Anda di halaman 1dari 296

Eps 148 Dadu Setan

SATU

Malam hari di pantai Losari. Walau angin bertiup cukup kencang dan udara dingin, air laut
tampak tenang. Sejak senja sebuah kapal kayu besar berbendera merah bergambar naga hitam
telah melego jangkar di perairan Tanjung Losari. Pada saat malam bertambah gelap karena
bulan separuh lingkaran tertutup awan, dari pintu di lambung kapal sebelah kanan keluar dua
orang bertubuh tinggi tegap, berpakaian dan berikat kepala serba putih. Orang pertama masih
muda, bertampang keren, berkumis kecil. Di sampingnya berdiri seorang lelaki berusia lanjut,
kakek memelihara janggut dan kumis menjulai sampai di bawah dagu, berwarna hitam karena
dicat. Kedua orang ini sama-sama memiliki alis tinggi mencuat, bermata sipit dan berkulit
kuning.

Saat itu sebuah tangga telah terpasang, menghubungi pintu di kapal dengan sebuah sampan
yang sejak petang hari telah merapat di perut kapal kayu. Sampan ini ditunggui seorang
pendayung berpakaian hitam. Orang tua di pintu kapal berpaling pada lelaki muda di
sampingnya.

“Ingat rencana. Begitu sampai di daratan tukang perahu itu harus kau habisi! Kita tidak mau ada
seorangpun saksi hidup dalam urusan ini! Kau mengerti Siauw Cie?” Lelaki muda berkumis kecil
yang dipanggil dengan nama Siauw Cie anggukkan kepala. Lalu berkata.

“Silahkan Bun enghiong. “ (enghiong = orang gagah/panggilan kehormatan).

Orang tua she Bun mundur satu langkah. “Kau turun duluan,” katanya. Kedua orang ini bicara
dalam bahasa Cina.

Siauw Cie kencangkan buhul kain putih ikat kepala lalu tidak menunggu lebih lama tanpa
menuruni tangga langsung saja melompat, melayang masuk ke dalam sampan. Ketika dua
kakinya menginjak lantai sampan, perahu kecil ini sedikitpun tidak oleng. Satu pertanda bahwa
Siauw Cie memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Hal ini diperhatikan oleh pemilik
sampan dengan berdecak penuh kagum.

Hanya sesaat setelah Siauw Cie berada di atas sampan, orang tua bernama Bun Pek Cuan
melesat pula ke bawah. Ternyata dia memiliki gerakan lebih sebat serta ilmu meringankan
tubuh lebih andal dibanding Siauw Cie. Ini terlihat selain sampan tidak bergerak, sampan kayu
kecil ini juga tidak diberati dan tidak turun masuk ke dalam air laut. Di atas sampan kedua orang
Cina itu tidak duduk melainkan tetap berdiri.

Begitu dua orang berpakaian serba putih sudah berada di atas sampan serta melihat isyarat
anggukan kepala dari Siauw Cie, pemilik sampan yang sejak tadi menunggu segera mendayung
sampannya.
Sambil berdiri rangkapkan dua tangan di depan dada sementara angin laut menerpa dingin, Bun
Pek Cuan berkata.

“Sampan ini meluncur lamban. Seperti kura-kura merangkak. Kapan kita sampai? Aku tidak
sabaran. Kita harus kembali ke kapal dan berangkat sebelum tengah malam. Siauw Cie, lakukan
sesuatu. “

“Baik Bun enghiong,” jawab Siauw Cie. Lalu dia jongkok di lantai sampan, tangan kanan
dicelupkan ke dalam air laut yang dingin. Sekali tangan itu dikibaskan ke belakang, sampan kayu
serta merta meluncur pesat ke depan seolah didayung enam orang. Pemilik sampan yang
mendayung dan berada di bagian sampan terheran-heran. Setelah beberapa kali
memperhatikan tangan Siauw Cie menyapu air dan sampan melesat kencang, pemilik perahu
akhirnya letakkan dayung di atas pangkuan dan hanya duduk tertawa-tawa.

Jauh di tepi pantai terlihat satu nyala api. Sampan diarahkan menuju cahaya itu. Tak lama
kemudian mereka memasuki arah timur Tanjung Losari dan akhirnya merapat di daratan. Di situ
telah menunggu seorang yang membawa sebuah lentera kecil. Nyala api lentera inilah yang tadi
terlihat dari tengah laut. Tak jauh dari situ kelihatan tiga ekor kuda tengah merumput.

Bun Pek Cuan melompat ke darat lebih dulu. Di atas sampan Siauw Cie dekati pemilik perahu
sambil tangannya mengeruk saku pakaian. Mengira akan menerima bayaran pemilik perahu
langsung ulurkan tangan kanan dengan telapak terkembang. Tapi yang keluar dari dalam saku
Siauw Cie bukannya uang bayaran melainkan dua buah jari lurus sekeras besi.

“Bett!”

Sekali hantam saja tanpa suara tubuh pemilik sampan terkulai roboh di lantai sampan. Pada
kening kelihatan dua buah lobang mengucurkan darah! Siauw Cie angkat orang yang telah jadi
mayat itu lalu dicemplungkan ke dalam laut.

Orang yang membawa lentera kecil tidak melihat apa yang terjadi di atas sampan karena selain.
hal itu berlangsung sangat cepat dan tanpa suara, pandangannya terhalang oleh sosok tinggi
besar Bun Pek Cuan. . Bun Pek Cuan mendatangi lelaki yang membawa lentera. Lalu berkata.
“Namaku Hantu Putih. Kami orang-orang perjanjian. Kami datang membekal kata sandi Malam
Gelap. Beritahu namamu, ucapkan kata sandi. “ ternyata Bun Pek Cuan panda) berbahasa
daerah setempat walau tidak begitu lancar.

Lelaki berpakaian hitam yang memegang lentera kecil membungkuk sedikit. “Namaku Hantu
Hitam. Kata sandiku Laut Dingin. “

Saat itu Siauw Cie sudah berada di samping Bun Pek Cuan. “Bagaimana, apakah enghiong sudah
memeriksa?”

“Nama dan kata sandinya cocok. Dia memang orang kita,” jawab Bun Pek Cuan.
Lelaki bernama samaran Hantu Hitam campakkan lentera ke laut lalu melangkah ke arah tiga
ekor kuda yang tengah merumput.

**

Perkuburan Karangsembung terletak di barat daya Tanjung Losari. Selain udara gelap dan
dingin, kabut aneh yang tak biasanya muncul kini terlihat mengambang di beberapa sudut
tanah pemakaman, membuat suasana terasa menggidikkan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar
suara rentak kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian seolah setan di malam buta, dari
kegelapan tampak tiga ekor kuda dan tiga penunggang melompat pagar rendah batas timur
tanah pekuburan. Di depan sekali adalah lelaki berpakaian hitam si Hantu Malam. Di
belakangnya menyusul Bun Pek Cuan dan Siauw Cie.

Setelah berputar-putar beberapa kali di tanah pekuburan yang cukup luas itu, mereka sampai di
hadapan sebuah makam. Makam yang mereka datangi masih baru. Ini terlihat dari gundukan
tanah yang masih merah dan berbagai macam bunga masih segar bertebaran di atas gundukan
tanah makam.

“Kuburan ini tidak ada papan atau batu nisan. Apa kau yakin ini kuburan yang kita tuju?” Siauw
Cie bertanya pada Hantu Hitam, mempergunakan bahasa setempat.

“Kubur ini memang sengaja tidak diberi tanda. Tapi sahabat berdua tidak perlu khawatir. Sejak
pagi orang-orangku telah mengawasi pekuburan ini. “

“Pasti ini kuburannya Nyi Inten Kameswari?” tanya Bun Pek Cuan.

“Kami tidak mau kesalahan membuat urusan,” menimpali Siauw Cie.

“Pasti! Seribu pasti!” jawab Hantu Hitam meyakinkan.

“Kapan jenazah Nyi Inten dimakamkan?”

“Menjelang sore tadi. . . “

“Bisa kita gali sekarang?” tanya Bun Pek Cuan.

“Bisa. . . “ jawab Hantu Hitam.

“Kita butuh tenaga dan peralatan,” berkata Siauw Cie.


“Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan. “ Hantu Hitam lalu keluarkan suara suitan dua kali.
Dari kegelapan malam melompat keluar dua lelaki berpakaian hitam-hitam bertubuh kekar.
Masing-masing membawa pacul dan obor yang belum dinyalakan. Hantu Hitam memberi
isyarat. Dua orang yang barusan datang segera menyalakan obor lalu ditancapkan pada
kuburan di kiri kanan makam baru. Tempat itu kini jadi terang benderang. Selanjutnya ke dua
orang ini dengan cepat menggali makam yang menurut Hantu Hitam adalah makam Nyi Inten
Kameswari.

Cukup lama menggali akhirnya jenazah ditemukan lalu dinaikkan ke atas. Dibaringkan di tanah.
Keadaannya masih utuh, terbungkus kain kafan yang dilumuri tanah liat.

“Bun enghiong, jenazah sudah siap. . . . “ berkata Siauw Cie. Orang tua berkumis menjulai
anggukkan kepala. Lalu dia jongkok di samping jenazah. Lima jari tangan kanan Bun Pek Cuan
mengusap dan meraba bagian pinggang lalu pindah ke arah perut. Lima jari tangan orang tua ini
mendadak tampak bergetar.

“Siauw Cie, aku sudah menemukan letaknya yang tepat,” ucap Bun Pek Cuan setengah berbisik.

“Silahkan Bun enghiong melanjutkan. Saya akan memagari tempat ini,” jawab Siauw Cie. Lalu
dia dongakkan kepala, sepasang mata dipejamkan dan dua tangan direntang di depan dada
dengan telapak mengembang. “Enghiong, keadaan aman. . . “

“Sett. . . sett. . . . sett. . . sett. . . sett!”

Di bawah nyala dua api obor, di atas kain kafan putih tibatiba satu persatu secara aneh lima jari
tangan Bun Pek Cuan melesat panjang, berwarna hitam dengan lima kuku terpentang mencuat
seperti ujung-ujung pisau putih berkilat, luar biasa tajam!

Hantu Hitam merasa tengkuknya dingin sementara dua orang yang tadi menggali kuburan
berdiri dengan muka pucat dan sama tersurut dua langkah. Sesuatu yang mengerikan akan
terjadi!

“Wuttt!”

Tibatiba tangan kanan Bun Pek Cuan menghunjam ke bawah. Menembus tepat di perut jenazah
Nyi Inten Kameswari.

“Brettt!” kain kafan robek.

Di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Suasana terasa tambah tegang menggidikkan.

Tangan kanan Bun Pek Cuan amblas hampir sebatas siku.


Serta merta kain kafan putih kotor dibasahi darah. Pergelangan tangan Bun Pek Cuan membuat
putaran ke kiri dan ke kanan. Tak selang berapa lama perlahan-lahan tangan itu diangkat
kembali. Keadaannya berlumuran darah. Di dalam genggaman tangan si orang tua kelihatan
dua buah benda putih kekuningan berbentuk kubus. Dengan tangan kirinya Bun Pek Cuan
mengambil satu kantong kulit kecil warna hitam dari balik pakaian. Dua buah benda putih
kekuningan dimasukkan ke dalam kantong lalu kantong kulit hitam dimasukkan kembali ke balik
pakaian.

“Sett. . . . sett. . . sett. . . . sett. . . sett!”

Satu persatu jari tangan kanan Bun Pek Cuan mengerut ke bentuk asal. Lima benda berbentuk
pisau di ujung jari lenyap. Begitu juga darah yang sebelumnya berselepotan di tangan ikut sirna.

“Hantu Hitam” lekas perintahkan dua orang itu mengubur jenazah kembali,” kata Bun Pek Cuan
sementara Siauw Cie masih tegak mendongak, mata terpejam dua tangan mengambang.

Tak lama setelah jenazah dimasukkan Kembali ke Hang lahat dan tanah kuburan ditimbun, Bun
Pek Cuan membuka mulut. “Padamkan obor! Suruh mereka pergi. “

Setelah memberikan sejumlah uang. Hantu Malam menyuruh dua penggali makam
meninggalkan tempat itu. Hantu Hitam ambil dua buah obor yang menancap di atas dua
kuburan lalu membantingkan ke tanah hingga apinya padam. Sesaat kemudian Siauw Cie
rendahkan kepala, buka dua mata yang terpejam dan turunkan dua tangan yang mengembang.
Dia memberi isyarat kedipan mata pada Bun Pek Cuan lalu berkelebat pergi.

“Sahabat muda itu, mengapa dia pergi duluan?” tanya Hantu Hitam pada Bun Pek Cuan.

“Dia hanya memeriksa keadaan sekitar sini. Untuk memastikan semua dalam keadaan aman. “
Jawab Bun Pek Cuan.

“Tugasku sudah selesai. Aku juga ingin pergi. Harap sahabat tua memberikan bayaran. “

“Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan satu bayaran besar untukmu,” jawab Bun Pek Cuan
sambil tertawa. Dia memberi isyarat agar Hantu Hitam datang mendekat. Beg itu Hantu Hitam
maju dua langkah, Bun Pek Cuan bukan memberikan uang, justru tangan kirinya melesat dalam
satu jotosan luar biasa cepat dan keras.

“Bukk!”.

Hantu Hitam menjerit. Suara jeritannya lenyap berbarengan dengan semburan darah dari
mulut. Tubuh terjengkang, muka mengkeret dan mata mendelik.

Tak lama kemudian Siauw Cie muncul kembali.


“Beres?” tanya Bun Pek Cuan.

Siauw Cie mengangguk. “Dua tukang gali itu sudah ku habisi. Sebaiknya kita segera kembali ke
kapal. “

Dua orang berpakaian serba putih melompat ke atas kuda lalu memacu tunggangan masing-
masing ke arah Tanjung Losari. Jauh sebelum tengah malam keduanya sudah sampai di tepi
pantai, melompat turun dan berjalan cepat ke arah sampan di atas pasir. Di langit bulan
setengah lingkaran tersibak dari balik awan gelap, membuat suasana di tepi pantai menjadi
lebih terang. Begitu sampai di samping sampan, Bun Pek Cuan dan Siauw Cie sama-sama
terkejut. Langkah masing-masing tertahan, dua kaki laksana dipantek. Di dalam perahu saat itu
berbaring melunjur seorang lelaki gemuk berambut putih sebahu, berpakaian jubah bagus
warna hijau, lengkap dengan topi tinggi warna merah. Baik topi, rambut, tubuh maupun
pakaian si gemuk ini tampak basah kuyup. Satu-satunya benda yang masih dalam keadaan
kering adalah sebuah hudtim (kebutan) warna ungu di tangan kanan yang berwarna hitam.
Kebutan ini dikipas-kipaskan di depan wajahnya yang bulat. Udara di pantai selain dingin juga
ada tiupan angin. Sementara sekujur tubuhnya basah kuyup. Namun si gemuk di dalam perahu
kelihatan seperti kepanasan. Ketika menyeringai tampak deretan gigi besar-besar berwarna
merah seperti dilumuri darah.

“Hek Chiu Mo!” seru Bun Pek Cuan dan Siauw Cie berbarengan. Kedua orang ini dalam kejut
masing-masing segera saja bersikap waspada penuh. (Hek Chiu Mo = Iblis Tangan Hitam)
Mereka bukannya kenal lagi dengan si gemuk bertangan hitam ini. Hek Chiu Mo adalah salah
seorang momok golongan hitam dirimba persilatan Tionggoan (Tiongkok) bagian selatan. Dia
diketahui memiliki tiga senjata ganas. Pertama hudtim ungu di tangan kanan yang sanggup
menghancurkan batu sebesar gajah. Lalu tangan kanan berwarna hitam yang juga memiliki
daya penghancur luar biasa. Dan ketiga adalah semburan ludah berwarna merah yang mampu
menembus setiap bagian tubuh lawan!

Bagaimana manusia satu ini tahu-tahu berada di tempat ini? Memandang ke tengah lautan Bun
Pek Cuan dan Siauw Cie tidak melihat kapal lain selain kapal kayu besar yang sebelumnya
mereka tumpangi.

“Siauw Cie,” bisik Bun Pek Cuan. “Ada yang membocorkan rahasia perjalanan kita. “

Orang yang berbaring di dalam sampan menyeringai. Kelihatan deretan gigi-gigi besar berwarna
merah seperti dilumuri darah. Mulut terbuka. Suaranya perlahan sekali, tidak sesuai dengan
keadaan kepala dan tubuhnya yang besar gemuk.

“Jangan heran. Kita menumpang kapal yang sama. Tapi datang ke pantai ini aku lebih suka
berenang dari pada naik perahu seperti kalian. “

Bun Pek Cuan batuk-batuk lalu berkata.


“Sungguh satu pertemuan tidak diduga tidak disangka!” ucap Bun Pek Cuan.

Si gemuk dalam perahu gelengkan kepala.

“Kau dan temanmu boleh menganggap begitu. Namun bagiku ini satu pertemuan yang sudah
aku rencanakan sebelumnya. Sejak kita masih sama-sama berada di Tionggoan. “

Melihat gelagat tidak baik Siauw Cie berkata.

“Hek Chiu Mo, kami tak punya waktu banyak. Kami harus segera kembali ke kapal. Kau mau ikut
sama-sama?” Siauw Cie berkata sambil memberi isyarat kedipan mata pada Bun Pek Cuan.

Si gemuk dalam perahu perlahan-lahan bangkit dan duduk. Tangan kanannya yang berwarna
hitam masih mengipas-ngipaskan hudtim. “Perahu sekecil ini tidak mungkin dimuati kita
bertiga. Lagi pula aku tidak punya niat buru-buru kembali ke kapal. “

“Kalau begitu harap kau sudi keluar dari perahu. Kami akan mempergunakan perahu itu untuk
kembali ke kapal,” kata Bun Pek Cuan pula.

“Tentu saja. . . . tentu saja,” jawab Hek Chiu Mo. Lalu sekali bergerak tubuhnya yang gemuk
melesat ke udara. Ketika turun ke pasir, kepalanya menjejak. menempel pasir pantai lebih dulu.
Dua kaki melejang-lejang, mulut keluarkan suara tertawa. Si gemuk kemudian melesat ke
udara, ketika turun kembali, kali ini kakinya dengan enteng menginjak pasir.

“Sudan lama tidak bersalto, aku sampai salah. Kepala turun duluan. . . . Ha. . . ha. . . ha. “ Si
gemuk melucu. Namun bagi Bun Pek Cuan dan Siauw Cie jelas orang ini sengaja
memperlihatkan kepandaian. Tanpa banyak menunggu kedua orang ini segera hendak masuk
ke dalam perahu.

“Dua sahabat, sebelum pergi ada sesuatu yang ingin kutanyakan. “ Tibatiba Hek Chiu Mo
berkata, membuat Bun Pek Cuan dan Siauw Cie dengan jengkel terpaksa hentikan langkah.

“Kami ingin cepat. Maaf saat ini tidak bisa berjawab tanya denganmu. Nanti saja diteruskan
kalau bertemu di Tionggoan. “ kata Bun Pek Cuan.

“Ah, sayang sekali. Kalian ingin cepat, akupun terburu-buru . Agar adil bagaimana kalau aku
tidak akan mengizinkan kalian pergi dari sini!”

“Apa maksud orang gagah Hek Chiu Mo?” tanya Bun Pek Cuan.

“Maksudku begini!”

Habis berkata begitu Hek Chiu Mo tendangkan kaki kanannya. Sekali menendang sampan kayu
di atas pasir pantai mencelat hancur berkeping-keping.
“Aku tahu kalian tak bisa berenang. Jadi tak mungkin kembali ke kapal. Ha. . . ha. . . ha!” Hek
Chiu Mo tertawa perlahan. Air liurnya yang berwarna merah bercucuran ke dagu.

**

DUA

Melihat perbuatan si gemuk Hek Chiu Mo menghancurkan sampan, marahlah Bun Pek Cuan
dan Siauw Cie. “Hek Chiu Mo!” hardik Bun Pek Cuan. “Selama ini tak ada silang sengketa
diantara kita! Hari ini jauh dari negeri sendiri, kau sengaja mencari lantai terjungkat!”

Hek Chiu Mo tertawa perlahan. Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipaskan di depan
wajahnya yang gemuk berkeringat.

“Bun Pek Cuan, kalau kakimu yang pincang, jangan mengatakan lantai yang terjungkat. Ucap
kata dan tindak sikapmu sombong sekali. Aku hanya ingin bicara sesuatu, tapi kau menolak
seolah kau tengah ditagih hutang saja.

Ha. . . ha. . . ha!” Dalam soal bicara Iblis Tangan Hitam memang dikenal paling nomor satu di
Tionggoan.

“Hek Chiu Mo, sebaiknya kau berterus terang saja. Katakan apa yang kau inginkan dari kami!”
Kata Siauw Cie walau sebenarnya dia dan juga Bun Pek Cuan sudah bisa menduga apa yang
diinginkan tokoh silat golongan hitam di hadapannya itu.

“Orang sudah bertanya, wajib aku menjawab,” ucap Hek Chiu Mo. Lalu tangan kirinya
ditudingkan ke arah pinggang pakaian Bun Pek Cuan. “Aku inginkan dua buah benda yang kau
simpan di balik pakaianmu. Dalam sebuah kantong kulit berwarna hitam. Apa ucapanku sudah
jelas?!”

“Aku tidak memiliki kantong kulit hitam di balik pakaianku. Bagaimana mungkin aku
memberikan padamu?” ujar Bun Pek Cuan pula.

Mendengar ucapan itu, Hek Chiu Mo tersenyum.

“Tidak sangka orang yang punya nama besar sepertimu pandai pula berdusta!” Ucap Hek Chiu
Mo.

“Hek Chiu Mo, harap kau tidak, mengada-ada!” Siauw Cie ikut bicara.
“Aku Hek Chiu Mo ini orang sederhana. Bersikap selalu lemah lembut. Dalam setiap urusan
tidak suka bertindak keras. Apakah hal itu tidak bisa jadi bahan pertimbangan kalian berdua?”

“Kau membuang waktu kami saja!” Suara Bun Pek Cuan mulai keras.

“Waktuku juga sudah banyak terbuang,” menyahuti Hek Chiu Mo. Suaranya tetap perlahan.
Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipas.

“Siauw Cie!” kata Bun Pek Cuan kesal. “Mari kita tinggalkan orang aneh satu ini!”

Hek Chiu Mo menyeringai. “Apakah aneh kalau aku meminta barang yang bukan milikmu?!”

“Barang apa?!” bentak Siauw Cie.

Lagi-lagi si gemuk Hek Chiu Mo sunggingkan senyum.

“Baiklah, kalau kalian tak mau memberikan biar aku mengambil sendiri!”

Habis bekata begitu tubuh gemuk Hek Chiu Mo melangkah ke arah Bun Pek Cuan. Hudtim di
tangan kanan dikebut.

“Wutt!”

Selarik sinar ungu yang keluar dari kebutan menerpa ganas ke arah wajah Bun Pek Cuan. Tahu
akan kedahsyatan senjata di tangan lawan, Bun Pek Cuan cepat menghindar sambil jauhkan
kepala sementara kaki kanannya tahu-tahu melesat ke arah perut Hek Chiu Mo. Siauw Cie tak
tinggal diam. Dari samping tangan kanannya dengan dua jari terpentang lurus menusuk ke arah
leher Iblis Tangan Hitam.

Tubuh gemuk Hek Chiu Mo bergerak lentur menghindari dua serangan lawan. Hudtim ungu
kembali dikebutkan. Lingkaran cahaya ungu berbentuk setengah Ijngkaran membeset udara.

Bun Pek Cuan berseru kaget dan melompat mundur dengan muka pucat. Kumis kirinya yang
menjulai ke bawah dagu terbabat putus kena sambaran kebutan hingga’ tampangnya jadi lucu
dan membuat Hek Chiu Mo tertawa mengekeh.

“Bun Pek Cuan, aku sudah memberi peringatan. Apa kau masih belum mau menyerahkan benda
yang aku minta?!”

“Kau bekerja untuk siapa? Siapa yang menyuruhmu mendapatkan benda itu?!” tanya Siauw Cie
tanpa menyadari kalau pertanyaannya itu memberi kesan bahwa benda yang dicari dan diingini
Hek Chiu Mo memang ada padanya atau pada Bun Pek Cuan.

“Tak ada yang memerintah. Aku bekerja untuk diri sendiri!” jawab Hek Chiu Mo.
“Bagus! Kalau begitu kami tidak akan susah-susah memberi tahu tuanmu bahwa kau sudah
menemui ajal di negeri orang” kata Siauw Cie pula. Lalu orang ini melesat ke depan.

Sepuluh jari tangan membeset lurus, lebih keras dari besi. Siauw Cie memiliki ilmu kuntauw
yang disebut Sepuluh Jari Besi. Sesuai namanya ke sepuluh jari tangan Siauw Cie bisa berubah
lurus dan sekeras besi. Setiap jurus yang dilancarkan sangat ganas mematikan. Bun Pek Cuan
tak kalah ganas. Dari balik pakaian putihnya dia hunus sebuah golok yang dalam malam gelap
menebar cahaya hijau angker.

Baik Bun Pek Cuan maupun Siauw Cie yang masih muda adalah orang-orang rimba persilatan
yang disegani. Tingkat kepandaian mereka telah banyak kali membuat kegemparan di daratan
Cina. Cahaya golok hijau di tangan Bun Pek Cuan bertabur ganas mengeluarkan hawa dingin.
Yang diserang adalah bagian tubuh lawan mulai dari leher ke bawah. Sementara sepuluh jari
besi Siauw Cie berkelebat mencari sasaran mulai dari leher sampai kepala. Walau dua orang ini
punya nama besar karena ilmu silatnya yang tinggi namun Hek Chiu Mo merupakan dedengkot
golongan hitam yang sudah dikenal dan ditakuti di delapan penjuru rimba_ persilatan
Tionggoan, terutama di bagian selatan.

Kebutan ungu menderu memapas dan menangkis serangan golok hijau Bun Pek Cuan serta
melindungi kepalanya dari tusukan jari-jari besi Siauw Cie. Tiga jurus berlalu cepat dan jelas
terlihat dua lawan yang dihadapi Iblis Tangan Hitam mulai kewalahan. Beberapa kali kebutan
ungu membentur badan golok di tangan Bun Pek Cuan. Bukan saja golok dan tangan Bun Pek
Cuan jadi tergetar hebat, tetapi bagian tajam dari mata golok hijau itu gompal di tiga tempat!
Siauw Cie sendiri kalau tidak berlaku sigap dua kali tangan kirinya hampir kena hantaman
hudtim. Walau dia mampu selamatkan tangan tetap saja ujung lengan kiri baju putihnya hangus
kehitaman dan robek besar.

“Bun Pek Cuah, kau mau serakan benda itu hidup-hidup atau minta mati lebih dulu?!” Hek Chiu
Mo memperingatkan sekaligus mengancam.

Sebagai jawaban Bun Pek Cuan berteriak. “Iblis gendut keparat! Kau rupanya yang sudah bosan
hidup! Lihat golok!”

“Wuttt!”

Golok di tangan Bun Pek Cuan berkelebat dalam jurus bernama Langit Meratap Bumi Menangis.
Sinar hijau bertabur.

“Breett!”

Dada jubah hijau yang dikenakan Hek Chiu Mo robek besar. Kulit dadanya ikut tergores
sepanjang satu jengkal hingga mengucurkan darah. Ternyata keberhasilan Bun Pek Cuan
menciderai lawan harus dibayar mahal. Karena pada saat yang hampir bersamaan hudtim di
tangan Hek Chiu Mo menyambar dari samping.

“Praakk!”

Kepala bagian kiri Bun Pek Cuan hancur mengerikan. Orang tua ini mengerang satu kali lalu
roboh ke pasir pantai tak berkutik lagi!

Melihat kematian sahabat tuanya Siauw Cie berteriak marah dan mengamuk. Dia keluarkan
jurus-jurus silat simpanannya hingga beberapa kali Hek Chiu Mo berseru kaget dan bergerak
sebat menghindar dari serangan ganas yang selalu mengarah leher dan kepala. Setelah didesak
selama hampir empat jurus, kini giliran Iblis Tangan Hitam ganti menggempur. Hudtim ungu
bersuit-suit di udara. “

Siauw Cie bertahan mati-matian untuk selamatkan diri. Karena serangan lawan semakin ganas,
Siauw Cie memutar otak. Dia berpikir lebih baik selamatkan diri sambil berusaha mengambil
kantong kulit yang ada di balik pakaian Bun Pek Cuan dari pada menemui ajal percuma di
tangan Iblis Tangan Hitam.

Didahului satu bentakan keras Siauw Cie lantas kebutkan lengan baju sebelah kanan. Dari
bawah jubah melesat tiga senjata rahasia berbentuk pisau terbang beracun.

“Licik sekali!” ucap Hek Chiu Mo lalu kebutkan hudtim ungu.

“Wuttt!”

Tiga pisau terbang bermentalan dan luruh ke tanah.

Sewaktu lawan menangkis serangan tiga senjata rahasianya, Siauw Cie pergunakan kesempatan
mengambil kantong kulit hitam yang ada di balik pinggang pakaian Bun Pek Cuan. Dengan
merobek pinggang baju Bun Pek Cuan, Siauw Cie segera menemukan kantong kulit itu. Namun
sebelum dia sempat menyentuh tahu-tahu Hek Chiu Mo sudah ada di hadapannya. Hudtim
ungu dikibaskan ke arah tangan kanan Siauw Cie.

“Kraaakk!”

Siauw Cie seperti disambar petir, menjerit setinggi langit. Tangan kanannya hancur mulai dari
ujung jari sampai ke pergelangan! Nyali Siauw Cie pun putus. Kalau tadi dia berusaha
selamatkan kantong kulit, sekarang yang lebih penting adalah selamatkan nyawanya. Tidak pikir
lebih lama Siauw Cie jatuhkan diri, berguling di pasir lalu melompat dan berkelebat melarikan
diri dari tempat itu.

“Manusia-manusia tolol. Memilih mati secara konyol!” kata Hek Chiu Mo pula seraya
melangkah mendekati mayat Bun Pek Cuan. Pada pinggang pakaian yang robek tersingkap, dia
melihat sebuah kantong kulit hitam. Dengan cepat dia ambil kantong itu. Tali pengikat dibuka,
isinya dituangkan ke telapak tangan kiri. Benda yang ada di dalam kantong kulit itu ternyata
adalah dua buah dadu putih kekuningan, terbuat dari gading, dihias mata dadu berwarna
merah.

Hek Chiu Mo menyeringai, masukkan dua buah dadu kembali ke dalam kantong kulit hitam.
Kantong ini kemudian dimasukkan ke dalam saku di sebelah kiri jubah hijau.

Hek Chiu Mo menatap ke langit. “Aku harus segera kembali ke kapal,” ucapnya dalam hati. Pada
saat hendak melangkah tibatiba dia mendengar sambaran angin di samping kiri. Cepat Hek Chiu
Mo palingkan diri. Alangkah terkejutnya lelaki gemuk ini ketika melihat seseorang duduk
menjelepok di tepi pasir. Orang ini ternyata adalah nenek berambut kelabu, bermulut perot dan
memiliki sepasang mata warna merah yang menatap tajam tak berkesip ke arah Hek Chiu Mo.
Daun telinga ditindis dengan giwang terbuat dari tulang-tulang jari manusia. Cipratan ombak
membuat rambut kelabu serta jubah kuning yang dikenakannya basah kuyup.

“Manusia aneh. Urusan tidak enak. Dia berdiri di jalur berenangku arah ke kapal. Sengaja
menghalangi. Dia bukan orang dari Tionggoan. . . “

Tibatiba nenek di atas pasir acungkan tangan kanan ke arah Hek Chiu Mo. Tangan kiri menepuk-
nepuk pinggang. Lalu mulutnya berteriak.

“Serahkan padaku dua dadu di dalam kantong kulit!. “ Celakanya Hek Chiu Mo tidak tahu
bahasa setempat. Tapi dari gerak isyarat orang dia tahu kalau si nenek inginkan dua dadu yang
ada di kantong kiri jubah hijau. Tokoh silat berbadan gemuk ini gelengkan kepala, goyang-
goyang tangan kiri sedang tangan kanan di lambai-lambaikan ke samping memberi tanda agar si
nenek pergi dari situ.

Nenek yang duduk di atas pasir pantai balas menggeleng. Tangan kanan dilambaikan, memberi
isyarat agar Hek Chiu Mo mendatanginya!

Tidak mau mencari urusan membuang waktu Hek Chiu Mo lari sepanjang tepi pasir. Di satu
tempat setelah cukup jauh dari nenek aneh itu dia akan mencebur masuk laut dan berenang
menuju kapal. Si nenek tidak tinggal diam. Dalam sikap masih duduk tubuhnya naik ke atas
sejarak satu jengkal, lalu melayang ke kiri mengikuti arah lari Hek Chiu Mo! Tokoh silat golongan
hitam dari Tionggoan ini hentikan lari. Tubuh si nenek berhenti pula melesat dan turun duduk
kembali di atas pasir. Kejut Hek Chiu Mo bukan alang-kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia
melihat ada orang memiliki kepandaian seperti itu. Sementara Hek Chiu Mo masih diselimuti
perasaan heran, seperti tadi nenek berjubah kuning berteriak agar Hek Chiu Mo serahkan
benda yang dimintanya.

Setelah diam sejenak, mencari akal akhirnya Hek Chiu Mo keluarkan kantong kulit hitam dari
saku jubah sebelah kiri. Benda ini diacungkan tinggi-tinggi ke udara dan digoyang-goyang sambil
tangan kanannya yang memegang kebutan memberi tanda agar si nenek mendatangi. Begitu si
nenek mendekat akan dihantamnya dengan kebutan serta pukulan tangan kiri.

Nenek mata merah berambut kelabu tidak terpancing. Dia tetap berada di tempatnya duduk
dan kembali berteriak agar Hek Chiu Mo menyerahkan kantong kulit. Wajahnya kini tampak
garang pertanda dia mulai marah.

“Gendut! Berikan kantong kulit itu padaku. Lemparkan kesini! Aku akan memberi jalan bagimu
untuk berenangi kembali ke kapal!”

Walau tidak tahu bahasa yang diucapkan orang tapi Hek Chiu Mo cukup mengerti apa kemauan
si nenek.

“Aku sudah mau memberi. Tapi kau tidak mau mengambil! Perduli setan!” Tokoh silat dari
Tionggoan selatan ini masukkan kantong kulit ke dalam saku jubah kembali. Lalu dengan sangat
tibatiba tangan kiri yang berwarna hitam itu memukul ke depan. Berbarengan dengan itu
kebutan di tangan kanan ikut dihantamkan. Sinar hitam dan cahaya ungu menyambar nenek di
tepi laut.

Pasir pantai laksana digusur topan berhamburan ke udara, meninggalkan lobang dalam dan
panjang. Air laut membentuk ombak besar, muncrat ke udara setinggi tiga tombak! Nenek di
atas pasir menjerit keras. Ketika air laut surut dan pasir luruh ke pantai kembali, perempuan tua
itu tak kelihatan lagi.

Hek Chiu Mo sunggingkan seringai. Dia menyangka si nenek sudah amblas ke dalam laut dan
menemui ajal. Tapi alangkah terkejutnya tokoh golongan hitam daratan Cina selatan ini ketika
mendadak terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari tiga arah sekaligus!

**

TIGA

Memandang ke depan Hek Chiu Mo melihat nenek rambut kelabu bermata merah berdiri tegak
di atas pasir tidak kurang suatu apa. Malah berdiri sambil berkacak pinggang dan sunggingkan
seringai sinis. “Luar

biasa! Ilmu apa yang dimiliki manusia ini hingga jangankan mati, ciderapun dia tidak dihantam
dua serangan saktiku!” pikir Iblis Tangan Hitam. Sebenarnya nenek jubah hitam tidak memiliki
kemampuan untuk adu kekuatan dan menangkis langsung dua serangan lawan. Dia bisa
selamatkan diri karena memiliki daya gerak yang sangat cepat ditambah ilmu meringankan
tubuh luar biasa tinggi.
Yang kemudian membuat Hek Chiu Mo terlonjak kaget adalah ketika berpaling ke kanan.
Beberapa langkah di arah itu berdiri nenek yang sama, berjubah kuning, rambut kelabu mata
merah, beranting-anting tulang jari manusia dan bertolak pinggang sambil menyeringai.

“Gila! Bagaimana bisa jadi dua?!”

Belum habis kejut Hek Chiu Mo sudut mata sebelah kiri menangkap sesuatu. Cepat si gemuk ini
berpaling dan! Astaga! Di arah ini lagi-lagi dia melihat seorang nenek berambut kelabu bermata
merah berjubah kuning lengkap dengan anting-anting tulang! Jadi ada tiga nenek yang sama!
Bagaimana mungkin?

“Aku berhadapan dengan setan perempuan berilmu tinggi, punya kepandaian sihir!” pikir Hek
Chiu Mo.

Tibatiba nenek di sebelah depan berteriak. Tangan kiri ditepuk-tepukkan ke pinggang.

Dua nenek di kiri kanan melakukan hal yang sama! Berteriak sambil menepuk pinggang kiri.

“Serahkan dadu!” teriak nenek di sebelah depan.

“Serahkan dadu!” Dua nenek lainnya ikutan berteriak.

“Ilmu setan harus dihadapi dengan ilmu setan!” Hek Chiu Mo rangkapkan dua tangan di depan
dada. Tubuh mengeluarkan sekilas sinar. Lalu sosok itu berubah menjadi lebih besar dan lebih
tinggi. Hudtim ungu di tangan kanan ikut membesar. Di atas kepalanya yang mengenakan topi
merah mencuat sepasang tanduk. Muka yang tadi gemuk polos kini ditumbuhi cambang bawuk
dan jenggot serta kumis meranggas. Sepasang matanya mendelik besar berwarna hitam. Ketika
menyeringai kelihatan deretan gigi-gigi besar serta lidah basah dengan cairan merah! Sepuluh
kuku jari tangan mencuat panjang, memancarkan cahaya redup menggidikkan. Hek Chiu Mo
ternyata punya kepandaian merubah diri menjadi raksasa! Didahului suara menggembor Hek
Chiu Mo melompat ke arah nenek rambut kelabu yang ada di sebelah depan. Tangan kanan
kebutkan hudtim, tangan kiri lepaskan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
Sinar ungu dan lima larik cahaya hitam berkiblat!

Nenek rambut kelabu mata merah di sebelah depan tertawa melengking.

“Raksasa jejadian! Siapa takut! Di hutan Roban aku punya selusin mahluk macam beginian!
Hik. . . hik. . . hik!” Nenek ini lalu tertawa panjang.

Dua nenek lainnya ikut keluarkan suara tawa yang sama. Tiga nenek kemudian melompat
setinggi dua tombak, selamatkan diri dari dua serangan lawan lalu laksana kilat berkelebat
lancarkan serangan balasan.

“Bukk! Bukk! Bukkk!”


“Desss!”

Dua jotosan keras mendarat di dada Hek Chiu Mo. Satu tendangan melanda perutnya yang
buncit! Hek Chiu Mo hanya geliatkan badan . seperti tidak merasa sakit sedikitpun. Sebaliknya
salah seorang dari tiga nenek rambut kelabu yaitu yang sebelah kiri hanya tertawa mengekeh
sewaktu hudtim ungu mengemplang kepalanya! Padahal kepala manusia biasa seperti yang
terjadi dengan Bun Pek Cuan pasti akan hancur dihantam kebutan itu.

“Gila! tidak mempan! Aku harus bisa menggebuk yang asli! Kalau tidak aku bisa celaka! Tapi
yang mana nenek yang asli?!”

Sementara si gemuk dari Tionggoan selatan itu kebingungan, tiga nenek menjerit keras dan
serempak kembali menyerang. Hek Chiu Mo kebutkan hudtim. Cahaya ungu setengah lingkaran
melindungi dirinya. Sementara tangan kiri siap melancarkan pukulan tangan kosong ke arah
depan, dari tanduk di kepalanya mencuat dua larik sinar biru, melesat k arah nenek di sebelah
kiri dan kanan!

Dua nenek yang diserang lagi-lagi keluarkan suara jeritan dan teruskan gempuran. Tapi
serangan mereka terhalang oleh sambaran hudtim. Kini mereka malah disambar dua larik sinar
biru. Nenek di sebelah kanan melesat ke udara selamatkan diri. Yang sebelah kiri hancur
tercabik-cabik dan kepulkan asap begitu kena hantaman sinar biru. Namun cabikan tubuh itu
menyatu lagi dan kembali ke ujud semula!

“Yang depan atau yang kanan!” pikir Hek Chiu Mo lalu tangan kiri keluarkan cahaya hitam,
menyambar ke arah nenek di sebelah depan sementara dari tanduk di atas kepala mencuat
kembali dua larik sinar biru yang menggebubu ke arah nenek di sebelah kanan. Tidak terduga
nenek sebelah kiri yang tadi telah tercabik-cabik tibatiba melesat sebat dan tahu-tahu telah
berada dua langkah dengan tangan kanan melepas satu jotosan dahsyat.

Hek Chiu Mo segera sorongkan kepala. Dua tanduk aneh menusuk dada nenek yang melepas
jotosan. Si nenek terpental, keluarkan pekik kesakitan. Tapi keadaannya tidak cidera sedikitpun.
Padahal tembok batu setebal dua kaki sanggup dihantam jebol oleh sepasang tanduk itu.

Ketika melihat dua sinar biru menderu ke arahnya, nenek sebelah kanan cepat melesat ke
udara. Dalam keadaan melayang dia lepas dua pukulan tangan kosong yang memancarkan sinar
kemerahan. Hek Chiu Mo keluarkan suara menggembor lalu menyembur. Cairan merah kental
menyambar menangkis dua sinar kemerahan pukulan tangan kosong nenek di sebelah kanan
dan terus melabrak ke arah sasaran. Nenek satu ini berteriak keras. Muka dan pakaiannya di
sebelah penuh berselomotan cairan merah. Namun yang membuat Hek Chiu Mo jadi kaget
ialah nenek ini tidak mengalami cidera sedikitpun. Padahal semburan ludah berdarah yang
dilakukannya tadi sanggup membuat patah batang pohon dan menghancurkan gundukan batu
besar!
Kini Hek Chiu Mo sadar bahwa mahluk asli berupa nenek rambut kelabu itu adalah yang berada
di sebelah depannya dan yang barusan dihantam dengan pukulan tangan kiri. Kalau pukulan
dahsyat itu sempat menyambar ke arah lawan, namun si nenek sebelah depan masih bisa
menghindar dengan jatuhkan diri ke tanah. Lalu dalam keadaaan tengkurap nenek ini
menyeringai, goyangkan kepala. Saat itu juga dua larik sinar merah berkiblat keluar dari
sepasang mata, langsung menyambar ke arah leher dan perut Hek Chiu Mo. Tokoh golongan
hitam Tionggoan selatan ini keluarkan pekikan pendek lalu tergelimpang di tanah. Lehernya
nyaris putus sementara perut robek besar. Sosoknya yang tadi berbentuk setengah raksasa
perlahan-lahan menciut ke bentuk asal.

Menyaksikan Hek Chiu Mo menemui ajal, nenek yang tadi melepaskan dua sinar merah dari
matanya cepat mendatangi untuk mengambil kantong kulit hitam yang tersembul di pinggang.
Namun mendadak satu bayangan putih menyambar kantong kulit itu lalu kabur ke balik semak
belukar.

“Jahanam kurang ajar! Siapa berani mati!” teriak si nenek lalu angkat dua tangan ke atas dan
berteriak pada dua nenek di depannya.

“Kejar! Bunuh!”

Dua nenek yang diberi perintah serta merta melesat ke arah semak belukar melakukan
pengejaran. Tak selang berapa lama dua nenek itu kembali muncul. Yang sebelah kanan
melangkah sambil menenteng kepala manusia yang bukan lain adalah kepala Siauw Cie. Nenek
di sebelah kiri membawa kantong kulit hitam. Begitu sampai di hadapan nenek pertama, nenek
di sebelah kanan campakkan kutungan kepala hingga menggelinding di atas pasir pantai. Nenek
pertama angkat kaki, menahan kepala yang menggelinding.

“Eyang Sepuh Kembar Tilu! Dia pencurinya!”

Nenek yang dipanggil dengan sebutan Eyang Sepuh Kembar Tilu menyeringai. “Ternyata orang
asing dari kapal. Eh, bukankah dia yang sebelumnya telah dihajar oleh si gendut itu?” Kaki si
nenek menendang. Kutungan kepala mencelat masuk ke dalam laut.

“Eyang Sepuh, kantongnya. . . “ kata nenek di samping kiri seraya mengulurkan kantong hitam
yang dipegangnya. Sepasang mata Eyang Sepuh berkilat-kilat. Isi kantong diperiksa. Setelah
memasukkan kantong kulit ke balik dada pakaian, Eyang Sepuh angkat tangan kanan di atas
kepala. Dua mata menatap ke arah dua nenek di hadapannya yang memiliki ujud sama dengan
dirinya. Dari ujung-ujung jari tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu mengepul asap tipis. Si nenek
berucap perlahan.

“Kalian berdua pulanglah!”

Saat itu juga dua nenek yang menyerupai ujud Eyang Sepuh serta merta lenyap laksana ditelan
angin malam!
Bersamaan dengan menghilangnya dua nenek rambut kelabu tiba-tiba terdengar suara tepukan
tangan disusul ucapan.

“Eyang Sepuh Kembar Tilu! Pertunjukkan yang sangat mengagumkan. Tidak sia-sia aku datang
dari jauh untuk menyaksikan!”

“Wehhh!” Si nenek rambut kelabu mata merah dongakkan kepala ke langit, agak heran. Dalam
hati dia bekata. “Suaranya sedikit lain. Tapi hanya dia yang tahu. . . “

“Raden Kumalasakti, aku tidak mengira kalau Raden sudi hadir di tempat ini. “

“Karena barang yang dicari sudah didapat, harap Eyang Sepuh menyerahkan padaku. “

“Tentu, tentu saja. . . “ kata Eyang Sepuh Kembar Tilu lalu melangkah ke arah datangnya suara.
Dari kegelapan keluar seorang penunggang kuda, berpakaian serba hitam, mengenakan topi
kain yang bagian depannya ada cadar tipis hingga wajah orang ini tidak kelihatan. Di sebelah
belakang ada dua penunggang kuda lagi, juga berpakaian hitam tapi tidak mengenakan topi,
bercadar.

Pada jarak satu langkah di samping nenek rambut kelabu, penunggang kuda bercadar berhenti.
Dia mengambil kantong kulit hitam yang dikeluarkan si nenek dari balik dada pakaian. Setelah
menimang-nimang kantong itu sebentar dia berkata.

“Hadiah dan bayaran untukmu dapat kau ambil besok pagi di tempat perjanjian di selatan
Losari! Kerjamu bagus! Aku akan tambahkan beberapa hadiah! Misalnya anting tulang di dua
telingamu itu. Layak diganti dengan anting emas!”

“Terima kasih Raden,” jawab si nenek. Sambil membungkuk dan mengulum senyum dia ikuti
kepergian tiga penunggang kuda. Dia menunggu sebentar lalu berkelebat Ke arah lenyapnya ke
tiga orang itu.

Selewat tengah malam, Raden Kumalasakti dan dua pengiring sampai di desa kecil bernama
Cangkring. Di jalan masuk menuju desa terdapat sebuah kedai minuman yang selalu buka
sampai larut malam, walaupun pada masa itu keadaan di kawasan tersebut tjdak begitu aman,
banyak orang jahat berkeliaran.

Melihat kemunculan tiga orang tak dikenal berpakaian serba hitam dan salah seorang diantara
mereka mengenakan cadar, semua pengunjung yang ad a di dalam kedai cepat-cepat
membayar lalu tinggalkan tempat itu. Mereka menduga ke tiga orang yang barusan masuk ke
dalam kedai adalah kawanan begal. Dari pada cari perkara lebih baik cepat-cepat pergi.
Pemilik kedai dan istrinya , yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam tamu,
berusaha tenang saja melayani ke tiga orang yang barusan datang. Dengan cepat mereka
menyuguhkan minuman bandrek panas, singkong, ubi dan pisang rebus hangat.

Setelah meneguk minuman, lelaki bercadar keluarkan kantong kulit hitam yang diberikan Eyang
Sepuh Kembar Tilu. Dua temannya memperhatikan. Ketika isi kantong digulir di meja, kaget ke
tiga orang itu bukan alang kepalang. Dua benda yang tergeletak di atas meja bukannya yang
seperti mereka duga. Bukan dua buah dadu putih tetapi dua buah batu hitam!

“Kurang ajar! Kita kena ditipu!” teriak orang bercadar sambil menggebrak meja hingga
minuman dan makanan yang ada di atas meja melesat berhamburan!

“Kita kembali! Cari nenek sialan itu! Akan aku gorok batang lehernya!”

Tiba-tiba dari sudut kedai yang agak gelap terdengar suara tawa cekikikan.

“Kalian tidak usah jauh-jauh mencari. Aku ada di sini!”

EMPAT

Tiga kepala dipalingkan. Tiga pasang mata memandang mendelik ke arah salah satu sudut kedai
yang agak gelap. Disitu memang tampak duduk Eyang Sepuh Kembar Tilu, si nenek berambut
kelabu bermata merah. Amarah lelaki bercadar bukan alang kepala. Dia ambil dua buah batu
dan kantong kulit hitam yang tercampak di lantai. Lalu melompat ke hadapan si nenek dan
bantingkan dua buah batu serta kantong kulit hitam hingga melesak ke dalam kayu meja!

“Ck. . . ck. . . ckkk!”? Si nenek decakkan mulut. “Pertunjukkan hebat! Tapi aku tidak tertarik. Hik.
. . hik. . . hik!”

“Tua bangka penipu!” teriak lelaki bercadar. “Lekas berikan dua buah dadu itu padaku!

Dan aku akan mengampuni selembar nyawa anjingmu!”

Si nenek ganda tertawa mendengar ucapan orang.

“Aku tidak akan menipumu kalau kau tidak menipuku lebih dulu! Kau inginkan dua buah dadu?
Silahkan ambil!”

Si nenek ulurkan tangan kiri yang tinggal kulit pembalut tulang lalu usap dua buah batu yang
melesak di papan meja. Ketika tangan diangkat dua buah batu hitam telah berubah menjadi
dua buah dadu putih bermata merah.
“Nah, nah. . . Kenapa pada melongo?!” Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa mengekeh melihat
Raden Kumalasakti dan dua anak buahnya tegak ternganga menyaksikan apa yang terjadi. Tiba-
tiba lelaki bercadar ini jentikan ibu jari dan jari tengah tangan kirinya.

“Klik!”

Dua lelaki berpakaian hitam di samping meja langsung gerakkan tangan.

“Srett! Srett!”

Dua golok berkilat keluar dari sarungnya, terus dibacokkan ke arah nenek rambut kelabu yang
duduk di belakang meja.

“Dua monyet hitam! Kenapa kalian jadi kalap?! Terima bagianmu!”

Sosok nenek rambut kelabu lenyap. Ketika papan meja hancur dilanda bacokan dua golok, dari
bawah kolong meja melesat dua tangan. Dua lelaki berpakaian serba hitam menjerit keras.
Golok terlepas, tubuh mencelat mental, jatuh malang melintang di atas kursi kayu. Setelah
menggelepar-gelepar keduanya terkapar tak berkutik lagi. Tubuh bagian bawah perut hancur.
Darah menggenangi lantai kedai!

Lelaki bercadar berteriak marah. Sambil tangannya menghunus golok, kaki kanan menendang
hingga meja kayu yang sudah hancur kini mental berkeping-keping. Namun si nenek rambut
kelabu tak kelihatan!

“Jahanam! Mau lari kemana?!” teriak orang bercadar dan bergerak ke arah pintu.

“Aku masih di sini. Apa matamu sudah buta?! Hik. . . hik. . . hik!”

“Setan alas!”

Orang bercadar babatkan golok besar di tangan kanan ke arah datangnya suara. Namun
serangan ini tertahan begitu satu tangan mencekal pergelangan yang memegang golok. Orang
bercadar menjerit kesakitan ketika tangannya dipuntir lalu badannya didorong ke tiang kedai
hingga tiang itu patah dan membuat atap nyaris roboh.

“Hik. . . hik! Beraninya kau menipuku! Kau bukan Raden Kumalasakti!” “Brett!”

Nenek rambut kelabu betot cadar hitam yang menutupi wajah orang. Ketika cadar tersingkap
kelihatan satu wajah hitam berhidung lebar pesek dan bopeng! Hidung lebar pesek itu tampak
bengkok patah dan mengucurkan darah.

“Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng!” si nenek berseru. Lalu decakkan lidah. “Ilmu
kepandaian baru sedengkul, beraninya kau mempermainkan diriku!”
“Nenek setan! Biar hari ini aku mengadu jiwa denganmu!” Habis berkata begitu lelaki muka
bopeng layangkan satu jotosan keras dengan tangan kiri. Yang di arah adalah bagian dada si
nenek. Kalaupun tidak bisa menghabisi lawan paling tidak dia hams dapat menghancurkan dua
buah dadu yang diketahuinya disimpan si nenek di batik dada pakaian.

Untuk kalangan rimba persilatan di perbatasan Jawa sebelah barat dan Jawa sebelah tengah
nama Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng memang cukup ditakuti. Konon dia memiliki
anggota hampir dua ratus orang yang berkeliaran mengemis sambil berbuat kejahatan dan
terkadang melakukan hal-hal tak senonoh terhadap kaum perempuan. Walau sudah punya
nama besar namun untuk menghadapi Eyang Sepuh Kembar Tilu pengemis bopeng ini belum
bisa menandingi.

Sebelum jotosannya mampu menyentuh dada lawan tiba-tiba si nenek tangkap tangan kiri lelaki
itu lalu kreek. . . kreek. . . kreek. Jari-jari tangan Pengemis Muka Bopeng hancur berpatahan.
Pengemis Muka Bopeng menjerit setinggi langit.

“Tanganmu akan aku hancurkan sampai ke bahu. . . “ ucap si nenek. “Kecuali kau memberi tahu
siapa yang menyuruhmu memainkan sandiwara tolol ini!” “Kreek. . . kreekkk”

Tangan si nenek naik ke atas, kini mulai menghancurkan telapak tangan Pengemis Bopeng.
Untuk kesekian kalinya lelaki ini menjerit kesakitan. Tibatiba Pengemis Muka Bopeng tarik
kepalanya ke belakang lalu dengan nekat kepala ini dibenturkan ke kepala si nenek. Dua kepala
beradu keras. “Praakk!”

Si nenek terhuyung ke belakang, keluarkan tawa mengikik. Pengemis Muka Bopeng begitu
kepalanya beradu langsung terbanting ke belakang lalu roboh ke lantai. Kening rengkah
mengerikan. Darah membasahi muka yang bopeng, mata mendelik. Tubuh menggeliat satu kali
lalu diam tak berkutik lagi.

Eyang Sepuh Kembar Tilu usap-usap keningnya lalu perhatikan mayat Pengemis Muka Bopeng
seketika. Sambil gelengkan kepala nenek berambut kelabu ini berkata. “Aneh, dia lebih suka
bunuh diri dari pada membuka rahasia. Agaknya ada seseorang yang ditakutinya dibalik semua
perbuatannya. “ Si nenek memandang berkeliling. Ternyata di dalam kedai yang porak poranda
itu hanya tinggal dia sendirian. Semua tamu dan juga suami istri pemilik kedai tak kelihatan lagi.
Si nenek melangkah ke arah dapur. Dalam sebuah ceret besar dari tanah dia menemukan
minuman air jahe yang masih panas karena belum lama diseduh. Enak saja si nenek kucurkan
minuman itu ke dalam mulut dan meneguknya dengan lahap. Sebelum pergi dia letakkan
sekeping kecil perak di atas meja dapur. Walau ganas tapi rupanya dia masih punya hati nurani
untuk mengganti kerusakan di kedai itu.

Di sebuah ruangan di dalam kapal kayu besar yang mengapung di perairan Tanjung Losari.
Malam tambah larut, tambah gelap dan tiupan angin laut menjelang pagi terasa semakin
dingin.
Di pintu ruangan terdengar langkah kaki lalu suara pintu diketuk.

Tiga buah lilin besar yang ada dalam ruangan serta merta padam oleh lambaian tangan seorang
perempuan bercadar yang duduk di kursi, dekat sebuah jendela.

“Masuk!” perempuan di atas kursi keluarkan ucapan.

Pintu ruangan membuka berderik. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri di ambang pintu.
Dia tidak segera masuk, tapi tegak dulu berdiam diri untuk menyesuaikan pandangan matanya
dalam kegelapan. Sesaat kemudian baru dia masuk ke dalam ruangan, itupun tidak jauh.

Hanya dua langkah dari ambang pintu orang ini berhenti. Setelah terlebih dulu membungkuk
baru dia membuka mulut.

“Kiang Loan Nio Nikouw, saya Tek It Hui, nakhoda kapal Naga Hitam. Datang menghadap
memberi laporan. “ Tek it Hui tidak meneruskan ucapannya, menunggu tanggapan orang yang
duduk di atas kursi.

“Sampaikan laporanmu, nakhoda. “

“Semua orang yang turun ke darat, satupun belum ada yang kembali Saat ini hampir pagi. Saya
menunggu, putusan yang akan Kiang Loan Nio Nikouw ambil. Apakah terus menunggu atau kita
segera berangkat saja. “ (Nikouw = panggilan terhadap Paderi perempuan)

Perempuan bercadar di atas kursi memandang keluar jendela. Setelah memperhatikan keadaan
di luar sana dia berkata. “Kita sudah memberi waktu lebih dari cukup. Seharusnya salah satu
dari mereka sudah kembali paling lambat sekitar tengah malam. Sekarang menjelang pagi. Aku
punya firasat mereka semua gagal menjalankan tugas. “

“Berarti kita tak perlu menunggu, berangkat sekarang juga. Atau Kiang Loan Nio Nikouw
berubah pikiran. Ingin turun sendiri ke darat?”

Kiang Loan Nio Nikouw alihkan kepala dari jendela kapal. Lalu menghela nafas dalam. “Aku
pernah mendengar ketinggian ilmu kepandaian serta kehebatan ilmu kesaktian orang-orang di
tanah Jawa. Tapi apa mereka begitu perkasanya hingga tokoh kang ouw sehebat Bun Pek Guan,
Tong Siauw Chie dan Hek Chiu Mo menemui kegagalan? Mungkin sekali mereka saat ini sudah
menemui ajal semua. . . . “ Paderi perempuan itu berpaling pada nakhoda kapal yang tegak
dalam kegelapan. (kangouw= rimba persilatan Tiongkok)

“Aku ingin sekali menjajaki tanah Jawa. Tapi tidak sekarang. Kita akan datang lagi dalam waktu
cepat. Pasti. Nakhoda It Hui, kau ingat nama pendekar tanah Jawa yang pernah diberi tahu oleh
Wakil Ketua Siauw Lim pay. sebelum kita berangkat?”
Nakhoda kapal Naga Hitam berpikir sejenak. “Kalau saya tidak salah mengingat namanya Wie Lo
Sab Leng. . . “

“Nama aneh. Terdiri dari empat kata. Apakah Wie itu she nya atau apa?”

Nakhoda It Hui tertawa. “Setahu saya orang Jawa tidak pakai she. “

“Kau yakin nama depannya Wie, bukan Lie?”

“Saya yakin sekali Loan Nio Nikouw. “

Paderi perempuan yang wajahnya tertutup cadar mengangguk.

“Nakhoda, ada baiknya kita segera berangkat sekarang saja, ingat, jangan meniupkan peluit.
Sampai kapal merapat di Tionggoan aku harap tidak seorangpun menggangguku. “

“Saya mengerti Loan Nio Nikouw. “

Nakhoda Tek It Hui membungkuk dalam-dalam. Lalu melangkah ke pintu. Begitu lelaki itu
lenyap di balik pintu dan pintu kembali ditutup, perempuan yang dipanggil sebagai paderi
segera berdiri dari kursi. Dari dalam sebuah lemari kecil dia mengeluarkan dua buah benda.
Pertama sebuah tas kecil, satunya sebuah papan seluncur. Dengan cepat dia mengeluarkan
seperangkat pakaian ringkas warna merah lalu berganti pakaian. Selesai bersalin tas kecil
digantungkan di punggung. Masih mengenakan cadar yang menutupi kepala dan wajah dia
membuka jendela lalu menyelinap ke luar. Untuk beberapa lama Loan Nio Nikouw
bergelantungan di sanding jendela. Lalu papan seluncur dilempar ke bawah. Begitu papan
mengapung di permukaan air laut, paderi perempuan ini lepaskan pegangannya pada sanding
jendela. Tubuhnya melayang dalam gelap. Beberapa saat kemudian kaki kanannya telah
mendarat di atas papan seluncur. Begitu kaki kiri dimasukkan ke dalam air dan dikibas ke
belakang, papan seluncur melesat di permukaan air laut.

**

Ditemukannya tiga mayat fang Cina di pantai, satu diantaranya tanpa kepala menimbulkan
kehebohan besar di Losari dan daerah sekitarnya. Kehebohan itu jadi bertambah hebat setelah
penduduk mengetahui pula adanya tiga mayat tak dikenal di pantai Losari serta tiga mayat di
kedai minuman Akang Punten. Tiga mayat itu ternyata adalah Pengemis Muka Bopeng Dari
Karangkoneng bersama dua anak buahnya. Sementara itu menjelang siang di tepi pantai
terlihat mengapung sesosok mayat yang kemudian diketahui adalah Supri, seorang nelayan.
Kehebohan tidak sampai di situ. Penjaga pekuburan di Karangsembung memberitahu terjadinya
pembongkaran atas makam Nyi Inten Kameswari.
Setelah mendapat cukup; banyak keterangan dari anak buahnya Kepala Pasukan Kadipaten
Losari Rayi Jantra menghadap Adipati Raden Seda Wiralaga untuk memberi laporan. Rayi Jantra
seorang1 lelaki bertubuh tinggi tegap, memelihara kumis dan jenggot. tipis. Sebenarnya Losari
hanyalah sebuah kota pantai yang kecil tidak pantas kalau di sana ada seorang Adipati. Namun
karena letaknya yang sangat strategis di kawasan perbatasan maka Kerajaan di timur sengaja
menempatkan seorang Adipati di sana. Maksudnya tiada lain adalah untuk mengawasi Kerajaan
di barat. Sebenarnya Losari masih merupakan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan di barat.
Namun karena Kerajaan di barat begitu lemah maka wilayah tersebut tidak sempat terjangkau
dan diperhatikan sebagaimana mestinya. Akibatnya penduduk di sana merasa lebih dekat pada
orang-orang di timur. Hal ini tidak disia-siakan oleh Kerajaan di timur. Maka mereka
menempatkan seorang Adipati di Losari. Dibawah Adipati Seda Wiralaga Losari maju pesat. Baik
di bidang pertanian, nelayan maupun perdagangan. Banyak kapal-kapal asing yang berlabuh di
tanjung untuk menurunkan barang dagangan sekaligus mengangkut hasil bumi penduduk
termasuk beberapa hasil pertambangan.

“Kematian Pengemis Muka Bopeng dan dua anak buahnya, apakah sudah diketahui siapa
pembunuhnya?” tanya Adipati Seda Wiralaga.

“Menurut pemilik warung pembunuh adalah seorang nenek berambut kelabu, sepasang mata
merah dan berjubah kuning. Akang Punten mengaku baru satu kali itu melihat orang tersebut. “
Menerangkan Kepala Pasukan.

“Dari ciri-ciri itu bisa diduga si pembunuh adalah orang rimba persilatan. . . “ kata Adipati Losari
sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. “Tujuh orang menemui ajal di hari
yang sama. Menurutku semua kejadian ini ada sangkut pautnya dengan kapal Cina yang muncul
di perairan Tanjung Losari. Bagaimana pendapatmu Rayi Jantra?”

“Semua orang menduga demikian, Adipati,” jawab Kepala Pasukan.

“Lain kali, jika ada lagi kapal asing muncul di Tanjung Losari, langsung memberi tahu padaku.
Jangan baru melapor setelah ada kejadian seperti ini. “

“Mohon maaf atas kelalaian saya ini Adipati. “

“Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, tambah jumlah pasukan di semenanjung. “

“Akan segera saya lakukan Adipati. “

“Mengenai kejadian aneh di pekuburan Karangsembung, apa saja yang kau ketahui?” tanya
Adipati Seda Wiralaga.

“Penjaga pekuburan menemukan tanda-tanda makam Nyi Inten Kameswari dibongkar orang
lalu ditimbun kembali.
Perempuan ini meninggal dan dikubur kemarin sore. Kejadian ini diberi tahu pada Anom
Miharja, suami Nyi Inten. Pagi itu Anom Miharja mendatangi pekuburan Karangsembung.
Makam Nyi Inten dibongkar. Jenazah ditemukan masih dibungkus kain kafan. Namun perutnya
robek besar. Padahal menurut suami Nyi Inten dan disaksikan banyak orang, sewaktu dikubur
jenazah dan kain kafan istrinya dalam keadaan utuh!”

“Jika perut jenazah dirobek berarti seseorang mengambil sesuatu dari dalam perut itu. . . “ ucap
Adipati Seda Wiralaga sambil usap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

“Mengambil apa, Adipati?” tanya Rayi Jantra pula.

“Mungkin mengambil jantung, hati atau isi perutnya yang lain. . . . “

“Tapi untuk apa orang tega-teganya melakukan hal itu, Adipati?”

Adipati Losari terdiam sesaat. Lalu berkata memuji. “Itu pertanyaan bagus. Kau tahu Rayi,
sekarang ini jaman edan. Banyak orang edan menuntut ilmu edan yang punya syarat-syarat
edan!” Sang Adipati terdiam lagi seketika, baru kemudian menyambung ucapannya. “Kau tahu
rumah kediaman Anom Miharja. Temui dia. Suruh datang menghadapku. Kita perlu keterangan.
Mungkin dia tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan jenazah istrinya. Seumur hidup baru kali
ini aku mendengar ada makam dibongkar, jenazah dijarah isi perutnya!”

“Saya minta izin berangkat sekarang juga, Adipati. “ Kepala pasukan membungkuk memberi
hormat lalu undur diri dari hadapan sang Adipati.

Rumah kediaman Raden Anom Miharja terletak di desa Babakan, pinggiran selatan Losari,
berupa sebuah gedung mewah besar dengan halaman luas. Ketika Kepala Pasukan Rayi Jantra
sampai di gedung itu bersama dua orang anak buahnya, kelihatan banyak orang berkerumun di
pintu gerbang.

“Ada apa ramai-ramai di sini?” tanya Rayi Jantra.

“Raden Anom Miharja mati gantung diri di kandang kuda,” jawab seseorang.

Mendengar keterangan orang Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini bersama dua perajurit
segera masuk ke dalam terus menuju halaman belakang dimana terdapat sebuah kandang kuda
besar. Di tempat ini lebih banyak lagi orang yang berkerumun. Melihat siapa yang datang orang
banyak segera memberi jalan.

Kandang kuda di belakang gedung mewah itu besar sekali. Terbuat dari kayu dan bangunannya
tampak kukuh. Bisa memuat enam kuda sekaligus. Saat itu tidak seekor kuda pun tampak di
dalam kandang. Di bagian tengah kandang ada satu balok besar melintang. Pada balok ini
terikat seutas tali besar. Ujung lain dari tali menjirat di leher seorang lelaki bertubuh gempal
yang hanya mengenakan celana putih tanpa baju. Sepasang mata mencelet seperti hendak
melompat keluar dari rongganya, lidah terjulur. Keseluruhan wajah yang mengerikan itu
membayangkan satu perasaan takut. Tubuh yang tergantung itu adalah Anom Miharja, suami
Nyi Inten Kameswari.

Kepala Pasukan Rayi Jantra memperhatikan. Pada dada kiri Anom Miharja ada satu lebam
berwarna merah kebiruan. Di bawah dua kaki Anom Miharja yang tergantung setinggi orang
duduk tidak terdapat apa-apa, misal kursi atau meja.

Tiga orang pelayan, satu lelaki dua perempuan, duduk menjelepok di tanah, menangis terisak-
isak. Rayi Jantra meminjam golok salah seorang anak buahnya lalu menebas putus tali yang
menjirat leher Anom Miharja.

Ketika meninggalkan gedung besar, kembali ke tempat mereka menambatkan kuda itu, Rayi
Jantra berkata pada dua anak buahnya. “Aku tidak yakin Anom Miharja mati karena bunuh diri.
Di dalam kandang tidak kelihatan alat bantu tumpuan kaki yang biasa dipergunakan orang
gantung diri. Jika bangsawan kaya raya itu memanjat dulu ke atas atap, mengikat tali ke balok,
menjirat leher lalu terjun ke bawah rasanya tak masuk akal. Kalaupun memang itu
dilakukannya, lehernya akan tanggal, kepala putus karena balok di atas atap kandang kuda
tinggi sekali dudukannya dan bobot tubuh Anom Miharja lebih seratus lima puluh kati beratnya.
Yang membuat aku curiga ada tanda merah di dada kirinya. Tepat di arah jantung! Aku punya
dugaan, Anom Miharja dibunuh lebih dulu baru digantung. Apa pendapat kalian?”

“Kami berdua perajurit bodoh, tapi jalan pikiran kami kira-kira sama dengan Raden,” jawab
perajurit di sebelah kiri.

Perajurit sebelah kanan menimpali. “Saya tidak melihat alasan apa sampai Raden Anom Miharja
nekat bunuh diri. Harta kekayaan melimpah, istri cantik”

“Kalian pernah mendengar cerita kalau Anom Miharja tidak pernah kawin secara syah dengan
Nyi Inten Kameswari?” tanya Rayi Jantra.

“Ya, kami pernah mendengar itu,” jawab salah seorang dari dua perajurit sambil melepas ikatan
tali kekang kuda tunggangan Kepala Pasukan yang ditambat pada sebatang pohon.

“Lalu apa kalian juga pernah mendengar pergunjingan orang, dari mana Anom Miharja
mendapatkan semua harta kekayaannya? Dia bukan juragan nelayan, atau pedagang besar. . . .

“Setahu saya dia punya sawah puluhan bidang. “ “Itu benar. Tapi ada banyak petani di Losari ini
yang punya banyak sawah. Sampai saat ini mereka hidup secukupnya kalau tidak mau dikatakan
masih saja tetap miskin. “ Kata Kepala Pasukan pula lalu naik ke punggung kudanya. Dia tidak
segera menjalankan tunggangannya itu malah. bertanya pada dua anak buahnya. “Lalu dari
mana sumber semua kekayaan melimpah ruah Anom Miharja?”
“Kami tidak berani menduga, Raden,” jawab dua perajurit hampir berbarengan.

“Kalian punya cerita apa tentang Nyi Inten Kameswari?” “Banyak cerita yang saya dengar, tapi
saya tidak berani menyampaikan,” jawab perajurit bertubuh tinggi langsing bernama Jumena.

“Kalau kau bicara tak ada yang mendengar. Ayo, ceritalah sambil jalan. Aku atasan kalian.
Ceritamu tidak akan aku sampaikan pada siapa-siapa jika itu yang kalian khawatirkan. “ Kepala
Pasukan Losari lalu menarik tali kekang kuda. Binatang itu tidak lari, hanya melangkah perlahan
didampingi dua kuda perajurit di sebelah kiri kanan. Perajurit Jumena akhirnya bercerita.
“Banyak orang tahu kalau Nyi Inten Kameswari sudah berusia lanjut. Lebih dari lima puluhan.
Ada dugaan malah dia lebih tua dari Raden Anom. Tapi raut wajah dan keadaan tubuhnya tetap
awet muda, bagus dan mulus. Konon dia banyak mengenal dan berhubungan dengan para
pejabat Kerajaan di barat maupun di timur. Diantara para pejabat tinggi itu banyak yang tergila-
gila padanya. Raden Anom kabarnya sudah tahu kalau istrinya kerap berselingkuh dengan
beberapa pejabat terutama yang dari timur. Namun dia seperti acuh tidak perduli. Konon dari
hubungan tidak baik itu Nyi In ten banyak menerima hadiah. “

Rayi Jantra tersenyum mendengar cerita anak buahnya itu. Dia ulurkan tangan kiri menepuk-
nepuk bahu Jumena. “Kau perajurit baik. Banyak pengetahuan. Aku akan mengusulkan pada
Adipati agar pangkatmu dinaikkan satu tingkat. “

“Terima kasih, Raden. Terima kasih. . . . “ Jumena bungkukkan dada berulang kali. Ketiga orang
itu kemudian sama menggebrak kuda masing-masing meninggalkan tempat itu.

**

LIMA

Penghujung malam menjelang pagi. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tertidur lelap di sebuah
dangau dikejutkan oleh suara ribut ha-hu ha-hu. Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung
Gede ini terbangun kaget. Baru saja dia hendak mengusap mata tibatiba. “Braakk!”

Satu tubuh berjubah kuning jatuh tergeletak menelentang di atas lantai dangau terbuat dari
bambu. Wiro memperhatikan dengan penuh kejut dan juga kuduk merinding. Si jubah kuning
ternyata adalah sosok Seorang nenek berambut kelabu bermata merah. Sepasang telinga
ditancapi anting terbuat dari tulang jari manusia. Dua mata merah itu tampak mendelik
mengerikan seperti mau melompat dari sarangnya. Pada kening nenek tak dikenal Wiro ini
menempel sehelai daun. Ada darah meleleh dari sudut bibir. Dadanya turun naik dan dari mulut
serta hidung keluar suara menyengal tak berkeputusan.

“ha-hu ha-hu ha-hu!”


Wiro berpaling ke samping. Astaga! Kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di pinggir
dangau berdiri dua nenek yang ujudnya sama dengan yang tergeletak di atas lantai dangau.
Dari mulut keduanya tiada henti keluar suara ha-hu ha-hu. Sementara sepasang mata dua
nenek ini kelihatan basah berkaca-kaca. Tiga nenek dengan pakaian dan wajah yang sama!
Manusia sungguhan atau setan kembar tiga, pikir Wiro.

“Siapa kalian?!” tanya Pendekar 212. “ha-hu ha-hu ha-hu!”

Dua nenek kembar kembali keluarkan suara ha-hu ha-hu. Kali ini sembari tangan menunjuk-
nunjuk ke arah nenek yang tergeletak di lantai dangau.

“ha-hu ha-hu!” Wiro menirukan sambil garuk kepala. “Kalian ini bicara apa? Mau memberi tahu
apa? Kalian berdua gagu?!”

“ha-hu ha-hu. . . “ Dua nenek usap air mata yang berlelehan di pipi mereka lalu seperti tadi
kembali menunjuk dengan tangan kanan ke arah nenek di atas dangau sementara tangan kiri
menepuk kening masing-masing. Mula-mula Wiro masih tidak mengerti apa yang hendak
disampaikan oleh dua nenek gagu ini. Setelah berpikir lagi dan menggaruk kepala Wiro
menyeringai. Dia memperhatikkan dua nenek menepuk kening sambil menunjuk-nunjuk. Lalu
memandang pada nenek satunya yang tergeletak di atas dangau.

“Ah, yang kalian maksudkan daun di kening nenek itu?” “ha-hu ha-hu!” Dua nenek anggukkan
kepala berulang kali.

Wiro membungkuk. “Aneh, ada orang sekarat keningnya ditempeli daun. “ Wiro ambil daun
yang menempel di kening si nenek. Dua nenek di samping dangau buru-buru menjauh, wajah
membersitkan ketakutan. Wiro memperhatikan.

“Daun pohon mengkudu. Aneh, mengapa kalian seperti ketakutan melihat daun ini?” tanya
Wiro lalu pura-pura hendak menyapukan daun ke tubuh dua nenek.

“ha-hu ha-hu!” Dua nenek menjerit dan mundur menjauh. “Heran, cuma sehelai daun,
mengapa pada ketakutan seperti melihat setan kepala tujuh?!”

Pada saat daun mengkudu yang menempel di keningnya diambil Wiro, nenek yang tergeletak di
lantai dangau keluarkan suara seperti orang mengorok. Dua mata bergerak liar. Mulut yang.
penuh darah terbuka. Suaranya serak. “

Aku dikhianati! Aku dikhianati. . . “

“Nek, siapa yang mengkhianatimu? Kekasihmu?!” tanya Wiro.

“Jangan bergurau! Aku dalam keadaan sekarat!”


Wiro berpaling pada dua nenek berpakaian dan berwajah sama.

“Dua nenek gagu itu apamu?”

“Aku dikhianati. . . . Dua buah dadu. . . . Aku dikhianati. “

Wiro menggaruk kepala.

“Nek, kau dikhianati dua buah dadu? Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin. . . ?”

“Aku mendengar suara, tidak melihat orangnya. Mendekatlah. Jika kau penolongku, maka
seribu berkah akan menjadi bagianmu. . . “

Wiro geleng-geleng kepala. Tapi dia dekatkan juga kepalanya ke depan wajah si nenek. Dua
mata merah berputar sebelum menatap ke arah Pendekar 212. Saat itu di timur fajar telah
menyingsing. Keadaan di dalam dangau dan sekitarnya terang-terang tanah. Si nenek
memperhatikan wajah Wiro.

“Haa “ Si nenek tank nafas panjang. “Aku dikhianati. . . “

“Siapa yang mengkhianatimu, Nek?”

“Aku tidak tahu. Daun mengkudu. . . . Orang itu tahu kelemahanku. Dengar anak muda. Dari
wajahmu aku tahu kau orang baik dan punya kepandaian. Tolong aku mencari pembunuh itu
dan dapatkan kembali dua buah dadu yang dirampasnya dariku. . . “

Wiro tertegun dan jauhkan kepalanya dari wajah si nenek.

“Nek, kau ini siapa sebenarnya? Dua nenek yang ha-hu ha-hu itu apamu?” bertanya Wiro.

“Aku Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dua nenek itu adalah kembaranku. Daun mengkudu yang kau
pegang, lekas musnahkan, kubur dalam tanah. Jangan sampai tersentuh dua nenek
kembaranku itu. “

Wiro perhatikan daun mengkudu yang dipegangnya. Lalu memenuhi permintaan si nenek dia
bantingkan daun itu hingga amblas masuk ke dalam tanah di samping dangau.

“Kau orang hebat. . . . Terima kasih kau telah menolongku,” si nenek rambut kelabu berucap.
“Jalanku lapang sekarang. Dua kembaranku aku titipkan padamu. Mereka akan muncul jika kau
panggil. Mereka akan terbebas dari penyakit gagu jika pembunuhku menemui ajal. Ingat, cari
pembunuhku dan dapatkan dua buah dadu. Selain itu jika kau punya kesempatan, carilah
seorang gadis bernama Nyai Rara Santang. “

“Nyai Rara Santang? Siapa dia?” tanya Wiro.


“Sudahlah, aku pergi sekarang. Ingat, aku menitipkan dua kembaranku padamu. . . “

“Jangan Nek. Mengurus diri sendiri saja aku sudah susah. Apa lagi mengurus dua nenek
kembaranmu itu. . . . “

“ha-hu ha-hu,” dua nenek kembar maju dua langkah dan jatuhkan diri di hadapan Pendekar
212. Wajah mereka menunjukkan minta welas asih.

“Wah, urusan berabe ini!” ucap Wiro sambil garuk kepala.

Nenek di atas dangau menyeringai. Dari tenggorokannya keluar suara mengorok. “Aku pergi
sekarang. . . “ ucapnya perlahan. Lalu mulutnya terkancing, dua matanya perlahan-lahan
menutup.

Dua nenek kembar menggerung keras.

“ha-hu ha-hu ha-hu”

Diam-diam Wiro merasa kasihan juga pada dua nenek kembar gagu itu. Seperti diketahui
sebelumnya dua nenek kembar jejadian itu bisa bicara dan tidak gagu. Namun akibat
malapetaka yang menimpa kakak kembar mereka yaitu Eyang Sepuh Kembar Tilu, maka
keduanya secara aneh mendadak menjadi gagu.

“Dua nenek kembar, sebentar lagi hari akan siang. Bawa jenazah kembaranmu ini. Kuburkan di
tempat yang baik. “

“ha-hu ha-hu ha-hu” Dua nenek kembar menggangguk-angguk lalu kembali jatuhkan diri. Salah
seorang dari mereka tibatiba bangkit. Dia menunjuk-nunjuk dengan tangan kirinya ke arah
jenazah nenek di atas dangau. Lalu dengan tangan yang sama dia menunjuk-nunjuk ke tangan
kanannya sendiri. Hal ini dilakukannya berulang kali sampai akhirnya Wiro mengerti dan
memperhatikan tangan kanan Eyang Sepuh Kembar Tilu.

Ternyata lima jari tangan kanan si nenek dalam keadaan tergenggam. Sepertinya ada sesuatu
dalam pegangan si nenek. Wiro buka lima jari yang tergenggam. Dia menemukan sebuah benda
bulat pipih berwarna hitam, terbuat dari sejenis kayu hitam berbau harum.

“Kancing baju. . . . “ucap Wiro. Benda itu kemudian disodorkannya pada nenek sebelah kanan.
Si nenek gelengkan kepala, goyang-goyangkan tangan kiri sementara tangan kanan menunjuk-
nunjuk ke arah Wiro.

“Nek, kau menyuruh aku menyimpan kancing kayu ini. Buat apa?”
“ha-hu ha-hu ha-hu. . . “ Dua nenek bungkukkan diri berulang kali di hadapan Wiro. Sepasang
mata mereka tampak basah. Keduanya terisak-isak.

“Sudah. . . sudah. Baik, akan kusimpan kancing sialan ini!” kata Wiro pula lalu memasukkannya
ke dalam kantong di kiri celana putihnya. “Sekarang lekas kalian bawa jenazah nenek kembaran
kalian ini. Aku minta jangan sekali-kali mengikuti kemana aku pergi!”

“ha-hu ha-hu ha-hu!” Dua nenek usap wajah masing-masing. Saat itu juga keduanya berubah
menjadi sepasang perempuan muda berwajah cantik.

Wiro terperangah melihat apa yang terjadi namun kemudian dia tertawa bergelak, “Kalian
berdua, dengar baik-baik. Aku tidak mau diikuti bukan karena kalian dua nenek jelek. Sekalipun
kalian bisa berubah jadi dua gadis cantik, aku tetap tidak mau diganggu. Tidak mau kalian ikuti!”

“ha-hu ha-hu ha-hu”

“Sekarang aku minta kalian pergi. “

“ha-hu ha-hu ha-hu!” Dua nenek kembali membungkuk-bungkuk lalu turunkan jenazah Eyang
Sepuh Kembar Tilu dari atas dangau. Salah seorang dari mereka memanggul jenazah kemudian
bersama kembarannya dia tinggalkan tempat itu.

Wiro duduk di pinggiran lantai dangau.

“Makhluk-makhluk aneh. . . . “ katanya sambil geleng-geleng kepala. “Nenek rambut kelabu


menyuruh aku mencari pembunuhnya serta dua buah dadu yang dirampas. Enak saja! Apa
urusan dan sangkut pautku? Aku disuruh pula mencari seorang bernama Nyai Rara Santang.
Siapa dia itu? Cucu nenek bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu itu?”

**

Tak jauh di selatan Losari terdapat sebuah bukit batu yang oleh penduduk sekitarnya disebut
Bukit Batu Bersuling. Nama ini diberikan karena pada bagian puncak bukit ada dua buah dinding
batu berbentuk lurus pipih yang saling terpisah hanya sejarak satu jari. Bila angin dari laut
bertiup, celah batu yang sempit itu mengeluarkan suara seperti tiupan seruling. Suara ini oleh
penduduk terdengar dan dirasakan aneh hingga lama kelamaan Bukit Batu Bersuling dianggap
angker dan hampir tak ada orang yang mendatangi.

Malam itu, dibawah hujan rintik-rintik seorang penunggang kuda memacu tunggangannya
menuju Bukit Batu Bersuling. Di kaki bukit sebelah timur terdapat sebuah bangunan luas
beratap rumbia tanpa dinding. Keadaan gelap dan sepi. Baru saja orang yang datang
menginjakkan kaki di tanah, dari tiga arah kegelapan melompat keluar tiga orang bercelana
hitam bertelanjang dada. Masing-masing mencekal golok besar yang walaupun keadaan gelap
namun saking tajamnya masih tampak berkilauan. Tiga golok diangkat ke atas, siap untuk
membacok dan membabat. Orang bercelana hitam di sebelah tengah membentak. Rambutnya
yang panjang dikuncir ke belakang berwarna merah.

“Siapa?!”

“Apa matamu buta tidak mengenali diriku?!” Orang yang dibentak balas menghardik. Tiga
pasang mata membesar memperhatikan. Orang yang datang mengenakan pakaian ringkas
warna biru gelap. Kepala dan wajah tertutup caping bambu. Tiga prang bertelanjang dada tidak
mengenali orang yang datang dari dandanannya namun mereka rasa-rasa mengenal suara.

“Raden Kumalasakti. . . ?”

“Hemmm. . . “ Orang bercaping keluarkan suara bergumam dan buka caping diatas kepala.

Melihat wajah orang, tiga lelaki bertelanjang dada segera sarungkan golok masing-masing lalu
membungkuk setengah berlutut. Yang tadi membentak cepat-cepat berkata.

“Saya Kuncir Merah. Mewakili Ki Beringin Reksa, Wakil Kepala Pengawal di tempat ini. Saya dan
dua teman mohon maaf Raden Kumalasakti. Kami tidak mengenali. Tidak biasanya Raden
berdandan seperti ini. “

“Aku tidak marah. Perbuatan kalian pertanda kalian selalu siap siaga. Waspada menjaga segala
kemungkinan. Belakangan ini keadaan di luaran agak gawat. Banyak orang-orang pandai
menemui ajal. Itu sebabnya aku perlu menyamar, waspada berjaga-jaga. Bagaimana keadaan di
sini?”

Kuncir Merah dan dua kawannya luruskan badan kembali.

“Semua baik-baik Raden. Hanya saja kami berada dalam keadaan sedikit gelisah. Sejak
meninggalnya Bandar Agung dua minggu lalu di tempat ini sama sekali tidak ada kegiatan. Tidak
ada yang datang. Dua minggu kami tidak menerima upah. Selain itu para gadis yang biasa
menghibur sudah sering mendesak akan meninggalkan tempat ini. “

“Aku mengerti kegelisahan kalian. Itu sebabnya aku datang membawa kabar baik. Kita akan
segera mendapatkan Bandar Agung yang baru. “

“Terima kasih Raden. Kami sangat berbesar hati mendengar berita ini. Kalau kami boleh tahu
kapan Bandar Agung baru akan datang dan kapan tempat ini akan dibuka kembali?”

“Lisa malam, tepat pada saat bulan empat belas hari memancar. “ jawab orang bernama Raden
Kumalasakti. Lalu dia meneruskan ucapan. “Apa kalian sudah mendengar kabar bahwa
Pengemis Muka Bopeng Karangkoneng Kepala Pengawal di tempat ini telah menemui ajal? Mati
dibunuh orang di warung minuman Akang Punten satu minggu lalu. “

Kuncir Merah dan dua temannya tampak terkejut. Ketiganya gelengkan kepala.

“Kuncir Merah, jika kau bekerja bagus aku akan mengusulkan pada Bandar Agung agar kau
mendapat jabatan yang lebih tinggi. “

Kuncir Merah membungkuk sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.

“Raden Kumalasakti, jika benar tempat ini akan dibuka kembali lusa malam, ijinkan kami
memberi tahu teman-teman yang lain serta para gadis penghibur. Kami akan membersihkan
semua ruangan. Mematut semua perabotan. Mempersiapkan dan memeriksa peralatan
termasuk semua senjata orang berpakaian dan berikat kepala hitam telah mengurungnya.

“Manusia kesasar dari mana berani mati menyusup ke tempat ini!”

Satu bentakan menggeledek disertai berkelebatnya empat golok besar. Orang yang diserang
cepat melompat ke atas sebuah tembok batu.

Melihat serangan mereka gagal, secara serentak empat orang berpakaian hitam yang juga
adalah para pengawal tempat tersebut kembali menyerbu. Empat golok berkesiuran di udara.

“Traang. . traang. . . traang. . . . traang!”

Empat kali suara berkerontang memecah kesunyian. Empat tangan yang memegang golok
tergetar hebat. Empat penyerang sama-sama bersurut satu langkah.

“Lihat pakaiannya!”

Tibatiba salah seorang empat penyerang berseru. Tiga kawannya memperhatikan. Ternyata
orang yang mereka serang dan saat itu masih berdiri di atas tembok batu memegang sebilah
tombak pendek, mengenakan pakaian penuh tambalan.

“Katakan apa hubunganmu dengan Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng!”

Orang di atas tembok menyeringai. “Aku Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung. Pengemis
Muka Bopeng adalah pimpinanku. Kabar kematiannya membuat aku datang kesini untuk
melakukan penyelidikan!”

“Beraninya kau menyelidik! Walau Pengemis Muka Bopeng salah seorang pimpinan di tempat
ini, tapi itu tidak berarti kau boleh menyusup berbuat lancang!”
Orang berpakaian penuh tambalan dan mengaku Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung
mendengus. “Pembunuhan atas diri Pengemis Muka Bopeng ada sangkut pautnya dengan
tempat ini! Jangan kalian berani melarangku melakukan penyelidikan. Aku akan menghabisi
siapa saja yang coba menghalangi!”

“Anak kucing berani datang ke sarang harimau!” Empat orang berpakaian hitam menyergap.
Empat golok kembali berkelebat. Lagi-lagi terdengar suara berdentangan ketika Pengemis Siang
Malam menangkis dengan tombak pendek. Merasa terdesak di atas tembok, sang pengemis
melompat turun sambil lancarkan serangan ganas dalam jurus Raja Pengemis Minta Sedekah!

Hanya terdengar dua kali suara beradunya senjata karena dua dari empat lelaki berpakaian
serba hitam yang tadi menyerang kini kelihatan terhuyung huyung. Yang satu sambil pegangi
lehernya yang terluka besar dan kucurkan darah akibat sambaran ujung tombak. Tubuhnya
kemudian roboh ke tanah. Satunya lagi menggerung keras sebelum terbanting tertelentang
dengan muka berlumuran darah. Keningnya rengkah dihajar tombak Pengemis Siang Malam!
Dua lelaki berpakaian hitam lainnya serta merta jadi ciut nyali mereka dan tak berani lanjutkan
serangan. Malah keduanya melangkah mundur menjauhi lawan. Tibatiba pintu rahasia di
dinding terbuka.

“Ada apa ribut-ribut di tempat ini?!”

Yang membentak adalah Kuncir Merah yang muncul bersama delapan anak buahnya. Ketika
melihat dan mengenali Pengemis Siang Malam berdiri sambil melintangkan tombak berdarah di
depan dada langsung Kuncir Merah menghardik.

“Apa kematian pimpinanmu membuat kau jadi orang tolol dan nekad membuat keributan di
tempat ini?!”

“Pembunuh pimpinanku adalah orang dalam sini. Aku datang untuk menyelidik dan minta
nyawanya!”

“Pengemis kurang ajar! Enak saja kau menuduh! Biar aku robek dulu mulutmu!” teriak Kuncir
Merah. Namun sebelum dia berkelebat menyerang semua anak buahnya sudah mendahului.
Sepuluh orang menggempur Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung. Walau dia sanggup
bertahan dan sesekali membalas serangan para pengeroyok, namun sang pengemis menyadari
tidak ada gunanya berlama-lama melayani orang-orang itu karena dia punya dugaan,
pembunuh pimpinannya tidak ada di tempat itu.

Sementara itu sepuluh penyerang walaupun berada di tingkat pengawal biasa namun rata-rata
memiliki kepandaian tinggi dan terus berusaha mengurung serta mendesak lawan. Lima jurus
dimuka Kuncir Merah yang melihat anak buahnya masih tidak mampu menghajar lawan yang
cuma seorang itu, dengan jengkel, didahului suara bentakan keras melesat masuk dalam
kalangan pertempuran. Gelombang serangan kini bertambah hebat melanda Pengemis Siang
Malam Tapi orang ini tidak punya niat lagi menghadapi lawan yang begitu banyak. Setelah
mengirimkan satu serangan kilat yang merobek dada salah seorang lawannya, Pengemis Siang
Malam segera berkelebat tinggalkan tempat itu. “Pengemis keparat! Kau mau kabur kemana?!”
Kuncir Merah mengejar sambil lepas satu pukulan tangan kosong. Namun orang yang dikejar
dan diserang telah lenyap dalam kegelapan malam. Malah mendadak ada serangan balasan
berupa angin dahsyat yang membuat Kuncir Merah terhuyung dan cepat menyingkir ke
samping.

Kuncir Merah geram sekali. Pimpinan di tempat itu pasti akan mendampratnya.

“Pengemis Siang Malam jelas-jelas menjadi musuh besar kita. Kita harus mengirim orang untuk
mencari dan menghabisinya sebelum dia membuka rahasia apa yang berlangsung di tempat ini!
Kalau Ki Beringin Reksa atau Raden Kumalasakti datang, aku akan melaporkan apa yang terjadi”
Ucap Kuncir Merah dengan rahang menggembung dan tangan kanan terkepal.

“Aku tahu dimana sarang manusia keparat itu,” kata salah seorang anak buah Kuncir Merah.

“Bagus! Bangsat itu harus mati sebelum tempat ini dibuka kembali!” kata Kuncir Merah pula.

**

ENAM

Sang surya hampir tenggelam di ufuk barat ketika sepuluh orang berpakaian hitam berkelebat
di tikungan kali Cisanggarung tak jauh dari sebuah desa kecil bernama Luragung. Mereka
mendekam di balik semak belukar di tebing kali sambil mata menatap ke arah sebuah rumah
panggung berbentuk panjang sepuluh tombak di depan sana. Masing-masing membawa obor
yang belum dinyalakan. Sepuluh orang ini adalah para pengawal dari bangunan yang disebut
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak di Bukit Batu Bersuling.

Sementara itu di dalam sebuah ruangan besar di atas rumah panggung, seorang lelaki
berambut tebal riap-riapan, berjanggut dan berkumis lebat, berpakaian dekil penuh tambalan,
duduk bersila di depan sebuah pendupaan yang baranya mulai meredup padam. Di atas
pendupaan tergeletak melintang sebuah senjata berupa tombak pendek. Orang ini bukan lain
adalah Pengemis Siang Malam, yang malam lalu menyerbu ke Bukit Batu Bersuling untuk
menuntut balas kematian pimpinannya yaitu Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng.

Di ruangan yang sama agak jauh dan merapat ke dinding, duduk delapan orang perempuan
muda beserta lima orang anak-anak berusia antara empat dan enam tahun. Semua
memperhatikan tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara atas apa yang tengah dilakukan
Pengemis Siang Malam. Tiga dari delapan perempuan adalah istri sang pengemis sedang lima
lainnya adalah istri-istri dari anak buahnya yang tinggal bersama di rumah panggung panjang
itu. Dua anak perempuan yang ada di situ adalah anak Pengemis Siang Malam dan tiga orang
lagi adalah anak dari dua anak buahnya.

Pengemis Siang Malam saat itu tengah bersamadi bagi kesejahteraan roh pimpinannya. Selain
itu dia punya firasat akan terjadi sesuatu sebagai akibat penyerbuannya ke Bukit Batu Bersuling.
Selesai bersamadi, masih dalam keadaan duduk bersila Pengemis Siang Malam memanggil
istrinya yang paling tua.

“Kau dan yang lain-lainnya segera tinggalkan rumah ini lewat pintu dan tangga di sebelah
belakang. Pergi ke lembah di seberang telaga. Tunggu di sana. Jika aku tidak datang pergilah ke
Lebakwangi ke tempat guruku. “

Istri tertua Pengemis Siang Malam anggukkan kepala lalu menemui perempuan-perempuan
yang ada di ruangan dan memberi tahu apa yang harus segera mereka lakukan.

Kembali ke tikungan pinggir kali Cisanggarung.

Belum lama sepuluh orang berpakaian serba hitam sembunyi dibalik semak belukar tibatiba
beberapa kali suitan nyaring merobek kesunyian senja. Lima orang lelaki berambut gondrong,
berkumis dan berjanggut liar serta mengenakan pakaian penuh tambalan melesat keluar dari
kolong rumah panggung. Masing-masing mencekal sebilah golok. Mereka adalah anak buah
Pengemis Siang Malam. Salah seorang dari mereka, yang bertubuh gempal pendek dan berdiri
paling depan berteriak.

“Berani datang berani unjukkan tampang! Bersembunyi adalah sikap orang yang datang
membawa niat jahat tapi berlaku pengecut! Apa kalian takut kami mau minta uang receh
sedekahan?!”.

“Pengemis-pengemis kotor bau! Kalian tidak pantas menyambut kedatangan kami Pergi!” Dari
arah kali terdengar suara sahutan. Lalu set. . . set. . . set! Di udara berlesatan banyak sekali
senjata rahasia berbentuk pisau terbang!

Lima orang berpakaian penuh tambalan berteriak kaget sekaligus marah. Yang bertubuh
gempal cepat melompat setinggi satu tombak sambil sapukan golok ke depan. Tiga kawannya
mengikuti. Terdengar suara bedentrangan berulang kali ketika sekian banyak pisau terbang
beradu dan mental dibabat golok empat anggota Pengemis Siang Malam.

Pengemis ke lima terlambat menangkis, tak sempat cari selamat. Sebuah pisau terbang
menancap telak di tenggorokannya. Orang ini keluarkan suara seperti ayam dipotong. Ketika
tubuhnya terbanting rebah ke tanah, darah masih mengucur dari lehernya yang ditancapi pisau
terbang!

Sepuluh orang berpakaian serba hitam masih tetap tak bergerak di balik semak belukar. Saat itu
di halaman rumah panggung telah berdiri tiga orang lelaki. Yang pertama berpakaian hitam,
berambut panjang dikuncir. Dia bukan lain adalah si Kuncir Merah, salah seorang pimpinan
pengawal di Rumah Seribu Rejeki Seribu Sorga. Orang kedua kurus tinggi, berjubah hijau
gombrong memiliki rambut aneh. Rambut ini menyerupai daun pohon beringin berwarna hijau
berkilat. Dia adalah Ki Beringin Reksa, Wakil Kepala Pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
Dialah tadi yang melemparkan belasan pisau terbang dari pinggir kali dan menewaskan. Orang
ke tiga adalah Raden Kumalasakti, salah satu orang penting dari Rumah Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Sikapnya kelihatan agak sombong. Dia berdiri dengan wajah menyeringai dan dua tangan
dirangkap di atas dada.

Melihat salah seorang teman mereka tewas, empat orang anggota Pengemis Siang Malam
berteriak marah dan langsung menyerbu ke arah tiga orang yang berdiri di depan mereka.
Begitu empat pengemis menyerang, Raden Kumalasakti berteriak. “Bakar!” “Blepp!”

Sepuluh obor yang berada di tangan sepuluh orang di balik semak belukar serentak menyala.
Kesepuluh orang ini kemudian melompat keluar dari tempat persembunyian mereka lalu lari ke
arah rumah panggung. Lima obor di lempar ke atas atap. Lima lagi dipakai menyulut lantai
rumah. Sebentar saja rumah yang terbuat dari kayu itu telah dilamun api.

Di atas rumah, Pengemis Siang Malam mengambil tombak pendek di atas pendupaan lalu
melompat. “Braakk!”

Sekali tendang salah satu jendela rumah yang tertutup hancur berantakan. Tubuh sang
pengemis melesat Keluar jendela yang jebol. Pada saat dia injakkan kaki di tanah, tibatiba di
bagian belakang rumah panggung terdengar pekik perempuan dan jeritan anak-anak. Pengemis
Siang Malam tersentak kaget. Setelah api berkobar ternyata anak istrinya serta perempuan-
perempuan lain bersama anak-anak mereka baru mencapai tangga!

Tanpa pikir panjang Pengemis Siang Malam segera balikkan diri dan lari ke arah tangga. Namun
gerakannya tertahan. Seorang berjubah dan berambut aneh hijau menghadang! Ki Beringin
Reksa!

“Aku senang sekali mendengar suara jeritan-jeritan itu! Sebentar lagi aku akan mencium
harumnya bau daging manusia terpanggang! Ha. . . ha. . . ha!” Ki Beringin Reksa keluarkan
ucapan lalu tertawa bergelak.

“Keparat jahanam!” teriak Pengemis Siang Malam. Tak ada jalan lain. Untuk dapat menolong
perempuan dan anak-anak itu dia harus menyingkirkan orang di hadapannya lebih dahulu.

“Wuttt!”

Tombak pendek di tangan Pengemis Siang Malam menderu keluarkan hawa dingin, membabat
ke arah dada Ki Beringin Reksa. Orang yang diserang ganda tertawa. Dia kebutkan lengan kanan
jubah hijaunya. Dari ujung lengan itu menghambur keluar angin deras, menyerang arah lengan
kanan Pengemis Siang Malam.
“Desss!”

Pengemis Siang Malam menggigit bibir menahan sakit ketika angin pukulan menghantam
lengannya. Tombak pendek bergetar keras hampir terlepas. Setelah keluarkan gerungan keras
Pengemis Siang Malam kembali menyerang dengan tombak pendeknya. Ki Beringin Reksa
tertawa bergelak. Rambutnya yang berbentuk daun beringin berjingkrak mengembang,
mengepulkan asap kehijauan, aneh mengerikan. Saking geramnya Pengemis Siang Malam
hantamkan senjatanya ke kepala lawan. “Traangg!”

Luar biasa! Tombak pendek itu seperti memukul benda terbuat dari besi atos. Kaget Pengemis
Siang Malam bukan olah-olah dan terpaksa bertindak mundur.

Sementara itu di bagian belakang rumah hanya tujuh perempuan dan empat orang anak yang
berhasil menuruni tangga dan selamat dari kobaran api, Satu perempuan yaitu istri kedua
Pengemis Siang Malam dan seorang anak perempuan yang juga adalah anak Pengemis Siang
Malam terkurung di bagian belakang rumah. Jeritan menyayat hati terdengar tidak
berkeputusan. Dalam keadaan sesaat lagi kedua orang itu akan dilahap kobaran api tibatiba
satu bayangan merah berkelebat di keremangan senja. Tak lama kemudian istri dan anak
perempuan Pengemis Siang Malam sudah berada di halaman belakang, berkumpul bersama
perempuan dan anak-anak lainnya.

“Mana orang yang menolongku tadi?” istri; kedua Pengemis Siang Malam bertanya.
memandang berkeliling dengan wajah masih pucat sambil memeluki anak perempuannya yang
terus menangis.

“Kami tidak melihat ada orang menolongmu. Kau tahu-tahu sudah ada di sini,” seorang
perempuan menyahuti.

“Aneh, jelas-jelas ada orang berpakaian merah mendukung diriku dan anakku. . . “

“Sudah, tak perlu diributkan. Mari, kita hams cepat-cepat pergi ke telaga!” berkata istri tua
Pengemis Siang Malam.

Ketika perempuan dan anak-anak itu hendak meninggalkan tempat tersebut dengan penuh rasa
takut, tibatiba seorang berambut merah yang dikuncir menangkap anak perempuan istri kedua
Pengemis Siang Malam. Si Kuncir Merah!

“Jika kalian berani pergi dari sini aku gorok leher anak ini!” teriak Kuncir Merah membuat
semua perempuan jadi mati ketakutan dan tak berani bergerak tak berani bersuara sementara
anak-anak mulai bertangisan.
Kembali pada perkelahian antara Ki Beringin Reksa dengan Pengemis Siang Malam. Tiga jurus
berlalu sangat cepat dan semua serangan tombak sang pengemis hanya menyambar tempat
kosong.

Di bagian lain Raden Kumalasakti dengan tangan kosong hadapi empat orang anak buah
Pengemis Siang Malam yang menyerbu dengan golok. Dua kali menggebrak, kaki kanan Raden
Kumalasakti berhasil menendang perut salah seorang pengeroyoknya. Orang ini mencelat
mental semburkan darah. Golok yang terlepas dan melayang di udara cepat disambar Raden
Kumalasakti. Dengan senjata ini dia kemudian menghajar tiga pengeroyoknya satu persatu
hingga menemui ajal.

Sambil menyeringai Raden Kumalasakti bantingkan golok ke tanah hingga amblas sampai ke
gagang. Lelaki ini perhatikan perkelahian antara Ki Beringin Reksa dengan Pengemis Siang
Malam. Untuk beberapa jurus lamanya Ki Beringin Reksa kelihatan agak terdesak. Lawan
rupanya mengeluarkan jurus-jurus andalnya. Serangan tombak laksana curahan air hujan.
Raden Kumalasakti tahu kalau Ki Beringin Reksa bukanlah lawan Pengemis Siang Malam.
Sebentar lagi pengemis itu akan dihajar babak belur sebelum nyawanya dihabisi. Namun Raden
Kumalasakti ingin menyelesaikan semua urusan di tempat itu secara cepat.

“Pengemis edan! Semua anak buahmu sudah mampus! Kalau kau tidak segera serahkan diri,
orangku akan menggorok leher anak perempuan itu!”

Teriakan Raden Kumalasakti membuat Pengemis Siang Malam terkejut besar. Dia melompat
mundur menjauhi Ki Beringin Reksa. Memandang ke arah belakang rumah dia melihat sepuluh
orang berpakaian hitam mengurung anak istrinya bersama perempuan dan anak-anak lain.
Seorang berambut merah dikuncir menjambak rambut seorang anak perempuan berusia enam
tahun dengan tangan kiri sementara tangan kanan membelintangkan sebilah golok di leher si
anak.

Dan anak perempuan ini adalah anaknya sendiri!

“Jahanam!” teriak Pengemis Siang Malam. Amarahnya mendidih. Dia melompat ke arah Kuncir
Merah.

“Cukup sampai di situ! Berani lebih dekat putus leher anakmu!” Kuncir Merah mengancam.

Dua kaki Pengemis Siang Malam goyah. Sekujur tubuhnya lemas. Dia jatuh berlutut di tanah.

“Jangan bunuh anakku! Aku bersedia menyerah asal kalian membebaskan semua perempuan
dan anak-anak itu!”

Raden Kumalasakti dan Ki Beringin Reksa melangkah dekati Pengemis Siang Malam. Raden
Kumalasakti jambak rambut pengemis itu. . “Kau telah membunuh orang-orangku. Aku tidak
akan mengampuni selembar nyawamu!”
“Aku rela kalian bunuh. Tapi bebaskan perempuan dan anak-anak itu! Mereka tidak punya salah
dan dosa apa-apa. “ Jawab Pengemis Siang Malam.

“Siapa mau mendengar ucapanmu! Jika kau memang sudah pasrah mampus aku tak perlu
menunggu lebih lama!”

Raden Kumalasakti angka tangan kanannya yang dikepal. Tangan ini tampak bergetar tanda
telah dialiri tenaga dalam tinggi. Jangankan kepala manusia, batu besarpun bisa hancur jika
kena pukul.

Sadar orang tetap akan membunuh dirinya dan tidak akan mengampunkan anak istrinya,
Pengemis Siang Malam mengadu jiwa. Tombak pendek yang masih tergenggam di tangan
kanannya ditusukkan ke perut Raden Kumalasakti.

“Praaakk!”

Pukulan Raden Kumalasakti menghantam batok kepala Pengemis Siang Malam hingga pecah.
Namun sebelum menerima kematian, hampir bersamaan dengan gerakan lawan, pengemis itu
masih sempat menancapkan tombak pendeknya ke perut orang lalu merobek perut itu hingga
darah muncrat dan isinya berbusaian mengerikan.

Raden Kumalasakti menjerit setinggi langit.

“Bunuh semua perempuan dan anak-anak itu!” teriak Raden Kumalasakti. Dia berusaha
menahan isi perutnya yang terbongkar namun dirinya keburu limbung, pemandangan berubah
gelap. Tubuhnya yang tinggi besar roboh menimpa sosok Pengemis Siang Malam. Kedua orang
ini menemui ajal saling bertindihan!

Melihat kematian Raden Kumalasakti, Ki Beringin Reksa berteriak marah. Dia mengangkat
tangan ke arah Kuncir Merah.

“Bunuh mereka semua!”

Kuncir Merah menggembor. Tangannya yang memegang golok bergerak sebat. Sesaat
kemudian lelaki ini keluarkan raungan keras. Tubuhnya terhuyung, golok di tangan kanan
terlepas. Dua mata pecah dan di keningnya kelihatan sebuah lobang sebesar. Darah membasahi
muka orang ini yang kemudian tergelimpang jatuh di tanah. Tiga batu sebesar telur burung dara
telah menghantam kepalanya. Siapa yang melakukan?!

Delapan perempuan berpekikan. Lima anak termasuk yang tadi hendak digorok menjerit
menangis.
Sepuluh lelaki berpakaian hitam berseru kaget. Ki Beringin Reksa juga terkejut besar. Ada orang
pandai telah membunuh Kuncir Merah! Siapa?

Belum habis kejut orang-orang dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu tibatiba dalam udara
yang mulai gelap melayang seorang berpakaian serba putih. Di tangan kiri dia memegang
sebuah obor menyala sementara tangan kanan berturut-turut melepas dua pukulan tangan
kosong. Jeritan riuh memenuhi tempat itu ketika dua orang lelaki berpakaian serba hitam
terjungkal dengan kepala pecah sementara enam lainnya melolong kesakitan sambil pegangi
muka mereka yang telah hangus disundut obor! Dua orang yang tidak cidera serta merta
menyerbu orang berpakaian putih dengan serangan golok. Namun gerakan lelaki di sebelah kiri
tertahan begitu mukanya ditusuk obor sementara temannya mencelat disambar tendangan!

“Bangsat berpakaian putih! Siapa kau!” Teriak Ki Beringin Reksa marah sekali. Dia melompat ke
hadapan orang berpakaian putih. Rambutnya yang hijau berbentuk daun beringin berjingkrak
dan kepulkan asap hijau. Saat itu walau cuma dia yang masih tertinggal dari rombongan
penyerang dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga namun dia tidak merasa gentar. Orang yang
dibentak sunggingkan seringai. Mulut dipencongkan, tangan kiri menggaruk kepala. Jelas sudah
pemuda ini bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Wirolah tadi yang membuat Kuncir Merah
mati konyol dengan lemparan tiga buah batu. Wiro campakkan obor ke tanah. Lalu berkata.

“Aku hanya pengelana tolol yang kebetulan lewat dan tak suka melihat kebiadaban terjadi di
depan mata! Kalau hanya tua bangka sama tua bangka yang berbunuhan aku tidak perduli. Tapi
kalau sampai perempuan dan anak-anak mau dibantai, apa tidak edan?!”

Dua mata Ki Beringin Reksa memandang melotot penuh selidik. Orang yang berdiri di
hadapannya adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu, bertubuh kekar,
mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Dia belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya.

“Kalau cuma pengelana tolol mengapa berani mati mencampuri urusan orang? Bicara dan
lagakmu seperti pendekar besar saja! Sudah bosan hidup apa?!”

Wiro tertawa. Lalu sambil membungkuk seolah merendahkan diri padahal sikapnya mengejek,
dia berkata.

“Aduh, nyawaku cuma satu. Kalau aku dibunuh dimana kira-kira aku bisa mencari nyawa
cadangan?!”

“Jahanam kurang ajar! Kau kira bisa menipu aku? Aku tahu kau berpura-pura tolol! Katakan siap
kau sebenarnya. Aku tidak pernah membunuh prang tanpa tahu siapa dirinya!”

“Aku lahir tidak bernama. . . “ Jawab Wiro.

“Setan alas!” Ki Beringin Reksa marah sekali. Dia maju mendekati si pemuda sambil kebutkan
ujung lengan jubah sebelah kanan.
“Wuttt!”

Serangkum angin dashyat yang punya daya penghancur ganas menderu ke arah Wiro.

“Oala!” si pemuda tampak seperti kelabakan. Tunggang-langgang dia selamatkan diri. Tapi
mulutnya tetap saja menyunggingkan senyum seringai.

Ki Beringin Reksa tidak memberi hati. Dia tahu saat itu tengah berhadapan dengan orang
berkepandaian tinggi yang punya kelakuan aneh. Dia susul serangannya dengan
menghantamkan dua tangan sekaligus. Dua larik angin memancarkan cahaya hijau berkiblat ke
arah Pendekar 212. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Sepasang Setan Hijau.

Wiro keluarkan siulan nyaring. Melesat ke udara sambil tangan kiri mematahkan sepotong
ranting. Pada saat melayang turun tangan kanan dihantamkan ke bawah dua kali berturut-
turut, melepas pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.

“Dess! Dess!”

Dua larik sinar hijau serangan Ki Beringin Reksa musnah. Orang dari Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga yang punya jabatan Wakil Kepala Pengawal ini berseru kaget. Dia tidak bisa percaya dua
pukulan saktinya yang selama ini tidak pernah gagal dibuat musnah begitu rupa! Cepat dia
kirimkan serangan susulan dengan mengebutkan lengan kiri jubah hijau. Tujuh pisau terbang
melesat di udara, mengarah ketujuh bagian tubuh Pendekar 212 mulai dan kepala sampai ke
bagian bawah perut!

Wiro berjumpalitan di udara. Ranting kayu di tangan kiri disapukan melindungi tubuh.
Terdengar suara berderak enam kali. Enam pisau terbang runtuh ke tanah. Pisau ketujuh lolos.

“Breettt!”

Pakaian putih Wiro robek di bagian bahu kanan.

“Sialan!”

Maki murid Sinto Gendeng. Tangan kirinya bergerak ke depan luar biasa cepat.

Sepasang mata Ki Beringin Reksa mendelik jereng ketika ujung ranting di tangan si pemuda
yang kini tinggal pendek akibat berpatahan saat berbenturan dengan pisau terbang tahu-tahu
telah menempel di puncak hidungnya. Ki Beringin Reksa merasakan ujung ranting itu bergetar
dan memancarkan hawa panas.

“Kau mau membunuhku, lakukan saja!” Ki Beringin Reksa menantang. Di wajahnya sama sekali
tidak ada bayangan rasa takut. ”
Si gondrong tertawa.

“Saat ini aku belum mau membunuhmu! Terima ini dulu!”

Tangan kiri yang memegang ranting bergerak cepat sekali.

“Breett. . . . breett!”

Jubah hijau Ki Beringin Reksa robek di dua belas tempat. Jubah itu akhirnya jatuh ke tanah,
membuat Ki Beringin berdiri nyaris telanjang.

“Ha. . . ha! Walau butut untung kau masih pakai celana kolor! Kalau tidak burung tekukurmu
past! sudah kelihatan! Ha. . . ha. . . ha!” Wiro tertawa gelak-gelak.

Ki Beringin Reksa marah luar biasa. Asap hijau sampai mengepul dari ubun-ubunnya. Tibatiba
terdengar suara bergemuruh. Dan terjadilah satu hal yang hebat. Sosok tubuh Ki Beringin Reksa
berubah menjadi batang kayu besar. Dari kepalanya mencuat dua puluh cabang kayu ditumbuhi
lebat daun-daun hijau. Laksana tangan raksasa, dua puluh cabang kayu menyambar ke arah
pemuda berambut gondrong lalu menjepit dan meremas tubuhnya. Hantu Beringin!

**

TUJUH

Ilmu yang dikeluarkan Ki Beringin Reksa disebut Hantu Beringin. Selain aneh juga merupakan
satu-satunya ilmu kesaktian di rimba persilatan tanah Jawa pada masa itu. Tubuhnya berubah
menjadi pohon beringin besar dengan dua puluh cabang merupakan tangan yang bisa
melakukan apa saja.

Wiro kaget luar biasa. Seumur hidup baru kali ini dia melihat ilmu kesaktian begini dahsyat.
Ketika pohon besar itu bergeser ke arahnya dan dua puluh cabang berdaun lebat laksana
tangan setan menyambar, sebelum tubuhnya dicabik-cabik atau diremas hancur Wiro segera
lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang yaitu pukulan sakti yang didapatnya
dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Namun tangan kanan yang hendak memukul keburu dilibat
cabang-cabang pohon sementara lehernya juga sudah terjirat. Dalam keadaan tak berdaya dan
sulit bernafas begitu rupa Wiro pergunakan tangan kiri untuk menjebol lawan. Kali ini dengan
pukulan Sinar Matahari. Namun lagi-lagi dua cabang pohon menjerat tangan sebelah kiri itu.
Sementara belasan cabang melibat tubuhnya mulai dari leher sampai ke dada, pinggang, perut
dan kaki!
“Greeekkk!” Libat jerat cabang pohon semakin kencang. Pendekar 212 Wiro Sableng agaknya
tidak bakal lolos dari kematian yang sangat mengerikan.

Hanya sesaat lagi leher si pemuda akan remuk, dua tangan hancur, dada, perut dan dua kaki
ringsek, tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat. Disusul menyambarnya sinar merah yang
berkiblat bertubi-tubi, menebar hawa dingin angker disertai suara mendesis aneh.

“Craass! Craasss!”

Luar biasa! Dua puluh cabang pohon yang melibat dan meremas Wiro terbabat putus! Raungan
dahsyat menggelegar di tempat itu. Pohon beringin besar dengan dua puluh cabang serta daun-
daunnya yang lebat lenyap. Yang kelihatan kini adalah sosok Ki Beringin Reksa dalam ujud
aslinya, hanya mengenakan celana kolor. Dua tangan buntung, leher cabik, dada dan perut
penuh robekan luka. Darah menutupi sekujur badan. Tubuh itu terhuyung sebentar lalu
limbung dan jatuh tertelungkup, hampir menimpa Wiro kalau dia tidak cepat berguling
menjauh. Walau selamat keadaan murid Sinto Gendeng ini tampak babak belur. Baju robek-
robek, goresan luka di muka dan di tubuh. Darah mengucur dari telinga kiri yang luka.

“Siapa yang menolongku?” ucap si pemuda. Menoleh ke kiri dia masih sempat melihat satu
bayangan merah berkelebat lenyap ke arah kali. Lalu ada suara benda meluncur di permukaan
air. Wiro cepat berdiri hendak mengejar. Namun dari arah ujung rumah yang terbakar
terdengar teriakan perempuan.

“Jangan tinggalkan kami! Tolong!”

Gerakan Wiro jadi tertahan. Sesaat dia merasa bimbang. Namun akhirnya dia mendatangi
kelompok perempuan dan anak-anak yang ketakutan setengah mati. Begitu Wiro sampai di
hadapan orang-orang itu, mereka semua jatuhkan diri. Ada yang menangis, ada yang
mengucapkan terima kasih terbata-bata.

“Ibu-ibu ini siapa? Orang-orang berpakaian penuh tambalan itu apa kalian?”

Salah seorang dari delapan perempuan memberi tahu bahwa mereka adalah istri-istri dari
Pengemis Siang Malam dan lima anak buahnya.

“Raden telah menolong kami. Apakah Raden masih mau membantu mengantar kami ke tempat
yang aman?”

“Orang-orang yang melakukan penyerangan itu, siapa mereka?”

“Kami tidak tahu. Suami-suami kami memang bukan orang baik-baik, banyak musuh.”

“Tapi hendak membunuh perempuan dan anak-anak sungguh luar biasa keterlaluan. Pasti
mereka punya dendam kesumat besar. . . “
“Pagi tadi, suami kami Pengemis Siang Malam mengatakan dia tengah menyelidiki satu urusan
rahasia besar. . . “

“Rahasia besar? Rahasia apa?”

“Kami tidak tahu. Suami kami tidak menjelaskan. “

“Raden kami mohon Raden mau mengantar kami sampai di desa Luragung. Di desa itu kami
mungkin bisa minta bantuan penduduk untuk mengurus jenazah suami-suami kami. Kalau kami
tidak mendapatkan pertolongan karena kami dianggap orang-orang jahat maka kami terpaksa
meneruskan perjalanan menuju Lebakwangi. “ Yang bicara adalah istri kedua Pengemis Siang
Malam.

“Ibu-ibu punya seseorang yang bisa diminta bantuannya di Lebakwangi?”

“Guru tua suami kami tinggal di sana. “

“Siapa, namanya?” Wiro ingin tahu. . “Raja Pengemis Delapan Mata Angin. “

Wiro garuk-garuk kepala.

“Ada Pengemis Siang Malam. Sekarang ada Raja Pengemis. Jangan-jangan ada juga Ratu
Pengemisnya. “ ucap Wiro dalam hati. Sebenarnya dia masih penasaran hendak mengejar si
pakaian merah yang telah menolongnya tadi. Tapi tak tega meninggalkan delapan perempuan
dan lima anak kecil. Setelah meratapi jenazah suami masing-masing delapan perempuan serta
lima anak kecil tinggalkan tempat itu. Sambil berjalan Wiro masih juga menduga-duga siapa
adanya sang penolong.

“Aku hanya melihat sekelebatan. Dari pakaian dan bau tubuhnya agaknya dia seorang
perempuan. Bidadari Angin Timur atau Ratu Duyung jelas bukan. Orang itu berpakaian merah.
Bersenjata golok atau pedang.

Menolong tapi lantas pergi begitu saja. Aneh. Hemmm. . . . mungkin si penolong orang bernama
Rara Santang itu?”

“Kalau kami boleh bertanya Raden yang telah menolong kami ini siapakah adanya?” Perempuan
yang berjalan di samping Wiro bertanya. Dia adalah istri tua Pengemis Siang Malam.

Si pemuda tak segera menjawab. Mungkin tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata
juga.
“Namaku Wiro, jangan panggil aku Raden. Lagi pula bukan aku sendiri yang menolong. Ada
orang lain. Cuma heran sehabis menolong dia pergi begitu saja. Kita semua berhutang nyawa
padanya. . . “

Wiro kemudian mengambil dua anak yang paling kecil lalu menggendongnya di tangan kiri
kanan. Wiro ingat sesuatu lalu berpaling pada ibu-ibu di sampingnya. “Ada yang tahu atau
pernah mendengar seorang bernama Rara Santang?”

Mula-mula tak ada yang menjawab. Kemudian istri pertama Pengemis Siang Malam ajukan
pertanyaan. “Mengapa Raden menanyakan orang itu?”

“Seorang sahabat minta aku menemuinya. “

“Rara Santang, lengkapnya Nyai Mas Rara Santang. Dia adalah puteri Prabu Siliwangi dari
Kerajaan Pajajaran, jauh di pedalaman sebelah barat”

“Hemmm. . . . “ Wiro bergumam dan berpikir. “Ada apa nenek Sepuh Kembar Tilu meminta aku
mencari puteri raja itu? Apa kehidupan di Jawa sebelah barat ini lebih banyak anehnya dari di
timur?”

Menjelang tengah malam rombongan itu sampai di desa Luragung. Mereka menemui kepala
desa. Kepala desa yang baik hati walau kemudian tahu siapa adanya perempuan dan anak-anak
itu bersedia juga menolong. Sebelum Wiro pergi, delapan orang perempuan loloskan perhiasan
yang mereka miliki seperti kalung, gelang, anting-anting serta cincin, dikumpul jadi satu,
dibungkus dalam sehelai selendang lalu diberikan pada Wiro.

“Buat apa?” tanya Pendekar 212 .

“Buat Raden. Mungkin itu tidak sebanding sebagai balas jasa Raden yang telah menyelamatkan
nyawa kami dan anak-anak. Namun hanya itu yang bisa kami berikan. “ Wiro tertawa.

“Terima kasih, tapi aku menolong tanpa pamrih. Lagi pula mana mungkin aku seorang lelaki
pakai kalung, gelang, cincin dan anting-anting. Ha. . . ha. . . ha. . . . !”

“Kalau begitu berikan pada istri atau kekasih Raden. . . . “ Istri pertama Pengemis Siang Malam
mendesak.

Wiro kembali tertawa.

“Aku tidak punya istri. Kekasihku banyak. Yang mana yang mau dikasih? Dikasih yang satu yang
lain cemburu. Ha. . . ha. . . ha!”

“Tapi Raden, kami minta dengan sangat. . . . “


Perempuan yang bicara tidak meneruskan ucapan karena saat itu Pendekar 212 sudah
berkelebat lenyap di kegelapan malam.

Berjalan meninggalkan desa Luragung ingatan Wiro kembali pada orang yang telah
menolongnya.

“Menolong lalu kabur. Benar-benar aneh. . . . “ ucap sang pendekar dalam hati. Tibatiba dia
mendengar suara ha-hu. ha-hu ha-hu di belakangnya. Wiro hentikan langkah dan berpaling.
Dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning berdiri di hadapannya. Kembaran Eyang Sepuh
Kembar Tilu. Keduanya membungkuk lalu salah seorang menyerahkan sebuah bungkusan.

“Kalian mengikutiku! Aku sudah bilang jangan sekali-kali berani mengikutiku!”

“ha-hu ha-hu. . . . “

“Apa ini?” tanya Wiro sambil memandang pada bungkusan yang disodorkan.

“ha-hu ha-hu!” Dua nenek menepuk-nepuk bahu dan dada. Lalu yang disebelah kanan
menunjuk-nunjuk dengan tangan kiri ke arah Wiro sementara tangan kanan digaris-gariskan ke
dada, perut dan pantatnya.

“Ya. . . ya aku mengerti. Kalian mau bilang bajuku kotor, banyak robekan. Lalu kenapa?”

“ha-hu ha-hu. “ Dua nenek gagu kembali menunjuk-nunjuk Wiro. Lalu yang satu menunjuk
pantatnya sendiri berulang kali.

Wiro berpaling ke belakang, angsur ke depan celananya di bagian pantat. Astaga. Ternyata
disitu ada robekan besar yang membuat tubuhnya sebelah bawah belakang tersingkap lebar.
Robekan ini adalah akibat libatan cabang beringin jejadian Ki Beringin Reksa.

“Gendeng! Bagaimana aku bisa tidak tahu kalau pantatku melongo begini?!” ucap Wiro dalam
hati mengomel sendiri. “Perempuan-perempuan itu pasti melihat. Tapi tidak memberi tahu!”

“ha-hu ha-hu!”

Nenek rambut kelabu sebelah kanan kembali menyodorkan bungkusan. Wiro mengambil lalu
memeriksa isinya. Ternyata sehelai baju dan celana putih.

“Ah. . . . . “ sang pendekar jadi menyesal kalau tadi membentak-bentak dua nenek. Ternyata
mereka berniat baik. Memberikan pakaian pengganti baju dart celananya yang kotor dan penuh
robek. Wiro tertawa.

“ha-hu ha-hu. “
“Terima kasih. Kalian berdua ternyata berhati baik. Tapi kalian dapat dari mana pakaian ini?
Pasti kalian curi!”

“Hik. . . hik. . . hik!”

Dua nenek jejadian tertawa cekikikan.

“Sekali lagi terima kasih. Kalian boleh pergi. . . “

“ha-hu ha-hu. . . “ Dua nenek membungkuk dan tertawa girang. Keduanya balikkan badan.

“Tunggu dulu,” tibatiba Wiro berkata. “Kalian pasti telah lama mengikutiku. Kalian pasti melihat
semua kejadian di tepi kali. “

“ha-hu ha-hu. “

“Kalian melihat orang yang menolongku?”

“ha-hu ha-hu. “ Dua nenek mengangguk-angguk.

“Berpakaian merah?”

“ha-hu ha-hu. “ Dua nenek kembali mengangguk-angguk. Lalu menepuk-nepuk pakaian masing-
masing, kemudian acungkan jempol.

“Hemm. . . . Maksud kalian pakaiannya bagus?”

“ha-hu ha-hu. “

“Perempuan?”

“ha-hu ha-hu. “

“Bagaimana wajahnya?” tanya Wiro lagi.

Dua nenek gelengkan kepala lalu dua tangan diusapkan ke wajah.

“Ah. . . . Maksud kalian orang itu memakai topeng?”

Dua nenek kembali gelengkan kepala lalu kali ini tangan diusap-usap di depan wajah.

“Aku mengerti. Orang itu tidak kelihatan wajahnya karena memakai penutup muka atau cadar”

“ha-hu ha-hu. “ Dua nenek mengangguk berulang kali


“Orang itu telah menyelamatkan jiwaku. Sehabis menolong pergi begitu saja. Kalian tahu
kemana perginya?”

Dua nenek menunjuk ke arah timur.

“Terima kasih, kalian sudah banyak menolong. Sekarang kalian silahkan pergi. Aku mau berganti
pakaian. Awas, jangan berani mengintip. “

Dua nenek tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi. “ha-hu ha-hu. . . ha-hu ha-hu. “

**

Malam bulan purnama empat belas hari. Cahaya rembulan cukup terang jatuh di bumi hingga
tiga orang lelaki menunggang kuda dapat memacu tunggangan masing-masing dengan kencang.
Di satu tempat mereka berhenti. Kuda ditambat ke pohon lalu ketiganya melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Arah yang dituju adalah kaki Bukit Batu Bersuling sebelah timur.
Setelah lari cukup lama mereka sampai di satu bangunan besar tanpa dinding beratap rumbia.

“Raden,” lelaki di samping kiri berbisik. Namanya Meneng. “Di sini biasanya para tamu
meninggalkan kuda mereka. “

Orang yang dipanggil Raden yang adalah Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari meneliti,
memandang berkeliling.

“Sepi, tak ada siapa-siapa. Menurutmu malam ini akan dilakukan pembukaan. . . . “

“Keadaannya memang terasa aneh. Setahu saya seharusnya. . . “

“Mana gedung dibawah bukit batu yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. “

“Ikuti saya. . . . . “ ucap Meneng.

Dipimpin orang yang agaknya banyak tahu keadaan di tempat itu, ketiganya melangkah cepat di
sepanjang jalan yang diapit dua dinding batu setinggi dua tombak hingga akhirnya mereka
sampai di hadapan sebuah rumah panggung. Meneng memeriksa dinding batu sebentar lalu
menekan sebuah alat rahasia. Sebuah pintu membuka. Dia memberi tanda pada dua orang di
belakangnya untuk mengikuti. Ketika pintu rahasia itu menutup kembali, Rayi Jantra berlaku
cerdik. Sudut bawah pintu diganjalnya dengan sebuah balok yang ada di lantai ruangan. Bukan
saja dia berhasil menahan tertutupnya pintu, tapi sekaligus memungkinkan cahaya masuk ke
ruangan dimana dia berada sehingga dia cukup mampu melihat keadaan di tempat itu.
“Sepi, tak ada orang. Ruangan ini kosong. Meneng, kau yakin kita tidak datang ke tempat yang
salah?”

Orang bernama Meneng menjawab. “Tidak Raden, saya yakin sekali ini tempatnya. Tapi
mengapa keadaan berubah. Sunyi, gelap. Tak ada orang. Padahal malam ini saya mendapat
kabar pembukaan malam judi pertama akan dilakukan

“Seharusnya kita membawa obor,” kata Rayi Jantra.

“Jangan khawatir, kami akan menerangkan ruangan untuk kalian!”

Mendadak ada suara orang lalu ruangan gelap itu berubah jadi terang benderang. Ternyata ada
sepuluh lampu minyak besar di tempat itu. Yang menyala hanya lima yaitu di empat sudut dan
di tengah ruangan. Di ruangan yang terang itu terlihat enam orang lelaki berpakaian hitam.
Wajah mereka tampak seram karena selain hitam hangus juga ada luka di sekitar mulut, hidung
dan sepasang mata. Ke enam orang ini adalah para pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga
yang malam kemarin diselomoti Pendekar 212 Wiro Sableng muka mereka dengan obor di
tempat kediaman Pengemis Siang Malam. Ke enam orang ini berdiri dengan golok di tangan.
Mereka semua tidak menyebabkan Rayi Jantra merasa gentar. Namun yang membuatnya jadi
tercekat adalah sosok kakek berjubah biru gelap yang tegak tak bergerak bersidekap tangan di
anak tangga terbawah dari sebuah tangga batu yang menghubungkan ruangan itu dengan
ruangan di sebelah atas bangunan. Tengkuknya memiliki bulu seperti bulu pada leher kuda. Dua
kaki yang tersembul di balik jubah bukan berbentuk kaki manusia tapi seperti kaki kuda lengkap
dengan ladam besinya!

“Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis. Bagaimana tokoh silat istana Kerajaan di timur ini bisa
berada di tempat ini?” pikir Rayi Jantra.

“Rayi Jantra! Datang di tempat orang tanpa diundang. Muncul setengah menyusup! Gerangan
apa maksudnya? Padahal seorang Kepala Pasukan Kadipaten seharusnya tahu sopan santun
peradatan!”

Yang keluarkan suara adalah kakek bernama Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis.

Walau hatinya tidak enak namun sebagai salah seorang pemegang kuasa di Losari, dengan
tenang Rayi Jantra unjukkan sikap hormat. Dia membungkuk lebih dulu sebelum menjawab.

“Ki Sentot, harap maafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteramanmu, Aku tidak tahu
kalau kau ada kepentingan di tempat ini. Aku datang ke sini untuk melakukan penyelidikan
sesuai dengan wewenang dan tugasku. “

“Hemm, begitu. . . ?” Ki Sentot Balangnipa menyeringai. Waktu mulutnya terbuka kelihatan


deretan gigi serta lidahnya yang menyerupai kuda. “Apakah tugas kedatanganmu ke tempat ini
atas sepengetahuan atasanmu, Adipati Seda Wiralaga?”
“Aku memang tidak memberi tahu padanya. “ Jawab Rayi Jantra terlalu polos.

“Luar biasa! Ada bawahan yang bertindak tanpa sepengetahuan atasannya. “ Ki Sentot
Balangnipa geleng-geleng kepala. “Rayi Jantra, apa yang hendak kau selidiki secara lancang di
tempat orang?!”

“Aku mendapat laporan tempat ini adalah sarang besar perjudian. Semua orang tahu perjudian
adalah hal yang terlarang!”

“Hebat luar biasa tugasmu, Rayi Jantra! Lalu saat ini apakah kau melihat ada orang yang berjudi
di tempat ini? Apakah kau juga melihat benda-benda alat perjudian?”

“Memang tidak ada orang tidak ada peralatan judi. Aku punya dugaan keras semua sudah
disingkirkan sebelum aku datang di tempat ini. Dan kalau aku boleh bertanya, adalah hal sangat
mengherankan seorang tokoh silat Istana di timur ada di tempat ini! Apa kau bisa
menjelaskan?!”

Ki Sentot Balangnipa menyeringai lagi.

“Tetamu tak diundang menanyai perihal tuan rumah! Sungguh tidak sopan! Meneng, kau cepat
kemari!”

Lelaki bernama Meneng, yang datang bersama Rayi Jantra serta merta melompat dan berdiri di
samping Ki Sentot Balangnipa.

“Jahanam keparat! Meneng! Ternyata kau seekor ular kepala dual Beraninya kau menipu
mengkhianatiku!” teriak Rayi Jantra marah sekali.

Sementara Meneng berdiri cengengesan Ki Sentot Balangnipa berteriak.

“Anak-anak. Bunuh dua orang itu!”

**

DELAPAN

Enam lelaki bermuka hangus dan mencekal golok menyerbu ke arah Kepala Pasukan Kadipaten
Losari dan anak buahnya. Rayi Jantra sadar, baginya hanya ada satu pilihan. Menghabisi semua
orang itu atau menemui ajal di tempat itu. Sejak lama dia pernah mendengar tentang
berlangsungnya perjudian besar-besaran di satu tempat rahasia sekitar Bukit Batu Bersuling.
Selain sebagai tempat judi, gedung itu juga dipakai untuk tempat berbuat mesum. Konon
gedung tersebut diberi nama Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga dan dikawal kuat oleh sejumlah
orang berkepandaian tinggi termasuk para tokoh silat. Selain dipakai sebagai tempat judi dan
perbuatan cabul, gedung itu juga diduga keras telah menjadi pusat pertemuan rahasia
beberapa pejabat tinggi Kerajaan di timur dalam rangka menguasai Kerajaan di barat.

Sebagai seorang Kepala Pasukan tentu saja Rayi Jantra memiliki kepandaian yang diandaikan.
Sekali menggebrak dia berhasil menghantam roboh salah seorang penyerang lalu merampas
goloknya. Dengan senjata itu Rayi Jantra kemudian menghajar lima penyerang lainnya. Tiga
roboh mandi darah! Ketika dia hendak menghabisi yang dua orang lagi tibatiba satu sosok
tubuh melayang dan jatuh tepat di hadapan Rayi Jantra.

Begitu diperhatikan ternyata orang itu adalah Meneng. Tergelimpang di lantai ruangan dengan
leher patah, lidah setengah menjulur dan mata mendelik.

Di seberang sana Ki Sentot Balangnipa keluarkan suara tertawa seperti kuda meringkik.

“Rayi Jantra! Jika kau menyerah dan masuk ke dalam kelompokku, aku akan mengampuni
selembar nyawamu!”

Kepala Pasukan Kadipaten Losari itu maklum ucapan lawan hanya merupakan satu tipuan
belaka.

“Tawaranmu cukup menarik. Boleh aku minta penjelasan kelompok macam apa yang kau
pimpin?”

“Kau tidak perlu tahu kelompok macam apa atau apa yang kami lakukan. Yang jelas hanya
dengan kerja ringan setiap bulan kau menerima upah besar. Kalau kau ingin hiburan, tinggal
memilih perempuan yang kau sukai. “

“Hemm. . . begitu? Aku bisa menduga. Komplotan yang kau maksudkan itu adalah komplotan
perbuatan judi serta perbuatan mesum!”

Ki Sentot Balangnipa tertawa mengekeh.

“Mulutmu lancar juga mengeluarkan ocehan. Rasa-rasanya kau jenis manusia yang lebih suka
mati konyol dari pada mendapat kesenangan!”

Rayi Jantra berbisik pada anak buah di sampingnya.

“Lebak, lekas tinggalkan tempat ini! Kembali ke Losari. Beri tahu Adipati Soda Wiralaga apa
yang terjadi di sini!”

Perajurit Kadipaten bernama Lebak tidak tunggu lebih lama segera menghambur ke arah pintu
yang terbuka karena diganjal balok. Ki Sentot Balangnipa hantamkan kaki kirinya yang
berbentuk kaki kuda ke lantai ruangan. Satu gelombang angin keras menderu ke arah pintu.
Balok kayu yang mengganjal hancur berkeping-keping. Pintu rahasia terbuat dari batu itu
menutup dengan mengeluarkan suara keras.

“Jangankan manusia, setan sekalipun tak bakal bisa lolos dari tempat ini!”

Didahului umbaran suara ringkikan kuda Ki Sentot Balangnipa melompat ke arah Rayi Jantra.
Kaki kanannya menendang mencari sasaran di dada orang. Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini
cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan lewat dia membacok dengan golok besar di tangan
kanan. Sementara itu dua orang bermuka hangus telah menyerbu Lebak.

“Traangg!”

Golok yang membacok kaki kanan Ki Sentot Balangnipa seperti menghantam besi
mengeluarkan suara berdentrangan disertai memerciknya bunga api. Tidak mempan! Ki Sentot
Balangnipa alias Si Kuda Iblis kembali tertawa meringkik. Sementara Rayi Jantra terbelalak
melihat golok di tangannya gompal besar. Serta merta dia campakkan golok ke lantai lalu dari
balik pinggangnya Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini hunus senjata tajam yang mengeluarkan
cahaya kuning berkilauan. Senjata ini adalah sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata
lima terbuat dari emas murni yang dipadu dengan batu keramat dari Gunung Salak dan baja
putih dari Banten.

“Ha ha! Kujang Emas Kiai Pasundan, keramat pusaka Kerajaan Pajajaran! Bagaimana bisa
berada di tanganmu? Pasti kau curi!” Ki Sentot Balangnipa berseru. Walau dia tidak gentar
melihat senjata itu namun wajahnya agak berubah. Dia pernah mendengar kehebatan senjata
sakti itu. “Aku harus dapatkan senjata itu! Harus!” Kakek ini menggeram.

“Kiai Pasudan adalah pemberian Pangeran Cakrabuana putera Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajajaran. Dengan senjata ini aku ditugaskan untuk menumpas begundal-begundal dari timur
yang hendak mengacau di tanah Pasundan bahkan punya niat jahat hendak merebut
kekuasaan. Salah satu begundal itu adalah kau sendiri!”

Ki Sentot Balangnipa tertawa bergelak mendengar ucapan Rayi Jantra.

“Usia masih hijau! Tubuh masih bau kencur! Kencingpun belum lempang! Tapi sudah bermimpi
mau jadi pahlawan besar! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan senjata di tanganmu!”

Habis bekata begitu Si Kuda Iblis kebutkan lengan kanan jubah birunya, lalu menyusul tubuhnya
melesat ke depan. Salah satu kaki menendang dahsyat.

Rayi Jantra membentak keras. Dia melesat ke atas setinggi satu tombak. Senjata di tangan
tanah dikiblatkan. Selarik sinar kuning menderu dahsyat.”

“Craass!”’
Kuda Iblis berteriak keras. Rambut tebal menyerupai rambut kuda di kuduknya terbabat putus
dan mengepulkan asap. Kejut tokoh silat dari timur ini bukan alang kepalang. Ternyata Kujang
Emas Kiai Pasundan benar-benar merupakan senjata luar biasa yang tidak bisa dibuat main.
Kakek ini goyangkan dua bahunya. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terpegang dua buah
tali kulit menyerupai tali kekang kuda. Begitu dua tangan menggebrak, tali kekang di tangan
kanan melesat ke arah kaki sedang tali kekang di sebelah kiri menyambar ke arah Kujang Emas
Kiai Pasundan. Dua gerakan tali kekang ini mengeluarkan suara laksana petir menyambar.

Rayi Jantra berseru kaget ketika kaki kanannya kena dijirat tali kekang. Begitu Ki Sentot
Balangnipa menyentakkan tali kekang itu tak ampun lag! Kepala pasukari Kadipaten Losari itu
langsung roboh terbanting jatuh punggung. Dalam keadaan seperti itu tali kekang satunya yang
menyambar ke arah tangan kanan Rayi Jantra berhasil melibat Kujang Emas Kiai Pasundan.

“Dess! Craasss!”

Ki Sentot Balangnipa menduga begitu menarik tali kekang dia akan berhasil merampas senjata
sakti di tangan lawan. Ternyata tali kekangnya yang putus!

“Kurang ajar!” maki Ki Sentot Balangnipa. “Kalau manusia satu ini tidak dihabisi dan senjata itu
tidak dirampas, bisa berbahaya!” Karenanya selagi Rayi Jantra berusaha bangkit si kakek
langsung menggebrak. Sekali melompat dia hantamkan tali kekang yang putus sementara kaki
kanan menendang mencari sasaran di kepala lawan.

“Blaarrr!”

Karena berusaha menyelamatkan kepalanya dari tendangan kaki lawan, Rayi Jantra tidak
sempat menghindari serangan tali kekang. Tali kekang yang berobah menjadi cambuk mendarat
di tubuh Rayi Jantra. Pakaiannya robek besar di bagian dada. Luka mengepulkan asap dan
mengucurkan darah membelintang di dada. Sementara itu tendangan Si Kuda iblis yang tidak
menemui sasaran telah membuat jebol dinding batu di samping Rayi Jantra.

“Manusia iblis keparat! Terima kematianmu!” teriak Rayi Jantra. Kujang di tangan kanan
ditusukkan dari jarak jauh ke arah Ki Sentot Balangnipa. Dari ujung senjata sakti itu melesat satu
cahaya kuning yang laksana kilat dengan cepat menggulung sekujur tubuh Si Kuda Iblis!

Dalam keadaan hampir tak berdaya Ki Sentot Balangnipa kerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam serta hawa sakti yang dimilikihya. Dua tangan menggapai ke depan. Kepalanya berubah
menjadi kepala kuda sungguhan. Didahului suara meringkik dia berteriak keras.

“Bummm!”

Satu ledakan besar menggelegar di ruangan batu di bawah Bukit Batu Bersuling itu. Rayi Jantra
terlempar ke dinding ruangan, semburkan darah dari mulut. Ki Sentot Balangnipa sendiri
merasa goncangan hebat melanda tubuhnya. Dengan cepat dia kuasai diri lalu menyergap I a
wan, lagi-lagi dengan tendangan kaki kanan. Sekali ini dalam keadaan terluka hebat di dalam
Rayi Jantra tak sanggup mengelak atau menangkis. Dadanya remuk dimakan tendangan,
tubuhnya terpuruk ke sudut ruangan. Dalam keadaan siap meregang nyawa Kepala Pasukan
Kadipaten Losari ini masih sanggup melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir dia
keluarkan ucapan.

“Kiai. . . . Balaskan sakit hatiku. Lakukan sesuatu Kalau sudah kembalilah ke Pakuan.”

“Tring!”

Kujang emas terlepas dari tangan Rayi Jantra. Jatuh ke lantai. Di kejap lain senjata sakti itu
tibatiba melesat ke arah Ki Sentot Balangnipa yang berdiri hanya beberapa langkah dari sosok
Rayi Jantra yang tergelimpang di lantai.

Ki Sentot cepat menangkis dengan kebutkan ujung jubah lengan kiri. Kujang Emas Kiai Pasundan
terpental. Namun hebatnya senjata ini membalik, melesat dan crasss! Menancap di mata kanan
si kakek!

Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis meraung setengah mati.

“Craasss!”

Kujang sakti melesat keluar dari mata kanan, berputar-putar dalam ruangan, berusaha mencari
jalan keluar. Seolah mempunyai otak untuk berpikir dan mata untuk melihat, senjata sakti ini
sadar kalau tak ada sedikit ronggapun dalam ruangan itu yang bisa dilewati. Tiba-tiba gagang
kujang mengepulkan asap. Senjata ini kemudian melesat ke arah dinding sebelah kiri. Ruangan
batu bergetar hebat sewaktu Kujang Emas Kiai Pasundan menjebol tembus dinding batu,
melesat di kegelapan malam dan lenyap dari pemandangan.

Ki Sentot Balangnipa tekap mata kanannya yang hancur dengan tangan kiri. Darah berlelehan.
Dengan tangan kanan dia membuat beberapa totokan di sebelah dada dan leher. Darah
berhenti mengucur dari luka di mata kanan namun ada rasa panas membuat wajahnya seolah
dipanggang. Racun senjata! Untung dia telah membuat beberapa totokan. Mata kiri yang masih
utuh mendelik memperhatikan lobang besar di dinding ruangan. Menoleh ke kiri dia melihat
dua anak buahnya yang berwajah hangus baru saja menghabisi Lebak. Ki Sentot Balangnipa
berteriak.

“Kalian berdua! Singkirkan semua mayat jahanam di ruangan ini. Buang ke dalam jurang!”

**
Dalam kenyenyakan tidurnya Pangeran Walang Sungsang yang juga dikenal dengan sebutan
Pangeran Cakrabuana tersentak bangun oleh suara desiran halus disusul suara berkerontang.

Putera Mahkota Kerajaan Pajajaran ini duduk di tepi tempat tidur. Matanya menangkap selarik
cahaya kuning. Berpaling ke samping dia melihat sebuah senjata tergeletak di atas meja kecil
terbuat dari batu pualam, memancarkan cahaya kuning.

“Kujang Emas Kiai Pasundan. . . . “ ucap Pangeran Cakrabuana. Cepat senjata sakti itu diambil
dan diperhatikan. “Ada noda darah. Sesuatu telah terjadi dengan Raden Rayi Jantra. “

Cepat-cepat Pangeran Cakrabuana mengenakan pakaian lalu memanggil seorang perajurit.

“Beritahu pengawal Sang Prabu. Katakan saya ingin menemui Raja saat ini juga. Ada urusan
sangat penting. “

Tak lama kemudian Prabu Siliwangi menemui puteranya di sebuah ruangan di dalam Istana
Pakuan.

“Ada apa anakku?” menyapa Sang Prabu.

Pangeran Cakrabuana terlebih dulu memberi salam takzim sambil membungkuk dalam-dalam.

“Ananda mohon maaf karena telah berani berlaku tidak sopan membangunkan Ayahanda. Ada
satu hal penting yang hendak Ananda sampaikan. “

Dengan hati-hati Pangeran Cakrabuana keluarkan Kujang Emas Kiai Pasundan dan
meletakkannya di atas meja kayu kecil di hadapan sang ayah.

Sang Prabu perhatikan senjata itu, menarik nafas panjang, mengusap dagu yang ditumbuhi
janggut putih rapi klimis lalu berkata. “Bukankah ini senjata sakti yang pernah Ananda berikan
pada Raden Rayi Jantra, orang kepercayaan kita di perbatasan? Kujang Emas Kiai Pasundan?”

“Betul sekali Ayahanda,” jawab Pangeran Cakrabuana.

“Senjata sakti keramat kerajaan ini kembali secara gaib di ruang ketiduran Ananda.

Agaknya telah terjadi sesuatu dengan Raden Rayi Jantra. “

Sang Prabu anggukkan kepala.

“Kalau tidak dalam perkara besar, Rayi Jantra tidak akan mengeluarkan senjata sakti ini. “
Pangeran Cakrabuana menambahkan.
Sang Prabu angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembang di atas senjata sakti itu. Kujang
mengeluarkan cahaya kuning lebih terang, bergerak turun naik antara meja dan telapak tangan.
Perlahan-lahan Sang Prabu tarik tangan kanannya. Lalu berkata.

“Noda darah ini bukan darah Rayi Jantra. Namun belum tentu orang kita itu masih dalam
keadaan selamat. Ayahanda khawatir, dia sudah tewas. Anakku, apa yang hendak kita lakukan
sekarang?”

Pangeran Cakrabuana susun sepuluh jari di atas kepala lalu berkata. “Sudah sejak lama Ananda
dan Adinda Nyai Mas Rara Santang ingin menyambangi Guru di Gunung Jati. Mungkin ini saat
yang tepat untuk melakukan sekaligus menyelidiki apa yang terjadi dengan Rayi Jantra. “

Prabu Sliwangi terdiam merenung seketika.

“Akhir-akhir ini banyak kabar yang Ayahanda terima mengenai kegiatan orang-orang di
Kerajaan Timur. Terutama sejak kita tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada mereka. Mereka
melupakan adat sopan santun, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Mereka tidak
memandang sebelah mata terhadap Pajajaran. Malah punya niat jahat hendak menguasai
Kerajaan ini. Ayahanda mengizinkan kalian berdua anak-anak untuk pergi ke Gunung Jati. Tapi
ingat. Berlakulah sangat hati-hati. Bawa pengawal sebanyak mungkin. . . “

“Ayahanda, jika diizinkan seperti yang sudah-sudah Ananda hanya berangkat berdua saja
dengan Adinda Rara Santang. Kami berdua berjanji akan berlaku hati-hati. . . “

“Kalau itu mau Ananda baiklah. Tapi sekali-kali jangan berlaku sombong dan takabur atas
kepandaian dan kesaktian yang kalian berdua miliki. Dan jangan lupa, di setiap desa yang kalian
lalui berikan sejumlah bantuan. Tekanan orang-orang di timur belakangan ini banyak membuat
rakyat menderita.”

“Terima kasih alas izin Ayahanda. Besok Ananda akan menemui Adinda Rara Santang. Paling
lambat siang had kami berdua sudah meninggalkan Pakuan. Dan seperti sebelumnya tidak ada
satu orangpun yang mengetahui kepergian Ananda berdua selain Ayahanda. “

Sang Prabu anggukkan kepala. “Sampaikan salam takzim Ayahanda pada Guru Ananda di
Gunung Jati. Dan sebelum pergi Ayahanda ingin saat ini juga Ananda menemui Panembahan
Anyar Pandanarum. Beliau sudah uzur. Namun rasanya beliau tidak akan mengalami kesulitan
untuk membuatkan sarung baru bagi Kujang Emas Kiai Pasundan. Tidak baik senjata sakti itu
dibiarkan dalam keadaan tak bersarung. . . “

“Ananda akan menemui Panembahan itu,” jawab sang putera. Lalu Pangeran Cakrabuana
membungkuk dalam-dalam, mencium tangan Sang Prabu dan tinggalkan ruangan itu.

*
**

SEMBILAN

Dua minggu setelah penyusupan Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari ke Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga. Bangunan luas tak berdinding beratap rumbia di kaki timur Bukit Batu
Bersuling dipenuhi puluhan ekor kuda. Dua puluh orang berpakaian hitam bersenjata golok
berseliweran berjaga-jaga. Di atas dua dinding batu yang mengapit sebuah jalan dua orang
berjubah biru berdiri tegak mengawasi keadaan sekitarnya. Lalu pada satu cabang pohon besar
dan gelap di ujung jalan seorang berpakaian ringkas warna hijau mendekam memegang sebilah
gada besi. Sesekali terdengar suara seperti tiupan suling dari celah dua batu pipih di puncak
bukit. Terkadang kesunyian ditingkah oleh suara gemboran kuda.

Gedung rahasia yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak tepat di bawah
bukit batu, dari luar keadaannya tersamar dibalik pepohonan lebat dan sepi. Namun di dalam,
di bagian bawah yang mewah dan terang benderang puluhan orang tamu yang semuanya
mengenakan cadar merah tampak mengelilingi sebuah meja besar empat persegi. Meja ini
dilapisi beluderu hijau. Pada setengah bagian dari meja yakni ujung sebelah kanan terdapat
garis-garis membentuk dua belas kotak besar berangka 1 sampai 12. Setengah bagian meja
ujung kiri berbentuk kotak empat persegi.

Di ujung kiri meja berdiri seorang perempuan cantik berkulit putih. Rambut disanggul rapi
mengenakan pakaian berbentuk kemben. Bagian atas dari kemben ini demikian rendahnya
hingga dua payudara besar putih menyembul dan bergoyang-goyang setiap si cantik ini
membuat gerakan. Di bawah pinggang, kain kemben dipotong kiri kanan demikan rupa hingga
menyingkapkan betis indah dan paha putih. Sekitar dua puluh gadis-gadis cantik berdandanan
dan berpakaian sama mondar-mandir di ruangan itu, melayani para tamu. Sementara pada tiga
sudut ruangan disediakan berbagai macam minuman serta makanan yang boleh disantap para
tamu sesukanya.

Di sudut ke empat dua orang pemuda tampan memetik kecapi dan menabuh gendang,
mengiringi nyanyian seorang sinden cantik bertubuh montok.

Di ujung meja sebelah kiri, di samping sebelah kanan duduk seorang lelaki bertubuh tinggi
besar, mengenakan jubah mewah warna ungu dengan wajah ditutup cadar juga berwarna ungu
sementara di atas kepalanya bertengger sebuah destar terbuat dari kain beluderu tebal
berwarna merah. Di sebelah depan destar ini tersemat sebuah batu permata berwana hijau
dengan ikatan suasa berkilat. Inilah Sang Bandar Agung yang merupakan pucuk pimpinan
tertinggi di Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.

Setelah suasana cukup hangat Bandar Agung bangkit dari kursinya, bertepuk tiga kali. Begitu
semua orang berpaling padanya dan suara tetabuhan serta nyanyian sinden berhenti maka
diapun siap memberi sambutan. Suaranya besar parau. Pertama sekali dia memperkenalkan diri
bahwa dia adalah Bandar Agung yang baru, menggantikan Bandar Agung lama yang telah
mengundurkan diri. Kemudian dia mengucapkan terima kasih atas kedatangan para tamu
sekaligus menyampaikan permohonan maaf karena dibukanya kembali tempat itu mundur jauh
dari jadwal yang sudah ditentukan. Satu dan lain hal disebutkan karena pihak pengelola Istana
ingin memberi pelayanan yang lebih baik termasuk menjamin keselamatan serta kerahasiaan
para tamu yang datang.

Bandar Agung juga memberi tahu bahwa seperti di masa lalu, Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga
dibuka mulai matahari tenggelam setiap malam Rabu dan malam Sabtu sampai tengah hari
keesokannya. Bilamana keadaan memungkinkan jumlah hari akan ditambah menjadi tiga hari.

“Jadikanlah malam pertama ini semeriah mungkin Cari rejeki dan kesenangan sebanyak-
banyaknya. Pasang taruhan para kerabat di nomor yang tepat. Seperti ketentuan terdahulu
setiap nomor yang menang akan dibayar dua kali jumlah pasangan. Bagi para tamu dan kerabat
yang mungkin ingin terlebih dulu menghilangkan rasa haus atau rasa lapar silahkan mereguk
minuman dan menyantap makanan. Sementara bagi yang ingin lebih dulu berhibur diri silahkan
memilih seorang Kembang Istana dan bersenang-senang di kamar yang telah disediakan di
lantai atas. Bagi mereka yang sudah ingin mendapatkan rejeki besar silahkan mendatangi meja.
Permainan segera akan kita mulai. “

Habis berkata begitu Bandar Agung kembali ke tempat duduknya di samping kanan meja dadu.
Dibagian bawah meja dadu, agak lebih rendah terdapat sebuah meja besar dipenuhi

uang perak dan uang emas serta batangan perak dan batangan emas.

Suara petikan kecapi dan tabuhan kembali terdengar. Gadis cantik di ujung kiri meja judi angkat
dua tangan ke atas. Ketiaknya tampak putih bersih dan berminyak oleh keringat Dua tangan itu
digoyang-goyang membuat sepasang buah dadanya ikut bergerak turun naik. Lalu tangan
diturunkan di atas sanding meja judi. Begitu dua tangan dikembang tampak dua buah dadu
putih kekuningan bermata merah. Sesaat kemudian dua buah dadu digenggam kembali,
digoyang-goyang dengan gerakan menggairahkan mengikuti alunan kecapi dan gendang.

“Pasang. . . . Pasang taruhan sebanyak-banyaknya!” si gadis berseru sambil liukkan pinggul dan
goyangkan dada. Para tamu yang berada di sekitar meja dadu segera meletakkan taruhan
masing-masing di atas nomor yang mereka anggap akan menang.

Gadis cantik terus mengguncang dadu dalam dua dekapan tangan.

“Semua sudah memasang? Ayo tambah lagi! Pasti menang!”

Setelah semua nomor di atas meja dipenuhi pasangan para tamu penjudi gadis cantik turunkan
dua tangan. Lalu dua dadu dalam genggaman dilemparkan ke dalam kotak kayu pada ujung kiri
meja. Dadu bergulir berkerontangan. Di balik cadar, sepasang mata Bandar Agung dengan cepat
memperhatikan pasangan para tamu.
Di dalam kotak di atas meja setelah bergulir dua buah dadu berhenti diam. Dadu pertama
berhenti pada mata 3 sedang dadu kedua berhenti pada angka 5. pemenang adalah yang
memasang pada nomor 8. Dan saat itu jelas terlihat nomor 8 adalah nomor yang paling banyak
pemasangnya. Para pemenang bersorak gembira. Bandar Agung segera membayar pasangan
pemenang yakni dua kali jumlah taruhan yang dipasang.

“Selamat! Selamat!” ucap Bandar Agung berulang kali. Permainan dilanjutkan. Mereka yang
menang dengan bersemangat menambah pasangan taruhan pada angka-angka yang mereka
anggap akan memberi keberuntungan.

Suara kecapi semakin keras, suara gendang bertalu-talu, nyanyian sang sinden bertambah
merdu. Gadis pengocok dadu menggeliat-geliatkan pinggang. Pinggulnya yang lebar melenggak
lenggok. Dadanya bergoncang naik turun.

“Pasang lagi! Selamat untuk yang barusan menang! Pasang lebih banyak! Kali ini keberuntungan
bagi yang kalah! Pasang, pasang!”

Setelah semua nomor di atas meja dadu diisi taruhan, gadis pengocok dadu angkat dua
tangannya tinggi-tinggi. Seorang tamu yang tidak tahan gairah melihat keindahan ketiak si gadis
ditambah payudaranya yang montok dan menyembul keluar, turunkan cadarnya sedikit lalu
enak saja hidung dan mulutnya menciumi ketiak si gadis. Gadis cantik terpekik tapi tidak marah.
Bandar Agung tertawa gelak-gelak. Para tamu bersorak riuh.

Gadis yang mengguncang dadu turunkan dua tangan. Dua buah dadu bergulir di dalam kotak
kayu. Masing-masing menunjukkan mata 2 dan 4. Jadi yang menang adalah para pemasang di
nomor 6. Salah satu pemenang justru lelaki yang tadi mencium ketiak gadis pengocok dadu.

“Ha. . ha! Ketiak pembawa rejeki!” seorang tamu berteriak.

Lalu ada yang berseru. “Cium lagi! Cium lagi!” Tamu pemenang mengambil bayaran taruhan
yang diserahkan oleh Bandar Agung yaitu berupa delapan uang emas. Satu keping uang etnas
kemudian dimasukkannya ke balik dada gadis pengocok dadu. Rupanya ciumannya tadi
membuat rangsangan besar pada dirinya. Orang ini mendekati Bandar Agung dan berkata.

“Bandar Agung, apakah aku boleh membawa gadis ini untuk beristirahat barang sebentar di
lantai atas?”“

“Tentu saja! Tentu saja! Bawalah ke atas! Selamat bersenang-senang. Kalau sudah puas jangan
lupa kembali ke sini. Seribu Rejeki menunggu di meja dadu. Ha. . . ha. . . ha!”

Tanpa menunggu lebih lama tamu tadi segera menarik lengan gadis pengocok dadu. Si gadis
menurut saja malah sambil senyum-senyum. Bandar Agung tepukkan tangan tiga kali. Seorang
gadis segera datang menggantikan gadis tadi.
Di dalam kamar di lantai atas tamu yang membawa gadis cantik pengocok dadu begitu
menutup pintu langsung memeluk si gadis dan menciumi wajah, leher dan tentu saja ketiaknya
sehingga si gadis menggeliat kegelian.

“Aku suka ketiakmu. Bersih putih dan enak baunya. Ha. . . ha. . . ha. Siapa namamu?”

“Saya Ningrum. Saya merasa senang Raden Mas mau membawa saya ke sini. Bolehkan saya
menanggalkan pakaian sekarang juga?”

“Biar aku yang membuka pakaianmu. “

“Ahh. . . “ Gadis cantik itu menggeliat. “Apakah Raden Mas tidak akan membuka cadar merah
yang menutupi wajah? Rasanya akan lebih mesra bila kita bisa saling bertatap muka. “

Sang tamu segera tanggalkan cadar kain merah yang menutupi wajahnya. Sepasang mata
Ningrum membesar ketika mengenali orang di hadapannya.

“Saya merasa mendapat kehormatan besar. Saya tidak menyangka kalau tamu yang gagah dan
dermawan ini adalah Raden Mas Karta Suminta , Adipati dari Brebes. . . “

Lelaki berkumis dan bercambang bawuk tebal itu tertawa lebar. Tangannya dengan cepat
bergerak menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh Ningrum.

“Dengar, setelah bersenang-senang ada tugas untukmu. Dan kau akan mendapat bayaran
berlipat ganda. “

Ningrum membelai cambang bawuk Karta Suminta.

“Tugas apa gerangan, Raden Mas? Jangan berikan saya tugas yang sulit-sulit. Berikan tugas yang
mudah dan enak-enak. Hik. . . hik. . hik”

“Seseorang akan menemuimu besok pagi. Dia membawa satu bungkusan berisi racun, Tugasmu
adalah menyerahkan racun itu pada seseorang yang akan datang mengambil bungkusan pada
sore hari. Kau mengerti, Ningrum?”

“Saya mengerti, Raden Mas. Ternyata tugas yang Raden Mas berikan tidak sulit. “ Jawab
Ningrum sambil layangkan senyum genit lalu baringkan diri di atas ranjang sementara Karta
Suminta mulai membuka pakaiannya.

Kembali ke lantai bawah. Gadis pengganti pengocok dadu memiliki geliatan dan goyangan
tubuh tak kalah merangsang dari tadi yang bernama Ningrum, Saat itu sambil menggoyang-
goyangkan pinggul dia mengguncang dua buah dadu. Di atas kursi Bandar Agung
memperhatikan pasangan para tamu.
Setelah itu tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jubah ungu. Gadis cantik melemparkan
dua buah dadu ke dalam kotak kayu di atas meja. Dua buah dadu bergulir. Lalu berhenti pada
mata 3 dan 6. Berarti para pemenang adalah pemasang di angka 9. Ternyata pemasang di
nomor itu hanya dua orang dan dalam jumlah kecil. Yaitu hanya dua keping uang emas dan
empat keping uang perak. Sementara di nomor yang lain puluhan keping uang emas dan perak
jadi taruhan, termasuk dua batangan emas lantak di angka 7 dan 12.

Bandar Agung dengan cepat meraup semua pasangan yang kalah dan membayar pasangan di
nomor pemenang.

“Pasang. . . . pasang!” seru gadis pengocok dadu. “Selagi masih siang! Selagi pintu rejeki terbuka
lebar! Pasang, pasang!” Dua buah dadu dimasukkan ke balik dada. Pakaiannya diusap-usap lalu
dua buah dadu dikeluarkan kembali. Para tamu bersorak riuh dan jadi tambah bersemangat.

**

Lenyapnya Rayi Jantra Kepala Pasukan Kadipaten bersama dua perajurit Lebak dan Meneng
menimbulkan kehebohan di Losari. Adipati Seda Wiralaga memerintah seluruh jajarannya untuk
menyelidik. Malah dalam dua kali pemberangkatan rombongan penyelidik dia ikut serta turun
tangan. Mata-mata disebar ke berbagai pelosok. Namun hampir dua puluh hari dimuka, misteri
raibnya ke tiga orang itu tetap tidak terpecahkan. Adipati belum mengambil keputusan guna
mencari pengganti Rayi Jantra. Untuk sementara jabatan dan tugas. Kepala Pasukan Kadipaten
dirangkap oleh sang Adipati sendiri.

Pada hari ke lima hilangnya Kepala Pasukan dan dua perajurit, dari pintu gerbang selatan Losari
seorang lelaki memacu kudanya dengan cepat. Orang ini adalah perajurit Jumena. Perajurit ini
benar-benar merasa sangat kehilangan atasannya. Salah satu alasan yang membuat dia sangat
berduka adalah karena Rayi Jantra pernah akan menaikkan pangkatnya satu tingkat. Kini
dengan lenyap dan diduga sudah meninggalnya sang atasan, tak ada harapan bagi Jumena
untuk mendapat kenaikan pangkat. Sementara penyelidikan dan pencarian terhadap ketiga
orang itu boleh dikata sudah dihentikan, namun perajurit Jumena secara sendirian masih terus
melakukan pelacakan.

Tanpa arah pasti yang dituju, pagi itu Jumena telah melewati perbatasan ke arah timur.
Perajurit ini baru sadar dia telah memasuki wilayah timur setelah perjalanannya terhenti di
hadapan Kali Kabuyutan. Jumena turun dari kudanya. Sementara binatang itu menuruni tebing
dan minum air kali, Jumena duduk di sebuah batu. Keadaan di tempat itu terasa sejuk nyaman.
Sesekali terdengar suara kicau burung.

Jumena turun ke kali. Membasahi wajah dengan air bening sejuk hingga dirinya merasa segar.
Duduk kembali di atas batu sambil memperhatikan kudanya. Sadar kalau saat itu dia telah
melewati perbatasan dan berada di wilayah sebelah timur, perajurit ini berpikir.
“Selama ini penyelidikan lenyapnya Raden Rayi Jantra hanya dilakukan di daerah barat. Apa
salahnya aku menghabiskan waktu sehari dua untuk menyelidik kawasan sebelah timur
perbatasan ini. “ Berpikir begitu Jumena tarik tali kekang kuda. Ketika dia hendak menunggangi
binatang itu tak sengaja dia memandang ke langit arah timur. Sekumpulan burung hitam
tampak berputar-putar di udara lalu sambil menguik melayang turun. Tak lama kemudian
muncul lagi membumbung ke udara. Hal ini diperhatikan Jumena terjadi berulang kali.

“Ada sesuatu di arah timur sana yang menarik perhatian puluhan burung hitam itu.”

Akhirnya Jumena memutuskan untuk menyelidik. Dia segera menggebrak tunggangannya.

Semakin jauh ke timur semakin jelas Jumena melihat bentuk dan jenis puluhan burung itu.

“Burung hitam pemakan bangkai!”

Kuduk sang perajurit mendadak terasa dingin. Kudanya dipacu semakin kencang. Tapi jalan
yang ditempuh semakin sulit. Selain mendaki juga terhalang oleh semak belukar dan bebatuan.
Di satu tempat Jumena terpaksa hentikan kuda dan turun. Hidungnya mendadak mencium bau
sangat busuk. Di pohon-pohon sekitarnya dia melihat banyak lalat menempel dan beterbangan.
Jumena melangkah ke arah tanah ketinggian sampai akhirnya dia terpaksa berhenti karena di
depannya menghadang sebuah jurang batu.

Jumena menatap ke langit lalu pandangannya mengikuti burung-burung hitam yang menukik ke
bawah. Ketika perajurit ini memperhatikan dasar jurang, kejutnya. bukan alang kepalang walau
sebelumnya dia sudah menduga-duga.

Meski cukup terjal namun jurang batu itu tidak seberapa dalam hingga Jumena bisa melihat
cukup jelas lebih dari delapan mayat bergeletak di dasar jurang. Ada yang terpentang di atas
batu, ada yang terselip diantara bebatuan. Semua dalam keadaan sangat rusak, menebar bau
busuk. Malah ada yang hanya tinggal tulang belulang memutih dibawah terik sinar matahari.

“Aku punya firasat. Jangan-jangan salah satu dari mayat itu adalah mayat Raden Rayi Jantra. Ya
Tuhan, mudah-mudahan firasatku salah. “

Setelah menutup hidungnya dengan sehelai sapu tangan, perajurit Jumena dengan hati-hati
menuruni jurang terjal. Burung-burung hitam pemakan mayat menguik keras seolah marah
keberadaan mereka di sana yang tengah menyantap makanan diganggu oleh kemunculan
Jumena. Burung-burung itu melesat ke udara, terbang berputar-putar. Hanya beberapa ekor
saja yang masih memberanikan diri melayang turun untuk mencungkil sisa-sisa daging busuk
pada sekian banyak mayat di dasar jurang.

Jumena sampai di dasar jurang. Dengan perasaan ngeri dan jijik memperhatikan sosok mayat
satu persatu. Ada enam mayat yang tidak dikenalnya.
“Mudah-mudahan Raden Rayi tidak menemui nasib malang di tempat ini. . . . “ ucap Jumena.
Namun kuduknya jadi merinding dan matanya terpentang lebar ketika memperhatikan sesosok
mayat yang terselip di antara dua buah batu besar agak jauh di bawah sana. Dari pakaiannya
saja dia sudah bisa menduga bahwa mayat itu adalah mayat Rayi Jantra. Jumena berusaha
mencapai mayat tapi sulit.

Jumena naik ke satu batu cadas, jongkok memperhatikan ke arah antara dua buah batu besar.
Perhatiannya dipusatkan pada kepala mayat. Walau kepala itu sudah hancur namun dalam
bimbangnya Jumena kini bukan cuma menduga, tapi yakin mayat itu adalah mayat atasannya.
Jumena merasa kepalanya pusing dan perutnya mual. Dia tidak mungkin mengeluarkan mayat
Rayi Jantra yang sudah sangat rusak dari sela batu apa lagi membawanya ke atas jurang.

“Raden, maafkan diriku yang tidak bisa menyelamatkan jenazahmu. . . “ Habis berkata begitu
seperti dikejar setan Jumena kembali naik ke atas jurang. Tubuhnya mandi keringat.

Sampai di tepi jalan perajurit ini jatuhkan diri berlutut, menghambur tangis. Keluarkan ratapan.

“Raden Rayi Jantra, dosa apa yang telah kau perbuat sehingga ada orang tega membunuh dan
membuang mayatmu ke jurang? Siapa pembunuhnya! Siapa?!” Jumena berteriak-teriak sambil
meninju-ninju tanah.

Tibatiba ada suara menegur.

“Seorang perajurit tidak pantas menangis! Perajurit, apa yang terjadi di sini?”

Jumena hentikan tangis, angkat kepala. Dia melihat sosok seorang pemuda berdestar dan
berpakaian putih, rambut panjang sebahu, berdiri di hadapannya.

“Jahanam!” Jumena berteriak seperti orang kalap. “Pasti kau pembunuhnya! Paling tidak kau
kaki tangan pembunuh!”

Jumena loloskan golok besar di pinggang lalu tanpa pikir panjang lagi dia melompat bangkit dan
membacok ke arah kepala orang!

Sebelum golok besar mendarat di sasaran, satu tangan kukuh dengan cepat mencekal
pergelangan tangan kanan Jumena. Sekali tangan itu memuntir golok terlepas, Jumena
terhuyung lalu jatuh terduduk di tanah.

**

SEPULUH
“Aku bertanya baik-baik. Mengapa kau malah hendak membacokku?”

Orang yang hendak dibacok yakni pemuda berambut gondrong yang bukan lain adalah
Pendekar 212, bertanya.

Jumena terduduk lemas di tanah. Menatap Wiro masih dalam keadaan setengah kalap. Ketika
amarahnya mengendur dengan suara perlahan dia berkata.

“Aku tidak berniat jahat . . Aku kalap karena atasanku dibunuh orang dan mayatnya dibuang ke
jurang!”

“Siapakah atasanmu?”

“Raden Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari. “

“Kau adalah perajurit wilayah barat, mengapa berada di wilayah timur?” tanya Wiro.

“Aku dalam mencari atasanku. Sejak lima hari lalu dia raib bersama dua perajurit. Seluruh
kawasan di barat telah diselidiki. Raden Rayi tidak ditemukan. Akhirnya aku mencoba masuk ke
wilayah ini. Ternyata tidak sia-sia. Mayatnya kutemukan di dasar jurang.”

“Aku lihat di sini mayat di jurang berjumlah lebih dari delapan orang. Mayat siapa yang
lainnya?”

“Dua adalah perajurit Lebak dan Meneng. Yang lain aku tidak bisa menduga.”

Setelah diam sebentar perajurit Jumena bertanya. “Pemuda Kau sendiri siapakah?”

“Aku dalam perjalanan ke Gunung Gede. Kebetulan saja lewat di tempat ini. “

“Namamu?” tanya Jumena lagi.

Wiro tertawa. Dia balik bertanya.

“Kalau sampai Kepala Pasukan Kadipaten dibunuh orang lalu mayatnya dibuang di jurang sana,
apakah kau bisa menduga siapa yang berbuat keji. Lalu apa latar belakang kejahatan ini?”

Jumena gelengkan kepala.

“Banyak hal yang aku tidak ketahui. Di kawasan barat, terutama di Kadipaten Losari akhir-akhir
ini banyak kejadian. Semua berujung pada kematian. “
“Perajurit, ceritamu menarik. Apa kau mau menjelaskan. apa saja yang telah terjadi?” tanya
Wiro.

“Aku tidak mau bercerita. Aku tidak kenal siapa dirimu. Bukan mustahil kau adalah mata-mata
orang timur. “

Wiro tertawa.

“Aku bukan mata-mata. Kalau kau bercerita siapa tahu aku bisa menolong. “

“Tidak, aku tidak akan bercerita. “ Jawab Jumena. “Silahkan kau melanjutkan perjalanan.
Gunung Gede masih jauh dari sini. “

“Kau betul, Gunung Gede masih jauh dari sini. Aku melihat seekor kuda besar di sebelah sana.
Pasti milikmu. Aku rasa kau mau berbaik hati meminjamkan kuda itu untuk tungganganku ke
Gunung Gede. “

“Jadi rupanya kau seorang penjahat! Seorang begal!” Teriak Jumena marah.

Wiro tertawa.

“Aku hanya mau meminjam. Jika kau tidak sudi aku tidak memaksa,” jawab Wiro lalu tinggalkan
tempat itu. Belum jauh dia berjalan didengarnya perajurit tadi lari mengejarnya dan berseru.

“Tunggu! Jika kau memang ingin penjelasan, aku bersedia menceritakan!”

“Hemm. . . Begitu? Baiklah. Aku akan mendengarkan. “ Jawab Wiro lalu duduk di tepi jalan.

Perajurit Jumena bercerita mulai dengan kematian Nyi Inten Kameswari yang makamnya
kemudian dibongkar orang. Ketika jenazah diperiksa kembali ditemukan perutnya dalam
keadaan robek besar. Lalu menyusul kematian Anom Miharja, suami Nyi Inten yang dikabarkan
bunuh diri. Jumena tidak lupa menceritakan ditemukannya beberapa mayat orang Cina yang
diduga adalah orang-orang rimba persilatan Tiongkok. Lalu kematian Pengemis Muka Bopeng
dan seorang tokoh silat bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu. Kejadiannya di warung Akang
Punten di desa Cangkring. Sebelum mati Eyang Sepuh didengar menyebut-nyebut nama Raden
Kumalasakti. Lalu diceritakan pula ditemukannya beberapa mayat penduduk setempat.

“Siapa Raden Kumalasakti itu?” tanya Wiro.

“Seorang masih muda tapi memiliki kepandaian tinggi, Punya banyak hubungan dengan para
tokoh di barat dan di timur. “

“Menurutmu, kematian Raden Rayi Jantra ada sangkut pautnya dengan semua pembunuhan
yang terjadi?” Bertanya Wiro.
“Aku tidak bisa menduga. Bisa saja begitu. Satu hal kuketahui, sebelum tewas Raden Rayi Jantra
tengah menyelidiki asal usul kekayaan keluarga Anom Miharja dan istrinya Nyi Inten. “

“Ceritamu tambah menarik. Kalau Anom Miharja dan Nyi Inten sakit hati karena dirinya
diselidiki, tak mungkin mereka yang membunuh Rayi Jantra. Turut ceritamu kedua orang itu
telah mati lebih dulu. “

“Kau tadi mengatakan ingin menolong. Bagaimana caramu mau menolong?” Jumena kini yang
bertanya.

Wiro keluarkan kancing hitam dari kayu yang didapatnya dari Eyang Sepuh Kembar Tilu lalu
memperlihatkan pada Jumena.

“Kancing kayu ini. Kau tahu kira-kira siapa punya pakaian memakai kancing seperti ini?”

“Itu kancing baju jas tutup. Semua orang kaya, para bangsawan dan pejabat tinggi jika mereka
mempunyai jas tutup pasti kancingnya seperti itu. “ Jawab Jumeha. “Dari mana kau
mendapatkan kancing itu?”

“Kutemukan di satu tempat,” jawab Wiro berdusta. Seperti diketahui kancing itu didapatnya
tergenggam di tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu sewaktu nenek aneh itu menemui kematian
dibunuh seseorang yang tidak diketahui siapa adanya. Lalu Wiro berkata, setengah memancing.
“Kalau sampai banyak orang asing datang ke Losari pasti ada seseorang atau sesuatu yang
sangat penting dan berharga yang mereka cari. Apa lagi mereka sampai menemui ajal begitu
rupa. Lalu jika dihubungkan dengan rentetan kematian beberapa tokoh silat seperti Eyang
Sepuh Kembar Tilu, Raden Kumalasakti dan Pengemis Muka Bopeng yang menyaru menjadi
Raden Kumalasakti. Mungkin banyak lagi tokoh atau orang yang telah menemui kematian tapi
tidak kau ketahui. Apakah kau tidak mengira semua itu ada kaitannya satu sama lain?”

“Aku Jumena, seorang perajurit rendah. Akalku tidak sampai pada menghubung-hubungkan
semua hal yang terjadi. Hanya saja sewaktu terjadi perkelahian antara Pengemis Muka Bopeng
dan Eyang Sepuh Kembar Tilu di warung Akang Punten, kabarnya Pengemis Muka Bopeng
memaksa si nenek menyerahkan sesuatu barang. “ “Barang apa?” tanya Wiro. “Dua buah dadu.
“ Jawab Jumena. “Dua buah dadu?” Wiro menggaruk kepala. “Hanya gara-gara dua buah dadu
saja saling berbunuhan?! Edan betul! Tapi….”

Wiro tidak meneruskan ucapannya. Hidungnya mencium semerbak bau harum. Padahal dari
arah jurang masih santar bau busuknya mayat.

“Hemmm. . . . Aku pernah mencium bau harum ini sebelumnya. Tapi dimana. . . . “ Murid Sinto
Gendeng lagi-lagi menggaruk kepala. Wiro memandang berkeliling. Sunyi, tak ada suara, tak
ada orang tak ada gerakan. Wiro perhatikan sebuah dinding batu tak seberapa lebar namun
cukup tinggi menjulang ke udara. Kalau ada orang yang sembunyi dan diam-diam melakukan
pengintaian, maka balik lamping batu itu adalah tempat yang paling baik.

Tidak menunggu lebih lama, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang andal
Pendekar 212 melompat tinggi ke udara, melesat dan di lain saat dua kakinya telah menginjak
bagian atas dinding batu yang ternyata cukup lebar dan rata. Wiro memandang ke bawah. Dia
melihat satu bayangan merah berkelebat cepat menuruni lereng batu.

“Hai!”

Wiro berteriak. Bayangan merah lenyap dari pemandangan. Luar biasa. Tempat dimana dia
berada serta lereng batu terjal di bawah sana berjarak hampir dua puluh tombak. Namun si
bayangan merah mampu menuruni lereng dengan cepat dan lenyap dalam sekejapan mata.
Bukan saja gerakannya cepat sekali tapi ilmu meringankan tubuhnya juga luar biasa. Bidadari
Angin Timur yang memiliki kecepatan seperti kilat mungkin kepandaiannya masih satu tingkat
di bawah si bayangan merah tadi.

“Pasti dia lagi!” ucap Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak. “Dua nenek kembar, apa kau
ada di sini?!”

Saat itu juga terdengar suara ha-hu ha-hu. Dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning
muncul. Keduanya membungkuk di hadapan Wiro.

“Kalian melihat orang yang kabur di bawah sana?”

“ha-hu ha-hu!”

“Apa dia orang yang sama. Yang dulu pernah mengintai diriku?!”

“ha-hu ha-hu!”

“Kejar dia sampai dapat. Kalau sudah ditemui beritahu padaku dan antar aku ke tempat dimana
dia berada!”

“ha-hu ha-hu!”

Dua nenek kembar membungkuk lalu berkelebat lenyap dari tempat itu, melayang laksana
terbang ke jurusan lenyapnya bayangan merah. Wiro berpaling ke arah Jumena.

“Aku harus pergi. Nanti kita bertemu lagi!”

“Katanya. mau menolong. Malah pergi. . . . “ Jumena mengomel.


Tidak seperti si bayangan merah atau dua nenek aneh, untuk sampai ke lereng bukit batu di
bawah Sana Wiro memerlukan satu lompatan antara. Berlari cukup jauh malah sampai sang
surya tepat di ubun-ubun kepala dia masih belum berhasil mengejar orang berpakaian merah.
Sementara dua nenek kembar tak satupun yang muncul. Sambil lari sesekali Wiro kerahkan
ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung namun tetap saja dia tidak dapat
menjajagi dimana beradanya orang yang dikejar. Menjelang petang Wiro akhirnya capai sendiri
dan hentikan pengejaran.

Malam hari Wiro menemukan sebuah candi kecil yang keadaannya sudah sangat rusak. Untung
ada bagian atap yang masih cukup baik untuk dipakai berlindung dari embun dingin. Wiro
memutuskan untuk bermalam di candi ini. Perutnya terasa lapar. Selagi dia mencari tempat
yang baik dan bersih untuk berbaring tibatiba terdengar suara derap kaki kuda, keras dan cepat
sekali. Wiro memperhatikan dari balik dinding candi.

Dalam kegelapan malam kelihatan dua penunggang kuda coklat memacu tunggangan mereka
ke arah candi. Sementara di sebelah belakang mengejar enam orang yang juga menunggang
kuda.

Begitu sampai di depan candi, dua penunggang kuda coklat yang berpakaian dan berdestar biru
segera berhenti. Kuda dilepas dan keduanya cepat menyelinap ke dalam candi. Wiro
memperhatikan, dua orang ini masih sangat muda-muda. Wajah mereka sama-sama tampan.
Yang bertubuh kecil halus berkumis tipis rapi. Kelihatannya mereka pemuda baik-baik. Tampang
pedagang mereka tidak punya. Mungkin murid atau santri pesantren yang beberapa
diantaranya memang terdapat di daerah itu. Mungkin juga mereka dua orang putera ningrat
bangsawan yang kemalaman di jalan. Kedua orang ini masing-masing membekal bungkusan
besar di punggung.

Enam penunggang kuda pengejar berhenti di samping candi dengan suara menggemuruh. Debu
mengepul ke udara. Ke enam orang ini mengenakan baju penuh tambalan. Dengan gerakan
sebat cepat mereka melompat masuk ke dalam candi.

“Dua tikus putih! Apa kalian lebih suka mencari mati dari menyerahkan harta benda?!” Salah
seorang dari enam lelaki yaitu yang paling besar tubuhnya berteriak. Golok besar berkilat
dimelintangkan di atas dada. Rambut hitam lebat, muka kotor coreng-moreng, kumis
melintang, berewok dan janggut meranggas kasar. Satu keanehan pada diri orang ini, sepasang
mata lebih banyak putihnya. Bola mata hanya merupakan satu titik kecil berwarna hitam. Lima
temannya keadaannya hampir tidak beda. Hanya saja yang lima ini tidak memiliki mata seperti
si tinggi besar tadi.

“Meong. . . “

Tibatiba ada suara kucing mengeong. Sesaat kemudian satu sosok berpakaian putih melesat di
udara dan berdiri di tembok candi. Sambil bertolak pinggang orang ini berkata.
“Tak ada tikus di sini. Yang ada kucing meong. Aku!” “

Enam orang lelaki berpakaian penuh tambalan melengak kaget. Tapi cuma sebentar.
Keenamnya menggebor marah. Yang paling depan membentak keras.

“Kalau tidak ada tikus kucing meongpun jadi!” Lalu orang ini melompat ke depan babatkan
golok besarnya ke kaki orang di atas tembok yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng.

“Ah kalian pasti pengemis apes. Tidak gablek sedekahan siang tadi, malam hari jadi nekad!”

Sekali melompat Wiro telah berada di udara. Waktu melayang turun dia sengaja injakkan kaki
kiri lebih dulu di atas kepala orang yang paling besar baru jejakkan kaki di lantai candi. Marah
orang ini diperlakukan seperti itu bukan alang kepalang. Seumur hidup baru kali itu ada orang
yang berlaku sangat kurang ajar, berani menginjak kepalanya. Dia berteriak pada anak buahnya
yang lima orang.

“Cari dua tikus itu! Jarah harta benda mereka! Bunuh jika melawan! Aku akan mencincang
kucing meong satu ini! Tidak ada satu orangpun boleh berlaku kurang ajar terhadap Pengemis
Mata Putih!”

Orang yang mengaku Pengemis Mata Putih melompat ke atas tembok. Di saat yang sama
sambil tertawa bergelak Wiro melompat ke lantai candi.

“He. . he! Bagaimana ini! Kau ke atas, aku ke bawah! Ha. . . ha. . . ha!”

Pendekar 212 melirik ke samping lalu berkelebat tinggalkan Pengemis Mata Putih.

“Bukk! Bukk!”.

Dua lelaki berpakaian tambalan yang hendak menyergap ke sudut candi dimana beradanya dua
pemuda tampan berpakaian biru tadi mencelat mental dan keluarkan jeritan keras. Golok
terlepas jatuh. Keduanya terkapar di lantai candi, megap-megap muntah darah. Tiga temannya
serta merta berbalik ke arah Wiro dan kiblatkan golok masing-masing dalam jurus luar biasa
cepat dan ganas!

Pendekar 212 mainkan jurus Benteng Topan Melanda Samudera. Dua tangan dikipas ke depan.

“Wutt! Wuutt!”

“Aahhhhh!”
Tiga lelaki baju tambalan mengerang keras. Ketiganya terpental. Satu menghantam dinding
candi hingga roboh. Dua lainnya terbanting ke halaman candi! Satu melejang-lejang kesakitan
satunya tak berkutik lagi karena patah leher.

“Singgg!”

Satu golok besar menyambar ke arah batang leher Pendekar 212. Datangnya dari samping.
Wiro cepat merunduk. Sambil jatuhkan diri dan bersitekan dengan dua tangan ke lantai candi,
kaki kirinya menendang ke belakang dalam jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung.

“Duukkk!”

Gerak serangan seperti kuda menendang itu mendarat di dada Pengemis Mata Putih yang tadi
membacok dengan ganas. Tubuhnya yang besar hanya bergontai sebentar lalu. mulutnya
keluarkan suara tawa bergelak. Sambil pukul-pukul dadanya sendiri dia berkata menantang.

“Pemuda gondrong kau boleh pukul bagian tubuhku yang kau suka! Kau boleh keluarkan
senjata! Bacok dan tusuk dimana kau senang!”

“Hemmm. . . . rupanya kau punya ilmu kebal hingga berlaku pongah menantang! Tapi apakah
kau merasa lebih hebat dari Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam yang telah
menemui kematian?!”

Kejut Pengemis Mata Putih bukan alang kepalang. “Kau bicara apa?!” hardik Pengemis Mata
Putih. Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam adalah dua adik seperguruannya.

“Sebaiknya kau bersama anak buahmu pergi menghadap gurumu Si Raja Pengemis di
Lebakwangi. Bertobat minta ampun atas semua perbuatan sesat kalian. Diniati jadi pengemis
malah jadi rampok!”

Mendengar kata-kata Wiro, Pengemis Mata Putih menggerung.

“Jika dua saudara seperguruanku tewas, berarti kau yang membunuh mereka!”

Dengan golok di tangan Pengemis Mata Putih menerjang ke depan. Golok besar berkilat
berubah seolah menjadi belasan banyaknya. Membabat, membacok dan menusuk dengan
mengeluarkan angin dingin serta suara berdesing. Pengemis Mata Putih keluarkan jurus
andalnya yang disebut Pengemis Siang Minta Berkah, Pengemis Malam Minta Sesajen.

”Breett!”

Baju Pendekar 212 robek di bagian bahu. Pakaian putih itu tampak kemerahan tanda kulit bahu
Wiro ikut terluka. Dari sudut candi terdengar satu suara pekikan. Walau bahunya terasa perih,
Pendekar 212 menyeringai sambil tepuk-tepuk bahu yang luka.
“Kucing meong! Baru bahumu yang aku sayat! Sekarang giliran lehermu! Lihat golok!” Didahului
bentakan keras tubuh besar Pengemis Mata Putih melompat. Goloknya bersiuran, menabur tiga
serangan sekaligus. Yaitu membabat ke pinggang lalu membacok ke kepala dan terakhir sekali
yang merupakan serangan sebenarnya adalah menusuk ke leher! “Serangan hebat! Jaga
kepalamu!” teriak Wiro sambil menghindar.

Pengemis Mata Putih terkesiap. Suara lawan datang dari empat jurusan. Mana yang sungguhan
dan mana yang palsu? Belum mampu dia memastikan tiba-tiba buukkk! Batok kepalanya
digebuk orang!

Pengemis Mata Putih tersungkur di tanah. Mengerang sebentar, mata terjereng-jereng lalu
bangkit lagi! Pendekar 212 melengak kaget setengah mati. Tadi dia berhasil menipu lawan
dengan ilmu Empat Penjuru Menebar Suara. Ilmu ini didapatnya dari Datuk Tanpa Bentuk
Tanpa Ujud yang merupakan guru Hantu Selaksa Angin (Baca serial Wiro Sableng di
Latanahsilam) Selagi lawan kebingungan Wiro kemudian menghantam ubun-ubun orang
dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Pukulan yang bisa menghancurkan batu
besar itu ternyata tidak mampu memecahkan kepala Pengemis Mata Putih!

“Gila! Ilmu kebalnya benar-benar luar biasa! Aku harus mencari kelemahannya! Sebaiknya aku
lebih dulu mencecar dengan serangan.” Wiro lalu kerahkan tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh. Tubuhnya berkelebat seolah berubah jadi bayang-bayang. Tangan dan
kakinya melesat kian kemari, menendang dan menggebuk. Beberapa dari serangannya itu
bersarang dengan telak di tubuh lawan. Namun tetap saja Pengemis Mata Putih bergeming,
tidak berhasil dirobohkan apa lagi dicederai. Sebaliknya serangan golok sang pengemis semakin
bertubi-tubi dan berbahaya. Wiro memutuskan untuk menghantam lawan dengan pukulan
Sinar Matahari.

“Kelemahan orang itu adalah pada matanya. Jika kau bisa menciderai satu saja dari dua
matanya, sekali pukul saja dia akan ambruk menemui ajal!”

Tibatiba Wiro mendengar suara halus di telinga kirinya. Dia tidak berusaha mencari tahu siapa
yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu namun langsung saja melakukan serangan mengincar
dua mata lawan. Setelah mendesak Pengemis Mata Putih tiga jurus berturut-turut Wiro
akhirnya berhasil menjotos mata kiri lawannya dengan jurus pukulan Membuka Jendela
Memanah Matahari.

“Crooss!”

Mata kiri Pengemis Mata Putih hancur! Orang ini langsung melosoh ke tanah, menjerit tiada
henti. Wiro jambak rambutnya dengan tangan kanan. Ketika tangan kiri hendak dihantamkan ke
muka orang ada orang mencegah dengan mengirimkan suara.

“Jangan bunuh orang itu!”


Wiro lepaskan jambakan. Pengemis Mata Putih jatuh terduduk di tanah, berlutut dan meratap
minta ampun.

“Aku mengaku kalah! Ampuni selembar nyawaku! Aku siap untuk bertobat!”

“Pergilah! Bawa teman-temanmu yang masih hidup. Awas jika kemudian hari aku menemuimu
masih berbuat jahat!”

Pengemis Mata Putih membungkuk-bungkuk berulang kali. Ternyata ada empat orang anak
buahnya yang masih hidup walau dua diantaranya luka parah.

Setelah Pengemis Mata Putih dan empat anak buahnya pergi membawa serta mayat seorang
teman mereka Wiro berpaling ke sudut kiri candi dimana dua pemuda cakap berpakaian biru
berdiri dengan wajah menunjukkan rasa lega, lepas dari malapetaka.

Pemuda yang bertubuh lebih besar segera mendatangi Wiro.

“Aku dan adikku menghaturkan banyak terima kasih dan bersyukur pada Yang Maha Kuasa.
Kalau sahabat tidak menolong, entah apa jadinya kami. berdua. “

Wiro menggaruk kepala. Sekali lihat saja dia tidak percaya kalau dua pemuda tampan dan halus
ini tidak memiliki ilmu kepandaian. Mereka sembunyikan kehebatan dibalik sikap merendah
dan lemah lembut. Maka Wiro lalu menjawab.

“Kalau tidak tadi salah satu diantara sahabat yang memberi tahu kelemahan pengemis itu,
rasanya saat ini aku sudah jadi mayat terkutung-kutung. “

Pemuda yang bertubuh lebih kecil dan berkumis rapi mendatangi.

“Ilmu silat, ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam saudara sungguh mengagumkan. Boleh
saya bertanya siapa saudara ini dan murid siapa gerangan adanya?”

Wiro tersenyum.

“Sahabat keliwat memuji. Kalau saya boleh bertanya, sahabat berdua datang dari mana dan
mau menuju ke mana?”

“Kami orang pedalaman. Aku Panjirama, adikku bernama Ariadarma. Kami dalam perjalanan ke
utara. Di tengah jalan dihadang dan dikejar oleh Pengemis Mata Putih bersama anak buahnya.
Untung kami bertemu dengan sahabat. Sebelum sampai di sini kami tidak henti-hentinya
melihat bencana, malah mengalaminya sendiri. “
Ariadarma menyambung ucapan sang kakak. “Sebelumnya kami melewati beberapa desa.
Penduduk disana tengah meratapi bencana yang mereka alami. Air sungai yang melalui desa
mereka diracuni orang. Ikan mati mengambang. Ternak banyak yang menemui ajal. Bahkan
penduduk yang minum air sungai, walau telah dimasak masih mati keracunan. Diperlukan
waktu berminggu-minggu sebelum racun larut hanyut ke muara. Penduduk beberapa desa itu
sudah lama menderita. Kini malah jadi tambah sengsara. . . “

“Ini pasti pekerjaan orang-orang di timur. Orang-orang di barat sudah terlalu lama banyak
mengalah. “ Kata Panjirama pula.

Wiro perhatikan pemuda berkumis yang berdiri di depannya. Dia garuk-garuk kepala lalu
tersenyum dan berkata.

“Kalian berdua pasti kecapaian. Kalian perlu istirahat. Perjalanan ke utara masih jauh. Candi
rusak ini terlalu sempit untuk kita bertiga. Apa lagi aku tidak ingin menganggu kehadiran kalian
berdua. Aku tak berani menduga, namun bukan mustahil kalian adalah sepasang kekasih yang
sedang berkelana secara menyamar. . . “

Kaget dua kakak adik berwajah tampan itu bukan main. , “Aku tidak mengerti maksud sahabat,”
kata pemuda bernama Panjirama.

Wiro membungkuk lalu masih sambil senyum-senyum dia tinggalkan candi itu.

“Heran,” kata Panjirama. “Bagaimana dia sampai berkata kita adalah sepasang kekasih yang
sedang berkelana secara menyamar. . . “

“Ucapan itu hanya punya satu arti,” sahut Ariadarma, sang adik. “Dia tahu kalau Adinda
perempuan. Luar biasa, bagaimana dia bisa tahu?”

“Sayang dia keburu pergi. Padahal pendekar seperti dia yang kita perlukan di kemudian hari. “
Kata Panjirama pula.

Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan sambil senyum-senyum. “Berkumis tapi
pakai kalung emas dan punya payudara. Ha. . . ha. . . ha. . . “ Bagaimana Wiro tahu kalau
Ariadarma adalah seorang perempuan? Tidak lain karena kejahilannya juga. Dia memperhatikan
pemuda berkumis itu sambil mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Padahal Ratu Duyung
telah berpesan bahwa ilmu tersebut tidak boleh dipergunakan untuk niat nakal atau jahat.

“ha-hu ha-hu. . . “

Wiro hentikan langkah.

“Nenek kembar?”
Satu bayangan kuning berkelebat dan salah seorang dari dua nenek kembar rambut kelabu
jubah kuning muncul berdiri di hadapan Wiro.

“ha-hu ha-hu!” si nenek keluarkan suara gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk dirinya
sedang tangan menunjuk ke arah kejauhan.

“Kau dan kembaranmu sudah menemui orang berpakaian merah itu?” tanya Wiro.

Nenek rambut kelabu mengangguk berulang kali.

“Ha hu ha-hu!”

“Kalau begitu antarkan aku ke sana. “

“ha-hu ha-hu!” ucap si nenek.

“ha-hu ha-hu!” Wiro menirukan sambil menepuk pantat si nenek.

“Uuuhh. . . “ Walau hanya mahluk jejadian, namun tepukan di pantatnya membuat si nenek
terangsang juga dan tubuhnya mendadak sontak berubah menjadi seorang perempuan muda
cantik jelita.

“Jangan coba merayuku! Baru pantat belakang yang aku tepuk sudah mau menggoda.
Bagaimana kalau aku tepuk pantatmu yang depan!” kata Pendekar 212 pula sambil senyum-
senyum. “Ayo jalan!”

Perempuan cantik itu tertawa lebar. Kedip-kedipkan matanya lalu ujudnya kembali seperti
semula yaitu sosok nenek rambut kelabu.

“Ha-hu ha-hu!”

TAMAT

Eps 149 Si Cantik Dari Tionggoan

PENDEKAR 212 Wiro Sableng beberapa kali mempercepat larinya. Namun nenek rambut kelabu
tetap saja terpaut dua tombak di sebelah depan.

"Luar biasa. Ilmu lari apa yang dimiliki mahlukjejadian ini. Aku tak mampu mendekati." ucap
Wiro dalam hati.
Setelah berlari cukup jauh. di satu jalan berbatu-batu dan menurun serta dipenuhi pohon
cemara hutan, dari arah depan muncul nenek kedua, kembaran nenek yang tengah diikuti Wiro.

"Hahu ha-hu."

Nenek yang muncul keluarkan ucapan gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk kc jalan
berliku-liku di bawah sana.

"Ha-hu ha-hu." Nenek satunya keluarkan suara sama. Dia memberi tanda pada Wiro lalu ikuti
saudara kembarnya. Wiro segera pula membuntuti dua nenek kembar Eyang Sepuh Kembar
Tilu, seorang nenek sakti yang tempo hari tewas di tangan pembunuh misterius (Baca episode
sebelumnya berjudul "Dadu setan".) Dari nenek itu Wiro malah kebagian pekerjaan Sebelum
mati si nenek minta agar sang pendekar mencari siapa pembunuhnya.

Makin ke bawah jalan yang ditempuh semakin terjal. Batu-batu besar menghadang di setiap
sudut Dua nenek kembar enak saja melompat, melayang dan melesat Jubah kuning mereka
tampak berkibar-kibar ditiup angin dan keluarkan suara berkasiuran saking cepatnya mereka
berkelebat Wiro ketinggalan jauh di belakang. Dia hendak berteriak agar dua nenek jangan lari
terlalu cepat Namun urungkan niat karena tiba-tiba dia mendengar sayup-sayup suara tiupan
seruling.

Dua nenek kembar saat itu sudah lebih dahulu hentikan lari dan berlindung dibalik satu batu
cadas besar. Begitu Wiro mendekat keduanya menunjuk ke arah kelaunan. Mulut mereka
hendak keluarkan suara ha-hu ha-hu tapi Wiro cepat memberi tanda agar dua nenek ini jangan
bersuara.

DI arah yang ditunjuk, sekitar dua puluh tombak di bawah sana terdapat sebuah situ atau telaga
yang airnya sangat jernih, memiliki dua warna. Yaitu biru dan hijau. Warna Ini bukan lain adalah
pantulan dari pepohonan serta tanam-tanaman yang tumbuh di sekeliling telaga.

Di tepi telaga sebelah timur, tepat arah jatuhnya cahaya sang surya siang hari itu, terapung
sebuah rakit bambu. Di atas rakit Ini ada bagian yang menyerupai kursi panjang. Di atas kursi
bambu inilah tampak duduk seorang perempuan berpakaian merah berkembang kecil-kecil biru
dan kuning. Asyik meniup seruling berwarna putih dan dari jauh kelihatan berkilauan terkena
cahaya matahari. Karena agak jauh Wiro tidak dapat memperhatikan jelas, apalagi melihat
wajah orang. Selain Itu di bawah topi biru yang dikenakan wajah perempuan ini tertutup
untaian manik-manik merah yang menjulai sampai ke bawah dagu. DI punggungnya tergantung
sebilah pedang bersarung merah dan selembar papan seluncur.

Tiupan seruling perempuan berbaju merah di atas rakit mengalun lembut namun sanggup
menimbul kan buiatan-bulatan riok tak berkoputusan di permukaan air telaga serta
mendatangkan getaran halus pada aliran darah Pendekar 212. Pengaruh tiupan seruling
membuat dua nenek kembar saling pandang dan mengusap muka berulang kali.
"Perempuan baju merah itu memiliki hawa sakti dan tenaga dalam tinggi…" ucap Wiro
perlahan.

Salah seorang nenek kembar menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas ka bawah sementara
tangan kiri mengacungkan jempol.

"Ya, ya. Aku mengerti. Kau hendak mengatakan orang Itu juga memiliki ilmu meringankan
tubuh yang hebat" kata Wiro pula. "Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan turun menemui
perempuan itu." Wiro dongakkan kepala, menarik nafas dalamdalam melalui hidung. Saat itu
dia mencium bau harum semerbak. Rasa-rasanya dia pernah mencium bau harum seperti ini
sebelumnya. Wiro memandang pada dua nenek kembar.

"Aku yakin dia yang telah menolong diriku sewaktu dilibat pohon beringin jejadian ujud sialan Ki
Beringin Reksal Tubuhnya menebar bau harum yang sama.

Dua nenek sama-sama mengangguk. Yang satu memberi tanda dengan gerakan tangan agar
Wiro berlaku hati-hati. Baru saja Wiro keluar dari gundukan batu cadas, suara tiupan seruling
mendadak berhenti. Wiro tahan gerakannya. Mata menatap tajam ke arah orang di atas rakit. Si
baju merah Ini sama sekali tidak menggerakkan tubuh atau kepala.

"Dia tidak memandang berkeliling. Tapi dari tubuh dan kepala yang tidak bergerak sama sekali
agaknya dia sudah tahu aku ada di sini." Pikir Wiro. Sang pendekar menunggu.

Perempuan di atas rakit kembali meniup sulingnya. Wiro cepat berkelebat di antara batu-batu
besar hingga akhirnya sampai di tepi sebelah selatan telaga. Dari sini dia segera hendak lari ke
arah timur. Namun lagi-lagi gerakan pendekar 212 tertahan. Kali ini bukan oleh gerak-gerik
perempuan di atas rakit namun karena berkelebatnya satu bayangan biru dari balik sebuah
batu besar antara tempat dia berada dan rakit di tepi telaga. Wiro cepat menyelinap ke balik
semak belukar lebat

"Loan Nio! Akhirnya kutemui juga kau!" Satu suara seruan menggelegar di seantero telaga.

Menatap ke arah timur Wiro melihat seorang berpakaian ringkas serba biru berdiri di tepi
telaga, hanya terpisah satu tombak dengan rakit. Hebatnya, orang berambut hitam lebat
panjang dan dijalin ke belakang ini memiliki wajah berbentuk tengkorak. Di balik punggungnya
tersembul gagang sebilah pedang. Dari bentuk pakaian, Wiro mengetahui bahwa siapapun
adanya dia adalah seorang pendekar silat berasal dari daratan Tiongkok.

Perempuan di atas rakit tampak terkejut Tapi agaknya dia bisa menguasai diri. Perlahan-lahan
dia bangkit berdiri. Suling perak diselipkan pada selendang yang terbelit di pinggangnya yang
ramping.
Ingin melihat lebih jelas dan juga ingin tahu apa yang dibicarakan kedua orang itu, Wiro
bergerak mendekat. Namun dia hanya bisa garuk kepala karena dua orang tersebut bicara
dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Bahasa Tionggoan.

"Ong Cun. bagaimana kau bisa berada di tempat ini?" Perempuan di atas rakit bertanya.

‘Loan Nio, aku sudah lama menyirap kabar bahwa kau akan berangkat ke tanah Jawa ini.
Setelah mencari tahu dari temanteman pulau dan kota mana yang kau tuju, aku berangkat
mendahului." Orang bermuka tengkorak menjawab.

"Kau pergi sejauh ini. Apakah tidak hanya membuang waktu percuma?"

"Aku sudah berbulat tekad bahkan bersumpah. Aku akan mencarimu sampai dapat. Aku akan
mengikutimu kemana kau pergi."

"Untuk apa?" tanya perempuan yang dipanggil dengan nama Loan Nio dan bukan lain adalah
seorang paderi perempuan yang di Tionggoan selatan dikenal dengan nama Kiang Loan Nio
Nikouw.

"Loan Nio, jangan kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Tiga tahun lebih
aku mengikutimu. Aku tidak akan berhenti mengejarmu sebelum kau menyatakan diri mau
menerima tali perjodohan denganku."

Habis berkata begitu lelaki berpakaian biru yang rambutnya dikepang dan berwajah tengkorak
ini melompat ke atas rakit. Gerakkannya enteng, tubuhnya seringan kapas. Rakit yang dijejaki
tidak bergoyang barang sedikitpun.

"Ong Cun, kau sudah tahu. Aku sudah menjadi seorang paderi.

Jangan…"

"Loan Nio, itu dalihmu dari dulu. Lalu apakah seorang Paderi tidak boleh nikah?"

"Memang tidak ada larangan. Tapi aku telah memutuskan dan memilih menjauhi segala urusan
keduniaan."

Liok Ong Cun tertawa bergelak.

"Kau berdusta. Kau menipu dirimu sendiri. Kedatanganmu kemari jelas-jelas adalah untuk
urusan dunia. Apa kau kira aku tidak tahu sangkut pautmu dengan benda yang kau cari? Dua
buah dadu yang oleh orang-orang di daratan Tiongkok sudah dianggap sebagai dadu setan dan
harus dimusnahkan? Apa kau kira aku tidak tahu kau telah memperalat beberapa tokoh kang
ouw. Dan semua mereka telah menemui kematian secara sia-sial Bun Pek Cuan, Siauw Chie,
Hek Chiu Mo!"
Walau agak kaget bahwa orang dihadapannya tahu banyak tentang perjalanannya ke tanah
Jawa namun paderi perempuan itu bersikap tenang dan menjawab.

"Aku hanya menjalankan tugas dari Wakil Ketua Siauw Lim-pai."

"Aku tahu tugas itu. Tapi sambil menyelam kau sekaligus minum air. Sambil menjalankan tugas
kau kesini adalah untuk mencari kekasihmu di masa kanak-kanak dulu. Bukan begitu?! Jangan
kau kira aku tidak tahu riwayat dirimu sejak kau baru lahir sampai saat ini!"

Wajah paderi perempuan yang tertutup di balik cadar untaian manik-manik tampak bersemu
kemerahan.

"Ong Cun, aku tidak mau bicara lagi denganmu. Pergilah. Aku ingin sendirian di tempat ini."

"Menunggu kedatangan kekasihmu?!" ucap LiokOng Cun penuh mengejek. "Loan Nio, dengar
baik-baik. Aku tidak akan bergerak setapakpun. Sebelum kau menerima ikatan perjodohan!"

"Ong Cun. kau juga denga rbaik-baik dan masukkan ke dalam otakmu!" jawab Loan Nio Nikow
jadi sengit "Antara kita selama ini tidak ada hubungan apa-apa. Antara kita tidak akan ada
hubungan apapun di masa mendatang!"

Wajah tengkorak Uok Ong Cun mengelam kaku. "Dari pada teganya kau berkata begitu, lebih
baik kau bunuh saja diriku saat ini juga !"

"Srettt”

Liok Ong Cun yang di Tionggoan dijuluki Ko Lo Khek alias Pendekar Muka Tengkorak cabut
pedang yang tergantung di punggung, jatuhkan diri setengah berlutut, pedang yang
memancarkan sinar hijau diletakkan di atas rakit, kepala diulur, siap untuk dipenggal, pasrah
menerima kematian!

Akan tetapi paderi perempuan itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dengan suara
perlahan dia berkata.

"Ong Cun, kau telah sesat terlalu jauh. Bukan aku sendiri gadis di dunia ini. Kau bisa mencari
yang lain. Yang lebih baik dari diriku. Sarungkan pedangmu kembali. Pedang sakti seperti Ceng
Coa Kiam milikmu itu tidak boleh dipakai sembarangan (Ceng Coa Kiam = Pedang Ular Hijau).

"Aku hanya menginginkan dirimu seorang. Kau tahu hal itu Loan Nio. Mengapa kau begitu
angkuh tidak mau menerima diriku? Mengapa hatimu sekeras batu? Mengapa kau seolah tidak
punya perasaan sama sekali!" Liok Ong Cun masih tetap dalam keadaan setengah berlutut dan
kepala dimajukan.
"Sudah, aku tidak mau bicara lagi. Aku sarankan agar kau memencilkan diri di satu tempat
Bertapa atau bersemadi. Semoga kau diberi kesadaran oleh Thian." (Thian=Tuhan)

"Loan Nio, kita sama-sama kembali saja ke Tionggoan. Mengapa membuang waktu di negeri
orang."

"Ong Cun, kau tahu, aku ada urusan di negeri ini. Jika kau Ingin pulang, pulanglah duluan.
Kurasakan itu lebih baik bagimu…"

"Loan Nio, jika kau tetap tidak mau memberi jalan dan juga tidak mau menghabisi diriku maka
jangan salahkan kalau aku berbuat nekat Aku merasa lebih baik kita mati bersama saja!"

Selesai keluarkan ucapan Pendekar Muka Tengkorak alias Liok Ong Cun ambil pedang hijau yang
tergeletak di atas rakit bambu. Lalu didahului satu teriakan dahsyat dia kiblatkan pedang
demikian rupa hingga menyambar deras di depan rumbai manik-manik yang menjadi cadar
Kiang Loan Nio Nikouw. Jelas yang diincar adalah kepala atau leher sang Nikouw dan jelas pula
dia benar-benar hendak menghabisi paderi perempuan yang sangat dicintainya itu.

"Ong Cun! Apa yang kau lakukan ini? Apa kau sudah gila?!"

Loan Nio Nikouw cepat cabut seruting perak yang terselip di pinggang.

"Tringg!"

Terdengar suara berdering ketika mata pedang hijau saling beradu dengan suling perak. Bunga
api memercik hijaudan pubh berkilau. Kiang Loan Nio Nikouw merasa suling perak dan tangan
kanannya bergetar. Walau menyadari suling itu bukan tandingan pedang sakti Ceng Coa Kiam
milik lawan, namun dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh tenaga dalam serta
gerakan yang sangat cepat paderi perempuan itu masih sanggup menghadapi gempuran gencar
Liok Ong Cun, malah dua kakinya tidak bergeser sedikitpun dari tempat injakan semula! Ini
menjadi bukti bahwa sebenarnya tingkat kepandaian sang paderi berada di atas orang yang
nekad hendak membunuhnya.

"Loan Nio! Aku memang sudah gila! Tergila-gila padamu! Aku akan membunuhmu. Setelah itu
aku akan bunuh diri! Tidak berjodoh di dunia tidak jadi apa, tapi di alam akhirat kita bisa
bersatu!"

Kapak Maut Naga Geni 2122

Makin sulit bagi Liok Ong Cun menembus pertahanan lawan yang hanya mengandalkan sebuah
suling perak, semakin beringas lelaki muka tengkorak ini menghujani sang paderi dengan
bacokan, tusukan serta babatan pedang. Setelah serangan menghabisi jurus ke sembilan dan
tidak menghasilkan apa-apa, maka didahului satu teriakan dahsyat Liok Ong Cun kiblatkan
pedang Ceng Coa Kiam dalam jurus andalannya bernama Thian Yau Te Soan atau Langit Goyang
Bumi Berputar. Loan Nio Nikouw melihat pedang di tangan Ong Cun menggeletar seperti ular
melesat. Dua kakinya yang menginjak lantai rakit terasa bergoyang kesemutan sementara di
sebelah atas kepalanya terasa pening. "Breett!" Ujung pedang berhasil menyambar bahu kiri
baju merah Loan Nio Nikouw hingga paderi ini terpekik dan untuk pertama kalinya dia
melompat di atas rakit lalu melesat ke daratan. Dengan sigap Ong Cun mengejar. Pedang Ceng
Coa Kiam kembali menggempur. Kali ini dalam jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung
Ke Bumi Pedang sakti di tangan Liok Ong Cun menderu deras dan membuat cahaya hijau
setengah lingkaran. Benar-benar laksana pelangi jatuh ke bumi sangat berbahaya bagi
keselamatan Loan Nio Nikouw yang saat itu masih mengandalkan suling perak dalam
menghadapi lawan. Sebenarnya untuk melindungi diri paderi ini ingin mencabut pedang di
punggung. Namun diamerasa khawatir. Pedang Naga Merah bukan senjata sembarangan. Sekali
keluar dari sarungnya Liok Ong Cun bisa celaka.

Khawatir si baju merah akan mendapat celaka, Wiro tidak tunggu lebih lama. Namun sebelum
dia melesat dua nenek kembar Eyang Sepuh Kembar Tilu mendahului bergerak. Keduanya
memberi isyarat pada Wiro dengan gerakan tangan mereka yang akan menolong paderi
perempuan itu.

Selesai memberi isyarat dua nenek melesat ke udara. Di depan sana tahu-tahu Liok Ong Cun
merasakan dua bahunya ditahan dan ditekan orang lalu tubuhnya tertarik ke belakang hampir
terjengkang hingga serangan Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi hanya
menderu membabat udara kosong. Saat itu Loan Nio Nikouw yang tengah berpikir-pikir apakah
akan mencabut pedang sakti atau tidak tampak terkejut melihat kemunculan dua nenek
kembar aneh yang menelikung Liok Ong Cun dari belakang.

"Bangsat rendah! Siapa berani berlaku kurang ajar"

Liok Ong Cun berteriak marah dan hantamkan dua sikut tangannya ke belakang.

"Bukk! Bukk!"

"Ha-hu Ha-hu!"

Dua nenek lepaskan cekalan. Dilabrak sikutan keras tadi keduanya seperti tidak merasakan
padahal sikut kiri kanan Liok Ong Cun mendarat di tubuh mereka dengan telak. Jangankan
tubuh manusia, tembokpun bisa jebol. Liok Ong Cun tidak tahu kalau yang jadi lawannya saat
itu adalah dua nenek kembar jejadian. Begitu cekalan pada bahunya terlepas Pendekar
Tengkorak segera berbalik dan kiblatkan Ceng Coa Kiam dalam jurus Cia Yan Hoan Sim atau
Burung Walet membalik Diri. Pedang ular hijau membabat di udara. Dua nenek keluarkan suara
ha-hu ha-hu, cepat selamatkan diri dengan melompat ke atas namun ujung pedang masih
sempat membabat robek ujung jubah kuning nenek kembar sebelah kiril

Liok Ong Cun tak habis pikir siapa adanya dua nenek yang membokong dari belakang itu.
Kawan-kawan baru atau kaki tangan Loan Nio?l
"Ha-hu ha-hu!"

Dua nenek tampak marah. Terutama yang jubahnya robek. Keduanya menggerung keras lalu
sama-sama dorongkan dua tangan ke bawah.

"Wuut! Wuut!"

"Wurrl Byaarr!"

Empat gelombang angin menghantam ke bawah. Tanah di tepi telaga terbongkar, air di pingir
telaga muncrat ke atas. Liok Ong cun berteriak keras. Pandangannya tertutup oleh hamburan
tanah dan cipratan air telaga. Dalam keadaan seperti itu dia merasa empat tangan bergerak di
seputar tubuhnya sebelah atas. Lalu!

"Breett ..Ibreet!..Breettt!"

Terdengar suara robekan pakaian berulang kali.

"Kurang ajar! Apa yang kalian lakukanl teriak Liok Ong Cun. Pedang dibabatkan ke atas,
ditusukan ke depan, lalu dibacokan ke samping. Namun dia hanya menghantam tempat kosong.
Sementara di lain kejap dia merasa tubuhnya didorong keras ke depan hingga terjerembab di
tanah, belum sempat bergerak bangkit, dia merasa celana birunya diloloskan orang!"

"Ha-hu… ha-hu! Hik… hik,.. hik!"

Begitu cipratan air telaga dan hamburan tanah lenyap. Liok Ong Cun berteriak kaget dan juga
marahi Dia dapatkan dirinya dalam keadaan polos, hanya tinggal mengenakan celana dalam
putih! Dihadapannya dua nenek kembar berjubah kuning tertawa ha-hi ha-hi sambil menunjuk-
nunjuk ke arah bagian bawah perut si muka tengkorak.

‘Tua bangka setan alas!" maki Liok Ong Cun dalam bahasa Cina yang tentu saja tidak dimengerti
dua nenek. "Kucincang kalian!"

Liok Ong Cun melompat sambil ayunkan pedang Ceng Coa Kiam. Pedang bergeletar hebat Dua
nenek melihat seperti ada setengah lusin ular menyerang ke arah mereka!

"Ha-hu Ha-hu" Nenek di sebelah kanan kibaskan tangan ke atas menangkis serangan lawan
sementara tangan kanannya menunjuknunjuk ke arah celana kolor yang masih tersisa di tubuh
Liok Ong Cun. Nenek satunya yang mengerti maksud kawannya segera jatuhkan diri ke tanah,
dua tangan menyambar ke arah kolor putih.

Sadar apa yang hendak dilakukan orang, dirinya akan ditelanjangi dengan cepat Liok Ong Cun
jatuhkan diri ke tanah, sambar sarung pedang yang tadi jatuh bersama robekan baju lalu
gelindingkan tubuh menjauh setelah sebelumnya kirim satu tendangan yang tidak mengenai
sasaran.

Tua bangka kurang ajar! Kalian akan menerima balasanku!" Liok Ong Cun memandang
berkeliling mencari Loan Nio Nikouw. Tapi paderi ini sudah sembunyi di balik sebuah pohon
besar karena jengah melihat keadaan Liok Ong Cun yang nyaris bugil!

"Loan Nio! Jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu, jika aku tidak bisa menghabisi dirimu! Aku
akan membunuh semua lelaki yang berani mendekatimu!"

Habis berkata begitu sambil pegangi kolornya yang kedodoran awut-awutan Liok Ong Cun
tinggalkan telaga sambil mulutnya memaki panjang pendek.

‘Ha-hu ha-hu! Hik…hik…hik!"

Dua nenek kembar tertawa terpingkal-pingkal lalu lari ke balik semak belukar menemui Wiro.
Yang satu menunjuk-nunjuk ke arah pohon besar.

"Aku tahu, gadis berpakaian merah ada di balik pohon itu. Ayo kita menemuinya ke sana."

Wiro dan dua nenek lantas berkelebat ke balik pohon besar. Loan Nio Nikouw agak terkejut
ketika dapatkan dirinya didatangi dan berhadapan dengan si pemuda gondrong serta dua nenek
kembar. Namun sadar kalau dua nenek itu tadi telah menolongnya walau dia sebenarnya sudah
siap keluarkan pedang Ang Liong Kiam yang akan sanggup menghadapi gempuran lawan, sang
Nikouw cepat menjura dalam-dalam di hadapan dua nenek.

"Terima kasih. Orang tua berdua telah menolong saya. Mengapa Melakukan itu?

"Ha-hu ha-hu…" Dua nenek dan juga Wiro sama-sama terkejut Walau ucapannya tidak fasih
betul dan bahasanya agak kaku namun ternyata gadis berpakaian merah ini bisa bicara bahasa
setempat. Pendekar 212 garuk-garuk kepala beberapa kali.

"Nona, kami yakin kau bukan orang sini. Kalau tidak salah menduga kau adalah orang dari
negeri seberang, daratan Tiongkok. Menakjubkan kau bisa bahasa kami." Wiro berkata sambil
matanya coba mengintai ke balik untaian tirai manik-manik yang menutupi wajah orang. Tapi
untaian manik-manik itu sangat rapat hingga matanya tidak dapat menembus. Dia hendak
terapkan ilmmenembus pandang tapi tidak bisa. Aneh ! Apakah orang ini memiliki hawa sakti
yang punya daya tolak luar biasa?

“Tidak ada hal menakjubkan. Lagi kecil sampai usia tujuh tahun saya tinggal di sini. DI satu kota
bernama Semarang…"

"Ah, begitu?" ujar Wiro.


"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar menimbrung.

Di balik cadar manik si baju merah tersenyum lalu bertanya pada Wiro.

"Dua nenek hebat Ini, Apakah dia pellharaanmu. Naluri saya mengatakan dia bukan manusia
serupa kita. Apakah dia sebangsa jin yang saya dengar sangat banyak keberadaannya dinegeri
inl?"

"Ha-hu ha-hu." Dua nenek goyang-goyangkan tangan tapi dengan wajah tersenyum.

"Mereka sahabatku. Mereka baik terhadap siapa saja. Mereka kelihatan sangat senang
mengenalmu."

"Terima kasih, terima kasih." Loan Nio Nikouw menjura.

"Saya rasa dua kawanmu Ini agak keterlaluan mempermalukan orang tadi sampai bugil begitu
rupa…"

"Ha-hu ha-hu." Dua nenek membuat gerakan tangan berulang kali.

"Apa yang hendak dikatakan dua sahabatmu Itu?" tanya si baju merah.

"Mereka ingin mengatakan, kalau tidak ditelanjangi orang Itu tidak akan mau angkat kaki dari
sini."

Loan Nio Nikouw tertawa.

"Cerdik juga dua nenek kembar Itu. Membuat lawan kabur tanpa mencederai…"

"Mereka masih berbaik hati. Kalau sampai kolor orang itu ikut dicopot, wah…" Wiro dan dua
nenek tertawa gelak-gelak.

Dua nenek balas monjura lalu tertawa ha-ho hi-hil. Yang satu sambil memegang lengan
kembarannya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan lalu tangan dijalankan
ke kiri.

"Kalian mau pergi? Silahkan saja Aku juga berterima kasih kalian telah menolong Nona ini." Kata
Wiro yang mengerti maksud isyarat si nenek.

Dua nenek keluarkan suara ha-hu ha-hu, yang satu kedipkedipkan mata, yang satu lagi
runcingkan bibir lalu digerakgerakkan hingga mengeluarkan suara seperti orang mengecup.
Kemudian sambil tertawa ha-ha hl-hi keduanya tinggalkan tempat Itu dan lenyap dalam
sekejapan mata.
"Luar biasa Imu kesaktian mereka," memuji Loan Nio Nikouw.

"Nona, bagaimana kau jauh-jauh dari daratan Tiongkok bisa sampai di sini. Lalu siapa pula lelaki
muka tengkorak tadi?"

"Jangan panggil saya nona. Panggil saya Loan Nio Nikouw. Saya seorang paderi."

"Ah…" Wiro kembali garuk kepala. Tidak menyangka kalau saat itu dia berhadapan dengan
seorang paderi perempuan. Walau belum melihat wajah, namun dari raut tubuh serta suara
Wiro merasa pasti si paderi berbaju merah ini seorang gadis remaja. Masih begini muda. sudah
jadi paderi.

"Satu kehormatan besar bisa berkenalan dongan seorang paderi. Lidah saya agak susah
menyebut nama paderi. Apa boleh saya memanggil paderi dengan sebutan Nionio saja?"

Loan Nio Nikouw terdiam sejenak Lalu tertawa lepas.

"Seumur hidup belum pernah orang memanggil saya Nionio. Itu nama punya lucu. Tapi enak
juga didengar." Kembali paderi itu tertawa.

"Nionio, lelaki muka tengkorak tadi, aku lihat dia sangat beringas ingin membunuhmu. Apakah
kau dan dia memang saling bermusuhan?"

"Ini soal sangat pribadl. Saya tidak akan menceritakan sebelum tahu siapa dirimu adanya.”
Jawab Loan Nio Nikouw.

Wiro menjawab sambil menggaruk kepala.

"Namaku Wiro."

‘Wiro?" Loan Nio Nikouw mengingat-ingat, lalu di balik tirai manik-manik wajahnya
menunjukkan keterkejutan. Kakinya malah tersurut setu langkah.

"Ada apa? Apakah namaku satu hal yang menakutkan bagimu?" tanya pendekar 212.

"Seorang tokoh perguruan di Tionggoan pernah memberi tahu tentang dirimu. Kau dikatakan
sebagai seseorang yang punya She Wie dan nama Lo Sab Leng’

Karuan saja Wiro jadi tertawa gelak-gelak mendengar namanya disebut seperti nama orang
Cina.

"Lebih lanjut tokoh itu minta agar saya mencarimu dalam menyelesaikan semua urusan di
negeri ini Saya seperti menerima satu berkah besar. Belum mencari orangnya sudah datang
sendiri."
"Nionio, siapa gerangan tokoh yang kau maksudkan itu?

"Dia Wakil Ketua perguruan besar Siauw Lim. Katanya beberapa waktu lalu kau pernah berada
di Tionggoan."

"Luar biasa Aku sungguh mendapat kehormatan sangat besar. Namun aku tidak bisa
mengatakan apakah aku punya kemampuan untuk membantumu." Kata Pendekar 212 pula.

"Paderi Nionio, sekarang apa kau sudah mau menerangkan sangkut paut silang sengketa dirimu
dengan lelaki muka tengkorak tadi?"

"Lelaki itu bernama Liok Ong Cun. Saya mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Sejak kami
sama-sama jadi murid Siauw Lim. Dia pernah berulang kali bilang bahwa dia mencintai saya dan
ingin mengambil saya jadi istri. Saya tidak begitu perduli semua dia punya ucapan dan
keinginan. Saya menganggap dia tidak lebih dan seorang kakak seperguruan. Kemudian saya
meninggalkan Siauw Lim dan memutuskan jadi paderi. Dia terus mengikuti kemana saya pergi.
Bahkan sampai kesini. Tadi dia berlaku nekad mau bunuh saya. Kalau saya mati dia lantas akan
bunuh diri.’

"Nionio. ucapannya mungkin saja hanya tiupan untuk meluluskan permintaannya. Tapi satu hal,
kau harus berhati-hati. Cinta yang berubah jadi kebencian bisa menimbulkan dendam amat
mengerikan."

Kiang Loan Nio Nikouw terdiam Dalam dirinya dia menyadari apa yang dikatakan pemuda
gondrong yang baru dikenalnya itu benar adanya dan bisa menjadi kenyataan. Malah tadi dia
telah menyaksikan sendiri kenekatan Liok Ong Cun."Tadi dia mengancam akan membunuh
siapa saja saja laki-laki yang berani mendekati diriku."

"Berarti termasuk aku," kata Wiro sambii garuk kepala "Nionio, aku lihat Liok Ong Cun
menutupi wajahnya dengan topeng tengkorak…"

"Dia pernah bersumpah tidak akan melepas topeng itu sebelum saya bersedia jadi istrinya."

"Apa kau juga akan menceritakan tujuan perjalananmu ke tanah Jawa ini? Kau tahu.
kedatanganmu di tanah Jawa pada saat suasana di kawasan barat Ini sedang tidak aman.
Pembunuhan penuh misteri terjadi dimana-mana. Diantara para korban adalah beberapa orang
dari daratan Tiongkok."

"Saya sudah tahu…" kata paderi perempuan itu.

"Apa orang-orang itu ada sangkut pautnya dengan dirimu?"

"Semua mereka yang tewas itu adalah orang suruhan dan kepercayaan saya."
Wiro tak menyangka dan jadi ternganga mendengar ucapan sang paderi

Loan Nio Nikouw lanjutkan ucapan. "Saya harus menyelidiki siapa pelaku pembunuh orang-
orang itu."

"Itu bukan pekerjaan mudah. Bisa-bisa membahayakan keselamatan dirimu sendiri, Nionio."

"Saya tahu. Tapi itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai murid Siauw Lim…"

"Jadi perguruan Siauw Lim yang memberikan tugas padamu?"

Loan Nio Nikouw anggukan kepala.

"Masih ada satu tugas lain yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus memulai dari mana
walau ada beberapa petunjuk yang bisa dipergunakan untuk menyelidik."

"Tugas apa?" Wiro bertanya ingin tahu. Semula dia menyangka paderi perempuan itu tidak
akan memberi tahu. Ternyata Nionio Nikouw malah bercerita.

"Saya ditugaskan untuk menemukan dan membawa pulang ke Siauw Lim dua buah benda
mustika berupa sepasang dadu dari gading, dulunya dadu ini adalah milik seorang keturunan
Dinasti Ming. Karena dua dadu telah disalah gunakan dan menimbulkan malapetaka dimana-
mana maka Raja meminta Siauw Lim untuk menyimpannya secara rahasia. Namun sekitar tiga
tahun silam dua buah dadu itu lenyap dari tempat penyimpanan. Walau Siauw Lim geger
namun berita tidak sampai bocor ke luar. Dua buah dadu berpindah dari satu tangan ke tangan
lain. Karena bencana yang ditimbulkannya dua buah dadu itu disebut dadu setan. Kabarnya dua
buah dadu itu sekarang berada di tanah Jawa ini. Orang-orang suruhan saya mungkin telah
berhasil melacak keberadaan dua buah dadu itu. Namun mereka keburu menemui ajal sebelum
mendapatkanya.Saat inl saya seperti menghadapi jalan buntu. Ada satu kekuatan besar di
negeri Ini yang tidak Ingin dua buah dadu kembali ke Tionggoan."

Wiro Ingat pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Eyang Sepuh Kambaran Tilu. Sebelum
meregang nyawa nenek yang punya dua kembaran jejadian Ini meminta agar Wiro menolong
mencari siapa pembunuhnya dan mendapatkan kembali dua buah dadu Wiro juga ingat cerita
perajurit Jumena yang ditemuinya di sebuah Jurang di daerah perbatasan. Saat Itu Jumana
menceritakan tentang dua buah dadu yang menjadi sebab kematian Pengemis Muka Bopeng di
tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu yang menyaru sebagal Raden Kumatesakti (Baca Episode
sebelumnya berjudul "Dadu Setan")

"Dua buah dadu, bisa menimbulkan malapetaka. Sungguh luar biasa. Nionio, apakah dua buah
dadu Itu merupakan senjata mustika hingga diperebutkan orang, Sampai-sampal
mengorbankan nyawa?"
"Dua buah dadu Itu memang merupakan senjata mustika atau senjata rahasia. Di Tionggoan
kami menyebutnya piauw. Bilamana dipakai untuk menyerang lawan, setelah lawan menemui
ajal, dadu akan berbalik kembali pada pemiliknya.’

"Hebat" ucap Wiro kagum.

"Namun bukan itu yang merisaukan para tetua di Siauw Lim. Dua buah dadu Itu blaa
dipergunakan untuk mengeruk kekayaan orang lain. Harta setlnggl gunungpun bisa ludas."

"Bagaimana mungkin?" Wiro setengah tak percaya.

"Melalui judi. Orang yang memiliki dadu bisa mengatur angka dadu yang akan keluar hanya
dengan menyebut dalam hati serta memperhatikan dengan mata."

Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk-angguk.

Dari balik tirai manik-manik yang menutupi wajahnya, Loan Nio Nikouw perhatikan wajah
Pendekar 212. Dalam hati paderi perempuan Ini berkata. "Aku menduga, orang ini mengetahui
sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara. Apakah aku memang bisa mempercayainya seperti yang
dikatakan Wakil Ketua Siauw Lim? Orang bisa saja berubah. Dulu dia orang baik, sekarang
mungkin sudah jadi jahat Mungkin pula dia ikut terlibat dengan urusan dadu setan itu. Berarti
bisa jadi dia yang membunuh Bun Pek Cuan, Siauw Cie dan Hek Chiu Mo. Apa yang harus aku
lakukan. Padahal masih ada satu urusan penting menyangkut pedang mustika milikku dengan
senjata sakti konon berupa kapak yang menjadi miliknya. Tapi saat ini aku tidak melihat dia
mombekal senjata itu."

"Saudara Wie"

Wiro tersenyum mendengar dirinya dipanggil seperti itu.

"Apa yang saat ini ada dalam pikiranmu?" tanya Loan Nio Nikouw.

"Nionio, aku pasti tewas ketika melawan manusia pohon bernama Ki Beringin Reksa itu kalau
kau tidak menolongku."

‘Bagaimana kau bisa berkata bahwa aku yang menolongmu. Padahal kita baru saja kali ini
bertemu."

Wiro tertawa. "Kau sengaja menyembunyikan kenyataan. Aku menghargai kebesaran jiwa dan
kerendahan hatimu." Wiro melirik ke arah gagang pedang berbentuk kepala naga yang
tersembul di balik punggung sang paderi. Wiro terkesiap sesaat Untuk pertama kali dia
menyadari ukiran kepala naga yang jadi gagang pedang sang paderi bentuknya sama dengan
kepala naga gagang Naga Geni 212 miliknya.
“Saudara Wie, kau yakin aku menolongmu?"

"Saat itu aku melihat satu bayangan merah berkelebat disertai berkiblatnya cahaya merah. Aku
yakin bayangan merah itu adalah dirimu yang mengenakan pakaian merah. Lalu cahaya merah
adalah cahaya pedang sakti yang kau bekal di punggung. Pasti dengan pedang sakti itu kau telah
membabat putus tangan Ki Beringin Reksa. Selain itu aku mencium dan mengenali satu bau
harum. Bau tubuh dan pakaianmu. Nionio. saat kau menolongku kita belum saling mengenai.
Mengapa mau turun tangan menghadang bahaya menyelamatkan diriku?"

‘Apakah untuk menolong seseorang yang terancam jiwanya kita harus banyak berpikir?
Sebelum selesai berpikir bisa-bisa orang yang mau ditolong sudah mati duluan."

Wiro tertawa lebar.

"Selain itu, hal tolong menolong bukankah hukum yang tidak tertulis didalam limbah
persilatan?"

"Kau benar Nionio. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."

Loan Nio Nikouw hanya tersenyum dibalik cadar manik-manik yang menutupi wajahnya.

"Nionio, kalau saja ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membalas budi baik dan hutang
nyawaku…"

"Saya menolong bukan mengharapkan pamrih. Tapi jika ada kesudian, harap saudara Wie mau
menemui saya ditempat kediaman Adipati Brebes, lusa tengah malam."

Wiro agak heran mendengar ucapan sang paderi.

"Adipati Brebes? kau mengenal Adipati Itu!"

"Saat ini dia satu-satunya orang yang bisa memberi petunjuk dalam mencari dua buah dadu itu.
Apakah Saudara Wie bersedia datang ? Saya memerlukan seorang teman untuk menemani
sewaktu menemui Adipati itu."

Wiro mengangguk.

Tunggu saya didepan pintu gerbang gedung kadipaten. Saya akan datang tepat pada
pertengahan malam."

"Mengapa harus pada pertengahan malam? Bukan siang hari?" tanya pendekar 212 pula.

Itu permintaan Adipati Brebes. Saya hanya bisa mengikuti. saya orang asing. Mungkin Adipati
tidak mau ada orang luar yang tahu saya mengunjunginya."
Wiro anggukkan kepala.

"Saudara Wle, saya harus pergi sekarang. Saya ada keperluan lain. Kita bertemu di tampatyang
saya katakan tadi."

"Nionio, tunggu dulu. Bagaimana kau bisa mengenal Adipati Brebes padahal kau belum lama
berada di sini."

Pertanyaan Wiro itu menimbulkan sedikit rasa curiga dalam diri Loan Nio Nikouw. Apa perlunya
pemuda gondrong Ini menanyakan hal itu.

"Jangan-jangan dia tengah menyelidiki diriku“ pikir sang paderi.

"Jika kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa." Ucap Wiro ketika dilihatnya orang hanya
berdiam diri tak mau menjawab.

Loan Nio Nikouw ambil papan seluncur yang tergantung di punggungnya. Papan ini dijatuhkan
ke dalam telaga, diinjak dengan kaki kanan. Begitu sang paderi celupkan kaki kiri ke dalam air
dan dikibaskan ke belakang, papan seluncur melesat ke depan. Hanya dua kali menggerakkan
kaki kiri, Loan Nio Nikouw sudah berada di tepi barat telaga, naik ke darat dan lenyap dari
pemandangan.

Kapak Maut Naga Geni 2123

Udara malam terasa dingin sementara angin bertiup kencang. Langit kelihatan gelap kelam. Tak
ada bulan tak ada bintang. Mungkin tak lama lagi akan turun hujan. Gedung besar kediaman
Adipati Brebes tampak sunyi. Hanya ada sebuah lampu kecil menyala di langkan depan. Pintu
gerbang tertutup rapat Tak kelihatan seorang pengawalpun di tempat Itu. Bagi Kiang Loan Nio
Nikouw yang menunggang kuda, tidak Sulit mencarl gedung kediaman Adipati Brebes. Begitu
sampai di depan pintu gerbang, entah dari mana datangnya, tahu-tahu lima perajurit
bersenjata tombak telah mengurung. Walau mengurung sikap mereka menunjukan rasa hormat
Mereka memegang tombak dengan ujung lancip di arahkan ke tanah. “Tamu berkuda, apakah
kami berhadapan dengan paderi dari Tionggoan?" Salah seorang dari lima perajurit bertanya.
"Saya memang paderi dari Tionggoan. Nama saya Kang Loan Nio." Jawab penunggang kuda.
Pada saat itu pintu gerbang terbuka. DI pertengahan pintu berdiri seorang berjubah biru yang
mata kanan ditutup sehelai kain tebal berwarna hitam. Dua tangan dirangkap di atas dada,
sepasang kaki yang tajam masih bisa melihat Dua kaki yang tersembul dari bagian bawah jubah
biru orang bermata satu ini bukan kaki manusia biasa, melainkan berbentuk kaki kuda lengkap
dengan ladam besinya. "Henimm… kehadiran orang aneh Ini membuat aku tidak enak," ucap
Loan Nio Nikouw dalam hati.

"Harap tamu terhormat menunjukkan tanda pengenal." Si picak berkata.


Masih duduk di atas kuda, Loan Nio Nikouw gerakkan tangan kanan ke punggung.

"Srett!"

Satu cahaya merah menerangi tempat di sekitar pintu gerbang. Itulah cahaya Ang Liong Kiam
atau Pedang Naga Merah yang barusan dicabut sang Paderi perempuan dari sarung di belakang
punggung. Lelaki picak di ambang pintu gerbang menatap penuh kagum dengan mata kiri.

"Ini rupanya pedang sakti yang dikatakan Adipati. Sebentar lagi senjata itu akan menjadi
milikku." Si mata satu sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. Setelah membungkuk, dia
melangkah ke kiri dan berkata.

"Paderi dari Tionggoan, atas nama Adipati Brebes aku mengucapkan selamat datang. Adipati
telah menunggu. Tak usah turun dari kuda. Silahkan mengikuti."

Kiang Loan Nio Nikouw sarungkan senjatanya kembali. Dia memandang berkeliling lalu berkata.
"Saya menunggu seorang teman. Kami akan menghadap Adipati berdua. Apakah bisa
menunggu barang sebentar?"

“Turut apa yang aku tahu, paderi dari Tionggoan hanya akan menemui Adipati seorang diri."

Kian Loan Nio Nikouw kembali memandang berkeliling. Dia merasa kecewa karena tidak
melihat Wiro di tempatitu. Untuk mengulur waktu dia bertanya. "Apakah Adipati sudah siap
dan berkenan menerima saya?"

"Adipati orang yang tepat janji. Karena itu jangan membuat dia tidak enak karena terlalu lama
menunggu."

"Apakah sebelum ini tidak ada tamu lain yang datang?"

“Tamu siapa maksud paderi?" balikbertanya si jubah biru mata satu.

"Seorang pemuda berambut panjang sepundak."

Si mata satu gelengkan kepala. "Tidak ada tamu lain. Malam ini Adipati hanya berkenan
menerima kedatangan satu orang tamu yaitu Paderi dari Tionggoan. Pemuda yang paderi
maksudkan itu, apakah dia punya nama. Mungkin punya gelar?"

"Namanya Wie Lo Sab Leng. Bergelar Pendekar Kapak Naga Geni Dua Satu Dua."

Tampang si mata satu jadi berubah. Namun dia cepat-cepat tertawa untuk menghilangkan
bayangan rasa terkejut dimukanya.
"Paderi, aku yakin pemuda yang kau maksudkan itu adalah Wiro Sableng. Sekarang sebaiknya
paderi segera masuk."

"Kalau saya boleh bertanya, saya berhadapan dengan siapa?" Loan Nio Nikouw bertanya.

"Namaku Sentot Balangnipa. Aku Kepala Pengawal gedung Kadipaten." Seperti dituturkan
dalam episode sebelumnya (Dadu Setan) Ki Sentot Balangnipa adalah salah seorang tokoh
rimba persilatan yang melindungi Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak secara
tersembunyi di bawah Bukit Batu Seruling. Mata kanannya amblas ditembus Kujang Emas Kiai
Pasundan milik Rayi Jantrayang kepala Pasukan Kadipaten Losari Kini mata kanan yang buta itu
ditutup dengan kain tebal hitam.

Begitu mengetahui siapa adanya orang di hadapannya Loan Nio Nikouw segera rundukkan
badan memberi hormat

"Paderi dari Tionggoan, kau ingin menghadap Adipati atau tidak. Jika Ingin harap segera masuk.
Jika kau beri ama-tama di sini Jangan salahkan kalau aku terpaksa menutup pintu gerbang."

Loan Nio Nikouw maklum dia tidak bisa mengulur waktu karena lelaki di depannya tampakmulai
tidak senang. Sebelum menggerakkan kudanya, paderi ini kembali memandang berkeliling Wiro
yang diharapkan akan muncul tetap tidak kelihatan.

"Apa yang terjadi? Apa pemuda itu mendapat halangan atau dia memang sengaja mendustai
diriku…?" membatin sang paderi.

Pintu gerbang tertutup begitu Loan Nio Nikouw masuk ke halaman gedung Kadipaten. Dia tidak
tahu sampai dimana kehebatan lelaki mata picak mengaku bernama Sentot Balangnipa ini.
Namun dan keadaan dua kakinya yang menyerupai kaki kuda, sikap serta gerak-gerik, sang
paderi segera memaklumi orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Di depan tangga gedung Kadipaten, Sentot Balangnipa hentikan langkah lalu balikan badan.

"Paderi, kau boleh turun dari kuda. Ada yang akan mengurus binatang itu. Solanjutnyasllahkan
mengikuti."

Loan Nio Nikouw turun dari kuda lalu menaiki tangga depan gedung Kadipaten. DI depannya si
jubah biru bermata satu melangkah enteng di atas lantai babi pualam tanpa suara, padahal dua
kakinya dilapis ladam besi. Setiap ruangan yang dilalui dalam keadaan redup karena hanya
diterangi oleh lampu minyak kecil. Di satu tempat yang merupakan ruangan luas Ki Sentot
Balangnlpa hentikan langkah. Kaki kanan dlketukan tiga kail ke lantai batu pualam. Serta merta
enam buah lampu minyak besar di tempat Itu menyala. Keadaan Jadi terang benderang. Ki
Sentot melirik ke samping memperhatikan tubuh elok Loon Nio Nikouw di sampingnya.
"Sayang wajahnya tertutup untaian manik-manik. Aku yakin wajahnya pasti cantik sekali. Bau
tubuhnya yang harum hemmmm…"ucap Ki Sentot Balangnipa dalam hati.

Loan Mo Nikouw memandang berkeliling.Temyata ruangan Itu memiliki tiang-tiang kayu berukir
serta empat dinding yang dipahat sangat indah. DI dinding sebelah depan ada sebuah pintu
kayu berukir dengan gambar seorang perompuan muda tanpa pakaian menunggang kuda.

Kembali Ki Sentot Balangnlpa hentakkan kaki kanan tiga kali ke lantai.

Pintu kayu berukir bergeser ke samping. Sesaat kemudian dari dnlam ruangan keluar seorang
lelaki bertubuh kukuh, mengenakan blangkon biru dan jas tutup hitam. Berewok serta kumisnya
tebal sekali.

Inilah Raden Mas Karta Sumlnta, Adipati Brebes.

Sang Adipati tartawa lebar lalu rundukkan kepala sedikit dan berkata. "Paderi Loan Nio,
sungguh satu kehormatan besar kau bersedia memenuhi janji datang ke gedungku."

"Adipati, saya mengucapkan terima kasih karena Adipati! telah sudi menyediakan waktu
menerima kedatangan saya." Jawab Loan Nio Nikouw sambil membalas penghormatan orang
dengan membungkukkan badan. Lalu dia menyambung ucapannya. "Saya maklum Adipati tidak
punya banyak waktu Apakah kita bisa bicara di sini?"

"Jangan khawatir. Untuk Paderi Loan Nio saya akan meluangkan waktu luas. Tidak usah
terburu-buru. Mari kita berbincang-bincang di dalam."

"Adipati Brebes mompersilahkan tamunya masuk ke dalam ruangan. Dia memberi isyarat pada
Ki Sento tBalangnipa yang segera tinggalkan tempat itu.

"Adipati, ada sesuatu yang hendak saya sampaikan." Kata Sentot Balangnipa. Maksudnya
hendak memberi tahu bahwa tamu paderi perempuan dari Tionggoan itu punya hubungan
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun Adipati menjawab setengah berbisik.

"Nanti saja. Pada saatnya harap kau bersiap-siap untuk mengambil pedang milik sang paderi."

Ki Sentot Balangnipa mengangguk lalu tinggalkan tempat itu.

Perlahan-lahan pintu kayu berukir gambar perempuan telanjang menunggang kuda menutup
kembali.

Ruang dimana Loan Nio Nikouw berada ternyata sebuah ruangan yang sangat bagus. Lantai
tertutup permadani dari Turki. Empat dinding memiliki warna dasar biru muda dinhiasi lukisan
pemandangan yang saling sambung antara dinding satu dengan dinding lainnya. Loan Nio
Nikouw belum pernah melihat lukisan begini indah dan seolah hidup sehingga merasa berada di
satu alam terbuka penuh kesegaran.

Di tengah ruangan terdapat sebuah meja dan dua kursi terbuat dari kayu jati berukir burung
pada bagian sandaran dan tangan kursi kiri kanan. Di atas meja ada sebuah piala kaca serta dua
buah seloki besar yang juga terbuat dari kaca. Adipati Brebes mempersilahkan tamunya duduk.

Entah mengapa saat itu Loan Nio Nikouw merasa hatinya kurang tenteram. Karena itu setelah
duduk di kursi paderi ini langsung bicara pada maksud kedatangannya.

"Adipati, saya tidak ingin mengganggu Adipati terlalu lama. Ijinkan saya bicara pada pokok
persoalan. Saya sudah menerima keterangan dari penghubung kita bahwa Adipati mengetahui
dimana beradanya dua buah dadu gading yang berasal dari Tiongkok itu."

"Paderi Loan Nio waktu kita cukup banyak. Mengapa terburuburu? Lagi pula bukankah
sepatutnya saya menjamu Paderi lebih dulu?" Habis berkata begitu Adipati Brebes Karta
Suminta menuangkan minuman dalam piala ke dalam dua buah cangkir kaca.

"Minuman ini tidak ada di Tiongkok. Terbuat dari jahe yang ditumbuk halus, diberi air yang
sudah dimasak ditambah madu dari negeri Arab. Jika diminum hangat-hangat akan membuat
tubuh terasa segar, otak jernih, pandangan menjadi terang serta hati lega. Ha_ ha… ha…
Silahkan Paderi mencicipi…"

Loan Nio Nikouw tampak sedikit bimbang. "Saya tidak haus katanya.

"Tidak baik menampik. Atau mungkin Paderi menaruh curiga akan sesuatu…?"

Adipati Brebes ambil seloki di hadapannya lalu meneguk minuman di dalam seloki itu sampai
habis. Wajahnya kelihatan merah dan keringat memercik di kening. Pelipis kiri kanan tampak
bergerak-gerak.

“Tidak ada apa-apa dalam minuman ini. Tidak ada racun” kata Adipati pula lalu tertawa lebar.

Karena merasa tidak enak. Loan Nio Nikouw akhirnya ulurkan tangan mengambil seloki di atas
meja. Sebelum meneguk, minuman itu diciumnya terlebih dulu. Terendus bau sedap harum dan
hangat Sang paderi hanya meneguk seperlima dari isi seloki kaca lalu letakkan seloki di atas
meja.

"Adipati, kembali pada pertanyaan saya tadi. Benar Adipati mengetahui dimana beradanya dua
buah dadu gading Itu?"

Adipati Brebes terlebih dulu usap kumis dan janggut lebatnya baru menjawab.
"Memang betul. Saya mengetahui. Tapi mengetahui keberadaan dua buah dadu bukan berarti
saya telah memilikinya-."

"Saya mengerti. Saya juga maklum kalau Adipati bisa menolong saya untuk mendapatkan dua
buah dadu itu."

"Saya sudah menyuruh dua orang kepercayaan saya untuk mengawasi tempat dimana dua
buah dadu itu berada. Pagi nanti sebelum fajar menyingsing kita bersama-sama mendatangi
tempat itu. Sementara itu kita masih punya banyak waktu untuk bercakap-cakap bertukar
pengalaman. Selain itu ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Namun jika Paderi Loan Nio
mungkin merasa letih dan ingin beristirahat, saya sudah menyediakan kamar tersendiri sambil
menunggu datangnya pagi."

Loan Nio Nikouw kedipkan kedua matanya beberapa kali. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba
saja dia merasa mengantuk. Tubuhnya terasa panas. Aliran darah mengencang sementara
jantungnya berdetak lebih cepat Paderi ini mulai merasa curiga.

"Terima kasih, saya tidak letih…"

"Mengantuk mungkin?"

‘Tidak juga. Tapi…" Sang Paderi menguap. Cepat-cepat dia tutupkan tangan kanan ke mulut
Sepasang matanya berair. Kepala terasa berat tersentak ke depan. "Maafkan saya. Beberapa
hari ini saya memang kurang tidur»" Loan Nio Nikouw menguap kembali. Bersamaan dengan itu
kepala dan tubuhnya terkulai ke kursi.

Adipati Karta Suminta tersenyum. Perlahan-lahan dia berdiri, melangkah ke dinding. Saat itu
juga bagian tengah dinding yang berseberangan bergerak turun ke lantai ruangan, membentuk
sebuah tempat tidur besar berkasur tebal, terbungkus seperai lembut

Gelegak nafsu membersit jelas di wajah yang menyeringai. Adipati Karta Suminta mendatangi
sosok yang terkulai tak sadarkan diri di kursi kayu jati. Kemudian diambilnya pedang dan papan
seluncur yang ada di punggung paderi Loan Nio, diletakkan di atas meja. Lalu tubuh Loan Nio
Nikouw didukung, dibaringkan di aias tempat tidur. Lalu Adipati ini membuka pakaiannya.
Dengan hanya mengenakan celana dalam dia kemudian berbaring disamping Loan Nio Nikouw.
Topi biru yang bersambung dengan untaian manik-manik merah ditanggalkan dari kepala sang
Paderi.

Untuk beberapa saat lelaki ini terkesiap sewaktu melihat ternyata sang Paden berkepala licin
gundul. Walau tidak memiliki rambut namun wajah sang Paderi tampak cantik jelita. Alis
lengkung bak bulan sabit bibir merah seperti delima merekah. Adipati Brebes ciumi kepala
gundul dan wajah cantik harum itu berulang kali.
Sambil tertawa lebar dan pandang wajah serta kepala Loan Nio Nikouw Adipati Karta Suminta
usap-usap janggutnya yang lebat

"Seumur hidup baru kal in aku melihat gadis botak secantik ini. Ha… ha… ha . Penga.aman baru!
Aku akan meniduri gadis botak!" Karta Suminta melirik ke bagian bawah pinggang Paderi Loan
Nio. "Apakah…apakah.Ha…ha…ha! "Dengan penuh nafsu dia kembali menciumi wajah dan
kepala gundul Paderi dari Tionggoan itu berkali-kali.

Dua tangan Adipati Karta Suminta kemudian bergerak menyingkap dada pakaian sang Paderi. Di
balik pakaian luar warna merah berkembang-kembang biru dan kuning itu ada selapis pakaian
dalam. Pakaian dalam ini begitu tipis sehingga sang Adipati dapat melihat jelas dada Loan Nio
Nikouw. Sepasang matanya membesar. Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada begitu
bagus, putih dan mulus. Penuh gelegak nafsu lelaki ini sapukan wajahnya dengan gemas ke
dada Loan Nio Nikouw.

"Braakk!"

Tiba-tiba atap ruangan jebol. Sesosok tubuh melayang turun. Bersamaan dengan itu satu
tendangan menderu ke arah kepala Adipati Brebes yang tengah melampiaskan nafsunya itu
sementara Loan Nio Nikouw masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Kapak Maut Naga Geni 2124

Dalam gelapnya malam Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan lari. Dia membungkuk untuk
mengencangkan ikatan kasut di kaki kanan. Sebenarnya ini adalah satu kepura-puraan belaka.
Sejak tadi dia mengetahui ada seseorang berlari menguntit dirinya. Sambil membungkuk Wiro
memperhatikan ke belakang. Gelap sunyi. Tak tampak seorangpun. "Cepat juga setan itu
sembunyi" pikir Wiro ‘Tapi aku akan segera mengetahui siapa orangnya." Wiro lanjutkan lari ke
arah utara menuju Kadipaten Brebes. Malam itu sesuai perjanjian tepat tengah malam dia akan
menemui Kang Loan Nio Nikouw di pintu gerbang gedung kediaman Adipati Brebes. Semula
Wiro mengira orang yang menguntitnya adalah sang Paderi sendiri. Namun setelah ditunggu
beberapa lama orang yang membuntuti itu takkunjung menyusul atau unjukkan diri. Wiro jadi
curiga. Di satu tempat dia berkelebat ke balik serumpunan semak belukar lalu melompat naik
ke sebuah pohon bercabang rendah berdaun rimbun. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan.
Namun tak selang berapa lama sang penguntit muncul juga. Wiro tak percaya pada
penglihatannya. Orang yang mengikuti itu ternyata pemuda berpakaian biru bermuka
tengkorak dari Tionggoan yang bukan lain adalah Liok Ong Cun alias Pendekar Muka Tengkorak
Ko Lo Khek. Wiro segera ingatakan penjelasan Nio Nikouw bahwa pendekar murid Siauw Lim ini
pernah keluarkan ancaman akan membunuh setiap lelaki yang mendekati dirinya.

Wiro maklum sudah. Liok Ong Cun sengaja menguntit dengan membekal maksud jahat
"Sejak tadi dia sengaja tidak mau unjukkan diri. Pasti karena ingin mengetahui lebih dulu
kemana tujuanku." Pikir Wiro. "Mungkin juga dia sudah tahu kalau aku akan menemui paderi
perempuan yang digilainya itu."

Wiro menatap ke langit. Tengah malam, waktu perjanjian dengan Loan Nio Nikouw hampir tiba
Jika mengurusi manusia satu ini bisa-bisa dia terlambat sampai di gedung kediaman Adipati Tapi
kalau tidak diurusi tetap saja LiokOng Cun akan jadi penghalang. Wiro tidak mau kalau orang itu
tahu kemana dia pergi dan bertemu dengan sang paderi. Wiro memutuskan untuk segera saja
turun dari atas cabang pohon. Tapi belum sempat hal itu dilakukan satu cahaya hijau tiba-tiba
memancar di bawah sana. Di lain saat satu sosok biru melesat ke udara lalu cahaya hijau
berkiblat ke arah pohon dimana Wiro berada.

"Craass…craass!"

Luar biasa! Dalam waktu singkatdaun pohon dibalik mana Wiro berada tertebas luruh dan
melayang jatuh ke tanah. Setengah bagian dari pohon menjadi gundul! Keberadaan sosok Wiro
di atas pohon yang tadi terlindung kini terlihat jelas. Sosok biru melesat ke tanah. Di bawah
sana Liok Ong Cun berdiri dengan dua kaki merenggang sementara sebilah pedang hijau
dimelintangkan di depan dada. Mulutnya mengumbar tawa bergelak.

"Manusia di atas pohon! Mengapa masih belum turuni Apa baru mau turun kalau kutabas dulu
batang lehermu dengan Ceng Coa Kiam?»"

Walau Pendekar 212 tidak mengerti apa yang diucapkan orang karena Liok Ong Cun bicara
dalam bahasa Cina tapi Wiro maklum kalau pemuda bertopeng muka tengkorak itu bicara dan
mengejek dirinya. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera melompat turun. Sebaliknya selagi Wiro
melayang di udara Liok Ong Cun melompat ke atas. Pedang sakti di tangan kanannya membabat
ganas, menebar cahaya hijau dalam jurus angker bernama Jai Hong Toh Te atau Pelangi
Melengkung Ke Bumi.

Cahaya hijau setengah lingkaran berkiblat menabas menyamping dari atas ke bawah, disertai
suara bersuit ganas. Yang diincar adalah kepala dan tubuh Pendekar 212.

Sebelumnya Wiro telah melihat jurus serangan ini yaitu ketika Liok Ong Cun menghadapi Nionio
Nikouw. Digempur serangan hebat saat itu sang paderi tidak sampai celaka karena keburu
ditolong dua nenek kembar jejadian. Wiro tak mau berlaku ayal. Dengan cepat dia berkelebat
ke samping sambil tangan kiri lepaskan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.

Selarik angin deras melabrak Liok Ong Cun. Gerakan tubuh pendekar Tionggoan muka
tengkorak ini menjadi goyang dan tertahan sedikit namun tangan kanannya yang memegang
pedang masih mampu menyusup ke depan.

"BrettT
Ujung Pedang Ular HIjau merobek lengan kanan baju putih Wiro.

Wiro berseru kaget dan memaki dalam hati.

"Gila! Gebrakan pedangnya cepat sekali.Tenaga dalamnya juga tinggi. Pukulan saktiku tidak
membuatnya mental!"

Begitu menjejakkan kaki di tanah, Liok Ong Cun kembali menyerbu. Seperti tadi gerakannya luar
biasa cepat Wiro sambut serangan lawan dengan tawa bergelak lalu membuat gerakan aneh.
Dia keluarkan ilmu silat Orang Gila yang didapatnya dari kakek sakti bernama Tua Gila.

LiokOng Cun kerenyitkan kening sewaktu melihat sosok lawan bergerak perlahan, terhuyung ke
kiri dan ke kanan, bergerak seperti mau terjerembab sementara dua tangan menggapai ke atas
dan ke samping Kepala mendongak dan mulut terus mengumbar tawa. Gerakan Wiro yang
perlahan seolah berlaku ayal ini membuat Liok Ong Cun jadi penasaran. Dasar ilmu pedangnya
adalah gerakan cepatsementara lawan melayani dengan gerakan perlahan. Dia merasa dalam
waktu dua jurus saja dia akan mampu membacok kepala atau menabas tubuh Wiro!

Liok Ong Cun menyerbu dengan jurus Yau Te Soan alias Langit Bergoyang Bumi Berputar.
Pedang sakti warna hijau di tangannya melesat menggeletar laksana ular menyambar.

"Heee.„" Wiro mencibir. Kepala dimiringkan, dua lutut ditekuk. Pedang hijau menderu ganas
setengah jengkal di depan kening Pendekar 212!

"Setan! Aku mau lihat apa kau mampu menghindar dari jurus maut ini!" teriak Liok Ong Cun
yang jadi marah karena selain diejek serangannya tadi berhasil dihindari lawan. Untuk kesekian
kalinya Pedang Ular Hijau membabat berkesiuran ke arah pinggang namun tiba-tiba serangan
berubah menjadi satu tusukan. Luar biasa! Tidak gampang merubah babatan menjadi tusukan.
Apa lagi serangan itu dilakukan dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi!

Itulah salah satu jurus andalan ilmu pedang LiokOng Cun yang disebut Cip Hian JayHon atau
Tiba-tiba Muncul Pelangi.

Kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang. Senjata lawan tahu-tahu sudah menusuk ke arah
dadanya. Tepat pada saat ujung pedang menyentuh pakaiannya, tubuh Wiro tiba-tiba meliuk ke
kiri dan rebah ke belakang. Bersamaan dengan itu dua tangannya membuat gerakan seperti
orang bertepuk. Badan pedang hijau terjepit diantara dua telapak tangan Wiro Ketika tubuh
Wiro jatuh punggung, senjata lawan yang ikut Tertarik menancap menghujam di tanah.

LiokOng Cun berseru kaget

"Bagaimana mungkin!" teriaknya heran. Di Tionggoan, tingkat kepandaian menarik pedang


dengan dua telapak tangan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh para tetua Siauw Lim Apakah
pemuda berambut gondrong ini lebih hebatdari tokoh Siauw Lim?!
Rasa kaget membuat Liok Ong Cun bedaku lengah. Dia tak Sempat menghindar ketika dari
bawah kaki kiri Wiro melesat ke atas, kirimkan tendangan yang dengan telakmenghajar bahu
kanannya. LiokOng Cun berteriak kesakitan, memaki habishabisan. Wiro melompat bangkit
Diam-diam dia merasa kagum.Orang lain jika ditendang seperti itu pasti sudah remuk tulang
bahunya.Tapi Liok Ong Cun berteriak kesakitan lalu usap-usap bahu kanannya.

"Antara kita tidak ada permusuhan. Mengapa kau hendak membunuhku? Cemburu giia?!"

Liok Ong Cun yang tidak mengerti ucapan Wiro keluarkan kutuk serapah yang tidak di mengerti
Wiro. Tindakan pemuda muka tengkorak ini ternyata tidak sampai hanya memaki. Tapi sambil
melangkah kehadapan lawannya dia lalu meludahi, muka Wiro.

Dihina orang seperti itu membuat darah pendekar 212 jadi menggelegak. Ubun-ubunnya terasa
panas. Seumur hidup belum pernah dia diperlakukan orang seperti itu. Dibarengi teriakan
penuh amarah Wiro menerjang. Kalau tadi ketika mengeluarkan ilmu silat orang gila gerakan
Wiro begitu lamban seperti orang mabok, kini tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-
bayang, dua tangannya lenyap dari pemandangan!

Belum pernah Liok Ong Cun menghadapi lawan yang punya kemampuan ilmu silat tangan
kosong begini hebat dengan cepat dia membuat gerakan perlawanan, lancarkan jurus-jurus
pertahanan yang sesekali diseling serangan-serangan kilat dengan mengandalkan ketinggian
tenaga dalam serta kecepatan gerak. Beberapa kali dua tangan mereka saling bersilang dan
beradu sampai mengeluarkan suara keras. Setiap terjadi bentrokan tangan, Wiro terpental satu
langkah, sebaliknya Liok Cun hanya mengeluh kesakitan. Mengira dia memiliki tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh yang lebih andal dari lawan, pendekar dari Tionggoan ini terus
merangsak Namun dia salah menafsir. Saat itu Pendekar 2l2 telah keluarkan Ilmu silat yang
bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Dari enam jurus pukulan inti yang mendasari ilmu silat langka itu Wiro hanya mengeluarkan tiga
jurus saja yakni Tangan Dewa Menghantam Air Bah, Tangan Dewa Menghantam Api dan
Tangan Dewa Menghantam Matahari.

LiokOng cun memang luar biasa Dia sanggup mengelakkan dua jurus pertama serangan lawan
yang menghantam ke arah kiri dan kanan tubuhnya. Namun jurus ketiga yang bernama Tangan
Dewa Menghantam Matahari tidak sanggup dia hindari. Pemuda ini menjerit keras ketika
jotosan tangan kanan Wiro mendarat telak di wajahnya.

"Kraak!"

Tulang hidung remuk. Bibir pecah. Darah mengucur, menggerung kesakitan dan megap-megap
karena sulit bernafas Liok Ong Cun terhuyung mundur. Tiba-tiba orang ini berteriak keras
seperti kemasukan setan. Darah menyembur dari hidung dan mulut Tubuh jatuh punggung
tergelimpang di tanah. Sepasang mata mendelik.
"Mati apa pingsan?" pikir Wiro memperhatikan.

Sosok Liok Ong Cun tak bergerak.

Wiro menatap ke langit Dia ingat janji pertemuannya dengan Nionio Nikouw.

"Celakai Aku sudah terlambat!" ucap Wiro. Tanpa perdulikan Liok Ong Cun lagi Wiro segera
berputar badan tinggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah berlari tiba-tiba sosok
Liok Ong Cun yang tergeletak tak bergerak di tanah melesat bangkit Mata tetap mendelik. Muka
tengkoraknya berlumuran darah Tangan kanan dipentang ke depan.

"Kreeekk!"

Lima kuku jari tangan kanan Liok Ong Cun tiba-tiba mencuat panjang, runcing dan hitam. Wiro
tersentak kaget ketika mendadak di belakangnya ada suara sambaran angin. Dengan cepat dia
berbalik namun terlambat

"Breett!"

Lima kuku jari tangan kanan Liok Ong Cun merobek pakaian Wiro, membuat lima guratan luka
di punggungnya.

"Keparat kurang ajar!"

Wiro berteriak marah. Balikkan tubuh sambil tangan kanan menghantam.

"Brukkk!"

Liok Ong Cun menggerung keras. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tertantang di tanah
megap-megap. Mulut kucurkan darah segar. Perutnyayang terkena jotosan mengalami luka
dalam yang parah. Wiro melompat menghampiri. Dalam marahnya murid Sinto Gendeng ini
cabut Pedang Ular Hijau yang sampai saat itu masih menancap di tanah. Pedang ini kemudian
dihunjamkan ke arah tubuh LiokOng Cun yang tidak berdaya. Sesaat lagi ujung pedang akan
menembus perut pendekar Tionggoan itu, Wiro berubah pikiran.

"Craass!"

Pedang Ular Hijau ditancapkannya ke tanah di antara dua pangkal paha Liok Ong Cun.

"Bunuh! Aku tidak takut matil ucap Liok Ong Cun.

"Keparat! silahkan kau mau omong apa. Tadi kau meludahi Mukaku. Sekarang terima
balasannya!"
Wiro selorotkan celananya ke bawah. Lalu serr! Air kencingnya mancur membasahi m uka
orang. Sebagian masuk ke datam mulut Liok Ong Cun hingga pemuda ini keluarkan suara
menggorok, sulit bernafas. Mau tak mau giek, gtek, glek, akhirnya dia terpaksa menelan air
kencing yang menggenang didalam mulutnya!

"Manusia jahanam.’" rutuk Liok Ong Cun. "Aku bersumpah mengorek jantungmu mencincang
tubuhmu!"

Kapak Maut Naga Geni 2125

Ketika Wiro sampai di depan gedung kediaman Adipati Brebes, pintu gerbang dalam keadaan
terkunci dan suasana serba sunyi.

"Sial, gara-gara pemuda sinting tadi aku jadi terlambat Paderi itu tidak kelihatan. Apa dia sudah
masuk ke dalam gedung?"

Wiro naik ke sebatang pohon yang salah satu cabangnya menjulal ke arah tembok gedung
Kadipaten. Untuk beberapa lama dia mendekam memperhatikan keadaan. Seperti di luar,
halaman dalam gedung Kadipaten juga tampak sunyi. Tak kelihatan seorang pengawalpun.
Gedung besar tempat kediaman Adipati Brebes itu bagian depannya terselubung kegelapan.
Tak ada satupun lampu menyala. Wiro merasa tidak enak. Jika seorang tuan rumah menunggu
kedatangan tamu penting, adalah aneh rumahnya berada dalam keadaan gelap seperti itu.

Dari cabang pohon Wiro melompat ke atas tembok lalu melayang turun kehalaman dalam.
Belum lama dia menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba terdengar orang berteriak.

"Ada orang menyusup di halaman dalam!"

Saat itu juga tiga orang pengawal bersenjata tombak dan satu mencekal golok berkelebat dalam
gelap mengurung Pendekar 212.

"Aku bukan penyusup! Aku mencari seorang teman yang malam ini menemui Adipati Brebes.
Temanku itu seorang paderi perempuan dari negeri Cina!" Wiro menjelaskan.

Empat orang pengawal Gedung Kadipaten mana mau perduli.

"Menyerah atau kami akan membunuhmu saat ini juga!" salah seorang pengawal membentak.

"Antarkan aku menghadap Adipati!" Kata Wiro pula.

Empat pengawal takmenyahufj. Yang menjawab tombak dan golok.

Tiga mata tombak menusuk ke arah dada, perut dan pinggang sementara golok besar
berkelebatmengincar kepala.
"Sial!" Wiro memaki jengkel. Dia bergerak cepat Tangan dan kaki berkelebat Dua pengawal
terjengkang pingsan begitu tendangan dan kepalan Wiro menghantam mereka. Pengawal ke
tiga yang memegang golok keluarkan keluhan pendek lalu tertegun kaku tak mampu bergerak
atau bersuara karena urat besar di leher kanannya telah ditotok.

Pengawal ke empat yang memegang tombak rupanya memiliki ilmu silat paling tinggi. Tombak
di tangannya dibolangbaling, menderu kian kemari.

"Kunyuk gondrong! Amblas perutmu! Jebol ususmu!" Teriak pengawal ini sambil kirimkan satu
tusukan kilat ke perut Wiro. Dia begitu yakin serangannya akan menemui sasaran. Dia tidak
tahu tengah berhadapan dengan siapa.

Wiro mundur satu langkah. Tangan kiri melesat ke depan. Si pengawal kaget bukan main
sewaktu tombaknya dicengkeram lalu dibetot lepas. Dia cepat menerjang. Namun gagang
tombak keburu mengemplang kepalanya Tak ampun lagi orang ini roboh pingsan ke tanah.

Wiro tinggalkan empat pengawal yang bergelimpangan di halaman gedung. Dia segera hendak
berkelebatmenuju pintu depan. Namun tidak sengaja matanya melihat ada seseorang
mendekam di atas salah satu wuwungan gedung.

"Kalau dia pengawal, mengapa berada di atas atap. Kalau dia paderi perempuan itu mengapa
bertamu di atas wuwungan." Pikir Wiro.

Bangunan gedung Kadipaten memiliki beberapa wuwungan.

Wiro melesat ke wuwungan paling rendah lalu melompat ke wuwungan yang lebih tinggi. Tak
lama kemudian dia sudah berada di atas wuwungan dimana orang yang tadi dilihatnya dari
bawah berada. Orang ini berpakaian jubah biru gelap. Saat itu dia tengah mengintip ke dalam
bangunan lewat sebuah genteng yang sengaja dibuka. Demikian asyiknya dia mengintip hingga
tidak tahu kalau ada orang lain naik ke atas atap. Juga tidak mendengar teriakan-teriakan di
bawah sana. Tanpa suara Wiro dekati si jubah biru. Wiro tepuk bahu orang ini lalu berkata."

"Sobat, kalau ada pemandangan bagus jangan dilihat sendiri. Bagi-bagilah…"

Kejut si jubah biru yang adalah Ki Sentot Balangnipa bukan alang kepalang. Cepat dia palingkan
kepala.

"Keparat! Siapa kau?!" Ki Sentot Balangnipa membentak. Dia memang sudah sering mendengar
nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng namun belum pernah melihat sendiri
orangnya.
Melihat tampang orang yang menyerupai muka kuda, Pendekar 212 menyeringai "Eh, matamu
ternyata cuma satu. Masih saja doyan mengintipi Minggir sana, aku mau lihat apa yang sedang
kau intip!"

Wiro dorong bahu si jubah biru dengan pantatnya. Orang ini menggembor marah. Tubuh
dibungkukkan, kaki kiri menendang. Gerakannya cepat sekali.

"Wutt!"

Wiro tersentak kaget Bukan karena mendapat serangan mendadak begitu rupa, tapi ketika
melihat keadaan kaki kiri orang itu yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinyal
Wiro jatuhkan diri sama rata dengan atap bangunan. Tendangan si jubah biru masih menyapu
rambut di kepalanya. Sebelum sempat orang menarik kakinya Wiro cepat menjotos.

"Bukkk!"

Ki Sentot Balangnipa keluarkan gerung kesakitan. Tubuh melintir akibat jotosan yang melanda
pangkal pahanya. Tampangnya berubah seperti kepala kuda. Dari bagian atas atap dia
gulingkan diri, berusaha merangkul sosok Pendekar 212. Wiro maklum lawan hendak mengajak
jatuh bersama. Dengan cepatdia membuang diri ke samping kiri sambil tangan kanan melepas
satu pukulan tangan kosong. Ki Sentot Balangnipa kebutkan lengan jubah sebelah kanan dua
kali berturut-turut

Wiro terkejut Kebutan lengan jubah lawan bukan saja membuyarkan pukulan tangan kosongnya
tadi tapi dia juga merasakan tubuhnya laksana didorong sebuah batu besar. Karena kedudukan
dua kakinya berada pada atap yang miring, dia tak mungkin bertahan. Wiro kerahkan tenaga
dalam untuk melindungi diri. Bersamaan dengan itu dia pergunakan ilmu meringankan tubuh
untuk cepat-cepat melompat ke atas.

Ki Sentot Balangnipa berusaha mengejar sambil melepas serangan tangan kosong


mengandalkan tenaga dalam tinggi. Namun dia tidakmelihat lawan. Sebelum dia mengetahui
dimana Wiro berada tiba-tiba punggungnya dihajar satu tendangan keras. Tak ampun lagi orang
ini mencelat mental, menggelinding di atas atap, terus melayang ke bawah.

Ki Sentot Balangnipa memang tangguh. Walau punggung cidera berat namun dia masih
sanggup membuat gerakan jungkir balik di udara dan jatuh dengan dua kaki menginjak tanah
lebih dulu.

Wiro tidak perdulikan lagi orang itu. Dia cepat merangkak ke atas dan mengintai ke dalam
gedung lewat genteng yang terbuka dimana tadi Ki Sentot Balangnipa melakukan pengintipan.

"Jahanam kurang ajar!" Wiro memaki goram. Apa yang disaksikan membuat dia marah besar. Di
bawah sana, di atas sebuah ranjang seorang lelaki bertubuh besar tengah menanggalkan
pakaian seorang perempuan muda berkulit sangat putih. Melihat wajah dengan kepala gundul
semula Wiro hampir tidak mengenali perempuan itu. Namun dari wama pakaian serta sebilah
pedang bergagang kepala naga yang terletak di atas meja, Wiro sadar peiempuan itu bukan lain
adalah Nionio Nikouwl

"Aneh. mengapa paderi itu diam saja?!" Pikir Pendekar 212.

"Pasti ada yang tidak beres! Mungkin dia telah kena tolok!"

"Braakkk!"

Wiro tendang hancur atap bangunan lalu melesat turun ke dalam ruangan. Di udara dia
berjungkir balik satu kali. Begitu melayang turun kaki kanannya menendang ganas ke arah
kepala Adipati Brebes yang tengah berbuat mesum terhadap Nionio Nikouw.

Pada saat atap jebol, Adipati Karta Suminta sadar sesuatu terjadi diluar gedung. Telebih lagi
ketika ada sambaran angin di sampingnya. Secepat kilat Adipati ini jatuhkan diri di atas tubuh
Nionio Nikouw lalu menarik tubuh paderi Itu menggelinding ke lantai. Begitu bangkit berdiri
sosok sang paderi dipergunakan sebagai tameng melindungi diri. Pakaian merahnya tersingkap
lebar di sebelah depan.

"Bangsat gondrong! Siapa kau!" Bentak Adipati Karta Suminta.

"Manusia bejat! Lepaskan perempuan itu atau kuhancurkan kepalamu!" Teriak Wiro lalu
melangkah cepat mendekati.

"Berhentil Jika berani mendekat kupatahkan leher paderi ini!"

Adipati Brebes balas mengancam dan saat itu juga tangan kanannya yang berjari besar
mencengkeram batang leher Kiang Loan Nio Nikouw.

"Aku tidak perduli kau mau apakan paderi itu! Yang aku Inginkan adalah nyawa busukmu!" Wiro
melompat

Termakan ucapan Wiro Adipati Brebes dorong tubuh sang paderi ke depan. Sebelum tubuh itu
tersungkur di lantai Wiro cepat merangkulnya. Di saat yang sama Adipati Brebes berkelebat ke
meja kayu jati di tengah ruangan, menyambal Pedang Naga Merah dan sekaligus sreet..
Menghunus senjata milik Nionio Nikouw Ini. Cahaya merah memancar di ruangan itu.

"Kurang ajar…" rutuk Pendekar 212. Dia cepat memanggul tubuh paderi Nionio. melangkah ke
kanan ke arah pintu ruangan.

"Kalian berdua akan mampus percuma di tempat ini!" teriak Adipati Brebes marah besar. Sekali
melompat pedang di tangan kanannya menderu dahsyat Wiro cepat menyingkir. Cahaya merah
disertai hawa dingin menggldikan memapas satu jengkal di depan hidung Wiro. Kalau dia tidak
cepat memutar diri sambil bersurut dua langkah, pasti kaki Nionio Nikouw yang terjuntai akan
kena dibabat putus oleh Pedang Naga Merah miliknya sendiri!

"Manusia setan!"

Baru saja Wiro memaki, Adipati Brebes sudah menyerbu kembali. Cahaya merah bertabur
menggidikkan dalam ruangan. Di saat itu pula tiba-tiba dari atap yang jebol melayang turun
satu sosok berpakaian biru yang bukan lain adalah Ki Sentot Balangnipa.

"Ki Sentot Bantu aku membunuh dua orang ini!"

"Dua orang ini Adipati?!" Ki Sentot Balangnipa terkejut "Bukankah-perempuan Cina itu perlu
dibiarkan hidup? Si gondrong jahanam ini yang musti dicincang!"

"Kau benar" ucap Adipati Karta Suminta seolah baru sadar bahwa dia masih ingin
melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Nionio Nikouw. "Hati-hati Ki Sentot! Jangan sampai gadis
itu terluka Sang Adipati pentang tangan yang memegang pedang lalu menyerbu. Ki Sentot
Balangnipa goyangkan dua bahu, keluarkan suara meringkik seperti kuda.

Saat itu juga tahu-tahu dia sudah memegang sepasang tali kekang kuda yang merupakan
senjata andalannya. Dengan dua senjata ini dia bisa membelah batu, membabat putus tubuh
manusia, juga mampu menjirat mengikat atau menggantung orangl

Wiro melihat bahaya mengancam begitu rupa tidak mau berlama-lama. Ketika Adipati Brebes
menerjang dengan Ang Liong Kiam dan Ki Sentot Balangnipa menyabatkan dua buah tali kekang
yang jadi senjatanya, Pendekar 212 Wiro Sableng segera angkat tangan kanan. Begitu tangan
memancarkan cahaya perak menyilaukan Wiro memu kul ke arah Adipati Karta Suminta.

"Pukulan Sinar Matahari Adipati lekas menyingkir!" teriak Ki Sentot Balangnipa yang telah
sering mendengar kehebatan ilmu pukulan sakti itu. Habis berteriak dia cepat-cepat jatuhkan
diri ke lantai dan berguling menjauh, berlindung dibalik ranjang besar.

"Wuss!"

Cahaya putih berkiblat Hawa panas menghampar.

Adipati Karta Suminta menjerit keras. Tubuhnya terpental ke dinding. Sesaat tubuh itu seolah
menempel lalu jatuh ke lantai dalam keadaan gosong hitam, mengepul bau sangit daging
terpanggang!

Asap tebal memenuhi ruangan.

Di luar terdengar suara banyak orang berlarian mendatangi para pengawal. Dari atas genteng
ada seorang melompat turun Pasti seorang yang punya kepandaian tinggi.
Ki Sentot Balangnipa walau sebagian jubah birunya hangus masih untung tidak mengalami
cidera. Hanya matanya terasa perih dan nafas menyesak. Didahului suara meringkik keras dia
hantamkan dua tali kekang kuda ke tengah mangan dimana tadi Wiro berada. Namun saat itu
Pendekar 212 sudah lenyap dari ruangan itu. Pintu kamar tampak hancur berantakan!"

"Pengawal jangan biarkan bangsat gondomg itu kaburi Kejar!" teriak Ki Sentot Balangnipa.

******

Wiro menambahkan beberapa potong kayu kering di atas Onggok perapian yang hampir
padam. Goa dimana dia berada kembali menjadi terang benderang. Wiro menatap sosok paderi
Nionio yang sampai saatitu masih terbaring tak sadarkan diri. Wajah cantik dengan kepala
gundul. Sang pendekar jadi tersenyum sendiri. Dia tidak pernah menduga kalau Nionio Nikouw
berkepala gundul.Meski tanpa rambut namun kecantikan Nionio Nikouw tetap memukau.

"Aneh rasanya, lucu, ada perempuan cantik berkepala botak. Baru sekali ini aku melihat" Sambil
senyum-senyum Wiro usap-usap kepala gundul sang paderi. Tidak sampai disitu, dasar jahil dia
dekatkan mulurnya ke kepala Nionio Nikouw lalu menjilat kepala botak itu!" Weehh, asin!"
Wiro tertawa sendiri. Sebelumnya Wiro telah memeriksa keadaan diri paderi itu. Tak

ada tanda-tanda bekas totokan di tubuh Nionio Nikouw. Dari bibirnya yang agak kebiruan Wiro
menduga Nionio Nikouw tak sadarkan diri akibat keracunan.

"Pasti ini pekerjaan Adipati keparat itu…" kata Wiro dalam hati. Karena itu dia segera menotok
beberapa jalan darah di tubuh Nionio Nikouw agar racun tidak tembus ke dalam jantung dan
masuk ke otak. Sampai menjelang pagi paderi itu masih belum sadar. Wiro jadi gelisah. Tiba-
tiba dia ingat pada Kitab Seribu Pengobatan yang ada daiam sebuah kantong kain dan disimpan
di balik pakaiannya. Wiro segera hendak mengeluarkan kitab itu untuk mencari tahu cara
pengobatan yang bisa dilakukan guna menolong Nionio Nikouw.

Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Api Di Puncak Merapi"’
dengan bantuan mahluk alam gaib yang diberinya nama Purnama, kitab tersebut berhasil
didapatkan Wiro. Dalam kisah ini sebenarnya Wiro dalam perjalanan menuju puncak Gunung
Gede untuk menyimpan kitab tersebut di satu tempat yang aman karena seperti diketahui
pondok kedamaian Sinto Gendeng telah roboh berentakan sewaktu terjadi perkelahian antara
si nenek dengan Tua Gila. Kemudian Sinto Gendeng menghancurkan sendiri pondok itu hingga
musnah sama rata dengan tanah. (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode "Nyi Bodong")

Belum sempat Wiro mengeluarkan Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba dia melihat kaki kiri
Nionio Nikouw bergerak. Wiro cepat simpan Kitab Seribu Pengobatan ke balik pakaian. Dia
pegang urat besar di atas tumit kiri sang paderi. Terasa hangat tanda jalan darahnya mulai
lancar. Wiro lalu alirkan hawa sakti ke dalam tubuh Nionio Nikouw lewat pegangan pada
pergelangan tangan kanan. Sesaat kemudian keluar suara mendesah halus dan mulut Nionio
Nikouw. Menyusul perlahanlahan membukanya kedua matanya.

"Saudara Wio…" Kata-kata itu terucap sambil mata menatap sayu Pendekar 212. Lalu Nionio
Nikouw perhatikan tangannya yang dipegang Wiro. Kemudian melirik ke atas, memandang ke
kiri dan ke kanan lalu menatap ke arah perapian dan akhirnya kembali memandang Wiro.
"Saudara Wie, kita berada dimana? Paderi itu tarik tangannya yang dipegang Wiro. Ketika dia
memperhatikan dirinya kejutnya bukan olah-olah. Wajahnya mendadak sontak menjadi
bersurut menjadi merah. Nionio Nikouw serta meria bangun dan duduk lalu tersurut menjauhi
Wiro sampai punggungnya menyentuh dinding goa.

"Saudara Wie, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan terhadapku?! tanya Loan Nio Nikouw.
Tangan kiri menutup dada pakaian yang tersingkap, tangan kanan meraba ke punggung.

Karena Wiro tak segera menjawab paderi perempuan itu bangkit berdiri. Sepasang matanya
membesar, memandang tak berkesip ke arah Wiro.

“Dimana pedangku?!"

Tiba-tiba ada seseorang m uncul di mulut goa. Orang yang

datang ini keluarkan ucapan.

"Loan Nio. bangsat berambut gondrong ini barusan hendak memperkosamu. Untung aku
datang. Dia pula yang telah mencuri Pedang Naga Merah milikmu. Senjata itu
disembunyikannya di satu tempat Kau saksikan sendiri apa yang telah dilakukannya
terhadapku!"

Orang yang bicara melangkah masuk sehingga wajah dan sosoknya kelihatan jelas diterangi
nyala perapian.

Kiang Loan Nio Nikouw menjerit keras. Wiro tidak tahu apa yang diucapkan orang di mulut goa
karena dia berkata dalam bahasa Cina. Namun melihat keadaan sang paderi yang mendadak
tampak marah besar seperti mau menerkamnya Wiro yakin orang di mulut goa telah
mengatakan sesuatu yang dahsyat! Tanpa berpaling, dari suaranya saja Wiro sudah mengenali.
Orang itu bukan lain adalah LiokOng Cun.

"Saudara Wie! Benar… benar?!"

"Benar apa Nionio?"

"Kau hendak memperkosaku! Kau mencuri Pedang Naga Merah!"


"Nionio, aku belum gila melakukan hal bejat itul Pasti bangsat muka tengkorak ini mengarang
cerita mengumbar mulut fitnah! dia hendak menarik perhatianmu!

"Loan Nio, apapun yang dikatakannya jangan percayai Demi cintaku padamu aku akan
membunuhnya saat ini juga! Apakah kau tidak akan membantuku menghajar orang yang
hendak mencelakai dirimu ini?!" Liok Ong Cun cepat keluarkan ucapan karena merasa orang
tengah berusaha membela diri.

Selesai berucap Liok Ong Cun cabut pedangnya.

Loan Nio Nikouw meraba ke pinggang, mencari suling perak. Tapi benda itu tak berhasil
ditemukan. Dia mengusap muka meraba kepala dan jadi terpekik ketika menyadari bahwa topi
sekaligus cadar yang menutupi kepala serta wajahnya tak ada lagi! Dengan cepat paderi ini
robek ujung bawah kiri kanan pakaian merahnya. Robekan kain yang cukup lebar Ini
dijadikannya destar penutup kepala serta cadar pelindung wajah. Dengan mata menyorot Loan
Nio Nikouw memandang ke arah Pendekar 212.

"Saudara Wie. aku tidak menyangka begitu bejat budi pekertimu! Aku mengira kau seorang
sahabat yang bisa dimintai tolong! Ternyata kau iblis terkutuk!"

"Nionio, dengar dulu keteranganku…" ucap Wiro.

"Aku tak butuh keterangan. Aku ingin membunuhmu saat ini juga!" Loan Nio Nikouw berteriak
keras lalu menerjang. Walau cuma mengandalkan tangan kosong namun dengan ilmunya yang
tinggi dua tangan bisa seganas senjata tajam atau pentungan besi!

"Celaka Kenapa bisa jadi begini?!" ucap Pendekar 212 Dia cepat rundukkan kepala. Pukulan
Loan Nio Nikouw menghantam dinding goa. Dinding berupa batu keras itu hancur, bolong
besari "Gila!" Wiro kembali memaki. Sementara dari kanan Liok Ong Cun putar tangannya yang
memegang pedang.

"Wuttt!" Pedang Ular Hijau menyambar. Cahaya hijau berkiblat Wiro jatuhkan diri ke lantai goa
sambil dua tangannya menyambar dua kayu perapian. Kayu di tangan kiri dilempar ke arah
Nionio Nikouw hingga paderi perempuan ini terpaksa tahan serangan yang hendak
dilancarkannya. Walau cuma kayu tapi karena dialiri tenaga dalam, setelah tidak mengenai
sasaran kayu itu menancap di dinding goa. Dengan kayu berapi di tangan kanan Wiro kemudian
menyerang Liok Ong Cun. Pendekat dari Tionggoan ini mendengus. Sekali pedangnya
membabat kayu api di tangan Wiro buntung.

"Kalau tidak kuhabisi manusia satu ini bisa membuat urusan panjang tak karuan di kemudian
hari!" Berpikir sampai di situ Wiro siap melepas Pukulan Sinar Malahan. Namun entah mengapa
dia mengganti dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dia kerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Angin dahsyat menggebu-gebu.
Liok Ong Cun berteriak marah ketika melihat serangannya menjadi buyar. Sambil membolang
balingkan pedang membentengi diri dia melompatmeneijang Wiro. Wiro sambut dengan
dorongkan tangan kanan.

"Wusss!"

Liok Ong Cun terjengkang di tanah Pedang Ular hijau nyaris terlepas. Wiro melompat di atas
tubuhnya, melesat keluar goa. Uok Ong Cun berusaha membabat kaki Wiro namun dadanya
keburu sesak. Lalu pemuda Tionggoan ini semburkan darah kental. Dia termasuk hebat Orang
lain yang terkena hantaman pukulan Benteng Topan Melanda Samudera berkekuatan tenaga
dalam penuh pasti sudah remuk sekujur tubuhnya.

"Manusia pengecut! Kau bisa lari sekarang! Aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia!" teriak
Kiang Loan Nio Nikouw.

"Paderi Nionio! Jangan menuduh aku pengecut!" Di kegelapan malam diluar goa terdengar
suara Wiro menyahuti teriakan sang paderi. "Aku terpaksa pergi karena kau lebih percaya pada
pemuda busuk muka tengkorak itu dari pada diriku! Jika kau ingin tahu apa yang terjadi
pergilah menyelidik ke Gedung Kadipaten Brebes! Aku telah membunuh Adipati Karta Suminta
demi menyelamatkan dirimu dari perbuatan kejinya!"

"Dusta!" teriak Loan Nio Nikouw. Dalam keadaan masih marah dia berkelebat hendak
mengejar. Tapi Liok Ong Cun mencegah.

"Manusia satu itu sangat berbahaya. Biarkan dia pergi: Oia tidak akan iolos dari tanganku. Demi
dirimu aku bersumpah akan menabas lehemyal Loan Nio, mungkin ini saatyang baik bagi kita
untuk bicara"

Mengingat dan merasa orang telah menolong dirinya, walaupun tidak suka pada pemuda itu
namun akhirnya Loan Nio Nikouw masuk kembali ke dalam goa dan duduk di lantai.

"Ong Cun, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Tapi tunggu…" Sang paderi
perhatikan wajah Liok Ong Cun yang masih ada noda-noda darah di bagian bawah hidung dan
sekitar bibir. "Aku melihatnodadarah di wajahmu. Suaramu sengau seperti ada yang
mengganjal di hidungmu. Sesuatu terjadi atas dirimu sebelum kau berada di tempat ini…"

Liok Ong Cun jatuhkan diri ke lantai goa, duduk bersimpuh lalu mengarang cerita.

Kapak Maut Naga Geni 2126

LOAN NIO," Liok Ong Cun mulai dengan kebohongannya. "Kau tahu bagaimana besarnya
cintaku padamu. Sampai-sampai aku rela bunuh diri bahkan diluar sadarku aku bicara kasar
padamu. Bukan itu saja, aku sampai ingin mati berdua bersamamu. Untuk semua itu aku
sangatmenyesal dan mohon maafmu. Aku tahu kau sudi dan mau memaafkan diriku…"
‘Teruskan bicaramu. Yang sudah berlalu aku tidak keliwat memikir. Yang aku ingin tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi. Benar pemuda berambut gondrong itu hendak merusak
kehormatanku?" "Kau mungkin tidak percaya. Lihat wajahku Loan Nio. Bibirku pecah, tulang
hidung patah. Aku menderita luka di dalam. Itu yang telah terjadi dengan diriku sebelum
memergoki manusia keparat itu melakukan perbuatan keji atas dirimu di goa ini. Sejak peristiwa
di telaga, aku selalu memata-matainya. Bukankah aku pernah mengeluarkan ucapan akan
membunuh siapa saja lelaki yang berani mendekatimu? Malam tadi aku mencegatnya di satu
tempat Dia langsung menyerangku. Aku harus mengakui dia memiliki ilmu silat dan kesaktian
sangat tinggi. Ilmu pedangku tidak berdaya. Kekuatan tenaga dalam dan hawa saktiku tidak
mampu menandinginya. Aku dihajar begini rupa. Tidak apa. Cepat atau lambat dia akan
menerima balasan dariku! Selain itu dia berkelahi secara licik. Oia menghajarku lalu kabur
begitu saja. Ada satu hal yang membuatku sangat sakithati. Kau tahu apa yang dikatakannya
sebelum pergi?"

"Mana aku tahu. Memangnya dia bicara apa?" tanya Loan Nio Nikouw pula.

"Katanya aku tak bakal mendapatkan dirimu karena kau telah tergila-gila padanya. Kau akan
menjadi miliknya. Kalau sudah dapat kau akan ditelantarkan lalu ditinggalkanl Dia akan
mempermainkan dirimu secara kejil Dia berkata aku tidak akan mendapatkan dirimu sebagai
seorang gadis utuh karena dia akan menodai dirimu lebih dulu. Aku akan mendapat sisanya!"

"Kurang ajar sekali!" Loan Nio Nikouw jadi terbakar amarahnya. "Tidak ada seorangpun lelaki
yang bisa memperlakukan aku seperti itu." Sang paderi menatap wajah tengkorak pemuda di
hadapannya beberapa lama. Membuat Liok Ong Cun merasa tidak enak. "Ong Cun, aku percaya
pada ceritamu tentang perkelahianmu dengan pemuda itu. Namun aku merasa heran. Setahuku
kau tidak mengerti bahasa orang disini. Bagaimana kau tahu semua kata-kata yang diucapkan
pemuda itu lalu menceritakannya padaku?"

Di balik topeng wajah LiokOng Cun menjadi sangat merah. Dia tampak salah tingkah tapi masih
bisa berdalih.

"Aku memang tidak mengerti bahasa yang diucapkannya. Tapi dari gerak gerik serta sikapnya
aku tahu apa yang dibicarakannya."

"Kau hebat sekali. Aku tidak tahu kau punya kepandaian mengartikan ucapan orang dari gerak
geriknya." kata Loan Nio Nikouw sambil tersenyum, entah memuji entah mengejek.

"Selama aku masih hidup, dia tidak bakal dapat mencelakai dirimu. Aku bersumpah akan
melindungimu setiap saat"

Loan Nio Nikouw tidak perduli ucapan Ong Cun. Selain itu, melihat bagaimana Pendekar 212
Wiro Sableng telah menggebuk pemuda muka tengkorak ini, jelas Ong Cun terlalu takabur.
"Ong Cun, bagaimana kejadiannya kau sampai di goa in dan memergoki pemuda itu hendak
menodai diriku?" tanya Loan Nio Nikouw. "Setelah aku dipecundangi secara licik aku bertekad
menuntut balas. Begitu dia pergi aku mencari jejaknya. Aku berhasil menemui pemuda terkutuk
itu di goa ini. Tapi pada saat dia hendak merusak kehormatanmu…"

"Ong Cun, ketahuilah. Malam ini aku dan pemuda itu sebenarnya telah berjanji akan bertemu di
depan gedung kediaman Adipati Brebes. Aku minta dia menemaniku menghadapi Adipati. Dia
tidak muncul dalam waktu yang dijanjikan. Sekarang aku tahu. Dia tidak datang memenuhi janji
karena berkelahi denganmu."

"Loan Nio, sungguh aku tak menduga kau mempercayai musang berbulu ayam itu!
Kenyataannya kau lihat sendiri apa yang sekarang terjadi. Mengapa kau mau-maunya membuat
janji dengan pemuda terkutuk itu…"

Aku hanya menurut petunjuk Wakil Ketua Siauw Lim. Jika sampai di negeri ini harus mencarinya
untuk dimintai tolong Sebelumnya aku sama sekali tidak menaruh curiga padanya Tapi jika dia
memang orang jahat aku bisa saja berubah pikiran."

"Loan Nio, kau bukan cuma harus berubah pikiran. Tapi harus menjauhi pemuda itu! Bahkan
tidak salah kalau kau membunuhnya! Wakil Ketua tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu. Dia
jauh di Tionggoan sana. Apa yang dia tahu tentang’ orang-orang di sini. Kau harus berhati-hati
Loan Nio. Mulai sekarang kemana-mana kita harus bersama-sama. Aku punya tanggung jawab
menjaga keselamatanmu."

Loan Nio Nikouw terdiam beberapa lama. Kemudian dia berucap. "Aku masih tidak mengerti
mengapa aku bisa berada dalam goa ini. Pada hal seingatku saat itu aku berada di gedung
Adipati di Brebes.

"Loan Nio, nada bicaramu seperti membela pemuda itu. Ketika aku sampai di goa ini, aku
memergoki pemuda itu tengah menanggalkan pakaianmu. Aku langsung menyerangnya dengan
pukulan Lima Kuku Akhirat Apa kau tidak melihat punggung pakaiannya yang robek dan lima
guratan luka pada kulit tubuhnya?!"

"Aku memang melihat.." jawab Loan Nio Nikouw. Namun dalam hati dia berkata "Jka kau
memang memergoki, mengapa susah-susah mengeluarkan Ilmu Lima Kuku Akhirat segala.
Bukankah kau membekal pedang sakti? Mengapa tidak langsung membacok kepalanya dengan
Pedang Ular Hijau? Sekali bacok kepala pemuda itu pasti terbelahl Apa lagi kau menyerang dari
belakang."

Dari luka guratan di punggung Wiro, Loan Nio Nikouw bisa menduga kalau Liok Ong Cun
menyerang pemuda itu dari arah belakang.

"Seharusnya racun kuku jariku sudah membuat dia mampus saat ini. Tapi entah itmu kebal
setan apa yang dimilikinya hingga dia sanggup bertahan, tidak menemui ajal!"
"Ong Cun… Jika pemuda itu hendak memperkosaku di tempat ini, bagaimana kejadiannya
topiku tak ada di sini. Juga kain putih penutup bagian dalam dadaku tidak kutemui. Selendang
ikat pinggangku lenyap. Lalu papan seluncurku juga hilang."

"Loan Nio, aku menduga pemuda itu sebelumnya hendak merusak kehormatanmu di tempat
lain. Namun kemudian dia memutuskan membawamu ke goa ini. Mungkin di sini lebih aman.
Mungkin juga topi dan kain penutup dadamu serta selendang jatuh di tengah jalan. Loan Nio,
aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri apa yang hendak dilakukannya. Apakah kau
tidak mempercayai diriku?"

Loan Nio Nikouw bukannya menjawab malah bertanya. "Pedang Naga Merah milikku apa juga
jatuh di jalan?"

"Pasti dia yang telah mencurinya! Senjata itu agaknya disembunyikan di satu tempat" Ong Cun
menatap wajah paderi cantik di hadapannya lalu berkata. "Loan Nio, air mukamu menunjukkan
kau tidak mempercayai keteranganku. Apa yang diteriakkan pemuda itu tadi padamu sebelum
kabur?"

"Ong Cun, aku percaya padamu. Namun ada beberapa kejadian yang membingungkan…"

"Kau hendak diperkosa orang yang kau sangka baik. Tentu saja kau jadi bingung. Loan Nio."

"Bukan, bukan Itu maksudku" jawab Loan Nio Nikouw. "Sebelumnya aku masuk seorang diri ke
dalam Gedung Kadipaten. Aku bertemu dengan Adipati Karta Suminta. Dia pejabat tinggi dan
penguasa di daerah ini. Kami bicara lalu aku tak ingat lagi. Sesuatu pasti terjadi atas diriku.
Adipati itu menyuguhkan sejenis minuman…"

Berarti pemuda jahat itu menghadangmu setelah kau keluar dari Gedung Kadipaten. Ketika kau
lengah bisa saja dia menotokmu. Aku tidakyakin seorang pejabat mau berbuat keji terhadap
dirimu. Atau bisa saja begini. Pemuda itu berkomplot dengan Adipati untuk mencelakaimu. Lalu
membawamu ke goa ini dan mengaku justru dia yang menyelamatkan dirimu. Maksudnya jelas
agar kau merasa berhutang budi dan kehormatan lalu pasrah menyerahkan diri padanya!"

Loan Nio Nikouw terdiam.

"Satu bukti lagi bahwa pemuda itu orang jahat, mengapa dia melarikan diri begitu saja? Dia
takut belangnya akan ketahuan. Selain itu dia merasa tak sanggup menghadapi kita berdua. Aku
tadi mengadu nyawa untukmenyeiamatkan dirimu. Sampai saat ini agaknya kau masih lebih
mempercayai dia dari pada diriku. Aku benar-benar merasa kecewa, Loan Nio. Loan Nio,
dengar. Jika sekali lagi aku berhadapan dengan pemuda itu aku akan mengeluarkan ilmu
Manusia Bangkai. Aku dendam sampai mati pada pemuda keparat satu ibu. Kau tahu, sebelum
kabur dia mengencingi mukaku!"
Wajah Loan Nio Nikouw berubah. Kejutnya bukan alang kepalang. Bukan karena cerita Ong Cun
bahwa mukanya telah dikencingi Wiro. Melainkan karena mendengar ilmu yang disebut
pemuda bertopeng muka tengkorak itu. Ilmu Manusia Bangkai adalah satu ilmu setengah sihir
yang sangat berbahaya. Ilmu ini dimiliki oleh seorang tokoh sesat dari Gobi Pay berjuluk Pak San
Kwi Ong yang berarti Raja Setan Gunung Utara. Orang yang memiliki ilmu ini tubuhnya akan
berubah menjadi bangkai hidup berbau busuk luar biasa. Siapa saja lawan yang terkena
sentuhannya, bagian tubuhnya akan membusuk. Dalam waktu beberapa hari kebusukan itu
akan menjalar ke seluruh tubuh sampai ke kepala dan kaki. Tak ada yang sanggup
menyembuhkan. Berarti jangan harap korban bisa bertahan hidup.

"Aku tidak pernah mendengar kabar kapan pemuda ini mempelajari ilmu sesat itu. Pasti setelah
aku meninggalkan Siauw Lim beberapa waktu lalu. Turut kabar yang aku dengar Pak San Kwi
Ong punya kelainan badaniah. Dia hanya bernafsu pada sesama jenis. Apa Ong Cun telah
menyerahkan dirinya untuk mendapatkan ilmu itu? Mengerikan, menjijikanl Dan manusia
macam ini yang minta nikah dengankul Semoga Thian menjauhkan aku darinya."
(Thian=Tuhan).

Perlahan-lahan Loan Nio Nikouw bangkit berdiri. Banyak hal yang membuat pikirannya kacau.
Banyak ha! yang harus segera dilakukannya.

"Loan Nio, kau mau kemana?" tanya LiokOng Cun.

"Urusanku di Gedung Kadipaten belum selesai. Aku akan kembali ke sana…"

"Kau barusan saja menemui bahaya. Hampir celaka. Dan sekarang berkata hendak kembali ke
Kadipaten. Lebih baik kita sama-sama tinggalkan tempat ini. Loan Nio, tak ada yang lebih baik
dari pada kembali ke Tionggoan. Kita menikah di sana."

"Manusia satu ini benar-benar keras kepala," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu dia
berucap. "Kau mungkin lupa. Aku pernah menerangkan ada tugas yang harus aku laksanakan
dari Wakil Ketua Siauw Lim. Aku akan pulang bila semua tugasku selesai. Lagi pula aku harus
menemukan Ang Liong Kiam kembali. Senjata itu sama nilainya dengan nyawaku. Aku juga
harus mencari topi. selendang serta papan seluncurku. Suling perakku!"

"Aku bosan mendengar ceritamu itu. Tugas… tugas! Kalaupun kau berhasil dalam tugasmu
Siauw Lim tidak akan menjadikanmu pahlawan besar."

"Dalam menjalankan tugas apapun, dari siapapun aku tidak pemah memikir akan jadi
pahlawan." Kata Loan Nio Nikouw pula. Lalu dia meneruskan. "Kalau kau bosan, tak usah kau
dengar semua ucapanku."

"Loan Nio, mengapa kau jadi begitu keras kepala. Aku ingin menyelamatkanmu dari bencana.
Ah, aku khawatir. Jangan-jangan kau telah tertarik pada pemuda berambut gondrong itu."
Di balik kain merah penutup muka, wajah Loan Nio Nikouw menjadi merah oleh ucapan
pemuda muka tengkorak. Tanpa banyak bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu. Liok Ong
Cun sesaat tertegun Lalu berteriak keras dan memukul dinding goa dengan tangan kanan
hingga hancur berantakan.

"Gadis itu sudah tergerak hatinya padaku. Tapi kini setan gondrong keparat itu yang jadi
ganjalan. Jangan-jangan Loan Nio sudah kena guna-gunanya. Aku banyak mendengar cerita.
Negeri ini penuh dengan seribu satu macam ilmu guna-guna Ilmu pelet!" Habis memukul dan
memaki Liok Ong Cun keluar dari goa. Dia masih sempat melihat bayangan Loan Nio Nikouw
lalu mengajar ke arah larinya paderi itu.

*****

KETIKA Wiro kembali ke Gedung Kadipaten Brebes, malam hampir sampai di penghujungnya.
Keadaan gedung terang benderang. Lampu menyala dimana-mana Di bagian dalam dan luar
gedung terlihat banyak orang. Di pintu gerbang selusin perajurit pengawal berjaga-jaga. Di
halaman dalam belasan pengawal tampakmundar-mandir. Di luar tembok pagar halaman
hampirduapuiuh pengawal melakukan penjagaan. Wiro berpikir mencari akal bagaimana
caranya agar bisa masuk ke dalam tanpa menarik perhatian atau dicurigai. Dia punya dua
tujuan kembali ke gedung itu. Pertama untuk mencari dan mendapatkan kembali Pedang Naga
Merah, topi serta suling perakmilik Nionio Nikouw. Kedua menyelidik keterlibatan Adipati
Brebes dalam kematian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Loan Nio Nikouw pernah cerita bahwa dia
ingin menemui Adipati Brebes untuk mencari tahu keberadaan dua buah dadu mustika. Paderi
ini mengatakan bahwa saat itu Adipati Karta Suminta satu-satunya sumber petunjuk
keberadaan dua buah dadu. Sementara itu sebelum menemui ajal Eyang Sepuh Kembar Tilu
minta Wiro agar mendapatkan dua buah dadu itu.

Di kamar dimana sang Adipati hendak menggagahi Loan Nio Nikouw Wiro sempat melihat
sehelai jas hitam terletak di atas kursi. Wiro keluarkan kancing baju besar yang diberikan Eyang
Kembar Tilu padanya. Menimang-nimang kancing itu beberapa lama lau memasukkannya
kembali ke balik pakaiannya.

"Jika kancing ini tanggai dari jas milik Adipati Brebes, berarti dia yang membunuh nenek aneh
itu. Ku yang perlu kuselidiki…"

Selagi berpikir-pikir seorang pengawal lewat di depan Wiro, tengah melangkah ke arah pintu
gerbang, membekal sebilah tombak, Wiro mengukur-ukur. Pengawal ini memiliki ukuran badan
menyerupai dirinya.

"Celana dan bajunya pasti muat," ucap Wiro dalam hati. Lalu dia mendekati sang pengawal.

"Pengawal, ada orang dibunuh dibalik semak belukar sana"


Si pengawal hentikan langkah, menatap Wiro sejurus lalu memandang ke arah semak belukar di
kejauhan yang ditunjuk Wiro.

"Kau siapa? Siapa yang dibunuh?" Pengawal bertanya.

"Saya Ngamino, petani dari Dukuh Turi. Yang dibunuh sepertinya seorang perajurit Kadipaten,"
jawab Wiro.

"Hah!" Sang pengawal kaget" Lekas antarkan aku kesana"

"Ba… baik. Tapi kaujalan lebih dulu. Aku takut Perajurit Itu mati dengan lidah mencelet dan
mata mendelik…" Wiro berkata sambil mendorong punggung si pengawal.

"Hah?!" Si pengawal melangkah cepat ke arah semak belukar. Wiro mengikuti dari belakang.
Sampai di balik semak belukar si pengawal memeriksa lalu berpaling pada Wiro. ‘Tak ada
mayat! Tak ada siapa-siapa di tempat ini!"

"Memang tak ada siapa-siapa di sini!" jawab Wiro sambil menyengir.

"Kurang ajari Aku sedang bertugas dan kau mempermainkan aku" Si pengawal marah sekali lalu
angkat tombaknya.

‘Tidak, aku tidakmempermainkanmu. Aku cuma mau pinjam pakaianmu”

"Setan alas!"

Makian si pengawal terputus. Totokan yang dihujamkan Wiro ke pangkal lehernya sebelah kiri
membuat pengawal itu langsung kaku dan gagu. Wiro tarik orang ini ke balik samak belukar.

Kapak Maut Naga Geni 2127

DENGAN menyamar sebagai perajurit Kadipaten, mengenakan pakaian pengawai curian di atas
pakaian putihnya, membawa tombak Wiro melewati pintu gerbang Gedung Kadi paten tanpa
kesulitan. Rambutnya yang panjang digulung lalu ditutupi topi besar. Saat itu menjelang pagi.
Udara terang-terang tanah. Di dalam gedung orang banyak sekali. Di sebuah ruangan besar
jenasah Adipati Karta Suminta dibaringkan dlatas ranjang besar kasur tebal diselimuti kain
sutera halus. Beberapa orang laki dan perempuan duduk bersimpuh mengelilingi ranjang. Yang
lelaki unjukkan wajah sedih, yang perempuan menangis. Mereka adalah kerabat dekat
mendiang Adipati Karta Suminta. Wiro melangkah sepanjang sisi dinding mangan. Dia berusaha
mencari dimana letak kamar tidur Adipati Karta Suminta. Setelah berputar-putar cukup lama
akhirnya Wiro berhasil juga menemukan kamar itu. DI depan pintu kamar ada seorang pelayan
perempuan gemuk pendek menunggui. Seorang pengawal bicara dengan pelayan perempuan
itu lalu pergi. Wiro segera mendekati si pelayan. "Saya ditugaskan memeriksa kamar tidur
Adipati. Mungkin pembunuh Adipati masuk kt sini dan meninggalkan tanda-tanda yang bisa
dijadikan pengusutan. Saya merasa tidak enak kalau memasuki kamar tanpa ada yang
menyaksikan. Saya tidak mungkin meminta izin istri Adipati yang sedang berduka." Pelayan
perempuan bertubuh gemuk pendek itu perhatikan Wiro beberapa lama.

"He… Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya." Sang pelayan keluarkan ucapan. Suaranya
bernada heran tapi juga ada rasa curiga.

Wiro tersenyum. "Saya pengawal baru di sini. Baru datang kemarin dari Slawi."

"Walau baru adalah aneh kalau disitu tidak tahu bahwa Adipati Karta Suminta tidak punya
istri…"

"Ah…" Wiro tertawa. "Terjebak aku" katanya dalam hati. "Soal atasanku punya istri atau tidak,
atau punya istri banyak, apakah saya harus bertanya padanya atau menggunjingkan dengan
orang lain? Mbok, saya masih banyak tugas lain. Saya minta diizinkan masuk sekarang juga-."

Si pelayan akhirnya membuka pintu kamar. Sebelum masuk Wiro pura-pura bertanya. "Simbok
tidak ikutmasuk?"

Pelayan menggeleng. "Aku menunggu di luar saja…" katanya.

Wiro mengangguk. "Aku tidak lama."

Begitu Wiro masuk pelayan gemuk pendek ini segera beranjak pergi. Dia melangkah cepat ke
bagian depan gedung, menemui seseorang.

Di dalam kamar yang diperiksa Wiro adalah sebuah lemari pakaian besar. Di dalam lemari ini dia
melihat enam buah jas tutup tergantung rapi. Wiro cepat memeriksa kancing setiap jas.
Ternyata kancing-kancing jas tutup itu lengkap semua. Tak ada yang hilang atau tanggal. Wiro
keluarkan dari saku pakaiannya kancing baju yang didapat dari Eyang Sepuh Kembar Tilu. Salah
satu jas tutup yang ada dalam lemari itu memiliki kancing yang sama bentuk serta warnanya
Tapi semua kancing-kancing jas tutup itu lengkap, tak ada yang tanggal.

"Mungkin saja kancingnya sudah diganti," pikir Wiro. "Mungkin juga memang bukan dia
pembunuh nenek aneh itu." Wiro hendak menutup pintu lemari pakaian. Namun dia ingat
sesuatu. Jas tutup berkancing sama dengan yang ada padanya diperiksa ke dua sakunya. Dalam
salah satu saku Wiro menemukan sebuah kantong kecil, terbuat dari kain berwarna hitam.
Kantong ini kosong, tak berisi apa-apa Wiro menimang-nimang kantong itu sambil berpikir-pikir,
akhirnya kantong kain hitam dimasukan ke dalam saku pakaian. Lalu dia cepat-cepat melangkah
ke pintu. Namun begitu pintu dibuka langkah Wiro serta merta tertahan, dihadapannya berdiri
dua orang dengan sikap menghadang. Orang pertama, berdiri di sebelah kanan adalah si muka
kuda jubah biru mata satu Ki SentotBalangnipa. Orang ini menyeringai lalu keluarkan ucapan.
"Menyamar jadi pengawail Kau kira kami ini orang-orang tolol?!" Pemuda keparat! Pembunuh
Adipati Karta Suminta! Lancangnya kau memasuki kamar mendiang Adipati. Apa yang kau
lakukan di dalam sana?!"

Wiro melirik pada sebilah pedang bersarung yang dipegang Ki Sentot Balangnipa. Dia segera
mengenali. Pedang Itu adalah Ang Liong Kiam milik Nionio Nikouw. Di pinggang Ki Sentot
tersisip sebuah suling perak. Benda ini juga adalah milik sang paderi. Wiro menyeringai. Sadar
kalau orang sudah mengenali siapa dirinya Wiro tanggalkan topi besar di kepala. Topi ini
dilemparkannya ke arah wajah W Sentot Balangnipa.

"Jahanam!" Sambil berteriak marah W Sentot Balangnipa cepatmenghindar.

"Aku ke dalam kamar mencari senjata itu. Ternyata ada padamu!" Wiro tudingkan tombak yang
dipegangnya ke arah pedang di tangan Ki Sentot Balangnipa.

"Mulut busuk dusta Kau kira aku tidak tahu spa yang kau lakukan di dalam sana Aku mengintip
semua perbuatanmu lewat atap kamar!"

"Matamu cuma satu Tapi masih doyan mengintipi Sebelumnya kau asyikasyikan mengintip
Adipati yang hendak merusak kehormatan gadis pemilik pedang itu! Tadi kau mengintip akui
Kucing beranakpun bisa-bisa kau Intipi Ha… ha… ha!" Wiro tertawa gelak-gelak.

Orang di samping Ki Sentot Balangnlpa kerenyitkan kening, rangkapkan dua tangan di atas
dada. Lalu Ikutan tertawa. Suara tawanya perlahan saja namun Wiro merasa lantai yang
dipijaknya bergetar. Wiro tidak tahu siapa adanya orang satu ini yang agaknya memiliki tenaga
dalam dan hawa sakti tinggi.

Sementara itu Ki Sentot Balangnipa sendiri tampak mengetam merah tampangnya. Rahang
menggembung, mata kirimendelik besar. Tangan kiri yang memegang sarung pedang diangkat
ke atas. Tangan kanan bergerak mencabut

"Srett!"

Pedang sakti keluar dari sarungnya. Cahaya merah langsung bertabur. Orang banyak yang ada
di tempat itu segera menjauh. Belasan pengawal menutup semua jalan keluar.

Orang kedua yang berdiri di samping Ki SentotBalangnipa adalah kakek bertubuh kurus tinggi.
Sepasang daun telinganya sangat lebar, mengingatkan Wiro pada daun telinga sobatnya, si
kakek berjuluk Setan Ngompol. Orang ini mengenakan jubah hitam gombrang menjela lantai.
Rambut panjang kasar seperti ijuk berwarna biru. Sepasang alis juga berwarna biru sementara
dua bola mata berwarna kelabu pekat

"Pendekar Dua Satu dua! Kau boleh menyandang nama besar dan punya nyali setinggi langit
Apa tidak mengerti kalau kau cuma punya satu nyawa?!" Orang yang tidak dikenal Wiro itu
membuka mulut sambil goleng-goleng kepala. Namanya Walang Gambir. Dalam rimba
persilatan tanah Jawa dia dikenai dengan julukan Kobra Bini.

Wiro menggaruk kepala. Sambil senyum cengengesan dia berkata "Orang gilapun tahu kalau
setiap manusia cuma punya satu nyawa. Mungkin kau satu-satunya manusia yang punya nyawa
satu setengah?!"

Ki SentotBalangnipa menyeringai. Pedang Naga Merah dimelintang di depan dada.

"Pendekar Dua Satu Dua. Ternyata kau memang orang sableng yang pandai melucu. Dengar
baik-baik. Jika kau sudi menyerah, umurmu mungkin bisa kami perpanjang barang satu hari"
Ucap kakek bertampang kuda. Dia sudah tahu kehebatan Wiro bahkan sebelumnya sempat
dihajar pendekar Ini. Itu sebabnya dia mencoba menghindari perkelahian walau saat itu di
sampingnya ada seorang sobatberkepandaian tinggi yang bisa diandalkan. Selain itu Ki Sentot
Balangnipa juga ingin mengorek keterangan dari Wiro. Waktu mengintip dari atas atap tadi dia
melihat pemuda itu mengambil sesuatu dari kantong jas tutup milik mendiang Adipati Karta
Suminta.

"Soal menyerah gampang-gampang saja," sahut Pendekar

212. Tapi serahkan dulu padaku pedang itu. Senjata itu bukan milikmu. Kau mencurinya!"
"Lantas apakah kau merasa pedang ini milikmu hingga kau lancang berani meminta?!" tukas Ki
Sentot Balangnipa. "Pemiliknya adalah seorang paderi dari Cina. Dia sahabatku. Aku
mewakilinya untuk meminta senjata itu. Jelas?!"

"Pemuda setan Siapa percaya dirimu! Sekalipun paderi itu gendak atau istrimu aku tidak
menyerahkan pedang ini padamu. Tapi jika kau memaksa meminta silahkan mengambil!"

Habis memaki Ki SentotBalangnipa gerakkan tangan yang memegang-megang pedang.

"WuttT

Sinarmerah menebar ganas, mengeluarkan hawa dingin.

Wiro angkat tangan kanannya yang memegang tombak.

“Traang!"

Seperti menahas ranting kering pedang sakti membabat buntung tombak besi di tangan Wiro.
Selanjutnya secepat kilat ujung pedang menyambar dalam gerakan membalik. Tinggal sepertiga
jengkal ujung senjata itu berada di depan leher Wiro tiba-tiba Wiro dan Ki Sentot Balangnipa
sama-sama terpental. Wiro topangkan tangan ke lantai agar tidak terbanting jatuh. Dadanya
terasa sesak. Dia cepat mengatur jalan darah dan melompat bangkit! Sebaliknya Ki Sentot
Balangnipa sudah lebih dulu jatuh terjengkang! Dadanya mendenyut sakit Pelipisnya bergerak-
gerak. Apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan kedua orang itu terpental?

"Ada yang tidak beres!" membatin Walang Gambir yang bermata tajam. Dia berbisik pada Ki
Sentot "Amankan pedang." Lalu dia melompat ke hadapan Pendekar 212. "Anakmuda, kau mau
menyerah atau ingin mampus saat ini juga?!"

‘Tua bangka jelek Kau ingin sekali melihat aku mati! Melihat tampangmupun baru hari inil Kalau
aku mampus apa kau mau ikutan?!"

Darah Walang Gambir alias Kobra Biru menggelegak.Tapi dia masih bisa menguasai diri.

"Berlututlah minta ampun. Kami akan mengampuni selembar nyawa busukmu!"

‘Tua bangka jeleki Bicaramu sombong amat. Apa kau tidak Melihat malaikat maut sudah berdiri
di sampingmu, siap hendak menjemput kau punya nyawa?!"

"Setan kurang ajar!" Walang Gambir marah sekali. Tapi dia berlaku cerdik. Tak mau gegabah.
Dia pergunakan tangan orang lain terlebih dahulu. "Ki Sentot habisi bangsat ini!"

Dengan Pedang Naga Merah di tangan Ki SentotBalangnipa menerjang.Sampai dia melakukan


serangan ini dia masih tidak mengerti apa yang membuat dia tadi mental. Dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dan dialirkan ke tangan yang memegang
pedang, lelaki bermata satu ini bacokan senjata milik Loan Nio Nikouw itu ke arah kepala
Pendekar 212.

Wiro cepat melompat mundur. Lawan mengejar dengan garang.

“Wutt”

Seperti tadi, hanya tinggal sedikit lagi pedang sakti itu akan membelah batok kepala Wiro, tiba-
tiba Ki Sentot Balangnipa mengeluh pendek. Cahaya merah yang memancar dari Pedang Naga
Merah meredup lalu senjata ini terpental membal ke belakang. Ki Sentot sendiri mencelat
sampai empat langkah dan jatuh terbanting di lantai. Dari sudut bibirnya meleleh darah kental.
Tampangnya tampak seputih kain kafan!

Walau tidak menderita separah lawannya namun Wiro juga jatuh terduduk di lantai ruangan.
Dadanya mendenyut sakit seperti ada satu batu raksasa menghimpit Mulut terasa asin. Ada
darah membersitdi tenggorokannya!

"Gila, aku terluka di dalam. Apa yang terjadi?"

Wajah putih Ki Sentot Balangnipa berubah garang. Sekali melompat dia sudah berdiri. Ketika dia
kembali hendak menyerang dengan pedang di tangan, Walang Gambir cepat menghalangi.
"Ki Sentot mundurlah. Biar aku yang menangani bangsat pembunuh Adipati Karta Suminta ini!
Kita tidak perlu membuang waktu berlama-lama! Kalau kita sudah memutuskan dia harus mati,
dia memang harus mampus!"

Kalau bukan Walang Gambir yang melarang Ki Sentot Balangnipa pasti tidak mau perduli.
Amarah dan dendamnya terhadap Wiro bukan alang kepaiang.

"Pemuda terkutuk. Menurut aturan kau seharusnya dihukum gantung karena telah membunuh
Adipati Karta Suminta. Tapi aku akan mempercepat kematianmul Lihat wajahku!" Walang
Gambir sorongkan kepalanya ke depan.

"Wajahmu jelok!" kata Wiro pula.

Walang Gambir tidak pe;du!ikan ejekan orang. Begitu selesai berucap dia usapkan tangan kiri ke
wajah.

"Dess!"

Terdengar satu letupan halus disertai kepulan asap tipis berwarna biru. Lalu settt.. leher Walang
Gambir saat itu juga menjadi panjang. Kepala berubah menjadi kepala seekor ular kobra besar
berwarna birui Mata mendelik merah, mulut terpentang lebar memperlihatkan deretan gigi
runcing tajam dan lidah yang menjulur merah. Inilah Ilmu kesaktian dahsyat yang dimiliki
Walang Gambir yang membuat dia dijuluki Kobra Biru! Puluhan orang termasuk belasan tokoh
rimba persilatan telah menemui ajal di tangan kakek ini.

Pendekar 212 dalam kagetnya segera bergerak mundur.

"Kau tak bisa bergerak. Kau tak bisa melangkah!"

Wiro tersentak kaget Saat itu dia benar-benar tak bisa bergerak, sekalipun sudah
menggerakkan seluruh tenaga. Dua kakinya terasa berat Jangankan melangkah, menggeserpun
tak sanggup dllakukanya.

"Celaka! Tua bangka ini menyihirku!"

Yang dilakukan Walang Gambir dengan ilmunya bukan cuma menyihir Wiro tapi juga
menyerangnya. Kepalanya yang telah berubah menjedi kepala ular Kobra biru mendesis keras
laki melesat ke arah kepala Wiro. Untuk beberapa lamanya mulut kobra biru menancap di
kening Wiro tanpa pendekar Ini bisa berbuat apa-apa. Saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan
keras disertai berkelebatnya satu bayangan merah.

Ki Sentot Balangnipa berteriak kaget keti ka mendadak ada yang merampas pedang di tangan
kanannya. Belum sempat , dia mencari tahu siapa yang melakukan hal itu, satu tendangan
bersarang di dadanya. Untuk kedua kalinya si mata satu ini berteriak, kali ini karena kesakitan.
Untuk kedua kalinya pula darah membersit dari mulutnya. Dalam keadaan seperti itu sepasang
matanya melihat satu pemandangan berbahaya. Dia lalu berteriak.

"Ki Walangl Awas serangan pedang di belakangmu!"

Walang Gambir alias Kobra Biru mendesis dan bergerak cepat Namun masih kalah cepatdengan
datangnya sambaran Ang Liong Kiam.

"Crasss!"

"Dess!"

Lolongan aneh menggelegar mengerikan di dalam gedung.

Asap bini mengepul lalu sirna. Kurungan kepala Ular kobra mencelat di udara lalu jatuh ke lantai
ruangan. Beberapa orang yang ada di ruangan itu lari berpekikan. Begitu sosok Walang Gambir
jatuh ke lantai, ujud kepala ular kobra biru berubah menjadi kepala asli Walang Gambir! Untuk
kesekian kalinya orang banyak berpekikan ngeri. Ki Sentot Balangnipa sendiri merasa
tengkuknya dingin lalu terkapar pingsan.

Keanehan dan kengerian tidak hanya sampai di situ. Tibatiba satu letusan dahsyat menggelegar
disertai menebarnya asap biru. Ketika asap sirna, potongan kepala dan sosok tubuh Walang
Gambir yang tadi tergeletak di lantai tak ada lagi di tempat itul

"Loan Niol Lekas tinggalkan tempat ini!"

Ada orang berteriak dalam bahasa Cina. Seorang pemuda bermuka tengkorak mencekal tangan
kiri orang yang memegang pedang dan tadi menabas leher Walang Gambir. Ternyata orang ini
bukan lain adalah Kiang Loan Nio Nikouw sang paderi berwajah cantik yang saat itu
kemunculannya disusul oleh Liok Ong Cun.

“Tidak! aku harus menolong Saudara Wie lebih dulu!" teriak Loan Nio Nikouw lalu hendak
melompat ke arah Wiro yang saat itu berdiri tidak bergerak, sepasang mata membeliak besar.
Di keningnya ada sebuah luka berwarna biru. Warna biru ini menjalar ke seluruh wajah, turun
ke leher, terus ke seluruh badan sampai ke ujung kaki. Bahkan rambutnya yang gondrong juga
berubah birui Jelas satu racun jahat telah merasuk ganas mulai dari kepala sampai ke kaki sang
pendekarl

Tinggalkan dia. Perlu apa ditolong! Dia telah berbuat jahat hendak memperkosamul Ayo ikut
aku!"

Dengan sekuat tenaga Liok Ong Cun menarik tangan Loan Nio Nikouw. demikian kuatnya
tarikan ini hingga Liok Ong Cun berhasil membawa paderi itu sampai ke halaman depan.
"Liok Ong Cunl Lepaskan tanganmu atau kutabas dengan pedang!" Loan Nio Nikouw
mengancam.

"Perempuan keras kepala. Jangan cuma tangan, leherku boleh kau tabas!" teriak Liok Ong Cun.
"Jika kau memang suka pada pemuda itu pergilah! Dia diserang racun ganas Tak ada obat yang
bisa menyembuhkannya! Tak ada orang pandai yang bisa mengobatinya! Kau hanya akan
mendapatkan bangkainya!" Penuh geram pemuda bertopeng wajah tengkorak itu lepaskan
cekatannya di pergelangan tangan kiri Loan Nio Nikouw lalu menghambur pergi tinggalkan
halaman Gedung Kadipaten! Ketika lewat di pintu gerbang, saking geramnya Liok Ong Cun
tendang sebuah arca batu hingga hancur berkeping-keping.

Begitu ditinggal Liok Or.g Cun dengan cepat Loan Nio Nikouw lari masukke dalam gedung
kembali. Namun Pendekar 212 tak kelihatan lagi. DI lantai Ki Sentot Balangnipa terkapar
pingsan tertelungkup! Tangan kiri masih memegang sarung Ang Liong Kiam. Loan Nio Nikouw
cepat ambil sarung pedang miliknya itu. Dia tidak melihat suling perak miliknya yang terselip di
pinggang sebelah depan KI Sentot Paderi ini memandang berkeliling lalu berkelebat ke
beberapa bagian dalam gedung mencari Wiro. Belasan perajurit Kadipaten yang ada di tempat
itu tidak berani bertindak menghadang apalagi menangkapnya.

"Aku tak menemukan pemuda itu. Ada musuh yang menculiknyal Racun yang menyerang
dirinya jahat sekali. Jangan-jangan saat ini dia sudah menemui ajal! Ah, kemana aku harus
mencari!" Loan Nio Nikouw memandang berkeliling. Saat itulah tiba-tiba terdengar teriakan.

“Tangkap perempuan bercadar itu!"

Selusin perajurit pengawa! Gedung Kadipaten yang sejak tadi hanya bisa mengawasi dari jauh
kini bergerak menebar mengurung Loan Nio Nikouw. Di depan sekali berdiri pimpinan mereka,
seorang lelaki bertubuh tinggi besar berkumis tebal melintang dan berewokan lebat

“Tangkap!" Untuk kedua kalinya si berewok ini memberi perintah. Dua belas pengawal serta
merta menyerbu Loan Nio Nikouw. Dalam kesal dan khawatir sang paderi melesat ke udara.
Kaki kanan menginjak kepala pengawai, sarung pedang di tangan kiri berkelebat kian kemari.

Kepala pengawal coba menangkap kaki Loan Nio Nikouw tapi justru hidungnya disambar tumit
sang paderi hingga berderak patah dan kucurkan darah. Orang ini terbungkukbungkuk,
meraung kesakitan laiu jatuh terjerembab di lantai. Sementara itu lima perajuritberpekJkan
sambil pegangi kepala mereka yang terluka dan benjut di kemplang sarung pedang. Masih
untung Loan Nio Nikouw tidak memecahkan kepala mereka.

Sebelum molesat ke pintu Loan Nio Nikouw berkelebat ke arah ranjang dimana jenazah Adipati
Karta Suminta dibaringkan. Dengan cepat dia menarik kain sutera yang menutupi bagian atas
jenazah. Walau cuma sebentar dan wajah jenazah itu dalam keadaan gosong hitam namun
paderi masih bisa mengenali bahwa itu memang adalah wajah dan jenazah sang Adipati.
Di luar hari sudah terang. Loan Nio Nikouw tak tahu mau bergerak ke arah mana. Akhirnya
paderi Ini berkelebat ke jurusan timur seolah sengaja menyongsong kedatangan sang surya.

Kapak Maut Naga Geni 2128

HA-HU ha-hu." Dua nenek kembar rambut kelabu berjubah kuning baringkan tubuh Pendekar
212 di lantai dangau. Dangau ini adalah tempat dimana dulu Eyang Sepuh KembarTilumenemui
ajal dibunuh oleh seseorang yang sampai saat itu tidak diketahui siapa adanya. Sekujur badan
Wiro mulai dari rambutsampai kepala dan mata terus ke ujung kaki berwarna biru akibat racun
jahat Kobra Biru. Dua nenek jejadian bicara ha-hu ha-hu sambil dua tangan bergerak kian
kemari. Mereka tengah dilanda kebingungan bagaimana caranya menolong Wiro yang saat itu
berada dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak mampu bicara, dua mata mendelik tak
berkesip. "Ha-hu ha-hu…" Nenek di sebelah kiri berucap sambil jari-jari tangan mem beri isyarat
Dia memberi tahu pada kembarannya kalau sampai maiam nanti mereka tidak bisa menolong
maka Wiro akan menemui ajal. Nenek satunya menyahuti dengan gerakan tangan pula dan
bicara ha-hu ha-hu sambil air mata meluncur di pipi yang keriput. Gerak isyarat tangannya
mengartikan bahwa mereka tidakmungkin memusnahkan racun yang ada dalam tubuh dan
aliran darah pemuda itu. Dia juga mengingatkan pada saudara kembarnya bahwa dulu di
dangau ini Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui kematian. Jangan-jangan Wiro juga akan
mengakhiri riwayatnya di tempat ini. Sesuai permintaan Eyang Sepuh Kembar Tilu mereka
sangat mengharapkan agar Wiro mencari dan membunuh orang yang telah membunuh nenek
kembaran asli mereka itu. Karena hanya dengan cara itulah penyakit gagu yang mereka derita
akan lenyap. Dua nenek sama-sama sesunggukan menahan tangis. Lalu yang satu kembali
bicara ha-hu ha-hu dan gerak-gerakan tangan. Dia menyampaikan kalau tidak bisa menolong
menyembuhkan palingtidakmerekaharusdapatmembuatWiro sadar dan mampu bicara.

Dua nenek itu kemudian sibuk memeriksa aliran darah di sekujur tubuh Pendekar 212, menotok
beberapa urat besar. Sampai sepeminuman teh berlalu keadaan Wiro tidak berubah. Mendelik
kaku tak bisa keluarkan suara.

Dua nenek terduduk bingung. Mereka perhatikan wajah Wiro yang pada keningnya ada luka
terkuak sebesar ujung ibu jari tangan. Ini adalah luka bekas patukan Kobra Biru, ular jejadian
kakek jahatWalang Gambir.

"Ha-hu ha-hu!" Nenek di sebelah kanan menunjuk ke arah luka di kening Wiro. Gerakan
tangannya memberi tahu pada kembarannya agar mereka coba melakukan sesuatu pada luka
itu. "Ha-hu ha-hu…" Nenek Ini letakkan telapak tangan kanannya di atas luka. Lalu telapak
tangan kiri ditindihkan di atas tangan kanan. Nenek kedua bersimpuh di belakang. Dua tangan
ditempelkan ke punggung kembarannya.

"Ha-hu ha-hu!"
Dua nenek kembar sama-sama kerahkan tenaga dalam lalu menyedot. Empat tangan bergetar
hebat. Dua tubuh bergoncang. Ada aliran cahaya biru tersedot dari kening Wiro, mengalir
melalui tangan lalu masuk ke dalam tubuh dua nenek kembar.

"Ha-hu ha-ha…. Huaaahhhhh!"

Dua nenek terjengkang, menjerit laiu muntahkan cairan biru. Untuk beberapa lemanya mereka
tergeletak tak bergerak dengan muka pucat dada mendenyut sakit. Keduanya cepat alirkan
hawa sakti di dalam tubuh untuk mencegoh keracunan. Tiba-tiba mereka mendengar suara
orang mengerang. Dua nenek serta merta bergerak bangun. Memperhatikan ke arah Wiro
mereka melih t dua bola mata sang pendekar yang masih berwarna biru bergerak-gerak
sementara mulut komat-kamit Wiro seperti hendak mengatakan sesuatu namun tak ada suara
yang keluar.

"Ha-hu ha-hu!"

Dua ner.ek sama-sama ulurkan tangan.Satu menotok urat besar jalan suara di pangkal leher
sebelah kiri, satunya menotok urat besar jalan suara di pangkal leher sebelah kanan. Saat itu
Wiro juga keluarkan suara seperti tercekik lalu semburkan cairan kental berwarna biru. Muka
dan tubuhnya basah oleh keringat dingin.

“Dimana ini… Apa yang terjadi?" Dia berusaha menggerakkan fcmgan. Tak bisa. "Tubuhku kaku.
„"

Dua nenek tampak gembira melihat dan mendengar Wiro bisa bicara

"Ha-hu ha-hu…"

Wiro gerakkan kepala, tapi tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata, memperhatikan.

"Ah, kalian rupanya. Nek…? Aku tak bisa menggerakan tangan. Dua kaki kaku. Sekujur tubuhku
terasa panas…"

“Ha-hu ha-hu." Nenek di sebelah kanan membuat gerakan isyarat dengan kedua tangannya.
Wiro memperhatikan dan coba mengartikan isyarat gerakan tangan si nenek. "Kau keracunan…
Kami tidak bisa menolong. Walau kini kau bisa bicara, kau akan menemui ajal menjelang malam
nanti. Kami akan tenis berusaha menyelamatkanmu."

Dua nenek memeriksa sekujur tubuh Wiro. Mereka membuat totokan di beberapa tempat
Tetap saja Wiro tak bisa bergerak dan warna biru masih menyelubungi sekujur tubuhnya. Malah
kini pemandangannya perlahan-lahan terasa kabur. Sementara dua nenek berusaha menolong.
Wiro coba mengingat-ingat apa yang terjadi. Gedung Kadipaten. Dia berkelahi melawan kakek
muka kuda Ki Sentot Balangnipa. Lalu ada kakek berjubah hitam yang mukanya berubah
menjadi ular kobra biru.
"Ular jejadian mematuk kepalaku… Dua nenek kembar, mereka menyelamatkan diriku,
membawa aku ke tempat ini. Racun jahat itu. Apakah hawa sakti Kapak Naga Geni Dua Satu
Dua yang ada dalam tubuhku tidak bisa memusnahkannya? Apakah tubuhku yang selama ini
kebal segala macam racun kini tidak punya daya penolak sama sekali? Aneh. Apakah ini akibat
ulah takabur dan sikap keras kepalaku tempo hari pada Eyang Sinto?" Wiro mengerang.
Kepalanya mendenyut sakit

"Ha-hu ha-hu…" Nenek di sebelah kanan menunjuk ke arah pinggang Wiro sebelah kiri lalu
membuat gerakan jari tangan membentuk empat persegi. Rupanya waktu memeriksa tubuh
Wiro tadi dia melihat sebuah benda dibalik pinggang celana dalam pendekar.

"Nek, aku tahu maksudmu. Di balik pinggang celanaku sebelah kiri ada sebuah kantong kain. Di
dalamnya ada kitab ilmu pengobatan. Ambil dan baca isinya. Cari tahu cara pengobatan untuk
menolong diriku…"

Nenek sebelah kiri segera memeriksa ke balik baju Wiro sebelah kanan. Diomenemukan
kantong kain putih. Dari dalam kantong dia kemudian mengeluarkan Kitab Seribu Pengobatan
yang terbuat dari daun lontar kering.

"Baca, cari. Mudah-mudahan ada petunjuk bagaimana mengobati dan mengeluarkan racun
yang ada dalam tubuhku."

Dua nenek gelengkan kepala. Dua tangan ditutupkan ke mata yang berwarna merah. Kepala
kembali digeleng-geieng.

"Ah, kalian tak bisa membaca." Ucap Wiro pertalian begitu melihat sikap yang ditunjukkan dua
nenek. "Sandarkan aku ke tiang dangau. Letakkan kitab di atas pangkuanku. Kalian buka
halaman demi halaman. Aku akan berusaha membaca." Tapi Wiro terdiam. "Mustahil aku
lakukan. Mataku semakin kabur…"

"Ha-hu ha-hu…" Neneksabetah kanan membuat gerakan tangan. Dia mengisyaratkan akan
mencari seseorang yang bisa membaca.

Tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat Wiro mengucak matanya yang tambah sulit melihat
Samar-samar dia melihat satu sosok merah di hadapannya.

"Nionio Nikouw? Kaukah yang datang ini?" Tak ada jawaban. Wiro pejamkan mata. Dalam hati
dia menjawab sendiri pertanyaannya. Bukan, bukan dia. Bau tubuh dan pakaiannya bukan
seperti harumnya bau tubuh dan pakaian paderi dari Tionggoan itu." Wiro coba mengingat-
ingat "Kalau Bidadari Angin timur wanginya lain lagi. Selain itu bayangannya pasti kebiru-
biruan_."
Dua nenek kembar setelah memperhatikan sosok samar dihadapan mereka buru-buru jatuhkan
diri berlutut Kitab Seribu Pengobatan diletakkan di lantai dangau di hadapan sosok samar.

"Ha-hu Ha-hu…" Salah seorang nenek menunjuk ke arah kitab sementara tamannya membuka
halaman kitab selembar demi selembar. Tangan kiri menunjuk ke jurusan Wiro.

Mahluk bayangan tersenyum. Lalu berucap. "Nek, aku mengerti maksud kalian. Aku akan coba
mengingat Mudahmudahan aku tahu petunjuk yang bisa mengobati sahabat kalian ini tanpa
membaca kitab itu."

"Ha-hu ha-hu…" Dua nenek rundukkan tubuh dan kepala berulang kali sebagai ucapan terima
kasih.

"Purnama…" Tiba-tiba Pendekar 212 keluarkan ucapan menyebut satu nama. Dia mengenali
suara perempuan yang barusan bicara. Dia ingin sekali mengulurkan tangan untuk menyentuh
sosok samar berwarna merah itu. Wiro mencoba menegakkan kepala untuk memandang.
Namun dia tak mampu bergerak, tak bisa melihat "Kau datang. Aku sangat bersyukur. Terima
kasih Tuhan."

"Pendekar, seperti kataku dulu, aku tak pernah jauh darimu. Namun selama kau tidak
menginginkan dan tidak memanggil, aku tidak bisa muncul. Tetapi ketika dua nenek sahabatmu
itu membuka Kitab Seribu Pengobatan aku tiba-tiba saja keluar dari alamku. Agaknya antara
aku, kau dan kitab sakti ada saling keterkaitan batiniah."

Wiro buka matanya lebar-lebar. Tetap saja dia tidak bisa melihat jelas mahluk cantik di
hadapannya. "Purnama, aku sangat berharap akan pertolonganmu. Dapatkah kau melakukan."

"Dengan izin Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh." jawab Purnama yang seperti diketahui
aslinya bernama Luhmintari, ibu Jatilandak. berasal daii Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Purnama yang telah meninggal di alamnya terpesat ke tanah Jawa, muncul pertama kali dalam
sertai Wiro Sableng Episode "Azab Sang Murid". Dalam Episode "Api Di Puncak Merapi"
dikisahkan bagaimana Purnama menolong Wiro yang terluka parah akibat pukulan "Memukul
Bukit Meremuk Gunung" yang dilancarkan Pangeran Muda. Pertolongan Itu dilakukan sesuai
dengan petunjuk di dalam Kitab Seribu Pengobatan yang secara luai biasa mampu dihafal dan
diingat Purnama dalam benak pikirannya.

Purnama tatap wajah Wiro Sableng dengan sepasang matanya yang bening bagus. Dia ambil
Kitab Seribu Pengobatan, letakkan di atas pangkuan. Lalu kepala didongakkan ke atas, dua mata
dipejamkan. Perlahan-lahan dari mulutnya meluncur ucapan.

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus dua puluh satu. Pengobatan ke lima ratus sembilan.
Manakala seseorang terkena racun patukan binatang berujud mahluk gaib atau sebangsa sihir,
penyembuhan harus dilaksanakan dalam waktu paling lambat setengah hari setelah terjadinya
peristiwa. Ada enam hal yang harus dilakukan. Pertama memohon dan berdoa kepada Tuhan
Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang cidera disembuhkan dari penyakitnya. Kedua
menutup luka bekas patukan dengan tanah liat Ketiga membuat goresan tanda silang di ubun-
ubun orang yang cidera. Ke empat menggantung orang itu kaki ke atas kepala ke bawah. Ke
lima membuka aliran darah dengan cara menotok urat besar di pangkal paha sebelah kiri dan
sebelah kanan dengan disertai aliran hawa sakti. Keenam dorong tubuh orang yang tergantung
sejarak satu tombak. Biarpun tubuh itu bergoyang. Bilamana tubuh yang bergoyang berhenti
maka semua racun dengan izin Yang Maha Penyembuh akan keluar dari sekujur tubuhnya
melalui ubun-ubun."

"Ha-hu ha-hu…" Dua nenek kembar tampungkan dua tangan. Mulut komat kamit entah
mengucap apa. Purnama tersenyum dan mulai pula berdoa dalam hati. Wiro pejamkan dua
mata. Berdoa memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa.

"Ha-hu ha-hu…"

Selesai berdoa nenek kembar di samping kanan tanggalkan ikat kepala lalu sibakkan rambut
tebal di bagian atas kepala Pendekar 212. Dia isap dulu jari telunjuk tangan kanannya. Lalu
dengan ujung kukunya yang lancip dia membuat guratan tanda silang di kulit kepala tepat di
ubun-ubun. Guratan cukup dalam hingga membuat luka yang mengucurkan darah berwarna
biru aneh! Sementara itu nenek satunya mengambil tanah liat lalu ditempelkan di kening Wiro
tepat pada luka bekas patukan Kobra Biru.

"Kita butuh tali." berkata Purnama.

"Ha-hu ha-hu…" Nenek yang menempelkan tanah liat mengeluarkan sesuatu dari balik jubah
kuningnya yang ternyata adalah segulung setagen. Dengan setagen ini dia menggotong sang
pendekar keluar dari dangau. Tak jauh dari situ terdapat sebatang pohon besar bercabang
banyak. Cepat sekali dua nenek ini bekerja sama demikian rupa hingga akhirnya Wiro dikerek,
tergantung di cabang pohon. Mahluk bayangan si cantik Pumama memperhatikan semua apa
yang dikerjakan dua nenek itu penuh kagum.

"Ha-hu ha-hu!"

Ada yang terlupa.

Dua nenek kembar melesat ke atas. Dua-duanya menotok urat besar di pangkal paha kiri kanan
Wiro lalu melompat turun. Sampai di tanah mereka sama-sama mendorong tubuh Wiro sejauh
satu tombak. Begitu dilepas tubuh itu mulai bergoyang berayun-ayun di udara. Wiro-merasa
dua kakinya yang diikat setagen seperti mau putus sekujur tubuh bergetar dan kepala terasa
seolah membesar siap meledak pecah!

Pada ayunan tubuh yang ke tujuh kali. Wiro menjerit keras lalu kehilangan kesadaran. Dari
ubun-ubun yang ada guratan tanda silang mengucur cairan warna biru. Mula-mula hanya
berupa tetesan, kemudian berubah deras. Tanah yang digenangi cairan biru mengepul ka» asap
dan menebar bau busuk.

Tak selang berapa lama ayunan tubuh Wiro mulai perlahan. Cairan biru yang mengucur dari
batok kepala yang tadi mancur deras perlahan-lahan berhenti, lalu berganti dengan kucuran
darah merah segar. Ini satu pertanda bahwa racun yang mengendap di tubuh Pendekar 212
telah terkuras habis. Bersamaan dengan itu warna biru pada sekujur tubuh mulai dari kaki
sampai kepala dan rambut Wiro secara aneh lenyap. Tanah liat yang sejak tadi menempel di
kening terlepas tanggal. Anehnya pada kening itu tidak kelihatan lagi luka bekas patukan Kobra
Biru. Kesadaran Wiro pulih kembali. Perlahanlahan dua matanya terbuka. Ternyata warna biru
pada kedua mata itu juga telah sirna.

Purnama merasa lega. Dua nenek kembar tampak gembira dan bersiap-siap untuk menurunkan
tubuh Wiro. Namun mendadak sontak di udara terdengar suara berkesiuran.Tujuh benda biru
panjang melesat ke arah Wiro yang masih berada dalam keadaen tergantung di cabang pohon!"

"Ha-hu ha-hu!"

Dua nenek kembar berambut kelabu berteriak keras lalu melesat ke udara sambil lepaskan
pukulan tangan kosong. Enam benda biru yang menyerang Wiro terpental dan jatuh ke tanah.
Benda ke tujuh sempat menembus lengan jubah salah seorang nenek dan menggurat tangan
kirinya hingga mengucurkan darah. Serta merta tangan yang cidera menjadi bengkak merah.
Nenek ini berteriak kesakitan sekaligus marah. Dengan kuku jari tangan kanannya dia merobek
bagian lengan yang bengkak lalu memencet kuat-kuat Darah merah keluar mengucur
bercampur noda-noda hitam racun jahat Si nenek selamat dari serangan racun mematikan.

Enam benda hitam yang bergeletakan di tanah ketika diperhatikan ternyata adalah enam ekor
ular kobra yang telah mati mengering hitami Ular satunya setelah melukai nenek tadi,
menancap di batang pohon. Pohon ini langsung berubah hitam mulai dari batang sampai ke
daunl

Mahluk bayangan Purnama tersentak kaget melihat apa yang terjadi. Cepat dia goyangkan
bahu. Cahaya bergemerlap kebiruan seperti percikan ratusan bunga api memancar keluar dari
tubuhnya. Mahluk cantik Ini melompat sejauh tujuh langkah dan langsung berhadapan dengan
orang yang tadi melemparkan tujuh ekor ular berbisa ke arah Wiro.

Orang ini bukan lain adalah Walang Gambir alias Kobra Biru, kakek berjubah hitam gombrong
yang tadi malam di Gedung Kadipaten telah mencelakai Wiro dengan ilmu Kobra Birunya!
Ketika terjadi perkelahian di dalam gedung, seperti diceritakan dengan Pedang Naga Merah
Loan Nio Nikouw berhasil membabat putus kepala Waiang Gambir hingga kakek ini menemui
ajal. Lantas bagaimana kini dia bisa hidup dan muncul kembali?

Ilmu Kobra Biru yang dimiliki Walang Gambir merupakan satu ilmu kesaktian luar biasa. Selain
sanggup menghabisi lawan sekaligus iimu ini mempunyai unsur sihir yang mampu menipu
pandangan mata tawan serta orang di sekitarnya. Pada peristiwa yang seolah nyata bagaimana
Loan Nio Nikouw menahas putus batang leher Walang Gambir yang saat kejadian berbentuk
ular Kobra Biru, sebenarnya apa yang terlihat adalah tipuan belaka. Ular Kobra Biru memang
tampakmenemui ajal namun Walang Gambir sendiri tetap hidup. Sosok kasarnya berkelebat
pergi meninggalkan Gedung Kadipaten tanpa ada seorangpun yang melihat Selain itu ilmu
Kobra Biru tetap masih dimiliki Walang Gambir bersama Ilmu sihir lainnya.

Di samping Walang Gambir berdiri Ki Sentot Balangnipa. Ketika melihat dua nenek aneh serta
mahluk bayangan berpakaian merah Ki Sentot cepat berbisik pada sobatnya.

"Ki Walang, kita pergi saja. Cari kesempatan lain untuk membunuh murid Sinto Gendeng
keparat itu."

"Ki Sentot kau tahu urusan kita! Pemuda itu harus dilenyapkan. Kalau tidaksemua urusan bisa
jadi kapiran. Kalau nyalimu secetek comberan silahkan minggat"’jawab Walang Gambir.

Didamprat seperti itu Ki SentotBalangnipa yang sudah Melihat bahaya besar di depan mata
merasa kebetulan sekali. "Kau bicara begitu karena merasa memiliki ilmu kesaktian hebat
Nyatanya tadi malam kau dipecundangi perempuan Cina itu. Silahkan kalau mau mencari
penyakit" Setelah keluarkan ucapan dalam hati begitu rupa, tidak tunggu lebih lama kakek
bermata satu ini segera menghambur kabur dari tempat itu.

"Orang tua, apa dendammu terhadap Pendekar Dua Satu Dua hingga ingin membunuhnya
secara keji dan licik?!" Yang menegur adalah mahluk bayangan Purnama, saat itu juga tubuhnya
yang samar perlahan-lahan berubah tiada beda dengan manusia biasa. Sementara cahaya biru
bergemerlapan masih terus membungkus tubuhnya.

Melihat kecantikan orang yang berdiri di hadapannya Walang Gambir jadi terpesona. Pikiran
kotor menjalari otaknya.

"Orang cantik, aku tidak tahu siapa dirimu. Tapi kalau kau adalah gendak yang kesekian dari
pemuda gondrong itu, sungguh hatiku menjadi sedih dan kecewa sekali. Mengapa tidak hidup
bersamaku saja. Lihat wajahku tidak seburuk kenyataan !" Habis berkata begitu Walang Gambir
usap wajahnya. Tampang si kakek sertamerta berubah menjadi wajah seorang pemuda yang
sangatgagah.

Purnama sunggingkan senyum yang membuat Waiang Gambir semakin tergila. "Orang tua,
kalau aku tunjukkan wajahku sebenarnya, apakah kau masih suka padaku?"

Walang Gambir kerenyitkan kening. "Yang namanya perempuan cantik itu dilihat dari mana saja
akan tetap cantik mempesona!"

Purnama layangkan senyum. Seperti dilakukan Walang Gambir si cantik ini lalu usap pula
wajahnya. Saat itu juga wajah Purnama berubah menjadi sangat mengerikan dan menjijikkan.
Pipi sebelah kiri geroak busuk mencuatkan barisan gigi menyerupai taring. Dua mata
membengkak merah, kucurkan cairan nanah. Hidung gerumpung dan mulut pencong
meneteskan cairan hitam. Ketika mulutitu meniup ke depan, bau busuk menghampar menerpa
Walang Gambir.

Kejut Walang Gambir bukan olah-olah. Tapi dia tetap tenang. Malah sambil mengangkatdua
tangan dia berkata.

"Kembali ke ujud wajahmu yang cantik. Datanglah, Mendekat padaku. Peluk diriku. Ikut
bersamaku. Kita akan pergi ke tempat penuh bahagia kenikmatan."

Saat itu juga wajah buruk mengerikan mahluk bayangan berubah. Berganti pada bentuknya
semula yakni raut wajah perempuan muda cantik jelita. Walang Gambir tampak berseriseri,
mata berkilat-kilat dan tenggorokan turun naik keb’ka perlahan-lahan Purnama melangkah ke
arahnya. Si kakek kembangkan dua tangan. Siap untuk merangkul perempuan muda cantik itu.

"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar berseru cemas.

Tenggoroknn Walang Gambir turun naik. Senyum tersungging di mulut Cuping hidung
membesar dan bergerakgerak pertanda nafsunya mulai naik. Dia mengira sihirnya telah
mengena. Kakek jahat berkepandaian tinggi ini salah mengira!

Hanya tinggal dua langkah Purnama akan masuk ke dalam dekapan Walang Gambir, mahluk
cantik Ini buka mulutnya seolah hendak melayangkan senyum penuh gairah. Namun tidak
diduga dari dalam mulut melesat selarik cahaya ungu, laksana kilat menyambar ke arah si
kakek.

Walang Gambiralias Kobra Biru berteriak kaget. Dengan cepat dia melompat ke samping kiri
sambil merunduk. Gerakkannya masih sedikit terlambat Cahaya ungu sempat membabat
hangus ujung atas rambutnya yang kasar seperti ijuk hingga kepalanya mengepulkan asap biru.
Di belakang sana, sebuah pohon randu berderak tumbang dan gosong ketika dilanda cahaya
ungu.

"Mahluk jahanaml Makan pencarianmu!" maki Walang Gambir sambil tangan kanan kebutkan
lengan jubah.

‘Sett..6eettt..seettt!"

Tiga benda bulat sebesar kepalan berwarna biru melesat di udara menyambar ke arah tiga
bagian tubuh Purnama. Saat itu juga udara mendadak menjadi redup. Walang Gambir
keluarkan ilmu kesaktian yang dibarengi ilmu sihir.

"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar melompat ke depan Untuk melindungl Purnama. Tapi si
cantik ini cepat berseru.
"Nenek berdua jangan khawatirkan diriku!"

Walau cemas akan keselamatan Purnama, dua nenek kembar terpaksa menyingkir sementara
itu tiga benda bulat biru terus melesat ganas. Begitu ketiganya membentur ratusan percikan
bunga api biru yang melindungi tubuh Purnama, tiga ledakan keras menggelegar.

Ranting pepohonan berpatahan. Daun-daun jatuh berluruhan. Semak belukar ram bas bahkan
dangau di seberang sana ambruk roboh. Sosok Walang Gambir tersurut dua langkah, untuk
beberapa lama dia tegak tertegun dengan tubuh tergontai-gontai, tampang mengkerut Di atas
pohon, tubuh Wiro yang masih terikat kaki di atas kepala ke bawah barayun-ayun. Wiro
imbangi diri lalu didahului bentakan keras, dia lentingkan tubuh ke atas. Tangan kiri membabat
setagen hingga putus.

Di udara tiga benda buiat biru meletus hancur. Setiap hancuran membentuk tujuh kepingan
biru yang kemudian secara aneh berubah menjadi ular kobra biru sebesar lengan dengan
panjang hampir enam jengkal. Didahului suara mendesis dua puluh satu ular kobra biru itu
menyerbu ke arah Purnama. Tanpa bergeser dari tanah tempatherpijak Purnama goyangkan
dua bahunya. Cahaya biru yang membentengi dirinya semakin bergemerlap. Siap untuk
melindungi dan menyerang balik gempuran dua puluh satu ular kobra birui

"Purnama! Tua bangka jahat itu inginkan nyawaku. Biar aku yang menghadapi!"

Kapak Maut Naga Geni 2129

BAYANGAN putih Pendekar 212 melesat melewati kepala Purnama. Saat itu pula dua larik
cahaya putih disertai hamparan hawa panas luar biasa berkiblat di udara. Satu menebar seperti
kipas ke arah dua puluh satu kobra biru. Satunya lagi melesat ke jurusan Walang Gambir.
Pukulan Sinar Matahari! Wiro menghantam dengan dua tangan sekaligusl Dua puluh satu kobra
biru mendesis keras sebelum tubuh mereka mencelatdi udara dalam keadaan terpanggang
hangus. Tapi gilanya begitu mental, dua puluh satu ular yang sudah gosong hitam itu melayang
berputar dengan keluarkan suara berdesing lalu bersatu menjadi seekor ular kobra raksasa
warna biru Mulut menganga lebar, sanggup membeset dan menelan sasaran sebesar kambing!
Laksana terbang mahluk jejadian ini melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sementara itu
sambil berteriak dan memaki geram dengan menjatuhkan diri ke tanah Walang Gambir berhasil
selamatkan diri dari Pukulan Sinar Matahari. Namun begitu dia berdiri terjadi satu keanehan.
"BukkIBukk! Bukk!" Dadanya dihantam pukulan bertubi-tubi hingga tubuhnya terjengkang jatuh
di tanah. Darah meleleh di sela bibir. Siapa yang memukul tidak kelihatan. Bau kembang aneh
menghampar di tempat itu.

"Penyerang jahanam! Unjukkan dirimu!" teriak Walang Gambir marah sambil seka darah yang
meleleh di dagu. Dia cepat berdiri. Tak ada jawaban. Kalap dan geram dia memukul ke depan,
menghantam ke samping dan menjotos ke atas. Semua pukulan yang menghantam udara
kosong itu menimbulkan suara gaung seperti topar menerpa jurang batu yang dalam. Walang
Gambir memandang geram berkeliling. "Pengecut!’ rusuknya.

Baru saja dia keluarkan makian, belum sempat berdiri lurus, seperti tadi bukk… bukk… bukkl
Jotosan-jotosen keras dari penyctanci yang tidak kelihatan kembali melabrak dadanya. Dia
berusaha menangkis dengan melintangkan dua tangan di depan muka dan dada. Namun luput
Mata kiri bengkak kucurkan darah Dua tulang iga Walang Gambir berderak patah.

Bagaimanapun hebat sakti serta memiliki Ilmu sihir namun kali ini nyali Walang Gambir alias
Kobra Biru benar-benar putus. Tidak menunggu lebih lama dia segera putar tubuh, membuat
lompatan sejauh hampir dua tombak lalu menghambur lari dari tempat itu. Kini dia baru
menyadari benarnya ucapan Ki Sentot Balangnipa tadi. Dia datang di waktu dan tempat yang
salah.

Akan halnya ular Kobra Biru raksasa yang menyerang Wiro, begitu melihat tuannya kabur
segera pula memutar kepala Namun tiba-tiba saat bayangan merah berkelebat disertai
kumandang seruan

"Mahluk jahat jejadian. Pelajaran tempo hari rupanya tidak membuatmu jera! Mau kabur
kemana?!"

Sinar merah bertabur. Suara berkesiuran terdengar tak berkeputusan disertai suara
crass„.crass…crass-.Tubuh Kobra Biru raksasa terkutung-kutung. Sesaat kemudian kepala
binatang ini putus menggelinding. Darah biru menggenangi tanah. Bau anyir menyesak jalan
pernafasan.

"Dess… dess.„ dess!" Didahului suara mendesis tiga kali, potongan kepala dan tubuh Kobra Biru
berubah menjadi asap biru lalu lenyap dari pemandangan

"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar keluarkan suara sambil menunjuk ke depan dangau yang
roboh.

Di depan dangau berdiri seorang berpakaian merah berbunga-bunga kuning biru. Bagian bawah
pakaian. Ini kelihatan robek. Kepalanya tertutup destar dan wajahnya terlindung cadar merah.
Loan Nio Nikouw. Paderi ini berdiri memegang Ang Liong Kiam yang memancarkan cahaya
merah. Dengan sepasang mata menatap ke arah Wiro dan Purnama paderi dari Tionggoan ini
meniup badan pedang. Noda biru darah Kobra Biru jejadian yang mengotori pedang sakti serta
merta sirna.

Walau kepala tidak lagi mengenakan topi dan wajah kini tertutup kain merah namun Wiro
segera mengenali, perempuan berpakaian merah di seberang sana adalah Kiang Loan Nio
Nikouw.

"Padori Nionio…"
"Ha-hu ha-hu!"

Ucapan Wiro terputus oleh suara dua nenek kembar. Kali ini keduanya menunjuk ke arah
kaburnya Walang Gambir. Ternyata di jurusan itu berdiri seorang gadis cantik berwajah pucat
mengenakan kebaya putih panjang berkancing besar dipadu celana putih setinggi betis,
menatap sayu ke arah Pendckar212.

"Bunga…" Ucap Wiro gembira. Setelah pertemuan terakhir dimana gadis alam roh itu pergi
secara tidak enak, Wiro tidak menduga kalau Bunga akan muncul kembali. Dia melangkah
mendekati tapi lima langkah akan sampai Bunga angkat tangan kanannya. Dengan gerak isyarat
perlahan dia memberi tanda agar Wiro tidak datang lebih dekat Wiro terpaksa hentikan
langkah. Menatap wajah putih yang memancarkan kesedihan medalam.

"Aku selalu datang di saat yang tidak tepat Maafkan kalau aku mengganggu dirimu…" Bunga
keluarkan ucapan. Suaranya terucap perlahan seolah menahan perasaan.

Wiro gelengkan kepala. "Bunga, aku gembira kau muncul. Tidak ada yang merasa terganggu.
Kau tadi rupanya yang memukul orang tua berjubah hitam itu hingga dia melarikan diri. Kau
telah menolong diriku. Aku mengucapkan terima kasih. Apakah aku boleh melangkah lebih
dekat?"

Bunga, gadis alam roh yang aslinya bernama Suci menggeleng. Bibirnya merekah senyum
namun sepasang matanya tampak berkaca-kaca.

"Bunga, kau menangis. Apakah aku telah berlaku salah…?"

Gadis cantik berwajah pucat dari alam roh itu gelengkan kepala. Gelengan kepala ini membuat
air yang mengambang di kedua matanya jatuh meluncur ke pipi membentuk tetesan air mata.

"Aku menangisi ketololanku sendiri.Tidak seharusnya aku muncul di sini…"

‘Tidak ada yang melarangmu datang ke sini. Bunga. Bahkan aku gembira kau mau datang. Ah,
mengapa hal ini harus terulang lagi."

Bunga tatap wajah sang pendekar lalu melirik ke arah Purnama.

"Wiro, jika kau punya sahabat baru, jangan pernah melupakan sahabat lama. Betapapun
buruknya sahabat lama itu."

"Bunga kalau maksudmu… Bunga, aku tidak pernah melupakanmu Kau ingat pertemuan kita
terakhir kali. Malam hari di Bukit Menoreh? Waktu itu aku katakan apapun yang terjadi semua
itu tidak mengurangi rasa sayangku padamu."
"Terima kasih untuk ucapan yang penuh keindahan itu," kata Bunga pula sementara air mata
jatuh berderai di pipinya yang pucat dan dadanya sesak turun naik. Gadis dari alam roh ini
memutar tubuh.

"Bunga, aku tahu kau tidak percaya pada kata-kataku. Aku harus berbuat apa. Aku hanya minta
jangan pergi. Aku ingin kita bicara lebih banyak…" Wiro mendekat Namun Bunga telah
melangkah pergi. Sedikit demi sedikit sosoknya berubah menjadi bayang-bayang dan akhirnya
lenyap dari pemandangan. Murid Sinto Gendeng hanya bisa menghela nafas panjang berulang
kali garuk-garuk kepala. Wiro berbalik dan arahnya ternyata membuat dia kini saling pandang
dengan paderi cantik dari Tionggoan yang tegak di depan runtuhan dangau, memperhatikan
dirinya.

Saat itu sang paderi tengah bicara dengan hatinya sendiri. "Gadis cantik berwajah pucat itu. Dia
pergi dengan mata basah.

Aku bukan saja melihat kesedihan amat mendalam di wajahnya. Tapi aku juga melihat pancaran
perasaan hati yang luluh. Aku mendengar ucapannya tadi. Rupanya pemuda itu meninggalkan
dirinya setelah mengenal si cantik berpakaian merah itu." Loan Nio Nikouw melirik ke arah
Purnama. "Perempuan cantik satu itu, dia tenang saja. Kelihatannya dia seperti menyukai
kepergian gadis berwajah pucat tadi. Ah, tambah banyak kenyataan yang aku lihat Agaknya apa
yang diceritakan orang akan kusaksikan sebagal satu kebenaran. Pemuda Wie ini punya banyak
kekasih. Dia meninggalkan yang lama bilamana mendapatkan yang baru. Aku cukup jelas
mendengar ucapan gadis muka pucat tadi. Bagaimana dengan diriku…"

"’Nionio Nikouw…" Wiro menyapa. "Untuk kesekian kalinya kau menolongku. Aku sangat
berterima kasih. Mari aku perkenalkan kau dengan seorang sahabat Ah, kalian samasama
berpakaian warna merah. Kalian sama-sama cantik…"

Purnama tersenyum mendengar kata-kata Wiro itu. Sebaliknya Loan Nio Nikouw tidak beranjak
dari tempatnya berdiri. Perlahan-lahan dia sarungkan Ang Liong Kiam. Dia menatap kearah
Pumama lalu membungkukkan badan memberi penghormatan.

Pumama balas menghormat dengan tundukkan badan dan kepala disertai senyum tulus.

Nionio Nikouw berpaling pada Wiro.

"Saudara Wio. Aku harus pergi. Ucapanmu waktu di goa benar adanya. Adipati Brebes telah
menemui ajal…"

"Aku yang membunuhnya ketika dia hendak berbuat mesum atas dirimu. Aku jelaskan semua
itu waktu di goa. Tapi aku tahu kau tidak percaya."

Sepasang alis hitam bagus Nionio Nikouw naik ke atas. Matanya menatap tak berkedip. Kafinya
berkata. "Liok Ong Cun memberi tahu pemuda gondrong inilah yang hendak merusak
kehormatanku. Liok Ong Cun banyak dustanya. Tapi apakah pemuda satu Ini dapat dipercaya?
Apa betul dia yang membunuh Adipati itu?"

"Waktu malam di goa, jika tuduhan Liok Ong Cun tidak betul bahwa kau hendak merusak
kehormatanku, mengapa kau melarikan diri?" Loan Nio Nikouw ajukan pertanyaan.

"Seperti katamu saat itu karena aku seorang pengecut!" jawab Wiro yang membuat wajah
cantik sang paderi dibalik kain penutup menjadi bersemu merah.

Untuk beberapa lamanya Loan Nio Nikouw terdiam. "Ah, dia menaruh marah paling tidak
kecewa atas ucapanku waktu di goa malam tadi. Tapi aku harus bagaimana? Selama tidak ada
kejelasan aku akan selalu menaruh syak wasangka. Melihat kenyataan dia mempunyai banyak
kekasih tidak mustahil hatinya memang culas. Di Tionggoan banyak musang berbulu ayam.
Mungkin di negeri ini lebih banyak lagi."

"Saudara Wie," Nionio Nikouw akhirnya berkata. "Dalam waktu dekat saya akan menemui.
Banyak hal yang perlu mendapat kejelasan..;’

“Nionio Nikouw. Mengapa kita tidak bicara sekarang saja?"

Paderi perempuan itu tidak segera menjawab. Dia melirik sekilas pada Purnama. Perasaannya
muncul, hatinya kembali berkata. ‘Tadi pemuda ini mengatakan aku dan perempuan muda itu
sama-sama cantik Sungguh ceriwis. Aku tak mau kecantikanku disamakan dengan gadis itu!"

Wiro yang sempat melihat lirikan Nionio Nikouw dan merasakan adanya bayangan cemburu
pada wajah paderi itu. Segera saja dia berkata. "Nionio Nikouw, Purnama Sahabatku. Berarti
sahabatmu juga. Tidak ada yang perlu dirahasiakan. Kau bisa bicara bebas."

"Pendekar, kalau memang kehadiranku menjadi ganjalan pembicaraan kalian, aku lebih baik
pergi saja sekarang juga," ucap Purnama.

"Ah, sekarang Purnama yang cemburu," keluh Wiro dalam hati.

"Biar saya yang pergi…" kata Loan Nio Nikouw pula.

"Kau hendak kemana Nionio?" tanya Pendekar 212.

"Mencari seorang gadis bernama Ningrum. Dia adalah orang yang jadi penghubung saya
dengan mendiang Adipati Brebes. Saya punya dugaan dia bisa memberi beberapa keterangan
yang saya butuhkan…"

Seperti diketahui dan diceritakan dalam Episode sebelumnya (Dadu Setan) Ningrum adalah
gadis pemandu Judi dadu di Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Gadis ini memang punya
hubungan baik dengan Adipati Karta Suminta serta banyak tahu apa-apa yang dilakukan aang
Adipati.

Setelah berkata begitu tanpa banyak cerita lagi Loan Nio Nikouw segera tinggalkan tempat itu.
Wiro menggaruk kepala, berpaling pada Purnama.

"Ha-hu ha-hu.." Dua nenek kembar yang sejak tadi masih ada di tempat itu keluarkan suara.
Yang satu memberi isyarat dengan gerakan tangan bahwa dia dan kawannya akan
meninggalkan tempat itu. Yang satunya mendekati Wiro sambil mengulurkan sebuah benda.
Ternyata benda itu adalah sebuah suling perak.

"ini suling milik paderi perempuan itu. Nek, dimana kau menemukan? Kenapa tidak dikeluarkan
tadi-tadi?" tanya Wiro.

Nenek yang ditanya membuat gerakan tangan menggambarkan bangunan besar lalu tutup
mata kanannya sementara tangan kiri menepuk-nepuk pinggang.

"Aku mengerti. Suling ini kau temukan di Gedung Kadipaten. Di pinggang seorang bermata
picak. Ah, pasti maksudmu Ki Sentot Balangnipa."

"Ha-hu ha-hu…" Si nenek manggut-mangguL

"Kenapa tadi tidak kau serahkan pada pemiliknya sendiri?" tanya Wiro.

Nenek yang ditanya goyang-goyangkan tangan kiri. Temannya menggeleng-geleng. Dua tangan
mereka sibuk memberi isyarat

"Aku tak mengerti maksud kalian. Tapi baiklah. Suling ini akan kusimpan. Akan kuserahkan pada
pemiliknya jika nanti bertemu."

"Ha-hu ha-hu." Dua nenek menunjuk ke arah kejauhan lalu senyum-senyum melirik pada
Purnama.

"Kalian mau pergi?’ tanya Wiro. "Baiklah. Aku berterima kasih. Kalian telah banyak menolong.
Aku akan meneruskan menyelidik pembunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu…"

"Ha-hu ha-hu."

Dua nenek membungkuk berulang kali lalu melirik lagi pada Purnama. Sambil tertawa haha hihi
dan bergandengan tangan keduanya kemudian tinggalkan tempat itu.

"Dua nenek sahabatku itu agaknya senang padamu," ucap Wiro.

"Aku juga suka pada mereka. Siapa Eyang Sepuh Kembar Tilu?"
"Sebelumnya mereka terdiri dari tiga kembaran. Yang dua tadi kembaran jejadian. Yang asli,
yang bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal di tangan seseorang. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir nenek itu minta tolong agar aku mencari dan menghabisi orang
yang membunuhnya. Hanya dengan kematian si pembunuh dua nenek itu akan lenyap penyakit
gagunya." Wiro lalu mengeluarkan kancing jas tutup yang ada dalam saku pakaiannya. "Kancing
ini ditemukan dalam genggaman Eyang Sepuh Kembar Tilu setelah dia dibunuh. Agaknya benda
ini menjadi kunci siapa pembunuh nenek itu." Wiro lalu keluarkan pula sebuah kantong kain
warna hitam.

"Kantong ini aku temukan dalam salah satu pakaian milik Adipati Brebes. Aku tak tahu mengapa
aku begitu saja mengambilnya."

“Banyak tugas yang harus kau lakukan. Aku pikir aku pergi saja sekarang."

“Tunggu, jangan pergi dulu…"

"Kehadiranku menimbulkan rasa tidak suka pada banyak orang."

"Purnama, jangan kau berpikir begitu. Jika yang kau maksudkan adalah paderi perempuan dan
gadis dari alam roh itu, keduanya sudah pergi. Tak ada yang jadi ganjalan kalau kau ingin
bicara," kata Wiro sambil memegang lengan Purnama agar perempuan dari negeri 1200 tahun
silam itu tidak pergi meninggalkannya.

"Pendekar, apakah aku salah kalau punya rasa ingin bersahabat dengan dirimu? Ingin dekat
denganmu?"

"Kau terus-terusan memanggilku dengan sebutan Pendekar. Namaku Wiro. Apakah kau tidak
bisa memanggil diriku dengan nama itu?"

Purnama terdiam. Tatapan matanya yang bening lembut membuat dada Pendekar212 bergetar.

"Maaf, aku tidak bermaksud bicara kasar padamu. Jika kau ingin bersahabat dan ingin dekat,
mengapa tidak memanggil diriku dengan namaku. Atau mungkin kau ingin memanggil aku
dengan namaku yang lain. Sableng?!"

Purnama tertawa. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah salah…"

Wiro menggeleng. "Salah bagaimana? Malah aku telah dua kali berhutang nyawa padamu."

"Budi yang kau tanam dalam diriku jauh lebih besar. Kau lupa telah meminjamkan Kitab Seribu
Pengobatan padaku? Aku berhasil menyembuhkan puteraku sendiri. Selain itu kini aku
mempunyai ilmu pengetahuan tentang pengobatan yang sangat luar biasa Aku berjanji untuk
mempergunakan ilmu pengobatan itu untuk menolong orang lain."
"Niatmu sungguh terpuji. Kau harus mengetahui jarang bahkan mungkin tidak ada seorang
lainpun yang sanggup menghafal isi Kitab sakti itu."

Purnama tidak berusaha menarik tangannya yang dipegang Wiro sampai akhirnya Wiro sendiri
yang melepas pegangannya.

"Wiro, harap kau mau berterus terang. Apakah kehadiranku telah menimbulkan rasa ketidak
senangan dibanyak orang. Misalnya dua sahabatmu yang cantik-cantik tadi. Mungkin aku salah
menduga. Namun tampaknya mereka cemburu padaku."

Wiro menggaruk kepala.

"Bunga sahabat lamaku. Aku tahu hatinya, dia juga tahu hatiku Lalu paderi muda berbaju merah
tadi. Dia sahabat baruku. Sepertimu dia juga telah menolong menyelamatkan diriku."

"Yang aku ingin bicarakan bukan semua sifat baik mereka. Tapi perasaan cemburu sebagai
seorang perempuan. Maaf saja, aku sempat mendengar kata-kata gadis bernama Bunga tadi."

"Ucapannya yang mana?" tanya Wiro.

"Dia berkata jika kau punya sahabat baru jangan melupakan sahabat lama. Jelas ucapannya itu
ditujukan padaku."

"Ah itu…" Wiro menggaruk kepala. "Aku yakin dia tidak bermaksud menyinggung dirimu…"

"Mungkin begitu. Gadis bernama Bunga itu bicara apa adanya. Hatinya tulus bicaranya polos…"

"Lalu bagaimana dengan paderi perempuan itu?" tanya Wiro pula.

"Dia juga gadis baik. Ilmunya tinggi. Hanya saja, kalau aku boieh tahu, gerangan apa yang
membuat dia datang ke tanah Jawa ini dari negeri begitu jauh? Aku menaruh sangka, mudah-
mudahan salah. Paderi itu membekal segudang rahasia dalam dirinya."

"Yang aku lihat sifatnya kadang-kadang sangat arif. Tapi kadang-kadang juga cepat terpengaruh,
kurang menyelidik. Jiwa penolongnya sangat tinggi. Entah kalau itu mengandung maksud
tertentu seperti katamu tadi." Wiro lalu menuturkan riwayat dadu setan sebagaimana yang
didengarnya dari Loan Nio Nikouw. Setelah mendengar penjelasan Wiro, Purnama berkata.

"Aku tidak ingin perduli dan mau tahu urusan orang. Tapi apakah kau tidak melihat
kejanggalan? Paderi perempuan itu mengatakan padamu bahwa semua tokoh dari daratan Cina
yang datang ke Losari adalah anak buahnya. Lalu bagaimana atau mengapa sampai mereka
akhirnya mati semua? Yang ditakuti dari dadu setan itu kemampuannya sebagai alat penguras
kekayaan atau sebagai alat pembunuh? Lebih lanjut mengapa kau yang dituju dan diharap
sebagai orang yang bisa membantu. Apa benar Wakil Ketua Siauw Lim memerintahkan paderi
itu untuk mencari dan mendapatkan dadu setan itu lalu membawanya kembali ke Tionggoan.
Lebih lanjut mengapa pemuda muka tengkorak bernama Liok Ong Cun yang samasama anak
murid Siauw Lim tidak tahu apa-apa perihal dadu setan itu.

Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng terdiam dan coba merenungi semua
ucapan Purnama. Akhirnya dia hanya garuk-garuk kepala.

"Wiro, kau tengah menghadap satu perkara besar. Di balik perkara itu mungkin ada satu rahasia
yang bobotnya lebih besar dari kenyataan kasat mata yang kau lihat Aku tak pernah ingin
berprasangka buruk terhadap orang lain. Namun dalam hidup ini seseorang tidak boleh
melupakan unsur kehati-hatian…"

Wiro merasa walau belum lama mengenal namun Purnama menaruh banyak perhatian atas
dirinya. Murid Sinto Gendeng ini kembali menggaruk kepala.

"Wiro, sewaktu kau memasuki Gedung Kadipaten, mengapa tidak menyusup kedalam dengan
mempergunakan Ilmu Meraga Sukma?"

Pendekar 212 tersentak kaget. Bagaimana Purnama mengetahui kalau dia memiliki ilmu itu?

"Purnama, kau sering membuat kejutan. Bagaimana…"

"Maksudmu bagaimana aku tahu kau memiliki ilmu langkah tersebut?" Si cantik dari negeri
Latanahsilam ini tersenyum.

"Jika aku ingin dekat dengan seseorang, aku ingin tahu dirinya luar dalam, lahir dan batinnya."

"Mengapa?" tanya W’ro pu’a.

"Aku tak ingin berlaku keliru yang bisa membuat retak hubungan. Misalnya seperti kejadian
dengan dua perempuan cantik tadi. Mereka lebih dulu mengenalmu. Mungkin mereka
menganggap diriku sebagai pengacau atau apalah..,"

Wiro tersenyum dan berkata. "Kau gadis baik." Ketika tangannya hendak diulurkan membelai
rambut Purnama tiba-tiba Wiro ingat sesuatu lalu meraba pinggang.

"Astaga!"

"Ada apa?’ tanya Purnama.

. "Kitab Seribu Pengobatan!"

Purnama terkejut
"Sewaktu berusaha menolong, dua nenek itu mengeluarkan kitab dari balik pinggangku. Lalu
kau datang…"

"Ya Tuhan. Aku telah berlaku lalai." Wajah Purnama berubah pucat Waktu melafalkan cara
pengobatan, kitab aku letakkan di atas pangkuan. Dua nenek sibuk menolongmu. Kitab aku
pindahkan ke lantai dangau…"

Wiro dan Purnama lari ke arah dangau yang telah roboh porak poranda. Keduanya
membongkar reruntuhan bangunan dangau. Namun Kitab Seribu Pengobatan tidak ditemukan.
Yang dijumpai hanya kantong kain putih bekas pembungkusnya.

"Kalau tidak ada yang mencuri, kitab itu tak bakal lenyap. Pasti akan ada di antara runtuhan
dangau ini!" Kata Wiro pula sambil meremas kantong kain putih. "Aku curiga. Janganjangan…"

"Siapa menurutmu yang mau berlaku keji mencuri kitab itu?" tanya Purnama pula.

"Aku tak dapat memastikan. Mungkin dua nenek kembar jejadian. Bisa jadi paderi perempuan
itu. Atau mungkin juga Bunga. Tapi mereka orang baik semua…" Wiro usap-usap dagunya.
"Mungkin juga ada seseorang lain menyelinap mengambil kitab itu ketika kita bertempur
menghadapi kakek berjubah hitam gombrong itu?"

"Wiro, kita harus mencari kitab itu. Kemana kau pergi mencari aku ikuti Aku sangat
bertanggung jawab atas kelalaiankut Aku mohon maafmu. Aku rela menerima hukuman apapun
darimu!" Purnama bicara dengan suara terisak.

Wiro pegang tangan Purnama. Si cantik langsung saja benamkan wajahnya ke dada Pendekar
212.

"Heran, mengapa tidak habis-habisnya cobaan atas diriku?’ ucap Wiro dalam hati sambil tangan
kanan entah sadar entah tidak mengusap punggung Purnama.

Diusap seperti itu Pumama merasa sejuta tenteram sejuta bahagia. Sementara Wiro membatin,
dalam hati Purnama. "Wiro, aku ingin selalu dekat denganmu. Aku ingin pergi kemana kau
pergi. Semoga perasaan kita bisa saling bertemu. Semoga Yang Maha Kuasa mengabulkan
permintaanku ini. Jika ini adalah satu dosa terhadap orang lain, aku mohon ampun…"

Wiro baru sadar dan lepaskan pelukannya ketika dirasakannya dadanya hangat oleh basahan
airmata Purnama.

Tanpa diketahui kedua orang itu, dari tempat tersembunyi tiga pasang mata mengintai
memperhatikan semua gerak gerik
Wiro dan Purnama. Sepasang mata pertama adalah mata paderi Loan Nio Nikouw. Pasang mata
kedua bukan lain si gadis dari alam roh. Lalu siapa pemilik pasang mata yang ke tiga?

Salah satu dari orang itu mengutuk geram dalam hati.

"Hemmm… Ada perempuan lacur baru kesasar rupanya!"

Kapak Maut Naga Geni 21210

DARI luar rumah besar berhalaman luas di pinggir desa Jatiwaluh di tenggara Losari itu tampak
sunyi. Di sebelah dalam ternyata banyak orang. Untuk ukuran sebuah desa Jatiwaluh rumah
besar dan berhalaman luas seperti itu merupakan satu hal luar biasa. Hanya orang kaya yang
mampu memiliki rumah sebesar dan sebagus itu.

Penduduk desa menganggap Surah Pamulih sebagai orang beruntung. Setahun lalu rumahnya
masih setengah gubuk dan kehidupan mereka sangat susah. Perubahan ini menyebabkan
munculnya pergunjingan. Dari mana Surah Pamulih mendapatkan uang membangun rumah
sebesar itu. Kemudian diketahui pula bahwa kini dia memiliki sawah berbidang-bidang, kebun
luas serta ternak dalam jumlah banyak. Di pantai utara diketahui pula Surah Pamulih memiliki
banyak tambak udang. Namun di dalam keberuntungan itu datang musibah. Ningrum, anak
tunggal mereka yang belum kawin meninggal dunia. Jenazah Ningrum sudah dimakamkan siang
tadi. Di rumah besar masih banyak orang berkumpul. Yaitu saudara serta karib kerabat dan
tetangga. Beberapa buah bendera kuning masih terpancang di sekitar rumah. Salah satu
diantaranya di samping pintu masuk. Kata orang yang tahu. konon Ningrumlah yang jadi
sumber rejeki, pembawa semua keberuntungan itu.

Menjelang matahari tenggelam, seorang perempuan berpakaian merah berjalan


cepatmemasuki halaman. Kepala dan wajahnya ditutup kain merah yang sama coraknya dengan
pakaian yang dikenakan. Orang ini bukan lain adalah Kiang Loap Nio Nikouw Sang paderi
perhatikac bendera kuning di samping pintu. Hatinya merasa tidak enak.

Tak selang berapa lama seorang lelaki tua berkopiah putih diikuti oleh beberapa orang di
sebelah belakang menemui paderi itu. Dia memperhatikan tamu dihadapannya lalu bertanya.

"Den Ayu, siapakah? Dari mana. ada keperluan apa?" °

Loan Nio Nikouw tersenyum mendengar dirinya dipanggil Den Ayu.

"Saya seorang paderi. Datang dari negeri Jauh Saya Ingin bertemu Ningrum. Kami bersahabat.
Bukankah di sini rumahnya?"

Lelaki berkopiah putih kembali menatap tamunya. Wajahnya yang kuyu kini tampak sedih
sementara orang-orang di belakangnya juga unjukkan raut muka yang sama.
"Saya Surah Pamuilh, ayah Ningrum. Apakah Den Ayu tidak mendengar kabar?"

"Kabar apa?" Hati sang paderi berdetak. Perasaannya tambah tidak enak. "Bendera kuning…"
ucapnya dalam hati.

"Ningrum meninggal dunia pagi tadi."

Walau perasaannya sudah menduga tetap saja Loan Nio Nikouw terkejut mendengar ucapan
lelaki berkopiah putih yang mengaku sebagai ayali Ningrum. Orang ini kemudian berkata.

"Rasanya anak saya pernah bercerita tentang Den Ayu. Namun keadaan Den Ayu agak sedikit
lain. Tidak ada topi biru di kepala, tidak memakai cadar manik-manik merah…" Surah Pamulih
perhatikan bagian bawah baju sang paderi yang bekas dirobek.

"Anak Bapak pernah cerita tentang saya?" tanya Loan Nio Nikouw pula.

"Dia cerita punya seorang kenalan baru. Seorang perempuan dari negeri Cina. Katanya Den Ayu
belum lama Ini memberinya seuntai kalung mutiara."

"Apakah kalung itu masih ada?"

Ayah Ningrum mengangguk. "Saya simpan di lemari. Apakah Den Ayu hendak mengambilnya
kembali?"

‘Tidak. Tapi saya ingin tahu bagaimana kejadian meninggalnya sahabat saya."

Si orang tua menarik nafas dalam. Dia seperti tak kuasa untuk bicara menerangkan. Dia
berpaling pada orang-orang yang berdiri di belakangnya Salah seorang dari. mereka kemudian
berkata.

"Puteri Bapak Ini sakit mendadak."

"Kasihan Ningrum.." ucap Loan Nio Nikouw perlahan. Dia perhatikan wajah Surah Pamulih dan
juga wajah-wajah orang yang ada di situ. Dalam hati dia berkata. "Aku punya dugaan orang-
orang Ini menyembunyikan sesuatu." *

"Bapak, saya turut berduka cita…"

Surah Pamulih anggukkan kepala. Ucapkan terima kasih. Wajahnya tampak kuyu sedih.

‘ "Apakah boleh saya ingin melihat makamnya Apakah jauh dari sini?" . • ‘. ‘

"Ningrum dimakamkan di pekuburan keluarga. Tak jauh dari sini. Sebelum hari gelap mari saya
antarkan."
Selain Surah Pemulih beberapa orang lelaki ikut mengantar. Rombongan sampai di pekuburan
ketika udara mulai meremang gelap. Lelaki yang berjalan di sebelah depan berpaling pada ayah
Ningrum dan berkata. "Akang Surah, ada seseorang di samping makam Ningrum."

"Siapa lagi kalau bukan pemuda sinting si Danang Seta itu!" kata Surah Pamulih. Wajahnya yang
sejak tadi kuyu kini tampak berubah kelam marah.

Loan Nio Nikouw memandang ke depan. Di hadapan sebuah kuburan dia melihat memang ada
seorang lelaki muda duduk berjongkok sambil dua tangan dirapat ditampungkan ke depan
Agaknya pemuda ini tengah berdoa "Kalau orang berdoa dimakam puterinya, mengapa orang
tua ini marah?" pikir Loan Nio Nikouw. Sementara itu ketika mengetahui ada rombongan yang
datang, pemuda di samping makam cepat berdiri.

"Danang Seta!" Surah Pamulih berteriak. "Jika sekali lagi kau berani mendatangi makam
anakku, aku akan suruh orang mencari dan menggebukmu sampai mati!"

Pemuda di dekat makam tampak ketakutan. Tidak menunggu lebih lama serta merta lari
meninggalkan pekuburan.

"Akang, apa perlu kami mengejar pemuda itu?" Seorang di dalam rombongan bertanya.

"Sekarang ini biarkan saja. Tapi jika lain kali dia berani masuk desa, berani mendatangi makam
Ningrum. beritahu aku. Aku benar-benar akan menghajarnya sampai mati!"

Sampai di kuburan Ningrum, Surah Pamulih berkata. "Den Ayu saya dan saudara-saudara ini
tidak bisa menunggui Den Ayu di sini. Kami harus kembali ke rumah untuk mempersiapkan
acara pengajian."

"Tidak apa saya sendirian di sini. Saya hanya Ingin merenung dan mendoakan Ningrum agar bisa
tenteram di alam baka. Saya tidak akan mampir lagi ke rumah Bapak." Loan Nio Nikouw
kemudian membungkuk dalam-dalam.

Setelah semua orang itu pergi Loan Nio Nikouw tegak membisu. Hanya hatinya yang bicara
"Setelah Adipati itu meninggal, Ningrum satu-satunya orang bisa membuka tabir rahasia
keberadaan dua dadu setan. Sayang sekali. Dia keburu meninggal sebelum sempat memberi
tahu…"

"Kraaakkk!"

Tiba-tiba di belakang sang paderi ada suara derak ranting patah terpijak kaki. Loan Nio Nikouw
cepat berbalik. Dia melihat seorang muda di belakang serumpun semak belukar. Pemuda ini
tampak terkejut pucatdan melangkah mundur siap larikan diri.
"Jangan lari!" bentak Loan Nio Nikouw.Sekali lompat saja dia melayang di atas semak-semak
lalu tegak di depan orang itu. Tinjunya dikepal di depan hidung orang. "Berani lari kupecahkan
kepalamu!"

" Janganl Saya tidak berniat jahat! Saya orang yang tadi bordoa di makam Ningrum. Saya lari
sewaktu rombongan datang."

"Danang Seta?"

"Itu nama saya."

"Kenapa kau seperti ketakutan dan melarikan diri ketika saya dan rombongan ayah Ningrum
datang? Dan sekarang mengapa kau berani muncul mengintip diriku?!"

"Mereka hendak menggebuk saya. Dulu ayah Ningrum dan karib kerabatnya baik sama saya.
Tapi sejak mereka kaya raya, mereka

membenci saya."

"Mengapa?’ tanya Loan Nio Nikouw.

"Saya tidak tahu. Ningrum juga berubah. Selalu menjauh dari saya. Padahal sebelumnya kami
sudah berencana untuk menikah sehabis perayaan Maulud tahun ini."

"Jadi kau kekasih Ningrum."

"Ningrum beberapa satu lebih tua dari saya. Itu tidak menjadi soal. Sebenarnya kami sudah
dijodohkan sejak kecil. Tapi setelah kaya raya Ki Surah Pamulih ingin membatalkan perjodohan.
Bagi saya mungkin-itu sudah nasib. Ningrum jarang di rumah. Untuk dapat bertemu satu
purnama sekali sudah untung."

."Kalau dia jarang di rumah lalu kemana perginya gadis Itu?” Tanya Loan Nio Nikouw. Dia tahu,
dia sendiri cukup sulit menemui gadis yang dijadikannya sebagai penghubung dengan mendiang
Adipati Brebes itu.

"Itulah yang membuat saya berusaha menyelidik. Belakangan ini saya ketahui dia banyak
bergaul dengan orang-orang kaya termasuk para pejabat tinggi Kerajaan. Pada pertemuan
terakhir kali beberapa waktu-lalu Ningrum berkata bahwa dia ingin meninggalkan pekerjaannya
yang sekarang. Saya bertanya apa pekerjaannya dan dia bekerja di mana? Tapi Ningrum tidak
mau memberi tahu. Kasihan Ningrum, jangan-jangan dia korban dari pekerjaannya sendiri…"

"Danang Seta, apa maksudmu dengan ucapan itu?’ tanya Loan Nio Nikouw.
"Kami, semua orang di desa Jatiwaluh ini merasa heran. Dari mana Ki Surah Pamulih punya
uang begitu banyak untuk membeli tanah luas, mendirikan rumah besar, memiliki sawah,
ladang, ternak juga tambak udang. Saya punya dugaan semua sumber kekayaan itu datang dari
Ningrum. Lalu Ningrum sendiri dapat uang dari mana? Satu kali Ningrum pernah menunjukkan
pada saya sepotong batangan emas mumi. Saya kaget sekali. Seumur hidup baru kali itu melihat
emas begitu besar. Katanya emas itu pemberian seorang kenalan dekatnya. Seorang pejabat
Kerajaan. Saya mendesak bertanya siapa nama pejabat itu. Dia tidak memberi tahu malah
marah dan menuduh saya tengah menyelidiki dirinya. Sejak itu kami tidak pernah bertemu
lagi."

"Ayah Ningrum memberi tahu, puterinya meninggal karena sakit mendadak. Kau tahu sakit
apa?"

Danang Seta tatap wajah sang paderi seolah hendak menembus cadar merah yang menutupi.

"Ki Surah Pamulih berdusta. Orang-orang itu bcrdusta. Mereka menyembunyikan kematian
sebenarnya dari Ningrum. Kekasihku tidak mati karena sakit mendadak. Ningrum mati
dibunuh!"

Sepasang mata Loan Nio Nikouw menyipit Tiba-tiba paderi ini merasa dingin di bagian
punggung dan tengkuknya. Dia berbalik. Memandang-mandang berkeliling. Tidak ada orang lain
dipekuburan itu.

"Mungkin hanya tiupan angin," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu dia bertanya pada
Danang Seta. "Dari mana kau tahu Ningrum mati dibunuh." .

"Salah seorang pembantu di rumah Ki Surah Pamulih adalah masih bibi saya dia biasa dipanggil
dengan nama Nyi Gembok. Dia yang memben tahu. Dia yang menemukan mayat Ningrum pagi
hari ketika hendak membangunkan. Ningrum ditemukan Nyi Gembok dalam keadaan terbaring
terlentang di atas ranjang. Tubuhnya bugil. Dua kaki terkembang. Di lehernya ada tanda merah
bekas gigitan. Agaknya sebelum mati Ningrum telah melakukan hubungan badan dengan
seseorang. Orang inilah yang kemudian membunuhnya. Dari Nyi Gembok sebelumnya aku
sudah mendengar kabar kalau Ningrum sering menerima tamu rahasia pada malam hari tanpa
setahu ayah atau ibunya.

"Berarti si pembunuh adalah seseorang yang dikenal Ningrum. Ningrum mengizinkannya masuk
ke dalam kamar, melakukan hubungan badan lalu dibunuh. Mengapa? Mengapa ada orang
sekejam itu? Apa alasannya membunuh Ningrum setelah lebih dulu menyebadaninya?"

Dari balik pakaiannya Danang Seta mengeluarkan sebuah benda. Ketika Loan Nio Nikouw
memperhatikan, benda itu ternyata adalah sebilah keris panjang sejengkal. Ada noda darah
yang telah mengering pada bagian ujung yang lancip sampai pertengahan badan senjata ini.

"Keris ini ditemukan Nyi Gembok menancap di leher Ningrum."


Loan Nio Nikouw tertegun sesaat

"Bagaimana senjata ini sekarang ada padamu?"

"Nyi Gembok mencurinya dari sebuah rak lalu diberikan pada saya seusai pemakaman siang
tadi."

"Kalau begitu saya perlu bertemu dengan Nyi Gembok."

Danang Seta gelengkan kepala. "Nyi Gembok sudah diusir dari rumah besar. Bibi saya dipecat!"
Jawab si pemuda. "Ada satu hal yang perlu saya beri tahu. Keris kecil ini adalah milik Raden
Kumbara Ajiwinata. Seorang Pangeran muda dari satu Kerajaan di barat"

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Loan Nio Nikouw.

"Beberapa tahun lalu saya pernah bekerja di kediaman seorang Empu di Karang Ampel.
Namanya Empu Barada. Empu ini ahli membuat senjata bertuah. Satu ketika dia menerima
pesanan dibuatkan sebilah keris kecil dari Raden Kumbara. Sewaktu keris pesanan selesai saya
yang disuruh mengantarkan kepada Raden Kumbara. Saya sangat mengenali senjata ini."

"Ditemukannya senjata ini apakah kau punya dugaan. Mungkin tuduhan bahwa Raden Kumbara
yang membunuh Ningrum?’

Danang Seta tidak bisa menjawab pertanyaan Loan Nio Nikouw itu ‘ Saya mungkin akan
menemui Pangeran itu. Tapi ada seorang sahabat yang perlu segera saya temui. Dia tahu suatu
tempat penuh bergemilang uang, harta dan perempuan. Saya punya dugaan bahwa Ningrum
ada sangkut pautnya dengan tempat itu."

Sepasang mata Loan Nio Nikouw tampak bersinar membesar

"Siapa nama sahabatmu itu? Dimana dia bisa ditemui?” tanya sang paderi pula.

"Dia seorang perajurit Kadipaten Losari. Namanya Jumena. Belum lama ini terjadi satu hal
menggegerkan. Atasan Jumena menemukan satu tempat rahasia di sekitar…"

Belum sempat Danang Seta melanjutkan ucapannya tiba-tiba sebuah benda hitam melesat di
udara. Loan Nio Nikouw Cepat gerakkan dua tangannya. Tangan pertama mendorong ke arah
Danang Seta hingga pemuda Ini terjajar jauh dan jatuh terduduk di tanah tapi selamat dari
serangan benda hitam. Tangan kedua menghantam ke udara melancarkan pukulan tangan
kosong dan membuat mental benda hitam yang tadi menyerang Danang. Di saat hampir
bersamaan satu lagi benda hitam melesatdaiam kegelapan, menyambar ke arah kepala Loan
Nio Nikouw. Sambil rundukkan kepala paderi dari Tionggoan ini berteriak.
"Pembokong gelapi Jangan lari!”

Di seberang sana satu bayangan hitam berkelebat keluar dari balik satu pohon besar lalu
melarikan diri ke arah timur. Loan Nio Nikouw lepaskan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Satu jeritan merobek kesunyian malam di pekuburan. Ketika
sang paderi sampai di dekat pohon besar, dia dapatkan si pembokong tergeletak di tanah tak
bernyawa lagi. Ketika memeriksa, Loan Nio nikouw terkejut

"Manusia ini bukan mati karena pukulanku."

Di kening orang itu menancap sebuah benda hitam berbentuk paku besar berduri. Inilah benda
maut yang membunuhnyal Tibatiba terdengar jeritan orang.

"Danang!" seru Loan Nio Nikouw. Dia cepat melompat ke tempat Danang jatuh. Terlambat
Kakinya laksana dipantek. Danang yang tadi masih hidup kini tergeletak di tanah dengan luka
besar menganga di leher. Darah menggenang. Loan Nio Nikouw merasa seperti mau muntah.
Sang paderi perhatikan tangan Danang Seta kiri kanan. Lalu dia menggeledah pakaian pemuda
itu. Dia tidak menemukan keris kecil yang tadi dipegang dan diperlihatkan Danang Seta.

"’Ada orang mencuri keris kecil itu…" ucap Loan Nio Nikouw dalam hati.

Tak lama setelah Loan Nio Nikouw pergi satu sosok bergemeriap biru menampakkan diri di
pekuburan lalu melesat ke arah barat Di satu tempat sosok ini membentuk ujud utuh lalu
mendekati seorang pemuda yang duduk di dekat pematang

sawah.

"Purnama, bagaimana hasil kuntitanmu?"

Mahluk bayangan yang bukan lain si cantik Purnama menceritakan apa yang terjadi di
pekuburan Jatiwaluh. "Wiro, kita harus segera menemukan seorang perajurit Kadipaten Losari
bernama Jumena. Dia ada hubungan dengan perkara besar yang tengah kau selidiki. Aku punya
dugaan dia akan jadi korban pembunuhan berikutnya."

"Jumena? Aku kenal perajurit Itu. Aku pernah bertemu dengannya di pinggiran sebuah jurang."
Berkata Pendekar 212. "Purnama, kita pergi ke Losari sekarang juga."

"Mudah-mudahan kita tidak kedahuluan sahabatmu paderi perempuan itu. Aku yakin dia juga
akan ke Losari mencari perajurit bernama Jumena." Purnama ulurkan tangan membantu Wiro
berdiri. Lalu sambil berpegangan keduanya tinggalkan tempat itu.

Dalam gelap sepasang mata memperhatikan penuh geram. Mulutnya berucap. "Dasar lacur
perempuanl Kemana-mana maunya berpegangan! Tunggu saja! Aku kerjai kau!"
TAMAT

Eps 150 Misteri Pedang Naga Merah

JUMENA prajurit Kadipaten Losari yang tengah tertidur pulas tak jauh dari pintu gerbang timur,
tenggelam dalam mimpi aneh. Dalam mimpi dia melihat dua orang lelaki berkepala sangat
besar mendaki keluar dari sebuah jurang yang mengepulkan kabut kelabu. Lelaki pertama
seorang kakek bungkuk bertongkat kayu dan bercaping hijau, menaiki jurang sambil memegang
lengan lelaki muda di belakangnya. Padahal lelaki muda inilah yang seharusnya menuntun si
kakek naik ke atas jurang. Setiap dia menarik nafas panjang, caping hijau di atas kepala si kakek
naik ke atas sampai satu jengkal lalu turun lagi. Waktu caping naik ke atas kelihatan kepala si
kakek yang luar biasa besar.

Kabut tipis sesaat lenyap. Sekilas dalam mimpinya Jumena melihat wajah orang di belakang
kakek bercaping. Prajurit ini tersentak dari mimpi dan terbangun duduk. Mukanya keringatan
padahal saat itu dia berada di udara terbuka dan malam hari pula. Dia mengenali wajah itu. Tapi
mengapa kepalanya berubah besar?

“Ini kali kedua aku mengimpikan Raden Rayi Jantra dan kakek bercaping itu. Berkepala sangat
besar, keluar dari jurang. Apa artinya …?” Setelah merenung cukup lama kantuk Jumena datang
lagi. Prajurit ini kembali berselunjur dan meneruskan tidurnya.

Belum lama pulas seorang prajurit temannya datang menghampiri dan membangunkan.

Jumena nyalangkan dua mata, letakkan tangan kanan di gagang golok besar yang terletak di
pangkuannya lalu menatap pada prajurit yang berdiri di hadapannya.

“Ada apa? Aku rasa belum giliranku jaga,” Jumena merasa tergangu.

“Ada orang mencarimu.” Prajurit yang membangunkan memberi tahu lalu melangkah pergi.

Jumena menggeliat. Mengucak mata kemudian menoleh ke samping kiri. Pandangannya


membentur sosok tegap seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih. Prajurit yang
berbaring bersandar ke tembok batas timur Kadipaten Losari ini kerenyitkan kening lalu berdiri.

“Kau…Aku tidak lupa padamu,” kata Jumena. ”Aku mengira tidak akan menemuimu lagi. Waktu
di jurang kau pergi begitu saja.”

“Jumena, aku juga tidak lupa padamu. Itu sebabnya aku mencarimu.”

“Malam-malam buta, hemmm rasanya hampir pagi. Ada apa?”


“Jumena, kita duduk dan bicara di balik pohon besar sana saja,” kata si rambut gondrong yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung
Gede. Wiro pegang bahu prajurit itu lalu membawanya ke balik pohon besar tak jauh dari pintu
gerbang timur Kadipaten Losari.

Sampai di balik pohon setelah duduk berhadap-hadapan Jumena bertanya lagi. “Ada apa? Eh,
sampai saat ini aku belum tahu namamu.”

“Panggil aku Wiro,” jawab Pendekar 212. “Jumena, waktu di jurang kau memberi tahu tentang
atasanmu bernama Rayi Jantra yang katamu dibuang ke jurang. Apakah mayatnya sudah
ditemukan?”

Jumena menggeleng. “Ada keanehan.”

“Keanehan bagaimana?” tanya Wiro.

“Kejadian di jurang aku laporkan pada Prajurit Kepala. Prajurit Kepala lanjut melapor pada
Adipati Losari Raden Seda Wiralaga. Hari itu juga Adipati mengirim pasukan besar ke jurang di
perbatasan. Semua mayat berhasil diangkat ke atas jurang. Keadaannya sangat rusak. Empat
jenasah tak dikenal bermuka hangus. Dua mayat kemudian diketahui adalah prajurit Kadipaten
bernama Lebak dan Meneng. Jenasah Raden Rayi Jantra tidak ditemukan.”

“Mungkin mayatnya tidak termasuk yang dibuang di jurang.”

“Boleh jadi. Namun ada keanehan lain. Aku bermimpi. Sampai dua kali. Kali kedua barusan saja.
Dalam mimpi aku melihat Raden Rayi Jantra berpegangan tangan dengan seorang kakek
bercaping hijau. Kepala mereka besar sekali. Keduanya berusaha mendaki jurang, naik ke atas.”

“Jangan-jangan atasanmu itu masih hidup.” Wiro coba mengartikan mimpi Jumena.

“Mudah-mudahan begitu. Kalau dia masih hidup dan kembali bertugas, aku pasti akan
mendapat kenaikan pangkat. Dia janji padaku.” Jumena menghela nafas panjang. “Kau belum
menerangkan apa keperluanmu. Apa masih mau menanyakan soal kancing kayu tempo hari?”
(Mengenai pertemuan Wiro dengan Jumena pertama kali harap baca Episode sebelumnya
berjudul “Dadu Setan”)

Wiro tertawa, menggaruk kepala. Jumena menatap wajah sang pendekar. Sepasang matanya
membesar. Tiba-tiba dia berkata, “Aku ingat sesuatu!”

“Apa?” tanya Pendekar 212.

“Wajahmu!”

Wiro mengusap mukanya. “Kenapa wajahku?”


“Sama dengan yang dibuat juru lukis itu! Eh, namamu tadi siapa?”

“Aku tdak mengerti maksudmu. Juru lukis apa?”

“Wiro! Kau pasti orangnya!”

“Bicara yang benar. Jangan sepotong-sepotong!”

“Kau tahu perihal kematian Adipati Brebes?”

“Aku mendengar ceritanya,” jawab Wiro. Dalam hati dia berkata, “Aku yang membunuh
manusia bejat itu!”

“Atas perintah Adipati Losari, berdasarkan keterangan saksi termasuk seorang kakek berjuluk Si
Kuda Iblis alias Ki Sentot Balangnipa, seorang juru gambar membuat lukisan wajah si
pembunuh. Aku sempat melihat gambar yang sekaligus surat perintah penangkapan itu ketika
hendak ditunjukkan pada Adipati Losari. Wajah yang dibuat juru lukis itu adalah wajahmu!
Besok siang surat selebaran akan ditempel dimana-mana. Kau dituduh sebagai pembunuh
Adipati Brebes. Diperintahkan tangkap hidup atau mati! Imbalannya lima ringgit emas! Kau
orangnya yang bernama Wiro Ssableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua? Betul? Pasti betul!”

Wiro terkejut namun dengan tenang dia berkata, “Adipati Brebes pantas dihabisi karena
hendak

menodai seorang gadis sahabatku. Berita menyebar cepat sekali. Mengapa Adipati Losari di
wilayah barat yang mengeluarkan surat penangkapan, bukan pejabat Kerajaan di wilayah
timur?”

“Adipati Brebes Karta Suminta adalah sahabat kental Adipati Losari Seda Wiralaga. Aku rasa
saat ini di wilayah timur kau juga sudah dicari.”

Wiro menggaruk kepala. “Kau prajurit Losari. Setelah tahu siapa aku mengapa tidak
menangkapku?”

Jumena usap-usap golok besar yang dipegangnya lalu tertawa.

Ikutan menggaruk kepala. “Aku prajurit kecil. Ingin hidup tenang. Kalau aku menangkapmu, apa
kau tidak bakal menekuk batang leherku? Aku banyak mendengar cerita tentang kehebatanmu.
Seorang prajurit butut sepertiku ingin melawan pendekar besar sepertimu? Ha-ha! Aku tidak
mau mencari penyakit. Apalagi mencari mati!”
“Kau tidak tergiur pada hadiah lima ringgit emas? Kau bisa melaporkan aku pada atasanmu atau
langsung pada Adipati Losari. Selain lima ringgit emas mungkin kau bakal dapat kenaikan
pangkat dua tingkat sekaligus!”

Prajurit Jumena tersenyum. “Aku ingin hidup tenang. Apa arti lima ringgit emas kalau kelak
nyawaku bakalan amblas! Lagipula kalau Adipati Brebes hendak menodai seorang gadis,
rasanya dia memang pantas dibunuh! Selama ini gedung kediamannya dikenal sebagai sarang
keluar masuk gadis-gadis cantik, bahkan istri orang. Ada yang datang karena mengharap
imbalan atau hadiah besar. Ada yang memang perempuan nakal. Tapi banyak juga yang diambil
secara paksa.”

“Jadi kau tidak akan menangkapku? Tidak akan melapor pada atasanmu?” tanya Wiro pula.

Prajurit Kadipaten Losari itu gelengkan kepala.

Wiro tepuk-tepuk bahu Jumena.

“Aku mendengar banyak cerita hebat tentang dirimu. Antara lain kau memiliki sebuah senjata
yang disebut Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua. Katanya senjata itu bisa mengeluarkan api,
angin panas dan mengeluarkan suara mengaung dahsyat. Aku tak melihat kau membekal
senjata sakti itu. Dimana kau simpan? Boleh aku melihat dan memegangnya barang sebentar?”

Wiro tertawa, “Nanti, satu kali akan aku perlihatkan padamu.”

Jumena tampak kecewa. Wiro pegang bahu prajurit itu. “Jumena, kau kenal seorang pemuda
bernama Danang Seta dari desa Jatiwaluh?”

“Dia sahabatku sejak kecil. Teman sepermainan.” Jawab Jumena. “Kenapa kau tanyakan
dirinya? Memangnya kau kenal dia?”

“Sahabatmu tewas dibunuh orang petang menjelang malam tadi.”

Jumena terkejut bukan main. Rasa tak percaya membuat dia lama menatap wajah Wiro.
Setelah menghela nafas panjang dan menahan sengguk prajurit ini berkata perlahan. “Kasihan
Danang. Kematiannya pasti ada kaitan dengan apa yang diketahuinya tentang satu tempat
rahasia. Padahal mungkin dia cuma tahu sedikit. Kekasihnya, seorang gadis bernama Ningrum
yang tahu banyak.”

“Ningrum juga sudah menemui ajal. Dibunuh!” Menerangkan Wiro.

Jumena terbelalak. “Bagaimana kejadiannya?”

Wiro lalu menuturkan sesuai cerita yang didengarnya dari Purnama.


“Jadi Ningrum juga dibunuh,” Jumena gelengkan kepala berulang kali. Setelah mengusap
wajahnya dia berkata, “Gadis kekasih Danang Seta itu belakangan ini dibanjiri harta kekayaan
luar biasa. Tapi dirinya juga dipenuhi berbagai rahasia. Mungkin Adipati Brebes yang
membunuhnya?”

Wiro menggeleng. “Adipati itu menemui ajal lebih dulu. Sudah kukatakan, aku yang membunuh
Karta Suminta.”

Jumena terdiam beberapa lama. Akhirnya dia berkata. “Atasanku Rayi Jantra pernah
mengungkapkan rasa curiganya terhadap Ningrum puteri Surah Pamulih itu. Ningrum diketahui
banyak berhubungan dengan para ejabat tinggi di wilayah timur dan barat. Ada kabar
selentingan bahwa Ningrum membantu orang-orang di timur untuk menggagalkan usaha orang
di barat yang hendak mendirikan satu kerajaan di pantai utara. Danang pernah bilang Ningrum
sulit ditemui. Di rumah dia hanya ada tiga atau empat hari dalam sebulan. Selebih itu tidak
diketahui dimana dia berada.”

“Ada orang yang ingin membungkam Danang Seta dan Ningrum,” kata Wiro pula.

Jumena mengangguk. Dia meraba tengkuk sendiri yang mendadak terasa dingin. Ada rasa takut
muncul dalam diri prajurit ini.

“Jumena, ingat apa yang kau sampaikan padaku waktu bertemu di jurang?”

“Aku ingat, tapi mungkin tidak semuanya,” jawab Jumena.

“Kau cerita tentang kematian Nyi Inten Kameswari yang makamnya dibongkar lalu jenasahnya
ditemukan dalam keadaan perut robek terbongkar. Kau juga cerita tentang Anom Miharja,
suami Nyi Inten yang katanya mati bunuh diri tapi menurut atasanmu dia dibunuh. Kau juga
cerita tentang ditemukannya mayat beberapa orang Cina. Tentang Raden Rayi Jantra yang
berusaha menyelidiki asal usul kekayaan Anom Miharja dan Nyi Inten. Lalu yang aku tidak bisa
lupa, kau bicara tentang dua buah dadu yang saling diperebutkan beberapa tokoh sakti.
Diantaranya Pengemis Muka Bopeng, Raden Kumalasakti dan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Ketiga
orang itu sudah tewas semua! Dibunuh!”

“Ya, sekarang aku jadi ingat. Aku cerita apa adanya sesuai yang aku ketahui. Turut apa yang aku
dengar Pengemis Muka Bopeng dibunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu di sebuah warung. Dia
menyamar sebagai Raden Kumalasakti dan berusaha dapatkan dua buah dadu. Yang diberikan
si nenek padanya ternyata dadu palsu. Raden Kumalasakti yang asli kemudian dibunuh oleh
Pengemis Siang Malam…”

“Aku menyaksikan kematian Raden Kumalasakti. Kejadiannya di sarang Pengemis Siang


Malam,” kata Wiro pula. “Yang jadi pertanyaan, jika Eyang Sepuh Kembar Tilu memberikan dua
buah dadu pada Raden Kumalasakti berarti sebelumnya sudah ada perjanjian di antara mereka
bahwa dua buah dadu memang harus diserahkan pada Raden Kumalasakti. Nah, siapa Raden
Kumalsakti ini sebenarnya?”

“Aku hanya tahu walau dia bukan orang dari wilayah barat tapi banyak hubungan dengan para
petinggi di sini.”

“Kau tahu mengapa dia inginkan dua buah dadu?”

Jumena menggeleng.

“Kau tahu mungkin si Raden ini dan si nenek Eyang Sepuh Kembar Tilu berada di bawah
perintah atau bekerja untuk orang yang sama? Siapa kira-kira?”

“Aku tidak tahu,” jawab Jumena.

Wiro penasaran. “Sebelum menemui ajal, Danang Seta sahabatmu berkata bahwa kau tahu
satu tempat rahasia bergelimang uang, harta dan perempuan. Menurut Danang, Ningrum
kekasihnya mungkin ada sangkut pautnya dengan tempat itu. Beri tahu padaku tempat apa itu
dan dimana letaknya.”

“Pastinya tempat itu berbentuk apa aku tidak tahu. Juga tepat letaknya. Namun ada yang
mengatakan tak jauh dari Losari ada sebuah bangunan rahasia di sebuah bukit batu ….”

Belum sempat prajurit Jumena mengakhiri ucapannya tiba-tiba di kejauhan ledakan dahsyat
menggoncang seantero kawasan disusul nyala api terang benderang serta suara jerit kematian.
Lalu ada orang berteriak.

“Api! Rumah juga terbakar!”

***

WIRO terhuyung-huyung. Telinganya mendenyut pekak. Jumena sempat mencabut golok


namun terpental dan jatuh terduduk. Sekitar dua puluh langkah dari pintu gerbang di tembok
timur itu terdapat sebuah rumah jaga. Ledakan dahsyat membuat rumah jaga hancur
berkeping-keping. Kobaran api membumbung ke udara. Sebelumnya ada dua prajurit di dalam
rumah jaga itu. Ketika ledakan menggelegar keduanya mencelat mental lalu tergelimpang di
tanah dalam keadaan tubuh hangus buntung tercabik-cabik dan anggota badan cerai berai.
Wiro cepat melompat ke arah rumah jaga yang sudah rata dengan tanah.

Saat itu dari balik deretan rumpun bambu lebat melesat keluar seekor kuda hitam.
Penunggangnya seorang kakek berjubah biru gelap, berwajah merah, berkepala botak. Di balik
punggung jubah kelihatan sebatang ranting pohon mengkudu lengkap dengan delapan helai
daunnya. Sementara semua orang yang ada di situ lari ke jurusan rumah jaga yang hancur,
kakek berkuda justru membedal tunggangannya ke arah berlawanan.

Walau sempat melihat Wiro tidak perdulikan si kakek. Dia tengah memperhatikan dengan
tengkuk merinding dua prajurit yang menemui ajal secara mengerikan ketika tiba-tiba di
belakang sana terdengar jeritan seseorang. Jeritan Jumena! Wiro berpaling kaget.

Kakek berwajah merah raib bersama kudanya di kegelapan. Jumena tampak tergelimpang di
tanah. Sebilah golok, golok miliknya sendiri menancap di pertengahan dadanya. Wiro berteriak
lalu menghambur menghampiri.

“Jumena!”

Sepasang mata Jumena tinggal putihnya saja. Tubuh bergelimang darah. Namun telinga masih
bisa mendengar dan mulutnya masih sanggup berucap.

Dalam bingungnya Wiro pegang gagang golok yang menancap di tubuh prajurit itu. Hendak
ditarik tapi tak jadi karena takut darah akan bertambah banyak mengucur.

“Jumena! Siapa yang membunuhmu?” Wiro bertanya setengah berteriak.

“Kakek mu…muka merah pen…penunggang kuda it..itu…” Suara Jumena tersendat-sendat.

“Kau tahu siapa dia?” tanya Wiro lagi.

Mulut Jumena terbuka, bibir bergetar. Tak ada suara yang keluar.

“Kau tadi menyebut bukit batu. Bukit batu apa? Dimana?” tanya Wiro. Namun prajurit itu tak
mampu menjawab. Matanya nyalang. Nyawanya putus sudah!

Saat itu beberapa orang prajurit Kadipaten berdatangan. Di antara kerumunan para prajurit
seorang perempuan bertutup wajah, berikat kepala serta berpakaian merah kembang-kembang
menyeruak ke depan. Dari mulutnya keluar bentakan.

“Saudara Wie! Kau membunuh prajurit itu!”

Wiro tersirap kaget. Lepaskan pegangannya pada gagang pedang dan memandang melotot
pada orang yang barusan keluarkan ucapan dan ternyata bukan lain adalah Kiang Loan Nio
Nikouw. Sementara itu salah seorang prajurit yang berkerumun di tempat itu berkata.

“Dia membunuh kawan kami! Ketika kami datang dia masih memegang gagang golok!”

“Siapa nama prajurit yang dibunuh ini?” tanya sang paderi dari Tionggoan pada prajurit-prajurit
Kadipaten.

“Jumena!”

“Aah!” Wajah dibalik kain merah paderi Loan Nio berubah. “Aku sudah menduga namanya
Jumena.” Sang paderi berpaling pada Pendekar 212 dan lanjutkan ucapannya.

“Saudara Wie, kau bukan cuma sengaja membunuhnya. Tapi punya niat jahat untuk menutupi
satu rahasia dan perkara besar yang tengah aku selidiki!”

“Nionio, aku tidak membunuh prajurit itu. Seorang kakek bermuka merah, menunggang kuda
yang melakukan!” jawab Wiro.

Loan Nio Nikouw memandang para prajurit di depannya. Lalu bertanya. “Prajurit Kadipaten, apa
kalian melihat seorang kakek bermuka merah menunggang kuda?”

Enam prajurit yang ada di tempat itu sama gelengkan kepala.

“Pemuda gondrong ini mengarang cerita! Jelas dia yang membunuh Jumena! Dia masih
memegang gagang golok ketika kami datang! Kawan-kawan mari kita tangkap bangsat
pembunuh ini! Kalau melawan cincang sampai lumat!”

“Kalian semua yang gila! Kalian yang mengarang cerita! Aku tidak membunuh Jumena! Dia
sahabatku!” Wiro rasanya ingin sekali menampar mulut prajurit yang barusan bicara.

“Saudara Wie, kau terlalu banyak berdusta. Aku tahu orang-orang ini tak akan mampu
menangkapmu! Apalagi mencincangmu! Biar aku yang akan turun tangan melakukan!”

“Nionio, apa maksudmu?” Wiro bertanya dengan mata mendelik.

“Aku berharap kau bisa dijadikan sahabat untuk menolong. Ternyata kau musuh dalam selimut!
Cukup lama aku bercuriga padamu. Kecurigaanku ternyata menjadi kenyataan. Seharusnya
tempo hari aku biarkan dirimu dibunuh Ki Beringin Reksa dan Walang Gambir! Sekarang
saatnya kau harus disingkirkan!”

Sepasang mata Loan Nio Nikouw tampak seperti menyala. Habis keluarkan ucapan dia gerakkan
tangan ke punggung.

“Srett”

Cahaya merah memancar terang ketika Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah keluar dari
sarungnya. Tanpa banyak cerita lagi senjata mustika itu langsung dibabatkan ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng.
“Nionio! Tahan! Mari kita bicara dulu!” teriak Wiro sambil melompat mundur.

Sang paderi hanya menyeringai dan keluarkan suara mendengus. Pedang mustika di tangan
kanannya terus berkelebat. Hanya setengah jengkal lagi senjata sakti itu akan membabat perut
Pendekar 212 tiba-tiba Loan Nio Nikouw menjerit kaget. Bersamaan dengan itu tubuhnya
terpental. Kalau dia tidak cepat imbangi diri niscaya akan jatuh duduk di tanah. Di balik cadar
penutup wajahnya tampak berubah pucat, mata membesar dan tengkuk dingin.

“Dadaku mendenyut sakit. Pelipisku sakit bukan main. Dua kakiku goyah! Apa yang terjadi?”
Loan Nio Nikouw berucap dalam hati. Dia pandangi senjatanya. Tangan kanannya yang
memegang pedang bergetar dan terasa kesemutan. Dia merasa lega melihat senjata saktinya
berada dalam keadaaan utuh.

Dengan cepat paderi perempuan ini memasang kuda-kuda baru. Mata menatap tak berkesip ke
arah Pendekar 212.

Hal yang sama terjadi dengan tubuh Wiro. Malah keadaannya lebih parah. Tubuh terhuyung ke
belakang lalu jatuh duduk di tanah. Hal ini terjadi karena ketika menyerang Loan Nio Nikouw
kerahkan tenaga dalam sementara Wiro tidak. Dia merasa seperti ditiban batu besar yang
membuat sekujur tubuh seolah luluh lantak. Wiro ingat pada kejadian sewaktu Ki Sentot
Balangnipa menyerangnya dua kali dengan Pedang Naga Merah di Kadipaten Brebes. Mereka
sama-sama terpental dan sama-sama terluka di dalam. Wiro cepat alirkan hawa sakti ke seluruh
tubuh.

“Nionio! Tahan! Tunggu! Kita bicara dulu!” teriak Wiro ketika melihat sang paderi melangkah ke
arahnya, siap menyerang kembali. Tapi sang paderi tidak perduli.

“Sial! Kenapa urusan jadi begini?” Wiro memaki lalu melompat bangun. Melihat sorotan mata
yang begitu galak dari Nionio Nikouw Wiro sadar orang tak bisa diajak bicara. Maka dia
kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Wiro sadar pedang di tangan paderi itu bukan
senjata sembarangan. Selain itu Nionio Nikouw juga memiliki ilmu silat dan ilmu pedang hebat.
Kalau tidak bisa menjaga diri, dia bisa konyol di tangan paderi nekad ini.

“Wuttt!” Pedang Naga Merah berkelebat dalam jurus bernama Naga Merah Membelah Bumi.
Jurus ini berupa bacokan ganas dari atas ke bawah. Cahaya merah berkiblat. Wiro cepat
membungkuk dan rundukkan kepala. Begitu pedang sakti lewat di samping kepalanya kaki
kanan ditendangkan ke arah kaki lawan. Namun seperti tadi ada kekuatan gaib tak kelihatan
yang saling hantam. Kali ini Wiro tersungkur. Untung dia masih bisa gulingkan diri hingga
mukanya tidak berkelukuran dihantam tanah. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa
tertelungkup diam. Kepalanya yang tadi hendak dibacok terasa seperti remuk. Mulut lelehkan
darah kental. Di depannya Loan Nio Nikouw terpental dan terjengkang di tanah. Cadar merah
penutup wajahnya tanggal, tercampak ke tanah. Seperti Wiro di sudut bibir paderi ini tampak
ada lelehan darah sementara wjahnya yang cantik kelihatan pucat pasi.
Tiba-tiba Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu semburkan darah di mulutnya.

“Pemuda jahat!” Sang paderi yang biasanya memanggil Wiro dengan sebutan Saudara Wie kini
menyebut sang pendekar sebagai pemuda jahat. “Kau boleh punya ilmu setan! Apa kau kira aku
tidak bisa melukai dan mencincangmu?”

Mulut sang paderi berkomat-kamit entah melafalkan apa. Wiro cepat berdiri bangkit. Tangan
kanan dimelintangkan di atas dada. Loan Nio Nikouw angkat pedang ke atas. Ujung pedang
mengarah ke kepala Wiro. Menusuk cepat ke arah kening. Murid Eyang Sinto Gendeng bersurut
satu langkah. Tangan di depan dada bergerak ke depan. Dalam melindungi diri sambil lancarkan
serangan Benteng Topan Melanda Samudera Wiro sengaja mengibas, tidak melancarkan
pukulan. Di dalam hatinya pemuda ini masih punya rasa tidak tega untuk mencelakai sang
paderi. Padahal orang sudah nekad hendak membunuhnya. Sebelumnya waktu di goa, pukulan
sakti itu telah membuat Liok Ong Cun muntah darah.

“Bess!”

Angin keras melabrak ke depan. Tubuh Loan Nio Nikouw bergetar. Dia berusaha bertahan. Dua
kaki laksana menancap di tanah. Wiro merasa pukulannya tertahan tembok gaib. Di depannya
ujung lancip Pedang Naga Merah keluarkan dua kali kilatan cahaya merah.

“Tembus!”

Tiba-tiba paderi perempuan itu berteriak keras.

Pedang Naga Merah yang tadi hendak menusuk kening lawan, laksana kilat tiba-tiba melesat ke
samping kanan lalu membalik membuat babatan dahsyat ke arah pinggang. Inilah jurus ilmu
pedang yang disebut Menusuk Matahari Membelah Rembulan.

Wiro merasa dua kakinya laksana dipantek ke tanah, tak bisa digerakkan untuk melompat cari
selamat. Dia mendengar suara bergemuruh seolah ada batu besar menggelinding menghantam
dirinya dari samping kanan.

Mata Pedang Naga Merah mendarat telak di pinggang kanan Pendekar 212.

“Brett!”

“Tring!”

Wiro terpental ke samping. Sebuah benda putih panjang yang menahan hantaman pedang sakti
mencelat dari pinggang bajunya yang robek dan jatuh di tanah. Benda ini adalah suling perak
milik Loan Nio Nikouw yang ditemukan oleh dua nenek kembar dan kemudian diserahkan pada
sang pendekar. Keberadaan suling perak di pinggang Wiro boleh dikatakan sebagai ikut
menyelamatkan sang pendekar selain adanya kekuatan gaib yang kembali muncul secara aneh.
Pada saat Wiro terguling jatuh dan terkapar megap-megap disertai lelehan darah mengucur di
sudut mulut, Loan Nio Nikouw telah lebih dulu tergelimpang tertelungkup di tanah. Paderi ini
semburkan ludah bercampur darah sampai dua kali. Mulut keluarkan erangan, namun sepasang
mata mendelik besar memandang ke arah suling perak miliknya yang jatuh di tanah.

“Sulingku…. Ah pemuda jahat ini ternyata pencurinya.” Dengan dada turun naik karena sulit
bernafas, tangan kanan masih memegang Pedang Naga Merah, Loan Nio Nikouw beringsut ke
depan hingga akhirnya dia berhasil menggapai suling perak. Begitu suling perak berada dalam
genggaman tangan kirinya, paderi ini semburkan lagi ludah dan darah lalu jatuh pingsan.

Saat itu setelah seolah lupa akan nasib mengerikan yang menimpa dua kawan mereka di rumah
jaga, puluhan prajurit Kadipaten Losari yang berada di tempat itu merasa sadar. Salah seorang
di antara mereka berteriak.

“Tangkap pemuda gondrong pembunuh Jumena itu!”

“Jangan ditangkap! Langsung cincang saja!” Seorang prajurit lain balas berteriak.

Belasan golok dicabut siap dibacokkan. Lusinan tombak siap dihunjam. Pada saat yang begitu
genting tiba-tiba terdengar suara ha-hu ha-hu. Dua bayangan samar berkelebat mengangkat
tubuh Pendekar 212.

Puluhan prajurit terkesiap. Tidak yakin apakah yang menggotong pemuda gondrong itu manusia
atau setan atau mahluk apa. Mereka baru mengejar dan melempar tombak serta golok sewaktu
dua sosok samar berupa dua nenek berambut kelabu berjubah kuning melarikan Wiro ke arah
timur.

“Kejar! Jangan biarkan lolos!” Seorang pengawal berteriak.

Tiba-tiba dari arah pintu gerbang ada seorang berucap.

“Yang sudah kabur tak usah dikejar! Nyawanya hanya tinggal beberapa hari saja! Namun kalian
semua tetap mendapat hukuman karena telah berlaku lalai.”

Semua prajurit menoleh ke arah pintu gerbang timur. Melihat orang tinggi besar, berjanggut
dan berkumis tipis yang berdiri di pintu gerbang itu, mereka serta merta jatuhkan diri berlutut.

“Ada tamu asing terluka. Perempuan pula! Mengapa kalian biarkan dia tertelungkup di tanah?
Apa kalian tidak punya rasa hiba perikemanusiaan? Bawa dia ke gedung Kadipaten!”

Habis berkata begitu orang di pintu gerbang memutar tubuh dan melangkah masuk ke halaman
dalam. Dia naik ke atas sebuah gerobak kuda. Sais gerobak segera menarik tali kekang. Orang
ini adalah Adipati Losari Raden Mas Seda Wiralaga.
Empat prajurit segera menggotong tubuh Loan Nio Nikouw. Namun sebelum sempat mencapai
pintu gerbang timur tiba-tiba melesat satu bayangan biru. Orang ini bergerak luar biasa cepat.
Empat prajurit yang menggotong Loan Nio Nikouw terjengkang kena hantaman kaki dan
tangan. Dengan gerakan kilat si baju biru menyambar tubuh sang paderi lalu membawanya
kabur dan lenyap dalam kegelapan malam.

Seorang prajurit yang sempat melihat wajah si baju biru berteriak .

“Setan tengkorak menculik gadis asing!”

Adipati Seda Wiralaga yang mendengar teriakan itu terkejut bukan main. Dengan cepat dia
menyuruh sais memutar gerobak ke arah pintu gerbang. Sebelum mencapai pintu gerbang, dari
atas gerobak dia melesat ke udara. Tembok setinggi hampir satu setengah tombak dilewati
begitu saja. Namun bayangan Loan Nio Nikouw dan orang yang memboyongnya kabur tak
kelihatan lagi.

Ketika belasan prajurit mendatanginya Adipati Losari ini langsung mendamprat.

“Kalian tolol semua! Cari Ki Sentot Balangnipa! Perempuan asing itu harus diselamatkan!
Kerahkan pasukan berkuda untuk mengejar!”

***

LIOK ONG CUN memboyong Kiang Loan Nio Nikouw ke goa dimana dulu Wiro pernah
membawanya setelah diselamatkan dari perbuatan mesum Adipati Brebes Karta Suminta.
Sampai di goa pemuda yang menutup wajahnya dengan topeng tengkorak ini tak berani
membuat api unggun. Khawatir akan menarik perhatian orang-orang Kadipaten yang
diketahuinya tengah melakukan pengejaran. Untungnya saat itu sudah hampir pagi. Walau di
dalam goa diselimuti kegelapan, di luar keadaan sudah mulai terangterang tanah.

Liok Ong Cun duduk di samping sosok Loan Nio Nikouw yang terbaring menelentang masih
dalam keadaan tak sadarkan diri. Tangan kanan diulur memegang urat nadi di pergelangan
tangan kiri sang paderi. Lewat urat nadi itu dia merasakan denyut jantung Loan Nio Nikouw
yang tidak teratur dan terkadang lemah hampir tak terasa. Dalam hati, dia bertanya-tanya apa
yang terjadi dengan gadis itu. Ketika menyelamatkan sang paderi dia masih sempat melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng dilarikan dua nenek aneh, dikejar puluhan prajurit Kadipaten.

Saat itu keadaan agak gelap di dalam goa tidak memungkinkan Ong Cun memeriksa Loan Nio
Nikouw lebih seksama. Untuk membantu memberi kekuatan agar bisa bertahan pemuda
berkepandaian tinggi ini alirkan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya ke tubuh Loan
Nio Nikouw lewat pergelangan tangan.
Tak lama kemudian di ufuk timur fajar menyingsing dan cahaya sang surya merambat masuk ke
dalam goa. Liok Ong Cun kini dapat melihat jelas sosok Loan Nio Nikouw. Wajah sang paderi
tampak pucat. Di pipi dan dagu kiri ada lelehan darah setengah mengering. Tangan kiri
memegang seruling perak, sementara tangan kanan menggenggam Ang Liong Kiam.

“Loan Nio terluka di dalam. Kelihatannya di sebelah dada. Aku harus membuka pakaiannya, “
Liok Ong Cun berucap dalam hati.

Beberapa saat pemuda ini duduk terdiam, mata menatap sosok sang paderi. Rasa rikuh yang
ada dalam hatinya hanya berlangsung seketika. Karena saat itu bersamaan dengan debaran
jantung yang mengeras dan aliran darah yang cepat serta memanas, mendadak muncul satu
suara di lubuk hatinya. Suara iblis yang membuat tubuhnya bergetar oleh rangsangan.

“Liok Ong Cun, kau tahu gadis ini sejak dulu tidak pernah mencintaimu. Kau tidak akan pernah
dapat memilikinya apalagi menikahinya. Kau harus pergunakan siasat. Tiduri gadis itu. Ini saat
yang paling baik bagimu untuk melakukan. Kalau hal itu kau laksanakan maka kau akan berhasil
menundukkannya. Jangan tunggu ssampai dia sadar…”

Liok Ong Cun usap keringat yang membasahi tengkuknya. Dua tangan gemetar keras sewaktu
diulurkan membuka baju merah dan menyibakkan pakaian dalam berupa kain putih penutup
dada Loan Nio Nikouw. Untuk beberapa lama pemuda ini menatap terpesona melihat keelokan
dada Loan Nio Nikouw yang putih kencang walau ada tanda merah kebiruan di celah antara dua
payudara. Pemuda ini tarik nafas dalam, terduduk tak bergerak di lantai goa. Semakin dia
memandang wajah dan dada Loan Nio Nikouw, semakin keras debar jantung, semakin kencang
dan semakin cepat aliran darahnya. Maksud untuk menolong kini tenggelam oleh gejolak nafsu
terkutuk.

Cuping hidung Liok Ong Cun mengembang, dada turun naik dan nafas memburu. Perlahan-
lahan tangan kanannya yang sejak tadi berada di atas dada sang paderi mulai bergerak
mengusap. Sentuhan pertama terasa nikmat luar biasa, membuat Liok Ong Cun serasa terbakar.
Sekujur tubuhnya bergeletar oleh rangsangan hebat.

“Loan Nio, kalau saja kau mau jadi istriku, aku tak perlu melakukan hal ini…” Liok Ong Cun
berucap.

“Liok Ong Cun, jangan bicara tolol! Dari dulu kau tahu gadis ini tak pernah menyukaimu. Kau
selama ini hanya bermimpi mengharapkannya akan jadi istrimu! Jangan tunggu sampai dia
sadar. Kesempatan hanya datang satu kali…” Lagi-lagi ada suara lain di lubuk hati pemuda she
Liok ini. Dia rundukkan kepala mencium wajah sang paderi. Mulutnya berucap perlahan. “Loan
Nio, sekarang kau tak akan pernah lepas lagi dari tanganku…” Wajah si pemuda turun ke leher,
ciumannya lalu meluncur ke dada. Sementara dua tangannya merayap ke bagian tubuh
terlarang. Sewaktu tangan kanan Liok Ong Cun meluncur ke bawah, ke arah pinggang celana si
gadis, tiba-tiba di luar sana terdengar suara derap kaki kuda. Menyusul suara seseorang
berteriak.

“Ada goa di sini! Kalian berdua coba periksa!”

Dua orang berpakaian prajurit Kadipaten melompat turun dari atas kuda, cepat masuk ke dalam
goa sementara prajurit ketiga berjaga-jaga dan tetap berada di atas tunggangannya. Hanya
sesaat kemudian terdengar dua jeritan keras disusul mencelatnya sosok dua prajurit yang
barusan masuk ke dalam goa. Keduanya tergelimpang dengan kepala remuk tak bernyawa lagi.
Kaget prajurit ketiga yang berada di depan goa dan masih duduk di punggung kuda bukan alang
kepalang. Sambil mencabut golok dia melompat turun.

“Kurang ajar! Siapa berani membunuh prajurit Kadipaten?”

Belum sempat mencapai mulut goa tiba-tiba dari dalam goa melesat satu bayangan biru.
Prajurit malang itu hanya melihat satu sambaran cahaya hijau. Dia coba menangkis dengan
golok di tangan kanan.

“Traangg!”

Golok besar patah dua. Prajurit yang masih memegang kutungan senjata itu keluarkan suara
menggorok lalu terjungkal roboh. Darah menyembur dari lehernya yang nyaris putus!

Liok Ong Cun berdiri dengan dada turun naik. Dibalik topeng wajahnya mengelam akibat nafsu
yang tertahan serta kemarahan luar biasa. Tiga ekor kuda meringkik keras. Yang seekor
langsung menghambur. Yang dua lagi berputar-putar lalu cepat ditangkap oleh Liok Ong Cun
dan tali kekangnya diikatkan ke sebatang pohon. Setelah memperhatikan keadaan sekeliling
dan merasa aman, tidak tunggu lebih lama dia masuk kembali ke dalam goa. Saat itu Loan Nio
Nikouw masih belum sadar. Masih tergeletak terlentang di lantai goa sementara pakaian
tersingkap mulai dari atas sampai ke bawah.

Nafsu Liok Ong Cun yang tadi tertahan kini menggelegak kembali. Malah setelah membunuh
tiga prajurit Kadipaten dirinya jadi bertambah ganas. Kalau tadi rabaan dan sentuhannya masih
dilakukan secara lembut kini berubah menjadi kasar karena nafsu telah membuat dirinya
menjadi setan. Pemuda ini jatuhkan diri di samping Loan Nio Nikouw. Memeluk dan menciumi
sang paderi. Tak lama kemudian di dalam goa itu terdengar jeritan Liok Ong Cun yang mirip
seperti lenguh suara kerbau disembelih yaitu ketika dia sampai pada puncak kenikmatan nafsu
bejatnya.

Liok Ong Cun tidak tahu berapa lama dia terbaring mandi keringat ketika tiba-tiba telinganya
menangkap suara tarikan nafas diiringi gerakan tubuh Loan Nio Nikouw yang terbujur di
sampingnya.
“Liok Ong Cun! Lekas bangun! Pergunakan siasat!” Suara iblis di hati Liok Ong Cun kembali
bicara. Pemuda ini cepat bangun dan kenakan pakaian lalu rapikan baju serta celana panjang
Loan Nio Nikouw. Saat itu sang paderi walau sudah mulai siuman namun sepasang matanya
masih terpejam. Liok Ong Cun tepuktepuk pipi Loan Nio Nikouw. Begitu dua mata Nikouw ini
mulai terbuka, dengan gerakan cepat pemuda ini melompat keluar goa.

Begitu sampai di luar goa Liok Ong Cun berteriak keras.

“Loan Nio! Kau ada di dalam goa?”

Tak ada jawaban.

“Loan Nio!”

Sepasang mata Loan Nio Nikouw perlahan-lahan terbuka.

“Siapa yang berteriak…. Seperti suara Liok Ong Cun…” Loan Nio Nikouw tiba-tiba pegangi perut.
Ada rasa perih di sebelah bawah auratnya. Dia menatap ke atas. Berpaling ke samping. Terkejut
ketika menyadari dirinya ada dalam sebuah goa. Lebih dari itu dia masih bisa mengenali, goa ini
adalah goa dimana dulu dia pernah berada ketika dibawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.

Bagaimana aku bisa berada di sini lagi? Apa yang terjadi…” Sang paderi bergerak bangun, coba
duduk bersandar di dinding goa. Saat itulah dia melihat keadaan baju serta celananya yang
tersingkap tak karuan. Langsung Loan Nio Nikouw menjerit keras. Sebelumnya dia pernah
mengalami hal seperti itu. Tapi kini keadaannya jauh lebih parah.

Di luar goa Liok Ong Cun cabut pedang Ceng Coa Kiam atau Pedang Ular Hijau, berteriak
menyebut nama Loan Nio lalu melompat masuk.

“Loan Nio! Kau ada di sini! Apa yang terjadi! Ah, jangan-jangan aku terlambat!”

Inilah sandiwara terkutuk yang tengah dilakukan Liok Ong Cun sesuai dengan bisikan iblis di
dalam hatinya yang kotor keji. Si pemuda jatuhkan diri di samping sang paderi.

“Loan Nio, ketika aku sampai di sekitar goa, aku melihat pemuda berambut gondrong jahat itu
berkelebat keluar lalu kabur ke arah timur. Aku urung mengejar karena mendengar jeritanmu.
Ada tiga prajurit Kadipaten tewas di luar sana. Loan Nio aku khawatir sesuatu telah terjadi
dengan dirimu. Sesuatu yang keji telah dilakukan oleh si gondrong keparat itu!” Sambil berkata
Liok Ong Cun peluk Loan Nio Nikouw. Dalam keadaan terguncang berat seperti itu walau dia
tidak suka pada Liok Ong Cun namun antara sadar dan tidak Loan Nio Nikouw biarkan saja
dirinya dipeluk. Dia menangis dalam pelukan si pemuda. Tiba-tiba paderi itu berteriak keras.
Tangan dan kakinya menerjang. Liok Ong Cun sampai terpental. Loan Nio Nikouw rapikan
pakaiannya, ambil pedang dan suling perak lalu lari keluar goa.
“Loan Nio! Kau mau kemana?” Liok Ong Cun mengejar. Dia cepat cekal lengan kiri paderi itu.
“Loan Nio, kau perlu waktu dan tempat untuk menenangkan diri. Aku tahu satu rumah kayu di
tengah hutan tak jauh dari sini. Di sana kau pasti aman. Mari aku antar kau ke sana…”

“Ong Cun, Aku merasa… sesuatu terjadi dengan diriku. Aku…”

“Aku tahu Loan Nio. Itu sebabnya kau harus ikut aku ke tempat yang aman…”

Loan Nio kembali menangis. Memandang berkeliling dia melihat tiga orang berpakaian prajurit
Kadipaten tergeletak tewas. Di sebelah sana ada dua ekor kuda tertambat di sebatang pohon.
Dia hanya menurut sewaktu Liok Ong Cun menolong menaikkannya ke atas punggung salah
seekor kuda. Lalu keduanya tinggalkan tempat itu.

***

DI DALAM rumah di tengah hutan belantara itu terdapat sebuah ranjang bambu beralas jerami
kering.

“Loan Nio, berbaringlah. Izinkan aku memeriksa dirimu. Aku tak sengaja melihat tanda merah
kebiruan di pertengahan dadamu. Kau terluka di dalam. Cukup parah. Aku akan berusaha
mengobatimu…”

“Terima kasih. Dadaku memang terasa sakit sekali. Seperti remuk. Aku masih mengingat-ingat
bagaimana asal kejadiannya. Tapi, bisakah kau meninggalkan aku barang beberapa lama. Aku
bisa mengobati diriku sendiri. Selain itu aku ingin istirahat dan ketenangan…”

Liok Ong Cun unjukkan wajah hiba, belai kening dan rambut sang paderi. Dengan telapak
tangan didekapnya dua pipi sang paderi. “Loan Nio, jika itu maumu, baiklah. Tak jauh dari sini
ada sebuah telaga. Airnya dangkal tapi ikannya banyak. Sementara kau beristirahat aku akan
menangkap ikan besar-besar untukmu. Kau perlu makan…”

Loan Nio Nikouw tersenyum. Senyum yang selama ini tak pernah dilihat Liok Ong Cun, apalagi
senyum yang khusus ditujukan padanya.

“Istirahatlah. Tidur kalau bisa. Aku tidak akan lama,” kata Liok Ong Cun pula. Dia memberanikan
diri mencium kening Loan Nio Nikouw. Hati pemuda ini berbunga-bunga. Ternyata sang paderi
tidak menolak atau menghindari ciuman itu.

Ketika sang surya menaik tinggi, Liok Ong Cun kembali ke rumah kayu di tengah hutan
belantara. Dia berjalan cepat sambil bersiul-siul membawa empat ekor ikan besar yang siap
untuk dipanggang.

“Loan Nio! Aku kembali.”


Liok Ong Cun buka pintu rumah. Sesaat dia tertegun karena dapatkan Loan Nio Nikouw tidak
ada di atas ranjang, tidak ada di dalam rumah.

“Loan Nio?”

Tak ada jawaban. Liok Ong Cun keluar, menyelidik seputar rumah kayu. “Loan Nio!” Suara
teriakan pemuda itu menggelegar di seantero rimba belantara. Tak ada jawaban, sang paderi
tetap tak kelihatan. Pemuda bertopeng muka tengkorak ini tidak mengetahui kalau saat itu ada
dua pasang mata memperhatikannya di balik rumpunan semak belukar.

“Mungkin dia pergi ke telaga. Menempuh jalan lain. Berselisih jalan dengan aku. Aku kesini dia
kesana.” Memikir begitu Liok Ong Cun cepat kembali ke telaga. Namun tetap saja Loan Nio
Nikouw tidak ditemui. Telaga dan sekitarnya sunyi seperti pekuburan.

“Kemana perginya gadis itu? Melarikan diri atau ada yang menculik?” Liok Ong Cun berdiri di
tepi telaga sambil berpikir-pikir.

“Tadi dia tersenyum padaku. Tidak menolak ketika kucium keningnya. Atau… mungkin dia
sudah tahu jelas apa yang terjadi dengan dirinya? Mungkin juga dia tahu kalau aku yang
melakukan?” Pemuda ini usap wajahnya yang tertutup topeng muka tengkorak.

“Kalau dia tahu aku yang melakukan perbuatan itu, pasti saat ini dia sudah mencari dan
membunuhku!” Liok Ong Cun tarik nafas panjang lalu memutuskan kembali ke rumah di tengah
hutan.

Ketika dia sampai di rumah kayu, Liok Ong Cun melihat dua orang berdiri di depan pintu.
Seorang nenek berjubah biru, memiliki muka seram, rambut kelabu awut-awutan. Orang kedua
seorang bocah berambut jabrik berusia sekitar dua belas tahun.

Mengenakan pakaian hitam bergambar naga kepala kuning di bagian dada. Anak ini tampak
tengah melongok-longok ke dalam rumah. Si bocah jelas bukan lain adalah Naga Kuning
sementara si nenek sudah pasti sang kekasih yang dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah
Hati. Seperti diketahui Naga Kuning sebenarnya adalah seorang kakek sakti berusia lebih dari
seratus tahun dan dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera Biru. Si nenek yang
berpenampilan seram asli bernama Ning Intan Lestari, walau sudah lanjut usia namun bisa
memperlihatkan ujud aslinya di masa muda, yaitu berupa seorang perempuan cantik jelita.

“Kalian siapa?” Liok Ong Cun langsung membentak, marah dan juga penuh curiga. Tentu saja
dalam bahasa Cina.

Naga Kuning bersurut kaget. Sementara si nenek tegak tenang-tenang saja.

“Orang bermuka tengkorak tadi Nek. Wah, dia marah besar! Lihat, matanya mendelik. Tadi dia
ngomong bahasa apa?” Naga Kuning keluarkan ucapan.
“Dia orang Cina. Ingat kabar ditemukannya mayat beberapa orang Cina di pantai Losari
beberapa waktu lalu? Jangan-jangan orang ini salah satu di antara para pendatang asing itu,”
Gondoruwo Patah Hati menjawab.

“Gadis yang tadi kabur dari dalam rumah juga orang Cina,” ucap si bocah. “Kita tidak mengerti
bahasa orang ini. Jauh-jauh mengikuti ternyata Cuma bikin urusan. Sudah, kita pergi saja.”

Si nenek ikut saja ucapan si bocah. Tapi ketika keduanya hendak melangkah pergi Liok Ong Cun
segera menghadang. Dengan suara lebih merendah pemuda ini bertanya.

“Kalian siapa? Mengapa bisa berada di sini?”

“Kami tidak mengerti bahasamu!” berkata Gondoruwo Patah Hati sambil goyang-goyangkan
tangan kanan.

Liok Ong Cun geleng-geleng kepala. Dia sadar kalau orang tidak tahu bahasa yang
diucapkannya. Maka sambil membuat gerakan tangan dia memperagakan pertanyaan. ”Kalian
apa melihat seorang perempuan berpakaian merah? Tadi dia ada di dalam rumah kayu ini…”

Melihat gerakan tangan orang Naga Kuning berkata, “Nek, aku bisa menduga. Dia bertanya
perempuan yang ada di dalam rumah. Yang tadi kita lihat lari keluar dalam keadaan pakaian tak
karuan rupa.”

“Aku rasa begitu,” sahut si nenek. Lalu nenek ini memandang pada Liok Ong Cun dan
menunjuknunjuk ke arah kanan. Di situ ada jalan setapak di antara kelebatan semak belukar.

“Perempuan dalam rumah lari ke sana?” Liok Ong Cun bertanya sambil ikut menunjuk.

Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati sama-sama anggukkan kepala.

Liok Ong Cun membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Dia siap memutar langkah untuk
mengejar Loan Nio Nikouw ke arah jalan setapak namun tiba-tiba tampangnya di bawah topeng
tengkorak berubah. Sepasang mata membeliak ketika secara tak sengaja dia melihat sebuah
benda putih yang bukan lain adalah suling perak milik Loan Nio Nikouw, terselip di pinggang
pakaian hitam Naga Kuning.

“Ternyata kalian berdua bukan orang baik-baik. Kalian telah berbuat jahat mencuri suling perak
milik Loan Nio Nikouw! Mungkin kalian punya teman-teman yang telah menculik Nikouw itu
dan coba menipuku!”

Liok Ong Cun cabut pedang Ceng Coa Kiam. Mata mendelik dan senjata ditudingkan ke arah
suling di pinggang si bocah. Melihat hal ini anak berambut jabrik berkata.
“Waduh Nek! Si muka tengkorak marah sekali! Dia pasti mengira aku mencuri suling perak ini!
Lihat, dia hendak menyerangku!”

“Gunung,” Gondoruwo Patah Hati memanggil si bocah dengan nama aslinya. “Jika dia meminta
secara baik-baik kau boleh serahkan suling itu. Tapi jika dia memaksa secara kurang ajar jangan
berikan! Lagi pula suling itu bukan miliknya. Tapi milik perempuan cantik yang jatuh ke tanah
waktu lari dari dalam rumah!”

“Wutt!”

Cahaya hijau berkiblat ketika pedang Ceng Coa Kiam berkelebat membabat ke arah pinggang
Naga Kuning. Si bocah berambut jabrik ini cepat melompat mundur. Ketika Liok Ong Cun
memburu dia cepat melesat ke atas. Di udara membuat gerakan jungkir balik. Begitu melayang
turun tertawa haha-hihi tangan kanannya menderu kirimkan serangan ke kepala lawan dalam
jurus Naga Murka Menjebol Bumi.

Liok Ong Cun berseru kaget. Bukan saja tidak menyangka lawan sanggup loloskan diri dari
serangan kilatnya tadi, tapi malah mampu membalas serangan dengan satu pukulan cepat.
Tidak percaya kalau anak sekecil itu bisa mempermainkannya, Liok Ong Cun babatkan lengan
kanan ke atas menangkis pukulan.

“Bukk!”

Dua lengan saling beradu. Naga Kuning mengeluh pendek, lentingkan tubuh ke atas dan
melompat turun ke tanah. Liok Ong Cun sendiri tampak meringis kesakitan. Kalau tidak cepat
dia imbangi diri pasti akan jatuh terduduk di tanah. Ketika memperhatikan lengan kirinya
ternyata lengan itu telah bengkak merah!

“Bocah setan!” Liok Ong Cun memaki marah. “Sampai dimana kehebatanmu!” Pemuda muka
tengkorak ini lalu menyerbu Naga Kuning dengan jurus Thian Yau Te Soan atau Langit Goyang
Bumi Berputar. Pedang Ular Hijau menyentak garang laksana ular sungguhan. Udara dan tanah
seperti dibuncah lindu. Naga Kuning merasa kepalanya jadi pening dan dua kaki bergetar goyah.

“Manusia sialan!” maki Naga Kuning. Dia cepat kerahkan tenaga dalam ke kaki dan hawa sakti
ke kepala. Bersamaan dengan itu tangan kanannya ditarik ke belakang siap melepas satu
pukulan tangan kosong mengandung kekuatan tenaga dalam yang bisa menumbang pohon
menghancurkan batu besar. Liok Ong Cun sebaliknya membentak keras dan kembali lancarkan
serangan pedang.

Walau maklum kekasihnya itu tidak akan mudah dijadikan sasaran pedang sakti di tangan lawan
namun Gondoruwo Patah Hati melompat maju seraya berkata.

“Gunung, biar aku yang melayani bangsat muka tengkorak ini! Aku ingin mencoba ilmu
baruku!”
“Ah kamu Nek. Terserahlah! Tanganmu sudah gatal rupanya. Padahal kalau gatal bagusnya
dipakai mengusap-usap tubuhku saja! Hik…hik!” kata si bocah berambut jabrik bercanda jahil
lalu melompat mundur.

Gondoruwo Patah Hati hadapi lawan bersenjata mustika dengan tangan kosong. Dua tangan
dipentang ke atas.

“Krek…krek…” Sepuluh jari tangan keluarkan suara berkeretak lalu dari ujung-ujung jari
mencuat kuku panjang memancarkan cahaya hitam menggidikkan.

Walau Liok Ong Cun kerenyitkan kening melihat sepuluh jari tangan si nenek namun pemuda ini
sama sekali tidak merasa jerih.

“Nenek muka setan! Kau boleh punya segala macam ilmu iblis! Kau baru tahu rasa kalau sudah
kutabas dua lenganmu!” Liok Ong Cun membentak keras.

Pedang Ceng Coa Kiam menderu keras mengincar ke arah pinggang. Namun setengah jalan
membalik dan membabta ke arah tenggorokan, Gondoruwo Patah Hati gerakkan dua tangan.
Sepuluh larik sinar hitam melesat seolah berubah menjadi potongan-potongan besi.

“Traang…traang!”

Bunga api memercik di udara. Liok Ong Cun berseru kaget. Ceng coa Kiam hampir terlepas dari
genggaman. Melihat kejadian ini si pemuda jadi ciut nyalinya. Masih untung mata pedangnya
tidak gompal. Selain itu dia juga ingat pada Loan Nio Nikouw yang harus dikejarnya.

“Dua mahluk setan! Jangan mengira aku pergi karena takut! Lain hari jika bertemu lagi aku akan
menabas buntung batang leher kalian!”

“Hai! Kau inginkan suling?” Naga Kuning berseru sambil angkat suling perak tinggi-tinggi.

Liok Ong Cun tidak perduli. Dia terus lari memasuki jalan setapak diantara kelebatan semak
belukar. Gondoruwo Patah Hati jentikkan lima jari tangan kanannya.

“Wusss!”

Lima larik sinar merah panas menyambar ke arah Liok Ong Cun.

Tapi si nenek memang tidak ada niat untuk mencelakai pemuda itu. Serangannya hanya
merambas dan menghanguskan semak belukar di samping kanan Liok Ong Cun. Itupun sudah
membuat pemuda ini seperti mau pancarkan air kencing saking kaget dan kabur lintang pukang
sambil memaki panjang pendek.
“Hebat Nek,” Naga Kuning memuji. “Ilmu Kuku Api-mu nyaris sempurna.”

“Apakah kau masih minta diusap?” tanya Gondoruwo Patah Hati sambil pentang sepuluh jari
tangannya yang berkuku panjang hitam.

“Tergantung, bagian mana yang mau kau usap!” jawab Naga Kuning.

“Bocah gatal!” damprat si nenek.

Naga Kuning tertawa cekikikan. Lalu bertanya, “Nek, kau bisa menduga apa sebenarnya yang
terjadi antara dua orang asing tadi?”

“Menurutku mereka adalah sepasang kekasih yang baru saja mengerjakan hal terlarang.

Kelihatannya mereka melakukan waktu masih di goa.” Jawab Gondoruwo Patah Hati.
“Menurutmu bagaimana?” Si nenek balik bertanya.

Naga Kuning usap-usap suling perak di tangan kirinya. Dia menyeringai lalu menjawab. “Yang
aneh bagiku adalah sewaktu kita tak sengaja memergoki mereka di goa yang ada mayat tiga
prajurit Kadipaten. Lelaki muka tengkorak keluar dari goa, berteriak-teriak lalu masuk lagi ke
dalam goa. Dia tidak gila. Aku punya dugaan dia tengah melakukan satu sandiwara keji. Kita
menguntit mereka naik kuda sampai di rumah kayu ini. Ketika si muka tengkorak pergi, yang
perempuan kabur melarikan diri. Nek, apapun yang mereka lakukan aku mengira perbuatan itu
tidak dilakukan atas dasar suka sama suka. Kau menyaksikan sendiri ketika keluar goa pakaian
perempuan muda itu tak karuan rupa, malah ada bagian yang robek. Yang perempuan mungkin
baru sadar dan menyesal telah berbuat keliru sewaktu berada di rumah kayu. Itu sebabnya dia
melarikan diri. Nek, bagaimana kalau sekarang kita masuk ke dalam rumah kayu. Memeriksa…”

Si nenek besarkan mata, senyum-senyum lalu gelengkan kepala.

“Heh, mengapa kau tidak mau? Katanya mau mengusap aku.”

“Yang aku khawatir sampai di dalam rumah bukan aku yang mengusapmu tapi kau yang
mengusap diriku. Hik…hik…hik. Kalau di dalam sana kau punya pikiran ngawur dan aku tak
kuasa menampik, hik…hik…hik.” Si nenek tertawa gelak-gelak.

“Usilnya mulutmu!” kata Naga Kuning sambil menepuk pantat si nenek. Gondoruwo Patah Hati
terpekik lalu mengejar. Naga Kuning melesat ke atas punggung salah satu dari dua ekor kuda
yang sebelumnya dipergunakan oleh Liok Ong Cun dan Loan Nio Nikouw lalu menggebrak kabur
sambil tertawa panjang. Si nenek tidak tinggal diam. Dia segera melompat ke punggung kuda
satunya dan memacu binatang itu ke arah perginya si bocah berambut jabrik.

“Gunung! Awas kau! Aku tidak akan mengusap tubuhmu! Tapi meremas!” teriak si nenek.
Di depan sana terdengar jawaban Naga Kuning. “Wow Nek! Remasanmu pasti mantap asyik!
Aku suka! Hik…hik…hik!”

***

PUNCAK TIMUR Gunung Gede. Sang surya belum lama menampakkan diri di ufuk timur. Hujan
rintik-rintik yang mulai turun tidak mengusik Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat itu kakek sakti
tokoh sepuh rimba persilatan yang dianggap setengah dewa ini duduk bersila di tepi telaga tiga
warna. Saputan angin membuat rambut dan janggut putihnya yang panjang melambai-lambai.

Sejak dua minggu lalu sang Kiai merasa kurang tenteram di tempat kediamannya di gedung
batu pualam yang terletak di dasar telaga. Sekejappun dia tidak bisa memicingkan mata, apalagi
terlelap tidur. Ada hawa aneh menjalari sekujur tubuhnya. Di bagian kepala, ubun-ubun dan
dua pelipis sering berdenyut. Tenggorokan, mulut dan bibir terasa kering. Di sebelah bawah
sepasang kakinya kesemutan seolah hilang rasa. Selain itu sesekali tubuhnya terasa panas
dingin seperti diserang demam. Yang lebih aneh, terkadang dia merasakan ada tekanan keras di
pertengahan dada. Puncaknya terjadi malam tadi selagi dia duduk berzikir. Tiba-tiba bangunan
batu pualam kediamannya bergetar keras. Baru sekali ini hal seperti itu terjadi. Apakah telaga
diguncang gempa? Apakah bumi ini mau kiamat?

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara berkerontangan tiada henti.
Sang Kiai keluar dari dalam kamar tidurnya, terhuyung-huyung melangkah masuk ke sebuah
ruangan di sebelah kamar tidurnya. Di pintu ruangan langkah sang Kiai terhenti. Ada hawa luar
biasa dingin membersit keluar dari dalam ruangan yang agak redup itu. Suara berkerontangan
terdengar semakin keras.

“Pedang Naga Suci Dua Satu Dua…” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan bibir bergetar.
Setengah menggigil orang tua ini melangkah masuk ke dalam ruangan.

Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah meja batu pualam warna biru. Di atas meja ini
terletak satu peti kaca berukuran panjang tiga perempat tombak. Di dalam peti kaca kelihatan
sebilah pedang mengeluarkan cahaya putih dan memancarkan hawa dingin. Pada badan
pedang tertera guratan tiga buah angka. Angka 212. Gagang pedang terbuat dari gading kuning
berbentuk kepala seekor naga betina. Di dalam peti kaca senjata itu tampak bergerak-gerak
tiada henti mengeluarkan suara berkerontangan disertai kepulan asap tipis.

Menyaksikan kejadian itu mulut Kiai Gede Tapa Pamungkas langsung berkomat-kamit. Dua
tangan diulurkan menyentuh peti kaca. Terasa hawa dingin luar biasa seolah dia memegang
batangan es. “Pedang sakti…” sang Kiai berucap perlahan. “Apapun yang terjadi tenangkan
dirimu.
Berlindunglah dibawah Kuasa dan Kasih Tuhan Seru Sekalian Alam.” “Settt!” Tiba-tiba pedang
putih di dalam peti kaca berhenti bergerak. Lalu seperti seekor ular bergulung

hingga menyerupai bentuk ikat pinggang. Namun pada saat yang sama sang Kiai mengalami
satu kejadian hebat. Satu kekuatan tak kelihatan menghantam dadanya. Tubuh sang Kiai
bergoncang hebat. Walau tidak sampai terpental atau rebah namun dada mendenyut sakit dan
nafas menyesak. Ketika selempang kain putih di bagian dada disibakkan, Kiai Gede Tapa
Pamungkas terkejut. Di pertengahan dadanya tampak tanda merah kebiruan seolah dia baru
saja dihantam satu jotosan atau tendangan keras. Kiai Gede Tapa Pamungkas bersandar ke
dinding ruangan, atur jalan darah dan tenaga dalam serta alirkan hawa sakti ke bagian dada
yang cidera. Ketika kakek ini mengusap bibirnya yang kering jari-jarinya menyentuh cairan
hangat. Begitu diperhatikan ternyata cairan itu adalah darah yang keluar dari dalam mulutnya.
Hantaman kekuatan gaib tadi telah membuat Kiai sakti ini terluka di dalam! Orang lain mungkin
akan roboh pingsan, bahkan menemui ajal!

Sang Kiai duduk di lantai. Mata dipejamkan, hati dan pikiran disatukan. Dalam hati dia berkata.
“Ya Tuhan, Engkau Yang Maha Kuasa Maha Mengetahui. Petunjuk apakah yang tengah Kau
berikan padaku? Adakah aku telah berniat salah, atau mungkinkah aku telah bertindak keliru.
Jika aku salah melangkah berbuat dosa mohon ampunan-Mu Ya Allah. Namun tolong tunjukkan
padaku apa arti semua ini.”

Satu malam suntuk Kiai Gede Tapa Pamungkas berdoa dan menunggu. Namun petunjuk Yang
Kuasa tak kunjung datang. Dalam keadaan tubuh tak karuan rasa, letih dan panas dingin,
keesokan paginya orang tua ini memutuskan keluar dari gedung batu pualam, naik ke
permukaan telaga dan duduk di salah satu pinggirannya. Mulai bersamadi mengheningkan cipta
dan rasa.

Sampai saat itu hujan terus turun dan makin lebat. Sesekali kilat menyambar disusul gelegar
suara guntur. Tubuh dan pakaian sang Kiai yang tak basah dan tak tersentuh air hujan itu diam
tak bergerak. Menjelang tengah hari mata yang sejak tadi terpejam tiba-tiba berkedut.
Perlahan-lahan sepasang mata dibuka. Kiai Gede Tapa Pamungkas melihat banyak cahaya biru
muncul di arah timur. Tak selang berapa lama melayang turun lima sosok gadis berwajah cantik.
Luar biasanya mereka mampu berdiri di atas permukaan air telaga seolah berdiri di atas tanah
biasa. Kawasan telaga serta merta menjadi terang benderang oleh cahaya biru.

Gadis yang berdiri p paling depan berpakaian ketat dilapisi manik-manik putih dan merah.
Bagian dada pakaian begitu rendah dan di sebelah samping ada belahan hampir mencapai
pinggul. Rambut hitam tebal digulung di atas kepala. Di sebelah depan ada sebuah mahkota
kecil terbuat dari kerang merah. Gadis luar biasa cantik ini memiliki sepasang mata berwarna
biru, menghias diri dengan kalung, anting serta gelang terbuat dari kerang hijau.

Di kiri kanan gadis bermata biru berdiri masing-masing dua orang gadis yang tak kalah cantik,
mengenakan pakaian ketat hitam dengan belahan rendah pada dada dan belahan tinggi di
sebelah samping. Keempat gadis ini mengangkat tangan kanan mengembang lima jari. Dari
ujung-ujung jari memancar cahaya biru. Cahaya inilah yang membuat keadaan di sekitar telaga
menjadi terang benderang.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas, mohon maafmu kalau kehadiran saya dan para pengiring
mengganggu ketenteraman Kiai.” Si cantik bermata biru menyapa. Belum pernah sang Kiai
mendengar suara perempuan sebening dan selembut suara si mata biru ini.

“Tamu terhormat dari manakah yang datang menyambangi diriku di tempat terpencil dan pada
waktu cuaca buruk begini rupa?” Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya. Matanya agak risih
melihat dandanan lima gadis cantik. Maka diapun berkata. “Jika kalian memiliki pakaian lain
harap mau mengganti. Cuaca kurang baik akhir-akhir ini, udara dingin, hujan dan angin bertiup
kencang. Aku khawatir kalian nanti sakit.”

Gadis bermata biru tersenyum. Dia berpaling pada empat pengiringnya. Liama gadis ini
kemudian usapkan tangan kiri masing-masing dari atas ke bawah. Saat itu juga pakaian yang
mereka kenakan berubah menjadi jubah berlengan panjang. Menutup sempurna aurat mereka,
bahkan kakipun kini tidak kelihatan.

Kiai Gede Tapa Pamungkas lepaskan nafas lega. “Terima kasih. Sekarang kalian boleh
menerangkan siapa kalian dan ada maksud baik apa datang kesini.”

“Saya dan kawan-kawan diutus oleh penguasa dan pelindung laut selatan.”

“Ah, jadi kalian ini adalah orang-orangnya Nyi Roro Kidul?”

“Betul Kiai…”

Mendengar itu sang Kiai segera hendak bergerak bangkit untuk memberi penghormatan tapi
cepat dicegah oleh si mata biru.

“Kiai, tak usah memakai peradatan segala. Kami tahu Kiai kurang sehat…”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.

“Aku rasa-rasa pernah mengenalmu. Sering mendengar keberadaanmu dalam rimba persilatan.
Waktu penyerbuan ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, bukankah kau ada di sana? Tapi
untuk tidak salah menduga mohon diberi tahu dengan siapa aku berhadapan saat ini.”

Si mata biru sebenarnya segan memberi tahu siapa dirinya. Namun khawatir dianggap kurang
menghormati akhirnya dia menerangkan. “Kiai, saya ini Ratu Duyung…”

Kiai Gede Tapa Pamungkas ternganga tercengang namun sesaat kemudian dia tertawa lebar.
Kepala digeleng-geleng lalu diangguk-anggukkan. Dalam hati orang tua ini berkata. “Jadi inilah
gadis paling cocok menjadi pasangan hidup cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng…”

Si mata biru tatap wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Ah, apakah dia mendengar suara hatiku tadi?” Membatin sang Kiai. Lalu dia berucap. “Ratu
Duyung, ceritakan maksud kedatanganmu dan para pengiring.”

“Kiai, kami tidak lama. Nyi Roro Kidul minta kami memberi tahu bahwa sesuatu yang hebat
akan terjadi dalam rimba persilatan tanah Jawa jika tidak segera dilakukan pencegahan.”

“Mohon aku dijelaskan hal apakah itu?”

Di utara kilat menyambar disusul gelegar guntur yang membuat air telaga bergoyang-goyang
dan tanah di tepian telaga bergetar.

“Saat ini di tanah Jawa telah kedatangan seorang gadis cantik dari negeri Tiongkok. Menurut
kabar dia adalah seorang paderi. Dia datang membekal sebilah pedang mustika bernama Ang
Liong Kiam atau Pedang Naga merah. Menurut penglihatan Nyi Roro Kidul konon pedang sakti
itu adalah hasil perkawinan maya antara Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Pedang Naga Suci
Dua Satu Dua. Bila Pedang Naga Merah dipergunakan untuk menyerang pemilik Kapak Naga
Geni Dua Satu Dua atau Pedang Naga Suci Dua Satu Dua, keduanya akan mendapat celaka yang
bisa merenggut jiwa. Begitu juga jika antara Kapak Naga Geni dan Pedang Naga Suci sampai
bersilang sengketa. Selain itu kehadiran Pedang Naga Merah akan menimbulkan banyak
bencana terutama bagi yang memilikinya, kecuali senjata itu disucikan lebih dulu oleh Kiai
selaku sepuhnya…”

Kejut Kiai Gede Tapa Pamungkas bukan alang kepalang. Namun kakek sakti ini masih bisa
menguasai diri walau wajahnya jelas tampak berubah. Dia lantas ingat akan apa yang terjadi
dengan Pedang Naga Suci 212 di dalam peti kaca.

“Tuhan Maha Besar. Tuhan berbuat sekehendak-Nya……” Kiai Gede Tapa Pamungkas berucap
perlahan lalu menarik nafas panjang berulang kali.

“Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas jerih payahmu datang ke sini untuk
menyampaikan pesan. Sampaikan salam hormat dan terima kasihku pada Nyi Roro Kidul.
Pesannya akan sangat aku perhatikan.”

“Salam Kiai akan kami sampaikan. Sekarang saya dan para pengiring mohon diri.”

“Ratu Duyung, apakah kau punya kabar tentang cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng?” Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.

Ditanya mengenai sang pendekar Ratu Duyung tampak agak sedikit rikuh.
“Sejak peristiwa penyerbuan ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tempo hari, saya tidak
pernah bertemu dengan dia, Kiai.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. “Aku mendengar kabar bahwa orang berjuluk
Pangeran Matahari telah menemui ajal beberapa waktu lalu. Benarkah? Siapa yang
membunuhnya? Bagaimana kejadiannya?”

“Saya juga hanya mendengar kabar Kiai. Tidak menyaksikan sendiri. Pangeran Matahari tewas
di puncak Gunung Merapi dihakimi para tokoh rimba persilatan. Saya dengar dia menemui ajal
secara mengerikan sekali. Saya rasa hal itu sangat pantas menjadi bagiannya. Ah, cukup lama
saya sudah mengganggu Kiai. Saya dan para pengiring mohon diri.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas bangun dari duduk bersilanya.

“Ratu Duyung, jika kau berkesempatan bertemu dengan Wiro, datanglah berdua ke sini…”

“Ada apakah Kiai?” tanya Ratu Duyung dengan dada berdebar.

Sang Kiai tersenyum. “Aku hanya ingin ngobrol,” jawab orang tua itu.

Ratu Duyung tak menjawab, hanya menganggukkan kepala beberapa kali, lalu melangkah
mundur sambil rundukkan kepala memberi penghormatan.

Tak lama setelah Ratu Duyung pergi, Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke langit. Saat itu
hujan telah reda. Sambil pejamkan mata orang tua ini menghitung hari. “Hari ini Rabu Pon
menurut hitungan Jawa. Lusa hari Kamis Wage, berarti malam Jum’at Kliwon, waktu yang tepat
bagiku menemui kedua mahluk itu. Perkawinan maya…” Kiai Gede Tapa Pamungkas tarik nafas
dalam dan geleng-gelengkan kepala.

“Jika semua berlangsung sesuai kewajaran seharusnya yang muncul dan terlahir adalah sebilah
keris sakti mandraguna. Bukan sebilah pedang. Lalu bagaimana pedang itu bisa berada di
tangan seorang paderi asing dari negeri Cina?” Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang
berkeliling lalu menatap ke langit. Hujan telah berhenti. Langit tampak biru cerah. Perlahan-
lahan orang tua ini langkahkan kaki memasuki telaga, melangkah di permukaan air. Tepat di
pertengahan telaga tubuhnya meluncur ke bawah dan lenyap dari pemandangan.

***

MALAM Jum’at Kliwon. Kepulan asap berbau belerang tercium santar dan terasa hangat keluar
dari dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Saat itu menjelang tengah malam. Udara dingin
luar biasa. Sepotong batang kecil pohon cemara menancap di tanah kawah yang miring. Di
ujungnya menyala api yang menjadi penerangan di tempat itu. Di sebelah kanan batang cemara
yang menyala ada satu pendupaan menebar harumnya bau kemenyan, menyekat bau belerang.

Di atas sebuah batu berwarna kekuningan berdiri sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tegak
dengan dua tangan dirangkapkan di atas dada. Sesekali tangan kanannya diulurkan
menjatuhkan potongan-potongan kemenyan ke dalam pendupaan. Janggut dan pakaiannya
melambai-lambai ditiup angin. Sepasang mata menatap ke arah barat, di mana pada arah yang
tidak kelihatan menjulang Gunung Burangrang. Pada saatsaat tertentu dia alihkan pandangan
ke arah timur, di jurus beradanya Gunung Bukit Tunggul.

Malam bergulir perlahan tetapi pasti. Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan gugusan bintang di
langit. Dia tahu saat itu sudah melewati tengah malam. Orang tua sakti yang selalu tenang
dalam menghadapi segala kejadian kali ini memperlihatkan ada bayangan rasa cemas di
wajahnya yang klimis, terlebih ketika angin bertiup kencang dan hujan rintik mulai turun. Sang
Kiai perhatikan nyala api di ujung potongan kayu cemara. Kalau api itu sampai padam, maka itu
adalah satu pertanda bahwa usaha yang dilakukannya saat itu akan menemui kegagalan. Dia
harus menunggu dua puluh satu hari. Sementara itu dikhawatirkan bencana besar dalam rimba
persilatan akan menjadi kenyataan sebagaimana yang disampaikan oleh Ratu Duyung selaku
utusan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan.

“Tuhan, hanya kepada Engkau aku berharap. Hanya kepada Engkau aku minta tolong,” Kiai
Gede Tapa Pamungkas mengucap dalam hati.

Tiba-tiba di sebelah timur, di arah puncak Gunung Bukit Tunggul kelihatan cahaya putih berkilau
tiada henti. Hujan rintik-rintik serta merta sirna dan tiupan angin yang tadi begitu kencang
lenyap. Kiai Gede Tapa Pamungkas tampungkan dua tangan ke atas sambil hati mengucapkan
perasaan bersyukur.

Hanya sesaat kemudian setelah terjadinya kilatan cahaya putih di sebelah timur, di arah barat
dari jurusan Gunung Burangrang berkiblat pula cahaya putih agak kebiruan.

“Naga Geni, Naga Suci aku melihat cahaya kalian. Aku sudah menunggu cukup lama. Harap
kalian segera datang di hadapanku. Aku ingin menuntaskan semua persoalan malam ini juga.”

Baru saja Kiai Gede Tapa Pamungkas mengeluarkan ucapan tiba-tiba dua cahaya di arah barat
dan timur melesat laksana kilat ke jurusan kawah Gunung Tangkuban Perahu. Dua cahaya itu
kemudian muncul di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam bentuk samar dua ekor ular
besar.

“Perlihatkan ujud nyata kalian!” Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.

“Dess!”
Sosok samar di sebelah kanan meletup buyar lalu menyatu kembali dan membentuk ujud
seekor naga jantan berwarna putih, yang tadi disebut sebagai Naga Geni. Di atas keningnya
menempel sebuah batu permata besar berwarna merah. Binatang ini kedipkan matanya yang
berwarna merah tiga kali, gelungkan tubuh bagian bawah sementara tubuh bagian atas tegak
agak merunduk menatap ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Dess!”

Hal yang sama terjadi dengan sosok samar di sebelah kiri. Setelah meletup dan buyar lalu
membentuk ujud seekor naga betina, memiliki permata besar berwarna hijau di atas kening.
Sepasang matanya yang hijau dikedipkan tiga kali lalu gelungkan ekor, sementara tubuh
sebelah atas tegak dengan kepala agak merunduk. Inilah naga betina yang dipanggil dengan
nama Naga Suci.

Setelah tatap dua mahluk dahsyat yang dalam keadaan tegak bergelung begitu rupa tingginya
hampir satu tombak di atas kepala Kiai Gede Tapa Pamungkas, si orang tua berkata.

“Naga Geni, Naga Suci, terima kasih kalian telah bersedia datang memenuhi panggilanku.
Sebelum kita bicara harap kalian tunjukkan ujud asli kalian.”

Dari masing-masing kepala sepasang naga keluar kepulan asap tipis yang menebar bau harum
mengalahkan santarnya bau kemenyan pendupaan. Lalu ada tabir merah dan putih kebiruan
membungkus Naga Geni dan Naga Suci. Sewaktu tabir itu perlahan sirna, ujud dua ekor naga
berubah menjadi ujud seorang pemuda tampan dan seorang gadis berwajah cantik jelita. Si
pemuda mengenakan destar merah, rambut menjulai panjang sebahu, bertelanjang dada
berbulu, memakai celana panjang hitam berkilat serta sabuk besar terbuat dari kain merah
berkilat melingkar di pinggang. Di keningnya menempel sebuah batu permata sebesar ujung jari
kelingking berwarna merah berkilau. Sang gadis jelita mengenakan pakaian seperti kemben. Di
kening menempel sebuah permata juga berwarna biru. Sepasang muda-mudi ini menyalami
sang Kiai dan mencium tangan orang tua itu.

“Puluhan tahun telah berlalu. Kalian ternyata masih tetap segagah dan secantik pertama kali
aku melihat kalian. Ini satu berkah yang harus kalian syukuri pada Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Mendengar ucapan, sang pemuda Naga Geni dan si gadis Naga Suci rundukkan tubuh namun
tak mengeluarkan ucapan apa-apa. Setelah menatap sepasang muda-mudi itu sejurus, Kiai
Gede Tapa Pamungkas berkata.

“Naga Geni, Naga Suci, ada satu kenyataan terjadi di rimba persilatan. Seorang paderi dari
negeri jauh datang ke tanah Jawa membekal sebilah pedang bernama Ang Liong Kiam atau
Pedang Naga Merah. Nyi Roro Kidul penguasa samudera selatan, melalui seorang utusannya
memberi tahu bahwa pedang itu adalah hasil hubungan perkawinan diri kalian berdua. Aku
tidak akan melanjutkan ucapanku sebelum aku mendengar terlebih dahulu apa pendapat kalian
berdua.”
Naga Geni memandang pada Naga Suci lalu berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Kiai, apa yang Kiai dengar, apa yang disampaikan utusan Nyi Roro Kidul memang benar
adanya. Kami telah menempuh jalan keliru dalam penantian perkawinan sakral. Alam penantian
yang telah berlangsung puluhan tahun itu kami akhirnya tersesat dalam alam cinta kasih yang
keliru. Kami berbuat diluar kepatutan, kami melakukan dosa hingga akhirnya Naga Suci
melahirkan seorang anak dalam bentuk sebilah pedang. Untuk semua yang telah kami lakukan
itu kami mohon maaf kepadamu dan mohon ampun pada Tuhan. Kami bersedia untuk
menerima hukuman.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tatap wajah Naga Geni sesaat lalu berpaling pada Naga Suci.

“Naga Suci, apakah pengakuan Naga Geni itu menjadi pengakuanmu juga?”

“Benar Kiai. Saya mengaku salah. Saya rela menerima hukuman. Cuma ada satu permintaan
saya. Maksud saya permintaan kami berdua.”

“Apa permintaan kalian?”

“Hukuman apapun yang akan dijatuhkan jangan sampai kami dipisahkan. Kalaupun kami akan
dihukum mati jasad kami berdua dalam satu liang kubur. Saat ini kami sudah sangat menderita,
sengsara. Karena sejak Pedang Naga Merah lahir, kami hidup terpisah, Naga Geni di Gunung
Bukit Tunggul. Saya di Gunung Burangrang. Selain itu kami tak pernah bertemu dengan putera
kami walau ujudnya hanya sebilah pedang.” Ucapan Naga Suci tersendat-sendat dan sepasang
matanya berkaca-kaca.

Kiai Gede Tapa Pamungkas terdiam, untuk beberapa lama tak bisa berkata apa-apa karena
haru. Setelah menarik nafas panjang dia baru bersuara.

“Aku memanggil kalian bukan untuk menghukum. Tapi mencari jalan bagaimana
menyelamatkan dunia persilatan dari bencana yang tak pernah terduga.” Sang Kiai lalu sibakkan
kain putih pakaiannya di bagian dada. “Tanda merah ini adalah hantaman dahsyat kekuatan
gaib yang keluar dari Pedang Naga merah, Pedang Naga Suci atau Kapak Naga Geni. Pedang
yang terlahir dari hasil hubungan kalian akan menimbulkan bencana bagi siapa saja yang
memilikinya serta orang-orang sekitarnya. Aku mengharap kalian berdua berusaha mencari
pedang itu, mengambilnya dan menyimpannya di satu tempat yang aman. Kalian harus
melakukan itu karena pedang itu adalah anak kalian berdua.”

“Kiai, kami memang rindu pada anak kami. Namun hal itu tidak mungkin kami lakukan. Karena
usia pedang belum mencapai seratus tahun.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas berpaling pada Naga Geni yang barusan bicara. “Maksudmu?”
“Kiai, seratus tahun dalam ukuran usia pedang sama dengan dua puluh tahun ukuran alam di
sini. Jika ukuran tahun itu belum tercapai kami akan hangus dan menemui ajal pada saat
bersentuhan dengan pedang. Kami tidak takut akan kematian karena menanggung akibat
perbuatan kami. Namun itu tidak menolong karena sekalipun kami menemui ajal, Pedang Naga
Merah akan tetap ada….”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tercengang dan geleng-gelengkan kepala. “Rimba persilatan harus
diselamatkan. Banyak korban yang bakal jatuh. Apa yang harus aku lakukan?”

“Kiai, satu-satunya jalan untuk mengamankan pedang itu adalah dengan jalan menyatukannya
dengan Kapak Naga Geni serta Pedang Naga Suci selama tujuh hari tujuh malam. Dan selama
waktu itu kami harus mendampingi tanpa boleh tidur barang sekejappun. Kita perlu seseorang
untuk mendapatkan Pedang Naga Merah.”

“Kalau aku bisa mendapatkan pedang itu, apakah kalian berdua bersedia menjadi
pendamping?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.

“Kami bersedia melakukan apa saja sesuai dengan kemampuan demi menebus dosa kesalahan
kami, “ jawab Naga Geni.

“Benar Kiai, kami sangat sayang pada Putera Langit. Kami bersedia menerima bencana asal dia
tidak terganggu apalagi sampai menderita. Kami juga sangat berharap dan melakukan segala
daya agar dia bisa berada di tangan kami.”

“Tunggu dulu. Siapa yang kau maksudkan dengan Putera Langit?” tanya Kiai Gede Tapa
Pamungkas.

“Anak kami itu Kiai. Kami memberi nama Putera Langit pada pedang itu.” Menerangkan Naga
Suci. “Ah….” Kiai Gede Tapa Pamungkas terpana sesaat lalu tersenyum. Sambil mengusap
janggut putihnya dia berkata. “Nama bagus. Sangat gagah kedengarannya.”

“Kiai,” ucap Naga Suci. “Sebagai orang tuanya kami sudah sangat rindu untuk dapat bertemu
lagi dengan anak kami itu. Sampai Kiai memanggil kami saat ini, kami baru tahu kalau Putera
Langit sudah berada lagi di tanah Jawa ini. Memang sejak beberapa minggu belakangan ini saya
merasa tanda-tanda tertentu. Baru tahu arti tanda-tanda itu setelah bertemu Kiai.”

“Pedang itu konon berada di tangan seorang paderi perempuan dari Tiongkok. Adalah aneh,
senjata sakti mandraguna yang adalah putera kalian itu bisa berada di tangan orang asing di
negeri jauh.”

“Kiai, ini menyangkut satu kisah lama. Semua terjadi karena kelalaian kami. Selain itu kami
selalu dihantui rasa takut karena telah berbuat salah. Biar saya menceritakan pada Kiai,” kata
Naga Geni pula.
“Sewaktu pedang baru berusia beberapa hari dan panjangnya hanya setengah jengkal, terjadi
banjir bandang. Pedang tercecer di satu tempat ketika saya tengah berusaha menyelamatkan
Naga Suci. Pedang kemudian ditemukan oleh seorang bocah bernama Bayumurti yang tinggal di
Semarang. Anak ini menganggap pedang kecil itu sebagai barang mainan. Pedang kemudian
diberikan Baayumurti sebagai tanda mata pada seorang gadis Cina teman sepermainannya yang
kemudian pulang bersama orang tuanya ke Tiongkok. Ketika kami mengetahui hal itu, gadis
Cina itu telah berlayar ke Tiongkok. Kejadiannya lebih dari dua belas tahun silam. Saya yakin
paderi yang muncul saat ini membawa Pedang Naga Merah adalah gadis Cina dulu itu.”

Setelah terdiam dan merenung sejenak Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya berkata. “Kisah luar
biasa. Benar-benar luar biasa. Naga Geni, Naga Suci, kalian sekarang boleh pergi. Bilamana
Pedang Naga Merah sudah berada ditanganku, aku akan memanggil kalian kembali. Di tempat
ini.”

“Kiai, kami mohon maafmu dan kami mohon diri.”

“Tunggu dulu…” Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.

“Ada apa Kiai?” tanya Naga Geni.

Bertahun-tahun kalian memisahkan diri. Satu tinggal di timur, satu di barat. Untuk apa
menyiksa diri? Kalian boleh memilih tinggal bersama di Gunung Burangrang atau di Gunung
Bukit Tunggul.”

Naga Geni dan Naga Suci saling berpandangan. Mereka hampir tak percaya mendengar apa
yang dikatakan si orang tua. Sebelumnya mereka menyangka akan mendapat dampratan
bahkan hukuman. Ternyata kini sang Kiai ingin mempersatukan mereka kembali.

“Kiai,” kata Naga Geni pula. “Betulkah kata Kiai itu? Kami boleh tinggal bersama?” Suaranya
tersendat karena haru sementara Naga Suci usap air mata yang menggelinding di pipinya.

“Ya, aku mengizinkan. Asal saja kalian bisa menjaga diri. Jangan sampai lahir lagi pedang ini
pedang itu atau Putera Langit yang baru.” “Kiai, saya mengucapkan banyak terima kasih,” kata
Naga Geni.

“Saya juga,” kata Naga Suci pula. ”Kiai telah memberikan kepercayaan. Mudah-mudahan kami
tidak akan berbuat keliru lagi.”

“Selanjutnya kami akan merundingkan dimana kami berdua akan tinggal. Kami akan memberi
tahu pada Kiai. Sekarang kami mohon diri.” Naga Geni menyambung ucapan Naga Suci.

Naga Geni dan Naga Suci kemudian menyalami dan mencium tangan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Perlahan-lahan ujud sepasang muda-mudi gagah dan cantik ini berubah menjadi
naga lalu melesat ke udara dan di satu arah lenyap dari pemandangan.
Walau saat itu udara dingin luar biasa namun wajah dan tubuh serta pakaian sang Kiai basah
oleh keringat. Untuk beberapa lamanya dia kembali duduk bersila di tepi telaga. Tubuhnya yang
tadi terasa letih kini agak nyaman. Hawa panas dingin mulai berkurang. Orang tua sakti ini ingat
pada peristiwa puluhan tahun silam ketika dia pertama kali menerima Kapak Naga Geni 212 dan
Pedang Naga Suci 212 dari kakek gurunya. Sang kakek menerangkan, suatu ketika kelak, dari
perkawinan antara Kapak dan Pedang akan lahir sebilah keris sakti mandraguna. Kenapa kini
yang muncul sebilah pedang dan membawa malapetaka pula? Karena senjata itu dilahirkan dari
perkawinan maya yang keliru?

Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. “Aku harus mencari seseorang untuk mendapatkan Pedang
Naga Merah dari tangan paderi asing itu. Mungkin aku harus menemui Sinto Gendeng….” Sang
Kiai tarik nafas panjang. Kemudian dia keluarkan satu siulan keras. Lalu mulut itu berucap.

“Kaki Putih, aku membutuhkan dirimu…”

Saat itu juga di kejauhan terdengar suara ringkikan keras. Kurang dari sekejapan mata
muncullah seekor kuda hitam. Hebatnya, walau tubuh hitam namun keempat kakinya, mulai
dari lutut ke bawah berwarna putih. Kuda tinggi besar ini rundukkan kepala lalu menjilat tangan
Kiai Gede Tapa Pamungkas kiri kanan. Setelah mengusap tengkuk kuda bernama Kaki Putih ini,
sang Kiai segera melompat naik ke punggungnya.

“Antar aku ke puncak utara. Menemui nenek bernama Sinto Gendeng yang dulu pernah kau
buat jatuh karena dia mengencingi punggungmu!”

Kuda hitam berkaki putih meringkik panjang seolah tertawa mendengar kata-kata sang Kiai.

***

DUA NENEK kembar rambut kelabu bermata merah untuk beberapa lama duduk berdiam diri
sambil pandangi Pendekar 212 Wiro Sableng yang tergeletak di lantai berdebu dalam keadaan
tidak sadar diri. Saat itu menjelang pagi dan mereka berada di dalam sebuah rumah tua
setengah runtuh yang telah lama ditinggal penghuninya.

“Ha-hu ha-hu.” Nenek sebelah kanan keluarkan suara, tangan kiri menunjuk ke dada Wiro,
tangan kanan ditepukkan ke dada sendiri lalu dilambaikan ke arah luar bangunan. Dengan
isyarat ini dia memberi tahu saudara kembarnya bahwa Wiro menderita cidera di dada, dia
akan memeriksa dan mengobati si pemuda. Untuk itu dia minta saudaranya itu keluar dulu dari
dalam rumah.

Nenek satunya pencongkan mulut. Balas memberi isyarat yang mengatakan bahwa dia yang
akan memeriksa Wiro dan saudaranya itu saja yang keluar dari situ. Yang diberi isyarat geleng-
geleng kepala. Dua nenek sama-sama unjukkan tampang cemberut. Akhirnya melalui gerak
isyarat keduanya menyetujui bahwa mereka berdua akan bersama-sama memeriksa dan
mengobati Wiro.

Maka nenek sebelah kiri mulai membuka pakaian putih sang pendekar. Temannya membantu.
Begitu baju terbuka kelihatan dada yang bidang kekar. Dua mata si nenek sama-sama bersinar,
mulut merekah senyum, dua tangan sama-sama mengusap. Namun ketika melihat ada tanda
merah kebiruan di pertengahan dada keduanya sama-sama keluarkan suara tertahan.

“Ha-hu ha-hu!”

Nenek yang satu keluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubah kuning. Kesempatan ini
dipergunakan oleh saudara kembarnya untuk menyeka lelehan darah setengah mengering di
sudut bibir Wiro sambil pergunakan kesempatan membelai pipi sang pendekar. Si nenek
satunya langsung saja menepuk tangan saudara kembarnya itu. Yang ditepuk hanya mesem-
mesem. Dari dalam kantong kain nenek pertama tadi mengambil dua butir obat berwarna
putih. Obat dimasukkan ke dalam mulut Wiro lalu dengan dua jari tangan kiri dia menotok
tenggorokan pemuda itu. Saudaranya ikut menotok urat besar di beberapa bagian tubuh Wiro
yaitu pangkal leher, dada dan dekat ulu hati.

“Ha-hu ha-hu!” Nenek sebelah kanan menunjuk telapak kaki Wiro.

Keduanya kemudian sama-sama mengangkat kaki Wiro kiri kanan lalu telapak kaki, di bagian
tumitditekan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. “Ha-hu
ha-hu!” Dua telapak kaki keluarkan kepulan asap merah. Di saat yang sama dua kaki Wiro
melejang keras hingga dua nenek kembar terjengakang. Walau kaget namun keduanya
unjukkan wajah gembira. Darah mengucur kental di sudut mulut Pendekar 212. Perlahan-lahan
kesadarannya muncul. Wiro menggeliat sambil keluarkan suara mengerang lalu berusaha
bangun. Dua nenek membantu dan menyandarkannya ke dinding rumah.

“Ha-hu ha-hu!”

Wiro tatap dua nenek kembar di depannya lalu tersenyum. Dua nenek kembar bersorak
gembira.

“Ha-hu ha-hu!”

Dari balik jubah dua nenek keluarkan secarik kain lalu berebutan menyeka lelehan darah di
mulut dan dagu sang pendekar.

Wiro tampak kaget dan sadar kalau dirinya terluka di dalam. Saat itu baru dia merasakan rasa
sakit di dadanya. Ketika diperhatikan, dia melihat ada tanda merah kebiruan dipertengahan
dada.
“Siapa yang menghantamku. Aku terluka di dalam. Bagaimana kejadiannya?” Ingatan murid
Sinto Gendenggini belum sepenuhnya pulih.

Dua nenek sama-sama memberi isyarat dengan gerakan tangan sambil keluarkan suara ha-hu
ha-hu coba memberi keterangan. Namun melihat semua gerak isyarat itu Wiro malah jadi
bingung. Dia coba mengingat-ingat apa yang terjadi.

“Aku berada di tembok timur Kadipaten Losari….” Wiro berucap perlahan.

“Ha-hu ha-hu!” Dua nenek angguk-anggukkan kepala. Wiro melintangkan jari telunjuk di atas
bibir. Dua nenek mesem-mesem.

“Ada prajurit yang dibunuh. Namanya Jumena… Aku dituduh sebagai pembunuh. Aku diserang.
Lalu muncul Paderi Cina itu..”

“Ha-hu ha-hu!” Dua nenek unjukkan wajah marah. Tangan kanan digerak-gerakkan seolah
memegang senjata tajam.

“Nionio Nikouw. Dia menyerangku dengan pedang memancarkan cahaya merah. Aku terpental
roboh. Sebelum pingsan aku melihat paderi itu juga tergeletak di tanah…”

“Ha-hu ha-hu!” Dua nenek angkat tangan masing-masing, membuat gerakan menimang-nimang
lalu menunjuk ke lantai rumah.

“Ya…ya. Aku tahu maksud kalian. Kalian menggotongku. Lalu membawa aku ke sini. Lalu
mengobatiku. Kalian pasti meraba-raba tubuhku…”

Dua nenek tertawa cekikikan.

“Terima kasih. Makin banyak hutang budi dan nyawaku pada kalian….”

“Ha-hu ha-hu,” dua nenek berseru sambil goyang-goyangkan tangan.

“Kalian bisa saja minta aku tidak memikirkan hal itu. Yang aku pikirkan justru bagaimana cara
membalas semua hutang besar ini.”

Dua nenek tiba-tiba ulurkan wajah sambil salah satu tangan menepuk-nepuk pipi masing-
masing.

Wiro tertawa lebar. “Begitu? Jadi dengan mencium pipi kalian, semua hutang piutang kalian
aggap impas lunas? Geblek!”

“Ha-hu ha-hu.”
Wiro garuk-garuk kepala. “Baiklah, aku akan mencium kalian sebagai tanda terima kasih. Tapi
bagiku tetap saja aku punya hutang budi dan nyawa pada kalian. Mungkin baru bisa dianggap
impas kalau aku berhasil mencari tahu siapa pembunuh kakak kembar kalian Eyang Sepuh
Kembar Tilu.”

Dua nenek tidak menyahuti. Masih tetap ulurkan wajah. Wiro tersenyum. Pertama sekali
diciumnya nenek sebelah kanan. Lalu beralih mencium nenek sebelah kiri.

“Ha-hu ha-hu!”

Ketika menarik kepalanya Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Wajah buruk dua nenek itu
telah berubah menjadi wajah cantik dua perempuan muda berkulit putih. Rambut yang kelabu
tampak hitam. Mata yang merah juga berubah hitam. Hanya pakaian mereka yang tidak
berubah yaitu tetap jubah kuning. Selain itu tubuh serta pakaian dua perempuan jelita ini
menebar bau harum mewangi.

Murid Sinto Gendeng batuk-batuk, garuk-garuk kepala. Dua nenek yang kini berujud dua
perempuan muda cantik masih tak bergerak. Kepala masih terulur.

“Heh, mau dicium lagi?” tanya Wiro.

““Ha-hu ha-hu!” Dua perempuan muda menyahuti sambil anggukkan kepala berulang kali.

Wiro peluk keduanya, lalu menciumi berganti-ganti berulang kali. Dua perempuan itu sesekali
membalas ciuman Wiro.

“Sudah…sudah!” Wiro akhirnya lepaskan rangkulan serta hentikan ciuman. Dua perempuan
muda tersipu-sipu. “Baiknya kalian kembali ke ujud semula. Nanti aku bisa pusing, kalian jadi
pening lalu nanti bisa-bisa ada yang bunting!”

Wiro tertawa gelak-gelak. Dua perempuan muda cekikikan sambil tangan mereka menjalar
mencubiti paha sang pendekar. Perlahan-lahan ujud mereka kembali ke bentuk semula, yakni
dua nenek berwajah seram, rambut kelabu dan bermata merah.

“Nah, begitu lebih baik. Jalan pikiranku jadi tidak terganggu. Ingat, walau sudah kucium tapi aku
tetap punya hutang pada kalian.”

“Ha-hu ha-hu!”

Wiro menghela nafas panjang lalu berdiri. Dua nenek ikutan berdiri. Wiro memandang keluar
lewat dinding rumah tua yang sudah ambruk. Ingatannya kembali pada apa yang sebelumnya
dialami.
“Jumena, prajurit itu. Kasihan dia tewas dibunuh. Aku yakin pembunuhnya adalah orang tua
bermuka merah yang menunggang kuda. Tapi, siapa dia? Mengapa membunuh prajurit tak
berdosa?”

“Ha-hu ha-hu!”

“Eh, kalian melihat penunggang kuda itu?”

Dua nenek anggukkan kepala.

“Betul dia yang membunuh prajurit Kadipaten bernama Jumena?” Dua nenek kembali
mengangguk.

“Lantas mengapa kalian tidak mencegah?”

Dua nenek peragakan gaya orang menunggang kuda, lalu tangan diletakkan di kening,
menunjuknunjuk ke atas, kemudian memegang punggung. Wiro geleng-geleng kepala. Sulit dia
mengerti apa yang tengah diterangkan dua nenek itu. Nenek di samping kiri kemudian
berjongkok. Dengan jari tangannya dia membuat gambar di lantai berdebu. Ternyata gambar
sehelai daun. Lalu nenek ini tempelkan tangan kanan di kening sambil tangan kiri menunjuk ke
gambar daun.

Wiro mengerenyit, menggaruk kepala.

“Daun…daun di kening…”

“Ha-hu ha-hu!”

Wiro menggaruk lagi. Dua nenek kembali menunjuk ke atas lalu dua tangan diturunkan ke
bawah, menempel ke badan dan mata dipejamkan.

“Orang mati,” ucap Wiro.

Dua nenek mengangguk, “Ha-hu ha-hu!”

“Aku mengerti! Daun menempel di kening orang mati. Siapa yang mati? Tunggu… aku ingat.
Saudara kembar kalian. Eyang Sepuh Kembar Tilu waktu menemui ajal ada daun mengkudu di
keningnya.”

“Ha-hu ha-hu!” Dua nenek peragakan lagi orang menunggang kuda, menunjuk ke gambar daun
lalu menepuk punggung.

“Orang naik kuda. Di punggung… Kenapa punggungnya?”


Dua nenek menunjuk lagi ke gambar daun di lantai rumah.

“Hemm. … Orang berkuda ada daun di punggungnya…”

“Ha-hu ha-hu!” Dua nenek anggukkan kepala berulang kali.

“Daun….daun apa? Daun mengkudu?”

Dua nenek bersorak, acungkan jempol lalu mengangguk-angguk.

Wiro garuk-garuk kepala. Dia coba merangkai semua keterangan dua nenek itu. “Ada
penunggang kuda. Yang aku lihat orangnya kakek muka merah. Membunuh prajurit bernama
Jumena. Kalian berdua melihat tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena orang berkuda
membawa daun pantangan, daun mengkudu di punggungnya. Jika kalian sampai tersentuh
daun itu bisa celaka menemui ajal seperti Eyang Sepuh Kembar Tilu. Benar begitu?”

Dua nenek mengangguk. “Ha-hu ha-hu.”

“Ini luar biasa,” kata Wiro pula. “Waktu ada ledakan dan waktu prajurit Jumena dibunuh, kalian
berdua belum menampakkan diri. Betul?”

Dua nenek mengangguk.

“Berarti kasat mata kalian berdua tidak kelihatan. Tapi kakek penunggang kuda itu tanpa
melihat dia mengetahui kehadiran kalian. Itu sebabnya dia berjaga diri dengan membawa daun
mengkudu, ditaruh di punggung. Jika dia tahu daun itu adalah daun pantangan bagi kalian,
berarti kemungkinan dialah orang yang membunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu!”

“Ha-hu ha-hu!” Dua nenek keluarkan suara keras dan unjukkan wajah seram geram.

“Eyang Sepuh Kembar Tilu dibunuh karena ada sangkut paut dengan dadu setan. Jumena
dibunuh karena dia tahu satu rahasia besar. Aku rasa kematian kedua orang ini ada
kaitannya…” Wiro melangkah mondar-mandir. Waktu hentikan langkah dia ajukan pertanyaan.
“Paderi Cina itu, kalau aku tidak salah ingat, waktu dia menyerangku denganpedang merah, dia
terjungkal roboh lebih dulu. Kalian tahu apa yang kemudian terjadi dengan dirinya?”

Nenek kembar di sebelah kanan membuat peragaan orang digotong dan dilarikan. Nenek
satunya membuat gambar tengkorak di lantai berdebu.

“Jadi ada orang yang menolong dan melarikannya. Seorang bermuka tengkorak.”

“Ha-hu ha-hu!”
“Pasti pemuda Cina bernama Liok Ong Cun itu. Kalian pernah melihatnya di telaga…” Wiro
mengusap dadanya yang sesekali terasa sakit. Tiba-tiba saja dia teringat pada Purnama. Si jelita
dari

Latanahsilam itu. Hatinya membatin. “Dalam keadaan genting biasanya dia muncul
menampakkan diri.

Mengapa sekali ini tidak? Apa dia tidak lagi berada di dekatku?”

“Nenek berdua, aku tidak akan menahanmu lama-lama di tempat ini. Kalian boleh pergi. Sekali
lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Jika aku boleh minta tolong
lagi, harap kalian mencari tahu dimana dan siapa adanya kakek muka merah yang membunuh
Jumena…”

Dua nenek unjukkan wajah takut.

“Tidak perlu takut. Manusia itu tidak akan terus-terusan membawa daun mengkudu kemana dia
pergi.”

“Ha-hu ha-hu…”

“Dari dandanan dan bentuk wajahnya aku rasa dia seorang dari rimba persilatan. Aku belum
pernah melihat tampang kakek itu sebelumnya.”

“Ha-hu ha-hu.” Dua nenek membuat gerakan tangan.

“Kalian betanya aku mau kemana?”

“Ha-hu ha-hu.”

“Aku akan ke Losari. Menurut Jumena mulai pagi ini lukisan wajahku ditempel dan disebar di
kota Kadipaten itu. Ada hadiah lima ringgit emas bagi siapa yang menangkapku hidup atau mati.
Aku dituduh telah membunuh Adipati Brebes. Aku mau tahu apa benar, tampangku sudah
malang-melintang dimanamana. Aku jadi orang terkenal sekarang! Ha ha!”

Wiro lambaikan tangan. Dua nenek membalas dengan letakkan tangan kanan di atas bibir lalu
dilambaikan. Keduanya melesat pergi dan lenyap dari pemandangan.

Belum sekejapan dua nenek meninggalkan rumah tua, tiba-tiba terdengar ringkikan kuda
disusul seruan nyaring.

“Anak setan! Rupanya kau sudah kehabisan gadis cantik. Sampai-sampai mengambil dua nenek-
nenek peot jelek jadi gendakmu!”
Wiro melengak kaget. Dia segera melompat ke halaman samping rumah tua.

***

DI HALAMAN samping rumah tua berdiri seekor kuda hitam berkaki putih. Di atas punggungnya
duduk dengan sikap keren seorang nenek berkulit hitam, berdandan medok tebal nyaris
celemongan. Pakaiannya sehelai jubah hitam selutut dan celana panjang juga berwarna hitam.
Pakaian ini kelihatan bagus dan masih baru. Tangan kanan memegang satu gulungan kertas. Di
balik punggung jubah tersembul sebatang tongkat kayu Di leher kuda tergantung sebuah caping
bambu. Si nenek pencongkan mulut kempotnya lalu menyeringai.

Astaga! Kalau bukan lima tusuk konde perak yang menancap di batok kepala, Pendekar 212
Wiro Sableng hampir-hampir tidak mengenali nenek aneh ini. Apalagi setelah mengendus
dalam-dalam dia tidak mencium bau pesing.

“Eyang Sinto!” Seru Wiro begitu mengenali nenek penunggang kuda berdandan medok ini
bukan lain adalah gurunya. Pemuda ini cepat-cepat mendatangi Sinto Gendeng, menyalami dan
mencium tangannya.

“Nek, maaf kalau saya hampir tidak mengenalimu. Dandananmu lain sekali. Bedak putih, alis
kereng hitam, bibir merah mencorong, pipi diberi merah-merah. Pakaianmu kelihatannya baru.
Lalu hemmmm…” Wiro mendongak sambil menghirup udara dalam-dalam. “Kau pakai obat
atau wewangian apa hingga saya tidak mencium bau pesing tubuh dan pakaianmu?”

“Plaakk!”

Si nenek kemplangkan gulungan kertas di tangan kanan ke kepala muridnya. “Aku berdandan
macam apa, aku mau mengenakan pakaian cara apa, aku mau bau pesing atau tidak, bukan
urusanmu. Enak saja kau bicara!” Si nenek lalu sodokkan ujung gulungan kertas ke dada
muridnya. “Tanda merah ini! Apa bekas gigitan dua nenek jelek tadi?”

Wiro garuk kepala. Dia masih berpikir-pikir apa yang terjadi dengan Eyang Sinto Gendeng.
Bersolek mencorong dan berpakaian rapi serta tampak begitu gembira.

“Kau tak bisa menjawab! Nah, bilang saja habis berbuat apa kau dengan dua nenek itu?”

Wiro tertawa. “Eyang, mereka itu sahabatku. Tanda di dada ini bekas pukulan. Mereka tadi
mengobatiku. Mereka telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku.”

Si nenek menyeringai. Dia ingat tanda yang sama yang dilihatnya di dada Kiai Gede Tapa
Pamungkas waktu bertemu empat hari lalu. Tapi dasar jahil, dia masih menggoda muridnya.
“Nah, nah. Waktu diobati pasti tadi kau diraba-raba. Lalu kau balas meraba! Betul ‘kan? Apa
nikmatnya meraba tubuh peot! Hik…hik…hik!”

Wiro ikut tertawa gelak-gelak.

Si nenek ketukkan lagi gulungan kertas di tangan kanan ke kepala Wiro lalu berkata. “Lihat ini!”
Gulungan kertas disodorkan pada Wiro.

Wiro ambil gulungan kertas lalu membukanya. Disitu terpampang lukisan kasar wajahnya
disertai tulisan besar :

“PENDEKAR 212 WIRO SABLENG. Buronan pembunuh. Siapa yang bisa menangkap Hidup Atau
Mati Mendapat Hadiah Lima Ringgit Emas. Tertanda Adipati Losari. SEDA WIRALAGA”

“Di tengah jalan aku menemui selebaran itu ditempel di sebuah pohon. Pasti banyak lagi di
tempat lain, terutama di sekitar Losari. Kasihan, kepala bau apekmu dihargai cuma lima ringgit
emas. Murah buaaanget! Hik…hik…hik.” Setelah tertawa si nenek bertanya. “Siapa yang kau
pateni?” Sinto Gendeng pindahkan susur yang dikunyah dalam mulut dari kiri ke kanan lalu
kucurkan ludah merah ke tanah.

“Karta Suminta. Adipati Brebes.” Menjawab Pendekar 212.

“Gila! Dia bukan manusia sembarangan. Banyak temannya orang-orang berkepandaian tinggi!”

“Saya tahu Eyang. Tapi dia orang jahat.”

“Gendeng! Banyak orang jahat di muka bumi ini! Kenapa kowe bunuh Adipati itu?” tanya Sinto
Gendeng dengan mata mendelik.

“Dia hendak memperkosa seorang sahabat saya, Eyang.” Jawab Wiro.

“Sahabatmu yang mana? Anggini? Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung atau gadis dari alam roh
itu. Eh, siapa namanya? Ada dua kalau aku tidak salah!”

“Bunga dan Purnama, Nek.” Ucap Wiro.

“Ya…ya! Apa salah satu dari mereka yang hendak diperkosa Karta Suminta?”

“Bukan Nek. Bukan salah satu dari mereka.”

“Ah, rupanya kau punya kekasih baru? Hik…hik…hik! Beri tahu aku siapa orangnya!”

“Seorang gadis Cina. Seorang paderi,” jawab Wiro pula.


“Oala!” Sinto Gendeng dongakkan kepala lalu tertawa panjang.

“Benar rupanya cerita Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada gadis cantik datang dari Cina. Ternyata
dia telah jadi kekasih barumu! Hik…hik! Cepat juga cara kerjamu, anak setan!”

“Namanya Nionio Nikouw. Dia bukan kekasih saya, Nek. Dulu dia sahabat. Tapi sekarang sudah
jadi musuh. Tadi malam di tembok timur Kadipaten dia berusaha hendak membunuh saya.”

“Dengan sebilah pedang berwarna merah?”

“Bagaimana Eyang tahu?”

“Kiai Gede Tapa Pamungkas bercerita padaku lima hari yang lalu. Tapi saat ini aku mau dengar
cerita dari mulutmu. Mulai dari kematian Adipati Brebes sampai kemunculan gadis Cina yang
kini kau bilang sudah jadi musuhmu itu!” Habis berkata begitu Sinto Gendeng melesat dari
punggung kuda, duduk berjuntai di talang rumah yang sudah hampir roboh, mulut komat-kamit
mengunyah susur. Kalau saja nenek ini tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi,
diduduki seperti itu talang rumah pasti sudah runtuh!

Memenuhi permintaan gurunya Wiro menceritakan semua apa yang diketahui dan apa yang
terjadi. Mulai dari kedatangan para tokoh silat dari Tionggoan, perihal dadu setan sampai
kejadian tadi malam dimana dia hendak dibunuh oleh Nionio Nikouw dan berakhir pada
pertolongan dua nenek kembar.

Mulut Sinto Gendeng terpencong-pencong mendengar kisah sang murid. “Kau tahu asal usul
pedang merah yang kini ada di tangan paderi Cina itu?”

Wiro menggeleng.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas mendatangiku di puncak utara Gunung Gede. Dia bercerita banyak.
Pedang itu konon bernama Pedang Naga Merah. Pedang itu adalah anak haram yang lahir dari
perkawinan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Pedang naga Suci Dua Satu Dua.”

Wiro terkesiap. Garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak.

“Anak setan! Jangan asal mangap! Mengapa kau ketawa? Apa yang lucu?” Sinto Gendeng
membnetak sambil delikkan matanya yang memiliki rongga dalam. Lima tusuk konde di atas
kepala bergoyang-goyang.

“Nek, bagaimana mungkin kapak dan pedang kawin lalu punya anak haram sebilah pedang!”

“Anak setan! Kau tahu apa. Gusti Allah punya kuasa! Biar aku kasih pengertian padamu! Kau
sendiri yang barusan cerita setiap ada orang menyerangmu dengan Pedang Naga Merah kau
dan orang itu pasti terpental. Lihat bekas hantaman di dadamu itu! Itu satu pertanda ada satu
kekuatan gaib hebat yang mencegah terjadinya pertumpahan darah. Mana ada pasalnya
seorang anak berani membunuh ayahnya sendiri? Maksudku pedang merah itu adalah anak dan
kapak di dalam tubuhmu adalah ayahnya. Jika sampai terjadi si anak membunuh ayah maka
berarti kualat! Itu sebabnya ada satu kekuatan gaib yang membentengi dirimu juga
membentengi si penyerang. Tapi kekuatan itu begitu luar biasa hingga muncul sebagai serangan
hebat yang tak bisa dielakkan oleh orang yang diserang maupun yang menyerang.”

Eyang Sinto pindahkan lagi susur di dalam mulut dari kiri ke kanan. Lalu berkata. “Anak setan,
apa kau lupa. Kau kawin-kawinan dengan perempuan cantik bernama Nyi Retno mantili itu,
anak kalian ternyata sebuah boneka kayu! Hik…hik…hik!”

Wiro hanya bisa menyengir mendengar kata-kata sang guru. Dia meraba-raba perut,
menggosok dada. Seperti diketahui, Kiai Gede Tapa Pamungkas secara gaib telah memasukkan
Kapak Naga Geni ke dalam tubuh Wiro (baca serial Wiro Sableng Episode “Lentera Iblis”)

Mengenai boneka kayu Nyi Retno Mantili bisa dibaca kisahnya dalam serial Wiro Sableng
Episode “Perjanjian Dengan Roh”.

“Di alam fana ini…” Sinto Gendeng lanjutkan cerita. “Naga Geni bisa memunculkan diri
berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah, tidak jelek sepertimu!”

“Iya Nek, saya memang jelek. Bau apek lagi!” kata Wiro sambil mencibir.

“Naga Suci mampu muncul sebagai seorang gadis cantik! Pedang Naga Merah yang merupakan
anak mereka, mereka beri nama Putera Langit. Menurut keterangan Naga Geni sewaktu masih
kecil pedang itu pernah hilang. Ditemui seorang anak bernama Bayumurti di Samarang lalu
diberikan pada seorang anak perempuan sewaktu dia mau pulang ke Cina. Anak perempuan
Cina itu pasti adalah paderi yang sekarang berada di tanah Jawa ini.”

Wiro manggut-manggut. Dia ingat Nionio Nikouw memang pernah menceritakan tentang
seorang sahabat yang tengah dicarinya. Anak bernama Bayumurti itu yang tentunya sekarang
sudah menjadi seorang pemuda sebaya sang paderi.

“Nek, aku ingat sesuatu. Orang bernama Bayumurti ini mungkin sekali adalah salah seorang
Kepala Pasukan Kerajaan timur yang namanya menjadi terkenal karena beberapa waktu yang
lalu berhasil menghancurkan sarang perampok di hutan Jatiuruk dan membunuh dedengkot
pimpinannya.”

“Begitu?” ucap Sinto Gendeng. Dia tidak tampak tertarik pada keterangan Wiro. Lalu si nenek
meneruskan. “Selain itu kehadiran Pedang Naga Merah yang bisa dianggap sebagai senjata liar,
dapat menimbulkan orang malapetaka pada pemilik maupun orang sekitarnya. Buktinya paderi
itu hampir diperkosa. Kau hampir dijagal!” Eyang Sinto Gendeng kemudian menceritakan
bagaimana kejadian Pedang Naga Merah seperti yang didengarnya dari Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
“Aku diperintahkan Kiai untuk menemuimu. Kau ditugaskan mencari dan mengambil pedang itu
dari tangan paderi Cina.”

Wiro menggaruk kepala. “Mengapa musti saya Eyang?”

“Apa katamu?!” Si nenek mendelik. “Ooo… Aku tahu. Maunya kau aku yang harus mencari
pedang itu! Beraninya kau memerintah diriku!”

“Maafkan saya Eyang. Saya tidak bermaksud begitu. Kalau Kiai dan Eyang memerintahkan saya,
tentu saja akan saya laksanakan. Namun saya minta waktu.”

“Maksudmu?”

“Sekarang ini saya tengah menyelidiki satu perkara menyangkut dadu setan yang tadi saya
ceritakan. Perkara ini berkaitan dengan paderi Cina itu. Kalau pedangnya diambil, semua urusan
bisa kacau. Saya tak mungkin mendapatkan dadu setan, tidak mampu membuka rahasia yang
menyelubungi kematian beberapa sahabat dan….”

”Huss! Ceritamu panjang amat! Aku tidak mau dengar semua itu! Yang aku tahu kau harus
menyerahkan Pedang Naga Merah ke tanganku paling lambat dalam tempo tiga puluh hari!”

“Tiga puluh hari Nek? Apa tidak bisa ditambah? Soalnya saya…”

“Kau kira aku tengah berdagang apa! Kau berani menawar-nawar!”

“Maafkan saya Eyang. Kalau pedang itu saya dapatkan, harus saya antar kemana?” Wiro
mengalah karena tahu tidak bakal menang dalam bicara dengan si nenek.

“Aku tunggu kau di puncak Gunung Gede. Dan kau harus datang bersama Ratu Duyung!”

Kening Pendekar 212 jadi mengkerut. “Mengapa harus dengan Ratu Duyung Nek?”

“Anak setan! Kau ini banyak tanya sekali! Mana aku tahu! Itu kehendak Kiai Gede Tapa
Pamungkas!”

Wiro garuk-garuk kepala.

“Eh, apa jawabmu?!” sentak si nenek.

“Ba … baik Nek. Saya akan datang bersama Ratu Duyung.”

“Dalam waktu paling lambat tiga puluh hari!”


“Dalam waktu tiga puluh hari!” Wiro mengulangi ucapan gurunya.

“Nek, saya bermaksud menyelidik kakek muka merah penunggang kuda yang membunuh
prajurit Jumena itu. Dia bisa jadi salah satu kunci semua perkara besar ini. Mungkin kau
mengenali siapa orang itu adanya?”

Sinto Gendeng pencongkan mulut. Lalu menjawab. “Mana aku tahu! Monyet pantatnya juga
merah! Tapi bukan pembunuh prajurit itu, ‘kan?”

Selagi Wiro merasa penasaran mendengar ucapan gurunya itu si nenek melesat dari atas talang
rumah, turun di punggung kuda hitam. Dia ambil caping bambu yang tergantung di leher kuda
lalu caping dilemparkan ke arah Wiro.

“Anak setan! Kau sedang dicari orang! Kau perlu menutupi kepala dan wajahmu! Pakai ini!”

“Terima kasih Nek.” Ucap Wiro masih jengkel. Dia tangkap caping yang dilempar.

Disangkanya sang guru akan segera pergi, ternyata nenek itu masih duduk di atas punggung
kuda hitam berkaki putih, menatap ke arahnya.

“Eyang Sinto, kau masih ingin mengatakan sesuatu?”

“Ingat cerita pedang merah aku jadi ingat pada guyonan orang. Kau pernah dengar guyonan
Puteri Raja dari Negeri Keling?”

Dalam herannya Wiro gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Ada apa dengan nenek ini.
Seumur hidup baru kali ini dia bersifat aneh seperti ini. Mau bicara soal guyonan segala.”

“Anak setan, kau dengar ceritaku.” Kata Sinto Gendeng pula. “Ada seorang puteri Kerajaan
Keling bernama Bebinaki yang tidak mau kawin-kawin. Tapi diketahui punya dua orang kekasih.
Yaitu pemuda bernama Jahembut, seorang pengusaha yang punya seratus lebih kapal dagang.
Pemuda lainnya seorang saudagar batu permata kaya raya, bernama Gempursingh. Satu ketika
istana dilanda kehebohan. Sang puteri diketahui berbadan dua alias hamil alias bunting.”

“Jelas bukan aku yang melakukan, Nek.” Celetuk Wiro bergurau.

“Anak setan! Kau tak usah bicara. Dengar saja ceritaku!” bentak Sinto Gendeng. Lalu dia
meneruskan. “Raja Bajeber dan Permaisuri Simpulkani berusaha mencari tahu siapa yang telah
membuat puteri mereka melendung begitu rupa. Tak ada yang tau. Hik…hik. Bebinaki ditanyai
tidak mau mengaku walau dipaksa berulang kali. Akhirnya anak yang dikandung lahir. Seorang
lelaki. Diberi nama Bajened. Konon masing-masing dua kekasih sang puteri yaitu si Jahembut
dan Gempursingh mengaku bahwa Bajened adalah anak mereka, merekalah ayah sang bayi.
Mereka inginkan anak itu. Istana kembali dilanda kehebohan. Bagaimana membuktikan bahwa
ayah si Bajened ini adalah Jahembut atau Gempursingh….”
“Wah Nek, kalau melihat nama saya kira si Gempursingh itu yang punya pekerjaan,” kata Wiro
pula memotong cerita sang guru.

“Setan, kau memotong ceritaku saja dari tadi!” Kata Sinto Gendeng sambil delikkan mata.
Kemudian dia melanjutkan. “Akhirnya setelah satu tahun berlalu Raja dan Permaisuri melalui
seorang juru tenung berhasil menemukan satu cara untuk mengetahui siapa sebenarnya ayah
Bajened. Jahembut dan Gempursingh dipanggil ke istana. Di halaman berumput di belakang
Istana dibentang sehelai permadani besar. Di atas permadani diletakkan sebuah permata yaitu
sebagai pelambang diri Gempursingh. Selain permata, di atas permadani juga diletakkan
mainan sebuah kapal-kapalan sebagai pelambang diri Jahembut. Bajened yang berusia satu
tahun lalu diturunkan dari gendongan, diletakkan di atas permadani. Jika anak ini lebih dulu
memegang mainan kapal-kapalan, berarti Jahembut-lah ayahnya. Tapi jika anak itu menyentuh
permata lebih dulu, berarti Gempursingh-lah bapak anak itu. Setelah merangkak berputar-putar
di atas permadani, anehnya Bajened sama sekali tidak menaruh perhatian pada kapal-kapalan
ataupun batu permata apalagi menyentuhnya. Malah tidak terduga anak ini tinggalkan
permadani, merangkak di atas halaman berumput ke arah sebuah benda yang tergeletak di
tanah dan ternyata adalah sebilah arit pemotong rumput. Arit itu adalah milik Tajidun, pemuda
yang bekerja sebagai juru taman di istana. Berarti ayah Bajened adalah si Tajidun itu!”

Wiro tertawa gelak-gelak mendengar cerita sang guru.

“Wah, tajinya si Tajidun mantap juga ya Nek. Guyonanmu bagus Nek. Ada lagi yang lain?”

“Cukup satu itu dulu! Aku harus pergi! Jagan lupa tugasmu menemukan Pedang Naga Merah.”

“Baik Nek.” Wiro lalu menyalami dan mencium tangan Eyang Sinto Gendeng. Sambil menggaruk
kepala memperhatikan kepergian sang guru Wiro berkata dalam hati. ”Ada apa sebenarnya
dengan nenek itu. Dia tampak sangat gembira. Berpakaian rapi bagus dan baru. Berdandan
mencorong. Hemm… Kalau aku hubungi riwayat Kapak Naga Geni dan Pedang Naga Suci selain
Kiai Gede Tapa Pamungkas hanya ada dua orang yang saling terkait. Yaitu Eyang sendiri dan Tua
Gila. Eh, jangan-jangan nenek ini hendak bertemu dengan kakek itu. Kekasih di masa mudanya!
Ha…ha! Pantas dia kelihatan gembira, bersolek dan berdandan seperti itu!”

Wiro kembangkan kembali gulungan kertas yang dipegangnya.

“Sialan!” makinya dalam hati. Gulungan kertas kemudian dibanting hingga amblas masuk ke
dalam tanah. Caping bambu lalu ditaruh di atas kepala. Sambil melangkah dia ingat pada Ratu
Duyung.

“Dimana aku harus mencari gadis bermata biru itu. Terakhir sekali dia bersama si kakek Setan
Ngompol. Tapi waktu kakek itu muncul, dia tidak ikut.” Wiro hendak menggaruk kepala.
Namun tangannya terhalang oleh caping bambu. Pemuda ini memaki sendiri dalam hati sambil
ketuk-ketuk caping di kepalanya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. “Untung! Untung Eyang Sinto tadi
tidak bertanya tentang Kitab Seribu Pengobatan. Kalau dia tahu kitab itu hilang lagi pasti aku
didampratnya habis-habisan. Sial! Siapa yang tega-teganya mencuri kitab itu?!”

Baru saja Wiro menggerendeng seperti itu tiba-tiba dia mendengar suara bentakan-bentakan
keras diseling tawa cekikikan. Suara itu datangnya dari arah kanan dimana terdapat sebuah
bukit dialiri satu kali kecil. Baik yang membentak maupun yang tertawa dua-duanya adalah
suara perempuan. Wiro segera lari ke arah bukit.

Hanya sesaat setelah Wiro pergi, satu bayangan samar seorang perempuan muda berpakaian
serba putih berkelebat. Dia letakkan kembangan tangan di atas tanah, tepat dimana tadi Wiro
membanting gulungan kertas. Luar biasa sekali! Gulungan kertas yang amblas di dalam tanah
itu tertarik dan melesat ke luar. Dengan cepat perempuan samar ambil gulungan kertas, sambil
duduk di satu gundukan tanah dia membuka lalu membaca.

“Ah, dia dalam kesulitan. Apakah aku harus menolong? Maukah dia menerima pertolonganku?”
Perlahan-lahan bayangan samar berubah utuh. Dalam kejelasan sosoknya ternyata dia adalah
Bunga alias Suci, gadis alam roh, salah seorang dari sekian banyak gadis yang mengasihi
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajah pucat Bunga tampak sedih. Hatinya kembali berkata. “Sejak
kemunculan perempuan bernama Purnama itu, dia sepertinya tidak lagi memperdulikan diriku.
Bagaimana aku harus berbuat? Mungkin aku harus tahu diri kalau diriku bukan pasangan yang
cocok baginya. Dia insan dunia fana. Aku mahluk dari alam roh. Mungkin aku harus berlaku
pasrah…”

Bunga usut air mata yang membasahi pipinya. Perlahan-lahan bangkit berdiri.

“Mungkin aku tidak perlu khawatir dengan Purnama. Namun apakah Wiro sadar akan bahaya
yang mengancam yang datang dari paderi Cina itu? Seandainya aku datang menemuinya,
menceritakan semua duga dan firasatku. Apakah dia mau mempercayai?” Bunga gelengkan
kepala. Setelah menghela nafas dalam akhirnya Bunga campakkan ke tanah kertas yang
dipegangnya lalu tinggalkan tempat itu.

***

PEMANDANGAN dari lamping bukit batu itu indah sekali. Di timur membentang pedataran
berumput ditumbuhi berbagai macam bebungaan. Di sebelah utara menjulang gunung biru. Di
kaki gunung terbentang hamparan sawah dibelah oleh sebuah sungai yang siang itu tampak
berkilau oleh saputan cahaya sang surya. Ke arah barat membentang Teluk Losari dengan air
laut yang kelihatan berwarna kehijau-hijauan.
Di satu bagian datar lamping bukit batu yang terletak di kawasan selatan, dua orang duduk
bersila berhadap-hadapan sementara angin sejuk bertiup perlahan. Beberapa langkah di
belakang mereka terdapat sebuah mulut goa berbentuk segi empat. Yang duduk di sebelah
kanan seorang pemuda berwajah tampan berkulit putih, berambut lebat ikal dan hitam,
mengenakan baju dan celana abu-abu. Dia adalah Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam, negeri
1200 tahun lalu. Berkat petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan, pemuda yang dulu tubuhnya
berwarna kuning pekat serta ditumbuhi duri-duri panjang dan tajam itu kini telah mengalami
kesembuhan. Keadaannya tidak beda dengan pemuda biasa.

Perempuan muda cantik jelita berpakaian biru yang duduk di hadapan Jatilandak saat itu adalah
Luhmintari, yang bukan lain ibu Jatilandak sendiri yang oleh Wiro kemudian diberi nama
Purnama. Sang ibu inilah yang telah menyembuhkan penyakit serta keadaan tubuh puteranya
berdasarkan cara pengobatan dalam Kitab Seribu Pengobatan. Mereka sangat bersyukur dan
merasa berhutang budi besar pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah sudi meminjamkan
kitab tersebut. Saat itu ibu dan anak ini tengah berbincangbincang membicarakan beberapa hal
penting.

“Ibu, saya sudah menyelidik. Rasanya tidak ada kemungkinan bagi kita dan para kerabat lainnya
bisa kembali ke negeri Latanahsilam, ke alam seribu dua ratus tahun silam…”

Luhmintari terdiam sesaat lalu berucap perlahan. “Agaknya Latanahsilam hanya akan tinggal
sebagai kenangan. Yang penting sekarang adalah kita bisa hidup kerasan di tanah Jawa ini. Lihat
tempat ini. Sejuk nyaman. Pemandangan indah sekali dan ada sebuah goa yang bagus untuk
ditempati.“ Walau punya putera seusia Jatilandak namun keadaan Luhmintari tidak beda
seperti seorang gadis remaja. “Anakku, sejak berpisah di kaki Gunung Merapi dengan gadis
bernama Bidadari Angin Timur itu, apa kau pernah bertemu lagi dengan dia?”

Jatilandak menggeleng. “Kami hanya sempat berbuat janji. Akan bertemu lagi di air terjun Batu
putih tepat pada satu Suro. Sampai saat ini aku belum tahu dimana letak air terjun itu dan
kapan satu Suro itu.”

Luhmintari tertawa. “Kau banyak teman. Kau bisa menanyakan pada mereka.”

“Ibu, menurutmu bagaimanakah gadis itu?”

“Maksudmu?” Luhmintari balik bertanya pada puteranya. “Ah, seharusnya aku tak perlu
bertanya. Kau telah jatuh hati pada si rambut pirang itu.”

Wajah Jatilandak menjadi merah.

“Sudah, kau tak perlu menjawab. Jawabannya sudah kulihat di wajahmu yang merah.
Menurutku dia baik-baik saja. Cantik luar biasa. Kalau kau memang bisa mendapatkannya
mengapa tidak? Namun…”
“Namun apa Ibu?” tanya Jatilandak.

“Turut cerita yang aku dengar gadis itu sejak lama menyukai Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng…” Waktu menyebut nama sang pendekar wajah Luhmintari tampak berseri dan
sepasang matanya berbinar cerah. Namun sesaat kemudian ada bayangan lain yang merupakan
satu ganjalan.

“Yang aku dengar memang begitu. Namun kabarnya sahabatku Pendekar Dua Satu Dua itu
seperti tidak menyambuti perhatian Bidadari Angin Timur.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Luhmintari dengan pandangan mata tak berkesip.

Jatilandak hanya tersenyum dan angkat bahu.

“Tidak ada salahnya kau mendekati gadis itu. Tapi hati-hati dan tahu dirilah. Kita ini bukan
orang-orang yang berasal dari negeri ini. Mereka semua tahu. Di depan kita mereka semua
bersikap baik. Tapi di lubuk hati mereka mana mungkin kita menyelami. Bisa saja mereka
menganggap tingkatan kita berada di bawah mereka. Selain itu Bidadari Angin Timur tahu
keadaan dirimu sebelumnya. Ini bisa merupakan ganjalan. Kita hanya bisa berharap mudah-
mudahan saja mereka memang tulus semua.”

“Ibu, dua hari aku beada di sini bersamamu aku sering melihat Ibu lebih banyak melamun.
Apakah Ibu merasa kesepian atau tengah memikirkan sesuatu?”

Luhmintari menghela nafas dalam. “Memang banyak yang menjadi pikiran dalam benakku….”

“Memikirkan seseorang?”

Perempuan cantik dari Latanahsilam it tak menjawab.

“Ibu tak mau berterus terang padaku.”

“Ada sesuatu yang aku risaukan.”

“Kalau Ibu mau mengatakan mungkin aku bisa membantu.” Kata Jatilandak pula.

Luhmintari kembali menghela nafas dalam. Lalu berkata. “Sejak beberapa waktu belakangan ini
ada satu mahluk yang selalu mengikuti diriku. Dia muncul secara tiba-tiba. Terkadang dia
berbuat jahil dan mengucapkan kata-kata kotor. Terkadang dia seolah mampu mengacaukan
jalan pikiranku.”

“Ibu tahu siapa orangnya?”


“Jika dia memang orang dari negeri ini, sudah sejak lama dapat aku ketahui. Namun ternyata
aku mengalami kesulitan menjajagi. Hal ini memberi pertanda bahwa mahluk itu berasal dari
negeri Latanahsilam. Pernah satu kali aku menyidik dengan ilmu Penciuman Nafas Sepanjang
Badan. Dari baunya aku tahu dia memang berasal dari negeri leluhur kita. Jahatnya, dia tidak
mau menampakkan diri. Pengecut! Aku tidak tahu sakit hati apa yang ada pada dirinya hingga
dia berlaku jahil padaku!”

“Mahluk itu, laki-laki atau perempuan?” tanya Jatilandak.

“Perempuan,” jawab Luhmintari.

Jatilandak berpikir dan berusaha mengingat-ingat. “Setahuku ada seorang mahluk yang disebut
gadis dari alam roh. Namanya Bunga. Aku mengenalnya ketika kami bersama-sama menumpas
komplotan yang bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Dari pembicaraan para
sahabat aku ketahui bahwa gadis alam roh itu adalah kekasih Pendekar Dua Satu Dua. Jangan-
jangan dia yang selama ini menjahilimu.”

“Aku tak berani berburuk sangka,” jawab Luhmintari alias Purnama.

“Namun aku menyangsikan. Karena jika dia memang mahluk alam roh dari dunia di sini, aku
pasti

bisa melihat bahkan mencekalnya. Tapi mahluk yang sering mengikutiku ini sulit untuk dilihat.
Pertanda dia bukan dari alam sini. Aku sudah yakin dia berasal dari Negeri Latanahsilam.”

“Biar Ibu merasa aman aku akan mendampingi Ibu sampai beberapa lama. Sampai kita bisa
mengetahui siapa adanya mahluk itu. Aku bersumpah untuk menghabisinya jika dia sampai
mencelakai Ibu.”

“Terima kasih kau mau berbuat begitu. Tapi Ibu tidak merasa takut. Hanya agak terganggu.
Tidak tahu apa maunya mahluk itu."

"Selain mahluk jahil itu, apakah ada hal lain yang menjadi pikiran Ibu?" tanya Jatilandak pula.
"Aku merasa perlu berterus terang padamu mengenai satu hal," Jatilandak tatap wajah ibunya.
Coba menerka apa yang hendak dikatakan Luhmintari.

"Sejak pertama kali bertemu di negeri ini dengan pemuda bernama Wiro itu, Ibu merasa
seolaholah…." Luhmintari tidak bisa meneruskan ucapannya. Jatilandak pegang tangan
Luhmintari. "Ibu menyukai pemuda itu?" Sang putera langsung menduga.

"Lebih dari menyukai." Jawab sang ibu polos.

"Ibu mengasihinya? Mencintainya?" Luhmintari menatap ke arah laut hijau di kejauhan lalu
perlahan anggukkan kepala. Jatilandak terdiam untuk beberapa jurus lamanya. "Ibu tahu,
mencintai pendekar itu akan banyak kendala dan ganjalan yang akan Ibu hadapi. Yang paling
berat karena begitu banyak gadis cantik menyukainya."

"Aku tahu tahu hal itu. Namun apakah Wiro menyukai, maksudku mengasihi mereka?"

"Apakah Wiro mengetahui kalau Ibu mencintainya?" "Walau sehari-hari dia kelihatan bersikap
aneh, terkadang lugu, sering berlaku konyol bahkan kurang ajar, namun Ibu tahu dia seorang
yang punya perasaan dalam. Ibu yakin dia tahu kalau Ibu menyukainya. Cuma, entahlah.
Rasanya seperti Ibu dia juga punya banyak kendala.” Luhmintari menatap ke langit. "Jatilandak,
sang surya sudah tinggi. Ibu harus pergi dulu. Apakah kau akan tetap di sini sampai Ibu
kembali?"

"Kalau Ibu tak mau ditemani aku ingin pergi mencari Bidadari Angin Timur. Aku tak bisa
menunggu sampai hari yang disebut Satu Suro itu."

"Kalau begitu, baiknya kita berangkat sekarang saja. Di kaki bukit kita berpisah." Ibu dan anak
lalu tinggalkan bukit batu. Di kaki bukit batu Jatilandak pergi ke arah timur sedang Luhmintari
menuju ke utara. Setelah berjalan seorang diri cukup jauh, Luhmintari merasa ada saputan
angin dingin di kuduknya.

"Hemm…mahluk jahil kurang ajar itu muncul lagi. Sekali ini agaknya aku harus menghajarnya.
Biar dia tahu rasa!" Di kejauhan Luhmintari melihat ada sebuah bukit. Dia segera lari ke arah
bukit. Turut penciumannya serta pendengaran halus tajam yang dimilikinya dia tahu kalau
mahluk tadi masih terus mengikuti. Begitu sampai di puncak bukit, Luhmintari hentikan langkah
bertolak pinggang lalu keluarkan ucapan keras.

"Banyak mahluk dan manusia pengecut di muka bumi ini! Tapi terus-terusan menjadi pengecut
adalah hal memalukan! Mengapa kau tidak berani unjukkan diri! Apa maumu sebenarnya?!"
Ucapan keras Luhmintari disambut oleh suara gelak tawa perempuan.

"Mahluk bernama Luhmintari yang konon kini bernama Purnama! Hik… hik! Kau tidak layak
melihat ujudku!" Ibu Jatilandak ini terkesiap. Dalam hati dia berkata. "Hanya orang-orang
Latanahsilam yang tahu nama asliku! Semakin kuat keyakinanku kalau mahluk jahil ini benar-
benar berasal dari Latanahsilam!"

"Sombong sekali! Atau memang benar-benar pengecut!" "Kau boleh memaki dari pagi sampai
malam! Aku tidak akan melayani permintaanmu!"

"Dasar pengecut! Mengapa aku tidak layak melihat ujudmu?! Takut ketahuan siapa diri buruk
dan busuk" Luhmintari mengejek.

"Hik … hik! Karena aku masih perawan gadis asli. Sedang kau perempuan yang pernah kawin
dan melahirkan! Kau hanya gadis jejadian!"
Paras cantik Luhmintari alias Purnama bersemu merah.

"Mahluk pengecut! Ujudmu pasti buruk! Aku masih tetap seorang gadis walau sudah menikah!
Itu hukum dan kenyataan di Latanahsilam! Kau sendiri apa pernah menikah? Tampangmu pasti
buruk. Buktinya tidak ada pemuda di Latanahsilam yang suka padamu! Kau boleh sombong
dengan kegadisanmu. Tapi kau lupa kau bukan lain hanya seorang perawan tua! Aku tahu
sekarang! Kau terpesat ke negeri ini karena ingin mencari laki! Tapi tidak ada yang mau! Itu
sebabnya kau jadi gadis gatal, dengki menggangguku!"

Sambil bicara Luhmintari kerahkan hawa sakti ke mata serta perdayakan ilmu Nafas Sepanjang
Badan. Dia berusaha untuk melihat siapa adanya mahluk dihadapannya itu. Namun dia hanya
melihat bayangan sangat samar. Seorang perempuan berpakaian putih, berambut panjang
hitam tergerai lepas.

Terdengar suara orang meludah lalu teriakan marah. Mahluk samar goyangkan kepala.

"Wuttt!”

Rambut hitam melesat, memapas tak ubah seganas pedang tajam.

Luhmintari cepat melompat mundur. Pohon kecil di sampingnya terbabat buntung dan
kepulkan asap.

"Mahluk jahat pengecut! Bukan kau saja yang bisa menyerang!" teriak Luhmintari lalu
goyangkan dua bahunya. Saat itu juga dari tubuhnya memancar keluar cahaya biru
bergemerlap. Mahluk samar merasa ada satu kekuatan dahsyat menerjang ke arahnya. Dia
coba bortahan sambil dorongkan dua tangan.

"Bumm! Bummm!"

Dua ledakan dahsyat menggelegar di puncak bukit. Mahluk samar menjerit keras, Sosok gaibnya
terpental ke bawah bukit namun secepat kilat dia melesat kembali ke arah lawan. Luhmintari
sendiri saat itu jatuh berlutut di tanah, wajah seputih kertas dan rambutnya yang tadi tergulung
kini terlepas panjang menjela pinggang.

"Luhmintari! Perempuan tolol pemimpi di siang bolong! Tidak tahu ;malu! Kau tidak akan
pernah mandapatkan pemuda itu! Kau tak akan pernah kawin untuk kedua kali! Yang menjadi
nasibmu adalah kematian untuk kedua kali! Terima ajalmu!"

Dua kilatan cahaya pulih berkiblat di puncik bukit. Bersamaan dengan itu terdengar suara
menggelegar. Langit laksana mau runtuh, bukit seperti hendak terbongkar. Luhmintari berteriak
lantang. Cahaya biru bergulung keluar dari tubuhnya menyambut hantaman dua kilatan cahaya
putih. Untuk beberapa lama di puncak bukit itu terlihat satu pemandangan luar biasa. Gulungan
cahaya biru saling dorongmendorong dengan dua cahaya putih. Nyala api memercik
mengerikan. Dua kaki Luhmintari bergetar dan perlahan-lahan terdorong ke belakang. Gadis
dari Latanahsilam ini lipat gandakan tenaga dalam. Namun hekkk! Darah menyembur dari
mulutnya.

Mahluk samar tertawa panjang.

"Luhmintari! Kematianmu sudah di depan mata!"

Dua larik cahaya putih memancar terang sementara cahaya biru yang keluar dari tubuh
Luhmintari berubah redup. Sesaat lagi tubuh Luhmintari akan terpental hancur luluh tiba-tiba
berkelebat seorang berpakaian putih, mengenakan caping bambu. Luhmintari kemudian
mendengar suara seseorang berkata. Di saat yang sama dia merasa ada dua telapak tangan
hangat menempel di punggungnya.

"Purnama, kerahkan tenagamu. Kita serang bersama-sama!"

"Wiro!" ucap Luhmintari alias Purnama. Mengenali suara itu, Luhmintari seolah mendapat satu
kekuatan luar biasa. Begitu dia merasa ada hawa hangat memasuki tubuhnya lewat punggung
yang menandakan ada aliran tenaga dalam luar biasa hebat membantunya, gadis dari negeri
1200 tahun silam Ini goyangkan bahu lalu pukulkan dua tangan. Satu mengarah lurus ke depan,
satunya ke udara.

"Blaar! Blaaar!"

Bukit laksana dihantam halilintar. Daun-daun pepohonan meranggas gugur dan jatuh ke tanah
dalam keadaan hangus kehitaman. Belasan lobang tampak terkuak di tanah bukit. Di udara
yang mendadak redup terdengar jeritan perempuan. Lalu kutuk serapah. "Luhmintari! Kau tak
akan pemah bisa mengalahkanku! Aku akan selalu menghantuimu kemana kau pergi! Kau tak
akan pernah mendapatkan pemuda itu! Tidaakkkk!”

Luhmintari balikkan tubuh. Si cantik ini tenggelam dalam pelukan hangat Pendekar 212 Wiro
Sableng. Darah yang mengucur di bibirnya membasahi baju putih sang pendekar. Dia batuk-
batuk beberapa kali. Suaranya agak tersendat ketika menyebut nama pemuda itu.

"Wiro. Kau mengenakan caping…."

Wiro mendudukkan gadis itu di tanah sementara udara perlahan mulai cerah. Setelah menyeka
darah di dagu Purnama Wiro membuka caping lalu bertanya. “Apa yang terjadi? Aku lihat kau
berkelahi seperti orang kesurupan. Aku tidak melihat lawanmu. Aku coba melihat dengan ilmu
menembus pandang. Tapi tidak berhasil. Tadi aku hanya sempat mendengar teriakannya."

"Wiro, aku juga tidak tahu pasti siapa mahluk itu. Dia sejak lama mengikuti diriku tapi tak
pernah berani unjukkan diri…" "Pasti mahluk dari alam gaib." "Ya, dari Latanahsilam," kata
Luhmintari. "Kau tidak bisa mengenali?"
"Sulit. Terlalu samar. Tadi aku sempat melihat bayangan sosok seorang perempuan pakaian
putih berambut hitam panjang."

"Kau kenal Bunga?" tanya Wiro.

"Aku pernah melihatnya. Tapi aku yakin bukan dia mahluknya. Karena tadi setelah kita hantam
bersama ujudnya sempat kulihat sekilas berubah seperti sosok seorang nenek tua. Tapi sangat
samar. Tak bisa kukenali. Wiro, aku senang kau datang. Aku bahagia kau mau menolong. Wiro,
bajumu kotor oleh darahku…"

Pendekar 212 tersenyum. Merangkul hangat Luhmintari lalu bertanya. "Mahluk itu tadi
keluarkan ucapan bahwa kau tidak akan pernah mendapatkan pemuda itu. Pemuda siapa
maksudnya?"

Purnama surukkan wajah cantiknya di dada Pendekar Wiro Sableng. Dia hanya bisa menggeleng
perlahan. Namun dalam hati dia bekata. "Kau tahu siapa adanya pemuda itu Wiro. Kau tahu.
Aku tengah memeluknya erat-erat saat ini…."

"Purnama, mahluk tadi mungkin memendam satu kemarahan. Mungkin kau mengasihi seorang
pemuda yang juga dikasihinya. Dan dia merasa kau telah merebut kekasihnya itu."

Purnama terdiam. Namun hatinya tak tahan lagi. Sudah saatnya dia harus berterus terang.

"Wiro, memang itu agaknya yang kejadian. Kau tahu, kaulah pemuda yang jadi rebutan itu!
Apakah selama ini kau tidak menyadari kalau aku….”

Purnama tidak sanggup meneruskan ucapannya. Desah tangis memutus kata-katanya. Murid
Sinto Gendeng sendiri saat itu masih merangkul tubuh Purnama dengan tangan kanan
sementara tangan kiri menggaruk kepala.

"Purnama," bisik Pendekar 212. "Kita baru beberapa kali bertemu. Bagaimana mungkin…. Ah,
aku mengerti. Kau telah beberapa kali menolongku, menyelamatkan jiwaku."

"Barusan kau telah melakukan hal yang sama," kata Purnama pula.

Wiro belai rambut panjang hitam dan harum si gadis. Lalu berkata. "Purnama, kau masih ingat
paderi Cina bernama Nionio Nikouw itu?"

Purnama angkat kepalanya dari dada Wiro, menatap wajah si pemuda sejurus. "Ada apa
dengan paderi itu?"

Wiro melihat ada bayangan rasa cemburu di wajah cantik jelita itu. Sambil memegang dagu
Purnama ini dia berkata. "Paderi itu membekal sebilah pedang bernama Ang Liong Kiam atau
Pedang Naga Merah. Aku mendapat tugas dari guruku Eyang Sinto Gendeng untuk mengambil
senjata mustika itu…"

"Mengapa?"

"Pedang itu sebenarnya bukan milik Nionio Nikouw. Tapi milik para sepuh alam gaib rimba
persilatan tanah Jawa."

"Aku tidak mengerti."

Wiro lalu menceritakan riwayat Pedang Naga Merah yang oleh Naga Geni dan Naga Suci diberi
nama Putera Langit

"Kisah luar biasa…" kata Purnama begitu Wiro mengakhiri penuturannya. "Rasanya tidak akan
mudah bagimu untuk mendapatkan pedang itu. Paderi itu tidak akan menyerahkan pedang
begitu saja. Pedang itu sama dengan nyawanya."

"Aku tahu kesulitan itu. Tapi aku menerima tugas Eyang Sinto yang harus dilaksanakan. Apapun
yang terjadi."

"Tugasmu bertambah berat. Karena bukankah sampai saat ini belum ketahuan dimana
beradanya Kitab Seribu Pengobatan? Belum diketahui siapa pencurinya"

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Kepalaku cuma satu, tangan hanya dua. Bagaimana aku
harus melaksanakan semua ini?"

Purnama tersenyum. "Kepalamu memang satu, tangan cuma dua. Tapi otakmu ada seribu. Kau
punya banyak akal."

Wiro tertawa gelak-gelak lalu memegang bahu Purnama dan berbisik. "Kau mau ikut mencari
paderi Cina itu?”

Wajah Purnama berseri-seri.

"Wiro aku pernah bilang selama kau tidak menolak aku akan pergi kemana kau pergi. Lagi pula
lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan itu sebagian adalah tanggung jawab kelalaianku. Kau tahu
dimana mencari paderi itu?"

"Dia pernah bercerita tentang seorang sahabat di masa kecil. Tinggal di Semarang. Cerita itu
juga aku dengar dari Eyang Sinto. Sahabat kecil yang sekarang tentunya sudah jadi pemuda itu
bernama Bayumurti, salah seorang dari empat Kepala Pengawal Kerajaan Timur.”

"Kalau begitu kita pergi ke Semarang."


"Tidak perlu. Aku mendengar kabar Bayumurti telah diangkat menjadi Adipati Brebes,
mengganti Karta Suminta.”

"Berarti kita menyelidik ke Brebes." Kata Purnama pula. Wiro mengangguk.

Tiba-tiba di lereng bukit sebelah timur ada kilatan cahaya merah. Mula-mula hanya berupa titik,
kemudian melesat ke arah mereka makin besar dan makin besar.

"Wusss!"

Wiro cepat menarik pinggang Purnama. Keduanya jatuhkan diri di tanah lalu bergulingan ke
arah lereng bukit sebelah barat.

"Bummm!”

Puncak bukit laksana ditebas pedang raksasa. Bagian atas gundul berhamburan ke udara. Wiro
dan Purnama sama lepaskan nafas lega. Keduanya bersihkan tanah yang mengotori tubuh dan
pakaian.

"Pasti mahluk perempuan kurang ajar itu!" kata Purnama, "Dia tak berani mendekat.
Mengirimkan serangan dari jauh! Pengecut!"

“Kita harus berhati-hati. Kita berdua jadi incarannya,” kata Wiro pula lalu meletakkan caping di
kepalanya.

"Baru sekali ini aku lihat kau memakai caping. Takut kepanasan?"

"Adipati Losari membuat selebaran. Menangkap diriku hidup atau mati. Imbalannya lima ringgit

emas. Aku terpaksa harus menutupi sebagian wajah jelekku," jawab Wiro pula.

"Wiro, kau ingin aku bersamamu seperti ujudku saat ini. Atau sembunyi kembali di alam gaib?"
tanya Purnama.

"Hemmm. aku rasa aku lebih suka melihat wajahmu.”

"Begitu?"

Wiro mengangguk.

"Dess!" saat itu juga ujud Purnama berubah. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan hanya bagian
kepala, melayang di samping Wiro.

"Purnama, apa-apaan ini?!"


Wajah jelita itu tertawa. "Tadi kau bilang lebih suka melihat wajahku! Nah sesuai ucapanmu
tubuhku mulai dari leher sampai ke kaki aku sembunyikan."

Wiro tertawa gelak-gelak. Dicubitnya pipi merah Purnama hingga gadis ini terpekik, "Maksudku
aku suka melihat wajah dan tubuhmu yang utuh. Kalau sepotong-sepotong seperti ini orang
yang melihat bisa heboh!”

Purnama tertawa lagi.

"Dess!"

Tubuhnya kembali utuh mulai dari kepala sampai ke kaki.

"Nah, begini?" tanya Purnama sambil berdiri bertolak pinggang dan membalikkan tubuh
beberapa kali.

Wiro tersenyum. "Ya, seperti itu. Tapi tunggu. Harus aku periksa dulu. Jangan-jangan tubuhmu
hanya angin melompong!" Wiro lalu ulurkan dua tangan memegang kepala, turun memegang
pipi. "Tidak, kepalamu bukan angin….” Dua tangan Wiro turun lagi ke bawah, memegang
pundak. Ketika dua tangan itu turun hendak meraba dada, padahal Wiro Cuma pura-pura,
Purnama langasung mencubit perut Pendekar 212 hingga pemuda ini melintir terbungkuk
kesakitan. Purnama tertawa gelak-gelak lalu tarik tangan Wiro.

***

BAYUMURTI, Adipati Brebes pengganti Karta Suminta yang baru saja mengadakan perjalanan
jauh, memasuki gedung Kadipaten dengan sekujur badan teasa letih. Di ruang tengah gedung
dia membasahi muka dengan air pancuran kecil di samping kolam yang baru dibuat. Sambil
mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan Bayumurti masuk ke dalam kamar,
langsung merebahkan diri di atas ranjang.

“Raden, apakah saya boleh menyalakan lampu minyak dalam kamar?” tanya seorang pelayan
yang berdiri di ambang pintu.

“Tidak usah. Tutup saja pintunya. Sisakan sedikit celah agar cahaya dari luar masuk.”

Pelayan melakukan apa yang dikatakan Bayumurti lalu pergi.

Hampir-hampir tertidur, tiba-tiba Adipati ini menyadari bahwa dia tidak sendirian di dalam
kamar itu. Cepat Bayumurti bergerak bangun. Memandang seputar kamar. Ternyata benar! Di
salah satu sudut ruangan yakni di ujung kiri ranjang ada sebuah kursi kayu. Di atas kursi duduk
seorang yang meskipun gelap masih dapat dikenali bahwa dia adalah perempuan. Apalagi ada
aroma bau wewangian keluar dari tubuh dan pakaiannya.

“Siapa?!”

Bayumurti bertanya. Suaranya datar tanda dia dapat menguasai diri dalam keterkejutan.
Namun tangannya langsung mencekal gagang sebilah keris yang terselip di pinggang.

“Nyalakan lampu. Kau akan melihat siapa diriku.” Perempuan di atas kursi menjawab. Suaranya
halus dan merdu.

Bayumurti segera menyalakan sebuah lampu minyak yang terletak di atas meja batu pualam di
dinding kiri kamar. Begitu keadaan menjadi terang Bayumurti melihat yang duduk di atas kursi
adalah seorang perempuan mengenakan pakaian biru, rambut hitam dilepas bagus namun
wajahnya tertutup sehelai kain biru. Di pangkuannya melintang sebilah pedang bersarung perak
berlapis emas.

“Luar biasa! Seorang perempuan bercadar mampu masuk ke dalam gedung Kadipaten,
menembus kamar tidurku tanpa seorang penjagapun mengetahui!”

Perempuan yang duduk di kursi tertawa perlahan.

“Kau tak mengenali diriku. Kau tidak mengenali suaraku. Tidak heran. Berapa tahun kita tak
pernah bertemu? Lebih dari dua belas tahun.”

“Tunggu, sebelum kau meneruskan bicara, harap buka cadar biru penutup wajahmu. Aku harus
tahu dulu siapa kau!”

“Bayumurti, apa kau tidak ingin melakukannya sendiri? Seperti sewaktu kita masih kecil,
bermain bersama teman-teman. Kau jadi penjahat, aku jadi puteri culikan…"

Adipati Brebes itu tertegun seketika. Lalu dia melangkah mendekat perampuan itu. Tangan kiri
melepas cadar biru sementara tangan kanan masih tetap memegang huluk keris di pinggang.

Bayumurti melihat satu wajah cantik sekali, berkulit putih, bermata bening bagus, hidung kecil
mancung, bibir merah menyeruak senyum.

"Kau bisa mengingat siapa aku sekarang?"

Bayumurti letakkan kain biru penutup wajah di tepi tempat tidur. Dia coba mengingat-ingat tapi
tidak berhasil. Lalu dia gelengkan kepala.

"Dua belas tahun silam. Kau memberikan sebuah kenang-kenangan padaku. Sebuah pedang
kecil. Menyerupai mainan. Panjang sejengkal. Kau ingat sekarang?"
Sepasang alis mata tebal Bayumurti naik ke atas. Dua mata menatap tak berkesip. Tiba-tiba
mulutnya berseru.

"Loan Nio! Sulit aku percaya kalau ini benar-benar kau!"

Bayumurti melangkah maju. Dua tangan diulurkan hendak memeluk tapi tak jadi. Dua tangan
ditarik kembali. Perempuan cantik di atas kursi letakkan pedang di meja di samping kursi lalu
berdiri. Kini dia justru yang ulurkan tangan merangkul lelaki muda itu. Pelukannya erat hangat
dan lama. Darah Bayumurti jadi bergelora. Dia membalas pelukan itu lebih kencang dan lebih
hangat.

"Dua belas tahun berpisah, aku tidak pernah melupakanmu," bisik si cantik yang bukan lain
adalah Kiang Loan Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Tampaknya dia tidak akan cepat-
cepat melepaskan pelukannya.

"Loan Nio, aku juga selalu ingat dirimu. Namun sejak kau pergi sama sekali tidak ada kabar.
Tahutahu saat ini kau muncul seolah bidadari yang turun dari langit Ah, kau memang bidadari.
Sejak kecil dulu aku sering memanggilmu bidadari. Ingat?"

Loan Nio tersenyum, anggukkan kepala berulang kali.

"Bagaimana ceritanya kau tiba-tiba muncul dan tahu aku di sini?"

"Aku akan cerita. Mengenai dirimu, kabar seperti angin. Menebar cepat. Ketika pertama kali
aku menginjakkan kaki di Losari, aku menyelidik dan tahu kalau kau telah menjadi seorang
Kepala Pasukan di Kerajaan Timur. Kemudian aku menyirap kabar baru bahwa kau telah
diangkat menjadi Adipati di kota ini, menggantikan Adipati lama yang tewas dibunuh."
Perlahan-lahan Loan Nio lepaskan pelukannya. "Ada satu hal yang perlu aku beri tahu. Kau
mungkin tidak percaya."

Loan Nio melangkah ke meja kecil untuk mengambil pedang. Senjata ini dicabut dari sarung
hingga kamar itu menjadi terang oleh kilauan cahaya merah.

"Senjata luar biasa!" ucap Bayumurti kagum.

"Pedang ini adalah pedang kecil yang dulu kau berikan padaku sebagai hadiah. Waktu aku dan
orang tuaku kembali ke Tiongkok.”

"Apa… ?" Tentu saja Bayumurti tidak bisa percaya.

"Kau tidak percaya, aku juga tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri kenyataannya.
Setelah bertahun-tahun di tanganku, pedang ini berubah besar dan panjang serta memiliki
kesaktian luar biasa. Aku sendiri terkejut setengah mati. Aku tak berani menceritakan pada
orang tuaku. Tidak pada siapapun. Juga tidak pada suhuku di Perguruan Siauwlim.”

"Ah, kau telah menjadi seorang pendekar kangouw rupanya!" (kangouw = rimba persilatan
Tiongkok)

"Bayu, pedang itu bukan senjata sembarangan. Mungkin tidak ada duanya di dunia ini. Karena
gagangnya berbentuk kepala naga dan badan pedang memancarkan cahaya merah, aku
memberinya nama Pedang Naga Merah atau Ang Liong Kiam." "Aku merasa bersyukur telah
menemukan dan memberikannya padamu." Kata Bayumurti pula.

"Seumur hidup tidak akan putusnya aku merasa berterima kasih padamu," jawab Loan Nio
Nikouw.

"Loan Nio, apakah kau datang ke sini bersama orang tuamu?" Paderi perempuan itu sarungkan
kembali pedang sakti.

"Aku datang sendiri. Membekal tugas dari Wakil Ketua Perguruan." Loan No diam sebentar
seperti berpikir. Lalu dia berkata. "Bayu, kau harus tahu kalau aku sekarang sudah menjadi
seorang paderi."

“Paderi?” Loan Nio Nikouw mengangguk lalu gerakkan tangannya ke kepala, menarik lepas
rambutnya yang hitam panjang yang ternyata rambut palsu, menyibak kepalanya yang botak.
Bayumurti terdiam sesaat. Ketika Loan Nio hendak mengenakan rambut palsunya kembali
Adipati ini mencegah.

"Jangan, aku suka melihatmu tanpa rambut itu. Kau cantik sekali Loan Nio. Ah…"

"Kau senang diriku tanpa rambut?" tanya sang paderi. Bayumurti mengangguk. Loan Nio
tertawa.

"Loan Nio, kau tidak rikuh kita berdua-dua dalam kamar ini? Apa lagi sekarang kau telah
menjadi seorang paderi?" Paderi perempuan itu gelengkan kepala. Malah dia kemudian
tutupkan pintu kamar yang masih sedikit terbuka dan menguncinya sekaligus.

"Aku rindu padamu. Malam ini aku akan tidur di sini sampai menjelang pagi. Boleh?" Bayumurti
kembali dibuat terkejut mendengar ucapan itu hingga dia tidak bisa menjawab. Loan Nio
Nikouw duduk ke kursi.

"Bayu, selain menemuimu karena rindu, aku juga butuh bantuanmu. Semoga kau bisa
menolong."

"Apapun permintaanmu aku pasti akan berusaha membantu. Ada apa Loan Nio?"
"Aku ditugaskan mencari sepasang benda yaitu dua buah dadu yang disebut sebagai dadu
setan."

"Aku pernah mendengar tentang dua buah dadu itu. Kabarnya keberadaan dua dadu itu di
tanah Jawa telah menyebabkan banyak orang menemui ajal. Malah ada kabar mengatakan
bahwa kematian Adipati Brebes Karta Suminta ada sangkut pautnya dengan benda itu.
Beberapa tokoh rimba persilatan terlibat. Termasuk Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia
dituduh sebagai pembunuh Karta Suminta. Selebarannya sebagai orang buronan ada dimana-
mana."

Disebutnya nama Wiro membuat Loan Nio Nikouw terdiam. Menurut Liok Ong Cun, pendekar
itu telah merusak kehormatannya di goa. Dan yang sangat merisaukan hatinya seharusnya dia
sudah datang bulan beberapa hari lalu. Namun sampai hari itu hal itu tidak terjadi. Selain itu
perutnya kerap kali terasa mual. Tanda-tanda yang menakutkan. Kalau dia sampai hamil, berarti
celaka besar menghadang dirinya.

"Bayu, aku ingin bercerita lebih banyak. Namun tubuhku terasa letih. Bolehkah aku beristirahat
dan tidur di ranjang itu untuk beberapa ketika?" "Silahkan, jika kau mau. Aku akan keluar sambil
berjaga-jaga." "Tidak, tetap saja di sini. Aku ingin tidur dalam pelukanmu."

Jantung Bayumurti jadi berdebar. Darahnya memanas.

"Bayu, ingat waktu kau mencium aku pertama kali…? Aku tidak pernah melupakan hal itu."

"Itu terjadi waktu kita main-mainan di masa kecil. Waktu itu permainan kita kau jadi anak, aku
jadi ayah.” jawab Bayumurti. Diam-diam walau hasratnya menggelora namun ada kegelisahan
muncul di hati Adipati Brebes yang baru ini. "Loan Nio, kau tidurlah. Aku keluar sebentar…"

"Tidak, jangan tinggalkan aku Bayu…" Loan Nio pegang tangan lelaki muda itu kencang sekali.
"Kemarilah…"

Bayumurti tetap berdiri di tempatnya. "Apa yang terjadi dengan gadis ini? Dia muncul secara
tibatiba. Bicara tentang dadu setan. Lalu sikapnya yang sangat berani. Aku tahu di masa kanak-
kanak dulu dia sangat suka dan sayang padaku. Tapi kini aku dan dia sudah sama-sama dewasa.
Harus ada batasan. Aku khawatir…."

"Bayu, aku kedinginan…."

"Aku akan mengambilkan selimut untukmu."

"Aku tidak butuh selimut. Aku butuh dirimu. Peluk aku Bayu. Hanya tubuhmu yang bisa
memberi kehangatan pada diriku. Aku menyukaimu sejak masa kanak-kanak dulu. Apakah kau
tidak menyukaiku." Loan Nio Nikouw tarik tangan Bayumurti. Kali ini lebih kuat hingga
keduanya jatuh tergolek di atas ranjang.
"Loan Nio, suka di masa kanak-kanak tidak bisa disamakan dengan suka di masa dewasa."

"Aku tidak ingin mendengar ucapan seperti itu," kata Loan Nio Nikouw pula sambil dua kakinya
disilang merangkul pinggang Bayumurti.

Sampai di sini, walau nafsu mulai membakar namun rasa takut lebih kuat berkecamuk.
Bayumurti lepaskan dirinya dari pelukan tangan dan rangkulan kaki Loan Nio Nikouw.

"Loan Nio, ada sesuatu dalam dirimu. Mungkin semua yang kau lakukan dan kau ucapkan
terjadi diluar sadarmu."

Paderi perempuan itu tertawa.

"Bayu, dengar baik-baik. Aku suka padamu. Jika kau tidak suka padaku, buruk sekali nasib
diriku."

"Aku juga suka padamu, Loan Nio. Tapi bukan berarti kita bisa berbuat kehendak hati kita."

"Bayu, aku ingin malam ini milik kita berdua."

"Loan Nio, maafkan aku…"

"Kau menolak. Berarti aku harus membunuh manusia satu itu!"

Loan Nio bangkit dan turun dari atas ranjang.

"Kau hendak membunuh siapa, Loan Nio? Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Bayumurti
heran. "Sikap dan tutur bicaramu aneh."

"Dari kecil aku memang aneh! Apa kau baru tahu sekarang?" jawab Loan Nio sambil tersenyum.
Dia melangkah ke jendela. Membuka daun jendela lalu sekali melompat tubuhnya melesat
keluar kamar, lenyap di kegelapan halaman samping gedung Kadipaten.

Bayumurti tidak berusaha mengejar. Dia hanya berdiri di belakang jendela memperhatikan
kepergian Loan Nio Nikouw sambil hati masih bertanya-tanya. "Ada apa dengan gadis itu. Aku
merasa ada suatu maksud yang coba disembunyikannya di balik semua sifat dan sikapnya tadi.
Atau mungkin ada seseorang mengirimnya untuk menghancurkan diri dan kedudukanku?"

***

10
DALAM perjalanan ke arah timur Wiro dan Purnama melewati kawasan bukit dan jurang batu
yang cukup terjal. Kusir gerobak yang mereka sewa tidak berani memacu dua kuda penarik
gerobak terlalu cepat. Hampir setengah harian berada di kawasan itu akhirnya mereka
memasuki satu jalan menurun ditumbuhi banyak pohon kelapa. Pemandangan di bawah sana
indah sekali. Di sebelah barat tampak laut luas kehijauan.

"Aku haus." Kata Pendekar 212 lalu minta kusir gerobak berhenti dekat sebatang pohon kelapa
yang banyak buahnya dan masih muda-muda. Wiro tepuk bahu kusir gerobak sedang
tangannya yang lain menunjuk ke arah buah kelapa.

"Raden, kalau Raden menyuruh saya mengambil buah kelapa, maaf saja. Saya tidak bisa
memanjat." Kata kusir gerobak pula, seorang lelaki berusia setengah abad.

"Kalau begitu aku pinjam golokmu," kata Wiro.

Kusir gerobak loloskan golok dari sarung yang terselip di pinggang, serahkan pada Wiro. Setelah
mengusap badan golok beberapa kali, Wiro lemparkan senjata itu ke atas, ke arah pohon kelapa
yang banyak buahnya.

"Crass!"

Golok menabas. Tiga buah kelapa melayang jatuh. Golok berputar di udara. Wiro gerakkan
tangan. Golok melesat turun dan sesaat kemudian sudah berada dalam genggaman tangan
kirinya. Wiro serahkan golok pada kusir gerobak. "Tolong dikupas kelapanya. Selesai minum kita
lanjutkan perjalanan."

Setelah puas meneguk air kelapa rombongan siap melanjutkan perjalanan. Namun mendadak
dua kuda penarik gerobak meringkik keras dan angkat dua kaki depan ke atas, membuat
gerobak hampir saja terguling.

Bersamaan dengan itu terdengar suara orang berkata. “Tenang … tenang. Kuda penarik
gerobak! Tidak perlu takut! Kalian ‘kan tidak mencuri kelapaku!"

Dua kuda mendadak jadi jinak lalu turunkan kaki masing-masing.

Wiro memberi isyarat pada Purnama. "Ada orang aneh menghadang gerobak," bisik Wiro. Lalu
dia tarik lengan si gadis dan sama-sama melompat turun dari gerobak.

Di tengah jalan saat itu ada seorang kakek bertubuh tinggi, kurus kerempeng, berpakaian
rombeng compang-camping. Di dadanya tergantung sebuah kantong kain yang sudah lusuh.
Dua tangan terkulai panjang di samping melewati lutut. Kepala di sebelah atas tengah botak
plontos sedang di samping rambut putih menjulai panjang sampai ke bahu. Sepasang mata
tampak sipit, nyaris tertutup. Di leher tergantung empat buah batok kelapa. Melihat Wiro dan
Purnama, kakek ini menyeringai.
"Hati-hati Wiro," bisik Purnama. "Kakek ini kelihatannya bukan orang sembarangan.”

"Kalian berdua, habis menenggak air kelapa milikku lantas mau pergi begitu saja. Enak betul!"

Wiro dan Purnama saling pandang. Wiro lalu keduanya buru-buru membungkuk. Wiro berkata.
"Mohon maafmu, orang tua. Kami kebetulan lewat dan kebetulan haus. Melihat banyak
kelapa…."

"Semua serba kebetulan katamu! Ha…ha…hal! Tetap saja kalian aku namakan pencuri!”

"Sekali lagi mohon maafmu, Kek. Kami bersedia membayar tiga buah kelapa yang airnya sudah
kami minum,” kata Wiro pula.

"Begitu? Ha.. ha… ha! Kalian punya banyak duit rupanya! Baik, kalian mau bayar berapa?”
bertanya kakek kurus kerempeng.

Dari salah satu kantong pakaiannya Wiro keluarkan sekeping uang logam bolong terbuat dari
tembaga laki disodorkan pada si kakek. Si kakek mengambil uang itu, membolak-baliknya
beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. Waktu ketawa kelihatan gusinya atas bawah yang tidak
bergigi lagi.

“Uang butut untuk tiga buah kelapa! Sungguh tidak pantas!” Lalu enak saja orang tua tinggi
kerempeng ini masukkan uang tembaga bolong ke dalam mulut. Dan krek… krek… krek,
terdengar suara mulutnya mengunyah uang logam itu. Padahal dia sama sekali tidak punya gigi
barang sepotongpun!

Kusir gerobak ternganga Wiro dan Purnama walau terkesiap namun kini tambah berlaku
waspada. Kakek aneh berkepandaian tinggi ini bisa saja punya niat jahat dan melakukan
sesuatu secara mendadak.

"Kek,” Purnama berkata. “Dengan uang itu sebetulnya kami bisa membeli sepuluh pohon
kelapa, bukan cuma tiga buah kelapa. Harap kau sudi menerima."

Si kakek perhatikan Purnama. Matanya yang tadi sipit tiba-tiba membuka besar sekali. Lalu dia
kembali tertawa.

"Aku tidak mau bicara dengan gadis cantik!” katanya. "Perempuan cantik hanya mengacaukan
jalan pikiran. Urusan bisa-bisa jadi ngawur dan tidak selesai! Aku hanya mau bicara sama
pemuda ini. Gondrong! Kelapaku bukan kelapa sembarangan. Aku menyebutnya Kelapa Dewa.
Jadi jangan kurang ajar membayar murah!”

"Lalu kau minta bayaran berapa Kek?" Wiro mengalah sambil mengeruk lagi saku pakaiannya
padahal Purnama memberi isyarat untuk mencegah.
Sambil usap-usap kepalanya yang botak si kakek enak saja berkata. "Aku minta bayaran lima
ringgit emas!" Wiro dan Purnama, juga kusir gerobak sama-sama terkesiap kaget.

"Kenapa kalian diam? Bilang saja mau bayar atau tidak?!"

"Kek, tentu saja kami mau bayar. Tapi jumlah yang kau minta tidak masuk akal. Lagi pula kami
tidak punya uang sebanyak itu!”

Si kakek menyeringai. Kembali memperlihatkan gusinya yang tak bergigi.

"Uang yang aku minta sama dengan harga kepalamu! Bukan begitu? Aku tidak mengambil
kepalamu dan menyerahkannya pada Adipati Losari. Nah apa tidak adil kalau sekarang kau
memberi aku lima ringgit emas?!”

Wiro terkejut. Jadi berita selebaran yang dibuat Adipati Losari Seda Wiralaga rupanya sudah
sampai di telinga kakek aneh ini.

"Kalau tak mampu bayar ya sudah. Urusan bisa saja dibikin sederhana.” Kakek kurus kerempeng
lepas tiga dari empat batok kelapa yang tergantung dilehemya lalu dilempar ke tanah.
"Pulangkan air kelapaku! Kalian bertiga kencing di batok itu!"

Wiro melengak terkejut. Lalu tertawa gelak-gelak. Sambil membuat gerakan hendak
menurunkan celananya dia berkata. "Aku dan kusir gerobak ini bisa saja kencing di batok itu.
Tapi sahabatku gadis ini mana mungkin melakukan hal itu."

"Mungkin atau tidak aku tidak perduli. Bagaimana caranya dia mau kencing, itu urusannya. Aku
juga tak bakal ngintip. Apa selama ini dia tidak pernah kencing. Ha …ha… ha!"

Purnama jadi marah. "Orang tua! Lama-lama kau jadi tambah kurang ajar. Baik aku akan
kencing di batok itu. Tapi nanti kau harus minum air kencingku sampai habis! Bagaimana
caranya kau mau minum, pakai mulut, hidung atau dengkulmu itu urusanmu!"

Si kakek menatap terkesiap lalu tertawa bergelak.

"Gadis cantik, silahkan kau ambil salah satu dari tiga batok kelapa itu!"

Tidak tunggu lebih lama Purnama segera melompat mengambil batok kelapa di sebelah tengah.
Tapi begitu tangannya menyentuh, dia tidak sanggup mengambil batok kelapa itu. Batok seperti
menempel ke tanah. Memperhatikan hal itu Wiro segera mendekat si kakek, membungkuk
memberi penghormatan lalu berkata.
"Orang tua, kami berterima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Ini membuat kami harus
berhatihati dalam melakukan setiap perbuatan. Kami mohon maafmu. Sekarang kami mohon
izin untuk meneruskan perjalanan."

"Cek… cek… cek… cek!" Si kakek keluarkan suara berdecak. "Enak sekali. Kelapaku dijarah.
Diminta bayar tidak sanggup. Disuruh kencing juga tidak mau. Sudah, aku memberi keringanan
pada kalian. Salah satu dari kalian harus tinggal di sini untuk jadi kacungku!" Si kakek
memperhatikan satu persatu ke tiga orang itu. Mulai dari Wiro, lalu kusir gerobak, akhirnya
Purnama. Setelah cukup lama dia memperhatikan si gadis maka dia berkata. "Aku pilih kusir
gerobak itu!"

"Tidak bisa kek! Dia harus ikut bersama kami!" Ucap Wiro.

"Gondrong! Kau harus bersyukur. Aku meminta kusir gerobak. Bukan sahabatmu yang cantik
ini!"

"Walau dia cuma kusir gerobak, tapi kami tetap membelanya." Kata Wiro pula.

"Kalau begitu sikap dan langkah kalian, memang pantas aku memberi pelajaran! Kalau mau jadi
maling jadi maling besar. Jangan cuma jadi maling kelapa!" Habis keluarkan ucapan si kakek
gerakkan tangannya. Tiga batok kelapa melesat ke atas, bertumpuk jadi satu dengan batok yang
keempat di atas telapak tangan kiri. Si kakek bersiul keras. Saat itu juga empat batok melayang
ke udara, ketika turun si kakek cepat menyambuti. Dan astaga! Ternyata tangan orang tua aneh
ini kini telah bertambah, bukan cuma dua, tapi sudah jadi empat! Masing-masing tangan
memegang sebuah batok kelapa!

"Gondrong! Kau duluan!" Hardik si kakek. Tubuhnya melesat ke arah Wiro. Empat tangan
bergerak cepat. Dari dalam batok kelapa menyambar cahaya masing-masing berwarna merah,
biru, hitam dan kuning!

"Empat Batok Menebar Pahala!" Si kakek berseru menyebut jurus serangannya.

Diserang seperti itu Wiro tentu saja tidak tinggal diam. Dia buka caping di atas kepala. Setelah
melompat ke belakang menghindari empat sinar yang menyambar dia lepaskan satu pukulan
tangan kosong dengan mengandalkan hampir setengah dari kekuatan tenaga dalamnya.
"Wuuttt!”

Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung menderu.

Tubuh si kakek bergoncang keras namun dua kakinya masih menginjak tanah. Malah mulutnya
umbar suara tertawa.

"Empat Batok Minta Sedekah!"


Si kakek kurus berpakaian rombeng gerakkan empat tangan. Sinar empat warna lenyap. Namun
empat tangan si kakek berubah jadi panjang. Tanpa sama sekali menggeser dua kakinya, empat
tangan menghantam ke arah Wiro. Dahsyat sekali karena empat bagian tubuh yang sekaligus
jadi sasaran serangan!

Murid Sinto Gendeng hadapi serangan lawan dengan jurus Kipas Sakti Terbuka. Dua tangan
dikembang ke atas lalu membeset ke samping.

“Bukk! Bukk!”

Dua lengan beradu. Si kakek menggerung kesakitan. Sementara Wiro terpental. Kini dua tangan
si kakek yang lain melesat panjang dan plak….plak! Dua batok kelapa menghajar bagian dada
serta pundak Wiro, membuat pendekar ini roboh ke tanah tapi cepat melompat bangkit.

Yang membuat Wiro kaget adalah ketika menyaksikan dua buah batok kelapa yang tadi
menghantam dirinya kini menempel di bagian dada dan pundak. Sementara itu di empat tangan
si kakek tetap terlihat empat buah batok kelapa. Wiro coba tarik dua batok kelapa yang
menempel di tubuhnya. Ternyata tidak bisa! Makin dipaksa makin kencang dua batok kelapa itu
menempel. Ketika dia kerahkan tenaga dalam untuk menanggalkan, kulit serta daging pundak
dan dadanya seolah-olah ikut tertarik. Sakitnya bukan main.

Si kakek tertawa. “Mau lagi?!”

“Sett… plak… plak!"

Dua tangan melesat panjang. Wiro lagi-lagi tak bisa mengelak. Kini ada dua batok kelapa lagi
yang menempel. Di perut dan pinggul.

"Ha… ha… ha!" Kakek tinggi kerempeng tertawa bergelak. Empat tangannya melesat tiada
henti. Saat itu lebih dari dua puluh batok kelapa telah melekat di kepala, muka, dada serta
punggung Pendekar 212.

"Jahanam! Ilmu setan apa ini?!" Teriak Wfro. Dua tangannya sibuk kalang-kabut coba
menanggalkan batok-batok kelapa terutama yang menempel di bagian wajah.

"Orang tua! Kalau kau tidak memusnahkan batok kelapa itu jangan menyesal!" Purnama
berteriak mengancam.

"Gadis cantik! Kau juga mau batok kelapa? Mau ditaruh dimana? Ayo bilang! Mau di dada kiri
kanan biar tambah montok? Ha… ha… ha!"

"Tua bangka kurang ajar!" Wajah Purnama mengelam. Dia lambaikan tangan kanannya ke arah
si kakek. Serangkum angin menyapu. Saat itu juga orang tua ini tampak kelojotan lalu sekujur
tubuhnya diam, tak bisa bergerak. Mulut ikut gagu hanya mampu mengeluarkan suara
uuhh….uuhhh. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti untuk membuyarkan
kelumpuhan yang melanda dirinya. Tapi tak mampu.

Purnama cepat mendekat Wiro. Dia coba melepaskan salah satu batok kelapa yang menempel
di tubuh Wiro. Tapi tidak berhasil. Setelah memperhatikan dan memeriksa sekujur tubuh Wiro,
Purnama berkata.

"Wiro, kosongkan pikiranmu. Menatap lurus ke depan. Jangan mengerahkan hawa sakti atau
tenaga dalam. Aku akan mencoba. Mudah-mudahan berhasil…" Wiro menggaruk kepalanya
yang ditempeli dua batok kelapa. "Kalau tidak berhasil, seumur hidup aku akan jadi manusia
batok! Kakek sialan!"

Purnama bentangkan sepuluh jari tangan. Satu persatu setiap ujung jari ditiup. Hingga
mengepulkan asap tipis. Lalu tanpa pengerahan tenaga dalam gadis dari negeri 1200 tahun
silam ini totok seluruh bagian tubuh Wiro di antara celah-celah belasan batok kelapa. Wiro
merasa dirinya laksana digigit ribuan semut hingga dia menggigil menahan sakit. Lalu terjadi
keanehan. Sekujur badannya mandi keringat

"Pluk…pluk…pluk…”

Satu persatu batok yang menempel di kepala, muka serta sekujur tubuh Wiro terlepas dan
jatuh ke tanah. Begitu menyentuh tanah batok jejadian ini melayang ke arah si kakek lalu
lenyap. Di saat bersamaan dua tangan jejadian si kakek ikut sirna, namun keadaannya masih
tetap tidak bisa bergerak tidak mampu bersuara.

Wiro dekati si kakek.

"Kek, kau keterlaluan mempermainkan orang."

"Uuhh… uhh… uhhh."

"Sekarang giliranku mempermainkanmu!"

Wiro turunkan tangan kanannya ke bawah lalu ditekapkan ke bagian bawah perut si kakek.
Orang tua ini merasa bagian di antara dua pahanya dingin-dingin sejuk. Mata berkedap-kedip.
"Uhh…. uhhh… uhhh." "Wiro, apa yang kau lakukan?" Purnama bertanya. Sang pendekar
letakkan telunjuk tangan kiri di atas bibir, wajah tersenyum dan mata dikedip. Sesaat kemudian,
perlahan-lahan dia bergerak mundur menjauhi kakek tinggi kurus itu lalu melangkah ke arah
satu pohon besar. Tangan kanannya yang ditekap seolah memegang sesuatu kini dikembangkan
lalu ditempelkan ke batang pohon. Ketika Wiro turunkan tangan Purnama langsung membuang
muka. Kusir gerobak terbelalak. Si kakek sendiri seperti mau melompat tanggal sepasang
matanya. Bagaimana tidak. Benda yang ditempelkan Wiro di batang pohon itu, dari bentuk
serta warnanya jelas adalah anggota rahasia miliknya!
"Uuhhhh…." Si kakek meraung panjang. Purnama tak berani berbalik. Dalam hati dia berkata.
"Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Pasti Wiro mendapatkan dari Hantu Selaksa Angin
sewaktu berada di Latanahsilam…."

"Kek, kalau mau kencing, kencing sajal Ha… ha … ha! Mari kuambilkan tampungannyal" Murid
Sinto gendeng lalu ambil salah satu batok kelapa di tangan si kakek dan letakkan di bawah
pohon sambil tiada henti tertawa.

"Uuhhh….uuuhhhhhh." Si kakek meraung. Dalam hati dia menyumpah habis-habisan.

Waktu itu di atas pohon ada seekor bajing liar warna coklat. Sepasang mata membesar
berkedapkedip. Hidung dan moncong mengendus-endus. Rupanya binatang ini sudah melihat
keberadaan anggota rahasia milik si kakek yang menempel di batang pohon. Perlahan-lahan
sang bajing merayap turun mendekat.

"Uuuhhh….uuhhhhhh!" Si kakek tak bisa berbuat apa selain mendelik dan keluarkan suara
uhhh.. berkepanjangan. Dalam hati dia tak habis pikir dan keluarkan kutuk serapah. Ilmu iblis
apa yang dimiliki si gondrong itu hingga bisa memindahkan anggota rahasianya ke batang
pohon. Kalau sampai bajing di atas pohon melahap barangnya itu celakalah dia seumur-umur!

Wiro memberi isyarat pada Purnama lalu melompat ke atas gerobak.

"Wiro, orang tua itu. Kau akan meninggalkannya dalam keadaan sebegitu rupa?"

"Kalau kau mau membebaskannya dari kaku dan gagu silahkan. Tapi aku tidak akan
mengembalikan perkutut bututnya itu ke tempat semula!" Jawab Wiro sambil senyum-senyum.

Karena kasihan Purnama lambaikan tangan kanan. Serangkum angin menyapu tubuh si kakek.
Saat itu juga dia mampu bergerak dan berteriak kalang kabut. Pertama sekali dilakukannya
adalah berbalik membelakangi orang-orang itu lalu turunkan celana. Dia ingin memastikan
bahwa anggota rahasianya benarbenar sudah dipindah ke pohon. Kakek ini terkesiap pucat
ketika menyaksikan bagian bawah perutnya kini memang ternyata licin kosong melompong!

"Tunggu! Jangan pergi dulu! Bagaimana ini! Hai!" Si kakek lari mondar-mandir dari pohon ke
gerobak.

Wiro tertawa gelak-gelak. Supir gerobak juga ikutan ngakak. Hanya Purnama yang berdiam diri,
tak berani menoleh ke arah pohon.

"Gadis cantik! Tolong!" si kakek pegang tangan Purnama.

Menyembah-nyembah berulang kali. "Tolong! Minta sahabatmu itu mengembalikan anuku


yang disana! Ampun, tolong…. Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa!"
Makin keras teriakan si kakek, makin kalang kabut dia, makin keras pula tawa Wiro dan kusir
gerobak.

"Ayo jalan!" Wiro berkata pada kusir gerobak.

"Ampun! Jangan pergi! Tolong dulu!" Si kakek ambil kantong kain yang tergantung di dadanya.
Isi kantong dituang ke lantai gerobak di depan kaki Wiro. Isinya ternyata puluhan uang logam.
"Gondrong! Kau boleh ambil semua uang itu! Itu pencarianku selama satu bulan! Ambil! Tapi
tolong! Ampun! Kembalikan barangku!"

"Sabar Kek…" kata Wiro sambil pegang bahu si kakek. "Burung merpati itu selalu terbang pulang
ke sarangnya. Nanti burungmu juga akan kembali."

"Tidak mungkin! Burungku tak ada sayapnya!" jawab si kakek yang membuat Wiro dan kusir
gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama sendiri tak dapat menahan gelinya. Gadis ini duduk
tundukkan wajah tersipu-sipu.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara orang batuk-batuk. Lalu dari balik pohon
besar muncul seorang lelaki muda yang berjalan tertatih-tatih dengan bantuan dua tongkat
kayu di bawah ketiak. Dua kakinya dibalut dedaunan dan ditopang dengan potongan kayu.
Wajahnya penuh bekas luka yang mulai mengering. Orang ini menatap ke arah gerobak,
memandang ke jurusan si kakek. Lalu menoleh ke batang pohon di sampingnya. Karuan saja
lelaki muda ini jadi tersentak kaget, mengerenyit, akhirnya tertawa dan geleng-geleng kepala.

"Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad." Lelaki dekat pohon keluarkan ucapan.

Wiro terkejut. Garuk kepala dan berkata perlahan. "Purnama, kau kenal orang itu. Dia tahu dan
menyebut ilmu yang aku pergunakan untuk memindahkan anunya si kakek ke batang pohon."

"Aku tidak kenal orang itu. Sebaiknya kita jangan pergi dulu, Wiro."

Wiro memberi isyarat pada kusir gerobak lalu melompat turun.

"Kek," orang di samping pohon menegur; "Aku sudah bilang jangan berlaku jahil. Sekarang kau
rasakan sendiri akibatnya!"

"Aku menyesal. Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menjajalnya. Aku ingin melihat dia
mengeluarkan ilmu Pukulan Sinar Matahari. Tapi yang dikeluarkannya Pukulan Menjambret
Burungku! Ampun…."

Sampai di hadapan lelaki muda bertongkat Wiro bertanya. "Sahabat, siapa dirimu? Dua kakimu
kulihat cidera parah. Sekujur tubuhmu penuh luka. Kakek itu apamu?"
"Kau tidak mengenal diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu. Kau yang selama ini sangat kukagumi.
Aku banyak mendengar cerita tentang kehebatanmu. Termasuk berbagai macam ilmu kesaktian
yang kau miliki. Satu diantaranya adalah yang tadi aku sebutkan. Bukankah aku saat ini
berhadapan dengan Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng?"

"Aku memang Wiro. Tapi aku tidak sehebat yang kau bayangkan. Sahabat, kau belum
menerangkan siapa dirimu."

"Aku Rayi Jantra."

Wiro kaget bukan kepalang tapi juga gembira. Dia tidak menduga akan bertemu dengan Kepala
Pasukan Kadipaten Losari yang memang tengah dicarinya itu.

"Sahabatmu Jumena ternyata benar. Dia tidak yakin kau telah menemui ajal. Dia berkali-kali
pernah mengimpikan dirimu. Bersama seorang kakek. Mungkin kakek yang lagi kalang kabut
itu? Siapa dia?"

"Dia Pengemis Empat Mata Angin, guru Pengemis Siang Malam yang keluarganya pernah kau
selamatkan dari tangan manusia-manusia jahat Kumalasakti, Kuncir Merah dan Ki Beringin
Reksa…."

"Kalau dia tahu aku pernah menolong muridnya, mengapa dia berbuat jahat terhadapku?"

"Dia tidak jahat. Sebenarnya dia hanya ingin menjajal dirimu. Seperti diriku, dia sudah lama
mendengar kehebatanmu. Dia ingin melihat Pukulan Sinar Matahari yang kau miliki. Namun
caranya jahil. Hingga akhirnya dia babak belur sendiri."

Wiro tersenyum, garuk-garuk kepala dan memandang ke arah Pengemis Empat Mata Angin
yang saat itu berdiri di depan pohon, pandangi barang miliknya. Dia ingin mengambil anggota
rahasianya itu tapi takut menyentuh. Akhirnya dalam bingung orang tua ini hanya berlutut di
tanah sambil kening disandarkan ke pohon. "Aku menyesal memperlakukannya seperti itu.
Nanti akan aku kembalikan barangnya ke tempat asal. Bagaimana kau sampai mengenal
dirinya?"

"Waktu aku dibuang ke jurang atas perintah Ki Sentot Balangnipa, Pengemis Empat Mata Angin
tengah bertapa di dasar jurang. Dia berusaha menolong orang-orang yang dilempar, namun
hanya aku seorang yang bisa diselamatkan."

"Aku mendengar riwayatmu dari Jumena. Sayang perajurit itu tewas di tangan seorang
pembunuh gelap. Aku tengah menyelidiki siapa orang itu. Banyak pekerjaan yang harus aku
lakukan. Aku butuh pertolonganmu. Menurut Jumena kau tahu tentang satu tempat rahasia di
satu bukit."
"Aku sudah mendengar kematian Jumena." Kata Rayi Jantra pula. "Mengenai yang tadi kau
tanyakan, baiknya kita bicara di tempat yang aman. Ada sebuah lorong batu tak jauh dari sini.
Selama dalam pengobatan aku tinggal di sana ditemani kakek pengemis itu."

"Sahabatku ini ahli pengobatan," kata Wiro sambil memegang bahu Purnama. "Mudah-
mudahan dia bisa membantu mempercepat kesembuhanmu."

Rayi Jantra membungkuk dalam. "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih."

"Kita naik gerobak saja. Biar aku jalan kaki." Kata Wiro pula.

"Tunggu!" tiba-tiba terdengar teriakan Pengemis Empat Mata Angin. "Gondrong! Kau lebih baik
membunuhku kalau tidak mengembalikan…”

"Tenang Kek. Akan aku kembalikan perabotanmu itu sekarang juga," kata Wiro lalu melangkah
ke pohon. Tangan kanannya ditekapkan ke barang milik si kakek yang menempel di pohon dan
hampir disantap bajing liar. Lalu perabotan antik itu ditempelkan kembali di tempat semula.

Sesaat setelah Wiro dan orang-orang itu pergi si kakek cepat-cepat buka celananya. Ah! Dia
merasa lega. Barang antiknya sudah kembali di tempat semula. Tapi ketika lebih
memperhatikan Pengemis Empat Mata Angin jadi tersentak kaget. Dia langsung berteriak dan
mengejar rombongan.

"Hai! Tunggu dulu!"

"Ada apa lagi Kek?" tanya Wiro.

"Anuku!"

"Kenapa anumu? Bukankah sudah aku kembalikan ke sarangnya?"

"Benar! Tapi kau memasangnya terbalik! Kantong menyannya ada di sebelah atas. Seharusnya
dibawah!"

Wiro, Rayi Jantra dan kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama tersipu merah wajahnya.

"Baik Kek! Nanti aku betulkan! Tapi sebenarnya terbalik begitu lebih angker lebih mantap Kek!
Kata Wiro pula disambut gelak tawa semua orang.

TAMAT

Eps 151 Sang Pembunuh

SATU
DI UFUK barat cahaya sang surya mulai memudar. Warnanya yang putih benderang perlahan-
lahan berubah kuning kemerahan pertanda tak selang berapa lama lagi akan memasuki titik
tenggelam. Cahaya kuning ini menyaput sebuah bukit batu di selatan Losari yang puncaknya
berbentuk aneh yaitu merupakan dua buah dinding tinggi pipih dan saling terpisah hanya
sejarak satu jari. Jika angin bertiup melewati celah maka akan terdengar suara seperti tiupan
seruling. Penduduk desa sekitar kaki bukit menganggap bukit itu angker. Boleh dikatakan tak
ada seorangpun yang berani menginjakkan kaki di sekitar kaki bukit dan mereka memberi nama
bukit itu Bukit Batu Bersuling.

Pada petang menjelang senja itu empat orang kelihatan berkelebat dari arah timur. Gerakan
mereka luar biasa cepat dan nyaris tanpa suara. Pertanda mereka adalah orang-orang rimba
persilatan berkepandaian tinggi. Di depan sekali Rayi Jantra, bertindak sebagai penunjuk jalan.
Lelaki muda yang masih menjabat Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini berkat pengobatan yang
diberikan Purnama, dalam waktu dua hari mengalami kesembuhan dari cidera yang dialaminya.

Di belakang Rayi Jantra berlari kakek berkepala botak plontos berpakaian compang-camping,
menggantung empat buah batok kelapa di leher. Kakek ini adalah Pengemis Empat Mata Angin
yang telah menyelamatkan Rayi Jantra ketika dibuang di jurang oleh orang-orang Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga.

Sambil berlari sebentar-sebentar si kakek menoleh ke belakang ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng.

“Hai gondrong! Kapan kau akan memperbaiki letak anuku…” Si kakek bertanya.

“Sssshhh. Sepanjang jalan kau mungkin sudah bertanya seratus kali! Tenang saja Kek….” jawab
Wiro.

“Siapa bisa tenang! Kalau aku kencing mancurnya ke atas, bukan ke bawah!” Pengemis Empat
Mata Angin meradang. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya (Misteri Pedang Naga
Merah) karena kejahilan Pengemis Empat Mata Angin, dengan mempergunakan Ilmu Menahan
Darah Memindah Jasad yang didapatnya dari Luhkentut yaitu seorang nenek sakti di negeri
Latanahsilam, Wiro mempermainkan si kakek dengan cara menanggalkan anggota rahasianya.
Ketika dipasang kembali Wiro sengaja memasang terbalik. Ini yang membuat Pengemis Empat
Mata Angin menjadi khawatir uring-uringan dan terus-terusan mendesak bertanya.

“Kek, kita tengah menghadapi urusan besar. Nanti kalau sudah beres pasti anumu itu aku
perbaiki

letaknya!” Pengemis Empat Mata Angin hanya bisa menggerutu panjang pendek mendengar
ucapan Wiro. Orang ke empat dalam rombongan adalah Purnama, gadis jelita dari
Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Dia berlari di samping Wiro dan senyum-senyum melihat Pengemis Empat Mata Angin yang
berlari sambil mengomel. “Aku mendengar suara tiupan suling…” Wiro keluarkan ucapan.

“Kita hampir sampai,” menyahuti Rayi Jantra. Dia menunjuk ke arah utara. Di kejauhan di atas
pepohonan rimba belantara tampak tersembul menjulang Bukit Batu Bersuling. “Jika angin
bertiup melewati celah dua lamping bukit akan mengeluarkan suara seperti suara seruling.”
Menerangkan Rayi Jantra. Lalu dia menyambung ucapannya. “Di sekitar sini biasanya banyak
berkeliaran para pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Hati-hati, setiap saat serangan bisa
muncul membawa maut.”

“Aku tidak sudi mati dengan anuku terbalik!” Kata Pengemis Empat Mata Angin pula masih
kesal.

Rayi Jantra menyelinap ke balik kerapatan pepohonan, berlari cepat di satu jalan setapak yang
mendaki. Begitu jalan berubah menurun, di bawah sana kelihatan satu bangunan besar beratap
rumbia tanpa dinding. Rayi Jantra hentikan lari, memandang tajam-tajam ke arah bangungan,
pasang telinga.

“Aneh, mengapa sepi-sepi saja? Menurut perhitunganku malam ini akan ada pertemuan.
Ternyata tak ada seekor kudapun dalam bangunan itu. Tak ada tamu yang datang.”

“Jangan-jangan kedatangan kita ke sini ada yang membocorkan,” ucap Purnama.

“Siapa?” tanya Rayi Jantra. Tak ada yang memberikan jawaban.

“Mana bangunan yang dinamai Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” tanya Wiro sambil membuka
caping bambu pemberian Eyang Sinto Gendeng.

“Ikuti aku,” jawab Rayi Jantra.

Angin menjelang senja semakin kencang. Suara seperti tiupan seruling terdengar bertambah
keras. Rayi Jantra dan tiga orang lainnya lewati bangungan beratap rumbia, berlari memasuki
sebuah jalan kecil diapit deretan batu hitam setinggi dua tombak. Jalan kecil itu tertutup batu-
batu bulat pipih. Namun keempat orang itu berlari di atasnya tanpa batu bergesek atau
mengeluarkan suara. Mereka sampai di sebuah rumah panggung yang keadaannya kotor sekali.

“Jadi ini istana yang kau katakan itu…?” tanya Wiro.

Rayi Jantra cepat menjawab dengan goyangkan tangan lalu berbisik. “Aku melihat semakin
banyak keanehan. Pertama keadaan yang sepi. Kedua, rumah panggung ini setahuku selalu
dijaga oleh beberapa pengawal bercelana dan berdestar hitam, bertelanjang dada membekal
golok. Ilmu golok mereka tidak bisa dianggap enteng. Saat ini tak seorangpun dari mereka
tampak mata hidungnya.”
“Aku malah mencium adanya jebakan…” ucap Wiro pula sambil menggaruk kepala dan
memandang berkeliling.

“Kita turun ke bawah,” kata Rayi Jantra. “Istana bejat itu ada di kolong bangunan ini. Aku
bimbang apakah kita bisa memasuki. Setahuku pintu masuk hanya lewat satu pintu rahasia.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa membukanya.”

Keempat orang itu segera menuruni tangga. Di sebelah bawah mereka menemui sebuah
dinding batu warna merah. Pada bagian tengah dinding terdapat sebuah pintu dalam keadaan
terbuka.

“Pintu rahasia itu…” ucap Rayi Jantra perlahan sambil memperhatikan ke depan setengah tidak
percaya. “Lagi-lagi aneh. Biasanya pintu rahasia itu selalu dalam keadaan tertutup.”

“Agaknya orang memberikan sambutan istimewa bagi kita. Ah pasti banyak sedekahan di dalam
sana,” ucap Pengemis Empat Mata Angin sambil usap kepalanya yang botak plontos. “Aku
kepingin tahu sorga apa yang ada dalam istana itu. Ha… ha… ha…”

Rayi Jantra, Wiro dan Purnama memperhatikan ke dalam bangunan lewat pintu batu yang
terbuka. Gelap. Wiro kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung
untuk melihat dan memeriksa keadaan dalam bangunan yang gelap itu. Namun tak berhasil.
“Aneh, sudah beberapa kali aku mencoba tapi Ilmu Menembus Pandang tidak bekerja. Apakah
ada orang sakti yang mampu menolak di dalam bangunan gelap itu? Atau ada yang tidak beres
dengan diriku.” Wiro bertanya-tanya dalam hati.

“Kita masuk…” bisik Rayi Jantra.

“Hati-hati senjata rahasia,” kata Purnama. “Biar aku yang masuk duluan.” Lalu si cantik dari
negeri 1200 tahun silam ini melesat ke dalam bangunan batu lewat pintu di dinding merah yang
terbuka. Ketika melewati ambang pintu sosoknya berubah samar. Sampai di dalam bangunan
tubuhnya kembali nyata seperti semula. Tidak terjadi apa-apa. Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis
Empat Mata Angin tidak menunggu lama langsung menerobos masuk. Di dalam gelap empat
orang yang barusan masuk itu serta merta bisa mengetahui kalau di ruangan batu itu bukan
hanya mereka yang ada.

“Anak-anak! Ada rombongan tamu besar datang mengapa ruangan dibiarkan dalam keadaan
gelap?! Sungguh tidak sopan!” Tiba-tiba satu suara membahana di dalam ruangan batu. Wiro
dan kawan-kawan merasakan ada getaran di dinding dan lantai batu yang mereka pijak.

Saat itu juga ruangan yang tadi gelap mendadak menjadi terang benderang. Delapan buah obor
besar tiba-tiba menyala di delapan tempat Wiro dan kawan-kawan cepat memperhatikan
keadaan. Belum selesai meneliti kembali suara tadi berucap menggetarkan ruangan.

“Di luar angin agak kencang dan udara mulai dingin. Sebaiknya pintu ruangan ditutup saja!”
Ada suara berkesiur halus lalu pintu batu dinding merah yang tadi terbuka bergeser menutup.

“Ada rencana jahat!” bisik Purnama.

Wiro pegang lengan gadis itu, memberi tanda kalau dia juga sudah tahu. Rayi Jantra serta
Pengemis Empat Mata Angin juga sudah menyadari hal ini.

Di ujung ruangan, di dinding kiri kanan, terpisah sejarak dua belas kaki berdiri masing-masing
empat orang lelaki rata-rata bertubuh tinggi besar, mengenakan celana hitam dan bertelanjang
dada. Kepala diikat sehelai destar hitam. Di pinggang tergantung melintang sebilah golok besar.

Di antara ke delapan orang ini tegak seorang kakek berjubah biru. Mata kanan yang cacat
ditutup potongan kulit warna hitam. Kaki yang tersembul di ujung jubah berbentuk sepasang
kaki kuda lengkap dengan ladam besinya. Mata kiri memandang tak berkesip pada Rayi Jantra.
Sebaliknya Rayi Jantra menatap dengan pandangan penuh dengan dendam kesumat. Rahang
menggembung pelipis bergerak-gerak.

“Ki Sentot Balangnipa! Bergundal Istana bejat! Kau yang menyuruh melempar tubuhku ke
dalam jurang! Hari ini aku bersumpah membalas kebiadabanmu!” Rayi Jantra ucapkan kata-
kata itu dalam hati dengan tubuh bergetar karena berusaha menahan diri.

Sementara Rayi Jantra dipanggang amarah dendam kesumat, Pendekar 212 Wiro Sableng
memikirkan kenyataan yang dilihatnya. Ki Sentot Balangnipa ada di tempat itu. Berarti dia ada
sangkut pautnya dengan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Lalu ketika dia menyerbu gedung
kediaman Adipati Brebes untuk menyelamatkan Loan Nio Nikouw dari kebejatan Adipati Karta
Suminta, Ki Sentot Balangnipa juga ada di gedung itu. Malah mereka sempat bentrokan dimana
saat itu Ki Sentot menyerangnya dengan Pedang Naga Merah mirip sang paderi. Berarti Adipati
Brebes yang dibunuhnya itu mungkin punya hubungan dengan Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Mungkin dia pemilik bangunan yang disebut istana yang tak lain dari sebuah rumah judi
dan tempat mesum. Berarti kalau dua dadu setan itu memang ada, maka dialah pemiliknya.
Murid Sinto Gendeng ini tak sempat meneruskan jalan pikirannya karena saat itu antara Rayi
Jantra dan Ki Sentot Balangnipa terjadi perang mulut.

Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis cukup terkesiap besar ketika melihat salah satu dari
empat orang yang berada dalam ruangan ternyata adalah Rayi Jantra. Kepala Pasukan
Kadipaten Losari yang disangkanya telah tamat riwayatnya di dalam jurang tapi ternyata masih
hidup.

“Ki Sentot! Bergundal Istana mesum! Kau terkejut melihat diriku?! Apa pandanganmu masih
cukup jelas melihat hanya dengan satu mata?!” Rayi Jantra keluarkan ucapan lantang.
Ki Sentot Balangnipa dongakkan kepala. Amarah membuat kepalanya untuk sesaat berubah
menjadi kepala kuda benaran, keluarkan ringkikan keras lalu jawab ucapan orang sambil wajah
sunggingkan seringai mengejek.

“Manusia malang, aku hanya bertanya-tanya. Yang ada di tempat ini apa Rayi Jantra benaran
atau rohnya yang gentayangan jadi setan penasaran!”

“Mahluk setengah manusia setengah binatang! Kasihan sekali! Ternyata penglihatanmu benar-
benar sudah tidak karuan! Dari pada picak memang bagusnya kubuat dua matamu buta kiri
kanan!”

Ki Sentot Balangnipa tahan amarah dengan keluarkan tawa meringkik. Dia melirik ke samping
kiri Rayi Jantra dimana berdiri Purnama. Dia tidak mengetahui siapa adanya gadis ini namun
mengenali Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek lalu alihkan pandangan pada Pendekar 212
yang mengenakan caping. Sepasang mata membesar, mulut kembali sunggingkan seringai.

“Kau!” sentak Ki Sentot Balangnipa sambil tudingkan jari telunjuk ke arah Wiro. “Kau boleh
sembunyikan kepala dan tampangmu dibalik caping! Tapi jangan menyangka aku tidak tahu
siapa kau! Kau Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng pembunuh Adipati Karta Suminta dari
Brebes!”

Wiro keluarkan suara bersiul, buka capingnya, lalu membungkuk seolah memberi
penghormatan pada Ki Sentot Balangnipa.

“Kakek muka kuda, aku kepingin tahu apa kemaluanmu juga menyerupai kemaluan kuda!”
Habis berkata begitu Wira tertawa gelak-gelak. Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin
juga ikutan terbahak-bahak. Tampang Ki Sentot Balangnipa merah mengelam seperti saga.
Rahang menggembung. Wiro lanjutkan ucapannya. “Kurasa kau lebih pantas memakai caping
ini untuk menutupi matamu yang picak! Ini pakailah!”

Habis berkata begitu wuuttt! Wiro lemparkan caping bambu ke arah si kakek. Lemparan ini
bukan lemparan biasa karena disertai aliran tenaga dalam. Caping melesat mengeluarkan suara
menderu. Ki Sentot Balangnipa memaki dan cepat rundukkan kepala. Dia tahu betul, walau
hanya sebuah caping dari bambu namun kalau sampai membabat batang lehernya pasti amblas
putus!

Caping melesat hanya sejarak satu kuku di atas kepala Ki Sentot Balangnipa alias si Kuda Iblis.
Pinggiran caping menancap di dinding batu sedalam setengah jengkal. Untuk sesaat tampang Ki
Sentot tampak pucat.

“Ck… ck… ck!” Yang mengeluarkan suara berdecak adalah seorang kakek pendek mengenakan
pakaian selempang hitam dan sejak tadi berdiri di sudut ruangan sambil dua tangan dirangkap
di atas dada. Manusia satu ini memiliki keanehan menggidikkan. Selain rambutnya yang
berwarna kuning dan dua bola mata berwarna putih berkiblar seperti perak, kulit muka dan
tubuh setiap saat berganti warna yaitu merah, lalu biru kemudian berubah lagi menjadi hijau.
Begitu terus-terusan. Setiap dia melepas nafas dari hidungnya keluar kepulan asap warna ungu.
Setelah menatap Wiro sesaat kakek ini berkata. “Caping buntut itu tidak pantas menjadi
penghias dinding ruangan!” Lalu dia meniup. Selarik cahaya ungu menyambar caping yang
menancap di dinding. Saat itu juga caping bambu berubah menjadi bubuk dan melayang jatuh
ke lantai batu!

“Ck… ck… ck.” Suara berdecak kali ini bukan dibuat oleh kakek rambut kuning tapi oleh
Purnama. Dia arahkan tangan kirinya ke tumpukan bubuk caping di lantai batu. Selarik sinar
biru begermerlap berkelebat. Di lain kejap gadis jelita ini sudah memegang caping milik Wiro di
tangan kiri dalam keadaan utuh.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212DUA

WALAU tersentak kaget melihat kehebatan ilmu gadis jelita berpakaian biru itu namun kakek
pendek rambut kuning cepat sembunyikan keterkejutannya dengan keluarkan tawa bergelak
lalu berkata. “Ki Sentot hari ini aku benar-benar gembira. Kita kedatangan para tamu
berkepandaian tinggi. Tapi ilmu sihir kampungan apa perlunya dikagumi! Ha… ha… ha!”

Wiro dekati Rayi Jantra lalu berbisik.

“Rayi. kau pernah menghajar Ki Sentot Balangnipa sampai mata kanannya buta. Aku pernah
menggebuknya. Jika sekarang dia unjukkan nyali besar pasti dia mengandalkan tua bangka yang
kulitnya bisa berubah warna seperti bengkarung itu. Kau tahu siapa adanya kakek itu?”

“Aku tidak tahu pasti.” Jawab Rayi Jantra. “Aku hanya pernah mendengar cerita. Mungkin dia
adalah orang yang dijuluki Raja Racun Bumi Langit. Dia punya hubungan dekat dengan para
pejabat di kerajaan barat dan timur. Sifatnya sangat culas hingga dia juga dijuluki Ular Kepala
Sepuluh! Aku…”

Rayi Jantra tidak sempat lanjutkan kata-katanya karena saat itu si kakek aneh keluarkan ucapan.
Suaranya menggetarkan seantero ruangan batu.

“Ki Santot, kalau ini manusianya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Dua Satu Dua,
bukankah kepalanya dihadiahi lima ringgit emas oleh Adipati Losari?”

“Betul sekali Raja Racun Bumi Langit,” sahut Ki Sentot Balangnipa. Ternyata kakek pendek
berambut kuning itu memang Raja Racun Bumi Langit seperti yang diduga Rayi Jantra. “Dia
memang bergundal penjahat yang membunuh Adipati Brebes Karta Suminta. Aku menyaksikan
sendiri peristiwanya.”
“Berarti kita tidak perlu susah-susah mencari. Dia datang sendiri. Kita tinggal memotes
kepalanya. Dan dapat hadiah lima ringgit emas!” Raja Racun Bumi Langit tertawa bergelak.
Asap ungu mengepul keluar dari hidung dan mulutnya.

Murid Sinto Gendeng menyeringai. Orang mempermainkan dan menganggap enteng dirinya.
Biar dia memberi sedikit pelajaran.

“Kakek pendek rambut kuning. Jika kau memang inginkan kepalaku dan mau dapatkan lima
ringgit emas, kau tak perlu susah-susah turun tangan. Biar aku sendiri menyerahkan padamu!”

Wiro kerahkan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Dipadu dengan Ilmu Meraga Sukma
yang didapatnya dari Nyi Roro Manggut, seorang nenek sakti yang jadi salah satu orang
kepercayaan Ratu Penguasa samudera selatan Nyai Roro Kidul. (Baca serial Wiro Sableng
berjudul “Meraga Sukma”) Wiro cengkeramkan tangan kanan ke dagu dan rahang. Tangan kiri
menekan batok kepala. Dua tangan bergerak serentak ke arah yang berlawanan.

“Kreek!”

Kepala Pendekar 212 Wiro Sableng tanggal dari leher.

Raja Racun, Ki Sentot dan delapan lelaki bercelana hitam melengak kaget luar biasa. Purnama
dan Rayi Jantra serta Pengemis Empat Mata Angin ternganga bergidik.

“Wiro, apa yang kau lakukan?!” ujar Purnama penuh khawatir. Dia hendak mendekat Wiro tapi
lengannya cepat dipegang Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek berbisik. “Ilmu gila itu yang
dipakainya mencopot anuku. Jangan diganggu. Kalau sampai jalan pikirannya kacau bisa
berbahaya.”

Pendekar 212 melangkah ke arah Raja Racun Bumi Langit membawa kepalanya sendiri.

“Kau inginkan kepalaku! Ambillah!” Kutungan kepala keluarkan ucapan dan Wiro angsurkan
kepalanya dekat-dekat ke muka si kakek. Mata dipelototkan, lidah dijulur. Karuan saja Raja
Racun Bumi Langit jadi bergidik dan menyingkir mundur. Rambut kuning berjingkrak saking
kaget dan ngeri. Kulit muka yang berubah-ubah warna berhenti pada warna hijau. Nyalinya
bergetar, tengkuk terasa dingin.

Karena orang tidak menyambuti kepalanya Wiro melangkah mundur. Kepala ditempelkan
kembali ke kutungan leher. Sebenarnya hati sang pendekar merasa kebat-kebit khawatir kalau
kepalanya tidak tersambung kembali. Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad selama ini hanya
dipergunakan terhadap lawan atau orang lain. Belum pernah dipergunakan untuk diri sendiri.
Apalagi dipadu dengan Ilmu Meraga Sukma. Tapi untung kepala itu menempel seperti semula.
Wiro merasa lega.

“Manusia kulit bengkarung. Ternyata nyalimu cuma sampai di pantat!” Wiro mengejek.
Meski marah dimaki begitu rupa tapi Raja Racun Bumi Langit masih mampu kendalikan diri. Dia
tidak mau bertindak salah sebelum rencana utamanya dilaksanakan. Dia tidak menyangka akan
berhadapan dengan orang-orang yang ilmu kesaktiannya begitu hebat. Maka kakek ini segera
berbisik pada Ki Sentot.

“Kita harus bertindak cepat. Kalau tidak urusan bisa jadi kapiran!”

Ki Sentot Balangnipa maklum kalau Raja Racun ingin segera melaksanakan rencana besarnya,
maka dia maju selangkah.

“Kalian tamu. Kami tuan rumah. Walau kalian datang menyusup pertanda punya niat buruk,
kami masih punya sopan santun untuk bertanya. Ada keperluan apa kalian datang ke sini?!”

“Kami ingin memastikan bahwa tempat ini adalah apa yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Sarang judi dan tempat mesum terkutuk! Kami ingin tahu siapa penguasa atau pimpinan
di sini!” Yang bicara adalah Rayi Jantra.

“Kami mengetahui ada dua buah dadu disebut dadu setan. Dipergunakan sebagai alat judi, alat
menipu dan menguras siapa saja yang ikut bermain! Kami ingin kalian menyerahkan dua buah
dadu itu!” Wiro kini yang keluarkan ucapan.

Pengemis Empat Penjuru Angin ikut membuka mulut.

“Tadinya aku mengira bisa mencari rejeki sedekahan besar di tempat sini. Ternyata yang ada
ruang kosong melompong serta manusia-manusia jejadian. Satu mahluk setengah manusia
setengah kuda. Satu lagi setengah manusia setengah kadal! Kuda dan kadal mana bisa memberi
sedekah! Ha… ha…. ha.”

Raja Racun Bumi Langit ikutan tertawa. Begitu hentikan tawa dia menatap ke arah Purnama.

“Gadis jelita! Dibalik keharuman tubuhmu aku mencium kalau kau sebenarnya adalah mahluk
dari alam lain. Apakah kau juga mau ikutan bicara?”

Diam-diam Purnama merasa kagum akan ketinggian ilmu kakek rambut kuning yang mampu
mengetahui siapa dirinya.

“Aku menyirap kabar kalau yang namanya Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu selain dijadikan
tempat perjudian dan tempat mesum, juga dijadikan tempat pertemuan para tokoh tertentu
yang hendak menghancurkan kerajaan di barat!”

Raja Racun Bumi Langit tersenyum. Dia memandang pada Ki Sentot Balangnipa lalu dua kakek
ini tertawa
gelak-gelak. Ki Sentot berkata. “Kalian semua tidak buta! Apa tempat ini pantas disebut
istana?!” “Memang tidak!” jawab Rayi Jantra. “Kalian telah lebih dulu merubahnya!” Ki Sentot
Balangnipa mendengus. Wiro sambung ucapan Rayi Jantra. “Kalau ini bukan bangunan penting
dan rahasia lalu apa perlunya

kehadiran kalian di sini! Untuk menjaga kecoak dan tikus?!”

“Dengar,” kata Raja Racun pula. “Aku ingin bertanya. Siapa yang memperdayai dan
memperbodoh kalian untuk menyelidik istana yang tak pernah ada itu. Siapa pula yang
membuat kalian jadi orang-orang tolol dan mempercayai keberadaan dua buah dadu setan!
Orang-orang di kerajaan barat atau seorang paderi perempuan berasal dari Tiongkok?”

“Kami tidak ada sangkut paut dengan siapapun!” Jawab Rayi Jantara.

Wiro maju selangkah hingga dia kini berhadap-hadapan dengan Ki Sentot Balangnipa. Dia tiup
muka si kakek. Saking geramnya dia langsung hantamkan satu jotosan ke muka Wiro. Murid
Sinto Gendeng cepat tangkap tinju kanan si kakek. Dua tangan bergetar. Aliran tenaga dalam
sama-sama dikerahkan. Ki Sentot Balangnipa merasa tangannya panas pertanda tenaga
dalamnya masih berada dibawah lawan. Dengan satu sentakan keras dia cepat-cepat menarik
tangan kanannya. Kakek ini beruntung karena kalau terlambat pasti tangan kanannya itu akan
hancur karena saat itu Wiro sudah mengerahkan ilmu Koppo yaitu ilmu mematahkan tulang
yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura. Ki Sentot Balangnipa bersurut dua langkah
penuh geram sambil usap-usap tangan kanannya dengan tangan kiri.

“Aku mau balik bertanya! Siapa yang memperbodoh dan membayar kalian untuk jual tampang
di tempat ini!” Hardik Pendekar212.

Raja Racun tersenyum. “Berdebat tak akan ada habisnya. Bagaimana kalau aku mengajukan
satu tawaran bagus. Bagaimana kalau kalian berempat bekerja dan jadi anak buahku saja!
Kalian akan mendapat bayaran besar. Dalam waktu enam bulan dari hasil bayaran itu kalian
bisa membangun rumah sebagus istana!”

Wiro menggaruk kepala lalu tertawa, diikuti oleh Purnama, kakek pengemis dan Rayi Jantra.

Pengemis Empat Mata Angin angsurkan tangan kanannya yang memegang batok. “Aku mau
bukti dulu.

Aku minta sedekah!” Setelah menunggu sesaat dan Raja Racun Bumi Langit hanya diam saja
kakek pengemis tertawa mengekeh. “Memberi sedekah saja kau tidak mampu! Bagaimana mau
membayar kami berempat dengan bayaran yang

bisa membuat istana?! Ha… ha… ha!”


“Manusia rambut kuning. Tawaranmu menarik juga,” kata Wiro sambil garuk kepala. “Sebelum
kami setuju menerima, kami perlu tahu siapa pimpinan kalian dan kami orang-orang tolol ini
tetap minta kalian menyerahkan, paling tidak memberi tahu dimana beradanya dua dadu
setan.”

Raja Racun Bumi Langit goleng-goleng kepala.

“Aku jarang memberi tawaran bagus. Kalian malah menyia-nyiakan kesempatan.” Kakek rambut
kuning ini dekati Ki Sentot Balangnipa lalu berkata. “Ki Sentot, seperti dugaanku semula, orang-
orang itu memang tak bisa dibujuk. Saatnya kita menyelesaikan pekerjaan. Aku tak mau urusan
jadi bertele-tele. Lakukan sekarang!”

Mendengar ucapan kakek rambut kuning Ki Sentot Balangnipa menatap ke arah Wiro dan
kawan-kawan.

“Diberi berkah malah minta sengsara!” ucapnya. Lalu dia berpaling pada delapan lelaki
bercelana hitam dan berteriak berikan perintah.

“Cincang mereka semua!”

“Srett!”

Delapan golok besar berkiblat dicabut dari sarungnya lalu berdesing di udara menyerbu ke arah
Wiro dan kawan-kawan.

Delapan lelaki bercelana hitam bertelanjang dada yang menyerang itu rata-rata memiliki ilmu
golok tingkat tinggi. Selain ganas, gerakan mereka cepat luar biasa dan kesiuran senjata yang
mereka pegang mengeluarkan hawa dingin. Wiro yang berada paling depan dibuat kaget ketika
ujung golok salah seorang lawan menderu di depan hidungnya sementara dari samping kiri
lawan kedua membabatkan golok ke pinggang.

Pendekar 212 cepat melompat mundur. Hidungnya terasa dingin sewaktu ujung golok menyapu
lewat hanya sepertiga jengkal.

“Brettt!”

Baju putih Wiro robek besar di pinggang. Lelaki yang menyerang cepat berbalik begitu
serangannya tidak mampu melukai lawan. Dia menerjang sambil bacokkan golok. Namun
jotosan Wiro menghantam mukanya lebih dulu. Hidung hancur, gigi rontok, tubuh tergelimpang
di lantai. Kawannya yang tadi hampir memapas buntung hidung sang pendekar menerima nasib
lebih jelek. Tendangan kaki kanan Wiro mendarat telak di dadanya. Tubuhnya mencelat
terbanting ke dinding, muntah darah lalu melosoh jatuh tak berkutik lagi.
Di bagian lain ketika dua orang menyerbu ke arahnya, Rayi Jantra membuat gsrakan melompat
setinggi setengah tombak. Dia berhasil menjambak rambut penyerang paling dekat. Sekali
sentak saja lawan dibuat jungkir balik menghantam lantai batu, menemui ajal dengan kepala
pecah. Goloknya yang terpelanting di udara cepat disambar Rayi Jantra lalu trang! Rayi Jantra
pergunakan golok untuk menangkis serangan lawan kedua.

Bentrokan senjata membuat penyerang terjajar ke belakang. Selagi dia coba imbangi diri Rayi
Jantra lemparkan golok di tangan kanannya. Senjata ini menancap telak di pertengahan dada
lawan.

“Kek, biar aku yang melayani empat ekor monyet ini. Kau tenang sajalah!” kata Purnama pada
Pengemis Empat Mata Angin ketika empat orang lelaki bertelanjang dada dengan golok di
tangan menyerbu ke arah mereka.

“Aku mau cari sedekahan!” jawab si kakek sambil dua tangannya yang memegang batok kelapa
berkelebat ke depan.

Namun Purnama sudah mendahului. Caping di tangan kiri dicampakkan lalu dua tangan dia
angkat ke depan. Dua larik angin halus bersiur dan empat penyerang tahu-tahu tertegun kaku,
tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Saking penasaran karena kedahuluan Purnama, Pengemis
Empat Mata Angin kemplangi kepala ke empat orang itu dengan batok kelapanya hingga benjut
dan kucurkan darah. Lalu kakek ini menggeledahi celana keempat orang itu dan berhasil
menemukan beberapa keping uang tembaga.

“Lumayan… lumayan!” katanya sambil tertawa mengekeh lalu masukkan uang logam itu ke
dalam kantong kain buntut yang tergantung di dada.

Ternyata serangan yang dilakukan delapan lelaki bercelana hitam bersenjata golok tadi
hanyalah satu umpan atau tipuan saja sesuai rencana Raja Racun Bumi Langit. Karena begitu
perkelahian terjadi Raja Racun cepat hentakkan kaki kanannya ke salah satu bagian di lantai
batu. Ternyata di situ ada bagian lantai yang berhubungan dengan alat rahasia. Saat itu juga
lantai bergeser membentuk lobang empat persegi. Tidak menunggu lebih lama Raja Racun
melompat masuk ke dalam lobang sambil mulut meniupkan asap ungu dan dua tangan
bergerak melempar empat buah benda berbentuk bola berwarna perak.

Ki Sentot Balangnipa terkejut. Apa yang dilakukan Raja Racun tidak sesuai dengan yang diatur
sebelumnya. Mereka akan keluar dari ruangan itu lewat lobang rahasia di lantai secara
bersama-sama.

“Raja Racun! Tunggu!”

Di dalam lobang terdengar suara tawa Raja Racun Bumi Langit.


“Ki Sentot! Aku sudah lama tidak senang dirimu! Kau layak mampus bersama manusia-manusia
tolol itu! Selamat menikmati Racun Inti Bumi. Ha… ha… ha!”

“Jahanam kurang ajar! Manusia culas!” Kejut Ki Sentot Balangnipa. Racun Inti bumi adalah
racun paling jahat yang dimiliki Raja Racun Bumi Langit. Racun ini terdiri dari empat unsur yaitu
Racun Tanah, Racun Air, Racun Api dan Racun Udara. Tidak ada satu orangpun yang bisa lolos
dari kematian jika menghisapnya.

Sosok Raja Racun tak kelihatan lagi di dalam lobang. Pada saat lantai menutup kembali sampai
setengahnya, dengan nekad Ki Sentot Balangnipa terjunkan diri ke dalam lobang. Namun hanya
bagian dada ka bawah yang lolos. Lobang batu keburu menutup.

Kraakkk!

Tubuh Ki Sentot Balangnipa terjepit. Dada hancur putus. Sebelum menemui ajal kakek ini
keluarkan suara meringkik. Kepala berubah jadi kepala kuda. Setelah itu ujudnya kembali ke
bentuk semula. Potongan tubuhnya tergeletak menelungkup di lantai batu hanya bagian dada
sampai kepala.

Sementara itu di empat sudut ruangan mengepul dahsyat empat asap berwarna merah, hijau,
kuning dan biru. Udara terasa pengap dan panas. Lantai yang kering seperti ada basahan air.
Hawa panas laksana ada kobaran api besar.

“Awas racun jahat! Tutup jalan parnafasan!” teriak Rayi Jantra.

Purnama gerakkan bahu. Cahaya biru begemerlap keluar dari tubuh, melindungi diri serta tiga
orang lainnya. Namun cahaya sakti biru ini hanya mampu menahan sedikit keganasan racun
yang memenuhi ruangan batu, tak mampu melindungi jalan pernafasan. Wiro sadar apa yang
terjadi. Jika tidak cepat meloloskan diri mereka semua akan menemui ajal di ruangan itu. Dia
lepaskan pukulan Sinar Matahari, menghantam ke arah salah satu dinding batu. Ruangan batu
tergoncang dahsyat. Namun apakah pukulan sakti itu tidak mampu menjebol dinding.
Sementara kepulan asap empat warna mulai bersatu bergulung-gulung di udara membentuk
racun luar biasa jahat yang dinamakan Racun Inti Bumi.

Ke empat orang itu merasakan dada menyesak dan lutut gontai. Pemandangan mendadak gelap
dan tubuh menjadi lemas. Rayi Jantra jatuh duluan, terguling di lantai batu. Mulutnya keluarkan
busa. Menyusul Pengemis Empat Mata Angin. Wiro berusaha keluarkan Kapak Naga Geni 212
untuk dipakai menghancurkan dinding. Namun keadaannya sudah sangat lemah. Purnama satu-
satunya yang masih mampu berdiri tegak berusaha kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuh.
Dua bahu digoyang. Cahaya gemerlap memancarkan ribuan percikan bunga api berwarna biru
melesat di udara. Cepat sekali ribuan percikan cahaya warna biru ini menyatu membentuk
sebuah bola besar lalu melesat ke arah pintu rahasia di mana sebelumnya Wiro dan kawan-
kawan masuk.
“Bummm!”

Ruangan batu laksana dihantam gempa. Langit-langit ruangan mau runtuh. Dinding seolah mau
jebol dan lantai laksana amblas. Tujuh dari delapan obor besar padam. Ilmu kesaktian Purnama
yang disebut Menggusur Gunung Menjungkir Langit ternyata tidak sanggup menjebol pintu
rahasia. Malah kini dia dan Wiro serta Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin tergeletak
megap-megap di lantai ruangan yang keadaannya berubah redup karena tinggal satu obor yang
menyala. Dari hidung dan telinga ketiga orang itu keluar cairan berwarna hijau.

Sementara itu delapan lelaki bercelana hitam berkaparan dalam keadaan sudah tak bernyawa
lagi. Sebagian menemui ajal akibat racun yang menembus jalan pernafasan. Muka dan sekujur
kulit tubuh mereka berwarna belang-belang merah, biru dan kuning.

“Purnama….” Wiro berbisik sambil berusaha menggapai dan memegang tangan Purnama. “Kau
punya kemampuan untuk keluar dari sini. Kembali ke sosok aslimu. Pergilah….”

“Tidak….” jawab Purnama perlahan lirih. “Apapun yang terjadi aku akan bersamamu di tempat
ini.” Lalu gadis dari masa 1200 tahun silam ini kumpulkan tenaga dan berusaha menggulingkan
diri hingga berhasil mendekati Wiro. Begitu tubuh mereka bersentuhan Purnama berusaha
memeluk sang pendekar. Wajahnya didekatkan ke muka Wiro. Mulutnya masih sanggup
membisikkan kata-kata. “Kalau memang ada kematian kedua bagiku, aku ingin dan rela mati
bersamamu di tempat ini dalam pelukanmu….”

Pendekar 212 gerakkan tangan untuk merangkul punggung Purnama. Namun dua tangan itu
terjatuh lemas ke lantai. Wiro dan Purnama terkulai tak berkutik.

Ruang batu tenggelam dalam kesunyian sementara kepulan asap racun makin membuntal
ganas. Tiba-tiba kesunyian itu terusik lapat-lapat oleh satu suara aneh. Suara menderu tak
berkeputusan. Datangnya dari arah dinding merah, arah letak pintu rahasia dimana tadi Wiro
dan kawan-kawan masuk.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212TIGA

KAWASAN samudera selatan, yang dikenal sebagai daerah luas kekuasaan Nyi Roro Kidul.
Petang itu laut tampak tenang. Cahaya sang surya yang tak selang berapa lama akan segera
tenggelam membuat sebagian permukaan laut berwarna merah kekuning-kuningan. Di dasar
laut dalam sebuah bangunan besar bagus memiliki tiga buah menara, seorang nenek cebol
berambut putih panjang yang dikenal dengan panggilan Nyi Roro Manggut duduk di tepi kasur
tebal memegang dan menatap sehelai sapu tangan biru muda bernoda darah yang telah
mengering. Ingatannya kembali pada satu peristiwa di masa waktu lalu. Ketika dia
mempergunakan sapu tangan biru muda itu untuk menyeka noda darah yang ada di wajah
seorang pemuda gagah bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar 212.
“Aneh, mengapa aku tiba-tiba ingat pada pemuda yang aku sebut bocah ingusan itu,” ucap si
nenek perlahan. Matanya yang juling bergerak-gerak, kepala manggut-manggut. “Perasaanku
tak enak. Dadaku berdebar. Sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin sekali dia berada dalam
bahaya besar. Nyawanya terancam. Tidak pernah kejadian hal seperti ini. Aku harus
menyelidik….”

Si nenek duduk bersila, letakkan sapu tangan biru muda di atas pangkuan, tubuh tak bergerak
lalu pejamkan mata. Hanya sesaat, tiba-tiba tubuhnya bergetar dan ada cahaya merah
berkelebat memasuki ruang penglihatannya. Dalam pandangan sepasang mata si nenek yang
terpejam, dia melihat langit berwarna aneh. Seorang pemuda berpakaian putih berlari
menjauhi langit merah darah yang hendak menggulungnya. Namun dua kakinya goyah, tubuh
tersungkur jatuh. Sekilas pada keningnya tampak kilatan satu cahaya hijau.

Nenek cebol buka kedua matanya kembali, menarik nafas dalam beberapa kali lalu bergerak
bangkit. Tangan kiri mengusap wajah keriput yang basah oleh keringat. “Memang dia! Wiro
dalam bahaya. Ada tanda hijau di keningnya. Pertanda dia telah menyalah gunakan cara
pemakaian ilmu yang aku berikan. Aku harus menemui Junjungan Agung sekarang juga!”

Nyi Roro manggut tinggalkan bangunan tiga menara, melesat di dasar laut menuju ke satu
bangunan luar biasa indahnya, berwarna dan bercahaya kuning karena hampir seluruh
dindingnya dilapisi emas murni. Di atas bangunan terdapat satu menara besar dikelilingi
delapan menara kecil yang juga dilapisi emas.

Beberapa penjaga disetiap pintu yang dilalui si nenek tidak berani menghalangi. Dan semua
pintu bangunan emas itu terbuka dengan sendirinya begitu si nenek berada tujuh langkah di
depannya.

Tak tana kemudian Nyi Roro Manggut sampai di sebuah ruang terbuka yang amat bagus. Pada
dua sudut ruangan terdapat pendupaan besar mengepulkan asap kekuningan menebar bau
harum kayu cendana. Tiga buah dinding seolah terbuat dari kaca hingga apa yang ada di luar,
yakni pemandangan laut yang luar biasa indahnya kelihatan nyata serasa bisa digapai tangan.
Ratusan macam ikan laut berbagai warna dan ukuran berenang kian kemari diantara terumbu
karang dan tetumbuhan laut. Di kejauhan sayup-sayup terdengar gema alunan gamelan.

Dinding ke empat yaitu dinding yang ada di hadapan Nyi Roro Manggut tertutup hiasan tujuh
lapis tirai tipis tujuh warna dan dari balik tirai menebar bau harum mewangi yang menindih
harum kayu cendana dari dua pendupaan. Si nenek berlutut rapatkan dua tangan lalu diangkat
di atas kepala.

“Junjungan Agung Nyi Roro Kidul, saya Nyi Roro Manggut mohon ijinmu untuk meninggalkan
kawasan istana. Ada seorang kerabat membutuhkan pertolongan di dunia luar sana.”
“Nyi Roro Manggut, aku sudah mengetahui. Orang itu memang perlu segera diselamatkan.
Karena jika terjadi apa-apa dengan dirinya rimba persilatan akan mengalami goncangan hebat.
Kawasan samudera selatan dimana kita berada akan terkena imbasnya. Selain itu orang-orang
kawasan laut utara akan merasa lebih leluasa bertindak jahat terhadap kita. Pergilah sekarang
juga karena waktumu sangat sedikit. Aku khawatir kau tak punya kesempatan. Aku mengijinkan
kau mempergunakan Batu Mustika Angin agar kau bisa segera sampai di tempat orang yang
membutuhkan pertolongan.” Satu suara halus lembut menjawab dari balik tujuh lapis tirai.

“Terima kasih atas perhatian dan ijin Junjungan Agung. Selain itu ada satu hal yang perlu saya
tanyakan. Orang yang hendak saya tolong ini pernah saya berikan Ilmu Meraga Sukma. Saya
mendapat pertanda bahwa dia telah memadu ilmu itu dengan ilmu lain. Saya mohon petunjuk
Junjungan Agung apakah setelah menyelamatkan dirinya saya perlu menjatuhkan hukuman,
mengambil ilmu itu kembali atau bagaimana?”

“Ilmu dari alam kita selama ini memang tidak boleh digabung atau dipadu dengan ilmu dari
alam lain. Namun keadaan sudah banyak berubah. Jika maksudnya baik dan hasil paduan itu
lebih banyak manfaatnya mengapa tidak? Bahkan boleh jadi kita bisa saja mempelajari apa
yang telah dilakukan orang itu.”

Nyi Roro Manggut membungkuk dalam.

“Terima kasih atas petunjuk Junjungan Agung. Saya mohon diri sekarang. Atas ijin Nyi Roro
Kidul saya akan mengambil Batu Mustika Angin di ruang penyimpanan benda pusaka.”

“Pergilah dan tetap ingat keterbatasan waktumu berada di dunia luar sana. Selesai menolong
orang segera kembali ke sini.”

“Perintah Junjungan Agung akan saya perhatikan. Saya pergi sekarang.”

Setelah membungkuk sekali lagi dengan langkah bersurut mundur Nyi Roro Manggut tinggalkan
ruangan besar yang sangat indah itu.

Diantar dua orang pengawal si nenek mengambil sebuah batu sakti yang disebut Batu Mustika
Angin Laut Kencana Biru yang disimpan di sebuah ruangan sangat rahasia. Pintu ruangan hanya
bisa dibuka dan ditutup oleh Nyi Roro Kidul dan dengan kesaktiannya hal ini mampu dilakukan
dari kejauhan.

Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru berbentuk bulat lonjong hampir menyerupai telur ayam
dan memancarkan cahaya kebiru-biruan. Begitu memegang batu dan melafalkan satu mantera
dalam hati, sosok Nyi Roro Manggut lenyap, seolah berubah menjadi angin. Dengan kecepatan
laksana angin pula dia melesat keluar dari samudera selatan, menembus udara petang dikala
sang surya tengah menggelincir masuk ke titik tenggelamnya.
Ketika Nyi Roro Manggut laksana terbang keluar menembus melewati Tembok Karang Abadi
yang merupakan batas kawasan kediaman Nyi Roro Kidul dan langsung menembus permukaan
laut, di pantai sebelah timur seorang gadis berpakaian hitam dihias manik-manik putih dan
hijau hentikan larinya. Rambut hitam tergerai panjang disibak ke belakang. Dua orang gadis
jelita yang jadi pengiringnya berhenti pula berlari, salah seorang dari mereka bertanya.

“Ada apa, Ratu?”

“Kalian lihat ke arah utara sana. Ada cahaya kebiruan. Ada kerabat penting meninggalkan
kawasan kediaman Ratu Nyi Roro Kidul….” Orang yang dipanggil dengan sebutan Ratu
menjawab. Dua pengiring memandang ke arah utara. Namun mereka tidak melihat apa-apa. Si
cantik berambut panjang dan mengenakan pakaian hitam bertabur manik-manik putih serta
hijau keluarkan sesuatu yang ternyata adalah sebuah cermin bulat. Setelah menatap sesaat ke
dalam cermin, dia lalu berkata.

“Nyi Roro Manggut…. Ah, dia membekal Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Pertanda dia
tengah melakukan satu perjalanan jauh dan cepat serta sangat penting. Kemana…?”

Si gadis cantik bukan lain adalah Ratu Duyung gerak-gerakkan cermin sakti di tangannya. Samar-
samar dia melihat satu bukit batu, lalu sosok tubuh manusia yang bergelimpangan di tanah.
Hatinya mendadak berdebar. “Terlalu samar. Satu tempat sangat jauh. Mungkinkah dia….? Tak
mungkin aku menyusul. Bagaimana baiknya? Apakah aku harus menemui sang Ratu untuk
menanyakan? Belum lama aku mendatanginya. Aku khawatir Sang Ratu merasa terganggu….”
Setelah merenung sejenak walau hatinya merasa tidak enak akhirnya Ratu Duyung
memutuskan untuk menunggu di tempat itu sampai Nyi Roro Manggut kembali. Dua pengiring
diminta untuk meninggalkannya sendirian di tempat itu.

EMPAT orang tak berdaya, tergeletak siap meregang nyawa di dalam ruangan batu yang
sebelumnya memang merupakan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Mereka tidak dapat
mendengar suara menderu di luar bangunan dimana mereka terperangkap Racun Inti Bumi.
Dinding batu merah bergetar hebat. Suara menderu terdengar semakin kencang. Sesekali
diseling suara benda keras jebol dan pecah serta suara aneh seperti kerbau melenguh.

“Kraakk! Dess!”

Tiba-tiba salah satu bagian pintu batu merah berderak hancur. Sebuah lobang besar menguak.
Tekanan tinggi yang ada di dalam ruangan batu menghambur keluar, membersitkan Racun Inti
Bumi dalam bentuk kepulan asap biru, merah, kuning dan hijau luar biasa dahsyat. Satu mahluk
aneh berduri sebesar anak kerbau yang ada di depan lobang terpental, keluarkan jeritan
melenguh lalu terkapar tak bergerak lagi. Mahluk ini ternyata adalah seekor landak raksasa.
Duri lebat coklat yang menutupi badannya banyak yang patah. Darah menggelimangi muka dan
hampir seluruh sosok tubuh binatang ini. Cairan hijau meleleh dari mulut.

“Gusti Allah! Tolong! Mudah-mudahan aku tidak terlambat!”


Mendadak ada orang berseru. Lalu satu bayangan hijau berkelebat, menerobos masuk ke dalam
bangunan batu melalui lobang di dinding pintu merah. Begitu berada di dalam, orang ini yang
bukan lain adalah Nyi Roro Manggut keluarkan seruan kaget.

“Racun jahat! Luar biasa jahat!” Si nenek cepat tutup jalan penciuman begitu dadanya terasa
sesak setelah sempat menghirup sisa-sisa Racun Inti Bumi yang masih ada di dalam bangunan
bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.Memandang berkeliling dia melihat sosok seorang gadis
tertelungkup di atas tubuh Pendekar

212. Lalu di sebelah sana berguling seorang kakek botak dan seorang lelaki muda.

Nyi Roro Manggut angkat tangan kanan ke atas. Mulut merapal mantera. Lima kuku jari
mengeluarkan cahaya biru. Cahaya menjalar hingga sekejapan tubuhnya tampak berwarna biru.
Ketika cahaya biru lenyap sosok si nenek telah berubah. Tingginya menjadi dua kali dan
besarnya hampir tiga kali dari semula. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menggunung Raga
Melaut Tenaga. Dengan gerakan cepat Nyi Roro Manggut

mengangkat Purnama dan Rayi Jantra lalu ditumpuk letakkan di atas bahu kiri Wiro dan
Pengemis Empat Mata

Angin dipanggul di bahu kanan. Lalu sekali berkelebat nenek ini melesai keluar dari bangunan
batu,

menerobos lewat lobang besar di dinding merah.

Di luar goa keadaan mulai gelap karena sang surya telah tenggelam. Di udara terdengar suara
aneh seperti suara tiupan seruling. Walau heran tapi si nenek tidak perdulikan suara itu. Nyi
Roro Manggut baringkan ke empat orang yang barusan diselamatkannya di tanah. Sosoknya
yang tinggi besar pancarkan cahaya biru dan ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang nenek
cebol.

Ketika memperhatikan sosok empat orang yang tadi dilemparkannya keluar bangunan beracun,
kejut Nyi Roro Manggut bukan kepalang. Sekujur kulit orang-orang itu, mulai dari muka sampai
ke kaki kelihatan belang empat warna yaitu merah, hijau, kuning dan biru. Si nenek segera
mengenali.

“Racun inti Bumi. Racun paling jahat kedua setelah Racun Inti Neraka!”

Cepat si nenek telungkupkan tubuh keempat orang itu. Satu demi satu dia totok dua urat besar
di pangkal leher mereka. Setelah menunggu beberapa lama tidak terjadi apa-apa tidak ada
sosok yang bersuara apa lagi bergerak. Si nenek jadi cemas. Nyi Roro Manggut balikkan kembali
tubuh keempat orang itu hingga terbaring menelentang lalu tangan kiri ditempelkan di dada
mereka.
“Masih hidup…,” ucap si nenek begitu dia merasa ada suara degup jantung di dada Wiro walau
sangat halus. “Aku harus menyedot keluar racun yang ada dalam tubuhnya. Apakah masih
keburu?” Nyi Roro Manggut cengkeramkan sepuluh jari tangannya ke kening dan batok kepala
Wiro lalu kerahkan tenaga sakti untuk menyedot. Si nenek tiba-tiba mengeluh pendek. Dada
terasa sakit dan jalan nafas seperti terkancing. Ketika dia memaksa tubuh cebolnya terpental
tiga langkah.

Hal yang sama dialami Nyi Roro Manggut ketika dia berusaha menyedot racun jahat dari dalam
tubuh Rayi Jantra. Si nenek kecewa. Dia tidak mengira ilmu kepandaian yang dimilikinya selama
ini ternyata tidak mampu menyelamatkan kedua orang itu. Ketika memeriksa Pengemis Empat
Mata Angin, si nenek dapatkan kakek kepala botak itu telah menemui ajal.

Nyi Roro Manggut dekati sosok landak raksasa. Dia memperhatikan. Pada tubuh binatang itu
hanya terdapat dua warna racun yaitu hijau dan merah. “Binatang jejadian. Bukan mahluk alam
sini.” Nyi Roro Manggut membungkuk. Seperti yang dilakukannya pada Wiro dan Rayi Jantra dia
lalu cengkeramkan sepuluh jari tangan di kepala landak besar itu. Begitu dia mengerahkan
tenaga dalam, binatang itu melenguh keras. Tubuhnya melesat setinggi satu tombak ke udara
lalu ketika terbanting jatuh di tanah keadaannya berubah menjadi sosok seorang pemuda
berpakaian kelabu dengan kulit berwarna merah dan hijau. Wajah dan tangan penuh luka
bercelemong darah. Ketika diperiksa oleh Nyi Roro Manggut ternyata pemuda ini masih
bernafas. Keadaannya tidak separah yang dialami orang-orang lainnya. “Hemmm…. Dia punya
kesaktian dari alam lain.” Si nenek membatin lalu berpaling ke arah Purnama. Lewat sepasang
mata dia mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya. Dia melihat satu cahaya aneh membungkus
tubuh gadis jelita itu. Sambil usap dagu Nyi Roro Manggut berkata perlahan. “Kau juga bukan
mahluk alam sini. Kau punya kesaktian lebih hebat dari pemuda itu. Seharusnya kau mampu
menolak racun jahat itu.”

Nyi Roro Manggut letakkah tangan kiri di atas dada Purnama. Tidak terasa suara detak jantung.
Dia pegang urat besar di pangkal kiri leher si gadis. Tidak ada getaran denyut aliran darah. “Tak
ada detak jantung. Tak ada aliran darah. Tapi aku tahu kau masih hidup. Mungkin kau punya
nyawa lebih dari satu!” Nyi Roro Manggut

cengkeramkan sepuluh jari tangan ke kepala Purnama.

“Desss!” .

Si nenek keluarkan pekik terkejut ketika sosok gadis yang ditolongnya tiba-tiba lenyap dan
berubah jadi kepulan asap biru. Lalu terlihat sosok samar yang perlahan-lahan kembali berubah
menjadi sosok utuh seperti semula. Sosok ini coba berdiri. Namun seperti tidak punya kekuatan
roboh jatuh dan terguling di tanah.

“Mati?” pikir Nyi Roro Manggut lalu memeriksa.


*****

Kapak Maut Naga Geni 212EMPAT

TIBA-TIBA sepasang mata Purnama terbuka. Mata itu berputar bergerak, memandang ke arah
Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin. Ketika pandangannya membentur sosok
Jatilandak, detak jantungnya seolah berhenti sesaat

“Anakku, bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau masih hidup….”

Purnama perhatikan keadaan dirinya sendiri. Ketika melihat tangan kirinya gadis ini jadi
tercekat “Racun empat warna….” ucapnya dalam hati. Jalan pikirannya ternyata masih cukup
jernih. Bibir bergetar. Dia berpaling menatap si nenek kembali.

“Nek, pasti kau yang telah menyelamatkan diriku dan para sahabat. Aku sangat berterima kasih.
Namun nyawa kami masih terancam. Aku tahu kau bukan orang sembarangan. Saat ini aku tak
punya daya tak punya tenaga. Pinjamkan seluruh tenaga dalam dan hawa saktimu padaku.
Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan nyawa orang-orang itu dan diriku
sendiri.”

“Heh?” Nyi Roro Manggut tercekat mendengar ucapan Purnama. “Tidak mungkin… tidak
mungkin aku melakukan itu.”

“Di alammu dan di alamku banyak hal yang tidak mungkin. Tapi di alam sini segalanya serba
mungkin. Ulurkan tanganmu tekankan telapak tangan kiri di tumit kananku, telapak tangan
kanan ke tumit kiri. Cepat lakukan. Waktu kita tidak banyak. Jika kau ingin menyelamatkan Wiro
lakukan sekarang juga. Demi Tuhan lakukanlah!”

Wajah si nenek tampak berubah. “Kau menyebut nama Tuhan. Padahal kau mahluk alam lain.
Apa di alammu ada Tuhan? Apa kau mengenal Tuhan?”

Purnama menarik nafas dalam. “Nek, kau hanya membuang waktu saja. Tapi biar kujawab
pertanyaanmu. Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan. Kau dan aku ada di dalam alam yang
sama. Apa itu bukan berarti kita mempunyai Tuhan yang sama. Apakah untuk menolong
kami….”

Nyi Roro Manggut angkat tangan kirinya. “Sudah… sudah.” Si nenek lalu menatap ke arah
Pendekar 212. “Ah, bocah ingusan itu. Pesan Junjungan Agung. Aku harus menolongnya. Tapi
bagaimana kalau gadis alam gaib ini menipuku? Bagaimana kalau setelah tenaga dalam dan
hawa sakti aku berikan, dia tidak mengembalikan?”

“Nek! Waktu kita tidak lama!” Berseru Purnama.


Setelah tetapkan hatinya Nyi Roro Manggut akhirnya lakukan apa yang dikatakan Purnama.
Telapak tangan kiri ditekankan ke tumit kanan dan telapak tangan kanan ditekankan di tumit
kiri Purnama.

“Desss!”

“Desss!”

Nenek cebol menjerit keras ketika tubuhnya terpental dua tombak lalu berguling lemas. Dia
coba bangkit tapi terhuyung lalu jatuh terlentang. Tubuhnya seolah tidak memiliki tulanglagi.

“Gusti Allah, apa yang terjadi dengan diriku! Gadis itu menguras seluruh tenaga dalam dan
hawa sakti yang aku miliki!”

Kalau si nenek terpental dan terbanting di tanah maka Purnama mencelat ke udara, lalu
melayang turun dalam ujud utuh. Begitu menginjak tanah dia cepat mendekati Wiro. Mulutnya
berucap. “Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus tiga puluh. Pengobatan ke lima ratus dua
puluh enam. Dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar kami
semua mendapat kesembuhan.”

Habis keluarkan ucapan sesuai dengan apa yang dibaca dan diingatnya dalam Kitab Seribu
Pengobatan Purnama pentang empat jari tangan kanan yaitu ibu jari, jari telunjuk, jari tengah
dan jari manis. Keempat jari yang seolah berubah menjadi empat potongan besi itu kemudian
drtotokkan ke keningnya sendiri!

“Craass! Kraaakkk!”

Empat jari menembus daging dan tulang kening hingga di kening itu kini kelihatan empat buah
lobang. Begitu lobang terkuak maka mengucur empat cairan masing-masing berwarna merah,
hijau, kuning dan biru. Dalam keadaan seperti itu, agak terhuyung-huyung Purnama mendekati
Wiro dan Rayi Jantra. Dengan empat jarinya dia menotok kening ke dua orang itu hingga
berlobang empat dan mengucurkan cairan empat warna. Dia lalu memeriksa sosok Pengemis
Empat Mata Angin dan hanya bisa merasa sedih mengetahui si kakek sudah tidak bernyawa
lagi. Purnama kemudian berpindah pada sosok puteranya. Terhadap Jatilandak Purnama hanya
pergunakan dua jari untuk menotok kening yaitu sesuai dengan dua warna yang terlihat di kulit
tubuh, merah dan hijau. Begitu dua buah lobang muncul di kening, cairan merah dan hijau
langsung mengucur.

Selesai melakukan semua pekerjaan itu Purnama cepat menghampiri Nyi Roro Manggut yang
terlentang di

tanah dalam keadaan lemas tak mampu bergerak sedikitpun. “Hah, apa yang hendak
dilakukannya. Jangan-jangan dia hendak membunuhku!” pikir si nenek. “Nek, aku akan
kembalikan tenaga dalam dan hawa sakti yang tadi aku pinjam. Maaf kalau aku harus
menginjak tanganmu.” Gadis dari negeri 1200 tahun silam itu kemudian injak telapak tangan
kiri kanan si nenek hingga Nyi Roro

Manggut berteriak kesakitan. “Dess!” “Dess!” Purnama dan Nyi Roro Manggut sama-sama
keluarkan jeritan keras. Kalau Purnama kemudian terpental

hampir sepuluh langkah lalu jatuh terguling di tanah maka si nenek mencelat ke udara dan
walau mampu jatuh dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu namun sempat terkencing-
kencing!

“Wong edan! Baru sekali ini aku sampai mengalami ngompol seperti ini. Memalukan! Aku
terpaksa harus mandi kembang tujuh rupa sebelum masuk ke laut selatan!” Nyi Roro Manggut
lalu melangkah menghampiri Purnama yang tergeletak di tanah sementara cairan empat warna
masih mengucur dari empat buah lobang di keningnya. “Mahluk hebat!” puji si nenek. “Aku
telah menyangka buruk. Tadinya aku mengira kau tidak akan mengembalikan tenaga dalam dan
hawa saktiku.”

Purnama tersenyum. “Kau yang hebat Nek. Aku berterima kasih kau telah sudi menolong.”

“Gadis cantik, aku tahu sedikit mengenai Racun Inti Bumi yang mencelakaimu dan kawan-
kawan. Warna yang ada di kulit kalian akan hilang satu hari satu warna. Berarti untuk pulih
kembali sudah membutuhkan empat hari….”

“Tidak jadi apa Nek. Yang penting kami semua sudah selamat, hanya tinggal menunggu
kesembuhan….” Sebenarnya ihwal ini sudah diketahui Purnama dari Kitab Seribu Pengobatan.
“Eh, kalau boleh aku bertanya dari mana kau mendapatkan ilmu cara pengobatan seperti yang
kau lakukan tadi?” bertanya Nyi Roro Manggut. “Aku mendapat petunjuk dari sebuah kitab
kuno bernama Kitab Seribu Pengobatan,” jawab Purnama. Dia ingat sampai saat itu masih tidak
diketahui siapa pencuri dan dimana keberadaan kitab tersebut.

“Aaaah…. Aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Sungguh luar biasai!” Nyi Roro Manggut
manggut-manggut beberapa kali. “Sekarang apa yang bisa aku lakukan? Cairan empat warna
masih mengalir dari empat buah lobang di kening kalian. Bagaimana cara menghentikannya?”

“Tak usah khawatir Nek, jika nanti angin dari laut mulai bertiup agak kencang dan kepala kami
menjadi dingin, cairan berwarna itu akan berhenti mengucur…” “Lalu empat buah lobang
menganga yang ada di keningmu, juga di kening dua orang lain itu? Apa kalian akan hidup
dengan kening bolong seumur-umur?”

Purnama terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia lalu berkata. “Ini yang agak merisaukan aku
Nek. Menurut petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan untuk menghilangkan lobang yang ada
di kening, kepala kami harus disiram air laut. Kami harus mandi dan mencelupkan kepala di
laut….”
“Laut, apakah laut jauh dari sini?” tanya Nyi Roro Manggut

“Tidak seberapa jauh. Ada sebuah teluk di sebelah utara. Aku dan puteraku….”

“Eh, siapa yang kau maksud puteramu itu?” Nyi Roro Manggut bertanya memotong ucapan
Purnama.

“Pemuda berpakaian kelabu yang masih pingsan di sebelah sana,” jawab Purnama pula.

Si nenek memandang ke arah Jatllandak. Dia ingat, sebelumnya sosok pemuda itu adalah
seekor landak raksasa. Bagaimana ceritanya seorang cantik dan masih gadis seperti itu punya
seorang putera yang ujud aslinya adalah seekor landak. Ingin dia bertanya namun akhirnya
membatalkan niat.

“Nek, setelah kucuran cairan berwarna berhenti, tenaga dalam dan semua kesaktianku, juga
puteraku belum akan kembali. Dengan mengandalkan tenaga luar kami mungkin mampu pergi
sendiri ke teluk. Tapi bagaimana dengan Wiro dan Rayi Jantra. Walau kucuran cairan racun
empat warna berhenti, namun mereka masih belum punya tenaga untuk pergi ke laut.
Berjalanpun mereka tidak akan mampu.”

“Kalau begitu aku yang akan membawa kailan masuk semua ke teluk. Tapi….”

“Tapi apa Nek?” Selain bingung apakah nenek cebol itu mampu membawa mereka berempat ke
teluk, Purnama juga merasa cemas ada sesuatu yang menjadi ganjalan si nenek. “Apakah aku
punya waktu?” “Maksudmu Nek?” “Sepertimu, aku berasal dari alam lain. Tanpa ijin dari
pimpinanku Junjungan Agung tidak mungkin bisa

berada lama di alam sini….” “Kalau aku boleh tahu siapa gerangan Junjungan Agung itu, Nek?”
tanya Purnama. “Nyi Roro Kidul, pemimpin, penguasa dan pemelihara kedamaian laut selatan.”
“Ah… aku pernah mendengar riwayatnya. Aku sangat mengagumi Ratu-mu itu Nek.” “Dengar…
Eh, siapa namamu? Apa kau punya nama?”

Purnama tertawa. “Pendekar Dua Satu Dua memberi aku nama Purnama.”

“Begitu?” Si nenek manggut-manggut beberapa kali dan ikutan tertawa. Dia memandang ke
arah sosok Wiro yang tergeletak di tanah. Dalam hati berkata. “Bocah ingusan, kau tentu
memberi nama itu tidak cuma-cuma! Paling tidak kau sudah pemah memeluk atau mencium
gadis ini!”

“Nek, ada apa kau senyum-senyum?” tanya Purnama.

Nyi Roro Manggut angkat kedua bahunya lalu gelengkan kepala.


“Nek, kalau waktumu memang terbatas dan kau memang bisa menolong, setelah cairan
berwarna berhenti mengucur….”

“Sudah kau tak usah kawatir. Urusan dengan Junjungan Agung biar aku yang nanti bertanggung
jawab. Aku akan membawa kalian sekarang juga ke teluk….”

“Nek, bagaimana dengan jenasah Pengemis Empat Mata Angin,” bertanya Purnama.

Saat itu Wiro dan Rayi Jantra telah mulai siuman dari pingsannya. Sebagian pembicaraan Nyi
Roro Manggut dan Purnama sempat mereka dengar. Rayi Jantra merasa sangat sedih
mengetahui kalau Pengemis Empat Mata Angin telah tewas. “Aku belum sempat membalas
budi, kakek itu sudah pergi duluan. Kalau bukan dia yang menolongku di jurang, aku sudah lama
jadi bangkai.” Ucap Rayi Jantra dalam hati. Lalu Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini kumpulkan
tenaga untuk bisa sekedar keluarkan ucapan. “Nek, sebelum pergi aku mohon, tolong jenasah
kakek itu diurus. Dikubur. Jangan ditinggal tergeletak begitu saja.”

“Urusan kecil!” jawab Nyi Roro Manggut. Nenek ini hantamkan tangan kanannya ke bawah.
Tanah bermuncratan membentuk sebuah lobang besar.

“Kalian tengah melakukan apa?” Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya perlahan dari tempatnya
tergeletak. Dia merasa heran ketika tubuh dan mukanya kejatuhan muncratan tanah.

“Kami hendak mengubur jenasah kakek Pengemis Empat Mata Angin.” Menerangkan Purnama.

“Kasihan kakek itu….” ucap Wiro. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. “Tunggu! Jangan dikubur dulu!”

“Memangnya kenapa?” tanya Purnama.

“Ingat apa yang telah aku lakukan terhadapnya? Rohnya tidak akan tenteram di alam akhirat
kalau letak…. letak… anunya itu masih terbalik.”

Wajah Purnama tampak berubah. Gadis ini ingat kalau anggota rahasia Pengemis Empat Mata
Angin yang pernah ditanggalkan Wiro dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jasad masih
dalam keadaan terbalik. (Kisah lucu sampai Wiro menanggalkan anggota rahasia Pengemis
Empat Mata Angin dan kemudian memasangnya kembali sengaja terbalik dapat dibaca dalam
Episode sebelumnya berjudul “Misteri Pedang Naga Merah”).

“Kau mau melakukan apa?”

“Aku akan coba memperbaiki letaknya kembali.”

“Dalam keadaan seperti ini apa kau sanggup melakukan?” tanya Purnama.
Saat itu Nyi Roro Manggut datang mendekati dan bertanya. “Kalian bicara apa? Ada apa
sebenarnya ini? Mengapa jenasah kakek botak itu tak segera dikubur?”

Purnama tak bisa menjawab. Akhirnya Wiro yang bicara.

“Nek, aku butuh pertolonganmu. Tolong tarik aku ke dekat jenasah kakek botak itu.”

“Eh, kau mau melakukan apa?”

“Sudah, lakukan saja Nek,” ucap Wiro.

Karena Nyi Roro Manggut tidak mau melakukan apa yang dikatakan Wiro maka Purnama lalu
cekal pergelangan kaki sang pendekar dan menariknya hingga berada di samping jenasah kakek
pengemis. Nyi Roro Manggut mengikuti langkah Purnama dan berdiri di samping jenasah
Pengemis Empat Mata Angin.

“Nek, kalau tidak aku terangkan kau tidak akan mengerti.” Dengan suara perlahan karena
tubuhnya nyaris tiada daya Wiro lalu menerangkan apa yang telah dilakukannya pada Pengemis
Empat Mata Angin. “Kakek itu pernah bilang, kalau dia mati, dia tidak akan tenteram jika
anunya itu masih dalam keadaan terbalik. Sekarang agar rohnya tenteram aku harus
membalikkan kembali letak anunya kakek itu.”

“Oala! Bocah ingusan! Dari dulu kau memang selalu jahil. Kini orang lain kau bikin susah
termasuk aku!” si nenek cebol berkata setengah mengomel.

“Nek, tolong kau tarik ke bawah celana panjang kakek botak itu.”

“Apa?!” Nyi Roro Manggut tersentak kaget dan delikkan mata.

“Aku tak mungkin memperbaiki letak anggota rahasianya kalau celananya tidak dibuka,” ucap
Wiro pula.

“Kau gila!”

“Nek, kalau nanti roh kakek itu gentayangan, bukan aku yang dicarinya tapi dirimu. Karena kau
tidak mau menolong!”

“Perduli setan!” jawab si nenek.

“Terserahmu Nek, aku hanya mengingatkan.”

“Nek, tolong. Lakukan apa yang dikatakan sahabatku itu….” Rayi Jantra berucap.
Diam-diam Nyi Roro Manggut jadi mengkirik juga kuduknya mendengar ucapan Wiro tadi. Dia
tidak mau mendapat susah. Apalagi kalau sampai terhalang kembali pulang ke laut selatan.
Akhirnya dia membungkuk dan tarik celana Pengemis Empat Mata Angin hingga anggota
rahasianya tersingkap. Purnama cepat-cepat balikkan diri. Walau sudah melengos tak sengaja si
nenek sempat melihat aurat terlarang itu dan mulutnya langsung ketelepasan bicara.

“Weh, kok jelek amat!”

“Nek, memangnya kau pernah melihat anu yang lain yang lebih bagus?” Wiro ketelepasan
bicara pula, bertanya seenaknya.

“Bocah ingusan geblek! Sudah mau mati masih saja bicara ngelantur!” damprat Nyi Roro
Manggut lalu palingkan wajahnya yang tersipu malu.

“Nek, tolong angkat tangan kananku. Letakkan di atas anunya si kakek.”

“Edan! Kau benar-benar keterlaluan!”

“Nek…”

Dengan lebih dulu melengos si nenek lakukan juga apa yang dikatakan Wiro.

Setelah tangan kanannya berada di bagian bawah perut Pengemis Empat Mata Angin, Wiro
masih memerlukan pertolongan si nenek.

“Satu permintaan lagi, Nek…”

“Edan! Apa lagi?”

“Alirkan tenaga dalammu ke tangan kananku,” jawab Wiro.

Nyi Roro Manggut menarik nafas panjang, menoleh pada Purnama. Ketika gadis dari negeri
1200 tahun silam ini anggukkan kepala si nenek letakkan tangan kanannya di atas bahu kanan
Wiro lalu alirkan tenaga dalam. Dengan kekuatan tenaga yang diberikan Nyi Roro Manggut
murid Sinto Gendeng mampu mengerahkan ilmu Menahan Darah Memindah Jasad dan berhasil
memindah serta memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin yang tadinya
terbalik.

“Sudah Nek,” ucapWiro.

“Apanya yang sudah?” tanya Nyi Roro Manggut.

“Anunya si kakek sudah aku putar.”


“Lalu?!”

“Tolong kau lihat, apa letaknya sudah bagus, sudah lempang.”

“Setan alas!” Nyi Roro Manggut memaki jengkel dan marah. Dia lalu gulingkan tubuh Wiro ke
samping dan siap untuk memasukkan jenasah Pengemis Empat Mata Angin ke dalam lobang.
“Tunggu Nek! Celananya belum dinaikkan! Anunya belum tertutup!” ucap Wiro. “Perduli setan
aku!” kata si nenek. Lalu dia dorong tubuh Pengemis Empat Mata Angin ke dalam lobang.
“Celaka Nek! Bagaimana kalau di alam roh burungnya kakek itu nanti terbang kelayapan karena
celananya

tidak ditutup. Pasti kau yang dicari dan dipatuknya!”

“Perduli setan!” Ucap Nyi Roro Manggut hampir berteriak sementara Purnama hanya bisa
tersenyum geli dan geleng-gelengkan kepala. Dia sudah banyak mendengar dan melihat
keusilan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun yang sekali ini benar-benar edan. Padahal
keadaan Wiro saat itu masih belum terlepas penuh dari ancaman bahaya Racun Inti Bumi.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212LIMA

DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dan Ilmu Menggunung
Raga Melaut Tenaga Nyi Roro Manggut yang memanggul Wiro, Rayi Jantra, Purnama dan
Jatilandak di bahu kiri kanan, dalam bilangan kejapan mata saja telah berada di Teluk Losari.
Angin mengandung garam bertiup dingin. Di langit bulan sabit tampak samar tertutup saputan
awan tipis. Deburan ombak menderu tak berkeputusan. Tak jauh di tengah laut, beberapa buah
pulau kelihatan menghitam seperti gundukan batu dalam gelapnya malam.

“Purnama… Kau bisa mendengar suaraku?” Nyi Roro Manggut keluarkan ucapan.

Sunyi tak ada jawaban. Sesaat kemudian baru terdengar suara gadis dari negeri Latanahsilam
itu. “Aku mendengar Nek. Aku mendengar suara debur ombak. Kita….”

“Kita sudah sampai di teluk. Apa yang harus aku lakukan. Melemparkan kalian semua ke dalam
laut?” bertanya Nyi Roro Manggut.

“Baringkan kami di atas pasir. Kalau ombak datang kepala kami akan terguyur air laut. Lobang-
lobang di kening kami akan lenyap. Dengan ijin Tuhan kami semua akan terbebas dari racun
jahat Inti Bumi. Tenaga dalam serta semua kesaktian yang kami miliki akan pulih kembali.
Begitu petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan….”

Saat itu si nenek masih memanggul keempat orang tersebut di bahu kiri kanan, Entah mengapa
hatinya mendadak terasa tidak enak. Setelah berpikir sejenak dia berkata.
“Sudah, aku akan bawa kalian ke dalam laut. Biar aku ikut mandi sekalian. Hik… hik… hik….”

Lalu, tidak menunggu lebih lama nenek sakti dari laut selatan itu berlari merancah laut
menerobos ombak. Baru air laut mencapai sebetis dan tubuh keempat orang yang
dipanggulnya masih belum terkena air laut, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul dua
buah perahu meluncur cepat ke arah teluk. Diantara deru ombak ada orang berseru keras.

“Siapa yang berani mengotori laut kawasan kakuasaan Ratu Laut Utara malam-malam buta
begini!”

Dua perahu semakin dekat. Di atas perahu sebelah kanan berdiri seorang kakek berambut
kelabu riap-riapan, mengenakan jubah kuning. Pada pertengahan kening, melintang sampai ke
pipi kiri ada cacat bekas luka yang membuat mata kirinya agak terpuruk hingga wajahnya
tampak angker seram. Dua tangan dirangkap di atas dada. Kaki kiri dicelup ke dalam air laut,
dijadikan pendayung dan membuat perahu melesat pesat di atas air. Kakek inilah yang barusan
keluarkan saruan.

Di atas perahu kedua tampak seorang kakek berjubah biru, berkepala botak dan memiliki wajah
berwarna merah. Walau sudah tua namun sosoknya yang tinggi besar dan buncit tampak masih
kukuh tegap. Di tangan kiri dia memegang sebuah dayung kayu besar yang dicelupkan ke dalam
air laut. Setiap kali dia mengayuh, perahu melesat cepat dipermukaan air laut. Siapa gerangan
dua orang tua berkepandaian tinggi ini?

Sewaktu terdengar suara seruan tadi, empat orang di atas bahu kiri kanan Nyi Roro
Manggutcoba bergerak mengangkat kepala untuk melihat ke depan,

“Nek, aku mencium bahaya. Lekas lemparkan kami ke dalam laut!” Purnama keluarkan ucapan.

Wiro sendiri saat itu ketika melihat kakek berjubah biru bermuka merah terkesiap. “Kakek
muka merah di atas perahu. Aku pernah melihat orang ini sebelumnya. Dimana… kapan?”

Sebelum ingatan Pendekar 212 pulih, tubuhnya sudah dilempar Nyi Roro Manggut ke dalam
laut bersama tiga orang lainnya. Si nenek sendiri kemudian mundur tiga langkah, sosok kembali
ke ujud semula pendek cebol, mata menatap tak berkesip ke arah dua perahu. Ketika perahu
mendekat dia segera mengenali kakek berjubah kuning namun tidak tahu siapa adanya kakek
bermuka merah berkepala botak di atas perahu satunya.

Begitu Wiro, Purnama, Rayi Jantra dan Jatilandak masuk ke dalam air laut, kepala mereka terasa
dingin. Dari lobang-lobang di kening menyembur hawa panas yang membuat air laut berbusah
empat warna. Saat itu juga terjadi satu keanehan. Secara bersamaan empat lobang di kening
Wiro, Purnama, Rayi Jantra serta dua lobang di kening Jatilandak lenyap. Kekuatan luar, tenaga
dalam serta kesaktian yang mereka miliki serta merta pulih walau kulit mereka masih belang-
belang. Keempat orang munculkan diri ke permukaan air laut, berseru keras, lalu serentak
melesat ke udara dan berdiri berjejer tegak di pasir pantai. Mereka kemudian sama-sama
mendekati Nyi Roro Manggut. Wiro mencari-cari, memandang seputar laut. Dia tidak melihat
lagi kakek muka merah kepala botak tadi. Orang tua itu lenyap bersama perahunya. Mendadak
Wiro ingat. Kakek botak muka merah itu adalah kakek yang dilihatnya di luar tembok halaman
gedung Kadipaten Losari. Kakek yang membunuh perajurit Jumena.

“Mungkin dia mengenali diriku,” pikir Wiro. Lalu bertanya pada Nyi Roro Manggut “Nek, kau
melihat kemana lenyapnya kakek muka merah di atas perahu satunya?”

Sebelum si nenek sempat menjawab, di depan sana, di atas perahu yang sudah berhenti, kakek
berjubah kuning yang mukanya ada parut memanjang cacat bekas luka sudah lebih dulu
membuka mulut, keluarkan suara lantang.

“Nyi Roro Manggut! Sahabat lama! Jauh-jauh dari selatan, ada apa gerangan muncul di laut
utara?!”

Si nenek pandang sesaat kakek di atas perahu, mendongak ke langit seolah menatap bulan sabit
lalu tertawa panjang. Dalam tertawa dia sengaja kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti hingga
permukaan laut bergetar dan perahu di depan sana bergoyang oleng. Kakek jubah kuning jadi
terkesiap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Dua kaki laksana dipancang di atas lantai perahu.
Hawa sakti menembus sampai ke permukaan air laut. Namun goncangan perahu di atas mana
dia berada hanya berkurang sedikit pertanda tenaga dalam kakek ini masih berada jauh di
bawah Nyi Roro Manggut.

Setelah puas tertawa nenek sakti dari kawasan laut selatan, pembantu utama Nyi Roro Kidul
turunkan pandangan, berpaling ke arah kakek berjubah kuning lalu berucap. “Pengging Kuntala!
Kau rupanya. Belasan tahun tidak bertemu, kurasa kau sudah jadi tulang-belulang, bersatu
dengan dasar laut utara!”

“Nyi Roro Manggut! Kau masih seperti dulu saja! Sikap pongah bicara sombong! Tidak tahu
diburuk rupa! Ha… ha… ha! Apa kau tidak sadar kalau telah mengotori kawasan laut Utara. Kau
kencing dimana, mengapa berani cebok di sini?!”

Nyi Roro Manggut angguk-anggukan kepala beberapa kali. Lalu menjawab. “Baru air kencing
saja kau sudah kalang kabut! Kau ingin aku berak di sini saat ini juga?! Hik… hik… hik!” . “Nenek
buruk jahanam! Berani kau…”

“Kakek jubah kuning!” tiba-tiba Wiro membentak memotong bentakan Pengging Kuntala.
“Jangan berani bicara kurang ajar pada nenek ini kalau tidak mau kutambah cacat di mukamu!
Jawab pertanyaanku! Tadi kau muncul bersama seorang kakek botak muka merah! Kemana
lenyapnya sobatmu itu?! Katakan siapa dia adanya dan dimana aku bisa menemui!”

Si kakek di atas perahu yang bernama Pengging Kuntala berpaling ke arah orang yang barusan
bertanya padanya. Seperti melihat orang di kejauhan, dia tudungkan telapak tangan kiri di atas
mata. “Malam boleh gelap, tampangmu boleh belang-belang. Tapi aku masih bisa
mengenalimu. Bukankah kau pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu
Dua?”

Wiro heran bagaimana kakek yang baru sekali itu dijumpainya bisa mengetahui siapa dirinya.
Apalagi wajahnya masih tertutup empat warna Racun Inti Bumi. Pasti kakek botak muka merah
tadi yang memberi tahu. Lalu bagaimana si muka merah itu mengenal dirinya kalau bukan
karena pertemuan pada malam Kematian Jumena?!

Pengging Kuntala berpaling pada Rayi Jantra seolah tidak acuhkan pertanyaan Wiro. “Dan kau,
bukankah kau Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari? Mengapa ikutan berada di sini?”
Tanpa menunggu jawaban orang kakek berjubah kuning ini kemudian memandang ke arah
Purnama dan Jatilandak. “Kalian berdua aku tidak kenal. Tapi kalian tetap akan mendapat
hukuman karena ikutan mengotori kawasan laut utara!”

Mendengar ucapan si kakek Wiro jadi kesal.

“Tua bangka muka parut! Kau belum menjawab pertanyaanku!”

“Kalau aku tak mau menjawab?” sahut Pengging Kuntala pula menantang.

Wiro menyeringai. “Kalau kau tak mau menjawab, biar aku tamb kotoran di laut utara ini!”
Selesai keluarkan ucapan, Wiro miringkan tubuhnya sedikit lalu enak saja dia rorotkan celana ke
bawah dan serr! Air kencingnya mengucur ke dalam air laut. Dia ingat pada sobat tuanya Setan
Ngompol. Kalau kakek tukang beser itu ada di situ pasti keadaannya jadi bertambah seru!

“Manusia kurang ajar! Kau mencari mati!” teriak Pengging Kuntala marah dan merasa sangat
dihina. Dari atas perahu dia hantamkan tangan kanan ke arah Wiro.

“Wuuss!”

Selarik sinar kuning menyambar Pendekar 212 disertai suara gemuruh seperti topan melabrak.
Inilah pukulan sakti yang disebut Badai Laut Utara Mengamuk.

“Pengging Kuntala! Jangan cuma berani pada bocah ingusan! Aku lawanmu! Bukankah sejak
kau diusir dari laut selatan sudah lama kita tidak pernah saling jajal ilmu kepandaian?!”

“Nenek buruk sombong! Jika itu maumu aku tidak menolak!” Jawab Pengging Kuntala. Kakek ini
lipat gandakan hawa sakti dan tenaga dalamnya. Serangan yang tadi ditujukan pada Wiro kini
diarahkan pada si nenek.

“Wusss!”
Teluk Losari kuning terang benderang oleh sinar pukulan sakti yang dilepaskan Pengging
Kuntala disertai deru dahsyat laksana badai mengamuk. Air laut muncrat setinggi dua tombak.
Kalau sampai Nyi Roro Manggut terkena hantaman pukulan sakti itu, tubuhnya akan hancur
berkeping-keping dan kepingan tubuh itu kemudian akan leleh mengerikan.

“Hebat!” si nenek berteriak seolah memuji. Namun kemudian dia tertawa mengekeh seperti
melecehkan. Dia tahu serangan pukulan apa yang dilancarkan Pengging Kuntala.

“Pukulan lama ilmu butut! Apa kau tidak punya ilmu baru sejak minggat belasan tahun?”

Nyi Roro Manggut cepat angkat kedua tangannya.

Pengging Kuntala menggembor marah. Pukulan yang memang sudah dimiliki sejak puluhan
tahun lalu. Dulu ketika masih mengabdi pada Nyai Roro Kidul pukulan itu diberi nama Badai
Laut Selatan. Setelah dia minggat ke utara dan menjadi orang krpercayaan Ratu Laut Utara
nama pukulan tersebut diganti menjadi Badai Laut Utara Mengamuk. Ilmu pukulan sakti yang
telah dimilikinya sejak puluhan tahun itu kini kehebatannya telah berlipat janda. Kakek ini yakin
dengan sekali hantam saja si nenek cebol akan hancur luluh sekujur tubuhnya.

“Terima kasih untuk seranganmu! Biar aku kembalikan dengan segala kerendahan hati!” Nyi
Roro Manggut gerakkan dua tangannya. Dua larik cahaya biru berkiblat.

“Desss! Desss!”

Di atas perahu Pengging Kuntala berseru kaget ketika tubuhya terdorong dan perahu menjadi
oleng. Sebelum dia bisa mengimbangi diri tiba-tiba cahaya kuning pukulan saktinya
menghantam balik ke arah dirinya. Akibat bentrokan dengan dua larik sinar biru tangkisan Nyi
Roro Manggut, cahaya kuning berubah menjadi kobaran api luar biasa dahsyat. Si kakek
menjerit keras sewaktu jubah kuningnya meletup dan nyala api membakar sekujur tubuhnya!
Setelah menjerit sekati lagi Pengging Kuntala ceburkan diri ke dalam laut. Kini hanya kelihatan
perahu yang tadi ditumpanginya dilamun kobaran api. Untuk beberapa saat lamanya nyala api
mengambang di permukaan laut seolah ada lapisan minyak yang terbakar.

Nyi Roro Manggut berpaling pada empat orang di sampingnya. “Kakek sialan itu sudah kabur.
Dia pasti mengadu pada pimpinannya. Ratu kurang ajar yang katanya menjadi penguasa
kawasan laut utara.”

“Nek, siapa adanya kakek berjubah kuning tadi?” tanya Wiro.

“Dulu dia adalah salah seorang yang ditugaskan Nyi Roro Kidul untuk menjaga tembok batas
kawasan pantai selatan. Mungkin merasa dirinya lebih hebat dari hanya seorang penjaga
tembok batas Kerajaan bawah laut, sekitar dua puluh tahun silam dia minggat tanpa pamit.
Kemudian belum lama ini diketahui dia telah menjadi orang kepercayaan perempuan jalang
yang menamakan diri Ratu Laut Utara, penguasa laut utara. Orang-orang laut utara punya sikap
bermusuhan dengan kami orang-orang dari laut selatan. Mereka selalu berusaha membuat
kekacauan. Selain itu juga coba membujuk orang-orang kepercayaan Nyi Roro Kidul untuk
bergabung dengan mereka.”

“Nek, kalau Ratu Laut Utara aku pernah kenal. Orangnya baik,” kata Wiro pula. “Namanya Ayu
Lestari. Dia mendapat warisan keratuan dari Ratu yang asli…”

“Ayu Lestari yang kau kenal itu sekarang sudah jadi orang sekapan. Dipendam oleh Ratu palsu
berhati jahat di dasar laut. Kakek tadi menjadi salah satu orang kepercayaan si ratu jahat!”
(Mengenai Kisah Ayu Lestari yang jadi Ratu Laut Utara harap baca serial Wiro Sableng berjudul
“Pembalasan Ratu Laut Utara”).

“Lalu kakek botak muka merah tadi? Apa kau kenal dia?” tanya Wiro lagi.

“Aku tak kenal si botak itu. Dia kabur dengan perahunya ketika aku melemparkan kalian ke
dalam laut.” Jawab Nyi Roro Manggut. “Ah, aku lihat kalian sudah pulih semua. Tidak ada lagi
lobang di kening…”

“Semua berkat pertolonganmu Nek. Kami sangat berterima kasih…”

Nyi Roro Manggut goyangkan kepalanya ke arah Jatilandak. “Jangan berterima kasih pada aku
saja. Ingat Gusti Allah yang menolong kalian. Selain itu, pemuda ini ikut membantu
menyelamatkan kailan. Dengan ujudnya yang seperti landak dia membobol dasar tembok batu
dimana kalian terkurung.”

Wiro dan Rayi Jantra langsung membungkuk seraya mengucapkan terima kasih pada Jatilandak
yang disambut putera Purnama ini dengan sikap rikuh.

“Aku sampai di sini secara kebetulan belaka,” menjelaskan Jatilandak. “Aku diam-diam
mengikuti perjalanan ibu karena katanya ada mahluk alam gaib yang selalu menjahili dirinya.”

“Kau anak baik,” kata Nyi Roro Manggut pula. “Urusanku sudah selesai. Aku harus kembali ke
selatan.”

“Tunggu, jangan pergi dulu Nek,” Wiro cepat pegang tangan si nenek:.

“Apa maumu bocah ingusan?” Mendadak si nenek ingat sesuatu. “Eh, apa kipas kayu cendana
yang aku titipkan padamu sudah kau serahkan pada kakek itu?” Nyi Roro Manggut bertanya.

“Maksudmu Kakek Segala Tahu, Nek?”

“Memangnya kau berikan pada siapa kipas itu?”


“Sudah Nek, jangan khawatir. Kakek Segala Tahu sangat senang. Walau dia tidak mengatakan
tapi aku tahu dia akan berusaha mencari dan menemuimu.”

Nyi Roro Manggut tersenyum.

“Nah, kalian baik-baik saja. Aku harus pergi sekarang.”

“Nyi Roro, aku berterima kasih atas pertolonganmu. Aku masih menyimpan baik-baik sapu
tangan pemberianmu. Kalau kau memang mau pergi, bolehkan aku menitipkan pesan untuk
seseorang?”

“Pasti titipan untuk seorang gadis!” ucap si nenek pula.

Wiro tertawa. “Ada pesan untuk Ratu Duyung dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia diminta
datang bersamaku menemui orang tua itu. Aku akan menunggunya di tepi telaga di puncak
timur Gunung Gede pada saat rembulan empat belas hari bulan di muka.”

Nyi Roro Manggut melirik sekilas pada Purnama lalu berkata. “Anu… hemm, baik, akan aku
sampaikan pada gadis bermata biru itu. Jika kau bertemu lagi dengan Kakek Segala Tahu,
katakan aku menunggunya di Istana Tiga Menara di dasar samudera selatan.”

“Pasti aku sampaikan Nek,” jawab Wiro. Lalu buru-buru dia ambil tangan kanan si nenek dan
menciumnya. “Sekali lagi terima kasih Nek.”

Nyi Roro Manggut pegang bahu sang pendekar dan berkata perlahan. “Kalau saja tidak ada
orang-orang itu kau pasti bukan mencium tanganku. Tapi mencium pipiku.”

“Kalau kau memang suka aku akan melakukannya sekarang juga, Nek!” jawab Wiro.

Lalu cuupp… cuupp! Enak saja Wiro cium pipi si nenek kiri kanan! Nyi Roro Manggut terpekik.
Orang-orang yang menyaksikan terkesiap kaget melihat kejadian itu. Lalu sama-sama tertawa.

“Bocah ingusan konyol!” Nyi Roro Manggut tarik telinga kiri Pendekar 212 sambil tertawa
panjang. Belum habis gema tawanya, sosok si nenek sudah lenyap di kegelapan malam.

“Sebaiknya kita segera pergi saja dari teluk ini,” berkata Wiro. “Kalau kakek bermuka cacat tadi
adalah kaki tangan Ratu Laut Utara yang jahat, bukan mustahil dia akan muncul kembali
membawa kawan-kawan. Melayani mereka berarti menghambat urusan kita.”

Namun sebelum sempat beranjak dari tempat itu tiba-tiba dari arah pantai sebelah timur
terlihat dua penunggang kuda memacu tunggangan masing-masing ke arah mereka. Dua orang
ini membawa serta seekor kuda cadangan. Sampai di hadapan keempat orang itu mereka
segera melompat turun dan memberi salam. Wiro dan kawan-kawan membalas salam. Yang
datang ternyata seorang pemuda gagah dan seorang gadis jelita. Wiro segera mengenali sang
pemuda sedang si gadis cantik dia menduga-duga apa pernah bertemu sebelumnya.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212ENAM

“SAHABAT Panjirama, sungguh tidak disangka kita bisa bertemu lagi…” Wiro menyapa. Pemuda
gagah yang disebut dengan nama Panjirama menatap Pendekar 212 sesaat. Lalu berkata.
“Wajahmu yang tertutup empat warna aneh membuat aku agak sulit mengenali dirimu. Tapi
aku masih bisa mengenali suaramu. Bukankah kau sahabat yang tak mau memperkenalkan
nama dan telah menolong kami di sebuah candi ketika kami berkelahi melawan Pengemis Mata
Putih dan anak buahnya.” (Mengenai perkenalan Wiro dengan Panjirama harap baca serial
sebelumnya berjudul “Dadu Setan”).

“Kau keliwat merendah. Padahal kau dan kawanmu saat itu yang telah menolongku,” jawab
Wiro pula. Dia melirik pada gadis jelita di samping Panjirama lalu bertanya. “Panji, mana adikmu
Ariadarma?”

Ditanya begitu Panjirama tersenyum. Akhirnya pemuda ini berkata. “Sekarang aku terpaksa
berterus terang. Ariadarma memang adikku. Tapi sebenarnya dia adik perempuan yang saat
bertemu denganmu dalam penyamaran sebagai seorang pemuda berkumis. Dialah orangnya.”
Panjirama berpaling pada gadis cantik di sebelahnya.

Wiro menggaruk kepala. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. Ah, jadi benar apa yang aku
lihat saat itu melalui ilmu Menembus Pandang. Pemuda berkumis kecil bernama Ariadarma itu
ternyata memang seorang perempuan. Seorang gadis cantik.”

“Kalau begitu siapa sahabat berdua ini sebenarnya?” tanya Wiro.

“Saat ini agaknya kami tidak perlu lagi menyembunyikan siapa kami adanya. Sahabat, aku
adalah Walang Sungsang bergelar Pangeran Cakrabuana. Dan ini adikku Nyai Rara Sintang. Kami
kakak beradik berasal dari Kerajaan Pajajaran. Kami putera-puteri Prabu Siliwangi.”

Mendengar ucapan pemuda yang dikenalnya dengan nama Panjirama itu, Pendekar 212 segera
bungkukan badan memberi penghormatan. Hal yang sama juga dilakukan olah Rayi Jantra,
Purnama dan Jatilandak.

“Ah, tak perlu memakai segala peradatan,” ucap Panjirama alias Walang Sungsang alias
Pangeran Cakrabuana seraya menepuk bahu Pendekar 212.

Wiro kemudian memperkenalkan ketiga sahabatnya ini pada Pangeran Cakrabuana dan Nyai
Rara Santang. Ketika memperkenalkan diri Rayi Jantra membungkuk seraya berkata. “Saya Rayi
Jantra, kita pernah bertemu. Apakah Pangeran Cakrabuana masih ingat?”
Pemuda di hadapan Rayi Jantra memperhatikan wajah Rayi Jantra yang berbelang-belang itu
beberapa lamanya. Kemudian dia berseru dan melangkah mendekat lalu merangkul Kepala
Pasukan Kadipaten Losari itu.

“Benar-benar pertemuan tidak disangka. Kami berdua punya pesanan dari Ayahanada Prabu
Silrwangi untuk mencari sahabat, untuk menyerahkan satu barang titipan. Nanti akan aku
serahkan padamu. Biar aku bicara dulu dengan sahabatmu si gondrong ini.”

Sambil menggaruk kepala Wiro berkata. “Ketika berada di candi, aku sama sekali tidak
mengetahui siapa adanya sahabat berdua. Waktu itu aku…” Wiro tidak meneruskan ucapannya
melainkan memandang pada Nyai Rara Santang.

Puteri Kerajaan Pajajaran itu tersenyum. “Aku tahu…” katanya. “Kau mempergunakan ilmu
kepandaian untuk mengetahui siapa diriku sebenarnya.” “Aku mengaku bersalah. Aku memang
manusia jahil. Dan aku minta maaf,” ucap Wiro polos. “Kau sudah dimaafkan,” kata Nyai Rara
Santang pula. “Kau mungkin tidak menyadari. Karena perbuatan

jahilmu itu kau tidak mampu lagi mengerahkan ilmu kesaktian untuk melihat di luar batas
kemampuan manusia biasa. Tapi sekarang karena sudah kumaafkan, kurasa ilmu itu sudah
kembali.”

Karuan saja murid Sinto Gendeng jadi terperangah dan garuk-garuk kepala. Dia kini ingat.
Sebelumnya beberapa kali dia pernah mengerahkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu
Duyung itu. Namun selalu gagal. Wiro tidak menyangka kalau Nyai Rara Santang punya
kemampuan menjajagi ilmu kepandaiannya. Dia merasa lega dan membungkuk. “Sekali lagi aku
mohon maaf.” Lalu Wiro bertanya. “Sahabat berdua, apakah mempunyai hubungan dengan
seorang nenek sakti yang sudah tewas berjuluk Eyang Sepuh Kembar Tilu?”

Dua kakak beradik itu tampak terkejut.

“Kami memang punya hubungan dengan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tapi kami tidak tahu kalau
beliau sudah tewas. Siapa yang membunuhnya?” bertanya Pangeran Cakrabuana. “Kami justru
tengah menyelidiki siapa pembunuh nenek itu,” jawab Wiro. “Mengapa sahabat menanyakan
perihal hubungan kami?” Nyai Rara Santang bertanya. “Sebelum menghembuskan nafas nenek
sakti itu berpesan agar aku menemui Nyai Rara Santang dan

mencari pembunuhnya.”

Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang saling pandang. Sang adik kemudian berkata.
“Kami memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar Tilu untuk disampaikan hanya pada
satu orang tertentu. Dan ini merupakan satu hal yang rahasia.”
“Kalau boleh tahu, siapa orang itu?” tanya Wiro pula. “Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng,
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.” Nyai Rara Santang hentikan ucapan dan
menatap wajah belang pemuda di hadapannya. “Apakah kau….”

“Mohon dimaafkan. Akulah si sableng murid Eyang Sinto Gendeng itu.” Kata Wiro pula sambil
membungkuk. Setelah meluruskan tubuh dia bertanya. “Kalau boleh aku tahu, mengapa Nyai
Rara Santang memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar Tilu?”

Nyai Rara Santang memandang pada kakaknya. Pangran Cakrabuana memberi isyarat anggukan
kepala. Lalu Nyai Rara memberi keterangan. “Sebenarnya ini merupakan hal yang ssangat
rahasia. Tapi kami percaya padamu dan juga pada para sahabat lain yang ada di sini. Kami tidak
begitu berhasrat menjadi pewaris tahta Kerajaan Pajajaran yang sekarang berada di tangan
ayahanda Prabu Siliwangi. Kami dalamsatu usaha hendak mendirikan sebuah kerajaan di
wilayah Cirebon. Ini satu pekerjaan yang tidak mudah. Banyak pihak yang berusaha
menghalangi. Terutama dari para pejabat Kerajaan di timur dan kaki tangannya para tokoh
rimba persilatan. Selain itu mereka juga berusaha membujuk para pejabat dari beberapa
kerajaan di barat termasuk Pajajaran. Mereka memiliki kekuatan serta dana besar. Kami tidak
tahu, hanya bisa mengira-ngira dari mana mereka mendapat dana tersebut. Kami
membutuhkan banyak bantuan dari orang-orang yang bisa diandalkan dan dapat dipercaya.
Baik semasa dalam usaha mendirikan maupun setelah Kerajaan Cirebon nanti berdiri.

Salah seorang yang sangat kami percayai adalah sahabat kami sendiri. Kami punya rencana
untuk meminta kesudian sahabat untuk kelak menjabat Panglima Balatentara Kerajaan
Cirebon.”

Wiro menggaruk kepala dan tadinya hendak tertawa. Namun melihat kesungguhan pada wajah
dua kakak adik dihadapannya maka diapun berkata. “Sungguh luar biasa. Hari ini aku menerima
kepercayaan besar. Nyai Rara Santang, Pangeran Cakrabuana aku sangat berterima kasih dan
sangat menghormati apa yang menjadi rencana para sahabat berdua. Namun ijinkan aku untuk
mempertimbangkan permintaan itu. Mungkin aku juga perlu nasihat kawan-kawan yang lain…”

“Kami dapat memaklumi,” kata Pangeran Cakrabuana. “Kalau kami boleh bertanya apa yang
membuat pendekar dan tiga sahabat berada di Teluk Losari malam-malam begini. Lalu
mengapa kulit wajah serta tangan kalian berwarna hijau, merah, kuning dan biru?”

Wiro lalu menuturkan riwayat bagaimana mereka sampai berada di teluk itu. Mendengar
penjelasan sang pendekar Nyai Rara Santang berkata. “Sepanjang yang kami ketahui Raja Racun
Bumi Langit adalah salah seorang kaki tangan orang-orang yang tidak menyukai berdirinya
Kerajaan Cirebon.” Puteri Kerajaan Pajajaran ini kemudian berpaling pada kakaknya. “Kanda
Walang Sungsang, kita datang terlambat. Tapi itu ada baiknya. Secara tidak langsung kita sudah
melihat keculasan orang-orang laut utara.”

Tanpa diminta kemudian Pangeran Cakrabuana menceritakan bahwa kedatangannya ke Teluk


Losari malam itu adalah untuk bertemu dengan Pengging Kuntala selaku wakil Ratu Laut Utara.
“Kami bermaksud melakukan perundingan dengan Pengging Kuntala. Meminta agar
pimpinannya yaitu Ratu Laut Utara tidak mencampuri apa lagi menghalangi maksud kami
mendirikan Kerajaan Cirebon. Selama ini kami tahu sang Ratu berada di belakang layar.
Memerintahkan orang-orangnya untuk menghancurkan kami. Kami juga punya dugaan keras
Ratu Laut Utara bekerjasama dengan para pejabat Kerajaan di timur serta musuh dalam selimut
dari Kerajaan di barat”

“Karena telah terjadi bentrokan antara para sahabat dengan Pengging Kuntala dan kami
menduga kakek itiu mungkin sudah tewas, paling tidak luka parah maka kami rasa kami akan
terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati Kami berharap sahabat Wiro mau memenuhi
harapan kami ini.”

Wiro anggukkan kepala. Sambil menggaruk-garuk dia kemudian bertanya. “Apakah sahabat
berdua tidak merasa perlu menghubungi Adipati Losari? Dia salah seorang pejabat tinggi di
wilayah barat yang besar kuasa dan pengaruhnya,”

“Begitu besar kuasa dan pengaruhnya hingga dia telah memerintahkan menangkap sahabat
hidup atau mati dengan imbalan lima ringgit emas?” ujar Pangeran Cakrabuana pula sambil
tersenyum.

Wiro tertawa. “Adipati itu hanya tahu aku sebagai pembunuh Adipati Brebes. Tapi tidak mau
tahu kejahatan apa yang telah dilakukan Adipati Brebes hingga aku membunuhnya.”

“Kami berdua tahu sedikit banyak tentang keburukan perilaku Karta Suminta Adipati Brebes.
Kami yakin sahabat punya atasan kuat untuk membunuhnya.” Ucap Pangeran Cakrabuana pula.
“Mengenai Adipati Losari, dia pejabat yang baik. Kami bersahabat dengan Adipati Raden Seda
Wiralaga. Dia sangat mendukung usaha kami untuk mendirikan Kerajaan Cirebon. Sepulang dari
Gunung Jati kami akan menyambanginya.” Menjelaskan Pangeran Cakrabuana.

Nyai Rara Santang berpaling pada Jatilandak lalu berkata. “Sementara sahabat Wiro
mempertimbangkan permintaan kami, tidak ada salahnya kami juga menawarkan satu jabatan
tinggi lainnya pada sahabat. Jika berkenan sahabat bisa ikut bersama kami saat ini juga. Jika
perlu waktu untuk berpikir temui kami di mesjid besar Gunung Jati. Kami akan berada di sana
selama dua minggu.”

“Saya merasa mendapat penghargaan sangat besar. Saya mengucapkan terima kasih. Saya tidak
punya kemampuan apa-apa. Tapi saya punya keinginan untuk membantu apa saja yang bisa
saya lakukan….” jawab Jatilandak sambil membungkuk hormat. “Namun saat ini saya perlu
tetap bersama teman-teman. Kami tengah menghadapi satu urusan besar…”

“Jatilandak,” berucap Purnama pada puteranya “Untuk melakukan suatu perbuatan baik serta
pengabdian luhur rasanya tak ada di antara kami yang keberatan kalau kau ikut bersama dua
sahabat ini.”
Sebenarnya Jatilandak merasa tertarik dengan ajakan Nyai Rara Santang itu. Ada beberapa hal
yang mendorongnya. Pertama mencari pengalaman baru. Kedua dia masih merasa kurang enak
melakukan perjalanan bersama-sama Wiro sejak peristiwa hubungannya dengan Bidadari Angin
Timur tempo hari (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Bendera Darah”). Hal ketiga dia merasa
ibunya akan menjadi rikuh didampingin terus-menerus karena dia tahu sang ibu tengah jatuh
cinta pada pendekar 212 Wiro Sableng. Tidak mustahil tadi ibunya sengaja memberikan
semangat agar dia mau mengikuti dua muda-mudi dari Kerajaan Pajajaran itu karena merasa
kurang enak jika dia hadir terus di tengah perjalanan bersama Wiro.

Melihat Jatilandak bimbang, Pangeran Cakrabuana berkata. “Kebetulan kami membawa kuda
cadangan. Kita bisa pergi bersama-sama saat ini juga.”

Wiro pegang bahu Jatilandak. “Tak usah khawatir dengan segala yang tengah kami hadapi.
Tawaran baik dari dua sahabat ini jangan sampai ditolak.”

Jatilandak menatap ke arah ibunya. Purnama tersenyum dan angggukan kepala.

“Mungkin sudah jadi perlangkahan saya. Mengabdi pada sahabat berdua….”

“Tidak, kau tidak mengabdi pada kami. Tapi menjadi sahabat kami…” kata Rara Santang pula.
Lalu gadis ini ambil ujung tali kekang kuda cadangan dan menyerahkannya pada Jatilandak.
Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tak bisa menolak lagi.

Pangeran Cakrabuana mendekati Rayi Jantra. Dari dalam kantong kain yang dibawanya dia
mengeluarkan sebilah kujang dibungkus sarung yang masih baru. Melihat senjata itu, hati Rayi
Jantra berdetak. Walau masih terbungkus sarung namun dia punya perasaan bahwa senjata itu
adalah miliknya yang sirna dan kembali ke tempat asalnya. Kujang dicabut keluar dari sarung.
Cahaya kuning memancar menerangi tempat itu. Sebilah kujang berbentuk kepala burung
bermata lima terbuat dari emas mumi dipadu batu keramat dari Gunung Salak dan baja putih
dari tanah Banten.

Rayi Jantra merasa gembira ketika mengenali senjata itu memang adalah kujang sakti miliknya
yang dulu diberikan sendiri oleh Pangeran Cakrabuana kepadanya.

“Rayi Jantra, kau mau menceritakan bagaimana senjata sakti Kujang Emas Kiai Pasundan ini
kembali padaku?”

“Pangeran, saya mohon maaf. Senjata itu terpaksa saya pergunakan ketika bertempur melawan
Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis, salah seorang bergundal yang jadi pengawal apa yang
dinamakan Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga. Saya berhasil menusuk mata kanan Ki Sentot Balangnipa. Sebelum saya
pingsan Kujang Emas Kiai Pasundan melesat dan kembali pada Pangeran.” (Kisah kujang ini
dapat dibaca dalam serial sebelumnya berjudul “Dadu Setan”)

Pangeran Cakrabuana mengangguk-angguk. Kujang disarungkan kembali lalu diserahkan pada


Rayi Jantra. “Terimalah kembali. Jaga baik-baik senjata bertuah ini.”

Rayi Jantra ambil senjata sakti itu. Letakkan di atas kepala lalu bungkukkan badan seraya
berkata. “Terima kasih Pangeran.” Rayi Jantra selipkan senjata sakti itu di balik pakaian di
pinggang kiri.

“Pangeran dan Nyai Rara,” Wiro berkata. “Sebelum pergi aku ingin bertanya. Apakah pernah
mendengar tentang dua buah benda yang disebut dadu setan?”

“Kami pernah menyirap kabar tentang seorang paderi dari Tiongkok yang datang kesini dan
konon tengah mencari dua buah dadu itu,” kata Nyai Rara Santang pula.

Pangeran Cakrabuana melanjutkan ucapan adiknya. “Kami juga mendengar kabar bahwa selain
merupakan senjata sakti dua buah dadu itu telah dipergunakan sebagai alat judi untuk
mengeruk kekayaan menghimpun dana besar. Dana besar ini konon sebahagian dipergunakan
untuk membiayai penumpasan usaha kami mendirikan Kerajaan Cirebon. Kami berusaha
mencari tahu siapa yang menjadi dalangnya. Namun sampai saat ini belum berhasil. Salah satu
tujuan kami untuk nanti menemui Adipati Losari Seda Wiralaga adalah menanyai perihal dua
buah dadu itu.”

“Apakah sebelumnya Pangeran dan Nyai Rara Santang berdua pernah mendengar satu tempat
yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” bertanya Rayi Jantra.

“Kami sering mendengar. Kalau Istana itu benar-benar ada, besar kemungkinan itulah tempat
para musuh kami menggarap kekayaan untuk mendanai penumpasan usaha mendirikan
Kerajaan Cirebon. Konon tempat itu tak jauh dari teluk ini. Di arah selatan…”

“Kami sudah mendatangi tempat itu. Letaknya di kaki sebuah bukit batu. Ternyata tempat itu
kosong. Di situ kami hampir menemui ajal dijebak Raja Racun Bumi Langit.”

“Tabir asap tambah terkuak.” Kata Pangeran Cakrabuana pula. “Kalau diusut dan dicari tahu
untuk siapa Ki Sentot Balangnipa dan Raja Racun Bumi Langit bekerja, akan ketahui siapa dalang
dibalik Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami punya rencana untuk menyelidik. Namun masih
ada satu urusan penting yang harus kami lakukan di Gunung Jati…”

“Sahabat berdua, untuk sementara biar kami yang mewakili mencari dadu setan itu. Banyak
sahabat kami serta orang-orang tak berdosa yang telah tewas gara-gara benda celaka itu.” Kata
Pendekar 212 pula.
“Kami berdua sangat berterima kasih jika pendekar mau melakukan hal itu,” ucap Pangeran
Cakrabuana.

“Saya ada satu pertanyaan, jika dua sahabat tidak berkeberatan.” Purnama yang sejak tadi diam
membuka mulut.

“Silahkan, sahabat yang cantik hendak bertanya apa?” ujar Nyai Rara Santang pula. Sepasang
matanya memperhatikan dan mulutnya tersenyum. Saat itu dia sudah bisa merasakan bahwa
Purnama bukanlah gadis biasa dan memiliki ilmu kesaktian yang sulit dijajaki ketinggiannya.
Kalau saja dia bisa mengajak gadis ini.

“Pangeran, Nyai Rara, apa pernah mendengar nama atau kenal dengan Pangeran Kumbara
Ajiwinata?”

“Dia salah seorang keponakan Ayahanda kami Prabu Siliwangi.” Jawab Pangeran Cakrabuana.
“Ada apakah sahabat menamakan dianya?”

“Ada seorang bernama Danang Seta. Dia salah seorang yang mengetahui tempat rahasia
bernama istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Namun dia keburu tewas di hadapan makam
kekasihnya, seorang gadis bernama Ningrum. Sebelum terbunuh pemuda itu memperlihatkan
sebilah keris kecil yang dipakai orang untuk membunuh kekasihnya. Menurut Danang Seta keris
itu adalah milik Pangeran Kumbara Ajiwinata…”

Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang sama-sama
terdiam. Kemudian sang Pangeran berkata. “Aku tidak menaruh sangka kalau Pangeran
Kumbara ikut terlibat menjadi kaki tangan orang-orang yang hendak menghambat berdirinya
Kerajaan Cirebon…”

“Menurut Danang Seta sebelum mati. keris itu adalah buatan seorang empu di Karang ampel,
bernama Empu Barada.” Purnama menambahkan keterangannya. Lalu dari balik pakaiannya
gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengeluarkan sebilah keris. Ujung senjata ini ada noda
darah yang telah mengering dan pada dua belah gagangnya ada hiasan sebutir intan.

Melihat senjata itu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang serta merta mengenali.

“Keris Gunung Intan.” Ucap dua kakak beradik itu hampir bersamaan. Lalu sang kakak
menambahkan. “Kami tidak mengarang cerita. Tapi kami tahu betul bahwa sejak dua tahun
silam senjata ini telah diberikan kepada seorang sahabatnya oleh Pangeran Kumbara.”

“Apakah Pangeran tahu siapa nama sahabat itu?” tanya Rayi Jantra.

“Kalau aku tidak salah namanya Bayumurti. Kabarnya dia sekarang menjadi Adipati Brebes
pengganti Adipati Karta Suminta.” ucapnya. “Sulit dipercaya kalau Bayumurti ikut terlibat dalam
hal yang berbau kejahatan. Tapi ada baiknya para sahabat melakukan penyelidikan. Banyak hal
yang membuat seseorang bisa berubah. Uang, jabatan….”

“Dan perempuan…” sambung Pendekar 212 sambil tersenyum. Lalu dia berkata. “Petunjuk
Pangeran akan kami ikuti. Kami akan menemui Adipati Brebes yang baru itu.”

“Agar tidak mendapat kesulitan, jika berhadapan dengan Bayumurti katakan padanya bahwa
kami berdua yang mengutus para sahabat untuk melakukan penyelidikan.” Berkata Nyai Rara
Santang.

Pangeran Cakrabuana menyambung ucapan adiknya. “Malam sudah jauh larut. Ijinkan kami
melanjutkan perjalanan dan membawa serta sahabat Jatilandak.”

Jatilandak mendatangi ibunya.

“Ibu, saya mohon diri.”

Jatilandak yang sekarang berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah telah disembuhkan
oleh sang ibu berkat petunjuk Kitab Seribu Pengobatan mencium tangan Purnama. Sambil
mengusap kepala puteranya Purnama berkata. “Pergilah, kau tak usah merisaukan diriku. Aku
akan selalu memperhatikan dirimu dari jauh…”

Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memperhatikan sementara dalam hati masing-
masing bertanya-tanya bagaimana seorang gadis cantik seperti Purnama bisa punya seorang
putera yang sudah pemuda begitu rupa.

Jatilandak kemudian memberikan penghormatan dengan membungkukkan diri pada Wiro dan
Rayi Jantra lalu melompat ke atas punggung kuda, memacu tunggangannya mengikuti Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Rara Santang yang telah lebih dulu membedal kuda masing-masing.

Setelah tiga orang itu lenyap dalam kegelapan malam wiro bertanya pada Purnama. “Kau tidak
pernah bercerita tidak pernah mengatakan kalau keris kecil itu ada padamu.”

“Kejadiannya sewaktu kau meminta aku memata-matai paderi perempuan dari Tiongkok itu.
Senjata itu aku ambil setelah Danang Seta tewas. Sayang aku tidak melihat siapa
pembunuhnya.” Menerangkan Purnama lalu keris Gunung Intan yang sejak tadi dipegangnya
diserahkan pada Pendekar 212.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212TUJUH

DALAM perjalanan menuju Brebes untuk menemui Adipati Bayumurti, Rayi Jantra, Wiro dan
Purnama mampir di sebuah kedai minuman. Menyantap ubi dan pisang rebus ditemani
secangkir teh manis hangat pagi hari itu sungguh sedap rasanya. Pengunjung kedai cukup
ramai. Semua orang yang ada di kedai merasa heran melihat ada tiga orang tamu yang kulit
wajah serta tangan dan kakinya berbelang empat warna. Namun mereka tidak berani
memperhatikan secara berlebihan apa lagi mempergunjingkan karena maklum tiga tamu itu
pasti orang dari rimba hijau dunia persilatan.

Wiro dan kawan-kawan melihat pada salah satu dinding papan kedai minuman menempel
sehelai kertas bergambar wajahnya. Pada kertas selebaran itu tertulis kata-kata dirinya sebagai
buronan pembunuh dan siapa mampu menangkap hidup atau mati akan mendapat hadiah lima
ringgit emas. Selebaran itu ditandatangani oleh Seda Wiralaga, Adipati Losari. Sebetulnya Wiro
telah melihat dan membaca selebaran itu yakni yang dibawa oleh Eyang Sinto Gendeng ketika
bertemu beberapa waktu lalu.

“Untung Raja Racun Bumi Langit membuat mukaku belang-belang. Hingga tak ada satu
orangpun di kedai ini yang tahu kalau akulah buronan sialan itu,” kata Wiro sambil tersenyum
dan menggaruk kepala.

Selesai membayar, ketika Wiro dan kawan-kawan siap hendak meninggalkan kedai, di halaman
rumah minuman itu berhenti sebuah gerobak. Di samping kusir gerobak duduk seorang lelaki
separuh baya berwajah klimis, bertubuh kurus tinggi. Di dalam gerobak terdapat tumpukan peti
barang serta keranjang. Rayi Jantra dan Purnama sudah berdiri, namun Wiro memberi isyarat
dan tetap saja duduk di bangku kayu. Matanya memperhatikan tak berkesip lelaki tinggi kurus
yang turun dari gerobak dan melangkah masuk ke dalam kedai, duduk di salah satu sudut.

“Orang yang barusan masuk…” bisik Wiro pada Rayi Jantra dan Purnama. “Dia mengenakan jas
tutup kebesaran. Lihat kancing ke dua dari atas. Bentuk dan warnanya agak berbeda dari empat
kancing lainnya.”

“Tampaknya dia seorang pedagang.” Kata Rayi Jantra sambil memperlihatkan si tinggi kurus lalu
memandang ke arah gerobak yang penuh dengan barang di halaman kedai.

Dari dalam saku pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kancing baju yang dulu diberikan Eyang
Sepuh Kembar tilu padanya sebelum menemui ajal. Setelah diperhatikan ternyata kancing baju
yang terbuat dari kayu keras itu sama bentuk dan warnanya dengan empat kancing jas tutup
yang dikenakan lelaki tinggi kurus itu.

“Mari kita temui orang itu,” kata Wiro pula.

Belum lagi sempat mengupas pisang rebus di atas meja, lelaki klimis tinggi kurus merasa heran
dan terganggu ketika dua orang pemuda dan seorang gadis berwajah belang-belang
mendatangi lalu langsung duduk di hadapannya.

“Ada apa, kalian siapa? Pemain sandiwara topeng?” Orang itu bertanya.
Wiro tersenyum, cepat menjawab. “Bapak, mohon maaf. Kami tidak bermaksud mengganggu.
Jas tutup yang Bapak kenakan. Kami sangat tertarik. Potongannya bagus dan bahannya pasti
mahal.”

“Lalu kenapa?” tanya orang di hadapan Wiro sambil mengusap-usap dada pakaiannya yang
barusan dipuji Wiro.

Wiro memegang bahu Rayi Jantra. “Sahabat saya ini sangat tertarik pada jas tutup yang Bapak
kenakan. Kami tahu Bapak seorang pedagang. Tentu punya banyak uang. Tapi kalau Bapak tidak
keberatan, kami ingin membeli jas tutup Bapak. Maaf kalau kami dianggap lancang.” Selesai
bicara Wiro lalu meletakkan sekeping perak murni di atas meja.

Sepasang mata lelaki baya yang mengenakan jas tutup membesar. Dongan sekeping perak itu
dia bisa membuat atau membeli dua bahkan mungkin tiga helai jas tutup baru.

“Pemuda gondrong muka belang, kau bicara tidak main-main?”

“Tentu saja tidak,” jawab Wiro. “Hanya saja kami mohon maaf. Kalau Bapak sudi menjual jas
itu, Bapak harus menyerahkannya sekarang juga.”

“Eh, gila kau gondrongi!” Si tinggi kurus tampak seperti marah. Tapi kemudian tanpa banyak
bicara lagi orang ini ambil kepingan perak murni dan segera dimasukkan ke dalam saku celana.
Lalu dia membuka jas tutup yang dikenakannya, dilipat baik-baik dan diletakkan di atas meja.

“Terima kasih, bolehkan kami mengetahui siapa nama Bapak?” tanya Pendekar 212.

“Namaku Bentar Jagung. Aku pedagang. Semua orang di daerah ini tahu diriku.”

“Ah, Bapak orang terkenal rupanya….”

Dipuji begitu rupa pedagang bernama Bentar Jagung itu berkata. “Jika kalian juga butuh
celanaku, aku bersedia menjualnya. Tidak mengapa pulang ke rumah cuma pakal kolor. Ha…
ha…ha.”

“Terima kasih. Sahabat saya ini hanya ingin membeli jas tutup.” Wiro mengambil jas di atas
meja, pura-pura memperhatikan dengan penuh kagum. Lalu berkata “Bagus sekali. Jarang
orang yang punya jas tutup seperti ini. Boleh kami tahu dimana Bapak menjahitnya? Atau
mungkin membelinya sudah dalam keadaan jadi?”

“Jas tutup itu aku dapat dari seorang sahabat. Namanya Dali Rumpun. Seseorang memberikan
jas ini padanya dengan perintah agar jas tutup itu dibakar. Dia tidak membakar, malah
menjualnya padaku.”
“Aneh, ada orang menyuruh bakar pakaian sebagus dan semahal ini. Bapak Bentar Jegung, apa
Bapak tahu siapa orang yang menyuruh bakar jas tutup itu?”

Si pedagang bermuka klimis gelengkan kepala.

Wiro tahu orang ini berdusta.

“Kita sudah bersahabat. Mengapa Bapak tidak mau menerangkan…”

“Aku tak mau mengatakan.” Jawab si pedagang memotong ucapan Wiro.

Wiro meletakkan lagi sekeping perak di atas meja. Agak lebih kecil dari kepingan perak yang
tadi.

“Itu untuk pembayar harga celanaku?” tanya Bentar Jegung. Lalu dia berdiri. Kedua tangannya
siap hendak menanggalkan celana panjang lurik hitam yang dikenakannya.

“Tidak,” jawab Wiro. “Itu hadiah kalau Bapak mau memberitahu orang yang memberikan jas
tutup itu pada Dali Rumpun.”

Bentar Jegung mengusap-usap dagunya beberapa lama. Bibir bawah digigit-gigit. Sambil
berpikir-pikir dia memandang seputar kedai. Akhirnya dia memandang pada Wiro kembali dan
berkata.

“Baik, akan kukatakan padamu. Tapi hanya kau sendiri yang tahu. Jangan diberi tahu pada
orang lain. Termasuk dua temanmu ini.”

“Tentu! Tak akan saya beri tahu pada orang lain,” kata murid Sinto Gendeng pula sambil
senyum-senyum. “Kita sudah bersahabat. Jadi harus saling percaya. Bukan begitu?”

Bentar Jegung merunduk, dekatkan mulutnya ke telinga kiri Wiro lalu membisikkan sebuah
nama. Sepasang alis mata Pendekar 212 berjingkat ke atas, mata membesar lalu mulut
tersenyum.

“Terima kasih Bapak. Terima kasih… Kami berangkat duluan.”

“Ya… ya.” Sahut Bentar Jogung sambil mengusap-usap kepingan perak dalam saku celana
panjang yang kini jadi dua.

Wiro serahkan jas tutup pada Rayi Jantra. Lalu ketiga orang itu segera tinggalkan kedai
minuman.
Setelah meninggalkan kedai minuman cukup jauh Purnama berkata. “Kita ke timur, mencari
Adipati Brebes. Semua pekerjaan ini menyangkut dadu setan. Bagaimana dengan Pedang Naga
Merah. Bukankah kau juga harus mendapatkan senjata sakti itu?”

“Pedang Naga Merah sampai saat ini masih berada di tangan Nio Nio Nikouw. Aku tidak begitu
berkhawatir. Cepat atau lambat paderl perempuan itu akan muncul sendiri.” Jawab Wiro.

“Aku masih sangat penasaran dengan lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan. Gara-gara
kelalaianku hal itu terjadi….”

“Semua urusan kita hadapi satu persatu. Mudah-mudahan kitab itu bisa kita temukan.” Wiro
pegang lengan Purnama. Lalu keduanya lari mengejar Rayi Jantra yang berada di sebelah depan.

“Wiro, nama siapa yang tadi dibisikkan Bentar Jegung padamu waktu di kedai?” bertanya
Purnama.

“Kau tak bakalan percaya.” Ucap Wiro.

“Siapa?”

“Bayumurti. Adipati Brebes yang hendak kita temui.”

“Berarti, jangan-jangan dialah dalang semua pembunuhan sekaligus jadi pengelola Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga.”

“Kita lihat saja nanti…,” jawab Pendekar 212.

*****

KEMBALI ke kedai minuman. Hanya sesaat setelah Wiro dan kawan-kawan meninggalkan
tempat itu pedagang bernama Bentar Jegung dengan cepat keluar dari kedai. Dia mengambil
sehelai pakaian hitam dari atas gerobak lalu menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Di balik
pohon itu tertambat seekor kuda coklat. Bentar Jegung lepaskan tali tambatan kuda lalu
melompat ke punggung binatang itu. Gerobak dan kusir ditinggal begitu saja. Kuda
tunggangannya dipacu ke arah timur melewati jalan pintas yang tak banyak diketahui orang.

*****

KETIKA Wiro dan kawan-kawan sampai di Gedung Kadipaten Brebes, matahari telah tenggelam
dan keadaan mulai gelap. Tidak seperti biasanya, di depan pintu gerbang tampak banyak sekali
para pengawal. Di tembok halaman kiri kanan kelihatan sekitar empat puluh perajurit berjaga-
jaga.
“Aku punya firasat, Adipati Brebes sudah tahu kedatangan kita.” Ucap Wiro. Dia lebih dulu
sampai di depan pintu gerbang. Pengawal Kepala cepat mendatangi dan menegur galak.
Orangnya bermuka hitam bopengan.

“Kalian manusia-manusia muka belang. Ada keperluan apa? Lekas menyingkir dari sini kalau
tidak mau kugebuk kepala kalian dengan tombak ini!” Kepala Pengawal Pintu Gerbang
melintangkan tombak besi di depan dada.

Wiro tersenyum dan garuk kepala.

“Kau perajurit hebat. Kedatangan kami bertiga untuk menghadap Adipati Bayumurti.”

Kepala Pengawal perhatikan ke tiga orang itu beberapa ketika lalu bertanya pada Pendekar 212.
“Kau siapa?!”

“Namaku Wiro. Ditambah Sableng. Jadi Wiro Sableng,” jawab murid Sinto Gendeng.

“Hah!” Kepala Pengawal unjukkan wajah kaget. Dia tidak menyangka pendekar terkenal ini
mukanya belang-belang dan datang lebih cepat dari yang diduga. “Adipati memang menunggu
kedatanganmu! Yang aku dengar Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng mukanya tidak belang-
belang….”

“Soal tampangku mengapa dipermasalahkan. Kami bertiga tengah mempelajari ilmu


bengkarung.” Jawab Wiro pula.

“Hmmm, begitu?” ujar si muka bopeng percaya saja. ‘Tapi, hanya kau seorang yang
diperkenankan masuk!”

“Kami datang bertiga dan ingin masuk bertiga.”

“Tidak bisa! Kalau kau membangkang silahkan minggat dari sini!”

Wiro garuk kepala.

“Kami diutus oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang dari Pajajaran.”

Mendengar keterangan Wiro, Kepala Pengawal Pintu Gerbang lantas berkata. “Kalian tunggu
disini. Jangan berani bergerak barang sejengkalpun! Aku akan melapor dulu pada Adipati.”
Orang ini masuk ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi. Dia membuka pintu gerbang lebih
lebar dan memberi isyarat agar ke tiga orang itu masuk. Dalam perjalanan dari pintu gerbang
menuju gedung Kadipaten sekitar dua puluh perajurit mengawal di sisi kiri kanan.

“Lihat sikap para pengawal itu…” bisik Wiro pada Rayi Jantra. “Ada yang tidak beres.”
Purnama mendekati Wiro. Lalu ganti berbisik. “Kalau benar Bayumurti menjadi dalang semua
kejadian ini, rasanya dia tidak akan bertindak seperti ini. Pasti dia sudah memerintahkan para
pengawal untuk meringkus kita.”

“Bayumurti tahu kita bukan tikus yang mudah diringkus. Pasti dia telah merencanakan satu
jebakan untuk kita.” Ucap Rayi Jantra.

“Ada apa bicara berbisik-bisik?!” bentak Kepala Pengawal bermuka bopeng, “Jalan terus!”

Wiro dan kawan-kawan dibawa dan disuruh menunggu di pendopo gedung Kadipaten. Kepala
Pengawal masuk ke dalam gedung memberi tahu atasannya. Tak lama kemudian Adipati
Bayumurti keluar menemui tamunya. Berdiri di hadapan ketiga orang itu sang Adipati tampak
heran. Seumur hidup dia belum pernah melihat orang bermuka belang empat warna. Yang
mana Pendekar 212 Wiro Sableng? Pemuda gondrong di hadapannya.

“Apa benar kalian datang diutus oleh putera-puteri Prabu Siliwangi dari Pajajaran?” Bayumurti
bertanya.

“Benar sekali Adipati.” Jawab Wiro. Murid Sinto Gendeng merasa heran. Adipati ini tidak
menanyakan perihal mukanya dan muka Rayi Jantra serta Purnama yang belang-belang. Apakah
dia sudah dilapori oleh pengawal muka bopeng sebelumnya? Atau sudah lebih dulu mengetahui
keadaan diri mereka. Tapi bagaimana dan siapa yang memberi tahu?

Bayumurti menatap Rayi Jantra sejurus lalu bertanya. “Apakah aku mengenal dirimu?”

“Aku Rayi Jantra.”

“Rayi Jantra! Kepala Pasukan Kadipaten Losari!”

“Betul sekali Adipati.”

“Mengapa keadaanmu seperti ini. Bukankah seharusnya kau berada di Losari?” Bayumurti
perhatikan jas tutup yang ada di kepitan Rayi Jantra. Melirik ke arah Purnama lalu karena Rayi
Jantra tak menjawab pertanyaannya, Adipati Brebes ini berpaling pada pemuda gondrong
dihadapannya. “Kau pasti pendekar terkenal Wiro Sableng. Pendekar Dua Satu Dua….”

“Betul sekali Adipati. Maaf kalau kedatangan kami mengganggumu. Tapi kami tidak akan lama.
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang ingin mengetahui bagaimana ceritanya keris yang
pernah diberikan oleh Pangeran Kumbara Ajiwinata pada Adipati bisa berada diluaran dan
sempat membunuh seseorang di Losari?”

Wiro lantas keluarkan Keris Gunung Intan tak bersarung. Adipati Bayumurti tekap mulut dan
dagunya dengan tangan kanan, berusaha menindih keterkejutannya.
“Aku sendiri tidak mengerti bagaimana senjata pemberian Pangeran Kumbara itu berada
diluaran….”

“Bagaimana mungkin Adipati bisa berkata begitu?” tanya Rayi Jantra. “Bukankah seharusnya
senjata ini disimpan di satu tempat yang terjaga baik?”

“Keris itu….” Bayumurti gelengkan kepala dan tidak meneruskan ucapannya.”

“Adipati, kami tidak memaksa kalau kau tidak mau memberi tahu.” Kata Wiro pula. Lalu dia
mengambil jas tutup yang ada dalam kepitan Rayi Jantra. Sambil membentangkan pakaian itu
Wiro berkata. “Jas ini kami dapat dari seseorang. Orang itu mengatakan jas tutup ini adalah
milik Adipati. Kami punya dugaan pemilik jas tutup ini adalah pembunuh seorang sahabat kami
seorang nenek bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu. Sebelum dibunuh rupanya nenek itu masih
sempat menyambar salah satu kancing jas tutup. Namun kami tidak percaya dan tak mungkin
mau menduga kalau Adipatilah pembunuh nenek itu.” Wiro ambil kancing kayu yang ada dalam
saku celananya, lalu ditunjukkan pada Bayumurti. Kancing kayu itu sangat sama dengan empat
kancing yang melekat di jas tutup.

Setelah memperhatikan sebentar, Bayumurti bertanya.

“Siapa orang yang memberikan jas tutup dan mengatakan kalau jas tutup itu adalah milikku?”

“Namanya Bentar Jegung. Katanya dia seorang pedagang terkenal.”

“Begitu?” Bayumurti tersenyum.

Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dan seorang lelaki tinggi kurus berpakaian serba
hitam tahu-tahu sudah berdiri di tempat itu. Bentar Jegung! Karuan saja Wiro, Rayi Jantra dan
Purnama jadi heran melihat bagaimana pedagang tinggi kurus yang menjual jas tutup di kedai
minuman tadi pagi tahu-tahu kini berada di Gedung Kadipaten! Ketiga orang ini serta merta
bersikap penuh waspada.

Masih tersenyum Bayumurti bertanya pada Wiro. “Pendekar, ini orang yang kau maksudkan?”

“Benar sekali Adipati.” Jawab Wiro dan agar orang tidak merasa di atas angin dia sengaja tidak
bertanya mengapa orang itu kini berada di tempat itu atau apa hubungannya dengan sang
Adipati.

Lelaki tinggi kurus membuka mulut “Namaku bukan Bentar Jegung. Tapi Ki Surat Balangnipa.
Aku adalah adik dari Ki Sentot Balangnipa!”

Kejut Wiro dan kawan-kawan terutama Rayi Jantra bukan alang kepalang. Tapi mereka masih
bisa bersikap tenang. Kejutan terjadi lagi ketika Adipati Bayumurti berkata.
“Dia adalah orang kepercayaan yang bekerja sebagai mata-mata.”

Keadaan di pendopo untuk beberapa lamanya hening seperti dikuburan. Keheningan itu tiba-
tiba dipecahkan oleh gelak tawa Adipati Bayumurti.

“Kalian tak perlu terkejut, tak usah takut! Kita adalah orang-orang di pihak yang sama. Aku tahu
kalian tengah menyelidik soal apa. Aku akan memberi tahu siapa yang jadi biang racun semua
kejadian ini. Namun sehabis berjalan jauh| kalian tentu letih, haus dan lapar. Sementara
menunggu makan malam disiapkan, silahkan mencicipi teh hangat lebih dulu.”

‘“Adipati, kau baik sekali. Tak usah repot-repot. Mungkin kau bisa menerangkan apa maksud
ucapanmu bahwa kita adalah orang-orang dipihak yang sama?” bertanya Wiro.

“Sahabat, tunda dulu pertanyaanmu itu. Mari kita mereguk minuman lebih dulu.” Jawab Adipati
Bayumurti sambil memegang pundak kiri Pendekar 212 dengan tangan kiri. Sembari memegang
Adipati ini kerahkan tenaga dalam hingga murid Sinto Gendeng merasa bahunya laksana
ditindih batu besar ratusan kati. Orang yang tak punya kemampuan apa-apa saat itu juga pasti
jatuh ambruk bahkan tulang pundaknya bisa patah!

Sadar orang hendak menjajal kekuatan dirinya, Wiro segera kerahkan hawa sakti ke pundak kiri.
Diam-diam Adipati Bayumurti merasa kaget ketika ada satu kekuatan dahsyat menerpa tangan
kirinya. Sebelum tangan kiri terpental dia cepat menarik. Memandang ke bawah Bayumurti
melihat ada kepulan asap tipis keluar dari lantai batu yang berada di bawah kedua injakan
kakinya. Adipati yang masih muda belia ini maklum kalau mau pemuda gondrong bermuka
belang di hadapannya itu bisa membuatnya mati konyol, paling tidak luka di dalam saat itu juga.
Ternyata nama besar Pendekar 212 yang dikenal di delapan penjuru angin bukan nama kosong
belaka.

“Aku terpaksa merubah rencana semula. Aku tak mungkin menangani sendiri manusia satu ini.
Apalagi dia membawa dua teman yang pasti tingkat kepandaiannya tidak rendah.” Membatin
Bayumurti lalu untuk menutupi keterkejutannya dia sengaja sunggingkan senyum. Apa yang
terjadi tidak luput dari penglihatan Ki Surat Balangnipa. Diam-diam nyali orang ini mulai
bergetar.

Saat itu seorang pelayan perempuan keluar membawa nampan besar berisi lima cangkir teh
manis hangat dicampur jahe. Setelah masing-masing mengambil satu cangkir, Adipati
Bayumurti segera mempersilahkan ketiga tamunya meneguk minuman.

Karena memang haus Rayi Jantra segera saja hendak meneguk minumannya. Tapi Wiro yang
sejak tadi sudah merasa tidak enak dan bersikap waspada saat itu juga entah mengapa
menaruh curiga dan menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Dia melihat ada selarik genangan
cairan biru di dalam teh. Murid Sinto Gendeng serta merta berteriak.

“Jangan diminum! Teh itu ada racunnya!”


Wiro lemparkan cangkir tanah yang dipegangnya hingga menghantam cangkir yang ada di
depan mulut Rayi Jantra. Duah buah cangkir pecah berantakan. Begitu cairan dalam cangkir
menyentuh lantai, sekilas terlihat asap kebiruan mengepul.

“Bayumurti, kami datang tidak bermaksud jahat! Mengapa kau ingin membunuh kami dengan
racun yang dimasukkan dalam minuman?!”

Pemuda yang belum satu minggu menjabat sebagai Adipati Brebes itu ganda tertawa.

“Siapa bilang kedatangan kalian tidak dibekali niat jahat! Pendekar Dua Satu Dua, aku bersedia
melepaskan dua temanmu jika kau mau menyerahkan diri. Kau aku tangkap karena telah
melakukan pembunuhan atas diri Adipati Brebes yang lama!”

“Ah! Rupanya kau sudah jadi kaki tangan Adipati Losari!”

“Hukum berlaku dimana-mana!” jawab Bayumurti. “Apakah kau mau menyerah secara baik-
baik atau aku harus mematahkan batang lehermu lebih dulu?!”

Pendekar 212 tertawa lebar. Dari bentrokan tenaga dalam tadi dia sudah tahu sampai dimana
tingkat kehebatan sang Adipati. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Belum satu minggu jadi
Adipati sifatmu sudah sombong sekali. Sayang sekali. Jabatanmu sekarang punya masa depan
cemerlang. Tapi agaknya kau sengaja menghancurkan diri sendiri. Siapa yang membujuk dan
menipumu, Bayumurti?”

Rahang Bayumurti menggembung. Sepuluh jari tangan diremas hingga mengeluarkan suara
berkeretekan. Dia seperti hendak menelan dan melumat Wiro. Namun sampai saat itu dia tidak
membuat gerakan atau tanda-tanda hendak menyerang.

Tanpa banyak bicara Wiro segera melesat menerjang Bayumurti. Dia membuka serangan
dengan jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan kanan melesat ke arah kepala Bayumurti.
Lawan yang diserang yang sadar bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah Pendekar
212 berlaku cerdik. Setelah melompat mundur dia berteriak.

“Ki Surat! Ringkus pembunuh ini!”

Si tinggi kurus berpakaian serba hitam menyeringai. Didahului bentakan keras dia melesat ke
arah Wiro. Sementara tubuhnya melayang di udara dua tangannya mendadak berubah panjang.
Sepuluh ujung kuku mencuat menyerupai tali temali. Bersilang berwarna merah dan
mengepulkan asap. Inilah yang disebut Ilmu Jaring Api. Sudah banyak musuh yang kena
diringkus Ki Surat Balangnipa. Selain jarang yang bisa meloloskan diri, sekali masuk dalam
libatan jaring, musuh akan menemui ajal dengan tubuh hangus tercabik-cabik.
“Ki Surat Balangnipa! Aku lawanmu!” Tiba-tiba Rayi Jantra berteriak lantang. Masih mengempit
jas tutup di ketiak kiri dia menghadang gerakan orang.

Ki Surat Balangnipa tertawa mengejek. “Rupanya kau sudah kepingin mati lebih dulu. Majulah!
Biar aku balaskan dendam kesumat kakakku!”

“Sett… settt!”

Sepuluh tali temali merah menderu, melibas ke arah Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten
Losari ini dorongkan dua tangannya. Dua larik cahaya putih berkilau berkiblat.

“Dess! Taarr…tarrr!”

Ki Surat Balangnipa tersentak kaget ketika melihat sepuluh tali temali merah yang siap hendak
menggulung Rayi Jantra terdorong ke belakang. Orang ini segera kerahkan seluruh tenaga
dalam dan hawa sakti yang dimilikinya.

“Wusss!”

Sepuluh tali temali merah menggebubu dahsyat. Saat itu juga terdengar seruan Rayi Jantra.
Sekujur tubuhnya terlibat oleh sepuluh tali temali merah. Pakaian kepulkan asap, termasuk jas
tutup yang dikepit di ketiak kiri. Daging tubuh luka. Ki Surat Balangnipa silangkan dua lengan.
Sekali dia menarik kedua lengan itu maka hangus dan hancurlah tubuh Rayi Jantra. Namun
sebelum ajal berpantang mati! Dari samping kiri berkelebat bayangan biru Purnama.
Bersamaan dengan itu melesat cahaya biru begemerlap ke arah Ki Surat Balangnipa.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212DELAPAN

GADIS CANTIK dari Latanahsilam itu melepas Ilmu Menahan Raga Menyerap Tenaga, membuat
Ki Surat Balangnipa berseru kaget. Kakek ini tidak mampu gerakkan dua tangan yang bersilang
hingga dia tak bisa meringkus Rayi Jantra dengan Ilmu Jaring api. Malah bukan cuma tangan,
kedua kakinyapun kini terasa lemas tak mampu digerakkan.

“Perempuan jahanam! Apa yang kau lakukan pada diriku!” teriak Ki Surat Balangnipa pada
Purnama. Walau anggota badan tak berdaya namun Ki Surat bisa bersuara. Satu jotosan keras
tiba-tiba menghantam wajahnya, membuat hidungnya remuk, bibir pecah, darah mengucur.
Dalam kalapnya Rayi Jantra siap menghabisi lawan yang tidak berdaya ini dengan pukulan tepi
telapak tangan ke batok kepala. Purnama cepat menahan bahu pemuda itu seraya berkata.
“Jangan dibunuh. Kita perlu dia hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Tuan besarnya sudah
tak ada lagi di tempat ini.”
Saat itu baru Rayi Jantra dan Wiro menyadari kalau Adipati Bayumurti tidak ada lagi di tempat
itu. Sementara di luar sana puluhan perajurit pengawal Gedung Kadipaten datang menyerbu
dengan berbagai senjata di tangan. Wiro cepat panggul tubuh Ki Surat Balangnipa. Beberapa
perajurit menghamburkan panah. Namun sasaran telah lenyap dalam kegelapan malam.

“Kalian mau membawa aku kemana?!” Ki Surat Balangnipa berteriak.

“Huss! Tenang sajalah! Kita jalan-jalan sebentar!” jawab Pendekar 212 sambil mengeplak
kepala Bentar Jegung alias Ki Surat Balangnipa.

Wiro membawa mata-mata kaki tangan Adipati Brebes itu ke sebuah parit busuk di pinggiran
kota. Di tepi parit dia lebih dulu menggeledah celana Ki Surat Balangnipa dan menemukan dua
keping perak yang tadi pagi diberikannya di kedai minuman.

“Bangsat pencuri! Perak itu sudah jadi milikku! Kembalikan!” teriak Ki Surat Balangnipa marah.

“Kau mendapatkannya karena menipuku!” jawab Wiro lalu masukkan dua keping perak ke
kantong celananya. Tanpa perdulikan kutuk serapah orang Wiro kemudian ceburkan Ki Surat
Balangnipa ke dalam kubangan hingga hanya tinggal kepala saja yang muncul di permukaan air
berlumpur kotor dan busuk itu.

“Bentar Jegung! Ki Surat Balangnipa! Siapapun namamu! Katakan siapa sebenarnya pemilik jas
tutup yang kau jual padaku itu!”

“Di warung minuman pagi tadi aku sudah menerangkan! Pakaian itu milik Adipati Bayumurti.
Dia memberikan pada sahabatku Dali Rumpun. Dali disuruh membakar pakaian itu tapi dia
menjualnya padaku.”

“Kau berdusta!” kata Wiro pula dan kembali tangannya mengeplak batok kepala Ki Surat
Balangnipa. “Aku tahu Bayumurti yang memerintahmu mengarang cerita untuk menjebakku!
Apa perlunya bagimu pakaian yang kebesaran ini. Dari potongan jas tutup itu aku juga tahu
pemiliknya adalah seorang berperut gendut buncit. Ayo katakan siapa orangnya?!”

“Aku tidak tahu!”

“Pendusta sialan!” Kini Wiro jitak kening Ki Surat Balangnipa. Karena bukan jitakan biasa maka
kening itu jadi benjol bengkak. Ki Surat Balangnipa gembungkan rahang menahan sakit.

“Kau pernah dengar Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” Wiro kembali ajukan pertanyaan.

Ki Surat Balangnipa gelengkan kepala.


“Plaaak!” Wiro keplak jidat Ki Surat Balangnipa di bagian yang benjol hingga orang ini menjerit
kesakitan. “Kalau kakakmu Ki Sentot Balangnipa adalah kaki tangan Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga, sedikit banyak paling tidak kau juga ikut jadi cecunguknya!”

“Aku tak mau bicara! Kau mau bunuh aku silahkan saja! Apa kau kira aku takut mati?.’“

Wiro tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang. “Nyalimu hebat juga! Kau pasti punya
nyawa cadangan hingga sesumbar tidak takut mati!” Wiro usap-usap belakang kepala Ki Surat
Balangnipa lalu bertanya. “Katakan kemana kaburnya Adipati Bayumurti.”

“Aku tidak tahu.”

“Kau pasti tahu!” bentak Rayi Jantra. Tidak dapat menahan jengkel dia hantamkan satu jotosan
ke mata kiri Ki Surat Balangnipa. Kalau jotosan ini mengenai sasarannya pasti mata kiri Ki Surat
akan hancur. Wiro cepat pegang lengan Rayi Jantra seraya berkata.

“Sebelum kita hajar, ada baiknya kita beri makan dulu sampai kenyang cecunguk pendusta ini!”
Melirik ke kiri Wiro melihat seekor kodok buduk coklat sejak tadi ada di atas sebuah batu. Wiro
cepat tangkap binatang ini lalu bertanya lagi pada Ki Surat kemana perginya Bayumurti. Yang
ditanya tetap menjawab tidak tahu. “Agar kau lebih lancar bicara dusta biar aku berikan
makanan enak untukmu! Kata orang kodok goreng enak sekali! Kurasa kodok mentah jauh lebih
sedap! Nah, makanlah!” Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Wiro pencet pipi Ki Surat
Balangnipa. Begitu mulut terbuka tangan kanan Wiro sumpalkan kodok hidup ke dalam mulut
itu.

“Huk… huk… huk!” Ki Surat Balangnipa berusaha semburkan kodok buduk hidup yang mencuit
dan melejang-lejang di dalam mulut tapi tidak bisa karena Wiro dengan cepat menyumpalkan
lumpur busuk ke dalam mulut itu. Ki Surat megap-megap, mata terbeliak, tenggorokan turun
naik.

“Kata orang makanan tanpa bumbu penyedap tidak enak. Ki Surat ini aku berikan bumbu
penyedap padamu!” Sambil tertawa-tawa dari pingggir parit Wiro sunggingkan pantat tepat ke
muka Ki Surat. Lalu buutt! Wiro pancarkan kentut keras dan panjang dan tentu saja bau!

“Huk… huk… huk!”

“Aku akan keluarkan kodok itu dari dalam mulutmu. Kau mau bicara?!” Wiro bertanya.

Ki Surat Balangnipa dalam keadaan megap-megap masih nekad gelengkan kepala. “Sialan!”
maki murid Sinto Gendeng.

“Biar kupecahkan saja kepalanya sekarang juga!” kata Rayi Jantra. “Habis makan enak dia perlu
diberi minuman lezat!” Lalu Wiro benamkan kepala Ki Surat berulang kali ke dalam parit busuk.
Terakhir sekali kepala itu muncul di permukaan parit, Ki Surat Balangnipa sudah tidak sadarkan
diri lagi.

“Manusia-manusia pengecut! Beraninya menganiaya orang yang tidak berdaya!” Satu bentakan
tiba-tiba terdengar disusul suara berkesiuran.

“Sett…sett… settt!”

“Awas senjata rahasia!” teriak Wiro seraya pukulkan tangan kiri ke depan. Sebuah benda hitam
panjang sejengkal terpental di hantam angin pukulan. Rayi Jantra dan Purnama sama-sama
jatuhkan diri ke tanah ketika dua benda yang sama melesat dan lewat di atas punggung
mereka. Salah satu dari senjata rahasia itu menancap pada batang pohon di samping kiri
Purnama. Wiro cepat mencabut dan memperhatikan.

“Paku berduri…” ucap Wiro.

“Aku pernah melihat senjata rahasia ini sebelumnya. Sewaktu menguntit paderi perempuan
dari Tiongkok itu di satu pekuburan di Losari.” Berkata Purnama.

“Aku tahu siapa pemilik senjata ini,” kata Rayi Jantra sambil perhatikan paku berduri yang
dipegang Wiro.

“Siapa?” tanya Wiro pula.

“Bayumurti.”

“Kurang ajar! Jangan-jangan dia dalang semua kekacauan ini.” Kata Wiro lalu dia masukkan
paku berduri ke dalam kantong celananya. Pada saat itulah entah dari mana datangnya tiba-tiba
bergelimpangan dua sosok tubuh berpakaian jubah kuning. Satu tergeletak kaku tak bergerak,
satunya menangis ha-hu ha-hu! Yang menangis ini adalah seorang kakek muka merah berkepala
botak. Kaget Wiro dan kawan-kawan bukan kepalang. Terlebih dia mengenali kakek muka
merah ini adalah orang yang dilihatnya pada malam tewasnya Jumena. Orang ini kemudian
muncul di teluk Losari bersama Pengging Kuntala mengenakan jubah biru. Orang kedua yang
tergeletak kaku ternyata adalah seorang nenek rambut kelabu. Mata merah mendelik tak
berkesip. Telinga dicanteli anting terbuat dari tulang jari manusia. Di lehernya menancap
sebuah benda hijau tipis, yang ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah sehelai daun
mengkudu. Dari sudut bibir si nenek meleleh darah kental.

“Aneh, mengapa nenek kembar jejadian Eyang Sepuh Kembar tilu bisa bersama-sama dengan
kakek muka merah?” pikir Wiro.

Tiba-tiba kakek kepala botak gerakkan dua tangan ke atas kepala. Ketika tangan itu menarik
bagian kepala botak sebelah atas, muncullah satu kepala nenek rambut kelabu.
“Kalian berdua rupanya!” seru Pendekar 212. Kedua nenek ini bukan lain adalah kembaran
jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.

“Apa yang terjadi?” tanya Rayi Jantra.

“Ha-hu ha-hu…”

Wiro jadi curiga dan cekal bahu nenek yang tadi pakai topeng kakek muka merah kepala botak.
“Nek, jadi kau orang yang menyaru memakai topeng kakek muka merah. Membunuh Jumena
dan muncul di Teluk Losari bersama kaki tangan Ratu Laut Utara! Ternyata kau musuh dalam
selimut!”

“Ha-hu ha-hu!” Si nenek gelengkan kepala dan goyangkan tangan kiri berulang kali. Dia
menunjuk-nunjuk pada kembarannya yang tergeletak tak bergerak lalu membanting-banting
topeng kakek muka merah seraya tangan kiri menunjuk ke arah kejauhan. Purnama jatuhkan
diri di samping nenek yang tergeletak di tanah. Setelah memeriksa, gadis dari alam 1200 tahun
silam ini gelengkan kepala. “Tak mungkin ditolong. Ajalnya sudah di depan mata. Dia tewas
akibat daun pantangan yang menancap di leher. Lagi pula dia bukan mahluk biasa….”

Mendengar ucapan Purnama, nenek satunya menggerung keras. Dia nekad hendak mencabut
daun mengkudu di leher saudara kembarnya namun cepat dicegah oleh Wiro.

“Jangan sentuh daun itu! Kau bisa celaka!” Wiro berpaling pada Purnama. “Mungkin bisa dicoba
penyembuhan dengan petunjuk Kitab Seribu Pengobatan…?”

Purnama pejamkan mata. Sesaat kemudian mata dibuka. “Aku hanya bisa berusaha…” Lalu
gadis dari Latanahsilam ini sambung ucapannya. “Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus
sembilan puluh enam. Pengobatan ke…”

Belum sempat Purnama menyelesaikan ucapan yang dilafalkan berdasarkan apa yang telah
diserapnya dari Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba nenek yang tergeletak di tanah keluarkan
suara mengorok keras lalu hek! Nyawanya putus.

Bersamaan dengan itu sosoknya mengepulkan asap kelabu, membumbung ke udara dan
akhirnya lenyap dalam kegelapan malam. Yang masih tertinggal di tanah adalah daun
mengkudu yang tadi menancap di lehernya. Nenek satunya langsung menjerit Rayi Jantra dan
Wiro berusaha menenangkan.

“Nek, kau harus menceritakan pada kami apa yang terjadi dengan saudaramu sebelumnya. Kau
juga harus memberi tahu dari mana kau mendapatkan topeng kakek muka merah itu.”

“Ha-hu ha-hu…” Si nenek gulingkan diri di tanah, meraung meratapi kematian saudara
kembarnya yang kemudian secara aneh jasadnya lenyap ke alam gaib.
Sementara menunggu sampai si nenek tenang Wiro, Purnama dan Rayi Jantra dapatkan belang
empat warna yang ada pada wajah dan tubuh mereka kini tinggal tiga yakni merah, biru dan
kuning. Warna hijau telah lenyap. Ini sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan
bahwa empat warna itu akan hilang satu persatu selama empat hari.

Setelah nenek rambut kelabu tampak agak tenang Wiro dan Purnama serta Rayi Jantra
berusaha mendapat keterangan. Setiap ditanya nenek gagu ini selalu menunjuk ke arah
kejauhan. Setiap kali keluarkan suara ha-hu-ha-hu dia selalu membanting topeng kakek muka
merah ke tanah. Wiro ambil topeng kakek muka merah dari tangan si nenek. Wiro ingat
sebelumnya dia telah meminta tolong pada dua nenek kembar untuk menyelidik dan mencari
siapa adanya kakek muka merah berkepala botak. Ternyata salah seorang dari kembar muncul
membawa sebuah topeng kakek muka merah botak dan sekaligus membawa saudaranya yang
tengah sekarat. Berarti manusia dengan ujud seorang kakek muka merah kepala botak itu
sebenarnya tak pernah ada. Keberadaannya hanyalah seseorang yang mengenakan topeng
untuk menutupi jati dirinya. Wiro juga ingat Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal akibat
daun mengkudu, sama dengan daun yang menancap di leher nenek kembar yang barusan
menemui ajal dan lenyap ke alam gaib. Pembunuh kedua nenek itu tidak dapat tidak adalah
orang yang sama. Siapa?

“Bayumurti… Agaknya dia manusia biang racun dibalik semua kejadian ini. Jangan-jangan dadu
setan itu ada padanya.” Wiro pegang bahu nenek rambut kelabu. “Nek, kau selalu menunjuk ke
barat. Antarkan kami ke arah yang kau tunjuk!”

“Ha-hu ha-hu…” Si nenek mengangguk. Lalu dia menunjuk ke wajah Wiro, Rayi Jantra dan
Purnama yang belang-belang. “Ha-hu ha-hu.” Si nenek rupanya ingin bertanya apa yang terjadi.

“Ada kakek jahil meracuni kami. Namanya Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan kita akan
segera bertemu setan alas itu!” jawab Wiro. “Ha-hu ha-hu.”

*****

Kapak Maut Naga Geni 212SEMBILAN

KOKOK ayam terdengar di kejauhan. Di arah timur kaki langit tampak memancar cahaya terang
kemerahan pertanda tak lama lagi pagi segera datang dan malam akan berganti siang. Di ujung
sebuah alun-alun, nenek rambut kelabu jubah kuning hentikan lari.

“Ha-hu ha-hu…” Si nenek menunjuk ke arah seberang alun-alun dimana terlihat sebuah
bangunan besar bertembok setinggi kepala. Wiro berpaling pada Rayi Jantra.

“Rayi, kau datang ke rumah sendiri.”


Rayi Jantra tersenyum kecut. “Gedung Kadipaten Losari…,” ucapnya perlahan sambil menatap
ke depan. “Aku melihat keanehan. Tidak ada perajurit, tidak tampak pengawal. Pintu gerbang
depan terpentang lebar. Tak ada satu oborpun yang menyala!”

Wiro tersenyum. “Sekarang minyak mahal, Gedung Kadipaten berhemat diri, sengaja
mematikan obor menjelang pagi. Ha… ha! Ayo Rayi. Apa kau tidak senang akan bertemu lagi
dengan atasanmu Adipati Losari Raden Seda Wiralaga.”

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras. Pendekar 212 menyeringai. “Kawan-kawan, kedatangan
kita sudah diketahui penghuni gedung.”

“Ha-hu ha-hu…” Nenek jubah kuning menunjuk-nunjuk ke arah gedung dengan tangan kiri
sedang tangan kanan mengangkat-angkat topeng wajah kakek muka merah kepala botak.

“Nek, kau hendak memberi tahu kalau kau menemukan topeng ini di dalam gedung sana. Lalu
orang yang membunuh saudara kembarmu juga berada di dalam gedung itu.” Purnama sambil
pegang bahu nenek rambut kelabu.

“Ha-hu ha-hu! Ha-hu ha-hu!” Si nenek menyahuti sambil anggukkan kepala berulang kali.

Wiro ambil topeng kakek muka merah dari tangan nenek rambut kelabu sementara Rayi Jantra
masih memegang jas tutup yang bagian lengan serta bahunya hangus ketika dia diserang oleh
Ki Surat Balangnipa dengan Ilmu Jaring Api. Lelaki yang sebenarnya adalah Kepala Pasukan
Kadipaten Losari ini mendahului berjalan ke arah pintu gerbang. Wiro, Purnama dan si nenek
segera mengikuti. Namun sampai di pintu gerbang si nenek tidak terus masuk.

“Ha-hu ha-hu!” Si nenek menunjuk ke halaman gedung lalu ke arah pinggiran tembok. Ternyata
di halaman gedung Kadipaten bertebaran banyak sekali daun mengkudu. Sementara sepanjang
sisi dalam tembok gedung berderet-deret pohon mengkudu setinggi pinggang. Agaknya pohon
ini bukan ditanam tapi hasil tebangan lalu ditancap ke tanah begitu saja. Penghuni gedung
rupanya telah berjaga-jaga dari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh mahluk jejadian kembaran
Eyang Sepuh Kembar Tilu yang kini hanya tinggal seorang.

“Ha-hu ha-hu.” Nenek rambut kelabu geleng-geleng kepala.

“Nek, agar aman bagimu biar tempat ini kubersihkan lebih dulu dari daun-daun celaka itu!”
Wiro berkata lalu angkat kedua tangan ke atas. Tangan kanan melepas pukulan Angin Puyuh
sementara tangan kiri yang diputar-putar lancarkan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih
Menindih. Seluruh daun mengkudu yang ada di halaman Gedung Kadipaten beterbangan ke
udara, melesat ke langit dan lenyap dari pemandangan.

Ketika murid Sinto Gedeng arahkan dua tangannya ke sepanjang sisi tembok gedung yang
penuh ditancapi pohon mengkudu, serta merta pohon-pohon itu tercabut dari tanah, mental ke
udara. Malah tembok di bagian timur yang terkena sapuan angin pukulan roboh bergemuruh.
Pada saat itulah dari bagian belakang gedung bermunculan puluhan perajurit Kadipaten.
Mereka menebar di sepanjang sisi tembok kiri kanan gedung.

Keadaan mulai terang-terang tanah ketika Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga orang
lainnya memasuki pintu gerbang dan melangkah cepat di halaman depan Gedung Kadipaten.
Sebelum mencapai pertengahan halaman dimana terdapat dua buah arca besar berupa singa
bersayap, tiba-tiba dari dalam gedung melesat keluar tiga orang. Mereka kemudian tegak
berjajar menghadang jalan.

“Braakk!”

Ada suara keras di sebelah belakang. Ketika Wiro dan kawan-kawan menoleh ternyata pintu
gerbang telah ditutup. Di depan pintu berdiri sepuluh orang perajurit bersenjata tombak. Pada
setiap ujung tombak menancap tiga helai daun mengkudu.

“Ha-hu ha-hu!” Nenek rambut kelabu tampak pucat. Dia angkat tangan kanan, siap untuk
menghantam sepuluh perajurit yang membawa daun pantangan di ujung tombak masing-
masing.

“Nek,” bisik Purnama. “Tahan dulu serangan. Aku akan melindungimu jika pasukan bertombak
itu menyerbumu.”

“Ha-hu ha-hu!”

Sepuluh perajurit bersenjata tombak hanya tegak di depan pintu gerbang yang sudah tertutup,
tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang si nenek.

Orang pertama yang menghadang langkah Wiro dan kawan-kawan dan kini berdiri di ujung
kanan ternyata adalah Adipati Brebes Bayumurti. Jelas sudah kalau Adipati ini telah berserikat
dan jadi kambrat Adipati Losari Seda Wiralaga. Di pinggangnya tergantung sebilah golok besar.

Orang kedua yang tegak di samping kanan Bayumurti adalah seorang kakek berjubah kuning.
Muka dan sebagian tangannya tampak hitam gosong. Mata kiri terpuruk dan dikening sampai
ke pipi kiri ada cacat bekas luka. Rambut warna kelabu sulah sebelah akibat terbakar. Manusia
ini ternyata adalah Pengging Kuntala, orang kepercayaan Ratu Laut Utara. Satu malam lalu dia
dibuat cidera hebat oleh Nyi Roro Manggut sewaktu terjadi perkelahian di Teluk Losari.
Sungguh luar biasa dia bisa sembuh secepat itu.

Orang ketiga nenek kurus kerempeng berambut awut-awutan. Perempuan tua ini hanya
mengenakan sehelai kain panjang hitam, sama sekali tidak memadai baju hingga tubuh atasnya
terbuka telanjang memperlihatkan dada tipis penuh tulang serta dua payudara ceper kisut. Si
nenek tidak hentinya tersenyum sementara dengan kepala mendongak dan mata meram melek
dua tangannya mempermainkan puting susunya yang besar hitam. Sesekali dari mulutnya
keluar suara mendesah lirih. Nenek ini dikenal dengan nama Ni Lawang Soka, berasal dari laut
utara, merupakan salah seorang dari sekian banyak orang kepercayaan Ratu Laut Utara dan dia
adalah orang bawaan Pengging Kuntala. Ilmu kesaktiannya dua tingkat di atas kakek muka
gosong itu.

Di bagian depan gedung, tepatnya di kiri kanan serambi yang berhubungan dengan tangga batu
tujuh undak, terdapat masing-masing sebuah jendela besar. Di jendela sebelah kanan duduk
seorang kakek bertubuh pendek, berpakaian selempang kain hitam, berambut kuning.
Sepasang mata putih berkilat seperti perak. Kulit mukanya berubah berganti-ganti merah, hijau
dan biru. Dia duduk bersila dan dipangkuannya ada satu pendupaan berisi bara menyala.
Sikapnya seperti tidak acuh akan apa yang terjadi saat itu di halaman gedung. Sambil duduk dia
tidak henti meniup bara pendupaan. Tiupan serta hawa yang keluar dari hidungnya
memancarkan asap berwarna ungu.

“Raja Racun Bumi Langit musuh besar kita juga ada di tempat ini,” bisik Wiro pada Rayi Jantra.

“Dia tengah meramu racun jahat!” jawab Rayi Jantra.

Di sebelah belakang Purnama mendadak merasa tidak enak. Matanya tak berkesip menatap ke
arah Raja Racun yang duduk di jendela. “Kakek itu tengah menyiapkan sesuatu. Aku punya
dugaan apa yang dikerjakannya ditujukan untuk menangkal diriku!” Membatin gadis dari negeri
Latanahsilam itu. “Aku harus menghancurkan pendupaan yang ada dipangkuannya.”

Di atas jendela Raja Racun Bumi Langit keluarkan tiga buah benda bulat hitam. Sekali meremas,
tiga benda itu serta merta hancur luluh. Hancuran ditebar di atas bara menyala dalam
pendupaan. Asap mengepul dan bau sangit aneh serta merta menebar di Seantero tempat.

“Buah damar!” ucap Purnama dengan suara bergetar. “Kakek itu menebar hancuran buah
damar ke atas bara pendupaan. Buah damar merupakan buah pantangan bagi diriku. Aneh,
bagaimana Raja Racun Bumi Langit tahu buah pantangan itu.”

Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara halus tawa perempuan. Lalu ada suara terpaan
angin. Suara tawa kemudian lenyap dikejauhan.

“Siapa yang tertawa?” tanya Wiro pada Purnama.

“Perempuan jahanam itu! Aku mengenali suaranya!” ucap Purnama

“Siapa?” tanya Wiro lagi.

“Perempuan celaka dari Latanahsilam. Ingat sewaktu aku bertempur melawan mahluk samar.
Kau muncul menyelamatkan diriku. Nah, mahluk samar itulah yang barusan berada di sini. Aku
yakin, dia yang membuka rahasia pantangan buah damar itu. Sampai saat ini masih sulit bagiku
untuk mengetahui siapa dia adanya. Barusan dia telah kabur dari sini karena kalau sampai
mencium atau tersapu asap damar diapun akan celaka.”
“Purnama, kau lekas pergi dari sini. Mungkin kau bisa menghindar dulu ke atas wuwungan
gedung. Tapi jika kau terancam bahaya cepat tinggalkan tempat ini. Nanti aku akan
menemuimu di tempat kediamanmu di bukit batu Teluk Losari.”

Purnama pegang lengan sang pendekar sesaat lalu melesat ke atap Gedung Kadipaten.

“Gadis alam gaib! Kau mau kabur kemana?!” Raja Racun Bumi Langit berteriak. Sambil
memegang pendupaan di tangan kanan dia melesat dari jendela gedung. Mulut menggembung.
Begitu meniup, dari mulut ini melesat dua buah benda bulat hitam, menyambar ke arah sosok
Purnama yang tengah melayang di udara menuju ke atas atap Gedung Kadipaten.

Purnama berseru kaget ketika mengetahui dua benda yang melesat ke arahnya adalah dua
buah damar. Dengan membuat gerakan jungkir balik di udara gadis dari negeri 1200 tahun
silam ini berhasil selamatkan diri dari serangan dua buah damar. Dia cepat berkelebat ke atas
atap gedung. Namun baru saja injakkan kaki di genteng bangunan tahu-tahu Raja Racun Bumi
Langit sudah berdiri di hadapannya, hanya terpisah sejarak lima langkah.

Didahului tawa bergelak pendek rambut kuning itu tiup asap pendupaan ke arah Purnama
tanpa gadis ini punya kesempatan untuk selamatkan diri. Sesaat lagi asap damar akan
menyentuh tubuh dan masuk ke dalam penciuman Purnama tiba-tiba satu bayangan hitam
berkilau berkelebat. Purnama dapatkan dirinya didorong orang hingga dia jatuh terguling di
atas atap. Bersamaan dengan itu terdengar suara genta. Atap Gedung Kadipaten bergoyang
keras. Puluhan genteng merosot. Selarik sinar biru berbentuk kipas terbuka menebar memapas
buyar asap damar lalu menghantam sosok Raja Racun Bumi Langit. Serangkum asap damar
yang bergerak liar sempat terhirup oleh Purnama hingga gadis ini batuk-batuk. Dalam keadaan
megap-megap dia jatuhkan diri tertelungkup di genteng bangunan. Purnama cepat kerahkan
hawa sakti dan meniup lewat mulut, menghembus melalui hidung. Untuk beberapa saat
pemandangan berkunang-kunang. Dua matanya terasa seperti terselubung uap panas.

Pendupaan di tangan kanan kakek pendek rambut kuning hancur. Kepingan pendupaan dan
bara api bertebaran kemana-mana. Raja Racun meraung marah.

“Raja Racun Bumi Langit, aku membawa pesan dari Ratu penguasa laut selatan. Jika kau mau
bertobat atas semua perbuatan jahatmu selama ini dan hidup sebagai orang baik-baik, maka
selembar nyawamu akan diampuni.” Satu suara perempuan berkumandang di atas atap.

“Aku tidak punya urusan dengan Ratu-mu!” teriak Raja Racun Bumi Langit marah sekali karena
merasa terhina. “Biar rohmu yang kembali menghadap Ratu-mu guna memberi laporan!”

Raja Racun hantamkan tangan kanan ke arah bayangan hitam begemerlap sementara tangan
kiri menebar sejenis racun berwarna merah. Dari mulut dan hidungnya mengepul asap ungu
yang juga mengandung racun jahat.
Sekali lagi terdengar suara genta aneh di atas Gedung Kadipaten. Kali ini lebih dahsyat dari yang
pertama tadi dan membuat runtuh atap bangunan sebelah barat. Raja Racun terjengkang di
atas atap. Di depan mata dia melihat cahaya biru bersilang beberapa kali lalu bett! Cahaya biru
itu menghantam ke arah tubuhnya. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Genta Biru Menatap
Langit. Raja Racun menjerit keras dan muntahkan darah segar.

Di atap gedung, dalam keadaan tertelungkup di atas genteng, sepasang mata Purnama terbuka
lebar menatap ke arah sosok elok tertutup pakaian hitam bertabur manik-manik putih perak
dan merah.

“Wajah cantik. Sepasang mata biru. Aku pernah mendengar cerita tentang diri penolongku ini.
Apakah dia orangnya…?” ucap Purnama dalam hati.

Kita kembali ke halaman Gedung Kadipaten Losari.

Hanya selang seketika setelah Bayumurti, Pengging Kuntala dan Ni Lawang soka tegak berjajar
di halaman, dari dalam gedung berjalan keluar seorang lelaki tinggi besar berperut buncit. Dia
masih mengenakan baju tidur putih dan celana putih. Wajah berminyak agak pucat, dihias
janggut dan kumis tipis. Sepasang mata tampak merah. Di tangan kanan orang ini memegang
sebatang ranting kecil daun mengkudu. Sambil melangkah dia tepuk-tepukkan daun mengkudu
ke telapak tangan kiri. Agaknya dia sengaja memegang ranting dan daun pohon mengkudu ini
untuk berjaga-jaga dari nenek kembar berambut kelabu. Inilah Seda Wiralaga, Adipati Losari.

Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan jadi terkesima adalah ketika
melihat orang yang melangkah di samping sang Adipati. Orang ini bukan lain adalah Kiang Loan
Nio Nikouw. Sang paderi, sebagaimana biasa mengenakan pakaian merah. Pakaian ini tampak
kurang rapi, berkerimuk seperti baru dipakai tidur. Kali ini dia tanpa tutup muka dan kepala
hingga kelihatan wajahnya yang cantik serta kepala yang botak polos. Di tangan kiri Loan Nio
Nikouw memegang Pedang Naga Merah, yang sesuai dengan perintah Eyang Sinto Gendeng
harus diambil dan didapatkan Wiro.

Pendekar212 tak habis pikir. Bagaimana paderi perempuan ini berada di Gedung Kadipaten.
Kalau terkait hubungan dengan Bayumurti yang merupakan sahabatnya di masa kecil, mengapa
sikapnya terhadap Adipati Brebes tampak begitu akrab? Malah keduanya keluar berbarengan
dari dalam gedung dengan keadaan pakaian serta raut wajah seperti orang yang baru bangun
tidur.

“Ha-hu ha-hu!” nenek kembar jejadian di samping Purnama keluarkan suara. Tangan kiri
menepuk-nepuk topeng kakek botak muka merah yang dipegang Wiro, tangan kanan
menunjuk-nunjuk ke arah Adipati Seda Wiralaga. Lalu tangan kanan dituding-tuding ke leher
sendiri dan mata dipelototkan.

Wiro segera mengerti apa yang hendak dikatakan si nenek. Dia berucap cukup keras sehingga
semua orang mendengar.
“Nek, kau hendak mengatakan kalau lelaki berperut buncit itu adalah pemilik topeng kakek
botak muka merah!”

“Ha-hu ha-hu!” si nenek mengangguk berulang kali.

“Kau juga memberi tahu bahwa orang itulah yang membubuh saudara kembarmu dengan
lemparan daun mengkudu,” ucap Wiro.

“Ha-hu ha-hu!” Nenek rambut kelabu kembalimengangguk.

Di depan tangga gedung, Adipati Seda Wiralaga menatap tajam ke halaman. Dia hanya melihat
Wiro, Rayi Jantra dan nenek rambut kelabu. Menurut keterangan Bayumurti ada seorang gadis
cantik yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi dan sangat berbahaya. Untuk menghadapi
orang ini Raja Racun Bumi Langit sudah menyiapkan kekuatan penangkal sesuai petunjuk
seorang perempuan aneh bertubuh samar yang datang tadi.

“Loan Nio, aku tidak melihat gadis yang dikatakan Bayumurti itu,” kata Adipati Seda Wiralaga.
Dari caranya menyebut nama sang paderi kentara bahwa mereka punya hubungan sangat akrab
walau belum lama saling mengenal. Apa yang telah terjadi dalam hubungan yang sangat singkat
itu?

“Aku juga tidak melihat Raja Racun Bumi Langit,” jawab Loan Nio Nikouw.

Pada saat itulah terdengar suara bentakan-bentakan di atas atap disertai suara genta aneh
sebanyak dua kali. Pada suara genta kali kedua disusul suara gemuruh runtuhnya atap gedung
sebelah barat. Adipati Seda Wiralaga cepat memerintahkan Bayumurti untuk naik ke atas atap
guna menyelidiki apa yang terjadi. Namun belum sempat Adipati Brebes itu bergerak, tiba-tiba
dari atas wuwungan melayang tiga sosok tubuh. Sosok pertama langsung terkapar. Karena
kepalanya yang menyungsap lebih dulu maka tak ampun lagi kepala itu pecah mengerikan.
Adipati Seda Wiralaga dan semua orang yang berada di pihaknya terkejut besar kalau tak mau
dikatakan geger. Tampang mereka tampak berkerut. Karena sosok yang melayang jatuh dan kini
tak bernyawa lagi itu adalah sosok Raja Racun Bumi Langit. Sang Adipati sulit mempercayai
orang yang sangat diandalkannya itu kini menemui kematian dalam cara mengerikan begitu
rupa. Tidak sembarang orang bisa membunuh kakek satu ini. Jangankan pendekar sehebat Wiro
Sableng, gurunya saja yaitu Sinto Gendeng akan sulit mampecundangi Raja Racun. Lalu siapa
orang hebat yang telah membunuh kakek itu?

Sementara itu dua sosok lain yang melayang turun adatab Purnama dan seorang gadis jelita
bermata biru, rambut hitam tergerai panjang, mengenakan pakaian hitam ketat bertabur
manik-manik dengan potongan sangat rendah di bagan dada serta belahan tinggi di kedua sisi.
Purnama berdiri di samping kiri Wiro, si cantik bermata biru tegak satu langkah di sebelah
kanan sang pendekar. Adipati Seda Wiralaga sampai tak berkesip memandang keelokan tubuh
dan kecantikan paras si gadis.
“Ratu Duyung!” ucap Pendekar 212.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212SEPULUH

RATU DUYUNG berpaling sekilas ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu gadis jelita bermata
biru maju dua langkah ke arah Seda Wiralaga.

“Adipati Seda Wiralaga, perkenalkan aku adalah Ratu Duyung dari Laut Selatan. Mohon
dimaafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteraman di tempat ini. Aku datang ke sini
atas perintah Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul untuk menjemput kakek bernama Pengging
Kuntala dan nenek bernama Ni Lawang Soka.”

Kalau kakek berjubah kuning muka gosong Pengging Kuntala tersurut mundur satu langkah dan
pencongkan mulut mendengar ucapan Ratu Duyung maka nenek bernama Ni Lawang Soka
hamburkan tawa bergelak. Sambil terus dongakkan kepala dan permainkan dua punting
susunya yang besar hitam dengan jari-jari tangan dia kemudian berkata.

“Siapapun kau adanya katakan pada Ratumu. Dia kelewat sombong dan gila kuasa! Apa tidak
cukup punya kekuasaan di laut selatan dan kini mau menguasai kami orang-orang di laut utara?
Sekarang kau silahkan pergi atau aku akan membuat wajahmu yang cantik menjadi rusak dan
kau akan menyesal seumur-umur!”

“Ni Lawang Soka, ilmu kesaktianmu mungkin jauh di atas ilmu yang aku miliki. Tapi aku datang
membekal Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit. Ini satu pertanda bahwa Ratu Nyi Roro
Kidul tidak main-main dalam memberikan tugas padaku.”

Perlahan-lahan Ni Lawang Soka turunkan kepala yang sejak tadi mendongak memandang ke
langit yang kini telah terang karena pagi telah datang. Sepasang matanya diarahkan ka tubuh
Ratu Duyung. Samar-samar di balik pakaian si gadis bermata biru sebalah kanan dia melihat
sebuah benda bulat memancarkan cahaya berwarna hijau. Lalu pada dada sebelah kiri ada
benda yang berwarna kebiru-biruan. Si nenek segera mengetahui, selain membekal Batu
Mustika Alas Samudara Atap Langit, Ratu Duyung juga membawa Batu Mustika Angin Laut
Kencana Biru, batu sakti yang mampu membuat seseorang dapat berada di satu tempat yang
jauh dalam kecepatan kilat kejapan mata. Seperti diketahui sebelumnya batu mustika sakti itu
telah dipinjamkan kepada Nyi Roro Manggut sewaktu menolong Pendekar 212 Wiro Sableng
dan kawan-kawan di Teluk Losari.

“Pasti gadis jahanam ini yang telah membunuh Raja Racun Bumi Langit,” pikir si nenek. Hal yang
sama juga monjadi dugaan Adipati Seda Wiralaga dan Bayumurti. Walau sudah melihat
kenyataan namun Nli Lawang Soka tampaknya tidak merasa jerih. Si nenek kembali umbar tawa
panjang. “Jika kau merasa mampu meringkus diriku dan Pengging Kuntala, mengapa tidak
segera melakukan?!” Si nenek malah menantang. Dua tangannya yang mompermainkan puting
susu kini bergerak turun mengusap-usap bagian bawah payudaranya yang kisut. Tiba-tiba
nenek itu pencet kedua payu daranya. Dua puting susu berjingkrak kencang dan terjadilah satu
hal yang luar biasa. Dari dua puting ausu besar hitam itu melesat keluar semburan cairan
berwarna putih.

“Wuuss! Wuuss!” Dua larik semburan air kemudian berubah menjadi api merah kebiruan. Ilmu
Susu Neraka! Dua puting susu si nenek memang merupakan sumber ilmu kesaktian andalannya.

Ratu Duyung berseru kaget, secepat Kilat dia melompat; ke samping. Itupun masih kurang cepat
karena ujung rambutnya sempat tersambar salah satu semburan api merah biru. Ketika Ni
Lawang Soka hendak melancarkan serangan susulan. Pendekar 212 Wiro Sableng cepat
menghadang.

“Nek, dari tadi aku ingin sekali meraba dua payudaramu! Ah. aku benar-benar terangsang
melihat kebagusan dadamu. Terutama sepasang pentil yang besar hitam itu….” Wiro keluarkan
ucapan dengan mata setengah dipejam dan mulut diruncing-runcingkan sambil sesekali lidah
dijulur. Seumur hidup belum pernah ada orang apalagi seorang pemuda yang berkata seperti
itu. Mau tak mau Ni Lawang Soka jadi terkesiap dan tahan gerakan. Kesempatan ini
dipergunakan Wiro. Secepat kilat dua tangannya berkelebat ke depan membentot payudara si
nenek. Sepasang payudara kempes yang mulur panjang itu kemudian diikat di buhulnya satu
sama lain. Ni Lawang Soka menjerit keras. Kesakitan setengah mati. Memang dua payudara
yang kempes bergelayutan itu merupakan pusat kekuatan ilmu kesaktiannya. Tapi sebagai
seorang perempuan dua payudara itu merupakan titik kelemahan. Si nenek berusaha
melepaskan payudaranya yang terikat. Namun semakin dicoba ikatan itu semakin keras
mengancing dan rasa sakit semakin tidak tertahankan. Dari puting susu si nenek keluar cairan
putih muncrat-muncrat. Sebagian berubah warna menjadi api merah kebiruan. Ni Lawang Soka
melompat nekad ke arah Wiro, berusaha merangkul sang pendekar. Rupanya dia bermaksud
bunuh diri. Mati bersama. Wiro cepat menghindar. Namun muncratan cairan putih yang
berubah jadi api ada yang berhasil menyerempet bahu kirinya. Bukan saja bahu pakaian sang
pendekar yang terbakar hangus, daging bahunya ikut terluka. Wiro jatuh terduduk di tanah.
Seku|ur tubuhnya terasa panas dingin. Tangan kiri sulit digerakkan. Didahului teriakan dahsyat
Ni Lawang Soka melompat. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Wiro. Kaki itu bukan hanya
menendang. Tapi dari lima kuku jari si nenek yang hitam bersamaan dengan tandangan melesat
pula lima larik cahaya hitam.

Wiro jatuhkan diri ke tanah. Tendangan si nenek memang berhasil dielakkan namun larik sinar
hitam terus mengikuti dan menyambar ke arah lima bagian tubuh mulai dari kepala sampai ke
kaki.

Rayi Jantra berteriak sambil babatkan Kujang Kiai Pasundan. Purnama gerakkan dua bahu,
lesatkan cahaya biru bergemerlap. Mereka berusaha menyelamatkan Pendekar212 Wiro
Sableng. Namun mendahului gerakan kedua orang itu, dari dada kanan Ratu Duyung tiba-tiba
Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit milik Nyai Roro Kidul pancarkan cahaya hijau pekat.
“Wusss!”

Ni Lawang Soka menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai ke depan tangga Gedung
Kadipaten. Begitu ambruk di tanah tubuh ini tak berbentuk lagi. Hanya tinggal menyerupai
bubuk hijau mengepulkan asap.

Melihat sobatnya menemui ajal dengan cara luar biasa mengerikan begitu rupa, putuslah nyali
Pengging Kuntala. Tanpa menunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan berkelebat kabur.

Untuk kedua kalinya Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit pancarkan cahaya terang hijau
pekat. Sesaat kemudian di depan sana Pengging Kuntala menjerit keras. Kakek satu ini
menemui ajal tidak berbeda jauh dengan yang dialami Ni Lawang Soka.

Ratu Duyung tegak setengah tertegun. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Batu Mustika
sakti yang melekat padanya yang telah bertindak sendiri menyelamatkan Wiro, membunuh Ni
Lawang Soka dan Pengging Kuntala. Seantero tempat diselimuti kesunyian. Purnama dan Rayi
Jantra cepat mendatangi Wiro.

Rayi Jantra totok beberapa urat utama di tubuh Wiro sementara alirkan hawa sakti ke dalam
badan sang pendekar melalui punggung. Sesaat kemudian walau luka di bahu kiri masih
meninggalkan rasa perih namun Wiro sudah mampu menggerakkan tangan dan rasa panas
dingin di sekujur tubuh lenyap. Dia cepat berdiri. Pada saat itulah Adipati Bayumurti tiba-tiba
melompat ke depan. Golok besar di tangan kanannya menyambar ke arah Rayi Jantra. Diserang
begitu rupa Rayi Jantra yang sejak tadi sudah gatal tangan, segera hunus Kujang Kiai Pasundan.
Tiba tiba Adipati Losari Seda Wiralaga berteriak keras.

“Hentikan perkelahian! Aku mau bicara!”

Semua orang hentikan gerakan.

“Rayi Jantra!” Adipati Seda Wiralaga menuding dengan telunjuk tangan kiri ke arah Rayi Jantra.
”Saat ini kau bukan lagi Kepala Pasukan Kadipaten.”

“Apa perduliku! Kau punya urusan besar denganku! Kau yang memberi perintah membunuhku
di kaki Bukit Batu Bersuling!”

“Dengar Rayi Jantra! Kau bisa dapatkan jabatan itu kembali jika bersatu dengan pihak kami!”
kata Seda Wiralaga pula.

“Dua manusia dajal yang jadi andalanmu sudah mampus. Rupanya kau mulai ketakutan
Adipati…,” Rayi Jantra mengejek. Lalu lemparkan jas tutup ke hadapan Seda Wiralaga. “Pakaian
itu milikmu. Pakaian itu yang kau kenakan sewaktu membunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu dan
merampas dua buah dadu dari Tionggoan yang ada padanya!”
Sebelum Seda Wiralaga sempat mengatakan sesuatu Wiro menyambung ucapan Rayi Jantra.
“Kancing ke dua dari atas berbeda dengan empat kancing lainnya. Karena kancing ke dua itu
sempat direnggut Eyang Sepuh Kembar Tilu sebelum kau membunuhnya. Bukan begitu
ceritanya?” Wiro keluarkan kancing kayu yang ada di saku pakaiannya lalu dilempar di depan
kaki Adipati Seda Wiralaga. Sang Adipati memperhatikan kancing kayu itu dengan mata
mendelik lalu menghardik.

“Orang-orang gila muka belang! Kalian bukan saja bicara gila tapi memfitnah diriku! Pendekar
gondrong muka belang, pembunuh Adipati Karta Suminta! Aku sendiri yang akan menarik tali
gantunganmu!”

Wiro tersenyum. “Kau kemudian mengatur jebakan untukku. Jas tutup kau berikan pada
Bayumurti. Lalu kaki tanganmu yang bernama Ki Surat Balangnipa kalian suruh memakai jas
tutup itu.”

“Bangsat sableng, kau pandai mengarang cerita!”

“Begitu?” Wiro garuk-garuk kepala. “Tapi ceritaku belum selesai.” Lalu Wiro lemparkan topeng
kakek botak muka merah ke hadapan Adipati Losari. “Kau mengenakan topeng ini ketika
membunuh Jumena setelah terlebih dulu mengalihkan perhatian dengan meledakkan rumah
jaga. Kau juga muncul di teluk Losari bersama tua bangka bernama Pengging Kuntala
mengenakan topeng ini.”

“Anjing bermulut busuk!” maki Seda Wiralaga.

Dimaki seperti itu murid Sinto Gendeng cuma menyeringai. Dia teruskan ucapannya. “Dua
nenek kembar sahabatku menyelidik ke gedung ini. Mereka berhasil menemukan topeng kakek
muka merah itu. Kau tak bisa mengelak. Kau berusaha membunuh mereka dengan daun
pantangan. Namun salah seorang dari mereka berhasil lolos membawa topeng itu sebagai
barang bukti!”

“Ha-hu ha-hu!” nenek rambut kelabu jubah kuning keluarkan suara seolah membenarkan
semua apa yang dikatakan Wiro.

“Hebat sekali cerita dustamu!” teriak Seda Wiralaga.

“Masih ada yang lebih hebat!” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng. “Setelah berhasil merampas
dua buah dadu setan yang berasal dari perut Nyi Inten Kameswari dari tangan Eyang Sepuh
Kembar Tilu kau membunuh beberapa orang untuk menghilangkan jejak. Manusia-manusia
malang yang jadi korbanmu adalah Anom Miharja, suami Nyi Inten Kameswari. Lalu seorang
gadis bernama Ningrum. Gadis itu menemui ajal dengan sebilah keris kecil menancap di
lehernya setelah lebih dulu kau tiduri! Ini kerisnya!” Wiro keluarkan keris Gunung Intan yang
didapatnya dari Purnama. ‘“Menurut cerita keris ini sudah menjadi milik Adipati Bayumurti.
diberikan kepadanya oleh salah seorang Pangeran. Lewat keris ini aku bisa mencium bau busuk
hubunganmu dengan Bayumurti. Tapi aku tidak tahu hadiah apa yang sudah janjikan pada
Adipati bau kencur ini hingga dia mau berserikat dalam kejahatan bersamamu!”

“Manusia buronan! Jangan berani menghina dan memfitnah diriku!” teriak Bayumurti marah.

“Kalau kau tidak mau dihina, tidak mau difitnah. apakah kau mau memberi keterangan
bagaimana keris yang katanya ada padamu ini bisa menancap di leher gadis bernama Ningrum?
Apa kau mau mengakui bahwa kau sebenarnya yang membunuh Ningrum untuk melindungi
tuan besarmu ini?!” Tukas Pendekar 212 yang membuat Bayumurti jadi sengit, muka mengelam
merah, dua tangan dikepal. “Lalu apakah kau juga bisa menerangkan paku berduri yang
merupakan senjata rahasia milikmu ini. Bagaimana bisa menancap di jidat seseorang yang telah
membunuh Danang Seta? Kau sengaja membunuh orang itu untuk melenyapkan jejak. Tapi
dasar tolol kau meninggalkan jejak berupa senjata rahasia ini. Lalu apa kau juga bisa
menerangkan bagaimana ceritanya malam tadi ada tiga paku berduri yang sama menyerang
kami di tepi telaga?”

“Aku tidak suka melihat kalian menyiksa Ki Surat Balangnipa yang tidak berdaya!” jawab
Bayumurti dengan mata menyala.

“Oo… begitu?” Wiro garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak. “Ada dua hal yang perlu aku
katakan. Pertama kami tidak menyiksa orang bernama Ki Surat Balangnipa itu. Kami hanya
memandikannya di parit karena menurut penglihatan kami dia sudah lama tidak mandi. Bau
badannya menyengat hidung. Apa salah kalau kami memandikannya? Ha… h a…ha!” Wiro
tertawa gelak-gelak lalu sambung ucapannya. “Hal kedua. Dengan kau mengeluarkan ucapan
bahwa kau tidak suka melihat kami memandikan Ki Surat Balangnipa, secara tidak sadar kau
telah mengakui bahwa kau membokong kami secara pengecut malam tadi dan senjata rahasia
berbentuk paku berduri ini memang adalah milikmu!”

Tubuh Bayumurti bergetar panas mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Tapi dia tak bisa
keluarkan suara. Wiro lanjutkan ucapan. “Adipati Seda Wiralaga, aku tahu dua buah dadu dari
Tiongkok itu ada padamu. Hal itu membuat kami menduga keras bahwa kaulah yang menjadi
bandar judi dan bandar rumah mesum yang di sebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami
berhasil menemukan bangunan celaka itu. Namun dalam keadaan kosong, ditunggui oleh Ki
Sentot Balangnipa dan dajal yang sudah mampus Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan
berat kau adalah bandar besar tempat judi dan tempat mesum itu. Apakah kau mau memberi
tahu dimana letak Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang baru? Aku dan kawan-kawan ingin
sekali melihatnya.”

“Pemuda sinting! Apakah bicaramu sudah selesai?!” bentak Adipati Seda Wiralaga.

“Aku punya satu pertanyaan. Mungkin dua buah dadu itu sudah kau berikan pada paderi
perempuan yang berdiri di sebelahmu karena katanya dia diutus oleh sebuah perguruan di
Tiongkok sana untuk mencari dan mendapatkan dua buah dadu itu.”
“Sudah! Cukup kau bicara ngaco!” teriak Adipati Seda Wiralaga. “Adipati Bayumurti, pimpin
semua orang untuk menangkap si gondrong itu hidup atau mati! Siapa coba menghalangi atau
membantu, bunuh mereka semua!”

Ratu Duyung dekati Pendekar 212. Begitu berada di samping Wiro dia berbisik, “Aku barusan
menerapkan ilmu Menembus Pandang pada paderi botak itu. Aku melihat di balik pakaiannya,
dalam sebuah kantong kain ada dua buah dadu.”

“Berarti Seda Wiralaga telah memberikan dadu setan itu pada si paderi,” ujar Wiro.

“Belum tentu. Seda Wiralaga tidak tolol. Coba kau periksa sosok Adipati buncit itu dengan Ilmu
Menembus Pandang.”

Wiro lakukan apa yang dikatakan Ratu Duyung, Dia tersentak sewaktu melihat di pinggang sang
Adipati ada sebuah kantong putih berisi dua buah dadu. “Ah…!” Wiro keluarkan seruan
tertahan.

“Kau melihat dua dadu itu?” tanya Ratu Duyung.

“Aku melihat dua dadu lain. Edan, besar sekali seperti anak kucing.”

“Jangan bergurau!” Ratu Duyung jengkel sekali. Mukanya bersemu merah.

“Ya, ya… Aku sudah melihat. Ada dua dadu di balik pinggang pakaian Adipati itu. Dalam satu
kantong kain putih. Berarti ada dua pasang dadu. Yang mana yang asli?”

“Pasti yang ada pada Adipati itu!” jawab Ratu Duyung.

Pembicaraan kedua orang itu terputus sampai di situ. Bayumurti serta puluhan perajurit
termasuk sepuluh orang bersenjatakan tombak yang ditancapi daun mengkudu datang
menyerbu. Perajurit yang sepuluh ini sesuai perintah, mereka mengarahkan serangan pada
nenek rambut kelabu. Adipati Seda Wiralaga sendiri bersama Loan Nio Nikouw saat itu juga
sama-sama balikkan diri lalu dengan cepat berkelebat pergi tinggalkan halaman, masuk dan
lenyap di dalam gedung.

“Adipati keparat! Kau mau kabur kemana?” teriak Wiro. Setelah meminta Purnama agar
melindungi nenek rambut kelabu Wiro melesat masuk ke dalam gedung Kadipaten.

Di dalam gedung Kadipaten yang besar keadaannya ternyata sepi tapi mencekam. Adipati Seda
Wiralaga dan Paderi Loan Nio lenyap tak berbekas.

“Kalau aku tidak segera menemukan kedua orang itu, akan kuhancurkan seluruh bangunan ini!”
Wiro mengancam dalam hati.
Tiba-tiba ada suara berkesiur. Empat buah senjata rahasia berbentuk pisau terbang tanpa
gagang melesat dari empat jurusan menyerang Wiro dengan arah sasaran kepala, dada dan
punggung serta perut. Dia cepat jatuhkan diri seraya melepas satu pukulan, membuat mental
pisau terbang yang mengarah perutnya sementara tiga pisau lainnya menghantam tempat
kosong lalu satu menancap di lantai batu, dua menembus dinding ruangan.

Wiro cepat bergerak bangun. Namun belum sempat berdiri, masih dalam keadaan setengah
membungkuk, tiba-tiba langit-langit ruangan terbuka dan saat itu juga dua belas tombak
melesat ke bawah.

“Kurang ajar!” Wiro memaki. Dia berguling di lantai sambil hantamkan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera dengan dua tangan sekaligus.

*****

Kapak Maut Naga Geni 212SEBELAS

PUKULAN dahsyat yang dihantamkan Wiro bukan saja membuat selusin tombak patah, tetapi
langit-langit ruangan juga runtuh, terus menembus menghancurkan atap!

“Adipati keparat! Pengecut! Kau sembunyi dimana atau sudah kabur?!” Teriak murid Sinto
Gendeng. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang berusaha menjajaki dimana sembunyinya
Seda Wiralaga. Ketika matanya tak sengaja memandang ke lantai, sang pendekar jadi terkejut.
Di bawah lantai gedung dia melihat satu ruangan besar, dikelilingi sepuluh buah kamar tidur. Di
tengah ruangan ada satu meja besar empat persegi warna hijau, bergaris membentuk kotak
bertuliskan angka 1 sampai 12.

“Meja judi. Judi dadu. Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga ternyata dipindah dan ada di bawah
Gedung Kadipaten! Siapa yang akan mengira! Kurang ajar!” Baru saja Pendekar 212 memaki
tiba-tiba dari balik sebuah tiang besar berkiblat satu cahaya merah disertai menyambarnya
angin panas, tepat di depan hidungnya! Wiro cepat melompat mundur. Craass! Tak urung ada
ujung rambutnya di atas kening yang terbabat putus. Selain itu Wiro merasa ada satu kekuatan
dahsyat memukul tubuhnya hingga dia terjajar ke belakang. Dada berdenyut sakit Ketika Wiro
meraba sudut bibirnya dia terkejut. Jari-jari tangannya merah oleh lelehan darahnya sendiri.
Sang pendekar mengalami luka dalam.

Wiro membentak marah tapi jadi terkesima ketika orang yang barusan menyerang ternyata
adalah Kiang Loan Nio Nikouw. Saat itu Wiro melihat sang paderi terpental tiga langkah, hampir
jatuh duduk di lantai kalau dia tidak bertopang pada Pedang Naga Merah yang ada di tangan
kanannya. Seperti yang dialami Wiro paderi ini juga merasa dadanya laksana ditindih batu besar
dan nafas menjadi sesak. Wajah yang cantik berubah pucat dan di sudut bibirnya juga
mengucur lelehan darah.
“Nio Nio….” ucap Wiro. “Tadi aku heran melihat kau bersama Adipati Seda Wiralaga. Kini
tambah heran lagi mengapa kau menyerangku!”

“Pemuda bejat! Aku bukan cuma menyerangmu! Tapi aku bersumpah membunuhmu!”
Menyahut paderi perempuan itu dengan suara setengah berteriak dan wajah cantik berubah
garang luar biasa.

“Nio Nio, apa yang terjadi dengan dirimu?!” Tanya Wiro. Ketika dilihatnya sang paderi kembali
hendak menyerang dengan Pedang Naga Merah Wiro cepat berteriak. “Jangan! Tahan
serangan! Kita berdua bisa celaka!”

“Persetan! Aku tidak takut mati!” jawab Loan Nio Nikouw.

Wiro cepat melompat menjauh. “Nio Nio, aku tahu kau sudah dapatkan dua buah dadu itu!
Mengapa tidak segera kembali ke Tionggoan?”

“Aku tidak akan meninggalkan tanah Jawa ini sebelum membunuhmu!”

“Apa salahku?!” tanya Wiro.

Sang paderi tertawa panjang. “Manusia bejat! Kau pandai berpura-pura! Dosa kesalahanmu
sedalam laut setinggi langit! Kau telah memperkosaku!”

“Hah! Apa?! Lagi-lagi tuduhan gila itu!”

“Kau melakukannya di dalam goa!”

“Pasti pemuda geblek bernama Liok Ong Cun itu yang bicara bohong padamu! Dia punya
dendam besar padaku! Dia sengaja memfitnah diriku!”

“Kali ini dia tidak bohong! Tidak memfitnah! Justru dia yang menemukan diriku di dalam goa
setelah kau gagahi!”

“Nio Nio. Aku tidak akan pernah berlaku sekeji itu terhadap perempuan manapun! Apa lagi
terhadap dirimu yang telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku!”

“Loan Nio, aku datang! Pemuda terkutuk ini memang harus segera dibunuh! Aku akan
membantumu agar kali ini dia tidak bisa lolos lagi!” Seseorang berteriak dalam bahasa Cina.
Satu bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang muda
mengenakan topeng tengkorak. Rambut dikepang ke belakang, tangan kanan menempel di
gagang sebilah pedang yang dipegang di tangan kiri. Liok Ong Cun!
“Loan Nio, aku bersumpah! Pemuda bejat ini yang telah merusak kehormatanmu di goa itu! Aku
melihat sendiri ketika dia melarikan diri keluar goa!” Sepasang mata Liok Ong Cun memandang
laksana dikobari api ke arah Wiro.

“Nio Nio, dulu pemuda sialan ini mulutnya pernah aku kencingi! Ternyata sekarang dia jadi bisa
bicara lancar sekali! Aku yakin barusan dia bicara dusta! Seperti kataku tadi aku tidak mungkin
mencelakai orang yang telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku!”

“Itulah kebusukanmu! Air susu kau balas dengan air tuba!” tukas Loan Nio Nikouw.

“Hik… hik!” Mendadak ada suara orang tertawa cekikan. Suara anak-anak. “Pendekar sableng,
apa benar kau pernah minum air susu gadis cantik kepala botak ini?! Hik… hik… hik. Aku juga
mau! Hik… hik… hik!”

“Jahanam kurang ajar! Siapa yang bicara?!” teriak Liok Ong Cun marah besar walau tidak
mengerti apa yang diucapkan orang. Dia berpaling ke arah suara orang yang barusan tertawa
dan berucap. Wiro dan Loan Nio Nikouw juga ikut menoleh. Di depan tiang sana, terpisah
sejarak tujuh langkah berdiri seorang anak lelaki berpakaian serba hitam berambut jabrik! Di
sampingnya tegak senyum-senyum seorang nenek berwajah angker seperti setan, berjubah
biru. Sepuluh kuku tangan panjang hitam. Tampang Liok Ong Cun jadi berubah ketika dia
mengenali kedua orang ini yang bukan lain adalah bocah jahil Naga Kuning dan si nenek sakti
berjuluk Gondoruwo Patah Hati.

“Kalian berdua! Lekas menyingkir dari sini! Kalau tidak kutebas batang leher kalian!” Liok Ong
Cun membentak sambil hunus Pedang Ular Hijau.

“Hik… hik! Dia bicara apa? Belum kapok dia rupanya sehabis kuhajar dengan Ilmu Kuku Api!”
kata Gondoruwo Patah Hati pula.

“Dia takut rahasianya kita buka,” jawab Naga Kuning.

“Kalian berdua,” kata Wiro. “Kalau mengetahui sesuatu lekas bicara!”

Naga Kuning melirik ke arah Loan Nio Nikouw baru berkata. “Beberapa waktu lalu kami terpesat
di satu rimba belantara. Tiba-tiba kami melihat pemuda muka tengkorak ini keluar dari goa. Di
luar goa dia tampak seperti orang bingung. Lalu dia berteriak-teriak dalam bahasa yang kami
tidak mengerti. Tapi jelas sekali dia menyebut-nyebut nama Loan Nio. Kemudian dia masuk ke
dalam goa. Keluar-keluar memapah gadis botak ini…”

Merasa orang tengah membicarakan perihal dirinya Liok Ong Cun cabut pedang dan melompat
ke hadapan Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati. “Pergi!” teriaknya. Pedang di tangan
diangkat tinggi-tinggi lalu dibacokkan ke arah Naga Kuning.

“Traangg!”
Liok Ong Cun tersentak kaget ketika melihat bagaimana Pedang Naga Merah alias Ang Liong
Kiam di tangan Loan Nio Nikouw menangkis Pedang Ular Hijau miliknya.

“Loan Nio. Apa-apaan kau inil”

“Ong Cun,” ucap Loan Nio Nikouw. “Dari apa yang dijelaskan anak itu aku kini tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Kau lagi-lagi berdusta. Kau pandai mengarang cerita membuat siasat lalu
memfitnah orang, padahal kau sendiri yang jadi dajalnya. Teganya kau melakukan perbuatan
bejat itu terhadapku!”

“Aku bersumpah tidak merusak kehormatanmu!” teriak Liok Ong Cun.

“Matilah bersama sumpahmu!” Tanpa banyak bicara lagi Loan Nio Nikouw lantas menyerbu
Liok Ong Cun dengan Pedang Naga Merah. Karena kecintaannya terhadap Loan Nio mula-mula
pemuda bertopeng muka tengkorak itu tak mau melawan. Namun setelah terdesak dan dia
sadar sang paderi tidak main-main, Liok Ong Cun terpaksa pergunakan Pedang Ular Hijau atau
Ceng Coa Kiam untuk membela selamatkan diri. Dua anak murid perguruan Siauw Lim terlibat
dalam perkelahian luar biasa hebat. Walaupun usia lebih muda dan adalah adik seperguruan,
namun Loan Nio Nikouw punya pengalaman lebih banyak serta tenaga dalam lebih tinggi. Selain
itu kecepatan ilmu pedangnya sulit ditandingi. Ditambah pedang yang ada di ditangannya
bukanlah senjata sembarangan, setelah bertempur lebih sepuluh jurus Liok Ong Cun mulai
terdesak. Pada jurus kedua belas Liok Ong Cun pergunakan jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi
Melengkung Ke Bumi untuk menangkis serangan Pedang Naga Merah dalam jurus Naga Merah
Membela Bumi yang dilancarkan Loan Nio Nikouw.

“Traangg!”

Dua pedang sakti beradu di udara. Bunga api memercik. Liok Ong Cun kalah tenaga. Pedang
Ular Hijau terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai bersamaan dengan lepasnya sarung
pedang yang dipegang di tangan kiri. Pedang Naga Merah menderu deras. Liok Ong Cun
menjerit sewaktu ujung pedang menggurat robek topeng tengkoraknya mulai dari kening terus
melintang di pipi kiri melompat melabrak sebuah jendela kayu dan kabur meninggalkan Gedung
Kadipaten. Darahnya bececeran di lantai.

Selagi Loan Nio Nikouw tertegun, menyesali diri sendiri dan berkata dalam hati. “Mengapa aku
hanya menggurat mukanya, tidak menabas batang lehernya…” tiba-tiba dua orang melesat
masuk ke dalam ruangan besar. Lalu terdengar seruan.

“Aku dapat pedangnya!”

“Aku mengambil sarungnya!”


Loan Nio Nikouw tersentak kaget Dia perhatikan kedua tangannya. Astaga! Ternyata Pedang
Naga Merah yang tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang yang tadi dipegang di tangan
kiri sudah lenyap! Apa yang terjadi? Loan Nio Nikouw menatap ke depan. Sang paderi keluarkan
seruari tertahan sementara Wiro sendiri selain kaget juga merasa gembira.

Di dekat tiang besar berdiri sepasang kakek nenek sambil tertawa-tawa. Si nenek yang
berdandan menor dan mengenakan jubah serta celana panjang hitam bukan lain adalah Eyang
Sinto Gendeng. Di tangan kanannya dia memegang Pedang Naga Merah. Di samping Sinto
Gendeng berdiri seorang kakek berpakaian selempang kain putih berambut dan berjanggut
putih, kulit muka tipis, sepasang mata cekung. Kakek ini memegang sarung Pedang Naga
Merah. “Dugaanku terjawab sudah. Si nenek berbaju bagus, berdandan mencorong. Ternyata
dia menemui kekasih lama…,” kata Wiro dalam hati.

Wiro cepat membungkuk memberi penghormatan. “Eyang Sinto, Kakek Tua Gila….” Diam-diam
Wiro merasa lega kakek nenek itu berhasil mengambil Pedang Naga Merah berikut sarungnya
dari tangan Loan Nio Nikouw. Kalau dia yang melakukan pasti akan terjadi perkelahian hebat
yang bisa mencelakakan mereka berdua.

“Tua bangka pencuri! Kembalikan pedangku!” Teriak Loan Nio Nikouw lalu menerjang ke arah
Sinto Gendeng. Tangan kanan berusaha merampas pedang sementara tangan kiri memukul ke
arah kepala si nenek. Sambil tertawa cekikikan Sinto Gendeng elakkan serangan lalu melesat ke
arah jendela diikuti Tua Gila. Loan Nio Nikouw langsung mengejar sambil lepaskan satu pukulan
sakti. Jendela dan sebagian dinding ruangan hancur dilanda pukulan sang paderi. Namun
sepasang kakek nenek sudah lenyap. Diluar terdengar seruan si nenek. “Anak setan! Jangan
lupa kau harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas bersama Ratu Duyung!”

Setelah kakek nenek itu lenyap kini kemarahan Loan Nio ditumpahkan pada Pendekar 212. “Kau
kenal dua tua bangka itu! Katakan siapa mereka. Dimana aku bisa mencari keduanya!” Sambil
bertanya berteriak sang paderi menyerang Wiro habis-habisan.

“Nio Nio. Tahan serangan. Pedang Naga Merah itu memang pantas diambil kakek nenek tadi.”

“Apa katamu?! Jadi kalian berkomplot!”

Wiro melompat menjauh. “Dengar dulu keteranganku. Nenek jubah hitam itu adalah guruku. Si
kakek sahabatnya. Menurut riwayat, bukankah pedang itu kau dapat dari Bayumurti semasa
kanak-kanakmu di Semarang?”

“Apa perdulimu!”

“Dengar dulu. Aku belum habis bicara. Pedang itu sebenarnya adalah milik dan merupakan
putera sepasang muda-mudi, perwujudan hasil perkawaninan sebilah kapak dan sebilah
pedang. Kakek nenek tadi mengambil pedang bukan untuk mencuri. Tapi mengembalikan pada
pemiliknya. Jika pedang masih berada di tanganmu kau akan mengalami malapetaka. Apa kau
tidak menyadari ada rasa sakit di dada setiap kau menyerangku dengan pedang itu? Kalau
pedang berada di luaran, rimba persilatan akan dilanda marabahaya.”

“Dusta besar! Pedang itu sama nilainya dengan nyawaku! Kau harus memberi tahu kemana
perginya dua tua bangka itu! Atau aku akan membunuhmu saat ini juga!”

“Nio Nio, dari pada meributkan soal pedang yang memang bukan milikmu, lebih baik kau
membantuku mencari kemana kaburnya Adipati Seda Wiralaga!”

“Kau boleh mencarinya sampai ke neraka!” teriak Loan Nio llikouw lalu didahului jeritan keras
dia menyerang Wiro. Serangan sang paderi luar biasa ganas. Wiro sempat kena gebuk di bagian
dada dan perut.

“Nio Nio. Kalau kau tidak segera menemukan Adipati itu, kau tidak akan mendapatkan dua
buah dadu yang kau cari untuk selama-lamanya!”

Sang paderi hentikan serangan. “Apa maksudmu? Kau bicara apa?! Aku tak perlu Adipati itu.
Aku sudah dapatkan dua buah dadu yang kucari!”

“Aku tahu Adipati itu telah memberikan dua buah dadu padamu. Tapi apakah kau sudah
meneliti? Dua buah dadu yang ada padamu adalah dadu-dadu palsu!”

Wajah Loan Nio Nikouw berubah. “Bagaimana kau bisa tahu dua dadu itu palsu! Kau berusaha
menipuku!”

“Keluarkanlah dan periksa!” ucap Wiro pula.

Antara percaya dan tidak yang membuatnya bingung, sang paderi akhirnya keluarkan sebuah
kantong kain hitam dari balik pakaian merahnya. Dari dalam kantong dia gelindingkan dua buah
dadu ke telapak tangan kiri. Sepasang matanya memperhatikan lekat-lekat. Wajah cantik sang
paderi kemudian tampak berkerut dua mata membesar, sepasang alis berjingkrak lalu mulut
berteriak.

“Adipati jahanam! Manusia terkutuk! Kau membujukku akan memberikan dua buah dadu jika
bersedia membantu menghadapi Pendekar Dua Satu Dua dan kawan-kawan. Ternyata kau
menipuku! Kau memberikan dadu-dadu palsu! Aku akan cincang tubuhmu sampai lumat!” Loan
Nio Nikouw berteriak keras lalu berkelebat ke bagian belakang gedung. Dia tahu satu kamar
rahasia dimana dia menduga Seda Wiralaga berada di tempat itu. Wiro mengikuti. Ternyata
sang paderi dan Wiro tidak perlu mencari jauh. Ketika sampai di halaman belakang mereka
melihat Adipati Seda Wiralaga tengah bertempur melawan Rayi Jantra disaksikan oleh Ratu
Duyung, Purnama, nenek rambut kelabu, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sampai saat
itu sang Adipati yang bersenjatakan sebilah keris pusaka masih memegang ranting daun
mengkudu di tangan kirinya. Rupanya dia tetap merasa khawatir nenek kembar jejadian akan
menyerang dirinya.
Sebenarnya Adipati Seda Wiralaga bertempur dalam keadaan hati kecut nyali nyaris leleh. Dia
tahu, walau dia bisa mengalahkan Rayi Jantra dia tidak akan mampu lolos dari begitu banyak
tokoh silat yang mengelilinginya. Dalam keadaan seperti itu akhirnya sang Adipati berubah
nekad.

Walau membekal Kujang Kiai Pasundan yang sakti mandraguna, ternyata tidak mudah bagi Rayi
Jantra untuk menghadapi Seda Wiralaga. Gerakan sang Adipati juga memiliki tenaga luar dalam
yang lebih tinggi. Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke sembilan belas dua senjata beradu
keras. Bunga api memercik. Adipati Seda Wiralaga tergoncang sedikit sebaliknya Kujang Kiai
Pasundan di tangan Rayi Jantra terlepas mental dan Rayi Jantra sendiri terjajar tiga langkah ke
belakang.

Pada saat itulah satu bayangan merah berkelebat menyambar kujang lalu terdengar suara
bentakan.

“Adipati keparat! Kau merayu lalu menipuku! Kau memberikan dua dadu palsu! Berikan dua
dadu yang asli bersama nyawamu!”

Adipati Seda Wiralaga terkejut. “Loan Nio, tahan serangan! Kau pasti telah diperdayai pendekar
jahanam itu!”

Tanpa perduli ucapan orang Kujang Kiai Pasundan di tangan Loan Nio Nikouw berkelebat ganas
dan luar biasa cepat dalam jurus-jurus mematikan. Cahaya kuning menggidikkan berkiblat tiada
henti. Keris dan kujang beradu beberapa kali. Dalam satu gebrakan hebat Loan Nio lemparkan
dua buah dadu seraya berteriak.

“Makan dadu palsu ini!”

Adipati Seda Wiralaga cepat mengelak dari dua buah dadu yang melesat ke arah kepalanya. Dia
bisa selamatkan diri. Namun dikejap yang sama Kujang Kiai Pasundan di tangan kanan Loan Nio
Nikouw berkelebat dalam jurus Menusuk Matahari Membelah Rembulan.

“Brettt!”

Bukan cuma pakaian putih sang Adipati yang robek, tapi perut buncitnya ikut amblas dimakan
ujung kujang. Darah menyembur, usus besar memberojol keluar. Keris di tangan kanan
terlepas. Ranting daun mengkudu di tangan kiri ikut jatuh ke tanah. Kesempatan ini tidak disia-
siakan oleh nenek rambut kelabu kembaran jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tubuhnya
melesat ke udara. Kaki kanan menghajar kepala Seda Wiralaga hingga pecah bersamaan dengan
menancapnya Kujang Kiai Pasundan di dada kiri, langsung menembus jantung. Loan Nio Nikouw
jatuhkan diri di tanah, menekap wajah menahan tangis.
“Ha-hu ha-hu… hekkk!” Bersamaan dengan putusnya ajal Adipati Seda Wiralaga, penyakit gagu
yang diindap nenek rambut kelabu serta merta lenyap. Si nenek sesenggukan sesaat lalu
berucap. “Eyang Sepuh, kami sudah membalaskan sakit hati dendam kesumat kematianmu.
Semoga kau kini bisa tenteram di alam akhirat. Eyang, sekarang aku sudah tidak gagu lagi.”

Tiba-tiba Loan Nio Nikouw ingat sesuatu. Dia melompat dari duduknya, buru-buru menghampiri
mayat Seda Wiralaga. Tanpa rasa ngeri dia memeriksa tubuh Adipati itu. Tapi dia tidak
menemukan benda yang dicarinya.

“Pemuda gondrong itu pasti menipuku. Atau Adipati keparat ini telah menyembunyikan dua
dadu itu di satu tempat?” membatin sang paderi.

“Nio Nio, apakah kau mencari benda ini?”

Loan Nio Nikouw palingkan kepala. Pendekar 212 tersenyum lalu keluarkan sesuatu dari dalam
sebuah kantong kain putih yang tadi telah lebih dulu diambilnya dari balik pakaian Adipati Seda
Wiralaga yaitu ketika sang paderi terduduk di tanah sambil menekan muka sementara Rayi
mencabut kujang miliknya dari dada Adipati Losari itu.

Dari dalam kantong kain meluncur keluar dua buah dadu yang segera ditampung Wiro ditelapak
tangan kiri.

“Ini dadu-dadu yang asli.” Ucap Wiro sambil menimang-nimang dua buah dadu.

“Berikan padaku!” kata Loan Nio Nikouw seraya melangkah cepat ke arah Wiro.

Wiro masukkan kembali dua buah dadu ke dalam kantong kain putih. Tapi tidak
menyerahkannya pada sang paderi melainkan berkata. “Aku tidak akan memberikan dua buah
dadu ini padamu. Kecuali kau mengembalikan padaku Kitab Seribu Pengobatan yang kau curi
waktu peristiwa penyerangan Walang Gambir alias Kobra Biru di dangau tempo hari.”

Loan Nio Nikouw ternganga. Lalu paderi ini tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku
yang mencuri kitab itu?”

“Di tempat kejadian tak ada orang lain kecuali kau dan Bunga, sahabatku dari alam roh. Bunga
tak mungkin mencuri karena dia tak bisa membawa benda asing ke alamnya. Tinggal kau. Lagi
pula aku pernah menerapkan satu ilmu untuk memeriksa dirimu. Dan aku melihat kitab itu
memang ada di tubuhmu.”

“Kau memang lelaki kurang ajar!” ucap sang paderi tapi dengan wajah tersenyum. Di balik
punggungnya dia membuka ikatan tali halus lalu mengeluarkan sebuah kitab tebal terbuat dari
daun lontar. “Aku sebenarnya tak pernah bermaksud sungguhan mencuri kitab ini. Aku hanya
berjaga-jaga. Kalau kau duluan menemukan
dua buah dadu dan tak mau memberikan padaku, maka kitab ini akan kujadikan alat pemaksa.
Ambillah.” “Kau cerdik, juga baik hati.” Kata Wiro pula sambil menyambut kitab yang
diserahkan. Naga Kuning mendekati Loan Nio Nikouw. “Kurasa sekarang kita sudah jadi
sahabat. Karena itu aku akan

menyerahkan padamu benda ini.” Dari balik pinggangnya Naga Kuning keluarkan sebuah
seruling perak. Loan Nio Nikouw sampai berseru girang melihat suling miliknya itu. “Bagaimana
ceritanya sampai suling ini ada padamu?” “Suling itu terjatuh dari pinggangmu ketika orang
muka tengkorak mendukungmu keluar goa.”

Menerangkan Naga Kuning. “Aku sangat berterima kasih,” kata Loan Nio Nikouw sambil pegang
bahu si bocah. “Kau lucu. Baru sekali ini aku melihat perempuan kepalanya botak. Apakah aku
boleh mencium

kepalamu?”

Permintaan si bocah membuat Loan Nio tertawa. Tapi dia menjawab juga. “Kalau kau suka
silahkan saja,” lalu sang paderi merunduk sedikit Naga Kuning majukan hidungnya. Kepala
botak sang paderi tercium harum. Namun sebelum hidung si bocah dan kepala botak
bersentuhan, Gondoruwo Patah Hati segera jewer dan tarik telinga kiri Naga Kuning.

“Gunung, jangan macam-macam! Orang mengira kau masih anak-anak. Padahal kau sudah
kakek tua bangka!” Naga Kuning terpekik kesakitan namun tak berani membantah ketika dia
ditarik si nenek meninggalkan tempat itu. Wiro tertawa gelak-gelak sementara Loan Nio Nikouw
senyum-senyum. Setelah kedua orang itu pergi baru Wiro menyadari kalau Ratu Duyung dan
Purnama tak ada lagi di tempat itu. “Mereka pasti saling cemburu…,” pikir Wiro lalu berpaling
pada Rayi Jantra. Rayi hanya bisa angkat bahu dan berkata. “Aku ke halaman depan dulu.
Banyak mayat bergelimpangan di sana. Termasuk Bayumurti….”

“Siapa yang membunuh Bayumurti?” tanya Wiro.

“Purnama “ Jawab Rayi Jantra lalu melangkah pergi.

“Saudara Wie…” Loan Nio Nikouw menyapa Pendekar 212 dengan sebutan yang sudah lama tak
pernah diucapkannya. Wiro tersenyum. “Malam nanti kebetulan ada kapal dari Tionggoan yang
datang ke Teluk Losari menjemputku. Sebenarnya aku ingin berada lebih lama di sini…” “Aku
mengerti. Tugasmu belum selesai sebelum dua buah dadu kau serahkan pada pimpinanmu. Aku
hanya bisa berharap, satu ketika kau akan kembali lagi ke tanah Jawa ini.”

Loan Nio Nikouw anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Aku pasti kembali. Mencari
manusia bejat muka tengkorak itu!” Paderi cantik ini lalu tundukkan kepala berusaha
menyembunyikan linangan air mata. Dia melirik ke samping, ke arah nenek rambut kelabu. Si
nenek pura-pura melihat ke jurusan lain.
“Wiro…” ucap Loan Nio Nikouw perlahan sekali, setengah berbisik. “Sebenarnya aku malu
mengatakan hal ini. Apa iagi diriku tidak lagi sesuci sebagaimana aku datang pertama kali. Tapi
jika aku tidak mengatakan tidak ada kelegaan di hatiku seumur-umur. Jauh di lubuk hatiku,
aku… aku sebenarnya telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku melihatmu. Jalan nasib
membawa diriku ke dalam keadaan seperti ini. Aku mohon kau memaafkan segala sikap dan
perbuatanku yang buruk, mungkin juga jahat..”

“Kau gadis baik. Aku tidak akan melupakanmu, Nio Nio,” ucap Wiro. Lalu dipeluknya Loan Nio
Nikouw. Sang paderi membalas pelukan itu dengan rangkulan kencang sementara air mata
jatuh berderai membasahi pipinya.

“Aku pergi Wiro. Aku….”

“Tenangkan dan tabahkan hatimu, Nio Nio. Aku berdoa untuk semua kebaikan bagimu.”

“Terima kasih,” ucap Loan Nio Nikouw lalu lepaskan pelukannya. Belum sepuluh langkah paderi
dari Tionggoan itu berjalan tiba-tiba nenek rambut kelabu mengejar.

“Ada apa?” tanya Loan Nio Nikouw sementara Wiro memperhatikan agak merasa heran.

“Sahabat muda, aku tahu kau tengah mengalami kesulitan. Kalau aku boleh menolong dan kau
memang tidak mau melahirkan seorang bayi tanpa ayah, aku punya obat peluntur.”

“Obat peluntur, obat apa itu?” tanya sang paderi.

“Obat untuk menggugurkan kandunganmu,” jawab si nenek dengan suara sengaja dipelankan.

Loan Nio Nikouw tercengang dan tidak dapat menyembunyikan perubahan raut wajahnya.
“Bagaimana kau tahu keberadaanku…”

Si nenek tersenyum. Dia mengambil satu kantong kecil dan hitam dan menyerahkannya pada
Loan Nio Nikouw. “Di dalam kantong ini ada bubuk obat. Campur dengan air panas. Minum
setiap malam tiga hari berturut-turut…”

“Nek, aku…” Loan Nio Nikouw pandangi kantong hitam di tangan si nenek dengan rasa tak
percaya. Perlahan-lahan dia ulurkan tangan mengambil kantong kain itu lalu memeluk si nenek.
Air matanya kembali berlinangan. “Nek, kau menghindarkan diriku dari malu besar yang sulit
bagiku mengatakan bagaimana menanggungnya.”

“Selamat jalan sahabat muda. Kalau aku mendengar kabar tentang dirimu kelak, aku hanya
ingin mendengar kabar yang baik-baik…”

Loan Nio Nikouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia cium pipi si nenek kiri kanan. Lalu
mencabut seruling perak yang terselip di pinggangnya.
“Ini untukmu Nek. Aku hanya bisa memberikan suling ini sebagai tanda terima kasih.
Ambillah.”Nenek rambut kelabu semula hendak menolak pemberian itu. Namun melihat wajah
tersenyum tapi berurai air mata sang paderi akhirnya dia ambil juga suling itu lalu memeluk dan
balas mencium.

Setelah Loan Nio Nikouw pergi jauh si nenek hampiri Wiro. Sang pendekar menegur bercanda.
“Wah, kau diberi suling. Aku mengapa tidak diberi…?”

“Jangan serakah. Kau sejak lahir sudah punya suling!” jawab nenek rambut kelabu. Wiro
tertawa gelak-gelak lalutampar pantat si nenek. Seperti yang sudah-sudah begitu mendapat
tamparan di bagian tubuh sebelah bawah ujud si nenek langsung berubah menjadi seorang
perempuan muda berwajah jelita.

“Hemm… Kau sengaja bersalin rupa. Kau hendak merayuku? Aku kasih suling baru kau tahu
rasa!”

“Kalau kau berani keluarkan suling, aku ketok sulingmu dengan suling perak ini!” Perempuan
muda mengancam.

“Aku mau lihat bagaimana kau melakukannya!” kata wiro pula sambil tertawa-tawa.

Perempuan muda cantik itu tertawa cekikikan lalu lari menjauh ketika Wiro mendatanginya.

*****

Satu bulan setelah tewasnya Adipati Seda Wiralaga, Rayi Jantra diangkat menjadi Adipati Losari.
Pedang Ular hijau atau Ceng Coa Kiam milik Liok Ong Cun yang ditinggal begitu saja oleh
pemiliknya diambil dan disimpan oleh Rayi Jantra. Kelak dikemudian hari pedang ini akan
menjadi masalah besar karena Liok Ong Cun kini bermuka cacat masih berkeliaran di tanah
Jawa.

Setelah Adipati Seda Wiralaga tewas dan Istana Seribu Rejeki Seribu Mesum dihancurkan oleh
Rayi Jantra, Kerajaan Cirebon berdiri. Jatilandak, putera Luhmintari yang bernama Purnama
telah diangkat menjadi salah seorang Kepala Pasukan Kerajaan oleh Pangeran Cakrabuana dan
Nyai Rara Santang. Namanya diganti menjadi Tubagus Kesumaputra. Sementara itu
sesampainya di Tionggoan, setelah menyerahkan dua buah dadu pada Wakil Ketua perguruan
Siauw Lim, Loan Nio Nikouw memencilkan diri di satu puncak gunung. Dia berubah pikiran
untuk menggugurkan kandungannya dengan obat yang diberikan nenek jejadian kembaran
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Sang paderi punya rencana dahsyat. Bilamana si anak yang akan
dilahirkannya sudah besar kelak, anak itu akan disuruhnya mencari dan membunuh Liok Ong
Cun. Kepada si anak akan ditanamkannya cerita yaitu bahwa Liok Ong Cun adalah orang yang
telah membunuh ayah kandungnya. Jadi adalah kewajiban si anak membalas dendam kematian
sang ayah.
*****

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai