Kiai
Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas juga, bernama Kipas Pemusnah Raga. Ini
adalah satu senjata dahsyat yang bisa membunuh orang semudah kau membalikkan telapak
tangan. Karena itu harap kau jaga baikbaik dan hanya dipergunakan untuk menghancurkan
angkara murka, atau dalam keadaan terdesak menghadapi musuh yang tak bisa dibuat sadar
dengan kata-kata dan nasihat. Ambillah kipas itu Adimesa…”

Si pemuda susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk sampai tiga kali baru
dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi astaga! Bagaimanapun dicobanya
mengambil, kipas itu tak sanggup diangkatnya dari atas tikar di hadapannya.

Dalam kejutnya si pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini tenang saja. Adimesa
kembali coba mengambil kipas itu. Tetap tidak terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga luar.
Masih tidak bisa.
Kini dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya jangankan kipas
sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih bisa diangkat.

Alangkah terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat memercik di keningnya dan


dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia tidak mampu mengangkat kipas itu.

Ketika dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai! Adimesa cepat duduk bersila. Pakaiannya
yang tadi memang sudah basah oleh keringat sewaktu berlatih di sungai kini menjadi tambah
basah. “Guru, maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak bisa mengangkat kipas
itu.”

Ki Riku Pulungan tersenyum. “Muridku, agaknya ada satu hal yang mengganjal di lubuk hatimu.
Hingga kipas itu merasa kurang tenteram untuk kau sentuh…”

“Saya… saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa…” jawab Adimesa.

“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu…” kata sang giuru pula masih tersenyum.

“Tenangkan dulu hatimu baru mulai berpikir.”

Si pemuda mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati, mengatur nafas dan jalan
darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia akhirnya berkata.

“Maafkan saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya sewaktu tadi guru mengatakan
bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama tiga tahun. Bukan diberikan untuk selama-
selamanya…”

Senyum menyeruak lagi di mulut sang guru. “Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau kecewa?”
tanya orang tua itu.

“Mungkin… Mungkin dua-duanya…” kata Adimesa mengakui.

“Itu penyebab kau tidak bisa mengangkat kipas,” ujar Ki Riku Pulungan. “Kipas itu walau benda
mati tapi tetap saja mempunyai perasaan. Jika kau merasa sedih atau kecewa maka kipas ini
akan merasa tidak

tenteram berada di tanganmu. Itu sebabnya dia tidak mau diangkat, tidak mau ikut
bersamamu. Kecuali jika kau menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru itu. Kau
sekali-kali tidak boleh berkecil hati karena kipas itu hanya kupinjamkan. Padahal itu cuma satu
ujian bagimu. Dapat tidak kau memiliki senjata ini untuk selama-lamanya tergantung pada
dirimu sendiri. Bagaimana kau menjaganya, bagaimana kau mempergunakannya…”
“Guru, kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya.” Adimesa susun sepuluh jari di atas
kepala lalu membungkuk dan berucap. “Kipas Pelangi, maafkan diriku. Aku mengaku bersalah
karena memiliki hati yang tidak lurus terhadapmu. Aku berjanji akan menjagamu baik-baik,
mempergunakanmu secara baikbaik dan dengan ikhlas akan mengembalikanmu pada guruku Ki
Riku Pulungan di masa tiga tahun mendatang.”

“Sekarang coba kau ambil kipas itu,” kata Ki Riku Pulungan pula.

Walau agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa ulurkan
tangannya.

Begitu jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk menjalar memasuki tubuhnya.
Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih ringan dari kipas daun yang selama ini
dibuatnya untuk latihan!

Adimesa mencium kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya di atas pangkuan.

Ki Riku Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu Adimesa seraya berkata. “Aku harapkan di
masa tiga tahun mendatang, Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan dirimu…”

“Terima kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya banyak membuat
kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati guru. Hanya sebelum pergi saya ingin
menanyakan lagi, ingin meminta kejelasan mengenai diri saya…”

Ki Riku Pulungan usap jangut pendeknya. “Seperti yang pernah kuceritakan padamu, aku tidak
dapat mencari tahu siapa adanya kedua orang tuamu. Aku hanya bisa menduga kau berasal dari
sebuah desa di kaki selatan Gunung Merapi. Mungkin sekali desa Kaliurang. Aku pernah
menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa itu telah lenyap, berubah menjadi hutan jati.

Mungkin kau perlu menyelidik sendiri…”

Adimesa terdiam sejenak. “Guru, seperti pernah saya katakan pada guru, saya ingat sekali kalau
saya punya seorang kakak laki-laki bernama Adisaka. Waktu bencana gunung Merapi meletus
itu saya ada bersamanya. Saat itu kami dalam perjalanan ke sungai hendak memandikan
kerbau…”

“Muridku, waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa pasti
ingatanmu tidak keliru?”

“Saya merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu Merapi
meletus. Kami berdua terkurung api…”
Ki Riku Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada peristiwa sekitar
delapan belas tahun silam. “Terus terang dalam rimba persilatan tersiar kabar tentang diri
kalian dua bersaudara.

Dikabarkan, salah satu dari kalian memiliki susunan tubuh luar biasa sempurna, yang tidak
dimiliki kebanyakan anak-anak lainnya. Karena itu diam-diam banyak orang pandai yang
mengincar salah satu dari kalian, ingin mengambil menjadikan murid. Hanya saja saat itu
kabarnya agak sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara kalian berdua benar-benar

memiliki susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri tanpa diketahui lain orang sudah
mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki kesempurnaan itu.”

“Di antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang menginginkan dirimu adalah
aku sendiri dan seorang nenek sakti yang kurang baik perangainya dikenal dengan julukan
Gondoruwo Patah Hati.

Selama beberapa waktu aku mengintai semua perilaku kalian berdua, kebiasaan kalian. Dimana
kalian bermain dan apa saja yang kalian lakukan. Agaknya hal ini bukan cuma aku yang
melakukan tapi juga dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai pada satu hari memutuskan
untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga memilih hari yang sama. Kami tahu hari itu kau
dan saudaramu akan memandikan kerbau di kali. Tapi tidak terduga terjadi bencana. Gunung
Merapi meletus. Aku dan si nenek berebut cepat berusaha mencarimu Ketika berada di dalam
rimba belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur menyala, kau kutemukan tertelungkup
di tanah dalam keadaan pingsan…”

“Hanya saya sendiri?”

“Hanya kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana…”

“Aneh,” kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya bersama kakak
Adisaka.

Dia berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk selamatkan diri!

Mungkin kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu…”

“Tidak dapat kupastikan…”

“Mungkin saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya siapa tahu saya bisa
mendapat keterangan tentang kakak saya…”

“Manusia itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal dunia sekitar lima
tahun lalu…”
“Mungkin akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung badan saya
akan mencarinya sampai kemanapun.”

Ki Riku Pulungan mengangguk. “Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau lakukan, muridku.
Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar lagi saatnya untuk menunaikan sholat
Lohor.”

Adimesa mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk memberi hormat
pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian belakang pondok.

SETELAH mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu, Wiro coba mengingat-
ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di Negeri Latanahsilam, berarti satu tahun
sebelum itulah dia bertemu dengan orang tua bernama Riku Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum
sendiri ketika dia ingat bagaimana dia mengatakan pada kakek itu sebagai seorang pemulung
karena sewaktu ditemui dia tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas. Dia kembali tersenyum
begitu ingat bahwa Kipas Pemusnah Raga itu pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar
Matahari sewaktu terjadi perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias Dipasingara alias
Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.

Melihat Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.

Dalam hati dia membatin. “Pendekar ini benar-benar aneh. Aku bercerita panjang lebar. Dia
hanya tersenyum-senyum…” Akhirnya pemuda ini berdiri dari batu yang didudukinya. “Sahabat
Pendekar 212, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi tiba, aku harus berada di satu
tempat… Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar ihwal kakakku Adisaka agar memberi
tahu aku…”

“Akan aku lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?” tanya Wiro.

“Kau benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan kalau tidak membuat
janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu tempat. Kau boleh memilih tempat dan
waktunya…’

“Kau saja yang menentukan…” ujar Wiro.

“Baiklah,” Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau kita bertemu di tempat ini
lagi lima purnama dari sekarang?”

“Setuju!” kata Wiro.

“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal…”

“Tunggu dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan kawasan
ini adalah kawasan Pangandaran…”
“Kau tak usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”

Wiro menggaruk kepala. “Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi atas
pertolonganmu menyelamatkan diriku…”

“Lupakan hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban bagimu…”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku Pulungan sewaktu mereka
bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun yang silam. Kelak jika dia berumur panjang dia
akan melihat kembali Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur berantakan itu dalam bentuk
lain.

Ternyata ucapan itu memang terbukti. Murid si kakek yang bernama Adimesa muncul
membawa Kipas Pelangi.

Tak lama setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai terang-terang tanah. “Aku akan
menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku berada di teluk Penanjung, pasti aku bisa
menemukan jurang itu. Aku harus yakin, sosoknya samar-samar kulihat itu benar-benar
Pangeran Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke dalam jurang. Apa mungkin dia masih
hidup? Atau rohnya yang tadi kulihat?”

BAB 12

2121

Sejak pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di pinggiran jurang batu
karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya menghadapi kesunyian, tak ada yang bergerak, tak
ada satu makhluk hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar dari batu karang di jurang itu telah
diselimuti lumut.

“Tak ada maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari kuhantam jatuh ke
dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun dia tidak mati sampai di dasar jurang,
tidak masuk akal kalau dia bisa merayap naik selamatkan diri. Makhluk yang kulihat tadi,
mungkin rohnya. Atau mungkin hanya bayangan alam pikiranku saja…” Wiro memandang
kelangit. Sang surya mendekati titik tertingginya.

Saat itu baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri.

Tanpa setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak belukar serta terhalang oleh
gundukan batu karang yang menonjol, sejak petama dia berada di sana, sejak saat itu pula
sepasang mata berbola mata pipih aneh memperhatikannya hampir tidak berkesip. Inilah
sepasang mata makhluk berkepala singa yang dikenal dengan nama Singo Abang. Sesekali dia
berpaling ke dalam goa memperhatikan sosok berpakaian hitam yang masih tergeletak pingsan
di lantai batu.

“Pangeran Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan memaksa dia memberi
keterangan.

Aku sudah cukup lama menunggu…” Makhluk berkepala singa memandang ke arah tepi jurang
di atas sana.

“Kalau saja Momok Dempet celaka itu tidak muncul aku pasti sudah dapatkan Kapak Naga Geni
212 miliknya. Apa yang dilakukan Pendekar 212, hampir setengah harian duduk di tepi jurang.
Menyelidik?”

Di belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.

Dilihatnya tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah
memperhatikan sejenak dia lalu membentak.

“Pangeran Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!”

Sosok Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya rambut awut-awutan
Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu tubuh Pangeran Miring terangkat langsung
didorongnya ke dinding goa. “Kau dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam. Kalau aku
tidak mengobati umurmu paling lama hanya tinggal tiga hari…” Dua mata Pangeran Miring
terbuka sedikit, lalu mengatup kembali. “Kau bunuh aku sekarangpun aku tidak takut!”

“Pangeran jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati! Apa kau masih belum
mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Wasiat Malaikat? Salah satu
dari kitab sakti itu pasti ada padamu. Dimana kau sembunyikan?!”

Pangeran Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian. “Kau inginkan dua kitab
itu?

Ambillah!” dari balik pakaian hitamnya. Pangeran Miring keluarkan setumpuk lembaran-
lembaran daun kering disusun demikian rupa seperti sebuah kitab. Di sebelah depan kitab itu
tertera tulisan “Kitab Wasiat Iblis”. Di sebelah belakang ada tulisan berbunyi “Kitab Wasiat
Malaikat”. Di sebelah dalam kitab daun itu tak ada sepotong tulisanpun.

“Jahanam kurang ajar!” Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab daun itu
dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari daun-daun itu hancur bertaburan
sebagian lagi menancap di dinding karang yang keras!
Pangeran Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu Singo Abang
membenturkan kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas Pangeran Miring melosoh ke
lantai goa, kembali pingsan tak sadarkan diri.

Singo Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro Sableng tak
kelihatan lagi di tempatnya semula.

Malam itu pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang biasanya sering berdebur
keras dan memecah di pantai kini hanya muncul sekali-sekali. Di langit bulan setengah lingkaran
memancarkan cahayanya yang sejuk sementara bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip
menambah indahnya pemandangan.

Di sebuah tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat bayangan berkelebat.
Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat dipercaya karena mereka ternyata adalah
empat orang gadis cantik berpakaian hitam sangat ketat hingga lekuk-lekuk tubuh mereka
kelihatan dengan nyata. Dalam waku singkat mereka sudah sampai di ujung tanjung. Seperti
memang sengaja menunggu di tempat itu, tampak berdiri seorang perempuan tinggi semampai,
mengenakan pakaian berlapis manik-manik hingga berkilauan di bawah sapuan cahaya
rembulan setengah lingkaran. Angin laut meniup belahan tinggi di kedua sisi pakaian hingga
tersibak sampai ke pinggul, menyembulkan aurat yang putih mulus.

Perempuan bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke tengah laut lepas,
membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.

Walaupun tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi
penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.

“Ratu, kami datang membawa kabar.”

“Kalian berhasil menemui orang itu?” bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia masih saja
tegak membelakangi memandang ke laut.

“Kami melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan…”

“Seorang diri?”

“Betul. Dia hanya sendirian.”

“Apa yang dilakukannya di sana?”

“Tak jauh dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi kesana, memeriksa kuburan
satu persatu. Ketika kami pergi dia masih berada di sana. Dua orang teman kami masih ada di
sekitar situ, berjaga-jaga mengawasi orang itu.”
Perempuan bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk memberi
penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar biasa cantiknya. Bola
matanya

berwarna biru. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Di
tangan kanan dia memegang gagang sebuah cermin bulat yang didekapkan ke dada. Setelah
pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke wajahnya. Bukan untuk
memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di kejauhan.

“Aku melihat Candi Pawan…” gadis bermahkota yang dipanggil dengan sebutan Ratu berkata
perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di depannya. “Aku melihat dua kawan kalian
mendekam di balik satu pohon besar. Aku tidak melihat gadis itu… Tunggu dulu. Ada sesuatu
bergerak dekat kuburan paling ujung. Bidadari Angin Timur. Hemm…. Memang dia… Gadis itu
masih berada di pekuburan. Kalian boleh kembali. Bawa cermin sakti ini. Aku akan segera
menuju Candi Pawan…”

“Ratu, kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu…”

“Tidak usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana.” Gadis bermata biru serahkan cermin
bulat pada salah seorang gadis.

“Ratu, cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan…”

“Tidak usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi sekarang.”

“Ratu, kami tidak berani melawan perintahmu,” gadis di samping kiri berkata. “Tapi kami benar-
benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di luaran tanpa cermin itu.”

Gadis yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.

“Mungkin kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian boleh tinggalkan
tempat ini.”

Empat gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu berlari cepat ke ujung
tanjung.

Satu persatu mereka mencebur masuk ke dalam laut!

Siapakah adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang barusan masuk lenyap
ke dalam laut? Dalam rimba persilatan tanah Jawa gadis bermata biru itu dikenal sebagai Ratu
Duyung. Seorang gadis sakti mandraguna yang bisa hidup di dua alam yakni laut dan daratan.
Empat gadis tadi adalah anak buah atau pengawalnya. (Mengenai riwayat Ratu Duyung harap
baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
Setelah empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak segera tinggalkan tempat
itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung semua hasil penyelidikan yang dilakukan
anak buahnya.

Lalu dalam hati dia membatin.

“Bidadari Angin Timur… Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di beberapa
tempat. Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar 212 Wiro Sableng
lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di kawasan selatan. Agaknya dia
mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga jangan-jangan dirinya ada sangkut paut dengan
lenyapnya Wiro. Kini bukan mustahil kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang
didatangi orang. Kuburan yang diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa gadis itu berada di
sana, malam-malam begini dia sengaja mendahului rencana pertemuan yang sudah
ditetapkan…”

Ratu Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di sebelah samping kiri. Lalu sekali
berkelabat sosoknya pun lenyap dari tempat itu.

Candi Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan. Dalam waktu tidak berapa
lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan candi itu. Di balik dinding candi sebelah timur dia
keluarkan suara seperti kicau burung. Dua orang gadis yang mendekam di balik pohon besar
saling berbisik. “Ratu telah datang…”

Sekali lagi terdengar suara kicau burung. “Ratu memberi tanda. Kita boleh pergi dari sini…” Dua
gadis di balik pohon tanpa suara dan tersamar oleh kegelapan malam segera tinggalkan tempat
sejak tadi mereka bersembunyi.

Dari balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan. Seorang gadis
berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan kuburan-kuburan tua yang
hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun memiliki nisan. Gadis ini memiliki rambut
berwarna pirang yang melambai-lambai ditiup angin malam. Tubuh, pakaian dan rambutnya
menebar bau harum mewangi. Sambil berjalan pikirannya diputar dan hatinya membatin.

“Tidak ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal, tidak
mungkin dimakamkan di tempat ini.”

Selagi berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis menangkap suara kicau
burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan pepohonan yang ada di sekitar
reruntuhan Candi Pawan.

“Aneh… Ada suara burung di malam hari.” Membatin gadis di tengah kuburan. “Aku menaruh
firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm… Aku yakin dia bukan bangsa penjahat…
Biar kupancing dia keluar dari tempat persembunyiannya!”
Dengan tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua. Di hadapan sebuah
kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak menendang.

“Braakkk!”

Tanah kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.

“Braaaakkkk!”

Kuburan tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis berbaju
biru ini membentak.

“Orang di dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau ingin
kukubur hidup-hidup!”

Si gadis menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.

“Kau memang minta mati!” Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan kanannya diangkat ke
atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu pukulan dahsyat. Tetap saja tak ada yang
muncul. “Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak termakan pancinganku!”

Baru saja si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan terdengar suara tawa
berderai.

Lalu muncul sesosok tubuh berpakaian bermanik-manik,melangkah tenang mendatangi gadis


berambut pirang.

Gadis cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya ketika melihat siapa yang
muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia menegur, orang itu telah menyapa lebih dulu.

“Sahabatku Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah kuburan, di kawasan


terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau perbuat?”

Bidadari Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung pipit di
pipinya kiri kanan.

“Ratu Duyung!” seru Bidadari Angin Timur. “Aku juga punya pertanyaan yang sama.

Gerangan apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu, mendatangi kuburan.
Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut. Apakah tidak ada tempat yang lebih indah
dari pekuburan ini hingga kau sampai tersesat kemari?”
Walau maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum. “Kita mempunyai
kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara? Bukankah hari pertemuan untuk
membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya tinggal beberapa hari di muka. Tapi agaknya kau
telah bertindak mendahului kesepakatan…”

“Jangan kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai menyalahi aturan.
Termasuk dirimu…” kata Bidaari Angin Timur pula.

“Tidak ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan orang yang sama.
Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan rahasia lenyapnya pendekar itu?”

“Usulanmu baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi aturan…”

“Sahabatku Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa untungnya
mengungkit-ungkit masa lalu?”

“Sahabatku Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu. Baiklah, aku tidak mau
bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan dirimu dan kita bertemu lagi beberapa
hari di muka dengan para sahabat lainnya, sesuai perjanjian.”

Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.

Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira hatinya benar-benar polos terhadapku.

Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…” Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung
melirik ke arah kuburan yang jebol akibat injakan kaki Bidadari Angin Timur tadi. Bola mata biru
sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu dilihatnya
bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya sedikit. Memperhatikan tak berkesip. Tiba-
tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam kuburan. Ratu Duyung terpekik keras. Nyawanya
seperti terbang dan tubuhnya laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke belakang!

121. Tiga Makam Setan

BAB 1

Malam hari di satu pekuburan dekat Candi Pawan.

Bidadari Angin Timur sesaat masih menatap wajah cantik gadis bermata biru di hadapannya.
Setelah itu tanpa bicara dan menunggu lebih lama dia segera berlalu, membuat rasa tidak enak
dalam hati orang yang ditinggalkan.

Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya benarbenar
polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…”
Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya benarbenar
polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…”

Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke lubang yang terkuak akibat dijebol
kaki Bidadari Angin Timur.

Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu
dilihatnya bergerak-gerak, seolah ada sesuatu yang hidup di bawah permukaannya. Ratu
Duyung mengerenyit, bungkukkan badan sedikit. Memperhatikan lebih tajam, tak berkesip.
Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam makam. Ratu Duyung terpekik keras.
Nyawanya serasa terbang dan tubuhnya laksana didorong sampai tiga langkah ke belakang.

Tangan yang mencuat dari dalam kubur itu adalah sebuah tangan kiri. Keluar makin panjang,
bergerak naik ke atas. Lalu muncul menyeruak sebuah bahu. Bahu ini bergerak pula ke atas,
tangan yang menjulur mengapai-gapai. Tanah kuburan mumbul naik ke atas, terbelah menguak.
Bersaman dengan itu satu sosok entah masih bernama manusia entah setan melesat keluar
dibarengi suara jeritan dahsyat!

Ratu Duyung terpekik, tersurut hampir jatuh duduk di tanah. Dua bola matanya terpentang
lebar. Walau diketahui dia adalah seorang gadis sakti berkepandaian tinggi, namun
menyaksikan apa yang ada di hadapannya, tengkuknya terasa dingin. Sekujur tubuhnya dijalari
rasa takut luar biasa. Tangan kanannya serta merta bergerak ke pinggang, memegang gagang
cermin sakti. Bersikap waspada terhadap makhluk aneh mengerikan di atas lubang kuburan.

Di hadapan Ratu Duyung saat itu tegak satu makhluk berujud nenek luar biasa menyeramkan.
Dia mengenakan sehelai jubah hijau yang tak pantas lagi disebut pakaian karena tersingkap
robek di sana-sini. Selain itu tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki tertutup tanah
kuburan. Kulit muka, dada dan perutnya yang tidak tertutup tanah memutih mengelupas.
Hidungnya hanya merupakan satu gerumpungan besar. Lalu mata kanannya hanya berbentuk
satu rongga lebar, sebagian tersumpal tanah kuburan.

Makhluk ini tidak memiliki tangan kanan alias buntung. Tetapi di keningnya menempel satu
potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tanan kanannya sendiri!

Ratu Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa sebenarnya yang ada di depannya saat itu.
Jika manusia, mengapa keadannya seperti itu. Kalau setan apa perlunya mendekam di dalam
makam lalu unjukkan diri!

Makhluk yang dua kakinya masih berada sebatas betis di dalam tanah kuburan itu gerakkan
tangan kiri untuk membuang tumpukan tanah yang menutupi mata kirinya. Mata yang cuma
satu itu lalu bergerak liar jelalatan. Sepertinya dia masih belum melihat atau belum menyadari
kalau ada Ratu Duyung tegak dalam gelap, beberapa langkah di hadapannya.
Tiba-tiba makhluk ini menyembur. Membuat Ratu Duyung kembali tersentak kaget dan tekap
mulutnya menahan pekik. Rupanya ada tanah yang menyumpal dalam mulut mahkluk di atas
kuburan.

“Malam hari … Gelap… Aku berada di mana…?” mahkluk nenek menyeramkan keluarkan suara.

Ratu Duyung merasa nafasnya seolah terhenti. “Astaga, setan ini ternyata bisa bicara… Dia
mengucapkan sesuatu. Tidak tahu berada di mana. Aneh…” kata Ratu Duyung tercekat dalam
hati.

Tangan kiri mahkluk seram bergerak sekali lagi memebersihkan tanah yang menutupi wajahnya.
Semakin tersingkap muka itu, semakin menggidikkan kelihatan gerumpung hidung dan
bolongan mata kananya. Lalu dari mulutnya kembali terdengar suara. “Kekasihku… di mana
kau…?”

Ratu Duyung melengak dalam kejutnya.

“Kekasihku?” Ratu Duyung berucap dalam hati, ada rasa heran di bawah tindihan rasa takutnya.
“Dia mencari kekasihnya?! Setan apa ini? Tangan kanan di atas kening. Aku… Di kubur ini tadi
Bidadari Angin Timur kulihat melakukan sesuatu. Apa dia punya ilmu memelihara setan hendak
mencelakai diriku? Aku…”

Tiba-tiba untuk pertama kalinya mata kiri mahkluk mengerikan itu membentur sosok Ratu
Duyung. Mata itu memancarkan kilatan menggidikkan.

“Kau siapa?!” satu bentakan menyembur dari mulut si nenek muka setan.

“Kau yang siapa?!” Entah bagaimana dalam takutnya Ratu Duyung malah bisa balas
menghardik.

“Eh?!” Mahkluk yang dihardik sesaat terdiam. Tapi matanya makin berkilat menyoroti Ratu
Duyung. Perlahan-lahan dia keluarkan dua kakinya yang masih menancap di dalam tanah
kuburan. Ratu Duyung mengawasi gerakan orang tanpa berkedip. Bukan mustahil makhluk ini
tiba-tiba melompatinya, mencekiknya atau menggigit leher dan menghisap darahnya!

Berdiri di tepi kuburan si makhluk seram diam tak bergerak, kembali pandangi Ratu Duyung.

“Matamu sama biru, wajahmu sama cantik. Tapi kau bukan Peri Angsa Putih…”

“Siapa Peri Angsa Putih?!” Ratu Duyung beranikan diri bertanya.

“Kau tidak tahu siapa Peri Angsa Putih… ini adalah aneh. Berarti saat ini aku…” Si nenek muka
setan palingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Matanya yang cuma satu berputar angker lalu
menatap ke arah Ratu Duyung.
“Kau sendiri tidak mau memberitahu siapa dirimu. Jangan kira aku tak bisa memaksa. Tapi saat
ini aku ingin tahu satu hal! Lekas katakan diamana aku berada?!”

“Kau lihat sendiri, kau berada di kawasan pekuburan. Kau barusan keluar dari dalam makam
itu!” Ratu Duyung menjawab.

“Walau mataku cuma satu tapi aku tidak buta!” bentak makhluk di pinggir kubur. “Aku tahu aku
berada di pekuburan. Malam hari… Tapi… Katamu aku barusan keluar dari dalam kubur? Hah?!
Apa yang terjadi?! Apa aku sudah mati? Kalau sudah mati mengapa bisa hidup lagi?!” Mata kiri
si nenek menatap garang.

“Kau jangan menipuku!” membentak si nenek setan.

“Memangnya aku menipu apa?!” sahut Ratu Duyung seraya perlahan-lahan bangkit berdiri. Lalu
dia berucap. “Kau yang menipuku dengan ujud anehmu! Kau ini manusia atau setan kuburan
atau roh yang tidak diterima alam gaib?!”

Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hendak mendamprat, tapi mendadak ingat
seseorang.

“Kekasihku… Dimana kau…” Si nenek kembali memandang berkeliling dengan matanya yang
cuma satu. “Tak ada siapa-siapa di tempat ini selain dirimu… Kalau aku masih berada di…”

“Kekasihku?” membatin Ratu Duyung. “Setan bangkai tua ini punya kekasih? Aku harus cepat
mengetahui siapa dirinya”.

“Makhluk aneh, tangan di atas kening! Terangkan siapa kau adanya? Setan atau roh yang
kesasar atau memang masih bisa kusebut menusia?!”

“Perduli setan semua pertanyaanmu. Aku juga tak kenal dirimu. Aku tidak pernah melihatmu
sebelumnya. Aku tadi bertanya. Kau tidak menjawab. Jika kau tidak mau memberitahu berarti
kau minta celaka!” Si nenek maju satu langkah.

“Makhluk salah kaprah! Jika kau setan atau roh sesat harap kembali ke alammu. Tapi jika kau
memang manusia adanya jangan berani mengancam diriku. Segera tinggalkan tempat ini!”

“Kau tidak mau mengancam tapi bicara mengancam! Hik… hik… hik! Walau kau cantik tapi
lama-lama aku muak juga melihatmu. Coba kau layani dulu sentilan jariku ini!” Begitu
ucapannya berakhir si nenek sentilkan jari telunjuk tangan kirinya.

“Wuttt!”

Selarik sinar hitam menderu ke arah Ratu Duyung.


Untungnya sejak tadi sang Ratu telah berlaku waspada. Begitu sinar hitam berkelebat disertai
deru keras, tangan kananya yang telah menggenggam gagang cermin bulat bergerak. Cermin
sakti itu sengaja tidak dikeluarkannya dari balik pakaian, hanya diputar menghadap ke arah
datangnya serangan sinar hitam.

“Wussss!”

Serangkum cahaya putih berkiblat. Pekuburan itu sesaat menjadi terang benderang. Lalu
menggelegar satu letusan keras begitu cahaya putih yang keluar dari cermin sakti beradu
dengan sinar hitam sentilan si nenek setan.

Ratu Duyung terjajar surut sampai tiga langkah. Cermin bulatnya bergetar hebat. Tangannya
yang menggenggam gagang cermin terasa panas. Dadanya seperti ditindih sesuatu. Cepat dia
atur jalan darah dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan.

Di depan sana makhluk berujud nenek menyeramkan terpental, keluarkan jeritan keras lalu
terhenyak jatuh di atas sebuah kubur, mematahkan papan nisannya yang sudah rapuh. Sekali
lagi si nenek menjerit lalu tubuhnya melompat. Di lain saat dia sudah berdiri lagi hanya tujuh
langkah dari hadapan Ratu Duyung. Jubah hijaunya mengepulkan asap, hangus di beberapa
bagian! Mata kiri si nenek laksana dikobari api, memandang menggidikkan ke arah Ratu
Duyung.

Ratu Duyung sendiri saat itu sempat tertegun heran. “Luar biasa. Orang lain bagaimanapun
tingkat kesaktiannya pasti akan cidera dihantam cahaya putih cermin saktiku. Makhluk ini
hanya hangus pakaiannya. Tadi aku hanya mengerahkan sepertiga tenaga dalam dan hawa
sakti. Mungkin aku harus melipat gandakan kekuatan….”

“Matamu sama biru dengan mata Peri Angsa Putih… Cahaya putih ilmu kesaktianmu sama
hebatnya dengan pukulan sakti Peri Angsa Putih. Apa hubunganmu dengan Peri itu?!”

“Aku tidak kenal dengan makhluk yang kau sebutkan itu!” jawab Ratu Duyung. Penuh waspada
dia lipat gandakan tenaga dalam dan alirkan ke tangan kanan yang memegang gagang cermin
bulat sakti.

“Kalau begitu siapa kau sebenarnya?!”

“Nenek setan! Kau yang harus menerangkan siapa dirimu adanya!” bentak Ratu Duyung. Kau
pasti peliharaan atau kaki tangan Bidadari Angin Timur yang hendak mencelakai diriku!”

“Bidadari Angin Timur?” Mata kiri si nenek berputar. “Kau menyebut nama yang aku tidak
kenal….”
“Kalau begitu lekas terangkan siapa dirimu! Atau aku akan merubah dirimu menjadi jerangkong
hitam hangus!” Ratu Duyung sudah salurkan hampir setengah tenaga dalamnya ke tangan
kanan yang memegang cermin.

“Mata biru, keberanianmu menantangku luar biasa! Aku sudah puluhan kali menghadapi
kematian! Jangan kira aku takut menghadapi dirimu! Sayang, saat ini aku lebih mementingkan
mencari kekasihku. Kalau tidak, akupun sanggup membuat wajahmu yang cantik menjadi
tengkorak tak berguna, tubuhmu yang bagus menjadi tulang belulang memutih! Kekasihmu
akan meratap sampai sejuta sehari! Hik… hik… hik!”

“Aku tidak punya kekasih!” Entah bagaimana ucapan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Ratu
Duyung.

“Kau tidak punya kekasih? Sungguh aneh? Di dunia mana aku sebenarnya saat ini berada?
Makhluk apa kau sebenarnya? Aku tua bangka dan buruk menyeramkan saja masih punya
kekasih! Tapi kau yang cantik jelita, muda remaja dengan tubuh bagus menggairahkan mengaku
tidak punya kekasih! Hik… hik… hik! Sungguh aneh!”

“Tutup mulutmu!” bentak Ratu Duyung yang menjadi jengkel pada diri sendiri karena
ketelepasan bicara tadi. Dia melangkah mendekati.

Melihat gerakan orang, si nenek cepat bangkit berdiri.

“Mata biru, aku akan mencari kekasihku. Jika tidak bertemu aku akan mencarimu kembali! Jika
kau tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, akan kucabut putus lidahmu! Hik… hik…
hik!” Lalu tanpa acuh lagi si nenek putar tubuhnya. Ketika sosoknya membelakangi Ratu Duyung
siap hendak menghantam. Tapi dia tidak mau berlaku pengecut. Menyerang orang dari
belakang.

“Aku harus menghalangi jangan sampai dia pergi! Aku harus tahu siapa dia adanya!” Saat
berucap dalam hati itulah tak sengaja sepasang mata Ratu Duyung yang tajam melihat satu
benda aneh di balik daun telinga kanan si nenek. Di belakang daun telinga itu ada satu benda
merah, menyerupai daging tumbuh sebesar ujung jari kelingking. Namun Ratu Duyung tidak
bisa berpikir lebih lama. Si nenek sudah siap berkelebat pergi.

“Tunggu! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini sebelum memberi keterangan!” bentak
Ratu Duyung. Lalu dia berkelebat ke hadapan si nenek. Menghadang jalan.

“Mata biru! Kau minta kematian di usia muda!”

Ratu Duyung mendengus. Si nenek menyeringai. Tanpa perdulikan si gadis dia teruskan
gerakannya melangkah.
Melihat si nenek begerak hendak meninggalkan tempat itu Ratu Duyung cepat gerakkan
tangannya yang memegang gagang cermin sakti.

Untuk kedua kalinya kawasan pekuburan itu terang benderan oleh cahaya putih.

“Wussss!”

“Braaaakkkk… byaaarrr!”

Makam di mana si nenek tadi berada hancur berantakan. Tanah kuburan dan isinya termasuk
tulang belulang penghuni yang sudah terkubur belasan tahun berhamburan mental ke udara!
Tapi si nenek sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Yang terlihat kini hanya kubur
menganga, merupakan satu lobang besar akibat hantaman cahaya puttih yang menyembur dari
cermin sakti sang Ratu.

Tak jauh dari tempat itu. Di atas sebuah pohon, berdiri di salah satu cabang, tersembunyi di
balik kegelapan, sosok nenek berhidung gerumpung, memandang dengan matanya yang cuma
satu ke arah Ratu Duyung.

“Kesaktian gadis itu sungguh luar biasa. Terlambat saja tadi aku menyingkir, pasti dia benar-
benar membuat diriku menjadi jerangkong hangus!”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 2

Di dalam goa di lamping jurang karang, makhluk tinggi besar berkepala singa merah melangkah
mundar mandir. Sesekali dia berpaling, memandang geram ke arah sosok yang terkapar di
lantai goa.

“Pangeran jahanam! Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang tidak ada padanya. Tapi Kitab
Wasiat Iblis pasti disembuyikan di satu tempat. Dua hari dua malam di pingsan. Kalau dia
siuman dan masih tidak mau memberitahu dimana beradanya kitab itu, kurasa percuma
membuang waktu. Enam ratus hari aku menunggu, aku tidak mau menghadapi kesia-siaan.
Lebih baik kuputuskan menamatkan riwayatnya saja. Kalau tidak dihabisi sekarang-sekarang
mungkin menjadi racun malapetaka di kemudian hari…”

Di pintu goa makhluk kepala singa bernama Jolo Pengging dan dalam rimba persilatan Tanah
Jawa belakangan ini dikenal dengan julukan Singo Abang memandang ke seantero pinggiran
jurang. Dari tenpatnya berada dia bisa melihat kawasan atas jurang dengan jelas. Sebaliknya
seseorang yang berada di pinggiran jurang sebelah atas sana sulit untuk melihatnya karena
selain goa iu berada dalam satu cekungan dinding karang, juga tersembunyi di balik semak
belukar lebat.

Singo Abang ingat kejadian tiga hari sebelumnya. “Rimba persilatan Tanah Jawa semakin kacau.
Banyak bermunculan tokoh-tokoh baru… Sepasang Momok Dempet Berkaki Kuda…
Kemunculan mereka pasti ada sangkut pautnya dengan kitab-kitab sakti itu. Kalua aku sampai
keduluan…” Singo Abang mengeram jika ingat bagaimana tiga hari lalu dia dibuat babak belur
oleh Momok Dempet waktu terjadi perkelahian di pinggir jurang sana. (Baca Episode pertama
berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). “Tiga hari lalu aku juga melihat Pendekar 212 Wiro Sableng
di tepi jurang. Memandang ke bawah sini seperti menyelidik. Apakah telah terjadi satu
bentrokan antara murid Sinto Gendeng itu dengan Momok Dempet? Kalau Wiro Sableng masih
sempat mendekam di pinggir jurang, berarti dia berhasil mempecundangi dua manusia galah
jahanam itu. Dua tahun pendekar itu melenyapkan diri. Apa yang dilakukannya? Menambah
ilmu kesaktian? Aku benar-benar harus bertindak cepat. Kalau tidak aku hanya akan menghisap
jempol butut seumur-umur. Karena Pendekar 212 pasti juga mencari Kitab Wasiat Malaikat
itu….”

Singo Abang kembali memperhatikan sosok yang tergelimpang di lantai goa. Hatinya lagi-lagi
merutuk. “Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai dia siuman!”

Singo Abang meludah lalu arahkan lagi pandangannya ke arah atas jurang. Saat itu di
belakangnya, tanpa diketahui, salah satu mata orang yang tergeletak di lantai goa perlahan-
lahan terbuka, menatap ke arah punggung Singo Abang lalu seringai setan mengejek
menyeruak di mukanya yang pencong. Dalam hati dia berkata. “Singo Abang, kau menunggu
kesempatan. Aku Pangeran Matahari yang selalu kau panggil dengan sebutan Pangeran Miring
juga mengintai kesempatan. Siapa lengah akan mengalami kekalahan. Itu Kelak akan menjadi
bagianmu karena pikiran dan hatimu dilanda kekalutan sedang aku tidak! Aku Pangeran
Matahari! Siapa bisa mengalahkan aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala
Licik, Segala Congkak!” Ketika Singo Abang membalikkan badannya, orang ini cepat pejamkan
matanya kembali. Namun seringai masih membayang di wajahnya. Justru hal ini sempat terlihat
oleh Singo Abang.

“Pangeran Miring, murid keparat!” bentak Singo Abang gusar. “Aku tahu kau menipuku! Aku
tahu kau sebenarnya sudah siuman! Mari kita buktikan!” Rambut merah yang menutupi wajah
dan kepala sampai ke tengkuk mengembang berjingkrak.

Kaki kanan makhluk tinggi besar itu bergerak ke arah punggung orang yang tergeletak di
hadapannya.

“Bukkk!”

Sosok Pangeran Miring terpental dan brukkk! Menghantam dinding karang. Sosok ini
menggeliat beberapa kali lalu terdengar keluhan. Singo Abang jambak rambut gondrong sang
Pangeran lalu hempaskan tubuhnya ke dinding hingga terhenyak duduk dengan wajah
mengerenyit menahan sakit.

“Kau boleh meneruskan kepura-puraanmu kalau ingin segera mampus!”

“Guru….”
Ucapan Pangeran Miring terputus karena kaki kanan Singo Abang tiba-tiba sekali sudah
menempel dan menekan batang lehernya.

“Umurmu hanya tinggal satu gerakan saja! Jika kau tetap tidak mau membuka mulut,
memberitahu dimana kau sembunyikan dua benda yang kutanyakan, sekali injakan saja tulang
lehermu akan patah! Nyawamu amblas!”

“Gu… guru… Apa yang ingin kau tanyakan…?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu!”

“Guru, kalau kau menanyakan tentang Kitab Wasiat Malaikat, aku bersumpah aku tidak
memilikinya. Juga tidak tahu dimana beradanya…”

“Bagaimana dengan Kitab Wasiat Iblis? Aku tahu! Semua orang di rimba persilatan tahu kitab
itu ada padamu!”

“Kalau kau memang keliwat memaksa, aku… Aku bersedia mengalah…”

“Apa maksudmu dengan ucapan itu?!” tanya Singo Abang dengan mata mendelik.

“Aku… aku sadar kalau aku punya hutang budi dan nyawa padamu. Kalau tidak kau yang
menolong diriku, dua tahun lalu aku sudah menjadi bangkai di dasar jurang ini akibat hantaman
musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng…” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kiamat Di
Pangandaran”).

“Jika kau memang merasa berhutang budi dan nyawa, apa lagi aku sudah memberi ilmu
kesaktian padamu. Lalau apa balasamu terhadapku?!”

“Maafkan aku guru, aku akan memeberitahu padamu mengenai Kitab Wasiat Iblis itu…”

Kerenyit di kening Singo Abang lenyap. Rambut di kepalanya yang merah berjingkrak perlahan-
lahan bergerak turun. Namun sepasang matanya tetap berkilat mencorong menatap sang
murid. Mulutnya beucap. “Aku gembira mendengar kata-katamu. Tetapi jangan kau berani
menipu!”

“Kalau murid terbukti menipu, nyawaku jadi imbalannya,” kata Pengeran Miring pula.

Perlahan-lahan Singo Abang tarik kaki kanannya yang dipakai menginjak leher orang. Sang
Pangeran menarik nafas lega.

“Tunggu apa lagi! Lekas katakan dimana kitab yang kau sebutkan itu! Aku sudah memeriksa
dirimu dan goa itu. Kitab itu tidak aku temukan…”
“Kitab Wasiat Iblis memang tidak ada di goa ini, guru. Aku menyembunyikannya di satu
tempat…”

“Dimana?!” tanya Singo Abang menyentak tidak sabaran.

“Sebelum pecah pertempuran hebat para tokoh di Pangandaran dua tahun silam, kitab itu aku
sembunyikan di pinggir jurang karang. Di satu lorong sempit. Di bawah sebuah batu besar.
Kubungkus dengan daun kayu besi hingga tahan terhadap air dan panas…”

“Kalau begitu, sekarang juga kita keluar dari goa. Naik ke atas jurang! Kau harus segera
tunjukkan dan ambil kitab itu…”

“Aku menurut perintah guru. Tapi keadaanku lemah sekali. Mana mungkin aku bisa naik ke atas
jurang sana…”

Singo Abang dekati Pangeran Miring. Lalu letakkan tangannya kiri kanan di atas bahu pemuda
itu sambil alirkan hawa sakti. Sesaat kemudian dia membuat beberapa totokan di bagian tubuh
Pangeran Miring untuk memperlancar aliran darah.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Singo Abang.

“Rasa berat dan pening di kepala hilang. Tubuhku terasa enteng. Ada satu kekuatan baru dalam
diriku…” jawab Pangeran Miring. Tapi dalam hati dia berkata. “Makhluk tolol! Rasakan! Kau
kena tipuanku! Kini aku memiliki kekuatan berlipat ganda!”

“Kalau begitu kau sudah siap. Ikuti aku! Kita segera naik ke atas jurang!”

Singo Abang keluar dari dalam goa. Pangeran Miring mengikuti. Dengan ilmu kepandaian tinggi
yang mereka miliki tidak sulit bagi keduanya untuk naik ke atas jurang yang sangat terjal itu.
Sampai di atas sana, di pinggiran jurang Pangeran Miring memandang berkeliling. Di kejauhan
terdengar suara deburan ombak sementara angin dari arah laut bertiup cukup kencang.

Singo Abang kembali tidak sabaran. “Dimana Pangeran? Di bagian mana tepi jurang kitab itu
kau senbunyikan?!”

Pangeran Miring menunjuk ke arah barat jurang. Di situ tumbuh satu pohon besar. Tak jauh dari
pohon ada sederetan batu-batu karang menonjol runcing. Pangeran Miring menunjuk ke arah
batu-batu karang itu. Tanpa tunggu lebih lama Singo Abang mendahului lari ke tempat yang
ditunjuk. Begitu Pangeran Miring sampi dia segera berkata.

“Aku tidak melihat lorong. Tidak melihat batu besar yang kau katakan!”
“Dari tempatmu berdiri tentu saja tidak kelihatan,” jawab Pangeran Miring. “Letaknya di
sebelah bawah sana. Ikuti aku….”

Pangeran Miring lalu melangkah ke kanan, menyusuri tepi jurang. Di satu tempat dia hentikan
langkah dan memberi isyarat pada gurunya seraya menunjuk ke depan. Singo Abang mendekat
dan memandang ke arah yang ditunjuk. Dia memang melihat satu lorong sempit antara dua
batu karang berbentuk tonggak besar. Lorong itu merupakan satu celah sempit sepemasukan
tubuh orang berukuran sedang. Sosok sebesar Singo Abang sulit untuk memasuki celah. Di
ujung celah terlihat jelas sebuah batu berwarna kelabu kehitaman.

“Guru, harap kau menunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam celah…”

“Kau tunjukkan saja tempat pastinya kitab itu kau tanam. Aku akan mengambilnya…”

“Guru, celah itu sempit. Tubuhmu terlalu besar untuk bisa melewatinya…”

“Kalau begitu biar aku hantam dengan pukulan sakti agar celah mmebesar…”

“Jangan lakukan hal itu…” kata Pangeran Miring.

“Mengapa? Kau tak suka aku yang mengambil kitab itu? Kau…’

“Bukan begitu Guru! Kau lihat sendiri. Bagian tanah di sekitar sini agak kering, tidak mempunyai
kedudukan keras. Jika dihantam dengan pukulan, celah batu bisa saja terbuka tapi dudukan
tanah akan bergeser. Aku kawatir terjadi longsor. Kita berdua bisa celaka…”

Singo Abang pencongkan mulutnya. “Baik, kau saja yang pergi mengambil. Begitu kitab berada
di tanganmu lekas kau serahkan padaku!”

“Jangan kawatir guru. Aku akan memberikan kitab yang kau minta itu sebagai balas budi dan
hutang nyawaku padamu!” kata Pangeran Miring pula. Dia membuat gerakan seperti hendak
memasuki celah batu karang. Tapi sesaat dia hentikan langkah dan berpaling berputar.

“Ada apa?” tanya Singo Abang merasa heran.

“Guru, sebelum aku memasuki celah, apa boleh aku memperlihatkan padamu jurus pukulan
sakti yang pernah kau ajarkan padaku. Yakni Dua Singa Berebut Matahari.”

“Gila! Dalam keadaan seperti ini kau hendak melakukan hal itu? Apa maksudmu?!” Singo Abang
menjadi curiga.

Pangeran Miring dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang membuat Singo Abang menjadi
tidak enak dan juga curiga. Saat itu dia berada sangat dekat dengan tepi jurang sementara
muridnya berdiri di bagian ketinggian beberapa langkah di hadapannya.
“Hentikan tawamu!” teriak Singo Abang marah.

Pangeran Miring hentikan tawanya. Lalu mulutnya berucap. “Singo Abang, kau mengajarkan
jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari padaku! Sekarang pukulan itu akan aku kembalikan
padamu!”

“Kurang ajar! Kau hendak berbuat apa?!” Untuk pertama kalinya Singo Abang menyadari
kedudukannya yang berbahaya di tepi jurang. Kalau dia diserang, walau sanggup menangkis
tapi dua kakinya tak boleh bergeser terlalu jauh ke belakang.

Dua lutut Pangeran Miring menekuk. Tubuhnya mengkerut ke bawah. Tiba-tiba didahului satu
bentakan garang tubuhnya yang merunduk melesat ke depan. Dua tangannya yang membentuk
kepalan berubah menjadi lebih besar, membeset ke arah dada dan perut Singo Abang! Yang
dilancarkan Pangeran Matahari ternyata bukan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari!

Walau ternyata serangan itu hanya tipuan belaka namun Singo Abang mengetahui
kehebatannya. Dia cepat bergerak.

“Jahanam! Kau menipuku! Kau berani menyerangku!” teriak makhluk kepala singa itu marah
sekali sampai rambut merahnya berjingkrak kaku. Sambil maju satu langkah untuk menghindari
dua kakinya bergeser ke tepi jurang bertanah rapuh dia pukulkan dua tangannya menangkis.
Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.

“Wuuttt… wuuut!”

Tangkisan Singo Abang hanya mengenai tempat kosong.

Pangeran Miring tertawa bergelak. Saat itu tubuhnya tiba-tiba menukik ke bawah. Dua
tangannya kembali menghantam. Kali ini Singo Abang tak bisa lagi menangkis atau menghindar
karena saat itu tubuhnya masih dalam keadaan terdorong ke depan akbiat tadi menangkis di
udara kosong!

“Bukkk! Bukkk!”

Suara dahsyat seperti auman singa menggelegar dari mulut Singo Abang bersama semburan
darah. Tubuhnya yang tinggi besar bergoncang keras. Dia kerahkan seluruh daya agar tidak
terdorong ke belakang. Tapi tanah rapuh yang dipijaknya bergetar keras lalu longsor. Tak
ampun lagi sosok Singo Abang terjungkal ke belakang lalu jatuh masuk ke dalam jurang batu
karang! Jeritan maut makhluk berkepala singa ini tenggelam tertindih suara tawa bekakakan
Pangeran Miring alias Pangeran Matahari!
Mendadak tawa sang Pangeran lenyap seperti direnggut setan. Dari mulutnya keluar seruan
kaget tertahan. Dari dalam jurang dimana barusan Singo Abang terpental jatuh, melesat tiga
larik sinar masing-masing berwarna kuning, hitam, dan merah.

“Pukulan Gerhana Matahari!” teriak Pangeran Miring kaget luar biasa. Lalu dia cepat melompat
ke belakang. Di depannya pinggiran jurang karang yang terkena hantaman tiga sinar hancur
berantakan lalu bergemuruh longsor ke bawah. “Gila! Kalau memang Singo Abang yang
melancarkan pukulan itu, bagaimana dia bisa mendapatkannya!” membatin Pangeran Miring
dengan wajah berubah. “Berarti selama di dalam goa, diam-diam dia telah mempelajari. Dia
mencuri ilmu itu dariku! Tapi bagaimana mungkin?! Edan! Bisa saja dia menenung diriku.
Sekarang biar dia tahu rasa! Saat ini tubuhnya pasti sudah remuk hancur di dasar jurang!”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 3

Suara kecimpung air diseling gelak tawa segar membuat Pangeran Matahari hentikan larinya.
Dia memandang ke arah datangnya suara itu.

“Suara tawa perempuan…” kata sang Pangeran dalam hati. “Ratusan hari aku tidak pernah
mendengar suara tawa perempuan. Ratusan hari aku tidak pernah melihat wajah dan sosok
perempuan, apalagi menyentuhnya…” Sekujur tubuh Pangeran Matahari tiba-tiba menjadi
kencang. Darahnya mengalir lebih cepat dan hawa panas merayapi badannya mulai dari ubun-
ubun sampai ke kaki. Di mulutnya menyungging seringai penuh arti. Tidak menunggu lebih lama
dia segera berkelebat ke arah datangnya suara kecimpung air dan gelak tawa tadi.

Di balik satu pohon besar, di belakang rerumpunan semak belukar lebat, Pangeran Matahari
mendekam tak bergerak, matanya membesar tak berkeseip. Di depan sana, di leguk tanah yang
agak menurun, tiga orang gadis tengah bersenda gurau di dalam sebuah telaga kecil berair
jernih dan sejuk. Ketiganya berwajah lumayan cantik. Mereka hanya mengenakan kain yang
dikemben demikian rupa. Pangeran Matahari menelan ludah melihat punggung, bahu bagian
atas serta dada yang putih tersingkap. Tiga gadis itu tinggal di satu desa tak jauh dari situ.
Mereka memang sering datang pagi hari ke telaga untuk mencuci. Selesai mencuci mereka
mandi membersihkan diri sambil bersenda gurau.

Karena mengira di tempat itu hanya mereka bertiga saja, para gadis di dalam telaga bergurau
sampai-sampai melewati batas. Salah seorang dari mereka dengan jahil menarik lepas kemben
kawannya hingga tubuh gadis ini tersingkap polos sampai ke pusar. Dua kawannya tertawa
bergelak sementara si gadis yang dijahili kelabakan menggapai kain panjangnya. Melihat hal ini
Pangeran Matahari tidak tahan lagi. Sekali melompat saja dia sudah berada di tepi telaga, tegak
di atas sebuah batu besar.

“Sahabatku, tiga gadis cantik! Apa aku boleh ikut mandi dan bersenda gurau dengan kalian?”

Tiga gadis di dalam telaga tentu saja tersentak kaget. Yang tadi lepas kain panjangnya terpekik
keras, untung dia sudah berhasil menangkap ujung kainnya dan cepat-cepat menutupi auratnya
yang tersingkap. Tiga gadis itu serentak saling mendekat, memandang ke arah orang di atas
batu penuh rasa kejut dan juga takut.

“Rumini,” bisik gadis di ujung kanan. “Kau kenal siapa orang di atas batu itu?”

Rumini, gadis di atas batu gelengkan kepala. Kawan di sebelahnya berkata. “Baru sekali ini aku
melihatnya. Agaknya dia tidak tinggal di sekitar desa kita…”

“Kalian tidak menjawab! Berarti aku boleh ikut mandi bersama! Ha… ha… ha…!”

Tanpa menunggu lebih lama Pangeran Matahari langsung ceburkan diri masuk ke dalam telaga.

Tiga gadis menjerit, cepar-cepat jauhkan diri. Salah seorang dari mereka yang bernama Sumirah
berteriak.

“Pemuda lancang! Siapa kau! Lekas pergi dari sini!”

“Betul! Kalau kami beritahu pada Kepala Desa. Kau pasti akan dihajar habis-habisan!” ikut
berteriak gadis ketiga bernama Ramilah.

Pengeran Matahari mendongak lalu tertawa.

“Aku biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari! Kalian bertiga harus merasa
beruntung karena aku yang Pangeran sudi mandi di telaga bersama kalian!”

“Pangeran? Kau seorang Pangeran! Huh!” mendengus Rumini.

“Pangeran tak tahu diuntung!’ menyemprot Sumirah. “Berkaca dulu ke air telaga! Lihat
tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!”

“Berani mengaku Pangeran!” menyambungi Ramilah, “Pangeran mana ada yang buruk
sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti
miring mengaku seorang Pangeran!”

Di dalam air, Pangeran Matahari melengak kaget. Tampangnya mengelam. Seumur hidup baru
kali ini dia menerima hinaan seperti itu. Dia mengusap wajahnya. Rahangnya menggembung.

“Gadis kurang ajar! Kau berani menghina diriku! Kau korbanku yang pertama!” teriak Pangeran
Matahari. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ramilah, langsung merangkul gadis ini
penuh amarah tapi juga penuh nafsu.

“Pemuda kurang ajar! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Ramilah. Dua kakinya melejanglejang dan
tangannya dipukulkan ke punggung sang Pangeran ketika Pangeran Matahari memanggul
tubuhnya. Dua temannya coba menolong. Sambil menyeringai Pangeran Matahari berkata.
“Kalian tunggu di sini. Pada saatnya satu-satu kalian akan mendapat giliran!”

Tangan kiri Pangeran Matahari bergerak cepat dua kali berturut-turut. Saat itu juga Rumini dan
Sumirah tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Yang bisa dilakukan dua gadis ini
hanya mengikuti dengan pandangan mata ngeri, apa yang kemudian dilakukan Pangeran
Matahari dan apa yag selanjutnya terjadi atas diri kawan mereka.

Sambil tertawa bergelak Pangeran Matahari memanggul tubuh Ramilah ke tepi telaga. Di satu
tempat yang rata gadis itu dilemparkannya ke tanah. Sambil menahan sakit Ramilah berusaha
bangkit melarikan diri tapi sosok sang Pangeran lebih cepat datang menindihnya. Di dalam
telaga Sumirah dan Rumini pejamkan mata tak kuasa menyaksikan kekejian yang dilakukan
Pangeran Matahari terhadap kawan mereka. Lebih gneri lagi membayangkan bahwa kekejian
itu pasti segera pula akan terjadi atas diri mereka.

Puas melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Ramilah, Pangeran Matahari masuk kembali ke
dalam telaga. Dia mendekati Rumini. Melepaskan totokan yang membuat kaku serta gagu si
gadis. Begitu totokan terlepas Rumini langsung menjerit dan meronta-ronta coba lepaskan diri.

“Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Lepaskan! Bunuh! Lebih baik aku kau bunuh saja!”

Pangeran Matahari cuma menyeringai. Sambil tepuk-tepuk tubuh gadis di atas panggulannya
dia berkata. “Kau ingin mati? Kau ingin aku bunuh? Jangan kawatir! Pangeran Matahari akan
memenuhi permintaanmu. Aku akan membunuhmu dalam cara yang paling nikmat! Ha… ha…
ha… ha!”

Di tepi telaga, tak jauh dari sosok Ramilah yang tergeletak pingsan, Pangeran Matahari
lemparkan tubuh Rumini ke tanah hingga terjengkang terlentang. Belum sempat gadis ini
berusaha melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, Pangeran bejat itu telah menindih
tubuhnya. Rumini menjerit panjang. Menjerit dan menjerit. Satu saat jeritannya terhenti. Lalu
terdengar satu pekik keras. Setelah itu terdengar suara tangis si gadis menyayat hati.

“Gadis tolol! Kau harus berterima kasih aku tidak membunuhmu!” kata Pangeran Matahari.
Sambil menyeringai dia putar tubuhnya, memandang ke arah telaga. Korban ke tiga segera
menyusul.

Sumirah menatap dengan mendelik dan wajah pucat pasi ketika Pangeran Matahari melangkah
di dalam telaga mendekatinya. Dia ingin menjerit tapi mulutnya terkancing kaku. Begitu
Pangeran Matahari melepas totokan di tubuhnya gadis ini langsung meratap.

“Tidak… jangan… jangan lakukan…”

“Kau paling cantik di antara kawan-kawanmu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu…”
“Demi Tuhan jangan…. Aku… aku anak Surobendana. Ayahku orang berada. Kalau kau mau
melepaskan diriku, aku berjanji akan memintakan apa saja untukmu. Tanah, sawah, ladang,
sapi…”

Pangeran Matahari tertawa dan usap kepala Sumirah. “Karena kau gadis baik dan ayahmu
orang berada, aku Pangeran Matahari akan memperlakukanmu dengan baik pula!” Lalu
sebelum mencapai pinggiran telaga, pemuda terkutuk itu turunkan tubuh Sumirah di atas batu
rata. Di tempat ini secara keji dia mengulangi apa yang telah dilakukannya terhadap dua gadis
sebelumnya yakni Rumini dan Ramilah.

Tanpa diketahui Pangeran Matahari, seseorang yang sejak tadi mendekam di atas cabang satu
pohon besar berdaun lebat tak jauh dari tepi telaga, menyeringai geleng-gelengkan kepala.

“Luar biasa kejam dan kejinya! Apa manusia itu benar seorang pangeran? Pangeran Matahari…
Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kalau tidak keliru dia dikabarkan telah
menemui ajal dua tahun silam di Pangandaran. Apa mungkin rohnya bisa gentayangan atau
orang lain yang mengaku-aku sebagai Pangeran Matahari? Jika dia memang manusia hidup
benaran kurasa aku perlu bersahabat dengannya. Mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk
keuntungan diriku. Hemmm…”

Orang di atas pohon memandang lagi ke arah batu di tengah telaga. Dia tersentak kaget.
Ternyata Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu.

“Luar biasa cepat gerakannya. Aku harus mengikuti kemana perginya!”

Orang di atas pohon tidak segera melompat turun ke bawah tetapi dia melesat ke beberapa
pohon lain di sekitar situ, baru turun ke tanah untuk mengejar Pangeran Matahari.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 4

Hari masih sangat pagi. Kegelapan masih membungkus di mana-mana. Abdi Dalem Keraton
bernama Samadikun tergopoh-gopoh menuju bagian belakang Keraton. Pada setiap orang yang
dipapasinya dia bertanya.

“Dimana Sagito? Cari lekas pemuda itu!”

Salah seorang yang ditanyai balik bertanya. “Ki Samadikun, ada apa, pagi-pagi begini sudah
kalang kabut?”

“Perkara besar! Celaka kita semua! Mana Sagito? Bantu aku mecari pemuda itu! Lekas!”

Sagito adalah salah seorang juru timba sumur yang terletak di bagian belakang Keraton.
Suasana ribut-ribut itu membuat berdatangan beberapa pengawal yang tengah bertugas.
Mereka juga ikit bertanya-tanya pada Samadikun.

“Air di tempat Sri Baginda bersiram…” jawab Samadikun. Terputus sesaat baru dia
menyambung. “Air di tempat Sri Baginda bersiram bau pesing!”

“Bau pesing?” banyak mulut berucap berbarengan.

“Bau kencing! Sri Baginda marah besar karena sudah sempat menyiram tubuhnya pagi ini
dengan air itu! Celaka kita semua!”

Para pengawal segera menebar. Tak lama kemudian pemuda bernama Sagito, hanya
mengenakan celana hitam komprang, sambil mengucak-ngucak mata digiring ke hadapan sang
Abdi Dalem.

“Sagito!” Samadikun menegur dengan bentakan.

“Dalem…” jawab Sagito sambil rapatkan dua tangan ke bawah dan membungkuk.

“Air mandi Sri Baginda. Kau yang selalu menimba dan menyalurkan ke tempat bersiram Sri
Baginda lewat talang besar. Dari sumur mana kau timba air itu?”

Sagito merasa heran atas pertanyaan tidak terduga itu. Dia sesaat jadi ternganga, tak segera
menjawab dan kembali mengucak mata.

“Sagito! Jangan membuat aku tidak sabar dan menampar mulutmu! Lekas jawab! Dari sumur
mana kau timba air untuk Sri Baginda bersiram?”

“Tentu saja dari sumur biasa, Ki Samadikun! Sumur besar yang di sebelah sana…” Lalu dengan
jari jempol tangan kanannya sambil membungkuk Sagito menunjuk ke arah sumur besar di
bagian belakang Keraton.

“Apa kau tidak tahu kalau air sumur itu bau pesing bau kencing?!” bentak Samadikun.

Terkejut Sagito. Muka tololnya berubah. Kembali dia tercengang melongo. “Sa… saya tidak
memperhatikan. Tapi mustahil air sumur itu bau pesing. Selama ini saya selalu menimba,
mengambil air bersiram Sri Baginda dari sumur itu…”

“Jangan bicara selama ini! Kau satu-satunya orang kepercayaan untuk mengurus air bersiram
Raja. Jika terjadi apa-apa kau harus bertanggung jawab!”

Makin kecut Sagito mendengar kata-kata Abdi Dalem itu. Saking takutnya mukanya tambah
pucat dan tak mampu berkata apa-apa karena memang tidak masuk akalnya bagaimana air
mandi sang Raja bisa bau pesing.
“Ki Sama…” Sagito akhirnya membuka mulut. “Mungkin sumber bau itu bukan dari air sumur.
Mungkin datang dari sumber lain…”

“Kau bisa berkata begitu untuk membela diri. Mari kita sama-sama meyelidik ke sumur!” Abdi
Dalem Samadikun memegang tangan si pemuda di bawah bahu sebelah kanan lalu setengah
menyeret membawa Sagito ke arah sumur. Beberapa Abdi Dalem dan para pengawal
mengikuti. Saat itu hari masih gelap. Walau sumur besar itu tidak seberapa dalam karena
sumber airnya memang bagus dan dangkal, namun kegelapan menutupi pemandangan hingga
orang tidak dapat melihat dengan jelas bagian dalam sumur.

Sesaat setelah semua orang berdiri di seputar pinggiran sumur, mereka saling pandang satu
sama lain. Dari dalam sumur memang tercium bau yang tidak enak. Bau pesing alias bau
kencing. Abdi Dalem Samadikun pencongkan hidungnya, kerenyitkan kening.

“Aku mencium bau sesuatu! Untuk memastikan aku minta semua mengendus. Lalu katakan bau
apa yang kalian cium!”

Lucu juga. Semua orang yang ada di seputar pinggiran sumur sama-sama mengangkat hidung
masing-masing, ada yang sambil termonyong-monyong lalu mengendus.

“Bau apa yang kalian cium?” tanya Samadikun.

“Memang ada bau pesing di dalam sumur ini, Ki!” kata seorang pengawal. Beberapa lainnya
mengangguk.

“Sagito?” Sang Abdi Dalem menegur sambil memandang pada pemuda tukang timba.

“Mung… mungkin bau kencing Ki…”

“Mungkin bagaimana?! Semua orang mencium ada bau kencing di dalam sumur ini! Kau masih
bisa mengatakan mungkin! Waktu kau menimba air untuk bersiram Sri Baginda dini hari tadi,
apa kau tidak mencium bau itu?”

“Maafkan saya Ki. Saya tidak tahu karena saya sedang kejangkitan selesma. Hidung saya
mampet ketutupan ingus. Saya tidak bisa membaui apa-apa…”

“Sialan kau!” Samadikun jadi memaki. “Kau dan para pengawal di sini lekas selidiki kenapa
sumur ini berbau pesing. Mungkin ada yang sengaja mengencingi. Mungkin ada yang sengaja
mengumpulkan air kencing lalu membuangnya ke sumur ini…”

“Ki Samadikun,” salah seorang pengawal menyahuti. “Kalau ada yang sengaja, rasarasanya aku
tidak percaya. Siapa orangnya yang berani mati mengencingi sumur sumber air Raja?”
“Kau bisa bicara begitu! Buktinya sumur ini memang bau kencing!”

“Baiknya kita tunggu sampai pagi. Kalau hari sudah terang baru kita memeriksa…” seorang
perajurit mengusulkan.

“Terlambat! Saat itu mungkin Sri Baginda tidak bisa menahan amarah lagi. Kita semua bisa
celaka. Aku…”

Ucapan Abdi Dalem Samadikun terputus. Dari dalam sumur terdengar suara kecimpung air lalu
suara seperti orang mengeluh.

“Kalian mendengar sesuatu?” tanya Samadikun sambil memandang berkeliling lalu


memperhatikan ke dalam sumur. Tapi gelap. Dia tidak dapat melihat apa-apa.

“Seperti suara orang…” ujar Sagito yang tertutup hidungnya, tapi tajam telinganya. Lalu
pemuda ini berteriak. “Hai! Siapa di dalam sumur?!”

“A… aku…”

Ada suara jawaban. Membuat semua orang yang ada di pinggiran sumur menjadi terkejut. Ada
yang kecut hatinya dan bergeak mundur, termasuk sang Abdi Dalem Samadikun.

“Aku siapa?!” Sagito berteriak kembali.

“Tol…”

“Apa?! Namamu Tol?!” lagi-lagi Sagito yang berteriak.

“Bu…”

“Oo, namau Bu? Siapa kau?!”

“Bukan, aku tol… tolong. Aku di dalam sini. Sejak malam tadi. Kakiku tak sanggup lagi
menopang. Tol… tolong…”

“Jangan-jangan hantu…” bisik Ki Samadikun.

“Hai! Kau hantu atau setan atau apa?!”

“Aku man… manusia seperti kalian. Aku kecebur dalam sumur ini malam tadi…”

“Gila kurang ajar! Bagaimana kau bisa kecebur ke dalam sumur! Berarti kau masuk kawasan
Keraton tanpa izin… “ mendamprat Samadikun.
“Nanti saja aku terangkan. Tolong dulu. Aku tak sanggup lagi bertahan. Aku bisa tenggelam
dalam sumur ini. Tolong… lemparkan tali, galah atau apa saja. Tarik aku ke atas. Lekas, tenagaku
sudah hampir habis…”

Semua orang jadi saling pandang, sama-sama heran. Sama-sama tidak percaya.

“Tol… tolong…”

Kembali terdengar suara minta tolong dari dalam sumur.

“Cari tambang! Kita akan lihat makhluk dalam sumur itu manusia atau setan!” seorang
pengawal berkata.

Sagito memandang berkeliling. Mencari timba besar yang biasa dipakainya untuk mengambil
air. Dia melihat timba itu di sudut kiri lengkap dengan tali besarnya. Dengan cepat dia ambil
gulungan-gulungan tali lalu ujungnya dilemparkan ke dalam sumur.

“Makhluk di dalam sumur!” teriak seorang pengawal. “Tali sudah dilemparkan. Kalau kau
memang manusia pegang ujung tali erat-erat. Kami akan segera menarikmu ke atas!”

Tak ada jawaban.

“Apa kataku! Pasti setan! Dia tidak menyahut! Mungkin sudah gaib!” kata Samadikun.

Tiba-tiba dari dalam sumur ada suara. “Ujung tali sudah kupegang. Lekas tarik…”

Enam orang di pinggir sumur segera menarik tali besar.

“Gila! Makhluk apa ini? Beratnya tidak kira-kira!” kata Samadikun setengah berbisik.

Perlahan-lahan makhluk di dalam sumur tertarik ke atas. Dalam gelap, dari mulut sumur muncul
dua tangan kurus kering dilibat tali timba. Lalu kelihatan satu kepala berambut putih kuyup.
Kepala itu sampai di atas bibir sumur. Tampak satu wajah seorang tua berkuping lebar. Daun
telinga sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik menghadap ke belakang. Dua matanya
terpejam. Bau pesing yang hebat memenuhi tempat itu.

Sambil menahan nafas orang-orang di pinggiran sumur mencekal bagian atas lengan orang tua
aneh itu lalu mereka tarik dan baringkan menelentang di lantai batu di samping sumur. Orang
tua ini mengenakan pakaian compang-camping. Perutnya yang tersingkap kelihatan buncit
gembung. Mungkin terlalu banyak minum air sumur. Bau pesing yang santar ternyata
menghampar dari tubuhnya.

“Tak bisa kupercaya!” kata Samadikun. Kaki kanannya diletakkan ke perut yang gembung.
“Penyusup berani mati! Siapa kau?!”
Dua mata yang terpejam dari orang yang barusan ditarik keluar dari dalam sumur terbuka.
Walau cuma sebentar tapi semua orang masih sempat melihat mata itu ternyata jereng. Mulut
orang ini terbuka sedikit.

“Aku… aku Setan Nogmpol…”

Menyangka orang mempermainkannya Abdi Dalem Samadikun jadi marah. “Tua bangka kurang
ajar bau pesing! Kau berani menyusup ke dalam Keraton. Sudah kami tolong masih bisa bicara
mempermainkan!” Saking marahnya Abdi Dalem ini lalu tekan kuat-kuat kaki kanannya yang
menginjak perut orang.

“Bruttt!”

“Croottt!”

“Croottt!”

Akibat injakan yang keras itu dari sebelah bawah belakang orang tua itu menghambur angin
keras alias kentut yang baunya tidak kepalang tanggung. Lalu dari mulutnya sebelah atas
menyembur air sumur yang mengendap dalam perutnya. Dan ini yang paling celaka. Dari bagian
bawah perutnya menyemprot air kencing bau. Begitu derasnya hingga muncrat mengenai Abdi
Dalem Samadikun, Sagito dan beberapa orang pengawal.

“Tua bangka kurang ajar! Rasakan ini!” Samadikun tendang pantat orang. Dua pengawal ikut
menendang hingga orang tua yang tergeletak di pinggir sumur mental terguling-guling.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 5

Di satu bangunan kayu yang sudah hampir roboh di sebelah timur puncak Gunung

Merapi, Pangeran Matahari duduk di lantai beranda. Tangan kiri menopang kening. Dua
matanya terpejam. Di pangkuannya ada satu buntalan berisi pakaian yang barusan diambilnya
dari dalam bangunan. Dia pernah tinggal di tempat itu selama belasan tahun. Di situ dia
menerima gemblengan dari gurunya yang dalam rimba persilatan Tanah Jawa dikenal dengan
nama angker Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Namun kini sang guru hanya tinggal
kenangan. Seperti dituturkan dalam Episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran” Si Muka
Bangkai menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti.

Pangeran Matahari menghela nafas panjang. Lalu mulutnya berucap perlahan. “Guru, aku
bersumpah mencari Bujang Gila Tapak Sakti, menunpahkan darahnya membalas darahmu yang
tertimpah, menghabisi nyawanya sebagai imbalan nyawamu yang dicabutnya. Setelah itu aku
akan mencari Pendekar 212! Aku akan mencari sekalipun sampai ke lautan neraka! Dia pasti
mengira aku sudah lama jadi bangkai di dasar jurang karang Pangandaran. Dia akan melihat
kenyataan mengejutkan. Bahwa aku belum mati! Bahwa aku muncul untuk mencabut
nyawanya! Aku tidak akan membuat kematian begitu cepat dan enak baginya! Aku Pangeran
Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak akan membuatnya
sengsara lebih dulu…”

Pangeran Matahari turunkan tangannya yang menopang kening. Dua matannya yang sejak tadi
dipejamkan terbuka, kelihatan merah dan memancarkan sinar menggidikkan. Terbayang wajah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan Pengeran Matahari langsung mengepal membentuk
tinju. Sekujur tubuh bergetar. Keringat memercik di kening.

Dengan tangan kanannya Pangeran Matahari usap wajahnya. Saat itulah seperti terngiang
kembali di telinganya ucapan Sumirah, satu dari tiga gadis yang digagahinya di telaga.

“Pangeran tak tahu diuntung! Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu
compang-camping dan bau!”

Lalu mengiang pula kata-kata menyakitkan yang dilontarkan gadis bernama Ramilah. Yaitu gadis
yang diperkosanya pertama kali.

“Berani mengaku Pangeran! Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung
bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!”

Pangeran Matahari merasakan sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin. Diusapnya


mukanya kembali. “Wajahku… mukaku… Apakah… apakah… Ucapan dua gadis itu agaknya
bukan cuma sekedar ejekan. Mereka melihat kenyataan. Apa yang terjadi dengan mukaku. Dua
tahun di dalam goa karang aku tak pernah menyadari keadaan wajahku… Di lereng sebelah
selatan seingatku ada satu telaga kecil. Airnya sangat bening, tidak beriak tidak bergelombang
sekalipun angin bertiup. Dulu aku sering ke sana bersunyi diri, bersamadi meningkatkan
kemampuan tenaga dalam dan kekuatan hawa sakti yang kudapat dari guru. Aku harus ke sana.
Aku harus melihat keadaan wajahku sendiri. Ucapan dua gadis itu bukan cuma sekedar
mengejek. Mereka agaknya melihat kenyataan…”

Pangeran Matahari ambil buntalan di pangkuannya. Lalu secepat bisa dilakukan dia berlari
menuju lereng selatan Gunung Merapi. Degup jantungnya menggemuruh ketika dia sampai di
telaga kecil. Keadaan telaga dan tempat sekitarnya seperti tidak berubah walau sudah
ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Hanya taburan dedaunan pohon-pohon tampak
menebal menutupi tanah.

Pangeran Matahari jatuhkan buntalan ke tanah. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati


telaga kecil berair bening seperti kaca. Detak jantungnya berdegup keras pada setiap langkah
yang dibuatnya. Satu langkah di tepi telaga dia hentikan gerakan kaki. Perlahan-lahan dia
turunkan tubuh ke bawah, berlutut di tanah. Dia bisa melihat kepala dan sebagian tubuhya
membayang di air telaga.
Dengan menahan degup jantung yang semakin kencang Pangeran Matahari ulurkan kepalanya,
diturunkan demikian rupa hingga hanya berjarak dua jengkal dari atas permukaan air telaga.

Sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar. Di sana, di permukaan air telaga, dia bisa
melihat wjahnya sendiri. Degup jantungnya seperti meledak di dalam dada. Dari mulutnya
keluar raungan panjang mengerikan. Seperti dihantam sesuatu dari bawah, sosok Pangeran
Matahari mencelat ke atas. Begitu dua kaki menginjak tanah, seperti orang kemasukan setan
pangeran ini mengamuk. Tangan dan kaki menghantam kian kemari. Pohon-pohon patah
bertumbangan. Semak belukar rambas terbang berhancuran. Terakhir sekali Pangeran Matahari
pukulkan tangannya ke arah telaga. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu
menggidikkan.

“Wussss!”

“Byaaarrr!”

Air telaga muncrat ke atas. Tanah, pasir dan bebatuan ikut membumbung ke udara. Asap panas
mengepul menutupi pandangan mata. Ketika keadaan terang kembali kelihatanlah satu hal luar
biasa. Telaga kecil dengan airnya yang bening bersih seperti kaca kini hanya tinggal satu lobang
kering menganga. Pangeran Matahari sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Dia lari
menuruni gunung seperti dikejar setan. Sepanjang pelarian terbayang kembali wajahnya seperti
yang tadi dilihatnya di permukaan air telaga. Hidungnya miring ke kiri. Pipi dan rahang kiri
melesak membuat mukanya tampak pencong. Mata kiri terbenam dan di kening kiri ada luka
bekas cacat. Dia ingat sekali semua caat itu adalah akibat hantaman Pendekar 212 Wiro Sableng
sewaktu terjadi perkelahian di Pangandaran dua tahuan yang silam.

“Jahanam Wiro Sableng!” teriak Pangeran Matahari. “Pembalasanku sejuta lebih kejam dari apa
yang telah kau lakukan terhadapku! Kau tak akan bakal lolos dari tanganku! Kalaupun kau
sudah mampus di tanganku, rohmu akan kubuat tidak tenteram di alam baka!” Habis berteriak
seperti itu sang pangeran hantamkan tangan kanan melepas pukulan sakti bernama Telapak
Matahari.

“Wusss!”

Lereng gunung di sebelah sana bergoncang hebat. Hawa panas yang keluar dari pukulan itu
menimbulkan nyala api besar. Kebakaran serta merta melanda lereng Gunung Merapi!

Di satu tempat, menjelang mencapai kaki gunung sebelah selatan Pangeran Matahari hentikan
lari. Dia tegak bersandar di satu batang pohon besar, memandang ke arah lereng gunung di
atasnya, memperhatikan kebakaran yang melanda lereng akibat pukulan Telapak Matahari yang
tadi dihantamkannya dalam amarah yang tidak terkendali. Sang Pangeran menghela nafas
dalam. Untuk pertama kali dia merasakan tubuhnya letih sekali. Dia campakkan buntalan ke
tanah lalu perlahan-lahan jatuhkan diri, duduk di tanah pejamkan mata. Beberapa kali dia usap
mukanya dan berulang kali dia mengeluh dalam hati.
“Wajahku… Wajahku…”

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Pangeran Matahari merasa ada sambaran angin di udara di
depannya. Dia buka mata lebar-lebar, alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Berlaku waspada.
Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan

“Sial…!” Pangeran Matahari memaki sendiri. “Jalan pikiranku sedang mengalami gangguan
berat. Aku harus melakukan sesuatu. Jahanam Wiro Sableng!” Pangeran Matahari kepalkan
tinju. Dia menjangkau buntalannya dan bergerak bangkit. Tapi mendadak gerakannya tertahan.
Di udara sunyi terdengar satu suara.

“Pangeran Matahari, manusia gagah berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala
Licik, Segala Congkak! Apa yang meembuatmu dibungkus seribu gundah seribu bingung?!”

Pangeran Matahari dalam kejutnya cepat berdiri. Memandang berkeliling. “Ada suara orang!
Suara Laki-laki! Tapi orangnya sendiri tidak kelihatan!” Sang Pangeran memperhatikan pohon
besar di atasnya. Tidak kelihatan siapa-siapa. “Aneh, suara itu begitu dekat. Tapi orangnya tidak
tampak. Mungkin dedemit belantara Gunung Merapi?”

Pangeran Matahari kembali memperhatikan setiap sudut belantara sekelilingnya. Tetap saja dia
tidak melihat siapa-siapa. Maka diapun berseru. “Makhluk yang barusan bicara! Siapa kau?!
Mengapa bicara tidak unjukkan diri?!”

“Aku tidak mungkin unjukkan diri Pangeran. Ketahuilah, apa yang aku ucapkan jauh lebih
penting dari ujudku…”

“Kalau begitu katakan siapa kau adanya?! Hantu, setan, dedemit?!”

Terdengar suara tertawa parau. “Aku makhluk dari alam akhirat. Makhluk dari alam baka. Aku
tidak akan mengatakan siapa diriku. Tapi kau bisa mengira-ngira…”

“Kurang ajar!” maki Pangeran Matahari karena merasa dipermainkan. Otaknya diputar. Namun
dia tidak bisa menduga.

“Aku datang untuk menolongmu Pangeran…” kembali terdengar suara tanpa ujud.

“Menolongku?” ujar Pangeran Matahari. “Siapa kau adanya?”

“Sudah kukatakan aku tidak bisa memberitahu. Tapi dulu, di puncak Merapi ini kita pernah
dekat. Sedekat daging dengan tulang yang ada di tubuhmu!”
“Kau… Jangan-jangan kau…” Tiba-tiba Pangeran Matahari jatuhkan diri, berlutut di tanah.
“Guru, apakah yang datang ini kau, roh mendiang guru yang aku kenal dengan julukan Si Muka
Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat?”

Di udara mengema suara tertawa parau. “Sudah kukatakan aku tidak akan menerangkan siapa
diriku. Tapi kau boleh menyebutku seperti apa yang kau barusan duga…”

“Guru!” Merasa yang bicara tanpa ujud itu adalah mendiang arwah gurunya Si Muka Bangkai,
Pangeran Matahari tundukkan kepala sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.

“Pangeran Matahari, aku akan memberikan dua buah barang padamu. Pergunakan barang itu
sesuai kebutuhanmu. Setelah kau menerima pemberianku, berjalanlah dua puluh tombak ke
arah kanan. Kau akan menemukan seekor kuda tertambat di bawah satu pohon Waru. Dengan
menunggang kuda itu pergilah ke satu lembah, letaknya dekat sekali di timur kaki Gunung
Merapi. Di dasar lembah kau akan menemukan serumpunan semak belukar. Di sela-sela semak
belukar itu tumbuh pohon sirih hutan. Jika semak belukar kau sibakkan, kau akan melihat
sebuah goa. Masuklah ke dalam goa. Di situ kau akan menemukan sorga. Sorga itu bernama
Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”

“Sorga…? Sorga bernama Kinasih? Apa maksudmu Guru?”

“Jawaban akan kau temui sendiri di dalam goa itu!” jawab suara tadi. Lalu bersamaan dengan
itu melayang dua buah bungkusan dan jatuh tepat di depan kaki Pangeran Matahari. Satu
besar, satunya lagi bungkusan kecil. Sang Pangeran tidak bergerak. Tidak segera menyentuh
bungkusan itu. Bukan mustahil semua itu hanya jebakan belaka. Dia memandang berkeliling.
“Rasanya dia telah lenyap dari tempat ini,” membatin sang Pangeran. Lalu perlahan-lahan dia
membungkuk mengambil bungkusan besar. Ketika dibukanya dia terkejut karena di dalam
bungkusan itu dia menemukan sehelai pakaian. “Ini bukan pakaian sembarangan. Hanya orang-
orang Keraton yang mengenakan pakaian seperti ini. Apa gerangan maksud guru memberikan
pakaian bagus ini padaku?” Pangeran Matahari perhatikan pakaiannya sendiri yang lusuh kotor
dan compang-camping. Sebelumnya waktu berada di pondok kediaman mendiang gurunya
Pangeran Matahari telah mengambil beberapa potong pakaian, namun dia memang belum
sempat bersalin. Masih diselimuti perasaan heran Pangeran Matahari mengambil bungkusan
kedua yang lebih kecil. Begitu bungkusan dibuka, sesaat sepasang mata sang Pangeran
terpentang lebar melihat benda apa yang ditemuinya di dalam bungkusan itu. Kening
mengerenyit. Wajah diusap berulang kali. Lalu satu seringai muncul di mulutnya yang pencong.

“Guru! Aku Pangeran Matahari sangat berterima kasih atas semua pemberianmu ini! Aku akan
turuti perintahmu. Aku akan segera pergi ke goa di lembah itu!” Habis berkata begitu Pangeran
Matahari buka pakaiannya yang lusuh. Tak berapa lama setelah Pangeran Matahari
meninggalkan tempat itu, di atas sebuah pohon besar berdaun lebat, seseorang yang sejak tadi
mendekam di salah satu cabang pohon tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Terbukti ilmu
Memecah Udara Memindah Suara yang kumiliki memang ampuh luar biasa. Pendekar kawakan
itu tidak mampu mengetahui sumber suara, apa lagi mencari dimana aku sembunyi! Pangeran
Matahari, hari ini aku sudah menanam budi padamu. Kelak di kemudian hari aku akan menagih
balasan padamu!”

Seperti hembusan angin, dengan satu gerakan cepat orang di atas cabang pohon berkelebat
lenyap.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 6

Empat hari sebelum peristiwa aneh yang dialami Pangeran Matahari di kaki Gunung Merapi……

Pagi itu seorang penunggang kuda berhenti di hadapan rumah Raden Mas Sura Kalimarta. Dari
pakaiannya yang bagus dan mewah jelas dia adalah seorang petinggi dari Keraton.

Menurut kisah perjalanan hidupnya Sura Kalimarta sejak masih kecil sudah memiliki beberapa
kepandaian. Selain pandai dalam hal ukir mengukir, dia juga pandai membuat berbagai macam
boneka serta topeng baik dari kayu maupun dari kulit. Keahliannya ini telah menarik perhatian
para Petinggi Keraton dan akhirnya sampai kepada Sri Baginda. Karenanya sejak dia berusia dua
puluh Sura Kalimarta diangkat menjadi juru ukir Keraton. Setelah mengabdi lebih dari empat
puluh tahun, ketika dia berusia enam puluh lima, Sri Baginda menganugerahkan gelar Raden
Mas kepada Sura Kalimarta.

Walau semua orang menghormatinya serta dari keahliannya Sura Kalimarta mendapatkan
penghasilan lebih dari cukup, rumahnya besar, sawah dan ternaknya banyak, namun semua itu
tidak banyak memberikan kebahagiaan padanya. Ketika dia berusia empat puluh tahun, istri
yang dicintainya meninggal dunia padahal sampai saat ini mereka masih belum dianugerahi
seorang anakpun. Selama dua puluh tahun Sura Kalimarta hidup menyendiri, menyibukkan diri
dengan berbagai macam pekerjaan sesuai keahliannya.

Kehidupan sunyi sang ahli ukir dan ahli membuat boneka serta topeng ini rupanya sudah sejak
lama dimaklumi oleh Sri Baginda. Pada suatu hari Sri Baginda memanggil Sura Kalimarta ke
Kaeraton. Seperti biasa Sura Kalimarta mengira Sri Baginda akan memberi pekerjaan baru
padanya atau mungkin ada puteri Keraton yang ingin dibuatkan boneka atau hiasan berupa
topeng. Alangkah terkejutnya Sura Kalimarta ketika Sri Baginda memintanya untuk mengambil
seseorang sebagai pendamping yakni seorang perempuan baik-baik yang kedua orang tuanya
pernah lama menjadi Abdi Dalem.

Di usia setua itu Sura Kalimarta boleh dikatakan tidak pernah lagi memikirkan hidup berumah
tangga. Apalagi diketahuinya bahwa calon istri yang hendak dijodohkan Sri Baginda kepadanya
belum pernah menikah dan berusia dua puluh delapan tahun, kurang setengah dari usianya.

Sura Kalimarta dengan halus menolak maksud baik Sri Baginda. Sebaliknya Sri Baginda dengan
halus pula membujuknya. Akhirnya Sura Kalimarta tak bisa menolak lagi. Ketika untuk pertama
kali ahli ukir ini bertemu dengan calon istrinya, ternyata sang calon yang bernama Kinasih itu
berwajah ayu dan telah sejak lama menaruh hormat dan kagum pada semua hasil karya Sura
Kalimarta. Dengan upacara yang sangat sederhana dan hanya dihadiri para kerabat terdekat
serta utusan Sri Baginda akhirnya dilangsungkan pernikahan. Setelah beberapa tahun berumah
tangga mereka belum juga dikaruniai anak. Kinasih sangat mengharapkan mendapat seorang
putera. Lebih dari itu dia ingin puteranya itu kelak memiliki keahlian seperti Sura Kalimarta.
Kinasih tak putus-putusnya meratap menangisi nasib. Baginya seumur hidup hanya sekali
kawin. Tetapi sang suami ternyata tidak mampu memberinya turunan, lebih dari itu tidak
berkesanggupan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami. Semua derita kepedihan
ini hanya bisa dipendam sendiri oleh Kinasih. Namun siapa mengira seperti api dalam sekam
suatu ketika akan meledak dalam kejadian yang tidak terduga…..

***

Lelaki berpakaian bagus yang berhenti di depan rumah besar Raden Mas Sura Kalimarta

turun dari kudanya. Di pintu depan dia mengetuk. Tak ada sahutan. Setelah berulang kali
mengetuk tak ada yang menjawab akhirnya orang ini membuka pintu. Ternyata tidak dkunci.
Dia langsung masuk ke dalam dan menemukan Sura Kalimarta di bagian belakang rumah besar,
sibuk menyelesaikan ukiran patung besar Dewi Sri yang memegang seikat padi di tangan kanan
dan

dihinggapi seekor burung merpati di tangan kiri.

“Raden Mas Sura Kalimarta, maafkan saya. Saya sudah mengetuk pintu berulang kali. Tapi tak
ada jawaban. Jadi saya berlaku lancang langsung masuk ke dalam…”

Orang tua si ahli ukir menghentikan pekerjaannya, mengangkat kepala dan memandang pada
tamunya. Sesaat orang tua ini terdiam memandang wajah sang tamu. Dia belum pernah
melihat orang ini sebelumnya. Tapi melihat pada pakaian yang dikenakan sang tamu yang
menyatakan dia adalah seorang petinggi Keraton maka sambil tersenyum dan meletakkan
pahatnya di lantai, Sura Kalimarta berkata.

“Saya yang harus minta maaf. Seorang penting kerabat Keraton datang, saya tidak mendengar
ketukan pintunya. Keraton begitu besar. Begitu banyak para petinggi dan para pejabat yang ada
di situ. Maafkan saya kalau saya tidak mengenal Raden sebelumnya. Jika saya boleh bertanya
Raden ini siapakah namanya?”

“Saya memang salah seorang petinggi Keraton. Tapi harap Raden Mas tidak memanggil saya
dengan sebutan Raden. Panggil saja nama saya. Bagus Srubud.”

Sura Kalimarta tersenyum. “Kalau begitu Saudara Bagus Srubud juga tak usah memanggil saya
dengan Raden Mas segala. Cukup Ki Sura saja. Ruang tamu ada di sebelah depan. Sebaiknya kita
bicara di sana…”
“Tidak usah merepotkan. Kita bisa bicara di sini. Saat ini apakah Ki Sura sendirian di rumah?”
bertanya sang tamu.

“Betul sekali. Istri saya sedang ada keperluan menemui seorang kerabat di desa tetangga sejak
kemarin. Rencananya baru sore ini akan kembali…” jawab Sura Kalimarta. “Kalau Saudara Bagus
suka kita bicara di sini tak jadi apa. Saya ingin bertanya, gerangan maksud apakah kedatangan
Saudara Bagus Srubud ke tempat saya ini?”

“Maafkan kalau saya mengganggu pekerjaan Ki Sura. Maksud saya ke sini adalah untuk
meminta dibuatkan sesuatu…”

“Apakah ini pesanan dari Keraton atau untuk Saudara Bagus sendiri?”

“Anggap saja dua-duanya,” jawab petinggi Keraton bernama Bagus Srubud itu.

Sura Kalimarta tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Orang tua ini maklum apa maksud
ucapan tamunya itu. Dua-duanya. Berarti apapun yang akan dipesan sang tamu adalah sesuatu
yang sangat penting. Maka diapun bertanya.

“Sesuatu yang Saudara Bagus minta saya buatkan itu, benda apa kiranya? Ukiran atau mungkin
boneka?”

“Saya minta Ki Sura membuatkan sebuah topeng. Terbuat dari getah kayu latek…”

“Maksud Saudara Bagus getah pohon karet?”

Bagus Srubud mengangguk.

“Topeng dari getah pohon karet. Saya pernah mendengar hal itu. Konon topeng getah karet
sangat tipis, halus. Nyaris sangat sempurna hingga si pemakai bisa memiliki satu wajah yang
orang lain tidak tahu kalau dia sebenarnya memaki topeng. Namun pekerjaan ini merupakan
satu hal yang belum pernah saya buat sebelumnya. Saya telah membuat puluhan, mungkin
ratusan topeng dari kayu, kertas, daun lontar, daun kayu besi, kulit pohon. Tapi dari getah
pohon karet…” Si orang tua geleng-gelengkan kepala dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi
janggut liar memutih.

“Tidak akan sulit bagi Ki Sura. Tinggal membuat topeng seukuran dan sebentuk kepala saya,
menjadikannya sebagai bahan cetakan, lalu menuangkan getah karet di atasnya…”

Sura Kalimarta tercengang mendengar ucapan tamunya itu. Dalam hati dia membatin. “Petinggi
Keraton ini bukan sembarangan. Agaknya dia tahu banyak seluk beluk pembuatan topeng dari
getah pohon karet.” Si orang tua anggukkan kepalanya. “Ini satu pengalaman baru yang
menarik bagi saya. Saya akan coba membuatnya…”
“Saya butuh paling sedikit tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran yang
sama…”

“Tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran sama,” mengulang Sura
Kalimarta seraya menatap wajah tamunya. “Saya akan lakukan. Tapi saya mohon maaf kalau
tidak dapat memenuhi permintaan Saudara Bagus Srubud dengan cepat. Paling tidak saya
butuh waktu tiga puluh hari untuk mengerjakannya.”

“Saya ingin Ki Sura menyelesaikannya dalam waktu tiga hari!” kata Bagus Srubud. Nada
suaranya lebih memerintah dari pada meminta.

Terkejutlah Sura Kalimarta mendengar ucapan tamunya itu.

“Tidak mungkin, Saudara Bagus. Tiga hari untuk tiga topeng karet tipis yang saya belum pernah
membuatnya!”

“Ki Sura pasti mampu jika Ki Sura mau…”

“Saya mau, tapi…” Sura Kalimarta geleng-gelengkan kepalanya. “Selama ini saya memang tidak
pernah menampik atau mencari dalih pesanan yang datang dari Keraton. Tapi saya mohon
maaf. Membuat topeng karet ini benar-benar satu pekerjaan baru bagi saya.”

“Ki Sura, saya hanya mengulang satu kali saja,” kata Bagus Srubud. “Tiga buah topeng berlainan
bentuk dalam ukuran sama. Dalam waktu tiga hari! Jelas?!”

Si orang tua gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Saudara Bagus. Harap Saudara mengerti…”

“Maafkan saya Ki Sura. Saya memang tidak mau mengerti. Ini pesanan dari Keraton. Harap
diperhatikan dan dipenuhi.”

“Saya tetap meminta waktu. Mungkin saya bisa mengurangi tujuh hari. Jadi pesanan itu saya
selesaikan dalam waktu sekitar tiga minggu.”

Bagus Srubud menggeleng. “Saya bilang tiga hari Ki Sura. Tidak lebih dan tidak kurang!”

“Saudara Bagus, kau lihat sendiri. Waktu datang tadi saya tengah menyelesaikan ukiran patung
Dewi Sri. Itu adalah pesanan dari Keraton juga. Untuk penghias ruang tamu baru. Saya tidak
mungkin menundanya. Jadi…”

“Saya tidak perduli dengan patung Dewi Sri itu!” potong Bagus Srubud.

“Saudara Bagus, saya mohon kau mau mengerti….”


Petinggi dari Keraton itu menyeringai. “Bukan saya yang harus mengerti Ki Sura. Tetapi
engkau…”

“Maksud Saudara Bagus…?”

“Istri Ki Sura, Kinasih, ada di tangan saya. Dia berada dalam keadaan aman dan selamat sampai
Ki Sura menyelesaikan pesanan sesuai dengan kemauan saya, bukan kehendak Ki Sura!”

Terkejutlah si orang tua. Wajahnya berubah, sesaat merah lalu berganti pucat. “Kau petinggi
Keraton teganya berbuat sejahat itu…”

“Saya akan kembali ke sini bersama istri Ki Sura pada pagi hari ke empat dihitung mulai hari ini.
Jika Ki Sura berani melaporkan kejadian ini pada siapapun. Ki Sura tidak akan melihat Kinasih
lagi untuk selama-lamanya! Bagi orang setua Ki Sura, tidak mudah mendapatkan istri semuda
dan seayu Kinasih. Perempuan itu satu yang sangat berharga dalam kehidupan Ki Sura bukan?
Kini semua terserah Ki Sura sendiri…”

Habis berkata begitu Bagus Srubud putar tubuhnya dan tinggalkan si orang tua.

Menggigil tubuh Sura Kalimarta. Lututnya goyah. Orang tua ini jatuh terduduk di lantai. Dia
ingin berteriak. Namuh tubuhnya terasa lemas. Yang keluar bukan teriakan, tapi justru kucuran
air mata.

“Gusti Allah, bagaimana mungkin ada pejabat tinggi Keraton sekeji Bagus Srubud itu. Kalau aku
mengadu pada Sri Baginda pasti dia akan dipancung. Tapi nasib istriku Kinasih mungkin tidak
akan tertolong. Kinasih, dimana kau berada saat ini…?”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 7

Siang hari ke empat setelah kedatangan Bagus Srubud. Hari itu adalah hari perjanjian Sura
Kalimarta harus menyerahkan tiga buah topeng pesanan petinggi Keraton tersebut. Ternyata
siang itu telah terjadi satu kegemparan di tempat kediamaan sang ahli ukir.

Seorang utusan dari Keraton yang datang ke situ untuk menanyakan pesanan patung Dewi Sri
dikejutkan dengan ditemukannya sang ahli ukir telah jadi mayat. Orang tua itu tergeletak mati
di ruang tamu secara mengenaskan. Kepalanya pecah. Di dekat mayatnya ada sebuah
pentungan kayu berlumuran darah. Agaknya Sura Kalimarta dibantai dengan pentungan itu. Di
tangan kanan Sura Kalimarta masih tergenggam sebuah pahat. Mungkin sekali dia masih
mengerjakan ukiran patung Dewi Sri ketika maut merenggut nyawanya.

Di rumah besar itu tidak ada orang lain kecuali istri Sura Kalimarta. Tapi perempuan itu tidak
ditemukan di sana. Sulit diketahui apa yang sebenarnya terjadi.
Berbagai duga perkiraan segera menebar dari mulut ke mulut. Mulai dari yang masuk akal
sampai yang bukan-bukan. Mulai dari yang baik sampai yang berbau fitnah.

Ada yang menduga bahwa seorang perampok menjarah rumah juru ukir itu. Dipergoki oleh
pemilik rumah. Perampok membunuh Sura Kalimarta dengan mementung kepalanya. Tapi
anehnya mengapa semua barang berharga milik orang tua itu atauapun istrinya ditemui masih
ada dalam sebuah lemari?

Dugaan lain si orang tua dibunuh oleh lelaki yang mungkin adalah kekaih gelap istrinya yang
jauh lebih muda itu. Keduanya dipergoki oleh Sura Kalimarta tengah berbuat mesum. Untuk
menghilangkan jejak Sura Kalimarta dibunuh oleh kekasih istrinya lalu kedua orang itu
melarikan diri.

Ada pula yang memperkirakan bahwa Sura Kalimarta dibunuh oleh istrinya sendiri. Setelah itu
Kinasih melarikan diri. Mungkin menemui seorang lelaki yang sudah lama berhubungan secara
gelap dengannya. Dua dugaan terakhir dibumbuhi dengan keadaan Kinasih yang masih muda
sementara suaminya sudah lebih dari enam puluh tahun. Kebahagiaan apa yang mampu
diberikan oleh Sura Kalimarta lelaki setengah uzur itu pada seorang istri yang masih muda? Dan
sampai berapa lama Kinasih sanggup bertahan diri menjalani hidup tanpa sentuhan hangat
seorang suami yang sangat diharap dan ingin dirasakan dalam usianya yang baru mencapai tiga
puluh dua tahun itu?

Dua dugaan itu dimentahkan dengan kenyataan ditemukannya perhiasan milik Kinasih di dalam
sebuah lemari. Jika perempuan itu memang terlibat dalam pembunuhan suaminya masakan dia
akan melarikan diri begitu saja tanapa membawa serta harta kekayaan berupa perhiasan atau
uang dan sebagainya.

Dugaan lain menyebutkan bahwa seorang musuh lama Sura Kalimarta muncul untuk membalas
dendam lalu menculik Kinasih.

Kematian mengenaskan sang ahli ukir disampaikan kepada Raja. Sri Baginda segera
mengirimkan beberapa bawahannya untuk menyelidik. Keadaan mayat Sura Kalimarta
diperiksa, begitu juga setiap sudut rumah kediamannya bahkan sampai seputar halaman guna
mencari jajagan, apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pembunuh oarng tua itu. Di samping itu
beberapa orang juga dikirim untuk menyelidik dan mencari Kinasih, istri Sura Kalimarta yang
dikabarkan raib itu.

Para petugas yang memeriksa mayat Sura Kalimarta mendapatkan satu temuan yang sangat
penting. Ketika mayatnya yang tergeletak menelungkup di lantai diperiksa, orang tua itu masih
memegang sebuah pahat. Di lantai batu ada guratan-guratan aneh yang berakhir di ujung
pahat. Setelah diperhatikan dan diteliti dengan seksama, para penyelidik dari Keraton akhirnya
berhasil mengetahui apa sebenarnya yang tergurat di lantai itu. Ternyata guratan itu adalah
tulisan huruf Jawa Kuna yang ditulis demikian buruk dan sulit dibaca. Tulisan itu terdiri dari dua
buah kata. Yang pertama berbunyi Bagus, yang berikutnya berbunyi Srubud.
“Bagus Srubud…” kata salah seorang dari empat petugas Keraton yang menyelidik. “Ini nama
seseorang…”

“Mungkin orang ini yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta!” ujar petugas ke dua.

Orang ketiga ikut berucap. “Benar… Mungkin sebelum menemui ajal. Raden Mas Sura masih
punya daya dan kesempatan untuk menorehkan pahatnya di lantai batu, menulis nama orang
yang membunuhnya!”

“Bagus Srubud! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apa kalian ada yang mengenal orang
itu?”

Tiga kepala sama digelengkan.

***

Pangeran Matahari memacu kuda tunggangannya lurus ke arah timur. Sesekali salah satu
tangannya dipergunakan untuk mengusap wajahnya. Tak selang berapa lama dia sampai di satu
bukit kecil yang ternyata adalah bibir sebuah lembah. Memandang ke bawah dia melihat
sebuah lembah cukup luas. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya beberapa lama,
Pangeran Matahari tinggalkan lembah, turun ke bawah.

Di dasar lembah dia menemukan banyak sekali rerumpunan semak belukar. Namun hanya ada
satu semak belukar yang di tengah-tengahnya ditumbuhi pohon sirih hutan.

“Menurut guru…” membatin sang Pangeran, “Di balik semak belukar yang ada pohon sirih
hutan ini ada sebuah goa. Lalu di dalam ada sorga… Hemmm… Aku masih harus membuktikan
apap sebenarnya arti kata-kata orang tua yang sudah jadi arwah gentayangan itu!”

Pangeran Matahari melompat turun dari kudanya. Dia mendekati semak belukar di
hadapannya. Ketika semak belukar didorongnya ke kiri pandangannya membentur dinding batu
berlumut yang di sebelah tengahnya ada sebuah lobang setinggi bahu manusia. Sang Pangeran
tidak segera masuk ke dalam goa. Dia menunggu sesaat sambil memasang telinga dan
memperhatikan keadaan sekitarnya. Bila dirasakannya aman, baru dia melangkahkan kaki.
Dengan merunduk dia masuk ke dalam goa.

Di sebelah dalam goa, bagian atasnya ternyata cukup tinggi hingga Pangeran Matahari bisa
melangkah tanpa merunduk lagi. Memasuki goa sejarak sepuluh tombak keadaan berubah
menggelap karena cahaya dari luar terhalang oleh satu kelokan.

Tiba-tiba dari arah depan ada suara mendesah disusul oleh suara perempuan menegur.

“Bagus. Bagus Srubud, kaukah itu?”


Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia ingat ucapan gurunya. “Sorga itu bernama
Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”

Pangeran Matahari berpikir sesaat lalu mendehem. “Kinasih…?”

“Suaramu agak berubah Bagus. Kau sakit…?”

“Hemm… Tenggorokanku agak tidak enak,” jawab Pangeran Matahari.

“Kau hanya tegak diam di situ. Mengapa tidak mendekat kemari?”

Dalam gelap Pangeran Matahari buka matanya lebih lebar, memandang ke depan. Sesaat
setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, walau tidak begitu jelas, tapi apa yang dilihatnya
di sebelah sana membuat jantungnya berdegup keras dan darahnya memanas. Di lantai goa,
sejarak enam atau tujuh langkah di depannya, terbaring satu sosok putih mulus, nyaris tidak
terlindung pakaian. Seonggok pakaian terletak di samping sosok tubuh ini.

“Agaknya inilah sorga yang dimaksudkan guru,” kata Pangeran Matahari dalam hati sambil
menyeringai.

“Bagus, jangan diam saja. Lekas kemari. Lepaskan totokan di tubuhku! Kau selalu menotok aku
setiap kau meninggalkan goa. Padahal aku sudah berjanji tidak akan melarikan diri…”

Pangeran Matahari maju melangkah. Lalu berlutut di samping sosok tubuh itu. Ternyata
perempuan bernama Kinasih itu berparas ayu dan memiliki tubuh elok menggairahkan. Mata
Sang pangeran menyelusuri wajah dan tubuh itu sesaat, mencari tahu di bagian mana Kinasih
telah ditotok. Setelah diketahuinya segera dia menotok urat besar di leher sebelah kiri. Tubuh
Kinasih langsung bergerak bangun dan memeluknya. Tapi tiba-tiba perempuan itu lepaskan
pelukannya dan menatap dalam gelap.

“Jangan-jangan dia tahu aku bukan Bagus Srubud,” pikir Pangeran Matahari. “Kurang ajar, siapa
sebenarnya Bagus Srubud itu! Dan si jelita berubuh polos ini siapa pula dia sebenarnya?!”

“Bagus, kuharap kau menepati janjimu. Hari ini kau akan membebaskan aku. Aku akan
melupakan masa laluku dan menjadi pendamping setiamu untuk selama-lamanya…”

Pangeran Matahari merasa lega dan tersenyum. Gelapnya goa membuat perempuan itu tidak
mengenali kalau sebenarnya dia bukan Bagus Srubud. Dia mulai bisa menduga sedikit apaapa
yang telah terjadi sebelumnya antara lelaki bernama Bagus Srubud dengan perempuan ini.

“Kita bermalam dulu satu sampai dua hari di tempat ini. Setelah itu baru pergi…”
Mengira Bagus Srubud masih ingin berada lebih lama dengannya di dalam goa itu Kinasih
merasa senang juga. Sambil memeluk si pemuda dia berkata.

“Kau barusan dari Kotaraja. Apakah keadaan masih belum aman? Orang-orang masih
mencariku…?”

“Betul,” jawab Pangeran Matahari. “Itu sebabnya kita perlu sembunyi lebih lama di goa ini…”
Kini Pangeran Matahari menduga jangan-jangan perempuan ini adalah anak atau istri seorang
penting di Kotaraja yang main gila dan melarikan diri dengan seorang lelaki bernama Bagus
Srubud yang kini perannya tengah dijalankan oleh dirinya sendiri.

Ketika perempuan itu mengambil pakaiannya yang terongok di lantai, Pangeran Matahari
menahan tangannya. Lalu merangkulnya. Sebenarnya Kinasih merasakan satu kelainan dalam
sikap dan gerak gerik lelaki itu. Tetapi perasaan itu dilupakannya karena mengira setelah
berpisah agak lama Bagus Srubud kini menjadi lebih bergairah. Kinasih tidak bisa menipu
dirinya, dia sendiri saat itu juga telah diamuk rangsangan.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 8

Pagi itu Pangeran Matahari telah rapi berpakaian. Seperti pertama kali di masuk ke dalam goa,
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian kebesaran petinggi Keraton.

“Bagus, apakah hari ini hari yang kau janjikan itu? Kita sama-sama pergi meninggalkan goa?”

Pangeran Matahari mengangguk. “Kenakan pakaianmu. Aku menunggu di luar.”

Saking gembiranya Kinasih memeluk Panegran Matahari tanpa dia tahu apa sebenarnya yang
akan terjadi sebentar lagi. Sementara Pangeran Matahari yang dikenalnya sebagai lelaki
bernama Bagus Srubud itu melangkah ke luar goa, Kinasih cepat mengenakan pakaian. Ketika
kemudia dia keluar dari goa dilihatnya Pangeran Matahari telah duduk di atas seekor kuda. Di
depan rerumpunan semak belukar perempuan muda ini tertegun sesaat.

“Ah, di dalam goa aku tidak bisa melihat parasnya dengan jelas. Ternyata dia seorang pemuda
berwajah gagah. Tubuhnya kuat. Aku benar-benar bahagia bisa mendapatkannya,. Demi rasa
sukaku padanya, apapun yang terjadi akan kuhadapi… Tapi aku tidak pernah menduga kalau dia
adalah seorang pejabat Keraton.”

“Kau memperhatikan diriku agak aneh. Ada apakah?” bertanya Pangeran Matahari.

Kinasih melangkah mendekati lelaki itu, letakkan kepalanya di pinggul Pangeran Matahari.
Sambil mengusap-usap paha Pangeran Matahari dia berkata. “Aku sangat bahagia hari ini. Satu
hal aku tidak menduga. Kau ternyata adalah seorang petinggi Kertaon…”

Pangeran Matahari memandang pada pakaian bagus yang dikenakannya lalu tersenyum.
“Mengingat apa yang kau lakukan, apakah kau tidak takut akan kehilangan jabatanmu Bagus
Srubud?”

“Aku tidak pernah merasa takut menghadapi apa dan siapapun…”

Kinasih angkat kepalanya. “Aku senang mendengar ucapanmu itu. Kita pergi sekarang? Kau
akan membawaku kemana Bagus?”

“Aku akan pergi sendirian. Aku tak akan membawamu kemana-mana Kinasih…”

Ucapan Pangeran Matahari itu mengejutkan Kinasih. Wajahnya yang cantik mengerenyit.

“Kau tentunya bergurau Bagus…”

“Di dalam goa, ketika memeluk dan menciummu, aku memang suka bergurau. Tapi kali ini
tidak.”

“Bagus, apa maksudmu?!” tanya Kinasih.

“Maksudku, aku akan pergi kemana aku suka dan kau juga boleh pergi kemana kau suka.”

“Astaga! Aku benar-benar tidak mengerti…”

“Kau bisa berusaha mengerti setelah aku pergi. Terima kasih untuk kesenangan yang kau
berikan padaku selama dua hari ini. Selamat tinggal Kinasih….”

“Kau tidak menepati janji! Kau…”

“Aku tidak pernah berjanji. Kalaupun aku pernah berjanji, aku memang bukan seorang yang
suka menepati janji!”

“Bagus Srubud, aneh sekali! Kau tiba-tiba berubah. Atau kau memang sudah berencana
menipuku!”

Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Aku memang manusia segala akal dan paling licik di
dunia ini. Soal tipu menipu bagiku adalah soal kecil!”

“Ya Tuhan! Teganya kau berkata begitu. Teganya kau menipu diriku! Kau culik aku, kau sekap
aku di dalam goa. Aku kau jadikan…”

“Apapun yang telah terjadi aku tidak perduli!”


Pangeran Matahari menepuk pinggul kudanya. Binatang itu melompat ke depan hampir
menyeret Kinasih kalau perempuan ini tidak cepat melepaskan pegangannya di kaki sang
Pangeran.

“Bagus! Tunggu! Bagaimana kalau aku mengandung?!” berteriak Kinasih sambil coba mengejar.

Di atas punggung kudanya Pangeran Matahari hanya menoleh sebentar lalu dengan seringai di
wajahnya dia berkata. ”Kalau kau hamil, kurasa itu bukan perbuatanku. Ada orang lain yang
melakukan sebelum aku…”

Kinasih terpekik mendengar kata-kata itu. Wajahnya seputih kain kafan. Suaranya bergetar
ketika berkata. “Selama ini aku tidak pernah berbuat seperti yang kita lakukan dengan orang
lain. Juga tidak dengan suamiku sendiri. Aku…”

Pangeran Matahari tersenyum. Begitu senyumnya lenyap mulutnya berucap. “Aku hanya
meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena
aku telah memberikan kesenangan tambahan selama dua hari padamu. Ha… ha… ha!”

“Kau… katamu kau meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli? Ucapan gila apa ini?!” Kau
mau pergi begitu saja sementara aku bakal menghadapi masalah besar. Bagaimana kalau aku
mengandung Bagus? Bagaimana…?!”

“Kau membuat aku jengkel Kinasih. Sudahlah! Jika kau nanti benar-benar mengandung dan
melahirkan seorang bayi, kau bisa memelihara anak itu. Jika kau tidak sudi memeliharanya,
berikan pada orang lain. Jika kau juga tak mau melakukan hal itu, bunuh saja bayimu! Ha… ha…
ha Aku tidak perduli kau mau berbuat apa. Karena bayi itu bukan anakku! Bukan darah
dagingku!”

Kembali Kinasih terpekik. Sekujur tubuhnya menggigil lunglai. Hampir dia jatuh ke tanah tiba-
tiba seperti ada satu kekuatan masuk ke dalam dirinya, perempuahn muda ini lari mengejar ke
atas lembah, ke arah perginya Pangeran Matahari. Dia berlari sambil tiada hentinya memanggil-
manggil nama Bagus Srubud. Dia baru berhenti berlari ke bagian atas lembah ketika dadanya
sesak dan tubuhnya terasa lemas. Kinasih melihat dunia ini seperti berputar. Dua tangannya
memegangi dada yang mendadak terasa sakit seperti ditindih batu besar. Perlahanlahan
tubuhnya terhuyung ke belakang. Sesaat lagi dia akan terbanting jatuh dan terguling ke dasar
lembah, satu tangan kokoh merangkul pingganggnya yang ramping. Lalu dia merasa seperti
dilarikan oleh seseorang. Di satu tempat orang ini berhenti dan menurunkannya.

“Bagus… Bagus Srubud?”

Kinasih berucap menyebut nama itu. Tapi ketika dia mendongak, dia tidak melihat wajah Bagus
Srubud, melainkan seorang pemuda bertampang gagah, berambut gondrong dan memandang
padanya sambil tersenyum polos.
“Aku bukan orang yang barusan namanya kau sebut. Aku kebetulan lewat dan melihatmu
hampir terguling ke dasar lembah…”

Kinasih seperti belum sadar dan percaya apa yang dialaminya. Dia memandang berkeliling.
“Bagus Srubud…” ucapnya perlahan. Lalu pandangannya ditujukan pada sosok pemuda
gondrong di depannya. Setelah itu dia jatuhkan diri, tutupi muka dengan dua tangan dan mulai
terisak menangis.

“Walah! Apa ucapanku tadi ada yang salah? Sampai membuat perempuan muda ini menangis?”
Si gondrong bicara sendiri sambil garuk-garuk kepala. Dia menunggu. Tapi tangis Kinasih
semakin keras. Membuat si gondrong jadi bingung, melangkah mundar-mandir sambil tiada
henti menggaruk kepala.

“Dari pada mencari urusan lebih baik aku tinggalkan saja perempuan ini,” kata si gondrong pula
dalam hati. Namun memandang wajah yang menangis dan kini tidak lagi ditutupi tangan,
hatinya merasa hiba.

“Ah, kasihan juga kalau aku tinggal. Lagi pula wajahnya cantik ayu. Biar kutunggu saja. Kalau
sudah capai dia pasti berhenti menangis. Belum pernah kulihat ada perempuan mampu
menangis sampai satu hari satu malam!” Si gondrong lalu mendekati sebuah pohon dan duduk
bersandar di situ sambil senyum-senyum memperhatikan Kinasih menangis.

Seperti ucapan si gondrong, akhirnya Kinasih berhenti juga menangis. Dengan matanya yang
bengkak merah perempuan ini memandang pada pemuda yang duduk di bawah pohon itu.

“Kau siapa? Mana Bagus Srubud…?”

“Aku tidak kenal Bagus Srubud. Juga tidak tahu dia berada di mana. Kau mau menerangkan
siapa adanya orang bernama Bagus Srubud itu?”

“Aku…” Kinasih tutup wajahnya dengan dua tangan. “Aku tertipu. Dia… dia menculikku.
Membawaku ke goa di lembah di sana. Tutur katanya penuh rayuan. Aku tak bisa bertahan…”

“Waktu aku sampai di lembah ini, aku melihat seorang penunggang kuda lari ke arah sana
sementara kau mendaki lembah mengejar. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Tapi ketika melihat
kau hampir jatuh terguling, aku memutuskan menolongmu, tidak mengejar orang berkuda
itu…”

“Dia… penunggang kuda itu Bagus Srubud. Manusia penipu. Jahanam terkutuk. Dia hanya ingin
melampiaskan nafsu bejatnya terhadap diriku…”

“Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu…”


“Aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain. Aku malu, benar-benar malu. Aib yang
kubuat terlalu besar. Tidak, tidak mungkin kuceritakan padamu. Apalagi aku tidak kenal siapa
kau sebenarnya…”

“Kau tak usah malu padaku. Namaku Wiro Sableng. Ceritakan apa yang terjadi. Mungkin aku
bisa menolong…”

“Wiro Sableng? Namamu Wiro Sableng…? Kau tahu, sableng itu artinya kurang waras, berotak
miring. Kau tidak berotak miring ‘kan?”

Si gondrong Wiro tertawa. “Mungkin cuma sedikit kurang waras, sedikit agak miring.”

“Aku tidak mau bicara pada orang gila!”

Murid Sinto Gendeng menyengir. “Kalau kau tinggal sekitar sini, sebaiknya kau segera saja
pulang ke rumah…”

Kinasih menggeleng. “Setelah apa yang terjadi, aku tidak mungkin kembali ke rumah. Aku… aku
tinggal di Kotaraja…”

“Kebetulan aku akan ke Kotaraja untuk satu urusan. Aku bisa menemanimu…”

Kinasih menggeleng.

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tahu, kau pasti punya pikiran begini. Orang seperti Bagus
Srubud saja yang tadinya kau sukai tidak dapat dipercaya. Apalagi orang sableng seperti diriku.”
Wiro bankit berdiri. “Kau berada di tempat aman. Kotaraja tak jauh dari sini. Kau bisa ke sana
tanpa pertolongan siapa-siapa…”

“Tunggu!” panggil Kinasih ketika dilihatnya Wiro hendak melangkah pergi. Wiro hentikan
langkah, Kinasih menatap sejurus pemuda di hadapannya itu. “Sebenarnya wajahnya tampan,
tapi lagaknya konyol tak karuan. Kalau otaknya benar-benar kurang waras aku bisa tambah
celaka.” Kinasih berpikir lalu untuk menghilangkan kebimbangan dia bertanya. “Apakah ku bisa
kupercaya dan mau menolongku?”

“Perempuan cantik sepertimu seharusnya jangan mudah percaya pada siapa saja. Apa lagi yang
namanya laki-laki seperti aku ini! Tapi soal menolong bagaimana aku bisa kalau apa yang terjadi
saja ceritanya aku tidak tahu!” jawab Wiro.

“Baik, baik… aku akan ceritakan…”

“Dari permulaan, jangan ada yang kau lupakan.”

Kinasih mengangguk. “Namaku Kinasih. Suamiku adalah…”


“Eh, kau ini sudah bersuami rupanya. Kukira masih gadis perawan!” Wiro memotong sambil
senyum dan garuk kepala.

Kata-kata Wiro membuat wajah Kinasih jadi merah. “Jangan bergurau. Jangan memotong
ceritaku atau lebih baik aku bungkam saja…”

“Mulutku memang suka ketelepasan. Tapi aku tadi bicara polos. Kau begini muda, cantik. Siapa
mengira…”

“Suamiku adalah Raden Mas Sura Kalimarta, seorang juru ukir Keraton. Usianya sudah lanjut,
lebih dari enam puluhan. Kami kawin atas kehendak Sri Baginda. Aku memang sejak lama
mengagumi kepandaian Sura Kalimarta dan tidak menyangka satu hari akan menjadi istrinya.
Sebenarnya kalau Sri Baginda tidak keliwat memaksa, mungkin aku tidak akan menjadi istri
orang yang pantas menjadi ayah bahkan kakekku. Selama beberapa tahun kawin kami tidak
mempunyai anak…”

“Suamimu mandul…”

Kinasih pelototkan matanya yang merah bengkak habis menangis.

Wiro garuk-garuk kepala. ”Maaf, mulutku usil lagi…”

“Aku tidak tahu suamiku mandul atau tidak. Yang jelas selama kawin sekian tahun dia tidak
pernah menggauliku sebagaimana layaknya seorang suami…”

“O… ooo…” Wiro tersenyum ketika dilihatnya Kinasih kembali membesarkan mata.

“Mungkin suamiku sudah terlalu uzur. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dan
memperhatikan pekerjaanya. Walau aku menghormati dan mengagumi Raden Mas Sura
Kalimarta namun sebagai seorang istri hidupku penuh tekanan batin. Aku berusaha bertahan
menebalkan iman, terutama terhadap godaan dari lelaki yang berusaha mendekatiku dan
mengajakku berselingkuh. Aku tidak tahu sampai kapan bisa berbuat begitu. Beberapa hari lalu
aku menyambangi seorang sahabat yang baru saja melangsungkan perkawinan di sebuah desa
tak jauh dari Kotaraja. Waktu pestanya aku tidak berkesempatan datang. Dalam perjalanan
pulang turun hujan lebat. Kabarnya terjadi banjir di sebuah kali yang akan dilalui rombongan.
Perjalanan kami jadi terhalang. Menjelang malam baru bisa dilanjutkan.”

“Di satu tempat sepi dan gelap tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda menyerang
rombongan. Kami mengira dia adalah seorang perampok tunggal berani mati. Kukatakan
demikian karena dalam rombongan terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Salah
seorang di antaranya adalah Ki Suryo Tambaksari. Seorang pejabat tinggi di Kotaraja yang bulan
depan bakal diangkat menjadi Adipati Klaten. Ternyata perampok tunggal itu punya kepandaian
luar biasa. Semua lelaki dalam rombongan berjumlah tujuh orang tewas di tangannya.
Perampok itu juga membunuh Ni Alursutri, sahabatku dalam perjalanan. Mayat mereka
kemudian dibuang ke dalam jurang. Aneh, mengapa dia susah-susah melakukan hal itu…”

“Karena dia ingin menghilangkan jejak,” menyahuti Wiro.

“Mungkin begitu,” kata Kinasih. “Anehnya lagi si perampok tidak menjarah harta atau uang
kami. Ternyata dia mengincar diriku. Dalam malam begitu gelap aku tidak sempat melihat atau
mengenali tampang si perampok, selagi aku berusaha melarikan diri, tiba-tiba ada satu tusukan
di punggungku. Aku langsung tidak sadarkan diri…”

“Hemmm…” Wiro garuk-garuk kepala. “Itu bukan totokan biasa…” kata murid Sinto Gendeng
ini.

“Ketika siuman, kudapati diriku berada dalam sebuah goa bersama perampok itu. Lagilagi aku
tidak bisa melihat jelas orang itu karena goa dimana aku disekap gelap. Namun dari bentuk
tubuhnya aku bisa menduga dia masih muda dan samar-samar bayangan wajahnya tampak
tampan dalam gelap.”

”Pemuda itu mengaku bernama Bagus Srubud. Menurutnya dia menculikku untuk memaksa
suamiku. Aku bertanya memaksa apa, tapi dia tidak menjawab. Saat-saat pertama aku sangat
membenci dirinya. Tapi sikapnya yang sopan dan tutur bicaranya yang halus membuat lama-
lama aku merasa tertarik. Lalu timbul rasa suka. Entah bagaimana aku tak tahu bagaimana
menerangkannya, hari-hari berikutnya kami sudah berada dalam hubungan sangat mesra. Aku
tidak kuasa menolak semua apa yang dilakukannya. Semua yang selama ini tidak pernah aku
dapatkan dari suamiku…” Sampai di situ Kinasih terdiam sejenak, wajahnya yang merah
ditutupinya lagi dengan ke dua tangannya. Setelah menahan isak dan diam lagi beberapa
lamanya baru dia melanjutkan. “Aku tahu aku telah berbuat salah dan dosa besar. Tapi hatiku
terhibur karena Bagus Srubud berjanji tidak akan meninggalkan diriku, akan membawa aku
kemana dia pergi. Menurutku ucapannya itu berarti dia akan mengambil aku sebagai istri. Aku
sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke Kotaraja. Bukan saja karena aku tidak ingin
kehilangan pemuda itu, tapi juga karena aku merasa tak layak lagi untuk kembali pada
suamiku.”

“Dua hari lalu Bagus kembali ke goa. Aku tidak tahu dia pergi kemana,. Sekali ini sikap dan
sentuhannya terhadapku luar biasa. Aku mengira mungkin itu karena dia rindu padaku. Namun
ada semacam perasaan aneh yang tak biasa kupecahkan. Lalu pagi tadi terjadi hal yang tidak
kuduga sama sekali. Pertama, dari pakaiannya baru kuketahui Bagus Srubud ternyata adalah
seorang pejabat tinggi Keraton. Kemudian ini yang membuatku ingin mati saja. Bagus Srubud
meninggalkan diriku. Aku tengah mengejarnya ketika kau muncul menolongku…”

Sampai di sini Kinasih tak dapat lagi menahan dirinya. Perempuan ini kembali menangis. “Aku
tak tahu mau melakukan apa. Atau mau pergi kemana. Bagus Srubud jahanam! Terkutuk dia
selama-lamanya…”
“Aku tidak yakin orang bernama Bagus Srubud itu petinggi Keraton. Kalau dia memang orang
Istana kau tidak akan dibiarkannya hidup. Setelah melakukan perbuatan keji itu dia pasti ingin
menghilangkan jejak. Tapi untuk menguji, tidak ada salahnya kau melaporkan kejadian ini pada
petinggi lainnya di Kotaraja.”

“Itu sama saja degan membuka aibku sendiri,” kata Kinasih dan lalu geleng-gelengkan
kepalanya.

“Yang aku takutkan kalau aku menandung. Anakku lahir tanpa ayah. Memalukan sekali. Aibku
terlalu besar. Jahanam Bagus Srubud itu malah tega berucap, jika aku tidak mau memelihara
bayiku, berikan pada orang lain atau membunuhnya!”

“Coba kau ingat-ingat. Bagaimana ciri-ciri orang bernama Bagus Srubud itu. Tidak pernah aku
menemui manusia sekeji itu…” Wiro lalu berpikir, menduga-duga.

“Dia masih muda. Wajahnya tampan. Rambut hitam lebat…”

“Tidak ada tanda-tanda tertentu…?” tanya Wiro.

Kinasih menggeleng. Wiro berpikir lagi. Dia coba mengingat-ingat kejadian malam itu. Ketika
pertama kali dia terpesat dan terkapar di bukit karang Teluk Penanjung. Ada orang
mendatanginya lalu membalikkan tubuhnya. Malam gelap, dia melihat agak samar-smar. Orang
itu bermuka cacat. Raut wajahnya menyerupai Pangeran Matahari. Wajah Bagus Srubud
tampan, tak ada cacatnya. Berarti keliru kalau dia menduga bahwa Bagus Srubud adalah
Pangeran Matahari. Dua tahun lalu dia menghantam musuh besarnya itu hingga terjungkal dan
amblas jatuh ke dalam jurang batu karang. Apakah Pangeran Matahari menemui ajalnya di
dasar jurang? Pendekar Kipas Pelangi yang ditemuinya di Teluk Penanjung mengatakan bahwa
Pangeran Matahari telah lama menemui ajal. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Kembali Ke
Tanah Jawa.”). Namun murid Sinto Gendeng kini mulai meragukan hal itu. “Jangan-jangan
bangsat itu masih hidup. Apa mungkin si muka cacat itu rohnya yang gentayangan?”

“Kau seperti melamun. Apa yang kau pikirkan?”

Pertanyaan Kinasih membuat Wiro sadar. Sambil menggaruk kepala dia bertanya. “Apa kau
sudah menceritakan semua yang terjadi? Tidak ada yang terlupa? Sesuatu yang kau lupakan
tapi bisa menjadi petunjuk?”

Kinasih memandang ke arah kejauhan. Kemudian menggelengkan kepala. “Kurasa semua sudah
keceritakan. Kalaupun ada rasanya bukan merupakan petunjuk, malah membuat kepalaku jadi
sakit, hatiku panas dan bertambah dendam terhadap Bagus Srubud…”

“Coba kau ceritakan…” kata Wiro.


“Sebelum pergi Bagus Srubud jahanam itu berkata, kalau aku sampai hamil maka itu bukan
perbuatannya. Tapi perbuatan orang lain yang melakukannya sebelum dia. Apa tidak gila?!”

“Memang gila tapi juga aneh. Mengapa dia berkata seperti itu…” menyahuti Wiro.

“Ada yang lebih aneh!” kata Kinasih. “Dia berucap kalau dia hanya meneruskan permainan
Bagus Srubud yang asli. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia memberikan
tambahan kesenangan padaku selama dua hari…”

Sepasang mata Pendekar 212 menyipit. Keningnya mengerenyit. Memang aneh. Apa
maksudnya dia berkata begitu. Apa mungkin…” Wiro tidak teruskan ucapannya. Telinganya
menangkap suara sesuatu. Seperti derap kaki kuda.

“Apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi?”

“Kau harus pulang ke rumahmu di Kotaraja…”

“Tidak mungkin! Aku tidak akan melakukan hal itu…”

Wiro mengangkat tangannya memberi tanda. “Jangan bicara, aku mendengar suara aneh.

Mendatangi ke arah sini…”

Belum lama Pendekar 212 berucap tiba-tiba di arah kanan kelihatan debu mengepul disertai
suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian dua sosok tinggi aneh muncul di tempat itu. Kinasih
terpekik. Kaget dan takut.

“Kinasih, lari! Lekas tinggalkan tempat ini!” kata Wiro.

Tapi saking takutnya Kinasih malah tidak bisa lari. Sekujur tubuhnya bergeletar menggigil.
Lututnya goyah. Seumur hidup belum pernah dia melihat makhluk aneh mengerikan seperti ini.

“Monyet gondrong! Dulu kau boleh lolos dari kematian karena ada yang menolong! Hari ini
jangan harap kau bisa selamat!” Satu suara berucap lantang.

Menyusul suara kedua.

“Tapi jika kau mau menjawab beberapa pertanyaan, nyawamu mungkin masih bisa diampuni.
Kami hanya akan membuat cacat dirimu seumur-umur. Bukan begitu saudaraku?!”

“Ha… ha… ha! Ucapanmu betul sekali! Biar aku mulai saja dengan pertanyaan pertama!
Pendekar 212! Dimana beradanya Kitab Wasiat Malaikat?!”
“Sekarang aku yang gantian bertanya! Pendekar 212! Apakah saat ini kau membawa Kitab
Wasiat Dewa?!”

Rahang murid Sinto Gendeng menggembung. “Dua makhluk jahanam ini! Mereka mencari
kitab-kitab sakti itu rupanya. Aku sudah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian
mereka di bukit karang Teluk Penanjung. Aku haru berlaku hati-hati…”

Selagi Wiro berkata dalam hati seperti itu, salah satu dari sosok tinggi di hadapannya berbisik
pada sosok di sebelahnya. “Ada perempuan cantik bersama monyet gondrong itu. Kalau sudah
dapat keterangan segera saja kita habisi dia. Lalu perempuan itu kita bawa kabur ke pondok di
kali Pabelan.”

“Aku setuju sekali,” jawab sosok satunya. “Memang sejak orang-orang Keraton Surakarta
mencari-cari kita, kita tidak punya waktu banyak bersenang-senang. Sekarang ada rejeki besar
di depan mata, cantik dan mulus! Siapa mau menolak?! Ha… ha… ha!”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 9

Bukit Ampel memang terletak di pedataran yang tidak terlalu tinggi. Namun kawasan ini
serigkali diselimuti kabut, terutama mulai menjelang malam. Malam itu, baru saja bulan
purnama muncul dari balik awan tebal, kabut telah berarak turun ke puncak bukit.

Di salah satu lereng Bukit Ampel, susana sunyi sepi. Cahaya rembulan yang tidak menembus
kabut membuat tempat itu berada dalam keadaan gelap temaram. Di kejauhan sesekali
terdengar suara raungan anjing.

Di gelapnya malam, di bawah hembusan angin yang terasa mencucuk dingin satu sosok samar-
samar berjalan di balik kabut. Sekeluarnya dari kabut seharusnya sosok ini akan kelihatan lebih
jelas. Tapi ternyata tetap saja bentuknya samar. Lalu bila diperhatikan gerakan sepasang
kakinya seperti tidak menginjak tanah!

Sosok aneh ini berupa seorang gadis cantik berwajah pucat. Pakaiannya di sebelah atas berupa
sehelai kebaya putih dalam. Di bagian bawah dia mengenakan celana panjang juga berwarna
putih. Di puncak bukit sosok aneh ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu mendongak
ke langit.

“Malam mulai larut. Apakah salah aku menyirap kabar bahwa para gadis gila itu memang telah
memilih bukit Ampel ini sebagai tempat pertemuan? Aku akan menunggu. Tapi jika menjelang
fajar mereka tidak muncul, tak mungkin begitu berada lebih lama di tempat ini…”

Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing. Di langit bulan terlindungg awan. Puncak
Bukit Ampel semakin gelap. Apa lagi kabut semakin banyak yang turun.
Tiba-tiba dari sebelah barat puncak bukit berkelebat satu bayangan ungu. Lenyap sebentar
ditelan kabut lalu muncul lagi lebih jelas. Ternyata orang ini adalah seorang gadis berpakaian
ringkas warna ungu. Sehelai selendang juga berwarna ungu melingkar di lehernya, salah satu
ujungnya menjulai di ats dada. Jika diperhatikan ujung selendang yang menjulai, akan kelihatan
di situ tertera tiga buah angka yang tak asing lagi : 212. Konon angka itu Pendekar 212 Wiro
Sableng sendiri yang mengguratnya sebagai kenang-kenangan.

“Hemmm… Satu sudah muncul…” Sosok samar berpakaian putih berkata sambil sepasang
matanya tak berkesip memandang gadis berpakaian ungu itu. Rupanya dia bisa melihat gadis
itu sebaliknya si baju ungu tidak melihat dirinya padahal jarak mereka di puncak Bukit Ampel itu
hanya terpisah kurang dari lima langkah.

Gadis berpakaian serba ungu ini dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Anggini. Dia
pernah mendapat julukan Dewi Kerudung Biru namun dia lebih suka memperkenalkan diri
dengan nama aslinya (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Keris Tumbal Wilayuda.”)

Seperti diketahui Anggini adalah murid Dewa Tuak. Sejak pertemuan Anggini yang pertama
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang memang sengaja diatur oleh dedengkot persilatan
Tanah Jawa itu, sebenarnya Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan Wiro. Anggini
sendiri, terlepas dari niat gurunya itu secara diam-diam memang mengasihi Wiro. Beberapa kali
dia berusaha mendekati sang Pendekar. Namun tanggapan dari murid Sinto Gendeng walaupun
baik dan ramah serta mereka sempat berkawan dekat, sama sekali tidak menjurus pada apa
yang diharapkan Anggini.

Setelah bertahan cukup lama akhirnya Anggini menyadari bahwa tidak ada harapan baginya
untuk hidup bersama dengan Wiro. Walau hatinya sedih dan sangat berat namun dengan
penuh ketabahan Anggini berusaha menjauhkan diri dari Wiro. Terakhir sekali mereka bertemu
di Gajahmungkur sewaktu terjadi perang hebat antara para tokoh golongan putih dengan Datuk
Lembah Akhirat dan anak buahnya. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Gerhana Di
Gajahmungkur.”)

Anggini kemudian pergi bersama seorang pemuda bernama Panji yang diam-diam mengasihi
gadis ini. Mereka berangkat menuju Pulau Andalas untuk memenuhi permintaan tokoh nomor
satu di sana yakni Nyanyuk Amber yang ingin mewariskan ilmu silat dan kaktiannya pada
sepasang muda-mudi itu. Walau berada jauh di seberang lautan namun Anggini tidak pernah
lupa meyirap kabar apa yang terjadi di Tanah Jawa. Dia kemudian mengetahui bahwa sejak dua
tahun terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng telah lenyap tanpa diketahui kemana perginya.
Hasrat Anggini untuk menyelidik apa yang terjadi dengan orang yang dikasihinya itu tak dapat
dibendung. Yang paling ditakutinya—walau sadar dia tidak berjodoh dengan Wiro—ialah kalau
Wiro tahu-tahu telah melangsungkan perkawinan dengan seseorang tanpa dia mengetahui.

Suatu hari, belum lagi sang surya muncul di ufuk timur, setelah membuat dua pucuk surat, satu
untuk Nyanyuk Amber dan satunya lagi untuk Panji, Anggini meninggalkan Pulau Andalas,
menyeberang ke Tanah Jawa.
Letih berdiri menunggu, Anggini melangkah mundar-mandir di puncak bukit. Walau hidungnya
membaui sesuatu, seperti bau bunga namun Anggini tidak menyadari kalau dia telah berulang
kali melewati dekat sekali sosok gadis muka pucat berpakaian serba putih yang juga ada di
tempat itu. Sebaliknya setiap Anggini lewat di depannya, gadis berpakaian putih memandang
dengan mata membesar. Dalam hati dia berkata. “Aku tahu dia gadis baik. Dia gadis pertama
yang mengasihi pemuda itu dengan hati bersih. Aku memang cemburu padanya. Tapi aku tidak
mau berseteru dengan dirinya. Karena ku tahu, keduanya tak berjodoh satu sama lain…” Habis
membatin seperti itu gadis berpakaian serba putih, cantik tapi berparas pucat ini pergi duduk di
atas sebuah batu. Matanya terus saja mengawasi gerak gerik Anggini.

Puncak Bukit Ampel semakin sunyi, angin malam semakin dingin dan kabut semakin menebar.
Anggini tiba-tiba palingkan kepala ke arah kiri. Ada suara berkelebat dari arah situ. Sebelumnya
gadis berpakaian putih telah lebih dulu menoleh ke arah yang sama. Dari hal ini jelas diketahui
bahwa bagaimanapun tingginya ilmu kepandaian murid Dewa Tuak, namun pendengaran gadis
samar berpakaian putih jauh lebih tajam.

Sesaat kemudian muncullah seorang gadis berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning.
Walau wajahnya tidak dipoles dengan dandanan namun kecantikannya tetap terlihat
mempesona. Pipi dan bibirnya merah segar. Sepasang alisnya sangat tebal dan hitam.
Rambutnya yang panjang tergerai lepas, bergerak meliuk tertiup angin. Di punggungnya ada
sebuah kantong berisi tujuh buah payung berwarna merah, biru, kuning, putih, hitam dan ungu.

“Dewi Payung Tujuh!” berucap dalam hati gadis berpakaian putih samar. “Setahuku gadis dari
Pulau Andalas ini pertama kali datang ke Tanah Jawa untuk menjalankan tugas neneknya yaitu
membunuh Wiro dan mencari sebuah kitab sakti. Kitab tidak ditemui, Wiro gagal dibunuhnya
malah dia jatuh cinta pada sang Pendekar. Namun dia hanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya
lalu dialihkan pada seorang pemuda bernama Panji. Ternyata pemuda itu pergi bersama
Anggini ke Pulau Andalas. Apakah kini dia telah menjadi seorang gadis patah hati karena
kabarnya telah memencilkan diri di satu tempat di pantai selatan? Tapi melihat kepada raut
wajahnya yang tetap segar dan ceria, agaknya dia tidak benar-benar terpukul akibat dua kali
kehilangan cinta. Lalu apa maksudnya tiba-tiba muncul di tempat ini. Agaknya dia juga telah
menerima undangan datang ke sini. Aku kasihan padanya. Tapi harus berhati-hati karena dia
kini memiliki sebilah pedang luar biasa saktinya. Yaitu Pedang Naga Suci 212. Kabarnya dia
adalah cucu seorang tokoh hebat dari Andalas berjuluk Tua Gila yang juga merupakan guru
Pendekar

212. Dia juga pernah menyelamatkan nyawa Wiro sewaktu terluka parah akibat pukulan sakti
Tiga Bayangan Setan. Aku tak mau kesalahan tangan terhadap gadis satu ini.” (Baca serail Wiro
Sableng berjudul “Wasiat Dewa”, “Pedang Naga Suci 212”, dan “Gerhana Di Gajahmungkur”).

Anggini yang telah mengenal Dewi Payung Tujuh yang aslinya bernama Puti Andini segera
datang menyambut.
“Aku senang melihat kau bisa datang…” Anggini membuka pembicaraan.

“Aku lebih gembira melihat kau sudah lebih dulu di sini. Kau datang jauh-jauh dari tanah
seberang.” Kata Puti Andini sambil dalam hatinya mengagumi besarnya rasa cinta Anggini
terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini memandang berkeliling. “Ah, baru kita berdua
yang datang. Agaknya kita harus bersabar menunggu para sahabat yang lain.”

“Siapa lagi menurutmu yang akan memenuhi undangan datang ke Bukit Ampel ini?” Puti Andini
bertanya.

“Kurasa kita hanya tinggal menunggu dua orang saja. Sahabat Bidadari Angin Timur dan Ratu
Duyung,” jawab Anggini. Gadis ini memandang berkeliling lalu berkata. “Aku sejak tadi
membaui sesuatu di tempat ini. Apakah kau juga bisa mencium…”

“Ya, aku memang mencium sesuatu,” sahut Puti Andini. “Seperti bau bunga… Tapi di udara
berkabut seperti ini apa saja bisa menimbulkan bau aneh.”

Gadis muka pucat berpakaian putih yang tidak terlihat baik oleh Anggini maupun Puti Andini
tersenyum kecil mendengar percakapan dua gadis itu.

“Seperti ada angin bertiup dari arah sana…” Puti Andini berkata seraya menunjuk ke arah
kegelapan di sebelah sana.

“Aku mencium bau harum semerbak. Agaknya salah satu dari orang yang kita tunggu segera
muncul di sini. Dan aku sudah bisa menduga siapa orangnya.”

Baru saja Anggini selesai berucap tiba-tiba dari balik kabut tebal berkelebat satu bayangan biru
disertai menebarnya bau sangat harum. Lalu muncullah gadis cantik jelita tinggi semampai
berambut pirang sepinggang.

“Sahabat Bidadari Angin Timur!” Anggini dan Puti Andini menyebut nama gadis yang datang
hampir berbarengan.

“Kalian sudah lebih dulu sampai rupanya,” kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum.
Sepasang lesung pipit muncul di pipinya. “Aku gembira kita bisa bertemu dan berkumpul lagi.”
Dengan kedua gadis itu Bidadari Angin Timur memang merasa agak dekat. Salah satu sebabnya
karena dia tahu bahwa mereka bukan merupakan saingan yang berat dalam mencintai dan
mendapatkan cinta dari Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Kita tinggal menunggu satu kawan,” kata Anggini. “Aku tahu. Kita tak akan menunggu lama.
Sebentar lagi dia pasti akan hadir di sini,” jawab Bidadari Angin Timur seraya memandang
berkeliling. Lalu dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi jika yang kita tunggu tidak segera
datang, untuk tidak membuang waktu lebih baik
kita tinggalkan bukit ini. Kita bicarakan persoalan yang dihadapi di satu tempat lain…”

Puti Andini dan Anggini saling pandang heran. Anggini lantas berucap.

“Mengapa begitu, Bidadari Angin Timur? Mengapa kita harus berpindah tempat? Padahal
kesepakatan sebelumnya di bukit ini kita akan bicara tuntas…”

Bidadari Angin Timur tersenyum. ”Nanti aku jelaskan pada kalian. Kalau orang yang kita tunggu
memang tidak muncul.”

Sampai saat itu gadis cantik bermuka pucat yang duduk di batu masih tetap di tempatnya.
Sepasang matanya tidak lepas-lepas memperhatikan gadis berambut pirang yang baru datang.
Dia tahu dibanding dengan Anggini dan Puti Andini, Bidadari Angin Timur merupakan gadis
cantik paling banyak mendapat tempat di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Walau Wiro banyak membagi perhatian padanya, tapi apakah gadis satu ini benar-benar
mencintai pemuda itu masih belum ada kejelasan. Setahuku dia belum pernah menyatakan rasa
cintanya terhadap Wiro. Aku harus banyak memperhatikan gadis satu ini. Dia yang paling
berhasrat untuk mendapatkan Wiro walau kadang-kadang di luaran bersikap seperti tidak acuh.
Barusan dia mengajak dua gadis lainnya untuk pergi ke tempat lain. Aku tahu alasannya. Dia
ingin menghindari pertemuan dengan gadis yang segera akan muncul. Karena gadis itu
merupakan saingannya paling berat. Apa lagi beberapa waktu lalu mereka sempat berperang
mulut di satu pekuburan. Dia ingin mencuri waktu untuk mendapatkan kesempatan. Si pirang
ini selain cantik dan memiliki kepandaian tinggi, dia juga mempunyai otak cerdik…”

Selagi Bidadari Angin Timur, Anggini dan Puti Andini bercakap-cakap, di lereng bukit sebelah
timur seorang yang berlari cepat sesaat hentikan larinya. Orang ini mengenakan pakaian
panjang ketat berwarna putih, ditaburi manik-manik berwarna merah. Walau malam gelap tapi
pakaian yang seolah mencetak bentuk tubuhnya yang bagus itu kelihatan berkilau-kilau. Di atas
kepalanya ada satu mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Anting, kalung dan
gelang dari kerang juga menjadi perhiasannya. Sepasang mata yang berwarna biru menambah
kecantikan dan keanggunannya. Orang yang menghentikan lari dengan tiba-tiba ini adalah Ratu
Duyung. Dari balik pakaiannya sang Ratu keluarkan sebuah cermin bulat. Memandang ke dalam
cermin sakti itu dia bisa melihat puncak Bukit Ampel.

Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat. Ratu Duyung gerakkan cermin saktinya beberapa
kali. Sesaat puncak bukit masih tampak menghitam. Kemudian mulai terlihat bayangan-
bayangan samar. Sang Ratu kerahkan tenaga dalam. Bayangan di cermin tampak menjelas.

“Ada tiga orang di puncak bukit sana…” Ratu Duyung berucap perlahan. “Wajah mereka masih
agak samar, Tapi dari potongan tubuh aku bisa menduga siapa saja mereka. Kalau pertemuan
nanti berlangsung jujur, aku akan jelaskan pada mereka semua apa yang kuketahui. Tapi kalau
ada yang ingin menang sendiri, apalagi mengungkit-ungkit peristiwa lama, biar dia kubikin
susah…” Ratu Duyung hendak masukkan cermin sakti kembali ke balik pakaian tapi tibatiba dia
melihat sesuatu di sudut kaca sebelah atas.

“Astaga… Mataku hampir terlewat memperhatikan bayangan di bagian atas kaca. Aneh… Tiga
gadis itu terlihat jelas. Kalau memang ada empat orang di puncak Bukit Ampel mengapa yang
satu ini tidak muncul secara lebih jelas dalam cermin?” Ratu Duyung kembali kerahkan tenaga
dalam. Satu cahaya putih berkilau di bagian atas cermin itu. Sang Ratu merasakan getaran halus
di jari-jari tangan dan sepanjang lengan kanannya. “Aneh, jangan-jangan dia… Perempuan setan
itu! Dendamku masih belum hapus terhadapnya. Dia dulu mencelakai diriku di Puri Pelebur
Kutuk! Tapi untuk pastinya biar kuuji dengan ilmu Menyirap Detak Jantung.”

Habis berkata begitu Ratu Duyung simpan cermin saktinya. Dua tangnnya dirangkapkan di
depan dada. Telapak tangan kanan dikembangkan, ditempelkan di dada kiri atas, tepat di
jurusan atas jantung. Mulutnya dikatup rapat sementara matanya yang berwarna biru setengah
dipejamkan.

Sesaat kemudian kelihatan wajah Ratu Duiyung berubah. “Benar dia…” katanya dalam hati.
“Aku hanya mendengar tiga detak jantung. Detak jantung orang yang ke empat sama sekali
tidak ada! Manusia hidup tidak mungkin tanpa jantungnya berdetak. Mengapa dia bisa muncul
di Bukit Ampel. Siapa yang mengundangnya?! Aku harus berhati-hati…”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 10

Bidadari Angin Timur merasakan sambaran angin halus. Serta merta gadis ini melirik ke samping
kanan dan berkata. “Orang yang kita tunggu sudah datang!”

Dari balik kabut tebal di arah sebelah kanan menyeruak muncul sosok Ratu Duyung dengan
segala keanggunannya. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala pada tiga gadis yang
sudah datang lebih dulu.

“Maafkan, aku datang terlambat. Kalian tentu sudah lama menunggu. Aku gembira bisa
bertemu dengan kalian,” kata Ratu Duyung. Walau tiga gadis lainnya memiliki kecantikan bukan
sembarangan, namun sang ratu memiliki kelebihan yakni cara bicara dan sikap yang anggun.
Apalagi tidak seperti yang lain-lainnya, dia mengenakan pakaian mewah, bagus dan ketat
mencetak bentuk tubuhnya yang molek serta wajah dirias apik mempesona. Ditambah dengan
mahkota kecil di atas kepalanya maka penampilan sang Ratu satu tingkat melebihi tiga gadis
lainnya.

Baru saja sang Ratu berucap begitu tiba-tiba tubuhnya kelihatan terhuyung ke depan seperti
ada sesuatu yang membenturnya.

“Ratu Duyung, ada apa? Kau kurang sehat…?” bertanya Anggini sambil maju dan memegang
lengan Ratu Duyung yang saat itu telah bisa mengimbangi diri.
“Aku hanya sedikit letih. Tak apa-apa. Kita bisa segera langsung membicarakan persoalan yang
tengah kita hadapi,” menjawab Ratu Duyung dengan tenang walau wajahnya yang jelita jelas
kelihatan berubah. Dalam hati sang Ratu merutuk. “Makhluk salah kaprah! Sekali lagi kau
berlaku lancang akan kugempur kau habis-habisan!”

Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Begitu Ratu Duyung muncul di puncak Bukit Ampel sosok samar berpakaian putih serta merta
berdiri dari batu yang sejak tadi didudukinya. Wajahnya yang pucat sesaat kelihatan memerah
sedang sepasang matanya memandang tak berkesip.

“Hemmm… Akhirnya muncul juga Ratu lacur ini. Sikapnya agung, tetapi dia yang paling bernafsu
ingin memiliki Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak segan-segan menempuh cara keji
sekalipun. Kalau tidak kuhalangi, peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu itu pasti akan membuat
Wiro sengsara seumur hidup dan menjadi budak nafsunya…”

Tanpa bersuara sosok samar itu mendekati Ratu Duyung dari belakang lalu dengan tangan
kanannya mendorong bahu kiri sang Ratu hingga gadis jelita bermata biru ini terhuyung-huyung
ke depan.

“Kita sudah lengkap semua. Sebaiknya kita mulai pembicaraan.” Berkata Bidadari Angin Timur.

“Aku setuju. Makin cepat selesai berarti makin baik kita memutuskan apa yang akan dilakukan.
Kita…“ Belum habis Ratu Duyung berucap kembali tubuhnya terhuyung. Tiga gadis berseru
kaget. Puti Andini dan Anggini cepat memegang bahu sang Ratu kiri kanan.

“Ratu kurasa kau dalam keadaan kurang sehat. Sudah dua kali kami lihat kau mau jatuh. Di sana
ada batu. Sebaiknya kau duduk saja di batu itu…” Anggini segera hendak membimbing Ratu
Duyung ke sebuah batu besar beberapa langkah di depan sana.

“Aku tak kurang suatu apa. Namun agaknya ada satu makhluk kurang ajar bermaksud tidak baik
terhadapku, mungkin terhadap kita semua yang ada di sini. Kurang ajar tapi pengecut karena
tidak berani menampakkan diri!”

“Ratu, apa maksudmu?” tanya Bidadari Angin Timur sementara Anggini dan Puti Andini
memandang heran pada Ratu Duyung.

“Kalian bertiga lebih dulu datang ke puncak bukit ini. Apa tidak mencium bau aneh…?” Ratu
Duyung balik bertanya.

Bidadari Angin Timur saling pandang dengan dua gadis lainnya lalu berkata. “Memang sejak tadi
kami mencium bau aneh. Tapi kami tidak begitu perduli…”
“Bau itu adalah bau bunga kenanga. Bunga kematian alias bunga mayat! Kemanapun dia pergi,
bau itu akan selalu mengikutinya. Itulah bau sosok roh gentayangan makhluk yang pernah lahir
di dunia dengan nama Suci. Sering dipanggil dengan nama Bunga. Dia sudah lama menemui
kematian secara tidak wajar. Rohnya penasaran ingin kembali ke dunia ini. Tapi tidak bisa! Dia
yang tadi mendorongku sampai dua kali!”

Puti Andini yang tidak pernah mengenal siapa adanya Suci atau Bunga tidak menunjukkan sikap
apa-apa. Lain halnya dengan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini sama-sama
tersurut satu langkah. Bidadari Angin Timur bertanya untuk meyakinkan.

“Ratu Duyung, yang kau maksudkan dengan makhluk roh itu, apakah dia yang pernah dijuluki
Dewi Bunga Mayat?!”

“Memang dia!” jawab Ratu Duyung. “Dia ada di sini. Memata-matai pertemuan kita.
Memalukan sekali, tidak diundang berani muncul di tempat ini!” Ratu Duyung keluarkan suara
mendengus dari hidunnya.

Baru saja Ratu Duyung berucap dan mendengus, tiba-tiba terasa ada getaran aneh di puncak
Bukit Ampel. Kabut yang sejak tadi menutupi sebagian bukit itu bergerak menebar. Lalu
dibarengi dengan santarnya bau harum menggidikkan satu bayangan putih berkelebat. Di lain
kejap satu sosok dara jelita bermuka pucat berpakaian serba putih kelihatan berdiri hanya lima
langkah di hadapan Ratu Duyung .Sepasang matanya memandang dingin tak berkedip pada
mata biru sang Ratu. Sosok yang muncul ini memang adalah Suci alias Bunga yang pernah
dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat! (Mengenai makhluk roh berparas jelita ini harap
baca serial Wiro Sableng berjudul “Misteri Dewi Bunga Mayat”).

Satu senyum sinis yang ditunjukkan pada Ratu Duyung menyeruak di wajah pucat Suci. “Ratu
bermata biru, kau menyembunyikan perasaan hati culas di balik kejelitaan wajahmu!”

Bidadari Angin Timur serta merta sudah bisa menduga kalau di tempat itu akan segera terjadi
perang mulut bahkan mungkin adu kekuatan antara Ratu Duyung dengan Suci. Dia hendak
menengahi tapi selintas pikiran muncul dalam benak gadis berambut pirang ini. Terus terang
dia sendiri tidak begitu suka dengan Ratu Duyung walau sebelumnya mereka pernah berbaik-
baik. Apalagi mengingat kejadian di pekuburan beberapa waktu lalu. (Baca Episode pertama
berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). Setelah memutar otaknya Bidadari Angin Timur
memutuskan untuk diam saja. Mungkin dengan berlaku diam akan lebih menguntungkan bagi
dirinya.

Mendengar kata-kata Suci itu Ratu Duyung lontarkan seringai tak kalah sinisnya. Dia langsung
menyahuti. “Terkadang manusia itu dinilai dari kata dan ucapannya. Sudah muncul tidak
diundang, beraninya menuduh orang berhati culas!”

Suci tertawa panjang. “Alam bebas langit terkembang. Apakah ada aturan yang melarang, siapa
saja datang ke Bukit Ampel ini?”
“Tidak ada larangan! Sekalipun untuk makhluk salah kaprah seperti dirimu. Tapi jika kehadiran
membawa maksud tidak baik, sembunyi-sembunyi lalu hendak mencelakai orang lain, hai!
Apakah ada salahnya jika aku dan semua yang ada di sini harus bersikap waspada…?”

Kembali Suci tertawa panjang. “Kau pandai bicara, sengaja melibatkan tiga gadis lainnya itu.
Jangan sembunyi di balik ilalang kecantikan wajah dan kepandaian bicara. Semua orang tahu
siapa adanya Ratu Duyung! Sungguh hebat! Kau bergabung dengan gadis-gadis jujur untuk
mencari tahu apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku kawatir jangan-jangan
kau sengaja mengelabui mereka untuk mencari keuntungan sendiri. Karena siapa yang lupa
bahwa kau pernah mencelakai pendekar itu ketika kau culik dia dan kau sekap di Puri Pelebur
Kutuk beberapa waktu lalu?!”

Paras Ratu Duyung menjadi merah. “Kejadian itu sudah lama berlalu. Bahkan Pendekar 212
Wiro Sableng sudah melupakannya. Mengapa kau yang tidak ada sangkut paut dengan urusan
orang kini mengungkit-ungkit perkara itu? Untuk membakar hati tiga gadis ini? Aku tidak
menculik, apalagi menyekap Pendekar 212. Dia datang dengan kemauan sendiri, dengan niat
suci hendak menolongku. Kau saja yang tiba-tiba muncul kalang kabut membawa hati jahat
seribu duga! Kau mecelakai beberapa anak buahku, merusak tempat kediamanku. Dan
bukankah kau kemudian menculik Wiro! Hai, kalau aku boleh bertanya kau bawa kemana
pendekar itu? Ke alam rohmu yang serba gelap pengap itu?! Apa yang kau lakukan di sana
terhadapnya?” Habis berkata begitu Ratu Duyung lalu tertawa panjang.

Kali ini muka pucat Suci yang kelihatan berubah merah. Sepasang matanya yang selama ini
selalu memandang sedingin es kelihatan seperti dikobari api.

“Ratu Duyung, kau pandai bersilat lidah, memutar balik kenyataan, mencari kambing htam agar
dapat menutupi kebejatan diri dan melemparkannya pada orang lain! Wiro memang berhati
tulus hendak menolongmu. Tapi kebaikannya kau balas dengan mencelakai dirinya…”

“Siapa bilang aku mencelakai dirinya! Siapa bilang aku mencari kambing hitam. Aku tadi
bertanya, apa yang kau lakukan terhadap Wiro di alam rohmu? Bercinta bermesraan? Adakah
pantas roh gentayangan bercinta mesra dengan insan penghuni bumi? Hanya makhluk salah
kaprah lahir batin dan mencari keuntungan sendiri seperti dirimu yang mampu melakukan
perbuatan tidak terpuji itu!”

Melihat perang mulut itu semakin panas, Anggini melangkah maju hendak memisah. Tapi
lengannya cepat dipegang oleh Bidadari Angin Timur. “Urusan mereka berdua jangan kita
campuri….” bisik Bidadari Angin Timur.

“Jika tidak dicegah urusan kita bisa jadi kacau balau…” menjawab Anggini.

“Biarkan saja. Jika sudah capai mereka akan berhenti sendiri…”


“Mereka tidak akan capai kecuali kalau salah satu dari mereka menemui kematian! Itu yang aku
takutkan!” jawab Anggini namun Bidadari Angin Timur masih terus memegangi lengannya
hingga Anggini tidak bisa bergerak melangkah.

“Ratu Duyung, kau memang makhluk tidak tahu berterima kasih. Tapi aku tidak heran melihat
kelainan dalam perbuatan dan pikiranmu. Bukankah kau makhluk pewaris kutuk laknat yang
sebenarnya akan tetap terpendam di dalam kutuk kalau tidak ditolong Wiro?!”

“Kau cemburu aku mendapat pertolongan dari pemuda gagah dan sakti itu? Aku tidak heran
kalau Penekar 212 disukai banyak gadis. Tapi kalau roh gentayangan sepertimu ikut-ikutan
menyukainya sungguh mengerikan! Apa kau kira kau bisa mendapatkan dirinya dan hidup
bersamanya? Belum pernah aku dengar ada roh yang berjodoh lalu kawin dengan manusia! Jadi
kau harus tahu diri. Jangan berharap terlalu banyak dengan bermanis diri ke sana kemari sambil
menebar ucapan busuk dan melakukan perbuatan tidak terpuji dimana-mana! Lebih bak kau
kembali saja ke alammu, jangan pernah lagi memperlihatkan diri di alam manusia!”

Suci memekik keras. “Ratu bejat! Rohmu jauh lebih busuk dari semua roh yang ada di muka
bumi ini! Biar aku buktikan dengan mengirimmu ke alam sana!”

Habis berkata begitu Suci alias Dewi Bunga Mayat hentakkan kaki kanannya ke tanah. Dari
tanah serta merta membersit satu cahaya merah.

Cahaya ini merambat ke atas memasuki tubuh Suci, terus ke kepala. Begitu cahaya merah
memasuki kedua matanya, saat itu juga cahaya itu melesat keluar dan dengan segala
kedahsyatan dan keangkerannya berkiblat ke arah Ratu Duyung! Inilah ilmu kesaktian yang
disebut Roh Mendera Bumi. Selama ini tidak ada satu manusiapun bisa selamat dari serangan.
Jangankan manusia, batu besar sekalipun bisa hangus hancur berkeping-keping!

Pada saat Suci hentakkan kakinya ke tanah dan ada sinar merah melesat ke atas, tiga gadis
bertindak cepat. Pertama sekali tentu saja Ratu Duyung. Secepat kilat gadis ini keluarkan
cermin saktinya. Sambil melompat ke samping cermin bulat ini diputar demikian rupa sambil
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Selarik sinar putih menghambur menyilaukan di malam
gelap, menghantam ke arah Suci.

Suci sendiri saat itu terhuyung ke samping setelah tubuhnya didorong oleh Puti Andini dan
Anggini. Ke dua gadis ini berusaha mencegah Suci melancarkan serangan sambil berteriak agar
Ratu Duyung jangan balas menyerang.

Dua gelegar dahsyat menggema di puncak Bukit Ampel. Satu lamping batu hancur. Setiap
keping hancuran bertebaran di udara, berubah menjadi bara merah mengepulkan asap.
Sungguh mengerikan akibat hantaman ilmu Roh Mendera Bumi yang dilancarkan Suci. Di
tempat lain serumpun semak belukar dan satu pohon besar tumbang lalu tenggelam dalam
kobaran api akibat sapuan sinar putih yang keluar dari cermin sakti Ratu Duyung.
Ratu Duyung tegak tergontai-gontai. Mukanya yang cantik seperti tdak berdarah. Dari sela
bibirnya ada cairan merah meleleh jatuh ke dagu.

Walau selamat dari serangan maut Suci namun bentrokan tenaga dalam membuat sang Ratu
terluka di sebelah dalam.

Di tempat lain sosok Suci bergulingan di tanah, lalu jatuh tumpang tindih dengan tubuh Anggini
dan Puti Andini yang tadi berusaha mencegahnya melepaskan pukulan sekaligus
menyelamatkannya dari serangan Ratu Duyung.

“Kalian mencegahku menyerang Ratu keparat itu! Kalian melindunginya! Kalian berserikat jahat
dengannya!” Suci berucap setelah mendorong Anggini dan Puti Andini yang ada di sampingnya.

“Sahabat, jangan salah menduga!” kata Anggini. “Kami tidak ingin terjadi pertumpahan darah di
antara kita. Maksud kedatangan kami ke bukit ini adalah untuk menjajagi apa yang terjadi
dengan diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau sebelumnya kami tidak menghubungimu, tapi
kau telah bersedia datang ke sini. Kami sangat berterima kasih. Berarti apa yang ada di dalam
pikiran dan hatimu sama dengan yang ada dalam diri kami. Sahabat Suci, harap kau bersabar
diri. Kau sebenarnya bisa membantu banyak menacari Pendekar 212…”

“Siapa sudi membantu Ratu jahanam itu!” bentak Suci.

“Jangan cuma memandang pada dirinya. Harap kau memperhatikan kepentingan kita bersama.
Apakah kau tidak ingin melihat kita menemukan Wiro dalam keadaan selamat…?”

Mendengar kata-kata Anggini itu, agak surut amarah Suci. Matanya mendelik memandang ke
arah Bidadari Angin Timur. Dalam hati dia berkata.

“Si pirang itu. Dia hanya berdiri tegak, tidak melakukan apa-apa. Dia ingin aku celaka di tangan
Ratu Duyung! Aku tahu apa yang ada di otaknya yang cerdik. Kalau salah satu dari kami
mengalami celaka, dia akan lebih punya peluang mendapatkan Pendekar 212. Huh, dia mengira
begitu!”

“Suci, kurasa kau bisa menerima ucapan sahabat Anggini….” berkata Puti Andini.

Suci anggukkan kepala. “Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Aku merasa lebih baik
meninggalkan tempat ini…” Di wajah Suci muncul bayangan kesedihan. Dalam hatinya ada satu
suara berkata. “Wiro, semua ini aku lakukan karena cinta kasihku padamu. Itu sebabnya aku
sulit untuk mencari dan menemukan dirimu. Itu sebabnya aku berusaha memasuki alammu.
Tapi rasanya alammu tidak begitu bersahabat dengan diriku. Aku menyadari bahwa tidak akan
ada insan yang mau berbagi rasa dengan diriku. Mereka akan mengejek diriku jika mengetahui
bagaimana aku sangat mencintaimu. Wiro, kalau saja alam kita tidak berbeda, matipun sudah
sejak dulu kulakukan demi untuk mendapatkan dirimu. Wiro, masih terngiang di telingaku
ucapanmu waktu mengatakan ketulusan cintamu padaku…” (Baca “Misteri Dewi Bunga
Mayat”).

Anggini dan Puti Andini jadi saling pandang terheran-heran ketika bagaimana di sudut mata Suci
menggelincir air mata bening. Dua gadis ini serta merta ikut diselimuti kesedihan.

“Kami tidak memintamu pergi,” kata Anggini pula. “Tapi jika kau memutuskan demikian

rasanya itu memang lebih baik.”

“Kalian berdua telah berlaku baik padaku. Aku tidak akan melupakan hal itu. Anggini, Puti….
Kalau saja kalian tahu bagaimana rasanya hidup di alamku yang penuh kegelapan, dimana aku
hanya melihat Pendekar 212 Wiro Sableng sabagai satu-satunya pelita penerang jalan, kalian
akan memaklumi mengapa aku ingin selalu keluar dari kegelapan itu. Aku tahu, aku tidak akan
mungkin mendapatkan pemuda itu. Namun cinta kasih sejati bukan berarti selalu memiliki…”

“Kami mengerti Suci, kami mengerti…” kata Puti Andini seraya menyeka air mata yang berguling
di pipi Suci. Dia tidak menyadari kalau saat itu air mata juga menetes jatuh ke pipinya.

“Anggini, sebelum aku pergi maukah kau melakukan sesuatu untukku?”

“Aku akan melakukan apa saja yang dapat kulakukan untukmu Suci,” jawab Angini, murid Dewa
Tuak.

Dari balik pakaiannya Suci mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning. Ternyata benda itu
adalah sekuntum bunga kenanga. Tempat itu segera ditebari bau harumnya bunga.

“Anggini, jika kau bertemu dengan Pendekar 212, berikan bunga kenanga ini padanya…”

“Akan kulakukan. Pesan atau apa yang harus aku katakan padanya?” tanya Anggini sambil
pandangi bunga itu sesaat lalu mengambilnya.

“Kau tak usah mengatakan apa-apa. Juga tak ada pesan dariku. Wiro sudah tahu artinya bunga
itu…”

“Baik, akan kusampaikan bunga ini pada Pendekar 212.”

“Terima kasih Anggini. Selamat tinggal sahabat-sahabatku…”

“Kami selalu mengharapkan bisa bertemu lagi denganmu Suci,” kata Anggini sambil memegang
tangan Suci erat-erat sementara matanya sendiri sudah berkaca-kaca sejak tadi.

Bau harum bunga kenanga merebak di pucak bukit. Suci tersenyum pada dua gadis di
depannya, wajah yang tersenyum itu kemudian berubah lagi seperti menjadi asap. Anggini
perhatikan tangannya yang tadi memegang lengan Suci. Kini dia hanya memegang udara
kosong. Suci telah lenyap.

Anggini dan Puti Andini menghela nafas dalam lalu berpaling ke arah Ratu Duyung yang masih
tegak berdiri. Matanya yang biru kelihatan terbuka lebar. Sementara itu Bidadari Angin Timur
masih tetap berada di tempatnya semula. Dia baru beranjak ketika dilihatnya Puti Andini dan
Anggini melangkah mendekati Ratu Duyung.

“Ratu, ada darah di sela bibirmu. Kau terluka di dalam…” kata Anggini lalu mengeluarkan
sehelai sapu tangan dan menyeka darah yang ada di sudut bibir sang Ratu.

“Terima kasih. Aku memang terluka di dalam tapi tidak apa-apa…” kata Ratu Duyung.

Dari kantong perbekalannya Puti Andini keluarkan satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia
mengambil sebutir obat berwarna kuning lalu menyerahkannya pada Rstu Duyung. “Minumlah,
sebelum fajar datang mudah-mudahan luka dalammu sudah sembuh.”

“Ah, kau baik sekali. Terima kasih.” Ratu Duyung mengambil obat kuning yang diserahkan lalu
tanpa ragu memasukkan obat itu ke dalam mulut dan menelannya. Dia menarik nafas panjang
beberapa kali. “Aku merasa lebih baik sekarang. Bagaimana kalau kita mulai membicarakan
persoalan yang kita hadapi?”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 11

Setalah lebih dulu menatap wajah tiga gadis itu satu persatu baru Bidadari Angin Timur mulai
bicara.

“Para sahabat, kita semua tahu apa maksud tujuan pertemuan ini. Kita juga sama menyadari
bahwa dasar pertemuan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan pribadi. Kita mempunyai
tujuan sama yakni mencari tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Apa yang
terjadi dengan dirinya. Selama ini mungkin di antara kita telah mencari jalan sendiri-sendiri
untuk mneyelidik. Namun hasilnya nihil. Mungkin jika kita bergabung, membagi jalan pikiran
serta mengungkapkan apa yang kita keahui, akan lebih mudah melakukan penyelidikan…”

“Sahabat Bidadari Angin Timur, maafkan kalau aku lancang mulut berani memotong
ucapanmu,” berkata Angini.

“Apa yang hendak kau sampaikan Anggini?” tanya Bidadari Angin Timur.

“Terus terang, aku yang berada jauh di Pulau Andalas, juga Puti Andini yang memencilkan diri di
pantai selatan, walau diselimuti rasa kekawatiran, namun tidak bisa berbuat banyak dalam
melakukan penyelidikan…”
“Aku dan Ratu Duyung rasanya dapat mengerti hal itu. Kami yang ada di Pulau Jawa saja belum
bisa mengetahui apa-apa. Apa lagi kalian yang jauh. Namun ada satu temuanku yang perlu aku
beritahukan pada kalian. Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa tokoh persilatan
ternyata diketahui bukan cuma Wiro saja yang lenyap secara aneh. Ada dua orang tidak
diketahui rimbanya dalam jangka waktu bersamaan dengan lenyapnya Pendekar 212. Mereka
adalah seorang tokoh silat aneh berjuluk Setan Ngompol. Kita semua pernah bertemu
dengannya. Orang kedua seorang bocah dikenal dengan nama Naga Kuning. Anak ini juga
pernah bertemu dengan kita. Aku berusaha menyelidik lebih jauh. Hasilnya tidak banyak.
Diketahui ke tiga orang itu lenyap dalam waktu bersamaan. Diketahui pula ketiganya terlihat
bersama-sama sebelum raib entah kemana…” Setelah diam sesaat Bidadari Angin Timur
melanjutkan. “Dalam perjalanan ke sini, aku menyirap satu kejadian di Kotaraja. Juru ukir
Keraton Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di rumahnya dengan kepala pecah.
Istrinya lenyap. Tapi kukira kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang tengah kita
selidiki. Karenanya sekarang biar aku langsung saja pada satu kabar yang baru kudengar sejak
beberapa hari ini. Kabar itu mengatakan bahwa Pendekar 212 telah menemui kematian sekitar
satu tahun lalu…”

Anggini tersentak pucat mendengar keterangan Bidadari Angin Timur itu. Puti Andini keluarkan
seruan tertahan sedang Ratu Duyung terdiam dengan mata birunya membelalak besar.

“Kita harus menyelidiki kebenaran kabar itu,” kata Bidadari Angin Timur melanjutkan. “Di balik
berita kematian Pendekar 212, menyusul kabar agak aneh. Yang pertama mengatakan
Pendekar 212 dimakamkan di pekuburan Banyubiru, tah jauh dari Telaga Rawapening. Kabar
kedua menyebut Wiro dikebumikan di satu pekuburan dekat Candi Kopeng…”

“Ini memang aneh,” Ratu Duyung membuka mulut. “Karena kabar yang aku dengar justru
Pendekar iu telah dimakamkan di Gunung Gede, tak jauh dari tempat kediaman gurunya Sinto
Gendeng.”

“Berarti ada tiga makam yang harus kita selidiki,” kata Anggini pula. “Kita bisa menyelusuri
kebenaran kabar itu satu persatu. Candi Kopeng dekat dari sini. Telaga Banyubiru tak berapa
jauh di sebelah utara. Untuk menyelidik ke Gunung Gede memang jauh dan butuh waktu…”
kata Anggini.

“Kalau begitu kita bisa mulai menyelidik ke pekuburan di Kopeng. Jika kita berangkat sekarang,
paling lambat setelah matahari tenggelam kita sudah sampai di sana.” Kata Ratu Duyung lalu
memandang pada tiga gadis lainnya menunggu pendapat mereka.

“Aku setuju. Kita berangkat ke Kopeng sekarang.” Bidadari Angin Timur menanggapi ucapan
Ratu Duyung. Anggini dan Puti Andini menurut saja.

Ketika tiga gadis hendak bergerak pergi Ratu Duyung berkata. “Tunggu! Ada satu hal yang ingin
kuceritakan dan kutanyakan pada sahabat Bidadari Angin Timur.”
Tiga gadis menahan langkah sama membalik. Bidadari Angin Timur menatap sesaat lalu
bertanya.

“Ratu Duyung, apa yang hendak kau ceritakan? Aku siap menjawab pertanyaanmu…”

“Bidadari Angin Timur, aku bicara mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu di pekuburan
dekat Candi Pawan. Sebelum aku menemuimu, kau telah menjebol sebuah makam. Kau ingat?”

“Aku ingat,” jawab Bidadari Angin Timur. “Memangnya kenapa?”

“Tak lama setelah kau pergi, dari dalam makam itu melesat keluar sosok mengerikan seorang
nenek. Kulit muka dan dadanya terkelupas. Hidungnya gerumpung. Matanya cuma satu. Itu
belum seberapa. Yang membuat aku benar-benar setengah mati ketakutan, nenek ini buntung
tangan kanannya. Dan tangan yang buntung itu menempel melintang di atas keningnya!”

“Ada manusia keluar dari dalam makam. Itu saja sudah sulit dipercaya!” kata Bidadari Angin
Timur. “Lalu di keningnya menempel tangan kanannya sendiri! Itu tambah lebih sulit
dipercaya!”

“Tapi aku menyaksikan sendiri! Aku berteriak memanggilmu. Tapi kau sudah lenyap. Aku
mengira semua itu adalah permainan akal licikmu hendak menakuti diriku…”

“Ratu Duyung, keterlaluan kalau kau menuduh seperti itu!” Bidadari Angin Timur tidak senang.

“Aku tidak menuduhmu. Aku hanya menghubungkan kejadian itu dengan ucapan sebelumnya
di atas makam. Ingat, waktu itu kau kudengar berteriak begini.

“Orang di atas makam! Tak ada gunanya kau terus bersembunyi. Lekas keluar! Atau kau ingin
kukubur hiduphidup!”

“Ucapan itu hanya pancingan belaka. Karena aku tahu saat itu kau sembunyi tak jauh dari
pekuburan dan tengah mengintai gerak-gerikku!” menjelaskan Bidadari Angin Timur.

Ratu Duyung tak berkata apa-apa. Tapi dalam hati dia meragukan kebenaran ucapan gadis
berambut pirang itu.

***

Matahari belum lama tenggelam. Tapi awan mendung tebal yang menutupi langit membuat
keadaan segera menjadi gelap. Ketika hujan turun rintik-rintik seolah coba membasahi tanah
gersang pekuburan Kopeng yang telah sekian lama tidak pernah disentuh air, empat bayangan
berkelebat. Yang mendatangi pekuburan itu bukan lain adalah Bidadari Angin Timur dan tiga
gadis lainnya.
“Gelap, gerimis, tak ada satu orangpun di sini. Bagaimana kita mencari kuburan Wiro?” berkata
Puti Andini.

Ratu Duyung memperhatikan keadaan pekuburan itu sesaat lalu berkata. “Menurut
penglihatanku, jumlah makam di pekuburan ini tidak lebih dari tiga puluh. Kita bisa
memeriksanya satu persatu. Kalau menyebar, kita bisa mengerjakan lebih cepat!”

“Usul yang baik!” menjawab Bidadari Angin Timur. “Aku akan memeriksa di jurusan ini. Ratu
Duyung, kau di sebelah sana, Anggini kau yang di deretan situ dan Puti Andini kau di barisan
sebelah kiri depan… Kita harus bekerja cepat sebelum hujan turun lebih lebat!”

Empat gadis cantik itu menebar lalu mulai memeriksa setiap makam yang ada di pekuburan itu.
Rata-rata makam di situ merupakan makam tua. Beberapa di antaranya sudah hampir sama
rata dengan tanah sekitarnya, tidak memiliki batu atau papan nisan lagi. Yang masih ada papan
dan batu nisannya sudah tidak kentara tulisannya.

Tiba-tiba kilat menyambar. Menyusul suara gelegar geluduk. Di ujung kuburan sebelah kanan
terdengar pekik Anggini. Tiga gadis lainnya segera berpaling. Semula mereka menduga jeritan
Anggini tadi karena terkejut oleh sambaran kilat dan gelegar geluduk. Tapi rupanya tidak.
Karena saat itu tampak Anggini tegak di depan sebuah makam. Tangan kanan menutupi mulut
sementara tangan kiri menunjuk ke arah makam di depannya. Ratu Duyung, Bidadari Angin
Timur dan Puti Andini segera melompat ke tempat Anggini. Mereka dapati gadis itu berdiri
dalam keadaan tubuh menggigil. Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Anggini. Ternyata
yang ditunjuk adalah sebuah nisan terbuat dari papan yang sudah lapuk dan menancap miring
di kepala makam. Pada papan itu ada sederatan tulisan dalam huruf-huruf Jawa Kuno.

Kilat menyambar. Empat gadis menekap telinga masing-masing meredam hantaman suara
geledek. Pada saat tempat itu menadi terang, semua mata para gadis memandang lekat-lekat
ke arah papan nisan, coba membaca nama yang tertera agak samar di papan lapuk.

“Ya Tuhan!” pekik Ratu Duyung begitu dia berhasil membaca nama di papan lapuk.

Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan, jatuh berlutut di depan makam.

Puti Andini menekap mulutnya dengan ke dua tangan. Lututnya goyah. Gadis ini terduduk di
tanah di samping Bidadari Angin Timur.

Wajah empat gadis di depan makam sama pucat. Tengkuk mereka sama terasa dingin. Mereka
tidak perdulikan lagi hujan gerimis membasahi diri mereka. Di situ, di papan lapuk yang miring,
walau samar tapi masih bisa dibaca. Tertulis dalam huruf Jawa Kuno, nama yang tak asing lagi
bagi mereka. Wiro Sableng!

Setelah ke empatnya bisa mengusai diri, satu persatu mereka mulai berpikir jernih. Pertama
sekali terdengar Bidadari Angin Timur berucap.
“Aku melihat keanehan. Makam ini papan nisannya sudah sangat lapuk pertanda siapapun yang
dimakamkan di sini paling sedikit lebih dari satu tahun. Tapi mengapa tanahnya masih munjung
dan berwarna merah?!”

“Kalau makam ini ditumpangi jenazah baru, seharusnya papan nisannya diganti. Yang kita lihat
papan nisan tua bertuliskan Wiro Sableng!” Ikut bicara Ratu Duyung.

“Agaknya kita perlu menggali dan melihat isi makam…” ujar Anggini.

“Bagaimana kita melakukan? Kita tidak membawa peralatan!” berkata Puti Andini. Ke empat
gadis itu kemudian sama terdiam dan saling pandang.

“Ada orang datang!” tiba-tiba Bidadari Angin Timur memberi tahu.

Di bawah hujan, dalam kegelapan, dari arah timur seorang bercaping melangkah memasuki
pekuburan, langsung ke arah empat gadis itu berada. Ternyata dia seorang lelaki separuh baya,
berbadan tegap dan berkulit hitam liat.

“Kau siapa?!” bertanya Bidadari Angin Timur.

Yang ditanya balik bertanya. “Aku yang seharusnya bertanya. Empat orang gadis. Malam hari.
Hujan gerimis seperti ini. Ada keperluan apa berada di pekuburan?!”

Empat gadis yang sedang bingung itu jadi jengkel. Tapi masih bisa menahan diri.

“Kami perlu bantuan untuk menggali makam ini,” kata Ratu Duyung.

Kagetlah orang bercaping. Dia langsuns buka capingnya dan memandang pada Ratu Duyung lalu
pada tiga gadis lainnya.

“Ini aneh…” kata orang itu.

“Apa yang aneh?!” bentak Anggini.

“Tiga hari lalu ada orang datang ke sini. Dia minta aku menggali makam ini. Setelah kugali dia
masuk ke dalam kubur. Hanya sebentar lalu keluar lagi. Dia memberiku sejumlah uang.
Menyuruh timbun makam kembali. Sebelum pergi dia berpesan agar aku tidak menceritakan
kejadian itu pada siapapun. Tapi pada empat gadis secantik kalian, aku tak dapat menyimpan
rahasia…”

Orang itu tertawa lebar dan kedip-kedipkan matanya.


“Setan alas ini mulai tak tahu juntrungan…” bisik Anggini pada Ratu Duyung. “Sebelum
kutampar lekas katakan padanya bahwa kita juga mau minta bantuannya untuk menggali
makam.”

Ratu Duyung mengangguk. “Kami juga akan memberikan uang padamu. Asal kau mau menggali
makam ini.”

“Aha! Rejekiku besar! Untuk kalian apapun akan aku lakukan! Tapi aku perlu pulang dulu
mengambil peralatan dan minta bantuan seorang teman. Aku tak mungkin menggali makam ini
sendirian.”

“Kau tahu siapa yang dikuburkan di makam ini?”

“Namanya tertera di papan butut itu. Siapa orangnya aku tidak tahu…”

“Kau boleh pulang mengambil peralatan dan mencari bantuan temanmu. Lekas kembali…” kata
Puti Andini.

Empat gadis itu kemudian menunggu di bawah sebatang pohon besar. “Bagaimana kalau orang
tadi tidak kembali lagi?” tanya Anggini.

“Dia pasti kembali. Matanya liar melihat kita! Otaknya pasti kotor!” jawab Bidadari Angin Timur.

Tak lama kemudian lelaki tadi muncul kembali bersama dengan temannya. Tanpa banyak
menunggu keduanya segera menggali makam. Empat gadis berdiri memperlihatkan di seputar
makam. Cukup lama menanti, akhirnya terdengar suara pacul menyentuh satu benda keras di
dasar makam.

“Aku sudah sampai di dasar makam. Aku menemukan tengkorak dan tuilang-tulang manusia!”
Terdengar suara si penggali kuburan.

“Lemparkan ke atas!” teriak Ratu Duyung.

Sesaat kemudian dari dalam makam melesat keluar berbagai bentuk tulang-tulang putih
berbalut tanah. Mulai dari tulang tangan dan kaki, sampai iga.

“Lemparkan semua! Jangan ada yang ketinggalan!’ teriak Bidadari Angin Timur.

“Ini yang terakhir!”

Dari dalam makam melesat tengkorak kepala manusia. Menggelinding sebentar lalu berhenti
tak jauh dari kaki Anggini.
“Lihat!” teriak Anggini sambil menunjuk pada tengkorak kepala manusia itu. Pada kening
tengkorak. Dia tersurut kaget. Tiga gadis lainnya keluarkan seruan tertahan. Di kening
tengkorak ternyata ada tiga deretan angka. 212! Ratu Duyung memperhatikan.

“Tiga angka pada kening tengkorak ini masih baru. Digurat dengan semacam cat untuk
membatik…” memberitahu Ratu Duyung.

“Gila! Aku yakin ini bukan tengkorak kepala Pendekar 212! Setan dari mana punya perbuatan
edan seperti ini!” kata Bidadari Angin Timur.

Ratu Duyung mengankat tangan kirinya memberi tanda agar tidak ada yang bicara.

“Ada apa?” Anggini malah bertanya berbisik. Suaranya tercekat.

“Ada sebuah benda menyumpal di dalam mata kiri tengkorak!” jawab Ratu Duyung. Dia
mengambil satu patahan kayu. Dengan kayu ini dibersihkannya tanah yang menyumpal
sebagian rongga mata kiri itu. Ternyata benda itu adalah segulung kertas. Dengan agak gemetar
Ratu Duyung membuka gulungan kertas itu. Di situ tertera sebaris tulisan berbunyi :

“SELAMAT DATANG DI MAKAM SETAN PERTAMA. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM SETAN


KEDUA.”

“Jahanam kurang ajar! Jika kutemukan manusia yang melakukan ini, akan kupatahkan batang
lehernya!” kata Anggini menggeram marah.

Ratu Duyung bangkit berdiri. Sesaat dia menatap pada Bidadari Angin Timur. Ditatap seperti itu
gadis berambut pirang ini menjadi gusar.

“Tatapanmu terasa aneh. Membuat aku jadi tidak enak. Apa yang ada di benakmu Ratu
Duyung? Agaknya kau menghubungkan diriku dengan kejadian ini dan makhluk nenek-nenek
yang keluar dari makam yang tangan kanannya menempel di kening itu?”

“Aku tidak mengatakan sepatah katapun. Mengapa kau punya pikiran seperti itu?!” tukas Ratu
Duyung.

“Hujan tambah lebat. Payungku mungkin bisa membantu. Kita harus segera pergi dari sini!”
kata Puti Andini yang sengaja ingin menghindari kelanjutan tidak enak. Gadis ini lalu keluarkan
empat buah payung dari kantong di punggungnya. Tiga diserahkan pada tiga gadis, satu
dipakainya sendiri. Lalu dia memberikan sejumlah uang pada dua penggali makam.

Beberapa langkah setelah meninggalkan makam, tiba-tiba Ratu Duyung hentikan jalannya.

“Ada satu hal penting yang terlupa!’ kata sang Ratu.


“Apa?” tanya Bidadari Angin Timur yang diam-diam mulai kesal melihat sikap Ratu Duyung.

“Kita tidak menanyakan siapa adanya orang yang menyuruh gali makam tiga hari yang lalu
itu…”

“Astaga! Kau betul!” ujar Anggini setengah tersentak.

Saat itu Bidadari Angin Timur telah lebih dulu berbalik dan berlari cepat ke arah makam. Yang
lain-lainnya segera mengikuti. Sampai di depan makam yang barusan digali, ke empat gadis itu
terbelalak, tak bisa bersuara tak sanggup bergerak. Dua penggali kuburan menggeletak tak
bernyawa lagi di samping tanah makam yang belum sempat mereka timbun. Sebuah senjata
berbentuk tombak pendek menancap di leher.

“Kita belum jauh meninggalkan makam. Bagaimana mereka bisa menemui ajal begitu cepat?”
ujar Anggini.

“Siapapun adanya si pembunuh, dia pasti memiliki kepandaian luar biasa tinggi…” berkata Ratu
Duyung.

“Yang jadi pertanyaan, mengapa dua orang ini harus menjadi korban pembunuhan begini keji?
Apa salah mereka?” ujar Bidadari Angin Timur sambil memandang pada tiga gadis lainnya. Tak
ada yang bisa memberi jawaban.

Kilat menyambar. Geluduk menggelegar. Tanah pekuburan bergetar. Empat gadis yang belum
habis kagetnya melihat kematian dua penggali kubur keluarkan pekikan keras lalu serempak
mereka tinggalkan tempat itu sementara hujan lebat mengguyur turun dan desau angin
terdengar mengerikan.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 12

Dua makhluk kurus kering yang memiliki tubuh satu setengah kali tinggi manusia biasa

itu langkahkan kaki-kaki mereka yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladamnya lalu
berhenti sejarak empat langkah dari hadapan Pendekar 212. Wiro perhatikan dua tangan
mereka yang dempet satu sama lain. Dia tahu, dua tangan dempet itu jauh lebih berbahaya dari
tangantangan mereka yang lain.

“Saudaraku Tunggul Gono,” berkata makhluk di sebelah kiri. “Monyet gondrong itu tidak mau
menjawab pertanyaan kita!”

“Rupanya dia sengaja mempercepat kematiannya! Ha… ha…ha!” menyahuti manusia galah di
sebelah kanan, bernama Tunggul Gono.
Murid Sinto Gendeng tidak mau berlaku konyol sembrono. Sebelumnya di telah pernah
menghadapi dua makhluk ini. Mereka berkepandaian tinggi. Walau keduanya sempat dibikin
babak belur kemudian melarikan diri, namun waktu itu Wiro dibantu oleh seorang pendekar
muda berjuluk Pendekar Kipas Pelangi. Kini dia sendirian. Menghadapi dua musuh aneh itu dia
harus berlaku hai-hati.

“Momok Dempet, kalau Kitab Wasiat Malaikat dan Kitab Wasiat Dewa yang kalian cari, kedua
kitab itu tak ada padaku.”

Dua makhluk dempet yang dikenal dengan nama Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa
bekakakan.

“Kami sudah menduga kau akan berkata seperti itu!” kata Tunggul Gini. “Berarti kini kami tidak
perlu repot mengurus nyawamu!” Tunggul Gini berikan tanda dengan jentikkan jarijari tangan
kirinya. “Kita hantam saja dia langsung dengan pukulan Sepasang Palu Kematian. Habis
perkara!”

Dua manusia jangkung serempak keluarkan bentakan garang. Bersamaan dengan itu tangan
mereka yang dempet dipukulkan ke depan.

“Wusss!”

Serangkum angin memancarkan sinar hitam legam menderu dahsyat ke arah Pendekar

212. Kinasih menjerit. Bukan saja karena ketakutan tapi juga kawatir akan keselamatan Wiro.
Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah melihat kehebatan pukulan lawan yang
bernama Sepasang Palu Kematian itu. Sambil membentak keras Wiro jatuhkan diri ke tanah,
berguling ke kiri dengan cepat. Begitu sinar hitam lewat di atas kepalanya dia hantamkan
tangan kanan ke atas melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dengan
mengerahkan tenaga dalam hampir dua pertiga yang dimilikinya.

Sinar hitam pukulan Momok Dempet bertaburan di udara, keluarkan suara dahsyat laksana
mau meruntuhkan langit. Taburan-taburan yang berlesatan ke berbagai penjuru ini
menghancur dan menghanguskan apa saja yang dibenturnya. Asap mengepul di seputar tempat
itu. Gaung menggidikkan menggema sampai ke dasar lembah!

Walau sempat tercekat Wiro tak mau menunggu. Dengan tangan kirinya dia melepas pukulan
Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, mengerahkan lebih dari separoh tenaga dalam. Dua
serangan yang dilancarkan Wiro tadi adalah pukulan-pukulan sakti yang langka dan dipelajari
dari Kitab Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.

Momok Dempet keluarkan teriakan seperti kuda meringkik. Keduanya cari selamat dengan
sama-sama melesat ke udara sampai setinggi dua tombak.
“Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata Tunggul Gono membisiki saudaranya.Tunggul Gini
mengangguk.

Sambil melayang turun dua makhluk dempet ini keluarkan teriakan seperti kuda meringkik.
Secara aneh tubuh mereka kelihatan berputar seperti gasing. Dua tangan mengibas laksana
baling-baling. Mengeluarkan suara keras dan deru angin amat dahsyat. Jangankan tubuh
manusia, pohon atau batu sekalipun akan papas dihantam tangan itu!

Putaran tubuh serta tangan yang dibuat Momok Dempet mengandalkan kecepatan luar biasa.

Pendekar 212 terkejut sekali ketika tiba-tiba sosok dua makhluk itu tahu-tahu telah berada di
depannya.

“Breett!”

Baju putih Pendekar 212 robek di bagian bahu kiri. Kalau tadi murid Sinto Gendeng ini tidak
cepat menghindar, pasti bahunya sudah amblas putus dimakan serangan lawan! Rasa lega
karena selamat di hati Pendekar 212 hanya sesaat. Karena tidak terduga, cepat sekali dua
tangan lawan yang berputar berubah menjadi kemplangan kilat, menghantam ke arah pelipis
Wiro kiri kanan! Sungguh dahsyat pukulan dan jurus serangan bernama Palu Dan Ladam
Membongkar Bumi yang dilancarkan Momok Dempet itu! Selain cepat, gerakannya juga tidak
terduga.

Wiro tidak berkesempatan untuk mengindarkan diri. Yang bisa dilakukannya adalah menangkis
dua pukulan maut lawan dengan tangan kiri kanan. Untuk menangkis ini Wiro keluarkan seluruh
tenaga dalam dan keluarkan jurus yang selama ini hampir tidak pernah dipergunakannya yakni
jurus Kipas Sakti Terbuka.

Dua tangan Pendekar 212 menghantam ke atas, melesat ke kiri kanan seperti gerakan kipas
terbuka, menangkis dua tangan yang siap menghancurkan kepalanya.

“Bukkk!”

“Bukkk!”

Dua tangan Wiro beradu keras dengan tangan kiri kanan Momok Dempet. Tidak terduga
Tunggul Gono yang berada di sebelah kanan tendangkan kaki kanannya ke arah dada Wiro.
Pendekar 212 lipat lututnya untuk melidungi diri. Namun saat itu akibat bentrokan lengan tadi
Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah. Tendangan Tunggul Gono menyerempet paha kirinya
sebelah atas lalu melabrak perutnya!

Murid Sinto Gendeng menjerit keras. Perutnya serasa pecah. Dari mulutnya menyembur ludah
bercampur darah. Tulang punggungnya seperti hancur. Sementara dua tulang lengannya terasa
seolah patah.
Bentrokan tangan membuat dua makhluk dempet terpental jauh. Keduanya menjerit kesakitan.
Terjengkang di tanah, untuk beberapa lamanya tak mampu bergerak. Tangan merasa sakit
bukan main. Rasa sakit menjalar sampai ke dada, menyesakkan nafas.

“Jahanam! Monyet itu memiliki tenaga dalam luiar biasa!” rutuk Tunggul Gono. “Kalau tidak
cepat kita habisi, bisa celaka!” Lalu dia mendahului berdiri. Sepasang matanya laksana dikobari
api. Mukanya kelam membesi.

Bagitu berdiri Momok Dempet melihat Wiro terkapar di tanah tidak berdaya. Kesempatan ini
tidak disa-siakan mereka. Keduanya segera menyerbu.

Murid Sino Gendeng tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia cepat berguling menjauhi
lawan sambil tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera untuk
menghalangi gerakan lawan. Namun karena cidera tangannya cukup parah, apalagi dia tidak
mampu mengerahkan seluruh tenaga dalam akibat perutnya yang tadi kena tendangan kaki
kuda lawan, pukulan tangan kosong yang dilepaskan Wiro tidak sedahsyat sebagaimana
biasanya. Walau dihantam angin deras pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang
dilepaskan Wiro, setelah terhuyung sesaat, secara luar biasa Momok Dempet Berkaki Kuda
menerobos hantaman angin dan melangkah cepat mendekati Wiro.

“Celaka, kalau keadaan tangan dan tenaga dalamku begini rupa, aku tak mungkin mengeluarkan
pukulan Sinar Matahari…” Wiro mengeluh dalam hati sementara dua lawan bertangan dempet
itu semakin dekat.

“Tak ada jalan lain, aku harus mengeluarkan Kapak Naga Geni 212!” Wiro gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. Tapi alangkah terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika tangan yang
cidera itu tidak mampu diulurkan untuk menjangkau gagang kapak sakti!

“Benar-benar celaka!” keluh Wiro.

Momok Dempet Berkaki Kuda hanya tinggal tujuh langkah di hadapan Wiro. Dan sang Pendekar
dalam keadaan tak berdaya!

Dalam keadaan tegang luar biasa seperti itu mendadak Wiro ingat pada ilmu Membelah Bumi
Menyedot Arwah yang didapatnya dari Luhrembulan. (Baca serial Wiro Sableng di Negeri
Latanhasilam Episode berjudul “Istana Kebahagiaan”)

Melihat Wiro tegak tak berdaya sementara dua makhluk dempet mendatangi siap untuk
menghabisinya, Kinasih berteriak.

“Wiro! Lari! Selamatkan dirimu!” Kinasih sendiri saat itu siap memutar tubuh dan lari
meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang sulit dipercaya.
Pada saat Momok Dempet Berkaki Kuda tinggal empat langkah dari hadapannya tiba-tiba
Pendekar 212 hantamkan tumit kanannya ke tanah. Rrrrttttt! Tanah terkuak membelah.
Momok Dempet terbelalak besar, berteriak kaget ketika melihat belahan tanah bergerak cepat
sekali ke arah mereka.

Tunggul Gono, Momok di sebelah kanan melompat. Tunggul Gini ikut melompat namun
gerakannya agak terlambat. Kaki kanannya sudah berada di atas, tapi kaki kiri masih menginjak
tanah. Dia berusaha mengangkat kaki itu. Terlambat! Tanah yang menganga menyedot kakinya.
Tak ampun lagi Tunggul Gini tertarik ke bawah dan menjerit ketakutan setengah mati.

“Jahanam! Ilmu apa ini! Kurang ajar!” seru Tunggul Gono. Ketika menyaksikan kaki kiri
saudaranya semakin dalam masuk ke belahan tanah, Tunggul Gono cepat pergunakan kaki
kanannya untuk menendang.

Kembali terdengar raungan Tunggul Gini. Lututnya hancur. Kakinya putus. Tunggul Gono cepat
menarik tubuh saudaranya. Tunggul Gini selamat walau kakinya sebatas lutut ke bawah putus
kemudian lenyap disedot tanah yang terbelah! Secara aneh tanah terbelah itu kembali
menutup dengan sendirinya!

Susah payah Tunggul Gono panggul saudaranya di bahu kiri lalu secepat dia bisa berlari,
Tunggul Gono kabur dari tempat itu.

Pendekar 212 jatuhkan diri berlutut di tanah. “Luhrembulan, kalau kau tidak memberikan ilmu
itu padaku, niscaya tadi aku sudah dihabisi makhluk dempet celaka…” Wiro hendak menggaruk
kepala tapi mengerenyit sakit. Tangan kirinya terasa linu. Dia segera atur jalan darah dan
pernafasan. Perlahan-lahan dia kerahkan hawa sakti yang ada di perut. Namun belum cukup
sempurna di sebelah belakang ada suara orang berlari mendekatinya, Wiro cepat berpaling.
Yang datang ternyata Kinasih.

Terhuyung-huyung, dengan berpegangan ke pinggang Kinasih, Pendekar 212 berusaha berdiri.


Saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan.

“Momok Dempet…” pikir Wiro. “Jangan-jangan makhluk jahanam berkaki kuda itu kembali ke
sini. Jika mereka berani kembali berarti ada orang lain berkepandaian tinggi ikut bersama
keduanya. “Wiro memandang bekeliling. Dia melihat serumpunan semak belukar lebat di
sebelah kiri di belakang sederetan pohon-pohon besar. Wiro memberi isyarat pada Kinasih.
Kedua orang ini melangkah cepat lalu menyelinap ke balik semak belukar.

Karena tidak tahu siapa yang datang dan bahaya apa yang bakal dihadapi, Wiro segera berjaga-
jaga dengan coba mengerahkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.

Ternyata dia masih belum mampu mengerahkan tenaga dalam akibat perutnya yang masih
cidera bekas terkena tendangan Momok Dempet. Dengan dada berdebar dan mata tak berkesip
memandang ke depan, Wiro menunggu. Suara derap ladam-ladam kuda itu semakin dekat.
TAMAT

Eps 122 Roh Dalam Keraton

BAB 1

Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih yang sembunyi di balik semak belukar di belakang
sederetan pohon-pohon besar tidak menunggu lama. Yang muncul ternyata bukan Momok
Dempet Berkaki Kuda, tapi serombongan penunggang kuda terdiri dari lima orang. Mereka
berseragam hitam, bertampang sangar ganas. Rambut rata-rata panjang sebahu, kepala diikat
kain hitam, muka tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di pinggang terselip
golok besar yang gagangnya berbentuk sama yakni ukiran tengkorak. Kelima orang ini
membawa buntalan besar, digantung di leher kuda masing-masing.

“Siapa mereka. Pasti orang-orang jahat…” bisik Kinasih.

Wiro memberi anda agar Kinasih segera menutup mulut.

Penunggang kuda paling depan tiba-tiba angkat tangan kirinya. “Kita berhenti di sini. Hitung
jarahan!” Orang ini memiliki cacat di pertengahan kening, membelintang melewati mata kiri
membuat matanya mencelet keluar, merah mengerikan. Tampangnya paling seram dibanding
dengan empat kawannya. Dari ucapan serta sikap agaknya dia yang menjadi kepala rombongan.

Empat penunggang kuda lain segera hentikan kuda masing-masing lalu melompat ke tanah,
turunkan buntalan. Buntalan itu mereka letakkan di tanah di hadapan pimpinan mereka.

“Buka!” perintah si mata cacat.

Empat orang berpakaian hitam segera buka buntalan masing-masing. Di dalam setiap buntalan
ternyata ada sebuah peti, terbuat dari kayu jati coklat kehitaman. Pada penutup peti ada
gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung. Empat buah peti itu
ternyata dikunci dengan sebuah gembok besar terbuat dari besi.

Empat lelaki berpakaian hitam cabut golok masing-masing. Tangan sama bergerak membacok.

“Trang… trang… trang… trang!”

Empat gembok terbelah, tanggal dari peti, jatuh ke tanah. Empat orang bertampang buas
segera membuka tutup peti. Begitu peti dibuka, mata mereka sama membeliak besar lalu
berbarengan ke empatnya tertawa bergelak.

“Rejeki kita benar-benar besar! Ha… ha… ha!”


Dari tempat mereka bersembunyi, karena terletak di bagian tanah yang agak ketinggian Wiro
dan Kinasih daprt melihat sebagian isi peti itu.

”Harta perhiasan… uang emas… bukan main! Seumur hidup aku tidak pernah melihat sebanyak
itu…” tak sadar Kinasih keluarkan ucapan. Wiro cepat menekap mulut perempuan ini.

“Warok Mata Api, kau belum membuka buntalanmu! Kami ingin melihat isinya!” salah seorang
dari empat lelaki berpakaian hitam berkata.

“Warok Mata Api…” ujar Kinasih mengulang nama itu dengan suara perlahan dan bergetar.

“Kau tahu siapa dia?” berbisik Wiro.

“Aku pernah mendengar namanya. Suamiku pernah cerita. Warok Mata Api adalah salah sati
dari empat dedengkot rampok Alas Roban. Dia menguasai kawasan selatan. Suamiku pernah
menceritakan Warok Mata Api paling ganas di antara empat penguasa Hutan Roban.”

“Aku sudah duga. Ternyata mereka adalah komplotan penjahat. Gambar pada penutup peti
adalah lambang Kerajaan. Jangan-jangan yang mereka jarah harta benda milik Kerajaan…
Rampok berani mati!”

Wiro hentikan ucapan karena saat itu dia melihat Warok Mata Api mulai membuka
buntalannya. Seperti isi empat buntalan yang sudah dibuka di dalamnya terdapat sebuah peti
coklat kehitaman. Bedanya peti satu ini jauh lebih besar dibanding empat peti lainnya. Seperti
yang dilakukan empat anak buahnya, Wiro mengira kepala rampok itu akan membacokkan
golok besarnya untuk menghancurkan gembok besar penutup peti. Ternyata Warok Mata Api
pergunakan tangan kosong. Gembok besi digenggam. Sekali tangannya meremas gembok besi
itu hancur berantakan! Kalau Kinasih leletkan lidah terkagum-kagum, murid Sinto Gendeng
hanya menyeringai. “Boleh juga tenaga dalam begundal satu ini…” katanya dalam hati.

Warok Maa Api buka penutup peti. Seringai lebar muncul di wajahnya begitu sepasang matanya
melihat ke dalam peti. Empat anak buahnya terperangah. Peti itu penuh dengan barang
perhiasan dan mata uang. Semuanya dari emas. Karena petinya lebih besar maka dengan
sendirinya isinya jauh lebih banyak dari peti-peti lain.

“Warok! Ada satu kotak kecil di atas tumpukan perhiasan!” Salah seorang anak buah Warok
Mata Api berkata sambil menunjuk.

“Aku sudah melihat!” Jawab Warok Mata Api lalu ulurkan tangan mengambil sebuah kotak kayu
yang terletak di atas tumpukan harta perhiasan. Kotak kayu ini bagus sekali buatannya, halus
berkilat. Di sebelah atas ada ukiran bintang dalam lingkaran, diapit dua naga bergelung. Itulah
lambang kerajaan. Siapa saja yang melihat pasti mengenali.
Dengan tangan kirinya Warok Mata Api buka tutup kotak. Empat anak buahnya mendekat. Dari
dalam kotak kayu itu keluar satu cahaya kuning.

“Keris emas!” Empat anggota rampok Alas Roban berucap berbarengan.

Warok Maa Api tenang saja. Tangan kanannya diulurkan. Ketika jari-jarinya menyentuh keris
emas di dalam kotak, dia merasakan ada satu hawa aneh menjalar memasuki tubuhnya,
membuat tengkuknya menjadi dingin.

“Ini pasti bukan senjats sembarangan,” kata sang Warok lalu kerahkan hawa sakti di dalam
tubuhnya untuk menolak hawa aneh yang merangsak. Tangannya bergetar hebat, rasa ngilu
menyengat sampai ke persendian bahu.

“Warok! Ada apa?!” Salah seorang anak buah Warok Mata Api berseru kaget ketika melihat
sosok pimpinannya mengerenyitkan muka angkernya.

Warok Mata Api cepat-cepat kendurkan tenaga dalam, menghindarkan bentrokan yang bisa
membuat dia menjadi malu di depan sekian anak buahnya.

Sambil memperhatikan keris emas itu Warok Mata Api berpikir-pikir.

“Belum pernah aku melihat keris dengan sarung begini bagus. Buatannya halus. Ada ukiran
bintang dalam gelangan. Dua ekor naga… Aku yakin, senjata ini lebih berharga dari semua harta
perhiasan dalam lima buah peti…”

Dengan hati-hati Warok Mata Api cabut keris emas itu. Begitu mata keris keluar dari sarung,
satu cahaya kuning membersit menyilaukan, membuat Warok Mata Api tersurut dua langkah ke
belakang. Tangannya bergetar dan kembali ada hawa aneh menjalari sekujur tubuhnya. Kali ini
lebih hebat dari yang tadi. Keris emas itu hampir terlepas jatuh dari pegangannya.

“Senjata luar biasa! Benar-benar luar biasa!” Kepala rampok hutan Roban kawasan selatan itu
cepat-cepat masukkan keris emas ke dalam sarungnya lalu selipkan senjata itu di pinggang di
balik pakaiannya. Begitu keris menempel di tubuhnya kini ada hawa hangat mengalir. Sang
Warok menunggu dengan berdebar. Ternyata hawa hangat itu segera sirna. Dia menarik nafas
lega.

“Warok, saatnya kita membagi jarahan,” anak buah di samping kanan Warok Mata Api berkata.

Warok Mata Api mengangguk. “Dua pertiga dari harta dan uang dalam empat peti itu masukkan
ke dalam petiku. Sisa yang sepertiga itu bagian kalian!”

Empat anggota rampok terkesiap saling pandang satu sama lain. Wajah mereka membersitkan
rasa tidak puas. Yang tiga hanya berdiam diri tapi yang satu membuka mulut bicara keras.
“Warok, pembagian yang kau tentukan tidak adil! Kami sudah belasan tahun ikut bersamamu!
Kau masih saja memperlakukan kami seperti ini! Sesuai janjimu semula kami justru dapat dua
pertiga. Yang sepertiga untukmu! Sekarang mengapa terbalik?!”

“Salak Jonggrang! Apakah kau bicara mewakili teman-temanmu atau itu maumu sendiri!?”
Warok Mata Api bertanya. Suaranya datar dan sikapnya seperti tadi tetap tenang. Tapi dua
matanya memancarkan cahaya seperti kilatan api.

“Tiga temanku semua sungkan bicara. Jadi anggaplah aku mewakili mereka…” menjawab
anggota rampok bernama Salak Jonggrang.

“Hemmmm, begitu? Dari dulu kau selalu menjadi penyulut biang perpecahan di antara kita…”

“Aku tidak bermaksud begitu Warok. Aku hanya mengingatkan, semua tindakanmu selama ini,
terutama dalam membagi hasil jarahan selalu tidak adil. Kami dapat sedikit. Kau berlipat ganda.
Seperti saat ini. Kau juga sudah mengantongi keris emas itu. Kami tahu senjata itu bukan
sentjata sembarangan. Jauh lebih berharga dari semua emas perhiasan dan uang yang ada di
lima peti. Anehnya kau masih menetapkan pembagian berlimpah ruah untukmu. Apalagi
sebelumnya kau sudah berjanji. Hasil jarahan yang kami dapat satu banding tiga. Tiga untuk
kami, satu untuk kau. Lagi pula jarahan yang ada padamu tidak kami perhitungkan. Itu bulat-
bulat untukmu…”

“Jangan bicara segala macam janji. Aku pimpinan kalian. Setiap saat aku bisa merubah
perjanjian sepuluh kali aku suka!”

“Warok, kalau begitu…”

“Bicaraku belum selesai Salak Jonggrang!” hardik Warok Mata Api. Sepasang matanya
mendelik. Mata kirinya yang memerah seperti bara. “Jika aku tidak mau menuruti
permintaanmu dan teman-teman, kau akan melakukan apa Salak Jonggrang?! Akan
mengeroyokku?!”

Salak Jonggrang terdiam. Dia memandang pada tiga temannya. Tiga orang itu hanya diam dan
agaknya mulai merasa tidak enak begitu melihat tampang pimpinan mereka, kelam membesi
sementara mata mendelik tak berkesip.

“Tiga temanku hanya mengikut apa yang aku katakan, Warok…” kaa Salak Jonggrang pula.

Warok Mata Api menyeringai.

“Apa aku sudah tuli hah?! Tiga temanmu tidak bicara sepotongpun! Kau yang punya bisa! Kau
biang penghasut! Aku tidak suka pada anak buah sepertimu! Terus terang aku sudah lama muak
melihat tampangmu!”
Salak Jonggrang rupanya memang agak keras kepala. Mungkin karena telah bertahuntahun
diperlakukan tidak adil.

“Jika mereka suka menerima pembagian seperti maumu, itu urusan mereka. Untukku, aku
tetap menuntut seperti perjanjian semula.”

“Begitu…? Baiklah! Kau boleh ambil semua isi peti yang tadi kau bawa. Mulai hari ini aku tidak
ingin melihat tampangmu lagi!”

Salak Jonggrang pandangi tampang pimpinannya sesaat. Diam-diam hatinya bergeming juga
melihat tampang angker itu. Lalu peti yang ada di hadapannya ditutup, dimasukkan ke dalam
buntalan dan dinaikkan ke atas kuda.

“Aku pergi Warok. Kita tidak akan bertemu lagi!” kata Salak Jonggrang.

“Sebaiknya begitu,” sahut Warok Mata Api. “Sebelum pergi ada satu hal ingin kukatakan
padamu!” Sang Warok melangkah mendekati anak buahnya.

“Kau hendak mengatakan apa?!” tanya Salak Jonggrang sambil hentikan gerakannya yang
hendak naik ke punggung kuda.

“Tadi kukatakan aku sudah lama muak melihat tampangmu. Aku kawatir semua orang bersikap
sama denganku…”

“Apa maksudmu Warok Mata Api?” tanya Salak Jonggrang tidak mengerti.

“Maksudku, jika tidak disenangi orang dimana-mana, buat apalagi perlunya hidup berlama-lama
di dunia!” Habis berkata begitu Warok Mata Api tertawa bergelak. Tiba-tiba seperti direnggut
setan tawanya lenyap. Hampir tidak kelihtan kapan tangannya bergerak tahutahu golok besar di
pinggangnya telah terhunus keluar dari sarung, lalu berkiblat di udara. Semua orang, termasuk
Salak Jonggrang hanya melihat cahaya putih berkelebat.

“Crassss!”

Salak Jonggrang menjerit.

Darah menyembur dari lehernya yang nyaris putus. Suara jeritannya tidak selesai, tercekik
setengah jalan lalu tubuhnya tergelimpang roboh ke tanah, menggeliat sebentar kemudian
diam tak berkutik lagi!

“Edan! Gerakan kepala rampok itu luar biasa cepatnya. Aku hanya sempat melihat bahunya
bergerak lalu darah menyembur!” Di balik rerumpunan semak belukar tempatnya bersembunyi
bersama Kinasih, murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Dua anak buah Warok Mata Api terbelalak. Mulut ternganga tapi tak ada suara.

Salak Jonggrang adalah anak buah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namun jika dia tidak
bisa selamatkan diri dari serangan kilat tadi, menemui ajal sekali tabas saja dapat dimengerti
karena waktu mengirimkan serangan maut tadi Warok Maa Api telah mempergunakan jurus
paling hebat yang dimilikinya. Yakni jurus bernama Di Dalam Gelap Maut Menyusup. Sesuai
dengan nama jurus itu Salak Jonggrang tidak melihat apa-apa. Dia seolah berada dalam gelap
hingga jari di depan matapun tidak kelihaan! Tahu-tahu golok sudah mengibas tenggorokannya!

Warok Mata Api pandangi mayat anak buahnya itu dengan seringai bermain di mulut. Lalu dia
berpaling pada tiga yang lain.

“Ada di antara kalian yang ingin mengikuti jejak Salak Jonggrang?!”

Tak ada yang menyahut. Warok Mata Api angguk-angukkan kepala lalu berkata. “ Bagus, kalian
rupanya bukan bangsa pembangkang! Masukkan dua pertiga isi peti kalian ke dalam petiku.
Lalu tinggalkan tempat ini. Kita berpisah di sini. Kalian kembali ke Roban, aku menyusul
kemudian.”

Tanpa banyak cerita atau berani bicara tiga anggota rampok hutan Roban segera lakukan apa
yang diperintah oleh pimpinan mereka. Lalu memasukkan peti kecul yang isinya tinggal
sepertiga ke dalam buntalan masing-masing. Warok Mata Api kemudian sibuk mengemasi peti
besarnya. Ketika ke empat orang ini hendak melangkah ke kuda masing-masing tiba-tiba
kesunyian di tempat itu dipecah oleh suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian muncul seorang
pemuda berbaju kuning yang kancing-kancingnya terbuat dari kayu diukir seperti potongan
bambu kecil. Celananya berwarna hitam. Wajahnya tampan. Dia menunggang seekor kuda
coklat yang bagian hidungnya berwarana putih. Tubuhnya yang tegap kokoh tampak gagah di
atas kuda.

“Warok Mata Api! Jangan buru-buru pergi. Kita perlu membicarakan pembagian hasil jarahan
untukku!”

Warok Mata Api dan tiga anak buahnya berpaling cepat.

“Sial! Kau rupnaya!” maki kepala rampok hutan Roban itu.

“Jangan bermulut lancang berani memaki! kalau bukan bantuan dan keterangan dariku seumur
hidup kau tidak akan pernah mendapatkan hasil jarahan sebanyak itu! Apa yang kau dapat
cukup untuk hidupmu tiga turunan! Bukannya berterima kasih malah berani memaki!”

Rahang Warok Mata Api menggembung. Dua matanya mendelik. Dia masukkan tangan

kiri ke dalam buntalan. “Kau minta imbalan! Ambillah dan lekas pergi!” Tangan kiri Warok Mata
Api bergerak. Satu benda kuning melesat ke arah pemuda di atas
kuda coklat. Benda itu adalah sebuah perhiasan terbuat dari emas, berbentuk bunga setangkai
yang ujung-ujungnya runcing. Di tangan Warok Mata Api perhiasan itu berubah menjadi satu
senjata sangat berbahaya. Dinding kayu bisa ditembus! Apalagi daging manusia! Sang Warok
melempar sama sekali jelas bukan sekedar untuk memberikan, tetapi merupakan satu serangan
maut karena perhiasan itu laksana kilat menyambar ke arah tenggorokan pemuda berpakaian
kuning!

“Dasar rampok! Membalas budi orang dengan khianat busuk! Hari ini kau akan tahu dengan
siapa berhadapan! Jangan harapkan selamat sekalipun kau punya nyawa rangkap!” Di balik
semak belukar Pendekar 212 sunggingkan senyum. “Ucapannya hebat! Hemmmm… Siapa
adanya manusia satu ini!”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 2

Orang di atas kuda gerakkan tangan kiri, melintang di depan leher. Sesaat kemudian

perhiasan yang dijadikan Warok Mata Api sebagai senjata maut untuk membunuh telah berada
dalam genggamannya. Ketika tangan yang menggenggam bergerak terdengar suara berderak.
Begitu genggaman dibuka perhiasan emas telah hancur, berubah menjadi pasir kuning luruh
jatuh ke tanah. Si pemuda berpakaian kuning menyeringai dan usap-usapkan telapak tangannya
satu sama lain.

Tiga anak buah Warok Mata Api melengak kaget. Di balik semak belukar Pendekar 212 Wiro
Sableng menyeringai sambil garuk-garuk kepala. “Ternyata tenaga dalam pemuda baju kuning
itu lebih tinggi dari yang dimiliki Warok Mata Api…”

Warok Mata Api walau hatinya berdebar melihat kehebatan orang tapi tetap unjukkan sikap
tenag. Malah sambil tertawa lebar dia berkata. “Sayang, hadiah untukmu kau hancurkan sia-sia.
Aku tidak akan memberikan apa-apa lagi padamu. Jadi lekas pergi dari sini. Jangan berani
menghalangi langkahku!”

Tiga anak buah Warok Mata Api segera maklum bakal terjadi hal tak diingini di tempat itu.
Ketiganya segera hendak melompat ke atas kuda masing-masing.

“Siapa menyuruh kalian pergi! Berani menggerakkan kuda satu langkah saja, berarti minta
mati!”

“Bajingan tengik! Kau tidak layak memerintah anak buahku!” bentak Warok Mata Api.

“Aku tidak main-main dengan ucapanku!” tukas penunggang kuda coklat.

Warok Mata Api memberi isyarat dengan tangan agar tiga anak buahnya segera pergi.
“Kalian cepat pergi! Aku mau lihat apa yang akan dilakukan bocah ingusan ini!”

Tiga orang anak buah Warok Mata Api segera sentakkan tali kekang kuda masingmasing. Pada
saat itulah sosok pemuda berpakaian kuning di atas kuda coklat melesat ke udara. Gerakannya
laksana angin. Lalu!

“Bukk! Praakkkk!”

“Bukk! Praakkkk!”

“Bukk! Praakkkk!”

Tiga tendangan menderu dahsyat.

Tiga anggota rampok terpental dari atas kuda, jatuh tergelimpang di tanah. Tak berkutik lagi.
Menemui ajal tanpa keluarkan suara. Kepala masing-masing kelihatan rengkah! Ganas luar
biasa!

Habis menendang, pemuda baju kuning membuat gerakan jungkir balik di udara. Di lain kejap
dia sudah duduk kembali di punggung kudanya. Itulah jurus yang disebut Menendang Matahari
Menduduki Rembulan.

“Gila! Gerakan luar biasa hebat!” kata Wiro sambil geleng-geleng kepala penuh kagum.

Kali ini Warok Mata Api tidak dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Mukanya yang sangar
berubah pucat walau sesaat. Kemudian untuk menutupi gejolak hati yang mempengaruhi
nyalinya dia membentak.

“Manusia jahanam! Siapa kau sebenarnya?!”

Pemuda di atas kuda coklat tersenyum.

“Namaku tidak pernah berganti. Kemarin aku memperkenalkan diri padamu sebagai Damar
Wulung. Hari ini dan sekarang tetap Damar Wulung! Ada pertanyaan lain?”

“Jahanam!” rutuk Warok Mata Api. “Kau inginkan bagianmu? Kau boleh ambil lima peti berisi
harta dan uang emas itu! Tapi tinggalkan dulu nyawa busukmu di sini!”

“Warok Mata Api! Aku tidak serakah! Aku hanya ingin setengah dari harta dan uang jarahan itu.
Ditambah sebuah kotak berisi keris emas…!”

“Setan! Kau tidak bakal mendapat sepotong tengikpun!” bentak sang Warok.
Pemuda bernama Damar Wulung tertawa lebar. “Sungguh manusia tidak tahu budi. Kau tidak
mau membagi hasil pada anak buahmu aku tidak perduli. Tapi aku yang memberi keterangan
padamu mengenai rombongan yang membawa harta perhiasan serta uang itu hendak kau
lecehkan begitu saja, mana aku bisa menerima!”

“Perduli setan kau mau menerima atau tidak!” hardik Warok Mata Api. Lalu srett! Dicabutnya
golok besar di pinggang. Sekali di menghentakkan kaki ke tanah, laksana terbang tubuhya
melesat ke udara. Golok di tangan menderu bergulung menyambar ke arah pemuda di atas
kuda coklat. Sinar putih berkiblat menyilaukan!

Jurus serangan yang dilancarkan kepala rampok Alas Roban itu adalah Petir Bergulung Maut
Meraung. Kehebatannya walau berada di bawah jurus Di Dalam Gelap Maut Menyusup yang
tadi menamatkan riwayat Salak Jonggrang namun selama ini jarang musuh bisa selamat dari
jurus Petir Bergulung Maut Meraung itu.

“Cepat dan ganas…” kata orang di atas kuda yang mendapat serangan. Memang benar. Karena
sekali menggebrak Warok Mata Api lancarkan dua bacokan dan tiga tusukan. Kalau lawan lolos
dari dua bacokan, masakan satu dari tiga tusukan tidak bakal menemui sasaran!

Tapi alangkah terkejutnya dedengkot hutan Roban itu ketika mendadak dia dapatkan lawan
yang diserang lenyap dari pemandangan. Di lain saat dari bawah perut kuda meluncur dua
kepalan, menjotos ke arah ulu hati dan bagian bawah perutnya.

“Kurang ajar!” Warok Mata Api kertakkan rahang. Serta merta dia sapukan goloknya ke bawah.

“Putus!’ teriak sang Warok. Dia merasa yakin sekali tangan yang memukul ke arah tubuhnya
akan putus disambar tebasan golok. Tapi lagi-lagi dia dibikin kaget senjatanya hanya memapas
angin.

Si pemuda yang diserang dengan gerakan cepat telah terlebih dulu jatuhkan diri ke tanah.
Golok lewat di atas punggung. Dengan geram Warok Mata Api putar goloknya, mengejar kepala
lawan. Mendadak dia merasa kaki kirinya dicekal. Sebelum dia sempat melihat ke bawah apa
yang terjadi tubuhnya tiba-tiba telah dilontarkan ke atas. Bersamaan dengan itu dari bawah
tubuh kuda melesat ke atas sosok berpakaian kuning.

“Bukkk! Bukkk!”

Masih melayang di udara dua tendangan melabrak dada Warok Mata Api. Tubuhnya yang tinggi
besar mencelat jungkir balik. Darah menyembur dari mulutnya. Selagi dia berusaha
mengimbangi diri agar tidak jatuh kepala lebih dulu, goloknya lepas ditarik orang.

Walau dalam keadaan luka parah di dalam namun kepala rampok itu masih bisa melayang
turun ke tanah dengan kaki lebih dulu. Namun tidak ada gunanya. Karena begitu dia berdiri,
bagian tajam golok miliknya sendiri telah ditempelkan orang di urat besar di lehernya. Keringat
dingin langsung memercik di kening kepala rampok ini. Mata mendelik seperti melihat setan
kepala tujuh! Sebenarnya bukan golok itu yang menyebabkan nyalinya lumer. Tapi kehebatan
gerakan lawanlah yang membuat dia mati kutu!

“Kau mau membunuh kau. Lakukan cepat!” kata Warok Mata Api dengan suara bergetar. “Tapi
jika kau mau mengampuni selembar nyawaku, kau boleh ambil semua harta dan uang dalam
lima buah peti…”

Damar Wulung sunggingkan senyum. “Permintaanmu mungkin bisa kupertimbangkan. Untuk


itu segera lakukan apa yang aku perintah. Lima peti dalam buntalan! Lekas kau ikat ke leher
kuda coklat milikku!”

Warok Mata Api menarik nafas lega. Dia bisa tersenyum sedikit. “Terima kasih kau mau
mengampuni diriku. Aku Warok Mata Api tidak akan melupakan kebaikanmu!”

“Tidak perlu banyak bicara. Lakukan apa yang aku perintah!” kata Damar Wulung pula.

“Segera aku lakukan!”

Warok Mata Api lalu kumpulkan lima buah peti yang sudah dibuntal lalu satu persatu
dinaikkannya ke atas kuda. Ketika hendak menaikkan peti ke lima tiba-tiba kepala rampok ini
balikkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu cepat sekali tangan kanannya melemparkan sebilah
pisau ke arah Damar Wulung.

Pemuda yang dibokong berteriak marah. Sambil jatuhkan diri ke tanah, tangan kanannya
bergerak, balas melemparkan golok milik Warok Mata Api yang masih dipegangnya. Golok
melesat deras ke arah Warok Mata Api. Kepala rampok Alas Roban ini berusaha mengelak.
Namun terlambat. Senjata miliknya sendiri itu menancap telak di pertengahan dadanya!

Sementara itu pisau tadi yang dilemparkan sang Warok melesat di udara, menancap di pinggul
kuda milik Salak Jonggrang. Binatang ini meringkik keras, lari belasan langkah lalu roboh
tergelimpang, melejang-lejang dengan mulut berbusah lalu kejang tak bergerak lagi. Pisau yang
dilemparkan Warok Mata Api ternyata mengandung racun luar biasa jahat. Kuda sebesar itu
saja menemui ajal begitu cepat. Apalagi manusia!

Damar Wulung melangkah ke arah kudanya. Dekat mayat Warok Mata Api dia berhenti.
Membungkuk lalu menggeledah tubuh kepala rampok itu. Di balik pinggang pakaian mayat
ditemukannya sebilah keris emas. Senjata ini ditimang-timangnya sesaat lalu dia melanjutkan
langkah ke arah kudanya.

Di balik semak belukar Wiro bergerak siap berdiri. Pada Kinasih dia berkata. “Kau tunggu di sini
sampai aku kembali…”
“Eh, kau mau kemana? Aku tidak mau ditinggal sendiri. Begini banyak mayat bergelimpangan di
tempat ini. Aku ikut…” kata Kinasih sambil pegangi lengan baju Pendekar

212.

“Aku punya syak wasangka buruk terhadap orang berbaju kuning itu… Dia membawa semua
harta benda rampokan. Kau lihat sendiri lambang Kerajaan pada peti-peti itu. Aku perlu
menanyakan mau dibawanya kemana semua barang jarahan itu…”

“Wiro, itu bukan urusanmu. Jangan mencari perkara. Orang itu tinggi sekali ilmunya.” “Siapa
takutkan dia?” ujar murid Sinto Gendeng.

“Kau lupa barusan kehilangan tenaga dalam akibat tendangan kaki kuda Momok Dempet?

Apa kekuatanmu sudah pulih?” Wiro ingat dan jadi terkesiap. “Kau benar…” berucap Pendekar
212 perlahan. “Biar kucoba lagi…” Murid Sinto

Gendeng ini lalu kerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. “Sialan!” Wiro memaki sendiri.
Ternyata dia hanya bisa mengerahkan sebagian kecil saja dari seluruh tenaga dalamnya. “Kalau
aku nekad mencari urusan dengan si baju kuning itu bisa-bisa celaka…” Di depan sana terdengar
suara kuda dipacu. Wiro hanya bisa menggeram. Pemuda

bernama Damar Wulung dan kudanya lenyap membawa lima peti berisi barang perhiasan dan
uang serta sebilah keris.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 3

Langit di sebelah barat kelihatan merah kekuningan. Sebentar lagi sang surya akan masuk

ke ufuk tenggelamnya, siang akan segera berganti dengan malam. Sebuah gerobak ditarik dua
ekor kuda meluncur kencang memasuki Kotaraja dari arah selatan. Di sebelah depan tampak
dua sosok aneh duduk berdempetan. Salah seorang dari mereka bertindak sebagai sais gerobak
sementera sosok dempet di sebelahnya duduk terkulai, tiada henti keluarkan suara mengerang.
Dua orang dempet di atas gerobak ini bukan lain adalah Momok Dempet Berkaki Kuda.

Lantai gerobak merah digenangi darah. Darah ini mengucur dari kaki kiri Momok di sebelah kiri
yang bernama Tunggul Gini. Kaki itu dalam keadaan buntung sebatas lutut ke bawah. Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya (“Tiga Makam Setan”) kaki kiri Tunggul Gini putus
dimakan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah sewaktu terjadi pertempuran antara sepasang
momok ini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Gono… Tubuhku terasa panas. Ada hawa aneh mencucuk menjalari sekujur badanku…”
“Jangan banyak bicara! Kerahkan tenaga dalam. Totok urat besar di pangkal paha kirimu agar
darah berhenti mengucur…” membentak Tunggul Gono.

“Sudah kulakukan. Tapi aneh… Darah celaka masih terus mengucur. Ujung kakiku yang putus
bengkak membiru…”

“Bengkak membiru?!” Mengulang Tunggul Gono. Dia melirik ke arah kaki kiri saudaranya yang
putus. Memang benar. Kaki itu kelihatan gembung membiru. Tengkuk Tunggul Gono menjadi
dingin. “Kau terkena racun!”

“Racun… racun dari mana?” tanya Tunggul Gini pucat dan serak.

“Ilmu gila Pendekar 212 itu! Tanah yang menjepit dan memutus kakimu itu pasti mengandung
racun!” Kata Tunggul Gono pula lalu mendera punggung dua ekor kuda penarik gerobak dengan
cemeti hingga binatang-binatang itu lari lebih kencang.

“Tunggul Gono… Kalau aku mati..”

“Diam!” bentak Tunggul Gono. “Jangan bicara seperti itu!. Siapa bilang kau akan mati… Kuatkan
dirimu! Kerahkan tenaga dalam. Sebentar lagi kita sampai di tujuan. Orang yang akan kita temui
pasti bisa menolong…”

Saat itu sebenarnya Tunggul Gono sendiri merasa sangat kawatir. Bukan saja melihat keadaan
saudaranya yang tidak beda seperti orang mau sekarat. Tetapi juga karena hawa panas yang
ada di tubuh Tunggul Gini kini merambas masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Berarti kalau
saudaranya itu kerasukan racun jahat, cepat atau lambat racun itu akan masuk ke dalam
tubuhnya!

Di depan sebuah pintu gerbang satu gedung besar di pinggiran Kotaraja Tunggul Gono hentikan
gerobaknya. Gedung ini adalah tempat kediaman Raden Mas Selo Kaliangan, Patih Kerajaan.
Dua orang perajurit yang mengawal pintu gerbang dengan sikap waspada dan gerakan cepat
segera mendatangi gerobak. Mereka terkejut melihat dan mengenali siapa adanya dua sosok di
atas gerobak. Momok Dempet Berkaki Kuda. Lebih terkejut lagi melihat kaki kiri Tunggul Gini
yang putus dan masih mengucurkan darah sementara Tunggul Gini sendiri dalam keadaan
setengah sadar setengah pingsan terus-menerus menggumam erang kesakitan.

Dua pengawal pintu gerbang dalam kejutnya segera bertindak cepat. Setahu mereka Momok
Dempet Berkaki Kuda adalah sepasang buronan yang dicari-cari Kerajaan karena pernah
melakukan pembunuhan terhadap beberapa tokoh silat Istana.

Pengawal pertama melompat ke atas gerobak sambil todongkan ujung tombak ke leher Tunggul
Gono. Pengawal satunya lari ke samping pintu gerbang. Di sini terdapat sebuah kentongan
kayu. Kentongan ini dipukulnya terus-menerus, baru berhenti ketika dilihatnya dari halaman
dalam berdatangan belasan perajurit Kepatihan. Dalam waktu singkat gerobak yang ditumpangi
Momok Dempet sudah dikurung lima belas perajurit, ditambah satu di atas gerobak yang masih
mengarahkan tombaknya ke leher Tunggul Gono. Momok satu ini sama sekali tidak perdulikan
mata tombak yang hanya seujung rambut dari tenggorokannya. Dia memandang ke arah
belasan perajurit lalu keluarkan ucapan garang.

“Kalian monyet-monyet memuakkan! Mana Patih Kerajaan! Beritahu aku Momok Dempet
Berkaki Kuda ingin menemuinya untuk satu urusan penting!”

Mendengar ucapan Tunggul Gono satu dari belasan perajurit yang mengurung gerobak maju
mendekat. “Kalian buronan Kerajaan! Tidak pantas menemui Patih Kerajaan. Kalian harus kami
tangkap saat ini juga!”

“Setan alas minta kugebuk!” Tunggul Gono berteriak marah. Tangan kanannya bergerak
secepat kilat. Pengawal pintu gerbang yang menodongnya dengan tombak berseru kaget
karena tahu-tahu tombak itu ditarik lepas dari pegangannya. Belum habis kejutnya ujung
tombak yang tumpul menghantam dadanya hingga dia terpental jatuh dari atas gerobak,
megap-megap meggerung kesakitan karena tulang dadanya remuk. Kemarahan Tunggul Gono
tidak sampai di

situ saja. Tombak yang masih ada di tangannya ditusukkan ke kepala perajurit yang tadi bicara
hendak menangkapnya.

Perajurit itu cepat babatkan pedangnya menangkis serangan. Beberapa temannya juga tak
tinggal diam. Ada yang ikut membantu menangkis, ada juga yang menyerbu ke atas gerobak.

“Benar-benar keparat!” maki Tunggul Gono. Setengah berdiri dia babatkan tombak dalam
gerakan setengah lingkaran. Terdengar suara berdentrangan disertai pekik kejut dan kesakitan.
Beberapa senjata bermentalan ke udara. Dua perajurit terguling di tanah. Satu patah
lengannya, satu lagi benjut bocor keningnya.

Di atas gerobak, walau dalam keadaan luka parah, Tunggul Gini tidak tinggal diam. Begitu
beberapa perajurit melompat naik, dia gerakkan kaki kanannya. Satu perajurit terpental dan
jatuh terbanting ke tanah dengan perut pecah. Tiga lainnya berteriak kaget dan cepat
menghindar ketika melihat dari tangan kiri Tunggul Gini melesat selarik sinar hitam. Tak ampun
lagi ke tiga perajurit itu mencelat ke udara. Ketika jatuh berkaparan di tanah tubuh mereka
kelihatan hangus menghitam dan mengepulkan asap!

Walau berhasil membunuh empat orang perajurit namun akibat pengerahan tenaga yang
berlebihan membuat keadaan Tunggul Gini semakin parah. Sosoknya terkulai lemah. Darah
makin banyak mengucur dari kaki kirinya yang buntung. Melihat keadaan saudaranya begitu
rupa dan mengira Tunggul Gini sudah mati, Tunggul Gono jadi mengkelap. Tombak yang masih
dipegangnya diputar demikan rupa. Dua perajurit lagi menjadi korban. Ketika kemudian ujung
tombak hampir menembus mati perajurit berikutnya, tiba-tiba dari samping melesat satu
bayangan dan trang!
Tombak di tangan Tunggul Gono patah dua. Di atas gerobak berdiri seorang kakek berpakaian
dan berdestar serba hitam, memegang sebilah pedang tipis berwarna biru. Sebiru pedang,
begitu pula biru warna alisnya.

“Sobat lama Momok Dempet Berkaki Kuda! Kulihat salah satu dari kalian berada dalam keadaan
tidak menggembirakan. Apakah kalian datang untuk menyerahkan diri?!” Kakek berpedang biru
menegur.

Tungggul Gono meludah. “Malaikat Alis Biru! Jangan bicara terlalu sombong! Momok Dempet
tidak mengenal kata-kata menyerah! Jadi jangan anggap kedatangan kami untuk meyerahkan
diri!”

“Riwayat kalian di masa lalu tidak terpuji. Kalian adalah dua buronan yang dicari Kerajaan hidup
atau mati! Barusan saja kalian membunuhi perajurit-perajurit Kepatihan! Apa kalian masih
mengira bisa dibiarkan hidup lebih dari sekejapan mata?! Aku hanya butuh jawabanmu setelah
itu bersiaplah menerima kematian!”

Sosok tinggi Tunggul Gono meregang ke atas.

“Aku ingin menemui Patih Kerajaan!” kata Tunggul Gono.

“Begitu? Sebutkan keperluanmu?!” kata kakek berpakaian serba hitam berkumis biru disebut
dengan julukan Malaikat Alis Biru. Dia adalah salah satu tokoh silat Istana yang sore itu
kebetulan bertamu di Gedung Kepatihan.

“Aku tahu Patih Selo Kaliangan seorang yang memiliki ilmu pengobatan. Aku minta dia
menolong saudaraku ini…”

Mendengar kata-kata Tunggul Gono itu si kakek keluarkan tawa mengekeh. “Otakmu sudah
tidak waras. Tidak menyadari diri sebagai buronan, malah baru saja membunuhi perajurit
Kepatihan, kini bicara minta pertolongan Patih Selo Kaliangan! Jangan-jangan otakmu sudah
miring alias sedeng gila!”

“Aku minta tolong tidak cuma-cuma! Aku membawa imbalan besar sebagai ganti pertolongan
yang aku minta!”

“Hebat! Katakan imbalan apa yang bisa kau berikan? Nyawa busukmu dan nyawa busuk
saudaramu?!” tukas Malaikat Alis Biru.

Rahang Tunggul Gono menggembung mendengar kata-kata si kakek. Namun dia tindih
amarahnya dan berkata. “Kakek bau! Siapa sudi bicara denganmu! Aku hanya mau bicara
dengan Patih Kerajaan!”
Tiba-tiba dari gelap bayang-bayang pintu gerbang Gedung Kepatihan terdengar satu ucapan
membahana.

“Aku Selo Kaliangan, Patih Kerajaan ada di sini! Silahkan memberi tahu imbalan apa yang akan
kau berikan untuk pertolongan yang kau minta!”

Tunggul Gono terkejut. Dia berpaling ke samping kanan. Di situ berdiri seorang berpakaian
serba merah. Tegak tak bergerak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada. Sepasang
matanya yang besar memandang tajam ke arah Tunggul Gono. Orang ini adalah Patih Kerajaan
Selo Kaliangan.

Setelah menatap sang Patih sesaat, baru Tunggul Gono membuka mulut. “Aku akan memberi
tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Untuk itu aku minta Patih
mengabulkan dua hal…”

“Katakan apa dua hal itu,” kata Patih Kerajaan pula, tenang dan tetap tidak bergerak di
tempatnya berdiri.

“Pertama, Kerajaan harus memberi pengampunan atas diri kami. Mencabut cap bahwa aku dan
saudaraku adalah buronan Kerajaan. Kedua aku minta kesediaan Patih Kerajaan untuk
mengobati luka saudaraku! Jika permintaanku dipenuhi, aku bukan saja memberi tahu siapa
pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta, tapi juga akan membaktikan diri pada Kerajaan…”

Malaikat Alis Biru tertawa bergelak. “Siapa percaya pada manusia kotor sepertimu…?”

Panaslah hati dan naiklah darah Tunggul Gono.

“Gelarmu Malaikat! Tapi kau sebenarnya hanyalah seekor cecunguk tidak berharga. Karena kau
cuma cecunguk maka sebaiknya jangan bicara banyak. Kau bukan penguasa yang bisa memberi
keputusan!” Habis berkata begitu Tunggul Gono berpaling pada Patih Kerajaan Selo
Kaliangan. :”Patih Kerajaan, aku menunggu jawabanmu.”

Patih Selo Kaliangan tatap wajah Tunggul Gono sambil otaknya bekerja. “Siapa pembunuh juru
ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta memang masih gelap. Ada baiknya kalau manusia satu
ini diberi kesempatan…”

“Patih Selo, aku menunggu….”

“Patih, harap kita jangan sampai tertipu oleh manusia berpakaian bulu domba ini tapi sewaktu-
waktu bisa menjadi srigala! Mayat-mayat perajurit itu masih panas unuk menjadi saksi!”
Malaikat Alis Biru kawatir kalau Patih Kerajaan terpengaruh oleh ucapan dan permintaan
Tunggul Gono.
Sang Patih anggukkan kepala dan kedipkan mata pada si kakek lalu berkata pada Tunggul Gono.
“Perihal pengampunan atas diri kalian hanya Sri Baginda yang berkuasa memberikan. Aku tidak
punya wewenang sama sekali…”

“Tapi selaku Patih Kerajaan bukankah bisa memintakan pada Raja. Terserah apa Patih mau
melakukan.”

Patih Selo Kaliangan usap janggutnya. Dalam hati dia berkata. “Kematian juru ukir Raden Mas
Sura Kalimarta memang mengusik Sri Baginda. Tapi sebenarnya orang tua itu tidak terlalu
penting. Kalaupun pembunuhnya tidak ditemukan rasanya bukan satu ganjalan. Tapi momok
satu ini agaknya bisa dimanfaatkan…”

“Baik, aku akan bicarakan soal pengampunanmu dengan Sri Baginda,” Patih Selo Kaliangan
akhirnya ucapkan janji.

“Bagaimana dengan permintaan kedua? Pengobatan untuk saudaraku Tunggul Gini?”

Patih Selo Kaliangan melangkah mendekati gerobak. Saat itu hari sudah gelap. Patih
memerintahan dua perajurit membawa obor. Di bawah penerangan dua obor Patih Selo
Kaliangan memeriksa kutungan kaki kiri Tunggul Gini. Lama dia meneliti keadaan kaki itu lalu
usap-usap janggut kelabunya dan gelengkan kepala berulang kali.

“Melihat kutungan kaki saudaramu ini, aku meragukan dia telah ditabas senjata tajam. Benda
apa yang telah memutus kaki ini?” tanya Patih Selo Kaliangan pula.

“Putus dijepit tanah…”

“Putus dijepit tanah?!” Sang Patih kerenyitkan kening. “Tidak bisa kumengerti…”

“Patih, sudah kukatakan orang satu ini miring otaknya. Mengapa kita perlu bicara panjang lebar
dengannya?!” berkata Malaikat Alis Biru.

Saat itu Tunggul Gono masih memegang patahan tombak. Dalam marahnya mendengar kata-
kata Malaikat Alis Biru, Tunggul Gono gerakkan tangan hendak lemparkan tombak ke arah si
kakek. Tapi tangannya cepat dicekal oleh Patih Selo Kaliangan.

“Jelaskan padaku hal yang menyangkut buntungnya kaki saudaramu…” berkata Sang Patih.

“Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan!” jawab Tunggul Gono.

“Pendekar 212 Wiro Sableng?” mengulang Patih Kerajaan sambil memandang pada si kakek
berjuluk Malaikat Alis Biru.
Kakek yang dipandang lantas membentak. “Tadi kau bilang kaki saudaramu putus dijepit tanah!
Barusan kau katakan Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan! Mana yang betul? Jangan
berani bicara tak karuan pada Patih Kerajaan!”

“Setan tua! Siapa bicara tak karuan! Kaki saudaraku memang putus dijepit tanah. Tanah yang
menjepit itu terjadi akibat ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar 212!”

“Pendekar 212… Aku pernah mendengar nama itu. Tapi sejak beberapa tahun belakangan ini
tidak kedengaran kabar beritanya…” Patih Kerajaan berucap dalam hati.

“Setahuku Pendekar 212 Wiro Sableng telah meninggal dunia dua tahun yang lalu…” kata
Malaikat Alis Biru pula.

Tunggul Gono keluarkan suara mendengus. “Kau terlalu banyak mendapat kesenangan di
Keraton hingga tidak tahu apa yang terjadi di dunia persilatan! Pendekar 212 masih hidup! Dia
yang memutus kaki saudaraku dengan ilmu kesaktian aneh yang tidak pernah kulihat
sebelumnya!”

“Sepertinya tidak masuk akal!” kata Malaikat Alis Biru. “Tanah Jawa dipenuhi puluhan tokoh
berkepandaian tinggi. Tapi tidak satupun yang memiliki ilmu kesaktian sanggup membelah
tanah lalu menjepit kaki lawan sampai putus!”

“Ada silang sengketa apa di antara kalian hingga Pendekar 212 Wiro Sabelng memutus kaki
saudaramu dengan ilmu anehnya?” bertanya Patih Kerajaan.

Tunggul Gono tidak menjawab. “Patih, saat ini biar kuberi tahu sekalian bahwa yang
membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta adalah juga Pendekar 212 Wiro
Sableng! Kemungkinan besar istri juru ukir itu berselingkuh dengan Pendekar 212. Karena
terakhir sekali kami melihat mereka berdua-dua di satu tempat…”

Kakek alis biru gelengkan kepala. “Kalau Pendekar 212 memang masih hidup, tidak masuk akal
dia melakukan perbuatan keji itu. Membunuh seorang tua abdi Keraton yang tidak berdosa lalu
berbuat mesum dengan istrinya. Aku tahu betul sifat perangai Pendekar 212. Senang pada gadis
cantik dan sebaliknya disenangi puluhan gadis jelita. Tapi dia bukan pemuda mata keranjang
yang memanfaatkan kesempatan. Dia tidak pernah menodai perempuan…”

“Setan tua! Aku tidak meminta kau atau Patih Kerajaan untuk percaya pada keteranganku! Aku
hanya memberi tahu apa adanya. Jika kalian tidak percaya silahkan tunggu. Kedua orang itu
pasti muncul di Kotaraja. Kinasih, istri mendiang Sura Kalimarta tidak mungkin akan
meninggalkan rumah besar dan hartanya begitu saja…” Setelah diam sebentar, Tunggul Gono
meneruskan ucapannya. “Aku sudah memberi tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton. Harap
Patih Kerajaan suka menolong mengobati luka saudaraku…”
Patih Selo Kaliangan kembali meneliti kaki kiri Tunggul Gini lalu berkata. “Aku mengenal ratusan
macam dan jenis racun. Tapi racun yang bersarang di luka saudaramu ini tidak bisa kukenali.
Aku tidak punya kemampuan untuk menolong saudaramu…”

“Patih Kerajaan, kau berdusta!”

“Apa untungnya kedustaan macam itu bagiku? Aku bisa saja berpura-pura mengobati luka
adikmu. Akibatnya kau yang akan celaka karena mengira racun sudah dimusnahkan padahal
masih mendekam dan bisa menjalar masuk ke dalam jalan darahmu. Coba kau perhatikan
warna biru di kaki kiri saudaramu. Warna itu sedikit demi sedikit naik ke atas. Bilamana
mencapai pangkal paha, berarti racun sudah masuk ke dalam pembuluh darah besar. Kalau
sudah di situ saudaramu dan juga dirimu tidak akan tertolong lagi!”

Berubahlah paras Tunggul Gono. Momok satu ini usapkan tangan kanannya ke leher. Terasa
panas. “Aku tahu sekali, Patih ini seorang yang mengerti seluk beluk pengobatan dan ahli dalam
segala macam racun. Dia agaknya tidak berdusta. Umur saudaraku rasanya tak bakal lama. Aku
sendiri…” Tengkuk Tuggnul Gono menjadi dingin. “Celaka, apa yang harus aku lakukan?!” Dia
menatap tajam pada Patih Selo Kaliangan lalu berpaling pada sosok saudaranya yang terkulai di
sebelahnya.

“Tunggul Gini…”

Orang yang dipanggil diam saja.

“Gini!” Tunggul Gono memanggil lebih keras. Kali ini sambil menggoncang bahu saudaranya
dengan tangan kanan.

Perlahan-lahan sepasang mata Tunggul Gini yang sejak tadi tertutup membuka sedikit.

“Tunggul Gini! Kau dengar suaraku?!”

“Tunggul Gono. Kau… Ada apa… Tubuhku panas. Dadaku sesak, aku sulit bernafas. Pandangan
mataku kabur. Aku…”

“Gini, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan hal ini. Tak ada jalan lain!”

“Apa maksudmu Gono…?”

Tunggul Gono tidak menjawab. Tangan kanannya tiba-tiba memancarkan cahaya hitam.
Bergerak ke kiri.

“Kraaakkk!”
Bersamaan dengan suara menggidikkan itu Tunggul Gini menjerit setinggi langit lalu diam.
Ketika Tunggul Gono bangkit berdiri, sosok Tunggul Gini terhempas ke lantai depan gerobak
yang dipenuhi genangan darah. Semua orang terkesiap kaget, ada yang sampai keluarkan suara
tertahan melihat apa yang terjadi. Tunggul Gono membetot putus bahu kanan Tunggul Gini,
saudara dempet yang menyatu bersama tubuhnya selama puluhan tahun!

Untuk beberapa lama kesunyian menegangkan menggantung di tempat itu. Semua orang
dicekam kengerian. Sesaat kemudian, belum lagi rasa bergidik yang memagut sempat sirna,
tibatiba terjadi lagi satu kengerian.

Secara aneh sosok Tunggul Gini yang kini tidak lagi memiliki tangan kanan tiba-tiba bangkit
terduduk di lantai gerobak. Darah mengucur dari luka yang terkuak besar di bahu kanan. Darah
itu membasahi sekujur tubuh dan pakaiannya.

Kepala Tunggul Gini berputar kaku ke arah Tunggul Gono. Mata membuka besar menggidikan,
bibirnya bergetar. Dari dua lobang hidungnya mengepul hawa aneh keputihputihan. Di sela
getaran bibir, mulut berucap.

“Jahanam Tunggul Gono! Aku tidak rela kau perlakukan seperti ini. Kita dilahirkan dari perut
yang sama. Puluhan tahun hidup dempet bersama dan kelak harus mati bersama pula. Tapi kini
kau bunuh diriku untuk menyelamatkan diri sendiri. Aku tidak ikhlas. Rohku tidak akan pernah
tenteram. Rohku akan gentayangan mengejarmu. Aku bersumpah akan meregang nyawamu!
Kau lebih jahat dari keparat Pendekar 212 yang menjepit putus kakiku! Aku akan membunuh
kalian berdua!”

Mau tak mau ngeri juga Tunggul Gono mendengar ucapan saudaranya itu. Apalagi waktu
memperhatikan wajah Tunggul Gini. Angker menggidikkan. Tengkuknya seperti diguyur air es!

“Aku harus tinggalkan tempat celaka ini! Tapi aku tidak mau membawa serta mayatnya! Dia
mengancamku dengan rohnya… Gila! Ini semua gara-gara Pendekar 212! Bangsat itu harus
kuhabisi!”

Dengan kaki kirinya Tungggul Gono tendang sosok Tunggul Gini hingga jatuh ke tanah. Cemeti
dicambukkannya ke punggung dua ekor kuda. Dua kuda penarik gerobak meringkik keras,
melompat kabur meninggalkan hadapan pintu gerbang Kepatihan.

Sebelum lenyap di kegelapan terdengar teriakan Tunggul Gono. “Patih Kerajaan! Jika kau tidak
menolong memnta pengampunan pada Sri Baginda, aku bersumpah akan mengobrak abrik
Kepatihan dan Keraton!”

Patih Selo Kaliangan tersentak mendengar ancaman itu. Dia segera balas berteriak.

“Tunggul Gono! Besok pagi sebelum sang surya terbit! Aku tunggu kau di pintu gerbang Keraton
sebelah timur!”
Kapak Maut Naga Geni 212BAB 4

Gerobak yang ditumpangi Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih memasuki Kotaraja di

malam gelap di bawah hujan rintik-rintik. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara, termasuk
kusir gerobak. Namun Wiro sempat melihat kesan yang tidak enak. Dia memperhatikan
beberapa kali kusir gerobak itu melontarkan lirikan aneh ke arahnya dan Kinasih.

Di hadapan satu rumah besar gerobak berhenti.

“Ini rumahku,” kata Kinasih sambil turun, dibantu oleh kusir gerobak. “Heran, mengapa sepi
dan gelap saja? Apa suamiku tidak di rumah?”

Wiro melompat turun. Pada saat itulah kusir gerobak untuk pertama kalinya membuka mulut,
berkata sambil membungkuk di hadapan Kinasih.

“Maafkan saya, seharusnya saya memberi tahu dari tadi-tadi…”

“Memberi tahu apa?” tanya Kinasih heran.

“Den Mas Sura Kalimarta, suami Den Ayu, meninggal dunia beberapa hari lalu. Tewas dibunuh
orang…”

Sepasang mata Kinasih terbeliak. “Aku tidak percaya…” katanya lalu memandang ke arah rumah
besar.

“Saya tidak berdusta. Banyak orang berusaha mencari Den Ayu Kinasih, tapi tidak tahu mencari
dimana. Ada yang menduga Den Ayu telah menjadi korban bersama rombongan yang
menyambangi sahabat di desa. Tapi jenazah Den Ayu tidak ditemukan. Tapi sewaktu Den Ayu
mencegat gerobak saya hampir-hampir tidak percaya. Menduga Den Ayu ini… Maafkan saya…”

Kinasih berpaling pada Wiro.

“Aku akan menyelidik ke dalam rumah,” kata Pendekar 212.

“Aku ikut!” kata Kinasih.

Saat itu dari seberang jalan mendatangi dua orang. Ternyata mereka adalah dua suami istri
tetangga Kinasih.

“Jeng… Aduh Jeng! Syukur Jeng Kinasih masih hidup. Kami mengira…”
Belum sempat istri tetangga itu menyelesaikan ucapannya Kinasih sudah memotong. “Tolong
diberi tahu. Apa benar suami saya…”

“Kami semua bingung Jeng. Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di dalam rumah. Jeng
Kinasih tidak diketahui berada dimana…”

Kinasih terpekik. Lalu sambil berulang kali menyebut nama suaminya perempuan ini lari
memasuki pekarangan rumah besar yang gelap. Wiro mengikuti. Tetangga lain di sekitar situ
segera pula berdatangan.

***

Kinasih menangis menelungkup di atas makam Raden Mas Sura Kalimarta yang tanahnya masih
merah sementara hujan masih turun rintik-rintik.

“Ya Tuhan, mungkin musibah ini sebagai hukuman dariMu atas penyelewegnan yang aku
lakukan. Bagus Srubud, aku bersumpah membunuhmu!” Rasa berdosa dalam dirinya membuat
perempuan ini keluarkan ratapan menyayat hati.

“Kang Mas Sura, maafkan diriku! Siapa yang begitu jahat membunuhmu Kang Mas…”

Satu suara di dalam gelap tiba-tiba menyahut kata-kata Kinasih. “Pembunuh suamimu berada
sangat dekat di sebelahmu Kinasih…”

Wiro dan Kinasih serta kusir gerobak yang ada di tempat itu tersentak kaget. Tempat itu tiba-
tiba menjadi terang benderang. Memandang berkeliling Wiro melihat sekitar dua puluh
perajurit Kerajaan memegang obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan telah mengurung
seantero tempat. Di belakang barisan perajurit itu kelihatan tiga penunggang kuda. Seorang di
antaranya adalah salah satu dari Momok Dempet.

Penunggang kuda kedua seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki alis berwarna biru.
Dia bukan lain adalah kakek sakti tokoh silat Istana berjuluk Malaikat Alis Biru. Di samping
kakek, duduk tenang di atas punggung kudanya seorang tua berjubah kelabu berenda kuning.
Mulutnya komat kamit seperti tengah mengunyah sesuatu. Di pinggang jubahnya melilit
sebentuk tali berwarna kuning yang ada umbai-umbai pada kedua ujungnya. Kakek berjubah
kelabu ini di kalangan Istana dikenal dengan nama Ki Balangnipa berjuluk Hantu Muka Licin
Bukit Tidar. Mengapa dia mempunyai julukan aneh ini sebentar lagi akan kita saksikan.

Yang tadi berucap menyahuti ratapan Kinasih adalah Tunggul Gono si Momok Dempet yang kini
tinggal sendirian. Setelah memutus tangan saudaranya kini dia memiliki dua buah tangan di
sebelah kiri. Yang satu tangan kirinya sendiri sedang yang dempet adalah tangan kanan Tunggul
Gini.
“Aneh, makhluk dempet ini mengapa kini tinggal satu? Kemana lenyap pasangannya?!” pikir
Wiro.

Kinasih usap matanya yang basah, memandang ke jurusan tiga penunggang kuda. “Si… siapa
yang tadi bicara?”

Momok Dempet angkat tangan kirinya dan menjawab. “Aku! Momok Dempet bernama Tunggul
Gono…”

“Momok Dempet Tunggul Gono,” kata Kinasih dalam hati. “Dia rupanya, tapi mana yang
satunya?”

“Kinasih, apa aku perlu mengulang ucapanku tadi? Kau ingin tahu siapa pembunuh suamimu?”
Tunggul Gono bertanya dengan suara sengaja dikeraskan agar semua orang termasuk Wiro
mendengar.

“Siapa? Kau mengetahui…?”

Tunggul Gono tertawa. Jari telunjuk tangan kirinya di arahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Pemuda gondrong di sebelahmu itulah pembunuh suamimu!”

Kinasih terkejut. Matanya melotot besar memandang pada Wiro. “Dia…? Wiro?!”

“Jangan percaya Kinasih. Ada yang tidak beres. Ada orang memfitnah hendak mencelakai diriku.
Aku tidak heran kalau orangnya adalah Momok Dempet yang kini berubah menjadi Momok
Kampret! Dia punya dendam terhadapku. Beberepa hari lalu saudaranya aku celakai. Cuma aku
tidak tahu dia buang kemana pasangannya itu!”

“Kau… kau bisa membuktikan pemuda ini yang membunuh suamiku?” tanya Kinasih pada
Momok Dempet Tunggul Gono.

“Soal bukti membuktikan bisa kita lakukan nanti. Saat ini aku dan pasukan Kerajaan serta dua
tokoh silat Istana datang ke sini untuk menangkapnaya. Ini adalah perintah Raja!”

“Edan!” maki Wiro.

“Pemuda sableng! Kau mau menyerahkan diri hidup-hidup atau perlu kukorek dulu nyawamu
dari tubuhmu?!” Tunggul Gono ajukan pertanyaan dengan sikap sinis mengejek.

“Pendekar 212!” kakek alis biru membuka mulut untuk pertama kali. “Katakan dengan jujur,
benar kau yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta?”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Dengan jujur disertai sumpah, aku tidak melakukan
perbuatan keji itu!”
“Lalu bagaimana kau bisa berada berdua-dua di satu tempat di luar Kotaraja dengan istri juru
ukir itu. Ada dugaan kalian berselingkuh dan berkomplot membunuh suami perempuan ini. Lalu
berpura-pura berbaik-baik menolongnya untuk menutupi kebejatanmu…”

“Setan sekalipun tidak akan sejahat itu! Apa lagi aku manusia yang punya hati dan otak!”

“Tapi semua orang tahu hatimu bisa bengkok dan otakmu miring sableng…” tukas Momok
Dempet Tunggul Gono.

Kinasih bangkit berdiri. Manatap Pendekar 212 tajam-tajam. “Wiro, kuharap kau mengaku
secara kesatria. Kau…”

“Tidak perlu bicara panjang lebar dengannya. Dipaksapun dia tidak akan mengaku! Kinasih,
harap kau menyingkir ke tempat aman. Kami orang-orang Kerajaan akan menangkap manusia
keji ini!” Momok Dempet memberi ingat bukan lantaran apa. Tapi sesungguhnya sejak
pertemuan di luar Kotaraja beberapa waktu lalu dia sangat bernafsu terhadap perempuan
muda berwajah ayu jelita ini. Kelak jika urusan selesai dia akan berusaha mendapatkan Kinasih.
Sebagai salah satu tokoh silat Istana, dia akan mempunyai kesempatan lebih luas. Siapa berani
menghalangi?

Habis berkata begitu Momok Dempet Tunggul Gono memberi isyarat pada dua puluh perajurit
dan dua kakek di sebelahnya. Dua puluh perajurit tancapkan obor ke tanah lalu melompat
mempersempit kurungan.

Bagaimana ceritanya Momok Dempet Tunggul Gono saat itu bisa muncul bersama pasukan dan
dua tokoh silat Istana?

Seperti dituturkan dalam Bab sebelumnya, Patih Selo Kaliangan bersedia menemui Tunggul
Gono di pintu gerbang timur Keraton. Pertemuan itu terjadi pagi tadi menjelang fajar
menyingsing.

Sebelumnya begitu selesai ba’dal Subuh Patih Selo Kaliangan berkesempatan menemui Baginda
dan melaporkan apa yang terjadi tadi malam. Sang Patih pada pertemuan selanjutnya dengan
Momok Dempet Tunggul Gono memberi tahu bahwa Raja bersedia memberi pengampunan
atas perbuatannya di masa lalu menyangkut bentrokan yang menyebabkan terbunuhnya
beberapa tokoh silat Keraton. Dia juga diterima sebagai salah satu abdi tokoh silat Istana.
Namun untuk semua itu Tunggul Gono harus menjalankan dua tugas besar.

Tugas pertama mencari dan menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng yang disebutnya sebagai
pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta.
Tugas kedua dia harus membasmi para penjahat yang bercokol di Alas Roban sebelah utara,
timur dan barat. Walau berat namun Tunggul Gono bersedia menerima kedua tugas itu tanpa
menyadari bahwa dirinya kini diperalat oleh Kerajaan. Sri Baginda maupun Patih Selo

Kaliangan bukanlah orang-orang bodoh. Kepercayaan yang diberikan pada Tunggul Gono tetap
harus diwaspadai. Untuk itu Malaikat Alis Biru dan Hantu Muka Licin Bukit Tidar diperintahkan
agar selalu mengawasi gerak-gerik Tunggul Gono. Sebaliknya Tunggul Gono juga cerdik. Dia
maklum dua tugas yang diberikan kepadanya bukan tugas enteng. Salah-salah bisa saja
merupakan tugas bunuh diri. Tidak mudah meringkus Pendekar 212. Juga tidak gampang
menghadapi tiga tokoh rampok penguasa tiga kawasan hutan Roban. Karena itulah dia bersedia
bekerja sama dengan dua tokoh silat Istana yang saat itu ikut bersamanya walau dia tahu
bahwa kedua orang itu diam-diam selalu mengawasi gerak-geriknya.

Setelah memberi isyarat Tunggul Gono yang bertindak selaku pimpinan, lebih dulu melancarkan
serangan terhadap Pendekar 212. Dua puluh perajurit kemudian merangsak maju, menjepit
murid Sinto Gendeng dari delapan penjuru. Malaikat Alis Biru baru bergerak setelah pecah
pertempuran satu jurus. Kakek ini masuk ke kalangan pertempuran dengan setengah hati. Dia
tidak begitu yakin bahwa Pendekar 212-lah yan telah membunuh Raden Mas Sura Kalimarta
dan berbuat mesum dengan Kinasih.

Yang tetap tenang dan tak bergerak di tempatnya adalah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dari
punggung kudanya kakek satu ini duduk diam, menyaksikan dengan tenang apa yang terjadi di
depannya sambil mulutnya tiada henti komat kamit.

Tunggul Gono membuka serangan dengan pukulan sakti Ladam Setan. Tanah di bekas tempat
Wiro berdiri berubah menjadi kubangan besar, hangus hitam. Sebelumnya Wiro telah
menyaksikan kedahsyatan pukulan lawan. Untung saja saat itu cidera di perutnya telah pulih
hingga dia bisa mengerahkan tenaga dalam seberapa besar yang dikehendaki.

Begitu melihat sinar melesat dari tangan kanan Tunggul Gono, Wiro melompat setinggi satu
tombak seraya mainkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar dan melepas pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Gulungan angin dahsyat melabrak ke arah Tunggul Gono.
Sosok makhluk dempet ini bergoncang keras. Cepat-cepat dia menyingkir selamatkan diri lalu
kalau tadi tangan kanannya yang melepas pukulan Ladam Setan, kini tangan kirinya yang
dipergunakan untuk menghantam. Seperti diketahui walau sosoknya sudah lepas dari tubuh
saudaranya tapi tangan kirinya masih tetap dempet dengan potongan tangan kanan Tunggul
Gini. Larikan sinar hitam dahsyat luar biasa menyambar dari sela dua tangan Tunggul Gono
sebelah kiri.

Para perajurit di belakang Wiro berteriak kaget, berlompatan selamatkan diri karena sinar
hitam yang menyembur keluar dari tangan Tunggul Gono menyambar setinggi dada.

Wiro yang sudah tahu sampai dimana tingkat kehebatan lawan, kerahkan dua pertiga tenaga
dalam lalu sambuti sinar hitam serangan Tunggul Gono dengan pukulan Sinar Matahari.
Dua pukulan sakti dalam warna berlainan beradu dahsyat di udara. Tanah kawasan pekuburan
bergoncang keras. Beberapa makam termasuk makam Raden Mas Sura Kalimarta rambas sama
rata dengan tanah diterjang pecahan sinar hitam dan sinar puih. Tiga orang perajurit yang
melakukan pengurungan menjadi korban. Menemui ajal hangus mulai dari kepala sampai ke
kaki.

Hawa panas menyengat seantero tempat. Pendekar 212 terjajar dua langkah ke belakang.
Sesaat mukanya pucat tak berdarah. Sebaliknya Tunggul Gono keluarkan seruan tertahan.
Tubuhnya mental sampai satu tombak. Lututnya tertekuk ketika dia coba tegak imbangi diri.
Mulutnya panas dan asin. Jalan nafasnya seperti dicekik.

“Celaka! Aku terluka di dalam…” keluh Tunggul Gono begitu menyadari ada darah dalam
mulutnya. Dia meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah!

Tunggul Gono cepat kerahkan tenaga dalam. Selagi dia mengalirkan hawa sakti itu tibatiba satu
bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu lawan sudah berada di depannya kirimkan tendangan ke
arah dada. Secepat kilat Tunggul Gono sambut serangan itu dengan pukulan Sepasang Palu
Kematian dengan tangan kirinya yang dempet. Sinar hitam kembali berkiblat di tempat itu.

“Hancur kakimu!” teriak Tunggul Gono. Tapi dia kecele. Pukulan dahsyatnya lewat dua jengkal
di bawah kaki Wiro. Dari atas, laksana seekor burung Rajawali murid Sinto Gendeng melayang
turun, menukik sambil tangan kanannya menyambar ke arah tangan kiri Tunggul Gono yang
dempet dengan kutungan tangan kanan Tungul Gini.

Sesaat kemudian terdengar suara kreek… kreek… kreek. Tunggul Gono menjerit setinggi langit.
Jari tangan kirinya hancur. Begitu juga jari tangan Tunggul Gini yang masih dempet pada tangan
kirinya itu. Kreek… kreek… kreek! Menyusul telapak tangan, lalu ujung lengan, berderak hancur.

Ki Balangnipa alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar kerenyitkan kening, sipitkan sepasang mata
menyaksikan apa yang terjadi.

Malaikat Alis Biru melengak kaget.

“Ilmu gila apa yang dikeluarkan pemuda sableng itu! Setahuku Sinto Gendeng tidak mempunyai
ilmu seperti itu. Jika tidak kucegah tangan Tunggul Gono bisa dihancurkannya amblas sampai ke
bahu! Bahkan tulang lehernya bisa dikeremuk ludas!”

Dengan cepat Malaikat Alis Biru menghunus pedang birunya lalu babatkan senjata ini ke tangan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar biru menggidikkan berkelebat disertai suara mengaung.

Dalam geramnya Wiro masih terus menghancurkan tulang tangan kiri Tunggul Gono sampai ke
pertengahan lengan. Momok Dempet ini meraung kesakitan. Dengan tangan kanannya dia
berusaha menghantam Pendekar 212, tapi sakit hancurnya tangan seperti melelehkan sekujur
tubuhnya.

Pendekar 212 Wiro Sableng telah mempergunakan ilmu Koppo yakni ilmu menghancurkan
tulang yang dipelajarinya dari Nenek Neko. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Sepasang
Manusia Bonsai”).

Ketika cahaya biru berkiblat disertai suara mendesing, sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng
seperti tidak perduli dan seolah berjibaku membiarkan tangannya ditabas pedang asal bisa
menghancurkan seluruh tangan maut Tunggul Gono. Malaikat Alis Biru yang sebenarnya tidak
punya silang sengketa permusuhan dengan Wiro selain menjalankan tugas sebagai tokoh silat
Istana abdi Kerajaan, terkesiap kaget melihat Wiro berlaku nekad, tidak berusaha menarik
tangan kanan atau berbuat sesuatu untuk selamatkan diri. Tapi rasa kagetnya itu berubah
menjadi jeritan keras ketika tiba-tiba sekali tangan kiri murid Sinto Gendeng menghantam
melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan ke empat dari enam
pukulan sakti yang dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao
Basaluang Ameh. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).

Malaikat Alis Biru melompat tunggang langgang dari punggung kudanya. Kakek satu ini selamat
tapi tunggangannya meringkik keras. Binatang bertubuh besar ini mental sampai tiga tombak,
terguling di tanah, melejang-lejang sebentar lalu diam kaku tak bergerak lagi! Lobang besar
terkuak mengerikan di rusuk kanan kuda itu. Si kakek alis biru tegak tergontai-gontai dengan
muka pucat.

Wiro hancurkan tangan kiri Tunggul Gono sampai sebatas siku baru dilepaskan. Tunggul Gono
meraung-raung kesakitan lalu gulingkan diri di tanah.

“Kalian semua tua bangka tak berguna! Menyingkir! Serahkan bocah ingusan itu padaku!”

Yang berteriak adalah kakek tokoh silat Istana bernama Ki Balangnipa berjuluk Hantu Muka
Licin Bukit Tidar. Kudanya disentakkan ke depan. Kakinya kiri kanan menendangi perajurit-
perajurit yang tidak sempat menyingkir memberi jalan. Sesaat kemudian dia sudah berada di
hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Anak muda, aku tidak bicara banyak! Kau mau serahkan diri atau minta kusakiti dulu sampai
tahu rasa…”

Wiro pandangi wajah tua di atas kuda itu sesaat. Dia tidak kenal siapa adanya kakek satu ini,
juga belum pernah bertemu sebelumnya.

“Apa salahku hingga kalian orang-orang Kerajaan hendak menangkapku?!” murid Sinto
Gendeng ajukan pertanyaan.
“Kalau kau punya telinga tadi tentu sudah mendengar apa yang dikatakan kakek yang kau
hancurkan tangan kirinya itu!” jawab Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

“Kalian seharusnya menyelidik lebih dulu. Aku…”

“Bicaraku sudah cukup! Kau selain sableng juga keras kepala!” membentak kakek berjubah
kelabu itu. Lalu dia loloskan tali kuning berumbai-umbai yang melilit di pinggang. Ketika tali itu
diputar, suara deru keras membahana seperti mau merobek gendang-gendang telinga.
Bersamaan dengan itu larikan sinar kuning berbentuk tabir lingkaran muncul menutup
pemandangan. Wiro tersentak kaget ketika merasakan tubuhnya tertarik laksana disedot,
masuk ke dalam tabir lingkaran kuning.

Didahului satu bentakan keras murid Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya, coba
menjebol tabir lingkaran kuning dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Tabir kuning
bergetar hebat seperti hendak pecah berantakan. Namun alangkah terkejutnya murid Sinto
Gendeng ketika getaran tabir kuning itu berubah menjadi satu hawa dahsyat, membalik
memukul tubuhnya dari empat jurusan!

“Sial dangkalan!” teriak murid Sinto Gendeng.

Wiro cepat jatuhkan diri di tanah. Dia selamat dari hantaman pukulannya sendiri. Sambil
bergulingan dia lepaskan pukulan dengan dua tangan sekaligus. Tangan kanan melepas pukulan
Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan ini mengarah ke atas, ditujukan ke kepala lawan.
Tangan kiri melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Diarahkan ke dada
Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Kakek ini melengak kaget besar ketika melihat dua pukulan yang
dilancarkan si pemuda berhasil menjebol tabir lingkaran kuning. Tangannya yang memegang
tali kuning bergetar hebat, darahnya sesaat mengalir tidak karuan. Tubuhnya menghuyung,
dengan cepat dia imbangi diri agar tidak jatuh dari atas punggung kuda.

“Luar biasa! Kalau aku tidak bertindak cepat bisa-bisa aku dibuat malu oleh pemuda sableng
ini!” membatin si kakek. Lalu dia cepat melesat dari punggung kuda. Sambil melompat

dia pukul pinggul tungganggannya hingga binatang ini selamat dari serempetan pukulan tangan
kanan Wiro. Dua pukulan sakti yang dilepas Pendekar 212 kemudian melabrak sebuah gubuk
dan sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping!

Wiro terkejut ketika dapatkan lawannya tak ada lagi di atas kuda ataupun di hadapannya.
Ketika dia merasa ada sambaran angin di belakang, cepat Wiro berbalik. Astaga si kakek
ternyata ada di belakangnya. Memandang tak berkesip ke arahnya. Belum habis kejut murid
Sinto Gendeng, lawan tiba-tiba gerakkan tangan kiri untuk mengusap wajahnya. saat itu juga
wajah si kakek berubah menjadi licin. tak ada alis dan mata, tak tampak hidung ataupun mulut!
Lawan mana yang tak bakal terkejut dan berlaku lengah melihat kejadian itu. Inilah kehebatn si
kakek hingga dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Banyak lawan yang terkecoh, berlaku lengah
lalu dihabisi!
Selagi Wiro terkesiap dalam kejutnya tiba-tiba Hantu Muka Licin Bukti Tidar putar tali
kuningnya. Kali ini tidak muncul tabir kuning. Tapi di antara suara berdesir aneh, tiba-tiba dari
dua ujung tali kuning yang ada umbai-umbainya meluncur keluar seratus jarum putih. Demikian
cepat lesatan jarum-jarum itu hingga mata telanjang sulit melihatnya.

Namun bagi Wiro, cukup mendengar dari sambaran angin saja. Dia sudah maklum kalau ada
senjata rahasia dalam jumlah sangat banyak menyambar ke arah dirinya. Secepat kilat Wiro
melesat setinggi dua tombak seraya lepaskan pukulan Dinding Topan Berhembus Tindih
Menindih dan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.

“Tembus!” teriak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

Wiro berhasil mengelakkan puluhan jarum yang menyambar ke arahnya dan memukul mental
puluhan lainnya. Namun dua puluh satu buah masih bisa lolos! Menancap di dada, perut,
tangan kiri kanan dan dua kakinya. Inilah kedahsyatan senjata rahasia Hantu Muka Licin Bukit
Tidar yang dalam rimba persilatan disebut Jarum Perontok Syaraf. Saat itu juga Wiro merasa
sekujur tubuhnya mati rasa, tak dapat digerakkan lagi. Untung tak ada jarum yang menancap di
muka atau matanya!

Hantu Muka Licin Bukit Tidar tertawa mengekeh. Dia usap wajahnya dengan tangan kiri.
Sepasang alis, dua buah mata, hidung dan mulutnya kembali muncul di wajahnya yang tadi
licin!

“Kalian tunggu apa lagi! Naikkan bocah sableng itu ke aats kuda! Kita bawa ke Kotaraja!
Jebloskan dalam kerangkeng besi bersama temannya kakek sial berjuluk Setan Ngompol itu!”
Sementara si kakek tertawa mengekeh Wiro terkejut mendengar apa yang barusan diucapkan.
“Jadi benar Setan Ngompol dipenjarakan di Kotaraja. Aku belum sempat mengetahui sebab
musababnya. Apa lagi menolongnya. Juga belum tahu nasib apa yang menimpa si Naga Kuning.
Kini diriku sendiri jadi tidak karuan!”

Seorang perajurit tiba-tiba bertanya. “Bagaimana dengan isri mendiang juru ukir Keraton ini?”

Meski menahan sakit setengah mati tapi begitu ingat Kinasih Momok Dempet Tunggul Gono
cepat bangkit berdiri. “Tinggalkan perempuan itu. Aku yang akan mengurusnya!”

Hantu Muka Licin Bukit Tidar tertawa bergelak. “Tunggul Gono, mengurus diri sendiri saja kau
tidak mampu. Apalagi mau mengurus perempuan muda secantik ini! Biar aku yang akan berbaik
hati padanya!” Si kakek putar tali kuningnya. Kinasih mundur ketakutan. Dia terpekik ketika
tiba-tiba tali kuning itu menjirat pinggangnya. Sekali tarik saja tubuh Kinasih terbetot, melayang
ke atas bahu Hantu Muka Licin. Sambil terus mengumbar tawa kakek ini melangkah mendekati
kudanya.
Momok Dempet Tunggul Gono memaki panjang pendek melihat perbuatan Hantu Muka Licin
Bukit Tidar itu.

“Tua bangka busuk! Jika kau berani berbuat keji terhadap Kinasih, aku bersumpah akan
membunuhmu!” Wiro berteriak mengancam.

Hantu Muka Licin putar tubuhnya sebentar, berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Perempuan ini apamu? Kekasihmu bukan, apalagi istrimu! Ancamanmu membuktikan bahwa
kalian berdua sebelumnya memang sudah berselingkuh! Aku akan meminta Raja menjatuhkan
hukuman berat atas dirimu! Pernahkah kau mendengar siksaan anggota rahasia diantuk
puluhan kelabang beracun?! Ha… ha… ha…!”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 5

Rawapening sebenarnya tidak pantas disebut telaga. Selain luas, kedalamannya mencapai

puluhan bahkan lebih dari seratus kaki. Saat itu tepat tengah hari. Sang surya bersinar terik
membakar jangat. Dari arah selatan kelihatan meluncur sebuah rakit bambu, dikayuh oleh dua
orang lelaki desa berbadan tegap. Kedua orang ini sangat bersemangat mengayuh hingga rakit
meluncur dengan cepat di permukaan air. Semangat dua orang ini disebabkan tidak lain oleh
empat penumpang yang mereka bawa. Keempatnya merupakan gadis-gadis berwajah sangat

cantik. Sukar bagi mereka membedakan mana yang paling cantik karena selama ini memang
keduanya belum pernah melihat dara-dara begitu jelita mempesona.

Meski senang mendapatkan penumpang empat gadis cantik, namun diam-diam dua lelaki desa
ini merasa heran. Heran karena empat gadis itu membawa dua buah pacul, sebuah linggis dan
dua buah pengki besar. Hendak bertanya mereka merasa sungkan.

Empat gadis yang bearda di atas rakit bukan lain adalah Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur,
Anggini dan Puti Andini. Dalam Episode sebelumnya (“Tiga Makam Setan”) empat gadis itu
diceritakan menyirap kabar bahwa Pendekar 212 telah meninggal dunia, diperkirakan
dimakamkan di sebuah makam yang terletak di satu dari tiga pekuburan. Pekuburan pertama
terletak di dekat candi di Kopeng. Yang kedua di pekuburan Banyubiru dekat telaga Rawapening
sedang yang ke tiga di puncak Gunung Gede.

Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya telah menyelidik ke pekuburan dekat candi Kopeng.
Di situ mereka menemui sebuah makam dengan papan nisan bertuliskan nama Wiro Sableng.
Setelah makam dibongkar ditemukan tulang belulang manusia masih lengkap dengan kepala
tengkorak. Pada kening tengkorak terdapat tulisan 212 sedang pada salah mata tengkorak
ditemukan secarik kertas bertuliskan kalimat “Selamat Datang Di Makam Setan Pertama. Kalian
Ditunggu Di Makam Setan Kedua.”
Merasa ditantang dan ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Pendekar
212 yang sama mereka cintai, empat gadis itu sepakat mengadakan perjalanan ke pekuburan
Banyubiru.

Angin telaga bertiup kencang, mengibarkan pakaian dan rambut empat gadis cantik. Harumnya
bau pakaian dan badan Bidadari Angin Timur terasa sedap di rongga hidung. Dua lelaki
pengayuh rakit sampai kembang kempis cuping hidung mereka. Setelah berdiam diri sekian
lama, Anggini memecah kesunyian.

“Menurut kalian, apakah kita akan menemukan kejadian sama seperti di makam pertama?”

“Maksudmu. Kita akan menemukan tulang belulang, tengkorak dan kertas bertuliskan kalimat
gila itu?” tanya Puti Andini.

Anggini anggukkan kepala.

“Kita harus tabah kalau memang akan menemukan hal sama untuk kedua kalinya.” Kata Ratu
Duyung.

“Yang jadi pertanyaan, siapa berbuat gila seperti itu. Apa tujuannya?”

Anggini, Puti Andini dan Ratu Duyung tak bisa menjawab. Lalu Puti Andini berucap. “Dua lelaki
penggali makam di pekuburan candi Kopeng itu. Mereka menemui kema….”

Bidadari Angin Timur cepat memberi tanda agar Puti Andini tidak meneruskan katakatanya lalu
berbisik. “Jika kau menyebut-nyebut kematian dua penggali makam itu, dua pengayuh rakit ini
kemungkinan besar tidak akan mau membantu kita menggali kuburan….”

“Selama malang melintang di rimba persilatan. Pendekar 212 banyak mempunyai musuh.
Mungkin salah satu dari orang-orang yang tidak menyukainya itu yang melakukan perbuatan
aneh ini….” kata Ratu Duyung pula.

”Bisa jadi…” kata Anggini. “Tapi mengapa membalaskan sakit hati dengan cara begitu rupa?
Sepertinya mengarah pada diri kita. Di makam pertama kita selamat. Di makam kedua kita
harus berhati-hati.”

“Aku menaruh firasat, siapapun orang yang berbuat gila ini dia tahu keadaan Wiro. Sudah
meninggal atau msaih hidup! Ada satu niat jahat di balik semua yang di lakukannya. Kita benar-
benar harus hati-hati…”

Tak selang berapa lama rakit sampai di tepian barat telaga Rawapening. Begitu merapat ke
daratan, empat gadis melompat gesit, membuat kagum dua lelaki pengayuh rakit.
“Kalian harap menunggu sampai kami kembali ke sini. Tapi kami akan memberikan tambahan
uang jika mau membantu kami…” kata Anggini.

“Membantu apa?” tanya salah seorang dari pengayuh rakit.

“Antarkan kami ke pekuburan Banyubiru. Nanti akan kami beri tahu apa yang harus kalian
lakukan…”

“Baiklah, untuk kalian kami akan melakukan apa saja!” kata lelaki desa yang lebih muda dari
temannya.

Tak jauh berjalan kaki dari tepi barat telaga Rawapening terlihat pekuburan Banyubiru, terletak
di satu bukit kecil. Jumlah makam di tempat ini lebih banyak dibanding dengan pekuburan di
candi Kopeng. Seperti yang mereka lakukan di pekuburan candi Kopeng, empat gadis ini berbagi
tugas meneliti papan-papan nisan di kepala makam. Kebanyakan papan nisan itu sudah lapuk
dan nama penghuni makam yang tertuls di situ sulit dibaca.

“Tak ada papan nisan bertuliskan nama Pendekar 212 atau Wiro Sableng…” kata Bidadari Angin
Timur lalu menarik nafas dalam dan memandang berkeliling.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Puti Andini.

Bidadari Angin Timur diam, Ratu Duyung juga diam tapi matanya yang biru memandang tajam
memperhatikan puluhan makam yang ada di pekuburan itu. Tiba-tiba mata biru bagus sang
Ratu kelihatan membesar. Kepalanya sedikit menengadah.

“Para sahabat, aku melihat sesuatu. Mungkin terlewatkan oleh kita waktu memeriksa tadi. Lihat
makam di ujung paling kanan, baris kedua.”

Anggini, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini mengikuti arah pandangan Ratu Duyung.
Memperhatikan makam yan terletak di baris kedua paling ujung kanan.

“Makam iu tidak ada papan nisannya…” kata Puti Andini.

“Kita semua terlalu memperhatikan pada bagian nisan,” kata Ratu Duyung. “Dari sini aku
melihat ada satu batu besar, mungkin batu kali, menyembul dari dalam tanah. Pada bagian
kepala makam… Ikuti aku!”

Empat gadis itu segera bergerak, melangkah cepat. Ratu Duyung di depan sekali. Dua lelaki desa
yang tidak tahu apa sebenarnya yang tengah dikerjakan gadis-gadis cantik itu mengikuti pula
dari belakang.
Ratu Duyung dan tiga kawannya sampai di depan makam baris kedua, ujung kanan. Pada kepala
makam, seperti yang terlihat dari jauh tadi, menyembul sebuah batu besar, kotor tertutup debu
dan tanah serta rumput liar.

Ratu Duyung berjongkok. Tangan kirinya mematahkan sepotong ranting berdaun banyak.
Dengan daun-daun ini disapu dibersihkannya debu dan tanah pada permukaan batu. Begitu
debu dan tanah tersibak, sedikit demi sedikit kelihaan sederetan tulisan di atas batu.

“Lihat!” kata Ratu Duyung setengah berseru. Kini dia pegunakan tangannya yang halus untuk
membersihkan batu di kepala makam. Deretan tulisan kelihatan makin jelas. Di situ tertera
tulisan yang membuat dada empat gadis cantik berdegup keras begitu mereka mambaca.

“DI SINI DIMAKAMKAN WIRO SABLENG – PENDEKAR 212”

“Keadaan makam ini berbeda dengan makam yang kita bongkar di candi Kopeng. Tanahnya
gersang, tidak ditumbuhi rumput segar. Berarti sudah cukup lama. Lebih dari satu tahun…”
Berkata Anggini dengan suara agak bergetar.

“Aku punya firasat…” berucap Ratu Duyung. Suaranya agak tersendat menahan perasaan.
“Jangan-jangan kali ini kita akan menemukan dirinya di dalam…” Sang Ratu tak mampu
meneruskan ucapannya.

Bidadari Angin Timur menggigit bibir lalu melambaikan tangan pada dua orang lelaki desa.
“Ambil pacul. Gali makam ini.”

Dua lelaki tadi tidak menyangka kalau mereka akan disuruh menggali kuburan. Keduanya saling
berpandangan sesaat.

“Tadi kalian begitu bersemangat mau membantu kami. Sekarang seperti ketakutan!
Menyingkirlah! Biar kami orang-orang perempuan yang melakukan!”

Anggini sambar pacul di sebelah kanan. Puti Andini mengambil pacul satunya. Dua lelaki tadi
cepat menarik pacul-pacul itu dari tangan dua gadis. Tanpa banyak cerita lagi keduanya segera
menggali. Ketika makam digali sedalam dada salah satu mata pacul mengeluarkan suara
berdentrang tanda beradu dengan benda keras.

Empat gadis saling pandang.

“Seperti suara besi…” bisik Bidadari Angin Timur.

“Gali terus sampai kalian menemukan sesuatu!” kata Anggini.

Dua lelaki itu kembali menggali. Salah satu di antaranya mengganti pacul dengan linggis. Sesaat
kemudian untuk kedua kalinya mata pacul beradu dengan benda keras. Lelaki yang memegang
linggis tancapkan linggis di dekat pacul beradu lalu mengait ke atas. Perlahan-lahan dari dasar
makam menyembul sebuah benda kehitaman. Ternyata sebuah peti besi karatan, tidak dikunci
atau digembok.

“Naikkan peti besi itu ke atas!” kata Anggini.

Begitu peti dinaikkan ke pinggiran makam yang baru digali Anggini segera menariknya menjauhi
lubang makam. Dengan tangan gemetar gadis ini membuka penutup peti besi. Agak sulit,
mungkin karena engselnya karatan. Anggini kerahkan tenaga. Ketika penutup peti tiba-tiba
terbuka gadis ini terpekik hampir jatuh terduduk. Tiga gadis lainnya juga sama menjerit tapi
bukan karena hendak jatuh melainkan karena melihat apa yang ada di dalam peti karatan itu.

Di dalam peti ada sebuah tengkorak kepala manusia. Seperti sewaktu di makam pertama di
pekuburan candi Kopeng, pada kening tengkorak tertera angka 212, ditulis dengan cat untuk

membatik. Sepotong kertas terletak di samping tengkorak dalam keadaan terlipat. Anggini yang
masih belum sirap darahnya tidak berani mengambil.

Bidadari Angin Timur ulurkan tangan mengambil kertas. Lipatan dibuka. Semua mata
terpentang lebar. Semua mulut sama membaca.

SELAMAT DATANG DI MAKAM SETAN KEDUA. KALIAN MEMANG HEBAT. KALIAN DITUNGGU DI
MAKAM SETAN KETIGA. DI PUNCAK GUNUNG GEDE.

“Setan kurang ajar!” maki Bidadari Angin Timur. Kertas itu diremasnya sampai hancur. Lalu
sekali kaki kirinya bergerak, peti berisi kepala tengkorak manusia mencelat jauh.

Sesaat tempat itu tenggelam dalam kesunyian.

“Aku akan segera berangkat ke Gunung Gede. Di situ letak makam ke tiga! Makam terakhir! Aku
berharap akan menemukan manusia jahanam yang melakukan semua perbuatan gila ini!” kata
Anggini sambil kepalkan tangan. “Paling tidak bisa membuka teka teki gila ini! Apa sebenarnya
yang terjadi dengan Wiro. Apa benar dia sudah mati atau masih hidup!”

Bidadari Angin Timur memandang ke arah kejauhan. Dari wajahnya dia tengah memikirkan
sesuatu. Dalam hati dia membatin.

“Perjalanan ke Gunung Gede agaknya tidak bisa dihindari. Aku pernah ke sana bersama Wiro.
Apakah aku sebaiknya memisahkan diri. Mendahului datang ke Gunung Gede? Mungkin aku
akan menemui pemuda itu di sana dalam keadaan hidup. Bukan mustahil ini semua akalakalan
Wiro sendiri. Tapi bagaimana aku memberi alasan meninggalkan tiga gadis ini?”

Diam-diam Ratu Duyung memperhatikan perilaku Bidadari Angin Timur, saingannya paling
berat dalam memperebutkan cinta kasih Pendekar 212 Wiro Sableng. “Seperti ada sesuatu yang
tengah dipikirkannya. Aku menaruh duga dia tengah memikirkan satu kesempatan untuk bisa
mendahului berada di puncak Gunung Gede. Kalau betul, bagaimana aku harus bisa mencegah.
Aku bisa mendahului ke sana melalui laut. Tapi aku tidak mau mengkhianati dua gadis lainnya
ini…..”

Sementara itu Anggini tenggelam pula dalam jalan pikirannya sendiri. “Makam ke tiga di puncak
Gunung Gede. Besar kemungkinan Wiro meninggal dan dikuburkan di sana. Bukankah di situ
tempat dia digembleng oleh gurunya? Bukankah di situ pula tempat kediaman Eyang Sinto
Gendeng? Kalaupun akan menemui tipu daya untuk ketiga kalinya, paling tidak bisa menemui
nenek sakti itu untuk mendapatkan keterangan. Jika muridnya masih hidup, siapa tahu Sinto
Gendeng tahu dimana Wiro berada…” Sambil merenung seperti itu Anggini meraba bunga
kenanga yang tempo hari diberikan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang aslinya bernama Suci,
berjuluk Dewi Bunga Mayat. Kembang itu diberikan dengan pesan agar diserahkan pada Wiro
jika kelak Anggini bertemu dengan pemuda itu. “Apakah aku akan bertemu dengan Wiro? Lalu
jika kuserahkan kembang kenanga ini padanya, apakah yang akan terjadi? Aku tahu benar,
walau dia tidak mungkin hidup bersama Wiro namun Bunga bisa menjadi ganjalan bagi diriku>”

Setelah menimbang-nimbang, baik Bidadari Angin Timur maupun Ratu Duyung akhirnya
memutuskan untuk tetap melakukan perjalanan bersama-sama.

Empat gadis itu memang sudah nekad. Setelah meninggalkan Rawapening, keesokan harinya
mereka berangkat menuju Gunung Gede. Jika saja mereka menyempatkan diri singgah di
Kotaraja dan mendengar berita ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sableng, jalan cerita akan
menjadi lain.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 6

Tumenggung Cokro Pambudi pagi itu tengah asyik bermain-main dengan burung Tekukur
kesayangannya ketika seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam, memasuki pekarangan
menunggangi seekor kuda coklat. Di leher kuda bergelantungan dua buah buntalan.

Seorang penjaga segera menemui tamu ini, menanyakanan maksud kedatangannya. Si penjaga
kemudian memberi tahu Tumenggung Cokro.

“Orang muda itu bernama Damar Wulung. Ingin bertemu dengan Tumenggung untuk melapor
satu kejadian penting dan menyerahkan sejumlah barang berharga.”

Tumenggung Cokro Pambudi sangkutkan sangkar burung di bawah cucuran atap. Dia
perhatikan pemuda di atas kuda coklat sesaat. “Aku tidak kenal pemuda itu. Belum pernah
melihatnya sebelumnya. Suruh dia menunggu di beranda. Aku segera menemui….”

Tak selang berapa lama Tumenggung Cokro Pambudi menemui tetamunya di beranda samping
yang merupakan ruang tamu cukup besar, dipenuhi jambangan-jambangan berbagai ukuran.
Pemuda berpakaian kuning itu segera bangkit berdiri begitu melihat sang Tumenggung muncul.
Dia membungkuk memberi hormat lalu memperkenalkan diri.

“Saya Damar Wulung, berasal dari Desa Karangmojo. Maafkan kalau kedatangan saya
menggganggu ketentraman Tumenggung di pagi hari yang indah segar ini…..”

Tumenggung Cokro Pambudi tersenyum. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan seorang
pemuda tampan yang bicara halus budi bahasa dan hormat seperti pemuda yang ada di
hadapannya ini. Dia melirik pada dua buntalan yang dibawa si pemuda dan diletakkan di lantai
di dekat meja rendah.

Setelah mempersilahkan tamunya duduk Tumenggung Cokro mengambil tempat di lantai di


belakang meja rendah, berhadap-hadapan dengan si pemuda.

“Anak muda bernama Damar Wulung, jelaskan maksud kedatanganmu…..”

“Saya tahu Tumenggung tidak punya banyak waktu menerima saya. Karena itu saya langsung
saja pada pokok persoalan. Secara tidak sengaja saya memergoki serombongan perampok.
Ternyata mereka adalah para penjahat dari Alas Roban, di bawah pimpinan Warok Mata
Api…..”

Terkejutlah Tumenggung Cokro Pambudi mendengar penuturan Damar Wulung. ”Teruskan


ceritamu, anak muda.”

“Mereka berjumlah lima orang, termasuk Warok Mata Api. Agaknya mereka baru saja
melakukan penjarahan. Mereka tengah hendak membagi-bagi isi buntalan ketika saya
memergoki.”

Tumenggung Cokro Pambudi perhatikan dua buntalan di samping Damar Wulung. “Kau tahu
apa isi buntalan itu?”

Damar Wulung pindahkan dua buah buntalan ke atas meja rendah. Lalu satu persatu buntalan
itu dibukanya. Terkejutlah mata Tumenggung Cokro Pambudi ketika melihat apa isi dua
buntalan itu. Dua buah peti kayu jati coklat kehitaman. Pada penutup peti ada gambar bintang
dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung.

“Ini peti-peti milik Kerajaan!” kata sang Tumenggung. “Apa isinya…” Tumenggung menjawab
sendiri dengan langsung membuka penutup dua buah peti. “Tidak salah! Ini adalah harta dan
uang emas milik Kerajaan yang dikabarkan lenyap dijarah perampok beberapa hari lalu.
Menurut keterangan para Abdi Dalem, barang yang dirampok berjumlah lima peti. Kau
menemukan hanya dua peti…?”

“Benar Tumenggung.” Jawab Damar Wulung.


Pandangan mata sang Tumenggung yang tak berkesip membuat si pemuda jadi tidak enak. Dia
dapat membaca apa yang ada dalam hati atau pikiran pejabat Kerajaan itu. Maka dengan suara
tenang dan halus dia berkata.

“Kalau sekiranya saya berniat jahat, perlu apa susah-susah mengantarkan dua buah peti ini?
Lebih baik saya ambil untuk kepentingan sendiri…”

“Damar Wulung, jangan kau menduga salah. Ketika kau memergoki Warok Mata Api dan
kawan-kawannya, mungkin saja tiga peti lainnya sudah disembunyikan di tempat lain. Namun
sebenarnya ada sesuatu yang sangat berharga ikut lenyap digasak perampok Alas Roban itu….”
Untuk memastikan ucapannya Tumenggung Cokro Pambudi menuangkan seluruh isi dua peti ke
atas meja. Matanya memperhatikan harta perhiasan dan uang emas yang bergeletakan di atas
meja. Diacak-acaknya beberapa kali. Tapi benda yang dicarinya tidak ada.

“Tidak ada…” kata Tumenggung Cokro dengan suara perlahan. Air mukanya tampak masgul.

Damar Wulung masukkan tangan kanannya ke balik baju kuning. Ketika dikeluarkan membersit
cahaya kuning dari sebilah keris terbuat dari emas.

“Senjata inikah yang Tumenggung maksudkan?” tanya Damar Wulung seraya meletakkan keris
emas itu di atas meja rendah.

Untuk kesekian kalinya sepasang mata sang Tumenggung mendelik besar. Keris emas di atas
meja segera disambarnya. Dia agak tergagau ketika merasakan ada hawa aneh menjalar masuk
ke dalam tubuhnya lewat dua lengan. Selama ini dia hanya mendengar, tidak pernah melihat
langsung keberadaan keris emas itu. Setelah menenangkan kejutnya, dengan cepat
Tumenggung Cokro meneliti keris emas itu. Mula-mula ditelitinya sarung senjata yang terbuat
dari emas. Setelah dibolak-balik beberapa kali Tumenggung Cokro Pambudi lalu mencabut
senjata itu. Dengan dada berdebar diperhatikannya keris telanjang itu. “Yakin, aku yakin!” kata
Tumenggung Cokro sambil menyarungkan keris itu kembali lalu sesaat meletakkan di atas
kepalanya.

“Benar Damar Wulung! Benda ini yang kumaksudkan. Ini adalah Keris Kiai Naga Kopek! Gusti
Allah! Senjata ini jauh lebih berharga dari semua barang yang dirampok! Aku akan menghadap
Sri Baginda di Keraton, membawa keris ini dan dua peti itu. Kau harus ikut bersamaku Damar.
Tapi tunggu dulu. Aku ingin jelas ceritanya. Katamu kau bertemu, memergoki Warok Mata Api.
Penjahat itu tidak menyerahkan cuma-cuma begitu saja dua peti dan keris ini padamu, bukan?”

Sepasang mata sang Tumenggung memperhatikan sosok pemuda di hadapannya seolah


mengukur kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh kekar pemuda bernama Damar Wulung
ini.

Damar Wulung tersenyum. “Kami sempat bentrokan. Saya berusaha menghindari pertumpahan
darah. Saya coba mengingatkan kepala rampok itu agar meninggalkan dunia hitam, kembali ke
jalan yang benar. Tapi dia mana memandang sebelah mata. Dia menyuruh empat anak buahnya
mengeroyok saya…”

“Terjadi perkelahian empat lawan satu. Benar…?”

”Memang begitu Tumenggung. Saya beruntung bisa mengalahkan mereka…”

“Ah… Lalu Warok Mata Api?”

“Seperti empat anak buahnya, saya terpaksa menyelesaikan dirinya…”

“Hebat! Luar Biasa!Selama ini tidak satu orang pandaipun sanggup menangkap kepala rampok
itu hidup atau mati! Pasukan Kerajaan telah berkali-kali menyerbu Alas Roban kawasan selatan
sarangnya Warok Mata Api. Mereka selalu kembali dengan membawa korban tidak terhitung!
Kini kau seorang diri berhasil menewaskannya! Betul begitu Damar Wulung?!”

“Tumenggung, apakah saya bersalah membunuh lima orang itu walau mereka adalah para
penjahat, rampok yang selama ini membuat onar, menyengsarakan rakyat menyusahkan
Kerajaan?”

Tumenggung Cokro tertawa lebar mendengar kata-kata Damar Wulung.

“Anak muda, baru sekali ini aku bertemu orang yang hatinya sangat polos sepertimu. Ah…”
Sang Tumenggung geleng-gelengkan kepala. Matanya tidak lepas-lepas memandangi wajah
tampan si pemuda. Dia teringat Milani, puteri satu-satunya. “Sayang anak itu sudah mempunyai
pilihan hati. Kalau tidak aku akan sangat berbahagia bila dia mendapatakn jodoh seperti
pemuda ini. Pagi tadi dia sudah dijemput untuk latihan menunggang kuda. Seandainya saat ini
dia ada di sini dan bertemu degann Damar Wulung…”

“Damar Wulung, kau telah berjasa besar pada Raja dan Kerajaan. Apakah kau menyadari hal
itu?”

“Saya… Saya tidak merasa berjasa. Malah…”

“Kau memilih datang padaku. Mengapa tidak menghadap Patih Kerajaan atau menemui salah
seorang Pangeran. Atau langsung menghadap Sri Baginda… Aku merasa mendapat kehormatan
besar…”

“Saya hanya pemuda desa . Mana mungkin berani berlancang diri menemui Patih Kerajaan,
apalagi menghadap Sri Baginda. Saya sudah lama mendengar tentang pribadi Tumenggung yang
sangat dekat dengan rakyat. Itu sebabnya saya memilih menemui Tumenggung. Jika tindakan
saya ini salah atau tidak berkenan di hati Tumenggung. Mohon saya diberi tahu dan minta
maaf. Pagi ini saya sudah menghabiskan waktu Tumenggung…”
Tumenggung Cokro tertawa lebar. “Damar Wulung, kau bukan saja seorang pemuda gagah
berilmu. Tapi juga tinggi budi rendah hati!” Tumenggung Cokro tepuk-tepuk bahu pemuda di
hadapannya itu. Sambil menepuk dia kerahkan kekuatan tenaga dalam. Seseorang yang tidak
memiliki ilmu, akan terhenyak miring tubuhnya oleh tepukan yang kelihatannya enteng- enteng
saja itu. Tetapi yang terjadi malah mengejutkan sang Tumenggung. Tubuh si pemuda sama
sekali tidak bergeming. Dia merasa tangannya menepuk tumpukan kapas yang sangat lembut.
Semakin sukalah Tumenggnung Cokro Pambudi pada pemuda ini. Tidak terasa, meluncur saja
ucapannya.

“Aku mempunyai seorang puteri. Kalau saja dia ada di sini, aku senang kau berkenalan
dengannya. Pagi-pagi sekali tadi dia…”

“Tumenggung, rasanya saya sudah cukup lama mengganggu. Saya mohon diri…”

Tumenggung Cokro terkejut. “Apa? Kau harus ikut aku, Damar!”

“Ikut Tumenggung? Ikut kemana?” Damar Wulung bertanya heran.

“Astaga! Kau masih belum sadar kalau sudah berbuat jasa besar pada Kerajaan. Aku akan
mengajakmu menghadap Sri Baginda di Keraton. Baginda pasti sangat gembira. Dan kau tahu
Damar. Pemuda sepertimu sangat besar arti dan gunamya bagi Kerajaan. Aku yakin Sri Baginda
akan memberikan satu jabatan tinggi bagimu. Bungkus kembali peti itu Damar. Kita berangkat
sekarang juga. Aku akan berganti pakaian dulu…”

Tumenggung Cokro masuk ke dalam dengan membawa Keris Kiai Naga Kopek. Dua peti
ditinggalkannya di atas meja. Ketika tak lama kemudian dia kembali ke beranda samping, dua
buah peti berisi harta perhiasan dan uang emas sudah terbungkus rapi dalam buntalan kain.
Namun pemuda bernama Damar Wulung tak ada lagi di tempat itu.

“Damar….?” Tumenggung Cokro memanggil.

“Damar Wulung?!” Sang Tumenggung berteriak lebih keras. Lalu lari ke halaman depan. Damar
Wulung lenyap.

“Aneh, manusia aneh! Berbuat jasa besar begitu rupa. Lenyap menghilang! Sepertinya tidak
menginginkan balasan apa-apa! Padahal ratusan pemuda bisa nekad berbuat apa saja agar bisa
mendapat pekerjaan terhormat di Keraton…” Tumenggung Cokro usap dagunya lalu sambil
geleng-gelengkan kepala dia kembali ke beranda samping, lalu bergegas ke belakang menemui
pembantu yang mengurus kudanya. Pagi itu juga dia segera menghadap Raja di Keraton. Seperti
yang telah diduganya, Raja tidak kecewa dengan lenyapnya sebagian besar harta perhiasan dan
uang. Yang penting Keris Kiai Naga Kopek bisa diemukan kembali.

Dengan mata bercahaya dan wajah berseri-seri Raja mengeluarkan Keris Kiai Naga Kopek dari
dalam peti.
“Sungguh Gusti Allah Maha Besar. Ada saja uluran tanganNya melalui seorang pemuda berhati
jujur, membawa pusaka Kerajaan ini kembali ke Keraton…” Sri Baginda cium sarung keris emas
itu lalu perlahan-lahan ditariknya senjata itu keluar dari sarungnya. Ketika dia hendak mencium
keris emas telanjang itu, mendadak gerakannya tertahan. Sepasang matanya membesar,
meneliti ukiran di badan keris lalu kelihatan tubuh Sri Baginda lemas, menatap membelalak tapi
sayu pada Tumengung Cokro Pambudi.

Heran melihat sikap dan raut wajah Sri Baginda, Tumenggung Cokro Pambudi langsung
bertanya.

“Sri Baginda, agaknya ada sesuatu?”

“Keris ini Tumenggung… Keris ini….”

“Ya, ada apa dengan keris itu Sri Baginda?” Tumenggung Cokro beringsut maju mendekati Raja.

“Keris ini bukan Keris Kiai Naga Kopek. Keris ini palsu! Hanya sarungnya yang benar asli…
Ampun Gusti Allah!”

“Tobat biyung!” ucap Tumenggung Cokro begitu mendengar kata-kata Raja.

Pagi itu juga Sri Baginda memerintahkan Tumenggung Cokro agar segera berangkat ke Desa
Karangmojo. Damar Wulung sempat memberi tahu bahwa dia berasal dari desa tersebut.
Tumenggung Cokro membawa sejumlah perajurit dan dua orang berkepandaian tinggi. Salah
seorang di antaranya adalah Momok Dempet Tunggul Gono. Saat itu tangan kiri Tunggu Gono
yang buntung sebatas siku telah disambung dengan selongsong besi yang ujungnya lancip
berkeluk seperti ganco.

Begitu sampai di Desa Karangmojo, Kepala Desa dipanggil.

“Di desa sini tidak ada orang bernama Damar Wulung. Apalagi memiliki kepandaian silat hebat
bisa mengalahkan perampok Alas Roban…” menerangkan Kepala Desa Karangmojo.

“Ada atau tidak desa ini harus kami geledah!” kata Tumengtung Cokro. “Jumlah kami dari
Kotaraja tidak banyak. Harap perintahkan para petugas keamanan desa dan rakyat ikut
membantu!”

Semua rumah penduduk di Desa Karangmojo digeledah satu demi satu. Karena desa ini cukup
luas, maka menghhabiskan banyak waktu dan melelahkan untuk menggeledahnya. Dan
hasilnyapun nihil besar. Damar Wulung tidak diketemukan batang hidungnya!

Dalam perjalanan kembali ke Kotaraja, Tumenggung Cokro Pambudi tidak habishabisnya


berpikir. “Agaknya aku berhadapan dengan bangsa penjahat kakap, cerdik dan berkepandaian
tinggi. Semula dengan membawa harta, uang dan keris itu kepada Raja, aku berharap akan
mendapat pujian. Syukur-syukur bisa diangkat jadi Adipati. Ternyata kini aku yang menanggung
apesnya! Edan biyung! Apa yang harus aku katakan pada Sri Baginda? Tobat biyung!”

Selagi dalam keadaan pikiran kacau serta hati gemas begitu rupa, sesampainya di Kotaraja
rombongan segera menuju Keraton untuk memberikan laporan. Ketika sama-sama
menambatkan kudanya, Momok Dempet Tunggul Gono berbisik pada sang Tumenggung.

“Aku menaruh curiga?”

“Menaruh curiga? Maksud sampean apa?” tanya Tumenggung Cokro.

“Jangan-jangan semua ini hanya sandiwaramu saja. Siapa tahu kau berada di belakang layar.
Aku mendengar peti emas itu sebenarnya berjumlah lima buah. Yang kau serahkan pada

Raja hanya dua. Yang tiga pasti kau tilep. Lalu Keris Kiai Naga Kopek yang asli kau ambil,
menggantikannya dengan keris rongsokan dari kuningan disepuh emas…”

“Makhluk jahanam bermulut busuk!” teriak Tuemnggung Cokro marah sekali. Tangan kanannya
bergerak laksana kilat hendak menampar. Tapi tangan kiri selongsong besi lancip Tunggul Gono
cepat membuat gerakan menangkis, melintang di depan mukanya. Tumenggung Cokro
menggeram. Dia berusaha menindih amarah dan terpaksa menarik tangananya.

“Lain kali jika kau berani berucap kotor, walau cuma sedikit saja, aku bersumpah akan
membunuhmu!” kata sang Tumenggung pula.

Momok Dempet Tunggul Gono tertawa lebar. “Memang itu harus kau lakukan. Untuk
menghilangkan jejak. Tapi apakah kau sanggup Tumenggung?”

“Akan aku buktikan. kita berdua akan menghadap Raja. Silahkan kau umbar mulut kejimu di
hadapan Sri Baginda. Kalau perlu aku akan menghabisimu di depan beliau!” Habis berkata
begitu Tumengung Cokro mendahului masuk ke dalam Keraton.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 7

Kembali pada peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Dalam keadaan lumpuh tangan dan kaki Pendekar 212 Wiro Sableng dogotong oleh dua orang
perajurit. Di sebelah belakang mengikuti Tunggul Gono yang tangan kirinya hancur sebatas siku.
Dengan menotok dua jalan darah di sisi kiri tangan yang hancur itu tidak sampai mengucurkan
darah. Namun rasa sakit seperti ada puluhan paku mencucuk membuat Momok Dempet ini
kelihatan mengerenyit kesakian berulang kali. Tampang yang kesakitan itu juga tampak garang
beringas. Amarahnya hampir tidak terkendali. Saat itu ingin sekali Tunggul Gono menendang
hancur kepala Pendekar 212 dengan kakinya yang berbentuk kuda. Pemuda inilah yang
menyebabkan dia terpaksa membunuh saudaranya. Lalu pemuda ini pula yang telah
menghancurkan tangan kirinya sampai ke siku, membuat dia cacat seumur hidup.

Di samping rasa dendam terhadap Wiro, Tunggul Gono juga marah pada Hantu Muka Licin Bukit
Tidar. Dia sudah lama mengincar Kinasih. Kini kakek satu itu memisahkan diri, membawa
perempuan cantik itu entah kemana.

Tunggul Gono berdiri di hadapan sosok Wiro yang terbujur di lantai kerangkeng besi. Kaki
kanannya diangkat, dipisahkan ke kepala Wiro. Tenggorokannya keluarkan suara menggeram
pendek. Lalu mulutnya berucap.

“Pendekar 212! Saat ini sangat mudah bagiku menghabisi nyawamu. Satu kali kakiku menginjak
remuk amblas kepalamu!”

Murid Sinto Gendeng menyeringai. “Lalu kenapa tidak kau lakukan?!” Wiro menantang.

Tunggul Gono menggeleng. “Kematian secara cepat terlalu enak bagimu. Aku lebih suka
menyiksamu lebih dulu. Kalau perlu tidak usah membunuhmu, tapi membuatmu cacat dan gila
seumur-umur! Ingat ucapan Hantu Muka Licin Bukit Tidar? Kakek sakti yang melumpuhkanmu
dengan puluhan jarumnya? Malam nanti aku akan menyuruh orang menyiksa anggota
rahasiamu dengan sengatan puluhan kelabang beracun! Kau boleh hidup, tapi sebagai laki-laki
kau tidak akan punya daya apa-apa lagi. Di mata perempuan anjing buduk lebih berharga dari
pada dirimu! Ha… ha… ha!”

“Ha… ha… ha!” Wiro ikutan tertawa membuat Tunggul Gono hentikan tawanya dan delikkan
mata.

“Jahanam! Apa yang kau tertawakan?!” Tunggul Gono membentak.

“Kalau aku jadi anjing buduk, aku akan menggigit bukan cuma kakimu. Tapi juga anggota
rahasiamu! Seperti aku kau juga tidak akan ada artinya bagi perempuan! Lalu kita bisa gila
barengan! Ha… ha… ha!”

“Keparat!” Maki Tunggul Gono lalu tendang pinggul Pendekar 212 hingga mencelat ke sudut
kerangkeng. Sambil memaki panjang pendek Tunggul Gono kelur dari tempat itu. Sebelum pergi
dia kunci pintu kerangkeng dengan dua buah gembok besar. Kuncinya lalu digantung pada
tembok enam langkah di depan kerangkeng. Sebenarnya dia ingin menyiksa Wiro dengan
beberapa tendangan lagi, namun keadaan luka di tangan kirinya saat itu membuat dia lebih
mementingkan mencari seseorang untuk minta pengobatan. Selain itu dia harus memikirkan
akan disambugnya dengan apa tangan kirinya yang buntung itu. Tangan palsu dari kayu, atau
besi?

Ketika Tunggul Gono mengikuti perajurit yang menggotong Wiro menuju kerangkeng besi,
Malaikat Alis Biru pergi menemui Patih Kerajaan di satu ruangan dalam Keraton. Dia
melaporkan perihal ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sanleng yang dituduh sebagai pembunuh
juru ukir Raden Mas Sura Kalimarta.

“Patih Kerajaan,” kata Malaikat Alis Biru menyudahi laporannya. “Menyimak segala
perbuatannya di masa lalu serta mengetahui dia adalah murid Sinto Gendeng dari Gunung
Gede, saya menaruh kawatir kalau-kalau kita telah kesalahan tangan.”

“Maksudmu?”

“Saya meragukan bahwa Wiro Sableng yang membunuh juru ukir itu lalu berselingkuh dengan
Kinasih, istri almarhum,” jawab Malaikat Alis Biru pula. “Kalau kita sampai kesalahan tangan
Sinto Gendeng pasti tidak akan tinggal diam. Lalu para tokoh rimba persilatan pasti akan
bersikap tidak enak pula terhadap Kerajaan…”

Patih Selo Kaliangan merenung sejenak. “Ucapanmu ada benarnya…” kata sang Patih kemudian.
“Aku tugaskan padamu menemui pemuda itu malam nanti. Jika kau merasa pasti dia tidak
bersalah, aku memberi wewenang padamu untuk melepaskannya. Namun setelah dilepas,
ternyata memang dia yang melakukan pembunuhan itu, bisakah kau memberikan satu jaminan
bahwa kau akan mampu menangkapnya kembali?”

Malaikat Alis Biru. “Saya menjadikan diri saya sebagai jaminanya Patih. Saya bersedia dihukum
berat kalau apa yang saya lakukan ternyata keliru.”

“Malaikat Alis Biru, kalau aku boleh bertanya mengapa kau seperti membela Pendekar 212?”
bertanya Patih Kerajaan.

“Saya tidak membela dirinya Patih. Bagi saya lebih baik kelolosan terhukum yang bersalah dari
pada memenjarakan orang yang sebenarnya tidak bersalah…”

Patih menganguk. “Jalan pemikiran yang bagus,” kata Patih Selo Kaliangan. “Tapi agaknya kau
akan bentrokan kepentingan dengan Momok Dempet Tunggul Gono…”

“Saya tidak menyalahkan dirinya, Patih. Tunggul Gono punya segudang dendam kesumat
terhadap Pendekar 212. Kematian saudaranya. Tangan kirinya yang dibikin hancur…”

“Baiklah Malaikat Alis Biru. Aku akan menemui Raja memberitahu keputusan kita ini. Semoga
Raja dapat memahami. Aku tidak melihat orang tua berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Bukankah dia ikut serta dalam rombonganmu?”

“Di tengah jalan dia memisahkan diri. Dia memboyong Kinasih, istri mendiang juru ukir
Keraton.”

Berubahlah paras Patih Selo Kaliangan. “Malaikat Alis Biru, perintahkan satu pasukan untuk
mencari kakek itu. Cegah dia melakukan perbuatan keji itu. Aku akan memberitahu Raja. Sudah
sejak lama kita orang-orang Keraton tidak suka dengan segala perbuatannya. Dia pernah
diperingatkan, tapi masih saja berlaku tidak terpuji!”

“Saya akan menyiapkan pasukan. Atas izinmu biar saya minta Tunggul Gono untuk memimpin
pasukan itu…”

“Ya, Momok Dempet itu memang harus banyak diberi pekerjaan. Dia juga salah satu orang yang
harus kita awasi terus menerus…”

***

Sesaat setelah Tunggul Gono dan dua perajurit meninggalkan tempat itu, Pendekar 212
berusaha mengetahui berada dimana dia saat itu. Ternyata dia disekap dalam sebuah ruangan.
Bagian belakang merupakan tembok batu yang sangat kokoh. Di kiri kanan serta bagian depan
ruangan itu dibatasi dengan jalur-jalur besi sebesar betis. Ruangan itu tidak beda dengan
sebuah kerangkeng tempat mengandangkan binatang buas.

Wiro coba kerahkan tenaga dalam. Tidak berhasil. Coba gerakkan kaki dan tangan. Juga tidak
mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata dan menggerakkan leher atau kepalanya sedikit.
Selagi dia berusaha menarik nafas dalam sambil mengatur jalan darah, tiba-tiba hidungnya
mencium satu bau yang amat tajam. Dia memutar mata, menggerakkan kepala. Tapi tak banyak
yang bisa dilihatnya. Ditariknya nafas dalam kembali, lalu lapat-lapat didengarnya ada suara
seperti orang mengorok jauh di sudut kiri, agak sebelah depan. Kalau saja dia bisa menaikkan
kepala sedikit. Kemudian terdengar suara orang batuk-batuk.

“Tidak salah! Suara batuk itu aku kenali betul. Lalu bau pesing yang santar itu. Hanya ada dua
makhluk di dunia yang bau tubuhnya memancarkan bau pesing. Guruku Sinto Gendeng dan
Setan Ngompol. Yang tadi batuk adalah suara laki-laki. Jadi…” Wiro membatin. Dia kumpulkan
tenaga dan berteriak.

“Setan Ngompol! Kau ada di sini?!”

Di dalam sebuah kerangkeng besi, terletak sebelah kiri depan kerangkeng tempat Wiro disekap,
suara batuk serta merta lenyap. Satu sosok tua kerempeng yang sejak tadi terbujur di lantai
mendadak sontak bangkit berdiri. Dari bawah perutnya memancar air kencing karena kaget
oleh teriakan Wiro tadi. Sambil pegangi perutnya, orang tua ini terhuyung-huyung bangkit
berdiri. Daun telinganya lebar. Yang sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik. Daun telinga
yang seharusnya menghadap ke depan justru menghadap ke belakang.

Kakek ini memiliki sepasang mata jereng. Sambil memegang daun telinga kirinya, dua mata
jereng memandang berputar mencari-cari. Lalu dia berseru.

“Siapa tadi berteriak menyebut nama Setan Ngompol?!”


“Aku! Wiro Sableng! Jawab cepat! Kau Setan Ngompol atau bukan?!”

Kakek dalam kerangkeng besi melangkah ke depan tapi gerakannya hanya sebatas dua langkah.
Sesuau yang menjepit di selangkangannya membuat dia tak bisa maju lebih jauh. Walaupun
demikian sudah cukup baginya untuk dapat melihat ke dalam kerangkeng dimana Wiro berada.
Sebaliknya karena kini kakek itu dalam keadaan tegak berdiri, walau dia sendiri masih terbaring
namun Wiro sudah dapat melihat bagian kepala orang.

“Astaga naga!” si kakek dalam kerangkeng yang memang Setan Ngompol adanya berseru kaget.
Kencingnya langsung terpancar. “Wiro! Dedemit dari mana yag membawamu ke tempat celaka
ini?!” teriak Setan Ngompol.

“Nanti aku ceritakan. Kau duluan yang cerita. Tempat apa ini, kira-kira dimana letaknya. Lalu
bagaimana kau bisa bertahta di sini…”

“Sialan! Kau menyebut aku bertahta! Nasibku dan nasibmu tidak beda! Kita dipenjarakan orang
di ruang bawah tanah ini. Letaknya di ujung satu lorong, masihdi kawasan Keraton. Tapi di

bawah tanah. Kau tahu tempat apa ini? Ini adalah tempat manusia-manusia malang celaka

menunggu hukuman mati!”

Serrr! Habis menyebut mati begitu si kakek kembali mengucur air kencingnya.

“Kalau memang mati ya mau dibilang apa!” kata Wiro. Tangan kanannya digerakkan hendak
menggaruk. Tapi tidak bisa. “Lekas kau ceritakan riwayatmu sampai minggat ke sini. Bukankah
kita sama-sama melesat mental dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu?”

“Ya… ya aku sadari hal itu kemudian. Celakanya aku mental dan melayang jatuh di sumur
tempat sumber air mandi Raja! Walau semua itu terjadi secara tidak sengaja, tapi para
penguasa Istana mana mau tahu. Lagi pula siapa percaya kalau aku katakan aku barusan saja
terpental dari negeri jahanam Latanahsilam. Raja marah, aku ditangkap. Kabarnya air sumur
yang sudah tercemar air kencingku itu bukan saja sempat dipakai bersiram oleh Sri Baginda tapi
juga sempat dipakai berkumur-kumur. Asyik tidak?!”

Pendekar 212 masih bisa tertawa gelak-gelak mendengar cerita Setan Ngompol itu. Lalu Wiro
berkata.

“Kau tidak bersalah, semua terjadi bukan maumu. Kulihat kau dalam keadaan bebas. Mengapa
kau tidak berusaha kabur melarikan diri?”

“Apanya yang bebas! Dari tempatmu terbujur kau mungkin sulit melihat. Tapi coba kau angkat
kepalamu sedikit, lihat kemari! Kau tahu mengapa aku tidak bisa kabur! Gila betul!”
Pendekar 212 dengan susah payah berhasil mengangkat kepalanya sedikit. Ketika melihat sosok
Setan Ngompol terkejutlah pendekar ini. Tangan dan dua kaki si kakek memang bebas. Tapi di
bagian bawah perutnya, dari balik celana bututnya yang basah kuyup oleh air kencing kelihatan
menggelantung sebuah rantai besi. Bagian lain dari ujung rantai dilibatkan ke jalur besi di
dinding kiri sementara ujungnya tenggelam masuk ke lantai batu.

“Anggota rahasiaku dipatok jepian besi yang ada gandulan rantai. Aduh mak, sakitnya tidak
seberapa. Tapi gatalnya, sulit aku menggaruk! Masih untung japitannya tidak terlalu kuat. Jadi
aku masih bisa ngompol. Kalau sampai kencingku mandek mungkin aku sudah mampus tiga hari
yang lalu! Kau saksikan dua tangan dan kakiku memang bebas. Aku bisa saja membobol jalur
besi atau menghancurkan dinding batu. Tapi kalau aku kabur berarti putus anuku ini! Sial
dangkalan!” SI kakek memberi keterangan lalu memaki panjang penden. “Wiro, sekarang
giliranmu. Ceritakan apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan lumpuh begitu rupa.
Kesalahan apa yang telah kau lakukan hingga disekap di tempat ini?!”

“Aku dituduh membunuh juru ukir Keraton dan berbuat mesum dengan istrinya…” Wiro
menjawab lalu secara singkat menceritakan apa yang terjadi.

Setan Ngompol tertawa cekikikan.

“Kakek geblek, kenapa kau tertawa?!”

Setan Ngompol duduk menjelepok di lantai kerangkeng. Sambil pegangi perutnya dia bertanya.
“Istri juru ukir itu, apakah dia masih muda dan cantik jelita?”

“Eh, mengapa kau bertanya begitu? Memang dia masih muda, parasnya cantik ayu…”

Setan Ngompol menyeringai. Setelah batuk-batuk beberapa kali dia lantas berkata. “Soal
tuduhan kau membunuh juru ukir itu aku memang tidak percaya. Tapi soal kau beranu-anu
dengan istrinya yang masih muda dan cantik, bisa saja memang kau lakukan…” Setan Ngompol
lalu tertawa gelak-gelak.

“Tua bangka setan! Mulutmu tidak karuan…”

“Walah, mumpung masih bisa bicara dan bergurau mengapa tidak dilakukan? Besok kalau
sudah mati, setanpun tidak mau kita ajak bicara apalagi bercanda!” jawab Setan Ngompol. “Kau
tahu, hukuman apa yang hendak dijatuhkan atas diriku?”

“Katamu ini sekapan tempat menunggu hukuman mati!”

“Mereka hendak melakukan sesuatu yang lebih buruk dari kematian!” jawab Setan Ngompol
pula. “Mereka hendak mengebiri barang antikku!” Lalu serr, si kakek terkencing.
Wiro terkejut lalu ingat akan ucapan Tunggul Gono. “Nasibku tidak lebih bagus. Anuku akan
diantuk dengan puluhan kelabang beracun!”

Kembali Setan Nghompol pancarkan air kencing. “Nasib… nasib. Aku mengira bisa kembali ke
Tanah Jawa bakal mendapat kesenangan. Yang dapat malah malapetaka begini rupa.
Mendingan aku tetap saja berada di Negeri Latanahsilam!”

“Kapan mereka mau menggorok burungmu Kek?” tanya Wiro.

“Besok pagi!” jawab Setan Ngompol. “Kau sendiri kapan mau dikawini dengan kelabang
beracun?” bertanya si kakek.

“Enak saja kau mengatakan aku mau dikawini!” Wiro mendumal. Tapi dia menjawab juga.
“Rencananya nanti malam. Yang punya niat tadinya adalah seorang kakek keparat berjuluk
Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Tapi yang melakukan Momok Dempet Tunggul Gono…”

”Agaknya kita hanya menunggu nasib. Kecuali jika ada yang menolong…”

“Harapan kita tipis Kek…” kata Pendekar 212 pula. Dia pejamkan mata, berusaha menenangkan
pikiran sambil mencari kala bagaimana bisa meloloskan diri. “Aku memiliki ilmu Sepasang
Pedang Dewa yang kudapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Pendekar

212. “Tapi percuma saja. Sekalipun aku bisa menjebol dinding, atau memutus jalur-jalur besi
kerangkeng, aku tetap saja tak bisa melarikan diri. Pertama sekali aku harus bisa membebaskan
diri dari kelumpuhan ini. Bagaimana aku bisa mencabuti dua puluh satu jarum celaka yang
menancap di sekujur badanku ini? Siapa yang bakal menolong. Tuhan, apa Kau masih menaruh
kasih menolong diriku? Hanya Engkau satu-satunya tempat aku minta tolong. Di tempat ini
memang ada Malaikat. Tapi dia bukan MalaikatMu. Dia Malaikat Alis Biru, tokoh silat Istana
yang salah kaprah!”

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 8

Dua mata Si Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng yang sejak tadi berada dalam
keadaan terpejam tiba-tiba dibuka nyalang. Di ujung lorong terdengar langkah-langkah kaki
mendatangi.

“Jahanam orang-orang Istana!” kata Setan Ngompol dalam hati. “Mereka pasti hendak
mengerjai Wiro. Aku harus melakukan sesuatu.” Kakek ini menunggu sampai akhirnya dia
melihat tiga orang muncul dan berhenti di depan kerangkeng besi tempat murid Sinto Gendeng
disekap.

Yang tegak paling depan adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki sepasang alis
berwarna biru. “Hemmm… ini pasti begundal berjuluk Malaikat Alis Biru yang diceritakan Wiro,”
membatin Setan Ngompol. Diam-diam kakek ini kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan,
menyiapkan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara. Begitu Wiro hendak dicelakai dia
akan hantamkan pukulan sakti itu ke arah Malaikat Alis Biru.

Malaikat Alis Biru memberi isyarat pada dua orang perajurit berbadan tegap yang ikut
bersamanya. Salah seorang dari mereka mengambil sebuah kunci yang tergantung di tembok di
depan kerangkeng, lalu membuka dua gembok besar pengunci pintu kerangkeng.

“Pendekar 212! Aku datang untuk membebaskanmu!”

Murid Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar ucapan Malaikat Alis Biru. Dia sama sekali
tidak mengira. Setan Ngompol tak kalah kejutnya. Kakek ini buru-buru menekap bagian bawah
perutnya agar tidak kucurkan air kencing. Dua matanya tetap mengawasi karena dia merasa
ragu. Apa benar Malaikat Alis Biru hendak membebaskan Wiro. Mungkin hanya satu jebakan
saja.

Pintu besi dibuka. Malaikat Alis Biru masuk ke dalam. Dua perajurit mengikuti.

“Kau hendak berbuat apa?!” Wiro bertanya.

“Seperti aku katakan tadi, aku datang untuk membebaskanmu. Patih dan Sri Baginda
menganggap kau bukan pembunuh juru ukir Keraton bernama Sura Kalimarta. Karena itu kau
dibebaskan. Aku menjamin kebebasanmu. Karena itu jika kelak terbukti memang kau yang
membunuh sang juru ukir, kau harus menyerahkan diri untuk diadili!”

“Ini buka jebakan atau tipuan?” tanya Pendekar 212.

“Tak ada yang menjebak. Tak ada yang menipu!”

Di dalam kerangkengnya Setan Ngompol merasa lega. Tenaga dalam di tangan kanannya
perlahan-lahan dikendurkan.

“Aku berterima kasih padamu, Patih Kerajaan dan Raja. Tetapi kurasa tidak ada gunanya aku
mendapat kebebasan. Aku tidak bisa berjalan meninggalkan tempat ini. Tangan dan kakiku
lumpuh akibat tusukan dua puluh satu jarum Hantu Muka Licin Bukit Tidar!”

“Soal kelumpuhanmu aku tidak bisa menolong. Aku tidak bisa mencabut jarum-jarum itu tanpa
mencelakai. Aku tahu betul, kalau jarum kucabut tanpa mengerti bagaimana caranya,
keadaanmu bukannya tertolong, malah selain lumpuh kulit dan dagingmu bisa membusuk!”

“Jarum jahanam!” rutuk Pendekar 212.

“Aku akan menyuruh dua perajurit ini membawamu keluar. Kau boleh minta diantar kemana
saja. Hanya itu yang bisa aku lakukan!” kata Malaikat Alis Biru pula.
Wiro diam sejenak. Lalu dia ingat Setan Ngompol. “Aku tidak sudi meningggalkan tempat celaka
ini. Kecuali jika temanku kakek bernama Setan Ngompol di kerangkeng sana juga ikut
dibebaskan!”

“Ah… jadi kakek jereng kuping terbalik bau pesing itu adalah kawanmu! Sayang aku tidak diberi
wewenang untuk melepaskannya. Apa yang telah dilakukannya bukan kesalahan kecil. Dia
mengencingi sumur sumber air mandi Sri Baginda.”

“Dia melakukan itu tidak sengaja. Karena kecebur! Dengar, aku tidak akan meninggalkan
tempat ini kalau dia tidak ikut serta!”

“Anak muda, mengapa berlaku tolol? Jika kau sudah bebas di luaran kau bisa mencari jalan
menolong kawanmu itu…”

“Benar Wiro!” Berseru Si Setan Ngompol dari dalam kerangkengnya. “Jangan pikirkan aku.
Selamatkan dirimu. Minta dua perajurit itu mengantarkanmu ke Imoyudan. Cari seorang
bernama Mangiri. Dia tahu seorang pandai yang bisa mencabut dua puluh satu jarum di
tubuhmu!”

“Anak muda, kau dengar ucapan sahabatmu itu. Tunggu apa lagi? Dua perajurit itu akan
membawamu ke Imoyudan. Saat ini malam hari. Tak ada yang akan mengganggu perjalananmu
sampai ke Imoyudan. Aku menjamin…”

“Tapi aku mendengar besok pagi anggota rahasianya akan dikebiri. Dalam waktu singkat begitu
bagaimana mungkin aku menolongnya?”

“Berarti kau berpacu dengan waktu, anak muda. Jadi jangan membuang waktu percuma…” kata
Malaikat Alis Biru pula.

Wiro terdiam dan berpikir sambil memperhatikan Setan Ngompol.

“Kalau tak ada cara lain untuk membebaskan kawanku itu, aku terpaksa mengikut saja…” kata
Pendekar 212 dengan suara perlahan. Dia merasa sedih meninggalkan Si Setan Ngompol. Dua
perajurit segera menggotong sosok Wiro Sableng. Tapi baru saja mereka dua langkah
meninggalkan kerangkeng, tidak terduga dari ujung lorong muncul tiga orang mendatangi.

Di depan sekali melangkah Momok Dempet Tunggul Gono. Tangan kirinya yang buntung
tampak disambung dengan sebuah selongsong besi yang ujungnya berkait seperti ganco. Di kiri
kanan, agak ke belakang menngikuti dua orang. Satu berpakaian merah gelap, masih muda dan
bertubuh hitam gelap. Satunya lagi seorang kakek berpakaian biru muda, memakai blangkon
yang pada bagian depannya tersemat sebuah batu permata berwarna hitam.

Malaikat Alis Biru merasa kaget melihat kemunculan orang-orang itu. Dia bisa tidak perduli
dengan Tunggul Gono dan lelaki muda yang membawa bumbung bambu. Tapi kakek
berbelangkon dan berpakaian biru muda membuat hatinya tiba-tiba menjadi kawatir. Kakek ini
di kalangan Keraton dikenal dengan julukan Iblis Batu Hitam. Ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.
Tapi batu hitam yang menempel di belangkonnya luar biasa berbahaya. Dengan benda yang
dianggap keramat itu dia mampu menghadapi lawan bagaimanapun hebatnya. Itu sebabnya di
kalangan Keraton dia dianggap sebagai pimpinan tertinggi dari para tokoh silat Istana. Dia
jarang muncul. Tapi sekali muncul pasti menjatuhkan malapetaka!

“Ada yang tidak beres. Agaknya Tunggul Gono sudah tahu Wiro hendak dibebaskan. Dia datang
sambil membawa kakek ini.” Membatin Malaikat Alis Biru.

Sesaat kemudian Momok Dempet Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki membawa
bumbung bambu sampai di depan kerangkeng.

“Sungguh satu pertemuan tidak terduga!” Tunggul Gono angkat bicara. Matanya memandang
tak berkesip pada Malaikat Alis biru, lalu memperhatikan dua perajurit yang menggotong Wiro,
kembali memperhatikan Malaikat Alis Biru. “Sobatku Malaikat Alis Biru, kau hendak bawa
kemana tawanan ini?”

“Sesuai persetujuan Patih Kerajaan dan Sri Baginda, aku diberi wewenang membebaskan
tawanan…” jawab Malaikat Alis Biru.

“Apa?! Kau diberi wewenang membebaskan tawanan bernama Wiro Sableng ini? Jangan
bergurau sobatku Alis Biru!”

“Siapa bergurau!” bentak Malaikat Alis Biru.

“Hemm… Apakah kau membawa wewenang tertulis dari Patih atau Raja?”

“Wewenang itu diberikan secara lisan.”

Tunggul Gono menyeringai. “Kalau begitu harus aku suruh dulu orang memeriksa. Sementara
itu masukkan kembali tawanan ke dalam kerangkeng!”

“Kau berani melawan kehendak Raja dan Patih Kerajaan?!” kembali Malaikat Alis Biru
membentak.

“Aku berani melawan kehendak siapa saja selama urusannya belum jelas!” Lalu karena melihat
dua perajurit tidak mau menurunkan tubuh Pendekar 212 yang digotong, Tunggul Gono
tendangkan kaki kudanya sebelah kanan.

“Bukkk!”

Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terlempar menyerempet pintu lalu masuk ke dalam
kerangkeng, jatuh bergedebukan di lantai.
“Jahanam berkaki kuda! Kau berani mencelakai sahabataku yang tidak berdaya! Makan
pukulanku!”

Satu suara membentak di sebelah belakang. Lalu terdengar suara angin menderu disertai bau
pesing mencucuk hidung.

Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki yang memegang bumbung bambu berseru keras
lalu sama-sama berkelebat selamatkan diri. Selarik sinar hitam lewat di depan mereka.
Menghantam jalur-jalur besi kerangkeng hingga bengkok melengkung lalu meruntuhkan
dinding batu di sebelah sana.

“Tua bangka jahanam! Kau minta mati berani menyerang kami!” teriak lelaki berpakaian merah
yang memegang bumbung. Dia melompat ke hadapan kerangkeng dimana Setan Ngompol
disekap. “Mana kunci kerangkeng! Biar kubunuh makhluk busuk tak berguna ini sekarang juga!”

“Ini urusan kecil. Serahkan kakek bau pesnig itu padaku!” Yang bicara adalah kakek
berbelangkon berjuluk Iblis Batu Hitam. Dia melangkah ke depan kerangkeng Setan Ngompol.
Matanya tiba-tiba dibelalakkan. Kepalanya digoyangkan ke depan. Saat itu juga dari batu hitam
yang tersemat di bagian depan belangkon menyembur cahaya hitam, membungkus sekujur
tubuh Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras lalu terkapar roboh di lantai. Mukanya tampak
kaku. Matanya mendelik dan dari mulutnya mengucur darah.

Wiro berteriak marah! Dia mengira Setan Ngompol tewas. Padahal cuma pingsan saja walau
sebenarnya membunuh kakek itu mudah saja bagi Iblis Batu Hitam.

“Jahanam keparat! Kau berani membunuh sahabatku! Kalau aku bebas kucari kau! Akan
kupatahkan lehermu!”

Iblis Batu Hitam cuma ganda menyeringai mendengar ucapan Wiro itu sedang Tunggul Gono
tertawa mengekeh.

“Anak muda, turut hatiku aku ingin membunuhmu saat ini juga!” berucap Iblis Batu Hitam.
“Apalagi mengingat gurumu Si Sinto Gendeng beberapa waktu lalu telah mencelakai diriku!
Lihat!”

Iblis Batu Hitam singkapkan tangan kirinya yang terlindung lengan dalam jubah hitam. Tangan
itu masih utuh, tapi menciut kecil dan kehitam-hitaman. Pada bagian atas telapak melekat
sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah tusuk konde terbuat dari perak.
Wiro segera mengenali. Tusuk konde itu adalah tusuk konde yang biasa menancap di batok
kepala gurunya.

“Gurumu membuat aku cacat begini rupa. Aku bersumpah tidak akan mencabut tusuk konde ini
sebelum aku mencabut nyawa nenek keparat itu!”
Wiro mendengus. “Kalau kau punya otak jernih kejadian itu seharusnya merupakan satu
pelajaran bagimu! Ternyata otakmu tidak jernih! Tapi penuh air comberan!”

“Jahanam, berani kau menghina ketua kami!” teriak Tunggul Gono marah. Dia segera memberi
isyarat pada lelaki berpakaian merah yang membawa bumbung bambu. Sambil melompat
masuk ke dalam kerangkeng orang ini buka penutup bumbung bambu. Lalu dia membungkuk di
hadapan Wiro. Dengan tangan kirinya dia tarik celana sang pendekar hingga melorot jauh ke
bawah. Bersamaan dengan itu tangannya yang kanan bergerak menuangkan isi bumbung
bambu. Di dalam bumbung ini terdapat tiga puluh ekor kelabang merah ganas yang
sengatannya bisa membuat laki-laki menjadi kehilangan kejantanannya seumur hidup!

“Lodan!” teriak Malaikat Alis Biru menyebut nama lelaki muda hitam seraya melompat masuk
ke dalam kerangkeng. “Tahan! Jangan lakukan itu!”

Tapi gerakan Malaikat Alis Biru tertahan karena pakaiannya tiba-tiba dicekal oleh Tunggul Gono.

“Aku susah payah menangkap bangsat itu! Aku harus membayar mahal dengan kehilangan
tangan kiri. Bahkan nyawa saudaraku! Kini kau hendak membelanya. Aku tidak perduli Raja dan
Patih Kerajaan berada di pihakmu! Kau pantas kubunuh lebih dulu!”

Habis berkata begitu Tunggul Gono hantamkan selongsong besi yang ujungnya berbentuk
gaetan. Bagi orang berkepandaian tinggi seperti dia, gaetan besi itu bisa berubah menjadi
senjata yang lebih mengerikan dari pedang atau golok! Apalagi dia memilki gerakan cepat.
Gaetan besi tahu-tahu sudah berkelebat tinggal dua jengkal dari leher Malaikat Alis Biru.

Satu cahaya biru tiba-tiba berdesing membelah udara.

“Trangg!”

Tunggul Gono keluarkan jeritan kesakitan. Darah mengucur dari goresan luka di lehernya akibat
sambaran benda tajam.

Gaetan besi tangan kiri Tunggul Gono terpental. Kakek ini tersurut dua langkah. Wajahnya
pucat. Di depannya Malaikat Alis Biru tegak tergontai memegang sebilah pedang berwarna biru.
Mukanya tak kalah pucat.

“Sahabatku Tunggul Gono, kau bantu Lodan. Urusan ini harus cepat diselesaikan. Aku tak
banyak waktu berada di Kotaraja ini!”

Yang hicara adalah Iblis Batu Hiam. Dia melangkah ke hadapan Malaikat Alis Biru dan berucap
“Pedangmu cukup sakti. Aku Iblis Batu Hitam ingin melihat sampai dimana kehebatannya!”
Habis berkata begitu kakek berjuluk Iblis Batu Hiam delikkan matanya dan goyangkan kepala.
Saat itu juga serangkum sinar hitam menderu keluar dari batu hitam yang tersemat di bagian
depan belangkonnya.

Malaikat Alis Biru membentak keras. Tangan kanan yang memegang pedang dibabatkan ke
depan. Bersamaan dengan itu dia lepaskan satu pukulan sakti dengan tangan kiri. Selarik sinar
biru berkiblat. Namun betapapun hebatnya pedang di tangan si kakek serta saktinya pukulan
yang dilepaskan, sinar hitam yang keluar dari batu di belangkon telah lebih dulu menghantam.

Malaikat Alis Biru keluarkan jeritan setinggi langit. Sosoknya yang dibungkus sinar hitam lawan
langsung kelojotan lalu roboh ke lantai. Tidak seperti Setan Ngompol, kakek malang ini benar-
benar menemui ajal alias dibikin mati oleh serangan Iblis Batu Hitam. Habis membunuh
manusia satu ini rangkapkan tangan di depan dada, memandang menyeringai pada Momok
Dempet Tunggul Gono. Namun seringai masnuia satu ini mendadak sontak lenyap seperti
direnggut setan. Di dalam kerangkeng tiba-tiba ada dua cahaya hijau berkiblat disertai jeritan
mengidikkan keluar dari mulut Lodan. Lalu sunyi dan kengerian luar biasa melanda tempat itu.

Sosok Lodan yang tadi hendak mengguyurkan tiga puluh kelabang ke bagian bawah perut
Pendekar 212 berkaparan di lantai dalam bentuk tiga kutungan besar dan berwarna hijau
mengepul. Apa yang terjadi?

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 9

Pada saat tiga puluh kelabang beracun di dalam bumbung bambu hampir meluncur jatuh

ke bagian bawah perut Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkapar, murid Sinto Gendeng tidak
melihat cara lain untuk selamatkan diri. Dari mulutnya keluar seruan keras menyebut ilmu
kesaktian yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca serial Wiro Sableng mulai dari
“Wasiat Iblis” sampai “Kiamat Di Pangandaran” terdiri dari 8 Episode).

“Sepasang Pedang Dewa!”

Saat itu juga dari dua mata Wiro melesat keluar dua larik sinar hijau bersilang berbentuk
sepasang pedang luar biasa tajam dan cepat tabasannya. Lodan, pemuda hitam berpakaian
merah tidak tahu apa yang terjadi.

“Crassss!”

“Crasss!”

Tubuh Lodan terbelah tiga mengerikan. Berkaparan di lantai kerangkeng. Puluhan kelabang
merah mati berkaparan di atas genangan darah yang mengucur keluar dari potongan tubuh
Lodan. Empat besi kerangkeng sebesar-besar betis putus!
“Jahanam keparat! Kau bisa selamat dari kelabang beracun itu! Tapi jangan harap bisa lolos dari
tanganku!”

Iblis Batu Hitam melompat ke depan pintu kerangkeng. Matanya dibeliakkan ke arah Wiro yang
terbaring di atas genangan darah. Kepalanya yang memakai belangkon digoyangkan ke depan.
Serangkum sinar hitam maut menderu ke arah Pendekar 212.

Sebelumnya Setan Ngompol dan Malaikat Alis Biru tidak sempat meloloskan diri dari serangan
mengerikan ini. Agaknya hal itu juga akan terjadi dengan murid Sinto Gendeng. Hanya sesaat
lagi sinar hitam akan melabrak membungkus tubuhnya tiba-tiba ada cahaya putih menyambar.
Bersamaan dengan itu bau harum aneh menggidikkan merebak di seantero tempat!

“Bau bunga kenanga!” Wiro berkata dalam hati, tercekat!

Sesaat lagi sinar hitam akan menggulung Pendekar 212 tiba-tiba cahaya putih menebar,
mendahului membungkus tubuh sang pendekar. Ketika kemudian sinar hitam dan cahaya putih
saling bergesekan meledaklah letusan-letusan yang menggetarkan seluruh dinding dan lantai
bangunan di bawah tanah itu. Bahkan di atas sana bangunan Keraton terasa bergetar seperti
dilanda gempa! Di depan kerangkeng Tunggul Gono jatuh terhenyak. Mukanya pucat, masih
belum tahu jelas apa yang telah terjadi.

Iblis Batu Hitam berteriak kaget ketika merasakan tubuhnya seperti dilabrak topan, terpental
membentur besi-besi kerangkeng. Kepalanya serasa tanggal. Pamandangannya sesaat gelap
dan keningnya terasa panas sekali. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah bertanggalan. Di
hadapannya muncul satu sosok aneh menyerupai asap. Lalu berubah menjadi bayang-bayang.
Kemudian antara kentara dan tidak dia melihat satu sosok gadis berpakaian putih, berwajah
cantik tapi pucat pasi denan sepasang mata menyorot dingin laksana sambaran angin salju!

“Bunga…!” Pendekar 212 menyebut nama itu dengan lidah setengah kelu, mata mendelik.

Iblis Batu Hitam tanggalkan belangkonnya. Matanya terbelalak ketika melihat batu hitam sakti
yang jadi andalan ilmu kesaktiannya tak ada lagi di belangkon itu.

“Manusia iblis, kau mencari benda ini?” Satu suara tiba-tiba menegur. Yang bicara adalah sosok
gadis berbentuk bayang-bayang itu. “Kau mencari benda ini?!” Si gadis mengulang.

Iblis Batu Hitam dan juga Momok Dempet Tunggul Gono tersentak kaget. Memandang ke
depan mereka melihat batu hitam yang tadinya menempel di belangkon kini berada dalam
genggaman jari-jari gadis muka pucat.

“Hantu keparat! Kembalikan batu itu padaku!” teriak Iblis Batu Hitam.
“Hantu keparat… Kau memanggil aku Hantu Keparat1 Sungguh lucu! Hik… hik… hik!” Gadis
muka pucat yang merupakan penjelmaan roh gadis bernama Suci alias Bunga alias Dewi Bunga
Mayat tertawa panjang. “Kau inginkan benda ini silahkan mengambil!”

Suci gerakkan jari-jari tangannya.

“Traaakkk!”

Batu hitam berderak hancur menjadi bubuk halus.

Iblis Batu Hitam berteriak marah, berusaha mengejar tapi percuma. Terlambat. Dalam remasan
Suci batu telah berubah menjadi bubuk. Ketika gadis ini meniup, debu batu itu menyembur ke
arah Iblis Batu Hitam. Dan ini bukan sambaran debu biasa. Kalau Iblis Batu Hitam tidak cepat
menyingkir matanya bisa buta ditembus debu hancuran batu hitam miliknya sendiri.

Lelehlah nyali Iblis Batu Hitam. Bukan saja melihat apa yang terjadi tapi juga karena dia tidak
memiliki ilmu lain selain mengandalkan batu hitam tiu. Tunggul Gono sendiri sejak tadi sudah
putus keberaniannya. Begitu melihat Iblis Batu Hitam memberi isyarat dan begerak kabur,
Tunggul Gono segera pula melompat menghambur.

“Kalian terlalu terburu-buru. Mau pergi kemana?” satu suara menegur.

“Ih!”

Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit berbarengan karena entah kapan bergeraknya
tahu-tahu sosok gadis berwajah pucat itu sudah berada lima langkah di hadapan mereka,
bertolak pinggang dan tertawa panjang.

“Aku tidak menghalangi. Kalian mau kabur silahkan! Tapi terima dulu hadiah kenangkenangan
dariku. Satu orang dapat satu!”

Tangan kiri kanan Suci bergerak. Dua buah benda berwarna kuning seperti berpijar, melesat di
udara. Bau wangi menggidikkan kembali menebar. Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit
setinggi langit. Tunggul Gono pegangi kupingnya sebelah kanan. Di liang kupingnya menancap
sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga kenanga kuncup. Darah mengucur dari
liang telinga yang hancur sampai ke gendang-gendangnya. Di sebelah Tunggul Gono. Iblis Batu
Hitam meraung sambil pegangi mata kirinya. Darah mengalir di selasela jarinya. Kalau Tunggul
Gono kuping kanannya yang dapat “hadiah” maka Iblis Batu Hitam mata kirinya yang dihantam
bunga kenanga kuncup! Sambil menjeri-jerit ke dua orang itu lari tunggang langgang sepanjang
lorong. Naik ke tingkat atas dan membuat gempar seisi Keraton.

“Setan! Hantu!” teriak Tunggul Gono sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.

“Ada roh jahat gentayangan!” ikut berteriak Iblis Batu Hitam.


Pasukan pengawal Keraton menjadi sibuk. Beberapa tokoh silat Istana juga segera berdatangan,
mencari tahu apa yang terjadi. Tapi seperti orang gila dan menunjuk-nunjuk kian kemari sambil
berteriak-teriak Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tidak bisa ditanyai. Akhirnya karena terlalu
banyak darah yang keluar dua tokoh silat ini roboh pingsan.

***

“Bunga…” ucap Wiro ketika sosok bayangan putih mendatangi. Dia berusaha bangkit tapi lupa
kalau sekujur tubuhnya berada dalam keadaan lumpuh. “Ah…! Aku gembira bisa bertemu
denganmu lagi, Bunga…”

“Diam saja di tempatmu Wiro. Aku akan berusaha mencabut semua jarum yang menancap di
tubuhmu. Untung tidak ada jarum yan menancap di titik darah mematikan. Mudahmudahan
aku bisa memusnahkan kelumpuhanmu!”

Cepat Suci berjongkok di samping Pendekar 212. Telapka tangan kanannya dikembangkan.
Matanya dipejamkan. Bersamaan dengan dibukanya matanya kembali, tangan kanannya
diusapkan sejengkal di atas permukaan tubuh Wiro. Terjadilah satu keanehan.

Dari telapak tangan Suci keluar satu hawa dingin menyedot disertai kepulan asap tipis putih.
Sebaliknya dari sosok Pendekar 212 merambas keluar hawa panas disertai asap kehitaman.

Tiba-tiba! Sett… sett… sett!

Dua puluh satu jarum yang menancap di tubuh Wiro melesat ke atas dan menancap di telapak
tangan Suci. Tangan itu kucurkan darah tapi cuma sebentar. Ketika Suci mengibaskan
tangannya semua jarum jatuh luruh ke tanah. Walau keadaannya saat itu masih lemah namun
Wiro sudah mampu menggerakkan tangan dan kakinya lalu duduk di lantai.

“Bunga, terima kasih. Kau muncul di saat aku membutuhkan pertolongan…” Wiro ulurkan
tangan hendak memeluk tubuh Suci. Namun sadar pakaiannya basah kotor oleh darah dia tarik
ke dua tangannya kembali. Bunga tersenyum lalu pegang ke dua tangan Wiro. Walau sosoknya
berupa bayang-bayang namun Wiro merasakan pegangan gadis itu seperti pegangan manusia
biasa adanya.

“Dua tahun aku kehilangamu. Aku mencari dan mencari. Tapi kau lenyap tak tahu rimbanya….”
bisik Suci. Kata-kata itu diucapkanya sambil sepasang matanya berkaca-kaca. Kemudian dia
ingat. “Ini bukan saatnya untk berbincang-bincang. Kita harus segera meninggalkan tempat ini.
Di atas sana aku mendengar suara ramai. Sebentar lagi orang-orang Keraton akan menyerbu ke
sini…”

Wiro masih pegangi dua tangan si gadis dan memandangi wajahnya tak berkedip. Perlahan-
lahan dia coba bangkit berdiri. Tapi tubuhnya masih lemah. Dia tak mamapu bangun.
Menyadari hal ini Suci cepat membantu. Ketika dipapah keluar dari dalam kerangkeng, Wiro
ingat pada Setan Ngompol.

“Sahabatku, kakek bau pesing itu. Kita harus menolongnya. Mudah-mudahan masih hidup.”
Wiro menunjuk pada sosok Setan Ngompol yang masih terhenyak di lantai kerangkeng
setengah pingsan setengah sadar.

Suci sandarkan Wiro ke dinding. Lalu sosok gadis ini seperti asap berhembus melayang masuk
ke dalam kerangkeng lewat celah-celah besi. Dai memeriksa keadaan Setan Ngompol sebentar,
memberi tanda pada Wiro kalau si kakek masih hidup. Sesaat Suci bingung bagaimana

harus membuka rantai besi yang tergantung di bawah perut Setan Ngompol. Di atas suara-
suara kaki terdengar berlarian mendatangi bagian bawah di ujung lorong.

“Aku perlu kapak saktimu!” kata Suci. Gadis ini melayang keluar dari dalam kerangkeng,
meminta Kapak Naga Geni 212 lalu kembali masuk ke dalam kerangkeng. Sekali tabas saja,
rantai besi yang mengikat Setan Ngompol putus pada kepanjangan tiga jengkal dari bawah
perutnya.

Suara keras dentrangan mata kapak memutus rantai besi menyadarkan Setan Ngompol. Kakek
ini mula-mula mencium bau kembang kenanga. Ketika matanya dibuka pandangannya
membentur sosok aneh, seperti asap, berwujud gadis cantik pucat berkebaya putih panjang.

“Si… siapa kau…?” Dalam kejutnya dan takut si kakek kucurkan air kencing. Dia terheran-heran
melihat Kapak Naga Geni 212 ada di tangan si gadis lalu rantai besi yang selama ini mengikat
dirinya tergelatak putus di lantai.

“Kakek bau pesing. Tidak ada waktu untuk bertanya jawab. Kita harus tinggalkan tempat ini.
Wiro sudah menunggu!”

“Wiro…?”

Tak sabaran Suci bembeng tengkuk pakaian si kakek lalu seperti tadi dia masuk begitu pula dia
bertindak keluar dari dalam kerangkeng besi. Tapi dia lupa sosok Setan Ngompol tidak sama
keadaannya dengan dirinya. Ketika sosoknya sudah di luar, tubuh Setan Ngompol tertahan
menabrak jalur-jalur besi kerangkeng. Kakek ini melolong kesakitan. Keningnya jontor dan
tulang kering kakinya seperti mau remuk membentur jeruji besi! Kencingnya awur-awuran.
Dalam hati Suci menggerutu. “Kalau kakek bau pesing ini bukan sahabat Wiro, rasanya lebih
baik aku tinggalkan saja di dalam kerangkeng ini!”

Suci pergunakan kapak sakti untuk menjebol dua jeruji besi hingga Setan Ngompol bisa keluar
dari dalam kerangkeng. Kapak dikembalikannya pada Wiro. Untuk mempercepat Suci bembeng
leher pakaian kedua orang itu, lalu dibawa melayang di udara sepanjang lorong.
“Tewas aku!” teriak Setan Ngompol.

“Ada apa Kek?!” tanya Wiro.

“Copot barang antikku!” jawab Setan Ngompol. Kakek ini buru-buru pegangi ujung rantai yang
menggelantung di bawah perutnya. Wiro tertawa lebar sedang Suci jadi senyum-senyum.

Ketika mereka sampai di tingkat atas yang menuju bangunan Keraton, semua orang yang ada di
tempat itu mejadi gempar.

“Ada dua tubuh melayang di udara!” Seseorang berteriak.

“Setan perempuan menggondol dua tawanan!” teriak yang lain.

“Roh halus masuk Keraton!”

Pasukan pengawal Keraton segera mengurung, namun mereka tidak tahu mau berbuat apa
karena masing-masing telah dilanda ngeri melihat sosok perempuan aneh yang membembeng
Wiro dan Setan Ngompol.

“Semua menyingkir! Apa yang terjadi di tempat ini!” satu suara membahana. Yang muncul
adalah Patih Selo Kaliangan. Di belakangnya mengikuti Sri Baginda. Semua orang segera
menyingkir. Anggota pasukan cepat melakukan pengawalan agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan atas diri Sri Baginda.

Kapak Maut Naga Geni 212BAB 10

Mula-mula Patih dan Raja melihat sosok Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tergeletak

di lantai, tak berapa jauh dari tangga yang menuju ke lorong bawah bangunan. Lalu! Ini yang
membuat mereka melengak kaget. Dua sosok tampak seperti melayang di udara. Satu pemuda
gondrong yang pakaiannya penuh berselemotan darah. Satunya lagi kakek bau pesing
berkuping lebar. Dua tangannya memegangi gulungan rantai besi sepanjang tiga jengkal. Di
antara dua sosok yang seperti melayang itu kelihatan sosok ke tiga, antara kelihatan dan tidak
berujud gadis

cantik berkebaya panjang.

Baik sang Paih maupun Sri Baginda segera maklum kalau mereka tengah berhadapan dengan
makhluk setengah gaib setengah nyata. Dengan nada hati-hati Patih Selo Kaliangan menegur.

“Roh gadis berkebaya putih. Apakah kau telah tersesat masuk Keraton…?”

Sosok Suci gelengkan kepala.


“Bisakah kau membuat sosokmu lebih jelas agar kami dapat melihat wajahmu?”

“Jika itu maumu tak ada salahnya…” jawab Suci. Saat itu juga wajah dan tubuhnya membayang
lebih jelas, hampir menyerupai sosok manusia biasa. “Namaku Suci, aku tidak tersesat datang
ke tempat ini…”

Sri Baginda terangguk-angguk, walau ada rasa ngeri dan juga heran.

“Kalau kau tidak tersesat berarti memang sengaja datang kemari. Lalu mengapa hendak
melarikan dua tawanan itu?” Patih Kerajaan kembali bicara.

“Aku tidak melarikan mereka. Aku menolong meneyelamatkan keduanya. Mereka dipenjarakan
tanpa kesalahan.”

“Mana mungkin kami bertindak seperti itu…”

“Patih, aku tidak ingin berdebat denganmu. Tapi kau dan juga Sri Baginda harap sudi
mendengar ucapanku ini. Jika Keraton masih memelihara manusia-manusia busuk seperti
Tunggul Gono, Iblis Batu Hiam, Hantu Muka Licin Bukit Tidar dan yang lain-lainnya, jangan
harap berkah Gusti Allah akan menjadi bagian Keraton dan semua isinya…!”

Habis berkata begitu, selagi Patih dan Raja terkesiap Suci putar tubuhnya, membumbung ke
atas, membawa serta Wiro dan Setan Ngompol. Justru saat itu tiba-tiba mengumandang satu
bentakan aneh, seolah datang dari dalam sumur atau jurang sangat dalam.

“Semua tetap di tempat! Aku ingin tahu siapa yang mencelakai saudaraku Tunggul Gono!”

Sosok Suci yang tengah melayang naik ke udara seperti diterpa angin. Kalau tidak lekas dia
menghindar Wiro dan Setan Ngompol bisa celaka. Dengan cepat Suci bergerak turun ke lantai
ruangan. Wiro dan Setan Ngompol dibisikinya agar segera berlindung di balik sebuah tiang
besar.

Di lain saat dari atas langit-langit ruangan besar melayang turun satu sosok berujud bayang-
bayang, menampilkan seorang kakek berpakaian hitam, rambut awut-awutan, memiliki
sepasang mata besar. Bahu kanan buntung, lukanya masih tampak basah berdarah! Kaki kiri
putus sebatas lutut sedang kaki kanan berbentuk kaki kuda, sama seperti yang dimiliki Tunggul
Gono.

Seisi Keraton menjadi gempar. Sosok yang muncul ini bukan lain adalah rohnya Tunggul Gini,
saudara kembar Tunggul Gono yang tewas akibat racun tanah yang menjepit putus kakinya!

Sosok Tunggul Gini berdiri di atas satu kaki, memandang mencorong pada Suci.
“Kita sama-sama makhluk dari alam roh!” Tunggul Gini berucap. “Kuharap kau mau berbaik hati
menyerahkan pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng itu!”

“Kenapa kau menginginkan dirinya?!” tanya Suci.

“Kakiku buntung karena perbuatannya. Aku tewas dibunuh saudara sendiri juga akibat
perbuatannya. Di sebelah sana saudaraku menggeletak setengah mati setengah hidup pasti
juga karena ulah perbuatannya!”

“Saudaramu aku yang menghajar! Sekedar untuk memberi pelajaran agar dia bisa bertobat!”
kata Suci pula.

Sosok gaib Tunggul Gini keluarkan suara tertawa panjang. “Kau roh jujur. Mengakui perbuatan.
Aku bersedia mengampuni dosamu asal segera menyerahkan pemuda yang kuminta!”

“Aku tidak bakal menyerahkan pemuda itu. Bukankah lebih baik kau menyelamatkan
saudaramu sendiri?!”

“Kau tak perlu memberi nasihat! Kau mau menyerahkan pemuda gondrong iu atau tidak?!”

“Kalau kau merasa mampu silahkan mengambil sendiri!”

“Makhluk roh muka pucat! Kau memaksaku menurunkan tangan jahat! Lihat jari!” Tunggul Gini
tusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah Suci. Serta merta selarik sinar hitam menderu
deras ke arah kening gadis ini. Sebenarnya serangan yang dikeluarkan Tunggul Gini adalah jurus
pukulan bernama Ladam Setan. Tapi kini dia melancarkan serangan dengan cara

menusukkan satu jari saja. Pertanda di alamnya yang baru makhluk roh ini memiliki kehebatan
berlipat ganda!

Pada saat sinar hitam tusukan tangannya berkiblat, sosok Tunggul Gini melayang ke balik tiang
besar tempat Wiro dan Setan Ngompol sembunyi. Dengan tangan kirinya mahkluk roh ini
berusaha menyambar rambut gondrong Pendekar 212.

Di sebelah sana sinar hitam serangan Tunggul Gini lewat dua jengkal di atas kepala Suci yang
cepat menunduk. Sinar ini melabrak dinding Keraton hingga menimbulkan gelegar keras.
Dinding tebal itu kelihatan berlubang besar kehitaman!

Ketika Tunggul Gini melancarkan serangan dan berusaha menjambak rambutnya, untungnya
Wiro sudah berlaku waspada sejak tadi. Tangan kanannya bergerak. Selarik sinar putih
menerangi seluruh tempat disertai menebarnya hawa panas dan suara bergaung seperti ribuan
tawon mengamuk.
Tunggul Gini berteriak, memaki keras. Walau tangannya yang menjambak mungkin tidak
mempan ditabas kapak sakti itu, tetapi dia tidak berani berlaku ayal. Dengan cepat dia tarik
pulang tangannya. Bersamaan dengan itu kaki kudanya sebelah kanan menendang ke arah
batok kepala Wiro dalam jurus Ladam Kematian!

Tidak menyangka mendapat serangan susulan begitu rupa Pendekar 212 kembali babatkan
kapak saktinya. Tapi tangkisannya kali ini melesat jauh. Kaki kuda Tunggul Gini menyusup di
balik sambaran Kapak Naga Geni 212.

“Celaka!” Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan. Dia berusaha hendak menolong, tapi dua
tangannya tak mungkin dilepas karena harus terus menerus memegangi rantai besi berat yang
mengganduli barang antiknya!

Hampir kaki kuda Tunggul Gini menghancurkan kepala Wiro tiba-tiba dari samping Suci
lancarkan dua pukulan tangan kosong sekaligus. Sosok Tunggul Gini terhuyung-huyung. Dia
berteriak marah, membalik dengan cepat seraya jentikkan lima jari.

“Gadis jahanam! Biar kau kubikin mampus untuk kedua kalinya!”

Suci tersentak kaget ketika melihat bagaimana dari tangan lawan berkelebat lima sinar hitam
luar biasa cepat dan ganasnya. Semua orang yang ada di tempat itu berserabutan menyingkir.
Tapi Suci sendiri tetap tidak bergerak di tempatnya. Dia seperti sengaja menunggu.

Sesaat kemudian tiba-tiba gadis dari alam roh ini hentakkan kaki kanannya ke lantai. Dari lantai
memancar sinar merah, menjalar ke atas memasuki tubuhnya terus ke kepala. Di lain kejap dua
larik sinar merah menyembur dari sepasang mata gadis ini. Inilah ilmu yanfg disebut Roh
Mendera Bumi.

Tunggul Gini berseru tegang menyaksikan bagaimana dua larik sinar merah yang keluar dari
sepasang mata lawan menggulung lima sinar hitamnya lalu menghantam ke arah dirinya
sendiri!

Sosok Tunggul Gini buyar tercabik-cabik, berubah menjadi asap hitam merah. Suara raungannya
menggelegar dahsyat. Sebelum sosoknya lenyap terdengar dia berteriak.

“Makhluk roh muka pucat! Aku belum kalah! Di lain saat aku akan muncul mencarimu untuk
membuat perhitungan!”

Selagi semua orang di tempat itu terhenyak dalam kegemparan luar biasa Suci cepat
membembeng Wiro dan Setan Ngompol lalu membawanya melayang ke udara meninggalkan
Keraton.

Sri Baginda mengusap wajahnya yang pucat keringatan berulang kali. Diiringi Patih Kerajaan dia
melangkah meninggalkan tempat itu dengan kaki terasa bergetar. Satu saat dia berhenti,
menunggu Patih Selo Kaliangan berada di dekatnya lalu berkata. “Peringatan roh gadis bermuka
pucat itu agaknya perlu kita perhatikan. Tokoh silat yang hanya mencari keuntungan, bertindak
mengatas namakan Keraton atau Istana padahal melakukan perbuatan keji seharusnya kita
pangkas dari jajaran Istana. Temui aku besok pagi di serambi timur Keraton.”

“Akan saya lakukan Sri Baginda,” jawab Patih Kerajaan seraya membungkuk.

***

Setan Ngompol duduk julurkan dua kakinya di tanah. Setiap dia memandang ke bawah

perutnya dia merasa marah, kesal dan jengkel. Hatinya selalu mendumal. “Japitan jahanam!
Rantai celaka! Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari benda keparat ini? Siapa yang bisa
menolong Wiro sudah mencoba dengan kapak. Rantai bisa dibabat pendek sampai tinggal satu
jengkal. Tapi sisanya termasuk japian besi tidak bisa ditanggalkan, tidak mungkin dibuang…”

Memandang ke tepi telaga kecil Setan Ngompol memperhatikan Wiro dan Suci duduk berdua-
dua. Di sebelah timur matahari baru saja naik. Udara masih terasa sejuk. Setan Ngompol
melihat dua orang di tepi telaga itu bangkit berdiri lalu melangkah ke arahnya.

“Bagaimana keadaanmu pagi ini kek?” menyapa Suci.

“Aku baik-baik saja,” jawab Setan Ngompol. “Sebaliknya aku merasa kehadiranku di tengah
kalian hanya merupakan beban…”

“Beban, beban apa? Memangnya kami menggendongmu kemana-mana?” ujar Wiro Sableng
pula.

“Maksudku jika hanya kalian berdua saja, tentu lebih merasa bebas. Kalian sudah sangat lama
tidak bertemu. Pasti banyak yang akan kalian bicarakan. Aku dulu juga pernah muda…”

“Sekarangpun kau masih muda Kek!” kata Suci menggoda.

Setan Ngompol cibirkan mulutnya. “Terus terang banyak cerita lama yang mau kubicarakan
denganmu Wiro. Tapi kukira lain kesempatan masih ada. Aku ingin memisahkan diri. Cuma,
japitan besi dan sisa rantai yang masih sejengkal ini, bagaimana menghilangkannya…”

”Aku sudah bilang, kita kembali saja ke Keraton, minta kunci japitan itu. Kalau kunci sudah ada
pasti bisa dibuka.” Kata Wiro pula.

“Kunci, kunci apa? Coba kau lihat sendiri!” Setan Ngompol lupa kalau di situ ada Suci. Dia buru-
buru hendak merorotkan celana butut basahnya ke bawah. Tapi begitu sadar sambil tersipu-
sipu si kakek tarik kembali celananya ke atas. “Japitan ini tidak ada kuncinya. Waktu orang-
orang celaka itu menjapit, mereka mempergunakan martil besar untuk mematikan japitan.
Untung barangku tidak dijapit medel!”

Wiro pandangi si kakek sambil garuk-garuk kepala.

“Aku ingin menjajal memutus dengan Kapak Naga Geni 212. Tapi aku kawatir kalau anggota
rahasiamu ikut putus bersama besi japitan! Salah-salah kau bisa berubah lelaki buka,
perempuan juga bukan!” kata Wiro lalu tutup mulutnya menahan tawa sementara Suci pura-
pura memandang ke jurusan lain.

“Heran, mengapa orang-orang Istana memelihara tukang siksa begini kejam….. Aku masih ingat
tampang bangsat yang memasang japitan pada barang antikku ini,” kata Setan Ngompol. Waktu
menyebut “barang antik” dia sengaja berucap perlahan agar jangan sampai terdengar oleh Suci.
“Aku bersumpah mencari kesempatan untuk membalas! Awas kau bangsat!”

Setelah merenung sejenak Setan Ngompol kembali berkata. “Sudahlah, kalian berdua pergi
saja. Tinggalkan aku di sini. Bagaimana nasibku nanti biar aku yang menanggung sendiri.”

“Kami tidak akan meninggalkamu Kek.” Kata Suci. “Itu janji kami berdua sahabatsahabatmu ini.”

Wiro garuk-garuk kepalanya. Setan Ngompol ikut-ikuan menggaruk. Tiba-tiba kakek ini bangkit
melompat. Dua tangan memegangi bagian bawah perut.

“Ada apa Kek?” tanya Pendekar 212.

“Aku ingat sesuatu…” jawab Setan Ngompol.

“Apa yang kau ingat? Nenek genit Luhlampiri di Negeri Latanahsilam itu?”

Si kakak gelengkan kepala. “Aku justru ingat kau!” katanya sesaat kemudian sambil
menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Wiro.

“Ingat aku? Aku ada di depanmu. Masakan diingat-ingat? Aneh kau ini. Aku kawatir karena
selalu memikirkan anumu yang kejepit itu lama-lama otakmu berubah miring….”

“Wiro… Dengar. Aku ingat! Bukankah kau memiliki ilmu aneh yang disebut Menahan Darah
Memindah Jasad…” (Baca rangkaian episode petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam mulai
dari Episode pertama berjudul “Bola-Bola Iblis” sampai Episode terakhir berjudul “Istana
Kebahagiaan”).

“Kau betul. Hantu Selaksa Angin, nenek tukang kentut di Negeri Latanahsilam itu yang
memberikannya padaku. Lalu apa maksudmu?” Wiro bertanya . Lalu dia tersentak sendiri.
“Astaga! Aku mengerti Kek! Biar kucoba! Tapi….”
“Tapi apa?”

“Setahuku ilmu itu hanya untuk memindahkan bagian tubuh atau aurat manusia saja. Sedang
besi yang menjapit anumu serta rantai yang sedang bergelantungan di anumu itu bukan bagian
dari aurat tubuhmu…’

Diam-dam dari tempatnya berdiri Suci mendengarkan percakapan kedua orang itu.

“Aku minta kau mencobanya Wiro. Kalau memang sudah dicoba dan tidak berhasil, nasibku
yang sial. Tapi kalau berhasil aku punya kaul mencukur semua rambut yang ada di tubuhku!
Mulai dari rambut sampai ke kaki!”

“Kaulmu saja sudah tidak karuan! Berkaul itu sesuatu yang bersifat baik.”

“Aku bingung. Mungkin kau benar. Karena keliwat memikir barangku ini otakku jadi tidak
karuan. Aku salah berucap. Tapi apa boleh buat. Rupanya memang begitu bunyi kaulku! Ayo
sobatku muda. Lekas kau coba ilmu kesaktianmu itu!”

Wiro garuk-garuk kepala. Dia pandangi si kakek dengan hati iba. “Baik, akan kucoba.” Wiro lalu
jongkok di hadapan Setan Ngompol yang duduk di tanah, Ke dua kaki si kakek
dikembangkannya. Setan Ngompol hendak menurunkan celana bututnya tapi tak jadi. Dia
menggoyangkan kepala ke arah Suci lalu mendehem beberapa kali. Suci yang mengerti maksud
deheman itu sambil senyum-senyum melangkah dan berlindung ke balik sebatang pohon.

“Dia sudah sembunyi. Turunkan celanamu Kek…” kata Wiro Sableng.

Tanpa ragu-ragu Setan Ngompol tuunkan celananya sampai ke lutut.

Wiro memandang ke bawah.

“Buset…!”

“Buset? Apa yang buset?!” tanya Setan Ngompol.

“Jelek amat Kek!”

“Apa yang jelek amat?!”

”Anumu!”

“Setan kau! Nanti kalau kau sudah tua barangmu lebih jelek dari punyaku, tahu?!”

Wiro tertawa cekikikan. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya ke bawah perut si kakek. Setan
Ngompol pegang lengan sang pendekar.
“Kenapa?” Wiro bertanya.

“Awas kau kalau berani mengacak ke tempat yang bukan-bukan!”

Di balik pohon Suci menutup mulutnya berusaha menahan tawa mendengar ucapanucapan ke
dua orang itu.

“Tenang kek, aku berusaha. Mohon kepada Tuhan agar kau bisa tertolong…”

“Lakukan cepat, aku sudah berdoa!” kata Setan Ngompol sembari matanya meram melek dan
mulutnya komat kamit.

“Eh, belum kuraba kau sudah seperti orang keenakan Kek!” ujar Wiro melihat mimik si kakek.

“Setan! Jangan bergurau terus!” bentak si kakek.

Wiro kembali ulurkan tangan kanannya ke bawah. Jari-jarinya menyentuh jepitan besi di bawah
perut si kakek. Dia lalu merapal bacaan yang diajarkan Hantu Selaksa Angin alias Luhkentut.
Hening… sunyi. Lalu kreek!

Dua mata Setan Ngompol mendelik. Dua mata Wiro melotot. Kedua orang ini saling
berpandangan sesaat. Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya dari bawah perut si kakek.
Dia dan juga Setan Ngompol tak berani memandang ke bawah. Sama-sama takut kalau-kalau…

“Kek…?” Wiro bersuara setengah berbisik.

“Bagaimana…?” Suara si kakek bergetar.

”Aku memgang sesuatu. Keras. Aku tak berani melihat….”

“Uhh… Aku juga!” jawab si kakek. Mukanya keringatan.

Tiba-tiba Wiro melompat. Di tangannya ada sesuatu. Benda ini kemudian ditempelkannya ke
batang pohon di belakang mana Suci berada.

“Kek!” seru Wiro girang. Di batang pohon itu kini menempel japitan besi dan ujung rantai yang
selama ini menyantel di bawah perut Setan Ngompol.

Setan Ngompol takut-takut memandang ke bawah. Dia melihat. Masih tak percaya. Dirabanya.
Mula-mula satu tangan. Lalu memaki dua tangan.
“Masih utuh… Masih utuh! Lengkap semua…!” Satu teriakan gembira menggelegar dari mulut
Setan Ngompol. Lalu kakek ini jatuhkan keningnya ke tanah, bersujud menyatakan syukur. Dia
lupa kalau saat itu celananya berada di ujung kaki.

“Kek, untung tidak ada babi hutan di sini! Kalau ada bokongmu pasti sudah dilalapnya!” kata
Wiro sambil tertawa gelak-gelak.

“Terima kasih Tuhan! Terima kasih Wiro!” Masih dalam keadaan tidak perduli akan celananya
yang merosot di bawah lutut kakek ini lari menuju telaga. “Aku harus mandi! Mandi syukur
sambil membersihkan diri! Mungkin selama ini aku terlalu banyak dosa!”

“Byurr!”

Setan Ngompol ceburkan tubuhnya ke dalam telaga kecl.

Suci keluar dari balik pohon. Bersama Wiro dia melangkah ke tepi telaga. Si kakek
berkecimpung ria sambil tiada hentinya berteriak-teriak gembira.

“Kek, aku kawatir tubuh, pakaian dan air kencingmu akan mencemari air telaga. Membuat ikan
di dalamnya mati semua!” Berseru Wiro.

Setan Ngompol tidak acuhkan senda gurau itu. Dia berkecimpung terus dalam air, sesekali
menyelam sambil menggosok-gosok auratnya.

“Wiro, kita tidak menunggu lama. Lihat!” Suci tiba-tiba menunjuk ke tangah telaga. Wiro
memperhatikan. Di situ dilihatnya beberapa ekor ikan timbul mengapung. Makin lama makin
banyak.

“Kek! Apa kataku! Lihat! Ikan pada mati mencium bau tubuh, pakaian dan air kencingmu!”

“Jangan bergurau terus anak setan!” teriak Setan Ngompol.

“Buka matamu! Lihat sendiri!” teriak Wiro.

Setan Ngompol usap mukanya yang basah. Dia memandang seputar telaga. “Celaka! Kau benar!
Tapi apa benar karena bau tubuh, pakaian dan air kencingku…”

“Ditambah dosamu Kek!” sambung Wiro. “Lekas naik ke darat! Nanti semakin banyak ikan yang
mati di telaga ini!”

Tidak sadar kalau saat itu di sebelah bawah dia tidak mengenakan apa-apa lagi, si kakek

berenang ke tepi lalu naik ke darat. Suci terpekik dan cepat balikkan badan sambil menarik
tangan Wiro. Keduanya lari menjauhi telaga. Di satu tempat Wiro berhenti dan berteriak.
“Kakek Setan Ngompol! Kami pergi! Jangan lupa kaulmu! Mencukur semua rambut mulai dari
kepala sampai ke kaki!” “Aku tidak akan melupakan! Aku tidak akan melupakan!” terdengar si
kakek menjawab disusul suara tawanya terkekeh-kekeh. “Serrrrr!” Air kencing muncrat dari
bawah perutnya.

TAMAT

Eps 123 Gondoruwo Patah Hati

PERAPIAN telah lama padam. Dinginnya udara menjelang pagi itu terasa semakin mencucuk. Di
samping perapian tergolek bergelung sosok seorang pemuda berpakaian biru. Tampaknya dia
tertidur pulas, tak perduli embun mulai membasahi pakaian dan tubuhnya. Kenyenyakan tidur
si pemuda tidak berlangsung lama. Beberapa saat berselang kelopak matanya yang terpejam
kelihatan bergerak-gerak. Telinga kiri yang lebih dekat ke tanah mendengar satu suara di
kejauhan, membuat dia terjaga. Sepasang mata itu membuka makin lebar. Si pemuda bangkit,
duduk, memasang telinga.

"Derap kaki kuda. Dipacu sangat kencang ke arah sini. Firasatku mengatakan bakal terjadi satu
kejadian buruk. Sebaiknya aku berlaku waspada, berjaga-jaga…." Pemuda berambut licin,
berkumis kecil rapi ini memandang berkeliling. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Sesaat dia
memandang ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Lalu dengan satu gerakan luar biasa
cepatnya, laksana hembusan angin tubuhnya melesat ke atas cabang satu pohon besar.
Mendekam dalam gelap di balik kerimbunan ranting dan dedaunan, menunggu.

Si pemuda tidak menunggu lama. Suara kaki kuda yang tadi dipacu kencang datang mendekat
tapi berubah perlahan. Lalu dari dalam kegelapan muncul kepala seekor kuda hitam. Menyusul
kelihatan penunggangnya. Ternyata di atas punggung binatang itu bukan cuma satu orang,
melainkan ada dua penunggang.

Orang pertama adalah kakek mengenakan jubah kelabu penuh renda kuning. Di pinggangnya
melilit seutas tali kuning, dihias rumbai-rumbai pada kedua ujungnya. Kakek yang mulutnya
selalu komat kamit ini memutar kudanya beberapa kali mengelilingi perapian. Sepasang mata
berputar, memperhatikan tajam keadaan sekitarnya.

"Apinya memang padam. Tapi aku masih merasa ada hawa panas. Berarti di tempat ini
sebelumnya ada orang. Lalu menghilang kemana?" Si kakek memandang berkeliling. Semula dia
hendak berhenti sekedar istirahat di tempat itu. Namun niatnya dibatalkan. Rasa tidak enak
menyamaki hatinya.

Di depan sosok si kakek, di atas punggung kuda kelihatan orang kedua. Orang ini tidak duduk
seperti keadaannya kakek itu tetapi menggeletak menelungkup. Dan dia adalah seorang
perempuan. Sesekali tangan kiri si kakek kelihatan mengusap tubuh perempuan itu sambil
berkomat-kamit dan menyeringai.

Di atas pohon besar, pemuda berpakaian biru memperhatikan sambil membatin. "Aku tidak
melihat wajahnya, tapi dari keadaan tubuhnya perempuan itu masih muda. Menelungkup di
atas kuda, mungkin pingsan atau ditotok. Melihat cara si kakek mengelus tubuh perempuan itu
agaknya ada yang tidak beres. Jangan-jangan…." Setelah memperhatikan sekelilingnya sekali
lagi, kakek berjubah kelabu memutuskan meninggalkan tempat itu. Tali kekang disentakkan.
Kuda tunggangan menghambur ke depan, menembus kegelapan malam.

Di atas pohon pemuda berpakaian biru usap-usap dagu sambil berpikir. "Belakangan ini aku
banyak menyirap kabar menggemparkan. Terutama beberapa kejadian di Kotaraja. Orang tua
tadi, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi melihat kepada ciri-cirinya besar
kemungkinan dialah tokoh silat Keraton, momok cabang atas yang dijuluki Hantu Muka Licin
Bukit Tidar.

Wajahnya kulihat biasa-biasa saja, mengapa sampai punya gelar aneh seperti itu? Dia
memboyong seorang perempuan muda. Mungkin perempuan culikan Aku sudah mendengar
lama, ada beberapa tokoh silat Istana punya sifat keji. Suka berbuat mesum. Ada baiknya aku
mengikuti kakek itu. Siapa tahu dia pernah bertemu atau melihat saudara yang tengah aku
cari."

Memikir sampai di situ pemuda di atas pohon lalu berkelebat ke cabang sebelah bawah,
melayang turun ke tanah. Sesaat kemudian laksana terbang dia lari ke arah lenyapnya kakek
penunggang kuda hitam. Kl BALANGNIPA alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar mempunyai sebuah
pondok di Prambangan. Pondok ini terletak tak jauh dari tikungan Kali Oyo, di satu kawasan
ditumbuhi pohon-pohon besar rapat serta tertutup oleh semak belukar lebat. Ke pondok inilah
si kakek membawa perempuan boyongannya yang bukan lain adalah Kinasih, istri mendiang
Raden Mas Sura Kalimarta juru ukir Keraton yang mati dibunuh oleh seorang pemuda mengaku
bernama Bagus Srubud. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Tiga Makam Setan)
Kinasih sendiri akhirnya jatuh hati pada pemuda itu dan selama beberapa hari bersenang-
senang di dalam sebuah goa.

Pondok di tikungan Kali Oyo itu walau lama tidak dikunjungi dan tidak terpelihara namun
keadaannya cukup bersih. Hantu Muka Licin Bukit Tidar baringkan tubuh Kinasih di atas sebuah
ranjang kayu beralaskan tikar jerami. Sambil pandangi sosok Kinasih, si kakek duduk di tepi
ranjang, komat kami menyeringai.

"Wajah ayu, tubuh bagus. Rejeki besar. Sayang masih pingsan. Membuat aku tidak sabar. Aku
harus melakukan sesuatu agar dia siuman…." Hantu Muka Licin usap tubuh Kinasih mulai dari
kening sampai ke kaki. Usapannya berhenti di kaki kiri Kinasih. Tiba-tiba jari-jari tangannya
memencet urat besar di atas tumit kiri Kinasih. Begitu dipencet jalan darahnya, Kinasih
menggeliat dan keluarkan suara keluhan panjang. Matanya terbuka. Dia masih belum melihat
sosok si kakek. Pandangannya lurus ke atas ke arah atap pondok.
"Di mana aku…" bisik Kinasih. Kepalanya diputar ke kanan. Satu pekikan keluar dari mulutnya
begitu melihat Hantu Muka Licin. Dia rasa-rasa pernah melihat orang tua ini sebelumnya, tapi
karena ingatannya belum pulih benar dia tidak tahu kapan atau dimana. Kinasih bergerak
bangkit, beringsut ke sudut ranjang.

"Orang tua, siapa kau? Aku berada di mana?"

Hantu Muka Licin menjawab pertanyaan Kinasih dengan tawa mengekeh. "Aku suamimu
sendiri, apa tidak mengenali? Saat ini kita berada di pondok milikku. Pondok buruk memang,
tapi kita berdua bisa menjadikan tempat ini satu sorga dunia! Ha… ha…ha…!"

Kagetlah Kinasih mendengar ucapan itu. Wajahnya serta merta menjadi pucat. "Orang tua,
beraninya kau mengaku suamiku. Kalau otakmu tidak miring pasti…."

Gelak Hantu Muka Licin kembali meledak. "Kau tidak mengakui aku sebagai suamimu? Ha…
ha…! Apakah aku lebih buruk dari mendiang suamimu si Sura Kalimarta? Dia hanya seorang juru
ukir Keraton. Aku tokoh silat pejabat Istana! Dia tidak memiliki kejantanan sebagai suami! Aku
lebih jantan dari seekor kuda liar! Ha… ha… ha! Kinasih…. Kau tidak mau menganggap aku
sebagai suami tidak jadi apa. Anggap saja aku kekasihmu! Ha… ha… ha!"

"Orang tua gila!" Kinasih melompat turun dari ranjang kayu, berusaha lari ke arah pintu. Tapi
pinggangnya dengan cepat dirangkul Hantu Muka Licin. Tubuhnya kemudian dilemparkan
kembali ke atas ranjang.

"Dengar, aku menyelamatkan kau dari tangan Momok Dempet Tunggul Gono. Kau pantas
berterima kasih dengan cara melayani aku sebagai suami, sebagai kekasih!"

Ucapan Hantu Muka Licin memulihkan ingatan Kinasih.

Malam tadi, dia bersama Wiro berada di depan makam suaminya di satu pekuburan di
pinggiran Kotaraja. Lalu muncul kakek berjubah kelabu ini bersama seorang bertubuh tinggi
seram dikenal dengan nama Tunggul Gono dan membawa sejumlah pasukan. Mereka
menuduh, Wirolah yang telah membunuh suaminya. Dia bingung antara percaya dan tidak. Lalu
terjadi pertempuran.

Wiro menghancurkan tangan kiri Tunggul Gono. Wiro sendiri kemudian roboh di tangan kakek
berjubah kelabu ini. Lalu si kakek menyambar tubuhnya, menaikkannya ke atas kuda. Di atas
kuda Kinasih berusaha membebaskan diri tapi sia-sia belaka. Malah karena kehabisan tenaga
perempuan ini akhirnya jatuh pingsan.

Kinasih serta merta sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kakek satu ini punya maksud jahat
terkutuk atas dirinya. Kata-kata si kakek bahwa dia telah menyelamatkan dirinya dari tangan
Tunggul Gono hanya omong kosong belaka karena sebenarnya dia sendiri sudah punya maksud
keji.

"Orang tua, jika kau benar-benar tokoh silat pejabat Istana, kau harus menolongku. Membawa
aku kembali ke Kotaraja…."

"Itu soal mudah, bisa aku lakukan kemudian. Jangankan ke Kotaraja, ke bulan pun kau akan
kuantarkan. Ha… ha… ha!"

Tiba-tiba Hantu Muka Licin melompat naik ke atas ranjang. Kinasih terpekik. Kaki kanannya
didorongkan ke dada Hantu Muka Licin. Dua tangan si kakek dapat memegang kaki itu di bagian
paha. Ketika dua tangannya direnggutkan ke bawah, kain panjang yang dikenakan Kinasih robek
besar, melorot turun.

Kinasih kembali menjerit. Cepat tutup auratnya yang tersingkap. Sebaliknya Hantu Muka Licin
berkomatkamit, mengekeh panjang. Dua tangannya kembali bergerak. Kinasih jatuh
tertelentang di atas ranjang kayu.

Kinasih berusaha melawan. Tapi Hantu Muka Licin kuat sekali. Apalagi saat itu setan nafsu turut
membantu memberi kekuatan padanya. Sebentar saja Kinasih sudah terkapar di atas ranjang
dalam keadaan tidak berdaya.

Hantu Muka Licin tertawa panjang. Dengan cepat dia tanggalkan jubah kelabunya.

Di atas atap pondok, pemuda baju biru berkumis kecil yang sejak tadi mendekam mengintip apa
yang terjadi, tanpa tunggu lebih lama segera saja hendak menjebol atap dan melesat turun ke
dalam pondok. Namun tidak terduga mendahului gerakannya tiba-tiba terdengar suara
bentakan.

"Tua bangka keparat! Kalau mencari’ kesenangan jangan serakah sendiri saja!"

Bersamaan dengan itu dinding pondok sebelah kanan jebol. Sesosok tubuh melesat masuk. Di
lain kejap ranjang kayu di atas mana Hantu Muka Licin siap-siap hendak menindih tubuh Kinasih
mencelat ke atas, hancur berantakan. Kinasih menjerit keras. Hantu Muka Licin keluarkan kutuk
serapah. Sementara Kinasih jatuh terkapar di lantai, si kakek membuat gerakan jungkir balik.
Sambil melesat ke sudut pondok dia lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah sosok yang
barusan masuk ke dalam pondok dengan cara menjebol dinding! Tapi serangannya luput karena
yang dihantam ternyata mampu berkelit gesit. Lalu di dalam pondok terdengar suara tawa
mengekeh disertai menebarnya bau yang tidak sedap.

Di atas atap, pemuda baju biru memperhatikan terheranheran. "Makhluk aneh, mata lebar
kuping terbalik! Dia ini mau menolong atau ikut minta bagian?!"

***
Kapak Maut Naga Geni 2122

JAHANAM kurang ajar!" membentak Hantu Muka Licin begitu mengenali siapa adanya orang di
dalam pondok. "Bukankah kau cecunguk mengaku berjuluk Setan Ngompol, yang mengencingi
sumur sumber air mandi Sri Baginda?! Dijebloskan dalam penjara! Mengapa bisa lolos?!"

Orang yang muncul di dalam pondok memang Si Setan Ngompol yang belum lama berselang
diselamatkan oleh Wiro dan gadis cantik dari alam roh bernama Suci alias Bunga.

"Bagus kau masih mengenali siapa diriku. Sekarang ayo kau lepaskan perempuan itu! Jangan
sampai aku sewot mengencingi mukamu!"

"Benar-benar kurang ajar berani mati! Baru jadi setan kecil sudah berani mencari perkara
dengan aku hantu besar!"

"Ha… ha! Apamu yang besar? Anumu? Kejahatanmu? Atau nafsu terkutukmu?!"

"Tua bangka tak tahu diri! Tampang dan badan tidak karuan! Kau muncul mau minta bagian
rupanya! Baik, ini bagian untukmu!" Selesai membentak Hantu Muka Licin cepat loloskan tali
kuning yang melilit di pinggang. Begitu tali diputar, menggaung bunyi dahsyat disertai berkiblat-
nya cahaya kuning berbentuk lingkaran, memapas laksana senjata tajam ke arah Setan
Ngompol. Kinasih menjerit, jatuhkan diri ke lantai. Setan Ngompol tercekat dan langsung
kucurkan air kencing.

"Braakk!"

Empat dinding pondok hancur. Pondok itu sendiri seperti diangkat angin puting beliung,
melesat ke udara lalu hancur berantakan!

Tubuh Kinasih ikut terlempar ke udara lalu melayang jatuh dengan kepala lebih dulu.
Perempuan ini menjerit keras. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menumbuk tanah tiba-tiba
satu bayangan biru berkelebat menyambar tubuhnya. Di lain saat Kinasih merasakan dirinya
seperti dibawa terbang lalu di satu tempat yang aman perlahan-lahan diturunkan ke tanah di
belakang pohon besar. Semula perempuan muda ini hendak menjerit lagi, tetapi ketika melihat
siapa yang menolongnya hatinya menjadi lega malah diam-diam merasa senang.

"Kau… kau siapa…?" Kinasih bertanya pada pemuda gagah berpakaian biru, berambut licin dan
memelihara kumis hitam rapi yang barusan menyelamatkannya.

"Namaku Adimesa. Kau tak usah takut. Tetap berada di balik pohon ini…."

"Kau mau kemana?" tanya Kinasih sambil memegang lengan si pemuda.


"Kakek mata jereng berkuping terbalik yang menolongmu tadi. Ilmunya memang tinggi tapi dia
bakal menemui kesulitan menghadapi lawannya. Aku harus menolongnya."

"Buat apa ditolong. Dia bisa saja sama bejatnya dengan jahanam berjubah kelabu itu…."

"Akan kita lihat nanti. Kau tunggu di sini," jawab Adimesa.

Hancurnya pondok membuat perkelahian antara Hantu Muka Licin dan Setan Ngompol kini
berlangsung di tempat terbuka sementara langit di ufuk timur mulai kelihatan terang pertanda
fajar sebentar lagi akan menyingsing.

Saat itu Hantu Muka Licin tengah melakukan serangan gencar. Cahaya kuning yang memancar
dan tali ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalan mengurung Setan Ngompol. Yang
diserang berkelebat gesit, sambil balas menghantam dengan pukulan-pukulan sakti sementara
kencingnya terus memancar tak berkeputusan, muncrat kemana-mana bahkan ada yang
menyiprat ke wajah Hantu Muka Licin, membuat orang ini menjadi marah besar dan lancarkan
serangan habis-habisan.

Walau terdesak hebat namun Setan Ngompol tidak mau kalah. Dia bertahan mati-matian.
Seranganserangan balasannya datang tidak terduga dan cepat sekali. Bahkan beberapa kali dia
berhasil menyusup menembus lingkaran cahaya kuning lalu menghantamkan jotosan ke dada
dan perut lawan!

Hantu Muka Licin kertakkan rahang. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera.
Tiba-tiba dia membentak garang. Lingkaran sinar kuning yang mengurung Setan Ngompol
menebar hawa dingin. Bersamaan dengan itu Setan Ngompol merasakan dirinya tergulung,
tersedot masuk ke dalam putaran cahaya kuning yang dengan cepat menciut segera aneh!

Setan Ngompol berseru keras. Dia berusaha loloskan diri dari sedotan cahaya kuning dengan
cara melesat ke atas. Dari atas lalu lancarkan dua serangan maut. Yang pertama berupa
tendangan dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi Pusara.

Serangan ke dua berupa pukulan tangan kosong dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi
Bumi. Angin dahsyat disertai semburan air kencing menebar bau pesing menderu ke arah Hantu
Muka Licin.

" Keparat!" rutuk Hantu Muka Licin. Kakek ini lipat gandakan tenaga dalamnya ketika melihat
bagaimana lawan sanggup menembus lingkaran cahaya kuning. Tangan kanan digerakkan
secara aneh sedang mulut berteriak "Sedot!"

Saat itu juga Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan. Air kencingnya mengucur deras. Dia
rasakan tendangannya hampir menyentuh batok kepala la wan.Tapi entah mengapa tiba-tiba
seperti ada tembok gaib menahan kakinya. Lalu cepat sekali tubuhnya seperti ditarik masuk ke
dalam lingkaran, terseret ke bawah. Jika dia tadi mampu keluar dari sedotan sinar kuning kali ini
seolah tak punya daya sosoknya menggapai-gapai kian kemari. Kalau dia sampai masuk ke
dalam inti atau pusaran lingkaran cahaya kuning, sekujur sosok kakek bermata jereng ini akan
remuk seperti dijepit batu besar!

" Kau mau menghancurkan tubuhku! Aku tidak takut mati!" teriak Setan Ngompol.

Pemuda berpakaian biru yang menyaksikan kejadian itu geleng-geleng kepala. " Kakek edan,
apa betul dia tidak takut mati?!"

Masih dalam keadaan melayang, tersedot ke bawah tiba-tiba Setan Ngompol selorotkan celana
bututnya di sebelah depan. Lalu serrrrrrr!

Hantu Muka Licin berteriak marah melihat apa yang dilakukan lawan. Terlebih karena pipi dan
bahu kirinya sempat terkena guyuran air kencing Setan Ngompol. Setan Ngompol tertawa
tergelak, berusaha melayang turun sambil jauhkan diri dari lawan.

Memaki panjang pendek Hantu Muka Licin usap wajahnya dengan tangan kiri. Saat itu juga
wajah itu berubah licin. Hidung, mata dan mulut lenyap entah kemana! Suara tawa Setan
Ngompol mendadak sirap! Si kakek mata jereng terkesiap kaget melihat perubahan pada wajah
lawannya. Kesempatan seperti inilah yang ditunggu Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dengan cepat
dia kibaskan tali kuning di tangan kanan. Saat itu juga enam puluh jarum putih menderu
berkilauan dalam gelapnya udara, menghambur ke arah enam puluh titik darah di muka dan
tubuh Setan Ngompol.

Selama ini tidak satu musuhpun sanggup menyelamatkan diri dari jarum maut bernama Jarum
Perontok Syaraf itu. Dalam waktu satu hari satu malam nyawanya tidak akan ketolongan akibat
racun jahat yang ada di jarum. Kalaupun korban bisa bertahan hidup, atau mampu mencabut
jarum-jarum itu, maka bekas tusukan pada kulit dan daging akan membusuk. Dia akan menjadi
cacat mengerikan dan menjijikkan seumur hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mengalami
hal ini. Untung saja dia masih sempat diselamatkan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang juga
dikenal dengan nama Suci. Bunga bukan saja mencabut puluhan jarum yang menancap di tubuh
pemuda yang dikasihinya itu, tapi sekaligus memusnahkan racun yang mendekam di
permukaan kulit dan daging tubuh Wiro hingga dia terhindar dari kebusukan.

Setan Ngompol sadar kesalahan yang dibuatnya. Dalam keadaan seperti itu dia tidak bisa
berbuat suatu apapun. Mata terbelalak, mulut keluarkan seruan putus asa. Dia masih coba
mengangkat tangan untuk melepaskan pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam
penuh. Namun terlambat. Kecuali ada keajaiban, kakek satu ini tidak akan tertolong.

Hanya sesaat singkat puluhan jarum akan menancap di muka dan tubuh Setan Ngompol, tiba-
tiba berkelebat satu bayangan biru disertai suara srett… srett! Tujuh warna aneh memancar di
udara yang masih gelap. Membentuk tameng setengah lingkaran.

"Sett… s’ettt!"
Puluhan jarum terbendung di udara, menancap di satu permukaan yang masih belum jelas apa
adanya.

Hantu Muka Licin berseru kaget ketika dapatkan dirinya terdorong keras hingga terjajar dua
langkah ke belakang. Dadanya mendenyut sakit dan jalan darahnya jadi tidak karuan. Dia coba
bertahan, lututnya goyah. Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri niscaya jatuh terhenyak di
tanah. Setelah mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan, masih untung dia hanya jatuh
berlutut.

Malu dan marah berkecamuk di dalam diri si kakek. Wajahnya yang tadi licin serta merta
kembali ke asalnya.

Dua matanya membeliak besar ketika melihat bagaimana rumbai-rumbai pada dua ujung tali
yang jadi senjata andalannya saat itu telah gugus berputusan. Ketika dia menggerakkan tali,
kakek ini keluarkan seruan tertahan. Seperti terbakar dan berubah jadi debu, tali kuning itu
rontok jatuh ke tanah. Dengan mata menyorot si kakek memandang ke depan. Hatinya
menyumpah habis-habisan.

Di hadapannya, hanya dua langkah di depan kakek berjuluk Setan Ngompol, tegak seorang
pemuda berpakaian biru. Rambutnya disisir rapi ke belakang, licin berkilat karena memakai
sejenis minyak. Di atas bibirnya menghias kumis kecil rapi. Pembawaannya sangat tenang. Di
tangan kirinya pemuda berwajah gagah ini memegang sebuah benda yang ternyata adalah
sehelai kipas tujuh lipatan. Masing-masing lipatan berwarna berbeda, sesuai dengan warna
pelangi. Melihat kipas di tangan si pemuda berubahlah wajah Hantu Muka Licin.

Kapak Maut Naga Geni 2123

PENDEKAR Kipas Pelangi," ucap Hantu Muka Licin dengan suara perlahan tercekat.

"Kalau tidak salah, bukankah saat ini aku berhadapan dengan seorang tokoh besar rimba
persilatan, bernama Ki Balangnipa, berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar."

Hantu Muka Licin keluarkan suara bergumam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. "Kalau
memang sudah tahu siapa diriku, mengapa berani mencampuri urusan orang?!" Berucap Hantu
Muka Licin.

Pendekar Kipas Pelangi tersenyum lalu membuka mulut menjawab ucapan orang.

"Ki Balangnipa, ketahuilah di dunia ini pada dasarnya tidak ada satu orangpun suka mencampuri
urusan orang lain. Tapi kalau yang namanya urusan menyangkut kejahatan keji seperti
perbuatan mesum yang hendak kau lakukan terhadap perempuan muda itu, rasanya tidak ada
satu orang pun di rimba persilatan yang mau berpangku tangan begitu saja."
"Sombong sekali bicaramu. Membuat aku muak! Jangan mengira dengan kepandaianmu kau
telah merasa jadi tokoh paling hebat dalam rimba persilatan."

Si pemuda hanya tersenyum tenang mendengar katakata itu. Dia dekatkan kipas di tangan kiri
ke wajahnya. Dia pandangi sesaat enam puluh jarum putih yang menancap di permukaan kipas
itu. Lalu mulutnya meniup. Enam puluh jarum serta merta luruh berjatuhan, amblas masuk ke
dalam tanah. Sesaat tengkuk Hantu Muka Licin terasa dingin menyaksikan kejadian itu. Tapi dia
menjaga agar tidak terjadi perubahan pada wajahnya. Setan Ngompol yang ikut menyaksikan
tahu betul. Kalau pemuda baju biru itu mau, puluhan jarum yang menancap dikipas bisa
dihantamkannya kembali pada si pemilik.

"Pendekar Kipas Pelangi!" si kakek tiba-tiba membentak. "Kau boleh merasa punya ilmu tinggi!
Tapi jangan menyombongkan kepandaian di depanku! Jauh sebelum kau dilahirkan ibumu ke
dunia, aku sudah malang melintang di rimba persilatan!"

Tiba-tiba terdengar orang tertawa bergelak. Yang tertawa adalah kakek mata jereng Setan
Ngompol. "Bicara ngelantur boleh saja. Tapi mengapa membawa Ibu orang! Menyebut-nyebut
soal lahir segala! Mengapa tidak menyebut dukun beranaknya sekalian?! Atau mungkin kau
punya kepandaian seperti dukun beranak. Buktinya tadi kau hendak menanggalkan pakaian
perempuan cantik itu! Apakah dia mau beranak? Aneh, hamil tidak, bunting juga tidak!
Bagaimana bisa beranak? Ha… ha… ha… ha!"

"Tua bangka sinting!" maki Hantu Muka Licin pada Setan Ngompol. "Kalau urusanku dengan
pemuda ini selesai, aku akan carikan tempat paling baik untukmu di neraka!"

"Walah!" Setan Ngompol berseru dan melompat berdiri sambil kucurkan kencing. "Aku baru
tahu kalau kau ini mandor neraka rupanya! Ha… ha… ha!"

Tak dapat menahan amarahnya Hantu Muka Licin melompat ke arah Setan Ngompol sambil
melepas satu pukulan tangan kosong. Namun dari samping ada deru angin menahan
gerakannya. Ternyata dengan menggerakkan kipas saktinya, tanpa membukanya, Adimesa
berhasil mementahkan serangan Iblis Muka Licin.

"Pemuda setan!" kutuk Hantu Muka Licin. "Kau sudah bertindak terlalu jauh! Namamu sejak
dua tahun belakangan ini memang telah menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa.
Sayangnya hal itu telah membuat dirimu menjadi sombong! Padahal sifat sombong,
memandang rendah orang lain hanya satu jengkal dari liang kubur!"

Pendekar Kipas Pelangi cuma tersenyum mendengar ucapan itu. Sikapnya tenang, sama sekali
tidak tampak rasa amarah. Masih tersenyum dia berkata. "Aku tidak menyangka, juga tidak
tahu bagaimana caranya kau menghitung jarak antara kesombongan dengan liang kubur.
Lagipula, siapa yang bersifat sombong merendahkan?!"
"Sahabatku muda, tuan penolong, aku tahu cara kakek muka pantat itu menghitung jarak
antara kesombongan dengan liang kubur!" Si Setan Ngompol membuka mulut.

Pendekar Kipas Pelangi palingkan kepala ke arah Setan Ngompol. Sepasang alisnya naik ke atas.
Lalu tersenyum dan anggukkan kepala. "Orang tua, mohon aku diberitahu rahasia bagaimana
dia mengukur jarak antara kesombongan dengan liang kubur."

"Mudah saja," jawab kakek mata jereng. "Dia pasti mengukur dengan mempergunakan tali
kuningnya. Tapi sekarang talinya sudah jadi bubuk, berarti dia tidak bisa menghitung lagi! Kalau
dia mau, paling-paling dia bisa mengukur mempergunakan anunya. Tapi melihat potongan
badannya aku kira-kira anunya cuma pendek, tidak sampai setengah jengkal!" Habis berkata si
Setan Ngompol tertawa mengekeh lalu terkencing-kencing.

Tampang Hantu Muka Licin kelihatan merah mengelam. Sekujur tubuhnya bergetar.

"Benar, aku kira kau benar Kek," menyahut Pendekar Kipas Pelangi menimpali canda ejek Setan
Ngompol. "Sekarang mohon kau memberitahu, mengapa tadi kau menyebut kakek itu dengan
sebutan kakek muka pantat."

"Gampang saja jawabnya!" sahut Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Dia bisa merubah
wajahnya jadi licin, tak ada mata, tak punya hidung, tak punya mulut. Pantat juga tidak punya
mata, tidak punya mulut, tidak punya hidung! Jadi pantat dan mukanya sama kan? Ha… ha…
ha!"

Meledaklah amarah Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

Sekali bergerak saja dia sudah melompat ke hadapan Setan Ngompol. Gerakannya luar biasa
cepat.

Setan Ngompol tak tinggal diam, cepat angkat dua tangannya, satu siap menangkis satunya
menggempur. Tapi saat itu Pendekar. Kipas Pelangi telah mendahului. Dia berkelebat
memotong gerakan Hantu Muka Licin sekaligus membuat Setan Ngompol menahan gerakan
dua tangannya.

Hantu Muka Licin jadi mengkelap. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Tangan
kanan bergerak mengebut lengan jubah. Dari ujung lengan jubah itu menyambar asap
berwarna kelabu, menebar bau aneh. Dari bau itu Pendekar Kipas Pelangi maklum kalau asap
itu mengandung racun sangat berbahaya. Cepat dia tutup jalan nafas dan bersamaan dengan
itu tangan kirinya yang memegang kipas digerakkan.

"Srett!"

Kipas mengembang. Tujuh warna pelangi menyambar. Asap kelabu beracun berbalik
menghantam ke arah wajah Hantu Muka Licin . Kakek ini berteriak kaget, berusaha menghindar
tapi sebagian asap beracun telah memasuki saluran pernafasannya. Raungan dahsyat melesat
dari mulut Hantu Muka Licin. Mukanya mendadak berubah biru. Sosoknya lunglai, rubuh ke
tanah.

"Celaka! Nyawaku bisa-bisa amblas!" keluh Hantu Muka Licin dengan tengkuk dingin muka
keringatan. Susah payah dia memasukkan tangan kanan ke balik jubah, mengeluarkan sebuah
tabung kecil terbuat dari bambu. Penutup tabung dibukanya. Benda berbentuk butir-butiran
hitam yang ada di dalam tabung dituang ke dalam mulut, ditelan dengan cepat. Sesaat dia
terkapar di tanah, tak bergerak. Mata membeliak menatap langit yang mulai terang. Tiba-tiba
kakek ini bangkit berdiri. Tubuh tertekuk. Mulut terbuka lebar-lebar, matanya mendelik. Lalu
dari mulutnya menyembur muntah keluar cairan biru kehitaman. Itulah racun asap yang tadi
sempat dihisapnya. Dia masih untung bertindak cepat menelan obat penangkal hingga lolos dari
kematian!

Berdiri terhuyung-huyung Hantu Muka Licin menunjuk tepat-tepat ke arah Pendekar Kipas
Pelangi.

"Manusia jahanam! Kau tunggu pembalasanku!" Masih terhuyung-huyung Hantu Muka Licin
putar tubuhnya lalu seperti orang mabok dia lari meninggalkan tempat itu.

Begitu Hantu Muka Licin lenyap. Setan Ngompol segera mendekati Pendekar Kipas Pelangi
sementara Kinasih dengan agak ragu-ragu melangkah keluar dari balik pohon besar.

"Pendekar gagah, aku tua bangka bau pesing yang biasa dipanggil orang dengan sebutan Setan
Ngompol menghaturkan banyak terimakasih padamu. Jika tadi kau tidak menolong, saat ini
pasti diriku sudah jadi bangkai tak berguna, ditancapi puluhan jarum celaka!"

Pendekar Kipas Pelangi tersenyum. Sebelumnya dia tidak pernah mendengar nama kakek ini.
Tapi diamdiam maklum kalau manusia aneh satu ini bukan orang sembarangan.

Sesaat mata Pendekar Kipas Pelangi seperti mengawasi si kakek, lalu melirik ke arah Kinasih
yang melangkah mendatangi, kembali lagi memandangi Setan Ngompol.

"Kek, tadi waktu kau menjebol dinding dan menghambur masuk ke dalam pondok, aku
mendengar kau berucap seperti minta bagian ingin mendapatkan perempuan itu."

"Anak muda, pandangan matamu seolah mencurigai diriku," kata Setan Ngompol. "Aku tidak
menyalahkan dirimu. Apa yang aku ucapkan itu hanya senda gurau saja. Aku memang suka
bergurau, mulutku bisa bicara jahil seenaknya. Tapi kita sama-sama lelaki…."

"Maksudmu Kek?"
"Maksudku lelaki itu tua atau muda sama saja. Sama-sama suka melihat wajah cantik dan tubuh
mulus! Apakah kemudian di dalam hatinya muncul maksud keji dan mesum, itu persoalan
lain…."

"Kau sendiri apa termasuk yang persoalan lain itu?" tanya Pendekar Kipas Pelangi sambil
tersenyum.

Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu goleng-goleng kepala. "Pendekar gagah, aku sekali lagi
mengucapkan terima kasih. Aku tidak bakal melupakan budi pertolonganmu. Aku mohon
pamit…."

"Tunggu dulu Kek," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. "Ada beberapa pertanyaan ingin
kusampaikan padamu." Saat itu Kinasih sudah berada di dekat ke dua orang itu. Dia memilih
tegak di samping si pemuda dan memperhatikan Setan Ngompol tak habis heran. Dalam hati
dia membatin.

"Aneh, bagaimana ada manusia seperti ini. Mata jereng, muka jelek, kuping terbalik, pakaian
lusuh compang camping, bau pesing kencing melulu!"

"Apa yang hendak kau tanyakan, anak muda?"

"Pertama, bagaimana kau bisa terpesat ke tempat ini?"

Setan Ngompol tertawa lebar. "Jika aku bertanyakan hal yang sama padamu, mungkin jawaban
kita tidak berbeda. Aku berada di satu tempat tak jauh dari sini ketika kakek mesum itu lewat
memacu kuda membawa perempuan. Tadinya aku mengikuti hanya karena ingin tahu saja.
Ternyata keingintahuanku harus kubayar mahal. Bahkan jiwaku hampir amblas!"

Setan Ngompol tidak mau menceritakan perihal bahwa dia sebenarnya belum lama terpesat
dari Negeri Latanahsilam dan sejak berpisah dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dia tengah
mencari bocah aneh bernama Naga Kuning. Siapa saja yang diceritakan tentang riwayat Negeri
Latanahsilam pasti tidak akan mempercayai. Bisa-bisa dia dianggap sinting. "Pertanyaanku ke
dua," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. "Apakah kau pernah mendengar seorang pemuda
bernama Adisakal"

"Adisaka…. Adisaka…." Setan Ngompol garuk-garuk kepalanya. Hampir terlanjur mengatakan


bahwa selama Ini dia berada di satu tempat disebut Negeri latanahsilam. Untung dia cepat
menyadari lalu menggelengkan kepala. "Tidak pernah aku mendengar orang dengan nama itu.
Bagaimana ciri-ciri orang yang kau cari Itu?"

Adimesa menarik nafas dalam. "Itulah sulitnya, aku tidak tahu ciri-cirinya…."

"Aneh, kau mencari orang. Tapi tidak tahu ciri-cirinya."


"Sebenarnya, dia kakakku. Tapi kami berpisah belasan tahun lalu. Sejak kami masih kecil.
Bertahun-tahun aku berusaha mencarinya. Sampai sekarang tidak berhasil…."

"Ah, kau agaknya punya kisah hidup yang hebat. Dengar anak muda, kau telah menolongku.
Aku berjanji akan balas menolongmu, mencari keterangan tentang kakakmu itu."

"Terima kasih Kek."

"Sebelum pergi bolehkah aku mengetahui siapa namamu sebenarnya?" tanya Setan Ngompol.

"Namaku Adimesa."

Ketika hendak melangkah pergi Setan Ngompol melirik pada Kinasih lalu berkata. "Ternyata aku
tidak punya maksud menjahilimu ‘kan? Ha… ha… ha!"

Kinasih cuma diam tersenyum.

Sesaat setelah si kakek pergi dan malam perlahan-lahan memasuki pagi, Kinasih berkata.
"Seperti kakek aneh tadi itu, aku juga ingin menyampaikan rasa terima kasih. Kau…."

"Tak usah ucapkan itu," kata Adimesa. "Lebih baik kau ceritakan siapa dirimu, mengapa sampai
dibawa lari ke pondok itu oleh Hantu Muka Licin."

Dengan singkat Kinasih menuturkan malapetaka yang dialaminya. Mulai dari saat dia diculik
oleh lelaki bernama Bagus Srubud sampai kemudian ditolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.

Adimesa terkejut mendengar Kinasih menyebut nama itu. "Jadi kau ditolong oleh Pendekar 212
Wiro Sableng? Dimana-pendekar itu sekarang?"

"Dia ditangkap oleh orang-orang berkepandaian tinggi dari Keraton," jawab Kinasih. Lalu
perempuan ini bertanya. "Kau pernah tahu orang bernama Bagus Srubud yang tadi aku
ceritakan? Mungkin tahu dimana aku harus mencarinya?"

Adimesa menggeleng. "Orang seperti itu terlalu berbahaya kalau kau cari. Lupakan dia. Walau
orangnya nyata tapi nama itu kurasa tak pernah ada. Kejahatan yang dilakukannya atas dirimu
pasti akan mendapat hukuman dari Yang Maha Kuasa. Sekarang yang penting kau harus segera
kembali ke Kotaraja."

Di tempat itu mereka menemukan kuda hitam bekas tunggangan Hantu Muka Licin yang
ditinggal begitu saja. Sebenarnya Kinasih ingin sekali diantar pulang ke Kotaraja oleh Pendekar
Kipas Pelangi. Tetapi sang pemuda tidak menawarkan. Kinasih sendiri merasa sungkan untuk
meminta. Padahal diam-diam sebenarnya hatinya tertarik pada pemuda bertubuh tegap
berwajah gagah ini. Dia merasa menyesal telah menceritakan riwayat dirinya. Kini Adimesa
tentu menganggapnya sebagai seorang perempuan rendah.
"Kalau saja tadi aku tidak terlanjur bicara berterus terang padanya, mungkin dia akan suka
mengantar aku ke Kotaraja," kata Kinasih dalam hati.

Sebelum berpisah Adimesa bertanya pada Kinasih. "Menurutmu apakah tuduhan orang-orang
Keraton bahwa Pendekar 212 yang membunuh suamimu, bisa dipercaya?"

"Sulit aku menjawab. Sampai saat ini aku masih bingung menyangkut hal yang satu itu…."

Adimesa menepuk pinggul kuda tunggangan Kinasih. Binatang itu segera melangkah pergi
membawa penunggangnya menuju Kotaraja. Namun naasnya perempuan muda ini tidak
pernah sampai di Kotaraja dalam keadaan hidup.

Siang di hari yang sama Kotaraja kembali dilanda kegemparan. Kinasih pertama kali ditemukan
para pengawal di pintu gerbang timur, tertelungkup melintang di atas punggung kuda. Dua
mata membeliak, wajah menunjukkan bayangan rasa takut amat sangat. Di keningnya ada
guratan angka 212. Jari-jari tangan kanannya tergenggam kencang. Tubuhnya masih hangat,
pertanda belum lama menemui ajal.

***

Kapak Maut Naga Geni 2124

HUJAN lebat turun sejak malam menjelang pagi. Pedataran rendah di hilir Kali Lanang mulai
digenangi air. Kalau hujan tak segera berhenti, hamparan sawah subur yang padinya siap dituai
akan dilanda banjir, para petani akan menderita kerugian datar. Rupanya alam tidak mau
menyengsarakan ummat, apalagi yang namanya rakyat kecil. Sebelum fajar menyingsing hujan
mulai berhenti. Banjir yang ditakutkan tidak terjadi.

Di satu tempat ketinggian di hulu Kali Lanang, hawa dingin dan kabut tipis menutupi
pemandangan. Samarsamar di bawah bayangan gelap pohon beringin besar hanya tiga tombak
dari pinggiran kali, satu sosok berjubah hitam duduk tak bergerak di atas sebuah batu besar
Sosok ini ternyata adalah seorang perempuan tua renta bermuka seram seperti setan.

Saat itu sebenarnya udara dingin bukan kepalang. Jangankan seorang nenek, orang mudapun
pasti akan menggigil kedinginan. Tetapi disinilah letak keanehan. Walau udara mencucuk dingin
luar biasa, tanah kali sekitar pohon beringin besar mengeluarkan hawa panas. Hawa panas yang
bersentuhan dengan udara dingin menimbulkan uap hangat. Uap hangat ini bukan saja
menyelimuti udara di pinggiran kali itu, tetapi juga membungkus batu besar, terus menyelimuti
tubuh si nenek yang duduk di atasnya, hingga sosok orang tua berwajah seram itu kelihatan
seperti mengepulkan asap putih, mulai dari kepala sampai ke kaki sementara sepasang matanya
terpejam rapat.
Bersamaan dengan terangnya langit di sebelah timur tanda fajar telah menyingsing, dari mulut
si nenek keluar suara meracau aneh. Mula-mula perlahan saja, kemudian berubah keras.
Sekujur tubuhnya bergetar. Uap putih mengepul semakin banyak. Secara aneh sosok si nenek
yang tadi duduk di atas batu perlahan-lahan bergerak ke atas lalu berhenti mengapung satu
jengkal di atas batu. Jelas sudah si nenek tengah mengerahkan kesaktian dalam semedinya. Jika
dia tidak memiliki tenaga dalam luar biasa, tidak mungkin tubuhnya mengapung seperti itu.

Di atas kepala, rambutnya yang kelabu awut-awutan naik tegak lurus ke atas, seolah berubah
menjadi ijuk kaku. Sesaat kemudian jubah hitam yang membungkus tubuh nenek ini bergerak
membuka, seolah ada tangan gaib yang menanggalkan. Pundak kiri kanan si nenek tersingkap.
Aneh, pundak itu kelihatan putih dan bagus. Jubah merosot lagi ke bawah, menyembulkan
dada. Untuk seorang nenek berusia hampir delapan puluh tahun seperti dia, dada itu
seharusnya hanya tinggal daging tipis pembalut tulang. Tapi luar biasanya, nenek satu ini masih
memiliki dada bagus dan putih. Jubah hitam merosot lagi, menyingkapkan perut, tertahan
sebentar di pangkuannya lalu jatuh ke atas batu. Sosok tubuh si nenek kini hanya terlindung
kepulan uap putih. Suara gumam racau yang keluar dari mulutnya terdengar semakin keras.
Sementara dua mata masih tetap terpejam.

Menyusul terjadi satu keanehan lagi. Dua tangan si nenek tampak bergetar hebat. Getaran itu
menjalar sampai ke ujung-ujung jarinya yang berkuku putih panjang. Lalu di sebelah pundak kiri
kanan ada cahaya aneh berwarna merah. Cahaya ini bergerak ke bawah sepanjang dua lengan,
memasuki dua telapak tangan terus ke arah sepuluh jari. Perlahan-lahan sepuluh kuku
berwarna putih berubah menjadi merah. Makin merah, makin merah seolah sepuluh kuku itu
telah menjadi bara menyala.

Tubuh si nenek bergetar keras, basah oleh keringat. Racau dari mulutnya semakin keras
pertanda apapun yang tengah dilakukan perempuan tua ini akan segera mancapai puncaknya.

Dalam keadaan seperti itu mendadak di udara pagi terdangar suara berdesing. Satu benda
hitam melesat seperti jatuh dari langit, melayang turun dan blukkk! Jatuh tepat di pangkuan si
nenek.

Suara racau si nenek lenyap, berganti dengan jeritan keras. Tubuhnya terhenyak jatuh ke batu
besar, lalu terguling ke bawah dan terjengkang di tanah. Si nenek menjerit lagi ketika dia
mengangkat dua tangan, dia melihat warna merah bara api di sepuluh kukunya telah lenyap! Di
pangkuannya saat itu, seolah lengket, melingkar sosok seorang anak lelaki berusia sekitar dua
belas tahun, berpakaian hitam berambut jabrik. Anak ini sendiri keluarkan seruan tertahan,
kaget karena tidak menyangka akan jatuh begitu rupa di atas pangkuan seseorang. Padahal
sebelumnya, dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan dia sudah pasrah bahwa
tubuhnya akan hancur remuk jatuh menghantam tanah atau batu.

Si nenek memekik panjang. "Habis! Hancur! Gagal sudah!" Sepasang matanya mendelik besar
memandangi anak lelaki di depannya. "Bocah jahanam! Kau yang jadi gara-gara! Kubunuh kau!"
Tangan si nenek menjambak rambut jabrik si bocah lalu anak itu dibantingkannya ke tanah. Si
bocah menjerit kesakitan.

"Remuk… walah…. Remuk tubuhku…" si bocah mengeluh, menggeliat di tanah lalu berusaha
bangkit.

"Bocah setan! Bukan cuma tubuhmu! Nyawamu juga akan kubikin remuk!" Si nenek
membentak, marah luar biasa. Sekali dia melompat kaki kanannya menghantam ke arah kepala
si bocah.

"Nek, tunggu!" si bocah berteriak sambil tutupkan dua tangannya di atas kepala tapi matanya
memperhatikan nakal. "Kalau memang mau membunuhku, jangan telanjang begitu rupa. Nanti
setan akhirat jadi bingung mau mengirimku ke mana. Ke sorga atau ke neraka!"

Si nenek hendak menghardik marah tapi sadar kalau saat itu dia memang tidak mengenakan
apapun.

"Hah?!"

Si nenek batalkan tendangannya. Dua tangan sibuk repot berusaha menutupi aurat yang
telanjang. Dia ingat pada jubah hitamnya. Pakaian itu tergeletak di atas batu. Disambarnya lalu
cepat dikenakan. Ketika dia selesai berpakaian dilihatnya bocah berpakaian hitam tadi tidak ada
lagi di tempatnya semula.

"Kurang ajar! Lari kemana bocah setan itu! Sampai dimana, sampai kapanpun akan kucari! Akan
kupecahkan batok kepalanya!"

Saking marahnya si nenek gerakkan kaki kanan.

"Braakkk!"

Batu hitam di pinggir kali yang tadi jadi tempat duduknya hancur berkeping-keping. Di atas
pohon beringin anak berusia dua belas tahun yang mendekam di balik kerimbunan dedaunan
delikkan mata, mulut ternganga.

"Makhluk aneh. Tampang berbentuk nenek muka setan. Tapi mengapa memiliki tubuh begitu
bagus dan mulus? Tapi gila! Batu saja hancur oleh tendangannya. Apalagi kepalaku! Siapa
gerangan adanya nenek ini? Sebelum celaka di tangannya lebih baik aku cepat-cepat
menyingkir dari sini."

Baru saja anak itu berucap dalam hati, seolah tahu kalau orang yang dicarinya sembunyi di atas
pohon, si Nenek tiba-tiba dongakkan kepala lalu pukulkan tangan kanannya. Dari tangan dan
ujung jubah hitam menderu lalu gelombang angin luar biasa derasnya. Saat itu juga seluruh
daun pohon di balik mana anak berpakaian hitam sembunyi rontok luruh ke tanah. Si anak jadi
terlihat jelas, tegak sempoyongan di salah satu cabang, muka pucat pasi. Tubuhnya terasa kaku.
Sambaran angin yang tadi dihantamkan nenek muka setan di bawah sana mempengaruhi jalan
darahnya.

Sadar kalau orang sudah melihatnya serta sulit bergerak cepat untuk melarikan diri, anak ini
nekad melompat ke bawah. Dua kali jungkir balik tak karuan akhirnya dia mampu juga menjejak
tanah, tegak terbungkuk-bungkuk di depan si nenek sambil pegangi kepala, takut akan kena
gebuk atau ditendang lagi.

"Nek, kalau kau memang mau membunuhku, aku tidak punya daya untuk selamatkan diri. Tapi
aku mau tahu dulu apa dosa kesalahanku hingga kau mau menghabisi nyawaku."

"Bocah setan! Dosa kesalahanmu setinggi langit sedalam laut!" bentak si nenek.

"Walah, begitu amat Nek? Harap kau mau memberitahu yang salah apaku, yang dosa apaku?"

"Jahanam! Empat puluh hari empat puluh malam aku melakukan samadi! Tidak perduli hujan,
tidak perduli panas. Makan tidak minum juga tidak! Hampir rampung ilmu yang aku dalami
tahu-tahu kau merusak semuanya! Jahanam betul!"

Si nenek menggembor keras lalu menyergap. Tangannya kembali menjambak rambut jabrik si
bocah. Ketika dia hendak membantingkan anak itu tak sengaja sepasang matanya bentrokan
dengan dua bola mata si bocah. Ada sekilas cahaya aneh di mata anak itu membuat darah si
nenek tersirap. Lalu dibalik wajah si bocah, dia seperti melihat satu wajah lain yang
menyebabkan dadanya berdebar keras.

"Kurang ajar, ada apa dengan anak ini. Matanya menyorotkan ketakutan. Tapi dibalik bayang
ketakutan Itu aku melihat satu bayangan lain. Hatiku… mengapa hatiku tiba-tiba bergetar?"

"Bocah setan! Siapa kau adanya! Mengapa berani mengusik semediku, menjatuhkan diri ke
pangkuanku!

Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mengirimmu ke Banyuanget ini?! Pasti kakek keparat itu!"

"Maaf Nek, jangan kau salah mengira. Tidak ada yang mengirimku ke sini! Aku tidak ada niat
mengusik semedimu, apa lagi sengaja menjatuhkan diri kepangkuanmu…."

"Jangan dusta! Kau memang punya niat jahat dan niat cabul!" Si nenek perkencang
jambakannya lalu mengangkat tubuh si anak tinggi-tinggi, siap untuk dibantingkan.

"Nek… aku… aku tidak tahu apa maksudmu…." "Jangan dusta! Kau sengaja muncul untuk
mengusik semediku hingga aku gagal mendapatkan ilmu itu! Lalu kau juga sengaja menunggu
sampai seluruh pakaian di tubuhku tanggal. Baru dijatuhkan diri di pangkuanku!"
"Nak, semua terjadi serba tidak sengaja. Aku…."

Tangan si nenek bergerak, siap membantingkan anak yang dljambaknya. Tapi si anak cepat
berseru. "Tahan, tunggu dulu Nek! Beri kesempatan untuk menerangkan.."

"Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan mata! Apa yang hendak kau katakan?!"

"Kalau aku ceritakan bagaimana asal usulnya aku sampai melesat dari langit, melayang jatuh ke
pangkuanmu, pasti kau tidak percaya. Sumpah Nek, aku tidak sengaja jatuh ke pangkuanmu!
Juga sumpah aku tidak punya niat cabul terhadapmu!"

"Siapa percaya mulut dan segala sumpahmu! Siapa namamu? Siapa menyuruhmu
menggagalkan semediku?!" bentak si nenek.

"Namaku Naga Kuning, Nek. Tidak ada yang menyuruhku. Aku memang terlempar dari langit.
Nasib apes jatuh di pangkuanmu pada saat kau dalam keadaan bugil. Nek, dengar Nek. Terus
terang aku kagum padamu. Mukamu lebih jelek dari setan, tapi keadaan tubuhmu tidak kalah
bagusnya dengan tubuh janda kembang…."

"Jahanam kurang ajar! Sekarang mampuslah!"

"Nek, aku mohon…."

"Mohonlah pada setan!"

Tangan si nenek sudah siap membanting. Tiba-tiba terjadi keanehan. Rambut si bocah
mendadak berubah sangat licin seperti dilumuri minyak. Ketika si nenek hendak
memperkencang jambakannya, cekatannya malah lolos. Si bocah jatuhkan diri ke tanah.

"Ternyata kau punya ilmu kepandaian! Bagus! Coba rasakan dulu tendanganku ini!"

Kaki kanan si nenek menderu tapi. Namun tendangannya luput. Anak yang jadi sasaran
membuat gerakan lebih cepat, membuang diri ke kiri lalu bergulingan di tanah ke arah pohon
beringin. Si nenek mengejar. Tapi anak itu menghilang seperti ditelan bumi.

"Kemana lenyapnya bocah kurang ajar itu?!" Si nenek memandang berkeliling, memperhatikan
ke atas pohon beringin. Tapi Naga Kuning kali ini benar-benar lenyap. Si nenek usap wajah
setannya, menarik nafas panjang berulang kali, lalu melangkah ke pinggir kali dan duduk
merenung.

"Bocah kurang ajar bernama Naga Kuning itu. Mungkinkah dia…? Mustahil. Puluhan tahun telah
berlalu. Aku tidak pernah mendengar riwayatnya lagi. Aku tak pernah mengharapkan dirinya
lagi. Sakit hati, kekecewaan besar. Semua itu yang aku dapat darinya sebagai balas kebaikan
hatiku padanya. Kalaupun yang tadi itu memang dia mengapa ujudnya seperti itu? Kalau dia
masih hidup, usianya sudah di atas seratus tahun. Tidak mungkin. Namun, sejak dua purnama
belakangan ini mengapa aku selalu terkenang pada dirinya?"

Si nenek memandangi arus Kali Lanang yang deras akibat curahan hujan lebat malam menjelang
pagi tadi. Dia kembali mengingat-ingat. "Sewaktu rambutnya kujambak, rambut itu tiba-tiba
menjadi licin. Anak itu memiliki ilmu meloloskan diri dengan menjadikan rambutnya licin.
Memang di tanah Jawa ini banyak Ilmu aneh yang membuat orang bisa jadi licin. Ilmu Belut
Putih, Ilmu Pelicin Raga dan sebagainya. Tapi sepanjang pengetahuanku hanya ada satu ilmu
sejenis itu yang hebat luar biasa. Ilmu itu disebut Ilmu Ikan Paus Putih. Dan dimiliki oleh kakek
sakti setengah manusia setengah roh yang adalah ayah angkatku sendiri. Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Apakah anak itu ada sangkut pautnya dengan Kiai? Setahuku Kiai tidak pernah
mengangkat murid. Tapi selama puluhan tahun aku berpisah dengan ayah angkatku itu,
mungkin saja terjadi hal-hal yang aku tidak ketahui. Hai! Tololnya aku! Anak itu paling banyak
berusia dua belas tahun. Mana mungkin dia sudah ada puluhan tahun silam? Mana mungkin dia
bisa menguasai ilmu kesaktian tinggi dalam usia seperti dia?" Si nenek muka setan menghela
nafas panjang berulang kali. Dia hendak bergerak bangkit. Mendadak dia mendengar suara
orang berlari. Suara itu demikian halusnya seolah yang berlari tidak menginjak tanah. Si nenek
menoleh. Satu bayangan berkelebat di belakangnya. Tahu-tahu seorang pemuda berpakaian
biru, berkumis rapi berwajah tampan muncul, tegak berdiri beberapa langkah di hadapannya.

"Nek," pemuda itu menyapa sambil membungkukkan badan memberi hormat. "Maafkan kalau
aku mengganggu ketenteramanmu, aku kebetulan lewat, melihatmu ada di sini, ingin
menanyakan sesuatu…."

"Anak muda aku sedang tidak enak hati. Salah-salah lehermu bisa kupatahkan! Lekas minggat
dari hadapanku!"

Pemuda berbaju biru yang bukan lain adalah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi pandangi si
nenek dengan wajah tenang lalu tersenyum. "Tampaknya nenek berwajah seram ini bukan
manusia sembarangan. Tandatanda di sekitar sini menunjukkan agaknya sebelumnya terjadi
satu perkelahian di tempat ini. Ada hancuran batu, ada pohon beringin yang gundul sebagian
daunnya. Dari pada mencari urusan tak karuan memang lebih baik aku menyingkir dari tempat
ini."

"Nek, terima kasih kau telah memberi ingat. Silahkan meneruskan bersunyi diri. Sekali lagi maaf
kalau aku telah mengganggu" Pendekar Kipas Pelangi membungkuk lalu tinggalkan tempat itu.

Si nenek sesaat seperti tak acuh. Kemudian dia menoleh memperhatikan. "Anak muda itu
bersikap tenang, bersifat polos. Tapi dia datang dengan berlari. Cepat tapi tanpa suara. Tahu-
tahu muncul di hadapanku. Pasti dia membekal ilmu tidak rendah. Ada baiknya kalau aku
ketahui apa yang hendak ditanyakannya."

"Anak muda! Tunggu!" si nenek berseru.


Pendekar Kipas Pelangi hentikan langkah tapi hanya diam berdiri, tidak mau mendekati si
nenek. Sebaliknya si nenek kini yang bangkit berdiri dan menyampari pemuda itu.

"Apa yang hendak kau tanyakan padaku?"

Si pemuda memandang wajah setan si nenek, lalu tersenyum. "Terima kasih, kau mau memberi
kesempatan," katanya. "Tidak jauh dari sini, sebelumnya aku melihat ada sebuah benda
melayang di udara. Aku berusaha mengikuti. Benda itu melesat ke arah sekitar sini lalu lenyap.
Aku berusaha mencarinya tapi tidak berhasil. Mungkin kau melihat sesuatu Nek?"

Si nenek diam sebentar. Dalam hati dia membatin. "Jangan-jangan bocah kurang ajar tadi yang
dicari pemuda ini. Bukan mustahil dia sahabat anak bernama Naga Kuning itu."

"Benda yang melayang di udara itu, apakah manusia, batu, kayu, binatang atau apa?!" si nenek
ajukan pertanyaan.

Pendekar Kipas Pelangi tersenyum. "Benda itu melesat cepat sekali. Seperti jatuh dari langit.
Aku sulit menduga. Namun besar kemungkinan benda itu adalah sosok manusia…."

"Kau pasti gila! Mana ada manusia bisa jatuh melayang dari langit lalu lenyap. Dan kau muncul
di sini bertanya padaku! Benar-benar edan!"

"Nek, belakangan ini memang banyak hal gila dan edan terjadi dalam rimba persilatan. Bahkan
kegilaan dan keedanan itu merambat sampai ke Kotaraja. Kalau kita tidak menyiasati dan
berjaga-jaga, kita bisa ikutikutan gila dan edan."

"Kau salah satu diantaranya yang sudah jadi gila dan edan!" tukas si nenek. "Heh, apa seorang
bocah bernama Naga Kuning ada sangkut pautnya dengan dirimu? Mungkin dia orang yang
tengah kau cari?"

"Naga Kuning?" Pendekar Kipas Pelangi gelengkan kepala. "Tak pernah aku mengenal bocah
dengan nama itu."

"Kalau begitu jangan berdiri lebih lama di depanku! Pergilah sebelum aku merasa terusik…."

"Nenek aneh," kata Pendekar Kipas Pelangi dalam hati. Namun dengan tersenyum dia
bungkukkan diri lalu melangkah pergi.

Tak lama setelah Pendekar Kipas Pelangi pergi, si nenek ingat sesuatu. Dia mengejar ke arah
lenyapnya pemuda itu. Tapi yang dikejar tak kelihatan lagi.

"Tololnya aku. Seharusnya aku tanya siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya!" Si nenek
geleng-gelengkan kepala. Sekali berkelebat dia lenyap dari tempat itu.
Belum jauh berlari Pendekar Kipas Pelangi juga ingat sesuatu. Dia segera memutar larinya,
kembali ke tepi kali. Namun di tempat itu orang yang dicarinya tak kelihatan lagi. Si pemuda
usap-usap dagunya. "Seharusnya tadi aku tanyakan siapa adanya nenek itu. Mungkin dia tahu
perihal Adisaka, kakakku. Tapi yah…. Sudahlah."

Kapak Maut Naga Geni 2125

MATAHARI hampir tenggelam ketika Naga Kuning sampai di tepi selatan Telaga Gajahmungkur.
Anak ini menatap dengan mata sayu. Dia teringat pada peristiwa beberapa waktu lalu ketika
kehancuran melanda segala sesuatu yang ada di dasar telaga.

Perlahan-lahan Naga Kuning mendudukkan diri di tepian telaga. Mula-mula dia merasa ragu,
tapi apa boleh buat. Dia menginginkan keterangan yang sangat dibutuhkannya itu. Satu-satunya
yang bisa memberikan penjelasan adalah penguasa Telaga Gajahmungkur yang merupakan
makhluk alam gaib dikenal dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas. (Baca serial Wiro Sableng
yang berjudul "Wasiat Iblis" dst. terdiri dari 11 episode)

"Peristiwanya sudah lama sekali. Aku tidak bisa memastikan, sejak isi telaga porak poranda,
apakah Kiai masih suka datang ke tempat ini?"

Naga Kuning rangkapkan dua tangan di depan dada. Setelah memperhatikan sekitar telaga,
anak ini pejamkan ke dua matanya, pendengaran terhadap alam luar ditutup. Sosoknya tidak
bergerak. Dia telah berubah seolah patung. Menjelang tengah malam hujan gerimis turun.
Udara menebar bau aneh, seperti bau kemenyan dibakar. Kepala Naga Kuning bergoyang, sekali
ke kiri, sekali ke kanan. Bau kemenyan menyirap masuk ke jalan pernafasan, mendekam di
dada.

Sesaat kemudian mulut anak itu tampak bergerak. Lalu terdengar suaranya berucap perlahan.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya mohon, datanglah menampakkan diri. Ada satu masalah
besar yang ingin saya tanyakan padamu. Saya tahu kau berada jauh di telaga tiga warna puncak
Gunung Gede. Tapi dengan ilmu kesaktianmu, dengan redho Gusti Allah, tidak sulit bagimu
untuk bisa muncul di telaga Gajahmungkur ini. Jika engkau mendengar permintaan saya ini Kiai,
saya mohon kau mau mengabulkan…."

Sunyi, sesekali terdengar gemerisik dedaunan tertiup angin. Sesekali terdengar riak air telaga
disapu hembusan angin.

"Kiai, jika engkau mendengar harap kau mau mengabulkan permintaan saya…." Kembali Naga
Kuning berucap.

Masih sunyi. Namun laksana sebilah pedang raksasa tiba-tiba dari atas langit yang mulai gelap,
menyabung kilat disertai gelegar yang menggoncang tanah. Sesaat cahaya terang menyilaukan
menghantam permukaan telaga, tembus sampai ke dasar. Air telaga mencuat ke atas belasan
tombak, berubah menjadi panas. Ketika air telaga panas ini jatuh kembali ke permukaan telaga
yang dingin, terdengar suara mendesis panjang menggidikkan.

Di tepi telaga Naga Kuning kelihatan terhuyung-huyung. Mulutnya komat kamit. Kalau dia tidak
mengerahkan segala kekuatan luar dan dalam, niscaya sejak tadi-tadi tubuhnya sudah
terbanting ke tanah.

Naga Kuning merasakan ada angin aneh menyapu wajah dan permukaan kulit tubuhnya,
membuat anak ini merinding. Dengan hati berdebar dia buka dua matanya yang sejak tadi
dipejamkan. Mula-mula dia tidak melihat apa-apa. Kemudian ada hamparan kabut putih di
tengah telaga. Kabut ini perlahan-lahan bergerak ke tepi telaga, di arah mana Naga Kuning
duduk bersila. Semakin dekat ke tepi telaga semakin jelas bahwa kabut itu membentuk sosok
seorang tua, tegak mengawang di atas permukaan air telaga.

Naga Kuning membuka matanya lebih besar. Tak berkedip dia memandang pada makhluk di
atas telaga.

Makhluk ini berupa seorang tua berselempang kain putih. Wajahnya tertutup oleh rambut
panjang, kumis dan janggut warna putih.

"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya sangat bersyukur dan berterima kasih Kiai mau datang," ucap
Naga Kuning lalu masih dalam keadaan bersila dia membungkuk dalamdalam.

"Anak manusia bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang, yang aku kenal
dengan gelar julukan Kiai Paus Samudera Biru, yang sehari-hari dipanggil dengan nama Naga
Kuning alias Naga Cilik, alias Naga Kecil. Mungkin kau lupa bahwa aku sebenarnya tidak pernah
ingin bertemu lagi denganmu?"

"Kiai. maafkan saya. Saya tidak lupa. Sejak rangkaian peristiwa tempo hari, sampai Telaga
Gajahmungkur dilanda musibah besar, saya tahu, tidak pantas lagi bagi Kiai untuk menemui
saya. Namun, sekali lagi dengan seribu maaf, saya mohon, ada satu hal yang perlu saya
tanyakan pada Kiai…."

"Naga Kuning, aku sudah muak dengan segala urusan. Permintaanmu hanya mengusik
ketenanganku di alam roh…."Naga Kuning terdiam. Lalu dengan suara perlahan sedih anak ini
berkata. "Kalau Kiai memang tidak lagi mau mencampuri urusan dunia, kalau memang saya
telah mengusik ketenangan Kiai di alam roh, saya mohon maaf. Apa yang hendak saya tanyakan
pada Kiai biarlah tetap menjadi ganjalan dalam diri saya seumur-umur…."

Sosok orang tua berselempang kain putih itu kini ganti terdiam. Dua matanya yang bening tapi
tajam menatap wajah Naga Kuning beberapa ketika lalu muncul sekelumit senyum, membuat
Naga Kuning merasa lega.
"Naga Kuning, sebelum kita meneruskan bicara, harap perlihatkan dulu dirimu yang
sebenarnya. Dunia masa kini penuh dengan berbagai ilmu aneh. Di dalam keanehan itu banyak
sekali manusia yang memanfaatkan ilmu untuk menipu. Kau yang duduk bersila di hadapanku,
bisa saja bukan Naga Kuning sebenarnya. Jadi harap kau perlihatkan dulu padaku ujudmu yang
sebenarnya…."

Naga Kuning membungkuk dalam, lalu perlahan lahan bangkit berdiri. Dua telapak tangan
disatukan, diletakkan di atas dada, di arah jantung seperti lazimnya orang melakukan sholat.
Suasana sunyi menyelimuti kawasan telaga. Perlahan-lahan sosok anak bernama Naga Kuning
itu terlihat samar-samar seolah terbungkus kabut. Begitu kabut lenyap yang tegak di tepi telaga
itu kini bukan lagi sosok seorang anak lelaki berpakaian hitam, melainkan sosok seorang tua
berambut, berjanggut dan berkumis kelabu. Sepasang alis matanya putih panjang menjulai ke
bawah. Pakaiannya sehelai kain hitam, melilit di bagian pinggang ke bawah,menyelempang di
atas perut dan dada.

"Kiai Paus Samudera Biru," berucap Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Aku sudah melihat ujudmu
sebenarnya. Kini tidak ada kebimbangan dalam diriku siapa kau adanya."

Orang tua berselempang kain hitam membungkuk. Begitu tubuhnya diluruskan, ujudnya
berubah ke bentuk seorang bocah bernama Naga Kuning. Anak ini kemudian kembali duduk
bersila di tanah di tepi telaga.

"Naga Kuning, sekarang sampaikan apa yang hendak kau tanyakan. Ingat, waktuku tidak lama."
Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.

"Maafkan saya Kiai. Saya tidak ingin mengganggu Kiai berlama-lama. Karenanya bolehkah saya
menerangkan sesuatu lalu mengajukan satu dua pertanyaan?"

"Aku menyirap rasa, lama sekali kau tidak berada di negeri ini. Begitu muncul kau ingin bertemu
denganku…."

"Kiai betul. Saya dengan dua orang kawan secara tidak sengaja terpesat masuk ke dalam negeri
aneh Latanahsilam yang seribu dua ratus tahun berada sebelum tanah Jawa ini. Hanya Kuasa
Gusti Allah yang memungkinkan saya dan kawan-kawan kembali ke tanah Jawa ini."

"Siapa dua orang kawanmu itu?" tanya makhluk di atas telaga yang dipanggil dengan sebutan
Kiai Gede Tapa Pamungkas.

"Yang pertama Pendekar 212 Wiro Sableng…."

"Murid Sinto Weni alias Sinto Gendeng, murid si perempuan sinting itu! Aku tidak bergembira
mendengar pendekar itu menjadi sahabatmu. Naga Kuning. Gurunya adalah muridku. Sejak
Sinto Gendeng menguasai Kapak Maut Naga Geni 212 dan menyembunyikan Pedang Naga Suci
212, berbagai kejadian yang membuat aku marah telah dilakukannya. Untung Pedang Naga Suci
sekarang sudah berada di tangan pewaris yang berjodoh yakni Puti Andini." (Baca "Wasiat
Malaikat", Episode ke 9 dari rangkaian 11 Episode "Wasiat Iblis" dst.)

Naga Kuning diam saja. Tak berani menanggapi ucapan sang Kiai. Lalu terdengar Kiai Gede Tapa
Pamungkas bertanya. "Siapa temanmu yang kedua?"

"Kakek sakti berjuluk Setan Ngompol…."

Kiai Gede Tapak Pamungkas mendesah panjang mendengar jawaban Naga Kuning bocah yang
selama bertahun-tahun pernah menjadi orang kepercayaannya itu. "Setan Ngompol! Kau
mungkin lupa, tapi aku tidak akan pernah melupakan. Bukankah manusia satu itu yang masuk
ke dalam Telaga Gajahmungkur, membawa dan menebar air larangan hingga telaga dan isinya
laksana dijungkir balikkan? Dan orang seperti itulah yang menjadi temanmu! Sungguh aku
menyesal muncul di hadapanmu saat ini. Naga Kuning!"

"Saya mohon beribu maaf. Kiai. Saya…."

"Sudah! Sekarang ajukan saja pertanyaanmu."

Naga Kuning membungkuk dalam-dalam lalu berkata. "Beberapa waktu lalu saya bertemu
dengan seorang perempuan tua yang saya tidak kenal siapa dia adanya." Lalu Naga Kuning
menuturkan riwayatnya jatuh ke pangkuan seorang nenek yang duduk bersemedi dalam
keadaan telanjang di tepi Kali Lanang. "Walau saya tidak pernah melihat nenek ini sebelumnya
namun dari suaranya saya seperti mengenali siapa dirinya. Ketika ingatan itu muncul dan saya
sadar, saya kembali ke tempat pertemuan. Tapi nenek itu tak ada lagi di tepi kali. Saya punya
dugaan, dan saya berharap tidak keliru. Perempuan tua itu adalah puteri angkat Kiai sendiri,
yang bernama Ning Intan Lestari…."

"Ning Intan Lestari…." Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama itu dengan suara perlahan.
Di wajahnya nampak kesedihan mendalam.

"Kau menyebut Ning Intan Lestari sebagai anakku. Naga Kuning, agaknya sampai saat ini rasa
tanggung jawab atas kejadian di masa silam masih belum muncul dalam dirimu."

"Kiai…." Naga Kuning hendak mengatakan sesuatu. Kalau perlu mengembangkan kembali
riwayat di masa silam dimana dia lebih banyak kejatuhan dosa kesalahan.

"Sudah, apa yang hendak kau tanyakan?"

"Pertama apakah Ning Intan Lestari masih hidup. Saya memang berharap dia masih hidup.
Pertanyaan kedua, mungkin Kiai mengetahui bahwa perempuan tua yang suaranya sama
dengan suara Ning Intan Lestari itu memang Ning Intan Lestari, adanya?"
"Bagaimana ciri-ciri perempuan tua yang kau temui di tapi Kali Lanang itu?" bertanya Kiai Gede
Tapa Pamungkas.

"Mukanya seram, lebih seram dari setan. Rambut kelabu. Berpakaian jubah hitam…."

"Menurutmu, kira-kira berapa usianya?"

"Antara delapan sampai sembilan puluh tahun. Namun saya melihat keanehan pada
tubuhnya…." Naga Kuning tidak meneruskan ucapannya.

"Keanehan apa?"

"Saya tidak berani menceritakan. Pertanyaan saya, mungkinkah nenek itu puteri angkat Kiai
yang bernama Ning Intan Lestari?’

Kiai Gede Tapa Pamungkas tidak menjawab, melainkan memandang lekat-lekat ke wajah bocah
yang duduk bersila di tepi telaga itu. Dia menunggu, mengharapkan jawaban.

"Naga Kuning," sang Kiai akhirnya berkata. "Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Mungkin
nenek itu memang puteri angkatku, mungkin juga tidak. Untuk memastikan, hanya kau
sendirilah yang harus melakukan penyelidikan. Jika kemudian kau mengetahui bahwa nenek itu
bukan Ning Intan Lestari, urusan cukup cuma sampai disitu. Tapi jika dia memang Ning Intan
Lestari, aku ingin tahu apa tindakanmu selanjutnya?"

Naga Kuning tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia terdiam beberapa
lamanya. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Agaknya dia tidak mau memaksa dan merasa
tidak perlu menunggu jawaban si bocah.

"Naga Kuning, usiamu sebenarnya sekitar seratus dua puluh tahun. Kematangan hati dan
pikiranmu apakah masih perlu dipertanyakan? Apapun persoalan yang terjadi antara kau
dengan puteri angkatku adalah menjadi tanggung jawab kalian berdua. Berarti kalian berdua
pula yang harus menyelesaikan…."

Naga Kuning terdiam.

"Kau mengerti maksud kata-kataku, Naga Kuning?"

Si bocah mengangguk, lalu membungkuk dalamdalam seraya berkata. "Saya mengerti Kiai.
Maafkan kalau saya sudah membuat Kiai merasa terganggu. Saya merasa bersyukur Kiai tidak
marah terhadap saya…."

"Kemarahan tidak pernah menyelesaikan masalah. Apapun masalahnya. Ingat hal itu baik-baik
Kiai Paus Samudera Biru…."
Wajah Naga Kuning tampak kemerah-merahan mendengar Kiai Gede Tapa Pamungkas
menyebut gelarnya. Dia merasa seperti tidak layak menyandang gelar itu.

"Naga Kuning, pernahkah kau mendengar seorang nenek berilmu tinggi dipanggil dengan
sebutan Gondoruwo Patah Hati"

Naga Kuning menggeleng.

"Carilah nenek itu. Kelak kau akan menemukan sesuatu," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.

"Saya akan mencari nenek itu. Terima kasih atas petunjuk Kiai. Kalau saya boleh bertanya,
apakah Gundoruwo Patah Hati itu…."

Tiba-tiba dari langit menyambar kilat. Sekejapan kawasan telaga menjadi terang benderang. Air
telaga bergejolak muncrat. Lalu segala sesuatunya sirap sunyi kembali. Sosok Kiai Gede Tapa
Pamungkas tak kelihatan lagi, lenyap dari permukaan telaga.

Lama Naga Kuning termenung di tepi telaga itu. "Kalau nenek itu memang Ning Intan Lestari
adanya, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Mengapa wajahnya menjadi buruk, seram
mengerikan seperti itu. Lalu kemana aku harus mencari dia? Setelah dua tahun terpesat ke
Negeri Latanahsilam, tanah Jawa seolah asing bagiku. Siapa pula sebenarnya nenek bernama
Gondoruwo Patah Hati itu? Mengapa Kiai menyuruhku mencarinya. " Naga Kuning menghela
nafas dalam lalu bangkit berdiri. Gerakannya berubah menjadi lompatan terkejut ketika dekat
sekali di belakangnya tiba-tiba terdengar suara tertawa keras, panjang menyeramkan.

Naga Kuning cepat membalik. Anak ini keluarkan seruan tertahan ketika melihat sosok yang
berdiri di hadapannya. Orang ini berjubah hitam, berambut putih, tegak membelakanginya.
Tangan kanan buntung. Di daun telinga sebelah kanan belakang ada tahi lalat

merah sebesar ujung jari kelingking. "Orang ini, aku rasa-rasa pernah melihat sebelumnya,"
kata Naga Kuning dalam hati.

**

Kapak Maut Naga Geni 2126

TIBA-TIBA si jubah hitam yang tegak membelakang itu keluarkan suara tertawa melengking
panjang. Lalu dibalikkannya tubuhnya hingga kini berhadap-hadapan dengan Naga Kuning.
Orang ini ternyata adalah nenek berjubah hijau tua. Rambut putih panjang riap-riapan. Muka
hancur. Mata kiri hanya tinggal rongga besar menyeramkan sedang mata kanan terbujur keluar
seperti mau melompat tanggai. Luar biasanya di keningnya menempel potongan tangan kanan
miliknya sendiri.
"Luhjahilio…." Naga Kuning tergagau. Lututnya bergetar. (Mengenai nenek seram Luhjahilio
yang merupakan salah satu dari Sepasang Hantu Bercinta, silahkan baca riwayat Wiro Sableng
di Negeri Latanahsilam "Rahasia Patung Menangis", "Rahasia Mawar Beracun" dsb.)
"Bagaimana bangkai butut Latanahsilam ini bisa berada di tempat ini? Apakah dia Ikut
terlempar ke tanah Jawa dari negeri seribu dua ratus tahun silam?"

Si nenek berwajah lebih hebat dari setan ini mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
"Gelapnya udara malam, lama tidak bertemu, ternyata kau masih mengenali diriku. Hik… hik…
hik! Anak keparat! Mana dua temanmu si Wiro dan si Setan Ngompol? Selama di Negeri
Latanahsilam kalian bertiga telah membuat aku dan kekasihku banyak susah! Dulu aku tidak
sempat membunuhmu! Mungkin kau memang harus menemui ajal di negeri sendiri! Hik… hik…
hik!"

Mula-mula Naga Kuning memang agak kecut juga melihat kemunculan tidak terduga Luhjahilio.
Ternyata keseraman wajah nenek satu ini lebih hebat dari nenek yang ditemuinya di tepi Kali
Lanang. Tapi setelah menenangkan diri dan keberaniannya muncul, anak ini segera menyahuti
ucapan orang.

"Nenek muka setan! Kau muncul cuma sendirian. Mana kekasihmu si Lajahilio?! Kau ini datang
di tanah Jawa ada yang mengundang, atau sekedar pesiar atau diam-diam mengikuti si Setan
Ngompol? Jangan-jangan kau sudah jatuh cinta pada kakek bau pesing sahabatku itu!"

Luhjahilio kembali tertawa. Bola mata kanannya yang tergantung di pipi bergerak-gerak turun
naik.

"Wahai! Kau memang pandai bergurau! Aku mau lihat apakah kau masih bisa bergurau kalau
sudah jadi mayat!"

"Wahai!" Naga Kuning meniru ucapan si nenek. "Ini bukan di Latanahsilam lagi, bicara memakai
wahai segala! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa kau cuma merusak pemandangan. Lebih baik
kembali pulang ke kampungmu sebelum kawanan anjing pasar menggerogoti dirimu!"

Wajah Luhjahilio tampak mengkerut. "Tidak heran!" katanya. "Di negeri orang kau kurang ajar.
Di negeri sendiri pasti lebih kurang ajar! Kau tidak mau memberi tahu dimana dua sahabatmu
itu berada?"

"Kalau sadar kau berada di negeri orang pandai-pandai membawa diri! Baru muncul sudah
membawa niat jahat hendak membunuh!" Luhjahilio tertawa lagi. Tiba-tiba melompat. Tangan
kirinya menyambar

"Breettt!"

Naga Kuning berseru kaget. Serangan yang dilancarkan Luhjahilio bukan saja tidak terduga tapi
juga sangat cepat. Untung dia masih punya kesempatan bergerak surut dua langkah. Kalau
tidak, bukan Cuma pakaian hitamnya yang robek disambar jari-jari tangan berkuku panjang si
nenek, daging dan tulang dadanya bisa ikutan jebol. Naga Kuning merasa heran. Semasa di
Negeri Latanahsilam Luhjahilio bersama pasangannya, Luhjahilio, memang memiliki ilmu tinggi.
Namun bila dibanding dengan para tokoh lainnya, sepasang kakek nenek ini belum termasuk di
jajaran atas. Kini mengapa gerakannya begitu cepat luar biasa hingga dia tidak mampu
mengelak menyelamatkan diri? "Janganjangan makhluk ini penjelmaan Gondoruwo Patah Hati
yang dikatakan Kiai Gede Tapa Pamungkas…" pikir Naga Kuning.

"Nenek jelek! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa cuma untuk mengantar nyawa!" teriak Naga
Kuning. Lalu anak Ini membalas serangan si nenek. Didahului jeritan keras tubuh Naga Kuning
melesat, melepas pukulan Naga Murka Merobek Langit.

Luhjahilio hadapi serangan orang dengan tertawa memandang enteng. Dia sengaja
menyongsong datangnya serangan dengan balas memukulkan tangan kiri. Agaknya si nenek
ingin menjajal sampai dimana kehebatan kekuatan lawan.

Kaget Luhjahilio bukan alang kepalang ketika bukkk! Lengan kirinya beradu keras dengan lengan
kanan Naga Kuning. Si nenek terlempar sampai empat langkah. Muka setannya mengkerut
kesakitan. Sebaliknya Naga Kuning sendiri terpental tiga langkah, termonyong-monyong
meniup lengan kanannya yang bengkak membiru.

Mengira kekuatan tenaga dalamnya masih jauh lebih tinggi dari Naga Kuning, sambil
membentak garang Luhjahilio kembali menyerbu.

Menghadapi serangan kedua ini. Naga Kuning melesat ke atas hampir setinggi satu tombak.
Lalu sambil melayang turun dia hantamkan kaki kanannya dalam jurus Naga Murka Menjebol
Bumi. Yang di arah adalah kepala lawan.

Si nenek tertawa cekikikan. Kepalanya dijauhkan ke belakang. Ketika kaki Naga Kuning lewat di
depan keningnya, tidak disangka-sangka tangan kanannya yang menempel di kening bisa
bergerak mencekal pergelangan kaki Naga Kuning.

Sebenarnya cekalan ini tidak ada bahayanya. Yang berbahaya adalah serangan susulan tangan
kiri yang sengaja dihantamkan ke selangkangan Naga Kuning.

"Nenek cabul! Kau bukannya berkelahi! Tapi sengaja hendak memegang barangku!" teriak Naga
Kuning. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan yang kena dicekal. Luhjahilio berseru kaget
ketika kaki yang dipegangnya terasa menjadi sangat berat. Demikian beratnya hingga kepala
dan tubuhnya tertekan hebat. Mau tak mau dia terpaksa lepaskan cekalan pada kaki kanan si
bocah. Begitu kakinya lepas, dengan kaki yang sama Naga Kuning hantam pipi si nenek.

Luhjahilio meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar jauh. Kepalanya seperti pecah.


Pemandangan gelap. Untuk beberapa saat lamanya dia terkapar di tanah sambil pegangi pipi
kanan yang bengkak membiru dengan tangan kiri. Tampangnya semakin seram tidak karuan.
Naga Kuning tegak berkacak pingang di hadapan Luhjahilio. "Nenek jelek! Apa kau masih betah
tinggal di tanah Jawa ini? Atau mungkin bisa kubantu melemparkanmu ke langit agar kembali
ke negeri asalmu?!"

"Makhluk jahanam! Aku belum kalah!" teriak Luhjahilio. Tubuhnya yang terkapar di tanah tiba-
tiba bergulingan, mengeluarkan suara bergemuruh seolaholah gelondongan batang kayu
raksasa menggelinding.

"Bagus, kau datang sendiri mencari tendangan!" seru Naga Kuning. Anak ini menunggu sampai
sosok Luhjahilio hanya tinggal dua langkah dari hadapannya baru dia mengangkat kaki kanan
menendang.

Luhjahilio keluarkan pekikan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya yang masih menggelinding
di tanah berputar. Dua kaki membabat laksana gunting. Naga Kuning menendang. Dua kaki
lawan membuka. Lalu menutup kembali dengan cepat.

Naga Kuning berteriak kaget ketika dapatkan kaki kanannya tahu-tahu sudah berada dalam
jepitan dua kaki Luhjahilio. Dia berusaha menyentakkan kaki, tapi tak berhasil lolos. Jepitan dua
kaki si nenek terasa panas dan seperti hendak menggergaji putus tulang keringnya.

Tidak menunggu lebih lama Naga Kuning hantamkan dua tangan sambil keluarkan aji Ikan Paus
Putih untuk melicinkan kakinya yang dijepit lawan.

Luhjahilio berteriak keras ketika melihat dua larik sinar hitam, dekat sekali menyambar ke
arahnya. Nenek dari Negeri Latanahsilam ini kebutkan lengan jubah sebelah kiri. Satu
gelombang angin luar biasa deras menangkis dua pukulan sakti Naga Murka Menjebol Bumi
yang dilepaskan Naga Kuning.

"Desss!"

"Desss!"

Naga Kuning keluarkan keluhan pendek. Meski dia berhasil meloloskan diri, namun tubuhnya
terpental ke atas setinggi dua tombak, dadanya mendenyut sakit, aliran darahnya kacau balau.
Tubuhnya kemudian terbanting ke tanah. Untuk sesaat lamanya anak ini terkapar tak bergerak.
Tubuh luluh lantak, pemandangan gelap berkunang!

Sebaliknya Luhjahilio terhenyak amblas di tanah sedalam satu jengkal. Mulut kembang kempis
susah bernafas. Dua tulang iganya patah. Darah meleleh dari mulutnya. Namun sungguh hebat
nenek muka setan ini. Sesaat setelah menggapai-gapai dia berhasil keluar dari dalam lobang.
Mata kanan guntal-gantil melotot. Begitu melihat Naga Kuning terkapar tak bergerak, niat
hendak membunuh kembali berkobar dan memberi kekuatan. Dua kali bergerak dia sudah
melompat ke hadapan Naga Kuning. Kaki kanannya menendang, yang di arah tepat ubun-ubun
batok kepala si bocah. Sekali ini Naga Kuning benar-benar akan menemui kematian dengan
kepala pecah. Kecuali kalau Naga Hantu Langit Ke Tujuh, ilmu kesaktian yang mendekam di
dadanya memunculkan diri menolongnya. Tetapi hal ini mungkin tidak akan terjadi karena saat
itu Naga Kuning sendiri berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan. Bahkan dia
tidak tahu bahaya maut yang datang mengancamnya.

Sesaat lagi kepala Naga Kuning akan remuk dihantam tendangan Luhjahilio, tiba-tiba satu
bayangan putih berkelebat.

"Luhjahilio! Jangan kau bunuh anak itu!"

"Setan keparat! Siapa berani campur urusanku!" teriak Luhjahilio marah. Tanpa perduli dia
teruskan tendangannya.

Saat itulah menerpa satu gelombang angin luar biasa kerasnya, membuat Luhjahilio terhuyung-
huyung beberapa langkah lalu jatuh terduduk di tanah. Si nenek meraung keras, bukan karena
kesakitan tapi karena marah besar.

"Makhluk kurang ajar! Siapa kau?!" bentak si nenek lalu terhuyung-huyung bangkit berdiri. Saat
itu Naga Kuning mulai siuman dan berusaha tegak. Masih kurang Jelas, dia melihat satu sosok
tinggi besar samar-samar berdiri di hadapannya.

**

Kapak Maut Naga Geni 2127

ORANG tinggi besar yang berdiri di hadapan Naga Kuning mengenakan jubah putih menjela
tanah. Di atas kepalanya, bertengger sebuah songkok atau tudung tinggi dilapisi kain hitam.
Bukan saja kepalanya yang tertutup kain hitam tapi sebagian wajahnya juga terlindung hingga
sulit untuk dikenali.

"Makhluk jahanam bersongkok hitam! Siapa kau?!" teriak Luhjahilio marah. Kali ini sambil
membentak dia melompat ke hadapan si tinggi besar. Tangan kanannya bergerak cepat luar
biasa menyambar tudung di kepala orang. Naga Kuning sudah memastikan, tudung dan kain
hitam yang menyembunyikan wajah orang berjubah putih pasti akan kena dijambret. Kepala
dan wajah orang itu segera tersingkap.

Namun tenang saja, si tinggi besar undurkan kaki kanan satu langkah. Sambil merunduk dan
jauhkan kepalanya ke belakang dia kebutkan lengan kanan jubah putihnya.

Luhjahilio bukan saja gagal menyingkap wajah orang, tapi dia sendiri terpental satu tombak dan
hampir terjengkang di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Saat itulah si nenek kembali
merasakan sakit dua tulang iganya yang patah akibat hantaman Naga Kuning. Luhjahilio tegak
terbungkuk sambil pegangi dada, memandang geram dengan matanya yang cuma satu ke arah
makhluk berjubah putih bertudung hitam.

"Luhjahilio…" si jubah putih menegur, "Siapa aku tidak penting. Lekas menyingkir dari sini.
Serahkan bocah ini padaku!"

Rahang Luhjahilio menggembung. Si nenek mana mau pergi dari situ. Namun dia sadar kalau
orang berjubah memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari dirinya. Maka sekedar mengalah
nenek ini melesat ke satu cabang pohon, mendekam di sana memperhatikan apa yang bakal
terjadi. Lebih dari itu dia ingin tahu ada urusan apa antara si jubah putih dengan Naga Kuning.
Lalu juga ingin tahu siapa adanya si tinggi besar bersongkok hitam ini.

Seperti si nenek Luhjahilio, Naga Kuning juga tidak mengetahui siapa adanya orang berjubah di
hadapannya saat itu. Tapi dia dapat mencium bahaya besar. Siapapun adanya adanya orang ini,
agaknya dia membekal dendam kesumat jauh lebih besar terhadap dirinya dibanding dengan
dendam kesumat yang bersarang dalam diri Luhjahilio.

"Anak setan!" si tinggi besar membentak. Suaranya membahana, menggetarkan tanah,


membuat Naga Kuning tersentak.

"Bapak setan!" Naga Kuning tiba-tiba membalas, menyahuti bentakan orang.

Si tinggi besar menggeram. Tangan kanannya digerakkan. Naga Kuning berseru kaget. Di atas
pohon Luhjahilio juga terkesiap. Tangan kanan yang bergerak itu mendadak berubah besar dan
panjang. Belum sempat bergerak tahu-tahu pinggang Naga Kuning sudah dicekal lalu
dicengkeram dengan keras. Si bocah keluarkan suara seperti mau muntah. Lidahnya terjulur. Isi
perutnya seolah mau terbongkar keluar. "Anak setan! Kau dengar baik-baik! Isi perutmu akan
kujebol keluar, lalu kusumpalkan ke mulutmu biar kau makan sendiri! Kecuali kau mau
menyelesaikan satu perkara!"

"Per… perkara apa…?" tanya Naga Kuning dengan muka pucat, lidah terjulur dan perut seperti
mau pecah. "A… aku tidak kenal siapa kau. Bagaimana mungkin ada perkara di antara kita?!"
Diam-diam Naga Kuning segera keluarkan "Ilmu Ikan Paus Putih" untuk melicinkan tubuh agar
bisa meloloskan diri.

Si tinggi besar bersongkok hitam kembali keluarkan suara menggeram. "Kau boleh keluarkan
semua ilmu kesaktian yang kau miliki! Ilmu pelicin tubuhmu tidak mempan terhadap cekalanku!
Kau boleh membuktikan!"

Si tinggi besar cengkeramkan lima jari tangan kanannya yang besar-besar. Naga Kuning
mengeluh kesakitan. Cairan bening bercampur darah keluar dari mulutnya. Dia telah
mengeluarkan ilmu kesaktian pelicin tubuh, tapi aneh kali ini dia tidak mampu melepaskan diri!
Tidak pikir lebih panjang anak ini hantamkan tangan kanannya, ke atas. Yang diarahnya adalah
dagu si tinggi besar. Yang dilancarkannya adalah pukulan "Naga Murka Merobek Langit."

Si tinggi besar tertawa mengekeh. Sekali tangan kirinya bergerak, lengan kanan Naga Kuning
sudah berada dalam cekalannya. Anak ini mengeluh kesakitan. Cekalan lawan seperti
cengkeraman besi yang hendak menghancurkan tulang-tulangnya. Tidak ada jalan lain, kalau
orang memang hendak membunuhnya, harapannya hanya tinggal pada kemunculan "Naga
Hantu Langit Ke Tujuh," makhluk jejadian berbentuk Naga Kuning yang menjadi pelindungnya
dan berada dalam tubuhnya. Tetapi sang makhluk tidak keluar karena saat itu orang berjubah
putih memang belum berniat untuk membunuhnya!

"Bapak setan! Katakan, perkara apa yang ada di antara kita.’!" Naga Kuning ajukan pertanyaan
lalu berteriak. Dia sudah tidak sanggup menahan rasa sakit cengkeraman lima jari raksasa yang
menghunjam di perutnya.

Wajah yang terlindung dibalik kain hitam menggembung merah. Sebelum menjawab
pertanyaan Naga Kuning, kembali dia cengkeramkan lima jari tangan kanannya ke pinggang si
anak hingga Naga Kuning menggeliat melintir dan menjerit kesakitan.

"Anak setan! Kau pasang telingamu baik-baik! Aku akan katakan perkara apa yang ada di antara
kita!" Si tinggi besar berjubah putih berucap. "Beberapa waktu lalu…."

Belum sempat orang ini menyelesaikan ucapannya tiba-tiba terdengar kuda meringkik. Di lain
kejap satu bayangan hitam melesat di udara lalu bukkk! Satu hantaman keras melanda
punggung orang berjubah putih. Bayangan hitam ini sesaat mengapung di udara lalu
berkelebat, berbalik ke tempat dari arah mana tadi dia melesat. Kembali terdengar suara kuda
meringkik.

Sosok si tinggi besar terlempar ke depan. Cekalannya pada pinggang Naga Kuning terlepas.
Begitu lolos si bocah segera mencari tempat aman sambil memasang mata. Dia melengak kaget
tapi juga gembira ketika melihat siapa yang barusan menolongnya. Orang itu duduk tak
bergerak di atas punggung seekor kuda putih. Dia bukan lain nenek muka setan berambut
kelabu berjubah hitam yang beberapa waktu lalu pernah ditemuinya di tepi Kali Lanang dan
ingin dicarinya. Naga Kuning coba tersenyum dan lambaikan tangan pada si nenek. Tapi si
nenek muka setan ini seolah tidak perduli. Pandangannya di arahkan pada orang tinggi besar
yang kepala dan mukanya tertutup tudung berkain hitam.

"Makhluk yang sembunyikan muka di balik tudung! Perkara apa yang membuat kau sampai
menyiksa anak itu?!" Si nenek muka setan bertanya.

Si tinggi besar menggeram. "Ada hubungan apa kau dengan anak setan itu hingga turun tangan
menyelamatkannya?!"
Nenek berjubah hitam mendengus. "Kau menyebut bocah itu anak setan. Kau boleh memanggil
aku dengan sebutan ibu setan! Hik… hik… hik!"

Orang bertudung hitam tertawa bergelak. "Rupanya kau ibu dari anak setan itu! Baik, jika
perkara memang tidak bisa diselesaikan, tidak ada salahnya aku menghabisi anak dan ibu setan
sekaligus! Kau ibunya setan biar aku singkirkan lebih dulu!"

Si nenek balas gelak orang dengan tawa panjang. "Puluhan tahun malang melintang di tanah
Jawa. Baru hari ini bertemu tikus comberan tak dikenal berujud makhluk berjubah putih
bertudung hitam sepertimu! Harap kau suka memperkenalkan diri siapa kau adanya sebelum
nyawamu kukirim ke akhirat!"

"Nenek muka setan! Kalau kau memang tahu seluk beluk akhirat, silahkan nanti tanya sendiri
pada penjaga akhirat siapa aku adanya! Sekarang biar tubuhmu kuremukkan lebih dulu!"

Habis berkata begitu si jubah putih gerakkan tangan kanannya. Seperti tadi tangan itu
mendadak sontak berubah besar dan panjang, melesat ke arah pinggang si nenek yang masih
berada di atas punggung kuda putih."Ilmu tipuan iblis tidak laku di hadapanku!" seru si nenek
muka setan. Lalu tangan kirinya dikibaskan ke samping.

"Bukkk!"

"Breett"

Dua tangan bentrokan keras di udara disertai suara robeknya pakaian.

Orang berjubah putih terpental lima langkah. Tubuh terbungkuk, muka di balik tudung hitam
mengerenyit menahan sakit dan mata membelalak ketika melihat bagaimana ujung lengan
jubahnya sebelah kanan robek besar akibat sambaran kuku-kuku jari nenek muka setan. Dua
robekan kecil jubah putihnya masih menyangkut di ujung-ujung kuku tangan kanan nenek muka
setan.

Dari balik robekan ujung lengan yang menyingkapkan tangannya dia melihat bagaimana daging
dan kulit lengannya menggembung bengkak berwarna hitam kebiruan.

Di atas pohon Luhjahilio yang menyaksikan kejadian itu sempat terkesiap. Dia tidak menyangka
kalau nenek muka setan di bawah sana memiliki tenaga dalam begitu tinggi. Kalau si tudung
hitam saja bisa dibuatnya mental berarti dirinya tidak ada arti apa-apa jika sampai berhadapan
dengan nenek itu. Niatnya untuk mengetahui perkara yang menyangkut si tudung hitam dan
anak bernama Naga Kuning serta keinginannya mengetahui siapa adanya orang tinggi besar
bertudung hitam itu terpaksa ditunda dulu. Yang penting lebih baik dia cari selamat. Karenanya
sebelum terjadi apaapa Luhjahilio segera saja melompat dari cabang pohon tempatnya
mendekam ke cabang pohon di sampingnya lalu lenyap dalam kegelapan malam. Si nenek
berjubah hitam walau sempat terjajar dua langkah namun masih bisa keluarkan tawa
mengekeh.

"Makhluk bersongkok hitam! Sayang sekali, aku tidak berkesempatan menemui malaikat di
akhirat untuk menanyakan siapa dirimu adanya. Biar kau saja yang mewakili aku, berangkat
duluan ke akhirat!"

Habis berkata begitu nenek muka setan yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas
punggung kuda putihnya jentikkan lima jari tangannya. Dari ujung-ujung kukunya yang panjang
runcing memancar lima larik sinar hitam menggidikkan.

"Setan tua! Jangan sonbong! Siapa takutkan dirimu!" teriak orang bersongkok hitam. Dia cepat
gerakkan tangan kanan. Dari telapak tangan kanannya melesat keluar satu cahaya, bergulung
besar lalu memecah menjadi tujuh. Dua menyambar ke arah kepala si nenek, lima menghantam
ke jurusan badan.

"Hebat!" teriak nenek muka setan. Seolah memuji tapi sebenarnya tidak karena saat itu juga dia
melompat ke atas, berdiri di punggung kuda dan putar pergelangan tangan kanannya. Lima
sinar hitam yang menyembur dari kuku-kuku jarinya berputar demikian rupa, langsung
menyambar tujuh larik sinar putih serangan lawan.

"Bummm! Bummm! Bummmm!"

Tiga letusan keras menggelegar, menggoncang udara malam. Orang tinggi besar keluarkan
seruan keras, cepat-cepat melompat mundur sambil dua tangannya dipergunakan untuk
memadamkan api yang berkobar membakar jubah putihnya di tiga bagian!

Nenek muka setan walau mendelik tapi tidak tampakkan wajah kaget apalagi takut ketika
melihat bagaimana ujung lengan jubah sebelah kiri telah berubah menjadi bubuk hitam alias
hangus!

"Nenek celaka ini! Aku tidak bisa menandinginya! Lebih baik mengurut dada bersabar diri…"
membatin orang tinggi besar. Dia lalu berpaling pada Naga Kuning. "Anak Setan! Hari ini kau
selamat karena ada ibu setan menolongmu! Tapi kau tak akan kubiarkan lama! Aku akan
muncul mencarimu kembali!"

Habis berkata begitu orang ini serta merta berkelebat hendak tinggalkan tempat itu. Namun
nenek berkuda putih cepat menghadang. Naga Kuning tak tinggal diam. Anak ini segera pula
melompat ke hadapan si tinggi besar. Melihat gelagat tidak baik orang ini cepat mengambil
sebuah benda yang disembunyikan di balik songkok hitamnya lalu dibantingkan ke tanah.
Terdengar satu letusan keras menusuk telinga disusul menggebubunya asap hitam pekat
menutupi pemandangan.
"Setan alas! Kau mau lari kemana!" terdengar bentakan nenek muka setan. Dia menghantam
dengan tangan kanan. Tapi terlambat.

Ketika asap hitam surut dan lenyap dan udara terang kembali. Naga Kuning terkejut. Bukan saja
si tinggi besar berjubah putih tak ada lagi di tempat itu, tetapi si nenek muka setan juga ikut
lenyap bersama kuda putihnya!

"Nenek muka setan itu, dia barusan menolongku.

Lantas mengapa melenyapkan diri begitu saja? Dia seperti tidak mengharapkan ucapan terima
kasih. Tapi apa itu sebab sebenarnya dia menghilang? Mungkin dia tidak ingin menemuiku."
Naga Kuning merenung cukup lama. Namun tetap saja dia tidak bisa memecahkan tekateki
keanehan nenek yang telah menolongnya. "Aku harus mencarinya. Untuk sementara aku
terpaksa menunda mencari Wiro dan Setan Ngompol."

**

Kapak Maut Naga Geni 2128

BUKIT kecil itu terletak tak jauh dari Karangmojo. Di bawah siraman sinar rembulan empat belas
hari puncak bukit yang ditumbuhi pohon teh tampak indah. Di sebuah gubuk berbentuk
dangau, dua orang asyik bercakapcakap.

"Wiro, kalau tidak mendengar kau sendiri yang bercerita, rasanya sulit dipercaya bagaimana
kau dan temantemanmu terpesat ke negeri seribu dua ratus tahun silam."

"Memang begitu adanya. Nyata tapi sukar dipercaya. Itu sebabnya, ketika Setan Ngompol
ditangkap, dia tidak mungkin menceritakan bahwa dirinya terlempar dari langit, jatuh masuk ke
dalam sumur sumber air mandi raja. Siapa yang mau percaya? Masih untung kuasa Tuhan bisa
mengembalikan kami ke tanah Jawa ini. Kalau tidak…." Wiro garuk-garuk kepala. "Aku sudah
bertemu dengan Setan Ngompol. Bagaimana kejadiannya dengan anak konyol bernama Naga
Kuning belum kuketahui. Aku perlu menyelidik, apakah dia ikut terlempar kembali ke tanah
Jawa. Kalau sampai tertinggal di Latanah silam, kasihan anak itu."

"Apakah kau tidak berniat mencari beberapa orang yang telah lama berpisah denganmu?"
Bunga bertanya.

"Siapa?"

"Ada empat orang. Cantik-cantik…."


Wiro tertawa karena sudah dapat menduga kemana maksud pertanyaan Bunga. Apalagi
sebelumnya gadis alam roh itu telah menceritakan bagaimana Anggini, Ratu Duyung, Puti
Andini, dan Bidadari Angin Timur berusaha mencarinya, sampai-sampai menemukan dua
makam setan. Semua gara-gara ada berita bahwa dirinya telah meninggal dunia setahun silam.
Kemungkinan di kubur di salah satu dari tiga tempat yakni Pekuburan Banyubiru, dekat Candi
Kopeng dan terakhir Puncak Gunung Gede. Empat gadis cantik telah menyelidik di dua tempat
pertama, yang mereka temukan ternyata adalah makammakam setan. Jenazah atau tulang
belulang Wiro tidak ditemukan. Tentu saja karena sampai saat itu dia masih hidup, masih
bernafas.

"Apa yang kau pikirkan Wiro?" bertanya Bunga.

"Empat gadis yang kau sebutkan tadi…" jawab Pendekar 212 Wiro Sableng. "Mereka sahabat-
sahabat baikku." kata Wiro polos. "Aku banyak berhutang budi bahkan nyawa terhadap
mereka. Seperti diriku, mereka adalah manusia-manusia makhluk Tuhan yang tidak lepas dari
berbagai perasaan. Mendengar ceritamu, aku bertanyatanya siapa adanya orang yang
mempermainkan mereka dengan membuat makam-makam setan itu…."

Bunga tersenyum. "Kau pandai mengalihkan pembicaraan."

Wiro pegang lengan gadis itu. "Terus terang, aku khawatir akan keselamatan mereka. Dua kali
mereka dijebak dengan makam setan. Pada makam ke tiga jangan-jangan muncul bahaya tidak
terduga…."

"Kau mungkin bisa menduga siapa biang racun yang melakukan semua itu?" tanya Bunga.

"Aku pasti akan menyelidik. Saat ini memang ada beberapa dugaan. Kau pernah mendengar
seorang pemuda bernama Bagus Srubud?"

Bunga menggeleng. "Siapa dia?"

"Pemuda keji yang memperdaya Kinasih, istri mendiang juru ukir Keraton. Mungkin nama itu
palsu belaka…." Wiro menggaruk kepala lalu melanjutkan. "Kau tahu, di dunia ini mungkin aku
satu-satunya manusia yang tidak disukai oleh banyak orang. Aku banyak musuh."

"Kau bicara seolah menyesali diri, Wiro. Padahal kenyataan yang kau hadapi adalah tantangan
rimba persilatan, yang harus dihadapi oleh setiap pendekar pembela kebenaran."

Wiro memandang ke langit, menatap ke arah rembulan bundar bercahaya terang sejuk. "Kalau
saja orang tuaku tidak menemui ajal di tangan Ranaweleng, aku tidak akan pernah diambil
murid oleh Eyang Sinto Gendeng, aku tidak akan menjadi pendekar geblek macam ini…."
"Jangan bicara seperti itu Wiro. Segala sesuatu dalam kehidupan kita, sejak kita dilahirkan,
malah sejak kita masih berbentuk janin, keadaan dan takdir diri kita telah ditentukan oleh Gusti
Allah. Mengumpat diri sendiri sama saja dengan mengumpat semua kehendak Allah…."

"Aku paling takut pada Tuhan," kata Wiro. "Tapi mengapa aku kebagian segala macam hal yang
sulit-sulit, penuh tantangan, darah dan nyawa…."

Bunga usap kepala Pendekar 212 lalu berkata. "Mungkin Tuhan baru memberi sedikit cobaan
dan ujian padamu? Mengapa kau berucap seperti orang berputus asa? Tantangan hidup
seharusnya membuat seorang pendekar menjadi lebih tabah, lebih kokoh lahir dan batin. Lebih
kokoh dari batu karang ditepi pantai yang setiap hari didera angin dan ombak! Bahkan ketika
topan datang melanda dia tetap berdiri tegar!"

Mendengar kata-kata Bunga itu Wiro merangkul si gadis erat-erat dan mencium kening serta
pipinya berulang kali. "Terima kasih Bunga, terima kasih…."

Bunga balas memeluk. Wajahnya dibenamkan ke dada sang pendekar, menyembunyikan


sepasang matanya yang berkaca-kaca. Wiro dapat merasakan kehangatan air mata si gadis.
"Wiro, aku tidak malu mengatakan, sebenarnya aku ingin selalu dekat dengan dirimu. Namun
keadaan diriku tidak memungkinkan hal itu."

"Aku gembira mendengar ucapanmu itu Bunga. Walau kita tidak bisa saling berdekatan, tapi
kini aku tahu, diriku ternyata selalu ada dalam hati sanubarimu.

Sekali lagi aku berterima kasih…." Wiro mencium rambut harum sang dara lalu mengangkat
wajahnya, mengecup ke dua matanya yang basah.

Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berkata.

"Rembulan purnama di malam indah. Dua insan saling bermesra. Cuma sayang yang
perempuan hanyalah setan kesasar dari alam roh!"

"Bagaimana kalau pemudanya kita rubah jadi roh pula agar keduanya bisa bermesraan lebih
asyik?!" Satu suara lain menimpali ucapan tadi.

Tempat itu kemudian dipenuhi oleh tawa bergelak.

Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget. Lepaskan pelukannya di tubuh Bunga lalu bangkit
berdiri, tegak di lantai dangau. Bunga tak. Kalah kejutnya. Namun gadis ini tampak tenang saja.
Sepasang matanya yang tadi basah lembut kini memandang tak berkesip, dingin beku seperti
es!

Di sekitar dangau, berdiri empat orang bertampang seram mengerikan. Orang pertama
mengenakan pakaian hitam. Di kepalanya bertengger sebuah blangkon yang juga berwarna
hitam. Mata kirinya ditutup dengan selapis kulit hitam bertali yang diikat ke bagian belakang
kepala. Sepintas lalu, orang ini kelihatan seperti bajak laut. Dia bukan lain adalah Iblis Batu
Hitam, yang dianggap sebagai pimpinan tokoh silat istana. Namun sejak senjata andalannya
berupa batu sakti dihancurkan dan mata kirinya dibuat buta dengan tancapan bunga kenanga
oleh Bunga, Iblis Batu Hitam kehilangan pamor. Menyadari keadaan dirinya yang kehilangan
kesaktian, ditambah dendam kesumat pada Bunga dan Wiro, malam setelah dirinya
dipecundangi Iblis Batu Hitam menemui gurunya untuk meminta bantuan membalaskan
dendam kesumat sakit hati.

Orang kedua, tegak disamping Iblis Batu Hitam adalah Momok Dempet Tunggul Gono.
Kepalanya dibalut menutupi telinga kiri yang cidera berat akibat tancapan bunga kenaga yang
dilemparkan Bunga.

"Heran, dua manusia jahat ini, kalau tidak ada yang menolong bagaimana bisa sembuh secepat
ini," bisik Wiro pada Bunga.

Si gadis tidak menyahuti, melainkan memandang pada dua orang yang tegak di belakang
Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam. Dia segera memaklumi. Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam
boleh saja dianggap enteng, tapi dua lainnya di sebelah belakang tidak bisa dibuat main. Yang
pertama dari dua orang ini, kakek berbadan tinggi kerempeng, berkulit hitam laksana kayu
gosong dimakan api. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat terbuat dari tulang
putih, dipenuhi lobang-lobang kecil. Dua pipinya sangat cekung hingga sepasang matanya
tampak sangat angker seperti melesak ke dalam. Rambut, kumis serta janggutnya putih,
punggungnya agak bungkuk. Kakek ini jarang muncul dalam rimba persilatan, karenanya walau
ilmunya tinggi dirinya tidak begitu dikenal. Dia bernama Ki Sepuh Item. berjuluk Si Tongkat
Akhirat. Dan dia bukan lain guru Iblis Batu Hitam!

Orang kedua, inilah sosok yang paling angker diantara empat orang yang muncul di tempat itu.
Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam komprang. Tubuhnya yang telanjang penuh
ditumbuhi bulu, mulai dari tangan sampai ke dada, terus ke pangkal leher. Kulit muka berwarna
kebiru-biruan. Di sela bibirnya kiri kanan menyembul taring hingga tampangnya tak beda
dengan raksasa. Sepasang matanya merah dihias empat buah alis merah, satu di bawah, satu di
atas pada masing-masing mata. Pada pinggang kirinya tergantung sebuah guci terbuat dari
perunggu berkilat. Dan yang hebatnya, kepalanya, mulai dari kening ke atas berbentuk empat
persegi, kelabu kehitaman dan sangat keras. Di atas kepala ini terletak sebuah pendupa batu
yang mengepulkan asap dan menebar bau kemenyan. Ketika melihat guci perunggu itu, wajah
Bunga si gadis alam roh yang memang sudah pucat pasi kini tambah memutih. Dadanya
berdebar. Dia mengenali siapa adanya makhluk satu ini.

"Iblis Kepala Batu Alis Empat…" membatin Bunga. "Aku tidak takutkan dirinya. Tapi jika aku
gagal berarti aku tidak dapat menyelamatkan orang yang aku cintai. Jika itu sampai terjadi,
paling tidak yang tiga orang itu harus dapat aku habisi!"
"Wiro," bisik Bunga. "Kau serahkan yang tiga orang itu padaku. Orang keempat, yang
menjunjung pendupaan memiliki ilmu gaib yang sulit dijajagi kehebatannya. Jika aku tidak bisa
menghadapinya, aku akan memberi isyarat dengan mengangkat tangan kanan. Begitu kau
melihat isyarat itu, larilah. Selamatkan dirimu. Jangan pikirkan hal-hal lain, termasuk diriku…."

"Tidak Bunga, apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini!"
jawab Wiro.

"Jangan Wiro, kau harus dengar apa yang aku katakan. Terlalu berbahaya…. Ingat, aku makhluk
alam roh. Aku tidak mengenal kematian di alamku. Tapi bagimu lain…."

"Memangnya bangsat penjunjung dupa itu siapa?" murid Sinto Gendeng bertanya.

"Dia punya beberapa julukan. Di antaranya Iblis Kepala Batu Alis Empat, Iblis Kepala Batu
Pemasung Roh. Dia punya kesaktian aneh, bisa menangkap makhluk halus dan jin. Termasuk
makhluk alam gaib seperti diriku…."

"Kalau begitu biar kugempur dia sekarang juga!" kata Wiro.

"Jangan. Dia dengan mudah bisa melumpuhkanmu," jawab Bunga. Lalu gadis alam roh ini
melompat dari atas dangau, turun ke tanah. Di langit, sekelompok awan hitam bergerak
menutupi rembulan hingga keadaan di puncak bukit menjadi gelap temaram. Wiro tak tinggal
diam. Dia segera pula berkelebat turun. Tangan kiri bersiaga dengan Pukulan Sinar Matahari,
tangan kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 sedang tumit kanan setiap saat bisa
dihunjamkan ke tanah mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya
dari Hantu Santet Laknat alias Luhrembulan di Negeri Latanahsilam. (Baca riwayat petualangan
Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 Episode mulai dari Bola Bola Iblis sampai
Istana Kebahagiaan.)

Kapak Maut Naga Geni 2129

SEPASANG muda-mudi! Mengapa tidak terus bermesraan. Padahal kami ingin menyaksikan
kelanjut-an permainan asmara kalian! Ha… ha… ha!" Yang berseru dan kemudian tertawa
bergelak adalah Iblis Batu Hitam.

Di sebelahnya Momok Dempet Tunggul Gono menyambungi. "Tampang kalian berdua kulihat
sangat pucat! Jangan kawatir! Kami datang tidak untuk membunuh kalian! Nyawa kalian tidak
ada artinya. Yang kami inginkan ialah bagian-bagian tubuh kalian, pengganti bagian tubuh kami
yang telah kalian rusak!"

Bunga mendengus dan maju satu langkah. "Manusiamanusia tidak tahu diri! Pelajaran yang aku
berikan rupanya tidak bisa membuat kalian sadar! Minta ditambah?!"
"Iblis Batu Hitam!" Wiro berkata. "Kurasa kau tidak pantas lagi menyandang gelar itu.
"Bagaimana kalau kau ganti saja dengan gelar lain. Misal Iblis Mata Picak?!" Wiro tertawa gelak-
gelak lalu menoleh pada Tunggul Gono. "Makhluk kaki kuda! Ujudmu kulihat tambah tidak
karuan! Tangan kiri buntung, disambung dengan besi.Kuping kananmu pasti sudah budek! Kuda
benaran masih ada gunanya dari pada makhluk tak karuan macammu ini! Ha… ha… ha!"

Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono segera hendak menerjang Wiro karena tidak dapat menahan
geram. Tapi Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat cepat memberi isyarat lalu maju satu langkah
ke hadapan Wiro. Dengan matanya yang cekung melesak ke dalam dia perhatikan murid Sinto
Gendeng mulai dari kepala sampai ke kaki.

"Bangkai gosong!" ucap Wiro seenaknya. "Kau rupanya jarang melihat manusia hingga
memandangiku seperti aneh. Atau matamu sudah terbalik, mengira aku ini perempuan? Ha…
ha… ha!"

Ki Sepuh Item mendongak ke langit lalu ikutan tertawa. "Orang yang mau mampus biasanya
membaca segala macam doa, minta ampun atas segala dosa, bertobat sebelum ajal. Tapi kau
aneh. Malah meracau tidak karuan!"

"Kakek gosong! Aku tidak tahu siapa kau adanya. Rupanya kau setan puntung neraka yang
kesasar muncul hendak menjemput diriku. Apakah kau datang membawa kuda sembrani, atau
aku harus membonceng di punggungmu? Kulihat tubuhmu sudah bungkuk keropos, apa masih
sanggup mendukung aku? Bagaimana kalau temanku gadis cantik ini ikut-ikutan minta
didukung?!"

Rahang Ki Sepuh Item menggembung. Dari ubunubun kepalanya mengepul asap hitam
pertanda orang ini marah besar mendengar ejekan Wiro tadi.

"Pemuda kurang ajar! Berani kau menghina guruku Si Tongkat Akhirat!" teriak Iblis Batu Hitam
marah sekali.

"Walah! Kakek gosong berjuluk Si Tongkat Akhirat ini ternyata gurumu! Astaga, harap maafkan
diriku. Aku melihat dia memang membawa tongkat. Berarti kini aku tidak meragukan
kemampuannya bisa mendukungku! Kakek gosong, apakah kau sudah siap menggendongku ke
neraka?"

"Iblis Batu Hitam! Tunggul Gono! Aku tidak mau menghabiskan waktu mengotori tangan!
Bunuh pemuda rambut gondrong ini!" teriak Ki Sepuh Item.

Mendengar perintah itu Iblis Batu Hitam dan Momok Dempet Tunggul Gono segera melompat
menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng.

Seperti diketahui Iblis Batu Hitam menjadi ketua para tokoh silat istana karena dia memiliki
batu hitam sakti yang menjadi senjata andalannya. Setelah batu itu dihancurkan Bunga, oleh
gurunya dia dibekali sebilah golok anelt. Golok ini memiliki gagang di sebelah tengah, bagian
yang tajam dan runcing ada dua yaitu di kiri kanan gagang. Melihat kepada bentuk dan cara
memainkannya golok ini tidak beda dengan sebuah toya pendek. Sekali golok diputar maka
bertaburlah sinar hitam berbentuk lingkaran, menebar hawa dingin menggidikkan.

Momok Dempet Tunggul Gono melompat sambil tusukkan tangan kirinya yang disambung
dengan selongsong besi dan memiliki ujung lancip berkeluk. Yang diarah adalah leher lawan.
Kehebatan selongsong besi ini, jika lawan mampu mengelak maka dia akan menarik tangannya.
Ujung besi yang berbentuk lancip berkeluk dengan sendirinya akan mengait lawan dari
belakang.

Murid Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri, siap menyambut serangan dua lawan dengan
pukulan Sinar Matahari. Sementara tangan kanan bergerak untuk mencabut Kapak Maut Naga
Geni 212. Tapi Wiro jadi tersurut mundur dua langkah ketika tiba-tiba dua sinar merah
berkiblat, menyambar dari kiri ke kanan, menyapu ke arah dua orang yang mengirimkan
serangan.

Iblis Batu Hitam berseru keras, melompat mundur dengan muka pucat sambil kibas-kibaskan
tangan kanan. Golok bermata dua terpaksa dilepaskannya, dibanting demikian rupa dan
menancap di tanah. Dua mata golok saat itu telah berubah menjadi besi panas membara akibat
hantaman sinar merah. Telapak tangannya sendiri kelihatan merah melepuh!

Dibanding dengan Tunggul Gono, Iblis Batu Hitam masih beruntung karena dia bisa membuang
goloknya yang berubah menjadi besi menyala. Tunggul Gono menjerit kalang kabut. Selongsong
besi yang menjadi sambungan tangan kirinya juga telah berubah menjadi besi membara.
Karena besi itu terkait kencang ke lengan sebelah atas maka dia tidak bisa melepaskannya. Ki
Sepuh Item cepat memukul besi panas itu dengan tongkat tulangnya sehingga lepas dari
sambungannya.

"Aku telah memberi pelajaran! Apa kalian masih keras kepala? Lekas menyingkir dari tempat
ini! Bawa dua orang itu!" Yang berucap adalah Bunga.

"Gadis makhluk alam roh!" yang berkata dengan suara lantang adalah Iblis Kepala Batu Alis
Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. "Mentang-mentang kau bisa mempecundangi
kedua orang itu, jangan bersikap sombong pongah. Ilmu kesaktian Roh Mendera Bumi yang tadi
kau perlihatkan tidak ada arti apa-apa bagiku! Kau sudah terlalu lama gentayangan di alam yang
bukan alammu! Tiba saatnya aku memasungmu. Sampai kiamat kau tak bakal bisa kemana-
mana lagi!"

Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat kedipkan matanya tiga kali berturut-turut.
Pendupaan menyala di atas kepalanya yang berbentuk batu segi empat mengobarkan api dan
mengepulkan asap sebanyak tiga kali.

"Apa yang hendak dilakukan bangsat kepala batu ini," pikir Wiro.
Bunga memperhatikan setiap gerak dan perbuatan Iblis Kepala Batu Alis Empat dengan dada
berdebar. Ketika dilihatnya orang itu mengambil guci yang tergantung di pinggangnya, gadis
dari alam roh ini segera maklum apa yang hendak dilakukan orang. Dengan cepat dia hentakkan
kaki kanan ke tanah. Di tanah muncul cahaya merah, menjalar naik memasuki tubuhnya, terus
ke kepala. Begitu cahaya merah sampai di mata, dari sepasang mata si gadis berkiblat dua larik
sinar merah, menggunting ke arah Iblis Kepala Batu Alis Empat. Inilah ilmu kesaktian yang
disebut Roh Mendera Bumi, yang tadi membuat musnah serangan Iblis Batu Hitam dan Tunggul
Gono.

Iblis Kepala Batu dengan tenang angkat tangan kirinya sementara tangan kanan memegang guci
perunggu, perlahan-lahan diletakkan di atas pendupaan yang menyala.

Tangan kiri dan sekujur tubuh Iblis Kepala Batu bergetar keras ketika dua larik sinar merah
sepanas bara api melabrak tubuhnya. Tapi ternyata dua sinar maut itu tidak sampai menyentuh
dirinya, tertahan satu jengkal. Untuk menahan serangan gadis alam roh itu. Iblis Kepala Batu
mengerahkan seluruh tenaga luar dalam, menguras seluruh hawa sakti yang dimilikinya.
Tubuhnya bergetar hebat, mandi keringat. Sepasang matanya yang merah seperti dikobari api.
Taring yang mencuat dari sudut-sudut bibirnya kelihatan bertambah panjang. Tiba-tiba Iblis
Kepala Batu dorongkan tangan kirinya sambil meniup ke depan.

"Bummm!"

Satu ledakan dahsyat menggema. Puncak bukit bergoyang. Pohon-pohon teh rambas. Dangau
di belakang sana roboh. Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Iblis
Kepala Batu tak kuasa menahan getaran yang mendera sekujur tubuhnya, perlahan-lahan
jatuhkan diri, berlutut di tanah, mulut komat-kamit.

Bunga kelihatan masih mampu berdiri walau sekujur tubuhnya juga dilanda getaran dahsyat.
Wajahnya yang cantik tambah pucat. Mendadak gadis alam roh ini merasa tubuhnya seperti
leleh. Memandang ke depan, dari kiri kanan sosok Iblis Kepala Batu muncul dua makhluk
raksasa melayang, mengenakan cawat, berambut panjang yang dijalin sampai ke punggung.
Bunga bisa melihat dua makhluk ini, tetapi Wiro tidak.

"Dua jin dari alam roh," desis Bunga. "Celaka! Aku tidak mungkin melawannya." Bunga
berpaling ke arah Wiro. Ketika Wiro memandang padanya gadis ini cepat angkat tangan kanan
memberi tanda. "Wiro, lekas tinggalkan tempat ini!" Bunga berteriak.

Wiro tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia kumpulkan tenaga lalu melompat bangkit. Kapak
Maut Naga Geni 212 sudah tergenggam di tangan.

"Wiro, lekas lari! Tinggalkan tempat ini! Cepat!" Kembali Bunga berteriak.
Tiba-tiba Wiro mendengar suara menggemuruh. Suara teriakan si gadis lenyap ditelan gemuruh
itu. Lalu Wiro melihat Bunga meronta-ronta kian kemari seperti ada yang memegangi dan
menyeretnya. Sesaat kemudian sosok gadis ini naik ke udara dan anehnya, tubuhnya berubah
menjadi asap panjang, mengecil, melayang meliuk-liuk masuk ke dalam mulut guci tembaga
kuning di atas kepala Iblis Kepala Batu.

"Astaga! Apa yang terjadi dengan gadis itu?" ujar murid Sinto Gendeng dengan mata terbelalak.

"Bunga!" Wiro berusaha mengejar sambil kiblatkan kapak saktinya. Cahaya putih menyilaukan
dan panas disertai gaung seperti ribuan tawon mengamuk memenuhi udara.

Iblis Kepala Batu angkat tangan kirinya. Kembali terdengar suara,menggemuruh. Wiro
merasakan ada dua sambaran angin di kiri kanannya seolah ada dua makhluk besar tak
kelihatan mendatangi. Lalu dua tangan tak kelihatan mendorongnya hingga dia terbanting jatuh
punggung di tanah. Kapak sakti terlepas jatuh dari tangannya. Ketika dia berusaha bangkit
sambil berusaha menghantam dengan dua pukulan tangan kosong, satu kaki yang tidak
kelihatan menginjak dadanya, membuat Wiro tidak berdaya. Tak mampu menggerakkan tangan
bahkan nafasnyapun seperti amblas!

Iblis Kepala Batu Alis Empat tertawa mengekeh.

"Budak gondrong!" katanya pada Wiro. "Kalau aku ingin membunuhmu gampang saja.
Semudah meniup debu di tangan. Tapi biar nyawamu kuserahkan pada sahabatku Ki Sepuh
Item. Ha… ha… ha! Selamat tinggal Pendekar 212. Apa yang kucari sudah kudapat. Ha… ha…
ha!"

Iblis Kepala Batu buka mulutnya. Dari dalam mulut dia muntahkan satu benda berwarna hitam.
Benda ini kemudian disumpalkannya ke mulut guci tembaga. Dia memandang sekali lagi ke arah
Wiro lalu didahului suara tawa panjang sosoknya berkelebat lenyap dari pemandangan.’

Saat itu juga injakan berat di dada Pendekar 212 lenyap. Tanpa perdulikan kapak yang masih
tergeletak di tanah dengan cepat Wiro melompat, mengejar ke arah berkelebatnya Iblis Kepala
Batu Alis Empat.

"Iblis jahanam!" Wiro berteriak. Dia lepaskan Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung dengan
tangan kiri sementara tangan kanan berbarengan didorong melancarkan pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang yakni pukulan ke dua dari enam pukulan sakti yang dipelajarinya dari
Kitab Putih Wasiat Dewa. Pohonpohon teh di puncak bukit hancur berantakan, mental
bertaburan di udara. Sayangnya Iblis Kepala Batu Alis Empat telah lenyap, hanya suara tawanya
yang masih tertinggal mengumandang.

"Celaka! Bunga… gadis itu lenyap masuk ke dalam guci tembaga! Bagaimana aku harus
menolongnya!" Wiro kepalkan tangan, cemas sekali dan juga geram marah luar biasa.
Kemarahannya kini ditujukan pada Iblis Batu Hitam, Tunggul Gono dan Ki Sepuh Item alias Si
Tongkat Akhirat. Lebih-lebih ketika dilihatnya Ki Sepuh Hitam si kakek kulit gosong tengah
membungkuk hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di tanah.
Didahului bentakan keras murid Sinto Gendeng melompat ke arah Ki Sepuh Item.

Kaki kanannya bergerak menderu laksana topan.

Sementara itu, tidak diketahui oleh ke empat orang yang berada di bukit itu, di atas punggung
seekor kuda coklat yang hidungnya berwarna putih, di balik sebuah pohon besar, satu-satunya
pohon di puncak bukit teh itu, seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam menyaksikan
semua yang terjadi tadi dengan mata hampir tak pernah berkedip. Pemuda ini bukan lain
adalah Damar Wulung yang terakhir kali beberapa waktu lalu muncul di tempat kediaman
Tumenggung Cokro Pambudi, membawa dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang. emas
milik Kerajaan serta sebilah keris yang semula diduga adalah Keris Kiai Naga Kopek pusaka
Keraton ternyata palsu. (Baca Episode sebelumnya berjudul "Roh Dalam Keraton")

Dari balik pohon besar, Damar Wulung telah menyaksikan apa yang terjadi di puncak bukit teh
itu. Sambil menyeringai dan usap-usap dagunya dia berkata dalam hati.

"Iblis Kepala Batu Alis Empat memang hebat. Tapi kehebatannya mengandalkan ilmu gaib dan
kekuatan jin. Pendekar 212 Wiro Sableng, pendekar satu ini memang berbahaya. Tapi juga
gagah. Tidak salah kalau aku menduga Dewi memendam rasa gairah terhadapnya. Ketika dia
tidak merasa mendapat tanggapan, rasa suka berubah menjadi dendam. Hemm… ini kali
pertama aku melihatnya. Jadi ini manusianya yang menurut Dewi harus aku tangkap hidup-
hidup." Damar Wulung tersenyum. "Pendekar 212 Wiro Sableng bisa menunggu. Dewi boleh
bersabar. Aku harus mengatur siasat, biar bisa berlama-lama menikmati kesenangan
dengannya. Semakin lama aku bisa bersiasat, semakin banyak kejadian besar di rimba
persilatan tanah Jawa ini. Aku bisa menjadi penonton yang baik, sambil mencari keuntungan."
Seringai menyungging lagi di mulut Damar Wulung. Dengan tenang pemuda itu duduk di atas
kudanya, memperhatikan dari balik pohon apa yang selanjutnya akan terjadi antara Wiro
dengan tiga orang yang masih ada di puncak bukit teh setelah Iblis Kepala Batu Alis Empat
meninggalkan tempat itu.

Kapak Maut Naga Geni 21210

DI DALAM sebuah pondok kayu, tak berapa jauh dari Kali Lanang, malam itu nenek berwajah
setan tidak dapat memicingkan mata. Banyak persoalan membuncah benak dan hatinya.
Namun yang paling membuatnya gelisah dan tak habis-habis merenung adalah pertemuan
dengan anak berambut jabrik bernama Naga Kuning itu. Dua kali sudah dia bertemu. Malah
pada kali terakhir dia sempat menyelamatkan nyawa anak itu. Dia sendiri merasa heran, begitu
ingin dia melihat si bocah tetapi mengapa setelah menolong dia melarikan diri?

"Hatiku masih diselimuti kekecewaan di masa lalu. Lagi pula aku masih belum yakin. Kalau-kalau
dia bukan orangnya, tak jadi apa. Tapi kalau memang dia, bagaimana aku…." Si nenek geleng-
geleng kepala, menarik nafas dalam beberapa kali. "Ah, mengapa aku terlalu berkhawatir.
Dengan keadaanku seperti ini, dia tak mungkin mengenali diriku. Tetapi…." Si nenek terdiam
sejenak. Dadanya terasa berdebar. "Waktu aku samadi di tepi Kali Lanang malam itu, dia
sempat melihat keadaan tubuhku. Jika dia berusaha menyelidik keanehan itu, aku…."

Si nenek duduk di ujung ranjang, perhatikan sepuluh jarinya yang diletakkan di atas pangkuan.
Lalu kembali gelengkan kepala. "Anak itu…. Kalau saja dia tidak jatuh di pangkuanku ketika aku
hendak merampungkan ilmu kesaktian i,tu, pasti saat ini aku sudah menguasai Ilmu Kuku Api.
Nasibku sial…."Si nenek menghela nafas panjang. "Saat ini agaknya hari hampir pagi. Aku masih
belum bisa memejamkam mata. Ada apa dengan diriku."

Tiba-tiba si nenek menahan nafas. Dua matanya memandang ke atas atap pondok yang terbuat
dari daun rumbia kering. Telinganya dipasang.

"Tak mungkin aku salah dengar. Itu bukan suara angin. Ada orang di atas atap. Satu
orang….Tidak, mungkin dua." Ingat kejadian malam kemarin yaitu perkelahiannya dengan orang
bertudung hitam, mengira orang datang hendak membalas dendam, si nenek berkelebat ke
pintu. Sekali tendang saja pintu pondok jebol. Di iain kejap nenek bermuka setan itu sudah
berada di halaman depan pondok. Memandang ke atas dia .melihat seseorang berdiri di atas
atap. Dari bentuk tubuh serta pakaian, apalagi orang itu tidak bertudung, si nenek segera
maklum, orang di atas atap bukansi tinggi besar berjubah putih yang disangkanya.

"Siapapun manusia itu dia pasti bermaksud tidak baik! Malam-malam buta mendekam di atas
atap rumah orang!" membatin si nenek. Lalu dia segera hendak melompat ke atas wuwungan
sambil siapkan pukulan tangan kosong di tangan kanan, tapi mendadak sudut matanya melihat
bayangan sesuatu di sebelah kiri. Cepat dia berpaling. Kejut amat sangat membuatnya tersurut
ketika matanya membentur satu sosok putih samar-samar di dalam kabut. Si nenek serta merta
jatuhkan diri berlutut, membungkuk dalam. Suaranya tercekat dalam ketika berucap.

"Ayah…."

Makhluk dalam kabut bergerak mendekat. Lalu si nenek merasakan usapan halus di kepalanya.
Perlahan-lahan dia angkat wajahnya sedikit. Dekat sekali di depannya berdiri seorang tua
berselempang kain putih.

"Kalau saja mata hati dan mata perasaanku tidak mendapat redho Gusti Allah, niscaya aku tidak
mengetahui bahwa yang ada di depanku saat ini adalah puteriku sendiri. Ning Intan Lestari,
berdirilah. Benar rupanya apa yang aku dengar. Mengapa kau jadi seperti ini?"

Perlahan-lahan si nenek muka setan yang dipanggil dengan nama Ning Intan Lestari bangkit
berdiri. Kepalanya masih ditundukkan, tak berani memandang pada orang tua di depannya. Si
orang tua pegang dagu si nenek lalu mengangkatnya hingga kini dia dapat melihat dengan jelas
wajah seram itu. Desah panjang keluar dari mulut kakek berselempang kain putih.
"Anakku, aku tahu penderitaanmu setinggi langit sedalam lautan. Tetapi sungguh aku tidak
menyangka kalau tidak melihat sendiri. Apa yang telah menyebabkan wajahmu cacat begini
rupa?"

"Ayah…."

Kembali orang tua berselempang kain putih mendesah dalam. "Aku bisa mengerti, simpan
ucapanmu. Tak usah kau terangkan kalau itu hanya akan menambah beban derita hatimu."

"Ayah, maafkan kalau selama ini anakmu tidak pernah menyambangimu di puncak Gunung
Gede atau di Telaga Gajahmungkur. Pertemuan ini membuat anakmu ini merasa sangat
berdosa. Karena ayah yang datang mencari, bukannya saya yang mencari ayah."

"Tak ada rasa kecewa dalam hatiku. Aku datang menemuimu dengan satu harapan. Agar kau
bisa melupakan masa lalu. Lalu dalam sisa usiamu yang entah tinggal berapa tahun lagi kau
dapat menghabiskan dan menikmatinya sebagaimana layaknya manusia yang pernah hidup di
dunia ini. Sebagaimana layaknya seorang perempuan, seorang gadis…."

"Ayah, saya gembira bisa bertemu dengan Ayah. Tapi saya tidak tahu apa arti maksud
kedatangan Ayah" Si nenek tundukkan kepalanya, menyembunyikan sepasang matanya yang
mulai berkaca-kaca.

Kakek berselempang kain putih pegang bahu si nenek lalu berkata. "Anakku, kau tidak bisa
hidup seperti ini terus menerus. Segala derita masa lalu harus disingkirkan. Segala kehancuran
hati dan jiwa masa silam harus dilenyapkan. Kau lihat orang di atas atap pondok itu?"

Si nenek melirik ke wuwungan pondok.

"Saya lihat Ayah. Siapakah dia?" tanya si nenek.

"Kau akan segera mengetahui, anakku." Si kakek lambaikan tangan kirinya. Melihat isyarat ini,
orang di atap pondok tampak bergerak. Sekali berkelebat dia sudah berdiri di hadapan ke dua
orang itu. Ternyata dia adalah seorang kakek berwajah jernih, berusia sekitar delapan puluhan.
Mengenakan pakaian ringkas warna biru gelap, di usianya yang sudah sangat lanjut kakek ini
tampak gagah. Di masa mudanya pastilah dia merupakan seorang pemuda sangat cakap.

"Rana Suwarte, aku sudah mengantarkanmu sampai ke hadapan orang yang selama ini kau cari.
Tugasku selesai. Semoga nasibmu beruntung dan kau bisa menemui kebahagiaan."

"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya sangat berterima kasih atas kebaikan Kiai…." Kakek bernama
Rana Suwarte berkata seraya membungkuk.

Orang tua berselempang kain putih yang ternyata adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas, makhluk
setengah manusia setengah roh anggukkan kepala lalu berpaling pada si nenek.
"Anakku Ning Intan Lestari, aku berharap malam ini segala derita sengsaramu selama ini akan
lenyap dan biarlah menjadi satu kenangan belaka. Kau harus menerima dan bersedia
menghadapi kenyataan yang datang padamu karena datangnya dari Yang Maha Kuasa dan
Maha Pengasih. Selamat tinggal anakku. Bungkus benakmu dengan pikiran jernih. Urapi hatimu
dengan kecintaan yang tulus. Aku harapkan kalian berdua akan menemui kesepakatan demi
kebahagiaan yang selama ini kalian dambakan…."

"Kiai…." Si nenek berucap.

Angin malam berhembus kencang. Kabut mengapung naik. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas
lenyap dari pemandangan. Si nenek tersurut. Dia melirik sekilas pada kakek di sampingnya, lalu
tanpa berkata apa-apa dia segera hendak melangkah pergi.

"Intan, tunggu!" kakek berwajah jernih bergerak mengejar..

Si nenek bimbang sesaat. Kakinya sudah melangkah, namun diurungkan. Dia berhenti, dia
menunggu. Tidak berpaling pada si kakek, melainkan memandang ke jurusan lain. Kakek
bernama Rana Suwarte mendatangi, tegak dua langkah di hadapan si nenek. Dia pandangi
wajah buruk si nenek beberapa ketika. Rangkungannya turun naik bertanda dia tengah
menahan gejolak hati yang sulit diutarakan. Akhirnya mulutnya berucap juga.

"Intan, kalau tidak ditolong dan diantar sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas, mungkin aku
tidak akan pernah bisa mencarimu. Aku tidak tahu kalau selama ini orang yang memakai julukan
Gondoruwo Patah Hati itu sebenarnya adalah engkau."

Ning Intan Lestari melirik, tapi tetap tak bergerak, juga tidak menjawab ucapan orang.

"Intan, ketahuilah berpuluh tahun aku mencarimu. Aku merasa bersyukur pada Gusti Allah, saat
ini akhirnya dengan pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya aku bisa menemuimu…."

"Puluhan tahun adalah waktu yang sangat panjang. Mengapa kau bersusah payah
mencariku…?" tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan.

"Apakah aku masih perlu menerangkan, padahal hatimu tentu sudah menduga mengapa aku
melakukan semua itu."

"Maafkan. Tidak, aku tidak bisa menduga. Puluhan tahun terlalu lama untuk mengingat-ingat.
Aku sudah hampir pikun," jawab nenek muka setan.

Rana Suwarte terdiam sesaat, hanya matanya yang tak berhenti menatapi wajah si nenek.
Dalam hati kakek ini berkata. "Dia berkata dusta. Mustahil tidak tahu mengapa aku mencari dan
ingin menemuinya. Tapi aku dapat memaklumi. Derita masa silam yang begitu parah terlalu
sulit untuk disembuhkan."
"Intan, terus terang, aku tidak malu-malu mengatakan. Apalagi tadi Kiai sempat menerangkan.
Aku mencarimu karena perasaan hatiku terhadapmu sejak puluhan tahun lalu tidak pernah
berubah. Aku masih tetap mengharapkan…."

"Mengharapkan apa?" si nenek memotong.

"Sejak kita berpisah, kita telah dilanda gelombang kepedihan hati dan jiwa. Dalam semua derita
sengsara itu sampai saat ini kau masih tetap seorang gadis, aku sendiri sampai saat ini masih
tetap perjaka. Kita sama-sama memiliki ketabahan hati. Mungkin itu satu pertanda bahwa
dalam derita dan ketabahan hati itu kita bisa bersatu.Mewujudkan cita-cita di masa muda…."

"Cita-cita apa?" tanya si nenek.

Pertanyaan itu membuat Rana Suwarte bersemu merah wajahnya. Tapi dengan sabar, malah
dengan mengulum senyum dia berucap.

"Intan, tujuh puluh tahun lebih kau hidup dalam beban kepatahan hati. Apakah itu tidak cukup?
Apakah kau tidak mendambakan satu kehidupan yang lebih baik. Kau harus mengubur gelar
yang diberikan orang-orang padamu. Gelar Gondoruwo Patah Hati itu tidak pantas bagi dirimu.
Kau tahu Intan, aku mencintaimu sepenuh hati…."

"Setelah melihat wajahku yang seperti setan ini, apakah kau masih mencintaiku?"

" Kasih sayangku padamu, cinta kasihku padamu, tidak pernah berubah. Dari dulu sampai
sekarang. Apapun yang terjadi dengan dirimu…."

Dalam hatinya si nenek berkata. "Manusia gila! Bagaimana mungkin dia bisa berkata begitu?
Janganjangan

"Kau berdusta! Mukaku cacat buruk begini rupa, lebih seram dari setan. Dan kau mengatakan
masih mencintai diriku. Siapa orangnya yang bisa percaya? Kau tidak buta, kau bisa melihat
dunia ini dengan segala isinya. Puluh perempuan cantik bertebaran di mana-mana. Jika kau
memang menginginkan kehidupan berumah tangga, perempuan-perempuan itu lebih pantas
bagimu daripada nenek cacat bermuka setan seperti aku ini."

"Intan, jika seandainya aku menginginkan perempuan lain, sudah sejak lama aku berumah
tangga. Jika aku tidak mengasihimu sepenuh hati, tidak mungkin aku meminta pertolongan Kiai
Gede Tapa Pamungkas untuk mencarimu. Kini setelah bertemu, aku mohon jangan kau tolak
diri tua buruk ini. Hidup kita berdua mungkin tidak berapa lama lagi. Mengapa sisa hidup itu
harus kita jalani dengan kesia-siaan?"

"Aku tidak merasa sisa hidupku sebagai satu kesiasiaan…."


"Mulutmu bisa berkata begitu. Tetapi hatimu mungkin berbeda. Intan, aku ingin membawamu
ke Telaga di puncak Gunung Gede, meminta restu Kiai Tapa Gede Pamungkas…."

"Gunung Gede…." Si nenek mengucapkan kata-kata itu sambil tersenyum. Ini untuk pertama
kali si kakek melihat Intan Lestari tersenyum. Dia merasa ada sekelumit harapan muncul,
namun jadi terkesima ketika mendengar si nenek melanjutkan ucapannya. "Di puncak Gunung
Gede, bukankah di situ juga merupakan tempat kediaman Sinto Weni yang lebih dikenal dengan
nama Sinto Gendeng, orang yang pernah menjalin cinta kasih denganmu di masa muda?"

Kakek bermuka jernih berpakaian ringkas biru menarik nafas dalam. "Intan, kau mungkin salah
menyirap kabar. Antara aku dan Sinto Gendeng tidak ada jalinan hubungan apa-apa. Dimasa
muda dia memang pernah tinggal di tempat kediaman guruku, untuk menjadi teman latihan
ilmu silat. Kiai Gede Tapa Pamungkas juga mengetahui hal ini. Kemudian Sinto Gendeng pergi
bersama pemuda bernama Sukat Tandika yang dikenal dengan julukan Tua Gila Dari Andalas.
Entah bagaimana kelanjutannya, yang jelas Sukat Tandikapun ditinggalkannya. Kabarnya dia
melarikan sebuah pedang pusaka…." (Baca serial Wiro Sableng Episode "Tua Gila Dari Andalas"
sampai "Gerhana Di Gajahmungkur" terdiri dari 11 Episode)

"Kau merasa dipermainkan bahkan mungkin ditipu oleh Sinto Gendeng, lalu berpaling padaku?"

Rana Suwarte gelengkan kepala. "Sinto Gendeng tidak mempermainkan diriku, juga tidak
menipu. Antara kami memang tidak ada hubungan apa-apa selain persahabatan karena
dikenalkan oleh guru masing-masing…."

Wajah setan si nenek kembali tersenyum. "Aku perlu menjajagi apa ucapanmu itu betul adanya.
Tapi apa ada gunanya? Maafkan aku, aku ada keperluan lain. Aku terpaksa meninggalkanmu."

"Intan, aku mohon," si kakek cepat bergerak dan berdiri di hadapan orang yang dikasihinya itu.

"Dengar," si nenek berkata seraya mundur satu langkah. "Aku hargai perasaanmu dan aku
berterima kasih. Tapi aku tidak menerima semua ucapan dan hasratmu. Antara kita biar tetap
menjadi dua sahabat. Tidak lebih dari itu…."

"Intan, Kiai Gede Tapa Pamungkas akan sangat kecewa…."

"Kiai adalah orang ketiga. Yang mengambil keputusan adalah kita berdua."

"Aku sudah mengambil keputusan. Aku ingin kau menjadi istriku. Dengan sepenuh hati."

"Terima kasih kalau memang itu keputusanmu. Tapi aku belum bisa memberikan keputusan
yang sama…."

"Sekarang belum, mungkin nanti. Aku akan menunggu. Sampai kapanpun," kata Rana Suwarte
pula.
"Mungkin keputusan itu tidak akan pernah aku ambil. Maaf kalau aku mengatakan perasaanku
apa adanya.""Intan, aku harap kau sudi merenung, memikirkan…."

"Aku sudah terlalu lama merenung dan berpikir hingga menjadi tua bangka tak berguna seperti
ini."

"Kau, kau bukan tua bangka tak berguna Intan. Kau segala akhir dari harapanku…" si kakek
berusaha mendekat sambil ulurkan tangan hendak memegang lengan si nenek, tapi perempuan
tua itu cepat bersurut.

"Maafkan aku. Harapanmu terlalu indah, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi sekarang…."

Rana Suwarte tampak benar-benar kecewa. Dua matanya dipejamkan dan mulutnya berucap.
"Intan, ini satu kenyataan dari harapanku yang tidak terduga. Teganya hatimu. Seandainya kau
menusukkan pisau panjang menghunjam jantungku tembus sampai ke punggung mungkin tidak
seperti ini sakitnya. Sebelum kau pergi, ada satu pertanyaan yang aku ingin kau menjawabnya
dengan segala kejujuran…."

"Kejujuran, apakah di dunia ini masih ada apa yang dinamakan kejujuran?" bertanya si nenek.

"Kejujuran selalu ada dalam setiap lubuk hati sanubari manusia. Hanya saja kadang-kadang
manusia sengaja menyembunyikannya, apapun alasannya."

Ning Intan Lestari tersenyum. "Baiklah, apa yang hendak kau tanyakan?"

"Kau menolak maksud baikku, apakah karena kau belum lama ini mengetahui bahwa seorang
yang pernah kau cintai di masa muda telah muncul kembali?"

Tergetar hati si nenek mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu. Tapi dengan
cepat dia ajukan pertanyaan.

"Siapa maksudmu? Siapa orang yang aku cintai di masa muda itu?"

"Kau tahu siapa orangnya. Mengapa harus pura-pura balik bertanya?"

Si nenek mendongak ke langit kelam. Lalu tertawa panjang.

"Suara tawamu aneh terdengar di telingaku. Intan. Ada getaran hati menggema dalam gaung
tawamu. Seolah, menyatakan bahwa memang begitulah sebenarnya alasanmu menolak hasrat
baikku."

"Maafkan aku. Agaknya aku belum bisa menjadi orang jujur. Aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu. Selamat tinggal. Jangan coba mencariku lagi."
"Intan, tunggu!"

Tapi si nenek bernama Ning Intan Lestari telah berkelebat lenyap, meninggalkan Rana Suwarte
termangu seorang diri. Wajahnya yang jernih tampak mengelam.

"Dunia penuh keanehan. Bagaimana bisa terjadi seseorang menolak kebaikan yang datang dari
hati yang putih bersih? Intan, aku tahu kau mencintai orang itu. Jika kau menolakku, bukan
berarti kau akan mendapatkan dirinya. Puluhan tahun aku menunggu, sekarang mungkin sudah
kepalang tanggung." Rana Suwarte kepalkan dua tinjunya lalu diletakkan di atas kepala. Dua
gelungan asap mengepul keluar dari tangan yang dikepalkan. Si kakek ternyata tidak dapat
mengendalikan tenaga dalam akibat gejolak yang membakar dirinya.

***

Kapak Maut Naga Geni 21211

KITA kembali ke puncak bukit teh di Karangmojo. Walau hampir berhasil menyentuh Kapak
Maut Naga Geni 212 namun mendengar deru angin keras menerjangnya dari samping dengan
cepat Ki Sepuh Item menyingkir selamatkan diri sambil pukulkan tongkat tulang putihnya. Dari
lobang-lobang di badan tongkat menggema suara seruling seperti ditiup berbarengan,
menggetarkan gendang-gendang telinga.

Wiro terkesiap. Bukan saja tendangannya hanya mengenai tempat kosong, tapi angin yang
keluar dari lobang-lobang tongkat tulang putih lawan terasa dingin mencucuk, membuat
kakinya yang masih terulur seperti ditusuk puluhan jarum dan mendadak sontak terasa kaku.
Cepat-cepat murid Sinto Gendeng tarik pulang kakinya lalu jatuhkan diri di tanah. Sambil
bergulingan Wiro sambar kapak saktinya.

Ki Sepuh Hitam alias Si Tongkat Akhirat melintangkan tongkat tulangnya di depan dada lalu
umbar tawa bergelak.

"Pendekar 212! Kekasihmu gadis makhluk alam roh sudah diringkus Iblis Kepala Batu Alis
Empat! Sekarang siapa yang hendak kau andalkan menjadi penyelamat nyawamu?!"

Habis berucap begitu kakek berkulit hitam ini sabetkan tongkat saktinya ke depan. Wusss!
Selarik angin mengeluarkan asap putih menyambar ke arah Wiro. Dari bau aneh yang bertabur
dalam tebaran asap Pendekar 212 segera maklum kalau asap yang keluar dari dalam tongkat
tulang itu mengandung racun jahat. Sambil melompat mundur dan menutup penciumannya
Wiro pukulkan tangan kirinya ke arah lawan.

Satu gelombang angin melabrak ke arah ki Sepuh Item.


"Cuma pukulan Benteng Topan Melanda Samuderal Siapa takut!" seru si kakek. Sambil
melompat ke samping dia gerakkan tangannya yang memegang tongkat.

Murid Sinto Gendeng bukan saja penasaran melihat lawan tahu nama pukulan yang
dilancarkannya, namun juga jengkel karena angin yang keluar dari sambaran tongkat Ki Sepu
Item membuat amblas pukulan saktinya sementara tangan kirinya tergetar hebat. Sebenarnya
Ki Sepuh Item sendiri merasakan dadanya mendenyut sakit akibat bentrokan itu namun dia
mampu menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak menyangka pemuda lawannya memiliki
tingkat tenaga dalam demikian tinggi.

Didahului teriakan keras Wiro kembali menyerbu. Kali ini dia menghantam dengan Kapak Maut
Naga Geni212.

Satu cahaya putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas menyambar dan dengung suara tawon
mengamuk memenuhi udara.

Sambil lindungi matanya yang silau dengan tangan kiri, Ki Sepuh Item membuat gerakan aneh.
Tubuhnya yang bungkuk meliuk rendah, tongkat di tangan kanannya bergetar keras hingga
berubah menjadi enam buah. Luar biasanya, ke enam ujung tongkat menyusup tembus ke arah
tangan kanan lawan lalu memukul!

"Traang!"

Wiro berseru kaget. Tangan kanannya bergetar hebat.

Selagi dia berusaha bertahan hawa panas yang keluar dari kapak sakti membalik memukul ke
arah tangan dan sisi tubuhnya sebelah kanan. Pendekar 212 berseru keras. Genggaman
tangannya pada gagang kapak goyah. Ketika lawan menggerakkan tangan kanannya kembali,
tongkat berubah lagi menjadi enam buah dan menabur serangan ke arah dada, leher serta
kepala, mau tak mau murid Sinto Gendeng melompat mundur sambil babatkan senjata. Mata
kapak membabat ke arah pinggang lawan. Saat itulah tongkat tulang mengayun dari bawah ke
atas.

"Traang!"

Untuk ke dua kalinya dua senjata, kapak dan tulang saling beradu di udara. Wiro berseru kaget.
Kapak sakti terlepas dari genggamannya, mental ke udara. Sebaliknya Ki Sepuh Item tak kalah
kejutnya ketika meneliti dia dapatkan ujung tongkat tulangnya telah berkurang satu jengkal,
putus dibabat Kapak Maut Naga Geni 212! Selagi lawan terkesiap, Wiro cepat melompat ke
udara, menyambar kapak sakti yang melayang jatuh.

"Kehebatan kapak itu ternyata bukan cuma nama kosong!" kata Ki Sepuh Item dalam hati. "Dari
pada mencari penyakit, aku harus cepat-cepat menyudahi pertempuran ini!"
Kakek berkulit gosong ini angkat tangan kirinya sebatas tinggi telinga kiri. Telapak dibentang
begitu rupa, diarahkan pada lawan. Bersamaan dengan itu tongkat tulangnya diarahkan ke
depan, menjaga jarak sehingga lawan tidak mudah mendekatinya.’Ki Sepuh Item melirik pada
muridnya Iblis Batu Hitam dan Momok Dempet Tunggul Gono.

"Kalian berdua, apakah tidak ingin berebut pahala membereskan manusia satu ini? Membalas
dendam dan mencari jasa pada Kerajaan?!"

Walau memang mendendam berat pada Pendekar 212 Wiro Sableng namun sejak tadi dua
orang itu tidak mau ikut terjun ke dalam pertempuran. Bukan saja karena merasa sungkan
terhadap Ki Sepuh Item, tetapi juga karena diam-diam merasa jerih terhadap Wiro. Tunggul
Gono masih menderita sakit luar biasa akibat selongsong besi tangan kirinya putus dan
membakar ujung lengannya. Sementara Iblis Hitam masih melepuh sakit tangan-kanannya.
Semua akibat hantaman cahaya merah membara yang dilepas Bunga dari sepasang matanya.

Didahului satu bentakan garang, Ki Sepuh Item melesat ke depan. Tangan kanan yang
memegang tongkat bergerak. Tongkat tulang bergetar mengeluarkan angin deras dan suara
seperti beberapa seruling ditiup berbarengan. Tongkat yang berubah menjadi banyak itu
menerpa ganas, menebar mengurung Wiro dari enam penjuru.

Sambil menyerang dengan tongkat tulang putih, tangan kiri Ki Sepuh Item tak berhenti
bergerak. Dari telapak tangannya yang dikembangkan, seperti ada kaca memantul cahaya,
menyambar menyilaukan dua mata Pendekar 212. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Kaca
Hantu. Pada telapak tangan kirinya itu Ki Sepuh menanam sejenis susuk. Jika dia mengerahkan
tenaga dalam maka telapak tangannya bisa memancarkan cahaya menyilaukan seperti pantulan
sinar matahari jatuh ke atas kaca.

"Sialan! Ilmu setan apa yang ada di telapak tangan makhluk gosong pantat kuali ini!" geram
Wiro dalam hati.

Lima jurus pertama murid Sinto Gendeng benarbenar dibuat kelabakan. Serangan tongkat
lawan laksana curahan air hujan. Gerakan kapaknya untuk melindungi diri ataupun balas
menyerang seperti ditekan hingga dia tidak bisa leluasa bergerak. Dua kaki Wiro bergerak
dalam jurus-jurus silat "Orang Gila" yang didapatnya dari Tua Gila sedang gerakan kapak
mengandalkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng.

Ilmu tongkat yang dimiliki Ki Sepuh Item sebenarnya tidaklah terlalu hebat. Namun jurus-
jurusnya memiliki daya susup yang tidak terduga selain tongkat itu sendiri memang luar biasa.
Disamping itu cahaya menyilaukan yang keluar dari telapak tangan Ki Sepuh membuat Wiro
kadang-kadang mati langkah karena kesilauan.

Setelah bertahan sampai lima belas jurus, dalam satu gebrakan hebat kakek kulit gosong ini
berhasil susupkan satu tusukan ke arah lambung Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat berkelit tapi
masih terlambat.
"Breettt!"

Masih untung cuma baju putihnya yang kena disambar robek. Kalau sampai lambungnya yang
dimakan, isi perutnya pasti akan keluar berbusaian.

Ki Sepuh Item tertawa bergelak. Saat itu Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam mulai bergerak
memasuki kalangan pertempuran. Iblis Batu Hitam mencekal golok mata duanya yang telah
berubah menjadi besi hitam. Sementara Tunggul Gono yang tidak punya senjata hanya
mengandalkan tangan kosong.

Seperti diketahui walau tangannya kini cuma satu yaitu tangan kanan sedang tangan kiri
buntung dan cidera hebat, namun Tunggul Gono masih sanggup. melancarkan serangan-
serangan berupa pukulan sakti seperti Ladam Setan, Palu dan Ladam Membongkar Bumi.
Menghadapi Ki Sepuh Item sendirian Wiro sudah banyak mendapat kesulitan.

Apalagi kalau dikeroyok tiga. Selain itu dia agak sulit memusatkan perhatian karena sedikit
banyak pikirannya terbagi pada Bunga yang telah diculik dan dimasukkan ke dalam guci
tembaga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat.

Ketika ketiga orang itu sama-sama menggebrak, mulai menggempurnya, dari balik pinggang
Wiro keluarkan batu hitam pasangan kapak sakti. Melihat ini Ki Sepuh Item segera berteriak
memberi ingat pada Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam.

"Awas! Dia hendak menyulut api membakar kita!"

Memang betul. Baru saja teriakan kakek kulit gosong itu lenyap, Wiro telah menempelkan batu
hitam ke mata kapak lalu digeser kuat-kuat dengan pengerahan tenaga dalam.

"Wuss!"

Lidah api menyambar. Tiga orang di depan sana berteriak, berlompatan berserabutan. Sekali
lagi lidah api menggebubu, lagi dan lagi. Tetapi yang diserang Wiro sebenarnya bukan langsung
ke tiga lawannya itu, melainkan pohon-pohon teh sekitar mereka. Dalam waktu beberapa
kejapan mata saja api mengurung dimana-mana.

Di balik pohon besar. Damar Wulung yang masih duduk di atas kuda coklatnya menyaksikan
pertempuran dengan asyik kini terheran-heran.

"Apa perlunya pemuda gondrong itu menyemburkan api sakti demikian rupa? Untuk
mengacaukan lawan?"

Selagi ketiga orang dibuat kalang kabut terkurung api, tiba-tiba terdengar suara reettttt!
Menyusul teriakan Tunggul Gono.
"Awas! Ilmu hantu membelah bumi!"

Iblis Batu Hitam dan gurunya si kakek muka gosong tidak mengerti apa yang dimaksudkan
Tunggul Gono berteriak seperti itu. Mereka baru sadar dan samasama berteriak kaget ketika
melihat bagaimana tanah di depan mereka terkuak membelah, bergerak mengejar ke arah kaki-
kaki mereka!

Ki Sepuh Item pukulkan tongkatnya ke tanah. Maksudnya menghentikan gerakan tanah yang
membelah dan memburu ke arahnya. Hantaman tombak membuat tanah terbongkar dan
malah mempercepat gerak tanah yang membelah. Hendak lari api telah mengurung. Hendak
melompat ke atas, pemandangan tertutup oleh asap tebal yang mengepul dari pohonpohon teh
yang terbakar.

"Jahanam celaka!" maki Ki Sepuh Item. Tengkuknya dingin, mata mendelik ketika menyaksikan
bagaimana sosok Tunggul Gono dan muridnya Iblis Batu Hitam terperosok masuk ke dalam
tanah yang membelah.

Jeritan mereka lenyap bersamaan dengan lenyap amblasnya sosok ke dua orang itu ke dalam
tanah!

Dalam keadaan maut sudah di depan mata seperti itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki
kuda cepat sekali. Lalu satu tangan kuat kokoh menyambar pinggang Ki Sepuh Item. Tubuhnya
seperti melayang di udara, dibawa keluar dari kurungan api, selamat dari jepitan tanah.

Di luar kurungan api Pendekar 212 terkesiap kaget. Di bawah bayang-bayang kobaran api dia
melihat seekor kuda coklat berhidung putih ditunggangi seorang yang tiarap di atas punggung
binatang itu. Dia hanya sempat melihat sekilas pintas wajah si penunggang. Setelah itu kuda
dan penunggangnya lenyap di arah timur bukit. Memandang ke depan, sosok Ki Sepuh Item tak
kelihatan lagi.

"Setan alas! Siapa penunggang kuda coklat yang menyelamatkan kakek gosong pantat kuali
itu?! Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya. Sial! Seharusnya tadi aku hantam dengan
pukulan Sinar Matahari!" Wiro memaki marah, garuk-garuk kepala habis-habisan.

DI KAKI bukit teh, saat itu keadaan masih gelap dan udara dingin. Di satu tempat yang datar
penunggang kuda coklat menjatuhkan sosok Ki Sepuh Item ke tanah kemudian melompat turun
dari punggung tunggangannya.

Ki Sepuh Item sesaat bergulingan lalu melompat dan tegak berdiri. Dia langsung menghadap ke
arah penunggang kuda yang barusan melompat turun. Dia tidak menyangka kalau yang telah
menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda belia.
"Anak muda, kau telah menolong diriku! Namun siapa dirimu aku belum tahu! Lalu mengapa
kau sampai berbaik hati menyelamatkanku?!" Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat menegur
tapi sama sekali tidak membungkuk atau memberi penghormatan sebagaimana lazimnya orang
yang telah ditolong.

"Namaku Damar Wulung! Setiap budi kebaikan pasti ada balas imbalannya. Bukankah begitu?!"
Pemuda berpakaian kuning celana hitam mengaku bernama Damar Wulung menyahuti.

Kening Ki Sepuh Item mengerenyit. Alis kiri kanan mencuat naik. "Kalau saat ini aku bisa
membalas budimu akan aku lakukan sekarang juga! Harap kau mau mengatakan bagaimana aku
harus membalas budi kebaikanmu agar diantara kita tidak ada segala hutang piutang!"

Damar Wulung tertawa.

"Bagiku segala hutang piutang tidak perlu ditagih cepat-cepat. Makin lama makin baik karena
ada bunganya. Bukan begitu? Ha… ha… ha!"

"Anak muda bernama Damar Wulung, apa maksudmu?" Ki Sepuh Item jadi merasa tidak enak.

"Kelak satu hari aku akan muncul untuk minta balas imbal budi baik menyelamatkan nyawamu
malam ini! Ingat itu baik-baik."

"Aku akan ingat dan aku akan lakukan!" jawab si kakek penasaran, terlebih ketika dilihatnya
begitu saja pemuda itu melompat naik ke atas punggung kudanya seolah tidak mengacuhkan
dirinya.

"Kau mau kemana?" bertanya Ki Sepuh Item.

"Apakah perlu aku katakan padamu?!"

"Sialan!" maki si kakek dalam hati. "Mentangmentang sudah menolongku, aku dianggap rendah
saja."

Masih penasaran Ki Sepuh Item kembali bertanya. "Jika aku memerlukan dirimu, kemana aku
harus mencari?"

"Kau tak perlu mencariku. Karena aku yang akan mencarimu!"

"Benar-benar kurang ajar!" rutuk Ki Sepuh Item lagi-lagi dalam hati. Dengan mata tak berkedip
dia perhatikan pemuda itu memutar kudanya lalu menghambur pergi dari tempat itu.

"Pemuda aneh, kurang ajar! Siapa dia sebenarnya! Damar Wulung…. Damar Wulung. Apakah
aku pernah mendengar nama itu sebelumnya?" Ki Sepuh Item coba mengingat-ingat. Tiba-tiba
dipukulnya kening sendiri."Astaga, nama itu! Damar Wulung! Bukankah itu pemuda yang
menimbulkan kehebohan di Keraton? Dia kabarnya yang menggulung kepala rampok hutan
Roban Warok Mata Api! Yang kemudian menipu Tumenggung Cokro Pambudi dengan Keris Kiai
Naga Kopek palsu! Dia belum tentu manusia baik-baik. Jelas! Tapi mengapa dia menolong
menyelamatkan diriku? Ada sesuatu yang disembunyikannya dibalik pertolongan ini? Persetan!
Mengapa aku terlalu memikirkan pemuda itu! Yang harus aku pikirkan adalah mencari manusia
bernama Wiro Sableng yang telah membunuh muridku dan Tunggul Gono. Dia menipuku
dengan serangan lidah api. Lalu membunuh dengan ilmu jahanam aneh yang bisa membelah
tanah! Muridku Iblis Batu Hitam, aku akan membalaskan dendam kematianmu!" Ki Sepuh Item
jadi merinding sendiri bila dia ingat kematian yang dialami muridnya. Tanah terbelah. Iblis Batu
Hitam menjerit. Suara jeritan dan tubuhnya kemudian amblas lenyap di dalam tanah yang
kembali menyatu.

"Seumur hidup belum pernah aku menyaksikan ilmu mengerikan seperti itu. Aku yakin Sinto
Gendeng sekalipun tidak memiliki ilmu celaka itu! dari mana pemuda jahanam itu mendapatkan
ilmu keparat yang bisa membelah tanah dan mengubur amblas hidup-hidup muridku dan si
Tunggul Gono. Wiro Sableng tunggu

Kapak Maut Naga Geni 21212

WIRO duduk di bawah pohon besar di puncak bukit teh. Matanya mengawasi sisa-sisa kobaran
api dan kepulan asap. Apa yang telah dilakukannya dalam menghadapi tiga pengeroyok tadi
membuat Wiro ingat pada Luhrembulan, gadis cantik di Negeri Latanahsilam yang ujud
sebenarnya adalah seorang nenek buruk berjuluk Hantu Santet Laknat. (Baca petualangan Wiro
di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 Episode)

"Selama di tanah Jawa, sudah dua kali aku mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah. Kalau dulu dia tidak memaksa memberikan ilmu itu padaku, dapat dibayangkan apa
yang terjadi dengan diriku. Mati sia-sia. Bagaimana keadaannya sekarang? Masih di negeri
seribu dua ratus tahun silam itu atau mungkin sudah terpesat pula ke tanah Jawa seperti yang
terjadi dengan Luhjahilio? Ingin sekali rasanya aku bertemu dengan dia."

Dalam keadaan termenung dan mengingat-ingat seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara
derap kaki kuda banyak sekali. Datangnya dari kaki bukit teh sebelah selatan. Wiro berdiri,
melangkah ke tempat ketinggian lalu memandang ke bawah. Dia melihat obor barisan banyak
sekali. Di bawah nyala api obor tampak para penunggang kuda. Hampir semuanya mengenakan
pakaian seragam pasukan Kerajaan. Hanya beberapa orang saja di sebelah depan tidak
berseragam.

"Aneh, satu pasukan besar Kerajaan naik ke puncak bukit ini? Ada apa? Mungkin gara-gara
melihat pohon teh yang terbakar?"

Menjelang mencapai puncak bukit, di satu lereng pasukan besar itu berpencar membentuk
lingkaran. Lalu perlahan-lahan dalam gerakan mengurung mendaki naik ke atas.
Karena merasa kehadiran pasukan kerajaan itu tidak ada sangkut paut dengan dirinya, murid
Sinto Gendeng tidak beranjak dari tempatnya. Malah ada rasa ingin tahu apa yang hendak
diperbuat oleh orang-orang itu.

Rombongan pasukan kerajaan semakin dekat, akhirnya sampai di puncak bukit. Wiro
memandang berkeliling. Dia baru menyadari, bahwa berdiri di bawah pohon besar itu dirinya
terkurung di tengah-tengah lingkaran pasukan yang ternyata hampir dua ratus orang
banyaknya!

Ketika dia menyadari hal itu tiba-tiba seorang prajurit di ujung kiri berteriak.

"Perwira Kepala! Orang yang kita cari ternyata memang ada di puncak bukit! Lihat ke bawah
pohon besar sana!"

Wiro mulai merasa tidak enak. Dia memperhatikan ke arah prajurit yang barusan berteriak.
Dilihatnya seorang berseragam Perwira Kerajaan memandang ke arahnya. Perwira ini lalu
menggerakkan kudanya mende-kati kelompok penunggang kuda lainnya. Dipating depan ada
orang berpakaian kebesaran serba merah. Wiro segera mengenali. Orang itu bukan lain adalah
Raden Mas Selo Kaliangan, Patih Kerajaan.

"Kalau tak ada perkara besar, tidak nanti Patih Kerajaan langsung turun tangan," membatin
Wiro.

Disekitar sang patih ada beberapa penunggang kuda yang dari pakaian serta sikap dan gerak
gerik mereka mudah diketahui kalau mereka adalah para tokoh silat Istana.

Setelah menerima laporan dari Perwira Kepala, Patih Selo Kaliangan memberi isyarat pada
orang-orang disekitarnya. Mereka berjumlah lima orang. Kelima orang ini lalu mendahului
menggebrak kuda masingmasing ke arah pohon besar tempat Wiro berdiri, sang patih
menyusul sementara Perwira Kepala tadi memberi tanda pada ratusan prajurit untuk bergerak
naik ke atas puncak bukit, mempersempit lingkaran mengurung.

Para tokoh silat utama yang mendampingi Pati Selo Kaliangan, yang pertama adalah Hantu
Muka Licin Bukit Tidar. Mukanya masih tampak pucat karena belum sembuh benar dari racun
miliknya sendiri yang terhisap ke dalam tubuhnya akibat hantaman Pendekar Pelangi ketika dia
dipergoki hendak menggagahi Kinasih.

(Baca Episode "Roh Dalam Keraton")

Sebelumnya dia memiliki sebuah senjata yakni seutas tali kuning yang bisa mengeluarkan jarum
maut. Seperti diketahui senjata andalannya telah musnah di tangan Pendekar Kipas Pelangi.
Sebenarnya Patih Kerajaan tidak begitu suka membawa tokoh silat satu ini, apalagi diketahui
dia telah menculik Kinasih. Namun karena tenaganya diperlukan maka mau tak mau dia diajak
serta bersama rombongan pasukan besar itu. Biasanya dia selalu mengenakan jubah kelabu.
Tapi sekali ini Hantu Muka Licin mengenakan sehelai baju biru dan celana komprang juga
berwarna biru.

Orang kedua dalam rombongan besar itu adalah Tumenggung Cokro Pambudi. Tumenggung ini
memaksakan diri ikut bersama rombongan karena ingin menelusuri jejak Damar Wulung yang
lenyap begitu saja.

Tokoh silat ke tiga seorang lelaki separuh baya berwajah merah seperti udang rebus. Dulu dia
adalah seorang pentolan bajak sungai yang sangat ganas. Beberapa tahun lalu dia bertobat
melakukan kejahatan dan mengabdi menjadi tokoh silat Istana.

Nama sebenarnya tidak ada yang tahu, dia hanya dikenal dengan julukan Sanca Merah
Bengawan So/o. Bajak sungai ini memang mempunyai sejenis ilmu aneh.

Sekali dia bisa menempelkan tangan atau kakinya ke tubuh lawan maka dengan cepat dia bisa
menggulung tubuh itu seperti seekor ular. Lawan yang kena digulung akan menemui ajal dalam
keadaan luluh hancur tulang belulangnya mulai dari batok kepala sampai ujung kaki!

Di samping Sanca Merah Bengawan Solo, di atas seekor kuda hitam bertotol kelabu, duduk
tokoh silat Istana ke empat. Dia adalah seorang lelaki berusia enam puluh tahun, berwajah
gagah dan berpakaian sangat rapi lengkap dengan blangkon. Orang ini membekal sebilah keris.

Tidak seperti kebiasaan dimana orang membawa keris di pinggang sebelah belakang, lelaki ini
membawa keris di pinggang sebelah depan. Dan tidak cuma satu, tapi sekaligus dua di pinggang
kiri kanan. Dia diketahui bernama Jalak Kumboro, bergelar Pendekar Keris Kembar. Ilmu
silatnya tinggi, otaknya terkenal cerdas. Kabarnya dia berhasrat besar hendak menduduki
jabatan Patih Kerajaan. Apalagi konon dia masih keponakan seorang Pangeran yang sangat
dihormati di kalangan Keraton. Selama ini dia lebih banyak berada di Surokerto. Namun begitu
mendengar banyak huru-hara terjadi di Kotaraja maka dia menyempatkan diri untuk lebih
banyak berada di Keraton.

Tokoh silat terakhir atau ke lima yang ikut bersama, rombongan pasukan besar yang dipimpin
langsung Patih Kerajaan adalah seorang kakek aneh. Kepalanya yang botak dicat kuning. Di
hidungnya menyantel sebuah anting-anting. Walau pakaiannya tak kalah bagus dengan yang
dikenakan Jalak Kumboro namun dia menunggang kuda dengan bertelanjang kaki. Mungkin ada
sebabnya dia tidak mengenakan alas atau penutup kaki.

Karena seperti yang terlihat sepuluh kuku jari kakinya panjang-panjang dan berwarna hitam
kebirubiruan.

Di Kotaraja, kakek kepala plontos kuning ini dikenal dengan julukan Si Bisu Penyabut Nyawa
Tanpa Suara. Gelar ini memang cocok dengan keadaan dirinya karena selain bisu atau tidak bisa
bicara, jika membunuh dia melakukan tanpa suara sama sekali. Kebanyakan dari musuh yang
menjadi korbannya menemui ajal akibat hunjaman kuku-kuku kakinya yang hitam angker.
Walau hatinya semakin tidak enak namun murid Sinto Gendeng tetap berdiri tenang di bawah
pohon. Dia melihat Patih Kerajaan menyeruak diantara para tokoh silat Istana, bergerak
mendekati. Begitu sang patih berada di hadapannya, sebagaimana lazimnya rakyat biasa Wiro
segera membungkuk memberi hormat.

‘ "Pendekar 212 Wiro Sableng," berucap sang patih. "Aku benar-benar merasa menyesal
mengikuti anjuran mendiang Malaikat Alis Biru membebaskanmu dari penjara. Ternyata kau
adalah seorang pembunuh keji!"

Murid Sinto Gendeng terkejut. "Patih Kerajaan, mohon saya diberitahu…."

Saat itu Perwira Kepala sudah berada di hadapan Wiro. Dia memandang ke arah Patih Kerajaan
menunggu isyarat. Ketika sang patih anggukkan kepala Perwira ini cepat berkata dengan suara
lantang.

"Pendekar 212 Wiro Sableng! Atas nama Kerajaan kau kami tangkap dan saat ini juga dibawa ke
Kotaraja. Kau dituduh dengan bukti-bukti telah melakukan beberapa pembunuhan!"

Wiro pandangi wajah Perwira Kepala itu sesaat lalu berpaling pada Patih Selo Kaliangan.

"Patih Kerajaan, mohon diberitahu kesalahan saya. Siapa saja yang saya bunuh…."

Patih Selo Kaliangan goyangkan kepalanya pada Perwira Kepala. Sang perwira kembali
membuka mulut.

"Kau diketahui membunuh seorang prajurit petugas kepenjaraan bernama Lodan. Lalu kau juga
dituduh membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Korban kejimu berikutnya
adalah istri sang juru ukir bernama Kinasih. Kau membunuhnya dengan kejam, malah tega-
teganya mengguratkan jarahan 212 di kening perempuan itu! Lalu kau juga dituduh sebagai
orang yang berada di belakang lenyapnya Keris Kiai Naga Kopek, senjata pusaka Keraton."

Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga mendengar semua tuduhan itu. Dia pandangi
Patih Kerajaan sambil garuk-garuk kepala.

"Pemuda gondrong! Jangan menunjukkan sikap berpura-pura bego!" membentak si muka


merah Sanca Merah Bengawan Solo.

Wiro pandangi tampang merah udang rebus di atas kuda itu sesaat, lalu memandang
berkeliling. Melihat ini Sanca Merah Bengawan Solo kembali membentak.

"Kau tengah berusaha mengintai mencari peluang melarikan diri hah? Lakukanlah! Akan kulibas
tubuhmu sampai remuk mulai dari kepala sampai kaki!"
"Saya merasa tidak bersalah, mengapa harus melarikan diri?!" jawab Pendekar 212.

"Saya mengaku membunuh orang bernama Lodan. Itu untuk menyelamatkan diri. Dia hendak
mengguyurkan kelabang beracun ke tubuhku! Semua orang jika diperlakukan seperti itu pasti
berusaha membela menyelamatkan diri! Seorang hamba Kerajaan berbuat kejam seperti itu
sebelum membuktikan kesalahan orang, apa layak? Tidak disebut gila, kejam atau keji?!"

"Apakah kau juga dalam usaha menyelamatkan diri ketika membunuh Raden Mas Sura
Kalimarta serta istrinya Kinasih?!" bentak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

"Hantu bejat! Yang aku tahu adalah kabar bahwa kau menculik istri juru ukir itu! Kau bawa
kemana perempuan itu. Apa yang kau lakukan?! Sekarang kelihatannya kau paling bersemangat
menuduh diriku!

Kau sengaja menyembunyikan kebejatan dirimu sambil berusaha memperlihatkan bahwa kau
ingin berjasa besar pada Kerajaan! Hanya manusia laknat yang bisa berbuat seperti itu!"

"Pembunuh jahanam! Berani kau bicara kurang ajar menghinaku!" teriak Hantu Muka Licin
Bukit Tidar yang masih sakit hati atas kejadian yang menimpanya belum lama berselang, kini
menjadi marah besar karena merasa ditelanjangi di depan orang banyak. Dia sentakkan tali
kekang kudanya. Begitu tunggangannya melompat maju kaki kanannya ditendangkan ke dada
Pendekar 212.

Mana ada orang yang mau ditendang mentah-mentah seperti itu. Termasuk Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan orang lewat, tangan
kanannya secepat kilat berkelebat membuat gerakan menotok.

Yang ditotok bukannya kaki atau tubuh Hantu Muka Licin, tapi urat besar di leher kuda
tunggangan orang. Totokan ini bukan totokan yang melumpuhkan binatang itu tetapi membuat
arus darahnya mengalir terbalik! Akibatnya kuda besar ini meringkik keras kesakitan. Dua
kakinya dihentakkan, dinaikkan tinggi-tinggi ke atas lalu menghambur kabur. Tak dapat tidak
Hantu Muka Licin pasti akan jungkir baiik, terbanting berkelukuran di tanah.

Sambil memaki Hantu Muka Licin lesatkan tubuhnya ke atas, berusaha menyambar cabang
pohon besar di atasnya. Dia memang berhasil memegang dan bergantung di cabang pohon itu,
tetapi satu kejadian sangat memalukan terjadi tak terduga. Pada saat tubuhnya melayang ke
atas untuk bergantung di pohon, sebuah benda kecil yang adalah sebutir batu ikut melesat ke
atas.

"Tess!"

Batu kecil ini memutus tali celana komprang biru Hantu Muka Licin. Celakanya sang hantu tidak
mengenakan celana dalam. Ketika celana luarnya jatuh merosot ke bawah, tak ampun lagi
auratnya sebelah bawah tersingkap amburadul tak karuan!
"Walah! Barang jelek saja dipertontonkan!" seru Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.

Puncak bukit teh menjadi gempar. Patih Kerajaan tidak tahu mau berkata atau berbuat apa.

Si botak kepala kuning bisu keluarkan suara ha-hu ha-hu berulang kali sambil menekap mulut
menahan tawa. Di atas pohon Hantu Muka Licin tampak kelabakan. Tadinya dia hendak
pergunakan salah satu tangan untuk menutupi aurat. Tapi percuma saja. Lagi pula keadaan
tubuhnya yang lemah membuat dia khawatir tak dapat bertahan menggantung terlalu lama.

Sambil memaki panjang pendek, tanpa celana, semua orang melihat bagaimana Hantu Muka
Licin menggapai di cabang pohon, memanjat ke atas lalu mendekam sembunyikan diri di balik
kerimbunan daun-daun, tak berani turun.

"Ada tangan jahil kurang ajar melempar dengan batu! Memutus tali celana Hantu Muka Licin!"
Seseorang berteriak sambil menunjuk ke balik serumpun pohon teh yang masih utuh tak kena
terbakar.

Orang yang berteriak ini adalah Jalak Kumboro alias Pendekar Keris Kembar. Rupanya dia
sempat melihat apa yang terjadi. Begitu berteriak tubuhnya melesat ke arah rerumpunan
pohon teh. Tapi dia kecewa besar karena orang yang tadi dipastikannya sembunyi di tempat itu
tak ada lagi di situ.

"Kabur!" kata Jalak Kumboro cemas. "Kalau tidak berilmu tinggi tidak mungkin bisa lenyap
secepat itu! Tindakan jahil begitu rupa, apakah orang ini ada sangkut pautnya dengan Pendekar
212 Wiro Sableng?" Sambil terus berpikir-pikir dia melangkah cepat kembali ke kudanya.

Patih Selo Kaliangan melompat turun dari kudanya. Rahangnya menggembung, memandang
membelalak pada Pendekar 212 yang masih tertawa gelak-gelak.

"Pendekar 212, sebenarnya kami orang-orang Keraton masih menaruh hormat terhadap
gurumu Eyang Sinto Gendeng. Apalagi kau dan gurumu pernah banyak membantu Kerajaan.
Tapi apa yang terjadi di tempat ini benar-benar sudah keterlaluan. Kau terpaksa dijebloskan ke
penjara. Hukuman sangat berat bakal jatuh atas dirimu!"

"Patih, saya tahu kau hanya menjalankan perintah! Tapi menjalankan perintah tanpa
menjalankan pikiran sehat dan mempergunakan hati jernih sama saja melakukan satu tindakan
tolol!"

"Pasukan! Tangkap pemuda ini!" teriak Patih Kerajaan. "Ikat tangan dan kakinya! Perwira
Kepala, totok tubuhnya, cepat!"

Perwira Kepala yang berhidung pesek segera melompat dari kudanya lalu kirimkan satu totokan
ke urat besar di pangkal leher Wiro.
"Tunggu! Jangan!" teriak murid Sinto Gendeng sambil dua tangannya diangkat dan digoyang-
goyangkan di depan dada Perwira Kepala. Hampir tak ada satu orangpun yang melihat, sebelum
totokan Perwira Kerajaan menyentuh urat besar di pangkal lehernya, totokan yang disusupkan
Wiro lebih dulu mendarat di pangkal bahu kiri kanan sang perwira.

Saat itu juga Perwira ini menjadi kaku kaki, kepala dan tubuhnya. Tapi dua tangannya bergerak-
gerak seperti orang setengah menari setengah bersilat.

"Kurang ajar! Apa yang dilakukan si gondrong keparat itu!" teriak Sanca Merah Bengawan Soto
yang pertama kali menyadari apa yang terjadi. Kembali tempat Ku dilanda kehebohan.

Selagi semua orang terheran-heran. Pendekar 212 menyusup di bawah perut kuda Patih
Kerajaan. Dia menggayutkan tangan kirinya di leher binatang itu, lalu berlindung di balik tubuh
kuda. Sesaat kemudian kuda tinggi besar ini meringkik keras. Dari hidungnya menyembur
cairan, dua matanya membelalak. Di lain kejap binatang ini melompat lalu menghambur lari
luar biasa cepatnya.

Para prajurit yang mengurung tak berani menghadang. Takut diterjang kuda tinggi besar.

"Kejar! Jangan biarkan lolos!" teriak Patih Kerajaan.

"Tangkap! Jika melawan habisi saja!" menimpali Sanca Merah Bengawan Solo. Bersama
Pendekar Keris Kembar dia segera membedal kuda masing-masing, melakukan pengejaran.

Perwira Kepala bersama hampir dua puluh anak buahnya ikut pula melakukan pengejaran. Di
atas kudanya si bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara manggut-manggut sementara Tumenggung
Cokro Pambudi hanya bisa mengepal-ngepalkan tinju.

Tak selang berapa lama orang-orang yang melakukan pengejaran itu kembali dengan tangan
kosong. Perwira Kepala yang muncul paling belakang memberitahu, Pendekar 212 Wiro Sableng
tidak berhasil mereka kejar. Selain kudanya lari luar biasa cepat, pemuda itu kemungkinan
menyelinap ke satu jalan gelap yang tidak mereka ketahui.

Patih Selo Kaliangan membanting kaki. "Bagaimana aku menyampaikan kejadian memalukan ini
pada Sri Baginda?" katanya sambil geleng-gelengkan kepala. Lalu menyambung ucapannya.
"Heran," aku tahu betul. Kuda tungganganku waktu sampai di puncak bukit ini kaki kanannya
mengalami cidera cukup parah. Tapi mengapa binatang itu bisa lari secepat itu, seperti dikejar
setan!"

"Maafkan saya Patih Kerajaan," kata seorang prajurit. "Saya sempat melihat, waktu membedal
kuda itu, pemuda gondrong bukannya menyentakkan tali kekang kuda. Tapi memencet biji
kuda jantan itu. Kuda manapun kalau dipencet begitu rupa, dalam kesakitan luar biasa akan lari
seperti dikejar setan. Ke neraka sekalipun kuda itu mau saja menghambur…."
Patih Kerajaan melototkan mata, membuat si prajurit yang barusan bicara ketakutan lalu cepat-
cepat memutar tubuh. Beberapa orang palingkan wajah, menyembunyikan tawa.

Di atas kudanya tokoh silat gagu Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara usap-usap kepala kuning
botaknya. Lalu tertawa ha-hu ha-hu! Tangan kirinya ditunjuktunjukkan ke bagian belakang
bawah kuda tunggangannya sementara tangan kanan diangkat membuat gerakan memencet. Si
gagu ini seolah hendak mengatakan. "Itu akibat memiliki kuda jantan. Kalau menunggang kuda
betina seperti milikku ini pasti tidak ada bijinya yang bisa dipencet!"

"Ha-hu… ha-hu!"

TAMAT

Eps 124 Makam Ke Tiga

“IBLIS PENCULIK! BERSIAPLAH MENERIMA KEMATIAN! AKAN KUKIKIS SETIAP GUMPALAN


DAGING YANG MELEKAT DI TULANG BELULANG DALAM TUBUHMU!” NENEK MUKA SETAN
GONDORUWO PATAH HATI BERSERU KAGET KETIKA DAPATKAN DIRINYA TERBUNGKUS DALAM
SERANGAN PEDANG YANG MENABUR CAHAYA PUTIH MENYILAUKAN DAN SAMBARAN HAWA
DINGIN MENGGIDIKAN. DENGAN CEPAT NENEK INI MELOMPAT SELAMATKAN DIRI SAMBIL
TANGAN KANANNYA MELEPAS PUKULAN. LIMA SINAR HITAM MENDERU KELUAR DARI LIMA
KUKU.

212

SEBAGAIMANA diceritakan dalam Episode sebelumnya (Gondoruwo Patah Hati) untuk


menyelamatkan diri dari kurungan orangorang Kerajaan, Pendekar 212 Wiro Sableng melarikan
diri dengan mencuri dan mempergunakan kuda besar milik Patih Selo Kaliangan. Wiro sengaja
memencet kantong anggota rahasia kuda itu hingga dalam sakit luar biasa binatang ini merasa
kepala dan sekujur tubuhnya seolah disengat api lalu seperti kesetanan lari menuruni bukit teh,
tak perduii arah, tak perduii apapun yang menghadang di depannya.

Tak selang berapa lama Wiro sampai di kaki bukit. Kuda yang ditunggangi mulai memperlambat
lari. Mungkin keletihan, bisa juga karena rasa sakit sudah berkurang. Senyum-senyum, tapi juga
berbalik kasihan Wiro usap-usap tengkuk kuda itu. Walau udara dingin bukan main namun
tubuh Wiro dan kuda yang ditungganginya basah oleh keringat. Di satu tempat Wiro kembali
mengusap leher kuda. Saat itu untuk pertama kali dia melihat kalau binatang ini berlari agak
pincang. Wiro hentikan kuda itu lalu melompat turun. Ketika diperiksa ternyata ada cidera di
salah satu kaki binatang itu.

Wiro kerahkan tenaga dalam, mengalirkannya ke kaki yang cidera. Lalu dia mengelus-elus dan
meniup-niup kantong anggota rahasia si kuda hingga binatang ini kedap-kedipkan mata dan
meringkik halus. Mungkin keenakan. Wiro menyeringai.
“Kuda baik…” kata Wiro sambil mengelus hidung kuda.

“Kau telah menolong menyelamatkan diriku. Aku berterima kasih padamu. Sekarang kau boleh
pergi kemana kau suka….” Wiro tepuk pinggul kuda, tapi binatang ini hanya melangkah
perlahan berputar-putar lalu menggosok-gosokkan badan ke sebatang pohon, akhirnya
merebahkan diri di bawah pohon itu.

Wiro menggaruk kepala. “Apa yang harus aku lakukan sekarang. Kemana aku harus pergi.” Sang
pendekar lalu ingat pada kejadian yang barusan dialaminya di puncak bukit teh.

Dalam pertempuran melawan Iblis Batu Hitam, Momok Dempet Tunggul Gono dan Ki Sepuh
Item dia memang berhasil membunuh Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono. Tapi itu sama sekali
tidak ada artinya dibanding dengan diculiknya Bunga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis
Kepala Batu Pemasung Roh.

“Makhluk kepala batu sialan itu! Gila betul! Ilmu jahanam apa yang dimilikinya. Dia mampu
membuat sosok Bunga leleh menjadi asap. Lalu menyedot dan memasukkan ke dalam guci
tembaga! Kemana aku harus mencarinya! Bagaimana aku harus menyelamatkan Bunga!” Murid
Sinto Gendeng gelengkan kepala berulang kali. Terdiam sesaat. Lalu Wiro ingat. Kembali dia
membatin.

“Ketika tanah terbelah hampir melumat bangsat bernama Ki Sepuh Item, ada penunggang kuda
muncul menolong. Aku rasa-rasa pernah melihat manusia itu sebelumnya. Tapi dimana…?!
Otakku seperti tidak mau bekerja lagi!” Wiro lalu pukul-pukul keningnya sendiri.

Saat itulah tiba-tiba Wiro mendengar satu suara.

“Suara isakan di malam buta. Siapa yang menangis?!” Pendekar 212 memandang berkeliling.

Pandangannya membentur sebuah pohon besar sejarak dua puluh langkah di depart sebelah
kiri. Suara isakan datang dari balik pohon itu. Dengan hati-hati Wiro bergerak mendekati pohon
besar. Dia sengaja tidak melangkah langsung ke arah pohon, tapi bergerak agak menjauh ke
kanari. Murid Eyang Sinto Gendeng ini selalu ingat pengalaman. Jika menemui keanehan, bukan
mustahil di balik keanehan itu tersembunyi malapetaka bahkan maut. Ada orang menangis di
malam buta, di tempat begitu rupa, bukankah ini satu keanehan? Karena itu sebaiknya dia
berjaga-jaga, berlaku hati-hati. Di satu tempat Wiro membungkuk, berlindung di balik semak
belukar rendah. Dari balik semak belukar Wiro melihat seorang berjubah hitam, berambut
panjang kelabu duduk di bawah pohon. Dua kaki dilipat ke atas, kepala diletakkan di atas ujung
lutut. Setelah sekian lama sembunyi menunggu, suara isak tangis orang di bawah pohon
bukannya reda, tapi semakin keras. Wiro garuk-garuk kepala sambil berpikir-pikir apakah dia
perlu mendatangi orang yang menangis itu dan menyapanya.
“Suara tangisnya semakin keras dan pilu. Jika tidak ada satu hai yang sangat mengganjal hati
pasti orang itu tidak akan menangis di tempat begini sepi, malam hari pula. Dari rambutnya
yang kelabu keputihan jelas dia seorang perempuan lanjut usia.”

Setelah bimbang dan menunggu sebentar akhirnya Wiro bangkit berdiri. Dia melangkah ke arah
pohon. Empat langkah dari sosok orang yang menangis Wiro berhenti. Suara isakan tangis tidak
berhenti, tapi dari tangan yang bergerak Wiro maklum kalau orang yang menangis tahu
kehadirannya. Maka setelah mendehem, dengan suara lembut dan sopan murid Sinto Gendeng
menyapa.

“Orang tua, gerangan kesedihan apakah yang membuatmu sampai menangis di malam hari, di
tempat terpencil begini rupa?” Orang di bawah pohon terus saja menangis. Seolah tidak
mendengar teguran Pendekar 212.

“Jangan-jangan dia tuli,” pikir murid Sinto Gendeng. Maka dia menegur sekali lagi.

“Orang tua, suara tangismu ikut mendatangkan kesedihan dalam diriku. Aku tidak ingin
mengganggumu. Tapi jika aku bisa membantu, hentikan tangismu. Jawab pertanyaanku.
Mengapa kau menangis di tempat ini. Malam-malam begini?” Tiba-tiba dua tangan yang
terletak di ujung lutut bergerak keluar dari balik rambut kelabu. Tangan yang sebelah kanan
mendadak menyambar ke depan. Lima larik sinar hitam mengeluarkan hawa dingin berkelebat
dalam gelapnya malam.

“Breett!” Wiro keluarkan seruan tertahan. Mukanya pucat. Untung dia berlaku sigap. Hanya
baju putihnya yang robek. Waktu tangan orang menyambar dia cepat melompat mundur.
Memandang ke depan dia meiihat bagaimana jari-jari tangan yang menyerang itu memiliki kuku
panjang berwama hitam. Dari keadaan tangan orang Wiro segera maklum kaiau saat itu dia
berhadapan dengan seorang tokoh rimba persilatan berkepandaian tinggi. Sepuluh jari kuku
yang panjang hitam itu past! merupakan senjata andalan. Tapi diam-diam Wiro jadi penasaran
karena masih belum melihat wajah orang. Rambut kelabu panjang riap-riapan menutupi
mukanya.

“Orang tua….” Ucapan Wiro terputus. Orang yang ditegur bergerak mengangkat kepala. Kepala
itu digoyangkan. Rambut yang menutupi muka tersibak. Ketika wajahnya dipalingkan ke arah
Wiro, murid Sinto Gendeng ini melengak kaget ialu bergerak surut due langkah. Orang berjubah
hitam berambut kelabu yang menangis ternyata memiliki muka seram luar biasa. Wajahnya
wajah seorang nenek hancur-hancuran seolah wajah itu cacat bekas dicacah! Tiba-tiba suara
tangis nenek muka setan di bawah pohon sirap. Berganti dengan suara tawa panjang. Lalu
ketika tawa panjang ini sirna, sosoknya bergerak dan tahu-tahu dia sudah berdiri dua langkah di
hadapan Wiro! Wiro seperti mendadak mau kencing dan mundur lagi beberapa langkah. Dia
jadi ingat pada sahabatnya kakek berjuluk Si Setan Ngompol. Dalam hati dia membatin.

“Begini rasanya kalau mendadak kaget. Ingin kencing. Kalau Setan Ngompol hadir di sini pasti
kencingnya sudah mancur kalang kabut!”
“Tadi kau beraninya menegurku! Sekarang kau ketakutan seperti melihat seribu setan! Hik…
hik… hik!”

“Nek, aku tidak mengira….”

“Tidak mengira apa?!” bentak si nenek.

“Tidak mengira kalau wajahku mengerikan seperti ini?!” Dalam kejut dan takutnya Wiro jadi
bicara polos.

“Nek, terus terang memang baru sekali ini aku melihat orang berwajah luar biasa seram
sepertimu ini. Tapi rasa heran dan ingin tahuku lebih besar lagi dibanding rasa takut. Tadi aku
bertanya mengapa kau berada di tempat terpencil ini, malam-malam begini menangis pilu.”

“Kau sendiri mengapa bisa kesasar ke sini? Begitu muncul mau tahu urusan orang lain!”
membentak si nenek.

“Maafkan aku Nek. Bukan maksudku mau tahu urusanmu. Tadi sudah kubilang. Suara tangismu
ikut mendatangkan kesedihan dalam hatiku!” Si nenek tertawa panjang mendengar ucapan
Wiro.

“Kenal tidak, bukan sanak bukan kandangmu, bukan ibu bukan nenekmu! Mengapa kau bisa
ikutikutan sedih?!”

“Nek, aku cuma bermaksud baik….”

“Bermaksud baik! Laki-laki semua sama saja! Tidak muda tidak tua! Punya sifat suka merayu!
Anak muda, kalau ingin bicara manis merayu perempuan, cari gadis muda! Jangan merayu
diriku yang sudah tua bangka begini rupa!” Wiro tertawa lebar. Dalam hati dia berkata.

“Nenek gila! Siapa yang merayu dirinya! Setan beneranpun tidak akan mau merayunya!”

“Kau tertawa! Apa yang kau tertawakan! Ayo katakan! Apa yang kau tertawakan!” Si nenek
tibatiba membentak.

“Aku tertawa karena apa yang kau ucapkan tadi betui adanya, Nek. Mengapa aku merayu
dirimu yang tua bangka begini rupa. Lebih baik merayu gadis cantik! Nah aku pergi dulu Nek.
Aku mau mencari gadis cantik untuk dirayu!” Habis berkata begitu murid Sinto Gendeng
kerutkan hidung dan kedipkedipkan mata lalu memutar badan siap melangkah pergi. Si nenek
melirik ke arah kuda besar di kegelapan, memperhatikan pakaian Wiro yang robek. Bukan cuma
robek bekas sambaran kukunya tadi. Dengan cepat nenek ini melompat menghadang gerakan
Wiro.
“Aku tahu kau datang menunggang kuda besar itu. Aku juga mengenali, kuda dengan dandanan
seperti itu bukan kuda sembarangan. Hanya ada di Keraton. Pakaianmu robek besar di bagian
perut. Hemm…. Anak muda, kukira kau bukan ma.nusia baik-baik. Kau mencuri kuda Istana,
meiarikan diri. Mungkin sebelumnya teiah melakukan satu kejahatan hingga ada yang
menyerangmu. Untung hanya bajumu yang robek, tidak perutmu!”

“Nek, matamu tajam, otakmu cerdik. Aku tidak membantah. Kuda itu milik Patih Kerajaan.
Terpaksa aku curi untuk selamatkan diri….”

“Nah, nah! Betul rupanya dugaanku! Sekarang katakan kejahatan besar apa yang telah kau
lakukan hingga meiarikan diri dengan mencuri kuda Patih Kerajaan?”

“Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa. Beberapa tokoh culas Istana memf itnah, menuduhku
yang bukan-bukan!”

“Hemm, begitu?” Si nenek menyeringai.

“Aku jadi curiga padamu. Coba katakan. Apa fitnah dan tuduhan yang bukan-bukan itu?”

“Ah, kau seperti tengah menyelidikiku! Tapi tidak ada salahnya kujawab semua pertanyaanmu.
Pertama aku dituduh membunuh perempuan muda bernama Kinasih, istri mendiang juru ukir
Keraton bernama Sura Kalimarta….”

“Padahal kau memang membunuh perempuan itu bukan? Hik… hik… hik!” si nenek kembali
menyeringai lalu tertawa cekikikan. Wiro menggeleng.

“Aku malah juga dituduh sebagai pembunuh juru ukir itu! Sial! Dan katanya juga harus ikut
bertanggung jawab atas ienyapnya keris pusaka Keraton bernama Kiai Naga Kopek! Gila!”

“Siapa yang gila?!” tanya si nenek.

“Patih Kerajaan! Para tokoh silat Istana!” jawab Wiro. Si nenek manggut-manggut lata tertawa
panjang. Begitu tawanya lenyap dia berkata.

“Kalau kau tidak membunuh Kinasih dan suaminya lalu siapa yang melakukan? Setan? Kalau kau
tidak mencuri keris Kiai Naga Kopek lalu siapa yang melakukan? Setan?! Hik… hik… hik!”

“Siapa pembunuh Kinasih dan suaminya mana aku tahu! Kalau keris pusaka Keraton itu
memang aku pernah melihatnya. Dirampok oleh Warok Mata Api dari Alas Roban. Lalu dijarah
oleh seorang pemuda tak dikenal!” Tiba-tiba saja saat itu Wiro ingat.

“Astaga!” Wiro berseru tertahan.


“Apa yang astaga!” tanya si nenek. Wiro tak menjawab. Kepalanya digaruk berulang kali.
Mulutnya berucap perlahan.

“Aku ingat kini! Orang berpakaian kuning bercelana hitam, menunggang kuda coklat, yang
menyelamatkan Ki Sepuh Item! Dia adalah pemuda yang sama yang membunuh Warok Mata
Api dan anak buahnya! Yang menjarah kotak-kotak barang perhiasan dan uang emas milik
Keraton. Termasuk yang merampok keris Kiai Naga Kopek. Waktu itu aku dan Kinasih
menyaksikan dengan mata kepala sendiri! Kalau tidak salah dia mengaku bernama Damar
Wulung.” (Baca Episode sebelumnya berjudul “Roh Dalam Keraton“) Si nenek muka setan
memperhatikan kelakuan Wiro yang bicara perlahan seorang diri.

“Bangsat gondrong ini kurang waras otaknya rupanya…” kata si nenek dalam hati. Lalu kembali
dia membentak.

“Gondrong otak miring! Racau apa yang barusan keluar dari mulutmu! Apa yang astaga?!”

“Pencuri keris pusaka itu Nek. Aku ingat, aku tahu orangnya!”

“Siapa?!” si nenek delikkan mata.

“Seorang pemuda bernama Damar Wulung. Kau kenal atau mungkin pernah tahu orangnya?”
Nenek muka setan gelengkan kepala.

“Kau sengaja menuduh orang lain, untuk menghindari diri dari tuduhan dan kejahatanmu
sendiri.”

“Terserah kau mau bicara apa. Aku tak ingin mengganggumu lebih lama. Aku mau pergi saja….”

“Kau takut orang-orang Kerajaan akan memergokimu di sini?”

“Selama aku tidak bersalah, aku tidak takut pada siapapun,” jawab Wiro tandas.

“Kau boleh pergi, tapi jawab dulu beberapa pertanyaanku!”

“Walah, dapat urusan lagi!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.

“Baik Nek, lekaslah. Apa yang hendak kau tanyakan.”

“Kau pernah mendengar seorang bernama Rana Suwarte?”

“Tidak.” Si nenek terdiam. Dia seperti tengah berpikir-pikir.

“Pertanyaanmu cuma satu itu, Nek?” “Menurutmu, apakah seseorang bisa kawin dengan orang
yang tidak dicintainya?” Wiro tidak menyangka ditanya begitu.
“Nenek satu ini, aneh pertanyaannya. Nah, nah! Biar aku permainkan dia.”

“Nek, yang namanya orang itu, tentu saja bisa kawin dengan siapa saja! Namanya juga kawin!
Tapi kalau nikah, nah itu baru urusan lain! Tidak bisa sembarangan!”

“Pemuda kurang ajar! Yang aku maksud memang kawin secara benar! Nikah! Bukan kawin-
kawinan! Gondrong, kau pasti suka dan sering kawin-kawinan ya?!” Wiro tertawa gelak-gelak
sampai keluar air mata.

“Kau tertawa! Berarti benar dugaanku!”

“Nek, kau pasti tengah menghadapi masalah rumit, sangat menyedihkan. Sampai-sampai
memencilkan diri di malam buta begini rupa, di tempat sepi seperti ini, menangis berpilu-pilu.”

“Pemuda geblek! Jangan kau berani bicara macam-macam! Nanti kujadikan semacam kau baru
tahu!” Wiro tersenyum, tidak perdulikan ucapan orang.

“Nek, apakah orang bernama Rana Suwarte itu ada sangkut pautnya dengan semua
kesedihanmu saat ini? Apakah kau hendak menikah dengannya?” Si nenek tergagau mendengar
ucapan Wiro. Matanya mendelik, tapi perlahan-lahan mengecil kembali.

“Pemuda ini, tampangnya tolol, otaknya rada-rada miring. Tapi bagaimana dia bisa menduga
hubunganku dengan Rana Suwarte?”

“Bocah gendeng! Siapa yang mau menikah dengan Rana Suwarte! Enak saja kau bicara!” Wiro
garuk kepala, tertawa lebar.

“Kalau bukan dengan dia, pasti dengan seorang lain. Tapi yang bernama Rana Suwarte itu
rupanya menjadi penghalang. Atau ada orang yang memaksamu kawin dengan Rana Suwarte.
Padahal kau mencintai seorang lain.” Dalam hati Wiro berkata.

“Sudah tua bangka begini rupa, berwajah lebih angker dari setan. Apa iya ada lelaki yang suka
padanya?” Tersirap darah si nenek mendengar ucapan murid Sinto Gendeng tadi.

“Pemuda sinting aneh. Bagaimana dia bisa menduga apa yang tengah terjadi dengan diriku!”
kata si nenek dalam hati. Wiro garuk lagi kepalanya, lantas berkata.

“Nek, maafkan kalau kehadiranku mengganggumu. Aku harus pergi sekarang. Kau boleh
kembali ke bawah pohon sana dan meneruskan tangismu tadi sampai tiga hari tiga malam. Ha…
ha… ha!”

“Benar-benar kurang ajar! Jangan harap kau bisa pergi sebelum menjawab pertanyaanku yang
satu ini!” Sekali berkelebat si nenek tahu-tahu sudah berada di depan Wiro. Lima jari tangan
kanannya yang berkuku panjang hitam mencengkeram di batang leher sang pendekar. Wiro
terkesiap sesaat lalu mulut usilnya kembali bicara.

“Walah, apalagi yang hendak kau tanyakan, Nek. Hemm…. Aku tahu. Kau pasti mau
menanyakan dimana tukang rias paling handal yang bisa mendandanimu kalau nanti
melangsungkan pernikahan! Bukan begitu?!” Nenek bermuka setan memaki panjang pendek.
Tapi kemudian wajahnya agak mesem-mesem lalu dia lepaskan cengkeraman lima jari
tangannya di leher Wiro dan tertawa gelak-gelak

“Apa pertanyaanmu Nek?” Wiro mendesak.

“Kau kenal dengan seorang bocah bernama Naga Kuning?” Kagetlah murid Sinto Gendeng
mendengar pertanyaan ini.

“Bola matamu kulihat membesar dalam gelap! Berarti kau memang kenal dengan anak itu!”

“Lebih dari kenal Nek!” jawab Wiro.

“Hai! Apa maksudmu dengan ucapan itu?!” Wiro melihat nenek di hadapannya seperti
tersenyum dan ada bayangan harapan di balik keseraman wajah setan itu.

***

212

WIRO pandang wajah setan si nenek seketika lalu berkata.

“Naga Kuning, bocah konyol, dia sahabatku. Saat jni justru aku tengah mencari-carinya.”

“Naga Kuning sahabatmu katamu? Bagaimana mungkin pemuda dewasa sepertimu punya
sahabat seorang anak seusia duabelasan tahun….”

“Naga Kuning bukan anak sembarangan Nek. Ilmunya tinggi. Selain itu kami bertiga….”

“Kami bertiga siapa maksudmu?” memotong si nenek.

“Aku, Naga Kuning dan seorang kakek bernama Setan Ngompol….”

“Setan Ngompol! Aku pernah mendengar nama kakek bau pesing itu! Lanjutkan ceritamu, anak
muda,” kata si nenek muka setan.

“Karena senasib sepenanggungan, kami bertiga sudah sama mengangkat diri sebagai
saudara….”
“Hemm, rupanya ada satu kejadian besar yang membuat kalian saling mengangkat jadi saudara.
Kejadian apa?”

“Kalau kuceritakan, kau belum tentu mau percaya,” kata Wiro pula. Si nenek menyeringai.

“Tergantung kadar kedustaan dalam ceritamu!” Wiro berpikir sebentar.

“Baiklah, tak ada salahnya kuceritakan padamu. Soal percaya atau tidak itu urusanmu sendiri.”
Lalu murid Sinto Gendeng ini menuturkan riwayat bagaimana dia, Naga Kuning dan Setan
Ngompol terpesat ke negeri Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu.

“Ketika batu sakti Pembalik Waktu pecah dan Istana Kebahagiaan Hancur, semua orang yang
ada dalam Isana itu termasuk aku, Naga Kuning dan Setan Ngompol, terlempar melesat ke
udara seolah menjebol langit. Tahu-tahu aku jatuh terpesat di satu bukit karang tak jauh dari
Teluk Penanjung kawasan Pangandaran. Di situ aku menemui beberapa orang tokoh aneh.
Bahkan nyawaku hampir dihabisi oleh sepasang momok berjuluk Momok Dempet Kaki Kuda.
Kemudian ketika aku mengalami nasib sial dibekuk dan dijebloskan ke penjara Kerajaan, di
penjara aku bertemu dengan sahabatku Setan Ngompol. Kalau tidak ditolong seorang sahabat
kami berdua tidak mungkin lolos.”

“Hemm…. Bisa lolos dari penjara Istana bukan satu pekerjaan mudah. Tidak sembarang orang
mampu berbuat begitu, apalagi menyelamatkan dua orang sekaligus. Aku jadi kepingin tahu,
siapa sahabat yang menolongmu dan Setan Ngompol itu?” Wiro tak segera menjawab tapi
menggaruk kepala lebih dulu. Melihat hal ini si nenek lantas berkata.

“Dari tadi aku melihat kau suka menggaruk-garuk kepala. Apa kau jarang mandi? Mungkin cuma
sekali setahun? Hik… hik! Pantas kau kelihatan gemuk, padahal gemuk tebalnya daki! Hik… hik!”
Wiro menyeringai.

“Kalau kau mau tahu Nek, sahabat yang menolong aku itu seorang gadis cantik….”

“Nah… nah!”

“Tapi dia bukan manusia utuh. Setengah roh….”

“Makhluk halus jejadian?” ujar si nenek.

“Bisa dikatakan begitu.”

“Luar biasa! Baru sekaii ini aku mengetahui ada anak manusia bersahabat dengan gadis cantik
setengah roh setengah manusia. Jangan-jangan kalian bukan cuma bersahabat, tapi saling
bercinta! Eh, aku mau tanya anak muda. Jangan-jangan kau sendiri juga makhluk halus
jejadian.” Wiro tertawa lebar.
“Asal aku berteman dengan setan tua sepertimu, aku tidak keberatan kau sebut sebagai
makhluk halus jejadian. Kabarnya setan dan makhluk halus jejadian masih ada kaitan saudara!
Ha… ha… ha!”

“Hik… hik… hik!” Si nenek ikut tertawa cekikikan. Diam-diam dia mulai merasa senang dengan
pemuda yang baru dikenalnya ini.

“Aku masih mau melanjutkan ceritaku Nek. Kau masih mau mendengar?”

“Tentu-tentu!” jawab si nenek.

“Setelah lolos dari penjara aku dan Setan Ngompol berpisah. Aku sudah menemukan Setan
Ngompol, tapi belum ketemu Naga Kuning. Aku belum dapat memastikan apakah anak itu ikut
terlempar dan melesat kembali ke tanah Jawa ini.”

“Aku malah sudah bertemu dengan dia. Sudah dua kali!” kata si nenek. Wiro terkejut

“Kalau kau sudah bertemu dengan bocah itu, mengapa dan apa perlunya bertanya padaku?”

“Dua kali berjumpa, dua kali muncul keraguan dalam hatiku. Karena sosoknya yang kulihat dua
kali itu bukan sosok yang pernah kukenal puluhan tahun silam. Sulit dipercaya ada manusia bisa
berganti wajah, apa lagi berubah bentuk sosoktubuhnya. Aku khawatir kalau-kalau bocah itu
bukan dia….”

“Dia siapa Nek?” tanya Wiro.

“Aku tidak bisa mengatakan padamu….”

“Rupanya ganjalan hidupmu sangat berat. Hingga kau tidak percaya begitu saja pada semua
orang, termasuk aku. Tapi kalau hidup tidak bisa memberikan rasa percaya, kau bakal
menghadapi banyak kesulitan Nek.” Si nenek menyeringai. Dia mendongak memandang langit
malam yang hitam gelap.

“Dalam hidup kita memang tidak boleh percaya polos-polos saja pada semua orang. Itu kalau
mau selamat. Tapi dengar, anak muda. Aku akan berterus terang dan bercerita lebih banyak
padamu, asal kau mau memberitahu kau ini sendiri siapa adanya. Tadi walau bajumu robek,
tapi kau telah sanggup menghindar dari serangan Lima Cakar Langit yang aku lancarkan. Hanya
sedikit saja tokoh silat di tanah Jawa ini yang sanggup selamatkan diri dari serangan itu! Aku
benar-benar ingin tahu siapa kau ini sebenarnya. Awas, jangan berani berdusta!”

“Seperti kau lihat, aku seorang pemuda gondrong, yang katamu cuma mandi setahun sekali,
otaknya rada-rada miring dan badannya gemuk karena ketebalan daki!” Si nenek tertawa lebar.
“Anak tolol! Maksudku bukan itu! Sebagai manusia kau tentu punya nama. Kalau kau orang
rimba persilatan tidak mustahil punya julukan. Kalau kau orang hebat lantas siapa gurumu….”

“Apa kau juga ingin tahu apa aku sudah punya bini atau belum?”

“Menurut dugaanku kau belum punya bini. Tapi bini-binian mungkin banyak. Hik… hik… hik!”

“Kalau aku katakan siapa diriku, apa kau juga mau menceritakan siapa dirimu?” Si nenek muka
setan mengangguk.

“Aku berjanji, tapi dengan satu syarat kau tidak akan mengatakan pada siapapun. Termasuk
Setan Ngompol dan bocah bernama Naga Kuning itu.”

“Aku berjanji!” kata Wiro pula.

“Namaku jelek. Wiro. Lebih jelek lagi karena ada tambahan nama Sableng di belakang nama
Wiro itu.” Wajah setan si nenek berubah. Kakinya tersurut sampai beberapa langkah. Matanya
membeliak, menatap tak berkesip.

“Jadi, jadi kau… kau Wiro Sableng?!” Wiro mengangguk.

“Si geblek yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?” Wiro mengangguk lagi.

“Murid nenek kurang ajar bernama Sinto Gendeng yang diam di puncak Gunung Gede?” Wiro
pencongkan mulut mendengar gurunya disebut sebagai nenek kurang ajar. Tapi kemudian
kepalanya kembali dianggukkan.

“Waktu kecil, bukankah namamu sebenarnya adalah Wiro Saksana?” Pendekar 212 Wiro
Sableng terkejut.

“Bagaimana kau bisa tahu nama asliku Nek?” tanya Wiro.

“Setan… setan!”

“Eh, mengapa kau memaki setan-setan segala Nek?” tanya Pendekar 212 heran. Si nenek
menjawab dengan tawa panjang. Kepalanya didongakkan ke langit. Sepasang matanya seolah
ingin menembus kepekatan gelapnya malam.

“Aku tahu namamu sejak kau berusia enam tahun.” Rasa heran Wiro semakin bertambah.

“Waktu itu aku… aku berada di puncak Gunung Gede,” kata Wiro pula.

“Apa… apa kau juga ada di sana?” Si nenek geleng-gelengkan kepala.


“Ada satu kisah menyangkut dirimu pada masa puluhan tahun silam. Yang kurasa kau sendiri
tidak pernah mengetahui. Dan kurasa Sinto Gendeng juga tidak pernah menceritakan.”

“Kisah apa Nek?” tanya Wiro, heran dan ingin tahu.

“Selagi kau masih digembleng Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede, seorang sahabat pernah
datang ke tempat kediamanku. Waktu itu aku menetap di pantai selatan. Sahabat itu
memberitahu bahwa di tempat kediaman Sinto Gendeng di Gunung Gede ada seorang anak
kecil. Anak itu menurut pengamatannya memiiiki susunan tulang, urat dan otot nyaris
sempurna. Anak seperti itu suiit dicari. Mungkin tidak akan ditemukan satu dafam seratus
tahun. Di masa mendatang dia kelak akan menjadi seorang pendekar besar. Sahabat itu ingin
mengambilmu jadi muridnya. Tapi tentu saja sulit terlaksana karena Sinto Gendeng sudah
mengambil si anak menjadi murid. Sahabatku lalu berniat menculik anak itu lalu membawanya
ke tempatku untuk digembleng bersama-sama. Anak itu adalah engkau yang waktu itu masih
bernama Wiro Saksana.”

“Kalau aku boleh tahu, siapakah sahabatmu yang hendak menculik diriku itu?” Wiro bertanya.

“Namanya Sukat Tandika….”

“Sukat Tandika? Astaga?!” Wiro terkejut besar.

“Nek, bukankah dia si Tua Gila, tokoh rimba persilatan dari Andalas?” Si nenek mengangguk.

“Aku tak pernah tahu. Juga tidak menyangka. Eyang Sinto Gendeng tidak pernah menceritakan,
mungkin beliau tidak tahu adanya rencana penculikan itu. Aku sering bertemu dengan Tua Gila.
Malah ketika aku datang ke pulau Andalas, aku sempat bertemu dan diajarkannya beberapa
ilmu silat. Sebenarnya kalau Tua Gila punya niat baik, mengapa dia tidak bicara langsung
dengan guruku?” (Mengenai riwayat pertemuan Wiro dengan Tua Gila pertama kali harap baca
serial Wiro Sableng berjudul “Banjir Darah Di Tambun Tulang.”)

“Pada saat kau diambil murid oleh Sinto Gendeng, antara gurumu dengan Tua Gila masih ada
silang sengketa gara-gara cinta di masa muda. Setahuku Sinto Gendeng sangat mencintai Tua
Gila. Tapi lelaki itu meninggalkannya, terpikat dan kawin dengan seorang janda. Cinta kasih
Sinto Gendeng berubah menjadi sejuta kebencian. Bila ada kesempatan dia ingin membantai
Tua Gila. Untung saja belakangan dimasa tua antara keduanya terdapat saling pengertian dan
melupakan semua hal yang terjadi di masa muda. Sejak patah hati dengan Tua Gila, kabarnya
gurumu gentayangan kemanamana, bercinta dengan setiap pemuda gagah dan berilmu yang
dijumpainya.” Lama Wiro terdiam mendengar kisah yang dituturkan nenek muka setan itu.
Setelah gelengkan kepala dan menggaruk Wiro berucap.

“Sekarang giliranmu Nek. Kau sendiri siapa adanya?”


“Rasanya aku tidak bisa mempercayai kalau saat ini benar-benar berhadapan dengan Pendekar
212. Tapi baiklah. Aku harus memegang janji. Mengenai diriku, aku terlahir dengan nama Ning
Intan Lestari…” Wiro tercengang mengetahui si nenek punya nama demikian bagus. Tidak
sesuai dengan keadaan mukanya yang seperti setan. Dalam hati murid Sinto Gendeng ini
berkata.

“Kau ini rupanya keberatan nama Nek. Nama bagus selangit tembus, tapi tampang jelek sebumi
hangus!” Melihat pemuda di hadapannya seperti terkesiap, si nenek tersenyum.

“Aku tahu apa yang ada di dalam benakmu. Hatimu mungkin berkata, bagaimana aku si muka
setan ini punya nama sebagus yang barusan aku katakan. Itulah kehidupan. Terkadang
kenyataan yang kita lihat tidak sesuai dengan keadaan yang kita harapkan. Penglihatan mata
tidak selalu sama dengan suara hati nurani….”

“Nek, kata orang apalah artinya nama. Lalu wajah yang buruk sepertimu tidak seiamanya
menyiratkan keadaan pribadi yang sesungguhnya. Kau boleh punya muka setan namun hatimu
mungkin lebih tulus, lebih bersih dan lebih baik dari seorang bidadari….” Si nenek tertawa
panjang. Dalam hatinya ada sekelumit rasa bahagia mendengar ucapan Wiro itu walau
perasaan itu terbungkus oleh perasaan lain, yakni perasaan sedih.

“Di usia tua bangka seperti ini, orang-orang menjuluki aku Gondoruwo Patah Hati”

“Gondoruwo Patah Hati,” mengulang Wiro sambil garuk-garuk kepala.

“Maaf Nek, Gondoruwo rasanya memang cocok dengan keadaan wajahmu. Tetapi mengapa
ada tambahan Patah Hati?”

“Nasibku tidak jauh berbeda dengan gurumu Sinto Gendeng. Di masa muda aku pernah
bercinta dengan seorang pemuda. Kemudian dia lenyap begitu saja tanpa kabar berita. Kalau
Sinto Gendeng masih bisa menjalani hidup dan bercinta dengan siapa saja yang disukainya,
sebaliknya aku memencilkan diri. Tak ada keinginan untuk mencari pemuda lain, apalagi
menjalin cinta kasih baru. Aku seolah-olah sirna dari rimba persilatan. Hanya ada satu dua
tokoh yang mengetahui keadaanku dan dimana aku berada. Merekalah yang memberikan gelar
Gondoruwo Patah Hati padaku. Dalam masa menyembunyikan diri itu, aku menemukan
seorang anak. Dia kugembleng menjadi seorang pendekar sakti mandraguna. Dua tahun lalu dia
kulepas pergi. Namun apa jadinya dia dikemudian hari tidak dapat kupastikan. Belakangan aku
sering kedatangan mimpi-mimpi buruk menyangkut diri muridku itu.”

“Kalau aku boleh tahu, siapa nama muridmu itu?” bertanya Wiro.

“Namanya Adisaka. Kau pernah kenal, atau pernah dengar?” Wiro menggeleng.

“Sekian lama kau memencilkan diri, lalu mengapa sekarang kau muncul lagi dalam rimba
persilatan?” bertanya Wiro.
“Kalau aku boleh bertanya, siapa orang yang sangat kau cintai itu, lalu meninggalkan dirimu
begitu saja?”

“Tak ada salahnya aku ceritakan padamu. Karena aku punya firasat, kau satu-satunya orang
yang bisa menolongku.”

“Terima kasih kau punya kepercayaan seperti itu,” kata Wiro. Dia pandangi wajah si nenek,
menunggu apa yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati. Tempat itu sesaat berada dalam
kesunyian. Tiba-tiba kesunyian itu dirobek oleh geiegar bentakan, merobek kesunyian,
melabrak kegelapan.

“Nenek muka setan! Kepercayaanmu hanya satu kesia-siaan! Pemuda itu tidak mampu
menolongmu! Karena Kerajaan telah memutuskan untuk memancung kepalanya di tempat!”
Pendekar 212 dan Gondoruwo Patah Hati samasama terkejut dan palingkan kepala. Mereka
baru menyadari kalau tempat itu telah dikurung oleh banyak orang!

212

PENDEKAR 212 tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sementara Gondoruwo Patah
Hati tetap tenang-tenang saja. Yang mengurung tempat itu ternyata adalah orangorang
Kerajaan dan para tokoh silat Istana. Tetapi anehnya dalam rombongan tersebut bergabung
pula beberapa tokoh yang tidak dikenal atau belum pernah dilihat oleh Wiro. Di bawah bayang-
bayang gelap pohon besar berdiri Selo Kaliangan, Patih Kerajaan yang kudanya dilarikan Wiro.
Di sebelah kirinya kelihatan si jubah kelabu berenda kuning Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dia
memandang pada Wiro seperti mau menerkam dan mengunyah murid Sinto Gendeng. Dendam
kesumatnya terhadap Pendekar 212 memang tidak terkirakan.

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Gondoruwo Patah Hati) ketika terjadi
perkelahian antara Wiro dengan Hantu Muka Licin, untuk menyelamatkan diri dari serangan
Wiro, Hantu Muka Licin terpaksa melompat dan bergelantungan di cabang sebuah pohon. Saat
itulah sebuah benda kecil melesat, menyambar putus celana hitam yang dikenakan Hantu Muka
Licin. Begitu tali celana putus dan celana itu merosot jatuh ke tanah, Tak ampun lagi Hantu
Muka Licin tersingkap bugil tubuhnya sebatas pinggang ke bawah! Walau bukan Wiro yang
berlaku jahil memutus tali celana Hantu Muka Licin, tapi Hantu Muka Licin menganggap
Wirolah yang jadi biang kerok membuatnya malu besar begitu rupa. Di samping kanan Patih
Kerajaan berdiri tokoh silat istana bernama Jalak Kumboro berjuluk Pendekar Keris Kembar.

Tokoh silat Istana berikutnya adalah si muka merah dikenal dengan julukan Sanca Merah
Bengawan Solo. Lalu di situ tampak pula Tumenggung Cokro Pambudi. Wiro memandang ke
belakang. Di sana berdiri tokoh silat Istana Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Manusia satu
ini berdiri sambil senyumsenyum memandang pada Wiro. Dia tersenyum mungkin masih ingat
kejadian bagaimana Hantu Muka Licin berbugil ria menggelantung di atas cabang pohon. Di kiri
kanan tokoh bisu ini ada beberapa tokoh silat yang belum pernah dilihat Wiro sebelumnya.
Salah satu diantaranya adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, berpipi sangat cekung.
Bibirnya tak bisa dirapatkan karena giginya tonggos menjorok keluar. Di tangan kanan kakek ini
memegang sebilah tombak yang ujungnya digelantungi dua ekor ular hitam bertotol kuning!
Jelas dua ekor binatang itu sangat berbisa.

Di kalangan para tokoh silat Istana kakek ini dikenal dengan julukan Setan Bertongkat Ular.
Sebenarnya dia sendiri bukan tokoh silat Istana. Kalau dia muncul disitu berarti ada yang
mengundang atau meminta bantuannya. Di belakang para tokoh silat Istana itu, mengurung
dalam bentuk lingkaran puluhan perajurit.

“Hebat, mereka berhasil mengejar dan memergoki diriku dalam waktu sangat cepat…” kata
Wiro dalam hati. Di jurusan lain tegak satu sosok tinggi besar berjubah putih menjeia tanah. Di
atas kepalanya ada sebuah tudung tinggi berlapis kain hitam hingga kepala dan sebagian
wajahnya tertutup tidak terlihat, tidak bisa dikenali. Sambil mendugaduga siapa adanya orang
ini Wiro melirik ke samping kiri. Darahnya tersirap. Yang tegak disitu ternyata adalah Luhjahilio,
tokoh jahat Negeri Latanahsilam. Rambutnya yang hitam riap-riapan menutupi sebagian
wajahnya yang hancur menyeramkan. Potongan tangan kanannya masih menempel di atas
keningnya.

“Jahanam satu ini ternyata ikut terpesat ke Tanah Jawa. Dia muncul sendirian, dimana
gendaknya bernama Lajahilio.” Wiro sempatsempatnya berkata dalam hati. Wiro melirik
kembali pada si tinggi besar bertudung tinggi dengan lapisan kain hitam.

“Aku rasa-rasa bisa menerka bangsat satu ini. Jangan-jangan….” Masih ada satu orang lagi yang
tidak dikenal Wiro. Orang ini berdiri di sisi kanan Luhjahilio. Dia adalah seorang kakek berwajah
bersih, mengenakan pakaian ringkas serba biru. Wiro tidak mengenal orang ini. Dia
menganggap kakek berpakaian serba biru ini adalah salah satu tokoh silat kaki tangan Istana.
Sebaliknya dengan si nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Kalau sebelumnya dia tenang-
tenang saja tapi darahnya jadi tersirap ketika melihat kakek berpakaian biru itu. Orang ini bukan
lain adalah Rana Suwarte, lelaki yang dimasa mudanya menyukai dirinya. Bahkan belum lama
ini muncul bersama ayah angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai meminta agar si
nenek mau menikah dengan kakek bernama Rana Suwarte itu,

“Heran, mengapa dia bisa muncul bersamasama orang Kerajaan?” pikir Gondoruwo Patah Hati.
Si nenek tidak mengetahui, sejak niat baiknya ditolak, Rana Suwarte telah menanam kebencian
teramat besar terhadap Gondoruwo Patah Hati. Dia sudah punya niat jahat. Kalau dia tidak bisa
mendapatkan Ning Intan Lestari alias Gondoruwo Patah Hati, maka orang lain yang dicintai Ning
Intan Lestari akan dicelakainya hingga tidak dapat pula memiliki si nenek. (Baca Episode
sebelumnya berjudul “Gondoruwo Patah Hati“) Seperti diketahui, orang yang diincar dan
hendak dicelakai Rana Suwarte adalah Naga Kuning. Ketika dia mendengar kabar pasukan
Kerajaan hendak menangkap Pendekar 212 yang diketahuinya adalah sahabat dekat Naga
Kuning, maka untuk menyirap kabar dimana beradanya Naga Kuning dia bergabung dengan
pasukan Kerajaan. Bagaimanapun si nenek terkejut melihat munculnya Rana Suwarte di tempat
itu namun dia segera dapat menguasai diri. Berdiri saling memunggung dengan Pendekar 212 si
nenek berbisik.

“Aku tidak ada permusuhan dengan orang-orang ini. Lebih baik aku angkat kaki dari sini.
Apakah kau sanggup menghadapi mereka seorang diri?”

“Nek, aku tak mau melibatkan dirimu dalam urusanku. Orang-orang Kerajaan ini rupanya keras
kepala. Mereka pasti datang dengan segudang fitnah tuduhan. Apalagi sebeiumnya aku telah
membunuh dua orang pentolan mereka. Momok Dempet Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam.
Kalau kau mau pergi cepatlah berlalu. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Jika umurku panjang
aku akan mencarimu untuk mendengar kelanjutan kisahmu yang tadi terputus. Kalau umurku
pendek, harap kau mau menunggu diriku di emperan neraka. Terus terang aku belum tentu
bakalan masuk sorga! Ha… ha… ha!” Si nenek Gondoruwo Patah Hati ikut tertawa mengekeh
mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Lalu dia berkata.

“Wiro, tadi aku hanya bergurau. Kau jangan khawatir. Waiau kita baru saja bertemu tapi kita
telah menjalin persahabatan. Ketika seorang sahabat dalam kesulitan dan bahaya besar,
masakan aku tidak tahu diri meninggalkanmu begitu saja. Aku akan tetap bersamamu di sini.”

“Terima kasih Nek. Wajahmu memang seperti setan. Tapi seperti yang aku bilang hatimu putih
bersih, tu!us dan lebih baik dari seorang bidadari! Walau cuma bidadari kesasar!”

“Sialan kau!” Si nenek memaki tapi dia keluarkan suara tawa panjang mengikik.

“Anak sableng, kau dengar baik-baik. Dalam menghadap orang-orang ini, kalau mau sama-sama
selamat kau harus ikuti apa yang aku bilang.”

“Cepat bilang Nek. Patih Kerajaan kulihat sudah memberi isyarat pada beberapa tokoh silat di
dekatnya. Agaknya mereka segera akan bergerak,” kata Wiro pula.

“Keluarkan kapak dan batu saktimu! Begitu mereka menggebrak hantam dua kali dengan lidah
api. Arahkan serangan pertama pada kakek yang memegang tombak ular. Saat ini dia yang
paling berbahaya. Serangan kedua terserah kau mau melabrak siapa saja tapi usahakan lidah
apimu melewati atas bahu kananku!”

“Aku akan lakukan Nek,” kata Wiro walau dalam hati dia bertanya mengapa si nenek meminta
dia melakukan hal yang terakhir diucapkannya. Dengan cepat Wiro mengeluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212 dan batu hitam.

“Satu lagi, dengar apa yang aku bilang. Kita tidak perlu berlaku bodoh menghadapi orang-orang
gila ini sampai hidup mati di tempat ini. Kita yang hidup, mereka yang mati! Begitu aku melihat
kesempatan aku akan membawamu keluar dari tempat celaka ini. Tapi kau harus memberi
pelajaran pada salah satu dari mereka. Siapa yang akan kau pilih?”
“Patih Kerajaan. Selo Kaliangan!” jawab Wiro.

“Tepat!” kata si nenek.

“Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya?”

“Akan kubuat dia malu seperti kejadian dengan Hantu Muka Licin. Akan kutanggalkan
celananya!” jawab Wiro. Si nenek tersenyum.

“Boleh juga! Tapi pekerjaan itu biar aku yang melakukan. Kau lihat saja apa yang akan aku
perbuat. Hik… hik.. hik!” Si nenek tertawa cekikikan seolah ada yang sangat lucu bakal terjadi.
Sebenarnya sejak tadi Patih Selo Kaliangan dan para tokoh silat Istana merasa sangat jengkel,
merasa dianggap remeh. Wiro dan si nenek mereka lihat saling bisik lalu tertawa-tawa. Seolah-
olah keduanya tidak takutkan bahaya dan menganggap mereka tidak ada di tempat itu. Patih
Selo Kaliangan mengangkat tangan kanan. Para tokoh silat di kedua sisinya segera bersibak,
memberi jalan sambil sekaligus memperciut lingkar kurungan.

“Pendekar 212!” Sang Patih berseru dengan suara besar parau membahana.

“Sekali ini kami tidak akan memintamu menyerahkan diri hiduphidup. Kerajaan telah
memutuskan untuk menghabisimu dimana saja kami menemuimu! Namun sebelum riwayatmu
kami tamatkan, kami melihat ada seorang tokoh bersamamu. Kalau aku tidak salah menduga,
orang disampingmu adalah nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati. Benar?!”

“Tanya saja sendiri langsung pada orangnya! Mengapa malu-malu kucing. Dia kan bukan
seorang gadis cantik! Mengapa bertanya padaku?!” Wiro menyahuti setengah mengejek.

“Hik… hik… hik!” Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro barusan.
Merah padam muka Patih Kerajaan.

“Gondoruwo Patah Hati, kami masih mau menghormati dirimu. Harap kau segera tinggalkan
tempat ini!”

“Aku memilih tetap berada di tempat ini. Agaknya di sini akan banjir darah. Ini memang yang
aku tunggu. Gondoruwo sudah lama tidak minum darah segar! Hik… hik… hik!”

“Kau rupanya sengaja memilih mati! Jangan menyesal kalau nasibmu lebih buruk dari pemuda
itu!” kata Patih Kerajaan.

“Intan!” tiba-tiba Rana Suwarte berseru.

“Jangan jadi orang toloi! Lekas tinggalkan tempat ini!” Si nenek menyeringai, memandang pada
kakek bermuka jernih itu lalu menjawab.
“Rana Suwarte!” si nenek berucap. Wiro kaget. Tidak mengira kalau kakek yang ditegur itu
adalah Rana Suwarte yang sebelumnya ditanyakan si nenek. Dalam hati Wiro menduga, bukan
mustahil memang kakek satu ini adalah kekasih di masa muda Gondoruwo Patah Hati.
Sementara itu dengan tenang si nenek lanjutkan ucapannya.

“Aku tidak tahu sejak kapan kau jadi kaki tangan Kerajaan. Kau akan lihat! Siapa yang toloi
antara kami berdua dengan kalian semua!” Habis berkata begitu si nenek tusukkan sikut
kanannya ke punggung Wiro. Inilah tanda yang ditunggu murid Sinto Gendeng. Pendekar 212
serta merta berbalik. Dua tangan yang memegang batu dan kapak bergerak cepat. Begitu dua
benda sakti itu beradu keras, lidah api menyembur dahsyat, berkiblat ke arah Setan Bertongkat
Ular. Tidak mengira akan dijadikan korban serangan mendadak begitu rupa kejut kakek berpipi
cekung ini bukan alang kepalang. Tapi sebagai seorang tokoh silat luas pengalaman dia cepat
menguasai diri.

“Wusss!”

Lidah api menyambar di bawah kakinya, nyaris menghanguskan ujung kaki celananya. Sambil
melompat ke udara si kakek bergigi tonggos ini berteriak marah. Dia tusukkan tongkatnya ke
arah Wiro. Dua ekor ular hitam bertotol kuning yang sejak tadi meiingkar di ujung tombak
keluarkan suara mendesis lalu laksana anak panah melesat ke arah Pendekar 212. Pada saat itu
pula dibawah pimpinan Patih Selo Kaliangan, para tokoh silat Istana segera menggebrak
menyerbu ke arah dua orang musuh di tengah kalangan pertempuran. Kebanyakan dari mereka
mengandalkan tangan kosong. Hanya Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro yang menghunus
dua bilah kerisnya. Sepasang senjata ini memancarkan sinar hitam angker pertanda
mengandung kekuatan hebat serta racun jahat.

“Serangan kedua!” Gondoruwo Patah Hati berteriak.

Wiro tahu apa yang harus dilakukannya. Untuk ke dua kali batu hitam dipukulkan ke mata
kapak sakti. Seperti yang diminta si nenek, Wiro sengaja mengarahkan demikian rupa hingga
lidah api menyambar dua jengkal di atas bahu Gondoruwo Patah Hati. Wiro yang tidak tahu apa
maksud si nenek meminta dia berbuat begitu jadi melengak besar ketika melihat apa yang
kemudian terjadi.

Pada saat lidah api tepat di atas bahunya, tanpa menoleh Gondoruwo Patah Hati angkat tangan
kanannya. Saat itulah Wiro melihat bagaimana lima jari tangan kanan si nenek sampai ke kuku
berubah menjadi sangat merah seperti bara api. Seolah menyambut sebuah bola yang
dilemparkan Gondoruwo Patah Hati menyambar ujung lidah api. Dia kini seolah memegang
pangkal sebuah cemeti. Didahului pekikan keras si nenek memutar tangannya. Lidah api yang
keluar dari gesekan batu dan kapak, melesat ke udara, mengeluarkan ledakan-ledakan dahsyat,
berputar ganas dalam bentuk lingkaran lalu menyambar ke arah orangorang yang datang
menyerang.
Para penyerang mengeluarkan seruan kaget tertahan. Pendekar Keris Kembar terpaksa
lepaskan salah satu kerisnya yang dihantam api dan berubah menjadi besi bangkok
mengepuikan asap. Ketika diperhatikan tangannya ternyata merah melepuh. Patih Kerajaan
melompat mundur selamatkan diri. Setan Bertongkat Ular yang paling kaget dan kecut diantara
semua penyerang. Ketika dua ekor ularnya melesat ke arah Wiro, ular pertama terpental
dihantam lidah api yang datang berputar. Si kakek bermulut tonggos menggerung ketika
melihat bagaimana ularnya itu kemudian jatuh menggeletak di tanah, berubah menjadi daging
dan tulang kering hangus!

Belum habis kejut amarahnya, di atas sana si nenek melayang menyambar ular kedua dengan
tangan kiri. Lalu dengan tiga kali berjungkir balik di udara, ketika sampai di tanah tahu-tahu dia
sudah berada di depan sosok Patih Selo Kaiiangan. Dengan tangan kanannya si nenek menarik
pinggang celana merah sang putih sementara tangan kirinya kemudian memasukkan ular hitam
ke dalam celana. Karuan saja Patih Selo Kaiiangan menjeritjerit dan lari menghambur pontang
panting tidak karuan. Carut marut ikut berhamburan dalam jeritannya.

“Celaka!” ujar Setan Bertongkat Ular.

Melihat apa yang terjadi dengan Patih Kerajaan kakek tonggos ini segera berteriak.

“Selamatkan Patih! Ular itu berbisa mematikan! Selamatkan Patih!” Para tokoh silat Istana yang
masih belum hilang kaget masing-masing kini jadi tersentak kaget mendengar teriakan Setan
Bertongkat Ular dan menyaksikan apa yang terjadi dengan Patih Kerajaan.

Saat itu mereka melihat, dalam takutnya Patih Kerajaan tidak sadar lagi apa yang dilakukannya.
Sang patih membuka celananya. Lalu dalam keadaan telanjang di sebelah bawah dia lari
melompat-Iompat tak perduli lagi arah yang dituju sementara ular hitam bertotol kuning
ternyata masih melingkar di pinggangnya. Ini yang membuat sang patih terus lari sambil
berteriakteriak. Di sebelah belakang para tokoh silat mengejar, berusaha menolong. Setan
Bertongkat Ular paling depan. Dia sangat khawatir. Kalau sampai Patih Kerajaan mati dipatuk
ular berbisa itu, sedikit banyak dia akan dimintakan pertanggungan jawab!

Para tokoh silat itu tidak lagi memperdulikan Wiro dan si nenek muka setan saking takutnya
akan malapelaka besar mengancam sang Patih Kerajaan, Gondoruwo Patah Hati tertawa
cekikikan. Hatinya puas menyaksikan semua itu. Dia memandang pada Wiro.

“Anak muda malam ini aku gembira sekali, Cuma sayang waktunya singkat. Lain hari aku akan
mencarimu lagi untuk meneruskan berbincang-bincang!”

“Nek, kau mau kemana! Tunggu dulu!” Wiro memanggil. Si nenek sudah berbalik, berkelebat ke
kanan. Saat itu juga delapan orang prajurit segera menghadang.
“Kalian mencari mati!” teriak Gondoruwo Patah Hati. Tangan dan kakinya bergerak. Delapan
prajurit terpekik, mental dan berkaparan di tanah. Wiro masih berusaha mengejar. Tapi si
nenek sudah lenyap ditelan kegelapan. Wiro menggaruk kepala.

“Dari pada urusan jadi panjang lebih baik aku juga minggat saja dari sini!” Lalu murid Sinto
Gendeng berkelebat pula meninggalkan tempat itu. Di satu tempat dia hentikan larinya,
tertegun sejenak sambil usapusap dagunya. Wiro ingat sesuatu dan bicara sendiri dalam hati.

“Ketika nenek itu berbalik hendak berkelebat pergi, jubahnya sebelah bawah tersingkap sedikit.
Aku sempat memperhatikan. Sepasang betis itu. Bagus dan putih. Nenek seperti dia mana
mungkin punya betis seperti itu. Ah….” Wiro garuk-garuk kepala.

“Dia menanyakan Naga Kuning. Apa hubungan si muka setan ini dengan bocah konyol sialan
itu?” Beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa Patih Kerajaan berada dalam keadaan sakit
keras. Kalaupun dia bisa disembuhkan maka dia akan cacat seumur hidup. Cacatnya ini ialah
berupa derita lemah syahwat seumur hidup akibat patukan ular berbisa yang bersarang
sejengkal di bawah pusarnya. Setan Bertongkat Ular yang memiliki ular lenyap entah kemana.
Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng dan Gondoruwo Patah Hati menjadi orang buronan
yang dicari sampai ke pelosok Kerajaan, ditangkap hidup atau mati!

212

GEROBAK yang ditarik dua ekor kuda besar tidak bisa bergerak cepat di jalan berbatubatu dan
banyak lobangnya itu. Empat orang gadis jelita berada di atas gerobak. Yang bertindak sebagai
sais adalah dara berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya yang panjang
hitam berkibar-kibar ditiup angin. Tanpa dandanan pipi dan bibirnya kelihatan merah segar.
Walau letih, senyum simpul selalu menyeruak di wajahnya. Gadis ini adalah Puti Andini,
pemegang sebilah pedang sakti keramat bernama Pedang Naga Suci 212, merupakan cucu Tua
Gila, puteri dari Andam Suri, salah seorang tokoh silat Pulau Andalas yang pernah membuat
heboh rimba persilatan tanah Jawa beberapa waktu lalu. (Baca rangkaian kisah “Tua Gila Dari
Andalas” terdiri dari 11 Episode)

Selain pedang sakti, Puti Andini juga memiliki senjata lain yang aneh, yakni tujuh buah payung.
Tujuh payung itu berada dalam satu keranjang besar dan saat itu diletakkan di bagian belakang
gerobak. Di sebelah Puti Andini, agak terkantuk-kantuk duduk si jelita berkulit putih berlesung
pipit Anggini. Di lehernya melingkar sehelai selendang ungu. Pada salah satu ujung selendang
terdapat guratan angka 212 yang pernah dibuat Wiro sebagai kenangkenangan dan satu
pertanda bahwa diantara mereka terdapat jalinan hubungan yang lebih erat dari hanya
persahabatan biasa.

Seperti diketahui Dewa Tuak, guru Anggini begitu ingin muridnya itu berjodoh dengan Pendekar
212 Wiro Sableng. Tetapi sampai sebegitu jauh niat baiknya itu tidak kesampaian karena kalau
sudah sampai kepada hal yang satu itu, Wiro berusaha menjauh menjaga jarak. Anggini sendiri
yang tadinya begitu mengasihi Wiro, lamalama menyadari dan pasrah bahwa dia ataupun
gurunya tidak bisa memaksa Wiro untuk memenuhi keinginan itu. Sedang Sinto Gendeng, guru
Pendekar 212 Wiro selalu ayem-ayem saja mengenai perjodohan muridnya dengan murid Tua
Gila.

Di bagian belakang kereta, dua orang gadis cantik lainnya berbaring di atas tumpukan jerami
kering. Yang satu adalah Ratu Duyung dan satunya lagi bukan lain Bidadari Angin Timur. Kalau
Bidadari Angin Timur saat itu bisa tertidur pulas, sebaliknya Ratu Duyung tidur-tidur ayam.
Mata memang terpejam tapi pikiran kemana-mana. Empat gadis cantik itu tengah dalam
perjalanan menuju Gunung Gede. Perjalanan jauh itu didorong oleh apa yang telah mereka
alami sebelumnya yang membuat mereka menjadi penasaran besar. Selain itu keempatnya
yang sama-sama mengasihi Pendekar 212 Wiro Sableng ingin mengetahui, ingin mengungkap
rahasia apa sebenarnya yang telah terjadi dengan sang pendekar.

Apa benar Wiro telah menemui ajal? Seperti diceritakan sebelumnya (Baca “Tiga Makam
Setan.”) di makam pertama yang terletak di pekuburan dekat Candi Kopeng, ketika makam
dibongkar, mereka menemukan sepucuk surat aneh. Dalam surat itu tertera tulisan berbunyi:

“Selamat Datang Di Makam Setan Pertama. Kalian Ditunggu Di Makam Setan Kedua.”

Jengkel dan marah serta penasaran besar, keempat gadis kemudian pergi menyelidik makam ke
dua yang terletak di pekuburan Banyubiru, tak jauh dari telaga Rawapening. Di pekuburan ini
mereka memang menemukan satu makam dengan papan nisan bertuliskan.

“Disini Dimakamkan Wiro Sableng – Pendekar 212.”

Tetapi ketika rnakam itu dibongkar mereka hanya menemukan sebuah peti besi karatan. Begitu
peti dibuka di dalamnya terdapat selembar kertas yang ada tulisan berbunyi:

“Selamat Datang Di Makam Setan Kedua. Kalian Memang Hebat. Kalian Ditunggu Di Makam
Setan Ketiga. Di Puncak Gunung Gede.”

(Baca Episode sebelumnya, berjudul “Roh Dalam Keraton“) Semakin besar amarah, kejengkelan
dan rasa penasaran empat gadis itu, semakin kuat pula dorongan dalam diri mereka untuk
menyelidik tuntas makam ke tiga. Walau Gunung Gede sangat jauh, namun empat gadis cantik
memutuskan untuk berangkat ke sana.

“Bagaimana kalau sampai di puncak Gunung Gede kita menemukan Makam Ke Tiga tapi lagi-
lagi isinya hanya surat sialan seperti dalam dua makam sebelumnya?” Ratu Duyung
memecahkan kesunyian dalam perjalanan.

“Berarti sia-sia belaka perjalanan kita sejauh ini.”

“Terus terang,” Anggini menyahuti ucapan Ratu Duyung.


“Dalam hatiku juga ada perasaan seperti yang barusan kau ucapkan. Namun jika kita tidak
menyelidik, kita tidak tahu apa arti semua kejadian ini. Kita tidak dapat memastikan apakah
Wiro benarbenar sudah mati atau masih hidup. Kalau mati dimana kuburnya, kalau masih hidup
dimana beradanya. Lalu aku berpikir, Gunung Gede adalah tempat kediamannya Sinto
Gendeng, guru Pendekar 212. Siapa berarti mati berbuat kurang ajar di tempat itu?” Tak ada
yang bicara. Setelah lama saling berdiam diri akhirnya Puti Andini membuka mulut.

“Anggini, jalan ini seperti tidak ada ujungnya. Menurutmu berapa lama lagi kita akan sampai ke
Gunung Gede?” Anggini memandang ke arah barat, memperhatikan kawasan di sebelah timur
baru menjawab.

“Masih cukup jauh. Paling cepat dua hari lagi baru kita sampai di tujuan. Itupun kalau kita bisa
mengganti dua ekor kuda penarik gerobak dengan kuda-kuda baru yang masih segar.”

“Menurutmu apakah Sinto Gendeng ada di tempat kediamannya saat ini?” bertanya lagi Puti
Andini.

“Nenek satu itu sulit dipastikan dimana beradanya. Kalaupun dia berada di Gunung Gede,
pertemuan dengan dirinya kurasa bukan satu hal menyenangkan. Bicaranya tak karuan,
terkadang kasar. Ketawa cekikikan tak ada ujung pangkalnya. Dan bau pesing tubuhnya itu.
Hemm…. Asal tahan saja….”

“Jangan kau berucap begitu. Siapa ta iu kelak dia bakal menjadi mertuamu!” kata Puti Andini
pula. Sesaat wajah Anggini jadi kemerah-merahan lalu gadis ini tertawa lepas sekedar untuk
menenangkan debaran dadanya. Di sebelah belakang Bidadari Angin Timur yang rupanya sudah
terbangun dan sempat mendengar ucapan Puti Andini itu berpura batuk-batuk sementara Ratu
Duyung cuma senyumsenyum.

“Aku masih merasa kalau perjalanan kita ini sejak siang tadi ada yang mengikuti,” Anggini
mengalihkan pembicaraan.

“Kalau sampai sore memasuki malam kita masih diikuti, kita harus melakukan sesuatu. Mungkin
sekali si penguntit punya maksud tidak baik dan baru akan dilaksanakan pada malam hari.”

“Setiap orang yang mengikuti orang lain secara sembunyi-sembunyi biasanya memang punya
niat buruk,” kata Bidadari Angin Timur. Dia berpaling pada Ratu Duyung.

“Sahabatku Ratu Duyung, kurasa sudah saatnya kau mempergunakan ilmu kesaktianmu,
melihat dari kejauhan.” Ratu Duyung yang tengah enak-enakan berbaring di atas tumpukan
jerami kering menggeliat, lalu mengambil sikap duduk.

Dia mulai mengerahkan ilmu kesaktian yang bernama Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia
bisa melihat sesuatu benda di kejauhan, sekalipun benda itu terhalang oleh benda lain. Dalam
keadaan duduk, Ratu Duyung pasang telinganya untuk mendengar dan menentukan dimana
beradanya orang yang mengikuti. Setelah dia dapat memperkirakan arah sasaran, sang Ratu
arahkan kepalanya ke tempat itu. Darah dan hawa sakti dialirkan ke bagian mata, lalu mata
dikedipkan dua kali berturut-turut. Anggini, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini
memperhatikan, menunggu apa yang bakal dikatakan Ratu Duyung. Beberapa saat kemudian
Ratu Duyung mulai membuka mulut, memberitahu pada tiga gadis lainnya.

“Yang mengikuti kita seorang penunggang kuda. Warna kudanya kurang kentara, tapi mungkin
sekali coklat. Orangnya masih muda, raut wajahnya….” Ratu Duyung terdiam. Tiga gadis
menunggu. Puti Andini tidak sabaran.

“Raut wajahnya bagaimana?” Gadis ini bertanya. Bidadari Angin Timur memperhatikan mimik
wajah sang Ratu. Dalam hati dia membatin.

“Ada sesuatu yang tidak mau dikatakannya. Sengaja disembunyikan.”

“Raut wajahnya tidak begitu jelas. Orang ini mengenakan baju kuning, bercelana hitam. Dia
berada kira-kira dua puluh tombak di balik pepohonan sebelah kiri kita. Mengikuti perjalanan
kita sejajar tapi agak sedikit ke belakang.”

“Kita harus memancingnya keluar,” kata Bidadari Angin Timur pula.

“Aku mau lihat tampang manusia itu! Yang lebih penting mengetahui apa maksudnya mengikuti
kita. Kita semua harus waspada bersiapsiap. Segala sesuatu tidak terduga bisa saja terjadi.”

“Bagaimana kita akan memancing orang itu?” tanya Anggini. Bidadari Angin Timur memandang
ke jalan di depannya sambil mulutnya berucap.

“Anggini, mulailah berteriak memakiku! Aku akan balas memaki! Puti Andini dan Ratu Duyung
berada di pihakku, ikut memaki Anggini. Di pengkoian jalan sana Puti Andini hentikan gerobak.
Kita turun berlompatan. Pura-pura berkelahi. Kita bertiga purapura kalah dan bergelatakan
pingsan di jalanan. Aku rasa setelah itu si penguntit pasti akan keluar unjukkan diri.”

“Usulmu boleh juga,” kata Puti Andini lalu dia memberi isyarat pada Anggini.

Murid Dewa Tuak ini mulai beraksi. Dia berdiri di atas gerobak. Menunjuk ke arah Bidadari
Angin Timur dan mulai berteriak memaki-maki tak karuan. Di bagian belakang gerobak Bidadari
Angin Timur kelihatan meradang, bangkit berdiri, bertolak pinggang lalu balas memaki. Di
sebelahnya Ratu Duyung ikut berteriak sambil acung-acungkan tangan ke arah Anggini. Di
kelokan jalan Puti Andini hentikan gerobak lalu ikut pula memaki Anggini. Seperti yang
direncanakan ke empat orang itu kemudian melompat dari atas gerobak. Lalu terjadilah
perkelahian seru tiga lawan satu.

Anggini bergerak cepat, tubuhnya berkelebat kian kemari. Terdengar suara bak-buk bak-buk.
Lima jurus kemudian Bidadari Angin Timur keluarkan pekik keras lalu roboh terguling di tanah.
Menyusul Puti Andini, terjengkang di tanah. Setelah itu Ratu Duyung yang seo!ah-olah kena
hantaman tendangan kaki kanan Anggini, menjerit terguling-guling di tanah lalu terkapar tak
berkutik lagi. Anggini tegak berkacak pinggang. Wajahnya tampak bengis memandangi ke tiga
orang gadis yang bertebaran di tengah jalan itu. Matanya melirik ke kanan, ke arah deretan
pohon-pohon di pinggir jalan. Bidadari Angin Timur buka pula matanya sedikit, mengintai ke
arah yang sama.

“Celaka! Orang itu tidak muncul! Jangan-jangan dia tahu kalau mau dipancing! Apa yang hams
aku lakukan?” Hendak bertanya pada Bidadari Angin Timur tentu saja tidak mungkin. Anggini
memutar otaknya. Tiba-tiba dia jatuhkan diri di tanah, memeriksa satu persatu tiga gadis yang
bergeletakan. Setiap dia habis memeriksa Anggini berteriak keras.

“Sahabat-sahabatku! Aku tidak bermaksud membunuh kalian semua! Aku tidak bermaksud
menurunkan tangan jahat! Aku tak sadar tadi telah mengeluarkan pukulan dan tendangan
beracun! Aku berdosa besar! Tuhan ampuni aku!” Anggini lalu tekap wajahnya, keluarkan ratap
tangis memilukan tapi sambil memasang telinga dan melirik lewat selasela jari tangan.

Kali ini pancingan berhasil. Dari balik deretan pohon-pohon di kanan jalan muncul kepala seekor
kuda coklat dengan warna putih di bagian hidungnya. Tapi kuda itu sama sekali tidak ada
penunggangnya! Anggini kerenyitkan kening. Alisnya yang hitam lengkung mencuat ke atas.

“Ada kuda tak ada orangnya. Jangan-jangan Ratu Duyung salah melihat. Atau orang yang
hendak dipancing sudah mengetahui….” Selagi Anggini membatin seperti itu tiba-tiba di
belakangnya ada suara orang berucap.

“Tendangan beracun! Sungguh luar biasa! Baru hari ini aku menyaksikan! Tiga gadis cantik
menjadi korban. Sungguh disayangkan.” Kaget Anggini bukan kepalang. Bagaimana mungkin dia
tidak mampu mendengar atau mengetahui kalau ada orang mendatanginya dari belakang.

“Ilmu kepandaianku yang sudah tidak berguna atau ilmu orang yang jauh lebih tinggi!” pikir
sang dara lalu dia cepat menoleh.

Kejut si gadis mendadak sontak berobah menjadi ketercengangan bercampur kagum. Di


hadapan Anggini berdiri seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam. Warna pakaian ini
sesuai dengan yang dilihat Ratu Duyung lewat ilmu “Menembus Pandang” dan diceritakan pada
kawankawannya. Pemuda ini bertubuh tinggi tegap. Ketika memandang wajahnya, inilah yang
membuat Anggini menjadi kagum. Ternyata pemuda ini berparas cakap. Ratu Duyung, Bidadari
Angin Timur dan Puti Andini yang sejak tadi berpura-pura menggeletak mati, diam-diam
membuka mata masing-masing.

Seperti Anggini, tiga gadis cantik ini sama-sama terkesima melihat kegagahan dan ketampanan
si pemuda serta potongan tubuhnya yang tinggi tegap. Anggini dan tiga temannya sama sekati
tidak menduga kalau orang yang selama ini mengikuti mereka ternyata adalah seorang pemuda
begitu gagah. Bidadari Angin Timur kini mengerti mengapa sewaktu mengerahkan ilmu
“Menembus Pandang” Ratu Duyung tidak berterus terang mengatakan raut wajah orang yang
mengikuti rombongan para gadis cantik itu. Pertanda sang Ratu yang melihat pertama kali dan
pertama kali pula terguncang hatinya. Melihat wajah setampan itu mustahil pemuda seperti ini
punya niat jahat terhadap mereka. Rasa marah yang sebelumnya ada dalam diri empat gadis itu
menjadi sirna. Rasanya tidak ada guna mereka meneruskan berpura-pura. Bidadari Angin Timur
bergerak bangkit. Ratu Duyung melompat. Puti Andini berguling lalu meloncat tegak. Anggini
berdiri tertegun. Pemuda berpakaian kuning terkejut. Matanya membesar memandangi ke
empat gadis itu.

“Tidak kusangka,” katanya.

“Jadi kalian memperdayaiku! Aneh! Mengapa?” Puti Andini maju selangkah.

“Tadinya kami mengira kau mengikuti kami secara diam-diam dengan maksud jahat….”

“Hemmm…. Itu tadinya, sekarang bagaimana? Apakah kalian semua jadi berubah pikiran?”
tanya si pemuda sambil senyum gagah tersimpul di bibirnya. Empat gadis terdiam. Si pemuda
tertawa lebar.

“Sebenarnya aku memang mengikuti perjalanan kalian sejak tengah hari tadi….”

“Kalau begitu…” ujar Bidadari Angin Timur.

“Tapi aku tidak membekal niat jahat. Malah berjaga-jaga sepanjang jalan. Jika saatnya sudah
tiba aku akan muncul, menemui kalian untuk memberitahu agar berhati-hati.”

“Memberitahu agar berhati-hati? Memangnya ada apa?” tanya Puti Andini.

“Ada serombongan penjahat menguntit kalian berempat. Mereka adalah sempalan rampok
hutan Roban yang malang melintang mulai dari perbatasan sampai ke pendalaman sini. Saat ini
mereka masih mengikuti kalian. Sebentar lagi mereka pasti akan muncul….”

“Cuma perampok siapa takut!” kata Bidadari Angin Timur.

“Aku memang melihat….” si pemuda tampan berkata.

“Melihat apa?” bertanya Ratu Duyung.

“Dibalik kecantikan kalian, pasti tersembunyi satu kekuatan hebat, kesaktian tinggi. Aku
mengagumi keberanian kalian. Hanya saja jika kalian meneruskan perjalanan berlakulah hati-
hati. Rombongan perampok itu jumlahnya cukup banyak. Mereka kejam-kejam dan…. Tentu
saja memiliki kepandaian tinggi. Aku tidak akan mengganggu kalian lebih lama. Sebenarnya
tujuanku adalah ke selatan….” Pemuda gagah itu memutar tubuh, segera hendak melangkah ke
arah kuda coklat.
“Tunggu!” Puti Andini berseru.

“Kau belum menerangkan siapa dirimu. Siapa namamu.” Si pemuda tersenyum.

“Apakah perlu aku menerangkan diri dan namaku?”

“Tentu saja perlu. Karena bukan mustahil kau tahu-tahu malah pimpinan perampok yang kau
katakan itu.” Yang berkata adalah Bidadari Angin Timur. Kembali si pemuda tersenyum. Namun
sepasang matanya menatap tajam ke arah Bidadari Angin Timur. Gadis berambut pirang
dengan panjang sepinggang ini balas memotong namun kemudian alihkan pandangannya ke
jurusan lain seolah tidak kuasa hatinya bertahan memandang terus.

“Di tempat sunyi dan terpencil seperti ini, sudah pada tempatnya kalian curiga pada siapa saja.
Aku senang karena kalian ternyata bukan saja menunjukkan sikap berhati-hati, tetapi juga
cerdik,” si pemuda memuji sambil layangkan senyum lalu meneruskan.

“Namaku Damar Wulung. Aku berasal dari timur. Aku dalam perjalanan menuju pantai selatan.
Di satu tempat aku memergoki serombongan perampok. Rupanya salah seorang mata-mata
mereka telah melihat rombongan kalian. Mata-mata ini memberitahu pada pimpinan rampok.
Lalu bersama anak buahnya pimpinan rampok itu mengejar kalian….”

“Kalau memang ada serombongan oi-ang jahat hendak menjarah kami….” Ucapan Ratu Duyung
terputus karena dipotong oleh pemuda bernama Damar Wulung.

“Tunggu, harap kalian menyadari hal ini. Mereka bukan cuma ingin menjarah harta benda
berharga milik kalian, tapi mereka juga punya maksud keji dan mesum. Kurasa aku tidak perlu
menceritakan sejelas-jelasnya….”

“Kami tidak takut!” jawab Ratu Duyung.

“Ucapanku tadi belum selesai. Kalau para perampok itu sudah mengetahui perjalanan
rombongan kami dan mengikuti, lalu mengapa sampai saat ini mereka tidak muncul? Padahal
kawasan ini sepi sekali.”

“Pertanyaanmu itu merupakan juga pertanyaanku. Itu sebabnya sejak siang tadi aku sengaja
mengikuti kalian dalam jarak lebih dekat. Sebelum pergi, bolehkan aku mengetahui nama kalian
satu persatu? Siapa tahu kelak dikemudian hari kita bertemu lagi dan aku tidak keliru menyebut
nama.”

“Aku Puti Andini,” cucu Tua Gila ini yang pertama memberitahu. Bidadari Angin Timur delikkan
mata. Dia tidak suka melihat dan mendengar Puti Andini memberitahu nama. Namun
disebelahnya terdengar suara.
“Aku Anggini.”

“Aku Ratu Duyung.”

“Nama kalian bertiga sungguh bagus. Jangan menyangka aku keliwat memuji atau bersikap
ceriwis kalau tadi aku katakan nama kalian sangat cocok dengan wajah kalian yang cantik
jelita.” Damar Wulung memandang pada Bidadari Angin Timur.

“Lalu sahabat yang berambut pirang, siapakah namanya?” Bidadari Angin Timur diam, tidak
menjawab. Tiba-tiba ada suara berucap lantang.

“Dia calon kekasihku! Biar aku yang akan menanyakan nama si jelita berambut pirang itu.”

212

SESAAT kemudian melesat seorang tinggi besar, kulit hitam, dada telanjang penuh bulu,
tampang garang. Kepala ditutup dengan kain hitam belang putih. Di lehernya tergantung kalung
akar bahar. Sepanjang lengan kiri kanan penuh dengan gelang akar bahar, mulai dari
pergelangan sampai bagian bawah siku. Hampir bersamaan dengan munculnya si garang dada
berbulu ini, dari berbagai jurusan berlompatan delapan orang berseragam hitam. Seperti orang
pertama, delapan orang ini memiliki tampangtampang seram sembrawutan serta kotor
menjijikan. Di pinggang masing-masing terselip sebilah golok besar. Pemuda bernama Damar
Wulung bertindak cepat. Dia melompat ke depan, langsung membuat kudakuda siap untuk
melindungi empat gadis cantik yang kins berada di sebelah belakangnya. Orang bertelanjang
dada menyeringai. Rahangnya digembungkan lalu dia berucap.

“Kawan-kawan, jauh-jauh kita mengikuti tahu-tahu ada yang mau jadi malaikat mau melindungi
empat gadis incaran kita!”

“Habisi saja!” Salah seorang dari yang delapan berteriak. Orang tadi menyeringai. Dua
lengannya disilangkan. Gelang-gelang bahar pada dua tangan itu merosot ke dekat siku. Lalu dia
gosokkan dua lengannya satu sama lain. Terdengar suara keras seperti dua potong besi saling
digesek. Hebat juga pertunjukan orang ini. Rupanya dia punya ilmu andalan pada dua
tangannya itu.

“Anak muda, menyingkirlah. Minggat dari sini! Atau terpaksa aku yang menyingkirkan. Lalu
membuat nyawamu minggat ke dalam rimba belantara sebelah sana, menjadi setan
penasaran!”

“Jangan berani macam-macam terhadap komplotan pimpinan Burangrang alias Sepasang Gada
Besil” kembali salah seorang dari delapan lelaki garang berpakaian serba hitam berteriak.
Damar Wulung berdiri tenang, malah tersenyum.
“Sepasang Gada Besi! Aku sudah lama mendengarjulukan itu! Kepala rampok pelarian dari
hutan Roban!”

“Kurang ajar! Kau berani menghina pemimpin kami!” Teriakan itu disertai dengan satu
lompatan serta berkelebatnya sebilah golok, memapas ke arah batang leher Damar Wulung.
Tenang saja pemuda yang diserang rundukkan kepala sambil melompat ke samping tiga
langkah. Golok berkilat lewat di samping kepalanya.

“Aku tidak begitu suka menurunkan tangan kasar sekalipun terhadap orang-orang jahat seperti
kalian. Tapi kalau kalian sampai memaksa, ini contohnya!” Sosok Damar Wulung berkelebat lalu
buukkk! Penjahat yang tadi hendak membacok si pemuda menjerit keras. Tubuhnya mencelat
hampir dua tombak, jatuh bergedebuk di tanah dengan mata mendelik, mulut menganga dan
mengucurkan darah!

“Kau!” teriak Burangrang, kepala penjahat berjuluk Sepasang Gada Besi.

“Yang kita….”

“Diam! Jangan banyak mulut! Lekas pergi dari sini! Bawa semua anak buahmu!” bentak Damar
Wulung. Sepasang mata Burangrang alias Sepasang Gada Besi membeliak besar. Empat gadis
memperhatikan. Mata yang membeliak itu bukan menyatakan kemarahan tapi lebih banyak
menyatakan perasaan heran. Begitu juga tujuh orang anak buah Sepasang Gada Besi. Mereka
memandang terbelalak ke arah Damar Wulung.

“Anak muda, kalau anak buahku sampai jadi korban ini satu hal yang aku tidak suka! Empat
gadis itu bagian kami. Sebelumnya bukankah….” Ucapan Sepasang Gada Besi terputus dan
tertindih teriakan dahsyat yang keluar dari mulut Damar Wulung. Pemuda ini melompat ke
hadapan kepala penjahat itu langsung menghantam dengan pukulan berantai.

“Kurang ajar! Kecantikan empat gadis itu rupanya membuatmu berubah pikiran…” kata kepala
rampok penuh berang.

“Duukkk… duukkkk… duukkkk!”

Tiga pukulan yang dilancarkan Damar Wulung berhasil ditangkis Burangrang dengan dua
lengannya yang sekeras batangan besi. Walau dia tidak sampai cidera namun tubuhnya
terpental jauh dan bergulingan di tanah. Sambil melompat bangkit kepala penjahat ini
berteriak.

“Anak-anak! Bunuh pemuda penipu itu!”

“Srettt!”
Tujuh golok besar dihunus berbarengan. Lalu berkelebat ganas dalam gelapnya malam,
membabat dan membacok ke arah pemuda bernama Damar Wulung, mulai dari kepala sampai
ke pinggang! Damar Wulung keluarkan suara mendengus. Sosoknya melesat ke atas, berputar
laksana gasing. Tujuh golok maut hanya menyapu angin. Para pemiliknya kemudian berseru
kaget ketika si pemuda pergunakan badan golok sebagai injakan kaki, melompat ke udara,
jungkir balik ke bawah lalu bukk… bukk… bukkk! Tiga anak buah Burangrang Sepasang Gada
Besi mencelat, bergeletak di tanah dengan kepala hancur dimakan tendangan. Burangrang si
kepala penjahat menggerung keras. Dua bilah golok milik anak buahnya yang berjatuhan di
tanah disambarnya. Sambil berlari ke arah Damar Wulung dia lemparkan dua golok itu. Damar
Wulung berkelit, baru saja si pemuda berhasil mengelak selamatkan diri dari sambaran dua
golok terbang, Sepasang Gada Besi sudah berada di hadapannya, langsung menggebuk ke arah
kepala dan dada. Kali ini dia kerahkan seluruh kekuatan aji kesaktiannya. Damar Wulung
gerakkan dua tangan, menangkis.

“Bukk! Bukkk!”

Empat lengan saling bentrokan.

“Kraakk! Kraakkk!”

Sepasang Gada Besi menjerit keras. Tubuhnya terlempar jauh. Dua lengannya yang selama ini
dibanggakan sebagai seatos besi patah dua. Susah payah dia berusaha bangkit, tapi terduduk
sesaat di tanah. Tubuhnya menggigil menahan sakit. Matanya mendelik seperti mau melompat
dari rongganya. Karena lawan tadi mempergunakan kekuatan tenaga dalam sangat besar,
walau hanya merasa sakit pada dua tangannya namun Damar Wulung sempat terpental, jatuh
berlutut di tanah. Selagi dia mencoba bangun, empat anak buah Sepasang Gading Besi sudah
menyerbunya dengan golok masing-masing. Dari kiri berkelebat selarik benda berwarna ungu.
Ini adalah selendang milik Anggini.

“Plaakk! Plaakk!”

Ujung selendang menghantam wajah dua anggota penjahat. Yang satu terguling dengan hidung
remuk, satunya lagi terjengkang dengan bibir pecah. Pada saat Anggini menghantam dua
anggota penjahat dengan selendangnya, dari jurusan lain Puti Andini tidak tinggal diam. Gadis
ini menyambar salah satu dari tujuh payung yang ada di dalam gerobak. Sesaat kemudian satu
sinar hijau bergulung di udara. Debu beterbangan, daun-daun dan semak belukar bergoyangan.
Belum tahu benda apa yang menyerang mereka, dua anak buah Sepasang Gada Besi mendadak
dapatkan tubuh mereka laksana digulung lalu diangkat ke atas dan sesaat kemudian
dibantingkan ke tanah. Lalu terdengar suara breett… breettt!

Dua orang penjahat itu terduduk pucat ketika melihat pakaian mereka robek besar di bagian
dada, perut dan lengan. Dan ada darah mengucur dari balik robekan-robekan itu! Puti Andini
angkat tangan kanannya, lengan diputar, lima jari digerakkan seperti menarik ke belakang.
Payung hijau yang masih berputar di udara melesat gesit, berbalik ke arah si gadis. Dengan
tangan kirinya cucu Tua Gila ini menyambar payung hijau yang tadi dilemparkannya untuk
menyerang dua orang penjahat. Damar Wulung cepat berdiri. Di hadapan empat gadis dia
membungkuk seraya berkata.

“Terima kasih, kalian telah menyelamatkan jiwaku. Ini satu hutang besar yang tidak tahu entah
kapan dapat kubayar!” Si pemuda melirik ke arah empat penjahat yang terluka lalu berkata.

“Manusia-manusia seperti mereka, sulit diperbaiki. Kalau tidak dihabisi bisabisa menimbulkan
malapetaka lebih besar dikemudian hari.” Habis berkata begitu Damar Wulung melompat ke
arah empat penjahat. Tangan dan kakinya bekerja cepat sekali. Hanya satu kejapan saja ke
empat penjahat itu sudah bergeletakan di tanah dengan kepala hancur. Empat gadis bergidik
menyaksikan kejadian itu. Mereka terpaksa berpaling ke jurusan lain. Di tempat lain,
terbungkuk-bungkuk menahan sakit Burangrang berusaha berdiri.

“Pemuda jahanam…. Penipu kurang ajar! Aku bersumpah mencari dan membunuhmu!” Dalam
keadaan dua lengan patah tergontai-gontai kepala penjahat itu lari tinggalkan tempat tersebut.
Tapi Damar Wulung tidak memberi kesempatan. Dia membungkuk mengambil sebilah golok
yang tergeletak di tanah. Sekali senjata itu dilemparkan, melayang di udara lalu menancap di
punggung kiri Sepasang Gada Besi, terus menembus jantung. Kepala penjahat ini langsung
roboh dan menemui ajalnya di tempat itu juga.

“Dia sudah tidak berdaya, seharusnya tak usah dibunuh…” berkata Ratu Duyung. Oamar
Wulung berpaling, menatap wajah sang Ratu lalu berkata.

“Sahabatku bermata biru, seperti aku bilang tadi. Manusia jahat seperti mereka sulit diperbaiki.
Apalagi yang satu itu adalah biang menu pimpinannya. Dari pada tambah menyusahkan di
kemudian hari, tidak ada salahnya diselesaikan sekarang saja….” Damar Wulung tersenyum.
Lalu kembali dia membungkuk dan berkata.

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Kalian telah menyelamatkan diriku dari serangan
maut empat golok tadi….”

“Kau sendiri telah berusaha menyelamatkan kami dari komplotan orang-orang jahat itu.
Sebenarnya kami yang lebih pantas mengucapkan terima kasih,” kata Puti Andini sambil
tersenyum sementara sepasang matanya memandangi wajah si pemuda dengan bersinar-sinar.
Diam-diam Bidadari Angin Timur memperhatikan sikap dan air muka Puti Andini. Dalam hati dia
berkata.

“Aku mempunyai kesan, agaknya gadis satu ini punya perasaan tertentu terhadap pemuda itu.
Aku tidak menyalahkan. Sejak dia mengetahui Panji pemuda yang dicintainya adalah saudara
seayah, hatinya pasti hancur. Siapa tahu kepatahan hatinya bisa terobat dengan kehadiran
pemuda ini. Tapi aku melihat beberapa keanehan. Aku perlu membicarakannya nanti dengan
teman-teman….”
“Kami akan melanjutkan perjalanan. Budi baik pertolonganmu tidak akan kami lupakan.” Yang
berkata adalah Anggini. Gadis ini melingkarkan selendang ungunya ke leher lalu naik ke atas
gerobak. Ratu Duyung menyusul, diikuti oleh Bidadari Angin Timur. Tinggal Puti Andini
sendirian. Untuk sesaat gadis ini masih berdiri di hadapan si pemuda. Bidadari Angin Timur
mendehem keraskeras. Sesaat wajah Puti Andini menjadi kemerahan. Damar Wulung
tersenyum.

“Teman-temanmu sudah menunggu,” katanya. Ketika Puti Andini naik ke atas gerobak, si
pemuda menolongnya dengan sikap penuh hormat, membuat sang dara jadi berbunga-bunga.

“Para sahabatku,” Damar Wulung berkata sambil berdiri di samping gerobak, di sisi kanan Puti
Andini.

“Kalian sudah menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Kejahatan ada dimana-mana dan
datangnya tidak terduga. Perjalanan jauh bukan satu hal mudah. Apalagi bagi kalian dara-dara
berparas rupawan. Aku punya keinginan baik. Kaiau tidak keberatan aku bersedia mengawal
kalian sampai ke tujuan….” Puti Andini hendak menjawab. Tapi dia melihat pandangan mata
Bidadari Angin Timur yang seperti memberi isyarat. Puti Andini terpaksa batal membuka mulut.

“Perjalanan kami tidak seberapa jauh lagi. Kami tidak ingin merepotkanmu. Sekali lagi terima
kasih….” kata Bidadari Angin Timur. Dia memberi isyarat pada Puti Andini yang bertindak
sebagai sais.

“Sahabat, kalau aku boleh tahu sebenarnya kalian ini tengah dalam perjalanan kemana?”

“Kami tengah menuju ke Gunung Cede,” Puti Andini yang menjawab. Bidadari Angin Timur
memegang bahu Puti Andini.

“Hari sudah rembang petang. Jangan sampai kita nanti bermalam di tempat yang kurang
aman….” Puti Andini sentakkan tali kekang. Dua kuda gerakkan kaki. Gerobak mulai berjalan.
Damar Wulung lambaikan tangan. Dia bam melangkah mendekati kuda coklatnya setelah
rombongan empat gadis itu lenyap di kejauhan. Di atas gerobak untuk beberapa lamanya tak
ada yang bicara. Akhirnya Bidadari Angin Timur memecah kesunyian.

“Sebenarnya ada baiknya kalau sahabat kita Puti Andini tadi tidak memberitahu kemana tujuan
kita pada pemuda bernama Damar Wulung itu.”

“Apa salahnya? Memangnya kenapa?” tanya Puti Andini merasa kurang senang mendengar
ucapan Bidadari Angin Timur.

“Kurasa teman kita ini tertarik pada si pemuda. Melihat sikap si pemuda aku menaruh dugaan
kalau dia juga terpikat pada Puti Andini.” Yang berucap adalah Ratu Duyung. Wajah Puti Andini
bersemu merah. Kali ini dia diam saja tak menjawab ucapan orang.
“Kita tidak kenal dan tidak tahu siapa sebenarnya pemuda itu…” berkata Bidadari Angin Timur.

“Orang telah berbuat baik. Dia menolong kita dari tangan sembilan penjahat. Apakah hal itu
tidak bisa dijadikan alasan kita bersikap baik terhadap pemuda tadi?” Anggini keluarkan suara.
Dia ingat, sewaktu terjadi perkelahian hanya dia dan Puti Andini yang turun tangan sementara
Bidadari Angjn Timur dan Ratu Duyung diam saja. Puti Andini melirik ke arah Bidadari Angin
Timur. Ingin tahu apa yang hendak dikatakan gadis itu setelah mendengar ucapan Anggini.

“Anggini,” kata Bidadari Angin Timur.

“Apa yang kau ucapkan betul adanya. Tetapi kita harus ingat. Kebaikan tidak beda dengan dua
sisi dari satu uang logam….”

“Aku kurang mengerti. Apa maksudmu….”

“Maksudku begini. Sisi pertama, kebaikan adalah kebaikan sejati. Sisi kedua, kebaikan yang
terselubung untuk menyembunyikan satu niat yang tidak baik.”

“Lalu menurutmu pemuda tadi berada pada sisi yang mana?” tanya Puti Adini tak tahan lagi
untuk tidak bicara.

“Aku tidak tahu, tidak satupun diantara kita yang tahu. Hidup ini penuh dengan hal tidak
terduga. Itu sebabnya kita perlu berhati-hati. Segala sesuatunya tidak boleh diungkapkan pada
orang yang baru kita kenal. Perjalanan yang kita lakukan bukan perjalanan sembarangan. Kita
tengah mencari Pendekar 212. Sebelumnya kita telah menemukan keanehankeanehan yang
menimbulkan malapetaka. Bukan mustahil pemuda tadi adalah si pembuat surat yang kita
temukan di makam pertama dan kedua….”

“Sahabatku, aku rasa kau terlalu membesarbesarkan urusan. Tidak baik berprasangka buruk
terhadap orang lain,” kata Puti Andini agak sengit.

“Berprasangka buruk demi kebaikan apa salahnya?” tukas Bidadari Angin Timur.

“Aku tidak menyalahkan kalau mungkin kau punya perasaan tertentu terhadap pemuda gagah
tadi. Tapi ada beberapa kejanggalan yang aku lihat sejak pemuda itu muncul pertama kali.” Tiga
gadis saling pandang. Bidadari Angin Timur maklum arti pandangan itu. Mereka sulit
mempercayai ucapannya. Bidadari Angin Timur tidak perduli.

“Ketika pertama kali dia muncul, ketika kita tanyai dia mengaku memang telah mengikuti kita
secara diam-diam sejak tengah hari. Dia sengaja tidak menampakkan diri karena katanya ada
serombongan penjahat mengincar kita. Kalau memang itu benar, mengapa dia tidak langsung
turun tangan? Sengaja menunggu para penjahat muncul di depan kita baru melakukan
sesuatu?”
“Mungkin dia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya di depan kita. Itu sebabnya dia
menunggu sampai sembilan penjahat tadi muncul melaksanakan niat kejinya,” berkata Anggini.

“Bisa saja begitu,” sahut Bidadari Angin Timur.

“Namun masih ada hal lain yang menurutku bisa lebih meyakinkan dugaanku bahwa pemuda
itu sebenarnya berkomplot dengan Sepasang Gada Besi….”

“Sulit aku mempercayai,” Puti Andini kembali memberikan tanggapan.

“Entah mengapa sejak pertama melihat pemuda itu sahabat kita Bidadari Angin Timur bersikap
ketus terhadapnya. Kalau Damar Wulung adalah juga komplotan para penjahat itu, mengapa
dia membunuhi mereka termasuk pimpinan mereka?” Bidadari Angin Timur tersenyum lalu
menjawab,

“Bisa saja. Mungkin karena ada yang hendak ditutupi. Mungkin ada sesuatu yang bertolak
belakang dengan rencana semula. Tidakkah kalian memperhatikan bagaimana kagetnya
pimpinan penjahat dan teman-temannya ketika Damar Wulung membunuh anggota penjahat
yang pertama?" Kepala penjahat itu bahkan sempat berteriak.

"Kau…!" Lalu dia berteriak lagi "Yang kita…. Kita berarti dia dan para anak buahnya dan
termasuk Damar Wulung". Tapi ucapan kepala penjahat itu terputus oleh bentakan Damar
Wulung.

"Aku juga mendengar Sepasang Gada Besi berkata Empat gadis itu adalah bagian kami.
Sebelumnya bukankah…. Apa arti ucapan itu. Sebelumnya bukankah…. Mungkin saja aku keliru
dan membesar-besarkan urusan seperti kata Puti Andini. Tapi bagiku ucapan kepala penjahat
itu berarti sebelumnya terjadi sesuatu antara dia dan Damar Wulung. Sesuatunya apa memang
tidak bisa diduga. Tapi kesanku, antara Damar Wulung dengan para penjahat itu sebelumnya
pernah saling bertemu. Yang lebih jelas lagi ketika Sepasang Gada Besi berteriak memaki
Kurang ajar! Kecantikan empat gadis itu rupanya membuatmu berubah pikiran. Tidak sampai
disitu saja teman-teman. Apa kalian tidak mendengar kemudian kepala penjahat itu berteriak
marah. Anak-anak! Bunuh pemuda penipu itu! Siapa yang menipu, siapa yang ditipu?
Sebelumnya ada pertemuan, sebelumnya ada perjanjian. Tapi Damar Wulung menyalahi
perjanjian. Perjanjian apa?” Bidadari Angin Timur angkat bahunya sendiri.

Ratu Duyung dan Anggini tidak berkata apa-apa. Mungkin apa yang dikatakan Bidadari Angin
Timur tadi mulai termakan di dalam hati dan benak mereka. Lain halnya dengan Puti Andini
yang entah mengapa menjadi kesal terhadap Bidadari Angin Timur. Dalam hati Puti Andini
berkata.

“Mungkin Bidadari Angin Timur merasa kurang senang terhadap si pemuda, karena merasa
dirinya tidak diperhatikan. Padahal dia merasa dirinya paling cantik diantara para gadis,
memiliki kelebihan yaitu rambut pirang panjang, ditambah iekuk tubuh yang bagus. Itu
sebabnya dia bicara ketus dan selalu berprasangka buruk terhadap Damar Wulung. Hemmm….
Katanya mencinta setengah mati pada Pendekar 212. Tapi buktinya kini hatinya tergoda….”
Diam-diam Bidadari Angin Timur memperhatikan raut wajah Puti Andini sambil menduga-duga
apa yang ada dalam pikiran gadis dari Pulau Andalas yartg berjuluk Dewi Payung Tujuh itu.
Akhirnya Puti Andini membuka mulut.

“Kalau ada kesempatan bertemu lagi dengan Damar Wulung, akan aku cecar dia dengan
pertanyaan. Apa benar memang dia telah berkomplot dengan Sepasang Gada Besi. Apa benar
dia punya niat keji terhadap kita!” Habis berkata begitu Puti Andini mencambuk punggung dua
ekor kuda. Binatang-binatang ini berlari lebih kencang. Di antara gemeletak roda-roda gerobak
Bidadari Angin Timur menyahuti ucapan Puti Andini.

“Mudah-mudahan saja kau bisa bertemu lagi dengan pemuda itu.”

212

BANGUNAN tua bekas kuil di jalan yang mendaki itu masih utuh keadaannya sehingga empat
gadis cantik memutuskan untuk bermalam di tempat itu. Ketika Bidadari Angin Timur, Ratu
Duyung dan Anggini telah tertidur lelap karena keletihan, Puti Andini masih tergolek
menelentang di dalam kegelapan memandangi atap kuil. Entah mengapa sampai saat itu dia
sulit memicingkan mata. Bayangan wajah Damar Wulung tak putusputusnya hadir di pelupuk
matanya. Jika dicobanya memejamkan mata raut wajah pemuda itu malah semakin jelas
terlihat. Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan binatang malam yang mendadak putus ketika
lapatlapat terdengar suara raungan anjing. Dalam keadaan seperti itu Puti Andini tiba-tiba
mencium bau sesuatu.

“Aneh, bau apa ini?” pikir sang dara.

Semakin santar bau yang dihirup semakin berat terasa kepalanya sedang tubuhnya menjadi
lemah. Sepasang matanya mendadak dilanda kantuk berat. Puti Andini kerahkan tenaga. Dua
siku ditekankan ke lantai kuil. Perlahan-lahan dia mengangkat dada dan kepalanya sedikit. Dia
melihat asap aneh seperti tebaran kabut bergerak dari halaman terus memasuki kuil. Otak Puti
Andini masih bisa bekerja.

“Yang aku lihat bukan kabut. Kalaupun asap adanya bukanlah asap biasa. Kepalaku tambah
berat, tubuhku semakin letih, rasa kantuk tak tertahankan. Aku harus melakukan sesuatu, kalau
tidak… kurasa aku bisa jatuh pingsan….” Cucu Tua Gila ini cepat kerahkan tenaga dalam dari
pusar ke arah dada, tenggorokan, jalan pernafasan, bagian hidung dan dua matanya.

Lalu dia menotok dirinya sendiri pada beberapa bagian tubuh, menjaga agar apa yang telah
tercium oleh hidungnya tidak merambat masuk ke tempat berbahaya di dalam peredaran
darah. Ketika dia tengah berusaha melepas nafas panjang, tiba-tiba di halaman kuil dia melihat
satu sosok bergerak mefangkah. Dia tidak dapat melihat jelas raut wajah orang karena selain
gelap, asap aneh menghalangi pemandangan. Puti Andini rebahkan kembali tubuhnya, berpura-
pura tidur. Dadanya bergemuruh menanti apa yang akan terjadi. Tangan digerakkan ke
pinggang dimana dia menyimpan Pedang Naga Suci 212, satu senjata sakti mandraguna yang
didapatnya di Telaga Gajahmungkur, pemberian orang sakti setengah roh setengah manusia
bernama Kiai GedeTapa Pamungkas. (Mengenai Pedang Naga Suci 212 baca rangkaian serial
Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas” terdiri dari 11 Episode)

Tetapi alangkah kagetnya gadis ini ketika dia merasakan tangan kanannya berat, sulit
digerakkan. Dicobanya menggerakkan tangan kiri. Sama!

“Celaka! Asap berbau aneh itu sudah melumpuhkan dua tanganku!” Puti Andini menggerakkan
kakinya. Tidak bisa!

“Ya Tuhan, malapetaka apa yang menimpa diriku! Siapa orang itu. Agaknya dia yang menebar
asap penyirap. Pasti dia punya niat jahat! Sebelum kejadian aku harus berbuat sesuatu!” Puti
Andini membuka mulut hendak berteriak membangunkan kawan-kawannya.

Tapi mulutnya seperti terkancing, sama sekali tidak bisa digerakkan apalagi dibuka. Tahu-tahu
orang itu di haiaman telah berada di daiam kuil. Sesaat dia tegak di pintu. Lalu masuk ke dalam.
Berdiri di depan Puti Andini, memandangi gadis ini sambil tersenyum lalu masuk lebih jauh ke
dalam kuil. Bidadari Angin Timur tergolek di sudut sebelah kanan. Orang ini melangkah
mendekati si gadis. Lama dia berdiri memperhatikan Bidadari Angin Timur mulai dari wajah
sampai ke kaki. Tiba-tiba orang ini berlutut. Tangan kirinya membelai rambut pirang Bidadari
Angin Timur. Tangan kanan mengusap pipi. Perlahan sekali dia berucap.

“Kali pertama melihatmu aku sangat tergoda untuk memilikimu. Aku suka pada gadis bersifat
ketus tapi berotak cerdik sepertimu. Di atas ranjang pasti kau akan sebuas harimau betina.
Cuma sayang, hatiku telah lebih dulu terpikat pada sahabatmu bermata biru itu. Lain hari, jika
memang kesampaian, pasti giliranmu menyenangi diriku akan tiba. Mata biru, dimana kau
berada?” Walau kata-kata itu diucapkan sangat perlahan, namun di dalam kuil sepi dan tidak
seberapa luas itu Puti Andini masih bisa mendengar cukup jelas meskipun tidak bisa mengenali
orang itu dari suaranya.

“Mata biru… dia mengincar Ratu Duyung. Ya Tuhan….” Puti Andini hanya bisa bersuara dalam
hati. Gadis ini buka matanya sedikit. Orang yang berlutut di samping Bidadari Angin Timur
memandang berkeliling. Dia melihat dua sosok tergoiek di sudut kuil sebelah kiri, terlindung
dalam bayangan kegelapan. Sebelum bangkit berdiri orang ini mengecup bibir Bidadari Angin
Timur lumat-lumat hingga mengeluarkan suara berdecak, membuat Puti Andini kembali
merinding. Meski sejak beberapa waktu ini Puti Andini merasa tidak senang terhadap Bidadari
Angin Timur, tapi menyaksikan apa yang barusan dilakukan lelaki tak dikenal itu membuat Puti
Andini meradang dalam hati.

“Bangsat terkutuk! Atas perlakuan kejimu itu, aku bersumpah akan membunuhmu!” Orang tadi
bangkit berdiri, melangkah ke sudut kiri kuil. Yang dilihatnya pertama kali ternyata adalah sosok
Anggini. Dia menyeringai lalu berlutut di samping si gadis.
“Aku kagum pada kemulusan tubuhmu. Walau pakaianmu longgar tapi aku tahu dibalik pakaian
itu kau memiliki tubuh dengan seribu lekuk mengagumkan. Kalau kau bisa menunggu, kelak
satu hari aku akan mencarimu….” Habis berkata begitu orang ini memegang ke dua paha
Anggini lalu berpindah pada sosok satunya lagi.

“Ah, mata biru…. Di sini rupanya kau menungguku. Kekasihku, nyenyak sekali tidurmu.” Orang
itu berucap, tenggorokannya turun naik. Lidahnya dijulurkan membasahi bibir. Sambil
membelai rambut hitam Ratu Duyung orang ini meneruskan ucapannya.

“Kuil ini sebenarnya cocok untuktempat kita bersenang-senang memadu kasih. Tapi
bagaimanapun juga aku masih bisa menghormati tempat. Lagi pula tiga kawanmu ada di sini.
Aku khawatir belum selesai kita berpuas-puas salah satu dari temanmu itu ingin ikut-ikutan….”
Orang ini tutup mulutnya dengan tangan kiri menahan tawa. Tiba-tiba dengan satu gerakan
cepat dia mengangkat tubuh Ratu Duyung, diletakkan di bahu kiri. Dengan langkah cepat,
beberapa kali menindak orang itu sudah berada di halaman kuil.

“Celaka! Kurang ajar! Dia menculik Ratu Duyung! Ya Tuhan!” Puti Andini ingin melompat, tapi
menggerakkan tangan saja tidak bisa. Ingin berteriak tapi membuka mulut saja tidak mampu.

“Tuhan…. Tuhan, tolong saya. Berikan kekuatan pada saya untuk memusnahkan sirapan celaka
ini! Saya… saya harus menyelamatkan Ratu Duyung. Tuhan…. Adakah kau mendengar doa
permintaanku?” Air mata meleleh di sudut-sudut mata Puti Andini. Dia picingkan mata
kencang-kencang. Lalu mulai berusaha mengerahkan tenaga dalam. Kali pertama gagal. Kali
kedua masih belum mampu. Sama saja pada kali ke tiga dan keempat. Keringat dingin
memercik di permukaan wajah dan sekujur tubuh si gadis.

“Tenagaku sudah terkuras habis. Aku coba sekali lagi. Kalau masih gagal habislah sudah! Ratu
Duyung tak mungkin bisa ditolong!” Puti Andini tenangkan diri. Pikiran dikosongkan. Seluruh
kekuatan yang masih tersisa disatukan di bagian pusar lalu dia mulai menahan nafas sambil
kerahkan segala daya untuk mengalirkan tenaga dalam yang ada ke pembuluh darah dan
syaraf. Satu pekikan tiba-tiba menggeledek keluar dari mulut Puti Andini. Bersamaan dengan itu
tubuhnya melompat sebat. Dia berteriak.

“Anggini! Bidadari! Bangun! Ratu diculik orang!” Tak ada jawaban. Sosok Anggini dan Bidadari
Angin Timur tidak bergerak. Puti Andini segera memeriksa dua temannya itu, berteriak
memanggil sambil menggoyang-goyang tubuh Bidadari Angin Timur dan Anggini. Ternyata
kedua gadis ini berada dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Terkena asap
sirapan aneh selagi mereka dalam keadaan tidur.

“Celaka!” Puti Andini kerahkan tenaga dalam, lalu berganti-ganti disalurkan ke tubuh Bidadari
Angin Timur dan Anggini lewat dada dan perut. Menotok urat-urat besar, menyedot racun
sirapan melalui mulut. Pokoknya apa saja yang bisa dilakukannya agar dua temannya itu siuman
kembali. Setelah bekerja keras cukup lama sampai tubuhnya basah kuyup oleh keringat, tenaga
terkuras, Puti Andini akhirnya terduduk letih di lantai kuil. Bidadari Angin Timur dan Anggini
masih dalam keadaan seperti tadi. Kaku dan tak bersuara! Dalam bingungnya Puti Andini ingat
pada senjata sakti yang disimpannya di balik pinggang. Pedang Naga Suci 212. Cepat
dikeluarkannya. Senjata sakti mandraguna ini tidak bersarung, bentuknya sangat tipis dan
berada dalam keadaan tergulung seperti ikat pinggang.

“Ya Tuhan, tolong saya. Tolong kami! Dengan kekuasaanMu semoga senjata sakti ini mampu
memusnahkan racun sirapan dalam tubuh Anggini dan Bidadari Angin Timur.” Puti Andini
gerakkan tangan kanannya. Gulungan pedang terbuka dengan mengeluarkan suara bersiur
halus. Cahaya putih berkiblat menerangi kuil yang gelap.

***

212

DALAM gelapnya malam Damar Wulung dan sosok kuda tunggangannya berkelebat laksana
bayangan setan. Di atas pangkuannya Ratu Duyung tergeletak membelintang masih berada
dalam keadaan tidak sadarkan diri akibat asap sirapan yang terhirup sewaktu dia tidur pulas di
dalam kuil. Sambil memacu kudanya Damar Wulung berpikir hendak dibawa kemana gadis
culikan itu. Dia tidak begitu mengenal kawasan dimana dia berada. Di satu tempat ketinggian
Damar Wulung hentikan kudanya. Dia memandang seputar kegelapan malam sampai matanya
membentur satu lamping bukit tertutup batu-batu besar membentuk dinding tinggi.

“Dibukit batu seperti ini biasanya terdapat goa,” pikir Damar Wulung. Dia turun dari kuda,
menyelidik. Di langit awan yang sejak tadi menutupi bulan setengah lingkaran bergerak
menjauh hingga malam yang tadi gelap pekat kini menjadi terang temaram. Dugaan Damar
Wulung tidak meleset. Pada lamping bukit batu ternyata memang terdapat dua buah goa. Satu
kecil di sebelah kanan, satu lagi lebih besar di ujung kiri. Sinar rembulan yang jatuh di lamping
bukit batu menerangi sebagian goa. Damar Wulung memilih goa yang besar. Ternyata bagian
dalam goa selain sejuk juga bersih. Tubuh Ratu Duyung dibaringkannya di lantai joa lalu dia
pandangi wajah jelita dan tubuh bagus sang Ratu.

“Cantik luar biasa. Tidak pernah aku melihat gadis seperti ini. Aku ingin melihat sepasang
matanya yang biru.” Damar Wulung meraba urat besar di leher Ratu Duyung.

“Racun sirapan masih menguasai dirinya. Harus aku keluarkan dulu….” Si pemuda lalu menotok
beberapa jalan darah di tubuh Ratu Duyung.

Dengan jari-jari tangannya pemuda ini membuka bibir yang terkatup. Lalu bibirnya ditempelkan
ke bibir sang Ratu. Perlahanlahan Damar Wulung mulai menyedot. Sekali, dua kali, tiga kali.
Pada kali yang kelima dia muntahkan ludah yang memenuhi mulutnya. Ludah itu berwarna
kebiruan. Damar Wulung merasa iega. Kembali dia menyedot sampai lima kali dan seperti tadi
memuntahkan ludah. Di bawah terangnya sinar rembulan kelihatan sepasang mata Ratu
Duyung bergerak membuka. Damar Wulung segera menotok beberapa urat penggerak otot
tangan dan kaki si gadis. Begitu matanya terbuka Ratu Duyung memandang seputar ruangan.
Dia maklum kalau saat itu berada di dalam sebuah goa, di satu tempat sunyi. Belum habis
herannya mengapa dia bisa berada di tempat itu, ketika dia memutar mata ke kanan, Ratu
Duyung tersentak kaget dan bertambah heran begitu melihat Damar Wulung.

“Kau!” ujar Ratu Duyung.

“Bukankah kau pemuda bernama Damar Wulung yang siang tadi menolong aku dan teman-
teman?” Ada perasaan heran juga takut di hati Ratu Duyung.

“Bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Mana kawankawanku. Apa yang terjadi?” Damar
Wulung tersenyum. Dibelainya rambut Ratu Duyung lalu berkata.

“Aku gembira kau masih mengenali diriku. Berarti kau menaruh perhatian padaku. Mungkin
juga telah jatuh cinta sehagaimana aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama siang
tadi.” Merinding bulu kuduk Ratu Duyung mendengar ucapan Damar Wulung. Mata membeliak,
rahang menggembung. Tadi ketika pemuda itu membelai rambutnya, dia berusaha menjauhkan
kepala tap! tak bisa. Untuk pertama kalinya Ratu Duyung menyadari kalau dirinya berada dalam
bahaya.

“Mulutmu bukan saja lancang tapi juga kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhku!”
Habis membentak Ratu Duyung segera hendak melompat bangkit. Tapi bukan kepafang
kagetnya gadis bermata biru ini ketika dapatkan dirinya tak mampu bergerak. Tangan dan kaki
lumpuh!

“Jahanam! Kau pasti menotokku! Lepaskan diriku! Kau pasti punya niat keji!” teriak Ratu
Duyung.

“Kekasihku Ratu Duyung. Bukankah itu nama yang kau sebutkan waktu memperkenalkan
diri…?”

“Pemuda kurang ajar! Beraninya kau menyebut aku kekasihmu!” Membentak Ratu Duyung
marah sekali.

“Ratu, kau tak perlu marah, tak usah takut. Aku baru saja menyelamatkan dirimu dari racun
sirapan….”

“Racun sirapan?” Damar Wulung mengangguk.

“Tiga temanmu tak bisa ditolong. Aku sengaja melarikanmu ke sini agar bisa diselamatkan….”

“Aku tak percaya pada ucapanmu….”


“Kau tak perlu percaya pada segala ucapanku,” kata Damar Wulung dengan seringai bermain di
mulut.

“Kau mungkin telah berbuat keji terhadap tiga temanku! Lepaskan totokan di tubuhku!” teriak
Ratu Duyung.

“Sudahlah, bukankah lebih baik kita habiskan sisa malam ini berdua-dua di tempat ini,
bersenang-senang meneguk cinta kasih kebahagiaan?”

“Benar-benar kurang ajar! Jika kau berani berbuat keji terhadapku aku bersumpah
membunuhmu Damar Wulung!”

“Aku kurang percaya pada sumpah seperti itu!” sahut Damar Wulung.

“Karena begitu selesai kau meneguk kebahagiaan, kau akan ketagihan, ketagihan dan
ketagihan. Kau akan mencariku. Meminta dan meminta….”

“Lepaskan totok di tubuh atau aku….”

Damar Wulung bukannya melepaskan totokan yang melumpuhkan kaki tangan si gadis, malah
dia menambah satu totokan lagi hingga saat itu juga Ratu Duyung tak bisa lagi keluarkan suara.
Hanya dua matanya yang biru saja yang masih mampu membeliak, bergerak liar kian kemari.

“Kekasihku, aku siap membawamu ke alam penuh nikmat…” kata Damar Wulung dengan
seringai mesum bermain di mulut. Sekujur tubuh Ratu Duyung bergetar, bulu tengkuknya
merinding ketika pemuda itu susupkan tangan ke pinggang pakaiannya.

“Jahanam kurang ajar! Aku bersumpah membunuhmu!” rutuk Ratu Duyung. Tapi suaranya
tidak keluar. Dua matanya yang biru seperti hendak melompat keluar dari rongganya. Di balik
pinggang pakaian Damar Wulung merasakan kulit yang halus dan daging tubuh yang lembut
hangat. Namun selain itu jari-jari tangannya juga menyentuh sebuah benda. Dicobanya
memegang. Satu hawa aneh menjalar memasuki tangan terus ke lengan. Pemuda ini segera
maklum ada satu benda sakti tersembunyi di balik pinggang pakaian si gadis. Segera
dipegangnya lebih kuat lalu ditarik dikeluarkannya.

“Sebuah cermin bulat…” ujar Damar Wulung heran sambil pegangi gagang cermin dan meneliti
membolak balik.

“Ada hawa aneh mengalir dari dalam benda ini. Jelas benda ini bukan cermin biasa untuk
dipakai berhias diri….” Si pemuda memandang pada Ratu Duyung. Tersenyum dan berkata
dalam hati.

“Beberapa waktu lalu aku mendapat penjelasan. Gadis bermata biru dan tiga temannya itu
adalah tokoh-tokoh muda rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.” Damar Wulung
memandang ke dalam cermin. Samar-samar dia melihat wajahnya sendiri. Cermin diputar,
diarahkan ke pintu goa sebelah atas. Lalu dia kerahkan tenaga dalam. Selarik sinar putih
menyilaukan berkiblat lalu braakkk! Batu keras bagian atas mulut goa hancur berkeping-keping.
Bagian yang masih utuh kelihatan hitam hangus mengepulkan asap. Damar Wulung terkesiap
lalu tertawa lebar. Sambil memandang pada Ratu Duyung dia berkata.

“Kekasihku, senjata aneh ini lebih pantas berada di tanganku. Akan kujadikan kenang-kenangan
seumur hidup tanda percintaan kita di malam hari ini. Ha… ha., ha…!”

“Keparat terkutuk!” Ratu Duyung kerahkan tenaga dalamnya untuk bebaskan diri dari pengaruh
totokan yang melumpuhkan. Tapi gagal. Dia alirkan hawa sakti ke arah mata untuk
mengeluarkan ilmu kesaktian berupa sinar maut berwarna biru. Lagi-lagi dia tak mampu
melakukan. Totokan yang dilancarkan Damar Wulung atas dirinya benar-benar luar biasa hingga
dia tidak berdaya sama sekali. kanannya bergerak ke dada.

“Breettt!”

Pakaian yang melekat di tubuh Ratu Duyung robek besar. Auratnya tersingkap lebar. Ratu
Duyung merutuk habis-habisan sebaliknya Damar Wulung semakin beringas dilanda nafsu
bejat. Nyaris dia hampir menelanjangi tubuh gadis itu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
orang bersiul. Sesaat Damar Wulung hentikan kebejatannya. Telinganya dipasang mendengar
suara siulan. Bukan siulan itu yang membuat darahnya tersirap dan berubah air muka. Tapi
nyanyian dalam siulan itulah yang menyebabkannya tercekat hebat. Tanpa tunggu lebih lama
dia melompat ke mulut goa lalu lari ke luar. Di satu tebing batu tinggi Damar Wulung tegak
berdiri. Telinga dipasang tajam, pandangan mata dilayangkan ke arah timur.

“Dari arah situ tadi suara siulan muncul. Kini lenyap tiada bekas….” Penasaran Damar Wulung
lari menuruni tebing batu di tepat ketinggian.

Dia lari ke arah lenyapnya suara siulan. Di kejauhan di dalam gelap dia seperti melihat ada
bayangan berkelebat lalu lenyap.

“Hai!” Damar Wulung berteriak.

Yang menjawab hanya gaung tipis suaranya sendiri. Si pemuda hentikan larinya. Sesaat dia
tegak termangu memandangi kegelapan.

“Telingaku tidak tuli. Jelas sekali aku mendengar suara siulan itu. Jelas sekali itu adalah kidung
Kami Anak Desa yang sering aku nyanyikan dengan adikku dimasa kecil di desa. Mataku tidak
buta, tadi aku melihat satu bayangan di kejauhan. Adikku, engkaukah yang tadi bersiul itu?
Adimesa, bayanganmukah tadi yang aku lihat dalam gelap?” Damar Wulung pejamkan mata
menarik nafas panjang berulangulang.
Terbayang olehnya kehidupan di masa kecil di desa Kaliurang. Terbayang wajah adiknya yang
terpisah dengan dirinya belasan tahun silam yaitu ketika terjadi bencana gunung meletus.
Terbayang saat-saat dia dan adiknya membantu orang tua mereka di sawah, memandikan
kerbau, mengagon itik. Semua pekerjaan itu mereka lakukan dengan rasa suka cita sambil
menyanyikan iagu Kami Anak Desa. Semula dia mengira adiknya telah menemui ajal dalam
bencana itu. Tapi suara siulan tadi seolah membangkitkan satu kepercayaan dalam dirinya
bahwa Adimesa, adiknya masih hidup. Saat itu ingin dia terus mengejar ke arah lenyapnya
bayangan tadi, namun ketika teringat pada Ratu Duyung yang ditinggalkannya di dalam goa,
Damar Wulung batalkan niatnya. Dia memutar tubuh, dengan cepat kembali ke goa di lamping
bukit batu bersusun. (Mengenai kehidupan masa kecil Damar Wulung alias Adisaka dan adiknya
Adimesa harap baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa.”)

Sebelum masuk ke dalam goa masih penasaran Damar Wulung alias Adisaka palingkan kepala
ke arah kejauhan. Dia berharap suara siulan tadi akan terdengar kembali. Dia berharap
bayangan orang di dalam gelap yang dilihatnya tadi akan muncul kembali.

“Adimesa adikku. Tak ada lain orang yang tahu nyanyian itu kecuali kau…” ucap Damar Wulung
perlahan dengan suara bergetar. Pemuda ini menarik nafas dalam lalu berbalik dan langkahkan
kaki masuk ke dalam goa. Bergerak tiga langkah ke dalam goa, mendadak sontak gerakan kaki
Damar Wulung terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke lantai goa. Dua matanya
mendelik. Mulutnya ternganga. Sulit dipercaya gadis itu berubah menjadi makhluk lain! Yang
kini tergolek miring di lantai goa, membelakanginya.

“Aku tidak lamur, aku tidak salah melihat! Bagaimana ini bisa terjadi? Jangan-jangan gadis tadi
bangsa setan jejadian!” Damar Wulung maju lagi satu langkah. Membungkuk ulurkan kepala.
Membuka mata besar-besar.

Pemuda ini benar-benar melengak. Sosok yang terbaring menelentang di lantai goa bukan
sosok Ratu Duyung si gadis cantik bermata biru. Tapi sosok lain seorang berambut panjang
kelabu riap-riapan, mengenakan jubah hitam. Dada Damar Wulung berdebar, hatinya berdetak.
Tiba-tiba sosok yang tergolek di lantai itu bergerak membalik. Cahaya rembulan setengah
lingkaran jatuh tepat di mukanya. Kelihatanlah satu wajah menyeramkan seperti setan! Damar
Wulung keluarkan seruan tertahan. Kakinya tersurut ke belakang. Nyawanya serasa terbang.
Walau lidahnya mendadak kelu namun mulutnya masih bisa berucap.

“Guru!”

***

212

ORANG berjubah hitam bermuka setan rambut kelabu riap-riapan membuat gerakan aneh.
Tubuhnya melesat ke atas, hampir menyandak atap goa dan tahu-tahu telah berdiri hanya satu
langkah di hadapan Damar Wulung.
“Guru…” si pemuda kembali berucap. Yang dipanggil guru menyeringai, membuat wajahnya
semakin seram menggidikkan.

“Adisaka, buka matamu besar-besar. Benarkah yang kau lihat berdiri di hadapanmu ini adalah
gurumu? Bukannya gadis bermata biru yang hendak kau gagahi itu?!” Pucatlah wajah Damar
Wulung alias Adisaka. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Dia tak bisa menjawab. Matanya
melirik jelalatan mencaricari. Hatinya bertanya-tanya. Kalau si nenek ini sekarang ada di dalam
goa, lalu dimana beradanya Ratu Duyung yang tadi jelas-jelas ditinggalkannya di tempat ini?

“Adisaka, perbuatan keji terkutuk inikah yang jadi hasil jerih payahku menggemblengmu selama
bertahun-tahun untuk menjadi seorang pendekar pembela kebenaran penegak keadilan,
pembela kaum lemah menghancurkan kesewenangwenangan?! Semula aku mendengar banyak
cerita tentang dirimu. Semua serba tak jelas karena mungkin hanya berita dilayangkan angin
belaka. Kini kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri rasanya sulit aku mempercayai.
Muridku, kau yang tadinya aku harapkan menjadi pendekar besar ternyata adalah manusia keji
yang tubuh dan hatinya karatan oleh kebiadaban!” Damar Wulung dalam kaget dan kecut tak
kuasa menjawab jatuhkan diri, berlutut bahkan kemudian bersujud di hadapan gurunya si
nenek muka setan, yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah Hati adanya!

“Bangun! Jangan bersujud di hadapanku!” bentak nenek muka setan dengan suara
menggeledek. Damar Wulung tersentak lalu cepat-cepat bangkit berdiri. Kepalanya
ditundukkan, tak berani menatap wajah apa lagi sepasang mata gurunya yang berkilat laksana
sambaran api.

“Dari sikapmu bersujud, jelas otakmu sudah terbalik dan hatimu diselimuti air comberan busuk!
Aku tidak pernah mengajarkan padamu bahwa manusia harus bersujud kepada manusia! Hanya
pada Gusti Allah tempat manusia bersujud! Dalam usahamu hendak coba selamatkan diri
jangan kau berbuat salah kaprah! Kalau tombak besi kau tusukkan ke dadaku, sakitnya mungkin
tidak seberapa dibanding dengan semua perbuatan yang telah kau lakukan.”

“Guru, mohon maafkan diriku. Mohon aku diberi kesempatan untuk menjelaskan satu hal….”

“Aku menyesal. Mungkin aku telah kesalahan mengambilmu sebagai murid. Karena belakangan,
setelah kau kugembleng kujadikan murid, terbetik berita bahwa sebenarnya adikmulah yang
aku inginkan untuk jadi murid. Entah bagaimana kejadiannya, waktu terjadi bencana alam, aku
hanya melihat dan menemuimu di dalam rimba….” Damar Wulung jadi terdiam. Dia tidak
menyangka gurunya akan mengeluarkan ucapan seperti itu.

“Guru, aku mohon sekali lagi. Aku tidak bermaksud membela diri. Namun izinkan aku
menjelaskan sesuatu yang ada hubungannya mengapa aku sampai menjalankan hidup sesat
seperti ini….”
“Hemm…. Setan mana yang menyambatmu hingga kau jadi manusia jahat, bejat budi pekerti!
Apa yang hendak kau jelaskan!” Gondoruwo Patah Hati meluluskan permintaan muridnya
walau sebenarnya dia tidak suka berlama-lama di tempat itu dan sudah gatal tangan untuk
segera menjatuhkan hukuman.

“Aku akan jelaskan guru, harap kau suka mendengar. Tak berapa lama setelah aku kau lepas
meninggalkan pertapaan, aku terpesat ke satu rimba belantara di pantai selatan. Di sana aku
jatuh sakit, terserang demam panas. Rasanya saat itu tidak ada satu orangpun yang bisa
menolong. Aku sendiri tak mampu keluar dari hutan. Jangankan melangkah, merangkakpun aku
tak sanggup. Ajal sudah di depan mata. Lalu terjadi satu keanehan. Seperti mimpi aku melihat
muncul sosok seorang perempuan muda berwajah cantik sekali. Di kepalanya ada sebuah
mahkota terbuat dari emas berbentuk kepala seekor ular. Sehelai pakaian hijau tipis
membungkus tubuhnya. Karena ada cahaya aneh menutupi auratnya maka tubuhnya soolah
tidak mengenakan apa-apa. Perempuan itu berkata bahwa dengan mudah dia bisa
menyembuhkan sakitku. Tetapi dengan satu syarat yaitu bahwa aku harus menyebadaninya.
Memandangi tubuh nyaris telanjang itu nafsuku bergejolak. Aku berusaha bertahan tapi sia-sia.
Apalagi perempuan cantik itu menunjukkan sikap mengundang dan aku perlu kesembuhan.
Dalam keadaan tidak sadar dan dirangsang nafsu setelah aku disembuhkannya dengan cara
aneh, perempuan itu mengajak aku melakukan hubungan badan….”

“Kau menerima ajakan setan betina itu! Kau menidurinya! Betul begitu?!” bentak Gondoruwo
Patah Hati.

“Betul guru…” jawab Damar Wulung alias Adisaka.

“Cuahh!” si nenek meludah ke tanah.

“Siapa perempuan edan yang membuat kau mau melakukan perbuatan maksiat itu?”

“Dia mengaku bernama Kunti Ambiri. Belakangan aku ketahui dia sebenarnya adalah Dewi
Ular….” Kagetlah si nenek muka setan mendengar nama dan gelar yang disebutkan muridnya
itu.

“Dewi ular dari pantai selatan! Bukankah dia sudah lama menemui ajal dan rohnya
gentayangan tidak diterima bumi? Makhluk itu yang kau tiduri Adisaka?!” Damar Wulung
mengangguk. Si nenek terdiam, mata melotot memandangi muridnya.

“Adisaka, aku tidak melihat apa hubungan Dewi Ular dengan banyak kejahatan yang telah kau
lakukan!” Gondoruwo Patah Hati akhirnya berkata. Damar Wulung usap mukanya yang
keringatan.

“Setelah aku melakukan hubungan, dalam diriku terasa ada beberapa keanehan. Pertama ada
dorongan untuk selalu melakukan kejahatan. Kedua aku seperti tidak bisa melupakan Dewi
Ular. Akibatnya aku dijadikan budak nafsu oleh makhluk siluman ular itu. Berbulan-bulan aku
berada di tempat kediamannya….”

“Tidak disangka, jadi kau sudah hidup bergendak dengan makhluk terkutuk jejadian itu! Edan!”
Damar Wulung hanya bisa menelan ludahnya. Dia ragu hendak meneruskan ceritanya.

“Apa kisah edanmu sudah selesai?!” bentak Gondoruwo Patah Hati.

“Belum, Nek. Kalau boleh aku melanjutkan. Setelah berbulan-bulan berada bersamanya, suatu
hari Dewi Ular berkata. Ada satu tugas yang harus aku lakukan.”

“Tugas apa?” tanya sang guru muka setan.

“Mencari seorang pendekar, menangkapnya hidup-hidup lalu membawanya ke hadapan Dewi


Ular di pantai selatan….”

“Siapa pendekar yang diinginkan Dewi Siluman itu?”

“Pendekar 212 Wiro Sableng,” jawab Damar Wulung. Terkejutlah si nenek mendengar gelar dan
nama yang disebutkan. Matanya sampai mendelik memandang tak berkedip pada sang murid.
Lalu muiutnya menyeringai. Perlahan-lahan keluar suara tertawa.

“Mencari, menangkap dan membawa Pendekar 212! itu bukan pekerjaan mudah. Selusin
manusia berkepandaian setingkatmu belum tentu mampu melakukannya. Kau mencari penyakit
Adisaka! Jika kau patuhi perintah dewi siluman itu, firasatku mengatakan umurmu tidak akan
lama. Kecuali jika kau mengikuti apa yang akan kukatakan. Malam ini juga kau harus ikut ke
pertapaanku di Kali Lanang. Kau harus bertobat di sana. Jika kau membangkang, kuhabisi
seluruh ilmu yang ada di tubuhmu saat ini juga! Sebelum matahari muncul kau akan berubah
menjadi seorang kere pasar tanpa kepandaian, tanpa ilmu kesaktian!” Pucat muka Damar
Wulung alias Adisaka.

“Guru, aku berterima kasih kau masih memperhatikan diriku. Tapi aku tidak mungkin mematuhi
perintahmu….”

“Apa kau bilang?!” hardik si nenek.

“Dewi Ular telah memberiku minum air sorga iblis….”

“Air sorga, tapi ada iblisnya! Minuman laknat apa itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati.

“Pertama kali berada di tempat kediamannya Dewi Ular menyuguhkan secangkir minuman
berwarna putih. Ketika kuminum, tubuhku terasa sangat segar dan enteng. Ada satu kekuatan
aneh mengalir di setiap pembuluh darahku. Bersamaan dengan itu hasrat kelaki-lakianku
menggebu seperti kobaran api yang tidak padam oleh tiupan topan dan curahan hujan. Selama
cairan itu mendekam dalam diriku, aku tak mungkin melepaskan diri dari perbuatan keji.
Tubuhku seperti terbakar jika dalam satu kali bulan purnama aku tidak dapat melepas kobaran
nafsu. Selama di tempat kediamannya Dewi Ular selalu melayani diriku. Tapi setelah berada di
luaran, aku terpaksa mencari sendiri….”

“Jahanam! Laknat terkutuk! Kejahatanmu bukan cuma memperkosa gadis. Aku mendengar
lebih dari itu!” teriak Gondoruwo Patah Hati. Saking marahnya dia hantamkan tangan
kanannya.

“Bukkk! Byaarrr!”

Dinding batu goa amblas runtuh.

“Adisaka, sebelum dosamu makin bertumpuk setinggi gunung, malam ini juga kau harus ikut ke
Kali Lanang….”

“Guru, jika kau mau memberi kesempatan. Setelah aku menangkap dan membawa Pendekar
212 ke hadapan Dewi Ular, Dewi berjanji akan memberikan obat pemunah air sorga iblis itu.”
(Kisah dendam kesumat Dewi Ular terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng dapat diikuti dalam
serial berjudul “Dewi Ular“. Baca juga Episode berjudul “Dendam Dalam Titisan” yaitu Episode
ke 10 dari 11 Episode “Tua Gila dari Andalas“.)

“Jangan kau percaya omongan dan janji-janji siluman betina itu. Sekali kau telah dijadikan
budak nafsu, kau tak akan dilepaskannya seumur hidup. Kau baru akan dilepas kalau sudah
tidak berguna lagi baginya. Dan ingat, bukan tubuhmu yang dilepas pergi, tapi nyawamu yang
akan dilepas amblas olehnya! Sekarang ikut aku ke Kali Lanang….” Waktu bicara Gondoruwo
Patah Hati tak bergerak di tempatnya. Tak kelihatan ada bagian tubuhnya yang bergerak. Tapi
tiba-tiba lima sinar hitam menderu.

“Bet… bet… bet… bet… bet!”

“Totokan Lima Jari Langit!” Damar Wulung berteriak keras. Dia cepat menghindar selamatkan
diri. Tapi kalah cepat. Lima sinar hitam mendarat di lima bagian tubuhnya. Saat itu juga tangan
dan kakinya menjadi kaku tak bisa bergerak.

“Guru, mengapa kau lakukan ini terhadapku?” ujar sang murid.

“Bukankah aku sudah bersedia mengikuti kehendakmu kalau aku sudah menangkap Pendekar
212 dan membawanya ke hadapan Dewi Ular….”

“Urusan kentut busuk! Siapa mau ikut campur! Biar aku selesaikan urusanmu di sini saja!”
jawab si nenek. Lalu dia melangkah mendekati muridnya, siap membembeng leher pakaian
pemuda itu dan menyeretnya keluar goa. Tapi alangkah kagetnya Gondoruwo Patah Hati ketika
melihat apa yang terjadi. Di tempatnya berdiri dia melihat bagaimana mulut muridnya dalam
keadaan terkancing bergerak komat-kamit. Lalu tubuh si pemuda bergetar hebat. Bersamaan
dengan itu ada hawa tipis kebiruan keluar dari permukaan tubuh dan pakaiannya. Lalu
terdengar suara letupan halus lima kali berturutturut.

“Dess… dess… dess… dess… dess!”

Satu teriakan keras melesat keluar dari mulut Adisaka. Tubuhnya yang tadi kaku tiba-tiba
bergerak lalu dalam satu gerakan kilat melesat ke mulut goa.

“Murid jahanam! Jangan lari!” Gondoruwo Patah Hati mengejar sambil lepaskan satu pukulan
sakti.

“Kraakkk…!”

Batang pohon besar di seberang mulut goa hancur. Pohonnya tumbang dengan suara
bergemuruh. Tapi Damar Wulung sang murid yang terlahir Aengan nama Adisaka lenyap sirna
tak kelihatan lagi bayangannya. Hanya dikejauhan terdengar suara kuda dipacu dan suara
inipun kemudian lenyap.

“Anak itu…. Kalau tidak ada yang mencegahnya, rimba persilatan tanah Jawa bisa kiamat! Dia
mampu melepaskan diri dari Totokan Lima Jari Langit yang aku lepaskan dari jarak jauh. Ilmu
setan apa yang dimilikinya? Dari siapa dia mendapatkannya? Dari Dewi Ular?” Si nenek geleng-
geieng kepala dan tarik nafas panjang berulang kali.

Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Cepat dia Jari ke balik sebuah batu besar di ujung kiri dinding batu.
Di situ menggeletak sosok tubuh seorang gadis. Auratnya di bagian dada hampir tidak tertutup
karena pakaiannya robek besar. Matanya yang biru mendelik ketakutan ketika melihat
munculnya nenek berwajah setan. Tapi ketika si nenek mulai memeriksa keadaannya dia segera
maklum orang tidak berniat jahat, malah hendak menolongnya. Gadis ini bukan lain adalah Ratu
Duyung. Ketika Damar Wulung keluar dari goa untuk mencari orang yang bersiul, si nenek yang
memang sudah lama mengikuti gerak-gerik muridnya sampai di tempat itu. Dia segera
menggendong Ratu Duyung keluar dari goa dan meninggalkannya di satu tempat yang aman di
balik batu.

“Gadis cantik, ketika tadi kau kutolong kau masih dalam keadaan pingsan. Tidak salah kalau saat
ini kau ketakutan setengah mati melihat tampangku! Keadaanmu cukup parah. Anak keparat itu
telah menotokmu dengan Totokan Jari Bumi, dua tingkat lebih rendah dari Totokan Jari Langit.
Kau tak usah khawatir. Aku akan menclongmu, kau akan sembuh. Jika kau sudah bebas
berjanjilah untuk menceritakan apa yang terjadi!” Gondoruwo Patah Hati mendongak ke langit.

Telapak tangan kanan dikembang, lima jari berkuku panjang dipentang lurus. Perlahan-lahan,
mulai dari kepala sampai ke kaki si nenek sapukan tangannya satu jengkal di atas permukaan
tubuh Ratu Duyung. Setiap sapuan tangan sampai di bagian tubuh yang terkena totokan
terdengar suara letupan halus.
“Dess… desss….”

Dari bagian tubuh yang barusan terlepas totokannya keluar cahaya biru, tersedot dan
menempel di telapak tangan si nenek. Ternyata ada tujuh bagian tubuh Ratu Duyung yang
terkena totokan. Begitu totokan ke tujuh lepas Ratu Duyung menggeliat lalu melompat bangkit.
Dadanya bergoncang keras. Perutnya terasa mual. Dia meludah. Tengkuknya merinding ketika
melihat ludahnya yang jatuh di batu berwarna kebiru-biruan.

“Murid keparat itu! Pasti dia yang melakukan. Dia menebar asap sirapan….” Sadar kalau dirinya
baru saja diselamatkan orang Ratu Duyung segera melangkah ke hadapan Gondoruwo Patah
Hati.

“Nenek, aku Ratu Duyung menghaturkan terima kasih setinggi langit sedalam samudera. Kalau
tidak kau yang menolong, diriku tentu sudah kejatuhan aib besar.” Si nenek yang diberi ucapan
terima kasih bukannya merasa senang tapi unjukkan tampang kaget dan mundur sampai dua
langkah.

“Telingaku tidak tuli. Tapi coba ulang sekali lagi. Kau menyebut namamu tadi. Siapa…?”

“Aku Ratu Duyung….”

“O walah! Tidak pernah mimpi bakal bertemu dengan penguasa kawasan selatan paling cantik!
Tidak pernah menyangka gadis yang aku tolong ternyata Ratu Duyung, gadis cantik sakti
mandraguna yang punya nama besar di delapan penjuru angin Tanah Jawa….” Ratu Duyung
tersipu malu.

“Nek, kau jangan keliwat memuji….”

“Aku tidak memuji. Aku berkata apa adanya!” jawab si nenek.

“Gadis bermata biru, pakaianmu tidak karuan. Pakai ini untuk menutupi tubuhmu. Setelah itu
aku ingin mendengar penjelasanmu. Bagaimana kau sampai berada dalam keadaan ini. Diculik
orang!” Dari buntalan yang ada di pinggang kirinya si nenek muka setan keluarkan sehelai
pakaian. Begitu diserahkan Ratu Duyung segera mengenakan pakaian itu untuk menutupi
pakaiannya yang robek besar di bagian dada. Ratu Duyung seolah baru sadar. Wajahnya yang
cantik mendadak bengis. Sepasang matanya memancarkan kilatan sinar biru.

“Pemuda jahanam bernama Damar Wulung itu! Dia layak mati di tanganku! Dia juga telah
mencuri cermin saktiku!” Ratu Duyung hendak melompat ke arah goa. Tapi si nenek cepat
memegang bahunya.
“Tak ada gunanya mengejar. Pemuda itu sudah kabur. Kalau tidak selesai di tanganku, kelak
akan ada orang lain membereskannya. Mengenai cermin saktimu itu, aku berjanji akan
merampasnya dan mengembalikan padamu.”

“Nek, tadi kau menyebut pemuda itu sebagai muridmu. Aku….”

“Dia memang muridku. Tapi ketahuilah, belasan tahun sifam ketika aku memasuki satu rimba
belantara dalam mengejar seorang anak leiaki yang jadi rebutan para tokoh rimba persilatan,
aku berhasil lebih dulu mendapatkan anak itu. Tapi mungkin aku kesalahan tangan memilih.
Nasibku sial. Yang kudapat bukan murid baik-baik, tapi murid celaka! Aku sungguh menyesal.
Apalagi setelah mengetahui apa yang dilakukannya atas dirimu. Dia kena batunya. Dia mungkin
tidak tahu siapa kau sebenarnya….” Si nenek terdiam sebentar. Dipandanginya wajah Ratu
Duyung yang cantik jelita dengan pandangan haru tapi juga penuh rasa kagum.

“Ratu Duyung, sebelum kita berpisah aku ingin kau menceritakan kejadian bagaimana kau
sampai dicuiik dan dibawa murid keparat itu ke tempat ini….”

“Aku sendiri tidak sadar kalau telah jadi korban penculikan. Aku baru tahu setelah berada dalam
goa. Tadinya aku dan tiga orang kawan berada di sebuah kuil. Aku yakin saat itu kami telah
tertidur. Ketika bangun dan sadar aku dapatkan diriku hendak digagahi muridmu yang bernama
Damar Wulung itu….”

“Damar Wulung itu nama paisu. Nama sebenarnya adalah Adisaka…” kata Gondoruwo Patah
Hati.

“Melihat pada telapak tanganku yang berwarna biru, juga pada air ludahmu yang berwarna
biru, agaknya Adisaka telah menyirap dirimu dan kawan-kawan dengan sejenis sirapan
mengandung racun. Tadi katamu kau bersama tiga orang teman. Mereka sekarang berada di
mana?”

“Astaga! Jangan-jangan mereka masih berada di kuil. Jangan-jangan mereka telah diperlakukan
keji oleh Adisaka! Aku harus segera kembali ke kuil itu….”

“Ya, pergilah cepat. Aku ada kepentingan lain. Tak bisa ikut bersamamu.”

“Tak jadi apa Nek. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih padamu. Kalau umur sama
panjang kita akan bertemu lagi. Semoga Gusti Allah memberi jalan bagiku untuk membalas budi
luhurmu ini!” Si nenek tertawa perlahan. Walau perempuan tua ini berwajah seram seperti
setan tapi entah mengapa Ratu Duyung merasa senang padanya. Begitu ingat sesuatu Ratu
Duyung berkata.

“Nek, maafkan kalau aku bicara mungkin menyinggung perasaanmu. Kalau kau mau ikut aku ke
pantai selatan, aku dan orang-orangku bisa mengobati cacat diwajahmu. Kau akan kembali
memiliki wajah secantik yang kau inginkan….” Si nenek pandangi Ratu Duyung. Matanya
tampak berkaca-kaca. Lalu mulutnya berucap.

“Ratu Duyung, terima kasih atas kebaikan hati dan budi tulusmu itu. Namun aku merasa
bahagia hidup dengan wajah seperti ini. Biarlah aku tetap berada dalam keadaan begini.” Ratu
Duyung merasa terharu mendengar ucapan si nenek. Si nenek sendiri masih bisa tersenyum.
Seolah didorong oleh perasaan yang sama, kedua orang ini saling melangkah mendekat lalu
berpelukan.

“Nek, sekali lagi terima kasih….”

“Kau gadis cantik luar biasa. Aku kagum karena kecantikan bukan cuma ada di wajahmu, tapi
juga ada di lubuk hati sanubarimu….” Selagi kedua orang itu saling berangkulan sebelum
berpisah, di balik sebuah batu besar ada orang berbisik pada dua temannya.

“Lihat apa yang terjadi! Ratu Duyung berpelukpelukan dengan penculiknya!”

“Celaka, jangan-jangan sahabat kita itu telah kena diguna-guna…” menyahuti orang di samping
kiri. Orang ke tiga yang ada di sebeiah kanan ikut bicara.

“Aku pernah mendengar tentang perempuan-perempuan aneh yang hanya suka pada sesama
jenisnya! Jangan-jangan Ratu Duyung telah melakukan hubungan gila dengan nenek muka
setan itu!”

“Kita harus segera keluar! Kalian berdua selamatkan Ratu Duyung, aku biar membeset tua
bangka keparat itu!” Laksana kilat, tiga bayangan berkelebat dari balik batu besar. Gondoruwo
Patah Hati tersentak kaget ketika merasakan gadis yang tengah dipeluknya terbetot lepas dari
rangkulannya. Ratu Duyung sendiri tak kalah kejutnya. . Bersamaan dengan itu terdengar satu
bentakan garang.

“Iblis penculik! Bersiaplah menerima kematian! Akan kukikis setiap gumpalan daging yang
melekat di tulang belulang dalam tubuhmu!” Cahaya putih terang berkiblat dalam gelapnya
malam!

212

NENEK muka setan Gondoruwo Patah Hati berseru kaget ketika dapatkan dirinya terbungkus
dalam serangan pedang yang menabur cahaya putih menyilaukan dan sambaran hawa dingin
menggidikan. Dengan cepat nenek ini melompat selamatkan diri sambil tangan kanannya
melepas pukulan. Lima sinar hitam menderu keluar dari lima kuku.

“Wuttt!”

Cahaya putih kilauan pedang menyambar.


“Bett… bett… bett… bett… bett!”

Lima larik sinar hitam amblas bertaburan. Si nenek terpekik. Cepat tarik tangan kanannya yang
mendadak ngilu kesemuatan. Wajah setannya mengkeret garang. Mulutnya membentak
lantang pada orang yang barusan menyerangnya.

“Gadis liar! Tak ada ujung pangkal mengapa kau menyerangku?!” sepasang mata si nenek
mengawasi pedang tipis di tangan orang. Yang dibentak balas menghardik.

“Penculik busuk! Sudah tertangkap basah masih bisa jual lagak di hadapanku! Lihat pedang dan
mampuslah!”

“Gadis jahanam! Siapa jadi penculik! Enak saja kau menuduh! Kau yang mampus duluan!”
Gondoruwo Patah Hati tekankan tumit kanannya ke tanah. Bersamaan dengan menyambarnya
pedang di tangan lawan, tubuh nenek ini melesat ke udara, berjungkir balik satu kali. Begitu
melayang turun, laksana kilat lima kuku jari tangan kanannya menyambar ke kepala lawan.

“Breettt!”

Jubah Gondoruwo Patah Hati robek besar di sebelah bawah termakan ujung pedang. Sebaliknya
si penyerang berseru kaget, muka pucat ketika kuncir rambut di atas kepalanya putus,
membuat rambutnya yang panjang hitam terurai lepas riap-riapan. Kalau tidak cepat dia
rundukkan kepala tadi, bisa-bisa ubun-ubun di batok kepalanya amblas dijebol orang!
Sementara itu Ratu Duyung yang dicekal dua orang membentak marah. Sambil berusaha
lepaskan diri dia coba melihat siapa dua orang di kiri kanannya yang mencekal dirinya.

“Anggini! Bidadari Angin Timur! Apa-apaan ini? Mengapa kalian mencekalku begini rupa?!”
Berseru Ratu Duyung ketika dia mengenali siapa dua orang yang tengah mencekalnya.

“Ratu Duyung, mengucaplah! Sebut nama Tuhan!” menyahuti Anggini yang berada di sebelah
kiri.

“Kami baru saja melepaskanmu dari penculikmu!”

“Lebih dari itu,” berucap Bidadari Angin Timur.

“Beruntung kau kami lepaskan dari aib besar!”

“Kalian berdua apa sudah gila? Kalian sadar apa yang barusan kalian ucapkan?!” Anggini dan
Bidadari Angin Timur jadi saling pandang. Ratu Duyung menyusul ucapannya tadi.

“Nenek muka seram itu bukan penculik! Justru dia yang menyelamatkan diriku dari penculik
sebenarnya! Gila! Aib besar apa yang telah aku perbuat?”
“Kami… kami lihat kau berpeluk bermesramesra dengan nenek itu. Bagaimana mungkin kalian
yang sesama jenis….”

“Benar-benar gila! Kalian berdua salah duga! Tunggu! Nanti aku jeiaskan pada kalian!” Saat itu
Ratu Duyung menyaksikan bagaimana Pedang Naga Suci 212 di tangan Puti Andini bertabur
laksana curahan hujan menyerbu mengurung Gondoruwo Patah Hati hingga si nenek kelihatan
terdesak hebat. Meski diserang gencar habishabisan namun Gondoruwo Patah Hati masih
sanggup bertahan sambil sesekali lepaskan pukulan tangan kosong sangat berbahaya. Jika
perkelahian itu tidak segera dihentikan, salah satu dari keduanya pasti akan celaka.

“Brettt!”

Ujung jubah hitam lengan kiri si nenek terbabat putus.

“Bukkk!”

Bahu kiri Puti Andini kena dihajar pukulan lawan. Walau tidak telak, hanya terserempet tapi
cukup membuat Puti Andini melintir. Selagi dia berusaha mengimbangi diri tahu-tahu lengan
kanannya yang memegang pedang sudah kena dicekal lawan. Lima kuku panjang
mencengkeram pergelangannya. Kalau si nenek mau sekali meremas lima kuku itu akan masuk
amblas ke dalam daging lengan sampai ke tulang. Tapi anehnya walau dalam keadaan marah
besar si nenek tidak melakukan hal itu. Sebaliknya Puti Andini merasa tidak sanggup lepaskan
tangan dari cekalan, dengan cepat hantamkan sikut kirinya ke rusuk lawan. Si nenek menangkis
dengan menyambut serangan itu dengan telapak tangan kiri. Melihat Puti Andini tidak berdaya
bahkan bisa celaka di tangan lawan, Bidadari Angin Timur dan Anggini segera lepaskan
cekalannya pada Ratu Duyung lalu melompat seraya lepaskan pukulan tangan kosong ke arah si
nenek.

“Bukk!” “Bukk!”

Dua pukulan keras melabrak tubuh Gondoruwo Patah Hati. Sosok si nenek terpental,
bergulingan di tanah tapi sesaat kemudian sosok itu melesat ke atas, melompat dan tegak
berdiri sambil menyeringai. Pedang Naga Suci 212 yang tadi ada dalam genggaman Puti Andini
kini berada dalam pegangan tangan kanan si nenek.

“Penculik keparat! Kembalikan pedangku!” teriak Puti Andini. Bidadari Angin Timur dan Anggini
ikut membentak. Tiga gadis itu kemudian serentak menyerbu si nenek. Saat itulah Ratu Duyung
berkelebat memapaki gerakan tiga sahabatnya sambil dorongkan dua tangannya.

“Teman-teman! Tahan!” Tubuh Puti Andini, Bidadari Angin Timur dan Anggini seolah tertahan
oleh satu tembok semu, tak dapat meianjutkan serangan.
“Ratu Duyung, kau pasti telah kena digunagunai nenek muka setan itu. Kami hendak
menolongmu dari tangan jahatnya, kau malah membelanya!” berkata Puti Andini.

“Teman-teman. Kalian salah menduga! Nenek itu bukan penculikku. Justru dia yang
menyelamatkan diriku dari tangan penculik sebenarnya! Yang menculikku bukan dia, tapi
pemuda bernama Damar Wulung!” Kagetlah tiga gadis itu di hadapan Ratu Duyung. Tapi juga
ada rasa kurang percaya.

“Damar Wulung?!” ujar Bidadari Angin Timur.

“Bukankah dia pemuda yang siang tadi menolong kita dari tangan para penjahat? Mengapa
sekarang tahu-tahu….” Saat itu Gondoruwo Patah Hati telah berdiri di hadapan Puti Andini. Dia
pandangi si gadis lalu perhatikan Pedang Naga Suci 212 di tangan kanannya.

“Pedang bagus…. Bukan saja sakti mandraguna tapi juga sarat dengan riwayat….” Si nenek
angsurkan senjata itu pada Puti Andini sambil tersenyum dan kedipkan matanya.

“Ketika kau belum dilahirkan, aku sudah mendengar riwayat pedang ini. Bahkan aku adalah
sahabat salah seorang pewarisnya. Gadis cantik, kau beruntung menjadi pewaris berikutnya.
Terima kembali pedangmu!” Puti Andini sesaat jadi terkesima mendengar kata-kata
Gondoruwo Patah Hati.

“Kau nenek penculik…. Aku…. An!”

“Ambil dulu pedang ini! Kalau aku berubah pikiran, ingin memiliki dan melarikannya. Sampai
diliang kubur kau tak bakalan mendapatkannya kembali! Hik… hik… hik!” Puti Andini sadar.
Cepat-cepat dia mengambil senjata itu. Dia ingat satu hal. Pedang Naga Suci bukan senjata
sembarangan. Jika ada orang yang ingin berbuat jahat hendak memiiikinya, bahkan seorang
yang dianggap tidak suci atau tidak perawan lagi, maka tangannya akan terkelupas hangus
dimakan hawa sakti yang ada dalam pedang. Sambil pegangi Pedang Naga Suci 212 Puti Andini
membatin.

“Nenek muka setan ini, tangannya tidak terkelupas tidak cidera. Berarti dia memang tidak
punya niat jahat. Lalu, apakah seusia begini lanjut dia masih perawan?”

“Anak gadis, apa yang ada dalam benakmu?” Gondoruwo Patah Hati bertanya. Suaranya penuh
kelembutan.

“Nek, apakah kau… kau…?” Si nenek tertawa lebar,

“Aku tahu apa yang hendak kau tanyakan. Simpan dulu pertanyaanmu itu. Satu hari kau bakal
menemukan jawabannya. Sekarang di hadapan teman-temanmu aku ingin bertanya, apakah
kau masih menuduhku sebagai penculik?” Puti Andini jadi bingung sendiri, tak bisa menjawab.
“Kami melihat kalian bermesraan. Kami menduga kalian tengah melakukan hubungan yang
tidak wajar!” Bidadari Angin Timur berucap. Si nenek kembali tertawa.

“Kalau sahabatmu ini punya kelainan, masakan dia mau-mauan dengan seorang tua bangka
bermuka seram seperti diriku? Pasti dia akan mencari gadis cantik seusia atau lebih muda dari
dirinya.” Gondoruwo Patah Hati berpaling pada Puti Andini lalu berkata.

“Tenangkan jalan pikiran dan hatimu! Ingat baik-baik apa yang sebelumnya terjadi. Aku yakin
kau bakal tahu kalau aku ini bukan penculik keji itu….” Puti Andini merenung sejenak. Sesaat
kemudian dia berkata.

“Ya, aku ingat sekarang Nek. Maafkan diriku….”

“Jangan buru-buru minta maaf. Cerita saja apa adanya,” kata Gondoruwo Patah Hati pula.

“Waktu itu aku dan teman-teman berada di sebuah kuil. Mereka mungkin sudah terlelap dalam
tidur nyenyak. Aku sendiri sulit memejamkan mata. Lalu di halaman kulihat ada kepulan asap,
berhembus memasuki kuil. Lalu samar-samar kulihat ada orang di halaman, melangkah
memasuki kuil. Karena gelap aku tidak dapat melihat wajahnya….”

“Wajahnya tidak kau lihat, tapi sosoknya pasti kau kenali. Apakah dia mengenakan jubah hitam
seperti yang aku kenakan?” Puti Andini menggeleng.

“Apakah dia seorang perempuan, seorang nenek tua buruk seperti diriku?” Puti Andini terdiam,
lalu kembali gelengkan kepala.

“Aku sadar sekarang. Orang yang memasuki kuil itu adalah seorang lelaki. Dia berhenti di
hadapanku, lalu mendekati salah seorang sahabatku. Lalu bergerak ke tempat Ratu Duyung.
Mendukung sahabatku di atas bahunya lalu melarikannya. Aku hendak mengejar tapi tangan
dan kakiku lumpuh, kepala terasa berat, pemandangan berkunang. Untung aku kemudian
masih mampu membebaskan diri dari hawa aneh yang menguasai tubuhku. Aku segera
membangunkan dua sahabatku. Ternyata mereka bukan cuma tidur tapi dalam keadaan
setengah pingsan. Aku berhasil memulihkan keadaan mereka lalu melakukan pengejaran….”

“Kau beruntung. Ketika asap pehyirap memasuki kuil kau berada dalam keadaan terjaga hingga
racun jahat tidak banyak terhirup ke dalam jalan darahmu. Tapi dua temanmu ini masih
mengindap cukup banyak hawa beracun dalam tubuhnya. Aku akan menolong keduanya. Cuma
sekarang aku ingin tahu, apakah kau dan kawankawanmu masih menuduh aku sebagai
penculik?”

“Maafkan aku dan teman-teman Nek. Kau, kau bukan penculik Ratu Duyung…” jawab Puti
Andini.
“Kalau begitu siapa yang telah menculik sahabat kami? Apa kau tahu orangnya?” tanya Bidadari
Angin Timur.

“Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, apa aku boleh mengetahui satu persatu siapa kalian
bertiga yang jadi sahabat Ratu Duyung?”

“Aku Puti Andini. Maafkan diriku tadi telah menyerangmu habis-habisan….” Si nenek tertawa.

“Kalau tak salah kau gadis berkepandaian tinggi dari Pulau Andalas….”

“Aku Bidadari Angin Timur.”

“Hemmm…. Rambut pirang, tubuh menebar bau wangi, pakaian warna biru, tubuh tinggi
semampai dan ada lesung pipit di pips. Aku sudah menduga sejak tadi kau adalah gadis cantik
yang dijuluki Bidadari Angin Timur….”

“Aku Anggini….”

“Anggini!” si nenek kerenyitkan kening.

“Namamu mengingatkan aku pada satu kisah yang pernah diriwayatkan oleh seorang sahabat.
Kisah perjodohan antara kau dengan seorang pemuda gagah berjuluk Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212….” Wajah Anggini serta merta bersemu merah. Puti Andini sengaja alihkan
pandangan ke jurusan lain. Ratu Duyung tundukkan kepala. Hanya Bidadari Angin Timur yang
melontarkan lirikan, memperhatikan sikap Anggini. Jelas bayangan kecemburuan tak bisa
disembunyikan si cantik berambut pirang ini. Si nenek tertawa perlahan.

“Dalam keadaan seperti ini harap maafkan kalau aku bermulut lancang membicarakan urusan
pribadi orang. Empat gadis cantik! Kalian berada jauh dari tempat kediaman masing-masing.
Apa yang tengah kalian lakukan? Kalian mencari sesuatu?”

“Kami dalam perjalanan menuju Gunung Gede,” jawab Anggini.

“Gunung Gede! Itu adalah pertapaan tempat kediaman Sinto Gendeng, guru Pendekar 212!”
kata si nenek lalu pandangi wajah empat gadis itu satu persatu. Dalam hati dia membatin.

“Empat gadis cantik… dari bayangan di balik wajahmu aku tahu hati kalian sama tertambat pada
pemuda itu. Entah siapa yang beruntung diantara kalian yang bakal dapat menjadikan dirinya
sebagai teman hidup.”

“Kami memang tengah mencari pemuda sahabat kami itu, Nek,” kata Ratu Duyung. Lalu dia
menceritakan riwayat dua makam setan yang telah mereka temui di Kopeng dan Banyubiru
serta maksud perjalanan menuju puncak Gunung Gede.
“Kisah aneh tapi nyata. Di balik keanehan dan kenyataan itu kalian harus berhati-hati. Aku
punya firasat ada seseorang tengah menyiasati jebakan berbahaya. Karena ketahuilah,
beberapa waktu lalu aku telah berjumpa dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang kalian cari.”

“Hah?!” Empat mulut bagus sama keluarkan seruan kaget.

“Dimana kau menemui dia Nek?!” tanya Anggini.

“Jadi Wiro masih hidup!” ujar Bidadari Angin Timur. Gondoruwo Patah Hati lalu menuturkan
pertemuannya dengan Wiro di satu kaki bukit. Tak lupa dia menceritakan bagaimana secara
tidak terduga muncul rombongan orang-orang Kerajaan hendak menangkap murid Sinto
Gendeng itu.

“Kami berdua berhasil memperdayai para tokoh silat Kerajaan dan melarikan diri. Bukan itu
saja. Banyak korban berjatuhan di pihak lawan. Kini aku dan pemuda itu menjadi buronan
Kerajaan. Sial dan celakanya hidup ini. Hik… hik… hik!” Si nenektertawa cekikikan.

“Lalu bagaimana dengan kabar bahwa dia sebenarnya sudah mati dua tahun lalu?” Puti Andini
ikut bicara.

“Mungkin….” Anggini tidak meneruskan ucapannya.

“Mungkin apa?” tanya Bidadari Angin Timur.

“Mungkin Wiro memang sebenarnya sudah menemui kematian. Yang ditemui si nenek adalah
arwahnya yang gentayangan…” jawab Anggini.

“Berani dan teganya kau berkata seperti itu!” kata Bidadari Angin Timur.

“Maksudku bukan apa-apa. Semua yang terjadi jauh dari jangkauan akal.” Ratu Duyung cepat
menengahi sebelum terjadi pertengkaran antara Bidadari Angin Timur dan Puti Anggini.

“Ada orang sangat jahat menyiasati kita. Ingin mencelakai kita berempat!”

“Nek, jika Wiro masih hidup, seteiah berpisah dengan dirimu, apakah dia memberitahu apa
yang hendak dilakukannya? Kemana dia hendak pergi?” bertanya Puti Andini.

“Pendekar seperti dia sukar diduga apa yang hendak dilakukan. Dicari sulit setengah mati. Tidak
dicari muncul sendiri. Tapi aku punya dugaan karena semua prasangka datang dari Kerajaan
maka dia mungkin akan masuk ke dalam lingkaran Kerajaan. Bukan mustahil dia akan menyusup
ke Kotaraja.” Empat gadis sama terdiam. Tak terasa meluncur ucapan Anggini.

“Kalau saja Kotaraja dekat dari sini….”


“Gunung Gede tak berapa jauh lagi. Kalau kita menuju Kotaraja sekarang sama saja mencari
kesia-siaan,” kata Puti Andini pula.

“Para sahabat,” kata Bidadari Angin Timur.

“Apapun yang kini kita ketahui, satu hal harus tetap kita lakukan. Menyelidik sampai ke puncak
Gunung Gede dimana Makam Ke Tiga berada….”

“Empat gadis cantik. Apapun yang kalian lakukan agar selalu hati-hati…” kata Gondoruwo Patah
Hati. Sesaat tempat itu tenggelam dalam kesunyian sampai akhirnya Bidadari Angin Timur
berkata.

“Nek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Yaitu siapa sebenarnya yang telah menculik
sahabat kami Ratu Duyung?” Si nenek memandang sebentar ke arah Ratu Duyung. Melihat cara
memandang si nenek Anggini, Puti Andini dan Bidadari Angin Timur segera memaklumi kalau
sahabat mereka satu itu sebenarnya sudah tahu siapa penculik dirinya. Gondoruwo Patah Hati
menghela nafas panjang. Dengan suara tabah dia berkata.

“Aku tidak malu mengatakan. Orang yang menculik sahabat kalian itu adalah seorang pemuda
yang kalian kenal dengan nama Damar Wulung. Dia adalah muridku sendiri….” Tiga pasang
mata terpentang lebar. Tiga orang gadis langsung menunjukkan sikap waspada. Melihat
gerakan-gerakan yang dibuat tiga temannya Ratu Duyung cepat berkata.

“Nenek ini telah mengambil keputusan untuk mencari dan menghukum muridnya. Harap kalian
tidak menaruh syak wasangka buruk lagi terhadapnya….”

“Nek, kalau aku boleh tanya, siapakah kau sebenarnya?” Si nenek menatap paras Bidadari
Angin Timur yang barusan mengajukan pertanyaan.

“Dalam rimba persilatan aku dikenal dengan nama Gondoruwo Patah Hati,” jawab si nenek.
Bidadari Angin Timur dan Puti Andini tidak memberikan kesan apa-apa pada wajah
masingmasing. Lain halnya dengan Anggini yang telah lebih lama malang melintang dalam
rimba persilatan dibanding tiga gadis sahabatnya itu. Walau tidak banyak, dari kakeknya Dewa
Tuak, dia pernah mendengar riwayat tentang nenek satu ini. Satu pikiran terlintas dalam benak
Anggini. Dia segera mendekati Ratu Duyung.

“Nek,” Puti Andini berucap.

“Ada satu hal yang masih belum masuk dalam jalan pikiranku. Siang tadi Damar Wulung
menolong kami dari tangan sembilan penjahat. Mengapa sekarang dia berbalik hendak berbuat
jahat terhadap kami?” Gondoruwo Patah Hati menarik nafas panjang.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan anak itu. Sejak dia menjadi budak nafsu Dewi Ular
pikirannya boleh dikatakan tidak waras lagi. Sesaat dia bisa menjadi orang baik. Di lain kejap dia
bisa berubah menjadi manusia laknat paling terkutuk di muka bumi ini.” Saat itu Anggini telah
berada di samping Ratu Duyung. Dia segera berbisik.

“Lekas kau pergunakan llmu Menembus Pandang. Aku menaruh duga….”

“Aku mengerti maksudmu,” jawab Ratu Duyung berbisik. Lalu segera kerahkan aliran darah
disertai hawa sakti ke arah sepasang matanya yang biru. Gondoruwo Patah Hati diam-diam
memperhatikan bisik-bisik antara dua gadis cantik di hadapannya itu. Ketika dia melihat ada
kilatan cahaya aneh di mata biru Ratu Duyung, perempuan tua yang luas pengalaman ini segera
maklum. Orang hendak melakukan sesuatu padanya. Maka dengan cepat dia berkata.

“Empat gadis cantik sahabatku, aku harus melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi aku akan
memberikan empat butir obat. Harap kalian menelannya satu seorang. Mudah-mudahan hawa
beracun yang telah kalian hirup akan bersih dari jalan darah dan pernafasan kalian!” Habis
berkata begitu si nenek lemparkan empat butir benda berbentuk hitam. Dia sengaja
melemparkan ke arah Ratu Duyung yang sedang memusatkan diri untuk mengerahkan llmu
Menembus Pandang. Karena obat dilemparkan ke arahnya mau tak mau Ratu Duyung gerakkan
tangan menyambuti. Akibatnya pusat perhatian yang tengah diiakukan untuk pengerahan ilmu
menjadi buyar. Begitu sang Ratu menyambuti empat butir obat yang dilemparkan dengan dua
tangannya, nenek bermuka setan sudah berkelebat lenyap dari pemandangan. Di timur langit
kelihatan mulai terang kemerahan. Ratu Duyung menarik nafas kecewa.

“Nenek cerdik itu. Dia sengaja melemparkan obat ke arahku. Pikiranku buyar. Aku tak sempat
mengerahkan llmu Menyusup Pandang. Aku tak dapat mengetahui siapa dia sebenarnya….”

212

DUA KUDA penarik gerobak dipacu tiada henti. Siang itu panasnya udara bukan alang kepalang.
Matahari seolah berada di atas kepala. Sore memasuki malam cuaca mendadak berobah. Awan
tebal membentuk mendung menutupi langit. Dalam gelapnya udara hujan lebat turun
mengguyur bumi.

“Cari tempat berteduh. Kita harus mencari perlindungan. Kuda perlu istirahat!” berseru
Bidadari Angin Timur.

“Gunung Gede sudah di depart mata. Apapun yang terjadi malam ini kita harus sampai di
puncaknya!” menjawab Anggini yang duduk di depan gerobak bersama Puti Andini.

“Jangan toiol. Di udara seburuk ini sulit melanjutkan perjalanan ke puncak gunung. Kalaupun
kita sampai di sana, keadaan bisa membuat kita lengah. Paling tidak tunggu sampai hujan
berhenti. Tengah malam kita lanjutkan perjalanan agar sampai dipuncak gunung menjelang
terbitnya sang surya!” Anggini tidak setuju pada ucapan Bidadari Angin Timur itu. Ratu Duyung
diam saja.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Anggini pada Puti Andini. Puti Andini yang memegang tali
kekang dua ekor kuda tak menjawab. Tapi tanpa bicara gadis ini kemudian membelokkan
gerobak ke arah sederetan pohon bambu di tepi kanan jalan ialu menghentikan kuda. Hujan
masih terus turun malah makin deras.

“Ada payung kenapa tidak dipergunakan?!” Bidadari Angin Timur mengambil keranjang besar
berisi tujuh buah payung milik Puti Andini.

Puti Andini memperhatikan apa yang dilakukan Bidadari Angin Timur, tidak melarang, tidak
mengucapkan apa-apa. Bidadari Angin Timur kemudian membagibagikan payung dalam
keranjang. Puti Andini sendiri ikut menerima payung berwarna hitam. Empat gadis pergunakan
payung untuk melindur.g! kepala dan tubuh masing-masing dari curahan air hujan dan tetap
berada di atas gerobak. Menjelang dinihari, gelapnya udara dan dinginnya malam serta fetihnya
tubuh membuat ke empat gadis itu terduduk di tempat masing-masing setengah tertidur
setengah jaga. Satu saat tiba-tiba salah seekor kuda penarik gerobak meringkik keras. Gerobak
bergoyang. Bidadari Angin Timur dan teman-temannya tersentak kaget. Mereka geserkan
payung masing-masing ke atas, memperhatikan bagian depan gerobak.

“Ada apa?” tanya Anggini.

“Tak ada apa-apa. Hanya kuda meringkik,” jawab Bidadari Angin Timur. Dia mengawasi Ratu
Duyung di pojok kiri gerobak sementara Puti Andini tenggelam di balik payung besar hitam.
Hujan besar mulai surut mengecil.

“Hatiku tidakenak…” berucap Anggini.

“Siapa yang enak dalam keadaan seperti ini? Dingin, geiap dan basah kuyup,” jawab Bidadari
Angin Timur. Gadis ini luruskan dua kakinya yang terasa pegal.

“Kita semua ketiduran. Sudah lewat tengah malam. Mungkin hampir pagi. Kita harus
melanjutkan perjalanan sekarang juga.” Anggini menggeliat lalu membangunkan Ratu Duyung.

“Tidurmu nyenyak amat. Apa tadi tidak tahu kuda meringkik, gerobak bergoyang oleng?!”
menegur Anggini.

“Siapa bilang aku tidur. Aku mendengar kuda meringkik. Juga merasakan gerobak bergoyang.
Tapi malas bangun. Dinginnya udara. Uh… pakaianku nyaris kuyup semua….”

“Kita berangkat sekarang. Hai! Sahabat kita Puti Andini masih enak-enakan tidur. Perlu
dibangunkan.” Bidadari Angin Timur lalu mendekat ke sudut gerobak tempat Puti Andini duduk
tertidur. Diangkatnya payung hitam besar yang melindungi sosok Puti Andini. Begitu payung
tersingkap kagetlah Bidadari Angin Timur. Kosong! Puti Andini tidak ada di sudut gerobak itu!
Tiga gadis heboh besar. Apa yang terjadi? Ketiganya saling pandang. Anggini mulai berteriak
memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Puti Andini tak kunjung muncul.
“Kita cari sekitar sini,” kata Bidadari Angin Timur. Lalu dia melompat turun dari gerobak diikuti
Anggini dan Ratu Duyung. Mereka mencari sampai beberapa jauh sekitar gerobak. Tapi Puti
Andini tidak ditemukan.

“Tadi kuda gerobak meringkik. Sepertinya melihat sesuatu…” ujar Anggini.

“Sulit diduga apa yang terjadi. Apa yang dilakukan Puti Andini?” kata Ratu Duyung pula.

“Mungkinkah dia meninggalkan kita secara diamdiam?” menduga Ratu Duyung.

“Kalau dia punya niat seperti itu, mustahil dia meninggalkan tujuh payung senjata andalannya
begitu saja,” jawab Bidadari Angin Timur.

“Tapi apakah kalian tidak memperhatikan? Sejak dia mengetahui yang menculik diriku adalah
pemuda bernama Damar Wulung itu, sikapnya jadi berubah. Dia lebih banyak diam.
Kelihatannya dia menyukai pemuda itu. Mungkin hatinya jadi hancur dan pikirannya jadi
kacau.”

“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Anggini.

“Tunggu sampai matahari terbit. Kalau sampai siang datangif dia tidak juga muncul, kita
terpaksa meninggalkannya. Meneruskan perjalanan menuju puncak Gunung Gede.”

“Tidak berusaha mencarinya lebih dulu?” tanya Ratu Duyung.

“Waktu kita tidak banyak. Mungkin setelah turun dari Gunung Gede kita baru ada kesempatan
mencarinya….”

“Hatiku tidak enak…” kata Anggini.

“Semua kita merasakan seperti itu,” jawab Bidadari Angin Timur.

“Yang aku khawatirkan pemuda jahanam bernama Damar Wulung itu muncul lagi malam tadi.
Menculik Puti Andini…” kata Ratu Duyung.

“Sayang, cermin saktiku dicuri Damar Wulung. Kalau tidak pasti bisa membantu mencari gadis
itu.” Sampai sang surya muncul esok paginya, Puti Andini tetap tidak muncul, juga tidak
diketahui dimana beradanya. Bidadari Angin Timur merapikan perbekalannya. Lalu dia pindah
duduk ke bagian depan gerobak bertindak sebagai sais.

“Terus terang, ada semacam ganjalan kalau kita melanjutkan perjalanan tanpa mengetahui
nasib sahabat kita Puti Andini….” Mendengar ucapan Anggini itu Bidadari Angin Timur
menjawab.
“Kalau begitu rombongan kita pecah dua. Rombongan pertama mencari Puti Andini.
Rombongan kedua melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Gede. Kalian silahkan memilih!”
Tak ada jawaban.

Melihat hal ini Bidadari Angin Timur segera mencabuk punggung dua ekor kuda. Gerobak serta
merta bergerak. Dalam perjalanan selanjutnya ketiga gadis itu jarang bercakap-cakap. Mereka
seperti tenggelam dalam pikiran masingmasing. Di satu tempat di kaki gunung perjalanan tak
mungkin lagi dilanjutkan dengan gerobak. Tiga gadis turun dari gerobak, mengerahkan ilmu
kepandaian masing-masing, berlari menuju puncak Gunung Gede. Anggini mendapat tugas
membawa keranjang besar berisi payung tujuh warna milik Puti Andini. Walau sudah ada jalan
setapak dan walau Anggini sebelumnya sudah pernah naik ke puncak Gunung Gede namun
tetap saja tiga gadis itu tidak bisa bergerak cepat. Baru lewat tengah hari mereka akhirnya
sampai di puncak gunung. Matahari bersinar terik tapi udara terasa sejuk.

“Dimana kira-kira letak makam ke tiga itu?” untuk pertama kalinya Ratu Duyung membuka
pembicaraan setelah sekian lama tiga gadis berdiam diri.

“Bagaimana kalau mencari tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng lebih dulu!” ujar Anggini.

“Lebih baik begitu. Kalau nenek sakti itu ada di pondoknya siapa tahu kita bisa mendapat
petunjuk. Tidak mustahil dia tahu seluk beluk semua kejadian ini. Lagi pula bukankah kau sudah
pernah ke sana dan tahu jalan?” Anggini mengangguk mendengar kata-kata Ratu Duyung. Dia
lalu berjalan lebih dulu ke arah timur. Dua gadis lainnya mengikuti dari belakang. Cukup lama
menempuh perjalanan di puncak gunung karena dihadang oleh semak belukar lebat akhirnya
tiga gadis sampai di satu tempat datar.

“Itu pondoknya!” Anggini hentikan langkah, menunjuk ke sebuah bangunan kayu di ujung kiri
pedataran.

“Sepi, rumput liar telah setinggi lutut di sekitar bangunan. Tak ada yang memelihara. Berarti tak
ada yang diam di pondok itu….” Bidadari Angin Timur berkata sambil mengawasi.

“Mari kita selidiki,” kata Anggini pula. Tiga gadis mendekati pondok kayu di ujung pedataran
kecil. Mereka sampai di depan pondok. Pintu kayu tertutup. Rumput setinggi betis dan lumut
menutupi undak-undak batu di depan pintu. Bidadari Angin Timur mengajak teman-temannya
ke samping kanan pondok. Dia berjalan di sebelah depan, dua gadis iainnya mengikuti di
sebelah belakang. Baru saja melewati ujung dinding pondok, memasuki halaman di samping
kanan bangunan, Bidadari Angin Timur menjerit keras dan tersurut mundur. Muka pucat, mata
mendelik besar menatap ke depan. Gadis ini menjerit sekali lagi lalu tekap wajahnya dengan
dua telapak tangan dan jatuh berlutut.

“Bidadari Angin Timur! Ada apa?!” Anggini dan Ratu Duyung melompat. Keduanya hendak
menolong mendirikan Bidadari Angin Timur, namun gerakan mereka serta merta terhenti.
Seperti Bidadari Angin Timur tapi dua gadis ini menjerit keras, begitu mata mereka membentur
satu pemandangan yang menyayat hati di seberang sana.

“Ya Tuhan!” mengucap Ratu Duyung.

“Gusti Allah! Mengapa kau biarkan kebiadaban ini terjadi?!” ujar Anggini lalu menggerung. Di
depan sana, di ujung halaman samping pondok kayu terdapat onggokan tanah merah
berbentuk satu makam yang masih baru. Di salah satu ujung menancap papan nisan sangat
besar bertuliskan:

“DISINI BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG.”

Papan dan tulisan di atas papan itu masih baru. Tetapi bukan onggokan tanah kuburan yang
masih merah, atau papan nisan bertuliskan nama Wiro Sableng yang membuat tiga gadis tadi
menjerit. Di belakang papan nisan ada satu tiang besar. Pada tiang ini terikat sosok Puti Andini.
Pakaian yang melekat di tubuhnya tak karuan rupa, membuatnya nyaris tidak mengenakan apa-
apa. Pada bagian tubuh yang tersingkap kelihatan bekas-bekas luka mengerikan. Satu luka
memanjang membelintang di pipi kirinya. Darah yang hampir mengering menutupi sebagian
wajah serta tubuh dan pakaiannya.

“Puti… Puti Andini…” ucap Anggini perlahan.

“Kasihan…. Kasihan sekali. Kita harus menolong. Kita harus turunkan tubuhnya. Mudah-
mudahan dia masih hidup. Ya Tuhan siapa yang tega-teganya melakukan kebiadaban ini?!”
Lutut Bidadari Angin Timur goyah ketika dia berusaha berdiri. Saling berangkulan tangan, sambil
bertangisan tiga gadis itu melangkah mendekati makam. Makam Ke Tiga!

TAMAT

Eps 125 Senandung Kematian

“Aku tahu keris pusaka itu ada padamu!” kata Wiro. “Otakmu culas! Mulutmu busuk! Kalau kau
menuduh aku memiliki keris itu, silahkan ambil sendiri!” kata Damar Wulung. Tiba-tiba Sutri
Kaliangan melompat ke hadapan Damar Wulung. “Atas nama Kerajaan aku harap kau
menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!” Damar Wulung tertawa bergelak “Ini satu lagi gadis
sesat kena tipu daya Pendekar Sableng! Aku menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan.
Jika kau mau berlaku adil, mengapa tidak menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan
Kerajaan?!” “Aku tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek
padaku!” bentak Sutri. “Ha….ha! Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang jatuh
cinta pada Pendekar Geblek itu!” “Sreett!” Sutri Kaliangan keluarkan pedangnya dari dalam
sarung.

Kapak Maut Naga Geni 212


SATU

Puncak Gunung Gede tampak berdiri gagah dan indah, hijau kebiruan di bawah siraman sinar
sang surya. Walau sinar itu cukup terik tapi di atas gunung udara terasa sejuk. Dari puncak
gunung kemanapun mata diarahkan, terbentang pemandangan yang indah. Namun semua
keindahan itu tidak terlihat, bahkan tidak terasa oleh tiga orang gadis cantik yang saat itu di
arah timur puncak gunung.

Di satu pedataran, tak jauh dari sebuah pondok kayu, tiga orang gadis duduk bersimpuh
mengelilingi sebuah kubur. Hanya beberapa tombak di sebelah kiri terlihat pula sebuah makam
yang masih merah tanahnya, ditancapi papan nisan bertuliskan :

“DI SINI BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG.”

Tiga gadis seperti tenggelam dalam kesedihan tapi juga dendam amarah. Sebelumnya
rombongan mereka berjumlah empat orang. Mereka dalam perjalanan ke Gunung Gede untuk
menyelidik makam ketiga dalam usaha mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang mereka cintai.
Di satu tempat hujan lebat turun menghalangi. Rombongan terpaksa berhenti. Menjelang dini
hari sewaktu hujan reda dan mereka siap melanjutkan perjalanan mendaki gunung, mendadak
diketahui bahwa salah satu dari mereka yakni gadis jelita dari Andalas, cucu Tuga Gila yang
dikenal dengan nama Puti Andini, bergelar Dewi Payung Tujuh lenyap tak diketahui ke mana
perginya.

Tiga gadis yakni Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini mencari habis-habisan, bahkan
kemudian menunggu sambil mengharap Puti Andini akan muncul. Tapi sampai sang mentari
menyembulkan diri gadis itu tak kunjung datang. Tak mungkin menunggu dalam ketidak
pastian, tak ada waktu menanti lebih lama, akhirnya tiga gadis melanjutkan perjalanan menuju
puncak Gunung Gede tanpa Puti Andini.

Di arah timur puncak gunung, Bidadari Angin Timur dan kawan-kawannya menemukan pondok
kediaman Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Pondok kosong. Dari
keadaan luar dan bagian dalam jelas pondok itu tak pernah dihuni sejak lama. Tiga gadis
melanjutkan penyelidikan. Di satu pedataran tak jauh dari pondok kayu mereka menemukan
sebuah makam bertanah merah. Inilah makam ketiga yang tengah mereka cari dan selidiki.
Namun mereka bukan cuma menemukan makam jahanam itu, tetapi juga satu pemdangan
yang sangat keji menusuk mata. Tiga gadis sempat menjerit keras, jatuh berlutut, bertangisan.
Kalau saja mereka bukan gadis-gadis gagah yang memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan
seperti itu pasti telah roboh pingsan!

Di belakang kepala makam yang ada papan nisannya, menancap sebuah tiang besar. Di tiang
inilah sosok kawan mereka Puti Andini, berada dalam keadaan terikat. Pakaiannya penuh robek,
bagian tubuhnya yang tersingkap penuh luka. Darah di mana-mana, mulai dari kepala sampai
kaki. Puti Andini mereka temukan dalam keadaan tak bernyawa lagi. Jenazah gadis malang itu
segera diturunkan dari tiang, diurus sebisanya lalu dikuburkan di salah satu bagian halaman.
Kesunyian mencekam. Sesekali terdengar suara siuran angin dan daun-daun atau reranting
yang bergesek.

Untuk beberapa lamanya tiga orang gadis itu duduk bersimpuh di depan tanah merah makam
Puti Andini. Tak ada yang bicara sampai akhirnya Anggini membuka mulut. Suaranya bergetar.

“Sahabatku Puti Andini. Aku bersumpah untuk mencari siapa yang telah berlaku keji
terhadapmu. Aku bersumpah membalaskan sakit hati kematianmu.”

Ratu Duyung ulurkan tangan kanannya. Memegang tanah makam lalu berkata “Aku Ratu
Duyung, ikut bersumpah untuk membalaskan dendnam kematian sahabat Puti Andini.”

“Membalaskan sakit hati dendam kesumat sahabat kita memang merupakan satu kewajiban.
Namun kita tidak boleh larut terlalu lama.” Berkata Bidadari Angin Timur. Matanya kelihatan
bengkak dan merah. Rambutnya yang pirang acak-acakan. Pakaian kotor penuh tanah. Dua
temannya tidak lebih baik dari keadaannya. “Kita harus melakukan sesuatu!”

Bidadari Angin Timur berdiri, berpaling ke arah makam yang ada papan nisannya lalu berkata
“Saatnya kita menyelidik. Saatnya kita membongkar makam itu. Siapkan peralatan! Apa saja!
Kayu, potongan bambu, pecahan batu!”

Ratu Duyung dan Anggini segera pula berdiri.

“Tidakkah kita lebih baik menunggu, siapa tahu Eyang Sinto Gendeng pemilik kawasan ini
muncul? Hingga kelak nanti kita tidak dituduh berlaku gegabah melakukan sesuatu tanpa ijin di
tempatnya?” yang berkata adalah Ratu Duyung sambil berpaling pada Anggini seolah minta
pertimbangan atas ucapannya tadi.

“Maksudmu baik, tapi jangan lupa. Waktu kita tidak banyak,” menyahuti Bidadari Angin Timur.
“Selain itu salah seorang dari kita telah jadi korban. Dan kita telah menguburkannya di tempat
ini tanpa ada kemungkinan untuk meminta ijin pada pemilik kawasan ini. Kemudian, bukan
mustahil, malah aku yakin saat ini diri kita juga tengah diintai bahaya! Kalau lambat bertindak
kita semua bisa celaka! Selain itu kita harus segera mengetahui apa sebenarnya yang telah
terjadi dengan Pendekar 212. Walau nenek muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati itu
bilang telah bertemu dengan Wiro yang menyatakan bahwa pendekar itu masih hidup, tapi itu
tidak boleh menghambat kita untuk menghentikan penyelidikan.” Habis berkata begitu Bidadari
Angin Timur melangkah mendekati makam berpapan nisan, yakni makam ketiga dari
serangkaian kejadian aneh yang dialami para gadis cantik itu sejak beberapa waktu belakangan
ini.

“Kawan-kawan, apakah kalian ada menaruh duga siapa kiranya manusia durjana yang telah
membunuh Puti Andini?” Anggini, murid Dewa Tuak yang oleh sang guru pernah ingin
dijodohkan dengan Wiro keluarkan ucapan.
“Sebelum dibunuh, Puti Andini telah diperlakukan secara mesum…..”kata Anggini dengan suara
perlahan. “Aku ingin sekali mengetahui siapa manusia laknat terkutuk itu!”

Bidadari Angin Timur mendongak, pejamkan mata. Dia ingat keterangan Puti Andini apa yang
telah diucapkan dan dilakukan Damar Wulung atas dirinya sewaktu mereka berada di kuil.
Gadis ini usap rambutnya yang pirang, membuka matanya kembali lalu berkata.

“Dugaan bisa banyak. Tapi aku menaruh wasangka, pemuda bernama Damar Wulung itulah
yang telah melakukan kekejian ini. mungkin sekali dia masih penasaran karena tidak berhasil
mencelakai Ratu Duyung. Malam tadi agaknya dia tidak memilih-milih. Siapa saja yang didapat
itu yang dicelakainya. Dan Puti Andini bernasib malang. Dia yang jadi korban!” Bidadari Angin
Timur menghela nafas panjang. “Sudah, kita tak perlu banyak bicara. Saatnya membongkar
makam!”

“Tunggu! Ada satu hal ingin kukatakan!” Ratu Duyung tiba-tiba berkata.

“Apa?” Bidadari Angin Timur dan Anggini bertanya hampir berbarengan.

“Sewaktu jenazah Puti Andini kita urus dan kita kebumikan, aku sempat memeriksa. Bukankah
sahabat kita ini membekal sebilah pedang mustika sakti?”

“Benar!” Bidadari Angin Timur membenarkan ucapan Ratu Duyung.

“Tapi senjata itu tidak ada padanya…..” berucap Ratu Duyung.

Bidadari Angin Timur terdiam, tidak menunjukkan rasa terkejut. Ini membuat heran dua gadis
lainnya. Namun keganjilan itu segera tersingkap sewaktu dara berambut pirang itu berkata
“Terus terang, aku sendiri sebenarnya juga memeriksa jenazah Puti Andini. Kau benar Ratu
Duyung. Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada Puti Andini.”

“Berarti ada yang mencuri!” ujar Anggini.

“Aku yakin sekali si pencuri adalah juga si pembunuh Puti Andini. Benarbenar biadab! Sangat
kurang ajar!”

Bidadari Angin Timur kepalkan tinjunya. Diam sesaat dalam geram tiba-tiba Bidadari Angin
Timur berkata “Aku ingat sesuatu. Pedang sakti itu, bukankah senjata itu mempunyai satu
keanehan? Tidak sembarangan orang bisa menyentuhnya. Konon hanya seorang gadis yang
masih suci yang bisa memegang senjata itu. Lalu si pemegang juga harus tidak memiliki niat
jahat. Ingat peristiwa beberapa waktu lalu? Eyang Sinto Gendeng pernah hendak menguasai
Pedang Naga Suci 212. Tapi telapak tangannya yang memegang pedang hangus melepuh!”
“Kalau begitu yang mencuri senjata tersebut adalah seorang gadis!” kata Anggini. Pandangan
matanya ditujukan berganti-ganti pada Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung.

Melihat cara memandang Anggini, Bidadari Angin Timur merasa tidak enak lalu berkata
“Sahabatku Anggini, jangan menduga yang bukan-bukan. Aku tidak mencuri pedang sakti itu!”

“Aku juga tidak!” berkata Ratu Duyung.

“Demikian pula aku!” ujar Anggini. Sambil tersenyum dia bertanya “Lalu siapa yang
mengambilnya?”

Tak ada yang menjawab.

Anggini membuka mulut kembali. “Mungkin aku keliru. Tapi salah satu di antara kita telah
mengambil pedang itu. Bukankah senjata sakti itu berbentuk gulungan seperti gulungan ikat
pinggang. Jadi mudah saja menyembunyikannya.”

Wajah Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung menjadi merah. Dengan menahan amarah
Bidadari Angin Timur berkata “Anggini, ucapanmu sungguh lancang! Dalam keadaan seperti ini
jangan sampai terjadi perpecahan di antara kita. Kau seolah menuduh salah satu dari kami
berdua yang mencuri sementara kau sendiri suci dari perbuatan mencuri!”

Anggini tersenyum. Dipegangnya tangan Bidadari Angin Timur seraya berkata “Maafkan
ucapanku. Tidak ada maksud di hatiku menuduh kalian…..”

“Aku tetap yakin sipencuri adalah orang yang membunuh Puti Andini,” kata Bidadari Angin
Timur. “Besar kemungkinan dia seorang perempuan yang masih suci. Tapi saat ini untuk
sementara kita lupakan dulu pedang mustika itu. Kita harus segera membongkar makam ketiga
ini.”

Tanpa banyak bicara lagi di bawah pimpinan Bidadari Angin Timur, dengan peralatan seadanya,
antara lain nisan papan bahkan tak jarang mempergunakan tangan mereka yang halus, tiga
gadis itu segera membongkar makam ketiga. Ini bukan pekerjaan gampang, tapi dibanding
dengan menggali kubur untuk Puti Andini tadi, membongkar makam terasa lebih gampang dan
lebih cepat. Apa lagi mereka mempergunakan tenaga biasa maka dalam waktu singkat makam
telah terbongkar sampai sepertiga kedalamannya. Semakin dalam digali, semakin mencekam
perasaan ketiga gadis itu. Apa yang bakal mereka temukan di dalam makam ketiga ini? Apa lagi-
lagi hanya secarik surat yang memberitahu bahwa mereka ditunggu di makam keempat?

Mendadak Anggini hentikan gerakan tangannya menggali makam. Tubuhnya ditarik ke


belakang. Matanya membesar.

“Ada apa?” bisik Ratu Duyung tegang.


“Aku merasa tanah makam bergerak. Ada sesuatu yang hidup di dalam kubur ini!” jawab
Anggini dengan berbisik pula.

“Kalau begitu hati-hati. Siapkan tenaga dalam,” mengingatkan Ratu Duyung.

“Ratu, coba kau kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Kau pasti bisa melihat benda apa yang
mendekam di dalam makam ini,” bisik Bidadari Angin Timur.

Mendengar ucapan itu Ratu Duyung segera alirkan tenaga dalamnya ke mata. Mata dikedipkan
dua kali. Samar-samar Ratu Duyung melihat sesuatu. Dia lipat gandakan aliran tenaga dalam ke
mata. Begitu penglihatannya lebih jelas gadis ini jadi tercekat. Dia tidak bisa percaya. Maka dia
kerahkan ilmu kesaktian yang disebut Menyirap Detak Jantung. Dengan ilmu ini Ratu Duyung
sanggup merasakan detak jantung seseorang di kejauhan. “Kalau mahluk di dalam makam itu
memang mahluk hidup, pasti aku akan merasakan detak jantungnya. Kecuali dia setan
jejadian…..” Ratu Duyung tahan nafas, pasang telinga. Sesaat kemudian dia merasakan ada
debaran di dadanya. Lalu telinganya menangkap suara detakan jantung. Datangnya dari dalam
makam! Serta merta Ratu Duyung berteriak.

“Cepat keluar dari kubur! Ada mahluk hidup di dalam sana!”

Sambil berteriak Ratu Duyung melesat ke atas. Berbarengan dengan itu dia cepat menarik
tangan kiri Anggini dan mendorong Bidadari Angin Timur ke kanan.

Kapak Maut Naga Geni 212

DUA

Perempuan tua yang duduk di depan lampu minyak itu memandang dengan muka masam pada
pemuda di hadapannya. Mulut komat-kamit. Dari dalam mulut itu dikeluarkannya segumpal
susur. Mulutnya dipencongkan sesaat sebelum dia bertanya. Melihat susur itu si pemuda jadi
ingat akan gurunya. Sang guru paling doyan mempermainkan susur sirih dan tembakau di
dalam mulutnya. Kini entah di mana gurunya itu berada. Mungkin sudah saatnya dia
menyambangi di tempat kediamannya.

“Anak muda,” berucap perempuan tua di hadapan si pemuda. “Aku belum pernah melihat
tampangmu sebelumnya. Kau bukan penduduk sini. Kau menyusahkan orang saja. Ada
keperluan apa malam-malam begini mengganggu diriku? Apakah kau tidak bisa menunggu
sampai besok pagi?”

Pemuda di hadapannya menggaruk rambut lalu tersenyum. “Maafkan aku Nek. Aku datang dari
jauh. Waktuku sempit. Mohon jangan marah dulu…..”

Karena orang bersikap sopan dan bicara halus, perempuan tua itu kendur rasa jengkelnya.
Susurnya hendak dimasukkan ke dalam mulut kembali tapi tak jadi. “Ah, aku tadi bicara agak
kasar. Jangan-jangan kau datang minta tolong karena istrimu hendak melahirkan. Betul
begitu?!”

Si pemuda tersentak lalu tertawa bergelak.

“Huss! Malam-malam bagini tertawa seenaknya! Kau mau mengundang setan lewat kesasar
masuk ke rumahku?!”

“Nek, namaku Wiro. Aku belum punya istri! Tak ada perempuan yang hamil atau bunting! Aku
datang untuk keperluan lain. Aku tahu kau memang dukun beranak. Tapi kata orang kau yang
bernama Nyi Supi juga pengurus jenazah di kawasan sini. Jenazah orang-orang perempuan.”

“Hemmm….. Mataku masih ngantuk. Aku mau meneruskan tidur. Bilang cepat apa
keperluanmu. Apa kau datang membawa jenazah untuk aku urusi?”

“Nek, Nyi Supi, kau masih ingat peristiwa kematian Kinasih, istri Raden Mas Sura Kalimarta juru
ukir Keraton? Aku mendapat keterangan kau yang mengurus dan memandikan jenazah
perempuan itu.”

Muka keriput si nenek berubah mendengar disebutkan dua nama itu. “Aku tak mau mengingat-
ingat kedua orang yang sudah mati itu. Apalagi Kinasih. Mengerikan sekali! Seumur hidup aku
belum pernah mengurus dan memandikan jenazah seperti jenazah perempuan malang itu.” Nyi
Supi diam sesaat lalu bertanya “Eh, apakah kau punya hubungan saudara dengan kedua orang
itu?”

Wiro menggeleng.

“Lalu kenapa tanya-tanya?” Nyi Supi kelihatan heran.

“Nyi Supi, coba kau ingat. Apa betul di kening jenazah Kinasih ada guratan angka 212?”

“Aku tidak mau mengingat-ingat lagi. Seram sekali! Sejak peristiwa itu aku sering kedatangan
mimpi buruk…..”

“Tolong nek, aku butuh keteranganmu. Benar ada guratan 212 di kening istri juru ukir Keraton
itu?”

Nyi Supi akhirnya anggukkan kepala. “Kematian yang aneh. Tega-teganya ada orang membuat
guratan seperti itu. Entah apa maksud dan artinya. Tapi bagiku itu tidak terlalu seram.
Dibanding…..”

“Dibanding apa?” tanya Wiro ketika si nenek hentikan ucapannya.

“Terlalu ngeri…….”
“Tak usah takut Nek. Ceritakan saja,” ujar Wiro.

“Sekujur tubuh Kinasih. Penuh luka-luka terkuak. Bukan bekas sayatan atau tusukan senjata
tajam. Tapi luka-luka bekas gigitan. Terutama di bagian dada. Salah satu putting susunya hampir
tanggal. Darah di mana-mana. Waktu memandikan aku benar-benar tidak tega…..”

“Gigitan itu, menurutmu apakah gigitan manusia atau binatang buas?” tanya Wiro pula.

“Ya pasti gigitan manusia! Gigitan orang yang merusak kehormatannya. Masakan binatang bisa
menggigit dan menggurat angka! Kau ini bagaimana? Tanyanya seperti orang tolol saja!”

Wiro tertawa.

“Terima kasih Nek, aku berterima kasih kau mau memberi keterangan. Kini aku baru percaya
kalau di kening mayat Kinasih memang ada guratan tiga angka. Tadinya aku mengira cuma
cerita yang dibuat-buat belaka. Terima kasih Nek. Aku tidak akan mengganggumu lebih lama.
Aku minta diri….”

“Hemmmm…..” Nyi Supi bergumam. “Sudah pergi sana. Aku mau meneruskan tidur…..”

Wiro tersenyum. Dia usap-usap pipi peot si nenek seraya berkata. “Teruskan tidurmu Nek.
Semoga kali ini mimpimu bagus-bagus.” Wiro melangkah pergi.

Entah usapan tadi entah karena hal lain, yang jelas si nenek tiba-tiba ingat sesuatu.

“Wiro, tunggu,” Nyi Supi memanggil.

Murid Sinto Gendeng hentikan langkah, memutar tubuh.

“Ya, Nek. Ada apa?”

Nyi Supi lambaikan tangan, memberi isyarat aga Wiro lebih mendekat. Begitu Wiro sampai di
hadapannya perempuan tua ini berkata “Ada satu hal perlu kuceritakan. Mungkin ada artinya
bagimu. Ketika jenazah Kinasih aku mandikan, tangan kanannya dalam keadaan mengepal.
Karena sudah kaku, susah untuk diluruskan, apa lagi dibuka. Tapi karena di celah-celah jarinya
yang mengepal kulihat ada benda seperti secarik kain hitam, aku jadi berpikir. Jangan-jangan
benda dalam genggaman Kinasih itu ada sangkut pautnya dengan kematian dirinya. Dibantu
seorang teman aku berhasil membuka genggaman jari-jari tangan kanan Kinasih. Benar, benda
yang digenggamannya itu ternyata adalah secarik robekan kain hitam. Nah itu saja yang aku
ingin sampaikan padamu…..”

Wiro terdiam. Berpikir-pikir.


“Nyi Supi, robekan kain hitam itu, apakah kau masih menyimpannya?”

“Ah, kejadiannya sudah cukup lama. Aku tak ingat lagi. Tapi mungkin masih ada. Tolong
bawakan lampu minyak itu ke dalam…..”

Di ruang dalam, di bawah penerangan lampu minyak yang dibawa oleh Wiro, Nyi Supi
memeriksa di beberapa tempat. Dia tidak menemukan benda yang dicarinya.

“Mungkin kau menyimpan di kamar tidurmu,” kata Wiro.

“Tidak, benda seperti itu tidak akan pernah kusimpan di kamar tidurku!” Si nenek pejamkan
mata seolah berpikir. “Di sumur!” tiba-tiba si nenek berseru. “Robekan kain itu semula
kusimpan di balik setagen. Ketika mau mandi di sumur setagem kulepas. Kain hitam tercampak,
kupungut lalu kusempilkan….. Anak muda, ayo ikut aku ke sumur.”

Benar apa yang dikatakan Nyi Supi, robekan kain itu memang disempilkan di atas bambu
melintang dinding kajang pelindung tempat mandi. Kain itu diserahkannya pada Wiro. Ketika
Wiro memperhatikan, kain itu ternyata tidak cuma berwarna hitam. Tapi ada warna-warna lain
yakni biru dan garis-garis merah.

“Nyi Supi, kukira robekan kain ini tidak ada gunanya bagimu. Atau kau masih mau
menyimpannya?”

“Buat apa?” uajr si nenek. Wiro masukkan robekan kain itu ke balik pakaiannya. “Sekali lagi
terima kasih Nek. Aku minta diri…..” Nyi Supi menjawab dengan menguap lebar.

Hari masih pagi. Gedung Kepatihan nampak sunyi. Sejak Patih Selo Kaliangan sakit berat
beberapa waktu lalu suasana di Gedung Kepatihan sepi-sepi saja. Beberapa orang tabib dan ahli
pengobatan kabarnya telah berdatangan berusaha mengobati sang patih. Namun sebegitu jauh
keadaannya belum menunjukkan kesembuhan. Racun yang mengidap di dalam tubuhnya baru
sedikit bisa dikeluarkan. Di atas pembaringan Patih Kerajaan itu tergolek lumpuh. Tubuhnya
yang tadinya besar tegap kelihatan kurus. Untungnya dia masih mampu membuka mulut untuk
berkata-kata walaupun dengan suara tidak terlalu keras.

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Makam Ketiga) terjadi penyergapan untuk
kesekian kalinya oleh orang-orang Kerajaan terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Penyergapan
itu dipimpin sendiri pleh Patih Selo Kaliangan, dibantu oleh beberapa tokoh silat Istana
berkepandaian tinggi, sementara Pendekar 212 didampingi oleh nenek sakti sahabat barunya
berjuluk Gondoruwo Patah Hati.

Penyergapan bukan saja gagal tetapi Patih Selo Kaliangan malah ditimpa celaka besar.
Gondoruwo Patah Hati berhasil menangkap salah satu dari dua ular yang jadi senjata tokoh silat
berjuluk Setan Bertongkat Ular. Binatang berbisa ini kemudian dimasukkan ke dalam celana
Patih Kerajaan. Akibatnya patukan ular berbisa yang bersarang satu jengkal di bawah pusarnya,
sang Patih keracunan berat. Sekujur tubuhnya diserang demam panas. Beberapa hari kemudian
dia jatuh lumpuh. Beberapa orang pandai telah berusaha menolong memberikan pengobatan.
Namun sang Patih masih jauh dari kepulihan. Konon, jika penyakitnya terlambat diobati, walau
kelumpuhannya bisa disembuhkan namun dia akan menderita penyakit lemah syahwat seumur
hidup. Sejak peristiwa itu Pendekar 212 Wiro Sableng dan Gondoruwo Patah Hati dinyatakan
sebagai buronan, harus ditangkap hidup atau mati. Sementara Setan Bertongkat Ular karena
takur melenyapkan diri entah ke mana.

Di dalam kamar saat itu Patih dan pelayan tengah menunggu beberapa pelayan lain yang setiap
pagi datang untuk membersihkan dan memandikan patih Selo Kaliangan. Tapi lain yang
ditunggu lain yang muncul. Dua orang pengawal yang biasa berjaga-jaga di depan pintu laksana
dilabrak topan mencelat masuk ke dalam kamar, bergelundungan di lantai, mencoba bangkit,
tapi tak mampu dan hanya melingkar di lantai sambil mengerang kesakitan. Yang satu pegangi
perut, sedang temannya menekap hidung dan mulutnya yang berdarah.

Belum habis kejut Patih Kerajaan dan pelayan di dalam kamar, tiba-tiba seorang pemuda
berpakaian serba putih, berambut gondrong berkelebat masuk dan tahu-tahu sudah berdiri di
samping ketiduran Patih Kerajaan.

Mata membelalak Patih Selo Kaliangan serta merta mengenali siapa adanya orang yang tegak di
sampng tempat tidurnya. Langsung mulutnya berteriak.

“Kau! Buronan jahanam! Berani mati masuk ke tempat ini! Pelayan! Panggil pasukan! Tangkap
orang ini! pengawal!”

Pelayan di sudut kamar yang sejak tadi sudah terlonjak kaget dan bangkit berdiri tanpa tunggu
lebih lama segera lari ke pintu. Namun baru tiga langkah bergerak tubuhnya mendadak kaku.
Satu totokan jarak jauh yang menusuk punggungnya membuat dia tertegun tak bergerak dan
tak bersuara di samping pintu.

Amarah besar membuat tubuh Patih Selo Kaliangan menggigil. Dia berusaha bangkit, mencoba
menggerakkan tangan untuk menghantam. Tapi sia-sia saja. Kelumpuhan membuat dia tetap
terhenyak di atas tempat tidur. Tak ada hal lain yang bisa diperbuat Patih Kerajaan ini selain
mulai berteriak minta pertolongan. Namun suara teriakannya lenyap begitu sehelai sapu tangan
kotor miliknya sendiri disumpalkan pemuda berambut gondrong ke mulutnya.

Enak saja si gondrong ini duduk di tepi ranjang lalu berkata “Patih Selo Kaliangan, aku Wiro
Sableng datang menemuimu untuk membuat perjanjian. Aku akan menawarkan penyembuhan
atas dirimu jika kau mau memberi tahu di mana aku bisa menemukan Iblis Kepala Batu Alis
Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia telah menculik sahabatku, seorang gadis
bernama Bunga dan memasukkannya ke dalam sebuah guci. Jika kau mau menolong hingga aku
bisa membebaskan sahabatku itu, aku berjanji akan mengobati penyakitmu.”
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melepaskan sapu tangan yang
disumpalkannya ke mulut Patih Kerajaan. “Kau sudah mendengar apa yang aku ucapkan. Aku
ingin mendengar jawabanmu!”

“Manusia jahanam! Aku lebih baik menerima kematian sekarang juga dari pada membuat
perjanjian denganmu! Umurmu tidak akan lama! Orang-orangku akan segera menangkapmu.
Tiang gantungan sudah lama menunggumu!”

Murid Sinto Gendeng menyeringai.

“Orang mati saja kalau bisa bicara kepingin hidup lagi. Kau yang masih hidup malah buru-buru
minta mati! Kau lupa bahwa penyakitmu akan membawa kesengsaraan seumur hidup sebelum
ajalmu benar-benar datang. Aku kawatir kau tak sanggup menanggung kesengsaraan. Kau bisa
jadi gila! Kasihan. Tapi kalau itu pilihanmu, apa boleh buat!”

“Pembunuh terkutuk! Pencuri keris pusaka Kerajaan! Aku tidak takut mati! Aku akan mati tanpa
penyesalan asalkan lebih dulu menyaksikan mayatmu kaku di tiang gantungan!”

“Patih, aku bukan pembunuh seperti yang kau tuduhkan! Aku juga bukan pencuri Keris Kiai
Naga Kopek!”

Saking marahnya mendengar ucapan Wiro, Patih Selo Kaliangan membuang ludah. “Siapa
percaya ucapan manusia bejat sepertimu! Kau tahu, bukan cuma dirimu yang bakal menerima
hukuman berat! Kerajaan telah memutuskan untuk meminta pertanggung jawaban gurumu si
Sinto Gendeng!”

Wiro terkejut mendengar ucapan Patih Selo Kaliangan itu. “Pada waktunya aku akan
memberikan bukti-bukti padamu siapa sebenarnya pembunuh Kinasih dan suaminya si juru
ukir. Juga siapa yang telah menjarah Keris Pusaka Keraton. Tapi satu hal aku tidak suka! Guruku
Eyang Sinto Gendeng tidak ada sangkut pautnya dengan semua kejadian ini. Jika orang-orang
Kerajaan sampai berani menyentuh selembar rambutnya, pembalasanku tidak tanggung-
tanggung. Gedung Kepatihan ini akan kusama ratakan dengan tanah. Kalau perlu gedung
bangunan Istana juga akan kubuat amblas sampai ke perut bumi!”

“Manusia sombong terkutuk! Beraninya kau mengancam!” maki Patih Selo Kaliangan. Lalu dia
berteriak. “Pengawal!”

Wiro berdiri. Selagi berpikir apa yang hendak dilakukannya untuk memaksa Patih Kerajaan tiba-
tiba satu bayangan kuning berkelebat. Ada angin dahsyat menyambar menebar hawa dingin.
Tak mau berlaku ayal Wiro segera melompat hindarkan diri. Ketika memandang ke depan
kagetlah murid Sinto Gendeng. Yang barusan menyerangnya ternyata seorang dara berwajah
cantik, berambut sangat hitam di gulung di atas kepala. Di pinggangnya dara ini membekal
sebilah pedang yang sarungnya berukir, ditabur batu-batu aneka warna.
Kapak Maut Naga Geni 212

TIGA

Setelah pandangi dara cantik itu sesaat Wiro berseru “Aha! Tidak disangka Patih Kerajaan
punya pengawal seorang gadis cantik! Dara jelita siapa namamu?!”

“Ayah! Siapa pemuda gondrong lancang kurang ajar ini?!” Gadis berpakaian kuning bertanya.
Ternyata dia adalah puteri Patih Selo Kaliangan.

“Sutri! Hati-hati! Pemuda itu adalah Wiro Sableng, buronan Kerajaan! Lekas panggil pengawal!
Siapkan pasukan! Kurung gedung Kepatihan! Jangan sampai lolos. Dia harus ditangkap hidup
atau mati!” Patih Selo Kaliangan berteriak.

Sepasang mata gadis jelita membelalak. Wajahnya berubah. Tangan kanannya langsung
bergerak ke pinggang menghunus pedang. Melihat hal itu, Selo Kaliangan yang tahu kalau Wiro
bukan tandingan puterinya kembali berteriak agar Sutri segera meninggalkan tempat itu,
memanggil para pengawal. Tetapi setelah sirap kagetnya mengetahui siapa adanya pemuda di
hadapannya itu, Sutri bukannya pergi malah membentak.

“Jadi ini manusia kurang ajar yang mencelakai ayahku! Bagus! Kau datang sengaja mencari
mati! Biar tanganku sendiri menjatuhkan hukuman! Lihat pedang!”

Baru selesai berucap satu sinar putih sudah bertabur di depan hidung Pendekar

212. Itulah kilapan cahaya pedang baja putih di tangan puteri sang Patih.

Dari sambaran angin sewaktu pertama kali gadis ini memasuki ruangan Pendekar 212 maklum
kalau puteri Patih Kerajaan itu memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi serta tenaga
dalam yang dapat diandalkan. Kini dalam jurus pertama serangan pedangnya si gadis seolah
hendak membelah kepalanya mulai dari ubun-ubun sampai ke dagu! Benar-benar serangan
pertama yang mematikan!

Wiro cepat bergerak hindarkan serangan lawan.

“Wuuuutttt!”

Pedang baja putih melanda tempat kosong. Membuat Sutri terkejut besar. Serangan pertama
yang dilancarkannya tadi itu dia sengaja mengeluarkan jurus ketiga dari ilmu pedangnya yang
disebut “Membelah Rembulan Di Puncak Langit.” Jarang lawan bisa selamat dengan mudah.
Tapi ternyata Wiro enak saja bisa menghindar padahal untuk mendalami jurus ketiga itu dia
telah menghabiskan waktu lebih dari satu tahun!
Didahului jeritan melengking keras, Sutri kembali menggebrak. Pedangnya berubah menjadi
taburan cahaya putih dan tebaran hawa dingin. Tubuh Pendekar 212 tenggelam dalam buntalan
cahaya putih. Pakaian dan rambutnya berkibar-kibar terkena sambaran senjata lawan. Melihat
kehebatan serangan lawan, apalagi si gadis kelihatannya begitu nekad, murid Sinto Gendeng
tak mau berlaku ayal. Tapi melihat kecantikan sang dara muncul niat untuk mempermainkan.

Setelah lima jurus Wiro di desak habis-habisan bahkan ujung lengan kiri bajunya sempat
dimakan pedang lawan, Wiro mulai bergerak aneh. Tubuhnya melompat kian kemari. Setiap
lompatan selalu dilakukannya melintasi tempat tidur Patih Kerajaan terbaring. Hal ini dianggap
kurang ajar dan keterlaluan oleh Sutri apa lagi oleh Patih Kerajaan. Ayah dan anak memaki
habis-habisan.

Sutri mengamuk. Pedangnya menderu laksana air bah. Mengejar ke mana saja Wiro berkelebat.
Tapi dia harus bertindak hati-hati agar tiap tusukan atau bacokan senjatanya tidak salah arah
hingga bisa mencelakai ayahnya sendiri.

Gilanya, dalam melompat menghindarkan serangan pedang, tak jarang Wiro mengangkat kaki
atau tangan Patih Selo Kaliangan, dipergunakan untuk menangkis serangan pedang. Sutri yang
tidak mau ayahnya celaka tentu saja terpaksa menarik atau menahan serangan, penuh geram
berteriak memaki.

“Pengecut tengik!” teriak Surti marah. “Jangan pergunakan tubuh ayahku sebagai tameng
penangkis!”

Wiro tertawa bergelak. Lalu menyambar sebilah tombak pajangan di sudut kamar.

“Aku mengikuti apa maumu!” kata Wiro seraya menyeringai dan mengacungkan tombak.

Sutri kertakkan rahang. Tanpa banyak bicara dia melompat. Tangan kanan diputar dan pedang
baja putih kembali bertabur. Wiro pergunakan tombak untuk menangkis.

“Trang! Trang! Trang!”

Tiga kali terdengar suara berdentrangan.

Wiro keluarkan seruan tertahan. Tombak di tangannya kini tinggal kutungan sepanjang dua
jengkal. Ujung sebelah atas putus tiga kali dibabat pedang baja putih di tangan Sutri!

“Hebat! Ilmu pedangmu sungguh luar biasa!” Pendekar 212 memuji. “Sayang aku tidak punya
banyak waktu melayanimu!”

“Buronan terkutuk! Kau mau lari ke mana!” bentak Sutri ketika melihat Wiro enak saja
melangkah ke arah pintu. Karenanya bagitu sang pendekar lewat di hadapannya pedang di
tanan kanannya langsung dibabatkan ke pinggang sang pendekar.
“Ah! Putus pinggangku!” seru Wiro seolah kaget ketakutan. Tapi sambil menyeringai. Tubuhnya
meliuk ke samping. Tangan kanan cepat mencekal pergelangan si gadis, diputar demikian rupa
hingga pedang terlepas dari cekalan Sutri. Lalu settt! Pedang baja putih itu dimasukkan kembali
ke dalam sarungnya!

Patih Kerajaan seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Untuk mempelajari ilmu pedang
itu puterinya digemlbleng oleh dua tokoh silat terkenal dan memakan waktu lebih dari lima
tahun. Kini sang puteri hanya dijadikan bulanan main-mainan oleh buronan terhukum mati itu!

Sutri sendiri hendak menggerung saking marah dan malunya. Di hadapannya Pendekar 212
enak saja menyeringai dan berucap.

“Gadis cantik sepertimu jangan terlalu nekad main pedang!” Konyolnya habis berkata begitu
Wiro lantas mencolek dagu si gadis.

Patih Kerajaan berteriak marah.

“Lancang kurang ajar!” teriak Sutri Kaliangan.

“Bukkk!” satu jotosan melanda perut Wiro.

Sakitnya lumayan. Tapi bukannya mengeluh kesakitan murid Sinto gendeng malah ulurkan
tangan kanan mengusap pipi Sutri Kaliangan.

“Kurang ajar!”

“Bukkkk!”

Untuk kedua kalinya pukulan keras mendarat di perut Wiro. Pemuda ini menyeringai dan
kembali tangannya menjaili mengusap wajah si gadis.

Marah besar Sutri kembali hendak menjotos perut pemuda itu untuk ketiga kalinya. Tapi
kawatir pipinya bakal diusap lagi, pukulan ke arah perut dibatalkan, diganti kini dengan jotosan
keras ke arah wajah Pendekar 212. Jotosan kali ini mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam. Jangankan kepala Wiro, kepala seekor kerbaupun bisa amblas!

Wiro tertawa bergelak. Sebelum pukulan si gadis mendarat di mukanya, dengan cepat dia
merunduk, mencolek pinggang Sutri. Selagi gadis ini terpekik marah dan kegelian lalu memaki
panjang pendek, sambil senyum-senyum murid Sinto Gendeng berkelebat ke pintu.

Tapi gerakan Pendekar 212 tertahan. Senyum lenyap dari mulutnya. Di ambang pintu beberapa
orang bertampang garang menutup jalan.
“Ah, mereka lagi!” ujar Wiro sambil menggaruk kepala. “Kalau mereka menyerbu dan aku
bertahan di kamar ini, tipis harapanku untuk lolos.” Melirik ke samping dilihatnya Sutri telah
menghunus pedang bajanya kembali. Wiro garuk kepala sekali lagi. Tiba-tiba dia melompat ke
kepala tempat tidur Patih Selo Kaliangan.

“Jahanam kurang ajar! Apa yang kau lakukan?!” Patih Kerajaan berteriak. Sutri memburu.
Namun gadis ini dan juga semua orang yang ada di depan pintu kamar terpaksa menyingkir
ketika Wiro mengangkat bagian kepala tempat tidur di mana Patih Kerajaan terbaring, lalu
mendorong tempat tidur itu menerobos kurungan orang-orang di pintu.

Di luar kamar Wiro lepaskan ujung kepala tempat tidur yang dipegangnya hingga tempat tidur
itu terbanting keras ke bawah. Selagi Sutri berusaha menahan tubuh ayahnya agar tidak jatuh
terbanting ke lantai, Wiro pergunakan kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. Namun
lima orang berkelebat cepat dan mengurungnya dengan rapat.

Kelima orang ini merupakan musuh lama karena mereka bukan lain adalah dedengkot tokoh
silat Kerajaan yakni Hantu Muka Licin Bukit Tidar, Jalak Kumboro alias Pendekar Keris Kembar,
lalu Tumenggung Cokro Pambudi. Orang keempat adalah Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara
dan yang kelima Ki Sepuh Item. Wiro mengira Iblis Kepala Batu Alis Empat juga berada di situ,
ternyata momok yang telah memasung Bunga itu tak kelihatan.

Ki Sepuh Item berdiri paling dekat. Kakek tinggi kerempeng berkulit hitam gosong ini
memandang penuh geram pada Pendekar 212. Dendamnya terhadap Wiro memang bukan
alang kepalang. Bukan saja karena nyawanya hampir dilalap oleh Wiro sewaktu terjadi
perkelahian hebat di puncak bukit the Karangmojo tempo hari, tapi juga karena Wirolah yang
telah menamatkan riwayat muridnya dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Dirinya
sendiri kalau tidak ditolong oleh Adisaka pasti akan mengalami kematian mengerikan dengan
cara yang sama. (baca Episode “Gondoruwo Patah Hati”)

“Kalian berlima, tua bangka tidak tahu diri! Masih berani unjukkan diri jual tampang! Rupanya
kalian memang musti digebuk sampai benar-benar tahu rasa!”

Ki Sepuh Item unjukkan wajah garang lalu bersama Hantu Muka Licin dia keluarkan suara tawa
bergelak.

“Nyawa sudah di ujung tenggorokan! Masih saja bersikap sombong kurang ajar!” memaki
Hantu Muka Licin.

“Para tokoh!” tiba-tiba Patih Selo Kaliangan berteriak. “Tidak perlu bicara bertutur cakap
dengan pemuda buronan jahana itu! bunuh dia sekarang juga!”

Lima tokoh silat berkepandaian tinggi segera bergeak, menebar mengatur kedudukan untuk
menyerang. Sutri, puteri sang Patih tak tinggal diam. Dia melompat ke samping Si Bisu, pedang
baja putih melintang di depan dada.
“Bunuh!” teriak Patih Selo Kaliangan tidak sabaran.

Kapak Maut Naga Geni 212

EMPAT

Tongkat tulang putih berlubang di tangan Ki Sepuh Item menderu ke depan, mengeluarkan
suara bising merobek gendang-gendang telinga serta semburan angin dingin laksana tusukan
jarum yang tidak kelihatan! Kalau tangan kanan melancarkan serangan dengan tongkat tulang
putih yang berbahaya, tak kalah bahayanya si kakek muka gosong ini juga pergunakan tangan
kirinya. Di tangan ini dia memiliki ilmu yang disebut Kaca Hantu. Konon tangan ini diisi sejenis
susuk. Jika tenaga dalam dikerahkan maka telapak tangan akan mengeluarkan sinar berkiblat.
Bila lawan terkena serangan sinar, pandangannya akan menjadi gelap buta kesilauan. Wiro
sebelumnya sudah pernah menghadapi Ki Sepuh Item serta merta angkat tangan kirinya untuk
melindungi mata dari ulmu Kaca Hantu itu.

Serangan yang datang berbarengan dengan hantaman tongkat dan silaunya Kaca Hantu adalah
sambaran pedang baja putih di tangan Sutri Kaliangan. Gadis ini menyerbu tak kepalang
tanggung. Lancarkan dua tusukan dan satu kali bacokan dalam gebrakan pertama.

Orang ketiga yang ikut menghujani Pendekar 212 dengan serangan adalah Keris Kembar Jalak
Kumboro. Waktu terjadi perkelahian besar di puncak bukit teh tempo hari dia telah kehilangan
satu dari dua kerisnya sementara salah satu tangannya mengalami cidera berat. Saat itu dengan
tangan masih dibalut dia menyerang Wiro mempergunakan keris dan sebilah senjata berbentuk
kelewang pendek yang memancarkan sinar redup kehitaman pertanda senjata ini mengidap
racun jahat.

Tumenggung Cokro Pambudi sebenarnya tidak punya silang sengketa apa-apa dengan Pendekar
212 Wiro Sableng. Namun tokoh istana ini ingin berbuat pahala membalaskan sakit hati Patih
dan menjalankan perintah. Di samping itu dia merasa bertanggung jawab atas lolosnya pemuda
yang mencuri keris pusaka Kiai Naga Kopek. Jika dia bisa ikut membekuk Pendekar 212 paling
tidak rasa kecewa Sri Baginda terhadapnya bisa berkurang. Senjata yang dipergunakan sang
Tumenggung adalah sebilah golok panjang berbetuk segi empat.

Si Bisu Pencabu Nyawa Tanpa Suara, kakek aneh yang hidungnya dicanteli anting-anting,
berkepala botak warna kuning keluarkan suara haha-huhu. Setelah itu dengan gerakan kilat tapi
tanpa keluarkan suara sama sekali dia melompat memasuki kalangan pertempuran. Kakek ini
tidak membekal senjata. Yang jadi andalannya adalah sepuluh kuku jari kakinya yang berwarna
hitam panjang. Belasan lawan berkepandaian tinggi telah menjadi korban keganasan sepuluh
kuku jari kakinya itu. karena dia mempergunakan kuku jari kaki sebagai senjata, maka gerakan
silatnya tampak aneh tapi sangat berbahaya. Dia lebih banyak bergerak setengah tinggi badan,
merunduk bahkan kadang-kadang berguling di tanah. Setiap serangan tidak mengeluarkan
suara atau siuran angin sedikitpun. Tahu-tahu korban sudah bersimbah darah, tubuh atau muka
robek besar disambar kuku jari kaki!

Orang keenam, yang paling dahsyat melancarkan serangan adalah Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Dendamnya terhadap Wiro tak akan habis-habis seumur hidup. Bukan saja karena telah
dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan orang banyak tapi juga karena penasaran tak sanggup
menghabisi Wiro dengan Jarum Perontok Syaraf. Seperti diceritakan sebelumnya Bunga, gadis
cantik dari alam roh telah menyelamatkan Pendekar 212 dari racun jarum maut itu. (baca
Episode “Roh Dalam Keraton”)

Dalam Episode “Gondoruwo Patah Hati” diceritakan bagaimana senjata paling diandalkan oleh
Hantu Muka Licin yakni rumbai-rumbai ikat pinggang kuning yang sanggup melesatkan jarum
beracun telah dimusnahkan oleh Pendekar Kipas Pelangi. Sementara dia masih belum
mendapat senjata pengganti yang bisa diandalkan maka Hantu Muka Licin Bukit Tidar
pergunakan kesaktian dua ujung lengan jubahnya yang bisa mengeluarkan asap kelabu
mengandung racun tak kalah jahatnya dengan racun Jarum Perontok Syaraf. Sebelumnya ilmu
serangan asap ini juga telah dibuat tak berdaya oleh Pendekar Kipas Pelangi. Saat ini Pendekar
212 hanya seorang diri hingga Hantu Muka Licin Bukit Tidar merasa yakin dia dan kawan-kawan
kali ini akan sanggup menghabisi Wiro. Memang dalam keadaan seperti itu sulit dibayangkan
bagaimana murid Sinto Gendeng akan mampu menghadapi enam serangan maut yang datang
berseribut cepat untuk membantainya!

Serangan lawan yang lebih dulu sampai adalah hantaman asap kelabu beracun yang keluar dari
ujung lengan jubah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Wiro begitu mencium bau yang tidak enak
segera menutup jalan pernafasannya.

Enam penyerang keluarkan seruan tertahan ketika mereka menyangka serangan masing-masing
akan mencapai sasaran tiba-tiba ada cahaya terang menyilaukan berkiblat disertai suara
gaungan dahsyat yang menggetarkan seantero tempat!

“Awas! Kapak Maut Naga Geni 212!” Seseorang berteriak memberitahu.

“Bukkk!” Orang yang barusan berteriak menjerit keras begitu satu jotosan tangan kiri melanda
dadanya. Darah menyembur dari mulutnya dan sosoknya terpental lalu terjengkang di lantai.
Orang ini adalah Tumenggung Cokro Pambudi yang sebelumnya telah menyerbu Wiro dengan
satu bacokan golok, tapi berhasil dielakkan dan dia sendiri harus menerima hantaman jotosan
tangan kiri di bagian dadanya.

Bersamaan dengan itu ada hawa panas melanda dan trang-trang! Dua bentrokan senjata terjadi
di udara. Dua mulut terpekik keras. Satu sosok mencelat menjauhkan diri, mengerang pendek,
tersandar ke dinding bangunan.

“Bunuh! Habisi pemuda keparat itu!” Patih Selo Kaliangan berteriak dari samping pilar besar di
mana dia disandarkan oleh puterinya.
Saat iu Sutri telah keluar dari kalangan pertempuran dengan muka pucat pasi. Pedang baja
masih tergenggam di tangannya tapi sudah buntung dan bagian yang masih berada dalam
pegangannya kelihatan hitam hangus mengepulkan asap!

Orang kedua di pihak Kerajaan yang bernasib malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris kembar
Jalak Kumboro. Kerisnya yang tinggal satu mental hancur entah kemana sedang kelewang
pendek masih berada dalam pegangannya tapi seperti pedang baja Sutri, senjata itu kelihatan
buntung dan hangus hitam mengeluarkan asap. Jalak Kumboro sendiri tegak terhuyung-huyung
dengan muka pucat, berusaha mengatur jalan darahnya yang menjadi kacau akibat kejut dan
rasa ngeri yang amat sangat!

Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tegak tersandar ke dinding bangunan.
Celananya robek besar di bagian paha dan ada noda darah pertanda di balik robekan ada luka
cukup parah. Tubuh Wiro kelihatan bergetar seperti orang menggigil. Rahangnya
menggembung dan keningnya mengerenyit menahan sakit. Apa yang terjadi?

Ketika enam serangan datang menerjang dirinya, Wiro bergerak cepat mencabut kapak sakti
dan pergunakan tangan kiri untuk menghantam. Dia berhasil membuat mental Tumenggung
Cokro Pambudi dengan jotosan telak di dada, membabat putus pedang baja putih di tangan
Sutri lalu menghancurkan kelewang dan keris di tangan Sepasang Keris Kembar. Selain itu Wiro
juga berhasil selamatkan kepalanya dari pukulan tongkat tulang putih di tangan Ki Sepuh Item
yang dihantamkan ke kepalanya. Namun bagaimanapun cepat dan hebatnya gerak Pendekar
212 menghadapi serangan enam orang lawan, tetap saja dia kebobolan.

Setelah melindungi matanya dari sambaran Kaca Hantu Ki Sepuh Item yang menyilaukan,
menggebrak tiga lawan, Wiro tidak mampu menghindarkan diri dari serangan aneh yang
dilancarkan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Dia hanya sempat bergerak mundur setengah
langkah sebelum lima kuku hitam jari kaki kanan kakek berkepala kuning botak ini menggurat
robek paha celananya, membuat koyakan luka pada kedua pahanya. Darah langsung mengucur.
Racun kuku mulai bekerja, membuat tubuhnya panas tapi dia sendiri merasa dingin menggigil.

Sadar bahaya yang dihadapinya, Wiro melompat menjauhi enam lawan. Dia bersandar ke
dinding bangunan, menotok dua urat besar pangkal paha kiri kanan.

Patih Selo Kaliangan kembali berteriak. Saat itu adalah kesempatan paling baik untuk
menghabisi Pendekar 212.

“Hantu Muka Licin, Ki Sepuh Item, Bisu Pencabut Nyawa! Habisi pemuda itu!”

Seperti sang Patih, tiga orang yang diteriaki itu sama menyadari memang saat itulah
kesempatan paling baik untuk membunuh Pendekar 212. Ketiganya serta merta menggebrak
maju. Wiro yang sudah maklum bahaya besar yang mengancamnya, pindahkan Kapak Maut
Naga Geni 212 ke tangan kiri. Dengan tangan kanan dia lalu lepaskan pukulan Sinar Matahari,
mengerahkan hempir seluruh kekuatan tenaga dalamnya!

Ledakan dahsyat menggelegar. Beberapa bagian bangunan Kepatiha, termasuk sebagian kamar
tidur Patih Selo Kaliangan ambruk. Asap menggebubu, hawa panas menebar membakar. Ketika
asap lenyap, debu hilang dan pemandangan terang kelmbali, kelihatan beberapa orang
berkaparan di lantai di depan kamar.

Yang pertama tentu saja sang Patih sendiri. Dia tergeletak di lantai. Pakaian merahnya hangus.
Tak jauh dari situ terkapar Ki Sepuh Item, mengerang menggeliatgeliat. Kulitnya yang hitam
kelihatan semakin hitam. Rambut, kumis dan janggutnya yang tadinya putih kini berubah
menjadi hitam. Dari mulutnya keluar suara erangan halus. Matanya setengah terpejam.

Hanya beberapa langkah di samping Ki Sepuh Item, berlutut sosok Hantu Muka Licin Bukit
Tidar. Mulut berkomat kamit. Jubah kelabunya hangus di bagian bahu kiri sampai ke pinggang.
Mukanya pucat. Untuk beberapa lama dia berlutut tak bergeark, mengatur jalan darah dan
hawa sakti dalam tubuhnya sambil matanya mengawasi ke arah Pendekar 212.

Tumenggung Cokro Pambudi tergeletak tidak sadarkan diri dekat tangga menuju ke taman.
Sementara Sutri masih bisa selamatkan diri karena ketika ledakan dahsyat terjadi dia terlindung
di balik satu tiang besar. Walau kemudian tiang ini roboh, si gadis masih bisa melompat
selamtkan diri.

Yang paling malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro. Orang ini berada
paling dekat dengan pusat ledakan. Tubuhnya melesat ke atas, kepala menghantam langit-
langit bangunan tepat pada sanding batu yang keras. Ketika tubuhnya jatuh ke lantai dia tak
berkutik lagi. Nyawanya lepas, kepala pecah!

Yang masih bertahan dan kelihatannya tidak mengalami cidera apa-apa adalah kakek botak bisu
Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Sambil keluarkan suara hahahuhu dia gulingkan tubuhnya
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu terduduk bersila di lantai. Di sebelah bawah
pakaiannya berlepotan darah. Di bagian atas kelihatan beberapa robekan. Darah mengucur dari
sela bibir dan liang telinganya.

Dadanya mendenyut sakit! Dia bersyukur tadi ketika melancarkan pukulan Sinar Matahari dia
mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hingga ketika lawan sama-sama
menghantam dengan gempuran tenaga dalam, dia masih bisa bertahan walau saat itu rasanya
nyawanya entah berada di mana. Dalam keadaaan seperti itu dia melihat Si Bisu Pencabut
Nyawa Tanpa Suara berguling ke arahnya sambil membabatkan kaki kanannya yang berkuku
panjang.

Wiro ingin sekali pergunakan kapak saktinya untuk membabat kaki lawan. Namun dia memilih
lebih baik menghindar dan mempergunakan kecerdikan karena saat itu beberapa lawan sudah
mulai bangkit, bergerak ke arahnya.
Wiro jatuhkan diri ke lantai. Kaki kanan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara menderu di atas
punggungnya. Selagi kakek botak kepala kuning itu bergulingan Wiro melompat ke arah Sutri.
Dengan satu gerakan cepat gadis ini ditotoknya lalu dipanggul di bahu kiri. Kapak Naga Geni 212
ditempelkan ke leher putri Patih Kerajaan itu.

“Jahanam berani mati! Lepaskan puteri Patih Kerajaan!” teriak Ki Sepuh Item.

Wiro meludah ke lantai. Ludahnya bercampur darah.

“Siapa yang inginkan gadis ini silahkan maju! Satu langkah ada yang berani bergerak kepala
gadis ini akan menggelinding di lantai!”

Pendekar 212 mengancam.

Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan Hantu Muka Licin tidak perduli. Keduanya siap hendak
menyerbu. Tapi patih Selo Kaliangan berteriak. Bagaimanapun dia tidak ingin melihat puteri
kesayangannya menemui kematian di tangan Wiro.

“Tahan serangan! Buronan jahanam! Berani kau melukai puteriku…..”

“Patih Kerajaan, aku sudah memberitahu bukan aku pembunuh Kinasih dan suaminya. Juga
bukan aku yang mencuri Keris Kiai Naga Kopek!”

“Tapi kau telah membunuh beberapa tokoh silat Istana! Buktinya kau lihat sendiri saat ini!
Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro menemui ajal akibat keganasanmu!”

“Siapapun para tokoh silat Istana yang menemui ajalnya, itu semua menjadi tanggung
jawabmu! Mereka terlalu tolol untuk mau mengikuti perintahmu yang keliru!” menukas Wiro.
“Patih Selo Kaliangan, aku akan membawa anak gadismu! Dia akan aku jadikan jaminan sampai
kau memberitahu di mana sarang kediaman Iblis Kepala Batu Pemasung Roh!”

Habis berkata begitu Wiro putar tubuhnya, melangkah menuruni tangga lalu berkelebat ke arah
pintu gerbang sebelah timur gedung Kepatihan. Tak ada yang bergerak apa lagi mencegah.
Patih Selo Kaliangan hanya bisa kepalkan dua tinjunya berulang kali.

“Patih, seharusnya kau biarkan kami menghajar pemuda buronan itu!” kata Ki Sepuh Item.

Patih Selo Kaliangan terdiam, lalu gelengkan kepala. “Keselamatan anakku lebih dari segala-
galanya!”

“Apa dengan membiarkan dirinya diboyong begitu rupa, kau merasa yakin anak gadismu akan
benar-benar selamat?” ujar Hantu Muka Licin Bukit Tidar. “Bagaimana kalau murid Sinto
Gendeng keparat itu menggagahi anakmu? Memperkosanya?!”
Berubahlah wajah Patih Selo Kaliangan. Diremas-remasnya rambutnya sendiri. “Hantu Muka
Licin …..” kata sang Patih dengan suara bergetar.”Kumpulkan semua tokoh silat yang ada! Kejar
jahanam penculik puteriku itu! Aku ingin melihat dia kaku di tiang gantungan sebelum matahari
tenggelam!” kata sang Patih setengah berteriak.

“Jangan kawatir, perintah Patih akan kami lakukan!” kata Hantu Muka Licin. “Kami bukan cuma
mengejar pemuda itu seorang. Tapi juga buronan satunya. Nenek keparat berjuluk Gondoruwo
Patah Hati!”

Kapak Maut Naga Geni 212

LIMA

Pendekar 212 Wiro Sableng memperlambat larinya, memasang telinga lalu menyelinap ke balik
satu pohon besar. Sutri, puteri Patih Kerajaan yang ada di panggulan bahu kirinya seperti tidur
karena di tengah jalan Wiro telah membungkam jalan suara gadis itu agar tidak berteriak-teriak.

Sejak beberapa lama meninggalkan Kotaraja, berlari ke arah timur Wiro merasa ada yang
mengikutinya di sebelah belakang. Dia yakin saat itu para tokoh silat Kerajaan atas perintah
Patih Selo Kaliangan akan melakukan pengejaran. Tapi orang yang mengikutinya saat itu
agaknya bukan tokoh silat Istana. Dia seorang diri dan caranya mengikuti terasa aneh. Dekat di
sebelah belakang tapi tidak mau menunjukkan diri.

Di satu tempat yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar Wiro menyelinap ke balik sebuah
pohon, menunggu dan mengintai siapa adanya si penguntit. Lama ditunggu orang itu tak
kunjung muncul. Padahal tadi jelas berada tak berapa jauh di belakangnya. Selagi Wiro berpikir
apakah di akan terus menunggu, menyelidik atau meninggalkan saja tempat itu tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengekeh.

“Pendekar 212 Wiro Sableng, hendak kau apakan gadis culikan itu?!”

Wiro terkejut. Dia seperti mengenali suara yang barusan menegur. Tapi belum yakin benar.
“Siapa yang barusan bertanya. Harap unjukkan diri.”

Kembali ada suara tawa mengekeh. Lalu ada sambaran angin halus di atas kepalanya. Wiro
cepat mendongak. Satu sosok berpakaian serba hitam melayang turun dari atas pohon besar.

“Ning Intan Lestari! Hah! Kau rupanya yang menguntit diriku!” kata Wiro. Dia merasa gembira
karena sejak pertemuannya tempo hari yaitu ketika si nenek membantu menyelamatkannya
dari sergapan orang-orang Kerajaan, dia memang ingin sekali bertemu lagi dengan nenek ini.
(baca Episode “Makam Ketiga”)
Nenek berambut kelabu bermuka seram yag berdiri di hadapan Wiro menyeringai. “Aku jadi
malu sendiri mendengar kau menyebut nama asliku!” berucap si nenek. Lalu dia geleng-
gelengkan kepala. “Sulit kupercaya. Tidak kusangka murid Sinto Gendeng yang tersohor alim itu
kiranya suka juga menculik gadis cantik! Hendak kau apakan anak gadis orang?!” Si nenek yang
lebih dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati berkata lalu tertawa cekikikan.

“Aku bukan pemuda alim Nek. Tapi aku tidak punya maksud jahat terhadap gadis ini!” jawab
Wiro.

“Amboi! Amboi!” Gondoruwo Patah Hati berucap dan lagi-lagi keluarkan tawa mengikik.
“Seorang pemuda menculik gadis jelita di siang bolong! Berucap tiada niat jahat! Tapi kalau
setan mendekam di dalam dada, turun ke bawah perut, siapa bisa menduga apa yang akan
terjadi?!”

“Nek, kau tahu siapa adanya gadis ini?” tanya Wiro.

“Tentu saja aku tahu. Karena aku sudah menguntitmu sejak kau kabur dari Kotaraja! Gadis itu
adalah puteri Patih Selo Kaliangan. Kau membuat urusan tambah jadi kapiran anak muda! Perlu
apa kau menculik gadis itu?”

Wiro garuk-garuk kepalanya. Ketika dia hendak bicara si nenek berikan isyarat dengan gerakan
tangan.

“Aku mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Orang-orang Kerajaan pasti tengah
melakukan pengejaran. Tidak aman berlama-lama di tempat ini. Mari ikuti aku. Ada satu tempat
baik untuk bersembunyi.” Dalam gelapnya malam.

Gondoruwo Patah Hati berkelebat ke arah barat. Wiro mengikuti. Kali ini dia tidak bisa berlari
terlalu cepat karena dua kakinya yang luka terasa sakit dan nafasnya cepat sesak akibat
pengaruh racun kuku kaki Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara yang masih mengendap dalam
aliran darahnya.

Hanya beberapa saat Wiro dan Gondoruwo Patah Hati meninggalkan kawasan berpohon besar
itu, serombongan pasukan berkuda dari Kotaraja melintas dengan cepat. Di depan sekali
kelihatan Ki Sepuh Item dan si botak berjuluk Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara.

Tempat yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati itu adalah sebuah tebing batu berbentuk
cegukan dalam tikungan sebuah sungai, tersembunyi di balik kerimbunan pohon-pohon bambu.
Wiro membaringkan Sutri di tanah yang kering. Si gadis yang tidak bisa bicara tak bisa bergerak
hanya bisa memandang Wiro dengan sorotan mata garang.

“Aku perhatikan gerak-gerikmu tidak seperti biasa. Kau terluka……” si nenek bertanya sambil
memandang bagian paha celana Wiro.
Pendekar 212 mengangguk.

“Apa yang terjadi?’

“Aku dikeroyok habis-habisan ketika mendatangi Patih Selo Kaliangan di gedung Kepatihan.
Salah seorang pengeroyok, kakek botak berjuluk Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara berhasil
melukai dua pahaku dengan kuku kakinya.

“Kuku itu beracun……”

“Aku tahu. Aku telah menotok aliran darahku, menghentikan aliran racun. Tapi rasa sakit pada
luka belum lenyap. Tubuhku terasa dingin, padahal kalau dipegang rasanya panas……”

“Kau mencari penyakit. Perlu apa kau jual tampang masuk ke gedung Kepatihan?!” tanya si
nenek.

“Siapa yang jual tampang?!” jawab Wiro agak kesal tapi kemudian tertawa lebar. “Ingat
ceritaku tempo hari? Tentang gadis sahabatku yang dipasung dimasukkan ke dalam guci oleh
Iblis Kepala Batu? Aku butuh keterangan mengenai mahluk keparat itu. Patih Kerajaan pasti
tahu di mana beradanya.”

“Anak muda, kadang-kadang kau cerdik, kadang-kadang malah bodoh! Apa kau kira Patih
Kerajaan akan mau begitu saja memberitahu kepadamu di mana beradanya orang yang kau
cari! Padahal sang Patih mendendam setengah mati terhadapmu, terhadap kita berdua.”

“Aku katakan padanya, jika dia memberitahu dan aku bisa menyelamatkan sahabatku, aku akan
menolong mengobati penyakit yang dideritanya.”

“Lagakmu! Racun ular berbisa yang mendekam dalam tubuh Patih itu sulit obatnya……”

“Aku tahu Nek, tapi dengan petunjuk Tuhan aku yakin bisa menolong. Asal sang Patih juga mau
menolongku.”

Si nenek tertawa. “Kau benar-benar tolol! Apa kau kira Patih itu mau memberitahu di mana
beradanya orang yang kau cari? Pasti tidak! Lantas kau malah menculik puterinya untuk
dijadikan jaminan!”

“Bukan itu saja alasanku. Aku terpaksa menculik gadis itu agar bisa lolos dari gedung
Kepatihan,” menerangkan Wiro “Selain itu ada satu hal penting telah kuberitahu pada Patih
Kerajaan yaitu bahwa aku bukan pembunuh Kinasih dan suaminya. Aku juga bukan orang yang
mencuri keris pusaka keraton Keris Kiai Naga Kopek. Bila tiba saatnya akan kubuktikan pada
Patih itu siapa orang-orang yang bertanggung jawab atas semua kejadian itu.”
Gondoruwo Patah Hati terdiam. Dia teringat pada pertemuannya dengan Adisaka, muridnya
yang sesat, yang selama ini gentayangan melakukan berbagai kejahatan dengan memakai nama
Damar Wulung. Sebenarnya saat itu dia ingin memberitahu pada Wiro bahwa dia telah bertemu
dengan Damar Wulung dan bahwa Damar Wulung adalah muridnya. Bahwa dia telah punya niat
untuk menghukum sang murid, namun Adisaka alias Damar Wulung sempat melarikan diri.
Entah mengapa mulutnya tak sampai berucap dan suara hatinya tidak pula keluar. Keterangan
itu tidak disampaikannya kepada Wiro. Si nenek mengusap wajahnya, menyembunyikan
perasaan.

“Apa kau telah bertemu dengan bocah bernama Naga Kuning?” Gondoruwo Patah Hati alihkan
pembicaraan.

Wiro menggeleng. “Kau sendiri, apakah sudah bertemu dengan Adisaka, muridmu itu?”

Gondoruwo Patah Hati terdiam. Hatinya bimbang, apa akan diberitahu atau tidak. Seperti Wiro
akhirnya dia juga gelengkan kepala.

Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian. Setelah mengerahkan tenaga
dalamnya, senjata sakti itu diletakkan di atas kedua pahanya yang terluka. Seperti diketahui
Kapak Maut Naga Geni 212 merupakan senjata sakti mandraguna yang memiliki kemampuan
untuk memusnahkan racun jahat.

Wiro merasa ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Menyusul muncul aliran
hawa dingin. Gondoruwo Patah Hati melihat apa yang terjadi di hadapannya. Mula-mula
sekujur tubuh Wiro tampak bergetar. Lalu tubuh itu basah oleh keringat. Dua mata kapak sakti
yang tadinya putih berkilat kini menjadi redup kehitam-hitaman. Racun jahat dalam tubuh
Pendekar 212 telah berpindah, tersedot masuk ke dalam dua mata kapak sakti. Getaran di
tubuh Wiro berkurang. Dengan tangan kanannya Wiro mengangkat Kapak Naga Geni 212 lalu
merapal sesuatu. Ketika dia meniup, cahaya hitam redup yang melekat di mata kapak serta
merta lenyap.

“Senjata luar biasa!” si nenek memuji kagum. Dari balik pakaian hitamnya dia mengeluarkan
dua butir benda putih. Diberikannya kepada Wiro. “Telan. Lukamu pasti sembuh dalam waktu
satu hari…..”

“Terima kasih Nek,” kata Wiro. Dia tidak segera menelan obat itu. tapi memperhatikannya
beberapa ketika. “Obat apa ini, Nek? Tahi kambing?”

“Tahi kambing moyangmu! Tahi kambing mana ada yang putih!”

“Oo, mungkin ini tahi onta!” kata Wiro pula. Dia tertawa gelak-gelak lalu dua butir obat itu
dimasukkannya ke dalam mulut.
Gondoruwo Patah Hati melirik pada sosok Sutri yang tergolek di tanah. Lalu dia berpaling pada
Wiro. “Walau tempat ini aman, kita tidak bisa terus-terusan berada di sini. Apa yang hendak
kau lakukan?”

Wiro merenung memikir jawab. Dia memandang seputar cegukan tebing batu. Begitu
pandangannya sampai pada sosok Sutri, pemuda ini berucap “Aku akan membebaskan puteri
Patih Kerajaan itu. Aku rasa tak ada guna aku menahannya lebih lama. Dia tidak ada sangkut
paut dengan semua yang terjadi. Tidak adil kalau aku menyengsarakannya.”

Sejak tadi Sutri yang berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa bersuara telah
mendengar semua percakapan Wiro dan nenek muka setan. Dia tidak mengira bakal
mendengar ucapan seperti yang tadi dikeluarkan Wiro. Kalau sebelumnya dia merasa sangat
benci dan marah terhadap pemuda ini, kini perasaan itu sedikit demi sedikit menjadi pupus.

Gondoruwo Patah Hati mengangguk-angguk. “Itu perbuatan ksatria. Kau masih bisa mencari
cara lain untuk menolong sahabatmu gadis dari alam roh itu. sekarang ada satu hal yang ingin
kuberitahu kepadamu. Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan empat orang gadis
kekasihmu!”

“Nek, kau jangan bergurau! Aku tidak punya kekasih. Apa lagi sampai empat orang!” ujar Wiro
sambil garuk-garuk kepala. Dia lunjurkan kedua kakinya. Luka pada dua pahanya masih belum
kering namun rasa sakit telah jauh berkurang.

Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan. “Jangan berpura-pura. Kau tidak senang rahasiamu
diketahui puteri Patih itu hah? Walah, jangan-jangan benar dugaanku. Kau telah berubah
pikiran. Jatuh cinta pada gadis yang kau culik itu?! Lalu berpura-pura jadi pemuda baik-baik,
belum punya kekasih! Hik…..hik…..hik!” Si nenek memandang ke arah Sutri. “Hemmmmm……
Aku tidak menyalahkan kalau kau kecantol pada puteri Patih ini. Wajahnya cantik, rambut
hitam, tubuh bagus mulus. Hik…hik….hik!”

Wajah Sutri Kaliangan menjadi merah mendengar kata-kata nenek muka setan itu sementara
Wiro tertawa gelak-gelak sambil garuk-garuk kepala.

“Kau tak percaya aku bertemu dengan empat gadis cantik kekasihmu?”

“Katakan, siapa saja mereka itu Nek,” jawab Wiro.

“Yang pertama seorang dara berbadan wangi semerbak, berambut pirang. Namanya Bidadari
Angin Timur. Nah…..nah, kulihat dua matamu menjadi besar!” Si nenek tertawa cekikikan lalu
tempelkan telapak tangan kirinya ke dada Wiro. “Nah, nah! Jantungmu berdebar lebih keras!
Hik…hik….hik! Gadis kedua bermata biru. Pakai mahkota kecil di kepalanya. Pakaiannya ketat,
tubuhnya bagus. Dia dikenal dengan sebutan Ratu Duyung! Yang ketiga, berkulit putih
berbadan montok. Gadis ini kabarnya sudah dijodohkan dengan dirimu. Namanya Anggini, cucu
Dewa Tuak. Kekasihmu yang keempat bernama Puti Andini, cantik tanpa dandanan, dikenal
dengan julukan Dewi Payung Tujuh!”

Wiro ternganga. Garuk kepala lantas bertanya. “Di….. dimana kau bertemu dengan mereka,
Nek?

“Nah, apa kataku! Kini kau tak dapat lagi menyembunyikan perasaan! Hik…hik….hik!”

Gondoruwo Patah Hati lalu menuturkan kisah pertemuannya dengan empat gadis itu. Dimulai
dengan kejadian diculiknya Ratu Duyung. (baca Episode sebelumnya berjudul “Makam Ketiga”)

“Ah tidak kusangka kau telah berjada besar menyelamatkan Ratu Duyung dari malapetaka keji.
Nek, apa kau sempat mengetahui siapa manusia terkutuk yang melakukan perbuatan keji itu?”

Gondoruwo Patah Hati berdusta. Dia gelengkan kepala. “Orang itu berhasil melarikan diri.
Kepandaiannya tinggi. Sayang aku tidak bisa meringkusnya….” Si nenek ucapkan kedustaan itu
dengan perasaan hati penuh ganjalan.

“Mengenai empat gadis itu, kau tahu di mana mereka sekarang berada? Mungkin mereka
memberitahu atau mengatakan sesuatu?” Wiro bertanya.

“Setahuku mereka tengah dalam perjalanan menuju Gunung Gede.”

Wiro terkejut mendengar jawaban si nenek. “Menuju Gunung Gede? Ada apa di sana? Apakah
Eyang Guru sakit. Atau…..”

“Wiro, turut apa yang aku dengar, empat gadis itu telah berusaha keras mencarimu sejak dua
tahun silam. Belakangan ini terjadi satu peristiwa besar. Mereka menyirap kabar bahwa kau
telah menemui kematian. Anehnya jenazahmu dimakamkan di tiga tempat. Pada dua makam
pertama mereka tidak menemukan apaapa. Kecuali surat-surat aneh….” Si nenek lalu
menuturkan apa yang diketahuinya tentang Makam Setan Pertama dan Makam Setan Kedua.
“Makam Setan Ketiga ada di puncak Gunung Gede. Itu sebabnya empat gadis tadi berangkat ke
sana…..”

“Aneh, siapa yang menyebar kabar kalau aku sudah mati? Dikubur di salah satu makam. Tapi
kepergianku ke Negeri Latanahsilam selama dua tahun memang bisa menimbulkan berbagai
prasangka. Ada orang yang sengaja memanfaatkan hal ini…..” Wiro membatin, menggaruk
kepala lalu bertanya.

“Kau tidak memberitahu bahwa kita pernah bertemu, yang menyatakan bahwa diriku masih
hidup?” tanya Wiro

“Aku memberitahu. Tapi mungkin mereka tidak sepenuhnya percaya pada ucapan nenek muka
setan sepertiku ini.”
“Aku punya dugaan ada seseorang mengatur semua ini. Aku punya firasat mereka berempat
dalam bahaya!”

Wiro berdiri. Dia mengerenyit karena gerakan yang tiba-tiba membuat dua pahanya yang luka
terasa sakit.

“Nek, aku terpaksa meninggalkanmu. Aku harus segera ke Gunung Gede.”

Si nenek berkomat kamit. Wiro mendekati sosok Sutri. Dia membungkuk lalu berkata “Maafkan
kalau aku telah menyusahkanmu. Kau boleh kembali ke Kotaraja. Walau ada urusan besar
antara aku dengan ayahmu, harap tidak ada dendam di antara kita. Karena yang membuat
ayahmu celaka bukan diriku, bukan juga nenek itu. tapi seekor ular berbisa! Ular itu milik tokoh
silat Istana berjuluk Setan Bertongkat Ular. Orang itu melenyapkan diri begitu saja.” Wiro
tersenyum lalu jari-jari tangannya bergerak meleaps totokan di tubuh si gadis. Begitu
totokannya lepas Sutri Kaliangan melompat bangkit. Tangan kanannya bekerja.

“Bukkkk!”

Wiro terpental, jatuh terjengkang di tanah. Jotosan tangankanan Sutri Kaliangan bersarang
telak di dadanya. Sakitnya bukan main namun sang pendekar masih bisa tersenyum sambil
usap-usap dadanya. Wiro merangkak di tanah, berpegangan pada kaki Gondoruwo Patah Hati
yang ada di hadapannya lalu mencoba bangkit berdiri. Sambil bergerak bangkit tangannya
menarik sedikit bagian bawah pakaian hitam si nenek. Seperti dulu, dia melihat sepasang betis
yang putih, mulus dan bagus. Bukan layaknya betis seorang nenek seusia Gondoruwo Patah
Hati. Ini adalah satu keanehan yang menjadi tanda tanya besar bagi Wiro namun dalam
keadaan seperti itu tidak mungkin diungkapkannya.

Terbungkuk-bungkuk Wiro berkata pada Sutri yang tadi menjotos dadanya. “Terima kasih. Aku
telah menerima hukuman darimu. Apa cukup sebegitu saja atau masih ada tambahan yang
lain?”

Paras cantik puteri Patih Kerajaan itu mengelam merah. Dia maju dua langkah. Tangan kanan
terkepal namun pukulan tidak dilayangkan. Wiro menunggu. Si gadis tetap tidak bergerak.

“Kau gadis baik!” Wiro memuji. “Aku harap kau bisa mengerti. Silang sengketa antara aku,
maksudku aku dan nenek ini dengan ayahmu adalah satu kesalah pahaman besar dari pihak
Kerajaan. Aku tidak membunuh Kinasih dan suaminya. Aku juga tidak mencuri Keris Kiai Naga
Kopek. Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku bisa mengungkapkan siapa yang betanggung
jawab atas semua kejadian itu.” Wiro berpaling pada Gondoruwo Patah Hati. “Nek, aku
terpaksa meninggalkanmu. Terima kasih obat tahi ontamu tadi! Mudah-mudahan mujarab!”

Si nenek muka setan tertawa mengekeh.


“Tunggu!”

Tba-tiba Sutri Kaliangan berteriak. Wiro yang sudah berada di luar cegukan tebing batu
hentikan langkahnya dan berpaling. Sekali melompat puteri Patih Selo Kaliangan itu telah
berada di hadapan sang pendekar. Tangan kanannya yang masih membentuk tinju terpentang
di depan dada.

“Ada apa? Kau belum puas menggebukku?” tanya murid Sinto Gendeng sambil berlaku
waspada.

“Aku hanya mau memberitahu,” berucap si gadis dengan suara perlahan. “Tempat kediaman
Iblis Kepala Batu Alis Empat di sebuah pohon besar, di dekat air terjun Jurangmungkung……”

Tentu saja Pendekar 212 WS tercengang tidak mengira si gadis akan mengeluarkan ucapan
seperti itu. Kalau ayahnya, Patih Kerajaan tidak mau memberitahu mengapa kini tiba-tiba sang
puteri memberitahu? Sebelumnya si gadis begitu nekad hendak membunuhnya. Kini malah
menunjukkan itikad baik seperti itu. benar-benar sulit dipercaya. Wiro garuk-garuk kepala lalu
tersenyum.

“Kau pasti menduga aku menipu atau menjebakmu. Terserah, mau percaya atau tidak. Aku
hanya menginginkan kesembuhan ayahku!” Sutri Kaliangan rupanya bisa menerka ketidak
percayaan dalam diri Wiro. Si gadis balikkan badan.

“Tunggu! Tentu saja aku percaya pada keteranganmu dan aku mengucapkan terima kasih,” kata
Wiro. “Tapi air terjun Jurangmungkung yang kau katakan itu baru sekali ini aku mendengar. Di
mana letaknya…..?’ tanya Wiro. Dia hanya berpura-pura karena sebenarnya dia sudah tahu di
mana letak air terjun Jurangmungkung itu. Wiro hanya ingin menguji karena bukan mustahil si
gadis memang hendak menipu dirinya. Sebelumnya Sutri marah besar dan ingin
membunuhnya. Kini mengapa sang dara berubah pikiran dan bersikap baik padanya.

“Tempat itu tidak jauh dari Mojogedang, arah timur laut Karanganyar.” Menerangkan Sutri.

“Terima kasih. Kalau aku boleh tanya mengapa kau memberitahu? Padahal ayahmu
sebelumnya tak mau mengatakan.”

“Apa pertanyaan itu perlu kujawab?” balik bertanya putri Patih itu. “Malah kini aku menagih
janji. Bukankah kau berkata pada ayahku akan mengobatinya jika diberitahu tempat kediaman
Iblis Kepala Batu?’

“Janji akan kupenuhi. Namun ada beberapa urusan penting yang harus aku selesaikan. Ayahmu
sanggup bertahan cukup lama…..”

“Kalau dia menemui kematian sebelum kau sempat menolongnya, berarti kau punya hutang
nyawa. Yang cuma bisa kau lunasi dengan nyawamu sendiri….”
Wiro menggaruk kepala lalu berkata “Baik. Baik. Nenek jelek menjadi saksi ucapanku. Biar
nyawaku tebusan nyawa ayahmu jika dia sampai menemui kematian.”

“Sialan. Enak saja kau bicara bilang aku nenek jelek!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil
bersungut-sungut.

Wiro tertawa. “Nek, apa kau lupa. Dulu aku pernah bilang. Wajahmu mungkin seperti setan tapi
hatimu lebih baik dari bidadari.” Si nenek membuang muka, memendang ke jurusan lain. Tapi
Wiro tahu kalau si nenek berbunga-bunga hatinya dikatakan sebaik bidadari. “Nek, aku pergi
dulu. Kalau aku bertemu Naga Kuning, aku akan beritahu kau mencarinya….”

Gondoruwo Patah Hati jadi kaget. “Aku tidak mencarinya. Aku……”

“Kalau begitu, bagaimana jika aku bertemu Rana Suwarte, akan kukatakan padanya kau kangen
daningin bertemu!”

“Kupecahkan batok kepalamu jika berani melakukan itu!” kata GP setengah berteriak.

Tangan kanannya yang berkuku panjang diangsurkan ke depan seolah mau mencakar si
pemuda. Wiro cepat menghindar lalu sambil tertawa bergelak dia tinggalkan tempat itu. Seperti
diketahui Rana Suwarte adalah kakek yang hendak dijodohkan dengan dirinya oleh ayah
angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Tinggal berdua dengan Sutri, Gondoruwo Patah Hati tatap wajah si gadis sambil hatinya
bertanya-tanya, apakah gadis ini tahu kalau dialah yang memasukkan ular berbisa ke dalam
celana Patih Kerajaan hingga ayah si gadis kini menderita sakit berat.

Tiba-tiba Sutri berkata. “Aku tahu, kau yang menjadi biang sebab sakitnya ayahku. Saat ini ingin
sekali aku membunuhmu! Tapi aku masih bisa bersabar. Tapi kalau Pendekar 212 WS tidak
menepati janji, tidak mampu menyembuhkan penyakit ayahku, setelah dia maka kau akan ikut
menerima kematian.”

Si nenek runcingkan mulutnya lalu bertanya. “Mengapa kau mau bersikap baik dan sabar
padaku? Apa karena kau telah jatuh hati pada pemuda sahabatku tadi?’

“Mulutmu lancang sekali!” Sutri membentak dengan wajah merah.

Gondoruwo Patah Hati tertawa. “Aku pernah muda sepertimu. Aku tahu betul rasa hati orang
muda. Tidak ada yang melarang seorang gadis menyukai seorang pemuda. Tapi dalam hal
diriku, kau punya empat saingan berat. Empat gadis yang mencintai Pendekar 212 semua
cantik-cantik!” Si nenek tertawa panjang lalu tinggalkan tempat itu.
“Tua bangka geblek. Dari julukannya saja aku tahu dia memendam banyak kepahitan di masa
mudanya. Pasti gara-gara urusan cinta! Mungkin dengan orang bernama Rana Suwarte itu.
Rana Suwarte adalah kakek yang iktu bergabung dengan pasukan Kerajaan dalam mencari Wiro
dan nenek muka setan itu.” Sutri memandang berkeliling. Apa yang akan dilakukannya? Ke
mana dia akan pergi? Kembali ke gedung Kepatihan? Atau diam-diam mengiktui Wiro? Setelah
bimbang sebentar akhirnya Sutri memilih kembali ke Kotaraja. Bagaimanapun juga gadis ini
mengawatirkan sakit ayahnya.

Kapak Maut Naga Geni 212

ENAM

Kembali ke puncak Gunung Gede. Di dalam liang makam ketiga yang baru setengahnya mereka
gali, sambil berteriak memperingatkan bahwa ada mahluk hidup di dalam makam, Ratu Duyung
melesat ke atas. Tangan kiri Anggini ditariknya sedang dengan tangan kanan sosok Bidadari
Angin Timur didorongnya kuat-kuat.

Apa yang kemudian terjadi sungguh tidak terduga dan mengejutkan. Makam itu bergetar lalu
tanah yang belum tergali muncrat ke atas. Bersamaan dengan itu dua tangan menyembul dari
dalam liang kubur, mencuat ke udara, menghantam keras.

Dari tangan sebelah kanan menderu sinar kuning, hitam dan merah. Tangan sebelah kiri tidak
memancarkan cahaya, namun deru sambaran angin keras dan dingin. Karena berada paling
bawah di dalam kuburan maka dua pukulan itu dengan sendirinya menyambar ke arah sosok
Anggini.

“Anggini awas!” tariak Ratu Duyung. dia lipat gandakan tenaga untuk menarik lengan Anggini.
Anggini sendiri cepat kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, mengayunkan
tubuh melesat ke atas. Namun bagaimanapun kuatnya tarikan Ratu Duyung, bagaimanapun
cepatnya Anggini melompat selamatkan diri ke atas, dia hanya mampu menyelamatkan diri dari
pukulan sebelah kanan yang memancarkan cahaya merah, kuning dan hitam.

“Bukkk!”

Satu jeritan merobek udara.

Tubuh Anggini mencelat sampai dua tombak. Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur yang
berhasil keluar selamatkan diri dari dalam makam sama-sama terpekik. Dua gadis ini serta
merta menyambuti tubuh Anggini hingga tidak terbating ke tanah. Wajah cantik cucu Dewa
Tuak itu kelihatan pucat. Matanya setengah terpejam kuyu. Dari dela bibirnya mengucur darah.

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung cepat menggotong Anggini lalu membaringkan gadis itu
di samping pondok kayu. Mereka berusaha menolong namun perhatian keduanya terpecah
oleh suara tawa bergelak dari arah makam ketiga. Ketika mereka sama palingkan kepala ke arah
makam itu, tiba-tiba satu sosok melesat keluar. Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung
memandang terbeliak.

Orang yang keluar dari dalam liang makam itu mengenakan baju dan celana hitam. Di sebelah
atas dia mengenakan sehelai mantel berwarna hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain
merah. Ketika dia berdiri dengan kaki merenggang dan berkacak pinggang, di dada pakaiannya
kelihatan gambar gunung berwarna biru dengan latar belakang matahari warna merah serta
garis-garis pancaran sinar yang juga berwarna merah.

“Pangeran Matahari!” Dua gadis keluarkan ucapan hampir berbarengan.

“Tapi…..” ujar Bidadari Angin Timur kemudian sambil memegang lengan Ratu Duyung. Sepasang
matanya terus memandangi si mantel hitam tak berkesip.

“Tapi wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari!” kembali Bidadari Angin Timur keluarkan
suara. “Orang ini mempunyai ilmu bisa mendekam di dalam tanah. Setahuku Pangeran
Matahari tidak memiliki ilmu itu.”

“Aneh. Tapi siapapun dia adanya, dia pasti bangsat yang berada di belakang semua kejadian ini.
Sejak dari makam pertama, makam kedua dan kini makam ketiga. Jelas dia memang ounya
rencana jahat. Untuk mencelakai kita!”

“Tapi mengapa kita? Kita tidak ada permusuhan dengannya!” ujar Bidadari Angin Timur.

“Musuh besarnya memang Pendekar 212. Tapi otak jahatnya punya seribu akal. Bukankah
keparat satu ini yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik,
Segala Congkak?!”

“Jahanam betul!” rutuk Bidadari Angin Timur. “Aku akan menemui bangsat itu. Membuat
perhitungan dengannya! Lekas tolong Anggini. Totok jalan darahnya. Dia cidera berat di sekitar
dada. Nyawanya dalam bahaya. Kalau tidak lekas ditolong kita bisa-bisa kehilangan dirinya.”

“Aku akan menolong sebisaku. Kau hadapi orang itu. Hati-hati.” Ratu Duyung merasa kawatir.
Jika orang itu benar Pangeran Matahari, sanggupkah Bidadari Angin Timur menghadapnya?

Bidadari Angin Timur mengangguk. Sekali melesat, gadis ini sudah berdiri tujuh langkah di
hadapan orang bermantel hitam yang tegak di tepi makam ketiga.

“Manusia keparat! Siapa kau?!” bentak Bidadari Angin Timur.

Yang ditanya pandangi wajah cantik jelita di hadapannya sesaat lalu mendongak danmenghirup
udara dalam-dalam. “Hemmmm….. Tubuh memancarkan bau wangi. Rambut pirang, wajah
jelita. Kau tidak mengenali diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu. Bukankah kau dara jelita yang
tersohor di delapan penjuru angin itu? Yang bernama Bidadari Angin Timur?”
Bidadari Angin Timur terkejut ketika mengetahui orang mengenali dirinya. “Jadi kau biang racun
jahanam di balik munculnya tiga makam setan! Manusia keparat! Apa maksudmu melakukan
semua itu?! Apa kau terlalu pengecut memperkenalkan diri?! Ingat, kau telah mencelakai
temanku! Aku tidak segan-segan membunuhmu!”

Orang bermantel hitam tertawa gelak-gelak.

“Gadis cantik, yang namanya Bidadari itu selalu bersifat welas asih dan lemah lembut. Tapi kau
mengapa begini galak dan malah mengancam hendak membunuhku? Ah, ingin sekali aku tahu
bagaimana nikmatnya mati di tangan seorang bidadari! Ha….ha……ha!”. Habis tertawa orang
bermantel lalu meramkan mata, pasang dada seolah menunggu minta digebuk.

“Jahanam! Kau minta mati! Aku berikan kematian padamu!” teriak Bidadari Angin Timur. Gadis
ini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.

Seperti diketahui Bidadari Angin Timur memiliki gerakan luar biasa cepatnya. Hampir tidak
kelihatan tangan kanan yang sudah diisi tenaga dalam penuh itu, yang sanggup menjebol
tembok tebal menghancurkan batu besar melesat ke arah muka orang bermantel hitam.

Yang diserang tenang-tenang saja, malah sambil tertawa bergelak dan bertolak pinggang dia
sengaja menanti datangnya hantaman Bidadari Angin Timur!

Hanya satu jengkal lagi jotosan Bidadari Angin Timur akan menghancurkan mukanya, tiba-tiba
orang bermantel tekuk sepasang lutut, rundukkan kepala dan dua tangannya dipukulkan ke
depan. Satu mengarah dada, satu mencari sasaran di perut Bidadari Angin Timur.

“Pukulan Dua Singa Berebut Matahari! Murid jahanam! Kau pernah punya niat membunuhku!
Aku tidak rela kau pergunakan ilmu itu!”

Satu seruan keras menggeledek di puncak gunung. Satu auman menggelegar dahsyat lalu satu
bayangan merah berkelebat. Dua larik angin menderu, satu mendorong Bidadari Angin Timur
hingga terjajar jauh ke kiri satunya lagi membuat orang bermantel hitam tersurut tiga langkah.
Bidadari Angin Timur selamat dari dua pukulan maut, berdiri setengah tertegun dengan muka
pucat. Memandang ke depan dia melihat satu mahluk aneh berdiri di antara dia dengan orang
bermantel hitam. Mahluk ini memiliki tubuh tinggi besar seperti manusia. Tapi kepalanya
tertutup rambut merah berjingkrak. Ketika Bidadari sempat melihat sepasang matanya, gadis
ini jadi merinding. Mata itu memiliki bola mata pipih berwarna kelabu, seperti mata binatang!
Bidadari Angin Timur tak dapat memastikan apakah mahluk ini manusia betulan atau manusia
seetengah binatang, menyerupai singa?

“Pangeran Miring! Kaukah ini?!” Tiba-tiba mahluk menyerupai singa menegur. Tapi kemudian
wajahnya menunjukkan bayangan rasa heran. Dalam hati dia berkata “Sosok dan pakaiannya
memang dia. Tapi mengapa wajahnya berubah? Mungkinkah dia…..”
Orang bermantel hitam tampak kaget tapi hanya sebentar. Dia layangkan pandangan dingin,
rahang menggembung.

“Kau tidak menjawab berarti kau memang Pangeran Miring yang kabur dari jurang di Teluk
Penanjung! Akhirnya kutemui juga kau! Jangan harap bisa lolos! Saat ini juga kau harus ikut aku
ke Teluk!”

Orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring keluarkan suara mendengus. Lalu
meludah ke tanah.

“Singo Abang! Kau datang mencari mati! Aku akan tamatkan riwayatmu dengan ilmu yang kau
ajarkan padaku! Terima kematianmu!” Begitu ucapannya selesai orang bermantel hitam
langsung hantamkan dua tangannya ke depan. Seperti tadi menyerang Bidadari Angin Timur,
kembali dia keluarkan pukulan Dua Singa Berebut Matahari. Hanya kali ini pukulan maut
tersebut dilancarkan dengan tenaga dalam lebih dahsyat!

Mahluk berambut merah yang diserang keluarkan suara mengaum. Lalu balas memukul. Pada
saat itu pula satu bayangan putih melesat di udara. Menyusul satu bentakan.

“Apa yang terjadi di tempat ini?! Siapa berani berlaku kurang ajar mengotori puncak Gunung
Gede tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng?!”

Begitu bentakan lenyap satu gelombang angin dahsyat topan prahara melabrak tempat itu. Lalu
bummm! Tiga tenaga dalam tinggi saling bentrokan. Puncak Gunung Gede laksana mau
meledak. Pasir dan debu beterbangan ke udara. Daun-daun pepohonan luruh ke tanah.
Terdengar suara mengaum. Ada yag berteriak kaget. Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung
keluarkan seruan tertahan.

Dalam gelapnya pemandangan akibat tebaran debu dan pasir terdengar suara mengaum lalu
bentakan garang.

“Pangeran Miring! Kau mau kabur ke mana!”

Satu bayangan merah berkelebat di dekat Ratu Duyung. Satu suara berucap. “Berikan obat ini
pada gadis yang cidera.” Suara lenyap, bayangan merah ikut lenyap.

Samar-samar kelihatan dua sosok berkelebat ke arah timur. Ketika udara terang kembali
ternyata orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring dan sosok mahluk setengah
manusia setengah singa yang tadi ada di tempat itu kini lenyap tak kelihatan lagi! Yang ada di
depan sana adalah sosok seorang pemuda gagah berambut gondrong, berpakaian putih kotor,
mengenakan celana robek besar di bagian paha. Dadanya tampak turun naik akibat bentrokan
tenaga dalam yang hebat.
“Wiro!” Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur sama-sama berseru. Samasama tak percaya
pada pemandangan mereka karena siapa menduga Pendekar 212 akan muncul di tempat itu.

Kapak Maut Naga Geni 212

TUJUH

Pendekar 212 WS melompat mendekati Bidadari Angin Timur. “Wiro, aku seperti tak
percaya……” kata si gadis. Ada rasa haru dalam kegembiraan hatinya. Saat itu ingin sekali dia
memeluk orang yang selama ini dirinduinya. Kalau saja di tempat itu tidak ada Ratu Duyung dan
Anggini tidak dalam keadaan cidera berat mungkin dia sudah melakukan hal itu. paling tidak
memegangi tangan si pemuda.

Murid Sinto Gendeng tersenyum. Dipegangnya bahu Bidadari Angin Timur. Sentuhan tangan itu
bagi si gadis merupakan satu kebahagiaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Diremasnya jari-jari tangan Wiro yang memegang bahunya. “Aku…. Maksudku kami mencarimu
di mana-mana. Kami mencarimu hampir di setengah tanah Jawa. Kami mendatangi dua makam
aneh. Ini makam ketiga……”

“Aku sudah mendengar cerita tentang dua makam itu. Agaknya aku datang terlambat.” Wiro
memandang ke arah Ratu Duyung yang saat itu pura-pura menyibukkan diri menolong Anggini
yang tergeletak di tanah. Sebenarnya hatinya tak sanggup menahan cemburu ketika melihat
Wiro memegang bahu Bidadari Angin Timur dan Bidadari Angin Timur memegang jari-jari
tangan pemuda itu. Dirinya merasa seperti tidak diacuhkan, seolah dia tidak ada di tempat itu.
Murid Sinto Gendeng memaklumi perasaan Ratu Duyung.

Wiro turunkan tangannya dari bahu Bidadari Angin Timur. Diikuti si gadis dia melangkah cepat
ke tempat Anggini tergeletak.

“Ratu Duyung,” tegur Wiro. Dibelainya rambut gadis itu lalu duduk di sebelahnya. Kini Bidadari
Angin Timur yang dirayapi rasa cemburu. “Anggini….” Wiro pegang lengan Anggini. Masih
terasa denyutan nadinya walau agak lemah. Dua mata Anggini terbuka sedikit. Samar-samar dia
melihat wajah sang pendekar. Ada rasa tak percaya. Dua mata terbuka membesar.

“Wiro…..” hanya ucapan perlahan menyebut nama si pemuda yang keluar dari mulut Anggini.
Lalu kepala cucu Dewa Tuak ini terkulai. Matanya terkatup. Bidadari Angin Timur dan Ratu
Duyung berseru kaget karena menyangka Anggini telah menghembuskan nafas terakhir. Dan
gadis ini merangkuli tubuh Anggini. Ratu Duyung mulai sesenggukan.

“Tak perlu kawatir. Dia cuma pingsan,” kata Wiro yang masih memegang dan merasakan
denyutan di lengan Anggini. Wiro lalu memeriksa keadaan Anggini dengan cepat. Ketika dia
menyingkapkan sedikit pakaian si gadis di bagian dada kelihatan tanda merah kebiruan. “Dia
menderita luka dalam cukup parah.” Wiro segera menotok beberapa jalan darah di tubuh
Anggini lalu kerahkan hawa sakti, dialirkan ke dalam tubuh si gadis. “Apa yang terjadi?!” tanya
Wiro kemudian.

Ratu Duyung memandang pada Bidadari Angin Timur, memberi tanda dengan anggukan kepala
agar Bidadari Angin Timur saja yang memberi keterangan. Bidadari Angin Timur lalu
menuturkan semua kejadian sejak mereka mulai menjejakkan kaki di tempat itu.

Wiro merasakan dadanya sesak. Matanya memandang terbeliak ke arah kubur di seberang
sana. “Puti Andini……” katanya serak. “Puti Andini…..mati? Ya Tuhan. Apa yang terjadi? Siapa
yang membunuhnya?” Wiro berdiri, tinggalkan tiga gadis itu, melangkah menuju makam di
mana Puti Andini dikubur. Dia pegangi tanah merah kuburan. Matanya dipejamkan. Sekujur
tubuh bergetar.

“Tuhan, umur manusia memang kuasaMu. Tetapi aku tidak rela Puti Andini menemui kematian
seperti ini. Aku bersumpah akan menghancurkan kepala manusia yang melakukan perbuatan
keji biadab ini! Puti Andini…… Ah…..” Saat itu semua peristiwa yang dialaminya di pelupuk mata
Pendekar 212 WS. Sepasang mata sang pendekar kelihatan berkaca-kaca. “Puti Andini, aku
banyak sekali berhutang budi padamu. Bahkan berhutang nyawa. Belum sempat aku membayar
semua itu, kini kau telah tiada. Ya Tuhan, dia gadis baik….. Mengapa kau panggil dia secepat
ini……?’

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung sama berlinang air mata mendengar desah ucapan
Pendekar 212. Wiro berpaling pada kedua gadis itu. Suaranya serak.

“Katakan siapa yang membunuh Puti Andini? Kalian tahu siapa orangnya?’

“Kami tidak dapat memastikan,” jawab Bidadari Angin Timur. “Tapi ada dugaan pelakunya
adalah orang yang sebelumnya mendekam dalam makam ketiga.”

“Siapa?! Siapa orangnya? Bagaimana ciri-cirinya?!” tanya Wiro.

“Dia berpakaian serba hitam. Mengenakan mantel hitam. Ada ikat kepala kain merah di
keningnya…..” menjelaskan Ratu Duyung.

“Di dada bajunya ada gambar gunung biru dan matahari merah,” menambahkan Bidadari Angin
Timur.

“Apa?!” Wiro tersentak kaget sampai terlonjak berdiri. Dua matanya terbeliak, tak berkesip
pandangi dua gadis di depannya. “Hanya ada satu manusia yang mengenakan pakaian seperti
itu. Si jahanam Pangeran Matahari!” Wiro berkata setengah berteriak. Dua tangan dikepalkan
dan dua kakinya tiba-tiba melesak ke dalam tanah sampai mata kaki! “Aku akan mencari
jahanam itu sampai ke neraka sekalipun!”
“Wiro,” kata Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku dan Ratu Duyung memang mengira orang itu
adalah Pangeran Matahari. Tapi cuma pakaiannya saja yang sama. Wajahnya bukan wajah
Pangeran Matahari …..”

“Apa?! Mana mungkin orang dengan ciri-ciri pakaian seperti itu bukan Pangeran Matahari. Aku
tahu dia masih hidup! Aku menemuinya di Teluk Penanjung beberapa waktu lalu.”

“Kami berdua tak mungkin keliru. Kami pernah melihat Pangeran Matahari sebelumnya…..”
kata Bidadari Angin Timur.

“Suaranya yang angkuh, nada tertawanya, sama dengan Pangeran Matahari. Tapi wajahnya…..”
menyambung Ratu Duyung.

“Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan Pangeran jahanam itu di pinggir jurang di Teluk
Penanjung. Malam gelap, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia muncul dengan muka cacat.
Hidung bengkok, salah satu pipi melesak, mata kiri terbenam…..”

“Orang bermantel hitam itu berwajah mulus. Tak ada cacat sedikitpun…..” kata Bidadari Angin
Timur. “Tapi wajah itu bukan wajah Pangeran Matahari.”

“Sewaktu di Teluk Penanjung, dia mungkin punya maksud hendak membunuhku. Tapi
mendadak muncul satu mahluk berambut merah menghajarnya.”

“Aneh,” kata Ratu Duyung.

“Apa yang aneh?” tanya Wiro.

“Sewaktu orang bermantel hitam itu lancarkan serangan menghantam Bidadari Angin Timur
tiba-tiba muncul seorang tinggi besar berambut merah. Sosoknya sebelah atas seperti singa. Dia
mengeluarkan suara mengaum. Mahluk ini memanggil si mantel hitam dengan sebutan
Pangeran Miring. Dua orang itu siap saling hantam, ketika tiba-tiba kau muncul. Entah mengapa
si mantel hitam kemudian melarikan diri. Dikejar oleh si rambut merah. Keduanya kemudian
lenyap.”

“Mahluk berambut merah. Tadi aku melihatnya hanya sekelebatan. Agaknya dia memang
mahluk yang sama yang muncul di tepi jurang Teluk Penanjung.” Kata Wiro pula.

“Mahluk itu menyebut si mantel hitam dengan nama Pangeran Miring, murid jahanam,”
berkata Bidadari Angin Timur.

“Pangeran Miring?” Wiro berpikir. “Aku yakin dia memang Pangeran Matahari.”

“Pangeran Miring menyebut mahluk berambut merah Singo Abang,” kata Ratu Duyung pula.
“Samar-samar mereka berkelebat ke arah timur. Aku rasa aku harus mengejar mereka sekarang
juga…..” Walau berkata begitu namun Wiro tetak tak bergerak di tempatnya. Beberapa hal
muncul dalam benaknya. Dia tak mungkin meninggalkan Anggini dalam keadaan seperti itu.

Ratu Duyung mendekati Wiro, memperlihatkan satu bungkusan kain kecil lalu berkata.
“Sebelum pergi, mahluk berambut merah itu memberikan benda ini padaku disertai pesan agar
obat ini berikan pada Anggini.”

Wiro mengambil bungkusan itu, memeriksa isinya. Di dalam bungkusan ternyata ada bubuk
warna merah. Wiro menciumnya. Bubuk itu ternyata tidak berbau. Wiro ambil sedikit lalu
meletakkannya di ujung lidah. Aneh, bubuk ini tawar tidak ada rasa sama sekali namun begitu
menyentuh lidah ada hawa sejuk memasuki rongga mulut Wiro lalu menyusul rasa hangat di
bagian dadanya. Keraguan Wiro lenyap.

“Bidadari, di sebelah sana ada sebuah sumur tua. Pergi ke sana, ambil air sumur secukupnya.
Campur bubuk ini dengan air. Sebagian minumkan pada Anggini, sisanya usapkan di bagian
dadanya yang cidera.” (Mengenai orang bernama Singo Abang riwayatnya dapat dibaca dalam
Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa.”)

Bidadari segera hendak melakukan apa yang dikatakan Wiro itu. Namun sebelum berlalu dia
bertanya. “Kau sendiri mau ke mana?”

“Aku segera pergi tapi aku mau mencari sesuatu dulu di dalam pondok,” jawab Pendekar 212.

“Wiro, kau menghilang selama dua tahun. Kau ke mana saja, apa yang kau lakukan?”

“Bidadari Angin Timur, panjang ceritanya. Nanti suatu ketika akan kuceritakan pada kalian.
Lekas carikan air……”

Begitu Bidadari Angin Timur berlalu, sementara Ratu Duyung menunggui Anggini, Wiro
bergegas masuk ke dalam pondok kayu. Berada dalam pondok itu berbagai kenangan di masa
lalu ketika dia tinggaldi tempat itu bersama Eyang Sinto Gendeng terbayang d pelupuk mata
Pendekar 212. Dia tersenyum, gelengkan kepala, menggaruk-garuk dan memandang berkeliling.
Perabotan di dalam pondok itu masih yang dulu-dulu juga. Balai-balai kayu beralaskan tikar
butut, meja kayu miring dan sebuah kursi reot. Lalu sebuah gentong air besar dekat pintu
belakang. Di atas penutup gentong ada sebuah gayung tempurung kelapa. Debu menutupi
semua yang ada di dalam pondok itu. Sarang laba-laba kelihatan hampir di setiap sudut.

“Mudah-mudahan Eyang Sinto tidak memindahkan benda itu dari tempatnya yang lama….”
Wiro membatin lalu dia melangkah mendekati gentong tanah di dekat pintu. Gentong itu berisi
air sampai setengahnya. Perlahan-lahan Wiro menggeser gentong ke kiri. Lalu mengambil
gayung tempurung kelapa. Dengan gagang gayung dia mulai menggali tanah bekas gentong
terletak. Baru menggali sedalam satu jengkal, gagang gayung menyentuh satu benda keras.
Wiro berdebar. Dia pergunakan dua tangannya untuk menggali dan menyibakkan tanah sampai
akhirnya dia menemukan sebuah kotak kayu besi hitam. Wiro keluarkan kotak itu,
meletakkannya di atas balaibalai kayu lalu membukanya.

Di dalam kotak itu kelihatan satu kitab tebal yang demikian tuanya nyaris jadi bubuk. Pada
bagian atas kitab tertulis. “Seribu Macam Ilmu Pengobatan.”

Kitab ilmu pengobatan ini adalah pemberian Kiai Bangkalan yang sempat dicuri oleh seoerang
tokoh jahat rimba persilatan Pulau Andalas. Karena tidak mungkin membawa kitab berharga itu
ke mana-mana Wiro menyerahkannya pada Eyang Sinto Gendeng. Oleh sang guru kitab
disimpan begitu rupa, dimasukkan dalam kotak kayu besi tahan air lalu ditimbun di dalam
pondok dan ditutup dengan gentong besar. (Mengenai riwayat kitab ilmu pengobatan itu serta
kisah Kiai Bangkalan harap baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang)

“Terima kasih Tuhan, terima kasih Eyang Sinto. Ternyata kitab ini masih ada di sini.” Wiro
merasa sangat bersyukur. Dengan hati-hati dia membuka halaman demi halaman. Debu
mengepul setiap dia membalik satu halaman. Lama sekali, entah berapa puluh halaman telah
dibaliknya akhirnya Wiro menemukan apa yang dicarinya. Dia mulai membaca, perlahan-lahan,
hati-hati, kata demi kata agar tidak ada yang terlewatkan. Dia membaca sampai tiga kali lalu
kembali membalik halaman yang dicarinya. Seperti tadi Wiro membaca perlahan, hati-hati, kata
demi kata, sampai tiga kali. Setelah merenung sesaat sambil pejamkan mata Wiro menutup
kitab itu. memasukkannya ke dalam kotak kayu besi hitam. Kotak ini dimasukkannya kembali ke
dalam lobang di tanah, lalu lobang ditimbun. Terakhir sekali gentong tanah diletakkan di atas
timbunan tanah. Murid Sinto Gendeng sama sekali tidak mengetahui kalau semua apa yang
dilakukannya di dalam pondok telah diintai seseorang lewat celah dinding kajang.

Ketika Wiro keluar dari pondok, didapatnya Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung dengan
mempergunakan sehelai daun tengah meminumkan bubuk merah yang telah dicampur air ke
mulut Anggini. Sisa obat pemberian mahluk bernama Singo Abang itu kemudian diborehkan di
dada Anggini yang cidera.

“Aku ingat sesuatu,” berucap Bidadari Angin Timur. “Sewaktu orang bermantel itu keluar dari
dalam liang makam dan lancarkan dua pukulan, salah satu pukulannya memancarkan sinar
hitam, merah dan kuning. Apakah itu tidak cukup menjadi pertanda bahwa dia memang
Pangeran Matahari?”

“Pukulan memancarkan sinar merah, kuning dan hitam! Itu memang ciri-ciri pukulan Pangeran
Matahari,” ujar Wiro. “Tunggu, apakah kalian memperhatikan jari kelingking orang itu?”

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung sama menggeleng. “Ada apa dengan jari kelingkingnya?”
bertanya Bidadari Angin Timur.

“Jari kelingking Pangeran Matahari sebelah kiri buntung. Itu akibat gigitan Dewi Merak Bungsu
beberapa tahun lalu.” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kutunggu Di Pintu Neraka”)
“Wayang, kami tidak memperhatikan,” kata Ratu Duyung.

“Wiro, semua orang tahu, Pangeran Matahari adalah musuh bebuyutanmu. Tetapi mengapa dia
sengaja mencelakai kami. Tidak berani menantangmu secara ksatria?”

Wiro sesaat pandangi wajah cantik Bidadari Angin Timur, lalu menjawab. “Orang-orang
golongan hitam rimba persilatan punya jalan pikiran jahat seperti ini. Salah satu cara untuk
menghancurkan lawan adalah dengan membunuh orang-orang yang sangat dekat dengannya
arau dikasihinya. Itu sebabnya, sebelum sampai pada tujuan utamanya untuk menyingkirkan
diriku, dia sengaja menjebak untuk menghabisi kalian. Aku yakin bukan cuma Anggini yang
hendak dicelakainya tapi kalian semua. Puti Andini korban pertama….”

“Mengenai kematian Puti Andini memang berat dugaan kami manusia bermantel itu yang
membunuhnya. Tapi sebelum sampai ke sini kami hampir menjadi korban kebejatan seorang
pemuda mengaku bernama Damar Wulung.” Menerangkan Ratu Duyung. “Aku malah sempat
diculiknya. Kalau seorang nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati tidak menyelamatkan diriku,
mungkin saat ini aku juga sudah menemui ajal. Paling tidak ditimpa aib besar….” Secara singkat
Ratu Duyung menceritakan peristiwa di kuil tempo hari.

“Damar Wulung?!” Sepasang mata Pendekar 212 membesar. “Manusia satu itu, dia tidak kalah
jahat dengan Pangeran Matahari. Dialah yang telah mencuri Keris Kiai Naga Kopek, pusaka
Keraton. Dia juga kuduga terlibat dalam beberapa kejahatan dan pembunuhan. Kalau urusanku
dengan Pangeran Matahari selesai, aku akan mencari manusia bejat satu itu.” Wiro diam
sebentar lalu melanjutkan. “Kalian tahu, aku dan nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu
menjadi buronan Kerajaan.” Wiro lantas menuturkan rangkaian kejadian sampai Patih Kerajaan
menderita sakit berat akibat patukan ular.

“Aku ingat satu hal. Nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati pernah menerangkan bahwa Damar
Wulung itu hanya nama palsu belaka. Orangnya sebenarnya bernama Adisaka….”

Wiro terkejut. “Adisaka?” ulangnya sambil menatap Ratu Duyung lekat-lekat. “Kau mendengar
sendiri dia berkata begitu?”

“Betul. Menurut Gondoruwo Patah Hati nama Damar Wulung sebenarnya adalah Adisaka…..”

“Kalian tahu…..” suara Pendekar 212 terdengar bergetar. “Nenek itu pernah mengatakan
padaku kalau Adisaka adalah murid yang tengah dicari-carinya. Berarti Damar Wulung adalah
muridnya!” Wiro tepuk keningnya sendiri. “Pantas! Terakhir sekali aku bertemu dengan dia,
katika aku menanyakan apakah dia telah bertemu dengan Adisaka, nenek itu kelihatan seperti
ada anjalan….”

“Berarti dia sudah tahu kebejatan muridnya…..”


“Ada satu hal yang menjadi pertanyaan. Orang bermantel hitam itu mampu mendekam di
dalam makam. Berarti dia memiliki satu ilmu kesaktian langka. Setahuku Pangeran Matahari
tidak memiliki ilmu seperti itu….. Kalian berdua, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung, aku
ingin bersama kalian lebih lama di tempat ini. apa lagi Anggini sedang cidera. Namun mengejar
manusia bermantel yang disebut Pangeran Miring itu lebih penting lagi. Aku yakin dia adalah
Pangeran Matahari.”

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung jadi terdiam.

“Kalian jangan kecewa. Untuk sementara tetap di sini sampai Anggini sembuh. Ada satu obat
baru yang harus kalian berikan padanya. Di sebelah selatan puncak gunung ini ada lereng yang
ditumbuhi alang-alang berdaun biru. Ambil akarnya, tumbuk, peras dan minumkan pada
Anggini….”

Wiro membungkuk, mengusap wajah Anggini, memegang pundak Ratu Duyung dan Bidadari
Angin Timur.

“Wiro, kalau kami ingin menemuimu, di mana kami harus mencari?” Ratu Duyung bertanya.

“Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” jawab Pendekar 212. “Salah satu tujuanku adalah air
terjun Jurangmungkung, di dekat Mojogedang. Mungkin aku akan berada di sana sekitar dua
minggu dari sekarang.”

“Kalau begitu kami akan menemuimu di sana,” kata Bidadari Angin Timur.

Wiro mengangguk. “Aku pergi, jaga diri kalian baik-baik. Tolong Anggini…..” Wiro membalikkan
badan hendak tinggalkan tempat itu. namun gerakannya terhenti ketika tiba-tiba telinganya
menangkap satu suara. Suara Anggini.

“Wiro, jangan pergi dulu…..”

Wiro memutar badannya kembali lalu membungkuk. “Ada apa Anggini?” tanya Wiro sambil
memegang tangan gadis itu. Anggini susupkan jari-jari tangannya ke sela-sela jari tangan Wiro
dan merasakan satu kehangatan serta kebahagiaan tiada tara.

“Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu. Amanat seseorang….” Berucap Anggini.
Tangannya ditarik dari genggaman Wiro, lalu mengambil sesuatu dari balik pakaian ungunya.
Benda itu diletakkannya di atas telapak tangan Wiro lalu jari-jari tangan si pemuda
digenggamnya seraya mulutnya berucap. “Pemiliknya meminta aku menyerahkan benda itu
padamu…..”

Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya sambil membuka genggaman jarijarinya. Wajah
Pendekar 212 langsung berubah haru. Matanya berkaca-kaca. Yang ada dalam genggamannya
saat itu adalah sehelai bunga kenanga kering.
“Bunga….Suci….” bisik Wiro dalam hati. Anggini anggukkan kepala perlahan. Wiro hendak
bertanya kapan kembang kenanga itu diberikan Bunga, tapi dilihatnya Anggini sudah
mengatupkan mata. Wiro menarik nafas dalam, bangkit berdiri dan tinggalkan tempat itu.

“Sebenarnya banyak hal yang perlu kita bicarakan dengan Wiro. Tapi…..” Ratu Duyung menarik
nafas dalam.

“Aku juga kecewa. Dua tahun dia menghilang begitu saja. Tadi dia menyebut air terjun
Jurangmungkung. Setahuku itu empat angker yang jarang didatangi manusia. Ada keperluan
apa Wiro ke sana.” Bidadari Angin Timur berkata sambil memandang ke arah lenyapnya Wiro.

“Aku melihat sikap gerak geriknya aneh. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. Dia seperti
menanggung banyak beban.” Kata Ratu Duyung pula.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” ujar Bidadari Angin Timur. Gadis ini pejamkan mata.
“Kurasa kita juga harus meninggalkan tempat ini.”

“Kemana?” tanya Ratu Duyung.

“Mengejar Wiro. Aku ingin membunuh dengan tanganku sendiri manusia dajal Pangeran Miring
itu. Paling tidak ikut menyaksikan kematiannya.”

“Lalu bagaimana dengan Anggini?” tanya Ratu Duyung. Hatinya ikut tergerak untuk mengejar
Wiro.

“Kita cari dulu alang-alang biru…..” Bidadari Angin Timur hentikan ucapannya. “Alang-alang
biru,” katanya kemudian mengulang. “Seumur hidup aku belum pernah melihat alang-alang
berwarna biru. Bagaimana kalau di lereng selatan kita tidak menemukannya?”

“Kita harus percaya pada Wiro. Dia bertahun-tahun tinggal di sini. Pasti dia tahu betul kalau di
lereng selatan Gunung Gede memang ada tumbuhan itu. Dan punya khasiat untuk
menyembuhkan luka dalam yang dialami Anggini.

“Ratu Duyung, kau tinggal di sini menjaga Anggini. Biar aku yang mencari alang-alang itu.
Selesai mengobati Anggini kita akan buat tandu. Kita usung dia sampai ke tempat kita
meninggalkan gerobak. Setelah itu kita berangkat mengejar Wiro.”

“Kawan-kawan….” Tiba-tiba terdengar suara Anggini membuat dua gadis terkejut. Mereka
melihat dua mata Anggini masih terpejam namun mulutnya bicara. “Kalian berdua pergi saja.
Tak apa aku sendirian di tempat ini. satu dua hari aku bakalan sembuh. Nanti aku akan
menyusul kalian.”
Ratu Duyung pegang lengan Anggini, Bidadari Angin Timur usap rambut gadis itu. “Tidak
Anggini, apapun yang terjadi kita tetap bersama-sama. Apalagi dalam keadaan dirimu seperti
ini.” kata Bidadari Angin Timur.

“Lagi pula Wiro telah berpesan agar kami merawatmu baik-baik. Kami akan membuatkan
sebuah tandu untukmu. Kita sama-sama meninggalkan tempat ini…..”

Dari mata Anggini yang terpejam itu meluncur keluar butir-butir air mata.

Kapak Maut Naga Geni 212

DELAPAN

Mentari jauh condong ke barat. Tak lama lagi senja akan datang. Sutri yang dalam perjalanan
pulang merasa tidak perlu berlari cepat. Kotaraja hanya tinggal dekat. Paling lambat bersamaan
dengan turunnya malam dia sudah sampai kembali di Gedung Kepatihan. Tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara derap kaki kuda. Gadis ini segera menepi. Tapi kuda dan
penunggangnya malah berhenti di depan Sutri Kaliangan.

Kuda itu berwarna coklat. Ada bagian yang berwarna putih di hidungnya. Penunggangnya
seorang pemuda berbadan tegap, memiliki wajah cakap. Sesaat pemuda ini menatap wajah
Sutri Kaliangan lalu turun dari kudanya, melangkah ke hadapan Sutri. Untuk beberapa lama dia
masih pandangi wajah si gadis. Membuat Sutri merasa tidak senang dan hendak mendamprat.
Namun tiba-tiba si pemuda membungkuk hormat seraya berkata.

“Kalau tidak salah saya menduga, bukankah saya berhadapan dengan Den Ayu Sutri Kaliangan,
puteri Patih Kerajaan?”

“Aku memang Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Kau siapa?”

“Nama saya Damar Wulung. Harap maafkan, sebenarnya saya mengikuti Den Ayu sejak keluar
dari rimba belantara tadi. Berjalan jauh seorang diri, sungguh berbahaya bagi keselamatan Den
Ayu. Mengapa tidak membawa pengawal? Bahkan Den Ayu sama sekali tidak naik kereta atau
menunggang kuda.”

“Kau sengaja mengikutiku. Apa ada maksud yang tidak baik?” Walau hatinya kini tertarik pada
ketampanan wajah si pemuda namun Sutri bersikap hati-hati.

Si pemuda tertawa lebar. “Kalau saya berniat jahat, mengapa menunggu sampai sekian lama?
Den Ayu, Kotaraja memang tidak seberapa jauh lagi. Tapi kalau saya boleh menolong…..”

“Hemmmm, pertolongan apa bisa kau berikan?”


“Saya hanya memiliki kuda ini. Den Ayu boleh menungganginya sampai ke gedung Kepatihan.
Saya akan mengikuti dari belakang.”

“Terima kasih. Aku tidak memerlukan kudamu.”

Damar Wulung tersenyum. “Pertolongan saya memang tidak ada artinya. Tidak saya sesalkan
Den Ayu sampai menolak. Saya senang dapat bertemu dan bertutur cakap dengan Den Ayu.
Saya mohon diri. Maafkan saya mendeahului Den Ayu…..” Habis berkata begitu si pemuda
sentakkan tali kekang kudanya.

“Tunggu, apakah kau orang Kotaraja atau penduduk sekitar sini?” sutri Kaliangan bertanya.

“Ah, saya cuma pemuda tani. Desa saya tak jauh dari sini,” jawab Damar Wulung. Ini adalah
satu kedustaan belaka. “Saya dalam perjalanan menuju Kotaraja. Ingin menyambangi makam
kakaknya ibu. Waktu beliau meninggal saya tidak sempat melayat.” Ini adalah kedustaan kedua.

“Siapa kakak Ibumu itu?”

“Nyi Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura Kalimarta, juru ukir Keraton.” Ini merupakan
kedustaaan ketiga. “Keluarga kami dalam kesedihan mendalam. Kedua orang itu menemui
kematian secara tidak terduga. Sama-sama mati dibunuh orang. Mungkin Den Ayu sudah
mendengar peristiwanya. Konon sang pembunuh adalah seorang pendekar bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”

Sutri Kaliangan terdiam. Dia memang telah mendengar peristiwa pembunuhan atas diri dua
suami istri itu.

“Maafkan saya, apakah ucapan saya ada yang menyinggung Den Ayu?” betanya Damar Wulung
ketika melihat gadis di hadapannya terdiam cukup lama.

“Tak ada ucapanmu yang menyinggung. Justru kalau aku boleh memberitahu, sore tadi aku
hampir saja memecahkan kepala manusia bernama Wiro Sableng itu!”

Damar Wulung unjukkan wajah terkejut. “Den Ayu, terkejut sekali saya mendengar ucapan Den
Ayu. Kalau saya boleh mendengar ceritanya…..”

Sutri Kaliangan merasa tidak ada salahnya dia menceritakan apa yang telah terjadi.

“Benar-benar manusia bejat kurang ajar! Dia telah mencelakai Ayahanda Den Ayu, lalu meculik
Den Ayu pula! Setahu saya pasukan Kerajaan mencari pemuda itu. Tapi saya ingin
membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Sehabis dari Kotaraja, saya akan mendatangi
tikungan sungai itu, mencari jejak pendekar jahanam itu!”
“Mungkin dia tak ada lagi di tempat itu. Dia mungkin sudah pergi ke satu tempat…..” kata Sutri
pula.

“Mungkin Den Ayu mengetahui ke mana dia pergi? Mungkin dia mengatakan pada Den Ayu?’
tanya Damar Wulung.

Polos saja Sutri Kaliangan menjawab. “Air terjun Jurangmungkung, dekat Mojogedang, tak jauh
di arah timur Karanganyar. Aku rasa dia tengah menuju ke sana.”

“Terima kasih Den Ayu mau memberitahu,” Damar Wulung membungkuk hormat. “Sekarang
karena kita sama-sama ke Kotaraja, apakah saya tak boleh berbuat baik? Saya pinjamkan kuda
coklat saya pada Den Ayu. Saya akan mengikuti dari belakang. Saya tidak tahu ilmu berlari
cepat, jadi saya harap Den Ayu tidak membedal kuda itu terlalu cepat.” Si pemuda berkata
sambil mengulum senyum.

Melihat orang bicara begitu sopan menunjukkan sikap baik akhirnya lembut juga hati puteri
Patih Kerajaan itu. “Baiklah, aku terima kebaikanmu.” Lalu tanpa basa basi lagi Sutri yang
memang cekatan dalam menunggang kuda melompat naik ke atas punggung kuda coklat itu.
Baru saja dia duduk di atas punggung kuda tiba-tiba Damar Wulung melesat dan tahu-tahu
sudah duduk pula di atas kuda di belakang Sutri. Tentu saja gadis itu jadi terkejut.

“Hai! Tadi kau bilang akan mengikuti dari belakang. Kini mengapa ikutan naik?!”

“Tak usah kawatir Den Ayu. Kudaku ini cukup kuat! Dia bisa membawa kita sama-sama ke
Kotaraja dengan cepat.” Tangan kiri Damar Wulung menyelinap ke depan merangkul pinggang
Sutri Kaliangan.

“Pemuda kurang ajar! Akhirnya kau menunjukkan belangmu! Kau mau menipuku! Pasti punya
maksud keji!”

Sutri Kaliangan hujamkan siku kanannya ke perut Damar Wulung. Ketika si pemuda bergerak
mengelak, Sutri segera melompat turun. Tapi cepat sekali tangan kanan Damar Wulung
mencekal pinggangnya. Lalu di saat yang sama tangan kiri menotok dua urat besar di dada dan
punggung si gadis. Saat itu juga Sutri merasakan sekujur tubuhnya kaku lumpuh, tak bisa
bergerak tak mampu keluarkan suara.

Damar Wulung tertawa bergelak. Sekali dia sentakkan tali kekang, kuda coklat itu menghambur
ke depan namun di saat yang sama empat kuda hitam besar melompat menghadang jalan.
Empat kuda kemudian menyebar, jelas mengurung kuda coklat tunggangan Damar Wulung.

“Kurang ajar! Kalian siapa?!” bentak Damar Wulung.

Empat penunggang kuda hitam yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam,
bertampang galak, serta membekal golok besar di pinggang, keluarkan tawa bergelak.
“Beberapa waktu lalu kau mengerjai, menipu dan membunuh Warok Mata Api dan kawan-
kawannya. Cukup lama kami mencari, hari ini kami berhasil menemuimu. Ternyata kau
membawa seorang gadis culikan! Serahkan gadis itu. Sesudah itu kau juga harus menyerahkan
nyawamu! Ha….ha…..ha!”

Penunggan kuda yang barusan bicara tertawa bergelak memperlihatkan barisan gigi-gigi yang
putih kilat karena dilapisi perak!

“Manusia-manusia jahanam! Kalian siapa? Apa hubungan kalian dengan Warok Mata Api?!”
Damar Wulung kembali membentak.

Penunggang kuda di samping kiri si gigi perak membuka mulut. Matanya cuma satu. Rambutnya
awut-awutan, cambang bawuk meranggas liar. “Sobat, orang bertanya sebaiknya diberitahu
siapa kita ini adanya. Syukur-syukur dia tidak sampai kencing di celana! Ha…ha….ha!”

Si gigi perak menyeringai. Sambil letakkan tangan kirinya di atas dada dia berkata “Aku dikenal
dengan nama Warok Gigi Perak. Di samping kiriku yang bermata satu Warok Mata Picak. Di
sebelah kanan Warok Tangan Api. Di belakang sana berkepala botak Warok Kepala Besi. Kami
adalah para dedengkot Alas Roban, kawan-kawan Warok Mata Api yang kau tipu dan kau
bunuh beberapa waktu lalu! Kami datang untuk minta nyawamu sebagai tebusan nyawa sobat
kami Warok Mata Api!”

Damar Wulung pernah mendengar nama empat Warok itu. Mereka rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Yang paling berbahaya ialah Warok Tangan Api. Walau dia tidak merasa jerih
namun kalau mereka bergabung untuk membalaskan dendam, keadaan benar-benar tidak
menguntungkan bagi dirinya. (Kisah penipuan dan pembunuhan atas Warok Mata Api oleh
Damar Wulung bisa dibaca dalam Episode sebelumnya berjudul “Roh Dalam Keraton”)

“Empat Warok, kalian salah menyangkal! Aku bukan pembunuh Warok Mata Api!
Pembunuhnya adalah Wiro Sableng Pendekar 212! Saat ini aku justru tengah mengejar bangsat
itu. Dia baru saja menculik gadis ini! Untung aku berhasil menyelamatkannya. Kalian mau tahu
siapa gadis ini? Dia adalah puteri Patih Kerajaan!”

Empat Warok sama kerenyitkan kening, saling pandang lalu sama tertawa bergelak. Warok
Kepala Besi usap-usap kepalanya yang botak plontos lalu berkata.

“Benar apa yang dikatakan orang. Bangsat muda bernama Damar Wulung itu licin seperti belut,
cerdik seperi ular! Kau kira kami mudah saja kau tipu dengan mulut busukmu?!”

Warok Mata Picak memandang liar dengan matanya yang satu, lalu ikut bicara “Kalau kau
memang penyelamat gadis itu, mengapa dia berada dalam keadaan tak bisa bicara tak bisa
bergerak? Siapa yang menotoknya?!”
Damar Wulung tak bisa menjawab.

Warok Mata Picak kembali bersuara lantang. “Dua orang anak buahku lewat di tempat kejadian
tak lama setelah kau membantai Warok Mata Api dan anak buahnya. Salah seoerang anak buah
Warok Mata Api ditemukan dalam keadaan sekarat, sebelum mati masih sempat memberitahu
bahwa Warok Mata Api dan kawan-kawannya mati dibunuh oleh seorang pemuda bernama
Damar Wulung. Dia memberitahu namamu, mengatakan bahwa kau menunggangi seekor kuda
coklat yang ada warna puttih di hidungnya! Manusia jahanam, apa kau masih mau berkilah
mencari dalih?!”

Warok Gigi Perak menyeringai. “Damar Wulung, kami sudah lama mengintaimu. Kami tahu
semua apa yang terjadi di tempat ini! Kau bisa menipu Warok Mata Api, tapi jangan mengira
bisa memperdayai kami berempat! Warok Tangan Ap, lekas kau rampas gadis itu!”

Mendengar ucapan Warok Gigi Perak, Warok Tangan Api gerakkan tangan kanannya.

“Wussss!”

Satu kobaran lidah api menderu ke arah Damar Wulung. Kejut pemuda ini bukan kepalang.
Jarak mereka terpisah sekitar dua tombak, tapi lidah api menderu laksana kilat dan tahu-tahu
sudah menyambar di depan hidungnya!

Kapak Maut Naga Geni 212

SEMBILAN

Sambil membentak keras Damar Wulung miringkan diri ke samping lalu jatuhkan diri ke tanah.
Lidah api menderu hanya satu jengkal di sisinya, panas membakar pinggang pakaian kuningnya.
Dengan tangan kanannya dia menepuk-nepuk pakaiannya hingga api yang membakar serta
merta padam. Didahului suara menggembor marah, begitu dua kakinya menginjak tanah dia
hantamkan tangan kanan ke arah Warok Tangan Api. Dari tangan Damar Wulung memancarkan
dinar biru!

Dua kuda meringkik keras.

Yang pertama kuda coklat milik Damar Wulung. Binatang ini yang ketakutan melihat lidah api
serangan Warok Tangan Api meringkik keras, sambil naikkan dua kaki depannya ke atas. Tak
ampun Sutri yang berada dalam keadaan kaku di punggungnnya, jatuh ke samping. Saat itu
Warok Gigi Perak cepat melesat dari kudanya, menyambar tubuh si gadis lalu membawanya ke
tempat aman.

Kuda kedua yang meringkik kemudain jatuh tergelimpang di tanah adalah kuda milik Warok
Tangan Api. Binatang ini menggeliat melejang-lejang lalu terkapar tak berkutik lagi, mati dengan
kepala pecah akibat pukulan aneh yang tadi dilepaskan Damar Wulung. Bagian kepala yang
hancur berwarna membiru dan mengepulkan asap.

Warok Tangan Api bergidik. Kalau dia tadi tidak lekas menghambur dari kudanya, pastilah
dirinyalah yang jadi korban.

“Pukulan Batunaroko!” kejut Warok Gigi Perak begitu mengenali pukulan yang membunuh
kuda Warok Tangan Api tu. “Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh nenek sakti berjuluk
Gondoruwo Patah Hati. Salama ini si nenek tidak ada permusuhan dengan para Warok Alas
Roban. Juga tidak terdengar dia pernah mempergunakan pukulan Batunaroko karena terlalu
ganas. Pemuda satu ini siapa dia? Apa muridnya? Terlalu berbahaya! Kalau tidak segera dihabisi
bisa menimbulkan malapetaka!”

Tiga Warok lainnya juga sama terkejut. Terutama Warok Tangan Api. Mukanya sampai pucat.
Dia memberi tanda pada kawan-kawannya. Lalu berteriak.

“Jaring Golok Iblis!”

Empat Warok melesat ke arah Damar Wulung.

“Srett! Srett! Srett! Srett!

Selagi melayang di udara empat golok dihunus keluar dari sarung. Empat Warok memegang
golok di tangan kiri. Ternyata mereka kidal semua. Lalu empat cahaya berkilauan disertai deru
angin keras berkiblat di udara. Empat cahaya membentuk empat garis panjang yang saling
besilangan seperti jaring lalu secara aneh menderu ke arah Damar Wulung. Inilah jurus ilmu
golok yang disebut Jaring Golok Iblis. Jangankan seorang lawan, dua orangpun jika sampai
diterjang serangan ini akan sulit selamatkan diri.

Damar Wulung belum pernah mendengar jurus maut serangan golok empat Warok Alas Roban
itu. Namun dari cahaya yang keluar serta melihat bagaimana empat cahaya membetuk jaring
menderu siap melibasnya Damar Wulung tak mau berlaku ayal. Secepat kilat dia menghantam.
Dua cahaya biru menyambar. “Praak! Praak!”

“Breett! Breeettt!”

Dua jeritan merobek udara. Dua tubuh mencelat dan terjengkang tak bernyawa. Lalu ada
suarakudadipacu meninggalkan tempat itu.

Warok Gigi Perak tegak tertegun, perlahan-lahan memutar kepala, memandang berkeliling.
Mata membelalak, tengkuk terasa dingin. Warok Mata Picak dan Warok Kepala Besi dilihatnya
menggeletak di tanah dengan kepala hancur.
“Pukulan Batunaroko….” Desis Warok Gigi Perak dengan suara bergetar. Lagi-lagi menyebut
nama pukulan yang mengerikan itu.

Di sampingnya Warok Tangan Api berdiri tergontai-gontai sambil memandang ke arah kejauhan
sementaa kobaran api di tangan kanannya mengecil lalu padam. Rupanya tadi sewaktu melihat
lawan melarikan diri, melesat keluar dari jaring cahaya empat golok, dia segera mengejar
dengan pukulan sakti yang sanggup mengeluarkan lidah api. Hanya sayang Damar Wulung telah
melompat ke atas punggung kuda coklatnya dan menggebrak binatang itu kabur dari tempat
tersebut.

Warok Gigi Perak dan Warok Tangan Api setengah menggerung menyaksikan kematian dua
sahabat mereka. Di bagian lain Sutri Kaliangan tak berani membuka mata karena ngeri
menyaksikan apa yang terjadi hanya beberapa langkah di hadapannya.

“Warok Kepala Besi, Warok Mata Picak, kami berdua akan membalaskan kematianmu! Kami
bersumpah akan mencincang pemuda bernama Damar Wulung itu…..” Warok Gigi Perak
berpaling pada Warok Tangan Api. “Tak jauh dari sini ada jurang batu. Hanya itu tempat terbaik
buat jenazah dua kawan kita ini.”

Warok Tangan Api mengangguk perlahan. Dia berpaling ke arah Sutri lalu bertanya. “Apa yang
akan kita lakukan terhadap gadis itu?”

Sutri serta merta buka kedua matanya begitu mendengar dirinya disebut-sebut. Rasa takut
membuat sekujur tubuhnya bergetar dan mukanya pucat tak berdarah. Siapa tidak takut
berada di tangan para perampok hutan Roban. Apa lagi saat itu mereka baru saja mengalami
kejadian hebat. Dua kawan mereka menemui ajal.

Warok Gigi Perak menyeringai lalu lepaskan dua totokan di tubuh Sutri. Begitu dirinya bebas
gadis ini segera hendak melompat larikan diri tapi lengannya dicekal Warok Gigi Perak.

“Jangan! Lepaskan!” jerit Sutri.

“Jangan berteriak! Jawab pertanyaanku! Apa betul kau puteri Patih Selo Kaliangan?” tanya
Warok Gigi Perak.

“Kalau sudah tahu janga berani kurang ajar! Lepaskan tanganku!” teriak Sutri sambil meronta
tapi tak sanggup lepaskan cekalan orang.

“Kami Warok Alas Roban memang kejam, membunuh orang sama dengan membunuh lalat!
Tapi kamu tidak menyakiti kaum perempuan. Itu satu pantangan besar! Dengar, kami tidak
akan menyakitimu. Kau boleh kembali ke Kotaraja sebelum malam tiba. Tapi kami butuh
keterangan….” Warok Gigi Perak lepaskan cekalan di lengan Sutri. Puteri Patih itu hampir tak
percaya mendengar ucapan sang Warok danusap-usap lengannya yang tadi dicekal. “Kau boleh
pergunakan salah satu dari dua kuda itu untuk pulang ke Kotaraja. Tapi jawab dulu
pertanyaanku. Kau tahu kira-kira ke mana bangsat bernama Damar Wulung itu melarikan diri?”

Sutri menggeleng. “Aku …..aku tidak tahu. Tapi…..”

“Tapi apa?” tanya Warok Tangan Api.

“Mungkin dia menuju air terjun Jurangmungkung.”

“Air terjun Jurangmungkung dekat Mojogedang?” tanya Warok Gigi Perak.

“Benar…..”

“Ada keperluan apa bangsat itu ke sana? Setahuku tak satu manusiapun mau datang ke situ. Itu
tempat banyak roh gentayangan. Kematian bisa terjadi semudah angin beritup.”

“Pemuda itu punya permusuhan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Kemungkinan besar dia
mencari Pendekar 212 di tempat itu…..”

“Pendekar 212 Wiro Sableng!” uajr Warok Gigi Perak. Tiba-tiba ditangkapnya pinggang Sutri.
Gadis ini lalu dilemparkannya ke atas punggung kuda milik Warok Kepala Besi. “Berangkatlah ke
Kotaraja sebelum malam tiba!”

Lega dada Sutri. Dia merasa tidak percaya. Tadi dia mengira Warok bergigi perak itu hendak
melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadapnya. Ternyata dia dinaikkan ke atas kuda dan
disuruh pergi. Tanpa banyak menunggu lagi Sutri segera menggebrak kuda besar itu.

Tak selang berapa lama setelah lenyapnya Sutri Kaliangan dan perginya dua Warok dengan
membawa mayat dua kawannya, dari balik satu gundukan tanah yang membentuk bukit kecil,
muncullah seekor kuda putih. Penunggangnya seorang nenek berambut kelabu, berpakaian
serba hitam dan bermuka setan. Si nenek yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah Hati
berulang kali menarik nafas dalam dan gelengkan kepala.

“Pukulan Batunaroko….” Katanya perlahan. “Ganas sekali. Kalau yang jadi korban bangsa
perampok seperti dua orang tadi mungkin aku masih bisa menerima. Tapi jika yang menemui
ajal adalah para pendekar golongan putih, atau orang-orang tidak bedosa? Menyesal aku telah
mengajarkan ilmu itu padanya. Anak itu, apapun yang terjadi aku harus bisa membawanya
kembali ke pertapaan. Kalau dia melawan aku terpaksa menguras ilmu yang dimilikinya. Berarti
dia akan menderita lumpuh seumur-umur.”

Gondoruwo Patah Hati memandang ke arah kejauhan, ke arah lenyapnya Damar Wulung. “Dia
menuju ke timur. Apa yang dicarinya di sana?” si nenek menghela nafas panjang sekali lagi lalu
sentakkan tali kekang kuda putihnya.
Di bawah sinar kuning sang surya yang hendak tenggelam Damar Wulung memacu kuda
coklatnya. Baju kuningnya robek di bahu kiri dan dada kanan akibat sambaran golok. Bahu
kirinya tidka cidera tapi kulit dadanya sempat digores ujung golok Warok Gigi Perak. Kaki kirinya
terasa panas. Ketika dia memandang ke bawah pemuda ini merutuk. Ujung kaki celana kirinya
kelihatan hangus. Kakinya sendiri kemerah-merahan sampai sebatas mata kaki. Sewaktu ia
melompat ke punggung kuda, Warok Tangan Api masih sempat mengejar dengan serangan
lidah api dan mengenai kaki kirinya. Untung cidera yang dialaminya ringan saja. Rasa sakit juga
tak seberapa. Namun rasa dendamnya terhadap dua Warok yang masih hidup itu laksana bara
menyala. Kelak jika tugas dari Dewi Ular yaitu menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng selesai
dilaksanakannya, dia akan mencari dua Warok itu dan membunuh keduanya tanpa ampun lagi!

Gerobak berhenti di depan kedai besar di persimpangan jalan. Saat itu tengah hari tepat. Kedai
penuh oleh pengunjung yang sedang makan.

“Biar aku yang turun,” kata Anggini. “Kedua kakiku ini seperti kaku, tiduran terus dari kemarin.”

“Tapi kau masih sakit,” ujar Bidadari Angin Timur.

“Siapa bilang. Selama perjalanan kalian berdua telah menjadi tabibku yang hebat. Memberi
segala macam obat. Luka dalamku sudah mulai pulih, hanya badan masih terasa sedikit lemah.
Mungkin kebanyakan tidur. Jadi itu sebabnya aku perlu jalan-jalan sedikit.” Anggini tersenyum
lalu turun dari gerobak. Pertama kali menginjak tanah dia agak terhuyung. Bidadari Angin Timur
cepat memeluk bahunya. “Tidak apa-apa, aku cukup kuat.” Kata Anggini pula. “Jadi aku harus
beli apa? Tiga nasi bungkus?”

“Ratu Duyung, kau tetap di gerobak. Biar aku menemani Anggini,” berkata Bidadari Angin
Timur.

Kehadiran dua gadis centik di dalam kedai yang hampir seluruh pengunjungnya adalah laki-laki
tentu saja menarik perhatian. Mereka yang tengah lahap makan menunda menyuap atau
menelan makanan dalam mulut, tak mau melewati pemandangan bagus itu. Namun melihat
pakaian serta gerak-gerik kedua gadis itu, tak ada yang berani mengganggu. Mereka maklum
dua gadis jelita itu adalah orang-orang rimba persilatan. Semua orang meneruskan makan
masing-masing sambil sesekali larak lirik.

Di sudut kedai, seorang lelaki ang ada parut bekas luka di pipi kirinya dan tengah lahap
menyantap makanan tiba-tiba tak bisa menelan nasi di dalam mulut. Tidak seperti yang lain-lain
yang menikmati kecantikan wajah dua gadis, lelaki satu ini malah tampak ketakutan. Sambil
memalingkan kepala ke jurusan lain dia cepatcepat meneguk minumannya. Ketika hendak
berdiri tak sengaja tangannya menyentuh gelas tanah hingga jatuh di lantai, mengeluarkan
suara pecah yang menarik perhatian, termasuk Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini
berpaling memperhatikan. Lelaki tadi cepat-cepat menuju bagian belang kedai, lalu keluar dari
pintu samping.
“Orang berpakaian hitam tadi…..,” bisik Anggini. “Yang mukanya ada cacat. Aku pernah
melihatnya. Coba kau ingat-ingat.”

“Dia seperti ketakutan melihat kita. Aku ….. Aku ingat! Dia adalah salah seorang anggota
rampok yang membegal kita sewaktu dalam perjalanan menuju Gunung Gede. Tapi seingatku
semua anggota rampok itu termasuk pemimpin mereka yang berjuluk Sepasang Gada Besi,
habis dibantai oleh pemuda jahanam bernama Damar Wulung. Bagaimana dia kini bisa hidup
kembali?”

“Ini satu hal menarik. Bidadari, kau selesaikan pesanan kita. Aku akan mengejar orang itu.” Tak
banyak menunggu Anggini segera melompat ke pintu samping. Seperti terbang dara yang baru
sembuh sakit enak saja melompati meja panjang di mana banyak orang sedang menyantap
makanan.

Ketika Anggini sampai di halaman samping, dia jadi tertawa lebar. Di halaman itu dilihatnya
Ratu Duyung tengah menjambak lelaki berpakaian hitam bermuka cacat yang tengah
dikejarnya. Orang ini berteriak-teriak minta ampun.

“Jangan berteriak terlalu keras. Nanti makanan yang barusan masuk dalam perutmu keluar
semua!” kata Anggini. Dia berpaling pada Ratu Duyung.”Sahabat kau rupanya telah mengenali
siapa dia.”

Ratu Duyung mengangguk. “Anak buah kelompok rampok Sepasang Gada Besi yang tempo hari
menghadang kita. Mungkin juga dia kaki tangan Damar Wulung!”

“Kami kira kau sudah mati dibantai Damar Wulung saat itu. Ternyata masih hidup. Kami ingin
tahu bagaimana ceritanya” tanya Anggini.

“Aku…….aku berpura-pura mati. Setelah semua orang pergi aku lari selamatkan diri. Aku
…..ampun! Aku tidak bermaksud jahat. Damar Wulung menipu kami!”

Anggini dan Ratu Duyung saling pandang.

“Menipu bagaimana?” satu suara bertanya. Ternyata Bidadari Angin Timur yang baru saja
keluar dari kedai. Yang ditanya tak menjawab. Dia tampak sangat ketakutan.

“Kalau kau tidak bisa membuka mulut, biar aku tolong membukakan!” kata Bidadari Angin
Timur. Lalu dia cabut satu pohon kecil. Akar pohon ini disodokkannya ke mulut si muka parut.
Tentu saja orang ini jadi ketakutan dan buruburu membuka mulut.

“Ampun, jangan! Biar aku bicara. Sebelu kami menghadangmu, Damar Wulung sudah ada
perjanjian dengan pimpinan kami. Kami hanya pura-pura merampokmu, lalu Damar Wulung
pura-pura menolong kalian….”
Bidadari Angin Timur berpaling pada dua sahabatnya dan berkata “Dugaanku tempo hari bahwa
Damar Wulung memang berkomplot dengan kelompok rampok itu kini terbukti benar. Sayang
sahabat kita Puti Andini sudah tidak ada untuk menyaksikan kebenaran dugaanku….” Bidadari
Angin Timur gebukkan batang pohon ke kaki orang itu.”Sudah, pergi sana! Lain kali kupergoki
kau melakukan kejahatan, kutambah cacat di mukamu!”

Terpincang-pincang kesakitan bekas anak buah rampok pimpinan Sepasang Gada Besi itu
tinggalkan tempat tersebut. Sementara orang banyak mulai berkumpul untuk melihat apa yang
terjadi, ketiga gadis sudah berada dalam gerobak, melanjutkan perjalanan.

Pagi itu di gedung Kepatihan masih tampak sepi. Namun sepagi itu Sutri Kaliangan telah
menghadap ayahnya.

“Saya mendengar ayah mengirim pasukan besar dan beberapa tokoh silat Istana ke kawasan air
terjun Jurangmungkung untuk menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Di atas pembaringan, Patih Kaliangan kerenyitkan kening, menatap wajah anak gadisnya lalu
berkata ”Pagi ini aku tak ingin diganggu. Pergilah, nanti saja kembali lagi ke sini.”

“Saya menyesal telah memberitahu bahwa Pendkar 212 berada di Jurangmungkung. Padahal
maksud saya memberi tahu agar ayah yakin bahwa dia akan mencarik obat penyembuh untuk
sakit ayah.”

Selo Kaliangan tersenyum getir. “Dosa manusia itu dan si Gondoruwo Patah Hati sangat besar!
Hanya kematian yang bisa menghapuskan kesalahan mereka. Adalah aneh kau berubah jalan
pikiran. Sepertinya kau ingin membela orang yang telah mencelakai ayahmu dan menimbulkan
musibah besar pada Kerajaan. Sebagai puteri Patih Kerajaan seharusnya kau membela
Kerajaan. Lebih dari itu kau wajib membela aku ayahmu!”

“Bagi saya kesembuhan ayah adalah paling utama. Jika ayah berhasil disembuhkan sesuai janji
Pendekar 212 pada saya, apa yang nanti ayah mau lakukan terhadapnya terserah ayah…..”

“Sutri, aku tak ingin bicara lebih lama. Pergilah. Panggil ibumu….”

Sutri termenung sejurus lalu gadis ini keluar dari dalam kamar ayahnya. Bukan untuk menemui
ibunya tapi pergi ke kandang kuda, menyuruh perawat kuda untuk menyiapkan kuda
tunggangannnya.

“Pagi-pagi begini Den Ayu mau berkuda ke mana?” tanya orang tua perawat kuda.

“Bapak kuda, aku tidak bisa mengatakan padamu mau pergi ke mana. Aku tak ingin kau
memberitahu pada ayah atau ibu. Atau siapapun. Bapak mengerti?”

“Saya mengerti Den Ayu, saya mengerti.” Orang tua itu mengangguk.
Kapak Maut Naga Geni 212

SEPULUH

Matahari baru saja tersembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Walau luka di kedua
pahanya boleh dikatakan telah sembuh namun Pendekar 212 berlari dengan berbagai beban
pikiran di benaknya. Sejak dua hari lalu dia kehilangan jejak Pangeran Matahari yang tengah
dikejarnya. Selain itu pikirannya tak bisa lepas dari menolong Bunga yang dipasung oleh Iblis
Kepala Batu Alis Empat dalam sebuah guci perak. Sejak kehilangan jejak Pangeran Matahari
Wiro memutuskan langsung saja menuju Mojogedang di mana terletaknya air terjun
Jurangmungkung. Lalu dia juga harus mencari obat untuk penyembuhan bagi Patih Selo
Kaliangan.

Dalam kesunyian pagi yang hanya ditandai suara kicau-kicau burung tiba-tiba murid Sinto
Gendeng mendengar suara orang bersiul di depannya. Suara siulan itu membawakan lagu yang
tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Orang yang bersiul agaknya enar-benar menikmati lagu
yang dibawakannya karena lagu itu terus diulangulang.

Dari lari biasa Wiro kerahkan ilmu Kaki Angin. Tak selang berapa lama dia telah dapat melihat
orang yang bersiul di depannya. Orang ini mengenakan pakaian biru.

“Sepertinya aku mengenal orang itu….. “ kata Wiro dalam hati.

Orang yang bersiul rupanya sudah tahu kalau dia orang berlari mendatangi dari belakang. Dia
hentikan larinya dan berbalik. Ternyata dia seorang pemuda berwajah tampan, rambut berkilat
disisir licin dan ada kumis kecil rapi di atas bibirnya. Wiro segera mengenali pemuda ini yang
bukan lain adalah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang yang sudah saling
mengenal itu langsung saja bertegur sapa lalu bicara panjang lebar. Namun dalam hati
Pendekar 212 saat itu ada satu ganjalan besar.

“Sahabatku Wiro, hal apakah yang membawamu jauh sampai ke sini?” bertanya Adimesa.

“Aku tengah mengejar seseorang. Ingat peristiwa yang kita alami di jurang Telung Penanjung?”

“Pangeran Matahari?”

“Tepat sekali!”Wiro lalu menceritakan apa yang telah terjadi di puncak Gunung Gede.

“Pangeran keparat itu agaknya memang sudah saatnya harus disingkirkan. Kalau tidak rimba
persilatan tanah Jawa tidak akan tenteram…..”
“Sayang aku kehilangan jejaknya,” kata Wiro pula. “Namun aku ada keperluan lain di
Mojogedang. Kau pernah mendengar seorang tokoh silat jahat berjuluk Iblis Kepala Batu Alis
Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh?”

“Manusia yang kau sebutkan itu tidak lebih baik dari Pangeran Matahari. Punya sifat aneh. Suka
menggauli mahluk-mahluk dari alam gaib…..”

“Kalau begitu keselamtan Bunga sangat terancam….” Ujar Wiro.

“Siapa Bunga?”

Wiro lalu menceritakan kejadia menyangkut diri Bunga, gadis cantik dari alam roh itu.

“Selama ini aku hanya mendengar segala kejahatan yang diklakukan orang itu. jika kepergianmu
ke Mojogedang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan orang itu, aku ingin
sekali ikut bersamamu.”

“Terima kasih. Pertolonganmu tempo hari belum dapat aku balas, kini kau hendak menanam
budi baru. Aku merasa malu walau sangat senang mendengar kau mau ikut bersamaku.” Saat
itu ganjalan yang ada dalam hati Pendekar 212 muncul kembali membuat dia merasa tidak
enak. Wiro ingat pada keterangan Ratu Duyung sewaktu di Gunung Gede. Menurut gadis itu
nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati pernah mengatakan bahwa Damar Wulung
sebenarnya bernama Adisaka. Sedangkan menurut Pendekar Kipas Pelangi yang bernama
Adimesa, Adisaka itu adalah kakaknya yang selama belasan tahun tidak pernah diketahuinya
lagi di mana beradanya. Dua bersaudara itu terpisah ketika terjadi bencana alam. Mereka
hampir menemui ajal dalam kebakaran hutan akibat letusan Gunung Merapi kalau tidak
ditolong oleh dua orang sakti. Adimesa diselamatkan oleh kakek sakti bernama Ki Riku
Pulungan. Pemuda ini kemudian muncul dalam rimba persilatan dengan julukan Pendekar Kipas
Pelangi. Sedang kakaknya yaitu Adisaka diselamatkan oleh si nenek muka setan Gondoruwo
Patah Hati. Adisaka kemudian diketahui memakai nama palsu yaitu DW dan melakukan
perbagai kejahatan sebagai akibat terjebak oleh Dewi Ular. (Mengenai riwayat Adimesa dan
Adisaka harap baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa.”)

“Bagaimana aku harus mengatakan pada sahabatku ini,” kata Pendekar 212 dalamhati, “Bahwa
kakaknya adalah manusia yang selama ini gentayangan berbuat kejahatan keji, merampok dan
membunuh, memperkosa. Bahwa kakaknya itu adalah yang menjarah senjata pusaka Keraton
yaitu Keris Kiai Naga Kopek.”

“Pendekar Kipas Pelangi, sebaiknya kita bercakap-cakap sambil melanjutkan perjalanan menuju
Mojogedang.”

Pendekar Kipas Pelangi setuju. Kedua pemuda itu lalu lari berdampingan menuju ke utara.
Ketika suara siulan Pendekar Kipas Pelangi menggema pagi itu, Damar Wulung alias Adisaka
yang tertidur nyenyak di bawah sebuah pohon besar berbantalkan punggung kuda coklat
terbangun. Dia menggosok matanya, memasang telinga lalu melompat bangun.

“Suara siulan itu. Sama dengan siulan yang kudengar malam dulu itu. Dia memandang ke timur,
ke arah datangnya suara siulan itu. “Sekali ini aku harus menemukan orang itu! Dia pasti
Adimesa adikku! Pasti! Tidak ada yang tahu lagu itu selain aku dan dia. Adimesa adikku!
Akhirnya kutemui juga kau!”

Karena suara siulan itu terdengar tidak seberapa jauh, Damar Wulung merasa tidak perlu
menunggangi kuda. Binatang itu ditinggalkannya saja di bawah pohon. Setengah berlari dia
bergerak ke arah datangnya suara siulan. Tapi tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat di
hadapannya. Lalu satu suara dengan nada congkak bertanya “Apakah ini arah jalan menuju air
terjun Jurangmungkung di Mojogedang?!”

Damar Wulung merasa tersinggung. Orang sudah menghadang jalannya lalu bertaya congkak
begitu rupa tanpa basa basi, tanpa menegur dengan panggilan saudara, ki sanak atau
bagaimana lumrahnya. Murid Gondoruwo Patah Hati ini siap hendak mendamprat namun ketka
dia memperhatikan pakaian dan wajah orang di hadapannya, Damar Wulung jadi tersentak
kaget. Setelah diam sejenak dia sunggingkan seringai.

“Dunia begini luas, para pendekar begitu banyak. Tapi aku tidak buta. Bukankah kau
menusianya yang berjuluk Pangeran Matahari?”

Orang berpakaian serba hitam dan berikat kepala kain merah di hadapan Damar Wulung balas
menyeringai lalu dongakkan kepala. “Dunia begini luas, pendekar begitu banyak…..” orang itu
mengulang ucapan Damar Wulung, “Namun siapa diriku dikenal orang di mana-mana. Ha…
ha….ha! sebaliknya, apakah aku perlu bertanya siapa kau adanya? Kurasa tidak perlu. Cepat
jawab saja pertanyaanku tadi!”

“Aku tahu kalau Pangeran Matahari itu dikenal sebagai Pangeran Segala Congkak. Tapi aku
beritahu padamu, jangan congkak di hadapanku! Lekas membungkuk memberi hormat! Karena
sudah tiba saatnya kau membalas segala budiku di masa lalu!”

Sepasang mata orang berpakaian hitam yang memang Pangeran Matahari adanya membesar,
menatap tak berkedip pandangi wajah Damar Wulung sambil menindih rasa terkejut dan juga
amarah. Dari hidungnya dia keluarkan suara mendengus.

“Hari masih pagi. Tapi aku sudah bertemu orang gila hormat tak tahu juntrungan! Pangeran
Matahari tidak pernah membungkuk kepada siapapun! Dan jangan berani menyebut segala
macam budi! Budi apa yang pernah aku terima darimu!”

“Ingat nama Bagus Srubud?!” Damar Wulung bertanya, membuat terkejut Pangeran Matahari
dan dua matanya tampak tambah membesar. Lalu sang Pangeran membentak.
“Kau siapa?!”

“Aku tuan besar yang telah memberikan kenikmatan dan juga pertolongan padamu. Apa tidak
pantas kalau aku menyuruhmu membungkuk memberi hormat?!”

“Kurang ajar! Jangan bicara berteka-teki. Lekas katakan siapa kau adanya! Aku Pangeran
Matahari tidak terlalu perduli pada segala macam budi! Jadi jangan mengira aku tidak mau
menggebukmu bahkan membunuhmu jika kau membuat aku sampai marah besar!”

“Tenang Pangeran, jangan kesusu, jangan lekas marah. Kesusu dan kemarahan kadang-kadang
membuat orang tidak bisa berpikir, susah mengingat kejadian masa lalu. Tapi aku tahu kau juga
dijuluki Pangeran Segala Cerdik. Masih ingat sorga bernama Kinasih?!”

Pangeran Matahari tercengang.

“Bagus Srubud, aku yang memberikan nama itu padamu. Sorga bernama Kinasih, aku juga yang
emberikan perempuan cantik itu padamu…..”

Rasa kaget Pangeran Matahari semakin bertambah-tambah. “Kau…..!”

“Masih ingat seperangkat pakaian petinggi Keraton dan tiga buah topeng tipis terbuat dari
getah pohon latek?! Aku yang memberikan pakaian dan topeng itu padamu. Satu dari tiga
topeng itu kini sudah kau kenakan di wajahmu! Apakah tidak pantas kau membungkuk
memberi hormat. Karena hari ini adalah hari di mana kau harus membalas semua budi besarku
itu!”

“Aku ingat semua itu! Tapi saat itu, kau tidak menunjukkan diri. Dan aku yakin yang bicara
padaku, yang memberikan pakaian serta topeng bukan kau tapi adalah guruku Si Muka Mayat
alias Setan Muka Pucat!”

Damar Wulung tersenyum.

“Percuma kau dijuluki Pangeran Segala Cerdik. Gurumu sudah lama mati, mana ada orang mati
bisa memberikan sorga berupa perempuan cantik. Mana ada orang mati bisa memberikan
pakaian bagus dan topeng untuk menutupi wajahmu yang cacat! Pangeran Matahari, aku
beritahu padamu jangan kepongahan dan kecongkaan membuat otakmu jadi tumpul!”

Mengembang rahang Pangeran Matahari mendengar semua ucapan pemuda berpakaian


kuning itu. “Pemuda baju kuning! Siapapun kau adanya jangan berani menghina guruku!”

“Menghina! Gurumu sudah mati. Itu kenyataan. Apa menghina kalau kukatakan dia sudah
mati? Ha….ha…..ha! Sejak kau dihantam musuh besarmu Pendekar 212 hingga jatuh masuk ke
dalam jurang, kepala terbentur, muka cacat, otakmu rupanya memang jadi tidak karuan. Tidak
salah kalau orang yang menolongmu yaitu Singo Abang menyebutmu Pangeran Miring!
Ha….ha…..ha!”

“Diam!” bentak Pangeran Matahari. Tangan kanannya diangkat ke atas. “Aku bisa
membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan!”

“Begitu?” Damar Wulung tersenyum. “Kau mau membunuhku dengan pukulan apa? Pukulan
Gerhana Matahari? Atau Telapak Matahari, atau Merapi Meletus? Mungkin juga dengan
pukulan Dua Singa Berebut Matahari?”

Kejut Pangeran Matahari bukan alang kepalang. Orang mengetahui semua pukulan andalan
yang dimiliinya. Dua tangan diangkat ke atas, bergetar menahan marah dan juga karena ada
tenaga dalam yang dialirkan. Suaranya ikut bergetar ketika berkata. “Lekas katakan , siapa kau
adanya! Lekas!”

“Namaku Damar Wulung! Aku tidak punya waktu lama. Dengar, aku tahu kau tengah dalam
perjalanan menuju air terjun Jurangmungkung. Kita punya tujuan sama. Kita juga punya musuh
yang sama. Pendekar 212 Wiro Sableng. Mengapa tidak bekerja sama menghabisi manusia satu
itu?!”

“Kalau aku sanggup membunuhnya dengan tangan sendiri perlu apa minta bantuan manusia
culas sepertimu!”

“Kau menyebut culas pada orang yang telah menolongmu! Kau masih bercongkak diri bisa
menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangan sendiri. Jangan terllau congkak
Pangeran. Kau tidak tahu siapa saja yang bakal muncul di tempat itu. selamat tinggal Pangeran
congkak! Mungkin ini kali terakhir aku melihatmu dalam keadaan hidup! Ha…ha….ha!”

“Jahanam, buktikan dulu kemampuanmu!” teriak Pangeran Matahari marah lalu melompat ke
hadapan Damar Wulung seraya lancarkan satu pukulan tangan kosong. Damar Wulung cepat
menghindar sambil menangkis. Dia tahu Pangeran Matahari hendak menjajagi tenaga
dalamnya.

“Bukkk!”

Dua lengan beradu keras di udara. Dua pemuda itu sama-sama keluarkan seruan tertahan.
Tubuh masing-masing terlontar sampai satu tombak. Pangeran Matahari terkapar jatuh
punggung. Damar Wulung terguling di tanah. Dengan cepat Pangeran Matahari bangkit berdiri.
Otak cerdiknya bekerja. Sang Pangeran ulurkan tangan, membantu Damar Wulung berdiri
sambil berucap “Kematian untuk Pendekar 212!”

“Kematian untuk Pendekar 212!” jawab Damar Wulung. Lalu dia memberi isyarat agar Pangeran
Matahari mengikutinya. Dia berkelebat ke arah di mana tadi dia mendengar suara siulan.
Namun sampai di tempat itu dia tidak menemukan siapasiapa. Anehnya dia melihat ada jejak
dua orang di tanah. Damar Wulung berpaling pada Pangeran Matahari dan berkata.

“Musuh besar kita sudah dalam perjalanan menuju air terjun Jurangmungkung. Jika kita
berangkat sekarang, paling lambat awal malam kita akan tiba di sana!”

Damar Wulung mengangguk.

“Tadi kau mengatakan bukan cuma Wiro Sableng yang berada di tempat itu. Sebaiknya kita
memasuki kawasan air terjun setelah malam tiba. Dalam gelap kita bisa bertindak leluasa tanpa
diketahui musuh….”

Damar Wulung tersenyum lalu mengambil kudanya. “Kuda ini cukup kuat membawa kita
berdua sampai ke desa terdekat. Di situ kita bisa mendapatkan seekor kuda untuk
tunganganmu!” Kedua orang itu lalu melompat naik ke atas kuda coklat.

Kapak Maut Naga Geni 212

SEBELAS

Malam merayap mendekati akhirnya. Di kawasan air terjun Juangmungkung kegelapan masih
menggantung. Suara gemuruh curahan air terjun yang kemudian jatuh di atas batu-batu cadas
hitam berlumut merupakan satu-satunya suara yang terdengar abadi di tempat itu. Kiri kanan
tepian Kali Mungkung, menjelang air terjun ditumbuhi sederetan pohon berdaun rimbun. Di
tengah kali tampak beberapa batu hitam muncul di permukaan air membentuk sosok-sosok
seperti orang mendekam menunggu sesuatu. Sampai menjelang pagi tidak kelihatan gerakan
atau sesuatu terjadi. Di salah satu pohon yang tumbuh di tepi kiri Kali Mungkung, pada tiga
cabang besar yang saling berdekatan, tiga orang mendekam dalam bayang-bayang gelap dan
kerimbunan daun. Mereka dalah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini.

Sementara itu di dalam rumah kayu di atas pohon besar, Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Pendekar Kipas Pelangi yang menyelinap masuk menemui rumah itu dalam keadaan kosong.
Orang yang mereka cari yakni si pemilik rumah Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala
Batu Pemasung Roh yang telah menjebloskan Bunga ke dalam sebuah guci, tak ada di tempat
kediamannya itu. Di dalam rumah hanya ada sehelai tikar butut dan belasan guci, semua
terbuat dari tanah liat.

“Jahanam Iblis Kepala Batu Pemasung Roh itu. mungkin sekali dia sudah tahu kedatangan kita
ke sini lalu kabur lebih dahulu!” kata murid Sinto Gendeng penuh geram sambil mengepalkan
tinju.

“Menurutmu, gadis bernama Bunga itu dimasukkan ke dalam guci. Di sini ada belasan guci.
Mungkin……”
Wiro gelengkan kepala dan memotong ucapan Pendekar Kipas Pelangi. “Guci-guci itu semua
terbuat dari tanah liat. Guci tempat Bunga disekap terbuat dari perak. Guci perak itu tak ada di
sini….”

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Pendekar Kipas Pelangi.

“Keluar daru rumah jahanam ini, menyelidik keadaan di luar,” jawab Wiro lalu menambahkan.
“Sebelum keluar aku ingin menghancurkan tempat ini lebih dulu!” Lalu Pendekar 212 angkat
tangan kanannya. Tangan itu sebatas siku ke atas berubah menjadi putih seperti perak. Ketika
tangan itu dihantamkan berkiblatlah cahaya putih, panas penyilaukan. Itulah pukulan Sinar
Matahari!

Di atas sebatang pohon di seberang kali, dua orang yang mendekam di balik kerimbunan
dedaunan dan gelapnya malam menjelang pagi saling berbisik-bisik. Yang satu, yang
berpenampilan sebagai seorang kakek, berkata “Aku mulai gamang. Kakiku gemeteran sejak
tadi. Aku tak tahan lagi. Mau beser….”

“Sial, mau beser, mau kencing ya kencing saja!” menyahuti orang yang diajak berbisik yaitu
seorang bocah berambut jabrik berpakaian hitam.

Sementaa di sebelah timur kelihatan saputan cahaya terang pertanda tak lama lagi fajar akan
segera menyingsing.

“Di sini? Di pohon ini?”

“Apa kau mau turun dulu, kencing di bawah pohon lalu naik lagi ke sini? Gelo!”

“Tapi bagaimana kalau kencingku mengguyur dua orang di cabang pohon di bawah kita?!”

“Anggap saja mandi pagi. Paling tidak cuci muka! Hik…hik…..hik!”

“Setan, jangan tertawa. Kencingku tambah tak tertahankan…..”

Pada saat itulah rumah kayu di atas pohon besar hancur berantakan. Kakek di atas pohon
tersentak kaget.

“Celaka! Ngocor sudah kencingku! Uhh….”

Di bawah pohon orang yang keningnya kecipratan air kencing mula-mula merasa heran.
Bagaimana mungkin, tak ada hujan ada air jatuh dari atas dan terasa hangat. Dirabanya
keningnya, dalam gelap dia coba memperhatikan jari-jari tangannya yang basah. Lalu hidungnya
mencium bau itu. Bau pesing air kencing. Kencing binatang? Apa ada binatang di atas pohon
sana? Dia mendongak. Justru saat itu kembali ada air jatuh dari atas. Kali ini malah memasuki
mulutnya!
“Jahanam keparat!” maki orang ini. “Ini kencing manusia, bukan binatang! Siapa berani
mengencingiku! Kurang ajar!” Orang itu mengusap mulutnya lalu meludah berulang-ulang.

“Pangeran, ada apa?” tiba-tiba orang di sebelahnya bertanya.

“Ada orang mengencingiku di atas sana! Aku akan menyelidik ke atas!” jawab orang yang
dipanggil dengan sebutan Pangeran yang bukan lain Pangeran Matahari adanya.

“Tunggu, jangan lakukan itu. Rencana yang sudah kita susun bisa kacau….” Kata sang teman
yang adalah Damar Wulung alias Adisaka.

“Tapi mulutku dikencingi!” jawab Pangeran Matahari mata mencorong marah, rahang
menggembung, pelipis bergerak-gerak.

“Pangeran, aku barusan melihat ada dua bayangan melesat turun dari rumah yang hancur.
Sesuai rencana, aku siap menyanyikan senandung itu. Harap kau menahan diri!” kata Adisaka
pula.

Di atas pohon yang lain Anggini berkata. “Sebentar lagi pagi akan datang. Satu malam suntuk
kita berada di tempat ini. Saatnya kita menyelidik. Ratu Duyung harap kau segera menerapkan
Ilmu Menembus Pandang. Ada dua orang melayang keluar dari rumah yang hancur di atas
pohon. Keduanya melesat ke pohon di seberang sana. Mungkin salah seorang di antaranya
Wiro?

Ratu Duyung mengangguk. Tanpa banyak menunggu gadis bermata biru ini segera saja arahkan
pandangannya ke atas pohon di pinggir kali. Namun sebelum sempat Ratu Duyung
mengerahkan ilmu kesaktiannya itu tiba-tiba di atas salah satu pohon di seberang kali terdengar
suara orang menyanyi.

Kaliurang desa tercinta

Terletak di kaki Gunung Merapi

Di sana kami dilahirkan

Alamnya indah penduduknya ramah

Kami anak desa

Bangun pagi sudah biasa

Hawa dingin tidak terasa


Kerja di sawah membuat sehat

Kerja di ladang membuat kuat

Kami anak desa

Rajin membantu orang tua

Menolong Ibu di rumah

Membantu Ayah di sawah

Kami anak desa

Tidak lupa sembahyang mengaji

Rendah hati dan tinggi budi

Selalu unjukkan jiwa satria

Tiga gadis di atas pohon sama terkejut dan saling pandang.

“Gila, siapa pula yang menyanyi pagi buta di tempat begini rupa?” berucap Bidadari Angin
Timur.

“Yang menyanyi suaranya jelas orang dewasa. Tapi senandungnya adalah lagu anak-anak….”
Berkata Anggini.

“Aku akan menyelidik ke arah pepohonan di seberang sana. Suara nyanyian itu datang dari
situ,” kata Ratu Duyung lalu terapkan Ilmu Menembus Pandang. Tapi belum sempat dia melihat
sosok orang di atas pohon terdengar pula suara orang bernyanyi. Bait-bait yang
disenandungkannya sama dengan yang tadi dinyanyikan orang di atas pohon di seberang kali.

“Tambah aneh!” kata Bidadari Angin Timur. “Kini ada satu lagi orang gila menyanyikan lagu
sama! Apakah ini merupakan satu tanda rahasia atau jawaban dari senandung pertama? Tapi
kalau orang kedua menyanyi sebagai jawaban senandung orang pertama, mengapa kata-kata
dalam setiap bait yang dinyanyikan sama?”

“Jangan dulu pecahkan keanehan itu, sahabatku!” kata Anggini. “Sebaiknya lekas kau
menyelidiki siapa orang-orang itu.”

“Baik, akan segera aku lakukan,” jawab Ratu Duyung.


Tapi lagi-lagi sang Ratu terkesima, tak jadi menerapkan Ilmu Menembus Pandang karena
mendadak di seberang kali ada orang berteriak. “Orang yang bernyanyi di seberang kali!
Apakah kau bernama Adimesa?!”

Kapak Maut Naga Geni 212

DUA BELAS

Tak ada jawaban. Hanya deru air terjun yang terdengar. Namun tiba-tiba ada teriakan balasan.
“Kakak Adisaka! Kaukah yang diseberang sana?!”

Dua pekik keras menggema di pagi buta itu. Lalu dari atas dua pohon yang berseberangan di kiri
kanan Kali Mungkung tiba-tiba melesat dua sosok, berkelebat laksana bayangan, pertanda
keduanya memiliki kepandaian tinggi.

“Adimesa! Adikku!”

“Kakak Adisaka!”

Dua orang yang berkelebat dari dau pohon berseberangan, bertemu di udara, saling rangkul.
Lalu melesat di pinggiran kiri Kali Mungkung, membuat gerakan berputar dan berjungkir balik di
udara, di lain saat mendarat di tepi kali, masih dalam keadaan berpelukan. Satu berpakaian
serba biru, satunya berbaju kuning bercelana hitam.

“Kakak Adisaka! Benarkah ini kau?!” bertanya orang berpakaian serba biru yakni Adimesa yang
dikenal dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Dia seperti tak percaya. Sepasang matanya
pandangi pemuda berbaju kuning di hadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki lalu
dipeluknya kembali. Matanya berkaca-kaca.

“Adikku, aku memang Adisaka! Kakakmu! Siapa yang tahu nyanyian Kami Anak Desa itu kecuali
kita berdua?! Adimesa adikku. Belasan tahun kita berpisah…..”

“Kakak, tadinya aku mengira tak ada harapan lagi bertemu denganmu. Namun Tuhan Maha
Besar. Denan Karunia-Nya kita akhirnya dipertemukan juga. Terima kasih Tuhan. Terima kasih
Gusti Allah…..”

“Seorang sahabat yang panjang akal memberitahu. Jika kau ingin menguji bahwa kau ada di
tempat ini mengapa aku tidak mengeluarkan senandung yang sering ktia nyanyikan di masa
kanak-kanak di desa dulu? Anjurannya itu masuk akal. Aku menyanyi keras-keras. Kau
mendengar dan memberikan sambutan dengan menyanyi pula! Dan kita akhirnya bertemu!”

“Sahabatmu si panjang akal itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi…..”
“Kau akan terkejut kalau mengetahui siapa dia! Aku akan mempertemukannya denganmu…..”
Tiba-tiba untuk pertama kali Adisaka menyadari apa tujuan sebenarnya berada di tempat itu.
Yaitu untuk menangkap Wiro hidup-hidup sesuai perintah Dewi Ular. Tapi saat itu dia juga ingin
tahu bagaimana adiknya bisa muncul di tempat itu. “Adikku, bagaimana kau bisa berada di
tempat ini?”

“Panjang ceritanya. Kalau aku boleh bertanya Kakak sendiri berada di sini bagaimana pula
kisahnya?’

Adimesa memandang berkeliling.

Saat itu keadaan sudah terang-terang tanah. Walau agak samar-samar namun tiga gadis di atas
pohon segera mengenali salah satu dari dua pemuda yang tadi saling berpelukanitu. Bidadari
Angin Timur yang membuka mulut lebih dulu.

“Pemuda berpakaian kuning itu, bukankah dia keparat bernama Damar Wulung? Asli bernama
Adisaka sesuai keterangan Gondoruwo Patah Hati?!”

“Tidak salah! Dia memang jahanam keji yang menculik dan hampir menodaiku!” ucap Ratu
Duyung.

“Kalau begitu kita tunggu apa lagi!” kata Anggini.

Tiga gadis cantik siap hendak melesat turun dari atas pohon di tepi kali tapi serta merta
urungkan niat mereka karena tiba-tiba ada dua orang melesat dari pohon di kiri kanan Kali
Mungkung. Kejut tiga gadis ini bukan alang kepalang ketika mengenali siapa adanya kedua
orang itu. yang berdiri di samping Damar Wulung dengan sikap congkak pongah sambil bertolak
pinggang bukan lain adalah Pangeran Miring alias Pangeran Matahari. Sedang yang tegak di
sebelah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!

Rasa keterkejutan bercampur heran melanda orang-orang yang ada di tempat itu. Sekaligus
rasa tegang ikut menggantung di udara. Kalau Wiro terkejut dan heran melihat Pangeran
Matahari muncul bersama Damar Wulung maka Damar Wulung sendiri kaget dan heran melihat
adiknya Adimesa muncul bersama Pendekar 212 Wiro Sableng. Berlainan dengan Pangeran
Matahari, walau hatinya sebenarnya risau namun dia tetap unjukkan sikap congkak.

Murid Sinto Gendeng perhatikan sosok berpakaian hitam dengan gambar matahari merah di
dada serta mantel hitam di punggung. Pakaian itu adalah pakaian Pangeran Matahari. “Betul
apa yang dikatakan tiga gadis itu. Pakaiannya jelas pakaian Pangeran Matahari. Tapi wajahnya
bukan wajah pangeran keparat itu!” Wiro membatin. Lalu dengan cepat matanya bergeark
memperhatikan tangan kiri orang. Pendekar 212 menyeringai. Jari tangan kiri si baju hitam
ternyata buntung! “Kelainan wajah bangsat durjana ini. Dia pasti mengenakan topeng tipis!”
Wiro lalu menggertak dengan suara keras.
“Pangeran Matahari! Kau boleh sembunyi di balik topeng menutupi muka cacatmu! Tapi jangan
kira kau bisa menipuku! Jangan harap bisa sembunyi dan lolos dari dosa besar. Kau telah
merusak kehormatan dan membunuh Puti Andini! Kau juga adalah pembunuh Kinasih, istri jruu
ukir Keraton!”

Pangeran Matahari berkacak pinggang, dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. “Dasar
manusia sableng. Matahari belum lagi muncul penuh, kau sudah mengigau di hadapanku!”

“Aku ada bukti robekan pakaianmu dalam genggaman tangan korban!” dari balik pakaiannya
Wiro keluarkan robekan kain hitam yang didapatnya dari Nyi Supi. “Sekarang kau harus
mempertanggung jawabkan semua perbuatan terkutuk itu dengan nyawamu sendiri!”

Sekilas sepasang mata Pangeran Matahari memancarkan cahaya angker. “Membuktikan


pembunuhan dengan secarik kain butut! Sungguh naif! Bisa saja kau sendiri yang telah
memperkosa dan membunuh perempuan itu. Lalu mencari sepotong kain yang sama dengan
pakaianku dan memfitnah diriku! Busuk! Buktinya di kening Kinasih kau sengaja mengguratkan
angka 212 dengan kukumu! Untuk apa? Untuk menunjukkan kehebatan yang congkak dan
keji?!” Pangeran Matahari meludah ke tanah. Bertolak pinggang, mendongak ke langit yang
mulai terang lalu kembali tertawa gelak-gelak.

Wiro menyeringai lalu ikut-ikutan tertawa. Suara tawanya demikian keras, menindih suara tawa
Pangeran Matahari dan deru air terjun. Tanah terasa bergetar. Begitu hentikan tawanya Wiro
berkata lantang.

“Pangeran Matahari, kau memang dikenal sebagai Pangeran Segala Cerdik, Segala Licik, Segala
Akal, Segala Congkak, Segala Ilmu! Tapi ada kalanya orang cerdik berlaku lebih goblok dari
orang tolol. Ada kalanya orang licik terpeleset oleh kelicikannya sendiri. Sering orang yang
panjang akal jadi pendek akal karena kehabisan akal! Ha….ha! Banyak orang beilmu jadi bodoh
dalam kecongkakannya. Dan semua itu kini terjadi dengan dirimu! Kau mengatakan ada guratan
angka 212 di kening Kinasih. Bagaimana kau tahu hal itu padahal kau tidak melihat sendiri
jenazahnya! Bagaimana kau tahu angka 212 itu digurat dengan kuku, kalau bukan kau sendiri
yang melakukannya? Pangeran Miring, kau terjebak oleh kelicikanmu sendiri! Ha….ha….ha!”

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya terasa


panas karena sadar kalau dirinya memang terjebak. Buruburu dia membuka mulut hendak
melabrak. Tapi saat itu mendadak ada suara angin menerpa, satu bayangan kuning berkelebat
disusul dengan suara orang berseru.

“Aku mewakili Patih Kerajaan! Aku menjadi saksi semua pembicaraan! Kawasan air terjun
Jurangmungkung telah dikurung dua ratus perajurit!”

Semua orang yang ada di tempat itu menjadi kaget. Memandang ke arah kiri kali mereka
melihat seorang gadis berpakaian ringkas warna kuning berdiri di situ. Wajah cantik, rambut
hitam digulung di atas kepala. Sebilah pedang baru melintang di pinggangnya.
Bagaimana puteri Patih Kerajaan itu berada di tempat tersebut? Seperti diceritakan
sebelumnya Sutri merasa kecewa besar ketika mengetahui ayahnya mengirim beberapa tokoh
silat Istana dan pasukan besar untuk menangkap Wiro. Dengan menunggang kuda gadis ini
tinggalkan Gedung Kepatihan, berangkat menuju Mojogedang. Karena dia sendirian dan
mengambil jalan pintas. Sutri berhsail mendahului rombongan pasukan Kerajaan.

“Sutri!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala begitu mengenali siapa adanya gadis itu. dia
memandang berkeliling. Saat itu hari mulai terang. Dia tidak melihat pasukan Kerajaan sekitar
tempat itu karena pasukan memang masih cukup jauh di sebelah selatan.

Sutri Kaliangan terus saja memandang ke jurusan Damar Wulung dan Pangeran Matahari.
Tanpa berpaling pada Pendekar 212 gadis ini berkata “Wiro apa kau masih mau bicara? Aku
mewakili Patih Kerajaan menjadi saksi semua apa yang terjadi di tempat ini!”

Wiro masih garuk-garuk kepala. Dari ucapan dan gerak-gerik si gadis agaknya puteri Patih
Kerajaan ini berada di pihaknya.

Di atas pohon, tiga gadis memperhatikan Sutri Kaliangan. Mereka kagum melihat sikap gagah
gadis berpakaian kuning itu. Tapi begitu menyadari kecantikan sang dara, Bidadari Angin Timur,
Ratu Duyung dan Anggini diam-diam dirayapi rasa cemburu.

“Kau tahu, siapa adanya gadis itu?” berbisik Anggini.

Ratu Duyung menggeleng.

“Katanya dia mewakili Patih Kerajaan. Apakah memang ada seorang dara jelita dalam jajaran
pasukan Kerajaan atau pasukan Kepatihan?” ujar Bidadari Angin Timur pula. Lalu
menambahkan “Dari sikap dan cara bicaranya sepertinya dia telah mengenal Wiro.”

Tiga gadis di atas pohon terdiam, hanya mata masing-masing memandang ke bawah sana.

Di pinggir kali Damar Wu;ung rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia merasa tidak enak.
Jika Sutri, puteri Patih Kerajaan itu sampai membongkar kebejatannya maka dia bisa berabe.
Gadis satu ini harus segera disingkirkan. Bagaimana caranya? Damar Wulung memutar otak. Di
depannya Pendekar 212 tampak sunggingkan seringai mengejek ke arah Pangeran Matahari lalu
berucap lantang.

“Pangeran comberan! Ada yang memberimu nama Pangeran Miring. Kurasa itu memang
pantas! Tapi sungguh aneh. Kau juga pernah memakai nama Bagus Srubud! Mengaku petinggi
dari Keraton. Keraton mana?! Ha….ha…..ha!”

Damar Wulung terkejut ketika Wiro menyebut nama Bagus Srubud karena dia pernah memakai
nama itu dan dia pula yang tempo hari menyuruh Pangeran Matahari mempergunakan nama
itu. Bagaimana Wiro bisa menerka? Atau memang Wiro sudah tahu banyak? Sekilas Damar
Wulung melirik ke arah Pangeran Matahari yang saat itu membuka mulut menyahuti ucapan
Wiro.

“Pendekar 212, murid sableng nenek gendeng dari Gunung Gede! Selama ini kau tolol-tolol
saja. Kini rupanya sudah pandai bicara! Malah bicara sombong! Belasan kali kau sesumbar
hendak membunuhku! Nyatanya sampai hari ini aku masih hidup! Ha….ha……ha!”. Dengan
cerdik, Pangeran Matahari yang sudah bisa membaca keadaan menyambung ucapannya. “Aku
sendirian saja kau tak pernah sanggup menghadapi. Apalagi saat ini aku bersama Damar
Wulung, murid GPH, apakah kau masih punya nyali, bicara sombong hendak menghabisiku?!”

“Wiro! Jangan takut! Biar Pangeran keparat itu membawa selusin teman kami bertiga siap
membantumu!”

Satu suara melengking keras di tempat itu. lalu tiga bayangan berkelebat dari atas pohon.
Sesaat kemudian Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini telah berdiri di kiri kanan
Wiro. Pendekar Kipas Pelangi Adimesa selain terkagum-kagum melihat kemunculan tiga gadis
itu, juga jadi terheran-heran.

“Tiga dara cantik! Luar biasa!” Pendekar Kipas Pelangi berkata dalam hati. “Inikah para gadis
yang dikabarkan mencintai Wiro?” Pemuda berkumis rapi ini melirik pada Bidadari Angin Timur.
Mungkin rambutnya yang pirang menimbulkan daya tarik terhadap sang dara dibanding dua
gadis lainnya.

Rasa kagum dan heran Pendekar Kipas Pelangi serta merta berubah menjadi rasa kaget ketika
tiba-tiba Ratu Duyung melompat ke hadapan Adisaka, membentak sambil menuding.

“Damar Wulung manusia jahanam! Jangan jual tampang tak berdosa di hadapan kami! Kami
bertiga sudah tahu kebejatanmu! Kau pernah hendak memperkosaku! Kau juga telah mencuri
cermin sakti milikku! Manusia sepertimu sudah saatnya ditumpas!”

Damar Wulung terkesima sampai surut satu langkah mendapat dampratan tak terduga itu. Dia
cepat buka mulut untuk berkilah, tapi saat itu gadis berbaju kuning sambil cabut pedang dan
melintangkan itu di depan dada melompat ke hadapannya dan bicara keras.

“Damar Wulung! Aku Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan! Memberi kesaksian bahwa kau juga
pernah hendak menculik diriku secara keji!”

Anggini yang sejak tadi menahan diri melompat pula ke hadapan Pangeran Matahari. “Kau
membunuh Puti Andini! Kau mencideraiku! Ditambah seribu satu kejahatan yang telah kau
perbuat, hari ini pintu neraka telah terbuka lebar-lebar untukmu!”

Pangeran Matahari dengan sikap pongah rangkapkan dua tangan di depan dada lalu tertawa
membahak. “Dara berpakaian ungu, aku tahu kau muridnya Dewa Tuak. Yang konon dijodohkan
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng! Kasihan kalau dirimu sampai jadi pasangan pemuda edan
itu. Bukankah lebih baik ikut aku saja? Ha….ha……ha!”

“Pangeran Miring!” bentak Wiro. “Binatang saja kalau pandai bicara pasti menolak menjadi
pendampingmu! Apa lagi murid Dewa Tuak ini!”

Pangeran Matahari menyeringai. “Pendekar 212, jangan cepat cemburu! Sungguh memalukan
dan pengecut sekali! Ternyata dalam kesombonganmu kau berlindung di balik tiga gadis cantik!
Ha…..ha….!”

“Pangeran Miring, kau boleh mengatakan diriku pengecut. Tapi kalau aku boleh bertanya
mengapa kau melindungi dirimu di balik sehelai topeng? Kau takut setan neraka mengenalimu?
Atau takut karena terlalu banyak musuh?!”

“Aku Pangeran Matahari tidak pernah mengenal kata takut!” jawab Pangeran Matahari sambil
bertolak pinggang. Padahal sebenarnya saat itu dia tengah menghitung-hitung kekuatan.
Berdua dengan Damar Wulung apakah dia sanggup menghadapi Wiro Sableng dan tiga gadis
cantik yang diketahuinya berkepandaian tinggi itu? Lalu pemuda berpakaian biru berkumis kecil
bernama Adimesa berjuluk Pendekar Kipas Pelangi itu, berada di pihak manakah dia?

Sementara itu Pendekar Kipas Pelangi sendiri yang sejak tadi menahan rasa keterkejutannya
mendengar semua pembicaraan yang berlangsung, mendekati Wiro dan bertanya. “Sahabat
Wiro, apakah ucapan gadis bermata biru tentang kakakku benar adanya?”

“Sahabatku,” jawab Wiro. “Kau boleh tidak percaya pada ucapan Ratu Duyung. Tapi jika Sutri
Kaliangan puteri Patih Kerajaan ikut bicara tentang kakakmu, apakah kau masih tidak percaya?”
Wiro tatap wajah pemuda itu sesaat sambil menduga-duga, jika pecah perkelahian hebat di
tempat itu, di pihak manakah pemuda ini akan berpihak? Dia hanya seorang sahabat, tetapi
Adisaka alias Damar Wulung adalah kakaknya sedarah sedaging. Wiro kemudian melanjutkan
ucapannya. “Sebenarnya sejak aku ketahui Damar Wulung adalah Adisaka, mengingat
persahabatan kita, apa lagi kau pernah menyelamatkan diriku, ada satu ganjalan besar dalam
hatiku. Aku tak tega memberitahu semua perbuatan jahat saudaramu itu. Kini kau sudah
mengetahui sendiri dari orang lain……”

“Adimesa! Jangan pecaya mulut keji Pendekar 212!” tiba-tiba Adisaka alias Damar Wulung
berteriak. “Aku justru selama ini mengejarnya untuk diseret ke haapan arwah Dewi Ular yang
telah dibunuhnya!”

“Pendekar Kipas Pelangi,” kata Wiro, “Menyesal sekali aku katakan, kakakmu itulah yang
menjarah rombongan pembawa harta Keraton beberapa waktu lalu. Bukan saja jatuh beberapa
korban tak berosa, tapi dia merampas Keris Kiai Naga Kopek. Aku menerima apesnya, kena
dituduh sebagai pencuri keris pusaka itu!”
“Penipu busuk! Kau memutar balik kenyataan! Kaulah yang telah membunuh para perampok
hutan Roban pimpinan Warok Mata Api. Kau juga yang menjarah harta perhiasan, uang emas
dan Keris Kiai Naga Kopek. Kini kau tuduh aku yang melakukan!” teriak Damar Wulung
menggeledek.

Wiro menggeram dan memaki dalam hati mendengar kata-kata beracun Damar Wulung itu.
Kalau saja Kinasih masih hidup, dia bisa menjadi saksi atas keterlibatan langsung Damar Wulung
dalam peristiwa perampokan harta benda milik Kerajaan.

“Benar, aku tahu sekali ceritanya!” Pangeran Matahari menimpali. “Keris Kiai Naga Kopek
memang dijarah oleh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kini pasukan Kerajaan mencarinya karena
sudah dicap sebagai buronan!”

“Sahabat Wiro, bagaimana ini? Mana yang benar…..?” Pendekar Kipas Pelangi bertanya.

“Adimesa, aku tahu pemuda itu adalah kakakmu! Kau mungkin lebih mempercayai dirinya dari
pada aku. Tapi aku akan segera membuktikan bahwa Keris Kiai Naga Kopek memang ada
padanya. Saat ini senjata itu diselipkan di pinggang kiri sebelah belakang…..”

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Pendekar Kipas Pelangi.

“Aku barusan menerapkan Ilmu Menembus Pandang…..”

Semakin bingung Pendekar Kipas Pelangi. Dia berpaling pada kakaknya. “Kakak Adisaka,
benarkah…..”

“Adimesa! Kau adikku! Kau percaya padanya atau padaku? Kau berada di pihak siapa? Lekas
berdiri di sebelahku! Perlu apa kau berdampingan dengan jahanam keparat itu!”

“Kakak, aku ingin kejujuranmu. Benarkah…..?”

Damar Wulung menggeram marah. Dia dorong dada adiknya hingga Adimesa terjajar hampir
jatuh. Wiro cepat menahan tubuh Adimesa hingga pemuda ini tak sampai jatuh ke tahah.

“Damar Wulung! Aku harap kau segera menyerahkan Keris Kiai Naga Kopek untuk aku
kembalikan pada Kerajaan!”

Damar Wulung kerenyitkan kening mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau mau jadi pahlawan
kesiangan? Padahal kau sebenarnya seorang buronan! Hendak berbuat jasa pada Kerajaan agar
segala dosamu diampuni? Ha….ha….ha!”

“Aku tahu keris pusaka itu ada padamu. Kau sisipkan di pinggang sebelah kiri belakang!” kata
Wiro pula. Sebelumnya Wiro telah menerapkan Ilmu Menembus Pandang hingga dia mampu
melihat kalau senjata pusaka Keraton itu yang memang tersisip di pinggang belakang Damar
Wulung. Selain itu Wiro juga melihat sebuah benda bulat berkilat terselip di bagian depan perut
Damar Wulung. Benda ini adalah cermin sakti milik Ratu Duyung yang dicuri Damar Wulung
sewaktu menculik gadis bermata biru itu.

“Otakmu culas! Mulutmu busuk! Kalau kau menuduh aku memiliki keris itu, silahkan ambil
sendiri!” kata Damar Wulung.

“Atas nama Kerajaan aku harap kau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!” Tiba-tiba Sutri
Kaliangan melompat ke hadapan Damar Wulung.

Damar Wulung tertawa bergelak “Ini satu lagi gadis sesat kena tipu daya Pendekar Sableng! Aku
menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan. Jika kau mau berlaku adil, mengapa tidak
menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan Kerajaan?!”

“Aku tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek padaku!” bentak
Sutri.

“Ha….ha! Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang jatuh cinta pada Pendekar
Geblek itu!”

“Sreett!”

Sutri Kaliangan keluarkan pedangnya dari dalam sarung. Tangan kiri melintangkan pedang di
depan dada sementara tangan kanan diangsurkan ke arah Damar Wulung.

“Kalau kau inginkan keris yang tak ada padaku, apakah ini berarti sebenarnya kau inginkan
diriku?!” ujar Damar Wulung lalu tertawa bergelak. Pangeran Matahari ikut-ikutan tertawa.

Saat itulah satu suara membentak menggetarkan seantero tempat.

“Adisaka! Serahkan Keris Kiai Naga Kopek pada puteri Patih Kerajaan. Dan kau ikut aku ke
pertapaan!”

Kapak Maut Naga Geni 212

TIGA BELAS

Belum habis kejut Damar Wulung tahu-tahu seorang nenek bermuka seram, berpakaian hitam
telah berdiri di hadapannya, memandang dengan garang. Sesaat nenek ini melirik ke arah Wiro
dan Ratu Duyung, dua orang yang telah dikenalnya dan pernah ditolongnya.

Di atas pohon kakek bermata jereng, berkuping lebar dan bau pesing yang bukan lain adalah
Setan Ngompol tusukkan sikutnya ke pinggang bocah breambut jabrik dan berkata. “Naga
Kuning, melihat nenek seram itu aku ingat ceritamu. Apa dia Gondoruwo Patah Hati, asli
bernama Ning Intan Lestari?”

Naga Kuning mengangguk. Matanya memandangi si nenek tak lepas-lepas. Sambil pencongkan
mulutnya Setan Ngompol kembali berkata “Kalau cuma nenek lampir seperti itu perlu apa kau
sukai. Padahal masih banyak perempuan yang bisa kau gaet. Janda muda bertebaran di mana-
mana….”

Naga Kuning tertawa lebar. “Dia bukan sembarang nenek. Kalau sudah kau lihat wajahnya……”

“Dari tadi aku sudah melihat wajahnya. Kurasa, maaf bicara, pantatku masih lebih bagus dari
mukanya. Hik…hik…..hik!” habis tertawa kakek ini langsung kucurkan air kencing.

“Kakek sial…..” maki Naga Kuning lalu meremas paha Setan Ngompol hingga kakek ini terpekik
kesakitan dan makin mancur air kencingnya.

“Guru…..!” ujar Damar Wulung seraya membungkuk hormat.

“Aku tak perlu segala basa-basi sopan santun! Lakukan apa yang barusan aku katakan. Serahkan
senjata pusaka Keraton pada puteri Patih Kerajaan. Setelah itu kau ikut aku! Cepat!”

“Guru, aku…..”

Gondoruwo Patah Hati tampak mulai hilang kesabarannya. Saat itulah Pangeran Matahari
mendekati Damar Wulung dan membisikkan sesuatu. Ketika sang guru mendatanginya, Damar
Wulung cepat membungkuk seraya berkata “Guru, kalau memang itu maumu, aku menurut
saja. Keris Kiai Naga Kopek tidak ada padaku. Aku siap menuruti perintah, mengikutimu ke
pertapaan…..”

“Enak betul!” berteriak Ratu Duyung. Gadis ini segera melompat ke hadapan Damar Wulung.

“Mana bisa begitu!” berseru Bidadari Angin Timur. Sekali bergerak dia sudah berada tiga
langkah di hadapan pemuda yang pernah hampir menodainya.

Melihat hal ini Pangeran Matahari tak tingal diam, dia melompat mendampingi Damar Wulung.
Anggini yang menaruh dendam paling besar terhadap sang Pangeran segera maju menghadang
gerakan orang.

Adimesa, alias Pendekar Kipas Pelangi sesaat tampak bingung. Namun di lain saat pemuda ini
cepat bergerak mendapingi kakaknya.

Melihat gerakan Pendekar Kipas Pelangi, Wiro segera maju lalu berdiri di samping Gondoruwo
Patah Hati, menghadap ke arah Pangeran Matahari dan Damar Wulung.
Sutri Kaliangan tak tinggal diam. Gadis ini ikut maju. Pedangnya yang telah terhunus ditukik ke
tanah. Jika dikehendaki senjata ini bisa mencuat membabat ke atas, membelah tubuh Damar
Wulung!

“Kalian semua dengar! Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah!” tibatiba Gondoruwo
Patah Hati berseru keras. Dia lalu memandang pada Ratu Duyung dan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Lalu berkata “Kita bersahabat. Bukan aku mengungkit segala budi pertolongan di masa
lampau. Tapi apakah hal itu tidak bisa menjadi pertimbangan kalian berdua untuk
menghentikan semua ini? Aku tahu muridku punya dosa dan kesalahan besar. Itu sebabnya aku
membawanya kmbali ke pertapaan untuk dihukum!”

Ratu Duyung memandang pada Wiro. Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala.

“Adisaka! Jika keris pusaka Keraton itu memang tidak ada padamu, jangan banyak cingcong!
Ikuti aku sekarang. Tinggalkan tempat ini!”

“Ning Intan Lestari!” tiba-tiba ada suara dari atas pohon. “Maksudmu baik. Tapi muridmu
pergunakan maksudmu untuk mencari kesempatan. Meloloskan diri dari pertanggungan jawab
semua kejahatan yang pernah dibuatnya!”

Gondoruwo Patah Hati tersentak kaget ada orang yang menyebut nama aslinya. Dia rasa-rasa
mengenali suara itu. Ini membuat si nenek jadi bergetar dadanya. Dia ingin kepastian lalu
berteriak. “Siapa yang bicara?! Mengapa tidak berani unjukkan diri?!”

Baru saja suara si nenek lenyap, dari atas sebuah pohon melayang turun sosok seorang anak
kecil berambut jabrik berpakaian hitam. Di belakangnya mengikuti sosok seorang tua menebar
bau pesing.

“Jahanam kurang ajar! Pasti tua bangka itu yang mengencingi mulutku!” rutuk Pangeran
Matahari. Dia segera hendak mendekati Setan Ngompol namun niatnya dibatalkan ketika
dilihatnya Damar Wulung memberi isyarat agar dia jangan meninggalkan tempat.

“Naga Kuning! Setan Ngompol!” seru murid Sinto Gendeng.

Naga Kuning cibirkan mulut sedang Setan Ngompol lambaikan tangan sambil senyum-senyum
cengengesan. Naga Kuning memandang pada Gondoruwo Patah Hati. “Nek, apakah ucapanku
tadi salah?’

Setelah melihat siapa yang ada di hadapannya dan bicara padanya si nenek jadi salah tingkah.
“Naga Kuning …..” katanya perlahan. “Jadi dugaanku tidak meleset. Anak ini memang dia
adanya…..”

Si bocah dekati Gondoruwo Patah Hati dan berkata. “Kita sudah sama-sama tua, mengapa
mencampuri urusan orang-orang muda? Biar saja mereka menyelesaikan urusan mereka.”
“Mana bisa begitu, Gunung?” ujar si nenek.

Naga Kuning tersenyum mendengar si nenek menyebut nama aslinya. “Kau masih ingat namaku
itu. Cuma sayang, agaknya saat ini kita tidak berada di pihak yang sama…..”

Gondoruwo Patah Hati sesaat tampak sedih.

“Intan, jika kau hanya menuruti kemauanmu sendiri, harap kau melihat sekelilingmu. Saat ini
dua sisi kali sudah dikurung rapat. Kita berada di tengahtengah.”

Gondoruwo Patah Hati terkejut mendengar ucapan Naga Kuning. Dia memandang berkeliling
dan jadi lebih terkejut. Ternyata tempat itu memang telah dikurung oleh banyak sekali perajurit
Kerajaan. Beberapa orang tampak menunggangi kuda besar. Mereka adalah para tokoh silat
Istana. Dua dari orang-orang berkuda ini melompat turun dari tunggangannya lalu melangkah
cepat ke tempat di mana Gondoruwo Patah Hati dan yang lain-lainnya berada. Di sebelah kanan
adalah Tumenggung Cokro Pambudi. Di sampingnya melangkah cepat sosok berjubah kelabu
Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

Tumenggung Cokro Pambudi, diikuti Hantu Muka Licin berhenti tepat di hadapan Damar
Wulung. Melirik ke samping sang Tumenggung melihat Sutri Kaliangan, membuatnya kaget.
Bagaimana gadis ini bisa berada di tempat ini, pikir Tumenggung Cokro. Lalu dia menuding ke
arah Damar Wulung.

“Pemuda bernama Damar Wulung! Kau orangnya yang tempo hari datang ke tempat
kediamanku membawa harta Kerajaan serta Keris Kiai Naga Kopek yang dijarah. Kau
memberikan keris itu padaku seolah hendak berbuat jasa besar pada Kerajaan. Tapi ternyata
senjata itu palsu! Hanya sarungnya saja yang asli! Mana keris yang asli? Serahkan padaku!”

“Tumenggung, aku tak ingat apakah aku pernah berkunjung ke rumahmu,” jawab Damar
Wulung licik. “Tapi jika kau mencari Keris Kiai Naga Kopek, tanyakan pada Pendekar 212. Dialah
yang mencuri pusaka Keraton itu! Seharusnya dia yang segear kau tangkap. Bukankah dia
buronan Kerajaan? Dan nenek ini, dia juga buronan Kerajaan!”

Gondoruwo Patah Hati kaget besar, tidak menyangka muridnya akan bicara seperti itu.

“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku akan perlihatkan di mana keris itu
beradanya!” Lalu sekali berkelebat Wiro melompat ke arah Damar Wulung. Tangannya
menyambar ke pinggang si pemuda.

“Sebelum kau sentuh tubuhku, biar kusentuh dulu kapalamu!” bentak Damar Wulung. Tangan
kanannya memancarkan cahaya biru lalu dihantamkan ke arah kepala Pendekar 212.
“Pukulan Batunaroko!” seru Gondoruwo Patah Hati. “Adisaka! Aku mengharamkan kau
mempergunakan pukulan itu!”

“Kalau begitu biar aku kemgalikan kepadamu!” teriak Damar Wulung. Tanagnnya sebelah kiri
bergerak. Seperti tangan kanan yang dihantamkan ke kepala Wiro, tangan kiri yang dipukulkan
ke kepala si nenek memancarkan sinar biru. Ini satu pertanda bahwa Damar Wulung
melancarkan pukulan maut bernama Batunaroko yang sangat dahsyat. Jangankan kepala
manusia, batu karangpun akan amblas hancur terkena pukulan ini! Mengapa pemuda ini
menjadi nekad dan tega hendak membunuh gurunya sendiri? Lain tidak karena dia merasa tak
akan bisa lolos dari tangan si nenek. Cepat atau lambat, tidak sekarang, nanti-nanti orang tua
itu pasti akan terus mengejar dan menjatuhkan hukuman atas dirinya.

Gondoruwo Patah Hati terkesiap kaget. Tidak menyangka kalau sang murid akan menjatuhkan
tangan jahat terhadapnya. Hanya tinggal sejengkal pukulan itu akan menghancurkan kepalanya
dia masih saja melotot diam terkesima. Tiba-tiba satu tangan menarik pinggangnya. Tubuh si
nenek terbetot ke kiri.

“Bertahun-tahun kau menghabiskan waktu mencariku, berusaha menyingkapkan teka teki rasa
antara ktia. Kini mengapa bersikap seperti mau bunuh diri di depan mata?!” Orang yang
menarik si nenek keluarkan ucapan. Gondoruwo Patah Hati segera palingkan kepala.

“Gunung….. Terima kasih. Aku barusan memang berlaku ayal. Pertemuan ini, perbuatan
muridku, semua membuat aku jadi kacau pikiran dan berat perasaan……”

Naga Kuning turunkan tubuh si nenek ke tanah. Sambil senyum-senyum dia berkata. “Biarkan
orang-orang itu menyelesaikan urusan mereka. Kita yang tua-tua kali ini terpaksa hanya
memperhatikan…..”

“Gunung, bagaimana kau tahu aku Ning Intan Lestari?”

“Huss! Nanti saja kita bicarakan hal itu….” Jawab Naga Kuning.

“Tidak, aku ingin mendengar jawabanmu sekarang juga!” kata si nenek pula.

Naga Kuning tertawa. “Kau masih saja seperti dulu. Tidak sabaran, keras hati dan tegas!”

“Aku memang tidak pernah berubah, Gunung.”

“Aah…. Syukurlah. Baik, aku memberitahu. Sejak pertemuan kita yang pertama di Banyuanget
dulu itu, Aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Berusaha mendapatkan keterangan. Dia
tidak bicara banyak. Tapi dari sikapnya itu aku justru mengetahui kalau nenek muka setan
berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu sebenarnya memang adalah Ning Intan Lestari …..”
Baru saja Naga Kuning berkata begitu tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat disertai
terdengarnya ucapan lantang. “Berdua-duaan bermesraan dikala maut gentayangan mencari
kematian, sungguh perbuatan mahluk-mahluk pendek pikiran!”

Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning cepat berpaling. Di hadapan mereka berdiri seorang
kakek berwajah jernih, berpakaian ringkas.

“Rana Suwarte…..” ucap Naga Kuning dan si nenek hampir berbarengan. Kakek ini adalah orang
yang mencintai Gondoruwo Patah Hati sejak masa muda remaja tapi si nenek tidak dapat
menerima cinta Rama Suwarte karena hatinya telah tertambat pada Gunung alias Naga Kuning.
Sampai-sampai Rana Suwarte meminta pertolognan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah
ayah angkat si nenek, tetap saja perempuan itu tidak bisa menerima kehadiran Rana Suwarte
sebagai pendamping dirinya. Penolakan ini telah menimbulkan dendam luar biasa dalam diri
Rana Suwarte terhadap Naga Kuning. Jika dia tidak bisa mendapatkan Ning Intan Lestari maka
Naga Kuning juga tidak akan mendapatkan perempuan itu. Rana Suwarte menyusun rencana
untuk melenyapkan Naga Kuning. Salah satu caranya ialah denan bergabung dengan orang-
orang Kerajaan. (Riwayat lebih jelas mengenai Ning Intan Lestari harap baca Episode
sebelumnya berjudul “Gondoruwo Patah Hati”)

Sutri Kaliangan yang sudah merasa bahwa perkelahian hebat akan segera terjadi di tempat itu,
berseru keras. “Atas nama Patih Kerajaan harap semua tokoh silat Istana jangan mencampuri
urusan di tempat ini!”

Tumenggung Cokro Pambudi dan Hantu Muka Licin hentikan langkah mereka mendekati Damar
Wulung.

“Den Ayu Sutri, saya rasa kau tidak punya wewenang mengeluarkan ucapan itu….” berkata
Tumenggung Cokro Pambudi.

Dari balik pakaian kuningnya Sutri Kaliangan mengeluarkan selembar kertas dan
memperlihatkannya pada Tumenggung Cokro Pambudi. Tapi kertas itu diperlihatkan hanya dari
jauh.

“Ini wewenang yang diberikan oleh Patih Kerajaan padaku! Apakah Paman Tumenggung berani
membantah?” Sutri menggertak. Padahal surat itu palsu belaka!

Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang sebenarnya sudah letih mengurusi perkara seperti ini dan
lebih suka bersenang-senang di Kotaraja berbisik. “Tumenggung Cokro, sebaiknya kita
mengundurkan diri saja, kembali bergabung dengan pasukan. Perlua apa bersusah payah?
Kalau Keris Kiai Naga Kopek itu memang ada pada pemuda bernama Damar Wulung, bukankah
lebih baik kita mempergunakan tangan orang lain untuk mendapatkannya?”

Setelah berpikir cepat Tumenggung Cokro akhirnya menjawab. “Benar juga. Mari kita menjauh,
kembali ke pasukan. Tapi kita tetap harus mengurung kawasan ini!”
Kalau dua tokoh Istana itu mengundurkan diri, lain halnya dengan Rana Suwarte. Kakek
bermuka jernih yang dilanda cinta dibarengi dendam membara ini melesat ke arah Naga
Kuning.

“Budak keparat! Salah satu di antara kita harus disingkirkan dai muka bumi ini!” Habis berkata
begitu Rana Suwarte langsung lancarkan satu tendangan ke dada si bocah.

Setan Ngompol yang sejak tadi diam saja, melihat Naga Kuning diserang serta merta memotong
gerakan Rana Suwarte.

“Tua bangka edan! Tidak tahu malu beraninya melawan anak kecil! Aku lawanmu!” bentak
Setan Ngompol lalu tertawa bergelak dan serrrr, kucurkan air kencing.

“Sobatku mata jereng bau pesing!” kata Naga Kuning. “Siapa bilang aku anak kecil? Pasang
mata kalian baik-baik!”

Si bocah berambut jabrik putar-putar lehernya. Kepala digoyang-goyangkan. Tiba-tiba ada asap
tipis mengepul dari batok kepala anak itu. ketika dia mengusap wajahnya satu kali, wajah itu
berubah menjadi wajah seorang tua berambut putih, alis dan kumis serta janggut putih.
Sosoknya juga bukan sosok anak kecil lagi tapi berubah besar menjadi sosok orang tua.
Gondoruwo Patah Hati terkesiap. Puluhan tahun dia tidak pernah melihat ujud asli orang yang
dikasihinya itu. sepasang matanya berkaca-kaca.

Setan Ngompol kaget bukan kepalang. Kakek ini memang sudah tahu kalau Naga Kuning
sebenarnya adalah seorang tua berusia hampir seratus dua puluh tahun. Tapi selama ini dia
belum pernah melihat wajah dan sosok asli sahabatnya yang selalu konyol itu.

“Gila! Kau ini mahluk jejadian atau apa…..” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah
perutnya yang tambah gencar mengucurkan air kencing.

Lain halnya dengan Rana Suwarte. Kakek bermuka jernih ini serta merta menjadi pucat. “Kiai
Paus Samudera Biru…..” ucapnya dengan suara gemetar. Tendangannya jadi tertahan. Nyalinya
untuk meneruskan perkelahian jadi leleh. Selama ini dia hanya tahu kala Naga Kuning itu
ujudnya adalah seorang kakek yang jadi saingannya dalam memperebutkan cinta Ning Intan
Lestari. Dia tidak mengetahui kalau si kakek sebenarnya adalah orang berjuluk Kiai Paus
Samudera Biru yang memiliki kesaktian jauh di atasnya. Untuk tidak kehilangan muka Rana
Suwarte buruburu berkata. “Tugasku sebenanya mengejar dan menangkap Pendekar 212 Wiro
Sableng. Gunung, urusan kita biar diselesaikan kemudian hari saja.” Lalu Rana Suwarte
tinggalkan tempat itu, kembali bergabung dengan para tokoh silat Istana lainnya.

Kiai Paus Samudera Biru hendak mengejar tapi cepat dicegah oelh Ning Intan Lestari. “Tak usah
dikejar Gunung. Aku lebih suka kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini….”
“Aku setuju saja. Dengan dua syarat,” jawab Kiai Paus Samudera Biru. “Pertama kita tunggu
sahabatku Wiro menyelesaikan urusannya dengan Damar Wulung dan Pangeran Matahari.
Kedua aku ingin agar kau membuka dan membuang topeng tipis yang selama ini selalu
menutupi wajah aslimu yang cantik…..”

“Astaga,” kejut si nenek muka setan. “Bagaimana kau tahu?”

Naga Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru hanya tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata.
“Aku seorang Kiai, apa pantas berdampingan dengan setan perempuan. Padahal setan
perempuan itu sebenarnya seorang perempuan secantik bidadari?”

Ning Intan Lestari menahan tawa cekikikan. Tangan kirinya menyambar mencubit lengan orang
yang dicintainya tu.

Kapak Maut Naga Geni 212

EMPAT BELAS

Kembali pada perkelahian awal antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Damar Wulung.
Ketika melihat tangan kanan lawan yang memukul memancarkan cahaya biru, murid Eyang
Sinto Gendeng itu segera maklum kalau Damar Wulung melancarkan satu pukulan sangat
berbahaya. Karena yang diincar adalah kepala, maka berarti pukulan itu sangat mematikan! Apa
lagi tadi dia mendengar Gondoruwo Patah Hati berseru agar Damar Wulung tidak
mempergunakan ilmu pukulan yang disebut batunaroko itu.

Dengan cepat Wiro geser kuda-kuda kedua kakinya, rundukkan kepala lalu dari bawah kirimkan
pukulan tangkisan. Dia sengaja memilih bagian lengan lawan yang tidak berwarna biru. Begitu
terjadi bentrokan dua lengan dia akan keluarkan ilmu Koppo, yaitu ilmu menghancurkan tulang
yang didapatnya dari Nenek Neko. (Baca serial Wiro Ssableng berjudul “Sepasang Manusia
Bonsai”)

“Bukkk!” Dua lengan beradu di udara mengeluarkan suara keras. Damar Wulung berseru kaget
ketika dapatkan dirinya mencelat ke udara setinggi satu tombak membuat Wiro tidak bisa
mengirimkan serangan lanjutan dengan ilmu Koppo. Wiro sendiri terempas ke bawah, hampir
jatuh duduk di tanah kalau tidak cepat menopangkan tangan kirinya.

Bentrokan lengan itu menyadarkan Damar Wulung bahwa tenaga dalam Pendekar 212 tidak
berada di bawahnya, juga tidak berada di bawah Pangeran Matahari yang telah dijajalnya
sebelumnya. Walau hatinya agak tergetar tapi selama hanya Wiro yang dihadapinya dia merasa
yakin akan dapat menghabisi lawan. Maka Damar Wulung keluarkan jurus-jurus ilmu silatnya
yang paling hebat sementara kedua tangan sudah dipasangi aji kesaktian pukulan Batunaroko!

Lima jurus pertama Wiro masih sanggup mengimbangi lawan sambil sesekali susupkan
serangan balasan. Namun dua kepalan Damar Wulung yang sangat mematikan itu membuat
Wiro tidak bisa bergerak leluasa karena dia harus berlaku sangat hati-hati. Meleset perhitungan
sedikit saja dan salah satu tinju lawan mengenai dirinya, celekalah dia. Untuk membentengi diri
dari serbuan Damar Wulung yang kelihatan kalap ingin cepat-cepat menghabisi dirinya, Wiro
keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, dipadu dengan jurus-
jurus silat langka dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Jurus Tangan Dewa Menghantam Matahari,
Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam Rembulan serta Tangan
Dewa Menghantam Air Bah keluar silih berganti. Lama-lama Damar Wulung mulai kewalahan.
Dia berusaha keras agar salah satu jotosannya mampu mendarat di tubuh atau kepala lawan.
Tapi usahanya sia-sia saja karena gerakangerakan pertahanan dan serangan lawan tidak
terduga. Apalagi dia tidak mungkin mengerahkan tenaga dalam secara terus menerus pada dua
tangannya karena akan menguras seluruh tenaganya.

Memasuki jurus ketiga puluh Damar Wulung terdesak hebat. Keringat membasahi pakaiannya.
Tengkuknya terasa dingin. Beberapa kali serangan lawan hampir bersarang di tubuhnya. Ketika
memasuki jurus tiga puluh empat, Damar Wulung robah permainan silatnya. Kalau sebelumnya
dia mengandalkan dua kepalan, kini secara tak terduga sepasang kakinya ganti memegang
peranan. Pada jurus ketiga puluh delapan tendangannya berhasil melanda perut Pendekar 212!
Tak ampun lagi tubuh Wiro terlipat lalu terjerembab ke depan. Saat itu tangan kanan Damar
Wulung datang menderu ke arah keningnya. Tangan itu memancarkan cahaya biru terang
pertanda Damar Wulung sengaja mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Wiro tak punya kesempatan untuk mengelak. Tangan kirinya memegangi perut yang terasa
seperti jebol amblas! Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah mempergunakan
tangan kanan untuk menangkis. Sekali ini mungkin Wiro tidak mampu menangkis dengan
memukul lengan lawan yang tidak berwarna biru. Jika hal itu sampai terjadi berarti dia akan
dihantam pukulan Batunaroko!

Setan Ngompol terkencing-kencing begtu melihat dan menyadari bahaya yang dihadapi Wiro.
Kakek bermata jereng ini siap melompat memasuki kalangan perkelahian dengan melancarkan
jurus “Setan Ngompol Mengencingi Langit.” Namun sebelum maksudnya kesampaian di depan
sana telah terjadi sesuatu yang hebat!

Hanya satu kejapan mata lagi dua tangan akan beradu, Pendekar 212 Wiro Sableng tiup tangan
kanannya. Di permukaan telapak tangan yang terkepal serta merta muncul gambar kepala
harimau putih bermata hijau. Itulah gambar harimau Datuk Rao Bamato Hijau, harimau gaib
pelindung Wiro.

“Bukkk!”

Dua jotosan beradu di udara.

Pukulan Batunaroko yang dilancarkan Damar Wulung baku hantam dengan Pukulan Harimau
Dewa yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jeritan setinggi langit, merobek deru air terjun melesat keluar dari mulut Damar Wulung.
Tubuhnya terpental ke udara lalu terguling-guling di tanah. Sebuah benda bulat berkilau
tersembul dari pakaiannya lalu jatuh ke tanah. Ternyata cermin sakti milik Ratu Duyung.
Melihat cermin miliknya tergeletak di tanah Ratu Duyung cepat mengambilnya.

Wiro sendiri mengeluh keras, terhenyak jatuh duduk di tanah dan ketika dia memperhatikan
tangan kanannya ternyata beberapa jari tangan itu telah terkelupas kulitnya dan mengepulkan
asap ke biru-biruan. Sesaat tanan kanannya terasa kaku, aliran darah tak karuan dan dada
mendenyut sesak.

Damar Wulung sendiri tangan kanannya tidak berbentuk tangan lagi. Sampai sebatas lengan
tangan itu hancur mengerikan, mengepulkan asap kebiru-biruan.

Bagaimanapun kemarahan Gondoruwo Patah Hati terhadap muridnya itu namun si nenek tidak
tega melihat cidera derita yang dialami Damar Wulung. Dia hendak memburu sang murid. Tapi
Kiai Paus Samudera Biru alias Naga Kuning alias Gunung memegang lengannya seraya berkata
“Intan, apapun yang terjadi dengan muridmu ikhlaskan saja. Mungkin semua itu merupakan
hukuman atas segala perbuatannya di masa lalu…..”

Begitu berdiri Wiro segera mengejar ke arah Damar Wulung yang sambil menggerung kesakitan
berusaha bangun. Damar Wulung baru setengah duduk ketika Wiro sampai dan susupkan tanan
kirinya ke arah pinggang pemuda itu. Tangannya menyentuh sesuatu, segera diambil. Ternyata
sebilah keris bergagang emas. Keris Kiai Naga Kopek!

Ketika Wiro mengejar Damar Wulung dan gerakkan tangannya, Adimesa alias Pendekar Kipas
Pelangi mengira Wiro hendak menghabisi saudaranya itu. Bagaimanapun juga, siapa orangnya
yang berdiam diri saja melihat saudaranya sedarah sedaging hendak dihabisi musuh. Dengan
gerakan kilat Adimesa keluarkan kipas saktinya dari balik baju.

Kipas dibuka. Sambil diarahkan pada Wiro, Adimesa masih punya hari baik untuk berteriak
memberi ingat.

“Wiro! Lihat serangan!”

Kipas sakti digerakkan. Tujuh sinar pelangi berkiblat.

“Wuuuuusss!”

Di depan sana Pendekar 212 yang telah memegang Keris Kiai Naga Kopek jatuhkan diri ke
tanah. Sebagian tubuhnya terlindung di belakang sosok Damar Wulung. Pada saat itulah tujuh
sinar pelangi datang melabrak! Tubuh Wiro dan tubuh Damar Wulung mencelat sampai dua
tombak lalu jatuh bergedebukan di tanah. Kalau Wiro masih bisa bangkit berdiri walau sekujur
tubuhnya terasa bergetar, namun Damar Wulung tetap terkapar di tanah. Pakaiannya hancur,
sekujur badannya kelihatan memar. Dari hidung, mulut dan liang telinga darah mengucur.
Pendekar Kipas Pelangi keluarkan gerungan keras.

“Kakak Adisaka!” jeritnya lalu lari dan jatuhkan diri di samping sosok saudaranya itu. di
tempatnya berdiri Gondoruwo Patah Hati hanya bisa tundukkan kepala dan teteskan air mata.

“Kakak! Aku…..aku tak bermaksud mencelakaimu! Aku…. Gusti Allah, aku telah membunuh
kakakku sendiri! Besar sekali dosaku!” Terisak-isak Adimesa peluki tubuh kakaknya. “Kakak…..
Kakak Adisaka, jangan mati Kak!” Adimesa letakkan kepala kakaknya di atas pangkaun,
membelai rambut lalu mengusap darah yang membasahi wajah kakaknya.

Wiro masih tegak memegangi Keris Kiai Naga Kopek, setengah tertegun. Mukanya pucat, Sutri
Kaliangan tahu-tahu berdiri di hadapannya.

“Wiro, kau berhasil membuktikan bahwa dirimu bukan pencuri keris pusaka ini….”

Wiro mengangguk perlahan. “Senjata pusaka sakti in menyelamatkan aku dari serangan kipas
sakti Pendekar Kipas Pelangi.” Wiro memandang sesaat ke arah sosok Adisaka yang tergolek di
atas pangkuan adiknya. Lalu dia ulurkan tangan, menyerahkan keris emas itu kepada Sutri. “Aku
minta bantuanmu untuk menyerahkan keris pusaka ini pada Sri Baginda di Istana. Jangan lupa
menceritakan semua apa yang terjadi di tempat ini.”

Sutri Kaliangan mengangguk.

“Masih ada satu hutangku padamu. Mengobati sakit ayahmu. Selesai urusan gila di tempat ini
aku akan berusaha melunasi hutang itu. aku sudah tahu obatnya, tinggal mencari saja.”

“Aku percaya kau tak akan ingkat janji,” kata puteri Patih Kerajaan itu. Keris Kiai Naga Kopek
disimpannya di balik pakaian kuningnya lalu gadis ini menemui tiga gadis lainnya.

Pangeran Matahari menjadi kaget. Dia sedang asyik menyaksikan perkelahian antara Wiro
dengan Damar Wulung ketika beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu empat gadis cantik
telah mengurung dirinya yaitu Bidadari Angin Timur, Anggini, Ratu Duyung dan Sutri Kaliangan.

Tapi dasar licik dan panjang akal, sang Pangeran sunggingkan senyum. “Empat gadis cantik,
kalian mau berbuat apa? Mau bicara, mengajakku ke satu tempat untuk bersenang-senang?
Hemmm….. tempat ini memang kurang pantas untuk kita. Ha….ha…..ha!”

“Pangeran keparat!” bentak Ratu Duyung. “Banyak arwah menunggumu di alam barzah!”

“Sudah mau mampus masih bicara ngaco!” damprat Bidadari Angin Timur.

Anggini tidak banyak bicara. Gadis ini loloskan selendang ungunya. Selendang ini adalah senjata
andalannya. Dengan pengerahan tenaga dalam benda yang lembut ini bisa menjadi sekukuh
tombak atau pentungan, bisa juga berubah setajam pedang. Sutri Kaliangan yang sejak tadi
sudah memegang pedang telanjang mendatangi dari samping kiri. Ratu Duyung siap
menggebrak dengan cermin saktinya.

“Wah…..wah! Kalian empat gadis cantik mau mengeroyokku? Apa tidak salah tempat dan
waktu? Bagaimana kalau kalian mengeroyokku di atas ranjang saja nanti?! Ha…ha….ha!”

“Manusia jahanam!” teriak Anggini.

“Laknat terkutuk!” teriak Sutri Kaliangan.

Pangeran Matahari masih terus tertawa-tawa. “Empat gadis mengeroyokku, sungguh luar
biasa! Mari mendekat. Ayo serang! Aku ingin seklai menjamah tubuh kalian!”

Empat gadis keluarkan suara merutuk marah lalu tanpa banyak bicara lagi mereka segera
menyerbu Pangeran Matahari. Ternyata yang menyerang sang Pangeran bukan cuma empat
gadis itu karena tiba-tiba entah dari mana datangnya satu mahluk tinggi besar berambut merah
berwajah singa telah melesat ke dalam kalangan pertempuran dan ikut menyerang. Mahluk ini
bukan lain adalah Singo Abang, yang pernah menyelamatkan Pangeran Matahari dan juga
mengambilnya sebagai murid.

Pangeran Matahari tahu gelagat. Empat gadis yang menyerangnya, di balik kecantikan dan
keelokan lekuk tubuh mereka tersimpan ilmu silat tinggi, tersembunyi kesaktian dahsyat
mematikan. Apalagi kini muncul Singo Abang, sang guru yang berubah menjadi musuh
besarnya. Lalu di sebelah sana Pendekar 212 Wiro Sableng dilihatnya melangkah mendatangi.

“Pengeroyok licik! Lihat serangan!” Pangeran Matahari berteriak. Dua tangan dihantamkan ke
depan, membuka serangan balasan. Dia lancarkan pukulan Dua Singa Berebut Matahari. Lalu
susul dengan pukulan Gerhana Matahari. Anehnya serangan itu tidak diarahkan pada lima
lawannya tapi dihantamkan ke tanah kering di pinggiran kali serta sederetan pohon.

Suara pohon tumbang menggemuruh. Daun-daun yang rontok begitu banyak, menutupi
pemandangan. Ditambah dengan tanah dan pasir yang bermuncratan ke udara. Pinggiran Kali
Mungkung di saat matahari baru terbit itu menjadi gelap.

“Jahanam kurang ajar!” Pendekar 212 memaki. Dia sudah tahu apa yang hendak dilakukan
Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergerak melepas pukulan Sinar Matahari. Dalam udara
gelap satu cahaya putih berkiblat dan panas melabrak ke arah Pangeran Matahari. Namun
serangan Wiro agak terlambat. Sekejapan sebelum pukulan sakti itu berkiblat terdengar suara
benda mencebur masuk kali. Wiro mengejar. Dia hanya sempat melihat sekilas sosok Pangeran
Matahari di ujung kali, lalu lenyap dibawa arus air yang turun deras ke bawah membentuk air
terjun.
Sosok Adisaka tergeletak tidak bergerak di atas pangkuan Adimesa. Matanya terbuka, tapi
pandangannya kosong. Perlahan-lahana mulutnya yang sejak tadi terkancing terbuka sedikit.
Matanya bergerak sayu, manatap wajah adiknya. Lalu dari mulut Adisaka keluar suara nyanyian.

Kaliurang desa tercinta

Terletak di kaki Gunung Merapi

Di sana kami dilahirkan

Alamnya indah penduduknya ramah

Nyanyi yang disenandungkan Adisaka tidak terlalu keras, tapi cukup jelas didengar semua orang
yang ada di tempat itu. ketika dia mulai menyanyikan bait kedua, Adimesa dengan air mata
berlinang ikut bernyanyi bersama kakaknya.

Kami anak desa

Bangun pagi sudah biasa

Hawa dingin tidak terasa

Kerja di sawah membuat sehat

Kerja di ladang membuat kuat

Memasuki bait ketiga suara Adisaka mulai perlahan lalu lenyap sama sekali. Dia batuk-batuk
beberapa kali. Dari mulutnya keluar darah segar. Dia masih memaksakan hendak meneruskan
senandung yang belum selesai dinyanyikan. Namun matanya tertutup, mulut terkancing. Kepala
terkulai.

Suara nyanyian Adimesa ikut lenyap, berganti dengan suara tangis mengiringi kepergian sang
kakak.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai