Anda di halaman 1dari 4

TEKS NOVEL

Ruangan rapat itu penuh, satu per satu insan mulai memasuki ruangan dan menempati
kursi masing masing. Beberapa ada yang berbincang, bercakap cakap ringan dan tertawa
sesekali. Namun separuh diantaranya terlihat terdiam dan berpikir keras, terlihat dari beberapa
orang yang berdiskusi dengan ekspresi kaku dan jemari yang sibuk memijat kepala. Ruangan
yang luas itu penuh riuh oleh bisik bisik manusia, dan dalam sekejap menjadi hening saat pintu
besarnya dibuka oleh seseorang. Semua mata langsung tertuju pada orang tersebut yang
dengan gagahnya berjalan membelah ruangan menuju kursi besar yang kosong di ujung meja
bundar.
Terdengar sang ketua rapat berdeham sekali sebelum membenahi posisi duduknya dan
menatap ruangan besar itu sekilas.
Ruangan besar yang akan menjadi awal dari perjalanan bangsa ini. Batin yang
pemimpin rapat. Terdengar suara lantang yang membuat seluruh mata kembali fokus
kepadanya.
“Semenjak kesepakatan kita dengan Lisboa selesai, suplai rempah-rempah kita benar-
benar menurun drastis,” Suara berat itu mulai melantun lantang di “Ya broer, anda benar sekali.
Padahal rempah-rempah adalah hal yang amat penting bagi bangsa ini. Para pembuat obat
kesulitan mencari bahan bakunya, pun para wanita yang ingin memasak mulai kekurangan
bumbu dapurnya.” Sahut yang lainnya tak kalah semangat membeberkan penjelasan.
“Sekarang kita tidak bisa mengandalkan Lisboa lagi dalam impor rempah-rempah.
Semenjak bangsa Spanyol keparat itu menguasai wilayah kita, Lisboa dilarang lagi mengeskpor
rempah-rempah ke Belanda,” Sang pemimpin yang diketahui bernama Cornelis de Houtman
menjelaskan alasan utama ekspedisi ini.
“Tapi broer, tidak hanya Spanyol. Kekalahan kita pada perang salib juga menjadi salah
satu faktor, belum lagi banyak sekali kerajaan kerajaan Eropa yang kekuasaannya jatuh ke
tangan Turki Utsmani membuat semua akses dagang Asia-Eropa porak poranda.” Suara gaduh
pun menyeruak di ruangan itu. Tak sabar lagi ingin segera melaksanakan Ekspedisi ini, ingin
kembali merasakan hidup enak setelah bertahun-tahun hidup di medan pertempuran. Kas
Negara yang mulai menyusut karena peperangan. Kehidupan yang sempat mati, sedang
mencari cara untuk bangkit kembali.
“Mau tidak mau kita harus segera bergerak. Semua yang hadir di ruangan ini akan
menjadi kepala divisi dari rencana ekspedisi kita. Sekarang, saya akan berunding lagi dengan
petinggi lainnya dan menetapkan tujuan perjalanan kita kali ini.”
Ruangan kembali meriuh, beberapa orang mulai mengajukan usulan tujuan ekspedisi yang tak
lain adalah negara penghasil rempah dan sumber daya alam yang besar. Cornelis de Houtman
tak kalah pusing nya berpikir dan menelaah peta. Mencari dan mencari dimanakah adanya
harta karun dunia tersebut tersembunyi.
Eropa memang sedang hancur, jalur perdagangan sudah terputus. Namun dibalik itu semua,
ilmu pengetahuan dan teknologi mulai berkembang di Benua Biru tersebut. Ilmu alam seperti
geografi dan teknologi pelayaran mulai dikembangkan di Eropa. Bangsa Eropa mulai
menemukan jalur perdagangan lain melalui laut. Mereka juga berhasrat menemukan dunia
baru di daratan-daratan yang masih misterius bagi bangsa-bangsa Eropa, terutama pulau-pulau
penghasil rempah. Dan disinilah pencarian bermula.
***

“Kita berlayar menuju ke sini, ku dengar wilayah ini sangat kaya akan rempah rempah
dan sumber daya alam lainnya yang amat melimpah.” Ujar sang kapten kapal menunjuk sebuah
peta dunia kuno, jari telunjuknya tepat menunjuk wilayah nusantara. Rapat kedua dilaksanakan
setelah rapat pertama satu bulan yang lalu. Ketua ekspedisi telah menemukan lokasi yang tepat
sebagai tujuan perjalanan kali ini.
“Apakah kita bisa dengan cepat dapat mengembalikan keadaan ekonomi kita dengan
menjelajah ke sana?” celetuk salah satu hadirin rapat sambil mengetukkan sigaret nya diatas
kotak kayu. Sang pemimpin rapat pun tertawa renyah, tercetak senyum miring di wajahnya.
“Tenang saja, itu urusan yang amat sangat mudah. Manusia manusia di wilayah itu
masih amat primitif, mereka buta akan pengetahuan. Pasti akan sangat mudah bagi bangsa kita
untuk menguasainya dalam kedipan mata.” Sang pemimpin amat sangat angkuh menjelaskan
rencananya, yang diikuti dengan anggukan anggukan kecil dari seluruh kepala.
“Kapan kita akan memulai perjalanan ini, Kapten?” salah satu peserta rapat mengangkat
tangan dan bertanya. Sang kapten melirik ke atas, berpikir sejenak kapan saat yang tepat
melakukan perjalanan.
“Siapkan seluruh armada kapal mulai dari besok pagi, siapkan pasokan makanan dan
segala perlengkapan lain yang sekiranya dibutuhkan. Berend! Ku tugaskan untukmu untuk
menyiapkan peralatan dan senjata. Markus! Kau yang mengurus pasokan makanan” tegas sang
kapten sembari menunjuk beberapa orang. Yang disebut namanya pun segera berdiri dan
mengangguk tegas, sudah teramat siap bertugas dalam pekerjaan yang luar biasa ini.
Rapat pun dibubarkan setelah komando komando diberikan, Cornelis segera kembali ke
kediamannya dan menyusun rencana lebih detail lagi. Sedang prajurit yang lain langsung
bergegas membawa perintah dari kapten mereka. Perasaan semangat pun menguar pada
setiap kepala, mereka pulang dalam keadaan semangat berapi-api.
***
Cornelis memegang teropongnya, melihat dari jarak jauh seberapa lama lagi kira kira ia
dan pasukannya akan tiba di Banten. Terlihat di kapal para awak sedang bersantai, sebagian
bersiap untuk pendaratan, dan sebagian lagi menjaga tali layar. Banten sudah di depan mata,
akhirnya pada 27 Juni 1596, empat buah kapal dari Amsterdam, 64 pucuk meriam, dan 249
awak kapal yang tersisa dari perjalanan tersebut memasuki pelabuhan Banten. Mereka amat
senang karena berhasil sampai di daerah penghasil rempah yang sebenarnya hanyalah sebagian
kecil dari kepulauan rempah-rempah paling menggiurkan di Dunia. Nusantara.
Kapal mereka pun berlabuh, jangkar diturunkan. Semua penumpang kapal melongok
kearah bawah. Terlihat masyarakat Banten mulai mengerubungi kapal mereka, beberapa lainnya
bahkan hanya terdiam menyaksikan kapal besar dari Amsterdam itu berhenti. Terlihat wajah senang
dari masyarakat Banten kala itu. Tanpa mereka ketahui, ada badai besar yang siap menghancurkan
mereka tak lama lagi. Penderitaan rakyat Indonesia bermula disini.

“Selamat datang warga Eropa”

“Selamat datang..”

“Wah.. mereka putih sekali”

“Pakaian mereka bagus, kapal mereka sangat besar..”

“Darimanakah orang orang ini berasal?”

Sahut sahutan warga Banten terdengar kala Cornelis dan pasukannya turun dari kapal dan mulai
berjalan diantara ramainya suasana pelabuhan. Terlihat pula anak anak kecil berlari-lari menunjuk
orang-orang berkulit putih yang gagah itu sambil berteriak kegirangan. Pedagang yang sedang sibuk
berjualan pun rela melongok keluar dari gerainya untuk mencari tahu sumber dari keributan itu. Tak
sedikit pula yang mengulurkan tangan, meminta balasan dari Cornelis dan pasukannya. Meminta
bersalaman, bak pengantin yang baru saja naik pelaminan.

Sore itu terlihat tenang dan damai. Langit biru dan awan putih yang menggumpal, terpa angin yang
menerpa wajah, nyiur bergerak ke kanan kiri mengikuti arah angin, suara ombak pelan berderu,
sudah cukup menggambarkan bagaimana damainya wilayah tersebut. Cornelis diam diam tesenyum
menang, senyum miring terlihat samar dari wajah garangnya. Batinnya, selangkah lagi ia dapat
membawa pulang kekayaan alam yang tiada bandingnya. Hal yang akan mengembalikan kehidupan
bangsanya.

Anda mungkin juga menyukai