Anda di halaman 1dari 403

Eps 143 Perjanjian Dengan Roh

DALAM kegelapan dan dinginnya udara malam, Djaka Tua tambatkan kudanya di batang pohon
kelapa. Debur ombak serta deru tiupan angin laut selatan terdengar sambung-menyambung tak
berkeputusan. Lelaki berusia lebih setengah abad ini memandang dulu ke arah laut luas
sebelum melangkah menuju gundukan batu membentuk bukit terjal setinggi sepuluh tombak
dan panjang hampir tigaratus kaki di samping kirinya. Walau sebelumnya cuma satu kali datang
ke tempat itu namun Djaka Tua masih ingat jalan yang harus diambil. Di malam gelap tidak
mudah menyusuri lamping bukit batu terjal serta licin terkikis angin mengandung garam.
Sesekali dia dikejutkan oleh suara kepak sayap kelelawar yang terbang rendah.

Djaka Tua adalah pembantu di rumah seorang pejabat tinggi yang diam di pinggiran Kotaraja.
Nama sebenarnya Akik Sukro namun karena sampai usia limapuluh tahun lebih dia belum
beristri, teman-teman memanggilnya Djaka Tua. Tidak kawinnya Akik Sukro mungkin karena
cacat yang dideritanya sejak kecil yaitu dia memiliki sebuah punuk di belakang leher sehingga
tidak ada perempuan yang suka padanya walau sehari-hari dia adalah seorang lelaki baik budi
pekerti dan tutur bicaranya.

Langkah Djaka Tua terhenti ketika hidungnya mencium bau kemenyan. Ada rasa merinding
namun juga rasa lega karena bau kemenyan itu menandakan tanda orang yang dicarinya berada
di dalam goa di lamping bukit sebelah bawah. Untuk mencapai goa yang dikenal dengan nama
Goa Girijati itu bukan hal yang mudah. Sekali kaki terpeleset tak ampun lagi Djaka Tua akan
jatuh dari lamping bukit batu, ditunggu hamparan batu-batu cadas lancip di bawah sana.

Bau kemenyan semakin santar. Sejarak duapuluh langkah di depannya Djaka Tua melihat satu
cegukan di bukit batu. Di dalam cegukan samar-samar ada cahaya tak begitu terang, membersit
keluar dari satu lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Walaupun jaraknya cuma
duapuluh langkah namun karena harus berhati-hati maka cukup lama Djaka Tua baru berhasil
mencapai cegukan batu dan berdiri di hadapan mulut goa. Di dalam goa Djaka Tua melihat
sebuah pedupaan, mengepulkan asap tipis menebar bau kemenyan. Benda merah menyala
dalam pedupaan adalah sejenis batu bara langka yang dapat bertahan hidup sampai tujuhratus
hari. Dua langkah di belakang pedupaan, duduk bersila seorang lelaki berpakaian dan ikat
kepala hitam dengan wajah tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis serta jenggot dan
cambang bawuk meranggas lebat. Dua kelopak mata yang tertutup tampak merah seolah mata
itu ada nyala api di sebelah dalam. Dua tangan bersilang di atas dada. Dari ubun-ubun, telinga
kanan dan dua lobang hidung mengepul keluar asap tipis kehitaman.

Untuk beberapa lamanya Djaka Tua tertegun di mulut goa. Enam bulan lalu dia mengantarkan
orang itu ke goa. Kini keadaannya jauh berobah, kotor dan angker menggidikkan. Sementara
berdiri Djaka Tua menjadi bingung.
Bagaimana cara memberi tahu kehadirannya pada orang yang tengah bersemedi. Tadinya dia
hendak berdehem atau batuk-batuk. Namun Djaka Tua sadar, mengganggu dan memutus
semedi orang adalah merupakan satu pantangan besar. Agaknya tak ada jalan lain. Dia harus
menunggu sampai orang itu menyelesaikan semedinya. Tapi berapa lama dia harus menunggu?

Ternyata tiga hari tiga malam berada di tempat itu, orang di dalam goa jangankan
menghentikan semedi, bergerak sedikitpun tidak. Djaka Tua mulai gelisah. Persediaan makanan
yang dibawanya hampir habis. Pagi hari keempat bukan saja makanan sudah habis, malah Djaka
Tua diserang demam. Tubuhnya menggigil panas dingin. Terhuyung-huyung Djaka Tua bangkit
berdiri. Dia mengambil keputusan untuk segera saja meninggalkan tempat itu. Di dalam goa
orang yang bersemedi masih tetap tak bergerak, sepasang mata masih terpejam. Tidak mau
ambil perduli lagi, Djaka Tua segera melangkah pergi.

Baru menindak dua langkah, sekonyong-konyong dari dalam goa terdengar suara orang
berucap. “Anak manusia bernama Djaka Tua, kembali! Cepat datang menghadap di depanku!”

Langkah Djaka Tua tersurut. Dia tahu yang bicara itu adalah orang di dalam goa. Tapi mengapa
suaranya berubah besar dan serak. Djaka Tua melihat sepasang mata orang yang bersemedi
masih tetap terpicing.

“Matanya masih terpejam. Tapi dia mengenali diriku. Agaknya dia telah mendapatkan satu ilmu
kesaktian.”

Begitu pikirnya. “Tumenggung Bandoro Wira Bumi, saya Djaka Tua sudah berada di
hadapanmu.”

Ternyata orang yang bersemedi adalah seorang tumenggung, seorang pejabat tinggi Kerajaan.

“Djaka Tua, kau berani mengganggu semediku. Lebih dari itu bukankah kau hanya
kuperkenankan datang pada hari tujuh bulan ketujuh? Kau muncul satu purnama lebih cepat!”

Sangat ketakutan Djaka Tua rundukkan diri hingga keningnya menyentuh lantai goa.

“Maafkan saya, Tumenggung. Kalau tidak ada hal yang luar biasa penting saya tidak akan berani
datang menemui Tumenggung di tempat ini. Sebenarnya saya disuruh datang jauh hari
sebelumnya. Namun saya takut melanggar perintah…”

“Bicara mulutmu seperti anus yang keluarkan kentut!”

maki sang Tumenggung. “Apa saat ini kau tidak melanggar perintah?”

“Maafkan saya Tumenggung.” Djaka Tua membungkuk berulang kali.


Tumenggung Bandoro Wira Bumi tangkap punuk Djaka Tua lalu ditarik ke atas dan dilempar ke
dinding goa. Rasa sakit akibat tubuh yang membentur dinding batu bukan apa-apa bagi Djaka
Tua dibanding dengan rasa takutnya.

“Katamu ada hal luar biasa penting. Kuharap pentingnya sama dengan harga nyawamu! Kau
tahu apa hukuman bagi orang yang berani mengganggu semediku?”

Wajah Djaka Tua jadi pucat. Dengan gagap dia menyahuti. “Tahu, saya tahu sekali
Tumenggung…” jawab Djaka Tua. Suaranya kelu seolah lidahnya mendadak menjadi pendek.

“Apa?!” sentak sang Tumenggung dengan dua mata masih terpejam.

“Mati…” jawab Djaka Tua dengan suara serak.

Kepala Tumenggung Bandoro Wira Bumi mengangguk perlahan beberapa kali. Mulut
sunggingkan seringai angker.

“Katakan berita luar biasa apa yang hendak kau sampaikan padaku!”

“Mohon maaf Tumenggung. Saya Ingin memberi tahu kabar gembira kalau Nyi Ayu Retno
Mantili telah melahirkan seorang bayi perempuan beberapa hari lalu. Tepatnya hari Kemis
Pahing, malam hari menjelang ba’dal Isya…”

Kalau ada petir menyambar di depan hidungnya saat itu, tidak demikian terkejutnya
Tumenggung Bandoro Wira Bumi ketika mendengar ucapan Djaka Tua. Tubuh bergetar.

Asap biru mengepul keluar dari ubun-ubun, hidung dan telinga. Matanya yang sekian lama
terpejam mendadak sontak terbuka membeliak, kelihatan merah menyala laksana ada kobaran
api. Mulut yang terkancing terbuka dan satu makian dahsyat keluar, membuat seantero goa
batu bergetar.

“Jahanam! Tidaakkkk…!”

Djaka Tua yang dalam keadaan tubuh panas dingin karena demam tersurut kaget. Bukan saja
kaget karena teriakan yang begitu keras, tetapi juga kaget melihat Tumenggung marah sekali.
Padahal seharusnya dia bergembira kalau dirinya telah dikaruniai seorang puteri oleh Tuhan
Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

“Apa yang terjadi dengan diri Tumenggung? Ilmu apa sebenarnya yang sedang dituntut orang
ini? Aku melihat pikirannya seperti sudah berubah.” Ucapan itu muncul dalam hati Djaka Tua.

“Djaka Tua, kau sudah puluhan tahun ikut bersamaku, menjadi pembantu kepercayaan di
rumahku. Kau sadar apa yang barusan kau ucapkan? Kau tidak berdusta, tidak sedang
menyebar kebohongan?”
Dalam herannya mendengar kata-kata sang Tumenggung, Djaka Tua cepat menjawab.

“Saya sudah menjadi hamba sahaya sejak ayahanda Tumenggung masih hidup. Bagaimana
mungkin saya berani berkata dusta, bicara bohong?”

“Ketika aku memilih meninggalkan Retno Mantili enam bulan lalu, dia sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dia tidak pernah mengatakan padaku kalau dia tengah
mengandung. Bagaimana mungkin kini kau datang membawa berita bahwa perempuan itu
telah melahirkan seorang bayi perempuan? Setan mana yang menghamilinya?”

“Maaf Tumenggung kalau saya berani mengatakan bahwa Nyi Retno Mantili adalah seorang
gadis desa yang sangat sederhana pikiran serta ilmu pengetahuannya.

Mungkin saja dia tidak tahu kalau dirinya sedang hamil ketika Tumenggung meninggalkannya.”

“Djaka Tua! Kau membawa kabar malapetaka bagi diriku! Sekarang kau ikut aku!”

“I… ikut ke mana, Tumenggung?”

“Menemui Nyai Tumbal Jiwo!”

“Nyai Tumbal Jiwo?! Siapa itu, Tumenggung?”

“Jangan banyak mulut! Jangan banyak tanya! Kau akan lihat sendiri nanti!” teriak Tumenggung
Bandoro Wira Bumi.

Sekali tangannya bergerak dia sudah mencekal leher Djaka Tua. Lalu seperti membembeng
anak kucing begitulah dia membawa Djaka Tua keluar goa. Manusia biasa, seperti kejadiannya
dengan Djaka Tua sewaktu datang tadi, akan mengalami kesulitan dan harus berhati-hati
berjalan di lamping bukit batu itu. Tapi sang Tumenggung melangkah cepat bahkan berlari.

Djaka Tua kemudian merasakan tubuhnya berada di atas kuda, dipacu seperti dikejar setan. Dia
tidak tahu mau dibawa ke mana. Dia tidak tahu siapa itu Nyai Tumbal Jiwo. Di dalam dirinya
yang didera demam panas dingin itu kini semakin menggunung rasa takut.

TUMENGGUNG Wira Bumi hentikan kudanya bersamaan dengan mulai turunnya hujan rintik-
rintik. Djaka Tua tidak tahu saat itu berada di mana. Siksa yang mendera tubuhnya yang panas
dingin karena serangan demam kini bertambah. Sekujur badan terasa sakit, sambungan tulang-
belulang seperti bertanggalan. Ketika dia berusaha mengangkat kepala, tiba-tiba Wira Bumi
cekal lehernya. Tubuh Djaka Tua terangkat lalu bluk! Lelaki berusia setengah abad itu dilempar
dari atas kuda, jatuh bergedebuk di atas tanah. Djaka Tua mengerang. Tulang punggungnya
serasa hancur, sakit bukan main.

“Dosa kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga menerima azab seperti ini?” keluh perjaka
tua itu dalam hati. Dia angkat kepala, memandang berkeliling. Dia melihat gundukan-gundukan
tanah, banyak sekali. Walau malam begitu gelap dan rintikan hujan semakin membesar namun
Djaka Tua menyadari di mana dia berada saat itu.

Pekuburan! Tengkuknya langsung dingin. Jangan-jangan dia hendak dikubur hidup-hidup di


tempat itu.

Tumenggung Wira Bumi melompat turun dari kuda.

Sepasang matanya yang merah memandang garang ke arah pembantunya. Asap kehitaman
mengepul dari ubunubun, dua liang telinga serta lobang hidung dan mulutnya.

“Berdiri cepat! Ikuti aku!”

Terhuyung-huyung menahan sakit, dingin dan juga lapar, Djaka Tua berdiri lalu melangkah
mengikuti Wira Bumi yang berjalan cepat di depannya. Pada arah yang dituju sang
Tumenggung, Djaka Tua melihat sebuah kuburan. Keadaannya berbeda dibanding dengar
puluhan kuburan yang bertebaran di tempat itu.

Kuburan yang satu ini onggokan tanahnya lebih padat dan tinggi. Di atas tanah makam merah
ada tebaran kembang melati. Sebuah pohon kemboja bercabang tujuh tumbuh di kepala
kuburan. Antara pohon kemboja dan bagian atas kuburan menggantung sesaput halimun.
Seperti kebanyakan kuburan-kuburan lain, kuburan ini tidak memiliki batu atau papan nisan.
Justru pada bagian tanah yang seharusnya ditancap nisan terletak sebuah pedupaan
mengepulkan asap bau kemenyan. Asap pedupaan mengepul bergelung ke atas, menembus
lapisan halimun, menebar di sela-sela cabang, ranting serta dedaunan pohon kemboja
membentuk satu pemandangan yang membuat orang jadi mengkirik.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi Tumenggung Wira Bumi dan Djaka Tua akan sampai di
hadapan kuburan mendadak satu bayangan putih berkelebat disertai suara membentak. “Siapa
berani mendatangi makam Nyai Tumbal Jiwo malam buta begini tanpa ijinku?!”

Kalau Djaka Tua langsung hentikan langkah, maka Tumenggung Wira Bumi terus saja berjalan
sambil balas membentak.

“Kuncen Ki Balang Kerso, apa matamu bertambah buta tidak mengenali diriku?”

Bayangan putih yang kemudian berdiri di hadapan Tumenggung Wira Bumi ternyata adalah
seorang kakek berambut putih riap-riapan, memelihara kumis tebal serta janggut putih
menjulai dada, pakaiannya pun serba putih. Yang tidak sedap dilihat dari orang tua ini adalah
kedua matanya yang gembung besar sehingga kelihatan tetutup buta walau nyatanya dia bisa
melihat jelas keadaan di sekitarnya. Ini terbukti dari gerakannya yang berkelebat gesit ketika
munculkan diri tadi.

“Ah, sampeyan Tumenggung Wira Bumi rupanya.”

Berucap sang kuncen. Suaranya bergetar seperti orang menahan dingin. “Adalah aneh,
sampeyan datang sebelum hari perjanjian.”

Tumenggung Wira Bumi menyeringai. “Dunia ini memang penuh keanehan. Terkadang
keanehan itu berakhir pada kematian!”

Kakek serba putih yang jadi penjaga makam tertawa mengekeh. “Aku selalu gembira jika ada
orang bicara soal kematian. Siapa tahu aku bakal dapat rejeki besar malam ini. Tambah satu lagi
makam yang bakal aku urus! Hik… hik… hik!”

“Kuncen Balang Kerso, sejak lama aku tidak suka dirimu. Jangan membuat aku jadi muak dan
muntahkan darah kematian di atas batok kepalamu! Masuklah ke alam roh dan beritahu kalau
aku ingin bertemu Nyai.”

“Begitu?” Ki Balang Kerso berkata sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. “Kuharap kau
tidak lupa aturan di tempat ini.”

“Kuncen keparat…”

“Huss! Jangan bicara kotor di sini kalau tak mau mulutmu pencong dan jadi bisu sampai
kiamat!” Ki Balang Kerso membentak dan mengancam.

“Kuncen sombong! Aku siap mengikuti aturanmu! Dulu aku mengalahkanmu. Rupanya kau
belum kapok! Kali ini aku bukan saja akan mempecundangimu sekali lagi, tapi sekaligus
memberi pelajaran padamu! Kuburan di tempat ini akan bertambah satu lagi!”

Kuncen Balang Kerso tertawa gelak-gelak. Dua kakinya digeser. Luar biasa sekali. Saat itu juga
tubuhnya mengapung dua jengkal ke atas. Dua kaki tidak menginjak tanah lagi!

Kalau Djaka Tua terkesiap melihat sosok Kuncen yang bisa mengapung itu, tidak demikian
halnya dengan sang Tumenggung.

“Ilmu kuno Roh Berjalan di Atas Makam! Tololnya kau mau memamerkan di depanku!” ucap
Wira Bumi mengejek. Sekali dia mendengus asap hitam mengepul ke wajah sang Kuncen.
Karena tidak menduga diserang dengan asap, si penjaga makam sempat gelagapan terbatuk-
batuk. Di lain kejap didahului bentakan keras kakek ini berkelebat lenyap. Lalu, bukk… bukkk!
Tubuh besar Tumenggung Wira Bumi terpental hampir satu tombak ke depan, tersungkur di
atas sebuah kuburan tua.

Balang Kerso tertawa mengekeh. “Tumenggung, percuma Nyai mengirimmu juga ke Goa
Girijati! Ilmu apa yang kau dapat? Ternyata kau masih goblok-goblok juga!”

Walau sempat tertawa dan mengejek namun diam-diam kuncen penjaga makam Nyai Tumbal
Jiwo itu merasa kaget. Dua jotosan yang tadi dihantamkannya ke punggung Wira Bumi ternyata
tidak mendatangkan cidera sama sekali! Padahal, jangankan tubuh manusia, pohon atau
tembok batu saja bisa patah dan jebol!

“Dia sudah memiliki ilmu kesaktian baru. Aku harus berhati-hati…”

“Tua bangka pengecut! Beraninya menyerang dari belakang!” rutuk Tumenggung Wira Bumi.

Kuncen Balang Kerso ganda tertawa. Tubuhnya masih mengapung di udara. “Apa kau lupa kalau
roh itu gentayangan di mana-mana. Serangannya pun datang dari mana-mana!”

“Kalau begitu biar kau kujadikan roh gentayangan benaran saat ini juga!”

Habis keluarkan ucapan Wira Bumi meniup ke depan. Asap hitam menggebu ke sekujur kepala
dan tubuh kuncen penjaga makam. Sosok sang Tumenggung lenyap. Balang Kerso cepat
berkelebat karena dia tahu di balik asap itu akan datang serangan ganas. Betul saja, saat itu
juga sang kuncen melihat dua tangan menderu sebat. Dia palangkan satu lengan di depan
kepala sementara kaki kanan mencuat deras ke depan, kirimkan satu tendangan.

Balang Kerso terkesiap ketika dua tangan yang menyerangnya tiba-tiba lenyap dan
tendangannya hanya mengenai udara kosong. Belum habis rasa terkesiapnya tiba-tiba, bukkk!,
kraaakk!

Orang tua berambut putih penjaga makam menjerit. Tubuhnya terpental lima langkah,
terbanting jatuh di atas sebuah kuburan. Dua tangan terkulai ke samping tak berdaya. Muka
seputih kain kafan, darah mengucur dari sela bibir, nafas megap-megap karena dada yang sesak
serta tulang iga yang patah!

“Pukulan Di Balik Asap Roh Mencari Pahala…” ucap kuncen Balang Kerso, mengenali jurus
pukulan yang tadi dilancarkan Tumenggung Wira Bumi. “Dia sudah mendapatkan ilmu itu.
Untung Nyai masih melindungiku. Kalau tidak aku…” Belum sempat Balang Kerso selesaikan
ucapannya tiba-tiba Tumenggung Wira Bumi sudah berada di depannya.

“Saatnya kau berubah jadi roh benaran!” ucap Wira Bumi geram. Lalu tinju kanannya menderu
ke arah batok kepala sang kuncen.
“Pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat…” Balang Kerso hanya bisa keluarkan ucapan. Dia tak
mampu menangkis ataupun mengelak selamatkan kepala. Sesaat lagi kepala kuncen akan
hancur dihantam pukulan Wira Bumi, tiba-tiba tanah kuburan bergerak-gerak, lalu desss…
desss… desss! Terdengar suara mendesis keras tiga kali berturut-turut. Saat itu juga tanah
kuburan terbelah menganga. Didahului dengan kepulan asap merah satu bayangan merah
melesat keluar dari dalam liang kubur. Satu suara menggema angker menggidikkan.

“Wira Bumi, jangan bunuh dia! Dia telah menerima pelajarannya!”

Di tempatnya tegak berdiri, Djaka Tua tertegun ngeri dan terduduk di tanah.

Mengenali suara orang, Tumenggung Wira Bumi cepat jatuhkan diri lalu berputar ke arah
kuburan. Di situ berdiri satu sosok nenek keriput yang keadaannya serba merah.

Mulai dari muka yang angker keriput sampai rambut yang panjang riap-riapan serta pakaian
berupa kain yang diselempangkan di tubuh merah, tinggi tapi agak bungkuk.

“Nyai Tumbal Jiwo, maafkan diriku kalau telah berbuat kesalahan.” Wira Bumi keluarkan
ucapan lalu bersujud dan tak berani bangkit.

Si nenek Nyai Tumbal Jiwo berpaling ke arah kuncen Balang Kerso yang saat itu masih
tergeletak tak berdaya megap-megap di atas sebuah kuburan. Makhluk yang keluar dari liang
lahat ini angkat tangan kirinya. Selarik sinar merah mencuat keluar dari telapak tangan dan
menyapu ke seluruh permukaan kepala serta tubuh kuncen.

“Balang Kerso! Cideramu sudah sembuh! Bangun dan pergilah!” si nenek berucap. Ketika
mulutnya terbuka kelihatan lidah dan deretan gigi berbentuk caling berwarna merah. Luar
biasa! Saat itu juga tubuh Balang Kerso bergerak. Dia bisa bangkit berdiri seolah tidak ada
bagian tubuhnya yang cidera. Sebelum tinggalkan tempat itu, kuncen susun sepuluh jari di
depan kening, membungkuk sambil berucap. “Terima kasih Nyai… Terima kasih kau telah
menyembuhkan diriku.” Sang kuncen lalu bergerak pergi namun dia tidak sungguhan tinggalkan
tempat itu melainkan bersembunyi di balik sebatang pohon besar dalam kegelapan malam.

Setelah Balang Kerso berlalu Nyai Tumbal Jiwo alihkan perhatian pada Wira Bumi yang sampai
saat itu masih bersujud di tanah.

“Bangun Wira Bumi! Katakan apa urusanmu sampai kau berani muncul sebelum hari perjanjian.
Apa kau tidak sadar asap hitam masih mengepul dari batok kepalamu, masih keluar dari dua
liang telinga, mulut dan lobang hidungmu? Tanda kau belum menyerap seluruh ilmu kesaktian
yang kau semedikan di Goa Girijati karena kau belum merampungkan jumlah hari
pertapaanmu!”

“Maaf Nyai, saya mengerti sekali. Namun di luar pengetahuanku satu perkara besar telah
terjadi.”
“Hemmm, begitu? Siapa lelaki berpunuk yang menjelepok di tanah itu?” Sang Nyai goyangkan
kepala ke arah Djaka Tua.

“Dia pembantuku Nyai. Dia yang memberi tahu tentang terjadinya perkara besar itu.”

“Perkara besar! Katakan padaku apa gerangan adanya perkara besar itu!”

“Mohon maaf dan ampunmu Nyai. Istriku yang ketiga Nyi Retno Mantili telah melahirkan
seorang bayi perempuan beberapa hari lalu…”

“Apa?!” Nyai Tumbal Jiwo berteriak keras. Sepasang matanya bersitkan dua larik cahaya merah
seperti semburan lidah api. “Kutuk sesuai sumpah akan jatuh atas dirimu Wira Bumi! Kau
berlaku fatal! Kau harus membayar mahal untuk kelalaian itu…”

“Aku mengerti Nyai, aku mohon maaf dan ampunmu.”

“Untuk kutuk dan sumpah tidak ada maaf dan pengampunan. Kalau istrimu melahirkan
beberapa hari lalu, ketika kau meninggalkannya enam bulan lalu apakah kau tidak tahu kalau
dia tengah hamil?”

“Aku benar-benar tidak tahu, Nyai. Kau tahu Nyai, Retno Mantili tubuhnya kecil halus. Aku tidak
bisa melihat perubahan pada tubuhnya. Dia tidak menceritakan padaku kalau sedang
mengandung. Dia perempuan desa yang bodoh. Usianya belum mencapai enambelas ketika aku
menikahinya…”

“Tutup mulutmu Wira Bumi! Dulu kau datang padaku untuk meminta berkah keselamatan, ilmu
kesaktian, harta serta kedudukan. Semua permintaanmu aku kabulkan asal kau mau
mengangkat sumpah! Sekarang ucapkan kembali sumpahmu itu! Agar liang lahat, langit dan
bumi mendengar! Hujan, turunlah lebih besar!”

Mendadak hujan yang tadi rintik-rintik berubah menjadi lebat. Wira Bumi menggigil. Entah
karena kedinginan entah karena ketakutan.

Tiba-tiba makhluk serba merah itu hentakkan kakinya ke tanah kuburan. Puluhan bunga melati
yang menebar di atas makam melesat ke arah Wira Bumi. Tumenggung menjerit kesakitan
ketika bunga-bunga melati itu menancap dan melukai tubuhnya. Empatbelas di kepala,
selebihnya menancap di sekujur dada, perut dan paha.

Darah memercik di wajahnya yang kotor serta membasahi pakaian hitam.

“Masih untung aku hanya menancapkan kembang melati itu di permukaan kulitmu! Seharusnya
aku masukkan tembus ke dalam benak, dada dan isi perutmu…”
“Maafkan aku Nyai!.”

“Wira Bumi! Sekarang lekas kau ulangi sumpah yang pernah kau ucapkan dulu di tempat ini!”

Tenggorokan Tumenggung Wira Bumi bergerak naik turun. Dia menatap ke arah Nyai Tumbal
Jiwo seolah minta dikasihani. Namun si nenek balas menatap dengan delikkan mata, membuat
Wira Bumi jadi ciut nyalinya dan segera membuka mulut.

“Aku anak manusia bernama Wira Bumi. Disaksikan roh penghuni kuburan Kebonagung, aku
bersumpah. Bilamana salah seorang istriku atau salah seorang saudara kandungku melahirkan
seorang bayi, maka musnahlah semua usahaku untuk mendapatkan keselamatan, ilmu
kesaktian, harta serta kedudukan. Kecuali jika aku menebus dengan kedua mataku atau aku
membunuh bayi itu dengan tanganku sendiri atau melalui seorang suruhan…”

Habis mengucapkan sumpah itu kembali sekujur Wira Bumi menggigil. Dia merasa sangat lemas
hingga jatuh berlutut.

“Berdiri!” hardik Nyai Tumbal Jiwo.

Wira Bumi kerahkan tenaga, perlahan-lahan bangkit berdiri.

“Bagus! Otakmu masih belum kering untuk mengingat semua sumpah itu!” Nyai Tumbal Jiwo
keluarkan ucapan lalu tertawa panjang. “Sekarang aku tanya padamu anak manusia! Tebusan
mana yang akan kau berikan? Dua matamu atau nyawa anakmu?”

“Aku…”

“Kau tak bisa menjawab. Kau bimbang! Aku benci pada manusia munafik sepertimu. Minggat
dari hadapanku! Kau akan kehilangan semua yang kau minta!” Nyai Tumbal Jiwo tampak marah
dan pelototkan mata merahnya ke arah sang Tumenggung.

“Nyai…, aku… aku tidak mungkin menebus kesalahan dengan menyerahkan kedua mataku…”

“Jadi?!” bentak si nenek. “Bagaimana caramu memenuhi sumpah?”

Hujan tambah lebat. Sesekali kilat menyambar hingga kawasan pekuburan untuk sekejapan
mata terang benderang. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing.

“Aku, aku memilih membunuh bayi itu, Nyai…”

“Kau akan melakukan dengan tanganmu sendiri atau menyuruh orang lain?!” tanya Nyai
Tumbal Jiwo ingin kepastian.

“Aku akan menyuruh orang lain…”


“Orang lain. Hmmm… siapa orangnya?!”

Tumenggung Wira Bumi terdiam. Perlahan-lahan dia putar kepala. Memandang berkeliling
mata membentur Djaka Tua. Pembantu yang sejak tadi berada di tempat itu dan mendengar
semua pembicaraan jadi tersirap pucat ketika melihat majikannya memandang ke arahnya.

“Dia, dia orangnya yang akan membunuh bayi itu!” kata Wira Bumi sambil tudingkan telunjuk
tangan kiri tepat-tepat ke arah Djaka Tua.

Djaka Tua terduduk pucat di tanah. Kagetnya seperti disambar petir.

“Demi Tuhan, demi Gusti Allah, jangan saya Tumenggung. Jangan saya…” kata Djaka Tua sambil
jatuhkan diri menyembah berulang kali.

Nyai Tumbal Jiwo tertawa mengekeh.

“Wira Bumi, kau terpaksa mencari orang lain untuk membunuh bayi itu. Pembantu tak berguna
ini lebih baik kau habisi saat ini juga.”

“Nyai, apa perintahmu akan aku laksanakan. Djaka Tua, kau tak mengenal budi. Kau layak
menerima kematian!”

Wira Bumi melangkah cepat mendekati pembantunya yang masih menyembah-nyembah


ketakutan. Bagaimanapun tentu saja Djaka Tua sangat takut menghadapi kematian. Apalagi
dibunuh begitu rupa. Ketika Tumenggung Wira Bumi angkat tangan kanan siap untuk
menggebuk batok kepalanya, pembantu ini berteriak.

“Ampun Tumenggung, jangan bunuh diriku. Saya akan laksanakan perintahmu. Saya akan
bunuh bayi itu…” Habis berucap begitu Djaka Tua menangis keras.

Sreettt!

Nyai Tumbal Jiwo keluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya yang berupa selempang kain
merah. Benda itu dilemparkan ke hadapan Djaka Tua, menancap di tanah. Ketika Wira Bumi
memperhatikan kagetnya bukan alang kepalang. Benda yang menancap di tanah adalah sebilah
golok besar bersarung. Golok itu adalah miliknya sendiri yang digantung dan dipajang di dinding
kamar tidurnya.

Sungguh aneh. Mengapa tahu-tahu senjata itu bisa berada di tangan Nyai Tumbal Jiwo? Si
nenek tertawa panjang.

“Wira Bumi, bagiku tidak ada yang sulit. Kalau mengambil sesuatu yang berada di tempat jauh
bisa aku lakukan, mengambil jiwa seseorang sama mudahnya bagiku! Hik… hik… hik!”
Si nenek tiba-tiba hentikan tawa. Dia memandang melotot pada Djaka Tua.

“Dengan golok itu kau harus memancung leher bayi yang dilahirkan Retno Mantili! Selesai kau
lakukan letakkan kembali golok di tempat semula, di dinding dalam kamar Tumenggung Wira
Bumi. Kelak aku akan datang untuk memeriksa apakah kau telah melakukan tugasmu atau
tidak. Kau mengerti manusia berpunuk?!”

“Sa… saya mengerti…” Djaka Tua ketakutan setengah mati.

“Lain dari itu!” kata Nyai Tumbal Jiwo pula. “Sebagai bukti kau harus membawa kutungan
kepala bayi itu ke tempat ini, letakkan di atas makam! Kau dengar manusia berpunuk?!”

“Saya dengar…,” jawab Djaka Tua dengan suara menggigil.

“Sekarang ambil golok itu. Tinggalkan tempat ini! Kau harus melakukan tugasmu dalam tiga
hari. Paling lambat hari kelima kepala bayi itu sudah ada di sini! Bungkus dengan kain hitam!”

Dengan tangan gemetar Djaka Tua cabut golok dari tanah. Ketika dia memutar diri untuk
berlalu si nenek membentak.

“Tunggu!”

Djaka Tua menahan langkah dan berpaling.

“Apakah bayi perempuan yang dilahirkan itu sudah diberi nama oleh ibunya?”

Djaka Tua gelengkan kepala lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Saking takutnya dia lari
begitu saja, padahal kudanya yang tadi ditunggangi Tumenggung Wira Bumi ada di dekat sana.

Hanya sesaat setelah Djaka Tua tinggalkan pekuburan Nyai Tumbal Jiwo berkata.

“Wira Bumi, kalau pembantumu sudah melaksanakan tugasnya, untuk menjaga rahasia kau
harus menghabisi manusia berpunuk itu. Kau mengerti?” Wira Bumi mengangguk.

“Menurutku kau juga harus menghabisi Retno Mantili!”

Kembali sang Tumenggung anggukkan kepala. Nyai Tumbal Jiwo tertawa lalu berteriak.

“Hujan! Aku tidak memerlukanmu lagi!”

Luar biasa! Keanehan kembali terjadi. Hujan yang turun lebat perlahan-lahan mereda dan
akhirnya berhenti sama sekali.
“Wira Bumi, kembalilah ke Goa Girijati. Teruskan tapamu yang masih bersisa satu purnama.
Kalau asap hitam tidak lagi mengepul dari ubun-ubun, liang telinga, hidung dan mulutmu itu
pertanda kau boleh menyelesaikan tapamu karena ilmu kesaktian yang kau inginkan telah
menyatu dalam dirimu. Kau bakal mendapatkan apa yang kau minta. Keselamatan, kesaktian,
harta dan jabatan. Mungkin juga seorang istri ditambah beberapa gundik. Hik… hik… hik!”

“Terima kasih Nyai. Aku pergi sekarang…”

“Tidak, aku yang akan pergi lebih dulu.” jawab si nenek lalu tertawa panjang.

Dess… dess… dess!

Terdengar suara mendesis tiga kali. Sosok merah Nyai Tumbal Jiwo berubah jadi asap lalu
melesat masuk ke dalam liang lahat. Begitu ujudnya lenyap, tanah kubur yang tadi bertebaran
berantakan kini kembali bertaut membentuk gundukan merah! Jauh di dalam perut bumi suara
tawa si nenek masih terdengar gaungnya. Asap putih yang tadi menyelimuti pohon kemboja
perlahan-lahan sirna. Udara terasa mencucuk dingin.

Tumenggung Wira Bumi usapkan tengkuknya yang basah oleh air hujan. Melangkah cepat ke
arah kuda milik Djaka Tua dan menggebrak binatang itu tinggalkan pekuburan Kebonagung.

DJAKA Tua sampai di gedung tempat kediaman Nyi Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi,
keesokan harinya tak lama setelah matahari tenggelam. Begitu sampai dan bertemu dengan Nyi
Retno dia langsung jatuhkan diri, menangis keras.

Nyi Retno dan beberapa pelayan tentu saja terheranheran.

“Aki…” begitu Nyi Retno memanggil Djaka Tua, “Apa yang terjadi dengan dirimu? Aku
menyuruhmu menemui Tumenggung di Goa Girijati. Apakah sudah kau lakukan? Apa kabar
yang kaubawa dari suamiku?”

“Sudah Nyi Retno, sudah…” jawab Djaka Tua. Pembantu ini lalu meratap keras. “Saya tak bisa
melakukannya.

Tidak mungkin… Maafkan saya Nyi Retno. Maafkan saya… Ampun Nyi Retno, ampun Tuhan!”
Pembantu itu lalu menangis menggerung-gerung.

“Aki, kau ini kenapa?” tanya Nyi Retno semakin heran sementara bayi yang digendongnya tiba-
tiba menjerit keras dan menangis. Nyi Retno terpaksa membawa masuk bayinya ke dalam
kamar. Sebelum masuk ke kamar, perempuan bertubuh halus ini berkata kepada salah seorang
pelayan perempuan. “Aku akan menyusui bayiku di kamar.
Tanyakan pada Aki apa yang terjadi dengan dirinya. Kulihat sekujur tubuhnya bergetar. Jangan-
jangan dia kemasukan makhluk halus dari kawasan pantai selatan. Kalau betul cari orang pandai
mengobatinya. Selain itu, aku melihat dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik kain
sarungnya.”

Ketika masuk ke dalam kamar tidur, entah mengapa Nyi Retno Mantili memandang ke salah
satu dinding.

Perempuan itu berpikir-pikir lalu unjukkan wajah terkejut.

Dia ingat betul. Di dinding tergantung sebilah golok besar milik Tumenggung. Kini dinding
berada dalam keadaan polos. Golok besar lenyap!

“Golok itu… Bagaimana bisa lenyap kalau tidak ada yang mencuri. Siapa pelakunya?” Nyi Retno
bertanya-tanya pada diri sendiri.

Karena harus menyusui bayinya dan menunggu sampai bayi perempuan itu tertidur lelap,
cukup lama berada dalam kamar baru Nyi Retno keluar. Ketika dia keluar, di bagian gedung
sebelah belakang tengah terjadi kehebohan. Pelayan yang datang ke kamar Djaka Tua untuk
mengantar minuman jahe panas menemui kamar dalam keadaan kosong.

“Kabur! Pasti dia sudah kabur. Pasti dia yang mencuri golok besar milik Tumenggung yang
dipajang di dinding kamar.” Nyi Retno memberi tahu para pelayan. “Ingat ketika tadi aku
mengatakan dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik kain sarungnya?”

“Aneh, Djaka Tua barusan saja datang. Bagaimana sempat-sempatnya dia masuk ke kamar
mencuri golok?

Padahal Nyi Retno hampir selalu berada di kamar,” kata seorang pelayan.

Seorang pelayan lain menyatakan rasa tidak percayanya. “Sulit dipercaya Djaka Tua begitu
berani dan lancang mencuri barang milik Tumenggung. Dia sudah puluhan tahun bekerja di sini.
Malah sejak ayahanda Kanjeng Tumenggung masih hidup.”

“Kalau kalian tidak percaya, ikut aku. Beberapa di antara kalian pernah masuk kamar tidurku.
Tahu di mana golok itu digantung. Lihat sendiri nanti!”

Nyi Retno Mantili mendahului berjalan menuju kamar tidurnya. Begitu pintu dibuka menjeritlah
istri ketiga Tumenggung Wira Bumi ini. Bayi perempuan yang ditinggalkannya di atas ranjang
dalam keadaan tidur pulas kini sudah tak ada lagi di situ!

“Bayiku!” jerit Nyi Retno. “Anakku diculik orang!”


“Lihat!” Seorang pelayan lelaki berseru menunjuk kedinding kiri. Di situ ada sebuah jendela
dalam keadaan terpentang lebar. Nyi Retno langsung melosoh jatuh, terguling pingsan di lantai.
Para pelayan berpekikan.

Malam itu juga kejadian di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi segera tersiar ke berbagai
penjuru pinggiran Kotaraja. Keesokan harinya berita itu telah sampai di Gedung Kepatihan.
Patih Kerajaan segera membentuk kelompok pasukan untuk menyelidik dan melakukan
pencarian di dalam Kotaraja, bahkan sampai jauh keluar Kotaraja. Namun jejak si penculik bayi
tidak ditemukan.

Djaka Tua yang dicurigai sebagai penculik raib seperti ditelan bumi!

Ketika sang patih berusaha menemui Nyi Retno, perempuan ini berada dalam keadaan
terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat. Mata nyalang, hanya sesekali berkedip. Diajak
bicara mulutnya tetap terkancing. Tak ada suara yang keluar.

Hari demi hari keadaan Nyi Retno semakin menyedihkan. Dia tidak pernah meninggalkan
kamar, tidak pernah turun dari atas ranjang. Rambut, wajah dan tubuhnya kotor karena tidak
pernah mandi. Sesekali dia menjerit, kadangkadang meratap panjang dan menangis tersedu-
sedu.

Selama itu tidak ada satupun makanan mengisi perutnya. Untuk minum saja dengan susah
payah pelayan hanya bisa membasahi bibirnya dengan air. Para pelayan di gedung itu semakin
khawatir ketika hari ketujuh Nyi Retno Mantili menunjukkan gejala aneh yaitu suka menyanyi.
Kata atau syair apa yang diucapkan dalam nyanyian tidak jelas.

Seseorang mengatakan sudah saatnya kedua orang tua Nyi Retno yang diam di Wonosari diberi
tahu keadaan puterinya. Dua orang anggota pasukan Kepatihan yang diperbantukan di gedung
kediaman Tumenggung dengan suka rela melakukan tugas itu. Namun sebelum mereka kembali
telah terjadi lagi satu hal yang mengggegerkan.

Suatu tengah malam, ketika dua orang pelayan yang menunggui Nyi Retno tertidur karena
keletihan, seperti mayat hidup Nyi Retno Mantili turun dari ranjang. Dalam keadaan mata
terpejam dia melangkah tanpa suara, membuka pintu kamar.

Keesokan paginya seisi gedung geger. Nyi Retno Mantili lenyap! Usaha untuk mencari sia-sia
belaka. Usaha untuk menghubungi Tumenggung Wira Bumi tidak dapat dilakukan karena hanya
Djaka Tua yang tahu ke mana perginya sang Tumenggung. Padahal pembantu itu sendiri telah
terlebih dulu raib tak tentu rimbanya.

***

Kembali pada malam hari lenyapnya bayi perempuan Nyi Retno Mantili dari gedung kediaman
Tumenggung Wira Bumi.
Djaka Tua berlari sambil mendukung bayi yang dibuntalnya dalam kain sarung. Pembantu ini tak
tahu mau menuju ke mana. Dia berlari sepembawa kakinya saja.

Dalam dirinya hanya ada satu keinginan yaitu menyelamatkan sang bayi. Demi Tuhan, apapun
yang terjadi dia tidak akan membunuh bayi tak berdosa itu.

“Tobat Gusti Allah. Mengapa Tumenggung sampai menuntut ilmu sesat itu. Ke mana aku harus
membawa dan menyelamatkan bayi ini? Aku punya saudara tua di Donorojo. Aku harus
membawa bayi ini ke sana. Tapi bagaimana kalau makhluk roh bernama Nyai Tumbal Jiwo itu
mengetahui. Ya Tuhan, mohon petunjukMu bagaimana aku bisa menyelamatkan bayi ini.”
Pembantu ini jadi bingung dan bertambah bingung ketika udara malam berubah buruk. Angin
bertiup kencang dan hujan mulai turun. Mula-mula kecil saja namun makin lama bertambah
lebat. Bayi dalam gendongan mulai menangis. Dalam bingungnya Djaka Tua berteduh di bawah
sebatang pohon.

Namun kerimbunan daun pohon tidak dapat menahan curahan air hujan yang begitu lebat.

“Aku harus mencari tempat berlindung. Kalau sampai kebasahan bayi ini bisa sakit. Tuhan
tolong kami…” Kilat menyambar. Untuk sesaat keadaan di tempat itu jadi terang benderang.
Walau sekilas, mata Djaka Tua masih sempat melihat satu gundukan tanah berbatu-batu
sejarak duabelas langkah di hadapannya. Di samping kiri gundukan tanah ada sebuah lobang
besar membentuk goa. Tidak pikir panjang lagi Djaka Tua segera lari masuk ke dalam goa. Selain
tinggi ternyata goa itu cukup lapang dan dalam. Djaka Tua duduk bersandar rapat-rapat ke
dinding goa sebelah dalam agar tidak terkena tampiasan air hujan.

Walau kini terlepas dari kebasahan air hujan, namun Djaka Tua masih tetap bingung karena
bayi yang ada dalam buntalan kain sarung masih terus menangis.

“Mungkin dia haus. Ya Tuhan, akan aku beri minum apa bayi ini?” keluh Djaka Tua sambil
menepuk-nepuk bahu si bayi. Tiba-tiba bayi dalam dukungannya memekik keras.

“Cah Ayu, berhentilah menangis. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Jangan menangis nak.
Cep… ceeppp.”

Saat itu entah dari mana datangnya, kabut tipis muncul menutupi setengah ketinggian mulut
goa. Memperhatikan keanehan ini mendadak tenggorokan lelaki berpunuk ini seolah tercekik.
Mata mendelik dan tubuhnya semakin dirapatkan ke dinding. Walau dalam goa gelap namun
Djaka Tua masih bisa melihat cukup jelas bagaimana saat itu muncul satu sosok orang tua
berpakaian selempang kain putih. Demikian tingginya orang ini kepalanya tertutup rambut
putih hampir menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebatang tongkat kayu
putih.
Sepasang matanya walau memandang lembut pada Djaka Tua tapi lelaki ini tetap merasa
ketakutan, membuat sekujur tubuhnya jadi menggigil. Semula dia menyangka yang muncul ini
nenek angker Nyai Tumbal Jiwo, roh penghuni makam Kebonagung.

“Siapa…?” Tanya Djaka Tua beranikan diri dengan suara bergetar sambil matanya berusaha
memperhatikan ke arah belakang orang tua berselempang kain putih. Dia mendengar suara
hembusan nafas berat di belakang sana namun dia tidak melihat apa atau siapa yang ada di
belakang kakek itu karena pandangannya tetutup kabut.

Sesekali ada kilapan dua titik besar berwarna hijau. Djaka Tua tambah merinding.

“Sahabat dalam goa…” Orang di mulut goa menyapa.

Suaranya halus dan panggilan sahabat membuat Djaka Tua jadi tenteram sedikit. Namun
ucapan berikutnya membuat pembantu di gedung Tumenggung Wira Bumi ini menjadi tersirap
darahnya. “Serahkan bayi itu padaku.”

“Tidak! Apapun yang terjadi bayi ini tidak akan kuserahkan padamu! Tidak pada siapapun!”
Jawab Djaka Tua setengah berteriak.

Orang tua di depan goa tersenyum.

“Kalau kau terus mempertahankan bayi itu, dalam waktu satu hari satu malam dia akan
menemui ajal karena kelaparan dan kehausan. Bukankah kau menginginkan dia tetap hidup?”

“Tentu, tentu aku menginginkannya tetap hidup. Itu sebabnya aku melarikan bayi ini. Tapi
untuk menyerahkannya padamu, tidak!”

“Maksudmu baik sekali. Tapi mau kau apakan bayi itu? Kau tak mampu merawatnya.”

“Lalu, apa kau mampu? Aku tidak mau menyerahkannya padamu. Aku tidak kenal dirimu.
Jangan-jangan kau kawannya Nyai Tumbal Jiwo!”

Kakek berambut putih tertawa.

“Sahabat, dengar baik-baik. Maksud kita berdua samasama luhur. Ingin bayi itu selamat dari
kematian akibat ilmu sesat yang sedang dituntut ayahnya…”

“Eh, bagaimana kau tahu?” Djaka Tua heran.

“Sudahlah, Allah akan memberi berkah dan rahmat atas perbuatan baik yang kau lakukan. Aku
akan membawa bayi itu, akan merawatnya baik-baik…”

“Akan kaubawa ke mana bayi ini?”


“Ke satu tempat yang baik dan aman. Dia berjodoh denganku. Tidakkah kau perhatikan bahwa
saat ini dia tidak menangis lagi?”

Djaka Tua perhatikan bayi dalam bedungan kain sarung. Anak perempuan itu memang tidak
menangis lagi bahkan tampak tertidur pulas.

“Bagaimana…?”

Djaka Tua menatap orang tua di hadapannya beberapa lama. Dia kini seperti menyadari orang
ini bukan manusia sembarangan. Perlahan-lahan dia berdiri.

“Kalau kau sia-siakan anak ini, biarlah Tuhan akan mengutukmu sampai hari kiamat!” Si orang
tua tersenyum lalu menyahuti.

“Tuhan tidak pernah mengutuk hambaNya yang berbuat baik. Yang jahat saja masih diberi
petunjuk dan dikasihani.” Ketika orang tua berselempang kain putih mengulurkan tangan,
walau masih ada keraguan namun Djaka Tua ulurkan pula tangannya menyerahkan si bayi.

“Apakah anak ini sudah bernama?” Djaka Tua gelengkan kepala.

“Kalau begitu biar kita berdua memberikan nama padanya. Ken Permata. Kau setuju, sahabat?”

“Aku menurut saja. Kurasa nama itu bagus sekali,” kata Djaka Tua pula.

Orang tua berpakaian selempang kain putih tersenyum lalu berkata.

“Sahabat, aku melihat sebilah golok bersarung di balik pakaianmu. Senjata itu tak ada gunanya
bagimu. Serahkan padaku…” Djaka Tua terperangah sambil meraba pinggang pakaiannya.
“Orang tua ini luar biasa aneh. Apa matanya bisa menembus melihat golok yang tersembunyi di
balik bajuku?” Dia coba memperhatikan sepasang mata orang di hadapannya namun karena
gelap dia tidak dapat melihat jelas.

“Golok ini milik Tumenggung Wira Bumi. Aku tidak mungkin menyerahkannya padamu…”

“Aku tahu. Dengan senjata itu pula dia diperintahkan untuk menggorok batang leher bayi tak
berdosa itu. Betul?” Djaka Tua terdiam.

“Sahabat, senjata itu sudah menjadi senjata terkutuk. Karena merupakan bagian dari perjanjian
sesat di hadapan roh. Senjata itu tidak boleh berkeliaran bebas di luaran.”

“Orang tua, kau rupanya tahu banyak kejadian di pemakaman Kebonagung. Siapa kau
sebenarnya?” Bertanya Djaka Tua.
“Sudahlah, aku hanya minta kau menyerahkan golok itu padaku. Selama senjata itu ada di
tanganmu kau tak bakal merasa tenteram. Selain itu aku khawatir ada yang akan berusaha
merampasnya dari tanganmu.” Djaka Tua kembali terdiam. Akhirnya dia mengalah. Tangannya
menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan golok besar bersarung lalu menyerahkannya pada si
orang tua.

“Sebelum aku pergi, harap kamu mau menghadap ke dinding.” Sebenarnya Djaka Tua hendak
menanyakan apa maksud kakek itu menyuruhnya menghadap ke dinding.

Namun entah mengapa dia ikut saja permintaan orang.

Begitu Djaka Tua menghadap dinding goa sebelah dalam, si orang tua angkat tangan kirinya
yang memegang tongkat kayu putih. Tongkat diusapkan ke punggung Djaka Tua yang ada
tonjolannya sambil berucap. “Semoga Tuhan memberikan rahmat dan perlindungan padamu.”
Satu cahaya putih keluar dari tongkat yang diusapkan.

Untuk beberapa lamanya Djaka Tua masih tegak berdiri menghadap ke dinding. Lama-lama
karena orang tua di belakangnya tidak mengeluarkan ucapan lagi, Djaka Tua palingkan kepala
dan berbalik.

Ternyata orang tua berselempang kain putih tadi tak ada lagi di tempat itu. Sementara
terheran-heran Djaka Tua merasa tubuhnya menjadi enteng dan dia mampu berdiri tegak. Tak
sengaja tangannya mengusap ke punggung.

Astaga! Punuk yang selama limapuluh tahun menempel di punggungnya kini lenyap entah ke
mana. Tidak percaya Djaka Tua mengusap berulang kali. Masih tidak percaya dia buka bajunya
lalu mengusap punggung. Bagian tubuhnya itu kini memang rata, tak ada lagi tulang dan daging
yang menonjol. Akhirnya lelaki itu jatuh berlutut di lantai goa, Mulutnya berulang kali
mengucap. “Allah Maha Besar. Terima kasih Tuhan… Terima kasih.” Djaka Tua lalu bersujud
syukur di lantai goa.

HARI pasar di Imogiri selalu ramai oleh orang yang berbelanja. Seorang lelaki penjual mainan
sejak tadi memperhatikan seorang anak perempuan usia belasan tahun yang tegak di depan
deretan barang dagangannya. Anak perempuan itu bertubuh kecil. Wajahnya sebenarnya cantik
dan pakaian yang dikenakan bukan jenis pakaian orang kebanyakan. Namun sekujur tubuh
mulai dari rambut sampai ke ujung kaki yang tidak memakai kasut kelihatan penuh daki sedang
pakaian lusuh kotor menebar bau tidak sedap.

“Anak,” pedagang mainan menyapa. “Dari tadi saya lihat anak berdiri memperhatikan ke arah
sini. Apakah anak ingin membeli sesuatu? Kalau tidak harap jangan berdiri di depan sini. Kalau
anak berdiri di depan dagangan saya, akan menghalangi orang lain yang akan membeli.”
Anak perempuan itu tidak menjawab. Melainkan menatap sayu pada si pedagang mainan lalu
tampak air mata menetes membasahi kedua pipinya yang kotor.

Pedagang mainan dan istri yang ada di sebelahnya karuan saja jadi tertegun heran. “Bu-ne, aku
menegur baikbaik.

Kenapa dia menangis? Apa salah ucapanku atau kasar suaraku?” bisik si pedagang pada istrinya.

“Kasihan anak perempuan ini. Usianya masih sangat muda tapi keadaannya begini rupa. Aku
kira otaknya kurang waras,” jawab sang istri.

Perempuan muda yang menangis usap air matanya. Tiba-tiba dia berkata, “Bapak, Ibu, aku suka
bonekaboneka itu…”

Di antara barang mainan yang dijual si pedagang memang terdapat sederetan boneka kayu
yang halus dan bagus sekali buatannya. Semua boneka perempuan.

“Kalau anak suka, silahkan pilih yang mana.” Kata pedagang mainan pula.

“Saya tidak punya uang,” jawab anak perempuan itu dengan suara parau menahan tangis.

Setelah berbisik-bisik dengan istrinya lelaki pedagang mainan berkata, “Nak, kau boleh ambil
satu boneka. Tak usah membayar.”

Anak perempuan itu menatap tercengang pada suami istri pedagang mainan. “Sungguh?”
tanyanya tak percaya.

Suami istri pedagang mainan itu mengangguk.

Anak perempuan itu tercenung lalu tawa lebar menyeruak di bibirnya. Sambil menyanyi-nyanyi
kecil dia perhatikan enam buah boneka satu per satu.

“Yang mana ya wajahnya sama dengan anakku?”

Ucapan anak perempuan itu membuat sepasang suami istri jadi saling pandang.

“Nah, aku ambil yang ini saja. Dia mirip anakku. Rambut hitam lebat, mata bagus, bibir mungil,
pipi merah, alis kereng. Bapak, Ibu, aku ambil yang ini, boleh?”

“Boleh, ambil saja,” jawab istri pedagang mainan.

“Terima kasih… terima kasih,” kata anak perempuan itu berulang kali sambil membungkuk-
bungkuk lalu berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan. “Gusti Allah akan membalas
kebaikan Ibu dan Bapak berdua.”
“Anak, kalau boleh bertanya, apakah situ sudah punya anak?”

“Ssstttt… Jangan keras-keras bertanyanya. Aku memang sudah punya anak. Tapi anakku hilang
dicolong orang…”

“Ooo…”

Setelah membungkuk sekali lagi dan layangkan senyum lebar, anak perempuan itu lalu
membawa boneka perempuan yang dipilihnya. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi.

Boneka didekapkan ke dada. Sesekali diayun-ayun seperti menggendong bayi benaran.


Sepanjang jalan yang dilaluinya semua orang memperhatikan. Ada yang merasa heran, lebih
banyak yang merasa iba. Semuda itu sudah menderita penyakit jiwa.

“Kasihan…” kata istri pedagang mainan itu pada suaminya. “Kelihatannya dia seperti anak
perempuan baikbaik.

Masih sangat muda. Mungkin lebih muda dari anak perempuan kita. Heran, apa yang membuat
dia jadi begitu.

Apa benar dia punya anak dicuri orang?” Tiba-tiba istri pedagang mainan itu melihat sesuatu,
“Pak-ne!”

“Ada apa?” sang suami bertanya kaget. “Ada barang kita yang hilang?!”

Istri pedagang mainan melangkah ke depan jejeran barang dagangan. Dia mengambil sesuatu di
dekat deretan boneka kayu. Sebuah benda berkilat diperlihatkannya pada suaminya. Melihat
benda yang dipegang istrinya karuan saja sang suami jadi terkejut.

“Uang perak! Bagaimana bisa ada di situ? Uang siapa?”

Si pedagang mengambil uang perak dan memperhatikan dengan mata tak berkesip.

“Mana aku ngerti. Wong tahu-tahu sudah ada di sini. Pak, uang ini cukup untuk memborong
seluruh dagangan kita.”

“Betul, Bu. Coba periksa. Siapa tahu masih ada lagi.”

“Jangan rakus begitu Pak. Aku punya dugaan. Janganjangan perempuan muda tadi yang
meletakkan uang perak ini.”

“Tapi tadi dia bilang tidak punya uang.”


“Dia itu orang aneh. Bisa saja bilang tidak punya uang. Buktinya…”

“Jangan-jangan dia itu malaikat yang menyaru jadi gembel tidak waras.” Kata sang suami lalu
cepat-cepat masukkan uang perak itu ke dalam koceknya, takut hilang dan takut berubah jadi
daun seperti kejadian aneh yang pernah didengarnya.

***

Perempuan pedagang cita dan kain panjang itu bertubuh gemuk gembrot. Muka bulat
berminyak. Hidung besar tapi pesek nyaris sama rata dengan pipi. Matanya yang sudah belok
memandang melotot pada anak perempuan bertubuh kecil yang tegak di depannya sambil
mengayun-ayun boneka kayu seperti mengayun seorang bayi. Mulut digembungkan lalu dia
membentak.

“Jembel bau! Kowe mau apa berdiri di situ! Lekas pergi atau aku guyur dengan air selokan!”

Anak perempuan yang dipanggil jembel bau tersenyum lalu berkata. “Aku ingin kain panjang
itu. Untuk gendongan bayiku ini.” Sambil berkata dia terus ayun-ayunkan boneka kayunya
seperti mengayun-ayun bayi benaran.

“Kalau mau beli perlihatkan dulu uangmu!” bentak pedagang kain.

“Siapa bilang aku mau beli. Wong aku tidak punya uang. Mau minta…!”

“Perempuan setan! Dasar sinting. Aku jualan, bukan tukang pemberi derma! Menyingkir dari
hadapanku!”

Pedagang kain jadi marah. Dia gulung sehelai kain sarung butut lalu kepretkan ke muka orang.

Cepat-cepat anak perempuan bertubuh dan berpakaian kotor rundukkan kepala. Boneka yang
dipegangnya didekapkan ke dada. Sambil melangkah mundur dia berkata.

“Biyungku gembrot kau galak sekali. Kalau tidak mau bersedekah ya sudah… Anakku sayang,”
anak perempuan itu ciumi wajah boneka. “Orang tidak mau memberi kain bedongan kita harus
sabar. Kau jangan cengeng.” Lalu anak perempuan itu melangkah pergi sambil menyanyinyanyi
kecil dan peluk bonekanya. “Anakku, jangan menangis. Di dunia ini memang ada orang baik,
ada orang jahat. Ada orang pemurah ada orang pelit. Hiii…”

Tak selang berapa lama anak perempuan yang dianggap gembel sinting itu lenyap dari
keramaian, pedagang cita bertubuh gemuk berteriak heboh.

“Kainku! Kain panjangku hilang satu! Tadi masih ada di sini!” Perempuan gemuk ini lari sana lari
sini lalu mengejar ke arah lenyapnya jembel yang membawa boneka tadi. Namun yang dikejar
sudah lenyap entah ke mana.
***

Tengah hari panas begitu, berada di sungai kecil berair dangkal dan jernih terasa nyaman sekali.
Yang tidak diduga, pada tikungan sungai berpohon rindang yang selama ini selalu diselimuti
kesunyian saat itu terdengar suara nyanyian perempuan.

Tidurlah tidur wahai anakku

Jangan cengeng jangan menangis

Ayahmu sedang pergi jauh

Ibu ingin kau menjadi anak manis.

Tidurlah tidur wahai anakku

Tidur dalam pelukan ibu

Jangan bertanya tentang ayahmu

Karena tak seorangpun tahu

Orang yang menyanyi itu duduk berjuntai di atas sebuah batu di pinggir sungai. Dua kaki
dimasukkan ke dalam air yang jernih dan sejuk. Di pangkuannya terlipat sehelai kain panjang
yang masih baru. Di atas kain panjang terbaring sebuah boneka anak perempuan mungil.

Sambil bernyanyi orang itu usap-usap kepala boneka sementara air mata mengucur jatuh ke
pipi. Dialah perempuan muda yang dianggap masih anak-anak dan dihadiahkan boneka oleh
penjual mainan di Pasar Imogiri. Dia pula anak perempuan yang mengambil sehelai kain
panjang jualan perempuan gemuk di pasar yang sama. Dan dia bukan lain adalah Nyi Retno
Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi yang telah berubah ingatan akibat lenyapnya bayi yang
baru beberapa hari dilahirkannya.

Satu kali Nyi Retno Mantili hentikan nyanyian.

“Anakku jangan menangis. Ah kau pasti haus. Mari ibu susukan dulu. Ceeppp… Ayo jangan
nangis lagi.” Nyi Retno buka dada pakaiannya. Boneka kecil lalu dirapatkan ke dada kiri.
Sepertinya dia benar-benar tengah menyusui boneka yang dianggapnya sebagai bayi itu.

Tak lama kemudian kembali nyanyian perempuan malang itu menggema di tikungan sungai.
Sesekali terhenti oleh suara isak tangis menyayat hati.
Entah telah berapa puluh kali nyanyian itu dilantunkan diulang-ulang. Seperti tidak menyadari
kalau hari telah rembang petang. Cahaya sang surya yang panas garang kini berubah lembut.

Tidurlah tidur wahai anakku

Jangan cengeng jangan menangis

Ayahmu sedang pergi jauh

Ibu ingin kau menjadi anak manis

Ketika Nyi Retno hendak melantunkan bait berikut nyanyiannya, sekonyong-konyong ada suara
lain mendahului. Irama nyanyiannya sama namun dua bait terakhir berikut dua bait tambahan
berbeda syairnya.

Tidurlah tidur wahai anakku

Tidur dalam pelukan ibu

Jika kau mau ikut bersamaku

Mudah-mudahan panjang umurmu

Selamat perjalanan hidupmu

Karena Yang Maha Pengasih melindungi dirimu

Nyi Retno Mantili keluarkan suara tercekat. Takut akan dirampas orang, boneka kayu diangkat
dan didekapkan ke dada. Memandang ke depan Nyi Retno Mantili melihat seorang tua yang
wajahnya tertutup janggut putih menjulai panjang, memelihara kumis serta janggut panjang
yang juga berwarna putih.

Mula-mula memang Nyi Retno tampak ketakutan.

Namun sesaat kemudian mulutnya menyeruakkan senyum disusul suara tawa.

“Hik… hik… Malaikat dari mana begitu muncul pandai pula bernyanyi.”

Orang tua yang dipanggil malaikat tersenyum sambil usap janggutnya.

“Anak, kau begitu asyik menyanyi. Apakah tidak menyadari kalau sebentar lagi sang surya akan
tenggelam, senja akan datang disusul munculnya malam?”

Suara orang tua itu perlahan saja sikap dan air mukanya tenang.
“Kalau sang surya tenggelam memangnya kenapa? Kalau senja datang memangnya kenapa?
Tapi kalau malam datang, nah itulah saatnya aku dan bayiku akan mandi di sungai yang jernih
sejuk ini. Karena itu aku harap kau segera berlalu dari tempat ini. Tidak pantas seorang lelaki
berada di dekat tempat perempuan mandi.”

“Ada tempat mandi yang lebih baik dan lebih terlindung. Kalau kau memang mau mandi, ikutlah
bersamaku.”

“Iiihhh! Enak saja kau mau mengajakku mandi! Anakku, ada seorang kakek cabul di tempat ini.
Mari kita pergi mencari tempat mandi yang lain di sebelah hilir.” Habis berkata begitu Nyi Retno
Mantili lilitkan kain panjang ke tubuhnya sebelah atas lalu boneka diselipkan di belakang
punggung.

“Anak, kalau kau pergi ke hilir sungai, ada bahaya menunggumu di sana…” Si orang tua
memberitahu.

“Jangan menakuti diriku dan anakku!” Ujar Nyi Retno.

“Aku tidak menakuti. Justru memberi ingat…”

“Kalau begitu aku akan pergi ke arah hulu sungai.” kata Nyi Retno pula.

“Di arah itu ada bahaya lebih besar menantimu.”

“Ihhh… Biar aku masuk hutan saja kalau begitu,” kata Nyi Retno Mantili lalu melangkah cepat ke
arah pepohonan lebat di tepi sungai di sebelah depannya.

Si orang tua kembali tersenyum dan usap janggutnya lalu melangkah ke hadapan Nyi Retno
Mantili.

“Anak, kalau kau tak percaya ucapanku, tunggulah barang beberapa lama di tempat ini. Kau
akan mengetahui bahwa aku tidak berdusta…”

“Kek, siapa percaya pada dirimu. Pergilah, aku ingin menyanyi menidurkan bayiku.” Lalu Nyi
Retno melangkah mondar mandir di tepi sungai sambil melantunkan nyanyian.

Tidurlah tidur wahai anakku

Jangan cengeng jangan menangis

Ayahmu sedang pergi jauh

Ibu ingin kau menjadi anak manis


Tidurlah tidur wahai anakku

Tidur dalam pelukan ibu

Jangan bertanya…

Belum selesai Nyi Retno menyanyikan lagunya tiba-tiba dari arah rimba belantara yang lebat
redup terdengar suara berdesir. Daun-daun pepohonan bergesek mengeluarkan suara aneh di
telinga. Semak belukar bergoyang-goyang. Di lain saat satu bayangan merah berkelebat. Di lain
kejap berdirilah satu sosok angker mengerikan di depan Nyi Retno Mantili. Membuat
perempuan muda yang telah kehilangan otak warasnya ini berteriak keras, menunjuknunjuk ke
depan.

“Setan merah kesasar dari neraka! Kau mau merampas bayiku! Kau mau menculik bayiku!
Pergi… pergiiii!”

SOSOK serba merah di depan Nyi Retno Mantili yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo
tertawa cekikikan. “Perempuan sinting! Ucapanmu benar sekali. Aku datang dari neraka untuk
membawamu pergi ke sana!”

“Iiihhh! Siapa sudi ikut bersamamu!” ucap Nyi Retno.

“Anakku, ayo kita lekas pergi dari tempat ini! Ada setan hantu merah. Iihhh ngerinya!”

“Setan perempuan! Jangan berani beranjak dari tempatmu!” bentak Nyai Tumbal Jiwo. Jari
telunjuk tangan kanannya dijentikkan ke arah Nyi Retno. Selarik angin menderu sebat. Inilah
totokan jarak jauh yang ganas bernama Jari Pembungkam Roh.

Sebelum angin totokan sampai di tubuh Nyi Retno Mantili, orang tua berambut putih panjang
cepat berkelebat menghalangi. Dia angkat tangan kiri, kembangkan telapak tangan. Tangan itu
bergetar keras ketika totokan jarak jauh menerpa. Seperti menangkap sesuatu orang tua itu
rapatkan jari-jari tangan. Lalu sambil dibuka dia meniupkan tangannya seraya berkata. “Ilmu
jahat, kembali ke majikanmu!”

Nyai Tumbal Jiwo berteriak kaget dan marah ketika ilmu totokannya dikembalikan orang.

“Keparat setan alas! Beraninya kau mencampuri urusanku!” Sekali nenek dari alam roh ini
kibaskan tangan kanannya, totokan yang membalik menyerang dirinya buyar mengeluarkan
suara dess! Membuat dirinya terjajar ke belakang satu langkah. Hal ini terjadi karena sewaktu
mengembalikan angin totokan, kakek berambut putih panjang menjulai menyertakan sedikit
tenaga dalam.
“Tua bangka jahanam! Wajahmu boleh kau tutup dengan rambut putihmu. Jangan mengira aku
tidak mengenal siapa dirimu!”

“Nyai Tumbal Jiwo,” kata kakek berambut putih dan berpakaian selempang kain putih.
Suaranya tenang dan perlahan saja. “Kau sudah lama meninggalkan dunia fana. Mengapa masih
mau gentayangan seperti ini?”

Rambut merah si nenek yang awut-awutan langsung berjingkrak. Mata merah mendelik seperti
bara api. Marahnya bukan main.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas! Aku mau gentayangan ke mana aku suka, apa urusanmu?”

Orang tua yang dipanggil Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku hanya mengingatkan.
Kalau terlalu lama dalam dunia nyata aku khawatir kau tersesat dan tak bisa kembali ke dalam
alam rohmu.”

“Kakek setan! Aku tidak perlu nasihatmu! Kau sendiri yang bermukim di dasar telaga jauh di
puncak Gunung Gede mengapa bisa berkeliaran sampai ke sini?!”

“Aku hadir di sini karena memang sengaja menunggu kedatanganmu. Kau telah membuat
sengsara perempuan bernama Nyi Retno Mantili ini. Sekarang kau malah punya niat lebih jahat
hendak membunuhnya! Setelah mati dan jadi roh gentayangan bukannya kau bertobat malah
masih tega-teganya menebar malapetaka.”

Nenek serba merah pencongkan mulut. Lalu dia mendongak sambil umbar tawa cekikikan. “Ah,
jadi kau punya maksud hendak menghalangiku! Nyalimu besar sekali!”

Nyai Tumbal Jiwo berdecak beberapa kali, golang-goleng kepala lalu sambung ucapannya. “Aku
tanya dulu. Apakah saat ini kau membawa nyawa cadangan? Hik… hik… hik!

Apa kau lupa bahwa kekuatan roh dari alam gaib berada jauh di atas kekuatan alam manusia
penghuni dunia serba fana ini?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Di dunia ini tidak ada yang lebih kuat. Kecuali kekuatan
yang dimiliki Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Siapa saja berani menghadapiNya akan hancur
lebur. Termasuk kau!”

Nyai Tumbal Jiwo luruskan tubuhnya yang bungkuk lalu tertawa mengekeh. Sepasang mata
menyala. Ketika tertawa kelihatan lidah serta giginya yang berwarna merah.

Lalu sambil usap-usap dadanya yang kurus ceper, makhluk dari liang kubur ini berkata.
“Aku pikir-pikir ada baiknya juga perbuatanmu menghadangku di tempat ini. Kau sudah terlalu
lama hidup di dunia. Tubuhmu sudah bau tanah. Kalau kau mendesak mencegah apa yang akan
aku lakukan, dengan senang hati aku akan menunjukkan jalan ke pintu neraka untukmu!”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa perlahan. Kembali dia mengusap janggut putihnya lalu
membungkuk. “Terima kasih kau mau berbaik hati. Aku memang belum tahu jalan menuju
pintu neraka. Ada baiknya kau menuntun agar aku tidak tersesat. Ha… ha… ha…” Sambil
tertawa Kiai Gede Tapa Pamungkas melirik ke arah Nyi Retno Mantili yang tengah mengayun-
ayun boneka kayu sambil menyanyinyanyi kecil. Orang tua ini kibaskan jenggot panjangnya.

“Nyi Retno, jangan ke mana-mana. Tetap di tempatmu!”

ucap sang Kiai. Saat itu juga dari ujung jenggotnya melesat satu cahaya putih. Gerakan Nyi
Retno mengayun-ayun boneka mendadak sontak terhenti. Sekujur tubuhnya terselubung kabut
putih.

“Aduh anakku, mengapa ibumu jadi tidak bisa bergerak?” seru Nyi Retno. “Hai, jangan kau
menangis…”

Sekujur tubuh Nyi Retno yang masih terbungkus kabut putih menjadi kaku tak bisa bergerak
namun dia masih bisa keluarkan suara.

Melihat apa yang dilakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas Nyai Tumbal Jiwo sunggingkan seringai
mengejek.

“Kabut Dewa Pelindung Raga! Kau kira aku tak bisa menembus ilmu picisan itu?! Lihat!”

Sambil membentak Nyai Tumbal Jiwo jentikkan lima jari tangannya ke arah Nyi Retno.

“Mampus kau perempuan sinting!”

Wutt… wutt… wutt… wutt… wutt!

Lima larik sinar merah berkiblat. Melesat deras menghantam tubuh Nyi Retno yang terbungkus
kabut putih.

Tarr… tarr… tarr… tarr… tarr!

Lima letusan dahsyat menggelegar di tikungan sungai. Percikan api bertebaran ke udara. Nyi
Retno terpekik.

Walau pukulan sakti Lima Jari Akhirat membuat tubuh Nyi Retno Mantili terpental dan masuk
ke dalam sungai dangkal, tersandar ke sebuah batu, namun pukulan itu tidak mampu
menembus kabut putih yang membungkus hingga perempuan muda malang itu tetap dalam
keadaan selamat. Bahkan tubuhnya serta tubuh boneka kayu tidak sedikitpun basah terkena
air!

Dua orang sakti itu sama-sama terkejut.

Nyai Tumbal Jiwo telah meyakini ilmu pukulan Lima Jari Akhirat lebih dari duapuluh tahun.
Selama ini tidak ada seorang lawanpun bisa selamat dari serangannya. Kalau pun mampu
bertahan hidup sekujur tubuhnya akan cacat melepuh seperti terpanggang dan tak akan
sembuh seumur hidup. Nenek makhluk dari alam roh ini sudah lama mendengar nama besar
Kiai Gede Tapa Pamungkas dan juga tahu kalau kakek sakti dari puncak Gunung Gede ini
memiliki ilmu yang disebut Kabut Dewa Pelindung Raga.

Tidak dinyana hari itu dia bertemu dan menyaksikan kehebatan ilmu membentengi diri yang tak
sanggup ditembus pukulan Lima Jari Akhirat. Diam-diam si nenek jadi bergeming juga.

Di lain pihak Kiai Gede Tapa Pamungkas juga merasa kaget. Walau serangan lima larik sinar
merah si nenek tidak sanggup menembus ilmu Kabut Dewa Pelindung Raga, namun dengan
membuat Nyi Retno Mantili terpental sudah cukup bukti bahwa nenek jahat itu tidak bisa
dipandang enteng. Nenek jahat ini benar-benar ingin menghabisi perempuan muda malang dan
tak berdosa itu.

“Kalau makhluk satu ini dibiarkan terus berkeliaran, bakal celaka rimba persilatan tanah Jawa,”
begitu sang Kiai membatin. Maka dia membuat satu kali lompatan dan kini hanya terpisah
sepejangkauan tangan dari hadapan si nenek.

Walau nyalinya agak ciut namun Nyai Tumbal Jiwo pandai menyembunyikan. Nenek ini
membentak lantang. “Perlu apa kau mendekati diriku! Aku melihat ada maksud mesum dalam
matamu! Kau tertarik padaku?!”

Wajah klimis di balik juntaian rambut, kumis dan janggut lebat Kiai Gede Tapa Pamungkas
tampak berubah merah mendengar ucapan Nyai Tumbal Jiwo.

“Kiai! Lekas menyingkir dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini! Jangan kau berani menyentuh
tubuh istri Tumenggung itu. Apalagi berani membawanya! Hari ini aku masih mau memberi
pengampunan padamu! Tapi lain waktu jika kau berani unjukkan muka di depanku, aku tak
segan-segan merampas jiwamu. Kau akan aku kirim ke alam roh. Di situ kau akan menjadi
budak hamba sahayaku! Pergi!”

Nyai Tumbal Jiwo dorongkan dua tangan ke arah si kakek.

Kiai Gede Tapa Pamungkas mendengar ada suara bergemuruh seperti dua batu besar
menggelinding deras ke arahnya. Sambaran angin panas menderu membuat tubuh sang Kiai
tergontai-gontai.
“Pukulan Angin Roh Pengantar Kematian!” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengenali
serangan lawan. Dia pernah mendengar kehebatan pukulan ini. Walau tidak gentar menghadapi
namun kakek sakti dari telaga di puncak Gunung Gede ini cepat melesat ke atas sampai satu
tombak. Angin pukulan lawan menderu lewat, menghantam tebing sungai di seberang sana
hingga terbongkar longsor!

Nyai Tumbal Jiwo terkesiap kaget, tidak menyangka lawan bisa lolos dari serangan mautnya
tadi. Dia lebih terkejut lagi ketika merasakan dada kirinya berdenyut.

Ketika dia menunduk memperhatikan, makhluk dari liang kubur ini langsung menjerit. Dia tidak
merasakan sama sekali tidak menyadari kapan lawan melancarkan serangan balik. Namun saat
itu dada kirinya tahu-tahu kelihatan menggembung merah.

“Tua bangka cabul! Beraninya kau menyentuh aurat terlarangku!” teriak si nenek. Padahal yang
diserang dan disentuh Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah bagian bahu kiri di bawah tulang
belikat. Namun akibatnya menggembung sampai membengkakkan payudara kiri si nenek yang
tadinya rada ceper.

“Jahanam! Lari ke mana kau!” teriak Nyai Tumbal Jiwo.

Dia melompat mengejar ke tepi sungai. Namun terlambat.

Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berada jauh di sebelah sana, lari sambil menggendong Nyi
Retno Mantili. Seperti berlari di atas tanah, begitulah dia berlari di atas air sungai menuju ke
hulu.

“Jahanam pengecut!” maki si nenek. Kemudian dia memperhatikan dada kirinya yang
melembung merah. Lalu dia tertawa sendiri. “Sayang, cuma yang kiri yang menjadi besar. Kalau
dua-duanya. Hik… hik… hik. Aku akan lebih montok dari perawan.” Terbungkuk-bungkuk Nyai
Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu. Sesekali diusapnya dada kirinya yang mendenyut sakit.
Mulut keluarkan ucapan. “Kiai Gede Tapa Pamungkas. Aku tidak rela kau buat jadi mainan
seperti ini. Kelak aku akan ganti membuatmu jadi barang mainanku! Kalau aku tidak sanggup
menembus ilmu kesaktianmu, jangan kau kira aku tidak sanggup menembus imanmu! Hik…
hik… hik!”( Mengenai Kiai Gede Tapa Pamungkas, kakek sakti yang diam di dalam telaga di
puncak timur Gunung Gede kisahnya dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng episode “Pedang
Naga Suci 212” . Sang Kiai adalah guru dari Sinto Weni alias Sinto Gendeng dan Sukat Tandika
alias Tua Gila).

Kepada kedua muridnya itu dia mewariskan sebilah senjata berbentuk kapak yakni Kapak Naga
Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Ternyata Sinto Weni bukan cuma mengambil kapak sakti,
dia juga membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan menyembunyikannya di satu tempat.
Pedang ini kemudian dipercayakan dan diserahkan pada Puti Andini. Setelah hancurnya 113
Lorong Kematian dan meninggalnya Puti Andini untuk kedua kali, pedang ditemukan. Pendekar
212 minta agar senjata mustika itu diserahkan pada Sinto Gendeng namun ditolak oleh Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai membawa senjata itu kembali ke puncak Gunung Gede.

SEJAK pagi angin barat bertiup kencang. Deburan ombak di pantai selatan bergemuruh tiada
henti. Di dalam goa Girijati Tumenggung Wira Bumi bersujud di hadapan Nyai Tumbal Jiwo.

“Cukup, sudah saatnya kau harus pergi meninggalkan goa ini. Semua yang kau minta padaku
ada yang telah kesampaian dan ada yang bakal menjadi kenyataan. Yang telah kesampaian kini
kau memiliki ilmu kesaktian tinggi.

Tidak sembarang orang sanggup mengalahkanmu, yang akan menjadi kenyataan ialah
keselamatan, kedudukan atau jabatan serta harta melimpah ruah. Sekarang bangkit dan duduk
di hadapanku!”

Tumenggung Wira Bumi segera bangun dari sujudnya lalu duduk bersila di depan makhluk alam
roh yang serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Nenek ini kembangkan tangan
kanannya yang sejak tadi digenggam.

Ternyata dalam genggamannya ada tiga helai daun sirih, tujuh kuntum bunga melati dan
sebongkah kecil kemenyan.

Setelah bunga melati dan kemenyan dimasukkan ke dalam lipatan tiga helai daun sirih, si nenek
menyerahkan lagi pada Tumenggung Wira Bumi. “Malam ini malam Jum’at Legi. Saat yang
paling baik dan ampuh untuk menyantap sirih, melati dan kemenyan. Kunyah lumatlumat dan
telan!”

Tumenggung Wira Bumi lakukan apa yang diperintahkan Nyai Tumbal Jiwo. Si nenek
memperhatikan sambil mulutnya komat-kamit melafalkan sesuatu. Setelah menelan sirih,
melati dan kemenyan, Tumenggung Wira Bumi merasa tubuhnya menjadi enteng hangat dan
seolah berubah besar. Kepala menyondak langit-langit goa. Tubuh si nenek dilihatnya menjadi
kecil.

“Tumenggung, sirih kembang melati dan kemenyan yang barusan kau telan menjadi kunci
segala ilmu kesaktian yang telah kau dapatkan. Seumur hidup ilmu itu akan mendekam dalam
dirimu.” Setelah diam dan menatap wajah sang Tumenggung beberapa ketika, si nenek
berwajah angker merah keriputan melanjutkan ucapan. “Saat ini aku menyampaikan satu kabar
buruk padamu. Beberapa waktu lalu aku berhasil menyirap lewat pendengaran dan penglihatan
jarak jauh di mana beradanya Nyi Retno Mantili…” Si nenek perhatikan wajah Wira Bumi. Wajah
sang Tumenggung sama sekali tidak berubah ketika nama istrinya disebut. “Aku berhasil
menemuinya di satu tempat. Maksudku akan kubawa menemuimu untuk kau habisi sesuai
sumpahmu tempo hari. Aku ingin urusan satu ini bisa tuntas lebih cepat.
Namun tidak disangka muncul seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia
berhasil menghalangi niatku. Dia kemudian melarikan diri dan istrimu bersamanya. Aku yakin
dia menuju puncak Gunung Gede. Setahuku dia diam di sebuah telaga. Urusan dendam
kesumat dengan kakek ini biar aku yang membereskan.

Karena aku gagal membunuh, sesuai perjanjian kau tetap harus membunuh istrimu. Kau harus
pergi ke puncak Gunung Gede. Kau dan aku kini mengetahui bahwa pembantumu Djaka Tua
tidak melaksanakan perintah. Dia tidak membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno. Di mana dia
sekarang berada, juga bayimu tidak diketahui. Seperti ada satu kekuatan melindungi dirinya.
Menjadi tugasmu mencari kedua orang itu dan membunuh mereka!”

“Bagaimana dengan golok besar yang harus aku pakai untuk menggorok leher bayi?” tanya
Tumenggung Wira Bumi pula.

“Senjata itu raib. Mungkin ada pada Djaka Tua. Kau harus mendapatkan golok itu karena
memiliki tuah setelah menjadi bagian dari perjanjianmu! Kau boleh membunuh anak
perempuan dan istrimu tanpa mempergunakan golok itu.”

“Semua perintah Nyai akan saya lakukan.” Wira Bumi membungkuk dalam-dalam lalu berdiri.

“Sebelum Kau kembali ke gedung kediamanmu di Kotaraja, kau harus berendam dulu di dalam
laut sana sampai matahari tenggelam. Setelah itu baru berangkat ke Kotaraja. Tapi ingat, kau
tidak boleh masuk ke dalam gedung kediamanmu sebelum lewat tengah malam. Dan untuk
masuk ke dalam gedung, kau harus lewat pintu belakang. Jangan sekali-kali masuk melalui pintu
depan.

Kau mengerti, Tumenggung?”

“Aku mengerti Nyai. Terima kasih atas semua petunjukmu. Terima kasih banyak atas semua
yang telah kau berikan padaku. Kelak aku akan kembali menemuimu untuk membalas budi
baikmu.”

“Kau tak perlu bersusah payah mencariku. Perjanjian antara kita sudah cukup. Namun ada satu
hal yang harus kau lakukan sebelum pergi…”

“Aku mengerti. Nyai minta saya berendam dalam air laut..”

Si nenek tersenyum, “Sebelum mandi berendam air laut, kau harus mandi berendam keringat
lebih dulu. Hal ini harus kau laksanakan setiap saat aku membutuhkan.” Si nenek hentikan
ucapan. Sepasang mata memandang merah berkilat pada Tumenggung Wira Bumi yang
bertubuh kekar besar itu.

“Tumenggung, aku minta kau melayaniku sebelum pergi. Puluhan tahun di dalam liang kubur
rasanya sungguh menyebalkan.”
Kejut Tumenggung Wira Bumi bukan alang kepalang.

Sama saja dia mendengar suara halilintar di depan mata! Habis berkata si nenek langsung saja
buka pakaiannya berupa kain merah yang melilit di tubuh. Tumenggung Wira Bumi melangkah
mundur. Wajahnya tampak gelap melihat sosok bugil si nenek. Dia memperhatikan, payudara
Nyai Tumbal Jiwo sebelah kiri ternyata sangat besar sedang yang sebelah kanan datar nyaris
licin.

“Nyai, hal ini tidak termasuk dalam perjanjian…” Si nenek menyeringai, mata dikedipkan.

“Justru ini adalah patri indah dari perjanjian kita yang aku sebut Perjanjian Dengan Roh.”

“Nyai, aku mohon…”

“Tujuh bulan kau tidak menggauli perempuan. Apa otakmu tidak jadi buntu? Apa dadamu tidak
serasa rengkah? Apa urat-urat aliran darahmu serasa tidak terbakar?! Lihat tubuhku, apa kau
tidak tertarik?”

“Nyai, aku…”

Si nenek tempelkan tubuhnya ke tubuh Tumenggung Wira Bumi. Dua tangan merangkul erat.
Sang Tumenggung merasakan tubuhnya panas bergetar. Dalam penglihatannya si nenek telah
berubah menjadi seorang dara secantik bidadari.

Nyai Tumbal Jiwo tertawa panjang ketika Tumenggung Wira Bumi balas memeluk lalu dengan
penuh nafsu membaringkannya di lantai goa.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas, giliranmu akan tiba…” Ucap si nenek yang tidak sempat lagi
terdengar oleh Tumenggung Wira Bumi akibat nafsu yang telah membakar sekujur tubuhnya.

***

Dua belas purnama setelah bentrokan antara Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan Nyai Tumbal
Jiwo. Di tepi sebuah telaga di bagian timur puncak Gunung Gede, Nyi Retno asyik bermain-main
dengan boneka kayu yang dalam ketidakwarasannya menganggap sebagai bayi atau anaknya.
Sesekali terdengar suaranya tertawa senang.

Lain ketika dia menyanyi-nyanyi kecil. Lalu sesekali dia meratap menangis.

Dari bagian lain pinggiran telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah mendatangi.

“Nyi Retno aku gembira melihat kau senang sekali pagi ini. Kau tertawa-tawa, kau menyanyi.
Apakah kau sudah memberi makan anakmu yang lucu itu?”
“Kiai,” ucap Nyi Retno yang saat itu rambut, tubuh dan pakaiannya kelihatan bersih. Badannya
tampak jauh lebih gemuk berisi dibanding pertama kali Kiai Gede Tapa Pamungkas
membawanya ke tempat itu setahun lalu.

Kulitnya bersih dan lebih putih. “Untung kau memberi ingat! Pagi ini aku memang belum
memberinya makan. Ibu macam apa aku ini. Ah, kasihan anakku…”

Dari sebuah kantong kain yang tergantung di punggungnya Nyi Retno mengeluarkan sendok
kayu. “Anak, ayo makan dulu. Makan yang banyak agar kau gemuk dan sehat.” Nyi Retno lalu
menggerak-gerakkan tangan kanannya yang memegang sendok seolah tengah mengaduk
makanan. Lalu sendok itu didekatkannya ke mulut boneka kayu. Demikian dilakukannya
berulang-ulang. “Makan yang banyak. Biar gemuk dan sehat,” katanya setiap kali dia membuat
gerakan seperti menyuapi.

Kiai Gede Tapa Pamungkas memperhatikan dengan perasaan haru. Dia mampu memberi
kesembuhan pada sosok lahir perempuan yang usianya belum mencapai tujuhbelas tahun itu.
Dia mampu mewariskan beberapa ilmu kesaktian. Namun ada satu hal yang sangat
dirisaukannya. Walau Nyi Retno nampak patuh dan selalu memperhatikan apa yang
diucapkannya, namun dia tak pernah mampu mengembalikan jalan pikiran Nyi Retno Mantili
kembali waras seperti semula.

“Nyi Retno, sudah berapa usia anakmu sekarang?” bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Kalau aku tidak salah menghitung sudah satu tahun. Eh, apa iya? Nah, mana tua anakku
dengan Kiai?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Anak, sudah satu tahun kau masih belum memberinya
nama…”

Nyi Retno menatap sang Kiai lalu memandang boneka kayu sambil usap-usap kepalanya.
Wajahnya tampak sedih. Air mata mengucur membasahi pipi.

“Kiai, aku memang sudah menyiapkan sebuah nama untuk anakku ini. Tapi takut nanti ayahnya
tidak setuju. Aku pikir biar ketemu ayahnya dulu. Cuma aku tidak tahu di mana mencari ayah
anakku ini.”

“Kalau kau memang sudah punya calon nama, ya sudah disebut saja. Soal apakah ayahnya nanti
setuju apa tidak, biar itu urusan nanti. Nyi Retno, siapa nama yang sudah kau siapkan itu?”

“Mmmm… Kemuning.” Jawab Nyi Retno Mantili pula.

“Singkat tapi bagus.”


“Sejak kecil aku suka pohon kemuning. Buahnya bisa dipakai untuk mengkilapkan kuku.”

“Mulai hari ini kita akan memanggil anak itu Kemuning.

Nama bagus, nama bagus…”

Nyi Retno angkat boneka yang dipegangnya tinggi-tinggi lalu menciumnya berulang kali. Lalu
dia berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Kiai, kau pernah bilang. Satu ketika aku boleh meninggalkan tempat ini. Kapan? Hari ini, besok,
lusa…?”

“Sebetulnya aku tetap ingin kau berada di sini sampai keadaan di luar benar-benar aman
bagimu dan puteri kecilmu itu.”

“Aman bagaimana Kiai? Apa masih ada orang jahat yang ingin membunuhku? Nenek rambut
merah yang di sungai dulu? Aku tidak takut.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang wajah Nyi Retno penuh kagum. “Ternyata ingatannya
ke masa lampau masih cukup jernih. Semoga Tuhan memberi kesembuhan padanya…”

“Kiai, bukankah Kiai telah membekali diriku dengan berbagai ilmu kesaktian? Selain itu ke mana
aku pergi bukankah Kiai akan mengikuti, menjagaiku, melindungi anakku. Kau harus
menganggap anak ini sebagai cucumu, Kiai!”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil mengusap kepala Nyi Retno orang tua ini
berkata. “Tentu saja. Tentu saja anakmu itu sudah kuanggap cucu sendiri. Namun aku tidak
mungkin selalu ada bersamamu…”

“Kalau begitu aku boleh pergi sendiri ke mana aku suka. Aduh, senangnya…” Nyi Retno Mantili
tertawa girang, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.

“Belum saatnya Nyi Retno. Tunggulah beberapa lama lagi,” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas
dengan hati masgul.

“Kiai, kau jahat! Kau pembohong! Aku benci padamu!” ucap Nyi Retno lalu lari ke dekat pohon.

Si orang tua mendatanginya, membujuk sambil membelai rambutnya. Dia sering mengusap
kepala dan membelai rambut Nyi Retno sambil mengerahkan hawa sakti. Maksudnya untuk
memberi kesembuhan, agar pikiran Nyi Retno kembali waras. Namun kesembuhan itu tidak
kunjung datang.

“Nyi Retno, aku akan masuk ke dalam telaga sebentar. Tunggu di sini.”
“Ya, aku akan tunggu di sini. Anakku mulai rewel. Mungkin dia haus…” Jawab Nyi Retno Mantili.

Begitu si orang tua beranjak dari hadapannya, dia buka pakaiannya di bagian atas lalu dekatkan
bibir boneka ke dadanya.

Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke arah telaga yang airnya selalu bergemericik seolah
mendidih. Sampai di tepi telaga dia tidak berhenti melainkan terus saja berjalan. Luar biasa!
Ternyata kakek ini mampu berjalan di atas air! Tepat di tengah telaga tiba-tiba besss! Sosok si
orang tua raib ke dalam telaga. Air telaga muncrat sampai setinggi dua tombak. Tak selang
berapa lama Kiai Gede Tapa Pamungkas muncul keluar dari dalam telaga. Di tangannya dia
membawa sebuah benda bergulung seperti sabuk. Benda ini bukan lain adalah Pedang Naga
Suci 212.

Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, episode berjudul “Kematian Kedua”,
senjata sakti ini muncul di atas perut Puti Andini alias Yang Mulia Sri Paduka Ratu yang saat itu
telah menemui kematiannya yang kedua. Pendekar 212 Wiro Sableng coba mengambil namun
dia kedahuluan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang mendadak muncul di tempat itu. Selaku
pemilik pedang dia mengambil senjata tersebut dan menyimpan sampai ada seseorang yang
layak memegangnya. Agaknya hari itu Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa telah menemukan
orang yang cocok untuk diserahi pedang mustika itu. Yaitu Nyi Retno Mantili. Namun darah
orang tua ini agak berdesir ketika melihat Nyi Retno Mantili tak ada lagi di bawah pohon di tepi
telaga. Hatinya jadi tidak enak. Dia berteriak memanggil berulang kali. Tak ada jawaban.
Seluruh kawasan timur puncak Gunung Gede diselidiki. Nyi Retno Mantili raib tanpa bekas.

Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali ke telaga. Duduk di bawah pohon di mana Nyi Retno
terakhir kali duduk menyusukan anaknya. Gulungan Pedang Naga Suci 212 diletakkan di
haribaan.

“Ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri. Dia pasti pergunakan ilmu yang aku ajarkan itu untuk
kabur dan menghilang…” Sang Kiai tarik nafas dalam. Lama orang sakti ini tercenung. Kemudian
senyum menyeruak di bibirnya. “Kalau benar dia menggunakan ilmu itu untuk menghindari
kejaranku, berarti lagi-lagi satu kenyataan bahwa otak dan jalan pikirannya masih memiliki
bagianbagian kewajaran.” Kiai Gede Tapa Pamungkas memang sengaja mengajarkan ilmu
kesaktian untuk melenyapkan diri itu pada Nyi Retno agar dapat melindungi diri bila sewaktu-
waktu ada orang hendak berbuat jahat terhadapnya. Kini ilmu itu justru dipergunakan untuk
menyiasati dirinya. Orang tua ini mengusap janggut panjangnya berulang kali sementara
rambut putih menjulai menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu tampak tersenyum kembali.

“Kalau dia ingat akan ilmu itu lalu mempergunakannya, berarti ada jalan pikiran serta kesadaran
dalam benaknya.

Ya Tuhan, lindungilah anak itu ke manapun dia pergi…”


Kiai Gede Tapa Pamungkas pejamkan mata. Belum berapa lama mata itu terpejam mendadak
telinganya mendengar suara derap banyak kaki kuda dipacu mendatangi ke arah telaga.

WALAU sepasang mata tertutup namun karena memiliki kesaktian tinggi sulit dijajagi, Kiai Gede
Tapa Pamungkas dapat menduga berapa orang saja yang datang dan berada di sekitar pohon
besar di bawah mana dia duduk bersandar. Lima orang penunggang kuda berada dalam satu
kelompok. Orang keenam, juga menunggang kuda berhenti di depan kelompok lima orang. Kiai
Gede Tapa Pamungkas terus saja picingkan mata.

“Orang tua, aku sudah tahu kau tidak tidur. Jadi tidak perlu berpura-pura,” satu suara besar dan
keras memecah kesunyian di tepi telaga.

Mendengar teguran orang, Kiai Gede Tapa Pamungkas segera maklum kalau yang barusan
bicara adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia juga merasakan dari nada
suara itu yang bicara berada dalam ketidaksabaran, dan memandang penuh kebencian
padanya.

Maka tanpa bergerak dan buka kedua mata, Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.

“Tiada yang sangat memalukan dalam hidup ini selain kepura-puraan. Tamu gagah, berpakaian
kebesaran Kerajaan, yang baru datang dari jauh bersama lima pengiring, kadang-kadang beban
hati dan pikiran membuat seseorang hanya bisa memejamkan mata. Sebaliknya ada orang yang
beban hati dan pikiran yang selalu menghantui dirinya membuat dia tak bisa memicingkan
mata. Kedua orang itu tidak menjalankan kepura-puraan. Contohnya kau dan aku saat ini. Tamu
gagah dengan hiasan bintang tersemat di belangkon warna biru, jika ucapanku tadi keliru harap
jangan diambil hati.”

Penunggang kuda di sebelah depan dan lima pengiring jadi terkesiap dan tatap wajah si orang
tua lekat-lekat.

Hatinya berucap, “Sungguh luar biasa. Matanya dalam keadaan terpejam. Tapi tahu kalau aku
mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan, diantar oleh lima pengawal.

Tahu warna belangkonku. Tahu pula hiasan bintang perak yang tersemat di belangkonku. Tidak
bisa tidak. Dia memang orang yang aku cari. Ciri-cirinya sesuai dengan yang dikatakan Nyai.”

“Orang tua, aku senang kau mengetahui aku datang dari jauh, bisa menduga siapa diriku.
Apakah engkau yang dipanggil orang dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas?”

“Tamu dari jauh, jika kau datang untuk mencariku, aku mengucapkan selamat datang di puncak
Gunung Gede.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas ambil benda bergulung di atas pangkuannya, buka kedua mata lalu
berdiri. Dia kini melihat jelas si penunggang kuda bersama lima pengiringnya. Keadaan mereka
tidak berbeda dengan apa yang tadi diucapkannya dengan mata terpejam. Sang Kiai sudah bisa
menduga siapa adanya tamu yang datang bersama lima pengawal ini.

Begitu mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas lelaki bertubuh besar, berpakaian mewah
dengan belangkon biru di atas kepala membuat gerakan sangat enteng.

Kalau tadi dia masih berada di punggung kuda maka kini hanya sekejapan mata saja dia sudah
berdiri di hadapan sang Kiai. Keluarbiasaan ini tentu saja tidak lepas dari perhatian Kiai Gede
Tapa Pamungkas.

“Orang gagah, jarang sekali tamu berkunjung ke tempat ini. Kedatanganmu tentu membawa
satu hal penting.

Harap kau suka memberi tahu. Selain itu apakah kau tidak ingin memperkenalkan diri lebih
dulu?”

“Namaku Wira Bumi. Aku Bendahara Kerajaan…”

“Ah, tidak sangka hari ini aku mendapat kehormatan dikunjungi seorang petinggi Kerajaan.
Kalau aku tidak salah menduga, bukankah jabatan itu belum selang berapa lama dipercayakan
pada Yang Mulia?”

Kening Bendahara Wira Bumi yang sebelumnya adalah Tumenggung tampak mengerenyit.
Ucapan orang dirasakannya mulai menyinggung, tidak enak. Namun karena punya kepentingan
Wira Bumi terpaksa menahan diri dan bertanya. “Orang tua, bagaimana kau tahu kalau aku
baru saja memangku jabatan itu?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Lekuk belangkon biru Yang Mulia masih bagus. Hiasan
bintang perak tampak berkilat. Kelepak pakaian Yang Mulia sangat rapi.

Kalau aku salah menduga harap dimaafkan.” Wira Bumi balas tersenyum.

“Sebagai yang punya tempat, kalau memang ada yang hendak dibicarakan, aku mengundang
Yang Mulia Bendahara untuk duduk bicara di sawung sebelah sana.”

Wira Bumi perhatikan sebuah bangunan kecil tanpa dinding di pinggir timur telaga yang
dikatakan si orang tua.

“Aku lebih suka kita bicara di sini saja.” kata Wira Bumi yang dulu Tumenggung dan kini
jabatannya telah naik setingkat Bendahara Kerajaan.
“Dengan senang hati. Katakanlah maksud kedatangan Yang Mulia,” ujar Kiai Gede Tapa
Pamungkas pula.

“Aku mencari seorang perempuan. Masih teramat muda. Usianya belum mencapai
tujuhbelasan. Namanya Nyi Retno Mantili. Dikabarkan selama ini dia berada di tempat ini
bersamamu.”

“Nyi Retno Mantili,” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengulang menyebut nama itu. “Kabar
yang didapat Yang Mulia benar sekali adanya. Hanya sayang, saat ini Nyi Retno Mantili sudah
tidak ada lagi di sini.”

“Kiai, apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya Wira Bumi. Dia menatap tajam-tajam ke wajah
sang Kiai yang sebagian tertutup rambut panjang putih menjulai.

“Aku memberitahu perempuan yang dicari tidak ada lagi di tempat ini.”

Wira Bumi memandang seputar telaga, memperhatikan sawung lalu kembali berpaling pada
orang tua di depannya.

Pejabat tinggi Kerajaan ini mulai merasa gusar. “Kiai, aku menaruh curiga kau berdusta
padaku.”

“Kedustaan adalah permainan setan. Aku tidak suka dengan setan. Berarti aku tidak berdusta.
Nyi Retno Mantili pergi hanya beberapa saat sebelum Yang Mulia dan para pengiring muncul di
tempat ini.”

“Dia pergi dengan siapa? Sendirian?”

“Dia pergi bersama Kemuning,” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Kemuning? Siapa Kemuning?” tanya Wira Bumi dengan muka berubah dan dada bergetar.

“Puterinya yang berumur satu tahun…”

Perubahan dan bahkan rasa terkejut kelihatan tambah jelas pada wajah Wira Bumi.

“Yang Mulia Bendahara, kau tak usah terkejut. Anak satu tahun bernama Kemuning itu
hanyalah sebuah boneka kayu yang manis, tapi sangat disayang oleh Nyi Retno seperti anak
sungguhan.”

“Kiai, aku merasa kau tengah mempermainkan diriku. Nyi Retno Mantili mempunyai seorang
anak perempuan, manusia hidup, bukan boneka kayu!” kata Wira Bumi.
Rahangnya menggembung. Pelipis bergerak-gerak. “Kiai, harap kau mau menceritakan
bagaimana Nyi Retno bisa berada di tempat ini.

Dengan tenang dan sambil tersenyum Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Kau bisa muncul di
tempat ini, tentu ada yang memberi petunjuk. Apakah masih perlu aku memberi keterangan?
Bukankah makhluk roh sesat bernama Nyai Tumbal Jiwo itu yang telah memberi tahu pada
Yang Mulia Bendahara?”

Tampang Wira Bumi tampak menjadi merah. Sekali lagi dia memandang ke arah keliling telaga
dan sawung.

Kemudian berpaling pada lima pengawal dan memberi perintah. “Periksa sekeliling telaga.
Termasuk sawung itu.

Selidiki kalau ada jalan atau tempat rahasia. Jika kalian tidak menemukan apa-apa bakar
sawung itu!”

Dua alis Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas. Orang tua ini hanya tersenyum mendengar
perintah yang diucapkan Wira Bumi. Dia tidak mengatakan sesuatu atau berusaha mencegah.
Tenang saja dia memperhatikan lima pengawal sang pejabat tinggi Kerajaan memeriksa
kawasan telaga. Orang tua ini masih tetap tak bergerak di tempatnya ketika para pengawal
mulai membakar sawung.

Dalam waktu singkat bangunan di tepi telaga yang terbuat dari kayu yang telah lapuk itu lumat
tak berbentuk lagi.

“Kasihan, bangunan tempat aku bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Yang Maha
Kuasa kini telah menjadi debu.” Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas cukup keras dan terdengar
oleh Wira Bumi.

Bendahara Kerajaan ini melangkah ke hadapan si orang tua. “Kiai, katakan di mana kau
menyembunyikan Nyi Retno dan puterinya!”

“Agaknya Yang Mulia Bendahara tadi kurang mendengar dan memperhatikan. Bukankah aku
sudah menerangkan bahwa Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat ini bersama puterinya yang
boneka itu hanya beberapa ketika sebelum Yang Mulia datang ke tempat ini.”

“Aku tidak perlu keterangan tentang boneka jahanam itu! Aku menanyakan Nyi Retno Mantili
dan anak perempuannya!” teriak Wira Bumi.

“Yang Mulia, aku sudah memberi keterangan yang aku tahu. Jangan keliwat memaksa karena
aku tidak berdusta…”
“Cukup!” hardik Wira Bumi. Dia berpaling pada lima orang pengawalnya. “Pengawal! Tangkap
orang tua ini! Kalau melawan bunuh!”

“Aahh…” Sang Kiai rangkapkan dua tangan di depan dada. “Seorang pejabat tinggi Kerajaan,
yang punya kekuasaan, begitu mudahnyakah menyuruh menangkap bahkan membunuh orang
tua sepertiku?”

Walau ucapannya menyindir namun wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas dihiasi senyum.

Lima pengawal yang rata-rata bertubuh tinggi besar segera mengepung Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sang Kiai menyambut dengan ucapan, “Aku tahu kalian hanya menjalankan
perintah. Karena itu aku tidak akan berlaku kasar.” Habis berkata begitu sosok Kiai Gede Tapa
Pamungkas melesat ke atas hingga orang-orang yang hendak meringkusnya hanya menangkap
udara kosong.

Kelima pengawal ini, termasuk Wira Bumi melihat bagaimana tubuh orang tua sakti itu
melayang di udara, turun di telaga dan berjalan di permukaan air!

“Tua bangka sombong! Kau kira aku takut dengan peragaan ilmu kesaktianmu itu!” Kata Wira
Bumi. Sekali melesat tahu-tahu dia telah berada dan berdiri pula di atas air telaga, menghadang
langkah Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Seperti telah diketahui, setelah bersemedi di Goa Girijati untuk mendapatkan ilmu kesaktian
dari Nyai Tumbal Jiwo, salah satu ilmu yang diperoleh Wira Bumi adalah ilmu berdiri dan
berjalan di atas air yang disebut Kaki Roh Melanglang Air. Kalau ilmu ini dipergunakan untuk
berlari, maka kecepatan larinya di atas rata-rata ilmu lari lain yang ada di rimba persilatan
ataupun ilmu lari yang disebut Seribu Kaki Menipu Jarak milik seorang sakti berjuluk Si Katai
Bisu dan telah lama menemui kematian. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Rahasia Lukisan
Telanjang” ).

Kalau lima pengawal Wira Bumi terkagum-kagum melihat kehebatan pimpinan mereka, tidak
demikian halnya dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dengan tenang dan masih penuh hormat
dia berkata, “Yang Mulia, tak sengaja kau berdiri tepat di tengah telaga. Tempat itu adalah alur
jalanku masuk menuju kediamanku di dalam telaga. Aku mohon kau beranjak dari situ.”

Wira Bumi tertawa. “Kau takut menabrakku, Kiai? Aku tak akan menyingkir dari tempat ini
sebelum kau memberi tahu di mana Nyi Retno Mantili dan puterinya kau sembunyikan. Selain
itu ada satu persoalan yang harus kau pertanggungjawabkan. Kau telah berlaku kurang ajar
terhadap guruku. Kau telah berani meraba aurat terlarangnya!”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelenggeleng kepala. “Kalau di darat aku bicara kau
tak percaya, mari kita bicara di dalam air. Udara di atas sini agak panas.
Di dalam air suasananya penuh kesejukan,” kata Kiai penghuni telaga di puncak timur Gunung
Gede itu.

Wira Bumi sembunyikan rasa terkejutnya mendengar ucapan sang Kiai. Tantangan orang tua itu
tak mungkin dilayaninya. Walau dia mampu berdiri dan berjalan di atas air, tapi masuk ke
dalam air untuk bicara berlama-lama dia tidak mempunyai ilmu kepandaian karena memang
tidak dimiliki dan tidak diajari oleh Nyai Tumbal Jiwo. Karenanya, ketika dua kaki Kiai Gede Tapa
Pamungkas meliuk masuk ke dalam air telaga, dengan cepat Wira Bumi melesat di permukaan
air. Kaki sebelah kanan menendang ke arah dada si orang tua.

Tendangan kaki Wira Bumi datangnya lebih cepat dari gerak meluncur tubuh Kiai Gede Tapa
Pamungkas ke dalam air. Wira Bumi menyeringai karena sesaat lagi tendangannya pasti akan
menghancur remuk bahkan bisa membunuh Sang Kiai. Namun dengan tenang lawan dilihatnya
angkat tangan kiri. Telapak dikembang ke arah datangnya tendangan. Saat itu juga Wira Bumi
merasa ada satu kekuatan dengan daya dorong luar biasa menghan tam ke arah kaki kanannya
yang menendang. Bendahara Kerajaan ini berteriak keras ketika merasa kaki kanannya seolah
kaku, tak bisa digerakkan lagi! Cepat dia kerahkan hawa sakti. Begitu kepala sang Kiai hampir
lenyap dari permukaan air telaga, Wira Bumi menghantam dengan satu tendangan lagi, kali ini
dengan kaki kiri.

Serangan Wira Bumi kalah cepat dengan gerakan masuknya sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas
ke dalam air.

Tiba-tiba Bendahara Kerajaan ini merasa ada tangan yang mencekal pergelangan kaki kirinya.
Sebelum dia bisa membebaskan diri tahu-tahu kakinya dibetot keras sekali.

Tak ampun pejabat tinggi ini amblas masuk ke dalam telaga!

Di dalam air, Wira Bumi berusaha lepaskan kakinya dari cekalan Kiai Gede Tapa Pamungkas
sambil tangan kanan melepaskan pukulan sakti bernama Angin Roh Pengantar Kematian. Ilmu
ini adalah salah satu dari sekian banyak yang didapat Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. Air
telaga menggemuruh seolah ada benda raksasa menggelinding dan berubah panas.

Di bagian bawah air telaga bersibak hebat. Di sebelah atas air muncrat sampai setinggi dua
tombak. Untuk beberapa saat telaga dan kawasan seanteronya bergetar seperti digoyang
gempa.

“Luar biasa,” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam hati. “Manusia satu ini telah menguasai
ilmu kesaktian perempuan alam roh itu cepat sekali.” Sang Kiai segera dorongkan tangan kanan
ke atas sementara tangan kiri masih mencekal pergelangan kaki Wira Bumi. Bendahara
Kerajaan ini terkejut besar ketika suara menggelinding membalik ke arahnya. Tubuhnya serta-
merta menjadi panas. Selain itu nafasnya mulai megap-megap karena memang dia tidak punya
kekuatan atau ilmu bertahan lama dalam air. Tekanan udara panas yang begitu kuat membuat
perlahan-lahan darah mulai mengucur dari telinga dan hidung. Pemandangan mata mulai
menggelap dan air mulai masuk ke dalam mulut.

“Wira Bumi, ini satu peringatan bagimu. Jika kau masih berani unjukkan diri di kawasan ini atau
berani mencelakai Nyi Retno Mantili, aku akan membuat dirimu masuk liang kubur bersatu
dengan gurumu Nyai Tumbal Jiwo! Sekarang pergilah!”

Wira Bumi mendengar suara mengiang di telinganya.

Cekalan pada pergelangan kaki kiri lepas. Tubuhnya melesat ke atas permukaan air telaga.
Begitulah keadaannya. Kekuatan roh yang sangat ganas dan dahsyat di permukaan bumi pada
umumnya tidak punya daya di dalam air.

Setelah keluarkan ancaman Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tak punya niat memperpanjang
urusan apalagi niat jahat untuk membunuh segera melepaskan cekalannya di kaki orang. Sosok
Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan naik mengapung ke atas.

Lima orang pengawal berseru kaget ketika tadi melihat sosok atasan mereka lenyap masuk ke
dalam air. Tiga di antara mereka yang pandai berenang siap terjun ke dalam telaga. Namun niat
itu menjadi batal sewaktu menyaksikan munculnya sosok Wira Bumi yang kemudian
mengapung di permukaan air. Sebagian muka dan kepalanya tertutup darah. Tiga pegawal
segera mencebur masuk ke dalam air lalu berenang membawa tubuh Wira Bumi yang berada
dalam keadaan pingsan di tepi telaga.

ATAP tangis menyayat hati yang keluar dari rumah kayu berdinding kajang di pinggir ladang
membuat seseorang yang tengah berkelebat laksana terbang hentikan lari. Saat itu hujan turun
rintik-rintik. Orang ini tegak membelakangi serumpun pohon bambu, mengena kan baju
menyerupai kebaya panjang selutut dan celana ringkas. Baik baju maupun celana sama terbuat
dari bahan bagus dan berwarna biru gelap. Sesaat orang ini mendongak ke langit lalu menatap
ke arah pintu rumah kayu yang terpentang. Rambut panjang hitam kusut masai menjela
sepinggang. Ratapan itu, ada dua orang yang meratap. Dia bisa merasakan. Ada satu
malapetaka besar menimpa penghuni rumah kayu.

Sang surya belum lama tenggelam. Udara yang buruk membuat kegelapan yang datang lebih
cepat menyelimuti kawasan desa pertanian di mana rumah kayu itu berada.

Memperhatikan ke arah rumah kayu, melihat pintu yang terpentang lebar, orang berpakaian
biru segera mendatangi. Langkahnya langsung terhenti ketika dia sampai di ambang pintu
rumah.

Seorang gadis kecil berusia sekitar delapan tahun tenggelam dalam pelukan seorang
perempuan separuh baya yang menangis menggerung-gerung. Anak perempuan ini nyaris tidak
berpakaian dan ada noda darah di kepala, bahu serta perutnya. Sekali memperhatikan saja
orang berpakaian serba biru di ambang pintu sudah maklum kalau anak perempuan itu tidak
bernyawa lagi.

Di atas sebuah ranjang kayu beralas tikar, terbujur seorang gadis. Lehernya ke bawah tertutup
sehelai kain.

Hanya wajahnya yang tersembul kelihatan. Wajah ini penuh tanda siksaan, luka dan noda
darah. Seorang lelaki berambut putih memeluki dan meratapi si gadis yang seperti gadis kecil
satunya, sudah menjadi mayat.

Jerit tangis suami istri petani di dalam rumah kayu membuat tetangga terdekat datang
berlarian. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah karena di pintu terhalang oleh
sosok orang berpakaian biru bagus yang ternyata adalah seorang nenek bermuka putih pucat
dan tidak satu orangpun mengenal siapa dia adanya.

“Bu-ne Pipit, apa yang terjadi?” seorang tetangga perempuan bertanya sambil ulurkan kepala
coba melihat ke dalam rumah.

Perempuan yang ditanya tidak menjawab, terus saja meratapi anak perempuan delapan tahun
yang ada dalam pelukannya.

“Suami istri petani, ada kejadian apa di rumah ini?”

Nenek berpakaian biru bagus keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan. Suaranya perlahan tapi
jelas.

Suami istri petani Kartosumekto kenal baik dengan semua tetangga. Saking dekatnya mereka
sampai tahu dan mengenali suara masing-masing. Kali ini mendengar suara orang yang mereka
tidak kenal, istri petani angkat wajahnya sedikit, menatap ke arah nenek di ambang pintu lalu
menangis kembali. Sang suami, lelaki berambut putih juga angkat kepala, memandang ke arah
si nenek. Agak lama dia memandangi sebelum membuka mulut, berucap dengan suara lirih.

“Nenek muka putih, aku tidak kenal kau. Kau bukan penduduk sini. Siapa…?”

“Aku seorang pengelana Hamba Tuhan yang kebetulan lewat di sini. Aku mendengar suara
orang meratap. Siapa tahu aku bisa menolong…”

Mendengar ucapan nenek tak dikenal di ambang pintu, suami istri petani menggerung keras.
Dalam musibah yang sudah jatuh menimpa apa artinya lagi pertolongan?

Pertolongan macam apapun tidak akan membuat kedua anak gadis yang mereka cintai bisa
hidup kembali.
“Tidak mungkin. Semua sudah terjadi. Dua anakku sudah jadi korban!” Kartosumekto berkata
setengah berteriak lalu kembali menggerung.

“Tenang, sabarkan hatimu, kuatkan iman. Tawakal kepada Tuhan…”

“Kami petani miskin. Selama ini tidak pernah lupa Tuhan! Tapi mengapa Gusti Allah
menjatuhkan percobaan begini berat, yang kami tidak bisa menanggungnya. Apa dosa
kesalahan kami?!”

Nenek berpakaian biru berambut awut-awutan tampak terdiam mendengar ratapan si petani.
Wajahnya yang putih pucat seperti membeku. “Bapak, tolong ceritakan apa yang terjadi dengan
dua anakmu.”

“Mereka diperkosa lalu dibunuh!”

Kepala si nenek terangkat, wajah kaku membesi. Penduduk yang ada di depan rumah tampak
kaget dan takut.

“Kau tahu siapa pelakunya?” perempuan tua di ambang pintu ajukan pertanyaan.

“Siapa lagi kalau bukan makhluk bernama Hantu Pemerkosa!”

Semua tetangga yang berada di tempat itu menjadi geger. Wajah mereka tambah menunjukkan
rasa takut amat sangat. Terlebih mereka yang punya anak gadis. Satu per satu mereka
tinggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing.

“Hantu Pemerkosa…” Nenek berpakaian biru mengulang dalam hati. “Ini kali kedua aku
mendengar nama itu. Apa benar ada hantu yang bisa memperkosa?”

“Bapak,” si nenek dekati tempat tidur, “Kau melihat perwujudan Hantu Pemerkosa itu?”

Si petani menggeleng. “Ketika aku kembali ke rumah malam ini, dua anak perempuanku sudah
tewas. Sebelumnya sudah ada seorang gadis di desa ini yang juga diperkosa dan dibunuh.”

“Kalau makhluk itu dijuluki Hantu Pemerkosa pasti ujudnya mengerikan. Pasti ada yang pernah
melihat wajahnya. Aku harus menyelidik sebelum dia lari jauh.”

Kata nenek baju biru muka putih dalam hati.

“Bapak, aku turut berduka atas musibah yang kau alami. Sedikit pemberian ini mungkin bisa
membantu meringankan bebanmu.” Si nenek lalu letakkan sekeping uang perak di atas ranjang.

“Nenek, kau… kau ini siapa?” tanya Kartosumekto.


Namun perempuan tua berpakaian bagus biru itu telah berkelebat lenyap. Di luar rumah hujan
rintik-rintik mulai berubah menjadi lebat.

***

Pagi itu udara segar dan cerah sekali. Langit nyaris tak berawan. Bahkan sang surya terasa
nyaman menyentuh permukaan kulit. Setan Ngompol berjalan mengikuti Wiro sambil
mengomel.

“Hampir seratus hari kita malang-melintang kian kemari mencari gadis berambut pirang itu.
Jauh-jauh berada di sini sekarang kau ingin kita kembali ke jurang yang ada air terjunnya itu.
Mengapa? Bukankah kau sudah menyelidik sampai ke dasar jurang dan kau tidak menemukan
manusia atau setan sekalipun di tempat itu.”

“Kek, aku punya perasaan aneh.” jawab Pendekar 212.

“Walau aku sudah masuk ke dasar jurang, menyelidik dengan mempergunakan ilmu Meraga
Sukma segala, aku memang tidak menemukan gadis yang kita cari. Namun…”

“Namun apa?” ujar Setan Ngompol dengan mulut dimonyongkan. “Apa kau tidak melihat
kemungkinan.

Keterangan serta tanda-tanda yang diberikan Wulan Srindi pada kita mengenai Bidadari Angin
Timur bisa saja berlainan dengan kejadian sebenarnya. Melihat bagaimana kecintaannya
padamu, keinginannya menjadi murid Dewa Tuak serta perseteruan diam-diam antara dia dan
Bidadari Angin Timur, bisa saja Wulan Srindi mengarang cerita.

Siapa tahu Bidadari Angin Timur memang tidak berada di dalam jurang yang ada air terjunnya
itu. Dia sengaja membuat cerita untuk menarik perhatianmu. Agar dia bisa dekat denganmu.”

Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar kata-kata si kakek.

“Dengar anak sableng,” Setan Ngompol lanjutkan ucapan. “Aku tidak mau ikut kamu jauh-jauh
pergi ke jurang itu kembali.”

“Kalau begitu kita berpisah di sini,” kata Wiro pula yang membuat kakek tukang ngompol itu
terdiam sambil pegangi perut menahan kencing.

Melihat orang bimbang Wiro tersenyum. “Sebenarnya kalau ada Ratu Duyung kita bisa
meminta bantuannya.”

“Bantuan bagaimana?” tanya Setan Ngompol pula.


“Ilmu Menembus Pandang yang diberikannya padaku, ilmu Meraga Sukma yang aku dapat dari
Nyi Roro Manggut tidak mampu menjajagi di mana beradanya Bidadari Angin Timur. Ratu
Duyung masih punya dua ilmu lagi yang bisa digunakan untuk mengetahui ada tidaknya orang
atau makhluk hidup di dalam jurang itu. Ilmu pertama yakni mengandalkan cermin sakti bulat
yang kau sudah pernah melihatnya. Jika dengan cermin sakti itu masih tidak bisa tembus, maka
dengan ilmu kedua bernama Menyirap Detak Jantung pasti dia bisa mengetahui ada tidaknya
makhluk hidup di dalam jurang.”

“Gadis cantik bermata biru itu…” ucap Setan Ngompol.

“Budinya tinggi, hatinya baik. Aku ingat bagaimana dia pernah memberikan ilmu padaku untuk
bisa bertahan lama di dalam air.” Tiba-tiba si kakek hentikan langkahnya.

“Ada apa?” tanya Wiro.

“Kita berdua sudah jadi orang tolol! Kalau memang hanya Ratu Duyung yang mampu
membantu, mengapa kita tidak pergi mencarinya di pantai selatan?”

“Hal itu memang ada dalam benakku. Tapi kejadian dia pergi begitu saja dengan berkata dusta
padamu bahwa penguasa pantai selatan meminta dia datang, terus terang aku jadi tidak enak
hati. Dia punya ganjalan tertentu terhadapku.”

“Di dalam kesulitan begini rupa segala perasaan hati dan ganjalan tidak perlu dipikirkan.
Bukankah gurumu Sinto Gendeng pernah mengajarkan ujar-ujar jangan perasaan mengacaukan
pikiran? Kau tidak mau minta bantuan gadis alam roh bernama Bunga. Kau tidak suka minta
pertolongan Ratu Duyung. Sementara kau tidak mampu melakukan semuanya seorang diri.”

“Pintarnya kau ngomong!” tukas Wiro. “Apakah kau sendiri pernah mengatur jalan pikiran dan
perasaanmu? Kalau memang bisa mengapa kau ngompol terusterusan?!”

Setan Ngompol tertawa mengekeh hingga kucurkan air kencing. “Apa hubungan antara pikiran,
perasaan dan ngompol! Kalau aku ngompol itu suka-sukaku sendiri.”

Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Pada saat itulah mendadak ada suara orang
bernyanyi, suara perempuan.

Kemuning jangan cengeng

Anak kecil jangan menangis

Aku tahu kau haus dan lapar

Sabar jangan menangis


Sebentar lagi pasti ada air

Sebentar lagi pasti ada makanan

Ibu tahu kau rindu pada kakekmu

Ibu tahu kau kangen pada ayahmu

Kemuning sabar jangan menangis

Ayahmu memang jauh

Namun satu saat kita pasti bertemu

Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng saling pandang. Si kakek tekap bagian bawah
perutnya. Memandang berkeliling dia berkata. “Setahuku kawasan ini tidak ada demit atau jin
pelayangan…”

“Jin atau demit mana pandai bernyanyi,” kata Wiro.

“Kalau memang manusia kita belum melihat orangnya.

Suaranya seperti masih anak-anak. Jangan-jangan tuyul perempuan. Aduh aku jadi kepingin
kencing!” kata Setan Ngompol sambil cepat-cepat pegangi bagian bawah perutnya. Serr!
Kencingnya keburu muncrat!

“Datangnya dari balik pohon besar yang menghadap ke lembah sana,” ucap Wiro. “Sebaiknya
kita teruskan saja perjalanan. Jangan mengganggu orang. Kalau jin dan demit betulan mati kau
dicekiknya, Kek!”

“Tunggu, aku penasaran mau lihat bagaimana raut wajahnya, bagaimana sosok dirinya,” kata
Setan Ngompol pula. “Ayo kita jalan berputar agar bisa melihat dari samping kanan.”

Wiro terpaksa mengikuti maunya si kakek. Dari balik serumpun semak belukar lebat di samping
kanan pohon besar, Setan Ngompol dan Wiro melihat seorang perempuan duduk sambil
memangku sebuah boneka. Sementara menyanyi dia usap-usap kepala boneka seperti
mengusap anak sungguhan. Perempuan ini begitu mudanya hingga seperti masih anak gadis
belasan tahun.

“Wiro,” bisik Setan Ngompol. “Melihat rambut yang awut-awutan kotor tak karuan, baju dekil
begitu rupa, wajah penuh debu, kaki tidak berkasut, menyanyi memangku boneka, menurutmu
apakah perempuan muda itu waras otaknya?”

“Aku tidak bisa menduga. Kasihan sekali kalau semuda itu otaknya terganggu,” jawab Wiro.
“Wiro! Astaga. Lihat dia membuka bajunya. Dia mendekatkan kepala boneka kayu ke dada.
Seperti ibu mau menyusui anak. Oala putihnya…” Habis keluarkan ucapan, serrr! Tidak tahan
Setan Ngompol kucurkan air kencing.

Suara Setan Ngompol yang memang agak keras sempat terdengar oleh perempuan muda di
bawah pohon yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili.

“Ssshhh, anakku, ada orang,” ucapnya dan cepat-cepat merapatkan baju di sebelah dada lalu
bangkit berdiri.

Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba satu sosok hitam tinggi besar mengerikan
berkelebat dan tegak di hadapannya. Nyi Retno Mantili terpekik, kaget dan takut namun
kemudian tertawa cekikikan.

Di balik semak belukar, Wiro Sableng dalam kejutnya menatap terkesima tak berkesip. Setan
Ngompol terkencing-kencing. Tangan kiri menekap aurat sebelah bawah, tangan kanan pegangi
lengan Wiro.

ORANG tinggi besar yang berdiri di depan Nyi Retno Mantili memiliki wajah mengerikan seperti
setan karena penuh cacat bekas guratan luka. Rambut kelabu awut-awutan panjang sepundak.
Pakaian sebentuk jubah panjang berwarna kelabu. Dua tangan memakai sarung kain berwarna
hitam. Sekujur tubuh orang ini tampak bergetar, sepasang mata memandang berkilat,
hembusan nafas memburu panas. Ada gelegak niat jahat terkutuk menguasai dirinya yang saat
itu ingin dilampiaskan.

“Kemuning, jangan menangis. Aku tahu kau takut pada setan di depanmu. Aneh siang terang
begini rupa ada setan kesasar.” Nyi Retno usap-usap dada boneka kayu lalu meneruskan
gerakannya hendak berdiri yang tadi tertahan. Namun si muka setan ulurkan tangan menekan
bahu kiri Nyi Retno Mantili.

“Anakku, setan ini rupanya hendak berbuat jahat pada kita.” kata Nyi Retno lalu tertawa
cekikikan. Sekali dia goyangkan bahu, tangan kiri yang ada di pundaknya terpental ke atas.
Orang di hadapan Nyi Retno tersurut satu langkah, dalam hati merasa terkejut. Sentakan yang
dibuat perempuan berotak tidak waras itu mengandung tenaga dalam cukup tinggi.

Ketika orang mundur satu langkah, kesempatan ini dipergunakan Nyi Retno Mantili untuk
segera berdiri. Dia tegak dengan tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri memegang
boneka kayu, diarahkan pada orang di depannya. Seolah boneka itu adalah senjata atau tameng
pelindungnya.
“Kelihatan seperti gila, tapi berbahaya. Di balik debu yang mengotori mukanya ada satu wajah
cantik. Hmmm… ada satu kenikmatan aneh luar biasa kalau aku bisa melampiaskan nafsuku
yang terpendam selama ini!

Dengan yang sudah-sudah aku tidak mampu. Melihat yang satu ini hasratku menyala luar biasa.
Siapa bilang aku kehilangan kejantanan! Kesembuhan telah datang atas diriku.” Sekujur tubuh
orang ini kembali bergetar keras.

Hembusan nafasnya semakin kencang dan panas.

“Nama anakmu Kemuning? Nama bagus. Aku terharu mendengar nyanyianmu tadi. Bolehkah
aku menggendong anakmu barang sebentar?”

Nyi Retno Mantili tertawa geli. “Ada setan punya perasaan. Mau menggendong anakku. Hik…
hik… hik!

Siapa tahu kau setan penculik!” Lalu perempuan ini membentak. “Pergi, jangan berani
mendekat!”

Orang bermuka seram malah melangkah mendekati dan ulurkan tangan. Gerakannya seperti
hendak mengambil boneka kayu namun tiba-tiba plaakk! Tangannya yang terulur daratkan satu
tamparan keras ke pipi Nyi Retno. Perempuan ini terpekik. Tubuhnya melintir lalu terbanting,
jatuh terlentang di tanah. Darah mengucur di sudut bibir. Boneka kayu masih ada dalam
genggaman tangan kiri. Walau sakit yang diderita bukan alang kepalang namun Nyi Retno
malah sunggingkan senyum. Getaran di tubuh orang bertopeng semakin menjadi-jadi.

Dalam pada itu dia merasa heran. Orang lain pasti cidera berat dan pingsan dihajar
tamparannya. Namun perempuan tidak waras bertubuh kecil ini ternyata mempunyai daya
tahan kuat sekali. Tiba-tiba orang ini menyergap kembali. Tangannya bergerak. Breett! Nyi
Retno tak sempat menghindar. Dada pakaiannya robek besar. Auratnya tersingkap. Perempuan
ini menjerit keras.

Di balik semak belukar Wiro pegang bahu Setan Ngompol. “Kita tidak bisa tinggal diam.
Makhluk jahanam itu jelas hendak memperkosa perempuan gila yang memegang boneka!”

Setan Ngompol yang sibuk pegangi bagian bawah perut sebaliknya berkata. “Tunggu, aku punya
firasat jahanam itu tidak bakal mampu melaksanakan niat jahatnya. Selain itu aku melihat ada
orang sembunyi di balik pohon besar sana. Kita jangan keluar dulu…”

Orang berwajah setan kembali ulurkan tangan. Kali ini yang diincar adalah pakaian sebelah
bawah Nyi Retno.
Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Saat itulah tiba-tiba tubuh Nyi Retno
mencelat ke atas dan di lain kejap sungguh luar biasa, dia sudah berdiri di salah satu cabang
pohon besar di bawah mana dia duduk sebelumnya.

Kalau Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkesiap melihat kejadian tak terduga itu, lain
halnya dengan orang bermuka setan. Nafsu bejat yang menguasai dirinya membuat dia tidak
lagi membaca keadaan dan menilai kemampuan orang. Sekali jejakkan kaki ke tanah tubuhnya
melesat sebat ke atas pohon. Di atas cabang pohon, Nyi Retno Mantili berseru.

“Kemuning anakku! Ada orang jahat hendak mencelakai ibumu! Apakah kau akan berdiam diri
saja?!” Habis berkata begitu Nyi Retno pencet pinggang boneka kayu yang dipegangnya di
tangan kiri. Kejap itu juga dari dua mata boneka kayu melesat keluar dua larik cahaya putih.
Cepat sekali cahaya ini menyambar ke arah dada orang di bawah pohon. Sesaat lagi akan
mencapai sasaran tiba-tiba dua cahaya lenyap. Orang yang diserang tersentak kaget dan ragu
bertindak.

Bukkk! Bukkk!

Cahaya yang lenyap ternyata telah berubah menjadi dua pukulan dahsyat menghantam dada
orang dengan telak. Inilah ilmu pukulan yang disebut Sepasang Cahaya Batu Kumala yang
didapat Nyi Retno dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tak ampun lagi, didahului satu jeritan keras
tubuh orang yang tengah melayang ke atas pohon ini terpental ke bawah. Mulut semburkan
darah segar. Tubuh jatuh bergedebuk, tertelungkup di tanah.

“Luar biasa!” ucap Wiro.

Setan Ngompol menimpali. “Seumur hidup baru kali ini aku melihat ilmu kesaktian berbentuk
cahaya yang berubah menjadi gebukan. Siapa yang bisa menduga!

Astaga! Wiro! Lihat! Perempuan di atas pohon lenyap!”

Murid Sinto Gendeng memandang ke arah cabang pohon. Memang benar, perempuan tidak
waras yang memegang boneka tak ada lagi di cabang pohon. Yang kelihatan di sana hanya
kabut putih samar-samar. Untuk melenyapkan diri meninggalkan tempat itu dan tidak mungkin
dikejar siapapun, Nyi Retno Mantili pergunakan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri yang juga
dipelajarinya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak timur.

Tertelungkup di tanah perlahan-lahan si muka setan berambut kelabu bergerak bangun. Tangan
kiri bersarung tangan hitam menyeka noda darah di dagu.

“Perempuan edan! Kulumat tubuhmu!” teriaknya marah sekali. Lalu dia melesat ke udara,
berjungkir balik satu kali dan akhirnya tegak berdiri di tanah. Tangan kanan diarahkan ke
cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili tadi berada. Jelas dia hendak melepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun gerakannya tertahan karena
orang yang hendak dihantam tak ada lagi di atas pohon sana.

“Perempuan keparat! Lari ke mana kau?!” teriak orang bertopeng sambil memandang
berkeliling siap menghantam sekaligus juga ada rasa khawatir kalau dirinya akan dibokong.

“Kau yang keparat!” Satu suara membentak. Suara perempuan.

“Wiro lihat!” ucap Setan Ngompol yang berada bersama Pendekar 212 di balik serumpunan
lebat semak belukar.

Dia menunjuk ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili sebelumnya berada.

Saat itu di atas cabang pohon berdiri seorang nenek berwajah putih angker, berambut hitam
sepinggang, berpakaian serba biru. Pandangan matanya menyorot ke arah orang bermuka cacat
penuh guratan luka, dua tangan dirangkap di atas dada.

“Perempuan kecil yang memegang boneka tadi telah berubah menjadi seorang nenek angker!”
kata Setan Ngompol sementara Pendekar 212 garuk-garuk kepala tapi memperhatikan dengan
mata tidak berkesip.

“Kalau memang dia berubah, seharusnya masih memegang boneka. Nenek di atas pohon tidak
memegang boneka…” Ucap Wiro kemudian.

“Mungkin sudah dimasukkan dalam saku pakaian, atau disimpan di mana,” jawab Setan
Ngompol.

Di atas cabang pohon nenek muka putih tiba-tiba tudingkan telunjuk tangan kiri ke arah si muka
setan.

“Kau!” teriaknya. Suara nyaring menggeledek. “Kemarin petang kau berada di desa Kaligesing.
Memperkosa seorang gadis kecil serta kakaknya lalu membunuh keduanya! Sebelumnya kau
juga telah melakukan perbuatan keji serupa atas diri perempuan di beberapa desa.

Hantu Pemerkosa! Akui perbuatanmu dan aku akan memberikan kematian sedikit lebih nyaman
bagimu!”

Mendongak ke atas pohon mula-mula orang yang dituding kelihatan terperangah heran.
Namun kemudian dia keluarkan suara tawa bergelak. “Tua bangka di atas pohon! Lagakmu
seperti malaikat yang serba tahu apa yang telah aku lakukan! Kau menyebutku Hantu
Pemerkosa. Sungguh satu kehormatan besar! Kalau saja kau berusia muda, walau jelek aku
masih mau menidurimu! Ha… ha… ha!” Habis tertawa gelak-gelak si muka setan membentak.
“Nenek muka putih! Apakah kau jejadian dari perempuan yang tadi membawa boneka?!”
Perempuan tua di atas pohon dongakkan kepala. “Aku bicara lain, kau bicara lain! Aku sudah
memberi kesempatan. Sayang kau menyia-nyiakan. Kematian memang harus merupakan akhir
mengenaskan bagi manusia bejat sepertimu!”

Dari mulut si nenek kemudian keluar suara raungan keras dan panjang seperti suara lolongan
serigala di rimba belantara. Walau saat itu pagi hari dan matahari bersinar terang tak urung
Wiro dan Setan Ngompol merasa merinding juga. Sebaliknya si muka setan angkat tangan
kanan lalu dipukulkan ke atas pohon. Tiga larik sinar menderu ganas.

Tiga cahaya berkiblat. Di atas pohon suara raungan si nenek lenyap. Tangan kiri dipentang,
telapak mengembang diarahkan ke bawah pohon. Tangan kanan bergerak menyingkapkan baju
biru di bagian perut. Kelihatan perut putih disertai pusar yang menonjol bodong. Serentak
dengan itu lima jari tangan kiri membuat gerakan meremas. Sesaat kemudian selarik sinar biru
gelap melesat keluar dari pusar bodong itu, menghantam ke arah tiga larik cahaya pukulan sakti
yang dilepaskan orang di bawah pohon.

Bumm! Buumm! Buumm!

Tiga dentuman dahsyat menggelegar. Pohon besar berderak-derak. Tanah bergetar. Di udara
lidah api berpercikan. Tiga larik sinar pukulan sakti musnah. Si muka setan menjerit keras.
Tubuh terpental dan jatuh punggung terbanting ke tanah. Lengan kirinya putus kena disambar
sinar biru yang keluar dari pusar bodong si nenek muka putih di atas pohon.

Sekali lagi perempuan tua itu pentang tangan kirinya.

Ketika dia kembali hendak menyibakkan baju biru di bagian perut tiba-tiba ada suara mengiang
masuk ke dalam telinga kirinya.

“Nyi Bodong, di mana kau. Lekas kembali!”

Gerakan nenek muka putih tertahan. “Kiai, saya tengah melakukan satu kebajikan. Menghabisi
seorang pemerkosa…”

“Nyi Bodong, perbuatanmu sangat terpuji. Namun aku sudah mengingatkan. Jangan keluar ke
mana-mana sebelum kau merampungkan ilmu yang akan aku wariskan!”

“Kiai, aku sudah membuktikan sendiri. Walau belum rampung tapi aku sanggup menghajar si
pemerkosa itu…”

“Nyi Bodong, jangan nakal. Turut apa kataku! Lekas kembali! Aku khawatir ada orang
mengikuti. Aku merasakan selain kau dan si pemerkosa ada dua orang lain bersembunyi di
tempat itu. Mereka mungkin orang baik, tapi bisa juga punya maksud jahat…”

“Dengan ilmu Pusar Pusara yang Kiai berikan, saya tidak takut menghadapi siapapun.”
“Nyi Bodong, dalam rimba persilatan, takabur adalah langkah pertama dari kekalahan. Ingat hal
itu baik-baik. Sekarang cepat laksanakan perintah. Bertindak selalu hatihati, penuh waspada.
Kalau sampai ada orang yang tahu di mana kau berada semua urusan bisa jadi tak karuan.

Lekas kembali!” suara mengiang kembali memberi perintah pada nenek muka putih yang
dipanggil dengan sebutan Nyi Bodong.

“Kiai, saya mohon maafmu. Bukan niat saya untuk berlaku takabur. Saya hanya merasa bangga
mendapat kepercayaan Kiai hingga diwarisi ilmu kesaktian. Saya segera kembali.” Nenek muka
putih memandang ke bawah pohon.

“Hantu Pemerkosa! Sayang aku ada kepentingan lain.

Kali ini lenganmu yang aku bikin buntung. Lain kali kalau bertemu, batang lehermu yang akan
aku tebas!”

Didahului suara tawa cekikikan keras dan panjang nenek di atas pohon melesat lenyap. Di satu
tempat ketika dia siap untuk berkelebat ke arah timur, tiba-tiba dua orang muncul di depannya.
Si nenek terkesiap kaget. Ingat akan ucapan jarak jauh yang disampaikan sang Kiai. Wajahnya
yang putih berubah menjadi merah.

“Dua manusia jelek! Kalian seperti sengaja menghadang. Kalau kalian berani berbuat macam-
macam, kalian akan celaka!” Walau jelas membentak pada dua orang yang ada di hadapannya
namun si nenek palingkan wajahnya yang merah ke arah lain seolah melecehkan.

Dua orang yang barusan muncul yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan
Ngompol untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun melongo.

Sepasang mata si nenek mengerling. Wajahnya yang merah kembali berubah putih. Lalu sekali
balikkan diri nenek aneh ini lenyap laksana ditelan bumi.

“Sialan kita dibilang dua manusia jelek!” Setan Ngompol mengumpat. “Kalau bertemu sekali lagi
aku yakin bisa merayunya. Akan aku buat dia bertekuk lutut, tergilagila dan memuji aku sebagai
kakek ganteng di seantero jagat!”

Wiro tersenyum. “Kek, aku perhatikan gerakannya benar-benar seperti setan. Berkelebat
lenyap. Membalik hilang! Apa tadi kau memperhatikan bagaimana muka putih nenek itu
berubah merah sewaktu dia melihat kita?”

“Merah berarti jengah. Aih, mungkin saja dia terpesona malu-malu melihat kegantengan
diriku!” kata Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perutnya.
“Aku ingin mengejarnya!” kata Wiro. Saat itu seperti ada yang menggerakkan hati sang
pendekar.

“Buat apa?!” tanya Setan Ngompol, “Kau tertarik pada pusarnya yang putih bodong? Ha… ha…
ha! Jangan membuat aku cemburu! Terus terang kalau bisa dan ada kesempatan aku ingin
menghisap pusar itu! Ha… ha… ha!

Pasti sedap dan siapa tahu aku bisa dapat sari ilmunya!

Ha… ha… ha!” Setan Ngompol terpingkal-pingkal dan tentu saja sambil kucurkan air kencing.

“Kek, ikuti aku!” kata Wiro seraya berlari ke tempat di mana orang bermuka setan terkapar
dalam keadaan tangan kiri buntung akibat disambar sinar biru yang keluar dari pusar bodong
nenek berwajah putih itu.

Namun sosok si muka setan berjubah kelabu tak ada lagi di tempat itu.

“Kabur!” ucap Setan Ngompol.

“Kutungan lengannya juga lenyap. Tadi aku lihat jatuh di sebelah sini.” ujar Wiro. “Aku menaruh
curiga…”

“Curiga bagaimana?” tanya Setan Ngompol.

“Ketika orang berjubah kelabu melancarkan serangan ke arah nenek muka putih di atas pohon,
pukulan tangan kosongnya melesatkan tiga sinar. Kuning, hitam dan merah. Aku ingat sekali
Pangeran Matahari memiliki ilmu pukulan sakti bernama Gerhana Matahari yang memancarkan
sinar tiga warna seperti itu. Mungkin…”

“Mungkin saja makhluk seram tadi memang dia,” kata Setan Ngompol. “Tapi suaranya berbeda
dengan suara keparat itu. Rambutnya kelabu, lalu wajahnya mengapa bisa cacat mengerikan
seperti itu?”

“Ketika rumah kayu di Seratus Tigabelas Lorong Kematian hancur lebur kita tidak menemukan
mayat Pangeran Matahari. Aku yakin dia masih hidup. Bangsat secerdik Pangeran Matahari,
satu hari dia bisa bertukar sepuluh wajah…”

“Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan? Meneruskan perjalanan ke jurang seperti rencana
semula. Atau mengejar manusia muka setan yang disebut Hantu Pemerkosa itu. Atau mencari
tahu ke mana kaburnya si nenek yang punya pusar bodong putih berkilat?” Pendekar 212 Wiro
Sableng garuk-garuk kepala.

“Nenek muka putih tadi,” kata Wiro pula. “Menurutmu apakah dia benar berubah bentuk dari
perempuan muda yang membawa boneka kayu?”
“Aku punya dugaan begitu,” jawab Setan Ngompol. “Aku lebih suka kita mencarinya daripada
kembali ke jurang atau mengejar makhluk muka setan itu.”

Wiro kembali menggaruk kepala. “Jika manusia muka setan berjubah kelabu itu memang
Pangeran Matahari, berarti perempuan muda membawa boneka memiliki kepandaian luar
biasa. Tidak sembarang orang mampu menghajar sang Pangeran seperti itu. Lalu jika dia
memang hendak menghajar Pangeran Matahari mengapa harus berubah ujud menjadi nenek-
nenek segala? Perempuan aneh. Ilmunya juga aneh.”

“Nah, kau bingung kan? Juga bingung kita mau menuju ke mana?” Setan Ngompol tertawa.
“Sudah ikuti saja aku.”

Lalu kakek ini tarik tangan murid Sinto Gendeng.

10

KITA telusuri dulu apa yang terjadi dengan Wulan Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih yang
telah diperkosa dua orang dari Keraton Kaliningrat yaitu Kuntorando dan Pekik Ireng. Setelah
melarikan diri dari Jatilandak yang sebenarnya telah menolongnya, gadis itu lari masuk ke
dalam rimba belantara sambil berteriakteriak tiada henti. Peristiwa dahsyat yang menimpa
dirinya telah membuat jiwa dan pikiran gadis ini rusak hebat.

Keadaannya tidak beda dengan orang yang terganggu ingatan.

Di satu bagian rimba belantara redup karena ditumbuhi pohon besar berdaun lebat, selagi
berlari kencang tanpa arah sambil menjerit tiada henti, tiba-tiba satu tangan panjang aneh
seperti belalai gajah menjulai dari atas pohon, menggelung pinggang Wulan Srindi. Saat itu juga
suara jeritan si gadis lenyap. Seperti ada yang menarik, tubuh Wulan Srindi melesat ke atas
pohon, lalu dibawa berlari dari satu pohon ke pohon lain hingga akhirnya lenyap di antara
kelebatan dedaunan. Jatilandak yang berusaha mengejar gadis ini kehilangan arah.

Di atas sebatang pohon, entah dari mana datangnya mendadak muncul seekor ular besar
berkulit hijau bermata merah, kepala mendongak, mulut terbuka, meluncur di atas dahan siap
mematuk batok kepala Wulan Srindi.

Hanya tinggal dua jengkal kepala ular terpisah dari kepala si gadis sekonyong-konyong ada
suara menyembur.

Wusss!

Bau menyengat hidung menghampar. Ular besar mendesis lalu byaaarr! Kepala binatang ini
hancur bertaburan. Tubuh ular seberat hampir seratus limapuluh kati ini sesaat bergelung
melingkar, bergelantungan di dahan pohon lalu perlahan-lahan merosot ke bawah dan jatuh
bergedebuk di tanah. Di atas pohon terdengar suara tawa mengekeh lalu menyusul orang
menenggak minuman penuh lahap.

Glukk… glukk… glukk!

Wulan Srindi buka mulut hendak memaki. Tetapi mulut itu tak bisa digerakkan dan tak ada
suara yang bisa dikeluarkan. Mata si gadis mendelik besar melihat wajah merah seram orang
yang memangku dirinya.

“Cah Ayu, berkulit hitam manis! Kau mau bicara apa? Biar aku buka dulu jalan suaramu” Orang
seram meneguk cairan di dalam sebuah kendi. Lalu cairan ini disemburkan ke leher Wulan
Srindi. Saat itu juga totokan pada urat besar di leher yang membuat Wulan Srindi tak bisa bicara
terbuka musnah. Si muka seram berkulit merah tertawa.

“Nah, sekarang bicaralah sesukamu Cah Ayu!”

Begitu totokan lepas, mulut bisa digerakkan dan jalan suara kembali terbuka langsung Wulan
Srindi menghambur ucapan keras dan kasar. “Setan, dedemit, hantu keparat!

Lepaskan! Turunkan tubuhku ke tanah! Beraninya kau memangkuku! Kau mau berbuat apa
membawaku ke atas pohon! Kau mau memperkosaku?! Lepaskan! Turunkan aku ke tanah!”
Habis berkata begitu Wulan Srindi hendak berteriak namun mulutnya cepat ditekap orang.

Orang yang duduk memangku Wulan Srindi di cabang pohon tertawa mengekeh.

“Kalau saja kejadian ini puluhan tahun lalu ketika aku masih muda remaja, mungkin aku akan
tergiur melakukan apa yang kau katakan tadi! Memangku gadis secantikmu, tubuh nyaris bugil,
ha… ha… ha siapa tahan!”

“Jahanam! Kalau kau tidak segera melepaskan dan menurunkan aku ke tanah, aku bersumpah
menggeragot lehermu, menghisap darahmu!”

“Wah, wah… wah! Kau bukan gadis sejahat itu! Dengar, aku akan membawamu ke satu tempat
yang aman. Di situ kau bisa menerangkan apa yang telah terjadi pada dirimu!”

“Setan alas! Siapa sudi ikut denganmu!” teriak Wulan Srindi membuat orang yang
memangkunya geleng-geleng kepala.

“Pikiranmu sedang kacau. Aku bisa menduga. Ada satu kejadian dahsyat menimpamu! Tidak
ada salahnya kau ikutan minum agar pikiranmu bisa tenang kembali!”

“Setan, kau mau memberikan racun apa padaku?! Tidak apa! Aku lebih baik mati daripada
hidup tersiksa seumur-umur!” teriak Wulan Srindi ketika dia melihat sebuah kendi tanah
berwarna hitam didekatkan ke mulutnya.
“Aku bukan setan, bukan demit, bukan hantu. Aku adalah iblis! Iblis! Kau dengar?! Ha… ha… ha!
Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Minum biar banyak!”

Wulan Srindi merasa ada jari-jari tangan menekan lehernya, membuat dia terpaksa membuka
mulut. Lalu dari dalam kendi hitam mengucur cairan menebar bau keras menyengat
pernafasan. Wulan Srindi merasa mulutnya seperti disengat api ketika cairan itu melewati
tenggorokannya. Dia berusaha menyemburkan, berusaha memaki namun semakin banyak
cairan panas masuk ke dalam mulut. Dada serasa terbakar, kening mendenyut sakit, pandangan
mata sebentar terang sebentar gelap. Bahkan dia merasa sepasang matanya seperti mau
melompat keluar. Wajahnya yang berkulit hitam manis kelihatan sangat merah. Dari
tenggorokan keluar suara glek, glek, glek sementara dada yang tidak tertutup bergerak naik
turun. Dalam keadaan seperti itu, akibat minuman sangat keras yang masuk ke dalam perut
akhirnya Wulan Srindi kehilangan ingatan, jatuh pingsan. Orang yang memangkunya tertawa
mengekeh. Kendi kosong dibuang, tubuh Wulan Srindi diletakkan di bahu kiri. Sekali berkelebat
dia sudah berada di tanah lalu melarikan si gadis ke arah utara.

***

Ketika siuman dari pingsan, Wulan Srindi dapatkan dirinya terbaring di atas ranjang kayu
beralaskan tikar jerami. Memandang berkeliling ternyata dia berada dalam sebuah kamar
berdinding kayu. Di kaki ranjang, ada seperangkat pakaian terdiri dari baju dan celana panjang
berwarna biru pekat. Wulan sadar keadaan dirinya yang nyaris telanjang. Tanpa pikir panjang
dia segera ambil pakaian di tepi ranjang dan cepat mengenakannya.

Pakaian itu terdiri dari sehelai celana panjang ringkas serta baju berbentuk kebaya dalam
selutut.

Selesai berpakaian Wulan melangkah ke sebuah jendela terbuka di dinding kiri ruangan. Begitu
memandang keluar gadis ini melengak kaget. Betapa tidak. Dia dapatkan bangunan di mana dia
berada saat itu ternyata terletak di atas satu pohon tinggi dan besar. Tak jauh dari seberang
sana ada satu pohon besar. Di pohon itu terdapat pula sebuah bangunan kayu. Wulan melihat
ada pintu dan jendela dalam keadaan tertutup.

Wulan sekali lagi memandang seputar ruangan.

Ternyata di situ juga ada sebuah pintu. Cepat-cepat pintu dibukanya dan si gadis keluarkan
suara tertahan karena begitu pintu terbuka dia langsung berhadapan dengan tempat kosong.
Kalau sebelumnya ada orang tinggal di situ bagaimana dia naik dan turun? Wulan tidak melihat
tangga dan alat lain yang bisa dipakai untuk turun ke tanah.

“Gila! Rumah di atas pohon. Bagaimana aku bisa berada di sini?!” Wulan Srindi berpikir.
Kemudian malah tertawa dan menjerit. Pikirannya kacau. Dia coba lagi mengingat-ingat. Ada
seorang lelaki bermuka seperti dedemit, mencekokkan minuman keras ke dalam mulutnya.
“Makhluk seram yang mengaku iblis itu, di mana dia? Mungkin dalam bangunan di pohon sana?
Pasti dia sengaja menyekapku di sini!” Wulan Srindi tegak terdiam.

Memandang ke bawah, tengkuknya terasa gamang. Beberapa saat kemudian air mata meluncur
di pipinya. Tiba-tiba gadis ini menjerit, lalu duduk di salah satu sudut rumah kayu menekapi
wajah yang kotor dan pucat. Dia menjerit sampai suaranya parau. Begitu dia tak mampu lagi
menjerit kini berganti suara tangisnya yang terdengar berkepanjangan menyayat hati.

Wulan Srindi tidak sadar berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Gadis ini baru hentikan
tangis ketika mendadak dia mendengar ada orang bersiul-siul diseling tawa bergelak. Wulan
berdiri. Melangkah ke pintu, memandang ke bawah. Di antara kerapatan cabang dan ranting
serta daun pohon dia melihat seorang bermuka seram seperti setan, bertubuh gemuk pendek
melangkah sambil bersiul-siul. Kulit muka dan tubuhnya tampak merah. Sambil berjalan sesekali
dia meneguk minuman yang ada dalam kendi hitam. Orang ini mengenakan baju longgar dan
celana komprang hitam. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar digelantungi selusin
kendi hitam. Sebagian sudah kosong sebagian lagi masih terisi penuh minuman keras terbuat
dari ketan kesukaannya.

Langkahnya aneh, huyung kiri oleng kanan. Terkadang seperti mau terjerembab jatuh ke depan,
sesekali seperti mau terjengkang ke belakang. Keadaannya tidak beda dengan orang tengah
mabuk berat.

“Dedemit muka merah! Dia yang mencekoki dengan minuman celaka itu! Selagi aku tidak sadar
jangan-jangan dia telah melakukan perbuatan keji atas diriku!” ucap Wulan Srindi. “Biar
mampus dia sekarang!”

Wulan Srindi meraba pakaiannya. Seperti diketahui sebagai murid Perguruan Lawu Putih dia
pernah membekal sejenis senjata rahasia berbentuk bulat berduri, terbuat dari tembaga kuning
yang disebut Elmaut Kuning. Meraba sekujur lekuk pakaiannya tentu saja Wulan tidak
menemukan lagi senjata rahasia itu. “Sial! Hilang di mana?!” Wulan memaki sendiri. Rahang
menggembung. Sepasang mata berkilat tak berkesip ke bawah sana. Tiba-tiba gadis ini angkat
tangan kanannya. Didahului jeritan keras tangan itu dihantamkan ke bawah, ke arah orang
gemuk pendek yang tengah berjalan sambil bersiul-siul dan sesekali meneguk minuman keras
dalam kendi tanah warna hitam. Satu gelombang angin dahsyat menderu dari rumah kayu di
atas pohon.

Wusss! Kraak! Braak!

Ranting-ranting pohon berpatahan. Tiga dahan hancur dan dedaunan luruh beterbangan.
Wulan Srindi telah melepas satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi disebut Menyapu
Bukit Menjebol Lembah.

“Hai! Setan alas dari mana berani membokongku?!”


Teriak si gemuk pendek di bawah pohon. Walau tubuhnya tampak huyung seperti orang mabuk
namun begitu ada serangan ganas menyambar tubuh itu meliuk ke depan seperti mau jatuh.
Angin pukulan sakti lewat di atas punggung. Si muka merah seram teguk minuman dalam kendi.

Byaarrr!

Tanah di samping kiri orang gemuk pendek berwajah seram merah terbongkar membentuk satu
lobang besar berwarna hitam! Orang ini tertawa bergelak lalu sambil meneguk minuman keras
dalam kendi sepasang matanya melirik ke atas pohon.

“Hekk!”

Orang berwajah seram ini keluarkan suara tercekik.

“Oala, Cah Ayu! Kau rupanya yang punya pekerjaan nakal! Awas akan aku puntir telingamu!
Kalau perlu aku gebuk pantatmu!”

Habis berkata begitu si gemuk berkulit merah ini gantungkan kendi hitam ke pinggang lalu
sekali berkelebat tubuhnya melesat ke arah rumah di atas pohon!

Di depan pintu rumah di atas pohon Wulan Srindi menjerit keras lalu tubuhnya melayang ke
bawah. Tangan kiri mendekap dada, tangan kanan yang dalam keadaan mengepal diarahkan
pada orang gemuk pendek yang melesat dari arah berlawanan. Sesaat lagi pasti akan terjadi
tabrakan hebat antara kedua orang itu!

“Oala, anak edan! Apa yang kau lakukan?! Kau mau mati barengan apa?! Ha… ha… ha!”

11

HANYA sepejangkauan lagi dua orang itu akan bertabrakan hebat di udara, tiba-tiba sosok si
gemuk muka seram meliuk miring ke kanan. Tangan kirinya secara aneh berubah panjang,
menggelung pinggang Wulan Srindi. Berbarengan dengan itu jari-jari tangan kanan menotok
urat besar di punggung. Saat itu juga sekujur tubuh Wulan Srindi menjadi kaku. Kini nanya
mulutnya saja yang mampu berteriak-teriak.

Sampai di dalam rumah kayu di atas pohon, si gemuk muka merah bercelana komprang hitam
lemparkan Wulan Srindi hingga terduduk di sudut ruangan.

“Manusia muka setan! Lepaskan totokan di tubuhku! Aku ingin membunuhmu!”

Orang yang dimaki ambil kendi hitam lalu meneguk isinya dengan lahap sampai berlelehan di
dagu dan membasahi baju sementara dua matanya mengawasi Wulan Srindi.
“Kenapa kau ingin membunuhku?!” tanya si gemuk sambil menyeka mulut.

“Sewaktu aku pingsan kau pasti telah mencabuliku!”

Kendi hitam di tangan si gemuk melesat ke depan.

Braakkk! Kendi remuk hancur di dinding hanya satu jengkal di atas kepala Wulan Srindi.
Pecahan kendi bertaburan dan minuman keras membasahi rambut, wajah dan sebagian
pakaiannya. Si gadis terdiam namun kemudian tertawa cekikikan.

“Edan! Baru sekali ini aku menghadapi orang edan!

Perempuan lagi! Kalau hati tidak kasihan, kalau tidak ingin menolong, perduli setan aku mau
mengurusi!”

Wulan Srindi hentikan tawanya. Dua matanya menatap garang ke arah si gemuk pendek
bermuka merah.

“Kau kasihan?! Ingin menolong?! Mau mengurusi?!

Hik… hik… hik! Manusia bermuka wajar saja hatinya bisa sejahat setan! Apalagi kau yang punya
muka setan! Hatimu pasti sejahat iblis!”

“Cah Ayu! Ucapanmu membuat aku tersinggung. Cukup aku melihatmu sampai di sini!” Orang
itu ambil satu kendi yang tergantung di pinggang. Minum bergelegukan. Masih tinggal setengah
kendi dibanting ke lantai. Lalu dia melangkah ke pintu.

“Hik… hik! Setan bisa juga ngambek!”

Ucapan Wulan Srindi membuat si gemuk hentikan langkah dan berpaling. Lalu tertawa gelak-
gelak. Si muka merah ini rupanya punya sifat lekas marah tapi cepat pula baik.

“Manusia muka kepiting rebus. Kau ini siapa sebenarnya?” bertanya Wulan Srindi.

“Aku manusia gelandangan! Tukang mabuk!”

“Sebelumnya kau bilang dirimu adalah iblis!” kata Wulan Srindi pula.

“Kau boleh menyebut aku apa saja! Asal jangan menuduh aku yang bukan-bukan!”

“Hik… hik… Dirimu mengingatkan aku pada guruku!”

“Siapa gurumu? Kau sendiri…”


“Kau akan terkejut kalau tahu siapa guruku. Apalagi tahu siapa diriku!”

“Cah Ayu, seumur hidup tidak ada satu manusia yang bisa membuat aku terkejut! Hanya satu
hal yang bisa membuat aku terkejut!”

“Hik… hik! Apa?!” tanya Wulan Srindi pula.

“Kalau minuman keras sari ketan kedoyananku tak ada lagi di dunia! Ha… ha… ha!” Si gemuk ini
hendak mengambil satu kendi yang masih penuh berisi minuman keras namun tak jadi. “Eh, kau
belum menerangkan siapa gurumu, siapa dirimu.”

“Aku adalah murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!”

Wajah merah si gemuk pendek kelihatan tambah merah.

“Nah, sekarang kau ternyata bisa kubuat terkejut! Hik… hik… hik!”

“Siapa bilang aku terkejut?!” jawab orang di hadapan Wulan Srindi lalu sambung ucapannya.
“Aku tahu kau dusta. Karena rimba persilatan tahu kalau manusia berjuluk Dewa Tuak cuma
punya seorang murid. Kalau tak salah bernama Anggini. Padahal, tidak banyak diketahui orang,
sebenarnya selain Anggini kakek itu juga punya murid lain. Perempuan, aku lupa namanya. Tapi
yang jelas bukan kau!”

“Kau bisa saja mengarang cerita. Yang jelas banyak peristiwa terjadi dalam rimba persilatan.
Selama ini rupanya kau tidak pernah menyimak kabar. Kau mungkin hanya sibuk dengan kendi
hitammu itu. Kau pasti terkejut kalau aku katakan diriku adalah jodoh dunia akhirat Pendekar
212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!”

“Jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng!”

mengulang si muka seram berkulit merah dengan kening mengerenyit lalu tertawa mengekeh.
Ternyata manusia satu ini memang sulit dibikin terkejut. “Ngacok! Kau bicara apa Cah Ayu!
Semua orang tahu kalau pendekar yang kau sebutkan sudah dijodohkan dengan Anggini. Hanya
saja perjodohan itu memang tidak ketahuan juntrungannya sampai saat ini…”

“Karena tidak ketahuan juntrungan itulah maka Sinto Gendeng memutuskan aku pengganti
Anggini untuk jodoh muridnya,” potong Wulan Srindi dengan wajah senyumsenyum.

“Cah Ayu, jangan kau menganggap aku ini makhluk tolol. Jangan kau kira aku tidak kenal
dengan Pendekar 212!”

“Kalau begitu kelak kau bisa kujadikan saksi pernikahanku. Hik… hik… hik! Kau bersedia bukan?”

“Ngacok! Lebih baik kau ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu.”
“Apa yang terjadi dengan diriku?” Wulan Srindi terdiam.

Lalu butir-butir air mata perlahan-lahan meluncur turun ke pipinya.

“Oala, kok malah mewek, nangis?”

“Aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Terlalu keji, terlalu memalukan.”

“Kalau kau mau cerita siapa tahu aku bisa menolong.”

“Aku tidak butuh pertolonganmu…”

“Kau sudah menerima sebagian dari pertolonganku,” kata si muka merah sambil senyum-
senyum.

“Kau mau minta imbalan?!”

“Jangan bicara ngacok lagi, Cah Ayu.”

“Aku korban kebejatan dua manusia biadab…” Wulan Srindi ingin menekap wajahnya dengan
kedua tangan.

Namun karena masih dalam keadaan tertotok hal itu tak bisa dilakukan. Gadis malang ini
akhirnya hanya bisa berteriak, lalu menggerung menangis. Setelah tangisnya reda dan terus
dibujuk oleh si gemuk pendek bermuka seram merah akhirnya Wulan menuturkan apa yang
telah dialaminya beberapa waktu lalu.

Beberapa saat setelah Wulan Srindi menceritakan nasib malangnya, si gemuk pendek bertanya.
“Dua orang yang merusak kehormatanmu itu, kau tahu namanya?”

“Tidak.”

“Menurutku keduanya berseragam pakaian hitam. Pada dada kiri baju mereka ada sulaman
benang kuning rumah joglo serta dua keris saling bersilang.”

“Benar.” jawab Wulan Srindi. “Kau mengenal siapa mereka?”

“Keraton Kaliningrat. Mereka adalah orang-orang dari Keraton Kaliningrat.” Menerangkan si


gemuk pendek muka seram merah.

“Aku belum pernah mendengar nama keraton itu. Di mana letaknya?” tanya Wulan Srindi pula.
“Yang disebut Keraton Kaliningrat hanyalah nama saja. Keraton yang berbentuk gedung tak
pernah ada. Keraton itu bisa saja ada di kawasan utara atau muncul di barat. Bisa di selatan
atau di timur. Tergantung di mana para tokoh dan anggotanya saat itu berada. Biasanya hanya
untuk beberapa lama lalu berpindah lagi ke tempat lain…”

“Manusia-manusia Keraton Kaliningrat apakah mereka itu merupakan manusia-manusia


jahanam jahat atau…”

“Setahuku mereka adalah kaum pemberontak. Beberapa orang rimba persilatan berkepandaian
tinggi ikut bergabung dengan mereka. Kebanyakan dari mereka hanya berkepandaian biasa-
biasa saja. Namun mereka memiliki ilmu kebal, tahan pukulan tak mempan senjata tajam.”

“Kau tahu kelemahan ilmu mereka?”

Si gemuk pendek tertawa lebar. “Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau punya niat untuk balas
dendam.”

“Sampai jadi bangkai dan mendekam di liang kubur pun aku tetap akan membalaskan dendam
kesumat sakit hati.”

Si gemuk ambil sebuah kendi, meneguk isinya sampai mukanya tambah merah. “Jika bertemu
lagi dengan kedua orang pemerkosa itu, kau masih mengenali tampang mereka?”

“Pasti. Salah satu dari mereka sempat aku gigit dagunya. Gigitan itu pasti meninggalkan cacat di
wajahnya.”

“Cah Ayu, kalau kau ingin balas dendam biar aku memoles dirimu lebih dulu. Aku butuh seratus
hari untuk melakukannya…”

“Apa maksudmu?” tanya Wulan Srindi curiga.

Yang ditanya cuma tertawa, teguk lagi minuman keras dalam kendi. Tiba-tiba cairan dalam
mulut disemburkan ke wajah dan tubuh Wulan Srindi. Si gadis menjerit. Wajah dan sebagian
tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Si gemuk menyembur sekali lagi. Aneh, kalau tadi
terasa panas kini Wulan Srindi merasa wajah dan badannya menjadi dingin sejuk. Namun gadis
itu belum menyadari kalau saat itu kulit wajah, tangan dan dua kakinya telah berubah putih.

12

JALAN tanah yang melewati rimba belantara Ngluwer, merupakan jalan pintas terdekat yang
menghubungi daerah selatan dengan kawasan utara sampai ke Mungkid dan Magel sudah lama
tidak dilewati orang.
Terutama para pedagang. Mereka lebih suka memilih jalan berputar di sebelah timur melewati
kaki Gunung Merapi.

Walau lebih jauh setengah hari perjalanan namun lebih aman. Belakangan ini hutan Ngluwer
telah menjadi sarang sekelompok perampok jahat. Mereka bukan saja membegal harta benda
orang yang lewat di situ, tapi juga tak segan-segan membunuh para korban.

Siang itu di pinggiran hutan sebelah barat ada serombongan orang berkuda terdiri dari
sembilan orang. Delapan orang berkulit kuning, bermata sipit, mengenakan topi merah dan
pakaian berbentuk jubah bagus berkilat juga berwarna merah. Beberapa di antara mereka
memelihara kumis panjang menjulai. Selain itu kedelapan orang ini membekal sebatang tombak
yang ujungnya berbentuk pisau besar, tergantung di depan pelana. Orang kesembilan seorang
penduduk asli, agaknya bertindak sebagai penunjuk jalan.

Ada satu keanehan pada rombongan delapan orang asing ini. Empat orang membawa tambur,
empat orang lagi membawa terompet. Setiap menempuh jalan sejarak tiga ratus tombak
mereka berhenti. Yang membawa tambur segera memukul tambur. Yang membawa terompet
segera pula meniup terompet masing-masing. Setelah cukup lama memainkan peralatan
bebunyian itu rombongan melanjutkan perjalanan. Sekitar tigaratus tombak di muka mereka
berhenti lagi lalu melakukan hal yang sama, memukul tambur meniup terompet.

Siapakah sebenarnya rombongan aneh ini? Terutama delapan orang asing itu? Mereka adalah
awak kapal milik seorang pedagang dari daratan Cina yang beberapa waktu lalu dijarah barang
bawaannya ketika diduga merapat di Tuban, ternyata kemudian diketahui berlabuh di
Morodemak. Dari sekian banyak barang yang dirampas, satu di antaranya adalah yang sangat
berharga yaitu sebuah kantong kulit berisi candu dan madat. Penjarahan kapal dagang itu
agaknya telah disiapkan dan diatur sedemikian rupa. Tujuan utama para perampok sebenarnya
memang adalah madat seberat lebih dari 50 kati. Dua orang perampok yang menyamar sebagai
perajurit Kerajaan yaitu Surojantra dan Jaliteng berhasil melarikan kantong kulit berisi madat
itu. Kedua perampok ini sebenarnya adalah kaki tangan kaum pemberontak yang tengah
mencari dana dan dikenal dengan sebutan orang-orang Keraton Kaliningrat.

Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya, Kitab Seribu Pengobatan, Surojantra dan
Jaliteng menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Madat satu kantong kemudian jatuh ke
tangan Rakadanu dan Galirenik yang punya tugas untuk mendapatkan madat tersebut. Mereka
adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Namun sebelum sempat kembali ke markas, keduanya
menemui ajal di tangan murid kembar Hantu Malam Bergigi Perak. Madat satu kantong besar
kini berada di tangan si nenek sakti bermuka angker itu. Sementara dua orang dari Keraton
Kaliningrat lainnya, Kuntorandu dan Pekik Ireng, yang diperintahkan untuk mengamankan
madat, tidak berhasil menemui dua temannya. Malah kemudian mereka bertemu Wulan Srindi
dan memperkosa gadis itu.

Rombongan delapan awak kapal dagang Cina yang berlabuh di Morodemak mendapat perintah
untuk mencari dan menemukan kembali madat yang telah dijarah. Di bawah pimpinan nakhoda
Long Cie mereka membawa seorang penunjuk jalan sekaligus juru bahasa. Sang penunjuk jalan
yang bernama Amangrejo mengetahui kalau sejak beberapa lama rimba belantara Ngluwer
telah menjadi sarang perampok ganas. Dengan dugaan bahwa para perampok hutan inilah yang
telah merampas kantong berisi madat, maka Amangrejo membawa rombongan awak kapal
Cina ke kawasan itu. Karena tidak tahu pasti di mana letak sarang para penjahat maka mereka
pergunakan siasat untuk memancing dan menarik perhatian. Yaitu mereka sengaja menabuh
tambur dan meniup terompet.

Setelah hampir setengah harian mundar-mandir di pinggiran rimba belantara Ngluwer


pancingan mereka akhirnya berhasil juga.

Di satu tempat selain kerasnya rombongan memukul tambur dan meniup terompet, tiba-tiba
dari dalam hutan terdengar suara suitan-suitan nyaring saling berbalasan dari beberapa
penjuru. Tak berselang berapa lama muncul duabelas orang berpakaian dan berikat kepala
kuning pekat. Tampang garang, rata-rata memelihara cambang bawuk liar. Sekali bergerak
keduabelas orang ini telah mengurung rombongan orang asing penabuh tambur peniup
terompet.

Amangrejo segera turun dari kudanya. Sementara delapan awak kapal dari Cina tetap di atas
kuda masingmasing.

Amangrejo membungkuk beberapa kali lalu keluarkan ucapan. Penunjuk jalan ini sadar sekali
kalau saat itu dia tengah berhadapan dengan kelompok perampok yang bisa menilai nyawa
manusia tidak lebih berharga dari seekor kodok dalam comberan.

“Salam hormat dan persahabatan untuk para kerabat dari hutan Ngluwer. Mohon tanya
siapakah yang bertindak sebagai pimpinan dari para kerabat di sini?!”

Duabelas orang yang mengurung rombongan berkuda hampir semua bertubuh tinggi besar dan
galak. Namun yang maju ke arah Amangrejo justru adalah seorang bertubuh pendek, berkumis
dan bercambang bawuk lebat tapi berkepala botak plontos. Sepasang mata berwarna merah
namun juling. Hingga walau tampak galak tapi ada lucunya juga. Amangrejo agak bingung. Jelas
orang melangkah ke hadapannya namun pandangan matanya tertuju ke jurusan lain!

“Kami adalah orang-orang hutan Ngluwer tidak butuh penghormatan kalian. Kami tidak merasa
ada persahabatan antara kita!” Si pendek bermata juling keluarkan ucapan. Walau pendek
namun suaranya besar serak. Dia bicara sambil dua tangan diletakkan di pinggang dan sepasang
mata juling memandang berputar.

Mendengar ucapan orang yang tidak bersahabat Amangrejo cepat-cepat membungkuk. “Ah,
harap maafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan para sahabat.”

Si pendek bermata juling goyangkan kepala ke arah depan penunggang kuda di belakang
Amangrejo.
“Siapa delapan monyet bermata sipit berdandan bagus ini?! Apakah rombongan pengamen dari
negeri seberang, membawa tambur dan terompet segala?!”

“Mereka adalah awak kapal dagang dari Tiongkok.

Mereka ingin mencari keterangan tentang satu kantong candu yang lenyap dijarah di pelabuhan
Morodemak…”

“Mencari keterangan atau ingin menuduh kami yang merampok candu itu? Bicara yang jelas!”
Bentak si juling pendek.

“Dengar, kami datang hanya untuk mencari keterangan.

Kalau para sahabat tahu, orang-orang ini bersedia menebus candu itu dengan barang-barang
perhiasan senilai satu setengah kali harga candu.”

Si pendek juling pencongkan mulut. Dia memandang berkeliling pada sebelas temannya.
Keduabelas orang itu kemudian tertawa tergelak-gelak.

“Kau yang jadi kacung orang asing!” si jereng menuding pada Amangrejo. “Siapa namamu?!”

“Nama saya Amangrejo.”

“Amangrejo! Kalau dirimu cuma seorang kacung penunjuk jalan, kami tidak heran kau berlaku
tolol! Tapi jangan berani membagi ketololan pada kami orang-orang hutan Ngluwer! Kalau
kalian membawa perhiasan yang harganya satu setengah kali nilai candu, coba katakan apakah
ada manusia yang lebih tolol dari kalian di kolong langit ini?!”

Ucapan si pendek berkepala botak itu disambut gelak tawa kawan-kawannya yang sebelas
orang.

“Amangrejo, kami masih mau berbaik-baik denganmu.

Coba perlihatkan dulu barang-barang perhiasan yang kalian bawa.”

Amangrejo berpaling pada rombongan orang-orang berjubah merah lalu bicara dalam bahasa
Cina. Salah satu dari delapan orang asing yang menunggang kuda dan memelihara kumis
panjang menjulai yang bukan lain adalah nakhoda Long Cie menyahuti. Amangrejo lalu
berpaling kembali ke arah si pendek botak.

“Menurut nakhoda Long Cie, pimpinan awak kapal, dia akan memperlihatkan perhiasan itu,
bahkan akan memberikan pada kerabat setelah dia melihat dan menerima candu.”
Tampang si botak tampak menggembung merah.

“Katakan pada keparat mata sipit itu! Aku Surah Nenggolo pimpinan orang-orang hutan
Ngluwer di tempat ini! Di sini berlaku peraturan kami. Mulutku hukumku! Jika dia tidak suka
dan tidak mau ikut aturan kami silahkan pergi. Tapi dia tetap harus menyerahkan semua barang
perhiasan yang dibawa. Atau mereka semua menukar dengan meninggalkan nyawa!”

Amangrejo menyampaikan apa yang dikatakan si botak pendek. Waktu bicara mata kirinya
dikedipkan. Long Cie mengangguk lalu bicara pada dua temannya. Dua orang itu mengeluarkan
masing-masing satu peti kayu dari kantong pelana masing-masing lalu turun dari kuda dan
meletakkan dua peti di tanah, beberapa langkah di hadapan Surah Nenggolo.

“Bagus,” kata si gemuk botak pula. “Sekarang suruh semua orang itu turun dari kuda mereka.”
Permintaan itu diteruskan Amangrejo pada Long Cie.

Bagi nakhoda kapal, ini adalah suatu permintaan aneh. Dia memutuskan untuk tetap berada di
atas kuda namun menyuruh turun lima anak buah kapal yang masih duduk di atas kuda. Kelima
orang ini gantungkan tambur dan terompet mereka di leher kuda masing-masing lalu turun ke
tanah.

Surah Nenggolo perhatikan Long Cie beberapa lama lalu mendekati seorang anak buahnya dan
berbisik. “Sipit satu itu agaknya punya otak cerdik pandangan tajam. Jika terjadi keributan kau
harus membunuhnya lebih dulu.”

Setelah itu Surah Nenggolo menyuruh dua orang anak buahnya yang lain membuka penutup
peti kayu yang tergeletak di tanah.

Begitu tutup dua peti terbuka menghamburlah delapan ekor ular kobra dan langsung
menyerang ke arah para perampok. Surah Nenggolo dan sebelas anak buahnya jadi kalang
kabut. Dua orang kena dipatuk ular kobra menjerit keras, roboh ke tanah, kelojotan beberapa
ketika lalu kaku tak bergerak lagi.

Surah Nenggolo berteriak seperti anjing melolong. Seperti kesurupan dia berkelebat kian
kemari, menabas, membacok dengan golok besarnya ke arah ular-ular kobra besar. Beberapa
anak buahnya datang membantu. Sebentar saja delapan ular kobra bergeletakan mati di
tempat itu.

Kini perhatian Surah Nenggolo dan sisa sembilan anak buahnya tertuju pada rombongan awak
kapal dagang Cina.

“Jahanam keparat! Kucincang kalian semua!” teriak Surah Nenggolo. Tubuhnya berkelebat
enteng. Delapan dari sembilan anak buahnya ikut menghambur. Golok besar di tangan kanan
diputar sebat menghadapi tujuh orang awak kapal yang telah turun ke tanah dan menyerbu
dengan bersenjatakan golok panjang. Amangrejo sendiri kabur berlindung di tempat yang
aman.

Pertempuran berlangsung hebat tapi cepat. Setelah membuat beberapa kali gebrakan enam
orang awak kapal dagang Cina yang bersenjatakan golok berseru kaget ketika tusukan dan
bacokan senjata mereka sama sekali tidak mempan terhadap tubuh lawan. Senjata
masingmasing seperti membal malah ada yang sampai terlepas mental. Selagi mereka terkejut
dan takut Surah Nenggolo dan anak buahnya dengan cepat membalas serangan.

Kurang dari dua jurus, keenam orang awak kapal dagang itu berkaparan di tanah. Darah
mengucur dari luka-luka mengerikan yang menguak di kepala, dada dan perut!

Sementara itu anak buah yang tadi dibisiki Surah Nenggolo dengan golok di tangan melesat ke
arah nakhoda Long Cie yang saat itu masih duduk di atas kuda. Goloknya berkelebat ke perut
Long Cie. Awak kapal ini sentakkan tali kekang kuda, berkelit ke kiri. Ketika lawan menyerang
kembali Long Cie sudah memegang sebatang tombak.

Traangg!

Tombak dan golok beradu di udara. Anak buah Surah Nenggolo berseru kaget ketika dapatkan
senjatanya terlepas mental dari genggaman. Selagi tubuhnya melayang ke tanah, tombak di
tangan Long Cie menusuk deras ke depan.

Craass!

Tombak bermata seperti pisau besar itu menembus dada anak buah Surah Nenggolo. Orang ini
hanya bisa keluarkan keluhan pendek. Mulut menganga mata mendelik. Long Cie lepas
tombaknya. Tubuh yang sekarat di ujung tombak jatuh terbanting ke tanah.

Surah Nenggolo menggembor marah. Bersama beberapa anak buahnya dia segera mengejar
Long Cie yang tengah memutar tunggangannya.

“Serang kudanya!” Teriak Surah Nenggolo.

Tiga golok besar melesat di udara. Satu menyambar ke arah kepala kuda, satu ke kaki, satu lagi
ke jurusan perut.

Dengan sigap Long Cie cabut golok panjang di balik punggung. Senjata itu diputar untuk
melindungi diri dan kuda tunggangannya.

Traang! Traang! Traang!

Terdengar tiga kali suara berdentrangan. Tiga golok yang dilemparkan anak buah Surah
Nenggolo mental, satu di antaranya patah dua. Surah Nenggolo nekad memburu.
Dia sama sekali tidak menyerang nakhoda itu tapi berusaha membabat salah satu kaki kuda.
Namun Long Cie lebih cepat. Sambil membungkuk dia babatkan golok besar di tangan kanannya
dengan deras ke dada pemimpin rampok hutan Ngluwer ini.

Breett!

Dada pakaian Surah Nenggolo robek besar. Manusia botak pendek ini cepat jatuhkan diri ke
tanah. Sesaat mukanya tampak pucat ketika dilihatnya nakhoda kapal dagang Cina itu memutar
kuda. Surah Nenggolo cepat lemparkan golok besarnya ke arah Long Cie. Namun satusatunya
awak kapal dagang yang hidup ini masih bisa selamatkan diri dengan menjatuhkan diri sama
rata di punggung kuda. Golok yang dilempar Surah Nenggolo melesat hanya seujung kuku di
atas punggung Long Cie.

Selain mempunyai jabatan sebagai nakhoda kapal dagang rupanya Long Cie juga mempunyai
kepandaian silat lumayan.

“Keparat jahanam! Aku bersumpah akan mencarimu di Morodemak!” teriak Surah Nenggolo
marah besar. Si botak usap mukanya beberapa kali. “Bangsat satu itu tidak mau turun dari
kudanya. Apakah dia…” Tiba-tiba sudut mata Surah Nenggolo melihat semak belukar di depan
sana bergerak. Dia segera hantamkan pukulan tangan kosong.

Angin deras menderu.

Braaakk!

Semak belukar terbongkar hancur. Satu jeritan terdengar. Ketika Surah Nenggolo melompat
dan menyelidik ke balik semak belukar dia menemukan Amangrejo sudah jadi mayat dengan
darah masih mengucur dari mulut.

“Keparat pengkhianat! Mau-mauan jadi kaki tangan orang asing! Sekarang rasakan sendiri!” Si
botak ludahi mayat Amangrejo lalu pergi menemui anak buahnya yang kini tinggal sembilan
orang.

“Kita harus menemui pimpinan. Orang Cina sudah tahu kalau kelompok kita yang menjarah
candu. Padahal candu celaka itu entah berada di mana sekarang! Aku akan berangkat duluan.
Siapa di antara kalian yang bisa menunggang cepat memilih kuda yang ditinggalkan orang Cina
itu. Ikut aku!”

Surah Nenggolo melompat ke atas seekor kuda besar.

Ketika dia hendak menggebrak binatang itu tiba-tiba seorang anak buahnya berteriak. “Surah!
Lihat! Di atas pohon!”
13

SURAH Nenggolo mendongak, memandang ke atas pohon yang ditunjuk anak buahnya. Di atas
dahan paling tinggi, duduk berjuntai seorang perempuan berpakaian biru berwajah putih.
Pinggangnya dililit satu ikat pinggang kulit besar. Pada ikat pinggang ini tergantung lima buah
kendi kecil berwarna hitam. Kendi keenam berada di tangan kiri. Sambil duduk ongkang-
ongkang kaki perempuan berpakaian biru teguk minuman keras yang ada dalam kendi hitam
hingga wajahnya berubah kemerahan. Sesekali dia sunggingkan seringai ke arah orang-orang di
bawah pohon.

“Hanya seorang perempuan muda kurang ingatan, perlu apa diurusi!” seorang anak buah Surah
Nenggolo bernama Jantring keluarkan ucapan.

“Kau hanya melihat dengan mata, tidak pakai otak!” damprat Surah Nenggolo. “Dia bukan gadis
sinting biasa.

Dia punya kepandaian. Kalau tidak bagaimana bisa berada di atas pohon, menenggak minuman
dalam kendi. Kita harus menyelidik. Jangan-jangan dia mata-mata Kerajaan.

Jantring, coba kau naik ke atas pohon. Paksa perempuan itu turun ke tanah!”

Jantring merasa menyesal keluarkan ucapan. Namun karena ini adalah perintah atasan maka
segera saja dia jejakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas pohon.

“Ooo… ooo! Siapa yang mengundangmu naik ke atas pohon?!” Perempuan yang duduk di
cabang pohon teguk cairan dalam kendi. Ketika Jantring hampir mencapai dahan pohon di
mana dia berada tiba-tiba si muka putih ini semburkan cairan dalam mulutnya.

Wusss!!!

Jantring tidak menduga akan mendapat serangan seperti itu. Dia coba menggapai cabang
pohon di sebelah kiri sekaligus berusaha melindungi muka dengan tangan yang lain dari
semburan cairan berbau sangat menyengat.

Tapi gagal. Semburan cairan mengenai mukanya. Rampok hutan Ngluwer ini terpental dan
menjerit setinggi langit.

Suara jeritan itu tersentak putus ketika tubuhnya jatuh bergedebuk di tanah. Surah Nenggolo
dan anak buahnya cepat mendatangi. Semua mengerenyit ngeri ketika melihat bagaimana
wajah Jantring nyaris tak bisa dikenali lagi. Hancur hangus penuh lubang.

Di atas pohon, perempuan berwajah putih tertawa panjang cekikikan.


Amarah si botak bermata juling Surah Nenggolo meledak melihat kematian Jantring. Didahului
satu teriakan dahsyat dia hendak melesat menyerbu ke atas pohon.

Namun salah seorang anak buahnya cepat menahan, memegang lengannya lalu berbisik.

“Perempuan aneh itu berada di atas pohon. Kalau diserang… lihat apa yang terjadi pada
Jantring.” Ucapan si anak buah membuat Surah Nenggolo sadar akan sesuatu.

Dengan mata berkilat dia ambil golok yang ada di tangan dua orang anak buahnya. Lalu dua
senjata ini dilemparkan ke atas pohon. Tapi orang yang jadi sasaran serangan ternyata tidak ada
lagi di dahan tempat tadi dia duduk. Dua golok menembus dedaunan, melesat di udara kosong.

Suara cekikikan kembali menggema di dalam rimba belantara. Mau tak mau selain terperangah
Surah Nenggolo dan anak buahnya jadi merinding juga.

“Botak pendek! Apa matamu sudah buta?! Aku berada di sini! Mengapa menyerang tempat
kosong?! Hik… hik… hik!”

Para perampok hutan Ngluwer jadi terkejut geger ketika mereka melihat perempuan yang tadi
diserang dengan golok ternyata memang telah berpindah ke pohon lain dan duduk tertawa-
tawa di salah satu cabang pohon.

“Kalian sungguh tidak berbudi! Aku mau mengundang minum. Kalian malah menyerang!”

“Perempuan muka putih! Setan atau apapun kau adanya! Jangan jual lagak di atas pohon!
Turun ke sini!” teriak Surah Nenggolo sambil menjambak sendiri cambang bawuknya saking
kesal.

Orang yang diteriaki tertawa panjang.

“Apakah aku cantik hingga kau menganggap aku jual lagak?!” Perempuan di atas pohon liukkan
badan hingga sebagian pinggang dan perutnya tersingkap menggairahkan. Dia kemudian
menatap ke arah Surah Nenggolo lalu meneguk minuman keras dalam kendi hitam. Setelah
usap lelehan cairan di sekitar bibirnya dia berkata dengan suara keras. “Botak pendek! Kau
minta aku turun ke tanah! Aku malah mau mengundangmu naik ke atas pohon biar aku suguhi
minuman sedap yang membuat badan jadi segar, mata nyalang, pikiran lepas, dada lapang!
Hik… hik… hik!

Apa kau dan anak buahmu malu-malu menerima undanganku?! Apakah aku tidak cukup cantik
dan menggiurkan untuk duduk berhangat-hangat berdampingan dengan kalian di atas pohon
ini? Hik… hik… hik!”
Mendengar ucapan orang yang menyuruh mereka naik ke atas pohon Surah Nenggolo dan anak
buahnya yang kini tinggal delapan orang saling pandang. Salah seorang dari mereka membisiki.
“Surah, jangan-jangan perempuan di atas pohon itu tahu…”

“Kita harus menyelidik siapa dia adanya. Lalu membunuhnya!” Surah Nenggolo potong ucapan
anak buahnya.

Dia memandang ke atas pohon lalu berkata dengan suara keras. “Perempuan muda…”

“Perempuan muda!” orang di atas pohon mengulang ucapan Surah Nenggolo dengan suara
keras lantang. “Kau memanggil aku perempuan muda. Apakah menurutmu aku ini tidak gadis
lagi?! Kurang ajar! Jangan kau berani menghina!” Habis berteriak perempuan ini keluarkan
suara menggerung seperti menangis.

Melihat orang bersikap aneh, Surah Nenggolo cepat berkata. “Gadis cantik di atas pohon, harap
maafkan kalau aku salah memanggil dirimu. Juga terima kasih atas undangan minum. Namun
aku rasa dahan pohon itu terlalu sempit untuk kami sembilan orang! Bagaimana kalau kau saja
yang turun ke sini! Mari kita bicara. Siapa tahu aku bisa melupakan kematian tiga anak buahku
dan kita bisa bersahabat!”

Perempuan muka putih berpakaian biru gelap di atas pohon tertawa panjang. Agaknya dia
senang dipanggil gadis cantik. Dia tutup tawanya dengan berkata. “Bagus juga. Ternyata kau
bukan manusia bangsa pendendam.

Aku pikir mungkin kita memang bisa bersahabat! Aku penuhi permintaanmu. Aku segera
turun!” Habis keluarkan ucapan perempuan itu gerakkan tangan kirinya.

Kraakk!

Dahan pohon sebesar paha manusia patah, melayang jatuh ke tanah. Perempuan muka putih
menyusul turun.

Ketika dia sampai di bawah kakinya tidak langsung menginjak tanah, tapi bertumpu pada
patahan dahan pohon. Tubuhnya tegak tak bisa diam. Bergoyang huyung ke kiri ke kanan,
sesekali oleng ke depan atau ke belakang. Keadaannya tidak beda orang mabok.

Melihat orang berdiri tidak menginjak tanah, Surah Nenggolo dan semua anak buahnya saling
pandang.

“Hai! Sesuai permintaan aku sudah turun. Sekarang kenapa kalian kelihatan seperti bengong?!
Mari kita minum-minum…” Perempuan muka putih angkat tangannya yang memegang kendi
hitam.
Surah Nenggolo maju dua langkah. Dia tidak berani terlalu dekat dengan perempuan yang
berdiri di atas dahan pohon. Sebaliknya orang yang didatangi memandang lekatlekat.

Pertama ke arah dada pakaian kuning Surah Nenggolo yang robek besar akibat sambaran
pedang Long Cie tadi. Dia melihat di balik pakaian kuning di sebelah luar, di bagian dalam
kepala rampok ini mengenakan pakaian lain berwarna hitam. Pandangan kedua diarahkan pada
wajah Surah Nenggolo.

“Tampangmu lucu! Ternyata matamu jereng! Hik… hik… hik! Pantas tadi kau keliru melakukan
serangan! Hai aku bisa mengobati mata julingmu. Dicongkel yang kiri dipindah ke kanan, yang
kanan dipindah ke kiri. Mau?”

Rahang Surah Nenggolo menggembung. Walau marah dan jengkel namun dia jawabi ucapan
orang dengan tenang.

“Sekarang kita telah menjadi sahabat. Boleh-boleh saja kita bicara lucu-lucuan. Apakah kami
boleh tahu siapa gerangan nama sahabat, apakah juga punya gelar atau julukan gagah dalam
rimba persilatan? Selama ini kami terlalu lama mendekam dalam hutan hingga tidak tahu kalau
ada tokoh-tokoh baru rimba persilatan yang bermunculan. Harap sahabat kami gadis cantik sudi
memberi tahu.”

Perempuan muka putih mendongak lalu tertawa panjang. “Yang namanya rampok itu tentu saja
selalu mendekam dalam hutan. Kalau ada mangsa, baru muncul seperti tadi kau dan anak
buahmu membantai orang-orang Cina.”

Tampang Surah Nenggolo tampak merah mendengar ucapan yang mengejek itu.

“Eh, tadi kau tanya nama dan gelarku. Menurutmu apa nama yang bagus dan gelar yang pantas
untukku?”

Mendengar pertanyaan orang Surah Nenggolo jadi kesal. Namun dia berlaku cerdik dan alihkan
pembicaraan.

“Sahabat, aku lihat sedari tadi kau hanya berdiri di atas dahan pohon. Mengapa tidak turun ke
tanah agar kita bisa segera menikmati minuman yang kau tawarkan?”

“Hai, apa kau tidak melihat kasut kakiku masih baru?

Aku tidak mau mengotori alas kaki baru ini!” jawab perempuan muka putih sambil angkat salah
satu kakinya.

Ternyata dia memang mengenakan kasut yang masih baru sebagai alas kedua kakinya.

“Kau juga tetap tidak mau memberi tahu siapa dirimu pada kami kawan-kawan barumu?”
“Tidak ada perlunya. Kalian mau ikutan minum atau tidak?”

“Sahabat, jika kau menyembunyikan siapa dirimu, kami menaruh curiga. Jangan-jangan kau
adalah mata-mata yang dikirim Kerajaan!” Kata Surah Nenggolo pula.

“Ah, kalau kau punya kecurigaan seperti itu berarti kau tidak sebenarnya jujur ingin bersahabat
denganku!

Manusia jereng atau juling sepertimu ini tidak bisa dipercaya! Hik… hik! Sekarang terpaksa aku
membatalkan niat mengundang kalian minum. Lebih baik aku minum sendiri!”

Gluk… gluk… gluk.

Selagi si gadis asyik meneguk minuman keras dalam kendi Surah Nenggolo memberi tanda pada
delapan anak buahnya. Pada tiga anak buah yang terdekat dia berkata. “Serang sampai dia
turun dari atas dahan. Jaga jarak. Hatihati semburan minuman keras. Jangan sampai kena
digebuk.” Tanpa banyak menunggu delapan orang anak buah Surah Nenggolo, empat
bersenjata golok, empat mengandalkan tangan kosong segera menyerbu.

“Kurang ajar! Benar-benar tidak berbudi! Mula-mula katanya bersahabat. Lalu menaruh curiga.
Sekarang malah menyerang!” Si muka putih berteriak marah. Satu sambaran golok yang
mengarah kepalanya ditangkis dengan kendi di tangan kiri. Kendi hancur berantakan.

Orang yang menyerang terpekik ketika satu tendangan menghantam dan membobol perutnya.
Darah menyembur dari mulut, sebagian memercik mengotori kaki kanan perempuan muka
putih. Perempuan ini berteriak marah.

“Jahanam kurang ajar! Kau memecahkan kendiku! Kau mengotori kasut baruku! Mampus
semua!” Dalam kemarahannya perempuan itu melesat setinggi satu tombak ke udara. Korban
kedua jatuh ketika lagi-lagi kaki si muka putih berkelebat kirimkan tendangan yang membuat
pecahnya kepala salah seorang anggota rampok hutan Ngluwer.

Pada waktu perempuan itu melesat ke arah Surah Nenggolo cepat pergunakan kesempatan
menendang dahan kayu yang tergeletak di tanah hingga terpental jauh.

Ketika lawan melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Surah Nenggolo berteriak. “Sekarang!”
Dengan sebilah golok di tangan bersama anak buahnya yang kini bersisa enam orang Surah
Nenggolo menyerbu perempuan muka putih. Serangan dari tujuh penjuru ini yang disebut jurus
Menjepit Bumi Membantai Gunung sungguh ganas luar biasa. Sasaran serangan tak mungkin
selamatkan diri.
Namun apa yang terjadi? Ketika tujuh lawan menyerbu secepat kilat perempuan muka putih
luncurkan tubuh ke bawah. Dia menyelinap di antara kaki-kaki lawannya sambil pukulkan
tangan kiri kanan.

Bukkk! Buukkk!

Dua anggota rampok terpental dan jatuh terbanting ke tanah. Namun cepat bangkit kembali.

“Bangsat perempuan! Jangan kabur!” teriak Surah Nenggolo.

“Siapa kabur! Aku di sini! Hik… nik… hik!”

Terdengar jawaban disusul tawa cekikikan.

Gluk… gluk… gluk!

Semua kepala dipalingkan. Surah Nenggolo melihat perempuan muka putih itu ternyata berdiri
dengan tangan kiri di pinggang, mulut meneguk minuman keras dalam kendi hitam sementara
sepasang mata mengawasi dua orang anggota rampok yang tadi berhasil digebuknya.

Hebatnya perempuan ini tidak langsung berdiri di tanah tapi tegak di atas mayat salah seorang
awak kapal dagang Cina! Seperti tadi tubuhnya tampak terhuyung-huyung kian kemari.

14

MELIHAT semua yang terjadi, salah seorang anak buah Surah Nenggolo dekati pimpinannya dan
berbisik, “Surah, lebih baik kita menghindar saja. Melawan perempuan sinting tapi
berkepandaian tinggi kita bisa habis semua.”

“Tutup mulutmu! Aku yang mengatur perintah! Bukan kau!” semprot Surah Nenggolo. “Aku
masih penasaran.

Kita serang sekali lagi dengan jurus Langit Terang Memancung Rembulan. Cari senjata! Apa
saja!”

Semua anggota rampok segera mengambil tombak dan golok yang bergeletakan banyak di
tanah. Masing-masing kini memegang dua senjata termasuk sang pemimpin.

Sementara perempuan muka putih masih asyik-asyikan meneguk minuman keras dalam kendi
hitam. Didahului teriakan keras dari Surah Nenggolo, tujuh pasang tangan bergerak.
Empatbelas senjata melesat ke udara, mengarah sasaran, mulai dari kepala sampai ke betis
perempuan muka putih.
Tiba-tiba dalam satu kecepatan sulit dibayangkan, orang yang diserang seperti tumbang jatuh
punggung ke tanah. Sementara lebih dari selusin senjata menyambar ganas kurang setengah
jengkal dari atas tubuhnya, si muka putih gulingkan diri di tanah. Sambil berguling tangan kiri
lepaskan satu pukulan tangan kosong, mulut semburkan minuman keras. Dua orang anak buah
Surah Nenggolo menjerit. Kedua–nya roboh ke tanah, melejang-lejang kelojotan. Empat kawan
mereka diam terpaku, kaget dan mulai leleh nyali masing-masing.

“Jahanam kurang ajar! Aku mengadu jiwa denganmu!”

teriak Surah Nenggolo marah besar. Tubuhnya melesat mengejar perempuan muka putih yang
masih bergulingan di tanah. Tangan kanan menghantam dua kali berturut turut ke arah
punggung.

“Mati kau!” teriak Surah Nenggolo.

Buumm! Bumm! Byaarr! Byaarr!

Dua letusan keras menggelegar. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Asap hitam mengepul. Di
balik asap terdengar tawa cekikikan. Tiba-tiba sebuah kendi hitam melayang ke arah kepala
Surah Nenggolo. Kepala rampok ini menangkis dengan pukulan tangan kiri. Kendi hancur
berantakan. Kendi itu ternyata kosong.

“Botak jereng! Aku di sini!”

Surah Nenggolo berpaling ke belakang. Saat itu juga satu pukulan keras menghantam dadanya.
Manusia bertubuh pendek ini terpental sampai dua tombak, tapi segera bangun tanpa cidera
sedikitpun.

“Hemmm… aku sudah menduga,” ucap perempuan muka putih sambil menyeringai. Dia maju
selangkah. Kaki kiri diselipkan ke punggung mayat awak kapal dagang Cina yang tergeletak di
tanah. Begitu kaki itu digerakkan ke atas dan sosok mayat melesat di udara ke arah Surah
Nenggolo dan anak buahnya berdiri, perempuan muka putih cepat melompat. Sesaat kemudian
dia telah berdiri di atas mayat awak kapal dagang yang meluncur di udara.

Dalam kagum dan juga rasa kecut yang mulai membayangi dirinya, Surah Nenggolo berikan
perintah pada anak buahnya. “Kalian serang mayatnya. Perempuan keparat itu serahkan
padaku!”

Empat anggota rampok yang sebenarnya sudah ciut nyalinya namun takut pada pimpinan
mereka terpaksa menghambur maju dan lancarkan serangan ke arah mayat yang dipakai
tumpangan untuk meluncur. Sementara Surah Nenggolo angkat tangan kanan. Tangan itu
tampak bergetar hebat dan berubah warna menjadi kehitaman.
Kepala perampok ini memang punya satu pukulan sakti disebut Wesi Kala Item. Pukulan sakti ini
mengandung racun sangat jahat. Lawan yang hanya terkena sapuan anginnya saja pasti akan
cidera kulitnya dan cacat sengsara seumur hidup.

Empat pukulan keras menghantam mayat awak kapal hingga dagingnya remuk dan tulang-
tulang berderak patah.

Tubuh perempuan yang berada di atas sosok mayat kelihatan oleng seperti mau jatuh ke tanah.

“Hai, aku pinjam kepalamu!” teriak si muka putih lalu blek! Enak saja kaki kirinya hinggap di
kepala salah seorang rampok. Bersamaan dengan itu dia tarik lepas sebuah kendi. Sambil
meneguk minuman keras dalam kendi kaki kanannya mencari sasaran kepala perampok yang
berdiri paling dekat. Tak ampun lagi rampok ini terpental melintir dan terkapar di tanah dengan
rahang rengkah.

Wuss!

Cahaya hitam berkiblat dari tangan Surah Nenggolo yang melepas pukulan Wesi Kala Item.
Perempuan muka putih bergumam. Mulutnya terbuka menyembur minuman keras.

Dess! Dess! Buum!

Satu letupan keras menggema di tempat itu, meng goncang rimba belantara Ngluwer. Surah
Nenggolo tutupi muka dengan kedua tangan. Mulut berteriak keras. Tubuh terjengkang di
tanah. Dua tangannya tampak hangus dan ada bercak-bercak hitam.

“Celaka!” ucap kepala rampok ini dengan muka pucat.

Racun Wesi Kala Item yang dilepas, akibat semburan minuman keras lawan ternyata berbalik
mengenai kedua tangannya sendiri.

Tawa cekikikan mengumbar di udara. Putuslah nyali kepala rampok hutan Ngluwer ini walau di
depan sana dilihatnya perempuan muka putih terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut di tanah
akibat letupan keras tadi.

Ketika Surah Nenggolo menghambur kabur tinggalkan tempat itu, tiga orang anak buahnya
yang masih hidup telah minggat lebih dulu. Dua orang yang hancur kakinya hanya bisa
mengerang merasakan sakit amat sangat.

“Hik… hik! Botak mata jereng! Enak saja mau kabur! Tunggu dulu! Ada yang akan aku tanyakan
padamu!”

Surah Nenggolo percepat lari, masuk ke dalam hutan.


Namun kakinya seperti dipantek ketika mendadak di depan sana sosok perempuan muka putih
tahu-tahu muncul menghadang. Tubuh terhuyung-huyung, mulut menyeringai. Kepala rampok
ini segera memutar arah lari.

Lagi-lagi dia terperangah karena perempuan tadi sudah ada di hadapannya dan sekali
tangannya bergerak baju kuning yang dikenakannya robek besar. Seperti tadi yang dilihat dan
diduga perempuan muka putih ternyata di balik baju kuning, kepala rampok ini mengenakan
sehelai pakaian hitam. Pada dada kiri ada sulaman benang kuning rumah joglo dan sepasang
keris bersilang. Melihat sulaman ini perempuan muka putih berteriak keras, mata mendelik
seperti memandang setan!

“Benar dugaanku! Kau orang Keraton Kaliningrat.”

Secepat kilat jari telunjuk tangan kanan perempuan muka putih menusuk kelopak mata kanan
Surah Nenggolo.

“Dengar, matamu akan aku cungkil jika kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan!”

“Jangan! Ampuni selembar jiwaku! Aku akan jawab apa saja yang kau tanyakan!” Kepala
rampok itu tampak sangat ketakutan. Tubuh menggigil, wajah seputih kertas.

“Di mana sarangmu! Di mana Keraton Kaliningrat?!”

“Aku… sarang kami di dalam rimba belantara. Selalu berpindah-pindah. Sejak beberapa lama ini
kami menjadikan hutan Ngluwer sebagai markas…”

“Bagus! Sekarang katakan di mana letak Keraton Kaliningrat. Apa letaknya sama dengan
sarangmu?”

“Yang namanya Keraton Kaliningrat tak ada ujud tak ada bentuk. Letaknya bisa di mana saja!”

“Bangsat juling! Siapa percaya ucapanmu!” Tusukan jari di kelopak mata kanan semakin dalam,
menembus kulit hingga darah mulai mengucur. Surah Nenggolo menahan sakit setengah mati.
Dia merasa bola matanya seperti mau melompat keluar.

“Aku tidak berdusta. Kau boleh mencungkil mataku!

Kau boleh membunuhku tapi kau tidak akan mendapat jawaban lain.”

“Begitu?” si muka putih menyeringai. “Kalau begitu antarkan aku ke tempat di mana terakhir
kali beradanya Keraton Kaliningrat!”

“Percuma saja. Kau tidak akan menemukan siapa-siapa di tempat itu.”


“Hemmm…” Si muka putih bergumam, berpikir-pikir.

“Gadis cantik, aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku. Aku bersumpah benar-benar tidak
tahu apa-apa mengenai Keraton Kaliningrat. Dalam jajaran mereka aku tak lebih dari seorang
kacung.”

“Kau seorang kacung? Kasihan sekali. Hik… hik. Baiklah, aku akan mengampuni selembar
nyawamu. Jika kau bertemu dengan orang-orang Keraton Kaliningrat katakan bahwa kita
bersahabat. Sekarang ulurkan tangan kananmu. Aku ingin berjabatan tangan denganmu!”

“Ah, kau baik sekali. Terima kasih…” Surah Nenggolo jatuhkan diri berlutut dan membungkuk
berulang kali. Lalu dia angkat tangan kanan, siap untuk menyalami.

Tiba-tiba sebuah kendi hitam berkelebat, lalu praakkk!

Surah Nenggolo menjerit setinggi langit. Tangan kanannya mulai dari jari sampai ke
pergelangan hancur!

Si muka putih tertawa bergelak lalu dorong dada Surah Nenggolo dengan kaki kiri hingga orang
ini terguling jatuh.

“Tangan yang memiliki ilmu setan harus dihancurkan. Sekarang pergilah, aku tidak suka melihat
tampangmu!”

Susah payah Surah Nenggolo berdiri, terbungkukbungkuk menahan sakit lalu lari masuk ke
dalam hutan Ngluwer secepat yang bisa dilakukannya. Perempuan muka putih tersenyum. Dia
menunggu sebentar lalu melesat ke atas sebatang pohon besar.

***

Hutan Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelincir ke barat Surah Nenggolo
baru sampai ke tempat yang ditujunya. Tempat itu adalah sebuah danau kecil, dikelilingi pohon-
pohon besar. Sosok dan dedaunan pohon yang berbagai ragam membuat air danau seperti
berwarna ketika sinar matahari memantul ke permukaan air.

Di pinggir danau ada beberapa tanah yang agak terbuka. Di sini berdiri tiga buah bangunan
beratap rumbia.

Dua agak kecil dan berdinding, satunya besar tapi tanpa dinding. Di bangunan besar tampak
banyak orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu.

Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh tahun, berwajah
cakap, memiliki kening tinggi dan alis tebal. Rambut tebal panjang sebahu. Dibanding semua
orang yang ada di tempat itu dia satu-satunya yang berpakaian bagus dan mewah. Di kiri kanan
meja duduk duabelas orang yang rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Di antara
mereka, raut wajah serta pakaian jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-
satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh
burung kakak tua, bermata dingin berwarna kelabu. Di sebelah luar sekitar empatpuluh orang
bertubuh tegap, berpakaian dan ikat kepala hitam tegak berjaga-jaga. Di dada kiri baju yang
mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris bersilang.

Lelaki di kepala meja sebelah kanan berkeliling lalu bertanya. “Keluarga seperjuangan yang
hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?”

Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.

“Terima kasih. Terima kasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan
Keraton Kaliningrat yang ke sembilanbelas ini. Seperti yang sudah-sudah Ayahanda Kanjeng
Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri beliau.”

“Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?”
seorang peserta pertemuan bertanya.

“Tentu saja.” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala.
“Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal penting yang
akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal dagang Cina yang sampai saat ini tidak
diketahui di mana beradanya. Dua orang kerabat kita tewas. Dua orang lagi kembali dengan
tangan hampa. malah membawa musibah. Hal kedua…”

Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapannya tiba-tiba di kejauhan terdengar satu
jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah satu sosok pendek
seorang lelaki berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung masuk ke dalam
bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik. Muka sepucat kain kafan. Ada luka
di mata kanan yang membuat bola matanya seperti hendak meloncat keluar. Tangan kanannya
yang hancur dan berlumuran darah setengah kering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyung-
huyung.

Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi
geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan
hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di sebuah kursi.

“Surah Nenggolo! Apa yang terjadi dengan dirimu?!

Mana anak buahmu?!” Lelaki di kepala meja kanan bertanya. Suara bergetar menahan
perasaan.

“Delapan orang menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon maafmu…”
“Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!” Pangeran Muda di ujung meja
membentak.

Ketakutan sekali Surah Nenggolo yang kepala rampok hutan Ngluwer itu menuturkan apa yang
terjadi.

“Seorang perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dia yang punya
pekerjaan. Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Memalukan.”

Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursinya. Lelaki ini
kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua. Walau dia satusatunya
perempuan di tempat itu, agaknya dia memiliki wibawa cukup tinggi hingga dijadikan tempat
bertanya.

“Ni Serdang Besakih, saya ingin mengirimkan orang kita ke perbatasan. Mungkin perempuan
sinting itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu lebih dulu.”

“Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita mengirimkan
orang. Jika boleh aku yang pergi mencari bersama beberapa orang saudara seperjuangan.
Saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul untuk mengawasi keadaan.
Bagaimana pendapatmu?”

“Pendapatku Nek, kau tak perlu susah-susah mencari. Aku sudah ada di sini!”

Tiba-tiba satu suara terdengar.

Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke atas atap karena suara orang yang bicara
datang dari arah sana. Bersamaan dengan itu mendadak atap bangunan yang terbuat dari
rumbia jebol. Satu sosok berpakaian biru disertai suara tawa mengikik melayang turun ke
bawah, berdiri di atas meja! Bau minuman keras mengampar menusuk hidung.

“Dia orangnya!” teriak Surah Nenggolo sambil menunjuk dengan tangan kiri. Semua orang yang
ada di tempat itu menjadi geger! Lalu suasana berubah hening seperti di pekuburan.

TAMAT

Eps 144 Nyi Bodong

HUTAN Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelintir ke barat, dalam keadaan
tangan kanan cidera berat, kepala rampok Surah Nenggolo akhirnya sampai ke tempat yang
dituju. Tempat ini terletak dekat sebuah danau kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Bayangan
dedaunan pepohonan yang berbagai ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar
matahari memantul di permukaan air.

Di pinggir danau terlihat tiga bangunan beratap rumbia, dua agak kecil dan tertutup dinding.
Satunya besar tanpa dinding. Di dalam bangunan besar sembilan orang duduk mengelilingi
sebuah meja panjang terbuat dari bambu.

Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, berwajah
cakap, memiliki kening tinggi dan alis mata tebal. Rambut panjang sebahu. Dibanding semua
orang yang ada di tempat itu, dia satusatunya yang berpakaian dan berpenampilan apik rapi.

Di kiri kanan meja bambu, duduk delapan orang yang rata-rata telah berusia lebih dari setengah
abad. Dari raut wajah serta pakaian, jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-
satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh
burung kakak tua, bermata dingin kelabu.

Di luar bangunan dua puluh orang bertubuh tegap, memakai blangkon dan pakaian serba hitam
tegak berjagajaga.

Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris
bersilang. Lelaki cakap di kepala meja sebelah kanan memandang berkeliling lalu bertanya,
“Keluarga seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?”

Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.

“Terimakasih. Terimakasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton


Kaliningrat yang ke sembilan belas ini. Seperti pertemuan yang sudah-sudah, Ayahanda Kanjeng
Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri beliau.”

“Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?”
seorang peserta pertemuan bertanya.

“Tentu saja.” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala.
“Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal penting yang
akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal Cina yang sampai saat ini tidak ketahuan
di mana beradanya. Dua orang kerabat kita yang diketahui membawa madat itu ditemukan
tewas. Kita masih menelusuri siapa pembunuhnya. Dua orang kerabat lainnya kembali dengan
tangan hampa, malah salah seorang dari mereka mendapat. Hal kedua…”

Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapan tiba-tiba di kejauhan terdengar satu jeritan
keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah sosok lelaki pendek berkepala
botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas
mengengah, dada turun naik. Muka sepucat kain kafan.
Ada luka cukup dalam di mata kanan yang membuat bola matanya yang juling seperti hendak
meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur berlumuran darah setengah mengering
diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyunghuyung. Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya
akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak,
mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi
kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di sebuah kursi.

“Surah Nenggolo! Apa yang terjadi?! Mana anak buahmu!” Lelaki yang dipanggil Pangeran
Muda bertanya. Suaranya keras mendesing tajam.

“Delapan orang anggota saya telah menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon
maafmu.”

“Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!” Pangeran Muda di ujung meja
membentak.

Ketakutan luar biasa Surah Nenggolo menuturkan apa yang dialaminya.

Setelah mendengar keterangan kepala rampok hutan Ngluwer itu Pangeran Muda geleng-
geleng kepala lalu berkata, “Sulit dipercaya! Kau yang berkepandaian tinggi dan jadi andalan
dipecundangi seorang perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dan kau
tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Sangat memalukan!”

Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursi. Lelaki ini kemudian
berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua berpakaian jubah kuning pekat.
Walau dia satu-satunya perempuan di tempat itu, namun agaknya dia memiliki wibawa cukup
tinggi hingga dijadikan tempat bertanya.

“Ni Serdang Besakih, saya ingin segera mengirimkan orang kita ke perbatasan untuk menyelidik.
Mungkin perempuan itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu lebih
dulu.”

Nenek berhidung bengkok bermata kelabu gembungkan pipinya yang kempot lalu menjawab,
“Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita mengirimkan
orang. Jika boleh biar aku yang pergi mencari bersama beberapa orang saudara seperjuangan,
saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul untuk mengawasi keadaan.
Bagaimana pendapatmu?”

“Pendapatku Nek, kau tidak perlu susah-susah mencari! Aku sudah ada di sini!” Tiba-tiba satu
suara terdengar menyahuti ucapan si nenek.

Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke atas atap karena suara orang yang bicara
datang dari atas sana. Bersamaan dengan itu mendadak atap bangunan yang terbuat dari
rumbia jebol! Satu sosok berwajah putih berpakaian biru disertai suara tawa mengikik
melayang turun, berdiri di atas meja dengan tubuh sempoyongan, rambut awut-awutan! Tiga
buah kendi kecil tergantung diikat pinggang besar. Satu kendi lagi berada dalam genggaman
tangan kiri. Bau minuman keras menghampar menusuk hidung.

“Dia orangnya!” teriak Surah Nenggolo sambil menunjuk dengan tangan kiri. Semua orang yang
ada di tempat itu menjadi geger! Lalu untuk sesaat suasana berubah hening seperti di
pekuburan!

“Perempuan mabok kesasar! Siapa kau?” Seorang yang duduk di deretan kursi sebelah kanan
meja membentak.

Dia seorang tokoh silat, yang dikenal dengan julukan Gagak Ireng. Berasal dari pantai utara,
mengenakan blangkon dan pakaian warna hitam. Sepuluh kuku jari tangan dan kaki panjang-
panjang berwarna hitam.

Perempuan muka putih yang berdiri di atas meja bambu seka minuman keras yang membasahi
dagunya, menatap ke arah Gagak Ireng lalu tertawa gelak-gelak. Sementara tubuh masih terus
bergoyang huyung.

“Siapa bilang aku mabok! siapa bilang aku kesasar!”

katanya. “Si botak pendek itu yang menuntun aku ke sini. Aku hanya tinggal mengikuti. Hik…
hik… hik!”

Tampang Surah Nenggolo jadi pucat. Dia sadar kini mengapa perempuan bermuka putih itu
tidak membunuhnya, membiarkan dirinya lari masuk ke dalam hutan. Ternyata dia dikuntit!
Dengan muka pucat kepala rampok yang jadi anggota dan kaki tangan orang-orang Keraton
Kaliningrat ini menatap ke arah Pangeran Muda di ujung meja.

“Pangeran, saya tidak tahu kalau dia mengikuti, saya mohon maaf telah berlaku lalai.”

“Botak tolol!” Gagak Ireng mendamprat. “Kau tak perlu banyak khawatir! Dia tak bakal lama
berada di sini dalam keadaan hidup!”

Karuan saja tampang Surah Nenggolo jadi semakin pucat.

Perempuan yang berdiri di atas meja berpaling ke arah Gagak Ireng, menatap tajam, mencibir
lalu tertawa panjang, “Aku baru tahu. Rupanya ada malaikat maut di tempat ini. Hik… hik… hik!”

Dari ujung meja Pangeran Muda menegur, “Tamu yang datang tidak diundang. Tahukah kalau
kau telah berbuat dua kesalahan besar?”

Perempuan bermuka putih alihkan pandangannya ke ujung meja sebelah kanan. “Ah, Pangeran
Muda rupanya yang bicara. Dua kesalahan besar apa yang telah aku perbuat? Mohon petunjuk
Pangeran Muda.” Sekali ini nada suaranya begitu lembut dan sikapnya sangat menghormati tapi
waktu bicara sepasang matanya dikedap-kedipkan sehingga membuat Pangeran Muda jadi
rikuh jengah. Dia segera menjawab, “Kesalahan pertama kau telah merusak atap bangunan ini.
Kesalahan kedua kau berlaku kurang ajar. Berdiri di atas meja padahal kami tengah
mengadakan pertemuan dan di sini banyak orang-orang tua yang harus kau hormati.”

Sepasang alis perempuan muka putih mencuat naik, tangan kiri mengusap-usap perut. “Kalau
dua hal itu dianggap kesalahan besar, mohon Pangeran Muda mau mendengar penjelasanku.
Soal atap yang rusak bukan salahku. Atap itu yang salah. Mengapa dibuat dari rumbia yang
lapuk? Lalu perihal aku berdiri di atas meja, kalian semua selaku tuan rumah yang alpa.
Mengapa tidak ada yang menyediakan kursi untukku? Pangeran lihat sendiri semua kursi sudah
ada yang menduduki. Apa salah besar kalau aku terpaksa berdiri di atas meja? Malah aku rasa
ini satu pemandangan bagus yang jarang kalian saksikan.

Apakah tubuhku tidak cukup indah untuk kalian nikmati?”

Habis berkata begitu perempuan di atas meja liuk-liukkan tubuhnya sehingga pinggulnya
kelihatan melebar, dada membusung bergoyang-goyang, pantat dikedut-kedut songgeng dan
wajah mengundang penuh gairah. Semua orang nyaris terpukau hening. Banyak yang diam-
diam mencuri pandang. Mereka seperti baru menyadari kalau perempuan di atas meja memiliki
tubuh sintal kencang menggairahkan. Dan wajahnya yang putih itu bukannya tidak cantik!

Tiba-tiba salah seorang dari dua puluh orang berseragam hitam di luar bangunan berteriak,
“Pangeran Muda, biar kami singkirkan perempuan kurang ajar itu!”

Dua puluh orang bertubuh kekar, berpakaian serba hitam dan rata-rata memiliki kepandaian
silat cukup tinggi sertamerta mengurung bangunan beratap rumbia. Pangeran Muda angkat
tangan kiri memberi tanda.

“Kalian semua kembali ke tempat. Biar urusan ini kami yang menyelesaikan.”

Di atas meja perempuan muka putih sapukan pandangannya pada rombongan orang-orang
berpakaian dan berikat kepala hitam itu. Pelipis berdenyut, dada seperti dipanggang. Mulut
terkancing menahan geram luar biasa.

Seseorang tiba-tiba membentak. Dia adalah si nenek berhidung bengkok Ni Serdang Besakih.
“Perempuan sinting kurang ajar! Lekas turun dari meja! Atau aku patahkan dua kakimu!”

Orang di atas meja bambu acuh saja. Dia sama sekali tidak berpaling ke arah si nenek. Setelah
meneguk lahap minuman keras dalam kendi dia tertawa lalu berkata, “Hik… hik…! Siapa tadi
yang mau mematahkan dua kakiku!? Aku mau kenal orangnya!”

Perempuan di atas meja memandang berkeliling.


Pandangannya kemudian berhenti pada Ni Serdang Besakih.

“Hemmm… Nenek peot berhidung bengkok! Kau rupanya orangnya! Mulutmu sombong amat!
Agaknya kau merasa jadi jago di tempat ini. Padahal Pangeran Muda yang jadi pimpinan di
tempat ini tidak berkata apa-apa!

Tapi biarlah, aku menunggu kapan kau mau mematahkan dua kakiku!”

Habis berkata begitu gadis ini tarik kaki kiri celana hitam sampai melewati lutut. Betis sampai
ujung pahanya tersingkap putih. Banyak mata jadi melotot. “Kaki begini bagus, tega-teganya
mau dipatahkan. Kasihan amat. Hik… hik! Paling tidak kakiku ini jauh lebih bagus dari kaki nenek
peot itu! Hik… hik… hik!”

Dihina begitu rupa di hadapan sekian banyak orang yang selama ini menyeganinya, Ni Serdang
Besakih menggeram marah. Wajahnya gelap merah, hidung yang bengkok mencuat ke depan.
Untuk menutupi malu dia pun berkata, “Mematahkan dua kakimu pekerjaan mudah!

Sebelum aku sengsarakan dirimu seumur hidup, aku mau tahu siapa namamu, apa kau punya
gelar!”

“Tanya nama dan gelarku?! Hik… hik… hik!” perempuan di atas meja tertawa, tubuh
menghuyung ke kiri ke kanan.

Perut diusap-usap dengan tangan kiri. “Nenek hidung bengkok! Kalau kau seorang pemuda
tampan atau lelaki gagah seperti Pangeran Muda yang duduk di sana, pertanyaanmu pasti
kujawab! Malah sekaligus akan kuberi tahu di mana tempat kediamanku! Tapi kalau cuma tua
bangka rongsokan macam dirimu yang bertanya, perlu dan untung apa aku memberi tahu!
Jangan-jangan kau bangsa perempuan yang doyan sesama jenis! Hik… hik… hik!”

Wajah keriput Ni Serdang Besakih membesi kaku.

Sepasang matanya berkilat-kilat menahan amarah. Namun sebagai tokoh silat yang banyak
pengalaman dia tidak mau terpancing dan berlaku sembrono. Matanya cukup tajam.

Walau perempuan yang berdiri di atas meja masih muda belia seperti mabuk dan kurang waras
namun agaknya dia memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dibuat main.

Nenek ini juga memperhatikan meja panjang yang terbuat dari bambu tanpa ada pengganjal di
bagian tengah sama sekali tidak melengkung oleh injakan orang! Selain itu dia juga bisa
menduga, minuman keras di dalam kendi yang sesekali diteguknya bisa menjadi senjata sangat
berbahaya. Tadi dia sudah memperhatikan tangan kiri Surah Nenggolo yang hancur sementara
tangan kiri kelihatan menghitam seperti hangus dan ada bentolanbentolan kecil.
Di atas meja perempuan muka putih kembali usap-usap perut di bagian pusar dengan tangan
kiri. Tangan ini kemudian disusupkan ke balik baju biru lalu kembali dia mengusap. Gerakan
tangan ini sejak tadi diperhatikan oleh seorang tokoh rimba persilatan yang hadir di tempat itu,
bernama Kecik Turangga, berjuluk Hantu Buta Senja.

Orang ini memiliki kebiasaan aneh. Jika siang berganti malam atau senja hari, dia selalu
menutupi wajahnya dengan sebuah topeng menampilkan muka seorang bermata bengkak
buta. Topeng baru dilepas setelah sang surya terbit di pagi hari. Setelah memperhatikan wajah,
sosok dan gerak-gerik perempuan di atas meja beberapa lama, tiba-tiba Kecik Turangga
berteriak.

“Saudara-saudara seperjuangan! Aku yakin dia adalah Nyi Bodong!”

Si muka putih di atas meja tersentak, menatap ke arah Kecik Turangga lalu sunggingkan
seringai. Semua orang yang hadir di tempat itu jadi melengak geger. Nama Nyi Bodong sejak
beberapa waktu belakangan ini muncul secara tiba-tiba dalam rimba persilatan sebagai seorang
tokoh misterius. Setiap muncul pasti ada korban yang jatuh. Yang jadi sasaran biasanya adalah
orang-orang jahat terutama para pemerkosa. Keadaan di tempat itu hening sesaat. Semua
wajah menunjukkan rasa tegang. Beberapa orang tampak berbisik-bisik.

Pangeran Muda berdiri dari kursinya. Matanya memandang lekat-lekat ke arah perempuan di
atas meja bambu, dari kepala sampai ke kaki. Lalu sambil mengusap dagu dan tersenyum dia
berkata, “Sungguh tidak disangka dan merupakan satu kehormatan besar seorang tokoh
terkenal yang baru muncul dalam rimba persilatan rupanya yang menyambangi kami. Nyi
Bodong, terima kasih salam hormatku dan semua saudara yang ada di sini. Mohon maaf kalau
sikap perlakuan kami ada yang tidak berkenan di hati Nyi Bodong. Saat ini saya sampaikan
urusan dengan Surah Nenggolo kami anggap selesai. Surah Nenggolo kelak akan kami jatuhi
hukuman karena telah berani berlaku lancang terhadap Nyi Bodong.”

Perempuan yang dipanggil Nyi Bodong sunggingkan senyum. “Dia telah menerima hukuman.
Apa Pangeran Muda tidak melihat tangan kanannya yang hancur dan tangan kiri yang hangus
hitam?”

Pangeran Muda ikut tersenyum. “Hukuman dari Nyi Bodong layak diterimanya. Namun
hukuman dari kami tetap akan diberlakukan.”

Habis berkata begitu Pangeran Muda memberi tanda dengan jentikan dua jari tangan. Empat
orang berseragam hitam di luar bangunan segera masuk meringkus Surah Nenggolo. Tak lama
kemudian terdengar raungan kepala rampok itu. Walau siang bolong tetap saja terasa
menggidikkan!

Setelah Surah Nenggolo dibawa pergi Pangeran Muda melirik ke arah Ni Serdang Besakih dan
anggukkan kepala. Melihat isyarat ini si nenek segera berpaling pada seorang lelaki memakai
topi tinggi merah seperti tarbus, memelihara jenggot dan kumis lebat lalu anggukkan pula
kepalanya.

Orang memakai tarbus merah segera mengambil sesuatu dari kolong meja. Benda ini kemudian
diletakkan di atas meja bambu, hanya dua jengkal dari kedua kaki si muka putih. Ternyata yang
diletakkan adalah seperangkat pakaian berwarna hitam. Pada dada kiri baju hitam ada sulaman
gambar rumah joglo dan keris bersilang.

Perempuan di atas meja tatap sebentar baju dan celana panjang hitam itu lalu mendongak dan
tertawa panjang. Kemudian dia memandang ke arah orang bertarbus merah. “Manusia
berkumis dan berjenggot tebal. Apa maksudmu meletakkan pakaian hitam itu di depanku?”

***

YANG menjawab pertanyaan si muka putih adalah Ni Serdang Besakih. “Nyi Bodong, kau telah
mendapat anugerah dan kehormatan besar dari Pangeran Muda.”

“Ooo… baik sekali Pangeran Muda terhadapku. Tapi anugerah dan kehormatan besar apa yang
aku dapatkan?”

“Saat ini Pangeran Muda telah menganggapmu sebagai salah seorang dari saudara
seperjuangan. Kau telah menjadi salah seorang anggota penting Keraton Kaliningrat. Kau diberi
kehormatan untuk mengenakan pakaian hitam, pakaian kebesaran itu.” Menerangkan Ni
Serdang Besakih.

“Begitu?” perempuan di atas meja tersenyum. Pandangannya dilayangkan pada kelompok


orang-orang berseragam hitam di luar bangunan pertemuan. Dalam hati dia membatin. “Aku
datang ke tempat yang tidak salah. Tapi aku belum melihat dua keparat terkutuk itu.”

Palingkan kepala kembali pada Ni Serdang Besakih, dia berkata, “Saudara seperjuangan.
Memangnya kalian memperjuangkan apa?”

“Ni Serdang, biar saya yang menerangkan,” kata Pangeran Muda pula dari ujung meja sebelah
kanan. “Nyi Bodong, semua kami di sini adalah saudara bersaudara dalam perjuangan.
Perjuangan kami adalah menegakkan keadilan dan mendirikan kebenaran. Perjuangan yang
kami lakukan saat ini adalah meruntuhkan kekuasaan orangorang sesat dan rakus, yang
berkuasa dengan cara merampas hak orang lain. Kami melihat kau memiliki hati nurani
membela keadilan dan menegakkan kebenaran.”

“Aku juga menumpas manusia-manusia jahat terkutuk, seperti tukang perkosa,” menyambung
si muka putih di atas meja bambu.
Pangeran Muda tersenyum, anggukkan kepala lalu meneruskan ucapannya. “Kami di sini semua
telah bertekad bulat untuk menjadikanmu sebagai seorang saudara baru dalam perjuangan ini.”

“Soal segala macam perjuangan bikin kepalaku pusing. Aku tidak mau tahu apa perjuangan
Pangeran Muda dan semua orang yang ada di sini. Yang aku ingin tahu kalian ini semua siapa
sebenarnya? Keraton Kaliningrat, hemmm… Kalau memang menegakkan keadilan dan
kebenaran, mengapa salah seorang dari kalian menjadi kepala rampok. Aku saksikan sendiri
Surah Nenggolo dan anak buahnya membunuh orang asing dari negeri Cina. Malah dia juga
hendak membunuhku!”

“Nyi Bodong, soal pembunuhan atas orang-orang Cina itu tidak dapat saya jelaskan sekarang.
Kami telah mengakui penyerangan terhadap diri Nyi Bodong sebagai kekeliruan besar. Untuk itu
saya mewakili semua saudara di sini meminta maafmu. Mengenai Surah Nenggolo yang telah
berbuat kurang ajar berani menyerang Nyi Bodong hukuman mati telah dijatuhkan atas
dirinya.”

“Kurasa Pangeran Muda punya alasan lain menghukum mati manusia satu itu. Karena dirinya
tidak ada kegunaan lagi. Bukankah begitu?”

Pangeran Muda tersenyum. “Nyi Bodong, kami sangat menjunjung tinggi hukum. Siapa yang
bersalah harus diadili. Sekarang ambillah pakaian itu dan kau akan kami ikut sertakan dalam
pembicaraan selanjutnya.”

Perempuan di atas meja tatap baju dan celana hitam di dekat kakinya lalu bertanya, “Apa kalian
ingin aku mengenakan pakaian itu sekarang juga?”

Karena tak ada yang menjawab perempuan muda itu lalu buka kancing baju birunya sehingga
dadanya sebelah atas tersingkap. Pinggul digoyang membuat celana birunya merosot ke bawah
hampir mencapai pinggul. Semua orang jadi terperangah. Cuma si nenek Ni Serdang Besakih
yang tampak asam mukanya dan melengos sambil berkali-kali golengkan kepala.

“Nyi Bodong! Tunggu! Kau tak boleh mengenakan pakaian itu di sini. Nanti saja. Sekarang
silahkan diambil dan disimpan dulu.” Teriak Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja yang tadi
mengenali si muka putih sebagai Nyi Bodong. Si muka putih luruskan badan, teguk minuman
dalam kendi. Lalu memandang berkeliling dan berkata, “Jadi saat ini aku berada di tengah-
tengah saudara-saudara Keraton Kaliningrat.”

“Betul sekali, Nyi Bodong,” jawab Pangeran Muda sementara Ni Serdang Besakih terus
memperhatikan gerak gerik si muka putih.

“Kalau begitu aku betul-betul datang ke tempat yang tidak salah!”


“Terima kasih atas pujian Nyi Bodong,” kata Pangeran Muda pula dengan nada gembira. “Saya
akan menyuruh orang menyiapkan kursi. Apakah sekarang Nyi Bodong bersedia turun dari
meja?”

Yang ditanya mengangguk, dia bergerak melangkah. Enak saja kedua kakinya menginjak baju
dan celana hitam!

Tentu saja semua yang hadir di tempat itu jadi terkejut, malah banyak yang menunjukkan wajah
tidak senang.

Sambil dua kakinya terus menginjak pakaian hitam, dia berkata dengan suara lantang, “Kalian
semua dengar baikbaik. Sebelum aku turun dari meja, ada satu hal yang akan aku katakan!”

“Nyi Bodong, jika memang ada hal yang hendak disampaikan mengapa ragu? Silahkan saja,”
kata Pangeran Muda masih sabar.

Di tempat duduknya yang bersebelahan dengan Kecik Turangga, si nenek Ni Serdang Besakih
berbisik, “Hantu Buta Senja, kau yakin perempuan ini benar Nyi Bodong adanya?”

Hantu Buta Senja usap mukanya. “Aku memang belum pernah melihat langsung orangnya. Tapi
dari ciri-ciri yang aku dengar perempuan satu ini cocok dengan ciri-ciri Nyi Bodong. Wajah
putih, pakaian biru gelap…”

“Membawa kendi berisi minuman keras segala?” tanya Ni Serdang Besakih.

“Ah… anu. Ini yang…” suara Hantu Buta Senja jadi gagap. Belum sempat dia bicara jelas, di atas
meja perempuan yang dipanggil Nyi Bodong berkata dengan suara lantang.

“Orang-orang Keraton Kaliningrat! Ketahuilah! Aku datang ke sini untuk mencari dua orang
anggotamu yang telah melakukan perbuatan keji terkutuk atas diriku! Dua orang anggota
Keraton Kaliningrat telah memperkosaku! Hari ini aku bersumpah untuk mencabut nyawa
mereka! Siapa berani menghalangi akan aku habisi!”

Tempat pertemuan itu serta merta menjadi geger besar. Semua mata memandang mendelik
pada perempuan di atas meja.

Pangeran Muda berdiri dari kursinya. Gagak Ireng berteriak, “Nyi Bodong, sungguh keterlaluan.
Bagaimana enak saja kau mengucapkan tuduhan membuat fitnah begini rupa! Apa kau punya
bukti?!”

“Fitnah?!” Si muka putih tertawa panjang lalu membentak, “Siapa membuat fitnah! Aku masih
ingat tampang dua bangsat itu. Mereka pasti ada di antara orang-orang berpakaian hitam yang
tegak di luar bangunan!”
Pangeran Muda memandang ke arah Ni Serdang Besakih. Si nenek lalu berdiri dan berkata,
“Aku akan suruh dua puluh orang berpakaian seragam hitam itu berjejer di hadapanmu. Jika
kau mengenali memang ada di antara mereka sebagai orang-orang yang telah memperkosamu,
harap langsung kau tuding!”

Si nenek lalu bertepuk dua kali. Dua puluh lelaki berpakaian seragam hitam mengenakan
blangkon hitam segera berdiri sejajar di samping meja, di belakang deretan kursi yang diduduki
empat tokoh silat anggota Keraton Kaliningrat. Si muka putih layangkan pandangan cepat lalu
tertawa panjang sambil tubuhnya terhuyung ke depan dan ke belakang.

“Setan perempuan otak miring! Kau disuruh mengenali pemerkosamu! Malah tertawa! Apa
yang lucu?” Yang berteriak marah adalah Gagak Ireng. Rupanya tokoh silat satu ini sudah habis
sabarnya.

Di atas meja perempuan muka putih huyung kiri huyung kanan teguk minuman dalam kendi
hingga wajahnya berubah merah, dua mata bergerak liar. Selesai menenggak habis minuman
keras, dia angkat tangan kanan yang memegang kendi tinggi-tinggi. Lima jari meremas. Praaak!
Kendi pecah berantakan. Si muka putih tertawa kembali. Entah kapan tangan kanannya
bergerak tahu-tahu sembilan keping pecahkan kendi yang ada di tangan itu melesat laksana
bintang berkiblat.

Tokoh silat Gagak Ireng anggota Keraton Kaliningrat berseru kaget ketika dapatkan dirinya
diserang sembilan kepingan runcing pecahan kendi. Gagak Ireng bukan tokoh silat
sembarangan. Ilmunya tinggi dan nama besarnya cukup dikenal di daratan Jawa Tengah sampai
ke perbatasan Jawa Timur. Namun diserang mendadak dan dalam kecepatan kilat seperti itu dia
jadi terperangah gugup. Gagak Ireng hantamkan tangan kiri. Gerakannya menangkis masih
kurang cepat. Walau empat pecahan kendi mampu dibuat mental, lima lainnya menyusup
tembus. Dua kepingan menancap di kening. Satu di mata kiri, satu di pipi dan satu lagi tepat
pada urat besar di leher hingga putus dan menyemburkan darah!

Di atas meja perempuan muka putih tertawa panjang.

“Dua pemerkosa itu aku tidak melihat mereka! Pasti kalian telah menyembunyikan!”

Teriakan kemarahan menggeledek dari semua tokoh Keraton Kaliningrat yang ada di tempat itu.
Mereka tidak perdulikan lagi apa yang diucapkan si muka putih.

Beberapa orang langsung menyerbu ke atas meja. Si muka putih putar tubuh sambil mulutnya
menyembur.

Wuuuurrr!

Minuman keras yang ada di dalam mulut menyambar ke arah tiga orang yang coba
menerjangnya. Dua orang yang tahu bahaya cepat menghindar selamatkan diri. Satunya nekad
berusaha menyerbu terus namun setengah jalan menjerit keras, terlempar ke ujung meja.
menggeletak tepat di depan kaki Pangeran Muda dalam keadaan tak bernyawa. Muka hangus
hancur penuh lubang mengerikan!

“Saudara-saudara seperjuangan! Tangkap perempuan celaka itu hidup atau mati!” teriak
Pangeran Muda marah sekali.

Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja segera bergerak dari tempat
masing-masing. Dua orang ikut menyusul sementara Pangeran Muda tendang dua kaki meja
hingga patah berantakan. Meja panjang yang terbuat dari bambu itu serta merta roboh.

Perempuan muka putih tertawa panjang, melompat ke tanah. Saat itu juga serbuan laksana air
bah datang menggempur. Ni Serdang Besakih berlaku cerdik. Dia mengarahkan serangannya
pada tiga buah kendi yang masih tergantung di pinggang orang karena menganggap kendi dan
isinya merupakan senjata luar biasa berbahaya. Dua kendi hancur, isinya berhamburan di
tanah. Kendi ke tiga menyusul pecah, ternyata kosong.

Si muka putih menjerit marah. Tubuhnya berkelebat lenyap seolah berubah jadi bayangan.
Mengamuk dua jurus tanpa berhasil memukul sekian banyak lawan yang mengurung dia
bahkan serangan pada si nenek yang telah menghancurkan tiga buah kendinya. Namun
keadaannya kini mulai terdesak. Apalagi dua puluh orang lelaki berseragam hitam bukan hanya
mengurung kalangan pertempuran tapi juga merangsak maju. Dari kiri kanan dan sebelah
belakang serangan datang sambung menyambung. Belum lagi yang mendera dari depan. Hanya
kegesitan yang luar biasa yang masih mampu menyelamatkan perempuan muka putih. Tapi
sampai berapa lama dia bisa bertahan??!

Dalam satu gebrakan hebat walau si muka putih sempat menendang seorang penyerang hingga
dadanya remuk, Ni Serdang Besakih berhasil mendaratkan satu pukulan. Pukulan itu hanya
menyerempet bahu namun daya tolaknya yang keras cukup membuat lawan terpelintir
setengah lingkaran. Saat itulah dari depan datang pukulan Pangeran Muda yang mendarat telak
di dada kiri. Si muka putih menjerit keras. Tubuhnya terpelanting lima langkah ke belakang dan
dalam waktu cepat segera diringkus oleh Kecik Turangga bersama dua tokoh silat anggota
Keraton Kaliningrat lainnya. Darah tampak mengucur di sudut bibirnya. Ni Serdang Besakih
totok urat besar di bawah ketiak kiri orang hingga perempuan muka putih ini langsung
merasakan seluruh anggota badannya menjadi lemah lunglai.

“Biarkan dulu dia hidup-hidup! Bawa ke hadapanku! Aku akan mengorek keterangan dari
mulutnya! Setelah itu kalian boleh mengorek jantungnya!” berseru Pangeran Muda. Kini
sikapnya yang sopan halus berubah jadi garang.

“Orang-orang Keraton Kaliningrat! Kalian ternyata pengecut semua! Beraninya main keroyok!
Kalian kira aku takut mati?! Hik… hik! Pangeran Muda! Ayo bunuh aku saat ini juga jika kau
punya nyali!”
“Nyi Bodong!” teriak Ni Serdang Besakih. “Ajal sudah di depan mata. Mengapa masih bicara
sombong?!” Dan, plaaakk! Nenek berhidung bengkok itu lepaskan satu tamparan keras ke pipi
si muka putih hingga bibirnya luka dan semakin banyak darah yang mengucur.

“Tua bangka keparat! Beraninya menampar dalam keadaan diriku tertotok tak berdaya! Kalau
aku masih hidup kau akan aku bunuh duluan! Jika aku mati dan jadi setan kau yang pertama kali
akan aku cekik!”

Plaaaaakk!

Satu tamparan lagi dihantamkan Ni Serdang Besakih ke wajah si muka putih. Walau sakitnya
bukan main namun perempuan itu masih bisa keluarkan tawa mengikik lalu tawanya lenyap
dan, cuaaahh! Ludah campur darah disemburkannya ke muka Ni Serdang Besakih. Si nenek
berteriak marah. Matanya yang dingin kelabu tampak seperti menyala.

“Pangeran Muda! Biar aku bunuh perempuan keparat ini sekarang juga!”

Lima jari tangan si nenek menyambar ke leher orang. Inilah serangan ganas yang disebut
Tangan Iblis Membongkar Berhala. Bilamana serangannya mengenai sasaran maka daging, urat
dan tulang leher korban benarbenar akan terbongkar mengerikan!

“Ni Serdang! Tahan! Aku perlu dia hidup-hidup dulu!

Bawa perempuan celaka itu ke hadapanku!” teriak Pangeran Muda.

Terpaksa Ni Serdang Besakih tarik serangan mautnya.

“Nenek hidung bengkok!” ucap perempuan muka putih sebelum dibawa ke hadapan Pangeran
Muda. “Kalau aku tidak bisa membunuhmu dalam keadaan hidup atau mati jadi setan, akan ada
orang lain yang bakal membuat kau meregang nyawa!”

“Perempuan setan! Masih saja kau banyak mulut!”

maki Ni Serdang Besakih. Namun dia ingin tahu juga siapa orang yang dimaksudkan. Maka dia
membentak bertanya, “Siapa setan alas yang akan mewakilimu membunuhku?!”

“Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia calon suamiku!”

Ni Serdang Besakih tersentak kaget. Semua orang juga ikutan terkejut. Si nenek akhirnya
memberi tanda pada tiga orang yang mencekal perempuan muka putih. “Seret dia ke hadapan
Pangeran Muda!”
Selagi perempuan muka putih yang dalam keadaan tak berdaya diseret ke hadapan Pangeran
Muda sekonyongkonyong menggelegar satu bentakan keras, “Orang-orang Keraton Kaliningrat!
Kalian mencari mati berani menganiaya cah ayuku!”

Semua orang menduga yang muncul adalah benarbenar Pendekar 212 Wiro Sableng! Namun
mendadak terdengar semburan dahsyat tiga kali berturut-turut.

Wuss! Wuss! Wuss!

“Awas semburan cairan berbahaya!” Hantu Buta Senja berteriak memberi ingat. Secepat kilat
dia bersama Ni Serdang Besakih melompat selamatkan diri. Tiga jeritan terdengar berbarangan.
Pangeran Muda berseru kaget, sepasang mata terbeliak besar. Tiga orang yang menyeret
perempuan muka putih terkapar di tanah. Satu langsung menemui ajal karena mukanya hangus
hancur penuh lubang mengerikan. Dua lagi menggeletak kelojotan sambi!

memegangi dada yang cidera berat. Bau minuman keras menghampar di tempat itu. Semua
orang Keraton Kaliningrat untuk sesaat jadi terkesiap, diam tak bergerak. Ketika sosok
perempuan muka putih terhuyung jatuh hampir tergelimpang di tanah, satu tangan panjang
laksana belalai merangkul pinggangnya. Cepat sekali tangan aneh ini melepaskan totokan di
ketiak kiri. Begitu dirinya lepas dari totokan, dalam keadaan agak nanar si muka putih melihat
sebuah kendi besar melayang ke arahnya. Sambil tertawa cekikikan dia tangkap kendi itu
dengan dua tangan lalu meneguk isinya sampai tumpahtumpah membasahi dagu dan dada
pakaiannya.

“Cukup cah ayu! Jangan dihabiskan. Sekarang perhatikan baik-baik! Apa manusia ini salah
seorang anggota Keraton Kaliningrat yang telah memperkosamu?!”

Saat itu juga dari atap bangunan yang telah jebol melayang turun seorang berpakaian hitam
komprang. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Kulit muka dan tubuh merah. Tampang seram
seperti demit. Di cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah anting terbuat dari akarbahar.
Pada ikat pinggang kulit yang dikenakannya

tergantung sebelas buah kendi hitam, lebih besar sedikit dari kendi yang dimiliki perempuan
muka putih. Tubuhnya yang gemuk pendek terhuyung-huyung seperti orang mabok. Hebatnya
orang yang melayang turun ini berdiri sambil mencekal leher seorang lelaki berseragam hitam
yang ada cacat bekas luka di dagunya.

“Kuntorandu!” beberapa mulut keluarkan ucapan terkejut menyebut nama orang yang dicekal
si gemuk pendek. Pangeran Muda mengerenyit. Sepasang alis mata Ni Serdang Besakih
mencuat naik.

Pangeran Muda melangkah cepat mendekati si nenek yang tegak di samping Hantu Buta Senja.
“Ni Serdang, kau mengenali siapa adanya manusia gemuk pendek berwajah seram itu?”
“Kalau saya tidak keliru dia adalah tokoh rimba persilatan yang dijuluki Iblis Pemabuk!”

“Jadi rupanya Iblis Pemabuk adalah guru Nyi Bodong!” Hantu Buta Senja ikut bicara.

“Si gemuk bermuka setan itu bukankah dia dedengkot rimba persilatan yang berjuluk Dewa
Tuak?!” tanya Pangeran Muda pula

“Kami pernah bertemu Dewa Tuak. Manusia satu ini adalah Iblis Pemabuk. Mereka memang
sama-sama mempergunakan minuman keras sebagai senjata. Tapi bangsat satu ini jelas adalah
Iblis Pemabuk.” ucap Ni Serdang Besakih pula.

Mendengar ucapan Iblis Pemabuk, perempuan muka putih yang tentunya Wulan Srindi adanya
dan oleh orangorang Keraton Kaliningrat disebut sebagai Nyi Bodong, memandang dengan
mata berkilat ke arah orang yang dicekal lehernya. Dia perhatikan tampang orang, melihat jelas
luka di dagu bekas gigitannya sewaktu diperkosa.

“Cah ayu! Kau sudah mengenali! Tunggu apa lagi?” Iblis Pemabuk dorong tubuh lelaki
berpakaian hitam yang memang Kuntorandu adanya, yaitu salah satu dari dua orang Keraton
Kaliningrat yang telah memperkosa Wulan Srindi.

Wulan Srindi menjerit keras. Tubuhnya bergetar hebat lalu melesat ke depan. Tangan kanan
yang memegang kendi besar bergerak.

“Jangan… Tidak!” Kuntorandu hanya bisa keluarkan dua kata itu lalu, praakkk!

Kendi dan kepala Kuntorandu sama-sama pecah. Orang-orang Keraton Kaliningrat keluarkan
seruan tertahan. Wulan Srindi tertawa seperti kuda meringkik.

“Mana yang satunya?!” teriak Wulan Srindi.

“Aku tidak menemukan. Yang satu ini aku kenali karena ada luka di dagunya.” jawab Iblis
Pemabuk. Semua itu terjadi luar biasa cepat hingga orang-orang Keraton Kaliningrat setelah
berseru kaget kini terkesiap nyaris tak bergerak. Ketika di sebelah kiri Pangeran Muda akhirnya
berteriak keras agar semua orangnya menutup jalan keluar, Iblis Pemabuk segera menyambar
lengan kiri Wulan Srindi.

“Cah ayu. Ayo kita lekas tinggalkan tempat ini!”

“Tidak! Aku ingin mencari pemerkosa satunya! Aku ingin membunuh nenek keparat berhidung
bengkok itu!”

“Nanti saja! Sekarang kita pergi dulu!” jawab Iblis Pemabuk. Lalu tangan kirinya yang bisa
panjang langsung merangkul pinggang Wulan Srindi. Sebelum tinggalkan tempat itu Iblis
Pemabuk berpaling ke arah Ni Serdang Besakih. Mulutnya berucap, “Lepas persoalanmu
dengan muridku, antara kita masih ada urusan hutang piutang! Pada saatnya aku akan menagih
berikut bunganya!”

Nenek berhidung bengkok mendengus, “Kalau kau punya nyali mengapa tidak dibereskan
sekarang?”

Iblis Pemabuk tertawa bergelak. “Kau akan malu besar kalau rahasia kebejatanmu aku buka di
depan orang banyak ini!”

“Manusia iblis! Jangan harap kau bisa pergi dari tempat ini!” teriak Ni Serdang Besakih. Habis
berkata begitu si nenek menerjang ke depan. Tapi begitu Iblis Pemabuk semburkan minuman
keras ke arahnya nenek ini terpaksa bersurut mundur sambil memaki. Di lain kejap Iblis
Pemabuk dan perempuan muka putih tak ada lagi di tempat itu.

***

SAMBIL berlari memanggul tubuh Wulan Srindi, Iblis Pemabuk bertanya, “Cah ayu, sejak kapan
kau berganti nama jadi Nyi Bodong?!”

“Hik… hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat yang memanggilku begitu. Kurasa cocok juga nama
itu.”

“Tapi pusarmu tidak bodong.”

“Kalau begitu tolong kau buat pusarku jadi bodong!” Iblis Pemabuk tertawa gelak-gelak.

“Eh, kau mau membawa aku ke mana?” tanya Wulan Srindi.

“Ke tempat seorang sahabat yang bisa mengobatimu. Kau terkena pukulan beracun Memukul
Bukit Meremuk Gunung yang dilepaskan Pangeran Muda. Bagian dadamu tidak cidera, tapi di
sebelah belakang jaringan tubuhmu rusak berat. Dalam tujuh hari bagian tubuhmu itu akan
busuk, nyawamu bisa-bisa tidak tertolong!”

“Jahatnya Pangeran keparat itu. Lagaknya sopan lemah lembut, tidak tahunya lebih buas dari
setan kepala tujuh!”

Setelah diam sebentar Wulan Srindi bertanya, “Urusan hutang piutang apa yang ada antara kau
dan nenek hidung bengkok berpakaian kuning itu?”

“Aku tak bisa memberi tahu,” jawab Iblis Pemabuk. “Kau tidak memberi tahu aku sudah bisa
menduga. Pasti urusan cinta di masa muda! Betul? Hik… hik… hik!”

Iblis Pemabuk menyengir, ambil satu kendi lalu meneguk isinya.


***

BEBERAPA hari kemudian, ketika Iblis Pemabuk dan Wulan Srindi kembali ke tempat
kediamannya yaitu bangunan di atas pohon dalam rimba belantara, mereka mendapatkan dua
bangunan kayu telah ludas berubah menjadi puing-puing hitam. Pohon besar di mana dua
bangunan itu berada juga tampak gosong sampai ke ranting.

“Aku sudah bisa menduga siapa jahanamnya yang membakar tempat kediamanku ini,” kata Iblis
Pemabuk sambil memandang ke atas dan teguk minuman keras dalam kendi.

“Siapa lagi kalau bukan orang-orang Keraton Kaliningrat!” ucap Wulan Srindi.

Iblis Pemabuk mengangguk. “Yang jadi biang racunnya pasti nenek hidung bengkok Ni Serdang
Besakih! Beberapa waktu lalu aku pernah memergokinya beberapa kali berada di sekitar
tempat ini. Setiap aku pergoki dia cepat melarikan diri.”

“Jika kau mempercayainya, biar aku mewakili dirimu mencari dan menghajar nenek satu itu.
Aku juga akan mencari lelaki kedua yang memperkosaku!”

“Cah Ayu, kau butuh istirahat beberapa lama untuk menyembuhkan luka dalam di bagian
punggungmu sebelah kiri.” jawab Iblis Pemabuk.

“Aku juga perlu segera mencari calon suamiku, Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Iblis Pemabuk tersenyum. “Semua perlu. Tapi ada waktunya yang tepat. Sekarang ikuti aku!”
Iblis Pemabuk tarik lengan Wulan Srindi.

Dalam serial Wiro Sableng Pendekar 212, Iblis Pemabuk muncul pertama kali pada Episode
berjudul “Wasiat Sang Ratu”. Iblis Pemabuk memberi tahu Wiro akan kelemahan Tiga Bayangan
Setan yang hendak membunuhnya.

***

KI TAMBAKPATI tersentak bangun dari tidur lelapnya ketika pintu gubuk dijebol orang dan satu
sosok hitam tinggi besar berucap keras, “Ki Tambak! Aku butuh pertolonganmu!”

Orang tua ahli pengobatan tulang berjuluk Tangan Penyembuh berusia lebih dari tujuh puluh
tahun itu tidak segera bangkit dari atas ranjang. Otaknya bekerja.

“Aku mengenali suara itu. Jangan-jangan makhluk pembawa malapetaka itu! Perlu apa dia
datang lagi ke sini?”
Ki Tambakpati perlahan-lahan turun dari atas ranjang kayu. Tangannya bergerak ke arah empat
sudut gubuk! Gubuk kecil jadi terang benderang. Pandangan mata si orang tua tertumbuk pada
orang yang barusan masuk. Dia segera mengenali, tapi wajahnya mengapa berubah seram
seperti setan, penuh cacat guratan luka? Orang ini berdiri dengan dua tangan berada di
belakang tubuh yang mengenakan jubah kelabu (Kisah kedatangan orang ini pertama kali harap
baca Episode berjudul “Kitab Seribu Pengobatan”).

“Aku mengenali suara, tapi mengapa wajah berlainan?”

sapa Ki Tambakpati sambil menatap tamunya dari kepala sampai ke kaki.

“Aku orang cerdik! Apa sulitnya! Aku bisa merubah wajah sepuluh kali dalam satu hari!” jawab
sang tamu.

“Jadi… jadi kau adalah orang yang dipanggil Pangeran itu? Yang tempo hari…”

“Sudah! Bagus kau mampu mengenali diriku!”

“Kalau kedatangan Pangeran untuk meminta penyembuhan masalah kejantanan tempo hari,
saya tidak mungkin menolong…”

“Ki Tambak! Aku kemari bukan untuk itu! Seratus hari sudah lewat! Kejantananku belum pulih!
Malah lihat! Aku menerima nasib celaka seperti ini!” Orang yang dipanggil Pangeran unjukkan
dua tangannya yang sejak tadi disembunyikan di belakang punggung.

Kejut Ki Tambakpati bukan kepalang. “Gusti Allah! Apa yang terjadi sampai tangan Pangeran
buntung begini rupa?!”

Ternyata tangan kiri sang Pangeran buntung sebatas setengah jengkal di atas pergelangan.
Darah kering menggumpal di ujung buntungan sementara darah segar masih kelihatan
merembes. Yang hebat dan mengerikan, Pangeran memegang buntungan tangan kirinya di
tangan kanan!

“Ki Tambak! Tak usah banyak tanya apa yang terjadi!

Tugasmu menyambung tanganku yang buntung sekarang juga!”

“Sa… saya perlu tahu kapan terjadinya. Kalau sudah lebih satu hari satu malam sulit disambung
kembali…”

Kata Ki Tambak sambil meneliti tangan kiri yang buntung dan juga kutungan tangan yang
dipegang di tangan kanan. “Tadi siang! Kejadiannya tadi siang!”

“Kalau begitu masih dapat saya usahakan. Pangeran silahkan berbaring di atas ranjang…”
Sementara Ki Tambakpati menyiapkan ramuan obat Pangeran melihat tak ada perubahan
dalam gubuk itu. Tulang belulang manusia berserakan di mana-mana. Empat buah tengkorak
yang sudah tebal tertutup lumut teronggok di sudut kiri belakang. Dulu ada lima tengkorak.
Satu di antaranya dia yang menghancurkan. Dinding gubuk yang jebol akibat hantamannya
tempo hari rupanya sudah diperbaiki.

Di tengah ruangan, di depan hamparan kulit kambing yang dijadikan tikar, terletak sebuah
belanga tanah. Tampaknya masih baru karena yang lama dia ingat betul hancur kena
tendangannya. Di dalam belanga ada ramuan tulang belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan
serta cairan mengepul asap dan selalu mengeluarkan suara mendidih walau di bawah belanga
sama sekali tidak ada api yang menyala.

Ki Tambakpati melangkah ke salah satu sudut gubuk. Dua mata dipejamkan, dua telapak tangan
dirapatkan satu dengan yang lain lalu dua lengan diangkat lurus ke atas. Seperti yang pernah
disaksikan sang Pangeran dulu, perlahan-lahan tubuh orang tua itu terangkat ke atas hingga
dua kakinya tidak lagi menginjak lantai gubuk.

“Daun sirih pembersih luka!” Ki Tambak berseru. Aneh!

Dari sela dua telapak tangan menyembul keluar tiga helai daun sirih. Daun-daun ini kemudian
melesat masuk ke dalam belanga tanah.

“Kunyit putih perekat luka!” Orang tua yang berjuluk Tangan Penyembuh itu kembali keluarkan
ucapan disusul melesatnya tiga potongan kunyit putih dari sela telapak tangan, langsung
melayang masuk ke dalam belanga.

“Alang-alang Dewa Penyambung otot dan urat!” Tiga lembar alang-alang hijau kekuningan
menjulur dari sela telapak tangan lalu melesat masuk ke dalam belanga tanah.

“Tulang pengganjal dan akar pengikat kesembuhan!”

Kali ini yang melesat keluar adalah dua potong tulang putih sepanjang tiga jengkal serta
segulung akar berwarna coklat yang masih ada tanahnya.

“Kemenyan keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang lagi
Maha Penyembuh!”

Serbuk putih kekuningan berkilau melesat masuk ke dalam belanga.

Suara mendidih di dalam belanga semakin keras. Kepulan asap semakin tebal. Bau harumnya
kemenyan dan ramuan obat memenuhi ruangan. Perlahan-lahan sosok Ki Tambakpati turun
kembali ke lantai gubuk. Lalu dia menggeser belanga tanah ke tepi ranjang di mana orang yang
tangannya buntung berbaring. Dia mengambil buntungan tangan lalu sambil memegang tangan
kiri yang buntung dia berkata, “Pangeran, pejamkan matamu. Bertahanlah. Cuma sakit sedikit.”
Habis berkata begitu Ki Tambak tarik kuat-kuat lengan kiri yang buntung dan dimasukkan ke
dalam telaga tanah.

Cesss!

Terdengar suara seperti besi panas dimasukkan ke dalam air. Asap pekat mengepul. Orang di
atas ranjang terlonjak dan menjerit setinggi langit. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat.

“Tua bangka jahanam! Apa yang kau lakukan!”

“Pangeran, kau inginkan kesembuhan. Kau harus berani berkorban menahan sakit!”

Tanpa perdulikan orang yang masih mencaci maki, Ki Tambakpati ambil buntungan tangan kiri.
Ketika hendak dimasukkan ke dalam belanga dia melihat satu kelainan pada salah satu jari
tangan itu.

“Tua bangka, kau mempermainkan apa?!” bentak orang di atas ranjang yang masih menggigil
menahan sakit.

Ki Tambak tidak menyahuti. Buntungan tangan kiri buru-buru dimasukkan ke dalam telaga.
Seperti tadi, terdengar suara dess walau agak perlahan dan asap yang mengepul tidak begitu
pekat. Dari dalam belanga Ki Tambakpati keluarkan dua potongan tulang dan gulungan akar.
Tangan yang buntung dengan sangat hati-hati dihubungkan satu sama lain lalu ditahan kiri
kanan dengan dua potong tulang, kemudian dibalut diikat kencangkencang dengan akar pohon.

“Pangeran, pengobatan telah selesai. Jika kau tak banyak bergerak, tulangmu akan mulai
bersambung dalam waktu sepuluh hari. Seminggu kemudian daging, otot dan urat akan pulih
bertaut kembali.”

Mendengar ucapan Ki Tambakpati sang Pangeran turun dari tempat tidur. “Ki Tambakpati,
apakah kau punya kabar baru tentang Kitab Seribu Pengobatan?”

Ki Tambakpati menggeleng.

Tanpa banyak bicara lagi ataupun mengucapkan terima kasih orang yang barusan ditolong terus
saja melangkah ke pintu. Si orang tua ingat hal seperti itu juga dilakukan orang tersebut ketika
dia dulu menolong menyambungkan batang kemaluannya yang hampir putus. Dia tidak minta
upah atau imbalan, namun melihat sikap orang begitu rupa Ki Tambakpati jadi jengkel lalu
berkata, “Pangeran, sudah dua kali dengan ini kau mendapat musibah. Seperti kataku dulu,
apakah kau pernah berdoa pada Gusti Allah agar mendapat kesembuhan yang cepat dan agar
selanjutnya kau berada dalam perlindunganNya?”

Lelaki di ambang pintu gubuk menatap orang tua itu sesaat lalu tertawa bergelak.
“Apa kau lupa aku dulu pernah berkata. Seumur hidup aku tidak pernah berdoa pada Gusti
Allah. Sudah, kau saja yang mendoakan diriku pada Gusti Allah!” Masih mengumbar tawa yang
menjijikkan, orang itu melangkah pergi dan lenyap di kegelapan malam.

Lama orang tua ahli pengobatan tulang itu tegak merenung di pintu gubuk. Tiupan angin yang
dingin mencucuk baru menyadarkannya. Dia segera beranjak masuk. Namun belum sempat
merapatkan pintu mendadak ada sambaran angin lewat di depannya, membuat dia terjajar
mundur satu langkah. Ketika dia berpaling ke dalam gubuk si orang tua melihat sosok seorang
nenek berwajah putih berdiri di tengah ruangan. Orang ini lebih dulu memperhatikan keadaan
seputar gubuk baru berpaling pada Ki Tambakpati.

“Aku terlambat…” Ucapnya perlahan.

Ki Tambakpati memperhatikan. Nenek muka putih ini mengenakan baju panjang berwarna biru
gelap. Rambut tergerai sampai ke pinggang kusut masai berwarna hitam.

“Sahabat yang datang di malam buta, apa maksud ucapanmu tadi. Apakah kau tidak keliru
masuk ke dalam gubukku ini?” Ki Tambakpati menegur sementara dua matanya terus
mengawasi.

“Sebelumnya ada seseorang di tempat ini,” si nenek berkata dan menatap lekat-lekat pada
sepasang mata si kakek.

“Betul sekali,” jawab Ki Tambakpati. “Dia sudah pergi. Kau mencarinya apakah dia sahabatmu?”

Si nenek menggeleng.

“Apa keperluan orang itu datang kemari?”

“Maaf, aku tidak pernah memberi tahu pada orang lain perihal orang yang pernah aku tolong!”

Nenek muka putih tatap wajah si kakek lalu tersenyum.

“Orang itu datang menemuimu karena tangan kirinya buntung! Benar?”

Ki Tambakpati diam saja.

“Ketahuilah, apa yang telah kau lakukan merupakan satu kebajikan. Namun tanpa kau sadari
kau telah memperpanjang umur kejahatan di atas bumi ini! Banyak lagi korban yang akan
berjatuhan!”
Tentu saja Ki Tambakpati tercengang mendengar ucapan si nenek. Dengan suara perlahan dia
berkata, “Aku menolong mengobati siapa saja tanpa memperhatikan apakah dia orang jahat
atau orang baik. Kebajikan tidak bisa dipilih-pilih.”

“Mungkin memang begitu janji atau sumpah ilmu pengobatanmu! Tapi tahukah kau siapa orang
bertangan buntung yang telah kau tolong?”

Ki Tambakpati menggeleng.

“Dia dijuluki Hantu Pemerkosa! Beberapa orang gadis telah menjadi korbannya di beberapa
desa! Diperkosa lalu dibunuh!”

“Tidak mungkin…” kata Ki Tambakpati pula lalu cepatcepat hentikan ucapannya.

“Mengapa tidak mungkin? Aku menyaksikan sendiri beberapa orang yang jadi korban
kebejatannya!”

“Ah…” Ki Tambakpati tarik nafas panjang, terduduk di tepi ranjang, menatap ke arah si nenek
sambil gelenggeleng kepala.

“Ilmu keahlian untuk kebajikan dan kebaikan. Alangkah mulianya…” Setelah mengeluarkan
ucapan itu si nenek muka putih memutar tubuh, melangkah ke pintu.

“Sahabat, tunggu dulu!” Ki Tambakpati berdiri dan mengejar. “Kau belum memberi tahu siapa
kau adanya. Aku senang mengenal dirimu. Kau membuka jalan pemikiran baru dalam diriku…”

Si nenek tersenyum. “Tidak, aku bisa melihat. Jalan pikiranmu tentang kebaikan dan kebajikan
tidak akan pernah berubah. Jika kau melakukan, maka orang yang tidak kau tolong akan
membunuhmu!”

Paras Ki Tambakpati berubah. Kepala tertunduk. Ketika diangkat kembali, nenek muka putih
berpakaian biru tak ada lagi di hadapannya. Dia mengejar ke halaman. Hanya kegelapan dan
tiupan angin dingin yang menyambut. Terbungkuk-bungkuk Ki Tambakpati melangkah ke arah
pintu gubuk sambil hatinya berkata, “Tuhan, apakah aku telah keliru menolong orang-orang
jahat? Aku mohon petunjukmu ya Tuhan. Kalau ini merupakan satu dosa, aku mohon
ampunanMu. Tapi bagaimana aku akan menolak orang yang datang minta tolong? Gusti Allah,
aku berlindung di bawah Kekuatan dan KekuasaanMu.”

Di malam yang dingin itu Ki Tambakpati akhirnya memutar langkah ke arah sumur untuk
mengambil air wudhu. Di dalam gubuk dia melakukan sembahyang tahajud dua rakaat,
memohon petunjuk dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.

***
DALAM Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh), Pendekar 212 punya maksud menemui
Ratu Duyung untuk mengetahui apakah benar jurang yang ada air terjunnya benar-benar tidak
berpenghuni. Namun dia merasa ada ganjalan karena tindakan sang ratu yang pergi begitu saja
setelah hancurnya 113 Lorong Kematian. Selain itu sobat seperjalanannya kakek tukang kencing
Setan Ngompol tidak begitu senang jika mereka harus jauh-jauh kembali ke jurang. Saat itu
matahari telah tenggelam, senja datang disusul malam.

“Kek, kita ini berada di mana dan sebenarnya mau menuju ke mana?” tanya Wiro pada Setan
Ngompol. Yang ditanya menunjuk jauh ke arah sebuah bukit kecil. Pemandangan agak
terlindung oleh kegelapan dan kerapatan pepohonan.

“Lihat, ada bangunan di sebelah sana. Ada nyala api. Pintunya juga kelihatan dalam keadaan
terbuka. Tanda penghuninya masih belum tidur. Kita ke sana. Siapa tahu dapat suguhan kopi
panas…”

“Paling-paling air sumur!” tukas murid Sinto Gendeng.

“Paling tidak ada tempat untuk kita numpang bermalam.”

“Kek, melihat celanamu yang lepek air kencing serta badanmu yang bau pesing, mana ada
orang yang mau memberi tumpangan bermalam pada kita. Kalau nasib baik aku yang akan tidur
dalam rumah, kau tidur di atas atap.”

Setan Ngompol tersenyum. “Bisa-bisa yang kejadian sebaliknya,” kata kakek bermata jereng
berkuping lebar ini.

“Aku kenal dengan penghuni gubuk itu. Karena itu aku mengajakmu ke sana.”

“Siapa yang tinggal di sana? Janda gemuk di Bantul tempo hari?”

Setan Ngompol tertawa cekikikan sambil tangannya menekap bagian bawah perut. “Kau masih
saja mengingatingat si gembrot itu. Aku sendiri sudah hampir lupa. Jangan kau sampai
membangunkan keponakan yang ada di bawah perutku. Bisa-bisa kutinggal sendirian kau di
tempat ini! Hik… hik… hik!”

Kedua orang itu berjalan cepat di antara kerapatan pepohonan. Hanya tinggal sepuluh tombak
dari gubuk di atas bukit tiba-tiba dari pintu keluar seorang perempuan berpakaian gelap,
berwajah putih, berambut panjang riapriapan sampai ke pinggang. Setan Ngompol cepat
menarik Wiro ke balik semak belukar di belakang sebuah pohon besar.

“Aku seperti mengenali wajah dan perawakan orang itu…” kata Setan Ngompol pula. “Jangan-
jangan… Dia berkelebat ke timur. Ayo kita potong jalannya!”
“Buat apa mengikuti orang?!” tanya Wiro seganseganan. “Apa kau tidak memperhatikan?
Wajah dan sosok perempuan itu mirip-mirip nenek yang pusarnya bodong tempo hari!”

“Kek, aku tidak heran kau mau mengejarnya. Rupanya selama ini kau selalu ingat-ingat dia.
Kesemsem pada pusar bodongnya. Sekarang kau pasti sudah kasmaran jatuh cinta. Mimpi mau
menjilat pusarnya! Gendeng!”

“Terserah kau mau bilang apa. Aku tetap mau mengejar!”

Wiro mengalah. Terpaksa mengikuti si kakek menempuh jalan memotong. Dalam waktu singkat
mereka berhasil memapas jalan nenek muka putih. Begitu sampai di hadapan si nenek, Setan
Ngompol hentikan langkah, menjura sambil keluarkan ucapan, “Nenek muka putih! Selamat
bertemu lagi dengan kami dua manusia jelek!”

Kejut si muka putih bukan alang kepalang. Selain itu wajahnya yang putih menunjukkan
kemarahan.

“Kalian lagi!” bentaknya sambil dua kaki merenggang dan dua tangan diturunkan ke samping.
Jelas nenek ini tengah memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan.

“Ini kali kedua kalian menghadangku! Apa mau kalian? Minta mampus?!”

Setan Ngompol langsung jatuhkan diri berlutut dan kucurkan kencing. “Sahabat, jangan salah
mengira. Pertemuan kedua ini sungguh tidak diduga. Ini takdir Yang Maha Kuasa. Ini mungkin
satu tanda kita bisa bersahabat. Sejak melihat bagaimana tempo hari kau membuat buntung
tangan manusia muka setan dengan sihir biru yang keluar dari pusarmu, aku sangat
mengagumi. Ingin berkenalan dan ingin tahu siapa nama serta gelarmu.”

Nenek muka putih memandang melotot lalu tertawa panjang. “Rupanya kau senang melihat
aurat perempuan!”

“Anu, soalnya sampai tua bangka begini baru sekali itu aku melihat ilmu kesaktian seperti itu.
Aku…”

“Hati-hati dengan kakek satu ini Nek. Orangnya memang rada-rada ganjen! Barangkali temanku
ini naksir samamu Nek,” kata Wiro pula.

“Hemm… begitu?” ucap si nenek tanpa berpaling pada Wiro. “Lalu kau sendiri bagaimana?! Kau
ganjen apa tidak? Kau juga naksir padaku?! Hik… hik!”

Pendekar 212 jadi cengar cengir garuk-garuk kepala. “Kalau kalian berdua tidak lekas
menyingkir dari hadapanku, sesaat lagi kalian hanya tinggal badan tanpa nyawa!”
Air kencing Setan Ngompol langsung terpancar. Wiro tarik tangan Setan Ngompol, membantu si
kakek berdiri. Tak sengaja matanya melirik ke arah si nenek dan dapati si muka putih itu tengah
memperhatikan dirinya. Ketahuan mencuri pandang si nenek melengos dan keluarkan ucapan.

“Kalian berdua benar-benar menyebalkan!”

“Harap maafkan diriku dan kakek temanku ini, Nek.”

Si nenek mendengus. Sekali dia balikkan badan, luar biasa sekali, sosoknya serta merta lenyap
dari tempat itu.

“Kabur lagi Kek. Tidak kau kejar?” tanya Wiro pada Setan Ngompol.

Si kakek pehcongkan mulut. “Kalau orang tidak mau bersahabat, ya sudah. Cuma aku menaruh
firasat. Satu ketika kelak dia membutuhkan orang-orang jelek macam kita ini.”

Ketika Setan Ngompol dan Wiro siap melangkah menuju gubuk kediaman Ki Tambakpati, tidak
terduga tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu tiga orang sudah berdiri di depan mereka.

Melihat siapa yang muncul Setan Ngompol berseru gembira. Dia tepuk bahu Wiro. “Nasib kita
ternyata tidak jelek-jelek amat malam ini! Lihat, hilang yang satu, muncul yang lain!”

***

SALAH satu dari tiga orang yang barusan datang langsung membentak. “Kakek bau pesing! Apa
maksudmu dengan ucapanmu tadi?!” Yang membentak adalah seorang nenek berdandan
menor, alias kereng, bedak tebal, bibir dipoles gincu merah menyala dan dua pipi diberi
pemerah-merah. Ketika tersenyum, nenek berpakaian serba hitam ini, memperhatikan deretan
giginya yang berlapis perak berkilat. Yang hebatnya, di atas kepalanya ada tiga potongan bambu
mengepulkan asap hitam, merah dan biru. Batok kepalanya mengeluarkan suara seperti tungku
perapian tukang besi. Inilah dia si nenek yang dijuluki Hantu Malam Bergigi Perak. Seperti yang
pernah diucapkannya tempo hari, dia akan selalu memata-matai Setan Ngompol serta Pendekar
212 Wiro Sableng.

Si nenek berdiri diapit dua gadis berpakaian ringkas warna biru dan merah. Kulit putih wajah
sama cantik jelita, tidak bisa dibedakan yang mana lebih cantik dari lainnya. Sementara si nenek
memandang melotot pada Setan Ngompol, dua gadis mengerling sambil lontarkan senyum ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di bentak si nenek Setan Ngompol batuk-batuk lalu menjawab, “Barusan saja seorang sahabat
pergi meninggalkan kami. Kini tahu-tahu kau yang juga sahabat kami muncul pula di tempat ini.
Siapa yang tidak senang? Hati lara terlipur sudah!”
“Kakek bau pesing! Kau pintar omong! Tapi jangan harap aku suka padamu.”

“Ah, aku… aku mana mungkin mengharap sampai sejauh itu,” jawab Setan Ngompol sambil
kedipkan mata.

“Bisa melihat dan memandangmu saja seperti saat ini senangnya sudah bukan main!”

“Tua bangka ganjen! Katakan siapa sahabatmu yang barusan meninggalkan tempat ini!”

“Terus terang namanya pun kami belum tahu…” Yang menjawab Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Goblok! Katanya sahabat tapi tidak tahu nama! Kau sama gebleknya dengan gurumu si Sinto
Gendeng itu!”

“Nek, kalau bicara jangan kelewatan! Sekali lagi kau berani menghina guruku, kuremukkan
wajahmu yang seperti kuntilanak kesiangan itu!” bentak Wiro marah karena gurunya
dilecehkan.

Si nenek ganda tertawa. Dia berpaling pada Setan Ngompol. “Bagaimana ciri-ciri orang yang
katamu sahabatmu itu?!” tanya si nenek.

“Tinggi semampai. Muka putih, rambut panjang awutawutan. Dia berpakaian biru gelap…”

“Cantik mana dia dibanding aku?!” tanya si nenek pula.

Salah seorang gadis di sampingnya yaitu yang berpakaian merah buru-buru keluarkan ucapan,
“Nek, mengapa bertanya yang bukan-bukan?”

“Huss! Kau anak kecil diam saja!” membentak si nenek.

Lalu dia berpaling pada Setan Ngompol. “Jawab pertanyaanku! Cantik mana aku dibanding
dia?!”

“Anu Nek… Kau lebih cantik tentunya. Tapi dia lebih banyak! Ha… ha… ha!” Setan Ngompol
menjawab lalu tertawa gelak-gelak.

Jawaban seperti inilah yang dikhawatirkan dua gadis berpakaian ringkas warna merah dan biru.
Tapi ternyata sang guru tidak marah malah tertawa mengekeh. Puas tertawa si nenek berkata,
“Sudah! Aku sudah tahu siapa orangnya. Dia pendatang baru rimba persilatan. Dia dikenal
dengan nama Nyi Bodong!”

“Nyi Bodong…?” Setan Ngompol memandang ke arah Wiro yang berdiri sambil garuk kepala.
“Pantas, aku pernah satu kali menyaksikan pusarnya yang bodong. Pusar itu bisa mengeluarkan
sinar biru mematikan. Aku melihat sendiri bagaimana dia membuat buntung tangan seorang
lawannya!”

“Aku banyak tahu tentang nenek satu itu. Aku dan muridku sedang menyelidiki siapa dirinya.
Belakangan ini dia diketahui membantai beberapa orang penjahat dan kini tengah memburu
seorang pemerkosa berjuluk Hantu Pemerkosa! Mungkin sekali Hantu Pemerkosa adalah orang
yang telah dibuntungi tangannya oleh Nyi Bodong.”

Hantu Malam Bergigi Perak berpaling pada Pendekar 212.

“Apa kau sudah tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan?!”

Wiro menggeleng.

“Apa kau tahu di mana beradanya gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur?”
tanya si nenek lagi yang membuat dada murid Sinto Gendeng jadi berdebar.

“Tidak, aku tidak tahu di mana beradanya gadis itu. Kami tengah menyelidik jejaknya. Ada
tanda-tanda bahwa dia telah menemui kematian. Mengapa kau menanyakan gadis itu, Nek?”
Balik bertanya Wiro.

“Salah satu dari kalian pernah bilang bahwa gadis itu tahu di mana beradanya kitab tersebut.
Sampai sekarang aku tetap curiga dialah yang mencuri kitab itu. Tapi kalau memang orangnya
sudah mati mau apa lagi. Mau dicari ke mana. Hanya saja aku melihat ada hal yang tidak wajar.

Orang-orang rimba persilatan semua tahu bahwa Bidadari Angin Timur adalah kekasihmu. Jika
gadis itu menemui ajal mengapa kau tenang-tenang saja. Mengapa tidak ada pancaran
kesedihan di mata dan wajahmu? Atau mungkin juga kau yang telah membunuhnya karena
bingung terlalu banyak kekasih! Atau mungkin gadis itu sudah kau buntingi! Karena tak mau
bertanggung jawab kau habisi dirinya. Selesai! Hik… hik… hik!”

“Tuduhanmu keji amat Nek!” Murid Sinto Gendeng jadi marah. “Kau telah menghina guruku!
Juga telah memfitnah diriku! Jangan harap aku mau menolong mendapatkan Kitab Seribu
Pengobatan itu!”

Dalam marahnya Wiro segera saja berkelebat tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol menatap
ke arah si nenek lalu geleng-geleng kepala. “Nek, usil mulutmu sudah sangat keterlaluan. Lain
waktu kalau ada setan yang menghamili dirimu, jangan kau menuduh diriku yang melakukan!”

“Tua bangka keparat! Jaga mulutmu! Manusia utuh saja masih banyak yang menyukai diriku!
Mengapa aku harus main dengan setan?!” teriak Hantu Malam Bergigi Perak marah sekali.
Kepulan asap dari tiga potongan bambu di atas kepalanya menderu keras. Dia menerjang ke
depan sambil layangkan tangan hendak menampar muka Setan Ngompol. Namun kakek ini
sudah kabur lintang pukang lebih dulu mengikuti Wiro. Tentunya dengan terkencingkencing.
Dengan gemas Hantu Malam Bergigi Perak memandang berkeliling. Dia dapatkan dua muridnya
tak ada lagi di tempat itu.

“Liris Merah, Liris Biru! Di mana kalian!?”

“Maafkan kami Nek. Kami berangkat duluan ke goa di Kaliurang! Sebentar lagi hari segera
siang!” salah seorang murid si nenek menjawab.

“Awas! Kalau aku tidak menemui kalian waktu aku pulang, kalian akan mendapat hukuman
berat!” Si nenek mengancam. Dia memandang ke arah cahaya terang dari sebuah gubuk di
puncak bukit. Dia melihat Setan Ngompol dan Wiro lari ke arah bangunan itu. Semula ada
niatnya hendak mengejar, namun batal karena dia harus melakukan sesuatu. Selain itu dia ingin
cepat-cepat kembali pulang ke Goa Cadasbiru di Kaliurang untuk melihat apakah benar kedua
muridnya Liris Merah dan Liris Biru berada di goa itu.

Tak lama setelah Hantu Malam Bergigi Perak tinggalkan tempat itu, dua orang muridnya yang
ternyata sembunyi di balik semak belukar segera keluar. Mereka lari ke arah gubuk di atas bukit
namun tiba-tiba yang tertua di antara mereka yaitu Liris Merah hentikan lari, menyelinap ke
balik sebuah pohon besar. Saat itu jarak antara mereka dengan gubuk hanya tinggal belasan
tombak.

“Ada apa?” tanya Liris Biru sang adik.

“Lihat ke arah gubuk. Ada orang mendekam di atas atap,” jawab Liris Merah. Liris Biru
memperhatikan. Memang benar ada seorang jongkok mendekam di atas atap gubuk kediaman
Ki Tambakpati.

“Kakek dan pemuda itu sudah masuk ke dalam. Mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang
yang mengintai. Mari kita pindah empat pohon ke depan agar bisa melihat jelas siapa adanya
orang di atas atap.”

Dengan gerakan cepat tanpa mengeluarkan suara dua murid Hantu Malam Bergigi Perak
berkelebat ke arah bukit. Tiga pohon terlampaui. Pada pohon ke empat keduanya berhenti dan
sembunyi.

“Kalau aku perhatikan sosok orang di atas atap seperti Nyi Bodong. Sayang mukanya
menghadap ke arah lain. Tunggu saja sampai kita bisa melihat. Kalau putih sudah pasti memang
Nyi Bodong.”

Mendengar ucapan kakaknya, Liris Biru berkata. “Aku khawatir orang di atas atap… hai! Dia
menggerakkan kepala. Walau sekilas aku sempat melihat wajahnya!”

“Putih!” ucap Liris Merah menyambungi. “Benar Nyi Bodong. Ada keperluan apa dia mengintai
di atas gubuk.”
“Aku khawatir dia punya maksud tidak baik. Bagaimana cara kita memberi tahu kakek dan
pemuda itu.”

“Satu-satunya cara kita masuk saja ke dalam gubuk!”

“Kalau begitu tunggu apa lagi!”

Sambil berpegangan tangan dua kakak beradik itu lari ke arah puncak bukit, menuju gubuk yang
pintunya terbuka. Namun belum sempat berkelebat dua tombak, tiba-tiba orang di atas atap
melayang turun. Gerakannya jelas menghadang Liris Merah dan Liris Biru! Hal ini dipertegas lagi
dengan bentakannya.

“Ada keperluan apa kalian mendatangi tempat ini?!”

Liris Merah dan Liris Biru adalah dua gadis kakak beradik berhati polos, masih muda tapi tahu
peradatan dunia persilatan serta tahu bagaimana cara harus bersopan santun. Biasanya mereka
akan selalu bersikap baik bila orang menyikapi mereka secara wajar. Namun kalau ada yang
jahil, judes apalagi galak, maka keduanya akan mempermainkan orang itu sampai mukanya bisa
merah seperti kepiting rebus dan hati panas seperti bara. Setelah perhatikan sejurus nenek
bermuka putih dan berpakaian biru gelap di depannya, Liris Merah membuka mulut, “Kami dua
kakak beradik, mau pergi ke mana siapa boleh melarang?!”

Sang adik menimpali, “Kau sendiri kami lihat sembunyi di atas atap. Pasti ada maksud tidak
baik. Tapi kami tidak menegur!”

“Urusanku apa perduli kalian?!”

“Urusan kami apa pula perdulimu?!”

“Lekas tinggalkan tempat ini atau aku akan memberi pelajaran sopan santun pada kalian!”

“Saudaraku Liris Biru. Walau baru muncul dalam rimba persilatan, selama ini aku mendengar
yang namanya Nyi Bodong itu adalah seorang berhati mulia, kalau bicara lemah lembut. Namun
tegas dalam menghadapi orangorang jahat! Apakah kita berdua yang muda-muda ini punya
tampang penjahat hingga seenaknya diusir dan diancam?!”

“Tenang saja, kakak,” jawab Liris Biru, “Aku sudah bisa menduga mengapa nenek muka putih ini
tidak senang kita dekat-dekat di sini. Dia takut pemuda yang ada di dalam gubuk akan terpikat
pada kita-kita! Agaknya dia naksir pada si gondrong itu! Hik… hik… hik!”

“Kau benar adikku. Padahal di dalam gubuk masih ada seorang kakek bau pesing yang aku rasa
cocok buat dirinya!”
Liris Merah dan Liris Biru lalu tertawa gelak-gelak. Nenek muka putih langsung berubah merah
seperti saga wajahnya.

“Dua tikus kecil! Jangan salahkan kalau aku memberi pelajaran keras padamu!” Dua kaki Nyi
Bodong bergeser. Saat itu juga tubuhnya berkelebat lenyap dan, plaak… plaak!

Liris Merah dan Liris Biru merasakan tamparan keras di muka masing-masing. Didahului pekikan
menahan sakit serta luapan amarah, dua murid Hantu Malam Bergigi Perak ini segera saja
menyerbu Nyi Bodong. Perkelahian hebat serta merta terjadi. Walau Liris Merah dan Liris Biru
masih muda belia, belum sampai berusia dua puluh tahun, sebagai murid seorang nenek sakti
dan aneh keduanya memiliki kepandaian silat yang tidak bisa dibuat main. Jurus-jurus serangan
mereka penuh tipu daya sehingga berulang kali lawan nyaris kena disikut, ditendang ataupun
dijotos.

Namun lawan yang dihadapi bukan pula orang sembarangan. Nyi Bodong ternyata memiliki
gerakan luar biasa cepat. Saat ini dia berada di sebelah kiri, di lain kejap ketika diserang sudah
berpindah ke tempat lain. Lima jurus berlalu dua gadis cantik kakak dan adik mulai terdesak
hebat.

Liris Merah berseru kaget ketika konde di atas kepalanya ditarik orang hingga rambutnya yang
hitam tebal dan panjang tergerai awut-awutan. Hal yang sama juga terjadi dengan Liris Biru.
Ketika dia merasa jotosan tangan kanannya akan berhasil mendarat di perut Nyi Bodong
tibatiba salah satu telapak tangan lawan menekan dahinya dan sesaat kemudian konde di
kepalanya berbusaian!

Dua kakak beradik menjerit marah. Satu sama lain saling berpegangan tangan. Tiba-tiba salah
satu dari mereka melesat ke depan, kirimkan tendangan ke arah kepala lawan. Menyusul
satunya jatuhkan diri ke tanah, berguling dan babatkan kaki memapas ke pinggang Nyi Bodong.
Guru mereka menyebut jurus ini dengan nama Hantu Malam Berbagi Pahala. Memang
kehebatannya luar biasa. Lawan yang mencoba mundur atau melompat untuk selamatkan diri
dari tendangan ke arah kepala akan dihajar oleh serangan susulan yang bisa membabat hancur
tulang pinggang.

Nyi Bodong keluarkan suara meraung seperti srigala hutan. Tubuhnya berkelebat luar biasa
cepat. Di lain kejap tubuh itu mengambang melintang di udara. Tangan dan kaki bergerak
mencari sasaran. Dua kakak beradik terkejut, berusaha selamatkan diri dengan melompat
mundur. Namun terlambat.

Tiba-tiba dari dalam gubuk berkelebat dua orang. Satunya berteriak. “Kek! Kau tahan si nenek,
aku menahan dua kakak adik itu!”

Bau pesing menghampar, air kencing bercipratan. Dalam keadaan seperti itu Nyi Bodong
merasa ada orang yang merangkul pinggangnya hingga dia tak mampu bergerak. Dia jadi
bergidik karena merasakan ada cairan hangat membasahi pakaian dan tubuhnya sebelah
bawah!

“Tua bangka kurang ajar! Beraninya kau memegang tubuhku! Beraninya kau mengencingi
pakaianku!”

Bukkk!

Setan Ngompol kena disikut bahu kirinya. Walau tubuhnya terjajar beberapa langkah namun
dia tidak mau lepaskan cekalannya di pinggang Nyi Bodong. Akibatnya kedua orang ini sama-
sama jatuh di tanah. Si kakek di sebelah bawah, si nenek di sebelah atas. Melihat wajah putih
cantik yang begitu dekat dengannya, Setan Ngompol unjukkan senyum mesra. Bibir
diruncingkan dan dua mata setengah dipejamkan. Seolah dia menunggu datangnya ciuman dari
sang kekasih! Namun yang datang bukannya ciuman melainkan satu jotosan keras di keningnya!
Si kakek menjerit kesakitan. Tubuhnya setengah melintir. Pemandangan gelap dan dia terpaksa
melepaskan rangkulannya di pinggang Nyi Bodong.

Pendekar 212 yang menghadapi dua kakak adik cepat menghadang gerakan Liris Merah dan
Liris Biru seraya berteriak, “Tahan! Kita berada di pihak yang sama! Mengapa bertindak tolol
berkelahi tidak karuan?!”

“Manusia gondrong! Enak saja kau bilang kita berada di pihak yang sama! Siapa sudi!” Nyi
Bodong menghardik. Sebaliknya begitu melihat siapa yang menghalangi mereka, Liris Merah
dan Liris Biru serta merta menjadi kendur amarahnya. Sambil pegangi pipi masing-masing yang
terasa masih sakit, kedua murid Hantu Malam Bergigi Perak ini mundur beberapa langkah.

“Nyi Bodong, mengapa kalian jadi berkelahi satu sama lain?” bertanya Setan Ngompol yang
keningnya kini ada satu benjut besar akibat pukulan Nyi Bodong.

“Aku tidak ada urusan memberi keterangan padamu! Kakek kurang ajar! Tanyakan saja pada
dua kurcaci itu. Masih bau kencur sudah berlagak jadi orang hebat! Untung kalian muncul kalau
tidak saat ini keduanya sudah jadi bangkai!”

“Sombongnya! Kami belum merasa kalah!” tukas Liris Merah. Gadis ini hendak melangkah
mendekati Nyi Bodong.

Wiro cepat pegang lengan Liris Merah. Dia sekalian memegang tangan Liris Biru lalu membawa
dua gadis itu menjauhi Nyi Bodong. Sambil berjalan mundur dua gadis sandarkan kepala
mereka ke bahu Pendekar 212 dan lemparkan senyum mengejek ke arah Nyi Bodong.

“Masih ingusan sudah pandai berbuat cabul!” ucap Nyi Bodong dengan wajah menunjukkan
kejijikan.

“Kalau iri kenapa kau tidak memeluk kakek bau pesing itu?!” ucap Liris Biru.
“Dua kurcaci ingusan! Jika kemudian hari aku bertemu lagi dengan kalian, jangan harap ada rasa
kasihan dalam hatiku!”

Liris Merah dan Liris Biru sama-sama keluarkan suara berdecak.

“Nyi Bodong,” kata Liris Merah, “Kau memang orang hebat! Tapi siapa yang minta kasih
sayangmu? Rupanya kau seorang yang suka memberi kasih pada sesama jenis! Hik… hik… hik!”

“Gadis kurang ajar! Ini cukup baik untuk menutup mulut busukmu!” Dengan ujung kakinya Nyi
Bodong mengorek sebuah batu sebesar tinju. Batu mencelat ke udara, ditangkap dengan
tangan kanan lalu secepat kilat dilemparkan ke arah Liris Merah.

“Kakak awas!” teriak Liris Biru. Namun saat itu Liris Merah masih mengejek Nyi Bodong dengan
cara menyandarkan kepala ke bahu Wiro, mata dipejamkan dan bibir digerak-gerakkan.

Dua jengkal lagi batu yang dilemparkan akan menghantam mulut Liris Merah, dengan sigap
Wiro gerakkan tangan kiri.

Wuuutt!

Bettt!

Wiro memang berhasil menangkap batu yang dilemparkan namun saat itu juga dia menjerit
keras dan campakkan batu ke tanah. Tangan kirinya mengepulkan asap. Ketika jari-jarinya
dikembangkan kelihatan bagaimana tangan kiri itu telah melepuh terkelupas sampai ke ujung-
ujung jari! Dapat dibayangkan bagaimana kalau batu yang panas laksana bara api itu sampai
masuk ke dalam mulut Liris Merah.

“Nyi Bodong! Ternyata kau perempuan durjana! Kau melukai tangan orang yang tidak punya
salah!”

Nenek muka putih tampak terkesiap. Tak menyangka. Lain yang diserang lain yang kena
sasaran. Liris Biru melompat ke tempat berdirinya Nyi Bodong sambil lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tanah terbongkar, satu lobang besar tampak
dalam kegelapan malam. Namun Nyi Bodong sudah raib seperti ditelan bumi.

Dari ambang pintu gubuk tiba-tiba terdengar seseorang berseru, “Setan Ngompol, bawa
sahabatmu itu ke dalam. Lukanya sangat berbahaya. Kalau tidak lekas diobati tangannya bisa
busuk!”

***

5
DI DALAM gubuk Ki Tambakpati menyuruh Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di depan belanga
tanah yang mengepulkan asap dan keluarkan suara mendidih. Liris Merah dan Liris Biru saling
berbisik melihat keanehan belanga itu. Tak ada api yang menjarang tapi cairan di dalam belanga
bisa mendidih.

“Kakek ini dukun atau tukang sihir?” bisik Liris Biru yang segera dipelototi oleh kakaknya.

“Jangan bicara sembarangan. Kita tidak tahu ini tempat apa.” ucap Liris Merah pula.

Untuk beberapa lama Ki Tambakpati berdiri di hadapan Wiro. Mata terpejam, mulut berkomat-
kamit dan telapak tangan kanan dikembang, diarahkan ke mulut belanga. Suara cairan yang
mendidih terdengar semakin keras bahkan sesekali muncrat ke atas.

“Masukkan tanganmu ke dalam belanga. Biar dalam, sampai jari-jari menyentuh dasar
belanga!” tiba-tiba Ki Tambakpati berkata.

Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget lalu garukgaruk kepala. Liris Merah dan Liris Biru
saling berpandangan dengan wajah tegang. Setan gompol bersandar ke dinding gubuk sambil
pegangi bagian bawah perutnya yang mulai mengucur!

“Anak muda berambut gondrong! Aku akan memberi perintah satu kali lagi. Jika kau tidak
menuruti maka tangan kirimu akan busuk sampai akhirnya meleleh buntung. Musuh telah
melempar batu yang dibalut dengan ajian ilmu bernama Batu Seribu Api. Adalah luar biasa kau
hanya mengalami luka melepuh terkelupas. Orang lain mungkin sudah lumer seluruh tangan
sampai ke pergelangan! Tapi jangan merasa hebat! Tanganmu akan busuk dan buntung jika kau
tidak mau kuobati. Masukkan tangan kirimu ke dalam belanga! Cepat!”

Murid Sinto Gendeng jadi keluarkan keringat dingin. Tangannya dalam keadaan melepuh
terkelupas.

Dimasukkan ke dalam cairan yang tengah mendidih. Apa tidak gila?! Mana mungkin bisa
disembuhkan dengan cara edan begitu? Wiro memandang ke arah dua gadis kakak adik. Liris
Merah dan Liris Biru tampak saling berpegangan tangan. Keduanya sama memandang ke arah
Wiro, tak berkesip. Wiro menoleh ke arah Setan Ngompol. Kakek ini hanya manggut-manggut
sementara dua tangannya sibuk menahani bagian bawah perut yang terus ngocor. Alihkan
pandangan ke arah Ki Tambakpati, Wiro melihat orang tua ini masih tegak dengan mata
terpejam dan mulut komatkamit. Wiro menggigit bibir. Walau kuduknya terasa mengkirik tapi
akhirnya dia masukkan juga tangan kirinya ke dalam belanga tanah. Demikian kencangnya dia
memasukkan tangan hingga amblas menjebol bagian bawah belanga!

Wira melengak kaget, terduduk di tanah, memandang ke arah Ki Tambakpati lalu tertawa gelak-
gelak.
“Keterlaluan! Kau telah memecahkan belanga obatku! Sekarang malah tertawa. Apa yang
lucu?”

“Kek, aku tak sengaja. Maafkan aku kalau belangamu sampai pecah.” kata Wiro pula. “Aku
tertawa ternyata cairan di dalam belanga sedingin air danau di malam hari. Tadinya aku
mengira cairan itu panas mendidih…”

“Aku tidak pernah mengatakan cairan itu panas. Sekarang coba perhatikan tangan kirimu!” ujar
Ki Tambakpati pula.

Wiro baru sadar. Buru-buru dia angkat tangan kiri. Astaga! Telapak tangan dan jari-jarinya
sudah pulih seperti tidak pernah mengalami cidera. Hanya saja lima jari tangannya tampak agak
membengkak. Liris Merah dan Liris Biru terheran-heran. Setan Ngompol senyum-senyum ikut
senang walau kencingnya tetap saja masih mengucur.

“Dalam dua tiga hari bengkak tanganmu akan susut. Kau akan sembuh seperti sedia kala.” Kata
Ki Tambakpati.

Wiro membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih Kek. Aku tak tahu bagaimana cara membalas
budi besarmu ini. Kalau aku boleh tahu siapakah Kakek ini adanya?” Yang menjawab adalah
Setan Ngompol.

“Kakek ini sudah tiga puluh tahun jadi sahabatku. Namanya Ki Tambakpati. Dijuluki Tangan
Penyembuh.”

Wiro berdiri lalu membungkuk dalam-dalam. “Ki Tambakpati, aku Wiro Sableng sekali lagi
mengucapkan terima kasih atas budi baikmu menolong diriku menyembuhkan lukaku. Aku…”

Ucapan Wiro terhenti karena saat itu tiba-tiba saja Ki Tambakpati tertawa bergelak.

“Nah, sekarang gantian kau yang tertawa. Sobatku Ki Tambakpati, apa yang lucu?” bertanya
Setan Ngompol.

Ki Tambakpati usap wajahnya. “Melihat tampang dan gerak-gerikmu serta kau muncul bersama
si tukang ngompol itu, tadi-tadi aku sudah menduga kau ini memang anak setan murid nenek
brengsek Sinto Gendeng!” Wiro jadi melongo.

“Kek, bagaimana kau tahu sebutan ‘anak setan’ itu…?”

Ki Tambakpati tersenyum. “Sinto Gendeng gurumu itu adalah teman sepermainanku semasa
kecil. Dia pernah tinggal lama di rumah orang tuaku di pantai selatan. Dia selalu menyebut anak
setan pada orang yang disayanginya. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan rasa sayang nenek
gendeng itu! Ha… ha… ha!”
“Ha… ha…ha!” Setan Ngompol ikutan tertawa senang tapi sambil terkencing-kencing (Kisah
riwayat Sinto Gendeng mulai dari masa bayi sampai dewasa dapat pembaca ikuti dalam
CERMIN yang akan segera terbit dengan judul “Selingkuh Rimba Persilatan”).

Sementara orang bicara dan tertawa, Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik. Sang kakak
berkata, “Tidak ada salahnya kalau kita bicara pada kakek bernama Ki Tambakpati itu. Tapi
bagaimana dengan yang lain? Apa mereka pantas untuk mendengar?”

“Kalau guru ada di sini dia pasti marah. Tapi dia tak ada. Kita harus punya upaya sendiri, tidak
bisa hanya mengandalkan guru. Soal mereka akan mendengar riwayat kita, kurasa tidak perlu
khawatir. Tampaknya mereka semua bisa dipercaya.” jawab Liris Biru pula. Liris Merah terdiam
seperti berpikir-pikir. Akhirnya gadis cantik ini berkata, “Baiklah, biar aku yang bicara. Kupikir
kalau orang tidak tahu apa yang menjadi masalah kita, bagaimana mungkin mereka bisa
menolong?” Liris Merah lalu melangkah mendekati Ki Tambakpati.

Kakek ahli pengobatan ini seolah baru sadar akan kehadiran dua gadis cantik di tempat itu
tersenyumsenyum lalu menyapa, “Aku sampai lupa kalau di sini juga ada dua tamu cantik jelita.
Gadis berpakaian merah dan berpakaian biru, siapakah kalian berdua?” Sambil bertanya Ki
Tambakpati melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Setan Ngompol mendekati Wiro. “Anak
setan, kau lihat kakek itu tadi melirikmu? Pasti dia juga sudah tahu kalau kau tukang main
perempuan!”

“Enak saja kau bicara Kek! Urusi saja air kencingmu!” damprat murid Sinto Gendeng.

“Ki Tambakpati, saya Liris Merah dan itu adik saya Liris Biru. Apakah saya boleh menuturkan
sesuatu. Saya dan adik saya mempunyai masalah. Siapa tahu Ki Tambakpati bisa menolong
menyembuhkan kami.”

Ki Tambakpati perhatikan Liris Merah dan Liris Biru dari kepala sampai ke kaki. “Kalian berdua
sama cantik, sama sehat. Kalau kau menyebut memiliki ada masalah, masalah apa? Jika kau
minta aku menyembuhkan diri kalian, apa sakit kalian? Liris Merah, kau mau menceritakan
masalah yang kau maksudkan?”

Liris Merah mengangguk. “Namun terlebih dulu saya mohon apa yang akan saya sampaikan
menjadi rahasia kita semua di tempat ini. Jangan sampai tersebar di luaran.”

“Aku memang tukang bocor di sebelah bawah, tapi tidak pernah bocor di sebelah atas. Aku
tidak pernah membuka rahasia orang. Apalagi rahasia dua gadis cantik seperti kalian.” kata
Setan Ngompol pula dengan nada gagah.

Liris Merah memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Murid Sinto Gendeng tersenyum, anggukkan kepala dan berkata, “Kita sudah menjadi sahabat.
Apakah yang kau ragukan?”
“Begini Ki Tambak,” Liris Merah memulai, “Sejak dilahirkan kami berdua memiliki kelainan.
Yaitu tidak tahan terhadap udara panas. Semakin besar kelainan itu semakin bertambah. Kami
tidak bisa berada di luaran pada siang hari. Itu sebabnya kalau siang kami selalu tidak bisa pergi
terlalu jauh dari tempat kediaman kami. Kami harus sudah berada di tempat kediaman sebelum
malam berganti siang. Setiap hari kami harus mandi lebih dari sepuluh kali. Jika mandi tidak
menolong kami terpaksa mencari danau, telaga atau sungai untuk berendam…”

“Aku ingat pertemuan kita pertama kali,” kata Setan Ngompol pula. “Kalian berdua keluar dari
dalam telaga di malam buta!”

Liris Merah mengangguk membenarkan. Lalu dia berpaling pada Ki Tambakpati dan
meneruskan ucapannya, “Tadi kami melihat Ki Tambakpati mengobati pemuda itu secara luar
biasa. Kami juga baru tahu kalau Ki Tambakpati adalah orang yang dijuluki Tangan Penyembuh.
Kami mohon, apakah Ki Tambakpati bisa menyembuhkan kelainan diri kami berdua?”

Semua orang terdiam. Ki Tambakpati nampak merenung. Wiro dan Setan Ngompol menatap
penuh rasa kasihan pada dua gadis itu.

Setelah merenung cukup lama Ki Tambakpati akhirnya berkata, “Penyakit yang kalian alami
adalah satu penyakit aneh yang baru kali ini aku dengar dan ketahui. Liris Merah, Liris Biru. Aku
tidak ingin mengecewakan kalian berdua, apalagi kalian masih sangat muda. Namun penyakit
kalian tidak mungkin aku sembuhkan dengan kemampuan pengobatan yang aku miliki.”

“Mungkin Ki Tambak tahu seseorang yang harus kami temui dan punya kemampuan untuk
mengobati diri kami berdua? Atau mungkin juga Ki Tambak tahu sejenis obat yang harus kami
dapatkan. Kami akan mencarinya sekalipun sampai ke ujung langit.”

Wajah Ki Tambakpati tampak sedih. “Saat ini aku tidak bisa menjawab. Entah di kemudian hari
kalau aku mendapat petunjuk. Untuk itu aku harus bersemedi tujuh hari tujuh malam. Namun
kalian berdua jangan terlalu banyak berharap.”

Liris Biru masih belum menyerah. Gadis ini bertanya, “Ki Tambak, apa kau pernah mendengar
sebuah kitab disebut Kitab Seribu Pengobatan?”

“Memang pernah aku mendengar. Namun di mana beradanya kitab itu tidak diketahui.
Pemiliknya adalah guru pemuda gondrong ini. Sinto Gendeng sahabatku yang diam di puncak
Gunung Gede. Mungkin di dalam kitab itu ada bagian yang menyebutkan mengenai penyakit
yang kalian idap dan bagaimana cara penyembuhannya.”

“Kitab itu lenyap dicuri orang sejak beberapa waktu lalu. Saya justru tengah menjalankan tugas
dari Eyang untuk mencarinya,” menjelaskan Pendekar 212.
“Tidak ada satu orang pun di sini yang bisa menduga siapa pencuri atau di mana beradanya
kitab itu?” tanya Liris Merah.

Tak ada yang menjawab. Lalu Ki Tambakpati berkata, “Malam ini, sebelumnya ada juga orang
lain yang menanyakan kitab itu. Dia adalah salah seorang dari dua tamuku.”

“Siapa orangnya?” tanya Setan Ngompol.

“Aku akan jelaskan orangnya tapi tidak dapat memberi tahu penyakit yang diidapnya…”

“Siapa nama orang itu Kek?” tanya Wiro.

“Siapa namanya itulah yang aku tidak tahu. Namun dia meminta agar dipanggil dengan sebutan
Pangeran. Tak tahu diburuk rupa, sikapnya luar biasa angkuh.”

Pendekar 212 dan Setan Ngompol saling berpandangan.

“Kenapa kau tidak menolak saja mengobatinya?” tanya Setan Ngompol.

“Hal itu tak mungkin aku lakukan. Jalan hidup dan ilmu kepandaianku adalah berbuat kebajikan
menolong sesama manusia.”

“Kadang-kadang kita menjadi susah dan malah berdosa karena terlalu baik terhadap orang
lain.” ucap Pendekar 212 pula.

“Apakah kalian mengenali siapa adanya orang itu?” Kini Ki Tambakpati yang ajukan pertanyaan.

“Dia bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah abu-abu, berwajah seperti setan?” ujar Wiro.

“Benar.” jawab Ki Tambakpati.

“Kalau begitu dia adalah manusia yang dibuntungi tangannya oleh nenek muka putih!” kata
Wiro pula.

“Kalau sudah tahu aku tak perlu banyak cerita lagi!” ujar Ki Tambakpati.

“Menurut guru dua gadis ini manusia itu dijuluki Hantu Pemerkosa. Saya punya dugaan manusia
itu aslinya adalah Pangeran Matahari!” kata murid Sinto Gendeng sambil menatap tak berkedip
ke arah Ki Tambakpati. “Kek, ada ciri-ciri lain dari orang itu yang bisa kau ingat?”

“Wajahnya yang seperti setan. Aku yakin dia mengenakan topeng tipis. Dia juga
menyombongkan diri bisa bertukar wajah sepuluh kali dalam satu hari…”

“Hanya itu saja yang bisa kau ingat sobatku?” tanya Setan Ngompol.
“Hanya itu saja. Tunggu…, ada satu hal. Ketika aku melihat jari kelingking tangan kirinya
buntung, dia marah besar ketika aku memperhatikan…”

“Pangeran Matahari!” ucap Setan Ngompol sampai terlonjak dan kucurkan air kencing.

“Pasti dia!” kata murid Sinto Gendeng dengan wajah geram dan dua tangan mengepal.

“Berarti dia tidak mampus sewaktu rumah kayu di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian hancur
lebur dan terbakar.” kata Setan Ngompol sambil usap daun kuping kanannya yang terbalik. “Dia
juga tidak mati tertimbun runtuhan bukit batu di mana lorong celaka itu terletak ketika Bunga
gadis dari alam roh menghancurkan kawasan itu. Sepertinya dia punya selusin nyawa. Tapi yang
sebelas sudah amblas. Jadi tetap saja tinggal satu! Hik… hik… hik!”

Si kakek tertawa sendiri dibarengi kencingnya yang mancur.

Ki Tambakpati gelengkan kepala. “Sahabatku, tadi kau menyebut ada dua orang tamu malam ini
datang ke tempatmu sebelum kehadiran kami. Siapa yang satunya?” tanya Setan Ngompol.

“Apakah dia seorang nenek berwajah putih, rambut riap-riapan, mengenakan pakaian biru
pekat?” Liris Merah mendahului sebelum Ki Tambakpati sempat menjawab.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Ki Tambakpati.

“Saya melihat dia mendekam sembunyi di atas atap. Ketika kami mendekati rumah ini, dia
menghadang. Kami berdua tidak tahu apa alasannya menyuruh kami pergi. Kami juga tidak tahu
apa dosa kesalahan kami sehingga tadi dia menyerang dengan batu yang dialiri aji kesaktian
jahat Batu Seribu Api seperti Kakek jelaskan.”

“Liris Merah, kau tahu siapa adanya nenek itu?” tanya Ki Tambakpati.

“Menurut guru dia adalah pendatang baru rimba persilatan bernama Nyi Bodong.” jawab Liris
Merah.

“Kek, apa keperluan nenek muka putih itu menemuimu? Apakah dia mengidap satu penyakit?”
tanya Wiro.

“Dia menanyakan perihal tamuku yang pertama. Si buntung bermuka setan yang senang
dipanggil dengan sebutan Pangeran itu. Benar seperti katamu tadi, si nenek bernama Nyi
Bodong menyebut si Pangeran sebagai Hantu Pemerkosa. Agaknya Nyi Bodong ingin
membunuhnya karena katanya Hantu Pemerkosa telah merusak kehormatan beberapa gadis
desa lalu membunuh korbannya. Namun…” Ki Tambakpati tidak meneruskan ucapannya dan
hal ini tidak begitu menjadi perhatian orang-orang yang ada dalam gubuk.
“Agaknya dalam rimba persilatan telah muncul lagi satu tokoh penyelamat orang-orang
tertindas, penegak keadilan, pembasmi manusia-manusia jahat.” kata Setan Ngompol.

“Kami setuju saja dengan pendapatmu Kek,” Liris Biru membuka mulut. “Kalau dia orang baik
mengapa Nyi Bodong punya niat jahat terhadap kami?”

Setan Ngompol hanya bisa terdiam dan usap-usap celananya di sebelah bawah.

“Ki Tambakpati, kami tidak bisa berada lebih lama di tempat ini. Kediaman kami cukup jauh.
Kami khawatir matahari sudah muncul sebelum kami sampai di sana. Kami berdua tetap minta
budi baik bantuanmu.” Liris Merah memegang lengan adiknya, berpaling pada Wiro dan
berkata, “Bisakah kami bicara denganmu di luar…?”

Wiro mengikuti langkah dua gadis itu. Setan Ngompol hendak membuntuti tapi didorong oleh
Wiro hingga masuk kembali ke dalam gubuk.

Sampai di luar Liris Merah berkata, “Kami sangat memerlukan pertolongan. Apakah benar Kitab
Seribu Pengobatan itu lenyap dicuri orang. Atau hanya sekedar cerita kosong saja untuk
maksud tertentu?”

“Tidak ada yang bohong. Kitab itu memang lenyap dicuri orang.” menjelaskan Wiro.

“Kalau kau menemukan, apakah kau mau meminjamkannya pada guru?”

“Tentu.” sahut Wiro dengan anggukkan kepala.

“Kau tidak kasihan melihat nasib kami?” tanya Liris Biru.

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Semua orang menaruh kasihan pada kalian. Aku
berjanji akan mendapatkan kitab itu…”

“Kalau kitab ternyata tidak bisa ditemukan?” tanya Liris Merah.

“Tuhan Maha Kuasa, setiap penyakit pasti ada obatnya. Kita semua berusaha tapi juga jangan
lupa mohon petunjuk serta pertolonganNya. Berdoa.”

Dua gadis kakak beradik itu tersenyum.

“Ternyata kau orang baik…” ucap Liris Biru.

“Memangnya aku punya tampang penjahat?”

“Penjahat ya tidak. Cuma guru pernah bilang yang namanya Pendekar 212 Wiro Sableng murid
Sinto Gendeng itu adalah buaya perempuan.”
Wiro tertawa lebar. Dia memandang ke belakang. “Aku tidak punya ekor. Tangan dan kakiku
berujud tangan dan kaki manusia. Mulutku tidak berupa moncong panjang. Apakah aku ini
menurut kalian seekor buaya?”

Dua gadis cantik tertawa cekikikan.

“Kami harus pergi sekarang,” Liris Biru berkata, “Jika kau bisa menolong, kami tidak akan
melupakan jasa dan budi baikmu. Untuk itu harap kau suka menerima ini sebagai ungkapan di
muka balas budi kami.”

Cuupp!

Cuupp!

Pendekart 212 terperangah ketika Liris Merah dan Liris Biru mencium pipinya kiri kanan. Kedua
gadis itu lalu menghambur lari sambil tertawa-tawa. Liris Biru berseru, “Kalau ada kesempatan
datanglah ke tempat kediaman kami di Goa Cadasbiru di Kaliurang!”

Wiro hanya garuk-garuk kepala tidak menjawab.

“Serakah amat! Seharusnya satu ciuman itu jadi bagianku!” kata satu suara. Setan Ngompol
tahu-tahu sudah berada di samping Wiro yang saat itu masih bengong usap-usap kedua pipinya.
“Berani kau datang ke Goa Cadasbiru, habis kau didamprat gurunya si Hantu Malam Bergigi
Perak.”

“Kalau begitu biar kau saja yang mewakiliku, Kek!” jawab Wiro.

Tanpa diketahui, di atas pohon besar di salah satu sudut kediaman Ki Tambakpati, seorang yang
sejak tadi mendekam sembunyi unjukkan wajah jengkel luar biasa. Dalam hati dia mendumel,
“Huh, dua gadis hijau. Kasihan diri kalian. Agaknya sudah terperangkap sikap manis pemuda
mata keranjang itu! Lihat saja nanti. Kalian akan dipermainkan lalu dicampakkan!”

***

DALAM Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh) diceritakan bagaimana Tumenggung


Wirabumi yang kini sudah naik jabatannya menjadi Bendahara Kerajaan mendatangi tempat
kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di sebuah telaga di puncak timur Gunung Gede. Sesuai
keterangan gurunya yaitu Nyai Tumbal Jiwo, Nyi Retno Mantili istrinya yang dikabarkan lenyap
melarikan diri dari gedung kediaman di kotaraja, berada di puncak Gunung Gede, di sebuah
telaga tempat hunian sang Kiai.
Bersama enam orang pengawal Wira Bumi melakukan perjalanan jauh menemui Kiai Gede Tapa
Pamungkas di Gunung Gede. Namun dia kecewa besar, tidak percaya bahkan menjadi marah
ketika mendapat keterangan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa Nyi Retno Mantili telah
pergi tanpa diketahui ke mana tujuannya. Wira Bumi menganggap Kiai itu telah mendustai dan
mempermainkannya. Dalam marahnya Wira Bumi menyuruh bakar sawung tempat Kiai Gede
Tapa Pamungkas bersembahyang dan memanjatkan doa. Walau sang Kiai telah bersabar diri
namun karena didesak terus perkelahian tidak dapat dihindari.

Seperti diketahui setelah bertapa selama tujuh bulan di Goa Girijati Wira Bumi mendapat
berbagai ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, nenek sakti yang mati sesat dan setelah sekian
puluh tahun rohnya masih gentayangan dalam perwujudan seperti masa hidupnya.
Bagaimanapun hebatnya Wira Bumi namun Kiai Gede Tapa Pamungkas yang oleh banyak orang
sudah dianggap sebagai makhluk setengah dewa karena kesucian dan kesaktiannya, bukanlah
tandingan Wira Bumi. Dalam perkelahian di bawah air, Wira Bumi akhirnya dipecundangi,
pingsan dan tubuhnya kemudian mengapung di permukaan telaga.

Masih untung bagi pejabat tinggi kerajaan ini karena Kiai Gede Tapa Pamungkas tidak punya
niat jahat untuk membunuhnya. Dia ingin memberi kesempatan pada pejabat itu untuk keluar
dari kesesatan dan bertobat. Wira Bumi diselamatkan oleh para pengawalnya, dibawa kembali
ke kotaraja, bukan membekal penyesalan apalagi bertobat tapi membawa dendam kesumat
luar biasa yang kelak akan dilampiaskannya secara keji di kemudian hari.

Lewat satu purnama setelah peristiwa kedatangan Bendahara Wira Bumi bersama para
pengawalnya di Gunung Gede, malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mencucuk
sampai bagian terdalam sumsum tulang. Kawasan telaga di puncak timur Gunung Gede
diselimuti halimun, sepi dan gelap. Pada siang hari air telaga kelihatan memiliki tiga warna.
Selain itu permukaannya selalu bergemericik seperti kejatuhan tetestetes air hujan.

Tidak seperti biasanya, di tepi telaga sebelah selatan yang selalu sepi, saat itu tampak tiga
bayangan hitam manusia bergerak cepat, tanpa suara, laksana tiga setan malam sedang
gentayangan. Yang seorang berdiri menunggu di satu tempat sementara dua lainnya berlari
mengintai tepian telaga. Tak selang beberapa lama dua orang itu kembali bertemu dengan
orang yang tegak diam menunggu. Salah seorang dari yang dua ini berucap perlahan, “Eyang
Tuba Sejagat, kami tidak melihat halangan. Rasanya kita bisa segera memulai pekerjaan.”

Orang yang dipanggil Eyang Tuba Sejagat bertubuh tinggi kurus, bekulit hitam pekat, bermuka
seperti jerangkong karena wajahnya hanya merupakan kulit pembalut tulang. Bibir dan dua
daun telinga hitam legam.

Begitu juga sepuluh jari tangan sampai ke ujung kuku, hitam semua. Rambut kelabu dijalin
aneh, menjela sampai ke pinggang. Sosoknya yang mengenakan jubah hitam agak kebesaran
membuat dirinya tampak luar biasa menggidikkan di dalam gelap, dingin dan sunyi itu.
“Halangan bukan masalah bagiku. Yang penting apakah kalian sudah mengetahui kalau calon
penghuni alam roh itu saat ini berada di dasar telaga?”

“Kami sudah meyakini dengan ilmu Aliran Tuba Mendetak Langit dan Bumi.” jawab dua orang
yang juga berpakaian jubah serba hitam dan merupakan pembantu Eyang Tuba Sejagat. Yang
bertubuh agak pendek bernama Jarot Kemukur, temannya bernama Ciung Gluduk. Kalau sang
Eyang tidak memakai blangkon maka kedua pembantunya ini mengenakan blangkon hitam.

Mendengar ucapan Jarot Kemukur dan Ciung Gluduk, Eyang Tuba Sejagat angkat kepala,
mendongak memandang langit gelap. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, “Aku akan mulai.
Kalian berdua awasi keadaan sekitar telaga. Jika ada bahaya cukup memberi tanda dengan
mengguratkan kaki ke tanah dua kali.”

Selesai berucap manusia tinggi kurus berjalin panjang ini melangkah maju mendekati tepian
telaga, berhenti dua jengkal dari ujung air. Perlahan-lahan lelaki berusia enam puluh tahun ini
ulurkan dua tangan ke depan. Dua lengan yang tertutup jubah hitam ditukikkan sedikit hingga
sejarak lima jengkal dari permukaan air telaga.

Sedikit demi sedikit dua lengan jubah hitam tampak menggembung, bergerak-gerak seolah ada
dua benda hidup di dalamnya. Tidak menunggu lama, tiba-tiba dari masing-masing lengan jubah
mencuat keluar seekor ular besar bersisik merah. Mulut terbuka, lidah terjulur di antara
deretan gigi-gigi runcing, tiada henti bergerak. Dari dua lobang hidung binatang ini berhembus
keluar asap merah yang menebar bau sangat menyengat.

“Anak-anakku Tuba dan Tubi, saat ini kalian punya tugas memenuhi telaga dengan Racun Akar
Bumi. Cepat laksanakan!”

Dua ular merah mendesis. Keduanya meluncur turun ke bawah ke arah air telaga. Dari mulut
dua ular ini menggelegak keluar cairan berwarna merah pekat dan kental. Sambil
menyemburkan racun yang bernama Racun Akar Bumi, dua binatang itu meluncur hingga
menyusup masuk ke dalam air telaga. Aneh dan mengerikan, saat demi saat ukuran tubuh dua
ular itu semakin bertambah besar hingga mencapai ukuran batang kelapa. Di tepi telaga Eyang
Tuba Sejagat tegak dengan sekujur tubuh bergetar, lutut menekuk dan keringat memancar di
mukanya yang menyerupai tengkorak. Rambut yang dijalin menjuntai di punggung tampak
bergerak-gerak naik seolah hidup.

Hanya beberapa saat saja seluruh permukaan air telaga telah berubah warna menjadi hitam
kemerah-merahan. Sosok dua ekor ular bersisik merah sampai pada ujung ekornya lalu lenyap
masuk ke dalam telaga.

Eyang Tuba Sejagat bergerak mundur tujuh langkah. “Anakku Tuba dan Tubi, kalian sudah
bekerja bagus! Jika tugasmu selesai pulanglah. Aku telah menyediakan sesajen lezat untuk
kalian berdua. Satu bayi lelaki untukmu Tuba, dan satu bayi perempuan untukmu Tubi.”
Makhluk tinggi kurus hitam ini keluarkan ucapan lalu tarik dua tangannya yang sejak tadi
direntang ke depan. Pada saat itu tanah di sekeliling telaga terasa bergetar. Mula-mula
perlahan, lalu makin keras. Air danau bergejolak hebat seolah berubah jadi air laut yang
membuntal gelombang ombak setinggi dua tombak! Pohon-pohon besar di sekitar telaga
bergoyang berderak-derak!

“Apa yang terjadi?” bisik Ciung Gluduk pada Jarot Kemukur.

“Aku tidak tahu. Apa yang harus kita lakukan?” jawab Jarot Kemukur lalu balik bertanya.

“Tunggu saja perintah Eyang.” jawab Ciung Gluduk.

Sekonyong-konyong didahului oleh muncratnya gulungan air telaga sampai setinggi tiga tombak
dan tumbangnya tiga pohon besar di tepi telaga, muncul dua suara dahsyat seperti puluhan
kerbau digorok berbarengan!

“Jarot Ciung! Ikuti aku!”

Eyang Tuba Sejagat berteriak lalu berkelebat ke arah gugusan batu di antara beberapa pohon
besar di tepi telaga. Di sini ketiganya mendekam bersembunyi sambil memperhatikan apa yang
akan terjadi. Eyang Tuba Sejagat tidak pernah mengira kalau dia bakal menghadapi hal seperti
ini.

Blaaar! Blaaar!

Seperti kilat menyambar. Dua cahaya terang berwarna merah melesat keluar dari dalam telaga,
menembus kegelapan malam seperti hendak membelah langit!

“Dua ekor naga raksasa!” Ciung Gluduk sambil pegangi lengan Jarot Kemukur sementara Eyang
Tuba Sejagat mendekam tak bergerak, mata tak berkedip tapi mulut berkomat-kamit membaca
mantera.

Yang terjadi saat itu adalah dua cahaya merah terang berubah menjadi sosok dahsyat dua ekor
naga besar. Sekujur tubuh dua ekor naga ini tampak mengelupas merah dan mengepulkan
asap. Dua bola mata menjorok keluar seperti mau terbongkar. Binatang ini menggeliat
terbanting-banting kian kemari. Ekor masing-masing menggelepar tiada henti membuat air
telaga muncrat sampai setinggi tiga tombak dan membanjir ke sekeliling tepian telaga
sementara tanah di sekitar telaga terus bergetar seperti digoncang lindu. Dari mulut dua ekor
naga raksasa ini menyembur keluar cairan biru kehitaman.

Didahului suara seperti kerbau digorok yang kemudian berganti menjadi suara ringkikan kuda
berbaur dengan raungan srigala hutan, sosok dua naga merah perlahanlahan meleleh dan jatuh
kembali ke dalam telaga membuat air telaga semakin membanjir ke mana-mana. Sosok dua
binatang raksasa itu akhirnya lenyap setelah terlebih dulu muncul dua gulungan asap merah
setinggi pohon kelapa.

Seperti diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Pedang Naga Suci 212” dua ekor naga
merah itu adalah peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sewaktu sang Kiai mewariskan dua
senjata pusaka kepada dua orang muridnya yaitu Sinto Weni (Sinto Gendeng) dan Sukat
Tandika (Tua Gila) berupa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212, kedua binatang
inilah yang membawa senjata-senjata sakti mandraguna tersebut dari dasar telaga.

Di balik gugusan batu Eyang Tuba Sejagat mengusap wajah tengkoraknya. “Kita berhasil
membunuh dua naga peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi mana sang Kiai?” Matanya
tak berkesip memperhatikan seantero telaga yang kini mulai terlihat jelas setelah lenyapnya
gelombang air yang membuncah dan pupusnya kepulan asap.

“Saya rasa Kiai itu sudah jadi bubur, bersatu dengan mulut beracun di dasar telaga.” jawab
Ciung Gluduk. Eyang Tuba Sejagat usap lagi mukanya. Dia merasa was-was.

Tiba-tiba ada suara riak air di pertengahan telaga. Bersamaan dengan itu di langit bulan
setengah lingkaran menyembul dari balik kabut kelabu hingga pemandangan di telaga kini
cukup benderang.

“Eyang…” Jarot Kemukur keluarkan suara tertahan ketika perlahan-lahan di permukaan telaga
muncul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas, terbujur menelentang mengapung lurus, tangan
terkembang ke samping, bergoyanggoyang dipermainkan alunan air telaga. Rambutnya yang
putih kini tampak merah, mengapung di atas air. Pakaiannya selempang kain putih juga tampak
merah. Demikian pula janggut, kumis, kulit muka dan kulit tubuh. Sepasang mata tertutup.
Racun jahat bernama Racun Akar Bumi yang ditabur Eyang Tuba Sejagat melalui dua ekor ular
merah telah membuat dirinya mulai dari rambut sampai ujung kaki menjadi berkeadaan
mengenaskan seperti itu.

“Aku puas sekarang. Menyaksikan sendiri mayat Kiai Gede Tapa Pamungkas mengapung di
permukaan telaga! Tamat sudah riwayat kehebatan rimba persilatan dari kawasan Puncak
Gunung Gede ini!” Eyang Tuba Sejagat sunggingkan seringai puas. Dia pegang bahu kedua
pembantunya. “Jarot, Ciung, saatnya kita tinggalkan tempat ini. Ada hadiah besar dari
Bendahara Wira Bumi menanti kita di kotaraja!”

Ketiga orang itu segera beranjak dari balik gugusan batu. Namun baru membalik dan bergerak
dua langkah tiba-tiba dari arah telaga di belakang mereka terdengar suara air menyiprat keras.
Ketika ketiganya berpaling, langsung saja mereka berteriak kaget.

Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas yang disangka telah menjadi mayat terapung melesat di
udara. Di lain kejap kakek sakti penghuni telaga itu telah berdiri di depan mereka!
Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur langsung bersurut tiga langkah sementara Eyang Tuba Sejagat
tetap tidak beranjak dari tempatnya berdiri namun berusaha keras menekan gejolak yang
mendebari dadanya.

Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri dalam keadaan mata terpejam. Dua tangan lurus di samping.
Rambut, kumis, janggut, kulit wajah dan tangan kaki serta pakaiannya berwana merah. Namun
anehnya walau jelas tadi dia berada dalam telaga, rambut, wajah, tubuh maupun pakaiannya
sama sekali tidak basah!

Perlahan-lahan sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas terbuka. Ternyata seluruh matanya
juga telah berwarna merah! Bersamaan dengan itu sang Kiai angkat kedua tangannya ke depan.
Kejut Eyang Tuba Sejagat dan dua pembantunya bukan alang kepalang ketika dua tangan itu
berubah menjadi dua ekor ular merah Tuba dan Tubi!

Didahului dengusan menggidikkan, dua ekor ular meluncur ke arah Ciung Gluduk dan Jarot
Kemukur. Dua pembantu Eyang Tuba Sejagat ini hanya bisa keluarkan pekik setinggi langit
ketika ular-ular merah itu melesat mematuk leher mereka. Keduanya kelojotan beberapa lama
lalu tergeletak tak berkutik dengan sekujur tubuh berwarna merah mulai dari rambut sampai ke
kaki. Dua ekor ular merah meluncur turun dari tubuh kedua orang itu, melata cepat di tanah
dan menghilang dalam kegelapan. Tampang tengkorak Eyang Tuba Sejagat tampak berubah,
terlebih ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke arahnya dengan sepasang mata yang
keseluruhan berwarna merah.

“Wiku Caringin, bukan aku yang membunuh dua pembantumu. Tapi sepasang ular
peliharaanmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa mereka. Kau beruntung
binatang-binatang itu tidak menghabisimu.”

Eyang Tuba Sejagat jadi terkejut ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama aslinya.
Selama ini hanya dua tiga orang saja dalam rimba persilatan yang mengetahui nama itu.

“Apalagi yang kau tunggu di tempat ini? Bukankah kau ingin cepat-cepat ke kotaraja untuk
mengambil hadiah yang telah dijanjikan Bendahara Kerajaan?”

Untuk beberapa lamanya Eyang Tuba Sejagat alias Wiku Caringin hanya bisa terdiam, tak bisa
keluarkan barang sepatah ucapan pun.

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.

“Jika bertemu Bendahara Wira Bumi, sampaikan salamku. Katakan padanya agar segera
bertobat sebelum Tuhan menjatuhkan hukuman atas dirinya. Dia harus mencari istrinya. Bukan
untuk dibunuh. Tapi untuk disembuhkan dari segala penyakit jiwa tekanan batin.”

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas tekapkan tangan kanannya ke mulut. Lalu
tangan kiri berkelebat mencekik batang leher orang di hadapannya. Begitu mulut Wiku Caringin
terbuka, Kiai Gede Tapa Pamungkas turunkan tangannya yang menekap mulut lalu tangan ini
ditekapkan ke mulut orang. Saat itu juga warna merah yang membungkus sekujur tubuh dan
pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap.

Hek… hekkk…!

Eyang Tuba Sejagat keluarkan suara tercekik berulang kali ketika dia merasa dari tangan sang
Kiai ada cairan mengalir masuk ke dalam mulutnya. Dia berusaha meronta tapi tubuhnya
seperti kaku, tak bisa digerakkan. Saat itu juga sekujur tubuh, mulai dari rambut sampai ke
ujung kaki, termasuk pakaian hitam serta kedua matanya berubah menjadi merah.

“Wiku Caringin. Kau telah membunuh dua naga peliharaanku. Sebagai balasan Racun Akar Bumi
milikmu sendiri aku masukkan ke dalam tubuhmu. Jika umurmu panjang kau masih punya
kesempatan untuk menemui Wira Bumi. Jika ajalmu sampai lebih dulu, bukan aku yang
membunuhmu tapi racun milikmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni dosa kesalahanmu.
Pergilah…”

Sepasang mata Wiku Caringin yang cekung merah menatap garang, tenggorokan turun naik
mengeluarkan suara menggeram. Dadanya seperti mau meledak. Dia tidak takut mengadu jiwa
dengan sang Kiai. Namun dia menyadari kalau keadaannya saat itu sangat tidak
menguntungkan. Yang harus dilakukannya adalah segera mendapatkan obat pemunah racun
yang ada dalam tubuhnya. Perlahan-lahan dia putar tubuh. Terbungkukbungkuk dan tercekik-
cekik melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan ketika satu bayangan hitam disertai
menghamparnya bau pesing berkelebat di depannya. Menyusul tawa cekikikan.

“Tua bangka muka tengkorak. Pasti kau habis mandi comberan tempat penampungan darah
sapi potong. Hik… hik… hik!”

Wiku Caringin angkat kepala. Begitu mengetahui siapa yang berdiri di depannya langsung dia
memaki, “Nenek keparat! Kau sama saja dengan gurumu! Aku bersumpah membunuh kalian
berdua!”

“Hik… hik! Mengurus nyawa sendiri tidak mampu. Mau mengurus nyawa orang lain!” Orang
yang dimaki perhatikan Wiku Caringin hingga akhirnya lenyap di kegelapan lalu balikkan badan
dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.

***

KIAI Gede Tapa Pamungkas tatap wajah tua berambut putih jarang dengan lima tusuk konde
menancap di kulit kepalanya. “Sinto, bangunlah. Lupakan segala macam peradatan. Kadang-
kadang aku berpikir. Adalah aneh. Kita tinggal di puncak gunung yang sama. Tapi bertemu
hanya sekali seabad! Dari raut wajahmu, dari tubuhmu yang semakin bungkuk, aku melihat kau
datang membekal satu urusan disertai beban batin yang cukup berat…”

Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 yang juga diam di kawasan puncak Gunung
Gede menatap dengan wajah seolah pasrah lalu berkata, “Kiai, saya memang murid yang tidak
tahu menerima budi. Sampai tua bangka begini masih belum bisa menyenangkan hati Kiai…”

“Sinto, aku tidak pernah minta kau atau muridku yang lain menyenangkan diriku apa lagi
membalas budi. Aku sudah sangat merasa senang jika melihat murid-muridku bahagia.”

Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu sungguh dalam jika Sinto gendeng mau mengartikan.
Puluhan tahun hidup dia merasa belum menemukan apa yang bernama kebahagiaan itu. Dia
tidak acuh apakah dirinya mau bahagia atau tidak. Namun hati dan kecintaan seorang guru
terkadang melebihi hati orang tua sendiri. Bagaimana dia bisa membuat gurunya senang kalau
dia pribadi belum tahu apa yang dinamakan kebahagiaan? Kehidupan masa mudanya sampai
tua renta begitu lebih banyak duka daripada sukanya. Setelah terdiam sejurus dia pun berkata,
“Saya mengerti Kiai. Segala dosa karena kurang ajar terhadap Kiai biarlah saya tanggung dunia
akhirat.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru Sinto Gendeng tersenyum. Dia pegang bahu si
nenek lalu berkata, “Katakanlan tujuan kedatanganmu kemari…”

Sinto Gendeng memandang ke arah telaga. “Kiai, apa mungkin mata saya yang lamur. Saya
tidak melihat sawung tempat Kiai biasa sembahyang dan berdoa.”

“Ada orang jahat menyuruh bakar bangunan itu…” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Makhluk jahanam bernama Wiku Caringin tadi?”

Sang Kiai menggeleng. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan soal sawung itu. Nanti bisa aku buat
yang baru. Ceritakan saja maksud kedatanganmu, Sinto.”

“Kalau Kiai tidak mau memberi tahu siapa yang berbuat jahat terhadap Kiai, saya merasa sedih
sekali.” Ucap Sinto Gendeng. Sebagai murid sebenarnya setelah sang guru berkata begitu dia
tidak perlu mendesak. Tapi justru di sinilah watak Sinto Gendeng yang selalu keras kepala. Tadi
masih mending dia menunjukkan sifat kerasnya itu dengan ucapan yang agak halus. “Kiai, saya
mengerti sebelumnya telah terjadi sesuatu di sini. Mohon Kiai mau memberi tahu. Apa gunanya
ditutup-tutupi?”

Setelah menarik nafas panjang akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menceritakan juga apa yang
telah dialaminya. Mulai dari pertemuan dan perkelahiannya dengan Nyai Tumbal Jiwo sampai
dengan dia membawa Nyi Retno Mantili ke puncak Gunung Gede. Lalu kedatangan Bendahara
Wira Bumi bersama para pengawalnya di mana kemudian terjadi pembakaran sawung disusul
dengan perkelahian yang tak bisa dielakkan. Akhir penuturan adalah munculnya Wiku Caringin
alias Eyang Tuba Sejagat bersama dua pembantunya.

“Kiai, saya sedih sekali mengetahui sepasang naga merah peliharaan Kiai menemui ajal di
tangan manusia keparat Wiku Caringin itu. Kalau tadi-tadi saya tahu apa yang telah
dilakukannya, tidak akan saya biarkan dia pergi begitu saja. Kiai, semua apa yang Kiai ceritakan
saya ingat baik-baik. Mulai sekarang Kiai bertenang diri saja di puncak Gunung Gede ini…”

“Apa maksudmu dengan ucapan itu Sinto?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau sebenarnya
dia sudah bisa menduga.

Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke tanah hingga amblas dan mengepulkan asap.
Lima tusuk konde perak yang menancap di batok kepalanya bergoyanggoyang. Mulut komat
kamit memutar susur. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum melihat kelakuan muridnya si
nenek berkulit hitam tinggi kurus itu. Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya sedikit. Tongkat
yang amblas menyembul dan melesat keluar dari dalam tanah.

“Kau memamerkan ilmu anak-anak itu padaku, Sinto?”

Ditegur seperti itu si nenek jadi kelam merah wajahnya tapi mulutnya tertawa lebar. Dia
pindahkan susur dalam mulut dari kiri ke kanan.

“Kiai, saya hanya ingin mengatakan. Kiai punya murid, seorang nenek butut bau pesing
bernama Sinto Gendeng ini! Tidak pantas Kiai bersusah payah mengurusi manusiamanusia
calon puntung neraka itu! Serahkan semua pada saya Kiai. Sudah cukup lama juga saya
mendekam di puncak Gunung Gede. Kaki ini sudah gatal rasanya mau gentayangan. Kebetulan
sekali ada tugas dari Kiai…”

“Siapa yang memberikan tugas padamu, Sinto!?”

“Kiai memang belum memberikan. Tapi saya sudah menerimanya!” jawab Sinto Gendeng lalu
tertawa cekikikan.

Lagi-lagi sang Kiai hanya bisa menghela nafas panjang.

“Sekarang apakah kau tidak akan mengatakan maksud kedatanganmu?”

“Maaf Kiai, tentu saja akan saya katakan. Masalah besar yang tengah saya hadapi adalah
hilangnya Kitab Seribu Pengobatan yang berasal dari Kiai Bangkalan. Ada manusia setan serakah
yang mencurinya. Saya sudah menyelidiki. Saya juga sudah menyuruh Wiro mencari. Tapi
sampai saat ini nihil semua. Kalau kitab itu jatuh ke tangan manusia jahil dan disalahgunakan,
rusak rimba persilatan di tanah Jawa ini.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa. Lalu bertanya, “Kapan kejadiannya kitab itu dicuri orang?”
“Sudah cukup lama. Rasanya sudah hampir sepuluh purnama.”

Sang Kiai kembali tertawa. “Sebelumnya di mana kau simpan kitab itu?”

“Di gubuk saya, Kiai. Dalam sebuah peti kayu, dipendam dalam tanah di bawah gentong air!”
menerangkan Sinto Gendeng.

“Kapan terakhir kali kau memeriksa tempat penyimpanan kitab itu?”

“Sejak hilangnya saya tidak pernah memeriksa lagi. Buat apa?”

“Jika nanti kau pulang ke pondokmu, cobalah periksa lagi tempat itu. Aku punya dugaan kitab
itu telah berada di tempatnya semula.”

“Kiai berseloroh…!”

Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.

“Bagaimana mungkin Kiai. Kitab itu jelas-jelas lenyap dicuri orang. Sekarang Kiai mengatakan
telah berada di tempatnya semula.”

“Seseorang secara diam-diam mengembalikan kitab itu ke tempatnya.”

Sinto Gendeng terkejut.

“Kiai sungguh tidak bergurau?”

Sang guru menggeleng.

“Berarti orang yang mencurinya yang mengembalikan kitab itu.”

“Bukan. Ada seorang lain yang melakukan.”

“Siapa Kiai?”

“Aku tidak bisa mengatakan.”

“Lelaki atau perempuan?” Sinto Gendeng mencecar.

“Lelaki.”

“Berarti Dewa Tuak yang mencuri kitab itu. Dulu saya memang sudah curiga. Dia pasti
mengembalikan setelah peristiwa hancurnya Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Entah buat
apa buku itu untuknya. Kalau dia terang-terang minta meminjamkan saya tidak akan
memberikan.”

“Bukan Sinto, bukan Dewa Tuak yang mencuri ataupun mengembalikan kitab itu.”
menerangkan Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Lalu siapa?”

“Aku tidak akan mengatakan. Karena bisa saja aku salah menduga. Jadi biar kau atau muridmu
nanti yang mencari tahu sendiri.” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Kiai, kalau begitu izinkan
saya minta diri. Saya ingin buru-buru kembali ke pondok.”

“Tunggu dulu Sinto. Aku punya satu pesan untukmu. Kalau kau bertemu dengan Wiro muridmu,
suruh dia datang ke sini.”

Si nenek menatap wajah gurunya. Ini satu hal yang tidak biasa karena selama ini sang Kiai tidak
terlalu dekat dengan muridnya. Tiba-tiba senyum menyeruak di mulut yang mengunyah susur
itu.

“Kiai, apakah Kiai hendak memperkenalkannya dengan seorang gadis untuk dijodohkan?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa bergelak.

“Apa aku punya tampang seperti Mak Comblang?” Sinto Gendeng tertawa cekikikan.

“Perlu apa anak setan itu disuruh ke sini, Kiai?” si nenek bertanya.

“Rimba persilatan semakin lama semakin banyak perubahan. Segala macam ilmu kesaktian
berkembang sejalan dengan menghebatnya segala macam kejahatan. Muridmu itu perlu
dihindari dari segala marabahaya yang tidak diinginkan.”

“Kalau Kiai punya niat seperti itu, saya sangat berterima kasih. Jika bertemu anak setan itu
pesan Kiai akan saya sampaikan. Apakah saya perlu hadir pada kedatangannya menghadapi
Kiai?”

“Jika kau punya kesempatan sebaiknya kau hadir.”

“Kiai, apakah saya boleh pergi sekarang?”

“Selama ini apa kau mendengar kabar tentang kakak seperguruanmu Sukat Tandika?” (Sukat
Tandika adalah nama asli dari Tua Gila)

Sinto Gendeng merasakan dadanya berdebar mendengar pertanyaan sang Kiai. Perlahan-lahan
dia gelengkan kepala.
“Heran, ke mana perginya anak satu itu? Apa sudah lenyap ditelan bumi?”

“A… apakah Kiai juga punya pesan untuknya?” Suara si nenek bertanya agak gagap.

“Sudahlah, kau boleh pergi sekarang. Nanti seabad lagi baru muncul di sini!”

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Setelah berlutut di depan gurunya, nenek ini segera
berkelebat pergi. Kiai Gede Tapa Pamungkas melepas dengan pandangan mata.

Dalam hati dia berkata, “Apakah dia masih mencintai kakak seperguruannya itu?” Orang tua ini
usap janggut putihnya. “Sinto, kau akan terkejut kalau tahu siapa adanya orang yang
mengembalikan Kitab Seribu Pengobatan itu ke pondokmu.”

***

WALAU bisa membuka pintu pondok dengan tangan namun karena tidak sabaran Sinto
Gendeng tendangkan kaki kirinya hingga pintu hancur berantakan, terpentang lebar. Begitu
masuk ke dalam nenek ini berteriak kaget. Di salah satu sudut ruangan berdiri seorang kakek
berjubah putih, dua tangan dirangkap di atas dada. Rambut jarang putih. Kumis dan janggut tak
kalah putih. Wajah yang cekung nyaris tak berdaging dihias sepasang mata lebar. Dia berdiri
sambil tersenyum pada Sinto Gendeng.

Melihat orang itu Sinto Gendeng teringat ucapan gurunya. Langsung darah si nenek naik ke
kepala. “Tua bangka Sukat Tandika! Keparat jahanam! Jadi kau rupanya yang menyuruh
mencuri kitab itu!”

Tanpa banyak menunggu lagi Sinto Gendeng menyerbu. Dari mulutnya menggelegar teriakan
aneh menggidikkan. Kaki kanan menendang lurus ke dada kiri di arah jantung sementara tangan
kanan melancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam luar biasa tinggi.
Lantai tanah bergetar, pondok kayu berderak keras.

“Sinto! Kau menyerang aku dengan jurus Naga Meringkik Menjebol Gunung! Kau mau
membunuhku?!”

Selama hidupnya Sinto Gendeng baru satu kali mengeluarkan jurus dahsyat itu yakni sekitar
empat puluh tahun silam ketika menumpas seorang tokoh silat yang jadi bergundal golongan
hitam. Jurus Naga Meringkik Menjebol Gunung ini bahkan tidak pernah diajarkannya kepada
Wiro Sableng karena memang luar biasa dahsyat dan ganas! Tidak heran kalau orang yang
diserang dan mengenali jurus maut itu berseru kaget.

“Pencuri keparat! Aku ucapkan selamat jalan ke akhirat!” teriak Sinto Gendeng tanpa
perdulikan seruan orang.
“Sinto! Hentikan!” Teriak kakek berjubah putih yang memang adalah Tua Gila alias Sukat
Tandika dan bukan lain merupakan saudara seperguruan Sinto Gendeng sendiri! Melihat si
nenek tetap nekad meneruskan serangan, Tua Gila tidak bisa berbuat lain kecuali selamatkan
diri. Tubuh si kakek dari kepala sampai ke kaki kelihatan kelojotan. Kaki merenggang, tangan
mengembang. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke belakang melabrak dinding pondok, lalu seperti
membal mental ke kiri.

Sinto Gendeng mendengus. “Tua Gila! Jurus Orang Gila Mabuk tidak akan menyelamatkanmu
dirimu dari kematian!”

Wuuttt!

Wusss!

Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng berhasil dielakkan Tua Gila. Tendangan itu lewat hanya
setengah jengkal dari pinggul kirinya. Akan halnya serangan berupa pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi, walau dengan cara aneh masih sanggup dihindari si kakek
namun sapuan angin pukulan yang begitu dekat masih sempat menyapu bagian kanan dada
kekasih di masa muda Sinto Gendeng itu!

Suara keluh kesakitan Tua Gila lenyap ditindih suara hancurnya dinding pondok. Sinto Gendeng
melesat keluar. Terdengar suara berderak keras lalu pondok kayu itu roboh!

Di luar pondok yang roboh Sinto Gendeng berdiri dengan tangan kanan berkacak pinggang,
tangan kiri bersitekan pada tongkat butut. Mata mendelik besar.

“Menyesal, mengapa terlalu cepat dia kubunuh! Seharusnya aku siksa lebih dulu!” berkata
Sinto Gendeng dalam hati. Matanya memperhatikan reruntuhan pondok miliknya sendiri.
Mulut yang berisi susur berkomat-kamit. Dia merasa ada yang tidak beres. Si nenek tancapkan
tongkat kayu ke tanah lalu sambil memegang ujung tongkat dia kerahkan tenaga dalam. Ketika
dia membentak keras sambil hentakkan kaki kanan ke tanah, di tanah kelihatan getaran keras
bergerak ke arah depan. Begitu getaran mencapai tumpukan runtuhan pondok kayu, semua
kepingan kayu dan papan serta hancuran perabotan yang ada bermentalan ke udara.

“Lenyap! Ke mana perginya bangsat itu. Mengapa aku tidak melihat mayatnya?” Kalau tadi
menyangka Tua Gila berada di dalam timbunan reruntuhan pondok maka kini Sinto Gendeng
hanya melihat tanah rata!

Tiba-tiba di belakang si nenek terdengar suara orang berucap sayu perlahan, “Sinto, kau
menuduh aku mencuri kitab. Kitab apa? Kalau Kitab Seribu Pengobatan yang kau maksud, apa
kau lupa? Dulu aku yang menyerahkan kitab itu pada muridmu. Muridmu kemudian
menyerahkan padamu. Aku mungkin sejahat-jahatnya manusia di muka bumi ini. Tapi seumur
hidup aku tidak pernah mencuri. Apa dosaku hingga kau ingin membunuhku? Apa ini ada
sangkut pautnya dengan kesalahanku di masa muda terhadapmu? Ketika aku meninggalkan
dirimu. Apakah kau masih menaruh dendam. Padahal dalam pertemuan kita terakhir di telaga
Gajahmungkur…” (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode Gerhana Di Gajahmungkur)

“Diam!”

Sinto Gendeng berteriak keras. Lalu balikkan badan. Tangan kanan diangkat ke atas. Kejap itu
juga tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari telah berubah warnanya laksana dibungkus
perak berkilat, menyilaukan.

Tempat sekitar situ serta-merta dilanda hawa panas. Pukulan Sinar Matahari! Jika yang
melancarkan pukulan itu adalah pemiliknya sendiri maka sulit ada kekuatan sehebat apapun
bisa membendung! Sinto Gendeng rupanya benarbenar sudah nekad hendak membunuh Tua
Gila yang dituduhnya sebagai pencuri kitab.

Di hadapan Sinto Gendeng, Tua Gila berdiri terbungkukbungkuk sambil pegangi dada dengan
tangan kiri. Mukanya tampak sangat pucat. Matanya yang lebar setengah terpejam, menatap
ke Sinto Gendeng. Dari sela bibir sebelah kiri mengucur darah segar. Agaknya kakek ini
mengalami luka dalam cukup parah akibat serangan Sinto Gendeng tadi! Namun yang membuat
Sinto Gendeng terkesiap ialah sewaktu melihat dari dua mata Tua Gila yang setengah terpejam
itu mengalir jatuh air mata!

Entah mengapa nafsu untuk membunuh si nenek perlahan-lahan mengendur. Dia turunkan
tangan kanannya. Tangan yang tadi berwarna seperti perak itu sedikit demi sedikit kembali ke
bentuk semula.

“Setan! Jangan cengeng!” teriak Sinto Gendeng. Lalu dia balikkan diri dan lari ke arah
reruntuhan pondok. Dan berdiri di tanah, tepat di mana sebelumnya terletak sebuah gentong
besar menyimpan air. Gentong itu telah hancur berantakan dan airnya membuat becek lantai
pondok. Sinto Gendeng tancapkan tokat kayunya ke tanah lalu jatuhkan diri, berlutut. Dengan
dua tangan telanjang nenek ini mulai menggali tanah becek tempat dibekas mana sebelumnya
terletak gentong tanah. Tak terlalu dalam menggali tersembullah sebuah peti terbuat dari kayu
besi berwarna hitam. Darah Sinto Gendeng berdebar keras ketika dia mengangkat peti kayu itu
dari dalam lobang yang digalinya. Peti diletakkan di tanah. Perlahan-lahan dengan jari-jari
tangan gemetar si nenek membuka penutup peti.

Sepasang mata membeliak. Mulut menganga hingga susur jatuh ke tanah. Tubuh jatuh
terduduk di tanah. Dua tangan diulurkan mengambil sebuah kitab tebal terbuat dari daun
lontar kering yang pada kulit depannya tertera tulisan berbunyi “Kitab Seribu Pengobatan.”

Sinto Gendeng dekapkan kitab tebal itu ke dada. Dua matanya tampak berkaca-kaca. Tidak mau
larut oleh perasaan si nenek segera masukkan kitab ke balik pakaian sebelah kiri. Lalu dari balik
pakaian sebelah kanan dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah juga sebuah kitab
daun lontar yang bagian depannya ada tulisan “Kitab Seribu Pengobatan.” Kitab ini dimasukkan
ke dalam peti kayu besi hitam, lalu diturunkan ke dalam lobang dan ditimbun dengan tanah.
“Terima kasih Gusti Allah. Engkau akhirnya menolong pengembalian kitab ini padaku. Terima
kasih Kiai Gede Tapa Pamungkas. Engkau telah memberi petunjuk hingga kitab ini aku dapat
kembali.”

Perlahan-lahan si nenek berdiri. Cabut tongkatnya dari tanah dan memutar tubuh. Dia ingat
pada Tua Gila. Namun ketika dicari, kakek itu tidak ada lagi di tempatnya semula.

Lama Sinto Gendeng termenung. Kitab Seribu Pengobatan sudah didapat. Justru mengapa kini
pikirannya jadi kacau dan hatinya tidak enak. Apakah dia menyesal telah menciderai Tua Gila?
Apakah kini dia punya perasaan bahwa mungkin benar bukan Tua Gila yang mencuri kitab itu?

“Tidak bisa jadi. Tidak ada orang lain. Semua sesuai petunjuk Kiai. Orang yang mengembalikan
kitab itu seorang laki-laki. Bukan Dewa Tuak. Pasti sudah dia bangsat pencurinya! Kalau bukan
dia siapa lagi? Terakhir sekali dia pergi dengan gendaknya si Sabai Nan Rancak itu ke Gunung
Kerinci di pulau Andalas. Mungkin perempuan itu yang menyuruhnya mencuri kitab. Tapi aneh
juga.

Mengapa sekarang dia mengembalikan? Mungkin mengembalikan kitab palsu dan


menyembunyikan yang asli?” Perasaan dan dugaan ini muncul di hati si nenek karena
sebelumnya dia telah menempatkan kitab palsu Seribu Ilmu Pengobatan di dalam peti kayu besi
hitam, walau maksudnya adalah untuk menipu orang jahat yang inginkan kitab itu.

Sinto Gendeng buru-buru keluarkan Kitab Seribu Pengobatan dari balik baju hitamnya. Buku
diteliti dari setiap sudut, dibolak balik dan setiap halaman dipelototi, dibalik halaman demi
halaman.

“Asli! Kitab ini benar-benar asli!” Ucap Sinto Gendeng dengan perasaan lega. Sebelum sempat
dia memasukkan kitab itu kembali ke balik bajunya tiba-tiba di tempat itu meledak tawa
cekikikan.

“Nenek Sinto, dalam catatan di kitab bersamamu itu, apakah banyak orang yang masih belum
membayar hutang padamu?”

“Setan alas! Siapa berani bermulut konyol di hadapanku!” Sinto Gendeng membentak marah
dan angkat kepala, memandang ke depan. Tak kelihatan siapasiapa. Mendongak ke atas pohon
di seberang sana si nenek kerenyitkan kening yang tinggal kulit pembalut tulang.

“Hik… hik…! Mohon maafmu, Nek. Tadinya aku mengira kau sedang meneliti kitab hutang
piutang. Hik… hik… hik…! Nek, apa kau sadar kalau kau punya satu hutang besar

padaku?!”

***
8

SINTO Gendeng menggembor marah. Dua matanya yang cekung seperti mau melompat keluar
dari rongganya. Melihat sikap si nenek perempuan berpakaian biru gelap yang duduk berjuntai
uncang-uncang kaki di dahan pohon besar kembali tertawa. Tangan kirinya menggoyang-
goyang sebuah kendi tanah berisi minuman menebar bau keras.

“Perempuan di atas pohon! Kalau tidak sedeng kau pasti sinting! Memangnya aku punya hutang
besar apa padamu?”

Orang yang dihardik tertawa cekikikan. Sinto Gendeng cepat-cepat masukkan Kitab Seribu
Pengobatan ke balik bajunya.

“Perempuan setan! Siapa kau?!” Sinto Gendeng membentak. Sekali melompat laksana terbang
tubuhnya melesat ke atas pohon dan berdiri di atas dahan, terpisah satu langkah dari
perempuan muda yang telah lebih dulu duduk di dahan itu. Sigap dan cepat sekali tahu-tahu
ujung tongkat di tangan kiri si nenek telah menempel di kening perempuan di hadapannya.

“Bicara yang betul! Atau kubuat bolong jidatmu!”

Orang yang diancam tertawa cengengesan.

“Aduh galaknya! Nek, apa kau sudah lupa padaku?”

“Setan, aku bertanya siapa kau adanya! Mengapa tidak memberi tahu? Malah balik bertanya!
Dasar perempuan setan sialan!”

Sambil memaki Sinto Gendeng perhatikan perempuan yang duduk di dahan pohon mulai dari
rambut sampai ke kaki. Berpakaian biru pekat, berkulit putih. Di tangan kiri memegang sebuah
kendi kecil. Lima kendi tergantung di pinggang.

“Perempuan setan! Aku rasa-rasa mengenali dirimu! Bukankah kau perawan centil bernama
Wulan Srindi yang dulu pernah mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Dulu kau hitam jelek,
kenapa sekarang jadi putih? Kau mandi lulur kapur di mana?! Hik… hik… hik…!” Dalam
marahnya Sinto Gendeng masih bisa mengejek mempermainkan orang.

“Nenek Sinto, terima kasih kau masih mengenali diriku! Hanya saja ada dua hal yang kau keliru.
Namaku tidak lagi Wulan Srindi. Orang-orang menyebutku Nyi Bodong. Lalu, aku sudah tidak
perawan lagi! Aku sedang mengandung muda. Dan anak yang kukandung adalah cucumu
sendiri. Karena ayahnya adalah muridmu Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Kejut Sinto Gendeng laksana disambar petir, “Perempuan setan! Mulutmu sudah sangat
keterlaluan! Aku tidak perduli kau mengandung atau bunting atau apa. Aku ingin kau mampus
saat ini juga!”

Sinto Gendeng tusukkan tongkat kayu di tangan kiri ke kening perempuan yang mengaku
bernama Nyi Bodong. Tusukan itu datangnya cepat sekali. Namun dalam gerakan yang jauh
lebih cepat Nyi Bodong berhasil selamatkan diri dengan miringkan kepala.

Wuutt!

Tusukan tongkat hanya menyambar pinggiran rambut. Nyi Bodong berayun berputar di dahan
pohon.

“Nek, tega sekali! Apa kau gila mau membunuh mantu sendiri?!”

Nyi Bodong melesat turun ke tanah. Hanya sekejapan mata saja Sinto Gendeng sudah menyusul
turun dan kedua orang itu kini berhadap-hadapan dalam jarak tiga langkah!

“Nek, seperti kataku tadi kau punya satu hutang besar padaku! Aku sudah mengandung. Aku
perlu tanda bukti perjodohan dan perkawinanku dengan Wiro. Sebut saja mas kawin! Apa saja!
Aku tidak meminta yang sudahsudah, tidak menginginkan yang mahal-mahal!”

“Perempuan setan! Kau minta mas kawin! Ini aku berikan! Terimalah!”

Habis memaki begitu Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya dalam jurus Kepala Naga
Menyusup Awan. Jotosan tangan kanan ini laksana kilat menyambar ke kepala Wulan Srindi
alias Nyi Bodong. Seperti tadi, Nyi Bodong membuat gerakan luar biasa cepat untuk selamatkan
kepalanya dari pukulan lawan. Kali ini dengan cara merunduk. Begitu kepalanya selamat, dari
bawah tangan kanannya meluncur ke atas, menggelitik ketiak si nenek. Karuan saja Sinto
Gendeng jadi terpekik kegelian sampai terkencing dan tentu saja marah besar!

“Perempuan setan! Umurmu cukup sampai di sini!”

Tidak pernah Sinto Gendeng disabung kemarahan begini rupa. Sepasang matanya yang cekung
membeliak besar lalu berubah menjadi kebiruan. Nyi Bodong tersentak kaget. Dia tahu ilmu
kesaktian apa yang hendak dikeluarkan si nenek. Dia sadar tidak bakalan bisa menyelamatkan
selembar nyawanya kalau Sinto Gendeng benar-benar menghantam dirinya dengan ilmu
kesaktian itu.

“Nenek Sinto, ampun Nek. Maafkan diriku! Aku tidak

bermaksud kurang ajar padamu! Aku mohon diri!”

Glukk… glukk!
Seruan Nyi Bodong disusul dengan suara orang meneguk lahap minuman. Lalu, wuusss! Cairan
bau menyengat bertabur ke arah wajah Sinto Gendeng. Pemandangannya tertutup. Tapi dia
tetap nekad melancarkan serangan.

“Perempuan setan! Kau mau lari ke mana?!”

Dari dua mata Sinto Gendeng melesat keluar dua larik sinar biru, angker menggidikkan. Inilah
serangan maut yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Dalam hidupnya jarang sekali si nenek
mengeluarkan ilmu kesaktian ini. Ini adalah ilmu kedua yang tidak pernah diajarkannya kepada
Wiro Sableng setelah jurus serangan Naga Meringkik Menjebol Gunung. Jika sekarang dia
menyerang Nyi Bodong dengan ilmu kesaktian tersebut, jelas bahwa dia benar-benar ingin
membunuh perempuan itu! Namun Nyi Bodong berlaku cerdik, dia mendahului menyerang dan
sekaligus membentengi diri dengan semburan minuman keras. Kalaupun si nenek tetap
melancarkan serangan maka serangan tidak akan mengenai sasaran karena pandangannya
tertutup. Salah-salah malah semburan minuman keras akan menciderai berat muka si nenek.

“Perempuan setan! Kau berani mengadu jiwa!” teriak Sinto Gendeng. Nyatanya dua sinar biru
yang berkiblat ganas hanya menghantam udara kosong lalu menghajar pohon besar di depan
sana.

Wusss!

Pohon besar tenggelam dalam cahaya biru menggidikkan. Asap mengepul. Ketika asap sirna
pohon itu hanya tinggal sosok hangus berwarna biru, lalu perlahanlahan berderak runtuh
menjadi ribuan keping. Kepingankepingan ini kemudian berubah menjadi debu! Sinto Gendeng
berteriak marah ketika dia tidak melihat sosok mayat Nyi Bodong di antara tebaran debu! Dia
berkelebat kian kemari. Namun tetap tidak menemukan tanda-tanda kematian Nyi Bodong.
“Perempuan setan! Benar-benar setan!”

Baru saja si nenek memaki, di kejauhan tiba-tiba terdengar suara orang berseru.

“Nenek Sinto aku mohon maafmu. Aku telah mengambil satu dari lima tusuk konde perak di
kepalamu! Tusuk konde ini akan aku jadikan sebagai tanda mas kawin perkawinanku dengan
muridmu! Sekarang aku tidak sirih lagi ke mana-mana membawa jabang bayinya Wiro.”

“Setan!” Sinto Gendeng kembali memaki. Kali ini sambil meraba kepalanya. Ternyata lima tusuk
konde perak yang menancap di kepalanya kini hanya tinggal empat! Si nenek jadi banting-
banting kaki saking marahnya! Lalu terduduk di tanah dengan tubuh gemetaran.

“Perempuan setan itu! Apa benar dia Wulan Srindi! Kulitnya berubah. Ilmu kesaktiannya… Dari
mana didapatnya? Membawa enam guci minuman keras. Apa betul dia sudah jadi murid Dewa
Tuak? Hidungku mencium minuman keras yang disemburkannya memang menyengat. Tapi
tidak seharum Tuak Kayangan milik Dewa Tuak! Heran, bagaimana betina jahanam itu enak saja
mengatakan dirinya mengandung jabang bayi Wiro? Edan! Apa anak setan itu tanpa setahuku
memang sudah kawin dengan si centil keparat itu?! Tertipu kena dirayu perempuan genit itu?
Jadi selama ini bukan Kitab Seribu Pengobatan yang dicarinya. Tapi dia mencari kitab-kitaban di
bawah pusar!” Sinto Gendeng memaki panjang pendek lalu meraba lagi tusuk konde yang
menancap di batok kepalanya. “Sialan! Dia mencuri satu tusuk konde milikku. Aku harus
dapatkan tusuk konde itu kembali! Agaknya aku harus turun gunung mencari murid setan itu!
Aku tak yakin kalau dia kawin begitu saja seperti kawinnya ayam. Tapi kalau memang
perempuan setan itu mengaku sudah dibuntinginya?! Akan aku patahkan batang lehernya yang
di atas dan di bawah! Biar dia tahu rasa!”

Untuk beberapa lama Sinto Gendeng masih terduduk di tanah. Dia merasa kecewa pada dirinya
sendiri. “Wulan Srindi. Nyi Bodong! Siapapun nama setan perempuan itu! Anak bau kencing
yang baru lahir kemarin! Aku tidak sanggup menghajarnya! Apa diriku sudah begini rongsokan
hingga ilmu silat dan kesaktianku tidak lagi dapat diandalkan? Melawan anak sinting saja aku
tidak mampu!”

Dengan bersitekan pada tongkat kayu, perlahan-lahan Sinto Gendeng bangkit berdiri. Namun
nenek ini tidak segera tinggalkan tempat itu. Dalam pengaruh amarah yang luar biasa otaknya
masih terus berpikir.

“Kalau aku pergi ke mana aku harus menuju? Siapa yang akan aku cari lebih dulu? Mencari anak
setan murid keparat itu atau menjejaki setan perempuan tadi. Aku tahu di mana sarangnya. Dia
adalah murid satu perguruan silat di Gunung Lawu. Apa aku harus mengobrak abrik perguruan
itu? Mungkin lebih baik aku mencari Dewa Tuak lebih dulu untuk minta keterangan lebih jelas?
Kakek sialan itu harus ikut bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi! Lalu bagaimana
dengan si Tua Gila yang telah mencuri dan mengembalikan kitab? Dia tak bakal bisa kabur jauh.
Aku akan segera menemuinya!”

Sinto Gendeng menatap ke arah bekas pondok kediamannya yang kini telah rata. Wajahnya
yang tak berdaging, hanya tertutup kulit keriput hitam tampak sedih.

“Aku tidak punya rumah lagi. Mungkin ini satu petunjuk aku harus gentayangan lagi dalam
rimba persilatan. Aku pikirpikir dulu banyak urusan yang masih malang melintang. Dengan
kejadian ini pekerjaanku jadi tambah berat dan banyak. Sial, mengapa aku harus menghadapi
urusan kapiran begini rupa?! Tua bangka bau tanah begini seharusnya aku hidup tenang
menunggu saat kematian!”

Si nenek ingat sesuatu. Susur yang tadi tersembur dari mulutnya. Susur ini ditemuinya di tanah.
Enak saja, tanpa membersihkan lebih dulu, susur yang kotor bercampur tanah itu dimasukkan
ke dalam mulut. Lalu dengan mulut terkempot-kempot, dengan langkah terseok-seok Sinto
Gendeng tinggalkan tempat itu. Di satu tempat dia berhenti. Ingat sesuatu. “Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Apa aku harus menemuinya sebelum pergi?” Si nenek bimbang.
“Eh, bukankah Kiai meminta aku menyuruh murid setan itu menghadap menemuinya? Aku tak
ingin menggerecoki Kiai. Aahh… agaknya Kiai sudah tahu apa yang telah terjadi dengan anak
setan itu! Jangan-jangan memang benar dia sudah membuntingi perempuan setan itu!” Si
nenek pukulpukul jidatnya sendiri lalu tiba-tiba saja dia tertawa cekikikan.

“Aku Sinto Gendeng sudah punya mantu! Bakal punya cucu! Edan! Gelo! Apa rimba persilatan
tidak heboh?! Hik… hik… hik!” Sambil melangkah pergi dia kembali memukul kening. Di satu
tempat dia berkelebat. Dan lenyaplah nenek sakti ini dari pemandangan.

***

LEWAT tengah malam gedung besar kediaman Bendahara Kerajaan tampak masih terang
benderang walau diselimuti kesunyian. Di pintu gerbang ada dua pengawal berjaga-jaga. Di
dalam sebuah kamar besar yang hanya diterangi temaram cahaya sebuah lampu minyak kecil,
Wira Bumi duduk bersila di lantai di atas sehelai kain putih berbentuk segi tiga, menghadap ke
arah matahari terbenam. Ketika dia baru mulai bersemedi mendadak ada ketukan di pintu
kamar. Walau kesal karena merasa sangat terganggu namun Wira Bumi berdiri juga lalu
melangkah membuka pintu.

Di hadapannya berdiri seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang bermata belok. Dia adalah
kepala pengawal gedung Bendahara.

“Danang Kaliwarda, ada apa?”

“Mohon maaf Raden Mas karena berani mengganggu. Ada seorang tamu menunggu di halaman
belakang. Sebelumnya saya pernah melihat orang itu datang ke sini dan bicara dengan Raden
Mas. Namun kali ini ada keanehan pada dirinya. Seluruh tubuh dan pakaian mulai dari rambut
sampai ke kaki berwarna merah.”

“Dia menyebut nama?”

“Tidak, Raden. Dia hanya berkata agar memberi tahu Raden Mas bahwa dia datang untuk
urusan di Gunung Gede.”

Wira Bumi terdiam sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Padamkan semua lampu di halaman
belakang gedung. Kau tak usah lagi menemui tamu itu. Pergilah berjaga-jaga di halaman
depan.”

Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung Bendahara memberi hormat lalu cepat-cepat
berlalu. Wira Bumi menunggu beberapa ketika kemudian melangkah cepat menuju halaman
belakang gedung. Ketika dia sampai, halaman belakang sudah berada dalam keadaan gelap.
Satu-satunya penerangan hanyalah saputan cahaya putih dari langit yang jernih ditaburi
bintang. Di pojok tembok halaman belakang sebelah kanan, dekat sebuah patung besar Dewi
Sri, berdiri terbungkuk-bungkuk seorang lelaki bertubuh tinggi kurus. Tangannya memegangi
dada. Nafasnya terdengar sengal. Wira Bumi segera menghampiri orang ini.

“Eyang Tuba Sejagat, bukankah aku sudah berpesan tak ada pertemuan kedua di antara kita di
gedung ini? Sesuai perjanjian aku akan menemuimu di satu tempat di tepi Kali Opak dua hari di
muka. Mengapa…”

Wira Bumi tidak meneruskan ucapannya. Saat itu dia baru menyadari kalau sekujur tubuh
termasuk pakaian orang yang berdiri di hadapannya berwarna merah.

“Eyang, apa yang terjadi dengan dirimu? Kulit muka, tubuh dan pakaianmu berwarna merah.
Apakah kau telah melaksanakan tugas yang…”

Sang tamu yang datang di larut malam ke gedung Bendahara Kerajaan itu bukan lain memang
adalah Eyang Tuba Sejagat. Yang beberapa waktu lalu meracuni telaga di puncak Gunung Gede
tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas. Mulutnya terbuka, batuk-batuk beberapa kali
dan ludah bercampur darah meleleh di sudut bibir sebelah kiri.

“Eyang! Siapa yang mencelakaimu?!” Wira Bumi pegang bahu kiri kanan Eyang Tuba Sejagat.

“Aku memang sampai ke puncak Gunung Gede, membunuh dua naga penghuni telaga. Namun
aku tidak berhasil menamatkan riwayat Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dua pembantuku tewas.
Kakek sakti itu malah memasukkan Racun Akar Bumi ke dalam tubuhku. Kau lihat sendiri,
sekujur tubuhku berwarna merah. Aku tak bisa menunggu sampai dua hari di muka. Itu
sebabnya aku terpaksa menemuimu malam ini. Aku akan menemui seorang tabib untuk minta
obat peluntur racun. Obat itu mahal sekali. Aku perlu biaya. Kalau aku sudah sembuh aku akan
melaksanakan tugas berikutnya. Menghabisi Patih Sawung Giring.”

Eyang Tuba Sejagat kembali batuk-batuk. Darah kental berbuku-buku berhamburan dari
mulutnya.

“Eyang, kau tunggu di sini. Aku akan mengambil uang kebutuhan pengobatanmu…” Kata Wira
Bumi. “Aku menunggu. Cepatlah. Aku sudah tidak tahan…”

Wira Bumi memutar badan, baru berjalan tiga langkah dia berubah pikiran dan kembali
menemui Eyang Tuba Sejagat.

“Ada apa?” tanya ahli racun berusia lebih enam puluh tahun itu.

“Eyang, rencanaku berubah.”

“Maksudmu?” tanya Eyang Tuba Sejagat.


Wira Bumi tidak menjawab. Namun di dalam gelap tangan kanannya bergerak luar biasa cepat.
Eyang Tuba Sejagat hanya melihat gerakan bahu lalu suara angin berdesir dan, praakk! Tubuh
Eyang Tuba Sejagat tersandar ke tembok halaman belakang, lalu ambruk tergelimpang di
samping patung Dewi Sri. Kepalanya rengkah! Wira Bumi telah menghajar batok kepala Eyang
Tuba Sejagat dengan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat yang didapatnya dari Nyai Tumbal
Jiwo.

Tanpa diketahui, seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat itu mendengar semua
pembicaraan dan melihat apa yang terjadi.

***

WIRA Bumi memanggil Danang Kaliwarda. Kepala Pengawal ini diperintahkan untuk membuang
mayat Eyang Tuba Sejagat lalu cepat-cepat masuk ke dalam gedung. Di dalam kamar yang
temaram Wira Bumi kembali duduk bersila di atas kain putih berbentuk segi tiga. Namun
perasaannya kacau, hatinya tidak enak. Dia tidak bisa memusatkan pikiran untuk mulai
bersemedi. Bendahara Kerajaan ini tersentak kaget ketika dari sudut kamar mendadak ada
suara tawa halus disusul ucapan.

“Wira Bumi, ketika hati sedang gundah dan pikiran sedang kacau yang kau butuhkan bukanlah
semedi. Tapi hiburan…”

Saat itu pula secara aneh beberapa lampu minyak yang ada dalam kamar menyala hidup
sehingga kamar besar itu menjadi terang benderang. Memandang ke sudut kamar sebelah,
Wira Bumi melihat satu sosok serba merah tegak berdiri sambil lemparkan senyum ke arahnya.

“Nyai Tumbal Jiwo!” ucap Wira Bumi dengan suara keras bergetar. Lalu dia bergerak bangun.

Yang tegak di sudut kamar besar itu memang adalah Nyai Tumbal Jiwo, guru Wira Bumi dari
alam roh! Seorang nenek berpakaian selempang kain merah, memiliki rambut merah riap-
riapan. Muka keriput, sepasang mata, gigi dan lidah semua berwarna merah!

“Nyai, kalau kedatanganmu untuk menagih janji, mohon ampun dan maafmu. Aku masih belum
dapat melaksanakan perintah. Nyi Rento Mantili dan puterinya masih belum ditemukan.”

Si nenek tertawa lebar mendengar kata-kata Wira Bumi.

“Tanah Jawa ini sangat luas. Memang tidak mudah mencari dua orang yang barusan kau
katakan itu. Aku tahu kau telah berusaha. Lagi pula kedatanganku kemari belum untuk menagih
janji. Seperti kataku tadi, kau butuh hiburan!”

Air muka Wira Bumi mengelam merah. Jantungnya berdebar. Tengkuknya langsung dingin. Dia
tahu apa yang dimaksudkan nenek muka merah itu dengan kata hiburan. Selesai berucap nenek
dari alam roh ini berjalan ke arah ranjang besar. Sambil melangkah dia gerakkan bahu dan
pinggul. Pakaiannya yang berupa selempang kain merah jatuh ke lantai. Dalam keadaan tubuh
bugil si nenek naik ke atas ranjang. Begitu dia merebahkan diri di atas tempat tidur, maka wajah
dan sosok si nenek berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita berkulit mulus.
Hanya saja payudaranya sebelah kiri kelihatan menggembung sangat besar dibanding dengan
yang sebelah kanan. Ini adalah akibat dari perkelahiannya dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Secara tak sengaja sentuhan tangan kakek sakti dari Gunung Gede itu telah membuat bengkak
payudara sebelah kiri si nenek.

“Wira, aku sangat rindu akan kehangatan tubuhmu. Apakah malam ini sampai menjelang pagi
kita bisa saling melayani?”

Ini adalah kali ke dua Nyai Tumbal Jiwo merubah ujud dirinya. Kali pertama terjadi sewaktu
Wira Bumi hendak meninggalkan Goa Girijati. Wira Bumi tak kuasa untuk menolak karena
gelora nafsu membakar dirinya. Sekarang kejadian itu agaknya akan terulang lagi. Tubuh Wira
Bumi memanas. Ketika Nyai Tumbal Jiwo pejamkan mata dan ulurkan lidahnya yang basah
merah, lelaki ini tak tahan lagi. Dia segera pula menanggalkan seluruh pakaian lalu naik ke atas
ranjang, masuk ke dalam peluk rangkul dua tangan dan dua kaki si nenek yang telah berubah
ujud menjadi perempuan cantik jelita.

***

HARI masih gelap namun lapat-lapat di kejauhan terdengar kokok ayam. Nyai Tumbal Jiwo yang
terbaring di atas tubuh Wira Bumi menggeliat. Mulutnya berbisik. “Pagi segera datang. Aku
harus segera kembali ke pekuburan.

Malam ini kau hebat sekali Wira. Aku sudah menyiapkan satu hadiah untukmu…”

“Nyai, kau tak usah melakukan hal itu. Kau tak perlu memberikan apa-apa pada saya,” kata
Wira Bumi pula sambil tangannya melingkar di atas punggung Nyai Tumbal Jiwo. “Kau sudah
memberi banyak pada saya. Ilmu kesaktian. Jabatan kedudukan. Harta…”

Si nenek yang masih dalam ujud perempuan muda cantik jelita tersenyum. “Hadiah yang aku
berikan padamu bukan berupa barang atau benda berharga. Tapi seorang anak manusia yang
aku totok dan jepit di antara pohon bambu di luar tembok gedung sebelah selatan.”

“Siapa?” tanya Wira Bumi terkejut.

“Kau lihat saja nanti. Kau bisa menanyai orang itu.

Mengorek keterangan. Setelah itu kau harus mengorek jantungnya. Kau mengerti…?”

Wira Bumi mengangguk. Si nenek perlahan-lahan turun dari atas ranjang, mengambil
pakaiannya. Lalu masih dalam keadaan bugil dia membuka jendela dan melesat lenyap keluar
kamar. Wira Bumi mencoba bangun. Namun sekujur tubuhnya terasa sangat letih. Dia terbaring
kembali. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia ingat keterangan Nyai Tumbal Jiwo tentang
seorang yang ditotok dan dijepit di antara pohon bambu. Serta merta Wira Bumi turun dari
ranjang, kenakan pakaian lalu pergi ke bagian selatan tembok gedung.

Di kawasan itu memang banyak tumbuh pohon-pohon bambu mulai dari yang kecil sampai yang
besar dan tinggi. Di salah satu rumpunan pohon bambu, dia melihat sesosok tubuh dalam
keadaan tak bergerak, terjepit di antara empat batang bambu besar. Walau sebelumnya dia
menyangka yang ada di tempat itu adalah Nyi Retno Mantili, meski kecewa namun ketika
didekati tetap saja membuat Wira Bumi terkejut. Walau keadaan masih gelap dia masih bisa
mengenali siapa adanya orang itu.

“Djaka Tua!” katanya setengah berseru. Wira Bumi lepaskan totokan di tubuh bekas
pembantunya sewaktu dia masih menjabat sebagai tumenggung dulu. Namun dia tetap
membiarkan lelaki berusia lima puluh tahun itu terjepit di antara empat batang bambu besar.
Satu hal atau perubahan yang segera dilihat Wira Bumi atas diri Djaka Tua adalah bahwa lelaki
itu tidak lagi memiliki punuk di punggungnya. Wira Bumi usap punggung Djaka Tua. “Agaknya
banyak kejadian luar biasa yang telah kau alami.”

Djaka Tua tidak menjawab hanya sepasang matanya memperhatikan dengan perasaan takut.

“Kau menculik puteriku, mencuri golok besar milikku. Kau tidak melaksanakan tugas yang
kuperintahkan! Pantas sekali kalau saat ini kau kuhabisi! Manusia keparat tidak tahu menerima
budi!” Wira Bumi hantamkan satu jotosan ke muka Djaka Tua. Walau pukulan ini tidak
mengandung tenaga dalam namun tetap saja hidung dan bibir Djaka Tua luka berdarah.

“Tumenggung…” Djaka Tua mengira kalau bekas majikannya itu masih menjabat sebagai
tumenggung. “Saya mohon kasihanmu. Ampuni selembar jiwa saya. Saya memang tidak
sanggup, tidak tega membunuh bayi tak berdosa itu. Saya…”

Wira Bumi jambak rambut Djaka Tua. “Jangan menyebut segala macam dosa! Kau bawa ke
mana bayi itu? Di mana puteriku sekarang?!” bentak Wira Bumi.

“Ampun Tumenggung. Malam itu ketika saya berada dalam sebuah goa tiba-tiba muncul
seorang kakek tinggi putih. Dia memaksa agar saya menyerahkan bayi. Saya tidak berdaya…
Bayi saya serahkan…”

“Kau tahu siapa adanya kakek itu?”

Djaka Tua menggeleng. Wira Bumi hantamkan lagi satu jotosan ke muka lelaki ini. Djaka Tua
meratap kesakitan.

“Di mana kau sembunyikan golok besar yang seharusnya kau pergunakan untuk menghabisi
bayi dan istriku?!”
“Saya… Golok itu juga diminta oleh kakek tinggi putih. Saya…”

“Kau tahu di mana beradanya puteriku dan Nyi Retno Mantili?”

“Tidak, saya tidak tahu. Saya…”

“Apakah kakek tinggi putih itu yang melenyapkan punuk di punggungmu?”

“Betul Tumenggung, dia…”

“Jabatanku sekarang adalah bendahara kerajaan! Bukan tumenggung lagi!” hardik Wira Bumi.

“Ampun Raden… Ampun tum… Bendahara kerajaan…”

“Keparat! Tutup mulutmu untuk selama-lamanya!”

Tangan kanan Wira Bumi melesat ke leher Djaka Tua. Lidah pembantu ini sampai terjulur dan
sepasang matanya mendelik. Sesaat lagi tulang leher itu akan remuk dan nyawa Djaka Tua siap
putus tiba-tiba terdengar seruan. “Kemuning! Ada orang jahat mau membunuh orang tak
berdaya. Menurutmu apakah kita pantas menolong?!”

Menyusul terdengar suara tawa cekikikan. Lalu dua larik sinar putih berkiblat.

Buummm! Buummmm!

Dua letusan menggelegar.

Tanah di akar rerumpunan bambu terbongkar. Batangbatang bambu berlesatan ke udara. Saat
itu pula ada kabut aneh muncul menutupi pemandangan. Dalam kejutnya Wira Bumi
menerjang ke depan. Namun dia tidak menemukan siapa pelaku yang melepaskan dua pukulan
sakti tadi. Bendahara kerajaan ini terbeliak besar ketika dapatkan Djaka Tua tak ada lagi di
tempat itu!

“Kurang ajar! Ada orang pandai menolong pembantu keparat itu! Aku mendengar suara dan
tawa perempuan! Dia menyebut nama Kemuning! Siapa itu?!”

“Raden Mas, saya mendengar suara letusan. Apa yang terjadi di sini?” Satu suara bertanya.
Yang muncul adalah Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung kediaman Bendahara
Kerajaan.

“Memangnya kau melihat apa?” balik bertanya Wira Bumi. “Tidak ada terjadi apa-apa di sini.
Kau bermimpi.

Pergilah…” Wira Bumi tinggalkan kepala pengawal yang kelihatan terheran-heran itu.
Namun begitu sang bendahara melangkah pergi lelaki ini geleng-geleng kepala. “Banyak
keanehan kulihat di sekitar Raden Mas Wira Bumi malam ini…” ucapnya perlahan.

***

DJAKA Tua lari terseret-seret. Dia berusaha melihat wajah perempuan bertubuh kecil yang
menarik lengannya. Tapi tak berhasil. Dia hanya bisa melihat bagian belakang orang. Pakaian
kusut dekil, rambut hitam tergerai lepas serta sebuah boneka kayu lucu terselip di bedongan
kain pada bagian punggung. Boneka kayu itu seperti tertawa menatap ke arahnya.

“Hai! Siapa kau?! Lepaskan tanganku! Kau mau membawa aku ke mana?! Berhenti! Aku tak bisa
lari secepat ini!” Djaka Tua berteriak tiada henti.

“Diam! Keadaan belum aman! Apa kau mau mati dibunuh orang tadi?!”

“Hai!” Djaka Tua seperti mengenali suara itu. Dia hendak bertanya tapi tangannya dibetot
orang. Membuat Djaka Tua terpaksa lari lebih cepat padahal nafasnya terasa mau putus. Di satu
rimba belantara perempuan bertubuh kecil lepaskan pegangannya. Djaka Tua langsung jatuh
tersungkur di tanah. Nafas megap-megap. Muka yang bengap dan luka dihajar Wira Bumi kini
berkelukuran digaruk tanah.

“Sekarang sudah aman! Kau mau bicara, malah berteriak boleh saja!”

Djaka Tua berdiri lalu balikkan badan. Ketika pandangannya membentur wajah orang, lelaki ini
langsung berteriak.

“Gusti Allah! Nyi Retno! Kau rupanya!” Djaka Tua jatuhkan diri berlutut lalu menggerung keras.
“Manusia aneh. Diajak bicara malah mewek! Anakku saja sekarang tak pernah menangis lagi!
Kemuning, lihat tua bangka cengeng itu! Lucu ya? Hik… hik… hik!”

“Nyi Retno, apa kau tidak mengenali diriku?!”

Orang yang diajak bicara menggeleng. “Kemuning, apa kau kenal orang ini?” Perempuan
bertubuh kecil yang memang Nyi Retno Mantili adanya gerak-gerakkan kepala boneka kayu
boneka ini kelihatan seperti menggelenggeleng.

“Nyi Rento, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau berkeadaan seperti ini. Saya
menyesal telah melarikan bayimu! Saya tidak tega, saya tidak sanggup membunuh anak itu…”

“Hai! Kau bicara apa? Siapa yang kau sebut Nyi Retno itu? Bayi siapa yang hendak kau bunuh?
Aku tidak pernah kehilangan bayi. Lihat ini anakku. Namanya Kemuning.”
Djaka Tua jadi terpana heran. Untuk beberapa lamanya dia tak bisa berkata-kata hanya
menatap dengan pandangan sedih. Dalam hati bekas pembantu Nyi Retno ini berkata, “Ya
Tuhan, apa yang terjadi dengan Nyi Retno?

Dia seperti tidak waras. Dia tidak mengenal diriku. Dia bahkan tidak tahu namanya sendiri.
Boneka dikatakannya anaknya.”

“Hai! Kau ini siapa? Bicaramu tadi mengapa tak karuan begitu rupa?”

“Nyi Retno, saya ini Djaka Tua, pembantumu di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi…”

“Wira Bumi. Tumenggung… siapa itu? Aku tidak kenal.”

“Ya Tuhan, perempuan ini benar-benar telah kehilangan ingatan.” Djaka Tua menelan ludahnya
berulang kali. “Nyi Retno, Wira Bumi adalah orang yang tadi hendak membunuhku…”

“Oh itu. Mengapa dia mau membunuhmu?”

“Karena saya melarikan bayimu. Saya dituduh menculik. Padahal saya menyelamatkan bayi itu.
Tumenggung memerintahkan saya membunuh bayimu. Juga membunuh Nyi Retno sendiri.”

“Hik… hik… hik! Lucu juga ceritamu…”

“Nyi Retno, kau sungguh tidak mengenal diriku? Tidak mengenal Wira Bumi yang suamimu itu.
Kau tidak ingat masa lalumu?!”

“Ihh! Enak saja kau menyebut Wira Bumi suamiku! Jangan bicara ngacok!” Nyi Retno lalu
angkat tinggi-tinggi boneka kayu yang dibawanya. “Anakku Kemuning, apa ayahmu bernama
Wira Bumi?” Nyi Retno lalu goyanggoyangkan kepala boneka. “Kau lihat sendiri. Anakku

menggelengkan kepala. Dia tidak pernah punya ayah bernama Wira Bumi!”

Djaka Tua tepuk keningnya sendiri. Pembantu ini hampir putus asa. Tak tahu mau bicara apa
lagi. Dia menatap boneka kayu di tangan Nyi Retno. “Anakmu itu cantik dan lucu sekali.
Namanya Kemuning?” Nyi Retno tertawa lalu anggukkan kepala.

“Ah, agaknya aku harus bicara menurut perasaan hati dan nalurinya. Kalau tidak tak akan
menyambung,” kata Djaka Tua dalam hati. “Den Ayu, berapa umur anakmu?”

“Satu tahun lebih. Apa kau sudah punya anak?”

Djaka tua menggeleng. “Aku belum pernah kawin.” jawabnya polos.


Nyi Retno tertawa gelak-gelak. “Sudah setua ini belum kawin. Apa kau takut kawin atau tidak
ada perempuan yang kau suka?”

“Dulu ada cacat berupa punuk di punggungku. Belum lama ini ada seorang sakti
menyembuhkan. Bayi Den Ayu saya serahkan padanya. Katanya dia akan menjaga dan merawat
baik-baik…”

“Aku tak pernah kehilangan bayi. Lihat, anakku Kemuning masih ada di sini!” kata Nyi Retno
sambil senyum dan dekapkan boneka kayu ke dadanya. “Hai, tadi kau cerita tentang punuk di
punggungmu. Ah, punuk itu rupanya yang membuatmu sial. Padahal kawin tidak perlu pakai
punuk! Hik… hik… hik.” Habis tertawa Nyi Retno bertanya. “Apa tempat kau hendak dibunuh
tadi itu terletak di kotaraja?”

“Betul sekali Nyi Ret… eh Den Ayu. Apa Den Ayu tidak ingat lagi pada gedung besar kediaman
Den Ayu sewaktu menjadi… maksud saya sewaktu tinggal di gedung Tumenggung?”

Nyi Retno Mantili gelengkan kepala. Dia tampak berpikir-pikir lalu bertanya. “Bagaimana kau
bisa berada dalam keadaan ditotok dan terjepit pohon bambu?”

“Seorang nenek bernama Nyai Tumbal Jiwo menangkapku. Aku ditotok, dibawa ke kotaraja.
Dijepit di pohon bambu di belakang gedung kediaman Wira Bumi. Nenek itu adalah guru Wira
Bumi.”

“Kau berbuat dosa apa sampai orang memperlakukanmu seperti itu.”

“Saya sudah menceritakan tadi. Saya dituduh menculik dan menyelamatkan bayi. Padahal saya
diperintahkan untuk membunuh bayi itu.”

“Kemuning, nasibmu jauh lebih baik. Tidak ada orang yang ingin menculikmu. Apalagi mau
membunuhmu. Nah, nak. Sebentar lagi hari akan segera siang. Baiknya kita pergi dari sini.”

“Nyi… Den Ayu, tunggu. Kau mau ke mana?”

“Aku mau membawa anakku jalan-jalan. Udara pagi sangat baik bagi anak-anak.”

“Den Ayu, kalau boleh, saya mau ikut ke mana kau pergi.”

“Hemm… Aku curiga ada niat jahat dalam benakmu!”

“Demi Tuhan! Saya bersumpah tidak ada niat jahat di benak dan hati saya. Kalau boleh saya
bersedia menjadi pengasuh Kemuning.”

“Siapa namamu?”
“Djaka Tua. Saya…”

“Djaka Tua, aku tidak mau ketentraman diriku dan anakku terganggu orang lain. Pergi ke mana
kau suka. Jangan berani mengikutiku.” Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili melangkah pergi.
Gerakan kakinya perlahan saja. Namun hanya dua kali kejapan mata sosoknya lenyap dari
pemandangan.

Djaka Tua menghela nafas panjang. Hatinya sedih dan kecewa. “Dia menyelamatkan diriku dari
kematian di tangan Wira Bumi. Aku sampai tidak sempat mengucapkan terima kasih. Tapi
sedihnya dia tidak mengenali diriku. Tidak mengenali suaminya sendiri. Dulu dia seorang
perempuan halus. Kini memiliki kesaktian luar biasa. Otaknya tidak waras. Sangat berbahaya
seorang berotak miring memiliki kesaktian hebat. Dia senang kalau diajak bicara tentang
anaknya. Mungkin satu-satunya cara menyembuhkan penyakit jiwanya adalah dengan
mempertemukan dirinya dengan bayinya yang hilang itu. Tapi di mana aku bisa menemukan
lagi kakek serba putih di goa tempo hari itu?” Tanpa tujuan akhirnya Djaka Tua tinggalkan hutan
kecil di pinggiran timur kotaraja itu.

Ketika sang surya akhirnya muncul di timur, Djaka Tua telah jauh dari kotaraja. Di satu jalan
setapak, langkah bekas pembantu di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi ini mendadak
terhenti. Di depan sana dilihatnya Nyi Retno Mantili duduk di atas sebuah batu, asyik
bermainmain dengan boneka kayu yang dianggapnya sebagai anak sendiri dan diberi nama
Kemuning. Djaka Tua hentikan langkahnya lalu duduk di tanah, tak berapa jauh dari Nyi Retno.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya Nyi Retno memalingkan kepala, memandang
kepadanya.

“Manusia bernama Djaka Tua! Mengapa kau muncul di sini. Rupanya kau sengaja mengikuti
diriku dan Kemuning!”

“Maaf Den Ayu, hanya satu kebetulan saja saya menempuh jalan ini. Saya tidak tahu kalau Den
Ayu dan Kemuning ada di sini. Kalau Den Ayu tidak suka kehadiran saya, mohon maaf. Baiknya
saya pergi saja.”

Nyi Retno Mantili memandang ke langit. Tanpa berpaling pada Djaka Tua dia bertanya, “Kau
sungguhan mau mengasuh Kemuning?”

“Apakah…”

Nyi Retno tersenyum. Dia ulurkan boneka kayu pada Djaka Tua yang segera disambut dan
digendong oleh Djaka Tua seperti menggendong anak sungguhan.

“Ah, anak itu tidak menangis. Berarti dia suka padamu.” Kata Nyi Retno pula.

“Syukurlah Kemuning senang pada saya,” kata Djaka Tua pula.


“Jaga dia baik-baik. Kalau sampai kenapa-kenapa kubuat benjut kepalamu!”

“Nyi Retno tak perlu khawatir. Saya akan menjaga Kemuning seperti anak sendiri.”

“Kau bilang belum pernah punya istri. Berarti tidak pernah punya anak. Sekarang bagaimana
kau bisa berkata mau merawat Kemuning seperti anakmu sendiri? Hik… hik…”

Djaka Tua tertawa. Dia merasa senang. Meski tidak waras ternyata Nyi Retno masih bisa
berseloroh.

“Nyi Retno…”

“Djaka Tua, kau terus-terusan memanggilku Nyi Retno. Aku tidak suka nama itu! Lagi pula
namaku bukan Nyi Retno!”

“Maafkan saya Nyi… Den Ayu…” kata Djaka Tua perlahan. Hati pembantu ini sedih sekali. Kalau
saja dia bisa melakukan sesuatu untuk menyembuhkan penyakit jiwa majikannya itu, pasti akan
dilakukannya sekalipun dia diminta untuk mengorbankan nyawa.

“Matahari mulai menyengat. Tudungi Kemuning dengan kain ini. Aku mendengar ada suara
kuda dipacu. Mungkin orang-orang dari gedung di kotaraja itu. Kita harus segera menyingkir
dari sini. Ayo!”

***

10

PUNCAK Gunung Merapi, malam gelap tanpa rembulan tiada bintang. Angin bertiup kencang
dan dingin dari arah selatan. Lapat-lapat terdengar raungan srigala hutan di kejauhan lalu
kesunyian kembali mencekam.

Namun tidak lama. Tiba-tiba ada suara gemuruh. Entah dari mana datangnya sebuah gundukan
batu besar menggelinding di lereng gunung sebelah barat. Merambas semak belukar,
menumbangkan beberapa pohon besar dan akhirnya amblas masuk ke dalam satu kali kecil
berair dangkal.

Ketika batu besar menggelinding, seorang berjubah kelabu berkelebat di udara. Sesekali orang
ini jejakkan kakinya di batu yang menggelinding. Tubuh melesat ke udara. Setiap kali turun dia
kembali jejakkan kaki di batu besar. Begitu seterusnya sampai batu besar hitam itu masuk dan
berhenti menggelinding di sebuah kali kecil.

Di atas batu orang tadi berdiri tegak. Kepala mendongak langit. Mata mendelik besar. Dua kaki
direnggangkan. Dua tangan diangkat tinggi-tiggi ke udara. Telapak tangan terbuka, lima jari kiri
kanan terpentang rapat dan lurus. Dari mulutnya kemudian menggelegar teriakan keras.
“Guru Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku muridmu Pangeran Matahari. Pangeran Segala
Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Pesan melalui mimpi sudah aku
laksanakan! Saat ini aku sudah berdiri di atas batu perut bumi Gunung Merapi. Saat ini juga aku
akan segera melakukan tapa Aras Langit Aras Bumi! Aku mohon pada malam Jum’at Kliwon
mendatang rohmu sudi datang untuk memberi petunjuk! Banyak manusia jahanam di muka
bumi ini yang telah mencelakai dan menyengsarakan diriku! Aku ingin pembalasan! Aku ingin
petunjuk dan bantuan dari Guru!”

Sunyi. Lalu di kejauhan kembali terdengar srigala hutan meraung panjang. Lelaki tinggi besar
berjubah kelabu hantamkan tumit kaki kanannya dua kali berturut-turut ke atas permukaan
batu.

Dess! Desss!

Batu besar hitam meledak membentuk cegukan. Perlahan-lahan Pangeran Matahari rendahkan
tubuh lalu duduk bersila di dalam cegukan batu. Dua lengan disilang di depan dada. Masing-
masing tangan ditumpangkan di atas bahu kiri kanan. Kepala yang mendongak perlahanlahan
diturunkan dan bersamaan dengan itu sepasang mata dipejamkan.

***

MALAM Jum’at Kliwon. Udara di Puncak Gunung Merapi dingin bukan kepalang. Apalagi hujan
gerimis mulai turun dan tiupan angin sangat kencang. Ketika malam sampai di pertengahannya,
di kejauhan terdengar raungan panjang srigala hutan. Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran
Matahari yang duduk bertapa di atas cegukan batu besar yang setengah tenggelam dalam kali
kecil kelihatan bergetar. Tubuh itu menggigil seperti diselimuti es. Rahang sang Pangeran
menggembung. Geraham bergemeletakan. Dari mulut dan hidung mengepul keluar asap
kemerahan!

Cukup lama berada dalam keadaan seperti itu, dari arah langit sebelah timur muncul sebentuk
kabut aneh, berputar melayang ke arah kali kecil. Bersamaan dengan itu muncul dua mata
membersitkan cahaya biru. Seekor srigala coklat berdiri di pinggiran kali, lalu duduk di kedua
kaki belakangnya, menatap ke arah batu besar di tengah kali.

Getaran tubuh Pengeran Matahari semakin keras. Batu besar di mana dia duduk ikut
bergoyang. Kabut aneh di atas kali bertambah dekat, lalu mengapung diam sejarak tujuh
langkah dari hadapan batu besar. Saat demi saat kabut ini berubah membentuk sosok samar
manusia.

Sedikit demi sedikit sosok samar ini bertambah jelas dan akhirnya menampilkan ujud seorang
kakek bungkuk, berpakaian rombeng, memiliki rambut putih sepunggung.
Yang menggidikkan dari manusia ini adalah mukanya yang sangat pucat dihias sepasang mata
besar cekung dan mulut pencong perot. Manusia dari alam roh ini bukan lain adalah ujud
jejadian dari Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari yang menemui ajal
sewaktu terjadi pertempuran hebat antara para tokoh silat golongan hitam melawan golongan
putih di Pantai Pangandaran. Si Muka Bangkai tewas di tangan pendekar gendut yang dalam
rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti (Baca serial Wiro
Sableng berjudul “Kiamat Di Pangandaran”).

Si Muka Bangkai menatap ke arah Pangeran Matahari yang bersila di atas batu, berpaling pada
srigala yang duduk di tepi kali lalu, klik! Dia jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan.

“Pergilah! Aku berterima kasih kau telah menuntunku ke tempat ini!”

Srigala coklat tinggikan kepala, meraung panjang lalu tinggalkan tempat itu. Si Muka Bangkai
memandang kembali ke arah muridnya.

“Pangeran Matahari! Aku datang sesuai perjanjian dalam mimpi. Rohku cukup susah
mencarimu. Wajahmu tertutup topeng setan bersambung rambut palsu warna kelabu.
Pakaianmu tidak lagi berwarna hitam tapi sehelai jubah abu-abu! Untung ada makhluk bernama
srigala itu menuntunku ke sini. Mana mantel hitammu?! Apa yang terjadi dengan dirimu?! Aku
ragu, apakah aku benar-benar berhadapan dengan Pangeran Matahari putera Raja Surokerto
dari istri ke tiga bernama Raden Ayu Siti Hinggil?”

Mendengar suara sang guru, getaran di tubuh Pangeran Matahari lenyap. Sepasang matanya
yang selama tujuh hari tujuh malam selalu terpejam, perlahan-lahan terbuka. Lalu dia turunkan
dua tangan yang bersilang di bahu.

“Guru!” Pangeran Matahari berseru lalu berdiri dan membungkuk dalam-dalam. “Aku adalah
muridmu, Pangeran Matahari. Aku mohon maafmu. Kesengsaraan telah membuat diriku
kehilangan banyak hal dan terpaksa berprilaku aneh…” Habis berkata begitu Pangeran Matahari
buka topeng tipis yang membungkus kepala dan rambutnya, menanggalkan jubah abu-abu
hingga kini dia berdiri di atas batu hanya mengenakan secarik kancut hitam.

Si Muka Bangkai perhatikan wajah asli dan tubuh muridnya dengan sepasang mata cekung tak
berkesip. Kulit mukanya tampak semakin pucat. Memandang wajah sang murid yang cacat
membuat dia mengernyit. Dia juga melihat ada bekas cidera pada lengan kiri sang Pangeran.
Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng “Kiamat Di Pangandaran” terjadi perkelahian
hebat antara Pangeran Matahari dengan Wiro. Keduanya jatuh ke dalam jurang.

Pada saat melayang jatuh Wiro sempat menghajar lawan dengan pukulan berantai. Hidung dan
mulut Pangeran Matahari hancur. Pipi kiri remuk, mata kiri luka parah melesak ke dalam.
Pangeran Matahari jatuh ke dalam jurang yang kemudian diselamatkan oleh seorang sakti
penghuni Jurang Teluk Pananjung bernama Singo Abang. Wiro sendiri ditolong oleh Dewa Tuak.
“Melihat mukamu yang hancur-hancuran begini rupa, tidak heran kalau kau benar-benar
menginginkan kematian Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek keparat bernama Sinto
Gendeng itu!”

“Guru, penderitaanku lebih dari sebuah dendam.”

“Aku mengerti. Aku melihat cacat di lengan kirimu. Ada bekas sambungan pada tulang dan
daging. Siapa yang punya pekerjaan?”

“Panjang kisahnya. Apakah Guru mau mendengarkan?”

“Bicaralah. Kalau perlu sampai pagi. Yang penting kau telah menyelesaikan tapa Aras Langit
Aras Bumi.” jawab Si Muka Bangkai sambil sunggingkan senyum di mulutnya yang perot.
Sampai saat itu sosoknya berdiri mengapung di udara di atas kali kecil.

Pangeran Matahari memulai ceritanya dari rencana menguasai rimba persilatan tanah Jawa
dengan pendirian Partai Bendera Darah yang berpusat di 113 Lorong Kematian. Rencana itu
sekaligus untuk mengatur jebakan maut bagi musuh bebuyutannya yaitu Pendekar 212 Wiro
Sableng. Namun rencana itu menemui kegegalan bahkan bukit batu di mana 113 Lorong
Kematian berada kemudian diruntuh-musnahkan oleh Bunga, gadis sakti dari alam roh.

“Sebelum 113 Lorong Kematian musnah, aku bertemu dengan seorang pemuda yang muka dan
sekujur tubuhnya berwarna kuning. Dia adalah salah seorang kawan Pendekar 212 yang ikut
menyerbu ke dalam lorong. Aku menyirap kabar kalau manusia satu ini makhluk dari alam lain
yang terpesat ke bumi. Saat kutemui dia berada dalam keadaan tidak berdaya di tepi telaga.
Ketika hendak kuhabisi muncul makhluk perempuan berbentuk bayangan menolong. Aku tak
berdaya menghadapinya. Dia berhasil membawa lari pemuda berkulit kuning itu. Saat itu aku
merasa putus asa. Aku merasa seperti tidak punya kesaktian apa-apa lagi. Menghadapi makhluk
bayangan itu saja aku tidak punya kemampuan. Aku khawatir semua ilmu kesaktian yang aku
dapat dari Guru telah ikut musnah…”

“Tidak, semua ilmu yang aku berikan padamu masih ada dalam dirimu. Hanya ilmu sedotan
yang kau dapat selama dalam lorong telah terkuras musnah.” kata Si Muka Bangkai pula.

“Guru, aku mohon petunjukmu, siapa gerangan adanya makhluk bayangan itu. Bagaimana
caranya aku bisa mengalahkannya. Aku punya firasat akan menemuinya kembali.”

Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada. Tubuh doyong membungkuk ke depan.
Mata dipejam. Sesaat kemudian dia luruskan badan dan buka dua matanya yang cekung.

“Makhluk perempuan berbentuk bayangan itu memiliki tabir aneh yang hanya sedikit sekali
bisa kutembus.
Mungkin dia punya hubungan dekat dengan pemuda berkulit kuning itu. Aku punya dugaan
mereka sama-sama datang dari alam lain yang terpisah beratus-ratus tahun dari alammu
sekarang. Namun antara keduanya terdapat perbedaan. Mungkin sekali perempuan bayangan
itu telah mengalami kematian di alamnya…”

“Berarti dia adalah makhluk alam roh seperti Guru. Juga seperti Bunga gadis jahanam
menghancurkan lorong. Karena sama-sama berada di alam roh, bukankah mudah saja bagimu
untuk menghabisi kedua perempuan itu?” Si Muka Bangkai menyeringai.

“Alam roh berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Mungkin lebih dari seratus tingkat. Tidak mudah
masuk ke lapisan atau tingkatan lain. Tapi jika mereka gentayangan di muka bumi ini, tidak
mustahil aku bisa menemui dan melabraknya. Akan aku bereskan mereka satu persatu.

Makhluk perempuan bayangan itu akan aku selesaikan lebih dulu karena aku melihat dia yang
paling berbahaya bagi masa depanmu ketimbang Wiro Sableng!”

“Terima kasih, tidak sia-sia aku punya guru sepertimu.” ucap Pangeran Matahari memuji yang
disambut dengan tawa mengekeh oleh Si Muka Bangkai. Kakek ini tahu kalau kata-kata
muridnya itu hanya basa basi kecerdikan belaka. “Pangeran, hanya itukah yang ingin kau
tanyakan padaku?”

“Banyak, masih banyak hal lainnya,” jawab Pangeran Matahari. “Semasa Guru hidup dulu,
apakah Guru pernah mendengar riwayat sebuah kitab sakti Kitab Seribu Pengobatan? Ada
kabar bahwa kitab itu dicuri orang. Kalau Guru bisa membantu memberi tahu di mana
beradanya, aku sangat menginginkan kitab itu.”

Kembali Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada lalu picingkan mata. “Aku
melihat bayangan samar di satu tempat. Ada keperluan apa kau menginginkan kitab itu?”

“Maaf Guru, aku tidak mungkin mengatakan mengapa aku menginginkan kitab itu.”

“Kalau begitu aku juga tidak mungkin memberi tahu di mana beradanya kitab itu.” kata Si Muka
Bangkai pula dengan senyum sinis di wajah.

Pangeran Matahari terdiam. Hatinya jengkel. Diam-diam dia memaki dalam hati. Namun dia
tidak bisa berbuat lain.

Maka diapun memberi penuturan. “Sewaktu menyelamatkan diri dari lorong, di satu tempat tak
terduga aku memergoki Bidadari Angin Timur. Kelihatannya dia sedang kacau pikiran karena
ketika kutemui dia dalam keadaan menangis. Aku pergunakan kesempatan. Setelah kutotok aku
siap untuk memperkosanya. Tapi nasib sial menimpaku. Ada manusia keparat memberi
pertolongan.
Dia membokongku dengan satu pukulan sakti berupa sinar merah. Serangan itu nyaris
membabat putus batang kemaluanku. Aku pergi menemui seorang ahli pengobatan bernama Ki
Tambakpati. Dia bisa menyambung kembali kemaluanku yang putus namun memberi tahu
bahwa sebagai laki-laki aku akan kehilangan kejantananku. Satu satunya penyembuhan yang
bisa dilakukan adalah dengan mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Guru, aku inginkan kitab
itu. Aku juga ingin tahu siapa bangsatnya yang telah mencelakaiku!”

Si Muka Bangkai menyeringai. Mata kembali dipejamkan. Sesaat kemudian kakek bermuka
pucat seperti mayat ini berkata, “Agaknya yang mencelakaimu adalah orang dari alam yang
sama dengan perempuan bayangan itu. Bedanya di dalam alamnya orang ini masih hidup. Dia
memiliki satu keanehan. Sulit bagiku untuk melihat jelas karena dia punya dinding penyekat
terhadap alam roh di mana aku berada. Kelak jika aku bisa menemukan perempuan bayangan,
manusia satu itu akan bisa juga aku ketahui siapa dia adanya.”

“Lalu tentang Kitab Seribu Pengobatan?” tanya Pangeran Matahari pula.

Masih dalam memejamkan mata dan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Si Muka
Bangkai menjawab, “Penglihatan samarku menyatakan kitab itu ada di puncak Gunung Gede.
Terpendam di lantai tanah pondok kediaman Sinto Gendeng. Pondok itu ini tampak sama rata
dengan tanah. Sesuatu telah terjadi di sana. Jika kau menginginkan kitab itu cepat pergi ke sana
karena dalam waktu singkat berita tentang keberadaan kitab itu di bekas tempat kediaman
Sinto Gendeng akan bocor ke mana-mana. Aku melihat, selain dirimu ada beberapa orang lain
yang menginginkan kitab itu.”

“Guru adalah aneh,” ucap Pangeran Matahari pula.

“Sinto Gendeng dan Wiro Sableng menyatakan kitab itu lenyap dicuri orang. Bagaimana
sekarang ternyata masih ada di tempat kediaman Sinto Gendeng?”

“Bisa saja kedua orang itu menebar berita bohong dengan maksud mengelabuhi. Biar nyata kau
harus pergi ke Gunung Gede, menyelidiki dan dapatkan kitab itu.”

“Akan aku lakukan, Guru.” jawab Pangeran Matahari.

“Pangeran, di alam roh aku menyirap banyak terjadi peristiwa perkosaan disertai pembunuhan
belakangan ini. Konon pelakunya disebut dengan nama Hantu Pemerkosa. Berat dugaanku
orang itu adalah kau. Benar?!” Si kakek pencongkan mulut dan delikkan mata.

Pangeran Matahari tertawa lebar. “Aku hanya ingin menguji bahwa Ki Tambakpati tidak
menipuku.”

“Maksudmu?”
“Bahwa akibat cidera di kemaluanku aku akan kehilangan kejantanan, kecuali jika mendapat
pengobatan yang ada petunjuknya dalam Kitab Seribu Pengobatan.”

“Apakah kau berhasil membuktikan kebenaran ucapannya?”

“Juru obat itu tidak berdusta. Aku tidak mampu memperdayakan kejantananku.”

“Lalu mengapa semua perempuan korbanmu mengalami kerusakan pada bagian


keperempuanannya?”

tanya Si Muka Bangkai dengan mata besar memandang tak berkesip.

“Aku mempergunakan jari-jari tanganku,” jawab Pangeran Matahari enteng saja.

Si Muka Bangkai dalam masa hidupnya jauh lebih keji dari sang murid. Namun mendengar
keterangan Pangeran Matahari kakek ini hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Jika tidak ada hal lain, aku akan segera pergi…”

“Guru, tunggu. Aku ingin kau memberi petunjuk tentang dua orang perempuan aneh yang telah
menyerangku.

Pertama seorang perempuan muda bertubuh kecil berotak miring yang membawa boneka kayu
perempuan. Ketika aku hendak memperkosanya dia menyerang dengan dua larik cahaya putih
yang keluar dari mata boneka. Aku menderita luka dalam cukup parah. Di lain saat pada
kejadian dan tempat yang sama muncul seorang nenek berwajah putih. Dia menuduhku sebagai
Hantu Pemerkosa.

Aku menyerangnya dengan satu pukulan sakti tapi dia balas menghantam dengan satu sinar
biru yang membuat buntung tangan kiriku. Guru, yang luar biasa sinar biru itu keluar dari pusar
nenek bermuka putih. Entah ilmu gila apa yang dimilikinya. Aku terpaksa lari menyelamatkan
diri. Aku ingin tahu apakah nenek muka putih itu merupakan orang yang sama dengan
perempuan muda berotak miring yang membawa boneka. Jika tidak siapa mereka? Aku yakin
nenek muka putih akan terus menguntit ke mana aku pergi. Guru, aku mohon petunjuk
bagaimana untuk menghadapi mereka.”

Untuk kesekian kalinya Si Muka Bangkai merenung dengan cara bersidekap lengan dan
pejamkan mata. Sekali ini cukup lama baru dia membuka mata dan berkata, “Perempuan
sinting pembawa boneka punya kaitan dengan seorang pejabat tinggi kerajaan dan seorang
tokoh silat yang tidak dapat aku sirap siapa adanya dan di mana keberadaannya. Kau tak usah
mengkhawatirkan perempuan satu ini, tapi karena kau sudah menjatuhkan niat jahat sebaiknya
untuk sementara menghindari dengannya. Petinggi kerajaan itu aku sirapi memiliki hubungan
dengan seorang nenek sakti, jahat dan mesum yang juga telah berada di alam roh. Aku
berharap kau tidak akan bertemu dengan nenek ini karena sekali dia melihatmu kau bisa
dijadikannya budak nafsu. Mengenai perempuan yang punya ilmu kesaktian berupa cahaya
maut biru yang bisa keluar dari pusarnya, dia adalah seorang pendatang baru rimba persilatan
tanah Jawa. Kau harus sangat berhati-hati terhadapnya. Aku coba menembus melihat siapa
dirinya tapi ada pelindung berkepandaian tinggi menghalangi. Ada sebentuk lingkaran merah di
sekitar tubuh perempuan ini. Kalau aku tidak keliru perempuan ini dipanggil dengan nama Nyai
atau Nyi Bodong. Kehadirannya sangat berbahaya bagi semua kawan golongan hitam termasuk
dirimu…”

“Guru aku ingin petunjukmu lebih lanjut! Aku tidak ingin mati mengenaskan di tangan
perempuan bernama Nyi Bodong itu sebelum membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Si Muka Bangkai menghala nafas panjang lalu berkata, “Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi
sebelah utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di sana kau akan menemukan seperangkat
pakaian yang harus kau pakai begitu kau turun gunung. Di dalam goa kau akan menemukan
sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi dengan minyak kasturi ini.” Dari balik
pakaian rombengnya Si Muka Bangkai keluarkan sebuah tabung terbuat dari bambu. Tabung
bambu ini dilemparkan ke arah Pangeran Matahari yang segera ditangkap oleh sang murid. Si
Muka Bangkai lanjutkan ucapannya, “Pada dinding goa kau akan melihat guratan tulisan yang
aku buat sebagai petunjuk penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara sampai
keadaan aman bagimu, kau hanya boleh menampakkan diri pada malam hari. Demi
keselamatanmu kau harus membawa dan menyalakan lentera itu ke manapun kau pergi. Kau
harus sadar musuhmu kini bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak orang lain
yang menginginkan nyawamu!

Sebelum aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baikbaik. Lentera yang aku katakan tadi
sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau air yang keluar dari tubuh
manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing bahkan air mani! Ha… ha… ha…! Pokoknya
semua air yang berasal dari tubuh manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar kau akan
ditimpa malapetaka besar!”

“Aku akan ingat baik-baik pantangan itu, Guru. Apakah aku masih boleh mengenakan topeng
muka setan dan rambut palsu kelabu ini?”

“Pergilah ke goa di puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau lakukan. Satu hal
harus kau ingat. Selesai membaca dan memahami guratan tulisanku di dinding goa, tulisan itu
harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan! Kau mengerti?!”

“Aku mengerti, Guru. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas semua petunjuk dan budi
baikmu.”

Si Muka Bangkai menyeringai. “Pertemuan kita cukup sampai di sini. Aku akan kembali ke
alamku. Kau tidak bisa memanggilku lagi sampai tiga ratus hari di muka. Aku pergi.”
Sosok Si Muka Bangkai perlahan-lahan berubah menjadi asap samar, berputar beberapa kali di
atas kali sementara di kejauhan terdengar suara raungan srigala. Murid Si Muka Bangkai
merasa tubuhnya bergetar menggigil. Keadaan ini baru lenyap begitu asap samar
membumbung ke udara dan lenyap dalam kegelapan malam.

Pangeran Matahari perhatikan tabung bambu yang tadi diberikan Si Muka Bangkai. Kayu
penyumpal tabung dibukanya. Tempat itu serta merta ditebari harumnya bau minyak kasturi.

“Minyak aneh…” ucap Pangeran Matahari perlahan.

“Lenteranya pasti lebih aneh lagi. Guru geblek! Apakah tidak ada benda lain yang bisa
diberikannya padaku selain lentera itu?! Edan!”

Sang Pangeran bangkit berdiri. Dia cepat kenakan jubah kelabu, topeng setan dan rambut palsu
lalu menghambur ke arah utara. Yang dilakukannya saat itu juga adalah segera pergi ke puncak
Gunung Merapi sesuai petunjuk gurunya Si Muka Bangkai.

***

HANYA beberapa saat saja setelah Pengeran Matahari tinggalkan kali kecil satu bayangan
berkelebat di kegelapan malam. Orang ini memperhatikan ke arah batu besar lalu dongakkan
kepala menghirup udara malam.

“Jelas dia ada di tempat ini sebelumnya. Ke mana perginya? Aku mencium bau harum aneh.
Setahuku manusia terkutuk itu tidak pernah memakai wewangian.”

Orang ini memandang berkeliling. “Ada sisa-sisa kabut dalam selubung wangi kasturi.” Sekali
lagi orang ini mendongak menghirup udara malam. Kali ini disertai pengerahan tenaga dalam.
Mulutnya bergumam. Sepasang mata membesar. “Hantu Pemerkosa. Kau meninggalkan dan
membawa bau yang menjadi pangkal celaka bagi dirimu! Kau tengah menuju ke utara! Aku tahu
ke mana tujuanmu.”

Tanpa menunggu lebih lama orang ini segera berkelebat ke arah utara yakni arah perginya
Pangeran Matahari setelah pertemuan dengan gurunya Si Muka Bangkai tadi. Namun tak
terduga, satu bayangan laksana angin memotong larinya. Di dalam gelapnya malam makhluk ini
membentuk sosok samar seorang kakek bertubuh bungkuk yang sulit dikenali.

“Makhluk keparat! Siapapun kau adanya jangan berani berlaku kurang ajar menghalangi
langkahku!”

“Aku memperingati, kau malah tertawa melecehkan! Jika kau makhluk jejadian maka rohmu
akan menemui kematian untuk kedua kalinya! Kau tak akan bisa lagi gentayangan. Rohmu akan
tergantung antara langit dan bumi!”
Habis berkata bergitu orang di tepi sungai angkat tangan kiri ke atas. Telapak tangan diarahkan
pada makhluk samar. Lima jari terpentang lurus. Dari mulut orang ini kemudian keluar suara
raungan menggidikkan disusul suara tawa cekikikan, panjang dan angker. Ketika lima jari
membuat gerakan meremas, tangan kanan bergerak menyibak baju. Perut putih tersingkap
menyembulkan pusar bodong menonjol. Luar biasa!

Wusss!

Dari pusar bodong itu melesat keluar satu cahaya biru pekat menyilaukan, menyambar ke arah
bayangan samar sosok kakek bungkuk.

“Nyi Bodong!” Makhluk samar ternyata bisa keluarkan jeritan keras.

Lalu, buummm!

Sosok samar melolong dahsyat seolah menembus langit malam. Ujudnya cabik-cabik,
bertebaran dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Anehnya di tempat bekas lenyapnya sosok
samar tadi kini tergelimpang tubuh seekor srigala dalam keadaan tercabik-cabik mulai dari
kepala sampai ke ekor dan mengepulkan asap berbau busuknya bangkai!

Orang di tepi kali yang ternyata seorang nenek berwajah putih rapikan rambutnya yang panjang
hitam riap-riapan lalu setelah keluarkan suara mendengus dia berkelebat ke arah utara.

TAMAT

Eps 145 Lentera Iblis

1PAGI ITU Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata baru saja selesai sarapan. Dia akan segera
berangkat menuju Keraton untuk menemui Sri Baginda. Banyak hal penting yang akan
dibicarakan. Salah satu diantaranya menyangkut gerakan orang-orang yang menamakan diri
dan mengaku berasal dari Keraton Kaliningrat. Saat keluar dari ruang makan seorang pengawal
datang memberi tahu bahwa Danang Kaliwarda, kepala pengawal Gedung Bendahara ingin
menghadap.

“Danang Kaliwarda…..” Patih Kerajaan menyebut nama itu. “Aku pernah melihatnya beberapa
kali. Tapi tak pernah bertegur sapa. Pengawal, apa kau tanyakan maksud kedatangannya?”

“Memang ada saya tanyakan. Katanya ada hal sangat penting ingin disampaikan. Namun dia
hanya mau bicara langsung dengan Kanjeng Patih,” menerangkan pengawal Gedung Kepatihan.

Setelah berpikir sebentar Patih Kerajaan akhirnya berkata pada pengawal. “Aneh juga. Kalau
ada sesuatu urusan penting seharusnya Bendahara Wira Bumi yang datang menghadap. Kepala
Pengawal itu datang seorang diri atau ada yang menemani?”
“Dia datang seorang diri, Kanjeng Patih.”

“Baiklah, suruh dia menunggu di pendopo sebelah timur. Suguhkan kopi jika dia belum sarapan.
Aku akan segera menemuinya.”

Gedung Kepatihan memiliki dua buah pendopo.

Pendopo besar di sebelah barat, pendopo ke dua di sebelah timur, lebih kecil dan memiliki dua
dinding penutup terbuat dari papan jati berukir pemandangan gunung Merapi. Di tempat ini
Patih Kerajaan biasanya menemui tamu-tamu tertentu.

Danang Kaliwarda yang duduk bersila di lantai batu pualam bersih dan licin berkilat cepat-cepat
berdiri begitu Patih Sawung Giring Bradjanata muncul, melangkah menaiki anak tangga
pendopo timur.

“Hormat untuk Patih Kerajaan. Saya Danang Kaliwarda, Kepala Pengawal Gedung Bendahara.”
Danana Kaliwarda berucap lalu membungkuk dalam-dalam.

Patih Kerajaan menyilahkan tamunya duduk kembali.

Keduanya kemudian bersila berhadap-hadapan. Seorang pelayan datang menating secangkir


kopi hangat, diletakkan di depan Danang Kaliwarda.

“Danang Kaliwarda, waktuku tidak banyak karena harus segera menghadap Sri Baginda.
Ceritakan apa maksud kedatanganmu. Apakah Bendahara Wira Bumi yang mengutusmu datang
menghadapku? Sebelum kau menjawab silahkan meneguk kopi lebih dulu.”

“Terima kasih Kanjeng Patih. Saya minum.” Selesai meneguk kopi hangat Kepala Pengawal
Gedung Bendahara itu meluruskan duduknya lalu berkata. “Kanjeng Patih, saya mohon maaf
kalau kedatangan saya begini mendadak, apa lagi sampai mengganggu dan menyita waktu
Kanjeng Patih. Saya datang dengan kemauan sendiri. Tidak diutus oleh Raden Mas Wira Bumi.”

Sawung Giring Brajanata mengangguk. “Langsung saja pada maksud kedatanganmu.”

“Saya datang untuk menyampaikan satu hal yang sangat rahasia, Kanjeng Patih.”

Patih Kerajaan angkat kepala sedikit, dua mata menatap lekat-lekat ke wajah tamunya. “Satu
hal yang sangat rahasia katamu. Bagiku ini agak mengejutkan. Hal sangat rahasia macam apa?
Menyangkut pribadi atau ada hubungannya dengan Kerajaan?”

“Dua-duanya, Kanjeng Patih,” jawab Danang Kaliwarda. “Terlebih dulu saya mohon maaf.
Kejadiannya berlangsung kemarin malam. Terjadi di halaman belakang gedung kediaman
Kanjeng Bendahara. Semula saya merasa bimbang apakah akan memberitahu hal ini pada
Kanjeng Patih atau tidak. Kalau saya memberi tahu berarti saya melangkahi atasan saya Raden
Mas Wira Bumi. Kalau saya tidak memberi tahu sebagai seorang prajurit saya merasa berdosa
pada Kanjeng Patih dan Kerajaan ….”

Patih Kerajaan berusia enam puluh tahun tapi masih berwajah segar dan klimis usap dagunya
yang ditumbuhi janggut halus dan rapi.

“Teruskan ceritamu, Danang Kaliwarda.”

“Malam itu gedung kediaman Bendahara kedatangan tamu seorang lelaki tinggi kurus dengan
penampilan serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Walau dia tidak menyebut nama
namun Saya tahu siapa dia karena sebelumnya sudah pernah datang menemui Raden Mas Wira
Bumi. Orang itu saya kenal dengan nama Eyang Tuba Sejagat. Pada kedatangannya yang kedua
kali ini saya lihat ada sesuatu yang terjadi dengan tubuhnya sebelah luar dan sebelah dalam.
Agaknya dia menderita luka dalam parah. Seperti mengalami keracunan yang sangat hebat.
Mungkin saya menyalahi adat, namun entah mengapa saya begitu ingin mengetahui apa yang
dibicarakan sang tamu dengan Raden Mas Wira Bumi.

Ternyata kecurigaan saya ada hikmahnya. Rupanya, sebelumnya Raden Mas Wira Bumi telah
memberi tugas pada Eyang Tuba Sejagat untuk membunuh dengan cara meracuni seorang Kiai
yang diam di puncak Gunung Gede bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas …..”

Sikap dan air muka Patih Kerajaan langsung berubah mendengar ucapan Danang Kaliwarda itu.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah seorang suci berilmu tinggi yang dianggap setengah Dewa.
Dia banyak membantu Kerajaan. Kalau ada orang jahat ingin membunuhnya pasti ada satu
masalah besar dibalik perbuatan keji itu. Danang, teruskan keteranganmu.”

“Ternyata Eyang Tuba Sejagat gagal melaksanakan tugas. Dua pembantunya tewas. Dia malah
dicekoki Racun Akar Bumi miliknya sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Untuk mengobati
dirinya yang keracunan dia harus membeli obat dari seorang tabib. Obat itu mahal sekali. Eyang
Tuba Sejagat minta agar Raden Mas Wira Bumi mau memberikan sejumlah uang. Dia berjanji
kalau sudah sembuh akan segera melaksanakan tugas berikutnya.” Sampai di situ Danang
Kaliwarda tidak meneruskan ucapan, dia menatap sang patih dengan bayangan rasa takut pada
wajahnya.

“Kepala Pengawal, kau kelihatan seperti bimbang atau takut meneruskan ucapan ….”

“Maafkan saya Kanjeng Patih. Terus terang saya memang merasa takut karena apa yang hendak
saya katakan menyangkut langsung diri Kanjeng Patih.”

“Katakan saja. Mengapa harus takut?”

“Tugas berikut yang dikatakan oleh Eyang Tuba Sejagat itu adalah membunuh Kanjeng Patih.”
Walau suaranya agak bergetar meluncur juga ucapan itu dari mulut Danang Kaliwarda.
Sosok Patih Kerajaan seolah berubah menjadi patung, diam tak bergerak. Air mukanya berubah.
Namun sesaat kemudian seringai muncul di wajahnya.

“Apakah ucapanmu bisa aku percaya Danang Kaliwarda?”

“Demi Gusti Allah saya bersumpah saya tidak berdusta.”

“Kalau begitu lanjutkan ceritamu. Apa yang terjadi kemudian?”

“Raden Mas Wira Bumi tidak memberi uang yang diminta. Malah Eyang Tuba Sejagat dibunuh.
Kepalanya dipukul hingga rengkah!”

“Dengan tangan kosong?”

“Betul Kanjeng Patih. Raden Mas Wira Bumi menghabisi Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan
tangan kosong. Tangan kanan.” Jawab Danang Kaliwarda sambil mengepal dan mengangkat
tangan kanannya sendiri.

“Ceritamu hebat! Luar biasa! Tapi tunggu dulu.

Setahuku Bendahara Wira Bumi tidak memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang sanggup
membuat rengkah kepala orang. Kau berdusta padaku, Danang Kaliwarda!”

Patih Kerajaan berkata dengan mata menatap tak berkesip ke mata orang di hadapannya.

Danang Kaliwarda susun sepuluh jari di atas kepala.

“Saya mana berani berdusta Kanjeng Patih. Saya sudah mengucapkan sumpah. Mungkin
Kanjeng Patih tidak tahu kalau beberapa waktu belakangan ini Raden Mas Wira Bumi telah
menuntut ilmu kesaktian pada seorang sakti di pantai selatan.”

“Yang aku tahu Wira Bumi pernah minta waktu istirahat cukup lama. Katanya untuk mengobati
penyakit yang diidapnya. Rupanya dia berguru pada seseorang. Kau tahu siapa orang sakti yang
jadi gurunya itu?”

“Saya tidak tahu. Ada seorang pembantu yang dulu pernah bekerja pada Raden Mas Wira Bumi
sewaktu dia masih menjadi Tumenggung. Pembantu itu bernama Djaka Tua. Kabarnya dia yang
tahu siapa adanya guru Raden Mas Wira Bumi. Hanya sayang dia telah lenyap melarikan diri ….”

“lstri ke tiga Wira Bumi bernama Nyi Retno Mantili juga lenyap dan sampai saat ini tidak pernah
ditemukan.”
“Kanjeng Patih, saya yakin lenyapnya pembantu serta istri Raden Mas Wira Bumi saling punya
kaitan. Maaf, ijinkan saya melanjutkan keterangan. Setelah Eyang Tuba Sejagat tewas, saya
diperintahkan membuang mayatnya.

Mayat saya buang malam itu juga ke dalam sebuah jurang di pinggir selatan Kotaraja.”

“Aku tidak percaya dan merasa sangat aneh. Wira Bumi ingin membunuhku lewat tangan Eyang
Tuba Sejagat. Aku tidak ada permusuhan dengan dirinya. Ketika istrinya lenyap aku
memerintahkan pasukan besar untuk mencari. Jabatannya yang baru sebagai Bendahara
Kerajaan juga aku yang mengusulkan kepada Sri Baginda.

Lalu dia ingln membunuhku. Apa dia sudah gila. Wira Bumi bukan saja membalas air susu
kebaikanku dengan air tuba, tapi malah dengan darah!” Patih Kerajaan gelengkan kepala
berulang kali.

“Ada dua kejadian lagi malam itu yang perlu saya beri tahu pada Kanjeng Patih.” Kata Danang
Kaliwarda pula.

“Apa?” Tanya sang Patih. Dia seolah melupakan waktunya yang sangat terbatas serta rencana
menemui Sri Baginda pagi itu.

“Selesai saya membuang mayat Eyang Tuba Sejagat saya kembali ke Gedung Bendahara. Tak
sengaja saya lihat jendela kamar tidur Raden Mas Wira Bumi dalam keadaan sedikit terbuka
dan lampu di dalam kamar menyala terang benderang. Mungkin Raden Mas Wira Bumi sudah
tertidur dan lupa menutup jendela. Saya bermaksud hendak menutup jendela itu namun di
dalam kamar saya lihat Raden Mas Wira Bumi tengah menggeluti seorang perempuan cantik di
atas ranjang. Keduanya dalam keadaan bugil …..”

“Semua orang tahu Raden Mas Wira Bumi punya tiga orang istri termasuk Nyi Retno Mantili.
Apakah perempuan yang bersamanya saat itu bukan salah satu dari dua istrinya yang lain?”

Danang Kaliwarda gelengkan kepala.

“Tidak Kanjeng Patih. Perempuan yang digauli Raden Mas Wira Bumi itu bukan salah satu dari
dua istrinya. Saya tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Ada keanehan dengan
auratnya. Salah satu buah dadanya, yang sebelah kiri sangat besar.”

“Apa perempuan itu terus berada di Gedung Bendahara sampai pagi? Menginap?”

“Tidak Kanjeng Patih. Saya bersembunyi di satu tempat setelah lebih dulu memberi perintah
pada anak buah yang bertugas malam itu agar jangan sekali-kali melewati atau berada di dekat
jendela. Menjelang pagi jendela terbuka. Saya lihat perempuan itu melesat keluar kamar, masih
dalam keadaan bugil, menenteng pakaian lalu lenyap di arah timur. Gerakannya luar biasa
cepat pertanda dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak selang berapa lama saya lihat Raden
Mas Wira Bumi keluar pula dari gedung, berjalan cepat menuju bagian luar tembok sebelah
selatan. Saya mengikuti. Raden Mas Wira Bumi berjalan menuju satu rumpunan pohon bambu.
Ternyata di situ ada sosok seorang lelaki, terjepit tak berdaya di antara empat batang bambu.
Ketika saya perhatikan ternyata orang itu adalah Djaka Tua, bekas pembantu di Gedung
Tumenggung dulu. Saya dengar Raden Mas Wira Bumi menanyakan bayinya dan sebilah golok.
Dia menuduh Djaka Tua telah menculik bayi itu dan mencuri golok. Menurut pengakuan Djaka
Tua bayi dan golok diambil oleh seorang kakek tinggi putih. Dia tidak tahu siapa adanya kakek
itu dan berada dimana. Raden Mas Wira Bumi kemudian mencekik leher Djaka Tua. Hampir
pembantu itu menemui ajal tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. Dia mengatakan sesuatu
tapi tak jelas saya dengar. Kemudian ada dua larik sinar putih menderu disertai dua letusan
dahsyat dan menebarnya kabut aneh.

Raden Mas Wia Bumi selamat dari serangan dua larik sinar putih. Namun saat itu Djaka Tua tak
ada lagi di tempat itu.

Saya segera mendekati Raden Mas Wira Bumi dan menanyakan apa yang terjadi. Dia menjawab
tidak terjadi apa-apa di tempat itu dan mengatakan saya bermimpi lalu …..”

Entah apa yang terjadi mendadak udara di pendopo sebelah timur Gedung Kepatihan itu
berubah redup seolah siang telah berganti malam. Satu bayangan merah berkelebat disertai
membahananya bentakan perempuan.

“Danang Kaliwarda, manusia busuk pengkhianat atasan! Kau memang tidak dalam alam mimpi
tapi tengah menuju alam kematian!”

Dua orang yang duduk di lantai pendopo sama terkejut.

Patih Kerajaan merasa sambaran angin menerpa di samping kanan. Di lain kejap seorang nenek
kurus bungkuk tahu-tahu telah berdiri di depannya. Muka keriput, rambut riap-riapan serta
pakaiannya yang berupa selempang kain, semua berwarna merah. Patih Kerajaan bahkan
melihat bagaimana sepasang mata termasuk alis, lidah dan gigi nenek ini juga berwarna merah
menggidikkan.

Danang Kaliwarda tidak tahu siapa adanya nenek serba merah ini. Namun dari ucapannya tadi
dia bisa menduga jangan-jangan perempuan tua ini adalah orang sakti guru Wira Bumi.
Dadanya berdebar, muka pucat.

Sementara Patih Kerajaan maklum siapapun adanya nenek serba merah ini dia adalah seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sang Patih mencium adanya bahaya.

Serta merta dia berdiri dan menegur dengan suara datar.

“Nenek muka merah, antara kita tidak saling kenal.


Mengapa berani masuk ke Gedung Kepatihan tanpa ijinku”

Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo, guru Raden Mas Wira Bumi hamburkan
suara tawa bergelak.

“Aku datang dan pergi kemana aku suka! Siapa berani melarang!” .

Walau merasa dianggap enteng namun Patih Sawung Giring Bradjanata masih bicara dengan
suara rendah.

Malah dengan seringai tersungging di mulut.

“Rupanya aku berhadapan dengan seorang perempuan tua kurang ajar. Nenek muka merah,
dengar.

Aku masih memberi pengampunan padamu jika kau mau angkat kaki dari tempat ini sekarang
juga!”

“Kalau aku tak mau minggat?!” Nyai Tumbal Jiwo menantang.

Habislah kesabaran sang patih. Dia berteriak memanggil pengawal. Tiga pengawal segera
muncul.

Sesaat mereka terheran-heran menyaksikan udara di pendopo redup seperti itu.

“Ringkus perempuan tua muka merah itu. Bawa dia keluar dari Gedung Kepatihan. Jika berani
masuk lagi tangkap!”

Tiga pengawal bertubuh kekar segera lakukan perintah Patih Kerajaan. Namun apa yang terjadi
kemudian membuat Patih Sawung Giring Bradjanata terkejut luar biasa, juga merinding. Ketika
hendak disergap, nenek muka merah berkelebat. Lalu tiga larik sinar merah berkiblat. Tiga
pengawal menjerit. Ketiganya terpental sejauh dua tombak. Terguling di lantai pendopo dalam
keadaan sekujur tubuh melepuh serta kepulkan asap! Selagi Patih Kerajaan terkesiap begitu
rupa si nenek kembali berkelebat dan tahu-tahu keris milik sang Patih telah berada di tangan sl
nenek sementara sarungnya masih tersisip di pinggang Patih Sawung Giring.

Selaku Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Namun
kalau senjata di pinggangnya dapat dirampas orang, berarti si perampas memiliki kehebatan
melebihi dirinya.

“Tua bangka kurang ajar! Kembalikan kerisku!” teriak Patih Kerajaan marah besar. Lalu
tubuhnya melesat ke depan. Tidak sungkan lagi dia langsung kirimkan pukulan kilat ke arah
kepala nenek muka merah. Nyai Tumbal Jiwo merunduk. Tertawa cekikikan.
Perkelahian hebat segera terjadi. Seolah melecehkan, si nenek hanya pergunakan tangan kanan
untuk melayani lawan sementara tangan kiri memegang keris tanpa sarung. Setiap terjadi
bentrokan lengan Nyai Tumbal Jiwo terjajar dua langkah ke belakang sebaliknya Patih Kerajaan
merasa kesakitan amat sangat seolah tangannya membentur pentungan besi.

Dalam jurus ke empat setelah menggempur habishabisan dengan mengeluarkan jurus bernama
Menusuk Bumi Menikam Langit Patih Sawung Giring Bradjanata berhasil mendaratkan jotosan
tangan kanannya ke dada kiri lawan. Nyai Tumbal Jiwo meraung setinggi langit. Asap merah
mengepul dari ubun-ubunnya. Bagian yang barusan kena dipukul adalah tepat payudara
sebelah kiri yang bengkak besar. Walau dasarnya adalah mahluk dari alam roh, namun tetap
saja dia mengalami luka dalam yang hebat. Nyai Tumbal Jiwo semburkan ludah campur darah
dari mulutnya. Sepasang mata laksana memancarkan kilatan api. Dari ubun-ubun mengepul
asap merah tipis.

“Patih jahanam! Terbanglah ke akhirat!” Mulut berucap lima jari tangan kanan menjentik!

“Wuutt… wuutt… wuutt… wuutt… wuuttt!”

Lima Jari Akhirat!

Lima larik sinar merah berkiblat. Patih Kerajaan berusaha menghindar sambil dua tangan
melepas pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi, namun tetap jebol! Seperti diketahui
terhadap serangan Lima Jari Akhirat jarang lawan bisa lolos. Kalaupun sanggup bertahan maka
sekujur tubuhnya akan melepuh cacat dan menderita kesakitan seumur hidup. Patih Sawung
Giring menjerit keras ketika empat dari lima sinar merah menyapu dirinya. Tubuhnya terpental
menghantam salah satu tiang pendopo. Tiang patah, sosok Sawung Giring Bradjanata terkapar
di lantai dalam keadaan hangus mengerikan!

“Anjing pengkhianat! Kau mau lari kemana?!” bentak Nyai Tumbal Jiwo ketika Danang
Kaliwarda dilihatnya berusaha hendak kabur.

“Aku tidak punya dosa kesalahan apa-apa terhadapmu ….”

“Manusia anjing kurap! Tutup mulutmu! Siapa bilang kau tidak punya dosa kesalahan
terhadapku! Aku Nyai Tumbal Jiwo adalah guru dan kekasih Wira Bumi yang kau khianati! Aku
tahu malam itu kau mengintip dibalik jendela sewaktu aku bercinta dengan Wira Bumi. Apa kau
tergiur?

Apakah kau ingin melakukannya padaku? Hik … hik..hik!

Kau belum pantas melayaniku! Kau lebih cocok kalau aku kirim keakhirat seperti majikan
besarmu itu! Hik … hik … hik!”
Nyai Tumbal Jiwo menyergap.Keris di tangan kanan menderu ke arah dada Danang Kaliwarda.
Kepala Pengawal Gedung Bendahara ini cepat melompat mundur sambil menghunus golok
besar.

“Kau punya nyali juga! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Tangan kanan Nyai
Tumbal Jiwo yang memegang keris berkelebat laksana kilat. Serangan ganasnya membuat
Danang Kaliwarda kelabakan. Dalam waktu beberapa kejapan saja dia telah menghunjamkan
empat tusukan dan tiga babatan keris ke tubuh Kepala Pengawal Gedung Bendahara Kerajaan
itu.

Danang Kaliwarda hanya sempat menangkis satu kali.

Lalu tubuhnya roboh. Darah bersimbah dari luka-luka di sekujur tubuh dan tenggorokan.

Dengan tenang sambil menyeringai Nyai Tumbal Jiwo melangkah mendekati mayat Sawung
Giring Bradjanata.

Keris yang dipegangnya digenggamkan ke dalam jari-jari tangan Patih Kerajaan itu. Sebelum
meninggalkan pendopo timur nenek muka merah ini hampiri sosok Danang Kaliwarda yang
tengah sakarat. Enak saja dan kurang ajar sekali, tangan kanannya disusupkan, merabaraba ke
balik celana Kepala Pengawal itu, kepala mendongak, wajah menyeringai.

“Aaahh, rnenyesal aku membunuhnya terlalu cepat.

Seharusnya aku coba dulu yang satu ini. Hik … hik … hik.”

Sesaat setelah Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu, udara di pendopo kembali cerah.

Hari itu juga Kotaraja dilanda geger besar. Tersiar kabar bahwa telah terjadi perkelahian antara
Patih Kerajaan dengan Kepala Pengawal Gedung Bendahara.

Kedua-duanya tewas. Di duga kedua orang ini telah mengadu jiwa akibat satu dendam atau
perkara yang tidak diketahui apa adanya. Hanya saja tidak ada yang bermata jeli dan menyelidik
lebih jauh akan keadaan mayat Patih Sawung Giring. Danang Kaliwarda tidak memiliki ilmu
kesaktian yang mampu membuat dia membunuh lawannya sampai sekujur tubuh sang Patih
melepuh hangus!

Dua puluh hari setelah peristiwa berdarah itu, Raden Mas Wira Bumi dipercayakan Sri Baginda
untuk menduduki jabatan Patih Kerajaan. Malam harinya Nyai Tumbal Jiwo datang menemui
Wira Bumi, minta dihibur sampai pagi.

Dan Wira Bumi melayani sepenuh hati karena dia menyadari jabatan Patih Kerajaan itu
didapatnya dari hasil pekerjaan licik dan keji si nenek dari alam roh itu.
2

HUJAN luar biasa lebat mengguyur puncak Gunung Merapi. Walau saat itu siang hari namun
keadaan tidak beda seperti malam. Setiap angin bertiup kencang ranting-ranting serta daun
pepohonan bergoyang dan bergesek mengeluarkan suara bersiur panjang menggidikkan.

Dalam cuaca buruk begitu rupa Pangeran Matahari berlari ke arah utara puncak gunung.
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Nyi Bodong) setelah ditimpa malapetaka
berulang kali, Pangeran Matahari menemui gurunya Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat
melalui tapa Aras Bumi Aras Langit. Sesuai petunjuk sang guru saat itu dia tengah menuju
sebuah goa yang puluhan tahun silam pernah menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai.

Karena sudah sekian lama, ditambah keadaan cuaca yang gelap, di bawah hujan lebat pula,
meski pernah tinggal di situ, cukup sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari goa tersebut.

Sementara berlari dia ingat semua ucapan Si Muka Bangkai.

“Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di
sana kau akan menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai begitu turun gunung. Di
dalam goa kau akan menemukan pula sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi
dengan minyak kasturi ini. Pada dinding goa kau akan melihat guratan tulisan yang aku buat
sebagai petunjuk penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara sampai keadaan
aman bagimu, kau hanya boleh menampakkan diri pada malam hari. Demi keselamatanmu kau
harus membawa dan menyalakan lentera itu kemanapun kau pergi. Kau harus sadar musuhmu
kini bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak orang lain yang menginginkan
nyawamu! Sebelum aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera yang aku
katakan tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau air yang
keluar dari tubuh manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing bahkan air mani! Ha.. .ha..
.ha! Pokoknya semua air yang berasal dari tubuh manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar
kau akan ditimpa malapetaka besar! Pergilah ke goa di puncak Merapi. Kau akan mengetahui
apa yang harus kau lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca dan memahami guratan
tulisanku di dinding goa, tulisan itu harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan!”

Hujan bertambah lebat dan udara semakin gelap.

Sesekali kilat menyambar. Puncak gunung Merapi sesaat jadi terang benderang. Walau sangat
singkat namun cukup memberi petunjuk pada Pangeran Matahari kemana dimana dia berada
saat itu dan kemana dia harus meneruskan larinya.

Karena hujan tak kunjung berhenti dan udara semakin gelap, kawatir akan kesasar, Pangeran
Matahari akhirnya memutuskan untuk mencari tempat berteduh.

Kalau cuaca sudah baik baru dia melanjutkan perjalanan.


Ketika kilat kembali menyambar dan keadaan terang benderang sekilas, mata tajam sang
Pangeran sempat melihat satu lamping bukit ditumbuhi sederetan pohonpohon besar. Pada
bagian bawah deretan pohon sebelah tengah ada satu cekungan tanah cukup dalam. Tanpa
pikir panjang Pangeran Matahari segera berlari memasuki cekungan tanah itu. Cukup lama dia
duduk berteduh di situ sampai akhirnya hujan mulai reda dan langit perlahanlahan bersih
benderang.

Sekitar sepenanakan nasi akhirnya Pangeran Matahari berhasil menemukan goa yang pernah
menjadi kediaman guru dan dirinya sendiri. Goa ini terletak di lamping sebuah kali kecil yang
saat itu airnya meluber banjir kemana-mana. Begitu sampai di depan goa Pangeran Matahari
mencium bau tengik menyesakkan pernafasan.

Melangkah masuk ke dalam goa sejauh tujuh langkah bau tengik itu semakin keras dan seolah
mencekik jalan nafas.

Dadanya berdebar, dua lutut terasa goyah. Langkah tertahan. Pangeran Matahari segera
kerahkan tenaga dalam, tutup saluran pernafasan untuk beberapa lama sampai perasaannya
tenang kembali dan getaran di kedua lutut lenyap. Hati-hati, penuhwaspada dia melanjutkan
langkah.

“Aneh, seharusnya goa ini berada dalam keadaan gelap gulita. Mengapa seperti ada cahaya
datang dari sebelah dalam? Mungkin lenteranya sudah menyala?”

membatin Pangeran Matahari lalu dia meraba bagian pakaian di balik mana dia menyimpan
tabung berisi minyak kasturi yang diberikan Si Muka Bangkai. Dia ingat, lentera yang ada di
dalam goa hanya bisa dinyalakan dengan minyak kasturi itu.

Setelah lewat tujuh langkah lagi memasuki goa bau tengik yang menyesakkan dada mendadak
lenyap, kini berganti dengan bau wangi kulit pohon kayu manis, yang menebar rasa segar. Di sisi
kanan goa ada satu gundukan batu. Di atas batu ini terletak seperangkat pakaian berupa jubah
hitam panjang selutut, serta celana hitam dan gulungan kain ikat kepala berwarna merah.
Ketika Pangeran Matahari mengembangkan jubah hitam, pada bagian dada terpampang
gambar matahari bulat besar berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna
merah. Pangeran Matahari terdiam sejurus. Dia ingat, baju dan celana hitam serta ikat kepala
merah adalah perangkat pakaian yang dikenakannya pertama kali sewaktu turun gunung.
Hanya kali ini baju ditukar menjadi jubah dan bentuk gambar matahari berbeda dari yang dulu.
Dia juga ingat pesan gurunya bahwa pakaian itu baru boleh dikenakan jika dia siap turun
gunung. Apakah pakaian dan ikat kepala itu merupakan tanda bahwa dia akan turun gunung
untuk kedua kalinya, membuka lembaran baru dalam rimba persilatan?

Sang Pangeran lanjutkan langkah. Baru menindak dua langkah mendadak telinganya
mendengar suara orang mengorok. Suara ini datang dari bagian dalam goa.

Membuat Pangeran Matahari menjadi penuh tanda tanya.


“Ada orang tidur di dalam sana. Siapa? Mungkin guru? Tapi dia sudah meninggalkan pesan baru
akan kembali lagi tiga ratus hari yang akan datang.”

Pangeran Matahari usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar lalu kembali teruskan
langkah. Kali ini lebih perlahan sambil tangan kanan siap sedia membekal dan melepas pukulan
sakti jika mendadak ada bahaya tak terduga mengancam. Semakin jauh masuk ke dalam goa
semakin terang cahaya yang datang dari sebelah dalam dan bertambah keras suara
mendengkur.

Tiga langkah di depan sana goa membelok ke kiri. Tujuh langkah dari kelokan, goa itu sampai
pada ujungnya.

Pangeran Matahari masih belum melihat, lentera yang dikatakan Si Muka Bangkai. Mungkin
berada di bagian ujung goa, dibalik kelokan. Mau tak mau berdebar juga dada sang Pangeran
ketika dia melangkah memasuki kelokan. Suara tertahan keluar dan mulutnya begitu melewati
kelokan dan memandang ke depan. Tujuh langkah di seberang sana, goa berakhir pada satu
dinding batu. Ujung goa terlihat rata, membentuk sebuah ruangan batu berukuran dua kali tiga
tombak. Ruangan ini bersih sekali seperti ada yang barusan menyapunya. Di sinilah dulu dia
pernah tinggal bersama Si Muka Bangkai selama bertahun-tahun. Kenangan akan masa lalu
serta merta buyar, berubah dengan rasa kaget luar biasa ketika Pangeran Matahari melihat
bagaimana di salah satu sudut ruangan bergelung sosok besar seekor ular hitam berkilat, kepala
menjulai ke lantai goa, mata terpejam, mulut sedikit terbuka. Dan dari mulut inilah keluar suara
mendengkur keras seperti dengkur manusia! Tubuh ular yang berkilat itulah yang
memancarkan cahaya menerangi sepanjang goa. Untuk beberapa lama Pangeran Matahari
tegak setengah memicingkan mata karena kesilauan.

“Ular mendengkur seperti manusia…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Keanehan ini
membuat dia berlaku waspada dan pentang mata lebar-lebar. Dia masih belum melihat lentera
yang dikatakan sang guru. Dia juga tidak melihat guratan-guratan tulisan seperti yang dikatakan
Si Muka Bangkai. Pangeran Matahari memandang berkeliling.

Matanya kembali memperhatikan sosok ular hitam di sudut ruangan. Ah! Kali itulah dia baru
melihat. Di dalam lingkar sebelah dalam gelungan tubuh ular hitam besar terdapat satu benda
yang bukan lain adalah sebuah lentera. Bagian atas lentera terbuat dari bahan tembus pandang
semacam kaca tebal berwarna merah, kuning dan hitam, diikat oleh sejenis logam berwarna
hilam, lengkap dengan pegangan berbentuk kepala naga. Bagian bawah lentera tidak terlihat
karena tentutup gelungan tubuh ular hitam.

“Gila. bagaimana aku mau mengambil lentera? Ular besar itu menggelung seperti menjaganya.
Si Muka Bangkai, dia hanya membuat diriku susah saja. Di dinding goa aku sama sekali tidak
melihat guratan tulisan seperti yang dikatakannya! Guru tidak pernah menyebut perihal
binatang ini. Apakah ular ini datang begitu saja, kesasar di dalam goa karena hujan lebat di luar
sana? Atau apakah Si Muka Bangkai menipuku. Sebenarnya dia sengaja memasang perangkap,
ingin membunuhku di tempat ini?!”

Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati begitu rupa, tiba-tiba ular hitam besar di sudut
ruangan keluarkan suara mengorok lebih keras hingga lantai goa terasa bergetar. Kepala
binatang ini terangkat dan sepasang mata terbuka sedikit, berputar melirik ke arah Pangeran
Matahari. Sang Pangeran tercekat sewaktu menyaksikan bagaimana dari sepasang mata ular
hitam besar ada cahaya menyambar. Cahaya kematian!

Kemudian ular ini kembali lunjurkan kepala di lantal dan lanjutkan tidur mendengkurnya!

“Aku harus dapatkan lentera itu. Bagaimana caranya?

Apakah aku harus membunuh ular hitam itu terlebih dulu?”

Pangeran Matahari berdiri tak bergerak. Sepasang mata menatap ke arah ular hitam sementara
otak mulai bekerja. Cukup lama dia bersikap seperti itu, perlahanlahan Pangeran Matahari
turunkan badan, duduk bersila di sudut yang berlawanan dengan ular besar hitam yang
menggelung lentera. Dua telapak tangan dikembangkan, lalu diletak ditekankan ke lantai goa.
Bersamaan dengan itu murid Si Muka Bangkai ini kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti
mengandung kekuatan dahsyat, disalurkan ke lantai goa dan diarahkan ke sudut ruangan di
seberangnya.

Lantai goa yang dialiri tenaga dalam dan hawa sakti yang keluar dari tubuh Pangeran Matahari
tampak retak mengepulkan asap kemerahan. Retakan dan kepulan asap ini bergerak ke arah
sudut ruangan dimana ular hitam besar bergelung. Lentera di dalam gelungan
bergoyanggoyang.

Sesaat kemudian tubuh ular ini kelihatan ikut mengepulkan asap. Suara dengkuran serta merta
lenyap.

Sepasang mata membuka. Kepala tersentak naik ke atas dan mulut yang tertutup kini
menganga. Lidah terjulur memancarkan cahaya biru menyilaukan. Dari mulut binatang ini
kemudian mendadak keluar suara tawa panjang. Suara tawa perempuan!

Jelas sudah binatang ini adalah mahluk jejadian!

Yang membuat Pangeran Matahari jadi melengak kaget bukan hanya karena menyadari bahwa
binatang itu bukan ular sungguhan, atau mendengar tawanya yang menggidikkan, tetapi juga
karena merasakan bagaimana tenaga dalam dan hawa sakti panas yang dikirimkannya ke arah
ular hitam itu kini membalik mengarah dirinya dengan kekuatan berlipat ganda. Retakan di
lantai batu tampak merah membara saking panasnya. Kepulan asap bukan lagi berwarna merah
tapi berubah biru pertanda panasnya sangat luar biasa! Yang sangat dikawatirkan Pangeran
Matahari adalah rusaknya lentera akibat hawa panas luar biasa.
“Plaakk!”

Tiba-tiba ular hitam sentakkan ekor, menghantam lantai goa. Saat itu juga hawa panas dan
kepulan asap biru menyambar dahsyat. Pangeran Matahari berteriak keras. Dua tangan
dipukulkan. Satu menghantam ke depan ke arah ular hitam, satunya lagi untuk membuyarkan
serangan hawa panas dan kepulan asap biru.

“Buumm!”

“Buumm!”

Dua letusan dahsyat menggelegar. Goa batu laksana digoncang gempa. Pangeran Matahari
terpental sampai ke tikungan goa. Dia merasa tubuhnya seperti hancur lebur.

Rasa sakit menjalar dari ubun-ubun sampai ke jari kaki.

Namun ternyata dia masih hidup dan mampu berdiri.

Hanya saja ketika memperhatikan keadaan dirinya, tengkuknya langsung dingin. Jubah kelabu
yang dikenakannya kini telah berubah hitam hangus dan mengepulkan asap! Di dalam goa sana
terdengar suara tawa sang ular, suara tawa perempuan!

“Aneh, kalau pakaianku hangus seharusnya aku mengalami cidera berat. Bahkan bisa mati! Ada
satu kekuatan melindungi diriku …” Pangeran Matahari berucap dan bertanya-tanya dalam hati.
Rasa jerihnya perlahanlahan lenyap, berganti dengan rasa percaya diri.

“Pangeran Matahari, aku tahu kedatanganmu kemari adalah untuk mengambil lentera. Aku
akan memberikan padamu asal kau mau menukar dengan sesuatu!”

Ada orang bicara di dalam goa! Suara perempuan!

Ular itukah yang mengeluarkan ucapan?!

Belum lenyap gema suara ucapan di dalam goa, Pangeran Matahari telah melompat melewati
tikungan dan berdiri lima langkah di hadapan ular hitam.

“Mahluk jahanam! Jejadian siapa kau adanya?! Apa maksudmu menukar lentera itu dengan
sesuatu?!”

Pangeran Matahari membentak sambil tangan kiri menyiapkan Pukulan Telapak Matahari yang
diwarisinya dari Si Muka Bangkai sementara tangan kanan siap melepas Pukulan Menahan
Bumi Memutar Matahari. Ini adalah jurus pertahanan sekaligus menyerang yang didapatnya
dari seorang sakti bernama Singo Abang. (Baca Episode berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”) Ular
hitam angkat kepala lebih tinggi. Dua mata memandang berkilat. Lidah menjulur lalu mulutnya
berucap.

“Pangeran Matahari. Walau banyak lawan telah menggebukmu, walau mukamu sudah menjadi
cacat buruk, sikap dan ucapanmu masih saja sombong pongah seperti dulu! Pasang telingamu
baik-baik.Yang aku minta sebagai pengganti lentera adalah nyawamu!”

Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik berkilat.

Rahang menggembung dan pelipis bergerakgerak. Kepala mendongak lalu dia tertawa bergelak.

“Mahluk jejadian! Ketololan akan membawa celaka bagimu! Kau tidak berada di alammu,
mengapa berani bicara congkak?! Lekas menyingkir dari goa ini atau kau akan menerima azab
yang akan membuat rohmu tergantung lumpuh antara langit dan bumi!”

Ular di sudut ruangan kembali tertawa panjang.

“Kau tidak tahu indahnya hidup di alam roh.

Sebaliknya apakah kau pernah merasakan hidup sengsara dipendam dua puluh satu tombak di
dalam tanah? Hik … hik … hik! ltulah nasib yang bakal kau alami!”

Saat itu Pangeran Matahari sudah siap untuk menyerang ular di sudut ruangan. Namun dia
kawatir serangannya akan merusak lentera. Dia harus mencari akal. Paling tidak mengulur
waktu.

“Ular betina jejadian! Apakah kekasihmu yang menyuruh datang mencari celaka ke tempat
ini?!”

Mendengar ucapan Pangeran Matahari sang ular malah tertawa.

“Kau tidak tahu! Kekasihku adalah dirimu sendiri!”

Pangeran Matahari melengak kaget dan memaki dalam hati.

“Siapa kau sebenarnya?!” Bentak murid Si Muka Bangkai.

“Aku adalah titisan seseorang.”

“Seseorang siapa?!”

“Seorang gadis yang pernah kau permainkan, kau jadikan budak nafsu sehingga hamil. Lalu kau
bunuh!”
Kening Pangeran Matahari mengerenyit. Mulut ternganga.

“Binatang keparat! Katakan kau ini titisan siapa?!”

“Aku adalah Pandan Arum. lngat peristiwa di Pangandaran? Di sana kau membunuh aku!” (Baca
Episode berjudul “Kiamat di Pangandaran”)

Pangeran Matahari jadi tertegun. Apakah binatang jejadian ini tidak menipunya? Benarkah dia
titisan Pandan Arum, adik Bidadari Angin Timur yang hendak menuntut balas melampiaskan
dendam kesumat?! “Akal … akal, cerdik … cerdik! Aku harus punya segala daya, akal dan
kecerdikan …..” Pangeran Matahari berkata dalam hati. Lalu dia mendengus dan berkata.

“Terlalu banyak manusia yang aku bunuh! Aku tidak ingat satu persatu! Aku tidak tahu kau ini
Pandam Arum yang mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang sebenarnya!”

“Dajal busuk! Tumpukan dosa keji membuat matamu buta dan hatimu menjadi batu! Buka
mata lebar-lebar!

Apa kau masih bisa melihat!”

Ular di sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya naik ke atas. Kepala dan tubuh digoyang
tiga kali. Wusss!

Asap putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah menjadi ujud seorang gadis berpakaian
hitam, rambut hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna merah membara
pertanda ada pancaran dendam kesumat, menatap tak berkedip ke arah Pangeran Matahari.

“Pandan Arum, memang dia ….” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang
waktu lagi karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran Matahari hantamkan
tangan kiri kanan. Tangan kanan melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan kiri melepas Pukulan
Merapi Meletus.

Menghadapi dua serangan maut yang bisa menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa
perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan di depan dada lalu sepasang mata
dikedipkan.

“Wuss! wusss!”

Dua larik slnar merah menderu dahsyat. Dua pukulan sakti yang dilepas Pangeran Matahari
musnah berubah menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri terpental jauh, terkapar
di lantai goa, mulut kucurkan darah.

“Setan alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada cahaya aneh keluar dari pinggang
manusia jahanam itu!
Kekuatan pelindung apa yang dimilikinya?!”

Cahaya aneh berwarna kehijauan yang dilihat perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran
Matahari. Dia yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya walau mengalami luka
dalam yang cukup parah. Pangeran Matahari meraba pinggang kiri. Jari-jarinya menyentuh
sebuah benda. Dia ingat benda itu adalah tabung bambu berisi minyak kasturi yang diberikan
gurunya Si Muka Bangkai. Berarti inilah benda yang memberikan kekuatan pelindung maha
dahsyat padanya. Tidak pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera keluarkan tabung bambu
dari balik jubahnya yang hangus.

Sepasang mata perempuan di depan sana mengerenyit. Dua kaki rnelangkah mundur ketika
melihat benda yang ada di tangan Pangeran Matahari.

“Minyak larangan alam roh! Bagaimana bisa berada di tangan manusia jahanam itu?!”
Perempuan dalam ujud gadis bernama Pandan Arum tiba-tiba berkelebat ke sudut ruangan,
berusaha menyambar lentera. Namun Pangeran Matahari bertindak lebih cepat. Dia melompat
menghadang sambil membuka kayu penutup tabung bambu. Tabung di dekatkan ke wajah
Pandan Arum. Bau harum minyak kasturi serta merta memenuhi ruangan.

Pandan Arum meraung panjang dan keras. Sosoknya memudar lalu berubah jadi asap dan
bergelung panjang melayang ke arah mulut goa.

Pangeran Matahari terduduk di lantai. Muka pucat, dada berdebar keras. Tabung bambu
ditutupnya kembali lalu dia beringsut mendekati lentera. Lentera diperhatikan dengan seksama,
dibolak balik beberapa kali. Pada bagian samping bawah yang merupakan dudukan lentera
terdapat sebuah lobang kecil. Di samping lobang menempel sebongkah benda lembut yang
ketika diperhatikan lebih teliti ternyata adalah lilin. Pangeran Matahari buka kayu penutup
tabung bambu. Minyak kasturi yang ada dalam tabung itu dimasukkan ke dalam lentera lewat
lobang kecil. Lobang kecil kemudian ditutup dengan lilin yang menempel di bagian bawah
lentera. Begitu lobang tertutup terjadilah satu keanehan.

Perlahan-lahan lentera menyala sendiri, mengeluarkan cahaya terang tiga warna. Hitam, kuning
dan merah. Keadaan di dalam goa menjadi terang benderang.

“Luar biasa, menyala sendiri tanpa disulut api …”

ucap Pangeran Matahari penuh kagum. Namun dia masih ingin tahu sampai dimana kehebatan
lentera ini. Ketika dia hendak menyentuh pegangan lentera mendadak lentera mengiblatkan
tiga sinar ke dinding ruangan. Sinar hitam, kuning dan merah. Saat itu juga pada tiga dinding
ruangan terdapat serangkaian tulisan, tergurat dalam warna hitam, kuning dan merah.

Pada dinding sebelah kanan, terpampang rangkaian tulisan merah.


Jurus pertama Lentera Iblis.

Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang
ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke kanan. Cahaya merah
akan berkiblat mencari korban.

!tulah jurus Api Neraka.

Pangeran Matahari baca sekali lagi tulisan yang tergurat di dinding goa sebelah kanan itu. Lalu
alihkan padangan ke dindirig sebelah kiri. Di situ terpampang rangkaian tulisan ke dua,
berwarna hitam.

Jurus ke dua Lentera iblis.

Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang
ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke kiri. Cahaya hitam akan
berkiblat mencari korban. Itulah jurus Api Akhirat.

Pangeran Matahani menatap lurus ke arah dinding ruangan sebelah depan. Di sini tergurat
jurus ketiga Lentera Iblis dalam warna kuning.

Jurus ke tiga Lentera Iblis.

Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang
ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera didorong ke depan. Cahaya kuning
akan berkiblat mencari korban.

Itulah jurus Liang Lahat Menunggu.

Pangeran Matahari usap wajahnya. Dia memandang seputar ruangan batu. Ketika hendak
melangkah mengambil lentera baru dia menyadari bahwa di lantai ruangan ternyata ada pula
serangkaian tulisan, tergurat dalam selang seling tiga warna.

Lentera hanya akan menyala dalam ruangan dan malam hari serta ketika bahaya mengancam.
Berjalan dan mencari mangsa di malam hari. Istirahat di siang hari.

Lentera Iblis akan menjaga keselamatan diri. Ingat pantangan niscaya kuasa rimba persilatan
akan berada dalam tangan.

Pangeran Matahari meneliti lagi seputar ruangan. Tak ada tulisan atau petunjuk lain. Dia lalu
melangkah mengambil lentera. Ketika pegangan lentera berada dalam genggamannya dia
merasa ada hawa aneh menjalar memasuki tubuhnya, mendekam di bagian perut lalu mengalir
ke arah kepala dan ke kaki.
Sebelum meninggalkan goa, Pangeran Matahari membuka jubah kelabunya yang telah hangus
lalu dirobek.

Sebagian robekan digulung dan dibalutkan pada pegangan lentera. Ini untuk menjaga agar
keringat dan tangannya tidak menyentuh pegangan lentera. Selesai mengenakan jubah dan
celana hitam serta ikat kepala merah Pangeran Matahari keluar dan dalam goa. Di luar goa
nyala lentera langsung meredup lalu padam. Tanpa disadari satu kealpaan besar telah dilakukan
manusia segala akal segala cerdik ini. Dia lupa menghapus semua tulisan pada dinding dan
lantai goa! Padahal gurunya Si Muka Bangkai telah sangat memesan dan mengingatkan hal itu.

***

Selang setengah hari setelah Pangeran Matahari meninggalkan goa di puncak utara Gunung
Merapi, menjelang matahari menggelincir memasuki ufuk tenggelamnya, seorang perempuan
tua berpakaian biru gelap berambut panjang awut-awutan berkelebat di depan mulut goa.
Mukanya yang putih menjadi pertanda bahwa dia adalah Nyi Bodong pendatang baru rimba
persilatan yang belakangan ini tengah mengejar manusia keji berjuluk Hantu Pemerkosa yang
diyakininya adalah Pangeran Matahari.

Bagian dalam goa tampak gelap. Namun tanpa ragu Nyi Bodong terus saja melangkah masuk.
“Untung Kiai memberiku ilmu melihat di dalam gelap.” Nyi Bodong membatin.

Memasuki goa Nyi Bodong melihat jejak-jejak kaki yang masih basah di lantai. Dada si nenek
berdebar. Di satu tempat dia menemukan sisa sobekan jubah kelabu teronggok di lantai goa.
“Aku terlambat lagi. Dia memang ada di tempat ini sebelumnya.”

Nyi Bodong kecewa besar.

Begitu melewati tikungan dalam goa, walau penglihatannya agak redup namun Nyi Bodong
mampu melihat empat rangkaian guratan tulisan pada tiga dinding serta lantai goa. Sementara
hidungnya mencium wangi minyak kasturi.

“Lentera lblis…..” ucap Nyi Bodong perlahan. “Di dinding ada petunjuk tiga jurus kematian
mengandalkan lentera. Aku punya dugaan ada bahaya baru dalam rimba persilatan. Kemana
aku harus mengejar?. “

Nyi Bodong jongkok di lantai goa. Telapak tangan kanannya diletakkan di atas jejak kaki yang
ada dilantai.

Ketika dia mengalirkan hawa sakti ke atas jejak kaki, di lereng gunung sebelah selatan. Pangeran
Matahari yang tengah berlari cepat merasa sesuatu menyengat telapak kaki kanannya hingga
dia nyaris tersungkur di tanah.
Bersamaan dengan itu Lentera lblis yang ada dalam buntalan jubah kelabu mendadak menyala
terang. Di dalam goa kini Nyi Bodong merasakan datangnya serangan balik. Lantai yang masih
ditempeli tangan kanannya mengepulkan asap. Tangan terpental, tubuh terdorong keras,
tersandar ke dinding goa.

“Bahaya besar! Apakah aku perlu memberi tahu Kiai sebelum melakukan pengejaran?” Nyi
Bodong berdiri agak terhuyung. Lalu nenek muka putih ini dengan cepat tinggalkan tempat itu.
Di satu tempat ketinggian dimana dia dapat melihat jelas goa bekas kediaman Si Muka Bangkai
itu, Nyi Bodong berhenti. Dua kaki dikembang. Tangan kiri di angkat sebatas kepala, telapak di
arahkan ke goa. Dari mulut melesat keluar suara raungan seperti lolong srigala. Sunyi sesaat
lalu terdengar suara tawa cekikikan. Tangan kanan Nyi Bodong bergerak menyingkap bagian
perut pakaian birunya. Pusar bodong tersembul.

“Wuss! Wusss!”

Dua sinar biru berkiblat. Hanya dalam satu kejapan mata, goa di bawah sana runtuh dan
hancur. Longsoran tanah-serta tumbangan pepohonan bergemuruh menimbun. Goa yang
punya peran penting dalam rimba persilatan tanah Jawa itu kini lenyap untuk selamalamanya.

SANG SURYA masih belum menyembul di ufuk timur namun di hutan jati itu cuaca sudah
terang-terang tanah. Di bawah sebuah pohon besar Djaka Tua sibuk membelah batangan-
batangan bambu. Hujan besar yang turun malam tadi membuat gubuk beratap rumbia yang
dihuninya bersama Nyi Retno Mantili dan Kemuning mengalami bocor di beberapa tempat.
Kawatir hujan akan turun lagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mencari bambu dan dedaunan
besar untuk memperbaiki atap yang bocor.

Sementara bekerja kicau burung terdengar bersahutsahutan.

Membelah bambu mengingatkan bekas pembantu Tumenggung Wira Bumi itu pada kejadian
ketika dirinya ditangkap oleh Nyai Tumbal Jiwo. Ditotok lalu dijepit di rerumpunan bambu di
tembok selatan gedung kediaman Wira Bumi yang waktu itu telah menjabat sebagai Bendahara
Kerajaan. Untung dirinya diselamatkan Nyi Retno. Itu sebabnya pembantu ini mengangkat
sumpah dalam hati, kemanapun Nyi Retno pergi dia akan selalu mengikuti. Apapun yang terjadi
dia akan membela walau harus menumpah darah menyerahkan nyawa.

Terdengar suara berkereketan. Pintu gubuk terbuka. Nyi Retno Mantili keluar sambil
menggendong Kemuning, boneka kayu yang dianggapnya sebagai anaknya yang hilang.

“Sepagi ini kau sudah sibuk. Apa yang kau kerjakan?” bertanya Nyi Retno.
“Hujan malam tadi lebat sekali.Atap gubuk kita banyak yang bocor. Harus cepat diperbaiki. Saya
kawatir hujan turun lagi. Kasihan si kecil Kemuning kalau sampai terkena tirisan air hujan. Dia
bisa sakit.”

Nyi Retno tersenyum. Walau sampai saat itu pikirannya masih tidak waras namun ada kalanya
ucapan yang menyentuh hati membuatnya larut walaupun hanya untuk beberapa saat.

Djaka Tua tahu, sudah beberapa hari Nyi Retno tidak pergi mandi ke telaga kecil tak jauh dari
situ. Maka diapun bertanya. “Den Ayu, apa pagi ini Den Ayu akan mandi di telaga bersama
Kemuning?” Djaka Tua selalu memanggil majikannya itu Den Ayu karena kalau dipanggil dengan
nama Nyi Retno Mantili, perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu selalu marah
karena katanya namanya bukan Nyi Retno Mantili.

“Uh, mandi di udara sedingin begini? Bisa sakit anakku. Entah kalau siangan nanti.” Nyi Retno
Mantili menggeliat, mendekap boneka kayu lalu berkata. “Sebetulnya atap itu tidak
dibetulkanpun tidak jadi apa.

Bukankah kita selalu berpindah-pindah tempat tinggal?

Katamu untuk menjaga keamanan dan keselamatan.

Padahal aku tidak takut pada siapapun! Selama ini aku hanya mengikuti kemauanmu.
Sebenarnya mengapa kita selalu berpindah-pindah? Aku sudah betah tinggal di gubuk itu.
Udara di sini bagus. Ada telaga. Dan selama ini tidak ada mahluk yang mengusik kita.”

“Saya mengerti Den Ayu. Tapi belakangan ini di luaran banyak orang jahat berkeliaran,” jawab
Djaka Tua.

Dia menatap perempuan malang itu seketika lalu menyambung ucapannya. “Den Ayu, terakhir
kali saya ke pasar tiga hari lalu, saya mendengar kabar. Tumenggung Wira Bumi yang belum
lama menjadi Bendahara Kerajaan sekarang telah diangkat menjadi Patih Kerajaan …”

“Ceritamu itu tidak ada artinya bagiku. Siapa Wira Bumi? Apa itu Tumenggung? Apa itu
Bendahara Kerajaan?

Apa pula itu Patih Kerajaan?”

Djaka Tua terdiam. Kembali hatinya merasa sedih karena sampai saat itu jalan pikiran Nyi Retno
masih belum jernih. Gangguan jiwanya terlalu dalam dan parah.

lngin dia menerangkan bahwa Raden Mas Wira Bumi yang sekarang menjadi Patih Kerajaan itu
adalah suaminya.

Namun pembantu ini takut akan didamprat Nyi Retno.


Yang paling dikawatirkannya kalau-kalau keterangannya nanti akan membuat perempuan
malang itu bertambah parah sakit jiwanya. Kalau saja Raden Mas Wira Bumi tidak menuntut
ilmu sesat pada Nyai Tumbal Jiwo, tidak akan begini nasib perempuan muda yang masih belum
sampai berusia tujuh belas tahun itu.

Sedikit demi sedikit sang surya menyembul di ufuk terbitnya. Cuaca perlahan-lahan menjadi
terang.

“Den Ayu, selesai membetulkan atap saya bermaksud pergi ke pasar.

Persediaan makanan kita hanya cukup untuk satu hari.”

“Ya, pergilah. Jangan lupa membeli pisang untuk Kemuning. Aku akan mengambil uang …”

Setiap ke pasar Djaka Tua memang membeli pisang.

Pisang yang katanya untuk Kemuning tentu saja tidak pernah dimakan boneka kayu itu hingga
akhirnya selalu tinggal membusuk.

“Tidak usah Den Ayu. Sisa uang belanja tempo hari masih ada,” jawab Djaka Tua.

“Kalau begitu, sebelum kau pergi ke pasar ada baiknya aku dan Kemuning mandi dulu di
telaga.” Habis berkata begitu sambil bernyanyi-nyanyi menggendong boneka kayu Nyi Retno
Mantili melangkah pergi. Tapi dia bukannya menuju telaga. Ketika melewati satu pohon besar
yang salah satu cabangnya meliuk rendah, perempuan ini enak saja melesat ke atas dan sesaat
kemudian dia sudah duduk berjuntai di atas cabang pohon, boneka kayu digendong diayun-
ayun. Lnilah kehebatan yang dimiliki Nyi Retno berkat ilmu yang diberikan Kiai Gede Tapa
Pamungkas padanya. Walau pikirannya tidak waras namun dengan kuasa Tuhan dia memiliki
kemampuan untuk menyerap beberapa ilmu kepandaian yang dimasukkan sang Kiai ke dalam
tubuhnya.

Sambil duduk uncang-uncang kaki Nyi Retno Mantili mulai menyanyi. Sebenarnva Djaka Tua
selalu merasa kawatir setiap kali Nyi Retno menyanyi. Dia takut ada orang mendengar,
mendatangi lalu menyelidiki atau berbuat jahat. Bagaimanapun juga meski pikiran terganggu,
keadaan tidak terawat, namun kecantikan Nyi Retno Mantili tidak pupus. Sekali melihat
wajahnya orang pasti akan tertarik. Apa lagi yang namanya mata lelaki!

***

WALAU cuaca buruk, hujan gerimis turun dan pasar becek namun tetap saja Pasar lmogiri ramai
dikunjungi orang. Selesai membeli barang belanjaan, untuk melepas haus dan mengurangi rasa
lelah serta dingin Djaka Tua menyempatkan diri minum air serbat di salah satu sudut pasar.
Minuman hangat itu membuat tubuhnya segar keringatan. Caping bambu yang sejak tadi
menempel di kepala dibuka sebentar untuk mengusap rambut serta keningnya yang basah oleh
keringat.

Hanya terpisah beberapa belas langkah dari tempat Djaka Tua minum serbat ada sebuah kedai
makanan yang selalu ramai pengunjung. Dua orang di antara para tamu yang sarapan di tempat
itu adalah perajurit Keraton yang pernah bertugas di gedung kediaman Wira Bumi semasa
masih menjadi Tumenggung. Saat itu keduanya sedang bebas tugas satu hari dan tidak
mengenakan pakaian keperajuritan. Salah seorang dari mereka sejak tadi memperhatikan Djaka
Tua yang asyik menikmati serbat hangat. Saat itu Djaka Tua telah membuka caping bambunya
sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. Perajurit yang satu ini kemudian menyikut rusuk
temannya dan berkata.

“Gondo, coba kau perhatikan lelaki yang sedang minum serbat itu. Aku sangat mengenali
wajahnya.

Bukankah dia Djaka Tua pembantu di gedung Tumenggung tempat kita pernah bertugas dulu?”

Perajurit bernama Gondo memandang ke arah yang ditunjuk kawannya, memperhatikan lelaki
berusia sekitar setengah abad yang duduk di bangku panjang tengah minum serbat. Sebuah
caping terletak di pangkuan. Di alas bangku di sebelahnya ada sebuah keranjang berisi barang
belanjaan.

“Supat, tampang dan potongan badannya memang sama dengan Si Djaka Tua,” berkata Gondo.
“Tapi orang ini tidak memiliki punuk di punggungnya”

“Walau ini memang aneh.” kata perajurit bernama Supat. “Tapi aku tetap yakin dia Djaka Tua
pembantu di Gedung Tumenggung dulu.

Bagaimana kalau kita menyelidiki. .Jika dia memang Djaka Tua dan kita bisa menangkapnya,
pasti akan mendapat hadiah besar dari Raden Mas Wira Bumi. Apa lagi beliau sudah menjadi
Patih Kerajaan. Bagaimana kalau kita tangkap dia sekarang juga?”

“Tunggu dulu, jangan kesusu. Menangkapnya soal gampang. Dia dikabarkan telah mencuri bayi
Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Kalau diam-diam kita mengikutinya, besar
kemungkinan dia akan membawa kita ke tempat dimana bayi itu disembunyikan. Kalau kita
mendapatkan bayi itu hadiah dari Raden Mas Wira Bumi akan berlipat ganda. Malah tidak
mustahil kita akan mendapat kenaikan pangkat istimewa.”

“Aku setuju jalan pikiranmu,” kata Supat. “Lihat, dia sudah membayar tukang serbat. Ayo kita
ikuti.”

***
DJAKA TUA bukan tidak tahu kalau ada dua orang berbadan tegap mengikutinya sejak dia
meninggalkan Pasar Imogiri. Dia tidak mau berpaling ke belakang untuk memperhatikan wajah.
Namun dari potongan tubuh dua penguntit dia yakin mereka adalah perajurit Kerajaan. Jika
orang menguntit dirinya pasti ada yang diincar atau hendak diselidiki. Pembantu ini cukup
cerdik. Kalau hutan jati tempat beradanya gubuk kediaman Nyi Retno Mantili terletak di
sebelah timur maka saat itu dia sengaja berjalan ke arah barat.

Setelah sekian lama dan jauh mengikuti, orang yang dikuntit tidak sampai-sampai ke tempat
tujuan, Gondo dan Supat mulai curiga. Dua perajurit Keraton ini langsung saja mengejar dan
menghadang jalan Djaka Tua.

Djaka Tua pura-pura terkejut.

“Kalian ini begal atau apa? Aku tidak punya barang berharga untuk dirampok.” Ucap Djaka Tua.

“Setan alas! Kami bukan begal bukan perampok!”

bentak Gondo. “Kami ingin menyelidik siapa kau adanya!”

“Dulu kau punya punuk di punggungmu! Sekarang tidak ada lagi. Apa yang terjadi dengan
dirimu?!”

Menyambung Supat dengan bentakan pula.

“Ada-ada saja kalian. Aku tidak pernah punya punuk di punggung.” Jawab Djaka Tua. “Kalau
kalian mau mencari orang berpunuk pergilah ke desa Getas di kaki selatan Gunung Merbabu.
Kabarnya di sana banyak lelaki perempuan yang punya punuk di punggungnya.”

Supat dan Gondo menyeringai.

“Kau pandai bicara!” ucap Gondo lalu merampas keranjang di tangan kiri Djaka Tua, memeriksa
isinya.

“lni belanjaan dapur. Untuk siapa kau membeli?!” Bentak Gondo.

“Aku yang belanja. Tentu saja untuk keperluanku sendiri di rumah!”

“Jadi kau punya rumah! Nanti tunjukkan pada kami dimana rumahmu!” Berkata Supat sambil
tepuk-tepuk bahu Djaka Tua.

“Di dalam keranjang ada pisang. Untuk siapa?

Makanan bayi?” Gondo menanyai dengan pandangan mata garang.


“Aku tidak punya bayi.”

“Tentu saja karena kami tahu kau adalah perjaka tua!” hardik Gondo. “Jangan bersandiwara.
Kau kira kami tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah Djaka Tua, dulu pembantu di Gedung
Tumenggung Wira Bumi. Kami mengenalimu karena pernah bertugas beberapa hari di sana.”

Walau dadanya berdebar karena orang sudah tahu pasti siapa dirinya namun Djaka Tua pura-
pura tersenyum dan gelengkan kepala berulang kali. “Keliru. Keliru sekali.

Namaku Lor Arta bukan Djaka Tua. Aku tidak pernah bekerja di Gedung Tumenggung.”

“Dusta! Kau kira bisa mempermainkan kami?! Kau tengah menuju ke satu tempat. Tapi sengaja
berputarputar untuk menipu kami! Sekarang juga bawa kami ke tempat kediamanmu. Kau
mencuri bayi Raden Mas Wira Bumi! Pisang dalam keranjang itu pasti untuk makanan bayi!
Dimana bayi itu kau sembunyikan hah!”

“Makin bingung aku mendengar ucapan kalian berdua. Bayi? Bayi apa? Siapa Raden Mas Wira
Bumi aku juga tidak tahu. Aku ingin melanjutkan perjalanan. Harap jangan membuat susah
orang desa seperti aku ini.”

Supat dan Gondo tertawa gelak-gelak. “Pandainya kau bersandiwara, Djaka Tua. Apa aku copot
dulu salah satu tanganmu baru kau mau bicara betul?!” Supat rnengancam sambil menghampiri
Djaka Tua lalu menyambar tangan kiri pembantu itu dan memelintirnya ke punggung hingga
Djaka Tua merintih kesakitan.

“Kau bakal tambah sengsara kalau terus menipu kami. Sekarang juga tunjukkan di mana tempat
kediamanmu! Kalau kau berani menipu atau melarikan diri akan kami tanggalkan anggota
badanmu satu persatu!”

“Aku tidak punya salah apa-apa. Tuduhan kalian dibuat-buat! Dari pada menganiaya diriku
mengapa tidak membunuhku sekarang juga?!”

Djaka Tua sudah nekad. Dia lebih baik mati dibunuh orang dari pada memberi tahu dimana
tempat kediamannya yang berarti sama dengan membuka rahasia dimana beradanya Nyi Retno
Mantili.

“Hebat! Berani menantang! Rasakan dulu ini!”

Tangan kanan Gondo berkelebat. Satu jotosan keras mendarat di ulu hati Djaka Tua. Caping di
kepala Djaka Tua terlempar. Tubuhnya yang kecil terlipat ke depan. Dari mulutnya keluar suara
jeritan keras lalu muntahkan darah segar!

“Manusia-manusia jahat! Mengapa tidak membunuhku saja …” ucap Djaka Tua dengan suara
parau, muka pucat dan darah berselomotan di mulut dan dagu.
Supat jambak rambut Djaka Tua lalu menyentakkannya ke atas hingga lelaki berusia setengah
abad ini tertegak terhuyung.

“Gondo! Hajar mulut dustanya biar dia tahu rasa!”

Mendengar ucapan kawannya, Gondo segera layangkan satu jotosan keras ke muka Djaka Tua,
tepat di arah mulut dan hidung.

“Praakk!”

Djaka Tuak menjerit keras. Tulang hidung patah, bibir atas pecah. Darah mengucur. Supat
lepaskan jambakannya, Djaka Tua langsung roboh ke tanah, mengerang tersengal-sengal,
menahan rasa sakit luar biasa.

Jeritan keras Djaka Tua tadi sempat terdengar oleh dua orang yang kebetulan lewat di tempat
itu.

Gondo jongkok di samping Djaka Tua.

“Bagaimana rasanya? Kau akan lebih sengsara kalau tanganmu ini aku tanggalkan dari
persendian. Mau memberi tahu dimana tempat kediamanmu atau tidak?

Dimana kau sembunyikan bayi itu?!” Gondo cekal pergelangan tangan kanan Djaka Tua erat-
erat.

“Aku mau kau membunuhku saat ini juga …” jawab Djaka Tua. Suaranya parau karena ada ludah
campur darah di mulutnya. Pembantu ini memilih mati dari pada membuka rahasia.

“Manusia tolol! Kau memilih sengsara!” Gondo pelintir pergelangan tangan Djaka Tua. Ketika
dia hendak membetot tangan itu tiba-tiba sepotong patahan ranting melesat di udara lalu
menancap di punggung kanan Gondo. Perajurit Keraton ini menjerit setinggi langit. Kaget dan
sakit. Tubuh terhuyung, cekalannya terlepas dari pergelangan tangan Djaka Tua. Supat
berteriak marah. Berpaling ke belakang dia melihat dua orang melangkah mendatangi sambil
cengar cengir. Yang di sebelah kanan seorang kakek berkepala setengah gundul, mata dan
kuping lebar, mengenakan celana gombrong basah kuyup di sebelah bawah. Orang kedua
seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian serba putih, berjalan cengar cengir sambil
garuk-garuk kepala!

“Kurang ajar! Siapa diantara kalian yang barusan melempar ranting melukai temanku!” bentak
Supat sementara Gondo terduduk di tanah. Darah membasahi bagian belakang bajunya setelah
tadi dengan paksa dia mencabut patahan ranting yang menancap di punggungnya.
“Aku orangnya!” menjawab si kakek yang bukan lain adalah Setan Ngompol sambi! angkat
tangan kiri lalu telapak diulap-ulapkan. “Memangnya kau mau juga? Aku masih ada sepotong
ranting lagi!” Setan Ngompol goyangkan patahan ranting yang ada di tangan kanan lalu tertawa
mengekeh.

Dijawab dan disikapi begitu rupa Supat jadi berang.

Dia melompat menyerbu si kakek. Tinjunya menderu deras ke muka Setan Ngompol.

“Bukkk!”

“Huuwee!” Setan Ngompol meledek sambil julurkan lidah.

Tinju Supat tenggelam ke dalam telapak tangan kiri yang dipakai menangkis oleh Setan
Ngompol. Lima jari tangan si kakek mencengkeram lalu berputar.

“Terbang!” Setan Ngompol berteriak keras. Kencing terpancar.

Supat merasa tangan dan tubuhnya disentak keras.

Saat itu juga tubuh tinggi besar perajurit Keraton ini benar-benar terbang melesat ke udara
sampai setinggi dua tombak. Walau memiliki dasar ilmu silat yana cukup baik namun seumur
hidup baru sekali itu Supat mengalami dilempar lawan ke udara. Akibatnya dia jadi kelagapan
tunggang langgang dan tak mampu mencari selamat.

Supat terbanting bergedebuk, jatuh punggung di tanah!

Pemuda yang muncul bersama Setan Ngompol, si rambut gondrong berpakaian serba putih
yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk
ke arah Supat yang tergeletak di tanah. Rupanya perajurit ini cukup kuat juga. Setelah nanar
terdiam beberapa lama dia mulai bergerak lalu bangkit berdiri. Muka kelam membesi, tubuh
bergetar tanda hawa amarah yang menggelegak. Sementara itu dalam keadaan hidung dan
mulut cidera berat serta menahan sakit Djaka Tua masih sempat memperhatikan apa yang
terjadi. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa adanya kakek dan pemuda yang telah
menyelamatkan dirinya itu.

“Tua bangka jahanam! Kau dan kawanmu mencari mati! Kalian tidak tahu siapa kami! Kami
adalah perajuritperajurit Keraton di Kotaraja!” Supat berteriak keras.

“Aha! Jadi kalian ini aparat Kerajaan rupanya. Lalu mengapa enak saja menyiksa orang ?!“ tanya
Setan Ngompol sambil dua tangan berkacak pinggang.
“Apa yang kami lakukan adalah urusan kami! jangan berani ikut campur! Kalian berdua lekas
minggat dari tempat ini!” Gondo membentak. Perajurit yang terluka pada punggungnya ini
sudah mampu berdiri walau terhuyung-huyung dan muka pucat.

“Dua keparat tidak tahu juntrungan! Manusia yang kami hajar itu adalah penculik bayi Patih
Kerajaan! Kalian hendak melindunginya? Kalian berdua akan kami buat busuk dalam penjara!”
teriak Supat.

“Seorang bertubuh kecil, bertampang tolol begini rupa dituduh menculik bayi Patih Kerajaan.
Dihajar habishabisan.

Luar biasa! Bagaimana menurutmu, Wiro?” Setan Ngompol delikkan mata pada Supat yang
barusan bicara lalu berpaling pada Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng pencongkan mulut, menggaruk kepala lalu menjawab. “Luar biasa! Aku
tidak percaya dia penculik!”

“Manusia-manusia sinting! Kepala kalian pantas dipisahkan dari badan!” teriak Supat. Lalu dari
balik pakaian gombrongnya dia menghunus sebilah golok pendek. Senjata ini tampak angker
karena warnanya tidak berkilat tapi hitam penuh karatan. Menurut orang yang tahu warna
hitam serta karatan itu adalah bekas darah orang yang pernah dibunuh Supat, tidak diseka
dibiarkan kering sendiri.

Selain memiliki ilmu silat tangan kosong, Supat juga menguasai ilmu memainkan golok yang
disebut “Tiga Jurus Rajawali Terbang”. Selama ini telah banyak lawan yang roboh dihajar
goloknya. Namun dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa ketika dia menyerbu ke arah
Setan Ngompol. Seharusnya ketika tadi dirinya dibuat terbang oleh si kakek dia sudah tahu diri.
Namun amarah membuat dia tidak mampu berpikir jernih, juga temannya yang bernama
Gondo.

“Tabas lehernya Supat! Cincang tubuhnya!” teriak Gondo memberi semangat.

Golok di tangan kanan Supat berkelebat ganas.

Menderu deras mengarah kepala Setan Ngompol dalam kecepatan luar biasa. Perajurit Keraton
ini terperangah ketika Tiga Jurus Rajawali Terbang yang diandalkannya lewat begitu saja tanpa
senjatanya mampu menyentuh lawan, apa lagi menabas leher dan mencincang! Untuk
beberapa saat lamanya dia tegak tertegun, memandang ke arah golok lalu ke arah Setan
Ngompol. Akan halnya Gondo, menyaksikan apa yang terjadi otaknya mulai bekerja dan
tengkuknya serta merta menjadi dingin.

“Kek, kita tidak punya waktu lama di tempat ini.


Bagaimana kalau perajurit yang barusan menyerangmu dengan golok kita beri hadiah minuman
kehormatan?”

Mendengar ucapan Wiro, Setan Ngompol tertawa bergelak.

“Aku setuju saja. Memang sudah lama aku tidak berbuat kebajikan memberikan hadiah.
Silahkan kau yang mengatur!” kata si kakek pula.

Ketika Wiro melangkah cepat ke arahnya Supat serta merta menyambut dengan serangan
golok. Orang yang diserang bergerak kian kemari. Senjata Supat hanya menyambar udara
kosong. Ketika Supat nekad melanjutkan serangan tiba-tiba satu totokan mendarat di paha
kirinya. Lutut kiri perajurit ini goyah. Sesaat kemudian dia roboh ke tanah. Tubuhnya sebelah
kiri mulai dari bahu sampai ke kaki mendadak sontak lumpuh tak mampu digerakkan. Wiro
angkat kaki kiri lalu diinjakkan ke leher Supat. Tidak keras tapi cukup membuat mulut Supat
terbuka lebar.

“Mana minumannya Kek?” tanya Wiro sambil senyumsenyum.

“Jahanam! Kalian mau apakan diriku?!” teriak Supat.

“Tenang saja sobat! Kau bakal dapat minuman paling sedap di dunia!” kata Wiro pula. “Kek?!”

“Siap! Tinggal dikucurkan!” jawab Setan Ngompol.

Lalu kakek ini melangkah mendekati Supat. Kaki kiri di angkat di arah atas kepala, ujung celana
yang basah lepek tepat berada di atas mulut perajurit itu. Pantat digoyang diogel-ogel. Mata
dikedap-kedip. Mulut mengedan-edan. Sesaat kemudian serrr … serrr …. serrr! Air kencing si
kakek mengucur kebawah, melewati kaki celana kiri lalu serr …gluk-gluk-gluk masuk ke dalam
mulut Supat.

Perajurit Keraton itu memaki habis-habisan. Namun semakin keras dia berteriak semakin
banyak air kencing Setan Ngompol yang masuk ke dalam mulutnya hingga dia tercekik-cekik!
Sementara Supat tersiksa setengah mati Wiro dan Setan Ngompol tertawa gelakgelak.

Gondo yang menyaksikan apa yang terjadi dengan temannya karuan saja jadi ketakutan
setengah mati.

Dirinya mungkin akan jadi korban ke dua. Lebih baik digebuk babak belur dari pada dicekok
diminumi air kencing begitu rupa. Perutnya mendadak merasa mual, seperti mau muntah. Tidak
menunggu lebih lama dia segera kabur meninggalkan tempat itu secepat yang bisa
dilakukannya. Sementara itu Djaka Tua yang menyaksikan hal itu walau dirinya berada dalam
keadaan cidera dan sakit mau tak mau selain heran juga merasa geli.

“Cukup Kek?” “ tanya Wiro.


“Tunggu, masih ada yang kental,” jawab Setan Ngompol.

Suara caci maki Supat tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara seperti orang mengorok. Lalu
perajurit ini semburkan muntah. lsi perutnya serasa mau terbongkar. Wiro turunkan kaki dari
atas leher Supat. Setan Ngompol juga turunkan kaki kirinya ke tanah.

“Bagaimana? Enak?!” tanya Wiro.

“Mau lagi?!” tanya Setan Ngompol seraya melirik ke arah Gondo. Melihat orang
memperhatikan dirinya, Gondo tidak menunggu lebih lama. Serta merta perajurit Keraton satu
ini putar tubuh dan lari lintang pukang dari tempat itu.

“Hak .. huk … hak … huk …. Hueekkk!”

Supat kembali semburkan muntah. Kelumpuhan pada tubuhnya sebelah kiri lenyap. Setelah
menunggingnungging dia berusaha berdiri walau terhuyung-huyung.

Melihat temannya kabur dia akhirnya melakukan hal yang sama. Ambil langkah seribu meski
larinya tersaruk-saruk.

Djaka Tua menyeka darah yang membasahi muka sekitar hidung dan mulut lalu berdiri. Sambil
memegangi perutnya yang bekas dijotos pembantu yang malang ini melangkah mendekati Wiro
dan Setan Ngompol lalu jatuhkan diri di hadapan ke dua orang itu.

KAKEK dan Raden berdua, saya Djaka Tua, sangat berterima kasih atas pertolongannya.

Kalau tidak diselamatkan niscaya saat ini saya sudah menemui ajal ditangan dua orang perajurit
Keraton tadi.” Suara Diaka Tua tersengal bindeng akibat cidera di hidungnya. Begitu terhenti
bicara darah mengucur dari hidung. Dia berusaha membungkuk. Tapi tubuhnya menghuyung,
hampir terjerambab ke tanah kalau tidak bahunya cepat ditahan Setan Ngompol.

“Duduk saja di tanah. Tidak perlu berlutut di hadapan kami,” kata Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lalu dia menotok jalan darah di pelipis dan leher Djaka Tua. Darah yang tadi mengucur di
hidung serta merta berhenti. Rasa sakit akibat cidera pada hidung serta mulut perlahan-lahan
terasa jauh berkurang.

“Terima kasih … Saya benar-benar berhutang budi besar pada Raden ….” Setelah ditotok suara
Djaka Tua tidak bindeng lagi.

“Namaku Wiro. Tidak usah memanggil dengan sebutan Raden segala. Kakek ini biasa dipanggil
Setan Ngompol.”
“Saya sangat berterima kasih …” Djaka Tua anggukanggukkan kepala. Dua matanya tampak
berkaca-kaca.

“Mengapa dua orang perajurit Keraton itu hendak membunuhmu?” bertanya Setan Ngompol.
“Betul kau menculik bayi Patih Kerajaan?”

Djaka Tua duduk bersila di tanah, tak segera menjawab. Walau dua orang itu telah
menyelamatkannya namun dia masih belum tahu siapa mereka adanya. Rasa kawatir membuat
dia tidak mau membalas budi baik orang dan hutang nyawa dengan menjawab secara jujur.

“Jika dia tidak mau bicara kita pergi saja dari sini. lngat Kek, kita masih banyak urusan yang
harus dikerjakan.” Kata Wiro.

“Ra … Wiro, tunggu. Jangan tinggalkan saya di tempat ini. Mengingat budi pertolongan yang
sudah saya terima tentu saja saya akan akan menceritakan. Tapi saya ingin tahu lebih dulu siapa
adanya sahabat berdua. Apa yang akan saya ceritakan merupakan taruhan nyawa.

Taruhan nyawa saya sendiri dan seorang lain yang harus saya lindungi keselamatannya.”

“Kalau kau ingin tahu, kami berdua adalah orang.

orang gila rimba persilatan. Apakah keterangan itu cukup membuat kau mau bicara?!” Ucap
murid Sinto Gendeng pula.

Djaka Tua terdiam. Dia sering mendengar bahwa orang-orang rimba persilatan berkepandaian
tinggi ada kalanya menunjukkan sikap serta penampilan aneh.

Dengan suara perlahan Djaka Tua berkata. “Saya memang menculik bayi Raden Mas Wira Bumi.
Waktu itu beliau masih menjabat sebagai Tumenggung. Sekarang kabarnya sudah menjadi Patih
Kerajaan. Semua masalah yang saya hadapi bermula ketika saya datang ke Goa Girijati untuk
memberi tahu bahwa istri Raden Mas Wira Bumi sudah melahirkan seorang bayi perempuan …”

“Wong edan! Ternyata kau lebih gila dari kami!

Mengapa berani-beranian menculik bayi seorang pejabat tinggi Kerajaan?” tanya Setan
Ngompol pula sambil usapusap perut.

“Bapak tua ….”

“Panggil saya Djaka Tua,” kata Djaka Tua pada Wiro.

“Djaka Tua, ada orang yang menyuruhmu menculik bayi itu?” tanya Wiro. “Kau mendapat
bayaran besar?
Benar?”

Djaka Tua usap darah di dagunya lalu gelengkan kepala.

“Tidak ada yang menyuruh saya. Saya menculik justru untuk menyelamatkannya. Seseorang
memerintahkan Saya untuk membunuh bayi itu dengan sebilah golok besar milik Raden Mas
Wira Bumi.”

“Siapa yang menyuruh?” Tanya Setan Ngompol.

“Satu mahluk dari alam roh. Perintah diberikan pada Raden Mas Wira Bumi. Karena beliau telah
menyalahi sumpah perjanjian. Tapi Raden Mas lalu menyuruh saya melaksanakan tugas itu …”
menerangkan Djaka Tua.

“Mahluk dari alam roh itu apakah dia sebangsa hantu, setan, dedemit atau apa?!” tanya Setan
Ngompol sambil menahan kencing yang mau muncrat.

“Saya tidak tahu. Ujudnya seorang nenek angker serba merah, mulai dari rambut sampai kaki.
Pertama kali saya melihat sewaktu malam hari dibawa paksa oleh Raden Mas Wira Bumi ke
pekuburan Kebonagung ….”

“ltu pekuburan besar di luar Kotaraja,” ujar Setan Ngompol.

Djaka Tua mengangguk. “Dari dalam sebuah makam yang dijaga oleh seorang kuncen saya lihat
sendiri ada semburan asap. Lalu muncul sosok seorang nenek sangat mengerikan. Rambut,
muka, pakaian, tubuh, semua serba merah. Raden Mas Wira Bumi memanggil mahluk ini Nyai
Tumbal Jiwo…”

Setan Ngompol berpaling pada Wiro.

“Kek aku belum pernah mendengar nama itu. Apa lagi kenal orangnya.” Kata Wiro yang
mengerti maksud pandangan Setan Ngompol.

“Aku juga tidak tahu siapa adanya mahluk itu,” ucap Setan Ngompol pula.

“Mahluk itu adalah guru Raden Mas Wira Bumi dalam mendapatkan ilmu kesaktian.”
Menerangkan Djaka Tua.

“Begitu? Lalu bayi yang kau culik, kau kemanakan?

Berada dimana sekarang?” tanya Wiro.


“ltulah yang menjadi pikiran saya. Di tengah jalan, waktu itu hujan turun lebat sekali. Saya
masuk ke dalam goa. Bayi yang saya bedung dalam sehelai kain menangis terus-terusan. Tiba-
tiba di mulut goa saya lihat ada kabut tipis. Di dalam kabut muncul seorang kakek pakaian
selempang kain putih. Tubuhnya tinggi, kepala hampir menyondak bagian atas goa. Di tangan
kiri dia memegang sebuah tongkat kayu putih. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta
agar saya menyerahkan bayi karena katanya saya tidak akan bisa merawat. Katanya lagi bayi itu
berjodoh dengan dirinya. Kalau sampai terlambat bayi itu akan mati. Saya jadi bingung, juga
takut. Akhirnya bayi saya serahkan saja. Si orang tua lalu memberi nama bayi itu Ken Permata.
Orang tua ini juga tahu kalau saya membekal golok besar milik Raden Mas Wira Bumi yang
sebenarnya akan dipakai untuk menggorok bayi malang itu. Dia minta golok, saya serahkan.
Sebelum pergi orang tua itu melenyapkan punuk yang selama lima puluh tahun ada di
punggung saya …”

“Sakti luar biasa, “ kata Wiro sambil garuk kepala.

“Djaka Tua kau tahu siapa adanya orang tua itu?” tanya Wiro.

Djaka Tua menggeleng. “Saya juga tidak tahu dibawa kemana bayi itu …”

“Tololnya! Kau menyerahkan anak orang seperti menyerahkan kucing!” kata Setan Ngompol.

“Saat itu saya bingung sekali. Saya percaya pada kuasa dan jalan Tuhan. Kalau tindakan saya
salah biarlah saya menerima hukuman dunia akhirat. Orang tua itu adalah seorang sakti berhati
mulia. Dia pasti akan menjaga bayi itu baik-baik. Saya berharap satu ketika, kalau sudah besar
dia akan datang menyerahkan bayi itu pada ibunya. Cuma sayang …..” “Cuma sayang apa?”
tanya Wiro.

“Ibu bayi itu saat ini berada dalam keadaan tidak waras. Pikirannya terganggu. Dia melarikan
diri dari Gedung Tumenggung.. .”

“Mendengar bicaramu agaknya kau tahu dimana ibu bayi itu berada.”

Djaka Tua menatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu menoleh pada Setan Ngompol.
“Waktu dua perajurit itu menyiksa saya agar memberi tahu dimana tempat kediaman saya,
saya memilih lebih baik dibunuh …”

“Kami tidak akan membunuhmu sekalipun kau tidak mau memberi tahu,” kata Setan Ngompol
pula.

“Saya percaya. Saya akan membawa para sahabat kesana …” kata Djaka Tua lalu berdiri dan
melangkah.

Melihat langkah Djaka Tua yang tertatih dan terhuyung Setan Ngompol hilang sabarnya.
“Kalau kami mengikutimu. sedang kau berjalan seperti siput seperti itu, hampir kiamat rasanya
baru sampai ke tempat tujuan! Biar kugendong. Kau tinggal menunjukkan jalan!” Habis berkata
begitu Setan Ngompol lalu dukung Djaka Tua di bahu kirinya. Celakanya tubuh Djaka Tua
digendong melintang dengan bagian kepala menghadap ke depan sebelah bawah hingga
mukanya bersentuhan dengan celana gombrong Setan Ngompol yang basah lepek oleh air
kencing dan menebar bau pesing!

***

KETIKA sampai di gubuk di hutan jati, ke tiga orang itu dapatkan pintu terbuka dan gubuk dalam
keadaan kosong. Djaka Tua yang masuk ke dalam keluar kembali.

Wajahnya menunjukkan rasa kawatir.

“Den Ayu ….. ?!” Djaka Tua memanggil. Mula-mula dengan suara perlahan lalu bertambah
keras. Tidak ada sahutan.

“Den Ayu! Kemuning!” Djaka Tua kembali berseru, tetap tak ada jawaban. Yang terdengar
hanya suara semilir tiupan angin dan daun-daun pohon jati yang saling bergesekan.

“Siapa Kemuning?” tanya Wiro pada Djaka Tua.

“Anak Nyi Retno Mantili …”

“Kau bilang anak itu telah kau serahkan pada seorang kakek sakti. Namanya Ken Permata,
bukan Kemuning.” Kata Setan Ngompol pula.

“Bayi asli memang saya serahkan pada kakek sakti waktu di dalam goa. Yang bernama
Kemuning ini adalah sebuah boneka kayu yang oleh Den Ayu dianggap sebagai bayinya yang
hilang.”

Mendengar keterangan Djaka Tua Setan Ngompol dan Wiro jadi saling pandang. Si kakek
tersenyum. Si pemuda garuk-garuk kepala tapi otaknya berpikir-pikir.

“Den Ayu! Kau berada dimana? Ini aku Djaka Tua sudah kembali dari pasar. Aku membeli pisang
untuk Kemuning!” Untuk kesekian kalinya Djaka Tua berseru.

Tiba-tiba ada suara tawa perempuan melengking.

Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. Pendekar 212 Wiro Sableng berpaling. Mencari
siapa yang barusan tertawa. Namun suara tawa itu seolah datang dari berbagai arah.

Djaka tua tampak tugang. “Den Ayu … ?!”


“Wiro awas!”

Setan Ngompol berteriak. Secepat kilat dia mendorong tubuh Wiro ke belakang, merangkul
pinggangnya lalu bergulingan di tanah. Saat itu dari atas sebatang pohon jati berkiblat dua larik
sinar putih menyilaukan. Di lain kejap buumm …. buuumm!

Dua letusan keras menggelegar. Tanah terbongkar.

Asap mengepul. Dua lobang terpentang lebar dan dalam di bekas tempat Setan Ngompol dan
Wiro tadi berdiri.

Kencing si kakek muncrat tak karuan. Wiro sendiri terduduk setengah berlutut dengan wajah
pucat.

“Gila! Setan dari mana mau membunuh kita?!” ucap Setan Ngompol sambil pegangi bagian
bawah perutnya.

“Saat itu dari atas salah satu pohon jati besar melayang turun sosok seorang perempuan
berpakaian kumal, rambut tergerai kusut masai. Di tangan kirinya dia memegang sebuah
boneka perempuan terbuat dari kayu.

Boneka diarahkan pada Wiro dan Setan Ngompol. Jari-jari tangan siap memencet pinggang
boneka. Jika pinggang boneka ditekan, dari sepasang mata boneka akan melesat keluar dua
larik sinar putih. Sinar-sinar itulah yang tadi menyerang Wiro dan Setan Ngompol. Melihat
serangannya gagal kini si pemegang boneka yaitu Nyi Retno Mantili kembali hendak melepas
serangan kedua.

“Den Ayu! Jangan!”

Nyi Retno Mantili menjadi ragu meneruskan serangan ketika didengarnya seruan Djaka Tua.
Perempuan ini membuat gerakan jungkir balikdi udara, begitu turun dia sudah berdiri di
hadapan Djaka Tua. Tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri masih memegang boneka dan
tetap diarahkan pada Wiro serta Setan Ngompol.

“Dua orang itu telah menganiayamu! Mereka memaksamu datang kesini. Ternyata kau telah
berkhianat!” Suara Nyi Retno Mantili keras sekali dan dua matanya memandang mendelik.
“Kalian bertiga akan aku habisi saat ini juga!”

“Den Ayu, kau keliru. Justru kedua orang itu telah menyelamatkan diriku,” kata Djaka Tua. Lalu
dengan cepat dia menerangkan apa yang telah terjadi.

Sementara Djaka Tua memberi keterangan. Wiro dan Setan Ngompol saling bicara berbisik.
“Kek, aku ingat sekali. Bukankah perempuan membawa boneka ini yang dulu kita temui di
hutan belantara? Yang hendak diperkosa oleh seorang lelaki berperawakan dan punva ilmu
pukulan seperti Pangeran Matahari?!”

“Perempuan kecil halus. Wajah dekil rambut kusut awut-awutan. Tapi cantik!” menyahuti Setan
Ngompol sambil matanya menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Si kakek rupanya hanya ingat
cantiknya orang saja. “Kau betul Wiro. Perempuan inilah yang menghajar Pangeran Matahari
dengan dua cahaya sakti yang keluar dari sepasang mata boneka kayu. Lalu sosoknya lenyap
dan berganti muncul seorang nenek muka putih yang menuduh Pangeran Matahari sebagai
Hantu Pemerkosa. Nenek muka putih itu kemudian membuntungi tangan kiri Pangeran
Matahari.”

“Jadi inilah Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Sang suami jadi Patih Kerajaan. Dia
sendiri dalam keadaan begini rupa. Kasihan sekali …”

“Kasihan satu langkah menuju naksir” ucap Setan Ngompol lalu tertawa cengar cengir.

Di depan sana tiba-tiba perempuan muda yang memegang boneka keluarkan ucapan. “Aku
dengar kalian menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantill. Siapa itu?

Perempuan mana dia?!”

Setan Ngompol bengong. Wiro garuk-garuk kepala.

“Betul keterangan Djaka Tua. Perempuan muda lni benarbenar sudah rusak ingatannya.” Kata
Wiro dalam hati.

“Begini …. Nyi Retno adalah seorang sahabat kami yang sudah lama tidak pernah ketemu.
Wajahnya menyerupai Den Ayu. Tapi Den Ayu jauh lebih cantik …”

Nyi Retno Mantili tertawa keras dan panjang.

“Laki-laki dimana-mana sama saja. Mulut mudah mengumbar rayuan. Aku tidak cantik.
Pakaianku kumuh, tubuhku dekil. Hik..hik..hik.” Nyi Retno berpaling pada Setan Ngompol.
“Kakek yang kupingnya terbalik, temanmu ini matanya pasti sudah terbalik!”

“Tidak Den Ayu, kau memang cantik,” jawab Setan Ngompol.

Nyi Retno Mantili kembali tertawa. “Yang muda yang tua sama saja belangnya!” .Setelah
memperhatikan Pendekar 212 sejenak, perempuan muda ini berkata.”Menurut pengasuh
anakku, kalian mengaku sebagai orang-orang gila rimba persilatan! Apa betul?!”

“Betul sekali Den Ayu,” jawab Setan Ngompol.


“Walau gila tentunya punya julukan” kata Nyi Retno Mantili pula.

“Ah kami cuma orang-orang gila pinggiran, orangorang rimba persilatan kelas teri. Mana punya
julukan …”

“Lalu apa kalian juga tidak punya nama?!”

Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap perut.

“Namaku jelek. Orang-orang menyebut aku Setan Ngompol …”

Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. “Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Rupanya kau
yang ngompol di celana.” Nyi Retno berpaling pada Wiro. “Kau tidak punya nama?”

Pendekar 212 garuk-garuk kepala.

“Sobat mudaku ini orangnya pemalu. Biar aku yang memberi tahu. Namanya Wiro. Wiro
Sableng.”

Wiro tersenyum.

“Nyatanya dia bisa tersenyum. Berarti tidak pemalu tapi mata keranjang. Hik …hik …hik! Ada
orang namanya pakai sableng segala! Sableng benaran apa?!”

“Den Ayu, jangan mempermainkan orang yang telah menolong kita.” Djaka Tua berkata.

Nyi Retno Mantili cuma tertawa panjang sambil matanya melirik ke arah murid Sinto Gendeng.
Melihat sikap Nyi Retno Mantili ini Setan Ngompol membatin.

“Perempuan sinting ini sepertinya tertarik pada anak setan itu. Urusan bisa jadi panjang. Harus
cepat-cepat pergi dari sini.”

“Den Ayu, apa saya boleh bertanya?”

“Nah, apa kataku. Dia mau bicara padaku. Silahkan saja kalau mau bertanya. Aku siap memberi
jawaban terlebih dulu. Anakku ini namanya Kemuning. Aku bukan Nyi Retno Mantili. Aku tidak
punya suami. Aku tidak kenal Raden Mas Wira Bumi …”

“Maaf Den Ayu, saya tidak menanyakan semua itu.

Saya ingin tahu. Waktu kejadian di hutan, ketika Den Ayu diserang lelaki tinggi besar berjubah
kelabu dan Den Ayu menghajarnya dengan satu pukulan sakti. Den Ayu tibatiba lenyap. Lalu
muncul seorang nenek muka putih.
Pertanyaan saya, apakah nenek muka putih itu perubahan ujud dari Den Ayu … ?”

Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. Djaka Tua memperhatikan. Tidak pernah dilihatnya Nyi
Retno banyak tertawa seperti saat itu. Kehadiran dua orang yang menolongnya itu rupanya
mendatangkan kegembiraan pada diri Nyi Retno. Djaka Tua ikut merasa senang.

“Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dari dulu aku seperti ini, tidak pernah berubah
ujud. Apa kau kira aku ini mahluk gaib atau setan jejadian? Hik … hik … hik!”

Wiro garuk-garuk kepala.

“Menurut Djaka Tua ……” Nyi Retno memotong ucapan Setan Ngompol dengan pertanyaan.
“Djaka Tua, siapa itu Djaka Tua?!”

Si kakek menunjuk ke arah Djaka Tua. “Dia.

pengasuh anak Den Ayu.”

“Oh dia. Baru tahu aku kalau namanya Djaka Tua.”

Nyi Retno Mantili kembali tertawa cekikikan. Djaka Tua sendiri hanya tegak berdiam diri.

“Menurut Djaka Tua, anakmu itu bernama Kemuning.

Nama bagus.” Setan Ngompol meneruskan ucapannya yang tadi terpotong.

“Kau suka anakku? Mau menggendongnya?” Nyi Retno melangkah mendekati Setan Ngompol
hendak menyerahkan boneka kayu pada si kakek. Tapi tiba-tiba boneka yang sudah diulurkan
ditarik kembali. “Tidak mungkin aku bisa percaya pada orang yang punya nama Setan
sepertimu. Hik..hik! Nanti anakku dibawa kabur!

Apalagi kau bau pesing! lihhh!”

Nyi Retno Mantili lalu berpaling pada Wiro. “Kau mau menggendong Kemuning? Mungkin dia
suka padamu.”

Wiro tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Nyi Retno lalu mendatanginya dan mengulurkan
boneka kayu. Mau tak mau Wiro mengambil boneka itu. Dengan kikuk dia menirukan cara
orang menggendong bayi. Setan Ngompol memperhatikan dengan tertawa-tawa. Djaka Tua
mengulum senyum.

“Nah, nah! Kemuning suka padamu. Anak itu tidak menangis.” Ucap Nyi Retno Mantili pula.
Ketika Wiro hendak menyerahkan boneka kayu kembali Nyi Retno berkata. “Gendong saja biar
lama.

Kemuning anteng sekali dalam gendonganmu. Apa kau takut dikencingi? Hik … hik … hik.?’

Wiro jadi serba salah. Terlebih ketika melihat Setan Ngompol memberi isyarat agar mereka
segera tinggalkan tempat itu. “Den Ayu, kami senang mengenalmu. Kami juga suka pada
anakmu, Kemuning. Cuma, kami tidak bisa lama-lama di sini. Kami terpaksa minta diri …” Wiro
ulurkan boneka kayu.

“Tunggu dulu,” jawab Nyi Retno. Dia tidak mau mengambil boneka yang diulurkan.

Wiro tidak kehabisan akal. Boneka diserahkan pada Djaka Tua.

“Maaf Den Ayu, saya ingin buang air kecil. Tadi kebanyakan minum air tebu …” Setelah
menyerahkan Kemuning pada Djaka Tua, Wiro segera putar tubuh tinggalkan tempat itu.

“Aduh, perutku juga mendadak mulas. Den Ayu, Djaka Tua aku pergi dulu.” Setan Ngompol ikut-
ikutan ngacir dari tempat itu.

Nyi Rento Mantili tampak gusar. Dia ambil boneka kayu dari tangan Djaka Tua lalu diarahkan
pada kedua orang yang berada di depan sana. Jari-jari tangannya siap menekan pinggang
boneka.

“Jangan Den Ayu. Mereka orang-orang baik. Saya yakin mereka terpaksa pergi karena ada
kepentingan ain yang tak bisa menunggu …”

“Kalau begitu mari kita ikuti kemana mereka pergi!”

kata Nyi Retno pula. “Aku ingin tahu orang-orang gila bagaimana mereka sebenarnya!”

Ketika Nyi Retno Mantili berkelebat ke arah dua orang yang telah pergi itu mau tak mau Djaka
Tua terpaksa mengikuti. Lagi pula dia punya firasat bahwa keberadaannya yang telah diketahui
dua perajurit Keraton cepat atau lambat akan mendatangkan bahaya bagi Nyi Retno.

***

MASlH dalam keadaan cidera, Gondo dan Supat sesampainya di Kotaraja langsung menghadap
Patih Kerajaan. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ke dua orang ini dipersilahkan
menunggu di pendopo timur.

Begitu Patih Kerajaan datang dua perajurit segera menceritakan pertemuan mereka dengan
Djaka Tua. Tentu saja tidak lupa mereka menerangkan munculnya dua orang aneh, satu kakek
bermata besar berkuping lebar bau pesing dan seorang pemuda berikat kepala putih berambut
panjang sebahu.

“Dua perajurit, jika aku bisa menangkap Djaka Tua dan menemukan bayi, kalian berdua akan
aku beri hadiah besar dan kenaikan pangkat satu tingkat.” Kata Raden Mas Wira Bumi. Supat
dan Gondo merasa girang dan membungkuk dalam-dalam sambil mengucupkan terima kasih.
Patih Kerajaan kemudian menyambung ucapannya.

“Namun ingat baik-baik. Mulai saat ini kalian harus melupakan apa yang telah terjadi di hutan
jati itu. Kalian tidak pernah bertemu Diaka Tua serta dua orang aneh itu.

Kalian juga tidak tahu menahu tentang bayi. Kalian mengerti?”

“Kami mengerti Kanjeng Patih,” jawab Supat dan Gondo sambil membungkuk.

Tak lama setelah kedua perajurit itu pergi, Raden Mas Wira Bumi menemui seorang tokoh silat
Keraton bernama Cagak Lenting berjuluk Si Mata Elang. Orang ini sebenarnya tidak memiliki
ilmu silat atau kesaktian tinggi.

Namun dia disegani karena punya kemampuan luar biasa dalam mencari jejak, mengejar dan
menemukan seseorang.

Siang itu juga secara diam-diam Raden Mas Wira Bumi bersama Cagak Lenting meninggalkan
Gedung Kepatihan dengan menunggang kuda keduanya menuju tempat dimana Supat dan
Gondo menghadang dan menghajar Djaka Tua.

Cukup lama Cagak Lenting memperhatikan keadaan di tempat itu dengan sepasang mata
elangnya. Terakhir sekali dia jongkok, letakkan telapak tangan kiri kanan di tanah. digeser-geser
beberapa kali lalu tegak berdiri dongakkan kepala. menghirup udara dalam-dalam.

“Bagaimana?” tanya Patih Wira Bumi tidak sabaran.

“Saya mendapat petunjuk ada dua orang pergi ke arah selatan. Arah Kotaraja. Mereka pasti dua
perajurit yang datang melapor. Lalu ada tiga orang bergerak ke arah barat. Djaka Tua dan dua
orang aneh itu.”

Wira Bumi memandang ke langit. Matahari telah menggelincir ke barat. “Kita ke barat. Kau di
sebelah depan.” Kata Wira Bumi.

Cukup lama memacu kuda ke arah barat akhirnya ke dua orang itu sampai di pinggiran hutan
jati. Si Mata Elang hentikan kudanya sejenak.
Mata memandang tajam berkeliling lalu memberi tanda pada Patih Kerajaan untuk
mengikutinya. Tak selang berapa lama Cagak Lenting hentikan kudanya di depan sebuah gubuk.
Bersama Wira Bumi dia masuk memeriksa.

“Kita terlambat …” kata Patih Kerajaan sambil memperhatikan isi gubuk. Dia mengambil sebuah
keranjang dan menemukan sesisir pisang. “Bayi itu ada di sini! Lihat, ini pisang makanan bayi.”

Cagak Lenting alias Si Mata Elang menggeleng.

“Petunjuk yang saya dapat hanya ada dua orang pernah berada di tempat ini. Tidak ada bayi .
Dan kedua orang itu agaknya telah pergi dari sini.”

“Aku harus tahu mereka menuju kemana.” Kata Wira Bumi pula. Si Mata Elang keluar dari
gubuk.

Memperhatikan jejak-jejak di tanah. Lalu memandang ke jurusan sebelah kanan. Menghirup


udara dalam-dalam.

“Kanjeng Patih, mereka pergi ke arah utara. Ada empat orang ….”

“Aku sudah bisa menduga. Nyi Retno, Djaka Tua dan dua orang aneh itu. Kita kejar mereka.”

“Jarak kita terlalu jauh Kanjeng Patih. Belum tentu kita bisa mengejar mereka sebelum malam
tiba. Selain itu bukankah petang ini ada pertemuan penting dengan Sri Baginda?”

“Cagak Lenting. kau teruskan mengejar ke arah utara. Aku kembali ke Kotaraja. Mampir di
Kaliurang. Cari Kepala Desa. Jika kau menemui orang-orang itu jangan mengambil tindakan
dulu. Awasi saja jangan sampai lolos.

Kita berhadapan dengan tokoh-tokoh aneh rimba persilatan. Usahakan mencari tahu siapa
mereka.

Kemudian perintahkan Kepala Desa segera menemuiku di Gedung Kepatihan.”

“Perintah Kanjeng Patih akan saya laksanakan. Saya mohon diri.” Cagak Lenting naik ke atas
kudanya lalu memacu binatang itu menuju utara.

PENDEKAR 212 Wiro Sableng perlambat lari. berpaling pada Setan Ngompol di sampingnya.
“Kek, kau tahu kalau kita ada yang mengikuti?”

“Sudah tahu dari tadi. Juga sudah tahu siapa orangnya. Justru aku tengah mencari akal
bagaimana caranya bisa menyelinap dari kejaran mereka.”
“Kita bisa menghilang dari kejaran Djaka Tua. Tapi dari perempuan muda berotak tidak waras
itu rasanya sulit. Dia hanya sekitar dua puluh tombak di belakang kita.

Turut keterangan DjakaTua, Nyi Retno Mantili dulu tak punya ilmu kepandaian apa-apa. Jika
sekarang ia memiliki ilmu silat, kesaktian serta ilmu lari yang begitu hebat, sungguh luar biasa.
Siapa gerangan gurunya?”

“Bagaimana kalau kita tunggu saja dua orang itu. Kita tanyakan pada Nyi Retno apa maunya.”

“Urusan bisa berabe Kek. Jelas dia mau ikut kemana kita pergi ….”

“Wiro, jika mereka masih mengejar seharusnya Nyi Retno sudah sampai lebih dulu di sini,” kata
Setan Ngompol pula sambil putar-putar daun telinga sebelah kiri dan memandang ke jurusan
yang barusan mereka lalui.

“Aku mendengar suara derap kaki kuda ….” Baru saja Wiro selesai berucap tiba-tiba ada suara
kuda meringkik disusul bentakan-bentakan keras.

“ltu teriakan Nyi Retno!” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.

Tidak menunggu lebih lama kedua orang itu segera menghambur ke arah datangnya suara kuda
meringkik serta bentakan-bentakan. Di satu kelokan jalan mereka temui seekor kuda tergeletak
di tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kepalanya hancur. Di samping binatang ini,
terduduk di tanah seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hijau, rambut menjulai sebahu.
Wajah sangat pucat, mata memandang membeliak penuh takut pada Nyi Retno Mantili yang
saat itu berdiri hanya terpisah beberapa langkah. Tangan kiri memegang boneka kayu, dia
arahkan pada orang yana terduduk di tanah yaitu Cagak Lenting alias Si Mata Elang.

“Den Ayu! Jangan!” teriak Setan Ngompol.

Kencingnya terpancar. Selain ingin mencegah serangan maut yang hendak dilancarkan Nyi
Retno dengan bonekanya, kakek ini juga mengenali siapa adanya orang yang hendak jadi
korban itu.

“Tua bangka bau pesing! Apa urusanmu!” Bentak Nyi Retno dengan suara lantang wajah
garang. Dia turunkan tangan kirinya sedikit, kemudian diangkat lagi, kembali di arahkan pada
Cagak Lenting.

“Den Ayu, saya mohon jangan bunuh orang itu!” Kini Wiro yang berucap. Beberapa waktu lalu
bersama Setan Ngompol dia telah melihat Nyi Retno menghantam Pangeran Matahari dengan
sinar sakti yang melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu. Akibatnya luar biasa.

Sang Pangeran yang memiliki kepandaian tinggi itu terpental muntah darah!
Gerakan Nyi Retno langsung terhenti ketika mendengar ucapan Wiro. Perempuan muda ini
terdiam sesaat. Perlahan-lahan dia palingkan kepala. Ada secercah senyum di sudut bibirnya.
“Wiro. jika kau yang melarang aku menurut saja …” Keluar ucapan itu dari mulut Nyi Retno
Mantili. Tangan kirinya yang memegang boneka diturunkan lalu boneka didekap ke dada. “Tapi
manusia jahat ini telah membunuh pengasuh Kemuning …”

“A … aku tidak membunuhnya. Dia hanya pingsan. …”

“Mana pengasuh anakku?!” bentak Nyi Retno.

“Dia tergeletak di ujung jalan sana.”

Wiro segera lari ke arah yang ditunjuk Cagak Lenting, diikuti Nyi Retno sementara Setan
Ngompol cepat menghampiri Cagak Lenting, membantu orang ini bangkit berdiri.

“Sobatku Cagak Lenting, apa kau masih ingat diriku?” sapa Setan Ngompol.

“Ah. mana ada tokoh sakti lelaki bau pesing di dunia ini selain dirimu? Setan Ngompol, lama
tidak bertemu tahu-tahu kau muncul menyelamatkan diriku. Aku bersyukur pada Tuhan dan
berterima kasih padamu.”

“Apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu hendak membunuh sahabatku yang berjuluk Si
Mata Elang ini?” tanya Setan Ngompol.

“Sobatku, tugas seringkali mendatangkan kesulitan. Aku diperintahkan oleh Patih Kerajaan
untuk mengejar Djaka Tua dan Nyi Retno. Juga dua orang seperti yang dilaporkan dua perajurit
Keraton. Siapa menyangka dua orang itu salah satu diantaranya adalah engkau. Pemuda
berambut gondrong itu, siapakah dia?”

“Dia adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede.”

“Ternyata rejekiku besar sekali hari ini. Selain diselamatkan aku juga bisa bertemu dengan dua
tokoh silat tanah Jawa. Aku sudah lama mendengar nama hebat sobat mudamu itu. Baru sekali
ini bertemu muka.

Setahuku guru dan murid itu banyak sekali membantu Kerajaan di masa yang sudah-sudah.”
Lalu Cagak Lenting ceritakan tugas yang diberikan Patih Kerajaan padanya.

“Ketika sampai di kawasan ini sebenarnya aku berdua dengan Kepala Desa Kaliurang Ki Sentot
Bayu. Setelah melihat Djaka Tua, aku suruh dia kembali ke Kotaraja untuk melapor pada Patih
Kerajaan. Di tempat ini aku temui Djaka Tua, bekas pembantu Patih Kerajaan sewaktu masih
jadi Tumenggung dulu. Dia berlari sendirian. Aku cekal dia. Djaka Tua berteriak. Aku tidak
menduga kalau Nyi Retno Lestari juga ada di dekat situ. Tadinya mengira mungkin dia sudah
berada di satu tempat tersembunyi.

Dan aku sama sekali tidak menyangka perempuan muda itu memiliki ilmu kesaktian. Dia muncul
langsung menyerangku. Aku selamat tapi kudaku menemui ajal.

Luar biasa. Boneka kayu miliknya itu benar-benar merupakan senjata maut…”

Saat itu Wiro, Nyi Retno dan Djaka Tua muncul.

Cagak Lenting cepat membungkuk.”Pendekar Dua Satu Dua, saya Cagak Lenting menghaturkan
terima kasih kau telah menyelamatkan selembar nyawaku.” Cagak Lenting berpaling pada Nyi
Retno. Dia membungkuk sekali lagi dan berkata.

“Maafkan kalau saya telah berlaku lancang. Saya sangat berterima kasih Den Ayu telah
mengampuni selembar nyawa saya. Saya yang tolol ini hanya melakukan perintah atasan,
perintah Patih Kerajaan.

Sekali lagi saya minta maaf.”

Nyi Retno Mantili tertawa sinis dan acuh. Dia memandang pada boneka kayu dan berkata.
“Kemuning, kau dengar ucapan orang itu. Seringkali ketololan mencelakakan diri sendiri. Hik …
hik!”

“Para sahabat, silahkan semua melanjutkan perjalanan. Saya kawatir Patih Kerajaan akan
muncul di sini bersama orang-orangnya. Sebelumnya saya sudah meminta seorang Kepala Desa
untuk memberi tahu ….”

“Apa yang akan kau katakan pada Patih Kerajaan karena tidak berhasil menangkap dua orang
itu?” tanya Setan Ngompol.

“Biar itu menjadi urusanku. Kalian pergilah ….”

Setan ngompol masih belum puas. Dia ajukan satu pertanyaan lagi. “Cagak Lenting, kau tahu
siapa adanya perempuan muda itu?”

Lebih dari tahu, sobatku. Yang aku masih tidak mengerti adalah cerita tentang seorang bayi …”

“Justru perihal bayi itulah yang membuat Nyi Retno jadi tidak waras. Di lain kesempatan, kalau
kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahnya padamu. Sobatku, kita berpisah di sini …”

Cagak Lenting membungkuk dalam-dalam. Sebelum ke empat orang itu bergerak pergi, dia
telah beranjak lebih dulu.
Wiro dan Setan Ngompol saling pandang.

“Bagaimana sekarang?” tanya si kakek.

“Apanya yang bagaimana?” tanya Nyi Retno Mantili sambil ayun-ayun boneka di tangan kiri.
Tiba-tiba boneka itu diserahkan pada Wiro. “Anakku senang padamu, gendonglah.”

Wiro garuk-garuk kepala. Agaknya sekali ini sulit untuk meninggalkan Nyi Retno begitu saja.

“Den Ayu. kau tidakmungkin ikutan dengan kami,” kata Setan Ngompol.

“Siapa mau ikut kamu. Aku mau ikut dia ….” Nyi Retno menunjuk ke arah Wiro.

“Celaka!” ucap Pendekar 212 dalam hati dan kembali garuk-garuk kepala.

“Wiro, kalau Kemuning suka padamu, apakah aku tidak boleh suka padamu? Apakah aku tidak
boleh ikut bersamamu?”

“Ooalaa. Perempuan sinting ini suka pada Wiro.

Kenapa bisa jadi begini?!” Ucap Setan Ngompol dalam hati.

“Kemuning anak baik. Semua orang tentu suka padanya. Cuma saat ini saya dan kakek itu ada
beberapa tugas yang harus dilakukan.Saya harap Den Ayu dan Djaka Tua mau bersabar untuk
tidak ikut dulu. Nanti selesai urusan kami berdua pasti akan menemui Den Ayu …”

“Omongan lelaki siapa percaya. Kalau kau sudah pergi pasti tak ingat Kemuning, tak ingat diriku.
Aku mengerti, orang seperti diriku ini siapa yang mau diajak jalan bersama? Dan Kemuning,
hanya sebuah boneka kayu buruk …..”

Djaka Tua tercengang mendengar ucapan Nyi Retno itu. “Tuhan,” ucap lelaki ini dalam hati.
“Dalam ketidak warasannya apakah Engkau telah memberikan secercah kejernihan hati dan
pikiran?”

Sepasang mata Nyi Retno tampak berkaca-kaca.

Djaka Tua tundukkan kepala. Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Pendekar 212 Wiro
Sableng tegak terdiam. Nyi Retno melangkah mendekati Wiro. “Tolong kembalikan anakku,”
pintanya dengan suara lirih.

Wiro jadi sedih dan kasihan melihat Nyi Retno Mantili.

Hal ini membuat dia tidak segera menyerahkan boneka perempuan yang terbuat dari kayu itu.
Dalam keadaan semua orang terdiam seperti itu dan kesunyian menggantung tidak enak, tiba-
tiba satu bayangan hitam berkelebat disusul suara bentakan dan menghamparnya bau pesing.

“Anak setan! Apa yang kau buat di tempat ini?!”

Wiro tergagau. Setan Ngompol tersentak kaget langsung muncratkan air kencing. Djaka Tua
terheranheran.

Hanya Nyi Retno Mantili yang kelihatan tenang saja walau wajahnya masih menunjukkan
kemurungan.

Di tempat itu kini berdiri seorang nenek hitam, kurus tinggi agak bungkuk. Pipi dan mata
cekung, rambut putih jarang. Tangan kiri membolang baling sebatang tongkat kayu butut
hingga mengeluarkan suara bersiuran. Mata yang cekung itu menatap lekat-lekat ke wajah
Pendekar 212, melirik pada boneka kayu yang dipegang Wiro, melirik lagi ke arah Nyi Retno
Mantili. Tongkat ditancap di tanah.

“Anak setan! Jadi ini pekerjaanmu! Kuberi tugas malah berleha-leha enak-enakan. Siapa
perempuan muda berpakaian dekil tak karuan rupa ini! Gendakmu yang baru?! Pantas …
pantas!” Si nenek berpaling pada Setan Ngompol. “Tua bangka jelek! Pasti kau yang jadi mak
comblangnya!”

“Sinto kau ini ….” Setan Ngompol pegangi perut.

“Diam!” teriak Sinto Gendeng memotong ucapan Setan Ngompol lalu kembali memandang
pada Wiro.

“Anak setan! Apa yang kau pegang itu?!”

“Bayi Nek ….” Karena gugup Wiro ketelepasan menjawab.

Tampang Sinto Gendeng jadi kelam mengkeret.

Rahang menggembung, mulut perot komat kamit! Susur dalam mulut dikunyah gemas. Dia
meludah ke tanah.

“Bayi?!”

“Maksud saya, boneka Nek. Namanya Kemuning.. ..”

“Setan! Jelas itu boneka. Bukan bayj! Apa kau kira aku buta, tak bisa melihat?! Aku juga tidak
tanya namanya! Belum lama bertemu kau masih waras.
Sekarang apa otakmu sudah berubah sinting? Eh, kau sudah sableng beneran ya?! Kau kawin
sama perempuan hantu gembel ini sampai punya anak bayi berbentuk kayu?

Hik … hik … hik!”

Suara tawa Sinto Gendeng tiba-tiba dibarengi tawa Nyi Retno Mantili tak kalah nyaringnya.
“Setan perempuan! Jangan kau berani melecehkan tawaku! Jika saat ini aku tertawa, di lain
kejap aku bisa berteriak dan membunuhmu!” Sepasang mata Sinto Gendeng yang cekung
tampak berkilat-kilat.

“Nenek jelek! Sudah bau tanah mulutmu masih kotor!

Kalau aku mau ketawa siapa berani melarang?! Kalau kau mau berteriak dan membunuhku
mengapa tidak melakukan sekarang?!”

“Perempuan kurang ajar! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa! Kurobek mulutmu!” Sinto
Gendeng cabut tongkat yang menancap di tanah.

“Wuuttt!”

UJUNG tongkat di tangan kanan Sinto Gendeng melesat ke arah muka Nyi Retno Mantili.
“Eyang!

Jangan!” teriak Wiro.

Si nenek tidak bergeming, terus lancarkan serangan.

Sedang Nyi Retno Mantili tidak berusaha selamatkan diri.

Tetap saja tegak di tempatnya.

“Kemuning, ada nenek jahat bau mau mencelakai ibumu, apa kita diam saja?!”

Nyi Retno tiba-tiba berseru. Tangan kiri yang memegang boneka diangkat, diarahkan pada Sinto
Gendeng. Jari-jari menekan.

“Den Ayu, tahan!” teriak Wiro. Dia cepat melompat dan berdiri menghalang di antara Sinto
Gendeng dan Nyi Retno Mantili.

“Wiro, jika kau yang melarang aku menurut saja …”

Nyi Retno mundur dua langkah. Tangan yang memegang boneka diturunkan.
“Breettt!”

Ujung tongkat Sinto Gendeng menyambar punggung Wiro. Bukan saja merobek baju putihnya
tapi juga menggurat dalam daging di bagian punggung hingga mengucurkan darah. Wiro
menggigit bibir menahan sakit, melompat ke samping. Nyi Retno Mantili menjerit keras ketika
melihat luka melintang panjang mengucurkan darah di punggung Wiro.

“Nenek jahat! Kau apakan Wiro! Aku tidak rela!” Nyi Retno menerjang ke arah Sinto Gendeng.
Tangan kanan diangkat. Wajah boneka dipentang ke arah si nenek. Kali ini dia benar-benar ingin
membunuh Sinto Gendeng. Wiro cepat merangkul Nyi Retno seraya berkata. “Nyi Retno
Mantili! Jangan! Dia guru saya. Dia berhak menghukum saya jika saya salah.”

“Tapi apa salahmu?!” teriak Nyi Retno.Matanya berkaca-kaca. Tangan kiri memagut punggung
Wiro, mengusap darah yang mengucur. Perempuan tidak waras ini menjerit keras ketika
tangannya basah oleh lumuran darah.

“Wiro …. Darahmu ….” Nyi Retno menjerit lalu merangkul Pendekar 212 erat-erat.

Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Tidak percaya dia melihat apa yang terjadi. Djaka Tua
ingin mendekati Nyi Retno tapi tak berani.

“Kalian manusia-manusia konyol sinting semua!”

Sinto Gendeng memaki. “Anak setan! Kau dengar baikbaik ucapanku! Saat ini juga kau harus
berangkat ke Gunung Gede. Temui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada hal sangat penting yang
ingin dibicarakannya denganmu! Ini adalah perintah Kiai dan perintahku yang tidak boleh kau
tolak! Soal Kitab Seribu Pengobatan kau tak perlu mencarinya lagi!” Sinto Gendeng memandang
garang ke arah Nyi Retno Mantili. Yang dipandang membalas dengan seringai mengejek.
Membuat Sinto Gendeng tambah terbakar dada dan darah amarahnya. “Anak Setan!

Sebelum aku minggat ada satu hal yang harus kau pertanggung jawabkan! Kau sudah membuat
bunting seorang gadis bernama Wulan Srindi! Dia merampas satu dari lima tusuk kondeku.
Mengatakan bahwa tusuk konde itu adalah sebagai Mas Kawin tanda perkawinan kalian!

Cari setan perempuan itu! Kau harus dapat mengambil tusuk kondeku kembali! Soal nanti
Wulan Srindi melahirkan bayimu, apa lahir berupa boneka kayu atau boneka batu aku tidak
mau tahu!”

Wiro melengak kaget mendengar caci maki sang guru. “Eyang, saya tidak pernah berbuat
serong seperti itu. Saya tidak pernah menggauli Wulan Srindi ….”

“Lalu bagaimana dia bisa hamil?! Hantu yang membuntinginya?!” bentak Sinto Gendeng.
“Eyang, memang ada satu kejadian buruk menimpa diri Wulan Srindi. Malah seorang sahabat
saya sampai dituduh melakukan kekejian itu. Namanya Jatilandak ….”

“Anak Setan! Kau pandai bicara, pandai berkilah.

Pandainya kau mencari kambing hitam. Tapi jangan mengira bisa mendustai tua bangka seperti
aku ini! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Aku pernah memeliharamu!

Jadi tahu betul sifat serta sikapmu! Murid kurang ajar!

Manusia tidak berbudi! Kau membuat malu diriku. Kau mencelemongi mukaku dengan
kotoranmu! Jangan harap aku akan memberikan Ilmu Sepasang Inti Roh yang pernah kau
minta!” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Munculnya Sinto Gendeng”)

Dalam diamnya Wiro merasa sekujur tubuh bergetar.

Pelipis bergerak-gerak dan dada terasa sesak. Mulutnya terbuka tapi tidak sepotong suarapun
yang bisa keluar.

Luar biasa, guru yang dihormat dan dicintainya tega mengeluarkan ucapan begitu keras di
hadapan sekian banyak orang. Soal ilmu kesaktian dia dulu memang pernah meminta ilmu
Sepasang Inti Roh itu. Namun kemudian tidak pernah mengingat-ingatnya lagi. (Baca serial Wiro
Sableng berjudul “Munculnya Sinto Gendeng”) Dalam keadaan seperti sekarang ini dia tambah
tidak berminat untuk memintanya. Apa lagi dia sudah memiliki ilmu yang hampir sama
keampuhannya yaitu “Sepasang Pedang Dewa” yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang
Ameh. Hanya saja ilmu ini cuma bisa dikeluarkan dua kali dalam waktu 360 hari.

Di tempatnya berdiri Wiro merasa punggungnya yang cidera sakit dan panas bukan main. Dua
lutut mulai goyah.

Getaran ditubuh semakin keras. Dia menggigil seperti diserang demam panas. Perlahan-lahan
Pendekar 212 jatuh berlutut. Nyi Retno Mantili menjerit, jatuhkan diri dan terus merangkul
Wiro. Luka panjang di punggung Wiro mengepulkan asap. Nyi Retno kembali menjerit.

Setan Ngompol cepat mendekati Wiro. Sinto Gendeng tak kelihatan lagi. Melihat keadaan luka
di punggung Wiro yang mengepulkan asap, si kakek tusukkan tiga totokan.

Darah serta merta berhenti mengucur dan kepulan asap perlahan-lahan sirna.

Setan Ngompol sendiri habis menotok lalu kucurkan air kencing habis-habisan.

“Terima kasih Kek,” ucap Pendekar 212. Matanya menatap sayu pada Setan Ngompol. “Kek,
mungkinkah aku telah berbuat dosa kesalahan? Aku tidak mengerti mengapa Eyang Sinto tega
melukaiku. Aku yakin tadi dia masih bisa menarik pulang serangan tongkatnya. Tapi dia sengaja
tidak melakukan. Soal Wulan Srindi itu, kau tahu aku tidak pernah berbuat sekeji itu. Hatiku
sedih sekali Kek. Aku merasa sangat terpukul …”

Setan Ngompol hanya bisa angguk-anggukan kepala sambil pegangi bagian bawah perut.

“Kek, mungkin dimatanya aku ini merupakan seorang murid murtad? Kalau aku salah memang
pantas dihukum.

Dibunuhpun aku ikhlas. Aku menghormati Eyang Sinto, juga menyayanginya. Tapi rasanya … Ah,
aku ini memang murid kurang ajar!” Wiro akhirnya menyalahi diri sendiri.

Sepasang matanya berkaca-kaca.

“Wiro, siapa berani membunuhmu akan aku bunuh juga!” tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil
tangan kanan mendekapkan boneka kayu ke dadanya.

Wiro menatap wajah Nyi Retno. Perempuan itu tersenyum padanya. Wiro hanya bisa balas
tersenyum.

“Wiro, gurumu sedang kacau pikiran,” kata Setan Ngompol. “Wulan Srindi muncul memberi
tahu bahwa dia sudah kawin denganmu dan hamil. Satu dari lima tusuk kondenya dirampas ….”

“Aku kira nenek itu pikirannya lebih semrawut dari diriku!” lagi-lagi Nyi Retno keluarkan
ucapan. “Kalau ada seribu gadis mengaku hamil, apa itu semua pekerjaan Wiro? Seharusnya dia
menyelidik dulu. Uh! Baru kehilangan satu tusuk konde kelakuannya seperti setan kebakaran
pantat! Murid sendiri dilukai! Dicaci maki!

Bagaimana kalau tusuk kondenya hilang semua?! Mungkin manusia sejagat ini dibunuhinya!”

Djaka Tua sampai tertegun mendengar kata-kata Nyi Retno Mantili itu yang jelas-jelas membela
Wiro. Dalam keadaan tidak waras bagaimana dia bisa bicara begitu.

“Luar biasa sekali perubahannya setelah pertemuan dengan pemuda ini.”

Wiro berdiri. “Kek, tadi kau dengar sendiri Eyang Sinto mengatakan aku tidak perlu lagi mencari
Kitab Seribu Pengobatan. Aku senang saja terbebas dari satu tugas berat. Tapi menurutmu apa
yang telah terjadi?”

Setan Ngompol usap-usap perutnya. “Aku menduga, jangan-jangan dia sudah menemukan kitab
itu. Jadi tidak memerlukan lagi bantuanmu.”

“Dugaanmu kurasa benar Kek. Tadi aku menyelidiki dirinya dengan Ilmu Menembus Pandang.
Sebenarnya hal itu tidak boleh aku lakukan. Samar-samar aku melihat ada sebuah benda
berbentuk kitab di balik pakaiannya sebelah kiri. Kalau kitab itu memang sudah ditemui dan
berada di tangan Eyang Sinto aku merasa bersyukur. Tapi bagaimana kini caranya aku
membantu dua murid Hantu Malam Bergigi Perak? Mereka membutuhkan petunjuk
pengobatan yang ada dalam kitab itu. Kau tahu sendiri, kita sudah kepalang berjanji mau
menolong.”

“Wiro, terus terang aku jadi bingung. Semakin lanjut usianya semakin aneh-aneh saja perilaku
gurumu. Apa gunanya kitab itu dimilikinya sendirian. Padahal kitab bisa memberi pertolongan
pada banyak orang. Apa dia ingin mengangkanginya sampai mati?!”

“Mungkin dia kawatir kitab itu akan dicuri orang lagi.”

“Bisa jadi. Tapi aku tahu. Sinto Gendeng itu perempuan culas!” kata Setan Ngompol pula.

“Mengenai perintahnya agar aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas, bagaimana menurutmu
Kek?”

“Kau harus melaksanakan. Perintah itu bersumber dari sang Kiai.”

“Selama ini aku tidak dekat dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas.” Ucap Wiro sambil memandang
pada Nyi Retno. Perempuan ini menatapnya dengan pandangan mata sayu. Suaranya terdengar
lirih ketika berkata. “Kalau kau pergi ke Gunung Gede, aku ikut bersamamu. Aku mohon kau
jangan meninggalkan diriku dan Kemuning ….”

“Saya tak mungkin membawamu ke sana Nyi Retno Mantili. Perjalanan jauh dan sulit …”

Perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu tersenyum. “Sudah beberapa kali kau
memanggilku Nyi Retno Mantili. Biasanya aku marah dipanggil dengan nama itu. Tapi karena
kau yang menyebut, sekarang aku jadi berpikir. Apakah itu memang namaku?”

Wiro memandang pada Djaka Tua. Pembantu ini tersenyum. Wiro berpaling lagi pada Nyi Retno
lalu anggukkan kepala.

“Retno Mantili, itu memang namamu. Nama bagus …” kata murid Sinto Gendeng pula.

Nyi Retno tertawa panjang dan lepas. Wajahnya tampak merah segar. “Wiro,” katanya.
“Menurut perhitunganmu berapa lama waktu kau butuhkan untuk sampai ke puncak Gunung
Gede?”

“Mengapa kau bertanya begitu Nyi Retno?”

“Jika berkuda mungkin delapan sampai sepuluh hari.

Aku tahu jalan memintas. Aku hanya butuh waktu lima hari.”
“Sebaiknya kau tidak kesana. Tunggu saja di tempat kediaman Ki Tambakpati seorang juru
pengobatan sahabat kami. Setan Ngompol akan mengantarkanmu kesana.”

Nyi Retno tertawa. “Wiro, aku dan Kemuning menunggumu di tepi telaga.”

Pendekar 212 tercengang.

“Nyi Retno, bagaimana kau tahu kalau di puncak Gunung Gede ada telaga? Kau pernah …..”

Nyi Retno tertawa panjang dan kedipkan sepasang matanya. Mata yang selama ini selalu sayu
kuyu oleh penderitaan batin kali ini tampak begitu bagus bening bercahaya. Djaka Tua sampai
mengucap nama Tuhan berulang kali melihat kejadian ini. Diam-diam dia merasa bahagia.

“Nyi Retno …..” panggil Wiro.

Namun perempuan itu sudah berkelebat pergi.

Dikejauhan terdengar suara nyanyiannya.

Kemuning anakku sayang Ada seorang sahabat baik hati Membawa kita ke puncak Gunung
Gede Dia berlari cepat seperti angin Tapi kita akan sampai lebih dahulu Menunggunya di tepi
telaga Lagi-lagi Djaka Tua tertegun heran. Dalam hati dia berkata. “Den Ayu jarang-jarang
menyanyi di depan orang lain. Juga aneh, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke Gunung Gede.
Bagaimana dia tahu di sana ada telaga?”

Pembantu setia ini lalu memandang pada Pendekar 212.

“Wiro, saya melihat banyak perubahan pada diri Nyi Retno sejak dia mengenalmu. Jika saja kau
bisa berada lebih lama bersamanya mungkin keadaannya akan tambah baik.

Apakah kau sudi menolongnya?”

“Dia suka dan percaya padamu,” menambahkan Setan Ngompol. “Dua hal itu bisa kau jadikan
sebagai dasar menolong dirinya …”

“Kalian berdua ikut aku ke Gunung Gede?” bertanya Wiro.

Setan Ngompol menggeleng. “Kami akan menunggumu di pondok Ki Tambakpati.” Kata si kakek
pula.

Wiro garuk-garuk kepala.

Belum sempat dia tinggalkan ke dua orang itu mendadak seorang nenek dengan dandanan
tebal mencolok tahu-tahu telah tegak berdiri berkacak pinggang di hadapan tiga orang itu. Di
atas kepalanya ada sebuah tabung bambu kuning setinggi satu setengah jengkal, mengepulkan
asap tiga warna.

“Hantu Malam Bergigi Perak, kau rupanya ….” Setan Ngompol yang pertama sekali membuka
suara.

“Ah, kau tidak melupakan diriku. Tapi aku tidak berurusan denganmu.

Aku mau bicara dengan pemuda ini.” Kata nenek berpakaian serba hitam guru dua gadis cantik
Liris Merah dan Liris Biru. Dia memandang ke arah Wiro. “Jika aku tanya tentang kitab itu pasti
jawabanmu kau masih belum tahu berada dimana. Betul begitu?”

“Nek, kalau kitab itu ada padaku, pasti akan kuminta izin Eyang Sinto agar dipinjamkan padamu
untuk mengobati kelainan pada dua muridmu.”. Kata Wiro pula.

Si nenek kerenyitkan kening. “Aku tidak pernah memberi tahu bahwa dua muridku punya
kelainan. Dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu?!” Dua mata si nenek mendelik,
memperhatikan penuh curiga.

Wiro sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dulu dua kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru
sendiri yang memberi tahu penyakit yang mereka idap.

“Aku cuma menduga Nek. Kalau tidak dirimu tentu dua muridmu yang memerlukan
pengobatan. Melihat kau cantik dan sehat-sehat saja maka aku mengira dua muridmulah yang
membutuhkan pertolongan.”

“Hemmm, kau pandai bicara. Hidungku tidak besar oleh pujianmu! Pemuda mata keranjang,
awas kalau kau ada hubungan yang tidak-tidak dengan dua muridku, kupecahkan batok
kepalamu! Sekarang katakan apa kau sudah mendapatkan kitab itu?”

Wiro menggeleng.

“Tahu dimana beradanya?”

Wiro menggeleng kembali.

Hantu Malam Bergigi Perak tertawa bergelak. Deretan giginya atas bawah tampak berkilauan.
“Anak muda, kau berdusta. Apa kau kira aku tidak tahu gurumu yang bau pesing itu tadi ada di
sini. Kau dicuci maki habis-habisan seperti mencuci kesetan kaki!

Hik … hik! Aku juga mendengar dia berkata agar kau tidak perlu mencari kitab itu lagi. Berarti
kitab itu sudah ditemukan dan ada di tangannya. Aku tahu ke arah mana dia pergi. Aku akan
minta pinjam kitab itu secara baikbaik.
Kalau dia tidak memberikan akan kubunuh! Apa katamu?!”

“Aku tidak akan berkata apa-apa Nek,” jawab Wiro.

Si nenek tertawa panjang. “Bagus, kau mau berpihak padaku. Berarti dalam hatimu ada rasa
dendam terhadap gurumu yang telah melukai dirimu. Benar?! Kalau aku jadi dirimu, perlu apa
punya guru seperti itu. Sudah jelek, bau pesing, bicara tak karuan, hatinya jahat pula.”

“Ucapanmu hanya menunjukkan bahwa hatimu juga tidak seputih dan selembut kapas …” tukas
Wiro.

Bagaimanapun juga telinganya jadi panas mendengar ucapan si nenek.

Sebaliknya Hantu Malam Bergigi Perak tertawa panjang mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.

“Wiro, diriku bisa saja lebih jahat dari Sinto Gendeng.

Tapi aku tidak pernah menganiaya murid sendiri seperti yang dilakukannya padamu!”

Air muka Wiro tampak merah. Sebelum dia menjawab ucapan Hantu Malam Bergigi Perak
Setan Ngompol cepat mendahului mengalihkan pembicaraan. “Sobatku Hantu Malam Bergigi
Perak, Wiro pasti akan memberikan kitab itu padamu begitu dia mendapatkan.

Kalau kau tidak percaya padanya, kau boleh menyandera diriku. Kau boleh membawaku
kemana saja sampai dia menyerahkan kitab …”

“Tua bangka kuping terbalik. Kau kira aku tidak tahu akal bulusmu?! Siapa sudi berada dekat-
dekat dengan orang bau pesing sepertimu. Sekalipun kau mandi di tujuh telaga bau pesingmu
tak akan hilang. Lebih baik kau ikut membantu mencari kitab itu. Siapa tahu di dalamnya ada
petunjuk obat yang dapat menghilangkan penyakit kencingmu!”

“Oaallaaa. Aku tak pernah memikirkan hal itu!” kata Setan Ngompol pula sambil pegangi bagian
bawah perutnya. “Terima kasih kau mengingatkan. Sekarang apakah aku boleh ikut
bersamamu?!”

Si nenek mencibir lalu tinggalkan tempat itu.

Setan Ngompol berpaling pada Wiro. “Aku berubah pikiran. Tak jadi ke gubuknya Ki
Tambakpati. Tapi mau mengejar nenek bergigi perak itu. Dia benar! Tidak mustahil dalam Kitab
Seribu Pengobatan ada petunjuk obat serta cara menghilangkan penyakit kencingkencingku!”

“Kek. tunggu dulu!”

“Kau ini. apa lagi. Nanti nenek itu keburu lari jauh!”Setan Ngompol mengomel.
“Eyang Sinto menyuruh aku mendapatkan tusuk kondenya yang dirampas Wulan Srindi.
Menurutmu bagaimana?”

“Kalau aku jadi kau aku tidak akan melakukan. Itu urusannya dengan Wulan Srindi. Mengapa
kau yang jadi repot? Sudah, aku mau mengejar nenek menor itu …”

Setan Ngompol segera saja lari ke arah lenyapnya Hantu Malam Bergigi Perak.

Pendekar 212 Wiro Sableng tak bisa berbuat apa. Dia bertanya pada Djaka Tua. “Bagaimana
denganmu. Aku terpaksa rneninggalkan kau sendirian.”

“Tidak jadi apa. Saya pernah mendengar nama Ki Tambakpati. Saya akan mencari pondok
tempat kediamannya. Kalau tidak keliru di sebuah bukit dekat Plaosan. Saya hanya mohon agar
kau bisa menolong Nyi Retno Mantili. Yang penting dia bisa disembuhkan serta diselamatkan
dari tangan jahat Raden Mas Wira Bumi yang bertekad hendak membunuhnya.”

Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Kau orang baik.

Menurutku kesembuhan atas diri Nyi Retno hanya bisa terjadi jika bayinya yang hilang
ditemukan kembali. Coba kau ingat-ingat mengenai orang tua serba putih kepada siapa bayi itu
kau serahkan. Aku ingin kau menceritakan sekali lagi apa yang terjadi di goa. Jangan ada satu
halpun yang terlupa …”

Djaka Tua lalu bercerita.

“Malam itu. lebih satu tahun lalu. Saya membawa lari bayi Nyi Retno dari Gedung Tumenggung.
Bayi saya bungkus dengan sarung. Malam itu hujan turun lebat sekali. Untung ada sebuah goa.
Belum lama berteduh di situ muncul kabut aneh. Lalu kelihatan sosok seorang tua.

Tubuhnya tinggi sekali. Kepala hampir menyentuh bagian atas goa. Orang tua ini mengenakan
pakian sebentuk selempang kain putih. Rambutnya putih. Ada sebatang tongkat putih di tangan
kirinya …..”

“Apa kau memperhatikan sepasang mata orang tua itu?’. tanya Wiro.

“Wajah orang tua itu berada di bagian yang agak gelap. Tapi saya ingat ….. Bagian putih
matanya hanya sedikit. Selebihnya mungkin hitam, mungkin coklat. Sulit saya mengetahui
karena gelap. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta saya menyerahkan bayi ….”

“Orang tua itu, apakah dia membawa sebuah suling emas disisipkan di pinggangnya?”

“Tidak dapat saya pastikan. Karena bagian pinggang ke bawah tubuhnya tertutup kabut tipis.
Ada satu hal yang ingin saya beritahu. Dibalik kabut, di belakang orang tua itu saya merasa ada
satu mahluk. Entah orang entah binatang. Nafasnya menghembus berat. Saya tidak bisa melihat
sosoknya tapi saya melihat ada dua buah titik hijau. Titik ini sesekali tampak bergerak-gerak …”

“Djaka Tua, kau bicara cukup lama dengan orang tua itu. Kau ingat logat bicaranya? Logat Jawa,
Pasundan, Madura …. ?”

Djaka Tua berpikir. “Bukan logat Jawa. Bukan Sunda. Juga bukan logat Madura. Bahasanya
halus. Kata-katanya lembut. Saya kira dia orang dari tanah seberang. Tapi seberang daerah
mana saya tidak tahu …”

Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Keteranganmu sangat berharga. Mudah-mudahan aku bisa
menduga siapa adanya orang itu.”

“Kalau begitu kita cari sekarang juga.” kata Djaka Tua bersemangat.

Wiro tertawa. “Biar aku yang melakukan tugas satu itu. Kau pergilah ke tempat kediaman Ki
Tambakpati.

Katakan aku dan Setan Ngompol yang menyuruh kau kesana.”

“Saya akan berdoa siang malam semoga bayi itu bisa ditemukan. Karena hanya pertemuan
dengan bayi itulah Nyi Retno bisa disembuhkan dari sakitnya. Saat ini paling tidak bayi itu sudah
berusia satu tahun lebih. Dibalik ketidak warasannya kau dapat membayang kan derita duka Nyi
Retno. Kasihan sekali. Seharusnya dia tinggal di satu gedung mewah. Dikelilingi para pelayan.
Berpakaian bagus berdandan apik. Dihormati orang dimana-mana ….”

“Djaka Tua, tidak banyak di dunia ini orang yang begitu setia pada atasannya sepertimu. Aku
merasa bahagia bisa mengenalmu. Kau pergilah sekarang juga.

Jangan lewat dijalan biasa. Aku menduga Patih Kerajaan akan mengirim orang-orangnya atau
datang sendiri menyelidik ke tempat ini.”

Djaka Tua mengangguk. Pembantu ini membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu
sementara langit mulai kelihatan redup di akhir rembang sore itu.

Wiro menunggu sampai Djaka Tua lenyap di kejauhan. Lalu dia mencari tempat yang agak
lapang dan duduk bersila di tanah. Dua mata dipejam, hati dan pikiran dipusatkan pada
membayangkan sosok seekor harimau putih bermata hijau.

“Sahabat Datuk Rao Bamato Hijau. Saya Wiro Sableng. Saya perlu bantuanmu. Datanglah.”

Wiro hanya menunggu satu kejapan mata. Kabut putih entah dari mana datangnya tahu-tahu
menutupi tempat itu seluas lima tombak persegi. Di dalam kabut kelihatan dua titik hijau.
Tanah bergetar. Ada suara hembusan nafas berat. Perlahan-lahan masih di dalam kabut,
kelihatan sosok seekor harimau putih memiliki sepasang mata hijau.

“Datuk. terima kasih kau mau datang …”

Terdengar suara gerengan halus seolah menyahut memberi salam. Harimau putih keluar dari
dalam kabut, melangkah ke hadapan Wiro, menjilati tangan kanan sang pendekar. Wiro usap-
usap kepala binatang itu dengan tangan kirinya. Terasa ada hawa hangat yang menjalar masuk
ke dalam tubuhnya. Mernbuat rasa sakit luka di punggung serta merta menjadi lenyap.

“Datuk, saya buluh pertolonganmu. Mohon disampaikan pada Datuk Rao Basaluang Ameh. Saya
ingin petunjuk tentang seorang bayi perernpuan yang pernah diserahkan kepadanya oleh
seorang lelaki berpunuk di sebuah goa sekitar satu tahun silam ….”

Harimau putih kedipkan dua mata lalu menggereng halus. Ekornya menjentik ke atas tiga kali
berturut-turut, memancarkan bunya api berwarna hijau. Kabut masih menggantung di udara.
Perlahan-lahan sosok harimau putih bermata hijau lenyap dari pemandangan. Kabutpun ikut
sirna.

Seperti dikisahkan dalam Episode berjudul “Delapan Sabda Dewa” harimau putih bernama
Datuk Rao Bamato Hijau ini adalah peliharaan seorang sakti di Pulau Andalas bernama Datuk
Rao Basaluang Ameh. Dari Sang Datuk Wiro telah menerima banyak ilmu kesaktian. Harimau
bermata hijau itu oleh Datuk Rao Basaluang Ameh dijadikan sebagai pelindung Wiro.

Namun sebegitu jauh dalam menghadapi berbagai kesulitan terutama menghadapi musuh
berkepandaian tinggi hampir tak pernah Wiro meminta bantuan si mata hijau ini. Segala
kesulitan yang ditemui jika masih bisa dihadapi selalu ditangani sendiri.

Tidak lebih dari dua kejapan mata berlalu tiba-tiba tanah kembali bergetar. Di kejauhan
terdengar suara saluang (semacam suling khas Minangkabau) disusul munculnya kabut. Lalu di
dalam kabut kelihatan kembali harimau putih besar Datuk Rao Bamato Hijau. Ternyata harimau
ini tidak datang sendiri. Di atas punggungnya duduk seorang anak perempuan bertubuh gemuk
montok, berkulit putih. Rambutnya yang hitam tebal di kuncir dua di atas kepala. Wajah segar
dengan dua pipi merah. Mulut selalu mengulum senyum sementara sepasang matanya tampak
bening bagus dihias alis tebal dan bulu mata lentik. Anak perempuan seusia satu tahun ini
adalah bayi Nyi Retno Mantili yana dulu diserahkan Djaka Tua pada seorang kakek. Dan kakek
itu kini berdiri di samping harimau putih bermata hijau.

Sang kakek mengenakan selempang kain putih.

Sepasang matanyanya berwarna biru. Meski usia sangat lanjut namun masih tampak gagah. Di
tangan kiri dia memegang sebatang tongkat putih sedang di pinggang terselip sebuah seruling
terbuat dari emas. lnilah Datuk Rao Basaluang Ameh, orang sakti dari Pulau Andalas yanq
menjadi salah satu dari guru Pendekar 212 karena dia pernah mewariskan ilmu silat dan
kesaktian pada Wiro melalui kitab “Delapan Sabda Dewa”. Perlahan-lahan kabut menipis dan
suara alunan saluang lenyap dari pendengaran.

Wiro cepat berdiri, melangkah kehadapan Datuk Rao Basaluang Ameh. membungkuk,
menyalami dan mencium tangannya.

“Datuk, salam hormat saya untuk Datuk. Maafkan saya karena telah berani merepotkan dan
menyita waktu Datuk. Saya terpaksa melakukan karena ada seorang ibu kehilangan bayi
perempuannya. Saat ini dia berada dalam keadaan tidak waras. Sakit dan derita sengsaranya ini
mungkin sekali bisa disembuhkan jika dia bertemu dengan anaknya kembali.”

“Anak muda bernama Wiro, kau sendiri apakah tidak mempunyai banyak kesulitan hingga
mementingkan orang lain dari pada diri sendiri?” Datuk Rao Basaluang Ameh bertanya.
Suaranya halus lembut.

Wiro tahu kalau sang guru tengah menjajal dirinya.

“Datuk Rao, sudah menjadi garis nasib saya bahwa dalam hidup ini saya akan selalu menemui
kesulitan serta bebagai macam bahaya. Namun jika saya masih bisa menolong orang lain,
mengapa tidak saya lakukan. Lagi pula dari keterangan orang yang menyerahkan bayi saya coba
menduga-duga bahwa yang membawa bayi itu mungkin adalah Datuk Rao Basaluang Ameh.
Maafkan kalau salah keliru …”

Datuk Rao tersenyum.

“Dugaanmu tidak keliru Wiro. Anak di atas punggung Datuk Rao Bamato Hijau itulah bayi yang
kau maksudkan.

Aku memberinya nama Ken Permata.”

“Saya merasa lega mengetahui bahwa bayi itu memang ada di dalam perawatan Datuk. Saya
sendiri senang melihatnya, apa lagi ibunya …” Wiro dekati anak perempuan di atas punggung
harimau putih, membelai kepalanya. mengusap pipinya yang merah. Si anak tertawa-tawa.
mulutnya mengucapkan sesuatu dan kedua tangannya diulurkan ke arah.Wiro.

“Anak itu suka padamu. Dukunglah barang sebentar.”

kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula sementara harimau putih keluarkan suara gerengan
halus.

Wiro segera menggendong anak perempuan itu. Ken Permata tertawa tawa dan tepuk-tepuk
wajah Pendekar 212.
“Wiro. Ketahuilah bahwa saat sekarang ini masih belum waktunya Ken Perrnata ditemukan
dengan ibu kandungnya. Sang ibu masih menghadapi berbagai macam kesulitan. Keselamatan
mereka sama-sama terancam ….”

“Saya hanya menuruti apa pang baik kata Datuk.”

“Waktu yang tepat adalah sekitar tujuh bulan di muka. Pada malam Satu Suro tahun depan kita
bertemu lagi. Saat itulah Ken Permata akan aku serahkan padamu.

Akan lebih baik kalau saat itu ibunya ada bersamamu.

Sementara itu dari sekarang sampai saat pertemuan nanti kuharap kau mau menjaga
keselamatan ibu anak ini.”

“Terima kasih atas petunjuk Datuk. Perintah Datuk akan saya lakukan Saya tidak akan
menganggu Datuk lebih lama. Saya hanya mohon nasihat. Pesan wejangan atau mungkin juga
teguran. Agar saya bisa lebih lega dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang skan
datang.”

Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum.

“Wiro. ketahuilah segala nasihat, pesan wejangan maupun teguran sesungguhnya dimiliki dan
berada dalam diri manusia itu sendiri. Semua yang datang dari orang lain tidak akan ada
gunanya jika tidak dituruti. Suara hati nurani sendiri, yang datang dari lubuk terdalam hati tulus
dan bersih adalah mata telinga bagi diri seseorang untuk melangkah di jalan yang baik dan
diredhohi Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam. Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui”

Wiro membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih Datuk. Ucapan Datuk akan saya perhatikan
sungguhsungguh.”

“Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. Dia usap kepala Pendekar 212. Wiro turunkan Ken
Permata dari gendongan. Ketika hendak didudukan kembali di atas punggung harimau putih,
anak ini menangis tak mau pisah dengan Wiro. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus
ketika Wiro mengusap tengkuknya dan mencium keningnya. Wiro tak lupa mencium tangan
kanan Datuk Rao Basaluang Ameh sekali lagi.

“Wiro, sebelum pergi biar aku sembuhkan luka di punggungmu.”

“Terima kasih Datuk memperhatikan saya. Saya ingin biar luka di punggung saya akan menjadi
cacat yang mengingatkan diri saya betapa pahitnya hidup ini.

Membuat saya bisa berbuat lebih baik dan lebih bijaksana.


Karena betapapun buruknya diri saya ini. saya masih tetap seorang anak manusia. Bukan anak
setan ….”

Lama Datuk Rao Basaluang Ameh tegak terdiam mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Akhirnya
si kakek mengulum senyum luruh, membelai kepala sang pendekar dan berkata. “Kau anak
baik. Namun sebagai manusia kita tidak pernah lepas dari perasaan hati dan jalan pikiran.

Jaga dirimu baik-baik, Wiro …”

Sosok si orang tua. harimau putih dan Ken Permata berubah samar. Kabut menipis. Di kejauhan
terdengar suara seruling. Tak lama kemudian ketiga mahluk itupun lenyap dari pandangan.

Pendekar 212 menghela nafas. Hatinya membatin.

“Turut akal sehat otak manusia, siapa bisa percaya akan semua yang barusan terjadi di tempat
ini. Di balik semua keanehan, tangan dan kuasa Tuhan bergerak memberikan segala
rakhmatNya.”

Wiro usapkan dua telapak tangan ke wajah. Sang surya masih menyisakan cahaya terakhirnya di
ufuk barat. Sebentar lagi petang akan memasuki malam. Terbayang wajah Kiai Gede Tapa
Pamungkas “Apa yang ingin dibicarakan orang sakti itu hingga dia menyuruhku datang
menemuinya?” Pertanyaan itu muncul dalam hati sang pendekar.

PUNCAK Gunung Gede. Sang surya belum lama tenggelam namun kepekatan malam telah
muncul memagut hingga segala sesuatunya kelihatan gelap dan hitam. Sosok yang datang
berkelebat dari arah timur untuk beberapa lama tegak diam tertegun. Mata memandang
berkeliling, wajah putih membayangkan perasaan heran sekaligus keterkejutan.

“Walau cuma satu kali datang ke sini, rasanya tak mungkin aku datang di tempat yang salah.
Pohon besar itu masih berdiri di sebelah sana. Sumur tua di sebelah situ. Tapi mana gubuknya?
Semua tinggal tanah rata.”

Orang yang barusan datang, seorang nenek berwajah putih memandang berkeliling lalu
melangkah kian kemari seputar tanah datar dimana sebelumnya berdiri gubuk kediaman Sinto
Gendeng.

“Sesuatu telah terjadi di sini. Aku melihat pecahanpecahan kayu. Kepingan tempayan tanah …”
Di satu tempat si nenek berdiri agak lama. Kaki digeser beberapa kali. Dada berdebar. “lni
tempatnya. Apakah aku harus ……” Dalam membatin si muka putih ini merasa ragu. Dia
melangkah kembali.

Di pinggir sebuah sumur tua, si nenek berhenti.


Pandangan diarahkan ke berbagai penjuru, telinga dipasang. “Tak ada tanda-tanda manusia
terkutuk itu telah muncul di tempat ini. Apakah aku datang lebih cepat, lebih dahulu? Atau
mungkin ditengah jalan dia merubah pikiran.

membatalkan niat datang ke tempat ini?” Suara hatinya itu dibantah sendiri. “Tidak mungkin.
Turut keterangan Ki Tambakpati dia menanyakan Kitab Seribu Pengobatan. Dia mesti ke sini.
Aku akan menunggu. Sekali ini dia tidak bakal lolos dari tanganku! Manusia keji jahanam! Kau
akan jadi bangkai di tempat ini!”

Baru saja si nenek berkata dalam hati seperti itu mendadak ada kilasan satu cahaya di sebelah
barat dan telinganya menangkap suara orang berlari cepat sekali.

“Pasti jahanam terkutuk itu!”

Secepat kilat nenek muka putih yang bukan lain Nyi Bodong adanya melesat ke atas sebatang
pohon besar.

Mendekam di situ, mata memperhatikan tak berkesip ke arah datangnya suara orang yang
berkelebat datang.

Hanya satu kejapan mata saja, seorang mengenakan jubah hitam dengan gambar matahari
bulat merah di bagian dada, bermuka cacat. tegak di pinggiran sumur, tepat dimana si nenek
tadi berdiri. Keningnya diikat secarik kain warna merah. Di tangan kanan orang ini menenteng
satu benda aneh, yakni sebuah lentera yang cahayanya menerangi tempat terbuka sampai
seluas tiga tombak persegi. Tidak seperti lentera biasa, lentera ini memancarkan cahaya tiga
warna yaitu merah di sebelah atas, hitam di sebelah tengah dan kuning di sebelah bawah.

Di atas pohon besar Nyi Bodong bergerak hati-hati, masuk menyelinap ke balik kelebatan daun
pepohonan, melindungi diri dari cahaya terang lentera.

“Lentera lblis ….” ucap Nyi Bodong dalam hati. Dia ingat pada guratan tulisan yang dilihat dan
dibacanya dalam goa kediaman Si Muka Bangkai. “Jahanam itu mengenakan pakaian baru
berlambang gambar matahari.

Dia berani unjuk tampang tanpa mengenakan topeng setan. Berarti ada kekuatan yang
diandalkannya. Lentera itu …. ? Mahluk jahanam! Hantu Pemerkosa alias Pangeran Matahari!
Kau datang ke sini mencari kitab keramat. Kalau kau mendapatkan kau akan menyerahkannya
padaku bersama nyawamu! Apapun penyakitmu kau tidak akan pernah tersembuhkan!

Mungkin ada hikmahnya Kiai mengembalikan kitab itu.

Kalau tidak aku tidak akan memergokinya di tempat ini!”


Orang yang memegang lentera yang memang Pangeran Matahari adanya memperhatikan
keadaan sekitar.

“Tak ada pondok! Tak ada gubuk! Tapi Si Muka Bangkai menyuruhku datang kesini. Sekali ini
mungkin dia benar-benar hendak menipuku!”

Hati-hati Pangeran Matahari letakkan lentera di tanah. Mata tak berkesip memperhatikan
keadaan tanah.

yang diterangi lentera. Sesungging seringai menyeruak di mulut, hidung yang pencong patah
mendongak seperti binatang mencium sesuatu. Perlahan-lahan dia berjalan ke bagian kanan
lentera, berhenti sejarak tiga langkah. Kaki digeser. Seringai kembali muncul di wajahnya.

“Pasti di sini tempatnya.”

Tiba-tiba Pangeran Matahari membungkuk.

Bersamaan dengan itu tangan kanan dihantamkan ke tanah.

“Bruukkk!” Tangan menembus tanah sedalam tiga jengkal.

“Kraaak!” Ada satu benda berderak pecah dilanda hantaman tangan kanan. Ketika Pangeran
Matahari mengangkat tangannya keluar dari tanah yang terbongkar, di pergelangan tangan itu
menggelantung sebuah peti kayu warna hitam. Pangeran Matahari menggeprak peti kayu
dengan tangan kiri hingga pecah berantakan. Dari dalam peti yang hancur jatuh ke bawah satu
benda yang bukan lain adalah sebuah kitab tebal terbuat dari daun lontar. Sang Pangeran cepat
sambuti kitab daun lontar itu dengan tangan kiri. Di atas pohon besar Nyi Bodong tegang
sesaat. “Kau tidak akan dapatkan kitab itu Pangeran jahanam! Aku akan membunuhmu!”

Saking girangnya Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa berteriak keras. Tangan kanan
dipukulkan ke dada.

“Kitab Seribu Pengobatan! Aku akan sembuh! Akan sembuh! Aku akan menguasai rimba
persilatan tanah Jawa! Guru, terima kasih atas semua petunjukmu!”

Pangeran Matahari masukkan kitab daun lontar ke dalam saku besar di kanan jubah hitam. Lalu
dia melangkah untuk mengambil Lentera Iblis. Namun sebelum tangannya menyentuh gagang
lentera, ada satu perasaan yang membuat dia mengeluarkan kembali Kitab Seribu Pengobatan
dari saku jubah. Kitab didekatkan ke lentera. Di bawah penerangan cahaya tiga warna lentera
Pangeran Matahari membuka halaman pertama. Halaman itu kosong! Dibuka halaman kedua!
Kosong polos! Begitu seterusnya. Sampai halaman terakhir. Kitab daun lontar itu tidak satu
halamanpun ada tulisannya!
Pangeran Matahari berteriak keras! Marah sekali kitab dibanting hingga menancap amblas dan
lenyap di dalam tanah.

Di atas pohon wajah putih Nyi Bodong unjukkan rasa heran.

“Bagaimana mungkin,” katanya dalam hati. “Apakah Kiai sengaja melakukan? Lalu dimana kitab
yang asli?”

“Keparat kurang ajar! Siapa menipuku! Jahanam mana yang punya pekerjaan begini rupa! Muka
Bangkai!

Kau yang jadi biang kerok menipuku?!” Pangeran Matahari menyalahi gurunya lalu
memakipanjang pendek.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba menggelegar suara tawa cekikikan dari salah satu pohon
besar.

“Pangeran Matahari! Hantu Pemerkosa! Kasihan sekali kau ditipu guru sendiri. Kalau kau
diperlakukan seperti itu berarti baginya kau tidak lebih baik dari cacing dalam comberan! Hik …
hik. ..hik!”

“Jahanam keparat! Siapa berani bicara menghina diriku!”

Pangeran Matahari hantamkan tangan kanannya ke arah pohon. Udara mendadak bertambah
kelam. Dari atas pohon saat itu tiba-tiba menggelegar suara seperti raungan srigala, disusul
suara tawa bergelak dan di lain kejap berkiblatlah selarik sinar biru pekat.

“Wusss! Buuummm!”

Tiga larik sinar pukulan sakti Gerhana Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari berdentum
keras, buyar tercabik-cabik. Sang Pangeran terpental ke arah sumur tua, mulut muntahkan
darah segar. Dia cepat gulingkan diri dan menyambar Lentera Iblis. Ketika dia berdiri di
hadapannya telah tegak sosok nenek muka putih berpakaian biru gelap.

“Tua bangka jahanam Nyi Bodong! Kau berani mengikutiku! Kau mencari mati mencari
mampus!”, teriak Pangeran Matahari. Lentera ditangan kanan diangkat ke atas.

Nyi Bodong menyeringai.

“Kau kira Lentera lblis itu bisa menyelamatkan dirimu? Benda butut itu hanya pantas dipakai
ronda pamong desa! Hik … hik … hik!”

Kejut Pangeran Matahari bukan olah-olah.


“Dari mana hantu perempuan ini tahu yang kupegang adalah Lentera Iblis!” ucap Pangeran
Matahari dalam hati.

Seperti dapat membaca apa yang ada dalam hati lawan, Nyi Bodong berkata. “Goa di puncak
Merapi! Tiga jurus ilmu Lentera Iblis! Hanya sayang, goa itu sudah aku hancurkan menjadi
timbunan tanah tak berguna! Hik … hik … hik …”

Pangeran Matahari berteriak keras. Kaki kanan maju ke depan. Tenaga dalam disalurkan ke
tangan kanan.

Lentera lblis didorong ke arah Nyi Bodong.

Cahaya kuning memancar lebih terang dan angker dibanding dua warna cahaya lainnya.

“Jurus ketiga Lentera Iblis! Jurus Liang Lahat Menunggu! Hik..hik..hik!” Nyi Bodong sebut nama
jurus serangan maut yang hendak dilancarkan Pangeran Matahari. Walau kaget bukan kepalang
namun sang Pangeran terus dorongkan Lentera Iblis. Cahaya kuning berkiblat dari dalam
lentera. Bersamaan dengan itu Nyi Bodong singkapkan pakaian birunya di bagian perut. Kaki
kanan dihentakkan ke tanah, tangan kiri meremas. Selarik sinar biru menggidikkan menderu
memapaki cahaya kuning serangan Lentera Iblis! Nyi Bodong menjerit keras! Pohon besar

dibelakangnya tenggelam dalam kobaran api dan dalam sekejapan telah berubah menjadi
gosong kuning!

Puncak Gunung Gede sebelah utara bergoncang hebat ketika dua cahaya sakti saling hantam di
udara. Dentuman dahsyat menggelegar. Tubuh Pangeran Matahari bergoyang-goyang. Darah
mengucur di sela bibir. Muka pucat namun dia masih mampu berdiri di atas ke dua kakinya.

Nyi Bodong sendiri mencelat mental. Terguling ke bagian gunung yang terjal dan lenyap dari
pemandangan.

Pangeran Matahari mengejar. Lentera diangkat tinggitinggi hingga tempat di sekitarnya menjadi
terang. Namun dia tidak menemukan sosok Nyi Bodong.

“Mampus! Mungkin sudah lumat jadi tanah!”

Pangeran Matahari seka darah di sudut bibir. Tertatih-tatih sambil pegangi dada dia melangkah
tinggalkan puncak Gunung Gede, menuruni lereng gunung ke arah tenggara.

Hatinya masih penasaran hendak mencari Nyi Bodong untuk memastikan apakah nenek muka
putih itu benarbenar sudah menemui kematian. Namun rasa kesal karena Kitab Seribu
Pengobatan palsu itu, akhirnya dia memutuskan untuk cepat-cepat tinggalkan Gunung Gede.
Kini dia memiliki senjata luar biasa. Lentera lblis yang mampu menandingi kehebatan Nyi
Bodong. Begitu turun gunung tekadnya bulat untuk segera mencari dan menghabisi Pendekar
212 Wiro Sableng. Setelah itu satu persatu para tokoh persilatan tanah Jawa akan dihabisinya.

***

TERPISAH hampir tiga hari dari kemunculan Pangeran Matahari dipuncak utara Gunung Gede,
pada satu siang yang cerah Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tepi telaga tiga warna di
puncak gunung sebelah timur.

Keanehan pada telaga ini, airnya selalu membentuk riak dan mengeluarkan suara halus seperti
air mendidih.

Pertama sekali yang jadi perhatiannya ialah dia tidak melihat sawung yang pernah ada di tepi
telaga itu.

Kemudian dia tersentak kaget dan melongo ketika di balik serumpunan pohon bunga di tepi
telaga duduk seorang perempuan muda bewajah cantik, rambut hitam tergerai, pakaian
kembang-kembang kuning dan biru. Sepasang alisnya yang tebal hitam naik ke atas, bibir yang
mungil mengulum senyum. Dua kakinya yang mulus putih berada dalam air telaga sampai
sebatas ujung lutut. Di atas pangkuannya ada sebuah boneka kayu perempuan.

“Den Ayu … Nyi Retno Mantili, kaukah ini?” tanya Pendekar 212.

“Hik … hik. Apakah kau tidakmengenali diriku lagi?”

tanya perempuan muda yang memang Nyi Retno Mantili adanya. Saat itu tubuh, wajah dan
rambutnya dalam keadaan bersih. Pakaian bagus, apik dan rapi. Alis hitam kereng, pipi
kemerahan dan bibir segar. Selain cantik dirinya tampak anggun sekali.

“Ah, maafkan. Saya hampir tidak mengenali,” jawab Wiro terkagum-kagum. Sebelumnya dia
melihat Nyi Retno dalam keadaan dekil kumal baik tubuh, rambut maupun pakaian.

“Guru menyuruhku membersihkan diri, memberi pakaian baru, berdandan. Kalau dulu aku tidak
mau. Tapi sekarang mau. Karena menyambut kedatanganmu. Boleh ‘kan? Kau suka Wiro? Hik ..
hik … hik.”

Pendekar 212 jadi rikuh mau menjawab pertanyaan Nyi Retno. Dia malah balik bertanya.
“Guru? Maksud Nyi Retno guru siapa?”

“Nanti kau tahu sendiri.”

“Aku lupa menanyakan perihal anakmu. Apakah Kemuning baik-baik saja?” Wiro mengambil
boneka kayu dari pangkuan Nyi Retno dan menimang-nimangnya.
“Dia selalu rewel. Selalu menanyakan kapan kau datang. Kapan kau datang. Sekarang lihat. Dia
tersenyumsenyum.

Gembira kau sudah datang. Terbukti sekarang ….”

Wiro tertawa. “Terbukti apa Nyi Retno?.”

“Aku lebih dulu sampai darimu.”

“Ya. kau orang hebat. Aku kagum padamu. Aku mengaku kalah.”

Nyi Retno tertawa panjang.

“Hai, apakah gurumu si nenek bawel itu tidak mengikuti…?”

Wiro tertawa lebar.

“Dia guru baik. Semua nenek di dunia ini sama saja bawelnya. Nyi Retno, yang masih jadi tanda
tanya besar bagi saya, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke puncak ini.

Lalu tahu telaga ini?

“Tanyakan saja pada Kemuning,” jawab Nyi Retno lalu terlawa “Kemuning. katakan pada saya
bagaimana Kau tahu jalan ke sini. Juga tahu telaga ini?” Wiro bertanya pada boneka lalu
tertawa.

Nyi Retno ikut tertawa. Habis tertawa dia berkata.

“Tidak ada yang mengherankan. Rumahku di sini”

Wiro terkejut.

Tiba-tiba di bagian pertengahan telaga air membentuk gelombang-gelombang kecil. Bersamaan


dengan itu kabut tipis turun menutupi permukaan air. Tak selang berapa lama satu sosok putih
melesat keluar. Air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Di pertengahan telaga kemudian
kelihatan seorang tua berselempang kain putih, rambut. janggut dan kumis putih melambai-
lambai tertiup angin. Seperti berjalan di tanah datar begitulah dia melangkah di atas air menuju
tepi telaga dimana Wiro. Nyi Retno dan Kemuning berada. Sekujur tubuh dan pakaiannya sama
sekali tidak basah sedikitpun!

“Kiai Gede Tapa Pamungkas, terima hormat saya.


Saya Wiro menghadap Kiai sesuai dengan pesan Eyang Sinto Gendeng.” Wiro membungkuk
dalam, menjabat tangan si kakek lalu menciumnya.

Yang membuat Pendekar 212 terkejut ialah ketika Nyi Retno Mantili melompat, tertawa
panjang lalu membungkuk di hadapan si kakek. Seraya berkata.

“Guru…”

Wiro perhatikan Nyi Retno dengan pandangan heran yang dibalas pandang ditambah
senyuman. Wiro menatap pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru dari Sinto
Gendeng dan Tua Gila. (Kisahnya harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Pedang Naga Suci
212”. Juga dapat dibaca kisah muda kedua orang tokoh silat itu dalam CERMIN berjudul
“Selingkuh Rimba Persilatan”)

Masih berdiri di atas air di tepi telaga. Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Wiro, dia memang
muridku.”

“Saya tidak mengira. Kalau saya boleh bertanya, bagaimana kejadiannya Kiai?”

“Sewaktu lari dari Gedung Tumenggung di Kotaraja.

Nyi Retno Mantili hampir dihabisi seorang nenek dari alam roh bernama Nyi Tumbal Jiwo.
Mahluk jejadian ini adalah guru dari Wira Bumi, suami Nyi Retno yang waktu itu masih
menjabat sebagai Tumenggung di Kotaraja. Aku menyirap kabar sekarang dia sudah jadi Patih
Kerajaan …”

“Guru saya tidak mengenal siapa itu Wira Bumi. Saya tidak pernah punya suami. Kalau saya
mencari suami saya ingin orangnya yang seperti dia!” Tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil
menunjuk pada Pendekar 212 membuat Wiro jadi merah mukanya dan garuk-garuk kepala!

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia melanjutkan ceritanya.

“Nyi Retno aku bawa kesini. Aku beri beberapa ilmu kesaktian dan sedikit pelajaran silat.
Tujuanku adalah agar dia mampu menjaga diri karena aku tahu tidak akan bisa menahannya
lama-lama di tempat ini. Kenyataannya satu tahun di sini dia menghilang. Tahu-tahu beberapa
hari lalu muncul bersama Kemuning. Aku gembira melihat kalian semua. Wiro, sesuai dengan
pesanku pada gurumu, pembicaraan kita lanjutkan di dalam telaga.”

“Kiai saya tak punya kemampuan masuk dan tinggal lama di dalam telaga.” Ucap Wiro terus
terang.

“Tak usah kawatir. Kau dan juga juga Nyi Retno serta Kemuning tinggal mengikutiku saja.”

Wiro hanya bisa menggaruk kepala.


Tiba-tiba selintas pikiran muncul di benak Wiro.

“Jangan-jangan orang tua ini mempertemukan aku dengan Nyi Retno di sini untuk maksud
perjodohan. Tapi mana mungkin. Nyi Retno masih istri Wira Bumi. Ah, aku mungkin sudah gila
berpikir sampai ke situ …”

Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu bertanya. “Pendekar, apa
yang ada dalam hati dan benakmu?”

“Ah, agaknya Kiai tahu apa yang barusan aku pikirkan,” membatin Wiro. Dia cepat-cepat
membungkuk.

“Harap maafkan kalau saya berpikiran sangat dangkal dan tolol.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Kiai, sebelum kesini saya singgah di puncak gunung
sebelah utara. Saya tidak melihat gubuk kediaman Eyang Sinto. Sepertinya telah terjadi sesuatu
…”

“Ketika gurumu bertemu denganmu saat menyampaikan pesan, apakah dia tidak menceritakan
apaapa?”

“Banyak Kiai. tapi sama sekali tidak ada cerita tentang keadaan di tempat kediaman Eyang.”

“Kalau kau bertemu lagi, tanyakan langsung padanya,” kata sang Kiai pula. Dipegangnya tangan
Wiro dan Nyi Retno. Lalu seperti diajak terbang dia mengangkat tubuh ke dua orang itu ke
udara. Kemudian perlahanlahan diturunkan di pertengahan telaga dan plaaass!

Ketiga orang itu lenyap masuk ke dalam air!

MASUK ke dalam telaga di puncak timur Gunung Gede itu mengingatkan Wiro pada kejadian
sewaktu dia dibawa masuk oleh Ratu Duyung ke dalam samudera pantai selatan (baca serial
Wiro Sableng berjudul “Kiamat Di Pangandaran”) Ternyata di dasar telaga terdapat tiga buah
bangunan batu pualam yang indah sekali bentuknya. Dua bangunan berukuran kecil, mengapit
sebuah bangunan besar yang atapnya menyerupai mesjid.

Nyi Retno. masuklah ke dalam bangunan di samping kiri. Tunggu sampai kami berdua datang.”

“Guru. jangan suruh saya menunggu terlalu lama.

Nanti saya lari lagi seperti dulu…”


Kiai Gede Tapa Pamungkas membelai rambut hitam Nyi Retno. mencubit pipi boneka kayu.
Setelah perempuan muda itu masuk ke dalam Bangunan batu di sebelah kiri Kiai Gede Tapa
Pamungkas berkata. “Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kulihat keadaan Nyi Retno banyak
berubah.

Pikirannya masih belum jernih tapi untuk hal-hal tertentu dia tampak secerdas orang biasa.
Mudah-mudahan Tuhan menolong dan memberkatinya.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke bangunan batu di sebelah kanan. Sambil berjalan dia
berkata “Kita nanti bicara di bangunan besar. Itu tempat kediamanku.

Sebelum kesana aku membawamu terlebih dulu ke bangunan ini karena ada yang perlu aku
perlihatkan.

Penuh tanda tanya Wiro mengikuti langkah sang Kiai.

Bagian dalam bangunan walau segala sesuatunya terbuat dar batu keadaannya tidak beda
dengan bangunanbangunan kecil sekitar Istana di Kotaraja yang pernah dilihatnya. Di hadapan
sebuah pintu berwarna hijau muda Kiai Gede Tapa Pamungkas berhenti. Pintu yang juga
terbuat dari batu secara aneh bergeser ke samping.

Setelah keduanya masuk, pintu bergeser menutup.

Ruangan dimana Wiro berada ternyata adalah sebuah ruang ketiduran yang bagus sekali. Udara
di sini nyaman dan sejuk. Nanya ada beberapa perabotan. Sebuah pembaringan batu beralas
seperai tebal berwarna biru muda lalu sebuah meja batu diapit dua buah kursi.

Begitu masuk pandangan Wiro langsung tertuju pada satu sosok perempuan tua berwajah putih
yang terbujur di atas pembaringan. Rambutnya yang panjang hitam menjulai sampai
menyentuh lantai ruangan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah tentutup sehelai selimut tebal.

“Nyi Bodong…” Ucap Wiro begitu melihat orang yang ada di atas pembaringan.

“Kau mengenal nenek ini?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Kiai. saya sempat bertemu nenek ini beberapa kali.

Ilmunya tinggi. Terakhir sekali saya ketahui dia memburu seorang berjuluk Hantu Pemerkosa
yang bukan lain adalah Pangeran Matahari. musuh saya dan musuh para tokoh rimba
persilatan.” Wiro diam sebentar, memperhatikan.

Dia hampir tidak melihat gerakan nafas di tubuh si nenek.

“Kiai, bagaimana orang ini bisa berada di sini. Apakah dia masih dalam keadaan hidup?”
“Nyi Bodong menderita luka dalam yang sangat parah. Dua hari dia dalam keadaan sengsara
dan nyaris sakarat. Ketika dalam perjalanan ke sini, Nyi Retno yang melewati jalan memintas di
arah timur menemuinya di satu lekukan lereng. Nyi Retno membawanya kemari. Kau tahu
sendiri Wiro. Nyi Retno bertubuh kecil tapi mampu memanggul Nyi Bodong yang tinggi dan
lebih besar. Lalu, jika otaknya kita anggap tidak waras, dia tidak akan memperdulikan nenek ini.
Perlu apa menolong? Ternyata Tuhan memberikan perasaan welas asih padanya hingga dia
mau membawa Nyi Bodong. Aku tidak tahu, berapa lama lagi dia sadar dari pingsan. Mudah-
mudahan Tuhan memperpanjang umurnya. Selama dia disini, kau tahu siapa yang
merawatnva?”

“Saya bisa memperkirakan Kiai. Tentu Nyi Retno Mantili.” Jawab Wiro pula.

Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. Lalu berkata. “Selama di sini, Nyi Retno banyak bicara
tentang dirimu. Dia yang memberi tahu bahwa kau akan datang.”

“Nyi Retno orang baik. Punya niat baik untuk rimba persilatan. Hanya saja nasibnya yang buruk
…” Wiro lalu melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri dekat kepala Nyi Bodong.

“Kiai, apakah Kiai atau Nyi Retno tahu siapa yang mencelakai Nyi Bodong?”

“Kenapa kau bertanya begitu?”

“Setahu saya Nyi Bodong memiliki ilmu kesaktian langka. Dia bisa mengeluarkan sinar biru
sangat mematikan dari pusarnya.”

“Setiap ada ilmu yang tinggi dan hebat. pasti ada lagi ilmu lain yang lebih tinggi dan lebih hebat.
Jangan kau pernah melupakan hal itu. Yang berarti seorang pendekar tidak boleh sombong,
tidak boleh takabur. Aku tidak tahu siapa orang yang mencelakai Nyi Bodong. Keadaannya agak
aneh. Pertama kali ditemui sekujur tubuhnya berwarna kuning. Beberapa urat besar serta
syarafnya mengalami pembengkakan. Seperti dipanggang. Kalau dia siuman dan sembuh pasti
akan aku tanyakan. Aku menyempatkan diri pergi ke tempat dimana Nyi Retno menemui Nyi
Bodong. Kelihatannya ada pertempuran hebat disana. Satu pohon besar berubah menjadi arang
tapu berwana kuning. Kalau tidak dilindungi kekuatan hebat, rasanya nasib Nyi Bodong tidak
beda dengan pohon itu.”

“Syukur Tuhan masih menyelamatkannya,” kata Wiro.

“Rimba persilatan memerlukan orang seperti Nyi Bodong.”

“Wiro, saatnya pergi ke tempat kediamanku dan bicara.”

“Baik Kiai.”
Sebelum meninggalkan ruangan Wiro pandangi dekat-dekat wajah Nyi Bodong. Sebenarnya dia
ingin menyingkap selimut yang menutupi bagian kaki nenek muka putih itu. Namun dia tidak
berani melakukan. Takut dianggap berlaku lancang dan ditegur Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Akhirnya Wiro hanya usapkan tangan kirinya di kening si nenek. Mulutnya berkata perlahan.

“Nyi Bodong, kau orang baik. Tuhan akan menolong menyembuhkanmu. Jika kau sembuh aku
ingin bertemu dan bicara banyak denganmu.”

Namun seperti disentak. Wiro cepat-cepat menarik tangannya. Entah karena sentuhan tangan
atau karena memang sudah saatnya siuman. sepasang mata Nyi Bodong yang sekian lama
terpejam tiba-tiba membuka.

Mata itu mula-mula tampak sayu kuyu. Namun begitu pandangannya membentur wajah
Pendekar 212, sepasang mata jadi membesar, bersinar dan air muka si nenek berubah.

“Dia mengenalimu, Wiro…” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.

“Saya ….’

“Kau mempunyai daya penyembuh pada tanganmu?”

“Tidak kiai. Saya tidak punya ilmu apa-apa…”

“Kalau begitu mari kita keluar dari sini.” kata sang Kiai.

Wiro mundur selangkah. Dia merasa berdebar ketika melihat sepasang mata Nyi Bodong masih
memperhatikan.

Sebelum pintu batu bergeser menutup. Wiro sempat melihat mata itu masih terus mernandang
ke arahnya.

Bahkan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu.

“Kiai. saya mohon pintu jangan ditutup dulu. Nyi Bodong seperti hendak mengatakan sesuatu.
Mungkin dia hendak memberi tahu siapa orang yang telah mencelakainya”

Mendengar ucapan Wiro Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri di hadapan pintu batu. Pintu
terbuka. Nyi Bodong masih dalam keadaan seperti tadi. Mata memandang mulut terbuka.

“Nyi Bodong. kau hendak rnengatakan sesuatu?”

tanya Wiro. Tangannya kembali hendak mengusap kening si nenek.


Mulut si nenek terbuka. Suaranya serak parau tapi jelas. “Jangan kau berani menyentuh diriku.
Pergilah,”

Wiro tersurut mundur. Memandang pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di sampingnya
lalu cepatcepat keluar dari ruangan itu. Sambil berjalan mengikuti sang Kiai. Wiro membatin.

“Dia dalarn keadaan cidera berat. Pingsan. Siuman secara tiba-tiba. Bicara seperti itu padaku.
Aneh. Rasanya aku ini sebagai seorang penjahat.”

Di dalam bangunan batu yang atapnya berbentuk mesjid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Wiro
duduk di satu ruangan tak seberapa besar. beralaskan permadani tebal.

Untuk beberapa lama Wiro hanya berdiam diri. Seolah menunggu apa yang akan dikatakan Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Namun sebenernya pikirannya masih tertuju pada kejadian di kamar
tempat Nyi Bodong terbaring tadi.

“Dia tidak senang padaku. Mengapa? Karena pertengkaran di pondok Ki Tambakpati dulu
atau…”

“Wiro, sebelum kita memulai pembicaraan ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kau datang
dengan baju putih robek besar di sebelah belakang. Di punggungmu ada guratan luka. panjang
dan cukup dalam. Apa yang terjadi?”

“Saya tersangkut di ranting pohon sewaktu melayang turun.” jawab Wiro berdusta. tidak mau
menceritakan hal sebenarnya.

“ Begitu?”

Wiro tidak berani mengangguk, tidak berani mengiyakan. Hanya berdiam diri saja.

“Hanya ada satu manusia yang bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu. Gurumu Sinto
Gendeng. Betul?”

“Eyang Sinto bermaksud baik, Kiai. Sementara saya murid kurang ajar yang sesekali memang
perlu diberi peringatan.”

Alis kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas lalu orang sakti ini berkata.

“Membaliklah. Biar aku sembuhkan cacat luka di punggungmu itu.”

“Terima kasih Kiai. Saya memilih memiliki cacat ini.

Agar saya selalu ingat untuk berlaku baik.”


Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa lebar. “Mengingati diri sendiri untuk berbuat baik bukan
dari cacat luka yang ada di tubuh. Tapi dari lubuk hati. Sudahlah. jika kau ingin membawa cacat
itu kemana-mana aku tidak bisa melarang. Sekarang kita lanjutkan pembicaraan.”

“Ba..baik Kiai. Saya menunggu. Sebelumnya saya menghaturkan terima kasih karena Kiai mau
meminta saya datang ke sini. Saya siap menerima nasihat maupun teguran …”

“Rimba persilatan ….” Kata sang Kiai memulai ucapannya. “Sekarang ini telah jauh berbeda
dengan saat ketika dulu kau dilahirkan, ketika kau pertama kali turun gunung. Perubahan bukan
saja terjadi pada sifat manusia dan para tokoh yang ada. Tapi juga pada berbagai ilmu yang
dimiliki orang-orang rimba persilatan sendiri.

Dendam kebencian, keserakahan, kejahatan membuat banyak orang menciptakan berbagai


ilmu baru yang luar biasa dahsyatnya. Lebih mengerikan lagi kalau manusia biasa berilmu tinggi
berserikat dengan mahluk alam roh, menciptakan ilmu yang bisa membuat rimba persilatan
mengalami kiamat! Contoh ketika Pangeran Matahari hendak mendirikan Partai Bendera Darah
yang bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Orang-orang rimba persilatan golongan
putih tidak mampu menghancurkan komplotan manusia pocong itu secara seorang diri.

Termasuk kau. Berapa tokoh yang bergabung untuk menghancurkannya? Itu telah terjadi. Yang
bakal terjadi mungkin jauh lebih dahsyat. Apa lagi Pangeran Matahari masih hidup dan
berkeliaran. Dendam kesumatnya terhadap dirimu selangit tembus sedalam lautan. Satu hal
harus kau ingat Wiro, manusia-manusia jahat itu mudah sekali berserikat dalam kejahatan.
Sebaliknya manusia yang katanya orang baik-baik kerap kali tidak saling akur.

Itu sebabnya kejahatan terlihat selangkah lebih cepat dari kebaikan.

“Aku tahu kau memiliki banyak ilmu kesaktian untuk menghadapi musuh-musuhmu. Tapi kau
harus memahami bahwa setiap manusia itu punya hari sial. Hari apes. Satu kali kau akan
mengalami hal itu dan dirimu akan mendapat celaka besar bahkan mati di tangan
musuhmusuhmu.

Itu garis nasib setiap orang. Kau tidak terlepas dari garis itu. Seperti penyakit, mengapa kita
tidak berusah mencegahnya sebelum kena?

“Seorang pendekar tidak harus memperlihatkan jati dirinya dengan tanda-tanda tertentu yang
bisa membahayakan jiwanya. Contoh nyata adalah dirimu. Ada rajah angka Dua Satu Dua di
dadamu. Melihat rajahan itu setiap orang akan akan mengenali siapa dirimu. Hal ini
mengandung bahaya besar yang mungkin tidak kau sadari. Juga tidakdisadari oleh Sinto
Gendeng ketika belasan tahun silam dia membuat rajah itu di tubuhmu dengan jarum sakti.
Sudah saatnya rajah itu dilenyapkan.
Kau memiliki senjata sakti mandraguna pemberian gurumu berupa Kapak Naga Geni Dua Satu
Dua dan batu hitam pasangannya. Senjata sebesar itu apakah kau tidak rikuh membawanya
kemana-mana?”

Ucapan Kiai Gede Tapak Pamungkas itu mengingatkan Wiro akan apa yang belum lama terjadi
antara dia dengan Eyang Sinto Gendeng. Jangan-jangan ada pesan tertentu dari si nenek.

“Kiai, apakah Eyang Sinto berpesan minta saya mengembalikan kapak dan batu sakti itu?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.

“Aku ingin senjata dan batu sakti itu tetap ada padamu. Tetapi tidak terlihat secara kasat mata.”

“Saya tidak mengerti maksud ucapan Kiai.” Kata Wiro. “Kiai, terus terang saya merasa lega
kalau kapak dan batu sakti saya kembalikan pada Eyang Sinto. Kalau diizinkan, saya juga ingin
mengembalikan semua ilmu silat dan kesaktian yang pernah saya dapatkan dari beliau.

Sehingga antara kami tidak ada lagi ganjalan.”

“Ucapanmu memberi kesan kau membenci gurumu.”

“Tidak Kiai, saya tidak membenci Eyang Sinto.”

“Kau menaruh dendam atas apa yang telah dilakukannya padamu?”

“Saya tetep menghormati Eyang Sinto,” jawab Wiro dengan tenang walau hatinya terasa perih.

“Mulutmu berucap begitu, tapi aku tidak tau apa yang ada di lubuk hatimu. Sinar matamu
terlihat lain…”

“Kiai, saya ingin melupakan apa yang telah terjadi.

Saya ingin melupakan masa lalu dengan segala perbuatan buruk dan baik saya. Saat ini saya
punya keinginan meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya.

Saya rasa tanpa menjadi seorang pendekar sekalipun seseorang bisa berbuat baik.”

Kalau saja sang Kiai tidak dapat menekan keterkejutannya pastilah saat itu dia sudah terlonjak
dari duduknya.

“Anak muda, kau ini bicara apa? Selagi rimba persilatan dilanda kekacauan seperti ini, selagi
rimba persilatan digentayangi manusia-manusia jahat kau bermaksud meninggalkan rimba
persilatan. Apakah kau hanya mengikuti perasaan hati hingga mengorbankan akal sehat?”
“Kiai, mungkin perasaan hati terkadang menyesatkan.

Namun bagaimanapun juga perasaan hati adalah satu kejujuran yang tidak pernah berkata
dusta. Murni dan bersih separti tetesan-tetesan embun di pagi hari.”

Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu
hitam sakti. Dua senjata mustika ini diletakkan di atas permadani di hadapan Kiai Gede Tapa
Pamungkas.

“Dengan segala hormat dan mohon maap, kapak dan batu sakti saya serahkan pada Kiai.”

“Wiro, jangan membuat aku bingung. Aku tidak bisa menerima perbuatanmu ini!”

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat angkat tangan kanan, telapak dikem

bang diarahkan ke dada Wiro.

“Kiai, kau mau berbuat apa? Membunuhku?!” seru Wiro.

SANG KIAI tak menjawab. Mukanya berubah merah.

Tangan kanan mulai bergetar. Lalu muncul satu cahaya putih melingkari tangan. Ketika Kiai
Gede Tapa Pamungkas mendorongkan tangan itu ke depan, satu cahaya menyilaukan berkiblat
ke arah dada Pendekar 212.

Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental kedinding.

Rasa panas seperti ada bara di dalam dada membuat sekujur tubuhnya berkelojotan. Dada itu
dipenuhi kilatan ribuan bunga api. Sesaat kemudian perlahan-lahan bunga api dan rasa panas
lenyap, berubah menjadi hawa sangat sejuk hingga kini Wiro jadi menggigil kedinginan dan
giginya bergemeletukan.

Wiro menatap ke depan. Kiai Gede Tapa Pamungkas menatapnya tenang-tenang saja. Ketika
Wiro memperhatikan ke arah dirinya sendiri ternyata baju putihnya dalam keadaan terbuka,
dada tersingkap telanjang. Dan rajah tiga angka 212 yang selama ini ada di dada itu kini telah
lenyap!

“Kiai …..” ucap Wiro. “Saya ….”

Belum sempat Wiro menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat
dua tangan sekaligus. Mulutnya berseru. “Wiro! Kapak Naga Geni Dua Satu Dua! Batu hitam
sakti! Aku kembalikan padamu!”
Dua tangan ditepukkan satu sama lain.

“Blaar! Blaar!”

Dua cahaya sangat terang berkiblat. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti berubah
menjadi dua benda sangat menyilaukan. Melesat ke udara lalu menukik turun dan sett … sett!
Sulit dipercaya. Dua senjata mustika sakti itu melesat masuk ke dalam tubuh Pendekar 212
sebelah depan. Asap putih mengepul dari telinga, hidung, mata serta ubun-ubun Wiro! Untuk
beberapa lamanya tubuh Wiro tampak kaku tak bergerak.

Keringat memercik dimana-mana. Tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulut sang
pendekar.

Sepasang matanya berubah merah laksana bara menyala.

Tubuh bergoncang keras lalu terkulai lemas, tersandar ke dinding.

Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. Melangkah mendekati Wiro. Telapak tangan kanan
diletakkan di atas kepala Pendekar 212, mulut komat kamit merapal sesuatu.

“Dess! Dess!”

Asap mengepul dari kepala Wiro.

“Rampung sudah. Tugasku sudah selesai. Semoga Tuhan melindungi dan mernberkatimu …” .

“Kiai, apa yang terjadi? Apa yang telah Kiai lakukan?”

tanya Wiro seperti orang baru sadar dari siuman.

“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batuk hitam sakti telah menyatu dalam tubuhmu. Kemana
kau pergi dua senjata mustika itu akan selalu bersamamu. Bilamana kau memerlukan mereka
kau hanya berseru menyebut Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau Batu Sakti! Maka secepat
kilat kapak akan berada di tangan kanan dan batu sakti di tangan kirimu.”

Wiro terdiam. Bukan terpana kagum akan kehebatan yang telah diiakukan Kiai Gede Tapa
Pamungkas tapi justru terbalut oleh rasa penyesalan. Mengapa sang Kiai tidak memberi tahu
lebih dulu apa yang akan dilakukannya. Padahal tadi dia jelas-jelas mengatakan ingin
mengembalikan dua senjata mustika sakti itu.

“Mengenai jarah tiga angka Dua Satu Dua di dadamu.


Angka-angka tersebut akan muncul di dada kirimu dengan sendirinya jika kau sengaja
menyibakkan baju di hadapan lawan.”

“Kiai, apakah saya boleh minta diri sekarang?” Bertanya Wiro.

“Aku tahu kau tidak suka atas apa yang telah aku lakukan. Namun dikemudian hari kau akan
menyadari bahwa yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikanmu.”

“Saya sangat berterima kasih. Kiai, saya mohon diri.

Sebelum pergi izinkan saya menemui Nyi Retno” Wiro berdiri.

Melihat air muka dan sikap Pendekar 212 Wiro Sableng, sang Kiai tak punya niat untuk
mencegah walau sebenarnya masih banyak yang ingin dibicarakannya dengan pemuda itu.

Di bangunan batu sebelah kiri Nyi Retno Mantili telah resah rnenunggu. Bersama Wiro dia ingin
cepat-cepat keluar dari dasar telaga. Ketika Wiro muncul dia menyambut dengan tertawa lega.
Sambil menimang boneka kayu dan bertanya pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang berada di
samping Wiro.

“Guru, apakah kami boleh minta diri sekarang?”

Sang Kiai anggukkan kepala.

“Wiro, jaga Nyi Retno dan Kemuning baik-baik.” Lalu orang sakti ini pegang lengan Wiro dan Nyi
Retno.

“Selamat jalan. Harap kalian selalu berhati-hati.” Dua lengan disentakkan. Wiro dan Nyi Retno
melesat ke atas permukaan air terlaga.

Beberapa lama setelah Wiro dan Nyi Retno Mantili lenyap dari hadapannya Kiai Gede Tapa
Pamungkas masih tegak di depan bangunan besar yang atapnya berbentuk mesjid. Orang tua
ini menarik nafas panjang. Membalikkan badan seraya mulutnya berucap perlahan. “Sinto, dari
dulu kau tak pernah berubah. Kau akan menerima azab akibat perbuatan semena-menamu
terhadap murid sendiri.

Sayang …. sayang sekali. Padahal rimba persilatan sangat memerlukan orang-orang seperti
kalian.”

Wiro dan Nyi Retno hampir tidak menyadari kapan mereka melesat keluar dari dalam telaga.
Tahu-tahu keduanya sudah ada di tepi telaga tiga warna sebelah timur.

“Aneh, tubuh dan pakaianku tidak basah!” kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Aku juga. Kemuning juga tidak basah! Kesaktian guruku pasti yang membuat kita tetap kering
begini! Hik … hik … hik. Aku suka pada Kiai itu. Tapi aku tidak senang akan semua ucapan dan
apa yang dilakukannya padamu waktu di gedung besar di dasar telaga tadi.”

Wiro berpaling heran.

“Bagaimana kau bisa tahu segala pembicaraan dan apa yang terjadi di bangunan besar?” tanya
murid Sinto Gendeng pula.

“Aku ada di dalam ruangan.”

Wiro menggaruk kepala tak percaya.

“Kiai memberikan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri padaku. Aku pergunakan ilmu itu.
Tubuhku lenyap dari pemandangan mata. Aku masuk ke dalam ruangan. Kau tidak tahu, tidak
melihat. Kiai juga tidak tahu tidak melihat. Tapi aku kira dia tahu. Cuma sengaja berpurapura
Hik … hik … hik. Aku kira dia menyesal memberikan ilmu itu padaku.”

“Kiai Gede Tapa Pamungkas orang baik dan sangat bijaksana. Dia tahu apa yang dilakukannya.”

“Kau juga orang baik. Kau baik padaku. Kau baik pada Kemuning …” kata Nyi Retno. Sambil
melangkah pelan di samping Wiro, dia sandarkan kepalanya ke bahu kiri sang pendekar. “Wiro,
kita akan pergi kemana sekarang ? “ Nyi Retno bertanya.

“Nyi Retno, saya rasa saya harus mengantarkanmu ke pondok Ki Tambakpati…”

“Terserah kau mau bawa kemana. Aku dan Kemuning ikut ….”

Wiro menggaruk kepala.

“Kau tidak suka aku dan Kemuning ikut?”

“Tentu saja saya suka. Tapi …”

“Tapi apa?”

Wiro memandang berkeliling. Dia melihat ada satu pohon rindang. “Ada yang hendak saya
ceritakan pada Nyi Retno. Mari kita bicara di bawah pohon sana.”

Mendengar kata-kata Wiro itu Nyi Retno Mantili langsung mendahului lari dan duduk di bawah
pohon.

Begitu Wiro sampai dia berkata. “Senangnya hendak diceritakan sesuatu. Kau mau cerita
sekarang?” Nyi Retno menarik tangan Wiro. Keduanya duduk di tanah berhadaphadapan.
“Nyi Retno, beberapa hari lalu dari keterangan Djaka Tua saya berhasil mencari tahu dimana
bayimu berada …”

“Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Bayiku ada di sini. Lihat, ini Kemuning! Bayiku, anakku,
puteriku.” Nyi Retno mengangkat boneka kayu yang ada di pangkuannya lalu tertawa panjang.

Wiro garuk-garuk kepala. Dia tidak tahu musti bicara bagaimana. Setelah berpikir-pikir, dia
mendapat akal.

“Kau betul Nyi Retno. Kemuning ini memang puterimu yang manis. Semua orang suka
padanya.Tapi apa kau lupa kalau Kemuning punya kakak?”

Kening Nyi Retno mengerenyit, mulut dipencongkan, mata menatap lebar. “Kau
mempermainkanku. Kau jahat …”

“Tidak Nyi Retno. Kakak Kemuning juga seorang anak perempuan. Sama cantiknya dengan
Kemuning. Namanya Ken Permata. Usianya satu tahun …”

“Kemuning juga berusia satu tahun. Kalau Kemuning punya kakak paling tidak usianya dua
tahun!”

“Celaka, katanya otaknya tidak waras. tapi ternyata tahu menghitung. Dia lebih dari waras!”
Ucap Wiro dalam hati. Wiro usap-usap kepala boneka. “Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi.
Saya akan mengantarkan Nyi Retno ke pondok Ki Tambakpati. Perjalanan kita jauh kali.
Berharihari.

Saya tahu tempat dimana kita bisa mencari tumpangan gerobak kuda.”

“Tadi malam saya bermimpi,” kata Nyi Retno sambil berdiri. Untuk pertama kalinya Wiro
mendengar dia menyebut dirinya dengan kata saya, bukan aku.

“Mimpinya buruk. Dalam mimpi saya melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke
bawah. Saya kawatir.”

“Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Mimpi adalah mimpi. Djaka Tua berada di tempat
kediaman Ki Tambakpati, tempat yang aman.”

Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda. Perjalanan menuju puncak Gunung
Gede cukup sulit. Seseorang hanya bisa menunggangi kuda paling jauh sampai dua pertiga
ketinggian gunung. Jika sekarang ada yang mampu naik sampai ke puncak, niscaya dia adalah
seorang berkepandaian tinggi dan memiliki kuda tunggangan yang cekatan luar biasa.
Wiro cepat menarik Nyi Retno ke balik pohon besar dan memberi tanda agar perempuan itu
tidak mengeluarkan suara. Tapi tetap saja Nyi Retno membuka mulut. “Pasti yang lewat
manusia setan dan kuda setan.

Hik … hik..hik.”

Wiro cepat tekap mulut Nyi Retno. Celakanya walau cuma main-main Nyi Retno gigit jari tangan
Wiro hingga hampir saja Wiro mengaduh kesakitan.

Derap kaki kuda semakin keras. Sesaat kemudian seekor kuda putih muncul bersama
penunggangnya seorang mengenakan sorban dan jubah putih berkilat.

Yang membuat Wiro terkejut kuda putih itu terus saja lari ke arah telaga, melompat tinggi dan
jauh, lalu perlahanlahan seperti dikendalikan, didahului satu ringkikan keras binatang dan
penunggangnya masuk ke dalam telaga, tanpa membuat air telaga bermuncratan, hanya
menimbulkan riak gelombang kecil.

“Luar biasa.. ..” Ucap Pendekar 212 sambil lepaskan tekapannya dari mulut Nyi Retno Mantili.

“Apa yang saya bilang terbukti. Yang naik kuda itu setan, kuda yang ditunggangi juga setan.”

“Kiai Gede Tapa Pamungkas kedatangan tamu hebat.

Nyi Retno, bisakah kita menunggu sampai orang berkuda tadi keluar dari telaga. Saya ingin
melihat lebih tegas, siapa dia adanya. Rasanya saya pernah ….” Wiro menggaruk kepala
mengingat-ingat.

Nyi Retno gelengkan kepala berulang kali lalu tarik lengan Wiro.

***

KITA kembali pada Hantu Malam Bergigi Perak yang tengah berusaha mengejar Sinto Gendeng
yang dicurigainya telah mendapatkan kembali Kitab Seribu Pengobatan. Si nenek merasa
jengkel karena dia tahu, di sebelah belakang kakek bermata belok berkuping lebar bernama
Setan Ngompol itu ternyata mengikuti. Namun rasa kesal itu jadi hilang ketika otaknva berpikir
mungkin orang itu bisa dimanfaatkannya.

Setelah berlari cukup jauh sementara matahari mulai memasuki ufuk tenggelamnya mendadak
Hantu Malam Bergigi Perak kehilangan jejak Sinto Gendeng.

“Kurang ajar! Tidak mungkin dia lenyap begitu saja.

Aku masih mencium bau pesingnya. Pasti dia sembunyi di sekitar sini.” Nenek berusia 70 tahun
ini memperhatikan keadaan sekeliling. Tempat dimana dia berada adalah kawasan hutan
bambu. Pohon-pohon bambu itu tumbuh berjejer rapat seolah membentuk dinding panjang
dan tinggi. Perlahan-lahan Hantu Malam Bergigi Perak langkahkan kaki, bergerak ke tempat
yang mulai diselimuti kegelapan. Asap hitam. merah dan biru yang keluar dari potongan bambu
yang ada di atas kepalanya kelihatan mengepul lebih tebal. “Tua bangka itu tidak mungkin
sembunyi karena takut,” membatin Hantu Malam Bergigi Perak. “Dia tidak punya ilmu
melenyapkan diri. Dia bersiasat mau membokongku! Aku harus waspada.”

Benar saja. Baru si nenek selesai mengucap dalam hati tiba-tiba didahului suara lengking jerit
keras berkiblat selarik sinar putih perak menyilaukan disertai berhembusnya angin luar biasa
panas!

“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Hantu Malam Bergigi Perak kaget sekali. “Jahanam itu inginkan
nyawaku!”

Sambil berguling selamatkan diri si nenek angkat dua tangan di atas kepala. Ketika dua tangan
didorong terdengar suara bergemuruh. Dari potongan batang bambu di atas kepala kepulan
asap tiga warna keluarkan suara mendesis lalu membuntal dan bergulung ke arah cahaya putih
perak yang menyerang dirinya, ltulah tangkisan dalam jurus yang disebut Hantu Malam
Menyanggah Bumi.

“Buummm!”

Letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar.

Pepohonan berderak-derak. Salah satu diantaranya amblas dalam kobaran api. Walau selamat
dari serangan mematikan, Hantu Malam Bergigi Perak merasakan dadanya berdenyut keras. Dia
cepat berdiri ketika terdengar suara tertawa panjang.

Di depan sana, terpisah dua belas langkah, berdiri angker seorang nenek tinggi kurus, berkulit
hitam dengan mata dan pipi cekung serta kepala ditancapi empat tusuk konde. Tangan kiri
melintangkan tongkat kayu di depan dada dan dari mulutnya mengumbar suara tertawa. Sinto
Gendeng!

Hantu Malam Bergigi Perak mendengus.

“Tua bangka edan! Kita sama-sama orang rimba hijau! Apa kau tidak punya peradatan? Sengaja
membokong diriku! Nama besar Sinto Gendeng ternyata hanya menampilkan seorang nenek
jelek berjiwa pengecut!”

Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ketanah.

Lalu menjawab. “Apa kau sendiri punya peradatan? Mengejar orang padahal aku tidak punya
urusan? Kau bukan cuma tua bangka tidak tahu peradatan tapi pasti juga punya niat jahat!
Untung tubuhmu masih utuh! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku saat ini juga kau
akan aku buat lumat!”

“Tidak heran kau bicara sombong!” sahut Hantu Malam sambil berkacak pinggang. “Sepertinya
cuma kau seorang yang punya ilmu kesaktian di dunia ini! Tidak heran kau mau melumat diriku!
Muridmu sendiri kau aniaya sampai cacat! Hik..hik..hik! Aku mau lihat apa benar kau mampu
melumat diriku?!”

Tubuh bungkuk Sinto Gendeng tersentak ke atas.

Sepasang matanya memandang mencorong, penuh kilatan hawa amarah.

“Kepentingan apa kau ikut campur aku punya urusan dengan muridku!”

“Sinto Gendeng, sudahlah. Aku tidak mau bicara panjang lebar, apa lagi yang aneh-aneh. Aku
langsung saja pada tujuanku. Aku butuh Kitab Seribu Pengobatan yang ada padamu. Dalam
waktu tiga puluh hari akan kukembalikan. Jika kau mau meminjamkan kita akan menjadi
sahabat malah mungkin jadi saudara dunia akhirat. Tapi kalau kau tidak berbaik hati untuk
meminjamkan, aku akan merampas kitab itu. Kalau kau tetap keras kepala aku akan mengambil
kitab berikut nyawamu! Harap kau pikirkan ucapanku dengan otak sehat pikiran jernih!”

Sinto Gendeng balas berkacak pinggang lalu tertawa mengekeh.

“Ucapanmu seperti pemain sandiwara keliling.

Dengar, aku masih mau mengampuni selembar nyawa rombengmu kalau kau lekas minggat dari
hadapanku. Aku tahu diriku buruk jelek. Tapi melihat tampangmu aku seperti mau muntah!
Hueek! Siapa sudi jadi saudaramu dunia akhirat! Hik … hik … hik!”

“Sinto, setahuku kitab itu bukan milikmu. Tapi milik Wiro muridmu! Mengapa kau serakah
mengangkangi?!

Kalau kau pinjamkan pada orang yang membutuhkan kesembuhan dari penyakit, kau bukan
saja akan mendapat nama harum tapi juga pahala besar.”

“Jangan bicara soal pahala di hadapanku! Dosaku sudah setinggi gunung sedalam lautan. Apa
masih perlu aku mencari pahala?!”

“Kalau begitu kau akan mampus dalam kesesatan!

Kasihan sekali! Coba kau mendongak ke langit! Apa kau tidak melihat pintu neraka sudah
terbuka menantimu? Hik .. hik … hik!”

Sinto Gendeng berteriak marah.


Hantu Malam Bergigi Perak sendiri saat itu sudah melompat ke hadapan Sinto Gendeng. Dari
tabung bambu di atas kepalanya menyembur asap hitam, kuning dan merah membuat
pemandangan Sinto Gendeng jadi terhalang dan matanya terasa agak perih. Bersamaan dengan
itu Hantu Malam lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam sangat
tinggi.

Sinto Gendeng menyeringai. Dia melompat ke samping untuk selamatkan diri dari pukulan sakti
sambil kepala dan tubuh dirundukkan untuk menghindari halangan asap. Lalu secepat kilat
tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak.

“Wuuut!”

“Breett!”

“Dukkk!”

Leher baju hitam berenda putih yang dikenakan Hantu Malam Bergigi Perak robek besar
disambar ujung tongkat Sinto Gendeng. Mukanya yang tertutup dandanan tebal seolah
kehilangan darah, pucat pasi seperti kertas.

Sebaliknya saat itu Sinto Gendeng sendiri tampak meringis dengan tubuh setengah terlipat.
Walau tidak telak satu tendangan lawan berhasil mendarat di perutnya.

Rupanya tadi pukulan tangan kosong yang dilancarkan Hantu Malam Bergigi Perak hanya tipuan
belaka karena sebenarnya kaki kanannyalah yang benar-benar melakukan serangan dalam jurus
bernama Hantu Malam Menusuk Rembulan Menikam Matahari.

“Manusia jahanam, kau akan mampus tak berbentuk!” teriak Sinto Gendeng marah sekali. Dua
matanya memandang membeliak dan bagian putihnya perlahan-lahan berubah membiru.
Nenek ini jelas-jelas hendak mengeluarkan ilmu dahsyat Sepasang Sinar Inti Roh. Dari matanya
akan melesat dua larik sinar biru mematikan yang selama ini sulit lawan bisa menghindar cari
selamat. Ilmu inilah konon yang pernah diminta Wiro tapi tidak diberikan oleh sang guru.

Hantu Malam Bergigi Perak cukup banyak pengalaman dan segera maklum ilmu kesaktian apa
yang hendak dikeluarkan lawan. Secepat kilat dia melompat mundur sambil dua tangan
disilangkan di depan dada.

Mulut bergumam merapal mantera. Sekujur tubuh bergetar. Asap tiga warna yang keluar dari
tabung bambu di atas kepala menderu keras lalu bergerak menyelubungi sekujur tubuh, mulai
dari kepala sampai ke kaki. Sosok si nenek lenyap dari pemandangan, hanya sepasang matanya
yang masih terlihat seolah mengintip melalui dua buah lobang. Ilmu yang dikeluarkan Hantu
Malam Bergigi Perak ini bernama Membungkus Jazad Melindung Jiwa.
Dari namanya sudah dapat diketahui ini merupakan ilmu pelindung diri. Konon si nenek telah
menghabiskan waktu tiga puluh tahun untuk mendapatkan dan meyakini kesaktian ini. Selain
mempersiapkan diri dalam bertahan, dua tangan Hantu Malam Bergigi Perak yang bersilang di
depan dada kelihatan berubah menjadi hitam. Lima kuku jari mencuat panjang juga berubah
warna hitam dan pekat. Ilmu pertahanan yang telah disiapkannya rupanya sekaligus mampu
dibarengi dengan jurus menyerang yang disebut Limbah Neraka Menghujat Bumi. Ini
merupakan ilmu yang jahat sekali. Dari lima kuku jari akan menyembur keluar cairan hitam
berbau sangat busuk.

mengepulkan asap hitam serta menebar hawa luar biasa panas.

“Mampus!” teriak Sinto Gendeng. Sepasang mata dikedipkan.

“Balas kematian dengan kematian!” Hantu Malam Bergigi Perak balas berteriak tak kalah
garang. Dua tangan yang disilang di depan dada dikibas ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak
terlihat oleh Sinto Gendeng karena kecuali sepasang mata sampai saat itu tubuh lawannya
masih tertutup dan terlindung rapat oleh ilmu Membungkus Jazad Melindung Jiwa. Dua nenek
sakti itu rupanya sudah sama-sama nekad mengadu jiwa.

Di saat yang luar biasa menegangkan itu Setan Ngompol sampai di tempat itu. Kakek ini
langsung berteriak.

“Tahan serangan! Kalian berdua akan sama-sama mati konyol!”

Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Tak urung kencingya tetap memancur.

Dua nenek sama sekali tidak perdulikan peringatan Setan Ngompol. Malah masing-masing
melipat gandakan hawa sakti dan kekuatan tenaga dalam.

“Celaka!” teriak Setan Ngompol. Dia segera melompat menjauhi. Dia sudah dapat memastikan
jika dua nenek tetap meneruskan serangan, mereka akan sama-sama menemui ajal. Selain itu
bentrokan tenaga dalam dan hawa sakti akan melanda tempat itu, bisa-bisa merenggut
nyawanya sendiri. Itu sebabnya si kakek buru-buru melompat jauh mencari selamat. Tentu saja
dalam keadaan air kencing muncrat kemana-mana.

Dentuman dahsyat menggelegar di tempat itu. Langit laksana runtuh, tanah seperti terbalik.
Sinar biru, kuning, hitam dan merah mencuat tinggi ke langit, membeset ke seantero tempat.
Hantu Malam Bergigi Perak terpekik.

Tubuhnya mental sampai tujuh tombak, bergulingan di tanah. Walau tubuh masih terbungkus
asap pelindung tiga warna namun pada bahu kirinya kelihatan satu luka menganga. Darah
mengucur deras mengerikan.
Di bagian lain jeritan Sinto Gendeng seperti merobek langit. Nenek ini tidak terpental, hanya
jatuh duduk dengan tubuh mengepulkan asap hitam menebar bau busuk. Mara kirinya tampak
lebam merah biru. Empat tusuk konde di atas kepala bergoyang-goyang memancarkan sinar
redup. Saat itu entah dari mana datangnya mendadak muncul cahaya gemerlap. Sinto Gendeng
yang hanya mampu melihat dengan satu mata, terkesiap kaget ketika di hadapannya melayang
mahluk aneh berbentuk bayang-bayang berupa perempuan cantik sekali dengan rambut
tergerai lepas. Mahluk ini melayang ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto
Gendeng merasa ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya.

Dia berteriak. Lalu nenek ini tersungkur roboh, tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan!

Setan Ngompol yang berada lebih dari sepuluh tombak dari pusat dentuman dahsyat terlempar
dan menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata setengah mendelik.
Dada berdenyut sakit sementara kencing kembali awur-awuran. Untuk berapa lamanya kakek
ini terpentang tak mampu bergerak. Dirinya seolah lumpuh! Mahluk bayangan berkelebat ke
arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek menatap dengan mata melotot, tubuh terhuyung
lemas dan pandangan sedikit demi sedikit menjadi kabur.

“Nek. aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan.

Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku akan mencarimu dan menyerahkan
padamu …”

“Kau siapa …. ?” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau dada sesak. Nafas
tinggal satu-satu.

“Aku seorang sahabat …”

Si nenek menggeleng. “Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka dibahuku mengandung racun
jahat. Selain itu aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati serahkan kitab itu pada
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku yang
sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk dalam kitab yang bisa menyembuhkan. Jika
Pendekar itu inginkan salah satu dari dua muridku, dia tinggal memilih.

Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka berjodoh nan bahagia.”

“Nek. kau tidak akan mati. Aku akan .. menolong.”

Mahluk bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi Perak.
Namun kepala si nenek terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan sepasang mata
nyalang terbuka. Mahluk bayangan usap dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat ke
udara dan lenyap dari pemandangan.
Tak selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu
bergerak duduk di tanah. Meraba seputar pinggang. Kagetnya seperti disambar petir.

“Jahanam kurang ajar! Siapa yang telah mencuri kitab?!” Nenek ini melompat dari duduknya.
Berdiri terhuyung-huyung. Pandangannya membentur sosok Hantu Malam Bergigi Perak. Dia
dapatkan si nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh tubuh Hantu
Malam dan tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Saking kesalnya Sinto Gendeng
tendang tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak.

Sinto Gendeng putar tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak
menyangsrang tak berdaya di atas rumpunan semak belukar.

“Setan tua keparat! Semua terjadi gara-gara kau!

Mana kitab itu? Kau pasti yang mengambil!”

“Sinto, aku …..”

Plaakk!

Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol membuat pecah bibir si kakek.

“Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri! Apa sudah gila?!”

“Siapa bilang kita berternan?! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu
tapi membunuhmu! Kau dengar? Aku ingin membunuhmu!”

Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke dada Setan Ngompol.

“Kraaakk!”

Setan Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini megap-megap beberapa
kali lalu tak berkutik lagi.

– <> –

Eps 146 Azab Sang Murid

DALAM Episode sebelumnya (Lentera Iblis) dituturkan kejadian perkelahian hebat antara dua
nenek sakti dedengkot rimba persilatan yaitu Hantu Malam Bergigi Perak dengan Sinto
Gendeng. Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal akibat hantaman ilmu sakti Sepasang Sinar
Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng dari kedua matanya. Sementara Sinto Gendeng sendiri
walau mampu bertahan hidup namun keadaannya babak belur dan menderita luka dalam yang
cukup parah. Mata kiri lebam merah biru. Dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar
entah dari mana datangnya mendadak muncul satu cahaya bergemerlap. Sinto Gendeng yang
hanya mampu melihat dengan satu mata, terkesiap kaget sewaktu satu makhluk aneh
berbentuk bayang-bayang perempuan cantik sekali dengan rambut tergerai lepas melayang ke
arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto merasa ada sesuatu yang lenyap dari
tubuhnya. Dia hanya bisa berteriak. Lalu tersungkur roboh, tergeletak di tanah dalam keadaan
pingsan.

Akibat dentuman dahsyat beradunya pukulan-pukulan sakti Hantu Malam Bergigi Perak dan
Sinto Gendeng yang terjadi sebelumnya, Setan Ngompol terpental dan menyangsrang di atas
serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata mendelik. Dada berdenyut sakit sedang kencing
muncrat awur-awuran. Untuk beberapa lama kakek ini terpentang tak bergerak. Tubuhnya
seolah lumpuh.

Makhluk perempuan bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek
menatap dengan mata melotot. Tubuh terhuyung lemas akhirnya terguling di tanah. Pandangan
mata sedikit demi sedikit menjadi kabur.

“Nek, aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan. Kitab itu ada padaku. Kalau sudah
kupergunakan, aku akan mencarimu dan menyerahkannya padamu…”

“Kau siapa…” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau, dada sesak. Nafas megap-
megap tinggal satusatu.

“Aku seorang sahabat.”

Si nenek gelengkan kepala.

“Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka di bahuku mengandung racun jahat. Selain itu aku
kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati serahkan kitab itu pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku yang sangat memerlukan pertolongan.
Hanya petunjuk dalam kitab yang bisa menyembuhkan mereka. Jika pendekar itu inginkan salah
satu dari dua muridku, dia tinggal memilih. Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-
mudahan mereka berjodoh dan bahagia.”

“Nek, kau tidak akan mati. Aku akan menolong.”

Makhluk bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi Perak.
Namun kepala si nenek lebih dulu terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan sepasang
mata nyalang terbuka. Makhluk bayangan usap dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat
ke udara dan lenyap dari pemandangan.

***
TAK selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu
begerak duduk di tanah. Meraba sekitar pinggang. Mencari-cari kian kemari. Dia tidak
menemukan benda itu. Lenyap! Kaget si nenek laksana disambar petir.

“Jahanam kurang ajar! Siapa mencuri kitab?!” Nenek ini melompat dari duduknya, berdiri
terhuyung-huyung.

Pandangan mata kanannya membentur sosok Hantu Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si
nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh tubuh Hantu Malam namun
tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Saking marahnya Sinto Gendeng tendang tubuh
orang hingga terpental sampai beberapa tombak. Nenek sakti dari Gunung Gede ini kemudian
putar tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak tak berdaya,
menyangsrang di atas rumpunan semak belukar. Sinto Gendeng melangkah mendatangi.

“Setan tua keparat! Semua ini terjadi gara-gara kau! Mana kitab itu?! Kau pasti yang
mengambil!”

“Sinto, aku…”

“Mana kitab itu?!”

“Aku tidak mengambilnya. Aku…” Ucapan Setan Ngompol terputus.

Plaaakkk!

Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol membuat pecah bibir si kakek.

“Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri!”

“Siapa bilang kita berteman?! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu
tapi membunuhmu! Kau dengar?! Aku ingin membunuhmu!”

Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke tubuh Setan Ngompol.

Kraakkk!

Setan Ngompol menjerit.

Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini megamegap beberapa kali, kucurkan air kencing
lalu tak berkutik lagi.
Tak selang berapa lama setelah Sinto Gendeng pergi dan kegelapan malam mulai menyelimuti
tempat itu, dua bayangan tampak berkelebat gesit. Ternyata mereka adalah dua gadis cantik,
satu berpakaian merah satu lagi berpakaian biru.

Gadis berpakaian biru yang berada di sebelah depan tiba-tiba keluarkan jeritan.

“Kakak Liris Merah! Di sini! Lihat!”

Lalu si biru ini melompat ke depan, jatuhkan diri di tanah di mana tergeletak sosok Hantu
Malam Bergigi Perak yang telah jadi mayat.

“Guru!”

Liris Biru dan Liris Merah sama-sama terpekik lalu peluki jenazah sang guru.

“Guru…” Tangis Liris Merah. “Kalau guru mengizinkan kami ikut bersamamu, hal ini tak mungkin
terjadi. Tak mungkin!”

“Guru kalau kau tidak ada bagaimana kami? Putus sudah usaha mencari Kitab Seribu
Pengobatan.” Isak Liris Biru. “Lebih baik kami menyusul guru!” Lalu dengan nekad gadis cantik
bernama Liris Biru benturkan keningnya ke tanah. Hanya setengah jengkal lagi kening itu akan
menumbuk tanah, Liris Merah cepat melintangkan tangan kanan, tahan kening adiknya hingga
tak sempat membentur tanah.

“Liris Biru! Jangan bertindak bodoh! Guru sudah pergi! Kita tak bisa membuat kebajikan apa
selain mencari siapa pembunuhnya!”

Liris Biru menggerung panjang. Dua murid Hantu Malam Bergigi Perak itu menangis sambil
berpelukan.

“Sudah! Cukup! Tidak ada gunanya mengeringkan air mata,” ucap Liris Merah sambil usap
kedua matanya yang basah. “Kita harus membawa jenazah guru ke Goa Cadasbiru. Kita
makamkan di sana. Kita berangkat sekarang juga. Sebelum pagi mudah-mudahan kita sudah
bisa menguburkan jenazah guru.”

“Bagaimana kita membawa jenazah guru. Bergantian memanggulnya?” tanya Liris Biru.

Liris merah berdiri. Memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sosok Setan
Ngompol yang masih tertelentang di atas semak belukar, mulai sadarkan diri.

“Lihat!” Liris Merah berkata sambil menunjuk. Dua gadis itu segera mendatangi Setan Ngompol.

“Kau rupanya!” seru Liris Merah begitu mengenali siapa adanya orang itu. “Jangan pura-pura
pingsan! Kau mendekam di sini sengaja mendengarkan pembicaraan kami!”
“Pasti dia yang membunuh guru! Kita habisi saja dia sekarang juga!”

“Aku setuju!” sahut Liris Merah.

Dua gadis angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Satu diarahkan ke muka dan satu lagi ditujukan ke
dada Setan Ngompol. Kalau hantaman dua tangan mendarat di sasaran, niscaya nyawa si kakek
tidak tertolong lagi! Setan Ngompol delikkan mata. Terbatuk-batuk, kucurkan air kencing tapi
cepat membuka mulut.

“Tahan! Bukan aku yang membunuh guru kalian! Membunuhku tak ada gunanya!”

“Kakek bau pesing! Kau hendak mencari kambing hitam menuduh orang lain yang membunuh
guru kami?!” bentak Liris Merah.

“Aku bersumpah mengatakan hal sebenarnya. Aku tidak membunuh guru kalian. Yang
membunuhnya adalah. Ah, aku tak mungkin mengatakan…”

Liris Merah dan Liris Biru jadi marah.

“Buat apa bicara banyak! Kakak, ayo kita bunuh orang ini sekarang juga!” kata Liris Biru.

“Sinto Gendeng! Nenek itu yang membunuh guru kalian!” kata Setan Ngompol setengah
berteriak lalu kucurkan air kencing.

“Siapa percaya ucapanmu! Kau menuduh orang lain untuk cari selamat!” Liris Biru pelintir
telinga kanan Setan Ngompol hingga kakek ini meringis kesakitan dan pancarkan air kencing.

Setan Ngompol jadi jengkel. “Kalian tidak percaya itu urusan kalian! Kalian tetap mau
membunuhku silahkan! Namun kalian tidak bakal mendapat keterangan tentang Kitab Seribu
Pengobatan!”

Kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru saling pandang.

“Mengapa diam saja? Ayo silahkan bunuh aku sekarang juga!” Setan Ngompol menantang
karena tahu dua gadis cantik itu berada dalam kebimbangan.

“Kau tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan itu? Apa guru sudah mendapatkannya,
lalu…”

“Aku akan ceritakan semua yang terjadi. Bantu aku turun dari semak belukar celaka ini!”
Liris Merah dan Liris Biru walau agak jijik terpaksa bantu menurunkan Setan Ngompol dari atas
semak belukar. Untuk beberapa lamanya kakek ini duduk bersila di tanah. Kerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti ke bagian tubuh yang terluka yaitu tiga iga sebelah kanan yang patah!

Dia mengerenyit kesakitan berulang-ulang. Di sebelah bawah kencingnya berkucuran.

“Sinto Gendeng memukul patah tulang igaku! Dia hendak membunuhku! Untung Gusti Allah
masih menyelamatkan selembar nyawa orang tua bobrok ini!”

“Kami tidak mau mendengar celotehanmu! Katakan di mana Kitab Seribu Pengobatan!”

“Sampai beberapa saat lalu kitab itu ada pada Sinto Gendeng. Aku tidak tahu dari mana dia
mendapatkan. Lalu muncul gurumu. Dia berniat meminjam kitab secara baikbaik. Tentu saja
Sinto Gendeng tidak mau memberikan. Terjadi perkelahian hebat. Aku berusaha mencegah
agar keduanya tidak saling bunuh. Tapi gagal. Guru kalian menemui ajal. Sinto Gendeng luka
parah. Kitab yang ada padanya dirampas satu makhluk aneh yang muncul secara mendadak.
Makhluk ini berupa seorang perempuan cantik berambut hitam panjang berbentuk bayang-
bayang…”

“Kau mengarang cerita!” hardik Liris Merah sambil kepalkan tinjunya di depan hidung si kakek.
Kencing Setan Ngompol langsung terpencar.

“Terserah kau mau bilang apa!” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perut.
“Kalau kau pukul kepalaku, aku tidak akan meneruskan cerita!” Si kakek lalu sengaja menantang
dengan ulurkan kepala dekat-dekat ke wajah Liris Merah. Si gadis justru jauhkan mukanya lalu
dorong kepala Setan Ngompol dengan tangan kiri. Setan Ngompol tertawa mengekeh merasa
menang. Tiba-tiba tawanya berhenti. Liris Biru berdiri di hadapannya sambil pegang seekor
kalajengking.

“Eh… eh kau dapat dari mana binatang itu?!” Setan Ngompol bertanya sambil melangkah
mundur. Tapi Liris Merah yang sudah berada di belakang menahan punggungnya.

“Kakek kuping terbalik! Kalau kau tidak meneruskan cerita, berani mempermainkan kami,
kalajengking ini akan aku masukkan ke dalam celanamu!”

“Jangan! Aku tidak mempermainkan kalian! Buang dulu binatang sial itu! Lihat, kencingku
mengucur terus. Aku mana bisa cerita kalau ditakut-takuti seperti ini?!”

Liris Biru tersenyum. Kalajengking dibuang lalu dia berdiri sambil rangkapkan tangan di depan
dada, menunggu si kakek melanjutkan ceritanya.

“Eh, anu… sampai di mana tadi ceritaku?”

“Sampai di anumu!” jawab Liris Biru saking kesal.


“Ada makhluk aneh perempuan cantik berupa bayangbayang. Makhluk itu merampas Kitab
Seribu Pengobatan…” Liris Merah mengingatkan walau dia ikutan jengkel.

“Betul, makhluk aneh merampas kitab dari Sinto Gendeng. Sebelum pergi aku lihat dia
mendekati guru kalian yang sedang sakarat. Makhluk itu berkata kalau dia sudah
mempergunakan kitab, kitab akan diserahkan pada guru kalian. Tapi karena tahu ajalnya akan
segera sampai, guru kalian menjawab agar kitab nanti diserahkan saja pada Pendekar 212 Wiro
Sableng…”

“Pemuda itu! Di mana dia sekarang?!” tanya Liris Merah.

“Dia pergi ke Gunung Gede, menemui seorang kakek sakti.” jawab Setan Ngompol.

“Apa dia masih ingat kami?” tanya Liris Biru.

“Tentu saja. Apalagi kalian berdua dulu menghadiahkan ciuman padanya. Aku yang tidak
kebagian. Ha… ha… ha!” Wajah dua gadis kakak adik itu tampak berubah merah.

“Aku sedih melihat kematian guru kalian. Kalian harus mengurus jenazahnya baik-baik…”

“Kami akan membawa jenazah guru ke Kaliurang. Akan kami kubur dekat goa Cadasbiru.”

“Aku ingin mengantar kalian. Tapi keadaanku begini rupa. Dua mungkin tiga tulang igaku patah.
Biar aku menyusul saja…” Setan Ngompol usap-usap barisan tulang iganya sebelah kiri.

“Apa masih ada keterangan lain yang hendak kau sampaikan?” tanya Liris Biru.

Setan ngompol usap-usap kepalanya yang setengah botak dengan tangan kiri. Enak saja.
Padahal tangan itu basah oleh air kencing. “Aku ingat ucapan guru kalian sebelum
menghembuskan nafas penghabisan. Waktu itu dia bicara pada makhluk perempuan bayangan.
Katanya jika Pendekar 212 inginkan muridnya, dia bisa memilih salah satu dari kalian.”

Dua gadis cantik kakak beradik jadi tercekat mendengar ucapan Setan Ngompol itu.

“Apakah…” Liris Biru hendak bertanya tapi kakaknya memotong.

“Kami tidak jelas apa ucapanmu bisa dipercaya. Saat ini kami akan segera membawa jenazah
guru ke Kaliurang.”

“Kalau saja aku tidak cidera patah tulang begini rupa, pasti aku yang akan memanggul guru
kalian. Membawanya ke Kaliurang.”
“Kau bisa menolong kami dengan cara lain,” kata Liris Merah pula. “Cari Pendekar 212. Katakan
sangkut paut dirinya dengan kitab yang menurutmu kini berada di tangan makhluk perempuan
bayangan.”

Habis berkata begitu, dibantu adiknya, Liris Merah naikkan jenazah Hantu Malam Bergigi Perak
ke bahu kanan.

Setan Ngompol pejamkan dua mata, kepala ditengadahkan. Sikapnya menunggu sambil
mengulum senyum.

Plaakk!

Liris Biru walau hanya pelan saja, tampar pipi kanan si kakek.

“Oala! Mengharap diberi ciuman malah ditampar!”

Setan Ngompol buka mata dan usap-usap pipinya yang kena ditampar tapi mulutnya
menyeringai. “Tidak apa. Tangan yang menampar halus sekali. Hik… hik!”

Sesaat kemudian dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak lenyap di kegelapan malam.
Setan Ngompol menarik nafas berulang-ulang lalu meringis karena bagian dadanya sebelah kiri
terasa sakit seperti dicucuk.

“Aku memang harus mencari anak setan itu! Tapi siapa sudi menyusul jauh-jauh ke Gunung
Gede. Nanti dia akan muncul sendiri! Dari dulu dia membuat aku kebagian pekerjaan yang tidak
enak terus!”

***

SEBUAH gerobak ditarik seekor kuda tua tersendatsendat mendaki jalan tanah berbatu-batu. Di
atasnya selain kusir gerobak duduk dua penumpang yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi
Retno Mantili. Hutan jati di mana pondok kediaman Ki Tambakpati berada hanya tinggal
sepertiga hari perjalanan. Udara terasa panas. Siang itu matahari memancarkan sinar sangat
terik.

“Wiro, kita datang dari arah yang salah. Di sebelah depan jalan tambah sulit. Saya kasihan pada
kuda penarik gerobak. Bagaimana kalau kita berhenti di sini saja. Kita bisa melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Imogiri di sebelah sana. Hutan-hutan jati di arah situ. Hanya
tinggal dekat dari sini. Lewat jalan memintas dan mempergunakan ilmu lari kita bisa sampai
lebih cepat.”
Wiro perhatikan kuda tua penarik gerobak. Sekujur tubuh binatang yang kurus ini berkilat basah
oleh keringat. Pada kedua sudut mulutnya tampak ludah membuih. Kepala termiring-miring dan
kaki depan sering terserandung. Wiro menyuruh kusir gerobak berhenti. Dari balik pakaiannya
dia mengeluarkan sekeping kecil perak berkilat. Kusir gerobak, seorang tua bermuka bopeng
membungkuk berulang kali dan mengucapkan terima kasih tiada henti. Tapi dia tidak
mengambil kepingan perak itu.

“Terima kasih, saya tidak berani menerima pembayaran…”

“Kami menyewa gerobakmu. Itu bayarannya. Apa kurang… ?” tanya Wiro.

“Tidak, tidak kurang. Malah lebih. Kita satu tujuan seperjalanan. Tidak disewa pun saya akan
melalui tempat ini. Mana pantas saya minta bayaran.”

Selagi Wiro dan Nyi Retno keheranan, kusir gerobak berkata lagi.

“Den Mas dan Den Ayu, saya hampir kelupaan. Sewaktu kita singgah di desa Kemanten dua hari
lalu ada seseorang menitipkan sesuatu pada saya. Orang itu berpesan agar benda tersebut
diserahkan pada Raden berdua sesampainya di tujuan. Kalau Raden tidak berkeberatan, saya
akan menyerahkan sekarang.”

Wiro tatap wajah bopeng orang di hadapannya. Kusir gerobak membuka caping bambu. Dari
dalam caping dia mengeluarkan sebuah benda bergulung. Setelah benda diserahkan pada Wiro
sang kusir membungkuk mohon diri lalu melompat naik ke atas gerobak. Wiro tak sempat lagi
menanyakan siapa adanya orang yang menyerahkan benda tersebut pada kusir gerobak.

Begitu melewati tikungan jalan yang menurun, kusir gerobak lemparkan caping di atas kepala
lalu jari-jari tangannya melepas satu lapisan tipis yang menempel menutupi wajah. Ternyata
orang ini mengenakan sehelai topeng tipis. Orang yang tadi bermuka bopeng itu kini kelihatan
tampangnya yang asli. Bulat berkumis dan berjanggut tebal. Dari balik lantai papan gerobak dia
mengambil sebuah tarbus merah lalu dipakai di atas kepala. Pakaian lusuh dibuka. Kini tampak
dia mengenakan baju dan celana hitam. Pada dada kiri baju hitam terpampang sulaman benang
kuning bergambar rumah joglo serta dua keris bersilang. Lambang orangorang Keraton
Kaliningrat.

Orang berpakaian serba hitam dan mengenakan tarbus merah ini memang adalah anggota
penting dalam Keraton Kaliningrat. Namanya Damar Sarka. Waktu pertemuan di Hutan Ngluwer
yang diserbu oleh Wulan Srindi, dialah yang menyerahkan seperangkat pakaian hitam pada
Wulan Srindi sebagai tanda bahwa gadis itu telah diangkat menjadi anggota penting orang-
orang Keraton Kaliningrat (Baca Episode sebelumnya berjudul Nyi Bodong).

Wiro dan Nyi Retno mencari tempat yang teduh untuk duduk. Disaksikan Nyi Retno Mantili,
Wiro membuka benda bergulung yang ternyata adalah selembar daun lontar. Di atas daun
lontar ini tergurat serangkaian tulisan berupa surat yang cukup panjang.
Menemui sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng,

Tokoh rimba persilatan yang kami hormati,

Kami tahu Pendekar dan Eyang Sinto Gendeng di masa lalu telah banyak menanam jasa pada
kerajaan. Saat ini tahta dikuasai oleh orang yang tidak berhak. Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata
yang seharusnya menduduki tahta memegang kekuasaan dikucilkan. Jiwa dan keluarganya
terancam. Dengan segala kerendahan hati kami mohon Pendekar sudi berbuat jasa sekali lagi
demi kerajaan, ikut bersama kami menumpas penguasa yang tidak berhak dan serakah. Untuk
itu perkenankanlah kami mengundang Pendekar dalam satu pertemuan yang akan diadakan
pada Jum’at hari ke 15 bulan ini. Kami menunggu kedatangan Pendekar dengan segala harap
dan hormat di Candi Pangestu di Plaosan tepat tengah malam.

Kami para pucuk pimpinan Keraton Kaliningrat sudah sepakat untuk mempercayakan jabatan
Panglima Balatentara Kerajaan pada Pendekar jika perjuangan kita berhasil dan tentu saja
dengan bantuan Pendekar pasti berhasil.

Salam perjuangan Keraton Kaliningrat

Atas nama Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata

Tertanda, Pangeran Muda Brata Sukmapala

Nyi Retno Mantili ambil surat daun lontar dari tangan

Wiro, memperhatikan lalu membaca perlahan-lahan.

Setelah itu perempuan bertubuh mungil ini tertawa.

“Kenapa tertawa?” tanya Wiro.

“Kita tertipu.”

“Tertipu bagaimana?”

“Kusir gerobak itu bukan kusir benaran. Pasti dia orang Keraton Kaliningrat yang menyamar. Dia
telah mengenali dirimu sebagai Pendekar 212. Kalau tidak bagaimana mungkin surat daun
lontar itu diberikannya padamu.”

Wiro menggaruk kepala. Tersenyum lalu berkata. “Nyi Retno cerdik sekali.”

“Ah, saya cuma perempuan kurang ingatan. Hik… hik… hik,” jawab Nyi Retno lalu tertawa
cekikan.
Wiro pegang lengan Nyi Retno

“Keraton Kaliningrat. Saya rasa-rasa pernah mendengar nama keraton itu sebelumnya. Mungkin
sekali…”

“Apakah kau akan memenuhi undangan pertemuan itu? Hari Jum’at hari ke lima belas hanya
tinggal dua hari dari sekarang. Plaosan kurang sehari perjalanan dari sini.”

Wiro menggeleng.

“Kenapa tidak mau?” tanya Nyi Retno sambil mengusap lengan Wiro yang ditumbuhi bulu-bulu
hitam tebal.

“Saya tidak mau terlibat urusan kerajaan. Saya tidak tahu siapa itu Pangeran Muda Brata
Sukmapala. Permintaan bantuan dengan iming-iming jabatan besar biasanya mengandung hal
yang tidak wajar. Ada beberapa perkara besar yang harus saya tangani. Usaha mendapatkan
Kitab Seribu Pengobatan belum tuntas. Saya punya dugaan keras kitab itu sudah ada di tangan
Eyang Sinto. Satu kali saya pernah memantau dengan mengerahkan ilmu Menembus Pandang.
Saya tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk memintanya. Mungkin saya tidak akan
mendapatkan kitab itu untuk selamalamanya. Padahal banyak orang yang bisa ditolong dengan
petunjuk pengobatan yang ada dalam kitab itu…”

“Apakah di dalam kitab itu ada petunjuk pengobatan bagi orang yang sakit jiwa seperti saya?”

Pertanyaan Nyi Retno membuat Wiro terdiam. Terdorong oleh perasaan kasihan dan haru Wiro
peluk Nyi Retno Mantili seraya berbisik. “Saya belum pernah membaca isi kitab itu. Mudah-
mudahan ada petunjuk yang Nyi Retno maksudkan. Tapi saya yakin jika Nyi Retno nanti
bertemu dengan Ken Permata. Nyi Retno akan sembuh dari segala penyakit. Bersabarlah. Satu
Suro hanya tinggal beberapa bulan lagi.”

“Ken Permata, siapa itu?” tanya Nyi Retno.

Wiro lepaskan pelukannya. “Ken Permata, puteri Nyi Retno yang ada di tempat kediaman Datuk
Rao. Kakak Kemuning.” Jawab Wiro sambil tersenyum. Nyi Retno balas tersenyum, mengambil
boneka kayu yang ada di pangkuannya lalu mencium boneka itu berulang-ulang.

“Wiro, saya senang kau memeluk saya seperti tadi. Saya merasa ada kebahagiaan, perlindungan
dan kasih sayang…”

“Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya merasa…”


“Saya mengerti.” kata Nyi Retno pula sambil sandarkan kepalanya ke dada Pendekar 212 yang
bidang dan berotot. Ketika salah satu tangannya mengusap punggung pemuda itu, dia
menyentuh bagian yang robek. “Wiro, kau perlu baju pengganti…”

“Saya kehilangan perbekalan. Lupa entah di mana.”

Lalu Wiro melanjutkan ucapannya. “Selain berusaha mendapatkan kitab, saya juga punya tugas
lain. Mencari Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa.”

“Siapa manusia satu itu?” tanya Nyi Retno.

“Nyi Retno pernah bertemu. Di sebuah rimba belantara. Pernah berkelahi dan menghantamnya
dengan sepasang sinar yang keluar dari mata Kemuning. Nyi Retno ingat?”

Perlahan-lahan perempuan muda berwajah mungil cantik itu anggukkan kepala. “Saya ingat.
Dia hendak memperkosa saya. Wiro, kalau kau mencarinya, saya harus ikut. Saya akan
membunuh orang itu!”

“Banyak orang yang ingin membunuhnya. Termasuk saya. Saya tidak tahu siapa yang kelak
bakal mampu melakukan.”

“Wiro, waktu di dalam telaga, kau berkata pada Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa kau akan
meninggalkan rimba persilatan. Benar kau akan melakukan hal itu?”

Wiro terdiam cukup lama. Menggaruk kepala akhirnya mengangguk perlahan. “Selama ini saya
hanya melihat keculasan, ketidakadilan, kebejatan dan darah dalam rimba persilatan. Bahkan
nyawa manusia terkadang lebih tidak berharga dibanding nyawa binatang. Apakah saya masih
perlu ikut bergelimang di dalamnya?”

Nyi Retno berdiri, menimang-nimang boneka kayu beberapa lama lalu berkata. “Kau tahu apa
artinya pendekar, Wiro?”

Wiro tak menjawab. Hanya menggaruk kepala dan menatap wajah cantik perempuan muda di
depannya.

“Menurutku, seorang pendekar diperlukan kehadirannya dalam rimba persilatan. Untuk


menangani semua masalah yang kau sebutkan tadi. Kalau kau menghindar berarti kau tidak
layak lagi menyandang sebutan pendekar. Kau lebih baik menjadi seorang petani atau
nelayan…”

Wiro menatap paras cantik Nyi Retno Mantili. Saat itu dia merasa tengah bicara dengan
seorang yang sangat waras. Apakah perempuan muda ini sudah jernih pikirannya? Sudah
sembuh dari sakit jiwanya?
“Paling tidak saya akan menyelesaikan dulu semua tugas. Setelah itu…”

“Termasuk tugas mencari gadis bernama Wulan Srindi dan mendapatkan kembali tusuk konde
gurumu?”

“Saya merasa tidak punya kewajiban mencari tusuk konde itu. Namun sebagai murid yang
sudah diperintah saya tetap akan melakukan.” Wiro terdiam sebentar lalu bertanya. “Nyi Retno
percaya kalau saya yang menghamili Wulan Srindi?”

Nyi Retno tertawa panjang.

“Kalau saya mempercayai hal itu, sejak semula saya tidak akan mau ikut ke mana kau pergi.”

“Terima kasih Nyi Retno punya rasa percaya seperti itu. Saya merasa heran bagaimana Eyang
Sinto percaya saya berbuat serong dengan Wulan Srindi tanpa menyelidiki lebih dulu. Selain itu
saya merasa sangat sedih atas semua perlakuannya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena
saya sangat banyak berhutang budi padanya. Pertama, ketika saya masih orok Eyang Sinto yang
menyelamatkan saya dari kobaran api sewaktu rumah orang tua saya dibakar orang-orang
jahat. Kemudian selama belasan tahun Eyang Sinto merawat saya. Lebih dari itu dia mengambil
saya jadi murid. Diajarkan ilmu silat, diberikan berbagai ilmu kesaktian termasuk dua senjata
mustika kapak dan batu sakti. Sehingga saya menjadi orang sakti mandraguna, punya nama
besar dan bisa berbakti pada kerajaan dan rimba persilatan. Namun setelah pertemuan kami
yang terakhir dengan Eyang Sinto, yang Nyi Retno saksikan sendiri saya merasa adalah lebih
baik jika saya tidak lagi mempergunakan semua ilmu silat serta ilmu kesaktian pemberian Eyang
Sinto. Saya juga menyesalkan tindakan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang memasukkan Kapak
Naga Geni dan batu sakti begitu saja ke dalam tubuh saya tanpa memberi tahu lebih dulu.
Padahal niat saya sudah bulat untuk mengembalikan dua senjata sakti itu pada Eyang Sinto.”

“Kiai tidak ingin kau melakukan apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Ingat ucapan Kiai di
dalam telaga? Rimba persilatan memerlukan para pendekar sepertimu. Tapi bagaimana kau
mampu menghadapi kekerasan rimba persilatan kalau kau tidak mau mempergunakan semua
ilmu serta dua senjata yang diberikan gurumu?”

“Saya tidak tahu Nyi Retno, kita lihat saja nanti. Yang jelas saya akan minta perlindungan Tuhan
yang Maha Pengasih Maha Kuasa.” Jawab Wiro. Dia tidak mau memberi tahu bahwa selain dari
Eyang Sinto Gendeng dia juga menguasai berbagai ilmu kesaktian yang didapat dari beberapa
tokoh rimba persilatan.

“Jika Tuhan melindungimu, apakah kau juga akan melindungiku?” tanya Nyi Retno pula.

Wiro tertawa.
“Saya akan berusaha melindungi Nyi Retno. Tapi perlindungan Tuhan atas diri Nyi Retno lebih
dari segalagalanya. Nyi Retno, saya senang bicara denganmu. Apakah kita bisa melanjutkan
perjalanan sekarang. Matahari telah condong ke barat.”

Nyi Retno gelungkan dua tangannya di leher Wiro. Berlaku manja minta tolong dibantu berdiri.
“Kau orang baik, aku orang gila. Kau tidak risih dan malu berjalan bersama orang tidak waras
dan buruk rupa seperti aku ini…” Bisik Nyi Retno ke telinga Pendekar 212 lalu tertawa cekikikan.
Gulungan surat daun lontar diselipkannya ke pinggang Wiro.

“Nyi Retno juga orang baik. Malah sangat baik. Nyi Retno cantik. Sebenarnya saya yang rikuh.
Orang sableng seperti saya dipercaya jalan bersama Nyi Retno.”

Nyi Retno tertawa panjang. Tiba-tiba perempuan muda ini melompat ke punggung Wiro. “Saya
tak mau jalan. Saya kepingin digendong…”

“Nyi Retno, jangan bersikap seperti ini. Kalau ada orang yang melihat pasti akan salah
menyangka…”

“Tadi kita saling berpelukan. Sekarang aku merangkulmu, begini mengapa takut? Perduli setan
dengan orang lain! Saya suka padamu. Kemuning suka padamu! Ayo jalan! Hik… hik… hik.”

Mau tak mau Wiro terpaksa menggendong perempuan bertubuh mungil itu di punggungnya.
Mula-mula hanya berjalan biasa lalu berlari. Tidak disadari oleh Wiro, tidak diketahui oleh Nyi
Retno, gulungan surat daun lontar yang terselip di pinggang Wiro jatuh ke tanah.

“Wiro, jangan lari terlalu cepat. Aku dan Kemuning merasa gamang.”

Wiro perlambat larinya. Saat itulah dia merasa tengkuk dan pipi kanannya dicium mesra oleh
Nyi Retno. “Nyi Retno, saya mohon…”

“Saya juga mohon,” jawab Nyi Retno. Rangkulannya di leher Wiro semakin kencang dan
ciumannya kini pindah ke pipi kiri.

“Nyi Retno, saya tidak bisa berlari kalau begini…”

Nyi Retno tertawa. “Kalau begitu kita tak usah lari. Jalan biasa saja. Atau kita duduk saja di
bawah pohon sana,”

kata Nyi Retno sambil tangan kirinya menunjuk ke sebuah pohon besar di depan mereka.

“Ah, bisa lebih celaka. Bisa lebih macam-macam nanti…” ucap Wiro dalam hati. Pendekar ini
akhirnya lari sekencang yang bisa dilakukannya. Nyi Retno Mantili terpekik lalu tertawa tiada
henti.
“Wiro, saya suka padamu. Kemuning juga suka padamu.”

***

TAK SAMPAI sepeminuman teh Wiro dan Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat itu, satu
bayangan hitam berkelebat. Orang ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu dudukkan
diri di satu tempat teduh. Tongkat di tangan kiri ditekankan ke tanah. Kepala tertunduk, muka
yang tinggal kulit pembalut tulang tercenung sementara empat tusuk konde perak bergoyang-
goyang di atas kepala.

“Oala, kenapa hidup ini jadi begini?” Orang yang duduk di tanah yang bukan lain adalah nenek
sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 berucap perlahan. Sepasang matanya yang cekung dan
biasa angker kini tampak sayu. Apalagi mata sebelah kiri masih bengkak akibat perkelahian
melawan Hantu Malam Bergigi Perak beberapa waktu lalu. “Tadi aku mendengar suara tawa
perempuan itu. Kucari ke sini tak ada orangnya. Aku yakin anak setan itu sudah kembali dari
Gunung Gede. Apakah dia bersama perempuan gembel berotak miring itu? Heh, jangan-jangan
saat ini mereka tengah menuju ke pondok si Tambakpati.”

Sinto Gendeng sengaja berada di sekitar kawasan di mana dia berada saat itu karena dia
menyirap kabar dan menduga cepat atau lambat Wiro akan berada di hutan jati di Plaosan
untuk menemui seorang bernama Djaka Tua yang akan menunggunya di pondok kediaman Ki
Tambakpati. Seperti pernah diceritakan sebelumnya Ki Tambakpati adalah sahabat kental Sinto
Gendeng semasa remaja.

Sinto Gendeng julurkan dua kaki. Tubuhnya terasa letih. Mata dipejamkan namun saat itu
kembali terbayang sosok makhluk bayangan berupa perempuan cantik.

“Makhluk jahanam! Empat belas hari empat belas malam aku mencarimu. Kau sembunyi di
mana?! Jangan kira aku tidak bisa menemuimu! Akan kukejar kau sekalipun sampai di pintu
neraka!” Kutuk serapah menyembur tak habis-habisnya dari mulut si nenek. Lalu dia ingat lagi
pada muridnya.

“Perlu apa aku memikirkan anak setan itu. Semua sudah terjadi. Aku gurunya! Aku berhak
berbuat apa saja termasuk menghukumnya jika dia salah!”

Kata hati si nenek tiba-tiba ada yang menyahuti.

“Kalau muridmu bersalah, katakan padaku apa salahnya?”

Sinto Gendeng terkejut. Memandang berkeliling mulutnya berucap. “Siapa yang bicara?!”

“Aku suara hatimu. Dari lubuk hati yang paling dalam.”


Sinto Gendeng tersentak. Dia memandang sekujur diri sendiri. Dari dada sampai ujung kaki.

“Suara hati jahanam! Kau tidak layak mencampuri urusanku!” Seperti orang gila Sinto Gendeng
berdiri, kaki kiri dihentakkan ke tanah hingga tanah melesak sedalam setengah jengkal. Tongkat
di tangan kiri dihantamkan ke samping. Kraakk! Batang pohon berderak patah dan tumbang!

“Sinto, selama hidupmu kau hampir tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai perasaan
hati yang sejuk…”

“Diam!” teriak Sinto Gendeng.

“Tuhan memberikanmu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakah selama ini?”

“Apa yang aku kerjakan adalah urusanku sendiri! Tidak manusia tidak setan yang bisa
mengatur!”

“Hidupmu penuh kesombongan. Ucapanmu tidak pernah disertai timbang rasa. Segala
perbuatanmu lebih banyak mudarat dari manfaat. Kau menghancurkan banyak orang. Tapi yang
lebih menyedihkan kau menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak pernah menyadari bahwa
selama ini kau hidup terkucil dari para sahabat dan tokoh rimba persilatan? Seseorang
merampas Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa mempertahankan. Bukankah
itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah bahwa seharusnya kau bisa berbuat
banyak sekali kebaikan dengan kitab itu? Tapi kau bertindak serakah, berlaku tinggi hati. Hanya
mementingkan diri sendiri! Gusti Allah menghukummu, memutuskan bahwa kau tidak pantas
menguasai kitab itu. Muridmu kau caci maki di hadapan orang banyak seolah dia lebih buruk
dari comberan. Kau tuduh berbuat yang bukan-bukan. Bahkan kau buat dia menderita dengan
cacat di punggung seumur-umur. Sinto, apakah kau bukan lagi seorang perempuan yang punya
hati nurani dan welas asih? Iblis apa yang bersarang di hatimu? Setan mana yang mendekam di
benakmu?

Begitukah caramu menjalani sisa-sisa terakhir dari usia kehidupanmu? Atau mungkin kau punya
nyawa cadangan. Sehingga kalau besok kau mati, lusa kau akan hidup kembali?”

Sinto Gendeng merasa tubuhnya seperti terbakar. Teriakannya menggeledek.

“Suara hati! Setan keparat! Siapa pun kau adanya pergi! Atau kupecahkan kepalamu!” Lalu
nenek ini pukuli dadanya sendiri. Demikian kerasnya hingga darah menyembur dari mulutnya
yang perot. Perlahan-lahan tubuhnya rebah ke tanah. Mata mendelik. Cuping hidung kembang
kempis, dada turun naik, nafas menyengal. Nenek yang sedang marah dan kacau pikiran itu
tidak tahu berapa lama dia tergeletak seperti itu. Dia baru bergerak dan duduk di tanah
sewaktu udara mulai gelap.
“Gila! Apa yang terjadi dengan diriku!” si nenek memaki lalu bangkit berdiri. Walau kakinya
melangkah namun dia sama sekali tidak tahu mau menuju ke mana. Tiba-tiba kaki kirinya terasa
menginjak sesuatu. Si nenek memperhatikan ke bawah. Sebuah benda bergulung berada
diinjakan kaki kirinya. Sinto Gendeng membungkuk mengambil benda itu yang bukan lain
adalah surat daun lontar yang dibuat orang-orang Keraton Kaliningrat, ditujukan pada Pendekar
212 Wiro Sableng. Surat daun lontar itu diselipkan Nyi Retno di pinggang Wiro dan terjatuh di
tengah jalan sewaktu Wiro berlari sambil mendukung Nyi Retno Mantili. Gulungan daun lontar
dibuka. Karena udara sudah mulai gelap Sinto Gendeng tak segera dapat membaca tulisan yang
tertera di atas daun lontar itu. Dia pergi ke tempat yang agak terang, yang masih ada pantulan
cahaya matahari.

Perlahan-lahan si nenek mulai membaca. Selesai membaca wajahnya tampak mengelam,


sepasang mata seolah tambah tenggelam ke dalam rongga yang cekung. Lalu perlahan-lahan
menyeruak seringai di mulutnya yang perot. Si nenek meracik tembakau, daun sirih yang sudah
layu, kepingan pinang dan secuil kapur. Racikan dikepalkepal beberapa kali lalu dimasukkan ke
dalam mulut yang tak bergigi. Sambil mengunyah si nenek bicara sendiri.

“Tengah malam hari Jum’at. Orang-orang Keraton Kaliningrat. Candi Pangestu di Plaosan. Anak
setan itu pasti akan muncul di tempat itu! Hik… hik! Dia akan kaget kalau aku lebih dulu
menungguinya di sana!” Sinto Gendeng diam sejurus. Berpikir. “Kalau aku tidak salah, di dekat
sini tinggal seorang sahabat lama. Tambakpati. Masih ada waktu. Belasan tahun tidak ketemu.
Apa salahnya aku menyambangi dia dulu sebelum pergi ke Plaosan.”

Sinto Gendeng selipkan gulungan daun lontar ke pinggang. Tongkat di tangan kiri ditancapkan
ke tanah. Ketika tongkat dicabut kembali tubuhnya melesat sejauh dua tombak ke arah utara
dan lenyap di kegelapan.

***

LANGIT di sebelah barat tampak merah kekuningan. Saat-saat sang surya akan tenggelam
terasa sunyi di hutan jati. Wiro dan Nyi Retno Mantili berlari cepat. Saat itu Nyi Retno tidak lagi
digendong belakang melainkan sudah mau berlari sendiri di samping Wiro sambil sesekali
memegang lengan pemuda itu.

“Wiro, aku mencium bau busuk!” Nyi Retno berkata.

“Ya, saya juga sudah mencium.”

“Perasaanku tidak enak,” kata Nyi Retno lalu kembali memegang tangan kanan Pendekar 212.
Tiba-tiba perempuan ini menjerit. Dia lebih dulu melihat sosok yang tergantung kaki ke atas
kepala ke bawah di cabang sebatang pohon tak jauh dari pondok kediaman Ki Tambakpati.

Wiro dan Nyi Retno sampai di dekat pohon. Nyi Retno kembali menjerit. Wiro keluarkan seruan
tertahan. Orang yang digantung kaki ke atas kepala ke bawah itu adalah Djaka Tua!
Wiro melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak memukul, patahlah cabang pohon di mana
Djaka Tua tergantung. Dengan cepat dia menyambar tali penggantung hingga mayat Djaka Tua
tidak jatuh bergedebuk. Dari keadaan mayat yang rusak membusuk dan sudah dirubung
belatung pastilah pembantu yang malang itu telah menemui ajal cukup lama. Mungkin sejak
kepergian Wiro ke Gunung Gede.

Nyi Retno jatuh terduduk di tanah menangis sambil menutupi hidung, tak tahan mencium
busuknya mayat. Wiro memandang berkeliling, mencari tempat yang baik untuk segera
mengubur jenazah Djaka Tua. Dia melihat tempat rimbun di dekat satu pohon jati. Wiro segera
mendatangi tempat ini. Untuk membuat liang kubur dia hendak membongkar tanah dengan
jurus pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang. Hampir tangannya hendak menghantam tiba-
tiba dia ingat apa yang telah diucapkannya di depan Nyi Retno. Pukulan Segulung Ombak
Menerpa Karang adalah ilmu pukulan sakti yang didapatnya dari Eyang Sinto Gendeng. Padahal
dia telah mengambil keputusan untuk tidak akan mempergunakan semua ilmu yang didapatnya
dari nenek sakti itu.

Wiro tarik tangan kanannya. Mulut hembuskan nafas panjang. Tangan itu kemudian diangkat
kembali sambil kerahkan seperlima tenaga dalam. Lalu dia memukul ke bawah.

Byaarr!

Hantaman pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang didapatnya Dari Tua Gila membuat
tanah terbongkar ke udara membentuk sebuah lobang cukup besar dan dalam untuk kuburan
Djaka Tua.

Karena keadaan jenazah Djaka Tua yang sangat rusak tak mungkin Wiro memanggul atau
menggendong mayat itu untuk dimasukkan ke dalam lobang. Walau hatinya tidak tega namun
dia terpaksa menarik tali yang masih mengikat kedua kaki Djaka Tua hingga akhirnya mayat
pembantu itu terseret demikian rupa lalu terguling masuk ke dalam lobang.

Sambil menangis Nyi Retno Mantili peluki boneka kayu, membantu Wiro menimbun tanah ke
dalam lobang. “Wiro, siapa menurutmu yang begitu keji membunuh pengasuh anakku
Kemuning?” tanya Nyi Retno Mantili.

“Saya tidak dapat memastikan Nyi Retno. Namun saya menaruh curiga. Sebelum berangkat ke
Gunung Gede, pada saat berpisah dengan Djaka Tua, saya minta dia pergi ke sini. Pondok ini
milik Ki Tambakpati. Seorang ahli pengobatan patah tulang. Nyi Retno ingat orang bernama
Cagak Lenting, orang keraton yang katanya mengemban tugas dari Patih Kerajaan untuk
mencari Djaka Tua?”

“Saya ingat.” Jawab Nyi Retno.

“Orang itu mungkin melapor pada Patih Kerajaan lalu mendatangi tempat ini.”
kotarajaJika terbukti dia yang membunuh pengasuh anak saya, saya akan cari dia sampai dapat
dan membunuhnya.kotaraja Suara Nyi Retno penuh geram namun sepasang mata tampak
berkaca-kaca. Wiro pegang bahu Nyi Retno.

kotarajaNyi Retno, kita pasti akan mengetahui siapa pembunuh Djaka Tua.kotaraja Wiro lalu
ingat sesuatu. Dia memandang ke arah pondok. kotarajaKi Tambakpati,kotaraja katanya.
kotarajaJangan-jangan orang tua itu juga sudah jadi korban pembunuhankotaraja Diikuti Nyi
Retno, Wiro masuk ke dalam pondok. Keadaan pondok itu kacau balau centang perenang. Tidak
ada satu perabotan pun yang utuh. Seperti ada yang sengaja menghancurkan. Wiro dan Nyi
Retno tidak menemukan Ki Tambakpati ataupun mayatnya kalau memang dia telah dibunuh.

kotarajaSaya khawatir Ki Tambakpati ditangkap. Dibawa ke kotaraja…kotaraja kotaraja.


Mungkin juga saat ini dia sudah dibunuh.kotaraja Kata Nyi Retno pula.

kotaraja Kasihan. Kalau dia ikut jadi korban kekejaman orang-orang keraton, berarti satu
kehilangan sangat besar bagi rimba persilatan tanah Jawa.kotaraja kotarajaWiro, mengapa
manusia tega berbuat sekeji itu? Membunuh orang seperti membunuh binatang?kotaraja

Wiro menghela nafas dalam, menggaruk kepala. kotarajaSebelumnya saya sudah memberi
tahu. Hal-hal semacam itulah yang membuat saya muak menjadi orang rimba
persilatan.kotaraja

Di luar keadaan mulai gelap. Di dalam pondok lebih gelap lagi. kotarajaNyi Retno, kita harus
segera tinggalkan tempat ini. Saya khawatir. Sewaktu-waktu orang-orang kerajaan
muncul.kotaraja

kotarajaKalau mereka datang bukankah kita bisa membunuh mereka? Kita tak perlu susah
mencari mereka.kotaraja

Wiro tersenyum.

Nyi Retno juga tersenyum. Dengan kepala ditundukkan dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi
saya menurut saja apa yang kau katakan,” jawab Nyi Retno.

“Nyi Retno, saya ingat mimpi tentang Djaka Tua yang Nyi Retno ceritakan. Dalam mimpi Nyi
Retno melihat dia digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Mimpi Nyi Retno menjadi
kenyataan.”

“Saat ini saya merasa takut. Saya takut tidur. Saya tidak mau bermimpi lagi,” kata Nyi Retno
pula lalu melangkah lebih dulu ke pintu. Baru dua langkah berada di luar pondok Nyi Retno
bersurut. “Wiro, ada orang mendatangi dari arah pohon. Mudah-mudahan manusia bernama
Cagak Lenting itu. Biar kubunuh sekalian! Tapi lain… Bukan dia.”
Wiro serta merta melompat keluar pondok. Apa yang dikatakan Nyi Retno benar. Dari jurusan
sebuah pohon jati besar melangkah tertatih-tatih seorang bertubuh agak bungkuk. Dia berjalan
menuju pondok. Sambil siapkan pukulan di tangan kanan Wiro berteriak, “Siapa?!”

“Aku… Aku Ki Tambakpati. Wiro, apa kau tidak mengenaliku?”

“Ah…”

Wiro segera menyongsong. “Ki Tambak, apa yang terjadi? Pondokmu dirusak orang. Kau dari
mana?”

“Kami menemukan pengasuh anakku mati digantung di pohon sana. Siapa yang
membunuhnya?!” Nyi Retno sambung ucapan Wiro.

“Wiro, jangan bicara di sini. Aku khawatir ada yang datang. Sampai beberapa hari lalu tempat
ini masih dimata-matai oleh orang-orang kerajaan. Ikuti aku…”

Ki Tambakpati membawa mereka ke lereng menurun arah selatan hutan jati. Di kaki sebuah
bukit mengalir sebuah kali kecil. Di salah satu tepian kali terdapat gugusan batu-batu hitam dan
rata. Ketiga orang itu masingmasing mencari tempat yang enak dan duduk di atas batu.

Ki Tambakpati langsung saja bercerita. “Saya tengah meramu obat sewaktu Djaka Tua muncul.
Sekitar dua minggu lalu. Dia datang menjelang malam. Dia menyampaikan pesanmu dan Setan
Ngompol. Aku tidak keberatan dia bermalam di gubukku, menunggu sampai kau datang. Djaka
Tua sempat menceritakan apa yang terjadi. Dia menyebut nama Cagak Lenting. Setelah kuberi
obat, dia aku suruh istirahat dan tidur sementara aku meneruskan meramu obat dalam
belanga. Menjelang pagi, ketika aku bermaksud istirahat dan memicingkan mata tiba-tiba pintu
pondok dilabrak orang dari luar. Dua orang menerobos masuk. Yang seorang berpakaian serba
hijau, ikat kepala hijau, rambut sebahu. Aku pernah mendengar cerita tentang orang ini dan
merasa pasti kalau dia adalah Cagak Lenting yang dijuluki Si Mata Elang. Pasti dia yang
menuntun orang-orang kerajaan ke tempatku. Orang satunya tinggi besar, berpakaian bagus.
Aku masih mengira-ngira siapa adanya orang ini. Aku baru tahu kalau dia adalah Patih Kerajaan,
Raden Mas Wira Bumi, yaitu ketika Djaka Tua diseret keluar pondok. Di sekitar pondok puluhan
prajurit kerajaan sudah mengurung. Cagak Lenting memaksa Djaka Tua memberi tahu di mana
beradanya Nyi Retno Mantili dan bayinya. Cagak Lenting juga menanyakan dirimu dan Setan
Ngompol…”

“Mengapa orang ingin tahu di mana aku dan Kemuning berada?” Nyi Retno memotong ucapan
Ki Tambakpati. “Aku tidak tahu,” jawab Ki Tambakpati.

Nyi Retno memandang pada Wiro. “Kau pasti tahu.”

“Orang-orang itu ingin berbuat jahat padamu. Nyi Retno.”


“Menculik Kemuning, mau memperkosaku atau mau membunuh aku dan anakku?”

“Nyi Retno, sabar. Biar Ki Tambakpati melanjutkan ceritanya dulu,” kata Wiro pula. Lalu Wiro
memberi tanda dengan anggukkan kepala pada Ki Tambakpati. Orang tua ahli pengobatan
tulang ini melanjutkan keterangannya. “Patih Kerajaan juga menanyakan di mana beradanya
kau dan Setan Ngompol. Pembantu itu tidak mau membuka mulut. Malah dia minta dibunuh
saat itu juga daripada membuka rahasia mengenai Nyi Retno. Setelah disiksa cukup parah Patih
Kerajaan membujuk.

Jika Djaka Tua mau memberi tahu keberadaan Nyi Retno bersama bayinya maka dia akan
diberikan sejumlah uang, juga jabatan tinggi. Tapi Djaka Tua tetap tidak mau membuka rahasia.
Patih habis kesabaran. Dia memerintah Cagak Lenting menggantung pembantu itu. Djaka Tua
lalu digantung di pohon sana, kaki ke atas kepala ke bawah.

Sebelum pergi Cagak Lenting masih berusaha membujuk namun Djaka Tua tetap pada
pendirian. Tidak mau membuka mulut memberi tahu.”

Nyi Retno Mantili keluarkan jeritan keras. “Cagak Lenting pembunuh terkutuk! Akan aku gorok
batang lehermu! Akan aku sedot darahmu!”

Nyi Retno bergerak, siap berkelebat tinggalkan tempat itu. Wiro cepat mengejar.

“Nyi Retno, kau mau ke mana?!” Wiro segera menghadang lari Nyi Retno.

“Wiro! Sekali ini jangan menghalangiku! Aku akan ke kotaraja! Aku akan mencari Cagak Lenting
dan Patih Kerajaan! Aku akan membunuh mereka! Kau dengar Wiro?! Aku akan membunuh dua
manusia terkutuk itu!”

“Nyi Retno, tenang, sabar. Jangan bertindak kesusu menuruti hati yang sedang panas. Jika Nyi
Retno akan ke kotaraja, saya akan menemani. Tapi saya masih perlu bicara dengan Ki
Tambakpati.”

“Wiro! Minggir!” teriak Nyi Retno.

“Nyi Retno, ingat…”

Nyi Retno berteriak marah lalu menerjang sambil tangannya ditinjukan ke dada Pendekar 212.

Bukkk!

Wiro terjungkal, jatuh terduduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Walau tidak memiliki dasar
tenaga dalam namun ilmu kesaktian yang telah didapatnya secara cepat dari Kiai Gede Tapa
Pamungkas membuat pukulan Nyi Retno mempunyai daya jebol seberat lebih dari seratus kati.
Apalagi serangan dilakukan secara tak terduga. Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik. Dia
seolah baru sadar apa yang terjadi. Langsung jatuhkan diri dan memeluk Pendekar 212.
Menangis.

“Nyi Retno, kau akan pergi sendirian? Meninggalkan saya?”

Nyi Retno menggerung mendengar kata-kata yang diucapkan dengan lembut itu. Dia
menggelengkan kepala berulang kali.

“Wiro… Kau, kau tak apa-apa. Saya menyesal sekali memukulmu. Mengapa kau tidak
menangkis. Mengapa kau tidak mengelak? Wiro, pukul saya! Pukul!” Nyi Retno berteriak lalu
sambil menangis dia usapi dada Wiro.

“Nyi Retno, saya tahu perasaanmu. Sudahlah…” Wiro berdiri lalu berpaling pada Ki Tambakpati.
“Ki Tambak, kau belum menceritakan bagaimana kau bisa menyelamatkan diri dari orang-orang
kerajaan.”

“Aku bersyukur karena semua itu terjadi dalam kuasa Tuhan. Sewaktu perhatian semua orang
tertuju pada penggantungan Djaka Tua, aku berhasil menyelinap dan melarikan diri. Sampai
matahari terbit orang-orang itu berusaha mencariku. Aku masuk ke dalam sebuah goa, tembus
ke satu bukit. Aku sengaja mengarungi satu sungai dangkal agar jejakku tidak bisa dilacak oleh
Cagak Lenting. Aku menghilang dalam rimba belantara kecil. Keesokan harinya aku kembali ke
sini, ternyata Cagak Lenting dan sekitar selusin prajurit kerajaan masih ada di tempat ini.

Beberapa hari kemudian aku datang lagi. Cagak Lenting memang tidak kelihatan, tapi prajurit
kerajaan masih ada ditambah seorang perwira muda. Aku hampir putus asa. Terakhir sekali aku
ke sini dua hari lalu. Orang-orang itu masih ada di sini…”

“Mengapa Ki Tambak kembali ke sini padahal Ki Tambak tahu hal itu sangat berbahaya.”
Bertanya Wiro. “Aku ingin mengambil beberapa peralatan pengobatan serta obat ramuan yang
sangat langka dan sulit didapat. Selain itu aku punya niat untuk mengurus jenazah Djaka Tua
yang sudah tergantung berhari-hari lamanya. Sore tadi aku keluar dari persembunyian, kembali
ke sini. Aku lihat kau yang datang. Agaknya orang-orang kerajaan sudah kembali ke kotaraja.”

“Ki Tambak, silahkan saja masuk ke dalam pondok. Jangan terlalu lama di sini. Orang-orang itu
bisa saja muncul secara mendadak. Mungkin mereka sengaja sembunyi untuk memancing. Hati-
hatilah. Rasanya Ki Tambak tak mungkin lagi diam di gubuk ini. Ki Tambak, kami terpaksa
meninggalkanmu.”

“Kalian hendak ke kotaraja?” tanya Ki Tambakpati. Wiro tak menjawab melainkan berpaling
pada Nyi Retno Mantili. Perempuan ini membuka mulut, berkata, “Kami akan ke sana. Mencari
pembunuh pengasuh anakku.”
“Kalian harus berlaku waspada. Penjagaan di kotaraja saat ini sangat ketat. Mata-mata
berkeliaran di manamana. Termasuk orang-orang Keraton Kaliningrat yang punya rencana
hendak merebut tahta kerajaan.”

Nyi Retno ingat pada gulungan surat daun lontar yang diselipkannya di pinggang Wiro. Benda
itu tak ada lagi. Nyi Retno memperhatikan tanah sekitarnya.

“Ada apa Nyi Retno?” tanya Wiro.

“Surat dari Keraton Kaliningrat itu. Tadi saya selipkan di pinggangmu.”

Wiro meraba seputar pinggang tapi tak menemukan gulungan daun lontar. “Mungkin jatuh di
jalan. Sudahlah, tak perlu dipikirkan.” Wiro berpaling pada Ki Tambak. “Ki Tambak, kami pergi.”

Orang tua ahli pengobatan itu mengangguk sambil sekali lagi mengingatkan agar kedua orang
itu berhati-hati.

***

BELUM sempat Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk tiba-tiba dari empat penjuru hutan jati
terlihat cahaya terang. Dalam waktu singkat gubuk kediaman ahli pengobatan tulang itu telah
dikurung oleh puluhan orang berseragam prajurit kerajaan. Separuh dari mereka menyalakan
obor hingga seantero tempat menjadi terang benderang.

“Ki Tambakpati! Kami orang-orang kerajaan datang untuk menangkapmu! Jangan berani
melawan atau coba melarikan diri!”

Orang yang berteriak melompat ke hadapan Ki Tambakpati, ternyata dia adalah perwira muda
yang sebelumnya sudah pernah dilihat kakek itu.

“Perwira, apa dosa kesalahanku hingga kau hendak menangkapku?!” tanya Ki Tambakpati.

“Kau melarikan diri sewaktu ditangkap beberapa waktu lalu. Kau juga dituduh
menyembunyikan buronan kerajaan!”

“Buronan kerajaan? Buronan yang mana?” tanya Ki Tambakpati heran.

“Orang bernama Djaka Tua…” jawab Perwira “Astaga, orang itu sudah kalian bunuh! Apa masih
belum puas?”
“Djaka Tua boleh mati. Tapi itu tidak menghapus dosa kesalahanmu! Selain itu pimpinan kami
juga ingin menanyaimu perihal bayi yang hilang dan tentang seorang perempuan muda
membawa boneka.”

“Aku tidak tahu menahu soal bayi yang hilang atau perempuan muda membawa boneka,”
jawab Ki Tambakpati pula.

“Tutup mulutmu Ki Tambak. Jangan berani bicara dusta! Kalau kau memang tidak bersalah
mengapa malam dua minggu lalu kau melarikan diri dari sini.”

“Siapa sudi mati konyol di tangan prajurit-prajurit kerajaan yang ternyata lebih kejam dari
rampok Alas Roban!”

Plaakkk!

Satu tamparan keras mendarat di muka Ki Tambakpati hingga orang tua ini terhuyung-huyung
kesakitan sambil pegangi pipi. Dari sudut bibir sebelah kiri mengucur darah kental.

“Perwira Muda, apakah kerajaan mengajarkan ilmu menganiaya rakyat tidak berdaya seperti
yang barusan kau lakukan?!”

“Aku punya perintah dan wewenang lebih besar dari hanya menampar. Nyawamu berada di
tanganku! Apa kau ingin mengikuti jejak Djaka Tua yang tolol itu?”

“Djaka Tua tidak tolol! Kau yang bodoh!” jawab Ki Tambakpati pula.

Pewira Muda itu ingin sekali menjotos muka Ki Tambakpati, tapi tangannya yang sudah
bergerak ditarik kembali. Dia berteriak memberi perintah pada pasukannya agar segera
meringkus Ki Tambakpati. Lima prajurit dengan cepat mengurung Ki Tambakpati. Salah seorang
dari mereka melingkarkan seutas tambang ke leher ahli pengobatan itu lalu mendorong
punggung orang tua itu, membentak menyuruh jalan.

Pada saat itulah tiba-tiba meledak satu tawa bergelak. Selagi semua orang terkejut satu
bayangan hitam berkelebat disertai bentakan keras.

“Siapa berani menganiaya sahabatku!”

Wuutt!

Tali yang mengikat leher Ki Tambakpati putus. Empat prajurit terpental. Mereka menjerit keras
sambil pegangi kening masing-masing. Di kening itu kelihatan guratan luka mengucurkan darah.
Prajurit yang menjirat leher Ki Tambakpati dengan tali mencelat mental paling jauh.
Darah menyembur dari satu luka besar yang melintang di tenggorokannya! Prajurit ini roboh ke
tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik. Nyawanya amblas!

Perwira Muda Kerajaan dan seluruh pasukan menjadi kaget juga ngeri luar biasa. Di hadapan
mereka, tegak melindungi Ki Tambakpati seorang nenek bermuka nyaris seperti tengkorak
sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada. Empat tusuk konde perak bergoyang-goyang
di atas batok kepala. Mata menatap menyorot galak pada Perwira Muda. Tangan kiri
menggamit memberi isyarat agar Perwira Muda mendekatinya. Selain takut dan juga sadar
kalau saat itu dia tengah berhadapan dengan seorang sakti luar biasa, seperti orang bodoh si
Perwira Muda segera mendatangi.

“Kau telah menuduh tanpa bukti sahabatku Ki Tambakpati. Kau juga telah menganiayanya. Kau
ingin aku buatkan satu lobang bagus di jidatmu?”

Tongkat di tangan si nenek melesat dan tahu-tahu ujungnya telah menempel di pertengahan
kening Perwira Muda. Orang ini merasa keningnya seperti ditindih batu besar hingga dia
terbanting jatuh punggung ke tanah. Ujung tongkat bergerak mengikuti, masih terus menempel
di keningnya.

“He… he… Perwira Muda, apa jawabmu?!”

“Nek, saya mohon maafmu kalau telah berlaku tidak menyenangkan dirimu. Saya dan semua
prajurit yang ada di sini hanya menjalankan perintah kerajaan.”

“Siapa orang kerajaan yang memberi perintah padamu?” bentak si nenek.

“Patih Kerajaan dan Cagak Lenting.” Jawab Perwira Muda.

“Hemm… Kalian kembali ke kotaraja. Katakan pada Patih Kerajaan dan Cagak Lenting. Siapa di
antara mereka berdua yang ingin mampus duluan?! Katakan aku Sinto Gendeng yang
mengeluarkan ucapan!” Si nenek tusukkan ujung tongkat ke telinga kiri Perwira Muda. “Kau
dengar apa yang aku bilang?!”

“Sa… saya dengar, Nek. Sekali lagi mohon maafmu. Saya tidak tahu kalau berhadapan dengan
tokoh rimba persilatan Eyang Sinto Gendeng.”

Sinto Gendeng semburkan ludah susur ke muka orang hingga Perwira Muda kucak-kucak mata
menahan perih.

“Sekarang bawa pasukanmu. Tinggalkan tempat ini. Jangan lupa membawa prajurit tolol yang
sudah jadi mayat itu!”

Perwira Muda bangkit berdiri, memberi perintah pada anak buahnya.


Ketika dia hendak berlalu Sinto Gendeng berkata.

“Tunggu!” Si nenek kemudian berpaling pada Ki Tambakpati. “Sahabatku, perwira ini tadi
menamparmu. Apakah kau tidak ingin membalas?”

Ki Tambakpati menyeringai. “Bagaimana kalau kau saja yang mewakilkan?”

Sinto Gendeng tertawa bergelak. Tak terlihat oleh Perwira Muda itu tangan kiri si nenek
berkelebat.

Plaakk!

Perwira Muda yang kena tampar terpelanting jatuh ke tanah. Dua prajurit cepat membantunya
berdiri. Ketika bangkit kelihatan pipi kanan perwira ini bengkak merah, mata lebam. Orang-
orang kerajaan itu akhirnya tinggalkan hutan jati diikuti pandangan dan gelak tawa Ki
Tambakpati dan Sinto Gendeng.

“Sinto! Belasan tahun tidak bertemu, tahu-tahu kau muncul di sini! Gusti Allah akan
memberimu pahala atas pertolonganmu terhadap diriku!”

Sinto Gendeng tertawa mengekeh, berbalik lalu dua sahabat lama itu saling berpelukan.

“Sinto, kau tahu. Muridmu Wiro belum lama meninggalkan tempat ini.” Menerangkan Ki
Tambakpati. Sinto Gendeng bersikap tenang-tenang saja walau sebenarnya dia merasa terkejut.

“Anak setan itu sendirian?” Si nenek bertanya.

“Bersama seorang perempuan muda berwajah cantik, membawa boneka perempuan dari
kayu.” Menerangkan Ki Tambakpati.

“Hemm… jadi anak setan itu masih saja bersama perempuan gembel tidak waras itu.”

“Yang aku lihat, perempuan itu waras-waras saja. Pakaiannya bagus, dandanannya apik.”

Walau merasa heran atas keterangan sahabat lamanya itu Sinto Gendeng bertanya lagi. “Ada
keperluan apa muridku datang ke sini?”

“Wiro menitipkan seorang pengasuh anak bernama Djaka Tua. Dia datang hendak menjemput.”
Lalu Ki Tambakpati menceritakan apa yang telah terjadi. Mulai dari kemunculan Djaka Tua
sampai akhirya pembantu itu menemui ajal digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Sinto
Gendeng terdiam sejurus. Lalu berkata. “Aku tidak megerti. Bagaimana petinggi kerajaan bisa
berlaku kejam semena-mena seperti itu.”
“Aku rasa ada satu perkara besar yang melatarbelakangi perbuatan mereka itu,” Ki Tambakpati
berkata menduga-duga.

“Bisa jadi, bisa jadi…” ucap Sinto Gendeng. Kemudan nenek ini bertanya. “Apakah anak setan
itu menyebut nyebut rencana kepergian ke Candi Pangestu di Plaosan?”

Ki Tambakpati menggeleng. “Setahuku dia bersama perempuan muda yang dipanggilnya Nyi
Retno itu berencana pergi ke kotaraja. Mereka ingin mencari pembunuh Djaka Tua. Entah kalau
kemudian mereka berubah pikiran.”

“Mungkin sewaktu sampai di sini, anak setan itu belum mendapatkan surat,” pikir Sinto
Gendeng. “Tambakpati, aku ingin berada lebih lama bersamamu. Tapi ada urusan penting yang
harus aku lakukan. Lain kali aku datang lagi ke sini. Tapi… Dengar, sebaiknya kau tidak tinggal
lagi di tempat celaka ini. Ingat gubuk di tikungan kali Progo. Gubuknya mungkin sudah rusak.
Kau bisa memperbaiki. Paling tidak kau punya tempat tinggal yang aman. Nanti aku akan
menyambangimu secepatnya di sana.”

Ki Tambakpati angguk-anggukkan kepala.

“Sudah, aku pergi sekarang.”

“Sinto, kalau aku bertemu muridmu, ada pesan yang ingin kau sampaikan?” bertanya Ki
Tambakpati.

“Katakan pada anak setan itu! Kalau mau punya istri jangan kawin dengan perempuan gembel
berotak tidak waras! Dan kalau punya anak jangan boneka kayu tapi bayi benaran!”

“Sinto…”

Si nenek sudah berkelebat pergi.

“Heran,” kata Ki Tambakpati, “perempuan muda cantik, berpakaian bagus itu mengapa
dikatakannya gembel tidak waras? Punya anak bayi benaran, bukan boneka. Ah, aku tidak
mengerti. Apa muridnya itu memang sudah kawin dengan perempuan cantik bernama Nyi
Retno itu?” Ki Tambakpati geleng-geleng kepala. Sebelum masuk ke pondok dia berkata. “Dari
dulu sahabatku satu ini tak pernah berubah.”

Ki Tambakpati tidak tahu kalau Sinto Gendeng pertama sekali bertemu Wiro dan Nyi Retno
Mantili ketika perempuan ini masih dalam keadaan badan dekil pakaian kotor dan
menunjukkan otak tidak waras. Setelah berada lebih dekat bersama Wiro dan pertemuan
dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata banyak perubahan atas diri Nyi Retno dan hal ini
tidak diketahui oleh Sinto Gendeng.

***
MALAM Jumat hari ke lima belas. Sejak sore mendung menggantung di langit namun hujan tak
kunjung turun.

Hembusan angin menderu keras, bergaung menimbulkan suara menakutkan. Seharusnya ada
rembulan bulat di langit. Namun yang kelihatan saat itu hanyalah kegelapan menghitam.

Candi Pangestu di kawasan Plaosan tak dapat lagi disebut candi. Bangunannya sudah runtuh
rusak sejak belasan tahun silam. Kini bentuknya nyaris seperti gundukan tanah tinggi. Dalam
suasana gelap dan angin bertiup kencang, reruntuhan candi itu terlihat menyeramkan.

Dua ekor kelelawar tiba-tiba muncul dalam kegelapan malam. Terbang rendah ke arah Candi
Pangestu. Suara kepak sayapnya seolah membendung deru tiupan angin malam. Sepasang
mata cekung memperhatikan dari balik serumpunan semak belukar di samping reruntuhan
tembok halaman candi sebelah barat.

Tiba-tiba dua buah benda seukuran ujung jari kelingking melesat di udara. Plaakk! Plaakk!

Dua kelelawar menguik keras lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala hancur. Terkapar
tak jauh dari tangga rusak Candi Pangestu.

Orang di balik semak belukar menyeringai, keluarkan susur dari dalam mulutnya, semburkan
ludah merah lalu masukkan susur kembali ke dalam mulut.

“Ada orang tolol sengaja menunjukkan kepandaian,”

ucap orang ini yang bukan lain adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling.
“Hebat juga cara sembunyi si tolol itu! Aku tak mampu mengetahui di mana dia berada.” Si
nenek memperhatikan seantero tempat sekali lagi. Mendongak ke langit. “Saat ini kurasa sudah
lewat tengah malam. Mengapa anak setan itu tidak muncul? Jangan-jangan dia tidak ke sini tapi
ke kotaraja seperti keterangan Tambakpati. Atau mungkin surat itu jebakan orang-orang
Keraton Kaliningrat? Sengaja dibuang di tempat yang hendak aku lalui? Berarti anak setan itu
tidak pernah memegang dan membacanya.”

Sinto Gendeng pukul-pukulkan tongkat kayu di tangan kirinya ke bahu. Mulut perot kembali
sunggingkan seringai.

“Siapa berani menjebak diriku akan tau rasa sendiri. Lihat saja!”

Di arah belakang reruntuhan Candi Pangestu ada satu lembah kecil tapi terjal. Lembah ini
dulunya adalah satu aliran anak sungai yang mengering karena terputus dari sumber airnya. Di
bibir lembah tumbuh sederetan pohon bambu, demikian rapatnya hingga menyerupai pagar.
Dalam kegelapan ada dua orang tegak berdekatan dan bicara saling bisik.
“Kecik Turanggga, apa pendapatmu. Yang kita tunggu muridnya. Yang muncul sang guru. Bau
pesingnya tercium santar sampai ke sini!”

Yang barusan berbisik adalah seorang nenek berhidung bengkok seperti paruh burung kakak
tua, mengenakan pakaian kuning ketat. Mulut bicara sementara sepasang matanya yang dingin
kelabu menatap ke arah rumpunan semak belukar di mana Sinto Gendeng mendekam. Nenek
ini adalah Ni Serdang Besakih. Bersama Kecik Turangga dia merupakan tokoh silat pentolan
orang-orang Keraton Kaliningrat (Baca Episode sebelumnya berjudul “Nyi Bodong”). Kecik
Turangga sendiri seorang tokoh silat yang dijuluki Hantu Buta Senja. Walau ilmunya tinggi
namun dia memiliki satu kekurangan yakni kedua matanya menjadi rabun jika siang berganti
malam. Itu sebabnya begitu senja datang dia segera mengenakan sebuah topeng. Jika topeng
ini dikenakan, maka wajahnya berubah. Kedua matanya jadi menyembul bengkak.

“Ni Serdang, biar kita bersabar barang sebentar. Jika Pendekar 212 tidak muncul juga baru kita
keluar dan menyapa nenek itu. Apa keperluannya berada di tempat ini. Aku yakin bukan cuma
satu kebetulan. Sambitan yang kau lakukan terhadap dua kelelawar tadi rasanya cukup
memberi peringatan padanya untuk tidak berbuat macammacam.”

Ni Serdang Besakih tidak menjawab. Dia rangkapkan dua tangan di atas dada. Setelah cukup
lama menunggu, Ni Serdang Besakih tidak sabar lagi.

“Kecik, kita keluar sekarang!”

“Baik, tapi tunggu!”

Sebuah benda berapi melayang di udara lalu jatuh di dekat dua ekor kelelawar. Ketika Ni
Serdang Besakih dan Kecik Turangga memperhatikan, kedua orang Keraton Kaliningrat ini jadi
heran. Yang barusan melayang dan jatuh di tanah adalah seonggok kayu menyala. Belum habis
rasa heran mereka mendadak kesunyian malam dirobek oleh suara tawa cekikikan. Lalu satu
bayangan hitam melesat dari balik semak belukar di arah runtuhan tembok sebelah barat. Di
lain kejap satu tubuh tinggi hitam agak bungkuk telah berdiri di depan tangga candi lalu jongkok
di muka onggokan kayu menyala. Itulah si nenek sakti Sinto Gendeng!

***

DENGAN ujung tongkat Sinto Gendeng mengait satu persatu dua kelelawar yang tergeletak di
tanah, lalu diletakkan di atas kayu menyala. Sebentar saja tempat itu dipenuhi oleh bau daging
terpanggang. Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Susur di dalam mulut diputarputar kian
kemari. Sesekali lidahnya yang merah dijulurjulurkan. Air liur berkucuran.

“Baru baunya saja sudah enak. Apalagi kalau disantap! Makan besar aku malam ini! Hik… hik…
hik.”
Tawa cekikikan Sinto Gendeng masih mengumandang sewaktu dua orang melesat dari
kegelapan dan berdiri di hadapannya. Nenek dari puncak Gunung Gede sudah tahu kedatangan
orang tapi dia berlagak seperti tidak melihat siapa-siapa. Dia ulurkan tongkat, membolak-balik
dua ekor kelelawar yang dipanggang. Dari mulutnya kemudian keluar suara nyanyian lagu tak
menentu.

“Sahabatku Sinto Gendeng, apakah penglihatanmu sudah dimakan rayap hingga tidak tahu
kami berdiri di sini?!” Ni Serdang Besakih menegur.

Sinto Gendeng pura-pura kaget, terlonjak, bangkit berdiri, pandangi dua orang yang tegak di
depannya. Tubuh terbungkuk-bungkuk, mata mendelik.

“Astaganaga! Kalian berdua benar-benar mengejutkanku! Aku sedang sibuk menyiapkan


santapan malam. Tahu-tahu kalian muncul! Apakah aku kenal kalian?” Sinto Gendeng
panjangkan leher, memandang lekat-lekat pada lelaki berjubah coklat yang matanya tersembul
bengkak. Si nenek gelengkan kepala. “Mata Bengkak, aku tidak kenal kau.”

Sinto Gendeng lalu alihkan pandangan pada nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua.
“Hai! Kau rupanya! Mataku tidak lamur! Tidak dimakan rayap tidak dimakan belatung! Tiga
puluh tahun lalu kau bernama Ni Serdang Besakih. Apakah sekarang masih memakai nama itu.
Atau sudah ditukar sesuai perkembangan jaman? Tiga puluh tahun lalu waktu Raja Tua masih
memerintah, kau adalah penyanyi keraton yang kesohor! Hik… hik. Apakah sekarang kau masih
suka menyanyi? Hik… hik… hik.”

“Sinto, aku tahu kau suka guyon. Tapi saat ini bukan tempatnya bicara konyol. Kami sedang
menghadapi satu urusan besar. Tidak ada hujan tidak ada angin mengapa kau tahu-tahu
muncul di sini?!” Ni Serdang Besakih bicara dengan suara bernada keras.

“Kau keliru sobatku,” jawab Sinto Gendeng sambil sunggingkan seringai buruk mengejek.
“Hujan bukannya tidak ada, tapi belum turun. Kalau angin sedari tadi sudah bertiup, apa kau
tidak mendengar tidak merasa? Heh, kalau katamu kita bersahabat kau bisa menerangkan apa
urusan besar yang tengah kalian hadapi.”

“Kami akan mengatakan kalau ada jaminan darimu bahwa kau bukan mata-mata kerajaan!”
yang bicara adalah Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja.

“Mata Bengkak! Keren amat bicaramu! Kalau aku jaminkan nyawa, kau mau menjaminkan apa?
Dengkulmu?! Atau dua matamu yang bengkak menjijikkan itu? Ih! Amit-amit jabang tuyul! Hik…
hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. “Sekarang katakan apa urusan kalian!”

“Kami tidak akan mengatakan!” jawab Kecik Turangga. Wajahnya di balik topeng merah
mengelam. Lalu dia berbisik pada Ni Serdang Besakih. “Kalau rencana pertama batal, kita harus
melakukan rencana kedua.”
“Kau tak usah khawatir.” Jawab si nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua. “Orang
yang hendak membantu kita itu sudah ada di sini.”

Sinto Gendeng tertawa. “Mata Bengkak gerunjulan! Omonganmu hebat juga! Kalau kalian tidak
mau memberi tahu, biar aku yang memberi tahu apa urusanku berada di tempat ini! Aku
mewakili muridku Pendekar 212 yang kalian undang datang ke tempat ini, malam ini! Betul
begitu?!”

Baik Ni Serdang Besakih maupun Kecik Turangga sama-sama sembunyikan rasa terkejut
mereka. Setelah berdiam dan berpikir sejenak, nenek berhidung bengkok ajukan pertanyaan.

“Bagaimana kau tahu kalau kami mengundang muridmu datang ke tempat ini.”

Sinto Gendeng tertawa. “Ni Serdang Besakih. Kau terjebak oleh ucapanmu sendiri! Kalian tidak
dapat mengelak kalau kalian adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Betul?! Kalian tak usah
menjawab. Aku sudah menyirap kabar. Aku mewakili muridku karena kalian yang memintanya
datang ke sini! Aku membaca lengkap surat cinta yang kalian kirimkan atas nama Pangeran
Muda Brata Sukmapala. Surat cinta kataku! Hik… hik… hik! Uhh!

Siapa itu Pangeran Muda Brata Sukmapala. Baru sekali ini aku mendengar namanya. Nah, aku
berada di sini mewakili muridku Pendekar 212. Sekarang katakan apa keperluanmu meminta
muridku datang ke sini! Dalam surat kalian minta agar muridku memberikan jasanya sekali lagi
pada kerajaan. Kerajaan yang mana? Kalian juga menjanjikan jabatan tinggi untuk muridku.
Kepala Balatentara Kerajaan! Ck… ck… ck!” Sinto Gendeng leletkan lidah.

Ni Serdang Besakih bertanya. “Dari mana kau dapatkan surat itu? Muridmu sendiri yang
menyerahkan padamu?”

“Apa itu jadi persoalan?” balik bertanya Sinto Gendeng.

Kecik Turangga berbisik. “Bagaimana baiknya? Kita katakan padanya terus terang. Jika dia
memang mewakili muridnya, apa dia bisa kita ajak serta?”

“Manusia satu ini sangat culas,” jawab Ni Serdang Besakih dengan berbisik pula. “Kita harus
hati-hati. Biar aku yang bicara.”

“Sinto, kau terlalu lama tenggelam dalam rimba persilatan hingga tidak tahu lagi apa yang
terjadi dengan kerajaan yang sering kau bantu di masa lalu. Saat ini yang berkuasa adalah
seorang raja yang tidak berhak atas tahta.

Kami orang-orang Keraton Kaliningrat telah menyusun kekuatan untuk menurunkan raja dari
tahta dan memberikan tahta pada orang yang berhak yaitu Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata.
Aku tanya, apakah kau bersedia membantu perjuangan kami?”
Sinto Gendeng tidak menjawab tapi langsung tertawa mengekeh hingga air susurnya jatuh
berlelehan.

“Ni Serdang Besakih, selama dunia terkembang, tahta, harta dan hawa akan selalu menjadi
biang kerok segala macam urusan. Aku tahu semua cerita di balik urusanmu.

Siapapun raja yang berkuasa sekarang, dia adalah sepantas-pantasnya manusia yang berhak
menduduki tahta. Siapa yang tidak tahu. Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata adalah adik dari Raja
Tua, raja terdahulu.

Sedang raja yang sekarang adalah putera sulung dari Raja Tua. Kau tahu jalan ceritanya Ni
Serdang. Kau tahu Pangeran Tua tidak punya hak menduduki tahta kerajaan.

Kau dan orang-orang yang tergabung dalam Keraton Kaliningrat berusaha menjungkirbalikkan
kenyataan dan kebenaran. Kalian adalah orang-orang yang mengharapkan imbal jasa harta,
uang dan kedudukan. Barusan aku coba mengingat-ingat. Kalau aku tidak keliru yang namanya
Pangeran Muda Brata Sukmapala itu, bukankah dia putera Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata?
Nah, sekarang muncul satu tanda tanya. Siapa sebenarnya yang inginkan tahta.

Pangeran Tua atau si Pangeran Muda? Aku tidak yakin Pangeran Tua punya hati seculas itu
terhadap kakak kandungnya sendiri!”

“Sinto Gendeng,” ucap Kecik Turangga. “Kau tidak kami mintakan segala macam penilaian, juga
tidak perlu berbanyak tanya atau bicara panjang lebar tak karuan!

Kami hanya ingin tahu apakah kau bersedia membantu perjuangan Keraton Kaliningrat atau
tidak?!”

“Kalau aku mau membantu kalian mau beri hadiah apa? Jabatan Panglima Balatentara Kerajaan
seperti yang kau janjikan pada muridku tentu tidak pantas bagiku. Hik… hik… hik. Lalu kalau aku
tidak bersedia membantu, kalian mau bikin apa?”

“Sinto,” Ni Serdang menengahi. “Kami anggap saja kau tidak bersedia membantu. Maka dengan
segala hormat kami minta kau meninggalkan tempat ini. Masih ada orang lain yang kami
harapkan akan datang.”

“Aku tidak akan pergi. Karena aku ke sini untuk menunggu kedatangan muridku.” Jawab Sinto
Gendeng pula.

“Kau tak boleh berada lebih lama di tempat ini, Sinto. Secepatnya kau pergi akan lebih baik.”
Sinto Gendeng pelototi Ni Serdang Besakih. Lalu menjawab ucapan orang. “Kawasan Candi
Pangestu, apalagi daerah Plaosan bukan milikmu. Siapa saja boleh datang dan berada di tempat
ini. Mulai dari satu hari sampai hari kiamat! Hak apa kalian menyuruhku pergi?!”

“Sinto Gendeng. Ada satu hal yang harus kau ketahui!

Yang namanya Keraton Kaliningrat itu ada di mana-mana. Termasuk kawasan Plaosan ini! Jadi
jangan heran kalau kami menyuruhmu pergi secara baik-baik!”

Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.

“Ucapan tolol!” maki si nenek. “Kalau Keraton Kaliningrat ada di mana-mana apa itu berarti juga
ada di sorga dan di neraka? Hik… hik… hik!”

Kecik Turangga keluarkan suara menggembor marah. Ni Serdang Besakih memberi isyarat
dengan gerakan tangan agar sahabatnya itu berlaku tenang lalu berpaling pada Sinto Gendeng.

“Kau membuang waktu berlama-lama di tempat ini. Padahal aku punya firasat. Muridmu tak
akan muncul. Kami telah menyirap kabar apa yang terjadi antara kalian berdua. Muridmu sudah
mengambil keputusan menjauhkan diri darimu, dunia akhirat!” Ni Serdang Besakih dan Kecik
Turangga memang telah mendapat laporan dari Damar Sarka, anggota Keraton Kaliningrat yang
menyamar jadi kusir gerobak yang pernah ditumpangi Wiro dan Nyi Retno. Dalam perjalanan
semua pembicaraan kedua penumpangnya itu secara diam-diam didengar Damar Sarka, lalu
diceritakan pada Pangeran Muda dan Ni Serdang Besakih.

“Heh? Ni Serdang apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya Sinto Gendeng dengan mata
mendelik.

“Aku sudah membuka kitab, apakah kau ingin aku membaca isinya?” tanya Ni Serdang Besakih
mempergunakan kata-kata sindiran.

“Orang-orang Keraton Kaliningrat memang pandai bicara, tapi kurang pandai membujuk! Hik…
hik!” Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya yang memegang tongkat. Membalikkan dua
kelelawar yang dibakar di atas perapian.

“Baunya sungguh sedap. Tapi aneh. Selera makanku tibatiba hilang! Kalian saja yang menyantap
kelelawar ini. Kubagi seorang satu! Makanlah dengan lahap! Sampai kenyang!”

Tangan kiri Sinto Gendeng bergerak. Dua kelelawar panggang mencelat ke udara. Bagaimana
Sinto Gendeng memutar tongkatnya begitu pula dua kelelawar berputarputar di udara menebar
sedap bau daging panggang. Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga tak sadar terpengaruh
memperhatikan dua kelelawar panggang yang melayang-layang di udara. Tiba-tiba Sinto
Gendeng sentakkan tongkat di tangan kiri. Mulutnya berseru.
“Makanlah!”

Dua kelelewar panggang yang melayang di udara tibatiba laksana kilat melesat ke arah dua
tokoh Keraton Kaliningrat.

Plukk! Plukk!

Masing-masing kelelawar jatuh tepat di wajah Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga. Kedua
orang ini berteriak marah dan juga kesakitan karena kelelawar panggang itu masih sangat
panas. Kulit muka si nenek melepuh. Topeng yang menutupi wajah Kecik Turangga robek
mengepulkan asap tepat di bagian dua mata yang menggembung bengkak. Akibat rusaknya
topeng ini Kecik Turangga yang berjuluk Hantu Buta Senja ini benar-benar menjadi buta, tak
mampu melihat apa-apa lagi selain bayang-bayang hitam ke manapun dia memandang.

Sinto Gendeng berkacak pinggang dan tertawa gelakgelak.

“Hanya begitu saja kehebatan orang-orang Keraton Kaliningrat? Menghadapi kelelawar yang
sudah mati saja tidak punya kemampuan selamatkan diri! Hik… hik… hik!

Sudah pergi saja kalian! Cuci kaki dan tidur di keraton kalian yang ada di mana-mana. Jangan
lupa cebok dulu!

Hik… hik… hik!”

“Sinto Gendeng tua bangka keparat! Kau mencari mampus!” teriak Ni Serdang Besakih.
Didahului suara menggembor keras nenek berhidung bengkok ini melompat ke depan. Tangan
kanannya melesat ke arah kepala Sinto Gendeng dalam jurus maut bernama Tangan Iblis
Membongkar Berhala. Kalau serangan ini mengenai sasarannya maka kepala Sinto Gendeng
akan terbongkar mengerikan.

Meski tahu kehebatan serangan lawan, Sinto Gendeng tidak merasa jerih. Malah dia sambut
dengan jurus Ular Naga Menggelung Bukit. Tangan kiri yang memegang tongkat kayu
menggebuk ke arah tangan yang menyerang sementara tangan kanan laksana kilat menelikung
ke arah tubuh lawan. Bersamaan dengan itu kepala dimiringkan ke samping.

Kraak!

Tongkat kayu di tangan kiri Sinto Gendeng patah. Ni Serdang Besakih mengeluh keras. Tangan
kanannya yang beradu dengan tongkat kayu laksana dihantam pentungan besi. Walau sakit
bukan main namun Ni Serdang Besakih masih teruskan jurus Tangan Iblis Membongkar Berhala.
Kalau tadi serangan menjurus ke muka lawan, akibat gebukan tongkat arah yang dituju jadi
melesat ke dada. Melihat serangan yang berubah arah, Sinto Gendeng cepat melompat ke
belakang dan urungkan serangan Ular Naga Menggelung Bukit.
Breett!

Baju hitam yang dikenakan Sinto Gendeng robek besar di bagian dada kiri. Walau lima jari
tangan lawan tidak sampai menyentuh kulit dadanya namun hawa sakti dan ganas yang
terkandung dalam serangan itu membuat tubuh Sinto Gendeng tergoncang keras. Dia merasa
tulangtulang iganya seperti remuk dan jantungnya seolah hendak terbongkar keluar! Dia coba
bertahan. Tapi justru darah menyembur dari mulut. Didahului satu jeritan keras Sinto Gendeng
tusukkan patahan tongkat ke bahu kanan Ni Serdang Besakih. Kini gantian nenek berhidung
bengkok ini yang berteriak kesakitan lalu melompat jauhkan diri dari lawan sambil berteriak.

“Keparat setan alas! Terima kematianmu!” Sinto Gendeng berteriak. Tangan kanannya diangkat
ke atas.

Sebatas siku ke bawah tangan itu berubah warna menjadi perak berkilat.

“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Ni Serdang Besakih dan cepat menyingkir.

Wuss!

Sinar putih menyilaukan disertai sambaran hawa panas luar biasa berkiblat. Ni Serdang Besakih
yang sudah tahu bahaya dan cepat menyingkir selamat dari hantaman pukulan sakti. Namun
nasib sial menimpa Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja. Selagi dia bingung kelabakan karena
tak dapat melihat, Pukulan Sinar Matahari datang menghantam. Tokoh Keraton Kaliningrat ini
mencelat sampai dua tombak. Tubuh tergelimpang di tanah, mengepulkan asap. Begitu kepulan
asap lenyap kelihatan sosoknya teronggok putih seperti gundukan kapur!

Ni Serdang Besakih merinding pucat melihat apa yang terjadi dengan diri kambratnya itu.
Rencana pertama gagal sudah! Rencana kedua harus dilaksanakan. Nenek ini berteriak.

“Embah Bejigur! Kau tunggu apa lagi?!”

Belum lenyap gema teriakan Ni Serdang Besakih, tibatiba dari arah Candi Pangestu kelihatan
satu benda berkilat menebar dan melesat di udara. Sebelum Sinto Gendeng sempat melihat
jelas benda apa itu adanya tahu-tahu tubuhnya sudah tenggelam dalam jiratan tali temali yang
memancarkan cahaya bergemerlap!

“Jaring Neraka!” teriak Sinto Gendeng begitu menyadari apa yang terjadi dengan dirinya. Dia
berusaha loloskan diri. Kerahkan tenaga dalam untuk merobek jaring. Tapi tak berhasil. Entah
apa yang terjadi dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. “Jahanam! Apa
yang terjadi padaku!” Rutuk Sinto Gendeng. Nenek ini kembali coba alirkan tenaga dalam. Kali
ini ke arah kedua matanya karena dia bermaksud mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh.
Tapi lagi-lagi bukan saja dia menemui kegagalan malah sekujur tubuhnya terasa lemas
sementara tali temali yang memancarkan sinar dan menjerat tubuhnya mulai terasa panas.
Sinto Gendeng menggeletar. Badannya seperti mau leleh!
Dalam keadaan seperti itu satu tawa keras meledak. Memandang ke depan Sinto Gendeng
melihat sosok katai seorang kakek berkepala botak, berkumis dan berjenggot putih panjang,
mengenakan baju dan celana hitam gombrong!

“Sinto Gendeng! Semakin kau mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti semakin lemas
seluruh tubuhmu! Ha… ha… ha!”

***

JAHANAM bertubuh katai! Kalau kau tidak segera mengeluarkan aku dari jaring ini, aku
bersumpah akan membunuhmu!”

Si katai botak yang dipanggil dengan sebutan Embah Bejigur keluarkan suara berdecak lalu
berkata. “Nenek bau pesing! Kau sudah tidak punya daya! Di dalam Jaring Neraka semua ilmu
kesaktianmu tidak bisa kau gunakan!

Kalau kau tak mau berserikat dengan kami orang-orang Keraton Kaliningrat, silahkan
menghitung hari. Ajalmu sudah di depan mata!”

Sinto Gendeng berteriak dahsyat. Tubuhnya digulingkan ke arah kakek katai. Namun setengah
jalan Ni Serdang Besakih menghadang dengan satu tendangan. Sinto Gendeng meraung!
Tubuhnya terpental.

“Itu hadiah dari sobatku Kecik Turangga yang kau bunuh!” ucap Ni Serdang Besakih. “Ini
dariku!” Lalu nenek ini kembali hantamkan satu tendangan ke tubuh Sinto Gendeng hingga
yang ditendang mencelat terguling-guling.

Ni Serdang Besakih memburu. “Aku mewakili muridmu! Ini tambahan dari Pendekar 212 yang
kau aniaya!” Untuk ke tiga kalinya Sinto Gendeng terpental. Tendangan Ni Serdang Besakih
begitu keras. Namun kali ini tak terdengar lagi suara jeritan si nenek. Tubuhnya tak berkutik
dalam Jaring Neraka. Lengan kiri patah. Dua tulang iga di sisi kanan remuk dan pipi kanan
bengkak lebam. Masih sempat terdengar sesaat suara erangan si nenek lalu mulutnya
terkancing.

Belum merasa puas Ni Serdang Besakih kembali melompat ke arah tubuh di dalam jaring itu.
Sewaktu dia hendak menendang kembali si katai Embah Bejigur cepat menarik tangannya.

“Ni Serdang, jangan dihabisi sekarang. Biar Pangeran Muda nanti yang mengambil keputusan
mau diapakan setan tua ini.”
Ni Serdang masih penasaran. “Wajahku rusak karena ulah perbuatannya! Aku tidak yakin orang
ini bisa diajak berserikat. Hatinya seribu culas, otaknya seribu kotor.

Kalau kelak dia mengatakan ingin bergabung dan membantu kita, pasti dia menyimpan satu hal
yang busuk.

Dia akan menjadi musuh dalam selimut! Aku ingin Pangeran Muda menjatuhkan hukuman mati
padanya. Dan aku akan minta pada Pangeran Muda agar aku yang menabas batang lehernya!”

“Ni Serdang, kau tahu. Saat ini sebenarnya tanganku juga sudah gatal ingin membereskan
nenek bau pesing ini.

Empat puluh tahun silam dia membunuh seorang sahabatku,” kata Embah Bejigur pula. Lalu dia
tarik ujung jaring. “Aku akan seret setan perempuan ini sampai ke tempat Pangeran Muda
menunggu. Mudah-mudahan saja dia tidak mampus di tengah jalan!”

Ketika diseret tak seorang pun tahu, gulungan daun lontar di pinggang Sinto Gendeng jatuh ke
tanah.

***

MALAM itu di Gedung Kepatihan ada pertunjukan kesenian berupa tari-tarian oleh rombongan
penari berasal dari Temanggung. Selain tari-tarian juga ada banyolan empat pelawak.
Pertunjukan diadakan di langkan gedung di mana dibangun sebuah panggung besar.
Pengunjung luar biasa banyaknya. Selain para pejabat tinggi kerajaan, rakyat banyak juga diberi
kesempatan untuk menikmati hiburan yang jarang-jarang diadakan itu.

Selewat tengah malam pertunjukan semakin ramai karena ternyata juga ada permainan
akrobat dilakukan oleh enam pemuda gagah dan dua gadis cantik. Dalam salah satu
pertunjukan, seorang pemuda berbaring menelentang di lantai. Tangan kiri kanan masing-
masing memegang balok besar tebangan batang pohon. Gong berbunyi. Dua gadis cantik
menari berputar-putar. Seorang pemuda melompat ke atas balok sebelah kiri, seorang lagi naik
ke atas balok sebelah kanan. Gong berbunyi. Dua pemuda melesat ke udara, jungkir balik satu
kali lalu melayang turun dan tegak di atas bahu dua temannya yang berdiri di atas balok. Tepuk
tangan memenuhi seantero tempat.

Gong berbunyi lagi. Pemuda ke enam melompat ke sebuah bantalan karet yang sudah
disiapkan. Tubuhnya yang membal melesat ke udara dan sesaat kemudian dia sudah berdiri di
atas bahu kiri kanan dua temannya. Orang banyak bertepuk riuh luar biasa.

Dua gadis cantik masih terus menari-nari, kini sambil berpegangan tangan. Di tangan mereka
ada sebuah payung warna merah. Gong berbunyi lagi. Kali ini disertai suara tambur dan tiupan
seruling. Dua gadis berteriak nyaring, melompat ke atas bantalan karet. Dua tubuh berpakaian
ketat melesat ke udara. Semua orang menahan nafas.
Dua payung merah terkembang. Sambil berpegangan tangan dua gadis perlahan-lahan
melayang turun ke arah pemuda yang berdiri paling atas. Gadis sebelah kanan injakkan kaki kiri
di bahu kanan, gadis di sebelah kiri injakkan kaki kanan di bahu kiri si pemuda. Suara gong dan
tambur bertalu-talu. Tiupan seruling mencuat nyaring.

Pemuda yang berada paling bawah yakni yang memegang dua buah balok, perlahan-lahan
mulai memutar tubuhnya.

Dua balok ikut berputar. Selanjutnya sosok pemain akrobat yang berada di sebelah atas ikut
berputar. Dua gadis menari-nari. Luar biasa! Semua mata menyaksikan tak berkesip penuh
kagum.

Suara gong dan tambur terus menggema. Tiupan seruling melengking-lengking. Lalu ada suara
suitan keras.

Inilah tanda bahwa pertunjukan akrobat yang menegangkan itu berakhir. Dua gadis cantik
berseru nyaring. Tubuh mereka melesat ke kiri dan ke kanan.

Payung masih terkembang. Dengan gerakan-gerakan indah mereka meliuk-liukkan tubuh di


udara dan perlahan-lahan turun ke panggung. Pemuda di paling atas menyusul turun dengan
gerakan jungkir balik yang indah. Dua pemuda sebelah bawah berseru keras. Tangan masing-
masing mengepal ke udara. Lalu keduanya melesat ke bawah, membuat gerakan jungkir balik
satu kali dan melayang turun.

Saat itulah satu sosok hijau entah dari mana datangnya ikut melesat ke bawah. Semua orang
jadi terkejut. Kenapa orang yang turun jadi tiga? Sementara dua pemuda lagi masih ada di atas
sana tengah bersiap-siap untuk melompat turun pula.

Heboh besar melanda tempat pertunjukan itu sesaat kemudian. Dua orang pemuda yang
melayang turun jejakkan kaki di lantai panggung dengan gerakan enteng.

Sebaliknya sosok ke tiga yang mengenakan pakaian serba hijau jatuh terbanting dengan keras.
Papan panggung patah. Bagian pinggang ke bawah orang berpakaian serba hijau ini amblas ke
dasar panggung. Tubuh sebatas pinggang ke atas terhenyak di lantai papan. Darah mengucur
dari kepalanya yang pecah.

Dua gadis pemain akrobat menjerit dan lari ke bawah panggung. Hampir semua orang
keluarkan seruan kaget.

Patih Kerajaan Wira Bumi, seorang perwira tinggi dan beberapa orang tokoh silat istana segera
melompat ke atas panggung.
“Cagak Lenting!” Seru Patih Kerajaan. Walau kepala orang itu nyaris hancur namun Wira Bumi
masih bisa mengenali siapa adanya orang yang sebagian tubuhnya tergelimpang di lantai
panggung. Perwira Tinggi dan seorang tokoh silat segera menarik tubuh orang berpakaian serba
hijau itu yang memang adalah Cagak Lenting alias Si Mata Elang.

“Kanjeng Patih, ada sepotong kertas menempel di punggung mayat!” Seseorang berteriak.
Orang ini langsung mengambil potongan kertas itu dan menyerahkannya pada Patih Wira Bumi.
Sang Patih karuan saja jadi kaget besar karena di atas kertas itu ada tulisan yang ditujukan
padanya.

Patih Kerajaan, siapapun namamu adanya!

Malam ini aku menyelesaikan sebagian dari hutang piutang di antara kita. Kau dan Cagak
Lenting telah membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah menerima bagiannya. Tak
lama lagi giliranmu akan sampai.

Rahang Patih Kerajaan menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Kertas di tangan diremas


hingga jadi bubuk!

“Jahanam! Setan mana yang punya pekerjaan ini! Siapa kau! Unjukkan diri!” Patih Wira Bumi
berteriak marah membuat panggung besar bergetar. Tiba-tiba terdengar teriakan. “Ada orang
di atas atap!”

Perwira Tinggi Suko Daluh bersama dua orang tokoh silat yaitu Ki Genta Kemiling dan Ki Wulur
Jumena serta merta melompat dan melesat ke atas wuwungan Gedung Kepatihan. Saat itulah
dua larik cahaya putih berkiblat disusul dua jeritan. Tubuh Perwira Tinggi dan salah seorang
tokoh silat terpental lalu menggelundung jatuh ke tanah. Tubuh tak berkutik lagi, kepala pecah,
nafas minggat sudah! Semua terjadi begitu cepat.

Patih Wira Bumi bersama beberapa orang segera berlari mendatangi.

“Ki Genta Kemiling. Apa yang terjadi?!” tanya Wira Bumi pada tokoh silat yang masih hidup.

“Kami melihat dua orang di atas atap gedung. Ketika kami hendak menyerbu ada dua kilatan
cahaya putih.

Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat Ki Wulur Jumena langsung roboh lalu jatuh ke tanah.
Saya coba mengejar.

Dua orang di atas atap lenyap. Yang kelihatan hanya asap putih seperti halimun.”

Patih Kerajaan memperhatikan sekali lagi keadaan dua korban.


“Cara kematian mereka sama dengan Cagak Lenting. Kepala hancur. Berarti pembunuh Cagak
Lenting orangnya sama dengan pembunuh Suko Daluh dan Wulur Jumena.”

Pertunjukan di Gedung Kepatihan berakhir dalam suasana kacau balau dan sangat tidak enak.
Orang banyak pulang ke rumah masing-masing dengan berbagai macam cerita. Sebelum
meninggalkan tempat itu Patih Kerajaan berkata pada orang-orangnya. “Tambah penjagaan di
sekitar Gedung Kepatihan dan juga Keraton. Perketat pengawasan pada pintu gerbang utara
dan barat.”

Wira Bumi masuk ke dalam gedung. Istri keduanya yang datang menyambut disuruhnya masuk
ke dalam kamar.

Wira Bumi sendiri kemudian masuk ke sebuah kamar khusus yang terletak di bagian belakang
Gedung Kepatihan, terpisah dari bangunan utama. Empat dari lampu minyak yang ada di dalam
kamar dipadamkan. Lalu dia menanggalkan seluruh pakaian. Dalam keadaan tidak selembar
benang pun menutupi tubuhnya Wira Bumi berbaring di atas tempat tidur. Mata terpejam,
mulutnya berucap.

“Nyai Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan dirimu.”

***

NYI Retno Mantili lari sambil pegangi lengan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berusaha
menahan lari pemuda itu sambil berkata. “Wiro, saya harus kembali ke Gedung Kepatihan. Saya
harus membunuh patih itu. Malam ini juga!”

Wiro tidak perdulikan ucapan Nyi Retno. Dia lari terus. Di satu tempat yang dirasakannya cukup
aman dan jauh di pinggiran kotaraja baru dia berhenti.

“Nyi Retno, saya ingin bicara,” kata Wiro pula.

“Saya ingin kembali ke kotaraja. Saya harus membunuh patih jahanam itu!”

“Nyi Retno, ingat. Sebelumnya kau sudah berjanji hanya akan membunuh orang bernama Cagak
Lenting. Hal itu sudah kau lakukan.”

“Tapi patih jahanam itu masih hidup. Dia ikut bertanggung jawab atas kematian Djaka Tua.”

“Nyi Retno, bagaimanapun jahatnya patih itu kau tak mungkin dan tidak boleh membunuhnya.”

Nyi Retno tarik lepas lengannya yang dipegang Wiro.

“Mengapa saya tidak boleh membunuh manusia jahat itu, Wiro.”


Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Akhirnya dia jawab juga pertanyaan Nyi Retno.

“Patih Kerajaan yang bernama Wira Bumi itu adalah suami Nyi Retno. Ayah dari puteri Nyi
Retno sendiri. Ayah Ken Permata.”

Nyi Retno tersurut dua langkah mendengar kata-kata Wiro. Mulutnya tersenyum lalu senyum
berubah menjadi tawa memanjang.

“Saya tidak pernah punya suami! Kalaupun kelak saya punya, orangnya adalah kau! Saya suka
padamu! Kemuning suka padamu!” Nyi Retno lalu mendekap boneka kayu, menciuminya
sementara sepasang matanya tampak berkaca-kaca. “Kalau kau tidak mau jadi ayah Kemuning,
saya mohon pergilah. Tinggalkan kami di sini. Saya mengerti di matamu kami yang malang ini
hanyalah sampah yang menjadi beban!”

“Ah, kumat lagi penyakitnya,” keluh Wiro dalam hati.

Wiro belai rambut hitam di kuduk Nyi Retno. “Nyi Retno, jangan punya pikiran atau perasaan
seperti itu. Semua tindakan saya hanya untuk melindungi Nyi Retno dan Kemuning. Ingat
ucapan Ki Tambakpati? Kotaraja saat ini dijaga ketat. Mata-mata berkeliaran di mana-mana.
Masih untung kita bisa masuk dan keluar dengan selamat. Soal Patih Wira Bumi itu harap
bersabar. Kita cari saat yang baik. Kalau kita kembali ke Gedung Kepatihan saat ini terlalu
berbahaya. Pengawalan pasti sudah dilipat ganda.

Di setiap pelosok para tokoh silat kerajaan pasti berjagajaga. Bagaimana pendapat Nyi Rento?”

Perempuan muda bertubuh mungil itu pegang tangan Wiro yang mengusap kuduknya. Lama dia
terdiam sebelum akirnya berkata dengan suara lirih.

“Saya menurut apa katamu saja, Wiro. Saya letih. Saya ingin istirahat. Mari kita cari tempat
yang aman. Maukah kau menggendong saya dan Kemuning?”

Wiro tersenyum. Dia bungkukkan tubuh sedikit lalu menggendong Nyi Retno di depan dada.
Dalam hati Wiro berkata. “Pada siapa aku harus minta tolong? Bagaimana menjernihkan dan
membuka pikiran perempuan ini. Bahwa Wira Bumi itu adalah suaminya? Mungkin hanya
dengan cara mempertemukan Nyi Retno dengan Ken Permata?

Tapi malam Satu Suro yang dikatakan Datuk Rao Basaluang Ameh itu masih lama. Sementara itu
segala sesuatunya bisa terjadi. Heran, kenapa Datuk memerlukan waktu demikian lama untuk
mempertemukan ibu dan anak?”

Satu tangan hangat mengusap dagu Wiro. Tangan Nyi Retno.

“Wiro, kau memikirkan apa?” tanya perempuan itu.


Sambil melangkah Wiro menatap wajah Nyi Retno. Wajah itu tampak cantik sekali. Mata yang
menatap bercahaya, bibir yang mengulum senyum, semua memancarkan ketulusan hati. Tak
ada yang disembunyikan.

Tiba-tiba saja Wiro merasakan dadanya berdebar. Hatinya bicara. “Ya Tuhan, bagaimana ini.
Mengapa aku menjadi begitu sayang pada perempuan yang malang ini”

Wiro tundukkan kepala. Sesaat lagi ciuman Wiro akan sampai, Nyi Retno pejamkan mata. Tapi
yang dicium sang pendekar adalah boneka kayu dalam pelukan Nyi Retno.

“Wiro, saya sedih sekali…” Ucap Nyi Retno perlahan.

“Sedih kenapa Nyi Retno?” tanya Wiro.

“Kau mencium anakku. Tapi tak mencium diriku.”

“Gila! Bagaimana aku mau mencium istri orang!” Ucap Wiro dalam hati. Lalu dia merasakan
tangan Nyi Retno menarik tengkuknya. Perlahan-lahan Wiro merunduk.

Ciumannya singgah di kening perempuan itu. Nyi Retno menggeliat dalam dukungan sang
pendekar. Matanya terbuka nyalang. Memancarkan cahaya kehidupan penuh harapan dan juga
hasrat penuh gairah.

“Wiro, saya mau kau membaringkan saya di tanah…”

bisik Nyi Retno. “Saya letih, saya ingin tidur dalam pangkuanmu.”

Wiro hentikan langkah. Bingung. Apakah dia akan mengikuti permintaan Nyi Retno? Jika hal itu
dilakukan jangan-jangan semua kemesraan ini akan berlanjut lebih jauh.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara perempuan bernyanyi.

***

MALAM gelap dan sejuk Saat yang indah memadu cinta Tapi apa nikmatnya Bercinta dengan
perempuan gila Suara nyanyian ditutup dengan tawa bergelak.

Wiro tersentak kaget. Nyi Retno Mantili cepat meluncur turun dari dukungan sang pendekar. Di
dalam gelap, hanya terpisah kurang dari sepuluh langkah Wiro dan Nyi Retno melihat seorang
perempuan muda berwajah putih berambut kacau balau tak karuan, mengenakan pakaian biru
gelap, tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di pinggang tergantung enam buah
kendi hitam berisi minuman keras. Sebuah tusuk konde perak tersemat di dada kiri baju
birunya.

“Nyi Bodong… Ah, bukan dia!” Ucapan Wiro tertahan. “Nyi Bodong seorang nenek, yang ini
masih muda belia.”

“Wiro, apakah kau lupa pada istri sendiri?!” Gadis bermuka putih berpakaian biru bertanya
dengan wajah didongakkan, mata memandang tak berkesip pada Wiro. Seruas senyum bermain
di bibir.

Kejut Wiro bukan alang kepalang.

“Aku, kau… Ah, bukan. Kau bukan Nyi Bodong, betul?”

Si muka putih tertawa. “Bukan, betul, bukan, betul! Kau ini bicara apa? Aku Wulan Srindi
istrimu. Apa kau tidak mengenali istrimu lagi? Wiro, perkawinan kita telah membuahi seorang
jabang bayi berusia hampir tiga bulan. Apa kau tidak gembira mendengar kabar ini?”

“Wulan Srindi!” ucap Wiro. Kagetnya masih belum hilang. “Apa yang terjadi dengan dirimu.
Mengapa wajahmu menjadi putih?” Wiro masih tidak yakin kalau perempuan muka putih di
depannya itu adalah Wulan Srindi. Namun suara orang ini memang sangat mirip dengan gadis
anak murid Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah dekat dengan dirinya itu.

Nyi Retno menatap tak berkesip. Dalam hati dia berkata. “Jadi inilah gadis yang menurut Sinto
Gendeng telah dihamili Wiro. Apakah dia lebih cantik dariku?

Wajahnya aneh, putih seperti kapur. Kelihatannya otaknya tidak lebih baik dari otakku. Hik…
hik… hik.” Nyi Retno tertawa sendiri.

“Perempuan gila! Kenapa kau tertawa?! Kau mentertawai diriku?!” bentak Wulan Srindi. Nyi
Retno melangkah maju. Wiro cepat pegang tangannya. “Nyi Retno, biarkan saja dia mau bicara
apa.

Jangan dilayani.” Bisik Pendekar 212.

Walau tidak jadi mendatangi Wulan Srindi, namun Nyi Retno tidak tinggal diam. “Perempuan
sinting menyebut aku perempuan gila! Hik… hik… hik! Kalau kau tadi ketawa mengapa aku tidak
boleh?”

“Perempuan setan! Kau merampas suamiku!”

Nyi Retno pura-pura berbangkis dua kali lalu tertawa gelak-gelak.


“Nikah belum kawin juga tidak! Sungguh aneh kau mengatakan orang ini suamimu! Lebih aneh
lagi karena kau menebar kabar ke mana-mana bahwa kau dalam keadaan hamil! Hik… hik! Apa
tidak malu?! Bisa bunting tapi tidak punya laki! Katakan saja terus terang. Setan mana yang
menghamilimu!”

“Perempuan lacur! Pandai bicara! Lihat ini!”

Dari balik pakaiannya Wulan Srindi keluarkan sehelai sapu tangan biru muda yang dulu pernah
diberikannya kemudian dikembalikan oleh Wiro.

“Suamiku, apa kau masih ingat sapu tangan tanda percintaan kita?”

Wiro terperangah. Matanya memperhatikan sapu tangan itu sebentar lalu alihkan perhatian
pada tusuk konde perak yang tersemat di dada kiri baju biru perempuan muka putih. “Dua
benda itu membuktikan dia memang Wulan Srindi. Tapi apa yang terjadi dengan wajahnya?”

Wulan Srindi cabut tusuk konde perak yang tersemat di dada kirinya. “Suamiku, apa kau berani
membantah bahwa tusuk konde milik gurumu ini adalah mas kawin tanda pernikahan kita?”

“Wulan, aku tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun kau tahu antara kita…”

“Antara kita saling mencinta. Dan buah percintaan kita berdua adalah seorang jabang bayi
berusia hampir tiga bulan yang ada dalam kandunganku!” Wulan Srindi usapusap perutnya.
“Kau mau anak lelaki atau anak perempuan Wiro? Aku mau anak lelaki. Biar bentuknya tampan
dan gagah seperti dirimu.”

“Wulan, kau keliru kalau…”

“Aku tidak pernah keliru mencintaimu, Wiro. Bayi yang aku kandung tidak keliru adalah
anakmu, darah dagingmu!” Wulan Srindi sematkan kembali tusuk konde ke dada kiri baju
birunya.

“Wulan, aku mohon…” Wiro tak tahu lagi mau bicara apa.

Wulan Srindi ambil dua buah kendi tanah. Satu dilemparkan ke arah Wiro. “Wiro, mari kita
minum bersama! Sebagai rasa suka cita atas pertemuan ini. Setelah minum kau ikut aku. Buat
apa jalan bersama perempuan lacur itu. Gila pula!”

Agar kendi tidak jatuh ke tanah Wiro terpaksa menyambuti dengan tangan kiri. Sebaliknya
dihina seperti itu Nyi Retno Mantili berteriak marah. Wiro cepat merangkul pinggang
perempuan itu sambil berulang kali membujuk menenangkan.

Tak perduli teriakan marah Nyi Retno, tenang saja Wulan Srindi teguk minuman keras dalam
kendi hingga wajahnya yang putih menjadi merah.
Tangan kanan masih memegangi Nyi Retno, Wiro pegang kendi tanah dengan tangan kiri.
Minuman itu sama sekali tidak diteguknya.

“Kau tak minum Wiro? Ah, aku tahu kau dari dulu memang bukan tukang minum. Tapi mungkin
kau takut pada perempuan gila di sampingmu itu. Jika kau suka boleh saja kau berikan
minuman itu padanya. Aku lihat tenggorokannya turun naik tanda haus sekali!”

“Wulan, terima kasih. Aku memang tak biasa meneguk minuman keras. Harap kau mau
menerima kembali.” Wiro lalu lemparkan kembali kendi berisi minuman ke arah Wulan Srindi.
Tapi gadis ini tidak menyambuti hingga kendi jatuh ke tanah, pecah dan isinya tumpah. Bau
minuman keras menebar di tempat itu.

Wulan Srindi pandangi kendi yang pecah serta minuman yang membasahi tanah. Wajahnya
nampak sedih namun sesaat kemudian dia tertawa gelak-gelak. Habis tertawa dia teguk
minuman dalam kendi. Tiba-tiba, byuurr! Minuman disemburkan ke arah Nyi Retno Mantili.

“Nyi Retno awas!” teriak Wiro sambil melompat dan menarik tangan Nyi Retno Mantili.
Perempuan ini selamat dari semburan yang bisa membuat wajahnya cacat berlubang. Namun
beberapa percikan minuman keras mengenai bahu kanan Wiro. Empat lubang mengepul di baju
yang sebelumnya telah robek besar di bagian punggung. Dua percikan minuman keras
menembus baju melukai bahu kanan Wiro hingga pemuda ini mengeluh kesakitan.

Melihat apa yang terjadi Nyi Retno marah besar. Sambil berteriak dia melompat ke hadapan
Wulan Srindi.

“Setan gila! Kau apakan Wiro!” Tangan kanan yang memegang boneka diangkat tinggi-tinggi,
diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan cepat teguk minuman keras dan kembali hendak
menyembur. Wiro tahu bagaimanapun kehebatan minuman keras yang disemburkan Wulan
Srindi, namun dua larik cahaya putih yang bakal keluar dari sepasang mata boneka jauh lebih
dahsyat. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Hantu Pemerkosa alias Pangeran Matahari yang
luar biasa tinggi ilmu silat dan kesaktiannya tidak sanggup menghadapi ilmu kesaktian yang
disebut Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala itu. Jika nekad Wulan Srindi bisa mati konyol.

“Wulan! Lekas menyingkir!”

Wulan tidak perduli. Ketika dua sinar berkiblat dia hanya berjingkat sedikit lalu menyembur lagi.

“Celaka!” seru Wiro. Dia berusaha menarik tangan Nyi Retno yang memegang boneka kayu.
Namun dua larik sinar putih sudah lebih dulu berkiblat. Wiro tidak mungkin lagi menolong
Wulan Srindi.

Di saat yang sangat menentukan bagi keselamatan jiwa Wulan Srindi, tiba-tiba satu bayangan
hitam berkelebat disertai deru sambaran angin. Menyusul empat semburan dahsyat.
Wuuutt!

Dess! Dess!

Dua larik cahaya putih bertabur ke berbagai penjuru dan lenyap.

Nyi Retno berseru kaget, cepat melangkah mundur. Di depan sana terdengar suara pecahnya
kendi tanah disertai pekik Wulan Srindi lalu suara orang mengeluh pendek.

Ketika memandang ke depan Wiro melihat Wulan Srindi berdiri dipegangi seorang lelaki gemuk
pendek berwajah merah menyeramkan. Pada cuping hidung sebelah kiri menyantel sebuah
anting akar bahar. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Pakaian baju dan celana hitam
gombrong. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kendi besar hitam sementara di pinggang
menggelantung sebelas kendi lagi.

Orang yang memegangi Wulan Srindi tampak tegak terhuyung sambil pegangi dada. Dia merasa
ada cairan asin dalam mulutnya. Darah! Tidak tunggu lebih lama dia segera teguk minuman
keras dalam kendi. Lalu alirkan hawa sakti dari perut ke dada. Di sampingnya Wulan Srindi
berdiri dengan muka lebih putih. Di sudut bibir darah meleleh.

Wiro yang mengenali siapa adanya lelaki gemuk pendek berwajah seram yang membekal
selusin kendi berisi minuman keras itu serta merta berseru. Lalu berlari mendatangi. Setelah
membungkuk dalam-dalam memberi hormat, Wiro berkata.

“Iblis Pemabuk! Kami berdua mohon maaf kalau telah bertindak lancang. Saya siap mewakilkan
diri menerima hukuman!”

Si gemuk bermuka merah berjuluk Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. Begitu
isinya kosong kendi langsung dibanting ke tanah hingga pecah berantakan. Orang ini lalu
tertawa gelak-gelak.

“Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku gembira kau masih mengenali si jelek tukang mabuk ini! Ha…
ha… ha! Kami berdua tidak kurang suatu apa. Siapakah perempuan muda di sampingmu itu?
Gebukannya boleh juga.”

“Namanya Nyi Retno Mantili…”

“Apa?!” Sepasang mata Iblis Pemabuk tampak melotot.

“Nyi Retno Mantili. Bukankah dia…”

Iblis Pemabuk walau tukang mabuk dan berkelakuan aneh tapi punya rasa kebijaksanaan yang
dalam. Dia tidak melanjutkan kata-katanya walau sudah tahu siapa adanya Nyi Retno Mantili.
“Panjang ceritanya, tak dapat saya beri tahu sekarang.

Saya tengah berusaha mengobati kelainan…” Wiro coba memberi keterangan singkat.

“Aku tahu… Aku tahu!” kata Iblis Pemabuk pula. “Ilmu yang dikeluarkannya melalui boneka tadi
adalah ilmu langka yang sangat dahsyat. Kalau aku tidak keliru bernama Pukulan Sepasang
Cahaya Batu Kumala. Pemiliknya hanya satu orang. Kakek sakti di puncak Gunung Gede. Apa
hubungan perempuan muda itu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas?”

“Nyi Retno murid Kiai Gede Tapa Pamungkas.” menerangkan Wiro.

“Ah…” Iblis Pemabuk delikkan mata sesaat, lalu angguk-anggukan kepala dan akhirnya
mengambil kendi baru lalu meneguk isinya.

“Iblis Pemabuk, kalau saya boleh bicara empat mata denganmu. Saya…”

“Tidak usah. Tidak perlu. Aku tahu apa yang ada di benakmu dan apa yang hendak kau
sampaikan.”

“Tapi ini urusan besar menyangkut…”

“Urusan besar, urusan kecil semua aku sudah tahu. Urusanmu dan urusanku ada kesamaan.
Tapi yang aku hadapi jauh lebih parah…”

“Guru, aku tak suka kau bicara berlama-lama di tempat ini. Wiro suamiku, lebih baik kau ikut
kami daripada ikut perempuan gila itu.” Wulan Srindi memotong ucapan Iblis Pemabuk.

“Cah Ayu, kau betul. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Namun untuk saat ini kita
belum perlu bergabung dengan Wiro…”

“Aku tak suka kau bicara begitu! Kau guru jahat! Kau hanya memperhatikan kepentingan orang
lain. Tidak mau memperhatikan kepentingan murid sendiri!”

Dengan muka masam Wulan Srindi balikkan badan.

“Wulan, tunggu dulu!” Wiro berseru.

Wulan Srindi hentikan langkah. “Eh, kau mau ikut aku?

Kalau Guru tak mau kita pergi berdua saja?”

“Wulan, kuharap kau mau berbaik hati mengembalikan tusuk konde milik Eyang Sinto Gendeng.
Aku akan sangat berterima kasih…”
“Enak saja mulutmu bicara! Kau sengaja hendak menghilangkan tanda perkawinan kita?!”

“Eyang Sinto menugaskan aku harus mendapatkan tusuk konde itu kembali.”

“Katakan saja kau tak pernah bertemu dengan aku!

Apa sulitnya berdusta dengan nenek culas itu?!”

Wiro menggaruk kepala. “Kalau kau tak mau memberikan aku tak memaksa…” Kata sang
pendekar dengan suara perlahan. Dengan apa yang telah dilakukan Sinto Gendeng
terhadapnya, sebenarnya Wiro tak mau memaksa diri mendapatkan tusuk konde itu. Wiro
berpaling pada Iblis Pemabuk. “Iblis Pemabuk, sebenarnya kau hendak menuju ke mana?”

“Kami dalam perjalanan ke Plaosan. Tapi Cah ayu ini selalu berjalan duluan. Untung tadi aku
tidak terlambat datang. Kalau tidak dia sudah konyol saat ini.”

“Ada apa di Plaosan?” Wiro bertanya lagi.

“Orang-orang Keraton Kaliningrat kabarnya ada di situ.”

Lalu Iblis Pemabuk mendekati, menepuk bahu kanan Wiro yang terluka akibat percikan
minuman keras yang tadi disemburkan Wulan Srindi. Saat itu juga dua lobang luka menjadi
kering. Sambil menepuk Iblis Pemabuk berbisik pada Wiro. “Muridku diperkosa dua orang
anggota Keraton Kaliningrat. Yang satu berhasil kami bunuh. Satunya saat ini mungkin berada di
Plaosan. Kabarnya orang-orang Keraton Kaliningrat ada di sana. Sudah, aku pergi sekarang!”

“Iblis Pemabuk, saya sangat berterima kasih.”

Iblis Pemabuk tarik tangan Wulan Srindi. Yang ditarik berusaha berontak sambil berteriak-
teriak. “Aku mau ikut suamiku! Aku mau ikut Wiro. Lepaskan! Lepaskan!” Namun akhirnya gadis
muka putih itu terpaksa ikut juga bersama gurunya.

“Guru mertuamu tampaknya sangat baik padamu.” Nyi Retno keluarkan ucapan ketika Wiro
mendatanginya.

“Guru mertua? Maksudmu?” Wiro tak mengerti namun begitu sadar meledak tawanya.

“Kau kelihatan luar biasa gembira,” Nyi Retno kembali menggoda. “Apa karena mertuamu juga
menyusupkan tusuk konde perak itu ke pinggang bajumu?”

Wiro terkejut dan memeriksa bajunya. Astaga! Ternyata tusuk konde milik Eyang Sinto Gendeng
yang tadi tersemat di dada kiri Wulan Srindi kini tersemat di pinggang baju yang dikenakannya.
“Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.

“Sebelum Iblis Pemabuk mendekatimu, dia lebih dulu mengambil tusuk konde. Dia lalu
menepuk bahumu, bicara denganmu. Saat itulah tanpa diketahui perempuan gila itu, tusuk
konde disusupkan ke bajumu. Iblis Pemabuk juga menyembuhkan dua lubang luka di bahumu
dengan tepukannya tadi. Walau ujudnya sangat menyeramkan tapi dia benar-benar orang
baik.”

“Kau betul Nyi Retno. Iblis Pemabuk orang baik. Tapi dia bukan guru mertuaku,” kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala.

“Betul? Jangan-jangan kau berdusta,” kata Nyi Retno pula.

Merasa digoda Wiro tertawa gelak-gelak, tangkap pinggang perempuan mungil berwajah cantik
ini, dipanggul lalu dilarikan.

“Hai! Mengapa kau lari ke jurusan sini? Ini arah larinya guru mertuamu!” teriak Nyi Retno
Mantili. “Pasti kau mau mengejarnya! Atau mungkin juga mengejar anak muridnya!

Hik… hik… hik!”

Sambil lari Wiro gelitiki pinggang Nyi Retno berulang kali hingga perempuan ini tertawa keras
kegelian.

“Nyi Retno, jangan kau salah mengira. Ingat surat daun lontar yang diberikan kusir gerobak?”

“Saya ingat. Memangnya kenapa?”

“Orang-orang Keraton Kaliningrat meminta saya datang ke Candi Pangestu di Plaosan. Tadi Iblis
Pemabuk mengatakan ingin ke Plaosan karena mau mencari pemerkosa muridnya yang orang
Keraton Kaliningrat. Nyi Retno keberatan kalau kita mengikuti mereka?” Nyi Retno diam saja.

“Ah, dia cemburu,” ucap Wiro dalam hati. Lalu berkata.

“Kalau Nyi Retno tidak suka, saya tidak memaksa.”

“Wiro, turunkan saya…”

Wiro hentikan lari. Nyi Retno turun dari gendongan Wiro. Sambil mendekap boneka kayu ke
dada dia berkata perlahan.

“Wiro, jika kau ingin pergi ke mana kau suka silahkan saja. Saya tidak bisa melarang. Tinggalkan
saya dan Kemuning di tempat ini.”
“Nyi Retno. Maksud saya…” Wiro hendak berjongkok di samping perempuan itu. Namun tiba-
tiba ada kabut aneh menutupi tubuh Nyi Retno.

Wiro ulurkan tangan. Dia hanya menyentuh angin. Sosok Nyi Retno lenyap dari pemandangan.
“Nyi Retno, kau ke mana?! Nyi Retno!”

Wiro berteriak. Memanggil berulang kali sambil melangkah kian kemari. Namun Nyi Retno
seperti lenyap ditelan bumi.

“Dia mempergunakan ilmu melenyapkan diri. Pasti didapat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Sampai pagi aku berteriak dan mencari akan sia-sia saja.”

Wiro terduduk di tanah, geleng-geleng kepala lalu usap muka berulang kali. Setelah
memandang berkeliling, sambil menekap wajah Wiro berkata. “Nyi Retno, saya tahu kau masih
ada di sekitar sini. Saya tahu kau melihat saya tapi saya tidak bisa melihatmu. Saya ke Plaosan
bukan karena apa. Saya merasa sesuatu akan terjadi di sana. Saya ingin bersamamu lagi dan
Kemuning…”

Mendadak ada suara orang tersedu menangis. “Nyi Retno… ?”

Wiro berdiri. Memperhatikan berkeliling. Dia hanya melihat kegelapan. Udara malam terasa
dingin. Perlahanlahan dia berdiri. Sebelum tinggalkan tempat itu sekali lagi dia memeriksa
kalau-kalau Nyi Retno sudah mau menunjukkan diri. Namun perempuan mungil berwajah
cantik itu tetap tak kelihatan.

“Aku merasa berdosa. Seharusnya aku menjaga diri dan hatinya baik-baik…” Wiro tarik nafas
dalam lalu dengan hati berat melangkah pergi. (Mengenai kisah Iblis Pemabuk silahkan baca
episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran”).

***

WULAN Srindi yang berada di depan Iblis Pemabuk tiba-tiba hentikan lari. Mata memandang ke
arah reruntuhan bangunan candi. Kepala mendongak, hidung menghirup dalam-dalam.

“Guru, aku mencium bau daging panggang. Sedap sekali! Perutku jadi terasa perih, lapar.”

Iblis Pemabuk berdiri di samping sang murid. Setelah meneguk minuman keras dalam salah satu
kendi dia menunjuk ke arah candi. “Baunya datang dari arah candi sana. Kalau aku tidak salah
itu Candi Pangestu. Ayo kita menyelidik. Siapa tahu orang-orang Keraton Kaliningrat sedang
pesta daging panggang. Lumayan kalau kebagian.”
Begitu memutari candi, walau guru dan murid itu tidak menemui siapa-siapa namun mereka
melihat kayu bekas perapian yang masih menyala serta dua kelelawar panggang yang masih
utuh tergeletak di tanah.

“Aneh, ada orang memanggang dua kelelawar. Lalu dibuang begitu saja.” Wulan Srindi
keluarkan ucapan. Rasa laparnya serta merta sirna. Tadinya dia menyangka paling tidak akan
melihat ayam atau kambing hutan panggang. Ternyata kelelawar yang sudah berselomotan
tanah. Iblis Pemabuk teguk lagi minuman keras dalam kendi. Dengan langkah terhuyung dia
berjalan ke arah tangga candi yang sudah rusak. Manusia bertubuh gemuk pendek ini duduk di
reruntuhan tangga. Dua tangan menopang dagu, mata memandang kian kemari.

“Ada tanda-tanda bekas perkelahian di tempat ini.” Iblis Pemabuk berkata. Tiba-tiba dia bangkit
berdiri. Melangkah mendekati sebuah benda yang tergeletak di tanah, lalu mengambilnya.
“Patahan tongkat. Milik siapa?”

Patahan tongkat yang ditemukan Iblis Pemabuk ini adalah milik Sinto Gendeng yang patah
waktu menggebuk Ni Serdang Besakih.

“Guru! Lekas ke sini!” Dari arah candi sebelah kiri Wulan Srindi berseru.

Iblis Pemabuk buang patahan tongkat. Ketika dia mendatangi Wulan Srindi tengah berdiri di
depan seonggok benda putih berbentuk tubuh manusia. Iblis Pemabuk membungkuk. Telapak
tangan kanan dikembangkan lalu didekatkan pada onggokan benda putih.

“Edan!” Si gemuk pendek yang memakai anting akar bahar di salah satu cuping hidungnya ini
memaki sambil tarik tangannya.

“Ada apa Guru?” tanya Wulan Srindi.

“Bangkai manusia ini masih panas!” jawab Iblis Pemabuk. “Pasti dia menemui ajal di tangan
musuh berkepandaian sangat tinggi. Pukulan sakti apa yang telah membuat tubuhnya menemui
ajal mengerikan begini rupa?”

“Guru, apakah tanda-tanda orang Keraton Kaliningrat yang kita cari ada di sini?”

Iblis Pemabuk tak menjawab. Matanya kembali melihat sesuatu di tanah. “Cah Ayu, coba kau
perhatikan tandatanda yang ada di tanah sebelah sini. Sepertinya ada satu benda diseret ke
jurusan sana…”

Wulan Srindi dan Iblis Pemabuk melangkah mengikuti tanda di tanah.

“Guru, saya menemukan sesuatu!” Sekonyong-konyong Wulan Srindi berkata lalu membungkuk
mengambil sebuah benda yang tergeletak di tanah. Benda ini ternyata adalah gulungan surat
daun lontar yang terjatuh dari pinggang Sinto Gendeng. Iblis Pemabuk mengambil gulungan
daun lontar itu lalu membukanya.

“Ada tulisannya,” ucap Iblis Pemabuk.

“Jangan-jangan petunjuk harta karun. Hik… hik… hik!”

Kata Wulan Srindi lalu tertawa cekikikan.

Karena keadaan gelap Iblis Pemabuk membawa surat daun lontar ke dekat perapian. Wulan
Srindi ikut membaca apa yang tertulis di daun lontar. Guru dan murid samasama terkejut dan
saling pandang.

“Surat ini jelas ditujukan pada Wiro Sableng. Waktu bertemu, pemuda itu sama sekali tidak
menceritakan perihal surat ini.”

“Yang jadi pertanyaan, bagaimana surat ini bisa berada di sini?” ujar Wulan Srindi pula.

“Mungkin Wiro belum menerima surat ini. Mungkin orang-orang Keraton Kaliningrat belum
sempat menyerahkan padanya. Tapi surat ini sudah agak lecak. Tanda pernah dibuka dan
digulung berulang kali.” Iblis Pemabuk berpikir terus lalu teguk minuman keras dalam salah satu
kendi sampai mukanya menjadi sangat merah. Wulan Srindi memandang pada onggokan tubuh
putih.

Wajahnya berubah. “Guru, jangan-jangan yang jadi mayat putih di sana itu suamiku, Wiro.”

“Mana bisa jadi. Wiro berada di belakang kita. Cukup jauh dari sini. Kalaupun dia ke sini
memenuhi isi surat, tidak mungkin dia mendahului kita. Satu-satunya jawaban atas apa yang
terjadi di sini, kita harus mengikuti tanda bekas seretan di tanah. Jika orang menyeret sesuatu,
tak mungkin berjalan cepat. Kita bisa mengejar mereka Wulan. Ikuti aku.”

“Tunggu dulu, Guru! Kita ke Plaosan mencari pemerkosaku. Orang Keraton Kaliningrat. Bukan
mengejar orang yang diseret atau…”

“Cah Ayu, aku rasa semua ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang Keraton Kaliningrat. Kau
lihat saja nanti!” Iblis Pemabuk lalu menarik tangan Wulan Srindi.

Berlari hampir sepeminuman teh, di satu tempat Iblis Pemabuk memberi tanda lalu cepat
menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dia memegang pundak muridnya dan berkata.
“Lihat di depan sana. Ada orang menyeret sesuatu dalam jaring. Jaring itu bukan jaring biasa
karena memancarkan cahaya bergemerlap dan mengepulkan asap. Aku pernah mendengar
kabar tentang sebuah jaring yang luar biasa hebatnya. Jangankan manusia, hantu atau jin
sekalipun jika kena dijaring tak bakal bisa lolos!
Namanya Jaring Neraka. Pemiliknya seorang tokoh silat biasa dipanggil dengan sebutan Embah
Bejigur. Di dalam jaring aku lihat meringkuk satu sosok manusia. Mungkin sudah mati, mungkin
cuma pingsan. Orang yang menyeret jaring. Botak, cebol, kumis dan janggut putih panjang.
Pasti dia si Embah Bejigur.”

Yang diperhatikan Wulan Srindi saat itu bukanlah jaring begemerlap atau lelaki katai botak yang
menyeret jaring, apalagi ingin mencari tahu siapa sosok yang ada dalam jaring. Gadis ini
pelototkan mata ke arah perempuan tua berpakaian kuning ketat yang melangkah di samping
lelaki botak cebol.

“Guru, kau mengenali nenek berhidung bengkok itu? Aku tak bisa lupa. Dia adalah salah satu
pentolan orangorang Keraton Kaliningrat. Namanya Ni Serdang Besakih.

Jahanam tua itu pernah menamparku dua kali sewaktu aku berada dalam keadaan tertotok.
Saatnya aku membalaskan sakit hati!”

Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. “Ya, aku mengenali. Dia ada di hutan Ngluwer
waktu kita membunuh pemerkosamu yang bernama Kuntorandu.”

“Aku akan membunuh tua bangka jahanam itu sekarang juga!”

Habis berkata begitu Wulan Srindi langsung berkelebat. Iblis Pemabuk berusaha mencegah.
Tapi terlambat. Sang murid telah melesat. Selagi tubuhnya melayang di udara Wulan Srindi
ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggang.

“Nenek jahanam! Terima kematianmu!”

Wulan teguk minuman keras dalam kendi lalu menyembur ke arah Ni Serdang Besakih. Yang
diserang tentu saja kaget bukan main. Apalagi ketika mengenali si penyerang adalah gadis muka
putih berkepandaian tinggi yang tempo hari pernah membuat kehebohan berdarah di hutan
Ngluwer sewaktu ada pertemuan antara para tokoh Keraton Kaliningrat. Dengan melompat
mundur sejauh empat langkah Ni Serdang Besakih berhasil selamatkan diri dari semburan
minuman keras yang sangat berbahaya itu.

“Gadis keparat muka putih! Kau datang mengantar nyawa! Mana gurumu si muka dedemit itu?
Kalau kalian datang berdua biar kuhabisi sekaligus!”

“Nenek jelek. Aku memang ada di sini!”

Satu suara menyahuti. Di lain kejap Iblis Pemabuk sudah ada di depan Ni Serdang Besakih,
teguk minuman keras dalam kendi sampai habis lalu jatuhkan kendi ke tanah hingga pecah.
Sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain Iblis Pemabuk tertawa mengekeh.

“Tidak dinyana kau masih ingat diriku! Memangnya kau kangen padaku?”
“Wong edan! Kambing betina saja jijik padamu!” damprat Ni Serdang Besakih.

Iblis Pemabuk kembali tertawa. Dalam tertawa dia melirik ke arah jaring. Kagetnya bukan alang
kepalang. Di dalam gelap dia masih bisa mengenali orang yang

mendekam di dalam jaring. Sinto Gendeng!

“Ahai! Sudah lengkap rupanya orang yang minta mati!”

Ni Serdang Besakih berucap. “Tapi sebelumnya aku akan minta petunjuk sahabatku ini dulu.”

Ni Serdang Besakih berpaling pada lelaki botak katai yang tegak di sampingnya memegang
buhul jaring.

“Sobatku Embah Bejigur, pemilik Jaring Neraka. Menurutmu apakah guru dan murid ini kita
masukkan saja dalam jaring, ditumpuk jadi satu dengan Sinto Gendeng nenek bau pesing itu.
Atau mereka kita habisi sekarang saja!”

Wulan Srindi terkejut besar. Dia baru tahu kalau orang yang disekap dalam jaring adalah Sinto
Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng yang berarti adalah guru mertuanya!

Iblis Pemabuk juga kaget, namun kagetnya berbeda dengan Wulan Srindi. Kalau sang murid
terkejut begitu mengetahui siapa yang ada di dalam jaring, maka sang guru kaget mendengar
disebutnya nama Embah Bejigur serta nama Jaring Neraka. Kakek muka merah ini sama sekali
tidak menaruh jerih terhadap orang bernama Embah Bejigur. Yang membuatnya risau adalah
ketika mengetahui jaring di mana Sinto Gendeng berada adalah Jaring Neraka.

Hampir tidak ada ilmu dan senjata yang mampu membobol jaring itu! Orang yang terjebak di
dalamnya jangan harap bisa lolos kecuali dilakukan oleh pemiliknya sendiri yaitu Embah Bejigur.

Embah Bejigur usap-usap kepala botaknya. “Jaring Neraka terlalu kecil. Tidak cukup untuk
menumpuk mereka bertiga. Jadi baiknya dua orang ini dibereskan saja sekarang juga! Aku…”

Si botak tidak dapat teruskan ucapannya karena saat itu didahului bentakan dahsyat Wulan
Srindi telah menerjang ke arahnya sambil semburkan minuman keras.

Ni Serdang Besakih sendiri juga tidak bisa ayal-ayalan lagi karena saat itu dari depan Iblis
Pemabuk mendatangi dengan mulut penuh cairan. Begitu mulut dibuka maka menyemburlah
minuman keras ke arah muka dan dada. Si nenek yang sudah tahu dan melihat sendiri
keganasan semburan minuman keras tersebut secepat kilat melompat satu tombak ke udara.
Dia terpekik pucat karena salah satu ujung kaki celana kuningnya terkena sambaran minuman
keras hingga berlobang besar dan kepulkan asap! Masih untung daging kakinya tidak terkena
semburan.
“Pemabuk keparat! Makan tanganku!”

Ni Serdang Besakih berteriak marah. Sambil melayang turun dia lancarkan serangan Tangan
Iblis Membongkar Berhala. Namun sebelum serangan itu melesat dia lebih dulu menghantam
dengan dua tendangan berantai sebagai tipuan. Dan ternyata lawan memang kena ditipu!

Ketika dua tendangan datang beruntun Iblis Pemabuk miringkan tubuh ke kanan. Tangan kiri
dipukulkan ke atas dan mulut yang sudah diisi minuman keras menyembur.

Didahului suara tawa melengking Ni Serdang Besakih liukkan tubuh. Pukulan tangan kiri Iblis
Pemabuk lewat di samping kiri, semburan minuman keras menyambar udara kosong di sebelah
pinggul kanan. Dua kaki si nenek yang menendang bergerak ke atas lalu tubuhnya menukik ke
bawah, tangan kanan melesat menyambar ke arah batok kepala Iblis Pemabuk. Ini adalah jurus
serangan dengan gerakan yang sulit namun luar biasa berbahaya.

“Oala!” Iblis Pemabuk bukan tokoh silat kemarin. Begitu sadar kalau dirinya tertipu secepat kilat
dia jatuhkan diri ke tanah. Kaki kanan membuat gerakan seperti kuda menendang.

Dua orang yang berkelahi ini sama-sama menjerit. Iblis Pemabuk merasa kepalanya seperti
terbongkar ketika serangan lima jari tangan maut Ni Serdang Besakih masih sempat menjambak
rambutnya. Sebagian rambut di sebelah kanan batok kepala Iblis Pemabuk tercabut. Kulit
kepala terkelupas. Lelehan darah mengucur ke kening dan pipi! Untuk beberapa lama tokoh
silat ini hanya bisa tegak tertegun sementara pemandangan mata sebelah kanan menggelap
sedang yang kiri berkunang-kunang!

Meski berhasil menciderai lawan namun Ni Serdang Besakih sendiri menerima hajaran yang
cukup keras.

Tendangan kaki kanan Iblis Pemabuk mendarat tepat di tulang tunggirnya. Si nenek menjerit,
tubuh mengapung sebentar di udara lalu jatuh menungging di tanah.

“Ni Serdang Besakih, mengapa kau menungging?!” Iblis Pemabuk masih bisa balas mengejek
walau tengah mengalami sakit luar biasa di bagian wajah dan kepala.

“Mau menggodaku berbuat mesum? Ha… ha… ha. Aku tidak bergairah! Kambing jantan saja jijik
melihatmu! Ha… ha… ha!” Iblis Pemabuk ambil lagi satu kendi minuman baru. Selagi dia
meneguk minuman itu tiba-tiba masih dalam keadaan menungging di tanah Ni Serdang Besakih
keluarkan suara menggerung. Seperti seekor harimau tubuhnya melesat ke depan. Lima jari
tangan terpentang. Dua-duanya dalam gerak jurus serangan Tangan Iblis Membongkar Berhala.

Saat itu pemandangan Iblis Pemabuk masih dipengaruhi cidera di kepalanya. Dia baru sadar
kalau orang menyerang ketika dua tangan Ni Serdang Besakih hanya tinggal satu jengkal dari
perut!
“Tua bangka hidung bengkok! Kau mencari mampus!”

Secepat kilat Iblis Pemabuk hantamkan kendi tanah di tangan kanannya ke kepala Ni Serdang
Besakih.

Praakk!

Kendi dan kepala sama-sama pecah. Si nenek tewas saat itu juga! Tapi Iblis Pemabuk sendiri
harus membayar mahal kematian lawannya itu dengan nyawa sendiri.

Tangan kiri Ni Serdang Besakih berhasil menjebol perutnya hingga robek besar. Luar biasa
mengerikan. Iblis Pemabuk menjerit satu kali lalu terguling ke tanah. Jatuh di samping mayat Ni
Serdang Besakih!

“Guru!” teriak Wulan Srindi. Dia segera tinggalkan Embah Bejigur yang tengah diserangnya
habis-habisan.

Ketika dia jatuhkan diri memeluki mayat Iblis Pemabuk, Embah Bejigur pergunakan kesempatan
untuk membokong.

Dari balik pakaian gombrongnya orang ini keluarkan sebilah senjata berbentuk tombak pendek
bermata tiga.

Pastilah ini sebuah senjata mustika sakti karena tiga ujung tombak memancarkan cahaya kuning
terang di dalam kegelapan malam.

Sesaat lagi tombak bermata tiga itu akan menancap di punggung kiri Wulan Srindi, siap
menembus tubuh sampai ke jantung, tiba-tiba dari dalam gelap melesat satu bayangan putih.
Disusul berkiblatnya dua larik sinar hijau laksana dua bilah pedang menyambar.

Embah Bejigur berteriak kaget. Dia berusaha mencari selamat dengan melompat mundur
sambil babatkan tombak bermata tiga ke arah dua larik sinar hijau untuk melindungi diri.

Wuuttt! Wuuutt!

Dua larik sinar hijau laksana sepasang pedang panjang memapas ganas mengerikan. Tombak
bermata tiga terlepas mental terkutung jadi tiga bagian. Begitu jatuh tergeletak di tanah tiga
patahan tombak langsung leleh!

Keadaan Embah Bejigur jauh lebih buruk dan mengerikan dari tombaknya. Dada dan pinggang
putus disambar dua larik sinar hijau. Tiga potongan tubuh terpental ke tiga arah, mengepul
leleh berubah menjadi hijau kehitaman!
“Wulan! Kau tak apa-apa?!” Wiro mendatangi Wulan Srindi, memegang bahu gadis ini dan
mengangkatnya.

“Nenek jahanam itu membunuh guruku!” teriak Wulan Srindi. Dia lepaskan dekapannya dari
tubuh Iblis Pemabuk.

Didahului satu teriakan keras Wulan tendang mayat Ni Serdang Besakih hingga mencelat jauh di
samping candi.

Lalu gadis ini merangkul Wiro dan menjerit-jerit tiada henti.

Wiro coba menenangkan sambil menepuk-nepuk bahu Wulan Srindi.

“Anak setan, syukur aku belum menemui ajal! Kalau tidak mana aku tahu kau memiliki ilmu
Sepasang Pedang Dewa itu? Dari mana kau dapat ilmu langka itu?!” Astaga!

Meski sekujur tubuh babak belur berkelukuran ternyata si nenek masih sadar, masih hidup!

Kejut Wiro bukan alang kepalang. Menoleh ke kiri dia melihat satu onggokan jaring bercahaya
dan di dalam jaring itu mendekam gurunya. Walau gelap namun Wiro dapat melihat keadaan si
nenek. Mata kiri bengkak lebam. Lengan kiri terkulai tanda patah.

“Eyang Sinto! Siapa yang berani berbuat keji seperti ini padamu?!” teriak Pendekar 212.

Di dalam jala Sinto Gendeng tertawa kecut.

“Orangnya yang barusan kau bunuh.” Jawab Sinto Gendeng.

“Nek, sudah, jangan banyak bicara dulu. Kau cidera berat luar dalam. Saya akan
membebaskanmu dari jaring celaka itu!”

Wiro berusaha merobek jaring tapi sia-sia saja. Ketika dia memaksa dan lipat gandakan tenaga
dalam jari-jari tangannya malah terkelupas!

Dari dalam jaring Sinto Gendeng menarik nafas lalu berucap perlahan.

“Di dunia ini hanya ada tiga senjata yang mampu memutus Jaring Neraka. Pertama Keris Naga
Kopek pusaka kerajaan, ke dua Pedang Naga Suci 212 dan ke tiga Kapak Naga Geni 212…”

Wiro terkesiap mendengar kata-kata si nenek.

Sebelumnya dia sudah berbulat tekat. Apapun yang terjadi dia tidak akan mempergunakan
senjata serta ilmu warisan sang guru. Namun dalam keadaan seperti itu apakah dia akan
bertahan dan bertetap hati? Apakah dia akan membiarkan sang guru mendekam di dalam
Jaring Neraka seumur-umur? Wiro raba pinggangnya. Kapak Naga Geni 212 tak ada lagi di
tempat dia biasa menyisipkan.

Diam-diam Sinto Gendeng memperhatikan Wiro. Tadi ketika pemuda ini membelakanginya dia
sempat melihat cacat panjang pada punggung yang tersingkap. Sinto Gendeng pencongkan
mulut. Dadanya seperti dipelintir.

Hatinya mendadak perih. Setelah mampu menenangkan diri dalam hati nenek ini berucap.

“Aku tidak melihat anak setan ini membekal kapak saktinya. Jangan-jangan sudah dibuang
karena jengkel padaku. Ah, akupun tak meminta diselamatkan. Mungkin lebih baik kalau
akhirnya aku menemui ajal dalam jaring celaka ini.”

Wiro masih tegak terdiam di tempatnya. Mendadak muncul bayangan sosok Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Orang sakti ini anggukkan kepala lalu lenyap. Wiro ingat apa yang terjadi dan telah
dilakukan sang Kiai sewaktu dia berada di dalam telaga. Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti
telah dimasukkan orang tua itu ke dalam tubuhnya. Untuk beberapa lamanya sang pendekar
merasa bimbang. Saat itulah tiba-tiba muncul bayangan Datuk Rao Basaluang Ameh. Seperti
Kiai Gede Tapa Pamungkas orang tua ini juga memandang padanya dan anggukkan kepala.

“Kapak Naga Geni 212!” Wiro berteriak sambil tangan kanan diangkat ke atas.

Selarik cahaya putih seperti kilat kecil berkiblat di ujung tangan kanan Wiro. Di lain kejap Kapak
Naga Geni 212 telah tergenggam di tangan kanan itu, menebar cahaya terang menyilaukan.

Selagi Sinto Gendeng terbengong-bengong melihat apa yang terjadi, kapak sakti di tangan Wiro
berkelebat tiga kali berturut-turut. Suara seperti ribuan tawon mengamuk melanda seantero
tempat. Cahaya putih perak menyilaukan berkiblat angker dan hawa panas menghampar. Di
dalam jaring Sinto Gendeng keluarkan suara mengerang.

Craass! Craass! Craasss!

Bunga api berletupan. Jaring Neraka mengepulkan asap dan robek besar di tiga tempat. Wiro
sendiri terpental.

Dada mendenyut sakit. Kapak Naga Geni 212 hampir terlepas dari pegangan. Dua lutut terasa
goyah. Waktu dia jatuh berlutut di tanah Kapak Naga Geni 212 tidak ada lagi di tangan
kanannya!

“Wiro! Gurumu dalam keadaan terluka luar dalam! Biar saya merawatnya!”

Tiba-tiba satu suara menggema di kegelapan malam. Wiro tersentak kaget dan cepat berdiri.
“Nyi Retno?!”
Memandang berkeliling Wiro tidak melihat perempuan itu. Tapi begitu dia membalik Sinto
Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula. Ketika dia memperhatikan ke depan, dalam
kegelapan dia melihat kabut aneh mengambang di udara. Wiro mengejar namun kabut keburu
lenyap.

“Apa yang terjadi? Nyi Retno, apa yang kau lakukan?

Kau bawa ke mana Eyang Sinto?” Wiro melangkah ke halaman depan Candi Pangestu. Di sini
dua kakinya terpaku di tanah. Wulan Srindi tak ada lagi di tempat itu. Mayat Iblis Pemabuk ikut
lenyap!

Wiro terduduk di tanah.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengejar Nyi Retno? Ke mana…?” Wiro usap mukanya
berulang kali.

“Hanya ada satu cara. Aku harus mengerahkan ilmu Menembus Pandang.”

Tiba-tiba Wiro angkat kepala, memandang berkeliling.

Walau kaget dia tetap berlaku tenang. Di sekitarnya puluhan orang berseragam hitam telah
mengurung tempat itu. Pada dada kiri baju hitam yang mereka kenakan ada sulaman rumah
joglo dan keris bersilang. Sebagian dari mereka menghunus golok. Di samping kanan berdiri
seorang lelaki muda bertubuh tegap berwajah gagah, diapit dua orang kakek bermuka hitam
dan sama-sama mengenakan jubah merah.

“Pendekar 212! Keraton Kaliningrat mengundangmu untuk bertemu dengan segala


kehormatan. Kami menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh
orang-orang kami!”

***

KITA tinggalkan dulu Wiro yang telah dikurung oleh orang-orang Keraton Kaliningrat. Kita ikuti
apa yang dilakukan Nyi Retno Mantili terhadap Sinto Gendeng.

Si nenek berusaha memperhatikan wajah orang yang membawanya lari. Tapi malam begitu
gelap, lari orang yang memanggulnya cepat sekali sementara salah satu matanya masih cidera.
Dia tak mampu melihat jelas. Selain itu tangan kiri dan tulang rusuk yang patah mendenyut
sakit tiada henti.

“Heh… Kau siapa? Kau mau membawa aku ke mana?” Sinto Gendeng keluarkan ucapan,
bertanya.
“Nek, kau cidera berat luar dalam. Saya membawamu ke tempat kediaman Ki Tambakpati. Biar
dia mengobatimu.”

“Ki Tambakpati sudah meninggalkan gubuknya. Kau turunkan saja aku. Aku bisa mengobati diri
sendiri.”

Nyi Retno tak menjawab. Perempuan ini terus saja berlari.

“Hai! Apa kau tuli atau budek? Tidak mendengar apa yang aku ucapkan?!”

“Nek, kalau kau mau turun silahkan saja. Saya tidak mau memaksa.”

Nyi Retno hentikan lari, mencari tempat yang baik lalu dudukkan Sinto Gendeng di tanah,
bersandar pada sebatang pohon waru. Ketika dia memperhatikan wajah Nyi Retno, nenek ini
kerenyitkan kening.

“Heh, apakah aku mengenali dirimu?”

“Kau lupa Nek? Aku gembel sinting sahabat muridmu yang tempo hari kau hina kau caci maki.”
Jawab Nyi Retno.

Sinto Gendeng mengerenyit. Dia tekap mata kirinya yang masih bengkak akibat hajaran Hantu
Malam Bergigi Perak. Mata kanan memandang lekat-lekat.

“Tak percaya aku! Kau tak seperti dia. Gembel perempuan itu berpakaian dekil, rambut awut-
awutan, muka kotor…”

“Kau ingat anakku ini Nek?”

Nyi Retno keluarkan boneka kayu, diperlihatkan pada Sinto Gendeng.

Karuan saja Sinto Gendeng jadi terkesiap. Dia pandangi lagi perempuan cantik bertubuh mungil
di depannya, merasa bimbang.

“Sulit kupercaya! Bagaimana kau bisa berubah seperti ini?”

“Guruku yang menolong…”

“Siapa gurumu?”

“Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede.”

Kejut si nenek bukan olah-olah. “Kau jangan berani bergurau!” katanya setengah membentak.
“Siapa bergurau. Kiai menyelamatkan diriku sewaktu hendak dibunuh makhluk jahat dari alam
roh. Aku dibawa ke Gunung Gede. Diajarkan beberapa ilmu kepandaian…”

“Lalu hubunganmu dengan anak setan itu?”

“Dia sahabat baik yang sangat banyak menolongku. Aku suka padanya. Anakku Kemuning juga
suka padanya.”

Kulit kening Sinto Gendeng mengerenyit. “Boneka ini… Katanya bayimu. Hasil hubungan
anehmu dengan muridku?”

Nyi Retno tertawa. “Apa kau masih menganggap Wiro sebagai muridmu?”

“Eh, mengapa kau bertanya begitu?” tanya Sinto Gendeng.

Nyi Retno menceritakan kepergiannya ke telaga di puncak Gunung Gede bersama Wiro
menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Juga semua yang terjadi di dalam gedung batu pualam di
dasar telaga. Termasuk bagaimana Kiai Gede Tapa Pamungkas secara aneh memasukkan Kapak
Naga Geni 212 dan batu sakti ke dalam tubuh Wiro.

“Sebenarnya Wiro tidak suka atas apa yang telah dilakukan Kiai. Memasukkan dua senjata sakti
ke dalam tubuhnya. Dia tahu maksud Kiai baik, namun dia sebelumnya sudah punya rencana
lain…”

“Rencana apa?” tanya Sinto Gendeng sambil usap barisan tulang iga di rusuk kanan.

“Kau tahu Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya. Kau
menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin mengobati
luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup ke mana dia pergi. Ternyata
luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh.”

Sinto Gendeng terdiam sejurus.

“Kau belum mengatakan apa rencana anak setan itu.”

“Nek, kau selalu menyebut dirinya dengan panggilan ‘anak setan’. Apa tak ada lagi panggilan
yang lebih baik untuk seorang anak manusia yang selalu mencoba menghormati dan berbakti
padamu?”

Sinto Gendeng menatap tajam wajah Nyi Retno Mantili. Lalu membuang muka, memandang ke
jurusan lain.
“Katakan saja, apa rencana anak setan itu.” Walau sudah ditegur Sinto Gendeng masih saja
menyebut Wiro dengan nama anak setan.

Nyi Retno angkat tinggi-tinggi boneka kayu lalu mencium keningnya.

“Anakku Kemuning, apakah kau ingin ibu juga memanggilmu anak setan? Hik… hik… hik!”

Sinto Gendeng jadi beringas merasa diejek. Dia lalu membentak.

“Perempuan setan! Aku tidak pernah minta tolong padamu! Jangan merasa kau telah menanam
budi padaku!

Jika kau tidak mau menerangkan rencana muridku, silahkan angkat kaki dari hadapanku! Dan
jangan sekalikali berani lagi unjukkan diri!”

Nyi Retno Mantili dekapkan boneka kayu ke dada, usapusap punggung boneka lalu berkata.

“Nek, keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar dan mau menang sendiri serta selalu
berprasangka buruk pada orang lain sering membawa seseorang ke dalam hidup yang
menyedihkan…”

“Persetan ucapanmu! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Jangan berani menasihati…”

“Nek, orang yang tak pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat tapi
buta, dia mendengar tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan
melihatmu Nek. Sisa hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung hari!”

“Perempuan setan! Lekas menyingkir dari hadapanku!” teriak Sinto Gendeng.

Nyi Retno berdiri.

“Sebelum pergi aku akan katakan apa rencana Wiro. Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan
mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu sakti pasangannya padamu. Selain itu dia
sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan lagi semua ilmu yang didapatnya darimu.

Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan rimba persilatan untuk selama-
lamanya.”

“Apa?!” Sinto Gendeng setengah berteriak. Dia coba berdiri dengan bersitopang pada tangan
kiri. Langsung mulutnya menjerit kesakitan. Sinto Gendeng tidak sadar kalau tangan kirinya
patah.

“Nek, sayang sekali. Di hari tuamu begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang
tenteram dan bahagia. Ternyata kau masih mencari musuh di manamana.
Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia
berhutang budi besar bahkan nyawa padamu. Tapi dengan kejadian di Candi Pangestu tadi,
bagaimana dia menyelamatkanmu kurasa dia telah membalas semua hutang budi dan hutang
nyawa itu. Kurasa saat sekarang ini kau bukan segalagalanya lagi bagi Wiro. Ingat itu baik-baik!”

“Perempuan setan! Lancang sekali mulutmu! Kalau aku tidak cidera begini rupa sudah kurobek
mulutmu!”

Nyi Retno tersenyum. “Mungkin aku bermulut lancang.

Tapi kalau aku pergi harap kau pergunakan pikiran sehat, duga serta selami hati dan
perasaanmu sendiri.” Nyi Retno memutar badan.

“Tunggu!” berseru Sinto Gendeng.

Hanya palingkan kepala, tanpa hentikan langkah Nyi Retno Mantili berkata. “Nek, antara kita
tidak ada urusan apa-apa lagi! Selamat tinggal.”

Sinto Gendeng berusaha mengejar tertatih-tatih namun akhirnya terduduk di tanah. Dadanya
turun naik. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan panjang. Lalu nenek ini pukul-pukul
keningnya sendiri. Kepala didongakkan, mulut berucap.

“Malaikat maut! Kalau kau ada di sini mengapa tidak segera mencabut nyawaku?!”

Baru saja Sinto Gendeng keluarkan ucapan tiba-tiba dalam gelap berkelebat doa sosok gesit dan
berdiri bertolak pinggang di hadapan si nenek. Sinto Gendeng tak dapat melihat jelas karena
dua orang yang datang ini berada di bawah bayang-bayang gelap pohon besar.

“Malaikat Maut? Tapi mengapa datang sekaligus berdua?!” Sinto Gendeng berucap perlahan.
Kalau tadi dia berani bicara minta mati, kini si nenek merasa tengkuknya menjadi dingin.

“Kami berdua bukan malaikat. Tapi kalau kau memang menyesal hidup dan minta mati
sesungguhnya kami sudah beberapa hari ini menyiapkan kematian bagimu!”

Di dalam gelap lalu terdengar suara riuh tawa cekikikan.

“Bangsat kurang ajar! Siapa kalian?!”

Sinto Gendeng membentak marah. Matanya yang cekung berkilat-kilat. Dua orang di depan
sana melangkah keluar dari bayangan gelap pohon besar. Ternyata dia adalah dua orang gadis
cantik kakak adik. Satu berpakaian biru, satu lagi berpakaian merah.

“Siapa kalian?!” Sinto Gendeng membentak sekali lagi.


“Kami Liris Merah dan Liris Biru. Dua kakak adik anak murid Hantu Malam Bergigi Perak. Kau
membunuh guru kami beberapa hari lalu. Malam ini kami datang mewakili roh guru untuk
minta nyawamu!”

Sinto Gendeng mula-mula terperangah mendengar ucapan gadis berpakaian merah. Lalu nenek
ini tertawa mengekeh.

“Guru kalian pantas mampus! Dia telah merampas barang berharga milikku!”

“Nenek bau! Kami tahu seumur hidup kau tak pernah punya barang berharga apapun. Bahkan
muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!”

“Gadis kurang ajar! Mulut ember! Lekas minggat dari hadapanku. Kalau tidak sebelum matahari
terbit kalian berdua sudah jadi bangkai!” Mulut memaki namun dalam hati Sinto Gendeng
bertanya-tanya, apakah yang diucapkan gadis berpakaian biru di hadapannya itu benar? Wiro
meninggalkannya? Begitu cepatnyakah kabar menebar?

“Kami tidak akan pergi sebelum mengambil nyawamu!” jawab Liris Merah.

“Gadis setan! Nafasmu masih bau tetek. Tubuhmu masih bau kencur! Beraninya bicara
sombong mau mengambil nyawaku! Kau tahu apa tentang kematian gurumu! Kau punya bukti
kalau aku yang membunuhnya?!”

Sinto Gendeng memancing. Dia merasa sedikit heran dari mana dua gadis ini tahu kalau dia
yang membunuh guru mereka. Padahal waktu dia membunuh Hantu Malam Bergigi Perak
keduanya tidak ada di tempat kejadian. Liris Merah geleng-gelengkan kepala.

“Tidak nyana tokoh rimba persilatan terkenal sepertimu bicara menjurus ke arah dusta! Kami
berdua memang tidak punya bukti. Tapi kami punya saksi!”

Sinto Gendeng merasa dua telinganya berdesing mendengar ucapan orang. “Kau jangan berani
mengarang cerita!”

“Sinto Gendeng! Ternyata kau seorang pengecut! Tidak berani mengakui perbuatanmu! Kau
mau tahu siapa saksi kami malam itu?” Ujar Liris Merah pula.

“Siapa?!” tanya Sinto Gendeng dengan suara menyentak.

“Seorang kakek tukang ngompol. Sahabatmu sendiri. Namanya Setan Ngompol!” kata Liris
Merah.

Liris Biru lalu menyambungi ucapan kakaknya.


“Kakek itu melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kau membunuh guru! Apa kau masih
mau berdusta? Atau mencari kambing hitam?!”

Mulut Sinto Gendeng terkancing. Rahang menggembung dan mata melotot pandangi dua gadis
di hadapannya. Dalam hati dia memaki Setan Ngompol setengah mati.

“Kalau kalian memang mau menghukumku, silahkan saja. Aku memang sudah lama mencari
mati. Tapi sekali aku mati kalian tak akan tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan.
Bukankah kalian menginginkan kitab itu?”

Dua gadis tertawa gelak-gelak.

“Gadis setan! Kenapa kalian tertawa?!”

“Kami lebih tahu dari kau di mana beradanya kitab itu.

Tidak lama lagi kitab itu akan berada di tangan kami!” Kata Liris Merah.

Sinto Gendeng benar-benar merasa terpojok. Mukanya mengelam hitam. Dia angkat kepala dan
membentak.

“Kalian tunggu apa lagi? Mau membunuhku lakukan sekarang! Cepat!”

Sinto Gendeng lalu bersila di tanah. Tangan kiri terkulai ke samping. Tangan kanan diletakkan di
depan dada. Kepala ditegakkan dan mata dipejamkan. Dia benar-benar menunjukkan
kepasrahan untuk dibunuh saat itu juga!

Liris Merah dan Liris Biru saling pandang seketika. Lalu sambil berpegangan tangan dua gadis ini
melangkah mendekati Sinto Gendeng. Setengah jalan keduanya keluarkan pekikan keras. Tubuh
melesat ke udara. Liris Merah hantamkan kaki kanan ke arah kepala sedang Liris Biru
menendang ke jurusah dada Sinto Gendeng. Inilah jurus serangan maut bernama Hantu Malam
Berbagi Pahala.

“Tahan serangan!” tiba-tiba ada orang berteriak.

“Apakah kalian begitu tega membunuh calon guru mertua sendiri?!”

Tiga orang terkesiap kaget. Yaitu Liris Merah dan Liris Biru serta Sinto Gendeng! Dua gadis cepat
batalkan serangan.

Yang datang ternyata adalah Setan Ngompol. Kakek ini berlari dengan nafas megap-megap.
Tangan kanan pegangi rusuk sebelah kiri yang terasa sakit. Seperti diketahui akibat hantaman
Sinto Gendeng tiga tulang iga sebelah kiri si kakek patah.
Sinto Gendeng buka sepasang mata, menatap tajam ke arah Setan Ngompol.

“Aku kira kau sudah mampus!” Si nenek langsung saja jadi sengit.

“Gusti Allah masih memanjangkan umurku,” jawab Setan Ngompol.

“Kau mengkhianati diriku!” Damprat Sinto Gendeng.

“Apakah kau lebih baik dariku Sinto?” tanya Setan Ngompol. “Kau berusaha membunuhku.
Padahal apa kesalahanku? Sudahlah, aku tidak menyalahkanmu mencap aku sebagai
pengkhianat. Namun saat itu aku tak bisa bicara lain. Aku dalam keadaan tak berdaya. Mereka
hendak membunuhku! Yang penting aku tidak bicara bohong!”

Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ke tanah. Lalu berpaling pada dua gadis kakak adik.
“Kalian tidak jadi membunuhku?!”

Ditanya dan ditantang seperti itu Laras Merah dan Laras Biru jadi marah. Ketika keduanya
melangkah hendak mendekati Sinto Gendeng, Setan Ngompol cepat menghalangi. Dengan
suara berbisik dia berkata. “Nenek itu sedang kalut pikirannya. Kurasa umurnya tak lama lagi.
Tidak kalian bunuh pun kematian akan menjadi bagiannya cepat atau lambat. Aku akan
berusaha mencari Wiro dan membawanya ke Kaliurang. Aku juga akan berusaha mendapatkan
kitab pengobatan itu.” Lalu dengan suara dikeraskan Setan Ngompol berkata. “Kalian berdua
kembalilah ke Kaliurang. Kalau ada kesempatan aku akan mengunjungi kalian di Goa
Cadasbiru.”

Dua gadis tampak bimbang. Setan Ngompol kedipkan mata memberi tanda. Tanpa bicara apa-
apa lagi, Liris Merah dan Liris Biru kemudian tinggalkan tempat itu.

“Luar biasa! Apa hubunganmu dengan dua gadis itu? Sampai keduanya mematuhi ucapanmu?”
Sinto Gendeng bertanya lalu tertawa perlahan.

“Sinto, lupakan mereka. Lupakan semua hal yang lain. Kita sama-sama dalam keadaan terluka.
Kau lebih parah. Kita harus dapatkan pengobatan.”

“Kita?” ucap Sinto Gendeng. “Setan Ngompol, setelah kau mengkhianati diriku, antara kita tidak
ada lagi ikatan tali persahabatan. Pergilah sebelum aku sembur mukamu dengan ludah susur!”

Setan Ngompol pancarkan air kencing. Tentu saja tidak mengira Sinto Gendeng akan bicara
seperti itu. Lama dia menatap wajah si nenek. Ingin menyelidik apakah si nenek sungguh-
sungguh atau hanya berseloroh dengan ucapannya tadi. Dari air muka yang tinggal kulit hitam
pembalut tulang itu Setan Ngompol melihat kalau Sinto Gendeng tidak bergurau. Apa yang
diucapkannya tadi keluar dari otak dan hati. Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.
Kalau orang tak mau lagi bersahabat, apa yang akan dilakukannya? Setelah merenung sejurus
akhirnya si kakek bergerak pergi. Pada langkah ke tujuh Setan Ngompol berhenti lalu berpaling
pada si nenek.

“Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan bersahabat
denganmu, di harihari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa kesepian. Sangat
kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk hatimu, akan lebih menyesakkan
dari tindihan batu gunung di atas dadamu.”

Sinto Gendeng terdiam lalu lambaikan tangan, menyuruh Setan Ngompol pergi lalu semburkan
ludah susur ke tanah. Tak lama setelah kakek itu lenyap ditelan kegelapan Sinto Gendeng
rebahkan diri, berbaring menelentang di tanah. Langit tampak gelap hitam. Tidak beda dengan
keadaan pikiran dan hati si nenek.

“Apa yang terjadi dengan diriku?” dia bertanya pada diri sendiri. Mata perlahan-lahan
dipicingkan. Saat itu satu persatu mengiang semua suara hati yang pernah terucap dalam
sanubarinya.

“Kalau muridmu bersalah, katakan padaku apa salahnya? – Sinto, selama hidupmu kau hampir
tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai perasaan hati yang sejuk… – Tuhan
memberimu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakan selama ini? – Hidupmu penuh
kesombongan. Ucapanmu tidak pernah disertai timbang rasa. Segala perbuatanmu lebih
banyak mudarat dari manfaat. Kau menghancurkan banyak orang. Tapi yang lebih menyedihkan
kau menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak pernah menyadari bahwa selama ini kau hidup
terkucil dari para sahabat dan tokoh rimba persilatan?

Seseorang merampas Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa
mempertahankan. Bukankah itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah bahwa
seharusnya kau bisa berbuat banyak sekali kebaikan dengan kitab itu? Tapi kau bertindak
serakah, berlaku tinggi hati. Hanya mementingkan diri sendiri! Gusti Allah menghukummu,
memutuskan bahwa kau tidak pantas menguasai kitab itu. Muridmu kau caci maki di hadapan
orang banyak seolah dia lebih buruk dari comberan. Kau tuduh berbuat yang bukan-bukan.
Bahkan kau buat dia menderita dengan cacat di punggung seumur-umur. Sinto, apakah kau
bukan lagi seorang perempuan yang punya hati nurani dan welas asih? Iblis apa yang bersarang
di hatimu? Setan mana yang mendekam di benakmu? Begitukah caramu menjalani sisa-sisa
terahir dari usia kehidupanmu? Atau mungkin kau punya nyawa cadangan. Sehingga kalau
besok kau mati, lusa kau akan hidup kembali?”

Menyusul mengiang ucapan Nyi Retno Mantili.

“Kau tahu Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya. Kau
menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin mengobati
luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup ke mana dia pergi. Ternyata
luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh. – Nek, kau selalu menyebut dirinya dengan
panggilan anak setan. Apa tak ada lagi panggilan yang lebih baik untuk seorang anak manusia
yang selalu mencoba menghormati dan berbakti padamu? – Nek, keangkuhan dan
kesombongan, sifat kasar dan mau menang sendiri serta selalu berprasangka buruk pada orang
lain sering membawa seseorang ke dalam hidup yang menyedihkan… – Nek, orang yang tidak
pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat tapi buta, dia mendengar
tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan padamu Nek. Sisa hidupmu
mungkin hanya tinggal menghitung hari. – Sebelum pergi aku akan katakan apa rencana Wiro.
Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu
sakti pasangannya padamu. Selain itu dia sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan
lagi semua ilmu yang didapatnya darimu. Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk
meninggalkan rimba persilatan untuk selamalamanya. – Nek, sayang sekali. Di hari tuamu
begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram dan bahagia. Ternyata kau
masih mencari musuh di manamana. Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri muridmu
sendiri! Wiro pernah berkata dia berhutang budi bahkan nyawa padamu. Tapi dengan kejadian
di Candi Pangestu tadi, bagaimana dia menyelamatkanmu kurasa dia telah membayar semua
hutang budi dan hutang nyawa itu. Kurasa saat sekarang ini kau bukan segala-galanya lagi bagi
Wiro. Ingat itu baik-baik! – Mungkin aku bermulut lancang. Tapi kalau aku sudah pergi harap
kau pergunakan pikiran sehat, duga serta selami hati dan perasaanmu sendiri.”

Selanjutnya mengiang pula kata-kata Liris Biru.

“Nenek bau! Kami tahu seumur hidup kau tidak pernah punya barang berharga apapun. Bahkan
muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!”

Yang terakhir adalah ngiangan ucapan Setan Ngompol sebelum kakek itu pergi.

“Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan bersahabat
denganmu, di harihari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa kesepian. Sangat
kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk hatimu, akan lebih menyesakkan
dari tindihan batu gunung di atas dadamu.”

Sinto Gendeng masih picingkan mata. Dinginnya udara malam menjelang pagi yang mencucuk
seolah tidak terasa.

“Apa yang terjadi dengan diriku?” suara hatinya kembali bertanya. “Azab apa yang jatuh atas
diriku saat ini?

Seumur-umur sampai tua bangka begini aku tidak pernah merasakan ketenangan hidup.
Apalagi yang namanya kebahagiaan. Mengapa aku tidak mati dibunuh orang.

Kalau saja ada yang mau membunuhku, selesai sudah semua azab derita batin ini. Atau
mungkin aku harus mati bunuh diri saja?” Sinto Gendeng menarik nafas dalam.
Tenggorokannya turun naik. Ada suara seperti sesenggukan menahan tangis. Dari sudut mata
yang terpejam itu menetes keluar butir-butir air mata.

“Ya Tuhan, aku menangis… Apakah masih ada air mata dalam kepala yang sudah kering ini?” Si
nenek usapkan tangannya ke sudut mata kiri kanan.

***

10

KEMBALI pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Jumat malam hari ke lima belas, menjelang pagi.
Dalam bingungnya ditinggal Nyi Rento Mantili yang membawa lari Eyang Sinto Gendeng, Wiro
tersentak ketika menyadari kalau saat itu tempat di mana dia berada telah dikurung puluhan
orang. Dari seragam hitam dengan sulaman rumah joglo serta keris bersilang di dada kiri Wiro
segera maklum kalau orang-orang itu adalah mereka yang menyebut diri kerabat Keraton
Kaliningrat.

Di sebelah kanan berdiri seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, bertubuh tegap
mengenakan pakaian bagus. Wajahnya yang gagah dihias sepasang alis tebal. Di kiri kanan lelaki
ini berdiri mengapit dua orang kakek bermuka hitam dan sama-sama mengenakan jubah
merah. Mereka bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat.

Konon merupakan dua tokoh silat yang disegani di tanah Jawa sebelah barat.

“Pendekar 212! Keraton Kaliningrat mengundangmu bertemu dengan segala kehormatan. Kami
menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh orang-orang kami.”

Wiro tak segera menjawab ucapan orang. Dia perhatikan keadaan sekelilingnya, lalu perlahan-
lahan bangkit berdiri. Walau lelaki muda dan dua kakek berjubah merah menjadi pusat
perhatiannya namun Wiro juga berlaku waspada terhadap puluhan pengurung berpakaian
serba hitam karena dia mengetahui orang-orang ini memiliki semacam ilmu kebal yang sulit
ditembus pukulan.

Wiro pernah berkelahi dengan dua anggota Keraton Kaliningrat. Pukulannya tidak sanggup
menciderai, apalagi merobohkan. Dua kakak adik Liris Merah dan Liris Biru tahu kelemahan ilmu
orang-orang Keraton Kaliningrat itu.

Hanya sayang dua gadis cantik anak murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tidak mau memberi
tahu.

Wiro menatap ke arah lelaki berpakaian bagus yang barusan bicara.

“Kau tahu siapa diriku, apa aku boleh mengetahui siapa dirimu?” Wiro ajukan pertanyaan pada
lelaki bertampang gagah berpakaian bagus.
Orang yang disapa tersenyum, rangkapkan dua tangan di atas dada. Dengan sikap penuh
jumawa lalu berkata.

“Dalam jajaran Keraton Kaliningrat, aku hanya mewakili Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata.
Orang-orang memanggilku dengan sebutan Pangeran Muda.”

Mengetahui siapa orang yang bicara padanya, Wiro cepat berkata.

“Mohon maaf kalau barusan aku tidak tahu berhadapan dengan siapa. Pangeran Muda, satu
kehormatan bagiku dapat bertemu denganmu.” Wiro berikan jawaban sambil balas tersenyum
dan juga rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia sudah maklum bahwa sebentar lagi
sandiwara segala macam peradatan ini akan berubah menjadi pertengkaran dan perkelahian
hebat.

“Aku mengirim surat padamu melalui seorang kerabat. Damar Sarka, maju ke sini.”

Seorang lelaki mengenakan topi merah seperti tarbus, berwajah bulat dan berkumis serta
jenggot lebat mendatangi dan berdiri di samping Pangeran Muda.

“Damar Sarka, kau tidak keliru memberikan surat daun lontar itu pada orang ini?”

Si topi merah langsung saja mengangguk.

Wiro menggaruk kepala. “Aku memang pernah menerima surat daun lontar. Tapi bukan dari
dia.”

Pangeran Muda tersenyum. “Damar, kau masih punya topeng samaran? Perlihatkan pada
sahabat kita.”

Dari kantong pakaiannya Damar Sarka keluarkan sebuah topeng tipis langsung dikenakan ke
wajahnya. Saat itu juga Damar Sarka telah berubah menjadi seorang bermuka bopeng.
Wajahnya kini menjadi wajah kusir gerobak yang disewa Wiro dan Nyi Retno, yang
menyerahkan gulungan surat daun lontar.

“Kau ingat sekarang, Pendekar 212?”

“Tentu saja aku ingat.” Jawab Wiro pula. “Cuma aku punya pikiran begini. Jika orang Keraton
Kaliningrat memata-mataiku, menguntit diriku lalu menyerahkan surat dengan cara seperti itu,
jelas itu bukan cara yang wajar.

Ada sesuatu yang tersembunyi. Mungkin hal baik, tapi bisa juga hal buruk dan jahat.”
Pangeran Muda tersenyum. “Keadaan kerajaan saat ini tidak bisa diduga. Yang dianggap lawan
bisa saja orang baik. Yang dikira sahabat ternyata musuh dalam selimut.

Mata-mata kerajaan berkeliaran di mana-mana. Kami berkewajiban menjaga keselamatan diri


kami sendiri dan orang yang kami hubungi.”

Wiro garuk kepala. “Apapun cara yang kalian lakukan, aku tetap saja merasa ada satu hal
tersembunyi di balik gerakan yang Pangeran Muda pimpin.”

“Kau telah menerima surat dari kami. Mengapa kau tidak memenuhi undangan? Malah gurumu
Sinto Gendeng yang muncul di tempat pertemuan. Bagaimana ceritanya?”

Pangeran Muda alihkan pembicaraan.

“Soal bagaimana ceritanya guruku datang ke Candi Pangestu, aku juga tidak tahu, tidak
mengerti. Mengenai undangan yang tidak kupenuhi bukan aku tidak menghormati tapi karena
aku punya urusan lain yang lebih penting.”

“Urusan lain yang lebih penting!” mengulang Pangeran Muda. “Menurutmu apakah urusan
kerajaan tidak penting?”

“Bisa penting, bisa juga tidak. Tergantung seseorang menilai dan apa kepentingannya. Pangeran
Muda bicara urusan kerajaan. Setahuku Pangeran dan para pengikut bukan orang kerajaan.”

Pangeran Muda dan dua orang bermuka hitam mulai merasa jengkel.

“Pendekar 212. Kalau kerajaan dikuasai orang yang tidak berhak memegang tahta, apakah itu
bukan satu urusan penting bagi semua orang?”

“Pangeran Muda, aku ingin bicara singkat-singkat saja.

Saat ini aku tidak mau terlibat dengan segala macam urusan kerajaan. Kalian orang-orang
pandai saja yang menyelesaikan kalau memang ada masalah.”

Walau wajahnya tampak merah namun Pangeran Muda masih bisa sunggingkan senyum. Dia
berpaling pada dua orang lelaki berwajah hitam di kiri kanannya.

“Sahabatku Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat, bagaimana pendapat kalian berdua?”

“Aku Ki Demang Timur. Biar aku yang bicara,” kata lelaki wajah hitam di sebelah kanan. “Soal
Pendekar 212 tidak mau terlibat dalam urusan kerajaan tidak jadi apa.

Tapi dia punya satu dosa besar. Dia telah membunuh teman-teman kita orang Keraton
Kalingrat.”
“Ki Demang Timur, bisa kau memberi tahu teman kalian yang mana yang telah aku bunuh?”
Tanya Wiro. Saat itu dilihatnya puluhan orang berseragam hitam bergerak maju mempersempit
kurungan. Dalam hati Wiro berkata. “Kalau orang-orang itu kebal pukulan dan senjata tajam,
apakah mereka bisa bertahan jika aku kubur hidup-hidup?!”

“Kau membunuh sahabat kami Kecik Turangga alias Hantu Buta Malam.” Berucap Ki Demang
Timur.

“Aku tidak kenal manusia itu. Aku tidak membunuhnya!”

“Iblis Pemabuk, guru istrimu yang bernama Wulan Srindi membunuh Ni Serdang Besakih, orang
penting dalam jajaran Keraton Kaliningrat. Kau ikut bertanggung jawab atas kematian saudara
kami itu.” Yang bicara kali ini adalah Ki Demang Barat.

Wiro tertawa gelak-gelak. “Orang lain yang punya pekerjaan aku yang disuruh bertanggung
jawab! Lagi pula siapa bilang Wulan Srindi istriku! Enak saja kau bicara!”

“Pendekar 212. Jangan mencoba membela diri dengan bicara dusta. Perempuan itu sendiri yang
pernah berkata di hadapan kami orang-orang Keraton Kaliningrat. Bahwa dia adalah istrimu!”
Kata Pangeran Muda pula.

“Pangeran Muda, jika Wulan Srindi mengaku sebagai istrimu, apakah kau dan semua orang di
sini mau percaya?”

“Kau mencari dalih. Jangan berlaku pengecut mengalihkan tanggung jawab!” Ki Demang Timur
membentak dan pelototkan mata.

Wiro ganda menyeringai. “Muka hitam, jangan terlalu bersemangat. Nanti kau kehabisan nafas
sendiri dan bisa mati! Satu lagi, jangan melotot besar-besar. Kalau dua matamu melompat dari
sarangnya kau bisa jadi setan mata buta! Ha… ha… ha!”

“Pendekar kurang ajar!” teriak Ki Demang Timur seraya melangkah ke arah Wiro. Namun
Pangeran Muda cepat memegang bahunya.

“Sahabatku Ki Demang Timur, tidak perlu kesusu.

Orang satu ini tidak akan bisa lolos. Masih ada tuduhan lain yang akan kita sampaikan
padanya.” Pangeran Muda memandang ke arah Wiro. “Kau membunuh kerabat Keraton
Kaliningrat bernama Embah Bejigur.”

“Aku tidak kenal, tidak tahu yang mana orang bernama Embah Bejigur. Apa dia pedagang
minuman bejigur atau cuma seorang yang sangat doyan minum bejigur?” Habis berkata begitu
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Pendekar 212, orangnya sudah kau bunuh, masih juga berani memperhinakan!” Kata Pangeran
Muda dengan suara datar.

“Eh, biar aku mengalah. Kalau orang yang kau maksud itu adalah manusia katai yang menjaring
guruku dan hendak membokong secara pengecut seorang perempuan sahabatku maka dia
memang layak dibunuh! Keganasan dan kepengecutannya apa tidak membuat para kerabat
Keraton Kaliningrat merasa dipermalukan?” Jawab Wiro pula. Lalu dia menambahkan.
“Siapapun orang Keraton Kaliningrat yang tewas terbunuh antara hutan jati sampai kawasan
Candi Pangestu di Plaosan, mereka semua wajar menemui ajal sesuai dengan dosa kesalahan
masingmasing!”

Pangeran Muda turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkapkan di atas dada.

“Pendekar 212, sayang sekali kau dan juga gurumu tidak menghormati maksud baik kami. Tak
ada jalan lain, kau harus menggantikan gurumu, menjadi tumbal satu ketololan!”

Wiro menggaruk kepala.

“Aku senang dicap orang tolol!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak. “Kalian tahu, orang
tolol matinya selalu tenang dan enak. Tidak seperti orang-orang pandai.

Kadang-kadang mati dengan mata mendelik, mulut menganga, wajah mengkeret! Sedih sekali
kalau kalian merasa jadi orang pandai! Ha… ha… ha!”

“Guru dan murid mulutnya sama kurang ajar! Saudarasaudaraku bunuh orang ini!” Pangeran
Muda habis kesabaran.

Perintah Pangeran Muda diikuti dengan melompatnya dua puluh orang Keraton Kaliningrat
berseragam hitam.

Lima orang menerjang lebih dulu. Wiro segera keluarkan ilmu silat Orang Gila yang didapatnya
dari Tua Gila. Tubuh huyung sana huyung sini seperti orang mabok. Tangan kanan ditiup lalu
dihantamkan, lancarkan pukulan Harimau Dewa dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Bukan cuma
lima orang yang menyerang, tapi tujuh orang lain yang berada di kiri kanan dan sebelah
belakang ikut tersapu mental, jatuh bergulingan di tanah. Mereka berteriak kesakitan. Namun
luar biasa sekali. Sesaat kemudian ke dua belas orang itu bangun kembali tanpa ada tanda-
tanda cidera sedikitpun!

Padahal pukulan Harimau Dewa bukan pukulan sembarangan. Jangankan tubuh manusia, batu
sebesar apapun bisa dibuat hancur berkeping-keping!

“Ilmu kebal jahanam!” maki Wiro.


“Bunuh!” teriak Ki Demang Timur.

“Cincang!” teriak Ki Demang Barat.

Dua orang bermuka hitam melesat ke arah Wiro, diikuti belasan orang berpakaian hitam
dengan golok terhunus!

“Mereka terlalu banyak. Aku tak mau konyol. Tak ada jalan lain,” pikir Wiro. “Aku terpaksa
mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Akibatnya akan sangat mengerikan!
Tuhan, ampuni saya karena terpaksa membunuh sekian banyak nyawa.” Ilmu yang tak pernah
dikenal di rimba persilatan tanah Jawa ini seperti diketahui didapat Wiro dari Luhrembulan alias
Hantu Satet Laknat dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.

Begitu belasan orang menyerbu, dipimpin oleh Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat, Wiro
hentakkan kaki kanan ke tanah. Lalu tanah digurat dengan ujung kaki dan bleesss! Asap
mengepul. Rrrrtttt! Tanah bergerak rengkah, terbelah panjang, lebar dan dalam. Tiga belas
anggota Keraton Kaliningrat dan Ki Demang Timur keluarkan jeritan mengenaskan. Tubuh
mereka amblas tersedot masuk ke dalam rengkahan tanah.

Ki Demang Barat berusaha menolong sobatnya Ki Demang Timur namun kakinya tergelincir. Tak
ampun dua manusia muka hitam ini sama-sama jatuh ke dalam rengkahan tanah! Belasan
orang-orang Keraton Kaliningrat yang selamat, termasuk Pangeran Muda menjerit ngeri ketika
tanah yang terbelah merapat mengatup kembali!

Banyak di antara mereka yang leleh nyali dan langsung saja kabur ambil langkah seribu!

Di udara yang mulai terang-terang tanah tiba-tiba melesat satu bayang hijau. Menyusul
semburan hebat ke arah salah satu bagian tanah yang tengah mengatup.

Tanah terbongkar. Bersamaan dengan itu bayangan hijau tadi menjambak rambut seorang
berpakaian hitam, menariknya ke atas lalu membawanya kabur dari tempat itu.

“Ada orang menyelamatkan Pekik Ireng!” seseorang berteriak.

Wiro sendiri saat itu tegak tak percaya akan keganasan ilmu yang barusan dikeluarkannya.
Seumur hidup baru kali itu dia melihat kematian sekian banyak orang dengan cara mengerikan.
Tengkuknya terasa dingin.

Seseorang berkelebat. Tahu-tahu Pangeran Muda telah berdiri di hadapan sang pendekar.
Mukanya kelam membesi, rahang menggembung dan mata menyorot laksana bara menyala.
Didahului satu teriakan dahsyat Pangeran Muda lancarkan serangan beruntun. Tiga jurus
dihabiskan dalam waktu singkat. Kesemuanya dengan mengerahkan pukulan mengandung
tenaga dalam tinggi.
Setiap terjadi bentrokan lengan Wiro merasa sakit sekali seperti tangannya menghantam batu
atos.

Sebaliknya walau berhasil mendesak Wiro namun Pangeran Muda berkelahi dengan perasaan
tidak tenang.

Khawatir kalau sewaktu-waktu lawan kembali mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah.

Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke empat belas, bentrokan dua lengan untuk kesekian
kalinya tak bisa dihindari. Baik Wiro maupun Pangeran Muda sama-sama terpental beberapa
langkah. Sebelum dua kakinya menyentuh tanah Wiro lepas pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang.

Pangeran Muda tersentak kaget ketika mendengar dan merasakan gemuruh angin luar biasa
deras menerpa ke arah dirinya. Dia palangkan dua lengan di depan kepala sambil kaki
menghentak. Dua larik sinar hitam berkiblat keluar dari lengan yang bersilang, memapas ganas
ke arah Wiro. Inilah ilmu yang disebut Badai di Langit Gempa di Bumi. Ilmu ini bukan saja
dipakai untuk menyerang tapi sekaligus membentengi diri dari serangan lawan.

Jika saja yang ditangkis Pangeran Muda bukan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang yang
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh, niscaya saat itu Wiro sudah terpental semburkan
darah.

Pangeran Muda berseru kaget ketika ada gelombang angin menindih dirinya. Dua tangan yang
bersilang bergetar hebat lalu tubuhnya terbanting ke samping, jatuh berlutut di tanah. Muka
pucat, darah mengucur dari sela bibir.

“Pendekar 212, aku mengaku kalah…” Berkata Pangeran Muda. Lalu dia bersujud di tanah.
“Kuharap kau mau mengampuni dosa kesalahanku.”

Melihat pimpinan mereka bersujud di hadapan Wiro, anak buah Pangeran Muda yang masih
ada di sana termasuk Damar Sarka ikut jatuhkan diri menyembah. Wiro geleng-geleng kepala.

“Pangeran Muda, bangunlah. Semua yang ada di sini harap berdiri. Tak ada yang layak
disembah selain Gusti Allah. Manusia hanya bersujud kepada Tuhan!”

Mendengar ucapan Wiro orang-orang Keraton Kaliningrat segera berdiri termasuk Pangeran
Muda. Dengan tubuh terhuyung-huyung, dua tangan dirapatkan di atas kepala orang ini
melangkah mendekati Wiro.

“Pendekar, aku sangat berterima kasih kau mau mengampuni kesalahanku. Terima
penghormatanku.” Lalu Pangeran Muda tundukkan kepala, bungkukkan tubuh.
“Pangeran Muda, semua yang terjadi bisa kita jadikan hikmah pelajaran. Bawa orang-orangmu
meninggalkan tempat ini. Aku berharap kau punya kesadaran untuk membubarkan apa yang
dinamakan Keraton Kaliningrat.”

“Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.” Kembali Pangeran Muda bungkukkan diri. Wiro
hendak memegang bahu orang ini, namun tiba-tiba, sangat cepat dan sangat tidak terduga
tangan kanan Pangeran Muda melesat ke depan dan, bukkk! Satu jotosan dahsyat mendarat di
permukaan dada Wiro Sableng!

Wiro jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa jurus lamanya dia terhenyak kaku tak mampu
bergerak. Anehnya saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan ketika memperhatikan
dadanya sama sekali tidak ada tanda bekas pukulan.

Perlahan-lahan Wiro berdiri. Saat itu hari mulai terang pertanda di timur sang surya sudah
terbit dan malam segera berganti siang. Memandang ke depan Pangeran Muda dan sisa-sisa
anak buahnya tak ada lagi di tempat itu.

“Pangeran pengecut! Kau mau lari ke mana!” Wiro cepat berdiri, mengejar ke arah lenyapnya
Pangeran Muda dan rombongan. Namun hanya lari sejauh delapan langkah tiba-tiba Wiro
merasakan tubuhnya di bagian belakang sakit luar biasa. Dia coba melenyapkan rasa sakit aneh
ini dengan kerahkan tenaga dalam serta alirkan hawa sakti. Namun rasa sakit bertambah hebat.
Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan Wiro melangkah terhuyung-huyung, berjalan
sepembawa kakinya.

***

WULAN Srindi membawa lari anggota Keraton Kaliningrat sejauh yang bisa dilakukannya. Di
satu tempat dia hentikan lari dan banting orang itu ke tanah. Orang yang dibanting tanpa cidera
sedikitpun cepat bangun, membungkuk di hadapan gadis bermuka putih itu dan berkata.

“Terima kasih, kau telah menyelamatkan diriku dari liang neraka itu.”

Buukkk!

Wulan Srindi hantam muka orang dengan jotosan keras. Yang dihantam terjengkang di tanah
tapi bangun lagi. Seperti tadi dia tidak mengalami luka sama sekali.

“Kau menolongku, mengapa sekarang memukul menggebukku?!”

“Kau manusianya yang bernama Pekik Ireng?”

“Betul sekali. Sahabat muka putih kau siapa? Aku ingat peristiwa di hutan Ngluwer.” Tiba-tiba
Pekik Ireng hentikan ucapan. Wajahnya berubah. Dia ingat kematian temannya bernama
Kuntorandu.
“Ingat kejadian di sebuah dangau sekitar tiga bulan lalu? Bersama temanmu bernama
Kuntorandu kau memperkosa seorang gadis.”

Lelaki bernama Pekik Ireng jadi pucat wajahnya.

“Sahabat, kau keliru menuduh.”

Wulan Srindi tertawa. Dia ambil sebuah kendi hitam lalu teguk isinya.

“Manusia terkutuk! Aku mengenali tampangmu! Akulah orang yang kalian perkosa!”

Walau melangkah mundur namun Pekik Ireng tidak perlihatkan rasa takut. Dia percaya pada
kekuatan ilmu kebal Keraton Kaliningrat yang dimilikinya. Namun lelaki ini jadi terkejut ketika
Wulan Srindi berkata.

“Jangan kau kira aku tidak tahu kelemahan ilmu kebalmu. Beberapa temanmu sudah kubikin
mampus sewaktu berlangsung pertempuran dengan awak kapal Cina yang mencari madat di
hutan Ngluwer.”

“Perempuan muka putih! Aku mengampuni selembar nyawamu jika kau mau minggat dari
hadapanku saat ini juga!”

Wulan Srindi tertawa. Dia teguk sisa minuman keras dalam kendi sampai habis. Kesempatan ini
dipergunakan Pekik Ireng untuk mecabut sebilah golok dari balik pinggang lalu membabat
ganas ke depan.

Wuttt!

Golok besar menabas satu jengkal di depan dada Wulan Srindi. Ketika Pekik Ireng kembali
memburu dengan serangan kedua, Wulan Srindi melesat ke udara setinggi satu tombak.

Pekik Ireng terkejut melihat gerakan lawan. “Dia tidak dusta! Dia tahu kelemahan ilmu kebalku!
Kakinya tidak menginjak tanah!”

Tidak pikir panjang Pekik Ireng segera melompat kabur. Namun dia cuma bisa lari enam
langkah. Wulan Srindi melayang turun dengan cepat, semburkan minuman keras di mulutnya.

Wusss!

Pekik Ireng menjerit keras. Kepala sebelah belakang sampai ke pinggang kepulkan asap.
Hangus! Begitu tubuhnya jatuh tertelungkup di tanah, nyawanya telah lepas. Puluhan lubang
hangus mengerikan kelihatan di kepala dan punggung.
Masih belum puas Wulan Srindi ambil golok yang tercampak di tanah lalu sambil berteriak-
teriak seperti orang kemasukan setan dia membacok mencacah kepala dan tubuh Pekik Ireng.
Habis melakukan itu dia lemparkan golok, melangkah mundur dan jatuhkan diri di tanah. Dari
mulutnya keluar satu jeritan keras lalu gadis ini menangis memilukan.

Mendadak tangis Wulan Srindi terhenti. Dia mendengar suara langkah kaki orang mendekati di
samping kanan.

Sebelum sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh tergelimpang tertelungkup di
tanah.

Wulan Srindi terpekik. Dia menjerit ketika mengenali siapa adanya orang itu.

“Wiro!”

Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar.

“Suamiku, apa yang terjadi?!”

Wiro bukan kedua matanya. Pandangannya agak kabur. Namun dia mengenali suara itu.

“Wulan, aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran Muda…”

“Apa?!” Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebar-lebar. “Wiro,
beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?”

“Pertengahan dada. Tak ada tanda cidera…”

Wulan Srindi balikkan lagi tubuh Wiro. Bagian belakang baju yang robek, dirobeknya lagi lebih
besar. Di bawah cacat panjang di punggung Wiro Wulan melihat tanda merah besar dilingkari
warna kebiruan.

“Kau terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika dalam beberapa hari kau tidak
mendapatkan obat penangkal, nyawamu tidak tertolong lagi…” Wiro tertawa.

Wulan Srindi tepuk-tepuk pipi Pendekar 212. “Kenapa kau masih bisa tertawa?” tanya Wulan
Srindi.

“Aku tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega…”

“Gila!” teriak Wulan Srindi. “Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak mau anakku lahir tanpa
ayah!”

Wiro garuk kepala. Dalam hati dia setengah mengeluh setengah memaki.
“Celaka! Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku dan dia tidak ada ikatan
perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan anakku. Tapi akibat perbuatan bejat orang-orang
Keraton Kaliningrat!”

“Wiro suamiku.” Wulan Srindi lanjutkan ucapannya.

“Aku pernah dihantam pukulan yang sama. Iblis Pemabuk membawa aku menemui seorang
yang mampu menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari dari tempat
ini?”

“Wulan, aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan keselamatan diriku. Kau mau
menolong. Tapi rasanya aku tak akan sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku seperti lumpuh.
Pemandangan mataku terganggu.”

“Kalau begitu aku akan mendukungmu!”

“Kau tidak mampu melakukan itu…”

“Harus mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu?! Kalaupun kita harus
mati bersama itu lebih baik dari membiarkan dirimu dalam keadaan seperti ini.”

Wiro pejamkan mata. Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang yang baik dan rela
berkorban bagi dirinya. Dia ingat Eyang Sinto Gendeng. Dia ingat pada Kapak Naga Geni 212 dan
batu sakti yang ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu diketahui merupakan penangkal racun
yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu memusnahkan racun pukulan Pangeran Muda?
Mungkin dia telah berlaku kualat pada Eyang Sinto?

Susah payah Wulan Srindi mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat dia tak berhasil mencoba
memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya.

“Wulan, jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini.”

Gadis muka putih itu ingat apa yang dilakukan Iblis Pemabuk ketika dia mengalami cidera akibat
pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung itu. Dia harus melakukan hal yang sama agar Wiro
mampu bertahan lebih lama. Maka dengan cepat dia menotok beberapa bagian tubuh sang
pendekar.

“Apalagi yang harus aku lakukan?” Wulan Srindi terduduk di tanah. Tiba-tiba gadis ini berkata.
“Wiro, aku akan menyeretmu!” Wulan Srindi belum putus asa. “Kau tidak perlu melakukan itu
Wulan. Pergilah…”

Tiba-tiba satu bayangan aneh melayang turun dari atas pohon besar. Disusul suara perempuan.
“Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau berkenan menerima pertolonganku?”

Wiro angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata tak
berkesip.

“Siapa?!” Tanya Wiro.

“Aku seorang sahabat.”

“Bunga? Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain…”

“Betul, aku memang bukan Bunga.”

Bayangan itu berubah makin jelas, membentuk sosok seorang perempuan berwajah cantik
sekali.

“Bidadari Angin Timur!” Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh terbaring
kembali. Makhluk bayangan tersenyum.

TAMAT

Eps 147 Api Di Puncak Merapi

SATU

WULAN Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih se-perti diketahui telah mengalami nasib
malang. Diperkosa oleh dua orang anggota Keraton Kaliningrat bernama Kunto Randu dan Pekik
Ireng. Kejadian yang merupakan pukulan sangat hebat itu telah membuat Wulan Srindi rusak
ingatan. Selain itu kecintaannya terhadap Wiro Sableng menyebabkan pula Wulan Srindi
kemana-mana menebar cerita bahwa Pendekar 212 adalah suaminya dan Dewa Tuak adalah
gurunya. Dan saat itu dia tengah mengandung jabang bayi usia tiga bulan hasil perkawinannya
dengan Wiro.

Dengan bantuan lblis Pemabuk yang menyelamatkan dan mengajarkan beberapa ilmu kesaktian
padanya, Wulan Srindi yang kini memiliki kulit wajah berwarna putih berhasil membunuh salah
satu dari dua pemerkosanya yaitu Kuntorandu. Peristiwa itu meng-gegerkan pimpinan dan
pengikut Keraton Kaliningrat. Karena Kuntorandu menemui ajal di hutan Ngluwer telak-telak di
depan mata orang-orang Keraton Kaliningrat pada saat tengah dilakukan satu pertemuan
rahasia.

Dalam Episode sebelumnya ("Azab Sang Murid") diceritakan bagaimana Wulan Srindi berhasil
pula membunuk pemerkosanya yang kedua yaitu Pekik Ireng. Saat itu Wiro tengah menghadapi
se-rangan puluhan anggota Keraton Kaliningrat. Dia tergaksa me-ngeluarkan ilmu "Membelah
Bumi Menyedot Arwah" yang di-dapatnya dari Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat dari
Negeri Latanahsilam. Empat belas orang Keraton Kaliningrat, di antaranya dua tokoh silat
bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat amblas jatuh ke dalam tanah yang terbelah.
Satu diantara mereka yaitu Pekik lreng diselamatkan oleh seorang berpakaian hijau yang
muncul secara tiba-tiba dan ternyata adalah Wulan Srindi.

Tentu saja maksud Wulan Srindi.bukan hendak menolong. Pekik lreng dibawa ke satu tempat.
Setelah Wulan Srindi menga-takan siapa dia dan kebejatan apa yang telah dilakukan Pekik lreng
terhadapnya anggota Keraton Kaliningrat itu berusaha membunuh Wulan Srindi. Pekik lreng
tidak menganggap sebelah mata karena dia memiliki ilmu kebal, tak mempan pukulan sakti tak
tembus senjata tajam. Namun ternyata Wulan Srindi telah mengetahui kelemahan ilmu kebal
lawan. Hal ini tak sengaja diketahuinya ketika dia pernah menempur orang-orang Keraton
Kaliningrat di hutan Ngluwer sehabis terjadi bentrokan dengan awak kapal Cina yang
kehilangan satu kantong kulit berisi madat.

Melihat lawan mengetahui kelemahan ilmu kebalnya, Pekik lreng jadi leleh nyalinya lalu ambil
langkah seribu. Namun dia tldak mampu lari jauh. Setelah disembur dengan minuman keras
yang menyebabkan kepala dan badannya berlubang hangus, dengan mempergunakan golok
milik Pekik Ireng, sambil berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan Wulan Srindi
mencacah sekujur tubuh Pekik Ireng. Luar biasa mengerikan pembalasan dendam gadis malang
yang telah berubah ingatan ini. Sehabis membunuh Wulan Srindi terduduk menangis di tanah.
Mendadak Wulan hentikan tangisnya. Dia mendengar suara langkah kaki orang mendekati dari
samping kanan. Sebelum sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh tergelimpang
tertelungkup di tanah di hadapannya.

Wulan Srindi berseru kaget. Lalu menjerit keras ketika mengenali siapa adanya orang yang
tergelimpang.

"Wiro!" Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar.

"Suamiku, apa yang terjadi?!" Wiro buka kedua matanya. Malam terlalu gelap dan
pemandangannya agak kabur. Namun dia mengenali suara itu.

"Wulan, kaukah ini?"

"Betul, aku Wulan istrimu …" Wiro jadi terdiam mendengar ucapan itu. Lidahnya mendadak
kelu.

"Wiro! Katakan apa yang terjadi. Mukamu sepucat kain kafan!"

"Aku … aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran Muda."

"Apa?!" Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebar-lebar.

"Wiro, beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?"


"Pertengahan dada. Tak ada tanda cidera …" Wulan Srindi balikkan lagi tubuh Wiro. Bagian
belakang baju yang robek, dirobeknya lagi lebih besar. Dalam gelap di bawah cacat panjang
bekas sambaran ujung tongkat Sinto Gendeng di punggung Wiro, Wulan melihat tanda merah
besar dilingkari warna biru.

"Kau terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika dalam beberapa hari kau tidak
mendapatkan obat penangkal, nyawamu tidak tertolong lagi …" Wiro tertawa. Wulan Srindi
tepuk-tepuk pipi Pendekar 212

"Kenapa kau masih bisa tertawa?" tanya si gadis.

"Aku tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega …”.

"Gila!" teriak Wulan Srindi.

"Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak ingin kau mati! Aku tidak mau anakku lahir tanpa
ayah!" Wiro garuk kepala. Mulutnya ingin tertawa bergelak. Namun dalam hati dia setengah
mengeluh setengah memaki.

"Celaka! Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku dan dia tidak ada ikatan
perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan anakku. Tapi akibat perbuatan bejat orang-orang
Keraton Kaliningrat!"

"Wiro suamiku," Wulan Srindi lanjutkan ucapan.

"Aku pernah dihantam pukulan yang sama. lblis Pemabuk membawaku menemui seorang yang
mampu menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari dari tempat ini?
Aku akan membawamu ke tempat orang yang mampu menolong itu."

"Wulan, aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan keselamatan diriku. Kau mau
menolong. Tapi rasanya aku tak akan sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku seperti lumpuh.
Pemandangan mataku terganggu."

"Kalau begitu aku akan mendukungmu!"

"Kau tidak mampu melakukan itu …"

"Harus mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu?! Kalaupun kita harus
mati bersama itu lebih baik dari membiarkan dirimu dalamkeadaan seperti ini." Wiro pejamkan
mata. Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang memperlihatkan kebaikan dan rela
berkorban untuk dirinya. Dia ingat Eyang Sinto Gendeng. Dia ingat pada Kapak Naga Geni 212
dan batu sakti yang ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu diketahui merupakan penangkal
racun yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu memusnahkan racun pukulan Pangeran
Muda? Mungkin karena dia telah berlaku kualat pada Eyang Sinto?

Susah payah Wulan berusaha mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat diatak berhasil
mencoba memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya.

"Wulan, jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini." Gadis muka putih itu
ingat apa yang dilakukan lblis Pemabuk ketika dia mengalami cidera akibat pukulan Memukul
Bukit Meremuk Gunung. Dia harus melakukan hal yang sama agar Wiro mampu bertahan lebih
lama sebelum mendapat pertolongan. Maka dengan cepat Wulan Srindi menotok beberapa
bagian tubuh sang pendekar. Akibat totokan muka Wiro yang tadi pucat kelihatan berubah
sedikit merah. Namun di sela bibir sebelah kiri kelihatan ada lelehan darah.

Wulan terpekik. Dia keluarkan sapu tangan biru muda yang dulu pernah diserahkan pada Wiro
namun kemudian dikembalikan. Dengan sapu tangan itu dia seka lelehan darah. Dulu dengan
sapu tangan itu juga dia menyeka darah di mulut Wiro yang luka akibat tamparan Sinto
Gendeng. Mengingat kejadian yang terulang kembali ini Wiro menghela nafas dalam dan
pejamkan kedua matanya.

"Luka dalammu lebih parah dari yang pernah aku alami. Apa lagi yang harus aku lakukan?" Si
gadis terduduk di tanah.

"Wiro, aku akan menyeretmu!" Wulan Srindi belum putus asa.

"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Wulan, pergilah …." Tiba-tiba satu bayangan aneh melayang
turun dari atas pohon besar. Disusul suara perempuan.

"Pendekar Dua Satu Dua Wiro sableng. Apakah kau berkenan menerima pertolonganku?" Wiro
angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata tak berkesip.

"Siapa?!" Tanya Wiro .

"Aku seorang sahabat."

"Bunga? Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain …"

"Betul, aku memang bukan Bunga." Bayangan itu berubah makin jelas, membentuk sosok
seorang perempuan berwajah cantik sekali.

"Bidadari Angin Timur!" Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh terbaring
kembali. Mahluk bayangan tersenyum.

"Bidadari Angin.Timur berambut pirang. Rambutku hitam. Bidadari Angin Timur berwajah
cantik. Wajahku buruk …" Wiro tatap wajah itu,
”Tidak, kau tidak buruk. Wajahmu cantik sekali. Ada ketulusan dan kesetiaan dalam wajahmu
…" Kata-kata itu hanya terucap dalam hati.

"Lalu siapa dirimu sebenarnya? Mengapa bicara berteka-teki?" Wulan Srindi membuka mulut.
Ada rasa curiga bercampur marah tapi juga ada perasaan cemburu.

"Kau bukan Bidadari Angin Timur atau jejadiannya. Gadis itu sudah mati. Aku tahu sekali hal
itu!" Mahluk cantik berpaling pada Wulan Srindi, tersenyum dan berkata.

"Oh, begitu?"

"Jika kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, lekas menyingkir dari hadapanku!" Wulan
Srindi keluarkan ancaman.

"Sahabat, saat ini aku belum dapat memberi tahu nama atau menjelaskan siapa diriku."
Menjawab perempuan cantik berujud bayang-bayang. Lalu dia berpaling pada Wiro dan
kembali bertanya.

"Pendekar, apakah kau bersedia menerima pertolonganku? Kau menderita luka dalam sangat
parah. Jika tidak mendapat pengobatan tubuhmu akan membusuk. Nyawamu tidak akan
tertolong lagi."

"Enak saja kau bicara!" bentak Wulan Srindi.

"Kau tahu apa mengenai luka dalam yang diderita suamiku! Lalu kau punya kemampuan apa
untuk mengobatinya!" Mahluk yang dibentak masih bisa tersenyum.

"Aku memang orang bodoh. Mana punya kemampuan mengobati orang. Namun semua yang
akan aku lakukan semata-mata berdasarkan kuasa Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyembuh. Jika diantara kalian ada yang tidak berkenan menerima Kuasa Sang Penyembuh
maka aku mohon maaf dan saat ini juga aku minta diri dari hadapan kalian."

"Tunggu …" Ucap Wiro ketika dilihatnya perempuan cantik bayangan itu hendak bergerak pergi.

"Jika kau punya kemampuan menolongku, aku sangat berterima kasih." Perempuan bayangan
melirik ke arah Wulan Srindi Yang dilirik diam saja, mungkin masih menaruh rasa was-was.
Perempuan bayangan lalu minta bantuan Wulan Srindi untuk mem-balikkan tubuh Wiro.
Sebelum melakukan hal itu Wulan Srindi berkata.

"Jika kau berdusta dan menipu, siapapun kau adanya akan aku pecahkan kepalamu!" Masih
dengan tersenyum perempuan cantik itu menjawab.
"Manusia biasa memang sering berdusta, acap kali menipu. Tetapi Tuhan tidak pernah
berdusta, tidak pernah menipu." Wulan Srindi terdiam mendengar ucapan orang. Namun
akhirnya dia lakukan apa yang diminta . Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh Wiro hingga
terbaring menelungkup. Punggung yang cacat dan ada tanda merah biru tersingkap lebar.
Perempuan bayangan berlutut di sisi kanan Pendekar 212. Setelah sesaat memandangi
punggung pemuda itu maka dengan suara perlahan tapi cukup jelas terdengar di telinya Wiro
dan Wulan Srindi dia berkata.

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengo-batan ke delapan ratus enam belas.
Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera di bagian yang
berlawanan dari yang dipukul maka ada tiga hal yang harus dilakukan.

"Tunggu dulu!" Tiba-tiba Wiro berkata setengah berseru, memotong kata-kata perempuan
bayangan.

"Kau menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Apa yang kau ketahui tentang kitab itu? Kau seperti
tengah membacanya. Malah kau mampu menyebut halamannya."

"Pendekar, saat ini sebaiknya kau berdiam diri dulu. Jangan banyak bersuara. Mengenai
pertanyaanmu, biar nanti saja aku menjawab." Kata-kata perempuan bayangan segera disahuti
Wulan Srindi.

"Dia layak menanyakan. Kitab itu miliknya. Lenyap dicuri orang beberapa waktu lalu!"

"Sahabat, kalau kitab itu memang milik Pendekar Dua Satu Dua, satu hari kelak kitab itu akan
kembali padanya. Sekarang apakah aku boleh melanjutkan menolong dirinya?" Wulan Srindi
tidak menjawab. Perempuan bayangan kembali memulai usahanya untuk menolong Wiro. Dia
mengulang ucapannya tadi.

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengo-batan ke delapan ratus enam belas.
Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera di bagian yang
berlawanan dari yang dipukul maka…..” Belum sempat perempuan bayangan menyelesaikan
kata-katanya tiba-tiba satu bayangan merah laksana burung raksasa berkelebat menukik dari
arah belakang. Wiro yang terbaring menelungkup dengan muka menghadap ke jurusan
datangnya bayangan merah mencium bahaya, serta merta berteriak.

"Sahabat! Awas! Ada mahluk aneh membokongmu!" Saat itu juga lima larik cahaya merah
berkiblat angkerl Wiro angkat tangan kanan, bermaksud melepas satu pukulan sakti untuk
menangkis serangan membokong. Namun astaga! Apa yang terjadi? Tangannya lumpuh, tak
sanggup diangkat!

"Celaka! Aku tak mungkin menolong!" Wulan Srindi sendiri dalam keterkejutannya masih
mampu melepas pukulan Membelah Ombak Menembus Gunung. Ini adalah jurus pukulan sakti
yang dimilikinya sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih. Dia melancarkan serangan ini
karena tidak punya cukup waktu untuk menyembur dengan minuman keras dalam kendi.
Walaupun otaknya tak beres dan ada rasa benci terhadap perempuan bayangan, namun
melihat orang berlaku pengecut, menyerang secara membokong, gadis ini masih punya pikiran
untuk menolong. Wulan Srindi terpekik. Satu kekuatan dahsyat menerpa dirinya. Membuat
gadis ini jatuh terjengkang lalu bergulingan di tanah. Lima larik sinar merah angker terus
membeset ke arah tubuh sebelah belakang perempuan bayangan.

"Wusss!"

***

DUA

HANYA sekejapan mata lagi lima larik sinar merah itu akan menghantam telak sasaran, tiba-tiba
tubuh perempuan bayangan memancarkan cahaya begemerlap laksana percikan ratusan bunga
api. Suara seperti petir menggelegar menggoncang seantero tempat lima kali berturut-turut
sewaktu lima larik sinar merah berbenturan dengan ratusan cahaya biru bergemerlap yang
memancar keluar dari sosok perempuan bayangan. Perempuan ini goyangkan dua bahunya.
Ratusan bunga api biru yang terpencar-pencar akibat bentrokan dengan lima larik sinar merah
bergabung membentuk satu lingkaran aneh.

Lingkaran biru yang begemerlap ini lalu melesat ke arah bayangan merah yang tadi melepaskan
serangan. Satu jeritan keras menyerupai lolongan srigala hutan terdengar merobek langit.
Sosok serba merah mengepul tersungkur di tanah, tepat di hadapan Wulan Srindi hingga gadis
ini berjingkrak dan terpekik!

"Setan pembokong siapa kau?!" Wulan Srindi membentak. Dia cepat mengambil sebuah kendi
tanah lalu meneguk isinya. Mulut siap menyembur kearah orang yang tergelimpang di tanah.
Tapi tak jadi karena dia keburu melengak ngeri melihat keadaan orang itu yang ternyata adalah
seorang nenek berambut dan bermuka merah, mengenakan pakaian selempang kain warna
merah robek tak karuan rupa. Bagian dada yang tersingkap memperlihatkan payu dara sebelah
kiri yang sangat besar, berbeda dengan payu dara sebelah kanan yang peot keriput. Sepasang
mata merah mendelik besar seperti mau melompat keluar dari rongganya. Mulut keluarkan
suara erangan disertai kucuran darah bewarna hitam! Perempuan cantik bayangan tidak
beranjak dari tempatnya berlutut di samping kanan Wiro. Mulutnya berucap perlahan.

"Antara kita tak ada silang sengketa atau dendam sakit hati. Mengapa kau menyerangku?
Salahkah kalau aku melindungi diri dari perbuatan jahatmu tadi?" Sosok yang tergeletak di
tanah keluar-kan suara menggembor parau. Mulut megap-megap, tenggorokan turun naik.
Sepertinya dia hendak menyemburkan ucapan kemarah-an namun tak mampu dikeluarkan.
Tiba-tiba didahului oleh satu jerit-an merobek langit, tubuh mahluk serba merah itu meledak
tercabik-cabik, berubah menjadi tujuh potongan daging yang ditancapi tulang belulang dan
dikobari api, mencelat ke udara. Sebelum hilang dari pemandangan tujuh potongan tubuh yang
dikobari api itu menyatu kembali, membentuk sebuah bola api besar dan melesat ke langit
hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Semua terjadi begitu cepat dan luar biasa
mengerikan. Untuk beberapa ketika kesunyian menggantung di udara.

Di tempat jauh, di sebuah taman di halaman belakang gedung Kepatihan, pada saat sosok
merah meledak dan tercabik menjadi tujuh bagian, Wira Bumi yang baru saja menghabiskan
secangkir kopi hangat dan bermaksud masuk ke dalam gedung tiba-tiba tersentak kaget. Dia
melihat kiblatan cahaya merah tiga langkah di hadapannya. Bersamaan dengan itu di telinganya
mengiang suara raungan panjang menggidikkan. Dia mengenali benar suara itu.

"Nyai … ?" ucapnya dengan bibir bergetar. Dia tertegun beberapa ketika lalu gelengkan kepala.

"Apa yang.terjadi dengan diriku?" Dengan hati tak enak Patih Kerajaan ini melangkah masuk ke
dalam gedung. Kembali ke tempat kejadian.

"Hai! Kau tahu siapa mahluk jahanam tadi? Manusia atau setan?” Wulan Srindi memecah
kesunyian, bertanya pada perempuan bayangan.

"Setahuku dia adalah manusia yang telah pindah ke alam roh, menemui kematian puluhan
tahun silam. Penghuni pekuburan Kebonagung. Kalau tidak salah dia dipanggil dengan nama
Nyai Tumbal Jiwo …"

"Heran, bagaimana kau tahu semua itu?" ucap Wiro sambil mencoba menggerakkan tangan kiri
kanan tapi tetap tergontai lumpuh. Mahluk perempuan bayangan hanya tersenyum.

"Aku pernah mendengar nama itu. Nyai Tumbal Jiwo adalah mahluk jahat guru Wira Bumi, yang
sekarang menjabat Patih Kerajaan …. Apa yang dikatakan Wiro ini adalah sesuai dengan yang
didengarnya dari Djaka Tua sebelum dibunuh oleh Cagak Lenting alias Si Mata Elang atas
perintah Patih Wira Bumi. Cagak Lenting sendiri kemudian dibunuh oleh Nyi Retno Mantili.
(Baca Episode sebelumnya berjudul "Azab Sang Murid")

"Pendekar apakah aku bisa melanjutkan pekerjaan mengobati pendekar …"

"Namaku Wiro. Jangan terus-terusan memanggilku pendekar" ucap Wiro yang saat itu terbaring
menelungkup. Mahluk bayangan tersenyum duduk bersila di samping kanan Wiro. Mata
menatap ke punggung yang tersingkap, mulut berucap.

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengobat- an ke delapan ratus enam belas.
Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera di bagian yang
berlawanan dari yang dipukul maka beradi dia telah terkena satu pukulan mengandung racun
jahat yang bisa membuat tubuhnya busuk dan membunuhnya dalam waktu. tiga hari. Untuk.
menolongnya ada tiga hal yang hams dilakukan. Pertama memohon doa berdoa pada Tuhan
Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang cidera disembuhkan dari cideranya. Kedua buat
guratan tanda silang tepat di atas bagian tubuh yang cidera. Guratan bisa dilakukan dengan
mempergunakan kayu, batu tapi akan lebih baik jika dilakukan dengan ujung kuku tangan
disertai sedikit aliran tenaga dalam atau hawa sakti. Ketiga rebus empat helai daun sirih. Air
remasan daun diminumkan , empat helai daun sirih lalu ditempelkan di bagian tubuh orang
yang cidera dengan ujung daun mengarah ler, kilen, kidul, dan wefan."

Setelah mengeluarkan ucapan itu perempuan cantik dalam ujud bayangan memandang pada
Wiro dan Wulan Srindi.

"Mari kita berdoa pada Yang Kuasa dalam hati masing-masing, memohon kesembuhan."
Mahluk bayangan berujud perem-puan cantik ini pejamkan mata. Wiro melakukan hal yang
sama walau dalam hati dia bertanya-tanya.

"Mahluk aneh mengenal Tuhan. Apakah Tuhannya sama de-ngan Tuhanku?". Sementara
mahluk bayangan dan Wiro berdoa memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa, Wulan
Srindi teguk minuman keras dalam kendi. Mulutnya kemudian berucap perlahan.

"Gusti Allah, aku memohon di hadapanMu, sembuhkan suamiku." Tak selang berapa lama
perempuan bayangan dan Wiro membuka mata masing-masing. Perempuan bayangan
gerakkan tangan kanan, diletakkan di punggung Wiro. Dengan ujung kuku ibu jari tangan kanan
dia menggurat, membuat tanda silang tepat di atas punggung yang cidera. Begitu tanda silang
berbentuk, dari bagian tubuh yang cidera membersit darah kental berwarna merah kehitaman
disertai kepulan asap,menebar bau tak enak.

Wiro sendiri saat itu menggigit bibir kuat-kuat menahan sakit luar biasa. Dia merasa seolah
dicengkeram tangan raksasa tak kelihatan yang hendak menjebol dan membongkar
punggungnya. Bagaimanapun Wiro berusaha bertahan akhirnya meledak juga jeritannya.

"Kurang ajar! Kau bukan menolong! Kau hendak membunuh suamiku!" teriak Wulan Srindi lalu
melompaf menerjang ke arah perempuan bayangan. Tendangan kaki kanannya melesat ke
kepala orang. Mahluk bayangan angkat tangan kirinya. Telapak tangan dikembang, di arahkan
pada Wulan Srindi. Mulutnya berucap.

"Jangan bergerak, jangan bersuara. Atau pendekar ini tak – akan dapat disembuhkan!" Dalam
marahnya Wulan Srindi tidak perdulikan ucapan orang. Dia malah lipat gandakan tenaga dalam
sambil tangan kiri mengambil sebuah kendi yang tergantung di pinggang. Namun semua
gerakan itu mendadak sontak terhenti. Serangkum angin bersiur halus, keluar dari telapak
tangan perempuan bayangan. Wulan Srindi merasa ada angin dingin menyapu sekujur
tubuhnya. Sat itu juga dia tak mampu bergerak lagi. Perlahanlahan sosoknya yang tadi
mengapung di udara turun ke bawah, terputar membelakangi Wiro. Kaki kiri menginjak tanah,
kaki kanan masih dalam sikap menendang sementara tangan kanan terkulai tak bergerak di
samping dan tangan kiri dalam sikap hendak mengambil kendi di pinggang.

"Jahanam keparat! Kau apakan diriku?!" Teriak Wulan Srindi. Namun teriakan itu hanya
bergema di dalam hati karena jangankan berteriak, berkatapun dia tak mampu! Lucu sekali
keadaan Wulan Srindi. Tidak beda dengan sebuah patung. Wiro yang menyaksikan kejadian itu
kasihan ada geli juga ada.

Kepulan asap di punggung Wiro perlahan-lahan sirna dalam kegelapan. Cidera dengan tanda
merah dilingkari warna biru tidak kentara lagi. Namun daging punggung di bagian yang cidera
itu kelihatan membengkak ke atas sementara darah merah kehitaman masih terus mengucur.

"Pendekar, aku telah melakukan apa yang bisa aku lakukan. Tinggal kini mencari empat lembar
daun sirih. Kurasa hal itu bisa dikerjakan oleh sahabat berpakaian hijau yang membekal banyak
kendi di pinggangnya." Habis berkata begitu perempuan bayangan bergerak bangkit. Namun
sebelum berdiri, dalam keadaan setengah berjongkok dia dekatkan wajahnya ke telinga kiri
Wiro dan berbisik.

"Pendekar ada sesuatu yang hendak aku sampaikan padamu. Harap kau mendengar saja dan
jangan bicara. Kitab Seribu Pengobatan milikmu ada padaku. Sebelum mati Hantu Malam
Bergigi Perak berpesan agar kitab itu diserahkan padamu. Harap kau tidak gusar. Saat ini aku
tidak dapat menyerahkan kitab padamu. Ada yang aku kawatirkan. Kalau berkenan datanglah
ke Bukit Menoreh pada purnama hari ke empat belas minggu depan. Cari pohon jati yang
doyong ke timur. Tunggu di situ. Tepat pada pertengahan malam kau akan mendengar tanda
berupa suara burung perkutut tiga kali berturut-turut. Pada saat kita bertemu kitab akan aku
serahkan padamu. Usahakan datang seorang diri. Karena kalau ada orang ke tiga keadaan bisa
berubah nanti. Aku pergi sekarang. Semoga kau lekas sembuh."

Mahluk bayangan berujud perempuan cantik usapkan tangan kanannya di atas kening Wiro.
Pemuda ini merasa dadanya yang sejak tadi sesak menjadi lega. Rasa sakit di punggung jauh
berkurang. Pemandangannya yang tadi guram menjadi lebih jernih. Wiro berusaha membuka
mulut hendak mengatakan sesuatu. Namun perempuan bayangan cepat memberi tanda agar
Wiro tidak mengeluarkan suara. Sebelum meninggalkan tempat itu perempuan bayangan
angkat tangan kirinya. Telapak yang terkembang diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan merasa
angin dingin menyapu dirinya. Saat itu juga tubuhnya yang kaku bisa bergerak dan mulut yang
bisu mampu bersuara kembali. Dia membalikkan badan hendak mendamprat namun
perempuan bayangan tak ada lagi di tempat itu. Wulan Srindi melompat.

‘Wulan, kau mau kemana?" tanya Wiro.

"Aku mau mengejar setan betina tadi!" Jawab Wulan Srindi.

"Jangan lakukan itu." Langkah Wulan terhenti. Dia meman-dang wajah Wiro sejurus lalu
berkata.

"Kalau begitu biar aku pergi mencari daun sirih untuk obatmu. Sebelum matahari terbit aku
akan kembali."

"Terima kasih kau mau menolongku …“ Wulan Srindi menyeringai.


"Hantu perempuan itu saja mau menolongmu. Apa lagi aku yang istrimu!" Wiro terdiam. Tapi
kemudian dia tertawa gelak-gelak.

"Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu?!" tanya Wulan Srindi.

"Tidak ada yang lucu. Saat ini sepertinya aku kepingin jadi gila!"

"Oala. Kalau begitu bertambah satu lagi manusia sinting di dunia ini!" ucap Wulan Srindi. Sambil
tertawa cekikikan gadis ini tinggalkan tempat itu. . Seperti yang dijanjikannya, sebelum sang
surya muncul di ufuk timur Wulan Srindi kembali ke tempat dimana dia meninggalkan Wiro.
Namun kagetnya bukan alang kepalang ketika mendapatkan pemuda yang dianggapnya sebagai
suaminya itu tak ada lagi di situ.

"Pasti ini pekerjaan setan perempuan itu! Jahanam betul Kemana aku harus mencarinya?!"
Wulan Srindi marah sekali. Dia ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggang. Meneguk
minuman keras dalam kendi hingga habis. Kendi yang kosong lalu dibanting hingga amblas
masuk ke dalam tanah! Seperti orang kesetanan dari mulutnya keluar jerit berkepanjangan.

***

TIGA

DALAM keadaan tubuh lunglai tak mampu bergerak dan didera demam panas Pendekar 212
Wiro Sableng menyadari kalau saat itu dia dipanggul orang dan dibawa lari di kegelapan malam.
Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam namun akibatnya aliran darahnya di beberapa
tempat tertahan. Tak sanggup bertahan akhirnya Wiro jatuh pingsan.

Dua hari kemudian. Didahului satu tarikan nafas panjang perlahan-lahan Wiro membuka kedua
matanya. Dia jadi terkesiap ketika kemanapun dia memutar mata hanya kegelapan yang
terlihat. Telinganya menangkap suara dua perempuan bicara perlahan-lahan.

"Gila! Apakah aku sudah buta? Atau sudah mati … Jangan jangan aku berada dalam liang kubur.
Mengapa sangat gelap?" ucap Pendekar 212 dalam hati. Saat itu dia terbaring menelungkup di
atas satu benda keras dan dingin. Wiro coba gerakkan tangan kanan dan berusaha bangun.
Ternyata dia tidak mampu melakukan, Dia gerakkan kaki kiri. Juga tidak bisa. Coba dongakkan
kepala. Tidak berhasil. Wiro sadar.

"Ada orang yang menotok tubuhku. Siapa? Dua perempuan itu? Dimana mereka? Gelap sialan!
Aku tak bisa melihat apa-apa!" Lapat-lapat dikejauhan Wiro mendengar suara air memancur
Lalu kembali ada suara dua orang perempuan berbisik-bisik. Walau cuma dekat tapi karena
sangat gelap dia tidak bisa melihat kedua orang itu.
"Hai! Aku berada dimana? Siapa yang barusan bicara? Apa yang terjadi dengan diriku?" Wiro
keluarkan ucapan. Suara berbisik serta merta lenyap. Wiro jadi penasaran. Tubuhnya terasa
tidak panas lagi. Dia coba gerakkan tangan dan kaki. Tidak mampu. Ter-nyata dia dalam
keadaan tertotok. Wiro coba mengingat-ingat. Ber-mula ketika di satu tempat dia ditinggal oleh
Wulan Srindi. Gadis itu pergi untuk mencari daun sirih guna mengobati dirinya. Dalam keadaan
tubuh cidera dan digerayangi demam panas tiba-tiba berke-lebat satu bayangan dan tahu-tahu
dia telah berada di atas bahu seseorang, dibawa berlari dalam gelapnya malam sampai akhirnya
dia jatuh pingsan.

"Aku tahu ada dua orang perempuan di tempat ini."Wiro keluarkan ucapan.

"Apakah kalian yang menolong dan membawaku ke sini. Kalau kalian memang punya niat baik
menolongku, aku mengucap-kan terima kasih. Tapi mengapa tidak mau unjukkan rupa?
Mengapa menotokku segala? Dan ini tempat apa adanya? Mengapa gelap sekali. Kuburanpun
tidak segelap ini!"

Dari samping kiri terdengar suara orang menahan tawa. Disusul suara ucapan dari samping
kanan.

"Kau tahu gelapnya kuburan. Memangnya sudah pernah di kubur?! Apa sudah pernah mati?!
Berarti saat ini kau adalah hantu jejadian! Hik..hik!" Pendekar 212 memaki dalam hati.

"Dia sudah siuman dan mulai banyak bicara. Mungkin perlu kita totok untuh membungkam
mulutnya!" Dalam gelap Wiro pejam-kan mata sesaat. Dia coba mengingat-ingat. Dia rasa-rasa
pernah mendengar suara itu. Tapi lupa dimana, apa lagi mengenali orangnya. Tiba-tiba murid
Sinto Gendeng ingat kembali akan cidera parah yang dialaminya. Dia berkata.

"Aku harus keluar dari tempat ini! Aku tak mau menemui ajal di sini!"

"Eh, memangnya kau tahu kalau dirimu mau mati?!"

"Keluarkan aku dari sini atau …"

"Tak ada gunanya mengancam. Kau dalam keadaan tertotok!"

"Kalau begitu lekas lepaskan totokan di tubuhku. Kalau tidak

kau akan menyesal seumur-umur!"

"Hik … hik, mengancam lagi!"

"Dengar, jika terjadi sesuatu dengan disiku, kalian berdua harus bertanggung jawab …."

"Kami membawamu kesini. Apa itu bukan satu bukti tanggung jawab?!"
"Tanggung jawab kentut! Aku dalam keadaan cidera berat. Aku butuh pengobatan. Seseorang
tengah menolongku. Tapi kalian menculik dan membawaku ke tempat celaka ini! Aku akan
menemui ajal! Aku akan segera mati!" Wiro berteriak keras hingga ruangan batu bergetar.
Dadanya turun naik. Lalu mulutnya berucap perlahan.

"Aku tidak takut mati. Tapi aku tidak mau mati di tempat celaka ini. Keluarkan aku dari sini!"

"Pendekar Dua Satu Dua! Kami tahu semua apa yang terjadi dengan dirimu. Kami telah
melakukan yang terbaik untukmu. Yang Maha Kuasa masih menolong mu. Kini saatnya kau
membalas budi kebaikan kami." Salah satu dari dua perempuan dalam gelap keluarkan ucapan.

"Kami … kami! Siapa kalian? Mengapa menyekap aku di tempat gelap ini! Mengapa kalian tidak
berani unjukkan muka?! Jelas membekal niat tidak baik!"

"Siapa bilang kami tidak berani unjuk muka!” Tiba-tiba sebuah obor menyala. Tempat itu kini
jadi terang benderang. Sepasang mata Wiro berputar. Temyata dia berada di sebuah ruangan
batu. Saat itu dia terbaring menelungkup di atas sebuah ketiduran terbuat dari batu, tanpa
baju, hanya mengenakan celana. Pandangan Wiro segera saja membentur dua sosok tubuh
dibalut pakaian merah dan biru, bersanggul digulung di atas kepala, berwajah cantik jelita.

"Wong edan! Kalian rupanya!" ucap Pendekar 212 setengah berteriak begitu mengenali.
Jengkel sekali tapi juga merasa gembira. Dua orang itu ternyata adalah Liris Merah dan adiknya
Liris Biru, murid Hantu Malam Bergigi Perak yang telah menemui ajal di tangan Sinto Gendeng.
Keduanya memperhatikan Wiro sambil senyum-senyum. Seperti dituturkan sebelumnya dua
gadis itu membawa jenazah Hantu Malam Bergigi Perak ke Goa Cadasbiru di Kaliurang. Namun
di tengah jalan keduanya berubah pikiran. Jenazah sang guru mereka kubur di sebuah bukit
kecil lalu keduanya kembali ke tempat dimana Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal. Tidak
terduga di satu tempat mereka menemui Pendekar 212 dalam keadaan cidera berat tengah
ditolong oleh Wulan Srindi.

"Setelah melihat kami, apa kau masih punya pikiran bahwa kami membekal niat jahat?"
Bertanya Liris Biru.

"Kalian menculik dan membawa aku ke tempat ini. Kalian juga menotok tubuhku! Siapa yang
tidak akan punya dugaan kalau kalian memang punya niat jahat?!" Tukas Pendekar 212. Lalu
menyam-bung ucapannya.

"Aku jadi bingung. Kalau kalian memang orang-orang jahat mengapa dulu menciumku?" (Baca
serial Wiro Sableng episode sebelumnya berjudul "Nyi Bodong") Liris Merah dan Liris Biru jadi
kemerahan wajah masing-masing mendengar kata-kata pemuda itu.
"Kalau kami memang orang-orang jahat, seharusnya pada saat pertama kali kami menemuimu
tergelimpang di tanah dalam keadaan tak berdaya, kami sudah membunuhmu tapi kami punya
alasan kuat untuk menghabisi nyawamul" Liris Merah keluarkan ucapan.

"Hebat! Dosa kesalahan apa yang telah aku buat hingga enak saja kalian mau membunuhku?!"

"Bukan kau yang punya dosa! Tapi gurumu!" jawab Liris Biru.

"Guruku? Maksud kalian Eyang Sinto Gendeng?" Wiro kere-nyitkan kening. Hendak menggaruk
kepala tapi tidak bisa. Liris Merah melangkah lebih dekat ke pembaringan batu.

"Dengar," ucap si gadis.

"Gurumu Sinto Gendeng telah membunuh guru kami Hantu Malam Bergigi Perak! Keji sekali!"
Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok, Wiro pasti
sudah melesat melompat mendengar ucapan Liris Merah itu.

"Aku tidak percaya! Jangan kau bicara tak karuan! Beraninya memfitnah guruku!" Teriak Wiro.
Kini Liris Biru yang melangkah mendekati pembaringan batu.

"Kami memang tidak melihat peristiwanya. Tapi ada seorang

menyaksikan kejadian itu …."

"Siapa?" tanya Wiro dengan suara bergetar.

"Seorang kakek bermata belok yang salah satu dari dua telinganya terbalik! Tukang beser
bernama Setan Ngompol!" Jawab Liris Biru.

"Ah, kakek itul Mungkin saja dia salah melihat. Dia sudah tua matanya sudah mulai rabun. ….”
Liris Merah mencibir.

"Dia memang sudah tua, tapi matanya tidak rabun apa lagi butal Dan ucapannya tidak dusta!"

"Kalau kalian merasa yakin guruku Eyang Sinto Gendeng yang membunuh guru kalian, lalu
mengapa kalian tidak segera saja membunuhku? Malah sebaliknya menolongku?"

"Kalau saat ini kau memang minta mati, kami tidak segan-segan melakukannya!" kata Liris
Merah pula dengan menahan amarah. Wiro terdiam tapi otaknya berjalan. Kalau dua orang
gadis itu tidak membunuhnya berarti ada sesuatu yang mereka harapkan. Akhirnya Wiro
berkata.

"Aku tidak bisa percaya begitu saja kata-kata kalian. Aku harus menemui Setan Ngompol. Aku
harap kalian segera melepas-kan totokan di tubuhku!"
"Dasar sableng. Mau enaknya sendiri. Tidak tahu terima kasih

menerima budi orang …" ucap Liris Merah. Gadis ini mendekati Wiro lalu dengan dua jari
tangan kanannya dia menusuk dua titik di punggung si pemuda. Saat itu juga totokan yang
membuat kaku tubuh Wiro musnah.

"Totokan sudah kulepas! Kalau kau mau pergi silahkan pergi sekarang juga!" ucap Liris Merah
pula dengan suara keras lantang. Wiro atur aliran darah dan kerahkan tenaga dalam. Sesaat
kemudian tubuhnya melesat ke udara lalu melagang turun, berdiri senyum-senyum di antara
dua gadis cantik Liris Merah dan Liris Biru.

"Tak perlu cengengesan segala. Kau bilang mau pergi. Kenapa masih jual tampang di sini?!"
Kata Liris Merah sambil berdiri berkacak pinggang. Wiro tertawa.

"Sebelum pergi, aku perlu bicara dulu."

"Bicara apa?" tanya Liris Biru. Wiro usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain.

"Pertama, aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian berdua karena membawaku ke sini.
Aku merasa telah menerima budi sangat besar. Kedua aku mohon maaf kalau tadi telah bicara
keras dan kasar pada kalian berdua …"

"Hemmm, aneh juga. Tadi kau marah-marah dibawa kesini. Sekarang malah berterima kasih
dan minta maaf segab. Sepertinya minta dikasihani! Begitulah manusia, berbuat seenaknya
dulu baru kemudian minta maaf!" Tukas Liris Merah pula. Wiro cuma menyengir. Tangan
kanannya bergerak ke punggung, pada bagian yang cidera bekas pukulan Pangeran Muda dari
Keraton Kaliningrat. Dia merasa ada sesuatu menempel di punggung itu. Diambilnya lalu
diperhatikan. Wiro terkejut. Yang dipegangnya saat itu adalah selembar daun sirih yang telah
layu, berwarna kehitaman. Wiro meraba lagi ke punggung. Sekali ini diadapatkan tiga lembar
daun sirih sekaligus. Langsung saja dia ingat kejadian dan ucapan perempuan cantik bayangan.

",…empat helai daun sirih Ialu ditempelkan di bagian tubuh orang yang cidera dengan ujung
mengarah ke ler, kilen, kidul dan wetan …. "

"Kalian berdua, Liris Merah, Liris Biru …" ucap Wiro sambil memandang dari daun sirih dan pada
dua gadis silih berganti.

"Kalian telah mengobati diriku?" Wiro merasa yakin kalau memang kedua gadis cantik itu yang
telah menolong mengobatinya karena saat kejadian Wulan Srindi telah meninggalkan dirinya
untuk mencari daun sirih yaitu sesuai dengan petunjuk perempuan bayangan.
"Tadi aku sudah mengatakan. Kami tahu semua yang terjadi. Dan kami berdua telah melakukan
yang terbaik untukmu." Kata Liris Merah dengan wajah asam. Wiro menggaruk kepala. Ini
pertama kali dia menggaruk dan terasa sedap sekali. Puas menggaruk dia berkata.

"Kalau tidak keberatan tolong jelaskan apa yang terjadi dan apa yang telah kalian lakukan." Liris
Merah berpaling pada adiknya Liris Biru. Liris Biru kemudian menerangkan.

"Kami datang di tempat kau tergeletak pada malam dua hari lalu …."

"Apa?! Jadi aku berada di tempat ini sudah selama dua hari?"

memotong Wiro. Liris merah anggukkan kepala. Lalu meneruskan penjelasannya.

"Kami datang pada saat kau roboh di samping seorang gadis yang pinggangnya dipenuhi kendi.
Tak jauh dari situ ada satu sosok lelaki yang sudah jadi mayat dengan tubuh hancur seperti
dicincang. Siapa adanya gadis berdandanan aneh itu?" Liris Biru bertanya sambil melirik melirik
pada kakaknya.

"Namanya Wulan Srindi. Sengsara yang amat sangat membuat jalan pikirannya berubah. Dia
diambil murid oleh lblis Pemabuk. Katakan, apa yang kalian ketahui selanjutnya …"

"Gadis itu berusaha keras menolongmu tapi tidak bisa. Lalu muncul satu mahluk aneh.
Perempuan cantik berbentuk-bayangan. Aku dan kakakku mendengar semua apa yang
diucapkan mahluk bayangan itu untuk mengobatimu. Pokoknya kami mendengar semua
pembicaraan kalian. Mahluk ini kemudian menolong mengobati cidera di punggungmu. Namun
masih diperlukan empat lembar daun sirih untuk menuntaskan pengobatan. Ketika mahluk itu
melenyapkan diri dan gadis bernama Wulan Srindi meninggalkanmu untuk mencari daun sirih,
kami membawamu pergi. Kau kami bawa kesini. Tempat ini adalah Goa Cadasbiru, terletak di
Kaliurang, tempat kediaman kami bersama mendiang guru …." Wiro angguk-anggukkan kepala.

"Tadi aku tidak tahu berada dimana. Sekarang setelah tahu aku sangat bersyukur …." Liris Biru
meneruskan keterangannya.

"Sesuai ucapan mahluk bayangan kami cari empat lembar daun sirih. Kemudian kami
tempelkan di punggungmu yang cidera. Tubuhmu mengepulkan asap hitam. Dari cidera di
punggungmu membersit darah kehitaman yang kemudian secara aneh lenyap sendirinya.
Selama dua hari dua malam kau tergeletak menelungkup di atas pembaringan batu itu,
terserang demam panas. Kau sering mengigau, berteriak-teriak, memukul dan menendang.
Kami terpak-sa menotokmu. Sekarang kau telah sembuh."

Wiro rapatkan dua tangan di atas kening, membungkuk dalam-dalam seraya berkata.

"Aku berhutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Katakan bagaimana aku bisa
membalasnya."
"Kami hanya ingin kau menjawab beberapa pertanyaan." Jawab Liris Merah pula.

"Pertama, siapa adanya perempuan cantik berbentuk bayangan itu?" Wiro menggaruk kepala.

"Aku sendiri tidak kenal padanya. Tapi dia seperti kenal padaku."

"Aku tidak tahu apa kau berdusta atau tidak." ujar Liris Merah.

"Pertanyaan kedua," Liris Biru yang berucap.

"Gadis bernama Wulan Srindi itu memanggilmu dengan sebutan suamiku. Apakah dia istrimu?
Memangnya kau sudah kawin?" Wiro garuk kepala lalu menggeleng.

"Dia bukan istriku, aku bukan suaminya …."

"Tapi kabarnya dia sudah hamil tiga bulan!" Potong Liris Merah dengan unjukkan wajah sinis.

"Aneh juga! Tidak dikawini tapi bisa hamil!" ucap Liris Biru setengah mengejek. Lalu tertawa
cekikikan.

"Memang aneh. Seperti aku katakan tadi akibat derita sengsara yang tak sanggup dihadapinya,
Wulan Srindi rusak jalan pikirannya. Sebelumnya dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Lalu
kemana-mana menebar ucapan bahwa aku adalah suaminya. Malah dia mengatakan kalau
sudah hamil tiga bulan. Bahkan semua itu pernah dikatakannya pada guruku Eyang Sinto
Gendeng. Aku kasihan padanya, tapi tak bisa berbuat apa …."

"Derita sengsara apa yang begitu hebat hingga membuat dirinya rusak pikiran seperti itu?"
Bertanya Liris Biru.

"Dia diperkosa …” Jawab Wiro.

Liris Merah dan Liris Biru saling pandang dan sama-sama terdiam. Akhirnya Liris Merah
membuka mulut

"Waktu mengobati dirimu, mahluk bayangan menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Yang kami
ingin tahu dimana beradanya kitab itu sekarang?"

"Aku melihat mahluk bayangan itu berbisik padamu. Apa yang dibisikkannya?" Liris Biru ikut
ajukan pertanyaan. Wiro menggaruk kepala, mengingat-ingat.

"Saat itu dia mengatakan bahwa Kitab Seribu Pengobatan ada padanya dan kelak akan
diserahkan padaku."
"Kapan? Dimana akan diserahkan?" Desak Liris Merah. Walau memang sudah ada perjanjian di
satu tempat dengan mahluk bayangan namun Wiro tidak mau memberi tahu.

"Kalian berdua, aku telah berhutang budi dan nyawa pada kalian. Aku ingat cerita kalian tempo
hari. Kalian punya kelainan. Tidak tahan hawa panas. Dengar, jika kitab itu aku dapatkan, aku
berjanji akan menyerahkan pada kalian."

"Siapa percaya janjimu!" ucap Liris Merah.

"Sahabatku, salah satu perbuatan baik dalam hidup ini adalah saling percaya. Mana mungkin
aku berdusta pada orang-orang yang telah menyelamatkan nyawaku. Aku harus pergi sekarang.
Tolong tunjukkan jalan keluar ….." Liris Merah kesal tapi tudingkan ibu jari tangan kirinya ke
arah kanan. Wiro membungkuk. Mengucapkan terimakasih lalu melangkah cepat kearah yang
ditunjuk. Lima langkah bergerak tiba-tiba Liris Biru berkelebat menghadang.

"Ada apa?" tanya Wiro heran. Liris Biru angkat tangan kanannya. Di tangan itu dia memegang
sebuah benda terbuat dari perak yang segera dikenali Wiro.

"Tusuk konde perak. ltu milik guruku. Bagaimana bisa berada padamu? "

"Kami temukan tersemat di baju bututmu waktu kami menggeledah sekujur tubuhmu!"
Menerangkan Liris Biru. Wiro terkejut.

"Apa?! Kalian menggeledah sekujur tubuhku?!" ucap pendekar sambil tekap dada lalu tekap
bagian di bawah perutnya. Liris Merah dan Liris Biru langsung merah wajah masing-masing.

"Kami bukan gadis murahan! Kami cukup tahu peradatan sopan santun waiau saat itu kau
dalam keadaan pingsan!" kata Liris Merah pula. Liris Biru kemudian angsurkan tusuk konde
perak yang segera diambil oleh Wiro.

"Terima kasih. Kalian berdua baik sekali. Hutang budiku tambah besar." Pendekar 212 langsung
melanjutkan langkahnya. Namun sebelum berkelebat pergi pemuda ini lebih dulu mencium pipi
kiri Liris Biru. Untuk beberapa lamanya Liris Biru tegak tertegun sambil mendekap pipinya yang
bekas dicium sementara sang kakak, Liris Merah, memperhatikan dengan pandangan tidak
senang. Lalu dia melangkah mendekati adiknya dan berkata.

"Adikku, terus terang aku tidak percaya pada semua ucapan Pendekar Dua Satu Dua. Terutama
janjinya akan menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus mengikutinya. Aku punya
firasat dia tengah menuju ke satu tempat dimana kitab itu berada."

"Terserah padamu, kakak. Tapi ingat sudah saatnya kita berendam di telaga, membersihkan diri
di air pancuran. Tidakkah kau merasa kalau tubuh kita mulai panas? Sebaiknya kita
mendinginkan diri dulu …."
"Kalau kita mendinginkan diri lebih dulu, pemuda itu sudah lari jauh. Aku akan berusaha
mencari telaga di tengah jalan."

"Kalau begitu aku ikut bersamamu." Kata Liris biru pula.

"Tidak, kau tunggu di sini. Apa kau lupa di tempat ini kita menyimpan benda sangat berharga?"
Walau menduga-duga apa itu alasan sebenarnya Liris Merah menolak dia ikut serta akhirnya
Liris Biru anggukan kepala mengalah.

"Pergilah. Hati-hati …." Setelah Liris Merah pergi, sang adik masih tegak di tempatnya semula.
Hatinya berucap.

"Aku lihat wajah kakak tadi. Menunjukkan rasa tidak senang. Ada bayangan rasa cemburu.
Apakah dia sudah jatuh cinta pada pemuda itu. Tapi mengapa tadi dia selalu bicara keras? Kalau
Wiro suka pada aku dan Liris Merah, mengapa cuma aku yang diciumnya? Padahal dulu aku dan
kakak sama-sama menciumnya.

Kepergian kakak, apakah sepenuh hati hanya untuk menguntit, bukan karena hasrat ingin
berada dekat pemuda itu?" Liris Biru usap pipinya yang bekas dicium Wiri. Dia ingat cerita Setan
Ngompol. Selain memberi tahu siapa pembunuh gurunya si kakek juga menjelaskan bahwa
Kitab Seribu Pengobatan berada di tangan perempuan bayangan. Dan yang tidak dilupakan Liris
Biru adalah penjelasan Setan Ngompol bahwa gurunya pernah mengeluarkan ucapkan kalau
Wiro suka dia boleh memilih salah satu antara dia dan kakaknya.

"Aku tadi diciumnya. Apakah itu satu pertanda bahwa dia memilihku …. ?” Liris Biru tersenyum
sendiri Gadis ini keluar dari gua, langsung menuju ke sebuah telaga yang terletak di bagian
bawah satu tebing batu. Di salah satu dinding tebing ada sebuah pancuran. Walau ada tangga
batu menuju ke dalam telaga, Liris Biru tidakmau berlama-lama. Gadis itu rangsung melesat
terjun masuk ke dalam air.

Saat itu langit di ufuk timur mulai tersaput cahaya kemerahan pertanda tak lama lagi sang surya
akan segera terbit. Sambil berendam untuk melenyapkan hawa panas penyakit aneh yang
diidapnya selama bertahun-tahun Liris Biru bernyanyi-nyanyi kecil. Mendadak suara
nyanyiannya lenyap. Dua kakinya yang menjajaki dasar telaga merasa ada getaran-getaran
aneh. Lalu dilihatnya ada sebuak benda bergerak di dalam air, mendekat ke arahnya.

"lkan besar? Buaya? Bertahun-tahun tinggal di sini setahuku tidak ada binatang hidup dalam
telaga ini. Jangan-jangan makluk jejadian hendak mencelakai diriku." Tidak tunggu lebih lama
segera saja Liris Biru angkat tangannya, siap untuk menghantam dengan aliran tenaga dalam
penuh.

Tiba-tiba sebuah benda besar mencuat keluar dari dalam telaga. Air telaga bermuncratan. Liris
Biru pukulkan tangan kanannya ke depan. Dia berseru kaget ketika lengan kanannya terasa
dicekal kuat. Dan sewaktu muncratan air lenyap gadis ini lebih kaget lagi begitu melihat siapa
yang ada di hadapannya dan mencekal tangannya.

"Kau!" Yang diteriaki tertawa lebar.

"Kurang ajar sekali! Beraninya kau mengintip perempuan mandi!" Orang yang mencekal lengan
si gadis, yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa bergelak.

"Kau masih mengenakan pakaian utuh. Kalau sudah . telanjang boleh saja kau marah!"

"Apa yang kau lakukan di telaga ini! Kau bilang tadi kau mau pergi! Sekarang mengapa ada di
sini?" Liris Biru tarik tangannya yang dipegang Wiro.

"Aku tidak mau diikuti oleh kakakmu. Selain itu aku memang sudah beberapa hari tidak mandi.
Kebetulan ada telaga berair jernih."

"Bagaimana kau tahu kalau kakakku mengikutimu."

"Keluar dari goa, aku tidak terus pergi. Aku sempat men-dengar pembicaraan kalian …."

"ltu Cuma jawaban yang dibuat-buat. Alasanmu yang sebe-narnya adalah menungguku turun
mandi ke telaga ini. Dasar pemu-da ganjenl"

"Eh, tunggu dulu. Siapa yang ganjen di antara kita? Bukankah kau dan kakakmu yang lebih dulu
menciumku tempo hari?"

"Kami menciummu bukan karena ganjen. Tapi karena sangat berharap dan bebesar hati kau
bisa menolong kami mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Kau sendiri mengapa tadi waktu di
goa menciumku?" Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab.

"Pertama, kau baik. Lebih baik dari kakakmu yang bicara se-lalu keras meledak-ledak. Selain itu
kau cantik. Lalu bukankah ciuman itu pantas sebagai sopan santun balasan ciumanmu tempo
hari?"

"Edan!" Teriak Liris Biru. Wajahnya yang basah oleh air telaga kelihatan bersemu merah namun
diam-diam hatinya merasa senang. Wiro tertawa lebar.

"Sudah, agar tidak dituduh ganjen terus -terusan aku mau pergi saja."

"Tunggu," kata Liris Biru. Kini dia yang mencekal tangan kanan Wiro hingga si pemuda tertarik
satu langkah dan ini cukup membuat tubuh keduanyanya hampir bersentuhan.

"Apakah kau benar-benar akan menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan " bertanya Liris Biru.
"Karena kalau kau berdusta, percuma saja aku menunggu di sini"

"Mana aku sampai hati mendustai gadis sebaik dan secantik-mu. Apa lagi mengingat kematian
gurumu di tangan Eyang Sinto. Aku merasa sangat menyesal dan sedih sekali …" Wiro tekapkan
kedua telapak tangannya kewajah Liris Biru. Entah mengapa gadis ini lingkarkan dua tangannya
di pinggang Wiro lalu sandarkan kepala di dada bidang sang pendekar. Terdengar suaranya
perlahan.

"Wiro, apakah aku boleh ikut bersamamu?"

"Hemm … Saat ini kurasa belum boleh. Lain kali kita akan pergi sama-sama kemana kau suka.

" Wiro belai rambut basah si gadis.

"Aku harus pergi sekarang. Tunggu di sini. Aku pasti datang membawa kitab itu."

"Aku akan menunggu," jawab Liris Biru lalu memeluk tubuh Wiro erat-erat seolah tak ingin
pemuda itu lekas-lekas meninggal- kannya. Sesaat Wiro balas merangkul punggung si gadis lalu
mencium keningnya.

"Aku pergi …" bisik Pendekar 212.

"Tunggu, walau kau tidak menceritakan kemana kau akan pergi namun aku tahu perjalananmu
pasti jauh. Sementara kau hanya membekal sehelai celana basah dan tidak mengenakan baju.
Di dalam goa ada beberapa perangkat pakaian mendiang guru. Aku akan mengambilkan satu
pasang untukmu. Naiklah ke tebing di atas sana."

"Gurumu perempuan, aku laki-laki. Mana mungkin aku pakai pakaian perempuan. Aku belum
mau jadi banci ……" Saat itu Liris Merah telah melesat keluar dari telaga, masuk kedalam Goa
Cadasbiru. Ketika dia keluar membawa sehelai celana dan baju hitam, Wiro sudah menunggu.

"Pakailah," kata Liris Biru sambil menyerahkan pakaian yang di bawanya.

"Eh, tak mungkin aku berganti pakaian di hadapanmu," kata Wiro sambil memandang kiri
kanan.

"Jangan bicara konyol. Kau bisa masuk ke dalam goa!" Wiro menyengir. Sambil manggut-
manggut melangkah masuk ke dalam goa. Ketika keluar dia sudah mengenakan baju dan celana
hitam. Ukuran badannya agak sempit, lengan dan kaki celana menggan-tung kependekan. Liris
Biru tertawa geli melihat keadaan Wiro. Pendekar 212 garuk-garuk kepala.

"Tak mengapa. Biar jadi badut dari pada tidak pakai baju dan celana sama sekali. Liris Biru,
terima kasih untuk pakaian ini!" Sebelum berkelebat pergi Wiro tepuk pantat si gadis.
"lhhh!" Si gadis terpekik kaget tapi senang. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak di tempat
itu. Seumur hidup baru tadi untuk pertama kalinya dia memeluk dan dipeluk seorang lelaki.
Satu kenangan mesra dan indah yang tak bakal dilupakannya sampai kapanpun. Di balik sebuah
batu di atas tebing, sepasang mata melotot sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi dengan
dua insan di dalam telaga. Wajahnya yang cantik tampak berkerut dan dada

menyentak keras.

"Perasaanku ternyata benar. Tidak sia-sia aku kembali untuk menyelidik. Lancangnya dia
menyerahkan pakaian milik guru. Liris Biru, sekalipun kau suka pada pemuda kurang ajar itu
dan dia senang padamu, aku bersumpah kau tak akan mendapatkan dirinya.

" Orang yang berucap perlahan itu balikkan tubuh. Pakaian yang serba merah, rambut yang
digulung di atas kepala menyatakan bahwa dia bukan lain adalah Liris Merah.

***

EMPAT

DALAM bangunan batu pualam di dasar telaga yang terletak di puncak Gunung Gede. Nenek
muka putih berpakaian biru dengan rambut hitam tergerai kusut, berlutut di hadapan Kiai Gede
Tapa Pamungkas.

"Kiai, saya? tak akan habis-habisnya mengucapkan terima kasih atas budi baik Kiai yang telah
menolong menyelamatkan saya. Mengobati cidera yang saya alami sehingga sembuh . Saya
tidak mungkin membalas semua budi dan hutang nyawa itu." Kiai Gede Tapa Pamungkas, tokoh
rimba persilatan berkepandaian sangat tinggi dan mengenakan pakaian selempang kain putih
tersenyum.

"Nenek sahabatku bangkitlah. Mengapa terlalu banyak memakai peradatan segala?"


Mendengar ucapan sang Kiai si nenek segera bangun.

"Menolong dengan mengharap balas budi bukanlah satu sifat yang tulus. Ketahuilah, jika kau
ingin berterima kasih, berterima kasihlah pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu ada
seseorang yang pantas menerima semua rasa terima kasihmu."

"Begitu … ? Siapakah dia Kiai?" tanya nenek muka putih pula.

"Seorang perempuan muda bernama Nyi Retno Mantili. Dialah yang telah menemukan dirimu
dalam keadaan cidera berat Dia yang membawamu ke padaku."

"Nyi Retno Mantili …." ucap nenek muka putih.


"Apakah saya pernah mengenal atau bertemu dengannya? Kiai, dimana saya bisa mencari dan
menjumpai perempuan berbudi luhur itu?"

"Tidak mudah untuk mencarinya …"

"Dia membawa saya kepada Kiai. Berarti dia mengenal Kiai. Kalau saya boleh bertanya apa
hubungan Kiai dengan Nyi Retno Mantili?"

"Perempuan muda itu sebenarnya adalah istri Tumenggung Wira Bumi yang sekarang telah
menjadi Patih Kerajaan …" Nenek muka putih unjukkan wajah kaget. Kiai Gede Tapa Pamungkas
melanjutkan ceritanya.

"Perjalanan nasib membawa Nyi Retno masuk ke jurang ke-sengsaraan. Derita yang amat
sangat karena kehilangan bayi puteri pertamanya membuat pikirannya berubah tidak waras.
Aku menemui dirinya di satu tempat ketika ada mahluk jejadian hendak menghabisi nyawanya.
Mahluk jahat ini dikenal dengan panggilan Nyi Tumbal Jiwo, mahluk dari alam roh yang menjadi
guru sesat Wira Bumi. Nyi Retno bisa kuselamatkan dan kubawa ke sini. Kuberi sedikit pelajaran
ilmu silat dan beberapa kesaktian sambil berusaha menyembuhkan jalan pikirannya. Namun
sia-sia belaka. Setelah membawamu ke sini dia pergi begitu saja. Mungkin mencari bayinya
yang hilang. Mungkin juga ke Kotaraja untuk membalas dendam kesumat sakit hati pada Wira
Bumi yang dalam ketidak warasannya tidak diketahuinya bahwa lelaki itu adalah suaminya
sendiri." Nenek muka putih menghela nafas dalam.

"Derita yang saya alami rasanya begitu berat, seperti tidak tertahankan. Ternyata masih ada
orang yang lebih sengsara dari saya."

"Sahabatku, baik atau buruk nasib kita sebagai manusia jangan diperbandingkan dengan orang
lain. Karena hal itu bisa membawa rasa iri dan ketidak adilan dalam diri kita. Adalah satu dosa
besar kalau kita sampai mengatakan bahwa Tuhanlah yang telah berlaku tidak adil pada kita.
Padahal jalan nasib seseorang sudah ditentukan sebelumnya oleh Sang Pencipta." Mendengar
ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas nenek muka putih unjukkan wajah sayu dan hanya bisa
berdiam diri.

"Sahabatku ….. Aku selalu memanggilmu dengan panggilan sahabat. Kau tentu punya nama.
Lalu jika kau orang rimba persilatan pasti memiliki gelar. Apakah aku boleh mengetahui nama
dan gelarmu?" Nenek muka putih tertawa.

"Gelar saya tak punya, Kiai. Kalau nama, orang-orang memanggil saya Nyi Bodong." Kening sang
Kiai mengerenyit. Matanya sekilas menatap ke arah perut nenek muka putih. Lalu bibirnya
menyeruakkan senyum.

"Nyi Bodong, sesuai janjiku tempo hari, siang ini kau boleh meninggalkan tempat ini. Namun
ada satu hal yang ingin aku ketahui.Bagaimana ceritanya kau bisa berada di puncak Gunung
Gede? Berjalan jauh kalau tidak tengah mencari seseorang rasanya tidak masuk akal. Siapakah
yang ingin kau temui?"

"Saya tahu selain Kiai di puncak Gunung Gede ini tinggal juga Eyang Sinto Gendeng. Namun
terus terang saja, saya tidak bermaksud menemui Kiai atau nenek sakti itu …"

"Begitu? Aku juga ingin tahu siapa yang telah menciderai dirimu begitu jahat hingga aku
membutuhkan waktu lebih dari dua minggu untuk menyembuhkanmu."

Nenek muka putih tampak terkejut. Hampir tak percaya. "Jadi saya telah berada selama dua
minggu di tempat ini? Ah, manusia bejat terkutuk itu pasti telah lari jauh …"

"Nyi Bodong maukah kau menceritakan riwayat perjalananmu dan siapa pula yang kau
maksudkan dengan manusia bejat terkutuk itu?"

"Kiai, saya terpesat ke puncak Gunung Gede karena menge- jar seorang manusia jahat berjuluk
Hantu Pemerkosa yang bukan lain sebenarnya adalah Pangeran Matahari. Banyak gadis dan
perempuan muda serta istri orang yang telah jadi korbannya ….." Kiai Gede Tapa Pamungkas
menghela nafas panjang dan gelengkan kepala.

"Aku pernah mendengar kabar buruk manusia berjuluk Hantu Pemerkosa itu. Tapi tidak pernah
mengira kalau dia adalah Pangeran Matahari. Gusti Allah, bukannya saya ingin mendahului
kehendakMu. Mungkin sudah saatnya manusia satu itu disingkirkan dari muka bumi ini untuk
selamalamanya."

"Satu kali saya sempat menyergap Hantu Pemerkosa dan membuat buntung tangan kirinya
namun dia bisa melarikan diri. Ternyata ada seorang ahli pengobatan yang menolong.
Mengobati bahkan menyambung kembali tangan kiri Pangeran Matahari …."

"Hanya ada satu orang yang punya kemampuan ilmu pengobatan seperti itu. Seorang bernama
Ki Tambakpati."

"Memang Kiai, memang dia orangnya. Saya sempat menemuinya. Saya kemudian mengetahui
bahwa Pangeran Matahari itu dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede ini Saya
mengejar sampai ke sini ….."

"Nyi Bodong, apakah kau tahu ada keperluan apa Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa
datang ke puncak Gunung Gede?"

"Dia mencari Kitab Seribu Pengobatan. Agaknya dia menderita satu penyakit yang sulit
disembuhkan. Konon kitab itu ada pada Eyang Sinto Gendeng." Si orang tua angguk-anggukkan
kepala.
"Kitab itu tadinya memang ada pada Sinto Gendeng …." Dengan matanya yang jernih Kiai Gede
Tapa Pamungkas menatap sesaat ke arah Nyi Bodong. Dada si nenek mendadak berdebar.

"Kitab dicuri orang. Setelah lenyap beberapa lama kemudian kitab itu kembali berada di tempat
kediaman Sinto Gendeng. Tapi saat ini aku punya firasat kitab tersebut sudah jatuh pula ke
tangan orang lain. Sementara Sinto Gendeng sendiri tengah menghadapi banyak masalah
sekarang . Entah dimana dia berada."

"Kiai, satu kali ketika saya masih terbaring sakit ada seorang pemuda masuk ke tempat ini.
Maksudnya baik, namun saya tidak suka dia hendak menyentuh saya. Pemuda itu benama Wiro
Sableng. Berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Bagaimana dia bisa berada di tempat ini?"

"Dia sahabat Nyi Retno Mantili. Aku yang membawa mereka masuk kedalam telaga ini. Karena
Sinto Gendeng adalah muridku maka Wiro Sableng bisa disebut sebagai cucu muridku. Apakah
kalian tidak saling mengenal sebelumnya?" Nyi Bodong tidak menjawab.

"Nyi Bodong, cidera berat di bahu kirimu. Apakah itu akibat bentrokan dengan Pangeran
Matahari?"

"Betul Kiai. Saya sempat menghantamnya namun dia menyerang saya dengan sebuah senjata
aneh. Sebuah lentera yang memancarkan cahaya kuning. Saya dengar lentera itu dalam rimba
persilatan dikenal dengan sebutan Lentera Iblis..:."

"Lentera Iblis …." Kiai GedeTapa Pamungkas usap wajahnya.

"Senjata dari alam roh yang luar biasa hebatnya. Siapa yang memiliki akan menguasai rimba
persilatan. Kalau lentera itu tidak dirampas dari tangan Pangeran Matahari atau tidak segera
dimus-nahkan, rimba persilatan akan dilanda satu malapetaka besar. Pangeran Matahari akan
menjadi raja diraja kejahatan. Golongan hitam akan menguasai seluruh tanah Jawa bahkan
sampai ke tanah seberang."

"Kiai, kalau saya memang sudah sembuh, apakah saya boleh meninggalkan tempat ini?"

"Sebelum kau pergi ada yang perlu aku beritahukan," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.

"Dalam sakitmu ada seorang tamu datang kesini. Dia hanya datang sebentar. Dia masuk
keruangan ini ketika kau tertidur lelap .."

"Siapakah orang itu Kiai?" tanya Nyi Bodong sambil dalam hati menduga-duga.

"Sahabat lamaku. Namanya Kiai Munding Suryakala." Nyi Bodong cepat menyembunyikan rasa
terkejutnya ketika mendengar orang tua itu menyebut nama tersebut.
"Apa saja yang dibicarakan orang tua itu dengan Kiai?" Nyi Bodong memberanikan diri
bertanya.

"Seperti kataku tadi. Dia hanya datang sebentar. Yang penting bisa menjengukmu dan tahu hau
berada dalam keadaan baik. Dia tidak bicara apa-apa. Hanya berpesan agar kau segera pulang
menemuinya. Dalam perjalanan jangan melakukan apa-apa jangan pergi ke tempat lain, apapun
yang terjadi."

"Akan saya lakukan Kiai. Kalau saya boleh bertanya, apakah Kiai Munding Suryakala
menceritakan perihal diri saya atau hubungan saya dengan dirinya?" Nyi Bodong bertanya
dengan jantung berdebar. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan kepala.

"Ada sesuatu yang menggelisahkanmu, sahabatku?"

"Tidak, tidak ada apa-apa …." si nenek muka putih menjawab dan diam-diam hatinya merasa
lega.

"Sebelum pergi dia memberitahu satu hal padaku. Menurut Kiai Munding Suryakala satu
peristiwa besar akan terjadi di rimba persilatan tanah Jawa. Mungkin hal ini ada hubungan
dengan permintaannya agar kau lekas pulang. Dia tidak ingin suatu apa terjadi dengan dirimu.”

"Kalau begitu saya mohon diberi izin pergi sekarang …" Kiai Gede Tapa Pamungkas
mengangguk. Pintu hijau muda yang ada di ruangan itu terbuka.

"Kiai, seperti yang Kiai pernah jelaskan, tempat ini terletak di dasar sebuah telaga besar.
Bagaimana mungkin saya keluar?" Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.

"Dalam tidurmu sementara menanti kesembuhan, aku telah meresapkan ilmu tahan berada
dalam air pada dirimu. Kau hanya tinggal menekankan kedua kakimu pada tanah dasar telaga,
maka tubuhmu akan melesat ke permukaan air. Selanjutnya kau bisa berenang menuju tepian
telaga …."

"Berenang?" Nyi Bodong tertawa lebar.

"Saya tidak pandai berenang, Kiai."

"Saat ini kau sudah bisa berenang. Lihat saja nanti …." Nenek muka putih menatap tercengang.
Sadar kalau orang telah memberikan dua macam ilmu kepandaian Nyi Bodong segera jatuhkan
diri berlutut sambil mulutnya berucap.

"Terima kasih Kiai. Budimu setinggi langit sedalam samudera” Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat
menahan bahu si nenek.
"Tak usah pakai peradatan segala. Aku tidak tahu antara kita siapa yang lebih tua ….” Sang Kiai
lalu tertawa mengekeh. Nyi Bodong melangkah cepat menuju bagian depan bangunan batu
pualam.

"Selamat tinggal Kiai. Saya sangat berharap akan dapat menemui Kiai di lain waktu." Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum dan anggukkan kepala. Seperti yang dikatakan sang Kiai, begitu Nyi
Bodong tekankan ke dua kakinya ke dasar telaga, tubuhnya serta merta melesat ke atas dan
dalam waktu sangat cepat dia sudah timbul di permukaan air. Nenek muka putih ini dapatkan
dirinya berada di tengah telaga. Sosoknya terasa enteng. Ketika dia menggerakkan tangan dan
kaki, tubuhnya meluncur ke pinggiran timur telaga. Luar biasa! Ternyata dia memang bisa
berenang! Dan yang lebih luar biasa lagi, sewaktu dia mencapai daratan, baik rambut, tubuh
maupun pakaiannya tidak basah sedikitpun!

***

HANYA tinggal satu hari perjalanan sebelum sampai ke tempat kediaman Kiai Munding
Suryakala hujan lebat turun mendera bumi. Nyi Bodong yang berada di pinggiran rimba
belantara beruntung mendapatkan sebuah gubuk yang biasa dipakai untuk istirahat oleh para
penebang pohon. Nyi Bodong duduk di balai-balai panjang terbuat dari bambu. Matanya
menatap sayu ke depan. Hujan lebat bukan saja menutupi pemandangan tapi juga membuat
udara terasa dingin sekali. Cukup lamadudukdi dalam gubuk baru hujan mulai mereda berubah
menjadi rintik-rintik. Nyi Bodong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun baru saja
hendak bergerak dan bangkit berdiri tiba-tiba di depan sana, di antara kerapatan pepohonan,
sepasang matanya melihat dua orang berlari ke arah gubuk. Gerakan mereka sebat dan enteng
sekali.

Satu perasaan tidak enak muncul dalam diri Nyi Bodong. Nenek muka putih ini cepat berkelebat
ke balik skbatang pohon besar sejarak dua betas langkah dari gubuk.

"Ada teratak. Kita berhenti dulu!" Salah satu dari dua orang yang berlari keluarkan ucapan.
Suara perempuan. Yang satunya menyahuti.

"Kita ini seperti orang tolol saja! Tadi waktu hujan lebat kita malah lari. Kini hujan berhenti baru
mencari tempat berteduh."

"Hik … hik! Sebetulnya dua kakiku sudah penat Lagi pula aku dari tadi menahan kentut!" Laiu
preettt! Orang yang barusan, bicara pancarkan kentut. Sambil tertawa-tawa orang ini yang
ternyata perempuan masuk ke dalam gubuk dan duduk di pinggir balai-balai bambu. Orang
satunya menyusul masuk, duduk di samping temannya.

Dari balik pohon besar Nyi Bodong mengintip. Matanya mendelik dan jantungnya berdegup
keras ketika mengenali salah satu dari dua orang yang duduk dalam gubuk. "Lain yang dikejar,
lain yang aku temui! Mahluk jahanam, kau datang ke sini mengantar nyawa!"
***

LIMA

ORANG yang duduk di bangku bambu sebelah kanan mengenakan jubah putih menjela tanah,
berbadan tinggi besar. Kepala dan wajah tidak kelihatan karena dia mengenakan sehelai kain
putih yang menutupi kepala dan wajah sampai ke leher. Pada bagian depan tutup kepala ada
dua lobang kecil di jurusan sepasang mata.

"Aku yakin dialah manusianya! Dibalik kain penutup kepala itu ada satu kepala memiliki dua
muka. Satu di sebelah depan, satu di sebelah belakang. Mahluk jahanam! Hari ini kau bakal
mendapatkan pembalasan atas semua perbuatan kejimu terhadapku!" Nyi Bodong melirik pada
sosok orang yang duduk di samping leiaki berjubah dan bertutup kepala kain putih. Seorang
nenek memiliki rambut, wajah serta pakaian serba kuning. Di atas rambut kuning yang
disanggul menancap tiga buah sunting. Nyi Bodong ingat, dia pernah melihat nenek ini
sebelumnya. Selintas pikiran muncul di benak Nyi Bodong.

"Kalau kuhabisi mahluk jahanan itu, tidak mungkin si nenek muka kuning sahabatnya akan
berlepas tangan. Aku sudah tak sabaran. Kalau perlu dua-duanya aku bereskan!" Saat itu Nyi
Bodong sudah siap keluar dari balik pohon besar untuk segera menghabisi orang berjubah.
Namun gerakan kakinya tertahan ketika dia mendengar nenek muka kuning berucap.

"Sahabatku Hantu Muka Dua, apa pendapatmu tentang kabar selentingan akan adanya satu
peristiwa besar dalam rimba persilatan tanah Jawa?"

"Luhkentut, kau bertanya, aku menjawab. Apa perduliku?" sahut si jubah putih yang ternyata
adalah Hantu Muka Dua, salah satu dari sekian banyak tokoh negeri Latanahsilam yang terpesat
ketanah Jawa.

"Kita hanya mahluk-mahluk yang tersesat ke negeri ini. Mauku ingin kembali ke Latanahsilam,
negeri seribu dua ratus tahun silam. Tapi tak tahu bagaimana caranya. Selain itu aku ingin
menemui beberapa tokoh rimba persilatan. Aku ingin meyakinkan bahwa antara aku dengan
mereka tidak ada permusuhan. Aku benar-benar tobat berbuat kejahatan …"

"Syukur kalau kau benar sudah bertobat. Berarti aku tidak perlu lagi mengikuti kemana kau
pergi. Ketahuilah, setelah Seratus Tiga Belas Lorong Kematian musnah, para tokoh meminta aku
agar mengawasi dirimu. Mereka kawatir kalau-kalau kau akan membuat malapetaka dimana-
mana." Nenek yang dipanggil dengan nama Luhkentut itu berdiri.

"Saatnya aku meninggalkan dirimu. Aku ada keperluan lain .."

"Aku tahu, kau mau mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu." Kata Hantu Muka Dua sambil
tertawa lalu berdiri pula.
"Aku tak pernah melupakan pertolongannya. Kalau tidak karena dia aku kemana-mana, setiap
saat selalu menyemburkan kentut. Hik … hik! Selain itu aku merasa kasihan, sejak dari negeri
Latanahsilam sampai disini dia selalu menghadapi banyak masalah. Bahkan nyawanya
senantiasa terancam. Kalau saja aku bisa membalas budi baiknya …." (Kisah lengkap orang-
orang dari negeri Latanahsilam sebelum terpesat ke tanah Jawa dapat dibaca dalam kisah
Latanahsilam terdiri dari 18 Episode "Bola-Bola Iblis" s/d "lstana Kebahagiaan" )

"Aku juga punya hutang budi dan nyawa pada pemuda itu. Dia yang menyelamatan diriku
ketika aku dalam keadaan sangat tak berdaya dan hampir jatuh ke jurang di kawasan Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian …" Hantu Muka Dua berikan pengakuan. Luhkentut mengangguk.
Usap-usap perutnya.

"Rasanya aku mau kentut …" kata si nenek pula.

"Eh, kalau mau kentut jangan di hadapanku. Pergi jauh-jauh sana!" Luhkentut alias Hantu
Selaksa Angin tertawa cekikikan. Dia melangkah keluar gubuk. Lalu sekali berkelebat nenek
serba kuning ini lenyap dari pemandangan. Si jubah putih tarik nafas dalam. Ketika dia
menanggalkan kain putih penutup kepalanya, dibalik pohon besar wajah putih Nyi Bodong
mengerenyit. Benar rupanya cerita seseorang padanya. Seumur hidup baru kali ini dia
menyaksikan ada manusia memiliki dua buah wajah. Satu di depan berwarna putih, satu di
belakang bewama hitam. Sepasang lensa matanya depan belakang tidak berbentuk bulat, tapi
berupa segitiga berwarna hijau! Mau tak mau dingin juga tengkuk si nenek. Namun begitu ingat
perbuatan keji yang pernah dilakukan orang itu padanya, amarahnya tak bisa terbendung lagi.

Hantu Muka Dua mengusap mukanya sebelah depan dan siap mengenakan kain penutup kepala
kembali. Namun belum sempat hal itu dilakukan satu teriakan menggelegar di seantero tempat
dan satu bayangan biru berkelebat dari balik pohon. Saking kagetnya kain penutup kepala di
hngan Hantu Muka Dua jatuh ke tanah. Di lain kejap seorang nenek bermuka putih, berpakaian
serba biru telah berdiri berkacak pinggang di hadapannya.

"Siapa …. ?" Hantu Muka Dua dilah kaget dan tercekatnya ajukan pertanyaan. Nyi Bodong
meludah ke tanah.

"Mahluk jahanam! Masih bisa bertanya! Aku datang untuk menghabisi nyawamu! Dosamu
setinggi langit sedalam lautan!" Mendengar bentakan orang wajah Hantu Muka Dua depan
belakang berubah menjadi wajah seorang kakek dan berwarna pucat pasi. Beginilah
keadaannya jika Hantu Muka Dua dalam terkejut.

"Nenek muka putih. Melihatmu pun baru kali ini. Bagaimana kau menuduh aku punya dosa
setinggi langit sedalam lautan padamu?!"

"Otak mahluk jahanam sepertimu memang bisa tumpul karena terlalu banyak berbuat dosa
kejahatan. lngat peristiwa di sebuah gubuk, ketika kau memperalat seorang rampok bernama
Warok Jangkrik untuk menjebak seorang perempuan muda?! Kau kemudian hendak
memperkosa perempuan itu!"

"Dimasa lalu aku memang banyak berbuat dosa. Tapi saat ini aku telah bertobat ….."

"Bertobat?" Nyi Bodong tertawa panjang.

"Kalau sisa nyawa sudah di leher, mana ada lagi tobat di muka bumi ini?!"

"Nenek muka putih. Antara kita tak ada silang sengketa. Kau sungguhan hendak
membunuhku?!"

"Aku sudah bersumpah akan membunuhmu sejak hari kau melakukan perbuatan keji itu!"
jawab nenek muka putih.

"Tapi apa hubunganmu dengan perempuan muda itu? Kau neneknya atau gurunya?"

"Soal hubunganku dengan perempuan muda itu bukan urusanmu! Sekarang bersiaplah untuk
menerima kematian!"

"Nenek muka putih, jika aku memang berdosa, aku rela menerima kematian. Tapi jika aku tidak
pernah punya silang sengketa denganmu, aku harap kau mau meninggalkan tempat, ini." Nyi
Bodong tertawa panjang.

"Ajalmu sudah di depan mata!"

"Kalau kau keliwat memaksa, aku terpaksa melawan mem-bela diri …" kata Hantu Muka Dua
pula.

"Silahkan! Aku mau lihat kau bisa berbuat apa!" Hantu Muka Dua renggangkan dua kaki
memasang kuda-kuda. Dua tangan siap menangkis atau menghantam. Dia siapkan ilmu pukulan
yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Semasa di negeri 1200 tahun lalu Latanahsilam, ilmu
ini adalah hasil rampasan dari Hantu Lumpur Hijau. Lawan yang terkena hantaman pukulan
akan hancur meleleh tubuhnya, tidak beda lumpur berwarna hijau. Saat itu ada keraguan dalam
hati Hantu Muka Dua. Apakah dia memang harus melayani si nenek? Karena dia merasa yakin,
sekali ilmu pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh di lepaskan, nenek muka putih itu akan
menemui kematian secara mengerikan.

Sementara Hantu Muka Dua berada dalam kebimbangan, si nenek muka putih telah lebih
dahulu membuat gerakan. Dibarangi teriakan lantang tangan kanan Nyi Bodong berkelebat
menyingkap baju biru di bagian perut. Tangan kiri diangkat ke atas, telapak mengembang.
Sepasang mata segi tiga Hantu Muka Dua terbeliak besar, terpukau menyaksikan perut putih
mulus dihias sebuah pusar menonjol bercahaya. Selagi Hantu Muka Dua terkesiap dari mulut
Nyi Bodong tiba-tiba keluar suara raungan seperti srigala melolong.
Lalu dari pusar yang bodong mendadak sontak Menyembur selarik sinar berwarna biru gelap
menggidikkan. Sinar Geni Biru! llmu Pusar Pusara!

"Tahan serangan! Jangan!" Tiba-tiba ada orang berseru. Namun terlambat. Larikan sinar biru
melanda Hantu Muka Dua tepat di bagian dada! Tak ampun lagi tubuh mahluk dari negeri 1200
silam itu terbelah menjadi dua. Nyi Bodong terkejut ketika melhat di kening sebelah depan
Hantu Muka Dua secara aneh muncul guratan angka 212. lni adalah bekas pukulan Wiro yang
dihantamkan ke kening Hantu Muka Dua sewaktu hancur dan musnahnya lstana Kebahagiaan.
(Baca serial Wiro Sableng di negeri Latanahsilam) Dua potongan tubuh Hantu Muka Dua
kepulkan asap biru,mencelat ke udara lalu meledak berkepingkeping, berubah menjadi lelehan
aneh berwarna putih dan akhimya lenyap dari pemandangan. Tamat sudah riwayat mahluk
yang di negeri Latanahsilam dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.

Satu raungan menggelegar di udara. Nyi Bodong tanpa perduli keluarkan suaratawa cekikikan.
Dia baru hentikan tawanya ketika ada satu bayangan berkelebatdi hadapannya disusul satu
suara keras.

"Salah kaprah! Kau membunuh orang yang sudah tobat dan pernah menyelamatkan dirimu!
Hukuman Tuhan sekalipun tidak sekejam itu!"

"Keparat jahanam! Siapa berani membawa-bawa nama Tuhan di tempat ini?!" teriak Nyi
Bodong. Memandang ke depan kening nenek muka putih mengerenyit. Mata mendelik geram.

"Mahluk samar! Kau setan jejadian atau demit hutan belantara?!" Bentak Nyi Bodong.

Yang muncul dan berdiri di hadapan Nyi Bodong adalah sosok bayangan berupa seorang
perempuan cantik berambut panjang hitam menjela pinggang.

"Siapapun diriku tak ada pentingnya. Yang lebih penting kau telah melakukan satu kesalahan
besar membunuh Hantu Muka Dua."

"Mahluk setan! Beraninya kau menuduh aku berbuat salah. Jika kau membela dan Hantu Muka
Dua adalah sahabatmu, apakah kau tahu kebejatan mahluk itu?! Apakah kau tahu apayang
telah diperbuatnya terhadapku?!"

"Aku lebih dari tahu! Hantu Muka Dua memang manusia bejat! Tapi dosa kebejatan sebesar
apapun akan selalu ada pengampunan. Dia sudah bertobat. Mengapa kau masih melam-piaskan
nafsu pembunuhan? Kalau kau tahu pertolongan apa yang telah dilakukannya terhadapmu, aku
yakin kau akan mengampuni selembar jiwanya!"

"Yang aku tahu dia pemah hendak memperkosaku!"

"Betul," sahut mahluk bayangan berwajah jelita.


"Tapi apakah kau tahu kalau Hantu Muka Dua juga yang menyelamatkan dirimu dari
perkosaan?!" Nyi Bodong terkejut sampai tersurut satu langkah. Menatap tak berkesip pada
mahluk bayangan di depannya.

"Apa maksud ucapanmu?" tanya Nyi Bodong pula.

"Sayang aku tak bisa menceritakan sekarang padamu. Di lain waktu jika kita bertemu lagi akan
aku jelaskan semuanya. Saat ini aku harus pergi he satu tempat untuk memenuhi janji dengan
seseorang."

"Mahluk kurang ajar! Jika kau pergi tanpa memberi penjelasan akan kubunuh kau!"
Mengancam Nyi Bodong. Mahluk bayangan sunggingkan senyum.

"Aku tidak takut pada gertakanmu. Kematian bukan apa-apa bagiku. Tapi jika kau keliwat
memaksa , baik! Akan kujelaskan. Pangeran Matahari tidak pernah sempat memperkosamu.
Karena sewaktu dia hendak menggagahimu, Hantu Muka Dua yang kebetulan ada di tempat itu
menghantam kemaluannya dengan satu pukulan sakti. Kau pernah melihat darah di sekitar
pahamu. Itu bukan darah karena kegadisanmu telah dirampas Pangeran Matahari. Tapi itu
adalah darah yang mengucur dari luka pada kemaluan manusia terkutuk itu!"

"Apa?!" Nyi Bodong menjerit keras. Sekujur tubuh nenek muka putih ini bergetar hebat

"Jadl …j adi kau tahu siapa diriku?!"

"Aku tak perduli siapa dirimu. Aku hanya turut sedih atas musibah yang kau alami …"
Mendengar ucapan orang Nyl Bodong jadi terenyuh hatinya. Saat itu mahluk bayangan
dilihatnya bergerak menjauh dan semakin samar.

"Hai! Tunggu!" seru Nyi Bodong. Namun perempuan bayangan telah sima dari pemandangan.

***

ENAM

LIRIS Merah sadar dia tak sanggup lagi meneruskan larinya. Padahal orang yang dikejar hanya
tinggal beberapa tombak saja di depan sana. Malam dingin sekali karena belum lama . hujan
lebat baru berhenti. Namun saat itu gadis murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak ini
merasa diri seperti dipanggang. Sekujur tubuhnya dilanda panas luar biasa. Asap mengepul
mulai dari kepala sampai ke kaki. Tenggorokan seperti diganjal bara menyala. Sepasang mata
mulai membengkak dan dari mulutnya membersit darah kental, meleleh di sudut bibir. lnilah
kelainan atau penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun. Seperti diketahui kelainan
yang sama juga terjadi atas diri adiknya, Liris Biru.
"Wi … Wiro! Tolong!" Liris Merah berteriak sambil tangan kanan menggapai ke depan, kearah
orang yang sejaktadi diikuti dan dikejarnya. Namun saat itu suaranya hanya tinggal merupakan
seruan kelu halus. Dua lutut gadis cantik ini goyah. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Mulut
keluarkan suara erangan. Hidung hembuskan nafas sengal. Dua mata mendelik nyalang,
menatap tak berkesip ke langit gelap hitam. Dada dan tenggorokan bergerak turun naik.
Keadaannya tidak beda dengan orang yang tengah sakarat.

Tiba-tiba dalam gelap berkelebat satu bayangan hitam. Satu sosok tinggi besar kemudian
berhenti dan berdiri di samping Liris Merah yang tergelimpang di tanah. Si gadis tidak melihat
sosok yang ada di sebelahnya namun telinganya menangkap suara kaki dan gerakan orang.

"Wiro ….." Suara Liris Merah perlahan sekali. Tapi masih bisa didengar oleh orang tinggi besar
berpakaian serba hitam yang tegak di sampingnya. Tampang orang ini jadi berkerut mendengar
si gadis menyebut nama itu. Di tangan kiri dia membawa sebuah benda bercahaya, dibungkus
kain hitam. Orang ini kemudian pergunakan kaki kanannya untuk menyentuh tubuh si gadis.

"Kau menyebut nama itu. Katakan apa sangkut pautmu dengan Pendekar Dua Satu Dua!"

"Dengar, siapapun kau adanya. Aku butuh pertolongan. Kalau tidaksegera masuk ke dalam
telaga, sungai, kolam atau apa saja yang ada airnya , aku akan segera menemui kematian.
Tolong, cepat." Orang tinggi besar membungkuk memperhatikan wajah Liris Merah.

"Ah ….. Ternyata wajahmu cantik sekali. Tubuhmu juga bagus." Orang itu lalu tertawa bergelak.

"Tidak dinyana, di malam gelap dingin begini rupa aku mendapat rejeki besar. Ada seseorang
yang bakal menghangatkan tubuhku! Ha … ha … ha!"

"Demi Tuhan, jangan tertawa dan bicara saja. Tolong …. aku butuh air." Liris Merah meminta
setengah meratap.

"Aku tahu …. Dari kepulan asap yang keluar dari tubuhmu keadaanmu tidak beda seperti batang
kayu terbakar. Kalau tidak habis terkena pukulan beracun, kau pasti mengindap satu penyakit
aneh! Jika aku menolongmu, kau mau membalas dengan apa?"

"Aku bersedia melakukan apa saja …"

"Betul?!"

"Aku tidak dusta!"

"Ha … ha … ha!" Si tinggi besar tertawa bergelak.

"Kau mau bersumpah?!"


"Aku bersumpah!" jawab Liris Merah yang berada dalam keadaan sangat terdesak dan butuh
pertolongan demi menyelamatkan jiwanya. Sambil terus mengumbar tawa orang tinggi besar
ulurkan tangan kanan, mencekal dada pakaian merah lalu memanggul si gadis dan
melarikannya ke arah timur. Dari gerakan lari yang cepat serta jurusan yang dituju agaknya
orang ini cukup tahu seluk beluk kawasan itu. Tak selang berapa lama dia sampai di satu
tikungan sungai berair cukup deras. Orang ini letakkan bungkusan bercahaya yang di bawanya
di tebing sungai lalu penuh nafsu dia mendekap tubuh Liris Merah erat-erat, kemudian
mencebur masuk ke dalam sungai. Di dalam sungai yang airnya dingin sekali orang ini terus saja
memeluki Liris Merah. Sesekali malah menciumi wajah si gadis. Cukup lama berada dan
berendam dalam sungai, perlahan-lahan hawa panas yang mendera tubuh Liris Merah mulai
berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Gadis ini celupkan kepalanya ke dalam air beberapa
kali. Setiap keluar dari air dia menarik nafas panjang. Dari mulutnya mengepul uap panas.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya orang yang memeluk Liris Merah.

"Aku merasa segar …."

"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?"

"Akan aku ceritakan. Lepaskan pelukanmu. Aku ingin naik ke darat." Liris Merah merasa tidak
senang karena dirinya terus dipeluk dan diciumi.

"Kau mau melarikan diri?"

"Tidak. Aku berterima kasih kau telah menolongku. Lepaskan

pelukanmu!"

"lngat pada sumpah yang telah kau ucapkan?"

"Ya, aku ingat …" jawab Liris Merah. Saat itu tiba-tiba saja si

gadis merasa sangat takut.

"Aku tidak percaya padamu. Kita keluar dari sungai sama-sama!" Sambil terus mendekap tubuh
Liris Merah, si tinggi besar melesat ke udara dan agaknya dia sengaja jatuhkan diri di samping
serumpun semak belukar di tepi sungai. Tanpa memberi kesempatan bergerak pada gadis yang
dihimpitnya orang ini berkata.

"Gadis cantik, katakan siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu dan mengapa kau berada
di tempat begini rupa?" Liris Merah berusaha melepaskan diri dari himpitan orang tapi tak
berhasil. Ketika dia hendak berontak, satu totokan melanda dadanya sebelah kiri sehingga
sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Aku menunggu jawabanmu."

"Katakan dulu siapa kau adanya"

"Rimba persilatan mengenal aku dengan nama Pangeran Matahari."

"Apa?!" Kejut Liris Merah setengah mati. Dia berusaha memperhatikan wajah orang yang
menghimpitnya. Dia melihat satu wajah garang angker. Hidung miring ke kiri, pipi dan rahang
kiri melesak. Mata kiri terbenam di rongganya. Pada kening kiri di bawah ikatan kain merah
tampak cacat memanjang bekas luka.

"Ya Tuhan," si gadis mengucap dalam hati.

"Lebih baik tadi aku mati saja dari pada jatuh ke tangan manusia terkutuk ini!"

"Gadis cantik, kau beruntung mendapat pertolonganku. Setelah tahu siapa diriku, apa kau
masih tidak mau bicara …" .

"Aku akan bicara. Tapi berjanji kau akan memperlakukan aku baik-baik …" Pangeran Matahari
tertawa lebar. Matanya yang sebelah kanan bergerak berputar.

"Aku akan memperlakukan kau luar biasa baik. Kau lihat saja nanti. Sekarang mulailah bicara."

"Namaku Liris Merah. Aku adalah murid Hantu Malam Bergigi Perak …." Dengan memberi tahu
siapa gurunya Liris Merah berharap Pangeran Matahari tidak akan berbuat kurang ajar
terhadap dirinya.

"Ah, ternyata kau adalah seorang dewi rimba persilatan. Aku pernah mendengar nama besar
gurumu. Tapi beberapa waktu lalu aku menyirap kabar. Gurumu telah menemui ajal di tangan
Sinto Gendeng, nenek geblek dari Gunung Gede. Lalu apa yang kau lakukan di tempat ini. Tadi
kudengar kau menyebut nama Wiro. Dia adalah murid nenek jelek itu!"

"Aku tengah mengejar pemuda itu …."

"Hemmm … Untuk apa mengejar? Kau bercinta dengannya?" tanya Pangeran Matahari. Nada
suaranya menyatakan ketidak senangan.

"Aku ingin mendapatkan sebuah benda."

"Benda apa?"

"Sebuah kitab tentang pengobatan."


"Aha! Tadinya aku mengira kau mengejar untuk membalas dendam kematian gurumu!
Ketahuilah, aku juga tengah mencari kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan."

"Kalau begitu kita bisa sama-sama melakukan pengejaran."

"Wiro sudah lari cukup jauh. Sulit untuk mengejar. Mengapa kita tidak lebih dulu menghabiskan
waktu bersenang-senang di tempat ini sambil menunggu terbitnya sang surya? Atau kau ingin
kita mencari tempat yang lebih baik dan lebih hangat. Sebuah goa atau pondok misalnya?"

"Apa maksudmu?!" tanya Liris Merah dengan bulu kuduk merinding. Wajah si gadis mendadak
pucat. Dia coba kerahkan hawa sakti pada aliran darahnya, memusnahkan totokan, namun tak
berhasil. Tubuhnya masih saja tetap lemas. Pangeran Matahari menyeringai lalu singkapkan
baju Liris Merah dan benamkan wajahnya ke dada si gadis. Liris Merah menjerit tanpa ada
siapapun yang mendengar apa lagi memberi pertolongan.

"Demi Tuhan, hentikan perbuatan terkutukmu ini!" Pangeran Matahari angkat wajahnya dari
dada si gadis.

"Dengar, dalam waktu dekat aku punya satu rencana besar. Kau akan kujadikan salah satu
orang kepercayaanku. Siang hari kau akan jadi pendampingku. Malam hari kau akan jadi
penghiburku." Tangan manusia terkutuk ini meluncur ke pinggul Liris Merah, menarik ke bawah
celana merah yang dikenakan si gadis. Tak sengaja Pangeran Matahari melihat bungkusan
hitam yang diletakkannya di tanah memancarkan cahaya lebih terang. ,

"Ada bahaya!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Serta merta dia melompat menyambar
bungkusan. Pada saat itu ada suara orang berseru.

"Pangeran Matahari! Sahabat seperjuangan! Mohon maaf kalau kedatanganku mengganggu


hajat besarmu!" Pangeran Matahari menggeram dan cepat berpaling. Dalam kegelapan malam
dia melihat seorang lelaki muda berpakaian sangat bagus dan berwajah tampan. Rambut
panjang sebahu, kening tinggi dihias sepasang alis tebal. Di kiri kanan lelaki ini berdiri delapan
orang rata-rata bertubuh tegap, mengenakan seragam hitam. Di setiap dada kiri baju yang
dikenakan ada sulaman kuning gambar joglo dan dua keris bersilang.

"Manusia-manusia sialan! Siapa kalian?!" Bentak Pangeran Matahari sambil tangan kirinya
membuka buhul bungkusan yang dipegang di tangan kanan.

"Sekali lagi mohon maafmu Pangeran Matahari." kata lelaki muda berpakaian bagus sambil
maju dua langkah.

"Kita sama-sama sahabat seperjuangan …."

"Tunggu dulu!" hardik Pangeran Matahari.


"Melihat tampang kalian baru kali ini. Bagaimana bisa sesum-bar mengatakan aku sebagai
sahabat seperjuangan …"

"Biar saya jelaskan …"

"Sudah! Aku tidak butuh penjelasan. Aku tidak ada waktu mendengar penjelasan. Lekas
minggat dari hadapanku atau kubuat amblas kalian semua!"

"Mohon maaf dan mohon sabarmu, Pangeran Matahari. Saya Sawung Guntur. Orang-orang dan
para pengikut saya memanggil saya Pangeran Muda. Saya pimpinan tertinggi Keraton
Kaliningrat Saya sudah lama mendengar nama besarmu. Saya juga tahu kalau Pangeran punya
cita-cita untuk mengusai rimba persilatan. Sementara saya ingin mengambil dan mengusai hak
saya sebagai pemilik sah tahta Kerajaan."

"Ceritamu enak didengar. Tapi aku tidak ada urusan, tidak punya waktu …."

"Dengar dulu Pangeran. Saya bisa membantumu mewujud- kan cita-citamu menjadai Raja di
Raja rimba persilatan. Sementara jika kau sudi, kau juga bisa membantu saya mendapatkan apa
yang saya inginkan. Jika kita berdua bergabung, kekuatan mana yang bisa menghadapi?"

"Aku Pangeran Matahari cukup punya kemampuan melaku- kan sendiri apa yang ingin aku
lakukan. Mendapatkan apa yang ingin aku dapatkan. Pangeran Muda, siapapun kau adanya,
dari Keraton manapun kau berasal, lekas pergi dari tempat ini." Kain bungkusan di tangan
kanan Pangeran Matahari terbuka, jatuh ke tanah. Kini di tangan Pangeran Matahari kelihatan
sebuah lentera dalam kedaaan menyala, memancarkan tiga warna angker.

"Lentera lblis ….." ucap Pangeran Muda yang mengaku ber- nama Sawung Guntur.

"Beruntung saya dapat melihat dengan mata kepala sendiri senjata paling ditakuti dalam rimba
persilatan!" Mendengar disebutnya nama Lentera lblis delapan orang anak I buah Pangeran
Muda serentak bersurut ke belakang.

"Apa kau mau menyaksikan kehebatan lentera ini?" Tanya Pangeran Matahari dengan nada
pongah. Pangeran Muda tersenyum dan menjawab.

"Mana saya berani berbuat yang bukan-bukan …"

"Kalau begitu biar kuberikan sedikit pelajaranl" Habis berkata begitu Pangeran Matahari
renggangkan dua kaki lalu gerakkan Lentera lblis ke kanan.

"Wusss!"

Selarik sinar merah berkiblat. Empat orang anggota Keraton Kali Ningrat di samping kiri
Pangeran Muda menjerit Tubuh mereka dikobari api dan mencelat ke udara. Lalu jatuh
bergedebukan di tanah dalam keadaan hangus merah leleh mengerikan! Pangeran Muda dan
empat orang anak buahnya berseru kaget. Kalau saja bukan menghadapi momok nomor satu
rimba persilatan serta punya satu kepentingan besar pasti saat itu Pangeran Muda dan empat
anak buahnya yang masih hidup akan melabrak habis Pangeran Matahari.

"Pangeran Matahari! Kehebatan dan keganasanmu nyatanya bukan isapan jempol belaka!
Sayang hal itu kau perlihatkan pada kami orang-orang yang datang membawa persahabatan.
Saya sangat menyesalkan. Saya akan pergi dari sini. Tapi saya punya satu pertanyaan padamu!
Apakah kau masih membutuhkan sebuah benda yang kau anggap keramat?"

"Benda apa?!" tanya Pangeran Matahari membentak dan dua matanya mendelik. Hatinya jadi
tidak enak. Darah panas naik ke kepala.

"Bendera Darah!" Jawab Pangeran Muda. Lalu dengan sikap melecehkan, tanpa menunggu
jawaban orang dia memutar tubuh, siap tinggalkan tempat itu. Tampang Pangeran Matahari
berubah.

"Tunggu!" seru Pangeran Matahari.

"Bendera Darah milikku. Bendera itu aku tinggalkan di satu tempat. Tak satu orangpun tahu.
Apakah kau telah mencuri bendera itu? Kau berani mencari mati!"

"Kami menemukan Bendera Darah secara tak sengaja di Goa Selarong. Bukankah kau masih
tetap punya niat untuk mendirikan partai Bendera Darah? Sayang sekali kalau partai berdiri
tanpa bendera sakti dan sangat bersejarah itu. Apa artinya sebuah partai tanpa bendera
kebesaran! Ha …. ha … ha!"

Geraham Pangeran Matahari bergemeletakan. Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak.

"Kau membawa bendera itu saat ini?" Pangeran Muda tersenyum.

"Saya tidak sebodoh itu!"

"Pangeran setan! Kalau sampai Bendera Darah rusak atau hilang, nasibmu akan lebih jelek dari
empat anak buahmu yang barusan kubikin mampus!"

"Saya percaya kau mampu melakukan hal itu. Apakah kini kau menerima ajakan saya untuk
bersahabat?" Tanya Pangeran Muda pula. Pangeran Matahari memaki dalam hati. Otaknya
diputar Lalu dia men jawab.

"Baik, Satu minggu darisekarang naiklah ke puncak Gunung Merapi. Tunggu aku sampai datang.
Di sana kita akan membicarakan bagaimana cara dan urusan kita bersahabat! Jangan lupa
membawa Bendera Darah. Jika kau menipuku, kematian akan jadi bagianmu walau kau punya
sepuluh nyawa cadangan sekalipun!"Pangeran Muda tersenyum lalu bbngkukkan badan.
"Saya gembira mendengar ucapan Pangeran. Sekarang silahkan melanjutkan hajat besarmu."
Pangeran Muda bicara sambil memandang ke arah Liris Merah yang tergeletak di tanah dengan
dada tersingkap serta celana merosot sampai ke pinggul. Ketika melewati empat orang anak
buahnya yang tewas mengerikan Pangeran Muda gelengkan kepala.

"Lentera Iblis. Benar-benar luar biasa. Sanggup menembus ilmu kebal Atos Sejagat yang dimiliki
anak buahku. Aku harus dapat merampas senjata itu! Pangeran Matahari, tunggu
pembalasanku. Empat orang anak buahku tidak bisa mati percuma begitu saja!"

***

TUJUH

KAKI Bukit Menoreh. Menjelang pagi, hari ke enrpat belas. Di satu tempat Wiro hentikan lari.
Tengah dia menikmati indahnya pe-mandangan dikala sang surya muncul di ufuk timur tiba-tiba
ter-dengar suara berisik menyengat liang telinga. Telinga sang pen-dekar sampai berdesing
saking kaget dan sakit. Mata membesar. Lalu mulut mengulum senyum. Dia kenal betul suara
itu. Suara kaleng berisi batu kerikil yang digoyang dengan pengerahan tenaga dalam! Siapa lagi
kalau bukan orang tua aneh itu!

"Kakek Segala Tahu!" Wiro berseru.

"Kau dimana Kek?!" Suara kerontangan kaleng datang dari arah timur. Wiro menatap kearah
itu. Namun suara berubah datang dari arah selatan. Ketika Wiro memandang ke selatan suara
kerontangan kaleng malah muncul dari barat. Wiro tersenyum.

"Kakek jahil itu mempermainkanku!" katanya dalam bati. Mendongak ke arah sebuah pohon
besar dia melihat orang yang dicarinya ada di sana. Duduk berjuntai uncang-uncang kaki di atas
sebuah dahan besar berpakaian butut rombeng, mengenakan caping bambu di atas kepala. Di
punggungnya ada sebuah buntalan. Di tangan kiri dia memegang kaleng rombeng yang setiap
kali digoyang mengeluarkan suara berisik menggetarkan gendang-gendang telinga. Di tangan
kanan dia memegang sebuah ubi panggang yang dimakannya dengan lahap sampai keluarkan
suara menyiplak.

"Kek, aku lapar! Bagi ubimu!" Wiro berseru lalu melesat ke

atas pohon, duduk di samping si kakek. Si kakek berpaling. Dua matanya ternyata putih buta!

"Eh, kau rupanya! Lapar? Bagusnya aku masih ada sepotong persediaan. Ini makanlah!" Dari
dalam kantong bekalnya si kakek di atas pohon mengeluarkan sepotong ubi bakar.

"Terima kasih Kek, aku memang lagi lapar-laparnya." Sambil mengunyah ubi panggang Wiro
bertanya.
"Kek, sejak peristiwa di lorong kematian, apakah kau baik-baik saja?"

"Baik tidak baik bagiku sama saja. Puluhan tahun hidup di dunia ini apa kau kira tidak jenuh?
Waktu di lorong jahanam itu aku pikir-pikir mengapa aku tidak mati saja. Sudah buta, buruk
rupa begini hidup di dunia sengsara pula! Ha … ha … ha!" Si kakek tertawa.

"Kek, ubimu enak juga. Ah, capingmu baru! Kek, beruntung aku bertemu kau. Ada beberapa hal
yanq gin aku tanyakan. Boleh?" Kakek bercaping yang dalam rimba persilatan tanah Jawa
dikenal dengan sebutan Kakek Segala Tahu tertawa lebar lalu goyangkan kaleng rombengnya
dua kali. Wiro cepat tekap kedua telinganya. Walau mata putih buta namun dengan
kesaktiannya si kakek mampu melihat secara aneh.

"Dari bau pakaianmu aku tahu kau mengenakan baju dan celana bukan milikmu! Dari
gerakanmu sewaktu melompat ke atas pohon ini aku tahu kalau pakaianmu kekecilan. Pakaian
perempuan. Tangan dan kaki tergantung. Apa yang terjadi? Apa kau sudah jadi badut sekarang?
Kau mencuri pakaian perempuan mana? Ha … ha … ha!"

"Aku tidak mencuri Kek. Ada yang memberi.Lumayan dari pada bugil!"

"Pasti yang memberikan gadis cantik!"

"Bagaimana kau tahu Kek?" tanya Wiro.

"Gampang saja. Pakaian perempuan yang punya pasti perempuan!" Si kakek tertawa gelak-
gelak. Wiro ikutan tertawa.

"Kek, setelah kau meninggalkan kawasan Lorong Kematian tempo hari, apakah kau sudah
bertemu dengan Nyi Roro Manggut?" Kakek Segala Tahu mengangguk-angguk. Wajahnya
tampak berseri.

"Wah, pasti seru pertemuannya. Pakai peluk cium segala Kek?!"

"Huss! Urusan orang tua-tua kau anak muda mengapa kepingin tahu saja?" Wiro tertawa.

"Kek, aku dalam perjalanan ke Bukit Menoreh. Menemui seseorang. Saat perjanjian adalah
nanti tepat pertengahan malam .."

"Heran, janji malam-malam buta. Di puncak bukit angker pula. Kau menemui seorang manusia
atau sebangsa mahluk jejadian?" bertanya Kakek Segala Tahu.

"Ah, agaknya kau sudah tahu aku akan menemui mahluk aneh. Justru aku mau tanya. Apa yang
kau ketahui mengenai mahluk perempuan cantik berbentuk bayangan yang akan aku temui
itu." Si kakek mendongak, menatap ke langit yang mulai terang, goyangkan kalengnya dua kali
lalu berkata. Lagi-lagi Wiro terpaksa menekap telinga.

"Aku tak bisa memberi jawaban. Aku tak bisa menyelidik. Dia bukan mahluk alam roh dunia
kita. Dia sudah meninggal lebih dari seribu tahun silam dan kematiannya di dunia lain …." Wiro
ingat sesuatu.

"Aku sudah menduga. Muncul dalam ujud bayang-bayang. Agaknya dia adalah mahluk berasal
dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu yang telah meninggal dunia. Aku pernah
kesasar ke sana, Kek." Sambil menggaruk kepala Wiro bertanya.

"Kek, menurut penglihatanmu apakah dia menaruh maksud baik atau jahat terhadapku?" Kakek
Segala Tahu buka capingnya. Walau hari masih pagi dan udara masih sejuk seperti orang
kepanasan kakek ini kipas kipaskan capingnya di depan dada.

"Kalau aku katakan, nanti kau pikir-pikir saja sendiri." Jawab Kakek Segala Tahu.

"Anak sableng, ketahuilah perempuan cantik berujud bayang-bayang itu tengah jatuh cinta
padamu!"

"Apa Kek?!" Wiro tersentak kaget. Si kakek tertawa gelak gelak. Lalu kerontangkan kaleng
rombengnya hingga kembali Wiro terpaksa tekap dua telinganya.

"Kau bercanda, Kek!" Si orang tua geleng-geleng kepala.

"Anak muda, begitu banyak gadis cantik di sekelilingmu. Sampai-sampai kau punya kekasih dari
alam roh. Apakau belum punya niat untuk kawin?" Kembali Pendekar 212 dibuat kaget

"Kawin Kek? Maksudmu dengan perempuan bayangan itu?" Kakek Segala Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya berulang kali lalu tertawa mengekeh.

"Sudah …. sudah! Aku harus pergi sekarang. Tapi dengar, ada satu hal penting yang perlu aku
beritahukan. Aku menyirap kabar akan terjadi satu peristiwa besar dalam rimba persilatan.
Banyak tokoh rimba persilatan yang akan terlibat. Termasuk dirimu! Waktunya tak lama lagi.
Tak sampai sepuluh hari dimuka. ,Jadi kau berhati-hatilah …"

"Bisa kau terangkan peristiwa besar apa yang kau maksudkan. Kek?" tanya Wiro pula.

"Banyak prasangka namun sulit diduga." Kakek Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali lalu
menatap ke langit.

"Ah, cahaya sang surya mulai menyiiaukan. Aku tak mampu melihat jelas. Namun samar-samar
ada tanda merah di langit. Tanda merah, bisa berarti darah atau api. Bisa dua-dua sekaligus …"
Wiro menggaruk kepala.
"Sebelum pergi aku punya satu nasihat untukmu …"

"Urusan kawin Kek?" tanya Wiso.

"Nah, nah! Kau kini malah ingat-ingat kawin! Selangkangan- mu sudah mulai gatal ya? Ha … ha
… ha!"

"Enak saja kau bicara!" cemberut Wiro tapi sambil menggaruk bagian bawah perutnya.

"Weh, kalau tidak gatal mengapa anumu kau garuk?!"Kakek Segala tahu tertawa panjang. Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala.

"Anak sableng, dengar nasihatku baik-baik. Kau jangan se kali-kali kualat sama gurumu."

"Maksud Kakek Eyang Sinto Gendeng?"

"Memangnya kau punya berapa guru?"

"Kek, aku sangat menghormati Eyang Sinto. Seumur hidup aku ingin berbakti padanya. Tapi
belakangan ini …."

"Tak usah tapi-tapian. Kau tak usah menceritakan, aku sudah tahu apa yang terjadi antara kau
dan Sinto Gendeng. Walau nenek itu edan seribu edan, sinting seribu sinting, jahat seribu jahat,
dia tetap gurumu. Aku yakin selalu ada maksud baik dibalik semua tindakannya yang aneh-
aneh. Kalau tidak karena dia, kau tidak selamat jadi orang seperti sekarang ini. Eh, apa
jawabmu?! Jangan diam saja!" Si kakek kerontangkan kaleng di tangan kiri.

"Saya tahu Kek. Eyang Sinto yang menyelamatkan jiwaku dari kobaran api sewaktu saya masih
bayi. Dia yang kemudian memelihara saya. Memberi ilmu kepandaian serta kesaktian. Saya
perhatikan nasihatmu baik-baik Kek …"

"Jangan cuma diperhatikan. Tapi dilaksanakanl"

"lya Kek. Mungkin saya memang sudah kualat sama Eyang Sinto. Saya akan mencari beliau dan
minta maaf. Buruk baik dia tetap guru yang saya hormati. Selain itu …." Wiro hentikan ucapan.
Berpaling ke samping ternyata Kakek Segala Tahu tak ada lagi di sebelahnya. Di kejauhan
kemudian terdengar suara kerontangan kaleng.

***

PUNCAK Bukit Menoreh. Bagi Wiro tidak gampang mencari pohon jati yang miring atau doyong
ke timur di malam buta begitu rupa. Pohon doyong tersebut adalah tanda yang dikatakan
perempuan bayangan sebagai tempat pertemuan. Wiro nyaris putus asa. Malam hampir
mendekati pertengahan, saatnya perjanjian. Walau sebenarnya ada bulan purnama namun
sang rembulan sendiri tersembunyi di balik awan gelap.

"Jangan-jangan mahluk itu menipuku …" pikir Wiro. Lapat-lapat terdengar raungan anjing hutan
di kejauhan, membuat Wio merasa tambah tidak enak. Lalu ada suara mendesis. Wiro
berpaling. Tepat pada saat seekor ular besar yang melilit berjuntai di cabang sebatang pohon
melesat hendak mematuk kepalanya. Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ketanah lalu
bergulingan. Memaki panjang pendek.Ketika bangkit berdiri Wiro dikagetkan oleh suara
menggelepar.

Dia berlaku waspada, merunduk sambil memandang ke depan. Ternyata ada seekor burang
melesat keluar dari balik sebatang pohon rendah dan terbang dalam kegelapan malam ke arah
timur. Tak sengaja Wiro terus memperhatikan. Burung lenyap di bagian bukit yang agak rendah
dan hanya ditumbuhi sederetan pohon jati tua. Mendadak Wiro terkejut. Ketika dia mengawasi
salah satu dari pohon jati itu bentuknya miring ke arah timur!

"Aneh. Burung tadi seperti memberiku petunjuk. Agaknya bukan burung biasa …" pikir
Pendekar 212 lalu cepat berlari ke arah deretan pohon-pohon jati. Wiro sampai di dekat pohon
jati tua yang miring ke timur. Memandang berkeliling dia tidak melihat seorangpun berada di
tempat itu. Wiro mendongak ke langit. Awan gelap yang sejak tadi menutupi rembulan kini
bergerak ke barat. Bulan purnama empat belas hari tersembul menebar cahaya cukup terang di
sekitar kawasan Bukit Menoreh. Hanya sayahg saat itu hujan turun rintik-rintik.Angin bertiup
kencang dan udara mendadak dingin.

"Pertanda apa lagi ini," membatin Wiro. Beberapa kali dia memandang berkeliling,
memperhatikan keadaan sekitarnya. Perem-puan bayangan tetap belum kelihatan. Akhimya
Wiro duduk di tanah, di bawah pohon jati tua yang miring ke timur. Mendadak ada suara
burung berkicau. Tiga kali berturut-turut.

Wiro ingat itu adalah salah-satu tanda yang dikatakan mahluk bayangan. Cepat Wiro bangkit
dari duduknya. Memandang berkeliling. Dia tak melihat burung juga tidak melihat perempuan
bayangan.

"Pendekar, apakah kau sudah lama berada di sini?" Tiba-tiba

ada suara menegur. Wiro berpaling ke kiri. Laksana turun dari langit, satu bayangan berupa
sosok perempuan muncul kemudian berdiri lima langkah dari hadapan Wiro. Walau cahaya
rembulan tertindih kegelapan malam namun sosok bayangan itu kelihatan jelas. Wajahnya yang
cantik memandang tersenyum ke arah Wiro. Sang pendekar mencium bau harum semerbak.

"Aku belum lama berada di sini. Tadinya aku mengira …." Mahluk bayangan tertawa.

"Kau kira aku menipu?" Wiro menggaruk kepala.


"Apakah kau membawa kitab itu?"

"Tentu saja. Aku tidak akan berjanji dusta mengecewakanmu Hanya saja saat ini ada yang lucu
pada dirimu."

“Lucu apa?" tanya Wiro.

"Kau mengenakan baju kesempitan. Biar aku betulkan dulu." Mahluk bayangan berbentuk
perempuan cantik lalu menarik bahu baju hitam kiri kanan yang dipakai Wiro. Menarik bagian
pinggang kiri kanan lalu dua ujung lengan. Setelah itu dia membungkuk untuk menarik dua
pergelangan kaki celana hitam yang menggantung. Setiap sentuhan tangan perempuan
bayangan ini membuat sekujur tubuh Pendekas 212 bergetar. Sebaliknya Wiro juga merasakan
tangan yang menyentuh pakaian dan tubuhnya itu dihangati oleh perasaan yang menggelora.

"Nah, itu lebih baik. Kau sekarang tidak terlihat seperti badut lagi." Wiro memperhatikan baju
dan celana hitam yang dikenakan-nya. Aneh, baju hitam itu kini terlihat lebih besar, dua lengan
tidak lagi menggantung. Begitu juga dua ujung kaki celana hitam, kini tidak kependekan lagi,
menjulai panjang menutupi mata kakinya.

"Terima kasih. Kau punya keahlian menata pakaian rupanya," ucap Wiro sambil tersenyum.

"Bagaimana mengenai kitab itu?"

"Ah, kau sangat tidak sabaran. Aku mau tanya dulu, apakah kau datang sendirian ke sini? Tidak
merasa adayang mengikuti?"

"Sesuai permintaanmu aku datang sendirian. Hanya malam kemarin memang seperti ada yang
mengikuti. Tapi sejak aku sampai di kaki bukit, aku yakin tidak ada yang menguntit."

"Kau bisa mengira-ngira siapa orang yang mengikutimu malam kemarin?"

"Sulit aku menduga," jawab Wiro.

"Baiklah, Kitab Seribu Pengobatan akan aku serahkan seka-rang padamu." Mahluk bayangan
perempuan cantik menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Ketika tangan itu
diajukan ke depan, Wiro melihat sebuah benda yang bukan lain adalah Kitab Seribu
Pengobatan. Kitab ini tebal sekali. Wiro cepat mengambil kitab itu. Walau sangat tebal karena
terbuat dari daun lontar halus ternyata kitab itu enteng sekali. Kitab disimpan di balik baju.

"Kau sekarang sudah mendapatkan kitab itu. Apa yang akan kau lakukan?"

"Kitab ini milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Sebelum aku kembalikan pada beliau terlebih dulu
akan aku baca dan pelajari agar bisa kupergunakan untuk menolong beberapa sahabat yang
menderita penyakit."
"Siapa saja sahabatmu itu?" tanya perempuan bayangan.

"Tak mungkin aku sebutkan satu persatu …"

"Kalau begitu katakan saja apa penyakitnya" Wiro tersenyum dan menggeleng.

"Soal penyakit seseorang, aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain." Lama perempuan
bayangan menatap wajah Wiro. Diam-diamdia sangat mengagumi sifat sang pendekar. Lalu dia
berkata."Aku tidak ingin mencari tahu rahasia penyakit seseorang. Niatku hanya ingin
menolong semata. Secara kebetulan aku mengetahui siapa yang pertama kali ingin kau tolong.
Bukankah mereka dua gadis kakak beradik murid seorang nenek sakti yang konon telah
menemui kematian di tangan gurumu?"

"Eh, bagaimana kau tahu?"

"Bicara soal kematian, apakah kau sudah tahu bahwa Hantu Muka Dua, kerabatku dari negeri
Latanahsilam telah menemui ajal beberapa hari lalu?" Walau selama di negeri 1200 tahun silam
Hantu Muka Dua alias Lajundai merupakan mahluk paling jahat dan menjadi musuh besarnya,
namun mendengar keterangan perempuan bayangan mau tak mau Wiro menjadi terkejut.

"Bagaimana kejadiannya? Siapa yang membunuh mahluk itu?’ tanya Wiro pula.

"Seorang nenek sakti bermuka putih yang belakangan ini menggegerkan rimba persilatan.
Namanya Nyi Bodong."

***

DELAPAN

WIRO terkejut mendengar disebutnya nama itu.

"Kau tak percaya? Aku menyaksikan sendiri.Kasihan Hantu Muka Dua. Aku berusaha mencegah
karena Hantu Muka Dua telah bertobat. Namun gagal …"

"Nyi Bodong," mengulang Wiro menyebut nama itu.

"Kau mengenalnya?"

"Aku pernah melihatnya beberapa kali."

"Pendekar, kau tahu siapa sebenarnya nenek itu?" Wiro gelengkan kepala. Perempuan
bayangan kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mengenai dua gadis kakak beradik murid Hantu Malam Bergigi Perak yang ingin kau
sembuhkan dari penyakitnya. Bukalah Kitab Seribu Pengobatan pada halaman seratus enam
belas. Disitu ada petunjuk pada pengobatan tiga ratus sebelas."

"Luar biasa!" ucap Wiro.

"Bagaimana kau bisa ingat isi kitab itu?". Mahluk bayangan tersenyum.

"Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Semua itu atas berkah dan kehendak Yang
Maha Kuasa." Wiro mengusap Kitab Seribu Pengobatan di balik pakaiannya lalu bertanya.

"Selama kitab ini ada padamu, apakah ada orang yang telah kau tolong?"

"Memang ada. Dan tujuanku untuk mendapatkan kitab itu adalah semata-mata untuk
menolong orang itu"

"Berhasil?" Perempuan bayangan mengangguk.

"Siapa? Apa penyakitnya?" tanya Wiro.

"Turut ucapanmu tadi bukankah tidak baik memberi tahu orang lain atas sakit seseorang? Aku
tak bisa mengatakan. Tapi kelak kau akan menemui orang itu karena selama ini kalian
bersahabat." Wiro garuk-garuk kepala.

"Aku tahu, kau berasal dari negeri Latanahsilam. Kau pasti salah seorang dari sekian banyak
yang terpesat ke tanah Jawa sewaktu lstana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua hancur lebur.
Bolehkan aku mengetahui namamu?"

"Mohon maafmu Pendekar. Saat ini aku belum bisa memberi

tahu."

"Kalau begitu aku punya satu permintaan. Kuharap kau tidak

menolak."

"Katakanlah," ucap perempuan bayangan sambil menatap. Saat itu Wiro juga memandang
memperhatikan hingga sepasang mata mereka saling beradu. Ada perasaan aneh dalam diri
Pendekar 212. Terlebih ketika dia ingat ucapan Kakek Segala Tahu yang mengatakan bahwa
mahluk di hadapannya ini tengah jatuh cinta atas dirinya. Hal yang sama juga terjadi pada
perempuan bayangan. Ujudnya yang samar bergetar. Pandangan matanya menyimpan rahasia
hati.
"Sejak pertemuan kita pertama kali sampai saat ini kau selalu menampakkan diri dalam ujud
bayangan. Apakah kau bersedia memperlihatkan dirimu dalam ujud asli?"

"Seperti yang pernah dilakukan oleh Bunga, gadis alam roh sahabatmu itu?" ucap perempuan
bayangan pula yang membuat Pendekar 212 jadi terperangah lalu senyum garuk-garuk kepala.

"Pengetahuanmu luar biasa. Seluas laut setinggi langit."

"Kau keliwat menyanjung. Ketahuilah ujud dan rupa asliku buruk. Aku kawatir setelah melihat
kau tidak akan mau bertemu lagi denganku." Wiro tertawa. Pemuda ini ulurkan tangan
kanannya ke arah tangan kanan mahluk bayangan. Dia mengira seperti akan menyentuh asap
atau memegang angin. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika tangan yang dipegang adalah benar
benar tangan manusia yang halus dan hangat. Ketika Wiro memperhatikan ternyata mahluk
bayangan itu telah memperlihatkan diri dalam ujud aslinya! Wajah cantik di hias rambut hitam
panjang tergerai. Tubuh yang bagus dibalut pakaian biru muda. Sampai-sampai Pendekar 212
memandang dengan mulut ternganga dan jari-jari tangannya bergerak meremas, yang dibalas
pula oleh perempuan cantik itu dengan remasan penuh perasaan.

"Aahh..,Ternyata kau cantik sekali." Ucap Wiro penuh kagum.

"Kalau saja kau bisa dalam keadaan seperti ini selamanya …"

"Aku tak mungkin melakukan. Kecuali …." jawab si cantik.

"Kecuali bagaimana?" tanya Wiro.

"Kecuali jika ada yang mengharapkan. Ada yang menginginkan."

"Seperti yang aku lakukan barusan?" Si cantik mengangguk. "Ya, seperti yang kau lakukan
barusan," katanya.

"Jika kau tak mau memberi tahu nama, bolehkah aku memanggilmu …" Wiro berpikir sejenak.
Menatap ke langit dia melihat rembulan butat indah empat betas hari.

"Boleh aku memanggilmu dengan nama Purnama? tanya Wiro pula. Perempuan di hadapannya
tertawa dan anggukan kepala.

"Kalau kau suka dengan nama itu, aku pun senang."

"Purnama, apakah aku boleh mengajukan pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi?" Sepasang
bola mata perempuan cantik membesar.

"Pertanyaan sangat pribadi? Apa maksudnya. Aku sangat ingin mendengarnya."


"Apakah kau pernah mencintai seseorang?" Wajah cantik perempuan di hadapan Wiro tampak
bersemu merah. Sepasang alis mata yang hitam lengkung bergerak naik, lalu senyum manis
menyeruak di bibir yang merah segar.

"Pertanyaanmu aneh. Mengapa hal itu kau tanyakan?" Wiro garuk-garuk kepala. Sebenarnya ia
ingin menguji apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu.

"Ah, Sudahlah. Anggap saja itu tadi pertanyaan tolol!"

"Di negeri asalku aku memang pernah mencintai seseorang. Bahkanaku pernahmenjadi istri dari
orang yang kucintai itu. Namun satu malapetaka besar terjadi. Aku menemui kematian di
alamku. Kami berpisah. Sampai saat ini aku tidak tahu dimama suamiku berada. Secara adat
Latanahsilam, aku buka lagi istri baginya dan dia bukan lagi suami bagiku. Secara kenyataan di
sana aku kembali menjadi seorang gadis."

"Maksudmu Hemm ….perawan?"

"Ya," jawab perempuan bayangan.

"Sulit dipercaya. Tetapi begitulah keadaan lahiriah kami orang-orang perempuan Latanahsilam
….”

"Hebat juga" ucap Wiro dalam hati.

"Walau sudah punya sepuluh anak dan sudah jadi nenek peot tetapi begitu tidak punya suami
lagi kembali menjadi perawan!" Wiro senyum-senyum sendiri. Purnama juga tersenyum. Lama
kedua orang itu terdiam sampai Wiro menyadari bahwa saat itu mereka masih saling
bergenggaman jari jemari. Perlahan-lahan Wiro tarik tangannya.

"Purnama, yang kau katakan tadi adalah riwayat semasa kau masih berada di Latanahsilam.
Yang aku ingin ketahui, setelah sekian lama aku berada ditanah jawa ini, apakah ada seseorang
yang menjadi tambatan hatimu? Atau kau tahu ada seorang yang mencintaimu?" Sepasang
mata Purnama menatap tak berkesip. Dada perempuan itu berdebar. Hatinya berucap.

"Apakah pemuda ini tahu apa yang aku rasakan?" Setelah terdiam beberapa ketika akhirnya
perempuan itu menjawab.

"Pertanyaanmu kali ini agak sulit kujawab. Jika kukatakan memang ada atau tidak ada
seseorang yang kucintai, apakah itu ada artinya bagimu?" Wiro menggaruk kepala, tertawa
lebar dan balik bertanya.

"Mengenai adanya orang yang menyukaimu?"


"Mana aku tahu ada orang yang suka apa lagi sayang padaku. Tidak ada yang menunjukkkan
sikap seperti itu, apa lagi mengatakannya. Pendekar, apakah kau menyukai diriku?" Wiro
terperangah oleh pertanyaan yang blak-blakan ini sampai kakinya tersurut satu langkah. Cepat
Wiro alihkan pembicaraan.

"Purnama. aku mengucapkan terima kasih. Kau telah sudi menyerahkan Kitab Seribu
Pengobatan."

"Kau harus menjaga kitab itu baik-baikseperti kau menjaga keselamatan dirimu sendiri.Terlalu
banyak yang menginginkan. Nah, kau sudah dapatkan kitab yang kau cari selama ini. Apakah
kau akan segera meninggalkan tempat ini? Apakah pertemuan kita hanya dan akan berakhir
sampai di sini?" tentu saja persahabatan kita tidak hanya sampai di sini. Ada ujar-ujar
mengatakan selama awan masih putih, gunung masih hijau dan laut masih biru, kita pasti akan
bertemu." Jawab Wiro.

"lndah sekali ujar-ujar itu. Dan aku sangat berbahagia mengetahui bahwa kau masih inginkan
pertemuan dengan diriku ….”

"Jika aku ingin bertemu, dimana aku harus mencarimu?" tanya Wiro.

"Kau tak perlu susah susah mencari. Setiap gerak hatimu untuk bertemu akan kuketahui.
Karena kau selalu berada di dekatmu .." Jawaban perempuan cantik itu membuat Pendekar 212
raba kuduknya lalu menggaruk kepala.

"Urusan berabe. Kalau aku mandi pasti dia bisa melihatku! Jangan-jangan apa yang dikatakan
Kakek Segala Tahu memang benar. makluk ini tengan jatuh cinta padaku …" ucap Wiro dalam
hati.

"Purnama, sebelum kita berpisah, ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Belakangan ini ada
beberapa tokoh memberi tahu akan terjadi satu peristiwa besar dalam rimba persilatan.
Apakah kau juga mengetahui hal itu?"

"Aku mengetahui. Justru kau salah seorang yang akan terlibat dalam peristiwa itu. Jaga dirimu
baik-baik. Aku tak bisa menceritakan lebih banyak dan lebih rinci. Biar sebaiknya orang lain saja
yang mengatakan. Dia sejak tadi menunggu di tempat ini." Habis berkata begitu perempuan
bayangan yang diberi nama Purnama oleh Wiro memegang erat-erat lengan kanan sang
pendekar, menarik tangan itu lalu menciumnya. Di lain kejap sosoknya berubah menjadi samar
membentuk bayangan dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Wiro berbalik ketika merasa ada
sambaran angin di belakangnya.

"Mesra sekali! Ada kata-kata mesra, ada pegangan tangan serta ada ciuman!" terdengar suara
perempuan berucap. Di lain kejap di hadapan Wiro berdiri seorang perempuan muda
berpakaian kebaya putih panjang -serta celana putih panjang sebetis. Wajahnya yang cantik
tampak pucat dan kini tersenyum memandang pada Pendekar 212.
"Bunga …." ucap Wiro. Dia hendak merangkul tapi Bunga bersurut mundur. Wiro merasa tidak
enak. Selain itu senyum Bunga, gadis alam roh yang semasa hidupnya bernama Suci di mata
Wiro terlihat dan terasa sinis. Jadi inilah orang lain yang tadi dimaksud Purnama.

"Bunga, aku gembira melihat kedatanganmu."

"Sebaliknya aku merasa menyesal karena kemunculanku mungkin hanya mengganggu


kehadiran si cantik tadi. Sebenarnya aku ingin berbincang-bincang dengannya. Sayang dia
keburu pergi …"

"Dia meninggalkan pesan untuk menanyakan sesuatu padamu …"

"Begitu? Pesan apa?Pertanyaan apa?" tanya Bunga Tidak seperti biasanya dalam pertemuan
yang sudah-sudah, kali ini setiap nada ucapan Bunga terasa tidak enak di telinga dan hati Wiro.

"Dia cemburu, mungkin juga marah. Seperti kata Purnama agaknya dia memang sudah lama
berada di sekitar sini. Memperhatikan dan mendengar apa yang aku bicarakan …"

"Bunga …"

"Wiro, siapakah nama perempuan cantik tadi?" Bunga memotong ucapan Wiro.

"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah menerangkan namanya. Lalu kupanggil saja Purnama," jawab
Wiro polos.

"Nama yang bagus sekali. Aku ingat ketika kau melakukan hal seperti itu padaku. Ketika kau
memberi nama Bunga padaku …."

Wiro garuk-garuk kepala. Gadis dari alam roh yang ada di hadapannya ini sudah jelas cemburu.

"Bunga, jangan kau berprasangka …."

"Siapa yang berprasangka? Berprasangka apa? Aku hanya melihat kenyataan betapa mesranya
dia menciumn tanganmu ketika hendak pergi. Aku berpikir, mengingat-ingat, apakah aku
pernah melakukan hal itu padamu? Rasanya tidak …" Ternyata Bunga telah terlalu jauh larut
dalam perasaannya. Wiro cepat cepat berkata.

"Bunga, aku ingin menanyakan. Apakah kau tahu satu peristiwa besar yang akan terjadi dalam
rimba persilatan. Beberapa tokoh dunia persilatan membicarakan hal itu …"

"Ah, rupanya si cantik bernama Purnama tadi tidak menuntas-kan keterangannya.


Menyerahkan jawaban pada diriku. Cerdik sekali. Kalau aku tidak memberi tahu apakah kau
akan marah padaku?" Wiro menggeleng.
"Kau sangat baik padaku. Aku banyak berhutang budi. Mana mungkin aku marah." Bunga
tertawa mendengar kata-kata sang pendekar.

. "Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Aku harus menemui dua orang sahabat yang menderita
sakit. Kau ikut?" Wiro mengajak.

"Aku ingin sekali ikut. Tapi tak lama lagi hari akan segera siang. Selain itu aku tak mau menyakiti
perasaan si cantik tadi yang katanya selalu berada dekat denganmu." Wiro terdiam. Dia merasa
sedih melihat sikap dan cara bicara Bunga. Namun mungkin semua itu dia juga yang salah.

"Bunga, kurasa kau lebih dekat padaku. Maafkan aku kalau ada hal-hal yang membuat dirimu
tidak enak. Apapun yang terjadi semua itu tidak mengurangi rasa sayangku padamu. Aku harus
pergi sekarang juga …"

"Wiro, mengenai pertanyaanmu tadi …" Ucapan Bunga terputus. Saat itu Pendekar 212 telah
berkelebat lenyap.

"Ah, apakah aku telah membuat dia kecewa? Marah?" Bunga duduk bersimpuh di tanah. Air
mata meluncur dari balik kelopak mata. Bunga pejamkan kedua matanya. Hatinya kembali
bersuara.

"Untuk pertama kalinya dia mengatakan sayang padaku. Apakah kali ini aku terpaksa
membenarkan kabar dan ucapan banyak orang selama ini bahwa Pendekar Dua Satu Dua itu
seorang

pemuda mata keranjang? Apakah aku tidak boleh cemburu? Apakah aku tidak boleh merasa
takut kehilangan dirinya?" Bunga tersengguk.

"Kalau saja aku bisa mati lagi, rasanya aku ingin sekali mati untuk kedua kalinya …"

***

SEMBILAN

WALAU hujan telah beberapa kali turun, namun hawa sejuk tidak menyentuh puncak Gunung
Merapi. Sebagian besar daun-daun pepohonan mengering rontok. Kulit pohon menciut
kehitaman. Semak belukar hanya tinggal berbentuk ranting-ranting lapuk. Beberapa anak
sungai mengering dangkal. Kegersangan nyaris tampak dimalla-mana.

Siang itu begitu menjejakkan kaki di puncak Gunung Merapi bersama Liris Merah, kejut
Pangeran Matahari bukan alang kepalang. Goa besar tempat kediaman mendiang gurunya Si
Muka Bangkai tak ada lagi. Yang tampak hanya reruntuhan puing-puing batu goa, nyaris sama
rata dengan tanah gunung.
"Kurang ajar! Keparat! Jahanam mana berani mati menghancurkan goa tempat kediaman
guruku!" teriak Pangeran Matahari menggelegar sehingga seantero tempat bergetar.

Beberapa binatang hutan yang ada di dekat situ lari berhamburan. Puluhan burung yang tengah
berteduh dari teriknya sinar matahari di pepohonan menggelepar terbang ke udara. Selain
tenaga dalam tinggi yang dimiliki, hawa sakti yang ada pada Lentera lblis yang dipegangnya ikut
memberi kekuatan pada daya gelegar teriakannya. Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa
meman-dang berkeliling. Rahang menggembung mata menyala. Liris Merah yang tidak tahu
pasal ceritanya, bertanya.

"Ada apa Pangeran? Kau kelihatan marah besar." Kehadiran Liris Merah bersama Pangeran
Matahari di puncak Gunung Merapi itu memang perlu dijelaskan. Setelah dirinya berulang kali
digaulli oleh manusia bejat itu, entah mengapa Liris Merah menyukai sang Pangeran yang buruk
rupa serta kasar dan jahat. Rasa suka itu hari demi hari berdua-dua selama perjalanan berubah
menjadi rasa sayang. Lebih-lebih Pangeran Matahari selalu memanjakan dirinya, mencarikan
telaga atau mata air untuk melenyapkan serangan hawa panas pada tubuhnya. Selain itu
Pangeran Matahari juga menjanji-kan akan mencari Kitab Seribu Pengobatan untuk
menyembuhkan penyakitnya.

"Aku yakin. Kitab itu pasti ada di tangan Wiro Sableng." Begitu Pangeran Matahari berkata pada
Liris Merah. Sebagai gadis suci yang lugu soal hubungan lelaki dan perempuan, Liris Merah
mendapat kenikmatan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Dia tidak tahu apakah
Pangeran Matahari benar-benar telah menye-badaninya. Dia juga tidak tahu apakah saat itu dia
masih seorang perawan atau tidak. Karena seperti diketahui Pangeran Matahari telah
kehilangan kejantanannya.

Setiap peluk cium serta rabaan sang Pangeran membuat Liris Merah bertambah suka pada
lelaki terkutuk itu bahkan bisa dikatakan tergila-gila. Sebaliknya Pangeran Matahari menyadari
bahwa sampai saat itu kejantanannya masih belum pulih. Hal ini terbukti setiap saat dia hendak
melampiaskan nafsu terkutuknya, kejantanannya tidak berdaya. Itu sebabnya dia berusaha
keras mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Menurut ahli pengobatan Ki Tambakpati yang
pernah menolongnya sampai dua kali, didalam kitab itu ada petunjuk untuk penyembuhan
penyakitnya.Pangeran Matahari letakkan Lentera lblis yang dibungkus kain hitam di tanah. Lalu
sambil terus menatap kearah reruntuhan goa dia berkata.

"Sebelumnya, di tempat ini ada sebuah goa besar milik mendiang guruku. Aku pernah tinggal di
sini bertahun-tahun. Belum lama ini aku datang ke sini. Goa masih ada. Tapi kini kau saksikan
sendiri. Goa itu lenyap! Yang kelihatan hanya puing-puing, tanah rata! Jahanam betul!" Liris
Merah melangkah mendekat, merangkul pinggang sang Pangeran lalu berkata.

"Kalau cuma soal goa, kenapa terlalu dirisaukan. Kita bisa membangun pondok. Bagiku tidur
beratap langit berselimut embun tidak jadi soal. Pertama asalkan selalu di dekatmu.Kedua ada
mata air tak jauh dari sini. Dan ketiga janjimu akan mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan."
Pangeran Matahari peluk bahu Liris Merah. Setelah menciumi wajah, leher dan dada gadis itu
penuh nafsu dia berkata.

"Aku bukan akan mendirikan pondok di tempat ini. Tapi akan membangun istana! Puncak
Gunung Merapi akan menjadi markas besar Partai Bendera Darah yang sejak lama ingin aku
dirikan!" . Pangeran memandang berkeliling.

"Orang-orang yang membawa nenek sinting itu baru akan sampai besok. Yang mengherankan
mengapa Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat tidak ada di tempat ini? Apa dia merasa
sudah jadi raja besar dan aku yang harus menunggu kedatangannya?"

"Pangeran Matahari! Jangan salah menduga. Aku telah satu hari satu malam menunggumu di
sini!" Satu seruan keras lantang menyahuti kata-kata Pangeran Matahari tadi. Sekejap
kemudian berkelebat muncul sosok Pangeran Muda yang selalu berpakaian bagus mewah.
Ternyata dia tidak datang seorang diri. Dua belas orang ikut muncul bersamanya. Pangeran
Matahari angkat kepala, menatap tajam. Dia tak merasa perlu memperhatikan sepuluh lelaki
besar tegap berpakaian seragam hitam. Yang jadi pusat pandangan-nya adalah dua orang yang
tegak di kiri kanan tokoh Keraton Kaliningratitu.

Yang pertama dan berdiri di sebelah kiri sang Pangeran adalah seorang kakek berwajah biru
angker aneh berambut panjang kelabu yang dijalin lalu dililit seputar kening. Di atas matanya
yang sipit nyaris merupakan garis tidak terdapat alis. Hidung hanya berbentuk benjolan sebesar
ujung ibu jari sementara mulut menyerupai mulut ikan, setiap saat selalu bergerak membuka
dan menutup. Pakaiannya jubah hijau digelayuti puluhan ekor ular berwarna coklat kehitaman.

"lblis Ular Terbang Goa Kladen!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Walau terkejut namun dia
tidak merasa gentar.

"Bertahun-tahun tidak kedengaran juntrungannya. Sekarang muncul bersama Pangeran gila


kuasa yang banyak kehilangan pendukung ini." Pangeran Matahari melirik ke sebelah kanan
Pangeran Muda. Disini berdiri seorang .nenek berwajah sangat buruk. Rambutnya putih riap-
riapan. Kepala selalu mendongak dan sepasang mata yang juling menatap ke langit seolah-olah
memperhatikansesuatu. Mulutnya yang keriput selalu menghembus-hembus, menebar hawa
panas berbau aneh. Si nenek mengenakan pakaian menyerupai kemben hingga jelas kelihatan
kalau dia sama sekali tidak mempunyai tangan!

”lblis Betina Mulut Beracun!" ucap Pangeran Matahari dalam hati menyebut nama si nenek
begitu dia mengenali.

"Jika iblis lelaki dan iblis perempuan ini bergabung bersama Pangeran Muda, aku mencium
gelagat tidak baik." Pangeran Matahari melirik kearah Lentera lblis yang terbungkus kain hitam
yang diletakkannya di tanah. Di balik kain hitam pembungkus Lentera lblis keluarkan cahaya
redup. Dalam hati sang Pangeran membatin.
"Lentera lblis mengeluarkan cahaya di siang hari. Pertanda bahaya. Aku harus berhati-hati.
Pangeran Muda, jika kau berlaku culas ketahuilah kau tak akan bisa menipu Pangeran
Matahari!"

"Pangeran Muda, sesuai janji, kau datang ke sini membawa Bendera Darah yang menurutmu
kau temukan secara tak sengaja di Goa Selarong."

"Sobatku Pangeran Matahari, soal Bendera Darah itu jangan kawatir," jawab Pangeran Muda
yang aslinya bernama Sawung Guntur. Dia melirik ke arah Liris Merah.

"Ah, kalau tidak salah mataku melihat, bukankah gadis cantik berpakaian serba merah ini
adalah salah seorang murid Hantu Malam Bergigi Perak,yang baru-baru ini dikabarkan menemui
ajal di tangan Sinto Gendeng?"

"Ucapanmu tidak salah! Tapi saat ini aku membicarakan Bendera Darah, bukan perihal gadis
ini!" Damprat Pangeran Matahari. Pangeran Muda batuk-batuk. Dia tepukkan dua tangannya.
Saat itu juga dari atas sebuah pohon besar melayang turun satu sosok berpakaian hijau sangat
tipis sambil memegang sebatang besi berujung lancip dimana tergulung sehelai kain
berlumuran darah setengah kering.

Luar biasa! Semua mata mendelik!

Sosok berpakaian hijau yang turun dari pohon ternyata adalah seorang gadis cantik
mengenakan pakaian hijau sangat tipis. Begitu tipisnya hingga jelas terlihat auratnya kencang,
mulus dan bagus yang tidak mengenakan apa-apa lagi di balik pakaian hijau itu. Dengan kedua
tangannya gadis cantik ini memegang gagang besi sebuah bendera yang tergulung, berwarna
merah kehitaman, menebar bau busuk. Busuknya darah yang setengah mengering. ltulah
Bendera Darah. Bendera kebesaran Partai Bendera Darah yang sejak lama ingin didirikan
Pangeran Matahari dalam rangka tujuannya menguasai rimba persilatan tanah Jawa.

"Pangeran Matahari, aku perkenalkan. Gadis itu bernama Lawangningrum. Dia akan
menyerahkan Bendera Darah padamu. Tapi tidak di sini. Tak jauh dari sini, orang-orangku telah
mem-angun sebuah pondok kayu. Lawangningrum akan menyerah-an Bendera Darah di pondok
itu. Selanjutnya gadis itu jadi milikmu." Pangeran Matahari perhatikan gadis cantik yang nyaris
bugil di hadapannya. Darahnya terasa panas, pelipis bergerak-gerak dan cuping hidung yang
bengkok kembang kempis. Nafsunya menggelegak. Dia memang suka pada si gadis. Namun
tindak tanduk dan bicara Pangeran Muda tadi membuat Pangeran. Matahari merasa dilecehkan
di hadapan orang banyak. Sang Pangeran terlalu sombong untuk menerima hadiah istimewa
secara begitu rupa. Pangeran Matahari berpaling pada Pangeran Muda lalu berkata.

"Pangeran Muda, aku ingin Lawangningrum menyerahkan ‘ Bendera Darah saat ini juga padaku,
di tempat ini!" Pangeran Muda Sawung Guntur melirik pada lblis Betina Mulut Beracun dan lblis
Ular Terbang Goa Kladen. Dua lblis ini sama anggukkan kepala. Pangeran Muda berpaling
kembali pada Pangeran Matahari dan berkata dengan suara lantang.
"Pangeran Matahari kau adalah pimpinan dan penguasa di puncak Merapi. Jika Pangeran
Matahari menghendaki bendera diserahkan di tempat ini siapa yang berani menampik?
Lawangningrum serahkan Bendera Darah pada Pangeran Matahari!" Pangeran Matahari tidak
bodoh. Dia telah melihat gerak gerik tiga orang di hadapannya. Semakin jelas tercium hal yang
tidak beres.

Gadis bernama Lawangnillgrum anggukkan kepala lalu perlahan-lahan langkahkan kaki ke arah
Pangeran Matahari. Sementara berjalan dia goyangkan bahunya yang bidang serta dada
kencang dan pinggul besar. Pakaian hijau tipis yang melekat di tubuhnya sedikit demi sedikit
merosot jatuh ke tanah. Ketika dia sampai di hadapan Pangeran Matahari untuk menyerahkan
Bendera Darah, keadaan dirinya tidak lagi tertutup sehelai benang pun. Polos telanjang!

Darah Pangeran Matahari berdegup kencang dan panas Mata nya terbeliak besar. Dada
berguncang keras. Ketika Lawangningrum sedikit membungkuk memberi penghormatan
sambil.ulurkan Ben dera Darah, nafsu Pangeran Matahari menggelegak. Gerakan mem bungkuk
gadis bugil di hadapannya itu membuat sepasang payuda- ranya yang kencang membuyut besar
dan bergoyang kenyal.

Namun kecerdikan otaknya membuat Pangeran Matahari ti- dak berlaku lengah. Dia sadar
bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Pada saat itulah Lawangingrum sentakkan dua tangannya
yang me-megang besi gagang bendera. Bendera Darah yang sejak tadi ter-gulung pada gagang
besi, membuka sebat, menebar hawa luar bia-sa amis busuk. Namun yang keluar dari bendera
itu bukan cuma ha-wa amis busuk. Bersamaan dengan terbukanya gulungan bendera berbentuk
segi tiga itu melesat dua puluh senjata rahasia berupa paku panas merah menyala, menyerang
Pangeran Matahari!

Di saat yang sama lblis Betina Mulut Seracun dan lblis Ular Terbang Goa Kladen keluarkan
pekikan lantang. Sepuluh orang ber-pakaian seragam hitam ikut menjerit lalu menebar
mengurung mem-bentuk lingkaran. Bersamaan dengan itu tubuh Lawangningrum tam-pak
mengepul. Ujudnya saat itu berubah menjadi sosok seorang nenek bertubuh gemuk bungkuk.
Ketika mulutnya yang peot menyeringai kelihatan taring-taring mencuat panjang dan tajam
serta basah oleh darah di dua sudut bibir.

"Genderuwo Penghisap Darah!" teriak Pangeran Matahari.

"Keparat kurang ajar! Kalian mencari mati semua!" Pangeran Matahari marah sekali. lblis Betina
Mulut Beracun melompat sambil menyembur. Asap hitam beracun membersitkan bau busuk
mendera ke arah Pangeran Matahari. Jangankan manusia, seekor gajah pun kalau sampai
menghisap hawa beracun ini pasti akan tergelimpang roboh menemui ajal!

Sementara itu sepuluh dari tiga puluh ular coklat kehitaman yang menempel di pakaian hijau
lblis Ular Terbang Goa Kladen melesat di udara, menyambar ke arah Pangeran Matahari! Pada
saat semua orang bergerak menyerang Pangeran Matahari, Pangeran Muda Sawung Guntur
melompat menyambar Lentera lblis.

Pangeran Matahari menggembor keras. Matanya terasa perih. Cepat dia tutup jalan pernafasan
untuk selamatkan diri dari serangan asap beracun yang disemburkan lblis Betina Mulut
Beracun. Sambil tutup pernafasan Pangeran Matahari jatuhkan diri. Telapak tangan kiri
bersitekan ke tanah. Tangan kanan menghantam ke depan, lancarkan pukulan Menahan Bumi
Memutar Matahari yang didapatnya dari Singo Abang. Puluhan paku panas menyala yang
menghantam ke arahnya berpelantingan ke udara. Namun sebuah paku masih .sempat
menghajar daun telinga kanannya sehlingga robek kucurkan darah!

"Setan alas! Terima kematianmu!" teriak Pangeran Matahari. Dia hendak menghantam
Gondoruwo Penghisap Darah dengan pukulan Gerhana Matahari namun.membatalkan niatnya
karena saat itu sepuluh ular coklat kehitaman yang melesat telah berada dekat sekali.
Sementara dia juga harus selamatkan Lentera Ibis yang hendak dirampas Pangeran Muda! Liris
Merah tidak tinggal diam. Didahului pekik kemarahan gadis murid mendiang Hantu Malam
Bergigi Perak ini berkelebat ke arah samping lblis Ular Terbang Goa Kladen. Dua tangan disilang
di depan dada. Dua tangan itu tampak berubah hitam, sepuluh kuku jari mencuat hitam
panjang. Ketika dua tangan dihantamkan ke delapan, sepuluh larik cairan hitam menebar bau
busuk serta mengepulkan asap menyambar sepuluh ular yang melesatdi udara! ltulah pukulan
sakti yang disebut Limbah Neraka MenghujatBumi!

"Dess … dess …. desss …. blaarrr!"

Sepuluh ular terbang terpental hancur. lblis Ular Terbang Goa Kladen terkejut dan pucat. Dia
tidak menyangka kalau Liris Merah telah menerima warisan pukulan sakti itu dari mendiang
gurunya. Bum-buru dia bersurut mundur sampai empat langkah.

***

SEPULUH

Sepuluh anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam di dahului teriakan marah menyerbu ke
arah Liris Merah. Si gadis ganda tertawa dan berseru.

"Aku tahu ilmu kebal kalian! Majulah lebih dekat untuk menerima kematian! Hik … hik … hik!
Liris Merah lalu melompat ke arah semak belukar hingga dua kakinya tidak lagi menginjak
tanah. Mendengar ucapan serta melihat gerakan si gadis sepuluh lelaki berseragam hitam serta
merta hentikan gerakan menyerang. Seperti diketahui anggota Keraton Kaliningrat berseragam
hitam memiliki ilmu kebal tahan pukulan tahan senjata. Rahasia kekebalan ini diketahui oleh
Liris Merah dan Liris Biru dari guru mereka yaitu Hantu Malam Bergigi Perak.
Selama kaki mereka berpijak di bumi, atau selama kaki penyerang menginjak tanah maka tidak
ada ilmu pukulan serta senjata apapun sanggup mencelakai mereka! Pangeran Matahari
tertawa bergelak.

"Kekasihku Liris Merah!Kau hebat sekali!" Bersamaan dengan itu sang Pangeran putar telapak
tangan kirinya yang sampai saat itu masih bersitekan ke tanah. Kaki kanan melesat ke depan
dan

kraakk!

Pangeran muda yang hendak mengambil Lentera lblis men-jerit keras ketika lengan kanantlya
hancur dimakan tendangan Pangeran Matahari. Untuk selamatkan diri dia jatuhkan tubuh di
tanah lalu berguling menjauh. Sambil terus mengumbar tawa Pangeran Matahari ambil Lentera
lblis dan buka kain hitam pem-bungkus. lblis Ular Terbang Goa Kladen, lblis Betina Mulut
Beracun dan Gondoruwo Penghisap Darah tidak tahu apa yang terjadi.

Mereka hanya melihat Lentera lblis di tangan Pangeran Matahari berputas sedemikian rupa.
Sebelum ketiganya sempat selamatkan diri, kilatan cahaya merah berkiblat keluar dari Lentera
Iblis.

"Wusss! Wusss! Wusss!"

Tiga tokoh rimba persilatan golongan hitam itu menjerit keras. Suara jeritan inereka lenyap
begitu sinar merah melanda tubuh masing-masing lalu jatuh ke tanah dalam keadaan
mengepul. Ketiganya menemui ajal dengan tubuh hangus nyaris leleh, berwar-na merah!
Pangeran Matahari telah menghajar ke tiga orang itu dengan jurus pertama Lentera lblis yakni
Jurus Api Neraka!

Cahaya merah mengandung cahaya panas luar biasa ternyata tidak hanya berkiblat menghabisi
nyawa ke tiga tokoh bawa-an Pangeran Muda tadi, tetapi terus menghantam ke arah deretan
pepohonan dan semak belukar kering. Dalam sekejap mata semuanya telah dilamun kobaran
api. Ketika angin bertiup kencang kobaran api meluas kemana-mana! Dalam waktu singkat
sebagian puncak utara Gunung Merapi di sekitar telaga telah tenggelam dalam satu kebakaran
yang luar biasa dasyatnya.

Melihat apa yang terjadi atas diri ke tiga tokoh golongan hitam itu, sementara pimpinan mereka
Pangeran Muda tidak diketahui berada di mana dan dalam keadaan bagaimana, sepuluh
anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam tidak tunggu lebih lama segera putar tubuh
ambil langkah seribu. Namun Liris Merah agaknya tidak memberi kesempatan bagi mereka
untuk selamatkan diri. Masih di antara semak belukar yang saat itu mulai dijilat api, gadis itu
lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh. Satu persatu anggota Keraton Kaliningrat
berseragam hitam terpental dan tergelimpang dengan punggung hancur. Hanya dua orang saja
yang sempat kabur selamatkan nyawa.
Pangeran Matahari tenteng Lentera lblis di tangan kanan lalu mengambil Bendera Darah.
Gagang bendera yang terbuat dari besi ini kemudian dihunjamkan ke sebuah batu besar bekas
reruntuhan goa. Bendera berbentuk segitiga yang berlumuran darah setengah kering ini
berkibar ditiup angin, menebar bau busuk amis.

"Pangeran! Telinga kananmu terluka!" teriak Liris Merah. Gadis ini lari mendatangi. Pangeran
Matahari langsung merangkul pinggang Liris Merah.

"Hanya luka kecil, mengapa dikhawatirkan?" kata sang Pangeran pula.

"Kau tahu, kobaran api itu merangsang nafsuku. Aku ingin mencumbumu di tengah kebakaran
dahsyat ini!"

"Pangeran, aku siap melayanimu,"jawab Liris Merah yang sudah tergila-gila pada Pangeran
Matahari. Lalu tanpa malu malu gadis ini tanggalkan pakaian merahnya dan baringkan tubuh di
tanah.

"Pangeran, cepat. Lakukan Sekarang. Tubuhku mulai terasa panas." Pangeran Matahari tertawa
tergelak-gelak. Sepasang matanya berkilat-kilat.

"Kekasihku, kau memang hebat! Tidak Pernah aku menemui gadis luar biasa seperti dirimu
sebelumnya! Kita bercumbu dulu di sini. Ada sebuah telaga kecil tak jauh dari sini. Aku nanti
akan mem-bawamu ke sana. Kita akan teruskan bersenang-senang di telaga itu sampai malam,
sampai pagi. Ha … ha … ha … ! kau hebat! Bilamana Partai Bendera Darah berdiri, Aku akan
menjadi Raja di Raja rimba persilatan dan kau akan menjadi Ratunya! Ha … ha … ha!" Liris
Merah memekik kecil lalu tarik tangan Pangeran Matahari.

***

API yang membakar puncak Merapi serta merta menarik perhatian semua orang yang berada di
sekitar gunung tersebut bahkan sampai jauh ke Kotaraja. Sri Baginda Raja memerintahkan Patih
Wira Bumi untuk melakukan penyelidikan. Sementara itu beberapa mata-mata Kerajaan yang
disebar untuk memantau keamanan serta mengawasi gerakan-gerakan mencurigakan termasuk
gerakan orang-orang Keraton Kaliningrat melapor bahwa dua hari sebelum api berkobar di
puncak Merapi, Pangeran Muda terlihat menaiki gunung membawa sejumlah orang. Orang-
orang Kerajaan tak berani bertindak karena Pangeran Muda ditemani beberapa tokoh rimba
persilatan golongan hitam.

Keesokannya ada serombongan orang tak dikenal naik ke puncak gunung membawa sebuah
usungan. Di hari yang sama kembali Pangeran Muda terlihat di sebuah dangau di kaki gunung.
Kali ini dia hanya seorang diri dan dalam keadaan cidera berat. Berdasarhan keterangan mata-
mata patih Wira Bumi bersama sejumlah pasukan serta dua orang tokoh silat istana segera
mendatangi dangau dimana Pangeran Muda pimpinan pemberontak
Keraton Kaliningrat terakhir kali terlihat. Ketika menjelang malam rombongan orang-orang
Kerajaan ini sampai ternyata Pangeran Muda Sawung Guntur masih ada di sana. Lengan
kanannya yang hancur mulai membusuk. Sang Pangeran diperintahkan menyerah namun
dengan nekad melakukan perlawanan. Walau lengan kanannya dalam keadaan cidera berat
ternyata Pangeran Muda tetap merupakan manusia berbahaya.

Dia mampu membunuh enam perajurit Kerajaan dan melukai salah seorang tokoh silat istana.
Setelah mendesak lawan yang terluka itu Wira Bumi berhasil menghantam dada lawan dengan
pukulan Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Ini adalah ilmu pukulan sangat jahat yang didapat
Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. Sebelum memukul Wira Bumi menyembur dulu lawannya
dengan asap hitam. Selagi pemandangan Pangeran Muda tertutup, Patih Kerajaan menggebuk
tokoh Keraton Kaliningrat itu telak di bagian

dadanya hingga muntah darah.

Dalam keadaan luka parah luar dalam dan tertotok Pangeran

Muda dipaksa memberi keterangan. Megap-megap orang ini menceritakan apa yang terjadi di
puncak Merapi.

"Aku berjuang demi menuntut hakku yang syah atas tahta

Kerajaan. Kalian memperlakukanku secara sewenang-wenang!

Aku mau tahu apa kalian orang-orang Kerajaan mampu menghadapi Pangeran Matahari." Ucap
Pangeran Muda mengakhiri keterangan.

"Hanya berteman seorang gadis, apakah kemampuan Pangeran Matahari begitu hebatnya?"

"Patih Kerajaan, jangan pongah. Aku tahu kau dapat banyak ilmu hebat dari gurumu mahluk
alam roh Nyai Tumbal Jiwo. Tapi siapa yang tidak kenal Pangeran Matahari! Jangan lecehkan
ilmu kesaktiannya. Selain itu dia memiliki sebuah senjata berupa lentera bernama Lentera Iblis!
Dialah yang telah membakar rimba belantara di puncak Gunung Merapi! Sekali Partai Bendera
Darah berdiri kalian semua akan dihabisinya!" Patih Kerajaan menyeringai lalu angguk-
anggukkan kepala.

"Aku tadinya menganggap cerita tentang Lentera lblis itu hanya isapan jempol belaka …"

"Naiklah ke puncak Merapi. Rampas lentera itu sebelum lentera merampas nyawamu!" kata
Pangeran Muda pula lalu menyambung kata-katanya.

"Patih Wira Bumi, aku telah memberi keterangan sangat berguna bagi Kerajaan, seharusnya
saat ini . kau membebaskan diriku! Aku adalah Rajamu yang syah!" Wira Bumi tertawa panjang.
Tiga tokoh silat golongan hitam yang datang bersamanya sunggingkan senyum mengejek. Sang
Patih kemudian tepuk-tepuk bahu Pangeran Muda yang sampai saat itu masih berdiri dalam
keadaan tertotok lalu berkata.

"Jangan kawatir Pangeran Muda. Kau akan aku lepaskan. Sekalian bersama nyawamu!" Patih
Kerajaan mengambil tombak yang dipegang seorang perajurit. Senjata ini kemudian
dihunjamkannya ke dada Pangeran Muda.

Manusia yang memimpikan untuk dapat merebut tahta Kerajaan dan menjadi Raja ini hanya
sempat keluarkan jeritan pendek lalu jatuh terbanting ke tanah dan hembuskan nafas terakhir
dengan mata melotot.

Patih Wira Bumi dan dua orang tokoh silat istana berunding apa yang akan dilakukan. Akhirnya
diputuskan bahwa hari itu juga, paling lambatsore nanti mereka akan naik ke puncak Gunung
Merapi setelah lebih dulu menghimpun dan menambah kekuatan pasukan. Sang Patih sendiri
yang akan memimpin rombongan. Sementara itu kebakaran yang melanda puncak Merapi serta
kabar tertangkap dan matinya Pangeran Muda gembong pimpinan kaum pemberontak dari
Keraton Kaliningrat telah pula sampai ke telinga dan mendapat perhatian para tokoh rimba
persilatan. Mereka menghubungkan peristiwa itu dengan ramalan akan munculnya satu
kejadian luar biasa. Maka satu persatu para tokoh , rimba persilatan naik ke puncak Merapi.

Para sepuh rimba persilatan umumnya tahu bahwa kawasan utara puncak Gunung Merapi
pemah menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. Pasti sesuatu
terjadi di sana. Kebanyakan dari mereka memilih melakukan perjalanan pada malam hari agar
sampai keesokan pagi di tempat tujuan.

Ketika api melanda puncak Merapi, Pendekar 212 Wiro Sableng dalam perjalanan menuju Goa
Cadasbiru. Rencananya menemui Liris Merah dan Liris Biru, mencari petunjuk dalam Kitab
Seribu Pengobatan agar dapat menyembuhkan penyakit yang diderita dua gadis itu. Di tengah
jalan Wiro malah berpapasan dengan Liris Biru yang ditemani Setan Ngompol. Ketika ditanya
Setan Ngompol memberi tahu bahwa dia dan Liris Biru bermaksud mencari Wiro dan Liris
Merah yang katanya hendak mengejar pemuda itu. Liris Biru tampak gelisah mengetahui
kakaknya tidak bersama Wiro, bahkan Wiro tidak tahu menahu dimana gadis itu berada.

"Kek, dalam perjalanan aku melihat seperti ada kebakaran di

puncak Gunung Merapi. Aku pernah menyirap kabar bahwa satu peristiwa besar akan terjadi
dalam rimba persilatan. Dari Kakek Segala Tahu yang aku temui belum lama ini dia mengatakan
peristiwa itu adalah api dan darah. Lalu mengingat puncak Merapi adalah tempat kediaman Si
Muka Bangkai guru Pangeran Matahari, menurutmu bagaimana kalau kiia naik ke sana."

"Aku memang punya pikiran begitu." Jawab Setan Ngompol. Lalu berpaling pada Liris Biru

"Kau ikut?"
"Aku ikut kemana kalian pergi," jawab si gadis. Wiro mendekati Liris Biru dan berkata.

"Kitab Seribu Pengobatan sudah ada di tanganku. Sekem-balinya dari gunung Merapi kita sama-
sama mencari petunjuk dalam kitab bagaimana mengobati penyakit dirimu dan Liris Merah."
Wajah biris Biru tampak berseri.

"Aku gembira. Aku merasa lega sekarang."

***

MALAM itu tanpa perdulikan api yang terus melalap puncak Merapi, Pangeran Matahari dan
Liris Merah tidur di atas sebuah rakit di ayun lembut air telaga. Sementara mayat orang-orang
Keraton Kaliningrat masih bergeletakan di sekitar telaga. Kedua insan yang lelap berpelukan
setelah semalam suntuk memadu cinta saling melampiaskan nafsu baru terbangun dari tidur
ketika cahaya matahari memanasi tubuh mereka. Kedua orang yang sejak malam tadi berada
dalam keadaan bugil cepat kenakan pakaian masing-masing. Lentera terbungkus kain hitam
nampak memancarkan cahaya merah.

"Ada bahaya," bisik Pangeran Matahari. Dia pegang tangan Liris Merah. Tangan yang lain
menjangkau bungkusan Lentera lblis lalu keduanya melesat ke tepi telaga, berdiri di hadapan
sebuah pondok kayu yang sebelumnya sengaja dibangun oleh Pangeran Muda untuk membujuk
hati Pangeran Matahari.

"Masuklah ke dalam pondok. Jangan sekali-kali berani keluar

kalau tidak aku beri tanda dengan dua kali suitan. Awasi tawanan kita. Rombongan malam tadi
yang membawa tawanan sudah meninggalkan tempat ini. Aku punya perasaan saat ini bukan
cuma kita yang ada di tempat ini. Orang-orang rimba persilatan. Mereka naik ke sini untuk
mengantar nyawa!"

Setelah Liris Merah masuk ke dalam pondok, Pangeran Matahari melangkah mendekati
Bendera Darah yang kini menancap di tengah halaman luas antara pondok kayu dan telaga.
Sambil memegang besi gagang bendera, dua mata Pangeran Matahari memandang berkeliling.
Dia melihat beberapa orang mendekam di balik pohon-pohon besar. Ada yang berlindung di
balik gundukan batu di tepi telaga. Ada juga merunduk di balik . semak belukar.

Pangeran Matahari tertawa berqelak "Manusia-manusia geblek! Berani datang tidak berani
unjukkan tampang!" Belum lenyap gelegar suara lantang Pangeran Matahari, tiba tiba dari balik
pepohonan, dari belakang gundukan batu dan semak belukar satu persatu melesat keluar
beberapa orang.

Pangeran Matahari tahu kalau tidak semua orang yang datang sudah unjukkan diri. Masih ada
yang sembunyi. Sementara itu dari arah timur pinggiran telaga mendatangi pasukan Kerajaan
dibawah pimpinan Patih Wira Bumi dan Kepala Pasukan Kerajaan Gempar Sumodibroto.
Pangeran Matahari mendengus. Unjukkan seringai dan membuka mulut.

"Kalian datang dari jauh. Sepantasnya aku menghidangkan minuman hangat. Namun kalian
bukan tamu tamu yang pantas mendapatkan kehormatanku. Lagi pula kalian datang sudah
membawa bekal minuman. Yaitu darah kalian masing-masing yang kelak akan kalian teguk
sendiri sebelum menemui kematian! Ha … ha … ha!" Sang Pangeran tahu, walau ada yang tidak
dikenalnya namun orang-orang yang ada di tempat itu bukanlah manusia-manusia
sembarangan. Diantara mereka sudah menjadi musuhnya sejak lama. Tapi selama Lentera Iblis
ada dalam pegangannya dia tidak perlu merasa kawatir.

"Tidak diduga tidak disangka! Rupanya kalian datang jauh jauh minta mati secara bersamaan!
Belantara kobaran api puncak Gunung Merapi agaknya telah menarik perhatian kalian!
Sayangnya rasa ingin tahu kalian akan berakhir pada kematian! Ha … ha … ha!"

Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi

SEBELAS

ORANG pertama yang jadi perhatian Pangeran Matahari adalah musuh bebuyutannya yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Pemuda Sableng berjuluk Pendekar Dua Satu Dua! Hari ini kau berpenampilan aneh dan lucu!
Biasanya selalu mengenakan pakaian serba putih. Sekarang mengenakan pakaian hitam!
Apakah itu tanda sebagai rasa tahu diri bahwa kau bakal menemui kematian?!"

Diejek begitu rupa Wiro tenang-tenang saja, malah sambil menyengir dia menyahuti ucapan
orang.

"Aku memang kehabisan kain putih untuk bahan pakaian. Kabarnya persediaan kain putih di
seluruh tempat sudah habis dipesan orang. Untuk dijadikan kain kafan pembungkus jenazahmu.
Tentunya kalau hari ini kau mampus dengan jazad masih utuh! Ha … ha … ha!"

Tampang Pangeran Matahari jadi kaku membesi. Tak mau kalah dia kembali tertawa. Suara
tawanya menindih suara tawa Pendekar 212, menggetarkan seantero tempat termasuk
halaman luas antara pondok dan telaga. Air telaga tampak bergelombang. Wiro perhatikan
Lentera lblis di tangan Pangeran Matahari. Dia meyakini senjata aneh itu memberi kekuatan
tambahan pada tenaga dalam serta hawa sakti yang ada dalam tubuh murid Si Muka Bangkai
itu.

"Gunung Merapi adalah daerah kekuasaanku. Aku berpant-ang mati di sarang sendiri! Lihat di
sekitar kalian. Hampir selusin mayat bergeletakan. Apa itu tidak membuat kalian berpikir seribu
kali berani menyatroni Pangeran Matahari di sarangnya sendiri?!" Wiro balas ucapan orang.
"Pangeran Matahari, dosamu telah melebihi takaran. Sedalam lautan setinggi langit tembus,
sebusuk comberan. Ketahuilah bahwa sebenarnya kau telah lama mati. Selama ini kau tak lebih
dari pada mayat berjalan!" , Air. muka Pangeran Matahari langsung mengelam kaku mendengar
kata-kata Pendekar 212 itu. Namun dengan cerdik

dia tindih hawa amarah dengan tawa bergelak.

Setelah puas tertawa Pangeran Matahari perhatikan orang berikutnya. Yaitu seorang kakek
bermata jereng, kuping lebar dan salah satunya terbalik. Kakek ini sebentar-sebentar pegangi
celana. Tanah yang dipijak tampak basah. Setan Ngompol! Siapa lagi kalau bukandia!

"Kakek jelek! Kau datang hanya mengotori tempat kediaman- ku dengan air kencingmu!
Tololnya mau ikut-ikutan mati bersama pendekar sableng itu!" Mendengar ancaman itu karuan
saja kencing Setan Ngompol jadi terpancar. Tanah di bawah kedua kakinya tampak tambah
becek.

"Air kencingku bukan air kencing biasa!" menyahuti Setan Ngompol.

"Kalau kau minum sambil menungging rasanya sama dengan anggur harum negeri Cina! Ha …
ha … ha! Kau mau minum kencingku? Sekarang? Ha … ha … ha!" Sambil tertawa Setan Ngompol
tekap bagian bawah perutnya Serrr …. serrr. Kencing kembali memancar. Tampang Pangeran
Matahari jadi merah membesi.

"Kakek bau pesing! Kau boleh mempermainkanku! Sebentar lagi tubuhmu akan aku buat leleh!"
Namun dia jadi terhibur ketika melihat gadis cantik berpakaian serba biru yang tegak di dekat si
kakek.

"Gadis cantik, bukankah kau adik gadis bernama Liris Merah?

Ah, sayang sekali. Cantik dan harum mengapa jalan bersama kakek jelek bau pesing itu?! Ha …
ha … ha! Sebentar lagi kau akan terkejut melihat siapa yang hadir di sini! Kau harus memanggil
kakak ipar padaku! Ha … ha …. ha!"

Ucapan terakhir pangeran Matahari itu membuat Liris Biru selain heran juga terkejut. Apakah
telah terjadi perkawinan antara Pangeran Matahari dengan kakaknya? Kapan? Namun saat itu
gadis ini tak bisa berpikir panjang. Pangeran Matahari lalu palingkan kepala ke arah seorang
pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda ini berambut ikal hitam, berwajah tampan. Wiro sendiri
sejak tadi memperhatikan karena rasa-rasa kenal.

"Sobat muda! Aku tak mengenal siapa dirimu! Lekas terangkan siapa kau adanya. Apa sudah
bosan hidup berani datang ke puncak Merapi !"

"Namaku Jatilandak! Aku datang ke sini untuk mewakili seorang gadis sahabatku yang pernah
kau perkosa!" Kejut Wiro dan Setan Ngompol bukan alang kepalang. Jatilandak! Pemuda dari
Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam., Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya ymg dulu
botak serta berkulit kuning menjijikkan kini berubah menjadi seorang pemuda tampan berkulit
bersih berambut lebat? Kitab Seribu Pengobatan! Wiro lantas ingat pada perempuan bayangan.
Mungkin sekali Jatilandak lah yang diobati mahluk itu.

." Purnama …." Wiro berucap berlahan.

"Apakah kau berada di sini?"

"Aku sejak tadi ada di dekatmu," ada suara jawaban mengiang di telinga kanan Pendekar 212
disertai saputan angin halus.

"Purnama, pemuda itukah yang kau maksudkan pada per-temuan kita sebelumnya?"

"Betul. Dia sahabatmu bukan?" Wiro menggaruk kepala lalu mengangguk perlahan.

"Apa hubunganmu dengan Jatilandak …."

"Kau cemburu? Sudah nanti saja kita bicara lihat apa yang terjadi. Banyak kejutan yang akan
kau lihat sebentar lagi." Jawab Purnama mahluk alam roh dari Negeri Latanasilam.

Kening Pangeran Matahari mengerenyit.

"Selama hidup aku telah merusak kehormatan puluhan gadis. Aku tak ingat satu-satu nama
mereka. Katakan siapa. nama Sahabatmu yang menurutmu telah aku perkosa?!"

"Bidadari Angin Timur!" jawab Jatilandak tanpa tedeng aling-aling dengan suara keras lantang
hingga semua orang mendengar jelas. Wiro terkejut.

"Pangeran jahanam!" geram Wiro dengan dua tangan terkepal. Pangeran Matahari lebih lagi
kejutnya. Tetapi ia tunjukkan

sikap tenang. Sambil mengeringai dan usap-usap dagu

pangeran bergumam.

"Hemm …. Bidadari Angin Timur bukan gadis sembarangan. Jangan kau berani menuduh tanpa
membawa bukti. Dimana gadis itu sekarang?" .

"Dia diketahui telah membuang diri masuk jurang. Bunuh diri karena tidak sanggup menahan
aib besar!" Wiro Sableng merasa tanah yang dipijak seperti amblas. Mukanya tampak pucat.
Sekujur tubuh panas bergetar dan dada terasa sesak. Dia memandang ke arah Setan Ngampol Si
kakek sendiri dalam kaget luar biasa langsung kucurkan air kencing.
"Kek, Apakah benar Bidadari Angin Timur sudah meninggal? Aku seperti tak bisa percaya …"
suara Wiro bergetar.Tenggorokan Setang Ngompol turun naik mendengar ucapan Wiro tadi.

"Aku tidak tahu Wiro. Lama sekali aku tidak melihat atau mendengar kabar dirinya. Kalau
nasibnya sampai begitu rupa, kasihan sekali …’

"Pangeran Matahari! Aku datang untuk membalaskan sakit hati atas perbuatanmu terhadap
gadis sahabatku itu!" Habis berkata begitu Jatilandak siap hendak menyerang Pangeran
Matahari. Namun seperti ada satu tangan yang menahan dadanya hingga gerakan kedua
kakinya terhenti.

"Anak Muda, kalau mau mati harap bersabar dulu! Jika kau memaksa aku akan memberikan
kesempatan bagimu untuk menemui kematian!" Jawab Pangeran Matahari.

Jatilandak sunggingkan senyum sinis.

”Pangeran Matahari kau tak bisa lari dari kematian. Mayatmu tidak bakal berkubur!" Pangeran
Matahari gembungkan rahang. Dia tak ingin melayani Jatilandak lebih jauh. Dia berpaling pada
Patih Kerajaan.

"Patih Kerajaan Wira Bumi!" Pangeraan Matahari berseru.

"Sungguh satu kehormatan atas kehadiranmu membawa pasukan dalam jumlah besar. Disertai
pula Kepala Pasukan Kerajaan dan dua tokoh silat istana! Benar-benar kehormatan luar biasa!"
Wiro berbisik pada Setan Ngompol. Suami perempuan Nyi Retno Mantili jadi urusan kita nanti
Kek. Dia yang menggantung Ki Tambakpati." Sementara itu Patih Wira Bumi telah maju
selangkah. .

"Pangeran Matahari. Aku datang untuk menyelidik. Ada orang yang memberi tahu bahwa kau
telah membakar rimba di kawasan puncak gunung ini. Kemudian kau hendak mendirikan Partai
Bendera Darah yang mengancam ketentraman Kerajaan serta seluruh kawasan negeri. Apakah
hal itu benar adanya?"

Mendengar kata-kata Patih Kerajaan Pangeran Matahari tertawa langsung tertawa gelak-gelak..

"Sungguh tolol!! Jauh jauh datang hanya untuk mengajukan dua pertanyaan. Ha … ha … ha!"
Pangeran Matahari kacakkan tangan kiri di pinggang Tangan kanan memegang lebih erat
gagang Lentera Iblis.Dua mata menatap tajam pada Patih Kerajaan lalu dia bertanya.

"Patih, siapa yang mengadukan hal itupada sampeyan?!"

"Pangeran Muda yang kau hancurkan tangannya!" Jawab

Patih Kerajaan. Kembali Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak


."Kau lebih percaya pada biang pemberontak itu dari pada orang rimba persilatan yangselalu
bicara apa adanya seperti aku!"

Wira Bumi melirik ke arah Bendera Darah yang menancap di tanah. Dia berpaling pada Kepala
Pasukan yang berdiri di sebelahnya dan berkata.

"Gempar Sumobroto! Tangkap manusia itu hidup atau mati. Mendengar perintah sang Patih,
Kepala Pasukan Kerajaan segera memberi tanda kepada seluruh anak buahnya. Hampir lima
puluh perajurit segera mengepung Pangeran Matahari. Dua orang tokoh silat istana yang juga
mendapat tanda dari Wira Bumi cepat mendekati sang Patih. Salah seorang berbisik.

"Patih, Lentera lblis bukan senjata sembarangan Kita harus menghadapi lawan dengan memakai
siasat."

"Kalian berdua tak perlu menasehatiku! Saat ini bukan waktunya banyak bicara. Aku membawa
kalian ke sini untuk menghabisi orang itu! Kerjakan perintah!"

Patih Kerajaan marah sekali. Dia membentak sambil delikkan

mata. Dua tokoh silat istana tak bisa berbuat lain. Namun salah seorang dari mereka yang
dikenal dengan julukan "Jerangkong Hidup" berlaku cerdik. Tokoh silat yang keadaan tubuhnya
memang seperti jerangkong kurus tinggi berselempang kain putih itu berkelebat ke samping kiri
seolah hendak menyerang lawan dari arah ini namun sebenarnya dia berusaha menjauhkan diri
dari Pangeran Matahari.

Pangeran Matahari sendiri saat itu decakkan lidah dan goleng-goleng kepala. Dengan sikap
tenang malah sambil menyeringai dia menatap ke arah orang-orang yang datang
menyerbu.Pergelangan tangan kanan yang memegang Lentera lblis perlahan-lahan bergerak
berputar ke kanan siap mengeluarkan jurus pertama Lentera Iblis bernama Api Neraka.

Pangeran Matahari keluarkan bentakan dahsyat. Lentera Iblis

berputar ke kanan lalu wusss! Sinar merah berkiblat.laksana kipas raksasa menyapu. Saat itu
juga pekik kematian mendera seantero tempat. Puluhan tubuh mencelat ke udara lalu jatuh
berkaparan di tanah dalam keadaan sudah jadi mayat, hangus merah kepulkan asap. Bau
daging terpanggang menghampar dimana-mana! Yang menemui ajal saat itu adalah dua puluh
tiga perajurit Kerajaan, Kepala Pasukan Gempar Sumobroto serta seorang tokoh silat istana!
Perajurit-perajurit dan tokoh silat Si Jerangkong Hidup yang masih hidup, tanpa dapat dicegah
langsung saja tinggalkan tempat itu. Patih Kerajaan dalam kemarahannya tidak bisa mencegah
mereka yang kabur. Nyalinya sendiri saat itu sebenarnya sudah leleh. Tapi untuk ikutan kabur
dia merasa malu.

Agar harga dirinya tidak jatuh Wira Bumi menghunus sebilah


tombak pendek bermata dua yang memancarkan sinar berputar membentuk tameng besar di
tangan kiri sementara tangan kanan menyiapkan pukulan sakti bernama Angin Roh Pengantar
Kematian.

Didahului satu teriakan keras Patih Kerajaan melompat ke hadapan Pangeran Matahari. Yang
diserang segera gerakkan tangan kanan yang memegang Lentera lblis. Namun tiba-tiba ada
suara perempuan berseru keras. Membuat gerakan sang Patih tertahan.

"Patih Kerajaan menyingkirlah! Nyawa Pangeran keparat itu bukan punyamu tapi milikku!. Aku
sudah menghancurkan goa kediamannya. Kini giliran dirinya akan kulumat amblas!" Semua
orang memandang berkeliling. Suara perempuan tadi terdengar jelas dan begitu dekat. Namun
sulit diduga dimana orangnya berada.

"lblis perempuan! Berani bicara mengapa tidak berani unjukkan tampang?!" Pangeran Matahari
berteriak. Teriakan Pangeran Matahari disambut oleh satu tawa panjang. Disusul suara seperti
srigala melolong. Walau saat itu siang hari dan terang benderang apa lagi ada hamparan hawa
panas kobaran api yang membakar, namun tak urung semua orang merasa tercekat.

Sesaat kemudian satu bayangan biru berkelebat dari atas atap pondok kayu. Di lain kejap sosok
biru tadi sudah berdiri sepuluh langkah di depan kiri Pangeran Matahari. Orang ini adalah

nenek berwajah putih, mengenakan pakaian serba biru, berambut

hitam kusut masai riap-riapan.

"Nyi Bodong!" ucap Wiro setengah berseru. Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya
walau dia tidak gentar namun perasaan tidak enak merasuki Pangeran Matahari. Nenek muka
putih inilah yang dulu membuntungi tangannya setelah dia gagal memperkosa Nyi Retno
Mantili.

"Nenek keparat! Kau rupanya!" teriak Pangeran Matahari marah besar.

"Dulu kau buntungi tanganmu! Barusan kau katakan kalau dirimulah yang telah menghancurkan
goa kediamanku! Sungguh besar dosamu Nyi Bodong! Hari ini kau harus membayar
perbuatanmu berikut bunganya alias mampus!" Nenek muka putih tertawa panjang.

"Kalau kau mampu membunuhku, aku sangat suka membawamu serta ke alam kematian
menemui orang-orang yang telah kau bunuh! Hik … hik … hik! Dosamu terhadap rimba
persilatan dan terhadap diriku sulit ditakar!"

"Nenek sinting bermulut busuk! Aku ingin tahu dosa apa yang telah aku perbuat atas dirimu!"

"Pertama kau menghamili lalu membunuh adikku!"


"Huh! Siapa nama adikmu?!"

"lngat Pangandaran?"

"Nenek setan! Kau yang mengingati aku! Bukan tugasku mengingat-ingat!"

Nyi Bodong mendengus. "Adikku bernama Pandan Arum! Kau nodai dirinya sehingga hamil lalu
kau bunuh! Itu dosamu . perbuatan Dosa kedua kau juga telah memperkosa diriku!" Disebutnya
nama Pandan Arum membuat kening Wiro mengerenyit dan dadanya berdebar.

"Aku memperkosa dirimu?! Tunggu! Ha … ha … ha!" Pangeran Matahari tertawa bergelak.

"Masih banyak gadis dan perempuan muda yang bisa aku dapatkan! Mengapa aku mau-mauan
memperkosa nenek jelek dan bau macam dirimu?!"

"Pangeran Matahari! Buka matamu lebar-lebar! Lihat siapa aku sebenarnya!" Habis berkata
begitu nenek muka putih gerakkan tangan ke atas kepala. Rambut panjang hitam dan kusut
dijambak

ditanggalkan lalu dicampakkan ke tanah. Ternyata dia mengenakan rambut palsu. Kini kelihatan
rambut aslinya, berwarna pirang panjang sepinggang indah sekali. Semua orang jadi melengak,
semua mata terbuka besar dan semua hati menduga-duga. Wiro tambah tegang. Setan
Ngompol kucurkan air kencing.

Tidak berhenti sampai hanya menanggalkan rambut. Kini nenek muka putih berambut pirang
gerakkan tangan ke atas kening, mengelupas sehelai topeng kulit yang sangat tipis. Begitu
topeng tersingkap memperlihatkan wajah sebenarnya dari si nenek muka putih, beberapa
mulut sama-sama keluarkan seruan tertahan.

"Bidadari Angin Timur!" seru Wiro.

"Ya Tuhan, terimakasih ternyata dia masih hidup!" Kalau Pangeran Matahari sampai terdongak
saking Tidak percaya, maka Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik ternganga, menarik nafas
berulang kali. Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya.

"Wiro, Yang aku tidak mengerti, dari mana dia dapat ilmu kesaktian Pusar bodong! Hik..hik!"

"Pangeran Matahari! Apakah kau sudah siap menerima kematian?!" Bidadari Angin Timur alias
Nyi Bodong ajukan pertanyaan sambil tangan kiri bergetak ke bagian perut sementara tangan
kanan perlahan-lahan diangkat ke atas. Jelas dia hendak menghabisi lawan dengan llmu Pusar
Pusara Yang selama ini

telah menggegerkan rimba persilatan. Apakah pukulan sakti itu


akan sanggup menghadapi Lentera Iblis?

Setelah lenyap kejutnya, kepongahan kembali bersarang di

otak dan hati Pangeran Matahari.

"Bidadari Angin Timurl Sekalipun kau punya ilmu hebat dan pernah membuntungi tanganku,
tapi keadaan sekarang sudah berobah! Sekalipun semua orang yang ada di sini membantumu!
Sekalipun semua malaikat turun dari langit menolongmu! Kau dan semua keparat yang ada di
sini tidak akan mampu mengahadapi Lentera Iblis. Kalian sudah menyaksikan sendiri bagaimana
puluhan manusia berkaparan dan mati!

Apa kalian telalu sombong atau buta semua! Bidadari Angin Timur, lebih baik kau ikut
bersamaku! Kita akan menjadi pasangan luar bisa hebat rimba persilatan!" Bidadari Angin
Timur menjawab dengan dengusan lalu meludah ke tanah.

"Tawaranmu sungguh sangat menjijikkan!” Pelipis Pangeran Matahari bergerak-gerak. Rahang


menggembung.

"Manusia-manusia keparat! Kalian semua dengar!" Suara Pangeran Matahari menggeledek.

”Aku bersedia berbaik hati mengampuni nyawa kalian semua dengan satu syarat! Yaitu dengan
tebusan nyawa Pendekar Dua Satu Dua. Dia harus datang ke hadapanku, berlutut dan sebelum
merima kematian harus menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan padaku!"

Semua orang yang ada di tempat itu jadi terdiam dalam keterkejutan dan sama memandang ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing. Belum lenyap
getar suara geledek Pangeran Matahari di telinga semua orang, tiba-tiba satu suara perempuan
menggema di tempat itu.

"Siapa ingin membunuh Pendekar Dua Satu Dua langkahi dulu mayatku!" lag -lagi semua orang
dibuat terkejut.

***

DUA BELAS

DARI balik gundukan batu hitam di tepi telaga melesat seorang gadis muka putih berpakaian
hijau. Di pinggangnya tergantung lima kendi kecil warna hitam. Kendi ke enam ada di pegangan
tangan kiri. Anehnya begitu menjejakkan kaki di halaman, dia bukan berdiri di depan tapi malah
di belakang Pangeran Matahari. Sang Pangeran menggeram. Dalam amarahnya sang Pangeran
menaruh curiga dan cepat berpikir.
"Gadis kurang waras ini, dia sengaja berdiri di belakangku. Apa maksudnya? Mungkin dia
mengetahui sesuatu. Tiga jurus Lentera Iblis! Tidak ada satupun jurus yang menyerang musuh
di sebelah belakang! Astaga! Kurang ajar!" Pangeran Matahari cepat balikkan badan.

"Wulan Srindi …" ucap Wiro, terkesiap tegang. Selain itu dia juga merasa sangat terharu.
Ternyata dalam kekurangan warasnya gadis itu benar-benar mencintai dan siap membela
dirinya.

"Perempuan gila! Siapa kau?! Bagaimana bisa kesasar sampai di sini?!" bentak Pangeran
Matahari. Perempuan muda berbaju hijau lebih dulu teguk minuman keras dalam kendi.
Setelah tertawa panjang baru menjawab.

"Namaku Wulan Srindi! Aku murid Dewa Tuak! Aku adalah istri Pendekar Dua Satu Dua! Saat ini
aku tengah hamil empat bulan! Apa cukup jelas jawabanku? Hik … hik … hik!” Ucapan si gadis
tentu saja membuat semua orang menjadi gempar. Air muka Wiro tampak merah.

Ternyata Wulan Srindi masih saja bertingkah seperti dulu. Bidadari Angin Timur tercengang lalu
tundukkan kepala. Dia merasa

kasihan terhadap Wiro. Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Hanya Liris Biru yang
tampak agak tenang.

"Ha … ha … ha! Tidak sangka Pendekar Dua Satu Dua punya istri gelap! Punya anak haram pula
dalam kandungan empat bulan! Ha … ha … ha!” Pangeran Matahari tertawa gelak-ge!ak.

"Hus! Tawamu jelek! Mulutmu bau!" damprat Wulan Srindi lalu tertawa cekikikan. Gadis itu
teguk minuman dalam kendi lalu disemburkan ke arah Pangeran Matahari. Sang Pangeran
cepat menghindar dengan melompat kebelakang sambil keluarkan kutuk serapah. Tanah satu
langkah di depan kaki Pangeran Matahari terbongkar membentuk lobang besar.

"Perempuan kurang ajar! Amblas nyawamu!" Lentera iblis di tangan kanan,Pangeran berputar
ke kiri. Saat itu juga selarik sinar hitam menderu ke arah Wulan Srindi, inilah jurus kedua
Lentera lblis yang disebut Jurus Api Akhirat. Wulan Srindi . sambuti serangan itu dengan
semburan minuman keras.

"Wulan! Awas! Cepat menyingkir!" teriak Wiro. Dia hendak melompat.

"Wutt!" Sinar hitam keburu berkiblat keluar dari Lentera Iblis.

"Wusss!" Wulan Srindi masih sempat menyemburkan miniman keras dari dalam mulutnya.
Semua terjadi luar biasa cepat.

Wulan Srindi terpental dua tombak lalu terkapar dalam ujud mengerikan. Sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai kaki hangus nyaris tak berbentuk lagi. Pangeran Matahari sendiri
sesaat tampak tertegak tegang. Dua buah lobang besar kelihatan di kaki celana hitamnya
sebelah kanan. Semburan minuman keras Wulan Srindi walau tidak telak telah melukai kakinya.

Wiro berteriak marah. Liris Biru terpekik. Bidadari Angin ‘Timur melesat mendahului. Jatilandak
tak tinggal diam. Patih Wira Bumi juga marah namun tetap tak bergerak di tempatnya.
Pangeran Matahari sudah bisa kuasai dirinya. Sambil melompat menjauhi para penyerang dia
masukkan dua jari tangan kiri ke dalam mulut lalu keluarkan suara bersuit dua kali berturut-
turut. .

Lentera lblis diangkat setinggi pinggang di arahkan pada Wiro dan kawan-kawan. Dari pintu
pondok melesat seorang gadis berpakaian merah, menggedong seseorang.

"Tahan serangan kalian! Atau tua bangka ini akan menemui ajal saat ini juga!" Berteriak
Pangeran Matahari.

Ketika gadis yang berpakaian merah yang bukan lain Liris Merah adanya menurunkan orang
yang digendongnya ke tanah di depan Pangeran Matahari, kegemparan hebat terjadi.
Perempuan tua yang tergeletak tertelentang di tanah adalah Sinto Gendeng!

Keadaannya mengenaskan sekali Tubuh, muka dan pakaian

kotor, mata setengah terpejam menatap ke langit Di keningnya ada guratan luka. dari mulut
keluar erangan halus. walau masih bisa keluarkan suara namun si nenek berada dibawah
pengaruh totokan yang membuat sekujur tubuhnya kaku.

"Eyang !” teriak Wiro.

"Kakak!" teriak Liris Biru yang terkejut melihat Liris Merah. Tapi si kakak diam saja, menoleh
pun tidak.

"Jahanam! Kau apakan guruku!" Penuh kalap Wiro melompat ke arah Pangeran Matahari.
Tangan kanan siap menghantam dengan pukulan Harimau Dewa sedang tangan kiri melepas
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Kedua pukulan sakti itu didapat Wiro dari
Datuk Rao Basaluang Ameh dan keduanya dilancarkan dengan tenaga dalam penuh! Jangankan
manusia. Gunung batu sekalipun kalau sampai kena hantaman dua pukulam itu akan hancur
lebur!

Namun gerakan Pendekar 212 serta merta terhenti ketika melihat apa yang dilakukan Pangeran
Matahari. Pangeran Matahari letakkan Lentera lblis di atas dada Sinto Gendeng. Si Nenek
keluarkan suaramengerang. Lentera itu tidak beda seperti himpitan sebuah batu besar.

"Ada yang berani bergerak, tua bangka buruk ini akan menemui kematian!" Pangeran Matahari
mengancam. Bukan cuma Wiro, semua orang terpaksa hentikan gerakan.
"Pangeran jahanam! Berani kau mencelakai guruku …"

"Pendekar Dua Satu Dua tak usah mengancam! Nyawa gurumu ada di tanganku! Kitab Seribu
Pengobatan berikan padaku berikut nyawamu!"

"Pengecut keparat!" teriak Wiro.

Sosok Sinto Gendeng yang tergeletak di tanah keluarkan suara batuk-batuk beberapa kali. Lalu
terdengar nenek itu berucap.

"Anak Setan, aku mendengar suaramu. Benar kau ada di sini?"

"Eyang!" seru Wiro.

‘Saya ada di sini. Saya akan menyelamatkanmu. Saya akan serahkan Kitab Seribu Pengobatan.
Juga nyawa saya sendiri!"

"Tidak … tidak. Jangan percaya ucapan manusia bermulut kotor berhati mesum itu. Jika
Pangeran dajal ingin membunuhku biarkan saja. Aku memang sudah lama kepingin mati!
Jangan kau berani menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan padanya. Apa lagi kalau sampai
menyerahkan nyawa!"

"Nek, biar aku yang mati! Aku ingin menebus dosa-dosaku padamu!" Sinto Gendeng masih bisa
tertawa.

"Dosa kentut!" katanya.

"Nenek hebat! Kalau begitu biar kau dan semua yang ada di sini kuhabisi sekarang juga!"
Pangeran Matahari tekan Lentera lblis kebawah sekaliqus didorong ke depan. Kali ini dia
hendak melancarkan jurus ke. tiga Lentera lblis yang bernama Liang Lahat Menunggu. Kalau ini
sampai terjadi maka yang akan menemui ajal bukan cuma Sinto gendeng tapi juga semua orang
yang ada di depan, samping kiri dan samping kanan. Dari tiga jurus Lentera lblis, jurus inilah
yang paling ganas!

"Eyang! Aku akan mengadu jiwa!" teriak Wiro.

"Aku juga!" pekik Bidadari Angin Timur.

"Aku ikut!" Setan Ngompol tak ketinggalan.

Jatilandak juga berteriak. Malah sudah siap menyerbu ke arah Pangeran Matahari. Sepasang
matanya memancarkan sinar kuning pertanda dia akan menghantam sasaran dengan ilmu
kesaktian Mega Kuning Liang Batu yakni berupa semburan cahaya kuning dari kedua mata.
Liris Biru dalam keadaan tegang dan bingung hendak lari menubruk Liris Merah. Sebelum ke
empat orang tadi berteriak, tiba-tiba satu bayangan samar laksana kilat berkelebat dan
membungkuk di samping tubuh Sinto Gendeng. Jari tangannya bergerak cepat, mulut
membisikkan sesuatu ke telinga si nenek.

”Dess…desss…desss!"

Tiga totokan yang menguasai tubuh si nenek terlepas musnah! Sinto Gendeng menjerit keras.
Tangan kanannya mencuat

ke atas, ke arah bagian bawah perut Pangeran Matahari. Pangeran Matahari tersentak kaget.
Berusaha menghindar . tapi terlambat.

"Kreekkk!"

Jeritan Pangeran Matahari setinggi langit ketika kemaluannya

hancur diremas Sinto Gendeng. Dalam menahan sakit yang amat sangat dia masih berusaha
mendorong Lentera lblis ke depan. Namun saat itu Wiro menghantam lengan kanannya dengan
pukulan Koppo sehingga tulang lengan itu berderak remuk. Cahaya hitam menyapu ke udara
kosong. Wiro berusaha merampas Lentera lblis namun pegangan Pangeran Matahari masih
kuat walau tangannya sudah hancur. Sinto Gendeng yang tidak sabaran angkat pinggulnya ke
atas tinggi-tinggi lalu menjepit Lentera lblis dengan kedua kakinya.

Sebenarnya jepitan dua kaki si nenek tidak akan membuat Lentera terlepas dari pegangan
Pangeran Matahari. Namun saat itu Lentera lblis telah bersentuhan dengan kain panjang hitam
yang dikenakan Sinto Gendeng yang basah kuyup oleh air kencing!

Pantangan Lentera lblis telah dilanggar!

Yaitu tidak boleh tersentuh cairan yang keluar dari tubuh manusia! Saat itu juga satu persatu
cahaya merah, hitam dan kuning Lentera lblis meredup lalu padam sama sekali. Asap tiga warna
mengepul. Pangeran Matahari meraung keras.

"lhhh!" Sinto Gendeng terpekik menggeliat karena hawa panas kepulan asap lentera membuat
tubuhnya sebelah bawah jadi kegelian. Si nenek lepaskan jepitan dua kakinya pada Lentera
Iblis.

Ketika Lentera lblis akhirnya terlepas dari tangannya dan meledak hancur berkeping-keping
Pangeran Matahari jatuh terjerembab ke tanah. Dia cepat bangun. Sambil menjerit-jerit dan
pegangi bagian bawah perut, terbungkuk-bungkuk dia berusaha melarikan diri. Namun di
depannya telah menghadang Bidadari Angin Timur.

‘”Buukkk!"
Satu tendangan dahsyat mengantam bagian bawah perut Pangeran Matahari hingga tambah
hancur tak karuan rupa. Darah mengucur. Telapak tangan kirinya yang dipakai menekap remuk.
Raungan Pangeran matahari tak berkeputusan. Jatilandak jambak rambutnya, di tarik ke atas
lalu sarangkan satu jotosan ke dada orang. Tak ampun Pangeran Matahari terpental empat
langkah, dada hancur. Ketika dia menjerit darah ikut menyembur dari mulutnya. Tapi sungguh
luar biasa! Walau dada remuk, tubuh sebelah bawah hancur, Pangeran Matahari masih sanggup
berdiri. Mata berputar liar. Saat itu Setan Ngompol tak sabaran datang menghampirinya. Kakek
ini masukkan dulu tangan kanannya ke dalam celana. Setelah basah tangan itu dikeluarkan dan
dijotoskan ke muka Pangeran Matahari.

"Croot!"

Mata kanan Pangeran Matahari hancur. Untuk kesekian kalinya sang Pangeran meraung keras.
Selagi tubuhnya terhuyung-huyung, dia berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melepas
pukulan sakti. Namun dayanya sudah hampir sampai ke titik terendah. Saat itu pula dari
samping Pendekar 212 ulurkan tangan kanan mencengkeram lehernya.

"Pangeran terkutuk! Aku mewakili orang-orang yang telah .kau rusak kehormatannya dan
mereka yang kau bunuh!"

Lima jari tangan kanan Wiro yang dialiri tenaga dalam tinggi mencengkeram.

"Kraakk!"

Tulang leher Pangeran Matahari remuk. Mata kiri mencelet dan lidah terjulur. Dalam keadaan
babak belur seperti itu tak ada hal lain yang bisa dilakukan Pangeran Matahari selain berusaha
melarikan diri. Namun dia sudah tidak punya punya kemampuan. Hanya sanggup bergerak
empat langkah tiba-tiba Bidadari Angin Timur datang menghadang. Tangan kiri naik ke atas,
tangan kanan

menyingkap baju biru. Pusar bodong menyembul.

"Pangeran laknat! Ini dariku!" ucap Bidadari Angin Timur. Pusar bodong pancarkan cahaya.
Sinar Geni Biru melesat. Luar biasa mengerikan. Tak ada lagi jeritan ketika tubuh Pangeran
Matahari terkutung dua tepat di bagian pinggang. Isi perut berbusaian. Darah menggenang.
Belum puas Bidadari Angin Timur tendang dua potongan tubuh hingga mental dan amblas
masuk ke dalam kobaran api.

"Wiro," kata Setan Ngompol yang menyaksikan kejadian itu.

"Seperti yang kau bilang Pangeran Matahari benar-benar tidak memerlukan kain kafan!" ltulah
akhir riwayat manusia paling jahat dan paling mesum yang selama ini menjadi momok nomor
satu dalam rimba persilatan.
Bidadari Angin Timur tekap wajahnya. Air mata mengalir di sela jari-jari yang halus. Dia benar-
benar puas telah membalaskan

sakit hati dendam kesumat Pandan Arum sekaligus dendamnya sendiri. Pada saat itu terjadi
satu keanehan. Di siang bolong begitu

rupa tiba-tiba di langit kilat menyambar disusul suara gelegar guntur. Semua orang tegak diam
tercekam. Wiro ingat pada gurunya. Dia segera mendatangi, berlutut di samping Sinto
Gendeng, menciumi tangan si nenek seraya berkata.

"Nek, saya murid kualat. Mohon ampun dan maafmu." Ketika kutungan tubuh Pangeran
Matahari mengepul jatuh ke tanah Liris Merah terpekik. Dia hendak lari menubruk tubuh yang
sudah tak karuan rupa itu. Namun namun cepat dicegat oleh Liris Biru dan Setan Ngompol. Liris
Merah meratap keras. Wiro menolong gurunya berdiri. Si nenek menatap wajah sang murid
yang berlutut di depannya dan usap rambut gondrong Pendekar 212. Matanya berkaca-kaca.

"Wiro, kau murid baik. Apapun yang terjadi kau tetap muridku. Aku punya satu permintaan.
Semua ilmu silat dan kesaktian yang aku berikan padamu tetap harus kau pergunakan untuk
kebaikan. Ketahuilah dengan menyatunya Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Batu Hitam Sakti
di dalam tubuhmu, kekuatan tenaga dalam serta hawa sakti yang kau miliki sekarang jadi
berlipat ganda …"

"Terima kasih Eyang. Saya tetap mohon maafmu," jawab Wiro dengan air mata berlinang. Lalu
dia bertanya.

"Bagaimana sampai Eyang bisa diculik oleh manusia terkutuk itu?"

"Kejadiannya malam hari. Selagi aku tertidur lelap di sebuah dangau, dalam keadaan sakit …"
Menerangkan Sinto Gendeng.

"Apakah sekarang Eyang masih sakit?" Si nenek menggeliat lalu tertawa cekikikan.

"Rasanya aku sudah sembuh …" Dia perhatikan lagi sang murid.

"Kau lucu berpakaian hitam-hitam seperti ini." Wiro tersenyum lalu Keluarkan Kitab Seribu
Pengobatan dari balik bajunya.

"Eyang, ini Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang. Saya berhasil mendapatkannya…" Si nenek
ambil kitab itu dari tangan Wiro, diperhatikan dibolak balik lalu diserahkan kembali pada
muridnya.

"Ambil dan simpan haik-baik. Kau lebih layak menyimpannya. Banyak orang yang perlu kau
tolong dengan – - . kitab itu."
"Tapi Eyang …."

"Huss!" Sinto Gendeng masukkan kitab ke balik pakaian Wiro hingga sang murid tak bisa
menolak. Wiro keluarkan lagi sebuah benda dan diperlihatkan pada si nenek. Sepasang mata
Sinto Gendeng membesar berkilat.

"Oala! Itu tusuk kondeku!"

"Benar Eyang, sesuai tugas dari Eyang saya berhasil menemukan." Sinto Gendeng tertawa
gembira..

"Anak setan, terbukti kau murid baik! Kau berhasil menjalankan dua tugas yang aku berikan!"
Sinto Gendeng usap kepala Wiro lalu ambil tusuk konde dan crass! Tusuk konde perak itu
ditancapkan di batok kepalanya! Kini tusuk konde si nenek lengkap kembali berjumlah lima
buah.

"Nek, kita segera meninggalkan tempat ini. Api semakin besar. Hawa panasnya sampai ke sini.
Saya akan mengantarkanmu ke Gunung Gede."

"Tidak usah … tidak usah. Aku mau keluyuran dulu mencari ketenangan hati. Bertemu dengan
beberapa sahabat." Sinto Gendeng tepuk-tepuk pundak sang murid.

"Tadi ada kejadian hebat. Seorang perempuan cantik berbentuk bayangan melepaskan totokan
yang ada di tubuhku. Lalu memberi kisikan agar aku meremas barangnya Pangeran Matahari.
Aku suka suka saja memegang anunya orang. Hik .. hik … hik! Tapi aku mau tanya, siapa mahluk
aneh itu? Jelas dia bukan Bunga gadis dari alam roh itu."

"Namanya Pumama Nek …"

"Sahabat atau kekasihmu yang baru?" Wiro tertawa. "Terserah Eyang mau bilang apa." Sinto
Gendeng tertawa dan angguk-anggukan kepala.

"Jangan lupa mengurus mayat Wulan Srindi. Dia gadis baik.

Hanya jalan nasibnya yang buruk. Kau tahu, sebenarnya aku tak pernah percaya kalau kau
sudah kawin dengan dia. Apa lagi sampai gadis itu hamil. Hik .. hik … hik. Sejak kecil aku sudah
memperhatikan dan tahu keadaan dirimu. Sifatmu memang jahil, tapi anumu tidak jahil! Hik …
hik … hik. Kelak kalau kau ingin kawin,

kawin dengan siapa saja asal perempuan yang punya sifat baik, setia dan sayang padamu. Aku
tidak perduli apakah dia bangsa manusia atau hantu sekalipun! Hik … hik … hik!" Wiro garuk-
garuk kepala.
"Terima kasih atas nasihatmu Nek. Tapi aku belum mau kawin."

"Ya terus saja ganjen keluyuran!"ucap si nenek tapi sambil tersenyum.

"Sudah, aku mau pergi sekarang. Eh, apa luka

dipunggungmu masih ada?"

"Saya tidak tahu Nek. Saya tidak mengingat-ingat. Murid nakal tentu saja pantas menerima
hukuman dari gurunya …" Sinto Gendeng mesem-mesem.

"Coba kau balikkan tubuhmu sana. Aku mau lihat punggungmu. Ayo singkapkan punggung
bajumu." Sementara Wiro berbalik dan menyingkapkan bajunya di bagian punggung si nenek
peras kain panjangnya dengan tangan kanan hingga tangan itu basah dengan air kencing.
Tangan yang basah itu kemudian diusapkannya ke punggung Wiro lalu dia meniup. Aneh!
Guratan panjang cacat bekas luka di punggung sang murid serta merta lenyap!

"Nek, apa yang kau lakukan? Aku merasa dingin-dingin dan mencium bau pesing ” tanya Wiro.

Dia hanya mendengar suara Sinto Gendeng tertawa. Ketika berpaling nenek itu tak ada lagi di
belakangnya. Memandang ke jurusan lain kelihatan Sinto Gendeng sudah berada di tempat
jauh, melangkah sambil tertawa haha-hihi. Wiro menarik nafas panjang, bangkit berdiri dan .
tertawa lepas.

Wiro memandang berkeliling. Jatilandak diiringi Bidadari Angin Timur dan Setan Ngompol serta
Liris Merah dan Liris Biru melangkah menghampiri.

"Jangan dekat-dekat. Dia barusan diusapi air kencing sama

gurunya!" berkata Setan Ngompol sambil tertawa-tawa. Tidak perdulikan ucapan orang
Jatilandak mendekati Wiro lalu merangkul Pendekar 212.

"Wiro, sahabatku. Aku berterima kasih kau telah meminjam kan Kitab Seribu Pengobatan.
Dengan petunjuk dalam kitab itu kulitku yang kuning bisa disembuhkan. Rambutku bisa tumbuh
wajar …" Terheran-heran Wiro berkata.

"Rasanya aku tidak pernah meminjamkan kitab itu padamu. Bagaimana mungkin …"

"Kau menyerahkan pada seseorang yang kau beri nama Pumama."

"Ah, kalau itu memang benar," kata Wiro pula.

"Wiro, jangan kaget kalau aku jelaskan bahwa Purnama adalah ibuku. Di Latanahsilam namanya
Luhmintari …" Pendekar Dua Satu Dua terperangah dengan mulut ternganga.
"Jatilandak, kau mengatakan jangan kaget. Saat ini aku justru merasa sejuta kaget!" kata Wiro
sulit bisa percaya. Lalu kedua pemuda itu saling berpelukan kembali.Wiro kemudian berpaling
pada Bidadari Angin Timur.

"Sampai saat ini rasanya aku masih tidak percaya kalau Nyi Bodong itu adalah Bidadari Angin
Timur. llmu kesaktianmu luar biasa." Bidadari Angin Timur tersenyum manis. Wiro
menambahkan.

"Aku gembira bertemu denganmu sebagai Bidadari Angin Timur. Tidak sebagai Nyi Bodong …."
Gelak tawa meledak di tempat itu. Tangan kiri Bidadari Angin Timur meluncur mencubit
pinggang Wiro hingga sang pendekar menggeliat kesakitan.

"Wiro, aku tahu banyak pekerjaan yang harus kau Iakukan. Diantaranya menolong dua gadis
kakak beradik ini. Mereka sekarang adik-adikku yang terkasih. Walau dulu aku pernah
menampar mereka. Untuk itu aku mohon maaf …" Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur
mencium Liris Merah dan Liris Biru.

"Walau aku tak ingin mengingat masa lampau lagi namun ada

dua orang yang harus kutemui …"

"Kalau aku boleh bertanya siapa kedua orang itu?" tanya

Wiro.

"Mengapa tidak?" jawab Bidadari Angin Timur.

"Yang pertama perempuan cantik yang kau beri nama Purnama itu. Ibu Jatilandak.Aku ingin
kejelasan kesaksiannya tentang musibah yang terjadi atas diriku. Yang kedua adalah Kiai
Munding Suryakala. Kakek sakti yang telah menyelamatkan diriku waktu aku nekad
menghambur jurang. Dia juga memberikan ilmu kesaktian padaku." Gadis cantik berambut
pirang itu diam sebentar lalu melanjutkan ucapannya.

"Wiro, ada satu hal yang ingin aku ceritakan padamu disertai permintaan maaf. Mengenai
hilangnya Kitab Seribu Pengobatan itu, akulah yang telah berlaku jahil. Aku kesal padamu. Kitab
kubawa kemana-mana sampai akhirnya aku ditolong Kiai Munding Suryakala. Kiai yang secara
diam-diam mengembalikan kitab ke pondok Eyang Sinto di Gunung Gede." Wiro terdiam.
Garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak.

"Semua kejadian ada hikmahnya. Dan semua itu terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Bidadari Angin Timur, jika kau ingin bertemu dengan ibu Jatilandak tak usah pergi jauh. Dia ada
di sini." Wiro menoleh ke kanan lalu berkata.
"Purnama, hadirkan dirimu di sini." Saat itu juga tampak bayangan samar perempuan cantik.
Perlahan-lahan sosok bayangan itu berubah menjadi ujud utuh seorang perempuan berparas
jelita

Jatilandak terkejut.

"Wiro, bagaimana kau bisa melakukan hal ini. Aku anaknya sendiri tak bisa berbuat seperti itu!"
Wiro angkat bahu dan tertawa.

"Tanya saja pada ibumu yang cantik ini," jawab Pendekar 212. Bidadari Angin Timur memeluk
Purnama alias Luhmintari lalu

menggandeng tangannya. Sebelum berpisah ketiga orang itu, Wiro, Jatilandak dan Bidadari
Angin Timur saling berpelukan. Wiro berpaling pada Purnama.

"Kau telah menolong Eyang Sinto. Aku sangat berterima kasih. Apakah aku boleh memelukmu?"

Purnama tersenyum. Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sama-sama tertawa. Purnama
kemudian mendahului merangkul Pendekar 212 lalu cepat-cepat menjauh jengah. Setelah ke
tiga orang itu pergi Wiro memandang berkeliling.

"Aku tidak melihat Patih Kerajaan. Kita punya urusan yang belum selesai dengan manusia satu
itu."

"Pasti sudah kabur duluan setelah ditinggal lari anak buahnya," kata Setan Ngompol.

"Sekarang bagaimana?"

"Kita urus jenazah Wulan Srindi lebih dulu. Kemudian kita sama-sama ke Goa Cadasbiru," kata
Wiro pula. Liris Biru mengangguk. Liris Merah tampak kikuk. Gadis satu ini sebenarnya ingin
memisahkan diri. Apa yang ada di dalam pikiran Liris Merah terbaca.oleh sang adik. Liris Biru
berkata.

"Kakak, kau boleh pergi kemana kau suka. Tapi kau harus

menjalani pengobatan lebih dulu. Wiro akan menolong kita." Liris Merah akhirnya anggukkan
kepala dan tersenyum.

"Dalam perjalanan ke Goa Cadasbiru di Kaliiurang, apakah aku boleh meminjam Kitab Seribu
Pengobatan? Sekadar untuk dibaca-baca saja?" Setan Ngompol bertanya.

"Mau mencari obat kuat Kek?" tanya Wiro bercanda.

"Boro-boro mencari obat kuat. Kencing saja belum lempang!"


jawab Setan Ngompol lalu tertawa sendiri. ,

Wiro keluarkan Kitab Seribu Pengobatan.

"Aku serahkan Sekarang. Tapi awas jangan sampai kena air kencingmu!” Liris biru dan Liris
Merah tertawa cekikikan. Dua gadis ini memandang ke arah kobaran api yang semakin besar
dan luas di kejauhan.

”Bagaimana dengan api yang melanda puncak gunung ini? Apakah bisa dipadamkan? ” bertanya
Liris Biru.

”Tak usah khawatir ” jawab Setan Ngompol.

”Biar nanti aku kencingi, pasti padam semua!”. Semua orang yang ada disitu tertawa gelak-
gelak. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Di sebelah barat langit tampak mendung tebal
menggantung. Ketika orang-orang itu berada di lereng gunung sebelah timur hujan mulai turun.
Mula-mula perlahan saja kemudian berubah sangat deras.

”Lihat apa kataku! Kencingku sudah tumpah, sebentar lagi api di puncak gunung akan segera
padam” kata Setan Ngompol sambil berkacak pinggang.

”Sombongnya!” ucap Liris Merah lalu menggelitik pinggang si kakek yang membuat Setan
Ngompol menjerit kegelian dan terkencing-kencing.

***

Pada pagi hari perjalanan menuju Goa Cadas Biru di Kaliurang Setan Ngompol selalu tertinggal
di belakang. Sekali-sekali wajahnya tampak meringis seperti orang kesakitan. Sebentar-sebentar
dia pegangi bagian bawah perutnya. Ketika Wiro menanyakan mengapa dia tidak berlari cepat
dan sering meringis, sikakek menjawab berbisik-bisik.

”Aku kena masalah ……”

”Masalah apa?”

”Aku baca kitab Seribu Pengobatan, Aku menemui cara-cara pengobatan untuk kencing
beserku. Mudah saja, meminta Kesembuhan pada Yang Kuasa lalu membuat totokan pada tiga
tempat di bagian tubuh sebelah bawah. Kusangka penyakit beserku akan hilang. Tapi ternyata
sampai pagi ini aku tidak kencing-kencing. Tidak bisa beser sama sekali. Sakitnya gila-gilaan.
Sampai keluar keringat dingin aku dibuatnya!”.

Wiro minta Setan Ngompol mengeluarkan Kitab Seribu pengobatan dan menunjukkan halaman
serta urutan cara pengobatan yang telah dilakukannya. Wiro mulai meneliti dan membaca.
Selesai membaca dia bertanya pada Setan Ngompol bagian mana saja dari tubuhnya yang
ditotok dan berapa kali. Si kakek lalu menunjukkan bagian tubuh sebelah bawah peut yang
ditotoknya.

"Semua aku totok masingpmasing tiga kali. Tapi bukannya sembuh, malah tidak bisa kencing!”
Wiro kembali meneliti dan membaca kitab. Sesaat kemudian dia tertawa. Mula-mula perlahan
saja, akhirnya keras terbahak-bahak. Liris Merah dan Liris Biru mendatangi, ingin tahu apa yang
terjadi.

"Anak sableng! Aku sakit setengah mati kau malah tertawa!"

Setan Ngompol merengut.

"Kek, coba kau lihat dan baca lagi petunjuk dalam kitab ini. Untuk sakit kencing-kencing yang
kau alami penyembuhannya terbagi dua. Yaitu untuk lelaki dan untuk perempuan. Tadi kau
menunjukkan tempat-tempat yang telah kau totok serta berapa kali totokannya. Aku baca
disini, apa yang kau kerjakan itu adalah penyembuhan untuk perempuan. Untuk lelaki bukan di
situ totokannya dan jumlahnya untuk setiap tempat masing-masing hanya dua kali! Jadi jangan
heran kalau kini kau tidak bisa kencing-kencing! Keliru pengobatan! Ha … ha … ha!"

Wiro, juga Liris Merah dan Liris Biru tertawa terpingkal pingkal. Setan Ngompol tegak tertegun
lemas. Mungkin kesal dia usap keras-keras bagian bawah perutnya.

"Eh … eh ….. lihat!"si kakek tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke bagian bawah. Celananya
yang basah tampak menggembung bergerak-gerak. Matanya yang jereng tambah juling.

Seerr …. seeerr!

"Oala! Beserku muncrat!"

Wiro, Liris Merah dan Liris Biru kembali tertawa gelak-gelak.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai