Anda di halaman 1dari 683

Eps 133 113 Lorong Kematian

1KEINDAHAN dan ketenangan Telaga Sarangan di kaki selatan Gunung Lawu sejak beberapa
waktu belakangan ini dilanda oleh kegegeran menakutkan. Tujuh penduduk desa sekitar
lembah dicekam rasa cemas amat sangat. Jangankan malam hari, pada siang hari sekalipun
jarang penduduk berani keluar rumah. Pagi hari mereka tergesa-gesa pergi ke ladang atau
sawah, menggembalakan memberi makan atau memandikan lemak lalu cepat-cepat kembali
pulang. Mengunci diri dalam rumah, menambah palang kayu besar pada pintu dan jendela.

Pasar yang biasanya ramai hanya digelar sebentar saja lalu sepi kembali. Penduduk lebih
banyak berada di rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga sambit berjaga-jaga.
Terutama dirumah dimana ada orang perempuan yang tengah hamil tujuh bulan ke atas.
Malam hari setiap desa diselimuti kesunyian. Penduduk tenggelam dalam rasa takut. Tak ada
yang berani keluar rumah. Apakah yang lelah terjadi ? Apa penyebab hingga penduduk dilanda
rasa takut demikian rupa?

Peristiwanya dimulai sekitar empat purnama lalu. Malam hari itu rumah Ki Mantep Kepala Desa
Plaosan kelihatan ramai. Mereka tengah mempersiapkan hajatan selamatan tujuh bulan
kehamilan pertama Nyi Upit Suwarni yang akan dirayakan secara besarbesaran besok harinya.
Maklum Nyi Upit adalah anak tunggal, puleri satu-satunya Ki Mantep Jalawardu yang
bersuamikan I Ketut Sudarsana. seorang pcngusaha dan juru ukirberasal dari Klungkung, Bali
berarti bayi yang dikandung Nyi Upit akan merupakan cucu pertama Kepala Desa Plaosan itu.
Tidak mengherankan selamatan tujuh bulan ini dilangsungkan secara meriah. Besok malam,
setelah upacara adat pada siang harinya, akan digelar pertunjukan wayang kulit semalam
suntuk. Untuk itu sebuah panggung besar telah di bangun di halaman depan rumah Kepala
Desa.

Malam itu semakin larut hari semakin ceria kelihatan suasana di rumah Ki Mantep Jalawardu. Di
dapur orang memasak berbagai macam makanan dan kue-kue. Di ruang tengah ibu-ibu muda
sahabat Nyi Upit sambil sesekali berseloroh, sibuk menata sebuah meja besar, menghiasi
berbagai juadah dan buah-buahan yang diletakkan dalam beberapa piring besar mengelilingi
sebuah tumpeng raksasa.

Di dalam kamar setengah berbaring di atas tempet tidur, Nyi Upit mengobrol dengan beberapa
orang gadis. Gadis-gadis itu adalah sahabatnya sedesa, tapi beberapa diantaranya berasal dari
desa lain. Mereka mengobrol segala macam hal. Terkadang mengganggu Nyi Upit dengan
cerita-cerita lucu tapi nakal, sesekali terdengar mereka tertawa riuh.

Di ruang depan Ki Mantep dan sang menantu I Ketut Sudarsana, ditemani beberapa keluarga
dekat serta tetangga, kelihatan asyik bercakap-cakap. Kopi hangat dihidangkan tiada henti.
Berbagai juadah disuguhkan. Sekotak cerutu besar yang dibeli dari awal sebuah kapal asing
yang berlabuh di pantai utara ikut menambah maraknya suasana percakapan. . .
Lewat tengah malam ketika udara terasa tambah dingin dan beberapa orang sejawat mulai
minta diri, orang-orang lelaki yang tengah asyik bercakap-cakap di langkan depan rumah
dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian seorang penunggang kuda dengan
cepat melintas di halaman rumah. Wajahnya tidak jelas karena halaman depan agak gelap dan
kuda hitam yang ditungganginya melesat cepat sekali. Yang sempat terlihat ialah si penunggang
mengenakan jubah putih serta kerudung berbentuk pocong putih. Aneh!

”Siapa menunggang kuda malam-malam buta begini ? Berpakaian aneh, lewat begitu saja
seperti setan”. I Ketut Sudarsana keluarkan ucapan sambil berdiri dari kursi memperhatikan
penunggang kuda yang segera saja menghilang dalam kegelapan

Sesaat selelah penunggang kuda itu lewat dan lenyap, sebuah benda melayang di udara
melewati bagian depan rumah, menyipratkan cairan kental. Benda yang melayang ini terus
melesat ke bagian dalam rumah. Beberapa orang ibu muda yang tengah menghias buah-buah
serta juadah di meja besar terpekik kaget dan melangkah mundur dengan muka pucat. Ki
Mantep Jalawardu orang yang pertama sekali melompat dari kursi, lari ke bagian dalam rumah
diikuti menantunya I Ketut Sudarsana serta beberapa anggota keluarga dekat dan kenalan.

“Ada apa?!” lanya Kepala Desa Plaosan itu sambil memandang ke arah orang perempuan yang
bergerombol merapat di salah satu sudut ruangan, unjukkan wajah ketakutan. Seorang diantara
mereka dengan tangan gemetar dan muka pucat menunjuk kearah tumpangan di atas meja
besar.

Tepat di bagian atas tumpengan yang terletak di meja. kelihatan menancap sebuah bendera
kecil berbentuk segitiga. Bendera ini diikatkan pada potongan kecil bambu sepanjang setengah
jengkal. Ujung bambu inilah yang menancap di tumpengan. Warna merah bendera aneh Itu
ternyata adalah cairan kental yang masih menetes-netes.

Dari dalam kamar beberapa orang gadis berlarian keluar. Nyi Upjt mengikuti. Mereka
mendengar ribut-ribut diluar, suara orang menjerit. Mereka ingin tahu apa yang terjadi orang-
orang yang bekerja di dapur lak ketinggalan ikut berlarian ke ruangan tengah rumah.

“Ayah, ada apa ?" Bertanya Nyi Upit.

“Tidak ada apa-apa. Kalian semua masuk kembali ke dalam kamar…” jawab Ki Mantep. Tapi Nyi
Upit dan teman-temannya tetap saja tegak di depan pintu kamar,

Ki Mantep dekati meja besar. Tubuhnya dibungkukkan, kepala didekatkan ke tumpengan,


memperhatfkan bendera merah. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan meraba bendera
segi tiga. Terasa cairan kental menempel di ujung-ujung jari. Ki Mantep tarik tangannya,
memperhatikan cairan merah yang melekat di ujung jari-jari tangan sambil jari-jari itu
digesekkan. Tengkuk Kepala Desa ini mendadak dingin. "Darah..” Ucap Ki Mantep dengan suara
bergetar. Kepala Desa ini tersurut dua langkah. I Ketut Sudarsana beranikan diri maju
mendekati meja. Dengan tangan kirinya dicabutnya bendera segitiga yang menancap di
tumpengan. Bendera merah basah diperhatikan dengan mata tak berkesip. Hidungnya
mencium bau amis. ”Darah, memang darah." kata I Ketut Sudarsana. Seperti ayah mertuanya,
suara sang menantu juga bergetar "Apa artinya ini? Siapa yang melempar bendera darah ini?!"
"Pasti orang berkuda berjubah putih tadi." Ucap Ki Mantep Jalawardu. "Mengapa dia
melakukan ini? Melempar bendera segitiga basah dengan darah. Apa maksudnya?” Tanya I
Ketut Sudarsana sambil memandang pada ayah mertuanya lalu pada orang-orang di
sekeliliingnya. Tak ada yang menjawab karena memang mereka tidak tahu apa artinya semua
ini. Namun Ki Mantep Jalawardu sebagai orang tua yang telah berpengalaman dan menjadi
Kepala Desa Plaosan lebih dari dua puluh tahun diamdiam merasa ada sesuatu yang aneh di
balik apa yang barusan terjadi. Dan di belakang keanehan Ini dia mencium sesuatu yang
berbahaya.

Ki Mantep kembali menyuruh putrinya dan semua anak gadis masuk ke dalam kamar. Orang
dapur dimintanya kembali bekerja di dapur. Ibu-ibu muda yang tadi sibuk menghias piring-
piring besar berisi berbagai hidangan, juadah dan buah disuruh meneruskan pekerjaan. Kepala
Desa ini kemudian mengajak semua orang lelaki kembali ke langkan rumah. "Orang melempar
bendera darah ke dalam rumah, Sulit aku menduga apa maksudnya,” Ki Mantep berkata. “Di
masa muda, aku banyak membasmi orang-orang jahat sekitar kaki Gunung Lawu. Mungkin saja
salah satu dari mereka, kawan atau turunan mereka ingin membalas dendam, sengaja mencari
kesempatan pada saat kita mengadakan pesta selamatan tujuh bulan puteriku. Kita perlu
berjaga-jaga. Aku akan mengatur para perangkat desa untuk melakukan perondaan sampai
pagi. Besok siang penjagaan harus dilanjutkan. Orang yang punya niat jahat pasti akan
mengintai kelengahan kita. Aku tak ingin perayaan selamatan tujuh bulan puteriku sampat
terganggu." "Ki Mantep” seorang lelaki berusia enam puluh tahun yang merupakan tetangga
dan sahabat Kepala Desa sejak bertahun-tahun, bernama Surablandong berkata, “Malam ini
urusan keamanan biar serahkan pada saya. Saya akan mengatur anak-anak. Ki Mantep dan yang
lain-lain tetap di sini saja. Istirahat dan tidur kalau perlu…”

Kepala Desa Plaosan terdiam sesaat, akhirnya menganggukkan kepala. Siapa tidak kenal dengan
Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah punya nama harum di
sekitar perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur mulai dari Sragen di sebelah utara sampai
Ponorogo di kawasan selatan, mulai dari Surokerto di ujung barat sampai Madiun di sebelah
timur. Selama bertahun-tahun dirinya ditakuti para penjahat dan orang-orang rimba persilatan
golongan hitam. Sejak empat tahun lalu setelah istrinya meninggal, dalam duka cita yang sangat
mendalam. Surablandong mengundurkan diri dari dunia persilatan. Jabatan Ketua Perguruan
Silat Lawu Putih diserahkan pada muridnya yang paling pandai dan paling dipercaya, bernama
Tambak Juwana.

Sambil memegang punggung sahabatnya yang tiga tahun lebih muda itu Ki Mantep mengajak
Surablandong melangkah ke pintu pagar.

“Ki Blandong, aku sengaja membawamu ke sini agar yang lain tidak mendengar apa yang akan
aku katakan” kata Ki Mantep Jalawardu dengan suara perlahan. "Saya sudah merasa kalau Ki
Mantep hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak tahu mau mengatakan apa”.
“Aku punya firasat buruk…”

“Jangan berkata begitu Ki Mantep." Potong Surablandong.

“Padamu aku tidak pernah berpura-pura. Kita sama-sama menyaksikan apa yang terjadi malam
ini, Mulai dengan munculnya orang menunggang kuda hitam. Berjubah putih mengenakan
penutup kepala seperti pocong. Lalu bendera segitiga yang dibasahi darah. Sengaja
dilemparkan ke dalam rumah menancap di Tumpeng besar. Semua itu bagiku adalah suatu
pertanda akan terjadi satu malapetaka…”

”Ki Mantep. siapa orang yang berani berbuat macam-macam terhadap dirimu dan keluargamu.
Apa lagi saya ada di sini. Bukan saya bicara sombong akan saya tekuk leher orang yang berani
mengacau”.

“Kekacauan barusan telah terjadi. Dan kita tidak sempat berbuat apa-apa. Orang sanggup
melemparkan bendera darah. Lalu kabur begitu saja…”

Diam-diam Surablandong merasa malu mendengar ucapan sahabatnya itu.

“Ki Mantep, sudahlah. Jangan dipikirkan apa yang telah terjadi. Masuklah, kau perlu istirahat
dan tidur barang beberapa kejap. Soal keamanan rumahmu dan keluargamu menjadi tanggung
jawab saya. Saya akan mengatur anak-anak untuk melakukan penjagaan.” "Terima kasih Ki
Blandong. Aku akan masuk.Tapi aku tak akan tidur. Kata Ki Mantep Jalawardu pula sambil
menepuk bahu sahabatnya lalu berbalik.

“Memang dalam cemas melanda seperti itu siapa orangnya yang bisa tidur,”

Baru satu langkah sang Kepala Desa itu berbalik ke arah rumah, sekonyongkonyong ada derap
kaki kuda dari ujung halaman sebelah kanan. Ki Mantep cepat balikkan tubuhnya kembali. I
Ketut Sudarsana dan beberapa orang lelaki yang ada di langkan rumah besar menghambur lari
ke halaman. Saat itu Surablandong telah melompati pagar terus melesat ke atas panggung
besar.

Dari arah kegelapan di sebelah depan kanan panggung melesat seekor kuda hitam.
Surablandong siap untuk menggebuk siapapun yang jadi penunggangnya. Tapi jago tua ini jadi
melengak kaget ketika melihat kuda hitam itu berlari kencang tanpa penunggang sama sekali!

Saat itu Ki Mantep, I Ketut Sudarsana dan yang lain-lainnya juga sudah melompat ke atas
panggung. Seperti Surablandong, tadinya mereka siap menghadang dan menyergap
penunggang kuda. Namun semua mereka ikut terkesiap melihat kuda tanpa penunggang itu.
Rasa terkesiap dibayangi rasa mengkirik aneh. Selagi semua orang terheran-heran bercampur
kecut begitu rupa, kuda hitam lewat menghambur di depan panggung. Dan saat itu pula di
dalam rumah mendadak terdengar pekik jerit tiada hentinya. I Ketut Sudarsana tersentak kaget.
Salah satu jeritan itu dikenalinya adalah jeritan isterinya. Lelaki menantu Kepala Desa Plaosan
ini secepal kilat melompat turun dari atas panggung, terus melesat ke dalam rumah.

Ki Mantep sesaat tampak bingung sebelum menyusul sang menantu. Yang lain-lain ikut
berlarian ke dalam rumah. Hanya Surablandong yang lari ke jurusan lain yakni ke halaman
belakang rumah besar, ke arah kandang kuda.

Di dalam rumah jerit pekik orang-orang perempuan semakin keras. Ketika menantu dan
suaminya berlari mendatangi, isteri Kepala Desa berteriak,

“Pakne, Nyi Upit diculik ! anak kita diculik setan pocong ! “

DI DALAM gelap di bawah hitamnya bayangan pohon besar Surablandong mendekam di atas
punggung kuda. Mata dipentang lebar, telinga dipasang tajam. Di dalam rumah didengarnya
suara jerit-pekik tiada henti. Malah kini ada suara orang meratap. Surablandong maklum ada
satu perkara besar lelah terjadi dalam rumah Kepala Desa sahabatnya itu. Dia tidak bisa
menduga apa. Dia tidak bisa membagi perhatian. Lalu didengarnya suara itu. Suara yang
ditunggu-tunggu. Derap kaki-kaki kuda.

Di ujung halaman timur rumah besar Kepala Desa, seorang penunggang kuda mengenakan
jubah dan penutup kepala putih menyerupai pocong muncul dari dalam kegelapan. Kuda
digebrak membelok ke arah depan bangunan panggung, yang berarti akan melewati pohon
besar di balik mana Surablandong menunggu Sekitar lima tombak kuda dan penunggangnya
dari pohon besar, untuk pertama kalinya Surablandong melihat kalau di sebelah depan si
penunggang kuda, di atas pangkuannya, terbujur melintang sosok seorang perempuan.
Surablandong tidak bisa menduga siapa adanya perempuan itu. "Jahanam penculik! Manusia
atau setan sekalipun kau adanya akan ku pecahkan kepalamu!” Kertak Surablandong. Dengan
gerakan gesit lelaki berusia enam puluh tahun ini membuat gerakan ringan dan cepat melesat
ke alas. Dua tangannya bergantungan di cabang pohon paling bawah. Ketika penunggang kuda
berjubah dan berlutup kepala putih lewat. Surablandong ayun tubuhnya. Saat itu juga, laksana
seekor burung rajawali Surablandong melesat ke bawah. Tangan kanan menggebuk ke arah
kepala penunggang kuda yang ditutupi kain putih seperti pocong. "Praakk!"

Surablandong merasa yakin gebukan tangannya yang mengandung daya kekuatan atau bobot
sama kekuatan hantaman batu seberat 100 kati akan menghancurkan kepala orang. Bahkan dia
seolah mendengar suara pecahnya kepala si penculik. Namun jago tua yang di masa muda telah
menggegerkan delapan penjuru angin kawasan perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur ini
kecele. Bukan kepala orang yang dipecahkannya, malah sebaliknya dirinya yang kena celaka!

Orang di atas kuda lewat dua lobang kecil pada penutup kepala yang menyerupai pocong
rupanya telah melihat bayangan kuda dan sosok Surablandong yang mendekam di balik pohon
besar. Begitu Surablandong melayang ke arahnya sambil gebukkan tangan kanan orang ini
cepat rundukkan kepala sama datar dengan leher kuda. Bersamaan dengan itu kaki kirinya
melesat tinggi ke samping.

”Dukkk!”

Gerakan tubuh Surablandong yang menukik sambil memukul sesaat tertahan di udara lalu
mencelat dua tombak untuk kemudian jaluh bergedebuk di tanah! Sesaat Surablandong
mengerang menahan sakit. Tangan kirinya ditekapkan ke ulu hatinya yang barusan kena
dihantam tendangan. Dia kerahkan tenaga dalam ke bagian yang cidera, atur pernafasan lalu
bangkit berdiri. Setengah berlari, tanpa perdulikan rasa sakit pada ulu hatinya. Surablandong
menghampiri kudanya, naik ke atas punggung binatang ini yang kemudian digebrak ke arah
lenyapnya penunggang kuda berpakaian serba putih.

Sambil mengejar Ki Blandong tiada hentinya merutuki diri sendiri. Dia tahu dirinya telah tua.
Tapi ilmu silat dan kepandaiannya tidak pernah berkurang. Tiga kali dalam satu minggu dia
selalu melatih diri. Kini ternyata orang begitu mudah menghajarnya dengan satu tendangan.
Menendang lawan sambil melesat di atas punggung kuda dan memangku sosok perempuan di
atas paha bukanlah satu pekerjaan mudah. Hal inilah yang agaknya dilupakan Surablandong.
Siapapun adanya penunggang kuda yang kepalanya ditutupi kain putih, dia adalah seorang
berkepandaian tinggi. Dan tingkat kepandaiannya jelas berada di atas kepandaian
Surablandong!

Orang yang dikejar menggebrak tunggangannya ke arah barat daya. Surablandong yakin dalam
waktu tidak terlalu lama dia akan berhasil mengejar orang itu. Berkuda sambil memangku
tubuh orang di atas paha bukan pekerjaan mudah dan memungkinkan seseorang bisa memacu
tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Namun lagi-lagi Surablandong dibuat kecele.
Bagaimanapun dia kerahkan kepandaian memacu kudanya. Tetap saja antara dia dan orang
yang dikejar terpaut sekitar lima lombak

Dalam kesalnya Surablandong gerakkan tangan ke pinggang. Dari balik sabuk kulit besar yang
melilit pinggangnya dia keluarkan dua buah benda berwarna kuning, berbentuk bola-bola kecil
sebesar ibu jari kaki, yang dipenuhi duri-duri lancip. Ketika dia masih malang melintang dalam
rimba persilatan, benda ini merupakan senjata rahasia sangat menakutkan, dikenal dengan
julukan Elmaut Kuning. Belasan lawan terutama orang-orang jahat menemui ajalnya oleh bola
berduri terbuai dari kuningan beracun ini.

Sejak dia mengundurkan diri dari dunia persilatan meninggalkan Perguruan Silat Lawu Putih,
Surablandong tidak pernah lagi mempergunakan senjata rahasia itu. Agaknya malam ini tidak
ada jalan lain. Dia terpaksa mengeluarkan senjata tersebut untuk menghentikan sekaligus
menghabisi si penculik.
Ketika di depan sana penunggang kuda yang dikejar membuat gerakan membelok ke kiri.
Surablandong melihat inilah kesempatan terbaik untuk menghantam orang. Secepat kilat dia
gerakkan tangan kanannya.

”Wuutt ”.

Surablandong lancarkan serangan pertama. Satu dari dua bola kuningan berduri itu melesat di
udara. Inilah kebiasaan dan kecerdikan Surabandong. Dia tidak pernah melepas senjata rahasia
lebih dari satu buah dalam satu ketika serangan. Cara ini pula yang membuat banyak lawan
terpedaya dan menemui ajalnya.

Walau malam gelap namun bola lembaga itu pelihatkan menyala kuning, melayang laksana
batu berpijar yang jatuh dari langit, mencari sasaran di.arah kepala penunggang kuda hitam.
Orang yang diserang rupanya sudah tahu kalau dirinya hendak dihantam orang dengan satu
senjata rahasia. Sambil menyentakkan tali kekang kuda dan rundukkan kepala, dia membuat
gerakan berkelit, bersamaan dengan ilu tangan kirinya dilambaikan ke samping.

Pada saat orang berusaha menghindari serangan bola kuningan pertama itulah Surablandong
susul dengan serangan kedua. Untuk ke dua kalinya dalam gelapnya malam terdengar suar
menderu disertai melesatnya cahaya kuning yang kali ini mencari sasaran di pinggang
penunggang kuda hitam.

Orang di atas kuda hitam mendengus. Kembali dia lambaikan tangan kirinya,

”Tringg!" "Tringg!”

Dua kal terdengar suara berdering disertai kerlipan bunga api dalam gelapnya mafam. Dua bola
kuningan berduri yang dilemparkan Surablandong hancur bertaburan di udara! Kagetnya
Surabiandong bukan alang kepalang. Seumur hidup baru sekali ini serangan bola kuningannya
dipukul hancur demikian rupa. Pernah kejadian ada lawan yang memang mampu mengelakkan
bola kuningan pertama, Tapi hampir tidak ada yang sanggup menyelamatkan diri dari serangan
bola kuningan susulan.

Geram penasaran dan marah Surablandong menggebrak kudanya lebih cepat. Kuda
tunggangannya lari seperti dikejar setan namun tetap saja dia tidak mampu mengejar
penunggang kuda didepannya.

Ternyata orang yang dikejar lari ke arah timur Telaga Sarangan. Sel ah u Surablandong tak jauh
dari kawasan itu terdapat sebuah air terjun. Lalu lebih jauh ke arah utara ada satu bukit batu
yang konon menjadi sarang kediaman berbagai binatang buas mulai dari ular berbisa sampai
harimau raksasa.

Di timur telaga entah bagaimana Surnblandong berhasil mendekati orang yang dikejarnya.
Makin dekat, makin dekat dan akhirnya dia dapat mengejar bahkan mendahului orang itu.
Surablandong memutar kudanya, berbalik. Kini dia menghadang orang yang sejak tadi
dikejarnya. Bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih ini tidak sadar kalau dia bisa mengejar
orang karena orang yang dikejar memang sengaja memperlambat lari kudanya.

Dua tombak dari hadapan Surablandong penunggang kuda hitam hentikan kudanya. Dua
matanya memandang tajam ke arah Surablandong. Lalu dari bawah penutup kepala berbentuk
pocong putih itu menggema suaranya. "Surablandong, perjalananmu cukup sampai disini!
Kembali ke Plaosan atau kubuat kau meregang nyawa saat ini juga!" Surablandong tersentak
kaget mendengar orang tahu dan menyebut namanya. Dia coba mengingat-ingat. Tapi tak
mampu mengenali suara itu. Matanya memperhatikan sosok yang menggeletak di atas
pangkuan orang. Sosok seorang perempuan, perutnya tinggi. Astaga! Surablandong terkejut
untuk kedua kalinya. Perempuan di atas pangkuan penunggang kuda hitam itu adalah Nyi Upit!
Puteri Kepala Desa sahabatnya yang tengah hamil tujuh bulan!

SURABLANDONG majukan kudanya hingga mulut binatang ini hampir bersentuhan dengan
kepala kuda tunggangan orang di hadapannya. Pandangan orang tua ini seolah ingin menembus
penutup kepala kain putih berbentuk pocong, namun dia hanya bisa melihat kerlapan cahaya
sepasang mata di balik dua lobang kecil kain putih penutup kepala.

Perempuan lain saja diculik orang dudan cukup membuat Surablandong marah. Apa lagi yang
diculik puteri sahabatnya dan dalam keadaan hamil pula. "Bangsat penculik!’ Bentak
Surablandong. "Beraninya kau menculik puteri Kepala Desa yang sedang hamil! Serahkan Nyi
Upit padaku atau kuhabisi kau saat ini juga!”.

Dari balik kain putih penutup kepala berbentuk pocong keluar suara tawa bergelak
"Surablandong, kembalilah ke Plaosan. Anggap kita tidak pernah bertemu di tempat ini. Anggap
kau tidak pernah melihat apa-apa. tidak pernah menghadapi kejadian ini. Maka kau akan
selamat dalam sisa hidupmu!"

Rahang Surablandong menggembung, dia merasa sangat dihina dan direndahkan. "Manusia
atau hantu kurang ajar! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa!”.

Kembali dari balik penutup kepaia berbentuk pocong terdengar suara tertawa, "Siapa tidak
kenal Surablandong, tokoh nomor wahid rimba persilatan yang pernah menjabat Ketua
Perguruan Sifat Lawu Putih! Semua kehebatanmu hanya tinggal kenangan Surablandong. Malah
aku melihat Perguruan Silai yang kau tinggalkan empat tahun silam akan menjadi porak
paranda. Pergilah, kembali ke Plaosan !”. ”Penculik keparat! Aku tidak akan pergi dari tempat
ini sebelum membetot lepas kain penutup kepafamu mengetahui siapa dirimu!. Dan sebelum
kau menyerahkan padaku puteri Kepala Desa itu!"

Kembali orang bertutup kepala keluarkan tawa bergelak. "Sura,… Surablandong, Di masa muda
ketika kau sedang hebat-hebatnya malang melintang di rimba persilatan tanah Jawa.
Seandainya kita bertemu saat itu, kau tak bakal berkemampuan menghadapi diriku. Apa lagi
saat ini. di usiamu yang sudah tua badan telah rapuh dan pikiran mulai pikun! Kau ingin
membetot lepas kain penutup kepalaku! Ha…ha! Jangan berucap terlalu sombong. Jangan
berkata apa yang kau tidak mampu melakukan! Kau ingin membawa puteri Kepala Desa ini!
Jangan sekali-kaii bertindak menjadi pahlawan besar! Karena nyawamu Cuma satu,
Surablandong !”. "Mungkin kau punya dua atau tiga nyawa hingga bicara sombong di
hadapanku! Aku mau lihat, berapa banyak nyawa kau punyai!” Surablandong membalas ucapan
orang dengan suara lantang keras, bergetar penuh marah. "Kau ingin menghitung nyawa yang
aku miliki?’ Ceh… ceh… ceh!”. Kepala yang ditutupi kain putih berbentuk pocong bergeleng
beberapa kali. Mulutnya keluarkan suara leletan lidah. "Orang muda terkadang berlaku tolol.
Tapi banyak orang bisa memahami dan memaafkan. Namun kalau orang tua bangka seperti mu
berlaku tolol hanya penyesalan yang akan kau bawa ke liang kubur!"

Amarah Surablandong meluap sudah ! "Ujudmu seperiti setan! Biarlah kau kujadikan setan
sungguhan!"

Habis berkata begitu Surablandong membedal kudanya ke depan. Begitu bersisian dengan
lawan serta merta dia melesat dari punggung kuda. Sementara tubuhnya melayang di udara,
Surablandong kirim pukulan dengan kedua tangan ke arah muka orang. Tangan kanan memang
sungguhan hendak menghantam kepala lawan, tapi gerakan tangan kiri hanya tipuan karena
bertujuan untuk membetot lepas kain penutup kepala. Inilah gerakan silat bernama Jurus
Menghantam Batang Mencabut Daun.

Penunggang kuda hitam keluarkan suara mendengus lalu membuat gerakan merebahkan tubuh
sebelah atas dan kepalanya ke belakang. Kaki kanan ditendangkan ke perut kuda tunggangan
Surablandong hingga binatang ini meringkik kesakitan dan angkat dua kaki depannya tinggi-
tinggi. Selagi Surablandong berusaha mengimbangi diri agar tidak terpental dari punggung
kuda, tahu-tahu tangan kanan si pocong putih telah melabrak dada Surablandong dua kali
berturut-turut. Tubuh Surablandong terlipat ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar.
Sekali lagi jotosan keras melanda dada orang tua itu. Tak ampun sosok Surablandong terpental
dari atas kuda. Terbanting menelentang di tanah. Matanya mendelik tapi dia tidak melihat apa-
apa.

Wajah di balik kain penutup kepala menyeringai. Entah kapan dia mengambil dan entah dari
mana diambilnya, orang ini tahu-tahu telah memegang sebuah bendera kecil berbentuk segitiga
terbuat dari sehelai kain putih. Sekali tangannya digerakkan, bambu kecil lancip yang menjadi
ikatan bendera menancap dalam di leher Surablandong. Darah menyembur. Kain berbentuk
segitiga yang tadinya putih serta merta berubah merah. Menjadi Bendera Darah’.

Di arah selatan, dalam kegelapan malam kelihaian setengah lusin api obor bergerak cepat
menuju Telaga Sarangan. Sambil perhatikan barisan obor di kejauhan, orang di alas kuda usap-
usap perut hamil perempuan yang terbujur di atas pangkuannya. Mulutnya menyeringai. Lalu
sekali tali kekang kuda disentakkan, sebelum rombongan pembawa obor sampai di tepi telaga,
bersama tunggangannya orang ini telah melesat lenyap dalam kegelapan malam.
PEDATARAN tinggi bukit berbatu-batu di utara Telaga Sarangan. Dalam pekat gelapnya malam
kawasan itu kelam menghitam, menampilkan pemandangan angker dalam kesunyian yang
membuat kuduk bisa terasa dingin. Sesekali hembusan angin bertiup mengeluarkan suara aneh
menegakkan bulu roma. Ketika dari arah selatan muncul satu bayangan putih, bergerak cepat
bersama hembusan angin, siapa yang menyaksikan akan menduga makhluk itu adalah setan
yang tengah berkelebat gentayangan di malam gelap gulita.

Tapt makhluk tersebut, walau berpakaian serba putih, bertutup kepala laksana pocong hidup,
bukanlah setan atau makhluk halus adanya. Dia adalah manusia biasa yang berdandan seperti
setan. Sambil melompat dari satu batu ke batu lain, berkelebat cepat dalam kegelapan malam,
orang ini menggendong sosok perempuan hamil.

Berlari cepat dalam gelapnya malam di kawasan berbatu-batu dengan beban perempuan hamil
dalam gendongan, jelas bukan pekerjaan mudah. Kalau makhluk seperti pocong hidup itu
mampu melakukan, berarti dia memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya

Di atas sebuah batu agak datar, orang ini hentikan larinya. Dan balik dua lobang kecil pada kain
putih penutup kepala, sepasang matanya memandang berkeliling. Dia sudah sering berada
dibukit batu ilu, namun pada malam hari segala sesuatunya kelihatan serba hitam. Dia harus
memasang mata mengawasi agar tidak salah jalan.

Akhirnya dia melihat mulut lorong itu. Gelap menghitam dibalik bayang-bayang sebuah batu
besar, sejarak dua puluh tombak di sebelah bawah bukit. Tidak menunggu lebih lama orang ini
segera berkelebat ke arah balu besar di bawah sana. Dilain kejap sosok putihnya lenyap
menghilang masuk ke dalam mulut lorong batu yang berada di perut bukit.

Adalah aneh, di dalam lorong batu keadaannya remang-remang, tidak segelap di luar.
Kenyataan lain ialah bahwa di dalam perut bukit batu Itu tidak hanya ada satu lorong tetapi
terdapat banyak sekali cabang dan setiap cabang memiliki cabang-cabang pula. Orang yang
tidak tahu seluk beluk tempat ini bukan saja akan tersesat malah bisa-bisa tidak mampu lagi
mencari jalan keluar.

Sambil lari sepanjang lorong batu yang penuh dengan cabang-cabang itu orang berpakaian
seperti pocong berucap perlahan seperti menghitung-hitung.

”Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh kanan. Lima puluh kiri. Empat puluh kanan.
Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh kanan. Lima puluh kiri. Empat
puluh kanan Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan."

Tepat pada ucapan lima puluh kanan yang terakhir di depan orang yang berlari sambil
menggendong sosok perempuan hamil, terlihat sebuah pintu kayu berwarna hitam. Pada
pertengahan daun pintu menancap sebuah bendera kecil berbentuk segitiga, berwarna merah
basah. Bendera Darah !
Sepuluh langkah akan sampai ke depan pintu hitam yang ditancapi Bendera Darah tiba-tiba dari
kiri kanan pintu dimana terdapat dua buah lorong melompat keluar dua sosok berpakaian putih
dengan kepala ditutup kain putih berbentuk pocong. Masing-masing mencekal golok. Yang
sebelah kanan langsung membentak.

”Siapa?!" "Wakil Ketua Harap buka pintu hitam” . .

Dua orang di depan pintu cepat-cepat menekuk lutut dan menjura memberi hormat pada setan
pocong yang menggendong perempuan hamil. Lalu salah seorang dari mereka menekan sebuah
tombol rahasia di dinding kiri pintu. Serta merta pintu hitam terpentang lebar. Sekali melompat
manusia pocong yang menyebut diri Wakil Ketua lenyap ke dalam satu ruangan batu di balik
pintu. Pintu hitam tertutup kembali.

Begitu berada dalam ruangan balu di belakang pintu hitam, manusia pocong segera berkelebat
ke ujung ruangan dimana terdapat pintu kedua berwarna biru. Pada pintu ini juga menancap
sebuah bendera segitiga merah dan basah. Ketika mendekati pintu biru tiba-tiba atap ruangan
terbuka. Empat manusia pocong melayang turun dengan mengeluarkan suara berkesiuran.
Golok tergenggam di tangan. Empat pasang mata di balik lobang-lobang kecil kain putih
penulup kepala yang sebelumnya berkilat beringas begitu melihat dan mengenali orang di
depannya, serta merta menekuk lutut menjura hormat,

”Wakil Ketua, silahkan masuk. Ketua sudah aama menunggu."

Manusia pocong yang barusan bicara menekan sebuah tombol di kiri pintu. Maka pintu biruu
terbuka dengan sendirinya. Begitu manusia pocong yang menggendong perempuan hamil
masuk ke dalam, pintu biru segera menulup.

Ruangan batu dimana manusia pocong itu berada, luas sekali tetapi kosong dan sunyi.
Kekosongan dan kesunyian ini hanya sebentar. Tak selang berapa lama dinding batu di sebelah
kiri bergeser membentuk celah. Dari celah ini keluar seorang manusia pocong bertubuh tinggi.

Manusia pocong yang menggendong perempuan hamil cepat bungkukkan badan lalu berkala.
"Yang Mulia Ketua, terima salam hormat saya. Saya datang sesuai tugas."

”Wakil Ketua, aku gembira melihat kau berhasil. Baringkan perempuan itu dilantai. Aku akan
menyerahkannya pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu”. Manusia pocong bertubuh tinggi keluarkan
ucapan. Suaranya menggema menggetarkan dinding, lantai dan atap ruangan batu.

Sesuai apa yang diperintahkan sang Wakil Ketua baringkan sosok perempuan hamil di lantai
batu. Orang yang dipanggil dengan sebutan Ketua perhatikan sesaat wajah perempuan hamil
itu lalu bertanya. "Siapa dia?"
”Nyi Upit. pureri Kepala Desa Plaosan”, jawab Wakil Ketua. "Berapa usia kandungannya?"
"Tujuh bulan rencananya besok akan dilangsungkan hajatan selamatan." "Bagus. Aku puas. Kau
boleh istirahat barang sebentar. Sebelum pergi ada hal lain yang hendak kau sampaikan?" "Ada,
Yang Mulia. Pertama saya telah membunuh Surablandong. Bekas Ketua Perguruan Silat Lawu
Putih…" "Manusia satu itu memang tidak berguna hidup, lebih lama. Ada hal lain ?”.

”Ki Mantep Jalawardu. Kepala Desa Plaosan, bersama menantunya, I Kelut Sudarsana, suami
Nyi Upit tengah melakukan pengejaran. Sebelum pergi saya mendengar Ki Mantep
memerintahkan anak buahnya untuk melapor dan minta bantuan ke Kadipaten Magetan. Selain
itu saya juga mendengar Ki Mantep minta didatangkan Ki Juru Seta, ahli pencari jejak. Apa yang
saya harus lakukan? Apakah orang-orang itu cukup layak untuk dibiarkan hidup dan dipakai
tenaganya seperti yang kita rencanakan?” "Tingkat kepandaian Ki Mantep Jalawardu tidak ada
artinya. Juga sang menantu Habisi mereka" "Bagaimana dengan Ki Juru Seta?" "Bunuh dia
sebelum berhasil mengetehui tempat ini." "Akan saya lakukan. Saya akan berangkat sekarang
juga.” ”Tunggu dulu. Tadi kau mengatakan Ki Mantep minta bantuan Kadipaten Magetan. Aku
tahu Adipati Magetan adalah sahabat kental Ki Mantep Jalawardu. Mungkin dia akan turun
tangan sendiri menolong sahabatnya itu. Jika Adipati benar-benar muncul, tangkap dia hidup-
hidup. Tingkat kepandaian silat dan ilmu kesaktiannya bisa kita manfaatkan," "Baik Yang Mulia.
Saya minta diri sekarang." "Pergilah. Orang-orang itu harus kau habiskan malam ini juga." ”Balk
Yang Mulia."

Manusia pocong Wakil Ketua membungkuk hormat lalu memutar badan, tinggalkan ruangan
itu.

SAMBIL mengangkat obor tinggi-tinggi, penunggang kuda paling depan berteriak.

”Berhenti! Ada tubuh manusia tergeletak ditengah jalan!”. Dua penunggang kuda di sebelah
belakang, hentikan kuda lalu melompat turun. Kedua orang ini adalah Ki Mantep Jalawardu
Kepala Desa Plaosan dan menantunya I Ketut Sudarsana. Tujuh orang lagi menyusul turun dari
kuda masing-masing. Lima diantaranya membawa obor. Mereka adalah para petugas
Pamongdesa Plaosan.

Ki Mantep Jalawardu mengambil obor dari tangan salah seorang anak buahnya. Dia melangkah
cepat ke arah tergeletaknya sosok manusia. Ketika obor di tangan Ki Mantap dan dua obor lain,
menerangi wajah dan badan orang yang terhampar ditanah itu, kagetlah Kepala Desa dan
semua orang yang ada disitu. Ki Mantep berikan obornya pada anak buah disampingnya lalu
berlulut, pegangi kepala orang yang tergetak di tanah. "Surablandong,..”. Suara Ki Mantep
bergetar wajahnya tegang membesi. Kemudian dia melihat bendera segitiga merah yang
menancap di leher sababatnya itu. ”Bendera Merah…" desis Ki Mantep. I Ketut Sudarsana
berlutut di seberang ayah mertuanya. "Ki Sura pasti berhasil mengejar penculik. Si penculik lalu
membunuhnya."
Ki Mantep pejamkan mata, anggukkan kepala lalu bangkit berdiri. Dia memandang berkeliling.
Mula-mula ke arah Telaga Sarangan. Lalu ke jurusan kerapatan pepohonan dan terakhir sekati
ke arah bukit batu yang menghitam di kejauhan. Sulit untuk menduga kemana larinya si
penculik. "Ini satu perkara besar! Nyi Upit anakku harus bisa diselamatkan! Si penculik harus
bisa ditangkap. Aku sendiri yang akan memenggal batang lehernya. Tapi jika dia sanggup
menghabisi sahabatku Surablandong seperti ini berarti penculik jahanam itu memiliki ilmu
kepandaian sangat tinggi. Kita perlu berhati-hati. Kita harus menyusun siasat pengejaran.”

Dua orang Pamongdesa ditugaskan membawa pulang jenazah Surablandong ke Plaosan.


Sesampainya di Plasoan, salah seorang dari mereka harus kembali lagi membawa bantuan
tenaga pengejar sebanyak mungkin. Sedang petugas satunya harus segera menemui Adipati
Magetan untuk melaporkan apa yang terjadi. Kalau bisa meminta bantuan perajurit Kadipaten
mengejar si penculik. Kepada petugas ini juga diminta untuk menemui seorang bernama Juru
Seta yang dikenal memiliki kepandaian mencari jejak orang atau binatang buruan. Semasa
perang. Kerajaan mempergunakan kepandaian Juru Seta untuk mengintai, menyelidiki
kedudukan musuh. Di masa kaum pemberontak mengacau negeri, tenaganya dimanfaatkan
untuk mengejar para pemberontak sampai ke sarangnya hingga pemberontakan dapat
ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Kepada menantunya Ki Mantep kemudian berkata.

”Kau dan tiga orang Pamong tetap di sini, menunggu sampai tenaga bantuan datang. Aku dan
yang lain-lain melanjutkan pengejaran.”

Khawatir akan keselamatan ayah mertuanya Ketut Sudarsana menjawab.

”Ayah, sebaiknya biar saya yang meneruskan melakukan pengejaran. Ayah dan yang lain-lain
menunggu di sini…"

”Yang diculik jahanam itu adalah anakku! Aku harus….." "Nyi Upit adalah istri saya. Di dalam
perutnya ada jabang bayi darah daging saya!” ucap sang menantu. Kelihatannya Ketut
Sudarsana tidak dapat menahan rasa geram yang sebelumnya berusaha ditahan hingga dia
mengeluarkan kata-kata keras pada ayah mertuanya. "Seperti ayah saya juga ingin
menyelamatkannya dan membunuh penculik keji itu”.

Ki Mantep terdiam mendengar ucapan sang menantu.

”Kalau begitu kita lanjutkan pengejaran sama- sama!”, kata Ki Mantep Jalawardu akhirnya.

Dua orang petugas Pamongdesa ditinggalkan di tempat itu menunggu rombongan bantuan. Ki
Mantep dan I Ketut Sudarsana bersama enam orang lainnya segera melanjutkan pengejaran.
Sebelum pergi Ki Mantep meninggalkan pesan pada dua anak buahnya. Kalau Juru Sela dan
rombongan datang agar menyusul ke arah utara.
Sebagai orang yang telah menjadi Kepala Desa Plaosati lebih dari dua puluh tahun Ki Mantep
bukan saja tahu belul seluk beluk desanya tapi juga hampir seluruh kawasan perbatasan
termasuk daerah sekitar kaki Gunung Lawu. Karenanya walaupun saat itu malam hari. bukan
merupakan satu kesulitan bagi Kepala Desa ini untuk melanjutkan pengejaran. Namun sampai
fajar menyingsing di ufuk timur, jejak sang penculik masih belum tersidik. Padahal dia dan
rombongan telah dua kali mengitari telaga. "Kita tunggu sampai hari terang. Baru melanjutkan
pencarian”. Ki Mantep mengambil keputusan. Rombongan itu kemudian beristirahat di tepi
barat Telaga Sarangan.

Pagi harinya, selesai Ki Mantep mencuci muka di tepi telaga, petugas Pamongdesa yang
diperintahkan menemui Juru Seta serta meminta tenaga bantuan muncul membawa Juru Seta
serta orang enam pemuda yang rata-rata bertubuh tegap dan membekal golok besar di
pinggang masing-masing.

Ki Mantep segera menemui Juru Seta, seorang tua berpakaian dan berblangkon serba hitam
yang setiap saat selalu mengunyah sirih campur tembakau dalam mulutnya dan sesekali
menyemburkan ludah merah ke tanah. "Ki Juru, aku sangat mengharapkan bantuanmu….” "Dari
Pamongdesa saya sudah mendengar apa yang terjadi. Saya akan berusaha sebisanya agar Nyi
Upit dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat.” "Pamong desa memberitahu mengenai
Bendera Darah?" Juru Seta mengangguk. ”Agaknya bendera segitiga yang dibasahi dengan
darah itu menjadi satu tanda dari penjahat terkutuk yang menculik anakku. Mungkin Ki Juru
pernah tahu atau pernah mendengar sebelumnya hal-hal yang berhubungan dengan Bendera
Darah itu. Mungkin juga tahu siapa orang di belakang semua kejadian ini?" "Ini satu kejadian
aneh luar biasa dalam hidup saya. Saya tidak mengetahui dan juga tidak bisa menduga apa
sebenarnya yang terjadi. Mengapa ada orang menculik puteri Ki Mantep yang sedang hamil.
Lalu mengapa begilu tega membunuh Surablandong dan menancapi lehernya dengan Bendera
Darah. Hanya ada satu hal yang bisa saya artikan. Orang dibalik kejadian ini ingin memberi
kesan. Jangan main-main dengan Bendera Darah. Setiap Bendera Darah muncul maka satu
peristiwa besar akan terjadi. Yang juga bisa berarti kematian." Juru Seta diam sebentar lalu
berkala lagi. "Ki Mantep, sebaiknya kita segera saja mulai bergerak.”

Dari balik pakaiannya orang tua yang seumur dengan sang Kepala Desa Plaosan ini keluarkan
sebuah tongkat kecil terbuat dari bambu kuning panjang lima jengkal. Inilah benda yang
menjadi andalan Juru Seta dalam melakukan pekerjaannya.

Juru Seta memulai penyelidikannya dari tempat ditemukannya mayat Surablandong. Tongkat
bambu kuning ditancapkan di tanah, tepat dimana sebelumnya sosok Surablandong terkapar
menemui kematian. Perlahan-lahan Juru Seta pejamkan mata. Begitu matanya terkancing rapat
tiba-tiba tongkat bambu kuning yang menancap di tanah sedalam satu jengkal kelihatan
bergetar. Makin lama makin keras. Kemudian perlahan-lahan, masih dalam keadaan bergetar
ujung tongkat bambu kuning itu meliuk ke arah utara. Pada saat ujung tongkat meliuk
membentuk garis patah tiba-tiba tongkat Itu melesat ke udara lalu melayang turun kembali.
Tanpa membuka matanya Juru Seta ulurkan tangan menangkap tongkainya. Benda ini
diselipkan di pinggang lalu matanya dibuka, langsung menatap pada Kepala Desa. "Bagaimana
Ki Juru Seta?”. Tanya Ki Mantep Jalawardu tidak sabaran, "Penculik membawa puteri Ki Mantep
ke jurusan utara. Kita menuju ke sana sekarang juga”. Jawab Juru Seta.

Di daerah sebelah utara terdapat kawasan rimba belantara. Di seberang rimba belantara ada
satu kawasan bukit batu. Kawasan mi merupakan kaki selatan Gunung Lawu. Rombongan
segera meninggalkan Telaga Sarangan menuju utara. Sepanjang perjalanan Juru Seta mendapat
petunjuk melalui getaran yang keluar dari tongkat bambu kuning yang terselip di pinggangnya.
Selama tongkat itu mengeluarkan getaran berarti arah yang mereka ikuti adalah benar, berarti
puta bahwa si penculik memang melarikan diri di arah yang tengah mereka ikuti. Selain getaran
tongkatnya. Juru Seta juga bisa melihat jejak yang ditanggalkan kaki kuda si penculik. Tongkat
terus bergetar dan jejak kelihatan jelas ketika rombongan memasuki rimba belantara.

Menjelang tengah hari rombongan sampai di kaki selatan Gunung Lawu. Getaran masih terus
keluar dari tongkat bambu kuning di pinggang Juru Seta tetapi gelarannya terasa semakin
perlahan. Sedangkan jejak-jejak kaki kuda tidak kelihatan lagi. Hal ini dapat dimaklumi karena
kawasan tlu memiliki tanah yang tertutup bebatuan. Diam-diam Juru Seta merasa kawatir.
"Aneh.” membatin Juru Seta. ‘Kalau penculik membawa Nyi Upit ke sekitar tempat ini, jejak bisa
saja hilang karena ini kawasan berbatu-batu. Tapi seharusnya getaran tongkat semakin keras."

Ketika getaran tongkat lenyap sama sekali, Juru Seta memberi isyarat agar rombongan
berhenti. Lalu orang tua berpakaian serba hitam ini turun dari kudanya.

”Bagaimana Ki Juru, sudah ada petunjuk?" Bertanya I Ketul Sudarsana,

Juru Seta tidak segera menjawab. Dia memandang dulu berkeliling. Di sebelah belakang
terbentang rimba belantara yang barusan mereka lewati. Di sebelah depan ada jajaran lembah
yang walau cukup dalam tapi tidak sulit untuk ditempuh. Di seberang lembah terdapat satu
pedataran tinggi membentuk bukit batu. Ke sebelah barat ada tiga desa besar yakni Tawang
mangu. Karang anyar dan Karang pandan. Jika pergi ke timur akan sampai ke kawasan
pecandian. Salah satu candi yang terkenal di daerah itu adalah Candi Cemorosewu. Juru Seta
berpikir-pikir. Kalau getaran tongkat lenyap di tempat itu dan jejak di tanah tidak lagi kelihatan,
berarti itulah akhir perjalanan si penculik. Berarti ke tempat sekitar situlah Nyi Upit dilarikan.
Namun memandang berkeliling Juru Sela tidak melihat hal-hal mencurigakan. Mungkin penculik
membawa Nyi Upit menuruni lembah. Dan di dasar lembah sana perempuan muda hamil tujuh
bulan itu disekap. "Kalau penculik dan Nyi Upit berada di lembah sana, seharusnya tongkat
mengeluarkan getaran lebih kuat. Tapi nyatanya getaran tongkat malah lenyap. Aku merasa,
sejak sebelum keluar dan rimba belantara ada hawa aneh menahan getaran tongkat. Seumur
hidup baru sekali ini aku mengalami peristiwa seperti ini. Mengejar pemberontak walau
berbahaya tapi tidak sufit. Mengejar seorang penculik mengapa begini susah?. Agaknya ada
satu hal besar yang tak bisa kubayangkan di belakang semua kejadian ini. ”Ki Juru, kau
mengetahui sesuatu?" K i Mantep Jalawardu bertanya.

”Agaknya penculik berada di sekitar kawasan ini…”. jawab Juru Seta. "Agaknya? Berarti kau
ragu-ragu Ki Juru ” ujar Ki Mantep. "Menurut petunjuk, Nyi Upit dilarikan ke arah sini. Di depan
ada jajaran lembah. Di seberang sana ada bukit batu. Dua kawasan ini harus kita selidiki" "Ki
Juru tidak tahu pasti di sebelah mana penculik berada?" bertanya Ketut Sudarsana. Juru Seta
menggeleng. Terus-terang dia berkata. ”Ada satu kekuatan aneh tapi hebat mempengaruhi
pekerjaan saya. Namun saya yakin, kalau tidak didalam lembah, puteri Ki Mantep mungkin
berada di pedataran tinggi berbatu-batu sana." Baik Ki Mantep Jalawardu maupun I Ketut
Sudarsana dan semua orang yang ada di tempat itu merasa tidak puas atas keterangan Juru
Seta.

Juru Seta sendiri diam-diam merasa gelisah. Dia cabut tongkat bambu kuning yang terselip di
pinggang lalu tancapkan tongkat ini ke tanah antara dua buah batu. Dengan telapak tangan
kanannya Juru Seta tekan ujung tongkat. Belum lama menekan tiba-tiba ada sambaran hawa
aneh menyengat telapak tangan Juru Seta. Wajah orang tua ini jadi berubah. Terlebih ketika
tangan kanannya yang berada di atas tongkat mulai bergetar. Juru Seta kerahkan tenaga
meredam getaran aneh. Tiba-tiba orang tua ini keluarkan jeritan keras. Tangan kanannya
terpental, tubuhnya terbanting ke tanah. Kepalanya nyaris membentur sebuah batu. Dari
mulutnya tersembur keluar tembakau serta sirih yang selalu dikunyahnya. Lalu ada lelehan cair
berwarna merah. Lelehan ini bukan ludah sirih tetapi darah! Satu kekuatan aneh dan dahsyat
yang dikirimkan orang ke tongkat kuning telah membuat Ki Juru Seta menderit luka dalam yang
parah.

Saat tubuh Juru Seta terbanting ke tanah, bersamaan dengan itu tongkat bambu kuning yang
menancap di tanah tercabut. Melayang ke udara, lalu berbarengan, suara tawa bergelak
menggelegar di tempat itu, menggema sampai ke dalam jajaran lembah dan rimba belantara.

SEMUA tersentak kaget. Ki Mantep Jalawardu melompat turun dari kuda. menghambur ke arah
Juru Seta yang saat itu melingkar di tanah, tubuh menggigil seperti orang kedinginan. Dari
mulutnya masih mengucur darah. I Ketut Sudarsana juga telah berkelebat turun dari punggung
kudanya. Menantu Kepala Desa ini bukan melompat ke arah Juru Seta tapi melesat ke dekat
sebuah balu besar dlmana berdiri seekor kuda. Di atas kuda ini duduk seorang berpakaian jubah
putih, kepala ditutup kain putih berbentuk pocong. Dari wajahnya hanya sepasang matanya
yang kelihatan lewat dua lobang kecil pada penutup kepala. Di tangan kanannya orang ini
memegang tongkat bambu kuning milik Juru Seta yang sebelumnya melesat tercabut dari
tanah. Rupanya ketika tongkat bambu itu melayang di udara, orang ini berhasil menyambarnya.
Sesaat diperhatikannya tongkat itu lalu berkata.

”Tongkat hebat! Tapi aku tidak butuh!"

Tangan manusia pocong meremas beberapa kali. Tongkat bambu kuning hancur tak berbentuk
lagi. "Setan jahanam…" Juru Seta merutuk melihat tongkat andalannya dihancurkan begitu
rupa. Dia berusaha kumpulkan tenaga, mencoba bangkit berdiri untuk menyerang manusia
pocong tapi hanya mampu bergerak sedikit, sosoknya terhempas kembali ke tanah. Sementara
itu beberapa orang anak buah Ki Mantep Jalawardu dengan golok di tangan mengikuti gerakan
Ketut Sudarsana, melompat ke arah penunggang kuda di dekat batu. ”Setan pocong! Pasti kau
yang menculik isteriku" Teriak Ketut Sudarsana, Lalu dia mengambil golok yang dipegang
seorang pemuda Pamong desa. Dengan senjata ini dia menyerang si penunggang kuda.
Diserang orang dengan golok, melihat gerakan lawan serta derasnya siuran senjata yang
membabat ke arahnya jelas Ketut Sudarsana memiliki kepandaian silat tidak rendah. Si
penunggang kuda tidak mau berlaku ayal. Sekali membuat gerakan, sosok nya melesat ke
udara. Di lain kejap dia telah berdiri di atas sebuah batu besar berpermukaan rata. Tangan kiri
bertolak pinggang.

”Jahanam! Mana istriku!” Kucincang kau kalau tidak menyerahkan Nyi Upit dalam keadaan
selamat !” Ketut Sudarsana berbalik, melompat ke atas batu dan untuk kedua kalinya
menyerang orang berjubah dengan goloknya.

”Wuuttt..!”

Golok menderu membabat ke arah pinggang. Si jubah putih condongkan tubuhnya ke belakang.
Dengan tangan kanannya dia pukul lengan yang memegang golok. Bersamaan dengan itu kaki
kirinya menyapu ke depan, menendang tulang kering kaki kanan Ketut Sudarsana. Gerakannya
luar biasa cepat walau Ketut Sudarsana memiliki kepandaian tidak rendah namun dia tak
mampu menghindar. "Kraaakr!” "Kraaak!"

Golok besar di tangan Ketut Sudarsana mencelat mental, jatuh ke dalam lembah. Dua kali
terdengar suara tulang patah disertai jerit setinggi langit keluar dari mulut I Ketut Sudarsana,
lelaki muda ini terbanting jatuh ke atas batu datar. Tulang lengan kanan dan tulang kering kaki
kanan patah. Untuk beberapa lamanya dia terkapar menggeliat kesakitan di atas batu sambil
keluarkan suara erang kesakitan.

Sosok yang dipanggil dengan sebutan setan pocong mendatangi lalu injakkan kaki kanannya ke
dada Ketut sudarsana. Orang yang sedang megap-megap kesakitan ini merasa seolah sebuah
batu besar menindih dadanya, membuat dua matanya mendelik dan lidahnya terjulur.

Sambil bertolak pinggang manusia pocong yang menginjak dada Ketut Sudarsana berteriak.
"Orang-orang Plaosan! Kematian sudah dijatuhkan bagi kalian. Tapi aku masih berbaik hati.
Dengar! kalian harus segera tinggalkan tempat ini! Kalau sampai matahari terbenam kalian
masih berada di sini, kalian semua akan mampus percuma! Contohnya ini"

Habis berkata begitu si manusia pocong tendang tubuh Ketut Sudarsana hingga lelaki muda ini
mencelat mental dan jatuh tepat di samping Ki Mantep Jalawardu yang tengah menolong Ki
Juru Seta. Ki Mantep Jalawardu terbeliak melibat sosok menantunya terkapar di depannya,
tidak bersuara tidak bergeming. Amarah Kepala Desa Plaosan tidak terbendung lagi. "Keparat
jahanam! Kau menculik anakku! Membunuh sahabatku! Mencelakai menantuku! Kupatahkan
batang lehermu!" Belum lenyap gema suara bentakan Kepala Desa, sosoknya telah melesat ke
atas batu. Lancarkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam, dua kali berturut-
turut.
Seperti tadi ketika diserang Kelut Sudarsana, manusia pocong hantamkan tangannya ke atas
untuk menangkis serangan disertai niat hendak mematahkan lengan lawan. Tapi Ki Mantep
Jalawardu sudah mencium maksud tersebut dan berlaku cerdik. Sebelum dua lengannya beradu
dengan dua lengan lawan dia cepat melompat ke atas. Setengah tombak melayang di udara Ki
Mantep kembali menggempur. Bukan cuma dengan jotosan tapi kali ini disertai tendangan ke
arah dada. "Hebat !”.

Si manusia pocong berseru. Sambil miringkan tubuh dia bergerak ke samping satu tangkah lalu
tangan kanannya bekerja. Ki Mantep Jalawardu menjerit kesakitan ketika urat besar di pahanya
kena ditotok lawan. Keseimbangannya hilang dan tubuhnya berputar di udara lalu jaluh ke
tanah. Selagi mencoba berdiri sambil menahan sakit, kaki lawan telah berkelebat ke arah
kepalanya. Ki Mantep terlambat melihat serangan ini.

”Praaakkk"

Kepala Desa Plaosan itu terbanting ke tanah. mengerang pendek lalu tak berkutik lagi!
Nyawanya lepas dengan kepala pecah! Ki Juru Seta yang megap-megap dalam cidera batalnya
pejamkan mata ngeri melihat kematian Kepala Desa itu. Dua belas anak buah Ki Mantap
melengak kaget dan juga bergidik.

Juru Seta coba berteriak. Wala teriakannya tidak keras tapi cukup jelas terdengar oleh selusin
anak buah Ki Mantep Jalawardu, "Kalian! mengapa diam saja! Orang telah membunuh Kepala
Desa kalian lekas bunuh makhluk setan jahanam itu!"

DUA belas orang anak buah Ki Mantep Jalawardu yang sejak tadi diam saja berkelebat dengan
cepat mereka mengurung bat besar di atas mana si manusia pocong berdiri. "Kalian mau apa?
Aku tidak begitu suka melayani monyet-monyet macam kalian. Pergi sana!”. "Bunuh! Cepat
bunuh!”. Berteriak Juru Seta ketika melihat dua belas orang yang diperintahkannya untuk
membunuh manusia pocong berdiri bimbang walau sudah mengurung lawan. Darah meleleh
dari mulutnya. Mendengar teriakan itu dua belas orang pemuda petugas Pamongdesa tadi serta
merta menyerbu. Dua belas senjata tajam berkelebat dalam gelapnya malam, mengeluarkan
suara bersiuran. "Kalian minta mati aku akan berikan!" Manusia pocong di atas batu keluarkan
ucapan. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke udara. Begitu terabasan dua belas golok
lewat di bawahnya tiba-tiba orang ini membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar seperti
gasing. Kaki kanan menyapu ganas.

Enam orang anak buah Ki Mantep Jalawardu keluarkan jeritan keras. Tiga terlempar lalu
tergelimpang tak berkutik lagi karena kepalanya pecah. Dua lainnya terkapar di tanah sambil
pegangi tulang-tulang iga yang patah. Yang ke enam megapmegap lalu semburkan darah dari
mulut. Tendangan si setan pocong meremukkan tulang dadanya. Enam anak buah Ki Mantep
Jalawardu yang lain serta rnerta melompat mundur dengan wajah pucat manusia pocong
keluarkan tawa bergelak. "Kalian mengapa mundur? Mau minta mampus ayo mendekat ke
sini.”
Tak ada yang berani bergerak. Ketika manusia pocong melompat turun dari atas batu, enam
pemuda itu bersurut mundur. Lutut masing-masing terasa goyah. Nyali mereka leleh sudah
setelah menyaksikan kematian Ki Mantep Jalawardu dan enam kawan mereka. "Kalian…
pengecut semua…”.

Juru Seta keluarkan ucapan. Semangat dan dendam amarah masih berkobar. Dia kembali
berusaha bangkit berdiri. Namun setengah jalan tiba-tiba satu benda putih melesat di udara.

Di lain kejap sebuah bendera putih berbentuk segi liga menancap tepat di atas kening antara
dua mata Juru Seta. Kepalanya terbungkuk. Tubuhnya kemudian jatuh menelungkup di tanah.
Darah mengucur membasahi bendera segitiga, serta merta bendera yang terbuat dari kain
putih itu berubah menjadi merah basah. Bendera Darah!

Semakin lelehlah nyali enam pemuda Pamongdesa anak buah Ki Mantep Jalawardu. Ketika
manusia pocong melangkah ke arah mereka, tidak tunggu lebih lama lagi mereka serta meria
menghambur kabur. Ada yang masih sempat melompat naik ke punggung kuda, ada yang terus
lari pontang panting seperti dikejar setan.

KETIKA petugas Pamongdesa Plaosan datang memberitahu terjadinya penculikan atas diri Nyi
Upit Suwarni puteri Ki Mantep Jalawardu. Raden Sidik Mangkurat, Adipati Magetan segera
memerintahkan orang andalannya nomor satu di Kadipaten untuk memberikan bantuan
sekaligus menyelidik peristiwa tersebut.

Orang ini adalah Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten, seorang lelaki tinggi kepandaian
silatnya, berusaa sekitar setengah abad. Dulunya Aji Warangan adalah seorang Warok alias
kepala rampok yang malang melintang berbuat kejahatan dan keonaran sepanjang kawasan
Kali Madiun, mulai dari Ponorogo di selaian, sampai Madiun di utara dan tentu saja di wilayah
Magetan. Ketika Sidik Mangkurat menjadi Adipati di Magetan, hal pertama yang dilakukannya
adalah menumpas Warok Aji Warangan dan kelompoknya. Puluhan anak buah Warok Aji
berhasil ditangkap. Yang melawan tidak diberi ampun langsung dihabisi. Namun sang Warok
sendiri tidak berhasil dibekuk. Sebulan kemudian, setelah seluruh anak buahnya ditumpas. Sidik
Mangkurat baru berhasil menemui sarang Warok Aji Warangan.

Sidik Mangkurat maklum kalau dia berhadapan bukan dengan Kepala Rampok biasa. Aji
Warangan selain berpengalaman dalam berbuat kejahatan juga memiliki ilmu silat serta
kesaktian tinggi. Karenanya begitu bertemu, sang Adipati menasihatkan dan mengajak kepala
rampok itu agar meninggalkan perbuatan jahatnya, kembali ke jalan yang benar. Namun Warok
Aji Warangan mana mau mendengar ajakan tersebut, Apa lagi puluhan anak buahnya telah
ditumpas oleh Sidik Mangkurat.
Menghadapi sikap kepala rampok itu, walau saat itu Sidik Mangkurat membawa pasukan terdiri
dan lima puluh prajurit terlatih, namun dia tidak memerintahkan mereka untuk mengeroyok,
menangkap atau membunuh Aji Warangan. Adipati ini turun tangan sendiri membekuk Warok
itu. Maka perang tanding satu lawan satupun terjadilah. Keduanya bertempur dengan tangan
kosong tanpa mengandalkan senjata. Berarti masing-masing mengeluarkan dan mengandalkan
kehebatan tenaga luar, tenaga dalam serta hawa sakti yang dimiliki.

Perkelahian seru berlangsung lebih dan enam puluh jurus. Aji Warangan berhasil mendaratkan
beberapa pukulan ketubuh bahkan muka Adipati Sidik Mangkurat. Namun jurus-jurus
selanjutnya sang Adipati tak memberi hati lagi. Aji Warangan dihajar habishabisan sampai
akhirnya terkapar dengan muka bersimbah darah luka-luka dihantam Sidik Mangkurat. Dalam
keadaan tak berdaya Warok itu siap menunggu kematian di tangan Adipati Magetan. Namun
sang Adipati tidak membunuhnya. Di luar dugaan Aji Warangan, Sidik Mangkurat malah
memerintahkan anak buahnya menolong dan mengobati luka-lukanya. Di satu tempat, tanpa
dihadiri orang lain Sidik Mangkurat bicara empat mata dengan kepala rampok yang barusan
dikalahkannya itu.

Kepada kepala rampok itu sang Adipati berjanji akan mengampuni semua dosa kesalahan dan
perbuatan jahatnya asalkan dia mau bertobat. Menyadari bahwa orang memang berniat baik
terhadapnya, sambil kucurkan air mata Aji Warangan jatuhkan diri, berlutut di hadapan Sidik
Mangkurat. Menyatakan dirinya bertobat dan siap kembali ke jalan yang benar. Sidik
Mangkurat tidak percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan Aji Warangan. Bekas Warok
yang ditakuti ini dibiarkan tinggal bersama sisa-sisa anak buahnya di satu kampung kecil, tapi di
bawah pengawasan orang-orangnya. Di tempat itu dihadirkan seorang guru yang memberikan
pelajaran agama yang selama ini tidak pernah menyentuh diri dan hati Aji Warangan. Berkat
ajaran agama itu dalam waktu singkat bekas kepala rampok ini benar-benar telah berubah.
Namun Sidik Mangkurat masih belum mempercayai dirinya. Secara diam-diam Adipati itu
menyusupkan beberapa orang kepercayaannya. Orang-orang ini menyamar sebagai para
penjahat dari timur. Mereka membujuk Aji Warangan untuk bergabung dengan mereka bahkan
akan dijadikan pimpinan mereka. Kejahatan pertama yang akan mereka lakukan jatah
menghadang rombongan dari Kotaraja yang dikabarkan membawa barang-barang sangat
berharga ke satu tempat. Tapi Aji Warangan yang memang sudah benar-benar berubah
menolak ajakan itu malah dua dari orang yang mendatanginya dihajar sampai babak belur.

Setelah percaya penuh atas diri Aji Warangan, Sidik Mangkurat memanggil Aji Warangan ke
Magetan. Di sini dia diberi jabatan sebagai satu dari empat Kepala Perajurit Keamanan
Kadipaten. Lalu dijadikan Wakil Pasukan Kadipaten. Lima tahun kemudian dia diangkat menjadi
Kepala Pasukan Kadipaten.

*******

Sebelum meninggalkan Kadipaten bersama sepuluh orang anak buahnya Aji Warangan lebih
dulu menemui atasannya. " Adipati, ada satu hal yang mengherankan dalam peristiwa ini”. kata
Aji Warangan pada Sidik Mangkurat. ”Biasanya orang jahat selalu menculik gadis atau
perempuanperempuan muda istri orang. Tapi yang satu ini menculik seorang perempuan yang
tengah hamil.” "Rata heranmu sama dengan rasa heranku, Ki Aji." Jawab Sidik Mangkurat. Saya
merasa ada sesuatu dibalik peristiwa yang tidak biasanya ini. Saya harap kau mampu
menyelidiki sampai tuntas. Yang penting menangkap hidup-hidup pelakunya.” "Menurut
Pamong desa yang datang melapor penculik mengenakan pakaian serba putih. Kepalanya
ditutup dengan kain putih berbentuk pocong. Jika seseorang sengaja menutupi wajahnya,
berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Saya setuju dengan pendapat Adipati. Ada sesuatu di
balik peristiwa penculikan ini. Saya pernah mendengar kabar. Beberapa tahun lalu Ki Mantep
Jalawardu pernah menghancurkan beberapa kelompok penjahat yang berkeliaran di sekitar
Plaosan sampai ke Telaga Barangan. Mungkin ada sisa-sisa dari kawanan penjahat itu yang
membatas dendam?"

Adipati Sidik Mangkurat memegang bahu Aji Warangan. Sambil gelengkan kepala dia berkata.
"Saya yakin bukan itu yang sebenarnya terjadi. Kau lebih tahu Ki Aji, untuk memastikan, itu
sebabnya saya muinta Ki Aji turun tangan menyelidiki. Sekali lagi tangkap hidup-hidup
pelakunya" "Saya berangkat sekarang juga Adipati." Bersama sepuluh orang anak buahnya Aji
Warangan larut malam menjelang pagi itu segera meninggalkan Kadipaten Magetan menuju
Plaosan. Anak buah Kepala Desa Plaosan yang datang melapor dijadikan sebagai penunjuk
jalan.

Pagi harinya setelah mampir sebentar di rumah Ki Mantep Jalawardu di Plaosan, Aji Warangan
dan rombongan segera meneruskan perjalanan ke arah utara, ke arah mana menurut petugas
Pamongdesa penculik melarikan Nyi Upit tadi malam.

Belum jauh meninggalkan Plaosan, di satu jalan lurus dan mendaki. Aji Warangan dan ank
buahnya berpapasan dengan dua orang penunggang kuda. Walau mereka menempuh jalan
menurun namun dua penunggang kuda itu memacu tunggangan masingmasing seperi! dikejar
setan. Agaknya ada sesuatu yang membuat mereka ke susu seperti Itu.

Aji Warangan memberi tanda lalu menepikan kuda diikuti oleh sepuluh anak buahnya. Ketika
dua penunggang kuda mendekat. Aji Warangan segera berteriak. "Berhenti! Ada apa?!

*******

Dua penunggang kuda hentikan kuda masing-masing. Yang di sebelah depan begitu melihat dan
mengenali Aji Warangan, dengan nafas terengah segera mendekati, "Kepala Pasukan
Kadipaten, Ki Aji Warangan. Syukur kami bisa menemui Ki Aji hingga tak perlu jauh-jauh ke
Magetan…”. ”Kalian siapa?" "Mereka petugas Pamong desa Plaosan, teman saya," yang bicara
petugas Pamong desa yang ikut bersama rombongan Aji Warangan, "Betul, kami anak buah Ki
Mantep Jalawardu, Kepala Desa Plaosan." "Kawan kalian ini memberitahu peristiwa penculikan
atas diri Nyi Upit, puteri Ki Mantep Jalawardu. Sekarang kalian menunggang kuda seperti diburu
selan. Ada apa?" ”Ki Mantep dan menantunya I Ketut Sudarsana, juga Ki Juru Seta. Mereka
semua dibunuh…"
Kagetlah Aji Warangan mendengar ucapan anak buah Kepala Desa Plaosan itu. "Tenang, jangan
kesusu. Ceritakan bagaimana kejadiannya. Jangan ada satu halpun yang kau lupakan.” Setelah
mendengar semua keterangan mengenai peristiwa kematian Ki Mantep. Ki Juru Seta dan I Ketut
Sudarsana. Aji Warangan berkata pada orang yang barusan bicara. Kau segera teruskan
perjalanan ke Magetan. Beritahu Adipati Sidik Mangkurat apa yang terjadi. Berangkat sekarang
juga!" Sesaat setelah orang itu menggebrak kudanya dan pergi Aji Warangan berpaling pada
petugas Pamongdesa satunya. Kau menjadi penunjuk jalan. Antarkan kami ke tempat kejadian
itu!”

*******

KETIKA rombongan Aji Warangan sampai di tepi rimba belantara tempat terjadinya
pembunuhan atas diri Ki Mantep petugas Pamongdesa yang bertindak sebagai penunjuk jalan
terheran-heran. Di tempat itu. tidak satu sosok tubuhpun kelihatan. Dia segera melompat turun
dari kudanya. Di tanah dan bebatuan sekitarnya masih terlihat jelas tandatanda bekas
perkelahian. Beberapa buah golok bergeletakan di tanah. Namun dimana tubuh-tubuh yang
telah jadi mayat korban pembunuhan manusia pocong? "Aneh…”. ucap petugas Pamong desa
itu berulang kali. ”Petugas, kau tidak membawa kami ke tempat yang salah?" tegur Aji
Warangaa "Saya yakin ini tempatnya." Jawab pemuda Pamongdesa. "Kau tidak tengah
bersenda gurau?” "Demi tuhani masakan saya berani bergurau ! Ketika saya pergi, mayat
mereka masih ada disini. Termasuk beberapa mayat petugas Pamongdesa kawan-kawan saya.
Bagaimana mungkin semuanya bisa lenyap?"

Aji Warangan usap-usap dagunya. "Ada yang tidak beres! Adipati agaknya benar dengan
ucapannya. Ada sesuatu dibalik semua kejadian ini.”

Aji Warangan turun dari kudanya. Semua anak buahnya mengikuti. Setelah memperhatikan
keadaan di tempat itu, memandang ke arah rimba belantara, lalu Kepala Pasukan Kadipaten
Magetan ini berjalan ke pinggiran jajaran tiga lembah batu. Di tepi lembah ini dia jongkok
beberapa lama. memasang telinga sambil layangkan pandangan ke bawah. Sesaat kemudian Aji
Warangan bangkit berdiri. Dia memberi tanda pada sepuluh orang anak buahnya. Ke sepuluh
orang ini segera mendekati.

”Ikuti aku. Kita akan menuruni lembah batu ini di sebelah sini. Aku mendengar sesuatu"

Dipimpin oleh Kepala Pasukan Kadipaten Magetan itu rombongan segera menuruni jajaran
lembah di sebelah tengah. Mereka baru menuruni lembah pada kedalaman kurang dari empat
tombak ketika seorang anggola rombongan berteriak. "Ada mayat di atas batu!"

Ternyata bukan cuma satu mayat yang mereka temui. Mayat Ki Mantep Jalawardu tergeletak di
kaki sebuah pohon berlumut. Kepalanya pecah mengerikan. Jenazah Juru Seta ditemukan
rneringkuk di belakang sebuah balu besar. Di keningnya masih menancap Bendera Darah. "Ada
suara orang mengerang!" Seorang anggota rombongan berteriak. Dari arah semak belukar
sana!"
Saat Ki Aji Warangan sudah lebih dulu melompat ke balik semak belukar. Sesosok tubuh
tergeletak dalam keadaan mengenaskan. Muka penuh luka, pakaian berlumuran darah, tangan
kanan dan kaki kanan terkulai patah. Walau wajah orang itu penuh luka dan tertutup darah
namun Aji Warangan masih bisa mengenali. "I Ketut Sudarsana, ” Kepala Pasukan Kadipaten
Magetan ini berlutut. Dia raba urat besar di leher menantu Ki Mantep Jalawardu itu. Begitu
merasa masih ada denyutan pada urat nadi, Aji Warangan segera memberi perintah pada
empat anak buahnya untuk mengangkat dan membawa naik sosok Ketut Sudarsana ke atas
lembah. I Ketut Sudarsana walau dengan suara perlahan dan tersendat keluarkan ucapan.
"Nya… nyawaku tidak lama la.., lagi. Biarkan saya terbaring dan meng.,. menghembuskan nafas
terakhir di,., disini. Ada… ada sesuatu yang perlu saya sampaikan…”

Aji Warangan segera menolok beberapa bagian tubuh Ketut Sudarsana. Totokan ini adalah
untuk memperlancar peredaran darah sekaligus memberi kekuatan. "I Ketut Sudarsana.
katakan. Apa yang kau sampaikan." "Man… manusia-manusia.., pocong. Menculik.,menculik
istriku. Sar… sarang mereka di sekitar sini. Tolong selamatkan Nyi,… Nyi Upik" ”Manusia-
manusia pocong? Lebih dari satu?" ujar Aji Warangan. "Menurut keterangan yang kudapat,
yang melakukan pembunuhan dan mencelakai dirimu hanya satu manusia pocong….” "Lebih…
lebih dari satu. Tadi pagi muncul tiga manusia pocong. Satu bertindak sebagai pim…..pimpinan.
Dia memberi perinlah… pada dua kawannya. Jenazah ayah. Juru Seta dan yang lain-lain
dilempar ke dalam lembah. Saya… saya yang terakhir mereka lempar. Saya,,..”

Kepala I Ketut Sudarsana terkulai. Matanya nyalang kosong tak berkesip. Aji Warangan menarik
nafas dalam. Perlahan-lahan diusapnya kedua mataKetut Sudarsana hingga menutup.

*******

WALAU para korban pembunuhan yang dilakukan oleh manusia pocong bertebaran tidak
terlalu jauh di dalam lembah, namun bukan pekerjaan mudah untuk membawa naik sekian
banyak mayat. Menjelang tengah hari, tiga orang perajurit Kadipaten yang ditugaskan mencari
angkutan muncul membawa tiga buah gerobak. Jenazah Ki Mantep Jalawardu, I Kelut
Sudarsana dan Ki Juru Seta serta semua anak buah Ki Mantep yang jadi korban diangkut dengan
gerobak ke Plaosan. Aji Warangan sendiri tidak ikut mengantar karena bersama dua orang anak
buah kepercayaannya dia akan menyelidiki kemana lenyapnya penculik Nyi Upit, sekaligus
pembunuh Kepala Desa Plaosan dan yang lain-lainnya itu.

Menjelang sore, ketika rombongan pasukan Kadipaten yang membawa para korban sampai di
rumah kediaman Kepala Desa. jerit pekik dan ratap tangis menyayat hati serta merta pecah
merobek kesunyian.

Hari itu seharusnya adalah hari berbahagia, hari kegembiraan upacara selamatan tujuh bulan
hamilnya Nyi Upit. Namun saat itu tidak ada kebahagiaan, tidak ada kegembiraan! tidak ada
upacara selamatan. Yang berlangsung adalah kesedihan yang tidak dapat dilukiskan. Di mana-
mana terdengar ratap tangis orang perempuan. Nyi Gusni, istri Ki Mantep Jalawardu tergolek di
atas tempat tidur. Perempuan ini menjent keras ketika melihat mayat suaminya lalu roboh
pingsan.

Dalam keadaan seperti itulah Adipati Sidik Mangkurat datang bersama para pengawal dan
perajurit Kadipaten Magetan. Sebelumnya dia telah mengutus Aji Warangan. Kepala Pasukan
Kadipaten untuk menyelidiki, mengejar dan menangkap penculik Nyi Upit. puteri sahabatnya
itu. Namun ketika siang harinya seorang petugas Pamongdesa Plaosan datang membawa berita
kematian Ki Mantep Jalawardu. Adipati Sidik Mangkurat memutuskan untuk turun tangan
sendiri, menyusul pasukan Kadipaten di bawah pimpinan Aji Warangan.

Adipati Sidik Mangkurat telah mengenal Ki Mantep Jalawardu selama puluhan tahun. Kawan
sepermainan sejak kecil. Orang yang banyak membantunya dimasa-masa sulit ketika dia harus
menumpas kaum pemberontak termasuk menghancurkan komplotan rampok pimpinan Warok
Aji Warangan yang kini dijadikannya Kepala Pasukan Kadipaten. Ketika dia menduduki jabatan
Adipati. Sidik Mangkurat menawarkan satu jabatan tinggi bagi sahabatnya itu. Namun Ki
Mantep Jalawardu menolak dengan sopan dan halus. Agaknya dia lebih suka menjadi Kepala
Desa Plaosan. Bagi Adipati Sidik Mangkurat Ki Mantep Jalawardu bukan Cuma seorang sahabat.
Tapi sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Kematian Ki Mantep Jalawardu membual Sidik
Mangkurat sangat terpukul tapi juga marah. Sore itu juga dia membawa satu pasukan besar
terdiri dari lima puluh perajurit bersama dua Kepala Perajurit berangkat ke utara, singgah dulu
di Plaosan. Ternyata di desa ini kehadirannya bersamaan dengan kedatangan rombongan
jenazah Ki Mantep Jalawardu.

Betapapun tenggelamnya Sidik Mangkurat dalam kedukaan atas kematian sahabatnya yang
tidak wajar itu, ada satu hal yang tidak luput dari perhatian Adipati Magetan ini. Yakni sebuah
bendera merah basah yang menancap di kening Ki Juru Seta. Itulah Bendera Darah! Bendera
seperti ini menurut laporan anak buahnya juga ditemui menancap di leher Surablandong,
seorang sahabat Ki Mantep yang menemui ajal ketika melakukan pengejaran atas penculik Nyi
Upit. Semakin yakin Adipati Magetan ini bahwa di balik semua kejadian penculikan dan
pembunuhan ini. tersembunyi satu hal yang lebih ganas, lebih mengerikan.

SAMPAI beberapa lama setelah rombongan tiga gerobak pembawa jenazah meninggalkan
lembah dan lenyap di dalam rimba belantara Aji Warangan. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan
masih berdiri di tepi lembah. Saat itu dia ingat akan keterangan l Ketut Sudarsana mengenai
manusia-manusia pocong. Sayang menantu Ki Mantep Jalawardu itu keburu menemui ajal
hingga tidak bisa memberitahu lebih banyak. Aji Warangan sendiri tidak punya kesempatan
untuk bertanya.

Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini ingat ucapan I Ketut Sudarsana menjelang ajalnya.
Menurut menantu Ki Mantep Jalawardu itu sarang manusia-manusia pocong itu berada di
sekitar kawasan flu. Tapi dimana? Sambil terus berpikir Aji Warangan perhatikan lembah di
bawahnya. Lalu pandangannya di arahkan ke bukit batu di seberang lembah. Cahaya matahari
petang yang mulai condong ke barat membuat kawasan bukit batu yang abu-abu kehitaman itu
warnanya berubah aneh, terkadang memancarkan pantulan sinar menyilaukan.

Sebagai orang yang pernah menjadi kepala rampok dan malang melintang di delapan penjuru
angin wilayah itu. Aji Warangan cukup mengenal baik kawasan sekitar rimba belantara dan
jajaran tiga lembah. Bersama dua orang anak buahnya dia telah menyelidiki keadaan di tiga
lembah itu. Bukan satu pekerjaan mudah. Namun berkat pengalamannya dimasa menjadi orang
jahat dahulu Aji Warangan mampu melakukan penyelidikan dengan cepat. Di tiga lembah dia
tidak menemukan tanda-tanda atau hal-hal yang memberi petunjuk bahwa sarang manusia-
manusia pocong itu berada di tempat tersebut

Keluar dari lembah Aji Warangan memandang ke arah bukit batu di kejauhan. Di masa dia
menjadi rampok bukit batu itu tidak banyak menjadi perhatiannya. Orang-orang jahat tidak
begitu suka berada lama-lama di tempat itu apa lagi menjadikannya sebagai sarang. Bukit batu
tersebut selain tidak terlalu tinggi mudah dicapai, keadaannya serba terbuka hingga bisa didaki
dari berbagai jurusan. Namun entah bagaimana Aji Warangan tiba-tiba ingat pada sebuah kiat
yang biasa diterapkan oleh orang-orang jahat Kiat itu berbunyi : Menipu penglihatan di malam
hari menipu pandangan di siang hari.

Aji Warangan usap-usap dagunya. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini menyeringai.
Berdasarkan keterangan yang didengarnya dari beberapa orang anak buah Ki Mantep
Jalawardu yaitu bagaimana manusia pocong itu denganseorang diri mampu membunuh Ki
Mantep dan Ki Juru Seta. menghajar l Ketut Sudarsana sampai sekarat dan menghabisi begitu
banyak para petugas Pamongdesa Klaosan. jelas manusia pocong itu memiliki ilmu kepandaian
linggi. Lalu menurut keterangan Ketut Sudarsana sebelum menemui kematian. ternyata bukan
cuma ada satu manusia pocong di tempat itu.

Jika mereka lebih dari satu orang berarti mereka memiliki seorang pemimpin. Dan sang
pemimpin tentunya bukan saja memiliki tingkat kepandaian luar biasa tetapi juga mempunyai
otak cerdik. "Bukan mustahil, pimpinan manusia-manusia pocong itu menerapkan kiat orang-
orang jahat. Menipu penglihatan di siang hari, menipu pandangan di malam hari," Aji Warangan
perintahkan dua anak buahnyamenyiapkan kuda. "Bukit batu di seberang sana perlu kita
selidiki," kata Aji Warangan. Lalu dengan menunggang kudanya dia mendahului bergerak
sepanjang tepi tiga buah lembah menuju ke timur. Di ujung lembah dia mengambil jalan
berputar, kembali ke barat tapi pada jalur tepi lembah yang berdampingan dengan kaki bukit
batu. Di pertengahan kaki bukit batuh di satu tempat Aji Warangan berhenti, turun dari
kudanya memandang ke langit sebelah barat. Kepala Pasukan ini sesaat menduga-duga. Apakah
mungkin bisa mencari dan mengetahui dimana letak sarang manusia-manusia pocong itu
sebelum sang surya tenggelam dan hari berubah menjadi gelap?

Setelah memperhatikan beberapa lamanya bukit batu yang tidak seberapa tinggi itu Aji
Warangan memberi isyarat pada dua perajurit untuk mengikutinya. Ketiga orang itu mendekati
bukit batu tepat di lereng sebelah tengah. Aji Warangan di sebelah depan. Mata di pasang
telinga di pentang. Tak ada gerakan, tak ada suara selain deru halus tiupan angin yang sesekali
menerpa deras.

Sampai di puncak bukit Aji Warangan memandang berkeliling. Dia dapat melihat jelas
pemandangan cukup indah di bawahnya. Mulai dari rimba belantara, jajaran lembah dan kaki
bukit berbatu-batu. "Pemimpin, mustahil ada orang bersembunyi di tempal ini. Malam
dinginnya pasti luar biasa, siang panas sekali. Rasanya tidak ada mata air di bukit ini."

Aji Warangan tidak perdulikan ucapan anak buahnya itu. Dia balikkan badan. Kini matanya
memperhatikan kawasan bukit di sebelah utara. Kawasan ini agaknya tidak pernah disentuh
manusia. Pohon-pohon besar, semak belukar tinggi menyelimut d imanamana. Agak ke barat
ada sebuah jurang batu, tidak seberapa lebar tapi cukup dalam. "Pimpinan, saya melihat
sesuatu," tiba-tiba perajurit di samping kiri berkata sambil menunjuk ke arah bawah sana,
jurusan kanan jurang batu. "Perajurit, matamu cukup tajam. Aku sudah.tahu. Yang kau lihat
sebuah atap bangunan, terbuat dari batang-batang bambu disusun rapat." "Benar sekali
Pimpinan." Jawab si perajurit. Tanpa mengalihkan pandangannya ke bawah sana Aji Warangan
berkata. "Atap bangunan itu diselimuti tanaman Iiar. Ujung sebelah kiri miring. Besar
kemungkinan bangunan itu tidak terpakai lagi. Siapapun pemiliknya kurasa tidak pernah lagi
mempergunakan. Tapi, bagaimanapun juga kita perlu menyelidik. Adalah aneh. satu bangunan
ada di pinggir jurang, di kaki bukit batu sunyi yang tidak pernah didatangi manusia.” "Kami
berdua akan turun menyelidiki!” "Kita menyelidik bersama-sama" kata Aji Warangan pula.
Lelaki bekas kepala rampok yang telah berpengalaman ini seperti seekor srigala mulai mencium
sesuatu. Dia mendahului menuruni bukit batu ke arah jurang kecil di bawah sana. Belum jauh
bergerak turun tiba-tiba di sebelah kiri lereng bukit batu Aji Warangan melihat sebuah celah di
antara dua batu besar. Dia perhatikan sejurus keadaan di tempat itu lalu memerintahkan salah
seorang anak buahnya untuk turun menyelidik. Tak lama kemudian perajurit itu kembali
menemuinya dengan nafas terengah. Wajah orang ini bukan cuma menunjukkan keletihan, tapi
juga memperlihatkan sesuatu yang lain. "Apa yang kau temui?" tanya Aji Warangan. Dari air
muka bawahannya itu dia tahu ada sesuatu.

”Di balik dua celah batu ada satu batu besar. Di belakang batu besar saya menemui mulut
sebuah goa. Saya coba masuk ke dalam, ternyata merupakan satu lorong panjang. Tanpa
perintah pimpinan saya tidak berani menyelidik terlalu jauh. Saya kembali ke sini.

Tidak menunggu lebih lama, begitu mendengar keterangan si perajurit Aji Warangan segera
menuruni bukit ke arah dua buah batu yang membentuk celah. Setelah turun melewati celah,
seperti yang dikatakan perajurit tadi dia melihat sebuah batu besar. Lalu dibalik balu besar ini
terdapat pedataran sempit seluas beberapa kaki persegi. Di salah satu sisi pedataran, pada
deretan batu-batu yang membentuk dinding kelihatan sebuah mulut goa. Sesaat Aji Warangan
perhatikan keadaan mulut goa, coba memandang sejauh mungkin ke arah dalam. Memang
benar apa yang dikatakan anah buahnya, Mulut goa itu melupakan awal dari satu lorong batu
yang cukup panjang.
Aji Warangan balikkan tubuh, memandang ke arah celah dua buah batu yang tadi dilewatinya.
Walau segala sesuatunya berbentuk alami tapi mata tajam Aji Warangan melihat ada bekas-
bekas ringan manusia yang membuat demikian rupa hingga batu-batu di tanah menebar
demikian rupa merupakan tangga tersamar menuju mulut terowongan. Lalu tanah bebatuan di
depan mulut terowongan kelihatan bersih dan licin pertanda tempat itu sering terinjak kaki
manusia.

Kembali Aji Warangan membalikkan badan, menghadap ke arah mulut lorong batu. Keadaan di
tempat itu sangat sunyi. Dalam kesunyian ini Aji Warangan semakin jelas mencium sesuatu
yang tidak enak Ada siapa di dalam lorong batu itu ? Apakah tempat ini yang jadi sarang
manusia-manusia pocong penculik Nyi Upit, pembunuh Ki Mantep Jalawardu, Ki Juru Sela, Ketut
Sudarsana dan petugas Pamongdesa Klaosan?

”Kalian berdua masuk ke dalam. Selidiki apa yang ada di dalam lorong batu. Berlaku hati-hati.
Jika menemui sesuatu yang mencurigakan jangan melakukan apa-apa. Tapi segera kembali
menemuiku!"

Dua perajurit cabut golok di pinggang masing-masing, lalu dengan cepat keduanya menyelinap
masuk dan lenyap di mulut lorong batu.

*******

DI DALAM lorong batu dua perajurit berjalan cepat. Ternyata selain cukup lebar dan tinggi
lorong itu juga cukup terang. Namun baru berjalan sekitar dua puluh langkah, dua perajurit ini
berhenti. Bingung. Di depan mereka, lorong itu bercabang ke kiri dan ke kanan. Berarti ada tiga
arah yang bisa ditempuh. Lurus atau membelok pada salah satu cabang. "Kita harus kemana?"
tanya peraj rit yang satu pada temannya. "Aku memilih lurus. Kau membelok ke kiri atau ke
kanan.”

Dua perajurit meneruskan langkah. Yang pertama berjalan lurus. Temannya membelok ke
abang lorong sebelah kanan. Baru belasan langkah berjalan di masingmasing lorong, kembali di
kiri kanan kelihatan lorong baru. Sekarang bukan cuma satu cabang lorong tapi ada dua di
sebelah kiri dan tiga di samping kanan. Dua perajurit ini tidak tahu harus menempuh lorong
yang mana. Rasa bimbang yang selanjutnya berubah menjadi rasa takut menyamaki diri
keduanya. Kalau di bawah bukit batu itu begitu banyak lorong, bisa saja mereka akan tersesat.
Dan lebih celaka kalau sampai tidak mampu mencari jalan keluar ke mulut terowongan.

Selagi bingung dan cemas begitu rupa lapat-lapat di kejauhan terdengar suara aneh. Entah
suara orang menangis entah suara orang menyanyi. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di
depan dua perajurit Kadipaten itu berkelebat satu bayangan putih. Lalu terdengar dua jeritan
hampir berbarengan!

*******
KEPALA Pasukan Kadipaten Magetan itu memandang ke langit. Tak lama lagi sang surya akan
tenggelam dan hari akan menjadi gelap. Dia merasa kesa tapi juga heran. Dua perajufit yang
diperintahkannya masuk ke dalam lorong batu ditunggu sampai sekian lama masih belum
muncul. "Apa yang mereka lakukan di dalam lorong?" pikir Aji Warangan. Hatinya yang kesal
dan heran mendadak berubah menjadi tidak enak bilamana muncul dugaan janganjangan telah
terjadi sesuatu dengan kedua anak buahnya itu

”Aku harus masuk ke dalam terowongan.” Aji Warangan mengambil keputusan. Maka dia
melangkah ke arah mulut goa di dinding batu. Mendadak terdengar suara benda melayang,
bersiur di udara. Aji Warangan dengan cepat memutar tubuh, melompat ke samping.
"Wuuuttt!"

Sebuah benda melesat di udara. Sambil keluarkan seruan kaget dan marah Aji Warangan
membuat gerakan menghindar dengan cara melompat. Benda yang melesat lewat hanya
setengah jengkal dari kepalanya, menyipratkan cairan ke pipi kiri dan bajunya. Lalu menancap
di batu besar di depan mulut lorong.

SEPASANG mata Aji Warangan membeliak besar. Sambil usap pipinya yang kecipratan cairan dia
memandang ke arah batu besar. Disitu menancap sebuah bendera kecil berbentuk segitiga.
berwarna merah dan basah!.

”Bendera Darah!" ucap Aji Warangan dengan suara bergetar. Sebelumnya dia telah melihat
bendera ini. Satu diantaranya yang menancap di kening Ki Juru Sela. Aji Warangan perhatikan
tangan kirinya. Jari-jari tangan itu basah dan merah oleh cairan darah yang menyiprat dari
Bendera Darah.

Aji Warangan melangkah, dekati batu besar. Sesaat dia perhatikan bendera yang menancap di
batu. Cairan berwarna merah yang membasahi bendera memang darah adanya. Bukan saja dia
bisa mencium amis baunya, tapi bekas kepala perampok ini yang telah membantai sekian
banyak manusia kenal betul dengan apa yang dinamakan darah. Tangkai bendera terbuat dari
bambu kecil. Kalau ada orang yang melemparkan bendera dari kejauhan dan bendera kemudian
mampu menancap di batu besar, pasti si pelempar memiliki ilmu dan tenaga dalam luar biasa
hebatnya!. Dan dapat dibayangkan, batu saja sanggup ditembus, apa lagi kepala manusia!

Rahang Aji Warangan menggembung. Dengan tangan kanannya dicabutnya Bendera Darah
yang menancap di batu lalu dibantingkannya ke tanah. Seluruh bendera, tangkai dan kainnya
amblas masuk ke dalam tanah. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini palingkan kepala ke arah
mulut lorong batu. Bendera Darah tadi melesat keluar dari terowongan itu. Berarti orang yang
melempar ada dalam Iorong. Aji Warangan dekati mulut lorong lalu berteriak.

”Orang yang melempar bendera! Jangan berlaku pengecut! Unjukkan dirimu! Katakan apa
maumu menyerang aku dengan bendera!"
Sunyi. Hanya sesaat. Dari dalam lorong batu terdengar suara orang leletkan lidah disusul suara
tawa bergelak, "Aji Warangan! Kepala Pasukan Kadipaten Magetan! Ternyata kau punya nyali!
Aku suka pada orang bernyali besar. Untukmu aku akan memberikan dua hadiah sebagai tanda
penghormatan. Harap kau mau menerima dengan senang hati! Ini hadiah pertama!"

Dari dalam lorong batu kemudian terdengar suara menderu. Sepertinya ada sebuah benda
besar dan berat melesat ke arah mulut lorong. Aji Warangan yang barusan kaget karena orang
di dalam lorong tahu nama serta jabatannya kini bertambah kaget ketika melihat satu sosok
tubuh manusia melayang deras keluar dari mulut lorong batu. Kalau dia tidak cepat
menghindar, badannya akan dibentur sosok tubuh yang melesai itu.

”Buukkk”.

SOSOK tubuh yang melayang menghantam batu besar di seberang lapangan besar di depan
mulut lorong, lalu jatuh terbanting ke tanah. Dua mata Aji Warangan mendelik besar. Yang
terkapar di tanah itu bukan lain adalah salah seorang dari dua perajurit yang ladi
diperintahkannya masuk ke dalam lorong batu untuk menyelidik "Kurang ajar…."

Baru saja Aji Warangan merutuk seperti itu di dalam lorong kembali terdengar orang berteriak.

”Ini hadiah kedua!"

Seperti tadi terdengar suara menderu disusul melesatnya satu sosok tubuh di udara. Aji
Warangan sudah tahu tubuh siapa adanya. Sebelum menghantam batu besar Aji Warangan
cepat melompat menangkap tubuh yang melayang. Maksudnya jika orang itu masih dalam
keadaan hidup maka dia berusaha menyelamatkan agar tubuh atau kepalanya tidak
menghantam batu. Dia berhasil. Namun percuma. Ketika dia memperhatikan orang yang
didukungnya ternyata orang itu adalah mayat yang mati dengan mata mendelik dan kepala
pecah! "Benar-benar biadab!" Kutuk Aji Warangan.

Sosok tubuh dafam dukungannya yakni anak buahnya yang kedua diturunkannya ke tanah. Dia
melompat ke mulut lorong batu dan berteriak keras!

”Jahanam pembunuh! Lekas keluar! Atau kubakar kau hidup-hidup di dalam sana!"

”Orangnya hebat! Ucapannya luar biasa! Aku menerima undanganmu!"

Satu deru yang dahsyat terdengar di dalam lorong batu. Sesaat kemudian didahului oleh
hantaman angin yang berasal dan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
dari dalam lorong batu melesat keluar satu sosok serba putih mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Manusia pocong!" ucap Aji Warangan, memandang dengan mata melotot.
Sosok serba putih berdiri bertolak pinggang di depan batu besar. Sepasang matanya yang
berada di balik dua buah lobang kecil kain putih penutup kepala kelihatan menyorot berkilat.
"Dasar pengecut! Kau sengaja menutupi wajah dengan kain putih! Buka penutup kepalamu!
Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!"

Manusia pocong leletkan lidah.

”Sisa-sisa keberanianmu sebagai kepala rampok rupanya masih ada! Ketahuilah Aji Warangan,
hal itulah yang menyelamatkan dirimu dari kematian!”.

”Jahanam! Apa maksudmu?”. "Kau tak perlu tahu terlalu banyak. Saat ini aku memberikan satu
tawaran padamu. Serahkan dirimu, ikut aku masuk ke dalam lorong batu."

Aji Warangan mendengus.

”Kau telah membunuh Kepala Desa Plaosan, membunuh menantunya dan juga membunuh Ki
Juru Seta. Belum lagi para petugas Pamongdesa. Dan barusan kau membunuh dua
perajuritku..”. "Mudah-mudahan itu bisa menjadi peringatan padamu agar mau ikut aku secara
baik-baik". ”Manusia jahanam! Aku akan membuat dirimu menjadi pocong benaran!"

Habis membentak begitu Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini melompati manusia pocong,
lancarkan satu serangan kilat. Tangan kanan kirimkan satu jotosan ke dada. Bersamaan dengan
itu tangan kiri berkelebat berusaha mencabut penutup kepala berbentuk pocong,

”Hebat! Tapi sayang gerakanmu kurang cepat sobat! Lihat serangan balasan!"

Dua tangan manusia pocong berkelebat ke depan dalam gerakan aneh dan tahutahu telah
memotong sambaran dua tangan Aji Warangan. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini
sebelumnya telah maklum bahwa lawan memiliki tenaga dalam tinggi. Kini dia mempunyai
kesempatan untuk menjajal dan membuktikan. Sambil lipat gandakan tenaga luar dan tenaga
dalamnya Aji Warangan sengaja tidak mau menarik pulang serangannya. Akibatnya bentrokan
dua lengan tak dapal dihindarkan.

”Bukkk! Bukkkr!”

Sosok manusia pocong terguncang sempoyongan. Namun dua kakinya tidak bergeser dari
kedudukan semula. Sebaliknya Aji Warangan terpental tiga langkah lalu jatuh berlutut di tanah.
Rahang menggembung wajah merah.

Dari balik kerudung putih yang menutupi kepalanya, si manusia pocong keluarkan suara tawa
mengekeh.

”Aji Warangan, apa kau masih belum mau sadar? Aku bukan tandinganmu” "Aku belum kalah!”
teriak Aji Warangan.
Sewaktu berlutut tadi diam-diam dia telah kerahkan tenaga dalam dan atur aliran darah. Dalam
waktu singkat dia mampu menguasai dirinya. Begitu bangkit berdiri dia segera lancarkan
serangan hebat. Dua tangannya menderu deras dan cepat pada saat dua tangan tidak
melancarkan serangan, di sebelah bawah kaki kanan menendang.

Orang yang diserang leletkan lidah lalu tertawa mengejek.

”Ha… ha! Apakah ini jurus yang disebut Badai Membantai Puncak Gunung?"

Aji Warangan bukan saja marah diejek demikian rupa tapi juga terkejut karena lawan mengenali
jurus serangannya. Di masa menjadi kepala rampok jurus Badai Membantai Puncak Gunung itu
merupakan jurus paling diandalkan ofeh Aji Warangan. Jurus silat ini bukan merupakan jurus
tunggal, tetapi memiliki jurus pecahan sampai lima jurus.

Empat jurus menyerang habis-habisan Aji Warangan masih belum mampu menyentuh
lawannya. Ketika tubuhnya berkelebat dalam jurus kelima, tiba-tiba satu cahaya putih berkilat
di udara yang mulai redup karena sang surya barusan saja tenggelam. "Brettt”.

Terdengar robekan pakaian disusul seruan tertahan. Manusia pocong melompat mundur.
Sepasang matanya berkilat-kilat laksana dikobar api. Jubah putihnya ternyata sobek besar di
bagian pinggang. Saat itu di hadapannya dilihatnya Aji Warangan berdiri memegang sebilah
golok besar bergagang kayu berbentuk kepala ular. Walau hatinya cukup terguncang namun si
manusia pocong jauh dari rasa jerih. Diam-diam dia mengagumi jurus terakhir serangan Aji
Warangan yang diketahuinya bernama Badai Melanda Lereng Gunung.

Mengira lawan kini menjadi kecut, tidak membuang waktu Aji Warangan kembali menyerbu.
Golok besar di tangannya menderu ganas ke arah leher, membabat ke dada lalu menyambar ke
pinggang. Dimasa yang sudah-sudah salah satu dari hantaman golok pasti akan bersarang telak
di tubuh lawan. Namun manusia pocong walau tadi sempat robek pakaiannya terkena
sambaran senjata di tangan lawan, kini tidak mau berlaku ayal. Gerakannya secepat setan
malam. Lalu tukkk!

AJI WARANGAN mengeluh tinggi. Paha kanannya dihantam totokan dua jari ta

ngan kiri lawan. Mendadak sontak sekujur kakinya menjadi berat laksana diganduli batu. Jalan
darahnya tidak karuan. Rasa sakit menyengat sampai ke ulu hati. Golok di tangan terlepas jatuh
berkerontangan ke tanah berbatu-batu. Gerahamnya bergemertakan menahan amarah yang
mendidih. Saat itu dia ingin melompati si manusia pocong, mematahkan batang lehernya dan
mencabik-cabik tubuhnya. Namun jangankan melakukan hal itu, bergerak saja Kepala Pasukan
Kadipaten Magetan ini tidak mampu. Ulu hatinya semakin sakit. Kaki kanannya bertambah
berat.
”Aji Warangan! Saatnya kau menyerahkan diri dan ikut aku!" "Bangsat! Sampai mati aku lidak
akan menyerah!" Manusia pocong mendengus. ‘Kita akan lihat!" katanya. Lalu dia melangkah
mendekati. Kembali tangannya bergerak membuat totokan di tubuh Aji Warangan. Saat itu juga
sekujur tubuh lelaki itu menjadi kaku. tak mampu bergerak tak dapat keluarkan suara. Sebelum
tubuhnya jatuh terbanting ke tanah, si manusia pocong cepat merangkul pinggangnya. Sesaat
kemudian Aji Warangan telah berada di panggulan bahu kirinya, di bawa lari masuk ke dalam
terowongan batu.

Walau tubuh kaku, mulut tak bisa keluarkan suara namun jalan pikiran Aji Warangan masih bisa
bekerja. Matanya mampu melihat dan memperhatikan segala sesuatu. Manusia pocong itu
membawanya berlari sepanjang terowongan batu yang dikiri kanannya dipenuhi banyak sekali
lorong.

Banyak lorong di bawah bukit batu. Tempat apa Ini?”, pikir Aji Warangan. ‘Agaknya memang
disini sarang kediaman manusia-manusia pocong. Manusia pocong yang memanggul aku
sebenarnya bisa menghabisi diriku dengan mudah. Tapi dia tidak membunuhku. Aku mau
dibawa kemana? Mau diapakan?"

Setelah melewati puluhan lorong, manusia pocong hentikan langkah di hadapan sebuah pintu
kayu berwarna hitam. Pada pertengahan pintu menancap sebuah bendera merah basah
berbentuk segitiga. Bendera Darah. Dua manusia pocong bersenjata golok menjaga pintu
tersebut. Salah seorang dari mereka membuka pintu kayu hitam melalui sebuah tombol rahasia
di samping kiri pintu. Aji Warangan dapatkan dirinya berada dalam sebuah ruangan besar dan
kosong. Manusia pocong yang memanggulnya membawanya ke hadapan sebuah pintu
berwarna biru, Di pintu ini juga ada sebuah bendera segitiga merah basah.

Aji Warangan mendengar suara bersiur halus. Tiba-tiba atap ruangan membuka. Empat
manusia pocong melayang turun. Gerakan mereka enteng dan gesit penanda memiliki
kepandaian cukup tinggi. Rupanya mereka sudah tahu dan mengenali siapa yang datang. Salah
seorang dari empat manusia pocong ini menekan satu tombol di dinding kiri. Pintu biru serra
merta terbuka. Empat manusia pocong kembali melesat ke atas, lenyap dibalik langit-langit
ruangan yang menutup.

Ruang di belakang pintu yang dimasuki lagi-lagi kosong. Sepasang mata Aji Warangan
memandang berputar. Walau tidak takut menghadapi kematian namun rasa tegang membuat
tengkuk bekas Warok yang ditakuti ini terasa dingin juga. Telinga Aji Warangan menangkap
suara benda bergeser. Dia melirik ke kiri dan melihat bagaimana dinding ruangan bergerak
aneh. Dari dinding yang terbuka itu muncullah sarang manusia pocong. Sosoknya tinggi besar.
"Wakil Ketua Yang Mulia, siapa yang kau bawa?" Manusia pocon yang baru muncul ini
menegur. "Ketua, lebih dulu terima salam hormat saya." Masih memanggul Aji Warangan dia
bungkukkan badan lalu menerangkan. ”Orang ini bernama Aji Warangan. Dulu menjalani hidup
sebagai Warok ditakuti di delapan penjuru angin, Sekarang jabatannya adalah Kepala Pasukan
Kadipaten Magetan.” "Hemm.., jadi dia orangnya. Ilmunya kudengar lumayan tinggi. Bagus!
Rejeki kita hari ini cukup besar rupanya. Aku akan memberikan hadiah untukmu. Sesuai yang
sudah aku atur, bawa dia ke Ruang Peristirahatan. Suguhkan Minuman Selamat Datang. Berikan
Pakaian Persalinan.” "Perintah Yang Mulia Ketua akan saya lakukan.” jawab manusia pocong
yang punya jabatan Wakil Ketua, Dia membungkuk memberi hormat. Lalu bertanya. "Apakah
saya boleh melakukannya sekarang juga?" ”Tunggu. Aku ingin lahu apakah kau sudah menyirap
kabar mengenai orang yang menjadi tugas utamamu?" "Maksud Ketua pemuda bernama Wiro
Sableng berjuluk Pendekar 212?”

Kepala yang tertutup kain putih bergoyang mengangguk. "Saya belum mendapat laporan dari
anak buah yang ditugaskan. Penyelidikan yang saya lakukan sendiri juga belum menghasilkan
apa-apa. Jika boleh, saya ingin diberi waktu khusus untuk melacak pemuda itu.”

Aku akan berikan waktu satu purnama padamu. Ingat, kau juga harus mendapatkan tiga gadis
yang kukatakan tempo hari. Mengumpulkan orang-orang berkepandaian tinggi sebanyak-
banyaknya.” "Perintah Ketua akan saya perhatikan dan lakukan. Saya minta izin membawa
orang ini ke Ruang Peristirahalan.” Wakil Ketua bungkukkan tubuh lalu melangkah cepat
memasuki celah di dinding.

Yang disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu terbentuk segitiga berpintu
besi. Pada sisi sebelah atas pintu besi ini ada sebuah lubang berbentuk lingkaran sebesar
lingkaran jari tengah yarng ditemukan dengan ibu jari tangan. Di sisi kanan ada tempat tidur
terbuat dari batu beralaskan tikar jerami kering. Di bagian kepala bentuk batu tempat tidur
agak naik ke atas. Agaknya bagian ini dijadikan sebagai bantal ketiduran. Lalu di ruangan itu ada
pula sebuah meja dan kursi kecil juga terbuat dari batu. Ke dalam ruangan inilah Aji Warangan
dibawa lalu dibaringkan di atas ranjang batu.

Aji Warangan, silahkan beristirahat. Kau beruntung terpilih untuk masuk dalam barisan kami.
Seseorang akan muncul mengurus segala keperluanmu…"

”Jahanam! Apa yang kau lakukan? Tempat celaka apa ini?” Suara Aji Warangan hanya
menggema di dalam dada Karena sampai saat itu tubuh dan jalan suaranya masih berada dalam
pengaruh totokan.

”Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita berdua bisa menjadi sahabat. Aku akan
menemuimu lagi secepatnya.” "Manusia setan! Kalau tubuhku bebas dari totokan aku
bersumpah membunuhmu”. Teriak suara hati Aji Warangan. Manusia pocong itu tepuk-tepuk
bahu Aji Warangan. Yang ditepuk merasa seperti ditiban batu besar, mengerenyit kesakitan dan
hanya bisa menyumpah dalam hati. Walau pintu besi ruangan batu itu di sebelah luar memiliki
dua buah palang besar namun sang Wakil Ketua tidak memalang pintu tersebut. Dia pergi
begitu saja karena memang Aji Warangan yang masih berada dalam pengaruh totokan tidak
akan mampu keluar atau melarikan diri dari tempat itu.

*******
TAK SELANG berapa lama setelah Wakil Ketua meninggalkan Aji Warangan di Ruang
Peristirahatan, muncullah seorang gadis membawa sebuah keranjang Di dalam keranjang itu
ada sehelai jubah putih dan kain penutup kepala putih. Lalu di situ juga ada sebuah cangkir
besar dan tanah, berisi minuman bening sampai setengahnya. Kedatangan seorang gadis yang
lumayan cantik ini tentu saja mengejutkan Aji Warangan. Dari wajah, dandanan serta pakaian
yang dikenakan gadis ini kentara dia adalah seorang gadis desa.

Di ambang pintu besi si gadis berhenti sebentar, menatap kosong ke arah Aji Warangan lalu
baru masuk ke dalam. Aji Warangan memperhatikan. Langkah dan gerak gerik si gadis terlihat
aneh di mata Aji Warangan. Setiap gerakan yang dibuat gadis ini tampak kaku. Selain itu dia
melihat perut si gadis besar. Apakah dia dalam keadaan mengandung. Kalau sa}a dia bisa
bicara, puluhan pertanyaan akan diajukannya pada gadis itu.

Si gadis meletakkan keranjang di atas meja batu. Mengambil cangkir berisi cairan bening lalu
berkata.

”Saya akan menyuguhkan Minuman Selamat Datang dalam cangkir ini kepadamu. Minumlah
sampai habis. Saya akan berada di tempat ini sampai pengaruh minuman bekerja dan jalan
suaramu terbuka. Setelah itu saya akan pergi. Bila saya pergi harap kau mengganti pakaianmu
dengan Pakaian Persalinan, sehelai jubah putih. Lalu tutup kepalamu dengan kain putih. Hanya
perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai.”

Selagi Aji Warangan terheran-heran mendengar ucapan gadis itu, si gadis mendekatkan cangkir
minuman ke bibirnya. Aji Warangan berusaha menolak ketika cairan dalam cangkir dituangkan
ke dalam mulutnya. Tapi dalam keadaan tertotok demikian rupa tentu saja dia tidak mampu
melakukan. "Tak usah takut. Minuman ini tidak beracun. Minuman ini justru memberi jalan
kehidupan padamu." Si gadis berucap. "Setan alas! Mana aku tahu minuman itu beracun atau
tidak!" Rutuk Aji Warangan. Tapi suaranya hanya dalam hati. sama sekali tidak keluar, tidak
terdengar

Walau tersendat-sendat cairan dalam cangkir akhirnya masuk ke dalam mulut, terus ke perut
lewat tenggorokan. Aji Warangan merasa ada hawa sejuk di dalam perutnya. Rasa sejuk mi
kemudian menjalar ke bawah ke arah kaki dan ke atas ke arah

dada terus ke leher. Begitu hawa sejuk memasuki kepala tanpa disadari kedua matanya
perlahan-lahan tertutup dan Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini lantas tertidur.

Gadis di dalam ruangan tatap wajah Aji Warangan. Lalu mulutnya berucap. ”Di dalam kesejukan
ada hawa penidur. Di dalam tidur ada kebangkitan. Di dalam kebangkitan ada kemenangan.
Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai.” Habis
berkata begitu si gadis ulurkan tangan kirinya diletakkan di kening Aji Warangan.

Aji Warangan tidak tahu apa yang. Terjadi atas dirinya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
nyalangkan sepasang mata. Dia dapatkan gadis desa tadi masih ada dalam ruangan itu.
”Kau….” Ucapan keluar dari mulut Aji Warangan. Astaga. Ternyata dia sekarang bisa bicara. Dia
gerakkan dua tangan. Dia mampu. Dia juga bisa menggerakkan ke dua kaki. Malah bangkit dan
duduk. Namun ada keanehan dirasakannya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, seolah dia tidak
memiliki tenaga, tidak punya tulang belulang. Saking lemasnya agar tidak roboh dia sandarkan
punggung ke dinding, menatap ke arah si gadis.

Kau sudah bisa bicara. Sudah bisa bergerak. Saatnya saya pergi. Jangan lupa. begilu saya keluar
dari ruangan ini segera kenakan pakaian dan penutup kepala putih. Hanya perintah Ketua yang
harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai." Si gadis dengan kaku memutar
tubuh lalu melangkah ke pintu.

”Tunggu!" seru Aji Warangan. Kau siapa? Ini tempat apa? Siapa Ketua yang kau sebut-sebut!
Mengapa tubuhku lemas. Aku…"

Dicecar pertanyaan begitu banyak si gadis tersenyum. Tapi senyumnya terasa aneh di mata Aji
Warangan. "Siapa saya itulah yang saya tidak ketahui…”. "Hai gadis! Otakmu waras bukan?
Masakah kau tidak tahu siapa dirimu sendiri? Apa kau tidak punya nama? Kau tinggal di sini,
muslahil tidak tahu tempat apa ini adanya Juga mustahil kau tidak kenal siapa manusia-manusia
pocong itu!"

Kembali si gadis tersenyum.

”Saya tidak tahu apakah saya waras atau tidak. Saya tidak tahu apakah saya punya nama atau
tidak. Saya tidak tahu tempat apa ini adanya. Yang saya tahu hanyalah menjalankan perintah
Ketua, Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua yang wajib dicintai."

”Ucapan aneh. Ucapan gila!" rutuk Aji Warangan. "Apa arti semua ini?! Gila!" "Saya tidak tahu
apakah saya gila atau tidak, berkata si gadis.

Aji Warangan hendak membentak tapi membatalkan niatnya. Ada sesuatu ketidakberesan pada
gadis desa ini. Ketidak beresan mengandung keanehan yang sukar diketahui apa adanya.

”Dengar, aku yakin tadinya kau tidak tinggal disini. Apa kau masih ingat sudah berapa lama kau
berada di sini?”

”Itulah yang saya tidak ingat…." "Aku tidak percaya kau tidak ingat segala-galanya. Perutmu
besar. Apakah kau sedang hamil?”

Si gadis memegang perutnya. ”Saya tidak tahu apakah saya sedang hamil.” "Benar-benar aneh.
Aneh dan gila’ Tempat apa ini sebenarnya?" Aji Warangan pandangi wajah . gadis di depannya.
"Tadi kau berkata hanya Ketua seorang yang wajib dicintai. Apakah kau bercinta dengan Ketua ?
Apakah kau kekasih Ketua manusiamanusia pocong itu?"
Si gadis membuka mulut tapi bukan untuk memberikan jawaban. "Ada orang datang, aku harus
meninggalkanmu."

Ketika gadis itu melangkah pergi. Aji Warangan meluncur turun dari tempat tidur batu. Dia
kumpulkan tenaga coba melangkah mengikuti. Tapi baru berjalan dua langkah tubuhnya jatuh
ambruk di depan pintu besar. Si gadis melangkah terus tanpa berpaling. Satu sosok manusia
pocong kemudian muncul di depan ruangan batu segitiga itu. Terdengar suara lidah dileletkan.
"Aji Warangan, belum saatnya kau turun dari tempat tidur. Tunggu sampai satu hari satu
malam. Kelak kau akan menjadi manusia pengabdi sempurna."

Manusia pocong itu selinapkan kaki kirinya kebawah dada Aji Warangan. Sekali kakinya
diayunkan tubuh Aji Warangan terangkat dan terlempar jatuh ke atas tempat tidur batu. Aji
Warangan mengeluh tinggi. Tubuhnya yang lemas terasa seperti hancur berantakan. ,

Antara sadar dan tidak, lapat-lapat dia mendengar suara perempuan. Karena suara itu terlalu
jauh, dan mungkin datang dari salah satu dari sekian banyak lorong di bawah bukit batu. dia
tidak dapat mendengar jelas bait-bait nyanyian yang diucapkan. Apalagi orang yang menyanyi
mengucapkan nyanyiannya setengah meratap. Aji Warangan pejamkan mata, memasang
telinga. Tetap saja dia tidak bisa mendengar Jelas dan lengkap semua apa yang dinyanyikan.

Di dalam lorong batu

Kematian datang ….

Di dalam … batu

Ada seratus tiga belas lorong

Siapa tersesat…

Di dalam..

Ada Rumah Tanpa….

Inilah Tempat teraman

Bendera Darah lambang…

Darah bayi tumbal….

Tiba-tiba ada suara bentakan. Suara nyanyian mendadak sontak lenyap.

10
KITA tinggalkan dulu Aji Warangan yang berada di dalam perut bukit batu yang memiliki
puluhan lorong aneh. Kita kembali pada satu peristiwa hebat yang terjadi beberapa waktu
sebelumnya.

Dalam Episode "Meraga Sukma” diceritakan setelah terjadi pertempuran hebat di Bukit
Menoreh, Sinto Gendeng berusaha mengejar Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar
Maut. Seperti diketahui, nenek kekasih kembaran Si Muka Bangkai itu telah membunuh Datuk
Mudo Carano Ameh, saudara sepupu Tua Gila Dari Andalas. Dendam Sinto Gendeng terhadap
nyi Ragil bukan saja karena pembunuhan tersebut tetapi juga karena akibat perbuatannya itu
Sinto Gendeng telah kesalahan tangan membunuh seorang anak lelaki bernama Boma
Wanareja. cucu Ki Kalimanah seorang abdi yang bertugas merawat kuda-kuda Keraton (baca “Si
Cantik Dalam Guci")

Di saat melakukan pengejaran terhadap Nyi Ragil itulah Sinto Gendeng tersesat ke sebuah
telaga. Di tempat ini tiba-tiba muncul dua nenek kembar, berambut seperti perak dan berwajah
putih. Luar biasanya tubuh sepasang nenek kembar ini berbentuk sosok seekor naga pulih.
Mereka bernama Naga Nini dan Naga Nina, dikenal dengan julukan Sepasang Naga Putih
Kembar.

Kemunculan dua makhluk kemba aneh ini ternyata untuk menghukum Sinto Gendeng atas dosa
kesalahannya telah membunuh anak lelaki bernama Boma Wanareja. Sinto Gendeng mengakui
bahwa dia memang telah membunuh Boma, namun hal itu terjadi karena kesalahpahaman. Dia
mengira anak itulah yang telah membunuh Datuk Mudo. Karena saat ditemui Boma memegang
golok besar yang menghabisi nyawa Datuk Mudo. Bagaimanapun Sinto Gendeng menerangkan
dan membela diri tetap saja Sepasang Naga Putih Kembar yang mengaku sebagai pelindung
Boma Wanareja tidak mau perduli. Hal ini membuat Sinto Gendeng menjadi marah. Dia
menyerang sepasang naga putih. Tapi sampai seluruh ilmu silat dan kesaktiannya dikeluarkan
Sinto Gendeng tidak mampu mengalahkan dua nenek bertubuh naga itu. Malah dua makhluk
aneh itu akhirnya berhasil memendam Sinto Gendeng ke dalam tanah di tepi telaga sampai
sebatas dada.

Sinto Gendeng merasa sekujur tubuhnya lemas. Dua tangan terkulai di tanah. Matanya yang
biasanya menyorot angker kini kelihatan kuyu. Suaranya terdengar perlahan ketika dia berucap.
"Kalian… Meng.., mengapa memendam diriku begini rupa. Apa dosa kesalahanku…" "Kalau
ingin kami mengatakan, dosamu terlalu banyak Sinto Gendeng. Tapi dosamu terakhir yang ada
sangkut pautnya dengan diri kami adalah pembunuhan yang kau lakukan terhadap seorang
anak lelaki berusia lima belas tahun. Bernama Boma Wanareja" "Aaahhh,… Anak itu, ujar Sinto
Gendeng lirih dan mata berputar liar. "Aku membunuhnya secara tidak sengaja. Aku mengira
dia orang yang telah membunuh Tua Gila Dari Andalas. Ternyata orang yang dibunuh itu adalah
saudara sepupu Tua Gila bernama Datuk Mudo Carano Ameh. Aku membunuh anak itu. Tidak
sengaja, karena tidak tahu. Aku ketelepasan tangan. Seumur hidup aku akan menyesali
perbuatanku itu!"
Sepasang Naga Putih sama-sama gelengkan kepala. Lalu keduanya berucap berbarengan. "Kau
tidak ketelepasan tangan Sinto. Kau juga bukan tidak sengaja. Sebelum menemui ajal anak itu
sempat berteriak bahwa dia bukan pembunuh Datuk Mudo Carano Ameh. Tapi karena kau
sudah biasa gatal tangan membunuh sembarangan, kau tidak perdulikan teriakan orang. Kau
menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari! Sungguh keji! Pukulan sakti yang sanggup
menghancur gunung itu kau pakai untuk membunuh seorang bocah tidak berdaya!"

Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung mendengar kata-kata Sepasang Naga Pulih
Kembar. "Kalian berdua boleh saja tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah aku tidak punya
niat jahat membunuh anak itu!"

”Kematian sudah terjadi! Anak yang mati tak mungkin dibuat hidup kembali! Dosamu tak
mungkin dilebur. Jadi saat ini pantas sekali kami membenamkan dirimu di tanah!’ Berkata Naga
Nini yang merupakan nenek tertua dari sepasang nenek kembar itu. Adiknya, Naga Nina
menyambung. "Sebenarnya kami ingin memendam tubuhmu di puncak Gunung Gede, di
samping makam Boma Wanareja. Namun ketika kami datang ke sana kau tengah gentayangan
kemana-mana hingga akhirnya kami menemuimu di tempat ini…" ”Aku bukan gentayangan.
Aku justru tengah mengejar Nyi Ragil, pembunuh sebenarnya dari Datuk Muda Carano Ameh"
jawab Sinto Gendeng setengah berteriak, garang dan melotot dan juga, Setengah putus asa
"Sekalipun Nyi Ragil punya tujuh nyawa dan kau membunuhnya sampai tujuh kali, Boma tidak
akan dapat hidup kembali." Ujas Naga Nini.

Sinto Gendeng tak dapat menahan amarahnya, "Kalian… kalian bukan manusia. Makhluk apa
kalian aku tidak perduli. Apa sangkut paut kailan dengan Boma Wanareja?!" "Kami adalah
Sepasang Naga pelindung anak itu. Ketika kejadian kau membunuh Boma, kami baru saja
menyelesaikan tapa di Gunung Wilis.” Menerangkan Naga Nina. Naga Nini menyambungi.
"Sekarang kau sudah tahu dosamu. Berarti kau harus menyadari bahwa cukup pantas dirrmu
kami hukum dipendam dalam tanah begitu rupa!" ”Tidak bisa! Kalian bukan Tuhan yang bisa
menghukumku seenaknya!" Teriak Sinto Gendeng lantang.

Sepasang Naga Putih Kembar tertawa panjang. "Ketika kau membunuhi musuh-musu mu apa
terpifkir olehmu bahwa kau juga bukan Tuhan yang bisa menghukum dan membunuh orang
lain seenaknya?’ "Jahanam! Kalian berdua tidak lebih dari makhluk keji kesasar!” Keluarkan aku
dari dalam tanah. Mari kita bertempur secara satria ”.

Kembali Sepasang Naga Putih tertawa. "Selamat tingga! Sinto Gendeng.” Naga Nini dan Naga
Nina berucap lalu didahului dengan menebarnya kabut pulih, sosok kedua makhluk aneh itu
lenyap dari tepian telaga. ”Jahanam pengecut!" teriak Sinto Gendeng karena dua makhluk pergi
begitu saja tanpa mau melayani tantangannya. Dia mengira dengan perginya Sepasang Naga
Putih Kembar itu dia akan bisa keluar dari pendaman. Tapi tetap saja sia-sia. Tekanan berat di
sebelah atas tak kunjung lenyap. Sampai berapa lama dia bisa bertahan. Tubuhnya bisabisa
amblas sampai ke ubun-ubun. Kalau hal ini sampai kejadian nyawanya lidak tertolong lagi.
SINTO Gendeng, nenek sakti dedengkot rimba persilatann tanah Jawa tidak tahu entah sudah
berapa lama dia terpendam di tanah. Dia tidak mampu menghitung hari. Tubuhnya mulaidari
dada ke atas kotor diselimuti debu tebal. Keadaannya hampir menyerupai jerangkong hidup.
Selama terpendam, pada siang hari dirinya dipanggang sinar matahari. Pada malam hari
diselimuti hawa dingin berlapis embun. Di atas kepalanya, di tusuk konde perak. yang tinggal
empat, mulai bersarang dan berkeliaran berbagai macam serangga.

Selama dipendam begitu rupa tentu saja Sinto Gendeng tidak pernah makan, tidak pernah
minum. Padahal telaga berair jernih dan sejuk hanya beberapa langkah saja di dekatnya.
Bibirnya pecah-pecah. Rongga dua matanya semakin cekung mengerikan. Kalau ada buah atau
daun pohon yang melayang jatuh dan bisa dijangkau dipungutnya, itulah yang jadi
makanannya. Kalau ada lapisan embun menempel di bibirnya, itulah yang dijilatnya dijadikan
air minuin pelepas dahaga. Keadaan nenek ini sungguh mengenaskan. Siap menunggu sekarat.

Saat itu sore hari. Entah sore yang keberapa. Sinto Gendeng tak bisa menghitung. Sepasang
matanya tertutup. Kepala terkulai ke samping, dua tangan terletak lunglai di permukaan tanah.
Dia tahu saat itu matahari hampir tenggelam karena dapat merasakan sinarnya tidak lagi keras
membakar, memanggang kepala dan wajahnya.

”Mati, mengapa aku tidak mati saja?" Sinto Gendeng berucap menyumpahi diri sendiri dalam
hati "Malaikat maut. dimana kau. Mengapa kau tidak datang, mencabut nyawaku sekarang
juga! Memang aku banyak dosa! Aku tidak takut matil Cabut nyawaku sekarang juga”.

Mulut si nenek terbuka sedikit. Lalu dia terbatuk-batuk. Menyemburkan ludah bercampur
darah!

Dalam keadaan seperti itu sayup-sayup di kejauhan ada suara orang berjalan sambil bercakap-
cakap. Sesekali terdengar suara tawa menyelingi percakapan. "Kalau aku tidak salah, di sekitar
sini ada sebuah telaga. Rasanya aku ingin sekali mandi berbasah-basah.” Yang bicara seorang
perempuan. Kalau begitu mari kita cari telaga itu. Aku juga kepingin mandi asal kau mau
menemani" Menyahuti suara orang lelaki. Sepertinya bukan suara lelaki dewasa. "Pasti di
otakmu saat ini sudah muncul pikiran kotor. Aku mau mandi tapi tidak mau membuka pakaian.

”Mana ada orang mandi mengenakan pakaian. Yang namanya mandi itu ya pasti bugil. Kerbau
saja kalau mandi telanjang tidak pakai baju! Ha… ha..ha… ha!”

Suara tawa bergelak itu tiba-tiba terputus. Berganti dengan seruan kaget.

”Lihat”.

”Astaga!"

Dua orang berkelebat ke hadapan Sinto Gendeng.


”Sulit dipercaya. Mukanya tertutup debu tebal. Tapi dari tusuk konde perak di atas kepalanya
aku yakin dia……” "Aku mencium bau pesIng. Walau tidak santar karena tubuhnya sebelah
bawah ada di dalam tanah. Pasti dia Sinto Gendeng. Nenek sakti dari Gunung Gede guru
Pendekar 212 Wiro Sableng.” "Hanya, bagaimana kita bisa percaya dia terpendam begini rupa?
Siapa yang melakukan? Dia sendiri? Bunuh diri? Ah, ini bukan cara bunuh diri yang
menyenangkan. Ha… ha..ha!" "Jangan tertawa saja. Kita harus melakukan sesuatu. Menolong
dia keluar dari pendaman tanah."

Sejak tadi Sinto Gendeng mendengar semua pembicaraan dua orang yang muncul di
hadapannya itu, Dia ingin melihat siapa kedua orang itu adanya. Tapi dua matanya terasa
sangat berat tak mampu dibuka. Di atas kepalanya seperti ada benda luar biasa berat menekan
dirinya. "Tunggu apa lagi. Ayo kita keluarkan nenek ini dari dalam tanah!"

Sinto Gendeng merasa ada dua pasang tangan memegang bahunya kiri kanan. Lalu perlahan-
lahan tubuhnya ditarik ke alas. Namun jangankan tubuh nenek itu bisa keluar dari dalam tanah.
Bergerak atau bergeming sedikitpun tidak. Kedua orang itu kerahkan tenaga. Salah seorang dari
mereka selinapkan lengan di bawah ketiak si nenek.

Lalu keduanya mengangkat kuat-kuat ke atas. Dari mulut Sinto Gendang mengeledek jerit
kesakitan. Tulang pinggangnya seperti mau putus.

”Anak Setan! Kalian mau membuat copot tubuhku?!”.

Dibentak begitu rupa dua orang yang berusaha menolong terperangah kaget.

”Nenek kami bukan mau mencelakai dirimu. Tapi mau menolong. Mau mengeluarkan tubuhmu
dari dalam tanahl"

”Mau menolong…?" Wajah tengkorak Sinto Gendeng menyeringai kaku. Dua matanya masih
terkatup. Jadi kalian bukannya malaikat maut? ”

Dua orang itu saling pandang. Dalam keadaan sekarat seseorang memang bisa saja bicara
melantur, "Aku mau mati. Kalau kalian bukan malaikat maut pergi sana!." "Nek, kami bukan
malaikat maut! Kami sahabat-sahabatmu," Suara perempuan memberitahu. "Betul. Yang
namanya malaikat maut kalau datang mana pernah memberitahu. Nyawamu langsung disedot
dari ubun-ubun atau dibetot dari jempol kaki! iiiihhh!” "Manusia-manusia sialan! Siapa kalian?!"
"Buka matamu Nek, kau pasti mengenali kami!" "Kepala dan bahuku terasa berat. Mataku tak
bisa dibuka. Kalaupun kalian bukan malaikat maut, tapi kalian tentu bisa membunuhku saat ini
juga!"

Dua orang di hadapan Sinto Gendeng saling berbisik.

”Ada yang tidak beres di tempat ini. Ada satu kekuatan aneh membuat tubuh Sinto Gendeng
tidak bisa dikeluarkan dari dalam tanah." "Kalau saja Wiro ada di sini dia pasti mampu
menolong gurunya. Dengan kapak saktinya atau dengan ilmu aneh yang didapatnya di Negeri
Latanah silam. Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah." Mendengar nama muridnya disebut
seolah mendapat satu kekuatan ajaib sepasang mata Sinto Gendeng perlahan-lahan terbuka.

11

SINTO Gendeng buka sepasang matanya lebih lebar.

”Kalian.." ucap si nenek. Dia hanya mampu melihat samar-samar. "Aku mendengar suara, tapi
aku tidak melihat jelas. Boleh jadi… boleh jadi aku telah buta,"

Dua orang di hadapan Sinto Gendeng saling pandang.

”Kita harus bantu penglihatannya. Mungkin aliran darah ke kepalanya tidak lancar. Kita perlu
menotok urat besar di leher kiri kanan dan dua pelipisnya. "Kau yang melakukan. Aku akan
membantu memberi kekuatan dengan totokan di ubun-ubunnya!.

Dua tangan lalu bergerak cepat menotok jalan darah di leher dan kening Sinto Gendeng.
Totokan berikutnya di arahkan tepat di ubun-ubun batok kepala si nenek. Begitu ditotok Sinto
Gendeng keluarkan suara seperti ayam digorok. Sepasang matanya terbuka semakin ebar, ada
cahaya mencorong angker. Pertanda kemampuannya melihat kini hampir kembali sempurna.
Tubuhnya tidak terasa lemas namun beban berat yang menindih di sebelah atas masih terasa.
"Kalian…" desis Sinto Gendeng, memandang pada bocah berpakaian serba hitam berambut
jabrik yang jongkok di hadapannya. "Kau… Bocah edan…." "Aku Naga Kuning Nek. belum jadi
bocah edan!” jawab anak berpakaian serba hitam lalu menutup mulut menahan tawa.

”Dan aku, apa kau mengenali diriku?” Perempuan tua berwajah seram berpakaian hitam dan
berkuku panjang hitam di samping Naga Kuning keluarkan ucapan.

Sinto Gendeng menyeringai buruk. "Aku mengenali tampangmu yang seram tidak karuan. Tapi
aku lupa namamu.." "Aku Gondoruwo Patah Hati Sahabatmu..” ”Aahhh… " Sinto Gendeng lepas
nafas panjang.

”Nek kami barusan berusaha menotongmu, Tapi aneh, sosokmu tak bisa diangkat, tak bisa
ditarik dari dalam tanah. Apa yang terjadi dengan dirimu? Siapa memendammu begini rupa?”.
"Ada satu kekuatan aneh menindih kepala dan tubuhku. Sampai kiamat kalian tak bakal bisa
membebaskan diriku."

Kalau kau mau menceritakan apa yang terjadi, atau siapa yang melakukan perbuatan gila ini
atas dirimu, mungkin kami bisa mencari jalan untuk menolongmu”.

”Aku manusia penuh dosa. Aku pantas menerima hukuman ini sampai mati." Jawab Sinto
Gendeng. "Hukuman yang paling pantas jatuh atas diri manusia adalah yang datang dari Gusti
Allah. Hukum manusia atas manusia lainnya biasanya dipengaruhi rasa dendam, iri dengki atau
rasa takut tak beralasan. Aku belum bisa percaya kalau apa yang terjadi atas dirimu ini adalah
hukuman dari Gusti Allah. Harap kau mau bercerita”.

Sinto Gendeng tatap wajah seram nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati sesaat Dia tahu
riwayat nenek satu ini. Di balik wajah yang buruk seram itu ada satu wajah cantik jelita. Di balik
tubuh yang kelihaian rapuh buruk itu ada satu sosok yang mulus bagus. Dan dia juga tahu kalau
si nenek sebenarnya bernama Ning Intan Lestar. Dan bocah berambut jabrik itu sesungguhnya
adalah seorang kakek sakti berjuluk Kiai Paus Samudera Biru. Satu senyum menyeruak di wajah
angker Sinto Gendeng. "Nek, aku sahabat muridmu. Aku tahu senyummu lebih mahal dari emas
sebesar gunung. Tapi saat ini aku melihat kau tersenyum, ada apakah? ”. "Aku senang melihat
kalian berdua. Kalian manusia-manusia berbahagia. Tidak seperti diriku. Seumur hidup
dirundung sengsara, korban tipu daya, korban fitnah dan hari ini menjadi korban hukum. Hik…
thik… hik.” ”Jalan hidup kami berdua tidak lebih baikdarimu, sahabatku Sinto," kata Gondoruwo
Patah Hati pula. ”Puluhan tahun kami dirundung duka sengsara sebelum Gusti Allah
mempertemukan kami kembali”. Sinto Gendeng menarik nafas dalam "Dunia penuh keanehan.
Di dalam keanehan itulah agaknya aku akan menemui ajal”. Sinto Gendeng usap wajahnya
"Naga Kuning, tadi kau menyebut muridku. Kau tahu dlmana anak setan itu sekarang berada?
Aku ingin melihatnya sebelum diri buruk penuh dosa ini menemui kematian," "Sinto sahabatku.
Siapa bilang kau akan mati. Kami akan menolongmu keluar dari dalam pendaman tanah…."
"Kalian sudah berusaha tapi tidak mampu…”. "Cerita Nek, ceritakan apa yang terjadi!’ kata
Naga Kuning pula.

Atas desakan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati, Sinto Gendeng menceritakan
pertemuannya dengan Sepasang Naga Putih Kembar, Naga Nini dan Naga Nina. "Sulit dipercaya
ada makhluk seperti itu." Kata Naga Kuning sambil mengusap rambut jabriknya, "Nek, kami
berdua akan mencoba mengeluarkan kau dari dalam pendaman tanah…" "Tidak ada gunanya.
Kalian sudah mencoba dan tak berhasil. Tinggalkan saja diriku. Tolong cari muridku si enak
setan bernama Wiro Sableng itu. Mudah-mudahan dia bisa menemuiku sebelum aku menemui
kematian…"

Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berbisik-bisik. "Lakukan dengan sepuluh jarimu. Aku
akan membantu dari belakang. Mudah mudahan berhasil," bisik Naga Kuning. "Aku tidak bisa
memastikan kita berhasil. Ingat, waktu aku bertapa mendalami ilmu itu di pinggir Kali Lanang,
kau jatuh ke pangkuanku! Tapaku menjadi buyar!" "Aku ingat,” jawab Naga Kuning. Tapi tak ada
salahnya kita coba. Aku akan membantumu”. (Peristiwa jatuhnya Naga Kuning ke pangkuan
Gondoruwo Patah Hati yang tengah bertapa merampungkan ilmu Kuku Api di tepi Kali Lanang,
dapat dibaca dalam Episode "Gondoruwo Patah Hati")

Gondoruwo Patah Hati beringsut mendekati Sinto Gendeng. Lima jari tangannya yang berkuku
panjang hitam dipentang lurus, diletakkan di tanah. Di sebelah belakang Naga Kuning letakkan
dua telapak tangannya di punggung Gondoruwo Patah Hati.

”Kalian mau melakukan apa?" tanya Sinto Gendeng sambil memperhatikan sepuluh jari berkuku
panjang hitam nenek bermuka seram di hadapannya.
”Aku akan menggali tanah di sekitar tubuhmu. Itu satu-satunya cara terbaik untuk
mengeluarkanmu dari pendaman tanah…"

Sinto Gendeng menyeringai. ”Lebih baik sepuluh kuku jarimu itu kau cengkeramkan ke leherku
biar aku mati! Itu lebih mudah dari pada bersusah payah menggali. Hik.hik.hik!"

Tanpa perdulikan ucapan Sinto Gendeng, Gondoruwo Patah Hati mulai kerahkan tenaga
dalamnya lalu dialirkan pada sepuluh jari tangan. Di sebelah belakang Naga Kuning bantu
mengalirkan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya ke tubuh Gondoruwo Patah Hati.

Sekujur tubuh Gondoruwo Patah Hati bergetar. Sepuluh jari tangannya yang berkuku hitam kini
berubah merah, memancarkan cahaya seperti bara api. Tangan dan jari serta tanah disekilarnya
mengeluarkan kepulan asap merah. Sinto Gendeng merasa ada hawa panas menjalar di tanah
sekitarnya, masuk ke dalam tubuhnya. "Lakukan sekarang”, bisik Naga Kuning. Mendengar
ucapan Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati hunjamkan sepuluh jari tangannya ke dalam
tanah. "Cesss! Cessss!”

Terdengar suara seperti besi panas dicelup ke dalam air. Asap merah mengepul semakin tebal.
Dengan kedua tangannya yang berkuku panjang Gondoruwo Patah Hati menggali tanah sekitar
tubuh Sinto Gendeng. Memang luar biasa kehebatan dua tangan si nenek Sepuluh jari berkuku
hitam yang kini memancarkan sinar merah Itu pada puncak kehebatannya sanggup meremas
hancur batu kini dipergunakan untuk menggali tanah yang jauh lebih lunak. Tentu saja dalam
waktu cepat tanah di sekitar dada Sinto Gendeng terbongkar terkuak lebar dan cukup dalam.
"Nek, coba gerakkan tubuhmu!. Mungkin tanah yang menjepitmu sudah longgar!" Berkata
Naga Kuning.

Sinto Gendeng pular-putar tubuhnya. Ternyata hanya dadanya yang berada di atas permukaan
tanah yang mampu digerakkan sementara bagian tubuh yang terpendam di sebelah bawah
masih belum bisa bergeming.

”Aku merasa tekanan tanah agak berkurang. Tapi aneh, aku tidak bisa menggerakkan tubuh
bagian bawah,” kata Sinto Gendeng. Ada tekanan berat luar biasa menindih kepala dan pundak
ku.

”Kerahkan tenaga dalammu!" Kata Gondoruwo Patati Hati.

Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalamnya tapi tetap saja dia tak mampu bergerak. "Gali lebih
dalam dan lebih besar," ucap Naga Kuning pada Gondoruwo Patah Hati. "Matahari hampir
tenggelam. Sebentar lagi malam tiba! Kita harus bisa mengeluarkannya sebelum hari menjadi
gelap”. Lalu kembali Naga Kuning salurkan tenaga dalamnya ke punggung Gondoruwo Patah
Hati. Nenek ini bekerja mati-matian menggali tanah dengan dua tangannya. Sinto Gendeng
kembali menggerakkan tubuh, coba mengeluarkan diri dari jepitan tanah. Namun tetap saja
tidak berhasil. Nafas Gondoruwo Patah Hati sudah terengah. Di belakangnya Naga Kuning telah
mandi keringat karena mengerahkan tenaga dalam tak putus-putusnya. Sang surya telah
tenggelam. Keadaan ditepi telaga mulai gelap. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba berkelebat
satu bayangan putih disertai bentakan keras. "Manusia-manusia culas keji kurang ajar! Apa
yang kalian lakukan! Dendam apa. dosa apa sampai tega-teganya dan beraninya kalian
memendam Eyang Sinto Gendeng hidup-hidup?”. "Wuuut" "Wuuut!"

Satu tendangan melabrak ke punggung Naga Kuning. Satu jotosan menghantam ke arah batok
kepala Gondoruwo Patah Hati. Si bocah jabrik dan si nenek bermuka setan berseru kaget, lalu
sama-sama cari selamat dengan jatuhkan diri ke tanah

12

NAGA Kuning merasa sekujur tubuhnya dingin ketika mengetahui tendangan orang lewat hanya
seujung kuku, menyerempet punggung baju hitamnya. Kalau dia tidak cepat jatuhkan diri ke
tanah, tubuhnya sebelah belakang pasti akan hancur berantakan. Gondoruwo Patah Hati
seperti Naga Kuning tertelentang pucat di tanah. Pukulan orang akan memecahkan balok
kepalanya kalau dia tidak cepat jatuhkan diri. Rambutnya yang sebagian tergulung kini
terbongkar awut-awutan. Masih untung hanya gulungan rambutnya yang kena serempetan
pukulan orang. Kalau sampai balok kepalanya yang kena digebuk, saat itu pasti dia sudah jadi
mayat. "Anak Setan! Dedemit mana yang masuk ke dalam tubuhmu hingga mau membunuh
dua sahabat yang hendak menolong diriku?”.

Sinto Gendeng keluarkan bentakan keras. Bayangan putih yang barusan berkelebat sambil
lancarkan dua serangan maut keluarkan seruan tertahan. Dengan dua mata dibesarkan dia
melangkah mendekati Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang saat itu tengah berusaha
bangun dari tanah. "Ampun Eyangl Saya kesalahan mata? Hampir kesalahan tangan. Tempat Ini
begitu gelap. Saya hanya melihat sosok Eyang kerena menghadap ke arah saya. Dan dua orang
itu membelakangi arah saya datang !”

Orang yang bicara jatuhkan diri berlutut dihadapan Sinto Gendeng, lalu memutar tubuh pada
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.

”Salah mata salah nyawa ! Kau pantas menerim hukuman seperti yang aku alami saat ini”.

”Mohon ampun Eyang. Tapi kedua orang ini tidak sampai mati ditanganku.”

”Kalau kami berdua sempat mati ditanganmu,kami akan menjadi setan dan datang
mencekikmu!” Kata Naga Kuning.

”Naga Kuning, nenek Gondoruwo Patah Hati, maafkan aku, aku benar-benar tidak mengira. Aku
hanya melihat kalian dari belakang. Sepertinya hendak memendam guruku ke dalam tanah.”
”Wiro, kami justru ingin mengeluarkannya dari dalam tanah. Tetapi gagal terusterusan.” Kata
Naga Kuning sambil memegang tengkuknya yang masih terasa dingin sementara Gondoruwo
Patah Hati merapikan gulungan rambutnya.

”Apa yang terjadi di tempat ini ?” tanya orang yang barusan datang, dan bukan lain lain
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.

”Jangan banyak bertanya dulu! Bantu mereka mengeluarkan aku dari dalam tanah.” Sentak
Sinto Gendeng.

Wiro menggaruk kepala.

”Baik Eyang akan saya lakukan. Saya akan lakukan.” Kata Wiro pula. Lalu dia keluarkan Kapak
Maut Naga Gen i 212. "Jangan pergunakan kapak”’ ucap Naga Kuning. ”Wiro, aku ingat
bukankah kau punya ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Pergunakan ilmu itu untuk
mengeluarkan gurumu dari pendaman tanah.”

Wiro memperhatikan sejenak. Lalu gelengkan kepala.

”Tidak, terlalu berbahaya. Salah-salah guruku malah bisa terjepit amblas! Nek kau terus
menggali tanah dengan dua tanganmu. Naga Kuning. Kau teruskan menyalurkan tenaga dalam.
Aku akan menarik Eyang Sinto ke atas.”

”Sudah dilakukan. Tapi tidak berhasil. Sosok gurumu seperti dijepit di sebelah bawah dan di
sebelah atas seolah ada kekuatan berat luar biasa menindih kepala dan pundaknya.”

”Lalu bagaimana caranya kita membebaskan Eyang? Sialan! Siapa yang punya pekerjaan kurang
ajar seperti ini!”

”Wiro. kau punya kepandaian Menembus Pandang. Selidiki apa yang ada di atas kepalaku. Mata
biasa bisa saja tidak mampu meiihat….”

Masih memegang kapak sakti di tangan kanannya, wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang
yang didapatnya dari Ratu Duyung. Begitu ilmu diterapkan dan matanya memandang ke depan.
Wiro keluarkan seruan kaget. Dua kakinya sampai bergerak surut dua langkah. "Anak Setan!
Apa yang kau lihat?” Tanya Sinto Gendeng sementara Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning
dalam herannya juga ingin tahu apa yang barusan telah dilihat Pendekar 212. "Eyang….” Suara
sang murid agak gemetar. "Saya… saya melihat ada dua benda aneh, besar putih, bergulung di
atas Kepala Eyang…” Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati saling pandang. Sinto Gendeng
mengulangi kata-kata Wiro. "Dua benda aneh, besar putih, bergulung di atas kepalaku.
Jahanam! Pasti mereka!" ”Mereka siapa Eyang?!" ”Makhluk yang memendam diriku! Sepasang
Naga Putih Kembar!" "Siapa mereka?" tanya Wiro. "Berhenti dulu bertanya. Pergunakan kapak
saktimu. Eh, aku melihat ada cahaya merah aneh membungkus senjata itu. Apa yang terjadi
dengan kapakmu Anak Setan?”. ”Ada makhluk pandai memberi kekuatan tambahan pada
senjata ini. Seekor naga..,"

Sepasang mata Sinto Gendeng membesar dalam rongga cekung angker. "Naga dengan naga.
Anak setan! Tunggu apa lagi! Hantam dua makhluk yang kau lihat itu dengan Kapak Naga Geni
212! Kerahkan seluruh tenaga dalammu! Tapi awas jangan batok kepalaku yang kau hantam!
Hik..hik..hik!" Dalam keadaan tegang seperti itu si nenek masih bisa bergurau dan tetawa
cekikikan.

Wiro melangkah mendekati sosok Sinto Gendeng yang terpendam setengah badan di tanah.
Kapak Naga Geni 212 dipegangnya dengan dua tangan sekaligus. Belum pernah dia memegang
senjata sakti ini seperti itu. Tenaga datam dialirkan penuh. Dua mata kapak sakti memancarkan
sinar putih terang, dibungkus sinar kemerahan.

Dua tangan yang memegang gagang senjata sakti bergerak. Kapak Naga Geni 212 berkelebat
dahsyat di atas kepala Sinto Gendeng. Suara dahsyat seperti ratusan tawon mengamuk
menggelegar di tempat itu. Cahaya putih menyilaukan serta cahaya merah angker merobek
kegelapan malam. Hawa panas menghampar membuat Naga Kuning dan Gondoruwo Patah
Hati menyingkir jauhkan diri.

Kapak Maut Naga Geni 212 kelihatannya membabat udara kosong. Tapi saat itu juga terjadi
satu keanehan. Di kejauhan terdengar suara dua orang berbarengan meratap kesakitan. Lalu
ada dua makhluk besar terbang, melesat tak kelihatan dalam kegelapan malam.

Sinto Gendeng tersentak. Tindihan berat di kepala dan pundaknya lenyap. "Anak Setan! Cepat
kau lihat! Apa dua makhluk putih itu masih ada di atas kepalaku?"

Wiro terapkan kembali Ilmu Menembus Pandang. "Lenyap, tak ada lagi Eyang. Tapi di kejauhan
sana saya melihat ada dua titik putih”. "Persetan dengan dua titik putih itu!" ujar Sinto
Gendeng. "Gondoruwo, cepat kau gali tanah di sekitarku. Naga Kuning, alirkan terus tenaga
dalammu. Wiro, kau angkat tubuhku ke atas. Hati-hati, perlahan-lahan! Aku khawatir tanah
jahanam itu masih menjepit diriku di sebelah bawah,"

Gondoruwo Patah Hati kembali menggali tanah di sekitar tubuh Sinto Gendeng. Naga Kuning
kerahkan seluruh tenaga dalam ke tubuh si nenek lewat punggung. Wiro sendiri saat Itu telah
berada di belakang sosok gurunya. Dua tangan diselinapkan kebawah ketiak Sinto Gendeng lalu
dengan mengerahkan tenaga luar dalam dia mulai mengangkat tubuh gurunya ke atas. Berhasil!
Perlahan-lahan tubuh kurus kering dan bau pesing Sinlo Gendeng terangkat ke atas. Mulai dari
bagian dada, lalu pinggang, menyusul bagian perut. Ternyata ada yang tidak beres. Walau
tubuh si nenek bisa diangkat ke atas, dikeluarkan sedikit-demi sedikit dari dalam pendaman
tanah, namun kain yang dikenakannya terjepit di bawah dan tertinggal di dalam tanah sehingga
auratnya di bagian bawah perut terbuka jelas!
Gondoruwo Patah Hati langsung melengos palingkan kepala begitu melihat aurat Sinto
Gendeng yang tersingkap. Naga Kuning berteriak. "Wir! Tahan!" "Ada apa?”. Wiro yang tidak
tahu apa yang terjadi bertanya. Dan terus saja menarik tubuh gurunya ke atas, keluar dari
pendaman tanah. "Hentikan! Jangan ditarik terus! Lepas! Lepaskan dulu. Ada yang tidak beres"
”Naga Kuning, apa yang tidak beres?!" Sinto Gendeng bertanya heran. Cuma saat itu dia
memang merasakan saputan udara malam menyapu dingin di auratnya sebelah bawah.

”Itu! Anu…. Kain Eyang Sinto ketinggalan di dalam tanah Anu Nek… ada yang nongol kelihatan”.
"Ada yang nongo?. Apa maksudmu?" Sinto Gendeng bertanya.

Di sebelah belakang Wiro masih berusaha menarik tubuh gurunya ke atas.

Naga Kuning menunjuk ke bawah perut si nenek, Sinto Gendeng tundukkan kepala,
memandang ke bawah. Wiro ikutan julurkan kepalanya memandang ke bawah perut sang guru.
"Oo… wualla! Setan alas!" teriak Sinto Gendeng dengan muka kelam begitu melihat auratnya
sendiri. Dua tangannya dipukul-pukulkan ke tangan Wiro.

Wiro poncongkan mulut. Meringis geli. Lalu loloskan dua tangannya dari bawah ketiak sang
guru. Sosok Sinto Gendeng meluncur ke dalam tanah. "Brengsek kau!" kata Naga Kuning pada
Wiro. "Sudah aku bilang berhenti kau malah menarik terus ke atas. Bisa sakit rebebkan mataku
melihat benda terlarang itu”. "Kau yang brengsek. Mengapa kau bilang. Ada yang nongol. Aku
mana mengerti?!" tukas Pendekar 212. "Lalu aku mau bilang apa? Masa aku mau bilang ijuk.
Habis berucap begitu Naga Kuning tertawa cekikikan. Gondoruwo Patah Hati jewer telinga
bocah ini. Sinto Gendeng memaki panjang pendek sedang Wiro berdiri senyum-senyum sambil
garuk-garuk kepala. "Kalian orang-orang gila semua!" Rutuk Sinto Gendeng.

Saat itu Gondoruwo Patah Hati telah tanggalkan jubah luarnya. Jubah hitam ini dililitkannya ke
tubuh Sinto Gendeng. Kalaupun nanti tubuh itu ditarik ke atas, maka auratnya akan terlindung
di balik jubah hitam, Naga Kuning memberi tanda pada Wiro, masih tertawa-tawa. Pendekar
212 kembali mengangkat tubuh sang guru yang kini telah diselubungi jubah itu. Ketika sosok
Sinto Gendeng terangkat ke atas sampai sebatas pinggul, tiba-tiba entah dari mana datangnya
tahu-tahu kawasan sekitar telaga ttu telah tertutup kabut putih. Semua orang tercekat. Sinto
Gendeng merasa ada yang tidak beres, cepat berteriak. "Anak Setan! Lekas tarik tubuhku!
Cepat!"

Wiro lakukan apa yang dikatakan sang guru.

Tiba-tiba dari balik kabut ada suara menggema. "Jangan ada yang berani bergerak. Atau kalian
semua akan menemui ajal di tempat ini!"

13
SIAPA yang barusan bicara? Setan telaga atau dedemit hutan?” Naga Kuning keluarkan ucapan.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam kabut menyambar sebuah benda putih seperti
ujung sebuah cemeti. "Wuuuuttt!" "Desss!"

Naga Kuning berseru kaget. Cepat melompat mundur. Ketika dia memandang ke depan, tanah
di tempat tadi dia berdiri amblas sedalam dua jengkal dan berwarna kehitaman seperti hangus.
Melihat hal ini Gondoruwo Patah Hati berteriak marah. Dia langsung angkat tangan kanan
hendak hantamkan ilmu Kuku Api. Watau ilmu ini belum rampung dikuasainya, tapi tingkat
yang saat itu sudah dimilikinya sanggup menghancurkan sebuah batu sebesar kerbau.

”Tahan.” Tiba-tiba Wiro berkata sambil memegang lengan Gondoruwo Patah Hati, Kita tidak
melihat musuh. Sebaliknya musuh melihat kita. Tunggu sampai kabut lenyap. Siapapun yang
ada di balik kabut akan muncul kelihatan."

Apa yang dikatakan Wiro memang benar. Perlahan-lahan kabut pulih melenyap sirna. Lalu dari
balik kabut itu di atas telaga kelihatan dua sosok nenek berwajah putih berambut perak. Tubuh
mereka menyerupai tubuh naga berwarna putih. Didada masingmasing kelihaian ada luka besar
yang walaupun sudah bertaut tapi tampak masih mengucurkan darah. Agaknya luka ini adalah
bekas hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 yang dilancarkan Wiro tadi. "Sepasang Naga Putih
Kembar! Mereka makhluk jahanam yang memendam aku ke dalam tanah!".Teriak Sinto
Gendeng yang saat itu terpendam kembali di tanah. ”Jadi ini makhluknya yang berani berlaku
kurang ajar terhadap guruku!" Wiro melompat ke depan. Kapak Maut Naga Geni 212 sudah
tergenggam di tangan. Sepasang mata dua nenek kembar bertubuh naga melirik pada senjata di
tangan Pendekar 212 itu. Jelas kelihaian mereka agak ngeri melihat senjata yang sebelumnya
telah melukai diri mereka itu. "Bocah sableng! Mulutmu jangan terlalu enteng bicara! Kau tahu
apa tentang dosa kesalahan gurumu! Kau sendiri saat ini telah berbuat kesalahan besar. Berani
menyerang dan melukai kami! Serahkan Kapak Naga Geni 212 itu pada kami. Kau akan selamat
dari kematian!" "Wiro,” Naga Kuning berbisik. ”Agaknya dua makhluk berkepala manusia
bertubuh naga ini jerih terhadap kapakmu. Hati-hati. Aku punya dugaan mereka akan berusaha
merampas senjata itu dari tanganmu!"

Dari dalam pendaman tanah tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara tawa melengking.
"Sepasang Naga Putih! Kalian inginkan senjata di tangan muridku! Tapi kalian hanya berani
meminta seperti pengemis! Pengecut! Jika kalian memang punya ilmu kepandaian mengapa
tidak mengambil sendiri?!” Sinto Gendeng rupanya juga sudah membaca kalau dua nenek
kembar itu merasa kecut melihat Kapak Maut Naga Geni 212.

Dimaki pengemis dan pengecut dua naga putih keluarkan suara menggembor. Yang di sebelah
kanan yaitu Naga Nini membuka gelungan tubuhnya lalu melesat ke arah Pendekar 212 Wira
Sableng. Wiro menyambut dengan hantaman tangan kiri, melepas pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera sementara kapak di tangan kanan menderu membabat ke arah kepala
nenek bertubuh naga. Sinar terang putih menyilaukan terbungkus cahaya merah menderu
panas dan mengeluarkan suara ratusan tawon mengamuk.
Naga Nini buka mulutnya lalu menyembur. Satu gelombang angin dahsyat melabrak. Pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera buyar. Tubuh Pendekar 212 terpental dua tombak. Dia
merasa seperti ditancapi ratusan jarum. Darah mengambang di permukaan kulitnya. Kapak di
tangan kanan terlepas. Dia berusaha menjangkau tapi ekor Naga Nini tiba-tiba berkelebat
menghantam ke arahnya. Murid Sinto Gendeng ini terpaksa lebih dulu selamatkan nyawanya
daripada selamatkan kapak sakti. Selagi senjata itu melayang di udara. Gondoruwo Patah Hati
cepat melesat untuk mengambilnya. Pada saat kapak berhasil disentuhnya, dari depan
mendadak naga pulih ke dua yaitu Naga Nina telah bergerak kirimkan serangan. Ekornya yang
panjang laksana cambuk membeset ke arah si nenek. Gondoruwo Patah Hati nekad pergunakan
Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menangkis. "Trangg!"

Luar biasa! Ekor naga itu laksana baja lentur, mengeluarkan suara berdentrangan ketika beradu
dengan mata kapak. Walaupun begitu tampak ada darah mengucur di bagian ekor Naga Nina
pertanda daya kebal keatosan tubuhnya mampu ditembus oleh kapak sakti milik Pendekar 212
Wiro Sableng.

Kapak boleh sakti tapi Gondoruwo Patah Hati ternyata belum sanggup menerima labrakan
buntut naga yang luar biasa kerasnya. Meski dia masih sanggup menggenggam senjata itu
namun tubuhnya terlempar jauh dan terbanting ke tanah. Naga Kuning cepat memburu.

"Aku tak apa-apa. Mungkin hanya luka di dalam sedikit. Ambil kapak sakti. Agaknya hanya
senjata Ini yang mampu menghadapi makhluk aneh itu."

Semula Naga Kuning hendak mengambil senjata itu. Tapi akhirnya dia berkala.

"Kapak itu biar tetap di tanganmu untuk menjaga segala kemungkinan! Dua makhluk bermuka
nenek putih bertubuh naga itu siapa mereka sebenarnya. Dia berani mencelakaimu. Aku akan
menghajar mereka sampai kapok!"

”Hati-hati, mereka bukan makhluk sembarangan."

Saat itu Naga Kuning telah melompat kehadapan Naga Nina yang barusan telah menghantam
jatuh Gondoruwo Patah Hati.

Di dalam pendaman tanah Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Dia sudah gatal tangan
untuk ikut menempur sepasang naga itu namun walau tindihan berat di kepala dan pundaknya
telah lenyap ternyata dia masih tidak mampu mengeluarkan diri sendiri dari dalam tanah.

Ketika Naga Kuning mendatangi Naga Nina, Wiro melompat ke arah Naga Nini. Sebelum
menerjang naga berkepala nenek berwajah putih itu dia telah menyiapkan pukulan Sinar
Matahari di tangan kanan. Begitu menerjang dia segera lepaskan pukulan sakti itu ke arah
lawan. Sinar putih berkelibat dalam gelapnya malam disertai hamparan hawa panas luar biasa.

Tapi Naga Nini keluarkan tawa dan ucapan mengejek menyambuti serangan sang pendekar.
”Pukulan Sinar Matahari! Apa perlu ditakuti? Hik… hik… hik".

Di tempatnya terpendam Sinto Gendeng merasa dirinya seperti terpanggang mendengar ilmu
kesaktian yang diwariskan pada muridnya itu diejek orang seperti itu. Namun karena dalam
keadaan tak berdaya dia tidak mampu berbuat suatu apa.

Habis keluarkan tawa dan ucapan mengejek Naga Nini menyembur. Seperti tadi satu
gelombang angin yang luar biasa dahsyatnya menghantam ganas.

Satu dentuman keras menggelegar, menggoyang pepohonan, memuncratkan air telaga dan
menggetarkan tanah. Naga Nini keluarkan suara menggerung hebat tapi sosoknya tidak
bergeming sedikitpun. Dari wajah dan kepalanya mengepul asap kelabu. Sebaiknya Pendekar
212 terlempar jauh, bergulingan di tanah. Tangan kanannya yang tadi melepas pukulan Sinar
Matahari terasa kaku sulit digerakkan. Wiro cepat atur pernafasan kerahkan tenaga dalam dan
berusaha melancarkan peredaran darah.

Sementara itu Naga Kuning dengan tangan kosong nekad menyerbu Naga Nina yang telah
menciderai Gondoruwo Patah Hati. Selagi tubuhnya melayang di udara anak ini lepaskan dua
pukulan Naga Murka Merobek Langit. Dua larik sinar biru enyambar ke arah Naga Nina. Nenek
muka putih bertubuh naga Ini sesaat terkesiap. Lalu mulutnya terbuka, menyembur. Dua larik
sinar biru serangan Naga Kuning berbalik menghantam ke arah pemiliknya.

Gondoruwo Patah Hati berteriak keras menyaksikan apa yang terjadi

"Gunung!" Si nenek berseru menyebut nama asli Naga Kuning. Walau dirinya dalam keadaan
cidera, dia berusaha menyambuti tubuh anak itu dengan satu tangan masih memegang Kapak
Naga Geni 212. Tapi dari samping ekor Naga Nini tiba-tiba menyambar, menggelung senjata
sakti itu dan membetotnya lepas. Walau si nenek berhasil menyambuti tubuh Naga Kuning
namun kapak sakti milik Pendekar 212 telah kena dirampas Naga Nini. Melihat kejadian ini Wiro
menjadi kalap. Sekali melompat dia lelah melesat ke arah Naga Nini. Sambil melesat dia
kembangkan telapak tangan kanan, didekatkan ke mulut lalu ditiup. Serta merta pada telapak
tangan itu muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Itulah gambar Datuk Rao
Barmato Hijau, harimau sakti peliharaan seorang kakek bernama Datuk Rao Basaluang Ameh.
Tangan kanan Wiro kini sudah terisi ilmu pukulan sakti bernama Pukulan Harimau Dewa.
Jangankan kepala manusia atau binatang, batu sebesar apapun sanggup dipukul hancur oleh
Wiro dengan hanya menggerakkan tangannya sedikit saja.

Naga Nini memandang remeh ketika dilihatnya Wiro menyerbunya kembali dengan tangan
kosong. Sambil memegang Kapak Maut Naga Genl 212 di tangan kirinya, Naga Nini hantamkan
ekornya ke arah murid Sinto Gandeng. Saat itulah Wiro dorongkan tangan kanannya perlahan
saja. Selagi ekor Naga Nini berkelebat ke arah tubuhnya, dari tangan Wiro menyambar keluar
satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya.
"Wusss!" ‘

Naga Nini menggerung keras. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu terbanting di tanah dekat
telaga. Di kening kirinya kelihatan satu benjutan luka mengucurkan darah. Pukulan Harimau
Dewa yang dilepaskan Pendekar 212 ternyata hanya sanggup membuat luka, tidak mampu
menghancurkan kepala Naga Nini! Sebaliknya Wiro sendiri walau tidak kena digebuk telak oleh
Naga Nini namun sambaran angin yang keluar dari ekor manusia bertubuh naga itu membuat
dirinya terhenyak ke tanah. Untuk beberapa Iamanya dia terkapar tak bisa bergerak. Dia masih
tak mampu bergerak ketika Naga Nini mendatangi dengan mementang Kapak Maut Naga Geni
212 di tangan kanan.

"Anak Setan! Jangan diam saja! Lakukan sesuatu! Selamatkan dirimu!” Teriak Sinto Gendeng
ketika dilihatnya muridnya tidak berdaya sementara kapak sakti di tangan Naga Nini membacok
ke arah kepalanya.

Tiba-tiba ada suara aneh di tempat itu. Suara yang menyatakan ketakutan amat sangat disusul
dengan suara setengah meratap. Gerakan Naga Nini yang hendak membacok kepala Wiro serta
merta terhenti. Itu adalah suara saudara kembarnya. Seumur hidup belum pernah dia
mendengar saudaranya mengeluarkan suara seperti itu. Apa yang terjadi?. Naga Nini
melintangkan kapak sakti di depan dada, berpaling ke arah kiri. Terkejutlah dia ketika melihat
ada sosok makhluk yang mengambang di udara di hadapan Naga Nina. Di depan saudaranya
saat itu ada seekor naga besar bertubuh kuning, mala merah menyorot, lidah menjulur hijau,

"Naga Hantu Langit Ke Tujuh!" desis Naga Nini. Tubuhnya mendadak sontak menjadi dingin.
Nyalinya leleh dan wajahnya yang pulih jadi pucat bertambah putih.

Apa yang terjadi?

Selagi Naga Kuning masih berada dalam gendongan Gondoruwo Patah Hati, Naga Nina tiba-tiba
lancarkan serangan. Si bocah cepat melompat dari gendongan si nenek. Sebelum kakinya
menginjak tanah ekor Naga Nina menyambar ke arah kakinya. Naga Kuning melesat ke udara
sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun serangannya
tidak mengenai sasaran. Sebaliknya hantaman ekor Naga Nina datang bertubi-tubi diseling
pukulan tangan. Naga Kuning terdesak hebat. Gondoruwo Patah Hati berusaha menolong.
Dengan kuku-kuku jarinya yang runcing hitam Si nenek berhasil merobek pinggul Naga Nina
hingga terluka besar kucurkan darah. Naga Nina menggerung marah dan menyerang
Gondoruwo Patah Hati dengan ganas. Salah satu sambaran ekornya berhasil menghantam bahu
kiri Gondoruwo Patah Hati hingga nenek ini terlempar jauh, terbanting di tanah.

Naga Kuning berteriak keras. Selagi dia berusaha memburu ke arah si nenek, Naga Nina
menghadang dan menyerangkan dengan hebat. Beberapa jotosan dan hantaman ekor
mendarat di tubuh bocah itu. Untungnya dia telah membentengi diri dengan ilmu Ikan Paus
Putih sehingga tubuhnya menjadi licin. Setiap jotosan ataupun hantaman ekor lawan tidak bisa
mengenai dirinya secara telak. Tapi bagaimanapun hebatnya Naga Kuning bertahan, lambat
laun dia kehabisan tenaga dan terdesak hebat. Ketika ekor Naga Nina menggelung dan
mencekik lehernya, siap memisahkan kepala dan tubuh Naga Kuning, tiba-tiba wajah dan sosok
sang bocah berubah menjadi wajah dan tubuh seorang kakek berambut putih. Inilah sosok asli
Naga Kuning yang dikenal dengan nama Kiai Paus Samudera Biru. Dari dada kakek ini melesat
keluar satu sosok naga yang makin lama makin besar, mengapung tinggi di udara seolah
menindak langit.

Ekor Naga Nina yang masih menggelung leher si bocah yang tekah berubah menjadi sosoK
seorang kakek mengepulkan asap seolah menggelung besi panas. Naga Nina tersurut mundur
bukan hanya karena kesakitan akibat ekornya yang hangus, tapi juga karena terkejut dan kecut
ketika melibat sosok naga besar berwarga kuning di hadapannya.

"Naga Nina, kau tahu berhadapan dengan siapa”. Kiai Paus Samudera Biru keluarkan ucapan.
Suaranya perlahan tapi menggetarkan seantero tempat, membuat Naga Nina tambah kecut.

"Saya tahu berhadapan dengan siapa. Naga Hantu Langit Ketujuh, raja dari segala naga yang
hidup maupun yang telah menjadi roh.” Suara Naga Nina terdengar gemetar pertanda dia takut
setengah mati.

"Aku Kiai Paus Samudera Biru mewakili Naga Hantu Langit Ketujuh untuk menanyaimu.
Perbuatan apa yang kau lakukan di tempat ini? Menyiksa dan menghantam orang? Apakah kau
tidak punya pekerjaan lain selain membuat kekacauan!"

”Kiai Naga Hantu Langit Ketujuh! Mohon maafmu. Kami tidak bermaksud berbuat Kekacauan.
Kami….”

"Panggil saudaramu ke sini! Aku perlu bicara dengan kalian berdua!"

Naga Nina tundukkan kepala. Dia berpaling pada saudaranya, memberi isyarat agar Naga Nini
mendatangi. Begitu dua nenek kembar bertubuh naga itu berada di hadapannya. Naga Hantu
Langit Ketujuh berkata.

”Sekarang jelaskan apa yang kalian lakukan disini. Mulai dengan perbuatan kalian terhadap
nenek itu" Kiai Paus Samudera Biru goyangkan kepalanya ke arah Sinto Gendeng yang saat itu
masih terpendam di tanah.

"Beberapa waktu lalu kami mendatanginya untuk menjatuhkan hukuman. Kami memendamnya
di dalam tanah.” Naga Nina yang termuda dari dua naga kembar ilu angkat bicara.

Kenapa kalian menjatuhkan hukuman atas dirinya’?" Tanya Naga Hantu Langit Ketujuh.

"Dia telah berbuat dosa. Melakukan satu kesalahan besar”.Jawab Naga Nini.

”Dosa apa, kesalahan apa?"


"Dia membunuh seorang anak kecil bernama Boma Wanareja." Kata Naga Nini pula.

Wiro terkejut mendengar ucapan Naga Nini itu.

"Tidak mungkin Guruku…!"

"Kiai Paus Samudera Biru berpaling pada Wiro.

"Anak muda biar aku lebih dulu menyelesaikan urusan dengan dua naga kembar ini. Jangan
mencampuri pembicaraan."

”Kalau Eyang Sinto Gendeng tidak besalah aku tidak mau mendengar fitnah kotor dari mulut
siapapun!”

”Fitnah atau bukan kita akan segera mengetahui," ujar Kiai Paus Samudera Biru.

”Kami tidak pernah memfitnah. Apa yang terjadi adalah kenyataan!” Ucap Naga Nina. "Sinto
Gendeng membunuh anak itu dalam keadaan sadar!"

”Siapa adanya anak bernama Boma Wanareja itu?"

"Seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun. Dia diharapkan akan menjadi seorang pendekar
sakti mandraguna, pembela keadilan penegak kebenaran, penolong orang-orang terlindas. Tapi
Sinto Gendeng telah menghabisinya!"

Kiai Paus Samudera Biru menoleh ke jurusan Sinto Gendeng lalu bertanya.

"Benar kau telah membunuh anak lelaki bernama Boma itu?”.

"Benar!” jawab Sinto Gendeng mengakui tanpa tedeng aling-aling. "Tapi kejadian itu
berlanssung secara tidak sengaja. Aku mengira dia telah membunuh seorang sahabatku. Aku
telah mengaku bersalah dan bersumpah mencari pembunuh sebenarnya Tapi dua nenek
bertubuh naga itu berkata tak ada gunanya aku mencari si pembunuh. Walau aku membunuh
orang itu sampai tujuh kali, anak bernama Boma Wanareja tidak akan bisa dihidupkan kembali!
Apa yang dikatakan mereka benar. Tapi mengaitkan kesalahanku dengan menghidupkan orang
yang sudah mati kurasa adalah jalanan pikiran gila! Tuhan sekalipun tidak pernah
menghidupkan orang yang sudah mati! Bukan begitu? Kalau itu terjadi aku pikir dunia ini akan
panjang dengan antrian ribuan manusia yang sudah mati ingin minta dihidupkan kembali! Hik…
hik…hik!"

"Sinto! Hentikan tawamu!" Tegu Kiai Paus Samudera Biru, lalu orang tua penjelmaan bocah
bernama Naga Kuning ini berpaling pada sepasang nenek berwajah putih. "Apa hubungan
kalian berdua dengan bocah bernama Boma itu?"
"Kami adalah pelindungnya.” Jawab Naga Nini dan Naga Nina berbarengan.

”Pelindungnya?" Sepasang alis putih Kiai Paus Samudera Biru mencuat ke atas. Keningnya
mengerenyit. "Kalau kalian memang pelindungnya, di mana kalian ketika anak itu terancam
jiwanya, menjadi korban kekeliruan Sinto Gendeng?"

”Kami tengah bertapa di puncak Gunung Wilis," jawab Naga Nina.

"Aneh," ucap Kiai Paus Samudera Biru. "Kalian mengaku pelindung anak itu! Tapi kalian tidak
berada di dekatnya ketika nyawanya terancam.Kalian lebih mementingkan tapa dari
mendampinginya sebagai pelindung. Menurut hematku kalian berdualah yang telah berbuat
alpa. Jika kalian benar-benar melindungi anak itu, kejadian yang tidak diinginkan itu tidak akan
terjadi. Menurutku kalian berdua yang pantas menerima hukuman!”.

Wajah putih dua nenek bertubuh naga itu menjadi sepucat kain kafan. Keduanya rundukkan
kepala dan berkata berbarangan.

"Kiai Paus Samudera Biru kalau kami memang alpa dan melakukan kesalahan, kami bersedia
menerima hukuman. Namun bagaimanapun juga kami berharap pengampunan dari dirimu. Dan
kami juga meminta maaf pada Sinto Gendeng atas semua perbuatah kami. Juga minta maaf
pada semua orang yang ada di sini. Jika kami bisa diberi pengampunan dan diben maaf. kami
mohon minta diri dari tempat ini."

Kiai Paus Samudara Biru pandangi dua nenek bermuka pulih itu sejurus lalu anggukkan kepala.

"Setiap orang, siapapun adanya bisa saja berbuat kesalahan, kekeliruan bahkan dosa! Tapi
manusia lain tidak layak menjatuhkan hukuman tanpa penyelidikan yang benar serta
pertimbangan rasa adil yang tidak memihak. Kalian berdua boleh pergi. Lain kali berhati-hatilah
dalam bertindak. Sebelum pergi letakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di tanah. Senjaia itu harus
dikembalikan pada pemiliknya."

"Terima kasih Kiai. Kami minta diri.”

Naga Nini meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di atas sebuah batu. Lalu sepasang nenek
kembar itu rundukkan kepala, sama bersurut mundur. Tempat itu dipenuhi kabut putih. Ketika
kabut putih lenyap dua nenek bertubuh naga itupun tidak kelihatan lagi.

Wiro mengambil kapak sakti dan atas batu. Naga Hantu Langit Ketujuh menggeliat lalu secara
aneh masuk ke dafam tubuh Kiai Paus Samudera Biru. Gondoruwo Patah Hati merasa ragu
hendak mendekati kakek itu. Sang Kiai sendiri melangkah mendekati Sinto Gendeng.

”Sinto, kau tidak apa-apa?" Kiai Paus Samudera Biru bertanya. Dia perhatikan wajah si nenek
lalu membuka jubah hitam yang menyelimuti tubuh Sinto Gendeng, maksudnya untuk
memeriksa bahwa si nenek benar-benar tidak mengalami cidera. Jubah hitam diletakkannya di
tanah.

Terima kasih Kiai, aku tidak apa-apa," jawab Sinto Gendeng.

"Kalau begitu biar kubantu kau keluar dari dalam tanah." Lalu Kiai Paus Samudera Biru cekal
leher baju Sinto Gendeng, siap menarik si nenek ketuar dari dalam pendaman tanah.

"Wah celakai" ucap Wiro. Dia tahu apa yang bakal terjadi kalau tubuh gurunya sampai tertarik
luar. Dia cepat berteriak.

"Kiai! Jangan! Tunggu dulu ”.

Tapi terlambat. Sekali tangan Kiai Paus Samudera Biru bergerak, sosok si nenek terangkat keluar
dari dalam tanah.

Gondoruwo Patah Hati menjerit dan palingkan kepala ke jurusan lain. Wiro terkesima kaget,
tidak beran memandang ke jurusan gurunya. Sinto Gendeng sendiri terpekik dan kalang
kabut ,pergunakan dua tangan menutupi tubuhnya sebelah bawah yang tersingkap bugil karena
seperti kejadian tadi, kain hitamnya terjepit tinggaI di dalam tanah. Begitu melihat jubah hitam
di tanah si nenek segera menyambarnya lalu lari terbiritbirit ke balik pohon.

Kiai Paus Samudera Biru sendiri kelihatan terperangah kaget. Sepasang matanya mendelik,
digosok-gosok. Lalu tapak tangannya ditutupkan ke mata tapi jari-jarinya dalam keadaan
renggang. "Aduh, rejeki atau kesialan yang aku lihat ini? Amit-amit… Jangan sampai aku ditimpa
sial melihat barang terlarang ini!’

Entah karena pemandangan luarbiasa yang dilihatnya itu atau memang sudah saatnya merubah
diri, ujud Kiai Paus Samudera Biru yang berbentuk kakek tua renta itu berubah kembali menjadi
sosok bocah konyol berambut jabrik bernama Naga Kuning. Gondoruwo Patah Hati cepat
menyambar telinga anak ini dan memuntirnya kuat-kuat hingga Naga Kuning teraduh-aduh
kesakitan. "Apa salahku! Apa salahku!" Teriak Naga Kuning. ”Kau tahu nenek itu tidak
mengenakan apa-apa disebelah bawah. Mengapa masih kau tarik keluar dari dalam tanah? Kau
sengaja menanggalkan jubah hitam. Kau punya niat kotor! Ingin melihat anunya!" ”Tunggu!
Aduh! Tunggu? Sebagai Naga Kuning aku memang tahu. Tapi sebagai Kiai Paus Samudera Biru
mana aku tahu apa yang terjadi sebelumnya!" “Kau pandai berdusta! Naga Kuning dan Kiai Paus
Samudera Biru orangnya itu-itu juga! Mustahil tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya!"
Gondoruwo Patah Hati kembali puntir telinga Naga Kuning hingga anak itu terpekik kesakitan.
”Anak konyol kurang ajar!" Wiro melompat mendekati Naga Kuning dan pelintir kupingnya yang
satu lagi. "Gondoruwo Patah Hati betul! Kau dan Kiai itu dua makhluk yang sama hanya
berbeda bentuk! Apa yang kau ketahui pasti diketahui juga oleh Kiai Paus Samudera Biru. Kau
pandai mencari alasan! Sebenarnya kau ingin melihat anu guruku" "Menurut maumu itu bukan
anu. Tapi Ijuk! Ha…ha… ha”.
Naga Kuning keluarkan ilmu tkan Paus Putih. Dua telinganya yang dijewer Wiro dan Gondoruwo
Patah Hati menjadi licin hingga dengan mudah dia lepaskan diri. Sambil tertawa-tawa bocah ini
lari menjauhi. Entah sengaja entah tidak dia justru lari ke balik pohon besar dimana Sinto
Gendeng belum sempat mengenakan jubah hitam alias masih bugil di bagian bawah. Melihat
kemunculan si bocah nenek itu terpekik dan keluarkan carut marut panjang pendek! Sambil
menutupi tubuhnya sebelah bawah dengan jubah hitam dia lari terbirit-birit meninggalkan
tempat itu! "Apa kataku!" teriak Wiro. "Kau memang ingin melihat anu guruku! Bocah kurang
ajar kuberi sambal dua matamu!" Wiro melompat mengejar. Naga Kuning tertawa gelakgelak,
menyusup ke dalam semak belukar dan lenyap di kegelapan malam.

TAMAT

Eps 134 Nyawa Kedua

Sejak dua minggu lalu pasangan suami istri muda Nyi Purwaningrum bersama suaminya Raden
Kuncorobanu yang seorang saudagar muda itu menempati rumah baru mereka di desa
Sarangan. Karena suami istri ini begitu ramah dan suka bergaul dengan siapa saja maka dalam
waktu singkat keduanya sudah dikenal dan disenangi oleh penduduk desa. Apa lagi
Kuncorobanu tidak segan-segan membantu penduduk miskin yang hidupnya serba kekurangan.

Ketika datang ke Sarangan, Nyi Purwaningrum yang berkulit hitam manis dan berwajah cantik
itu tengah mengandung menjelang bulan ke tujuh.

Sebagai seorang saudagar, Kuncorobanu sering bepergian, terutama ke Magetan pusat dia
menjalankan usaha perdagangannya. Walau desa Sarangan tidak terlalu jauh dari Magetan,
namun jika banyak urusan dagang yang dilakukan maka seringkali saudagar muda ini bermalam
di Magetan.

Kalau sang suami sedang bepergian Nyi Purwaningrum hanya seorang diri di rumah. Dia tidak
mempunyai pembantu atau pelayan. Juga tidak ada penjaga di rumah itu sebagaimana layaknya
kediaman orang-orang kaya atau para bangsawan. Hal ini mendatangkan rasa cemas di banyak
penduduk desa Sarangan yang telah mengenal baik sepasang suami istri itu. Beberapa orang
tetangga pernah memberitahu Nyi Purwaningrum bahwa sejak beberapa bulan belakangan ini
tujuh desa di sekitar kawasan Telaga Sarangan, termasuk desa Sarangan, sebenarnya berada
dalam keadaan tidak aman. Tidak aman terutama bagi seorang perempuan yang sedang hamil
seperti halnya Nyi Purwaningrum. Telah beberapa kali terjadi ibu-ibu muda yang tengah hamil
diculik oleh makhluk aneh berbentuk pocong hidup. Siapa saja yang berani melakukan
pengejaran pasti menemui kematian. Sementara semua perempuan yang diculik tak pernah
kembali, tidak diketahui dibawa kemana dan tidak diketahui apa yang terjadi dengan diri
mereka.
“Kata orang, di tempat kejadian, sebelum atau sesudah penculikan biasanya muncul sebuah
bendera aneh, berbentuk segitiga. Penduduk menyebutnya bendera darah karena bendera itu
memang basah oleh darah manusia!” Seorang penduduk desa, perempuan separuh baya
bernama Tumini memberitahu Nyi Purwaningrum ketika berkunjung ke rumahnya. Perempuan
ini sering mendatangi rumah kediaman istri saudagar itu, membantu pekerjaan sehari-hari.
Sekali-sekali perempuan ini membawa serta anak perempuannya yang berusia sebelas tahun.

Mendengar keterangan Tumini, Purwaningrum hanya tersenyum dan berkata. “Selama ini saya
tidak mendengar berita buruk seperti itu di desa kita. Keadaan di sini kelihatan serba aman,
tenteram. Penduduk ramah semua dan baik terhadap saya. Tapi apa yang kakak Tumini
ceritakan barusan akan saya sampaikan pada Mas Banu. Sebaiknya dia tidak pulang ke rumah
sampai larut malam atau sering menginap di Magetan….”

“Rumah ini sebaiknya ada pengawal. Terutama pada malam hari. Banyak lelaki penduduk desa
yang mau bantu menjaga keselamatan Jeng Ningrum, sekalipun tidak dibayar. Kalau Jeng
Ningrum mau saya bisa memangggil mereka….”

“Terima kasih, kalian semua orang baik. Saya akan beritahu suami saya dulu kalau nanti dia
pulang.”

“Jeng Ningrum, ada orang memberitahu saya. Beberapa hari ini, kalau hari mulai gelap ada
beberapa orang berpakaian serba hitam terlihat di sekitar rumah ini. Dua orang di antara
mereka yang naik kuda….”

“Mungkin mereka penduduk desa yang berbaik hati ingin menjaga rumah saya,” kata Nyi
Purwaningrum pula.

“Tidak, orang-orang itu tidak dikenal. Mereka bukan orang desa Sarangan. Setiap pamongdesa
datang meronda, mereka lenyap.”

“Lalu apakah desa ini pernah kedatangan perampok? Ada penduduk yang kerampokan?” tanya
Nyi Ningrum.

“Tidak pernah memang. Tapi penduduk berpendapat orang-orang itu punya niat tidak baik.
Jeng Ningrum harus berhati-hati.”

“Terima kasih, saya akan perhatikan ucapan kakak. Kakak tak perlu cemas. Saya akan menjaga
diri baik-baik,” kata istri saudagar muda itu. Lalu dia melanjutkan ucapannya. “Ada satu hal
yang ingin saya beritahukan. Hari Jum’at di muka bersama suami saya akan pergi ke Telaga
Sarangan. Kata orang, di satu tempat tak jauh dari Air Terjun Ngadiloyo banyak tumbuh
berbagai macam bunga. Salah satu di antaranya bunga mawar hitam yang sangat langka dan
konon hanya tumbuh beberapa kuntum saja. Bunga-bunga mawar ini katanya kuncup pada
malam hari dan mekar menjelang fajar menyingsing. Saya ingin melihatnya.”
“Penduduk di sini menyebut bunga itu kembang mawar ireng,” kata Tumini pula. “Mengapa
Jeng Ningrum ingin melihat kembang mawar ireng itu?”

“Saya ini aneh,” ucap Nyi Purwaningrum. “Sewaktu mulai hamil dan hamil muda, tidak seperti
perempuan lain, saya tidak pernah ngidam. Tidak pernah kepingin apa-apa. Tidak ingin makan
ini itu. Tapi ketika mendengar bunga mawar hitam di Telaga Sarangan itu, saya setengah mati
ingin melihat dan memetiknya barang sekuntum….”

“Kata orang bunga langka itu tidak boleh diambil. Tidak boleh dipetik. Tapi kalau Jeng Ningrum
yang menghendaki, rasanya tidak ada yang keberatan.”

Rencana Nyi Purwaningrum hendak pergi ke Telaga Sarangan untuk melihat kembang mawar
ireng segera tersebar di kalangan penduduk desa. Pagi hari Jum’at ketika hari masih gelap dan
sepasang suami istri itu siap-siap untuk berangkat, begitu keluar rumah mereka jadi terkejut. Di
halaman telah menunggu belasan penduduk desa mengelilingi sebuah kereta kecil ditarik
seekor kuda hitam.

Seorang lelaki lanjut usia berbelangkon biru yang duduk di depan kereta bertindak sebagai sais
bukan lain adalah Ki Sena Pamungkur, Kepala Desa Sarangan. Beberapa pamong desa siap di
atas kuda masing-masing bertindak sebagai pengawal. Lalu belasan penduduk desa naik
gerobak dan menunggang kuda membawa obor siap pula bertindak sebagai pengiring.

Selagi suami istri itu terheran-heran menyaksikan pemandangan di halaman rumah mereka,
Kepala Desa Sarangan turun dari kereta. Ditemani oleh Tumini dia menemui Kuncorobanu,
memberitahu bahwa dia dan penduduk desa Sarangan siap mengantar saudagar itu bersama
istrinya menuju Telaga Sarangan.

Walau tidak menghendaki semua pelayanan itu namun baik Raden Kuncorobanu maupun
istrinya tidak tega menolak. Keduanya kelihatan sangat terharu.

Rombongan sepasang suami istri diiringi penduduk desa akhirnya meninggalkan halaman
rumah, berangkat menuju Telaga Sarangan, tak ubahnya seperti arak-arakan kecil. Apa lagi di
sebelah depan ada sebuah gerobak ditumpangi pemuda desa yang menabuh gendang, meniup
seruling, memukul sebuah gong kecil serta beberapa kentongan. Karena kejadian seperti ini
baru kali itu terjadi, tidak heran walau pagi buta dan masih gelap, sepanjang jalan penduduk
desa berkerumun di depan rumah masing-masing.

Ketika rombongan keluar dari desa Sarangan, dalam kegelapan ada sepuluh penunggang kuda
berpakaian serba hitam membayangi. Orang-orang ini mengikuti rombongan tapi tidak
menempuh jalan yang sama. Mereka bergerak di kiri kanan jalan di balik bayang-bayang gelap
pepohonan. Kadang-kadang mereka lenyap seperti ditelan malam.. Kemudian muncul lagi jauh
di depan rombongan, berhenti dan menunggu sampai, rombongan lewat. Sebelum fajar
menyingsing rombongan telah sampai di Telaga Sarangan. Kawasan ini diselimuti kesunyian. Air
telaga tidak bergerak tidak beriak seolah lapisan kaca yang mengambang. Udara terasa dingin.
Tiupan angin serasa menyayat kulit. Nyi Purwaningrum merapatkan baju tebalnya. Sesekali
terdengar suara kicau burung di kejauhan.

Ki Sena Pamungkur yang menjadi sais membawa kereta menyusuri tepian telaga, terus ke arah
selatan. Lapat-lapat terdengar deru suara air terjun Ngadiloyo. Tak selang berapa lama
rombongan sampai di depan air terjun. Ki Sena menghentikan kereta di tanah datar. Semua
orang turun dari gerobak dan kuda, membawa obor mengiringi pasangan suami istri yang
didampingi Kepala Desa Sarangan, berjalan ke satu bukit kecil di lamping kiri air terjun. Di
sebelah depan para pemuda desa sambil berjalan masih terus menabuh dan memainkan
berbagai bebunyian.

Rombongan mulai mendaki bukit kecil, menuju ke satu lereng. Di lereng bukit inilah
bertumbuhan berbagai macam bunga, di antaranya kembang mawar ireng yang ingin dilihat
oleh Nyi Purwaningrum dan kalau bisa hendak dipetiknya.

Di satu tempat Kepala desa Ki Sena Pamungkur hentikan langkah, menunggu Raden
Kuncorobanu dan istrinya. Beberapa pamong desa melangkah berjejer memagari jalan. Begitu
Kuncorobanu dan istri sampai di depan Ki Sena. Kepala Desa ini menunjuk ke arah satu dari lima
pohon besar sejarak tiga tombak di depan mereka. Para pemuda hentikan menabuh dan
memainkan bebunyian.

“Raden Kuncoro, Nyi Ningrum, kembang mawar hitam yang hendak dilihat itu tumbuh
mengelilingi pohon besar di sebelah tengah. Tinggal dekat saja, tapi jalannya agak licin. Hati-
hati….”

Tumini yang ikut dalam rombongan segera memegang lengan Nyi Purwaningrum lalu
mendampingi, istri saudagar itu melangkah ke arah pohon besar di sebelah tengah. Di antara
deru air terjun di kejauhan sayup-sayup terdengar suara kokok ayam.

“Syukur kita sampai sebelum fajar menyingsing. Jadi masih bisa melihat bunga aneh itu mekar
mengembang. Bunga lain biasanya mulai mekar begitu tersentuh sinar sang surya. Tapi bunga
mawar hitam ini lain dari yang lain….” Kata Ki Sena Pamungkur. Dia yang pertama sekali sampai
di depan pohon besar sebelah tengah, menyusul Kuncorobanu dan istrinya lalu para
pamongdesa dan anggota rombongan lainnya.

Para pemuda telah sejak tadi berhenti menabuh bebunyian. Mereka juga ingin menyaksikan
bunga mawar hitam itu.

“Kesampaian juga maksud saya. Luar biasa….” kata Nyi Purwaningrum ketika dia sampai dan
melihat tujuh bunga mawar hitam tumbuh di sekitar pohon dan saat itu masih dalam keadaan
setengah kuncup. Permukaan bunga tertutup titik-titik embun.

“Sebentar lagi bunga ini akan mekar mengembang,” kata Kepala Desa. Lalu dia memberi
perintah pada beberapa orang pemuda yang membawa.obor datang mendekat agar Nyi
Ningrum bisa melihat jelas ketika kuncupan bunga-bunga mawar hitam itu mulai bergerak
membuka, mekar mengembang. Supaya bisa melihat lebih jelas, Nyi Ningrum sengaja
membungkuk di depan tebaran bunga mawar hitam.

“Saya melihat….” tiba-tiba Nyi Ningrum berucap. “Lihat! Kangmas Banu… bunganya mulai
bergerak. Bunganya mulai mekar.” Bukan cuma Raden Kuncorobanu, tapi semua orang yang
ada di situ, di bawah penerangan obor, pentang mata lebar-lebar, ingin menyaksikan kebenaran
ucapan Nyi Ningrum. Melihat bunga melati hitam yang tadi setengah kuncup kini mulai
bergerak mekar.

“Kalau boleh,” ucap Nyi Ningrum, “begitu mekar saya ingin mendapatkannya sekuntum.”

“’Akan saya petikkan untuk Nyi Ningrum,” kata Kepala Desa Ki Sena Pamungkur. Dia bergerak
lebih dekat ke pohon besar. Matanya memperhatikan kuncup mawar hitam yang paling panjang
dan paling lebar. “Aahhh….” Sang Kepala Desa kemudian keluarkan suara kagum disertai tarikan
nafas panjang. “Selama ini, belasan tahun, saya hanya mendengar saja. Kini menyaksikan
sendiri….” Sepasang mata Ki Sena Pamungkur membesar ketika menyaksikan bagaimana ujung-
ujung kuncup bunga mawar yang menjadi pusat perhatiannya perlahan-lahan bergerak. Di
sebelahnya Raden Kuncorobanu juga memperhatikan dengan mata tak berkesip. Bunga yang
tadi setengah kuncup itu sesaat kemudian telah berkembang mekar keseluruhannya.

“Tolong Ki Sena, petikkan bunga itu untuk istri saya….” kata Raden Kuncorobanu.

“Biar saya sendiri yang memetiknya,” kata Nyi Purwaningrum lalu maju selangkah,
membungkuk sambil ulurkan tangan.

Pada saat itulah ada sesuatu melesat dalam kegelapan malam. Cairan aneh menyiprat. Nyi
Ningrum terpekik ketika sebuah benda menancap di batang pohon besar, hanya beberapa
jengkal dari kepalanya yang tengah membungkuk!

Raden Kuncorobanu tersurut dua langkah.

Ki Sena Pamungkur melengak kaget.

“Bendera darah!” Ucap sang Kepala Desa dengan suara bergetar lalu memandang berkeliling
dengan wajah berubah pucat.

Enam orang pamong desa segera gerakkan tangan ke pinggang, loloskan golok masing-masing.

Nyi Ningrum melangkah mundur mendekati suaminya. Dengan cepat sepasang matanya dan
juga mata Kuncorobanu memperhatikan ke arah kegelapan. Saudagar muda ini rundukkan
kepala, membisikkan sesuatu ke telinga istrinya.

***
2

MALAM udara dingin dan ketegangan mencekam begitu rupa tiba-tiba satu suara tawa bergelak
menggema di tempat itu, disusul ucapan lantang,

“Nyi Ningrum, bunga mawar ireng adalah bunga langka bunga larangan. Siapa berani memetik
akan kejatuhan musibah! Tapi aku bersedia memetikkan semua bunga mawar hitam itu dan
kupersembahkan untukmu! Dengan satu syarat! Asal kau bersedia ikut bersamaku!”

Semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut dan sama palingkan kepala, memandang
berkeliling. Mencari tahu siapa orang yang barusan bicara keras dan kurang ajar. Namun orang
yang dicari tidak kelihatan. Rasa tegang semakin mencekam.

Kesunyian menggantung di udara dingin dan gelap. Di kejauhan terdengar suara air terjun.

“Ki Sena, apakah bukit ini ada hantunya?” tanya Nyi Ningrum setengah berbisik.

“Kalaupun ada hantu, hantu mana yang bisa tertawa dan bicara berteriak,” jawab Kepala Desa.
Walau dia bicara gagah tapi suaranya bergetar tanda hatinya berdebar. Dia melirik ke arah
bendera merah yang menancap di batang pohon. Lalu berpaling pada Raden Kuncorobanu dan
berbisik. “Raden, kita dalam bahaya.”

Sepasang mata Raden Kuncorobanu bergerak berputar.

Salah satu kakinya digeser. Tiba-tiba saudagar muda ini berteriak.

“Siapa yang bicara?!”

Tak ada jawaban. Semua orang kembali memandang berkeliling. Tidak kelihatan siapa-siapa
selain orang-orang rombongan dari Desa Sarangan.

Tiba-tiba seorang pamongdesa berseru seraya menunjuk.

“Ki Sena, lihat! Di atas pohon!”

Semua kepala diangkat, sama memandang ke jurusan yang ditunjuk pamongdesa. Dan semua
orang melihat! Di atas cabang pohon besar pada deretan ujung sebelah kanan, berdiri satu
sosok serba putih, mulai dari kepala sampai ke kaki.

“Setan pocong!”

Beberapa mulut berucap hampir berbarengan. Semua wajah kelihatan berubah dan setiap
tengkuk terasa dingin! Beberapa orang mulai menggeser kaki, bergerak menjauh. Tiba-tiba
wuuut! Sosok putih di atas cabang pohon melayang turun. Satu kali berkelebat dia telah berdiri
di hadapan Nyi Ningrum. Istri saudagar yang tengah hamil ini melangkah mundur. Raden
Kuncorobanu cepat bergerak ke depan sang istri. Ki Sena bergerak ke sebelah Kuncorobanu.
Enam pamongdesa yang telah menghunus golok berpencar, mengurung sosok serba putih.
Mereka, sudah sering mendengar makhluk ini dengan segala kejahatan yang dilakukan yakni
menculik perempuan-perempuan hamil. Yang mereka masih belum bisa memastikan apakah
makhluk ini setan pocong sungguhan atau manusia yang sengaja berpakaian dan bertutup
kepala seperti pocong. Yang jelas siapapun adanya makhluk ini rasa gentar saat itu telah
menggerayangi diri ke enam pamong desa.

Sambil memegangi lengan Nyi Ningrum dan berusaha menariknya, Tumini berbisik. “Jeng, Jeng!
Makhluk itu pasti punya niat jahat mau menculik Jeng Ningrum.”

“Saya tahu, tenang saja. Dia cuma sendiri. Kita belasan orang jumlahnya,” jawab Nyi
Purwaningrum. Perempuan muda yang tengah hamil hampir tujuh bulan ini berucap tenang
walau suaranya terdengar gemetar.

Di depan sana, manusia pocong serba putih dongakkan kepala dan berseru.

“Nyi Ningrum, aku menunggu jawaban! Aku akan petikkan semua kembang mawar ireng
untukmu. Setelah itu kau ikut bersamaku….”

Nyi Ningrum tidak bergerak. Sepasang matanya memperhatikan sosok serba putih di depannya
dengan pandangan berkilat-kilat. Tumini memegang lengan perempuan hamil itu lalu
menariknya ke belakang.

“Pocong edan! Nyalimu sungguh besar!” Ki Sena membentak. “Kalau kau muncul membawa
niat jahat terhadap Nyi Ningrum, sebaiknya lekas angkat kaki sebelum aku menyuruh anak
buahku menebas leher mencincang tubuhmu!”

Di balik kain penutup kepala si manusia pocong keluarkan suara mendengus. Dua matanya yang
terlihat di belakang dua lobang kecil pada kain putih penutup kepala berputar liar.

“Menebas leher mencincang tubuh! Sungguh hebat!” Manusia pocong dongakkan kepala.
Lidahnya berdecak lalu dia tertawa bergelak. Tiba-tiba suara tawa itu putus terhenti dan bukkk!

Satu jotosan keras menghajar dada Ki Sena Pamungkur.

Kepala Desa Sarangan ini terpental, jatuh terduduk di tanah. Dia mencoba bangkit berdiri, tapi
setengah jalan jatuh kembali dan semburkan darah segar.

Semua orang yang ada di tempat itu jadi geger. Enam orang anak buah Ki Sena terkejut bukan
main. Mereka semua tahu kalau Kepala Desa Sarangan itu memiliki ilmu silat tinggi. Kalau Ki
Sena dibuat roboh dengan sekali hantam saja di mata mereka ini adalah satu hal luar biasa.
“Anak-anak… bunuh makhluk jahanam itu…” Suara Ki Sena Pamungkur terdengar perlahan. Tapi
karena tempat itu diselimuti kesunyian, semua orang dapat mendengar jelas. Dan kata-kata Ki
Sena itu adalah ucapannya yang terakhir. Karena setelah berucap kepalanya terkulai, tubuh
miring ke kiri lalu tergelimpang. Beberapa orang keluarkan, seruan tertahan. Beberapa lagi
segera mendatangi Ki Sena. Namun sosok Kepala Desa itu sudah tak bernyawa lagi.

Walau dilanda kejut dan kecut, namun melihat kematian Kepala Desa mereka, enam
pamongdesa dengan golok di tangan segera menyerbu manusia pocong. Dua orang pemuda
yang memegang obor dan punya nyali besar ikut pula menyerang. Mereka menyorongkan obor
ke tubuh dan kepala manusia pocong.

Diserang delapan orang sekaligus ternyata tidak membuat gentar. Begitu enam golok berkiblat
dan dua obor menderu, makhluk ini geser kaki kanan, dua tangan bergerak. Empat golok saling
beradu bentrokan di udara. Dua lainnya terpental ke udara begitu pemiliknya dilabrak jotosan
kiri kanan manusia pocong hingga terjengkang muntah darah. Salah seorang pemuda yang
menyorongkan obor ke kepala manusia pocong terpental dihantam tendangan. Selagi empat
pamong desa keheranan tak mengerti bagaimana sampai golok mereka saling bentrokan satu
sama lain, manusia pocong berkelebat. Gerakannya laksana kilat. Orang hanya mendengar
suara jotosan dan tendangan. Di lain saat empat pamong desa itu telah berkaparan di tanah.

Satu-satunya penyerang yang tinggal yakni pemuda pemegang obor yang berdiri dengan muka
pucat. Lututnya goyah. Ketika manusia pocong melangkah mendekatinya, dia cepat bergerak
mundur lalu lemparkan obor ke arah lawan. Dengan mudah, dengan tangan kirinya manusia
pocong tangkap ujung gagang obor yang terbuat dari bambu. Sekali tangan itu meremas maka
ujung bambu bederak hancur, pecah menjadi bilahan-bilahan tajam. Ketika sekali lagi tangan
kiri manusia pocong bergerak, bambu obor yang masih menyala laksana anak panah melesat ke
arah si pemuda. Belum sempat pemuda ini berkelit, ujung bambu gagang obor telah amblas
menembus perutnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah, lalu jatuh terbanting
tertelentang. Dua tangannya menggapai-gapai. Dalam sakit yang amat sangat mungkin dia
berusaha memegang dan hendak mencabut bambu obor yang menancap di perut. Namun
gagal. Dua tangan itu keburu terkulai jatuh ke samping. Pemuda ini menemui ajal dengan muka
mengerenyit dan mata mendelik.

Dalam suasana geger yang mencekam, sementara di timur kelihatan rona cahaya terang tanda
fajar telah menyingsing, Raden Kuncorobanu tiba-tiba melompat ke hadapan manusia pocong.
Suaranya menggelegar ketika dia membentak keras.

“Setan alas, dajal keparat! Dosa kejahatanmu sudah melewati takaran! Kau muncul seperti
pocong hidup! Aku akan menjadikanmu pocong sungguhan!”

Semua orang yang ada di tempat itu kecuali Nyi Ningrum terkejut melihat gerakan dan
mendengar bentakan Raden Kuncorobanu. Mereka tidak menyangka saudagar muda yang sejak
tadi wajahnya kelihatan pucat itu ternyata punya keberanian. Manusia pocong sendiri diam-
diam merasa kaget. Dalam hati dia membatin. “Saudagar ini. Suara bentakannya bukan
bentakan biasa. Tak mungkin aku salah dengar, salah rasa. Ada tenaga dalam menyertai
bentakannya tadi.”

Sambil berkacak pinggang dan sikap penuh jumawa, manusia pocong berkata.

“Saudagar muda Raden Kuncorobanu! Sejak tadi kau diam saja. Kukira kau suka dan setuju aku
membawa istrimu….”

“Manusia durjana!” tiba-tiba Nyi Purwaningrum membentak. Tentu saja ini membuat kaget,
semua orang, kecuali Raden Kuncorobanu. “Hari ini semua perbuatan kejimu akan kami
kuburkan bersama tubuh bejatmu!”

“Kami?! Maksudmu kau dan suamimu hendak mengubur diriku?! Sungguh luar biasa! Ha…ha…
ha!”

“Malaikat maut sudah di ujung hidung! Ajal sudah di depan mata! Masih bisa tertawa!” hardik
Raden Kuncorobanu sambil balas bertolak pinggang. “Lihat sekelilingmu! Kau sudah terkurung!
Satusatunya jalan lari adalah liang kubur! Kalau memang kau masih layak mampus dikubur dan
ada yang mau mengubur!”

Di balik kain putih penutup kepala, tampang si manusia pocong jadi berubah. Hatinya
menggeram. “Jahanam, siapa sebenarnya dua orang suami istri ini?” Dan ketika dia
memandang berkeliling, dalam udara yang mulai terang-terang tanah, terlihat ada sepuluh
orang penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala hitam mengurung tempat itu. Semua
masih muda-muda tapi unjukkan tampang garang. Tangan masingmasing bersitekan ke
pinggang dimana tersisip pedang empat persegi panjang.

Di tempatnya berdiri Nyi Ningrum berkata pada Tumini. “Menghindar dari sini. Beritahu semua
orang agar segera menjauh!”

Tumini yang sejak tadi pegangi lengan Nyi Ningrum merasa heran. Air muka cantik istri
saudagar muda itu yang selama ini selalu berseri dan murah senyum, kini dilihatnya begitu
garang. Ucapannya yang selalu ramah dan lembut kini terdengar tegas dan galak. Tak berani
bertanya Tumini segera lakukan apa yang dikatakan Nyi Ningrum.

“Aku senang pada orang-orang punya nyali! Aku ingin tahu kalian berdua ini siapa sebenarnya?”

Nyi Ningrum mendengus. Raden Kuncorobanu, cembungkan rahang lalu membentak.

“Ingat seorang bernama Surablandong?!” Dunia begini luas. Manusia begitu banyak! Mana aku
sempat mengingat-ingat nama seseorang!”

“Surablandong adalah Ketua Perguruan Silat Lawu Putih.”


“Lantas?!” ujar manusia pocong dengan dongakkan kepala sambil matanya memperhatikan dua
orang di hadapannya lewat dua lobang kecil pada kain penutup kepala.

“Sekitar satu bulan yang lalu kau membunuhnya di desa Plaosan.”

“Aahhh…” Manusia pocong keluarkan suara panjang. “Aku tidak kenal, malah tidak ingat
peristiwa itu. Lalu apakah maksud kedatangan kalian hendak mengundang aku selamatan
empat puluh hari kematian manusia bernama Suroblandong itu?! Ha… ha… ha! Maaf saja, aku
mungkin tak bisa datang!”

“Jahanam penculik perempuan-perempuan hamil! Pembunuh keji manusia-manusia tidak


berdosa!” hardik Kuncorobanu. “Dengar baik-baik! Surablandong adalah guru dan ketua kami!
Aku bukan saudagar! Namaku bukan Kuncorobanu tapi Parit Juwana!”

“Dan aku bukan Nyi Purwaningrum tapi Wulan Srindi! Kami bukan pasangan suami istri tapi
adalah kakak adik seperguruan!”

“Manusia dajal! Kau masuk dalam jebakan kami! Hari ini kami mewakili arwahnya untuk
mencabut nyawamu!” Orang yang selama ini dikenal penduduk desa Sarangan sebagai Raden
Kuncorobanu campakkan blangkon di atas kepalanya hingga rambutnya yang panjang menjulai
sampai ke bahu.

(Mengenai riwayat terbunuhnya Surablandong silahkan baca ulang Episode pertama berjudul
113 Lorong Kematian)

***

SEPULUH pemuda berpakaian serba hitam melompat turun dari kuda masing-masing. Mereka
segera bergerak membentuk lingkaran, mengurung. Rupanya mereka benar-benar tidak
menginginkan lolosnya manusia pocong itu. Semua orang desa Sarangan yang ada di situ
terkejut bukan main mendengar ucapan-ucapan dua orang yang selama ini mereka kenal
sebagai pasangan suami istri. Di tengah kalangan si manusia pocong tetap unjukkan sikap
tenang malah masih saja bertolak pinggang. Padahal sebenarnya dadanya sempat berdebar,
hatinya bertanya-tanya. Untuk menjaga segala kemungkinan tenaga dalam segera dialirkan ke
tangan kanan.

“Raden Kuncorobanu! Parit Juwana! Siapapun namamu, kau sungguh keterlaluan! Masakan
adik seperguruan yang sedang hamil tega-teganya kau ajak untuk mencari perkara!”

Parit Juwana menyeringai. Di sebelahnya Nyi Ningrum alias Wulan Sindri berkata dengan suara
keras.
“Makhluk dajal! Siapa bilang aku hamil!”

Wulan Sindri tanggalkan pakaian tebal yang dikenakannya lalu tangan kanannya bergerak
membuka buhul kain panjang di pinggang sebelah kiri. Buhul itu ditarik kuat-kuat sambil
tubuhnya membuat putaran seperti gasing. Bersamaan dengan berputarnya tubuh, dari
pinggang serta perut Wulan Srindi menebar keluar gulungan kain panjang menyerupai setagen.
Di balik gulungan setagen dan kain panjang ternyata dia mengenakan sehelai celana panjang
hitam ringkas. Jadi kehamilannya selama ini adalah palsu atau samaran belaka. Semua orang
yang ada di tempat itu memperhatikan dirinya dengan mata terbelalak. Si manusia pocong
sendiri menyaksikan kejadian di depan matanya dengan sumpah serapah dalam hati. Dia
berusaha kendalikan amarah. Dari balik kain putih penutup kepala dia kemudian keluarkan
suara berdecak berulang kali.

“Kalian merasa telah berbuat sesuatu yang hebat! Dasar manusia-manusia picik! Kalian merasa
berhasil menipuku! Padahal yang kalian lakukan adalah satu ketololan besar! Semua ketololan
itu akan berakhir sangat mengenaskan! Parit Juwana! Majulah! Aku ingin membunuhmu lebih
dulu!”

Parit Juwana, murid terpandai yang kini dipercayai mengetuai Perguruan Silat Lawu Putih
keluarkan bentakan keras, tubuhnya berkelebat laksana angin. Tangan kanan menderu ke arah
dada manusia pocong. Tanpa menggeser kedua kakinya makhluk serba putih itu sambut
serangan orang dengan balas mengirimkan jotosan. Agaknya dia sengaja hendak mengajak
saling adu jotosan karena dia merasa yakin kekuatan tenaga dalamnya berada di atas kekuatan
lawan. Tampaknya lawanpun bersedia menyambut adu kekuatan itu.

Namun si manusia pocong jadi tersentak kaget ketika hanya tinggal setengah jengkal lagi dua
tinju akan saling baku hantam tiba-tiba Parit Juwana miringkan tubuh ke kiri, tangan kanan
diputar ke samping. Bersamaan dengan itu tangan kiri melesat ke arah pelipis kanan lawan
dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Inilah jurus maut yang disebut Menyapu Lereng
Menjebol Puncak Gunung.

“Pecah kepalamu!” seorang pemuda berpakaian hitam yang mengurung kalangan perkelahian
berseru. Teman-temannya yang lain juga menyangka begitu.

“Kraaaak!”

Lain yang diperkirakan, lain yang terjadi.

Sepuluh anak murid Perguruan Silat Lawu Putih berseru kaget. Wulan Srindi melengak besar.
Apa yang terjadi?

Hanya sekejapan ketika tangan kiri Parit Juwana siap menghancurkan kepalanya, manusia
pocong membuat gerakan luar biasa cepat. Lutut dibengkokkan, badan membungkuk, kepala
ikut merunduk. Tanpa menggeser kuda-kuda kedua kaki, siku kanannya menyodok keras ke
samping, mendarat telak di rusuk sebelah kiri Parit Juwana. Tiga tulang iga berderak patah.
Parit Juwana sendiri terpental setengah tombak lalu jatuh di atas rimbunan tanaman
bebungaan.

Sepuluh murid Perguruan Silat Lawu Putih terkesiap tak habis pikir. Bagaimana murid terpandai
yang dipercayakan sebagai Ketua Perguruan kini bisa dirobohkan lawan hanya dalam satu
gebrakan saja! Siapa sebenarnya manusia berdandan seperti pocong ini. Sepuluh pemuda
hanya tertegun seketika. Di lain saat, dengan pedang di tangan semuanya telah menyerbu ke
arah manusia pocong. Mereka membuat gerak jurus yang disebut Di Dalam Kawah Merenda
Kematian. Rupanya jurus-jurus silat Perguruan Lawu Putih diciptakan demikian rupa dan diberi
nama yang ada hubungannya dengan alam.

Jurus serangan Di Dalam Kawah Merenda Kematian jika diperhatikan memang terlihat seperti
tangan yang sedang merenda. Agaknya jurus serangan ini bukan jurus indah nama belaka tapi
juga dahsyat dalam kenyataan. Kedahsyatannya jadi berlipat ganda karena yang menyerbu
bukan cuma satu dua orang tapi sepuluh orang sekaligus secara berbarengan.

Sepuluh pedang berkiblat di saat fajar menyingsing dan hari mulai terang. Dua ujung pedang
menyambar ke arah kaki. Dua menderu membabat paha. Dua lagi menusuk ke bagian perut.
Lalu dua pedang membabat punggung dan sisa dua pedang membacok dari belakang ke arah
kepala. Kalaupun ke sepuluh pedang tidak dapat mengenai sasaran, paling tidak sambaran ke
punggung atau bacokan ke arah kepala yang datang dari belakang akan sulit untuk dihindari.
Beberapa waktu lalu ketika sepuluh anak murid Perguruan Silat Lawu Putih itu turun gunung
untuk membasmi satu kelompok penjahat dipimpin oleh tiga orang berkepandaian tinggi,
ketiganya sekaligus meregang nyawa oleh jurus Di Dalam Kawah Merenda Kematian.

Ketika Parit Juwana terlempar dengan tulang iga patah, Wulan Srindi cepat melompat
mendatangi.

“Kakak!”

“Aku tidak apa-apa…,” jawab Parit Juwana walau jelas ada kerenyit kesakitan di wajahnya
sementara dua tangan menekap rusuk kiri.

“Kau terluka, ada tulang igamu yang patah.”

“Jangan pikirkan diriku, Wulan. Lihat ke sana. Sepuluh murid perguruan melancarkan serangan
Di Dalam Kawah Merenda Kematian. Sebentar lagi makhluk durjana itu akan menemui ajal
dengan & tubuh mandi darah! Dendam kesumat sakit hati kematian guru dan ketua kita akan
terbalaskan.”

“Aku ingin menghabisinya dengan tangan sendiri!” kata Wulan Srindi.


“Hati-hati, dia memiliki tenaga dalam luar biasa,” memberi tahu Parit Juwana.

Namun Wulan Srindi telah berkelebat. Justru saat itulah di depan sana terjadi hal yang
menggemparkan.

Sewaktu sepuluh pedang menyambar ganas di sekeliling tubuhnya, manusia pocong keluarkan
bentakkan keras. Tangan kirinya di angkat ke atas. Terdengar suara halus, seperti ada satu
benda bergeser. Ketika tangan, itu diputar di atas kepala, dari balik jubah menderu angin deras
disertai berkiblatnya cahayacahaya aneh.

Pekik jerit berhamburan keluar dari mulut sepuluh murid Perguruan Silat Lawu Putih. Tubuh
mereka bermentalan jatuh bergelimpangan di tanah. Beberapa di antaranya menyangsrang di
atas semak belukar. Keadaan, mereka tak karuan rupa. Mengerikan. Sekujur tubuh mulai dari
kepala sampai ke kaki memar hancur! Nyawa mereka tak usah ditanya lagi. Amblas sudah.

Di balik kain putih penutup kepala, manusia pocong bicara pelahan. Ada sesuatu yang
disesalinya. “Seharusnya aku tidak mempergunakan benda itu. Kalau ada yang mengenali
semburan cahaya tadi aku bisa celaka. Tapi lawan begitu banyak. Mereka bukan saja
berkepandaian tinggi, juga bersenjata golok. Ilmu silat biasa tak mungkin dipakai untuk
menghadapi mereka.”

***

PARIT Juwana berteriak marah menyaksikan kematian sepuluh anak murid Perguruan. Wulan
Srindi menggerung keras. Dari tempatnya berdiri dalam keadaan limbung menahan sakit akibat
tiga tulang iganya patah, pemuda Perguruan Silat Lawu Putih keluarkah tiga buah benda
berbentuk bola berduri terbuat dari kuningan. Inilah senjata rahasia yang disebut Elmaut
Kuning. Ketika menerima jabatan sebagai Ketua Perguruan, Parit Juwana menerima lebih dari
seratus buah senjata rahasia yang mengandung racun mematikan itu dari mendiang
Surablandong.

“Wulan!-Menyingkir!” teriak Parit Juwana karena sang adik seperguruan berada pada satu garis
lurus antara dirinya dengan manusia pocong yang hendak diserang. Wulan Srindi sempat
melirik ke belakang dan melihat apa yang ada di tangan Parit Juwana. Saat itu murid perguruan
yang masih gadis ini sebenarnya hendak melancarkan serangan satu pukulan jarak jauh
bernama Membelah Ombak Menembus Gunung. Pukulan sakti ini sanggup mematah batang
pohon besar, menghancurkan batu. Namun melihat Parit Juwana memegang bola-bola Elmaut
Kuning, sementara dia berada di tengah-tengah alur serangan, sang dara tepaksa menyingkir ke
samping. Begitu tubuh Wulan Srindi bergerak, tiga buah bola berduri Elmaut Kuning menderu di
udara! Dua menyambar ke arah kepala, satunya melesat mencari sasaran di dada manusia
pocong.
“Bola-bola keparat!” rutuk manusia pocong. Sebelumnya dia telah pernah melihat senjata
rahasia ini. Yaitu ketika diserang Surablandong di Plaosan tempo hari. Ketika melihat tiga bola
kuning menderu ganas ke arahnya, manusia pocong cepat menyambar sosok mayat salah
seorang murid Perguruan Silat Lawu Putih yang menyangsang di atas semak belukar di
sampingnya. Tubuh ini diangkatnya demikian rupa, dijadikan sebagai tameng melindungi diri.
Tiga bola kuning menancap di kepala dan dada pemuda yang sudah jadi mayat itu.

“Jahanam biadab!” teriak Wulan Srindi. Tidak menunggu lebih lama gadis ini segera pukulkan
tangan kanannya lancarkan serangan Membelah Ombak Menembus Gunung yang tadi tak jadi
dilakukan. Satu gelombang angin luar biasa dahsyat menderu ke arah manusia pocong.

Yang diserang leletkan lidah, keluarkan suara berdecak.

“Gadis cantik, aku tidak ingin kau membuang-buang tenaga. Simpan tenagamu agar nanti bisa
melayani diriku! Ha… ha… ha!”

Habis berkata begitu manusia pocong miringkan kepalanya sedikit. Lengan jubah sebelah kiri
dikebutkan.

“Wuuuutttt!”

“Braaaakkk!”

Wulan Srindi tersentak kaget ketika melihat angin yang keluar dari ujung lengan jubah kiri
manusia pocong berhasil memapaki angin serangannya hingga melenceng dan menghantam
batang pohon hingga hancur berkeping-keping.

Selagi pohon itu menggemuruh tumbang Wulan Srindi te1ah melesat menyerbu ke arah
manusia pocong. Dia ingat ucapan Parit Juwana tadi yaitu agar berhati-hati karena manusia
pocong memiliki tenaga dalam luar biasa. Karenanya serangan tangan kosongnya selain
mengandalkan jurus-jurus paling andal Wulan Srindi juga mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam yang dimilikinya.

“Gadis ini berbahaya. Tapi terlalu cantik untuk dibunuh….” Manusia pocong berucap dalam hati.
Melirik ke samping dilihatnya Parit Juwana dengan langkah tertatih-tatih berjalan ke arahnya,
menggenggam sebilah golok di tangan kanan. Saat itu Wulan Srindi telah menghabiskan dua
jurus, menyerangnya seperti seekor harimau lapar.

“Tak ada waktu untuk main-main….,” ucap manusia pocong. Kalau tadi dia hanya mengelak dan
menghindar, kini setelah menggeser kedudukan kedua kakinya dia mulai bergerak cepat.
Tangan kanannya menyusup di antara dua tangan lawan yang menderu kian kemari mencari
sasaran di dada dan kepalanya. Tiba-tiba Wulan Srindi terpekik. Dua tangannya untuk sesaat
masih kelihatan bergerak latu jatuh terkulai ke samping. Mata membeliak, mulut terkancing.
Dua kaki kaku seperti dipantek ke tanah. Ini terjadi setelah dua ujung jari tangan kanan manusia
pocong menotok urat besar di lehernya sebelah kiri.

Parit Juwana maklum bahaya yang mengancam saudara seperguruannya itu. Kalau manusia
pocong tidak inginkan nyawa Wulan Srindi berarti dia inginkan diri gadis itu hidup-hidup. Wulan
Srindi dalam bahaya besar.

Tidak menunggu lebih lama Parit Juwana pungut sebilah golok yang tercampak di tanah lalu
melompat, menyerbu ke arah manusia pocong. Dalam keadaan cidera begitu rupa dia hanya
mampu lancarkan serangan berupa satu kali tabasan satu kali tusukan yang kesemuanya tidak
mampu mengenai sasaran. Sekali bergerak manusia pocong hantam pergelangan tangan kanan
Parit Juwana hingga berderak patah. Golok di dalam genggamannya terlepas mental ke udara.
Selagi Perguruan Silat Lawu Pulih ini jatuh terduduk di tanah kesakitan setengah mati, manusia
pocong tangkap golok yang mental lalu senjata ini ditusukkannya ke dada Parit Juwana.

Semua orang yang ada di tempat itu keluarkan seruan ngeri. Untuk beberapa lamanya mereka
hanya bisa berdiri diam, tercekat tak bergerak. Mereka baru sadar setelah tahu kalau si
manusia pocong tak ada lagi di tempat itu. Dan Wulan Srindipun tak kelihatan lagi di situ.

Di kejauhan terdengar suara kuda dipacu.

“Manusia pocong! Dia membawa kabur gadis itu!” Seseorang berteriak.

***

MANUSIA Pocong baringkan tubuh Wulan Srindi di atas lantai batu ruangan besar kosong. Dia
tak menunggu lama. Dinding batu sebelah kiri bergeser membentuk celah. Dari balik celah
melangkah keluar satu sosok tinggi yang juga berpakaian dan bertutup kepala serba putih.

Manusia pocong pertama segera membungkuk berikan hormat lalu berucap.

“Yang Mulia Ketua, terima salam hormat saya.”

Yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sang Ketua hanya anggukkan kepala sedikit lalu dari
balik dua lobang pada kain putih penutup kepala sepasang matanya memperhatikan tubuh
Wulan Srindi yang tergeletak menelentang di lantai ruangan.

Sambil melangkah pulang balik di samping tubuh Wulan Srindi, Sang Ketua keluarkan ucapan.

“Mataku belum buta. Perempuan yang kau bawa kali ini tidak dalam keadaan hamil. Apa yang
terjadi, apa yang telah kau lakukan dan apa yang saat ini ada dalam benakmu!”

“Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Izinkan saya memberi keterangan. Perempuan ini memang
tidak hamil. Masih gadis. Namanya Wutan Srindi. Dia adalah anak murid Perguruan Silat Lawu
Putih. Surablandong, bekas Ketua Perguruan saya habisi beberapa waktu lalu dalam peristiwa
penculikan Nyi Upit Suwarni di Desa Plaosan….” Lalu manusia pocong yang punya jabatan Wakil
Ketua menjelaskan apa yang telah terjadi.

Setelah mendengar penuturan wakil Ketua, manusia pocong tinggi besar berdiam diri beberapa
lamanya lalu berkata.

“Seharusnya pemuda bernama Parit Juwana itu kau tangkap hidup-hidup dan kau bawa ke sini
untuk menambah kekuatan barisan kita….” “Tadinya saya ingin berbuat begitu Yang Mulia
Ketua. Tapi kenyataannya tingkat kepandaiannya biasa-biasa saja. Selain itu dia membekal
dendam kesumat amat besar dalam dirinya terhadap kita. Bisa berbahaya kalau dia diajak
bergabung….”

“Bagaimana dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Dia tugas utamamu. Kau tahu apa akibatnya
jika tidak bisa mendapatkan manusia satu itu….”

“Saya sudah menyirap kabar dimana dia berada. Sekarang juga saya akan minta diri untuk
mencarinya….”

“Sebelumnya kau aku berikan waktu tujuh hari. Dua hari telah lewat percuma. Jangan sampai
aku kembali menyebutmu sebagai manusia tolol!”

“Yang Mulia Sang Ketua, saya berjanji akan mampu mendapatkan Pendekar 212 dalam waktu
lima hari. Paling tidak….”

“Paling tidak apa?!”

“Saya bisa mendapatkan satu atau dua dari tiga gadis yang kabarnya ada bersama dia. Kalau
gadisgadis itu bisa kita bawa kesini, bukankah itu sebagai salah satu cara untuk menjebak
Pendekar 212 datang ke sini?”

“Bisa begitu, tapi kau tahu sendiri. Pemuda sableng itu tidak sebodoh yang kau perkirakan. Kau
telah menyaksikan sendiri kehebatan ilmunya. Kau bahkan dibuatnya membekal dendam
seumur-umur.”

“Yang Mulia Ketua, saya mohon diri. Apa yang harus saya lakukan dengan gadis ini?”

“Kau boleh pergi. Aku bisa mengurus gadis cantik ini dengan caraku sendiri.”

Manusia Pocong sang Wakil Ketua terdiam sejehak.

“Mengapa kau masih berdiri di hadapanku?!” Yang Mulia Ketua menegur.


“Maksud saya Yang Mulia. Sebelum pergi saya ingin….” Sang Wakil Ketua tidak meneruskan
ucapannya.

“Aku tahu, aku tahu!” Yang Mulia Ketua memotong ucapan wakilnya. “Kau ingin bersenang-
senang dengan gadis ini, bukan?!”

“Jika Yang Mulia Ketua mengizinkan.” Jawab sang Wakil Ketua.

Di lantai, sepasang mata Wulan Srindi terbuka lebar dan berputar. Hanya itu gerakan yang bisa
dilakukannya ketika mendengar semua percakapan dua manusia pocong itu. Dalam hati gadis
ini berkata. “Jika salah satu dari kalian berbuat keji terhadapku, aku bersumpah
membunuhmu!”

Manusia pocong bertubuh tinggi besar tertawa bergelak.

“Sekali ini permintaanmu aku kabulkan. Tapi dengan satu syarat!”

“Mohon Yang Mulia memberitahukan syarat itu.”

“Jika kau gagal mendapatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga gadis cantik itu, kuburmu
akan jadi satu dengan kubur gadis ini!”

“Syarat itu akan saya ingat baik-baik Yang Mulia Ketua.”

“Satu lagi!”

“Ada apa Yang Mulia?”

“Jangan kau terjebak keduakali! Mendapatkan perempuan bunting ternyata hanya tipuan
belaka!”

“Saya mengerti Yang Mulia Ketua. Harap maafkan saya. Sekarang saya mohon diri membawa
gadis ini!”

“Bawa kemana kau suka. Tapi ingat! Jangan sekali-kali mendekati Rumah Tanpa Dosa.”

Manusia pocong sang Wakil Ketua membungkuk berulang kali. Lalu dia mengangkat tubuh
Wulan Srindi. Gadis itu dipanggulnya di bahu kiri. Dengan cepat dia tinggalkan ruangan itu.

***

5
KITA tinggalkan dulu Wulan Srindi yang bernasib malang, jatuh ke tangan orang-orang keji yang
dikenal dengan panggilan manusia pocong. Kita kembali pada peristiwa yang menggegerkan
yakni ditemuinya dua kuburan di puncak gunung Gede. Satu kubur berada dalam keadaan
kosong, satunya berisi jenazah Puti Andini. Namun kemudian kubur inipun ternyata berada
dalam keadaan kosong. (Baca serial Wiro Sableng Episode “Makam Ketiga” dan “Senandung
Kematian”) Kemana lenyapnya jenazah Puti Andini?

***

KAWASAN Gunung Gede diselimuti cuaca buruk. Sejak siang hujan turun deras. Deru angin
terdengar menggidikan, apalagi sesekali diseling sambaran cahaya kilat disusul gelegar guntur.

Dalam keadaan seperti itu di lereng timur gunung seorang nenek kurus tinggi berpakaian hitam,
lima tusuk konde perak menancap di batok kepala, berlari cepat menuju puncak. Nenek ini
bukan lain adalah Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Nenek sakti yang namanya
telah, dikenal dan menggetarkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah Jawa. Rupanya
setelah sekian lama meninggalkan Gunung Gede hari itu dia tengah dalam perjalanan kembali
menuju pondok kediamannya di puncak gunung. Namun selain cuaca buruk agaknya ada
sesuatu yang tidak beres dengan diri si nenek. Ini kentara dari larinya yang tampak limbung.

Walau dia masih kelihatan mampu berlari dengan cepat, menembus hujan lebat, melesat dalam
deru angin serta kabut, namun sesekali kelihatan Sinto Gendeng berhenti, tegak terbungkuk
sambil pergunakan tongkat kayu bututnya untuk menopang diri dan terbatuk-batuk beberapa
kali. Keangkeran pada wajahnya yang cekung tinggal kulit tipis pembalut muka, pandangan
matanya yang selalu menggidikan kini seolah lenyap. Wajah yang nyaris menyerupai tengkorak
kelihatan mengerenyit seperti menahan rasa sakit.

“Sial, penyakit apa yang menyerang diri tua keropos ini?! Mengapa badanku terasa panas
dingin, nafas sesak dan batuk terus-terusan?!” Sinto Gendeng melangkah mendekati sebuah
pohon, bersandar ke pohon itu lalu kembali batuk-batuk. Suara batuknya terdengar aneh. Si
nenek menyeringai sendiri dan berkata. “Edan! Suara batukku seperti suara anjing mengaing.
Hik… hik… hik!”

Sinto Gendeng raba keningnya, terasa panas. Dia pegang leher, juga panas. Lalu dia hembuskan
nafasnya ke telapak tangan kiri.

“Semua panas! Sial, jangan-jangan aku terserang demam. Aku tidak boleh sakit! Tidak boleh!
Aku harus segera sampai ke pondok!”

Sinto Gendeng luruskan tubuh, dia pandangi pakaiannya yang basah kuyup lalu memperhatikan
berkeliling. Sesaat kemudian diusapnya kedua matanya.

“Tempat ini memang banyak kabutnya. Tapi aneh, mengapa pandanganku seperti tidak karuan?
Apakah demam panas bisa membuat mata jadi lamur?!” Si nenek usap lagi dua matanya lalu
gelenggelengkan kepala. Kemudian terdengar mulutnya menggerendeng. “Hujan celaka! Petir
jahanam! Guntur keparat! Apa kalian kira aku takut pada kalian?! Kalian tidak bisa
menghentikan perjalananku! Aku harus kembali ke pondok!”

Sinto Gendeng putar tongkat kayunya tiga kali. Curahan hujan muncrat ke atas seperti
dihantam tameng. Angin terbelah bersibak dan di atas pohon lusinan daun-daun basah
melayang jatuh ke bawah. Si nenek tertawa panjang, ketuk-ketukkan ujung tongkat ke
kepalanya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya tidak secepat seperti
biasanya. Ketika hujan reda dan sang surya muncul sore hari itu Sinto Gendeng masih sejarak
ratusan tombak dari pondok kediamannya di puncak gunung. Dan lagi-lagi di satu tempat nenek
ini terpaksa hentikan lari karena nafasnya kembali terasa sesak serta batuk kembali menyerang.

“Ba tuk sialan!” maki Sinto Gendeng lalu meludah ke tanah dan dudukkan tubuhnya di satu
gundukan tanah di samping serumpunan semak belukar. Sambil duduk dia memeras ujung kain
hitamnya yang basah kuyup. Selesai memeras tangannya di tempelkan ke hidung. Sinto
Gendeng mengerenyit lalu tertawa sendiri. “Bau pesing….” katanya. “Pantas…. Seharusnya aku
tidak boleh marah kalau Anak Setan itu atau siapa saja mengatakan aku nenek bau pesing.
Kenyataannya memang begitu. Hik… hik… hik! Mungkin aku harus minum air hujan campur
kencing perasan dari kain ini agar sakit panasku bisa sembuh! Hik… hik… hik.”

Suara tawa cekikikan Sinto Gendeng terhenti ketika dua telapak kakinya yang menjejak tanah
terasa bergetar.

“Ada orang mendatangi ke arahku,” membatin Sinto Gendeng. “Langkahnya tidak terdengar
tapi getarannya terasa pada dua telapak kakiku. Berarti dia bukan orang sembarangan.”

Perlahan-lahan nenek ini angkat kepalanya. Sepasang mata cekung Sinto Gendeng serta merta
terpentang lebar ketika dia melihat satu sosok berdandanan aneh berjalan ke arahnya lalu
berhenti sekitar sepuluh langkah di hadapannya.

Sosok itu mengenakan jubah putih menjela tanah hingga kakinya tidak kelihatan. Dua
tangannya tertutup oleh lengan jubah panjang mengambai. Di sebelah atas, keseluruhan kepala
termasuk wajah ditutup sehelai kain putih yang hanya dilubangi kecil pada bagian mata. Sosok
yang berdiri di hadapan Sinto Gendeng ini rangkapkan dua tangan di depan dada hingga
keadaannya menyerupai pocong hidup.

“Eh, apakah aku tengah bermimpi atau melihat pocong hidup sungguhan? Edan. Di gunung ini
tidak ada kuburan. Mana mungkin ada pocong!” pikir Sinto Gendeng seraya mengusap
sepasang matanya. “Atau mungkin…? Ah, mana bisa jadi! Aku yakin Malaikat Maut tampangnya
tidak begini!”

Sinto Gendeng tekankan tongkatnya ke tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Serangan
demam panas membuat tubuhnya menggigil.
“Makhluk serba putih! Kau kesasar dari mana?!” Sinto Gendeng tiba-tiba menegur. Seperti
biasa, walau dalam keadaan sakit suaranya tetap saja menyemprot garang.

Dua mata dibalik dua lobang kecil pada penutup kain putih kelihatan bergerak dan pancarkan
sinar aneh.

“Aku Malaikat Maut yang datang untuk mengambil nyawamu!” Tiba-tiba makhluk serba putih
keluarkan ucapan. Kain putih penutup kepalanya bergerak-gerak.

“Aaah!” Sinto Gendeng keluarkan seruan panjang. “Benar juga dugaanku! Kau Malaikat Maut
rupanya. Tapi apakah Malaikat Maut ujudnya memang seperti dirimu? Yang aku lihat kau mirip-
mirip pocong hidup!” habis berkata begitu Sinto Gendeng tertawa cekikikan.

“Hentikan tawamu! Sudah mau mati masih tidak tahu diri!” Sosok serba putih di hadapan Sinto
Gendeng membentak sambil kaki kanan dihentakkan ke tanah.

Sinto Gendeng memang hentikan tawanya. Selain itu dia merasakan, hentakkan kaki kanan
orang di depannya membuat tanah yang dipijaknya bergetar keras. Ada hawa aneh panas
seperti mencucuk dan membakar masuk ke dalam dua telapak kakinya. Kalau dia tidak segera
kerahkan tenaga dalam untuk bentengi diri, niscaya hawa aneh itu akan terus menjalar ganas
ke dalam tubuhnya.

Sinto Gendeng orangnya suka jengkelan. Diserang orang secara licik dia jadi penasaran.
“Malaikat jejadian, aku kembalikan seranganmu!” Sinto Gendeng alirkan tenaga dalam ke kaki
kanan. Telapak kaki digeserkan ke tanah. Sesaat kemudian orang berjubah dan bertutup kepala
putih di depan sana keluarkan suara kaget dan melompat hampir setengah tombak. Ujung
jubahnya mengepulkan asap.

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. “Makanya! Jadi orang jangan suka jahil! Rasakan!”

Begitu turun, di tanah orang berjubah dan bertutup kepala kibaskan bagian bawah jubahnya
lalu berucap keras dan ketus. “Sinto Gendeng! Kau boleh punya seribu kehebatan! Semua itu
tidak akan menolong dirimu selamat dari kematian!”

Maunya si nenek saat itu juga dia ingin menghantam orang dengan satu pukulan sakti. Namun
dia masih bisa menahan diri karena ingin menyelidik lebih dalam sebab apa orang inginkan
nyawanya. Sementara itu demam yang menyerang dirinya semakin bertambah parah hingga
dua lutut Sinto Gendeng terasa ngilu dan goyah, tubuhnya kembali menggigil.

“Aku pikir-pikir, tapi tidak bisa terpikir! Aku ingat-ingat tapi tidak bisa teringat! Kenal dirimu aku
tidak. Melihat perwujudanmu baru kali ini. Apakah ada silang sengketa antara kita di masa lalu?
Aku yakin tidak. Adalah aneh kau ingin membunuhku!”
“Kematian memang aneh. Tidak, terduga dan datang begitu cepat, laksana kilat. Yang namanya
kematian itu tidak ada waktu untuk bertanya jawab!”

“Hemm… begitu?” Sinto Gendeng menyeringai. “Kalau kau punya nyali harap buka kain putih
penutup kepalamu! Melihat tampangmu siapa tahu aku bisa ingat sesuatu.”

“Permintaan orang yang mau mati tidak boleh ditolak. Aku memberi kesempatan padamu
untuk melakukan sendiri!” Habis berkata itu orang berpakaian menyerupai pocong
renggangkan dua kaki lalu ulurkan kepala ke arah si nenek.

“Yang takabur itu biasanya manusia! Tidak sangka hantu pocong jejadian juga bisa takabur!”
Merasa ditantang Sinto Gendeng tambah penasaran. Entah kapan dia menggerakkan kaki dan
tangannya tahu-tahu tongkat kayu di tangan si nenek menderu ke arah kepala yang tertutup
kain putih. “Brett!”

***

MAKHLUK menyerupai pocong hidung berseru kaget dan melompat mundur. Dia raba kain
putih penutup kepalanya dan dapatkan kain itu robek besar di bagian pipi kanan. Kalau
terlambat dia menghindar niscaya kulit dan daging pipinya ikut dirobek ujung tongkat si nenek!

Sinto Gendeng tertawa mengekeh. “Pocong jejadian! Kau masih minta aku menyingkapkan kain
penutup kepalamu?!”

Orang di hadapan Sinto Gendeng keluarkan suara mendengus. Tiba-tiba dua lutut menekuk.
Bersamaan dengan gerakan tubuh sedikit membungkuk, dua tangannya melesat ke depan,
membuat gerakan seperti hendak memagut namun berbarengan dengan itu dua gelombang
angin dahsyat menderu menghantam ke arah bagian atas tubuh Sinto Gendeng.

Selama hidupnya Sinto Gendeng telah banyak menyaksikan dan menghadapi serangan lawan
berupa pukulan. Namun serangan seperti yang dilancarkan manusia pocong itu baru sekali ini
dilihatnya. Dua hantaman angin dahsyat tidak menghantam lurus ke depan, tetapi sedikit
melengkung seperti dua tangan yang tidak kelihatan membuat gerakan mencengkeram lalu
naik ke atas mengarah kepalanya.

Dalam keadaan tubuh dilanda demam panas begitu rupa si nenek untung masih bisa
pergunakan otak. Untuk selamatkan diri dia tidak mengelak ke samping atau melompat
mundur. Dua kakinya langsung ditekuk. Sinto Gendeng jatuhkan diri ke tanah.

Dua rangkum gelombang angin menderu ganas di atas kepala Sinto Gendeng. Dua dari lima
tusuk konde perak yang menancap di kepalanya tersapu mental. Di belakang sana terdengar
suara berderak hancurnya batang pohon besar lalu tumbang bergemuruh.
Rahang Sinto Gendeng menggembung. Sepasang matanya yang cekung seperti hendak
melompat keluar. Begitu terduduk di tanah nenek ini hantamkan tangan kanan ke depan.

Selarik sinar putih panas dan menyilaukan berkiblat. Manusia pocong berseru kaget. “Pukulan
Sinar Matahari!” teriaknya. Sambil melompat ke kanan, di balik lengan jubah yang panjang
mengambai orang ini gerakkan tangan kirinya. Terdengar suara benda bergeser halus disusul
suara deru satu gelombang angin luar biasa deras disertai cahaya berbagai warna.

Dua kekuatan dahsyat mengandung hawa sakti saling bentrokan, menimbulkan suara
bedentum keras. Tanah bergetar, pepohonan berderak, dedaunan jatuh luruh.

Cahaya putih pukulan maut Sinar Matahari terpental ke samping namun masih sempat
menyerempet sosok manusia pocong yang telah berusaha melompat selamatkan diri.

Sebaliknya walaupun angin pukulan lawan yang menebar berbagai warna dapat dibuat buyar
oleh pukulan Sinar Matahari, namun tak urung laksana dihantam angin puting beliung tubuh
kurus kering Sinto Gendeng terangkat ke atas, berputar di udara lalu terlempar jauh dan jatuh
melintang di cabang pohon di samping pohon yang tadi tumbang. Untuk beberapa lamanya
nenek ini tergontai-gontai di cabang pohon itu. Dari mulutnya bukan cuma merocos keluar
kutuk serapah tapi juga ada lelehan darah. Mukanya yang hitam kelihatan semakin hitam. Dua
matanya menatap berkilat ke arah manusia pocong di bawah sana yang terpental lalu jatuh
terjengkang di tanah. Bagian kiri jubahnya sampai ke lengan kelihatan hangus. Luar biasanya
tubuhnya tidak sampai cedera.

Dengan cepat orang ini bangkit berdiri. Melihat Sinto Gendeng melintang tak berdaya di atas
cabang pohon dia segera angkat tangan kiri yang memegang sebuah benda terlindung di balik
lengan jubahnya yang gombrong. Ketika dia siap hendak menghantamkan tangan itu ke arah
Sinto Gendeng tiba-tiba suitan keras merobek udara, dua kali berturut-turut.

Mendengar suara suitan itu manusia pocong terpaksa hentikan gerakan. Walau hatinya masih
geram namun dia tidak berani meneruskan niat. Dengan cepat dia memutar tubuh lalu
berkelebat ke arah datangnya suara suitan tadi.

Di bagian lereng yang dipenuhi pepohonan rapat dan belukar lebat, seorang tinggi besar
berpakaian sama dengan si manusia pocong berdiri menunggu. Dalam gendongannya ada sosok
seorang gadis berpakaian biru berbunga-bunga kuning. Selain berselomotan tanah, pakaian ini
bernoda darah dan tak karuan rupa hingga keadaan si gadis nyaris kelihatan setengah
telanjang. Pada pipi sebelah kiri ada luka memanjang, rambut hitam tergerai hampir
menyentuh tanah. Tidak dapat dipastikan apakah gadis ini berada dalam keadaan pingsan atau
sudah tidak bernyawa lagi.

Sampai di hadapan manusia pocong yang menggendong gadis, manusia pocong pertama
bungkukkan badan memberi hormat lalu cepat bertanya.
“Yang Mulia Ketua, ada apakah kau memberi tanda?”

Manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua tidak segera menjawab.
Sesaat dia perhatikan jubah hangus serta kain penutup kepala yang robek.

“Apa yang terjadi dengan dirimu?”

“Saya berhadapan dengan Sinto Gendeng….”

“Memalukan, ilmumu begitu tinggi bahkan membekal satu senjata sakti mandraguna. Nenek
butut itu ternyata membuatmu acak-acakan tak karuan begini rupa. Masih untung nyawamu
tidak dibuatnya sembrawutan!”

“Sebenarnya tadi saya sudah siap membunuh nenek itu. Tapi Yang Mulia memberi tanda
dengan suitan….”

“Ada orang datang. Kita harus segera tinggalkan tempat ini,” menjelaskan sang Ketua.

Dalam hati manusia pocong satunya bertanya-tanya. Apakah ada sesuatu yang luar biasa
dengan orang yang datang itu hingga sang Ketua mengajaknya buru-buru meninggalkan tempat
itu?

“Yang Mulia, saya masih punya kesempatan membunuh Sinto Gendeng.”

“Lupakan dulu tua bangka satu itu. Ada pekerjaan lebih penting. Lain waktu nyawanya tak bakal
lepas dari tangan kita. Lagi pula sesuai rencana kita sudah mendapatkan gadis ini….”

“Apakah dia masih hidup. Bukankah sebelumnya dia sudah dikubur…?”

“Semua sudah aku lakukan sesuai apa yang ada dalam Aksara Batu Bernyawa. Lagi pula sang
pemilik Aksara sudah memberi petunjuk. Bagaimana keadaannya akan kita periksa nanti.”

“Satu lagi Yang Mulia Ketua. Apakah Pedang Naga Suci 212 ada padanya?”

“Aku belum sempat memeriksa. Dengar, kita akan melakukan perjalanan cukup jauh. Padahal
kita harus sampat di tujuan sebelum purnama mendatang. Kita harus tinggalkan tempat ini
sekarang juga. Lagi pula seperti kataku tadi, ada orang muncul di tempat ini. Kita harus
bertindak cepat. Kalau sampai salah waktu terlambat bertindak, bisa-bisa semua urusan jadi
kapiran! Ikuti aku!”

Manusia pocong yang menggendong gadis dan disebut dengan panggilan Yang Mulia Ketua
tinggalkan tempat itu. Manusia pocong satunya tidak banyak bicara lagi segera mengikuti Sang
Ketua.
***

SINTO Gendeng masih terbelintang di atas cabang pohon dan masih terus memaki panjang
pendek ketika tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Si nenek mencium bau sesuatu lalu
tubuhnya terasa dibawa melayang turun. Di lain saat dia sudah duduk di tanah, tersandar ke
batang pohon.

“Eh?!” Si nenek mengerenyit. Matanya diusap beberapa kali. “Aku mencium bau harumnya
tuak. Aku melihat samar-samar tampang tua berjanggut putih sampai ke dada. Bagaimana aku
bisa yakin yang ada di depanku ini memang tua bangka konyol berjuluk Dewa Tuak!”

Kakek berambut, berjanggut dan berkumis putih mengenakan pakaian kain selempang biru
yang duduk bersila di depan Sinto Gendeng keluarkan suara tawa mengekeh. Di bahunya dia
memanggul dua buah bumbung bambu berisi tuak. Salah satu bumbung diturunkannya lalu
gluk… gluk… gluk. Dia teguk tuak dalam bambu sampai minuman yang menebar bau harum itu
berlelehan di dagu dan lehernya.

“Sinto, penciumanmu rupanya masih tajam. Matamu juga masih awas! Ha… ha… ha…. Syukur
kau masih mengenali diriku!” Si kakek tertawa bergelak, seka lelehan tuak di mulut dan
dagunya. “Sinto, ada satu hal yang hendak aku tanyakan.”

“Dalam keadaan seperti ini bukan saatnya bertanya jawab. Aku ingin kembali ke pondokku di
puncak gunung, Antarkan aku ke sana. nanti kita ngobrol sampai tujuh hari tujuh malam! Tapi
awas, asal kau jangan lagi-lagi membicarakan soal perjodohan antara muridku Si Anak Setan
Wiro Sableng dengan muridmu si Anggini itu!”

Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan tanah Jawa tertawa mengekeh
mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. “Sinto, dengar. Waktu tadi aku memelukmu lalu
membawamu turun dari cabang pohon, aku merasakan tubuhmu hangat sekali. Apakah itu
berarti ada hasrat yang menyala dalam dirimu terhadapku?”

Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar. Mulutnya yang perot mencong ke kiri lalu
menyemburlah caci makinya.

“Tua bangka sinting tidak tahu diri! Sudah bau tanah mulutmu masih saja bisa bicara lancang!
Kau ini mengigau atau mabok?!”

Dewa Tuak kembali tertawa mendengar dampratan si nenek. Sambil usap-usap kumis putihnya
dia berkata. “Aku tidak ngigau, juga belum mabok! Aku hanya mengatakan apa adanya.
Tubuhmu terasa hangat. Padahal biasanya dingin dan bau pesing….”

“Kakek setan! Saat ini aku tengah diserang demam! Siapa yang tidak bakal panas tubuhnya
kalau sedang demam?!”
“Ah, maafkan kalau begitu. Aku mengira yang tidak-tidak karena mungkin keliwat berharap
yang tidak-tidak! Ha… ha… ha! Sobatku tua, kalau kau memang sedang demam panas, bukan
mendadak meriang karena terangsang oleh pelukanku, silahkan kau minum beberapa teguk
tuak kayangan. Dalam waktu singkat sakitmu pasti sembuh.”

Si nenek pelototkan mata.

“Eh, kenapa kau melotot?”

“Aku tahu apa yang ada dalam otak dan hatimu. Semua kotor!”

“Walah biyungl Apa maksudmu?” tanya Dewa Tuak sambil garuk kepala.

“Kau hendak membuat aku mabuk. Kalau aku mabuk dan tidak sadar diri, kau mau. Ayo… kau
mau apakan diriku?! Pasti kau mau berbuat yang bukan-bukan!”

Dewa Tuak balik menonikkan mata. Tapi sesaat kemudian kakek ini tertawa gelak-gelak.

“Otak dan hatiku tidak sekotor itu! Kita sudah saling kenal dan bersahabat puluhan tabun.
Malah hampir-hampir saling jadi besan. Sayang kau tidak mau. Jalan pikiranmu rupanya suka
membayangkan yang bukan-bukan! Sudah kalau kau tidak mau meneguk tuakku siapa
memaksa. Aku mau tanya satu lagi. Apa yang membuatmu sampai enak-enakan tiduran di atas
cabang pohon?”

“Gila! Siapa yang tiduran di cabang pohon. Aku bertemu makhluk aneh. Berdandanan seperti
pocong hidup. Mengakunya Malaikat Maut dan mau membunuh aku! Ketika aku hantam
dengan pukulan Sinar Matahari dia membalas dengan satu pukulan dahsyat. Aku hanya mampu
menghanguskan jubah putihnya tapi aku sendiri dibuatnya mencelat hingga menyangsang di
cabang pohon! Sial! Kalau saja aku tidak sakit, sudah kubuat lumat bangsat itu. Demam panas
membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti secara penuh.”

“Walau katamu kau sakit, sulit aku percaya kalau ada orang yang mampu membuatmu begitu
rupa. Dua tusuk kondemu sampai-sampai ikut amblas. Sehebat apa ilmu kesaktiannya?” Ujar
Dewa Tuak sambil goleng-goleng kepala.

“Dari ujud pakaiannya aku menaruh kira bangsat itu pasti dari golongan hitam. Dia
menyembunyikan wajah di balik kain putih berbentuk pocong. Dia memiliki pukulan dahsyat
yang menebar berbagai warna. Pukulan itu yang membuat aku mental sampai menyangsang di
cabang pohon celaka sana!”

“Kejadian ini perlu diselidiki dan kau harap berhati-hati Sinto.”


“Aku bisa menjaga diri, tidak perlu nasehat tukang mabok sepertimu. Selama ini aku dengar
bukankah kau memencilkan diri di pantai selatan?”

Dewa Tuak menyeringai. “Lama-lama aku bosan juga menyendiri. Namanya hidup di dunia
kupikir tolol kalau aku memencilkan diri, buta segala apa yang terjadi di rimba persilatan.
Sekarang dengar ceritaku. Barusan aku naik ke puncak gunung ini….”

“Mencari aku?!”

“Huh, perlu apa mencari nenek peot macammu!”

“Sialan!” maki Sinto Gendeng.

“Aku mencari muridku Anggini. Sudah lama aku tidak melihatnya. Terakhir sekali dia kuketahui
pergi ke Pulau Andalas bersama seorang pemuda bernama Panji. Kabarnya berguru dengan
tokoh silat di Danau Maninjau bernama Nyanyuk Amber. Tapi beberapa waktu belakangan,
kusirap kabar anak itu berada di Tanah Jawa ini. Berkeliaran bersama muridmu dan dua gadis
cantik sahabatnya. Kemudian aku dengar kabar lain bahwa mereka naik ke puncak gunung ini.
Aku segera berangkat ke sini. Tapi kau tahu, apa yang aku temukan dan lihat di puncak gunung
tempat kediamanmu?”

“Mana aku bisa menduga,” jawab Sinto Gendeng. “Jangan-jangan kau mengacak-acak
pondokku. Tidur-tiduran di tempai tidurku!”

“Tempat tidur butut bau pesing! Kambingpun lidak mau tidur di situ!” tukas Dewa Tuak.

“Sialan kau!” maki Sinto Gendeng.

“Aku tidak menemui muridku Anggini.” Dewa Tuak meneruskan ceritanya. “Juga tidak menemui
gadis teman-temannya. Juga tidak ada muridmu si Wiro Sableng itu, yang kutemui adalah dua
buah makam….”

“Makam? Maksudmu kuburan?!” tanya Sinto Gendeng. Dua matanya yang cekung kembali
mendelik. “Kalau ada kuburan di puncak gunung sana, berarti yang tadi bertempur dengan aku
janganjangan memang setan pocong benaran!”

***

DEWA Tuak sunggingkan senyum. “Aku menemukan dua buah makam. Dua buah kuburan. Tapi
dua makam itu dalam keadaan kosong! Di dalamnya hanya ada genangan air hujan!”

“Aneh!” ujar Sinto Gendeng sambil menatap Dewa Tuak dengan pandangan tidak percaya.
“Ada yang lebih aneh lagi,” ujar si kakek. Dia meneguk tuaknya beberapa kali baru meneruskah.
“Di belakang salah satu kuburan itu ada sebuah tiang kayu. Mungkin sekali sebelumnya ada
seseorang diikat pada tiang itu. Lalu ini keanehan satu lagi. Aku menganggap bukannya aneh
tapi gila! Gila besar! Di makam ke dua menancap satu papan nisan. Di atas papan nisan itu
tertulis Di sini Beristirahat Untuk Selamalamanya Pendekar 212 Wiro Sableng.”

“Hah?! Apa katamu?!” tanya Sinto Gendeng. Saking kagetnya tubuhnya sampai terlompat
bangun.

Dewa Tuak mengulangi ucapannya yang terakhir. “Di sini Beristirahat Untuk Selama-lamanya
Pendekar 212 Wiro Sableng.”

“Tidak mungkin! Tidak bisa jadi! Muridku belum mati! Aku yakin betul!” Sinto Gendeng berkata
setengah berteriak.

“Aku juga sependapat denganmu Sinto. Seperti kataku tadi, dua kubur itu kosong. Tidak ada
mayat, tidak ada jenazah di dalamnya.”

“Lalu siapa yang punya pekerjaan membuat dua buah kubur begitu rupa?”

“Siapa yang bisa menerka? Siapa yang tahu apa sebenarnya telah terjadi!” ujar Dewa Tuak pula.
“Tapi biar aku berpikir sebentar.” Dan caranya Dewa Tuak berpikir adalah dengan meneguk
tuak harum dalam bumbung bambu. Setelah mukanya menjadi merah dan mata berputar liar,
kakek ini baru berkata. “Menurut jalan pikiranku, jangan-jangan makhluk berbentuk pocong
yang menyerangmu itulah yang telah melakukan semua ini.”

“Bisa jadi! Kurang ajar! Aku harus segera berangkat ke sana! Kau ikut aku!”

“Maaf Sinto, aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tengah mencari
muridku. Aku khawatir anak itu tengah dalam bahaya….”

“Kau tidak mau ikut aku ya sudah. Tapi….”

“Tapi apa Sinto?”

“Aku minta tuakmu!” Tidak menunggu jawaban orang Sinto Gendeng ambil bumbung bambu
yang dipegang si kakek lalu gluk, gluk, gluk dia teguk tuak harum itu hingga mukanya yang
hitam jadi bertambah hitam dan dua matanya kelihatan merah.

“Terima kasih!” Sinto Gendeng serahkan kembali bumbung tuak. Lalu melangkah pergi. Tapi
baru tiga langkah menindak tiba-tiba si nenek pegang perutnya sebelah bawah.

“Dewa Tuak! Sialan kau!” Dari mulut Sinto Gendeng keluar makian.
“Eh, ada apa?” tanya Dewa Tuak heran.

“Tuak gilamu itu!”

“Memangnya ada apa dengan tuakku!”

“Setan! Aku jadi kebelet kencing!” Teriak Sinto Gendeng. Lalu terbirit-birit, sambil singsingkan
kain, si nenek lari ke balik semak belukar.

Dewa Tuak goleng-goleng kepala. Ketika dia mendengar suara sesuatu mengucur di balik semak
belukar kakek ini tak dapat menahan ketawanya.

“Sinto, apa yang kau goreng di balik semak belukar! Riuh sekali kedengarannya! Ha… ha… ha!”

***

DUA kaki Sinto Gendeng seperti menancap di tanah ketika dia menyaksikan kebenaran cerita
Dewa Tuak. Tak jauh dari pondok kediamannya ditemuinya dua buah lobang kubur. Tanah
merah bertebaran di mana-mana. Lobang kubur tergenang air.

Saat itu Sinto Gendeng merasa tubuhnya lebih baik dari sebelumnya. Hawa panas jauh
berkurang. Mungkin ini kemujaraban tuak kayangan Dewa Tuak yang tadi diteguknya. Sambil
memperhatikan ke dalam lubang kubur si nenek berkata dalam hati.

“Kelihatannya dua kubur ini seperti bekas digali orang. Kalau tidak ada jenazah di dalamnya
berarti ada yang menggali dan mencuri. Tapi apa perlunya orang mencuri mayat? Lalu siapa
yang dimakamkan di tempat ini? Muridku? Lalu satunya? Siapa yang mengubur mereka? Ini
bukan pekerjaan satu dua orang….”

Sinto Gendeng perhatikan tanah di sekitar dua makam. Juga tanah di dekat pondok
kediamannya. Walau sudah agak samar-samar karena terguyur air hujan namun dia masih bisa
melihat bekas jejak-jejak kaki orang banyak sekali.

“Aneh, manjur juga tuak kakek sialan itu. Tubuhku terasa lebih enak. Mataku kini bisa melihat
jelas. Jejak-jejak kaki itu….” Kembali Sinto Gendeng pandangi dua lubang kubur yang tergenang
air. “Harus kupastikan kuburan ini benar-benar kosong,” kata si nenek dalam hati. Lalu dia
angkat dua tangannya, telapak dikembangkan, diarahkan ke dalam lobang. Hawa panas
menderu. Terjadilah hal luar biasa. Genangan air di dalam dua lobang kubur kelihatan
bergoyang keras. Didahului suara seperti mendidih genangan air itu muncrat ke atas bersama
lapisan tanah. Sesaat kemudian dua lobang kubur berada dalam keadaan kering!

“Kosong…. Benar-benar kosong,” kata Sinto Gendeng. “Apa sebenarnya yang terjadi di tempat
ini.” Si nenek memperhatikan. Lobang kubur yang di belakangnya ada tiang lebih dalam dari
lobang kubur yang ada papan nisan. “Tidak mungkin kuburan dibuat sedangkal ini….” Sinto
Gendeng ingat pada manusia pocong yang tadi ditemui dan menyerangnya. “Kalau memang
ada jenazah dalam dua liang kubur ini, tidak mungkin dia yang mencuri. Pakaiannya putih
bersih, tidak berlepotan tanah.”

Tidak dapat memecahkan teka-teki dua makam aneh, Sinto Gendang akhirnya melangkah
menuju pondok. Pintu depan dan pintu belakang dibiarkannya terbuka lebar hingga cahaya
masuk menerangi bagian dalam pondok. Lama dia berdiri di tengah ruangan memperhatikan
sebelum duduk di tepi balai-balai kayu beralaskan tikar butut. Sambil duduk kembali dia
memandang seantero pondok. Di samping kiri ada meja kayu dan sebuah kursi reot. Di sebelah
kanan dekat pintu belakang terletak sebuah gentong besar. Di atas penutup gentong ada
sebuah gayung terbuat dari tempurung kelapa. Si nenek kerenyitkan kening ketika melihat
gagang gayung. Ada bekas-bekas tanah pada ujung gagang gayung. Perlahan-lahan Sinto
Gendeng bangkit berdiri, melangkah mendekati gentong. Gayung diambil, diperhatikan.

“Sekian lama gayung ini tidak ada yang menyentuh. Kalau hanya dipakai untuk menciduk air
dalam gentong, bagaimana bisa ada tanah menempel di ujung gagangnya? Ada seseorang
mempergunakannya untuk….” Ucapan dalam hati Sinto Gendeng terputus ketika matanya
melihat pada badan gentong yang tertutup debu tebal ada bekas-bekas tangan. Dada si nenek
berdebar. Wajahnya yang seperti tengkorak hidup berubah. Gayung dicampakkannya ke lantai
pondok. Di dalam gentong terdapat air sampai setengahnya. Gentong dan air beratnya hampir
dua ratus kati. Dengan dua tangannya yang kurus tapi memiliki tenaga luar biasa Sinto Gendeng
geser gentong besar itu ke samping kiri. Debaran pada dadanya semakin keras ketika melihat
tanah di bawah gentong ada tanda-tanda bekas digali. Si nenek berlutut di lantai pondok.
Dengan dua tangannya dia menggali tanah sampai dia menemukan sebuah peti kayu terbuat
dari kayu besi hitam. Dengan cepat Sinto Gendeng keluarkan peti kayu itu. Ketika penutup peti
dibuka si nenek terperangah, keluarkan seruan tertahan dan duduk terhenyak di tanah. Peti itu
kosong!

“Gusti Allah! Kitab itu…,” desis Sinto Gendeng dengan suara bergetar. “Kitab Seribu Macam
Ilmu Pengobatan. Siapa yang begitu kurang ajar berani mencurinya!” Sinto Gendeng pukul-
pukul kepalanya sendiri. Di puncak kemarahannya nenek ini tendangkan kaki kanannya.
Gentong besar terbuat dari tanah hancur berantakan. Air membasahi lantai pondok. Untuk
beberapa lamanya si nenek masih terduduk, tidak perdulikan kain dan tubuhnya sebelah bawah
yang ikut kebasahan. (Peristiwa lenyapnya Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dapat
pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Senandung Kematian. Serial ini merupakan
Episode terakhir dari enam rangkaian Episode masing-masing berjudul Kembali Ke Tanah Jawa,
Tiga Makam Setan, Roh Dalam Keraton, Gondoruwo Patah Hati dan Makam Ketiga. Sedang
mengenai kisah asal muasalnya kitab tersebut dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul
Banjir Darah Di Tambun Tulang.)

Dalam keadaan terduduk otak Sinto Gendeng bekerja. Di tanah sekitar halaman pondok dan
dekat dua kuburan terlihat banyak jejak-jejak kaki. Dewa Tuak dipastikan datang setelah orang-
orang itu pergi karena dia sama sekali tidak menceritakan kalau bertemu dengan orang lain.
“Mungkinkah kakek sialan itu yang mencuri Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan? Kalau bukan
dia yang jahil mengapa dia tidak mau aku ajak naik ke puncak sini?” Sinto Gendengi menghela
nafas panjang. “Sulit bisa kupercaya. Manusia pocong yang menyerangku…. Mungkin dia
jahanam yang mencuri kitab itu. Tapi bagaimana dia bisa tahu kitab itu ada di bawah gentong?
Lagi pula, jika dia sudah dapatkan kitab, mengapa masih mau membuang waktu hendak
membunuhku? Gila! Kalau bertermu akan kucincang bangsat pencuri kitab itu!”

Dalam alur cerita selanjutnya dikisahkan Sinto Gendeng menemui Wiro Sableng ketika sang
murid yang saat itu bersama tiga gadis cantik (Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Anggini)
hampir dicelakai Nyi Ragil Tawangatu (Si Manis Penyebar Maut) yang ternyata adalah musuh
bebuyutan Sinto Gendeng. Nyi Ragil dibantu Si Muka Bangkai. Karena tidak sanggup
menghadapi Sinto Gendeng, Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai akhirnya melarikan diri.

Kepada Wiro, Sinto Gendeng menceritakan apa yang terjadi di puncak Gunung Gede. Si nenek
mengatakan dia menemui dua buah kuburan kosong. Wiro merasa heran karena hanya satu
kubur yang kosong sedang satunya berisi jenazah Puti Andini. Dari keterangan yang saling
berbeda itu ditarik kesimpulan bahwa jenazah Puti Andini telah dicuri dan dilarikan orang. Siapa
orangnya tak ada yang bisa menduga.

Sinto Gendeng juga menceritakan hilangnya Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Entah
bagaimana mungkin terlupa si nenek tidak menceritakan pertemuannya dengan manusia
pocong dan Dewa Tuak. (Untuk jelasnya kisah ini silahkan dibaca serial Wiro Sableng berjudul
Tahta Janda Berdarah, yang merupakan Episode ke-4 dari rangkaian Episode Badik Sumpah
Darah)

***

MENJELANG pertengahan malam langit tampak semakin kelam, udara terasa bertambah dingin
mencucuk kulit menembus tulang. Awan hitam bergerak ke arah timur. Perlahan-lahan bulan
sabit malam ke tiga muncul di langit. Cahaya temaram bulan sabit ditambah kelap-kelip bintang
yang bertaburan tidak sanggup mengusir kegelapan.

Jauh di utara Telaga Sarangan, terdapat satu kawasan bukit batu yang sunyi dimana hanya
suara deru angin yang terdengar menggidikkan dan sesekali ada suara panjang raungan anjing
menambah dinginnya tengkuk dan merindingnya bulu roma.

Beberapa belas tombak di sebelah utara, di antara gundukan-gundukan batu, diselubungi


kegelapan di luar dan sebelah dalam, ada satu bangunan tua berbentuk panggung rendah,
berdinding kayu lapuk. Atap terbuat dari ijuk hitam tebal menyerupai tanduk kerbau. Seluruh
dinding merupakan pintu-pintu dalam keadaan tertutup, masing-masing dua belas pintu setiap
sisi. Berarti empat puluh delapan pintu pada seluruh dinding. Karena tidak terpelihara di hampir
setiap bagian bawah atap kelihatan sarang labah-labah. Di barisan pintu depan yang
menghadap ke arah selatan, di bawah atap tergantung sebuah lampion kain putih dalam
keadaan tidak menyala. Kain lampion selain diselimuti debu juga dipenuhi sarang laba-laba.

Tak jauh dari bangunan panggung itu, terdapat satu pedataran kecil yang di sana sini ditebari
batubatu hitam berbagai bentuk dan ukuran.

Enam orang perempuan muda dalam keadaan hamil, sama mengenakan seragam jubah luar
warna merah, berdiri di samping sebuah batu besar rata berbentuk empat persegi panjang.
Mereka berdiri tak bergerak, juga tidak bersuara. Bola-bola mata mereka memandang lurus-
lurus kosong dan hampa.

Di ujung batu sebelah kiri, di atas satu batu berbentuk tiang tinggi sepinggang, terdapat sebuah
pendupaan besar yang apinya dalam keadaan menyala. Di ujung sebelah kanan dari batu
menancap ke tanah sebuah obor yang nyala apinya bergoyang-goyang tertiup angin, membuat
bayang-bayang seram di beberapa tempat.

Di seberang lain batu persegi panjang berdiri enam sosok berpakaian serba putih, mulai dari
kain penutup kepala sampai ke jubah. Manusia-manusia pocong. Seperti enam gadis, mereka
tegak tak bergerak. Namun pandangan mata mereka yang tersembunyi di balik dua lobang kecil
kelihatan tajam dan sesekali bergerak ke arah kiri dimana sejak tadi mereka menunggu
kemunculan seseorang.

Di atas batu terbaring menelentang satu sosok di tutup kain hitam mulai dari kaki sampai
sebatas leher di bawah dagu. Di ujung kain hitam kelihatan satu kepala berambut panjang
hitam, tergerai menebar, sengaja diatur berbentuk kipas di atas batu. Kepala ini memiliki satu
wajah seorang gadis dalam keadaan mata tertutup. Kecantikan yang dimilikinya ditelan oleh
kepucatan seolah tidak ada lagi darah yang mengalir di wajah itu. Di pipi kiri melintang bekas
luka yang belum lama mengering. Jika diperhatikan lama-lama raut wajah itu kelihatan
menggidikkan. Apa lagi cahaya api obor yang bergoyang-goyang dan sesekali menyapu wajah si
gadis hingga wajah yang pucat pasi itu tampak tambah menyeramkan.

Di langit, bulan sabit hari ke tiga kembali lenyap tersembunyi di balik saputan awan hitam. Di
kejauhan lapat-lapat terdengar kembali raungan anjing, panjang menyayat.

Mungkin tidak tahan berdiam diri sekian lama, perempuan hamil berjubah merah di ujung
kanan berbisik pada teman di sebelahnya yang juga hamil. Ketika bertanya raut wajahnya dan
juga pandangan mata tetap saja kosong.

“Mengapa kita berdiri di sini? Siapa yang kita tunggu? Siapa gadis di atas batu ini?”

Perempuan yang ditanya menjawab dengan suara datar perlahan.


“Kita bahkan tidak tahu siapa kita. Bagaimana mungkin menanyakan perihal lain dan orang
lain.”

Perempuan yang barusan bertanya rupanya masih belum puas. Dia berkata. “Rumah tua di
depan sana. Yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Kau tahu bangunan apa itu adanya?”

“Sahabatku,” jawab perempuan hamil yang barusan ditanya untuk kedua kali. “Di tempat
seperti ini tidak ada satu pertanyaanku di antara kita yang bisa dijawab. Malah setiap ucapan
bisa mendatangkan malapetaka. Berhentilah membuka mulut dan bertanya.”

Mendengar ucapan orang, perempuan hamil yang tadi bertanya menarik nafas dalam. Sesaat
dia memandang kosong ke arah rumah panggung di kejauhan, lalu kembali matanya
memperhatikan sosok gadis berwajah pucat di atas batu persegi panjang. Melihat gadis ini lagi-
lagi mulutnya secara tak sadar bertanya.

“Dia, gadis berambut panjang bermuka pucat ini. Apakah dalam keadaan hidup atau sudah
mati?”

Perempuan hamil yang lagi-lagi ditanya agaknya kesal dan menjawab. “Tutup mulutmu,
sebelum ada orang lain yang. menutupnya!”

Sunyi dan dingin. Nyala api obor membuat bayang-bayang aneh di beberapa tempat.
Bersamaan dengan itu kembali terdengar suara lolongan anjing di kejauhan, tiba-tiba dari balik
sebuah batu besar, seorang berpakaian seperti pocong hidup bergerak keluar, melangkah ke
arah dua belas orang yang berdiri di depan batu persegi empat.

Enam manusia pocong disamping batu segera mengambil sikap tegak dan palingkan kepala ke
arah manusia pocong yang melangkah mendatangi.

“Berikan hormat pada wakil Ketua!” Salah seorang manusia pocong berseru. Lalu diikuti oleh
lima temannya dan enam perempuan hamil mereka semua membungkuk, memberi hormat
pada manusia pocong yang barusan datang dan disebut sebagai Wakil Ketua.

Di depan pendupaan besar sang Wakil Ketua berhenti. Tangan kanan diulurkan ke atas
pendupaan, menebar sejenis bubuk. Sesaat kemudian arang menyala di dalam pendupaan
kepulkan asap tipis. Lalu bau harum menebar ke seantero tempat, membuat suasana di tempat
itu jadi tambah mencekam. Selesai menebar setanggi ke dalam pendupaan, manusia pocong
melangkah ke samping kiri. Bersamaan dengan itu dia angkat tangan kanannya. Sambil
membungkuk dia ayunkan tangan ke bawah. Entah dari mana datangnya sebuah benda melesat
di udara lalu menukik deras dan menancap di batu persegi empat, sejengkal di atas kepala gadis
berwajah pucat. Benda ini ternyata sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga, basah oleh cairan
berwarna merah. Bendera darah.
Begitu bendera menancap di batu, saat itu pula dari balik batu besar dari mana sang Wakil
Ketua datang, kini muncul satu sosok tinggi besar manusia pocong.

Dua belas orang di sisi kiri kanan batu persegi serentak dongakkan kepala dan secara
berbarengan keluarkan ucapan keras.

“Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”

Sehabis berseru, dua belas orang ini lalu membungkuk dalam-dalam ke arah manusia pocong
tinggi besar. Manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Wakil Ketua perlahan-lahan
luruskan tubuh kembali.

Saat itulah dari arah rumah panggung ada suara tangisan bayi, terdengar keras di dalam
kesunyian. Dua belas orang di kedua sisi batu persegi empat, cepat luruskan tubuh masing-
masing lalu sama palingkan kepala ke arah rumah panggung. Enam manusia pocong
memandang sambil bertanya-tanya dalam hati. Enam perempuan hamil juga ikut memandang
tapi pandangan, pikiran serta hati mereka kosong. Mendadak suara tangis bayi lenyap.
Kesunyian menggantung di bawah deru angin yang terasa semakin dingin menyayat kulit.

Tiba-tiba salah satu dari dua belas pintu yang ada di bagian depan rumah panggung terbuka. Di
sebelah dalam kelihatan satu sosok berdiri, tak jelas siapa adanya karena diselimuti kegelapan.
Manusia pocong tinggi besar berikan isyarat dengan goyangan kepala pada sang Wakil Ketua.
Manusia pocong ini lalu palingkan kepala pada enam orang manusia pocong yang berdiri di
samping kiri batu besar dan berkata.

“Enam Satria Barisan Manusia Pocong kalian semua boleh pergi. Kembali ke kamar masing-
masing dan jangan berani keluar sebelum diperintahkan!”

Enam orang manusia pocong dongakkan kepala sambil keluarkan ucapan. “Hanya perintah
Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai.”

Keenam orang itu membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat tersebut. Satu persatu
mereka melangkah ke balik sebuah batu besar. Di balik batu ini ada sebuah lorong. Ke dalam
lorong inilah mereka masuk dan menghilang.

Setelah enam orang manusia pocong pergi, Yang Mulia Ketua berpaling pada enam perempuan
hamil di samping batu pembaringan.

“Kekasihku, agar tidak ada yang terlupa, agar tidak ada yang kesalahan aku ingin bertanya.
Apakah kalian telah memandikan gadis di atas batu pembaringan dengan kembang tujuh
rupa?”
Enam perempuan hamil yang dipanggil dengan sebutan kekasihku membungkukkan tubuh lalu
berbarangan menjawab.

“Hal itu telah kami lakukan. Kembang tujuh rupa dan air suci telah dimandikan. Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai!”

“Bagus, kalau begitu kalian berenam boleh pergi. Masuk ke kamar masing-masing, jangan
keluar sebelum diperintahkan. Jika berkesempatan besok malam aku akan menemui kalian satu
persatu.”

Enam perempuan hamil yang rata-rata masih muda dan berwajah cantik membungkuk dalam
lalu keluarkan ucapan. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang
Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai dan dilayani!”

Secara berbaris enam perempuan hamil tingalkan tempat itu. Seperti enam manusia pocong
mereka menyelinap di balik batu besar dan lenyap masuk ke dalam mulut terowongan batu.

Ketua manusia pocong memandang ke langit. Bulan sabit kelihatan membayang di balik awan
tipis.

“Wakil Ketua, sebentar lagi malam akan sampai di pertengahannya. Saatnya untuk kita mulai
bekerja.”

“Saya siap melaksanakan tugas dan perintah Yang Mulia Ketua,” jawab wakil Ketua lalu dia
memutar tubuh, menghadap dan memandang ke arah pintu bangunan panggung yang terbuka.
Sesaat dia memperhatikan sosok dalam gelap di belakang pintu rumah tua yang terbuka.

“Nyi. Bluduk! Apakah pekerjaanmu sudah rampung?!” Sang wakil Ketua berseru.

Dari dalam bangunan tua terdengar jawaban orang. Suaranya kecil melengking.

“Pekerjaanku sudah rampung. Darah sudah kumasukkan ke dalam bokor. Tali pusat ikut
tersimpan di dalamnya. Apakah sekarang aku boleh keluar dan menyerahkan bokor? Lalu
mendapatkan imbalan yang dijanjikan?”

“Nyi Bluduk, silahkan keluar. Serahkan bokor padaku. Imbalan yang dijanjikan sudah aku
siapkan.”

Mendengar ucapan Wakil Ketua manusia pocong itu, sosok di dalam rumah tua bergerak keluar
pintu, menuruni tangga lebar tapi pendek lalu melangkah mendatangi sang Wakil Ketua.
Ternyata orang ini adalah seorang nenek kurus berambut kelabu awut-awutan. Pakaiannya
kelihatan basah oleh keringat dan cairan merah. Dia melangkah sambil memegang sebuah
bokor terbuat dari perak putih. Bokor kecil ini agaknya penuh dengan sejenis cairan karena si
nenek kelihatan berjalan perlahan dan hati-hati, takut isi bokor tumpah.

Wakil Ketua manusia pocong ambil bokor yang diserahkan si nenek lalu diletakkan di atas batu
persegi empat, di samping kaki gadis yang sejak tadi terbaring tak bergerak.

“Aku minta upah imbalanku sekarang,” Nyi Bluduk ulurkan tangan pada Wakil Ketua manusia
pocong.

“Nyi Bluduk, imbalan uang perak yang kami janjikan ada di dalam rumah tua. Kami letakkan di
atas satu-satunya kursi di tempat itu. Silahkan kau mengambil sendiri.”

Nyi Bluduk tampak cemberut.

“Kenapa tidak bilang dari tadi. Aku jadi tak perlu mondar-mandir….”

“Harap maafkan. Aku lupa memberitahu. Memang begitu caranya kami menyediakan imbalan.”

Si nenek putar tubuhnya. Sebelum melangkah menuju rumah tua dia bertanya. “Setelah
pekerjaan ini apakah ada pekerjaan susulan?”

Wakil Ketua manusia pocong tidak berikan jawaban melainkan berpaling pada sang Ketua.
Manusia pocong tinggi besar ini berkata.

“Aku tidak bisa menjanjikan. Kalau memang ada kau pasti akan kami hubungi. Terima kasih atas
bantuanmu malam ini.”

Nyi Bluduk pencongkan mulutnya yang kempot,” mengangguk lalu melangkah menuju rumah
tua. Begitu tubuhnya lenyap di belakang pintu yang terbuka tiba-tiba pintu ini tertutup. Sesaat
kemudian terdengar jeritan keras perempuan tua itu disusul suara tubuh roboh ke lantai kayu.
Di balik kain putih penutup kepala Yang Mulia Ketua menyeringai.

“Wakil Ketua, tugasmu mencari dukun beranak baru….”

“Saya siap menjalankan perintah Yang Mulia Ketua. Tapi jika hal seperti ini berkelanjutan,
lambat laun kita akan kehabisan dukun beranak.”

“Kalau itu sampai terjadi, kau bisa melakukan pekerjaan itu,” jawab sang Ketua yang membuat
manusia pocong di hadapannya jadi tersurut. “Setelah pekerjaan besar ini selesai, bersihkan
rumah itu. Singkirkan semua benda yang ada di dalamnya.”

“Saya siap menjalankan perintah Yang Mulia Ketua.”


“Bagus, sekarang mari kita mulai.” Dari balik jubah putihnya manusia pocong tinggi besar
keluarkan sebuah benda berwarna hitam.

***

BENDA itu ternyata sebuah batu tipis berukuran satu jengkal persegi. Wakil Ketua manusia
pocong tebarkan setanggi ke dalam pendupaan. Asap putih tipis mengepul, bau harum kembali
merebak memenuhi pedataran. Yang, Mulia Ketua memegang batu tipis di atas pendupaan.
Batu diputar dan dibolak-balik. Dari balik kain putih penutup kepala terdengar suaranya
bergumam seperti tengah membacakan mantera. Setelah itu batu hitam dicelupkan ke dalam
cairan kental berwarna merah di bokor perak. Anehnya, begitu batu masuk ke dalam bokor,
cairan merah bergejolak seperti mendidih. Bokor bergoyang-goyang. Cairan merah di dalamnya
sampai muncrat membasahi batu pembaringan segi empat. Bau anyir tercium di antara harum
angker bau setanggi. Cairan yang tumpah dari dalam bokor ternyata adalah darah.

Selain bokor perak yang bergoyang, batu persegi empat di atas mana terbaring sosok gadis
bermuka pucat kelihatan bergetar. Getaran menjalar sampai ke tanah pedataran. Dua manusia
pocong tegak tak bergerak. Waspada berjaga-jaga kalau sesuatu yang tidak terduga mendadak
terjadi. Mulut masing-masing merapal sesuatu.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Bokor berhenti bergoyang. Batu besar dan tanah perlahan-
lahan berhenti bergetar.

Yang Mulia Ketua ulurkan tangan kanan memegang ujung batu tipis lalu mengeluarkannya dari
dalam bokor. Batu yang tadinya dingin kini terasa hangat. Dan anehnya, kalau sebelumnya batu
hitam itu polos kedua sisinya, kini pada salah satu sisi muncul tulisan-tulisan kuno berwarna
putih hingga walaupun gelap jelas dapat dibaca.

Manusia pocong tinggi besar berpaling pada wakilnya, memberi isyarat dengan anggukan
kepala. Melihat isyarat ini sang wakil segera ambil bokor perak, memegangnya dengan hati-hati
lalu berdiri di samping kiri batu segi empat.

Setelah lebih dulu memandang ke langit untuk melihat bulan sabit hari ke tiga, Yang Mulia
Ketua menempatkan diri di depan batu persegi empat, pada ujung kaki sosok gadis yang
terbaring.

Aksara Batu Bernyawa

Mula kehidupan anak manusia adalah dari setetes air mani yang tenggelam dalam rahim ibunya
dan berubah menjadi jabang bayi

Di dalam rahim sang ibu tali pusar menjadi sumber kehidupan


Jika seorang yang sekarat inginkah kehidupan

Jika seorang telah menghembuskan nafas lalu terkubur sampai sebelum sang surya tenggelam

Dan mereka inginkan kehidupan duniawi kembali

Bagi mereka yang beruntung dan berjodoh akan didapat nyawa kedua

Asalkan dilakukan semua syarat yang diminta

Pertama upacara mendapatkah nyawa kedua harus dilakukan pada menjelang tengah malam di
tempat terbuka dan di bawah cahaya bulan sabit hari ketiga.

Kedua insan tersebut sebelumnya harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa

Ketiga yang memandikan haruslah kaum sejenisnya :

Lelaki dimandikan oleh lelaki, perempuan dimandikan oleh perempuan.

Keempat yang hadir, dalam upacara mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari dua
orang.

Kelima letakkan tali pusar bayi yang baru dilahirkan di atas pusar insan yang bakal
mendapatkan nyawa kedua

Keenam kucurkan darah suci bayi yang baru lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung kaki
sampai kepala dan rambut

Ketujuh sabarlah menunggu sampai kicau burung atau kokok ayam pertama terdengar sebelum
fajar menyingsing

Jika itu terjadi maka nyawa kedua telah tersimpan di dalam tubuh insan

Dia akan bernyawa, akan hidup seperti manusia adanya namun akan ditemui beberapa kelainan

Insan nyawa kedua tidak akan mengenal siapa dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya

Insan nyawa kedua akan memiliki satu kekuatan luar biasa

Insan nyawa kedua berada di bawah kekuasaan dan hanya tunduk pada orang yang
memberikan kehidupan kedua padanya
Karenanya syarat ke delapan adalah, insan kedua harus ditempatkan secara baik-baik di satu
tempat dimana mulai kehidupan kedua datang padanya, tidak satu dosa kejahatanpun baik
berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di tempat tersebut

Syarat ke sembilan dan terakhir, setiap bulan sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus di
usap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi yang baru dilahirkan

Bilamana syarat ke delapan dan ke sembilan itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan
kembali ke asalnya semula

Dan yang berbuat dosa kejahatan akan kejatuhan bencana malapetaka.

Selesai Yang Mulia Ketua membaca rangkaian tulisan putih di atas batu hitam yang disebut
Aksara Batu Bernyawa, semua tulisan yang ada di batu itu secara aneh lenyap tak berbekas.
Demikian juga noda darah yang sebelumnya membasahi batu. Perlahan-lahan manusia pocong
tinggi besar masukkan batu tipis hitam itu ke balik jubah. Matanya melirik ke langit,
memperhatikan bulan sabit hari ke tiga. Lalu dia melangkah mendekati wakilnya yang
memegang bokor. Lengan jubah tangan kanan digulung ke atas lalu tangan itu dimasukkan ke
dalam bokor berisi darah. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatan memegang sebuah benda
panjang sejengkal, menyerupai ekor ular, berwarna hitam kelabu. Inilah tali pusar bayi seperti
yang dimaksudkan dalam tulisan pada Aksara Batu Bernyawa.

Yang Mulia Ketua manusia pocong memutar tubuh, menggeser kakinya hingga dia berdiri pada
samping pertengahan batu persegi panjang. Tangan kiri diulurkan, diletakkan pada bagian perut
kain hitam penutup sosok gadis di atas batu. Tiba-tiba si manusia pocong tarik kuat-kuat kain
hitam itu. Ketika kain hitam ditarik lepas sehingga sosok gadis yang terbaring menelentang di
atas batu kini tidak tertutup selembar benangpun, pada saat itulah obor yang menancap di
ujung batu mendadak padam. Di langit bulan sabit hari ke tiga, lenyap di balik saputan awan
tebal. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing panjang berhibahiba menyayat keheningan
malam.

Wakil Ketua manusia pocong berdiri tak bergerak. Melalui dua lobang di kain putih penutup
kepalanya dia memperhatikan Yang Mulia Ketua dengan hati-hati meletakkan tali pusar bayi di
permukaan pusar gadis yang terbujur di atas batu pembaringan persegi empat.

Selesai meletakkan tali pusar, Yang Mulia Ketua mengambil bokor perak dari tangan wakilnya.
Cairan merah darah di dalam bokor lalu diguyurkan ke atas tubuh si gadis, bermula dan dimulai
dari ujung kaki terus ke tubuh, naik ke kepala dan sampai di rambut yang tergerai hitam di atas
batu.

Tiupan angin mendadak terasa kencang. Udara bertambah dingin. Di langit bulan sabit hari ke
tiga perlahan-lahan muncul di balik saputan awan tebal. Dua manusia pocong perlahan-lahan
mendudukkan diri masing-masing di samping kiri kanan batu pembaringan. Sesuai apa yang
tertulis dalam Aksara Batu Bernyawa mereka harus menunggu sampai ada kicau burung atau
kokok ayam pertama sebelum fajar menyingsing.

***

10

WAKIL Ketua manusia pocong tampak gelisah. Beberapa kali dia memandang ke langit lalu
melirik ke arah timur. Di seberangnya, di sebelah batu pembaringan sang Ketua dilihatnya tetap
tenang, duduk bersila, kepala dan tubuh tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara.

Wakil Ketua kembali memandang ke arah timur. Pada puncak kegelisahannya dia tak tahan
untuk membuka mulut.

“Yang Mulia Ketua, maafkan saya….”

“Ada apa?”

“Saya kawatir. Tak lama lagi langit di sebelah timur akan segera terang pertanda fajar segera
menyingsing.”

“Lalu?”

“Seperti yang saya dengar dalam bacaan Yang Mulia Ketua tadi. Sampai saat ini tidak ada kicau
burung, tidak terdengar kokok ayam. Kalau tidak seekorpun dari dua binatang itu
memperdengarkan suaranya, berarti gagal sia-sialah semua usaha kita. Gadis ini tidak mungkin
menemui kehidupan baru dengan nyawa kedua. Rencana kita untuk menundukkan dan
menguasai rimba persilatan tanah jawa tidak akan menemui kepastian. Semua dendam
kesumat sakit hati tidak akan terlaksanakah!”

Yang Mulia.Ketua tidak segera menjawab. Dia diam seperti merenung. Sesaat kemudian
mulutnya baru berucap.

“Pekerjaan setiap anak manusia bisa saja sia-sia. Yang namanya usaha bisa saja menemui
kegagalan. Termasuk apa yang kita lakukan dan rencanakan sejak beberapa waktu lalu. Tetapi
melalui tiupan angin malam, melalui kesunyian dan udara dingin yang mencekam, aku menaruh
firasat kita tidak akan menemui kegagalan. Apa yang kita rencanakan akan berjalan lancar.
Semua musuh akan kita singkirkan dan rimba persilatan tanah Jawa akan berada dalam
genggaman kita. Tenangkan hatimu, jangan perasaan tolol kesusu membuatmu gelisah. Aku
yakin apa yang tersurat dalam Batu Aksara Bernyawa akan menjadi kenyataan!”

Baru saja Yang Mulia Ketua mengeluarkan ucapan itu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
kokokan ayam. Dua manusia pocong serta merta bangkit dari duduk masing-masing. Mata
mereka memandang tak berkesip ke arah sosok gadis yang terbaring di atas batu.
Di kejauhan sekali lagi terdengar suara ayam berkokok. Lalu perlahan-lahan namun terlihat
jelas, sepasang mata gadis di atas batu bergerak perlahan, membuka sedikit demi sedikit lalu
terpentang nyalang menatap ke atas langit.

“Insan yang terbaring di atas batu, apakah kau mendengar suaraku?” Yang Mulia Ketua
melangkah lebih dekat ke samping batu lalu menegur.

Gadis di atas batu tidak menjawab. Wajahnya yang pucat tampak kosong. Matanya masih
menatap lurus-lurus ke langit.

“Insan di atas batu, jika kau mendengar suaraku, bangunlah!”

Tubuh di atas batu masih diam, tidak bergerak tidak bersuara. Tiba-tiba tangan kiri, menyusul
tangan kanan si gadis kelihatan bergerak. Sesaat kemudian menyusul tubuhnya bergerak
bangkit dan duduk. Hanya seperti tadi matanya memandang lurus-lurus ke depan, seolah tidak
melihat atau tidak memperhatikan kehadiran dua manusia pocong di samping kiri dan sebelah
kanannya.

“Insan di atas batu, apakah kau tahu dimana saat ini kau berada?” Yang Mulia Ketua bertanya.

Wajah masih menghadap ke depan dan sepasang mata masih memandang lurus, gadis yang
duduk di atas batu gelengkan kepala.

“Insan di atas batu, siapakah dirimu? Siapa namamu? Sebelumnya kau berasal dari maha?”
Yang Mulia Ketua kembali ajukan pertanyaan.

Tanpa alihkan tatapan wajah dan pandangan sepasang matanya, gadis di atas batu membuka
mulut. Suaranya datar ketika berkata.

“Aku tidak tahu berada dimana. Aku tidak tahu siapa diriku. Aku insan tidak bernama. Tidak
tahu berasal dari mana.”

Yang Mulia Ketua menyeringai di balik kain putih penutup kepala. “Tepat seperti yang tertulis
pada Aksara Batu Bernyawa. Dia tidak tahu siapa dirinya. Tidak tahu asal muasalnya.” Setelah
tatap wajah putih pucat dan kosong itu sesaat manusia pocong ini berkata. “Insan di atas batu,
mulai hari ini aku, dan semua orang yang ada di tempat ini akan memanggilmu Yang Mulia, Sri
Paduka Ratu. Kau hanya patuh dan tunduk pada diriku Yang Mulia Ketua!”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, alangkah bagusnya panggilan itu.” Si gadis berucap lalu kepala di
angkat ke atas, mata menatap lurus ke langit dan dari mulutnya keluar suara tawa panjang.
Suara tawa ini ternyata menimbulkan getaran hebat pada gendang-gendang telinga dua
manusia pocong hingga mereka terpaksa menekap kuping.
“Yang Mulia Sri Paduka Batu, aku tahu dalam dirimu tersimpan satu kekuatan hebat luar biasa.
Berupa tenaga luar dan tenaga dalam yang dahsyat. Turunlah dari atas batu pembaringan.
Tunjukkan dan buktikan pada kami, aku Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong.”

Perlahan-lahan gadis di atas batu bergerak turun. Gerakan tubuhnya terlihat aneh. Kaku seolah
tulang-tulang di tubuhnya tidak memiliki persendian. Sebelum kakinya menginjak tanah gadis
ini goyangkan kepala. Rambut panjang hitamnya melesat setengah putaran mengeluarkah deru
angin luar biasa dahsyat.

“Wuuuuttt!”

“Braaaakk!”

Dua manusia pocong tersentak kaget dan sama-sama mundur satu langkah.

Tiang batu di atas mana pendupaan besar terletak putus kena tabasan rambut hitam si gadis.
Pendupaan mental. Bara api di dalam pendupaan mencelat dan jatuh bertebaran di tanah
pedataran.

Sang Ketua melengak besar. Wakilnya leletkan lidah tidak mengira gadis yang kini hidup dengan
nyawa kedua memiliki kekuatan demikian hebatnya, padahal baru rambutnya yang bekerja.
Kalau tangan dan kakinya yang bergerak dapat dibayangkan apa yahg bakal terjadi.

: “Apa pembuktian kekuatan yang aku miliki barusan sudah cukup?” Si gadis bertanya. Wajah
dan matanya tetap saja menatap lurus, tidak berpaling pada orang yang ditanyainya.

“Luar biasa, kau hebat sekali Yang Mulia Sri Paduka Ratu.” Memuji Yang Mulia Ketua. “Jika Yang
Mulia Sri Paduka Ratu berkenan hendak menunjukkan kehebatanmu yang lain, kami berdua
tentu saja ingin menyaksikan.”

“Begitu?!” Wajah cantik pucat dengan pandangan mata kosong lurus itu tetap tidak berubah
seolah tidak memiliki perasaan. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, jari-jari tangan mencekal
pinggiran batu persegi empat.

“Apa yang hendak dilakukan makhluk ini?” pikir Yang Mulia Ketua sambil memperhatikan
dengan mata tak berkesip.

Didahului satu teriakan keras, tiba-tiba si gadis angkat batu besar yang beratnya hampir
delapan ratus kati itu. Batu bukan hanya diangkat tapi dilempar ke udara. Begitu batu melayang
turun si gadis hantamkan tangan kanannya.

“Bukkk!”
“Byaaarr!”

Batu besar hancur menjadi puluhan kepingan.

Dua manusia pocong keluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Sang Wakil Ketua decakkan
mulut berulang kali sementara sang Ketua diam-diam membatin dalam hati. “Luar biasa, tenaga
dalamnya paling tidak dua tingkat di atas tenaga dalamku. Aku harus mencari jalan. Jika semua
urusan selesai bagaimana aku bisa menyedot hawa sakti yang dimilikinya itu. Kalau aku berhasil
menguasai tenaga dalam gadis itu, rimba persilatan delapan penjuru angin benar-benar akan
berada dalam genggamanku!”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, kami kini percaya pada kekuatan luar biasa yang kau miliki.
Sekarang saatnya Yang Mulia bersalin diri mengenakan pakaian kebesaran. Ikuti aku. Aku akan
membawamu ke tempat yang akan menjadi kediamanmu. Satu hal harus kau ingat baik-baik Sri
Paduka Ratu. Kau hanya tunduk pada kuasa dan perintahku! Tidak satu orang lainpun harus kau
dengar perintahnya kecuali aku! Kau tidak diperkenankan melakukan apapun tanpa perintah
dan pengetahuanku!”

“Aku mendengar dan akan aku patuhi,” jawab Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

“Bagus, ternyata Yang Mulia berotak cerdas berpikiran jernih. Ingat satu hal. Di tempat ini
berlaku, perintah dan kepatuhan yang tidak bisa ditawar-tawar apa lagi sampai dilanggar. Yaitu
bahwa hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib
dicintai.”

Si gadis diam sesaat lalu perlahan-lahan anggukkan kepala.

Yang Mulia Ketua manusia pocong berpaling pada Wakilnya, berkata agar sang Wakil tetap
berada di tempat itu. Kemudian pada gadis bermuka pucat berambut panjang dia berkata.
“Yang Mulia Sri Paduka ratu, ikuti aku.”

Yang Mulia Ketua melangkah tinggalkan tempat itu. Di sebelah belakang si gadis mengikuti.
Wajah ke depan, dua mata memandang lurus. Dia melangkah kaku tidak ubahnya seperti
sebuah patung kayu yang bisa berjalan.

Yang Mulia Ketua berjalan melewati rumah tua beratap ijuk, terus memasuki sebuah lembah
kecil. Di lembah ini terdapat satu bangunan panggung berbentuk bulat terbuat dari kayu dan
atap ijuk yang keseluruhannya dicat warna putih. Untuk naik ke tingkat atas bangunan, orang
harus menempuh tangga kayu

setengah lingkaran.

Di pintu depan Yang Mulia Ketua hentikan langkah dan berpaling pada gadis di belakangnya.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, silahkan menaiki tangga. Di lantai ke dua terdapat sebuah kamar
bagus dilengkapi segala sesuatu keperluan Sri Paduka Ratu. Di atas ranjang ada
seperangkat.jubah dan kain penutup kepala putih. Itulah pakaian Sri Paduka Ratu. Di atas
sebuah meja kecil di samping ranjang ada satu mahkota berbentuk japitan. Sri Paduka Ratu
hanya tinggal melingkarkan mahkota itu di atas kepala, pada kain putih penutup kepala. Lalu
ada satu hal, selama berada di tempat ini Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak diperkenankan
keluar, kecuali dengan sepengetahuan dan atas perintahku. Ingat aturan itu, jangan sampai
dilanggar.”

Tanpa menjawab si gadis langkahkan kaki, masuk ke dalam bangunan. Di depan tangga kayu
setengah lingkaran dia hentikan langkah. Semula Yang Mulia Ketua manusia pohcong mengira
gadis itu akan naik ke tingkat atas bangunan melalui tangga. Tapi tiba-tiba dilihatnya sosok si
gadis yang saat itu tidak tertutup sehelai benang pun, melesat membubung berputar ke atas.
Rambutnya yang hitam berpilin di udara. Kejadian ini merupakan satu pemandangan luar biasa
indahnya. Sesaat Yang Mulia Ketua sempat merasakan aliran darah dalam tubuhnya menjadi
panas. Kalau saja tidak ingat akan satu larangan dan pantangan besar, saat itu mau rasanya dia
menghambur ke tingkat atas. Sang Ketua tarik nafas dalam lalu memutar tubuh siap untuk
meninggalkan bangunan serba putih.

Justru pada saat itulah mendadak dua bayangan putih berkelebat. Yang muncul ternyata Wakil
Ketua bersama seorang manusia pocong. Keduanya membungkuk memberi hormat.

“Wakil Ketua, ada apa?”

“Maafkan saya Yang Mulia Ketua. Sesuai perintah saya masih berada di tempat upacara tadi.
Tibatiba muncul Satria Pocong ini memberitahu ada seseorang menerobos masuk ke dalam
lorong. Orang itu kini terperangkap di jalur kiri lorong delapan belas. Ketika dipergoki dan
hendak diringkus, orang itu melakukan perlawanan. Seorang Satria Pocong berhasil dilukainya
dan kini dalam keadaan sekarat.”

Yang Mulia Ketua tentu saja terkejut mendengar keterangan wakilnya itu.

“Jika dia menerobos masuk sejauh lorong delapan belas, berarti orang itu punya kecerdikan
tinggi. Kalau dia mampu mencelakai anak buahku, berarti ilmu kepandaiannya luar biasa. Wakil
Ketua, kau dan Satria Pocong lekas menyelidik. Aku ingin kau menangkap orang itu hidup-
hidup. Mungkin kita perlukan tenaganya. Aku menunggu laporanmu di Ruang Kayu Hitam.”

“Perintah Yang Mulia Ketua segera saya laksanakan!” Wakil Ketua dan manusia pocong satunya
membungkuk hormat berkelebat tinggalkan tempat itu.

Ketika melewati rumah kayu beratap ijuk berbentuk tanduk kerbau, Wakil Ketua berkata pada
manusia pocong di sebelahnya. “Kau segera menuju ke lorong delapan belas. Tunggu aku
disana. Jangan melakukan sesuatu sebelum aku datang….”
“Wakil Ketua mau kemana?”

“Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Jangan banyak tanya. Cepat pergi!”

Setelah manusia pocong itu pergi Sang Wakil Ketua segera berkelebat ke arah timur. Di satu
tempat dia memasuki sebuah goa yang merupakan mulut atau jalan rahasia menuju
terowongan batu. Dia berhenti di hadapan sebuah pintu putih yang ditancapi sehelai bendera
kecil berbentuk segitiga, basah oleh darah. Sebuah tombol rahasia di samping kiri pintu ditekan.
Sesaat kemudian pintu putih terbuka. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ini segera masuk.
Hanya dua tindak memasuki ruangan yang lantainya ditutupi tikar jerami tebal, Wakil Ketua
hentikan langkah. Dua matanya terpentang lebar ke arah ranjang besar di sudut kiri ruangan.
Dia memandang seputar ruangan. Kosong.

“Wulan!” Wakil Ketua berseru. “Wulan Srindi!” Tak ada jawaban. Manusia pocong ini bergegas
melangkah ke arah sehelai tirai biru. Tidak sabaran tirai itu ditariknya hingga terbetot lepas. Di
belakang tirai kelihatan satu ruangan besar menurun ke bawah. Di situ terdapat sebuah kolam
batu. Pada dinding batu di atas kolam ada sebuah pancuran mengucurkan air jernih.

“Wulan!”

Suara teriakan manusia pocong menggema keras di ruangan itu. Orang yang dicari tidak ada di
tempat itu. “Kurang ajar! Dia pasti kabur! Kalau tidak ada orang yang membantu tidak mungkin
dia bisa lolos dari tempat ini! Aku harus bertindak cepat! Siapapun pengkhianatnya harus
kuhabisi! Kalau tidak nyawaku sendiri bisa berada di ujung tanduk!”

Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong segera menghambur keluar dari tempat itu.

***

11

DUDUK di pinggiran telaga Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala sambil sesekali
menoleh pada anak lelaki berambut jabrik berpakaian hitam di sebelahnya yang bukan lain
adalah bocah konyol bernama Naga Kuning. Seperti diketahui anak lelaki yang terakhir bernama
Gunung ini ujud aslinya adalah seorang kakek sakti mandraguna berusia lebih seratus tahun,
dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera Biru.

Di samping Naga Kuning berdiri seorang nenek berwajah seram seperti setan, berambut kelabu
awut-awutan. Sepuluh jari kukunya berwarna hitam, dan panjang. Seperti keadaannya Naga
Kuning, si nenek juga memiliki ujud asli, sebagai seorang nenek berwajah cantik dan masih
memiliki tubuh bagus. Terlahir nenek ini bernama Ning Intan Lestari. Dalam berbagai episode
serial Wiro Sableng sebelumnya telah diceritakan bahwa di masa muda antara kedua orang ini
telah terjalin tali percintaan. Namun perjalanan nasib membuat mereka terpisah selama
puluhan tahun. Ketika kembali bertemu di usia lanjut ternyata api cinta di masing-masing hati
mereka belum padam.

“Sayang, Eyang Sinto pergi begitu saja. Padahal banyak yang akan aku tanyakan…” Wiro
keluarkan ucapan sambil kembali melirik pada Naga Kuning.

“Aku tahu, kau masih kesal, mungkin juga masih marah padaku. Soalnya kau menganggap gara-
gara aku nenek itu kabur melarikan diri. Malu terlihat dalam keadaan bugil olehku. Padahal
semua tidak aku sengaja.” Naga Kuning bicara lalu pencet-pencet hidungnya sendiri.

Dalam episode sebelumnya (113 Lorong Kematian) diceritakan bagaimana Naga Kuning yang
menjelma menjadi Kiai Paus Samudera Biru berusaha menolong Sinto Gendong yang saat itu
terpendam di tepi telaga sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh Sepasang Naga Kembar Naga
Nina dan Naga Nini. Dua makhluk aneh ini menjatuhkan hukuman, karena Sinto Gendeng telah
membunuh anak lelaki bernama Boma Wanareja yang berada dalam perlindungan mereka.
(Baca serial Boma Gendenk) Menurut Wiro sebenarnya Kiai Paus Samudera Biru yang
penjelmaan Naga Kuning itu sudah mengetahui bahwa jika tubuh gurunya dikeluarkan dari
dalam pendaman tanah maka sang guru akan berada dalam keadaan bugil. Tapi dasar jahil
Naga Kuning terus saja menarik dan mengeluarkan tubuh Sinto Gendeng. Akibatnya walau
diselamatkan dari jepitan tanah namun Sinto Gendeng jadi kalang kabut. Dalam keadaan bugil
nenek ini menyambar jubah hitam yang diberikan Gondoruwo Patah Hati, lalu lari ke balik
semak belukar. Naga Kuning yang ketakutan karena hendak dihajar Wiro, kabur melarikan diri.
Entah disengaja entah tidak bocah ini justru lari ke balik semak-semak dimana Sinto Gendeng
belum sempat mengenakan jubah menutupi auratnya. Karuan saja si nenek berteriak marah,
memaki panjang pendek lalu lari terbirit-birit dan tak muncul lagi.

“Kau selamanya, dimana-mana sering berbuat jahil. Boleh-boleh saja karena kadang-kadang
perbuatanmu memang-lucu. Tapi jika kau tidak memakai aturan, berbuat konyol kurang ajar
seenaknya, ini contoh akibatnya. Satu waktu jika bertemu nenek itu pasti akan mendampratku
habis-habisan!”

“Aku memang merasa bersalah. Aku minta maaf,” kata Naga Kuning kelihatan sungguh-
sungguh. Namun kemudian dia menyambung ucapannya. “Tapi kalau kau mau berpikir,
mungkin kau tidak bakalan kesal atau jengkel padaku….”

“Apa yang harus aku pikirkan?!” tukas Wiro dengan mata melotot sementara Gondoruwo Patah
Hati tegak diam, memandang ke tengah telaga namun telinganya terus menguping
pembicaraan dua sahabat itu.

“Kau boleh saja marah kalau yang tak sengaja aku lihat bugil itu kekasihmu. Misalnya saja Ratu
Duyung atau Bidadari Angin Timur, atau bisa juga Anggini. Kau pasti cemburu karena seumur
hidup kau belum pernah melihat tubuh polos mereka. Tapi aku si bocah konyol ini sudah
kedahuluan punya rejeki besar dapat melihat tubuh mereka yang bagus dalam keadaan ehem-
ehem. Nah kalau memang mereka yang aku lihat bugil, kau pantas marah. Tapi kenyataannya
yang aku lihat bukan tubuh anak perawan atau gadis yang bagus mulus. Tapi cuma tubuh
seorang nenek yang sudah keriput mulai dari ubun-ubun sampai ujung jempol! Hik… hik… hik!
Apa untungnya aku mau-mauan melihat tubuh hitam gosong begitu, kurus kering, keriput
lagi….”

“Kau jangan berani menghina guruku. Mungkin saatnya aku menempeleng mukamu!”

“Sabar sobatku, aku tiba-tiba saja jadi sadar. Melihat anak perawan bugil bisa terjadi dimana-
mana. Tapi melihat nenek-nenek bugil memang sulit, jarang kejadian. Sekarang aku mengerti
mengapa kau jadi marah. Soalnya nenek satu yang jadi gurumu itu memang benar-benar
langka. Mungkin orang bilang jika melihat nenek bugil bisa jadi apes seumur-umur. Mudah-
mudahan, aku sebaliknya. Semoga beruntung. Lagi pula aku pikir-pikir. Seandainya gurumu
masih muda dan punya tubuh lumayan bagus, aku rasa wajar-wajar saja kalau kau juga ingin
melihatnya. Hik… hik… hik.”

“Anak kurang ajar, kau benar-benar ingin aku tampar!” Tangan kanan Wiro berkelebat bukan
hendak menampar tapi mau menjambak rambut jabrik Naga Kuning.

“Aku tadi sudah minta maaf…,” kata Naga Kuning lalu melompat bangkit dan menjauh dari
Wiro.

Gondoruwo Patah Hati mendehem beberapa kali lalu berkata. “Hari mulai sore. Apakah kalian
dua sahabat masih hendak berdebat panjang lebar?”

“Nek,” Wiro berkata pada Gondoruwo Patah Hati. “Aku tahu riwayat hubungan kalian berdua.
Kalau punya kekasih seperti manusia satu ini jangan sekali-kali berlaku lengah. Setiap ada
kesempatan dia pasti mau mengintip keadaan dirimu. Jangankan manusia, sapi mandipun mau
dia mengintainya!”

Naga Kuning bukannya marah mendengar ucapan Wiro itu malah tertawa gelak-gelak
sementara Gondoruwo Patah Hati cuma senyum-senyum dan unjukkan wajah bersemu merah.

“Wiro, kami ada keperluan lain. Kita terpaksa berpisah di tempat ini. Sebelum berpisah kami
ingin tahu bagaimana keadaannya dengan tiga gadis cantik Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung
dan Anggini? Mengapa mereka tidak bersamamu?”’

“Sebenarnya aku dan Bidadari Angin Timur ingin menyelidik kemana lenyapnya Kitab Seribu
Macam Ilmu Pengobatan. Gadis itu punya dugaan siapa yang mencuri kitab itu….”

“Siapa?” tanya Naga Kuning.

“Dia belum mau memberitahu sebelum jelas sekali.”

“Lalu Ratu Duyung dan Anggini?”


“Tadinya dua gadis itu akan meneruskan penyelidikan menyangkut lenyapnya Pedang Naga Suci

212. Mereka bermaksud memisahkah diri. Tapi karena aku tidak jadi melakukan perjalanan
bersama Bidadari Angin Timur, mereka akhirnya bergabung untuk mencari dua benda yang
hilang itu.” “Kau enak saja membagi-bagi tugas pada tiga gadis cantik itu. Kalau aku, hemm…
selalu berdekatan dengan mereka bukankah satu hal yang sangat membahagiakan?”

“Bocah ganjen sepertimu memang selalu punya pikiran seperti itu,” jawab Wiro. “Dalam
lenyapnya Pedang Naga Suci 212 dan Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan aku mana mungkin
lepas tangan begitu saja. Aku tetap akan melakukan penyelidikan. Namun saat ini aku merasa
perlu segera ke Kotaraja.”

“Nah, gadis cantik mana lagi yang menunggumu di sana?” ujar Naga Kuning.

“Mulutmu selalu usil, otakmu selalu kotor!”

Naga Kuning hanya mesem-mesem mendengar dampratan Wiro itu.

“Aku telah membuat perjanjian dengan tiga gadis itu bahwa kami akan bertemu minggu muka
di Kotaraja, di tempat kediaman Sutri Kaliangan, Putri Patih Kerajaan.”

“Kalau begitu kami juga ingin bergabung dengan kalian di Kotaraja. Wiro, kau belum
mengatakan keperluanmu ke Kotaraja.”

“Aku menyirap kabar Rana Suwarte yang tempo hari mencuri Keris Naga Kopek dan berhasil
kita ringkus, dalam keadaan ditotok dititipkan di rumah seorang penduduk desa berhasil lolos.
Kabur melarikan diri sebelum diserahkan pada pihak berwenang!”

“Setan Ngompol! Bukankah kakek geblek itu yang dulu kita tugaskan membawa Rana Suwarte
ke Kotaraja? Katanya dia mau menitipkan tahanan itu di sebuah desa. Peristiwanya sudah
cukup lama.”

“Betul. Ternyata Rana Suwarte berhasil kabur. Berarti Setan Ngompol telah berlaku sembrono.
Sekarang tidak tahu dia berada di mana. Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan kakek
tukang kencing itu,” ucap Wiro lalu garuk-garuk kepala.

“Kejadian lolosnya Rana Suwarte terus terang aku jadi merasa tidak enak,” kata Naga Kuning
pula.

Mendengar ucapan si bocah Wiro melirik ke arah Gondoruwo Patah Hati. Si nenek tampak
berdiri tenang-tenang saja. Wajahnya tidak berubah ketika mendengar nama Rana Suwarte
disebut-sebut. Seperti diketahui Rana Suwarte adalah seorang kakek yang sejak muda telah
jatuh cinta pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Intan Lestari. Di usia tua, Kiai Gede Tapa
Pamungkas, guru Sinto Gendeng, berusaha membujuk Gondoruwo Patah Hati agar mau
mengikat tali perkawinan dengan kakek itu. Tapi si nenek menolak karena hatinya telah lebih
dulu jatuh pada Naga Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru. (Baca serial Wiro Sableng Episode
berjudul “Gondoruwo Patah Hati”)

“Naga Kuning, mungkin kau tahu di desa mana dan di rumah siapa Setan Ngompol dulu
menitipkan Rana Suwarte?”

“Dia pernah menyebut-nyebut nama seorang janda di Bantul….”

“Seorang janda?”

“Betul,” jawab Naga Kuning. “Aku lupa namanya. Menurut Setan Ngomppl janda berkulit putih
dan

bertubuh gemuk….”

“Kalian berdua,” aku segera akan ke Kotaraja menyelidiki perkara ini. Jika kalian memang ingin
bergabung, seperti yang aku bilang datanglah ke tempat kediaman Sutri Kaliangan minggu
depan. Pada malam pertama bulan baru.”

Tak lama setelah Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati pergi, Wiro segera pula tinggalkan
tempat itu. Di satu jalan menurun diapit pohon-pohon besar di kiri kanan jalan tiba-tiba Wiro
merasa ada seseorang berlari cepat mengikutinya di sebelah belakang. Dia menoleh. Tapi tidak
melihat siapa-siapa. Baru ketika dia hendak meneruskan larinya mendadak ada bentakan keras
di sebelah depan. Aneh, yang mengejar tadi jelas-jelas berada di belakang, mengapa kini tahu-
tahu suara itu datang dari arah depan?

“Anak Setan! Lekas naik ke sini!”

***

12

DALAM kagetnya Wiro segera tahu siapa yang barusan membentak. Pemuda ini palingkan
kepala dan tujukan pandangan ke arah datangnya suara bentakan. Di atas sebuah pohon di
depan sana, pada cabang paling bawah duduk berjuntai satu sosok berjubah hitam. Itulah si
nenek Sinto Gendeng yang mengenakan jubah pemberian Gondoruwo Patah Hati.

“Ah….” Wiro lepas nafas lega lalu lari mendekati pohon, kemudian melesat naik dan duduk di
cabang pohon di samping sang guru. Cabang dimana kedua orang itu duduk, tidak seberapa
besar. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, diduduki dua orang demikian rupa
cabang pasti akan patah.
“Eyang, untung aku menemuimu disini…”

“Untung…. untung! Kau masih bilang untung! Orang lain justru membuatku buntung!” Sinto
Gendeng menggerendeng dengan wajah keriput bersungut.

Wiro maklum kalau gurunya masih mengkal atas apa yang tadi terjadi.

“Mana bocah Setan kurang ajar itu?!”

“Dia sudah pergi Nek.”

“Kalau bertemu lihat saja nanti! Aku akan ganti menelanjanginya!” Sinto Gendeng keluarkan
ancaman.

Wiro cuma senyum dan garuk-garuk kepala.

“Anak Setan, ada beberapa hal yang aku mau katakan padamu. Dulu pada pertemuan pertama
aku lupa memberi tahu.”

“Hal apa, Nek? Saya mendengarkan….” J

“Pertama soal dua makam kosong di tempat kediamanku di puncak Gunung Gede. Kau dulu
mengatakan satu kuburan memang kosong, tapi satunya lagi ada isinya. Di situ dimakamkan
jenazah gadis bernama Putì Andini. Betul begitu?”

“Betul Nek….”

“Kau melihat sendiri gadis itu waktu dikubur?”

“Melihat sendiri memang tidak Eyang. Tiga gadis sahabatku yang memberi tahu. Mereka bertiga
yang mengubur Puti Andini. Mereka bertiga malah memberi tahu bahwa orang yang
membunuh Puti Andini kemungkinan adalah Pangeran Matahari. Ciri pakaiannya sangat sama
dengan Pangeran Matahari namun anehnya wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari.”

“Kalau mereka tidak berdusta bahwa mereka bertiga mengubur jenazah Puti Andini, lalu
kemana lenyapnya mayat gadis itu. Kuburan itu kutemui dalam keadaan kosong!”

“Saya juga heran. Sebenarnya hal itu yang ingin saya tanyakan padamu, Nek.” Ujar Wiro pula.

“Aneh, tiga gadis mengaku mengubur orang. Tapi kuburannya ternyata kosong. Kalau orang
yang berdandanan seperti Pangeran Matahari yang melakukan, maka kegilaan apa sebenarnya
yang telah diperbuatnya? Membunuh, mengubur lalu menggali kuburan kembali untuk
mengambil jenasah!” Sinto Gendeng komat-kamitkan mulut, geleng-geleng kepala. Otaknya
berpikir sambil pelototi sang murid dengan matanya yang cekung. “Sewaktu naik ke puncak
Gunung Gede, aku dalam keadaan sakit panas. Di tengah jalan aku bertemu dengan manusia
aneh berdandanan seperti pocong hidup. Jubah putih, kepala ditutup kain putih yang ada
diikatkannya di sebelah atas. Mulanya aku mengira setan kuburan yang lagi gentayangan. Tapi
bangsat ini bisa bicara. Ternyata manusia juga. Cuma entah penyakit gila apa yang diidapnya
sampai berpakaian seperti itu. Hebatnya tanpa tahu juntrungan bangsat itu berkata bahwa dia
datang mau mengambil nyawaku! Haram jadah! Hik…hik…hik!” Sinto Gendeng tertawa
terpingkal baru meneruskan keterangannya. “Aku ingin tahu siapa sebenarnya setan kesasar ini.
Aku berusaha mengait dan membetot penutup kepalanya dengan tongkat. Tapi dia punya
kecepatan bergerak luar biasa. Aku hanya mampu merobek sedikit kain penutup kepalanya.
Kami berkelahi habis-habisan. Sial! Bangsat itu punya ilmu kepandaian tidak rendah. Mungkin
juga aku lagi sakit. Yang jelas dia bisa membuatku mencelat ke atas pohon. Waktu dia hendak
rnenghabisiku, aku hantam dengan pukulan Sinar Matahari. Dia membalas dengan pukulan
aneh. Aku merasa dia memegang sebuah senjata di balik lengan jubah tangan kirinya. Aku
hanya mampu membuat sebagian jubahnya hangus. Saat itu mungkin sekali dia benar-benar
hendak membunuhku. Namun tiba-tiba saja dia meninggalkan tempat itu setelah ada suara
suitan di kejauhan.”

“Berarti dia tidak sendirian, Nek.”

“Kau benar,” jawab Sinto Gendeng.

“Kalau memang jenasah Putì Andini dicuri orang, mungkinkah manusia pocong itu yang
melakukan?”

Sinto Gendeng menggeleng. “Dia muncul seorang diri, kabur juga seorang diri. Tidak membawa
apa-apa. Walau aku sempat dihajarnya, tapi aku kagum melihat pukulan saktinya yang sanggup
menghadapi pukulan Sinar Matahari. Aku berharap satu hari kelak bisa berhadapan lagi dengan
bangsat itu!”

“Nek, apakah….”

“Tunggu! Jangan bicara dulu! Ceritaku belum selesai!” bentak Sintò Gerideng. “Waktu aku
melintang tak berdaya di atas cabang pohon, tak diduga Dewa Tuak muncul. Dia.yang
menolongku….”

“Kakek satu itu. Lama sekali aku tidak bertemu dengan dia. Apa yang membawanya terpesat ke
puncak Gunung Gede, Nek?” bertanya sang murid.

“Katanya mencari muridnya si Anggini itu. Mungkin benar, mungkin juga dusta. Aku kemudian
punya firasat buruk. Jangan-jangan dia yang mencuri Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan…..”

“Tidak mungkin Dewa Tuak sejahat itu,” kata Wiro pula.


“Tugasmu menyelidik, mencari si pencuri dan mendapatkan kitab itu kembali. Dengan lain
perkataan kau harus mencari Dewa Tuak dan memancing-mancing dirinya sampai kau yakin
betul bukan dia yang mencuri kitab itu.”

“Bidadari Angin Timur pernah mengatakan dia punya dugaan siapa pencuri kitab. Tapi gadis itu
belum mau menyebut nama orangnya….”

“Dugaan bisa macam-macam. Aku minta kau tetap menyelidiki Dewa Tuak.”

“Tapi Nek….”

“Tapi apa?”

“Kalau saya bertemu Dewa Tuak, lalu dia bicara soal perjodohan dengan muridnya. Dia
memaksa….”

“Jodoh mana bisa dipaksa-paksa. Kecuali kalau kau memang suka pada muridnya. Apa kau mau
dinikahkan-dengan gadis muridnya itu?”

“Saya belum mau kawin Nek,” jawab Pendekar 212.

Sinto Gendeng kembali tertawa cekikikan.

“Sulit aku percaya! Hik…hik!”

“Sungguh Nek, saya masih perjaka,” kata Wiro lagi-lagi polos dan membuat sang guru kembali
tertawa panjang.

“Apamu yang masih perjaka? Hidung? Dengkul atau jempol kakimu? Hik…hik…hik!”

Wiro garuk-garuk kepala lalu ikutan tertawa.

Tiba-tiba guru dan murid hentikan tawa. Di kejauhan terdengar derap kuda dipacu orang. Tak
lama kemudian, di jalan kecil di bawah mereka, dari arah Kotaraja kelihatan seorang
penunggang kuda memacu tunggangannya, kencang sekali. Orang ini hanya mengenakan
sehelai celana kolor butut. Berapa belas tombak di belakangnya mengejar serombongan
penunggang kuda. Di sebelah depan lelaki berpakaian bagus mengenakan topi tinggi. Di sebelah
belakang enam orang berseragam perajurit.

“Nek, penunggang kuda di sebelah depan itu….”

“Aku sudah melihat. Memangnya kenapa?”

“Dia… dia kakek sahabatku si Setan Ngompol.”


“Aku sudah tahu,” jawab Sinto Gendeng acuh. “Kelihatannya sahabatmu itu dalam keadaan
tidak enak. Tujuh orang yang mengejarnya, dari pakaiannya menunjukkan mereka orang-orang
Kadipaten. Entah Kadipaten mana. Kesalahan apa telah dibuat kakek tolol tukang kencing itu
sampai-sampai dia dikejar begitu rupa! Huh!”

“Terakhir sekali dia membawa seorang tawanan ke Kotaraja. Tawanan itu kemudian dikabarkan
lolos. Setan Ngompol lenyap. Tahu-tahu barusan muncul, dikejar-kejar pasukan Kadipaten. Nek,
kalau sahabatku itu dalam bahaya, saya harus menolongnya. Paling tidak tahu apa yang terjadi.
Maafkan saya Nek. Saya harus melakukan sesuatu….”

“Anak Setan, terserah kau mau melakukan apa. Tapi awas, jangan lupa mencari Kitab Seribu
Macam Ilmu Pengobatan! Jangan lupa menyelidiki Dewa Tuak….”

“Saya mohon diri Nek…”

“Pergi saja sana….”

“Kau tidak marah Nek?”

“Mengapa harus marah?”

“Kau… kau mau pergi kemana Nek?”

“Aku mau pergi kemana? Apa urusanmu? Bukan cuma kau yang punya banyak kekasih di dunia
ini. Apa lagi aku sekarang punya jubah hitam baru, tidak bau pesing. Banyak kakek-kakek gagah
yang bisa aku pikat! Hik…hik…hik!” Tiba-tiba Sinto Gendeng hentikan tawanya. Tangan kiri
meraba ke bagian bawah perut.

“Kenapa berhenti tertawa Nek?” tanya Wiro.

“Tidak, tidak apa-apa.” Jawab Sinto Gendeng.

Wiro melirik ke bawah. Di salah satu kaki si nenek yang tersembul di ujung jubah hitam
kelihatan cairan meleleh.

Wiro tersenyum. “Eyang, saking senangnya kau pasti barusan kencing alias ngompol.”

“Jangan urusi aku! Sudah, pergi sana!” Tampang si nenek bersemu merah.

“Saya pergi Nek. Tapi jangan lupa!” Kata Wiro seraya menggeser duduknya menjauhi sang guru.

“Jangan lupa apa?!”


“Sebelum mencari kakek gagah, jangan lupa cebok dulu! Nanti tidak ada kakek yang mau! Habis
bau pesing!”

“Anak Setan kurang ajar!” maki Sinto Gendeng.

Tangannya menyambar ke arah telinga kiri Wiro, hendak menjewer.

Tapi sang murid lebih cepat melompat turun dari atas cabang pohon. Sambil lari dan tertawa-
tawa Wiro berteriak.

“Jangan lupa Nek! Ceboookkk! Ha…ha…ha…ha!”

***

13

SETAN Ngompol memacu kudanya laksana dikejar setan. Saat itu satu-satunya pakaian yang
melekat di tubuhnya hanyalah sehelai celana kolor butut basah kuyup. Semakin cepat dia
memacu kudanya semakin banyak air kencing yang mengucur dari bawah perutnya. Sesekali
kakek berkuping lebar bermata jereng ini menoleh kebelakang. Setiap menoleh dia selalu
mengeluarkan makian. Sialan! Tujuh penunggang kuda yang mengejar saat demi saat
bertambah dekat. Ternyata kuda tunggangan Setan Ngompol hanyalah seekor kuda kacangan
yang tak mampu berlari kencang dan lekas lelah.

Dikejar begitu rupa Setan Ngompol tidak tahu ke arah mana kuda membawanya. Dia sendiri
tidak tahu seluk beluk kawasan timur di luar Kotaraja itu. Hingga satu saat kuda yang
ditungganginya itu tiba-tiba berhenti, angkat dua kaki depan dan meringkik keras.

“Binatang keparat!” maki Setan Ngompol. Air kencingnya mengucur tak karuan. Memandang ke
depan kakek bermata jereng ini jadi merinding dan delikkan mata. Ternyata saat itu dia dan
kuda tunggangan berada hanya beberapa langkah di depan sebuah jurang batu yang sangat
dalam. Karuan saja air kencing tambah, deras menyembur. Si kakek elus tengkuk kudanya,
menarik tali kekang, berusaha membelokkan binatang itu ke samping. Namun tujuh orang yang
mengejar telah sampai di tempat itu, langsung mengurung. Lelaki paling depan, bertopi tinggi
dan mengenakan pakaian bagus membentak.

“Dajal tua! Lekas turun dari kudamu!”

Di atas kuda Setan Ngompol menggigil, kembali terkencing-kencing. Sambil berpeluk tangan di
atas dada dia berkata.

“Di desa Bantul kalian mau menangkapku. Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah aku
lakukan!”
“Turun dari kudamu, nanti baru kita bicara! Atau mungkin saat ini juga kau memilih mati
dicincang anak buahku. Atau barangkali kau memilih mati dilempar ke dalam jurang?!”

Enam orang berpakaian perajurit Kadipaten segera menghunus senjata masing-masing yaitu
pedang panjang pipih berbentuk segi empat.

“Meski sudah tua bangka begini aku belum mau mati! Tapi aku benar-benar tidak tahu apa
kesalahanku!” Setan Ngompol turun dari kudanya. Berdiri hanya memakai celana kolor butut
yang sudah basah kuyup oleh air kencing kakek ini bertanya. “Kalian ini siapa sebenarnya?
Mengapa ingin menangkapku?”

“Kami bukan cuma ingin menangkapmu, tapi juga membunuhmu! Kejahatanmu setinggi langit
sedalam lautan!”

“Begitu? Tuduhan gila! Aku merasa tidak punya dosa, tidak punya kesalahan!”

“Tua bangka jahanam! Tutup mulutmu! Pakaian ini cukup menjadi bukti siapa dirimu
sebenarnya!” Bentak lelaki bertopi tinggi. Dari sebuah kantong kain yang tergantung di leher
kuda, orang ini keluarkan sehelai jubah putih dan kain putih berbentuk aneh. Ada ikatan di
salah satu ujungnya dan dua lobang kecil disalah satu sisinya.

Sepasang mata Setan Ngompol berputar jereng. Lalu kakek ini menyeringai.

“Hah! Ternyata kau orang baik hati. Mau memberikan pakaian pada saat aku setengah
telanjang dan kedinginan begini rupa!” Setan Ngompol cepat membungkuk hendak mengambil
jubah putih.

Orang bertopi tinggi di atas kuda habis kesabarannya. Sekali dia membuat gerakan, tubuhnya
melesat dari atas punggung kuda lalu berkelebat ke arah Setan Ngompol. Kaki kanannya
menendang ke jurusan kepala si kakek! Dalam kejutnya Setan Ngompol jatuhkan diri ke tanah.
Menyambar jubah dan kain putih, lalu bergulingan. Namun saat itu enam orang perajurit secara
serentak telah turun dari atas kuda, melompat ke arah Setan Ngompol. Begitu tubuh kakek ini
berhenti berguling, masih terbujur di tanah, belum lagi sempat bangun, enam ujung pedang
tahu-tahu telah menempel di leher, dada dan perutnya.

“Serrr.” Langsung saja kencing si kakek terpancar.

Salah seorang perajurit yang menempelkan ujung pedangnya ke leher Setan Ngompol
menghardik.

“Tua bangka bau pesing! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa! Kami adalah
perajuritperajurit utama Kadipaten Magetan! Orang di atas kuda itu adalah Adipati Magetan
Raden Sidik Mangkurat!”
“Serrr!” Kembali Setan Ngompol pancarkan air kencing.

“Rupanya aku berhadapan dengan seorang Adipati. Maafkan keadaanku yang begini. Adipati
selembar nyawaku mungkin tidak ada gunanya. Aku akan mati penasaran kalau tidak tahu
kesalahan apa yang telah aku perbuat! Seumur-umur aku belum pernah ke Magetan. Mana
mungkin aku berbuat kejahatan di kota itu?”

“Kau memang tidak berbuat kejahatan di Magetan. Tapi dimana-mana! Manusia pocong
jahanam! Kau bukan saja menculik perempuan-perempuan hamil, tapi juga telah membunuh
beberapa sahabatku, termasuk Aji Warangan!”

“Demi Tuhan! Kau menyebut aku manusia pocong! Tampangku memang jelek, tapi kalau kau
sebut manusia pocong sungguh keterlaluan!”

“Jubah putih dan kain penutup kepala di dekatmu itu! Bukankah itu dandanan pakaianmu?
Benda itu kami temukan di rumah janda tempat kau menginap! Siapa pemiliknya kalau bukan
kau?!”

“Seumur-umur aku tidak pernah memiliki pakaian seperti ini. Seumur-umur aku tidak pernah
menculik perempuan hamil. Aku tidak kenal siapa itu Aji Warangan.”

“Dia adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan! Dia lenyap dan aku yakin sudah kau bunuh
ketika dia melakukan pengejaran atas pembunuh Ki Mantep Jalawardu Kepala Desa Plaosan.
Lalu I Ketut Sudarsana menantu Kepala Desa. Kau juga membunuh Surablandong sahabat Ki
Mantep yang juga sahabatku! Kau menculik Nyi Upit Suwarni, puteri Ki Mantep Jalawardu yang
tengah hamil tujuh bulan!” .

“Wuaallah! Tuduhan gila! Adipati, aku tidak kenal semua orang yang kau sebutkan itu!”

Adipati Sidik Mangkurat melangkah mendekati Setan Ngompol yang tidak berdaya di bawah
tudingan enam pedang yang menempel di leher, dada dan perutnya.

“Tua bangka keparat! Siapa namamu?!”

“Orang-orang memanggilku dengan sebutan Setan Ngompol!”

Dalam keadaan lain enam orang perajurit utama Kadipaten Magetan akan tertawa gelak-gelak
mendengar ucapan si kakek. Tapi saat itu yang ingin mereka lakukan adalah segera menusukkan
amblas senjata masing-masing ke leher, dada dan perut Setan Ngompol.

“Tua bangka edan! Jangan berpura-pura sinting! Kami sudah tahu siapa dirimu!”

“Aku tidak sinting! Paling tidak belum jadi orang sinting!” teriak Setan Ngompol.
Tidak sabaran Adipati Magetan tendang pinggul si kakek hingga Setan Ngompol mencelat
sampai satu tombak. Dalam keadaan merintih kesakitan dan kucurkan air kencing, enam
perajurit cepat mendatangi dan kembali tempelkan ujung pedang ke leher dan tubuh si kakek.

“Kau kami gerebek di rumah janda di Bantul itu. Tidak ada lelaki lain di rumah itu. Jubah putih
dan kain putih penutup kepala yarig kami temui pasti milikmu. Pertanda kau adalah manusia
pocong yang selama beberapa bulan ini malang melintang menculik dan membunuh!”

“Adipati, aku bersumpah! Aku bukan orang yang kau tuduhkan itu!”

“Jangan membuat aku kehilangan kesabaran! Katakan apa hubunganmu dengan janda gemuk
di Bantul. Dimana Nyi Upit Suwarni kau sembunyikan! Katakan dimana sarangmu!”

“Hubunganku dengan janda gemuk itu cuma hubungan suka sama suka, doyan sama doyan.
Aku tidak tahu siapa itu Nyi Upit Suwarni. Aku tidak punya sarang. Karena aku bukan burung
atau lebah!”

Kesabaran Adipati Magetan putus sudah.

Dengan mata mendelik, rahang menggembung dia kemudian berteriak.

“Perajurit! Bunuh tua bangka keparat itu!”

Enam tangan bergerak siap menghunjamkan pedang masing-masing. Mendadak satu bentakan
menggeledek di tempat itu.

“Tahan!”

Adipati Magetan dan enam perajurit merasakan tanah bergetar di dera kekuatan bentakan tadi.

Di lain kejap satu bayangan putih berkelebat dan tegak di depan Adipati Sidik Mangkurat, di
samping sosok Setan Ngompol yang siap hendak dibantai.

***

14

SETAN Ngompol delikkan matanya yang lebar jereng lalu terkencing. Sambil senyum dia
keluarkan ucapan.

“Sobatku si Anak Setan, kenapa tidak dari tadi-tadi kau muncul. Ayo bantu aku membebaskan
diri dari orang-orang gila ini. Aku dituduh menculik perempuan hamil. Membunuh orang-orang
yang aku tidak kenal!”
Enam perajurit. pandangi pemuda berpakaian putih berambut gondrong yang berdiri di
hadapan pemimpin mereka. Adipati Sidik Mangkurat sendiri menatap tak berkesip pada
pemuda yang berdiri di hadapannya dan tidak dikenalnya.

“Pemuda gondrong, apapun hubunganmu dengan kakek keparat itu, jangan coba-coba
mencampuri urusan. Apa lagi berani turun tangan untuk menolong dajal tua itu!”

“Adipati, jangan bicara sombong! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa!” Setan
Ngompol berteriak.

Sekilas sepasang mata Adipati Magetan melirik ke arah Setan Ngompol lalu memandang
menyipit dan tak berkesip ke arah pemuda di hadapannya.

“Dajal tua itu bicara seolah kau adalah malaikat yang bisa menolongnya! Orang muda, katakan
siapa dirimu?!”

“Aku tidak kalah edannya dengan kakek itu. Kalau dia sinting aku sableng!” jawab si pemuda.

“Jangan berolok-olok! Katakan cepat siapa dirimu!”

“Biar aku yang menjawab!” berteriak Setan Ngompol. “Adipati! Dengar baik-baik! Pemuda yang
berdiri di depanmu itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng! Murid nenek sakti Sinto Gendeng
dari Gunung Gede. Mereka orang-orang yahg dekat dengan Keraton. Jadi jangan berani main-
main. Sekarang lekas bebaskan diriku!”

Enam perajurit Kadipaten Magetan dan juga sang Adipati Raden Sidik Mangkurat tersentak
kaget mendengar ucapan Setan Ngompol. Mereka memang pernah mehdahgar nama besar
Sinto Gendeng dan sang murid yahg dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu. Tapi
seumur-umur belum pernah melihat atau kenal orangnya. Bukan mustahil untuk selamatkan
diri Setan Ngompol sengaja berdusta mengada-ada.

Adipati Sidik Mangkurat menyeringai.

“Dajal tua, siapapun adanya pemuda ini, dia tidak bakal menyelamatkan dirimu dari kematian!
Perajurit….”

“Tunggu!” Wiro cepat keluarkan ucapan sambil angkat tangannya. Dari telapak tangan sang
pendekar berhembus selarik angin mengandung tenaga dalam tinggi. Orang yang tak sanggup
menahannya akan terpental saat itu juga. Jika punya ilmu dan coba bertahan akan dibuat
melintir. Yang coba membalas dengan tenaga dalam bisa muntah darah! Yang dilepaskan Wiro
untuk menyerang sang Adipati adalah pukulan bernama Tangan Dewa Menghantam Karang,
yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa, didapat dari kakek sakti bernama Datuk Rao
Basaluang Ameh.
Adipati Magetan bukan orang sembarangan. Begitu Wiro mengangkat tangan dengan telapak
terbuka ke arahnya dia segera maklum kalau orang tengah mengirimkan satu serangan jarak
pendek yang halus, hampir tanpa suara namun memiliki kekuatan dahsyat luar biasa. Adipati ini
cepat angkat tangan kanannya untuk menolak serangan Wiro.

Namun, dia jadi terkejut besar ketika merasakan tangannya seperti disambar api, lalu terpental
ke belakang. Tidak menunggu ebih lama Adipati ini segera turunkan tangan dan cepat
menyingkir ke samping. Ketika dia memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas
pergelangan sampai ke ujung-ujung jari telah berubah menjadi merah dan berdenyut sakit.
Cepat dia ini kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sesaat kemudian denyutan sakit lenyap
namun tangan itu masih kelihatan merah.

“Pemuda gondrong, jika kau memang benar Pendekar 212 Wiro Sableng maka ini adalah satu
kejadian luar biasa! Selama ini aku mengenal dirimu sebagai seorang pendekar pembela
kebenaran penegak keadilan. Tapi hari ini kau membela tua bangka dajal pembunuh dan
penculik itu!”

“Adipati, harap maafmu. Aku bukannya menyanggah. Aku kenal betul dengari kakek ini. Dia
memang suka jahil, banyak orang tidak senang karena kemana-mana selalu ngompol dan
menebar bau kencing yang tidak sedap. Tapi soal kejahatan aku berani bersumpah dia tidak
pernah melakukan. Apalagi yang namanya menculik perempuan hamil. Untuk apa? Kalau dia
membunuh seseorang tentu dia punya alasan. Harap kau suka memerintahkan para
perajuritmu untuk melepas dirinya. Lalu kita bicara secara baikbaik.

“Dari sikap dan cara bicaramu, aku curiga kau bukan Pendekar 212 sebenarnya. Kau dan kakek
itu tengah berusaha memperdayai diriku! Menyingkir dari hadapanku. Kalau tidak kau bakal jadi
korban kedua setelah tua bangka dajal itu!”

Wiro berpaling ke arah Setan Ngompol.

“Kek, mendengar ucapan Adipati ini jangan-jangan kau memang benar telah berbuat kejahatan.
Aku tidak bisa menolongmu. Maafkan kalau aku terpaksa pergi…”

“Wiro! Tunggu! Kau lebih percaya Adipati itu atau diriku! Kita sudah bersahabat sekian lama!
Kau tahu siapa diriku….”

Wiro gelengkan kepala.

“Sekali ini aku mohon maafmu kakek,” ucap Wiro pula. Lalu setelah membungkuk memberi
hormat ke arah Adipati Sidik Mangkurat murid Sinto Gendeng melangkah tinggalkan tempat itu.
Namun baru setengah langkah berada di belakang sang Adipati, tiba-tiba Wiro membuat
gerakan kilat.
Adipati Sidik Mangkurat hanya melihat cahaya putih menyilaukan dilapis cahaya kemerahan.
Lalu tahu-tahu salah satu dari dua mata Kapak Maut Naga Geni 212 telah menempel di
tenggorokannya. Wiro sengaja kerahkan tenaga dalam hingga mata kapak memancarkan hawa
panas yang serta merta memasuki tenggorokan lalu menjalar ke seluruh tubuh. Saat itu juga
Adipati merasa dirinya seperti dipanggang. Seluruh wajah dan sekujur tubuh serta pakaiannya
basah mandi keringat.

“Adipati, kapak sakti ini mengandung hawa panas yang bisa melelehkan besi, menghancurkan
batu karang. Jika kau sanggup menahan, masih ada racun jahat yang bisa membuat sekujur
tubuhmu menjadi gosong. Kalau kau masih bisa bertahan, apakah lehermu sanggup dan punya
kekebalan menahan sayatan mata kapak yang punya daya tekanan lebih dari seratus kati?! Aku
tidak mau melakukan semua itu. Asalkan kau mau membebaskan kakek sahabatku itu! Aku
berani menjamin, dia bukan orang jahat dengan segala tuduhan yang kau ucapkan tadi. Jika
memang ada manusia pocong yang kau katakan itu, aku berjanji membantu untuk mencari dan
membekuk batang lehernya!”

“Manusia pocong itu adalah dajal tua itu sendiri!” jawab Adipati Magetan dengan suara keras
dan tampaknya tidak takut akan ancaman Wiro.

Murid Sinto Gendeng tersenyum.

“Jika kau berpendapat demikian, menyesal sekali kau akan menemui ajal berbarengan dengan
kakek itu!”

Wiro lalu lipat gandakan tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni 212 memancarkan cahaya putih
menyilaukan. Cahaya merah yang melapisi bagian luar mata kapak tampak lebih benderang.
Adipati Sidik Mangkurat berteriak setinggi langit. Enam perajurit tercekat. Leher sang Adipati
mereka lihat seperti hangus menghitam. Wiro kendurkan tenaga dalamnya. Hawa panas yang
seperti mau melelehkan tubuh Adipati Sidik Mangkurat surut.

“Bagaimana Adipati…?” Pendekar 212 berbisik ke telinga sang Adipati.

Mata Adipati Sidik Mangkurat mendelik. Rahangnya menggembung entah menahan amarah
entah menahan sakit. Dari mulutnya kemudian meluncur perintah..

“Perajurit, lepaskan orang itu!”

Enam pedang ditarik. Enam perajurit bersurut mundur.

“Kek, pilih dua ekor kuda. Buatmu satu, aku satu!”

Setan Ngompol bangkit berdiri lalu tertawa mengekeh. Seperti yang dikatakan Wiro dia segera
mengambil dua ekor kuda milik orang-orang Kadipaten Magetan. Salah seekor di antaranya
adalah tunggangan Adipati Sidik Mangkurat yang segera dinaikinya. Kuda ke dua ditariknya
mendekati Wiro. Tak lupa dia mengemasi dan mengambil jubah serta kain putih yang tadi
dilemparkan Adipati Sidik Mangkurat.

“Adipati, antara kita tidak ada permusuhan. Jadi harap tidak ada dendam dalam dirimu
terhadapku! Apa yang aku lakukan hari ini hanyalah untuk menegakkan kebenaran. Apakah
kebenaran yang aku katakan itu memang benar adanya silahkan nanti kau menyelidik sendiri.
Aku menghormati dirimu, untuk itu aku mohon maaf akan semua kelancanganku tadi.
Ditambah yang satu ini!”

Selesai keluarkan ucapan, dua jari tangan kiri Pendekar 212 bergerak ke tengkuk Adipati Sidik
Mangkurat. Saat itu juga sang Adipati merasakan sekujur tubuhnya kaku tegang tak bisa
bergerak. Wiro tidak tunggu lebih lama. Masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan
dia melompat ke atas kuda yang disiapkan Setan Ngompol. Sekali sama-sama menggebrak,
keduanya melesat di atas tunggangan masing-masing. Di sebelah belakang caci maki dan
ancaman menyerapah keluar dari mulut Adipati Magetan.

***

DI SATU pedataran rumput, menjelang sang surya akan tenggelam di ufuk barat. Pendekar 212
Wiro Sableng dan Setan Ngompol hentikan kuda lalu mencari tempat yang enak untuk duduk.
Saat itu Setan Ngompol telah mengenakan jubah putih yang sebelumnya dibawa oleh Adipati
Sidik Mangkurat.

“Kek, sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Terakhir kali kau membawa Rana
Suwarte dalam keadaan tertotok ke Kota raja. Ada yang memberi tahu orang itu kabur
meloloskan diri. Lalu bagaimana pula ceritanya sampai Adipati Magetan dan pasukannya
mengejar-ngejar dirimu.”

Setan Ngompol senyum-senyum. Matanya yang jereng berputar beberapa kali.

“Waktu aku sampai di rumah janda di desa Bantul, hari sudah malam. Rana Suwarte aku
masukkan di sebuah kamar, masih dalam keadaan tertotok. Aku sendiri tidur di kamar lain….”

“Bersama janda itu tentunya,” sambut Wiro.

Si kakek kedipkan mata jerengnya lalu tertawa mengekeh. “Kau belum lihat orangnya, tapi nada
suaramu seperti cemburu. Ha…ha…ha! Janda hebat. Luar biasa. Malam itu aku benar-benar
puas. Tulangtulang tubuhku seperti copot. Malam itu aku baru tidur menjelang pagi. Gila! Kalau
aku bayangkan janda itu. Ha…ha…ha!”

“Kek, malam itu kau tidak ngompol di atas tempat tidur?”

“Wuallah. Dalam keadaan darurat seperti itu anuku paling tahu diri. Ha…ha…ha!”
“Ceritakan kecerobohan apa yang telah kaulakukan sampai Rana Suwarte bisa kabur.”

“Aku tidak membuat kecerobohan. Dan Rana Suwarte tidak kabur, tapi ada yang membawa
kabur!” Menerangkan. Setan Ngompol. “Totokan yang aku lakukan atas diri orang itu paling
cepat akan punah sendirinya selama tiga hari. Jika dia memang bisa memusnahkan totokan,
pasti dia mencari dan menghajar diriku. Ternyata itu tidak dilakukannya! Ada orang yang
menculiknya. Dan si penculik itu ketinggalan jubah serta kain putih ini!”

“Kau sampai tidak mengetahui kejadian itu, bukankah itu satu kecerobohan?”

“Bisa saja orang menuduhku begitu. Tapi kalau ada orang yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya
dariku yang melakukan sesuatu terhadap Rana Suwarte, aku musti bilang apa?”

“Kau tetap coroboh, lengah. Karena semalam suntuk lebih mementingkan janda itu dari pada
memperhatikan tawanan.”

Setan Ngompol pencongkan mulut. Lalu berkata. “Anehnya, di dalam kamar aku menemukan
jubah putih ini bersama kain yang ada ikatannya dan dua lobang di salah satu sisinya. Aku tidak
begitu memperhatikan jubah dan kain putih ini. Kutinggalkan begitu saja di dalam kamar. Dua
minggu aku menginap di rumah janda itu. Siang tadi, tiba-tiba ada pasukan menggerebek. Aku
mengira petugas keamanan dari Kotaraja yang tengah melakukan pembersihan. Khawatir aku
akan ditangkap lalu dihukum dengan perintah harus mengawini janda itu, tidak pikir panjang
walau aku saat itu cuma pakai kolor butut dan kuyup, aku langsung saja kabur dari rumah janda
itu. Ternyata pasukan yang menggerebek melakukan pengejaran. Dan ternyata mereka bukan
pasukan pembersihan dari Kotaraja, melainkan Adipati Magetan dan enam orang perajuritnya!”

”Pasal lantaran apa mereka mengejarmu seperti mengejar maling kesiangan Kek?” tanya Wiro
pula.

“Itu yang semula aku tidak tahu,” jawab Setan Ngompol. “Ketika aku tersudut di depan jurang
tadi baru aku tahu mereka adalah orang-orang Kadipaten Magetan. Sialan! Aku dituduh sebagai
manusia pocong yang menurut Adipati brengsek itu telah gentayangan selama beberapa bulan.
Menculik perempuanperempuan hamil, membunuh teman-temannya. Sebagai bukti dia
membawa jubah dan kain putih yang mereka temukan di rumah janda itu. Mereka menuduh
pakaian itu adalah milikku. Mereka tidak pernah tahu kalau di rumah itu sebelumnya ada Rana
Suwarte.”

Wiro garuk-garuk kepala.

“Aku percaya kau tidak berbuat kejahatan sekeji itu, Kek. Cuma satu yang aku heran,
bagaimana janda di Bantul itu bisa suka padamu. Padahal kau bukan saja sudah tua bangka
seperti ini tapi juga tukang ngompol, kemana-mana selalu basah kuyup celananya, bau pesing.”
“Terus terang aku juga heran, janda gemuk, putih dan cantik itu senang padaku. Entah mengapa
malam kemarin ketika bermesraan aku sempat-sempatnya bertanya. Kau tahu apa kata janda
itu?”

Wiro gelengkan kepala.

“Katanya begini. Dari seluruh tubuhku, hanya ada satu yang sangat menarik hatinya. Bukan saja
waktu tidur, tapi setiap dekat denganku, bagian tubuhku itu selalu dipegangnya, diusap, dibelai-
belai. Aduh asyiknya! Nah, kau bisa menerka bagian tubuhku yang mana yang disukai janda
gemuk itu? Ha…ha…ha!”

Wiro garuk-garuk kepala. Hendak menjawab tapi tidak tega menyebut. Akhirnya Wiro hanya
memandang ke bagian bawah perut si kakek sambil kepalanya digoyangkan.

“Pasti yang satu itu Kek.”

Setan Ngompol tertawa mengekeh.

“Bukan, bukan yang itu!” katanya sambil mengusap matanya yang basah oleh air mata saking
maraknya tertawa. “Tapi ini!” Si kakek pegang dua kupingnya kiri kanan. “Janda itu suka pada
telingaku yang lebar ini. Apa lagi yang sebelah kanan terbalik aneh. Menurut dia sejak
mengenal diriku dan sering memegang-megang kupingku, rejekinya datang tidak terduga.
Melimpah ruah. Ha…ha…ha!” Setan Ngompol kembali tertawa bergelak. Dan di bawah perutnya
air kencingnya kembali mengucur.

TAMAT

Eps 135 Rumah Tanpa Dosa

WULAN Srindi buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Tubuhnya terasa lemas, saat
itu sudah tiga kali dia mendengar ada langkah-langkah kaki di depan pintu kamar, tempat di
mana sekian lama dia disekap. Ini kali ke empat. Perlahan-lahan gadis murid Perguruan Silat
Lawu Putih ini bangkit dari berbaringnya, duduk di tepi tempat tidur, memandang nanar ke arah
pintu yang terkunci. Untung sebelum pergi manusia pocong yang membawanya ke dalam
kamar itu mau berlaku baik melepaskan totokan. Tapi totokan tidak dilepas penuh, hanya dua
pertiganya. Sisa tenaga yang ada hanya sekedar bisa menggerakkan tangan dan kaki. Tidak
mungkin menggerakkan tenaga dalam atau menyalurkan hawa sakti, apa lagi menjebol pintu
mencoba melarikan diri.

Perlahan-lahan Wulan Srindi melangkah ke pintu. Dia perhatikan keadaan pintu itu sejenak.
Tidak dapat dipastikan apakah terbuat dari batu atos atau besi karena dicat putih. Pada daun
pintu tepat di arah kepala ada sebuah lobang berbentuk kotak empat persegi. Tak diketahuinya
lobang apa itu adanya dan apa kegunaannya. Wulan tempelkan telinga kiri ke daun pintu. Lagi-
lagi dia mendengar suara langkah itu. Mungkin pengawal, pikir si gadis. Ketika untuk kesekian
kalinya dia mendengar suara langkah orang, Wulan menegur. “Siapa di luar?”

Tak ada jawaban. Tapi suara kaki melangkah mendadak berhenti.

“Siapa di luar? Mengapa tidak menjawab?” Wulan mengulangi teguran.

Tiba-tiba sret! Kotak kecil di depan kepala Wulan Srindi terbuka. Si gadis mundur satu langkah,
memandang memperhatikan ke arah kotak. Dia melihat satu kepala mengenakan kerudung kain
putih. Dua buah mata di balik lobang kecil memandang berkilat, tak berkesip ke arahnya. Kepala
itu mendekat hingga kini hanya salah satu matanya saja yang berada dalam kotak.

Wulan perhatikan kilatan yang memancar dari mata di dalam kotak. Dia merasa ada satu
getaran dahsyat dan panas. Itulah cara memandang laki-laki yang gairah terhadap kecantikan
dan kebagusan tubuh seorang gadis. Namun gairah itu disertai rasa takut yang membuatnya
bersikap bimbang.

“Manusia pocong, kau siapa sebenarnya?”

“Gadis dalam kamar, kau tak layak bertanya,” jawab orang di luar kamar.

Wulan mendengar suara keras tapi bergetar pertanda ucapannya dipengaruhi oleh sesuatu
yang ada dalam hatinya.

Manusia pocong di luar kamar hendak menutup kotak di pintu.

Wulan cepat berkata.

“Tunggu!”

“Apa maumu?” “Namaku Wulan Srindi. Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih…”

“Tak usah banyak bicara. Kami di sini tahu semua siapa dirimu adanya!” menukas manusia
pocong di balik pintu kamar. Dalam hati orang ini merasa heran dan bicara sendiri. “Wakil Ketua
agaknya belum memberi minuman pelupa diri pelupa ingatan pada gadis ini. Mungkin dia
kelupaan atau mungkin memang disengaja? Hemmm, aku tahu mengapa gadis satu ini
diperlakukan istimewa. Wakil Ketua ingin bersenang-senang. Mungkin dia merasa kurang
nikmat kalau si gadis berada dalam keadaan lumpuh dan hilang ingatan.”

Wulan melihat kepala berkerudung putih bergerak menjauh dari pintu.

“Tunggu, jangan pergi. Dengar dulu ucapanku. Kalau kau mau menolongku keluar dari tempat
celaka ini, aku akan berikan apa saja yang kau minta.”
Dibalik penutup kepala kain putih si manusia pocong menyeringai.

“Kau tak bisa membujuk diriku. Tidak siapa-pun di tempat ini bisa dibujuk. Hanya perintah Yang
Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”

Wulan Srindi terdiam. Namun di lain saat gadis ini keluarkan tawa panjang.

“Kenapa kau tertawa?” manusia pocong bertanya.

“Kukira kau satu-satunya manusia cerdik di tempat ini. Ternyata kau sama saja tololnya dengan
manusia-manusia pocong lainnya!”

“Gadis kurang ajar! Jangan berani berlancang mulut di tempat ini!”

“Hemm… Ternyata benar ucapanku. Aku seorang perempuan lebih berani dari kau seorang
lelaki! Buktinya kau menutupi kepala dengan kain putih. Pasti ada sesuatu yang kau takutkan!”

“Kami Barisan Manusia Pocong tidak ada satupun yang ditakuti di

dunia ini. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua!”

“Sudah, pergi sana! Aku muak mendengar ucapanmu!”

Wulan Srindi berpura-pura mundur menjauhi kotak di pintu.

Pancingannya mengena. Manusia pocong sebaliknya kini malah

mendekatkan matanya ke lobang kotak.

“Pertolongan macam apa yang kau inginkan?” “Aku sudah katakan tadi. Keluarkan aku dari
tempat ini. Dan aku akan memberikan apa saja yang kau kehendaki!”

“Kami telah mengeledah pakaianmu. Kau tidak membawa bekal apa-apa waktu masuk ke sini.
Tidak memiliki barang perhiasan tidak juga uang.”

“Apakah perhiasan dan uang dua hal penting berharga di dunia ini bagi seorang laki-laki
sepertimu?” tanya Wulan Srindi sambil

dekatkan wajahnya ke lobang kotak.

“Apa maksudmu?” Manusia pocong di balik pintu bertanya.

Wulan Srindi tersenyum. Sambil mata setengah dipejamkan dan lidah merah basah diulurkan
membelai bibir dia berkata lirih, berusaha merayu memikat.
“Aku tahu, mungkin kau sudah begitu lama berada di tempat ini. Menjalankan tugas penting
dari Sang Ketua. Hingga tidak memikirkan lagi kepentingan dan kebahagiaan diri sendiri.
Terkadang uang atau perhiasan, tidak ada artinya dibanding dengan kebahagiaan dan
kenikmatan yang kau dapat dari seorang gadis sepertiku.”

“Gadis, kau bicara terlalu berani. Jangan kau coba merayu diriku…”

“Dengar, aku kini percaya. Kau tidak sama dengan manusia pocong lain yang ada di tempat ini.
Tolong diriku. Keluarkan aku dari sini. Apa sulitnya bagimu? Begitu kita berada diluar, maka aku
adalah milikmu. Tidak hanya sebentar, tapi selama kau membutuhkanku. Itu tanda terima
kasihku padamu.”

“Kau mau menipuku!”

Alis kanan Wulan Srindi mencuat ke atas. Dia tersenyum lalu berkata. “Kalau begitu, agar tidak
ada yang tertipu di antara kita, pembicaraan cukup sampai di sini.”

Wulan Srindi melangkah mundur menjauhi lobang di pintu.

“Apakah aku bisa mempercayai dirimu?” Manusia pocong bertanya.

“Kepercayaan harus datang dari dua belah pihak,” jawab Wulan Srindi

Si manusia pocong terdiam. Seperti berpikir.

“Baik,” katanya kemudian. “Kau tunggu sebentar. Ada sesuatu yang harus aku periksa. Kau
tunggu sampai aku kembali.”

“Jangan terlalu lama,” kata Wulan Srindi.

Memang gadis itu tidak menunggu lama.

Beberapa saat kemudian si manusia pocong kembali muncul. Wulan mendengar suara berdesir.
Lalu perlahan-lahan dilihatnya pintu putih terbuka.

“Lekas!” kata manusia pocong. Cepat dia menarik lengan si gadis.

Sambil melangkah Wulan Srindi coba kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti. Ternyata dia
masih tidak mampu melakukan. Mau tak mau gadis ini terpaksa mengikuti saja ke mana
manusia pocong itu menariknya. Orang membawanya memasuki lorong, berputar-putar
demikian rupa hingga kepalanya pusing. Dia berjalan dengan tubuh terhuyung.
“Apa kau tidak bisa jalan lebih cepat?” Manusia pocong bertanya antara tidak sabaran dan rasa
kawatir.

“Diriku masih setengah tertotok. Kalau kau mau melepaskan totokan di tubuhku, aku tidak akan
merepotkanmu. Malah aku bisa lari mengikutimu.”

“Yang menotokmu adalah Wakil Ketua. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua dan dia sendiri, tidak ada
orang lain yang mampu membebaskanmu,” jawab manusia pocong. Lalu dia hentikan langkah,
bungkukkan tubuhnya sedikit. Di lain saat Wulan Srindi sudah berada di atas panggulannya.

“Kau mau membawa aku ke mana?” tanya gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih itu.

“Kau minta tolong dikeluarkan dari dalam goa. Kenapa masih bertanya?” Manusia pocong agak
jengkel.

“Goa? Aku disekap dalam kamar.”

“Kamar ini ada dalam goa. Goa ini memiliki seratus tiga belas lorong. Bagi orang luar tidak
mudah masuk dan keluar. Sekali tersesat berarti kematian. “

“Tapi aku harus tahu kau mau membawa aku ke mana.”

“Ada satu pondokan di kawasan bukit batu. Aku akan membawamu ke sana. Sudah, jangan
banyak bertanya. Dinding lorong ini punya seribu telinga!” Manusia pocong mempercepat
larinya. Tak lama kemudian Wulan Srindi dapatkan dirinya telah keluar dari dalam lorong sangat
panjang dan berliku. Matanya berputar mengawasi keadaan sekelilingnya. Dia berada di
kawasan bukit berbatu-batu. Saat itu fajar telah menyingsing namun karena kabut
mengambang di manamana, keadaan tampak masih gelap. Hal ini menguntungkan dua orang
yang melarikan diri itu karena sosok mereka tidak mudah terlihat.

Setelah melewati gundukan batu-batu besar, manusia pocong memutar arah lari ke sebelah
timur. Wulan melihat satu jalan menurun lalu ada kali kecil menghadang di ujung jalan. Orang
yang memanggulnya membelok ke kanan, menyusuri kali ke arah hulu.

Melihat kali, Wulan lalu berkata. “Turunkan aku di sini saja. Aku bisa mencari jalan sendiri.”

“Perjanjian kita tidak begitu,” jawab manusia pocong yang memanggul si gadis dan terus saja
lari.

Wulan Srindi menggigit bibir. Dia berhasil membujuk orang mengeluarkan dirinya dari dalam
tempat sekapan. Bahaya pertama sudah lewat.

Kini ada bahaya berikutnya. Bagamana dia bisa membebaskan diri dari tangan manusia pocong
satu ini.
“Aku mau membersihkan diri dulu di kali. Turunkan aku barang sebentar.”

Manusia pocong tidak perdulikan permintaan Wulan Srindi. Dia terus saja lari.

Jalan yang ditempuh semakin sulit karena bebatuan menebar sangat banyak dan tebal berlapis
lumut. Wulan Srindi maklum orang yang melarikannya itu selain memiliki tenaga dalam juga
membekal ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Karena tidak mudah untuk lari di atas batu-
batu yang diselimuti lumut licin. Selewatnya kawasan berbatu mereka memasuki satu rimba
belantara kecil tapi sarat semak belukar dan pepohonan yang tumbuh sangat rapat. Di antara
kerapatan pepohonan serta semak belukar itulah kemudian Wulan Srindi melihat sebuah
pondok kayu tak berpintu. Salah satu dindingnya telah jebol. Dan kesinilah manusia pocong itu
membawanya.

Wulan Srindi dibaringkan di lantai pondok kotor berdebu. Gadis ini cepat bangkit dan
melangkah ke sudut pondok. Tadinya dia hendak bergerak ke pintu. Tapi manusia pocong itu
tegak di depan pintu seolah sengaja menghadang. Sesaat orang ini tegak diam memperhatikan
si gadis. Nafasnya memburu karena berlari sejauh itu sambil mendukung Wulan Srindi. Apa lagi
saat itu nafsu mulai merambat membakar aliran darahnya. Dari tempatnya berdiri di dalam
pondok orang ini memperhatikan keluar. Mata dan telinga dipasang tajam-tajam. Tak ada
gerakan mencurigakan. Tak ada orang yang mengikuti. Dia juga tidak mendengar suara apa-apa
selain hanya suara kumbang hutan menggeru bersahut-sahutan.

Manusia pocong balikkan tubuh. Wulan Srindi tahu, kini bahaya besar mengancam kehormatan
dan keselamatan dirinya. Dia harus bisa menipu orang ini, paling tidak mengulur waktu.

“Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Sayang aku tidak bisa melihat wajahmu. Hingga
kalau kelak bertemu aku mungkin tidak mengenal dirimu.”

Manusia pocong keluarkan suara tertawa.

“Kau tak perlu melihat wajahku. Apa lagi mengenal siapa diriku. Budi pertolonganku berpangkal
pada janji yang kau ucapkan sewaktu masih berada dalam kamar sekapan. Saatnya kau
menepati janji. Saatnya aku menagih janji.”

“Tapi aku ingin lebih dulu melihat wajahmu. Dan kalau kau percaya, lakukan sesuatu agar
totokan di tubuhku musnah.”

“Saat ini tidak ada lagi waktu untuk bicara. Yang ada waktu untuk bekerja.” Habis berkata
begitu manusia pocong tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah ternyata dia mengenakan
satu pakaian ringkas berupa baju dan celana panjang hitam. Masih dengan kepala tertutup
kerudung putih dia melangkah mendekati Wulan Srindi.

“Buka pakaianmu,” perintah manusia pocong.


“Dengar, kita perlu bicara dulu.”

“Aku sudah bilang tak ada waktu untuk bicara! Kalau kau berusaha menipu dan tidak mau
menanggalkan pakaian, aku bisa melakukannya. Tapi aku akan melakukan secara kejam. Jangan
berani mengingkari perjanjian yang kau buat sendiri! Ingat ucapanmu waktu di dalam kamar
sekapan. Kau mengatakan mau memberi kebahagiaan dan kenikmatan padaku. Kau bilang
begitu berada di luar dirimu adalah milikku selama aku membutuhkanmu! Sekarang jangan
berani mencari dalih!”

“Aku tahu. Aku juga tahu kau orang baik-baik. Aku…”

“Aku akan menanggalkan semua pakaianku. Harap kau melakukan hal yang sama. Pada saat
semua pakaianku sudah kutanggalkan dan kau masih tidak berbuat apa-apa, aku akan
menghajarmu sampai sekarat. Aku memang lebih suka melihat dan menggauli perempuan
dalam kesakitan.” Lalu manusia pocong buka baju hitamnya.

“Aku mohon…”

Wulan Srindi balikkan badan ke sudut pondok. Tak berani memperhatikan ketika orang di
hadapannya bergerak menanggalkan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Diam-diam
Wulan kembali berusaha mengerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa sakti. Tetap saja dia
tidak mampu memusnahkan kekuatan totokan yang masih menguasai dirinya. Totokan Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong memang luar biasa.

Tiba-tiba Wulan Srindi merasa ada tangan mencengkeram punggung pakaiannya. Lalu breeet!
Pakaian itu robek sampai ke pinggang. Wulan Srindi menjerit. Dia balikkan tubuh sambil
hantamkan satu pukulan. Tapi pukulan itu begitu lemah. Jangankan tenaga dalam, tenaga
luarnya sajapun tidak punya daya apa-apa. Manusia pocong biarkan jotosan lemah itu
mendarat di dadanya. Tidak terasa apa-apa, hanya seperti diusap.

Manusia pocong menyeringai, mendekat penuh nafsu.

“Aku mohon, jangan kau apa-apakan diriku. Aku bersedia jadi istrimu…” Wulan keluarkan
ucapan, masih berusaha membujuk dan mengulur waktu.

“Kehidupan dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tidak mengenal apa yang dinamakan
istri! Percuma kau membujukku!”

Tiba-tiba tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini menyambar ke dada si gadis. Untuk kedua
kalinya Wulan Srindi memekik. Dada pakaiannya robek besar. Tapi pekikan si gadis kali ini juga
dibarengi jeritan si manusia pocong. Entah apa yang terjadi tubuhnya terpental ke kiri,
menghantam dinding pondok yang lapuk hingga terpentang jebol lalu terlempar ke halaman
samping. Bersamaan dengan itu satu suara tawa mengekeh menggema dalam pondok. Bau
harum aneh menebar menyengat hidung.

“Gluk… gluk… gluk!”

Ada suara orang menenggak minuman dengan amat lahap.

***

Kapak Maut Naga Geni 2122

DALAM kagetnya Wulan Srindi pentang mata mendelik, memandang ke depan. Seorang kakek
berjanggut putih menjulai dada, berpakaian selempang kain biru tegak di tengah pondok sambil
tertawa gelak-gelak. Tangan kirinya memegang sebuah bumbung terbuat dari bambu. Bibir
bumbung didekatkan ke mulut. Sikakek lantas buka mulutnya lebarlebar. Tak ada benda yang
mengucur dari dalam bumbung itu.

“Aku tidak mengenal kakek ini. Apakah dia barusan yang jadi sang penolongku?” membatin
Wulan Srindi. Hatinya harap-harap cemas. Dalam rimba persilatan tanah Jawa seribu satu
macam manusia gentayangan di mana-mana. Terkadang sulit diterka mana kawan dan mana
lawan.

Si kakek goyang-goyang bumbung di atas mulutnya. Tetap saja tak ada tak ada cairan yang
keluar dari dalam bumbung bambu. Si kakek memaki sendiri.

“Sial! Kenapa cepat sekali habisnya! Aku tidak memeriksa lagi. Baru tahu saat mau minum kali
ini. Pasti waktu di gunung si Sinto menenggak bukan cuma satu dua teguk. Nenek geblek!
Katanya tidak doyan, tapi tuakku diteguk amblas!”

Entah disengaja atau memang kebetulan, secara acuh tak acuh kakek ini lemparkan ke kiri
bumbung bambu yang dipegangnya. Saat itu justru manusia pocong yang terlempar keluar
pondok dalam keadaan marah besar tengah melompat masuk ke dalam pondok untuk
mendamprat dan menyerang si kakek. Namun setengah jalan kepalanya keburu dihantam
bumbung bambu hingga kembali dia terpental. Di balik kain putih penutup kepala, keningnya
luka dan benjut besar. Darah mengucur membuat kain putih di atas kepalanya basah merah.

Seperti tidak ada kejadian apa-apa, tidak melihat dan tidak mendengar jerit kesakitan serta caci
maki orang, kakek di dalam pondok ambil tabung bambu kedua yang tergantung di
punggungnya. Penutup tabung di buka, dicampakkan seenaknya ke lantai. Kepala didongakkan
lalu tabung diangkat tinggi-tinggi di atas mulut. Cairan bening yang menebar bau harum
menyengat hidung mengucur keluar. Si kakek cepat buka mulutnya lebar-lebar.

“Gluk… gluk… gluk!”


Si kakek meneguk tuak harum yang mengucur keluar dari dalam bumbung bambu dengan
lahap. Matanya sebentar mendelik, sebentar dipejamkan. Sebagian dari tuak membasahi
wajahnya yang keriput, membasahi kumis dan janggut putih serta membasahi dada pakaian
birunya. Tak selang berapa lama baru si kakek turunkan bumbung bambu. Mukanya kelihatan
merah. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu mengusap mulut.

“Tuak enak, benar-benar sedap. Tak salah kalau orang menyebutnya tuak kayangan. Malah
kalau benar ada tuak di kayangan sana, rasanya mungkin tidak selezat tuakku ini!” Si kakek
tertawa mengekeh sambil usap-usap bumbung bambu. Lalu mulutnya bicara kembali
seenaknya, seolah dia hanya sendirian di tempat itu.

“Mengusap bumbungnya saja nikmatnya seperti mengusap pantat perempuan montok. Ha…
ha… ha!”

Wulan Srindi yang sejak tadi memperhatikan si kakek dari sudut pendek jadi tercekat.

“Jangan-jangan kakek yang kuanggap sebagai tuan penolong ini ternyata adalah seekor bandot
tua doyan tanaman muda,” murid Perguruan Silat Lawu Putih itu membatin. “Anehnya lagi
masakan dia tidak tahu aku ada di sini. Mungkin berpura-pura…” Si gadis semula hendak
memanggil tapi kemudian memutuskan untuk diam saja sambil memperhatikan terus gerak-
gerik orang tua berselempang kain biru itu.

Si kakek sangkutkan kembali bumbung tuaknya di punggung.

Dia perhatikan lantai pondok.

“Uh, kotornya. Debu tebal sampai sejempol. Tadinya aku berniat istirahat tidur-tiduran di
tempat ini barang sehari dua. Kalau kotor begini siapa sudi! Uh! Malam-malam tidak mustahil
tikus dan kecoak mampir di sini. Baiknya aku pergi saja…”

Si kakek betulkan letak bumbung bambu di punggung, usap-usap dada pakaiannya yang basah,
membelai jenggotnya yang putih panjang dan juga basah lalu putar tubuh melangkah ke pintu
pondok.

“Kek!”

Si kakek tertegun berjingkrak. Kelihatan kaget sekali. Entah kaget benaran entah cuma pura-
pura. Dua kaki berhenti melangkah, bahu diputar dan kepala dipalingkan ke sudut pondok dari
mana barusan dia mendengar suara orang menegur.

“Astaga naga!” si kakek pelototkan mata, usap janggutnya dan balikkan tubuh. “Luar biasa!
Kukira tadi aku sendirian di tempat ini. Untung tadi aku tidak loloskan celana, dan kencing di
sudut pondok sana.” Si kakek geleng-geleng kepala. Lalu tertawa mengekeh. “Makin lanjut
umurku, makin pikun diriku. Bagaimana mungkin sejak tadi aku tidak melihat, tidak mengetahui
kalau ada seorang gadis cantik di dalam pondok ini. Tapi, ah! Pakaianmu mengapa tidak karuan
begitu rupa.”

Si kakek tutupkan lima jari tangan kanannya di atas dada, tapi jari-jari itu dipentang lebar
hingga tetap saja dia bisa melihat jelas keadaan dada si gadis yang tersingkap.

Wulan Srindi baru sadar keadaan dada bajunya yang tersingkap lebar akibat robekan manusia
pocong tadi. Cepat-cepat gadis ini rapikan pakaiannya.

“Kek kau siapa?” Wulan Srindi bertanya.

Berbarangan dengan itu si kakek juga ajukan pertanyaan.

“Gadis cantik, kau siapa?”

Dua-duanya kemudian sama tertawa. Si kakek maju selangkah, pandangi Wulan Srindi dari
kepala sampai ke kaki.

“Kau orang sungguhan? Eh, kakimu nginjak lantai apa tidak? Hik… hik… hik!”

“Eh, memangnya aku ini kau lihat bagaimana Kek?”

“Pondok ini terpencil dalam rimba belantara. Di kawasan bukit batu jarang didatangi manusia.
Ada seorang gadis cantik begini rupa. Bagaimana aku tidak curiga?”

“Nyatanya kau sendiri berada di sini,” tukas Wulan Srindi si gadis berkulit hitam manis. “Berarti
aku juga pantas merasa curiga.”

“Aku muncul di sini kebetulan saja. Eh, jawab dulu kau ini orang sungguhan, bukan peri bukan
dedemit hutan yang muncul menyamar jadi gadis cantik?”

Wulan Srindi tertawa lebar.

“Terkadang hantu juga bisa muncul dalam ujud seperti dirimu sekarang ini, Kek.”

Si kakek angkat tangannya, digoyang-goyang seraya berkata. “Sudah, sudah! Jangan bicara
segala macam hantu dan dedemit. Nanti kita berdua pada kesambet dan jadi hantu dedemit
sungguhan.”

“Kek, kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih.” Wulan Srindi berkata sambil
bungkukkan diri. Karena gerakan ini, dada pakaiannya kembali tersingkap. Si kakek mendelik
menahan nafsu ketika melihat dada yang terbuka itu. Sambil usap-usap jenggotnya dia
memandang ke arah pintu. Saat itu terdengar suara menggembor disertai makian keras.
“Tua bangka jahanam! Kupecahkan kepalamu!”

“Eh, siapa yang bicara?” kejut si kakek. Dia celingukan sebentar lalu berpaling ke kiri. Di saat
bersamaan satu sosok berkelebat. Satu jotosan dahsyat menderu ke arah pelipis kiri si kakek.
Kalau dia tidak lekas menghindar kepalanya pasti kena dihantam rengkah!

Sambil berseru kaget, orang tua yang membekal bumbung tuak di punggungnya itu cepat
melompat mundur. Ketika dia hendak balas menyerang, baru disadarinya dengan siapa dia
berhadapan.

“Aha! Ini baru dedemit sungguhan! Muka ditutup kain putih berdarah. Tapi mengapa tubuh
sebelah bawah polos tidak pakai apaapa! Gila betul! Apa tidak masuk angin? Pemandangan
merusak mata! Kalau seorang gadis berkeadaan sepertimu pasti aku tidak menolak melihat!
Tapi yang macam kamu! Wuaallah! Dedemit geblek! Pergi sana!”

Ketika orang tanpa pakaian itu berkelebat kirimkan serangan ke arah si kakek Wulan Srindi
telah lebih dulu membuang muka, memandang ke jurusan lain.

Si manusia pocong dengan satu-satu pakaian yang dikenakannya saat itu hanyalah kain penutup
kepala, seolah baru sadar jadi kelabakan melihat keadaan dirinya. Dia segera menyambar jubah
putih miliknya yang ada di lantai. Tapi si kakek lebih dulu menarik jubah itu dengan jempol kaki
kirinya, lalu dilempar lewat pintu keluar pondok.

Manusia pocong jadi kalap.

“Tua bangka jahanam!” Dia memaki.

Si manusia pocong lalu hantamkan dua tangannya sekaligus ke arah si kakek. Dua gelombang
angin menderu dahsyat. Pondok bergoyang seperti mau roboh. Sebelum dua gelombang angin
menyapa si kakek, manusia pocong telah melompat susul serangannya dengan kirimkan
pukulan berantai, dua tangan kiri kanan sekaligus.

Kakek berselempang kain biru melihat dan merasa dua gelombang angin maut menderu ke arah
dirinya. Cepat dia melompat ke atas hingga kepalanya hampir menyundul atap pondok.

“Braakk! Braakkk!”

Dinding pondok sebelah kanan hancur berantakan di hantam dua angin pukulan manusia
pocong. Manusia pocong berteriak marah. Tidak Perdulikan keadaan dirinya yang tanpa
pakaian sama sekali dengan nekad dia mengejar ke depan. Saat itu si kakek telah melayang
turun kembali sambil dua tangannya sambuti pukulan berantai lawan.

“Bukk! Bukkk!”
Dua tangan saling memukul, saling beradu di udara mengeluarkan suara bergedebukan tiada
hentinya. Satu kali si kakek gerakkan tangan kanan, memutar bumbung bambu ke depan. Ketika
jotosan tangan kanan lawan datang, dengan cepat si kakek sodokkan pantat bumbung bambu
ke arah serangan.

“Krakk!”

Seolah tidak mendengar suara apa-apa si kakek buka kain penutup bumbung, dongakkan
kepala, buka mulut dan kucurkan tuak di dalam bumbung.

“Gluk… gluk… gluk!”

Enak saja si kakek meneguk tuak harumnya sementara di depannya si manusia pocong menjerit
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya yang telah hancur mulai dari ujung lima
jari sampai pengkal pergelangan!

“Orang gila! Jangan berisik di tempat ini! Pergi sana!” maki si kakek. Lalu tuak diteguknya satu
kali lagi. Setelah itu tuak yang ada dalam mulut disemburkan ke arah manusia pocong.

“Cuaahhh!”

“Wusss!” Cairan tuak yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu laksana ratusan jarum
menderu ke arah manusia pocong yang sedang menjerit-jerit kesakitan karena tangan
kanannya yang hancur. Dia tak mampu berkelit, tak sanggup menangkis. Sosoknya terlempar
jauh keluar pondok, terbanting di tanah. Lebih dari empat lusin lobang muncul di permukaan
kulit tubuhnya yang kelihatan hancur, menyusup ke daging terus ke tulang! Dari lobang-lobang
itu mengepul asap kelabu! Si manusia pocong keluarkan pekik keras, tubuhnya menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

Seumur hidup baru sekali itu Wulan Srindi melihat kematian orang akibat semburan cairan
tuak. Sementara si gadis masih setengah terkesiap, si kakek melangkah keluar pondok yang
sudah doyong dan siap roboh, mendekati mayat manusia pocong. Dia tarik kain putih yang
menutupi kepala orang. Satu wajah tua bundar dan ada tahi lalat besar di dagu kiri tersingkap.
Lama si kakek pandangi wajah itu hingga perlahan-lahan dua alis matanya yang putih mencuat
ke atas. Setelah menarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala kakek ini keluarkan ucapan.
Nada suaranya menyatakan kesedihan.

“Sahabatku Ki Sepuh Dalemkawung, benarkah kau ini? Kalau tidak melihat tahi lalat di dagumu,
aku mungkin masih menaruh ragu. Mengapa kau berubah jadi orang jahat? Kalau tadi-tadi aku
tahu ini adalah dirimu, mungkin aku tidak akan tega membunuhmu.”

Wulan Srindi tidak berani mendekati. Dari tempatnya berdiri gadis ini bertanya.

“Kek, kau kenal orang itu?”


Si kakek melangkah kembali masuk ke dalam pondok.

“Namanya Sepuh Dalemkawung. Belasan tahun lalu kami pernah bersahabat. Dia orang baik.
Ilmunya tinggi. Serangan tangan kosong yang dilakukannya tadi adalah pukulan Dua Gelombang
Menjebol Dinding Karang. Dia pernah berulang kali membantu Kerajaan menghancurkan kaum
pemberontak di kawasan timur. Adalah aneh kalau kini dia berbuat seperti ini, berdandan
seperti pocong hidup, melakukan kejahatan, terutama terhadap orang-orang perempuan.
Menyedihkan sekali seorang sahabat menemui ajal mengenaskan seperti ini. Dan gilanya, aku
yang membunuhnya!” Si kakek tepuk keningnya sendiri.

“Kek,” ujar Wulan Srindi. “Kau tidak membunuh seorang sahabat. Yang kau bunuh adalah
kejahatan.” Si gadis coba menghibur.

Si kakek tersenyum tawar. Dia hendak meneguk tuak dalam bumbung tapi tak jadi, malah
keluarkan ucapan penyesalan. “Ki Sepuh, kalau saja kau masih hidup dan bisa bicara,
menerangkan apa sebenarnya yang terjadi, aku mungkin bisa mencari tahu siapa yang jadi
biang kerok kejahatan ini.”

Memandangi si kakek Wulan Srindi lalu ingat. Tahu diri kalau orang benar-benar telah
menolongnya si gadis melangkah ke hadapan si kakek lalu jatuhkan diri berlutut.

“Kek, aku sangat berterima kasih. Kalau kau tidak muncul saat ini pasti aku sudah…”

Si kakek usap kepala Wulan Srindi.

“Bangunlah, tidak pantas manusia berlutut di hadapan manusia lainnya. Aku hanya tidak
mengerti, bagaimana gadis cantik sepertimu bisa kesasar di tempat ini dan tadi hampir saja
dikerjai makhluk terkutuk itu. Gadis, siapa namamu?” “Kek, namaku Wulan Srindi…”

“Pantas wajahmu cantik seperti bulan.” Memuji si kakek.

“Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih. Aku dan kakak seperguruan yang menjadi Ketua
Perguruan, meninggalkan perguruan beberapa waktu lalu untuk menyelidiki pembunuhan atas
diri guru dan bekas Ketua kami Surablandong. Kami bernasib malang. Kakak seperguruanku
menemui ajal di tangan manusia pocong. Aku sendiri…”

“Manusia pocong?” tanya si kakek.

“Betul Kek. Salah satu diantaranya yang barusan kau bunuh.”

“Hemm, dalam perjalanan ke sini beberapa kali aku mendengar makhluk-makhluk itu disebut
orang. Aneh tapi jahat. Kabarnya mereka menculik perempuan-perempuan bunting. Apa
betul?” “Betul sekali Kek…” Lalu Wulan Srindi menuturkan kisahnya, mulai dari penyamaran
yang dilakukannya bersama Ketua Perguruan Silat Lawu Putih sampai akhirnya dirinya diculik.

“Aneh, buat apa? Mau diapakan perempuan-perempuan hamil itu?”

“Itu sebenarnya salah satu hal yang ingin kami selidiki.” Jawab Wulan Srindi pula.

“Murid yang tengah aku cari, seperti dirimu pasti tidak dalam keadaan bunting. Tapi melihat
dirimu yang juga tidak bunting hampir jadi korban bukan mustahil muridku bisa pula celaka di
tangan makhluk keparat itu. Siapa manusia-manusia pocong itu sebenarnya?”

“Aku belum sempat menyelidik. Tahu-tahu sudah kena diculik.”

Si kakek usap-usap janggut panjangnya.

“Hemm…” si kakek bergumam. “Turut penuturanmu jelas manusia-manusia pocong ini punya
satu komplotan. Kalau yang disebut Wakil Ketua, tentu ada Ketua. Pasti pula mereka punya
banyak anak buah. Lalu sarang mereka pasti dijadikan tempat penyekapan perempuan-
perempuan hamil itu. Kalau katamu kau dibawa ke sini sesaat setelah fajar menyingsing, lalu
sampai di sini tak selang berapa lama, berarti markas komplotan itu tidak berapa jauh dari
tempat ini.”

“Mungkin begitu Kek. Satu hal perlu aku beritahu sarang komplotan itu merupakan satu goa
batu. Di dalamnya ada puluhan lorong aneh, panjang dan berliku-liku. Sekali tersesat masuk dan
tak bisa keluar pasti menemui ajal. Menurut manusia pocong yang membawaku ke sini, lorong
itu disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”

Si kakek goleng-goleng kepala.

“Makin tua umur dunia, makin banyak keanehan terjadi,” kata si kakek lalu dia meneguk
tuaknya beberapa kali.

“Aku harus menyelidiki tempat itu sebelum bencana semakin merajalela.”

“Aku ikut bersamamu Kek.” Kata Wulan Srindi pula.

Si kakek tersenyum.

“Mendekatlah ke hadapanku,” kata si kakek.

Wulan Srindi mengikuti perintah. Dia melangkah ke hadapan orang tua itu. Si kakek pandangi
gadis di depannya dari kepala sampai ke kaki.

“Kek, ada apa?” Si gadis menjadi risih tidak enak.


“Aku melihat ada kelainan pada gerak-gerikmu…”

“Kek, sebenarnya aku masih dalam keadaan tertotok.”

“Ah, benar dugaanku. Tapi totokan yang menguasai dirimu bukan totokan sembarangan.
Anehnya kau masih bisa bergerak, bisa bicara dan mampu berpikir. Membaliklah. Tahan nafas
dan pejamkan mata.”

“Menurut orang yang barusan kau bunuh, hanya Wakil Ketua dan Ketua manusia pocong yang
bisa membebaskan diriku dari totokan ini.”

“Begitu? Coba kulihat. Ayo melangkah ke sini.”

Wulan Srindi ikuti perintah. Dia melangkah mendekati si kakek.

“Baliklah tubuh. Hadapkan punggungmu padaku. Tahan nafas dan pejamkan mata.”

Kembali Wulan Srindi lakukan apa yang dikatakan si orang tua.

Begitu dia menahan nafas dan pejamkan mata, satu tusukan halus melanda punggungnya.
Walau tusukan itu halus dan lembut tapi akibatnya membuat tubuh si gadis mencelat ke atas.
Di dahului satu pekik keras, Wulan Srindi berjumpalitan di udara dan melayang turun ke bawah
dengan dua kaki menginjak lantai pondok lebih dulu. Di wajahnya yang cantik bermunculan
titik-titik keringat. Sesaat mukanya tampak pucat, lalu secara perlahan berdarah kembali.

“Kek, kau memusnahkan totokan di tubuhku,” kata Wulan Srindi penuh kagum dan hampir
tidak percaya dan berpikir. Berarti orang tua ini memiliki ilmu kesaktian paling tidak setingkat
Sang Wakil Ketua barisan Manusia Pocong. Mungkin juga sama dengan tingkat kepandaian Sang
Ketua sendiri. “Kek, aku mohon kau sudi memberitahu siapa dirimu adanya. Aku sangat
berterima kasih. Bukan cuma berhutang budi, tapi juga nyawa dan kehormatan.”

Si kakek cuma tersenyum. “Kau ini bicara apa,” katanya.

“Kek, aku mohon. Harap katakan siapa dirimu adanya.”

“Siapa diriku, itulah hal yang tidak penting.” “Jangan begitu Kek. Bagimu tidak penting tapi
bagiku sangat penting.”

Si kakek tersenyum, usap-usap janggutnya. Akhirnya berkata.

“Karena aku doyan minum tuak, orang-orang lantas menyebut diriku Dswa Tuak. Ada-ada saja.
Pada hal jelas aku bukan Dewa. Tapi kakek-kakek rongsokan yang sudah bau tanah!” Habis
berkata begitu si orang tua tertawa mengekeh.
Terkejutlah Wulan Srindi mendengar ucapan orang. Kembali dia jatuhkan diri.

“Kek, ketika guruku Surablandong masih hidup, beliau sering menceritakan tentang kisah
tokoh-tokoh rimba persilatan tanah Jawa. Salah seorang yang disebut dan diceritakan beliau
adalah dirimu. Hari ini sungguh aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Lebih dari itu karena
ternyata engkaulah penolongku, tokoh rimba persilatan yang selama ini kami kagumi.”

“Berdiri, jangan berlutut!” Si kakek membentak.

“Tidak Kek, aku akan tetap berlutut sebelum kau memenuhi satu permintaanku.”

“Permintaan? Memangnya kau mau minta apa? Ingin merasakan minum tuakku? Nanti kau
mabok. Baru tau!”

Wulan Srindi angkat kepalanya, tersenyum. Lalu dengan sungguh-sungguh dia berkata.

“Aku tidak akan bangun sebelum Kakek mengiyakan bahwa kau mau mengambil aku jadi
muridmu.”

Dewa Tuak tertegun sesaat lalu sambil tersenyum dia berkata.

“Kau keliwat menganggap diriku sebagai orang hebat. Aku tidak punya apa-apa selain bumbung
tuak ini…”

“Aku lebih baik mati berlutut di tempat ini daripada tidak jadi muridmu.”

“Gadis bengal. Aku masih banyak urusan. Antaranya mencari muridku…”

“Katakan saja siapa muridmu. Aku akan mencarikannya untukmu. Asal aku dijadikan muridmu
lebih dulu. Biar tidak diajarkan ilmu kepandaian apapun aku rela.”

“Anak gadis, kau sendiri pasti banyak urusan. Kembalilah ke perguruanmu. Daerah sekitar sini
terlalu berbahaya bagimu. Jangan kau sampai kena diculik orang untuk kedua kali.”

“Tidak Kek, aku tidak akan kembali ke perguruan. Aku akan ikut ke mana kau pergi.”

“Benar-benar gadis bengal!” ujar Dewa Tuak dengan suara keras tapi wajah tuanya unjukkan
senyum. “Dengar, aku berjanji satu saat akan menjengukmu di Gunung Lawu.”

“Dan kau akan mengambilku jadi murid. Begitu? Ujar Wulan Srindi, masih berlutut dan kepala
masih ditundukkan. Sepuluh jari tangan dirangkapkan di depan dada. “Tapi Kek, berapa lama
aku harus menunggu? Satu tahun? Dua tahun…?”
“Sudah, begini saja, kalau kau tidak suka kembali ke Gunung Lawu, tolong aku mencarikan
seseorang,” kata Dewa Tuak pula.

“Mencari seseorang? Siapa? Muridmu itu?” “Bukan. Seorang pemuda berjuluk Pendekar 212
Wiro Sableng.”

Wulan Srindi terkesiap, angkat kepalanya sedikit, pandangi wajah si kakek lalu merunduk
kembali.

“Aku sudah lama mendengar nama besar dan kehebatan Pendekar

212. Tapi belum pernah bertemu orangnya. Kata orang tidak mudah mencari pendekar satu itu.
Lalu aku juga menyirap kabar, dia seorang pendekar mata keranjang. Punya banyak kekasih.
Cantik-cantik semua…”

“Kau tidak kalah cantik dengan semua mereka itu,” jawab Dewa Tuak sambil tersenyum.

Dada sang dara jadi berdebar. “Apa maksudmu, Kek?”

“Sudah, sekarang terserah padamu. Kau punya pilihan mau melakukan apa. Kembali ke Gunung
Lawu atau mencari pendekar itu. Kalau mencari Wiro dan bertemu, ceritakan padanya apa yang
telah terjadi dengan dirimu. Juga ceritakan pertemuan kita ini.”

“Aku akan lakukan Kek. Cuma aku ada satu pertanyaan lagi…” Wulan Srindi mendengar suara si
kakek bergumam. Lalu gadis ini merasakan satu usapan di kepalanya. Ketika dia mengangkat
muka, Dewa Tuak tak ada lagi di dalam pondok.

***

Kapak Maut Naga Geni 2123

DALAM Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan bahwa seorang anggota komplotan
manusia pocong yang disebut Satria Pocong menemui Yang Mulia Ketua yang saat itu masih
berada di halaman Rumah Tanpa Dosa. Kepada Sang Ketua dilaporkan tentang adanya seorang
penyusup yang kini terperangkap dalam lorong delapan belas. Ketua Barisan Manusia Pocong
memerintahkan Wakil Ketua bersama anggota pelapor untuk segera menyelidiki perkara
tersebut.

Di tengah jalan Wakil Ketua memerintahkan Satria Pocong agar berangkat lebih dulu ke lorong
delapan belas, menunggunya di sana dan jangan melakukan sesuatu sebelum dia datang. Wakil
Ketua kemudian memasuki satu terowongan batu menuju kamar kediamannya. Di tempat
inilah dia telah menyekap Wulan Srindi, gadis anak murid Perguruan Silat Lawu Putih setelah
lebih dulu dua pertiga dari kekuatan yang ada dalam dirinya dilumpuhkan dengan totokan.
Sebelum pergi ke lorong delapan belas dorongan nafsu yang ada dalam tubuhnya membuat dia
terlebih dulu ingin bersenang-senang dengan gadis itu.

Namun Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong jadi terkejut besar ketika dapati kamar dalam
keadaan kosong. Wulan Srindi lenyap.

“Tubuhnya dibawah pengaruh totokan. Pintu kamar hanya bisa dibuka dengan tombol batu
rahasia. Tidak mungkin gadis itu kabur sendiri. Pasti ada yang menolong. Ada penghianat di
tempat ini! Kurang ajar!” Sang Wakil Ketua gerakkan jari-jari tangan kanannya hingga
mengeluarkan suara berkeretekan membentuk tinju. Tidak menunggu lebih lama dia segera
melompat ke pintu lalu menghambur ke kanan. Tak lama kemudian dia telah memasuki bagian
dalam mulut terowongan yang disebut 113 Lorong Kematian. Sambil lari dalam hati dia
menghitung menyebut angka dan arah.

“Lima puluh kiri. Tiga puluh kanan. Empat puluh kiri. Lima puluh kanan…” Wakil Ketua sudah
berulang kali melewati lorong tersebut. Namun dia tetap menghitung angka dan menyebut
arah agar tidak tersesat. Sekali seseorang kesasar dalam terowongan yang memiliki 113 lorong
tersebut, sulit baginya akan keluar lagi.

Ketika mencapai lorong 18, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong hentikan lari. Di depannya
menggeletak sosok putih seorang Satria Pocong. Mengerang megap-megap siap menemui ajal.
Kain putih yang menutupi wajahnya tampak basah merah oleh darah. Dari bentuk sosoknya
Sang Wakil Ketua mengetahui orang ini adalah Satria Pocong yang tadi disuruhnya pergi lebih
dulu ke lorong 18.

Wakil Ketua berlutut di samping sosok Satria Pocong. Hidungnya mencium bau aneh. Sepasang
mata mengerenyit ketika melihat kain putih yang menutupi kepala anak buahnya itu selain
basah oleh darah juga dipenuhi puluhan lubang kecil.

“Aneh.” ucap Wakil Ketua. Dengan tangan kiri ditariknya ke atas kain putih penutup kepala
Satria Pocong. Sang Wakil Ketua langsung melengak. Lututnya goyah, tubuh tersurut ke
belakang. Muka yang tersembul di balik kain putih penutup kepala tampak melepuh hangus. Di
seluruh kulit muka kelihatan lobang-lobang kecil mengepulkan asap tipis. Darah menggenang di
mata yang mendelik besar. Wakil Ketua pegang urat besar di leher Satria Pocong. Masih ada
denyutan halus.

“Satria Pocong! Katakan apa yang terjadi!”

Bibir anggota Barisan Manusia Pocong itu bergetar. Matanya bergerak. Darah yang
menggenang meleleh ke pipi. Mulutnya mengucapkan sesuatu. Namun yang keluar adalah
lelehan darah.

“Kurang ajar!” rutuk Wakil Ketua. Dia memandang berkeliling. Di ujung lorong sebelah sana dia
melihat satu lagi sosok putih tergelimpang. Pandangannya kembali pada Satria Pocong yang
tergeletak di sampingnya. Tidak sabaran dia tekan tenggorokan orang itu hingga darah
menggelegak keluar. Kau bisa bicara! Kau harus bisa bicara! Katakan apa yang terjadi!” Wakil
Ketua ulangi ucapannya. Setengah berteriak.

“Grekk… hekkkk… Ka… kakek rambut put… putih. Ilmunya ting… tinggi sekal… A… aku… Hekkk!”
Tenggorokan Satria Pocong keluarkan suara tercekik. Ucapannya putus. Mata nyalang
tergenang darah, tak berkesip. Nyawanya keburu melayang sebelum sempat berikan
keterangan lebih lanjut.

Wakil Ketua bangkit berdiri, bertolak pinggang.

Mata liar memandang ke setiap sudut terowongan yang memiliki banyak sekali lorong dan
cabang-cabangnya. Sambil usap-usap tengkuknya dia berkata perlahan.

“Kakek rambut putih. Siapa manusia itu? Tidak ada orang lain di tempat ini. Orang yang
menyusup? Kalau memang dia, di mana bangsat itu sekarang?” Wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong memandang ke arah ujung lorong. Memperhatikan cabang-cabang lorong yang
memenuhi kiri kanan lorong di mana dia berada. “Satria Pocong satu ini setahuku memiliki
kepandaian silat tiga tingkat di bawahku. Kalau ada orang bisa membantainya berarti…” Wakil
Ketua tidak teruskan ucapan. Dia melangkah mendekati sosok manusia pocong satu lagi yang
terkapar di depan sana. Ketika dia memperhatikan kain putih penutup kepala, ada sedikit
bercak darah, tidak ada lobang-lobang kecil seperti pada penutup kepala manusia pocong yang
barusan meregang nyawa. Menyangka Satria Pocong satu ini masih hidup, dia segera lepaskan
kain penutup kepala. Untuk kedua kalinya dia dibuat melengak kaget. Muka yang tersembul di
balik kain putih penutup kepala ini memang tidak hangus tidak melepuh. Tapi mulai dari kening
sampai ke pertengahan hidung muka itu rengkah. Darah pada rengkahan kepala mulai
mengering. Siapa saja yang melihat pasti akan bergidik.

Suara geram menggembor keluar dari tenggorokan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong. Tiba-
tiba matanya melihat ada cairan menggenang di lantai lorong. Dia memperhatikan sesaat, lalu
usapkan jari-jari tangannya di atas cairan. Terasa dingin. Sewaktu jarinya didekatkan ke hidung,
dia mencium bau harum aneh.

“Seperti bau nira. Mungkin juga tuak…” Membatin Sang Wakil Ketua lalu bangkit berdiri,
memandang berkeliling. “Aku berada di lorong delapan belas. Kakek rambut putih yang katanya
tersesat di sekitar sini tidak kelihatan. Mungkin dia berusaha mencari jalan, lalu nyasar di lorong
lain. Dia tak bakal bisa ke mana-mana. Nanti saja kucari. Sekarang aku harus mengejar jahanam
yang melarikan diri itu.” Sang Wakil Ketua segera berkelebat tinggalkan tempat itu.

TAK berapa lama setelah Dewa Tuak tinggalkan dirinya Wulan Srindi keluar dari dalam pondok.
Walau memikir nasihat si kakek agar dia kembali ke Perguruan di Gunung Lawu ada benarnya,
namun gadis ini memilih menyelidik ke mana perginya orang tua aneh berkepandaian tinggi
yang telah menolongnya itu. Berat dugaannya Dewa Tuak akan menyelidik sarang komplotan
Barisan Manusia Pocong. Maka dia segera tinggalkan rimba belantara kecil, lari ke arah bukit
batu.

Seperti yang diduga Wulan Srindi, Dewa Tuak memang menyelidiki kawasan bukit batu di
sebelah barat rimba belantara. Kakek berkepandaian tinggi dengan pengalaman selangit ini
setelah memutari bukit batu beberapa lama akhirnya menemui goa yang jadi mulut
terowongan sarang kediaman manusia pocong. Tanpa ragu kakek ini segera masuk ke dalam
goa. Di luar goa Wulan Srindi mendekam di balik sebuah batu besar. Dia tak berani terus
mengikuti Dewa Tuak masuk ke dalam goa. Sebelumnya sewaktu diculik Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong dia telah menyaksikan sendiri keadaan lorong di dalam bukit batu. Dalam
kebimbangannya akhirnya gadis ini memilih untuk tetap sembunyi di balik batu. Siapa tahu si
kakek akan muncul keluar kembali.

Lama sekali dia mendekam di belakang batu besar tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih.
Dari bentuk sosoknya Wulan Srindi segera mengenali manusia pocong itu adalah Wakil Ketua
yang sebelumnya telah menculik dirinya. Wulan cepat merunduk, bergerak lebih jauh ke balik
batu besar.

DI LUAR 113 lorong Kematian hari telah lama terang. Matahari pagi mengusir sebagian kabut
yang banyak menggantung di kawasan bukit berbatu sehingga dengan matanya yang tajam
cukup mudah bagi Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong melihat jejak-jejak kaki di bebatuan
berlumut.

“Orang lari di atas batu berlumut, membawa beban tubuh manusia. Tidak terpeleset, berarti si
pengkhianat memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Aku belum bisa menduga siapa dia
adanya. Tapi aku sudah bisa menduga ke mana dia membawa gadis itu. Jalan ini mengarah ke
pondok kayu di dalam rimba.”

Wakil Ketua lari laksana bayangan setan. Tak selang berapa lama dia sudah melihat bangunan di
balik pepohonan dan semak belukar lebat itu. Lima puluh langkah dari pondok kayu dia
hentikan lari, memperhatikan. Pondok itu tampak doyong berat, siap roboh. Salah satu
dindingnya terpentang jebol. Ketika dia memperhatikan halaman kiri di samping dinding yang
jebol, kagetnya bukan alang kepalang. Dia melihat satu sosok lelaki tanpa pakaian menggeletak
di tanah. Kain putih penutup kepala tercampak di dekatnya. Dua kali lompatan saja Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong ini sudah sampai di samping sosok tak berpakaian itu.

Ki Sepuh Daiemkawung!” ucap kaget Wakil Ketua dan suaranya setengah tercekik ketika dia
mengenali wajah orang yang tergelimpangan di tanah itu. Ada benjut dan luka besar di kening.
Lalu di bagian tubuh dia melihat puluhan lobang mengerikan pada kulit dan daging yang
melepuh hangus.

Jahanam! Kau rupanya yang jadi pengkhianat. Tua bangka tak tahu diri! Masih suka gadis yang
pantas jadi cucunya!” maki Wakil Ketua tanpa merasa kalau sebenarnya diapun punya maksud
keji dan mesum terhadap Wulan Srindi. Kaki kirinya bergerak. Tubuh Ki Sepuh Daiemkawung
terpental sampai dua tombak.

“Bangsat pengkhianat ini melarikan Wulan Srindi. Tapi gadis itu sendiri entah berada di mana.
Apakah dia sudah sempat menodai gadis itu lalu membunuhnya. Kemudian membuang
mayatnya di tempat lain? Di sekitar sini banyak jurang dalam. Lalu siapa yang membunuh
Dalemkawung? Kakek rambut putih yang disebutkan Satria Pocong dalam lorong?” Sang Wakil
Ketua terus berpikir. “Dalemkawung tidak mungkin telah menodai gadis itu. Tidak secepat itu.”

Wakil Ketua melompat ke dalam pondok yang hampir roboh. Di sini dia hanya menemui
seperangkat pakaian hitam, jubah dan kain putih penutup kepala.

Sambil pegang dagunya Wakil Ketua membatin. “Mungkin si keparat Dalemkawung belum
sempat menodai gadis itu. Keburu dibunuh…” Wakil Ketua membatin seolah menghibur diri
sendiri. Manusia pocong ini kemudian putar kepala, memperhatikan bagian dalam pondok.
Pandangannya membentur sebuah bumbung bambu. Benda ini segera diambil. Ketika
diperhatikan dan dibolak balik, ada cairan yang keluar. Wakil Ketua dekatkan hidungnya ke
mulut bumbung.

“Cairan ini sama baunya dengan cairan dalam lorong. Tuak! Berarti orang yang membunuh
Dalemkawung adalah orang yang sama yang membunuh dua Satria Pocong di dalam lorong!
Bangsat itu katanya tersesat sekitar lorong delapan belas. Aku harus segera ke sana. Sekali dia
masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, pasti tidak bisa keluar selamatkan diri!
Sial, tak ada kesempatan bagiku mencari gadis itu.”

Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong benar-benar marah besar. Gadis cantik yang sudah jadi
miliknya lenyap entah ke mana karena pengkhianatan Ki Sepuh Dalemkawung. Tiga orang anak
buahnya dibunuh orang! Setiap anggota Barisan Manusia Pocong bukanlah orang-orang biasa.
Mereka adalah orang-orang pilihan yang harus memiliki kepandaian silat tinggi, Kesaktian serta
tenaga dalam yang dapat diandalkan. Itu sebabnya mereka dijuluki Satria Pocong. Tidak mudah
membunuh salah seorang dari mereka. Dan kalau sampai tiga orang sekaligus tewas seperti
yang terjadi, pastilah si pembunuh seorang berkepandaian sangat tinggi.

“Kalau memang ada kakek berambut putih menyusup masuk dan jadi pembunuh liga Satria
Pocong, pasti dia berkepandaian tinggi. Jangan-jangan dia seorang tokoh rimba persilatan.”
Begitu Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong membatin sambil lari memasuki 113 Lorong
Kematian. Dia harus berlaku waspada. Mata dipentang tajam, telinga dipasang. Bukan mustahil
kakek rambut putih itu mendadak muncul di depannya.

Di balik batu besar, Wulan Srindi yang masih berada dalam kebimbangan apakah akan masuk ke
dalam goa batu jadi bertambah bimbang ketika dilihatnya Wakil Ketua memasuki mulut goa.
Kalau dia menyusul masuk lalu tertangkap untuk kedua kalinya, pasti dia tak akan bisa
selamatkan diri lagi untuk selama-lamanya.
LORONG 21 memiliki 7 anak lorong. Di dalam anak lorong ke 5 Dewa Tuak duduk menjelepok
sambil mengusap-usap bumbung bambu yang terletak di pangkuannya.

“Sarang manusia pocong. Aku berada dalam sarang manusia pocong…” Si kakek berucap. “Tiga
anggota mereka sudah kubunuh. Tentu masih banyak yang lainnya. Tadi salah seorang dari
mereka berhasil kabur. Pasti melapor pada atasannya. Sebentar lagi ada yang akan muncul di
tempat ini. Lorong celaka, bagaimana aku bisa keluar dari sini? Semua lorong bentuknya sama.
Bagaimana mungkin ada tempat jahanam seperti ini?!” Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Tadi
setelah menghabisi dua orang manusia pocong yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya dia
berusaha kembali ke mulut goa. Keluar dari lorong 18 dia kesasar memasuki cabang-cabang
lorong atau menemui lorong buntu. Akhirnya dalam keadaan letih kakek ini dudukkan diri di
lantai cabang lorong ke 5 dari lorong utama 21.

“Aku harus mencari jalan keluar! Tolol sekali kalau aku sampai mampus di tempat celaka begini
rupa!”

Sebelum berdiri Dewa Tuak angkat bumbung bambunya. Dari beratnya bumbung dia tahu kalau
tuak di dalamnya hanya tinggal setengah.

“Cuma satu bumbung tuak kini yang kumiliki. Isinya hanya tinggal setengah. Edan, di mana aku
bisa mendapatkan bahan untuk membuat tuak baru!” Penutup bumbung dibuka. Bumbung
ditempelkan ke bibir. Biasanya tuak yang mencurah akan ditenggak dengan lahap. Karena
tinggal sedikit kali ini si kakek terpaksa berhemat-hemat.

Baru sedikit tuak harum itu memasuki tenggorokannya tiba-tiba satu benda melesat dan
menancap di pantat bumbung. Dewa Tuak sampai tercekik saking kagetnya. Dengan mata
mendelik dia turunkan bumbung. Sepasang mata tambah membelalak ketika melihat benda apa
yang menancap di ujung bumbung bambu. Sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga. Berwarna
merah dan basah. Bendera Darah!

***

Kapak Maut Naga Geni 2124

WALAU kaget terkesiap melihat bendera aneh menancap di ujung bumbung bambu, di lain saat
Dewa Tuak keluarkan suara tawa mengekeh.

“Siapa pula yang mau-mauan bercanda di tempat gila seperti ini!” katanya sambil bangkit
berdiri. Tapi begitu berdiri tegak lurus, masih memegang bumbung tuak di tangan kiri tahu-tahu
di depannya sudah berdiri satu sosok berjubah dan bertutup kepala putih.

“Aha! Sampean rupanya Manusia pocong yang katanya doyan menculik perempuan-
perempuan bunting! Sayang aku tidak bisa melihat tampangmu. Hingga sulit kuduga apa kau ini
lelaki, perempuan atau makhluk banci-bancian!”
“Tua bangka sinting!” bentak manusia pocong di hadapan Dewa Tuak. Suaranya keras,
membuat gema panjang di Seantero lorong dan menggetarkan lantai batu. Getaran itu
menjalar masuk pada dua kaki Dewa Tuak, namun lenyap sebelum mencapai ketinggian lutut.
“Jangan berani bicara kurang ajar sembarangan di hadapanku!”

Meski kaget mendengar dahsyatnya bentakan orang Dewa Tuak menyeringai. Diam-diam tadi
dia sudah mengukur kehebatan tenaga dalam manusia pocong yang memancar dalam suara
bentakannya. Memang jarang-jarang ada orang memiliki tingkat tenaga dalam setinggi yang
dimiliki makhluk serba putih ini. Namun si kakek tidak merasa khawatir. Tingkat tenaga daiam
orang masih berada di bawahnya. Maka enak saja sambil letakkan bumbung bambu di bahu kiri
dia keluarkan ucapan.

“Manusia pocong, kau tentunya punya jabatan tinggi di tempat ini. Makanya bisa bicara
sombong dan membentak segala. Usiaku bisa tiga kali usiamu! Kau pantas memanggil aku
Eyang. Ayo lekas menghormat, cium tanganku dan minta maaf pada Eyangmu ini!” Habis
berucap Dewa Tuak ulurkan tangannya minta disalami. Tapi sikapnya jelas mengejek karena
telunjuk jari tangan sengaja digerakkan dikedat-kedut seperti orang memainkan benang
layangan sementara dari mulutnya yang kempot menyembur tawa menge-keh.

Di balik kain penutup kepala, sepasang mata manusia pocong mendelik besar. Rahangnya
menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Tapi agaknya dia bisa mengendalikan
kemarahan. Sambil berkacak pinggang dan decakan lidah beberapa kali, dia berkata.

“Aku suka pada manusia-manusia pemberani. Tapi sayang kau tidak bisa mengukur diri. Tidak
sadar berada di mana!”

“Ah, begitu…?” Dewa Tuak berpura-pura kaget. Dia memandang seputar lorong. “Kurasa aku
belum buta. Di tempat ini aku hanya melihat dinding-dinding batu. Lorong-lorong tak karuan.
Lalu melihat dirimu! Apa hebatnya? Eh, coba beritahu Eyangmu ini! Memangnya tempat ini
tempat apa?”

“Tua bangka sinting! Ketahuilah. Kau berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Siapa
masuk tidak bisa keluar lagi! Mati di tempat ini! Kecuali Yang Mulia Ketua memberi
pengampunan! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia
Ketua seorang wajib dicintai!”

“Eh, apakah Ketuamu seorang perempuan hingga hanya dia seorang wajib dicintai?!” Dewa
Tuak menyeletuk ucapan orang.

“Dasar kakek sinting! Ketua kami jelas seorang laki-laki!”


“Nah, nah! Kalau kau mencintai Ketuamu yang laki-laki berarti kau sebangsa makhluk yang suka
pada makhluk sejenis! Ha… ha… ha! Dan kalau kau punya seorang Ketua, berarti kau hanya
salah seekor cecunguknya saja! Ha… ha… ha!”

Saat itu meledaklah amarah Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong. Tadinya dia masih ingin
menanyakan untuk memastikan apa benar kakek ini yang telah membunuh tiga Satria Pocong.
Dia juga ingin mengorek keterangan di mana Wulan Srindi berada. Namun ledakan amarah
membuat dia jadi kalap dan serta merta melompat kirimkan serangan maut ke arah Dewa Tuak.
Tangan kanan menderu ganas mencari sasaran di batok kepala si kakek. Memang sinting apa
yang dilakukan si kakek dalam menghadapi serangan maut itu. Dewa Tuak mundur satu
langkah. Tangan kiri putar bumbung bambu di bahu, kepala setengah menengadah dipalingkan
ke kiri.

“Gluk… gluk… gluk!”

Dewa Tuak teguk tuak dalam bumbung tiga kali berturut-turut lalu bersurut mundur sambil
rundukkan kepala namun mulutnya tibatiba menyembur!

“Wusss!”

Tuak dalam mulut Dewa Tuak menderu ke arah dada Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.

“Tuak setan!” maki Wakil Ketua. Dia serta merta ingat pada cairan yang sebelumnya ditemui di
dalam lorong dan pondok kayu. Secepat kilat Wakil Ketua melompat mundur selamatkan diri.
Sambil melompat dia kibaskan tangan kanannya hingga menebar gelombang angin. Dengan
kibasan tangan kanan yang disertai kekuatan tenaga dalam itu Wakil Ketua berusaha menangkis
serangan sekaligus menggebuk. Angin kibasan tangannya sanggup membuat sosok Dewa Tuak
goyang terhuyung namun dia sendiri berseru kaget ketika dapatkan lengan kanan jubah
putihnya kepulkan asap. Ketika diperhatikan lengan jubah itu telah dipenuhi belasan lobang-
lobang kecil. Lalu begitu dia singsingkan lengan jubah, tampak beberapa bagian kulit lengannya
merah melepuh! Asap mengepul dari empat buah lobang kecil di permukaan kulit. Dinginkan
kuduk manusia pocong ini. Namun amarah yang membakar dirinya serta rasa tanggung jawab
akan pengamanan kawasan 113 Lorong Kematian membuat dia tidak mau menyerah begitu
saja. Didahului suara menggereng Wakil Ketua angkat dua tangan ke depan.

Dewa Tuak tersentak kaget ketika melihat bagaimana sepasang tangan lawan mendadak
berubah lebih panjang dan lebih besar. Lima jari tangan mencuat membentuk kuku-kuku
binatang lalu dalam keadaan dikepalkan, dua tangan serentak menghantam ke depan. Dua larik
cahaya merah tipis membayangi gerakan.

“Ilmu pukulan apa yang hendak dilancarkan jahanam ini?” membatin Dewa Tuak dan berlaku
waspada.
Masih beberapa jengkal di sebelah depan angin dua jotosan manusia pocong telah terasa
menyambar dingin, menggetarkan dada. Lapisan cahaya merah tampak semakin terang. Tidak
mau berlaku ayal Dewa Tuak cepat singkirkan diri ke samping sambil sodokkan ujung bumbung
bambu yang masih ditancapi bendera kecil berbentuk segitiga.

“Braakkk! Byaar!”

“Settt! Cleepp!”

Dua mulut sama keluarkan seruan kaget.

Yang pertama seruan yang keluar dari mulut Dewa Tuak ketika dua jotosan lawan yang lewat
menghantam dinding batu lorong di sampingnya hingga terbongkar, membentuk dua lobang
besar hangus kehitaman!

Seruan kedua keluar dari mulut wakil Ketua. Sewaktu kakek lawannya menyodokkan ujung
bumbung bambu ke arah dada dia berhasil berkelit dengan mudah. Namun tidak diduga,
Bendera Darah yang menancap di ujung bambu mendadak melesat ke arah kepalanya. Saat itu
kedudukan Wakil Ketua sudah memepet ke dinding lorong batu sebelah kiri. Dia hanya mampu
merunduk dan geserkan kepalanya sedikit. Bendera Darah menancap di kain putih penutup
kepala, di sisi kening sebelah kanan. Masih untung bendera itu tidak menancap di matanya.
Hanya menyusup di kain putih, menggores sedikit pelipis kanan.

Masih dalam keadaan terperangah Wakil Ketua lihat si kakek tenggak tuak dalam bumbung.
Lalu sekali berkelebat tahu-tahu bagian bawah bumbung bambu telah menghantam ke arah
dada, menyambar membalik ke kepala lalu membabat menggebuk ke arah leher. Luar biasa
sekali. Seumur hidup belum pernah Wakil Ketua barisan Manusia Pocong ini melihat serangan
berantai begitu cepat dan ganas. Tiga serangan laksana kilat dan ditujukan pada kepala serta
dua bagian tubuh mematikan!

Walau mendapat serangan dahsyat begitu rupa namun Wakil Ketua dengan gerakan-gerakan
tak kalah cepat masih mampu menghindar selamatkan diri. Namun ada satu hal yang
ditakutkannya yakni kalau si kakek kembali lancarkan serangan dengan semburan tuak.
Sebelum hal itu kejadian dia cepat angkat tangan kiri. Tangan ini bergetar keras pertanda Sang
Wakil Ketua tengah alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun entah mengapa dia
batalkan niat. Dengan cepat dia putar tubuh lalu berkelebat memasuki lobang di samping kiri.

“Makhluk setan! Sampean mau kabur ke mana!” Teriak Dewa Tuak. Kakek ini cepat mengejar.
Namun dilorong yang dimasukinya dia tidak melihat bayangan manusia pocong itu. Dewa Tuak
mengejar ke lorong sebelah kanan. Kosong. Lari lagi memasuki lorong di samping kiri depan. 0-
rang yang dikejar tak kelihatan akhirnya si kakek tersesat memasuki lorong 22 pada anak lorong
ke 3.
“Sial! Aku kesasar lagi! Lorong celaka! Bagaimana bisa begini! Banyak sekali lika-likunya!” rutuk
Dewa Tuak lalu sandarkan punggungnya ke dinding lorong. “Bangsat itu kabur. Pasti
memberitahu Ketuanya. Sebentar lagi mereka pasti datang. Lebih baik aku istirahat kumpulkan
tenaga.” Lalu enak saja orang tua ini baringkan tubuhnya di lantai batu. Bumbung bambu di
letakkan di atas perut. Sesaat kemudian terdengar suara dengkurnya memenuhi lorong.

DI DALAM Ruang Kayu Hitam Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong memandang tak
berkesip ke arah Wakil Ketua yang barusan saja datang melapor apa yang telah terjadi.
Pelipisnya bergerak-gerak, rahang menggembung terkatup.

“Tiga Satria Pocong tewas terbunuh. Berarti kita hanya tinggal memiliki tujuh Satria Pocong.
Yang Mulia Ketua, saya punya kewajiban untuk mencari pengganti. Bukan cuma tiga tapi lebih
banyak lagi.”

“Yang saat ini aku pikirkan bukan cuma mengganti anggota yang terbunuh. Tapi jauh lebih
penting dari itu adalah bagaimana menangani kakek tua yang kini berada dalam lorong. Aku
merasa pasti dia masuk ke sini bukan karena tersesat. Tapi membekal satu maksud. Menyelidiki
kita! Dan semua kejadian ini berpangkal pada nafsu bejatmu ingin meniduri gadis bernama
Wulan Srindi itu…”

“Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Saya rasa antara si kakek janggut putih dan gadis anak
murid Perguruan Lawu Putih itu tidak ada hubungan apa-apa.” Menjawab Wakil Ketua.

“Picik! Sungguh tolol! Apa kau tidak melihat rentetan kenyataan yang terjadi?!” semprot Yang
Mulia Ketua dengan suara beringas. “Pertama gadis itu diculik Dalemkaeung. Dibawa kabur ke
pondok di rimba belantara. Di situ kau menemui mayat Dalemkawung, tapi si gadis tidak
kelihatan. Si pembunuh juga tidak ada. Tapi tahu-tahu kakek itu muncul di dalam lorong. Apa
kau tidak berpikir bagaimana kakek jahanam itu tahu jalan ke sini, lalu bisa masuk ke dalam
lorong kalau tidak diberitahu oleh Wulan Srindi?!”

“Maafkan saya Yang Mulia Ketua. Saya kira ucapan Yang Mulia Ketua benar adanya.

“Bukan cuma kamu kira! Tapi memang begitu kenyataannya! Tolol!” Membentak Sang Ketua.
“Sekarang aku ingin kejelasan. Terangkan sekali lagi ciri-ciri kakek janggut putih itu!”

“Bukan cuma janggutnya yang putih, rambut dan kumisnya juga putih. Berpakaian selempang
kain biru. Membawa satu bumbung bambu berisi tuak. Tadinya mungkin dua. Yang satu saya
temukan di dalam pondok dalam keadaan hancur. Tuak minumannya itu sekaligus merupakan
senjata berbahaya.” Wakil Ketua lalu singkapkan lengan jubah tangan kanan. Memperlihatkan
kulit lengannya yang melepuh serta beberapa lobang luka. “Yang Mulia Ketua bisa saksikan
sendiri lengan saya. Ini akibat semburan tuak kakek itu.”

“Mengapa kau tidak pergunakan senjata andalanmu?” Tiba-tiba Sang Ketua bertanya.
“Tadinya memang saya sudah siap melakukan. Tapi saya punya pikiran lain. Harap Yang Mulia
Ketua memberi maaf kalau saya lancang punya rencana.” Menerangkan Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong.

“Apa yang ada di otakmu?”

“Kakek itu memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi sekali. Tuaknya luar biasa berbahaya.
Bukankah kita membutuhkan orang-orang semacam dia walau dia telah membunuh tiga
anggota kita?”

Yang Mulia Ketua tidak menjawab. Sambil rangkapkan tangan di depan dada dia melangkah
mundar-mandir di dalam Ruang Kayu Hitam.

“Selain itu Yang Mulia Ketua, saatnya kita menguji kesetiaan dan kehebatan Yang Mulia Sri
Paduka Ratu.”

Ketua Barisan Manusia Pocong hentikan langkah, menatap ke arah Sang Wakil Ketua lalu
berkata. “Sekali ini aku memuji kecerdasan otakmu! Aku akan menemui Yang Mulia Sri Paduka
Ratu di Rumah Tanpa Dosa. Apakah kau sudah memasang genta di depan tempat
kediamannya?”

“Saya sudah memerintahkan dua orang anggota untuk melakukan. Saat ini pasti sudah
terpasang,” jawab Wakil Ketua.

“Kau segera masuk ke dalam lorong. Berjaga-jaga di sekitar Lorong Dua Puluh Lima. Kita bakal
mendapat satu tangkapan besar! Kau tahu siapa adanya kakek itu?”

Wakil Ketua gelengkan kepala.

“Kakek berjanggut putih, yang selalu membawa bumbung tuak ke mana-mana adalah salah satu
dedengkot rimba persilatan. Dia dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Kalau bisa membuatnya
berada di barisan kita banyak hal bakal dapat kita lakukan. Antara lain memancing tokoh rimba
persilatan lainnya, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng!”

“Dewa Tuak…” ucap Wakil Ketua sambil usap-usap lengan kanannya yang cidera. “Aku pernah
mendengar nama tokoh rimba persilatan itu. Kalau dia bisa dibekuk dan dijadikan anggota
Barisan Manusia Pocong, semakin mudah bagiku untuk membalaskan dendam kesumat
terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Kapak Maut Naga Geni 2125

KETUA Barisan Manusia Pocong berdiri di hadapan bangunan panggung berbentuk bulat.
Keseluruhan bangunan terbuat dari kayu termasuk atap yang terbuat dari ijuk dicat warna
putih. Pada bagian depan, di bawah atap, dekat tangga setengah lingkaran menuju bagian atas
bangunan, terdapat sebuah genta yang talinya menjulai ke bawah, hampir menyentuh tanah.
Inilah yang disebut Rumah Tanpa Dosa, berada dalam satu lembah kecil, jauh di utara Telaga
Sarangan. Sebagaimana sunyinya lembah, begitu pula senyap keheningan menyelimuti rumah
panggung ini.

Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong berdiri di depan Rumah Tanpa Dosa, dekat tangga.
Sesaat dia memperhatikan keadaan bangunan. Delapan jendela dan satu pintu dalam keadaan
tertutup. Yang Mulia Ketua ulurkan tangan menjangkau tali yang menjulai dekat tangga kayu.
Perlahan-lahan tali itu disentakkan, tiga kali berturutturut. Suara genta menggema di seantero
lembah, lama baru menghilang. Tidak terjadi apa-apa. Pintu ataupun jendela tidak bergerak,
tidak satupun yang terbuka.

Untuk kedua kalinya Sang Ketua sentakkan tali genta. Kembali suara genta mengumandang,
bergaung keras dan panjang. Dari balik kain putih penutup kepala sepasang mata Sang Ketua
memperhatikan ke arah atas. Tetap saja tak kelihatan ada gerakan.

Tangan yang memegang tali genta bergerak. Hendak menarik tali itu untuk ke tiga kalinya. Tapi
mendadak Sang Ketua batalkan niat. Dua kaki dihentakkan ke tanah. Saat itu juga tubuhnya
melesat ke atas, melewati tangga kayu berbentuk setengah lingkaran. Namun begitu dua kaki
menginjak lantai atas rumah panggung putih, mendadak ada hawa aneh menjalar dan
menyengat kakinya. Bersamaan dengan itu satu gelombang angin, entah dari mana datangnya
mendadak menderu menghantam dadanya. Membuat Sang Ketua terlempar. Dalam kejutnya
manusia pocong ini keluarkan seruan keras. Sewaktu terpental dan melayang di udara, dia
masih bisa menguasai diri. Berjungkir balik dua kali lalu melayang turun ke bawah. Walau dua
kaki masih bisa menyentuh tanah namun kelihatan lututnya agak goyah. Sang Ketua
memandang berkeliling. Untung tak ada siapa-siapa di tempat itu. Kalau sampai ada anggota
Barisan Manusia Pocong melihatnya terpental begitu rupa wibawanya bisa jatuh. Tidak ada
hujan tidak ada angin bagaimana dia bisa tunggang langgang seperti itu. Orang lantas akan
mempertanyakan sampai di mana sebenarnya tingkat kepandaiannya.

“Rumah Tanpa Dosa…” ucap Sang Ketua perlahan dan bergetar. “Kekuatan dahsyat apa yang
ada dalam bangunan ini? Penghuni Aksara Batu Bernyawa memang melarang mendekati
rumah. Tapi dia tak pernah memberitahu hal aneh seperti ini.” Manusia pocong usap dadanya.
Tak ada rasa sakit akibat hantaman angin aneh tadi. Dua kakinya juga tidak cidera walau ada
hawa masuk menyengat. “Kalau memang ada orang berbuat jahat, niscaya aku telah celaka.
Apakah gadis itu yang melakukan?”

Yang Mulia Ketua mendongak ke atas, perhatikan pintu dan deretan jendela. Lalu dia berteriak.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Aku tahu kau ada di dalam. Kau tahu aku ada di luar sini! Aku
sudah membunyikan genta sampai dua kali. Sesuai perjanjian, mengapa kau tidak keluar?!”

Sunyi tak ada jawaban. Angin lembah bertiup agar keras, membuat pakaian dan kain putih
penutup kepala Sang Ketua berkibarkibar.
Tiba-tiba dari bagian atas rumah panggung putih mengumandang suara tertawa. Tawa
perempuan. Menyusul ucapan lantang.

“Yang Mulia Ketua! Kau melanggar pantangan! Bangunan ini tidak boleh diinjak dan dijamah
manusia-manusia yang telah tersentuh dosa. Itu sebabnya disebut Rumah Tanpa Dosal”

Sang Ketua terkesiap. “Aneh,” ucapnya dalam hati. “Bagaimana dia tahu rahasia yang
tersembunyi dalam rumah panggung ini. Janganjangan penghuni Aksara Batu Bernyawa
merasuk ke dalam jiwanya?” Setelah menatap tajam ke arah bagian atas bangunan, manusia
pocong ini berkata.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, aku sudah memberi tanda dengan menarik genta. Sampai dua
kali. Mengapa Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak keluar? Apa kau lupa pada ketentuan yang
berlaku di tempat ini? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang
Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”

“Yang Mulia Ketua,” terdengar jawaban dari atas rumah. “Aku belum lama berada di tempat ini.
Tapi aku telah berkesempatan mengarang satu tembang. Apakah kau sudi mendengar sebelum
aku keluar?”

“Perempuan gila! Lain yang aku katakan, lain yang dia ucapkan!” Maki Yang Mulia Ketua dalam
hati. Dia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu namun dari dalam Rumah Tanpa Dosa
tiba-tiba mengumandang suara nyanyian.

Kehidupan muncul secara aneh

Kematian datang tidak disangka

Di dalam bukit batu

Ada seratus tiga belas lorong

Siapa masuk akan tersesat

Tidak ada jalan keluar

Sampai kematian datang menjemput

Di dalam lembah

Ada Rumah Tanpa Dosa

Inilah tempat teraman bagi makhluk tidak berdosa


Bendera Darah lambang kematian

Tiada daya menentang ajal

Darah suci bayi yang dilahirkan

Pembawa kehadiran Nyawa

Kedua Sambungan hidup insan tak bernyawa

Di dalam lorong ada kesepian

Di dalam kesepian ada kehidupan

Di dalam lorong ada kesunyian

Di dalam kesunyian ada kematian

Mau tak mau Ketua Barisan Manusia Pocong merasa tercekat juga mendengar nyanyian itu.
Apa lagi orang yang menyanyi tutup nyanyiannya dengan tawa panjang. (Dalam Episode
pertama berjudul “113 Lorong Kematian” diceritakan bahwa nyanyian itu sempat didengar oleh
Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten Demak ketika dia dijebloskan ke dalam kamar
penyekapan. Hanya saja suara nyanyian itu terdengar terputus-putus karena si penyanyi dan Aji
Warangan terpisah jauh)

“Apa yang salah?” pikir Sang Ketua. “Mungkin dia belum meneguk Minuman Selamat Datang
yang disediakan di dalam kamar? Minuman pelupa diri pelupa ingatan? Atau dirinya kebal
terhadap racun. Padahal khusus untuk dirinya racun yang disuguhkan tiga kali lebih kuat dari
yang diberikan pada orang lain. Mungkin ada satu kekuatan melindungi dirinya? Pedang Naga
Suci 212? Tapi aku sudah menggeledah tubuhnya. Pedang sakti mandraguna itu tak ada
padanya. Aku harus menguji. Kalau dia tidak berada dalam kekuasaanku, urusan bisa kacau.
Nyanyian tadi, dia tidak boleh mengulangi lagi. Dia menyanyi dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Kalau suara nyanyiannya sampai di luar kawasan bukit batu, ada orang mendengar.
Urusan bisa jadi kacau.”

Yang Mulia Ketua kembali memperhatikan ke arah atas bangunan panggung putih. “Yang Mulia
Sri Paduka Ratu! Ingat! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Aku minta
Sri Paduka Ratu segera keluar dari dalam Rumah Tanpa Dosa, menemuiku di sini!”

Tak ada jawaban.

Yang Mulia Ketua mulai jengkel.


Dia berteriak sekali lagi. Masih sunyi.

“Setan alas!” Sang Ketua merutuk. “Ada yang tidak beres!” Rasa jengkelnya kini disertai aliran
hawa kemarahan. Perlahan-lahan dia angkat tangan kanannya. Tangan itu tampak bergetar
pertanda ada tenaga dalam berkekuatan tinggi tengah disalurkan. “Aku akan menghitung
sampai lima! Jika dia tidak muncul sampai hitungan terakhir akan kuhancurkan bangunan ini!”

Baru saja Sang Ketua selesai berucap dalam hati seperti itu tibatiba tanah yang diinjaknya
bergetar dan seperti tadi satu gelombang angin menderu menghantam ke arah tangan kanan.
Manusia pocong ini keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjajar ke belakang sampai tiga langkah.
Tangan kanan terasa sangat panas seperti dpendam dalam bara api. Sadar kalau lagi-lagi dia
berhadapan dengan kekuatan dahsyat tidak kelihatan yang menguasai Rumah Tanpa Dosa,
cepat-cepat dia turunkan tangan yang tadi siap melepas satu pukulan sakti.

Hanya sesaat kemudian pintu di bagian atas Rumah Tanpa Dosa terbuka. Di lain kejap satu
bayangan putih meluncur turun. Bau sangat wangi menebar. Di hadapan Yang Mulia Ketua
berdiri tegak serba putih seorang manusia pocong. Di sebelah atas sosok ini mengenakan
sehelai kain putih tebal penutup kepala dengan dua lobang di bagian mata. Diatas penutup
kepala yang berbentuk pocong itu menempel sebuah mahkota kecil berwarna hijau berkilat. Di
bawah ujung penutup kepala sebelah belakang, menjulai rambut hitam sepinggang.

Kalau di sebelah atas bagian kepala tertutup kain putih tidak tembus pandang maka di sebelah
bawah manusia pocong ini mengenakan jubah putih terbuat dari bahan yang begitu tipis
menerawang. Sehingga walau samar terlihat satu sosok tubuh perempuan yang sangat elok,
namun memiliki gerak-gerik yang serba kaku. Dia berdiri dengan kepala ditegakkan dan dua
mata memandang lurus ke depan. Inilah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

Dalam kagumnya melihat pesona kebagusan tubuh Sang Ratu. Yang Mulia Ketua masih merasa
sedikit bimbang. “Dia telah mengenakan perangkat pakaian keratuannya. Pasti juga telah
meneguk Minuman Selamat Datang. Tapi apakah ingatannya benar-benar telah terkikis dan
berubah? Perlu segera aku selidiki dulu.”

“Yang Mulia Ketua, aku telah ada di hadapanmu. Harap katakan apa keperluanmu.” Sri Paduka
Ratu keluarkan ucapan.

Sesaat Yang Mulia Ketua menatap tak ber-kesip. Seperti tadi ada sekelumit perasaan bimbang
dalam hatinya. Untuk mengatasi hal ini maka dia ingin lebih dulu menguji.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, ada satu tugas yang harus kau lakukan. Namun sebelum tugas
kuterangkan, harap Yang Mulia mengucapkan Salam Perjanjian.”

Sang Ratu dongakkan kepala lalu berucap lantang. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,” ucap Yang Mulia Ketua. Namun dia masih belum puas dan lanjutkan ujiannya. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, harap kau mau mengatakan siapa dirimu dan bagaimana kau bisa
berada di tempat ini. Lalu apa yang kau ketahui mengenai tempat ini.”

“Siapa diriku itulah yang aku tidak ketahui. Bagaimana aku sampai di sini merupakan sesuatu di
luar ingatanku. Aku hanya tahu bahwa diriku diam di satu bangunan putih disebut Rumah
Tanpa Dosa. Lain dari itu mengenai keadaan di tempat ini aku tidak tahu apa-apa.”

Yang Mulia Ketua benar-benar puas. Maka diapun berkata. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu, kau
telah mengarang sebuah tembang. Bait liriknya amat bagus. Suaramu merdu sekali ketika
menyanyikan. Namun jangan kau melupakan aturan di tempat ini. Segala sesuatu berada di
bawah pengawasanku. Berarti setiap tindak perbuatan harus seizinku. Aku tidak
memperkenankan dirimu untuk menyanyikan tembang itu, apalagi dengan suara keras disertai
pengerahan tenaga dalam. Apa jawabmu?”

Dua mata di balik kain penutup kepala memandang ke arah Sang Ketua. Ada larikan sinar aneh
keluar dari sepasang mata itu, yang membuat

Sang Ketua merasa bergetar. Maka dia segera membentak.

“Apa jawabmu?!”

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!”

“Bagus,” ucap Sang Ketua dengan perasaan lega. “Sekarang ikuti aku. Ada satu tugas yang harus
kau lakukan.” Sang Ketua balikkan badan, melangkah keluar dari lembah. Sang Ratu mengikuti
dengan gerakan aneh. Kepala menghadap lurus ke depan, dua tangan dan kaki bergerak kaku
seolah tidak punya persendian tapi dia bisa bergerak cepat di belakang orang yang diikutinya. Di
satu tempat, begitu keluar dari dalam lembah, Yang Mulia Ketua berpaling dan berkata. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, kita harus bergerak cepat. Ikuti aku!” Sekali berucap dan sekali
berkelebat Sang Ketua telah melesat jauh, berkelebat melewati bangunan rumah tua berijuk
hitam. Dia tidak mendengar suara deru orang berlari di sebelah belakang. Tapi ketika dia
menoleh Sang Ketua jadi leletkan lidah. Yang Mulia Sri Paduka Ratu ternyata hanya berada
setengah langkah di belakangnya. Tubuhnya berlari laksana meluncur, seolah tidak menginjak
tanah! Kembali Sang Ketua ingin menguji. Dia lipat gandakan daya kecepatan larinya. Berpaling
ke belakang dia dapatkan Sang Ratu masih tetap terpaut hanya setengah langkah! Berarti kalau
mau, gadis yang hidup dengan nyawa kedua ini bisa lari lebih cepat dan melewatinya dengan
mudah!

Kapak Maut Naga Geni 2126

DI DALAM lorong 22 pada anak lorong ke 3 Dewa Tuak tidak tahu entah berapa lama dia
tertidur di lantai lorong. Dia terbangun dari lelapnya ketika ada bau wangi masuk ke dalam jalan
pernafasannya. Masih mata terpejam dia berkata dalam hati. “Ini bukan bau harum tuakku. Ada
satu bau lain masuk ke dalam penciumanku.” Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Begitu
melihat ada tiga sosok putih berdiri di ujung lorong, sejarak lima langkah dari tempatnya
berada, kakek ini segera bangkit berdiri. Mata dikucak lalu si kakek memperhatikan. Manusia
pocong yang tegak di samping kiri, dari lengan jubah kanannyS yang basah bekas semburan
tuak segera dikenalinya sebagai manusia pocong yang sebelumnya telah berkelahi dengan dia
lalu kabur melarikan diri.

“Aha, kau tadi kabur.” Dewa Tuak keluarkan ucapan seraya tudingkan ibu jari tangan kanan ke
arah Wakil Ketua. “Aku sudah menduga. Kau pasti kembali membawa teman. Ternyata dua
manusia pocong sekaligus. Satu laki-laki tinggi besar. Satu lagi perempuan berpakaian seronok.
Kepala ditutup malah pakai mahkota segala, tapi lucunya aurat sebelah bawah diobral ke mana-
mana! Tidak sangka, di lorong celaka begini rupa ada juga pemandangan bagus! Ha… ha… ha!”

Dewa Tuak letakkan bumbung tuak di atas bahu kiri. Memandang pada pocong bermahkota di
depannya lalu sambung ucapannya tadi.

“Pocong perempuan, baiknya kau berganti pakaian. Tukar pakaian putih tipis itu dengan
pakaian yang lebih baik. Salah-salah nanti kau bisa masuk angin dan perutmu jadi bunting. Eh,
maksudku perutmu nanti jadi melendung masuk angin! Ha… ha… ha!”

“Tua bangka sinting! Kau tidak tahu siapa kedua orang ini!” Tibatiba Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong menghardik lantang hingga suaranya menggetarkan lorong batu di mana
orang-orang itu berada.

“Mana aku tahu. Bertemupun baru sekali ini! Tapi biar aku menduga. Mungkin ini Raja dan Ratu
Makhluk Pocong penghuni Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?” ujar Dewa Tuak. “Kalau aku
salah harap kau betulkan!”

“Tua bangka sinting, dengar baik-baik. Kau berhadapan dengan Yang Mulia Ketua Barisan
Manusia Pocong dan Yang Mulia Sri Paduka Ratu!”

“Kalau begitu dugaanku hanya meleset sedikit. Tadinya aku kira manusia pocong yang tinggi
besar ini Rajamu. Tapi bukan. Kalau memang Raja pasti dandanannya seronok seperti Ratumu
ini. Mungkin cuma pakai kain penutup kepala tapi di sebelah bawah telanjang bulat. Seperti
manusia pocong yang minta mati di rimba belantara sana!”

Amarah Sang Wakil Ketua jadi meledak. Apa lagi sebelumnya si kakek telah sempat
menghajarnya. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Dewa Tuak. Tangan kiri
digerakkan. Di dalam lengan jubah terdengar suara sesuatu bergeser.

“Wakil Ketua, tunggu!” Tiba-tiba Yang Mulia Ketua berseru sambil angkat tangan kiri. Sejak tadi
dia tegak berdiam diri karena memperhatikan si kakek dengan seksama. Berdasarkan
keterangan Wakil Ketua ditambah dengan ciri-ciri yang kini disaksikannya sendiri dugaannya
tidak meleset. Kakek ini memang salah seorang dedengkot rimba persilatan yang dikenal
dengan julukan Dewa Tuak. Diam-diam hatinya merasa gembira. Mendapatkan dan menguasai
tokoh silat sehebat yang satu ini bukan hal mudah.

Mendengar seruan serta gerak isyarat tangan Sang Ketua, dengan geram Wakil Ketua turunkan
tangan, mundur selangkah. Yang Mulia Ketua bergerak ke samping Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
lalu ajukan pertanyaan, sekaligus menguji daya ingat dan daya pikir Sang Ratu.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apa kau pernah melihat, atau pernah kenal dengan tua bangka
itu?”

Sepasang mata di balik kain putih penutup kepala memandang tak berkesip ke arah Dewa Tuak.
Lalu terdengar suara jawaban.

“Seekor sapi tua berjanggut putih, aku tak pernah melihat. Siapa sudi mengenal dirinya.”

“Daya ingat dan daya pikirnya sudah musnah,” ucap Yang Mulia Ketua, gembira dalam hati.

Di depan tiga orang manusia pocong. Dewa Tuak keluarkan tawa mengekeh. “Kau tak kenal
diriku tak jadi apa. Kau bilang aku seekor sapi tua berjanggut putih mungkin ada benarnya. Tapi
bagaimana aku mengenali dirimu kalau wajah disembunyikan di balik kain penutup kepala?”

“Kalau ingin melihat wajahku mengapa tidak melepas sendiri kain pocong penutup kepalaku?!”
Yang Mulia Sang Ratu balas menjawab. Membuat Yang Mulia Ketua jadi terkejut. Kawatir si
kakek yang berilmu tinggi menyergap dan benar-benar lakukan apa yang ditantang Sang Ratu
maka dia cepat maju satu langkah seraya berkata.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lekas lumpuhkan sapi janggut putih itu. Jangan dibunuh!”

“Aku hanya seekor sapi tua berjanggut putih, masakan ada yang tega mau mencelakai!” ucap
Dewa Tuak. Bumbung bambu di bahu kiri digeser ke dekat mulut. Lalu gluk… gluk… gluk, dia
tegak tuak kayangan tiga kali berturut-turut.

“Sri Paduka Ratu, hati-hati. Tuak dalam mulutnya jika disemburkan bisa jadi senjata
mematikan,” memberi tahu Wakil Ketua.

“Yang Mulia, lekas lumpuhkan bangsat tua itu!” Sang Ketua mengulangi perintah.

Wajah dibalik kain penutup kepala menyeringai.

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!”
“Eh, aku pernah mendengar Wakil Ketua ucapkan kata-kata seperti itu. Edan, manusia-manusia
apa mereka ini sebenarnya?” membatin Dewa Tuak.

Tiba-tiba Sang Ratu maju dua langkah. Dewa Tuak memperhatikan Kakek ini merasa heran. Dia
melihat gerakan kaku seperti patung kayu berjalan. Didahului satu lengkingan keras tiba-tiba
Sang Ratu hantamkan tangan kanannya ke depan. Lagi-lagi terlihat bagaimana gerakan tangan
itu begitu kaku. Dewa Tuak mula-mula menganggap enteng serangan orang. Dia dorongkan
bumbung bambu ke depan. Tapi kaget orang tua ini bukan alang kepalang ketika dia merasakan
satu gelombang angin laksana batu raksasa berguling dahsyat. Dia cepat mundur dan tarik
bumbung bambunya. Tapi terlambat. “Braakkk!”

Bumbung bambu di tangan Dewa Tuak hancur. Tuak harum muncrat ke mana-mana. Walau
kaget setengah mati tapi kakek ini tidak kehilangan kewaspadaan. Mulutnya dibuka dan
byuuur! Tuak di dalam mulut menyembur ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

“Yang Mulia, awas!” Memperingatkan Wakil Ketua yang sudah merasakan keganasan semburan
tuak si kakek.

Tapi Sang Ratu tidak menggeser kedua kakinya. Sosoknya tetap berdiri kaku. Hanya satu jengkal
semburan tuak akan mendarat di muka, dada dan perutnya tiba-tiba Sang Ratu goyangkan
kepala.

“Wuuttt!”

Rambut panjang Sang Ratu berubah laksana sebuah tameng hitam, bukan saja menangkis
semburan tuak, malah sekaligus menghantamkannya kembali ke arah si kakek. Karuan saja
Dewa Tuak terkejut besar. Sambil berseru keras dia cepat melompat mundur. Ketika si kakek
melompat mundur dua langkah, Sang Ratu membarangi dengan gerakan kaku. Tubuhnya
seperti melayang lalu wuuut! Kembali rambut hitamnya berkelebat di udara. Dan des… des…
des!

Terdengar tiga kali suara amblasnya urat besar di tiga bagian tubuh Dewa Tuak ketika ujung
rambut yang seolah berubah menjadi benda keras membuat tiga kali totokan. Orang tua ini
masih sempat keluarkan jeritan keras lalu tubuhnya roboh ke lantai lorong. Mulut ternganga,
mata mendelik. Sekujur tubuh kaku mulai dari kepala sampai ujung jari kaki.

“Luar biasa!” memuji Sang Ketua. Baru kali ini dia melihat ilmu totokan seperti itu. Ujung
rambut yang lunak, bisa berubah seperti benda keras.

Wakil Ketua leletkan lidah, keluarkan suara berdecak. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kau hebat
sekali!”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!” Sang Ratu keluarkan ucapan. Lalu balikkan tubuh. “Tugas sudah
kujalankan. Saatnya aku kembali ke Rumah Tanpa dosa.”

Yang Mulia Ketua membungkuk hormat lalu berkata. “Ikuti saya Yang Mulia Sri Paduka Ratu,”
katanya. Sebelum tinggalkan tempat itu dia memberi perintah pada Wakil Ketua. “Panggil tua
bangka itu. Masukkan ke dalam Ruang Peristirahatan. Suguhkan Minuman Selamat Datang.
Sediakan Pakaian Persalinan.”

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan,” jawab Wakil Ketua. Lalu dengan
cepat tubuh kaku Dewa Tuak dipanggulnya di bahu kiri.

Yang disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu berbentuk segi tiga berpintu
besi. Setiap orang yang hendak dijadikan anggota Barisan Manusia Pocong selalu dimasukkan
ke ruangan ini. Di atas pintu besi ada sebuah lobang kecil, cukup besar untuk mengintai ke
dalam. Di sebelah kanan terdapat tempat tidur batu beralaskan tikar jerami. Lalu ada
seperangkat meja dan kursi yang juga terbuat dari batu. Ke dalam ruangan inilah Dewa Tuak
dimasukkan, dibaringkan di atas tempat tidur batu.

Tak selang berapa lama masuklah seorang perempuan muda yang dari bentuk perutnya jelas
dia dalam keadaan hamil. Perempuan ini membawa sebuah keranjang berisi sebuah teko
terbuat dari tanah. Di samping teko ada seperangkat jubah dan kain penutup kepala putih.
Dewa Tuak yang terbaring menelentang tak bisa bergerak tak bisa bicara ikuti gerak gerik
perempuan hamil itu dengan putaran sepasang mata.

“Semua orang di tempat celaka ini mengenakan pakaian seperti pocong. Mengapa perempuan
bunting ini berpakaian biasa-biasa saja. Apa yang dibawanya dalam keranjang…”

“Perempuan hamil letakkan keranjang di atas meja batu lalu berpaling ke arah Dewa Tuak dan
keluarkan ucapan.

“Orang tua, saya akan menyuguhkan Minuman Selamat Datang untukmu. Untuk itu saya akan
membantu. Setelah beberapa lama kau akan tertidur. Berarti kau bisa beristirahat. Bila kau
terbangun, jalan suaramu akan terbuka dengan sendirinya. Saya meninggalkan sehelai jubah
dan kain putih penutup kepala. Bila totokan di tubuhmu mulai punah dan kau mulai bisa
menggerakkan tangan serta kaki, kenakan jubah dan kain penutup kepala itu. Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai.” Dewa Tuak memaki panjang pendek dalam hati. Saat itu dia seperti merasa ada tuak
dalam mulutnya. Dia berusaha menyembur. Tapi jangankan menyembur, membuka mulut saja
dia tidak mampu. Apa lagi saat itu memang tidak ada tuak dalam mulutnya.

Perempuan hamil keluarkan teko tanah dari dalam keranjang dengan tangan kanan. Lalu dia
mendekat ke ranjang batu. Dengan tangan kirinya dia memencet pipi Dewa Tuak hingga mulut
si kakek terbuka sedikit. Perlahan-lahan dia lalu kucurkan cairan bening yang ada di dalam teko
ke mulut orang tua itu. Begitu cairan masuk ke dalam mulut Dewa Tuak berusaha untuk
menyemburkan. Tapi bibirnya tidak bergetar, lidah tidak bergeming. Sedikit demi sedikit cairan
dalam teko masuk ke dalam mulut, turun ke tenggorokan dan sampai di perut.

“Perempuan bunting celaka!” rutuk Dewa Tuak yang hanya menggema dalam hati. “Apa yang
kau lakukan terhadap diriku! Kau meracuni aku?! Kalau aku bisa keluar hidup-hidup dari tempat
celaka ini akan kepencet perutmu sampai bayimu merojol keluar!”

Air bening di dalam teko habis. Sesaat kemudian Dewa Tuak merasa tubuhnya sangat letih.
Matanya yang sejak kena ditotok nyalang tak berkesip secara aneh perlahan-lahan menutup.

Perempuan hamil tersenyum. Sambil melangkah ke luar kamar dia berkata. “Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai.

***

Kapak Maut Naga Geni 2127

DI TANGGA pendapa Gedung Kepatihan di Kotaraja empat orang gadis cantik duduk saling
berdiam diri. Sebentar-sebentar mata mereka diarahkan ke pintu gerbang. Setiap terdengar
derap kaki kuda mereka berpaling. Namun orang yang mereka tunggu tidak kunjung datang.

Gadis pertama cantik jelita berpakaian biru, bertubuh tinggi semampai dan berambut pirang,
duduk sambil sandarkan punggung ke tiang besar pendapa. Dia adalah Bidadari Angin Timur, si
cantik rimba persilatan yang dikagumi bukan saja kecantikan dan kebagusan potongan
tubuhnya, tapi juga ketinggian ilmu silat serta kesaktiannya. Kalau tersenyum di pipi kiri
kanannya muncul lesung pipit menambah kecantikannya.

Gadis kedua bersimpuh dekat sebuah arca. Pakaiannya ketat hingga bentuk tubuhnya yang
padat dan bagus tampak jelas mempesona. Rambut hitam panjang digelung di atas kepala.
Sepasang mata dipejamkan. Dia duduk tidak bergerak. Dua tangan diletakkan di pangkuan.
Sikapnya seperti tengah bersamadi. Tapi sebenarnya saat itu dia tengah menerapkan satu ilmu
yang disebut Menembus Pandang. Dia mencoba memantau keberadaan orang yang ditunggu.
Namun dia tidak melihat apa-apa dalam rona alur pandangan gaibnya. Berarti orang yang
ditunggu masih berada di tempat jauh, di luar jangkauan kekuatan ilmu. Atau mungkin juga
memang tidak tengah menuju ke tempat dia berada. Ketika perlahan-lahan mata yang terpejam
dibukakan, terlihatlah sepasang bola mata berwarna biru, indah menawan. Si cantik satu ini
bukan lain adalah Ratu Duyung. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal sebagai salah satu
orang yang dipercayakan ikut mengawasi dan menguasai kawasan laut selatan.

Gadis ke tiga tak kalah cantiknya dengan Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Seperti Ratu
Duyung dan Bidadari Angin Timur, dia juga memiliki wajah cantik, berkulit putih mulus. Seperti
Bidadari Angin Timur gadis satu ini juga mempunyai lesung pipit di kedua pipinya. Gadis ini
mengenakan pakaian ringkas warna ungu agar longgar hingga menyembunyikan raut tubuhnya
yang padat sintal. Di pinggangnya melilit sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Secarik
pita ungu menghias rambutnya. Saat itu dia duduk di tangga gedung Kepatihan sambil
memegang dan mempermainkan ujung seledang ungu di mana terdapat guratan angka 212.
Angka ini digurat sendiri oleh Pendekar 212 Wiro Sableng pada kisah pertemuan mereka
pertama kali. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran”) Dalam
petualangannya di rimba persilatan gadis ini pernah menyamar dan dijuluki “Dewi Kerudung
Biru” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Keris Tumbal Wilayuda”) Anggini, itulah nama si gadis
dan dia bukan lain adalah murid Dewa Tuak.

Gadis keempat berpakaian serba kuning. Mulai dari baju dan celana, ikat pinggang sampai pada
ikat kepala. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang. Agak kesal dia berdiri dari duduknya
lalu melangkah mundar mandir dan sesekali memandang kelangit di mana bulan hari kedua
kelihatan muncul samar-samar di balik saputan awan tipis. Sang dara yang satu ini adalah Sutri
Kaliangan, putri Patih Kerajaan Selo Kaliangan. (Mengenai kisah pertemuan dan persahabatan
Putri Patih Kerajaan ini dengan tiga gadis dan Pendekar 212 Wiro Sableng harap baca serial
Wiro Sableng berjudul “Badik Sumpah Darah” terdiri dari 7 Episode) Di samping Bidadari Angin
Timur, Sutri Kaliangan hentikan langkah menatap ke arah bulan tipis di langit, memandang pada
gadis berambut pirang di sebelahnya lalu berucap.

“Sesuai perjanjian Pendekar 212 Wiro Sableng akan datang ke sini. Seharusnya dia muncul
malam kemarin. Tapi sampai saat ini dia belum muncul. Apakah dia lupa…”

“Biasanya Wiro selalu tepat janji. Kemungkinan lupa tidak masuk akal.” Menjawab Bidadari
Angin Timur. “Dia dan juga kita punya banyak pekerjaan yang belum selesai. Mencari Pedang
Naga Suci Dua Satu Dua, mencari Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan…”

“Mungkin ada sesuatu halangan yang membuat dia tidak dapat memenuhi perjanjian. Tidak
bisa datang ke sini.” Kata Anggini pula.

Ratu Duyung ikut bicara. “Tadi aku coba menjajaki dengan Ilmu Menembus Pandang. Tapi aku
tidak bisa melihat apa-apa. bayangan tipispun tidak nampak. Berarti Wiro belum berada di
sekitar Kotaraja. Masih sangat jauh di tempat lain. Dan kita tidak tahu di mana adanya tempat
lain itu.”

“Ratu Duyung,” kata Sutri Kaliangan seraya mendekati gadis bermata biru itu dan duduk di
sampingnya. “Bukankah kau memiliki sebuah cermin sakti yang bukan saja bisa dipakai sebagai
senjata, tapi juga dapat dipergunakan untk melihat sesuatu yang masih gaib dalam pandangan
mata manusia?” Ratu Duyung anggukkan kepala. Anggini segera mendekati kedua orang itu.

Bidadari Angin Timur untuk sesaat masih tetap tidak beranjak dari duduknya. Dari tadi diam-
diam dia memperhatikan gerak-gerik dan setiap ucapan Sutri Kaliangan. Dalam hati gadis
berambut pirang ini membatin. “Dari tadi kuperhatikan, puteri Patih Kerajaan ini tampak pa ling
gelisah. Dia begitu mengharapkan kehadiran Wiro. Padahal tempat ini semata dipergunakan
untuk janji pertemuan antara aku, Anggini dan Ratu Duyung dengan Wiro. Dia hanya diminta
menyediakan tempat pertemuan ini. Sebenarnya bisa saja pertemuan dilakukan di tempat lain.
Jangan-jangan gadis satu ini telah menaruh hati pada Wiro…”

Ratu Duyung keluarkan cermin bulat dari balik pakaiannya. Perlahan-lahan Bidadari Angin
Timur berdiri dari duduknya, bergabung dengan tiga gadis itu. Sang Ratu pejamkan mata. Mulut
dikatup rapat. Tenaga dalam dialirkan pada tangan kanan yang memegang gagang cermin.
Sebenarnya Ratu Duyung bisa melihat segala sesuatu yang muncul di dalam cermin tanpa
memejamkan mata. Tapi inilah keanehannya. Dengan memejamkan mata justru
penglihatannya lebih terang dan daya jangkaunya lebih jauh. Tangan kanan yang memegang
gagang cermin mendadak bergetar. Kelopak mata Ratu Duyung bergerak-gerak. Mulutnya yang
sejak tadi terkancing, perlahan-lahan terbuka.

“Aku melihat telaga besar. Indah sekali pemandangannya. Ada gunung di kejauhan. Ah! Telaga
dan gunung menghilang. Ratu Duyung terdiam. Getaran tangannya semakin kencang. Cermin
bulat ikut bergetar. “Ada rimba belantara… ada lembah batu. Lembah berganti bukit batu.
Gelap… apa ini? Terowongan panjang, berliku-liku. Eh, ada bayangan-bayangan putih aneh
berkelebat. Lenyap lagi! Muncul rumah tua. Hilang! Berganti dengan rumah putih… rumah
panggung warna putih…”

Sampai di situ getaran tangan kanan Ratu Duyung semakin keras. Wajahnya tampak tegang.
Keringat mencicir di kening. Selain bergetar keras cermin sakti terasa tambah berat. Dia
gerakkan tangan kiri. Kini dia pegang gagang cermin dengan dua tangan. Tapi getaran
bertambah hebat. Ratu Duyung coba bertahan. Mata semakin rapat dipejamkan. “Rumah
panggung putih. Berputar! Semakin besar. Ada suara keras. Suara apa ini. Suara lonceng…
bukan. Suara genta aneh. Keras sekali… aku tak tahan, aku tak sanggup. Teman-teman. Tolong…
Telingaku bisa pecah! Kawan-kawan…”

Seperti didorong satu kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan tubuh Ratu Duyung terhuyung
keras ke belakang. Cermin bulat terlepas dari genggaman, mencelat mental ke udara. Anggini
cepat meloncat menyambar benda itu. Bidadari Angin Timur dan Sutri Kaliangan segera
bertindak menolong Ratu Duyung.

“Ratu kau tak apa-apa?” tanya Sutri Kaliangan.

Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan lalu mengusap keringat yang membasahi
wajah pucat Ratu Duyung.

Setelah menarik nafas panjang beberapa kali, dalam keadaan dada turun naik, Ratu Duyung
berkata. “Tidak pernah aku mengalami yang seperti ini.” Suaranya perlahan sekali, hampir tidak
kedengaran. Tenaganya seolah terkuras.

“Ratu, apa yang terjadi? Apa yang kau lihat?” tanya Sutri Kaliangan.
Ratu Duyung menarik nafas dalam-dalam, baru menjawab.

“Mula-mula aku melihat sebuah telaga besar dan gunung di kejauhan. Mendadak bayangan
telaga dan gunung lenyap. Kemudian ada lembah batu, lalu bukit batu. Muncul bayangan gelap.
Dalam gelap aku melihat lorong panjang, banyak sekali. Lalu ada kelebatan bayangbayang
putih.” Ratu Duyung diam sejenak baru menyambung. “Saat itu sebenarnya kepalaku terasa
pusing. Tubuhku berkeringat, detak jantung keras dan aku merasa letih sekali. Di kaca muncul
bayangan sebuah rumah tua. Rumah tua berganti dengan rumah putih berbentuk aneh…”

“Kami mendengar kau menyebut rumah panggung putih,” kata Sutri Kaliangan.

“Benar, rumah panggung putih. Rumah ini berputar aneh, mengeluarkan suara mengerikan dan
bertambah besar. Bergerak seperti mau menerjangku. Lalu ada suara luar biasa kerasnya. Suara
lonceng, bukan… bukan lonceng. Suara genta, hampir menyerupai suara gong. Aku tidak tahan.
Kupingku seperti terbongkar. Kepalaku laksana mau pecah. Gagang cermin yang aku pegang
terasa panas lalu terpental. Tubuhku letih sekali. Tulang-tulang serasa rontok. Masih untung
aku tidak pingsan atau cidera di dalam…” Ratu Duyung raba dadanya dengan tangan kiri lalu
seka keringat yang menggantung di dagunya. Ketika tangannya diletakkan di pangkuan,
terkejutlah gadis bermata biru ini. Telapak tangan kirinya kelihatan merah kehitaman. Dia
balikkan tangan kanan. Astaga! Tangan inipun kelihatan merah kehitaman!

“Ada kekuatan aneh menyerangku dari kejauhan…”

“Seberapa jauhnya?” tanya Anggini.

“Tidak dapat kupastikan. Paling tidak sehari perjalanan berkuda,” jawab Ratu Duyung.

Bidadari Angin Timur, Anggini dan Sutri Kaliangan jadi saling pandang. Kalau ada satu kekuatan
yang jaraknya satu hari perjalanan melakukan serangan dan mampu membuat cidera tangan
orang yang diserang, maka dapat dibayangkan kalau kekuatan yang menyerang itu berada di
hadapan sasaran. Niscaya Ratu Duyung bisa hancur lebur mulai dari kepala sampai ke kaki! Ratu
Duyung diam-diam juga merasakan apa yang saat itu terpikir oleh ketiga gadis sahabatnya.

“Sulit dipercaya,” kata Anggini.

“Tidak masuk akal,” menimpali Bidadari Angin Timur. Sementara Sutri Kaliangan berdiam diri
tapi sepasang matanya tak luput dari memandang Ratu Duyung terus-terusan. Seperti ada
sesuatu yang dipikirkan dalam benaknya. Hal ini diam-diam perhatikan sikap puteri Patih
Kerajaan ini.

“Ratu, ini cerminmu,” kata Anggini sambil menyerahkan cermin bulat yang tadi berhasil
disambarnya sewaktu mental dari pegangan Ratu Duyung.
“Ada satu kekuatan aneh luar biasa. Mungkin sekali bersumber dalam rumah panggung
berwarna putih itu,” Ratu Duyung sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain
disertai dengan mengalirkan hawa sakti. “Keanehan lain, aku sama sekali tidak melihat
bayangan Wiro.”

“Ratu,” kata Bidadari Angin Timur sambil memegang lengan Ratu Duyung. “Jika kau
memusatkan perhatian untuk melihat Wiro dalam cermin sakti, lalu yang muncul bayangan-
bayangan lain. Apakah ini mempunyai arti tertentu?”

“Hal seperti ini, sudah kukatakan tadi, belum pernah kejadian.” Jawab Ratu Duyung. Dia
perhatikan dua tangannya. Warna hitam pada dua telapak tangan telah berkurang banyak. Kini
hanya tinggal warna merah. Kembali gadis ini usapkan dua telapak tangan satu sama lain.
“Kalau saja aku boleh menduga antara apa yang aku lihat, rasanya kelak akan ada hubungannya
dengan Wiro. Bagaimana kaitannya tak bisa kumengerti.”

“Telaga, lembah, gunung, serta bukit batu yang kau lihat dalam cermin itu,” berucap Sutri
Kaliangan, “apakah kau bisa mengenali atau mungkin mengetahui di mana beradanya?
Mungkin juga bisa menduga telaga apa, gunung di mana.”

Ratu Duyung berpikir sejenak lalu menggeleng. “Aku hanya bisa mengukur jarak. Itupun hanya
satu dugaan. Semua yang aku lihat itu berada sekitar satu hari perjalanan berkuda dari sini.”

Diam-diam Bidadari Angin Timur punya prasangka sendiri dalam hatinya. “Mungkin saja dia
tahu semua tempat yang dilihatnya dalam cermin sakti. Tapi tidak mau memberitahu. Dia
mengatakan hanya bisa mengukur jarak. Satu hari perjalanan naik kuda dari sini. Apa ceritanya
itu bisa dipercaya? Mungkin saja dia sengaja merahasiakan apa yang diketahuinya untuk tujuan
tertentu…”

“Ratu, kalau kau tahu jaraknya, mungkinkah kau juga bisa menduga arahnya?” tanya Sutri
Kaliangan. “Karena kalau kita tahu arah, dengan mudah kita bisa menemukan tempat itu.
sebera-papun jauhnya.”

“Seandainya kita bisa menemukan tempat itu, lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Ratu
Duyung.

“Aku punya dugaan Wiro akan muncul di sini!” Jawab Sutri Kaliangan sambil letakkan tangan di
atas gagang pedang.

Tiga gadis menatap ke arah Sutri Kaliangan.

“Aku tahu, kalian tidak percaya,” Sutri Kaliangan kembali berucap setelah memperhatikan cara
memandang tiga gadis cantik itu. “Tapi dengar dulu. Bukankah tadi Ratu Duyung mengatakan
ada keterkaitan antara Wiro dengan bayangan yang muncul dalam cermin? Hanya sayang, kita
tidak tahu di mana tempat-tempat itu beradanya.” Sutri Kaliangan berdiri, menatap ke langit
lalu melangkah mundar-mandir.

“Apalagi yang ada dalam benak gadis ini?” ucap Bidadari Angin Timur dalam hati sambil
memperhatikan gerak-gerik putri Patih Kerajaan itu. “Niatnya untuk bisa bertemu Wiro seolah
tidak bisa dicegah.”

Tiba-tiba Sutri Kaliangan hentikan langkah. Dia ingat sesuatu dan mendekati Ratu Duyung
kembali, berlutut di sampingnya.

“Ratu sahabatku. Waktu tadi kau memegang cermin sakti dan mulai melihat bayangan-
bayangan yang muncul di dalamnya, kau duduk di lantai pendapa. Ingat saat itu kau
menghadap ke arah mana?”

“Aku masih ingat. Ratu Duyung menghadap ke arah pintu gerbang sana,” yang menjawab
Anggini.

“Benar, aku memang menghadap ke jurusan pintu gerbang itu,” kata Ratu Duyung kemudian.

“Berarti di arah itulah tempat-tempat yang kau lihat dalam cermin sakti. Telaga, gunung, bukit
batu, lembah. Rumah panggung warna putih! Semua di arah itu. Arah pintu gerbang. Menurut
mata angin, arah pintu gerbang adalah arah ke timur, sedikit melenceng ke utara. Berarti
tepatnya arah antara timur dan timur laut. Kalau kita berkuda satu harian ke sana, semua
tempat itu pasti kita temui!” Sutri Kaliangan kembali berdiri. “Para sahabat, rasanya aku tidak
mau menunggu lebih lama. Kalau kita berangkat malam ini, besok paling lambat di sana sama
seperti ini, kita sudah sampai di tujuan. Siapa yang bersedia berangkat bersamaku sekarang
juga?”

Tidak ada yang menjawab.

Putri Patih Kerajaan itu tampak kecewa. Dia pandangi satu persatu wajah tiga gadis cantik di
hadapannya lalu berkata.

“Aku tidak ingin mengatakan. Takut kalian menganggap aku berlebihan atau punya niat buruk
mengharapkan kejadian tidak baik atas diri Wiro. Tapi terus-terang aku katakan pada kalian saat
ini, aku punya firasat Wiro akan muncul di tempat-tempat yang ada dalam cermin. Dan di situ
dia akan menghadapi bahaya besar!”

Di antara tiga gadis masih tidak ada yang bicara.

“Kalau kalian tidak mau berangkat bersamaku, kalian boleh tidur enak-enakan di Kepatihan ini.
Aku akan berangkat sendirian sekarang juga.”

“Aku ikut bersamamu,” kata Ratu Duyung seraya bangkit berdiri.


“Siapa lagi?” tanya Sutri Kaliangan sambil menatap pada Anggini dan Bidadari Angin Timur. Tapi
dua gadis ini tidak memberi tanggapan. “Baiklah Ratu, agaknya hanya kita berdua yang akan
berangkat malam ini. Aku akan menyuruh orang menyiapkan dua ekor kuda untuk kita. Dan jika
sahabatku Bidadari Angin Timur dan Anggini berubah pikiran, kalian boleh meminta masing-
masing seekor kuda pada penjaga.”

Tak lama setelah Ratu Duyung dan Sutri Kaliangan meninggalkan gedung. Kepatihan, Bidadari
Angin Timur memandang ke arah pintu gerbang. Tanpa palingkan kepala dia bertanya pada
Anggini.

“Sahabatku Anggini, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Tuan rumah sudah pergi. Rasanya kita tidak mungkin berada lebih lama di tempat ini.”

“Kau ingin mengikuti Ratu Duyung dan Sutri?”

Anggini berdiam cukup lama. Jawabannya kemudian justru berupa pertanyaan. “Bagaimana
dengan kau?”

“Sebenarnya tidak ada salahnya kita menyusul mereka. Kita sudah tahu arah yang mereka tuju.
Malah kita bisa minta kuda untuk tunggangan. Hanya sayang, saat ini aku tiba-tiba ingat pada
satu urusan lain yang harus aku lakukan. Jadi sahabatku Anggini, kita terpaksa berpisah
sementara di tempat ini.”

Tanpa menunggu jawaban Anggini, Bidadari Angin Timur berdiri dari duduknya dan sekali
berkelebat gadis ini telah lenyap di balik tembok timur gedung Kepatihan. Tapi tanpa setahu
Anggini, Bidadari Angin Timur kembali memasuki halaman dalam gedung Kepatihan dari
sebelah belakang, langsung menuju kandang kuda. Setelah memilih kuda yang besar dan tegap
gadis ini tinggalkan tempat itu melalui pintu belakang.

Untuk beberapa saat Anggini tertegun sendirian di pendapa gedung Kepatihan. Namun ada
suara hati kecilnya berkata. “Bidadari Angin Timur, kau tidak bisa menipuku. Waktu bicara tadi
kau tidak berani menatap mataku. Aku tahu kau berdusta. Aku tahu tidak ada urusan lain yang
harus kau lakukan. Dan aku tahu kau akan menyusul dua gadis itu. Kau lebih suka pergi
sendirian karena tidak senang berjalan seiring denganku. Apa yang kau cari Bidadari Angin
Timur? Tidak ingin aku berada disampingmu ketika kau berjumpa dengan Wiro?” Secercah
senyum menyeruak di bibir murid Dewa Tuak ini. “Aku sudah sejak lama ingin
mendapatkannya. Nyatanya tak pernah kesampaian. Hingga akhirnya aku dihinggapi rasa
kecewa yang berujung pada satu keiklasan. Aku menerima nasib tidak berjodoh dengan
pemuda itu. Namun bukan berarti ini satu peluang bagimu. Karena aku merasa ada seorang
gadis lain yang mungkin telah mendapat tempat di dalam hati Wiro.”
Merasa Bidadari Angin Timur sudah pergi jauh, Anggini menemui seorang penjaga dan minta
disediakan seekor kuda. Tak selang berapa lama gadis inipun tinggalkan gedung Kepatihan
melalui pintu depan.

***

Kapak Maut Naga Geni 2128

DALAM Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan nasib sial yang menimpa Setan
Ngompol. Kakek satu ini hampir kena digerebek pasukan Kadipaten Magetan dibawah pimpinan
Adipati Sidik Mangkurat selagi menginap di rumah seorang janda di pinggiran Kotaraja. Dia
dituduh sebagai manusia pocong yang telah membuat keonaran di Magetan, menculik,
membunuh. Hal itu terjadi gara-gara di rumah sang janda ditemukan seperangkat jubah dan
kain putih tutupan kepala berbentuk pocong. Setan Ngompol berhasil melarikan diri tapi dalam
pengejaran dia hampir kena dibekuk oleh Adipati Sidik Mangkurat. Untung saat itu muncul
Pendekar 212. Setan Ngompol dapat diselamatkan. Setelah puas saling bercerita panjang lebar
di sebuah pedataran rumput, Wiro memberitahu.

“Malam nanti aku janji bertemu dengan tiga gadis di Gedung Kepatihan. Bersama Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan mereka menunggu aku disana.”

Saat itu Setan Ngompol mengenakan jubah putih yang dibawa Adipati Magetan karena sewaktu
kabur dari rumah janda di Bantul dia hanya mengenakan selembar celana kolor butut.

“Tiga gadis cantik itu,” kata Setan Ngompol pula sambil melipat kain putih tutupan kepala lalu
menyelipkannya di balik pinggang jubah. “Ratu Duyung. Bidadari Angin Timur dan Anggini?”

Wiro anggukkan kepala.

“Lumayan lama aku tidak melihat mereka. Aku ikut bersamamu.”

“Memang ada baiknya kau ikut Kek,” kata Wiro. Kedua orang itu lalu naik ke punggung dua ekor
kuda yang mereka ambil dari orang-orang kadipaten Magelang.

“Betul, aku kangen sama mereka. Mereka pasti juga kangen sama bau pesingku! Ha… ha… ha!”

Belum lama meninggalkan pedataran rumput, Setan Ngompol menunjuk ke arah kejauhan. Di
arah timur kelihatan seorang penunggang kuda. Orang ini memacu kudanya cepat sekali dan
jelas mendatangi ke arah mereka. Wiro dan Setan Ngompol perlambat lari kuda masing-masing.
Tak lama kemudian penunggang kuda itu berhenti di hadapan Wiro dan Setan Ngompol. Debu
yang membumbung ke udara menutupi pandangan. Sesaat setelah debu turun Wiro dan Setan
Ngompol memperhatikan. Keduanya segera mengenali si penunggang kuda. Hampir
berbarangan sama-sama berseru.
“Loh Gatra!”

“Sahabatku Wiro, Kakek Setan Ngompol! Syukur kita bisa bertemu di sini. Aku dalam perjalanan
menuju Kotaraja…”

“Kami berdua juga dalam perjalanan ke Kotaraja,” menerangkan Setan Ngompol.

Wiro sendiri saat itu diam-diam perhatikan raut air muka lelaki muda bernama Loh Gatra. Di
balik wajah yang diselimuti debu Wiro melihat ada satu bayangan kecemasan. Wiro lalu
berkata. “Setelah peristiwa berdarah di bukit Watu Ireng tempo hari, kami hanya mendengar
kabar gembira bahwa kau melangsungkan pernikahan dengan Nyi Larasati. Tapi di mana kalian
berada dan menetap tidak kami ketahui. Apakah kalian berdua baik-baik saja?”

“Berita yang kalian dengar benar adanya. Aku menikah dengan Nyi Larasati…” Loh Gatra diam
sesaat dan tatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam hati dia tahu kalau Nyi Larasati yang
kini jadi istrinya pernah jatuh hati terhadap sang pendekar. “Setelah menikah,” Loh Gatra
lanjutkan keterangannya, “aku membawa Nyi Lara ke desa kelahiranku di Jatipuro, di selatan
Gunung Lawu. Kami menetap di situ. Aku punya beberapa bidang kebun dan sawah, juga
ternak. Udara di sana sejuk, keadaan aman tenteram. Namun suatu malam terjadi malapetaka
besar…” Loh Gatra buka destar di kepalanya, usap rambutnya beberapa kali lalu menggigit bibir
gelengkan kepala. (Siapa adanya Loh Gatra dan bagaimana kisahnya dapat pembaca ikuti dalam
serial Wiro Sableng berjudul Badik Sumpah Darah terdiri dari 7 Episode)

“Sahabatku Loh Gatra, katakan apa yang terjadi,” ucap Wiro.

“Nyi Lara, istriku diculik makhluk aneh. Kejadiannya dua hari lalu. Waktu itu menjelang pagi.
Aku terbangun ketika mendengar suara jeritan perempuan. Nyi Lara tak ada lagi di sampingku.
Aku menghambur keluar dan masih sempat melihat seorang berpakaian aneh menunggang
kuda memboyong istriku. Aku berusaha mengejar tapi penculik jahanam itu berhasil
menghilang dengan cepat…”

Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkejut mendengar keterangan Loh Gatra itu.

“Loh Gatra, katamu tadi orang yang menculik Nyi Lara berpakaian aneh. Aneh bagaimana?”
tanya Wiro.

“Dia mengenakan jubah putih. Kepala ditutup dengan kain putih, di sebelah atas diikat seperti
pocong…”

“Manusia pocong…” ucap Setan Ngompol sambil buru-buru pegang perut di bawah pusar.

Loh Gatra berpaling pada si kakek. Untuk pertama kalinya dia menyadari pakaian jubah putih
yang dikenakan Setan Ngompol. Yakni jubah putih yang dilemparkan Adipati Magetan dan
kemudian diambil si kakek. Cara memandang Loh Gatra membuat Setan Ngompol merasa tidak
enak. Wiro juga merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Tiba-tiba Loh Gatra keluarkan teriakan keras seraya menunding ke arah Setan Ngompol.

“Kau!”

Setan Ngompol tersentak kaget sampai kucurkan air kencing. Wiro sendiri ikut terkesiap.

Begitu membentak Loh Gatra melesat dari punggung kudanya. Laksana terbang dia melayang
ke arah Setan Ngompol sambil hantamkan satu jotosan kilat ke arah kepala si kakek.

“Hai!” Setan Ngompol berteriak. “Serrr!”

Sambil pancarkan air kencing kakek ini cepat rundukkan tubuh sama rata dengan punggung
kuda laiu jatuhkan diri ke tanah. Baru dua kaki menginjak tanah tahu-tahu Loh Gatra sudah
kembali menyerbunya.

“Loh Gatra! Apa-apaan ini?!Mengapa kau menyerangku!” Teriak Setan Ngompol seraya
membuat gerakan berkelit dan menangkis.

“Bukk! Bukkk!”

Dalam satu gebrakan hebat sepasang lengan Setan Ngompol yang dipakai menangkis saling
beradu dengan tangan Loh Gatra. Si kakek pancarkan air kencing keluarkan keluhan pendek.
Tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Sebaliknya Loh Gatra walau memiliki kecepatan
bergerak dan menyerang namun tingkat tenaga dalamnya masih di bawah si kakek. Karuan saja
walau berhasil memukul lawan lelaki muda ini terpental sampai setengah tombak. Dua
tangannya bergetar sakit. Rasa sakit membuat Loh Gatra jadi kalap. Dia kembali menyerbu.
Namun saat itu Wiro sudah melompat turun dari kudanya dan tegak di hadapan Loh Gatra,
menghalangi orang lain untuk lancarkan serangan berikutnya.

“Tua bangka jahanam! Kau harus mati! Harus mati! Kau yang menculik istriku!”

“Gila!” teriak Setan Ngompol sambil tekap jubah putihnya di bagian bawah perut yang kuyup
oleh air kencing. “Enak saja tanpa juntrungan kau menuduhku!”

“Sahabat Loh Gatra, tenang. Sabarkan dirimu! Ada yang tidak beres.” Wiro berkata sambil
angkat dua tangan ke atas, berusaha menghalangi Loh Gatra yang kembali nekad hendak
menyerang Setan Ngompol.

“Wiro! Kalau kau melindungi jahanam penculik ini, aku bersumpah membunuh kalian berdua!”
Teriak Loh Gatra. Lalu tangannya bergerak ke pinggang.
“Srett!”

Selarik cahaya putih berkilauan di bawah teriknya sorotan sinar matahari. Sebilah keris terbuat
dari perak tergenggam di tangan Loh Gatra. Senjata ini tampak bergetar dan memancarkan
cahaya menyilaukan pertanda Loh Gatra menggenggam keris itu sambil kerahkan tenaga dalam
penuh. Pertanda bahwa dia tidak main-main dengan ancamannya. Wiro perhatikan keris di
tangan Loh Gatra. Dulu lelaki ini memiliki sebuah keris sakti mandraguna bernama Keris Tumbal
Bekisar. Setahunya senjata tersebut telah hancur dihantam Badik Sumpah Darah sewaktu Loh
Gatra berkelahi melawan Adipati Salatiga Jatilegowo. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
Meraga Sukma ) Berarti Loh Gatra telah membekal sebuah keris baru dan tingkat kehebatannya
pasti tidak kalah dengan Keris Tumbal Bekisar.

Dengan sikap hati-hati Wiro melangkah maju, mempersempit celah ruangan Loh Gatra untuk
menyerang Setan Ngompol.

“Loh Gatra, kita sudah sejak lama bersahabat. Jika ada sesuatu yang tidak beres mari kita
selesaikan dulu dengan berbicara. Aku yakin ada kesalah pahaman.”

Loh Gatra mendengus lalu berkata. “Wiro aku mengerti kalau kau membela tua bangka
jahanam ini. Kau lebih lama bersahabat dengan dia dibandingkan diriku! Tapi satu hal perlu kau
ketahui. Aku yakin dialah yang telah menculik Nyi Lara.”

“Mulut dangkal otak cetek!” teriak Setan Ngompol.” Istrimu di mana, aku di mana! Setan apa
yang menyusup ke dalam otakmu hingga menuduh aku menculik Nyi Lara!”

“Loh Gatra, kau menuduh tentu punya bukti. Tolong katakan apa alasan atau bukti yang kau
miliki hingga menuduh kakek tukang ngompol ini sebagai penculik istrimu.”

“Aku punya bukti! Aku merasa tidak perlu bicara banyak dengan kalian berdua! Minggir Wiro.
Atau aku terpaksa menghajarmu!”

Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. Tangan kiri diulurkan hendak memegang bahu Loh
Gatra. Tapi lelaki ini cepat kibaskan tangan kanannya yang memegang keris.

“Breeet!”

Ujung keris membabat robek lengan bahu putih Wiro sebelah kanan. Kalau Wiro tidak cepat
melompat mundur niscaya bukan cuma bajunya yang robek, daging lengannya juga akan kena
ditoreh.

Wiro pandangi bajunya yang robek, berpaling pada Loh Gatra, masih bisa senyum dan sambil
garuk-garuk kepala dia berkata.

“Loh Gatra, salah paham bisa merubah persahabatan jadi perseteruan. Mari kita bicara dulu.”
Loh Gatra gelengkan kepala. Pandangan matanya menyorot. Senyum dan gerakan menggaruk
kepala sang pendekar dianggapnya seperti meremehkan dirinya.

“Aku minta kau minggir Wiro! Menyingkir! Cepat!” Teriak Loh Gatra.

Ketika Wiro tidak juga beranjak dari hadapannya Loh Gatra tusukkan keris di tangan ke dada
murid Sinto Gendeng. Satu jengkal ujung keris akan sampai di permukaan dada, Wiro gerakkan
tangan kiri menepis serangan hingga lengan Loh Gatra terangkat ke atas. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya menyambar ke arah pergelangan. Loh Gatra merasa tangannya terpuntir
begitu rupa. Ketika Wiro lepaskan cekalan di pergelangannya, keris yang tadi di pegangnya
telah lenyap. Memandang ke bawah, senjata itu dilihatnya telah amblas masuk ke dalam tanah!
Dalam keadaan kalap, didahului teriakan keras Loh Gatra menerjang ke depan. Dua tangan
dihantamkan. Tapi tangan kiri Wiro menyusup lebih dulu. Telapaknya menyentuh pertengahan
dada lawan, sekali tangan itu didorongkan, Loh Gatra terpental satu tombak, jatuh terjengkang
di tanah. Untuk beberapa lamanya dia terduduk tak bergerak. Sorot mata dan dadanya yang
turun naik menyatakan amarah besar masih menguasai dirinya. Namun saat itu dia merasa
tubuhnya lemah sekali. Padahal tadi Wiro hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalam dan
lebih mengandalkan tenaga luar agar Loh Gatra tidak cidera. Hanya saja gerakan berupa
dorongan tangan yang tadi dilakukannya adalah jurus Dewa Topan Menggusur Gunung yang
didapat dari gurunya Tua Gila, dedengkot rimba persilatan pulau Andalas. Merupakan salah
satu jurus langka dengan bobot berkekuatan luar biasa.

Wiro dekati Loh Gatra, ulurkan tangan kanan. Agak ragu Loh Gatra ulurkan pula tangan
kanannya, Wiro kemudian membantu Loh Gatra berdiri. Tegak berhadap-hadapan Wiro melihat
sorotan mata penuh amarah Loh Gatra mulai meredup. Dia masih mengerling ke arah Setan
Ngompol tapi wajahnya tidak lagi membersitkan luapan amarah. Sesaat dia memandang ke
tanah tempat kerisnya dibuat amblas oleh Wiro. Lalu lelaki ini menarik nafas panjang.

“Aku dalam bingung dan marah besar. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku salah
bertindak…”

Wiro tersenyum. “Agar tidak ada yang salah mari kita bicara baikbaik.” Wiro memberi isyarat
agar Setan Ngompol mendekat. Agak takuttakut kakek ini melangkah sambil pegangi perut.
Setelah ketiganya saling berhadapan Wiro lantas berkata.

“Sahabatku! Loh Gatra, sekarang kita bisa bicara. Kau mulai duluan.”

Loh Gatra menarik nafas panjang sekali lagi baru membuka mulut.

“Seperti aku terangkan tadi, istriku diculik orang. Sebelum kabur menunggang kuda, aku masih
sempat melihat jelas si penculik. Dia berpakaian serba putih. Kepalanya ditutup kain putih yang
diikat seperti ikatan jenasah. Seperti pocong. Ketika aku perhatikan pakaian kakek ini, lalu aku
lihat pula carikan kain putih yang menjulur jubahnya, ada tali putih ikatan, tiba-tiba saja aku
menaruh curiga, buka cuma curiga, malah begitu yakin bahwa dialah manusia pocong yang
telah menculik Nyi Larasati, istriku. Itu sebabnya aku menjadi kalap…”

Pendekar 212 berpaling pada Setan Ngompol.

“Kek, sekarang giliranmu memberikan penuturan.”

Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap kuping kanannya yang terbalik.

“Sudah dua kali aku ketuduhan sebagai penculik. Loh Gatra, apakah istrimu Nyi Lara sedang
hamil?”

Loh Gatra terkejut mendengar pertanyaan Setan Ngompol itu.

“Kek, dari mana kau tahu?”

“Sebelumnya aku dituduh menculik perempuan hamil oleh orang-orang Kadipaten Magetan.
Gara-gara di rumah tempat aku menginap di Bantul, ditemukan seperangkat pakaian manusia
pocong.” Lalu kepada Loh Gatra Setan Ngompol ceritakan apa yang telah kejadian dengan
dirinya termasuk bagaimana dia mendapatkan jubah putih serta penutup kepala berbentuk
ikatan pocong.

Cukup lama Loh Gatra terdiam mendengar cerita si kakek. Lalu dengan suara perlahan dia
berkata. “Aku mengadakan perjalanan jauh sampai kesini justru karena mendapat penjelasan
dari seorang perajurit Kadipaten Magetan. Katanya Adipati dan serombongan pasukan tengah
melakukan pengejaran terhadap seorang manusia pocong yang terlihat berada sekitar Bantul.
Aku ikut mengejar ke sini. Sampai bertemu kalian dan terjadi semua kesalah pahaman ini. Kek,
kuharap kau mau memaaafkan kecerobohanku.”

Setan Ngompol tersenyum lebar lalu angguk-anggukkan kepala.

“Dari semua cerita yang aku dengar,” kata Wiro. “Agaknya memang ada manusia pocong yang
muncul di Bantul. Tujuannya menculik Rana Suwarte…”

“Sekaligus mau memfitnah dan mencelakai diriku,” ucap Setan Ngompol pula.

“Mungkin aku keliru mengejar jejak penculik. Ada beberapa orang menerangkan bahwa
kawasan di utara Telaga Sarangan diduga besar sebagai sarangnya komplotan manusia pocong
penculik perempuanperempuan hamil…”

“Aneh, mengapa ada orang mau menculik perempuan hamil. Padahal yang gadis saja kelelaran
di mana-mana. Cantik-cantik,” kata Wiro sambil garuk kepala.
“Pasti ada sesuatu dibalik semua kejahatan ini. Manusia-manusia pocong bukan cuma menculik,
tapi juga membunuh secara kejam siapa saja yang berani menghalangi atau mengejar mereka.
Salah seorang korban penculikan adalah Nyi Upit Suwarni, puteri tunggal Ki Mantep Jalawardu,
Kepala Desa Plaosan. Yang tewas jadi korban Ki Mantep sendiri, menantunya. Lalu
Surablandong, orang yang pernah jadi Ketua Perguruan Silat Lawu Putih. Aji Warangan, Kepala
pasukan kadipaten Magetan lenyap, tidak diketahui nasibnya, apa masih hidup atau juga sudah
tewas. Konon, ada beberapa orang rimba persilatan yang ikut lenyap. Kebanyakan korban
penculikan dan korban pembunuhan memang berasal dari kawasan sekitar Telaga Sarangan…”

“Berarti komplotan manusia pocong itu memang punya sarang di daerah itu,” kata Setan
Ngompol.

“Banyak orang menduga demikian, termasuk aku dan Adipati Magetan. Tapi, sebegitu jauh
diselidiki sarang komplotan manusia pocong itu tidak berhasil ditemui,” kata Loh Gatra pula.
“Wiro, Setan Ngompol, aku harus kembali ke Jati-puro. Istriku yang hamil enam bulan berada di
tangan manusia-manusia jahat itu. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Selain
itu dibalik semua kejahatan ini pasti ada satu hal dahsyat mengerikan. Mungkin aku tidak akan
dapat menghadapinya sendirian. Mungkin juga aku akan menemui ajal di tangan mereka
seperti para pengejar lainnya.” Loh Gatra naik ke punggung kudanya. Sebelum kuda dibedal
Wiro berkata.

“Tunggu, aku ikut bersamamu! Seperti yang kau duga, aku juga punya kecurigaan. Ada satu
perkara besar dibalik peristiwa penculikan perempuan-perempuan hamil itu. Mungkin mereka
dijadikan tumbal. Mungkin juga bayi-bayi mereka diperjual belikan. Mungkin kejadiannya lebih
mengerikan dari yang kita duga. Semua itu pasti akan membawa satu bencana besar bagi rimba
persilatan.”

“Wiro, apa kau lupa kalau punya janji bertemu dengan tiga gadis malam ini di Gedung Kepa-
tihan?” Setan Ngompol mengingatkan Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Aku tidak lupa. Aku minta bantuanmu mewakili
diriku menemui puteri Patih Kerajaan dan tiga gadis. Katakan aku tidak dapat memenuhi janji
karena ada urusan sangat penting bersama Loh Gatra. Kuharap kau menyusul ke Telaga
Sarangan. Kalau para gadis ingin ikut bersamamu silahkan saja…”

“Itu memang maumu,” ujar Setan Ngompol sambil senyumsenyum.

Tiga orang itu berpisah. Wiro dan Loh Gatra memacu kuda ke arah timur. Setan Ngompol ke
arah Kotaraja. Celakanya di tengah jalan pikiran kakek tukang ngompol ini bercabang. Dia ingat
pada janda gemuk putih di Bantul. Perjalanan ke Kotaraja melalui Bantul. Apa salahnya dia
mampir dulu di rumah sang janda. Paling tidak untuk memberitahu kalau dirinya dalam
keadaan selamat. Lalu dia harus mengambil pakaiannya yang tertinggal. Mengenakan jubah
putih panjang itu terasa risih bagi si kakek. Lagi pula kalau ngompolnya kumat, air kencing
langsung saja meluncur ke bawah, tidak mandek dulu di bawah perut.
“Kalau ngompol, enaknya memang pakai celana. Terasa hangathangat basahnya.

Hah… ha… ha.” Setan Ngompol tertawa sendiri.

Sampai di Bantul, dalam suka citanya bertemu lagi dengan sang janda, malam itu Setan
Ngompol tidak pergi ke Gedung Kepatihan. Dia baru pergi ke sana malam berikutnya. Itupun
setelah larut malam pada saat empat gadis telah meninggalkan gedung tersebut setelah
menunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul.

***

Kapak Maut Naga Geni 2129

KEDAI nasi besar berbentuk rumah panggung rendah itu terletak di persimpangan tiga jalan
menuju Magetan, Plaosan dan Sa-rangan. Pemiliknya seorang lelaki, duda separuh baya
bernama Danarejo. Namun nama ini sudah lama dilupakan orang. Para pelanggan kedai nasi
terkenal itu lebih suka memanggil sang pemilik dengan nama Ki Sedap Roso, sesuai dengan
nama kedai nasinya yang terpampang di satu papan besar di bawah atap depan bangunan.

Seperti biasanya setiap siang kedai itu selalu ramai dikunjungi orang yang datang dari mana-
mana atau kebetulan lewat untuk bersantap mengisi perut. Menjelang matahari condong ke
barat baru suasana di tempat itu menjadi sepi. Kalaupun ada pengunjung mereka bukan datang
untuk makan tapi sekedar minum teh atau kopi sambil mencicipi beragam penganan.

Di sudut kedai, seperti sengaja memencilkan diri dari para pengunjung lainnya, duduk seorang
gadis berwajah cantik, berkulit hitam manis. Pelayan telah sejak tadi menghidangkan teh manis
hangat. Macam-macam juadah terhidang di depannya. Namun si gadis masih belum meneguk
teh atau mencicipi kue-kue. Sebentar-sebentar dia memperhatikan orang-orang yang ada di
dalam kedai. Sesekali dia memandang ke arah pintu. Dan tak jarang pula perhatiannya
ditujukan pada Ki Sedap Roso yang tengah sibuk menghitung dan mengaturngatur uang di laci
mejanya.

Di sudut lain dari kedai, duduk seorang mengenakan caping. Walau kepala dan seluruh
wajahnya tak kelihatan karena tertutup caping, namun dari bentuk tubuh dan pakaiannya dia
jelas seorang perempuan.

Dua orang pengunjung meninggalkan kedai. Untuk pertama kalinya gadis berkulit hitam manis
menyentuh cangkir minuman dan meneguk teh manis hangat. Sesaat dia melirik pada orang
bercaping lalu gadis ini berdiri, melangkah ke tempat Ki Sedap Roso. Pemilik kedai angkat
kepala, tersenyum lebar melihat siapa yang berdiri di depannya. Dia tutup laci meja. Matanya
yang berpengalaman segera maklum kalau gadis cantik di hadapannya adalah seorang dari
rimba persilatan. Maka dengan ramah Ki Sedap Roso menegur.
“Gadis gagah, kau tentu datang dari jauh. Apa sudah puas meneguk minuman dan menyantap
juadah? Kenapa buru-buru pergi?”

“Ki Sedap Roso, saya butuh keterangan. Ada sesuatu hendak saya tanyakan pada Aki.”

“Hemm, hal apakah?”

“Kedai Aki begini besar, terkenal ke mana-mana. Pengunjung datang dari berbagai tempat.
Mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat Kerajaan dan juga orang-orang rimba persilatan.
Orang yang saya tanyakan mungkin pernah berkunjung ke sini. Ki Sedap Roso, mungkin Aki
kenal dan tahu di mana saya bisa menemui seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar 212?”

“Ah, perihal pendekar itu yang hendak ditanyakan tamuku. Gadis gagah. Kalau aku boleh lebih
dulu bertanya, siapakah kau adanya? Seingatku baru sekali ini kau mampir ke kedaiku.”

“Nama saya Wulan Srindi. Saya murid Perguruan Silat Lawu Putih.” Si gadis mengatakan siapa
dirinya secara terus-terang.

“Ah, sejak tadi aku sudah menduga kalau tamuku saat ini adalah orang gagah rimba persilatan.”
Ki Sedap Roso membungkuk menyatakan hormat

“Ki Sedap Roso. kau jawab saja pertanyaan saya tadi.”

“Aku mendengar kabar meninggalnya Ki Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih.
Aku turut berduka cita. Malah aku juga mendengar kabar dua hari lalu banyak anak murid
perguruan tewas di tangan makhluk aneh menyerupai pocong hidup.”

“Aki, kau belum menjawab pertanyaan saya.”

“Pendekar 212 Wiro Sableng.” Pemilik kedai nasi itu tarik nafas panjang lebih dulu baru
meneruskan ucapannya. “Nama besar itu dikenal di mana-mana. Aku juga sering mendengar.
Tapi bertemu dengan orangnya aku belum pernah. Kata orang mencarinya sama saja dengan
mencari hantu. Sulit sekali. Tapi secara tidak terduga sewaktuwaktu dia bisa muncul begitu saja.
Aku tidak tahu apa dia pernah mampir di kedaiku ini. Begitu banyak dan hebatnya cerita
mengenai dirinya hingga aku sendiri bingung. Jangan jangan semua itu hanya cerita atau
legenda yang disampaikan orang dari mulut ke mulut.”

“Aki, pendekar bernama Wiro Sableng itu bukan cuma cerita kosong. Bukan cuma legenda.
Orangnya benar-benar ada. Kalau tidak saya tidak akan mencarinya.”

“Gadis gagah, kalau aku tahu mengenai Pendekar 212, pasti aku ceritakan padamu. Tak ada
yang akan aku sembunyikan. Cuma kalau aku boleh memberi saran, untuk mencari seorang
tokoh rimba persilatan mengapa tidak minta bantuan orang dari rimba persilatan pula? Apa lagi
kau juga seorang dari dunia persilatan. Pasti tahu betul liku-liku rimba hijau persilatan.”

Wulan Srindi renungkan ucapan pemilik kedai itu. Memang ada benarnya. Tapi tidak mudah
mencari dan menemui orang-orang rimba persilatan. Apa lagi para tokohnya. Perlahan-lahan
gadis ini berpaling ke sudut kedai di mana duduk tamu perempuan bercaping lebar.

“Gadis yang kau pandangi itu,” kata Ki Sedap Roso dengan suara perlahan, “aku bisa menduga
dia adalah orang rimba persilatan. Mengapa tidak bertanya saja padanya?”

“Nasihatmu akan saya turuti,” kata Wulan Srindi pula. “Aki, tadi kau menyebut makhluk aneh
menyerupai pocong hidup. Apa yang kau ketahui tentang mereka?”

Pemilik kedai gelengkan kepala. “Tidak banyak yang aku ketahui. Katanya makhluk itu muncul
secara mendadak. Menculik perempuan hamil, membunuh siapa saja yang coba menghalangi
atau berani mengejar. Salah satu korbannya adalah puteri tunggal Kepala Desa Plaosan yang
kabarnya tengah hamil tujuh bulan. Suaminya dibunuh, Kepala Desa juga.”

“Hanya itu yang Aki ketahui?”

“Hanya itu.”

Wulan Srindi kembali palingkan kepala ke sudut kedai. Ki Sedap Roso ikut berpaling. Astaga!
Tamu bercaping lebar tadi tak ada lagi di tempatnya. Dia lenyap seperti angin. Di atas meja
kelihatan sejumlah uang yang agaknya sengaja ditinggalkan sebagai pembayar minuman dan
makanan.

Wulan Srindi keluarkan kepingan uang logam dari balik pakaian lalu berkata. “Ki Sedap, saya
akan mencari keterangan mengenai Pendekar 212 sesuai nasihatmu.”

Sebelum Wulan Srindi bergerak dari hadapan pemilik kedai, satu tangan besar berbulu letakkan
sebilah golok di atas meja. Lalu terdengar suara parau bertanya.

“Siapa mencari tahu tentang Pendekar 212 Wiro Sableng?”

Wulan Srindi melihat wajah Ki Sedap Roso langsung pucat. Gadis ini berpaling. Orang yang
barusan meletakkan golok di atas meja ternyata seorang tinggi besar, berpakaian dan berdestar
serba hitam. Kulit mukanya hitam berkilat. Kumis, janggut dan cambang bawuknya meranggas
tebal. Di lehernya tergantung sebuah kalung kain hitam besar berbentuk segi empat. Kuping kiri
dan cuping hidung sebelah kiri dicanteli giwang emas.

“Warok Jangkrik,” Ki Sedap Roso cepat membungkuk. “Satu kehormatan besar kau sudi mampir
di kedai buruk ini. Silahkan duduk, saya akan menyiapkan hidangan untukmu.”
“Jangkrik! Tutup mulutmu! Aku tidak bicara padamu. Aku bicara pada gadis ini!” Sentak orang
yang dipanggil dengan nama Warok Jangkrik.

Ki Sedap Roso cepat-cepat membungkuk dan memohon maaf berulang kali. Pinggulnya
ditekankan ke laci uang. Kawatir kalau orang di hadapannya itu akan membuka laci lalu
menjarah isinya.

Warok Jangkrik palingkan kepala, memandang pada Wulan Srindi. Si gadis saat itu juga tengah
memperhatikan. Warok Jangkrik tersenyum lebar dan kedipkan mata kirinya yang belok merah.

“Warok Jangkrik…” Ucap Wulan Srindi. “Aku pernah dengar namamu. Bukankah kau dedengkot
kepala rampok rimba belantara Sarnigaluh?”

Warok Jangkrik tertawa bergelak sementara para pengunjung kedai yang ketakutan satu demi
satu segera tinggalkan tempat itu. “Seorang gadis cantik mengetahui siapa diriku! Ha… ha…!
Sungguh aku berbangga hati!”

“Sarnigaluh jauh di sebelah barat. Kau muncul di tempat ini jauh di sebelah timur. Pasti ada
sesuatu yang membawamu datang ke sini. atau mungkin di barat kau mengalami banyak
kesulitan hingga mengungsi di sini?”

Kembali Warok Jangkrik tertawa gelak-gelak.

“Aku muncul di mana aku suka! Dan setiap aku muncul pasti ada rejeki besar menunggu!
Contohnya siapa menduga kalau hari ini aku akan bertemu dengan seorang gadis gagah dan
cantik sepertimu!” Warok Jangkrik basahi bibir dengan ujung lidah, tenggorokannya tampak
bergerak menelan air liur.

“Hemmm, begitu?” ucap Wulan Srindi. Walau masih sangat muda, belum punya banyak
pengalaman dalam rimba persilatan namun dari gerak-gerik, serta sikap bicara Warok Jangkrik
dia sudah maklum kalau manusia satu ini membekal maksud buruk terhadap dirinya. “Warok,
tadi kau bertanya siapa mencari tahu mengenai Wiro Sableng. Apa kau tahu di mana beradanya
pendekar itu?”

“Katakan dulu siapa dirimu, baru aku menjawab pertanyaanmu.”

“Aku Wulan Srindi. Anak murid Perguruan Silat Lawu Putih.” Seperti pada pemilik kedai tadi,
Wulan Srindi sengaja menerangkan siapa dirinya agar orang tidak berani berbuat macam-
macam.

“Ah, sungguh satu kehormatan aku bisa berhadapan dengan seorang anak murid satu
perguruan silat besar.” Warok Jangkrik menjura. “Hanya sayang, aku mendengar kabar buruk
tentang perguruanmu itu.”
“Hal itu tidak perlu kau pikirkan. Katakan saja kalau kau memang tahu di mana beradanya
Pendekar 212 Wiro Sableng.”

“Kau membawa kuda?” Tanya Warok Jangkrik.

Wulan Srindi mengangguk.

“Ikuti aku!”

Warok Jangkrik ambil golok besar di atas meja, selipkan di pinggang lalu melangkah ke pintu.

“Wulan,” ucap Ki Sedap Roso setengah berbisik. “Aku nasihatkan, jangan kau ikuti orang itu. Dia
garong besar! Jahat dan ganas! Berbahaya…”

“Terima kasih Aki. Saya hanya mengikuti nasihatmu tadi. Ingin tahu tentang seorang pendekar
rimba persilatan, tanyakan pada orang rimba persilatan.”

“Memang aku berkata begitu. Tapi Warok Jangkrik bukan manusia baik-baik. Dulu dia rampok
besar di kawasan barat. Kini pindah menjarah ke wilayah timur sini.”

“Aki tak usah kawatir. Kalau dia berbuat macam-macam pada saya, akan saya jadikan dia satu
macam!”

Ki Sedap Roso hanya bisa gelengkan kepala.

Warok Jangkrik seperti yang dikatakan Ki Sedap Roso dulunya adalah dedengkot kepala rampok
hutan Sarnigaluh di wilayah barat, memiliki beberapa orang anak buah. Kepala rampok ini sebut
Warok Jangkrik karena kepalanya yang besar dan mukanya yang hitam berkilat menyerupai
jangkrik besar, jangkrik keliongan. Selain itu jika sedang marah dia selalu mendahului
makiannya dengan kata-kata jangkrik!

Suatu ketika Warok Jangkrik mengetahui adanya sebuah peta rahasia menyangkut harta karun
dalam jumlah besar milik Kerajaan. Dua orang yang secara tidak sengaja mengetahui peta itu
adalah Ki Kalimanah dan cucunya, seorang anak lelaki bernama Boma Wanareja. Ki Kalimanah
bekerja di Keraton sebagai perawat kuda. Suatu ketika Ki Kalimanah dan Boma mengadakan
perjalanan melewati rimba belantara Sarnigaluh. Warok Jangkrik dan beberapa anak buahnya
yang sudah punya rencana jahat melakukan penghadangan. Dia memaksa Ki Kalimanah untuk
menceritakan tempat disembunyikan harta karun Kerajaan sesuai dengan apa yang pernah
dilihatnya dalam peta. Ki Kalimanah tidak mau menerangkan. Kakek ini disiksa sampai babak
belur. Gagal menguras keterangan dari mulut Ki Kalimanah, Warok Jangkrik ganti menyiksa
Boma Wanareja.

Seperti kakeknya Boma juga tidak mau memberi keterangan. Dalam marahnya Warok Jangkrik
dan anak buahnya hendak membunuh Boma. Di saat mau hendak merenggut itulah muncul
seorang tua berselempang kain putih yang kemudian diketahui adalah perwujudan Kiai Gede
Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng, tokoh besar rimba persilatan yang hidup di alam gaib.
Kakek ini bukan saja menyelamatkan Boma, tapi juga menghajar Warok Jangkrik dan anak
buahnya. Salah seorang dari tiga anak buah Warok Jangkrik menemui ajal. Warok Jangkrik
sendiri dan juga sisa dua anak buahnya kalau tidak dimintakan pengampunan oleh Boma pasti
akan menemui ajal di tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Boma kemudian dibawa oleh Kiai
Gede Tapa Pamungkas ke tempat kediamannya di Gunung Bismo, diangkat menjadi murid. Di
kemudian hari anak ini menemukan nasib menyedihkan, terbunuh secara tidak sengaja oleh
Sinto Gendeng. Untuk menebus dosa kesalahannya Kiai Gede Tapa Pamungkas menugaskan
Sinto Gendeng untuk kelak mewariskan ilmu kepandaiannya pada seorang anak lelaki bernama

Boma Tri Sumitro yang dilahirkan di dunia lain. Konon anak itu akan dijadikan sebagai Pendekar
Tahun 2000 untuk menghadapi kekuatan jahat para pendekar golongan hitam. (Kisah Warok
Jangkrik dan Boma Wanareja dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Si Cantik Dalam
Guci. Sedang kisah Boma Tri Sumitro sudah terbit dalam serial Boma Gendenk. Empat Episode
pertama yaitu Suka Suka Cinta, ABG, Tripping, Macho, Episode berikutnya Topan Di Borobudur,
Tenda Biru Candi Mendut, Bonek Candi Sewu, Rembulan Di Prambanan)

Kapak Maut Naga Geni 21210

DI KEJAUHAN Gunung Lawu tampak menjulang tinggi. Wulan Srindi memacu kuda mengikuti
Warok Jangkrik melewati jalan menurun berliku dan berbatu-batu lalu menanjak tajam
memasuki kawasan hutan jati. Di satu tempat Warok Jangkrik hentikan kudanya. “Ada apa?”
tanya Wulan Srindi. “Selewat hutan jati ini, ada lembah kecil. Di situ ada satu rumah tua. Kita
menuju ke sana,” Warok Jangkrik segera hendak membedal kudanya.

“Tunggu. Kalau hanya untuk memberi keterangan tentang Pendekar 212 Wiro Sableng,
mengapa kita menempuh perjalanan sejauh ini?”

Warok Jangkrik tatap wajah gadis cantik hitam manis itu sesaat. Lalu matanya melirik ke arah
kejauhan. Dia melihat kepala seekor kuda di balik serumpun semak belukar, dekat sebatang
pohon jati besar. Kepala rampok ini menyeringai. “Tipuanku mengena. Emas satu kantong itu
akan segera jadi milikku.” Hatinya membatin.

“Aku curiga,” kata Wulan Srindi pula.

Warok Jangkrik tertawa lebar. “Wulan Srindi, adalah tolol kalau baru sekarang mau menaruh
curiga! Seharusnya tadi-tadi sewaktu masih di kedai Ki Sedap Roso kau berpikir sepuluh kali
untuk mengikutiku!”

“Jadi benar, rupanya kau menipuku!”


Warok Jangkrik tidak menjawab. Sambil mengumbar tawa bergelak dia tarik tali kekang
tunggangannya. Kuda itu menghambur meninggalkan hutan jati untuk kemudian menuruni
sebuah lembah.

“Warok Jangkrik!” teriak Wulan Srindi. “Kalau kau menipuku, apa lagi bermaksud jahat!
Kupecahkan kepalamu!” Si gadis sentakkan tali kekang kuda, menghambur mengejar Warok
Jangkrik.

Hutan jati sampai pada ujungnya. Seperti yang dikatakan Warok Jangkrik tadi selewatnya hutan
jadi ada lembah kecil. Di bibir lembah sebelah utara kelihatan satu rumah kayu. Saat itu Warok
Jangkrik telah sampai di pertengahan lembah, terus memacu kudanya ke arah bangunan.
Wulan Srindi sesaat hentikan kudanya, menggigit bibir dan berpikir-pikir. Hati kecilnya
sebenarnya menyuruh dia memutar kuda dan tinggalkan tempat itu. Namun hasrat besar ingin
mengetahui keberadaan Pendekar 212 membuat gadis ini akhirnya melarikan kudanya
menuruni lembah. Apa lagi saat itu seolah terbayang kembali ke-matian kakak seperguruannya
yang juga merupakan Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yakni Parit Juwana. Yang disaksikannya
dengan mata kepala sendiri. Parit Juwana menemui ajal di tangan Wakil Ketua Manusia Pocong.
Dendam yang berkobar membuat dia bersedia menempuh kesulitan apa saja asal dapat
membalaskan sakit hati kematian Parit Juwana serta saudara-saudara seperguruan lainnya.
Selain itu kalau saja bukan Dewa Tuak yang memintanya untuk mencari Pendekar 212 Wiro
Sableng mungkin hatinya akan mendua melakukan hal itu.

Begitu sampai di depan rumah tua yang terletak di bibir lembah sebelah utara, Warok Jangkrik
turun dari kuda. Tunggangannya ini dibiarkan bebas tidak ditambatkan. Tak lama kemudian
Wulan Srindi sampai di tempat itu, langsung melompat turun dari punggung kuda.

“Kita sudah sampai di tujuan. Sekarang katakan apa yang kau ketahui tentang Wiro Sableng.
Apakah dia ada di dalam rumah ini?”

“Jawaban ada di dalam rumah. Mengapa tidak segera masuk?” Ujar Warok Jangkrik.

Jengkel ada, penasaran juga ada, sekali lompat saja gadis anak murid Perguruan Silat Lawu
Putih ini telah melesat masuk ke dalam rumah tua. Ternyata bagian atas bangunan itu tidak
beratap lagi hingga cahaya matahari masuk menerangi bagian dalam rumah.

Wulan Srindi memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Warok Jangkrik yang saat itu berdiri
tegak di ambang pintu rumah tua.

“Tidak ada siapa-siapa di sini! Warok Jangkrik! Jangan kau berani menipuku!” Bentak Wulan
Srindi.

Dibentak si gadis Warok Jangkrik cuma menyeringai. Tiba-tiba dia masukkan dua jari tangannya
ke dalam mulut. Saat itu juga satu suitan keras keluar dari mulut kepala rampok ini. Dari atap
rumah yang terbuka melayang turun empat sosok. Gerakan cepat dan dua kaki mendarat di
lantai lebih dulu, hampir tanpa suara. Empat sosok ini ternyata empat orang berpakaian dan
berikat kepala serba hitam. Ke empatnya langsung mengurung Wulan Srindi.

“Kurang ajar! Warok Jangkrik! apa-apaan ini?!” Teriak Wulan Srindi.

Warok Jangkrik menyeringai. Dia melangkah ke sudut rumah, duduk di lantai sambil bersandar
ke dinding. Lapat-lapat di luar sana dia mendengar suara kuda mendatangi.

“Anak-anak, aku tidak mau susah. Aku mau terima bersihnya saja! Telanjangi gadis ini!”

Wulan Srindi seperti mendengar petir menggelegar di depan mata. “Warok Jahanam! Aku
bersumpah akan memecahkan kepalamu!” Teriak si gadis. Lalu sambil memasang kuda-kuda dia
berkata pada empat orang yang mengurung. “Kalau kalian mau mampus duluan, tunggu apa
lagi! Maju!”

Salah seorang anak buah Warok Jangkrik yang mengurung Wulan Srindi bernama Si Comot. Dia
dikenal paling rakus dan ganas dalam menjarah setiap korbannya. Selain itu jika melihat
perempuan cantik, tangannya pasti meraba menggerayang.

“Kawan-kawan,” kata Si Comot pada tiga temannya sambil lidah dijulurkan membasahi bibir.
“Kalian bertiga lihat saja. Biar aku yang melaksanakan perintah Warok!”

“Jangan enak sendiri! Kami juga punya kewajiban menjalankan tugas pimpinan!” teriak anggota
rampok di sebelah kanan yang dikenal dengan nama Si Galah Jangkung alias Si Galah Ceking
karena tubuhnya yang tinggi tapi kurus kering.

Takut kedahuluan tiga temannya Si Comot segera bergerak. Tubuhnya berkelebat ke arah
Wulan Srindi, dua tangan bergerak cepat sekali. Yang kiri menyambar ke arah wajah si gadis
sementara yang kanan secara kurang ajar meraba ke dada.

Dalam amarah mendidih Wulan Srindi hadapi serangan kurang ajar lawan dengan jurus
Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua tangan memukul kesamping seperti kipas
terkembang. Kaki kiri bersitekan ke lantai membuat pijakan atau kuda-kuda kokoh, lalu
bersamaan dengan itu kaki kanannya melesat ke depan menendang ke arah selangkangan
lawan!

“Bukk! Bukk!”

Dua tangan Si Comot terpental ke samping begitu kena dihantam pukulan Wulan Srindi. Si
Comot keluarkan seruan tertahan, kaget sekali. Sambil menahan sakit dia kibas-kibaskan dua
tangannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis cantik yang dipandang enteng dan
hendak dilecehkannya itu ternyata memberikan perlawanan dengan ilmu silat tidak rendah.
Kalau tidak cepat tiga temannya menyerbu, bagian bawah perutnya bisa saja tadi kena dimakan
tendangan lawan!
Sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih walau tenaga dalamnya belum mencapai tingkat
tinggi, dalam ilmu silat kepandaian Wulan Srindi hanya dua tingkat di bawah kepandaian Parit
Juwana, mendiang Ketua perguruan. Namun dikeroyok empat rampok yang memiliki ilmu silat
tinggi setelah bertahan selama sembilan jurus, Wulan Srindi mulai terdesak. Di antara empat
pengeroyok yang paling berbahaya adalah Si Galah Jangkung. Gerak tangannya cepat sekali.
Selain itu dua tangannya yang panjang berkelebat sering tidak terduga.

Memasuki jurus ke dua belas. Wulan Srindi berhasil menghantamkan sikunya ke dada salah
seorang lawan, namun pada saat itu pula dari samping kiri berkelebat tangan Si Galah
Jangkung.

“Brett!”

Bahu kiri baju ringkas yang dikenakan Wulan Srindi koyak besar. Sebelumnya baju ini telah
robek di bagian punggung dan dada sewaktu gadis ini hendak digagahi oleh manusia pocong
bernama Sepuh DalemKawung. Kini keadaan pakaian Wulan Srindi jadi awut-awutan. Sebagian
tubuhnya tersingkap depan belakang. Membuat empat anak buah Warok Jangkrik jadi tambah
bernafsu. Sementara Warok Jangkrik sendiri masih tetap duduk tak bergerak di sudut rumah.
Hanya sepasang matanya yang melotot besar tak berkesip sesekali berputar liar
memperhatikan tubuh Wulan Srindi yang tersingkap di sana-sini.

Wulan Srindi sendiri saat itu memilih lebih baik mati daripada tercemar dan dirusak
kehormatannya. Dalam keadaan terdesak dia berikan perlawanan hebat. Jurus-jurus ilmu
silatnya yang diberi nama selalu berkaitan dengan alam, dilancarkan dalam bentuk serangan
luar biasa ganas.

Di jurus ke sembilan belas Wulan Srindi dapat menjotos muka Si Comot hingga darah mengucur
dari hidungnya yang patah. Namun inilah batas terakhir gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih
ini menunjukkan kehebatannya. Dua lawan kembali berhasil merobek pakaiannya. Selagi dia
kebingungan menutupi auratnya, Si Galah Jangkung membetot celananya.

Wulan Srindi menjerit keras, hantamkan dua tangan ke depan. Mendadak betis kirinya
disambar satu tendangan. Tak ampun gadis ini jatuh terjengkang di lantai. Tiga anggota rampok
segera meringkusnya. Rampok ke empat yang hidungnya remuk yakni Si Comot, dengan muka
penuh darah seperti kesetanan merobeki pakaian si gadis.

Warok Jangkrik tertawa mengekeh. Dalam tertawa dia dia pasang telinga dan melirik ke arah
pintu. Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan biru berkelebat masuk ke dalam rumah. Lalu
terdengarlah pekik empat anak buahnya. Si Comot terpental ke dinding rumah sebelah kiri.
Kepala menghantam dinding. Kening hancur. Tubuh meliuk tak bergerak dan tak bernafas lagi.
Si Galah Jangkung terkapar sambil pegangi tulang dadanya yang remuk. Mulut megap-megap
mengucurkan darah. Nyawanya tak tertolong. Dua anggota rampok lainnya bernasib lebih
mujur karena hanya remuk tulang pinggul dan patah tulang belikat. Keduanya terduduk di
lantai, mengerang menahan sakit sambil memandang ke depan di mana tegak berdiri seorang
gadis cantik berpakaian biru, berambut pirang. Tubuh dan pakaian menebar bau harum
semerbak. Mereka tahu gadis inilah tadi yang mengirimkan serangan hebat hingga keduanya
cidera patah dan remuk tulang. Sementara dua kawan mereka menemui ajal. Tapi agaknya ada
yang aneh dengan gadis ini. Karena begitu selesai lancarkan serangan ganas, kini dia berdiri
kaku, tak bisa bergerak tak dapat keluarkan suara. Bahkan sepasang matanya yang bagus tidak
mampu berkedip!

Selagi dua anggota rampok ini menahan sakit sambil terheran memandangi si cantik berbaju
biru, saat itu pula mereka melihat ada seseorang tinggi besar berdiri tepat di sebelah belakang
si gadis. Mereka melihat satu tangan bergerak. Sebuah benda dilemparkan ke udara. Sebuah
kantong kulit. Satu tangan menangkap kantong itu. Tangan Warok Jangkrik! Kepala rampok ini
menyeringai. Dia melangkah dekati Wulan Srindi yang tengah berusaha bangkit. Warok Jangkrik
daratkan satu totokan di tubuh Wulan Srindi. Tubuh yang kaku itu kemudian dipanggulnya di
bahu kiri.

“Warok, tunggu!” teriak salah seorang anggota rampok.

“Pemimpin, jangan tinggalkan kami!” rampok satunya ikut berteriak.

Dalam keadaan menahan sakit keduanya berusaha berdiri, terbungkuk-bungkuk ke pintu. Di


ambang pintu Warok Jangkrik berdiri seolah menunggu dua anak buahnya. Tapi begitu mereka
sampai di

hadapannya, Warok Jangkrik berturut-turut hantamkan dua tendangan. Tak ampun lagi dua
anggota rampok ini mencelat mental kembali ke dalam rumah. Keduanya bergedebukan di
lantai. Tak satupun yang bergerak karena masing-masing sudah putus nyawa dengan perut
hancur di sebelah dalam!

Kapak Maut Naga Geni 21211

SOSOK tinggi besar yang tadi melemparkan kantong kulit dan ditangkap oleh Warok Jangkrik,
bergerak melangkah ke hadapan gadis berpakaian serba biru berambut pirang. Gadis ini tegak
kaku tak bergerak, tak bisa keluarkan suara bahkan sepasang matanya tidak mampu berkedip!
Dan sepasang mata yang bagus ini mendadak memancarkan rasa takut ketika melihat orang
yang berdiri di hadapannya. Si tinggi besar ini mengenakan sehelai jubah putih menjela tanah.
Kepala tertutup kerudung yang juga terbuat dari kain putih. Dari keseluruhan wajahnya hanya
sepasang matanya yang kelihatan di balik dua lobang kecil pada kain penutup kepala. Sepasang
mata ini memiliki bola mata aneh membersitkan sinar menggidikkan.

“Makhluk aneh. Menyerupai pocong hidup…” Gadis baju biru tidak teruskan ucapan dalam
hatinya. Tengkuk terasa dingin. “Aku tidak mendengar suaranya berkelebat. Aku juga tidak
merasakan jari tangan yang melakukan totokan. Bagaimana aku tahu-tahu tidak bisa bergerak
tidak bisa bicara. Warok Jangkrik pergi begitu dia muncul di sini. Apa hubungan antara
keduanya. Satu menjebak satu menungguku. Lalu gadis berkulit hitam yang diboyong Warok
Jangkrik? Mungkin dia salah satu pemain dalam jebakan ini?” Sadar dirinya diancam bahaya
besar serta merta si gadis berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk membuyarkan totokan.
Tapi dia tidak mampu melakukan.

Di balik kain putih kepala makluk tinggi besar berjubah putih menyeringai. Dari urat yang
menonjol tegang di permukaan leher putih jenjang, dia mengetahui kalau gadis di hadapannya
tengah berusaha memusnahkan totokan dengan pengerahan tenaga dalam dan hawa sakti.

“Totokan yang menguasai dirimu adalah totokan Menjerat Urat Melumpuh Syaraf. Jangankan
dirimu, sepuluh tokoh utama rimba persilatan tanah Jawa sekalipun tidak akan mampu
membebaskanmu.”

Si gadis maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi dan jelas
punya niat baik terhadap dirinya. Dia tidak boleh bertindak gegabah. Namun amarah membuat
dia keluarkan makian.

“Jahanam kurang ajar! Siapa kau sebenarnya! Apa tujuanmu menotok diriku! Berani kau
berbuat yang bukan-bukan, aku bersumpah mencincang tubuhmu!” Makian gadis berbaju biru
hanya terucap di dalam hati karena mulutnya tak mampu bersuara.

“Bidadari Angin Timur. Jadi inilah ujud orangnya.” Si tinggi besar keluarkan ucapan sambil
rangkapkan dua tangan di atas dada dan mulut keluarkan suara berdecak kagum. Dua matanya
menatap berkilat. “Wajah cantik jelita, rambut pirang, mata bagus. Kulit putih, tubuh elok tinggi
semampai. Aku tidak ingat apakah kita pernah bertemu sebelumnya. Dengar Bidadari, aku tidak
malu berterus-terang padamu. Pada pertemuan kita saat ini, tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada
dirimu. Apa jawabmu?”

“Jahanam gila!” maki gadis berpakaian biru yang memang Bidadari Angin Timur adanya. Ingin
sekali saat itu dia menerkam dan merobek mulut atau memecah kepala orang di hadapannya.
Lagi-lagi suara makiannya hanya di dalam hati karena tidak bisa bicara.

“Aku mendengar kabar. Konon kau adalah salah seorang dari sekian banyak kekasih gelap
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Ha… ha… ha! Benar begitu?” Sambil tertawa bergelak
orang berjubah dan bertutup kepala kain putih itu memutari Bidadari Angin Timur dan berhenti
melangkah begitu sampai lagi di hadapan si gadis. “Apa bahagianya menjadi kekasih gelap. Apa
lagi kau hanya seorang dari sekian banyak gadis yang terjebak dalam tipu daya asmara murahan
Pendekar itu.”

Dari balik kain penutup kepala orang tinggi besar tatap wajah Bidadari Angin Timur. Si gadis
balas memandang. Dia dapatkan sepasang bola mata manusia menyerupai pocong di
hadapannya ini berbentuk aneh. “Cantik sekali. Luar biasa cantik.” Orang di hadapan Bidadari
Angin Timur kembali keluarkan ucapan berupa puji-pujian. “Bidadari Angin Timur, bersediakah
kau kujadikan kekasih? Ah, aku seharusnya tak perlu bertanya. Saat ini aku punya kekuasaan
atas dirimu. Aku bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuhmu! Oh tidak, tidak… Aku tidak
akan membunuh orang secantikmu. Apa lagi aku punya pantangan membunuh. Tapi dengar,
kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang sambil menunggu kemunculan Pendekar Dua
Satu Dua di tempat ini! Kalau dia muncul akan kuselesaikan dendam lama yang sudah karatan
di dalam tubuhku. Kau bisa menyaksikan kematian kekasih tak bergunamu itu dengan mata
kepala sendiri. Setelah itu… Ha… ha… ha!” Si tinggi besar maju satu langkah. Dua tangannya
diulurkan membelai pipi Bidadari Angin Timur. Dua tangan itu kemudian turun kebahu, turun
lagi ke bawah mengusap pinggul. Si tinggi besar leletkan lidah. Tenggorokannya turun naik.

“Kata orang tubuhmu mulus tanpa cacat. Ingin sekali aku melihat membuktikannya. Kekasihku,
izinkan aku membuka pakaianmu.” Habis berkata begitu orang tinggi besar gerakkan dua
tangannya ke atas dada pakaian Bidadari Angin Timur. Nafas panas memburu. Jari-jari tangan
bergerak membuka pita-pita kecil pengancing pakaian biru di bagian dada.

“Ah… tak pernah aku melihat yang begini putih, begini bagus. Kekasihku, aku benar-benar jatuh
cinta padamu.” Kepala yang tertutup kain putih itu dirundukkan ke dada Bidadari Angin Timur
yang tersingkap. Belum sempat kepala dan dada bersentuhan tiba-tiba satu cahaya kuning
melesat dari atas atap, menerpa ke dalam rumah.

Orang berjubah keluarkan seruan kaget. Dia cepat menyingkir namun cahaya kuning masih
sempat menyerempet tubuhnya hingga dia terpental ke belakang. Punggungnya melabrak
dinding rumah. Dinding papan yang sudah lapuk itu amblas jebol. Sosok orang berjubah
tersekat dalam jebolan. Marah manusia satu ini bukan alang kepalang. Lima jari tangan kiri
kanan dipentang ke depan. Luar biasa! Lima jari tangan ini jadi berubah sangat besar dan kuku-
kuku hitam mencuat mengerikan dari ujung-ujung jari. Namun begitu matanya memperhatikan
ke depan, memandang sosok yang berdiri di samping gadis berbaju biru, amarahnya mendadak
mereda. Dadanya berdebar.

Di sebelah Bidadari Angin Timur saat itu berdiri seorang pemuda berpakaian coklat. Sekujur
tubuh, mulai dari kepala yang botak sampai ujung kaki yang telanjang berwarna kuning. Bahkan
bagian mata yang seharusnya berwarna putih juga terlihat kuning. Ketika dia menyeringai
lidahnya juga tampak kuning!

Orang berjubah keluarkan diri dari dalam lobang di dinding. Berdiri tegak, mendadak terkesiap
karena baru sadar kalau sebagian jubahnya sebelah depan tampak berwarna kuning.

“Pukulan yang dilepaskan bedebah ini, menyerupai pukulan makhluk dari alamku! Aku memang
menyirap kabar kalau dirinya juga sudah terpesat ke tanah Jawa ini. Tapi ujudnya mengapa
berbeda. Untuk membuktikan aku harus lancarkan serangan!”

Orang berjubah kembangkan dua tangan ke samping. Tubuhnya tiba-tiba berputar. Sosok yang
berputar membentuk kerucut terbalik. Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergoyang-goyang
dan terasa disedot ke arah orang yang berputar. Dia tak mungkin bertahan. Sesaat lagi
tubuhnya akan masuk ke dalam putaran yang menyedot tiba-tiba pemuda berpakaian coklat
bertubuh kuning berseru sambil dorongkan tangan kanan ke arah orang yang berputar.

“Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suaral Manusia yang sembunyikan wajah di balik penutup kepala!
Dari mana kau mencuri ilmu itu?!”

Kejut orang yang ditegur bukan olah-olah!

“Memang dia! Pasti dia!” kata orang ini dalam hati. Saat itu selarik sinar kuning dari pukulan
yang dilepaskan si pemuda menderu tinggal sejarak satu langkah dari hadapannya. Dengan
cepat manusia berjubah putih besarkan mata. Ketika sepasang mata ini dikedipkan, dua larik
cahaya hijau panjang berbentuk segi tiga lancip di bagian ujung terdepan, menyembur ganas ke
arah pemuda berkulit kuning.

“Hantu Hijau Penjungkir Roh\” Seru si pemuda berkulit kuning. Dengan cepat dia melesat ke
udara hingga sebagian tubuhnya keluar dari atap bangunan. Dari atas pemuda ini gerakkan dua
kaki menendang ke bawah. Dua gelombang cahaya kuning membabat laksana topan prahara.
Sebelum rumah tua lapuk itu hancur berantakan, orang berjubah cepat menyambar tubuh
Bidadari Angin Timur yang terlempar ke udara. Tapi dia kalah cepat. Pemuda kulit kuning telah
lebih dulu melesat ke bawah. Satu kaki ditendangkan ke arah si jubah putih sementara tangan
kanan disusupkan ke bawah

ketiak Bidadari Angin Timur.

“Dukkk!”

Untuk kedua kalinya si jubah putih terpental. Kali ini sambil semburkan muntahan cairan warna
kuning dari mulutnya. Sesaat wajahnya kelihatan kuning. Tubuhnya bergetar hebat, merinding
dingin karena sadar bahwa barusan dia terlepas dari bahaya racun jahat. Kalau saja tadi dia
tidak muntahkan cairan kuning maka satu racun sangat berbahaya akan mendekam di bagian
tubuhnya yang kena tendangan. Mulutnya komat-kamit. Amarah membuat dia gelap mata.

“Makhluk kuning jahanam! Kau tak akan dapatkan gadis itu hidup-hidup!” Habis berkata begitu
si jubah putih angkat tangan kanan ke atas, diputar setengah lingkaran.

“Cukup!” teriak pemuda berkulit kuning. Tangan kanannya dikepal, lalu diangkat ke atas. Kepala
itu kelihatan dibungkus cahaya kuning.

Sesaat orang berjubah merasa bimbang. Dalam hati dia merutuk habis-habisan.

“Pemuda muka tai!” bentak si jubah putih. “Aku tahu siapa kau adanya! Sejak dulu kau memang
biang racun penghalang segala pekerjaanku! Jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku masih
berbaik hati mengampuni selembar nyawamu! Tapi lain kali kalau aku datang mencarimu
jangan harap nyawamu ketolongan. Aku akan membuat tubuhmu amblas ke dalam tanah! Akan
kukubur kau hidup-hidup!” Selesai membentak orang berjubah segera putar tubuh. Dinding
rumah ditabraknya begitu saja. Pemuda botak berkulit kuning hendak mengejar. Tapi kawatir
akan keselamatan gadis dalam pelukannya dia batalkan niat. Di kejauhan sana manusia
berdandan seperti pocong telah berada di pinggiran lembah sebelah timur.

Perlahan-lahan pemuda berkulit kuning turunkan tubuh Bidadari Angin Timur.

“Ini pertemuan kita yang kedua. Aku sangat gembira bisa melihatmu lagi. Sahabat, apakah kau
masih ingat diriku?” Pemuda botak menatap tersenyum sambil usap kepalanya. Ketika Bidadari
Angin Timur tidak menjawab dan tidak bergerak baru dia ingat. “Tololnya aku ini. Sahabat
cantik dalam keadaan tertotok aku malah ajak bicara. Eh…” Si pemuda mendadak tutup mulut
hentikan ucapan lalu tertawa sendiri. “Kau tahu, di negeri asalku totok berarti payudara…”
Pemuda itu usap lagi kepala botaknya, perhatikan Bidadari Angin Timur dari kepala sampai ke
kaki lalu geleng-geleng kepala. Melihat sikap orang Bidadari Angin Timur diam-diam merasa
kawatir. Mungkin pemuda itu tidak mampu melepaskan totokan yang menguasai dirinya.
Berarti sampai berapa lama dia akan berada dalam keadaan seperti itu hingga ada seseorang
yang mampu menolong?

Pemuda botak berkulit kuning perhatikan bagian leher Bidadari Angin Timur. Saat itu bagian
dada pakaian si gadis yang tadi sempat dibuka orang berjubah dan berkerudung kain putih
masih dalam keadaan tersingkap. Namun sedikitpun dia tidak memperhatikan pemandangan
yang tidak akan dilewatkan oleh mata lelaki manapun.

“Tak ada tanda di lehermu,” ucap si pemuda. Dia melangkah ke belakang Bidadari Angin Timur
“Maafkan kalau aku terpaksa menyentuhmu. Aku harus mengetahui bagian mana dari tubuhmu
yang ditotok.” Bidadari Angin Timur merasakan dua kali usapan di punggungnya kiri kanan.
“Tidak terasa ada bekas totokan di punggungmu. Hemmm…” Sambil usap-usap dagunya yang
ditumbuhi bulu-bulu tipis dia kembali berdiri di hadapan Bidadari Angin Timur. “Menjerat Urat
Melumpuh Syaraf! Pasti dia menotokmu dengan ilmu itu. Ilmu curian! Semua ilmu
kepandaiannya kebanyakan hasil curian dari para tokoh di Negeri Latanahsilam.”

Bidadari Angin Timur semakin merasa kawatir. “Agaknya dia memang tidak bisa menolong.
Celaka diriku…”

Pemuda itu tatap paras cantik gadis di depannya lalu tersenyum. “Jangan kawatir. Aku bisa
membebaskanmu. Asa! kau tidak marah kepalamu aku pegang-pegang.” Bidadari Angin Timur
merasa lega. “Lakukan apa saja asal aku bisa kau bebaskan,” katanya pasrah dalam hati. Dari
sikap si pemuda dia yakin orang tidak akan memperlakukannya secara kurang ajar.

“Sahabat, aku akan berdiri di belakangmu. Aku akan menyusupkan tangan ke bawah rambut
pirangmu di bagian tengkuk, terus naik ke atas sampai ke ubun-ubun. Kau tidak akan merasa
sakit, hanya ada sedikit rasa panas. Justru hawa panas itulah yang akan membuyarkan totokan
yang menguasai dirimu. Aku akan melakukan sekarang. Harap maafkan kalau aku harus
memegang kepalamu. Aku tahu, orang di negeri ini menganggap kepala sebagai bagian tubuh
paling terhormat. Jadi dianggap kurang ajar kalau kepala kita sampai dipegang orang lain.
Begitu, betul?”

Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu Bidadari Angin Timur pasti tersenyum dan
mengiyakan ucapan si pemuda. Setelah menatap wajah si gadis sesaat, pemuda muka kuning
melangkah ke belakang Bidadari Angin Timur. Seperti yang dikatakannya tadi, tangan kanannya
disusupkan ke tengkuk di bawah rambut pirang, terus naik ke atas kepala hingga telapak
tangannya menyentuh ubun-ubun. Bidadari Angin Timur tidak menunggu lama. Hawa panas
yang dikatakan pemuda itu kini mulai terasa menyengat kepalanya, menjalar ke muka, turun ke
tubuh. kalau saja mulutnya tidak terkancing, saat itu Bidadari Angin Timur pasti akan berteriak
keras. Hawa yang turun ke telapak kakinya panas luar biasa seolah dia tengah berdiri di atas
bara api.

Pemuda berkulit kuning turunkan tangannya ke tengkuk. Sesaat tangan itu masih menyusup ke
bawah rambut pirang Bidadari Angin Timur. Begitu pegangan dilepas si pemuda sudah berada
di hadapan si gadis kembali.

“Hai, kau sudah bebas dari totokan. Mengapa diam saja?!” Ucap si pemuda.

“Apa?!” Bidadari Angin Timur terkejut.

Ucapannya keluar tanpa sadar. Kepalanya dipalingkan. Tangannya digerakkan. Gadis ini
berteriak keras saking girangnya. Malah diluar sadar dia hendak melompat memeluki pemuda
berkulit kuning itu. Karuan saja si pemuda mundur teratur seperti ketakutan.

“Kau, bukankah kau Hantu Jatilandak yang katanya berasal dari negeri seribu dua ratus tahun
silam? Yang lenyap begitu saja tempo hari setelah menolong Setan Ngompol!?”

“Aku gembira kau masih ingat diriku. Mana teman-temanku yang lain. Wiro, Naga Kuning,
kakek tukang kencing Setan Ngompol…” (Riwayat pertemuan Bidadari Angin Timur dan Hantu
Jatilandak pertama kali dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Melati Tujuh Racun
sedang mengenai Hantu Jatilandak bisa dibaca dalam serial Wiro di Negeri Latanahsilam
antaranya dalam Episode berjudul Hantu Jatilandak)

“Panjang cerita mengenai mereka…”

“Kalau begitu cerita tentang dirimu saja. Bagaimana kau bisa hampir celaka di tangan orang
tadi.”

“Ada yang menjebakku. Antara kau dan manusia berpakaian serba putih tadi, apakah sudah
saling mengenal sebelumnya?”
“Kami sudah lama berseteru. Di negeri Latanahsilam dia dikenal sebagai makhluk paling jahat.
Namanya Hantu Muka Dua. Kalau saja kepalanya tidak ditutupi dengan kain putih kau bisa
melihat keadaan kepalanya. Dia memiliki dua wajah, satu di depan satu di belakang…”

Bidadari Angin Timur jadi ternganga mendengar ucapan Hantu Jatilandak.

“Kalau tidak menyaksikan sendiri kau tidak akan percaya. Aku…”

“Jatilandak, aku sangat berterimakasih atas pertolonganmu. Namun saat ini ada sesuatu yang
harus aku lakukan. Seorang gadis berada dalam bahaya besar. Diculik rampok jahat. Aku harus
menyelamatkannya. Rasanya si penculik belum lari jauh…”

“Dalam perjalanan ke tempat ini tadi, aku melihat orang lari keluar lembah menuju arah
selatan. Pakaian hitam-hitam. Dia lari sambil memanggul seseorang. Mungkin itu orang yang
kau maksudkan?

“Pasti!” “Kalau begitu aku ikut bersamamu. Aku bisa memberitahu arah lari si penculik itu,”
kata Jatilandak.

Keduanya, segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sempat melangkah, Jatilandak
tiba-tiba tarik tangan Bidadari Angin Timur. Sebuah benda melayang di udara, melesat satu
jengkal di depan wajah si gadis lalu menancap di papan lapuk runtuhan rumah tua.

“Benda apa?!” kejut Bidadari Angin Timur.

Jatilandak dekati papan, membungkuk dan mencabut benda yang menancap lalu diperlihatkan
pada Bidadari Angin Timur. Benda itu ternyata sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga, basah
oleh cairan merah berbau amis.

TAMAT

Eps 136 Bendera Darah

DIAPIT dan dipegang dua Satria Pocong, nenek kurus itu melangkah menuju rumah tua beratap
ijuk hitam berbentuk tanduk kerbau. Rambut kelabu awut-awutan, tubuh terbungkuk, wajah
pucat keriput menunjukkan rasa takut. Sebuah lampion kain putih menyala suram di bawah
atap rumah, bergoyang ditiup angin malam. Cahaya redup lampion ini tidak dapat menerangi
seantero halaman rumah di mana menebar gundukan-gundukan batu. Malah bayangan cahaya
menimbulkan ujud-ujud besar aneh menyeramkan di belakang bebatuan.
Mendekati rumah, si nenek tiba-tiba menangkap suara sesuatu. Suara orang mengerang.
Perempuan. "Seperti orang sekarat. Di dalam rumah…" Ucap hati si nenek. Langkahnya jadi
tertahan. Namun dua manusia pocong yang menggiring memaksanya jalan terus.

Saat itu di depan rumah tua seorang manusia pocong bersosok tinggi besar berdiri tak
bergerak. Dua tangan dirangkap di depan dada. Sepasang mata dibalik lobang pada kain putih
penutup kepala memandang memperhatikan nenek berambut kelabu.

"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!" Dua Satria Pocong keluarkan
ucapan berbarengan.

Tanpa melepaskan pandangan matanya dari si nenek, manusia pocong tinggi besar yang
rupanya adalah Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian anggukkan kepala sedikit
lalu ucapkan pertanyaan.

"Aku tidak mau kesalahan. Perempuan tua, siapa namamu?!"

Yang ditanya tak segera menjawab. Bola mata berputar lalu memandang ke rumah tua, dari
arah mana telinganya sejak tadi mendengar suara erangan tak berkeputusan. Rasa takut yang
sudah menyelinap dalam diri membuat tubuhnya menjadi dingin dan lutut terasa goyah.

Melihat orang tidak menjawabi pertanyaan, si tinggi besar jadi marah dan membentak.
"Perempuan tua! Aku tahu kau tidak torek! Katakan siapa namamu!"

"Kalian… Saya… mengapa saya diculik. Mengapa saya dibawa ke sini. Tempat apa ini? Kalian
makhluk apa sebenarnya? Saya ingin pulang. Saya sedang susah. Saya kehilangan seseorang.
Magiyo cucuku tidak pulang sejak satu hari lalu…"

Bukannya menjawab, perempuan tua itu malah ajukan banyak pertanyaan. Lalu seperti merasa
tidak perlu menunggu orang menjawab pertanyaannya, nenek ini balikkan badan, berusaha
melepaskan diri dari pegangan dua Satria Pocong dan tinggalkan tempat itu. Namun dua Satria
Pocong cepat mencekal tangan si nenek kiri kanan.

"Perempuan tua! Jangan berani berlaku kurang ajar terhadap Yang Mulia Ketua!" Salah seorang
Satria Pocong membentak. Dengan kasar tubuh perempuan tua ini diputar hingga kembali
menghadap ke arah Sang Ketua.

"Perempuan tua, kau tak perlu takut." Manusia pocong tinggi besar keluarkan ucapan. "Kami
membawamu ke sini untuk satu keperluan. Jika urusan selesai dan kau mematuhi apa perintah
kami, kami akan bawa kau kembali ke desamu! Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu?"

Si nenek pandangi sosok bertutup kepala putih. Dia melihat sepasang mata berkilat tajam
menatap tak berkedip ke arahnya. Hati si nenek jadi tergetar, tambah takut.
"Saya… saya Paimah."

"Kau tinggal di Desa Sarangan?"

"Be… betul."

"Di Sarangan apa pekerjaanmu?"

"Saya, saya tidak punya pekerjaan. Saya…" Ucapan si nenek terputus karena Sang Ketua
membentak keras hingga orang tua ini tersirap darah, tambah pucat dan bergetar tubuhnya
dilanda ketakutan. Sementara itu telinganya masih saja menangkap suara erangan dari dalam
rumah tua.

"Kami tahu kau adalah seorang dukun beranak! Mengapa berani dusta mengatakan tidak punya
pekerjaan?"

"Maksud saya…"

"Sudah!" Sang Ketua menghardik hingga si nenek merasa tubuhnya seperti leleh. "Kau dengar
apa yang aku katakan! Pasang telingamu baik-baik! Di dalam rumah ini ada seseorang perlu
pertolonganmu! Ada seorang perempuan akan segera melahirkan! Masuk ke dalam rumah dan
tolong dia! Kau harus bekerja cepat! Bayi itu harus segera lahir! Kau tidak boleh menunggu
terlalu lama! Jangan sampai sang bayi mati di dalam perut! Kalau kau mengalami kesulitan,
bedol perut perempuan hamil itu dengan ini!"

Entah di mana tadi dia menyimpannya tahu-tahu Ketua Barisan Manusia Pocong telah
memegang sebilah pisau tipis bermata dua, berkilat terkena cahaya lampion pertanda luar
biasa tajamnya. Pisau ini disodorkan pada Paimah. Tapi dukun beranak ini tidak berani
mengambil. Malah tersurut mundur. Sang Ketua dengan paksa menggenggamkan senjata itu ke
dalam jari-jari tangan kanan si nenek.

"Di dalam rumah tersedia semua keperluanmu untuk menolong perempuan yang melahirkan.
Di atas sebuah meja ada dua buah bokor perak. Begitu bayi lahir gorok lehernya. Tampung
darahnya dalam dua buah bokor itu!"

Kejut dan takut Paimah sampai ke puncaknya begitu mendengar ucapan manusia pocong.
Tubuh perempuan tua ini menggigil. Dua Satria Pocong segera menggandeng dukun beranak
Paimah ke arah tangga rumah tua beratap ijuk. Di bawah atap, lampion bergoyang-goyang
ditiup angin. Suara halus desau tiupan angin digetari suara erangan perempuan tak
berkeputusan yang keluar dari dalam rumah. Di depan tangga, dua manusia pocong lepaskan
cekalan mereka. Tiba-tiba salah satu dari dua belas pintu di bagian depan bangunan tua
terbuka. Paimah si dukun beranak terkejut pucat, mata mendelik memandang ke dalam rumah.
"Paimah! Lekas masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu!" Teriak Sang Ketua Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian.

Paimah memandang ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tambah bergetar menggigil. Lutut semakin
goyah. Perempuan tua ini gelengkan kepala lalu berkata dengan suara keras tapi gemetar.

"Tidak, aku tidak mau melakukan. Kalian boleh bunuh diriku! Tapi aku tidak akan sudi
melaksanakan perintah kalian! Aku tidak akan membedol perut siapapun! Aku tidak akan
menggorok bayi manapun!"

Paimah hendak campakkan pisau di tangan kanannya, namun Satria Pocong di sampingnya
cepat mencekal lengannya dan membentak. "Tua bangka sialan! Jangan berlaku tolol! Kami
tidak mau mendapat hukuman karena ulahmu!"

"Tidak! Kalian boleh bunuh aku! Apapun yang terjadi aku tidak akan mau melakukan perintah
keji kalian!"

Sang Ketua yang berdiri di halaman rumah tua kelihatan mulai hilang kesabarannya. Di dalam
rumah suara erangan perempuan terdengar semakin keras. Perlahan-lahan manusia pocong
tinggi besar ini turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkapkan di depan dada. Mulutnya
bergerak. Saat itu juga satu suitan keras melengking dari mulut itu.

Dari samping rumah sebelah kanan tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Seorang manusia
pocong muncul sambil mencekal leher baju seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun.
Anak ini menangis keras karena kesakitan dan rasa takut amat sangat.

Begitu melihat dan mengenali si anak lelaki, Paimah si dukun beranak menjerit keras. "Magiyo!
Setan jahat terkutuk! Jadi kalian yang menculik cucuku! Lepaskan dia! Apa dosa cucuku! Apa
dosa kami!"

Sekali berkelebat Ketua Barisan Manusia Pocong telah berada di depan Paimah. Pandangan
matanya menyorot dari balik kain putih penutup kepala. Mulutnya keluarkan ancaman.

"Kalau kau berlaku tolol tidak mau melakukan perintah, cucumu akan aku gorok. Kau boleh
pulang ke Sarangan membawa kepala anak itu!"

Paimah meratap keras. Kepalanya digeleng-gelengkan. Kemudian gelengan berubah menjadi


anggukan. "Jangan bunuh cucuku! Jangan sakiti Magiyo…" ratapnya.

Di balik kain penutup kepala, tampang Sang Ketua menyeringai. Dia bergumam lalu berkata.
"Jadi kau mau melakukan apa yang aku perintahkan?!"

Paimah tersengguk tercekik. Air mata bercucuran. Lalu perempuan tua ini anggukkan kepala
berulang kali.
"Masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu! Cepat!" ucap Sang Ketua.

Paimah melangkah dengan kaki goyah tubuh menggigil serta tangis sesenggukan. Sang Ketua
memberi isyarat pada manusia pocong yang mencekal Magiyo. Manusia satu ini cepat
berkelebat dan lenyap di samping rumah tua bersama bocah yang dicekalnya. Sang Ketua
kemudian kembali turun ke halaman.

Di depan pintu rumah, sebelum masuk Paimah tertegun sejenak. "Gusti Allah, apa dosaku
sampai mengalami kejadian begini rupa. Tuhan, tolong Magiyo. Selamatkan anak itu…"

"Paimah! Tunggu apa lagi! Cepat masuk!" Bentak Sang Ketua kesal sekali.

Dukun beranak itu akhirnya melangkah masuk. Begitu sosoknya lenyap ke dalam bangunan,
pintu yang tadi terbuka tiba-tiba menutup kembali!

Di dalam dan di luar rumah beberapa saat kesunyian yang sangat mencekam menggantung di
udara. Angin bertiup dalam dinginnya udara malam. Lampion putih kembali bergoyang-goyang.
Tak selang berapa lama di dalam rumah tua tiba-tiba terdengar satu pekik keras. Pekik
perempuan yang kesakitan. Lalu menyusul pekik kedua. Pekik tangis bayi. Dua manusia pocong
merasa lega dan memandang pada pimpinan mereka. Sang Ketua anggukkan kepala. Namun
mendadak terdengar jeritan ketiga!

Tiga manusia pocong saling pandang lalu sama-sama memperhatikan ke arah rumah, ke arah
deretan dua belas pintu yang tertutup. Sang Ketua mencium ada sesuatu yang tidak beres.

"Kalian berdua, dengar! Kalau dukun beranak itu telah selesai dengan pekerjaannya,
seharusnya salah satu pintu terbuka. Itu tidak terjadi. Ada yang tidak beres! Jangan-jangan tua
bangka itu berlaku nekad. Kurang ajar! Kalau sampai Bendera Darah terlambat atau gagal diberi
sesajian, semua kita bisa celaka!"

Baru saja Sang Ketua membatin begitu, di dalam rumah tiba-tiba terdengar pekik tangis bayi.
Terus menerus, tiada henti.

"Jahanam! Benar dugaanku! Ada yang tidak beres!"

Sang Ketua berkelebat, melompat melewati tangga. Kaki kanannya menendang salah satu pintu
yang tertutup hingga ambrol dan terpentang lebar lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Dua
Satria pocohg ikut berkelebat masuk. Di dalam rumah ketiganya sama-sama tersentak kaget.
Kaki masing-masing laksana dipantek ke lantai kayu. Mata terpentang membelalak
menyaksikan kengerian yang terpampang.

Di atas sebuah ranjang kayu tergeletak sosok seorang perempuan muda, diam tak bergerak
entah pingsan entah sudah mati. Tubuhnya nyaris telanjang penuh lumuran darah. Darah
membasahi ranjang bahkan sampai ke lantai kayu. Di lantai di samping kanan ranjang, terbujur
sosok bayi merah dalam keadaan masih bergelimang darah. Tali pusatnya yang belum putus
menjela mengerikan. Lalu di sebelah bayi yang terus menerus menangis ini, melingkar tubuh
perempuan tua si dukun beranak Paimah. Tangannya memegang pisau yang tadi diberikan Sang
Ketua Barisan Manusia Pocong. Pisau dan tangan berlumuran darah. Dua Satria Pocong
mengerenyit ngeri ketika memperhatikan leher dukun beranak itu. Ada sobekan luka besar
menganga dan masih mengucurkan darah!

"Sang Ketua memerintahkan dia menggorok leher bayi. Nyatanya dia bunuh diri menggorok
leher sendiri…" Bisik salah seorang Satria Pocong pada temannya.

Sang Ketua hanya terkesiap sesaat. Di lain kejap dia berteriak berikan perintah pada dua anak
buahnya.

"Kau!" sentak Sang Ketua sambil tudingkan tangan pada Satria Pocong di sebelah kanan. "Lekas
hubungi Wakil Ketua! Singkirkan perempuan muda di atas ranjang! Ingat, dia harus dilenyapkan
tanpa bekas tanpa jejak! Dan kamu!" Sang Ketua ganti menunjuk pada anak buah satunya.
"Selesaikan pekerjaan dukun keparat itu! Isi dua botol dengan darah bayi! Lakukan cepat! Aku
menunggu di pintu Ruang Bendera Darah!"

"Ketua," ucap Satria Pocong yang menerima perintah terakhir. Suaranya tercekat gemetar.
Wajahnya pucat di balik kain penutup kepala. "Apakah… apakah saya harus menggorok leher
bayi itu untuk mendapatkan darahnya?" Walau otaknya sudah dicuci dengan racun pemusnah
ingatan, namun karena seumur hidup tidak pernah mengerjakan hal luar biasa mengerikan
seperti itu, nyalinya menjadi leleh. Tubuhnya serasa lumat ditelan kengerian. Hal ini terbaca
oleh Sang Ketua. Dia langsung membentak.

"Perduli setan kau mau melakukan apa dan bagaimana! Yang penting dua buah bokor itu harus
diisi penuh dengan darah bayi! Kau mengerti?! Atau kau ingin saat ini juga menemui kematian
dalam ketololan!"

Satria Pocong satu ini jadi ketakutan. Cepat-cepat dia menjura sambil berseru. "Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai!"

DALAM Episode sebelumnya Rumah Tanpa Dosa diceritakan bagaimana pemuda dari
Latanahsilam, negeri 1.200 tahun lalu, yakni Jatilandak berhasil menyelamatkan Bidadari Angin
Timur ketika hendak digagahi oleh Hantu Muka Dua. Gadis berambut pirang ini kemudian
memberitahu kalau saat itu ada seorang dara bernama Wulan Srindi telah dilarikan oleh
seorang kepala rampok. Seperti yang hampir terjadi dengan dirinya, gadis itu pasti tengah
berada dalam bahaya besar. Terancam kehormatan serta jiwanya. Sebelum Bidadari Angin
Timur dan Jatilandak sempat meninggalkan pondok di pinggiran lembah, mendadak ada
seseorang melemparkan sehelai Bendera Darah. Bendera berbentuk segi tiga ini lewat hanya
satu jengkal dari wajah Bidadari Angin Timur, lalu menancap di papan rumah. Ketika Jatilandak
mencabut bendera dari papan, bagian papan seputar mana bendera menancap ikut terbongkar
hingga membentuk lobang. Setelah memperhatikan sebentar, dia lalu mencium ujung lancip
gagang bendera. Memandang pada Bidadari Angin Timur dia berkata. "Kayu gagang bendera ini
tidak beracun. Namun jika sampai menancap di wajahnya, akan membuat cacat dalam dan
lebar. Lihat, gagang ini dibuat demikian rupa membentuk gerigi yang bagian lancipnya
mengarah ke belakang. Kalau gagang menancap pada daging tubuh atau muka seseorang, lalu
dicabut, banyak bagian daging yang akan ikut terbongkar. Lihat saja papan yang berlobang itu.
Kau bisa menduga siapa adanya manusia yang begitu jahat dan keji hendak mencelakaimu?"

Bidadari Angin Timur perhatikan lobang di papan dengan perasaan ngeri lalu menjawab. "Tak
bisa kuduga. Bahkan aku tidak melihat orangnya. Gerakannya cepat sekali."

"Aku hanya sempat melihat bayangannya. Seseorang berpakaian seba putih," memberitahu
Jatilandak. "Aku ragu apakah dia Hantu Muka Dua. Walau sekilas dandanannya memang mirip-
mirip si pelempar bendera."

"Aku punya firasat orang itu bukan Hantu Muka Dua. Sebelumnya Hantu Muka Dua jelas-jelas
hendak menodaiku. Tapi si pelempar bendera tidak bersungguh-sungguh hendak mencelakai
diriku," ucap Bidadari Angin Timur yang membuat Jatilandak kerenyitkan kening merasa heran.
"Kalau dia memiliki gerakan luar biasa cepat, muncul melempar lalu lenyap seperti hembusan
angin, jika dia mau, pasti bisa menancapkan bendera itu di kepala atau tubuhku. Ada satu
maksud tersembunyi di balik pelemparan bendera. Mungkin dia hendak memberikan satu
peringatan."

Jatilandak berpikir sejenak lalu berkata. "Mungkin juga hendak memancingmu. Mengharap kau
melakukan pengejaran lalu membokongmu dalam satu jebakan. Tapi dia kemudian kabur
karena aku muncul di tempat ini."

"Bisa jadi begitu," jawab Bidadari Angin Timur sambil menggigit bibir, berpikir-pikir lalu
mengerling memperhatikan pemuda berwajah kuning di hadapannya. Ada sekelumit rasa
kasihan muncul dalam diri gadis ini. Hati kecilnya berkata. "Kalau saja kulitnya tidak kuning
seperti ini, kurasa dia cukup tampan."

"Bendera aneh, sengaja dilumuri darah. Biar kusimpan." Jatilandak kibas-kibaskan bendera
berbentuk segi tiga sampai darah yang membasahi kain bendera menjadi agak kering. Bendera
kemudian dimasukkan ke balik pakaian coklat. Sambil memandang wajah Bidadari Angin Timur
pemuda berkulit kuning ini berkata. "Ada cipratan darah bendera di pipi kananmu. Dekat bibir."

Bidadari Angin Timur usap wajahnya di bagian yang dikatakan Jatilandak. Pemuda dari
Latanahsilam itu tersenyum karena noda darah tidak seluruhnya pupus. Malah ada sebagian
melebar ke atas bibir. Tadinya dia tidak mau memberitahu. Tapi ketika ditanya oleh Bidadari
Angin Timur mengapa dia tersenyum, Jatilandak menjawab.
"Darahnya masih ada. Di atas bibir. Kalau kau izinkan aku membersihkan…"

Bidadari Angin Timur diam saja. Dia coba menyeka kembali. Tapi salah tempat. Jatilandak
tersenyum lagi. "Masih ada," katanya. Pemuda ini lalu ulurkan tangan. Sekali mengusap, noda
darah di atas bibirpun lenyap.

Jatilandak mengusap bibir sang dara biasa-biasa saja. Tanpa perasaan apa-apa. Semata-mata
hanya dengan niat menolong. Sebaliknya entah mengapa si gadis merasa sentuhan tangan si
pemuda menimbulkan getaran aneh dalam dirinya, sekalipun dia yakin Jatilandak tidak punya
maksud tidak baik dalam menolong tadi.

"Kita harus pergi sekarang juga. Mengejar penjahat penculik gadis bernama Wulan Srindi," kata
Bidadari Angin Timur sambil memandang ke jurusan lain, menyembunyikan wajahnya yang
bersemu merah.

"Aku tahu arah lari penjahat itu. Waktu menuju ke sini aku melihat dia keluar dari lembah, lari
ke arah selatan. Mendukung seseorang."

"Datang ke sini tadi, penjahat itu menunggang kuda. Jika dia kabur dengan lari biasa berarti dia
belum berapa jauh."

"Berarti juga tujuan yang hendak dicapainya tidak jauh dari sini," kata Jatilandak pula.

Bidadari Angin Timur tanpa banyak menunggu lagi segera melompat ke atas punggung kuda
miliknya. Sedang Jatilandak memilih seekor kuda besar yaitu kepunyaan Warok Jangkrik yang
ditinggalkan kepala rampok itu. Kedua orang ini segera membedal kuda masing-masing ke arah
selatan.

***

DANGAU kecil itu terletak di bawah satu pohon besar, di pinggir ladang kopi yang sudah sejak
lama ditelantarkan pemiliknya. Ke tempat inilah Warok Jangkrik membawa gadis culikannya.
Wulan Srindi dengan keadaan pakaian tidak karuan rupa nyaris bugil dan dalam tubuh tertotok
dibaringkan di lantai dalam keadaan tertotok, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kepala
dirundukkan mencium pipi Wulan Srindi. Bersamaan dengan itu tangan yang membelai wajah
turun mengusap leher yang jenjang lalu secara kurang ajar turun lagi ke dada. Sampai di sini
Warok Jangkrik tak sabaran lagi. Pakaian Wulan Srindi dirobeknya hingga keadaan gadis malang
ini tambah mengenaskan. Sebenarnya saat itu Warok Jangkrik ingin melepaskan totokan yang
melumpuhkan Wulan Srindi. Bagaimanapun juga dia lebih suka menghadapi orang yang bisa
bersuara dan bisa bergerak. Namun sewaktu di lembah, dia telah melihat sendiri kehebatan
ilmu silat si gadis ketika dikeroyok oleh empat anak buahnya. Kepala rampok ini tak mau cari
penyakit. Dua tangannya bergerak. Dalam waktu singkat perawan anak murid Perguruan Silat
Lawu Putih itu nyaris tidak tertutup lagi auratnya. Warok Jangkrik kemudian tanggalkan
pakaiannya sendiri. Walau hati menjerit oleh rasa takut akan apa yang bakal menimpa dirinya,
namun dalam keadaan tak berdaya Wulan Srindi hanya bisa pasrah. Dalam ketidakberdayaan
itu tiada henti gadis ini mengucap memanggil nama Tuhan, meminta pertolonganNya.

Sewaktu Warok Jangkrik meniduri tubuhnya dan tak ada lagi kemungkinan bagi Wulan Srindi
untuk menyelamatkan diri dari perbuatan keji terkutuk itu tiba-tiba ada dua bayangan
berkelebat disusul ucapan-ucapan lantang.

"Manusia kurang ajar! Kepalamu layak kuhancurkan!" Satu suara lelaki datang dari arah kanan
dangau.

"Tidak! Jahanam itu harus mati di tanganku!" Suara perempuan meningkahi, datang dari arah
yang sama.

Warok Jangkrik tersentak kaget, cepat berpaling. Dia melihat satu bayangan biru berkelebat lalu
satu tendangan menderu ke arah kepalanya!

Sambil berseru keras Warok Jangkrik rundukkan kepala. Tangan kiri cepat menarik celana ke
atas. Tangan sebelah kanan sebenarnya punya kesempatan mengirimkan serangan balasan
berupa jotosan ke bawah perut si penyerang. Namun ketika melihat siapa adanya lawan, kepala
rampok ini memilih selamatkan diri dengan berguling lalu jatuhkan tubuh ke bawah dangau.
Tangan kanan dipergunakan untuk menyambar golok yang tergeletak di lantai dangau.

Begitu berdiri di tanah Warok Jangkrik segera cabut golok. Memandang ke depan dia dapatkan
diri berhadapan dengan gadis cantik berpakaian biru berambut pirang.

"Bidadari Angin Timur," ucap Warok Jangkrik dengan suara tersendat bergetar. Dua langkah di
belakang si gadis berdiri seorang pemuda aneh berkepala botak. Kepala botak itu, wajah dan
kulit tangan serta kakinya kelihatan kuning. Menghadapi Bidadari Angin Timur seorang saja
kepala rampok ini sudah merasa jerih. Apa lagi bersama si gadis ada seorang pemuda aneh
berkulit kuning yang dari gerak-gerik penampilannya jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Warok Jangkrik cepat memutar otak.

"Tunggu! Jangan salah sangka. Gadis itu belum aku apa-apakan. Kau bisa dapatkan dirinya
dalam keadaan selamat. Biar urusan kita selesaikan sampai di sini saja!"

Habis berkata begitu Warok Jangkrik menghambur ke kiri, siap ambil langkah seribu. Tapi yang
dihadapinya adalah seorang gadis yang bukan saja berkepandaian tinggi namun juga punya
kemampuan bergerak laksana kilatan cahaya. Baru dua langkah kepala rampok itu membuat
lompatan kabur, sosok Bidadari Angin Timur berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang di
depannya.

Sambil sunggingkan senyum sinis dan angkat kepalanya sedikit, Bidadari Angin Timur berkata.
"Warok Jangkrik! Perampok bejat! Sebelumnya kau menipuku hingga diriku hampir jadi
santapan manusia jahanam bercadar putih. Sekarang kau hendak berbuat mesum terhadap
gadis ini? Dosa kejahatanmu selangit tembus. Kau pantas dikirim ke neraka saat ini juga! Tapi
hari ini aku bersedia memberi pengampunan jika kau…"

"Sahabatku Bidadari, perlu apa berbaik hati. Orang jahat semacam dia harus diberi hukuman
berat agar tidak ada orang lain jadi korban keganasannya di kemudian hari!" Pemuda botak
berkulit kuning yang bukan lain adalah Jatilandak dari Negeri Latanahsilam memotong ucapan
Bidadari Angin Timur.

"Aku bersumpah! Aku bertobat!" seru Warok Jangkrik. "Biarkan aku pergi…"

"Kau boleh pergi, tapi ada satu syarat. Ada pertanyaan yang harus kau jawab!" Berkata Bidadari
Angin Timur.

"Jangankan satu syarat, jangankan satu pertanyaan. Seribu syarat seribu petanyaanpun akan
aku patuhi dan akan aku jawab." kata Warok Jangkrik pula. Dia merasa gembira ternyata orang
mau memberi pengampunan atas dirinya.

"Bagus," kata Bidadari Angin Timur sambil angguk-anggukkan kepala dan kembali tersenyum
hingga lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. "Sarungkan golokmu. Aku tidak suka bicara
dengan orang yang memegang senjata di tangan."

Warok Jangkrik cepat-cepat sarungkan goloknya, tapi tidak diselipkan di pinggang karena tadi
belum sempat mengenakan sabuk besar dan celana masih setengah kedodoran. Setelah
disarungkan senjata itu dipegangnya di tangan kanan.

"Aku ingin tahu, mengapa kau menjebak diriku hingga hampir celaka di tangan manusia tinggi
besar berjubah dan bertutup kepala kain putih itu."

"Dengar, aku… aku tidak ada permusuhan denganmu. Orang berjubah itu membujuk diriku. Aku
diiming-iming sekantong emas." Menerangkan Warok Jangkrik. "Tapi bangsat itu menipuku!
Emas yang dijanjikan, yang diberikan ternyata hanya tujuh batu kerikil!"

"Begitu! Penipu tertipu…" ujar Bidadari Angin Timur lalu dongakkan kepala dan tertawa
panjang. Warok Jangkrik ikut tertawa cengengesan. Jatilandak hanya berdiri mengawasi kedua
orang itu sambil rangkapkan tangan di atas dada. "Kau tahu siapa adanya orang yang kau sebut
bangsat itu?" tanya Bidadari Angin Timur walau sebenarnya dia sudah tahu karena sebelumnya
telah mendapat keterangan dari Jatilandak.

"Aku tidak kenal siapa dia. Bertemunyapun secara kebetulan. Di satu rumah tua di lembah.
Waktu itu aku dalam perjalanan ke Magetan. Aku tidak perduli siapa dia. Saat itu aku hanya
tertarik pada emas yang dijanjikan. Kalau aku bisa memancingmu ke rumah tua di lembah,
sekantong emas akan diberikannya padaku."
"Kau tahu mengapa dia hendak mencelakai diriku?"

Warok Jangkrik gelengkan kepala. "Aku tidak dusta. Aku tidak tahu mengapa dia ingin
mencelakai dirimu. Dia hanya meminta aku melarikan gadis bernama Wulan Srindi itu dan
memancingmu agar datang ke rumah tua di lembah."

Bidadari Angin Timur melirik ke arah Jatilandak lalu berkata. "Warok Jangkrik, kau sudah
menjawab semua pertanyaanku. Kau boleh pergi. Namun…"

"Namun apa?" tanya Warok Jangkrik dan mendadak saja mulai merasa jerih.

"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau akan berubah jadi orang baik?" Tanya Bidadari
Angin Timur sambil menatap tajam ke arah Warok Jangkrik.

"Percaya padaku. Bukankah tadi aku sudah mengucapkan sumpah, sudah mengatakan tobat!"

"Benar sekali. Telingaku tadi memang mendengar semua ucapan, segala sumpahmu. Namun
hatiku berkata lain. Siapa percaya pada dirimu?" kata Bidadari Angin Timur pula. "Kalau
begitu…"

Belum sempat Warok Jangkrik menyelesaikan ucapannya sosok gadis di hadapannya mendadak
lenyap. Dia hanya melihat bayangan biru berkelebat disusul suara sreet! Golok besar di tangan
kirinya dicabut orang! Warok Jangkrik berteriak kaget. Dia cepat melompat mundur. Tapi
terlambat. Lengan kanannya mendadak terasa dingin. Memandang ke bawah dia dapatkan
lengan kanan itu telah putus oleh golok miliknya sendiri yang laksana kilat ditabaskan Bidadari
Angin Timur. Warok Jangkrik sudah puluhan kali melihat semburan darah dari tubuh orang-
orang yang jadi korbannya tanpa rasa merinding. Tapi kali ini dia menjerit setinggi langit melihat
darah sendiri yang menyembur dari kutungan lengan.

"Juangkrikk! Tobaaattt!" Sosok kepala rampok itu terhuyung melintir. Dengan tangan kiri dia
berusaha menotok urat saluran darah di bahu kanan. Namun darah masih terus mengucur.

"Lekas minggat sebelum kubuntungkan tanganmu yang satu lagi!" Mengancam Bidadari Angin
Timur.

Dicekam rasa sakit dan takut bukan kepalang Warok Jangkrik tidak menunggu lebih lama.
Secepat kilat dia kabur tinggalkan perkebunan kopi. Sementara berlari dari mulutnya tiada henti
keluar jeritan kesakitan.

Bidadari Angin Timur sesaat pandangi golok berdarah di tangan kanannya lalu melirik ke arah
pemuda di sampingnya. Dia melihat bayangan ketegangan menyelimuti wajah kuning Jatilandak
dan berkali-kali pemuda ini menarik nafas panjang.
"Ada apa? Kau tidak suka melihat aku menabas buntung tangan manusia jahat itu? Sebelumnya
kau sendiri keluarkan ucapan agar kita menjatuhkan hukuman berat atas manusia laknat satu
ini." Ketika Jatilandak tak menjawab ucapannya Bidadari Angin Timur meneruskan
perkataannya. "Seharusnya kepalanya yang aku tabas. Bukan tangannya…"

"Lalu, kenapa tidak kau tabas lehernya?" tanya Jatilandak.

Bidadari Angin Timur tersenyum. "Pertanyaanmu aneh," katanya. Lalu golok yang dipegang
dicampakkan ke tanah hingga menghunjam amblas, hanya ujung gagangnya yang masih
menyembul.

Jatilandak ikutan tersenyum walau tengkuknya agak terasa dingin. Gadis sehalus dan secantik
Bidadari Angin Timur ternyata bisa menghukum seseorang secara mengerikan seperti itu.

"Itulah hukum rimba persilatan. Memang manusia jahat itu seharusnya layak dibunuh." Di balik
senyum Jatilandak, Bidadari Angin Timur bisa membaca apa yang mungkin tersirat dalam hati si
pemuda. Maka diapun berkata. "Hajaranku tadi masih terlalu ringan. Kalau manusia satu itu
tidak berubah kelakuan, kelak kalau bertemu aku akan benar-benar menabas batang lehernya."

Jatilandak mengangguk lalu goyangkan kepala ke arah dangau. "Gadis itu perlu segera ditolong.
Kau saja yang melakukan." Jatilandak merasa rikuh turun tangan karena keadaan aurat Wulan
Srindi yang nyaris telanjang.

Sekali lompat saja Bidadari Angin Timur sudah berada di pinggir dangau. Dari balik pakaiannya
dia keluarkan seperangkat baju dan celana panjang yang kemudian diletakkan di samping
Wulan Srindi. Setelah memperhatikan keadaan tubuh gadis itu, Bidadari Angin Timur segera
melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi.

"Lekas kenakan pakaian itu. Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan padamu."

Wulan Srindi merasa ada hawa hangat mengalir dalam tubuhnya pertanda totokan yang
mengunci jalan suara dan membuat dirinya kaku telah musnah. Gadis ini gerakkan tubuh,
langsung dan cepat mengambil baju dan celana yang terletak di lantai dangau.

"Terima kasih kau telah menolongku," ucap Wulan Srindi lalu dengan cepat, tanpa membuka
pakaian penuh robek yang masih melekat di badannya, dia kenakan baju dan celana pemberian
Bidadari Angin Timur. Ternyata pakaian ini cocok dengan ukuran tubuhnya. Selesai
mengenakan pakaian, Wulan Srindi turun dari atas dangau lalu jatuhkan diri di tanah, berlutut
di hadapan Bidadari Angin Timur dan membungkuk dalam. "Terima kasih. Kalau tidak kau yang
menolong entah apa jadinya dengan diriku."

"Tidak perlu berlutut, aku bukan Dewa, bukan pula Gusti Allah."
"Bagaimanapun juga aku berhutang budi, kehormatan bahkan nyawa. Saat ini aku hanya bisa
mengucapkan terima kasih. Kalau kelak di kemudian hari aku tidak bisa membalas budi
pertolonganmu, biarlah Yang Maha Kuasa membalasnya berlipat ganda." Dalam mengeluarkan
ucapan itu di dalam hati Wulan Srindi merasa seolah ada sesuatu di balik perkataan Bidadari
Angin Timur. "Kata-katanya baik dan benar. Namun telinga dan hatiku merasa ada sedikit hawa
ketus dalam nada suaranya. Mungkin aku salah menduga." Wulan Srindi berucap dalam hati.
Lalu berkata. "Sahabat cantik, kalau aku boleh bertanya siapakah kau tuan penolongku ini
adanya?"

"Simpan semua pertanyaanmu. Aku yang lebih dulu ingin bertanya padamu," jawab Bidadari
Angin Timur sambil matanya memperhatikan tajam gadis di hadapannya.

Wulan Srindi sejurus tatap wajah cantik gadis di depannya. Kecantikannya semakin menonjol
oleh rambut yang berwarna pirang. Saat memandang wajah cantik jelita itu, di dalam hati murid
Perguruan Silat Lawu Putih ini kembali merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada
ucapan Bidadari Angin Timur. Mungkin kecurigaan, mungkin juga satu ketidakpercayaan dan
ingin menyelidik. Hal ini lebih kentara jika memperhatikan sorot pandang sepasang mata si
gadis. Perlahan-lahan Wulan Srindi anggukkan kepala. "Jika sahabat hendak bertanya, saya siap
menjawab," kata Wulan Srindi pula.

"Pertama, aku ingin tahu siapa dirimu adanya."

"Namaku Wulan Srindi. Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Beberapa waktu lalu…"

Bidadari Angin Timur yang tak ingin penjelasan berpanjang-panjang potong ucapan Wulan
Srindi. "Sewaktu di kedai Ki Sedap Roso di simpang jalan Sarangan, kau bertanya perihal
seorang pemuda bernama Wiro Sableng pada pemilik kedai. Apa hubunganmu dengan pemuda
itu. Mengapa kau mencarinya?"

"Nah… nah… nah," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Makin kentara nada suaranya yang ketus.
Bukan, bukan cuma ketus… Tapi berbau cemburu. Aku menaruh hormat padanya. Tapi jika dia
menunjukan sikap curiga bahkan seperti mau menyudutkanku, sikap hormatku bisa berkurang.
Malah bisa habis…"

"Wulan Srindi, kau belum menjawab pertanyaanku. Agaknya kau tak mau memberi
keterangan?"

"Jelas, jelas sekali dia menaruh curiga yang berbau cemburu." Kembali Wulan Srindi membatin.
Lalu gadis ini keluarkan jawaban. "Ada seseorang menugaskan aku mencari pemuda bernama
Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu."

Sepasang alis hitam Bidadari Angin Timur menjungkit ke atas. "Seseorang menugaskanmu
mencari Wiro? Siapa orang itu?" tanya Bidadari Angin Timur pula penuh rasa ingin tahu.
"Seorang kakek berjuluk Dewa Tuak."

"Dewa Tuak?" Sepasang mata Bidadari Angin Timur menyipit, menatap tajam-tajam ke mata
Wulan Srindi. Dalam hati dia tidak bisa percaya begitu saja pada gadis yang barusan ditolongnya
ini. "Sudah cukup lama tokoh rimba persilatan itu tidak pernah muncul. Tahu-tahu kau
mendapat tugas darinya untuk mencari Pendekar 212. Kenapa? Urusan apa? Di mana kau
bertemu orang tua itu. Kapan? Mengapa dia menugaskanmu mencari Pendekar 212? Tunggu!
Katakan dulu apa hubunganmu dengan Dewa Tuak."

"Aku murid kakek itu," jawab Wulan Srindi dengan air muka bersungguh-sungguh.

"Apa?!"

"Sahabat penolong, kau bertanya apa hubunganku dengan kakek itu. Aku barusan menjawab.
Aku murid Dewa Tuak." Jawab Wulan Srindi pula.

"Tidak mungkin. Tidak bisa jadi. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid perempuan.
Bernama Anggini. Sebayaku… Kau jangan mengaku-aku."

"Mohon maafmu. Mana berani aku mengaku-aku. Apa lagi bicara dusta padamu yang telah
menyelamatkan diriku. Menurutmu tadi sudah lama kakek itu tidak muncul dalam rimba
persilatan. Selama itu banyak hal bisa terjadi. Salah satu di antaranya adalah hubungan diriku
dengan dia. Memang aku belum lama menjadi muridnya…"

Bidadari Angin Timur terdiam, menggigit bibir lalu melirik pada Jatilandak.

Melihat lirikan Bidadari Angin Timur, pemuda dari Latanahsilam ini membuka mulut. "Aku rasa
Wulan Srindi tidak berdusta. Bisa saja ada kemungkinan bahwa Dewa Tuak telah mengambilnya
jadi murid."

"Aku tahu betul siapa Dewa Tuak. Tidak semudah itu dia mengangkat seorang murid baru.
Tapi… entahlah, mungkin begitu. Belum lama berselang aku bertemu Anggini. Dia tidak pernah
bicara kalau gurunya telah mengangkat seorang murid baru. Mungkin… mungkin Anggini juga
belum mengetahui hal itu."

Wulan Srindi diam saja tapi dalam hati dia menunggu apa lagi yang hendak ditanyakan gadis
berambut pirang itu padanya.

"Kau ditugaskan mencari Pendekar 212 oleh Dewa Tuak. Baiklah. Sekarang ceritakan mengapa
dia memberi tugas itu padamu? Memangnya kau punya hubungan apa dengan pemuda itu?"

"Cemburu! Aku benar-benar mencium hawa cemburu," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Biar aku
menguji dirinya." Sambil mengelus jari-jari tangannya sendiri dan tundukkan kepala seolah
malu, padahal sebenarnya dia ingin menyembunyikan senyum jahilnya, Wulan Srindi berkata.
"Sebenarnya ini adalah urusan pribadi. Tapi karena kau sahabat yang telah menolong dan
kepada siapa aku berhutang budi, kehormatan serta nyawa, maka aku ikhlas menceritakan
padamu. Dewa Tuak menugaskan aku mencari Pendekar 212 menyangkut perihal perjodohan
diriku dengan pemuda itu." Ucapan Wulan Srindi seolah serasa sambaran petir sampainya di
telinga Bidadari Angin Timur. Wajah cantiknya mendadak sontak bersemu merah sampai ke
telinga.

"Gila!" Tiba-tiba meledak ucapan itu dari mulut Bidadari Angin Timur. Membuat Wulan Srindi
tersentak angkat kepala dan juga membuat Jatilandak menatap heran. Bidadari Angin Timur
sadar kalau dia telah kelepasan ucapan yang tidak wajar. "Tidak mungkin… Tidak mungkin…"
Suaranya perlahan bergetar. Sesaat dia menatap Wulan Srindi kemudian pandangannya
diarahkan ke kejauhan. Perlahan-lahan entah mengapa muncul saja rasa benci dalam hatinya
terhadap Wulan Srindi. Kebencian yang disertai rasa penyesalan. "Seharusnya tidak kutolong
dia tadi. Menyesal aku menolongnya…" Suara itu menggema berulang kali dalam hati kecil
Bidadari Angin Timur.

"Kena kau sekarang!" ucap Wulan Srindi dalam hati. "Kecemburuanmu kau buktikan sendiri
dengan ucapan, sikap dan air matamu."

Bidadari Angin Timur berpaling pada Jatilandak. Tanpa berkata apa-apa dia tinggalkan tempat
itu. Berlari kencang ke arah utara.

"Bidadari Angin Timur! Tunggu! Kau mau ke mana?!" Berseru Jatilandak. Menjawab tidak
berpalingpun tidak malah Bidadari Angin Timur percepat larinya sehingga tubuhnya terlihat
seperti kelebatan bayangan biru. Jatilandak usap kepalanya yang kuning botak.

Dia memandang pada Wulan Srindi, seperti hendak mengatakan sesuatu pada gadis ini. Si gadis
balas memandang dengan tersenyum, malah dengan nakal dia kedip-kedipkan matanya pada
pemuda yang sedang bingung ini. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa Jatilandak akhirnya
berkelebat mengejar Bidadari Angin Timur.

Wulan Srindi menarik nafas panjang. Sambil tersenyum hatinya menduga. "Pasti ada sesuatu
antara gadis penolongku itu dengan Pendekar 212. Dia kelihatan marah dan cemburu. Apakah
dia mencintai Wiro? Seumur hidup aku belum pernah melihat pemuda itu. Seandainya tidak
ada pesan dari Dewa Tuak, kini aku jadi sungguhan ingin mencari dan menemui pendekar
terkenal itu. Selain memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi, pasti wajahnya sangat tampan."

Wulan Srindi rapikan pakaian, memandang ke arah lenyapnya Jatilandak lalu berkata perlahan.
"Pemuda botak itu, agaknya dia menaruh hati pada si rambut pirang. Hemmm…" Wulan Srindi
gelengkan kepala dan kembali tersenyum.

3
UNTUK beberapa saat lamanya Jatilandak hanya berdiri di balik rerumpunan pohon keladi
hutan memperhatikan Bidadari Angin Timur yang duduk di dekat sebuah mata air. Dua kaki
dilipat dan kepala dibenamkan di antara dua lutut.

"Heran, apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Jatilandak dalam hati. "Dia seperti tergoncang.
Apakah aku pergi saja atau menemui dan coba bicara dengan dia? Siapa tahu bisa menolong…"
Sesaat pemuda dari Latanahsilam itu masih merasa ragu. Antara hasrat hendak menolong sang
dara dan keinginan untuk pergi tak mau mencampuri urusan orang. Dalam berpikir menimbang-
nimbang tak sengaja daun keladi hutan yang dipegang dan disibakkannya terlepas, terkuak dan
mengeluarkan suara cukup jelas bagi seorang berkepandaian tinggi seperti Bidadari Angin
Timur.

"Kurang ajar! Siapa berani mengintai diriku!" rutuk gadis berambut pirang itu. "Pasti gadis tak
tahu diuntung itu!" Tanpa mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur gerakkan
tangan kanan lalu lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah rerumpunan pohon keladi di balik
mana Jatilandak berada.

Wuuusss!

Satu gelombang angin luar biasa derasnya menderu. Rumpunan pohon keladi dan semak
belukar di sekitarnya terbongkar dari tanah, melayang ke udara dalam keadaan hancur
berantakan. Kalau Jatilandak tidak cepat menghindar pasti tubuhnya juga akan ikut kena
hantaman pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi itu.

Masih belum mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur kembali gerakkan tangan
kanan. Dari balik pohon tempatnya berlindung Jatilandak cepat berseru.

"Sahabat! Tahan pukulanmu! Ini aku! Jatilandak!"

Tangan yang hendak menghantam perlahan-lahan turun ke bawah. Kepala masih menunduk.
Lalu terdengar suara isakan.

Jatilandak terkesiap heran. "Benar-benar aneh. Tadi dia menyerangku hebat sekali. Kini malah
sesenggukan. Dia sahabatku. Aku harus tahu apa yang tengah terjadi dengan dirinya." Pemuda
dari, Latanahsilam ini segera mendekati Bidadari Angin Timur dan tetap berlaku waspada,
khawatir tiba-tiba diserang lagi. Dia duduk di dekat mata air, di samping si gadis, lalu dengan
suara lembut bertanya, "Bidadari Angin Timur, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu.
Kalau boleh tahu, mengapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini? Kalau ada sesuatu yang bisa aku
lakukan untuk menolongmu, katakanlah."

Sapaan Jatilandak itu malah membuat isak sengguk Bidadari Angin Timur semakin keras.
Pemuda bermuka kuning itu jadi tambah bingung. Dia ulurkan tangan kiri, mengelus punggung
si gadis. Tiba-tiba Bidadari Angin Timur angkat kepalanya, memandang ke arah Jatilandak.
Wajahnya yang cantik basah oleh air mata.
"Pergi, jangan sentuh," ucap Bidadari Angin Timur. Suaranya memang tidak keras, tapi cukup
membuat Jatilandak terkejut. "Aku tak ingin diganggu. Saat ini aku ingin sendirian."

Jatilandak tarik tangannya. "Maaf, aku bermaksud baik padamu. Aku tidak bisa menduga apa
yang terjadi dengan dirimu. Namun aku melihat, ada satu perubahan pada dirimu setelah
pertemuan dengan Wulan Srindi."

"Aku tidak suka pada gadis itu!"

"Heh…?" Jatilandak memandang heran. "Kau tidak suka, tapi kau lupa bahwa kau telah
menyelamatkan dirinya?"

"Aku menyesal telah menolongnya."

"Sahabatku Bidadari Angin Timur. Tidak baik berkata seperti itu. Kau tahu, kau telah berbuat
satu pahala sangat besar menolong gadis yang hampir celaka itu."

"Aku tidak mengharapkan pahala ataupun pujian. Maafkan kalau tadi aku menyerangmu. Aku
mengira kau Wulan Srindi yang sengaja mengikutiku. Jatilandak, aku ingin sendirian di tempat
ini."

"Baiklah, kalau kau minta aku pergi dari sini," kata pemuda muka kuning itu. "Agar aku tidak
was-was, aku ingin bertanya, apakah karena gadis bernama Wulan Srindi itu diambil murid oleh
Dewa Tuak dan kau merasa tidak layak, lalu kau tidak menyukai dirinya?"

Bidadari Angin Timur tidak menjawab.

Jatilandak tersenyum. Pertanyaannya tadi hanya sekedar hendak memancing untuk satu
pertanyaan berikutnya. Tapi karena yang ditanya tidak menjawab maka sebelum bangkit berdiri
pemuda ini berkata lagi. "Maafkan aku. Aku tidak pantas mencampuri urusanmu. Selamat
tinggal, sahabatku. Jaga dirimu baik-baik…" Pemuda ini hendak membelai rambut pirang sang
dara. Tapi membatalkan niatnya dan akhirnya bergerak bangun.

"Tunggu," tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata. Dalam hati gadis ini membatin. "Ah, mengapa
aku tidak bisa menguasai diri. Apakah aku harus menjelaskan semua padanya. Bisa-bisa dia
menilai aku ini tambah tidak karuan…"

"Kau hendak mengatakan sesuatu?" tanya Jatilandak.

"Soal gadis itu diambil murid oleh orang pandai, itu adalah nasib dan rejeki masing-masing
orang. Kalau memang benar, gadis itu sangat beruntung."
"Selama berada di tanah Jawa ini aku tidak kenal dan tidak pernah bertemu Dewa Tuak. Kakek
satu itu kepandaiannya pasti setinggi langit sedalam lautan." Jatilandak diam sebentar, lalu
sambil tersenyum dia bertanya. "Kalau soal dirinya diangkat murid bagimu tidak menjadi
ganjalan, lalu apa yang membuatmu sedih?"

"Aku hanya kesal dengan diriku sendiri," jawab Bidadari Angin Timur.

"Kesal terhadap dirimu atau terhadap diriku yang jelek ujud ini?"

Bidadari Angin Timur tersenyum dan pegang lengan Jatilandak. Tanpa melepaskan
pegangannya dia berkata, "Kau orang baik…"

"Kau juga baik," jawab Jatilandak seraya tangan kanannya diletakkan pula di atas tangan kiri
Bidadari Angin Timur yang memegang lengannya.

"Bidadari Angin Timur, gadis bernama Wulan Srindi itu tidak perlu kau ingat-ingat lagi…"

"Aku sudah melupakan perihal ucapannya bahwa dia adalah murid Dewa Tuak. Tapi yang aku
tidak suka, dia berdusta kalau Dewa Tuak telah menjodohkan dirinya dengan Pendekar 212
Wiro Sableng."

"Bagaimana kau yakin dia berdusta?"

"Karena sebelumnya Dewa Tuak ingin menjodohkan muridnya bernama Anggini dengan
pendekar itu. Namun tidak ada kata putus. Sinto Gendeng guru Pendekar 212 tidak pernah
setuju dengan ikatan perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, Wiro sendiri tampaknya acuh saja."

"Jika begitu ceritanya, tidak heran kalau Dewa Tuak akhirnya menjodohkan Wulan Srindi
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng." Kata Jatilandak pula.

Bidadari Angin Timur tatap Jatilandak sesaat.

"Kau… kau percaya hal itu memang terjadi?" tanya sang dara perlahan sekali.

"Segala sesuatu bisa terjadi. Dewa Tuak pasti orang keras hati. Kalau muridnya yang bernama
Anggini tidak dapat jadi jodoh Pendekar 212, maka dia coba dengan muridnya yang lain. Wulan
Srindi itu. Baginya yang penting adalah mengikat pendekar itu dengan orang yang ada sangkut
paut dengan dirinya. Kakek sakti, juga cerdik…"

Lama Bidadari Angin Timur terdiam. Perlahan, sepasang matanya yang bagus kelihatan mulai
berkaca-kaca.

"Dugaanku benar. Aku berhasil memancing sikapnya. Gadis ini mencintai Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kini dia takut akan kehilangan pemuda itu…" Jatilandak membatin dalam hati. Ketika
genangan air mata jatuh berderai di pipi Bidadari Angin Timur, Jatilandak ulurkan tangan kiri
untuk mengusap. Dengan tangan kanannya Bidadari Angin Timur pegang jari-jari tangan
pemuda itu lalu ditempelkan ke pipinya sementara air mata menetes jatuh semakin deras.

"Kau mencintai Pendekar 212?" Tiba-tiba meluncur pertanyaan itu dari mulut Jatilandak.

Bidadari Angin Timur tersentak. Sepasang bola matanya membesar tapi mulutnya tidak
menjawab. Malah kedua matanya dipejamkan dan tangan Jatilandak semakin kencang
dipegang di atas pipinya. Bibir terbuka bergetar tapi suaranya hanya menggema di dalam hati.
"Kau sahabat baik… Kau yang belum lama mengenalku bisa tahu perasaanku. Tetapi dia yang
kuharapkan itu mengapa seolah tak pernah perduli…"

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Bidadari Angin Timur dan Jatilandak
angkat kepala, berpaling. Dua penunggang kuda berhenti di seberang mata air. Salah seorang
dari keduanya, yang mengenakan pakaian serba putih melesat ke udara. Membuat gerakan
jungkir balik dan di lain kejap sudah tegak berdiri di hadapan kedua orang itu. Penunggang
satunya melompat biasa, turun dari kuda lalu melangkah dan berdiri di samping penunggang
kuda pertama.

Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbuka lebar. Wajahhya yang kemerahan berubah pucat.
Cepat-cepat gadis ini tarik dua tangannya yang saling berpegangan dengan tangan Jatilandak.
Lalu bangkit berdiri diikuti Jatilandak. Suaranya bergetar ketika menyebut nama orang yang
tegak di hadapannya.

"Wiro…"

PENDEKAR 212 Wiro Sableng sesaat tatap wajah Bidadari Angin Timur. Dia jelas melihat tanda-
tanda si gadis habis menangis. Senyum kecil terkulum di mulut murid Sinto Gendeng. Senyum
yang tampak aneh di mata Bidadari Angin Timur. Senyum yang menimbulkan satu tusukan
pedih di lubuk hatinya. Membuat gadis ini bertambah canggung memandang sang pendekar.
Wiro melirik pada Jatilandak. Pemuda ini tampak tenang seperti tidak ada apa-apa. Wiro
kembali tersenyum, menggaruk kepala lalu berkata. Suaranya dibuat gembira begitu rupa,
sengaja menindih perasaan hatinya yang galau.

"Dua sahabat! Tidak disangka akan bertemu kalian di tempat ini. Bidadari Angin Timur apakah
kau baik-baik saja? Jatilandak? Ah, tentunya kalian berdua ada dalam keadaan baik-baik.
Bidadari, seharusnya kau berada di Kotaraja. Apakah Setan Ngompol ada menemanimu di
Gedung Kepatihan? Aku menyuruh dia ke sana untuk menemuimu, Sutri Kaliangan, Ratu
Duyung dan Anggini."

Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dua matanya masih menatap membelalak tertegun ke
arah Wiro, wajahnya bertambah pucat. Kepalanya menggeleng perlahan. Wiro melirik sekali
lagi pada Jatilandak lalu kembali memandang ke arah Bidadari Angin Timur yang balas
menatapnya dengan mata tak berkesip.

"Ah, aku tidak ingin mengganggu ketenteraman kalian berdua. Aku dan sahabat Loh Gatra ada
urusan penting yang harus dilakukan…" Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng
memberi isyarat pada Loh Gatra dan putar tubuhnya.

"Wiro…" panggil Bidadari Angin Timur. Suaranya agak tersendat.

Saat itu Wiro telah berkelebat dan melompat naik ke atas kuda. Bidadari Angin Timur bangkit
berdiri. Jatilandak juga ikutan bangun.

"Wiro, ada sesuatu yang perlu aku jelaskan," kata Jatilandak pula.

Di atas punggung kuda Pendekar 212 hanya sunggingkan senyum, lambaikan tangan lalu
menggebrak tunggangannya melesat tinggalkan tempat itu. Loh Gatra merasa tidak ada
gunanya dia berlama-lama di tempat itu segera pula bergerak pergi. Sebelum berlalu dia masih
sempat berkata pada Bidadari Angin Timur. "Ada urusan gawat. Larasati, istriku, diculik
komplotan manusia pocong yang berkeliaran di sekitar Sarangan. Aku pergi duluan…"

"Loh Gatra, tunggu!" panggil Bidadari Angin Timur yang sebelumnya memang telah mengenal
suami Nyi Larasati itu. (Baca serial Wiro Sableng Badik Sumpah Darah terdiri dari 7 Episode).
Tapi seperti Wiro, Loh Gatra juga telah naik ke atas kudanya dan tinggalkan tempat itu.

"Ya Tuhan, dia pasti telah menduga…" ucap Bidadari Angin Timur. Lututnya terasa goyah.
Perlahan-lahan dia jatuh berlutut, tundukkan kepala ke dalam dua telapak tangan. Bahunya
turun naik menahan isakan. Jatilandak segera dekati gadis ini, pegang bahunya seraya berbisik.

"Bidadari, kau dan aku sama-sama dalam keadaan khawatir. Wiro pasti mempunyai kesan keliru
terhadap kita. Kita harus segera mengejarnya…" Bidadari Angin Timur tetap saja menekap
wajahnya dengan dua telapak tangan. Kepalanya digelengkan. Lalu terdengar ucapannya
tersendat-sendat. "Aku tak ingin ke mana-mana. Biar di sini saja. Rasanya aku ingin mati di
tempat ini."

"Tidak sahabatku. Kau tidak boleh berucap dan bersikap seperti itu. Kita harus mencari Wiro
dan bicara padanya. Kalau perlu aku akan mendukungmu mencari pemuda itu sampai dapat."
Lalu Jatilandak benar-benar mendukung sang dara. Bidadari Angin Timur berusaha berontak
lepaskan diri tapi akhirnya gadis ini hanya bisa menangis dalam pelukan pemuda dari
Latanahsilam itu.

***

TAK sampai lima puluh tombak memacu tunggangannya, sebelum Loh Gatra menyusul,
Pendekar 212 memutar kuda, bergerak perlahan, menyelinap kembali menuju mata air. Di balik
serumpun pohon bambu hutan, murid Sinto Gendeng hentikan kudanya, sibakkan ranting-
ranting pepohonan, memandang ke depan. Saat itulah dia melihat Jatilandak tengah
mendukung Bidadari Angin Timur dan si gadis menangis dalam pelukan pemuda berkulit kuning
itu. Jantungnya serasa runtuh dan remuk.

"Apa arti semua ini…?" ucap Wiro setengah berbisik dan tubuh mendadak terasa dingin
mematung di atas kuda.

***

WIRO merasa seolah dia telah memacu kudanya seperti dikejar setan, tapi Loh Gatra yang
berada di sebelahnya melihat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menunggang kuda
tertegun-tegun. Dua mata memandang ke depan, namun pandangan itu kosong. Mata dan
pikiran tidak berada dalam satu kesatuan.

"Sahabat Wiro, kau baik-baik saja?"

"Memangnya ada apa dengan diriku? Mengapa kau bertanya begitu?" balik bertanya Wiro.

"Berbahaya memacu kuda kalau pikiran sedang kacau."

Wiro tertawa bergelak. Menggaruk rambut dan berkata. "Kau tahu dari mana pikiranku sedang
kacau."

"Bukan cuma pikiranmu. Tapi juga hatimu!"

"Pikiran dan hatimu justru lebih kacau. Saat ini kau tengah kehilangan istri. Diculik orang. Jadi
apa perlunya kau memikirkan diriku?"

"Maafkan, aku tidak bermaksud buruk. Kalau aku boleh bertanya, siapa pemuda berkepala
botak yang seluruh kulitnya berwarna kuning itu?"

"Dia pemuda baik. Sahabatku dari negeri seribu dua ratus tahun silam."

"Negeri seribu dua ratus tahun silam. Aneh kedengarannya."

"Kau lihat sendiri. Orangnya juga aneh." ucap Wiro pula.

"Apa hubungannya dengan Bidadari Angin Timur? Apakah mereka sudah saling mengenal sejak
lama?"

Murid Sinto Gendeng terdiam. Dia tak mampu menjawab. Karena dua pertanyaan Loh Gatra itu
diam-diam juga menjadi pertanyaan di lubuk hatinya.
"Aku tidak tahu," ucap Wiro perlahan. "Kalau kau bertemu dengan mereka nanti, sebaiknya
tanyakan sendiri."

"Wiro, kau sahabatku. Terserah kau mau marah menuduh aku mencampuri urusanmu.
Setahuku bukankah gadis bernama Bidadari Angin Timur itu kekasihmu dan kau satu-satunya
orang yang dicintainya?"

"Loh Gatra, kau ini bicara apa? Bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Antara aku dan gadis itu
hanya ada hubungan persahabatan. Dia sering menolongku, aku pernah beberapa kali
menolongnya. Itu hal biasa dilakukan antara orang-orang rimba persilatan."

"Aku tahu semua itu, Wiro. Namun, jika tidak ada hubungan yang lebih dari itu, mengapa aku
melihat wajah Bidadari Angin Timur begitu pucat, seperti takut. Takut sekali karena tertangkap
tangan oleh orang yang dicintainya ketika tengah berkasih-kasihan dengan pemuda lain."

"Ucapan edan!" bentak Wiro namun kemudian pendekar ini terdiam. Ada galau tidak enak di
dalam hatinya. Terbayang kembali apa yang dilihathya ketika dia berbalik ke mata air dan
dapatkan Bidadari Angin Timur menangis dalam dukungan Jatilandak. Sambil terus
menunggang kudanya tanpa berpaling pada Loh Gatra, Pendekar 212 bertanya. Dia tidak sadar
kalau pertanyaan itu menunjukkan perasaan hatinya. "Menurutmu, apakah pemuda bernama
Jatilandak itu tengah bercinta dengan Bidadari Angin Timur?"

Loh Gatra tersenyum. "Nah, sekarang agaknya ada kebimbangan dalam hatimu. Terus terang
aku tidak berani berucap menduga-duga."

Wiro garuk kepala, mengigit bibir lalu berkata.

"Dari wajah dan keadaan matanya aku lihat gadis itu habis menangis. Dia menangis sebelum
kita datang. Agaknya ada yang terjadi di antara mereka. Mungkinkah keduanya telah
melakukan sesuatu?"

"Sesuatu apa maksudmu?"

"Sesuatu, lebih dari hanya sekedar saling berpegangan tangan. Misalnya… mungkin saja
sebelumnya kedua orang itu telah bercinta yang melebihi batas. Melakukan hubungan seperti
sepasang suami istri?"

Loh Gatra tersenyum dan gelengkan kepala.

"Wiro, jika selama kau dan gadis itu berhubungan, kalian tidak pernah melakukan hal yang kau
duga itu, percayalah, Bidadari Angin Timur tidak akan pernah mau melakukan perbuatan sesat
itu dengan siapapun."

Murid Sinto Gendeng tersenyum kecut.


"Kebenaran ucapanmu hanya setan hutan di mata air itu yang tahu," kata Wiro sambil
menggaruk kepala. Lalu murid Sinto Gendeng ini menambahkan dengan suara perlahan.
"Kalaupun ada perasaan cinta di hatinya terhadapku, perasaan itu bisa saja berubah. Di dunia
ini bukan cuma aku satu-satunya pemuda. Apa lagi Jatilandak memiliki ilmu silat dan kesaktian
tinggi…"

"Bagaimana dengan wajah dan kulit tubuhnya yang serba kuning?"

"Di masa sekarang ini soal wajah bukan menjadi tuntutan pertama untuk disukai dan dicintai.
Lagi pula pemuda bernama Jatilandak itu, kalau saja kulitnya tidak kuning, dia adalah seorang
pemuda yang gagah…"

"Dari semua ucapanmu, aku melihat ada rasa cemburu dalam hatimu. Kalau betul berarti itu
satu pertanda bahwa kau sebenarnya memang mengasihi Bidadari Ahgin Timur."

Wiro menggaruk kepala, tertawa panjang. Ketika dia hendak membuka mulut untuk menjawab
ucapan orang, Loh Gatra mendahului,

"Wiro," ujar Loh Gatra yang tetap ingin menghibur dan menguatkan hati sahabatnya itu walau
dia sendiri tengah dilanda malapetaka besar. "Jika kita melihat sesuatu, duga dan pikir bisa
macam-macam. Tapi ketahuilah, sesuatu yang terlihat belum tentu menyatakan kebenaran dari
apa yang kita duga. Selalu ada kemungkinan bahwa ada sesuatu yang sangat berlainan di balik
kenyataan yang kita lihat. Sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan itu…"

"Aku tidak mengerti maksud semua ucapanmu. Mungkin aku cuma pemuda tolol yang tidak
tahu basa basi ucapan." Kata Wiro pula sambil menggaruk kepala. Dia lantas saja teringat pada
pertemuannya dengan Suci, gadis alam gaib yang lebih suka dipanggilnya dengan nama Bunga
dan dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat. Waktu itu
Wiro baru saja menyelamatkan Bunga yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat di dalam
sebuah guci tembaga.

Terngiang kembali ucapan gadis alam gaib itu kepadanya. "Di luar diriku, aku tahu begitu
banyak gadis mencintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. tetapi
jika kelak di kemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu,
jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."

Saat itu Wiro sempat bertanya, "Mengapa kau berkata begitu Bunga?"

Dan Bunga menjawab. "Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri yang
mencari tahu, yang mencari jawabannya…" (Baca Episode Wiro Sableng berjudul Kutukan Sang
Badik)
Di atas punggung kuda Wiro kembali menggigit bibir. Hatinya berkata. "Bunga, pertanyaanmu
sudah kujawab. Aku sudah menyaksikan sendiri jawaban itu. Bila kita memilih teman hidup,
unsur kesetiaan adalah yang paling utama dari segala-galanya. Setia dalam susah dan dalam
senang. Aku mengerti sekarang, Bunga. Waktu itu kau ingin mengatakan bahwa Bidadari Angin
Timur bukanlah seorang gadis yang memiliki rasa dan sifat kesetiaan itu. Kau tak mau berterus
terang. Itu pertanda kau memiliki hati yang sangat tulus, putih dan bersih. Terima kasih Bunga.
Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu." Wiro menghela nafas dalam dan panjang. Hati
kecilnya berbisik lagi. "Kalau saja ujudmu sempurna dan kau hidup di alamku, kalau saja kau
bukan gadis alam roh, mungkin keadaan akan berbeda. Tidak seperti ini…"

"Wiro, kau bicara dengan siapa?" Loh Gatra yang berada di samping kanan Pendekar 212
bertanya terheran-heran.

Belum sempat Loh Gahtra mendapat jawaban tiba-tiba satu bayangan putih laksana kilat
berkelebat turun dari langit muncul melayang di udara antara kuda tunggangannya dan kuda
tunggangan Wiro. Loh Gatra mencium bau harum aneh santar sekali. Bau kembang kenanga!
Bersamaan dengan itu dua ekor kuda keluarkan suara meringkik keras. Wiro dan Loh Gatra
cepat usap tengkuk kuda masing-masing. Lari kuda sama diperlambat. Dua mata Loh Gatra
mendelik besar memperhatikan sosok putih yang melayang antara kudanya dan kuda Wiro.
Tengkuknya mendadak dingin memperhatikan sosok seorang gadis berkebaya putih, berambut
hitam panjang lepas tergerai. Berwajah cantik tetapi pucat.

"Setan gentayangan di siang bolong!" teriak Loh Gatra, "Wiro! Pacu kudamu lebih kencang
sebelum kita dicekiknya!" Loh Gatra gebrak kudanya hingga binatang itu melesat ke depan.
Namun beberapa tombak di muka sana dia menoleh ke belakang dan jadi terheran-heran
menyaksikan Wiro turun dari kuda lalu melangkah menghampiri gadis berkebaya panjang putih
yang tegak di tepi jalan dan tampaknya sengaja menunggu. Kemudian dilihatnya Wiro dan gadis
itu saling berangkulan. Tapi ada sesuatu yang aneh. Tubuh si gadis seolah tenggelam masuk ke
dalam badan Wiro.

"Tubuh bayangan… Jin perempuan, demit, hantu atau apa. Aneh," ucap Loh Gatra dalam hati.
Mau tak mau dia hentikan kuda lalu berbalik ke arah kedua orang itu. Tanpa turun dari
tunggangannya Loh Gatra perhatikan gadis berkebaya panjang putih mulai dari kepala sampai
ke kaki sementara harumnya bau bunga kenanga mencucuk hidung.

"Benar-behar aneh. Kalau hantu bagaimana mungkin dua kakinya menjejak tanah?" pikir Loh
Gatra. Lalu telinganya mendengar gadis itu berkata. "Wiro, jarang kejadian seperti ini. Di alam
roh aku mendengar kau menyebut namaku. Satu kekuatan putih mendorongku masuk ke dalam
alammu. Padahal ini belum saatnya aku bisa mendatangi dirimu. Ini satu pertanda dan aku
punya firasat. Hal ini terjadi karena kau bakal menghadapi satu bahaya besar. Aku harus
memberi ingat agar kau berlaku hati-hati."
"Bunga, aku bersyukur hal ini bisa terjadi. Aku merasa bahagia bisa bertemu lagi denganmu,"
kata Wiro sambil memegang tangan gadis berkebaya putih, gadis alam gaib yang biasa dipanggil
Wiro dengan nama Bunga.

"Wiro…" Loh Gatra memanggil dari atas kudanya. Suara dan wajahnya jelas menunjukkan rasa
heran bercampur takut.

Wiro menggaruk kepala, berpaling pada sahabatnya itu. Sambil tersenyum dia berkata.

"Gadis ini bukan setan perempuan seperti dugaanmu tadi. Dia tidak akan mencekik siapa-siapa.
Dia adalah sahabatku. Namanya Bunga."

"Aku tidak mengerti…" kata Loh Gatra pula.

Bunga tersenyum. "Jangankan dirimu, dia sendiripun sampai sekarang tidak pernah mengerti
akan keadaan diriku yang seperti ini."

Loh Gatra coba tersenyum dalam ketidakmengertiannya. Saat itu dia ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat tersebut.

"Bunga, aku berterima kasih. Kau datang untuk memberi peringatan padaku. Aku akan berlaku
hati-hati. Aku memang sedang menghadapi satu urusan besar. Aku tengah dalam perjalanan
menuju Sarangan bersama sahabatku ini."

Bunga mengangguk. "Wiro, aku tidak bisa lama-lama muncul di hadapanmu. Sebelum pergi aku
akan berikan lagi padamu sekuntum bunga kenanga yang tak pernah layu. Simpan baik-baik.
Jangan sampai hilang seperti satu yang pernah kuberikan dahulu. Kalau ada sesuatu yang bisa
kubantu, pegang bunga itu, cium dan sebut namaku. Atas kehendak dan kuasa Gusti Allah
mudah-mudahan aku bisa muncul menemui dirimu. Selamat tinggal Wiro…"

"Bunga, tunggu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan…"

Gadis dari alam roh itu balikkan diri.

"Ada apakah?"

"Ingat ketika kita berdua-dua berada di satu tempat tak lama setelah kau bebas dari sekapan
guci tembaga?" tanya Wiro.

"Tentu saja aku ingat. Itu adalah salah satu dari hari-hari indahku bersamamu. Apa maksud
pertanyaanmu?"

"Waktu itu kau berkata. Jika kelak aku ingin memilih teman hidup, jatuhkanlah pilihanku pada
Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik…"
Bunga mengangguk.

"Waktu itu," Wiro melanjutkan. "Aku bertanya, mengapa kau berkata begitu. Lalu kau
menjawab, biar aku sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya."

Bunga tersenyum. "Apakah kau telah mendapatkan jawabannya, Wiro?"

Pendekar 212 gigit bibir sendiri. Menggaruk kepala lalu berkata. "Kurasa memang sudah aku
dapatkan. Bahkan aku lihat sendiri."

"Jangan hanya menuruti perasaanmu saja Wiro. Tapi pergunakan akal pikiran serta ketulusan
hati. Siapa tahu kau nanti bakal mendapat jawaban yang lain."

Wiro merasa, kalau tadi jari-jari tangan Bunga yang diremasnya terasa dingin mendadak
berubah hangat. Ketika rasa hangat ini menjalar masuk ke dalam tubuhnya, pegangannya lepas
dari jari jemari si gadis. Lalu ada satu belaian lembut di pipi Pendekar 212.

"Selamat tinggal, Wiro."

Sosok gadis alam roh itu bergerak.

"Bunga…" Wiro berseru memanggil. Namun sosok Bunga telah berubah menjadi cahaya putih
yang melesat ke udara dan akhirnya lenyap seolah menembus langit.

Wiro masih mengusap-usap pipinya yang barusan dibelai Bunga ketika di sampingnya Loh Gatra
berkata.

"Sulit aku mengerti kalau tadi itu bukan sebangsa setan atau hantu. Dia muncul secara aneh,
lenyap secara aneh pula. Terbang lenyap ke langit! Manusia biasa mana bisa begitu? Wiro…"

"Dia gadis dari alam roh."

"Gadis dari alam roh! Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal dan berhubungan? Dari
pembicaraan kalian berdua tadi agaknya gadis itu tahu banyak seluk-beluk hubunganmu
dengan Bidadari Angin Timur."

Wiro masukkan kembang kenanga yang diberikan Bunga ke balik pakaian putihnya.

"Mengenai Bunga, panjang ceritanya. Tak bisa kujelaskan saat ini…"

Loh Gatra masih punya rasa ingin tahu. "Sebelum dia pergi, gadis itu membelai pipimu. Apa
yang dilakukannya itu, cara dia bertutur dan menatapmu, agaknya dia punya satu perasaan hati
yang khusus terhadapmu kalau tidak mau dikatakan cinta. Betul?"
Wiro tertawa. Menatap ke langit lalu berkata.

"Sahabatku, kalau memang ada cinta di dunia ini, bercinta dengan gadis sungguhan saja susah
setengah mati, apa lagi dengan gadis dari alam roh."

"Kita bersahabat, mengapa kau tidak mau berterus terang padaku?" ucap Loh Gatra pula.

"Sahabatku, gadis itu telah pergi. Sekarang giliran kita melanjutkan perjalanan." Wiro melompat
naik ke punggung kuda. Loh Gatra geleng-geleng kepala lalu membedal kuda mengejar Wiro.

Ketika Wiro melewati sebuah pohon besar mendadak terbayang kembali Bidadari Angin Timur
yang duduk berdampingan dekat mata air sambil saling berpegangan tangan dengan Jatilandak.
Juga terbayang saat ketika Jatilandak mendukung gadis itu dan Bidadari Angin Timur menangis
dalam pelukan si pemuda. Tidak terasa ada hawa panas mendorong tenaga dalam hebat ke
tangan kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan itu berubah menjadi seputih perak mulai dari
siku sampai ke ujung jari. Loh Gatra terkesiap kaget. Belum sempat dia mengatakan sesuatu
tiba-tiba di luar sadar Wiro hantamkan tangannya ke arah pohon.

Bummmm!

Kraaak!

Pohon besar terbongkar tumbang, hancur dan berubah jadi kobaran api.

"Wiro! Kau melepas pukulan Sinar Matahari! Kau hancurkan pohon tanpa alasan! Apa kau
sudah gila?!"

Pendekar 212 tertawa bergelak. "Gila mungkin belum. Yang pasti aku memang sableng! Ha…
ha… ha… ha!"

"Kalau cuma sableng rasanya semua orang sudah tahu. Yang aku khawatirkan kalau-kalau
dirimu telah kesambat kemasukan roh gadis aneh tadi. Menghantam tak karuan, tertawa tak
karuan…" kata Loh Gatra perlahan, hingga tidak terdengar oleh Wiro yang berada di sebelah
depan.

RUANG Bendera Darah adalah satu ruangan batu, terletak di bawah Ruang Kayu Hitam dalam
kawasan 113 Lorong Kematian. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja batu. Di samping kiri
meja ada sebuah kursi, juga terbuat dari batu. Di atas kursi ini duduk Ketua Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian. Sosok tinggi besar Sang Ketua tidak bergerak. Sepasang mata di
balik dua lobang kecil pada kain kerudung putih penutup kepala memandang liar ke arah
dinding batu di hadapannya. Pada dinding itu, hampir tak kentara ada sebuah pintu batu. Dari
sebelah dalam pintu ini hanya bisa dibuka dengan menekan satu tombol rahasia. Tombol
tersebut terletak pada ujung lengan kursi sebelah kanan yang diduduki Yang Mulia Sang Ketua.

Dua tombak di belakang meja dan kursi ada sebuah tangan batu merapat ke dinding. Pada
ujung puncak tangga yang memiliki 13 undakan, sebuah bendera besar berbentuk segi tiga
merah menancap ke dinding. Bendera ini menebar bau anyir menusuk hidung. Inilah yang
disebut Induk Bendera Darah. Empat pendupa pada sudut-sudut kamar yang menebar bau
harumnya kemenyan tidak dapat menindih tajamnya bau anyir darah setengah kering yang
melekat di bendera. Di atas Bendera Darah, berderet menancap pada dinding batu terdapat
dua lusin bendera kecil berbentuk segi tiga berwarna putih. Tepat di bawah ujung lancip
bendera yang menjulai ke bawah ada tonggak batu yang kedudukannya agak miring ke depan,
di atas mana terletak satu tengkorak kepala manusia tertutup oleh lumut berwarna merah
kehitaman. Pada ubun-ubun tengkorak terdapat sebuah lobang. Di sebelah bawah ada lagi satu
tonggak batu setinggi pinggang. Di atas tonggak batu ini terletak sebuah bokor perak dalam
keadaan kosong.

Kepala Yang Mulia Ketua bergerak sedikit ketika sepasang telinganya menangkap langkah-
langkah kaki di balik dinding ruangan batu. Diam-diam dalam hati dia menghitung gerakan
langkah kaki di balik dinding batu. Di lorong di luar sana ada empat orang tengah berjalan
menuju Ruang Bendera Darah. Cocok dengan perhitungan. Yang datang adalah orang-orang
yang telah ditunggunya. Langkah kaki berhenti. Lalu ada suara ketukan pada pintu batu. Ketua
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian segera tekan tombol pada ujung kanan lengan
kursi yang didudukinya. Secara aneh bagian tengah dinding batu di hadapannya bergerak turun
ke bawah membentuk pintu terbuka. Api pendupaan di empat sudut Ruang Bendera Darah
tiba-tiba menyala terang. Asap kelabu mengepul ke atas sampai menyentuh langit-langit
ruangan. Di luar sana, di depan pintu, pada ujung lorong batu berdiri empat sosok. Tiga di
antara mereka mengenakan jubah putih dan tutup kepala putih. Tiga manusia pocong ini adalah
Wakil Ketua, dua Satria Pocong yang bertindak sebagai pengawal dan masing-masing membawa
sebuah bokor perak berisi darah. Di antara dua Satria Pocong ini berdiri manusia pocong ke
empat. Bau wangi aneh menebar dari tubuhnya yang semampai. Ketika melangkah masuk
walau gerakannya enteng namun kelihatan jelas gerak sepasang kaki serta dua tangannya
mengayun kaku.

Seperti tiga manusia pocong yang berbarengan masuk dengannya, manusia pocong satu ini
mengenakan jubah dalam dan kain penutup kepala. Namun pada penutup kepala, di atas
kening, ada sebuah mahkota kecil hijau bercahaya. Kalau tiga manusia pocong lainnya, seperti
juga Sang Ketua mengenakan jubah putih tebal, manusia pocong satu ini memakai jubah putih
yang begitu tipis. Hingga walau samar, auratnya masih bisa terlihat cukup jelas. Lalu di bawah
kain penutup kepala di sebelah belakang menjulai panjang rambut hitam berkilat. Dari keadaan
manusia pocong satu ini jelas dia adalah seorang perempuan!

Di belakang sana terdengar suara desiran halus. Pintu batu yang tadi membuka kini bergerak
naik menutup dinding. Untuk beberapa ketika Ruang Bendera Darah diselimuti kesunyian. Ada
hawa ketegangan menggantung di udara.
Yang Mulia Ketua memberi isyarat dengan gerakan jari-jari tangan kanan. Melihat isyarat ini
empat manusia pocong segera bergerak melangkah.

Begitu sampai di hadapan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian, ke
empat orang itu sama menjura, laju mendongak dan secara berbarengan keluarkan seruan.

"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"

Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong bangkit dari kursi batu, angkat tangan kanan ke
depan lalu keluarkan ucapan. "Wakil Ketua, kau tahu apa yang harus dilakukan. Laksanakan
tugasmu!"

Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian melangkah mendekati Satria Pocong
di samping kanan. Satria Pocong ulurkan tangan, serahkan bokor perak berisi darah yang
dipegangnya. Setelah menerima bokor Wakil Ketua melangkah ke arah tangga batu yang
menempel di dinding belakang Ruang Bendera Darah. Perlahan-lahan dia menaiki tiga belas
undakan batu. Pada undakan terakhir di sebelah atas dia hentikan langkah, berpaling ke bawah.
Saat itu pula Satria Pocong kedua segera tinggalkan tempat, melangkah ke arah tonggak batu
setinggi pinggang. Dengan hati-hati dia letakkan bokor berisi darah yang dibawanya di atas
tiang batu, tepat di sebelah bokor perak kosong. Selesai meletakkan bokor berisi darah orang
ini melangkah mundur, kembali ke tempat semula.

Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Ruang Bendera Darah kembali diselimuti
kesunyian dan ketegangan.

"Wakil Ketua! Kau boleh mulai!" Tiba-tiba suara Yang Mulia Ketua menggema di ruangan batu.

Mendengar ucapan Sang Ketua, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ulurkan dua tangan yang
memegang bokor perak ke depan. Dengan hati-hati, perlahan-lahan dia curahkan cairan darah
di dalam bokor ke atas bendera besar segi tiga merah. Kucuran darah jatuh membasahi Induk
Bendera Darah, sebagian meresap pada kain bendera, sebagian lagi meluncur ke bawah, jatuh
tepat dan masuk ke dalam lobang pada ubun-ubun tengkorak yang terletak di tiang batu miring.
Begitu darah memasuki tengkorak terjadi beberapa keanehan. Induk Bendera Darah berbentuk
segi tiga besar yang basah tiba-tiba bergerak hidup, seolah digerakkan oleh tangan yang tidak
kelihatan, bendera ini berkibas keras. Darah yang membasahi bendera menyiprat ke dinding
dan lantai ruangan batu. Menempel sesaat lalu secara aneh lenyap tak berbekas. Di atas sana
Induk Bendera Darah kembali kuncup tak bergerak.

Keanehan berikutnya, begitu cairan darah masuk ke dalam tengkorak lewat bolongan di ubun-
ubun, tiba-tiba sepasang mata tengkorak memancarkan cahaya merah laksana ada api yang
membersit dari sebelah dalam. Lalu empat api pendupaan di sudut ruangan batu menyala
terang. Asap kelabu mengepul ke atas. Di lantai ruangan terasa ada getaran-getaran halus.
Darah yang masuk ke dalam tengkorak melalui lobang di ubun-ubun mengucur keluar melewati
mulut tengkorak dan selanjutnya masuk tertampung dalam bokor perak kosong yang terletak di
atas tiang batu setinggi pinggang.

Di atas tangga batu, begitu darah dalam bokor perak habis, Wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong perlahan-lahan tarik tangannya kembali. Dia tak berani bergerak sebelum ada perintah
dari Sang Ketua.

"Wakil Ketua, tugasmu selesai. Kau boleh turun." Suara Yang Mulia Ketua menggema di
ruangan batu.

Wakil Ketua putar tubuh, lalu melangkah menuruni tangga 13 undakan. Sampai di bawah dia
serahkan bokor yang telah kosong pada Satria Pocong yang semula membawanya. Kesunyian
kembali mencekam di ruangan batu. Sepasang mata Sang Ketua menatap ke arah dua buah
bokor di atas tonggak batu setinggi pinggang. Perlahan-lahan, tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun dia melangkah ke arah tiang batu. Di depan tiang dia tegak diam sejenak, kepala
tertunduk. Dari balik kain putih penutup kepala terdengar suaranya mengucapkan sesuatu,
bergumam tak jelas. Mungkin tengah merapal mantera. Kemudian kelihatan Sang Ketua angkat
ke dua tangannya, lalu dimasukkah ke dalam bokor berisi darah yang berasal dari curahan lewat
Induk Bendera Darah.

Terdengar suara riak cairan. Sang Ketua seperti tengah mencuci tangan dengan darah di dalam
bokor. Anehnya ketika tangan yang basah di keluarkan, sama sekali tidak ada merah nodanya
darah. Kedua tangan itu seperti dicelup dan dicuci di dalam air biasa!

Wakil Ketua keluarkan secarik kain merah dari balik jubah lalu diberikan pada Yang Mulia Ketua.
Selesai mengeringkan tangannya dengan kain merah Yang Mulia Ketua kembalikan kain itu
pada wakilnya lalu pergi duduk di kursi batu. Dari tempatnya berdiri Wakil Ketua kemudian
berseru.

"Satria Pocong, letakkan bokor yang kau bawa di atas meja batu."

Satria Pocong yang sejak tadi berdiri memegangi bokor perak segera laksanakan perintah.
Bokor berisi cairah darah diletakkan di atas meja batu lalu dengan cepat dia kembali ke tempat
semula.

Sang Ketua perhatikan bokor itu sesaat lalu menatap ke arah manusia pocong perempuan yang
tegak beberapa langkah di hadapannya.

"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apakah kau telah siap untuk menerima berkah berupa
pembasahan dan pensucian kepalamu?" Dari tempatnya duduk Sang Kedua keluarkan ucapan,
ajukan pertanyaan.
Pocong perempuan yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sri Paduka Ratu tundukkan
kepala sedikit lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya
Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"

"Bagus. Sekarang majulah dua langkah, tanggalkan kain penutup kepalamu dan berlutut di
hadapanku!"

Sesuai perintah Sang Ketua, pocong perempuan maju dua langkah. Gerakan kaki dan ayunan
tangan kelihatan kaku. Lalu dengan tangan kanannya dia membuka kain penutup kepala
bermahkota hijau. Begitu kain penutup kepala terbuka, kelihatanlah satu wajah gadis cantik
tapi sangat pucat seolah tak berdarah. Bagian putih dari matanya begitu putih hingga tampak
menggidikkan. Pandangan mata kosong dan dingin. Di pipi kirinya ada guratan cacat bekas luka.
Rambut panjang hitam menjulai-sampai ke punggung. Perlahan-lahan gadis ini tundukkan diri
ke lantai. Kain putih penutup kepala diletakkan di samping kanan, lalu dia berlutut dengan
kepala diarahkan menghadap Ketua Barisan Manusia Pocong.

Sang Ketua duduk tak bergerak. Sepasang mata dipejamkan. Di balik kain penutup kepala mulut
komat-kamit. Sesaat kemudian terdengar suaranya berucap lantang.

"Penghuni Aksara Batu Bernyawa. Di luar sana, pada bentangan langit malam menghias bulan
sabit hari ke tiga. Inilah malam perjanjian. Sesuai pesan dan tugas yang tersurat dan tersirat di
dalam Aksara Batu Bernyawa, malam ini, aku, Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian, siap melaksanakan apa yang tertera dalam syarat ke sembilan. Pengusapan
darah bayi yang masih segar ke ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu, siap dan segera aku
laksanakan."

Baru saja ucapan Sang Ketua berakhir, di ruangan batu tiba-tiba ada suara silir seperti tiupan
angin. Bendera Darah bergerak-gerak. Hawa dingin untuk beberapa saat menyungkup seantero
ruangan. Semua orang merasa tegang, kecuali Sang Ketua. Begitu suara tiupan angin sirna dan
hawa dingin lenyap. Sang Ketua ulurkan dua tangan, menyibak rambut gadis yang berlutut di
depannya hingga membentuk garis putih tepat pada ubun-ubun. Setelah menggulung lengan
jubah sebelah kanan sampai sebatas siku, dengan tangan kiri Yang Mulia Ketua mengambil
bokor perak berisi darah di atas meja. Tangan kanan lalu dimasukkan ke dalam bokor. Ketika
tangan itu dikeluarkan kelihatan merah basah oleh cairah darah yang mulai mengental. Tangan
yang berlumuran darah kemudian diusapkan ke ubun-ubun gadis yang berlutut di lantai. Pada
saat darah diusapkan ke ubun-ubun, entah dari mana datangnya selarik sinar merah berkiblat
lalu membungkus sekujur tubuh si gadis mulai dari kepala sampai ke kaki. Tubuh Sri Paduka
Ratu bergetar hebat. Sang Ketua sendiri tersentak dan sampai tersandar ke kursi batu saking
kagetnya.

Semua apa yang dilakukan Sang Ketua tadi diperhatikan tak berkesip oleh Wakil Ketua dan dua
Satria Pocong. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun dua mata tengkorak di atas tiang batu
kembali memancarkan cahaya merah dan empat api pendupaan di sudut ruangan menyala
terang serta mengepulkan asap kelabu.
Bokor perak diletakkan kembali ke atas meja batu. Sang Ketua bangkit berdiri, melangkah ke
tiang batu di atas mana terletak bokor berisi darah yang dikucurkan dari Bendera Darah lalu
masuk tengkorak yang berada di tiang miring, selanjutnya ditampung dalam bokor pada tiang
batu setinggi pinggang. Sang Ketua celupkan tangan kanannya yang berlumuran darah ke dalam
bokor ini. Begitu tangan dikeluarkan noda darah telah lenyap. Wakil Ketua cepat memberikan
kain merah. Setelah mengeringkan tangan dengan kain itu Sang Ketua kembali duduk di kursi
batu. Lalu rambut tersibak gadis yang berlutut dirapikan dan ditautkannya kembali.

"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, upacara telah selesai. Silahkan berdiri. Harap segera mengenakan
penutup kepala."

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai." Setelah keluarkan ucapan itu si gadis ambil kain penutup kepala
bermahkota lalu bangkit berdiri.

Wakil Ketua datang mendekat. "Yang Mulia Ketua, Bendera Darah tinggal beberapa buah lagi.
Saatnya kita menambah persediaan."

"Hal itu memang sudah aku ketahui," jawab Yang Mulia Ketua. Lalu dia memutar tubuh,
memandang ke arah dinding ruangan sebelah belakang di mana menancap dua lusin bendera
kecil berbentuk segi tiga putih. Perlahan-lahan Sang Ketua angkat tangan kanannya. Lima jari
tangan membuka. Telapak tangan membentang. Jari telunjuk diacungkan. Didahului satu
bentakan keras dia membuat gerakan seperti menusuk lalu tangan diputar setengah lingkaran
dan jari telunjuk diarahkan ke bokor perak berisi darah yang terletak di atas meja batu.

Terjadilah satu keanehan.

Bett… bettt… bett!

Suara kibasan lain terdengar dua puluh empat kali berturut-turut. Dua lusin bendera putih
segitiga yang menancap di atas Induk Bendera Darah melesat ke bawah. Sesuai dengan gerakan
jari telunjuk Yang Mulia Ketua, dua puluh empat bendera itu melesat masuk ke dalam bokor
perut di atas meja batu. Darah di dalam bokor bergejolak mengeluarkan suara seperti
mendidih. Asap merah mengepul. Dua lusin bendera segi tiga yang tadi berwarna putih kini
berubah menjadi merah!

"Wakil Ketua, pada saat fajar menyingsing besok pagi, kau boleh mengambil dua lusin Bendera
Darah itu"

Wakil Ketua barisan Manusia Pocong membungkuk seraya berkata. "Hanya perintah Yang Mulia
Ketua yang harus dilaksanakan…"

Sang Ketua anggukkan kepala lalu berkata.


"Antarkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke Rumah Tanpa Dosa. Dua Satria Pocong tetap di sini
untuk membersihkan Ruangan Bendera Darah." Habis berkata begitu Sang Ketua lalu memberi
isyarat pada wakilnya agar mendekat. Sang Wakil segera mendatangi. Dengan suara perlahan
Sang Ketua berkata. "Jangan antarkan langsung gadis itu ke Rumah Tanpa Dosa. Bawa ke
kamarku lebih dulu. Aku ingin bercinta dengannya malam ini. Sudah lama aku mencari waktu
dan kesempatan. Agaknya malam inilah baru bisa kulaksanakan."

Di balik kain penutup kepala Wakil Ketua tersenyum lebar. Setelah menganggukkan kepala
tanda mengerti dia segera mendampingi Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Dua Satria Pocong di
sebelah depan. Sang Ketua tekan tombol rahasia di lengan kanan kursi batu. Bagian dinding
batu yang merupakan pintu bergerak turun ke bawah. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ke
empat orang itu akan melewati pintu batu, tiba-tiba dari arah depan yang merupakan sebuah
lorong, menggelundung sesosok tubuh yang kemudian terkapar di ambang pintu! Di sebelah
belakang tiga Satria Pocong tampak mengejar berhamburan.

Ketua Barisan Manusia Pocong tersentak kaget, langsung melompat dari kursinya seraya
membentak.

"Apa-apaan ini?!"

Dua mata Sang Ketua mendelik memperhatikan sosok yang terkapar di lantai batu. Sosok
berjubah putih, berkepala kain putih yang setengah tersingkap. Jelas dia adalah salah seorang
anggota Barisan Manusia Pocong. Apa yang terjadi dengan dirinya?

Tiga Satria Pocong belum sempat menjawab, sosok di lantai tiba-tiba keluarkan suara tawa
mengekeh.

"Kalau pertanyaan itu kau tujukan padaku, itulah yang aku tidak bisa menjawab. Ha… ha… ha!"

"Jahanam! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa keparat satu ini?!" Yang Mulia Ketua berteriak
marah. Sekali berkelebat dia berhasil menarik tanggal kain penutup kepala Satria Pocong.
Begitu melihat wajah orang kagetnya jadi tambah alang kepalang sampai dia berseru menyebut
nama.

"Dewa Tuak!"

"Ha… ha… Kau kenali diriku. Aku tidak kenali dirimu!" Orang yang tergeletak di lantai lorong di
depan Ruang Bendera Darah kucak-kucak matanya. Dia memang adalah si kakek yang dikenal
dengan julukan Dewa Tuak. Sebelumnya dalam keadaan tubuh lemah dan pikiran kacau dia
telah bertempur melawan tiga Satria Pocong. Walau dia berhasil menghajar mereka namun
daya kekuatan yang ada dalam dirinya semakin parah dan daya ingatnyapun bertambah tidak
karuan.
Selain kaget Sang Ketua Juga marah besar. Mata Sang ketua membelalak pada tiga Satria
Pocong yang muncul berbarengan dengan Dewa Tuak. "Gila! Bagaimana tua bangka ini bisa
lolos! Bagaimana otaknya masih jernih! Aku tidak akan memberi ampun pada siapa saja yang
telah melakukan kesalahan!"

Tiga Satria Pocong ketakutan setengah mati. Ketiganya segera menjura dalam sambil berkata
berbarengan. "Mohon ampunmu Yang Mulia Ketua." Salah seorang di antara mereka lalu
beranikan diri memberi keterangan.

"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos dari
kamar sekapan. Ketika kami pergoki dia telah berada di Lorong Seratus Dua. Kami segera
hendak membekuknya. Tapi dia melawan. Mohon maaf, kami bertiga sempat dihajarnya. Lalu
dia melarikan diri ke arah sini. Kami mengejar sambil melepaskan tiga pukulan berbarengan.
Pukulan kami membuat dia jatuh menggelundung tepat ketika pintu Ruang Bendera Darah
terbuka."

"Jahanam! Ada yang tidak beres!" Teriak Sang Ketua semakin marah.

Wakil Ketua cepat mendekati dan berbisik. "Dewa Tuak bukan orang sembarangan. Dia
memiliki hawa sakti dan tenaga dalam sangat tinggi. Dua kekuatan itu bisa saja merupakan daya
tolak dari apa yang telah kita lakukan terhadapnya. Tapi percayalah, daya ingatnya tidak akan
bertahan lama. Dia segera akan tunduk pada perintah dan kemauan kita."

"Jangan bicara tolol padaku! Sudah berapa lama dia mendekam di tempat ini! Tokoh silat
lainnya begitu dicekoki minuman Selamat Datang langsung punah daya ingatnya. Mengapa dia
tidak?!"

"Saya akan menyelidik. Saya akan urus tua bangka satu ini. Harap Yang Mulia Ketua memberi
izin."

"Kalau begitu lekas kau ringkus dia! Jebloskan kembali ke kamar tahanan. Kita memerlukan
dirinya dalam waktu singkat," perintah Sang Ketua.

"Jangan khawatir. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Saya akan
meringkus dan memberikan minuman tambahan padanya!"

Ketika Wakil Ketua hendak bergerak, Yang Mulia Ketua pegang bahu jubah orang ini lalu
berkata. "Satu dari dua Satria Pocong yang bertindak sebagai mata-mata telah memberitahu
padaku. Kawasan Telaga Sarangan telah didatangi orang-orang tak dikenal. Hari-hari besar yang
kita tunggu akan segera datang."

"Saya gembira," jawab Wakil Ketua. "Asalkan Yang Mulia Ketua mau berbagi rejeki dengan
saya."
"Kita sudah menentukan bagian dan rejeki masing-masing. Tapi jika kau bertindak lamban,
perhitungan rejekimu akan jatuh ke tangan orang lain."

Wajah Wakil Ketua di balik kain putih penutup kepala menyeringai. "Kalau itu sampai terjadi,
saya akan sangat kecewa. Karena sejak dia membunuh saudara saya, jelas-jelas nyawanya
adalah milik saya."

"Itu sudah menjadi perjanjian di antara kita. Tapi jangan lupa Wakil Ketua. Banyak orang dan
banyak tangan yang ingin dan bisa membantainya. Sekarang lekas kau singkirkan tua bangka
itu."

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Habis berkata begitu Wakil Ketua
melompat ke arah sosok Dewa Tuak yang masih bergelung di lantai batu sambil mengumbar
tawa.

Tiba-tiba, hekk!

Satu totokan yang didaratkan Wakil Ketua ke urat besar di pangkal leher membungkam mulut
dan membuat kaku sekujur tubuh Dewa Tuak.

RATU Duyung lama-lama jadi kesal. Setiap dia memacu kuda meninggalkan Sutri Kaliangan di
belakang, dia terpaksa berbalik kembali atau menunggu. Putri Patih Kerajaan itu menunggang
kuda perlahan santai-santai saja.

"Aku tak mengerti," Ratu Duyung keluarkan ucapan. "Sewaktu di Kotaraja kau begitu
bersemangat untuk segera melakukan perjalanan. Kau sangat khawatir atas keselamatan
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Sekarang kau malah menunggang kuda perlahan enak-
enakan. Seperti orang tengah tamasya. Apa kau tidak melihat sang surya sudah jauh condong
ke barat. Bisa-bisa kita kemalaman di tengah jalan."

Sutri Kaliangan, dara cantik berpakaian serba kuning dengan pedang tergantung di pinggang
tersenyum mendengar ucapan Ratu Duyung. "Sahabatku Ratu Duyung, menurut hitungan kita
sudah setengah jalan. Kalau dipaksakan memang bisa saja kita sampai malam hari di tempat
tujuan. Padahal tujuan kita masih merupakan teka-teki. Satu-satunya bimbingan arah adalah
apa yang kau lihat di cermin saktimu."

"Kalau sudah tahu mengapa tidak mempercepat lari kuda? Aku tidak mau bolak-balik
menjemputmu dan meminta agar bergerak lebih cepat."

"Ratu Duyung, dengar. Sedikit banyak aku cukup mengenali kawasan yang telah kita lewati dan
yang bakal kita tempuh. Jika kita terus mengikuti arah, di depan sana kita akan menemui
sebuah gunung bernama Gunung Kukusan. Di sebelah barat ada Gunung Lawu. Di dalam cermin
kau melihat ada bahaya besar mengancam Wiro. Kalau kita memasuki daerah tujuan pada
malam hari, apakah menurutmu bukan berarti kita mencari bahaya?" Ratu Duyung diam saja.
Sutri Kaliangan meneruskan kata-katanya. "Kita perlu istirahat. Dua tunggangan kita juga perlu
istirahat. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan."

"Besok pagi? Apa maksudmu, Sutri?"

"Kita bakal melewati sebuah kampung bernama Jatipurno. Ayahku memiliki sebuah rumah di
sana. Karena terletak tak jauh dari kaki Gunung Kukusan udaranya sejuk, pemandangan sangat
indah. Nah, kita bermalam di Jatipurno. Kita perlu mandi, cukup istirahat dan cukup tidur."

"Kau tidak lagi mengawatirkan keselamatan Wiro?"

"Siapa bilang tidak mengawatirkan. Tapi jangan lupa memikirkan keselamatan diri sendiri. Kalau
kau berniat terus melanjutkan perjalanan, aku tak bisa menghalangi. Aku tetap akan singgah di
Jatipurno."

Setelah menimbang sesaat akhirnya Ratu Duyung berkata. "Baiklah. Aku mengalah. Kita
bermalam di Jatipurno. Tapi besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit kita harus sudah
melanjutkan perjalanan."

Sutri Kaliangan tertawa lebar. "Sahabatku, agaknya kau juga mengawatirkan keselamatan
pemuda itu. Kurasa bukan hanya sekedar mengawatirkan. Mungkin juga ada rasa rindu. Sudah
berapa lama kalian tidak bertemu?"

Ratu Duyung tidak menjawab.

"Aku mendengar, banyak sekali para gadis tergila-gila pada Pendekar itu. Yang sudah pasti
Anggini dan Bidadari Angin Timur. Aku tahu waktu di Gedung Kepatihan tadi malam mereka
berpura-pura acuh ketika kuajak agar segera sama-sama berangkat. Aku yakin, keduanya
mencari jalan sendiri-sendiri. Mungkin ingin mendahului kita menemui pemuda itu."

"Apakah kau merasa cemburu kalau Bidadari Angin Timur atau Anggini berhasil menemukan
Wiro lebih dulu?"

"O-ooo. Justru hal itu yang akan aku tanyakan padamu." Kata Sutri Kaliangan pula sambil
tersenyum dan melirik. Gadis ini tertawa kecil ketika melihat wajah Ratu Duyung bersemu
merah.

"Kau tak mau menjawab. Ratu, apakah kau mencintai Wiro? Hemmm… aku bisa melihat pada
raut wajah dan sinar matamu. Kau mencintai pemuda itu."

"Sutri, jika kau terus menggoda, aku lebih baik melanjutkan perjalanan seorang diri. Terus-
terang, aku tidak merasa perlu singgah di Jatipurno."
Sutri Kaliangan dekatkan kudanya ke kuda Ratu Duyung lalu pegang lengan gadis bermata biru
itu. "Harap kau jangan marah. Aku hanya bergurau. Soalnya, gadis mana yang tidak terpikat
dengan pemuda seperti Wiro. Pendekar berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah.
Selain itu baik hati pula. Banyak yang meramalkan dia bakal jadi tokoh utama dalam rimba
persilatan tanah Jawa."

"Pendekar berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula.
Diramalkan bakal menjadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah Jawa…" Ratu Duyung
mengulangi ucapan Sutri Kaliangan lalu cepat menyambung. "Kau seorang gadis cantik jelita,
Putri Patih Kerajaan, juga memiliki ilmu silat tinggi. Bukankah merupakan pasangan yang cocok
dan serasi?" Kini Ratu Duyung yang menggoda Sutri Kaliangan.

Yang digoda tertawa panjang. "Aku boleh dibilang gadis yang ketinggalan kereta. Bagaimana
mungkin bisa bersaing dengan para sahabat yang telah lebih dulu mengenal Wiro. Bidadari
Angin Timur, Anggini dan kau sendiri."

"Kurasa kau lebih mendapat perhatian karena kau putri Patih Kerajaan. Cantik…"

"Menurutmu begitu?" tanya Sutri lalu menjawab sendiri pertanyaannya. "Kurasa tidak. Ketika
ayahku menawarkan jabatan Panglima Kerajaan padanya, sebagai balas jasa dalam membantu
mendapatkan Melati Tujuh Racun, satu-satunya obat yang mampu menyembuhkan penyakit
ayah, dia menolak. Berarti dia tidak ada perhatian pada diriku."

"Menolak jabatan bukan berarti menolak cinta seorang gadis cantik sepertimu. Justru di situlah
keluhuran budinya sebagai seorang pendekar. Dia tidak mau menjual diri dengan jabatan. Lebih
dari itu dia tidak mau merendahkan makna cinta dan kasih sayang dengan balas jasa."

"Apapun alasan penolakannya, yang jelas aku tidak mungkin mendapatkan dirinya," kata Sutri
Kaliangan pula. Suaranya perlahan seperti sedih, namun di mulutnya terkulum sekelumit
senyum.

"Jangan terlalu berhiba diri, sahabatku. Dibanding dengan kami-kami rasanya kau lebih punya
kesempatan. Apakah kau pernah mengajuk hatinya? Apakah kalian pernah berdua-dua?"

"Hai! Kau tengah menyelidiki diriku!" kata Sutri Kaliangan lalu tertawa cekikikan.

***

SUTRI Kaliangan dan Ratu Duyung sampai di Jatipurno tepat ketika sang surya tenggelam di
ufuk barat. Rumah milik ayah Sutri itu selain besar juga sangat bagus dan kokoh bangunannya.
Mulai dari tangga sampai tiang dan dinding dipenuhi ukiran-ukiran bagus dan halus. Setelah dua
gadis itu mandi, penjaga rumah bersama istri menyiapkan makan malam. Selesai makan Sutri
menyuruh suami istri itu pulang ke rumah mereka yang terletak tak jauh dari situ. Ketika
meninggalkan rumah, Ratu Duyung sempat melihat keduanya berbisik-bisik sambil menuruni
tangga dan sesekali menoleh ke belakang memperhatikan dirinya. Walau heran melihat sikap
dua suami istri itu namun Ratu Duyung tidak berkata apa-apa.

"Di rumah ini ada dua kamar. Besar-besar. Sebaiknya kita tidur di satu kamar saja. Kita bisa
ngobrol macam-macam sebelum tidur." Begitu Sutri Kaliangan berkata dan ditanggapi wajar-
wajar saja oleh Ratu Duyung.

Sebelum masuk ke dalam kamar Sutri Kaliangan mengeluarkan sebuah tabung kecil. Tabung ini
ternyata berisi minyak wangi. Begitu penutup tabung dibuka, bau harum luar biasa memenuhi
ruangan. Sutri mengusapkan minyak wangi di leher, belakang telinga dan pangkal dadanya. Lalu
tabung minyak diserahkan pada Ratu Duyung. "Pakailah…"

"Terima kasih, aku tak biasa memakai minyak wangi." Jawab Ratu Duyung tidak berdusta. Selain
itu dia merasa setiap dia menghela nafas, harumnya minyak wangi itu mendatangkan perasaan
aneh dalam dirinya.

"Sekali ini harus. Nanti kau akan biasa. Aku masih ada persediaan satu tabung. Kau boleh ambil
yang satu ini. Pakailah…"

Karena Sutri Kaliangan memaksa terus, Ratu Duyung mengambil juga tabung kecil berisi minyak
wangi itu tapi tidak dipakainya. Tabung diselipkan di balik pakaian. Tak lama kemudian
keduanya masuk ke dalam kamar. Mereka mengobrol sebentar, mungkin karena keletihan Ratu
Duyung tertidur lebih dulu.

***

RATU Duyung tidak tahu berapa lama dia telah tertidur ketika mendadak terbangun. Pertama
sekali bau harum minyak wangi menusuk hidung, masuk ke dalam jalan pernafasannya. Ada
perasaan aneh. Seperti pertama kali mencium bau itu ketika Sutri Kaliangan mengusapkan ke
tubuhnya. Lalu dia merasakan ada pelukan kuat di pinggang. Ada himpitan kaki di pahanya. Dia
juga merasakan hembusan nafas panas. Setelah itu ada ciuman di pipi dan pangkal lehernya.
Darah Ratu Duyung mengalir cepat. Jantungnya berdegup keras. Ada kehangatan aneh
menyungkupi dirinya.

"Apakah aku bermimpi," pikir Ratu Duyung. Dibukanya ke dua matanya. Tepat ketika ada satu
wajah tersenyum mesra meneduhi wajahnya dan hendak mengecup bibirnya.

Ratu Duyung cepat mendorong tubuh orang yang menghimpitnya. Memandang ke depan
serasa tak percaya dia. Sutri Kaliangan duduk di atas ranjang, tersenyum padanya. Dan gadis ini,
tak sehelai pakaianpun melekat di tubuhnya!

"Sutri, apa yang kau lakukan terhadapku?" tanya Ratu Duyung heran.
Sutri Kaliangan masih tersenyum. Lidahnya yang merah dijulurkan membasahi bibir.
"Memangnya aku melakukan apa?" Balik bertanya Sutri. Suara perlahan, mata setengah
dipejamkan.

"Barusan…"

"Barusan apa?" ucap Sutri lirih.

"Kau memelukku. Kau menciumku. Kau juga hendak mengecup bibirku…"

Sutri Kaliangan dongakkan kepala lalu tertawa panjang.

"Apakah itu aneh?" ucap putri Patih Kerajaan ini sambil tangannya mengelus paha Ratu
Duyung. Ratu Duyung cepat tepiskan tangan gadis itu.

"Tentu saja aneh! Bagiku sangat aneh!" Jawab Ratu Duyung. Suaranya keras tanda kesal.
Tubuhnya terasa semakin hangat.

"Jangan menduga yang bukan-bukan sahabatku. Malam begitu dingin. Tidak ada selimut di atas
ranjang. Kita tidur berdua-dua. Apakah aku tidak boleh mencari kehangatan dengan memeluk
tubuhmu yang bagus?"

Tersirap darah Ratu Duyung mendengar kata-kata Sutri Kaliangan itu.

"Tapi, kau bukan cuma memelukku. Kau menciumiku. Kau hendak mengecup bibirku…"

"Ketika kau tertidur, aku masih sulit memejamkan mata. Aku pandangi wajahmu yang cantik
seperti boneka. Aku kagumi tubuhmu yang putih mulus dan bagus. Sebagai seorang sahabat
apakah aku tidak boleh menyentuhmu?"

"Apa yang kau lakukan bukan cara orang bersahabat."

"Lalu, bagaimana seharusnya cara orang bersahabat. Tunjukkan padaku." Kata Sutri Kaliangan
lalu rebahkan dadanya yang putih terbuka ke bahu Ratu Duyung.

Ratu Duyung cepat menghindar dan berkata.

"Kau tadi berucap malam begitu dingin. Tapi mengapa kau bertelanjang diri seperti ini?"

Sutri Kaliangan tersenyum dan kedipkan perlahan sepasang matanya.

Ratu Duyung mengusap leher dan belakang telinganya. Jari-jarinya kemudian didekatkan ke
hidung. "Kau… kau mengusapkan minyak wangi itu ke tubuhku…"
"Aku ingin kau juga memakainya. Bukan cuma aku. Sebagai tanda kita bersahabat…"

Ratu Duyung geleng-gelengkan kepala.

Karena bujukannya tidak mengena Sutri Kaliangan akhirnya berkata, "Tidurlah, pagi masih lama.
Kita perlu istirahat." Sutri Kaliangan ulurkan tangan memegang dan mengelus lengan Ratu
Duyung.

Saat itu setelah mencium minyak wangi yang dioleskan Sutri ke telinga dan lehernya, rasa aneh
semakin berkecamuk dalam tubuh Ratu Duyung.

"Ada rangsangan aneh dalam diriku. Aku harus sanggup melawan…" Cepat Ratu Duyung
kerahkan tenaga dalam.

"Malam-malam di atas tempat tidur mengerahkan tenaga dalam. Untuk apa?" tanya Sutri
Kaliangan yang rupanya tahu apa yang tengah dilakukan Ratu Duyung. "Tidurlah, aku tidak akan
mengganggumu." Habis berkata begitu putri Patih Kerajaan itu lalu rebahkan badannya di atas
tempat tidur. Sikapnya benar-benar membuat jengah Ratu Duyung. Sutri berbaring
menelentang. Dua tangan dikembangkan ke samping menyingkapkan ketiaknya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus hitam.

"Ada yang tidak beres dengan gadis satu ini. Apa yang ada di benaknya. Minyak wangi itu… Aku
menaruh curiga. Dia memasukkan sesuatu di dalam minyak wangi. Tubuhku jadi panas. Diriku
diselimuti rangsangan. Aku harus berbuat sesuatu…"

"Ratu, kau mau ke mana?" tanya Sutri ketika dilihatnya Ratu Duyung beranjak turun dari atas
ranjang.

"Aku perlu ke belakang."

"Biar aku temani," kata Sutri.

"Tidak usah."

"Ah matamu indah sekali. Biru bercahaya. Bolehkah aku menciumnya?" Masih dalam keadaan
tanpa pakaian Sutri Kaliangan beringsut ke tepi ranjang.

Ratu Duyung cepat-cepat turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar, meninggalkan rumah,
pergi ke sumur kecil di halaman belakang. Tubuhnya terasa lebih segar setelah mencuci wajah,
leher dan dadanya yang diusapi minyak wangi oleh Sutri Kaliangan. Rangsangan aneh yang ada
dalam dirinya perlahan-lahan berkurang. Ratu Duyung tidak kembali ke dalam bangunan. Di
halaman kiri rumah ada sebuah gerobak. Ratu Duyung naik ke atas gerobak ini. Untuk beberapa
lama dia berbaring di lantai gerobak sambil berpikir-pikir.
"Apa yang telah dilakukan putri Patih Kerajaan itu terhadapku? Dia memberiku obat
perangsang yang dimasukkan dalam minyak wangi. Sikap dan perbuatannya terhadapku… Ada
sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu. Jangan-jangan, aku memang pernah mendengar
cerita tentang laki-laki yang hanya bergairah terhadap sesama lelaki. Tentang perempuan yang
hanya mau berhubungan sesama perempuan. Apakah… Jangan-jangan…" Ratu Duyung ingat
pada pasangan suami istri penjaga rumah. "Ketika meninggalkan rumah, dua orang itu berbisik-
bisik sambil memperhatikan diriku. Mungkin sebelumnya Sutri Kaliangan telah sering membawa
gadis-gadis ke rumah ini. Jika benar ada kelainan pada diri Sutri mereka pasti tahu banyak.
Kalau saja aku bisa menemui keduanya…" Ratu Duyung usap tengkuknya yang mendadak terasa
merinding.

Di dalam gerobak, dinginnya udara malam membuat Ratu Duyung bergelung dan rangkapkan
tangan di depan dada. Dalam masih mengingat-ingat apa yang barusan dialaminya, gadis ini
keluarkan cermin sakti dari balik pakaian.

"Aku tak mungkin meneruskan perjalanan bersama gadis itu. Aku tahu betul, orang seperti dia
bisa berbuat nekad bila maksudnya tidak kesampaian. Bukan mustahil dia akan membunuhku
karena malu rahasia dirinya kuketahui. Aku harus mencari jalan sendiri. Rupanya gerak-geriknya
yang selama ini seperti terpikat dan ingin cepat-cepat menemui Wiro hanya satu kepura-puraan
belaka. Dia punya tujuan lain. Aku harus mencari tahu di mana Wiro berada…" Di dalam
gerobak, dalam gelap, dan dinginnya malam Ratu Duyung arahkan pandangan pada cermin
sakti berbentuk bulat. Tanpa diketahuinya, dua bayangan putih laksana sepasang setan
gentayangan berkelebat ke arah bangunan lalu melesat ke atas wuwungan. 7

DI ATAS atap rumah, dalam gelapnya malam dua sosok mendekam sesaat. Dari jubah serta kain
penutup kepala yang serba putih jelas mereka adalah Satria Pocong, anggota Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian. Setelah saling berbisik salah seorang dari mereka menggeser
atap kayu sirap lalu mengintai ke dalam rumah. Begitu mengintip orang ini keluarkan suara
terperangah, membuat teman di sebelahnya bertanya.

"Ada apa?"

"Belum pernah aku melihat pemandangan luar biasa seperti ini," suara manusia pocong
pertama bergetar. Nafasnya berhembus kencang.

"Ke pinggirlah, coba kulihat." Manusia pocong kedua ingin tahu pemandangan apa yang ada di
bawah sana.

"Aku sedang asyik. Jangan kau ganggu dulu."

"Jangan serakah!" Manusia pocong kedua mengomel.

"Atap ini masih luas. Mengapa tidak membuat lobang sendiri?"


Penasaran ingin tahu apa yang dilihat kawannya, manusia pocong kedua mengalah lalu
menggeser atap sirap di bagian lain. Ketika dia mengintai ke dalam rumah, langsung dari
mulutnya keluar ucapan.

"Aahhhh…" Tengkuknya yang tertutup kain putih diusap berulang kali. Tanpa menggeser mata
dari renggangan atap sirap manusia pocong ini berkata pada teman di sebelahnya.
"Sebelumnya kau bilang ada dua gadis. Yang kulihat cuma seorang."

"Gadis satunya mungkin sudah pergi. Mungkin tidak tinggal di sini."

"Apa yang akan kita lakukan?"

"Kita?" tanya manusia pocong pertama. "Aku akan turun ke bawah. Terserah kau. Kalau kau
minta bagian silahkan menunggu. Kalau tidak kembali saja ke Lorong."

"Susah punya teman serakah sepertimu." Manusia pocong kedua mengomel. Tapi hatinya
bimbang. Apa yang disaksikannya di dalam kamar di bawah sana membuat tubuhnya
keringatan. "Aku memilih kembali saja," katanya kemudian. "Silakan kau bersenang-senang.
Tapi aku nasihatkan agar kau tetap waspada. Hati-hati. Gadis itu agaknya belum tidur. Seperti
menunggu kedatangan seseorang."

"Dia menunggu aku," jawab manusia pocong pertama lalu tertawa perlahan di balik kain
penutup kepala. "Perlu apa takut terhadap seorang gadis cantik yang saat ini berbaring di atas
ranjang tanpa pakaian."

"Aku hanya mengingatkan. Kau tahu, belakangan ini kita sudah menyirap kabar tentang terlihat
orang-orang tak dikenal sekitar Telaga Sarangan dan bebukitan batu sekitar Lorong. Belum lama
salah seorang tokoh rimba persilatan berjuluk Dewa Tuak malah berhasil menyusup ke dalam
Lorong."

"Tua bangka satu itu perlu apa dikhawatirkan. Atas perintah Yang Mulia Ketua, Sri Paduka Ratu
telah meringkusnya. Lagi pula kemunculan orang-orang yang kau sebutkan itu bukankah sesuai
dengan rencana dan apa yang telah diatur oleh Yang Mulia Ketua? Dewa Tuak sudah muncul
dan dilumpuhkan. Dia sekarang jadi salah satu anggota Barisan Manusia Pocong. Aku yakin
tidak lama lagi yang disebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng akan segera pula muncul."

"Bagaimana kalau gadis telanjang di dalam kamar itu ternyata merupakan satu pancingah. Kau
bisa celaka…"

"Kalau kau takut, lekas-lekas saja kembali ke Lorong." Manusia pocong pertama segera hendak
bergerak. Tapi bahunya dipegang oleh teman di sebelahnya.
"Sebelum naik ke atap ini, aku sempat mengelilingi rumah. Di sebelah belakang aku menemui
dua ekor kuda. Besar dan tegap-tegap. Salah satu diantaranya ada hiasan kain kuning di leher
dan dada. Hiasan seperti ini hanya dimiliki kuda pejabat-pejabat tinggi di Kotaraja…"

"Sobatku, kau kembalilah ke Lorong. Aku kesini mencari gadis cantik itu. Bukan mencari kuda
yang ada hiasan kain kuning." Setelah tertawa perlahan manusia pocong pertama ini lambaikan
tangan pada temannya lalu berkelebat turun dari atas atap rumah. Sesaat kawannya masih
berada di atas atap. Sebelum menyusul turun sekali lagi dia mengintai ke dalam rumah lewat
renggangan atap sirap. Menarik nafas panjang, geleng-geleng kepala lalu berkelebat pergi.

***

DI atas tempat tidur, Sutri Kaliangan berbaring tidak sabar menunggu kedatangan Ratu Duyung.
Ketika pintu kamar terbuka dan ada langkah-langkah kaki halus memasuki kamar, gadis ini
pejamkan mata, tersenyum.

"Ratu Duyung. Kau membuatku gelisah…" Di atas ranjang Sutri Kaliangan balikkan tubuh, kepala
di arahkan ke pintu kamar. Begitu pandangannya membentur sosok serba putih yang tegak di
samping tempat tidur, gadis ini tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan. Kejap itu juga
dalam keadaan tidak sadar akan keadaan auratnya, gadis ini melompat turun ke lantai. Begitu
sadar kalau saat itu dia tidak mengenakan pakaian sama sekali, langsung menjerit dan berusaha
menyambar pakaian kuningnya yang berserakan di kaki tempat tidur. Tapi si manusia pocong
lebih cepat. Sekali bergerak dia berhasil mengambil pakaian itu. Sambil membuntal-buntal
pakaian kuning dengan kedua tangannya dia berkata.

"Tak perlu risaukan pakaian ini. Kau lebih cantik tanpa pakaian! Ha… ha… ha!"

"Manusia pocong…" ucap Sutri bergetar dalam hati. "Apa ini makhluk yang ramai dibicarakan
orang belakangan ini. Ternyata bukan cuma cerita kosong." Putri Patih Kerajaan ini hanya
terkesiap sesaat. Keberaniannya kemudian muncul. Sambil melindungi tubuh dengan bantal dia
membentak.

"Jahanam! Kau siapa?! Keluar dari kamar ini!" Matanya melirik ke arah dinding kamar di mana
tergantung pedang miliknya. Manusia pocong sudah membaca apa yang ada di benak si gadis.
Buntalan pakaian kuning yang digenggamnya dilemparkan ke arah Sutri. Selagi Sutri membuat
gerakan menangkap pakaian, secepat kilat manusia pocong melompat ke arah dinding
menyambar pedang perak.

Seperti diketahui Sutri Kaliangan yang puteri Patih Kerajaan ini walau mempunyai kelainan tapi
juga memiliki ilmu silat cukup tinggi. Sadar kalau orang menipu, Sutri segera melesat ke arah
manusia pocong sambil lancarkan jurus serangan yang disebut Menusuk Puncak Gunung. Jurus
ini sebenarnya adalah jurus serangan ilmu pedang. Walau dimainkan dalam serangan tangan
kosong kehebatannya tidak kalah berbahaya dengan memakai pedang. Nyatanya si manusia
pocong kena dihantam.
Bukkk!

Jotosan Sutri Kaliangan mendarat di bahu kanan manusia pocong. Membuat orang ini melintir
dan mengeluh tinggi kesakitan. Gagang pedang yang sudah ada dalam genggamannya terlepas,
senjata itu jatuh berkerontang di lantai. Manusia pocong segera balikkan tubuh, tepat ketika
Sutri Kaliangan melompat sambil hantamkan satu tendangan.

Manusia pocong keluarkan suara mendengus dari hidung. Walau marah dan sakit namun
sepasang matanya berkilat menyaksikan tubuh telanjang yang menyerangnya.

Wuttt!

Tendangan Sutri Kaliangan meleset hanya setengah jengkal di samping kiri tubuhnya. Begitu
serangan lawan lewat, manusia pocong membuat gerakan kilat. Tahu-tahu dia telah mencekal
betis kanan Sutri Kaliangan. Sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, tangan yang mencekal
betis bergerak dan Sutri terpekik. Tubuhnya terlempar ke atas, jatuh ke bawah, terjengkang di
atas ranjang! Sutri terpekik. Seolah baru sadar keadaan auratnya yang tanpa pakaian, gadis ini
cepat berguling turun dari atas tempat tidur. Namun manusia pocong bergerak lebih cepat.
Dengan satu gerakan kilat dia membuat lompatan. Dua jari tangan ditusukkan ke arah pangkal
leher si gadis mendaratkan totokan aneh. Tubuh putri Patih Kerajaan itu tidak kaku, tetapi
mendadak menjadi lemas.

"Manusia setan keparat! Jangan kau berani berlaku kurang ajar terhadapku!" Teriak Sutri.

"Gadis cantik! Siapa yang tega berbuat kurang ajar! Aku malah mau memberikan kesenangan
padamu!"

"Setan terkutuk! Aku Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan! Ayahku akan mencincang
tubuhmu!"

Sesaat si manusia pocong seperti terkesiap mendengar ucapan Sutri. Namun kemudiah dia
tertawa. "Aku tidak kenal siapa dirimu. Juga tidak tahu siapa itu yang disebut Patih Kerajaan.
Saat ini aku ingin bersenang-senang."

Habis berkata begitu manusia pocong siap melucuti jubahnya. Di sebelah atas kain putih
penutup kepala tidak ditanggalkan. Agaknya manusia pocong ini tidak mau wajahnya dilihat
orang. Sutri kembali memaki dan berteriak. Dia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Dicobanya
menggulingkan diri, juga tidak mampu.

"Gadis, harap kau pasrah saja pada nasib. Kalau memang berjodoh, urusan hari ini bisa kita
perpanjang sampai nanti. Ha… ha… ha!"

"Makhluk keparat! Aku bersumpah membunuhmu!"


Sambil tertawa bergelak manusia pocong melompat ke atas tempat tidur.

***

DI dalam gerobak di halaman kiri rumah, Ratu Duyung menatap tak berkesip ke cermin sakti
bulat yang dipegangnya dengan kedua tangan. Perlahan-lahan bayangan hitam di dalam cermin
berubah terang namun seperti ada gelombang asap melapisi permukaan cermin. Sesekali ada
bayangan putih muncul lalu lenyap, muncul lagi dan kembali lenyap. Ditunggu sekian lama Ratu
Duyung masih belum melihat apa-apa. Tiba-tiba dua tangan yang memegang cermin mulai
bergetar. Ratu Duyung ingat pada kejadian sewaktu dia melakukan pemantauan di Gedung
Kepatihan. Ratu Duyung tidak berani kerahkan hawa sakti, khawatir akan mengalami hantaman
kekuatan yang tak kelihatan seperti kejadian tempo hari.

"Ada kekuatan aneh menghalangi. Wiro, di mana kau…" ucap Ratu Duyung. Tiba-tiba sudut
matanya melihat satu bayangan putih berkelebat di depan gerobak. Ratu Duyung turunkan
cermin. Tubuhnya masih melunjur di lantai gerobak. Dada dan kepala dinaikkan.

"Astaga, apa yang aku lihat ini? Pocong hidup gentayangan di malam hari?"

Gadis cantik yang berasal dari kawasan samudera selatan ini segera simpan cerminnya lalu
bergerak bangkit. Sosok serba putih lenyap di balik sederetan pepohonan.

"Pocong hidup… Mungkin ini makhluk yang pernah dibicarakan para gadis sewaktu di Gedung
Kepatihan. Makhluk setan penculik perempuan hamil." Sang Ratu berpikir sejenak. Segera saja
muncul niatan di hatinya untuk mengejar manusia pocong tadi. Tidak menunggu lebih lama
Ratu Duyung segera keluar dari dalam gerobak. Ketika dia siap berkelebat mengejar, tiba-tiba
dari arah rumah terdengar jeritan disusul bentakan-bentakan perempuan.

"Sutri Kaliangan..," ucap Ratu Duyung. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?"

Untuk seketika gadis jelita bermata biru ini jadi bingung. Apakah akan meneruskan maksudnya
semula mengejar manusia pocong atau menghambur masuk ke dalam rumah untuk melihat apa
yang terjadi.

"Ah, gadis yang punya kelainan itu mungkin mau menipuku. Sengaja menjerit dan membentak
agar aku segera datang. Lebih baik aku tinggalkan saja dia," membatin Ratu Duyung. Namun
untuk kesekian kalinya dia mendengar suara jeritan gadis itu. Lalu suara gedebuk pukulan
disusul suara senjata jatuh berkerontang di lantai. Setelah ulang berpikir akhirnya Ratu Duyung
berkelebat ke arah rumah. Saat itulah ada suara perempuan berteriak di atas atap rumah.

"Aku tahu! Maksudmu bukan mau membantu! Tapi mau melihat lebih dekat aurat telanjang
gadis cantik itu! Awas kalau kau berani menjamah tubuhnya!"
Terdengar suara tertawa bocah cekikikan.

Lalu, braakk!

Salah satu bagian atap sirap jebol.

Ratu Duyung memasuki rumah terus melompat ke kamar tidur, tepat ketika satu sosok kecil
gesit berpakaian hitam terjun dari atas wuwungan kamar, langsung melompat ke belakang
sosok manusia pocong yang saat itu siap berbuat bejat hendak menggagahi Sutri Kaliangan.

"Pocong jejadian! Hancur kantong menyanmu!"

Sosok kecil berpakaian hitam ulurkan tangan ke depan.

Krekkk… tesss!

Si manusia pocong menjerit setinggi langit. Darah mengucur dari anggota rahasia di bawah
perutnya. Di samping ranjang seorang anak lelaki berpakaian hitam-hitam berambut jabrik
dekatkan tangannya yang barusan meremas ke lobang hidung, lalu kibas-kibaskan tangan itu
sambil keluarkan suara seperti orang mau muntah kemudian tertawa gelak-gelak. Sementara
itu si manusia pocong gulingkan diri, menungging-nungging di lantai kamar sambil menjerit
megap-megap, pegangi perutnya di sebelah bawah yang telah hancur diremas orang!

"Naga Kuning! Apa yang kau lakukan?!" teriak Ratu Duyung dengan mata mendelik ngeri ketika
melihat apa yang terjadi dengan manusia pocong yang tadi hendak menggagahi Sutri Kaliangan.

"Aku hanya mengusap gituannya. Heran, kenapa dia melintir kelojotan seperti itu! Seharusnya
dia bergumam keenakan! Hik… hik… hikkk!"

Si bocah berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga Kuning menjawab konyol seenaknya lalu
tertawa cekikikan.

"Bocah edan kurang ajar!" maki Ratu Duyung tapi dengan wajah setengah tersenyum.

"Ratu, mohon maafmu. Mungkin tadinya kau bermaksud meraba perabotan orang. Tapi
kedahuluan oleh aku! Ha… ha… ha!"

"Anak setan! Siapa sudi melakukan yang kau katakan itu!" Ratu Duyung berteriak marah.

Si bocah Naga Kning kembali tertawa gelak-gelak sambil matanya melirik ke arah sosok tak
berpakaian Sutri Kaliangan yang tertelentang di atas tempat tidur. 8

HAI! Kalian jangan cuma tertawa-tawa. Lekas tolong diriku!" Sutri Kaliangan berteriak. Di
samping tempat tidur si manusia pocong masih menjerit-jerit lalu melompat ke arah pintu. Ratu
Duyung cepat menghalangi namun ditabrak dengan keras hingga gadis itu terdorong jauh ke
dinding kamar.

"Biarkan pocong keparat itu kabur! Dia akan mati kehabisan darah! Yang penting tolong dulu
diriku. Aku ditotok!" Sutri Kaliangan kembali berteriak

Ratu Duyung berpikir. Sutri sudah ada orang yang menolong, lebih baik dia mengejar manusia
pocong. Ratu Duyung cepat keluar dari kamar. Ketika sampai di luar rumah, seekor kuda
menghambur dalam kegelapan.

"Manusia pocong! Dia kabur dengan kuda milik Sutri Kaliangan!" Ratu Duyung kepalkan tinju
lalu cepat lari ke samping rumah. Disitu masih ada seekor kuda yakni kuda yang sebelumnya
ditungganginya dalam perjalanan dari Kotaraja bersama Sutri. Ratu Duyung melompat ke atas
kuda, segera melakukan pengejaran. Namun entah bagaimana orang menipunya, Ratu Duyung
tidak berhasil mengejar manusia pocong. Orang itu lenyap dalam kegelapan padahal tadi hanya
terpaut belasan tembok saja di depannya.

Dalam gelap Ratu Duyung segera keluarkan ilmu Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia
mampu melihat benda-benda dalam gelap atau terhalang benda lain yang berada dalam jarak
tertentu. Hawa sakti dialirkan ke kepala, mata dikedipkan dua kali. Pandangan dipentang ke
depan. Sesaat kemudian sang Ratu melihat satu keanehan. Dia mampu melihat kuda besar yang
dipergunakan manusia pocong dalam melarikan diri. Namun si penunggang sama sekali tidak
kelihatan. Kuda besar itu menghambur sendirian seperti ditunggangi hantu yang tidak
kelihatan!

"Aneh luar biasa! Dirinya dalam keadaan terluka parah. Ilmu setan apa yang dimiliki manusia
pocong itu hingga dirinya tidak tembus pandang? Atau mungkin ada satu kekuatan dari luar
membantu melindungi dirinya? Kekuatan yang tempo hari aku pernah lihat di cermin sakti?"

Dituntun oleh ilmu Menembus Pandang meski agak lamban Ratu Duyung berusaha terus
mengikuti manusia pocong yang melarikan diri. Walau tidak takut akan kehilangan jejak orang
yang dikejarnya tapi ada satu hal yang dikhawatirkan Ratu Duyung. Yaitu seperti yang dikatakan
Sutri Kaliangan. Manusia pocong itu bisa saja menemui ajal kehabisan darah sebelum dia
berhasil mengejar atau mengetahui sarangnya.

Kembali ke dalam kamar. Mendengar teriakan Sutri Kaliangan minta tolong dan memberitahu
kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok, bocah konyol berambut jabrik Naga Kuning
segera melompat ke samping tempat tidur. Dua matanya menjelajah nakal di sekujur tubuh si
gadis.

"Katakan, bagian mana tubuhmu yang ditotok." Naga Kuning kembangkan tangan kanan di atas
dada Sutri Kaliangan. Telapak ke bawah dan tangan digerak-gerakkan ke kiri ke kanan. "Ah,
pasti di bagian sini. Di bagian dadamu!" kata anak itu. Tangannya lalu diturunkan mendekati
permukaan dada yang tidak tertutup.
"Bocah setan!" Dari atas atap rumah yang jebol terdengar satu bentakan. "Minggir kau! Aku
yang akan menolong gadis itu! Awas kalau kau berani menyentuh tubuhnya!"

Satu sosok serba hitam, dari atas atap rumah, laksana setan terjun dari langit melesat masuk ke
dalam kamar. Naga Kuning didorong ke samping hingga terjajar ke dinding. Sambil usap-usap
rambutnya yang jabrik Naga Kuning berkata.

"Kau keliwat cemburu. Masakan aku…"

"Huss! Diam! Siapa percaya dirimu! Waktu Sinto Gendeng dikeluarkan dari pendaman kau
masih suka melihat tubuh telanjang nenek itu! Padahal tubuhnya kurus hitam keriputan!
Apalagi tubuh gadis cantik dan bagus seperti yang ini! Owalah!" (Mengenai riwayat Sinto
Gendeng dilepas dari pendaman baca seri pertama berjudul 113 Lorong Kematian)

Naga Kuning hanya bisa sunggingkan senyum mendengar ucapan itu.

Sutri Kaliangan tercekat memperhatikan orang yang tegak di samping tempat tidur. Seorang
nenek berjubah hitam. Rambut panjang kelabu, bermuka seram seperti setan. Sepuluh kuku
jarinya panjang runcing dan hitam.

"Nek, mungkin aku pernah melihatmu sebelumnya. Tapi lupa siapa dirimu. Kau bisa melepaskan
totokan di tubuhku?" Sutri Kaliangan keluarkan ucapan.

Si nenek yang dalam rimba persilatan dikenal dengan panggilan Gondoruwo Patah Hati tidak
menyahuti pertanyaan orang. Sepasang matanya menatap sekujur tubuh Sutri Kaliangan.
Mencari letak di bagian tubuh sebelah mana gadis ini telah ditotok. Jari telunjuk dan jari tengah
tangan kanan ditekuk. Tiba-tiba dua jari yang ditekuk ini bergerak, ditekankan ke pangkal leher
sebelah kiri Sutri Kaliangan.

Desss!

Saat itu juga totokan yang menguasai tubuh si gadis punah. Rasa lemas lenyap. Sutri Kaliangan
berseru keras, gulingkan diri ke kiri sambil menarik kain alas tempat tidur. Untuk beberapa lama
dia berdiri terdiam di sudut kamar sambil lindungi auratnya dengan kain itu. Sepasang mata
menatap Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning.

"Aku mengucapkan terima kasih…" kata si gadis kemudian.

Gondoruwo Patah Hati tidak menjawab. Dia melirik ke arah Naga Kuning lalu melangkah ke
pintu sambil memberi isyarat agar si bocah mengikutinya. Sampai di ambang pintu, ketika Naga
Kuning masih tak beranjak di tempatnya, si nenek hentikan langkah.

"Kau masih berada di situ, apakah mau menolong gadis itu mengenakan pakaiannya?!"
Si bocah tertawa lebar. Lalu menyahuti, "Kita sudah menolongnya. Tadi kita bercuriga bahwa
orang yang hendak berbuat keji itu mungkin adalah anggota komplotan orang-orang yang suka
menculik perempuan bunting. Mengapa kita tidak bertanya mencari keterangan pada gadis
ini?"

"Kau bisa bertanya pada orang lain. Bukan pada gadis yang masih telanjang bulat begitu rupa!
Ayo ikut aku tinggalkan tempat ini." Si nenek ulurkan tangan kirinya menjewer telinga Naga
Kuning. Dalam keadaan meringis kesakitan bocah ini kemudian dibimbing keluar kamar.

"Hai! Tunggu dulu!" Seru Sutri Kaliangan. "Harap mau memberitahu siapa adanya kalian."

Naga Kuning hendak menjawab tapi Gondoruwo Patah Hati mendahului. "Kami adalah sahabat
kakek berjuluk Setan Ngompol yang tempo hari mendapatkan kembang Melati Tujuh Racun
untuk penyembuh sakit ayahmu."

"Jadi, kau sudah tahu kalau aku puteri Patih Kerajaan?"

Gondoruwo Patah Hati mengangguk perlahan.

"Ah, aku benar-benar berterima kasih pada kalian berdua. Tunggulah di luar kamar. Aku akan
berpakaian. Nanti kita bicara lagi. Aku berjanji akan memberikan hadiah besar pada kalian
berdua."

"Sudah saatnya kami pergi..," kata Gondoruwo Patah Hati.

"Kalian mau menuju ke mana?"

Naga Kuning hendak menjawab. Tapi si nenek kembali menjewer kupingnya dan menarik si
bocah meninggalkan tempat itu.

Sampai di luar Naga Kuning berkata. "Kita menolongnya, mengapa kemudian kau bersikap ketus
pada gadis itu?"

"Sudah, tak perlu banyak bertanya. Aku punya dugaan kita sudah dekat dengan sarang
manusia-manusia penculik perempuan hamil itu."

"Dugaanmu bisa saja betul. Tapi aku ingin tahu…"

"Apa yang kau ingin tahu?" tanya Gondoruwo Patah Hati.

"Intan," Naga Kuning memanggil si nenek dengan nama aslinya. Seperti dituturkan dalam
beberapa serial Wiro Sableng sebelumnya, Gondoruwo Patah Hati bernama asli Ning Intan
Lestari merupakan kekasih Naga Kuning di masa muda. Selain itu dia adalah anak angkat Kiai
Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng yang asal muasal memiliki Kapak Maut Naga Geni
212 dan Pedang Naga Suci 212. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin menjodohkan anak angkatnya
ini dengan Rana Suwarte. Tetapi Ning Intan Lestari menolak karena hatinya telah lebih dulu
tertambat pada Naga Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek sakti bernama Gunung
berjuluk Kiai Paus Samudera Biru. Namun perjalanan hidup memisahkan mereka selama sekian
puluh tahun. Dalam kepatahan hatinya ditinggal sang kekasih Intan tetap menunggu sampai
akhirnya dia berhasil bertemu kembali dengan Gunung walaupun saat itu mereka sudah
menjadi seorang kakek dan seorang nenek. Namun Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tetap
ingin menjodohkan anak angkatnya itu dengan Rana Suwarte hingga akhirnya terjadi
perseteruan antara Naga Kuning dengan Rana Suwarte. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
Gondoruwo Patah Hati, Senandung Kematian)

"Intan, apakah kau cemburu aku mau berlaku yang tidak-tidak terhadap gadis tadi?" Naga
Kuning bertanya.

"Itu hal yang pertama. Hal kedua kau tidak pantas mengenal apa lagi berdekatan dengan gadis
itu. Aku sudah lama menyirap kabar. Puteri Patih Kerajaan itu punya kelainan.

"Hemm, begitu? Kelainan apa maksudmu? Suka pada anak-anak bagus seperti aku ini?"

"Bocah keblinger! Sombongnya! Kau tahu, gadis itu hanya suka pada sesama jenisnya.
Hasratnya hanya bisa tersalur pada sesama perempuan!"

"Nah… nah! Kalau begitu aku tak bakal diapa-apakannya. Kau yang bakal jadi incaran. Bukankah
kalian sama-sama perempuan? Baiknya kau kembali ke rumah sana. Aku biar mengintip di luar.
Ingin tahu apa saja yang dilakukan antara perempuan dengan perempuan! Kau pasti bakal
diberinya hadiah berlipat ganda! Ha… ha., ha…"

Gelak tawa Naga Kuning langsung berhenti begitu jari-jari tangan Gondoruwo Patah Hati
memuntir daun telinga kirinya.

***

KEMBALI pada Wulan Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih. Seperti diceritakan sebelumnya
gadis ini sempat diculik dan hendak diperkosa oleh Warok Jangkrik. Untung dirinya berhasil
ditolong diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur dan Jatilandak. Namun antara Wulan Srindi
dan Bidadari Angin Timur kemudian terjadi rasa saling tidak enak kalau tidak mau dikatakan
sebagai perselisihan. Ini disebabkan Wulan Srindi telah mengaku dirinya adalah murid Dewa
Tuak yang akan dijodohkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Sampai beberapa hari berlalu Wulan Srindi belum juga berhasil mencari tahu tentang
keberadaan Wiro. Selain itu dia merasa khawatir akan diri Dewa Tuak. Setelah menyelamatkan
dirinya tempo hari, kakek itu diketahui menyusup masuk ke dalam sebuah lorong di kawasan
bukit batu. Sampai saat ini si kakek tidak pernah lagi muncul. Jangan-jangan telah terjadi
sesuatu atas dirinya. Untuk masuk mencari ke dalam lorong batu Wulan Srindi tidak punya
keberanian. Sekali lagi dirinya sampai ditangkap manusia-manusia pocong, jangan harap dia
bakal bisa keluar dari tempat itu. Kalaupun dia keluar mungkin sudah berupa mayat dan jadi
korban perkosaan! Akhirnya yang dilakukan gadis ini adalah tetap berada di dalam rimba
belantara sekitar pinggiran lembah batu sebelah selatan. Di sebelah utara, setelah
menyeberangi lembah batu menjulang kawasan bukit batu. Di situlah terletaknya kawasan 113
Lorong Kematian. Sambil menyirap kabar mengenai Dewa Tuak dan Wiro Sableng Wulan Srindi
ingin mengawasi tempat itu barang satu dua hari. Karena bagaimanapun juga dia punya
dendam kesumat pada manusia pocong yang telah membunuh kakak seperguruan yang juga
Ketua Perguruan Silat Lawu Putin yaitu Parit Juwana (baca serial sebelumnya berjudul "Nyawa
Kedua")

Saat itu malam hari. Di langit kelihatan rembulan setengah lingkaran. Walau cahayanya
lumayan terang namun tidak dapat menembus ke dalam rimba belantara di mana Wulan Srindi
berada. Menjelang larut malam gadis ini mulai terkantuk-kantuk. Dia mencari tempat yang baik
untuk berbaring di bawah sebatang pohon besar. Hampir matanya terpicing tiba-tiba sepasang
mata gadis ini terbuka kembali. Lapat-lapat dia mendengar suara gebrakan kaki kuda dari ujung
rimba belantara. Wulan Srindi cepat berdiri, mendekam ke balik serumpunan semak-belukar,
pentang mata mengintai.

Tak selang berapa lama seekor kuda ditunggang oleh sosok bertutup kepala dan jubah putih
menghambur lewat di depan semak belukar.

"Manusia pocong," desis Wulan Srindi dalam hati. Sambil kepalkan tangan dan keluar dari balik
semak belukar gadis ini meneruskan ucapannya dalam hati. "Kalau tahu bangsat itu yang bakal
lewat pasti akan aku bokong." Si penunggang kuda sudah lenyap di kejauhan dalam kegelapan
malam, Wulan Srindi tidak berani melakukan pengejaran karena sadar setiap Satria Pocong 113
Lorong Kematian memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Sambil berpikir-pikir apa yang
harus dilakukannya akhirnya gadis ini kembali duduk ke bawah pohon besar. Dia coba
memejamkan mata. Tapi aneh kantuknya kini seolah lenyap. Pikirannya melayang pada hal lain
yaitu sang pendekar yang tengah dicarinya.

"Bagaimana wajahnya, di mana dia berada. Aku benar-benar ingin sekali melihat dan
menemui." Wulan Srindi menekap pipinya yang terasa dingin. Dua telapak tangannya digosok-
gosok satu sama lain hingga menjadi hangat lalu ditekapkan kembali ke pipi. Gadis cantik
berkulit hitam manis ini tidak sadar berapa lama dia duduk di bawah pohon sambil menekap
wajah begitu rupa. Dia tersentak sewaktu di kejauhan kembali terdengar suara derap kaki kuda.
Kali ini tidak sekeras dan sekencang yang pertama tadi. Kembali Wulan Srindi bersembunyi di
balik semak belukar. Cukup lama dia menunggu hingga akhirnya kelihatan muncul seekor kuda
yang berlari lamban. Kuda ini ditunggangi oleh seorang yang kepalanya ditutupi kain putih.
Tubuh si penunggang kuda rebah ke depan. Satu tangan bergayut pada leher kuda, tangan yang
lain mendekam di bagian bawah perut.
Ketika kuda dan penunggang lewat di depan semak belukar, Wulan Srindi jadi terperangah
dalam kejutnya. Si penunggang ternyata tidak mengenakan pakaian selain kain putih penutup
kepala. Dari mulutnya keluar suara erangan. Tampak noda darah di sekujur paha dan kaki.

"Manusia pocong… dia terluka. Apa yang terjadi…? Mengapa dia terpencar dari temannya yang
tadi?" Baru saja Wulan Srindi berucap dalam hati sekitar sepuluh tombak di depan sana tiba-
tiba kuda yang ditunggangi manusia pocong meringkik keras dan angkat dua kaki depan ke atas.
Tak ampun manusia pocong yang ada di punggungnya jatuh tersungkur ke tanah, mengerang
panjang lalu diam tak berkutik. Entah mati entah pingsan.

Wulan Srindi kerenyitkan kening. Mau mendekati, tengkuknya merinding karena selain kain
putih penutup kepala, si manusia pocong tidak mengenakan apapun.

"Ah, peduli setan! Mengapa aku harus takut atau jengah! Mungkin dia sudah mampus! Biar
kutarik kain penutup kepalanya. Ingin tahu siapa bangsat satu ini adanya!" Habis berkata begitu
Wulan Srindi segera keluar dari balik semak belukar, melangkah cepat mendekati manusia
pocong yang tergeletak di tanah. Namun baru berjalan lima langkah tiba-tiba di belakangnya
terdengar derap kaki kuda keras dan cepat. "Jangah-jangan kawan manusia pocong. Aku harus
sembunyi," pikir Wulan. Cepat gadis ini berkelebat ke balik deretan pohon di samping kiri.

Tak lama kemudian muncul dua orang penunggang kuda. Di sebelah depan seorang pemuda
berpakaian warna gelap, mengenakan destar hitam berwajah cakap. Alis mata tebal, hidung
mancung. Di belakang menyusul seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan ikat kepala
dan pakaian serba putih.

Di balik pohon Wulan Srindi membatin sambil matanya memandang tak berkesip. "Jangan-
jangan pemuda berdestar hitam ini Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang tengah aku cari.
Orangya cakap, sikapnya gagah. Pasti dia."

Sementara itu penunggang kuda sebelah depan hentikan lari kudanya. Berkata pada temannya
yang di belakang.

"Aneh, tadi makhluk itu tidak jauh di depan kita. Mengapa mendadak lenyap?"

Teman yang diajak bicara hentikan pula kudanya di samping kuda kawannya yang bertanya.
Memandang berkeliling lalu berkata. "Barusan ada suara kuda meringkik. Lalu sunyi. Coba kita
teruskan bergerak ke depan. Mungkin kita menemukan sesuatu. Tapi harap berhati-hati. Bukan
mustahil orang yang kita kejar sedang memasang perangkap. Tempat ini, bukankah tak jauh
dari kawasah Telaga Sarangan?" Si gondrong berucap sambil sesekali menggaruk kepalanya.

"Betul," jawab penunggang kuda berdestar hitam. "Kalau tidak salah, di sebelah timur sana ada
air terjun Ngadiloyo. Rimba belantara ini memang termasuk kawasan Sarangan…"
Si gondrong angkat tangan kanannya memberi tanda lalu menunjuk. "Lihat," katanya. "Di depan
sana. Ada sosok menggeletak di tanah…"

Pemuda berdestar hitam memandang ke arah yang ditunjuk.

"Astaga, aku berada lebih dekat. Bagaimana sampai tidak melihat?"

Dua pemuda segera gerakkan kuda ke depan. Di dekat sosok yang tergeletak di tanah keduanya
melompat turun dari kuda tunggangan masing-masing. Dan keduanya sama-sama terkesiap.

"Seumur hidup baru sekali ini aku melihat ada manusia mati seperti ini!" kata si gondrong
sambil pandangi melotot sosok tubuh yang terkapar di depannya.

"Dari kain putih penutup kepalanya aku yakin dia adalah salah satu anggota komplotan manusia
pocong yang menculik istriku."

"Aku juga menduga begitu. Tapi mengapa dia mati dalam keadaan begini rupa? Bugil di sebelah
bawah?!" Si gondrong tertawa dan lagi-lagi dia menggaruk kepala.

"Wiro…," pemuda berdestar hitam sebut nama si gondrong.

Di balik pohon Wulan Srindi terkejut mendengar ucapan pemuda berdestar hitam. "Aku
mengira dia yang Wiro. Ternyata si gondrong itu… Ah, tampangnya memang tak kalah gagah,
malah kelihatan lebih jantan. Tapi kenapa sikapnya aneh konyol, seperti orang kurang waras.
Sebentar-sebentar ketawa, sebentar-sebentar menggaruk kepala. Apa karena ini maka dia
dinamai Wiro Sableng? Apa betul orang seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi? Bagaimana
ini, apa aku harus keluar menemuinya? Memperkenalkan diri sambil memberitahu keadaan
Dewa Tuak?"

Setelah berpikir sekali lagi akhirnya Wulan memutuskan untuk keluar dari balik pohon. Namun
belum sempat bergerak tiba-tiba kedengaran suara derap kuda banyak sekali. Tak lama
kemudian rimba belantara diterangi nyala obor yang dipegang oleh sekitar dua puluh orang
penunggang kuda. Dari pakaian serta perlengkapan yang mereka bawa kentara mereka adalah
serombongan pasukan. Mungkin balatentara dari Kadipaten.

"Loh Gatra," bisik Wiro pada pemuda di sebelahnya. "Kita kedatangan tamu dari Kadipaten
Magetan. Naga-naganya bakal ada urusan yang tidak enak."

"Kita tidak ada urusan dengan mereka. Malah jika mereka tahu urusan kita, mereka harus
membantu."

"Tenang, lihat saja apa yang bakal terjadi," kata Wiro lalu bangkit berdiri. Pemuda di sebelahnya
yaitu Loh Gatra yang istrinya diculik manusia pocong ikutan berdiri.
Seorang bertubuh besar, mengenakan pakaian keprajuritan mewah lengkap dengan topi tinggi,
menyeruak di antara pasukan berkuda. Beberapa langkah dari hadapan Wiro dan Loh Gatra
yang tegak di samping mayat telanjang, orang ini hentikan kudanya. Dari atas kuda dia
pandangi dua pemuda di depannya. Lalu mulutnya keluarkan ucapan memerintah. "Pasukan!
Tangkap pemuda gondrong itu!" 9

LOH Gatra terkejut besar mendengar perintah yang dilontarkan penunggang kuda bertopi
tinggi. Selusin prajurit menyerahkan obor yang mereka pegang pada teman-teman mereka lalu
melompat turun dari kuda masing-masing. Ketika mereka bergerak hendak mengurung dan
meringkus Wiro, Loh Gatra cepat melompat ke muka dan berucap lantang. Sementara murid
Sinto Gendeng hanya berdiri tenang-tenang saja.

"Tahan! Kalau tidak salah menduga, bukankah kami berhadapan dengan Raden Sidik
Mangkurat, Adipati dari Magetan?"

"Jika sudah tahu mengapa masih bertanya?!" Seorang prajurit yang berdiri di samping kanan
Loh Gatra membentak. Tampangnya memang galak dan suaranya besar keras. Dia yang
mengepalai rombongan pasukan.

Loh Gatra tidak perdulikan bentakan prajurit kepala. Dia maju beberapa langkah mendekati
Adipati Magetan lalu berkata. "Saya Loh Gatra, cucu Ki Sarwo Ladoyo, mendiang sepuh
Kadipaten Temanggung!"

Dengan memberitahu siapa dirinya Loh Gatra berharap Sidik Mangkurat tidak akan berlaku
sembarangan. Tapi sang Adipati tidak memandang sebelah mata. Malah dia keluarkan ucapan
tajam menyindir.

"Aku pernah mendengar riwayat kakekmu itu. Nama Ki Sarwo tidak begitu bersih. Dia pernah
membangkang terhadap Adipati Temanggung. Pantas kemudian dia dihabisi!"

"Apa yang kau dengar tidak benar. Justru kakekku dibunuh secara keji oleh orang-orang Adipati
Temanggung Jatilegowo!" (Baca serial Wiro Sableng "Badik Sumpah Darah" terdiri dari 7
Episode)

"Orang muda! Rupanya kau mau memutar balik peristiwa! Menyingkirlah. Aku dan pasukan
datang kemari bukan untuk berdebat dengan pemuda ingusan sepertimu. Kalau kau tidak mau
menyingkir, pasukan akan kuperintahkan untuk meringkusmu bersama si gondrong ini!"

"Kalau sahabatku memang punya kesalahan, aku tidak keberatan kau menangkapnya. Tapi
jelaskan dulu apa kesalahan sahabatku ini!"

"Kalian bersahabat? Bukan mustahil kalian berserikat melakukan kejahatan. Berkomplot


menculik perempuan-perempuan hamil!"
"Edan! Bagaimana Adipati bisa mengarang cerita fitnah seperti itu?!" Ujar Loh Gatra setengah
berteriak sementara Wiro masih saja berdiri tenang malah cengar-cengir rangkapkan dua
tangan di depan dada.

"Siapa mengarang fitnah!" bentak Adipati Raden Sidik Mangkurat marah dan melotot besar.

"Beberapa waktu lalu terjadi penculikan atas diri Nyi Upit Suwarni, puteri Ki Mantep Jalawardu
sahabatku. Perempuan muda itu tengah hamil tujuh bulan. Penculiknya diketahui seorang
berpakaian serba putih menyerupai pocong hidup. Surablandong, seorang sahabatku yang
melakukan pencarian dibunuh. Lalu Aji Warangan Kepala Pasukan Kadipaten Magetan lenyap.
Tak diketahui di mana beradanya, entah masih hidup entah sudah mati. Di Bantul pasukanku
hampir berhasil menangkap salah seorang anggota komplotan manusia pocong itu. Dia kami
ketahui sebagai seorang kakek berjuluk Setan Ngompol. Lalu muncul pemuda keparat ini
mengaku sahabat si kakek, menyatakan diri sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu
Dua Wiro Sableng! Setan Ngompol ditolongnya dengan cara mempermalukan diriku. Aku
ditotok pada bagian sini!" Sang Adipati menunjuk ke arah pangkal lehernya. Lalu menyambung
ucapan. "Aku meragukan apa bangsat gondrong ini benar Pendekar Dua Satu Dua adanya!
Setahuku pendekar itu tidak pernah berbuat kejahatan atau berkomplot dengan manusia-
manusia jahat!"

"Adipati, sahabatku ini memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adanya."

"Aku tidak perduli siapa dia! Yang jelas sudah terbukti dia berserikat dengan komplotan
manusia-manusia pocong!"

Wiro Sableng garuk-garuk kepala lalu keluarkan suara berdehem. Sejak tadi berdiam diri, kini
untuk pertama kali dia keluarkan ucapan.

"Aku dan sahabat Loh Gatra justru dalam perjalanan mencari sarang komplotan penculik
berupa manusia pocong itu. Istri Loh Gatra ikut jadi korban penculikan. Malam ini, di satu
tempat di selatan, kami melihat ada seorang penunggang kuda yang kepalanya ditutup kain
putih. Kami melakukan pengejaran. Tahu-tahu menemukan manusia pocong ini tergeletak di
tempat ini, dalam keadaan kepala atas ditutup kain putih tapi kepala sebelah bawah tersingkap
polos! Alias bugil plontos! Silahkan Adipati menyaksikan sendiri." Wiro pergunakan kaki kiri
mendorong hingga sosok manusia pocong terguling dan menungging kaku di depan kuda
tunggangan Sidik Mangkurat. Rahang sang Adipati menggembung melihat pemandangan yang
tidak sedap ini sementara Wiro senyum-senyum dan Loh Gatra ikutan mesem-mesem.

"Kalian pandai mengarang cerita!" Bentak Adipati Sidik Mangkurat. "Begitu kepergok lantas saja
mengatakan mengejar manusia pocong. Padahal manusia pocong itu adalah kawan kalian.
Mungkin dia dalam keadaan celaka dan tadi pasti kalian tengah hendak menolong
menyelamatkannya!"

Loh Gatra marah besar mendengar ucapan Adipati Magetan itu.


Wiro menyeringai. Sambil garuk kepala dia berkata. "Kalau tidak percaya manusia pocong ini
bukan sahabat kami, buka saja kain penutup kepalanya. Nanti bakal ketahuan siapa dia!"

Dengan rahang kaku menggembung menahan marah yang menggelegak Adipati Magetan
berkata. "Kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku!"

"Jika tidak mau, biar aku sendiri yang membuka kain penutup kepalanya!" Enak saja dengan
tangan kirinya Wiro merampas obor yang dipegang seorang prajurit Kadipaten. Obor itu bukan
didekatkan ke kepala tapi diarahkan ke pantat manusia pocong yang tergeletak di tanah
setengah menungging karena saat itu tubuhnya telah kaku.

"Adipati, lihat baik-baik. Apa kau mengenali orang ini dari bokongnya?" Habis berkata Wiro
lebih mendekatkan obor ke pantat mayat, memandang ke arah Sidik Mangkurat lalu tertawa
gelak-gelak. Loh Gatra yang tidak bisa menahan geli ikutan tertawa.

Seorang prajurit bersenjatakan golok yang tak dapat menahan marahnya langsung menyerbu,
bacokkan senjata ke kepala Wiro. Tapi dari samping Loh Gatra hantamkan satu jotosan ke dada
orang hingga prajurit ini mencelat mental, muntah darah lalu bergedebuk di tanah tak berkutik
lagi. Belasan prajurit di tempat itu menjadi geger, marah luar biasa. Terlebih Sidik Mangkurat.
Dia berteriak memberi perintah.

"Pasukan! Bunuh dua pemuda itu! Cincang mereka sampai lumat!"

"Tahan! Tunggu dulu!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia sengaja kerahkan tenaga dalam
hingga suaranya menggeledek dan tanah terasa bergetar. Beberapa ekor kuda meringkik
ketakutan. Para prajurit yang hendak menyerang termasuk sang Adipati sendiri jadi terkesiap.

"Luar biasa, belum pernah aku melihat orang memiliki kekuatan tenaga dalam dengan
pengaruh sehebat ini. Siapa pemuda gondrong ini sebenarnya?" diam-diam Adipati Sidik
Mangkurat berkata dalam hati.

Selagi semua orang terhenyak hening, Wiro lantas pergunakan kesempatan untuk bicara dan
kembali permainkan Adipati itu.

"Adipati, kalau dari pantat kau tidak bisa mengenali, apakah kau bisa mengenali dari sebelah
sini?"

Dengan kaki kirinya Wiro dorong mayat manusia pocong hingga terjungkir dan terlentang di
tanah, dua kaki setengah terangkat menghadap ke arah Adipati Sidik Mangkurat. Wiro dekatkan
obor ke bagian bawah perut mayat manusia pocong yang terpentang polos! Sambil senyum-
senyum dia bertanya. "Adipati, dari bagian yang satu ini, apakah kau masih belum mengenali
siapa adanya manusia pocong ini?"
Untuk seketika mau tak mau Sidik Mangkurat jadi tercekat ngeri melihat tubuh bagian bawah
orang yang hancur berlumuran darah namun di lain saat Adipati ini keluarkan bentakan
menggeledek.

"Jahanam kurang ajar!"

Kali ini Adipati Magetan benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sambil melompat
dari kuda, kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala Wiro. Sementara tangan kanan bergerak
mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggang lalu dibabatkan ke arah kepala Wiro.
Serangan berantai ini memang luar biasa karena Sidik Mangkurat memiliki ilmu silat tinggi. Dua
serangan yang barusan dilancarkannya itu adalah jurus yang disebut Mendera Bumi Memapas
Langit. Walau usia sudah lebih setengah abad dan tubuh besar gemuk namun serangan yang
dilancarkan sang Adipati kelihatan cepat dan ganas!

Dengan mundur ke belakang Wiro berhasil mementahkan tendangan lawan. Begitu


tendangannya berhasil dielakkan Wiro, Sidik Mangkurat keluarkan teriakan menggeledek
sementara pedang membabat dalam kecepatan kilat. Wiro kembali berkelebat cepat
menyingkir namun pedang bergerak aneh dan breett! Ujung pedang berhasil merobek bahu kiri
baju putih murid Sinto Gendeng, menggores luka daging tubuhnya.

Sambil meringis menahan sakit murid Sinto Gendeng berteriak. "Adipati geblek! Tahan dulu
seranganmu! Lihat, apa kau mengenali wajah orang ini?" Dengan ujung kakinya Wiro membetot
lepas kain putih penutup kepala manusia pocong. Lalu obor di tangan kiri di dekatkan ke wajah
orang. Begitu nyala api obor menerangi wajah si manusia pocong, Adipati Sidik Mangkurat
keluarkan seruan tertahan. Semua prajurit Kadipaten ikut melengak kaget.

"Aji Warangan!" seru Adipati Sidik Mangkurat dengan suara tercekat begitu mengenali wajah
manusia pocong yang barusan disingkap kain penutup kepalanya. Matanya yang mendelik
kemudian diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Jahanam!" teriak sang Adipati sambil menuding dengan ujung pedang, "Kau membunuh
Kepala Pasukanku!"

"Tuduhan edan!" ejek Wiro. "Tadi kau menuduhku berserikat dengan manusia pocong ini. Kini
setelah ketahuan siapa dirinya enak saja kau menuduh aku membunuhnya!"

"Aku punya dugaan lain!" Loh Gatra berucap lantang. "Kalau manusia pocong satu ini adalah
Kepala Pasukan Kadipaten Magetan, bukan mustahil Adipatinya yang jadi pimpinan kelompok
masing-masing pocong! Saat ini dia sengaja menjatuhkan tuduhan busuk pada kita untuk
menutupi kejahatannya sendiri!"

"Bisa jadi! Bisa jadi!" sahut Wiro manggut-manggut konyol lalu tertawa bergelak.

Marahnya Sang Adipati Magetan bukan alang kepalang.


"Pasukan! Cincang dua orang ini!" Teriak Sidik Mangkurat. Lalu dengan pedang di tangan dia
mendahului menyerang. Belasan prajurit segera ikut menyerbu. Belasan lainnya membentuk
lingkaran melakukan pengurungan agar dua orang tersebut tidak lolos.

Tiba-tiba dari balik pohon ada suara teriakan perempuan.

"Tahan serangan! Manusia pocong itu menemui ajal bukan dibunuh Wiro dan kawannya! Aku
tahu apa yang terjadi!"

Adipati Magetan semula tidak mau perduli akan teriakan orang. Namun ketika seorang gadis
cantik melompat gesit ke tengah kalangan pertempuran dia terpaksa menahan serangan.
Melihat sikap atasan mereka anggota pasukan Kadipaten Magetan terpaksa menahan diri, tak
berani teruskan serangan.

Di tengah kalangan pertempuran Wiro berbisik pada Loh Gatra, "Kau kenal siapa gadis itu?"

Loh Gatra gelengkan kepala.

"Gadis! Katakan siapa dirimu!" Hardik Adipati Sidik Mangkurat.

"Namaku Wulan Srindi. Aku murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!"

Adipati Magetan yang memang pernah mendengar nama besar Dewa Tuak jadi tertegun.
Perlahan-lahan dia turunkan pedang dan tatap wajah si gadis yang balas memandang tak
berkedip ke arahnya.

Yang paling kaget adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mulutnya melongo, hatinya membatin.
"Gadis ini, aku tak pernah mengenal dirinya. Mengaku murid Dewa Tuak. Setahuku kakek itu
hanya punya seorang murid yaitu Anggini. Bagaimana mungkin dia bisa saja seenaknya
mengaku murid Dewa Tuak. Anggini juga tidak pernah menceritakan kalau dia punya saudara
satu guru. Atau mungkin ada sesuatu diluar pengetahuanku?"

"Gadis," Adipati Sidik Mangkurat berkata. "Kalau kau memang murid Dewa Tuak, demi rasa
hormatku pada kakek sakti itu, aku memberi kesempatan padamu untuk meringkus pemuda
berambut gondrong itu. Kawannya biar pasukanku yang melakukan!"

Wulan Srindi angkat kepala lalu tertawa panjang.

"Adipati, harap mau berlaku bijaksana. Aku ingin menerangkan sesuatu, karena aku tahu apa
yang telah terjadi di tempat ini."
Adipati Sidik Mangkurat jadi kesal tapi berusaha mempersabar diri. "Baik, kau boleh
menerangkan apa yang telah terjadi. Tetapi jika kau nanti ternyata menipuku, aku tidak segan-
segan membuat kepalamu menggelinding di tanah!"

Si gadis ganda tersenyum, melirik pada Wiro lalu membuka mulut.

"Manusia bugil itu muncul lebih dulu. Menunggangi kuda. Di depan sana dia tersungkur jatuh
dari kuda yang ditunggangi. Tak lama kemudian muncul dua pemuda itu. Mereka memeriksa
orang yang jatuh, mungkin juga hendak menolongnya. Dari pembicaraan di antara mereka jelas
keduanya tidak ada sangkut paut hubungan apa-apa dengan orang yang jatuh dari kuda. Yang
berdestar hitam memberitahu pemuda bernama Wiro bahwa dia yakin sekali orang itu adalah
anggota komplotan manusia pocong yang telah menculik istrinya."

Adipati Magetan menatap ke arah Loh Gatra. Masih ada rasa tidak percaya dalam dirinya
terhadap pemuda satu ini. Dia berpaling pada Wiro. Lebih-lebih terhadap si gondrong ini. Selain
tidak percaya, rasa dendamnya karena ditotok dan dipermalukan tempo hari masih belum
pupus. Apalagi barusan si gondrong ini masih sempat mempermainkan dirinya secara kurang
ajar. Setelah berfikir sejenak, Adipati Sidik Mangkurat berkata, "Jangan-jangan kau sahabat dua
pemuda ini. Keluar dari persembunyian, pura-pura mengarang cerita untuk menolong mereka.
Kalian semua telah merencanakan semua ini! Beraninya kalian bersandiwara!"

"Tunggu dulu!" sahut Wulan Srindi sambil mengangkat tangan. "Siapa dua orang pemuda ini
akupun tidak kenal…"

"Aneh, kau membela orang-orang yang tidak kau kenal. Mana mungkin aku percaya kalau tidak
ada apa-apanya di antara kalian bertiga. Lalu mengapa dan apa yang dikerjakan seorang gadis
sepertimu malam-malam buta di tempat ini?" Adipati Magetan itu kini menjadi penuh curiga.

"Supaya tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan, saya akan beri penjelasan," kata Wulan
Srindi pula.

Adipati Sidik Mangkurat sudah keburu kesal.

"Aku tidak punya waktu mendengar celoteh palsu!" kata sang Adipati. Dengan pedang terhunus
dia maju satu langkah sambil memberi perintah. "Pasukan! Tangkap gadis ini! Nanti kita akan
selidiki siapa dia sebenarnya!"

Dua orang prajurit yang memegang golok segera sarungkan senjata masing-masing. Mereka
mengira dengan tangan kosong akan mudah saja dan bisa meringkus gadis murid Perguruan
Silat Lawu Putih itu. Tapi keduanya kecele, malah mendapat hajaran. Begitu dua orang prajurit
sampai di hadapannya Wulan Srindi mainkan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua
lutut ditekuk sedikit, dua tangan diluruskan ke atas dan tiba-tiba sekali dua tangan ini
menghantam ke kiri dan ke kanan.
Bukkk! Bukkk!

Dua prajurit menjerit keras, mencelat lima langkah. Satu berdiri terbungkuk-bungkuk,
mengerang sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah. Kawannya terkapar di tanah,
mengeluh tak berkeputusan. Pipi dan mata kiri bengkak lebam.

"Gadis kurang ajar! Jelas kini bagiku! Kalian bertiga satu komplotan!" Teriak Adipati Magetan
melihat dua prajuritnya cidera begitu rupa. Dengan pedang di tangan dia mengejar ke arah
Wulan Srindi. Dari samping kiri seorang prajurit yang menjadi kepala rombongan ikut melompat
seraya berkata.

"Adipati, serahkan gadis ini pada saya. Biar saya yang meringkusnya!"

Tapi amarah Sidik Mangkurat sudah menembus kepala.

"Menyingkir! Biar aku sendiri yang memberi pelajaran pada gadis kurang ajar ini!" Habis
berkata begitu Sidik Mangkurat gerakan tangan kanannya. Pedang berkilat membabat aneh,
bertabur berkilau dalam gelapnya malam.

Sebelumnya Wiro telah merasakan kehebatan ilmu pedang Sidik Mangkurat yang mampu
merobek baju dan menoreh luka bahu kirinya. Wiro bukannya meremehkan orang. Tapi apakah
ilmu yang dimiliki si gadis melebihi dirinya? Selain itu Wiro khawatir kalau si gadis sampai celaka
di tangan lawan, dia tidak akan berkesempatan menanya dan menyelidiki siapa dia sebenarnya
dan paling penting untuk mengetahui bagaimana pangkal ceritanya hingga si gadis menyatakan
diri sebagai murid Dewa Tuak.

"Adipati! Tahan serangan! Mari kita bicara dulu!" Murid Sinto Gendeng berseru seraya
melompat ke tengah kalangan pertempuran. Dia berusaha menahan agar Sidik Mangkurat tidak
melanjutkan serangan. Namun diteriaki serta dihadang begitu rupa malah membuat Adipati
dari Magetan itu jadi kalap.

"Gondrong kurang ajar! Silahkan kalau kau mau bicara duluan. Cepat lakukan sebelum
kepalamu kutabas menggelinding di tanah!"

Adipati Magetan yang tidak mau memberi kesempatan pada Wiro langsung kiblatkan pedang,
menggempur dengan jurus-jurus maut! Dia membuka serangan dengan jurus disebut Kilat
Menyambar Menara Keraton. Laksana kilat senjata di tangan kanan Adipati itu menderu ke arah
kepala Wiro. Ketika lawan berhasil mengelakkan serangannya dengan menundukkan kepala,
Sidik Mangkurat mengejar dengan jurus kedua yang disebut Angin Puting Meremuk Pohon
Beringin. Laksana angin puting beliung pedang berkilat menderu bertabur membungkus tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng membuat Loh Gatra yang menyaksikan terkesiap ngeri.

Breett! Breettt!
Sungguh luar biasa ilmu pedang Adipati Magetan itu. Pakaian Wiro robek di dua tempat.

Wulan Srindi tercekat. Sambil berteriak keras gadis ini sambar sebatang tombak milik seorang
prajurit lalu melompat ke dalam kalangan pertempuran.

Wutt!

Tombak di tangan Wulan Srindi laksana kitiran, berputar ke arah pedang dan berusaha
menembus menghantam ke bagian kepala lawan dalam jurus Menyapu Lereng Menjebol
Puncak Gunung.

Traang!

Pedang dan tombak bentrokkan di udara. Bunga api memercik. Wulan Srindi keluarkan seruan
tertahan ketika dapatkan tombak di tangannya telah patah dibabat pedang lawan! Selagi dara
ini terkesiap begitu rupa, senjata lawan datang menyambar. Loh Gatra berteriak memberi ingat.
Sesaat lagi ujung pedang akan membabat bagian dada Wulan Srindi, saat itulah Pendekar 212
Wiro Sableng menyusup dalam jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Tangan kiri
melesat ke atas menahan lengan kanan Sidik Mangkurat. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya menyambar ke arah pedang. Lalu terdengar tiga kali berturut-turut suara kraak…
kraak… kraaakkkk!

10

KEJUT Adipati Sidik Mangkurat dan semua anggota pasukan Kadipaten Magetan bukan alang
kepalang ketika menyaksikan bagaimana dengan tangan kosong Pendekar 212 mematahkan
pedang di tiga tempat seperti semudah seorang meremas kerupuk! Sepertinya ujung pedang
patah, lalu bagian pertengahan, menyusul badan pedang di atas gagang. Pada remasan ke
empat tangan Wiro bergerak ke arah pergelangan tangan lawan. Sidik Mangkurat keluarkan
seruan keras. Sebelum lima jari tangan Wiro sempat mencekal pergelangan tangan kanannya
dengan cepat dia lepaskan gagang pedang. Dengan muka pucat dan mata mendelik besar
Adipati ini melompat menjauhi Wiro. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat ada orang
memiliki kesaktian yang mampu meremas mematahkan pedang seperti meremas mematahkan
Opak gendar (Opak gendar sejenis kerupuk dibuat dari nasi yang dikeringkan).

"Ilmu setan apa yang dimiliki pemuda gondrong ini?" membatin Sidik Mangkurat sambil
matanya mengawasi ilmu jari tangan kanan Pendekar 212. Ilmu yang tadi dikeluarkan Wiro
untuk mematah tiga pedang Sang Adipati adalah ilmu Koppo, yaitu ilmu mematah benda keras
yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura (baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang
Manusia Bonsai).

"Adipati, apakah sekarang kita bisa bicara?" Bertanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan
kanan berkacak pinggang tangan kiri menggaruk kepala.
Hawa amarah yang membungkus sekujur tubuh Adipati Sidik Mangkurat melebihi rasa kecut
yang ada dalam hatinya. Selain itu dia merasa sangat dipermalukan di hadapan pasukannya.
Tanpa menjawab pertanyaan Wiro dari balik pinggang dia keluarkan sebuah benda berbentuk
tali yang ternyata adalah seutas cambuk berwarna merah, bergagang yang dilibat kain biru,
panjang sekitar dua belas jengkal.

Beberapa prajurit Kadipaten, termasuk kepala rombongan pasukan tersentak kaget melihat
senjata di tangan pimpinan mereka. Memandang ngeri, mereka segera bergerak mundur
menjauh. Salah seorang prajurit berbisik pada kepala pasukan. "Bukankah senjata di tangan
Adipati Pecut Sewu Geni?"

"Aku yakin itu memang Pecut Sewu Geni. Tapi bagaimana bisa dimiliki Adipati? Bukankah…"

Kepala rombongan pasukan Kadipaten itu tidak meneruskan ucapannya. Ketika Adipati Sidik
Mangkurat menggerakkan tangan, mulai memutar cambuk mereka mundur semakin jauh.
Wajah masing-masing menunjukkan kengerian.

Semula Wiro menaruh enteng senjata di tangan lawan yang dianggapnya tidak lebih dari
sebuah cambuk butut bendera lembu atau kuda. Namun matanya menangkap raut ketakutan
beberapa prajurit Kadipaten yang melangkah menjauhi. Hal ini juga dilihat oleh Loh Gatra yang
segera berbisik pada Wiro.

"Senjata di tangan Adipati itu agaknya bukan sembarangan. Hati-hati. Atau kali ini biar aku yang
menghadapinya…"

"Loh Gatra, tetap di tempatmu. Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan cambuk itu," jawab
Wiro. Tapi saat itu Loh Gatra sudah melompat ke depan.

"Adipati, kami masih mau berharap agar kau menyadari bahwa kami bukan orang-orang jahat.
Kami tidak punya sangkut paut apa-apa dengan manusia-manusia pocong. Seperti yang
dikatakan Wiro tadi, istriku telah diculik manusia pocong. Kami berada di sini tengah melakukan
pengejaran."

Adipati Sidik Mangkurat keluarkan suara mendengus. "Anak muda mengaku cucu Ki Sarwo
Ladoyo. Aku masih mau sedikit menghormati mendiang kakekmu itu. Aku memberi kesempatan
mencari selamat padamu. Menyingkirlah! Kecuali kalau kau minta mampus duluan!" Sidik
Mangkurat gerakkan tangannya ke atas. Cambuk yang dipegangnya kelihatan memancarkan
cahaya benderang merah seolah berubah seperti besi yang digarang. Ketika Loh Gatra tidak
mau beranjak dari tempatnya, Adipati Sidik Mangkurat tidak menunggu lebih lama. Tangan
kanan bergerak memutar. Pecut Sewu Geni mengeluarkan suara menderu laksana topan
menyerbu. Bersamaan dengan itu nyala merah pada sekujur cambuk berubah menjadi api.
Ketika cambuk membabat terdengar suara letupan-letupan keras. Kobaran lidah api luar biasa
banyaknya menyambar ke arah Loh Gatra.
Wuuttt! Wuss… Wusss… Wusss!

"Loh Gatra! Awas!" Teriak Wiro seraya menarik tangan sahabatnya itu. Namun enam dari
sekian banyak kobaran lidah api aneh masih sempat menyambar tubuhnya sebelah kanan.
Pakaiannya serta merta ditambus api. Loh Gatra keluarkan jeritan keras, jatuhkan diri di tanah
lalu berguling berusaha memadamkan api.

"Adipati keparat! Kejahatan apa yang telah kami perbuat hingga tega-teganya kau menjatuhkan
tangan keji terhadap sahabatku!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah, melompat ke
depan, siap menerkam Sidik Mangkurat. Tangan kiri membuat gerak jurus Tameng Sakti
Menerpa Hujan untuk membentengi diri dari serangan api cambuk yang ganas. Tangan kanan
melancarkan serangan dalam jurus Benteng Topan Melanda Samudera. Pukulan sakti ini sangat
mematikan. Selain itu juga mengeluarkan angin deras yang sekaligus diharapkan dapat
menghalau datangnya serangan api yang keluar dari Pecut Sewu Geni.

Wajah Adipati Sidik Mangkurat menyeringai garang. Rahang menggembung. Tangan kanannya
menghantam.

Wuuuut! Wusss… Wusss… Wusss!

Kobaran lidah api, puluhan banyaknya menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro
gerakkan dua tangan, balas menghantam. Tangan kiri membentengi diri, tangan kanan
lancarkan serangan mengeluarkan angin deras. Suara letupan-letupan keras menggelegar di
tempat itu.

"Tembus!" Teriak Adipati Sidik Mangkurat.

Kenyataannya memang begitu. Empat belas kobaran lidah api melesat ganas tak sanggup
ditahan jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan ataupun dimusnahkan dengan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera. Wiro tersentak kaget. Tidak percaya serangan cambuk api lawan
sanggup menembus dua kekuatan hawa sakti pertahanan dan serangan. Wulan Srindi berteriak
pucat.

Pada saat yang luar biasa menegangkan itu tiba-tiba terjadi hal tidak terduga. Di langit sebelah
timur, dalam gelapnya malam mendadak ada satu nyala putih. Nyala ini bergerak ke arah rimba
belantara, begitu cepatnya dan kurang dari sekejapan mata telah berada di tempat itu. Benda
putih menyala ini ternyata adalah sosok seorang berjubah dan bersorban putih berkilat.
Laksana seekor elang, orang ini menukik ke arah Adipati Sidik Mangkurat. Dua lengan jubah
dikebutkan. Dua gelombang cahaya biru disertai sambaran angin luar biasa dinginnya menerpa.
Puluhan kobaran lidah api serta merta padam. Pendekar 212 Wiro Sableng lolos dari serangan
ganas yang bisa membakar dirinya seperti kejadian dengan Loh Gatra. Sidik Mangkurat sendiri
terjajar sampai empat langkah. Begitu dia berhasil mengimbangi diri, Pecut Sewu Geni sudah
tak ada lagi di tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Orang yang barusan merampas
Pecut Sewu Geni masih berada di tempat itu. Dia tidak berdiri di tanah tapi memilih tegak di
salah satu cabang pohon. Cabang pohon ini hanya sebesar pergelangan tangan. Jika orang itu
bisa berdiri di atas cabang itu, pastilah dia memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.

Wiro yang barusan terselamatkan ikut memandang ke arah pohon. Orang yang berdiri di atas
pohon itu ternyata seorang kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Janggut serta kumis
putih lebat tapi rapi menghias wajahnya yang bersih. Pecut Sewu Geni digulungkan ke tangan
kanannya. Cambuk ini kini berada dalam bentuk dan warnanya semula. Tak ada lagi bagian yang
menyala seperti besi digarang.

Ketika memperhatikan kakek di cabang pohon, wajah Adipati Sidik Mangkurat berubah,
dadanya bergetar, hatinya tidak enak. "Orang tua di atas pohon! Mengapa kau merampas
cambuk milikku!" Adipati Sidik Mangkurat menegur dengan suara keras.

"Aha!" si kakek menjawab teguran orang sambil acungkan Pecut Sewu Geni. "Jadi Pecut Sewu
Geni, Pecut Seribu Api ini adalah milikmu?! Maaf, aku tak pernah menduga sebelumnya." Si
kakek tersenyum. "Lima puluh dua purnama aku mencari. Malam ini baru aku bisa menemukan
senjata sakti mandraguna milik pewaris di tanah seberang. Adipati Sidik Mangkurat, aku tidak
menuduhmu mencuri tapi bertanya-tanya bagaimana cambuk milik orang lain ini bisa berada di
tanganmu. Saat kau harus sudah cukup puas selama lima puluh dua purnama senjata ini berada
di tanganmu. Saatnya senjata ini dikembalikan ke tempat asalnya. Aku tidak menjatuhkan
hukuman apapun padamu asalkan kau mau bertobat dan segera meninggalkan tempat ini.
Jangan mencampuri urusan orang lain…"

"Kau sendiri apa tidak merasa mencampuri urusan orang lain?" Ucap Sidik Mangkurat
memotong ucapan si kakek. "Kembalikan pecut itu padaku."

"Kalau kau memang masih menginginkan, ambillah sendiri ke sini," jawab si kakek di atas
cabang pohon.

Rahang Adipati Magetan menggembung. Sekali dia menekan dua telapak tangan ke tanah,
tubuhnya yang besar itu melesat ke cabang pohon.

Di atas pohon si kakek berjubah dan bersorban putih tersenyum. Dia kembangkan tangan
kanannya lalu dikipas-kipaskan seraya berkata, "Aneh, malam buta begini mengapa udara
terasa panas…"

Ketika tangan si kakek mengipas, sosok Adipati Sidik Mangkurat yang tengah melesat ke arah
pohon mendadak terpental kian kemari hingga akhirnya jatuh bergedebuk ke tanah. Topi
tingginya mencelat entah ke mana.

"Hai! Aku sudah menunggu, apakah kau tidak jadi mengambil Pecut Sewu Geni ini? Astaga, kau
malah enak-enakan tiduran di tanah. Sayang pakaianmu yang bagus…" Si kakek memandang ke
arah Sidik Mangkurat lalu tertawa mengekeh.
Dalam keadaan sekujur tubuh sakit Adipati itu mencoba bangkit. Terbungkuk-bungkuk
menahan sakit dia naik ke atas kudanya, memberi isyarat pada prajurit kepala lalu tinggalkan
tempat itu.

Di atas pohon kakek bersorban dan berjubah putih berkilat hendak bergerak pergi. Namun
batalkan niatnya sewaktu pandangannya membentur sosok Loh Gatra yang terkapar di tanah.
Wajah dan tubuhnya sebelah kanan mengalami luka bakar cukup parah. Saat itu Loh Gatra
berusaha bangkit ditolong oleh Wiro. Kakek di atas pohon melayang turun. Matanya yang kecil
tajam pandangi wajah serta bagian tubuh Loh Gatra yang terbakar lalu geleng-gelengkan
kepala. Kakek ini buka libatan Pecut Sewu Geni di tangannya. Gagang pecut diletakkan di atas
kepala, cambuk dibiarkan menjuntai melewati wajah serta bagian tubuh yang menderita luka
bakar.

"Asal cambuk kembali kepada cambuk. Asal pecut kembali kepada pecut." Si kakek berucap lalu
meniup ke arah cambuk. Astaga! Saat itu juga luka bakar di wajah dan tubuh Loh Gatra lenyap.
Keadaan dirinya tak kurang suatu apa kecuali pakaian yang masih berada dalam keadaan
hangus terbakar.

"Luar biasa. Kek, kau hebat sekali…" Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap si
kakek.

Orang tua yang ditatap balas memandang tersenyum dan kedipkan mata kirinya pada Pendekar
212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar. Sekali dia berkelebat sosoknya
lenyap dari tempat itu.

Wiro leletkan tidah, geleng-geleng kepala. "Aku tak kenal siapa adanya kakek hebat itu."

"Aku malah tak sempat mengucapkan terima kasih padanya…" Ucap Loh Gatra sambil usap-
usap wajahnya setengah tidak percaya.

Tiba-tiba di kejauhan ada suara derap kaki kuda. Makin cepat makin keras dan mendatangi ke
tempat orang-orang itu berada. Tak lama kemudian dalam gelapnya malam kelihatan seorang
penunggang kuda berjubah dan bertutup kepala putih. Gerakannya menunggang kuda aneh
sekali. Sebentar dia tak kelihatan, di lain saat sudah ada di sebelah kiri atau jurusan kanan.

"Manusia pocong!" ujar Wulan Srindi.

Di depan sana kuda dan penunggang lenyap kembali. Wulan Srindi putar tubuhnya. Tiba-tiba
gadis ini berteriak.

"Awas serangan membokong!"

Wiro berbalik.
"Wiro awas!" Teriak Wulan Srindi.

Tapi terlambat.

Pendekar 212 Wiro Sableng hanya sempat melihat sebuah benda melesat di kegelapan malam.
Ada cairan menyiprat. Lalu dia merasakan perih amat sangat di dadanya. Ketika dia
memperhatikan ternyata disitu telah menancap sebuah bendera aneh, berbentuk segi tiga dan
basah oleh cairan berwarna merah.

"Bendera Darah…" desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.

Wiro menggigit bibir menahan sakit. "Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan ini…"

"Pasti manusia pocong tadi. Aku akan melakukan pengejaran." Kata Loh Gatra.

"Jangan ke mana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan belaka. Wiro
pejamkan mata. Menjajaki mencari tahu. "Panah ini tidak beracun. Kalau beracun aku pasti bisa
merasakan. Atau mungkin hawa sakti Kapak Naga Geni Dua Satu Dua telah memusnahkan."

Wiro kembali menggigit bibir. Ketika dia hendak mencabut gagang bendera darah yang
menancap di dadanya tiba-tiba ada orang berseru.

"Jangan dicabut! Berbahaya!"

Seorang berpakaian coklat, berwajah dan bertubuh kuning muncul di tempat itu. Jatilandak,
pemuda dari Negeri Latanahsilam.

"Huh, dia…" kata Wiro dalam hati. Dia tidak perdulikan kedatangan orang karena masih merasa
sakit hati atas kejadian tempo hari. Dia telah menyaksikan Jatilandak bermesraan dengan
Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa benci dan tidak ingin melihat pemuda ini.

Begitu Jatilandak muncul Wulan Srindi memandang berkeliling. "Mana yang betina?" Gadis ini
membatin. "Bukankan sebelumnya dia berdua-dua dengan Bidadari Angin Timur? Hemm…
mungkin gadis berambut pirang itu sengaja sembunyikan diri di sekitar sini. Kesempatan bagiku.
Lihat saja, akan aku kerjai lagi dia!"

"Wiro, jangan dicabut." Jatilandak mengulangi ucapannya tadi.

Tanpa memandang ke arah pemuda berwajah kuning itu Wiro bertanya. "Memangnya kalau
dicabut kenapa?" Sepasang mata murid Sinto Gendeng memandang berputar ke arah
kegelapan, mencari-cari. Tapi dia tidak melihat Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia
mengetahui kalau gadis itu berdua-duaan dengan Jatilandak. Mungkin bersembunyi di sekitar
situ?
"Aku pernah melihat bendera ini sebelumnya. Ujung lancip yang menancap di dalam daging
tubuhmu berbentuk gerigi menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut, daging di
sekitarnya akan ikut terbongkar. Sebesar ini." Jatilandak membuat lingkaran dengan dua ibu jari
dan dua jari tengah tangan kiri kanan.

"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya! Kalau tak boleh dicabut biar kupatahkan saja!"
Nekad murid Sinto Gendeng kembali gerakkan tangan hendak mematahkan gagang bendera
darah. Tapi satu tangan halus memegang lengannya mencegah.

"Orang sudah memberi nasihat, jangan berbuat nekad."

Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis itu.

"Kau yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya?!"

"Tadi sewaktu Adipati itu berada di sini sudah kuberitahu. Apakah kau tidak mendengar?
Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu, selama ini aku mencarimu…"

"Perlu apa kau mencariku? Aku tidak percaya kau adalah murid…"

"Tidak heran, kalau kau tidak percaya. Karena kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan
lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru aku berjodoh dengan dirimu!"

"Eee… apa?!" Wiro merasa sakit di dadanya jadi berlipat ganda.

Wulan Srindi tersenyum. "Nanti saja kita bicarakan hal itu. Tak jauh dari sini ada tempat yang
baik. Kau bisa berbaring di sana sementara kami-kami ini berusaha membantu mengeluarkan
bendera darah itu dari tubuhmu."

Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang berseru.

"Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Jika kau ingin selamat dari Bendera Darah dan jika kau
punya nyali silahkan datang ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."

"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam betul!" Wiro segera
angkat tangan kanannya. Begitu tangan itu berubah putih seperti perak mulai dari siku sampai
ujung jari, dia langsung menghantam.

Wusss!

Selarik cahaya putih panas menyilaukan berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke arah
munculnya suara orang berteriak tadi. Pohon-pohon yang terkena sambaran cahaya hangus lalu
berderak roboh. Nyala kobaran api terlihat di mana-mana. Namun manusia pocong yang jadi
sasaran pukulan Sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhasil lolos.
"Jahanam itu boleh lolos saat ini. Aku bersumpah akan mematahkan batang lehernya!" Wiro
memaki sambil mengepalkan tangan kanan penuh geram.

Di tempat gelap, di balik sebatang pohon besar, seseorang yang mendekam menyembunyikan
diri, mengeluarkan umpatan perlahan. "Gadis tak tahu diri. Beraninya mengaku murid Dewa
Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Lihat saja, aku bersumpah satu saat akan
menampar mulutmu."

"Sahabatku, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu? Mudah-
mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum apa-apa
sudah mau luber rasanya. Hik… hik… hik." Tiba-tiba satu suara bertanya.

Orang yang sembunyi di balik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing. Cepat palingkan
kepala. Dia melihat kepala berambut tipis nyaris gundul, sepasang telinga berdaun lebar yang
salah satunya terbalik. Lalu sepasang mata belok yang dikedap-kedipkan.

"Kau! Jangan dekat-dekat. Aku tidak mau celanamu yang basah air kencing menyentuh pakaian
atau tubuhku."

"Aku tahu diri," jawab orang yang barusan datang. "Aku juga takut bersentuhan dengan dirimu.
Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air yang lain. Hik… hik… hik."

"Tua bangka sinting! Aku sedang kesal sakit hati! Jangan bicara jorok!"

"Amboi, gerangan apa yang mengesalkan hatimu? Putus bercinta, ditinggal kekasih atau…"

"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Lihat ke depan sana!"

"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng. Eh, anak sableng itu dia
memakai apa di dadanya?"

"Bukan memakai apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah!"

"Astaga! Siapa yang membokong!"

"Manusia pocong!"

Serr!

Mendengar disebutnya nama itu langsung kakek bau pesing yang bukan lain Setan Ngompol
adanya kucurkan air kencing.

TAMAT
Eps 137 Aksara Batu Bernyawa

PANTAI Selatan. Arah timur Parangteritis. Menjelang tengah malam. Langit kelihatan hitam
diselimuti awan tebal yang telah menggantung sejak senja berlalu. Tiupan angin keras dan
dingin terasa menusuk sangat. Kalau saja tidak ada suara debur gulungan ombak yang
kemudian memecah di pasir, kawasan pantai selatan itu niscaya diselimuti kesunyian
berkepanjangan.

Di balik sederetan semak belukar liar, dua sosok berpakaian dan berdestar hitam mendekam
tak bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang nyaris hanya sesekali berkedip
memandang lekat ke tengah lautan. Ketika salah seorang diantara mereka keluarkan ucapan
memaki, hanya mulut saja yang bergerak. Kepala dan tubuh tetap diam.

"Sialan!" Orang yang memaki ini memiliki kepala besar. Sepasang alis kelihatan aneh karena
yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan berwarna putih rimbun. Hidung besar tapi
kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi ada bentol-bentol hitam. Wajah manusia satu ini
sungguh sangat tidak sedap untuk dipandang.

“Apa yang sialan Putu Arka?" tanya kawan si alis aneh yang duduk mencangkung di sebelah.
Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang lancip. Kalau Putu Arka memiliki keanehan
pada sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan pada mata kiri. Mata ini putih semua
seolah tidak ada bola mata, tapi anehnya mampu melihat seperti mata kanan yang terlihat jelas
bola matanya.

“Langit itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan telunjuk tangan kanan ke atas.

“Langit?" Teman yang bertanya mendongak ke atas, menatap ke arah langit. "Ada apa dengan
langit?"

"Apa matamu buta?!" Suara Putu Arka menyentak tapi perlahan. Kedua orang ini sengaja tak
mau bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak mereka ketahui mendekam di sekitar
tempat itu dan mendengar percakapan mereka.

"Belum, mataku belum buta. Memangnya kenapa?" sahut Wayan Japa yang disusul dengan
pertanyaan.

"Langit ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat bintang satupun! Aku tidak bisa menentukan
saat ini apakah menjelang atau sudah tengah malam atau sudah lewat tengah malam! Waktu
sangat penting bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit kita tidak akan mendapatkan benda itu.
Percuma jauh-jauh dari Buleleng datang ke sini. Kalau kita gagal, apa kata guru. Sekarang apa
kau mengerti mengapa aku tadi memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala. "Cuaca
memang tidak membantu. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan lebat. Jadi sebaiknya kita
teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga saat ini baru menjelang tengah malam.
Seandainya.."

Putu Arka pegang lengan kawannya.

"Ada apa?" tanya Wayan.

"Hidungmu belum rusak?"

"Maksudmu?" Wayan Japa bertanya heran.

"Tadi langit, sekarang hidungku."

"Apa kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu Arka bertanya sambil pelototkan mata.

Wayan Japa tinggikan hidung lalu menghirup udara dalam-dalam.

"Astaga!"

"Sekarang kau tahu! Kau mencium bau apa?!" Tukas Putu Arka.

"Menyan, bau menyan…" jawab Wayan Japa.

"Di tempat sesunyi ini, malam buta begini menurutmu apakah ada orang gi!a yang datang ke
sini untuk membakar menyan?"

Wayan Japa gelengkan kepala. "Tentu saja tidak. Tapi…tapi ini bukan bau menyan sungguhan.
Ini bau rokok. Rokok klobot…"

"Bagus, kau sadar sekarang, ucap Putu Arka.

"Nyoman Carik! Pasti dia! Siapa lagi!"

"Hebat!" Putu Arka menyeringai. Tampangnya tambah buruk. "Kau tetap di sini. Aku akan
memberi pelajaran pada manusia satu itu. Ini urusan besar. Urusan nyawa. Enak saja dia
membuat ulah yang bisa mengundang datangnya maut!"

Wayan Japa melihat kilatan menggidikkan di sepasang mata Putu Arka dan cepat berbisik.

“Putu, jangan kau bunuh sahabat kita itu."

Putu Arka menyeringai. "Aku akan pertimbangkan nasihatmu itu. Tetap memperhatikan ke arah
laut."
Wayan Japa mengangguk. Hatinya terasa tidak enak. Putu Arka perlahan-lahan baringkan
tubuh, menelentang di tanah. Dua kaki dilunjur lurus, dua tangan disilangkan di atas dada. Tiba-
tiba tubuh itu bergerak ke samping. Laksana batang kayu berguling menggelinding, membuat
pasir beterbangan ke udara. Belum sempat Wayan Japa kedipkan mata sosok Putu Arka telah
lenyap.

Di balik serumpunan semak belukar sekitar dua belas tombak di arah belakang tempat Putu
Arka dan Wayan Japa berada. Seorang lelaki yang juga berdestar dan berpakaian serba hitam
duduk menjelepok di pasir asyik menikmati sebatang rokok yang asapnya menebar bau
kemenyan. Orang bertubuh tinggi kurus ini jadi terganggu ketika tiba-tiba ada suara bersiur.
Sebuah benda menggelinding di tanah dan di lain kejap benda itu berubah menjadi sosok
manusia yang setengah berjongkok memandang garang ke arahnya.

"Putu Arka, ada apa…?"

"Bangsat jahanam tolol! Kau masih bisa bertanya ada apa?!" bentak Putu Arka. "Apa kau masih
tidak sadar apa yang tengah kau lakukan?!"

"Aku….Memangnya….Bukankah kau menyuruh aku sembunyi di tempat ini. Mengawasi kalau-


kalau ada orang lain yang datang, jika ada orang muncul aku harus membunuhnya. Jika mereka
lebih dari

satu aku harus memberi tanda dengan bunyi suara burung…"

Darah Putu Arka seolah mau muncrat dari ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak mencabut rokok
yang terselip di bibir Nyoman Carik. Rokok dibanting hingga amblas lenyap masuk ke dalam
tanah!

"Kita tengah menghadapi pekerjaan besar. Rahasia besar! Tanggung jawab besar! Kau
beraninya bertindak ceroboh! Merokok! Nyala api rokok dimalam gelap akan mudah dilihat
orang! Bau kemenyan yang menyebar akan mudah tercium! Sungguh sembrono perbuatanmu,
Nyoman Carik!"

"Ah…." Nyoman Carik luruskan tubuhnya yang kurus. Dua kaki yang dilipat dibuka sedikit. Orang
ini membungkuk seraya berucap. "Mohon maafmu Putu Arka."

"Aku maafkan dirimu! Tapi sesuai pesan guru setiap kesalahan besar mati hukumannya!"

Tangan kanan Putu Arka bergerak ke atas.

Nyoman Carik melihat kilatan maut di kedua mata Putu Arka.

"Putu, jangan…."
Tangan kanan Putu Arka menghantam laksana palu godam.

"Praakk!"

Sosok malang Nyoman Carik terbanting ke kiri. Sebelum tubuh itu terkapar di tanah Putu Arka
telah berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian dia sudah berada di samping Wayan
Japa kembali, di belakang semak belukar.

“Sudah…." jawab Putu Arka pendek. Wajahnya yang buruk diarahkan ke laut. Lalu dia menatap
ke langit. Masih geiap, tak kelihatan satu bintangpun.

"Apa yang sudah?" Wayan Japa bertanya. Hatinya syak tidak enak.

Aku sudah memberi pelajaran pada sahabat kita satu itu.’ Menerangkan Putu Arka.

"Maksudmu, kan telah membunuh Nyoman Carik?"

"Kira-kira begitu." Putu Arka menyeringai,

“Gila kau! Jahat sekali membunuh teman sendiri!"

"Teman tidak iagi teman namanya kalau berlaku sembrono yang bisa membuat kematian diriku.
Juga

kematian bagi dirimu!"

"Hanya karena merokok?"

"Itu cuma penyebab."

Wayan Japa pegang lengan temannya. "Aku tidak percaya kau telah membunuh Nyoman Carik."

"Sahabat, kau membuatku jadi kesal. Kalau tidak percaya pergi saja ke balik semak belukar
sana. Periksa sendiri apakah Nyoman Carik masih hidup! Kurasa saat ini dia sudah jadi bangkai
tak berguna!"

Wayan Japa terdiam. Dia palingkan kepala ke arah semak belukar di kejauhan. Gelap.
Tengkuknya terasa dingin. Hatinya menduga-duga keculasan sudah mulai muncul diantara
mereka. Putu Arka telah membunuh Nyoman Carik. Kini nanya tinggal mereka berdua. Dalam
hati Wayan Japa membatin. "Setelah dapatkan barang itu pasti dia juga akan membunuh diriku.
Aku harus berlaku waspada. Aku harus mendahuluinya." “Putu, bagaimana kita
mempertanggung jawabkan komatian Nyoman Carik pada guru?"
“Soal nyawa Nyoman Carik guru tidak akan mau tahu. Kepadanya kita hanya mempertanggung
jawabkan keberhasilan kita mendapatkan barang itu!

Kembali Wayan Japa terdiam. Lalu didengarnya suara Putu Arka berkata.

"Ketololan Nyoman Carik telah mengundang orang lain ke tempat ini! Kita berada dalam
pengintaian musuh yang juga menginginkan barang itu! Mereka tahu kita berada di sini!"

Wayan Japa terkejut. Membuka mata lebarlebar, memasang telinga. Memandang berkeliling.
Dia tidak melihat apa-apa selain semak belukar dan pepohonan dalam kegelapan. Dia juga tidak
mendengar suara lain kecuali tiupan angin dan deburan ombak di pasir pantai.

"Ketika aku berguling di tanah tadi, aku sempat melihat bayangan manusia di atas pohon sana.
Sewaktu kembali ke sini sekali lagi aku melihat. Ada dua orang di atas pohon. Mungkin lebih
tapi yang kulihat jelas hanya dua orang."

Wayan Japa segera hendak palingkan kepala ke arah pohon yang dimaksudkan temannya tapi
Putu Arka cepat berkata. "Jangan menoleh! Jangan memandang ke arah pohon! Mereka tengah
mengawasi gerak-gerik kita. Pandanganmu ke arah pohon hanya akan memberi tanda bahwa
kita sudah mengetahui kehadiran mereka. Kita pura-pura tidak tahu tapi harus waspada!
Jangan berbuat tolol seperti Nyoman Carik!"

"Lalu apa yang akan kita lakukan?"

"Apa yang ada di benakmu?" balik bertanya Putu Arka.

"Sebelum makhluk pembawa barang muncul, bagaimana kalau kita habisi dulu kedua orang itu.
Hingga tidak perlu repot-repot belakangan."

"Itu namanya perbuatan sangat tolol! Menghabiskan tenaga sebelum pekerjaan selesai!" jawab
Putu Arka pula. Setelah diam sebentar Putu Arka berkata. "Wayan, kau mengambil

alih tugas Nyoman Carik. Begitu makhluk pembawa barang muncul aku akan merampas barang
dan kau menghadang dua masuh di atas pohon."

"Baik Putu," jawab Wayan Japa namun hati kecilnya kemudian berkata. "Setelah kau dapatkan
barang itu hanya ada dua kemungkinan. Kau akan kabur, atau kau lebih dulu membunuhku."

TAK jauh dari rumpunan semak belukar tempat beradanya Putu Arka dan Wayan Japa. Di atas
sebatang pohon besar berdaun lebat mendekam dua sosok berdandanan aneh. Muka tua
tertutup celemongan entah dipoles dengan apa. Mungkin cat atau kapur. Rambut sama putih,
awut-awutan menjela punggung. Pakaian compang camping penuh tambalan. Dari jarak
sepuluh langkah seseorang bisa mencium bagaimana tubuh maupun pakaian kedua orang ini
menebar bau apek tidak enak. Di atas pohon keduanya memperhatikan keadaan sekitar pantai.
Rupanya sejak lama mereka sudah melihat gerak gerik Putu Arka dan Wayan Japa. Mereka juga
telah mengetahui keberadaan Nyoman Carik yang sembunyi beberapa tombak di belakang
sana.

Orang tua pertama berbisik pada kawannya.

"Kita kedahuluan, tapi belum terlambat. Aku tidak dapat memastikan siapa tiga cecunguk itu.
Tapi hembusan asap rokok yang menebar bau kemenyan salah seorang dari mereka
mengingatkan aku pada tiga tokoh dari Bali. Mereka berasal dari Buleleng. Kalau tidak salah
mereka dijuluki Tiga Hantu Buleleng."

"Sakra Kalianget, mereka boleh datang duluan. Tapi barang itu tak bakal menjadi milik mereka."

Orang tua bernama Sakra Kalianget menyeringai lalu usap mukanya yang celemongan.

"Jangan keliwat takabur sobatku Bayusongko. Tiga Hantu Buleleng sudah punya nama di rimba
persilatan kawasan timur."

"Aku tidak takabur. Apa lagi aku pernah dengar, walau terikat dalam satu kelompok, namun
setiap mereka memiliki hati culas. Lebih suka mementingkan diri sendiri. Lihat saja nanti, kalau
salah seorang dari mereka dapatkan barang itu, ketiganya akan tega saling berbunuhan untuk

dapat menguasai."

"Kabarnya barang itu memang tidak bisa dimiliki lebih dari satu orang," ucap orang tua
berpakaian rombeng bernama Sakra Kalianget,

Bayusongko menatap tajam-tajam ke mata sahabat yang duduK di cabang pohon di atasnya.

"Maksudmu, kaiau barang itu jatuh ke tangan kita, salah seorang dari kita harus mati? Kau mau
membunuhku? Begitu?"

Sakta Kalianget tutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Di balik telapak dia tertawa
mengekeh tanpa suara.

"Kita berdua bukan orang-orang sinting! Hal itu tidak akan terjadi…"

"Sukra…." Bayusongko pegang kaki temannya.

"Pasang telingamu. Aku dengar sayup-sayup suara dua orang di depan tengah bicara. Seperti
bertengkar. Hai, lihat…."
Sakra Kalianget sibakkan pohon yang menghalangi pemandangannya lalu menunjuk ke arah
rerumpunan semak belukar. Di bawah sana, di balik semak belukar saat itu Putu Arka tampak
membaringkan badan ke tanah.

Apa yang dilakukan manusia itu? Tidur? Gila betul!" ucap Bayusongko. Lalu dia keluarkan suara
terkejut. "Astaga, lihat…"

Sosok Putu Arka berguling di tanah. Pasir beterbangan. Cepat sekali gerakan tubuh yang
menggelinding itu lewat di bawah pohon lalu sampai di balik serumpunan semak belukar
dimana Nyoman Carik tengah sembunyi sambil asyik-asyikan merokok.

"Manusia tolol! Sengaja menggelinding di tanah agar tidak terlihat orang! Padahal keberadaan
dia dan kawan-kawan sudah kita ketahui!"

Diam Bayu! ujar Sakra Kalianget sambil menampar perlahan kepala teman yang berada di
cabang pohon di sebelah bawah. "Aku mendengar benda berderak pecah. Lalu suara tubuh
jatuh ke tanah…"

Dari tempatnya berada di atas pohon, meski lebih rendah dari kedudukan Sakra Kalianget
namun Bayusongko bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi. Dia keluarkan suara seperti mau
muntah.

"Kenapa kamu?" tanya Sakra Kalianget.

"Yang kau dengar adalah suara kepala pecah! Orang yang menggelinding tadi membunuh
kawannya sendiri. Orang yang merokok! Gila!"

"Gila tapi bagus! Berarti kekuatan mereka kini tinggal dua orang! Lebih mudah bagi kita untuk
merampas barang itu kalau sudah ada di tangan mereka."

"Rupanya benar kabar yang tersiar. Tiga Hantu Buleleng itu masing-masing berhati culas.
Apapun alasannya orang satu itu membunuh temannya. aku yakin tujuan hati busuknya adalah
untuk mengurangi persaingan. Kelak dia bakal membunuh temannya yang satu lagi…"

‘Bisa begitu Bayu, bisa begitu…" ucap Sakra Kalianget pula.

"Sakra, apa kita tetap pada siasat semula? Membiarkan mereka mendapatkan barang itu lebih
dulu baru merampasnya?"

"Siasat tidak berubah. Kita, siapapun, sekalipun memiliki kepandaian setinggi langit sedalam
lautan, tidak bakal dapat merampas barang itu. Tiga Hantu Buleleng mampu melakukan karena
mereka punya penangkal, tahu rahasia kelemahan makhluk yang membawa barang."
Bayusongko mengangguk-angguk, usap-usap dagunya yang celemongan lalu alihkan pandangan
mata ke tengah laut. Dalam hati dia bertanya-tanya. Bagaimana bentuk makhluk yang akan
muncul membawa barang itu? Lebih dari itu bagaimana pula ujud barang yang akan mereka
rampas lalu diserahkan pada guru mereka di Danau Buyan di Buleleng?

ANGIN dari arah laut bertiup dingin mengandung garam. Sementara langit semakin hitam tanpa
bintang. Laut selatan diselimuti udara gelap gulita. Gemuruh suara ombak yang bergulung
untuk kemudian memecah di pasir pantai terdengar tidak berkeputusan. Tiba-tiba di ufuk
tenggara menyambar kilat, seolah muncul dari dalam samudera, melesat ke angkasa membuat
guratan seperti membelah langit. Untuk sesaat kawasan pantai selatan terang benderang oleh
sambaran cahaya kilat. Di lain kejap kegelapan kembali membungkus.

Di balik semak belukar Putu Arka mengusap wajah, membuka mata lebar-lebar memandang ke
tengah laut. Dia mendongak ke langit, coba mencari bintang pertanda. Tak kelihatan satu
bintangpun. Tapi dalam hatinya tokoh silat dari Buleleng ini punya dugaan keras. Saat
menjelang tepat tengah malam telah tiba. Makhluk pembawa barang akan segera muncul. Dan
hujan rintikrintik mulai turun.

Sekali lagi kilat berkiblat. Kali ini di arah barat. Begitu cahaya terang sirna dan kegelapan
kembali muncul, mendadak di tengah laut tampak satu cahaya kehijauan, seolah keluar dari
dasar samudera. Secara aneh, entah apa yang terjadi, entah kekuatan dari mana yang turun ke
bumi. tiba-tiba ombak di laut berhenti bergulung. Air laut diam tak bergerak seperti berubah
menjadi hamparan rumput luar biasa luas. Tak ada lagi ombak yang bergulung dan memecah di
pasir pantai. Anginpun berhenti bertiup dan hujan rintikrintik lenyap. Seantero kawasan pantai
selatan gelap pekat dan sunyi senyap.

“Saatnya….saatnya sudah tiba," kata Putu Arka dalam hati. Dadanya berdebar, wajah buruknya
tampak tegang, mata terpentang lebar, menatap tak berkesip ke arah laut. Di belakang sana
Wayan Japa merasa tegang. Sekilas dia memandang ke arah laut. Lalu kembali berpaling ke
jurusan semula. Sesuai tugas, dia harus mengawasi kemunculan mendadak orang-orang yang
tidak diingini. Saat itu sepasang matanya tidak lepas dari memperhatikan pohon besar dimana
menurut Putu Arka bersembunyi dua orang tak dikenal.

Keheningan yang muncul mendadak membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi
tercekat bergidik.

"Keanehan apa ini?! Mengapa mendadak sunyi seperti di liang kubur! Ombak berhenti
bergulung, angin tidak bertiup dan hujan yang barusan turun juga berhenti! Apa yang terjadi?!"
Berucap Bayusongko yang berada di atas pohon besar.

"Saat yang ditunggu sudah tiba! Kita berada di tepat tengah malam. Ini saat munculnya
makhluk yang membawa benda mustika itu. Menurut petunjuk dia akan keluar dari…." Ucapan
Sakra Kalianget terputus. Dia meraba daun telinga sebelah kiri. "Ada suara kuda berlari dari
arah timur. Menuju ke sini. Tapi….Mengapa tiba-tiba lenyap?"

Ada orang lain yang tahu urusan besar ini. Kita harus lebih waspada," bisik Bayusongko.

Di balik semak belukar Putu Arka yang memperhatikan ke tengah laut tanpa berkesip
mendadak melihat cahaya hijau yang sejak tadi diawasinya berubah tambah panjang dan
tambah terang. Tiba-tiba cahaya itu melesat ke atas. Air laut laksana terbelah. Cahaya hijau
keluar dari dalam laut mengeluarkan suara bergemuruh. Kawasan pantai bergetar, pepohonan
bergoyang. Di tepi pantai pasir berhamburan sampai setinggi dan sejauh dua tombak. Saat itu
pula air laut kembali, bergerak. Ombak menderu bergulung ke pantai. Angin kembali bertiup
kencang dan dingin. Lalu hujan rintik-rintik kembali turun dan dengan cepat berubah deras.

Putu Arka tudungi kedua matanya dengan tangan kiri. Tak tahan silau cahaya hijau yang keluar
dari laut. Ketika dia dapat melihat dengan jelas, kejut tokoh silat dan Bali ini bukan alang
kepalang. Yang barusan melesat keluar dari dalam laut disertai pancaran cahaya hijau
menyilaukan ternyata adalah sosok seekor ular besar dan panjang berkulit hijau. Sebagian
tubuhnya masih berada didalam air laut. Luar biasanya sosok ular ini memiliki kepala seorang
nenek berambut hijau, punya sepasang tanduk hijau serta dua mata yang juga hijau. Dua
tangannya memegang sebuah peti kayu hitam yang diikat dengan akar tumbuhan laut
berwarna hijau. Di atas kepalanya ada sebentuk mahkota terbuat dari batu hijau. Keseluruhan
sosok nenek ular ini, mulai dari kepala sampai ke bawah memancarkan cahaya hijau
menyilaukan. Orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng ini tidak pernah menduga kalau inilah
makhluk yang akan ditemuinya.

Dalam kejut dan ketersiapannya Putu Arka perhatikan peti kayu hitam yang dipegang nenek
ular. "Peti itu…." katanya dalam hati. "Itu, yang harus aku dapatkan. Makhluk itu pasti tak akan
mau menyerahkan secara suka rela. Aku harus merampasnya. Di dalam peti pasti tersimpan
barang yang dicari. Mustika pembawa nyawa, pemberi kehidupan baru!"

Putu Arka usap wajah buruknya yang basah oleh air hujan lalu bergeser ke kanan. Saatnya dia
keluar dari balik semak belukar. Gerakannya terhenti sebentar ketika dilihatnya manusia ular
rundukkan tubuh bagian atas lalu meluncur di atas air menuju pasir pantai. Begitu makhluk
aneh mengerikan itu sampai di atas pasir, Putu Arka tidak menunggu lebih lama. Dia segera
melompat keluar dari balik semak belukar lalu melesat ke tepi pasir.

"Makhluk ular kepala manusia! Serahkan peti yang kau bawa padaku!"

Putu Arka berteriak keras. Suaranya menggelegar di bawah deru hujan. Tokoh silat dari Bali ini
tentu saja menyertai teriakannya tadi dengan kekuatan tenaga dalam. Nenek ular serta merta
angkat kepala. Sepasang matanya yang hijau memandang menyorot ke arah orang yang
barusan membentak. Tiba-tiba si nenek keluarkan suara tertawa aneh. Ketika mulutnya terbuka
kelihatan lidah berwarna hijau, menjulur terbelah di sebelah ujung. Makhluk bertubuh ular
berkepala manusia ini bersurut setengah tombak. Ekornya melesat ke atas, menekuk di udara.
Seperti buntut kalajengking yang siap menyengat, membuat Putu Arka harus berlaku hati-hati.

"Anak manusia, siapapun kau adanya pasti sudah lama menunggu di tempat ini. Kau begitu
sabar menantikan kematianmu. Apakah kau sendirian atau punya teman. Suruh mereka segera
keluar agar aku tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk menyingkirkan
kalian!"

Putu Arka mengeram marah.

"Aku meminta untuk kali kedua. Itu merupakan kali yang terakhir! Serahkan peti kayu padaku!"

"Kau meminta barang yang bukan hakmu! Kau ini bangsa maling, begal atau rampok?!" Nenek
ular sehabis berucap kembali tertawa aneh.

"Makhluk tolol! Kau lebih sayang peti itu dari nyawamu! Lihat, apa yang ada di tanganku!"

Dua tangan Putu Arka yang sejak tadi dimasukkan ke balik baju hitam yang basah kuyup
melesat keluar. Dia kembangkan telapak tangan. Di atas telapak tangan kiri terdapat sehelai
daun sirih. Di telapak tangan kanan kelihatan sebuah Bawang putih tunggal.

Tampang nenek ular serta merta berubah begitu melihat sirih dan bawang putih tunggal Tubuh
ularnya mengkeret dan bersurut sampai satu tombak.

"Manusia beralis hitam putih! Katakan siapa Kau sebenarnya?!"

Putu Arka menyeringai. Maklum makhluk tubuh ular kepala manusia itu kini merasa jerih
terhadapnya.

"Aku tidak suruh kau bertanya. Aku perintahkan agar kau segera menyerahkan peti kayu!"
Habis berkata begitu Putu Arka lalu remas daun sirih di tangan kiri dan bawang putih tunggal di
tangan kanan. Daun sirih dan bawang putih yang sudah hancur kemudian dimasukkannya ke
dalam mulut, dikunyah lumat-lumat.

"Manusia ini tahu kelemahanku’ Aku harus membunuhnya sebelum dia menyemburkan
kunyahan daun sirih dan bawang putih." Nenek ular berkata daiam hati. Lalu sambi! surutkan
tubuh ularnya dan rundukkan kepala dia keluarkan ucapan.

‘Aku menaruh hormat dan tunduk padamu. Mungkin kau memang orangnya kepada siapa aku
harus menyerahkan peti kayu ini. Maafkan kelancanganku. Harap kau sudi menerima." Nenek
ular rundukkan kepala lebih ke bawah. Dua tangan yang memegang peti kayu diulurkan ke
depan kearah orang yang meminta. Putu Arka tokoh silat berpengalaman. Dia tidak bodoh. Dia
mencium gelagat yang tidak baik. Tipu daya! Dan ternyata betul. Hanya seuluran tangan peti
kayu berada di depan Putu Arka, tiba-tiba ekor nenek ular yang ditarik tadi menekuk di udara
menghantam kearah kepala Putu Arka. Cahaya hijau berkiblat menyertai serangan maut itu!

Didahului bentakan keras Putu Arka melompat ke samping. Ekor ular menderu dahsyat,
membongkar tanah. Pasir pantai berhamburan ke udara di tempat itu kelihatan lobang besar
sedalam hampir setengah tombak. Dapat dibayangkan kalau hantaman ekor ular mengenai
kepala Putu Arka.

Begitu ioios dari serangan maut Putu Arka cepat melesat ke udara. Pada saat kepalanya sejajar
dengan kepala nenek ular dia semburkan selengah dari kunyahan daun sirih dan bawang putih
yang ada dalam mulut. Hampir bersamaan dengan itu nenek ular sentakkan kepala.

"Wuss! Wusss!"

Dari sepasang mata nenek ular melesat dua sinar hijau menggidikkan. Tapi dua larik sinar maut
itu serta merta menghambur berantakan begitu terkena semburan kunyahan daun sirih dan
bawang putih tunggal. Nenek ular keluarkan suara meraung panjang aneh menggidikkan. Suara
ini seperti raungan anjing namun pada ujung raungan berubah seperti ringkikan kuda. Kepala
nenek ular terbanting ke belakang. Sekujur tubuh ularnya bergoncang keras. Dalam keadaan
menghuyung makhluk ini buka mulutnya. Lidah hijau terbelah dijulurkan. Memancarkan cahaya
hijau menyeramkan.

Putu Arka yang maklum kalau lawan kembali hendak menyerang. Dengan cepat jungkir balik di
udara. Sambil menukik dia semburkan sisa kunyahan daun sirih dan bawang putih ke arah
kepala nenek ular. Makhluk yang belum sempat menyemburkan racun maut dari mulutnya
kembali meraung keras. Semburan kunyahan daun sirih dan bawang putih tepat mengenai
wajahnya. Saat itu juga kepala nenek ular kelihatan berpijar hebat, mengepulkan asap hijau lalu
seperti lilin terbakar kepala itu leleh, berubah menjadi cairan hijau. Luar biasa mengerikan. Dua
tangan si nenek terpentang ke udara. Menggapai-gapai. Peti kayu yang sejak tadi dipegangnya
terlepas jatuh.

Perlahan-lahan sosok ular si nenek tersurut dan tenggelam ke dalam laut. Putu Arka bertindak
cepat. Dua kaki dijejakkan ke pasir. Tubuhnya melesat ke udara, menyambar kayu hitam yang
siap jatuh ke dalam laut.

"Dapat!" Di balik semak belukar Wayan Japa berucap gembira sambil kepalkan tangan ketika
melihat sobatnya Putu Arka berhasil menangkap dan mendapatkan peti kayu yang terlepas
jatuh dari pegangan makhluk ular kepala manusia.

Namun pada saat yang sama, di arah belakangnya terdengar sambaran angin. Dua makhluk
aneh, berwajah celemongan melesat turun dari pohon besar. Musuh yang ditunggu-tunggu
telah keluar unjukkan diri. Sesuai yang sudah diatur, Wayan Japa segera keluarkan suara siulan
menyerupai suara burung malam. !ni adalah tanda yang harus diberikannya pada Putu Arka.
Putu Arka sempat mendengar suara siulan pertanda yang diberikan Wayan Japa. Tapi seperti
yang sudah diduga, keculasan pada masingmasing Tiga Hantu Buleleng ini menjadi kenyataan.
Bukannya datang untuk membantu sahabatnya, malah sambil menyeringai Putu Arka berbalik
kabur ke arah barat membawa peti kayu. Dia tidak menyadari justru pada saat yang hampir
bersamaan dari arah berlawanan terdengar derap kaki kuda mendatangi.

SEBELUM turun dari atas pohon besar, Sakra Kalianget berkata pada temannya. ‘Bayusongko,
kau serang si penghadang. Aku mengejar orang yang melarikan peti kayu!"

Dua tokoh silat dari Madura itu segera berkelebat turun dari atas pohon sambil hunus senjata
masing-masing yakni sebilah clurit terbuat dari besi biru dilapisi emas. Sakra Kalianget langsung
mengejar Putu Arka sedang Bayusongko menyerbu ke arah Wayan Japa yang memang
bertindak sebagai penghadang.

Begitu saling berhadapan Bayusongko tenangtenang saja melintangkan clurit emas di depan
dada. Sementara Wayan Japa tidak dapat menyembunyikan rasa kaget ketika melihat siapa
yang berdiri di hadapannya dan siap menyerbu. Namun dia cepat menguasai diri dan merubah
sikap.

"Owalah!" ucap Wayan Japa. "Lihat siapa yang jual tampang di hadapanku! Muka celemongan,
pakaian rombeng penuh tambalan, menebar bau busuk. Bersenjata clurit emas! Siapa lagi kalau
bukan tua bangka berjuluk Pengemis Clurit Emas dari Madura!"

Disapa orang begitu rupa Bayusongko tertawa mengekeh.

"Malam begini gelap, hujan pula! Tidak sangka orang masih mengenali diriku! Rupanya aku
memang sudah jadi tokoh kesohor! Ha…ha…ha!"

"Tunggu! Jangan buru-buru berucap sombong!" Hardik Wayan Japa. "Biasanya Pengemis Clurit
Emas selalu muncul berdua. Mana temanmu? Apa lagi mengemis di tempat lain? Ha…ha…ha!"

"Apa perduiimu dimana temanku!’ jawab Bayusongko lalu keluarkan suara mendengus.

Wayan Japa maklum kalau ejekannya membuat lawan mulai marah. Maka dia kembali
keluarkan ucapan.

"Malam-malam buta begini. Di tempat sepi. Ketika cuaca begini buruk! Aneh kalau kau muncul
untuk mengemis! Sendirian pula!"

Bayusongko menahan amarahnya. Batuk-batuk lalu tertawa gelak-gelak.

Kalau mengemis nyawa manusia waktunya tidak perlu diatur, Malam-malam seperti ini
memang paling tepat untuk minta nyawa orang. Berbarangan dengan kehadiran setan laut yang
pasti banyak gentayangan di sekitar sini! Ha…ha. .ha!"
"Tolol sekali!" tukas Wayan Japa. "Senjata saja terbuat dari emas. Masih mau mengemis! Jua!
saja cluritmu kalau tidak punya uang! Aku sering mendengar kabar. Banyak pengemis yang
sebenarnya kaya raya. Di kampung punya tiga rumah dan tiga istri! Kau pasti termasuk
pengemis macam begituan!"

"Ah, rupanya Pengemis Clurit Emas memang sudah tersohor. Sampai-sampai kau tahu keadaan
diriku! Hai, kalau aku mau menjual clurit ini, apa kau mau membeli?!"

"Siapa sudi!" jawab Wayan Japa lalu meludah ke tanah.

"Kalau begitu biar clurit ini aku berikan cumacuma padamu!" kata Bayusongko pula lalu
menerjang ke depan sambil babatkan senjatanya. Sinar terang kuning berkiblat dalam gelapnya
udara dan curahan hujan lebat.

Wayan Japa cepat menyingkir selamatkan diri. Sinar kuning clurit emas membabat udara
kosong. Curahan air hujan seolah tertahan. Dari sambaran angin yang menggetarkan pakaian
dan tubuhnya Wayan Japa maklum, bukan saja senjata di tangan lawan merupakan senjata
berbahaya tapi yang melancarkan serangan juga memiliki tenaga dalam tinggi.

Sambil melompat mundur mengelak serangan orang Wayan Japa cepat loloskan destar hitam di
kepala. Destar yang basah oleh air hujan diperas dulu, lalu ditarik, direntang dan diurut-urut.
Sesaat saja destar hitam itu telah berubah menjadi keras dan lurus. Destar dibolang baling
mengeluarkan suara bersiuran. Luar biasa, destar yang terbuat dari kain itu kini berubah
menjadi sebatang tongkat sepanjang lima jengkal.

Bayusongko tertawa bergelak.

"Hantu Dari Buleleng yang katanya punya nama besar di rimba persilatan ternyata cuma punya
senjata butut! Kau akan mampus lebih cepat kalau hanya mengandalkan destar bau tengik itu!"
ejek Bayusongko.

"Jangan banyak mulut! Terima kematianmu!" kertak Wayan Japa. Lalu orang kedua dari Tiga
Hantu Buleleng ini menerjang lancarkan erangan dalam jurus bernama Tongkat Hantu
menghidang Iblis.

Seolah mengejek dan memandang rendah lawan, Bayusongko sengaja tegak diam menunggu
datangnya serangan Wayan Japa.

SIKAP memandang enteng senjata dan serangan lawan serta merta berubah jadi keterkejutan
besar. Malah Bayusongko sampai-sampai keluarkan seruan tertahan. Destar hitam di tangan
Wayan Japa laksana seekor ular bisa berubah lentur. Laksana seekor ular mematuk kian kemari,
menyerang tiga bagian tubuh Bayusongko dalam satu gebrakan! Untuk mengelakkan hantaman
ujung destar yang mengarah ke bagian dada, perut dan betisnya Bayusongko dipaksa
berkelebat dan berjingkrak kian kemari. Untung saja orang tokoh silat dari Madura ini memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dia mampu selamatkan diri dari
tiga kali hantaman senjata lawan.

Bayusongko menggeram dalam hati. Baru jurus pertama lawan mampu membuatnya kelabakan
begitu rupa. Hatinya jadi panas ketika Wayan Japa keluarkan ucapan.

"Ha…ha! Aku tidak sangka pengemis bisa berubah jadi monyet! Jingkrak sana jingkrak sini!"

"Umur tinggal sejengkal! Masih mau bicara sombong!" hardik Bayusongko pula. "Lihat clurit!"

Bayusongko membuat satu terjangan. Dua kaki melesat di atas tanah. Tubuh meliuk aneh. Clurit
emas diputar di atas kepala, lalu menukik dalam bentuk serangan ke arah pinggang lawan.
Ketika Wayan Japa mundur dua langkah untuk elakkan sambaran clurit, tubuh Bayusongko yang
masih mengapung di udara kembali membuat liukan aneh dan settt! Clurit emas tahu-tahu
membabat ke arah leher Wayan Japa!

Sambil surutkan kaki kiri ke belakang dan kepala dirundukkan, Wayan Japa sambut serangan
orang dengan jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat. Destar hitam berkelebat searah
perut lawan yang tidak terjaga,, membuat kakek bernama Bayusongko terpaksa lentingkan
tubuh ke belakang dan begitu berhasil selamatkan perutnya dari sambaran destar dia teruskan
babatan clurit ke arah leher lawan.

Jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat yang dimainkan orang kedua dari Tiga Hantu
Buleleng ini bukan satu jurus kosong. Ujung destar yang telah berubah menjadi sebatang
tongkat luar biasa ampuhnya, berkelebat di udara. Ujung atas melintang di depan leher, ujung
bawah menohok ke arah perut lawan!

"Trangg!"

Tongkat destar beradu dengan clurit emas, mengeluarkan suara berkerontangan seolah dua
logam atos saling bentrokan di udara! Bunga api memercik. Destar mengeluarkan cahaya hitam
sedang clurit menebar percikan cahaya kuning benderang.

Bentrokan senjata membuat tangan pengemis tua Bayusongko yang memegang clurit tergetar
keras. Ini sudah cukup membuat tokoh silat dari Madura ini jadi terkejut. Dia tidak menyangka
lawan memiliki kekuatan tenaga begitu besar serta senjata aneh yang tak bisa dianggap enteng.
Dan belum habis kejutnya tiba-tiba bagian bawah tongkat lawan menderu ke arah perutnya!

"Bukkk!"

"Hueekk!"
Bayusongko mengeluh tinggi dan muntahkan darah segar. Tubuhnya terlipat ke depan. Tangan
kiri meraba perut karena mengira perut itu sudah jebol dihantam tongkat yang terbuat dari
destar tapi kerasnya tidak beda dengan pentungan besi! Ketika dia hendak mengusap darah
yang membasahi mulutnya, tiba-tiba tongkat di tangan Wayan Japa kembali menderu. Kali ini
dalam gerakan mengemplang ke arah batok kepala si pengemis yang berdiri setengah
terbungkuk karena menahan sakit pada perutnya dan tengah menyeka darah di mulut.

Untungnya Bayusongko masih sempat melihat serangan maut itu. Secepat kilat dia jatuhkan diri
ke tanah. Sambil berguling dia babatkan clurit emas ke arah dua kaki Wayan Japa. Tanpa
menggeser kedudukan kedua kakinya, Wayan Japa tusukkan tongkat ke bawah. Senjata itu
menancap di tanah tepat pada saat clurit emas datang membabat.

Untuk kedua kalinya dua senjata saling bentrokan dan untuk kedua kalinya pula bunga api
hitam dan kuning memercik di udara gelap. Wayan Japa cepat tarik tongkat tapi alangkah
terkejutnya anggota Tiga Hantu Buleleng ini ketika dapatkan walau telah mengerahkan tenaga
sekuat apapun, malah mempergunakan dua tangan sekaligus, dia tidak mampu mencabut
tongkat yang menancap di tanah itu!

"Celaka! Apa yang terjadi?!" Sepasang mata Wayan Japa mendelik besar. Clurit emas senjata
lawan dilihatnya melingkar pada badan tongkat. Ujungnya yang tajam dan bagian gagang tidak
kelihatan karena terpendam ke dalam tanah! "Clurit…clurit itu mengunci senjataku!" Wayan
Japa pentang matanya ke arah Bayusongko yang saat itu telah tegak berdiri. Mukanya yang
celemongan tambak tak karuan oleh darah yang membasahi mulut dan dagunya.

Kakek bermuka celemongan itu berdiri itu sambil tertawa mengekeh dan usap-usap dua
tangannya satu sama lain. Tiba-tiba entah dari mana munculnya tahu-tahu dalam dua tangan
Bayusongko telah tergenggam dua buah clurit kecil. Dua senjata ini kelihatan aneh karena
hanya gagangnya yang tampak jelas sedang bagian yang tajam dan runcing hampir tidak
membekas di dalam kegelapan.

"Clurit Hantu!"

Wayan Japa keluarkan seruan tertahan.

Tampangnya berubah. Jelas ketakutan amat Hangat.

Si pengemis tua Bayusongko tertawa mengekeh.

"Bagus sekali! Kau mengenali sepasang clurit gaib ini! Pertanda kau sadar bahwa kematian
sudah di depan hidung! Ha…ha…ha!" Pengemis tua itu tertawa bergelak. Begitu tawa lenyap
dua tangan yang memegang clurit kecil yang disebutnya sebagai clurit goib bergerak berputar.

"Seettt!"
"Seettt!"

Dua clurit aneh yang hanya kelihatan gagangnya saja melesat ke arah Wayan Japa. Tokoh dari
Bali ini hanya sempat melihat clurit hantu yang menyerang ke arah lehernya. Dia cepat
menyingkir ke kiri sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam
penuh. Meskipun Wayan Japa berhasil memukul mental clurit pertama namun dia tidak mampu
melihat kelebatan datangnya clurit hantu kedua.

Raungan menggelegar dari mulut orang kedua Tiga Hantu Buleleng ini ketika clurit hantu kedua
menancap tepat di mata kirinya. Sosok Wayan Japa terhuyung ke belakang. Tangan kiri
menggapai udara kosong. Tangan kanan bergerak ke arah mata, berusaha mencabut clurit
hantu yang menancap di mata itu. Tapi belum sempat menyentuh, mendadak sekujur tubuh
Wayan Japa berubah dingin dan kaku. Dia hanya sempat keluarkan keluhan pendek lalu
sosoknya terbanting ke tanah tak bergerak lagi. Dalam gelap sekujur kulit tubuhnya kelihatan
membiru. Itulah akibat racun sangat jahat yang ada pada clurit hantu. Jangankan manusia,
makhluk sebesar gajahpun mampu terbunuh oleh racun ini dalam sekejapan mata! Ternyata
Hantu Buleleng tidak sanggup menghadapi clurit hantu alias clurit goib!

Pengemis muka celemongan Bayusongko menyeringai sambil usap-usap dua tangan. Secara
aneh, dua clurit hantu telah berada dalam tangannya kembali. Orang tua ini masih terbungkuk
menahan sakit pada perutnya kemudian melangkah mendekati tongkat milik Wayan Japa yang
kini telah berubah ke bentuknya semula yaitu selembar kain ikat kepala dan melingkar di tanah.
Bayusongko cabut clurit emas miliknya yang terpendam di tanah di samping destar hitam.
Kepala pengemis tua muka celemongan ini terdongak ketika dari arah pantai terdengar suara
jeritan orang. Dia mengenali. Itu adalah suara jeritan sahabatnya, Sakra Kalianget, orang
pertama dari Pengemis Clurit Emas.

KEMBALI kepada Putu Arka. Seperti dituturkan sebelumnya orang pertama dari Tiga Hantu
Buleleng ini berhasil menghancurkan makhluk ular berkepala manusia yang keluar dari dalam
lautan membawa sebuah peti kayu berwarna hitam. Begitu peti berada di tangannya Putu Arka
segera kabur ke arah barat. Dia tidak perdulikan suara suitan tanda yang diberikan sahabatnya
Wayan Japa. Dia seperti tidak mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali datang dari arah
timur. Yang penting dia sudah dapatkan peti berisi benda maha sakti tiada duanya di dunia dan
harus menyelamatkannya.

Namun belum sampai berlari dua puluh langkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat di
depan Putu Arka. Cepat Putu Arka tahan lari kemana gerakan orang jelas menghadang dirinya.
Memandang ke depan, Putu Arka jadi melengak. Lnam langkah di hadapannya tegak bertolak
pinggang seorang kakek bermuka celemongan, rambut putih panjang awut-awutan. Berpakaian
rombeng penuh tambalan. Dari keadaan serta pakaian orang, Putu Arka segera maklum,
dengan siapa dia berhadapan saat itu.

Sakra Kalianget! Orang pertama Pengemis Clurit Emas. Gerangan apa kau muncul di malam
buta sepertinya sengaja menghadang jalanku?!" “Putu Arka, jangan pura-pura berbasa-basi.
Serahkan peti yang kau pegang padaku! Sekarang! Cepat!" “Ah” Putu Arka mundur satu
langkah. "Aku memang barusan merampas barang ini dari orang lain. Tapi aku tahu betul peti
dan benda isi di dalamnya bukanlah milikmu! Mengapa aku merasa perlu menyerahkan
kepadamu!" Sakra Kalianget tertawa bergelak. Rangkapkan dua tangan diatas baju rombengnya
lalu berkata.

“Kali pertama aku hanya meminta peti itu. Kali kedua aku meminta berikut nyawamu! Terserah
kau mau memberikan yang mana!"

Sesaal Putu Arka terdiam. Otaknya bekerja. Dia cukup tahu riwayat kakek muka angker
celemongan bernama Sakra Kalianget ini. Bersama seorang kakek lainnya bernama Bayusongko
di rimba persilatan tanah Jawa kawasan timur dia dikenal dengan julukan Pengemis Clurit Emas.
Mereka selalu muncul berdua. Mana yang satunya? Tadi dia mendengar jerit raungan Wayan
Japa. Dia tidak perlu menyelidik. Saat ini Wayan Japa pasti sudah menemui ajal. Pembunuhnya?
Besar dugaan si pembunuh adalah Pengemis Clurit Emas yang bernama Bayusongko.
Menghadapi manusia satu ini saja cukup sulit. Apa lagi kalau sampai temannya muncul
membantu.

"Sakra Kalianget, aku tidak mau membuangbuang waktu berurusan dengan manusia pengemis
sepertimu. Tunggu saja sampai siang. Pergi ke pasar dan mengemis di sana! Jangan
mencampuri urusan orang!"

Sakra Kalianget kembali tertawa.

"Urusan yang kau hadapi bukan urusan dirimu sendiri. Tapi adalah urusan para tokoh rimba
persilatan!" Ucap jago tua dari Madura itu.

Dengar, aku akan mengampuni selembar nyawamu, kalau kau tidak terlalu bodoh mau
menyerahkan peti kayu hitam padaku!"

"Jahanam!" maki Putu Arka dalam hati. "Mati hidup peti ini akan aku pertahankan!" Lalu dia
keluarkan ucapan. "Pengemis kesasar! Kalau kau inginkan peti ini silahkan mengambil sendiri!"

"Bodoh sekali! Berani menantang Pengemis Clurit Emas dari Madura!" kata Sakra Kalianget
sambil menyeringai. Begitu selesai bicara kakek pengemis ini keluarkan clurit emasnya dan
langsung menyerang Putu Arka. Perkelahian hobat segera pecah. Putu Arka segera terdesak
begitu memasuki jurus kedua. Sebabnya dia terpaksa berkelahi sambil satu tangan memegang
peti kayu. Seperti Wayan Japa tadi dia loloskan destar hitam yang terikat di kepala. Kalau
Wayan Japa terlebih dulu harus menarik dan menguruturut destar itu, lain halnya dengan Putu
Arka. Karena kesaktiannya jauh lebih tinggi dari Wayan Japa, maka sekali kain hitam itu
disentakkan, serta merta berubah menjadi sebatang tongkat seatos besi!
Ternyata ilmu silat yang dimiliki Putu Arka setingkat lebih tinggi dari Sakra Kalianget. Walau di
awal jurus perkelahian dia kena didesak, namun setelah keluarkan jurus-jurus andalannya, Putu
Arka berhasil mengimbangi serangan lawan malah sesekali membuat serangan balasan yang
mematikan.

Kesal karena tidak bisa menembus pertahanan lawan Sakra Kalianget dengan cerdik alihkan
sasaran serangannya. Kini cluritnya dipakai untuk menghantam ke arah peti hitam yang dikepit
Putu Arka di tangan kiri. Satu kali clurit emas berhasil membabat sudut kiri atas peti kayu
hingga gompal. Untung peti itu cukup tebal hingga isi di dalamnya masih terlindung. Namun
keberhasilan merusak peti harus ditebus cukup mahal oleh Sakra Kalianget. Karena di saat
pertahanan Sakra terbuka. Putu Arka berhasil susupkan tongkatnya ke dada kiri lawan.

"Kraakk!"

Salah satu tulang iga Sakra Kalianget berderak patah. Orang ini menjerit kesakitan. Jeritan inilah
yang kemudian didengar oleh pengemis Bayusongko yang baru saja berhasil membunuh Wayan
Japa.

"Jahanam Putu Arka! Kau memang minta mampus! Sekarang tidak ada lagi pengampunan bagi
dirimu!" Sakra Kalianget lemparkan clurit emas di tangan kanan ke arah Putu Arka.

Demikian cepatnya lemparan ini, Putu Arka hanya mampu pergunakan peti kayu untuk
melindungi diri. Clurit emas menancap di peti. Putu Arka tidak perdulikan. Dia lebih
memperhatikan keadaan lawan. Sementara Sakra Kalianget kesakitan, Putu Arka melihat
kesempatan untuk menghabisinya. Dengan satu lompatan kilat Putu Arka kirimkan serangan
tongkat dalam jurus Tongkat Hantu Memburu Iblis.

Tongkat yang terbuat dari kain ikat kepala itu, yang kemudian berubah sekeras besi, kini
berubah lagi laksana sebilah pedang tipis, bergetar keras memancarkan cahaya hitam.

Orang lain mungkin segera menangkis atau bergerak cari selamat. Senjata di tangan lawan
bergetar demikian rupa hingga sulit diduga arah mana yang dituju sebagai sasaran. Tapi luar
biasanya Sakra Kalianget tegak tenang-tenang saja. Pasti ada yang diandalkannya. Memang
benar, ternyata dia berdiri sambil mengusap dua tangan satu sama lain. Di lain kejap dua
tangan itu telah menggenggam dua bilah clurit yang dalam gelap hanya terlihat gagangnya.
Clurit hantu alias Clurit goib!

Gerakan Putu Arka sesaat jadi tertahan begitu matanya memperhatikan benda apa yang ada
dalam pegangan tangan kiri kanan lawan. Dia belum pernah melihat senjata angker itu, hanya
banyak mendengar cerita,keganasannya saja. Tapi dia maklum yang tengah dipegang Sakra
Kalianget adalah sepasang clurit hantu yang telah banyak membuat geger rimba persilatan
tanah Jawa bagian timur.
"Jadi benar berita yang tersiar. Bangsat ini memang punya sepasang clurit hantu! Aku harus
cepat membentengi diri dan kabur dari tempat ini!" Didahului bentakan keras, sosok Putu Arka
berputar seperti gasing dan melesat ke udara. Di saat yang sama Sakra Kalianget gerakkan dua
tangan yang memegang clurit hantu. Tapi belum sempat dua senjata maut itu lepas dari
tangannya tiba-tiba di arah kiri belakang terdengar orang berseru.

"Sakra! Biar aku yang menghabisi bangsat itu! Kau cepat menangkap peti begitu lepas dari
tangannya!"

Sakra Kalianget kenali suara orang yang berteriak. Suara Bayusongko sahabatnya. Selagi dia
meragu apakah akan meneruskan melemparkan clurit hantu ke arah Putu Arka, dari tempat
gelap si kakek Bayusongko muncul dan langsung saja melemparkan dua clurit hantu yang telah
tergenggam di tangannya kiri kanan.

"Bettt!"

"Bettt!"

Putu Arka yang tadinya bersiap untuk selamatkan diri dari clurit hantu yang hendak
dilemparkan Sakra Kalianget tentu saja jadi terkejut besar dan tidak menduga kalau bakalan ada
serangan yang sama dari arah lain. Apa lagi saat itu dia tengah bergerak untuk mengeluarkan
sebuah benda yang jika dipecahkan akan sanggup membentengi dirinya dari serangan lawan.
Namun sebelum sempat benda itu diambilnya, apa lagi saat itu dia masih memegang tongkat,
tahu-tahu sebuah benda menancap di bahu kirinya.

"Clurit Hantu!" seru Putu Arka. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi dingin. Tidak pikir
lebih lama, begitu dua kakinya menjejak tanah, Putu Arka segera buang tongkat di tangan
kanan. Lalu dengan tangan itu dia membetot kuat-kuat lengan kirinya.

Terjadilah hal yang mengerikan!

Putu Arka menarik tanggal tangan kirinya yang ditancapi clurit hantu pada bagian bahu. Tangan
ini tanggal mulai sebatas persendian bahu ke bawah! Memang hanya inilah satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan diri dari kematian akibat racun clurit hantu atau clurit goib yang luar
biasa ganasnya. Sehabis menarik tanggal tangannya sendiri, Putu Arka jatuh terjengkang di
tanah. Peti kayu hitam telah lebih dulu lepas dari kepitan dan jatuh. Putu Arka gulingkan diri,
masih berusaha untuk menjangkau peti itu dengan tangan kanan. Namun dia kalah cepat.
Seseorang berkelebat mengambil peti!

Bukan Putu Arka saja yang terkejut atas serangan yang dilancarkan secara mendadak oleh
pengemis Bayusongko. Sakra Kalianget juga ikutan kaget malah sampai keluarkan seruan keras.
Salah satu dari dua clurit hantu yang dilemparkan Bayusongko menancap di lehernya. Sakra
Kalianget keluarkan suara seperti orang digorok. Rasa terkejut luar biasa dan disusul dengan,
kemarahan besar membuat dia lupa bertindak. Clurit hantu dibiarkan menancap di leher
sementara mulutnya keluarkan sumpah serapah. Sebenarnya memang tak ada yang bisa
dilakukan Sakra Kalianget. Dia tidak mungkin menanggalkan lehernya seperti yang dilakukan
Putu Arka menanggalkan tangan kirinya.

"Jahanam Bayusongko! Kau sengaja membunuhku! Kau inginkan peti itu untuk dirimu sendiri!
Jahanam laknat! Terkutuk kau!"

Si tua muka celemongan Bayusongko batuk-batuk. Seka darah yang meleleh di bibirnya dan
menjawab ucapan orang.

"Kau telah lebih dulu mengkhianati kelompok kita! Pertama kau meyingkirkan Nyoman Carik
dongan alasan yang dicari-cari. Tadi waktu dapatkan peti ini kau langsung bertindak kabur!
Untung masih tertahan oleh hadangan Putu Arka! Bukan begitu ceritanya?!"

"Jahanam keparat! Serahkan peti itu padaku!" teriak Sakra Kalianget seraya melotot
memandang ke arah peti kayu hitam yang kini dipegang oleh Bayusongko. Namun heekkk! Dari
tenggorokan Sakra Kalianget terdengar suara tersedak. Itulah suara tarikan nafasnya yang
terakhir kali.

Sosoknya mendadak dingin lalu terjungkal di tanah. Sekujur kulit tubuhnya berubah kebiru-biru
akibat racun ganas clurit hantu.

Bayusongko tertawa mengekeh. Dia kepit peti kayu di tangan kiri. Dua tangan diusap-usapkan.
Dua clurit hantu yang tadi dipakainya untuk menyerang orang pertama Tiga Hantu Buleleng dan
kawannya sendiri yaitu Sakra Kalianget, secara aneh berada kembali dalam genggamannya.

"Pengemis culas! Kembalikan peti itu padaku! Itu milikku!"

Bayusongko putar tubuh. Memperhatikan orang yang barusan memakinya. Orang itu adalah
Putu Arka yang masih terguling di tanah, berusaha duduk.

"Aha! Orang pertama Tiga Hantu Buleleng! Belum mati kau! Kau benar-benar inginkan peti ini
rupanya! Aku tidak tega melihat keadaanmu. Biar kuberikan padamu! Ambillah!"

Bayusongko melangkah mendekati Putu Arka. Tersenyum dan membungkuk. Ulurkan dua
tangan yang memegang peti seolah benar-benar hendak menyerahkan. Tapi begitu Putu Arka
duduk dan ulurkan tangan untuk mengambil peti tiba-tiba Bayusongko tendangkan kaki
kanannya.

"Bukkk!"

Darah menyembur dari mulut Putu Arka bersama jerit kesakitan. Tubuhnya mencelat mental,
terkapar tak berkutik di tepi pasir. Entah mati entah pingsan.
"Manusia tolol!" ucap pengemis Bayusongko. Lalu putar tubuh, hendak tinggalkan tempat itu
sambil menyeringai dan kempit erat-erat peti kayu hitam di tangan kanan. Namun gerak
berputar kakek pengemis ini serta merta tertahan, seringai di wajahnya yang celemongan
mendadak lenyap seperti direnggut setan ketika tiba-tiba tempat itu telah dikurung oleh enam
orang penunggang kuda. Salah seorang dari mereka berseru.

"Atas nama Kerajaan harap peti kayu hitam diserahkan kepada kami!"

BAYUSOKO sejenak jadi tertegun dalam keterkejutan. Namun kakek pengemis ini dengan cepat
membaca keadaan. Sorotan matanya memandang tajam pada enam orang berkuda yang
mengurung. Dia juga memperhatikan binatang tunggangan ke enam orang itu.

"Kuda mereka besar-besar. Pelana bagus. Hiasan di leher kuda dan bentuk tapal kuda
menunjukkan tunggangan mereka memang kudakuda Kerajaan. Lalu pakaian yang mereka
kenakan. Dua berpakaian sebagai Perwira Tinggi. Tiga orang mungkin pengawal. Orang keenam
berpakaian paling bagus. Jabatannya pasti lebih tinggi dari dua perwira. Tapi mengapa mereka
semua menutupi wajah masing-masing dengan sehelai kain hitam?"

"Pengemis tua! Apa kau tuli tidak mendengar perintah kami?!" Salah satu dari dua orang
berpakaian Perwira Tinggi menghardik.

Bayusongko merasa tanah yang dipijaknya bergetar. Pertanda sang perwira memiliki tenaga
cukup hebat.

"Kami orang-orang Kerajaan! Lekas serahkan peti kayu itu pada kami!" Perwira Tinggi kedua
ikut membentak malah majukan kuda dua langkah.

Bayusongko perkencang kepitan peti kayu di tangan kiri lalu cepat-cepat membungkuk. Mulut-
nya berucap hormat.

"Harap maafkan kalau aku, si tua bangka ini tidak segera menunjukkan sikap hormat. Aku
kaget…"

"Sekarang kagetmu sudah lenyap. Lekas serahkan peti itu!" Perwira kedua kembali majukan
kudanya mendekati Bayusongko.

Si kakek lagi-lagi membungkuk hormat. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Hormatku

untuk kalian berenam yang mengaku orang-orang Kerajaan. Kalau boleh bertanya mengapa
kalian semua menutupi wajah dengan cadar hitam?"
"Angin malam begini dingin. Banyak nyamuk. Apa tidak boleh kami melindungi wajah?" Perwira
Tinggi pertama yang menjawab.

Bayusongko tersenyum. Angguk-anggukkan kepala. Peti kayu yang masih ditancapi clurit emas
milik Sakra Kalianget ditimang-timangnya beberapa kali.

"Aku percaya, aku percaya…" kata si kakek pula. "Kalian orang-orang Kerajaan memang harus
menjaga kesehatan. Di perjalanan bukan cuma nyamuk dan dinginnya udara yang bisa dltemui.
Bisa juga bertemu harimau buas yang siap menggerogot leher kalian. Atau ular yang mematuk
pantat kalian? Ha…ha…ha! Aneh, kalau orang-orang Kerajaan yang katanya terkenal hal Ilmu
kepandaian tinggi takut pada angin dan nyamuk! Seorang tua puteri saja kalaupun berada itt
tumpat ini kurasa tidak akan menutupi wajahnya dengan cadar. Kecuali wajah itu penyok
hidungnya, alis cuma sebelah, mata picek, kuping mamplung atau bopengan…"

"Pengemis tua ini terlalu banyak mulut!" Untuk pertama kalinya penunggang kuda berpakaian
paling bagus keluarkan ucapan. Lalu memerintah.

Bunuh dia! Ambil peti kayu hitam!"

Tiga penumpang kuda berpakaian seperti pengawal segera melompat dari kuda masingmasing.
Tiga pedang dihunus keluar dari sarungnya. Di lain kejap tiga senjata maut membabat ke arah
kepala, dada dan pinggang si kakek pengemis bermuka cemong. Rombongan orangorang yang
mengaku dari Kerajaan itu tidak begitu mengetahui siapa adanya Bayusongko. Mereka
menganggap si kakek seorang tua renta yang punya sedikit ilmu dan merampok peti yang
mereka juga inginkan. Namun semuanya jadi tersentak ketika Bayusongko cabut clurit emas
yang menancap di peti kayu hitam. Lalu menghamburlah cahaya kuning di kegelapan malam.

Tiga kali terdengar suara bedentrangan disertai percikan bunga api. Dua orang penyerang
Bayusongko roboh ke tanah dengan leher dan dada muncratkan dada segar akibat dimakan
ujung clurit emas. Pengawal ke tiga masih berdiri tegak, tapi kemudian menjerit keras ketika
melihat dan sadar bagaimana tangan kanannya telah buntung di pergelangan dan darah
menyembur deras! kakek pengemis telah keluarkan jurus Memapas Rembulan Membelah
Matahari untuk menyikat tiga penyerang.

Diam-diam dua orang berpakaian sebagai Perwira Tinggi Kerajaan leletkan lidah. Mereka kini
sadar kalau yang dihadapi bukanlah pengemis tua renta biasa. Tapi seorang berkepandaian
tinggi. Karena tiga teman mereka yang barusan tewas rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi. Dan si orang tua hanya butuhkan satu jurus saja untuk merobohkan mereka.

Kalian berdua! Tunggu apa! Lekas bunuh pengemis jahanam itu!" Penunggang kuda berpakaian
bagus berteriak marah. Tidak menunggu lebih lama dua penunggang kuda segera melayang
turun dari kuda masing-masing dan menyerbu Bayusongko dengan hanya mengandalkan
tangan kosong.
Walau tidak bersenjata apa-apa tapi ilmu silat dua perwira yang bercadar itu ternyata sangat
tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja Bayusongko segera terdesak. Perwira Tinggi pertama
menggempur kakek itu dari segala jurusan sementara kawannya lebih memusatkan pada upaya
untuk merampas peti.

Kakek pengemis muka celemongan dari Madura menggeram dalam hati. Kalau terus seperti itu,
satu kali hantaman tangan dua lawan pasti akan sempat menghajarnya atau peti kayu hitam
akan kena dirampas orang. Dia putar clurit emas di tangan kanan dengan sebat. Bukan saja
senjata itu lenyap berubah jadi cahaya kuning. Tapi cahaya kuning itu juga membuat tubuhnya
lenyap seolah terbungkus. Dua Perwira Tinggi Kerajaan untuk beberapa ketika jadi bingung.
Melihat hal ini, orang berpakaian bagus yang masih duduk di atas pelana kuda berteriak.

"Serang dengan jurus Barat Timur -Utara Selatan Membongkar Nyawa!"

Begitu mendengar teriakan, dua Perwira Tinggi yang mengeroyok si kakek pengemis sama-sama
keluarkan seruan keras. Lalu tubuh mereka seperti lenyap. Si kakek hanya melihat bayang-
bayang berputar cepat disusul dengan datangnya hantaman bertubi-tubi dari depan, belakang,
samping kiri dan samping kanan. Badai serangan itu mendera terus sampai tiga jurus dimuka.
Jurus berikutnya satu jotosan keras mendarat di dada kiri si kakek. Membuat orang tua ini
melintir. Sakit yang dideritanya bukan alang kepalang. Separuh tubuhnya sebelah atas laksana
hancur. Namun dia masih bisa mempertahankan peti kayu hitam di kepitan tangan kiri. Dalam
keadaan terpuntir seperti itu Perwira Tinggi yang ada di sebelah kiri sempat pula melancarkan
serangan yang menghantam perut Bayusongko, tepat di bagian mana sebelumnya kena disodok
tongkat destar Wayan Japa. Luka dalam yang masih terkuak membuat darah kembali
menyembur dari mulut si kakek.

"Kalau tidak segera kubunuh, aku bisa celaka!" Si kakek maklum keadaannya mulai gawat.
Didahului teriakan keras membahana Bayusongko melesat ke udara. Dua lawan cepat
mengikuti gerakannya. Namun inilah kesalahan besar yang harus dibayar mahal. Ketika dua
Perwira Tinggi terpancing ikut melesat ke udara, si kakek tidak sia-siakan peluang. Peti kayu
dipindah, dijepit di antara kedua paha. Lalu dua tangan diusapkan satu sama lain. Sepasang
clurit hantu serta merta berada dalam genggamannya.

"Clurit hantu! Awas!" Salah seorang Perwira Tinggi yang kebetulan melihat dua senjata aneh
yang ada di tangan lawan kiri kanan segera berteriak memberi ingat. Dia kini sudah bisa
menerka siapa adanya lawan tua muka celemongan itu. Namun teriak peringatan itu terlambat,
Clurit hantu pertama berkelebat. Menancap di pipi kiri Perwira Tinggi sahabatnya.

Dia sendiri masih bisa berusaha melancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Namun clurit hantu kedua tetap saja berhasil menembus. Padahal seandainya dua
buah batang kelapa dihantamkan dan ditangkis dengan pukulan tangan kosong itu niscaya dua
batang kelapa terpental hancur! Clurit hantu menancap tepat dipertengahan kening. Sepasang
mata Perwira Tinggi ini langsung terbeliak. Tubuh rubuh ke tanah, menindih sosok Perwira
Tinggi kawannya yang telah lebih dulu menemui ajal. Sekujur kulit tubuh mereka kelihatan
membiru.

Sesaat setelah kakek pengemis melemparkan dua clurit hantu yang membunuh dua orang
berpakaian Perwira Tingi Kerajaan, sosok orang berpakaian paling bagus di atas kuda mendadak
lenyap dalam satu gerakan luar biasa cepatnya. Kakek pengemis yang belum sempat
memperhatikan musuh terakhirnya itu tiba-tiba terpental laksana dihantam dahsyatnya angin
topan. Pahanya yang menjepit peti kayu hitam terkembang. Penunggang kuda ke enam telah
menghantam si kakek dengan satu tendangan luar biasa cepat dan keras. Sebelum kakek
pengemis terkapar di tanah, peti kayu yang melayang jatuh telah berpindah ke tangan orang
bercadar berpakaian bagus.

Bayusongko megap-megap sulit bernafas. Dia tak mampu menggerakkan tubuh. Hanya
sepasang matanya saja memandang penuh dendam dan kebencian ke arah orang bercadar
hitam yang kini menguasai peti kayu.

"Jurus tendangan Memendam Bumi Menjarah Nyawa…." Ucap kakek pengemis yang mengenali
jurus tendangan maut yang barusan dilancarkan musuh bercadar. Sudak sejak lama dia
mengetahui bahwa jurus Memendam Bumi Menjarah Nyawa itu adalah jurus ilmu silat yang
hanya dimiliki oleh sekelompok tokoh silat Kerajaan.

"Kalian memang orang-orang Kerajaan. Tapi mengapa berlaku pengecut! Beraninya main
keroyok! Kau akan menerima laknat benda yang ada dalam peti itu!"

Orang berpakaian bagus tertawa dibalik cadar.

"Kau minta mati! Apa salahnya kami memberikan?!" ucap orang ini.

Pengemis tua Bayusongko berusaha menyatukan dua tangan untuk diusapkan satu sama lain.
Ingin sekali dia menghajar manusia satu itu dengan clurit hantu. Namun nyawanya keburu
lepas. Setelah muntahkan darah segar kakek ini akhirnya tergeletak tak berkutik lagi.

Orang bercadar dan berpakaian bagus memandang berkeliling. Datang berenam kini hanya
tinggal dia sendirian. Dua Perwira Tinggi menemui ajal. Begitu juga dua pengawal. Pengawal ke
tiga, dalam keadaan buntung lengan kanan telah menghambur lari entah kemana sejak tadi-
tadi. Sambil menimang-nimang peti kayu dia melangkah ke arah kuda tunggangannya. "Aku
harus segera tinggalkan tempat ini. Agar sebelum fajar menyingsing sudah berada di Kotaraja."

Peti kayu di masukkan ke dalam kantong perbekalan yang digantung di leher kuda. Orang
bercadar ini baru saja mengangkat kaki untuk menjejak besi di sisi kiri kuda ketika tiba-tiba satu
suara suitan menggelegar dalam kegelapan.

Di lain saat kuda yang hendak dinaiki meringkik keras. Dua kaki depan diangkat ke atas lalu
binatang ini tergelimpang di tanah. Di mulutnya ludah putih membusah. Mata mendelik
pertanda nyawanya sudah lepas. Orang bercadar meneliti. Kuda tunggangannya menemui ajal
dengan sebuah anak panah hitam menancap tepat pada urat besar jalan darah di leher kanan,
tembus ke leher kiri!.

"Jahanam! Siapa yang punya perbuatan!" Rutuk orang bercadar. Dia mencium adanya kesulitan,
bahkan bahaya besar. Cepat dia membungkuk mengambil peti kayu di kantong perbekalan.
Namun belum sempat dia mengeluarkan peti itu tiba-tiba ada suara menegur.

"Pangeran Haryo, setelah mendapat rejeki besar tidak salah kalau kau buru-buru ingin kembali
ke Kotaraja. Tapi karena aku ada di sini, mengapa kita tidak berbagi sedekah?!"

Kejut orang berpakaian bagus bukan alang kepalang. Dia bagai mendengar suara setan.
Bagaimana dia tidak bisa mengetahui kalau di tempat itu ada orang lain? Kecuali orang yang
barusan menegur itu memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi hingga kehadirannya seperti
bertiupnya angin malam.

ORANG bercadar cepat berbalik memutar tubuh. Pandangannya langsung membentur sosok
seorang kakek berkepala gundul, duduk mencakung di tanah. Di paha kiri melintang sebuah
gendewa atau busur, di tangan kanan dia memegang sebilah anak panah berwarna hitam. Di
punggung ada satu kantong dipenuhi dua lusin anak panah berwarna hitam. Kakek berwajah
bulat ini tiada henti tersenyum seolah ada hal lucu yang menggembirakan hatinya. Pakaiannya
berupa sehelai jubah hijau panjang menjela tanah. Mata menatap tak berkedip ke arah lelaki
bercadar hitam dan sesekali melirik ke arah kantong perbekalan di leher kuda yang sudah jadi
bangkai.

Orang bercadar yang disapa dengan nama pangeran Haryo kalau tadi terkejut dengan teguran
serta kehadiran orang lain yang tidak terduga di tempat ini, kini malah tambah-tambah
kagetnya ketika melihat siapa yang duduk berjongkok delapan langkah di depan sana.

"Dia selalu muncul berdua bersama gendaknya. Sembunyi dimana perempuan mesum itu?"

Baru saja dia membatin, tiba-tiba dari samping kiri terdengar suara perempuan tertawa
cekikikan!

Lelaki bercadar hitam berpaling ke arah

datangnya suara tertawa. Orang yang barusan dipertanyakannya dalam hati ternyata terlihat
enak-enakan duduk di atas rumpunan semak belukar tanpa semak belukar itu merunduk meliuk
apalagi roboh.

Orang yang duduk di atas rumpunan semak belukar seperti si kakek kepalanya juga botak dan
sama mengenakan jubah hijau panjang. Di punggungnya ada sekantong anak panah berwarna
putih. Tangan kiri dimelintangkan di dada, memegang sebuah busur sementara tangan knnan
memutar-mutar sebuah anak panah berwarna putih. Seperti si kakek botak dia juga senyum-
senyum tiada henti. Kalau saja orang ini tidak mengenakan anting besar pada kedua telinganya,
sulit diduga mana yang perempuan dan mana yang lelaki diantara mereka berdua.

"Pangeran Haryo, kau mendadak jadi bisu atau tuli atau bagaimana? Mungkin terkejut karena
kehadiran kami yang tidak terduga di tempat ini? Atau karena sudah lama tidak berjumpa
membuat kau jadi pangling terhadap kami berdua."

Orang bercadar melengak. Lalu membentak.

"Monyet tua botak buruk rupa! Siapa bilang Pangeran Haryo!"

Si kakek senyum-senyum terus. "Kau boleh sembunyikan wajah. Tapi raut sosok tubuhmu,
pakaian dan blangkon yang kau kenakan. Lalu barusan suaramu, bukankah semua memberi
petunjuk bahwa kau adalah Pangeran Haryo dari Kotaraja! Aku mengenalmu bertahun-tahun.
Aku tidak akan bisa ditipu walau kau menutupi wajah dengan cadar hitam!"

"Setan alas! Kau dan gendakmu tidak disukai di Keraton. Itu sebabnya kau tersingkir sebagai
tokoh silat Istana! Di tempat inipun tidak ada yang suka padamu!"

"Ah, mulutmu usil amat." Jawab kakek botak sambil bolang balingkan panah hitam di tangan
kanan. "Lihat nenek cantik di atas semak sana? Dia kekasihku! Dia sangat menyukai diriku!
Jangan kau mengada-ada tidak ada orang yang menyukai diriku! Ha…ha…ha…ha!"

"Kau benar sekali kekasihku! Benar sekali!’ menyahuti nenek botak yang duduk enak-enakan di
atas semak belukar. "Aku menyukaimu. Dari dulu sampai sekarang. Sampai nanti!

Hik…hik…hik! Kau pandai bercinta denganku. Membuat aku selalu tergila-gila mabuk
kepayang!"

"Dasar perempuan lacur! Bicara kotor seenaknya saja!" rutuk orang bercadar.

"Nah-nah kau dengar sendiri!" kata kakek botak. "Sekarang kalau aku boleh bertanya apa ada
orang yang menyukai dirimu di tempat ini? Aku pasti tidak!"

"Aku juga tidak!" jawab si nenek di atas semak belukar lalu tertawa cekikikan.

"Tak ada manfaatnya bicara dengan orang-orang sinting sepertimu! Aku bukan Pangeran
Haryo! Dengar itu baik-baik!"

"Kalau begitu harap singkirkan cadar hitam penutup wajahmu!" tantang kakek botak pula.

"Orang sinting sepertimu mana layak memerintah diriku!"


"Amboi!" seru si nenek botak.

Orang bercadar mengambil peti hitam di dalam kantong perbekalan. Lalu dia melompat ke arah
kuda milik salah seorang perwira yang tewas. Kakek botak lirikkan mata ke arah nenek botak di
atas semak belukar. Perempuan tua ini senyumsenyum. Anak panah diselipkan di tali busur.
Lalu panah putih direntang. Semua itu dilakukan dalam gerakan sangat cepat. Anak panah putih
kemudian melesat membelah kegelapan udara malam. Lalu di depan sana kuda yang hendak
dipakai sebagai tunggangan meringkik keras. Huyung sesaat lalu roboh ke tanah. Sebuah anak
panah berwarna putih menancap di kening, tepat di antara dua mata terus menembus ke otak!

"Sepasang Setan Tersenyum!" orang bercadar membentak. "Apa mau kalian sebenarnya?

Kakek botak dan nenek botak saling pandang lalu sama-sama tertawa.

"Akhirnya kau sebut juga nama julukan kami! Pertanda kau tidak pernah lupa siapa kami berdua
Ha…ha…ha! Seperti kataku tadi aku ingin kita berbagi sedekah!"

"Berbagi sedekah? Sedekah apa?!" Bentak orang bercadar walau dalam hati dia sudah bisa
menduga kemana melencengnya tujuan ucapan kekek botak yang juga dikenal dengan julukan
Raja Setan Tersenyum sementara kekasihnya dikenal dongan panggilan Ratu Setan Tersenyum.

Dengan anak panah hitam di tangan kanan Raja Selan Tersenyum menunjuk ke arah peti yang
dipegang orang bercadar hitam di tangan kiri. "Kami ingin kau membagi peti itu."

"Maksudmu?" tukas orang bercadar.

"Kau boleh ambil petinya. Isi serahkan pada kami berdua!"

Habis berkata begitu si kakek botak tertawa gelak-gelak. Si nenek tertawa cekikikan.

"Enak saja mulutmu bicara!" hardik orang bercadar. "Tiga puluh enam rembulan aku menunggu
kesempatan, mencari benda di dalam peti ini. Korbankan tenaga, uang, waktu bahkan darah
dan nyawa orang-orangku! Sesudah dapat alangkah enaknya kau meminta! Persetan dengan
kalian!"

Orang bercadar langsung melompat ke atas kuda perwira kedua. Namun belum sempat
menggebrak binatang itu lari, sebuah panah hitam melesat dalam kegelapan malam dan
menancap tepat di kaki kiri depan kuda. Binatang ini tersungkur lalu menghambur lari.
Meninggalkan orang bercadar jatuh tergelimpang di tanah!

Raja dan Ratu Setan Tersenyum tertawa gelakgelak.


"Kuda mana lagi yang akan kau pilih untuk kabur?" bertanya si nenek. Lalu dia membuat
gerakan cepat tiga kali berturut-turut. Tiga ekor kuda yang ada di tempat itu langsung meringkik
roboh.

"Ha…ha…ha!" tawa kakek botak. "Kekasihku membuat kau tidak punya seekor kudapun lagi
untuk dipakai kabur!" "Jahanam keparat!" rutuk orang bercadar. Dia cepat berdiri. Si nenek
membuka mulut. "Pangeran Haryo…" Nenek setan! Aku bukan Pangeran Haryo! Apn kau tuli?!"
"Terserah siapa kau adanya." Sahut Ratu Betan Tersenyum. "Aku hanya ingin membantu agar
kau bisa pulang ke Kotaraja tidak kurang suatu apa. Dengar, jika kau serahkan peti itu pada
kekasihku,

segala dosamu di masa lalu tidak akan kami ungkit-ungkit!"

"Keparat rendah! Apa dosaku terhadap kalian!" hardik orang bercadar.

Kakek nenek botak saling melirik lalu tertawa gelak-gelak. Lalu si kakek berkata. "Sudah lama
kau diketahui sebagai pangeran temahak, rakus dan pandai memfitnah orang-orang yang tidak
Behaluan denganmu. Ketika kau dan koncokoncomu menyusun rencana untuk menggulingkan
tahta Sri Baginda dan kami menolak ikut, kau dan teman-teman menjatuhkan fitnah bahwa
kami berdualah yang jadi dedengkot biang kejahatan Itu. Kami berdua siap digantung. Untung
masih ada teman-teman yang menolong hingga bisa kabur selamatkan diri…"

"Kalian mengakui kalau kalian berdua sebenarnya adalah manusia-manusia buronan! Kalian
berdua harus ditangkap! Menyerahlah!"

"Hik…hiik…hik!" Si nenek tertawa cekikikan. "Kami dalang kesini bukan bicara soal tangkap
menangkap. Tapi minta agar kau menyerahkan bulat-bulat peti itu kepada kami! Mengerti?
Dengar? Atau kupingmu torek?!"

‘Tidak ada jalan lain. Pemberontak-pemberontak busuk macam kalian berdua memang harus
disingkirkan!"

Habis berkata begitu orang bercadar lemparkan peti kayu ke atas pohon di dekatnya. Peti
melesat di udara dan jatuh tepat dilekuk cabang pohon besar. Maksudnya berbuat begitu
adalah agar dia lebih leluasa menghadapi dua lawan berat si nenek dan kakek kepala botak.
Namun dia tidak sadar kalau di tempat itu telah muncul orang lain. Hanya sesaat setelah peti
bertengger di cabang pohon tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari tempat gelap.
Berkelebat ke arah peti di atas pohon.

"Jahanam! Ada pengacau baru!" Maki orang bercadar. Dia segera hendak lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga sakti ke arah orang yang bermaksud mengambil
peti" itu namun tiba-tiba dari jurusan lain berkiblat tiga cahaya terang.

"Wuss!"
Orang berpakaian putih yang tengah melesat untuk mengambil peti kayu di cabang pohon
menjerit keras. Tubuhnya berubah menjadi kobaran api. Ketika tubuh itu tercampak jatuh ke
tanah keadaannya mengerikan sekali. Sekujur badan mulai dari kepala sampai kaki hanya
tinggal tulang-belulang gosong menghitam! Tak mungkin untuk mengenali siapa adanya
manusia malang satu ini!

SEWAKTU orang tinggi besar yang mendekam di balik semak belukar pertama kali sampai di
tempat itu sebenarnya sudah ada orang lain berpakaian serba putih sembunyi di satu tempat.
Orang ini rupanya datang untuk tujuan yang sama yaitu mendapatkan peti kayu hitam. Melihat
kenyataan bahwa orang bercadar mungkin benar Pangeran Haryo adanya, orang yang
mendekam di balik semak-semak tidak mau bertindak gegabah. Nama Pangeran Haryo cukup
dikenal di kalangan Keraton di Kotaraja. Seorang lelaki berusia setengah abad memiliki ilmu silat
dan kesaktian tinggi. Selain itu di tempat tersebut dia Juga melihat Sepasang Setan Tersenyum
yang merupakan tokoh-tokoh silat yang tak bisa dipandang enteng. Mereka memang sangat
cekatan dalam memainkan panah. Tapi panah dan busur itu juga bisa berubah menjadi pedang,
golok, pentungan atau tombak.

Begitu orang bercadar hitam lemparkan peti kayu ke cabang pohon dan siap menghadapi
Sepasang Setan Tersenyum, orang berpakaian putih melihat kesempatan baik. Secepat kilat dia
melesat ke cabang pohon. Namun sebelum berhasil menyentuh peti kayu hitam tiba-tiba or ang
tinggi besar yang mendekam di belakang semak belukar hantamkan tangan kanannya. Sinar
terang berkiblat. Tak ampun lagi orang berpakaian serba putih menemui ajal dengan tubuh
terbakar gosong.

***

ORANG yang diduga sebagai Pangeran Haryo sesaat terdiam. Matanya cepat mengawasi
keadaan. Kalau ada orang lain yang barusan membunuh orang berpakaian serba putih itu,
apakah orang ini bertindak sebagai teman atau bagaimana. Dia melirik ke atas cabang pohon.
Peti kayu hitam masih ada di situ. Dia perhatikan Sepasang Setan Tersenyum. Dia tahu kakek
nenek ini tidak bermaksud untuk segera mengambil peti karena terlalu besar bahayanya. Untuk
sementara peti kayu aman di atas cabang pohon.

Orang bercadar hitam manfaatkan situasi yang mencekam. Dia menyeringai, menatap ke arah
Sepasang Setan Tersenyum.

"Kalian saksikan sendiri! Siapa saja yang inginkan peti kayu hitam itu, pasti akan tewas di tangan
anak buahku!"

Ratu Setan Tersenyum hampir termakan ucapan orang. Tapi si kakek kekasihnya cepat
mendekati dan berisik.
"Dia mau menipu kita. Yang membunuh orang berpakaian serba putih tadi bukan anak buah
atau temannya. Dengar…aku akan melompat mengambil peti di atas pohon…"

"Kau gila!" sahut Ratu Setan Tersenyum.

"Selagi kau melayang ke atas dirimu tidak terlindung. Nasibmu bisa sama dengan bangkai
gosong itu!"

"Kekasihku," ujar Raja Setan. "Percuma kau ada di sini kalau tidak bisa membantu. Dengar,
waktu aku melesat ke udara berondong dengan panah orang yang mendekam di balik semak
belukar. Aku akan menghujani Pangeran Haryo dengan panah. Aku tidak akan mempergunakan
gendewa. Tapi lebih dulu akan pergunakan Asap Setan untuk mengecoh Pangeran itu."

"Terserah jika itu maumu."

"Kau siap Ratuku?"

"Tentu saja!" jawab Ratu Setan Tersenyum. Lalu tangan kanannya berkelebat ke punggung
mengambil setengah lusin anak panah sekaligus. Cepat sekali dia merentang gendewa dan
menghantam orang yang bersembunyi dibalik semak belukar dengan enam anak panah, lalu
menyusul enam anak panah lagi. Orang di balik semak belukar memaki habis-habisan namun
dengan gerakan cepat luar biasa dia mampu lolos dari serangan dua belas anak panah.

Begitu kekasihnya mulai menghujani orang yang sembunyi dibalik semak-semak dengan
serangan panah, dari dalam kantong jubah Raja Setan Tersenyum keluarkan sebuah benda
bulat berwarna hijau. Ketika dilempar ke udara benda bulat itu meletus pecah dan
menghamburkan asap tebal berwarna hijau, menutupi seantero tempat terutama sekitar
pohon besar dimana beradanya, peti kayu hitam.

Dalam pandangan mata yang terhalang orang bercadar hitam hantamkan tangan kiri ke udara
untuk menangkis serangan anak panah.

Sementara tangan kanan mengeluarkan sehelai tambang hitam yang ujungnya ada besi berkait.
Peti kayu hitam serta merta terikat oleh tambang yang ada pengaitnya itu. Sekali tarik, sambil
melayang ke jurusan yang tidak terduga, lelaki bercadar berhasil mendapatkan peti kayu. Lalu
dia meniup ke depan. Asap hijau secara aneh membuntal lebih lebar, menutupi pandangan
mata lebih luas. Raja Setan Tersenyum terkurung oleh asap buatannya sendiri. Bersamaan
dengan meniup orang bercadar jatuhkan diri lalu gelindingkan diri di tanah, ke balik deretan
semak belukar gelap.

"Kurang ajar! Bangsat itu menipu kita!" teriak Ratu Setan Tersenyum yang terbungkus dalam
kepekatan asap hijau. Justru inilah kesalahan besar yang harus dibayar mahal. Dari suara
ucapannya orang tinggi besar yang mendekam
dalam gelap segera mengetahui dimana beradanya si nenek. Sekali tangannya menghantam,
satu gelombang angin laksana sebuah batu raksasa menderu. Ratu Setan Tersenyum sempat
mendengar deru dahsyat tapi tidak bisa

selamatkan diri. Di dalam buntalan asap terdengar jeritnya setinggi langit. Tubuhnya terpental,
jatuh di atas pasir pantai dalam keadaan hancur memar mulai dari kepala sampai ke kaki.

Raja Setan Tersenyum berteriak keras. Dia sambitkan delapan anak panah ke arah orang
bercadar hitam. Tapi orang ini telah lebih dulu Jatuhkan diri ke tanah.

"Ratu! Kekasihku!" teriak Raja Setan Tersenyum kalang kabut. Seperti gila dia menghantam kian
kemari. Dua pohon besar tumbang dihantam gendewa. Tiga semak belukar lebat berserabutan
ke udara. Dia baru berhenti ketika ingat akan sosok kekasihnya si nenek botak menggeletak di
tanah.

"Hancur…" ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar dada membara. "Pangeran
Haryo tidak punya ilmu pukulan yang bisa membunuh seperti ini. Jahanam mana yang punya
pekerjaan?" Raja Setan Tersenyum pandangi monyet kekasihnya dengan mata melotot. Lalu
seperti orang kemasukan setan, kepalanya dibentur-benturkan ke tanah.

"Kekasihku….kekasihku…" kata si kakek berulang kali sambil memeluk tubuh hancur Ratu Setan
Tersenyum. Tiba-tiba dia angkat kepala. Tampangnya angker luar biasa seperti setan
sungguhan.

"Pangeran keparat! Kau mau kabur kemana!" teriak Raja Setan Tersenyum. Lalu secepat kilat
kakek botak ini berkelebat ke jurusan dimana tadi dia sempat melihat bayangan orang bercadar
melesat kabur.

ORANG bercadar hitam memang memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Namun dalam ilmu lari
kemampuannya masih satu tingkat dibawah orang yang mengejar yaitu kakek botak berjuluk
Raja Setan Tersenyum. Saat demi saat jarak mereka semakin terpaut dekat. Sementara itu Raja
Setan Tersenyum yang melakukan pengejaran mendadak dibayangi rasa was-was karena
menyadari kalau di sebelah belakang ada orang lain menguntit mengejarnya.

"Jahanam! Dia pasti pembunuh orang berpakaian putih. Pasti dia juga yang membunuh
kekasihku!"

Raja Setan Tersenyum kertakkan rahang. Di depan sana sosok lelaki bercadar tiba-tiba lenyap.
Kakek botak hentikan lari. Mata mengawasi ke arah kegelapan di sebelah depan. Pada saat
itulah dari balik sebatang pohon besar sekonyongkonyong menderu selarik angin luar biasa
dingin memancarkan sinar biru. Raja Setan Tersenyum cepat melompat ke kiri selamatkan diri.
Walau tidak sempat dihantam serangan namun dia merasakan sekujur tubuh seperti beku.
Cepat dia kerahkan hawa sakti ke pembuluh darah.

"Pukulan Kutub Es!" SI kakek kenali pukulan Itu. "Hanya beberapa orang saja yang memiliki Ilmu
kesaktian itu! Satu diantaranya Pangeran Haryo! Tidak salah lagi, bangsat itu memang Pangeran
Haryo adanya!"

Begitu Raja Setan Tersenyum berhasil memusnahkan hawa dingin yang membuat tubuhnya
kaku, kakek ini kembali melakukan pengejaran. Di depan sana orang bercadar merutuk habis-
habisan karena tidak mampu loloskan diri. Saat demi saat jarak keduanya semakin dekat. Di
satu tempat sambil terus memburu, Raja Setan Tersenyum mulai lemparkan panah hitam,
membuat orang bercadar jadi tak karuan larinya karena berulang kali harus melompat kian
kemari selamatkan diri dari hantaman panah yang datang dari belakang. Sesekali orang
bercadar pukulkan tangan kanan ke belakang. Beberapa anak panah yang dilemparkan Raja
Setan Tersenyum mencelat mental dan hancur. Beberapa lainnya malah terpental berbalik
menyerang si kakek, membuat orang tua ini ganti kalang kabut selamatkan diri.

"Manusia-manusia tolol! Aku bosan mengikuti permainan kalian!"

Mendadak ada suara orang berteriak di belakang sana. Belum lenyap gema teriakan itu
menyusul berkiblatnya cahaya terang. Raja Setan Tersenyum menoleh lalu berseru keras. Dia
kenali cahaya itu. Secepat kilat si kakek jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Tubuhnya
laksana terpanggang ketika cahaya terang menggebu melewati punggung. Lalu dia mendengar
suara jeritan di depan sana.

Sosok orang bercadar kelihatan mencelat ke udara. Sisi kanan tubuhnya dikobari api. Raja Setan
Tersenyum berusaha bangkit untuk melihat lebih jelas apa yang telah terjadi. Namun tubuhnya
jatuh terbanting menelungkup di tanah ketika satu kaki dengan kekuatan puluhan kati
menindih punggungnya.

Raja Setan Tersenyum hantamkan gendewa di tangan kiri untuk memukul orang yang
menginjaknya.

"Kraaakkk!"

Gendewa patah dua, terlepas mental dari tangan si kakek. Si kakek sendiri mengeluh kesakitan
karena tangan kirinya serasa tanggal.

"Raja Setan, cukup sampai disini kau ikut bermain. Benda sakti mandraguna yang kau kejarkejar
itu tidak berjodoh dengan dirimu!"

Orang yang menginjak punggung si kakek keluarkan ucapan.

"Jahanam! Kau pasti orang yang membunuh kekasihku! Siapa kau!"


Kaki yang menginjak bergerak. Dengan kaki yang sama tubuh Raja Setan Tersenyum dibalikkan
hingga tertelentang. Kini ganti bagian dada yang dipijak.

Orang tinggi besar yang menginjak dada Raja Setan menyeringai.

"Apakah kau mengenali diriku?"

Sepasang mata Raja Setan Tersenyum mendelik. Bukan saja untuk melihat lekat-lekat wajah
orang yang menginjaknya tapi juga karena kesakitan akibat injakan. Si kakek melihat satu wajah
buruk.

"Kau…." Raja Setan Tersenyum tidak dapat memastikan apakah dia mengenali orang itu. Namun
rasa-rasanya memang dia pernah melihat wajah itu. Tapi sekarang mengapa berubah bentuk
begini rupa?

"Kau tidak mengenali diriku?" si tinggi besar menyeringai.

"Setan keparat! Aku tidak perduli siapa kau adanya! Yang jelas kau adalah pembunuh
kekasihku! Kau harus mampus di tanganku!" Bentak si kakek lalu dua panah hitam yang ada di
tangan kanannya dilemparkan ke arah si tinggi besar. Hanya dengan menggerakkan tangan kiri
sedikit, si tinggi besar berhasil memukul mental dua anak panah.

"Kakek botak, seharusnya aku juga sudah membunuhmu saat ini. Namun mengingat kau banyak
berlaku baik di masa kanak-kanakku, aku mengampuni selembar nyawamu. Cukup adil bukan?"

"Apa katamu…?" Dua mata Raja Setan Tersenyum tambah membeliak. Otaknya bekerja koras
mengingat-ingat. Matanya menatap tajam ke wajah orang tinggi besar. "Kalau…kalau begitu
kau adalah putera….Kau adalah…."

Belum sempat menyebut nama satu totokan mendarat di leher si kakek. Saat itu juga sekujur
tubuhnya menjadi kaku. tak bisa bergerak tak mampu bersuara.

***

SOSOK tua kurus kering itu terbaring hampir sama rata dengan balai-balai kayu. Mata terpejam,
tak ada gerakan pada perut ataupun dada seolah keadaannya sudah tidak bernafas lagi. Di
dalam kamar yang diterangi lampu templok, seorang anak lelaki seusia dua belas tahun duduk
di samping tempat tidur. Anak ini duduk dengan menahan kantuk yang amat sangat. Sesekali
bila kepalanya terdohok kemuka, cepat-cepat dia mengusap muka, menarik nafas panjang dan
duduk diam pandangi sosok kakeknya yang terbaring sakit di atas balai-balai kayu. Namun
segera saja kepalanya kembali tertunduk diserang kantuk.

"Jantra cucuku….’
Anak lelaki yang duduk di samping tempat tidur angkat kepala, buka mata. Serasa tidak percaya
dia mendengar orang tua itu bicara memanggil namanya.

"Kek…."

‘Kau tidak tidur?"

"Belum Kek. Saya menjaga Kakek."

"Tidurlah. Sudah larut malam. Mungkin menjelang pagi. Nanti kau sakit….

"Saya belum mengantuk Kek,” jawab si anak,

"Kakek mau minum?" Lalu anak ini ambil kendi tanah berisi air putih sejuk di kaki tempat tidur.
Sedikit demi sedikit air putih itu dituangkannya di atas bibir si kakek. Dia baru berhenti ketika
orang tua itu tersedak dan batukbatuk. "Kek, besok pagi saya akan ke hutan mencari daun obat.
Kalau minum obat Kakek pasti cepat sembuh…"

‘Kau cucu baik. Sekarang turuti kataku. Tidurlah…"

"Baik Kek," si bocah akhirnya mengalah. Dia mengambil sehelai tikar yang tergulung di sudut
pondok kajang itu. Baru setengah tikar sempat digelar di lantai tanah, tiba-tiba braaakk!

Pintu pondok jebol. Jantra menjerit kaget. Si kakek di atas balai-balai buka sepasang mata.
Seorang yang mukanya ditutupi kain hitam terkapar di lantai pondok. Tubuh sebelah kanan
hancur hangus mengerikan. Di tangan kiri dia mengepit sebuah peti kayu berwarna hitam.

Mengira yang muncul adalah setan atau hantu, mungkin juga orang jahat Jantra ketakutan
setengah mati. Dia sampai melompat naik ke atas balai-balai.

"Bocah, jangan takut," orang bercadar berkata. Nafasnya megap-megap. Aku Pangeran Haryo
dari Kotaraja. Aku butuh pertolonganmu. Ambil peti ini. Tinggalkan pondok. Lari sejauh bisa kau
lakukan. Sembunyikan peti di satu tempat. Jangan kembali ke pondok. Tunggu sampai dua hari.
Kalau keadaan sudah aman pergi ke Kotaraja. Temui seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton.
Serahkan peti ini padanya."

Si bocah hanya melongo lalu geleng-gelengkan kepala berulang kali.

"Ambil cepat! Pergilah. Hidupku tak lama lagi." Kakek di atas balai-balai angkat kepalanya
sedikit, menatap pada orang bercadar lalu berkata. "Cucuku, jika memang Pangeran Haryo dari
Kotaraja yang minta tolong lekas lakukan apa yang dikatakannya."

"Tapi Kek…"
"Bocah, lekas! Kita tak punya waktu banyak! Sebentar lagi akan ada orang jahat datang ke sini
untuk merampas peti itu! Ayo ambil cepat!"

Jantra memandang pada kakeknya. Orang tua ini gerakkan kepala sedikit lalu berkata. "Ambil
peti itu. Pergilah…"

"Tapi kau sakit Kek, aku harus menjagamu…"

"Aku akan segera sembuh."

Meski agak ragu Jantra akhirnya, mengambil peti lalu melompat ke pintu.

"Jangan lewat situ!" orang bercadar memberitahu. Dengan tangan kiri dijebolnya dinding
pondok sebelah belakang. "Lewat sini!" Jantra loloskan diri lewat lobang di dinding. Di luar
pondok bocah ini lari tanpa arah, sekencang yang bisa dilakukannya. Sesekali dia berhenti dan
berpaling ke belakang, ke arah pondok.

Begitu Jantra keluar dari dalam pondok, orang bercadar mendekati si kakek yang terbaring di
atas balai-balai.

"Orang tua, aku terpaksa melakukan ini! Satusatunya jalan untuk menjaga kerahasiaan benda
mustika itu."

Si kakek melihat orang ulurkan tangan kiri. Matanya mendelik.

"A…aku dan cucuku telah menolongmu. Mengapa

kau masih berhati jahat mau membunuhku…?"

"Kreeek!"

Ucapan si kakek terputus. Tulang leher remuk. Nyawanya lepas saat itu juga. Sehabis
membunuh si kakek, orang bercadar kepalkan tinju kiri lalu hantam kepalanya sendiri.

"Praaaak!"

ORANG bertubuh tinggi besar sesaat tegak tak bergerak di depan pintu pondok. Rahangnya
menggembung. Pelipis bergerak-gerak. Mata memandang dingin pada mayat kakek dan orang
bercadar. Kemudian dia memperhatikan berkeliling.

Mencari-cari. Kurang puas dia menggeledah mengobrak-abrik isi pondok. Benda yang dicari
tidak ditemukan. Lalu dia perhatikan dinding pondok yang jebol.
"Kurang ajar! Pasti ada orang ke tiga sebelumnya di tempat ini!" Orang ini menggeram. Otaknya
bekerja. "Kakek ini pasti dihabisi bangsat bercadar. Lalu dia bunuh diri. Lalu orang ke tiga yang
sangat pasti melarikan peti, siapa dia…?"

Sambil kembali meneliti seisi pondok karena masih berharap peti kayu hitam ada di tempat itu,
si tinggi besar melangkah mendekati sosok orang bercadar yang tergelimpang di lantai. Dengan
tangan kirinya dia tarik cadar hitam yang menutupi wajah orang.

Hemmm….Pangeran Haryo. Jadi memang kau rupanya." Orang tinggi besar merenung sesaat.
"Mungkin pondok ini merupakan tempat pertemuan rahasia antara Pangeran Haryo dengan
orang ke tiga. Untuk mengetahui siapa adanya orang ke tiga, aku harus mencari tahu dulu siapa
adanya kakek yang mati dicekik ini."

Orang tinggi besar tinggalkan pondok. Malam itu juga dia berusaha mencari keterangan dari
penduduk sekitar situ. Tidak mudah untuk mendapatkan keterangan. Selain rumah penduduk
berada jauh, juga tak ada orang yang mau membuka pintu di malam buta untuk tamu yang
tidak dikenal. Tidak putus asa, menjelang fajar akhirnya orang itu berhasil mendapat
keterangan dari penduduk yang tinggal di kaki bukit. Kakek yang tewas dibunuh diketahui
bernama Mangunsuarso. Dia tinggal di pondok hanya berdua dengan cucunya, seorang anak
lelaki berusia dua belas tahun bernama Jantra. Si tinggi besar tidak pernah menduga kalau
orang ketiga yang tengah dilacaknya adalah seorang bocah.

"Kalau anak-anak, pasti dia belum lari terlalu jauh. Aku pasti menemukannya." Kata si tinggi
besar dalam hati.

KELETIHAN karena berlari hampir sepertiga malam membuat Jantra tidur cukup nyenyak walau
beratap langit, berkasur tanah dan berselimut embun. Ketika sapuan mentari pagi
membangunkannya, yang pertama sekali dilihatnya adalah langit luas kebiruan. Lalu dia ingat
kakeknya. Anak ini bangkit dari tidurnya, duduk, menggosok mata dan memandang berkeliling.
Dia menduga-duga kira-kira sejauh mana dia dari pondok saat itu. Kemudian pandangannya
ditujukan pada peti kayu yang terletak di tanah di ujung kakinya.

‘Orang bercadar mengaku Pangeran Haryo itu….’ Jantra ingat peristiwa malam tadi.

"Mengapa dia menyuruh aku melarikan peti sejauh mungkin. Menyembunyikan di satu tempat.
Harus menunggu sampai dua hari. Lalu pergi ke Kotaraja. Menyerahkan peti pada seorang
bernama Abdi Tunggul di Keraton. Apa yang ada dalam peti ini? Emas? Harta karun? Barang
pusaka? Kalau memang emas atau harta karun perlu apa aku susah-susah mengantar ke
Kotaraja. Ambil saja, serahkan pada kakek. Kami akan jadi kaya raya." Jantra permainkan peti
kayu dengan ujung kaki. Dia berada dalam kebimbangan. Melaksanakan pesan orang bercadar
atau mengikuti suara hatinya.
Jantra memandang berkeliling. Tak jauh dari tempatnya duduk ada satu lobang besar bekas
bongkaran akar pohon kelapa yang telah tumbang. Sesuai pesan Pangeran Haryo, peti itu bisa
dikubur disembunyikannya di lobang itu.

Namun suara hati dan rasa ingin tahu si bocah ternyata lebih keras. Jantra beringsut. Peti kayu
hitam diperhatikan dengan seksama. Penutup peti hanya dikunci dengan sebuah pasak kayu.
Berarti tidak susah membuka peti. Maka bocah itu ulurkan tangan menarik pasak. Ternyata
tidak semudah yang diduga Pasak itu sangat kuat. Jantra harus mengetuk bagian bawah pasak
dengan sebuah batu berulang kali, baru pasak bergerak ke atas. Sekali tarik pasak kayupun
akhirnya lepas.

"Kek, kita akan jadi orang kaya," kata bocah usia dua belas tahun itu karena yakin peti kayu
berisi emas atau barang berharga. Penutup peti diangkat. Begitu penutup peti terbuka bau
busuk membersit keluar. Jantra seperti mau muntah. Walau tak tahan oleh bau busuk itu,
Jantra masih berusaha memperhatikan, memandang ke dalam peti. Saat itu juga si bocah
keluarkan jeritan keras. Muka pucat ketakutan. Seperti disengat kalajengking anak ini
melompat lalu lari tunggang langgang tinggalkan tempat itu sambil terus menjerit.

Di dalam peti yang diharapkan berisi emas atau harta karun itu ternyata ada satu kutungan
kepala manusia. Kutungan kepala ini memiliki rambut putih yang berubah kaku merah oleh
darah yang telah mengering. Dua mata mencelet menggidikkan. Darah kering menutupi hampir
keseluruhan wajah. Pada pertengahan kening yang terbelah, menancap satu benda hitam.
Benda ini adalah sebuah batu tipis berukuran satu jengkal persegi.

Jantra tidak perduli kemana arah larinya. Yang penting menjauhkan diri dari peti mengerikan
itu. Selagi dia lari sambil menjerit begitu rupa tibatiba satu tangan kukuh memagut pinggang si
bocah.

"Tidak! Jangan! Lepaskan!" teriak Jantra sambil memukuli dada orang yang memegangnya.

"Bocah, tak usah takut! Aku akan melindungimu. Apapun bahaya yang mengancam." Jantra
mendengar suara, merasakan punggungnya dielus-elus. Jantra menarik nafas panjang lalu
menangis. Orang tinggi besar usap-usap kepala Jantra, menunggu sampai anak itu tenang dan
berhenti menangis.

"Sahabatku kecil, aku tahu namamu Jantra. Benar?"

Anak ini anggukkan kepala walau merasa heran bagaimana orang tahu namanya. Untuk
pertama kali dia angkat kepala guna melihat wajah orang. Si bocah langsung mengkeret
ketakutan. Dia melihat satu wajah dengan beberapa cacat menyeramkan! Cepat-cepat Jantra
tundukkan kepala.

"Tampangku memang angker. Tapi terhadapmu hatiku baik." Berkata orang tinggi besar.
"Sekarang katakan. Apa yang terjadi. Apa yang membuatmu lari dan menjerit."
Jantra tak bisa segera menjawab.

Sesenggukan masih memenuhi mulut dan tenggorokannya. Selain itu rasa takut terhadap orang
tak dikenalnya ini masih belum lenyap. Orang tinggi besar kembali mengusap kepala anak itu.
Berucap dengan suara lembut membujuk.

"Ceritakan apa yang terjadi. Apa yang membuatmu ketakutan…"

"Di… didalam peti…" Jantra coba menerangkan. Tapi masih tersendat.

"Di dalam peti. Peti apa? Dimana?"

"Ada…ada potongan kepala manusia di dalam peti. Kening terbelah. Ditancapi batu…."

Wajah si tinggi besar berubah. Rahang mengembung, sepasang alis berjingkrak. "Peti itu,
dimana?" Tunjukkan padaku."

Jantra menunjuk ke arah kejauhan. Lalu berkata. "Aku tidak mau kesana. Aku takut…"

"Kita sama-sama kesana. Biar kudukung agar cepat."

Jantra didudukkan di bahu kiri lalu orang tinggi besar membawa anak ini lari ke arah dari mana
tadi Jantra datang.

"Disana, dekat lobang besar. Itu petinya…" ucap Jantra sambil menunjuk.

Si tinggi besar telah melihat peti kayu hitam itu. Tergeletak di tanah dalam keadaan terbuka.
Jantra cepat diturunkan ke tanah. Anak ini tak berani memandang ke arah peti. Si tinggi besar
membungkuk, memperhatikan isi peti. Mula-mula kening mengerenyit, lalu mata terbelalak.
Dada berdebar panas.

"Bocah! Kau bilang ada batu menancap di kening orang. Mana?!" Si tinggi besar tarik tubuh
Jantra lalu diputar ke arah peti. Jantra yang ketakutan, pejamkan mata tak berani melihat.

"Bocah setan! Kau menipuku!" Si tinggi besar jambak rambut Jantra.

"Di kening itu. Ada batu….Hitam…"

"Buka matamu! Libat sendiri!" bentak si tinggi besar.

Jantra menggeleng. Tak berani buka mata.

"Kalau kau tidak mau buka mata, biar kukorek!"


Ketakutan setengah mati matanya mau dikorek, Jantra akhirnya buka kedua mata. Di kening
kutungan kepala di daiam peti ternyata memang tidak ada lagi batu hitam itu.

"Tadi batu itu ada di situ. Menancap di kening." Ucap Jantra.

"Kau yakin?"

Jantra mengangguk.

"Kau tidak mendustai diriku atau salah lihat?"

Si bocah menggeleng.

Si tinggi besar seperti kehilangan tenaga. Dia dudukkan diri menjelepok di tanah. Dalam hati
mengeluh geram. "Puluhan minggu bekerja keras. Peti kayu berhasil ditemukan. Tapi Batu
Bernyawa yang ada di dalamnya lenyap dijarah orang! Kurang ajar!" Saking geramnya si tinggi
besar tendang peti kayu hitam hingga peti dan isinya mencelat mental ke udara sampai setinggi
lima tombak.

Setelah amarahnya agak mengendur si tinggi besar menatap Jantra dan berkata dalam hati.

"Anak ini memang tidak berdusta. Tapi bagaimana batu bisa lenyap dalam waktu begitu
singkat? Ada seseorang muncul di tempat ini? Siapa? Orang yang tidak tahu menahu perihal
batu mustika itu pasti akan pergi begitu saja. Atau mungkin salah seorang kepercayaan
penguasa pantai selatan muncul menyelamatkan batu mustika itu setelah kena dirampas dari
tangan nenek ular?"

"Jantra," kata si tinggi besar. "Kau menemukan peti di tempat ini. Bagaimana ceritanya?"

"Bukan, bukan menemukan. Aku yang membawa peti itu kesini…" menjelaskan si bocah.

"Hemmm….Ka!au begitu bagaimana kejadiannya? Sehabis kau menjelaskan, aku akan beri
hadiah dan antar kau ke pondok kakekmu."

Jantra lalu menuturkan apayang terjadi malam tadi sampai saat dia lari melalui dinding kajang
yang dijebol, anak ini tidak tahu peristiwa selanjutnya yaitu kematian kakeknya serta bunuh
dirinya orang bercadar. Setelah mendengar cerita si bocah orang tinggi besar memutar otak,
berpikir-pikir.

"Jantra, kau tunggu di sini. Kalau aku tidak menemuimu sampai tengah hari, tinggalkan tempat
ini. Jangan kembali ke pondok." Dari dalam saku pakaiannya orang tinggi besar keluarkan
kepingan emas. Logam sangat berharga ini digenggamkannya ke tangan kanan si bocah seraya
berkata. "Ingat, kau tak usah kembali ke rumah kakekmu. Kalau kakekmu punya saudara temui
dia. Tinggal bersamanya. Emas itu cukup untuk bekal masa depanmu."

Habis berkata begitu orang tinggi besar usap kepala si bocah lalu berkelebat pergi. Berada
sendirian Jantra merasa heran. Dia pandangi potongan emas di telapak tangan kanan.

"Mukanya seram. Anehnya hatinya baik. Aku diberi emas. Tapi tidak boleh kembali ke rumah.
Mungkin dia tidak tahu kalau kakekku sedang sakit."

Laksana kilat orang tinggi besar lari ke tempat dimana malam tadi dia meninggalkan Raja Setan
Tersenyum dalam keadaan tertotok. Ternyata kakek kepala botak itu tak ada lagi di situ.

"Secepat itukah dia mampu memusnahkan totokanku? Kurang ajar! Seharusnya kubunuh saja
dia malam tadi!" Si tinggi besar melangkah bulak balik dengan tangan terkepal.

"Jantra menyebut nama Abdi Tunggul. Aku pernah mendengar nama orang itu. Kalau tidak
salah dia adalah seorang Tumenggung. Kalau Pangeran Haryo menyuruh Jantra menyerahkan
Batu Bernyawa pada Abdi Tunggul, berarti Tumenggung itu tahu seluk beluk batu sakti. Berarti
Raja Setan Tersenyum akan menemuinya. Atau mungkin, jangan-jangan rahasia besar itu sudah
bocor? Apa yang harus aku lakukan? Mengejar Raja Setan Tersenyum? Dia pasti dalam
perjalanan ke Kotaraja. Atau aku harus mengamankan Dewa Sedih lebih dulu?" Cukup lama
orang ini berpikir. Akhirnya dia keluarkan secarik robekan kertas yang sudah sangat lusuh.
Disitu tertera tulisan yang tinggal samar-samar. Pada saat seseorang berhasil mengetahui
keberadaan Batu Bernyawa, sebelum batu sakti berubah menjadi Aksara Batu Bernyawa, orang
itu berpantang membunuh, satu nyawa sebelumnya dan satu nyawa sesudahnya.

"Walau dia telah melihat wajahku, berarti aku tidak boleh membunuh bocah itu. Juga tidak
boleh membunuh Abdi Tunggul atau Raja Setan Tersenyum. Lalu setelah dapatkan batu, aku
tidak boleh membunuh kakek berjuluk Dewa Sedih…" Setelah berpikir dan menimbang-
nimbang cukup lama orang tinggi besar itu akhirnya memutuskan untuk segera ke Kotaraja.
Sambil berlari dia mengusap muka berulang kali. Lalu dari balik pakaian dia keluarkan sebuah
topeng karet tipis dan segera dilekatkan ke wajahnya.

RAJA Setan Tersenyum menunggu cukup lama sebelum Tumenggung Abdi Tunggul datang
menemuinya di salah satu ruang sunyi di bagian belakang Keraton. Walau hatinya agak kesal
namun wajahnya tetap saja senyum-senyum. Tak lama kemudian tirai tebal tersibak. Seorang
kakek berambut, berjanggut dan berkumis putih keluar. Sesaat Raja Setan pandangi orang yang
tegak di depannya.

"Ada keanehan pada tua bangka satu ini. Usia lanjut tapi tubuh kekar tegap." kata raja Setan
dalam hati. Dia coba perhatikan tangan dan kaki orang. Namun tak berhasil karena orang itu
mengenakan jubah gombrong menutupi kedua tangan serta kaki. "Sudah tahunan aku tidak
datang ke sini, agaknya banyak tokoh baru yang aku tidak kenal. Terhadap yang satu ini aku
harus berlaku waspada." Setelah sunggingkan senyum, kakek kepala botak ini berkata.
"Sayang sahabat lama Keraton. Saya ingin menemui Tumenggung Abdi Tunggul…."

"Aha, siapa yang tidak kenal Raja Setan Tersenyum. Aku mewakili Tumenggung, memberi tahu
bahwa beliau masih tidur. Pagi ini Tumenggung agak kurang sehat….’

"Dia tahu siapa diriku. Aku tidak kenal dia. Semakin aneh!" Membatin Raja Setan.

"Saya sudah meminta seorang pengawal untuk memberi tahu."

"Pengawal sudah menjalankan tugas. Aku mewakili Tumenggung menerima kehadiranmu. Jika
ada urusan harap diberitahu padaku."

"Ada urusan penting. Sangat penting. Aku hanya akan bicara pada Tumenggung." Jawab Raja
Setan sambil tersenyum.

"Kalau begitu silakan menunggu. Tapi kurasa kau akan membuang wantu sia-sia. Kalau
Tumenggung bangun lalu menolak bertemu denganmu…"

"Jika beliau tahu siapa yang datang. Tumenggung tidak akan menolak." Jawab Raja Setan
Tersenyum.

Kakek rambut putih angguk-anggukkan kepala.

"Aku ada keperluan lain. Tak bisa menemanimu.

Pengawal nanti akan memberitahu kalau Tumenggung siap menemuimu."

"Kalau boleh bertanya, saya berhadapan dengan siapa?" tanya Raja Setan Tersenyum.

"Aku hanya tua renta pembantu Keraton. Namaku tak enak didengar. Lagi pula tak akan ada arti
apa-apa bagimu…"

Lalu kakek rambut putih itu acuh saja melangkah melewati kursi yang diduduki Raja Setan,
berjalan menuju pintu. Raja Setan memperhatikan. Ketika melangkah kaki orang itu tidak
mengeluarkan suara. Demikian juga ujung pakaian gombrong yang dikenakan, padahal jelas
pakaian itu menjela dan bergeser dengan lantai. Raja Setan semakin berlaku waspada.

Kecurigaannya ternyata betul.

Begitu satu langkah berada di belakang Raja Setan Tersenyum tiba-tiba kakek rambut putih
berbalik. Dua jari tangan kiri laksana kilat menusuk ke arah leher Raja Setan Tersenyum.
Raja Setan Tersenyum yang memang sudah curiga dan berjaga-jaga melompat dari kursi.
Tusukan yang berupa totokan dahsyat melesat mengenai sandaran kursi hingga sandaran kursi
itu hancur berantakan. Raja Setan membentak marah, cepat berbalik dan hantamkan satu
tendangan. Serangan kaki diikuti dengan lemparan sebatang panah hitam mengarah ke
tenggorokan. Dengan melompat ke belakang kakek rambut putih berhasil hindari tendangan
lawan. Sementara dengan mengibaskan tangan kirinya, anak panah yang menderu ke arah dada
dibuat terpental. Perkelahian hebat segera berlangsung. Tapi cuma tiga jurus. Yang dihadapi
Raja Setan Tersenyum bukan lawan sembarangan karena gerakan, daya hantam dan
kepandaian silatnya tinggi sekali. Selain itu Raja Setan mulai menyadari bahwa lawannya
sebenarnya bukanlah seorang kakek seusianya. Si rambut putih berpakaian gombrong itu
mungkin puluhan tahun jauh dibawah umurnya. Semua penampilannya jelas-jelas hanya
merupakan satu penyamaran!

Memasuki jurus keempat dengan mainkan jurus Tangan Setan Menyusup Langit Raja Setan
Tersenyum berhasil menggebuk dada lawan. Kakek rambut putih hanya bergoncang sedikit,
wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit. Padahal orang lain yang kena hantaman itu
paling tidak akan terpental dan cidera berat! Malah dalam jurus ke empat inilah Raja Setan
mengalami nasib sial. Selagi dia setengah bengong melihat pukulannya tidak menimbulkan
akibat apa-apa pada diri lawan tahu-tahu kakek rambut putih kirimkan satu jotosan yang
menjelang akan sampai ke sasaran berubah menjadi satu sodokan siku. Serangan ini mendarat
di pinggang Raja Setan, membuat si kakek melintir. Belum sempat mengimbangi diri, satu
totokan melanda pangkal lehernya.

"Jahanam! Siapa kau sebenarnya!" hardik Raja Setan.

Orang yang dihardik ambil sebuah patung kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas meja lalu
disumpalkan ke dalam mulut Raja Setan hingga kakek botak ini kini hanya bisa keluarkan suara
ha-ha-hu-hu.

Dengan cepat kakek rambut putih geledah pakaian Raja Setan. Benda yang dicarinya sebuah
batu hitam tipis empat persegi ditemukan di dalam sebuah kantong di balik jubah hijau Raja
Setan.

"Batu Bernyawa."

Suara kakek rambut putih bergetar ketika menyebut nama batu itu. Takut tertipu kakek rambut
putih teliti batu dengan seksama. Dadanya berdebar, sesaat nafasnya tertahan ketika melihat
bagaimana batu itu mengeluarkan gerakangerakan halus dan jari-jari tangannya merasakan ada
denyutan aneh seolah batu itu makhluk bernyawa, bukan benda mati. Batu dimasukkan ke balik
pakaian gombrong. Lalu sekali bergerak tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari
pemandangan.

Melihat gerak dan cara orang melenyapkan diri Raja Setan jadi terkesima. Dia melirik ke atas.
Astaga! Baru saat itu dia melihat Ternyata ada satu lobang besar di langit-langit ruangan. Raja
Setan kerahkan tenaga dalam lalu meniup keraskeras. Beberapa kali dicoba baru patung kayu
yang menyumpal mulutnya melesat mental.

"Jahanam!" Maki raja Setan. "Bangsat itu! Aku kini ingat. Aku rasa-rasa pernah mendengar
suaranya sebelumnya! Kurang ajar! Dia adalah orang yang menotokku malam tadi! Dia juga
yang telah membunuh kekasihku Ratu Setan!" Untuk beberapa lamanya sekujur tubuh Raja
Setan bergetar hebat dan keluarkan lelehan keringat. "Batu sakti itu. Tobat! Agaknya memang
bukan milikku! Bukan jodohku!" Raja Setan kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan totokan.
Tapi tak berhasil. Akhirnya dia berteriak memanggil pengawal.

Ketika pengawal datang disusul kemudian dengan kemunculan Tumenggung Abdi Tunggul,
kakek rambut putih berjubah gombrong telah melompat melewati tembok Keraton sebelah
timur. Dengan cepat dia melesat memasuki satu hutan kecil. Di dalam hutan dia tanggalkan
pakaian gombrangnya, copot rambut, kumis, dan janggut putih. Dugaan Raja Setan Tersenyum
tidak meleset. Orang ini ternyata telah melakukan penyamaran. Kini kelihatan wajahnya yang
asli serta sosoknya yang tinggi besar. Sambil tertawa gelak-gelak dia pegang Batu Bernyawa di
tangan kiri dan percepat larinya.

"Raja Setan. Kau boleh merasa sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi! Tapi kau tidak pernah
menyadari kau adalah tokoh silat paling tolol di dunia ini! Ha…ha…ha!"

Dua ratus tombak memasuki hutan kecil, orang itu membelok ke utara.

"Aku harus cepat. Sebelum mentari tenggelam sudah tiba di tempat perjanjian. Kalau kakek itu

nekad sampai bunuh diri, sia-sialah semua rencana."

DI SATU tikungan berbentuk hampir menyerupai tapal kuda, sungai berair bening itu bertemu
dengan aliran sungai lain yang bersumber dari sebuah gunung didaerah utara. Kawasan ini
penuh dengan batu-batu besar berbentuk aneh betebaran dimana-mana. Ada yang bulat besar
seperti bola raksasa. Ada tegak lurus menyerupai tiang setinggi dada manusia. Banyak pula
menyerupai bukit-bukit kecil. Lalu ada beberapa berbentuk rata seperti ranjang tidur atau meja
besar.

Sejak alam diciptakan, kawasan berhawa sejuk itu boleh dikatakan selalu diselimuti kesunyian
abadi. Bahkan kicau burung atau deru aliran suara air sungai tidak terdengar. Suara desau angin
tak pernah mampir ke telinga siapa saja yang berada di tempat itu. Tapi saat itu, entah sejak
kapan kejadiannya ada satu suara aneh. Suara aneh yang terdengar di tempat itu, tatkala sang
surya akan segera tenggelam beberapa saat lagi adalah suara isak tangis. Siapa pula makhluk
yang susahsusah datang ke tempat terpencil itu hanya untuk menangis? Benar manusiakah
atau hantu yang tersesat ketika gentayangan, tak mampu mencari jalan pulang sebelum malam
datang?
Di atas sebuah batu besar berbentuk panjang rata, menggeletak satu sosok tua renta berkulit
hitam berpakaian selempang kain putih. Rambut yang semula di gelung di atas kepala kini
menjulai lepas di atas batu. Kalau rambutnya putih hampir seperti kapas, sepasang alisnya
masih hitam, tebal menjulai. Orang tua ini terbujur diatas batu rata demikian rupa sementara
dua kaki terjulur kebawah, masuk kedalam air sungai sebatas betis. Dua kaki itu tak bisa diam.
Sebentar dikuakkan lebar-lebar hingga membersitkan deru angin luar biasa deras. Sesekali
ditendangkan ke udara hingga ranting-ranting dan daun pepohonan di sekitar tempat itu luruh
berguguran. Sering pula dua kaki itu yaitu ketika rasa sakit tidak tertahankan dihunjamkan ke
dalam air membuat air sungai muncrat setinggi beberapa tombak, jatuh ke bawah mengguyur
kuyup sosok si kakek. Kalau sudah begitu si kakek aneh semakin keras tangisnya, semakin
menyayat hati suara ratapannya.

Dalam keadaan terlentang dan menangis kakek berkulit hitam pergunakan tangan kiri untuk
mengangkat tinggi-tinggi bagian bawah kain putih sementara tangan kanan yang memegang
setangkai daun keladi hutan besar tiada hentinya mengipas-ngipas bagian bawah auratnya yang
tersingkap lebar.

"Wutt…wuuuuttt…wuutttt."

"Werrr…weerrr….weerrrrr."

"Kroooookkkk…kroooookkkk….kroookkkkk."

Sambil berkipas-kipas dari mulut si kakek tiada henti terdengar suara isak tangis sedih berhiba-
hiba disertai ratapan tidak berkeputusan. Suara tangisan itu ditimpai suara aneh "krockk…….
krooookkkk… krookkkk…" yang keluar dari balik kain putih yang tersingkap lebar. Seolah ada
seekor kodok besar mendekam di bawah perut si kakek dan keluarkan suara mengorek terus-
terusan. Kaiau saja ada orang lain di tempat itu dan berani mengintip bagian bawah kain putih
yang tersingkap lebar maka dia akan melengak besar. Takut, ngeri. Tidak percaya. Betapa tidak,
sepasang buah sakti si kakek yang wajarnya hanya sebesar biji salak kini kelihatan meng-
gembung raksasa .sebesar buah kelapa. Setiap saat seolah hidup, dua buah sakti itu
mengembung kembang kempis dan mengeluarkan suara seperti kodok mengorek.

Krokkkk:..krooook… krokkkkk!

"Kantong menyanku sialan. Hik…hik." Si kakek meratap. "Aku rela kalau kalian pecah saja! Biar
terbebas aku dari azab celaka ini. Hik…hik."

Suara tangis dan ratapan si kakek terhenti sebentar lalu bersambung kembali. "Hik…. enggg…
hik…hik. Oala, apa dosaku hingga ketiban malapetaka begini rupa. Hik…hik…hik. Diseduh air
cabe rasanya mungkin tidak sepanas ini! Ditemploki bara menyalapun mungkin tidak sesakit ini!
Hik…hik…hik. Enggg…enggg… Direndam dalam air sungai, ademnya cuma sebentar. Lama-lama
malah tambah panas! Oala… Tobat aku. Bagusnya mati saja saat ini! Tapi manusia yang punya
perjanjian itu. Apa aku harus menunggunya atau aku bunuh diri saja? Enggg…Hik…hik…hik."

Tak tahan oleh sengatan rasa sakit si kakek hunjamkan kedua kakinya ke dalam air. Air sungai
muncrat ke udara setinggi dua tombak, lalu jatuh mengguyur sekujur tubuh si kakek.

Dari keadaan si kakek, jika ada orang lain melihat, selain menduga kakek itu adalah seorang
berkepandaian dan punya kesaktian tinggi, orang itu juga akan mengira, akibat tidak tahan oleh
penyakit aneh yang dideritanya, si kakek telah berubah ingatan. Menjadi gila! Sebenarnya
kakek ini tidak gila. Sejak dulu dia memang berperangai dan bertingkah laku aneh. Hanya saja
rasa sakit yang diderita akibat membengkaknya sepasang buah zakar memang luar biasa dan
menambah aneh perbuatan serta ucapannya.

Dalam rimba persilatan tanah Jawa kakek berkulit hitam mengenakan pakaian selempang kain
putih yang sudah kuyup ini dikenal dengan julukan Dewa Sedih. Selain ilmu kesaktiannya yang
tinggi, dia juga memiliki keanehan tersendiri. Mukanya yang hitam dengan alis panjang menjulai
selalu menunjukkan wajah sedih. Sekalipun tertawa tampangnya tetap saja sedih. Apa lagi
kalau penyakit menangisnya kambuh. Apapun yang dirasa, atau dilihat, apapun yang
didengarnya

bisa menjadi sumber tangis tiada henti. Walau banyak yang menganggap kakek ini kurang
waras namun tidak ada orang berani main-main padanya.

Diketahui pula bahwa Dewa Sedih punya seorang adik yang dikenal dengan julukan Dewa
Ketawa. Bertolak belakang dengan keadaan diri dan sifat Dewa Sedih, sang adik selalu unjukkan
wajah ceria, sedikit bicara banyak ketawa. Melihat sesuatu saja bisa jadi bahan ledakan tawa.
Sekali tertawa suaranya membahana, menggetarkan tanah dan seperti mau memecah
gendanggendang telinga. (Mengenai dua kakak beradik aneh berjuluk Dewa Sedih dan Dewa
Katawa bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul "Halilintar Di Singosari" dan
pasangannya berjudul "Pelangi Di Majapahit.")

Setelah menangis sesengguk isak-isakan Dewa Sedih kembali meratap.

"Mana orang itu! Ini adalah hari terakhir saat perjanjian. Apa dia jadi datang atau dia hanya
menipu diriku. Kalau matahari tenggelam, tenggelam pula diriku! Hik.. hik. Kantong menyanku
akan besar seperti kelapa selamalamanya. Hik…hik…hik. Bagaimana aku bisa berjalan!
Perempuan mana lagi yang akan sudi mengusap anuku ini kalau melihat saja sudah
menakutkan. Hik .hiik…hik. Oala… lebih baik aku gebuk saja biar pecah! Tak tahan sakitnya.
Panas sampai ke ubun-ubun. Sakit sampai ke jempol kaki. Hik..hik…hik. Eh, apa aku masih punya
jempol kaki? Oala, aku tidak bisa melihat. Tiga hari menunggu aku tidak makan. Aku tidak
sengsara! Tapi tiga hari kantong menyan membengkak kembang-kempis enyut-enyutan rasanya
seperti di neraka! Bunyi lagi!
Hik..hik…hik." Si kakek lalu menangis panjangpanjang. Tangan kanannya kembali sibuk
mengipas-ngipas auratnya yang salah kaprah itu dengan daun keladi hutan. "Lumayan, lumayan
adem. Hik…hik. Seharusnya ada perempuan mengipasi anuku ini. Tidak usah perempuan
beneran. Dedemit atau setan jejadianpun tak jadi apa. Malah-malah yang namanya bancipun
tidak aku tolak. Tapi mengapa tidak seorangpun yang datang? Engg…hik…hik."

Sambil menangis berkipas-kipas kakek di atas batu melirik kelangit. Sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Oala, matilah diriku! Ini semua gara-gara selembar kain bersurat itu. Kalau saja aku menolak
menerimanya, tidak akan kejadian celaka yang seperti ini. Sebentar lagi tamatlah riwayatku.
Mati di tempat sunyi seperti ini. Hik…hik…hik. Tidak ada sanak tidak ada kadang tidak ada
sahabat yang melihat. Adikku Dewa Ketawa, aku banyak dosa kesalahan padamu. Kita jarang
bertemu. Tapi kalau bertemu kau tertawa aku menangis. Kita lebih banyak bertengkar. Kau
memaki, aku menyumpahimu. Kalau memang aku mati duluan, maafkan diriku ya? Hik…hik…
hik."

Selagi menangis meratap-ratap begitu rupa tiba-tiba di bawah kemerahan langit oleh saputan
cahaya sang surya yang hendak tenggelam berkelebat satu bayangan. Orang ini datang berlari
dari arah timur. Untuk memintas jalan agar lebih cepat, kawasan sungai dilewati dengan cara
melompat dari satu batu ke batu lain. Bebatuan yang telah ratusan tahun berada di tempat itu
sangat licin karena ditebali lumut. Jarak batu satu dengan lainnya paling dekat dua atau tiga
tombak. Tapi orang ini mampu melompat sambil berlari seperti bocah tengah bermain dampu.

"Dewa Sedih! Aku datang!"

Suara gelegar teriakan orang membuat Dewa Sedih tergagap, lalu hentikan tangisnya. Namun
hanya sebentar. Dilain saat dia kembali meratap. "Dia datang… Orang itu datang. Aku tahu dia
menipuku! Aku tahu semua ini pekerjaannya. Hik…hik…hik. Asal dia memang bisa mengobati
kantong menyanku! Asal saja dia bisa mengembalikan ke bentuk semula, tidak ada yang
mencong, tidak ada yang penyok atau berubah burik, hik…hik…hik. Akan lupakan semua derita
sengsara ini. Ini sudah suratan nasib, sudah takdir. Engg…hik…hik…hik."

Suara ratap Dewa Sedih berhenti. Gema suara orang masih menggetari seantero tempat. Tahu-
tahu seorang bertubuh tinggi besar telah berdiri di atas batu kali rata, di samping sosok Dewa
Sedih. Orang ini perhatikan keadaan. Dewa Sedih mulai dari kepala sampai kaki. Si kakek
pelototkan mata balas menatap, lalu sesenggukan dan akhirnya menangis keras-keras.

"Dewa Sedih, hentikan tangismu! Kau masih mengenali diriku?"

"Ya… yang Enggg….hik…hik…hik. Aku kenali tampangmu. Hampir tiga penyakit celaka yang
bersarang di bawah perutku! Aku tahu semua ini ulah buatanmu sendiri. Kau memanfaatkan
diriku karena aku memiliki…."
"Kalau mau sembuh kau tidak perlu bicara panjang lebar!" bentak si tinggi besar. "Ingin sembuh
dengar apa kataku!"

"Engg…hik…hik…hik." Si kakek kembali menangis.

"Keluarkan Kain Bersurat. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Saatnya kita mulai bekerja."

Dewa Sedih tidak lakukan apa yang diminta orang, malah balik bertanya. "Apakah kau berhasil
mendapatkan Baru Bernyawa.?"

SEBAGAI jawaban orang tinggi besar keluarkan sebuah benda hitam tipis berukuran satu jengkal
persegi. Inilah batu mustika sakti yang pertama kali muncul dibawa oleh makhluk ular berkepala
nenek, di dalam peti yang ada kutungan kepala manusia. Peti itu kemudian dirampas oleh Putu
Arka orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng. Batu tersebut yang masih berada di dalam peti
kayu hitam kemudian direbut dan dilarikan oleh Pangeran Haryo. Namun Pangeran Haryo
sendiri menemui ajal. Batu sakti berpindah tangan pada Raja Setan Tersenyum. Seperti
dituturkan sebelumnya, selanjutnya batu itu dibawa Raja Setan Tersenyum ke Keraton untuk
diserahkan pada Tumenggung Abdi Tunggul. Tapi sebelum hal itu sempat dilaksanakan, batu
mustika dirampas oleh seorang yang menyamar sebagai kakek rambut putih. Si kakek ini adalah
kini orang tinggi besar yang menemui Dewa Sedih di kawasan tempat bertemunya dua sungai.

Si tinggi besar perlihatkan batu hitam tipis dan dekatkan ke muka Dewa Sedih. Si kakek
menatap, kerenyutkan alis, lalu menangis sesenggukkan.

"Hik…hik… tunggu, aku harus memastikan batu itu asli atau tidak."

"Dewa Sedih, aku melihat batu ini bergerak. Aku merasakan ada denyutan seperti tarikan nafas.
Ini pasti batu asli. Mengapa kau harus menyelidik menghabiskan waktu saja. Bagaimana
caranya?!" Orang tinggi besar mulai jengkel. Apalagi saat itu waktu hanya tinggal sedikit
sebelum sang surya tenggelam.

"Hik…hik… Enggg… Orang yang aku kenal muka tapi tidak kenal nama, kau tenang saja. Turuti
apa yang aku katakan, salah sedikit saja akan celaka seumur-umur. Hik…hik…"

Si tinggi besar menggeram menahan marah. "Kalau begitu lekas lakukan apa yang mau kau
kerjakan!" ucapannya setengah membentak.

"Jangan bicara membentak. Aku jadi sedih…" Dewa Sedih terisak-isak lalu menangis.

"Sial!" maki si tinggi besar dalam hati. "Mengapa tua bangka keparat ini yang memiliki Kain
Bersurat itu. Mengapa bukan orang lain yang tidak banyak cingcong!" Kalau tidak punya
kepentingan luar biasa, mungkin sudah sejak tadi kakek satu ini digebuknya sampai ambruk.
Sambil sesenggukan Dewa Sedih tatap sesaat batu hitam yang dipegang orang tinggi besar. Lalu
diangkat tangan kiri, telapak dikembangkan lebar-lebar. Setelah merenung sesaat, pada telapak
tangannya itu Dewa Sedih melihat bayangan jelas sebuah benda yang bukan lain adalah Batu
Bernyawa. Si kakek letakkan telapak tangan di atas kening, pejamkan mata lalu sesenggukan
kembali dan menangis panjang.

Tidak sabaran orang tinggi besar bertanya.

"Kek, apa yang kau lihat? Bagaimana keadaan batu ini?"

"Hik…hiik. Aku melihat… Kau … kau beruntung. Batu ini memang batu mustika asli. Berasal dari
dasar ke tujuh samudera pantai selatan. Tapi dibalik keberuntungan itu aku hik..hik.. aku
melihat juga ada petaka besar menunggu dikejauhan…."

"Aku tidak perduli hal lain yang kau lihat. Sekarang lekas keluarkan Kain Bersurat…."

"Hik…. hik…Enggg…. Kau sudah membawa paku berujung emas?" tanya si kakek.

"Semua sudah kusiapkan. Kau saja yang banyak tanya ini itu. Menangis tidak karuan. Aku mulai
tidak sabaran…."

"Hik…hik…hik. Jangan bicara begitu. Aku jadi sedih. Kalau kau tidak sabar kau tidak bakal
mendapatkan apa yang kau ingin…." jawab Dewa Sedih lalu usap air matanya.

"Mana Kain Bersurat itu?!" hardik si tinggi besar.

"Serahkan dulu paku berujung emas," jawab si kakek lalu menangis panjang.

Meski kesal si tinggi besar keluarkan sebuah benda yakni sebatang paku panjang sejengkal.
Ujung lancipnya berkilau kuning karena dilapisi emas murni.

"Ambil paku ini! Lekas kerjakan apa yang menjadi tugasmu sesuai perjanjian. Jika Kau menipu
kau akan kondor sampai mati! Setiap hari barangmu akan tambah besar tambah berat!"

Dewa Sedih menggerung. "Jangan mengancam menakuti aku seperti itu. Aku sedih. Hik…hik…
hik." Si kakek ambil paku berujung emas. Lalu paku dimasukkan ke liang telinga sebelah kiri.
Perlahanlahan tapi sedikit demi sedikit paku lenyap masuk ke dalam liang telinganya.
Bersamaan dengan lenyapnya paku di dalam telinga kiri, dari telinga kanan si kakek menyembul
keluar sebuah benda yang ternyata adalah segulung kecil kain berwarna hitam. Si tinggi besar
memperhatikan semua apa yang terjadi dengan mata tak berkesip.

Dewa Sedih gerakkan tangan kiri kanan. Yang kiri mencabut paku di telinga kiri. Paku lalu
diselipkan disudut mulut. Tangan kanan menarik keluar gulungan kain hitam yang menyembul
di telinga kanan. Perlahan-lahan gulungan kain dibuka. Ternyata pada kain hitam itu tertera
sederetan tulisan panjang, dibuat dengan tinta berwarna kuning emas. Tulisan itu berbunyi :

Aksara Batu Bernyawa

Mula kehidupan anak manusia adalah dari setetes air mani yang tenggelam ke dalam rahim
ibunya dan berubah menjadi jabang bayi

Di dalam rahim sang ibu tali pusar menjadi sumber kehidupan

Jika seorang yang sakarat inginkan kehidupan

Jika seorang telah menghembuskan nafas lalu terkubur sampai sebelum sang surya tenggelam

Dan mereka inginkan kehidupan duniawi kembali

Bagi mereka yang beruntung dan berjodoh akan didapat nyawa kedua

Asalkan dilakukan semua syarat yang diminta

Pertama, upacara mendapatkan nyawa kedua harus dilakukan pada menjelang tengah malam
ditempat terbuka dan dibawah cahaya bulan sabit hari ketiga

Kedua, insan tersebut sebelumnya harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa

Ketiga, yang memandikan haruslah kaum sejenisnya :

Lelaki dimandikan oleh lelaki, perempuan dimandikan oleh perempuan

Keempat, yang hadir dalam upacara mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari dua
orang

Kelima, letakkan tali pusar bayi yang baru dilahirkan diatas pusar insan yang bakal
mendapatkan nyawa kedua

Keenam, kucurkan darah suci bayi yang baru lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung kaki
sampai kepala dan rambut

Ketujuh, sabarlah menunggu sampai kicau burung atau kokok ayam pertama terdengar
sebelum fajar menyingsing

Jika itu terjadi maka nyawa kedua telah tersimpan di dalam tubuh insan
Dia akan bernyawa, akan hidup seperti manusia adanya, namun akan ditemui beberapa
kelainan

Insan nyawa kedua tidak akan mengenal siapa diri sendiri dan orang-orang disekitarnya.

Insan nyawa kedua akan memiliki satu kekuatan luar biasa

Insan nyawa kedua berada dibawah kekuasaan dan hanya tunduk pada orang yang memberikan
kehidupan kedua padanya

Karenanya syarat kedelapan adalah, insan nyawa kedua harus ditempatkan secara baik-baik di
satu tempat dimana mulai kehidupan kedua datang padanya, tidak satu dosa kejahatanpun baik
berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di tempat tersebut.

Syarat ke sembilan dan terakhir, setiap bulan sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus
diusap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi yang baru dilahirkan

Bilamana syarat ke delapan dan kesembilan itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan
kembali ke asalnya semula

Dan yang berbuat dosa kejahatan akan kejatuhan bencana malapetaka.

"Hik…hik…. Letakkan tanganmu yang memegang batu tujuh jengkal di atas perutku.!.." Dewa
Sedih keluarkan ucapan.

Orang tinggi besar lakukan apa yang dikatakan si kakek.

"Pegang terus sampai aku memberi perintah selanjutnya," kata Dewa Sedih sambil terisakisak.
Kain bersurat dikembangkan di tangan kanan, dihadapkan ke arah batu yang dipegang di atas
perut. Perlahan-lahan si kakek angkat tangan kirinya. Lama tak terjadi apa-apa. Mendadak
tangan kiri itu memancarkan cahaya merah. Cahaya merah keluar dari tangan, membuntal di
udara membentuk sebuah bola besar. Bola merah ini kemudian bergerak menyelubungi batu
hitam yang dipegang orang tinggi besar.

"Lepaskan batu!" Dewa Sedih memerintah. Lalu tenggorokannya sesenggukan. Dari mulutnya
keluar suara meratap panjang.

Agak ragu-ragu orang tinggi besar lepaskan tangannya yang memegang batu. Luar biasa! Batu
yang tidak dipegang itu kini mengapung di udara, masih dalam buntalan cahaya merah. Si kakek
angkat tangan kirinya yang memegang paku berujung emas. Paku diusap-usapkan diatas Kain
Bersurat tujuh kali berturut-turut. Selesai mengusap kaki yang ke tujuh paku dilepas. Seperti
batu, paku ini juga tidak jatuh, mengapung di udara. Malah kini paku bergerak melayang ke
arah batu dalam buntalan cahaya merah. Lalu terdengar suara greet-greet…greet
berkepanjangan.
Ujung paku yang lancip dan berlapis emas bergerak ke bagian kiri atas batu. Lalu bergerak
menggurat dari kiri ke kanan, pindah ke bawah, kembali dari kiri ke kanan demikian seterusnya.
Dalam waktu singkat, apa yang tertulis di atas Kain Bersurat kini telah pindah dan tertera di atas
Batu Bernyawa. Begitu semua tertulis lengkap, tulisan yang ada di atas kain hitam Kain Bersurat
lenyap secara aneh. Bedanya kalau tulisan di atas Kain Bersurat berwarna kuning emas, maka
tulisan yang tergurat di atas Batu Bernyawa berwarna putih terang.

Dewa Sedih menangis panjang.

"Pegang batu," katanya.

Orang tinggi besar cepat ulurkan tangan memegang batu. Cahaya berbentuk buntalan merah
bergerak menjauhi batu, melayang dan masuk kembali ke tangan kiri Dewa Sedih. Lapisan emas
yang menutupi ujung paku lenyap. Paku ini kini tiada beda bentuknya dengan paku hitam besi
biasa. Paku besi jatuh berdentringan di atas batu tempat si kakek terbaring, terpental masuk ke
dalam air sungai.

"Enggg….hik….hikkkkk." Dewa Sedih kembali menangis. "Pekerjaanku telah selesai…. Batu ini
kini bertukar nama. Dari Batu Bernyawa menjadi Aksara Batu Bernyawa. Hik…hik…hik. Orang
yang aku kenal tampang tapi tidak kenal nama, sekarang giliranmu. Kau harus memberi
kesembuhan yang kau janjikan padaku!"

Si tinggi besar menyeringai.

"Bagaimana kalau aku tidak menepati janji." "Apa….?" Dewa Sedih meraung keras lalu
menangis sejadi-jadinya. "Kau akan kualat. Apa yang menjadi segala rencanamu akan menemui
kegagalan. Malapetaka besar akan menimpamu. Hik…hik…hik. Kalau kau memang mau ingkar
janji aku minta kau membunuhku saat ini juga. Sesudah itu akan kau lihat, penyakitku akan
pindah ke dirimu! Kantong menyanmu akan bengkak besar lalu meledak. Enggg…Hik…hik…hik."

Si tinggi besar tertawa gelak-gelak. Dia alihkan pandangan ke arah batu yang dipegang.

Mendadak tawanya lenyap.

"Tua bangka jahanam! Kau menipuku!"

"Hik…hik, memangnya ada apa?" Dewa Sedih kaget lalu menangis.

"Tulisan di atas batu lenyap!"

Dewa sedih tersenyum. Ini pertama kali si tinggi besar melihat orang tua itu tersenyum. Tapi
begitu senyum lenyap tangisnya muncul kembali.
"Tulisan tidak hilang. Masih ada diatas batu. Hanya mata biasa tidak bisa melihat. Pada saat kau
akan melakukan upacara nyawa kedua, kau harus lebih dulu mencelup batu itu dalam darah
segar bayi yang baru lahir. Tulisan di atas batu akan muncul kembali…."

"Kalau kau menipuku, aku akan mencarimu sampai diujung neraka sekalipun…."

Si kakek hanya bisa manggut-manggut sambil kucurkan air mata.

"Sekarang kau tunggu apa lagi? Kempeskan kantong menyanku! Tapi awas, jangan sampai ada
yang salah bentuk, ukuran dan mengkilapnya.

Hik…hik,..hik."

Si Tinggi besar menyeringai. Dia bungkukkan tubuh, tarik ujung selempang kain putih pakaian si
kakek disebelah bawah, lalu susupkan tangan yang memegang Aksara Batu Bernyawa. Batu itu
ditempelkan di atas kantong menyan si kakek beberapa lamanya.

"Hik…hik….." Si kakek masih menangis tapi matanya kini kelihatan meram melek. "Adem…. hik…
hik. Enaknya… aduh hik…hik. Sedap sekali.

Asyikkk… Hemmmm….Hik…hiik." Si kakek leletkan lidah berulang kali. Dalam tangisnya dia
kelihatan senyum-senyum. "Enteng…hik…hik.. tubuhku sebelah bawah jadi enteng. Engg…
sudah sembuhkah diriku?"

"Silahkan kau lihat sendiri Kek…" jawab si tinggi besar.

Kalau selama ini dia sulit baginya untuk bergerak, tapi kini Dewa Sedih dengan mudah bisa
bangkit dan duduk sambil buka dua kaki di atas batu. Kain putih ditarik tinggi-tinggi ke atas. Dia
memandang ke bawah. Mata mendelik berkilat. Ratapan panjang keluar dari mulutnya. "Aku
sembuh! Bijiku yang bengkak sebesar kelapa sudah kempes. Kantong menyanku sudah ciut
bagus. Oala…" Dengan dua tangannya Dewa Sedih usap-usap auratnya di sebelah bawah perut
itu. Lalu tangan yang mengusap disekakannya ke sekujur muka. Setelah itu kembali dia
mengusap bagian bawah perutnya, ganti mengusap wajah. Demikian sampai berulang kali.

"Dewa Sedih" si tinggi besar berkata. "Aku akan tinggalkan tempat ini. Dengar baik-baik
beberapa hal penting yang akan aku beritahu…."

"Kau ,yang harus lebih dulu mendengarkan ucapanku!" memotong Dewa Sedih. Wajahnya
tampak serius tapi hanya sebentar lalu kembali berubah sedih.

"Apa yang hendak kau katakan?" tanya orang tinggi besar.

"Hik…hik. Petunjuk yang tertulis di atas Aksara Batu Bernyawa tidak keseluruhannya lengkap.
Kelak akan ada makhluk gaib mendatangimu, mungkin menampakkan diri, mungkin hanya
suara. Makhluk itu kelak akan muncul menyampaikan beberapa petunjuk penting berkaitan
dengan batu mustika pemberi kehidupan itu."

Orang tinggi besar usap-usap dagunya. Dia menatap ke arah langit yang tadi merah kini mulai
dibayangi kegelapan. Dia merasa lega, semua berjalan sesuai rencana dan sesuai waktu.

"Sekarang giliranku bicara."

"Hik…hik…" Si kakek mendengar tanpa angkat kepala.

"Ada beberapa hal penting. Kau tidak pernah melihat diriku, tidak pernah mengenali
tampangku!"

Dewa Sedih anggukkan kepala. Sesenggukan.

"Kejadian hari-hari dulu dan hari-hari ini tidak pernah ada!"

"Dewa sedih anggukkan kepala sambil terisak.

"Kau tidak pernah tahu tentang Batu Bernyawa. Juga tidak pernah tahu atau pernah melihat
tentang Aksara Batu Bernyawa."

"Ya, ya. Hik…hik…hik. Dewa Sedih masih tundukkan kepala. Sibuk mainkan kantong

menyannya.

Dalam hati si tinggi besar berkata.

"Kalau saja tidak ada pantangan membunuh satu kali sebelum dan satu kali sesudah
mendapatkan Aksara Batu Bernyawa, pasti sudah dari tadi-tadi kuhabisi tua bangka sinting ini."

Baru saja orang tinggi besar membatin begitu, Dewa Sedih langsung meratap panjang.

"Ada orang mau membunuhku. Apa salahku, apa dosaku? Engg…hik…hik…hik."

Orang tinggi besar terkesiap mendengar ucapan si kakek. "Manusia satu ini apa dia punya
kesaktian mendengar suara hati orang?" Tidak menunggu lebih lama orang ini segera tinggalkan
tempat itu.

Ketika akhirnya Dewa Sedih angkat kepala orang tinggi besar tak ada lagi di tempat itu. Si kakek
langsung meratap.

"Teganya dia meninggalkan diriku.


Hik…hik…hik." Lalu kembali dua tangannya sibuk mengusapi perabotan di bawah perutnya
sambil sepasang mata terpejam-pejam meram melek. Dengan suara sesenggukan dia berucap.
"Untung masih utuh. Untung masih mengkilap. Tidak ada bagian yang penyok, tidak ada yang
bentol-bentol, tak ada yang burik. Hik…hik…hik."

10

DALAM akhir Episode sebelumnya (Bendera Darah) diceritakan perkelahian hebat yang terjadi
antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Adipati Sidik Mangkurat dari Magetan.

Murid Sinto Gendeng tidak berdaya menghadapi Adipati yang bersenjatakan Pecut Sewu Geni,
sebuah cambuk sakti yang mampu menyemburkan puluhan lidah api. Sebelumnya Loh Gatra
telah cidera terkena hantaman cambuk itu. Kini Wiro siap menerima giliran mendapat celaka
dipanggang hidup-hidup.

Puluhan lidah api menyambar ke arah Pendekar 212. Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan dan
Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro untuk membentengi diri sekaligus
melancarkan serangan balasan ternyata tidak berdaya menghadapi puluhan lidah api yang
menyembur dari Pecut Sewu Geni. Empat belas lidah api berkiblat dan berhasil tembus, siap
menggulung hangus sosok sang pendekar.

Pada saat yang sangat menentukan itu dalam kegelapan malam mendadak muncul seorang
kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Wajahnya dihiasi janggut dan kumis putih lebat
terpelihara rapi. Laksana seekor elang orang tua ini menukik kearah Sidik Mangkurat. Dua
lengan jubah dikebutkan. Dua gelombang cahaya berwarna biru disertai hamparan angin luar
biasa dinginnya menerpa hebat. Puluhan kobaran lidah api serta merta padam. Wiro lolos dari
malapetaka dahsyat yang bisa membuat dirinya tinggal tulang belulang gosong hitam.

Dalam keadaan terpental, Sidik Mangkurat terkejut besar karena dapatkan pecut sakti tak ada
lagi di tangan kanannya. Siapa yang telah merampas? Ketika dia mendongak, memandang ke
atas sebuah pohon, dia melihat sosok seorang kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
Pecut Sewu Geni berada pada si kakek, digulung sepanjang lengan kanannya. Orang tua ini
sendiri saat itu tahu-tahu telah berdiri enak-enakan di atas cabang pohon yang besarnya hanya
sepergelangan tangan. Cukup membuktikan bahwa dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat tinggi.

Adipati Sidik Mangkurat berteriak marah. Minta agar si orang tua yang tak dikenal
mengembalikan pecut sakti. Tapi sambil tertawa orang tua itu malah membuka kedok Sidik
Mangkurat. Ternyata pecut itu adalah milik seseorang di negeri seberang dan selama lima puluh
dua purnama sang Adipati telah menguasai senjata itu secara tidak syah. Terjadi perang mulut.
Si orang tua menantang. Kalau Sidik Mangkurat memang inginkan Pecut Sewu Geni maka dia
dipersilahkan mengambil sendiri ke atas pohon.
Dalam keadaan marah besar dan ditantang begitu rupa di hadapan sekian banyak anak buahnya
Sidik Mangkurat jadi nekad. Dia melesat ke atas pohon. Namun sekali si orang tua mengibaskan
tangan, sosok Sidik Mangkurat terpental keras lalu jatuh bergedebuk di tanah. Sadar kalau dia
tidak bakal mampu menghadapi lawan yang begitu tangguh, apa lagi mengharapkan dapat
merebut Pecut Sewu Geni kembali, terbungkuk-bungkuk menahan sakit, Sidik Mangkurat
bersama anak buahnya segera tinggalkan tempat itu.

Sebelum pergi kakek berjubah dan bersorban putih berkilat sempatkan diri menolong Loh Gatra
yang mengalami luka bakar di sekujur tubuh akibat hantaman cambuk sakti. Pecut Sewu Geni
digantung di depan tubuh Loh Gatra. Lalu si kakek meniup. Saat itu juga seluruh luka bakar
lenyap. Tubuh Loh Gatra kelihatan seperti tidak pernah mengalami apa-apa!

"Luar biasa! Kek, kau hebat sekali!" Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap si
orang tua.

Yang ditatap balas memandang, sunggingkan senyum dan kedipkan mata kiri pada murid Sinto
Gendeng. Di lain kejap sekali berkelebat sosoknya lenyap dalam kegelapan malam.

Wiro leletkan lidah, geleng-gelengkan kepala.

"Aku tak kenai siapa adanya kakek hebat itu.:"

"Aku malah tak sempat mengucapkan terima kasih…." Ucap Loh Gatra sambil usap-usap
wajahnya yang kembali mulus setengah tidak percaya.

Kegembiraan dua pendekar itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba muncul seorang penunggang
kuda berjubah bertutup kepala putih. Luar biasanya sosok putih di atas kuda itu sebentar
kelihatan sebentar lenyap. Wulan Srindi yang ada di tempat itu berteriak kaget.

"Manusia pocong!"

Sosok manusia pocong lenyap. Ketika Wulan Srindi berpaling ke kiri, gadis ini kembali berteriak.

"Awas serangan membokong! Wiro!"

Wiro berbalik, putar tubuh dengan cepat.

Tapi terlambat Pendekar 212 Wiro Sableng hanya sempat melihat sebuah benda melesat di
kegelapan malam disertai cipratan cairan. Lalu dia mengerang pendek, merasakan perih amat
sangat di bagian dada. Ketika dia memperhatikan ternyata di dadanya telah menancap sebuah
bendera aneh.’Berbentuk segi tiga, basah oleh cairan berwarna merah.

"Bendera Darah…" desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.


Wiro menggigit bibir menahan sakit.

"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan…."

"Pasti makhluk serba putih tadi. Manusia pocong! Tetap disini. Aku akan mengejar bangsat itu!"
Kata Loh Gatra.

"Tunggu, jangan kemana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan belaka."
Ujar Wiro lalu pejamkan mata, menjajaki mencari tahu apakah tangkai bendera yang menancap
di badannya mengandung racun atau tidak. Tidak ada hawa panas, tidak ada kekacauan dalam
aliran darah. Berarti tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kayu bendera mengandung
racun. Kalaupun ada mungkin kesaktian Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya telah
memusnahkan racun itu.

Wiro perhatikan Bendera Darah yang menancap di dadanya. Sambil keluarkan suara mengeram
murid Sinto Gendeng gerakkan tangan hendak mencabut gagang bendera. Saat itu mendadak
ada orang berseru.

"Jangan dicabut! Berbahaya!"

Wulan Srindi, Loh Gatra dan lebih-lebih Wiro tentu saja tersentak kaget.

Di lain kejap, dari kegelapan malam muncullah seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala
gundul, berwajah dan berkulit tubuh kuning. Dia adalah pemuda dari Negeri Latanahsilam yang
dikenal dengan nama Jatilandak.

Wiro mendengus, tidak perdulikan kehadiran pemuda itu. Hatinya masih sangat terluka atas
kejadian beberapa waktu lalu. Dia menyaksikan Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin
Timur. Kini dia merasa benci sekali melihat pemuda dari Negeri Latanahsilam ini.

Wulan Srindi menatap Jatilandak sesaat lalu memandang berkeliling. Sebelumnya pemuda
muka kuning itu bersama-sama dengan Bidadari Angin Timur. Si pemuda datang sendirian, lalu
dimana si gadis?

"Hemm… mungkin dia sengaja sembunyikan diri." kata Wulan Srindi dalam hati. "Lihat saja,
akan aku kerjain lagi si pencemburu ini!"

Jatilandak melangkah mendekati Wiro dan mengulangi lagi peringatannya tadi agar Wiro jangan
mencabut gagang bendera yang menancap di dadanya.

Tanpa memandang pada pemuda bermuka kuning itu Wiro bertanya. "Kalau dicabut
memangnya kenapa?" Wiro bertanya acuh sambil arahkan pandangan keberbagai sudut gelap,
mencari-cari. Namun dia tidak melihat sosok Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia
tahu betul kalau gadis itu berdua-duaan dengan Jatilandak. Apakah mereka berpisah di tengah
jalan atau mungkin si gadis bersembunyi di satu tempat?

"Aku pernah.melihat bendera ini sebelumnya," menerangkan Jatilandak. "Ujung lancip yang
menancap di dalam daging tubuhmu berbentuk gerigi runcing menghadap keluar. Jika gagang
bendera dicabut, daging sekitarnya akan ikut terbongkar. Bisa sebesar ini." Jatilandak membuat
lingkaran dengan dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.

"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya. Kalau tidak dicabut, biar aku patahkan saja!"

Nekad Wiro kembali gerakkan tangan hendak mematahkan gagang Bendera Darah. Tapi satu
tangan halus cepat memegang lengannya, mencegah.

"Orang sudah memberi nasihat, mengapa berbuat nekad?!"

Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis.

"Kau yang tadi mengaku murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya?!" tanya Pendekar 212.

"Tadi waktu Adipati itu masih di sini aku sudah menjelaskan. Apa kau tidak mendengar?
Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu, selama ini aku mencarimu…."

"Aku tidak percaya kau murid Dewa Tuak. Perlu apa kau mencariku?"

"Tidak heran kalau kau tidak percaya. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan lebih
heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru, aku berjodoh dengan dirimu."

"Eee…apa?!" Wiro sampai tersentak dan rasa sakit di dadanya terasa berlipat ganda.

Wulan Srindi tersenyum.

"Nanti saja kita bicarakan hal yang satu itu. Tak jauh dari sini ada tempat yang baik. Kau bisa
berbaring di sana sementara kami-kami berusaha membantu mengeluarkan Bendera Darah dari
tubuhmu."

Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tibatiba dikejauhan ada orang berteriak.

"Pendekar 212 Wiro Sableng! Jika ingin selamat dari Bendera Darah, jika kau masih punya nyali
silahkan datang ke Seratus Tiga belas Lorong Kematian!"

"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam!" Wiro segera angkat
tangan kanannya. Begitu tangan berubah putih seperti perak mulai dari siku sampai ujung jari
dia langsung menghantam.
"Wusss!"

Selarik cahaya putih panas menyilaukan berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke arah
datangnya suara orang berteriak tadi. Pohonpohon yang terkena sambaran Pukulan Sinar
Matahari berderak patah, mental dalam keadaan hangus. Kobaran api bertebaran di beberapa
tempat. Suasana di tempat itu menjadi terang untuk beberapa lamanya. Namun manusia
pocong yang jadi sasaran pukulan tidak kelihatan. Tidak ada suara jeritan atau ringkik kuda
pertanda makhluk tersebut berhasil lolos dan tinggalkan tempat itu.

Murid Sinto Gendeng menggeram marah, kepalkan jari-jari tangan kanan. "Manusia pocong
jahanam! Saat ini kau bisa lolos. Aku bersumpah akan mengejarmu sekalipun sampai ke
neraka!"

Sementara itu di satu tempat gelap dibalik sebatang pohon besar, seseorang yang sejak tadi
mendekam menyembunyikan diri mengeluarkan umpatan. Walau diucapkan perlahan tapi
karena tempat itu sunyi, jika ada orang lain di dekat situ, suaranya cukup jelas terdengar.

"Gadis tak tahu diri. Tak tahu diuntung!

Beraninya mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Aku tahu
kau berdusta! Huh! Lihat saja, aku bersumpah satu saat akan menampar mulutmu!"

Tidak dinyana, tiba-tiba satu suara bertanya.

"Sahabat lama, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu?

Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum
apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik…hik…hik."

Orang yang sembunyi dibalik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing. Hatinya
membatin. "Seingatku hanya ada satu manusia yang tubuh dan pakaiannya melebar bau pesing.

Nenek itu… Tapi yang barusan bicara suara lakilaki. Dia mengaku sahabat lama." Orang dibalik
pohon cepat palingkan kepala sambil tangan kanan berlaku waspada siap melancarkan pukulan.
Sepasang mata membesar.

Pandangannya membentur satu kepala botak yang baru ditumbuhi rambut, dua telinga
berdaun lebar yang salah satunya terbalik. Lalu ada sepasang mata belok balas menatap ke
arahnya sambil dikedap-kedipkan.

"Kau! Menjauh! Jangan dekat-dekat. Aku tak mau celanamu yang basah penuh air kencing
menyentuh pakaian, apa lagi tubuhku!"
Orang yang dibentak cuma senyum-senyum. "Aku tahu diri. Aku juga takut bersentuhan
denganmu. Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air yang lain. Hik…hik…hik!"

"Tua bangka sinting kurang ajar! Jangan kau berani bicara jorok padaku! Saat ini aku sedang
kesal! Jangan salahkan kalau aku sampai merobek mulutmu!"

"Serrrr!"

"Nah, nah! Ancamanmu menakutkan sekali. Membuat aku tidak dapat menahan beser!"

"Sudah! Jangan banyak mulut! Pergi sana!" "Amboi, gerangan apa yang membuat dirimu kesal?
Putus bercinta, ditinggal kekasih atau…."

"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Buka matamu yang belok! Lihat ke depan sana.!"

Kakek berkuping lebar bermata belok putar kepala ke arah yang dikatakan orang. Mulutnya
terbuka melongo.

"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng! Eh, anak sableng itu
dia memakai hiasan apa di dadanya?"

"Bukan memakai hiasan apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah.

"Astaga!" si kakek kembali mengucap. "Siapa yang membokongnya?"

"Manusia pocong!"

"Serrr!"

Mendengar disebutnya nama itu kakek yang celananya kuyup bau pesing yang bukan lain
adalah kakek konyol Setan Ngompol adanya, untuk kedua kalinya langsung kucurkan air
kencing.

"Makhluk jahanam itu, rupanya benar-benar sudah gentayangan kemana-mana. Biasanya


muncul menculik perempuan bunting. Kini mengapa mencelakai sahabatku si anak sableng
itu?"

"Huh! Kau tahu apa tentang manusia pocong?"

"Bidadari Angin Timur," Setan Ngompol sebut nama si gadis. "Aku pernah hendak dibunuh
orang gara-gara mengenakan jubah putih milik seorang manusia pocong yang sengaja
ditinggalkan di sebuah rumah untuk menjebakku."

"Bagaimana ceritanya?" bertanya gadis cantik yang memang Bidadari Angin Timur adanya.
"Panjang. Nanti saja kalau ada kesempatan akan aku ceritakan padamu."

"Hemmm… Baiklah. Sekarang jelaskan bagaimana kau bisa berada di tempat ini. Ingat, seusai
perjanjian kau menemui aku dan dua gadis lain di gedung kepatihan. Kau tidak datang, tahu-
tahu sekarang muncul disini! Celana kuyup air kencing, bau pesing!"

Setan Ngompol tertawa lebar, usap-usap kepalanya yang baru ditumbuhi sedikit rambut. "Kalau
celana tidak kuyup air kencing namaku bukan Setan Ngompol. Ha…ha…ha!"

"Husss!" Tertawa seenaknya! Kau kira tempat apa ini!"

Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri.

"Ayo bilang mengapa kau tidak memenuhi janji pertemuan di gedung Kepatihan."

Setan Ngompol usap-usap kepalanya. "Waktu itu aku melantur sedikit. Ada janda montok di
Bantul yang membuat aku tergila-gila. Tapi gara-gara urusan itu aku hampir dibunuh orang…."

"Kapok! Biar tahu rasa!" tukas Bidadari Angin Timur.

"Saat itu aku memang kapok. Tapi sekarang, apalagi malam-malam dingin begini, kalau ingat
sang janda, rasanya aku mau buru-buru balik ke Bantul lagi menemui…."

"Ssssttt!" Bidadari Angin Timur memberi isyarat. Jari telunjuk tangan kanan dipalangkan diatas
bibir. "Lihat, ada orang datang!" Bisik gadis berambut pirang panjang ini.

Setan Ngompol ikut-ikutan letakkan jari telunjuk tangan kanan di atas bibir, pelototkan mata
lalu berpaling ke depan sana.

"Astaga!" Si kakek terkejut dan serr! Dia kucurkan air kencing. "Nenek gendeng itu! Setiap
muncul selalu bikin geger. Pasti sebentar lagi akan heboh tempat ini!" Setan Ngompol berpaling
lalu bertanya. "Menurutmu apa kita keluar saja dan bergabung dengan mereka?"

"Kau barusan bilang sebentar lagi tempat ini bakalan heboh. Kalau kau mau ikutan heboh
silahkan saja bergabung sendiri. Aku tetap di sini, jadi penonton saja. Mentang-mentang kalian
sama bau pesingnya. Eh, jangan-jangan kau sudah lama gatal sama nenek itu. Naksir…?"

Si kakek pencongkan mulut, lalu cepat-cepat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.
"Bercinta dengan perempuan yang sama bau pesingnya apa enaknya? Tidak ada penghijauan
dan penyegaran bebauan. Hik…hik…hik."

"Sudah! Pergi sana. Temui nenek itu."


Setan Ngompol usap-usap kepala. "Aku ikut kamu. Kita sama-sama jadi penonton saja. Lagi pula
lama-lama bersamamu kurasa hidungmu sudah jadi terbiasa dengan bau pesingku. Bagaimana,
sedap juga ‘kan? He…he…he."

"Kakek geblek!" maki Bidadari Angin Timur.

Di depan sana, diantara Loh Gatra, Wulan Srindi, Wiro Sableng dan Jatilandak tegak agak
terbungkuk seorang nenek tinggi, kurus kering, berkulit hitam. Di kepalanya menancap lima
tusuk konde perak. Di tangan kiri ada sebuah tongkat kayu butut. Tubuhnya, terutama kain
yang dikenakannya menebar bau pesing. .Sepasang matanya yang seperti ada apinya
memandang berputar liar. Nenek angker ini bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan
tanah Jawa, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede.

Melihat siapa yang berdiri di depannya Wiro cepat mendatangi lalu membungkuk hormat.
"Nek, salam hormat dari muridmu" sapa sang pendekar pada sang guru.

Sinto Gendeng hanya melirik sekilas, lalu memandang berkeliling ke arah Jatilandak, Loh Gatra,
dan Wulan Srindi.

Melihat si nenek memandang ke arahnya dan tadi dia mendengar Wiro menyebut guru pada
sisi nenek, Wulan Srindi buru-buru mendatangi si nenek. Jatuhkan diri berlutut seraya berkata.

"Nenek Sinto, terima salam hormat dariku. Wulan Srindi. Calon menantumu…"

Sepasang mata Sinto Gendeng seperti terpacak pada wajah gadis cantik hitam manis yang
berlutut di depannya. Lima tusuk konde di kulit kepalanya seperti berpijar dan bergoyang-
goyang. Di dalam hati gadis ini jadi punya rasa takut kalau-kalau akan disemprot si nenek
angker. Namun diam-diam dia juga merasa lega. Jika Bidadari Angin Timur ada disitu pasti dia
mendengar ucapannya tadi."

Rasakan, biar terbakar telinga, hangus dadanya mendengar kata-kataku! Lain dari itu aku juga
untung-untungan. Siapa tahu benaran diterima jadi menantu!" Wulan Srindi senyumsenyum
sendiri.

Sinto Gendeng mendongak ke langit. Lalu nenek ini tertawa cekikikan.

"Tidak disangka banyak orang gila ditempat ini! Hik…hik…hik.!"

11

DI BALIK semak belukar Setan Ngompol ingin ikut-ikutan tertawa. Karena ditahantahan akhirnya
dia jadi terkencing sendiri. Sebaliknya Bidadari Angin Timur berkata.

"Dasar gadis lancang! Berani-beraninya mengaku calon menantu pada nenek itu…."
"Nah, nah. Sekarang aku tahu mengapa kau kesal. Pada siapa kau kesal. Kau kesal pada gadis
hitam manis mengaku bernama Wulan Srindi itu. Kau kesal karena dia mengaku calon menantu
si nenek. Berarti calon suami Wiro si anak sableng."

"Kau percaya ucapan gadis itu?"

"Tentu saja tidak."

"Alasanmu?"

"Seingatku Wiro cuma suka pada gadis cantik berkulit putih dan mulus. Seperti…."

"Seperti apa?"

"Sepertimu inilah," jawab Setan Ngompol.

"Banyak gadis lain yang juga berkulit putih…."

"Tapi dia tidak memiliki rambut pirang yang

menakjubkan sepertimu."

"Memangnya rambutku bagus?"

"Buaguss uaammmmaaattt…" jawab Setan Ngompol lalu tertawa sendiri dan ngompol sendiri.

Kata-kata Setan Ngompol itu bagaimanapun juga sedikit menghibur hati Bidadari Angin Timur
yang sejak beberapa waktu belakangan ini selalu kesal.

Di depan sana Sinto Gendeng hentikan tawa, ketuk-ketukkan tongkat lalu membuka mulutnya
yang perot.

"Orang gila pertama adalah kau!" Si nenek tudingkan ujung tongkatnya ke jidat Wiro Sableng.

"Dandanan gila apa yang kau pakai ini? Menancapkan bendera basah bau amis di dada!
Uuahhh!" Si nenek semburkan ludah merah ke tanah. Merah karena di mulutnya dia selalu
membekal susur yaitu tembako, daun sirih dan pinang yang dikunyah-kunyah.

"Nek, ini bukan dandanan. Aku dibokong orang…." Menjelaskan Pendekar 212.

"Apa? Kau dibokong orang? Astaga naga. Untung bukan bokongmu yang dibokong!
Hik…hik…hik… Untung bukan anumu yang ditancapi! Hik…hik’…hik…." Sinto Gendeng tertawa
cekikikan.

"Seorang anggota komplotan Barisan Manusia Pocong muncul. Melakukan serangan dari
tempat gelap ketika kami tengah bicara di tempat ini."

Wulan Srindi ikut memberi keterangan seraya bangkit berdir’.

"Aku sempat menghantamnya dengan pukulan Sinar Matahari. Tapi dia berhasil lolos."
Menambahkan Wiro.

"Manusia pocong? Makhluk apa itu? Kalau manusia ya manusia. Kalau pocong ya pocong Mana
bisa jadi satu. Atau mungkin ada manusia sungguhan yang kawin sama pocong. Bunting,
anaknya mbrojol lalu disebut manusia pocong. Begitu?"

"Bukan Nek," Yang menyahuti adalah Loh Gatra. "Manusia Pocong itu adalah kelompok orang-
orang jahat penculik perempuan-perempuan hamil. Salah satu korbannya adalah istri saya
sendiri."

Sinto Gendeng pencongkan mulut. Golenggoleng kepala.

"Nek," kembali Wulan Srindi membuka mulut. "Markas komplotan Manusia Pocong itu tidak
jauh dari sini. Di sebelah utara sana. Mereka diam di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Kami tengah berunding untuk menyerbu markas itu. Lorong itu bukan lorong sembarangan.
Siapa berani masuk akan tersesat, tak bisa keluar lagi dan akan melepas nyawa di tempat itu!"

"Manusia Pocong, Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Aneh-aneh saja. Tapi aku belum selesai
dengan urusan manusia-manusia gila yang ada di tempat ini. Kau!" kata si nenek pula sambil
ketukkan tongkatnya ke kepala Wiro. "Kalau kau benar dibokong dengan benda itu. Lalu
mengapa bendera itu tidak kau cabut?"

"Kalau dicabut daging dada Wiro akan ikut terbongkar. Gagang bendera berbentuk gerigi lancip
menghadap keluar…."

Sinto Gendeng melirik ke arah Jatilandak yang barusan bicara. Lalu dia tertawa panjang. "Kau
orang gila kedua di tempat ini. Kulit kuning, kepala botak kuning, mata kuning, gigi pasti kuning.
Yang tidak kuning pada dirimu apa? Kotoranmu?!"

Wulan Srindi senyum-senyum. Wiro mesemmesem. Loh Gatra palingkan muka sembunyikan
tawa. Jatilandak sendiri hanya diam dan komatkamitkan mulut. Dia sudah mendengar sifat
nenek satu ini.

"Orang gila ke tiga! Jangan kau senyumsenyum! Kau yang kumaksud orang gila ke tiga!"
Tongkat di tangan kiri Sinto Gendeng bergerak, kini menuding ke arah Wulan Srindi.
Si gadis kaget bukan main.

Di balik semak Bidadari Angin Timur berbisik.

"Nah sekarang rasakan. Kena batunya gadis gatal itu!"

Sesaat kaget, Wulan Srindi kembali senyum.

"Aku orang gila ketiga di tempat ini?

Memangnya aku gila bagaimana Nek?

Dandananku apik dan rapi. Rasanya otakku biasa-biasa saja." Wulan Srindi bicara sambil usap-
usap wajah dan rambutnya.

"Kau gila karena mengaku-aku sebagai calon menantuku! Kenal baru hari ini. Melihat jidatmu
baru sekarang! Bagaimana kau bisa bilang calon menantuku?!" Sinto gendeng melirik ke arah
muridnya. Lalu menatap kembali pada Wulan Srindi. "Atau memang tanpa setahuku kalian
berdua memang sudah sejak lama bercinta? Hemmmm…" Mata si nenek menatap tajam ke
perut Wulan Srindi yang sedikit agak gemuk. "Eh, jangan-jangan kau bunting ya?"

"Astaga, kau yang gila Nek!" ucap Wulan Srindi tanpa takut. "Berpegangan tangan saja belum,
bagaimana aku bisa bunting? Memangnya muridmu punya kesaktian yang bisa membuat gadis
bunting dari jarak jauh? Wow! Oala! Hebat sekali dia!"

Wiro melengak kaget mendengar ucapan Wulan Srindi yang begitu berani. Yang lain-lain juga
terkesima. Dibalik semak belukar Bidadari Angin Timur kembali keluarkan ucapan. "Belum jadi
menantu sudah berani memaki si nenek. Uh…. gadis edan! Kurang ajar!"

Semua orang mengira si nenek angker akan mendamprat Wulan Srindi. Tapi justru terjadi
sebaliknya. Setelah menatap wajah si gadis sesaat, nenek ini dongakkan kepala lalu tertawa
panjang. Yang lain-lain merasa lega. Si nenek gendeng itu ternyata tidak marah. Wulan Srindi
juga merasa lega. Dia sadar telah keterlepasan bicara.

"Ilmu kesaktian yang bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh! Hik…hik…hik."

Setelah puas tertawa Sinto Gendeng memandang berkeliling. Pandangannya’ berakhir kearah
muridnya sendiri.

"Anak Setan! Memalukan jadi muridku kalau bendera itu tak sanggup kau cabut! Mungkin kau
terlalu banyak main perempuan, hingga lupa kemampuan sendiri! Mendekat ke sini!"
Wiro melangkah mendekat. Agak takut-takut. Jatilandak dan Wulan Srindi serta Loh Gatra
ikutan cemas. Kalau si nenek nekad mencabut bendera yang menancap di dada Wiro, bisa
celaka pendekar itu.

Begitu Wiro berada dekat di depannya, sinenek bertanya.

"Kapak Naga Geni 212 masih ada padamu? Atau sudah kau jual?" Kau gadaikan mungkin? Atau
kau berikan pada seorang gadis cantik….?"

"Nek, kapak itu masih ada padaku," jawab Wiro.

"Keluarkan, berikan padaku!"

Wiro ambil kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggang dibalik pakaian putihnya lalu
diserahkan pada si nenek. Sinto Gendeng timangtimang benda itu beberapa lama. Sepasang
matanya yang angker kelihatan berkilat-kilat.

"Nenek bau pesing itu, apakah dia akan memenggal leher muridnya sendiri?" tanya Setan
Ngompol di balik semak belukar lalu seerrr. Dia kucurkan air kencing.

Perlahan-lahan Sinto Gendeng arahkan pertengahan mata kapak sakti ke ujung gagang Bendera
Darah yang menancap di dada muridnya. Kapak menempel dengan ujung kayu bendera. Sinto
Gendeng kerahkan tenaga dalam hawa sakti. Mata kapak sakti serta merta memancarkan sinar
terang benderang.

Kain bendera yang basah oleh darah terbakai Gagang bendera kelihatan membara. Lalu ada
suara letupan kecil.

"Dessss!"

Asap mengepul.

Wiro menjerit keras, tubuhnya terpental jatuh terlentang di tanah. Bendera Darah dan
gagangnya tidak kelihatan lagi. Dibagian dada yang sebelumnya ditancapi gagang bendera, kini
kelihatan satu lubang kecil hitam, mengucurkan darah.

"Nek…."

Wiro berusaha bangkit berdiri. Dadanya seperti ditempeli bara menyala. Tapi si nenek
membentak.

"Jangan bergerak!"

Lalu Sinto Gendeng dekati muridnya,


membungkuk. Dia singsingkan ujung kainnya yang basah oleh air kencing. Wiro tutup jalan
pernafasan. Tak tahan santarnya bau air kencing ditubuh dan pakaian si nenek. Sinto Gendeng
peras ujung kainnya. Air kencing jatuh menetes tepat di arah lubang kecil didada sang murid.

"Ces…ces…ces!"

Terdengar suara seperti air jatuh di atas bara api. Wiro mengerenyit menahan sakit.

"Cukup tiga tetes!" Kata si nenek pula. Lalu dengan tangan kirinya dia usap dada Wiro. Tanda
hitam lenyap. Lubang kecil juga lenyap. Lelehan darah tak kelihatan lagi. Tak ada cacat bekas
luka. Dada itu mulus seperti tidak pernah ditancapi apa-apa.

"Nek, kau punya ilmu baru!" Ujar Pendekar 212 sambil pandangi dadanya, kagum akan
kehebatan sang guru.

"Hemmmm…." Si nenek bergumam. "Namanya Ilmu Pengobatan Kencing Sakti. Sekarang biar
penyakitmu tuntas air kencing akan aku peraskan ke dalam mulutmu. Siapa tahu gagang
bendera itu ada racunnya. Ayo ngangakan mulutmu!"

Wiro tersentak kaget.

"Tidak Nek, ampun! Aku sudah sembuh! Terima kasih Nek, terima kasih!" Wiro tekap mulutnya,
buru-buru berdiri dan menjauh dari si nenek.

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Seperti anak kecil saja.. Belum dicekoki obat sudah mewek,
mau kabur! Hik…hik…hik."

TAMAT

Eps 138 Pernikahan Dengan Mayat

DALAM episode sebelumnya, “Bendera Darah” dan “Aksara Batu Bernyawa”, diceritakan
bagaimana Sinto Gendeng muncul di malam buta ketika Wiro Sableng secara tidak terduga
dibokong oleh salah seorang anggota komplotan manusia pocong. Sebuah bendera darah
menancap di dada Wiro. Di tempat itu hadir Wulan Srindi murid Perguruan Silat Lawu Putih
yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak dan tengah mencari Pendekar 212 sehubungan
dengan ikatan jodoh di antara mereka. Selain Wulan Srindi, di situ juga ada Jatilandak dan Loh
Gatra yang istrinya diculik komplotan manusia pocong. Sementara itu, tanpa diketahui orang-
orang tersebut, Bidadari Angin Timur dan Setan Ngompol bersembunyi dalam gelapnya malam,
di balik kerimbunan semak belukar lebat. Diam-diam kedua orang ini mengikuti semua apa yang
terjadi di tempat itu.
Walau Sinto Gendeng tertawa cekikikan sehabis mengerjai muridnya dengan berpura-pura
hendak mencekoki Wiro dengan air kencing yang diperas dari ujung kain, tak seorangpun mau
ikutan tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja tak ada yang berani. Mereka semua tahu kalau
si nenek punya adat dan sifat aneh. Sekali marah Sinto Gendeng bisa melabrak semua orang
yang ada di tempat itu. Apa lagi tadi dia sudah marah-marah dan menganggap ada tiga orang
gila di tempat itu.

Orang gila pertama menurut Sinto Gendeng adalah muridnya sendiri, karena dilihatnya
berdandan aneh memakai bendera merah basah di dada. Sinto Gendeng kemudian pergunakan
kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghancurkan Bendera Darah sampai ke
gagangnya.

Orang gila kedua di mata si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu adalah Jatilandak, pemuda
dari negeri 1200 tahun silam yang berkulit kuning mulai dari kepala– nya yang botak sampai ke
ujung kaki. Lalu orang gila ketiga yang dituding si nenek bukan lain Wulan Srindi, gadis cantik
berkulit hitam manis yang berlutut di hadapannya dan mengaku sebagai calon menantu.

Setelah puas tertawa, Sinto Gendeng memandang ke arah Pendekar 212, pelototkan mata lalu
membentak.

“Anak Setan! Dua tugas yang aku berikan padamu, apakah sudah kau kerjakan?!”

Wiro yang sedang usap-usap bekas luka di dadanya yang barusan disembuhkan sang guru
terlonjak kaget dibentak begitu rupa. Sambil garuk kepala dia balik bertanya.

“Anu Nek, dua tugas yang mana maksudmu?”

Sejak beberapa waktu belakangan ini memang banyak hal yang ditangani Pendekar 212. Lalu
yang paling membuat kacau balau pikiran pemuda ini ialah melihat hubungan tak terduga
antara Jatilandak dengan Bidadari Angin Timur. Wiro memergoki sendiri mereka berdua-duaan
di satu tempat sunyi. Lalu sekali lagi Wiro melihat kedua orang itu. Bidadari Angin Timur seperti
habis menangis dan Jatilandak mendukungnya. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Bendera
Darah”)

“Setan geblek! Aku bertanya malah kau balik bertanya. Apa otakmu sudah jadi batu? Atau
mungkin kerjamu selama ini hanya mencari gadis-gadis cantik sampai lupa tugas!” Sepasang
mata Sinto Gendeng mendelik seperti mau melompat dari rongganya yang cekung. “Eh,
mungkin juga betul kata gadis sinting bernama Wulan Srindi itu. Kau kini punya ilmu yang bisa
membuat seorang gadis jadi bunting dari jarak jauh!” Kalau sebelumnya ketika meng– ucapkan
kata-kata itu si nenek tertawa cekikikan, kini tidak. Tampangnya yang hitam hanya tinggal kulit
pembalut tengkorak kelihatan angker sekali.
“Tidak Nek, aku… aku tidak punya ilmu begituan,” jawab Wiro sambil garuk kepala. “Mengenai
dua tugas itu aku mohon maaf. Aku…”

Belum habis Wiro berucap Sinto Gendeng sudah mendamprat.

“Benar-benar anak setan! Jadi jangankan mencari, menjajaki di mana beradanya Pedang Naga
Suci 212 dan Kitab Seribu Pengobatan yang raib itu sama sekali belum kau lakukan…”

Wiro garuk-garuk kepala. Coba tersenyum dan berkata. “Begini Nek. Anu, aku…”

“Tutup mulutmu sebelum aku robek dengan tongkat ini!” Jengkel si nenek rupanya sudah naik
ke ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak.

Wutt!

Tongkat kayu butut di tangan kiri si nenek melesat di depan muka Wiro. Kalau tidak cepat sang
murid menarik kepalanya ke belakang bukan mustahil mulut Wiro benarbenar dirobek ujung
tongkat.

Wiro usap-usap mulut. Muka pucat. Tak berani cengengesan lagi.

“Anak setan! Ingat, dulu kau pernah bicara akan mencari kitab itu bersama gadis berambut
pirang bernama Bidadari Angin Timur. Kau malah berkata gadis itu punya dugaan di mana
beradanya atau siapa pencuri kitab itu…”

“Memang benar Nek,” kata Wiro menjawab ucapan sang guru. “Namun sebelum hal itu sempat
dilakukan kami keburu berpisah. Aku janji Nek, akan mencari dua benda pusaka itu. Hanya saja
saat ini aku dan kawan-kawan tengah menghadapi satu perkara besar…”

“Kentut busuk! Aku tidak perduli perkara besar apa yang kalian hadapi!” Hardik Sinto Gendeng.
Lalu dia berbalik ke arah Wulan Srindi. “Gadis geblek! Bagaimana kau bisa jadi sinting mengaku
sebagai calon laki anak setan itu! Calon menantuku! Gelo!”

Wulan Srindi jatuhkan diri berlutut. Dia tundukkan kepala sesaat. Sebenarnya dulu ketika
berselisih dan kesal melihat sikap Bidadari Angin Timur yang cemburu keter– laluan, Wulan
Srindi hanya ingin bergurau untuk memper– mainkan gadis berambut pirang itu. Ternyata kini
jadi keterusan. Kepalang basah, biar mandi sekalian, Wulan Srindi akhirnya teruskan sandiwara
yang dilakukannya.

“Nenek Sinto, harap dimaafkan kalau aku membuatmu terkejut dan marah dengan semua
ucapanku tadi. Tapi ketahuilah, sebelumnya Dewa Tuak telah mengangkatku jadi murid. Dia
kemudian menyuruhku mencari muridmu. Katanya antara aku dan muridmu ada ikatan
perjodohan…”
“Hah! Apa?!” Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik besar. Mulutnya seperti mau menelan
bulat-bulat kepala Wulan Srindi. “Tambah gila urusan ini! Tambah sinting kau rupanya!” Teriak
Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit menahan carut marut. “Siapa percaya ucapanmu! Kalau
aku bertemu bangsat tua bernama Dewa Tuak itu akan aku hajar dia sampai pengkor!” Sinto
Gendeng bantingkan tongkatnya ke tanah hingga amblas dan hanya tinggal setengah jengkal
saja yang tersembul. Sambil mulutnya menggerendeng panjang pendek, Sinto Gendeng kem–
bangkan telapak tangan. Sekali tangan ditarik ke atas, tongkat yang tenggelam di tanah melesat
ke atas dan tahutahu sudah berada dalam genggaman tangan kirinya kembali. Namun kekuatah
tenaga dalam yang dikerahkan Sinto Gendeng sewaktu menarik tongkat dari dalam tanah
terlalu berlebihan. Ujung kainnya ikut terbetot ke atas sampai ke pinggul! Auratnya sebelah
bawah tersingkap lebar!

Wulan Srindi yang berada paling dekat dengan si nenek cepat palingkan muka. Jatilandak pura-
pura melihat ke langit dan Loh Gatra menunduk sambil garuk-garuk kening.

Wiro pejamkan mata lalu melengos. “Gila, sudah dua kali aku melihat aurat terlarangnya. Dulu
waktu dia terpendam di tanah. Kata orang melihat yang beginian bisa apes!” (Baca Episode
pertama “113 Lorong Kematian”)

Sinto Gendeng terpekik begitu sadar apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat
menurunkan kain panjang yang basah hingga auratnya sebelah bawah tertutup kembali.

Di balik semak belukar sepasang mata Setan Ngompol terpentang lebar.

“Uhh! Gelap sialan. Aku hanya melihat hitam semua!…” Matanya yang jereng diusap-usap. Air
kencingnya sudah dari tadi mengucur. “Betul kata orang. Nenek tua ini tidak suka pakai celana
dalam! Kalau saja dia masih seorang gadis, hik… hik… hik pasti bagus punya!”

Di sampingnya Bidadari Angin Timur hanya bisa diam dengan wajah merah.

Sinto Gendeng dengan tampang membesi memandang berkeliling, mencari-cari.

“Siapa yang kau cari Eyang?” Wiro beranikan diri bertanya.

“Bocah geblek bernama Naga Kuning itu tidak ada di sini?”

“Tidak Nek, dia tidak ada di sini.” Menerangkan Wiro sambil bertanya-tanya mengapa gurunya
menanyakan Naga Kuning. Wiro kemudian ingat, dulu ketika Sinto Gendeng dipendam di tepi
telaga oleh Sepasang Naga Kembar Naga Nini dan Naga Nina, bersama Gondoruwo Patah Hati
Naga Kuning menolong mengeluarkan si nenek dari jepitan tanah. Ketika Sinto Gendeng
berhasil diselamatkan ternyata kain panjangnya masih terjepit di tanah hingga aurat sebelah
bawah si nenek tersingkap lebar, sama dengan apa yang barusan kejadian. “Hemm…” Wiro
membatin. “Rupanya mungkin Eyang Sinto merasa jengah dan malu sekali kalau Naga Kuning
sempat melihat dirinya setengah bugil sampai dua kali.” (Baca Episode “113 Lorong Kematian”)
Sementara semua orang mulai tenang setelah menyak– sikan pemandangan yang mengejutkan
tadi, Wiro berpaling pada Wulan Srindi. Ingat pada apa yang sebelumnya diucapkan si gadis
bahwa dirinya telah diangkat jadi murid oleh Dewa Tuak dan disuruh si kakek mencari dirinya
karena ada ikatan jodoh. Ingin sekali Wiro menampar Wulan Srindi. Namun yang dilakukannya
hanya meman– dang melotot pada si gadis sementara Wulan Srindi sendiri tenang-tenang saja
malah senyum-senyum simpul.

“Nenek Sinto, kalau kau tidak percaya semua ucapanku silahkan mencari guruku Dewa Tuak.
Tapi…” Wulan Srindi lalu berpura-pura unjukkan wajah sedih. Seperti mau menangis ada,
seperti khawatir juga ada.

“Tampangmu berubah! Apa yang ada dalam otakmu! Jangan kau berani main-main padaku!”
Bentak Sinto Gendeng.

Wulan Srindi gelengkan kepala berulang kali.

“Siapa berani mempermainkanmu Nek. Aku sangat menghormatimu. Apalagi kau adalah calon
mertuaku…”

“Gadis setan! Kalau kau berani ucapkan kata-kata itu sekali lagi kubuat rengkah batok
kepalamu!” teriak Sinto Gendeng.

“Maafkan diriku Nenek Sinto. Tapi mengenai guruku Dewa Tuak, aku tidak tahu apa dia masih
hidup atau sudah waras…”

“Memangnya apa yang terjadi dengan tua bangka rongsokan itu?!” tanya Sinto Gendeng pula
dengan mata masih mendelik dan tampang angker. “Aku punya firasat dia yang mencuri Kitab
Seribu Pengobatan. Karena dia satu-satunya mahluk yang berada di puncak Gunung Gede pada
hari lenyapnya kitab pusaka itu!”

“Perihal kitab itu, aku tidak tahu apa-apa Nek. Guruku orang baik. Dia tidak mungkin mau
mencuri. Apalagi mencuri barang berharga milik calon besan sendiri,” kata Wulan Srindi pula.

Mendengar ucapan Wulan Srindi yang menyebut dirinya sebagai calon besan, Sinto Gendeng
kembali memaki panjang pendek. Wiro lagi-lagi hanya bisa delikkan mata.

Tanpa perdulikan sikap orang Wulan Srindi lanjutkan ucapan. “Sehabis menolongku dari
seorang manusia pocong yang hendak merusak kehormatanku, Dewa Tuak memasuki 113
Lorong Kematian. Sampai saat ini dia tidak muncul lagi. Semua orang tahu Nek, sekali masuk ke
dalam lorong, jangan harap bisa keluar hidup-hidup! Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan
guruku itu.” Wulan Srindi usap matanya seperti orang mengusut air mata.
“Cerita kentut busuk!” tukas Sinto Gendeng tidak terpengaruh dengan mimik dan sikap Wulan
Srindi. Dia melangkah mondar-mandir lalu kembali berdiri di hadapan si gadis. “Gadis sinting!
Kau harus buktikan semua kebe– naran ceritamu! Kau harus menyelidik masuk ke dalam lorong.
Mencari Dewa Tuak. Membuktikan di hadapan semua orang ini bahwa dia benar sudah
mengangkatmu jadi murid…”

“Dan bahwa dia benar telah menjodohkan diriku dengan muridmu,” sambung Wulan Srindi
pula.

“Setan alas! Itu memang harus dibuktikan! Aku mau dengar langsung dari mulut tua bangka
itu!” teriak Sinto Gendeng sementara Wiro garuk-garuk kepala dan yang lain-lain berusaha
menahan senyum melihat keras kepala– nya gadis bernama Wulan Srindi itu. “Tunggu apa lagi!
Ayo cari lorong jahanam itu! Masuk ke sana!” Sinto Gendeng kembali berteriak.

“Nek…,” wajah Wulan Srindi jadi pucat, “Kalau aku masuk ke dalam lorong, mungkin tidak bisa
keluar lagi…”

“Aku tidak perduli kau mau keluar atau tidak. Aku tidak perduli apa kau mati di dalam lorong
lalu berubah jadi hantu lorong!” Jawab Sinto Gendeng.

Wulan Srindi jadi tercekat. “Nenek Sinto, sebenarnya ketika kau datang kami siap untuk
berunding. Tapi men– dadak ada dua kejadian hebat…”

“Jangan berkilah mengarang cerita!” bentak Sinto Gendeng.

“Tidak Nek, dia tidak mengarang cerita,” Wiro menya– huti, “Ceritakan pada guruku apa yang
terjadi.”

Kapak Maut Naga Geni 2122

DI BALIK semak belukar, Setan Ngompol berulang kali kucurkan air kencing men-dengar semua
percaka– pan orang yang serba mengejutkan. Di sampingnya Bidadari Angin Timur terdengar
menggerutu. “Huh! Apaapaan pemuda itu. Mengapa dia malah memberi peluang pada si gadis
untuk menjual kebohongan?!”

“Sebelum mendengar ceritanya, kita tidak tahu apa dia bohong atau bicara benar,” kata Setan
Ngompol pula.

“Kau! Kedengarannya kau mau membelanya. Keluar saja, pergi ke sana!”

“Oala! Aku yang jadi bahan dampratan!” ucap Setan Ngompol seraya pegang perut menahan
kucuran air kencing. Diam-diam kakek bermata juling ini mulai tahu kalau gadis cantik di
sebelahnya sangat tidak menyukai dara bernama Wulan Srindi itu. Apa di antara keduanya
sudah saling mengenal sebelumnya? Setan Ngompol bertanya-tanya siapa sebenarnya dan dari
mana muncul– nya si cantik hitam manis itu. Setelah diam sesaat Setan Ngompol berkata.
“Turut apa yang dibicarakan orang-orang itu, aku memang sudah mendengar lenyapnya Pedang
Naga Suci 212. Tapi mengenai Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan milik nenek bau pesing itu
baru saat ini aku tahu. Tadi Wiro memberitahu gurunya, kalau kau dan dia punya rencana
sama-sama menyelidiki perkara itu. Malah bilang kau sudah punya dugaan siapa pencurinya.”

“Semua orang bisa saja bikin rencana, bisa punya dugaan,” jawab Bidadari Angin Timur dengan
suara datar dan wajah dingin. Sikapnya seperti tidak acuh. Gadis ini memandang ke arah orang-
orang di depan sana.

“Sandiwara busuk! Apa Sinto Gendeng tidak sadar kalau dirinya tengah ditipu gadis centil itu?”
Bidadari Angin Timur kepalkan tinju.

“Sahabatku cantik,” ujar Setan Ngompol pula. “Kalau kau mau ikut menyelesaikan keruwetan,
agar nenek bau pesing itu tidak tertipu lebih jauh, ayo kita sama-sama keluar. Kita damprat
gadis bernama Wulan Srindi itu. Tapi, apa kita punya bukti bahwa dia benar berdusta
mengarang cerita?”

Sedang jengkel hati, Bidadari Angin Timur tambah kesal mendengar ucapan Setan Ngompol.
“Kakek tolol! Kau membela pemuda itu. Kau juga membela gadis centil itu! Aku tidak suka
bicara lagi denganmu!”

Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur berkelebat ke balik semak belukar yang lain. Setan
Ngompol berusaha menahan gerakan si gadis dengan ulurkan tangan, mak– sudnya hendak
memegang bahu Bidadari Angin Timur. Tapi gerakan si gadis lebih cepat. Jari-jari tangan Setan
Ngompol hanya sempat meraba sekilas bahu dan samping punggung sebelah kiri Bidadari Angin
Timur. Si kakek goleng-goleng kepala. Pandangi tangan kanan sambil hatinya berkata. “Aku
meraba sesuatu di kepitan tangan kiri gadis itu. Senjata? Ah, mengapa harus aku pikirkan.
Perempuan memang banyak perabotan yang selalu dibawa ke mana-mana. Kecuali si Sinto
Gendeng itu. Yang ke mana-mana kalau polos-polos saja. Celana dalam saja tidak gablek…”
Setan Ngompol lalu tertawa sendiri.

***

Sinto Gendeng pelototi muridnya. Lalu berpaling pada Wulan Srindi. “Gadis sinting, apa yang
mau kau ceritakan! Kalau ngawur kupecahkan kepalamu dengan tongkat ini!”

Wulan Srindi mengerling dulu pada Wiro baru membuka mulut berikan penuturan. Dia memulai
ceritanya dari kematian Surablandong Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yang sudah lengser dan
kabarnya dibunuh oleh makhluk aneh berbentuk manusia pocong. Untuk menyelidik kematian
Surablandong, bersama saudara seperguruannya yaitu Parit Juwana, yang merupakan ketua
baru Perguruan, Wulan Srindi menyamar sebagai sepasang suami istri muda. Dalam
penyamaran itu Wulan Srindi berpura-pura sedang dalam keadaan mengandung tujuh bulan
memakai nama Nyi Ningrum, sedang Parit Juwana mengganti nama sebagai Raden
Kuncorobanu. Hal ini dilakukan karena kabarnya komplotan manusia pocong yang sangat ganas
itu sering berkeliaran menculik perempuan-perempuan muda yang tengah hamil tujuh bulan.

Di satu malam menjelang fajar, Wulan Srindi dan Parit Juwana pergi ke satu tempat dekat
Telaga Sarangan. Mereka ingin melihat bunga mawar hitam langka yang hanya tumbuh di
sekitar air terjun. Sebenarnya semua ini adalah siasat dua murid Perguruan Silat Lawu Putih itu
untuk menjebak manusia pocong. Mereka diantar oleh Kepala Desa Sarangan, Ki Sena
Pamungkur berikut beberapa pengawal pamong desa.

Kenyataannya manusia pocong yang ditunggu-tunggu memang muncul. Perkelahian hebat


terjadi. Ki Sena Pamungkur dan beberapa anak buahnya tewas. Menyusul Parit Juwana. Wulan
Srindi sendiri kemudian ditotok dan dilarikan manusia pocong berkepandaian tinggi. Wulan
Srindi dibawa memasuki lorong panjang berliku-liku. Dia dihadapkan pada seorang manusia
pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua. Sebaliknya Sang Ketua memanggil
manusia pocong yang menculik Wulan dengan sebutan Wakil Ketua. Sang Ketua menanyakan
apakah tugas mencari Pendekar 212 telah dilakukan. Ternyata tugas itu belum terlaksana, tapi
sudah disirap kabar di mana beradanya Wiro Sableng. Kepada Sang Ketua, Wakil Ketua minta
agar dia diperbolehkan membawa Wulan Srindi. Atas izin Sang Ketua, Wakil Ketua komplotan
manu– sia pocong membawa Wulan Srindi ke dalam kamarnya. Tapi ketika ditinggal sebentar,
dengan merayu seorang manusia pocong lainnya gadis ini berhasil keluar dari Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian. Ternyata dirinya lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Manusia
pocong yang menolong membawanya ke sebuah pondok dalam satu rimba belantara
membekal niat mesum. Ham– pir dirinya hendak digagahi muncul Dewa Tuak menolong.
Manusia pocong itu dibunuh dan ternyata adalah Ki Sepuh Dalem Kawung seorang sahabat
lama Dewa Tuak. Dewa Tuak tidak sempat menanyai kenapa sahabatnya itu berubah menjadi
orang jahat karena Ki Sepuh Dalem Kawung keburu menghembuskan nafas terakhir. (Baca
Episode sebelumnya “Nyawa Kedua” dan “Rumah Tanpa Dosa”)

“Setelah menyelamatkan diriku, sebelum masuk ke dalam lorong, Dewa Tuak berkenan
menyatakan diriku sebagai muridnya…” Wulan Srindi mengerling pada Sinto Gendeng lalu
melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Aku masih tidak percaya. Apa alasannya mengambil dirinya jadi muridnya? Tidak semudah itu
Dewa Tuak mengangkat seseorang jadi murid…” Ucap Sinto Gendeng.

“Nek, keadaan saat itu sulit dilukiskan. Perasaan Dewa Tuak entah bagaimana…”

“Tunggu,” memotong Wiro. “Kau belum menceritakan dua kejadian hebat yang kau maksudkan
pada guruku.”

Wulan Srindi mengangguk. Lalu mulai bercerita.

“Kejadian hebat pertama adalah munculnya Adipati Sidik Mangkurat yang hendak menangkap
Pendekar 212…”
“Tunggu! Kenapa Sidik Mangkurat mau menangkap anak setan itu?!” potong Sinto Gendeng
seraya melirik ke arah Wiro.

“Kami, aku dan Wiro dituduh membunuh Aji Warangan, kepala pasukan Kadipaten Magetan,”
yang menjawab Loh Gatra. “Padahal pembunuhnya sudah dapat dipastikan ada–Zlah anggota
komplotan manusia pocong dari Lorong Kematian.”

“Juga karena dendam lama, Nek,” menyambung Wiro. “Satu kali Adipati berusaha menangkap
kakek berjuluk Setan Ngompol. Dia dituduh sebagai anggota komplotan manusia pocong dan
hendak dihabisi. Aku menolong kakek itu. Sidik Mangkurat terpaksa angkat kaki kembali ke
Magetan bersama anak buahnya. Dia malu dan dendam besar terhadapku.”

“Hemmm…” Sinto Gendeng hanya keluarkan suara bergumam mendengar keterangan Loh
Gatra dan Wiro Sableng.

Wiro garuk-garuk kepala, mendekati gurunya lalu setengah berbisik berkata. “Nek, kalau aku
tidak salah ingat, pada pertemuan terakhir kau menceritakan pernah dihadang manusia
pocong. Terjadi perkelahian. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari. Manusia
pocong kabur, jubahnya hangus separoh. Aku heran, sekarang mengapa kau seperti tidak
percaya adanya makhluk aneh ganas itu?”

Sinto Gendeng pencongkan mulut lalu menjawab. “Anak setan, kalau aku cerita terus-terang,
semua orang disini akan lumer nyalinya. Siapa yang bakal berani menembus lorong kematian?
Siapa yang masih punya nyali menyelidik, mengejar dan menghancurkan mahluk-mahluk
keparat itu? Aku sendiri tidak mau ikut campur urusan beginian. Aku ada urusan lain lebih
penting.”

“Tapi Nek, rimba persilatan sedang terancam. Di balik semua penculikan perempuan hamil dan
pembunuhan ini pasti ada apa-apanya…”

“Rimba persilatan katamu? Hik… hik… hik.” Si nenek tertawa. “Aku sudah lama tidak mengurusi
yang namanya rimba persilatan. Kalian yang muda-muda, rimba persilatan ada di tangan kalian.
Jadi uruslah sendiri!”

Wiro hanya bisa terdiam dan garuk-garuk kepala. Dalam hati pendekar ini berkata. “Kalau tidak
mengurusi rimba persilatan mengapa sekarang dia gentayangan di tempat ini? Nenek aneh,
sulit dibaca hati dan jalan pikirannya.”

“Apa yang ada di benakmu?” Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.

“Ti… tidak Nek,” Wiro terganggu. “Terus-terang, biar kau marah Nek, aku cuma heran. Kalau
kau memang tidak perduli rimba persilatan lagi, lalu mengapa muncul di sana, muncul di sini.
Mungkin tengah mencari seorang kekasih lama?”
Plaaakkk!

Tamparan tangan kanan Sinto Gendeng mendarat keras di pipi Pendekar 212 Wiro Sableng,
membuat sang murid berdiri sempoyongan. Di sudut bibirnya kelihatan ada darah mengucur.
Sementara semua orang heran melihat apa yang terjadi karena tadi mereka melihat guru dan
murid saling bicara berbisik-bisik. Lalu tahu-tahu Sinto Gendeng layangkan tamparan ke muka
Wiro. Di balik semak belukar gelap terpisah sekitar sepuluh langkah dari tempat Setan Ngompol
berlindung, Bidadari Angin Timur senyum-senyum seolah mensyukuri Wiro kena tampar tadi.

Lain hati dan perasaan Bidadari Angin Timur, lain pula perasaan dan sikap Wulan Srindi.
Mungkin saja ada maksud untuk menarik keuntungan dari apa yang terjadi. Namun saat itu
yang jelas memang ada rasa kasihan di lubuk hatinya. Dengan cepat dia dekati Wiro, keluarkan
sehelai sapu tangan biru muda lalu menyeka darah di sudut bibir Wiro yang luka akibat
tamparan. Sehabis menyeka darah, sapu tangan diselipkannya ke pinggang Wiro.

Di balik semak belukar Bidadari Angin Timur seperti dipanggang.

Melihat muridnya terluka akibat tamparannya, bagaimanapun juga Sinto Gendeng jadi
terkesiap sendiri. Namun dia cepat tutupi perasaannya dengan berpaling pada Wulan Srindi dan
berkata.

“Gadis sinting! Teruskan ceritamu.”

Sang dara berkulit hitam manis telan ludahnya, melirik ke arah Wiro sesaat lalu teruskan
ceritanya.

“Terjadi perkelahian hebat antara muridmu dengan Adipati. Sewaktu terdesak Adipati itu
keluarkan sebuah senjata berupa cambuk yang bisa mengeluarkan puluhan lidah api…”

“Apa?!” Sinto Gendeng kelihatan seperti berjingkrak mendengar cerita si gadis. Wajahnya
berubah. Mata men– delik, pelipis bergerak-gerak dan susur dalam mulutnya disemburkan.
“Kau bilang Adipati Sidik Mangkurat memiliki senjata berbentuk cambuk. Yang bisa
mengeluarkan puluhan lidah api?! Hah?!”

“Benar Nek!” jawab Wulan Srindi yang menjadi tegang melihat perubahan wajah si nenek.

Kapak Maut Naga Geni 2123

SINTO Gendeng mendongak ke langit. Dua mata dipejamkan. “Nek, kalau aku tidak salah ingat,
kakek bersorban putih menyebut senjata itu sebagai Pecut Sewu Geni…” Sinto Gendeng
langsung tersentak. Dua mata mem– belalak.
“Apa katamu?” ucapnya sambil menatap tajam ke wajah Wulan Srindi. “Si kakek menyebut
pecut itu Pecut Sewu Geni?”

“Benar Nek,” Loh Gatra ikut meyakinkan.

Kembali si nenek mendongak ke langit gelap.

“Kalau itu betul Pecut Sewu Geni… Aku tidak bisa membayangkan. Jangan-jangan… Tapi
bagaimana asal usulnya senjata sakti mandraguna itu sampai ada di tangan Adipati itu? Aku
sendiri sudah belasan tahun mencari. Keburu orang lain mendapatkan. Heran, mengapa dalam
kemunculan terakhir kali Kiai tidak pernah menceritakan apa-apa menyangkut pecut itu.
Apakah… ah, pasti aku akan kena damprat lagi…”

Untuk beberapa lama Sinto Gendeng tegak termangu mendongak langit seperti itu hingga
semua orang bertanyatanya ada apa dengan nenek ini.

“Nenek Sinto…” Wulan Srindi menegur. “Ceritaku belum selesai. Apa aku boleh meneruskan?”

Si nenek turunkan kepala, menatap tajam ke arah Wulan Srindi lalu anggukkan kepala.

“Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan cambuknya, orang itu…,” Wulan Srindi
menunjuk pada Loh Gatra. “Berusaha menangkis serangan. Maksudnya sekaligus mau
melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena hantam. Tubuhnya cidera dikobari api. Wiro sendiri
kemu– dian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh seorang kakek aneh.
Kakek ini berkepan– daian tinggi sekali. Dia merampas cambuk api dari tangan Adipati Sidik
Mangkurat dalam satu gerakan yang hampir tidak kelihatan.”

“Kakek aneh itu!” ujar Sinto Gendeng hampir berteriak. “Bagaimana ciri-cirinya?” Sinto
Gendeng memandang lekat-lekat ke arah Wulan Srindi, melirik ke arah Wiro.

Wulan Srindi sebagai salah seorang yang memang melihat kakek aneh itu menjawab. “Dia
melayang di antara pepohonan. Gerakannya cepat luar biasa. Berkelebat dari satu pohon ke
pohon lain seperti seekor elang raksasa…”

“Aku ingin kau menerangkan ciri-cirinya. Bukan segala macam kehebatannya.” kata Sinto
Gendeng pula.

“Kakek itu mengenakan jubah dan sorban putih berkilat. Dalam gelapnya malam pakaian serta
sorbannya tampak seperti nyala api. Dia memelihara janggut dan kumis putih seperti kapas.
Wajah putih klimis. Ketika bicara, walaupun berteriak dan membentak tapi ada kelembutan.”

“Ketika bicara walau berteriak dan membentak tapi ada kelembutan…” Sinto Gendeng ulangi
ucapan Wulan Srindi. Lalu kelihatan nenek ini usap wajahnya yang hitam berulang kali.
“Kakek berwajah klimis itu, apakah ada guratan kecil bekas luka di dagu kirinya?” Sinto
Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.

“Matam begitu gelap, dia berada di atas pohon. Aku tidak begitu memperhatikan…” jawab
Wulan Srindi.

Wiro dan Loh Gatra yang sempat berada cukup dekat dengan si kakek juga tidak ingat dan tidak
sempat mem– perhatikan apakah ada tanda guratan luka di dagu kiri orang tua itu. Karenanya,
keduanya diam saja.

Sinto Gendeng sendiri membatin dalam hati, “Kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
Memelihara janggut dan kumis putih, berwajah kelimis. Ada kelembutan di balik suaranya
sekalipun ketika berteriak atau membentak. Mungkinkah dia…? Empatpuluh tahun tidak
bertemu…” Sinto Gendeng tarik nafas dalam berulang kali.

“Nek, boleh saya meneruskan cerita saya?” tanya Wulan Srindi.

Sinto Gendeng mengangguk perlahan. Sebagian dari pikirannya berada di tempat lain, jauh
menerawang.

“Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan cambuknya, orang itu…,” Wulan Srindi
menunjuk pada Loh Gatra. “Berusaha menangkis serangan. Maksudnya sekali– gus mau
melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena han– tam. Tubuhnya cidera dikobari api. Wiro sendiri
kemudian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh si kakek. Dia merampas
cambuk dari tangan Adipati Sidik Mangkurat.”

“Ah…” Sinto Gendeng lepas nafas panjang.

“Berat dugaanku, dia mengenal siapa adanya si kakek.” Wiro membatin sambil perhatikan
gerak-gerik gurunya tapi kapok keluarkan ucapan. “Aku punya dugaan kakek itu salah seorang
kekasihnya di masa muda. Jadi ini rupanya alasan yang membuat dia masih mau muncul di
rimba persilatan.”

“Hai, kenapa kau tidak meneruskan cerita. Apa yang terjadi kemudian?” Sinto Gendeng
bertanya pada Wulan Srindi.

“Adipati Sidik Mangkurat minta agar si kakek yang berdiri di atas pohon menyerahkan kembali
pecut sakti kepadanya. Si kakek mempersilahkan Adipati itu mengam– bil sendiri. Ketika Sidik
Mangkurat melesat ke atas pohon, si kakek kipas-kipaskan tangan di depan wajah seraya
berkata mengapa malam begitu panas. Tahu-tahu Sidik Mangkurat terpental, jatuh bergedebuk
di tanah…”

“Pukulan Tangan Dewa Mengipas Bumi…”


Ucapan Sinto Gendeng walau perlahan tapi sempat terdengar Wiro.

“Ah, kau tahu nama pukulan yang dilepas si kakek.

Pasti kau memang kenal dengan dirinya, Nek…”

“Lalu, bagaimana kelanjutannya. Apa yang terjadi?” Sinto Gendeng kembali bertanya pada
Wulan Srindi.

“Sebelum pergi kakek itu mengobati luka bakar di tubuh pemuda itu,” Wulan Srindi menunjuk
ke arah Loh Gatra. “Dia gelantungkan cambuk di depan pemuda itu, lalu meniup. Ajaibnya,
seluruh luka bakar di tubuh dan wajah pemuda itu lenyap. Sembuh…”

“Mulut Dewa Menghembus Kesembuhan… Pasti dia… memang dia…” ucap Sinto Gendeng. Lagi-
lagi membuat Wiro terkesima tapi tidak berani keluarkan ucapan. Takut salah dan kena tampar
lagi.

“Setelah menyembuhkan pemuda ini, si kakek lantas berbuat apa? Pergi…?”

Wulan Srindi mengangguk.

Tadinya Wiro hendak menceritakan bagaimana sebe– lum pergi si kakek tersenyum dan
kedipkan mata kiri satu kali padanya. Namun Wiro memutuskan lebih baik diam saja, tidak
perlu bicara apa-apa.

“Waktu dia tinggalkan tempat ini, ke arah mana dia menuju…”

Wulan Srindi menunjuk ke jurusan lenyapnya kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.

“Aku yakin pasti nenek satu ini akan mengejar ke arah sana,” membatin Wiro.

Sinto Gendeng memang siap gerakkan kaki hendak berkelebat pergi. Tapi dia urungkan niat,
memandang berkeliling.

“Coba kalian ingat-ingat. Setelah dapatkan cambuk, apakah kakek itu ada keluarkan perkataan.
Perkataan apa saja…”

“Memang ada, tapi kami tidak ingat satu persatu…” jawab Wulan Srindi sementara yang lain-
lain diam saja.

Tiba-tiba Jatilandak membuka mulut. “Ada di antara ucapannya yang aku masih ingat. Dia
bicara pada Adipati Sidik Mangkurat. Katanya Adipati itu harus sudah cukup puas dengan
beradanya senjata sakti itu di tangannya selama lima puluh dua purnama. Saatnya senjata itu
dikembalikan ke tempat asalnya…”
“Manusia muka kuning, benar kakek itu berucap begitu?” Sinto Gendeng ingin menegaskan.
Ada rasa tak percaya tapi dadanya berdebar.

Jatilandak anggukkan kepala. Si nenek pencongkan mulutnya yang kempot beberapa kali. Tanpa
keluarkan ucapan apa-apa lagi dia langsung berkelebat pergi tapi Wulan Srindi cepat memburu
seraya berseru. “Nek! Tunggu!”

Sinto Gendeng berhenti dan balikkan badan. Wajahnya yang angker tampak kesal. “Gadis
centil! Kau hanya membuang-buang waktuku saja. Ada apa?!”

“Nek, menghadapi urusan besar dengan manusiamanusia pocong yang bermarkas di lorong
kematian, kami semua mohon petunjukmu. Apalagi guruku Dewa Tuak ada di dalam sana.”

“Gadis tolol! Kalian punya ilmu kepandaian, punya senjata! Apa lagi?! Sekarang bukan
jamannya minta petunjuk! Segala sesuatu harus dipikir dan dikerjakan sendiri lalu punya rasa
tanggung jawab sendiri!” jawab Sinto Gendeng sambil pelototkan mata.

“Nek, kami yang muda-muda ini hanya menang semangat. Pengalaman hanya secupak, ilmu
kepandaian hanya semata kaki. Mana mungkin kami bersombong diri dapat menghadapi semua
persoalan rimba persilatan. Lagi pula kau adalah satu-satunya tokoh panutan kepada siapa kami
bergantung dan berharap.”

Pandai sekali Wulan Srindi mengucapkan kata-kata itu dan mengatur raut wajah unjukkan
mimik penuh memelas.

“Hemmm…” Sinto Gendeng bergumam. Mulutnya yang perot komat kamit. Sesaat hatinya
masih keras. Namun setelah pandangi wajah-wajah yang ada di tempat itu satu persatu terlebih
wajah Si Anak Setan muridnya sendiri yang tadi ditamparnya, kekerasan hati si nenek jadi leleh
juga.

“Baik! Dalam kalian menghadapi perkara besar ini, aku akan berikan satu petunjuk, hanya satu
petunjuk. Tinggal bagaimana kalian mencernanya. Dengar baik-baik. Ilmu rotan jangan dipakai.
Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong.
Karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Coba kalian ulangi kata-kataku barusan…”

Semua orang yang ada di situ dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan Sinto Gendeng.
Mereka samasama mengucap.

“Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar. Ilmu bambu
mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar…”

Belum habis gema ucapan semua orang, Sinto Gendeng sudah berkelebat lenyap dari tempat
itu. Hanya bau pesingnya saja yang masih tertinggal menyekat di rongga hidung,
Wiro garuk-garuk kepala. “Apa maksud tua bangka aneh itu. Urusan menghadapi manusia-
manusia pocong pembunuh dan penculik perempuan-perempuan bunting mengapa membawa
segala macam rotan dan bambu?”

Di balik semak belukar lebat dan gelap Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.

“Rotan dan bambu. Hik… hik… Aku juga punya rotan dan bambu. Tak ada lobang masuk tapi ada
lobang keluar. Ngocor terus-terusan! Ah, pasti ilmu rotan dan bambu milikku ini tidak bisa
dipergunakan…”

Di balik semak belukar lain, tak jauh dari tempat Setan Ngompol mendekam, Bidadari Angin
Timur tengah berpikir keras menimbang-nimbang. Apakah saat itu sebaiknya dia keluar saja
dari tempat persembunyian dan bergabung dengan Wiro. Rasa benci yang dibalut rasa
kecemburuan terhadap Wulan Srindi membuat dadanya terasa sesak dan panas. Ketika gadis
cantik berambut pirang berkepandaian tinggi ini akhirnya memutuskan untuk segera keluar dari
balik semak belukar, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Setan Ngompol
terkencing saking kaget. Bidadari Angin Timur sibakkan semak-semak dan mem– perhatikan ke
arah kegelapan. Ketika melihat siapa adanya si penunggang kuda, bibir si gadis seruakkan
senyum. Lesung pipit muncul di pipi kiri kanan.

“Wulan Srindi, sekarang kena batunya kau!”

Kapak Maut Naga Geni 2124

DALAM Episode “Aksara Batu Bernyawa” dituturkan bagaimana setelah mendapatkan batu
mustika (kala itu masih berupa dan bernama Batu Bernyawa) Raja Setan Tersenyum segera
berangkat ke Kotaraja untuk menemui Tumenggung Abdi Tunggul di Keraton. Namun untuk
kedua kalinya tokoh silat yang dulu pernah menjadi pentolan Istana ini ditimpa nasib sial.
Kesialan pertama adalah kematian kekasihnya Ratu Setan Tersenyum. Sial kedua justru terjadi
di Keraton. Dia kena ditipu oleh seorang yang mengaku mewakili Tumenggung. Orang ini yang
ternyata memiliki kepandaian tinggi berhasil menotok Raja Setan, menyumpal mulutnya
dengan patung kayu lalu mengambil Batu Bernyawa yang ada di balik jubah hijaunya. Walaupun
Raja Setan berhasil menyemburkan patung kayu yang menyumpal mulut dan berteriak keras,
namun pengawal yang kemudian datang tidak bisa berbuat apa. Orang tinggi besar yang
menyamar sebagai seorang kakek berambut putih telah lenyap dari tempat itu.

Tak selang berapa lama sewaktu Tumenggung Abdi Tunggul keluar menemui Raja Setan
Tersenyum. Walau berusia hampir enam puluh tahun namun wajah tampak masih segar dan
sosok sang Tumenggung tinggi besar masih tegap kekar. Raja Setan Tersenyum menceritakan
apa yang terjadi. Untuk beberapa lama Tumenggung terdiam, wajah berubah kaku dan mata
menatap tak berkesip ke arah Raja Setan. Saat itu dia bukan cuma terkejut mendengar
keterangan Raja Setan, tetapi juga bertanya-tanya apa yang terjadi dengan seorang lain yang
juga ditugaskannya untuk mendapatkan Batu Bernyawa itu. Jika masih hidup apa yang terjadi
dengan dirinya. Kalau sudah mati siapa yang membunuhnya.

“Seorang yang pernah menjadi tokoh silat Istana kelas satu, bisa diperdaya dan dirampok
orang! Sungguh aku tak bisa percaya…”

“Tumenggung, aku mohon maafmu. Jahanam peram– pok itu berkepandaian luar biasa tinggi.
Tumenggung, apakah kau tidak akan membantu melepaskan totokan– ku?”

Tumenggung Abdi Tunggul maju mendekat lalu tepuk ubun-ubun Raja Setan. Sungguh luar
biasa. Sekali menepuk totokan di tubuh Raja Setan punah. Biasanya orang berkepandaian tinggi
selalu melepas totokan di tempat di mana korban terkena totokan. Tapi Tumenggung Abdi
Tunggul rupanya memiliki ilmu pelepas totok yang langka dan jarang orang lain memilikinya.

“Raja Setan, apakah kau mengenal siapa perampok itu?” tanya Tumenggung.

“Dia berdandan sebagai seorang kakek rambut putih. Aku yakin dia seorang yang ahli
menyamar…”

“Ceritakan bagaimana kau mendapatkan Batu Bernya– wa sebelum dirampas oleh orang
berpenampilan kakek berambut putih.”

“Aku menemukan peti hitam yang dibawa makhluk luar kepala manusia dari dasar samudera,
tergeletak dalam keadaan terbuka di satu tempat. Batu Bernyawa menancap di kening
kutungan kepala manusia yang ada dalam peti…”

“Peti tak mungkin berada di situ dengan sendirinya. Pasti ada beberapa kejadian sebelumnya…”
ucap Tumeng– gung pula.

“Sesuai perintahmu, aku melakukan pengintaian di selatan Parangteritis. Ternyata di situ telah
dipenuhi oleh beberapa orang tokoh silat dan serombongan orang ber– cadar mengaku sebagai
orang-orang Kerajaan. Beberapa tokoh mati terbunuh sebelum salah seorang bercadar ber–
hasil melarikan peti berisi batu mustika. Orang bercadar ini berat dugaanku adalah Pangeran
Haryo…”

Raja Setan Tersenyum hentikan cerita menatap tajam pada Tumenggung Abdi Tunggul. Dia
tidak melihat peruba– han pada wajah pejabat Keraton itu.

Raja Setan teruskan ucapannya. “Kalau ada orang lain dari Istana yang ikut mencari batu
mustika itu, seperti diriku apakah dia juga atas perintah Tumenggung?”

“Jangan bertanya dulu. Teruskan saja ceritamu,” jawab Tumenggung Abdi Tunggul.
“Orang yang kuduga Pangeran Haryo ini kemudian cidera berat akibat hantaman satu pukulan
sakti yang dilepaskan seorang lelaki tinggi besar.”

“Kau tahu siapa orang tinggi besar ini?”

“Tidak,” jawab Raja Setan. Walau sudah bisa menduga siapa adanya lelaki tinggi besar itu
namun Raja Setan sengaja berdusta, tidak mau memberitahu. Dia punya rencana untuk
menyelidik. “Aku sendiri kemudian terlibat perkelahian dengan orang tinggi besar itu dan kena
ditotok. Kemudian dia lari mengejar Pangeran Haryo.”

“Jika orang tinggi besar inginkan Batu Bernyawa, adalah aneh dia tidak membunuhmu,” kata
Tumenggung Abdi Tunggul sambil usap-usap dagu.

“Mungkin dia lebih mementingkan mengejar Pangeran Haryo,” jawab Raja Setan. “Apa yang
terjadi kemudian, tidak aku ketahui. Menjelang pagi aku berhasil melepaskan diri dari totokan.
Lalu aku temui peti kayu itu…”

“Pangeran Haryo sendiri berada di mana?” tanya Tumenggung pula.

“Tidak aku ketahui berada di mana atau bagaimana nasibnya.” jawab Raja Setan.

“Aku punya firasat, Pangeran itu telah menemui ajal.”

“Kalau begitu, agaknya benar dugaanku bahwa Tumenggung juga menugaskan Pangeran Haryo
selain diriku dalam mencari Batu Bernyawa itu.”

“Rasanya hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada satu tugas baru yang harus segera kau
laksanakan.”

Raja Setan Tersenyum diam saja. Dia merasa ada siasat busuk dalam tugas yang diberikan sang
tumenggung kepadanya.

“Sekarang juga kau berangkat ke kaki Gunung Kukusan. Di sebelah timur ada dua sungai saling
bertemu pada tikungan berbentuk tapal kuda. Jika kau datang tepat waktu, di situ kau akan
menemui seorang kakek aneh bertampang sedih dan sebentar-sebentar menangis. Temui kakek
itu, begitu berhadapan langsung kau bunuh. Kau boleh pergunakan kuda terbaik yang ada di
kandang kuda Keraton.”

“Kakek aneh ini, apakah dia punya nama atau memiliki gelar?” tanya Raja Setan Tersenyum
sambil sunggingkan senyum.

“Dia dikenal dengan julukan Dewa Sedih.”


Senyum langsung lenyap dari wajah Raja Setan Terse– nyum. Tubuhnya hampir terangkat dari
kursi yang diduduki. Sesaat kakek ini terdiam, baru kemudian membuka mulut.

“Soal bunuh membunuh sudah jadi pekerjaanku sejak aku berusia lima belas tahun. Tapi
membunuh manusia yang berjuluk Dewa Sedih itu bukan satu pekerjaan mudah, Tumenggung.
Selain itu aku harus menyelidik dan mencari pembunuh kekasihku. Orang tinggi besar itu. Besar
duga– anku dia adalah orang yang merampas Batu Bernyawa.”

“Aku tidak mau mendengar alasan apapun keluar dari mulutmu. Apa kau masih inginkan hadiah
ini, atau kita tutup pembicaraan sampai di sini!”

Habis keluarkan ucapan begitu Tumenggung Abdi Tunggal bertepuk dua kali. Saat itu juga
muncul lima orang lelaki bertubuh tinggi tegap, berwajah angker. Masingmasing mencekal
golok besar. Cepat sekali gerakan mereka tahu-tahu telah mengurung Raja Setan Tersenyum.

Melihat ancaman, Raja Setan Tersenyum sunggingkan senyum. Tapi dia tidak diam saja. Secepat
kilat dia ambil lima anak panah hitam dari kantong di punggungnya.

“Aku tahu, kau punya ilmu hebatan melempar panah. Kau sanggup membunuh mereka dalam
satu kali kejapan mata. Tapi kau tidak akan punya peluang untuk menghin– dari serangan maut
dariku! Bagaimana?” Tumenggung Abdi Tunggul angkat tangannya yang dikepal. Kepalan itu
tampak memancarkan cahaya hitam.

“Pukulan Jelaga Besi!” membatin Raja Setan Terse– nyum yang mengenali pukulan sakti yang
siap dilepaskan sang Tumenggung. Jangankan tubuh manusia, dinding besipun mampu
ditembus pukulan itu. Orang yang terkena pukulan tidak akan langsung tewas, tapi sakit
sengsara dulu selama beberapa hari sebelum menemui ajal karena saluran darah, isi perut
termasuk jantungnya telah dirambas bubuk besi mengandung racun jahat luar biasa.

Di dalam hati Raja Setan Tersenyum menyumpah habishabisan. “Tumenggung keparat ini
rupanya memang sudah menyusun rencana keji dari dulu-dulu.” Namun tanpa perlihatkan rasa
benci pada air mukanya terhadap sang Tumenggung, malah sambil tersenyum Raja Setan
Tersenyum berkata. “Aku memilih hadiah itu.”

Tumenggung Abdi Tunggul lemparkan kantong kain. Raja Setan Tersenyum cepat menangkap
kantong berisi beberapa kepingan emas itu. Tumenggung bertepuk tangan dua kali. Lima lelaki
tinggi besar bertampang angker serta merta tinggalkan tempat itu.

Tumenggung Abdi Tunggul usap dagunya. “Aku ragu, hatiku menduga dia akan terlambat.
Orang tinggi besar yang merampas Batu Bernyawa itu mungkin sekali mendahului sampai di
tempat itu…” Sang Tumenggung geleng-geleng kepala. “Aku punya dugaan Raja Setan
Tersenyum tahu siapa adanya orang tinggi besar itu. Ada apa dia tidak mau menerangkan
padaku.”
***

Kaki Gunung Kukusan sebelah timur. Saat itu menjelang tengah hari. Udara tidak begitu baik. Di
arah selatan tampak awan tebal menutupi sebagian langit. Sesekali ada sambaran kilat
membelah udara. Di tikungan sungai berbentuk tapal kuda pada pertemuan sebuah sungai
dengan sungai lain seorang penunggang kuda berhenti di satu lamping batu. Matanya
memandang berkeliling, lalu kembali diarahkan pada batu-batu besar yang bertebaran di
bawah sana.

“Tumenggung itu menyuruhku ke sini. Tidak ada manusia, tidak ada hantu di tempat ini. Apalagi
kakek berjuluk Dewa Sedih itu. Atau… hemmm, apakah ini siasat, satu jebakan yang dirancang
oleh Tumenggung keparat itu?! Kalau aku lihat sosok tinggi besarnya, mengapa ada persamaan
dengan orang tinggi besar yang membunuh kekasihku, dan kakek berambut putih si penyamar
dalam keraton?” Raja Setan Tersenyum geleng-geleng kepala. “Aku tidak akan mencari. Lebih
baik menunggu. Kalau sampai matahari tenggelam Dewa Sedih tidak muncul, perduli setan! Aku
akan tinggalkan tempat ini. Tidak membunuhnya tidak jadi apa. Aku sudah dapatkan hadiah.”

Raja Setan Tersenyum turun dari kudanya. Binatang itu dituntun ke tebing sungai yang tidak
begitu terjal, lalu diturunkan ke dalam sungai untuk diberi minum. Raja Setan Tersenyum
sendiri kemudian mencari bagian sungai yang airnya lebih bersih, singsingkan jubah hijau,
ujungnya diikat di pinggang lalu turun ke air, membasahi muka dan kepalanya yang botak serta
minum air sungai beberapa teguk.

Mendadak Raja Setan Tersenyum dikagetkan oleh satu keanehan. Arus air sungai yang mengalir
melewati kedua kakinya ke arah hilir, tiba-tiba berputar-putar di sekitar tempat dia berada.
Putaran yang mula-mula lambat saat demi saat menjadi keras. Akibatnya tubuhnya yang berada
di dalam air mulai ikut berputar. Perlahan-lahan, lalu men– deru seperti gasing dan satu saat
melesat ke udara.

Raja Setan Tersenyum berseru kaget. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Namun mengapa air sungai mampu membuat dia berputar dan
terpental ke udara? Kekuatan dahsyat apa yang ter– sembunyi di balik kejadian aneh itu?

Di udara setelah lepas dari kekuatan dahsyat yang membuat dirinya terpental. Raja Setan
Tersenyum mem– buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun ke batu hitam berbentuk rata
empat persegi di tengah sungai. Sepasang mata Raja Setan Tersenyum berputar liar,
memandang berkeliling. Dia adalah seorang kakek luas pengalaman dan tinggi ilmu kepandaian.
Tidak sembarang orang bisa mempermainkannya. Lalu apa yang barusan terjadi? Kekuatan apa
yang bisa membuat air sungai berputar begitu rupa hingga dia ikut berputar dan terpental ke
udara. Tidak satu manusiapun yang kelihatan. Lalu apakah semua itu tadi pekerjaan hantu,
dedemit sungai?

Selagi Raja Setan Tersenyum kibas-kibaskan ujung jubahnya yang basah, tiba-tiba alisnya
mencuat. Mata mendelik diarahkan ke air sungai satu tombak di depan batu persegi di atas
mana dia berdiri. Air sungai dilihatnya mengeluarkan gelembung-gelembung serta suara aneh.
Lalu di balik suara aneh itu dia seperti mendengar suara orang sesenggukan.

“Dia ada di sini…” ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar. Matanya tak mau
berkedip. Lengah sedikit saja bisa merenggut nyawa. Suara sesenggukan terdengar semakin
keras. Orangnya sendiri tidak kelihatan. Lalu meledak satu suara orang menangis meratap! Batu
yang dipijak Raja Setan Tersenyum bergetar hebat!

“Dewa Sedih… Di mana dia?” ujar Raja Setan Terse– nyum sambil memandang berkeliling.
Matanya menyapu seantero tempat. Dia tidak melihat siapa-siapa. Kembali pandangannya
diarahkan ke sungai yang mengeluarkan gelembung air. “Apakah dia berada di dalam situ? Apa
ada manusia yang bisa menangis di dalam air?”

Baru saja Raja Setan Tersenyum berkata seperti itu sekonyong-konyong gelembungan di sungai
lenyap. Air sungai muncrat ke udara, disusul melesatnya satu sosok berselempang kain putih
dalam keadaan basah kuyup! Saat itu juga kawasan sungai dibuncah oleh gelegar suara orang
menangis.

Kapak Maut Naga Geni 2125

DALAM keterkejutannya Raja Setan Tersenyum cepat tekuk dua lutut, tangan bergerak ke
punggung mengambil lima buah anak panah hitam. Jika dilempar dengan kehebatan ilmu yang
dimilikinya, Raja Setan Tersenyum mampu menghantam lima sasaran sekaligus. Apa lagi kalau
lima anak panah maut hanya ditujukan pada satu sasaran. Sulit korban bisa lolos selamatkan
diri. Namun saat itu Raja Setan Tersenyum menghadapi sesuatu yang membuat dirinya
tergetar.

Memandang ke depan, di atas sebuah batu bulat, sejarak dua tombak dari batu persegi di mana
Raja Setan Tersenyum berada, tampak seorang berambut putih basah awut-awutan, berkulit
hitam, berselempang kain putih kuyup, duduk dengan kepala dibenamkan di atas lutut yang
dilipat. Dari mulutnya menangis keluar ratapan yang membuat Raja Setan Tersenyum tambah
terkesiap.

“Aku sedih, hik… hik… hik. Dua hari berendam di dalam sungai, rasanya diriku belum juga
bersih. Hik… hik. Apakah dosa kesalahan bisa dihapus dengan berendam dalam air? Ampun
biyung, tobat dewa… Mengapa aku harus selalu menerima nasib sial begini? Aku menangis
sengsara, orang lain tertawa bahagia. Hik… hik… hik. Kalau saja bukan karena biji celaka ini,
tidak akan jatuh malapetaka atas diriku. Hik… hik… hik.”

Sesaat orang di atas batu bulat hentikan tangisnya. Dia kembangkan kedua lutut lalu tarik ke
depan kain putih yang dikenakan. Sambil sesenggukan dia perhatikan bagian bawah perutnya.
“Ah… Tidak kambuh… untung tidak bengkak lagi. Hik… hik. Biji celaka, apa kau tahu malapetaka
besar yang akan menimpa rimba persilatan gara-gara tingkahmu menggelembungkan diri?
Semua orang akan mengutuk diriku. Semua orang akan menya– lahkan diriku! Tapi mereka
tidak tahu apa kesengsaraan diriku! Hik… hik… hik.” Habis meratap panjang orang ini kembali
sembunyikan wajahnya di antara dua lutut. Namun tadi waktu sesaat orang itu mengangkat
kepala, Raja Setan Tersenyum sempat memperhatikan wajahnya. Seorang kakek berwajah
hitam aneh menunjukkan kesedihan abadi dengan sepasang alis hitam menjulai panjang ke
bawah.

“Dewa Sedih, memang dia…” ucap Raja Setan Terse– nyum.

Mula-mula Raja Setan Tersenyum tercekat juga melihat kehadiran serta mendengar ratap
tangis orang di atas batu. Tapi lama-lama dia jadi bosan dan sebal mendengar oceh ratapan
yang tidak dimengertinya. Mulutnya sung– gingkan senyum. Tangan kiri mengusap kepala
botak.

“Biar cepat selesai, biar aku habisi sekarang juga,” kata Raja Setan Tersenyum. Tangan
kanannya yang memegang lima anak panah bergerak. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-
tiba orang di atas batu bundar menggerung keras lalu keluarkan ratap tangis.

“Aku sedih, aku kecewa. Hik… hik. Ada orang hendak membunuhku. Dia menyangka diri sudah
jadi kaya raya karena punya sekantong emas. Tapi hik… hik… hik. Aku sedih, apa yang punya
tidak tahu kalau emas itu palsu belaka adanya? Hik… hik… Aku sedih…”

Kejut Raja Setan Tersenyum bukan alang kepalang. Dia meraba dada jubah hijau di balik mana
dia menyimpan kantong kain berisi emas yang diberikan Tumenggung Abdi Tunggul.

“Dia tahu aku membekal sekantong emas. Apa iya emas itu palsu?” Semula ragu akhirnya
dengan tangan kiri Raja Setan Tersenyum keluarkan kantong emas. Dengan bantuan beberapa
giginya yang masih utuh sementara tangan kanan tetap memegang lima anak panah hitam,
kakek kepala gundul itu buka ikatan kantong. Dia membungkuk lalu tuang isi kantong di atas
batu persegi. Mata mendelik. Satu persatu tujuh kepingan emas yang bergeletakan di batu
diteliti. Lalu menyembur kutuk serapah dari mulutnya.

“Jahanam keparat! Adipati kurang ajar! Kau benarbenar mencari perkara! Aku bersumpah akan
menembus batok kepalamu dengan tujuh keping emas ini!” Dengan cepat Raja Setan
Tersenyum masukkan potonganpotongan emas itu ke dalam kantong kain lalu kantong
disusupkan ke balik jubah.

Di atas batu besar Dewa Sedih kembali meratap. “Aku sedih, ada orang pandai kena tipu. Hik…
hik… hik… Apakah ini akhir perjalanan dirinya atau akhir riwayat diriku?”

Raja Setan bangkit berdiri lalu berteriak.

“Dewa Sedih! Dengar baik-baik! Saat ini adalah akhir riwayat dirimu!”
“Hik… hik… hik. Buruknya nasibku! Mati di tengah sungai, jauh dari sanak, jauh dari kadang. Tak
ada sahabat yang tahu. Adikku Dewa Ketawa kau tak akan bisa tertawa mengiringi kematian
diriku karena kau tak tahu kalau kakakmu ini sebentar lagi akan jadi bangkai. Hik… hik… hik.”
(Seperti diketahui Dewa Sedih mempunyai seorang adik berjuluk Dewa Ketawa. Dari julukan
saja jelas sudah bahwa dua bersaudara ini memiliki dua sifat yang bertolak belakang. Satu
selalu sedih dan menangis, satunya selalu senang tertawa-tawa)

“Dewa Sedih, cukup sampai di situ kau meratap! Seka– rang terima kematianmu!” Bentak Raja
Setan Tersenyum. Tangan kanannya yang memegang lima anak panah hitam diangkat lebih
tinggi.

Dibentak orang, Dewa Sedih bukannya hentikan tangis malah menggerung lebih keras.

“Tidak disangka tidak dinyana dalam sedih masih ada sekelumit rasa bahagia. Kematianku tidak
sia-sia. Hik… hik… hik. Ada seseorang yang kebetulan lewat, akan menjadi saksi kematian diriku.
Hik… hik… hik. Mungkin juga aku bisa menyampaikan pesan terakhir padanya.

Hik… hik… hik.”

Ucap ratap Dewa Sedih membuat Raja Setan Terse– nyum terkejut dan untuk kedua kalinya dia
hentikan gerakan tangan kanan yang hendak melempar lima panah maut. Telinga dipentang,
mata dibuka lebar.

Pertama sekali dia mendengar suara derak derik aneh. Lalu ada langkah-langkah kaki
mendatangi. Semakin dekat langkah-langkah kaki itu semakin terasa adanya getaran di atas
batu sungai tempat dia berdiri. Lalu hidungnya mencium bau aneh. Belum sempat Raja Setan
Tersenyum mengira-ngira, tiba-tiba di tebing sungai muncul satu pemandangan luar biasa!

Empat orang lelaki bertubuh kekar penuh otot, menge– nakan celana gombrong hitam berdiri
di tebing sungai. Dua di depan, dua di belakang, mereka memanggul tiga buah batang kelapa
yang diikat jadi satu. Di atas jejeran batang kelapa ini ada sebentuk sandaran menyerupai
sandaran kursi. Di sini duduk seorang kakek bermuka berminyak, bertubuh luar biasa gemuknya
dan mengenakan pakaian yang kekecilan. Tiga batang kelapa kelihatan melengkung saking
beratnya tubuh kakek gemuk ini yang diperkirakan lebih dari dua setengah kwintal. Sambil
usap-usap dadanya yang berbulu, mata kelihatan seperti mengantuk, si gemuk ini asyik-asyikan
menghisap sebuah cangklong atau pipa yang menebar asap berbau tidak sedap. Jika pipa
dilepas dari mulutnya maka mulut itu menguap lebar-lebar dan sepasang mata jadi berair.
Sambil mengusap mata, si gemuk ini kembali masukkan pipa ke dalam mulut.

Dada Raja Setan Tersenyum jadi bergetar. “Seumur hidup aku belum pernah melihat orangnya.
Jika aku tidak salah menduga, apakah ini manusianya yang dijuluki Raja Penidur, tokoh paling
tua dalam rimba persilatan. Punya segudang ilmu yang dianggap setingkat kehebatan para
dewa? Ada apa dia tahu-tahu muncul di tempat ini?”
Kalau Raja Setan cuma bisa membatin dalam hati, lain halnya dengan Dewa Sedih. Kakek ini
langsung keluarkan ratapan.

“Kedatangan seorang sahabat pada saat aku tengah bersedih, sungguh membuat diriku malu.
Hik… hik… hik. Raja Penidur, harap maafkan kalau aku tidak bisa mem– berikan penyambutan
sewajarnya padamu. Ketahuilah… hik… hik, kuharap kau jangan tidur. Saksikan akhir riwayat
diriku. Hari ini aku akan menerima kematian sesuai dengan segala kesalahanku. Aku sedih…
Selamat tinggal sahabatku Raja Penidur. Sebelum kau pergi, bolehkah aku menitipkan sebuah
pesan padamu? Hik… hik… hik.”

“Waktuku tidak lama, mataku sangat mengantuk. Aku ingin tidur…” Raja Penidur berucap lalu
kembali menguap lebar-lebar. “Jika kau ingin menitipkan pesan harap segera mengatakan.
Ketahuilah aku sendiri tengah dalam perjala– nan terakhir mengelilingi rimba persilatan.
Sebelum diriku menghadap Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta aku ingin melihat rimba
persilatan untuk terakhir kali. Seratus enam puluh lima tahun hidup di dunia terasa sangat
memalukan. Karena lebih dari dua pertiga hidupku hanya kuhabiskan untuk menghisap
cangklong dan tidur pulas…”

“Hik… hik. Aku ikut sedih mendengar penuturanmu. Sebagian dari pesan yang akan aku titipkan
padamu ada dalam telapak tangan kiriku. Akan kulihat dan segera kukatakan padamu. Hik…
hik.” Habis berkata begitu Dewa Sedih kembangkan telapak tangan kirinya. Kakek sakti ini
memang punya kemampuan melihat sesuatu melalui telapak tangan kiri itu.

“Lekaslah, aku sudah sangat mengantuk. Aku mau tidur…” Raja Penidur berseru dari atas
batang kelapa.

“Aku melihat… Hik… hik… Betapa menyedihkan. Rimba persilatan tanah Jawa akan dilanda
malapetaka besar kalau ilmu terkutuk itu tidak segera dihentikan… hik… hik… hik.”

“Ilmu terkutuk? Ilmu terkutuk apa? Huah…” Raja Penidur mengucap. “Saatnya aku tidur…”

“Tunggu! Hik… hik. Jangan tidur dulu!” Teriak Dewa Sedih. Kakek ini gerakkan telapak tangan
kirinya. Sebuah bola api melesat keluar lalu menderu ke arah Raja Penidur.

Empat orang bertubuh kekar yang memanggul batang kelapa berteriak marah tapi tak berani
berbuat apa-apa ketika mendengar Raja Penidur berkata.

“Tidak apa, dia tidak berbuat jahat. Dia hanya mencegah agar aku tidak tidur. Tapi
kepandaiannya hanya mampu menahan kantukku dua kali kejapan mata saja…”

Bola api yang keluar dari tangan kiri Dewa Sedih melesat membungkus sekujur tubuh gemuk
Raja Penidur. Tokoh silat aneh ini batuk-batuk beberapa kali. Sekali dia mengibaskan pipa, sinar
merah yang membungkus tubuhnya lenyap.
“Sahabatku di sungai, mataku mulai mengantuk lagi. Aku mohon diri. Harap segera katakan
pesanmu itu.”

Dewa Sedih tahan sesenggukan dan tangisnya. Dia usap-usap matanya yang basah lalu berkata.

“Ilmu terkutuk itu adalah… hik… hik… hik. Memberikan nyawa kedua pada orang yang sudah
mati. Orang yang kemudian dihidupkan ini akan memiliki hik… hik… ilmu kesaktian luar biasa
hebat tiada tandingan. Jika tidak dicegah malapetaka besar akan menimpa rimba persila– tan.
Karena si pemberi kehidupan berkuasa penuh dan bisa memerintahkan apa saja atas diri orang
yang dihidup– kan. Hik… hik… hik… Semua tokoh rimba persilatan bisa menjadi hamba sahaya si
pemberi kehidupan atau dibunuh begitu saja secara keji. Mengerikan sekali. Hik… hik… hik.”

“Jadi itu pesan yang hendak kau sampaikan padaku?” tanya Raja Penidur sambil hembuskan
asap pipa. Matanya mulai redup.

“Bukan… hik… hik! Jangan tidur dulu! Aku mohon… Pesanku, harap kau sampaikan kepada para
tokoh yang bisa dipercaya. Malapetaka yang akan menghancurkan rimba persilatan bisa
dicegah bilamana manusia pertama yang diberi kehidupan…”

Raja Penidur hembuskan asap pipanya.

“Aku tidak tertarik pada penuturanmu. Aku tidak tertarik apapun bunyi pesanmu. Pesan gila tak
masuk akal. Mana ada orang yang sudah mati bisa dihidupkan dengan memberikan nyawa
kedua. Nyawa siapa? Nyawa dari mana? Aku tidak tertarik pada ceritamu sahabatku.”

“Aku sedih mendengar ucapanmu. Hik… hik… Aku orang tolol. Tapi ternyata kau lebih tolol lagi.
Akibat tidur seumurumur, kau tidak tahu apa yang saat ini terjadi di dalam rimba persilatan.
Padahal hik… hik… hik. Jika benar kau tengah dalam akhir perjalanan hidupmu, maka ini adalah
satu kebajikan besar yang bisa kau buat sebelum meng– hadap Yang Maha kuasa. Aku mohon
agar kau mencari seorang tokoh silat bernama…”

“Saatnya aku tidur sahabatku…” Di atas jajaran batang kelapa Raja Penidur berkata. Lalu
kepalanya terkulai di atas kayu sandaran, tangan yang memegang pipa jatuh ke samping.

Melihat hal ini Dewa Sedih menangis keras. Dia miringkan kepalanya ke kanan. Lalu kepala
dipukul-pukul berulangkali. Aneh! Dari telinga kanan si kakek meluncur keluar sebuah gulungan
kain berwarna putih. Dewa Sedih cabut gulungan kain ini lalu dengan cepat dilemparkan ke
arah Raja Penidur dan jatuh tepat di pangkuannya. Namun saat itu sepasang mata Raja Penidur
mulai terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur.

Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak bisa berbuat apa selain memperhatikan kepergian
Raja Penidur yang digotong oleh empat orang bertubuh kekar bercelana hitam gombrong.
Setelah puas menangis, Dewa Sedih baru ingat pada Raja Setan Tersenyum yang hendak
membunuhnya. Tanpa berpaling dia berucap.

“Orang yang memegang lima anak panah hitam, tunggu apa lagi. Aku siap menerima kematian
di tanganmu. Aku hanya sedih si gemuk itu tidak mau menyampaikan pesan– ku. Kalau dia
bangun mudah-mudahan dia melihat gulungan kain putih itu. Tapi kapan dia akan bangun dari
tidur pulasnya. Dua bulan, lima bulan atau satu tahun di muka? Malapetaka? Malapetaka! Hik…
hik… hik. Mengapa hidup ini selalu susah dan menyedihkan bagi diriku?”

Dewa Sedih usap matanya, sesenggukan dan menghela nafas berulang kali. Yang ditunggu tidak
terjadi. Raja Setan Tersenyum tidak melemparkan panah-panah maut, tidak membunuhnya.
Perlahan-lahan Dewa Sedih angkat kepala dan berpaling ke arah batu persegi di tengah sungai
tempat Raja Setan Tersenyum berada. Astaga! Dewa Sedih menggerung keras.

“Nasib peruntungan anak manusia tidak bisa ditentukan kecuali oleh Yang Maha Kuasa. Aku,
mengapa bukan diriku yang pergi lebih dulu? Hik… hik… hik. Mengapa aku tak melihat kapan dia
merampas panah itu. Mengapa aku tidak tahu kapan dia melempar anak panah itu! Hik… hik…
hik!”

Di atas batu hitam persegi di tengah sungai sosok Raja Setan Tersenyum terkapar berlumuran
darah. Lima anak panah yang sebelumnya dipegangnya dan akan dijadikan sebagai senjata
membunuh Dewa Sedih, kelihatan me– nancap di tubuh kakek kepala gundul itu. Dua
menancap di kening, dua di leher dan satunya di dada kiri.

“Raja Penidur, hik… hik… hik. Aku tahu pasti kau yang punya pekerjaan. Aku tahu, kau tak suka
orang itu membunuhku. Lalu kau bunuh duluan. Tapi ketahuilah. Hatiku jadi sangat sedih.
Tindakanmu hanya menunda kematian bagi diriku. Hik… hik… hik.” Dewa Sedih menangis keras
lalu luncurkan diri dari atas batu bulat, masuk ke dalam air sungai.

Kapak Maut Naga Geni 2126

DUA purnama setelah pertemuan Dewa Sedih dengan Raja Penidur. Di satu petang menjelang
matahari tenggelam, dua sosok putih berlari cepat membe– lakangi sang surya. Dari gerak lari
keduanya serta jarak yang tak pernah terpaut jauh menunjukkan mereka samasama memiliki
ilmu lari yang setara. Dua sosok putih ini bukan lain adalah dua anggota komplotan ganas yang
dikenal dengan nama Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Mereka sanggup berbuat
sadis semudah mengedipkan mata karena telah dicuci otaknya, dibuat beku perasaan hatinya
dan hanya tunduk pada pimpinan mereka yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua.

Sambil berlari manusia pocong di sebelah kanan berkata. “Heran, mengapa kita berdua yang
ditugaskan Yang Mulia Ketua. Belakangan ini ada beberapa anggota baru. Kabarnya mereka
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah aku mendengar kabar selentingan di dalam lorong.
Salah seorang yang kena dijerat adalah dedengkot rimba persilatan dikenal dengan julukan
Dewa Tuak. Seharusnya dia dan seorang lain yang diberi tugas, bukan kita. Hal itu sekaligus
untuk menguji kemampuan serta kesetiaan mereka pada kelompok kita.”

“Mula-mula aku juga berpikir seperti itu,” jawab manusia pocong kedua. “Tapi kemudian aku
merasa, ini bukan cuma soal uji menguji. Tetapi soal kepercayaan dan kemampuan pasti bahwa
tugas harus bisa dilaksanakan. Mengenai tokoh bernama Dewa Tuak, aku tidak heran mengapa
Yang Mulia Ketua tidak memberi tugas sebagai ujian padanya. Aku menyirap kabar, minuman
pencuci otak yang diberikan padanya tidak mempan. Dia pernah mencoba kabur. Membunuh
dan menciderai kawan-kawan kita. Terpaksa dia dicekoki sampai dua kali. Itupun masih ada
kekhawatiran manusia sakti satu itu belum dapat dikuasai perasaan dan jalan pikirannya.
Sekarang Yang Mulia Ketua memberikan perintah pada kita berdua. Berarti dia mempercayai
kita dan ini bukan tugas main-main. Kalau kita berhasil, kedudukan kita dalam Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian akan dinaikkan ke tingkat lebih tinggi. Tapi jika gagal tahu sendiri
akibatnya. Jadi ini bukan tugas main-main.”

“Ini memang bukan tugas main-main. Maut hadangan– nya,” jawab manusia pocong pertama.
“Kau tahu siapa orang yang bakal kita hadapi?”

“Aku pernah mendengar nama julukannya. Tapi belum pernah melihat orangnya. Aku tidak
yakin apakah dia memang punya kepandaian seperti yang disohorkan dunia persilatan. Orang
kerjanya selalu tidur punya kemampuan apa?”

Manusia pocong kedua tersenyum di balik kain putih penutup kepala. “Jangan sekali-kali
bersikap memandang rendah orang. Kau tahu, sebelum kita berdua dilahirkan, manusia itu
sudah hidup lebih dari seratus dua puluh tahun dan dianggap sebagai salah satu tokoh paling
hebat dalam rimba persilatan.”

Sampai saat sang surya tenggelam, tak satupun dari dua manusia pocong itu bicara. Begitu hari
mulai menjadi gelap manusia pocong pertama baru membuka mulut.

“Sebelum bintang pertama muncul di langit, kita akan sampai di Candi Cemorosewu. Aku harap
dugaan Yang Mulia Ketua tidak meleset. Kalau tidak kita harus mencari ke mana? Kita hanya
diberi waktu sampai tengah malam nanti. Berhasil atau tidak kita sudah harus kembali ke
markas. Kau tahu apa yang bakal kejadian jika kita tidak berhasil?”

“Darah kita akan dikuras. Jantung kita akan dicopot! Mati!” jawab manusia pocong kedua.
Tengkuknya terasa dingin. “Setahuku selama ini Yang Mulia Ketua selalu matang dan tepat
setiap perhitungannya. Lagi pula temanteman yang bertindak sebagai mata-mata tentunya
sudah menjajagi sebelumnya dan melapor pada Yang Mutia Ketua. Keberhasilan kita
tergantung pada hasil kerja matamata. Bagaimana kalau mereka berdusta mengatakan bahwa
benda yang harus kita dapatkan itu benar-benar berada di tangan Raja Penidur padahal
kenyataannya tidak.”
“Di antara para anggota, siapa yang berani dusta dan mengkhianati Yang Mulia Ketua?”
menyahuti manusia pocong pertama.

Kawannya terdiam. Sesaat kemudian baru membuka mulut.

“Aku pikir-pikir sungguh aneh. Kita ditugaskan untuk mendapatkan segulung kecil kain putih
yang konon berada di tangan Raja Penidur. Sepotong kain putih yang digulung! Apa tidak gila!
Mending kalau kain itu merupakan satu senjata atau benda sakti mandraguna?”

“Aku tidak pernah berpikir terlalu jauh atau coba-coba menyelidik. Aku punya firasat benda itu
sama berharganya dengan nyawa seluruh penghuni 113 Lorong Kematian. Kita hanya diberi
tugas untuk mendapatkan gulungan kain itu. Apakah berani membantah? Ingat ucapan Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua Seorang yang
wajib dicintai.”

“Aku tidak membantah,” sahut manusia pocong kedua. Ada rasa ngeri dan rasa tunduk di dalam
hatinya.

Manusia pocong pertama lanjutkan ucapan. “Tak sengaja aku pernah mendengar pembicaraan
antara Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua. Benda berupa gulungan kecil kain putih itu agaknya
merupakan satu rahasia dahsyat. Yang bakal menentukan apakah 113 Lorong Kematian akan
sanggup menguasai rimba persilatan atau tidak. Ada anggota yang melihat Yang Mulia Ketua
bicara dengan semacam roh gaib. Roh gaib yang menjadi penguasa batu aneh yang sanggup
memberikan nyawa baru pada orang yang sudah mati. Lalu ada kabar lain yaitu bahwa Yang

Mulia Ketua akan membentuk satu partai.”

“Partai?”

“Ya, satu kelompok yang jauh lebih besar dari sebuah perguruan silat. Partai itu mempunyai
cabang di manamana. Kelak akan merajai rimba persilatan tanah Jawa, bahkan sampai ke
seberang lautan.”

Semakin gelap malam semakin angker kelihatan bayangan dua manusia pocong yang
berkelebat sangat cepat itu.

“Bintang pertama sudah kelihatan di langit!” manusia pocong pertama memberitahu


temannya.

“Aku sudah melihat bagian atas candi,” kata manusia pocong kedua.

Hanya beberapa kejapan mata berlalu, dua manusia pocong itu telah sampai di sebelah timur
Candi Cemoro– sewu. Di bawah sebatang pohon besar berdaun rimbun keduanya berhenti.
Masing-masing memasang mata, pentang telinga.
“Sepi, aku tidak melihat apa-apa. Juga tidak terdengar suara apapun.” Manusia pocong kedua
berkata.

“Tapi aku mencium bau sesuatu,” kata manusia pocong pertama.

Kawannya lalu tinggikan hidung dan menghisap udara malam dalam-dalam.

“Kau betul. Raja Penidur ada di candi. Bau yang kita cium adalah bau asap cangklongnya,”

“Berarti dia dalam keadaan bangun.”

“Belum tentu. Sekian puluh hari dia tidur, pipanya bisa saja tetap menyala. Kabarnya dia punya
empat anak buah. Rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bergan– tian menambah
tembakau pipa dan menyalakan apinya. Eh, apakah kau tidak mendengar suara sesuatu? Tadi
memang belum kedengaran. Sekarang jelas sekali. Suara orang mendengkur?”

“Astaga! Aku juga mendengar. Tanah terasa bergetar. Luar biasa hawa sakti tenaga dalam
orang itu. Raja Penidur yang kita cari memang ada di candi.”

Manusia pocong pertama pegang bahu temannya lalu berbisik. “Aku melihat bayangan asap
tipis dari bagian kanan candi. Itu asap pipa Raja Penidur. Berarti dia memang ada di sana. Di
balik tembok.”

“Kita menyerbu berbarengan atau dari arah terpisah?” tanya manusia pocong kedua.

“Kau lompati tembok sebelah kiri dan coba menarik perhatian empat pembantu Raja Penidur.
Begitu mereka lengah aku akan merampas gulungan kain putih. Menurut penjelasan mata-mata
yang diterima Yang Mulia Ketua, sejak Raja Penidur tidur dua bulan lalu, gulungan kain itu tidak
bergerak dari pangkuannya.”

Tanpa tunggu lebih lama manusia pocong kedua segera keluar dari balik pohon besar. Dua kali
bergerak cepat dia sudah berada di atas reruntuhan tembok candi sebelah kiri. Memandang ke
bawah walau hanya sesaat, dadanya terasa bergetar. Di bawah sana, di lantai batu halaman
candi, empat orang lelaki bertubuh besar kekar, bertelan– jang dada dan mengenakan celana
hitam gombrong, duduk berpencaran, bersila tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan
dada. Tidak dapat diduga apakah mereka tengah bersamadi atau beristirahat atau tertidur
lelap.

Di antara keempat orang itu, di lantai batu terletak tiga batang kelapa yang diikat jadi satu. Di
atas jajaran batang kelapa ini berbaring sesosok tubuh luar biasa gemuk. Sebuah pipa besar dan
panjang berada di genggaman tangan kirinya dalam keadaan menyala dan mengepulkan asap
berbau sangat tidak sedap. Dua mata terpejam. Mulut, rongga hidung dan tenggorokan jadi
satu menge– luarkan suara grookk… grookk. Suara mendengkur.
Begitu injakkan kaki di atas reruntuhan tembok candi, manusia pocong kedua keluarkan suara
suitan dua kali berturut-turut. Seperti yang diduga, empat lelaki yang bergerak mengelilingi
jajaran batang kelapa, saat itu juga melompat bangkit. Kepala dan mata diarahkan ke tembok di
mana manusia pocong kedua berdiri seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan.

“Mahluk di atas tembok!” Orang bertubuh kekar besar di ujung kanan menegur. “Kami hanya
memberi ingat satu kali! Tinggalkan tempat ini atau mati!”

Manusia pocong di atas tembok keluarkan suara mendengus. “Kalian bangsa manusia. Aku
mahluk pengu– asa kawasan Candi Cemorosewu. Ancaman itu lebih pantas aku tujukan pada
kalian! Tinggalkan candi atau mampus!”

“Kami memilih mampus!” Teriak empat lelaki bercelana komprang hitam.

“Kalau begitu majulah berempat sekaligus. Biar cepat aku menghabisi kalian!”

Empat lelaki bertelanjang dada keluarkan suara menggeram. Saat itu juga keempatnya melesat
ke arah tembok. Manusia pocong kedua berlaku sigap. Sesuai siasat yang sudah diatur, begitu
empat lawan melayang setengah jalan, dia segera melompat turun dari atas tembok, lenyapkan
diri ke bagian gelap di samping candi. Empat pembantu Raja Penidur segera mengejar. Walau
tubuh mereka besar dan kekar namun gerakan masingmasing sangat enteng dan luar biasa
gesit. Dalam waktu sangat cepat mereka telah berada di halaman samping Candi Cemorosewu,
mengurung manusia pocong yang tegak dengan sikap sombong berkacak pinggang.

Pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tengah dan ibu jari tangan kanan hingga
mengeluarkan suara klik! Saat itu juga kawannya di sebelah depan melesat menerjang ke arah
manusia pocong. Namun beberapa langkah sebelum serangan sampai, manusia pocong
kibaskan lengan jubah kiri kanan. Dua gelombang angin menderu menyambut datangnya
serangan. Sesaat sosok pembantu Raja Penidur tergontai-gontai. Di lain kejap begitu berhasil
mengimbangi diri dia cepat menyerbu kembali. Namun lawan yang diserang membuat gerakan
kilat. Sekali berkelebat manusia pocong lenyap dari pemandangan.

Klik!

Sekali lagi pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tangan.

Orang tinggi besar di sebelah kiri melesat ke udara. Lenyap di balik bangunan candi. Karena
berada di tempat yang agak jauh di mana dia bisa memandang lebih jelas, pembantu Raja
Penidur ini tadi dapat melihat ke arah mana lenyapnya si manusia pocong. Namun begitu men–
jejakkan kaki di lantai candi, dari balik dinding bangunan berkelebat sebuah kaki.

Bukkk!
Satu tendangan keras mendarat di pipi kanan pembantu Raja Penidur!

Kepala orang ini seperti terpental. Tubuhnya bergetar hebat namun dua kakinya tidak bergeser!
Mulut keluarkan suara menggerang, kepala dimiringkan dan tangan kanan ditepuk-tepukkan ke
pipi yang barusan kena tendangan lalu kepala kembali diluruskan. Dari mulut keluar suara
menggembor. Dengusan nafas terasa panas dalam dingin– nya udara malam.

Di balik dinding candi, manusia pocong yang barusan hantamkan tendangan melengak kaget
pelototkan mata. Tembok batu saja akan hancur berantakan kena tendangan kakinya. Seatos
apa kepala manusia satu ini hingga tidak cidera barang sedikitpun? Tidak menunggu lebih lama,
sambil melompat keluar dari balik dinding dia hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan
sakti bertenaga dalam tinggi. Namun selagi tangan kanan masih terangkat di udara, belum
sempat dipukulkan ke arah pembantu Raja Penidur, tiba-tiba satu tangan kukuh mencekal
lengan kanannya. Berpaling ke belakang seorang tinggi besar bertelanjang dada menyeringai.
Tiba-tiba seringai itu lenyap dan bersamaan tubuh si manusia pocong dipuntir ke depan lalu,
bukkk! Satu jotosan keras melanda dada manusia pocong. Walau tubuh terpental hampir
sepuluh langkah dan tertahan di dinding candi, namun tak ada suara keluhan apa lagi jeritan
terdengar keluar dari mulut si manusia pocong. Hanya saja, pada kain putih penutup kepala, di
bagian mulut kelihatan warna merah. Pertand aada lelehan darah keluar dari mulut mahluk ini,
pertanda tubuhnya menderita luka dalam hebat akibat jotosan. Saat itu di kiri kanan dan
sebelah belakang si manusia pocong mendengar suara dengusan. Meman– dang berkeliling
dilihatnya empat pembantu Raja Penidur sudah mengurung! Sosok tinggi besar, dada telanjang
celana gombrong hitam dan tampang sama-sama sung– gingkan seringai angker. Walau hatinya
bergetar namun dengan cepat si manusia pocong pulihkan rasa percaya diri. Dua lutut dilipat,
tubuh merunduk, dua tangan dikembang dengan ujung-ujung jari menukik ke lantai candi. Tiba-
tiba tubuh itu diayun ke bawah. Ujung-ujung jari menotok lantai candi. Seperti sebuah bola
karet tubuh manusia pocong melenting ke udara. Tepat pada saat kaki mencapai ketinggian
kepala, sosok manusia pocong berputar. Ujung jubah menghambur angin deras, terangkat ke
atas. Dua kaki menyembul dari balik bagian bawah jubah. Begitu tubuhnya berputar, dua kaki
juga ikut berputar dan, bukk… bukk… bukk… bukk! Empat kepala pembantu Raja Penidur
dimakan tendangan dahsyat!

Sebelumnya, ketika menendang seorang pembantu Raja Penidur dari balik bangunan candi,
manusia pocong hanya kerahkan sepertiga tenaga dalamnya. Kini mengha– dapi empat lawan
yang siap membantai dan diketahui memiliki tenaga dalam tinggi, dia kerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya hingga perutnya menjadi cekung gembos dan dada seperti terbakar.

“Mampus semua!” teriak manusia pocong lalu hamburkan tawa bergelak.

Kapak Maut Naga Geni 2127

TENDANGAN yang sangat cepat disertai kekuatan tenaga dalam tinggi membuat empat orang
pembantu Raja Penidur terpental dan jatuh terjengkang di lantai candi. Satu di antaranya malah
membelintang di atas reruntuhan tembok. Orang pertama kelihatan hancur hidungnya, separuh
muka bergelimang darah. Pembantu kedua lebam memar pipi kiri. Yang ketiga pergunakan
tangan kiri untuk menekap mata yang melesak ke dalam rongga dan kucurkan darah, ketika
tangannya diturunkan tampangnya kelihatan menggidikkan. Sementara pemban– tu keempat
pegangi keningnya yang benjut hampir sebesar kepalan!

Setelah keluarkan keluh kesakitan serta menggembor pendek penuh geram, tiga pembantu
Raja Penidur itu yang terjengkang di lantai candi perlahan-lahan bangkit berdiri. Yang
hidungnya hancur dan wajah bercelemongan darah, usap mukanya mulai dari kening sampai ke
dagu. Saat itu juga celemongan darah lenyap dan hidungnya yang hancur kembali ke bentuk
semula tanpa cacat.

Orang kedua yang lebam memar pipi kiri seperti temannya setelah berkomat-kamit usap pipi
yang cidera, begitu selesai diusap, pipi yang bengkak merah kebiruan itu serta merta sembuh
tak berbekas. Lalu pembantu ketiga lakukan hal yang sama, usap-usap matanya yang melesak
merah berdarah. Kucuran darah berhenti dan noda yang ada di mata serta pipi kiri pulih lenyap.
Di atas tembok candi, pembantu keempat menggeliat sebentar lalu turun sambil usap-usap
keningnya yang benjut seperti tinju. Di bawah benjutan itu ada luka menganga mengeluarkan
darah kental. Luar biasa, setelah diusap cidera besar itupun hilang. Noda darah tak kelihatan
lagi.

Manusia pocong yang menyaksikan semua kejadian itu mau tak mau jadi leleh nyalinya.
Tendangan yang dilancarkannya tadi yang sanggup mengenai telak empat sasaran adalah jurus
tendangan bernama Empat Dewa Membagi Pahala. Jarang sekali ada lawan mampu selamatkan
diri dari tendangan tersebut. Kenyataannya memang begitu. Namun yang membuat manusia
pocong jadi mengkirik tercekat ialah sewaktu melihat bagaimana empat tendangan yang
sanggup menghancur leburkan batu besar itu hanya menimbulkan cidera berat. Dan gilanya
semua cidera itu sembuh lenyap begitu diusap! Manusia pocong tidak bisa membayangkan
sampai di mana tingkat ketinggian ilmu empat pembantu Raja Penidur ini. Kalau pembantu saja
sudah demikian luar biasanya, bagaimana dengan si Raja Penidur sendiri?!

Mengharap kawannya berhasil melaksanakan tugas dan merasa hanya mencari penyakit saja
jika dia mene– ruskan perkelahian dengan empat orang tinggi besar itu, manusia pocong
keluarkan suitan keras memberi tanda pada temannya lalu melesat ke udara, berkelebat ke
atas samping candi sebelah timur. Namun kecepatan daya lenting tubuhnya kali ini tidak bisa
menipu empat pembantu Raja Penidur. Begitu tubuhnya bergerak ke atas, empat orang tinggi
besar sama-sama keluarkan suitan keras. Tubuh mereka melesat ke udara. Di lain kejap
manusia pocong merasakan kedua pergelangan tangan dan kaki kiri kanan telah dicekal orang.
Dia berusaha berontak. Tapi malah tubuhnya dibanting hingga tersandar ke dinding. Dia coba
kerahkan tenaga dalam. Tetap sia-sia. Tenaga dalam empat orang yang mencekalnya itu tak
bisa ditembus!

“Setan jejadian! Perlihatkan tampangmu!”


Orang tinggi besar di sebelah kiri bawah yang mencekal kaki kiri membentak. Kawannya yang
mencekal tangan kanan manusia pocong ulurkan tangan kiri ke arah kepala.

Sreet! Kain putih penutup kepala manusia pocong tersing– kap. Kelihatanlah satu kepala
terbungkus rambut kelabu dan wajah tua berpipi cekung dengan kumis serta janggut dan
cambang tidak terurus.

“Dewa Berkaki Iblis!” Dua orang pembantu Raja Penidur yang mengenali siapa adanya orang itu
berbarengan keluarkan seruan.

Dewa Berkaki Iblis telah membuat nama besar. Sebagai seorang tokoh silat berkepandaian
tinggi yang terkadang berbuat kebaikan tapi terkadang tidak segan-segan pula berbuat keji jika
dia merasa ada kepentingan dan keun– tungan. Karena sifatnya yang munafik inilah mungkin
rimba persilatan memberi julukan Dewa Berkaki Iblis kepadanya. Pertama karena sifatnya
tersebut, kedua kehebatannya memang ada pada sepasang kaki. Puluhan lawan mene– mui ajal
bukan dengan tangan atau senjata tapi dimangsa sepasang kaki.

Orang tua yang disebut julukannya itu walau muka kelihatan pucat tapi tenang-tenang saja,
malah masih bisa sunggingkan senyum dan membuka mulut. “Apalagi yang kalian tunggu?!”

“Eh, apa maksudmu?!” hardik pembantu Raja Penidur yang mencekal tangan kanan manusia
pocong.

“Kalian inginkan kematianku! Mengapa tidak langsung membunuh?!”

Dua orang tinggi besar bercelana komprang hitam tertawa lebar. “Soal nyawamu siapa yang
memikirkan. Kami bisa membunuhmu secepat kilat menyambar. Tapi kami lebih dulu perlu
beberapa keterangan!”

“Kalau kau tidak mau bicara, akan kubetot lidahmu sampai ke akarnya!” Mengancam orang
yang memegangi kaki kiri manusia pocong.

“Hemmm… begitu? Keterangan apa yang kalian inginkan?” Si kakek berpipi cekung berjuluk
Dewa Berkaki Iblis menyeringai.

“Siapa yang menyuruh kau dan temanmu datang menyerang kami! Lalu apa maksud kalian
melakukan serangan! Pertanyaan ketiga, jika kalian merupakan satu

komplotan di mana sarang kalian?!”

Dewa Berkaki Iblis tersenyum.

“Kalau cuma itu yang kalian ingin tahu, tidak sulit bagiku memberi keterangan. Aku tahu setelah
aku mem– beri keterangan, kalian akan menghabisi diriku. Agar aku bisa mati dengan tenang,
biarkan aku bicara dengan tenang pula. Harap kalian sudi melepas cekalan pada dua tangan dan
kakiku. Dalam keadaan terkurung serta mengalami luka dalam seperti ini apa kalian kira aku
mau menipu dan masih sanggup melarikan diri?”

Empat pembantu Raja Penidur saling berpandangan. Yang dua anggukkan kepala. Temannya
yang dua lagi ikut menyetujui. Keempat pembantu Raja Penidur lepaskan cekalan di kedua
tangan dan kaki Dewa Berkaki Iblis. Orang tua ini menarik nafas lega berulang kali, lalu menatap
empat orang tinggi besar di depannya dan berkata.

“Sebelum aku menjawab tiga pertanyaan tadi, apakah kalian pernah mendengar ucapan seperti
ini? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai.”

“Omongan ngacok apa itu?” hardik orang tinggi besar di samping kiri.

“Kalau kalian tidak mengerti biar aku beritahu.” Kata Dewa Berkaki Iblis pula. Sikap tenang
wajah tersenyum. Lalu di luar dugaan dia balikkan badan dan secepat kilat membenturkan
kepalanya ke dinding candi.

Praakkk!

Nyawanya tak tertolong lagi. Dewa Berkaki Iblis yang jadi anggota Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kema– tian ini tewas dengan kepala pecah!

***

Ketika manusia pocong kedua melompat tinggalkan tembok candi dan dikejar oleh empat orang
pembantu Raja Penidur, manusia pocong pertama telah melesat ke atas tembok sebelah kanan.
Dia menyeringai di balik kain putih penutup kepala karena merasa siasat yang dirancang
ternyata mengena. Dia tidak menyadari malapetaka apa yang bakal menimpa dirinya sebentar
lagi.

Tanpa tunggu lebih lama dia cepat berkelebat ke arah Raja Penidur yang terbaring ngorok.
Walaupun malam gelap, namun matanya yang tajam sudah dapat melihat benda yang dicari,
yakni satu gulungan kecil kain putih. Sesuai penjelasan Yang Mulia Ketua benda itu ada di atas
pangkuan, dekat lekuk paha celana. Secepat kilat manusia pocong pertama ini ulurkan tangan
kanan menyambar gulungan kain putih kecil. Dia berhasil mendapatkan! Namun sebelum
sempat berkelebat kabur, tahu-tahu, clek! Satu tangan besar laksana jepitan besi mencekal
lengan kanannya. Lalu ada asap berbau sangat tidak enak berhembus ke arah mukanya.
Membuat dia gelagapan, sulit bernafas dan batuk-batuk.

Manusia pocong ini berusaha menarik tangannya yang dicekal. Sampai keluarkan seluruh
tenaga luar dan dalam dan tubuh keringatan tetap saja dia tak mampu bebaskan lengan.
Karenanya tidak menunggu lebih lama lagi tangan kiri segera dihantamkan ke perut gendut Raja
Penidur.

Buuukkk!

Desss!

Tiga jajar batang kelapa yang menjadi alas ketiduran Raja Penidur sampai bergetar hebat. Tapi
anehnya tubuh Raja Penidur sendiri tidak ikut cidera dihantam pukulan keras itu. Perut
gendutnya yang kena hantam melesak ke bawah sampai satu jengkal, lalu perlahan-lahan
melenting naik kembali.

“Gila! Ilmu apa yang dimiliki orang ini? Aku seperti memukul tumpukan kapas!” ucap manusia
pocong dalam hati sambil melotot.

Sementara itu si gemuk yang kena dipukul anehnya malah menggeliat, menguap lebar-lebar.
Tanpa membuka kedua matanya yang terpejam dia berkata.

“Enak-enakan tidur siapa yang barusan jahil menggelitik perutku…”

Walau kaget mendengar ucapan orang, si manusia pocong merasa dipermainkan. Kini dia
kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan kiri lalu secepat kilat menghantam ke arah batok
kepala Raja Penidur.

“Uuhhh… ada nyamuk nakal mau menghisap darahku.” Raja Penidur acuh tak acuh kibaskan
pipa di tangan kanan. Mata masih terpejam.

Manusia pocong terlambat tarik tangannya.

Kraaakk!

Lengan kanan manusia pocong hancur. Bagian sebelah bawah bergelayutan, tidak sampai
tanggal karena masih tertahan daging, urat dan otot. Jeritan setinggi langit keluar dari mulut si
manusia pocong. Sementara tangan kanan– nya yang hendak merampas gulungan kain putih
masih berada dalam cekalan Raja Penidur. Saat itulah empat pembantu Raja Penidur muncul.
Mereka segera menarik tubuh manusia pocong dan siap hendak dibantai. Namun terpaksa
urungkan niat ketika Raja Penidur terdengar berkata.

“Biarkan dia hidup. Biarkan dia kembali ke majikan yang menyuruhnya…”

“Raja Penidur, kami patuh apa yang kau perintahkan. Tapi sebaiknya manusia satu ini kita
tanyai dulu. Siapa dirinya, siapa majikannya dan di mana tempat kediaman– nya…”
“Mengapa susah-susah? Biar saja. Nanti ada orang lain yang bakal mengurusi. Lepaskan dia.
Kalau dia kembaii ke majikannya aku rasa dia bakalan jadi setan pocong betulan.”

Mendengar ucapan Raja Penidur, empat pembantu ayun tubuh manusia pocong lalu dilempar
ke arah semak belukar.

Braaakkk!

Manusia pocong terkapar di atas semak-semak. Tangan kiri tergontai-gontai. Sambil menahan
sakit dia cepat turun dan kabur tinggalkan tempat itu. Ternyata dia tidak terus kembali ke 113
Lorong Kematian. Di satu tempat dia berhenti di tepi sebuah jurang batu. Hatinya berkata,
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilak– sanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai. Tapi kalau aku kembali, apakah Yang Mulia Ketua akan memberi
pengampunan? Kalau aku melarikan diri apakah Yang Mulia Ketua dan kaki tangannya tidak
bakal menemukan diriku?”

Manusia pocong menatap ke dalam jurang dalam dan gelap. Terngiang ucapan Raja Penidur
yang mengatakan kalau dia kembali ke majikannya, mungkin dia akan dijadikan setan pocong
betulan alias dibunuh! Orang ini coba berpikir keras namun otaknya yang sudah dicuci tak
banyak menolong. Putus asa dan juga ada rasa takut akhirnya didahului satu jeritan keras dan
panjang dia memilih menghambur diri terjun ke dalam jurang batu.

***

Kembali ke Candi Cemorosewu.

Raja Penidur, tokoh aneh rimba persilatan ini usap-usap perutnya. Mulut menguap lebar. Ketika
mendengar suara jeritan di kejauhan, tanpa membuka mata dia berkata.

“Mahluk tadi, dia ingin lebih cepat jadi setan pocong betulan. Hik… hik… hik.” Raja Penidur
sedot lagi pipanya, hembuskan asap lalu menguap. “Aku mau tidur. Kalian gotong diriku. Kita
meneruskan perjalanan.”

“Raja,” salah seorang pembantu beranikan diri berkata. “Ada sesuatu yang perlu kami
beritahukan pada Raja.”

Tanpa membuka mata Raja Penidur hanya keluarkan suara berdehem serak.

Sang pembantu kembali membuka mulut. “Sewaktu pertemuan dengan kakek berjuluk Dewa
Sedih, sebelum Raja tidur, kakek itu melemparkan sesuatu ke pangkuan Raja.”

“Siapa bilang aku tidak tahu?” sahut Raja Penidur lalu menguap. “Benda itu sebuah gulungan
kain putih kecil. Mungkin bekas pengorek kuping tua bangka cengeng itu. Benda itu sampai
sekarang masih ada di atas pangkuanku. Betul?” Raja Penidur menguap.
“Betul sekali Raja. Menurut kami benda itu bukan korek kuping. Tapi sesuatu yang sangat
penting…”

“Bagaimana kau tahu benda itu penting?” tanya Raja Penidur.

“Kalau tidak penting mengapa dua manusia pocong itu menyatroni kita. Salah seorang dari
mereka jelas-jelas hendak merampas gulungan kain itu.”

Raja Penidur diam saja lalu menguap.

“Raja,” pembantu di sisi kiri kini yang keluarkan ucapan. “Dengan izinmu apakah kami boleh
mengambil gulungan kain putih di atas pangkuanmu lalu membuka– nya? Siapa tahu kita akan
menemukan sesuatu benda di dalam gulungan atau pesan berupa tulisan…”

“Mengapa mau bersusah payah, mengapa mau mengada-ada?”

“Maaf Raja, kami tidak bermaksud begitu. Kami tidak merasa susah apa lagi berani mengada-
ada.” Pembantu yang tadi bicara berkata sambil membungkuk berulang kali.

“Sudahlah, kantukku tidak tertahan. Gotong diriku. Jangan sekali-kali berani mengambil apa lagi
membuka gulungan kain putih. Berjalan ke arah matahari terbit. Menjelang fajar kalian akan
menemukan seorang yang mengeluarkan suara berisik. Aku tidak akan bangun, jadi tidak akan
menemuinya. Serahkan gulungan kain itu padanya. Berikan pesan begini. Minta dia pergi ke
arah utara Telaga Sarangan, itu saja…”

“Perintah Raja kami lakukan. Seandainya kami…” Pembantu Raja Penidur tidak teruskan
ucapannya karena saat itu manusia luar biasa gemuk berusia seratus enam puluh lima tahun itu
telah keluarkan suara mendengkur alias sudah lelap tidur. Jangan harap akan bisa bicara lagi.

“Heran, Raja menyuruh menyampaikan pesan. Bunyi– nya begitu pendek. Apa orang yang
keterimaan pesan akan mengerti. Pergi ke utara Telaga Sarangan? Mengapa? Untuk apa?
Menemui siapa?”

“Sebaiknya kita tak usah banyak bertanya dan berpikir. Raja lebih tahu dari kita. Mari kita
gotong batang kelapa tempat ketidurannya,” kata pembantu Raja Penidur yang waktu
perkelahian di candi melesak matanya dihajar manusia pocong.

Kapak Maut Naga Geni 2128

UDARA menjelang pagi terasa dingin. Empat pembantu Raja Penidur berjalan cepat tanpa ada
yang bicara. Keadaan masih gelap dan udara dingin luar biasa. Tidak heran walau memanggul
beban sangat berat ditam– bah dengan berjalan cepat keempat orang itu tidak keluar– kan
keringat.
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara sesuatu. Raja Penidur sudah mendengar sejak tadi
namun tak ada yang mau bicara. Sesuai perintah, mereka bergerak terus ke arah timur, arah
terbitnya sang surya. Tak selang berapa lama salah seorang dari mereka akhirnya tidak tahan
juga untuk membuka mulut.

“Aku mendengar suara curahan air terjun…”

“Aku juga,” teman di sebelah depan menyahuti.

Pembantu pertama kembali berkata. “Turut arah datangnya suara pasti itu air terjun Ngadiloyo.
Sudah tiga hari kita tidak mandi. Bagaimana kalau mampir dulu ke sana membersihkan diri
mencari kesegaran.”

“Air terjun lurus di sebelah kanan. Tujuan kita lurus tidak membelok. Aku khawatir kalau sampai
tidak tepat waktu…” Yang berkata orang tinggi besar di belakang kanan,

“Aku mau-mau saja,” ujar pembantu di sebelah belakang kiri. “Tapi siapa berani menyalahi
perintah Raja. Kita disuruh mencari orang yang mengeluarkan suara berisik dan menyerahkan
gulungan kain putih.”

“Orang yang selalu berisik itu, terus terang tidak jelas siapa dia adanya. Lelaki, perempuan,
masih muda atau sudah tua. Lalu berisik bagaimana? Apa setiap saat dia berteriak-teriak terus…
Aku khawatir kita kesalahan menyerahkan pada orang lain.”

“Sudahlah, tak perlu terlalu memikirkan siapa orang itu, apa lagi pergi mandi ke Ngadiloyo.
Percepat langkah kalian. Lihat ke depan, apa tidak melihat langit sebelah sana sudah mulai
terang? Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kita harus menemukan orang itu. Siapapun dia
adanya.”

Mendengar ucapan temannya itu dan melihat langit di kejauhan memang mulai terang, tiga
pembantu yang mengusung Raja Penidur serta merta mempercepat langkah. Keempat mereka
kini kelihatan setengah berlari.

Di ufuk timur kemunculan sang surya membuat langit yang sepanjang malam gelap menghitam
perlahan-lahan mulai kelihatan terang.

Tiba-tiba empat pasang kaki memperlambat lari. Lalu berhenti sama sekali. Empat pembantu
Raja Penidur mendengar suara aneh. Dua kali berturut-turut.

“Aku tak bisa menduga suara apa itu. Datangnya tepat di arah terbitnya sang surya.” Pembantu
di sebelah depan kanan keluarkan ucapan.
“Jalan saja terus. Aku kira kita akan segera menemu– kan petunjuk sesuai perintah Raja,”
kawan pengusung di sebelah kiri depan berkata.

“Kalau petunjuk yang kita temui memang bagus. Tapi kalau bahaya?”

“Apa selama ini kita pernah takut menghadapi bahaya?” teman orang yang barusan bicara
menyahuti.

Empat orang tinggi besar itu segera lanjutkan perja– lanan. Tapi kali ini mereka tidak berlari
lagi, hanya melang– kah cepat karena hati masing-masing dirasuki oleh rasa was-was yang
membuat mereka harus bersikap waspada.

Berjalan sejauh tiga puluh langkah mendadak meng– hadang sebuah parit. Sebagian sisi parit
ditumbuhi semak belukar lebat setinggi pinggul. Empat pembantu Raja Peni– dur terpaksa
hentikan langkah. Jika tetap mempertahan– kan arah lurus ke timur, mereka harus berputar ke
kanan atau ke kiri parit baru bisa meneruskan perjalanan. Namun apa yang membuat mereka
tidak segera melanjutkan langkah ialah melihat kehadiran seseorang di seberang parit.

Seorang mengenakan caping duduk menjelepok di bawah sebatang pisang yang tengah
berbuah matang. Di pangkuannya terletak satu tongkat berwarna putih terbuat dari tulang. Di
belakang punggung tergantung sebuah buntalan. Tangan kanan orang ini memegang sebuah
benda yang kurang jelas apa adanya. Pakaiannya rombeng penuh tambalan. Tak seorangpun
dari empat pembantu Raja Penidur dapat melihat wajah orang itu karena tertutup caping lebar.
Cuma terlihat sedikit bagian dagu yang bergerak-gerak tiada henti, tanda dia tengah makan
atau mengunyah sesuatu.

Tangan kanan orang bercaping bergerak. Benda yang ada dalam genggamannya keluarkan
suara aneh. Suara berkerontangan. Keras dan berisik, membuat telinga empat pembantu Raja
Penidur mengiang sakit. Sehabis membuat suara berisik, dengan benda di tangan kanan orang
itu angkat tangan kiri. Telapak di buka menampung ke atas. Aneh luar biasa. Sebutir pisang di
atas pohon jatuh ke bawah. Di tangkap dengan tangan kiri lalu dikupas dan dimakan oleh orang
bercaping sambil kepalanya dimang– gut-manggut. Habis pisang dimakan kulit dilempar ke
dalam parit. Ternyata di parit sudah sembilan kulit pisang bergeletakan.

Orang bercaping usap perutnya sebentar. “Masih kem– pes…” katanya lalu tertawa, gerakkan
tangan kanan yang memegang benda yang bisa mengeluarkan suara berisik.

Tangan kiri diangkat kembali. Ditampung sedemikian rupa. Pisang jatuh lagi secara aneh,
dimakan, kulit dilem– par dan tangan kanan kembali menggoyang benda berisik.

Empat pengusung Raja Penidur saling pandang semen– tara lagit semakin terang.

“Aku rasa ini orangnya,” ucap lelaki tinggi besar di depan kanan. “Yang dimaksud Raja sebagai
orang yang selalu berisik adalah benda yang tadi digoyangkan di tangan kanan.”
“Mari kita datangi dia. Bicara dan kalau memang dia orangnya serahkan saja gulungan kain
putih dan sampai– kan pesan sesuai perintah Raja.”

Empat lelaki tinggi besar bertelanjang dada dan mengenakan celana gombrong hitam berjalan
memutar parit ke sebelah kanan, begitu sampai di hadapan orang bercaping yang duduk di
bawah pohon pisang mereka segera turunkan batang kelapa ke tanah.

Seperti tidak acuh orang bercaping kembali gerakkan tangan kanan. Suara berisik luar biasa
membuat luruh beberapa daun pepohonan di sekitar tempat itu. Selain itu suara berisik seperti
mau merobek gendang-gendang teli– nga membuat empat pembantu Raja Penidur tekap
telinga masing-masing.

Selagi orang kebisingan, orang bercaping tampungkan lagi tangan kirinya. Ketika pisang jatuh,
pembantu di sebelah depan cepat gerakan tangan hendak mendahului mengambil pisang.
Orang bercaping golengkan kepalanya sedikit. Seperti hidup pisang itu melejit ke atas meng–
hantam mata kiri sang pembantu hingga dia mengeluh kesakitan. Sebelum sampai ke tangan
orang bercaping, pisang mental dulu ke bagian bawah perut orang tinggi besar hingga dia
kesakitan terbungkuk-bungkuk. Ketika dia mengusap mata dan memandang ke depan
dilihatnya orang bercaping telah menyantap pisang yang tadi hendak diambilnya sambil
tertawa haha-hehe! Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Lalu benda di tangan
kanan digoyang kembali. Empat pembantu Raja Penidur lagi-lagi dibuat gelagapan dan cepat-
cepat tutup telinga mereka.

Hari semakin terang. Orang bercaping yang masih belum kelihatan jelas wajahnya keluarkan
suara tawa bergelak. Lalu mulutnya berucap.

“Kedatangan tamu dari jauh sungguh menyenangkan. Apa lagi sudah berminggu-minggu aku
tidak bertemu dengan yang namanya manusia!”

Orang bercaping goyangkan tangan kanannya. Kembali suara berisik menggema di udara saat
fajar menyingsing itu. Empat pembantu Raja Penidur ingin sekali merampas benda di tangan
kanan orang bercaping. Tapi mereka tidak berani berlaku ceroboh. Mereka maklum yang duduk
menjelepok di tanah sambii terus-terusan makan pisang itu adalah seorang aneh
berkepandaian tinggi. Apalagi mereka sudah menduga, orang inilah si manusia berisik yang
dimaksud oleh Raja Penidur.

Sementara itu Raja Penidur sendiri terus saja men– dengkur dalam kelelapan tidurnya, sama
sekali tidak terganggu oleh suara berisik yang keluar dari benda yang digoyang orang bercaping.

“Cuma sayang. Ha… ha… ha.” Orang bercaping teruskan ucapannya dan tertawa. “Aku mencium
bau tidak enak. Bau ketek, bau selangkangan, bau daki, baru keringat, bau apaknya pakaian,
bau busuknya rambut. Semua jadi satu! Hai, udah berapa hari kalian berempat tidak ketemu
air, tidak madi?”
Empat pembantu Raja Penidur saling pandang. Yang satu hendak bicara tapi kedahuluan orang
bercaping.

“Kalau ingin menyegarkan diri, mengapa tidak mandi dulu? Air parit itu cukup bersih, jernih dan
sejuk!”

Empat lelaki tinggi besar kembali saling pandang satu sama lain dan delikkan mata. Orang
bercaping itu jelas mempermainkan mereka. Menyuruh mandi di parit yang katanya berair
bersih, jernih dan sejuk. Padahal jelas-jelas air parit itu kotor berlumpur, penuh lumut dan
sampah termasuk kulit pisang yang dilemparkan seenaknya. Lalu air parit itu juga mengeluarkan
bau tidak sedap.

“Kalian tidak mau mandi? Tidak apa. Ha… ha… ha. Berjalan jauh, membawa beban berat pasti
kalian haus dan juga lapar. Sayang tidak ada air di sini. Tapi untuk mengganjal perut lapar dan
haus dahaga mengapa tidak makan pisang saja? Rasanya manis dan banyak airnya. Aku
persilahkan kalian mencicipi.”

Habis berkata begitu orang bercaping ambil tongkat putih di atas pangkuan. Tongkat diangkat
dan dikibaskan empat kali berturut-turut ke arah pisang di atas pohon. Empat buah pisang
secara aneh melesat dan masuk ke dalam mulut empat pembantu Raja Penidur. Pelipis
bergerak, rahang menggembung, mata mendelik. Jelas keempat orang ini menjadi marah besar
diperlakukan seperti itu.

“Oho! Jangan marah! Makan saja pisangnya. Aku tidak akan minta bayaran! Ha… ha… ha!”

Saking marah dan karena pisang sudah masuk hampir setengahnya ke mulut mereka, dengan
gemas geram empat lelaki tinggi besar itu akhirnya kunyah dan telan pisang dengan kulit-
kulitnya.

Orang bercaping kembali tertawa.

“Kalau lagi lapar, pisang dilahap dengan kulitnya memang sedap juga. Ha… ha… ha!” Orang
bercaping goyangkan tangan kanan. Kembali suara berisik menggema di seantero tempat.

Tadinya keempat orang yang masih dalam keadaan marah itu hendak melakukan sesuatu untuk
memberi pelajaran pada orang bercaping yang sudah keterlaluan kurang ajarnya. Tapi mereka
merasa aneh, pisang dengan kulit itu terasa sangat sedap dan walau cuma makan sebuah saat
itu mereka merasa perut masing-masing kenyang sekali. Dahagapun hilang, tubuh terasa segar
dan kuat. Segala keletihan menempuh perjalanan jauh dan membawa beban berat lenyap!

“Orang bercaping, jelaskan siapa dirimu!” Pembantu paling depan berkata. Suaranya tidak
berani keras lagi. Dia menyadari orang yang duduk di tanah itu benar-benar bukan manusia
sembarangan.
“Sudi membuka caping. Bolehkah Kami melihat wajahmu?” kawannya di samping kiri ikut
keluarkan ucapan.

Orang bercaping melintangkan tongkat putih di atas dada. Benda yang selalu digenggamnya di
tangan kanan diletakkan di tanah. Perlahan-lahan bagian depan caping bambunya didorong ke
atas hingga wajahnya tersingkap sampai ke kening. Ternyata dia adalah seorang kakek. Dan
astaga! Sepasang matanya kelihatan putih, tidak ada bola mata hitam sama sekali!

Kapak Maut Naga Geni 2129

EMPAT pembantu Raja Penidur tersentak kaget. Manusia buta begini rupa bagaimana bisa tahu
kehadiran mereka, membawa beban berat dan bisa melakukan hal-hal aneh. Padahal orang
tidak buta sekalipun belum tentu bisa mengerjakan!

Setelah tertawa panjang kakek ini berkata.

“Pakaian rombeng banyak tambalan. Membekal tongkat putih dari tulang. Mengenakan caping.
Ke manamana membawa kaleng rombeng berisi batu. Mata hanya tinggal putihnya saja. Apa
kalian masih tidak mengenali diriku? Ha… ha… ha…!”

“Kakek Segala Tahu!”

Empat pembantu Raja Penidur keluarkan ucapan hampir berbarengan. Lalu sama-sama
bungkukkan tubuh memberi hormat.

“Setahu kami kau adalah sahabat sangat dekat dengan Raja Penidur…”

“Kami memang bersahabat. Tapi dia seorang sahabat yang sombong!” kata si kakek pula.
“Buktinya, menemuiku dia terus-terusan tidur. Tapi aku mau tahu apakah dia cuma berpura-
pura.”

Kakek bercaping yang memang Kakek Segala Tahu adanya, orang yang merupakan salah satu
dedengkot rimba persilatan tanah Jawa beringsut mendekati jejeran tiga batang kelapa di atas
mana Raja Penidur tidur dengan mengeluarkan suara mendengkur keras.

Kakek itu kerahkan tenaga dalam lalu kaleng rombeng yang didekatkan ke telinga kiri Raja
Penidur digoyang kuatkuat. Empat pembantu Raja Penidur tersurut sampai empat langkah. Satu
di antaranya hampir terpeleset masuk ke dalam parit. Mereka semua menutup telinga masing-
masing karena tidak sanggup mendengar kerasnya suara kaleng rombeng berisi batu yang
digoncang.
Di atas jejeran batang kelapa, Raja Penidur tidak bergerak, tidak pula berhenti dengkurnya.
Sepasang mata terus terpejam. Dahsyatnya suara kerontangan kaleng yang digoyang di telinga
kirinya sama sekali tidak membuatnya bangun dari lelap tidur.

Kakek Segala Tahu belum mau menyerah. Tenaga dalamnya ditambah lagi hingga capingnya
beberapa kali berjingkrak ke atas. Kaleng rombeng dipindah, kini digoyang di dekat telinga
kanan Raja Penidur. Seperti tadi Raja Penidur tidak bergeming, tidak terpengaruh sedikit– pun.

“Kakek Segala Tahu,” ucap salah seorang pembantu. “Kau saksikan sendiri, Raja Penidur tidak
sombong, dia tidak berpura-pura. Dia memang tidur nyeyak. Kalau belum saatnya, apapun yang
terjadi, sekalipun gunung meletus di depan hidung dan dunia ini mau kiamat, dia pasti tetap
saja tidak akan terjaga bangun. Harap kau tidak meng– ganggunya lebih jauh.”

Kakek Segala Tahu menyeringai.

“Siapa percaya ocehanmu!?” katanya. “Kalau gunung meletus di depan hidungnya, majikanmu
ini sudah jadi debu. Kalau dunia kiamat dia sudah jadi bara puntung neraka! Ha… ha… ha! Kalian
semua tenang saja. Lihat saja. Masih ada cara lain untuk membuktikan apakah dia memang
benar-benar tidur atau bohongan belaka!”

“Asal kau jangan menyakiti dirinya saja Kek,” kata salah seorang pembantu Raja Penidur.

“Jangan takut, jangan khawatir. Hik… hik. Aku tidak akan menyakiti dirinya. Malah aku mau
memberinya satu kenikmatan.” Jawab Kakek Segala Tahu. Lalu orang tua ini ambil tongkatnya.
Ujung tongkat diletakkan di atas tubuh Raja Penidur, tepat di bagian bawah perut manusia
gemuk itu. Perlahan-lahan sambil kedip-kedipkan matanya yang putih, Kakek Segala Tahu mulai
usap-usapkan ujung tongkatnya.

“Kakek, apa yang kau lakukan?” tanya seorang pembantu Raja Penidur.

“Ssst… Lihat saja. Tak usah khawatir…” Jawab Kakek Segala Tahu dan terus saja mengusapi
bagian tubuh di antara dua paha Raja Penidur. Lama kelamaan, perlahanlahan celana di bagian
bawah perut itu membengkak, naik ke atas, makin tinggi dan makin tinggi.

Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan. Dia tarik tongkatnya lalu berkata.

“Kalian lihat sendiri. Barusan aku telah membuktikan majikanmu ini tidak tidur benaran. Dia
hanya pura-pura. Kalau dia memang tidur mengapa anunya bisa munjung, bisa naik diusap-
usap. Padahal cuma diusap dengan tongkat. Bagaimana kalau yang mengusap jari-jari tangan
gadis cantik? Huh! Pasti meledak robek celananya! Ha… ha… ha…”

Empat pembantu Raja Penidur sesaat terdiam lalu serentak sama-sama menutup mulut
menahan tawa. Salah seorang di antara mereka kemudian berbisik pada temantemannya.
“Lekas saja beritahu pada kakek itu maksud keda– tangan kita. Lama-lama melayani dirinya kita
semua bisa sinting.”

“Kek,” salah seorang dari empat pembantu dekati Kakek Segala Tahu. “Raja Penidur memberi
tugas pada kami berempat untuk menemuimu. Soal apakah dia tidur benaran atau pura-pura
mohon jangan diambil hati. Kami diperintahkan untuk menyerahkan…”

“Aku sudah tahu. Kalian diperintahkan untuk menye– rahkan satu barang butut padaku disertai
satu pesan. Bukan begitu?!”

Empat pembantu Raja Penidur jadi tersirap kaget. Bagaimana kakek buta ini bisa mengetahui
tugas yang mereka jalankan?

Kakek Segala Tahu masih senyum-senyum dan ber– tanya. “Sudah, jangan pada bingung.
Serahkan benda itu dan sampaikan pesannya.”

Salah seorang dari empat lelaki tinggi besar ambil gulungan kain putih kecil di atas lipatan paha
celana Raja Penidur. Benda ini kemudian diserahkannya pada Kakek Segala Tahu.

Si kakek usap-usap benda yang diterimanya. Sesaat tercengang. Seperti melihat padahal buta
dia bertanya. “Si gendut ini menyuruh kalian menyerahkan benda ini padaku?”

“Benar Kek. Harap kau mau menerima…”

“Benar-benar menghina!”

“Kek, buruk bagusnya benda ini harap kau sudi mene– rima. Kami berempat hanya menjalankan
perintah. Harap jangan marah.”

“Siapa bilang aku marah!”

“Kalau begitu tolong diterima saja Kek.”

“Sekarang coba katakan apa pesan dari si gendut majikanmu ini?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Raja berpesan agar Kakek pergi ke utara Telaga Sarangan.”

“Hemmmm…” Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya. “Mau apa dia menyuruh aku
ke sana? Mencari apa menemui siapa?”

“Maaf Kek, Raja tidak menjelaskan apa-apa.”

Kakek Segala Tahu kerontangkan lagi kaleng rombeng– nya. Gulungan kain putih kecil kembali
diusap-usap. Lalu perlahan-Iahan dibuka. Begitu gulungan kain terbuka si kakek meraba-raba
kain itu. Ternyata di atas kain ada serangkaian tulisan tertera dengan tinta kuning. Kakek Segala
Tahu perlihatkan kain putih itu pada orang tinggi besar yang berdiri di depannya lalu berkata.
“Beritahu, aksara apa yang tertera di kain ini. Aksara Jawa kuno, Arab atau Cina?”

Orang tinggi besar memperhatikan kain putih di tangan si kakek sebentar. Lalu menjawab.
“Tulisan Jawa Kuno Kek.”

“Begitu?” Si kakek manggut-manggut. Atur caping di atas kepala. Betulkan letak buntalan di
punggungnya lalu selipkan tongkat di pinggang. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.

“Kakek, boleh kami membaca apa yang tertulis di atas kain putih itu?”

“Apakah guru kalian memerintahkan begitu?”

Pembantu yang barusan bicara jadi terdiam lalu gelengkan kepala.

“Barang sudah kalian serahkan, pesanan sudah kalian sampaikan. Saatnya aku pergi ke mana
aku mau menuju dan kalian silahkan berangkat melanjutkan perjalanan?”

“Tapi Kek, sesuai pesanan Raja, kau harus pergi ke utara Telaga Sarangan.”

“Ke mana aku mau pergi itu adalah urusanku,” jawab Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan
kaleng rombengnya.

Empat orang pembantu Raja Penidur tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah membungkuk
memberi hormat mereka angkat batang kelapa lalu mengusung pergi Raja Penidur yang terus
saja ngorok tiada henti.

Setelah orang-orang itu pergi Kakek Segala Tahu kembali duduk menjelepok ke tanah. Caping
didorong ke atas. Kepala mendongak ke langit. Jari-jari tangan meng– usap rangkaian tulisan di
atas kain putih kecil. Begitulah caranya kakek aneh ini membaca. Dalam membaca dia tertawa-
tawa sendiri.

“Curang! Kenapa cuma anak perjaka yang boleh nikah? Huh! Apa tua bangka seperti aku ini
tidak boleh mendapat kesempatan? Tapi… ha… ha… ha!”

Setelah mengomel si kakek tertawa sendiri. “Apa yang bisa dilakukan kakek keropos seperti aku
jika nikah dengan perawan? Modalku cuma terong keriput, mungkin sudah karatan lagi! Ha…
ha… ha!”

Kakek Segala Tahu sekali lagi usap rangkaian tulisan di atas kain putih dengan jari-jari
tangannya. Lalu dia kelihatan seperti menggigil. “Huh… nikah dengan mayat! Siapa sudi! Lebih
baik gempor seumur-umur! Hik… hik…
hik!”

***

Semalaman suntuk Kakek Segala Tahu berjalan sambil sesekali kerontangkan kaleng bututnya.
Ketika sang surya muncul baru dia berhenti, duduk di pinggiran sebuah hutan kecil. Dari
kemunculan matahari kini dia tahu mana arah utara.

“Apakah aku harus pergi ke utara sesuai pesan si gendut itu?” Kakek Segala Tahu bertanya
dalam hati. “Urusanku banyak yang lain. Kalau tidak melihat kesulitan yang bakal dihadapi
anak-anak itu aku lebih suka tidak perduli dengan pesan si gendut!” Si kakek kerontangkan
kaleng berisi batu kerikil. Setelah merasa letihnya hilang dia lanjutkan perjalanan kembali.
Namun baru bertindak enam langkah dua bayangan putih berkelebat mengha– dang. Satu di
kiri satu di kanan.

“Ah, manusia-manusia pocong itu rupanya benar-benar ada,” Membatin si kakek. Caping di
dorong ke atas. Dua manusia pocong jadi melengak ketika menyaksikan orang yang mereka
hadang ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta.

Manusia pocong di sebelah kanan membentak.

“Kakek buta! Kami tahu kau membekal segulung kecil kain putih! Serahkan benda itu pada
kami!”

Kakek Segala Tahu dongakkan kepala ke atas, keron– tangkan kalengnya lalu tertawa
mengekeh.

“Yang namanya pocong itu tak pernah ada yang bisa bicara. Dan kalau muncul selalu membawa
bau menyan. Kalian ini pocong apa? Masih punya nyawa berbadan seperti mayat! Benar-benar
tolol. Atau sinting?!”

Dua manusia pocong jadi terkesiap. Bagaimana kakek buta itu tahu keadaan diri mereka?

“Kalian ini makhluk jejadian apa sebenarnya? Datang dari mana?!”

“Kau tak layak bertanya!” bentak manusia pocong di samping kiri. Temannya di sebelah kanan
menyambung.

“Kakek buta, kami tahu kau punya kepandaian. Tapi jangan harap dengan kepandaianmu itu
kau bisa selamatkan diri dari kematian! Lekas serahkan barang yang kami minta! Atau kau akan
mampus percuma di tangan kami orang-orang 113 Lorong Kematian!”

“Wah… wah… wah! Kalau kalian mengancam mau membunuhku, aku yang tua bau tanah ini
mana berani melawan. Apalagi kalian berdua aku cuma sendiri. Apalagi kudengar kalian
menyebut-nyebut 113 lorong. Bisa-bisa aku kalian cincang jadi 113 potong!” Seperti orang
keta– kutan Kakek Segala Tahu lalu bongkar buntalannya sambil mulutnya berucap. “Heran,
heran. Bagaimana kalian tahu kalau aku membekal segulung kain putih?” Dari dalam buntalan
Kakek Segala Tahu kemudian keluarkan barang yang diminta. Segulung kecil kain putih.

“Bagus! Kau cukup tahu diri!” Manusia pocong sebelah kanan cepat ambil gulungan kain putih
kecil lalu memberi isyarat pada temannya untuk segera pergi.

Sang teman berbisik. “Kita bunuh saja tua bangka ini.”

“Kurasa tidak perlu. Kita sudah mendapatkan apa yang dicari.” Jawab manusia pocong satunya.
Justru ini adalah satu kesalahan besar yang kelak akan menimbulkan malapetaka atas pimpinan
serta seluruh anggota Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.

Dua manusia pocong itu akhirnya tinggalkan si kakek.

***

Di dalam 113 Lorong Kematian.

Yang Mulia Ketua melangkah mundar-mandir dalam Ruang Bendera Darah. Wakilnya tegak tak
bergerak. Kedua orang ini berada dalam keadaan risau. Sang ketua hen– tikan langkah.
Memandang pada wakilnya dan berkata.

“Aku tahu, saat ini matahari sudah naik tinggi. Menurutmu apakah dua anggota kita akan
berhasil mendapatkan benda itu?”

“Mudah-mudahan. Saya berharap begitu…”

“Kalau hanya mudah-mudahan berarti masih ada rasa was-was dalam hatimu! Kita sudah
kehilangan Dewa Berkaki Iblis dan temannya Datuk Liang Akhirat. Kalau sampai dua anggota
yang kita kirim menghadang kakek buta ini gagal lagi, celaka besar menghadang. Gila! Mengapa
roh gaib penghuni Aksara Batu Bernyawa tidak pernah memberitahu kain penangkal celaka itu
dari duludulu! Bisikan roh baru aku terima tiga malam lalu. Terlambat! Mungkin ini ada
sebabnya. Ada kaitan dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu yang selalu menyanyikan lagu keparat
itu!”

“Yang Mulia Ketua harap bersabar. Saya yakin dua orang kita itu akan segera kembali sebelum
tengah hari. Kalaupun terjadi hal yang buruk, biar saya sendiri yang turun tangan.”

“Untuk sementara aku tidak mengizinkan kepergianmu dari tempat ini. Apa kau tidak ingat
laporan mata-mata yang mengatakan beberapa orang terlihat di sekitar selatan Telaga
Sarangan. Dari ciri-ciri yang disebutkan, salah seorang di antara mereka adalah Pendekar 212
Wiro Sableng. Saatnya kita menjebak dan menghabisi manusia satu itu. Apa kau tidak ingin
membalaskan dendam kesumat sakit hatimu terhadap musuh bebuyutanmu itu?”

“Saya menurut perintah Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”

Baru saja Wakil Ketua menyelesaikan ucapannya tibatiba di pintu ruangan ada ketukan. Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong cepat melangkah ke arah pintu batu. Yang Mulia Ketua menekan
sebuah tombol rahasia di lengan kanan kursi batu yang biasa didudukinya. Dinding batu di
ujung ruangan bergerak turun ke bawah membentuk pintu terbuka.

Di depan pintu dua orang manusia pocong menjura ke arah Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua
baru melangkah masuk ke dalam Ruang Bendera Darah.

“Kalian berhasil?!” tanya Yang Mulia Ketua dengan suara keras lantang.

Manusia pocong di sebelah kanan menjura. “Berkat petunjuk Yang Mulia. Kami berhasil.” Lalu
dari balik jubah putihnya manusia pocong ini keluarkan sebuah benda. Gulungan kecil kain
putih. Benda ini diserahkan kepada Yang Mulia Ketua.

“Ah…” Yang Mulia Ketua lepaskan nafas lega. Gulungan kain cepat dibuka. Secepat kain
terkembang secepat itu pula teriakan keras menggeledek dari mulutnya. “Jahanam! Palsu! Apa
ini?! Kalian berani menipuku!”

Dua manusia pocong tersentak kaget dan tersurut tiga tangkah. Di balik kain putih penutup
kepala wajah mereka menjadi pucat pasi. Wakil Ketua maju mendekat berusaha melihat apa
yang ada di atas kain putih kecil. Seharusnya di atas kain itu tertera serangkaian tulisan. Tapi
yang dilihatnya adalah gambar muka orang dengan lidah menjulur mencibir.

Yang Mulia Ketua menyambar dua buah Bendera Darah dari meja batu dan siap dilemparkan ke
arah dua anak buahnya. Wakil Ketua cepat mencegah.

“Yang Mulia Ketua. Harap sudi bersabar! Kita tanyai dulu mereka. Apa yang telah terjadi. Lagi
pula, kalau keduanya kita habisi, jumlah anggota kita semakin sedikit. Di saat-saat seperti ini
kita perlu banyak anggota. Sudah cukup lama kita tidak ketambahan anggota baru. Yang sudah
ada jangan sampai berkurang…”

“Setan alas!” Yang Mulia Ketua bantingkan dua bendera darah hingga menancap amblas di
lantai batu! Di balik lobang kecil kain putih penutup kepala sepasang mata Yang Mulia Ketua
berapi-api.

“Kalian berhasil ditipu tua bangka ini! Sungguh mema– lukan! Sebelum pergi apakah kalian
sudah membunuh– nya?!”
Dua anggota Barisan Manusia Pocong tak segera menjawab. Salah satu di antaranya malah
tundukkan kepala.

“Jahanam! Apa kalian berdua sudah jadi bisu? Jawab!

Kalian membunuh kakek buta itu atau tidak?”

Manusia pocong di sebelah kanan membungkuk ketakutan lalu berkata. “Sebelum pergi, saya
sudah mengingatkan dia untuk membunuh orang tua itu. Tapi katanya tak perlu karena kami
sudah mendapatkan apa yang dicari.”

“Jahanam keparat!”

Yang Mulia Ketua hantamkan tangan kanannya ke arah manusia pocong di samping kiri yang
tegak tertegun tundukkan kepala. Satu gelombang angin panas menebar cahaya-cahaya
menggidikkan melabrak tubuh manusia pocong. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya mencelat
ke luar ruangan, melayang sepanjang lorong lalu jatuh berge– debuk dalam keadaan hangus
mengerikan.

Ketika Yang Mulia Ketua palingkan kepala ke arah manusia pocong satunya, sang wakil cepat
menghalangi. “Yang Mulia Ketua, jangan…” Lalu dia berkata pada manusia pocong di depannya.
“Manusia tolol. Lekas keluar dari tempat ini. Atau aku sendiri yang akan mewakili Yang Mulia
Ketua memecahkan batok kepalamu!”

Tidak tunggu lebih lama, manusia pocong satunya yang pucat pasi wajah serta kucurkan
keringat dingin di seluruh tubuh serta merta keluar dari Ruangan Bendera Darah.

***

TIDAK lama setelah dua manusia pocong tinggalkan dirinya, Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh. “Dasar pocong jejadian. Kalau pocong sungguhan pasti kalian tidak termakan
tipuku! Ha… ha… ha.”

Si kakek angkat capingya. Dari sela-sela rambutnya yang putih dia keluarkan sebuah benda yang
bukan lain adalah gulungan kain putih. Tangan kanan kerontangkan kaleng rombeng dua kali,
lalu dia mulai mengusap rangkaian tulisan di kain putih dengan ujung-ujung jari. Begitulah cara
dia membaca apa yang tertulis di kain tersebut.

Batas antara kebaikan dan kejahata

adalah kebijaksanaan. Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa, akan menimbulkan
bencana malapetaka di mana-mana. Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
rimba persilatan akan kiamat. Dalam kiamat, tangan-tangan jahat akan jadi penguasa. Darah
mengalir sederas air sungai di musim hujan. Nyawa tiada artinya lagi. Hanya pernikahan dengan
mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang
perempuan, nikahkan dia dengan seorang perjaka. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang
lelaki, nikahkan dia dengan seorang perawan. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dalam
kesakralan ada kesucian. Dalam kesucian ada jalan untuk selamat. Maka kematian abadi akan
menjadi jalan keselamatan.

Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Kain putih digulung kembali lalu
disusupkan di sela rambut putih di atas kepala.

Kapak Maut Naga Geni 21210

KEMBALI ke tempat bertemunya Pendekar 212 Wiro Sableng, Wulan Srindi, Jatilandak dan Loh
Gatra. Seperti diketahui di tempat itu juga ada Bidadari Angin Timur dan kakek berjuluk Setan
Ngompol. Kedua orang ini bersembunyi di balik semak belukar dalam gelapnya malam
sementara berpikir-pikir apakah akan keluar bergabung dengan orang-orang itu atau tetap saja
sembunyi dulu mendengarkan segala pembicaraan mereka.

Tak lama setelah Sinto Gendeng pergi meninggalkan orang-orang itu muncul seorang
penunggang kuda. Bida– dari Angin Timur yang berada paling dekat dengan arah datangnya
orang, begitu melihat siapa adanya si penung– gang kuda segera saja mengambil keputusan
untuk keluar dari tempat persembunyiannya.

Orang yang datang dan kemudian turun dari kuda adalah seorang gadis cantik berpakaian
ringkas warna ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu diikat– kan di pinggang
membuat penampilannya menjadi tambah gagah. Rambut yang digulung ke belakang, diikat
dengan sehelai pita ungu. Kemunculan gadis ini membuat semua orang di tempat itu sesaat jadi
terdiam namun setelah itu mereka segera mengelilinginya dan suasana berubah jadi gembira.

“Anggini,” tegur Wiro menyebut nama gadis yang baru turun dari kuda yang bukan lain adalah
Anggini, murid Dewa Tuak yang konon memang sejak lama diinginkan untuk dijodohkan dengan
Wiro. “Kau datang sendirian. Mana para sahabat yang lain. Ratu Duyung, Sutri Kaliangan…”
Entah lupa entah memang tidak sengaja Wiro tidak menyebut nama Bidadari Angin Timur.

“Malam pertemuan di Gedung Kepatihan,” menyahuti Anggini. “Kami menunggu. Kau tidak
muncul. Kami akhir– nya berpencaran mencari jalan sendiri-sendiri. Aku tidak tahu di mana
beradanya Sutri Kaliangan dan Ratu Duyung. Juga Bidadari Angin Timur. Aku…”

Belum sempat Anggini menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba satu suara berseru menggema di
kegelapan malam.

“Anggini! Aku ada di sini!”


Begitu suara lenyap, di tempat itu berkelebat satu bayangan biru menebar bau harum. Tahu-
tahu Bidadari Angin timur telah berdiri di antara orang-orang itu. Anggini langsung merangkul
Bidadari Angin Timur. Saat saling berangkulan Bidadari Angin Timur pergunakan kesempatan
untuk berbisik.

“Anggini, dengar baik-baik. Tapi jangan melihat pada orangnya. Kau lihat gadis hitam manis
yang berdiri di samping pemuda berkulit kuning?”

Anggini melirik. “Ya, aku lihat. Siapa dia?”

“Namanya Wulan Srindi. Soal asal usulnya nanti akan kau ketahui sendiri. Tapi sebagai
sahabatmu ada satu hal membuat aku sakit hati pada gadis itu. Dia mengaku pada semua
orang, juga pada Eyang Sinto Gendeng…”

“Eyang Sinto Gendeng ada di sini?” tanya Anggini.

“Tadi, sekarang sudah pergi.” Menerangkan Bidadari Angin timur.

“Gadis itu, dia mengaku apa?”

“Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak…”

Anggini terkejut.

“Setahuku guru tak punya murid lain selain diriku.” Kata Anggini sambil sekali lagi melirik ke
arah Wulan Srindi.

“Semua orang tahu. Gadis itu berdusta. Malah lebih jahat dari kedustaan itu, dia membuat
kedustaan kedua. Dia mengaku Dewa Tuak menjodohkan dirinya dengan Wiro…”

Ada tarikan nafas di tenggorokan Angini. Dalam pelukannya, Bidadari Angin Timur merasa
tubuh Anggini bergetar dan degup jantungnya mengencang.

“Aku merasa tidak terusik kalau gadis itu berjodoh dengan Wiro,” bisik Anggini. Membuat
sekilas wajah Bidadari Angin Timur jadi berseri.

“Aku tak pernah lagi memikirkan soal itu. Kurasa Wiro juga demikian. Tapi soal dia adalah murid
Dewa Tuak, itu perlu diselidiki. Biar aku bicara dengan gadis itu…”

“Tenang, kuharap kau tenang. Jangan dulu mengacaukan suasana. Nanti mereka tahu kalau aku
yang membuka rahasia.”

“Apakah gadis itu tahu siapa diriku?” tanya Anggini.


“Kurasa tidak. Tak ada perubahan di wajahnya ketika kau muncul.”

“Kalau begitu aku harus mencari guru. Cukup lama kami tak pernah bertemu…”

“Mungkinkah karena lama tak bertemu gurumu kemudian dalam rindunya mengangkat gadis
itu jadi murid?” Pertanyaan Bidadari Angin Timur sebenarnya sekadar memancing.

“Guruku punya hak melakukan apa saja. Tapi dia bukan seorang yang tega berkhianat…”

Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur lepaskan pelukannya di tubuh Anggini.

“Anggini, bagaimana kau tahu kalau kami berada di sini?” Wiro bertanya pada Anggini dengan
sikap seolah Bidadari Angin Timur tak ada di situ. Rupaya sakit hati atas beberapa hal yang
dilakukan Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak belum bisa dilenyapkan sang pendekar.

“Ratu Duyung,” jawab Anggini.

“Di mana gadis bermata biru itu?” tanya Wiro pula.

Mendengar disebutnya nama itu, dan dalam bertanya kenangan Pendekar 212 kembali pada
pertemuannya dengan Bunga atau Suci, gadis dari alam roh, beberapa waktu lalu. Saat itu
Bunga mengatakan agar jika dia di kemudian hari mencari kawan hidup maka pilihlah Ratu
Duyung, jangan gadis lain. Kemudian Wiro tersadar, mendengar suara Anggini.

“Melalui cermin saktinya aku dan kawan-kawan mengetahui ancar-ancar keberadaanmu. Dia
berangkat lebih dulu bersama Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan. Aneh kalau dia belum
bergabung dengan kalian.”

“Mungkin mereka mampir dulu di satu tempat. Kau tahu Sutri Kaliangan adalah seorang putera
Patih Kerajaan. Di mana-mana dia dikenal dan dihormati orang. Pasti banyak yang ingin
mengundangnya…” Yang bicara adalah Bidadari Angin Timur.

Wiro tidak memberi tanggapan. Dia hanya melirik sebentar pada gadis berambut pirang itu lalu
memandang pada Anggini dan berkata.

“Ada kabar tidak enak. Menurut gadis ini…” Wiro memalingkan kepala pada Wulan Srindi lalu
meneruskan ucapannya, “gurumu Dewa Tuak ditahan oleh komplotan manusia pocong…”

“Kami tengah mengatur rencana penyerbuan ke 113 Lorong Kematian, markas manusia pocong.
Mereka menculik istriku yang sedang hamil,” berkata Loh Gatra.

“Aku bersumpah akan membantai pimpinan dan semua anggota manusia pocong kalau guruku
dibikin cidera, apalagi kalau sampai tewas.” Kata Anggini pula. Lalu dia sambung ucapannya.
“Wiro, aku perlu bicara dengan gadis hitam manis bernama Wulan Srindi ini. Kau kenal di mana
dia?”

Wiro tak bisa menjawab hanya garuk-garuk kepala, melirik pada Bidadari Angin Timur. “Pasti
dia yang memberitahu saat berpelukan tadi.” Murid Sinto Gendeng membatin.

“Kalau kau ingin bicara padanya silahkan. Aku tidak melarang. Tapi kita tengah menghadapi
perkara besar. Jangan sampai terjadi silang selisih dan kekacauan di antara kita sebelum
masalah besar terpecahkan.”

“Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Yang aku tahu selama ini aku adalah murid tunggal
Dewa Tuak. Apa tidak layak kalau aku menanyai gadis itu karena dia mengaku sebagai murid
Dewa Tuak pula?”

“Layak-layak saja…” sahut Wiro. Lalu dengan suara agak dikeraskan agar terdengar Bidadari
Angin Timur sang pendekar berkata. “Dia juga bicara soal gurumu telah menjodohkan dirinya
dengan diriku. Bukankah itu yang sudah diceritakan Bidadari Angin Timur padamu tadi sewaktu
kalian saling berpelukan?”

Wajah Bidadari Angin Timur langsung berubah merah.

Anggini cepat menolong sahabatnya itu dengan berkata. “Hal satu itu tidak perlu kuselidiki.
Gadis itu mau kawin dengan siapa saja silahkan saja. Antara guru kita memang ada usaha untuk
mengikat kita dalam perjo– dohan. Tapi tidak ada keterusan dan aku sudah melupakan semua
itu.”

Wiro manggut-manggut. “Ah, pandai sekali Bidadari Angin timur mengipas bara api dalam dada
gadis ini,” kata Wiro dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dan tersenyum dia berkata.
“Memang gadis sekarang boleh-boleh saja memilih siapa kekasih dan calon suaminya. Kalau aku
boleh bertanya apakah kau suka pada pemuda berkepala botak berwarna serba kuning itu?”

Anggini menoleh ke arah Jatilandak lalu memandang mendelik kearah Wiro. “Apa-apaan ini?
Kau bicara apa?! Bukankah…”

Wiro tertawa lebar.

“Untung kau tidak menyukainya. Karena ketahuilah pemuda itu adalah kekasih dan milik
sahabatmu ini.”

Habis berkata begitu tanpa perdulikan bagaimana wajah Bidadari Angin Timur menjadi merah
kelam dan tubuhnya bergetar, murid Sinto Gendeng melangkah tinggalkan dua gadis.

“Sahabatku, apa yang terjadi antara kau dan Wiro?” tanya Anggini sambil memegang lengan
Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya hanya gelengkan kepala. Wajah masih kelihatan merah dengan mimik seperti
menahan tangis.

“Kita semua tengah menghadapi satu urusan besar. Tapi agaknya urusan pribadi tidak bisa
dilupakan. Saha– batku, jika ada kesempatan di lain waktu aku ingin kau menceritakan apa yang
terjadi antara kalian berdua. Kalau aku tidak bisa mendapatkan pemuda itu sebagai teman
hidup, kuharap kaulah penggantinya. Jangan dia sampai jatuh ke tangan gadis lain. Mari kita
bergabung dengan mereka…”

Bidadari Angin Timur telan ludahnya sendiri. Tenggo– rokannya bergerak-gerak. “Terima kasih,
aku memilih lebih baik pergi saja.” Jawab Bidadari Angin Timur.

“Apakah itu akan menyelesaikan persoalan?” Tanya Anggini.

“Aku tidak tahu. Aku tidak perduli. Gadis bernama Wulan Srindi itu, dialah biang racun semua
ini…”

“Tetapi apa yang terjadi antara kau dengan pemuda kuning itu? Wiro tidak mungkin berkata
seperti tadi jika tidak ada apa-apa…”

“Dia salah sangka. Keliru menduga. Aku…” Bidadari Angin Timur akhirnya melangkah pergi.
Melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Anggini dan tanpa dapat dicegah tinggalkan
tempat itu.

Semua orang jadi melongo. Loh Gatra mendatangi, hendak bertanya pada Anggini. Tapi Anggini
justru melang– kah mendekati Wulan Srindi. Jatilandak tampak bingung. Tapi hanya sesaat. Di
lain kejap pemuda dari Negeri Lahtanasilam ini segera berkelebat ke arah lenyapnya Bidadari
Angin Timur. Melihat hal ini Anggini merasa seolah apa yang diucapkan Wiro tadi benar adanya.
Antara Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak ada jalinan hubungan yang lebih dari hanya
berupa persahabatan.

Anggini meneruskan langkah menemui Wulan Srindi. Wiro garuk-garuk kepala ketika Loh Gatra
mendekatinya dan berkata.

“Aku sangat mengawatirkan keselamatan istriku. Aku tak bisa berada lebih lama di tempat ini.
Aku akan mencari mulut terowongan dan menerobos masuk ke dalam 113 Lorong Kematian.”

“Sahabat, harap kau bersabar. Kita harus mengatur siasat. Dua orang yang mabuk bercinta tadi
pergi begitu saja. Kekuatan kita hanya sedikit. Apa kita bisa menghan– curkan orang-orang jahat
itu kalau hanya mengandalkan kekuatan? Kita harus memutar otak. Aku tengah berusaha
memecahkan petunjuk yang diberikan Eyang Sinto Gendeng.”
“Kita berdua akan bekerja keras. Sementara para gadis itu akan membuat silang selisih!” sahut
Loh Gatra.

Wiro hanya bisa garuk kepala lalu tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu.

Di hadapan Wulan Srindi, Anggini berdiri memandangi si gadis mulai dari rambut sampai ke
ujung kaki. Di mata Wulan Srindi sikap Anggini begitu congkak dan nada suaranya terdengar
kasar ketika dia bertanya.

“Namamu Wulan Srindi?!”

“Betul sekali,” jawab Wulan Srindi dengan suara lembut dan sambil tundukkan kepala sedikit
sebagai penghorma– tan. “Ah, tentunya gadis berambut pirang tadi yang memberitahu padamu
siapa namaku.”

“Dari mana aku tahu namamu itu urusanku sendiri,” tukas Anggini. “Kau mengaku pada orang-
orang di tempat ini sebagai murid Dewa Tuak.”

“Itu juga betul. Kalau aku boleh bertanya, sahabat berpakaian ringkas serba ungu ini siapakah
adanya?”

“Namaku Anggini. Dan kalau kau mau tahu aku adalah satu-satunya murid Dewa Tuak!”

“Ah, tidak disangka akan bertemu saudara satu guru,” ujar Wulan Srindi. Gadis ini membungkuk
dalam-dalam tanda hormat.

Anggini menjadi panas. “Aku tahu kau berdusta! Kau cuma mengada-ada!”

“Semua orang di sini tidak percaya. Siapa menyalahkan mereka? Apalagi kalau kau juga tahu
bahwa Dewa Tuak menjodohkan diriku dengan pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng
itu.”

“Soal perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan siapa bukan perduliku! Tapi jangan kau
berani menipu mengaku sebagai murid Dewa Tuak!”

“Buat apa berdebat tidak karuan di tempat ini semen– tara Dewa Tuak ditahan orang di dalam
lorong? Kau bicara tidak karuan sementara nyawa gurumu terancam. Bukan– kah lebih baik
mencari jalan bagaimana menyerbu ke dalam lorong, menyelamatkan Dewa Tuak.
Menyelamatkan perempuan-perempuan muda hamil yang diculik komplotan manusia pocong!”

“Aku tidak perlu nasihatmu! Aku juga tidak perlu bantuanmu! Aku bisa masuk sendiri ke dalam
lorong!”
“Sombongnya! Silahkan masuk ke dalam lorong! Sekali masuk jangan harap kau bisa keluar!”
Setelah sunggingkan seringai mengejek Wulan Srindi tinggalkan Anggini. Di depan Wiro dia
berhenti sebentar. “Hanya aku yang tahu seluk beluk lorong kematian. Itupun sedikit sekali.
Tidak menjamin bisa masuk dan keluar hidup-hidup.”

“Aku harap tidak ada perselisihan di antara kita. Lebih baik memecahkan masalah. Apapun yang
terjadi kita harus menyerbu ke dalam markas manusia pocong. Apa yang kau ketahui tentang
mereka. Kuharap kau mau membantu…”

“Tanpa dimintapun aku akan membantu karena guruku ada di dalam sana!” jawab Wulan Srindi
sambil pegang lengan Wiro. “Tapi jika ada yang bicara sombong dan mau mempengaruhi orang
lain, silahkan pergi sendiri!”

Kata-kata Wulan Srindi itu membuat panas telinga dan merah wajah Anggini. Apa lagi sewaktu
melihat bagaimana Wulan Srindi memegang lengan Pendekar 212. Walau perasaannya
terhadap pemuda ini boleh dikatakan sudah hampa namun mau tak mau ada goresan perih di
lubuk hatinya. Anggini membatin, “Jangan-jangan karena ulahnya bermain api dengan gadis ini
sampai-sampai Bidadari Angin Timur beralih perhatian pada pemuda muka kuning itu. Dasar
mata keranjang!”

“Sahabat, kau mau ke mana?” tanya Anggini ketika dilihatnya Loh Gatra melangkah cepat
meninggalkan tempat itu.

“Aku tak mau terlibat dengan segala silang selisih di antara kalian. Istriku terancam.
Keselamatannya lebih penting bagiku! Aku akan mencari jalan masuk ke dalam lorong
kematian.” Menjawab Loh Gatra.

“Kalau begitu, aku bergabung bersamamu!” kata Ang– gini pula.

“Kalian! Jangan pergi dulu. Kita harus mencari siasat!” seru Wiro. Tapi Loh Gatra dan Anggini
terus saja berkelebat pergi.

Wiro kebingungan. Garuk-garuk kepala. Ketika sadar tangannya masih dipegang Wulan Srindi
cepat-cepat ditariknya.

“Aku tidak dapat menyalahkan dirimu…” kata murid Sinto Gendeng pula.

“Aku memang tidak punya salah apa-apa. Heran, kenapa semua gadis itu, cantik-cantik tapi
bicara ketus dan kasar. Mulutnya saja sudah begitu, bagaimana hatinya…”

“Aku ingin bertanya, apa benar Dewa Tuak meng– angkatmu jadi muridnya?”

“Kalau ya kenapa? Kalau tidak kenapa?”


Wiro tertawa. “Jangan berteka teki.”

Wulan Srindi menggeleng. “Aku tidak berteka-teki. Kalau ingin tahu, nanti tanyakan sendiri
pada Dewa Tuak.”

“Kalau dia masih hidup.”

“Jaman sekarang rohpun masih bisa diajak bicara!” jawab Wulan Srindi pula sambil tertawa.
Ketika dia hendak melangkah pergi Wiro memegang bahunya. “Menurut ceritamu kau
sebelumnya sudah pernah masuk ke tempat ini. Tahu jalan masuk ke lorong kematian. Kuharap
kau mau membantu…”

“Aku pernah masuk ke dalam lorong kematian itu. Sewaktu diculik manusia pocong yang
pangkatnya Wakil Ketua. Namun dengan memperdayai seorang anggota komplotan aku
berhasil keluar dari lorong. Yang jelas aku tidak akan masuk ke dalam lorong lewat mulut
terowongan di kawasan bukit batu. Pasti kesasar dan maut

tantangannya.”

“Lalu, apa kau tahu jalan lain?” tanya Wiro.

“Tidak. Maksudku belum. Aku ingat petunjuk Eyang Sinto Gendeng sebelum pergi. Kau masih
ingat kata-kata gurumu?” tanya Wulan Srindi.

“Ya. Dia bilang ilmu rotan jangan dipakai karena tidak ada lobang masuk tidak ada lobang
keluar. Ilmu bambu bisa menolong karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Aku masih
belum bisa memecahkan petunjuknya itu.”

“Bagus kau masih ingat, tapi sayang tidak bisa memecahkan maksudnya.”

“Apa kau bisa memecahkan?” tanya Wiro.

Wulan Srindi tersenyum. “Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Di perguruan kami bukan
hanya belajar silat dan ilmu agama. Tapi juga mendalami rahasia hidup dan kehidupan manusia.
Mempelajari setiap ujar-ujar yang merupakan kembang rahasia hidup manusia.”

“Katakan saja, apa kau sudah tahu arti petunjuk yang diucapkan guruku itu?” Wiro tidak
sabaran.

“Kau pernah punya rumah?” tanya Wulan Srindi.

Wiro menggaruk kepala, lalu menggeleng. “Tidak.”

“Tapi pernah melihat rumah kan?”


“Gila! Tentu saja pernah! Banyak, sering! Apa maksudmu?”

“Kalau rotan diibaratkan rumah tidak masuk akal. Karena tidak punya jalan masuk tidak punya
jalan keluar. Tidak ada pintu depan tidak ada pintu belakang. Lalu bambu. Kalau ada lobang
masuk pasti ada lobang keluar…”

“Seperti mulut manusia.” kata Wiro menyambung. “Ada lobang masuk yaitu mulut untuk
makan dan ada lobang keluar untuk kentut!”

“Itu pengertian orang sableng macammu dan tidak lucu!” potong Wulan Srindi tapi tak dapat
menahan tawa.

“Lalu…”

“113 Lorong Kematian. Ada jalan masuk di sebelah depan, ada jalan masuk di sebelah
belakang.”

“Kalau memang begitu, di mana jalan masuk sebelah belakang?”

“Itulah yang harus kita cari! Bukan terus-terusan ngobrol di sini!” kata gadis berkulit hitam
manis itu sambil menarik lengan Wiro.

Sesaat setelah Wiro dan Wulan Srindi tinggalkan tempat itu, Setan Ngompol kini tinggal
sendirian di balik semak belukar.

“Gila, apa yang harus aku lakukan?” si kakek usap-usap bagian bawah perut lalu bergerak
bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya.

Kapak Maut Naga Geni 21211

DI RUANG Bendera Darah menjelang pagi. Yang Mulia Ketua duduk di kursi batu. Sebuah seloki
besar terbuat dari kayu dipegang di tangan kiri sudah sejak lama kosong. Wakil Ketua yang
berdiri di sampingnya beberapa kali mencoba mengisi seloki itu dengan sejenis minuman keras
yang ada di dalam sebuah guci tanah liat tetapi ditolak. Wakil Ketua tidak bisa menduga apa
yang ada di benak pimpinannya saat itu.

Setelah beberapa waktu berlalu Wakil Ketua membe– ranikan membuka mulut.

“Yang Mulia Ketua, saya tadi baru saja memberitahu laporan dua mata-mata yang bertugas di
utara dan selatan lorong. Mohon petunjuk Yang Mulia Ketua apa yang harus kita lakukan. Saya
rasa kita harus bertindak cepat.”
Yang Mulia Ketua masih diam. Sesaat kemudian baru dia berkata. “Aku tidak mengawatirkan
orang-orang itu. Mereka boleh datang. Semua sesuai dengan apa yang kita rencanakan selama
ini. Yang menjadi pikiranku adalah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Aku telah meniduri hampir
semua perempuan hamil yang ada di tempat ini. Hanya dia seorang yang aku belum mendapat
kesempatan. Dulu ketika hampir aku membawanya ke kamarku, muncul tua bangka Dewa Tuak
menganggu membuat ulah.”

“Yang Mulia Ketua, jika memang itu yang dikehendaki saya bisa mengatur Yang Mulia Sri
paduka Ratu mening– galkan Rumah Tanpa Dosa dan membawanya ke kamar Yang Mulia
Ketua. Tapi mohon maafmu Yang Mulia Ketua, saya tahu Sri paduka Ratu memiliki kecantikan
yang sulit dicari bandingannya. Namun di balik kecantikan itu ada sesuatu yang membuat saya
khawatir. Mengapa Yang Mulia tidak mengalihkan perhatian pada perempuanperempuan
lainnya saja?”

“Seperti aku katakan tadi. Semua mereka sudah kutiduri! Tapi Sri Paduka Ratu memiliki
kelainan dan kehe– batan sendiri. Dia memiliki kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Hawa
sakti luar biasa. Aku ingin mengambil semua kehebatan itu. Ingin menyedot menguras dari
tubuhnya. Kalau aku bisa mendapatkan semua kehebatan yang dimilikinya itu, rimba persilatan
di tanah Jawa ini, bahkan di seluruh jagat raya ini akan berada dalam geng– gamanku!”

“Yang Mulia Ketua, mohon maafmu. Turut ilmu persilatan dan ilmu kesaktian, bukankah Yang
Mulia bisa menyedot lewat ubun-ubun?”

“Cara kuno yang bisa membahayakan Sri Paduka Ratu. Mungkin otaknya lebih dulu hancur
sebelum aku dapat menguras seluruh kehebatannya. Kau tahu, dia dalam keadaan tidak punya
perasaan, tidak punya pikiran.”

“Tapi dia tunduk pada Yang Mulia dan dia kuat!”

“Itulah sebabnya aku ingin menidurinya. Cara paling mudah untuk mendapatkan semua
kehebatan yang dimi– likinya. Di samping aku sekaligus bisa merasakan kenik– matan tiada
tara.”

Wakil Ketua jadi terdiam.

“Ada satu hal lagi yang aku khawatirkan.” Yang Mulia Ketua kembali keluarkan ucapan. “Kain
putih berisi penangkal kehidupan bagi nyawa kedua belum kita dapatkan. Aku yakin benda itu
masih ada di tangan kakek keparat berjuluk Kakek Segala Tahu itu.”

“Terus terang kita memang kekurangan orang untuk menangkapnya. Tapi seperti saya laporkan
tadi, mata-mata memberitahu ada tanda seorang kakek dengan ciri-ciri Kakek Segala Tahu
tengah bergerak ke tempat ini. Kemungkinan besar dia datang dari arah selatan lorong.”
Di balik kain penutup kepala Yang Mulia Ketua menye– ringai. “Siapapun yang datang dari arah
itu akan menemu– kan jurang batu dan jalan buntu. Kecuali jika dia mengetahui pintu rahasia
menuju tangga seratus undakan yang akan membawanya ke lorong seratus dekat Ruang Kayu
Hitam. Jika di selatan mereka tidak menemukan jalan masuk, mereka pasti akan kembali ke
utara, lewat lobang terowongan menuju lorong kematian.”

“Untuk berjaga-jaga saya telah menyuruh seorang anggota bersiap-siap menabur asap beracun
di kawasan itu. Saya hanya tinggal menunggu persetujuan Yang Mulia kapan asap itu mulai
ditaburkan.”

“Semua aku serahkan pada kebijaksanaanmu Wakil Ketua. Aku hanya minta satu hal untuk
diperhatikan. Aku harus tahu dari arah mana Pendekar 212 Wiro Sableng mencoba masuk ke
tempat ini. Harap kau beritahu matamata agar bekerja dan mengawasi manusia satu itu siang
malam.”

“Akan saya lakukan Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”

“Sekarang kau jemputlah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kurasa waktu kita tidak terlalu banyak
sebelum tamu-tamu pengantar nyawa itu datang ke tempat ini.”

Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian bungkukkan badan memberi hormat
lalu melangkah ke dinding di ujung ruangan. Di sini terletak sebuah pintu rahasia yang hanya
bisa dibuka dengan menekan tombol yang ada di lengan kursi kedudukan Yang Mulia. Wakil
Ketua berdiri di depan dinding menunggu sampai pintu dibuka.

“Wakil Ketua,” tiba-tiba terdengar suara Yang Mulia Ketua. “Bulan sabit hari ketiga tinggal
sepuluh hari di muka. Siapa ibu dari bayi yang darahnya akan menjadi usapan ubun-ubun Sri
Paduka Ratu?”

“Seorang perempuan muda bernama Larasati, janda mendiang Adipati Jalapergola dari
Temanggung. Suaminya bernama Loh Gatra. Diduga ikut bersama rombongan orang-orang yang
hendak menyerbu ke tempat ini.” (Mengenai riwayat Larasati dan Loh Gatra baca serial Wiro
Sableng Episode Badik Sumpah Darah dan seterusnya)

“Orang bernama Loh Gatra itu punya nyali. Berarti dia punya ilmu yang diandalkan. Tangkap dia
hidup-hidup. Kita akan jadikan dia anggota Barisan Manusia Pocong.”

“Bagaimana dengan yang lain-lain, Yang Mulia Ketua?”

“Sampai kita tahu siapa-siapa mereka adanya, untuk sementara kita tangkap hidup-hidup. Aku
rasa beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis cantik berkepandaian tinggi pemuja
pendekar keparat Wiro Sableng. Selain bisa kita jadikan penghibur dan penghias Lorong
Kematian, mereka mungkin bisa dimanfaatkan. Kecuali Kakek Segala Tahu. Manusia satu itu
harus dibunuh. Karena dia tahu apa yang ada di kain putih. Kita akan meminta banyak bantuan
dari Sri Paduka Ratu.”

“Tapi Yang Mulia Paduka, jika Yang Mulia merencana– kan tidur dengan Sri Paduka Ratu, dan
menguras serta menyedot seluruh kesaktiannya, bagaimana mungkin dia kita andalkan untuk
menghadapi orang-orang itu? Dia tidak akan lebih dari mayat hidup yang tak punya daya apa-
apa.”

“Ah, kau betul…” ujar Yang Mulia Ketua. “Aku bisa menunda rencana bersenang-senang dengan
dia sampai selesai urusan dengan orang-orang itu. Terutama Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sebagai pengganti, bawa Larasati ke kamarku.”

“Perintah Yang Mulia akan saya laksanakan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.”

Sang Ketua tekan tombol batu di lengan kanan kursi. Pintu batu terbuka. Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong menjura memberi hormat lalu tinggalkan Ruang Bendera Darah.

***

Beberapa lama sebelum fajar menyingsing.

Udara gelap dan terasa dingin sekali. Wulan Srindi berlari cepat melewati satu rimba kecil di
sebelah timur kawasan 113 Lorong Kematian. Wiro mengikuti dari belakang. Dari gerakan kaki
dan kecepatan larinya murid Sinto Gendeng bisa menduga-duga sampai di mana tingkat ilmu
kepandaian si gadis. Baik ilmu tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh Wulan Srindi
belum mencapai tingkatan cukup tinggi. Namun ada satu hal yang diper– hatikan Wiro. Ketika
berlari, dua tangan gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan suara atau sambaran angin.
Agaknya di sinilah letak kehebatan Wulan Srindi, pikir Wiro.

Dingin, gelap dan sunyi. Tak ada satupun yang bicara di antara kedua orang itu. Tiba-tiba
kesunyian malam dirobek oleh suara suitan dua kali berturut-turut, datang dari arah timur.
Sesaat kemudian dari arah barat terdengar pula dua kali suitan.

“Kehadiran kita sudah diketahui orang-orang Lorong Kematian,” kata Wiro.

“Kita harus berhati-hati. Mereka suka membokong dengan Bendera Darah.” Menjawab Wulan
Srindi.

“Aku sudah merasa bokongan mereka,” kata Wiro pula. Lalu dia bertanya. “Kau mendengar
suara sesuatu?”

“Di sebelah depan atau belakang?” balik bertanya Wulan Srindi.


“Belakang,” jawab murid Sinto Gendeng.

“Kalau begitu kau yang tahu, kau yang mendengar. Pentang telinga lebar-lebar. Nyalangkan
matamu. Jangan kita berdua sampai mati konyol sebelum sampai di Lorong Kematian. Jangan
kita sampai gagal sebelum aku berhasil menyelamatkan guruku….”

Sambil lari Wiro membatin. Dari setiap ucapannya gadis bernama Wulan Srindi ini ternyata
punya daya pikir cepat dan cerdik. Selain itu dari ucapannya tadi Wiro jadi menduga-duga
jangan-jangan Wulan Srindi memang benar murid Dewa Tuak. Kalau tidak mengapa dia begitu
berse– mangat dan mau bersusah payah untuk menyelamatkan orang tua itu?

“Ada suara orang berlari di belakang kita,” Wiro memberi tahu.

“Berarti ada yang mengejar atau menguntit. Dugaanku manusia pocong.”

“Di depan kiri ada pohon besar dan semak belukar lebat. Membelok ke balik pohon!” kata Wiro.

Begitu sampai di dekat pohon besar, ke dua orang itu segera membelok lalu mendekam di balik
semak belukar. Tak lama kemudian satu bayangan putih berkelebat lewat. Tapi di depan sana
makhluk ini berhenti. Tegak meman– dang berkeliling mencari-cari. Ternyata dia memang
seorang manusia pocong.

“Berani mengejar berani menerima kematian. Aku akan bunuh manusia pocong itu!” kata
Wulan Srindi pula.

“Jangan main bunuh saja. Lebih baik ditangkap hiduphidup, lalu kita paksa dia menunjukkan
jalan masuk ke Lorong Kematian lewat belakang.”

Wulan Srindi tersenyum.

“Kenapa kau tersenyum?” tanya Wiro.

“Terus terang sebenarnya barusan aku hanya ingin menguji kecerdasan otak dan jalan
pikiranmu. Ternyata apa yang aku rencanakan sama dengan yang kau kata– kan.”

Wiro garuk kepala. “Kau pandai mencari dalih. Mana aku tahu kau punya pikiran seperti itu.
Bisa saja kau hanya bicara pura-pura untuk menyatakan bahwa kau gadis hebat.”

“Aku memang gadis hebat karena aku murid Dewa Tuak!”

“Kalau begitu cepat kau serang manusia pocong itu. Pergunakan jurus-jurus ilmu silat Dewa
Tuak.”
“Kau mau menguji? Apa lupa keteranganku bahwa orang tua itu belum lama mengangkatku jadi
murid. Mana sempat menurunkan ilmu silat barang sejurus dua jurus!”

“Jangan mencari alasan. Kalau kau takut biar aku yang turun tangan!”

“Enak saja menuduh aku takut!”

Tiba-tiba dari depan sana si manusia pocong berteriak.

“Dua orang yang sembunyi di balik belukar lekas keluar unjukkan diri! Berani datang ke
kawasan Lorong Kematian berarti berani menerima ajal!”

“Pocong keparat!” teriak Wulan Srindi. Lalu gadis itu melesat keluar dari balik semak belukar
sambil menerjang manusia pocong dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung. Dalam
gelap, tangan kanan gadis ini berkelebat menghantam ke arah kepala manusia pocong dalam
gerakan sangat cepat dan hampir tak kelihatan.

Tapi si manusia pocong bukan orang sembarangan. Sekali dia mengangkat lengan jubahnya
terdengar suara buukkk! Wulan Srindi terpekik. Tubuhnya terpental setengah melintir. Manusia
pocong tertawa mengekeh lalu menyerbu ke arah si gadis. Melihat hal ini Wiro segera melesat
keluar dari balik pohon. Tangan kanan lepaskan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang
didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan serangan kilat dan ganas ini manusia pocong cepat
berkelit ke samping tapi kurang cepat. Pinggulnya kena digebuk. Tubuhnya terjengkang di
tanah. Wulan Srindi cepat injak dada orang. Wiro angkat kaki kanan, siap menendang kepala
manusia pocong.

Tiba-tiba si manusia pocong keluarkan seruan.

“Anak sableng! Jangan! Ini aku!”

Habis berteriak manusia pocong itu cepat-cepat tarik lepas kain putih penutup kepala.
Kelihatan satu kepala berambut tipis, sepasang mata jereng dan kuping kanan yang terbalik.

“Tua bangka sialan!” maki Wiro. “Kau rupanya!”

“Siapa si jereng sinting ini?!” tanya Wulan Srindi.

“Perkenalkan, namaku Setan Ngompol! Aku tidak sinting cuma sering ngompol!” kata si kakek
lalu tertawa mengekeh.

“Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Kau minta mati berdandan seperti itu!” ujar Wiro.

“Justru tadinya dengan dandanan ini aku ingin menyu– sup ke dalam lorong. Tapi tidak tahu
jalan.”
“Untung kepalamu tidak keburu kutendang rengkah, Kek.” Wulan Srindi angkat kakinya yang
dipakai menginjak Setan Ngompol.

Si kakek cepat duduk tapi tidak segera berdiri. Dalam duduk dia usap-usap tubuhnya di sebelah
bawah perut.

“Mengapa dia? Apa yang dilakukan?” Tanya Wulan Srindi.

Wiro tersenyum. “Apalagi kalau bukannya ngompol alias beser alias kencing!”

“Aneh, kenapa ada manusia macam begini di atas dunia?!” kata Wulan Srindi pula.

Setan Ngompol tertawa mengekeh lalu bangkit berdiri. Jubah putih yang dikenakannya
kelihatan kuyup di sebelah bawah!

TAMAT

Eps 139 Api Cinta Sang Pendekar

TANGAN kiri menggoyang kaleng butut hingga mengeluarkan suara berkerontang nyaring.
Tubuh terbungkuk-bungkuk melangkah sementara tongkat putih di tangan kanan dipakai
sebagai penuntun jalan.

"Dukkk!"

Tiba-tiba kaki kanan kakek buta bercaping lebar itu membentur satu benda tergeletak di jalan.

"Oala! Apa ini? Pasti bukan batang pohon yang menyandung kakiku!"

Si kakek sapukan tongkatnya di sekujur benda yang barusan menyandung kaki. "Aha! Ada
manusia tergolek di jalanan. Lagi tidur, pingsan atau sudah jadi mayat?" Orang tua ini
berjongkok. Tongkat diletakkan di tanah. Tangan kanan meraba-raba. "Dari debu yang
menempel di pakaiannya, agaknya manusia ini sudah cukup lama tergeletak di sini. Mungkin
dari tadi malam hemmm…" Tangan yang meraba terhenti di bagian kepala. "Aneh, kenapa
kepalanya dibungkus? Ah….Jangan-jangan mahluk ini yang disebut Manusia pocong. Berarti aku
di arah yang betul. Mulai dekat dengan sarang gerombolan jahat itu." Si kakek merasa terus.
"Masih hidup…" ucapnya dalam hati begitu jari-jari tangannya merasakan denyutan nadi di
lengan kiri orang. Dia kerontangkan kaleng rombeng dua kali. Rabaannya berpindah ke tangan
kanan. "Eh, lengan kanan mengapa gontal-gantil begini rupa. Patah? Digebuk orang?"
Kakek bercaping tarik kain yang menutupi kepala dan untuk lebih meyakinkan dia dekatkan
telapak tangannya ke hidung orang. Ada hembusan nafas pertanda orang itu memang masih
hidup. Setelah meraba di bagian leher dan mengusap dada, kakek bercaping pergunakan ujung
tongkatnya untuk menotok. Satu di pangkal leher, satu lagi di dada kiri menunggu sesaat sambil
pasang telinga. Tak lama kemudian terdengar suara keluhan. Si kakek goyangkan kaleng di
tangan kiri lalu buka capingnya. Tangan kanan menepuk-nepuk pipi orang. Mulutnya berucap.
"Manusia pocong, apa yang terjadi dengan dirimu?"

Orang yang tergeletak di tanah perlahan-lahan buka kedua matanya. Dia melihat satu wajah tua
berambut, berjanggut dan berkumis putih. Sepasang mata orangtua ini |uga berwarna putih
menggidikan.

"Orang tua, aku tidak kenal kamu. Matamu buta, tapi bagaimana kau tahu aku manusia
pocong?"

Si kakek menyeringai, goyang kalengnya hingga orang yang tergeletak di tanah mengerenyit
menahan suara nyaring yang menusuk sakit ke liang telinga.

"Omongan tololmu memberi tahu sendiri siapa dirimu adanya. Ha…ha…ha!" Jawab si kakek lalu
tertawa. "Manusia pocong, dengar ucapanku. Kalau kau mau membantu, aku akan sembuhkan
lengan kananmu yang patah."

Orang yang tergeletak di jalan dan memang adalah Manusia pocong dari 113 Lorong Kematian
melengak kaget. Dalam hati dia berkata. "Luar biasa tua bangka buta ini. Dia tahu tangan
kananku patah!"

Lalu Si Manusia pocong ini bertanya. "Bantuan apa yang kau perlukan?" Sambil bicara dia
tekankan siku kiri ke tanah, berusaha bangkit. Tapi ujung tongkat Si kakek yang ada di atas
dadanya membuat dia tak mampu bergerak. Orang ini merasa dadanya seperti ditindih sebuah
batu besar.

"Katakan, apa yang terjadi dengan dirimu?" Tanya Si kakek buta.

Tak ada jawaban.

"Kau tak menjawab. Apa yang ada dalam benakmu? Kau menyembunyikan sesuatu?"

"Aku jatuh ke jurang." Akhirnya memberi tahu Manusia pocong.

"Aneh! Jatuh ke jurang tapi mengapa menggeletak di jalan begini rupa?"

"Tadinya aku coba bunuh diri. Menghambur masuk jurang. Tapi tubuhku tersangkut di cabang
pohon tak berdaun. Kalau sebelumnya aku ingin mati, waktu tergantung di cabang aku malah
jadi takut mati. Aku berusaha memanjat tebing, naik ke atas jurang. Tenagaku terkuras. Aku tak
ingat apaapa lagi begitu berhaSil sampai di Sini." (Untuk jelasnya peristiwa bunuh diri Manusia
pocong Ini baca Bab 7 Episode sebelumnya berjudul "Pernikahan Dengan Mayat")

"Aneh kalau ada Manusia pocong mau bunuh diri. Lalu mengapa tanganmu bisa patah?"

"Aku diberi tugas oleh Yang Mulia Ketua…."

"Yang Mulia Ketua Siapa itu?" tanya Si kakek walau dia sudah bisa menduga duga karena telah
pernah mendengar sebelumnya

"Dia adalah Ketua Barisan Manusia pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."

Si kakek goleng-goleng kepala "Hebat sekali," katanya. Lalu kaleng di tangan km digoyang dua
kali. "Apa masalahnya sampai kau nekad bunuh diri?"

"Aku takut sekali. Aku tidak dapat melaksanakan tugas dari Sang Ketua. Lebih baik bunuh diri
dari pada kembali ke markas, disedot darah dan dicopot jantung!"

"Tugas apa yang diberikan oleh Ketuamu?" Tanya kakek bercaping.

"Merampas sebuah kain putih dari tangan seorang bertubuh gemuk luar biasa. Ternyata dia
adalah tokoh rimba perSilatan berjuluk Raja Penidur."

Jawab Si Manusia pocong. Tangan kirinya mengambil kain putih penutup kepala yang tadi
dibuka Si kakek lalu dipakaikan untuk menutup kepala dan wajahnya kembali.

Mendengar ucapan orang, Si kakek mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh. "Pasti Raja
Penidur yang mematahkan tangan kananmu! Ha…ha…ha."

"Apa yang lucu? Mengapa kau tertawa?" tanya Manusia pocong, jadi geram.

Dari dalam capingnya kakek buta keluarkan satu gulungan kecil kain putih. Gulungan dibuka lalu
kain digoyang-goyang di atas wajah Manusia pocong.

"Kain putih ini yang kau maksudkan?"

Manusia pocong tersentak kaget. Melotot dan berusaha bangkit. Tapi lagi-lagi dorongan ujung
tongkat yang terbuat dnn tulang putih membuat punggungnya terhenyak ke tanah.

“Bagaimana kain itu bisa berada di tanganmu? Temanku harus melepas nyawa dan aku
menderita cidera berat untuk dapatkan kain itu. Kakek buta, Siapa kau ini adanya?"

Sebagai jawaban kakek buta goyangkan kaleng rombengnya. Dia baru berhenti setelah Si
Manusia pocong berteriak-teriak karena liang telinganya seperti mau jebol.
"Siapa aku tidak penting. Bantuanmu lebih penting. Dengar, aku akan obati lengan kananmu
yang patah. Asal kau berjanji mau mengantarkanku ke markasmu."

Si Manusia pocong kaget, terdiam. Tapi otaknya bekerja.

"Hai, apa jawabmu?"

"Kalau cuma mengantarkan apa susahnya. Cepat saja mengobati tanganku. Dan tolong, ujung
tongkatmu itu jangan lagi dipakai menindih dadaku."

"Begitu?" Si kakek menyeringai dan masukkan gulungan kain putih ke dalam caping. Lalu caping
dikenakan di atas kepala. "Ulurkan tangan kananmu!"

Si kakek berkata.

Dengan kening mengerenyit dan muka keringatan Manusia pocong ulurkan tangan kanannya
yang patah. Ujung tangan dan pergelangan ke bawah mengambai-ngambai. Sakitnya bukan
main. Dalam keadaan seperti itu Si kakek usap-usapkan ujung tongkat putihnya pada sekujur
lengan kanan yang entah. Tiba-tiba tongkat itu dipukulkan ke tangan orang, Si Manusia pocong
menjerit setengah mati. Tubuhnya sampai tersentak dua jengkal ke atas. Namun anehnya
tangan kanan itu menjadi lurus, tulang yang patah bersambung kembali!

Si kakek kerontangkan kaleng rombengnya sambil tertawa-tawa.

Manusia pocong peiotkan mnta, usap-usap tangan kanannya dengan tangan kiri. Lalu saking tak
percaya tangan kanan itu ditumbuk-tumbukkan ke tanah.

"Duk! Duk! Duk!"

Tanah bergetar. Sama sekali tak ada rasa sakit. Tangan yang tadi patah benar-benar sembuh
utuh!

"Luar biasa! Orang tua. aku sangat berterima kasih…."

"Sekarang bangun. Giliranmu menolongku. Saatnya kau mengantarkan aku ke markasmu. Aku
ingin ngobrol dengan yang kau sebut Yang Mulia Ketua itu."

"Pasti, tentu! Aku akan antarkan kau ke sana sekarang juga." Suara ucapan Manusia pocong
bersemangat sekali.

Si kakek jauhkan tongkat tulangnya dari dada Manusia pocong. Orang ini cepat berdiri. Dia
tepuktepuk debu yang melekat di pakaiannya. Rapikan kain putih penutup kepala.
"Orang tua, mari. Biar kutuntun.’ Kata Si Manusia pocong sambil pegang lengan kanan kakek
buta bercaping.

Tapi begitu lengan Si kakek berada dalam cekalannya, mendadak sontak Manusia pocong itu
membuat gerakan demikian rupa hingga tubuh Si kakek mencelat ke atas dan Siap dibanting
remuk ke tanah! Namun apa yang terjadi membuat Manusia pocong melengak. Entah
bagaimana sosok yang hendak dibanting itu terlepas dari cekatannya. melesat ke udara lalu
melayang turun sambil tertawa haha-hihi. Kaget dan juga geram, selagi tubuh Si kakek masih
mengapung kaki ke atas kepala ke bawah. Manusia pocong hantamkan dua jotosan kiri kanan.

"Bukk! Bukkk!"

Dua pukulan itu jelas mengeluarkan suara bergedebuk keras. Namun tubuh Si kakek tidak
bergeming sedikitpun. Manusia pocong serasa memukul tumpukan kapas’

"Setan alas! Dengan pukulan sakti ini masakan tidak remuk tubuhmu!" Teriak Manusia pocong
marah. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia hendak melancarkan satu pukulan
mengandung tenaga dalam tinggi.

Tangan bergerak melepas pukulan.

"Wuttt!"

Satu gelombang angin menerpa dahsyat. Si kakek keluarkan seruan keras, jungkir balik di udara.
Namun sapuan angin pukulan membuat capingnya terlepas dan melayang jatuh. Melihat ini
secepat kilat Manusia pocong sambar caping yang melayang jatuh lalu jejakkan kaki di tanah,
membuat lompatan dan langsung ambil langkah seribu. Dari mulutnya terdengar seruan.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!’

"Hah! Ucapan Sinting apa itu?" maki kakek mata putih.

Jelas, rupanya sejak tadi Manusia pocong ini sudah mengincar gulungan kain putih yang
disimpan di dalam caping. Yang ada dalam benaknya, jika dia dapatkan kain putih itu, dia bisa
kembali ke markas menemui Yang Mulia Ketua Barisan Manusia pocong 113 Lorong Kematian,
selamat dari hukuman maut. Dan pasti akan mendapat imbalan besar. Namun dia tidak tahu
kalau saat itu berhadapan dengan tua bangka yang berjuluk Kakek Segala Tahu. Yang dalam
rimba persilatan tanah Jawa terkenal sebagai salah seorang tokoh Silat aneh dan konon sulit
dijajagi ketinggian ilmu Silat serta kesaktiannya.

Di udara Si kakek berjungkir satu kali. Enteng sekali dia melayang turun dan tahu-tahu sepasang
kaki sudah menginjak tanah. Setelah batuk-batuk sambil usap dadanya yang tadi dihantam
orang, dia keluarkan ucapan.
"Heran, masih ada saja manusia yang diberi susu membalas dengan air tuba. Tipu….tipu!

Kebaikanku dibalas dengan keculasan! Sayang… sayang sekali."

Kakek bermata putih buta ini kerontangkan kalengnya dua kali. Lalu tubuh atasnya bergerak
condong ke belakang. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ditendangkan ke depan.
"Sebelumnya kau gagal mati bunuh diri. Sekarang Silahkan mengulang kembali! Hik..hik..hlk."

“Kraaakk!"

Terdengar suara tulang patah.

Jarak antara Si kakek dan Manusia pocong saat itu terpisah sekitar lima langkah. Walau kaki
kanan yang menendang jelas-jelas tidak mengenai atau menempel di sasaran tapi luar biasanya
saat itu juga kelihatan bagaimana tubuh Manusia pocong mencelat ke depan, terlempar ke arah
jurang batu. Caping yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke anah di depan kaki Si kakek.

Suara jeritan panjang menggema di dalam jurang sewaktu Manusia pocong itu melayang jatuh
ke dasar jurang lalu sunyi.

Kakek mata buta tarik nafas panjang, gelenggeleng kepala. Dengan ujung tongkat tulangnya dia
mengedut pinggiran caping. Benda ini melayang dan bertengger di atas kepalanya.

"Telaga Sarangan…." Kakek Segala Tahu berkata sambil benahi buntalan di punggungnya lalu
angkahkan kaki. "Aku harus pergi ke utara Telaga

Tangan. Mumpung masih pagi berangkat saja

sekarang. Aku harus menikahkan seseorang disana. Siapa yang aku nikahkan. Dengan Siapa?
Raja Penidur? Ada-ada saja kelakuannya mengerjai diriku! dan! Ini pekerjaan gendeng! Hik…
hik..hik.’ Orang tua ini tutup ucapannya dengan goyangkan kaleng, rombeng di tangan kiri.

Begitu suara berisik sirap, alis Si kakek berjingkat. mata buta berputar, Telinganya menangkap
suara orang bertari disertai suara menangis.

Belum habis heran Si kakek tiba-tiba ada suara anak lelaki berteriak

“Tolong!"

Suara anak lelaki yang berian menangis dan berteriak mendatangi ke arah Si kakek

"Bocahl Siapa kau Ada apa?”


"Aku dikejar orang Mereka mau membunuhku!"

Anak lelaki yang berlari dan menangis sampai di hadapan Kakek Segala Tahu dan gelungkan dua
tangannya ke pinggang Si orang tua Mengharapkan perlindungan sambil memandang ke
belakang dengan wajah penuh ketakutan

Kakek Segala Tahu usap kepala anak itu.

"Anak, tenang saja Jangan takut. Katakan Siapa dirimu dan Siapa yang mengejarmu."

"Nama saya Magiyo Saya dikejar mahluk pocong penghuni lorong maut Mereka membunuh
nenek saya. Mereka mengejar saya. Mau membunuh saya Kek, saya takut sekali Tolong..’

Kakek Segala Tahu mendongak ke langit Sepasang telinga dipentang.

"Anak ini tidak bohong Aku mendengar suara beberapa orang berlari ke arah Sini. Hemmm…
Tingkat kepandaian mereka tidak bisa dibuat main. Masih ada waktu….masih ada waktu
mencari keterangan."

Si kakek usap kembali kepala anak bernama Magiyo lalu berkata.

"Bocah, tak perlu takut Coba ceritakan. Pendekpendek saja. Siapa nenekmu. Mengapa mereka
membunuhnya. Bagaimana kau bisa berada di lorong maut itu. Lalu mengapa manusia-manusia
pocong itu ingin membunuhmu

"Pertanyaanmu banyak sekali Kek. Saya….Saya dan nenek diculik. Nenek saya Paimah, dukun
beranak di Sarangan…."

"Ah. pasti ada yang mau melahirkan di lorong maut itu. Tidak heran. Bukankah selama ini
kabarnya banyak perempuan bunting yang diculik? Bocah. teruskan ceritamu…"

"Saya berusaha melarikan diri dari lorong…"

"Kata orang sekali masuk ke dalam lorong sulit bisa keluar. Aneh kalau bocah sebesarmu
mampu keluar dari tempat itu.’

"Saya sembunyi di salah satu sudut lorong yang gelap. Setiap ada Manusia pocong lewat saya
ikuti. Tiga minggu lebih saya mendekam di dalam lorong. Pagi tadi ada satu manusia pocong
keluar dari dalam lorong. Saya ikuti dan saya berhasil keluar…"

"Kalau kau tidak dusta maka kau adalah anak cerdik luar biasa. Bagaimana kau bisa bertahan
hidup selama tiga minggu. Apa yang kau makan?"
"Di dalam lorong, dindingnya penuh lumut. Itu yang saya makan. Mula-mula saya muntah. Sakit
perut. Tapi tidak berak. Lama-lama jadi biasa."

‘Kau tidak berak katamu? Selama tiga minggu? Ha..ha. Ku satu keanehan…."

"Kek, orang yang mengejar sudah kelihatan. Di sebelah sana…"

"Ya, ya….Aku tahu. Lekas berdiri di belakangku." Kata Kakek Segala Tahu.

Anak lelaki usia enam tahun itu segera lakukan apa yang dikatakan.

"Wuuttt!"

Sebuah benda tiba-tiba sekali melayang di udara.

Kakek Segala Tahu gerakkan tangan kanan yang memegang tongkat tapi terhalang oleh sosok
bocah yang tengah melangkah di arah sisi kanannya. Di lain saat tiba-tiba anak ini menjerit
keras. Tubuhnya terhuyung ke depan. Dia coba merangkul pinggang Si kakek tapi luput. Magiyo
terkapar menelungkup di tanah. Sebuah bendera berbentuk segi tiga, basah oleh cairan
berwarna merah menancap amblas di batok kepala sebelah belakang, nyaris tembus sampai di
kening! Bendera Darah!

"Magiyo!" seru Kakek Segala Tahu. Telinga dipentang sambil menghirup dalam-dalam. "Bau
amis darah…" ucap Si kakek dalam hati. Tongkat putih diusapkan kesekujur tubuh Magiyo yang
tertelungkup di tanah. Mulai dari kaki dan baru berhenti waktu membentur gagang kayu
Bendera Darah yang menancap di kepala anak itu. (Mengenai kisah Magiyo bersama neneknya,
seorang dukun beranak dari Sarangan bernama Paimah, Silahkan baca Episode sebelumnya
berjudul "Bendera Darah")

Kakek Segala Tahu dongakkan kepala. Kaleng rombeng digoyang sampai tiga kali. Dalam hati dia
berkata. "Manusia-Manusia pocong, pasti mereka…" Dugaan Si kakek tidak keliru. Tiga orang
yang muncul adalah tiga Manusia pocong dari 113 Lorong Kematian. Begitu suara berisiknya
kerontangan kaleng lenyap. Kakek Segala Tahu keluarkan ucapan.

"Kejam dan keji! Iblis sekalipun tidak akan membunuh anak kecil begini rupal"

Dari arah depan ada suara orang berdecak leletkan lidah.

"Orang tua bercaping bermata buta putih. membekal kaleng rombeng. Ketahuilah setiap
kematian ada pangkal sebabnya!"

"Hemm begitu?" Kakek Segala Tahu tetap dongakkan kepala. Din kerahkan kekuatan
pendengaran serta perasaan. Selain orang yang barusan bicara, tiga langkah di kiri kanannya
saat itu ada orang kedua dan ketiga. "Kalian bertiga! Coba katakan apa pangkal sebab kesalahan
bocah ini hingga kalian tega membunuhnya?!"

Orang yang tadi bicara dan dua kawannya samasama terkejut. Bagaimana kakek buta ini tahu
kalau mereka ada bertiga. Matanya jelas putih buta. Lalu dengan apa dia melihat?

"Kami punya alasan. Tapi tidak perlu memberi tahu tua bangka sepertimu1′

"Tolol sekalil" damprat Si kakek.

"Kami tolol?!" Orang yang menyahuti kembali leletkan lidah lalu bersama dua temannya
tertawa jelak-gelak.

"Tolol dan pengecut!" Kakek Segala Tahu memaki.

"Tua bangka! Tutup mulutmu!" Orang di sebelah kanan Kakek Segala Tahu membentak.

Kakek Segala Tahu ganda tertawa. Kepala masih mendongak di angkat tangan kanannya,
tudlngkan ujung tongkat tulang ke arah orang yang barusan membentak.

"Mahluk dajal bermulut besar! Aku perintahkan padamu untuk mengurus jenazah bocah Ini.
Kuburkan dia secara baik-baik!"

"Tua bangka Sinting! Siapa sudi turut perintahmu!" Teriak Si Manusia pocong.

“Mahluk pocong, apapun kau adanya, nasibmu bakal jelek. Kau akan mati tanpa kubur!"

Sambil berkacak pinggang Manusia pocong di sebelah kanan tertawa gelak-gelak. Dua kaki
bergeser maju, tangan kanan bergerak. Tahu dirinya akan diserang, Kakek Segala Tahu
acungkan tongkat tulang.

"O-oo! Tunggu dulu! Biar aku yang kau bilang Sinting ini diberi kesempatan untuk mengubur
jenazah bocah teraniaya ini!"

Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu tancapkan dalam-dalam tongkat tulang ketanah lalu
tongkat digerakkan membuat garis empat persegi panjang. Ketika tongkat disentakkan ke atas.
tanah berhamburan membentuk gundukan di samping kiri kanan dan di tempat itu kini
menganga sebuah lobang.

Tiga Manusia pocong untuk sesaat lamanya jadi terkesiap bahkan saling pandang. Yang tadi
didamprat bakal mati tanpa kubur mendadak saja kuduknya terasa dingin Sementara itu Kakek
Segala Tahu susupkan tongkatnya ke bagian bawah perut mayat anak yang tertelungkup di
tanah. Perlahanlahan jenazah Magiyo diangkat. Lagi-lagi membuat tiga manusia pocong tampak
melengak. Walau Magiyo adalah seorang anak kecil, tapi bagaimana tongkat tulang yang
kelihatan seperti rapuh mampu dipergunakan untuk mengangkat beban seberat itu.

Jenazah Magiyo diturunkan dan sampai di dasar lobang. Kakek Segala Tahu kembali unjukkan
kehebatan. Dengan ujung tongkat dia membuat gerakan menyapu ke arah lobang. Gundukan
tanah di sekitar lobang didorong menutupi jenazah, membentuk sebuah kuburan!

"Mahluk-mahluk tolol! Begitu caranya mengurus dan menghormati jenazah manusia!" Kakek
Segala Tahu mendamprat.

Manusia pocong yang berdiri di antara dua temannya menyeringai di balik kain putih penutup
kepala.

"Terima kasih kau telah menyuguhkan satu pertunjukan hebat! Sekarang saat kami untuk
mengurus dan menghormati dirimu!" Lalu Manusia pocong ini gesekkan ujung ibu jari dan jari
tengah tangan kanannya hingga mengeluarkan suara keras. Mendengar tanda ini dua Manusia
pocong yang berada di kiri kanan Si kakek keluarkan seruan lantang.

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!"

Kakek Segala Tahu tertawa dan cibirkan bibir mendengar ucapan itu.

Dua Manusia pocong berkelebat lancarkan serangan. Serangan didahului dengan melemparkan
dua Bendera Merah. Dua Bendera Merah ini dengan mudah dipukul mental oleh Kakek Segala
Tahu dengan tongkat tulang putih. Tongkat di tangan kanan, kaleng rombeng dikerontangkan di
tangan kiri, Kakek Segala Tahu hadapi lawan yaitu dua Manusia pocong yang ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Selama lima jurus orang tua ini menjadi bulan-bulanan serangan yang sangat
berbahaya.

Manusia pocong ketiga yang bukan lain adalah Wakil Ketua Barisan Manusia pocong 113 Lorong
Kematian geleng-geleng kepala. Rasa kagum melihat semua kehebatan Si kakek justru
membuat dia merasa kawatir.

Memasuki jurus ke tujuh Kakek Segala Tahu putar tongkat putihnya sambil berkata. "Aku jarang
berkelahi! Berkelahi membuat tubuh rongsokan ini pegal sakit-sakit! Hai! Aku bosan bercanda
dengan orang-orang tolol seperti kalian!" Tongkat putih lalu berubah menjadi titiran,
mengeluarkan suara berdesing menggidikan. Jubah dan kain putih tutup kepala dua Manusia
pocong berkibar-kibar.

"Lihat tongkat!" Tiba-tiba Kakek Segala Tahu berseru.

"Wuuuttt!"
Suara deru tongkat tulang disusul dengan jeritan Manusia pocong di sebelah kanan. Kakek
Segala Tahu .tertawa mengekeh. Ujung tongkatnya menancap di leher Manusia pocong itu
sampai sedalam satu jengkal. Ketika tongkat diangkat ke atas. sosok Manusia pocong ikut
terangkat dan berayun-ayun. Sewaktu tongkat ditarik, darah langsung menyembur dari lobang
besar di leher, membasahi kain penutup kepala dan jubah putih.

"Aku bilang apa! Kau bakal mati tidak berkubur!"

Sosok tubuh yang tengah terhuyung-huyung itu digebuk di bagian kaki. Tak ampun lagi Manusia
pocong itu jatuh tergelimpang. Dua kaki melejanglejang beberapa kali lalu diam pertanda
nyawanya amblas sudah!

Melihat kematian temannya, Manusia pocong di sebelah kiri berteriak marah. Dari jarak tiga
langkah dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Di depan
sana Manusia pocong ke tiga tidak tinggal diam. Mulutnya keluarkan suara suitan seolah
memberi tanda. Tangan kanan mengeruk ke saku jubah. Manusia pocong yang hendak
menyerbu cepat membuat langkah surut sambil tutup jalan pernafasan. Kakek Segala Tahu
bersikap waspada. Ketika dia hendak menghajar lawan di sebelah kiri tiba-tiba dia mencium bau
sesuatu. Orang tua ini cepat menutup hidung. Tapi terlambat. Sejenis asap beracun yang
disemprotkan Manusia pocong ke tiga keburu masuk ke dalam saluran pernafasannya.
Tubuhnya mendadak limbung. Kaki seperti tidak menginjak tanah lagi. Dia masih sempat
kerontangkan kaleng rombengnya satu kali tergelimpang miring di tanah. Tongkat masih
tergenggam di tangan. Caping dan kaleng butut terlepas jatuh.

Wakil Ketua Manusia pocong rangkap dua tangan di atas dada.

"Sudah lama aku mendengar kehebatan kakek satu ini. Baru kali ini menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Yang Mulia Ketua benar. Kalau tidak mempergunakan asap beracun pelumpuh
syaraf akan sangat sulit membekuk dedengkot rimba persilatan ini!" Setelah berikan perintah
pada Satria Pocong anak buahnya agar segera memanggul Kakek Segala Tahu dia lalu dekati
mayat Manusia pocong yang terbujur di jalanan. Sekali tendang saja mayat itu terlempar
belasan langkah dan akhirnya jatuh masuk ke dalam jurang.

KAKEK Segala Tahu terbujur di atas tempat tidur batu di dalam kamar tempat dia disekap.
Untuk beberapa saat dia tergeletak tak bergerak, masih tidak sadarkan diri akibat menghisap
asap beracun Tak selang berapa lama di kejauhan sayup-sayup terdengar suara orang
menyanyi. Entah suara nyanyian ini. atau mungkin juga pengaruh asap beracun yang perlahan
sirna, Si kakek mulai siuman. Dua kaki bergeraki Tapi gerakannya tertahan. Dia geser dua
tangan. Sama, gerakannya juga tertahan

"Ada apa dengan diriku ? Aku mendengar suara nyanyian. Apakah saat ini aku sudah mati dan
berada di sorga?" Si kakek membatin dalam hati tertawa membatin sendiri Mulutnya berucap.
"Tua bangka rongsokan seperti aku, banyak dosa seumurumur. Mana mungkin masuk sorga!
Ha…ha…ha!" Lalu orang tua ini nyalangkan sepasang matanya yang putih buta. Dia coba lagi
menggerakkan tangan dan kaki, berusaha bangun. Tapi tidak mampu. "Ada suatu pada
pergelangan tangan dan pergelangan kakiku! Setan alas. Siapa yang mengikat aku?!"

Kakek ini kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke pergelangan tangan dan kaki untuk
menjebol putus ikatan.

“Dess!"

"Dess!"

Dari pergelangan tangan dan kaki Si kakek mengepul asap kelabu.

"Oala! Ilmu Sihir apa yang menguasai diriku?l" ucap Kakek Segala Tahu.

Saat itu di dalam ruangan tiba-tiba menghambur gelak tawa keras.

"Ah rupanya ada orang lain di tempat ini…." membatin Kakek Segala Tahu.

"Tua bangka goblok!" Ada suara orang memaki. "Tidak ada ilmu Sihir yang menguasai dirimu!
Tangan dan kakimu berada dalam keadaan terikat! Kau boleh punya ilmu setinggi langit
sedalam lautan! Tangan dan kakimu tak akan bisa bebas! Kau sudah kena ringkus! Tangan dan
kakimu diikat dengan benang sutera halus. Itulah yang disebut Benang Kayangan."

Kakek Segala Tahu melengak, tapi hanya sesaat.

Dia terdiam sambil berpikir pikir. Namun jalan pikirannya masih belum jernih akibat pengaruh
asap beracun.

"Orang yang barusan bicara dan tertawa. Siapa dirimu? Barusan kau menyebut Benang
Kayangan. Aku rasa-rasa…."

"Hidup tidak bisa hanya merasa-rasa. Kau lihat sendiri akibatnya. Terlalu banyak merasa-rasa
akhirnya nasibmu berakhir di tempat celaka ini! Disini kau bakal melepas nyawa!"

"Tempat celaka Melepas nyawa? Memangnya aku berada dimana?’

"Kau berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian!"

"Ahh…. Kakek Segala Tahu lepas nafas panjang. "Apakah saat ini aku berhadapan dengan
Manusia pocong yang disebut Yang Mulia Ketua?"
"Tahu juga kau siapa pemimpin kami! Tunggu saja. Sebentar lagi Yang Mulia Ketua akan datang
ke tempat ini. Dia akan menyuruh sedot seluruh kekuatan tenaga dalam dan ilmu kesaktian
yang ada dalam dirimu. Tubuhmu sudah rongsokan. Tidak pantas menguasai semua kehebatan
itu!"

Kakek Segala Tahu tidak perdulikan ucapan orang. Dia berusaha memusatkan ingatan pada satu
hal. Mulutnya berkata. "Benang Kayangan…Ah! Aku ingat sekarang. Benda itu hanya dimiliki
oleh satu orang. Kalau aku tidak salah dia…."

Tiba-tiba pintu besi setebal setengah jengkal di samping kanan ruangan batu terbuka. Tiga
Manusia pocong masuk ke dalam. Dua bertubuh tinggi besar, yang ketiga agak pendek. Orang
yang barusan bicara dengan Kakek Segala Tahu keluarkan ucapan lantang.

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!"

"Hik….hik…hik!" Kakek Segala Tahu tertawa geli. "Lagi-lagi ucapan itu! Ah, rupanya Yang Mulia
Ketua sudah berada di Sini. Sayang tangan dan kakiku dalam keadaan terikat hingga tak bisa
memberi salam hormat!"

"Wakil Ketua!" Manusia pocong tinggi besar yang berada di sebelah depan berkata. "Kita tak
perlu berbasa basi dengan tua bangka rongsokan ini. Lekas geledah manusia satu ini. Temukan
benda yang kita perlukan itu!"

Manusia pocong tinggi besar kedua yang berdiri di belakang Sang Ketua membungkuk hormat.
Dia memberi tanda pada Manusia pocong di sampingnya. Wakil Ketua dan anak buahnya segera
menggeledah sekujur tubuh Kakek Segala Tahu. Baju dan celana rombeng disingkap. Tubuh Si
kakek dibolak balik. Rambut putih panjang dan janggut disingkap. Tapi apa yang mereka cari
tidak ditemukan.

"Telanjangi dia! Pasti dia menyembunyikan benda itu di salah satu bagian tubuhnya!" Perintah
Sang Ketua.

"Hai! Kalian semua sudah pada gila apa?! Apa enaknya melihat aku telanjang! Aku bukan
perempuan muda bertubuh putih montok!"

"Plaakk!"

Satu tamparan mendarat di pipi kiri Kakek Segala Tahu membuat orang tua ini sesaat seperti
kelojotan tapi kemudian malah menyeringai dan tertawa.

"Kalau kau tidak hentikan tawamu, akan kurengkah batok kepalamu!" Sang Ketua mengancam.

"Apa yang kalian cari sampai-sampai mau menelanjangi diriku?"


"Dimana kau sembunyikan segulung kain putih?!"

"Ah, mengapa aku mendadak menjadi tuli, budek…" Kakek Segala Tahu berucap. "Apa…apa tadi
yang kau tanyakan?"

"Setan tua! Jangan berpura-pura tuli! Jawab pertanyaan Ketua kami. Dimana kau Simpan
gulungan kain putih yang kau dapat dari Raja Penidur?" Yang bicara keras kali ini adalah Wakil
Ketua Manusia pocong.

"Apa? Kau mau menyuruh aku tidur? Dengan Siapa? Dengan perempuan-perempuan bunting
itu? Ha..ha…Tak pernah aku bayangkan…"

"Gulungan kain pulih! Bukan tidur!" Teriak Wakil Ketua.

"Ooo, tubuh perempuan itu putih. Aku memang paling suka perempuan putih. Apa lagi kalau
gemuk banyak lemaknya. Ha..ha..ha! Padahal….ha…ha! Aku disuruh menikahkan orang! Hai,
apakah Yang Mulia Ketua hendak kawin? Dengan Siapa? HA…ha… Pasti aku bakal menerima
imbalan besar kalau menikahkan Yang Mulia Ketua! Ha…ha…ha!"

Saking marahnya Yang Mulia Ketua kepalkan tinju kanan, Siap hendak menjotos kepala Kakek
Segala Tahu. Kalau ini sampai kejadian kepala Si kakek akan pecah dan nyawanya tak akan
tertolong agi. Tapi tiba-tiba saja tangannya dipegang oleh seseorang. Orang ini adalah yang tadi
pertama kali berada dalam ruangan batu tempat Kakek Segala Tahu disekap.

"Yang Mulia Ketua, tua bangka satu ini tidak bodoh. Aku tahu betul dirinya. Akalnya banyak.
Walau disiksa sampai tubuhnya lumat dan otaknya terbongkar tak bakalan dia mau bicara.
Malah salahsalah dia bisa memberi keterangan menyesatkan kita. Kita tidak akan menemukan
gulungan kain itu di tubuhnya. Pasti dia menyembunyikan di tempat lain. Setahuku biasanya dia
memakai caping, membawa kaleng rombeng. Aku tidak melihat dua benda itu. Bukan mustahil
dia menyembunyikan di dalam kaleng atau dibalik caping."

Yang Mulia Ketua berpaling pada wakilnya. Sepasang mata dibalik kain putih penutup kepala
menyorotkan Sinar angker. "Aku tahu, apa yang dikatakan Dewa Tuak betul adanya. Dimana
caping dan kaleng rombeng itu?"

"Agaknya, mungkin tertinggal di tempat kami meringkusnya."

"Lalu apa yang akan kau perbuat? Hanya bertambah tolol dengan tetap berada di tempat ini?!"
Bentak Sang Ketua pada wakilnya.

"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Saya dan satria pocong akan kembali ke tempat itu. Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintail Namun ada sebuah tongkat sakti milik kakek ini…" Dari balik punggung jubah putihnya.
Wakil Ketua Barisan Manusia pocong keluarkan tongkat putih terbuat dari tulang. Benda ini
segera diserahkan pada Sang Ketua.

"Pencuri busuk! Lekas kembalikan tongkatku!" Kakek Segala Tahu berteriak.

"Hanya tongkat tulang butut dan rapuh! Tak ada gunanya!" ucap Yang Mulia Ketua.

Wakil Ketua segera mendekati pimpinannya. Setengah berbisik dia menceritakan kehebatan
tongkat itu. Dengan tongkat butut dan kelihatan rapuh itu Kakek Segala Tahu mengangkat
tubuh manusia. Dengan benda itu pula dia menggali tanah untuk mengubur bocah bernama
Magiyo.

"Jadi sudah kalian bunuh anak itu?" tanya Sang Ketua pula.

"Sesuai perintah Yang Mulia," jawab Wakil Ketua.

Yang Mulia Ketua perhatikan tongkat tulang putih yang dipegangnya. "Aku tidak percaya
tongkat ini begitu sakti," ucap Sang Ketua. "Tidak mustahil dia menyembunyikan gulungan kain
putih dalam rongga tongkat!"

"Kraakkk…..kraakkk!"

Terdengar suara berderak patah berulang kali. Di lain kejap Sang Ketua telah patahkan tongkat
tulang itu menjadi tujuh potongan. Setiap patahan diperiksa. Kosong semua. Gulungan kain
putih tidak ada dalam rongga patahan tulang. Dengan geram Yang Mulia Ketua lemparkan tujuh
patahan tongkat ke dinding batu. Luar biasa! Tujuh patahan tongkat amblas hampir sama rata
dengan dinding batu! Kesunyian menggantung dalam ruangan Wakil ketua dan anak buahnya
terdiam kagum menyaksikan kehebatan tenaga dalam pimpinan mereka. Hanya Dewa Tuak
yang walau ikutan diam tapi kelihatan seperti tak acuh.

Tiba-tiba kesunyian dalam ruangan batu pecah oleh gelak tawa Kakek Segala Tahu.

"Tua bangka jahanam! Apa yang lucu! Mengapa kau tertawa?!" Bentak Yang Mulia Ketua.

"Tidak ada yang lucu!" Sahut Kakek Segala Tahu.

Hanya saja…"

"Hanya saja apa?!" bentak Sang Ketua.

"Banyak orang gila di tempat ini. Mereka semua akan mati konyol dalam kegilaan itu! Dan
diantara mereka akan ada tulangnya aku ambil pengganti tongkatku! Ha…ha…ha!"
"Begitu?" Sang Ketua usap-usap dagunya yang tertutup kain putih. Dia melangkah mendekati
tempat tidur batu. "Kalau begitu biar kepalamu kuhancurkan lebih dulu!"

"Yang Mulia Ketua, tahan!" Dewa Tuak bergerak menghalangi. "Jangan sampai terpancing oleh
Siasat tua bangka satu ini. Kita lebih banyak ruginya kalau dia mati lebih cepat. Sesuai rencana"

"Sudah! Menjauh sana!" Ucap Yang Mulia Ketua sambil mendorong Dewa Tuak hingga terjajar
ke pintu beSi.

Di atas pembaringan batu kembali Kakek Segala Tahu tertawa-tawa.

Setelah Wakil Ketua dan anak buahnya tinggalkan tempat itu. Sang Ketua ingat sesuatu dan
berpaling pada orang tua yang berdiri di samping kiri. "Dewa Tuak," tegurnya. "Apa kau sudah
memberikan minuman selamat datang pada tua bangka ini?’

"Belum Yang Mulia Ketua. Bukankah kita perlu lebih dulu mengorek keterangan dari dirinya?
Bagaimana mungkin dia bicara kalau otaknya dicuci dan ingatannya lenyap? Yang Mulia tak
usah kawatir. Dia tak bakal bisa lolos. Tidak ada satu manusiapun yang mampu menjebol ikatan
Benang Kayangan itu."

"Aku percaya padamu. Tapi tidak selalu. Jika dia sampai kabur, nyawa busukmu imbalannya!"

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang wajib dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai."

Yang Mulia Ketua sesaat memandang pada Kakek Segala Tahu yang terbujur di atas ketiduran
batu. "Tua bangka keparat ini tadi menyebut-nyebut soal pernikahan. Kawin. Siapa yang nikah?
Siapa yang kawin? Diriku? Gila! Tapi kupikir ada sesuatu yang aneh. Dibalik keanehan ucapan
mungkin ada satu rahaSia…."

Pintu beSi dibuka. Sang Ketua tinggalkan tempat itu.

"Dewa Tuak" Kakek Segala Tahu berucap.

Tak ada jawaban.

"Dewa Tuak kakek keparat! Kau masih ada disini?"

Tetap tak ada jawaban.

"Jahanam pengkhianat! Tunggu pembalasanku!" Dua mata putih Si kakek berputar. "Dia pasti
ikutan keluar bersama ketuanya. Edan, sebelum aku rupanya dia sudah kena diringkus duluan.
Heran, mengapa dia mau bercokol di sini dan jadi kaki tangan Manusia pocong? Tega-teganya
dia mengikat aku begini rupa. Pengkhianat busuk! Jangan-jangan kakek itu diumpan penganan
perempuan-perempuan muda bunting? Minuman selamat datang. Pencuci otak pelupa ingatan.
Minuman setan apa itu? Mungkin Dewa Tuak sudah dicekoki minuman itu. Kalau aku juga
sampai kena dicekoki. Ihhh. “

***

Ketika Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian bersama anak buahnya
sampai di tempat kejadian dimana mereka berhaSil melumpuhkan Kakek Segala Tahu dengan
asap beracun, keduanya tidak menemukan caping dan kaleng rombeng milik Si kakek. Seluruh
tempat mereka periksa. Telap saja caping dan kaleng tidak ditemukan.

"Aneh, kalau memang jatuh dan tertinggal, pasti caping dan kaleng itu ada di Sini. Kalau jatuh
tercecer di jalan pasti tadi sudah ditemukan…" Wakil Ketua berkata sambil melangkah mundar
mandir. Manusia pocong anak buahnya tidak keluarkan ucapan. Saat itu pikirannya kalut
membayangkan hukuman apa yang bakal diterimanya dari Sang Ketua. Wakil ketua kembali
keluarkan ucapan.

"Kita telah berbuat ceroboh Mungkin sekali apa yang dikatakan Dewa Tuak benar adanya.
Gulungan kain putih itu ada di dalam caping atau dalam kaleng. Agaknya orang lain telah
menemukan lalu mengambil benda-benda itu sebelum kita sampai di Sini." Lalu dia
menyambung ucapan, membantah sendiri kata-katanya tadi. "Kalaupun ada orang yang melihat
caping dan kaleng rombeng itu tidak nanti dia akan mengambilnya. Pasti orang itu tahu riwayat
dan pemilik dua benda sialan itu!"

Wakil Ketua sesaat tampak agak masygul. Setelah mencari-cari lagi tanpa haSil, kedua Manusia
pocong itu akhirnya kembali ke markas mereka.

Kembali ke 113 Lorong Kematian.

Dalam Episode sebelumnya berudul "Pernikahan Dengan Mayat" kepada Wakil Ketua Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia pocong menyatakan bermaksud menyedot semua kekuatan
tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun Wakil Ketua
mengingatkan jika hal itu dilakukan maka rencana semula yaitu ingin memanfaatkan dan
mempergiat Sang Ratu untuk menghadapi para tokoh rimba perSilatan yang cepat atau lambat
akan menyerbu ke dalam 113 Lorong Kematian, tidak akan dapat dilaksanakan. Seandainya
Sang Ketua memaksa maka dia menyarankan agar semua kehebatan yang dimiliki Sri Paduka
Ratu disedot melalui ubun-ubun. Namun Sang Ketua merasa kawatir, otak dan kepala Yang
Mulia Sang Paduka Ratu akan hancur sebelum dia berhaSilmenguras tenaga dalam dan hawa
sakti. Satu-satunya cara, menurut Sang Ketua, adalah dengan jalan meniduri Sang Ratu dan
menyedot semua kehebatan yang dimiliki perempuan itu ketika terjadi hubungan badan.

Karena terpaksa menunda maksud mesumnya terhadap Yang Mulia Sri Paduka Ratu, Sang
Ketua memilih perempuan lain. Satu-satunya perempuan yang belum sempat dan ditiduri oleh
Sang Ketua adalah Nyi Larasati, istri Loh Gatra. Selain itu, perempuan ini memang adalah giliran
berikutnya yang bayinya akan dibunuh dan diambil darahnya untuk mengusap ubun-ubun Yang
Mulia Sri Paduka Matu. Yaitu seperti yang tertulis dalam "Aksara Batu Bernyawa" sebagai
perwujud dan kesinambungan kehidupan mahluk yang memiliki nyawa kedua.

Sesuai dengan perintahnya untuk membawa Larasati ke ruang ketidurannya, ketika Sang Ketua
masuk ke dalam kamar, Larasati telah berada di Situ, duduk di atas sebuah kursi batu,
memegang sebuah cangkir terbuat dari kayu. Walau berdandan dan dipoles bedak, wajah
perempuan in? tampak agak pucat karena sekian lama berada di dalam goa. tidak pernah
tersentuh Sinar matahari. Ketika melihat Yang Mulia Ketua memasuki kamar. Larasati
tersenyum dan bangkit berdiri.

Sambutan berupa senyuman yang membuat gairah itu pertanda Larasati berada dalam
pengaruh minuman pencuci otak, pelupa diri pelupa ingatan. Namun Sang Ketua masih ingin
menguji.

"KekaSihku Larasati, sudah lamakah kau menunggu diriku di Sini?"

Larasati mengangkat cangkir kayu yang dipegangnya lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia
seorang yang wajib dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dikasihi."

Yang Mulia Ketua tertawa lebar. Dia melangkah mendekati Larasati, membelai pipi perempuan
itu lalu mengusap perutnya yang hamil besar.

"Larasati, kau berkata hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dikasihi. Bisakah kau
membuktikan hal itu?’

"Seribu bukti untuk Yang Mulia Ketua…." jawab Larasati.

"Bagus sekali. Sekarang tinggalkan pakaianmu. Semua."

Larasati tersenyum. Perempuan yang sudah dicuci otaknya ini dengan minuman pelupa diri
pelupa ingatan, angkat cangkir kayu di tangan kanan dan mendekatkan ke bibir Yang Mulia
Ketua. Sang Ketua pegang tangan halus perempuan hamil itu lalu teguk habis minuman dalam
cangkir kayu. Sambil memegang cangkir kosong, Sang Ketua memperhatikan bagaimana
Larasati mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu. Dalam keadaan tanpa selembar
benangpun menutupi auratnya yang hamil besar perempuan ini lemparkan senyuman mesra,
menggeliat tubuh lalu berputar dan melangkah ke arah tempat tidur besar di tengah ruangan.
Yang Mulia Ketua basahi bibirnya dengan ujung lidah. Dibanding dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu wajahnya memang kalah cantik. Namun dari sekian banyak perempuan hamil yang telah
diculik dan digaulinya, baru yang satu ini dilihatnya memiliki tubuh begitu mulus dan luar biasa
bagus. Yang Mulia Ketua lemparkan cangkir kayu yang dipegangnya lalu buka kain putih
penutup kepala.

4
DI SATU rimba belantara, tak jauh dari lembah batu di selatan kawasan 113 Lorong Kematian.
Loh Gatra yang tengah berlari cepat bersama Anggini tiba-tiba menekap telinga kirinya. Wajah
yang keringatan mendadak tampak pucat. Dada berdebar kencang. Larinya tersaruk-saruk.
Suami Larasati ini akhirnya hentikan lari dan duduk berSila di tanah dengan dada turun naik,
mata setengah terpejam.

"Loh Gatra, ada apa?" Tanya Anggini.

Lelaki muda itu buka sepasang mata, menatap jauh ke depan.

"Aku barusan mendapat firasat buruk. Telinga kiri mengiang. Jantungku berdetak keras. Aku
kawatir. Sangat kawatir. Nyi Lara, istriku. Janganjangan…."

Anggini pandang wajah Loh Gatra sambil menggigit bibir. Dia sudah mendengar dan tahu
semua bahaya sangat besar dan segala kekejian yang ada di dalam 113 Lorong Kematian. Setiap
saat hal itu bisa jatuh menimpa perempuan-perempuan hamil yang disekap di tempat itu.
Selain Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak ada seorangpun mampu menjamin keselamatan dan
menolong perempuanperempuan malang itu. Termasuk keselamatan Nyi Larasati, istri sahabat
barunya itu. Anggini coba menghibur.

"Loh Gatra, firasat terkadang menyesatkan. Kuatkan hatimu. Tabahkan diri. Mohon kepada
Tuhan agar istrimu diselamatkan Ayo kita lanjutkan perjalanan”

"Aku akan memusnahkan tempat jahanam itu, membunuh semua Manusia pocong kalau
sampai istriku mendapat celaka…"

Anggini tepuk bahu kiri Loh Gatra dan membantu lelaki muda ini bangkit berdiri. Keduanya
melanjutkan perjalanan dengan berlari cepat. Jauh di belakang sana terdengar sayup-sayup
curah air terjun Ngadiloyo. Sebelumnya, walau sebentar kedua orang itu telah menyempatkan
diri istirahat di tepi telaga.

Anggini yang ternyata memiliki kecepatan lari melebihi Loh Gatra tidak mau meninggalkan lelaki
itu di sebelah belakang. Dia sengaja memperlambat larinya hingga sepanjang jalan mereka
selalu bersisian. Loh Gatra maklum kalau gadis cantik itu lebih tinggi ilmu larinya berkata.

"Aku mengagumi ketinggian ilmu larimu. Dewa Tuak tentu telah menggembleng dirimu secara
luar biasa. Anggini, kalau kau ingin lari lebih dulu Silahkan saja. Aku mengikuti dari belakang."

Sang dara melirik. Tersenyum. Mulutnya tidak berucap namun hati kecilnya berkata. "Lelaki
rendah hati. Pasti tinggi budi. KaSihan istrinya. Aku kawatir sesuatu telah terjadi dengan
perempuan malang itu"
Anggini tidak mau mempercepat lari hingga keduanya tetap berdampingan. Diperlakukan
seperti itu, kalau saja pikirannya tidak kalut menghadap. perkara besar yang dialaminya
mungkin perhatian Loh Gatra telah terbagi pada kebaikan Sifat Si gadis.

Kedua orang itu hentikan lari ketika di hadapan mereka membentang sebuah cegukan panjang
membentuk tiga buah lembah batu.

"Buntu" ucap Anggini sambil menyeka peluh yang membasahi kening.

"Tidak," menyahuti Loh Gatra. "Di bibir lembah seberang sana ada gugusan bukit batu.
Dugaanku, markas Manusia pocong atau Seratus Tiga Belas Lorong Kematian ada di bebukitan
itu. Kita harus bertindak cepat menuju ke sana. Kali ini biar aku lebih dulu. Semakin dekat
dengan lorong markas Manusia pocong kita harus sangat hati-hati karena bahaya tak terduga
bisa muncul secara mendadak. Mungkin ada banyak jebakan maut. mungkin juga dibokong
secara pengecut." Loh Gatra segera perhatikan keadaan lembah batu. "Kita bisa sampai ke
seberang sana dengan dua cara. Pertama memutari bibir lembah, cukup lama dan jauh. Kedua
akan lebih cepat, jika menuruni lembah di arah tengah." Selesai berucap Loh Gatra segera
menuruni lembah batu.

Untuk beberapa lama Anggini perhatikan lelaki itu. Hatinya membatin. "Dia tidak malu
mengakui bahwa ilmuku lebih tinggi dari yang dimilikinya. Tapi sepertinya dia mau
mengorbankan diri demi melindungiku." Murid Dewa Tuak ini gigit bibirnya sendiri. Dia ingat.
Dulu di dalam banyak kejadian Pendekar 212 Wiro Sableng selalu membela dan melindunginya.
Dia mengharapkan semua itu adalah cermin dari rasa kaSih sayang. Namun segala harapan itu
tidak menjadi kenyataan. Dia berharap, tapi orang tak hendak. Tali perjodohan yang diuntai
oleh gurunya Dewa Tuak dan Sinto Gendeng guru sang pendekar sampai saat ini tak kunjung
menjadi buhul ikatan. Dia harus mengakui bahwa dia tidak bisa melupakan pemuda itu. Namun
apakah dia harus menunggu seumur-umur tanpa satu kejelasan. Lalu gadis ini ingat akan kata-
katanya sewaktu membentak Wulan Srindi. "Soal perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan
Siapa bukan perduliku!" Anggini menggigil bibirnya lebih keras. "Aku menunjukkan ketidak
perdulianku padanya. Apakah dia tersinggung? Marah? Mungkin dia tidak menyukaiku lagi? Aku
salah? Gadis bernama Wulan Srindi itu! Aku benar-benar benci padanya. Tapi Wiro mengapa
kelihatan begitu dekat padanya?"

Murid Dewa Tuak itu usap dagunya yang basah oleh keringat. Lalu permainkan ujung selendang
ungu yang dilingkarkan di pinggang. Ketika matanya diarahkan ke bawah, pandangannya
membentur angka 212 pada ujung selendang. Kenangan lama kembali terbayang. Tiga angka di
ujung selendang itu Wiro sendiri yang dulu mengguratkan dengan ujung jarinya. (Baca serial
Wiro Sableng berjudul "Maut Bernyanyi Di Pajajaran")

Di bawah saputan cahaya sang surya yang semakin tinggi, wajah Anggini bersemu merah.
Bibirnya bergerak, suaranya bergetar perlahan ketika mulutnya berucap.
"Aku tidak akan pernah melupakan, dia pemuda yang pertama kali memeluk tubuhku. Mencium
pipi dan keningku. Mengecup bibirku. Dia pemuda kepada Siapa aku membisikkan kata bahwa
aku mencintainya. Tapi mengapa semua berjalan begitu hampa dan agaknya akan berakhir
tidak seperti yang aku dambakan? Apakah aku telah salah dan ketelepasan bicara bahwa aku
tidak perduli lagi akan segala ikatan tali perjodohan. Karena memang ikatan itu tidak pernah
ada?" (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Keris Tumbal Wilayuda")

Anggini angkat kepala, menatap ke langit putih berSih kebiruan di atas sana. Tidak terasa butir-
butir air mata meluncur jauh di kedua pipinya. Ketika di pejamkan dua mata yang berkaca-kaca
itu entah bagaimana tiba-tiba muncul wajah lain. Wajah seorang pemuda gagah dengan hiasan
anting-anting emas di telinga kanannya.

"Panji" mulut Anggini berucap perlahan menyebut nama pemuda itu. "Aku tahu kau mencintai
diriku. Namun. Ah,mungkin seharusnya aku tidak pergi dari Danau Maninjau. Tidak
meninggalkan dlrinya" (Mengenai pemuda bernama Panji bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng
pada Episode berjudul "Lembah Akhirat". Dalam serial berjudul "Kiamat Di Pangandaran")
Diceritakan setelah terjadi bentrokan hebat antara para tokoh sesat golongan putih melawan
golongan hitam di pantai Pangandaran, Anggini bersama Panji berangkat ke Pulau Andalas,
tinggal di Danau Maninjau dimana menetap Nyanyuk Amber seorang dedengkot rimba
Persilatan. Dari kakek sakti berkepandaian tinggi ini sepasang muda mudi itu mendapat
tambahan ilmu kepandaian. Namun Anggini merasa tidak kerasan berlama-lama di Pulau
Andalas. Kerinduan terhadap tanah Jawa terlebih terhadap gurunya Dewa Tuak tidak dapat
ditahan. Selain itu tentu saja terselip semua kenangan manis dirinya dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng, yang menambah kobaran hasratnya untuk cepat-cepat berangkat ke tanah Jawa.
Setelah meminta izin dan memohon diri kepada Nyanyuk Amber dan Panji disertai janji akan
segera kembali, Anggini kemudian berangkat ke Tanah Jawa. Semula Panji ingin ikut pergi
mendampingi gadis itu. Tapi entah mengapa Nyanyuk Amber melarang.

"Anggini! Cepat turuni Tapi hati-hati. Batu diSini licin sekali.!"

Suara teriakan Loh Gatra membuat Anggini sadar dari lamunannya.

"Ya…ya aku datang," balas berteriak Anggini. Dia cepat usap wajahnya yang jelita. Lalu lagi-lagi
hatinya bicara. "Dia mengingatkan aku berhati-hati. Wiro dulu juga begitu. Ah ada apa dengan
diriku ini. Mengapa jadi membandingkan lelaki yang sudah beristri itu dengan Wiro."

Walau sudah diingatkan bahwa lembah batu itu licin, namun seperti burung yang terbang dan
hinggap sana hinggap Sini Anggini menuruni lembah dengan cara melompat dari tonjolan batu
satu ke gundukan satu lainnya. Sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Loh Gatra yang
memandangnya penuh rasa kagum. Tadi waktu menuruni lembah kakinya hampir terpeleset

"Kau melamuni apa di atas sana?" tanya Loh Gatra.


"Aku? Aku melamun?" Anggini tertawa lebar berusaha menyembunyikan keterkejutannya
karena tidak menyangka orang bisa menduga apa yang tadi dilakukannya. Barisan gigi sang
gadis tampak putih dan rata. "Justru aku saat ini melihat kau berdiri seperti orang bingung. Ayo
naik keatas sana. Di daerah berbahaya jangan terlalu lama berdiam diri.

Bisa jadi sasaran empuk pembokong gelap."

“Eh, dua matamu kelihatan agak merah…."

Anggini terkejut Dia barusan memang habis menangis. Cepat gadis ini usap kedua matanya
seraya berkata. "Rupanya mataku tak tahan sengatan Sinar matahari di atas sana." Gadis ini lalu
mendahului naik ke atas lembah. Loh Gatra geleng-geleng kepala lalu cepat mengikuti.

Begitu sampai di atas lembah batu. di hadapan Anggini dan Loh Gatra membentang sebuah
bukit batu. Bukit batu itu tidak terlalu tinggi. Dengan mudah kedua orang itu mendaki dan
sampai di salah satu puncaknya. Sinar sang surya memancarkan terik. Batu yang dipijak terasa
panas. Satu-satunya suara yang terdengar saat itu adalah desau angin. Kemanapun mata
memandang yang kelihatan adalah pohon-pohon tinggi berdaun lebat, kerumunan semak
belukar luar biasa lebat. Agak ke barat mendekam sebuah jurang batu berlumut hijau. Tidak
lebar tapi sangat dalam.

"Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mustahil di tempat begini rupa beradanya markas Manusia
pocong yang disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Agaknya kita datang ke tempat yang
salah. Kita sudah kesasar!" kata Anggini pula. Nada suaranya geram dan penuh penasaran
karena merasa tidak mendapat jalan untuk mencari, menemui dan menyelamatkan gurunya
Dewa Tuak. Juga niatnya yang ingin menolong menyelamatkan istri Loh Gatra.

"Aku melihat atap bangunan…." kata Loh Gatra tiba-tiba seraya menujuk ke arah kanan jurang
batu berlumut.

Anggini ikuti arah yang ditunjuk Loh Gatra.

Di kejauhan kelihatan sebuah atap bangunan terbuat dari bambu, tertutup oleh tumpukan
dedaunan, tanaman jalar serta lumut dan semak belukar.

"Mari kita selidiki." Kata Loh Gatra pula. Anggini mengangguk.

Kedua orang itu segera menuruni bukit batu, bergerak cepat tapi penuh hati-hati ke arah
bangunan di sebelah kanan jurang. Namun sebelum sampai ke sana, mereka menemui sebuah
pedataran. DiSini terdapat dua buah batu besar berwarna hitam pekat. Loh Gatra perhatikan
tanah pedataran.
"Walau agak samar, aku melihat bekas jejak kaki manusia. " ucap Loh Gatra. Untuk memastikan
dia berjongkok dan memperhatikan lebih seksama. Ketika Loh Gatra bergerak bangkit dilihatnya
Anggini melangkah ke balik salah satu batu besar lalu terdengar Si gadis memanggil.

Di balik dua batu besar, tepat di sebelah tengah terdapat sebuah batu lagi. Tinggi dan besar
melebar. Keduanya segera hendak melangkah ke balik batu. Tapi gerakan mereka tertahan
ketika di kejauhan terdengar suara suitan panjang dari arah timur. Sesaat kemudian ada suitan
lain dari sebelah selaian.

"Ada orang memberi tanda dengan suitan," kata Anggini, "Mungkin orang-orang Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian. Mereka sudah mengetahui kedatangan kita…."

"Kita harus tambah hati-hati," ucap Loh Gatra. Dipegangnya lengan Anggini dan mengajak gadis
ini meneruskan langkah ke balik batu besar. Di balik batu besar terdapat satu pedataran sempit.
Di Sini lebih jelas kelihatan tanda-tanda atau jejak orang pernah berada di tempat itu. Di salah
satu SiSi pedataran yang merupakan dinding batu terdapat sebuah mulut goa dengan tinggi
melebihi kepala manusia. Kedua orang itu sesaat saling pandang. Dengan dada berdebar
mereka bergerak mendekati mulut goa. Memperhatikan ke dalam walau hanya melihat
remang-remang, tampak satu lorong panjang. Dikiri kanan menjelang ujung lorong kelihatan
banyak sekali terowongan atau cabang lorong.

"Seratus Tiga Belas Lorong Kematian," ucap Anggini dengan suara bergetar. "Mulut goa ini pasti
pintu masuknya. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Aku akan segera masuk. Istriku disekap di dalam sana!" Jawab Anggini.

"Tunggu dulu," kata Anggini sambil memegang bahu lelaki itu.

Loh Gatra menoleh. "Kau tampak ragu. Mungkin juga takut Kalau kau memang takut tunggu
saja di Sini. Biar aku sendm yang masuk ke dalam."

Anggini menggeleng. "Guruku juga ada di dalam sana. Aku harus menolongnya. Berarti aku
harus masuk ke dalam lorong. Tapi satu hal harus diingat Akal dan kehati-hatian adalah jalan
utama bagi keselamatan. Kalau salah bertindak kita tidak akan berhaSil menyelamatkan istrimu
dan guruku! Malah kita bisa diringkus hidup-hidup atau mati konyol percuma!"

"Kalau kita cuma bicara, kapan kita akan menolong istriku dan gurumu?!" ucap Loh Gatra pula.

"Kau ingat ucapan orang tentang lorong celaka ini? Sekali masuk ke dalam Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian jangan harap bisa keluar"

"Aku lebih suka mati di dalam lorong celaka itu daripada tidak berbuat apa-apa."
"Kau ingat ucapan nenek sakti Sinto Gendeng? ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang
masuk tak ada lobang keluar Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk
ada lobang keluar."

"Nenek sakti itu hanya memberi kita teka-teki. Bukan pertolongan."

Anggini tersenyum. Dia melangkah menjauhi mulut goa batu, mendongak ke langit.

"Anggini, melihat tingkah lakumu aku jadi tidak sabaran. Kita seharusnya segera masuk ke
dalam lorong. Kau malah melihat ke langit! Apa yang kau cari di sana? Istriku dan gurumu ada di
dalam lorong!"

"Tenang, sabar sebentar" jawab Anggini. Saat itu jauh di atas bukit batu tampak melayang dua
ekor burung. Tepat ketika dua burung berada di atas mereka, Anggini angkat dua tangannya ke
atas. Lalu secepat kilat dua tangan itu membuat gerakan membetot ke bawah. Apa yang terjadi
menyebabkan Loh Gatra terkagum-kagum.

Seperti ditarik ke bawah, dua ekor burung yang sedang terbang di udara melayang turun dan
sesaat kemudian telah berada dalam pegangan tangan kiri kanan Anggini.

"Luar biasa! Baru sekali ini aku melihat kepandaian seperti itu. Di tanah Jawa ini kurasa tak ada
orang lain yang memiliki ilmu seperti ini. Bahkan gurumu Dewa Tuak hanya bisa melakukan hal
itu jika dia menggunakan peralatan saktinya yaitu benang sutera putih."

"Ah, ini hanya permainan anak-anak," jawab Anggini merendah. "Tidak sangka kau tahu banyak
tentang guruku…"

"Kau hebat sekali." Memuji Loh Gatra.

"Jangan memuji. Aku hanya kebagian rejeki besar dipercaya dan diberi ilmu oleh seorang kakek
sakti di Pulau Andalas," Anggini memberi tahu. Dia memang mendapatkan ilmu kepandaian itu
dari Nyanyuk Amber, kakek sakti yang tinggal di Danau Maninjau.

"Mau kau apakan dua ekor burung itu?" tanya Loh Gatra. "Mau dipanggang?"

"Mereka bisa menolong kita mencari jaian di dalam lorong."

"Cerdik sekali!" kembali Loh Gatra memuji. "Tapi asal kau tahu saja. Seekor burung akan selalu
terbang ke arah yang lebih terang, ke tempat terbuka."

"Kita harus menjaga agar mereka jangan sampai terbang ke arah mulut goa. Itu sebabnya aku
menangkap dua ekor sekaligus. Jika yang satu sudah terbang ke dalam, temannya pasti
mengikuti…" Habis berkata begitu Anggini lalu melompat masuk kedalam goa batu. Burung di
tangan kanan dilepas lebih dulu. Binatang ini sesaat terbang berputar lalu melayang membalik
ke arah mulut goa. Cepat-cepat Anggini menguSirnya hingga sang burung terpaksa berbalik
terbang ke dalam lorong. Setelah itu baru Anggini melepaskan burung di tangan kiri. Burung ini
melesat ke dalam terowongan mengikuti temannnya yang telah terbang lebih dulu. Anggini
memberi tanda. Lalu lari mengikuti arah terbang dua ekor burung. Loh Gatra menyusul walau
hati kecilnya merasa ragu apakah dua binatang itu benar-benar mampu memandu mereka
masuk ke dalam markas Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.

NYI LARASATI masih tergolek di atas tempat tidur tanpa sehelai kainpun menutupi auratnya
ketika Wakil Ketua Barisan Manusia pocong datang menyampaikan laporan. Yang Mulia Ketua
cepat mengenakan jubah dan kain penutup kepala lalu menemui wakilnya itu didepan tirai
besar tipis.

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!"

"Wakil Ketua. Kau menganggu saat aku bersenangsenang. Bagaimana penyelidikanmu? Kau
temukan caping dan kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu?"

Wakil Ketua membungkuk dalam.

"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Hukuman apapun akan saya terima. Saya dan anak buah
telah berusaha keras mencari. Namun caping dan kaleng rombeng itu tidak ditemukan. Besar
kemungkinan sudah ditemui lebih dulu oleh orang lain dan diambil."

"Menurutmu, apa perlunya caping butut dan kaleng rombeng itu bagi orang lain?" ucap Yang
Mulia Ketua dengan mata melotot beringas dan nada suara tinggi.

"Saya menduga yang menemukan adalah orang yang kenal dengan Kakek Segala Tahu…"

Di balik kain putih penutup kepala rahang Sang Ketua menggembung menahan luapan amarah.

"Aku sedang bersenang-senang, kau datang mengganggu. Membawa laporan sangat tidak
menyenangkan! Apa yang sekarang ada dibenak tololmu?!"

"Yang Mulia Ketua. Kalau benda itu ditemukan oleh orang yang kenal Kakek Segala Tahu, berarti
ada tokoh rimba persilatan lain yang akan mendatangi tempat ini."

"Kalau begitu mengapa kau dan anak buahmu tidak segera menyelidik dan menangkap
mereka?"
"Segera akan saya lakukan Yang Mulia" Jawab Wakil Ketua. Lalu menyambung ucapannya.
"Seorang Satria Pocong melapor. Dia bersama kawannya melihat dua penyusup masuk ke
dalam mulut lorong dari arah kawasan bukit batu."

"Begitu? Apa sudah diketahui Siapa mereka?"

tanya Yang Mulia Ketua

"Yang lelaki adalah Loh Gatra, suami Nyi Larasati.."

"Ha…ha…! Sayang dia datang terlambat Tidak sempat menyaksikan bagaimana barusan aku
bersenang-senang dengan istrinya!"

Sepasang mata Wakil Ketua melirik ke arah tirai tipis pemisah ruangan seolah mau menembus
ke ruangan di balik sana

"Siapa penyusup kedua?" Yang Mulia Ketua bertanya.

"Seorang gadis bernama Anggini."

"Bagus! Dia adalah satu dari tiga gadis cantik yang harus kau tangkap hidup-hidup! Tawanan
kita mulai berdatangan Dengar Wakil Ketua! Gadis ini sangat penting artinya bagiku! Bukan saja
karena dia cantik. Tapi dia adalah juga murid Dewa Tuak dan sekaligus kekaSih Pendekar Dua
Satu Dua Wiro Sableng! Setahuku beberapa waktu lalu dia menuntut ilmu kesaktian di Pulau
Andalas. Begitu kau berhaSil meringkusnya segera bawa ke hadapanku!"

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!" Ucap Wakil Ketua. Lalu sebelum pergi dia bertanya. "Bagaimana dengan lelaki
bernama Loh Gatra?. Saat ini kita kekurangan orang. Hanya tinggal satria pocong."

"Ilmunya tidak seberapa tinggi. Nasibnya buruk! Bunuh saja!’ jawab Yang Mulia Ketua.

‘Saya Siap melakukan perintah Yang Mulia."

"Bawa serta Yang Mulia Sri Paduka Ratu."

"Akan saya laksanakan," jawab Wakil Ketua sambil membungkuk dan matanya lagi-lagi melirik
ke arah tirai tipis.

"Ada sesuatu yang ingin kau lihat di balik tirai ini?" Yang Mulia Ketua bertanya. Anak kesal
dengan Sikap wakilnya itu.

"Maafkan saya Yang Mulia."


“Nyi Larasati, istri Loh Gatra ada di tempat ketiduranku. Apakah kau berminat?"

Wakil Ketua tersenyum lalu menggeleng.

"TerimakaSih Yang Mulia Ketua. Saya mohon diri untuk melaksanakan perintah."

"Tunggu dulu. Siapa perempuan hamil yang akan kita ambil darah bayinya untuk mengusap
ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu beberapa hari dimuka?’

"Nyi Upti, puteri mendiang Ki Mantep Jalawardu Kepala Desa Plaosan ‘ Menerangkan Wakil
Ketua.

‘Seingatku, kehamilannya belum mencapai sembilan bulan."

‘Betul sekali Yang Mulia Ketua. Tidak ada perempuan lain yang usia kandungannya setua dia.
Lagi pula kita punya cara untuk mempercepat kelahiran bayinya’

"Bagus. Kalau begitu kau boleh pergi."

Wakil Ketua Barisan Manusia pocong menjura lalu tinggalkan kamar itu.

***

Kembali kepada Loh Gatra dan Anggini yang memasuki 113 Lorong Kematian dengan
mengandalkan panduan dua ekor burung. Setelah terbang sejauh lima puluh langkah di dalam
lorong batu. dua ekor burung berputar-putar seperti bingung karena di kiri kanan terdapat
banyak cabang lorong. Saat itu mereka baru memasuki dan berada di lorong pertama. Anggini
dan Loh Gatra berjagajaga agar kedua binatang itu tidak kembali terbang ke arah mulut goa.
Setelah berputar terus sampai enam kali. salah seekor burung melesat memasuki cabang lorong
ke lima sebelah kanan. Burung kedua mengikuti. Anggini memberi tanda pada Loh Gatra.
Keduanya lari ke arah cabang lorong yang dimasuki dua ekor burung.

Sejarak dua puluh langkah dari tikungan cabang lorong tiba-tiba terdengar suara benda
berdesing. Disusul suara kelepakan sayap disertai pekik denyit binatang. Lalu blaakk blaakk!

Loh Gatra dan Anggini terkejut, sama hentikan lari.

Di depan mereka, di lantai cabang lorong batu ke 5, dua ekor burung yang dijadikan sebagai
pemandu tergeletak mati. Masing-masing kepala ditancapi sebuah bendera berbentuk segi tiga,
berwarna merah basah!

"Bendera Darah" biSik Loh Gatra.


"Perangkat maut Manusia pocong." ucap Anggini sambil memandang waspada seputar lorong
temaram.

"Sebelum istriku diculik, bendera seperti ini menancap di pintu rumahku. Wiro juga pernah
dibokong dengan benda ini," balas berucap Loh Gatra.

"Betttt"

Satu bayangan putih berkelebat muncul dari tikungan lorong. Manusia pocong! Mahluk ini
berdiri sekitar tujuh langkah di depan Loh Gatra dan Anggini.

Sepasang mata di balik kain putih penutup kepala memandang tak berkesip. Dua tangan
terkembang ke samping. Salah satu kaki berada di depan kaki lainnya. Jelas ini merupakan satu
kuda-kuda menutup jalan yang setiap saat bisa berubah menjadi gerak penyerangan.

Loh Gatra dan Anggini merasa ada sambaran angin di sebelah belakang. Keduanya cepat
berpaling. Seorang manusia pocong lagi sudah berada di belakang mereka. Heran, dari cabang
lorong sebelah mana munculnya mahluk satu ini hingga tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
Perawakan tinggi besar, dua tangan dirangkap di atas dada sementara dua mata memancarkan
kilatan menggidikkan. Dari penampilan Manusia pocong ini baik Loh Gatra maupun Anggini
segera memaklumi kalau dia memiliki tingkat jabatan serta kepandaian melebihi dari Manusia
pocong pertama. Mungkin sekali dia adalah pimpinan dari Barisan Manusia pocong 113 Lorong
Kematian.

"Bangsat penculikl Dimana istriku?!" Loh Gatra tiba-tiba keluarkan bentakan keras hingga
suaranya menggelegar di Seantero lorong batu.

"Ha..ha….Jadi kau rupanya manusia yang kehilangan istri." Manusia pocong yang berdiri sambil
rangkapkan tangan di atas dada keluarkan ucapan. Lalu leletkan lidah, keluarkan suara
berdecak. Dia bukan lain adalah Wakil Ketua Barisan Manusia pocong. "Bukankah kau
manusianya yang bernama Loh Gatra?"

Loh Gatra kaget orang tahu Siapa dirinya.

"Hantu keparat! Iblis jahanam! Dengar! Siapapun kau adanya katakan cepat dimana istriku!
Kalau dia sampai cidera aku…"

Wakil Ketua Manusia pocong potong bentakan Loh Gatra dengan hamburan tawa bergelak.
Anggini yang sudah tidak sabaran berteriak keras.

"Kalian menculik guruku!"


Gadis cantik ini langsung menerjang dan lancarkan serangan tangan kosong dahsyat dalam
jurus bernama Memagut Naga Membungkam Matahari. Saat itu Anggini bukan saja ingin
membungkam gelak tawa sang Wakil Ketua, tapi sekaligus ingin memecahkan kepalanya.

Orang yang diserang cepat bersurut mundur sambil dua tangan bergerak mengebutkan lengan
jubah. Dua gelombang angin dahsyat menderu. membuat pukulan Anggini terpental ke
samping, menghantam dinding batu.

"Braakkk!"

Dinding lorong yang tebal keras hancur berhamburan. Sebuah lobang terpampang di dinding
batu.

Wakil Ketua keluarkan suara berdecak, leletkan lidah lalu berkata. ‘Gadis galak! Kalu saja Yang
Mulia Ketua tidak menyuruh aku meringkusmu hidup-hidup dan membawamu ke hadapannya,
sudah tadi-tadi aku ingin menangkap dan membawamu ke kamarku sendiri! Kami orang-orang
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tahu kau adalah kekaSih Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng. Kami punya dendam kesumat setinggi langit sedalam lautan terhadap manusia satu
itu!"

"Aha! Semakin jelas kepengecutan kalian!" ucap Anggini keras. "Bukan cuma berani terhadap
perempuan-perempuan hamil tidak punya daya! Sekarang malah pergunakan Siasat licik. Tidak
berani menghadapi Wiro Sableng secara langsung, pergunakan diriku sebagai umpan! Bukan
begitu?! Mahluk setan! Buktikan kalau kau memang punya kemampuan meringkus diriku!"

Wakil Ketua Barisan Manusia pocong menggembor marah. Dia bergerak maju dengan dua
tangan terpentang Anggini mendahului. Tangan kanannya bergerak cepat. Mendadak sontak
tiga buah benda melesat di dalam lorong temaram, memancarkan cahaya berkilat. Sang Wakil
Ketua yang tidak mengira akan mendapat serangan mendadak keluarkan seruan keras dan
cepat-cepat menghindar ke samping.

“Brettt”

Dua benda berkilat yang melesat di udara menghantam dinding batu, tembus amblas tak
kelihatan lagi. Asap kelabu mengepul dari dua lobang tempat benda-benda tadi menancap.

Benda berkilat ke tiga berhaSil merobek bahu kiri jubah putih Wakil Ketua dan menyerempet
daging bahunya. Walau tidak parah tapi luka yang dideritanya cukup sakit serta rasa geram
amat sangat.

"Gadis edan Sialan!" maki Wakil Ketua. Sepasang mata berkilat merah memandang ke arah
Anggini lalu melirik ke lantai. Di Situ tergeletak benda yang tadi menyerempet bahunya. Benda
itu ternyata adalah sebuah paku terbuat dari perak murni. Itulah senjata rahasia pemberian
Dewa Tuak yang dalam rimba persilatan terkenal dengan sebutan Paku Perak Pemburu Nyawa.
Dalam sakit dan geram sesaat Sang Wakil Ketua juga tercekat pula.

"Mau lagi?" ucap Anggini mengejek. Tangannya bergerak membuka ikatan selendang ungu di
pinggang. Di dalam rimba perSilatan, selendang ungu yang terbuat dari sutera ini merupakan
salah satu senjata hebat dan langka yang ditakuti lawan.

Wakil Ketua Manusia pocong memaki dalam hati lalu berkata. "Gadis galak! Saatmu sudah tiba"

Sementara itu di bagian lorong yang lain Loh Gatra bertempur hebat dengan Satria Pocong yang
tadi muncul bersama Wakil Ketua. Loh Gatra sangat bernafsu ingin cepat-cepat membunuh
mahluk ini. Ternyata tingkat kepandaian Si Manusia pocong tidak berada di bawahnya.
Menempur hampir lima jurus Loh Gatra memang mampu menghajar dada lawan dengan satu
jotosan keras. Namun yang dihantam hanya meliuk sedikit lalu menerjang kirimkan serangan
balasan cepat dan ganas. Membuat Loh Gatra terdesak ke sudut lorong batu.

"Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Apa yang kau tunggu?!" Pada saat Anggini Siap menyerangnya
dengan selendang ungu Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian tiba-tiba
berseru lantang.

Baik Anggini maupun Loh Gatra sama-sama merasa heran mendengar teriakan Manusia pocong
itu. Siapa yang dimaksudkan dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu? Apakah pimpinan mereka?
Tetapi teriakan tadi mengapa bernada perintah? Apakah Manusia pocong satu ini lebih tinggi
kedudukannya dari yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sri Paduka Ratu? Ternyata 113
Lorong Kematian bukan saja penuh dengan maut tapi juga menyimpan keanehan!

Loh Gatra dan Anggini tidak menunggu lama. Di dalam lorong tiba-tiba ada orang bernyanyi
Aneh. Suaranya merdu, memelas. Tapi syair nyanyian membuat bulu tengkuk bergidik. Selain
itu, suara nyanyian menyebabkan Seantero lorong bergetar. Di lantai batu terasa ada hawa
aneh menjalar, masuk ke dalam tubuh Loh Gatra dan Anggini lewat dua kaki Membuat tubuh
keduanya bergetar ngilu. Loh Gatra dan Anggini cepat kerahkan tenaga datam.

Kematian datang tidak disangka

Di dalam bukit batu

Ada seratus tiga beias lorong

Siapa masuk akan tersesat Tidak ada jalan keluar

Sampai kematian datang menjemput

Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa

Inilah tempat teraman bagi mahluk tidak berdosa

Bendera Darah lambang kematian

Tiada daya menentang ajal

Darah suci bayi yang dilahirkan

Pembawa kehadiran Nyawa Kedua

Sambungan hidup insan tak bernyawa

Di dalam lorong ada kesepian

Di dalam kesepian ada kehidupan

Di dalam lorong ada kesunyian

Di dalam kesunyian ada kematian

Manusia pocong yang menggempur Loh Gatra mendadak hentikan serangan dan tegak diam,
bersandar di dinding lorong batu. Sang Wakil Ketua bertindak mundur menjauhi Anggini yang
Siap menyerang dengan selendang ungu. Di lantai tibatiba ada getaran-getaran. Mula-mula
halus, antara terasa dan tidak. Makin lama makin keras dan pada puncaknya lorong ke 5 itu
seperti digoyang gempa. Saat itulah muncul satu sosok manusia pocong, tinggi semampai. Kain
jubah maupun kain putih penutup kepalanya terbuat dari bahan yang bagus lembut dan
berkilat. Pada kain penutup kepala yang berbentuk pocong itu menempel sebuah mahkota kecil
berwarna hijau memancarkan Sinar benderang. Di sebelah belakang, di bagian bawah kain
putih penutup kepala menjulai rambut hitam sampai ke pinggang. Sosok Manusia pocong satu
ini menabur bau harum kayu seperti kayu cendana.

"Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Inikah mahluknya? Diakah yang barusan menyanyi?" Anggini
bertanyatanya dalam hati.

Manusia pocong bermahkota hijau melangkah melewati Satria Pocong yang tadi bertempur
melawan Loh Gatra. Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan suara getaran hebat di lantai
terowongan.

"Luar biasa, belum pernah aku menemui mahluk seperti ini. Yang memiliki kekuatan tenaga
dalam seperti gunung berjalan!" Kembali Anggini membatin.
Lima langkah di hadapan murid Dewa Tuak, Manusia pocong bermahkota berhenti. Anggini
memperhatikan. "Aneh," kata murid Dewa Tuak dalam hati. "Sepasang mata mahluk ini tampak
bagus. Tapi mengapa redup tanpa cahaya sama sekali? Seorang memiliki tenaga dalam sehebat
dia seharusnya memiliki mata yang memancarkan Sinar kekuatan luar biasa. Matanya redup.
Tapi mengapa hatiku berdebar memandangnya? Tengkukku bergidik…."

Manusia pocong yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu berpaling pada Satria Pocong yang
tadi berkelahi melawan Loh Gatra. Lalu alihkan pandangan pada Wakil Ketua. Di lain saat dari
mulutnya keluar suara tawa memanjang.

"Yang Mulia Sri Paduka Ratu!" Wakil Ketua Barisan Manusia pocong 113 Lorong Kematian
menegur heran. "Ada apa kau tertawa seperti ini?!"

"Hanya dua mahluk tak berguna seperti ini kalian tidak sanggup menghadapi! Kalian hanya
membuat aku membuang-buang waktu saja!" Habis berkata begitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu
putar tubuhnya.

"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, jangan pergi dulu!" Wakil Ketua mengingatkan.

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan!" menjawab Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Lalu dia
melangkah ke arah datangnya semula. Setelah melewati Loh Gatra yang tegak masih dalam
keadaan tercekat, mahluk ini pergunakan tangan kiri untuk menanggalkan kain putih penutup
kepalanya.

"Ah. sayang sudah lewat. Aku tidak dapat melihat wajahnya," kata Loh Gatra dalam hati.

Saat itu Anggini juga ingin sekali melihat wajah Sang Ratu. Namun dia berada lebih jauh di
sebelah belakang.

Walau melangkah perlahan tetap saja dua kakinya membuat lantai terowongan ke 5 itu
bergetar hebat. Rambut hitam panjang sepinggang beralur-alur bagus mengikuti gerakan
langkah dan goyangan pinggul.

Tiba-tiba Yang Mulia Sri Paduka Ratu goyangkan kepala.

"Bettti"

Terjadilah satu hal luar biasa.

Rambut panjang hitam sepinggang melesat ke udara.

Kepala Loh Gatra terbanting ke belakang. Tubuhnya langsung roboh dan tergelimpang tak
berkutik di lantai batu lorong 5. Dua mata melotot besar. Wajah mulai dari kening sampai ke
dagu seolah terbelah dihantam golok besar. Darah meleleh kemana-manal Lelaki malang ini
menemui ajal tanpa tahu apa sebenarnya yang membunuh dirinya!

"Loh Gatra!" Pekik Anggini begitu melihat apa yang terjadi. Gadis ini melompat namun di depan
sana sekali Yang Mulia Sri Paduka Ratu goyangkan kepala. Kembali rambut hitam sepinggang
melesat dan desssl

Ujung rambut mendarat tepat di urat besar jalan darah pada pangkal leher Anggini. Serta merta
gadis Ini tertegun kaku. Tak mampu bergerak, tak bisa bersuara. Bibirnya kelihatan membiru.

Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali umbar tawa panjang lalu melangkah pergi tinggalkan
lorong 5.

Wakil Ketua cepat mendekati Anggini. Pada bawahannya dia berkata. "Lekas Singkirkan mayat
itu. Lempar ke dalam jurang. Aku akan membawa gadis ini dan menyerahkan pada Yang Mulia
Ketua!"

Yang diberi perintah membungkuk hormat lalu panggul mayat Loh Gatra dan tinggalkan tempat
tersebut Untuk beberapa saat lamanya Wakil Ketua berdiri pandangi wajah dan tubuh bagus
Anggini Sambil mengusap bibir Si gadis yang berwarna biru hatinya berkata. "Kalau kubawa
barang sebentar ke kamarku, Yang Mulia Ketua pasti tidak akan tahu. Kekasihnya musuh
besarku! Saat yang tepat untuk membalas dendam dengan terlebih dulu melampiaskan nafsu
menodai orang yang dikasihinya! Sekail ini aku tidak mau kebagian Sisa terus-terusan!"

DI balik kain putih penutup kepala. Wakil Ketua menyeringai. Dia usap lagi bibir Si gadis.
Membelai pipi, mengusap wajah. Lalu memanggulnya di bahu kiri. Ketika hendak melangkah
tiba-tiba di ujung lorong sana terdengar suara menggaung keras.

"Wakil Ketua, jangan ada pikiran kotor di benakmu! Jangan ada hasrat mesum dalam hatimu!
Aku penghuni Rumah Tanpa Dosa! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan.
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"

Sang Wakil Ketua jadi tercekat dan hentikan langkah.

"Luar biasa sekali. Kini dia bahkan mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati orangl Aku
kawatir ketinggian ilmunya bisa-bisa menjadi senjata makan tuan. Mungkin aku perlu bicara
dengan Yang Mulia Ketua. Ratu keparat! Kau menghalangi diriku melampiaskan hasrat!
Mungkin dirimu yang harus aku gauli lebih dulu!" Wakil Ketua pandangi lagi

wajah cantik Anggini. Setelah menarik nafas dalam sesaat kemudian baru dia tinggalkan lorong
5 itu.

6
Dalam Episode sebelumnya (Pernikahan Dengan Mayat) diceritakan bagaimana Bidadari Angin
Timur berhasil mempengaruhi perasaan Anggini. Gadis cantik rimba persilatan berambut pirang
ini memberi tahu kepada Anggini bahwa dara hitam manis bernama Wulan Srindi telah
mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Juga menyatakan bahwasa dirinya telah dijodohkan
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Bagi Anggini, seperti yang dikatakannya terus terang pada Wiro. walau hatinya tersenyuh perih
dan kemudian ada seberkas penyesalan, dia tidak pernah lagi memikirkan soal rencana
perjodohannya dengan pemuda itu. Karena selama ini tidak pernah ada kejelasan, kelanjutan
apalagi keputusan. Namun yang membuat Anggini seolah jadi terbakar darahnya ialah
pengakuan Wulan Srindi kalau dirinya adalah murid Dewa Tuak. Ketika Anggini menanyakan hal
itu langsung kepada Wulan Srindi, antara kedua gadis itu terjadi perang mulut yang menjurus
pada perselisihan besar. Walau Anggini menyatakan tidak memikirkan soal perjodohan dengan
Wiro, sebagai seorang manusia betapapun rasa cemburu ikut membakar perasaannya.
Bagaimanapun juga Pendekar 212 Wiro Sableng adalah pemuda pertama dalam kehidupannya.

Panas hati akibat perbuatan Bidadari Angin Timur, Pendekar 212 Wiro Sableng secara bergurau
memberi tahu Anggini kalau Jatilandak, pemuda berkepala botak dan berkulit kuning itu adalah
kekasih Bidadari Angin Timur. Tentu saja Anggini terheran-heran. Sebelum sempat Anggini
mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi antara Bidadari Angin Timur dengan Wiro dan
Jatilandak, gadis berambut pirang itu melompat ke atas kuda milik Anggini, menghambur pergi.
Jatilandak akhirnya tinggalkan pula tempat itu, berusaha mengejar Bidadari Angin Timur.

Sementara itu Loh Gatra yang istrinya jadi korban penculikan oleh komplotan manusia pocong
dan tidak mau ikut terlibat dengan segala macam perseliSihan segera pula tinggalkan tempat
tersebut. Dia ingin cepat-cepat menembus masuk kedaiam 113 Lorong Kematian. Begitu
Anggini tahu kemana pemuda itu hendak pergi, murid Dewa Tuak ini langsung bergabung
mengikuti lelaki itu. Wiro berusaha mencegah karena dia tahu bahaya besar yang ada di lorong
angker itu. Namun tak berhaSil.

Ditinggal berdua, Wiro dan Wulan Srindi akhirnya memutuskan untuk segera pula berangkat
menuju 113 Lorong Kematian. Sebelumnya Wulan Srindi telah pernah diculik dan disekap di
markas Barisan Manusia pocong. Karenanya bersama Wiro dia mampu bergerak cepat ke arah
tujuan.

Pagi hari kedua orang itu sampai di satu rimba belantara. Wulan Srindi ingat dan berkata pada
Wiro. "Waktu aku disekap di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, aku berhaSil
memperdaya seorang Manusia pocong. Rayuanku membuat dia mau membawa aku keluar
lorong maut. Aku dilarikan ke dalam rimba belantara ini. Di sebelah sana ada sebuah pondok.
Aku dibawa ke pondok itu. Ketika Manusia pocong hendak merusak kehormatanku muncul
Dewa Tuak…."

"Jadi begitu pangkal cerita pertama kali kau bertemu dengan kakek sakti itu."
Wulan Srindi anggukkan kepala.

Wiro memandang ke langit. Lalu bertanya. "Bukit batu dimana markas Manusia pocong itu
berada, apakah masih jauh dari Sini?"

Wulan Srindi menuju ke arah depan, agak miring ke kiri. "Selepas rimba belantara ini ada satu
lembah batu, membujur dari barat ke timur. Bukit dimana markas Manusia pocong berada,
terletak di seberang lembah batu."

"Pondok di dalam rimba, aku ingin melihatnya. Antarkan aku kesana."

Wulan Srindi agak heran mendengar ucapan Wiro. "Perlu apa kau ingin melihat pondok itu?"

"Hanya sekedar ingin tahu." jawab Wiro. "Kau duluan, aku mengikut dari belakang."

Dengan hati bertanya-tanya Wulan Srindi masuk ke dalam rimba belantara. Tak lama kemudian,
di balik sederetan pohon besar tampak sebuah pondok kayu tanpa pintu. Salah satu dindingnya
terlihat jebol.

"Itu pondok yang aku ceritakan padamu," menerangkan Wulan Srindi.

Begitu sampai di pondok. Wulan Srindi langsung mau masuk ke dalam. Wiro sendiri berhenti
beberapa langkah di depan pintu pondok. Ada satu benda menarik perhatiannya. Pendekar ini
membungkuk mengambil benda tersebut yang ternyata adalah sebuah bumbung terbuat dari
bambu yang remuk ujungnya dan retak salah satu sisinya Wiro dekatkan ujung bumbung ke
hidungnya. Walau agak samar dia masih bisa mencium bau sesuatu. Bau tuak.

Perlahan-lahan murid Sinto Gendeng itu alihkan pandangannya pada Wulan Srindi yang tegak di
depan pintu pondok.

"Kau tidak berdusta," ucap Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Maksudmu?" tanya Wulan Srindi.

"Bumbung bambu ini milik Dewa Tuak."

"Dia punya dua bumbung bambu. Dengan bumbung satu itu dia menghantam kepala Manusia
pocong yang hendak menggagahiku. Anehnya mayat Manusia pocong itu tidak ada di Sini. Kalau
masih ada pasti sudah membusuk."

Sambil memandang berkeliling Wiro berkata. Orang-orang dari lorong kematian pasti sudah
menyingkirkan mayat itu." Wiro memandang ke langit lalu menatap ke arah Wulan Srindi.
"Setelah Dewa Tuak menolongmu, apa yang terjadi? Apa yang dilakukannya?"
"Hai! Aku tahu sekarang. Kau sengaja minta diantar kesini untuk mencari bukti babwa Dewa
Tuak memang pernah kesini. Bahwa semua kejadian yang aku ceritakan tidak bohong!" ‘

"Tadipun sudah aku katakan kau tidak berdusta." jawab Wiro sambit tersenyum. "Wulan, kau
belum menjawab pertanyaanku."

"Ah, Ku pertama kali kau menyebut namaku. Aku suka sekali." Ucap Wulan Srindi. "Aku yakin
Dewa Tuak masuk ke dalam lorong kematian. Aku berusaha menunggu di bebukitan. Lama
sekali. Dia tidak kunjung muncul. Aku kawatir manusiamanusia pocong itu telah meringkusnya."

"Dewa Tuak satu dan beberapa tokoh rimba persilatan yang tingkat kepandaiannya sulit
dijajaki. Tidak mudah untuk mengalahkan apa lagi meringkusnya." Wiro diam sejenak. Wulan
Srindi bertanya-tanya dalam hati apa yang kini ada di benak sang pendekar. Kemudian
didengarnya Wiro berkata. "Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin dalam waktu perkenalan
sesingkat itu Dewa Tuak mengangkatmu sebagai murid."

"Aku juga tidak mengerti," jawab Wulan Srindi cerdik. "Yang jelas aku berhutang budi dan
berhutang nyawa serta kehormatan pada kakek itu. Aku tahu dia akan masuk ke dalam Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian. Aku minta ikut bersamanya."

"Mengapa kau mau ikut masuk ke dalam lorong maut?"

"Aku punya dendam kesumat terhadap manusiamanusia pocong itu. Mereka membunuh guru
dan saudara seperguruanku. Selain itu aku ingin berbakti pada Si kakek…."

"Maksudmu kau minta dijadikan murid?"

Wulan Srindi tidak mau terpancing.

"Menjadi murid tidak selalu berarti harus lebih dulu menerima segala macam pelajaran. Saat itu
aku tidak melihat cara lain.."

"Katakan saja, apakah Dewa Tuak benar mengangkatmu sebagai murid?"

"Mana mungkin dia bicara terang-terangan. Si kakek maklum pasti urusan bisa jadi rincu karena
dia sudah punya murid. Aku tahu dia suka padaku. Dia berlaku bijaksana. Katanya nanti dia akan
datang ke Gunung Lawu ke tempat kediamanku. Untuk apa kalau bukan mau memberikan
ilmu?"

"Kakek itu juga mengatakan bahwa kau adalah calon jodohku?"

"Ah, soal yang itu…" Wulan Srindi tersenyum, sembunyikan rasa kagetnya. Dia lalu menjawab
secara cerdik. "Dewa Tuak menyuruh aku mencarimu. Perlu apa dia sengaja berbuat begitu
kalau bukan ingin mempertemukan kita berdua?"
"Pertemuan bukan berarti perjodohan." ucap Wiro agak kesal.

"Dengar Wiro. Dewa Tuak bukan orang kolot yang asal menjodohkan orang tanpa keduanya
kenal lebih dulu. Setelah terjadi perjodohan bisa saja orang-orang yang dijodohkan itu tidak
perlu ketemuketemu. Buktinya seperti kejadian antara kau dengan gadis bernama Anggini itu.
Ihh, sombongnya dia. Juga gadis berambut pirang yang aku dengar bernama Bidadari Angin
Timur itu. Uallah. Sepertinya semua pemuda gagah di dunia ini miliknya. Termasuk dirimu!
Apakah dua gadis itu memang kekasihmu? Bagaimana kau bisa bedaku adil membagi cinta dan
tidak ada saling cemburu diantara mereka. Malah keduanya cemburu padaku!" Wulan Srindi
tertawa panjang. Habis tertawa dia bertanya. "Hai, kalau kau nanti kawin, apakah sekaligus
akan memperistrikan kedua gadis itu?"

Wiro melengak lalu garuk-garuk kepala. Wajahnya agak bersemu merah.

"Aku tidak bercinta dengan mereka."

"Oo la lal Begitu? Betulkah?" Gadis hitam manis ini kembali tertawa. "Kau tidak menjawab, tapi
menggaruk kepala. Bingung ya?"

Wiro bertolak pinggang. "Gadis satu ini benarbenar centil." katanya dalam hati. Tangan
kanannya menyentuh secarik kain di pinggang. Kain itu adalah sapu tangan pemberian Wulan
Srindi ketika bibirnya luka akibat tamparan Sinto Gendeng. (Baca Episode "Pernikahan Dengan
Mayat") Wiro menarik sapu tangan itu dari pinggangnya, maksudnya hendak dikembalikan
pada Wulan Srindi Tapi Si gadis menolak.

"Kau marah padaku. Lalu mau mengembalikan sapu tangan yang memang tidak ada harganya
itu. Simpan saja. Mungkin ada gunanya. Paling tidak untuk menyeka keringat Kalau kau tidak
suka buang saja."

Wiro garuk kepala lalu SiSipkan kembali sapu tangan ke pinggangnya.

"Aku tahu…." ucap Wulan Srindi.

“Tahu apa?"

"Dua gadis itu. Mereka cantik-cantik. Aku saja yang perempuan sebenarnya suka pada mereka.
Apa lagi yang namanya laki-laki. Malah pada yang berambut pirang aku berhutang budi besar
sekali. Dia yang menyelamatkan diriku sewaktu hendak diperkosa oleh seorang manusia bejat
bernama Warok Jangkrik. Dia sendiri kemudian ditotok dan dilarikan oleh seorang lelaki tinggi
besar berjubah dan beri lup kepala kain putih."

"Manusia pocong?"
"Hampir sama. Tapi dandannya agak lain. Mungkin yang aku lihat itu pemimpin mereka. Gadis
itu sekarang sudah selamat. Hanya saja aku tidak tahu Siapa dan bagaimana ceritanya dia bisa
selamat…"

"Waktu pertemuan malam itu. kau melihat seorang pemuda berkepala botak berkulit serba
kuning?" ujar Wiro.

Wulan Srindi anggukkan kepala.

"Kurasa dia yang menolong Bidadari Angin Timur."

"Aku melihat waktu itu, kau cemburu pada Si kuning itu. Betul? Kau juga tampak terpukul
sewaktu Si pirang pergi diikuti pemuda botak berkulit kuning itu."

Wiro tidak menyangka kalau Wulan Srindi begitu memperhatikan semua kejadian malam itu.
Dia hanya bisa tersenyum dan garuk-garuk kepala.

"Aku tidak yakin, gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur itu adalah pasangan
yang cocok bagimu."

"Hemm..Kau berkata begitu karena merasa Dewa Tuak ingin menjodohkanmu dengan diriku?
Kau cemburu."

Wulan Srindi cemberut. Tapi Ini hanya satu kepura-puraan belaka. "Jelas aku cemburu. Wong
aku sudah dijodohkan denganmu". Si gadis melihat Wiro pencongkan mulut dan garuk-garuk
kepala.

"Kau tahu. aku melihat ada bayangan lain dibalik kecantikan wajah Bidadari Angin Timur. Dia
memang mengasihimu. Namun dia ingin menguasai dirimu secara berlebihan. Mungkin saja dia
akan menempuh segala cara untuk mendapatkanmu. Kalau kau kawin dengan dia kau bisa jadi
seperti katak dibawah tempurung."

Wiro tercengang mendengar semua ucapan Wulan Srindi itu. "Mulutmu centil sekali!"

"Begitulah adanya dirikul Aku tidak pernah memendam apa yang terasa dalam hati dan dalam
benakku. Mendiang guruku Ki Surablandong mengajarkan agar kita selalu jujur terhadap semua
orang. Dalam perkataan maupun perbuatan. Aku cuma ingin berterus terang padamu. Bukan
karena cemburu pada Si pirang itu."

Wiro kembali garuk-garuk kepala, dia ingat pada ucapan Bunga alias Suci yang berjuluk Dewi
Bunga Bangkai. Satu kali gadis dari alam roh ini pernah berkata, "….jika kelak di kemudian hari
kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada
Ratu Duyung…"
Wiro menatap wajah Wulan Srindi. Si gadis balas memandang. Dan tersenyum. Sang pendekar
lagilagi dibuat garuk-garuk kepala. Gadis satu ini benarbenar bengal.

"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," kata Wiro mengalihkan pembicaraan. Bumbung bambu
yang sejak tadi dipegangnya dilempar ke dalam pondok.

Tak lama setelah menyusuri sebuah kali kecil dan mendaki bebukitan batu Wiro dan Wulan
Srindi sampai di satu pedataran sempit yang disebelah kanannya membujur sebuah jurang.
Mereka sampai di tempat itu sebelum Wakil Ketua Barisan Manusia pocong bersama anak
buahnya datang menyelidik.

"Tahan!" Tiba-tiba Wiro berkata sambil tangannya dimeiintangkan di depan pinggang Wulan
Srindi.

"Ada apa?" tanya sang dara.

Wiro menunjuk ke depan. "Lihat, di depan sana."

Wulan Srindi perhatikan arah yang ditunjuk Wiro.

Sekitar sepuluh langkah di hadapan mereka, ditanah tergeletak sebuah caping dan sebuah
kaleng. Wulan besarkan kedua matanya lalu tertawa. "Hanya sebuah caping butut dan sebuah
kaleng rombeng! Kau begitu kaget! kukira tadi kau melihat hantu atau harimau! Kau membuat
orang kaget. Ada-ada saja!" Sambil bicara Wulan tepuk keningnya sendiir.

Wiro tidak perdulikan tawa dan ucapan Wulan Srindi. Dia melangkah cepat menghampiri dan
mengambil caping serta kaleng yang tergeletak di tanah.

"Kakek Segala Tahu…." kata Wiro perlahan.

"Eh, kau mengucapkan apa?" tanya Wulan Srindi.

"Caping dan kaleng ini…"

"Ya…ya. Itu memang caping dan kaleng. Bukan bantal dan selimut!" ujar Wulan Srindi bercanda.

"Ini milik Kakek Segala Tahu." Ucap Wiro pula.

"Kakek Segala Tahu? Siapa dia?"

"Sahabat guruku. Aku sudah menganggapnya sebagai kakek sendiri. Dia salah seorang
dedengkot rimba persilatan. Seangkatan guruku. Eyang Sinto Gendeng."

"Bagaimana ini? Barang-barang miliknya ada tapi orangnya tidak kelihatan…"


Wiro memandang berkeliling lalu berjalan mendekati tepi jurang. Memperhatikan ke dalam
jurang dia tidak melihat apa-apa.

"Kakek Segala Tahu!" teriak Wiro. Karena berteriak dengan mempergunakan tenaga dalam
suaranya menggema hebat di dalam jurang lalu memantul ke atas membuat Wulan Srindi
tersurut satu langkah. Wiro berteriak sampai tiga kali. Tidak ada jawaban.

"Kalau kakek itu berada dalam jurang dan dalam keadaan hidup, pasti dia mendengar. Pasti dia
akan memberikan jawaban. Bagaimanapun juga caranya. Kecuali kalau dia sudah menemui
kematian di bawah sana…"

"Aku tak suka kau bicara begitu!" potong Wiro.

"Jangan marah! Kita harus mampu berpikir mencari kenyataan. Kita harus bisa menduga-duga
untuk mendapat bukti."

Murid Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Wulan Srindi yang kemudian dirasakan benar
adanya.

"Kakek Segala Tahu sangat tinggi Ilmu kesaktiannya. Tidak mungkin dia dicelakai orang lalu
dibuang ke dalam jurang."

"Siapa tahu nasibnya lagi Sial. Mungkin kakek sahabat gurumu itu ditawan oleh komplotan
Manusia pocong. Astaga!"

"Ada apa?" tanya Wiro.

"Kenapa kita tidak melihat dari tadi?!"

Wulan Srindi melangkah ke kiri jurang dimana terdapat satu gundukan tanah. Wiro mengikuti.
Kedua orang ini berjongkok di depan gundukan tanah.

"Seperti kuburan," ucap Wulan Srindi.

"Siapa yang mati? Siapa yang di kubur? Kakek Segala Tahu?" kata Wiro pula.

"Tidak mungkin. Kalau ini memang kuburan, yang mati pasti anak kecil. Soalnya kubur ini kecil."

"Bisa saja orang tua tapi tubuhnya kontet. katai." Jawab Wiro, membuat Wulan Srindi tertawa
lebar.
"Kita harus memastikan. Walau mungkin bukan Kakek Segala Tahu, bisa saja mayat di dalam
kubur seseorang yang aku kenal. Tanah gundukan masih merah, berarti kubur ini masih sangat
baru. Aku akan membongkar kuburan ini!" ujar Wiro.

"Kau hanya membuang waktu." Kata Wulan Srindi. "Kalau ini benar makam kakekmu itu. Siapa
yang membunuhnya? Siapa yang menguburnya?"

"Mungkin manusia-manusia pocong itu." Jawab Wiro.

"Wiro. perhatikan tanah di tempat ini. Banyak jejak kaki, nyaris membentuk lobang. Katamu
kakekmu itu tinggi ilmu kepandaiannya. Lantas apa mungkin bisa dipecundangi oleh manusia-
manusia pocong? Kalau mereka memang membunuhnya, aku tidak yakin mahluk-mahluk setan
itu mau bersusah diri menguburkan segala. Disana ada jurang, pasti kakekmu akan dilempar ke
dalam jurang. Aku yakin kakekmu masih hidup. Bisa saja dia ditawan oleh manusia-manusia
pocong. Buktinya guruku juga sudah kena diringkus. Lalu sebelum dibawa pergi dia sengaja
tinggalkan caping dan kalengnya ini untuk tanda bagi Siapa saja yang menemukan."

Wiro terdiam dan tatap lama-lama wajah Wulan Srindi. Dalam hati murid Sinto Gendeng ini
berkata.

"Gadis satu ini. Ucapannya bisa saja ceplas-ceplos.

Tapi caranya berpikir benar-benar luar biasa dan masuk akal!"

"Apa yang ada dalam pikiranmu?" Tanya Wulan Srindi karena dipandang seperti itu.

"Manusia-Manusia pocong itu. Mereka bukan cuma menculik perempuan-perempuan hamil.


Tapi juga menculik tokoh-tokoh persilatan. Apa sebenarnya maksud tujuan mereka? Rahasia
apa yang ada di balik semua perbuatan yang mereka lakukan?"

"Jawabnya baru ketahuan setelah kita berada dalam lorong itu," jawab Wulan Srindi.

Wiro hanya bisa anggukkan kepala.

"Matahari pagi mulai menyengat. Biar aku pakai caping. Kau pegang kaleng rombeng." Wulan
Srindi lalu tarik caping yang dipegang Wiro dan diletakkan di atas kepalanya. Lalu dia
melangkah lebih dulu.

Baru berjalan lima tindak gadis ini buka capingnya.

"Kepalaku mendadak gatal! Caping ini pasti tidak pernah dibersihkan." Setelah menggaruk
kepalanya Wulan Srindi pakai kembali caping itu. Namun sesaat kemudian dibuka lagi. Dan dia
menggaruk lagi.
"Jangan-jangan banyak kutunya! Aku tak mau pakai caping! Kau saja yang pakai. Aku biar
membawa kaleng rombeng itu." Wulan Srindi lemparkan caping yang kemudian jatuh
bertengger di atas kepala Wiro. Lalu dia ambil kaleng rombeng yang dipegang pemuda itu.
Begitu dipegang tangannya digoyangkan. Dari dalam kaleng serta meria keluar suara keras
berisik. Si gadis tertawa cekikikan dan kerontangkan lagi kaleng itu tiga kali berturut-turut
hingga suara beriSik menggema di seantero tempat.

"Aneh, kepalaku jadi ikutan gatal!" Ucap Wiro sambil menurunkan caping dari atas kepalanya.

Wulan Srindi tertawa. "Apa kataku! Caping itu pasti banyak kutunya! Apa lagi kau yang
memakai. Tidak pakai caping juga kulihat sudah sering garuk kepala! Sebaiknya cuci dulu caping
itu di sungai!

"Mending ketemu sungai," jawab Wiro. Caping dibalikkan. Ketika memperhatikan bagian dalam
caping yang terbuat dari bambu itu. di bawah lempengan bambu melingkar yang menjadi
tempat dudukan kepala Wiro melihat sebuah benda.

"Apa ini?" ucap Wiro dengan kening mengerenyit.

"Aha! Mungkin ini sarang kutunya!" Wiro ambil dan mengeluarkan benda yang terselip di dalam
caping. Benda Ku ternyata adalah gulungan kecil kain putih.

"Kain putih digulung. Dua ujungnya dekil. Jangan-jangan ini korek kupingnya Si kakek." kata
Wulan Srindi. "Coba saja kau buka gulungannya. Mau tahu apa isinya."

Wiro buka gulungan kain. Ketika gulungan kain putih kecil terbuka disitu ternyata ada
tulisannya. Wiro dan Wulan Srindi sama-sama membaca tulisan yang tertera.

Batas antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan

Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa

Akan menimbulkan bencana malapetaka dimana-marna

Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan

Rimba persilatan akan kiamat

Dalam kiamat tangan-tangan jahat akan jadi penguasa

Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan

Nyawa tiada artinya lagi


Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat

Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan

Nikahkan dia dengan seorang perjaka

Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang lelaki

Nikahkan dia dengan seorang perawan

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral

Dalam kesakralan ada kesucian

Dalam kesucian ada jalan untuk selamat

Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan

"Aneh." kata Wiro. "Bunyi tulisan ini agaknya menyangkut satu rahasia besar yang kita tidak
tahu."

“Aku memang masih perawan. Tapi nyawaku tidak dua. Aku bukan mayat. Jadi bukan aku yang
dimaksudkan dalam tulisan itu. Bukan aku yang mau dinikahkan." Wu.an Srindi berucap dalam
hati

“Tapi…" sang dara menatap pemuda di

hadapannya. Lalu tersenyum. "Kenapa kau tersenyum," tanya Wiro. "Aku merasa bahagia."
jawab Wulan Srindi. "Bahagia? Apanya yang bahagia? Bahagia

bagaimana?"

"Tulisan di atas kain putih itu. Cukup jadi petunjuk. Aku dan kau akan menikah. Ada yang akan
menikahkan kita di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian." Wulan Srindi tekapkan dua
telapak tangannya satu sama lain. Kepala mendongak dan mulut kemudian berucap. Terima
kasih Tuhan. Akhirnya kesampaian maksudku untuk berbakti sebagai seorang istri pada pemuda
bernama Wiro ini."

"Gila!" Wiro setengah berteriak. Kain putih hendak dibuangnya.

"Jangan! Biar aku yang menyimpan!" kata sang dara.

Wiro akhirnya masukkan gulungan kain putih itu ke dalam kantong hitam di pinggang, tempat
pembungkus batu sakti hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212.
"Kita lanjutkan perjalanan. Coba kau pakai lagi capingnya." kata Wulan Srindi.

"Kau saja yang pakai. Kemarikan kaleng itu. Kau selalu mau menggoyang, bikin suara beriSik.
Padahal kita berada sekitar markas Manusia pocong."

Wiro ambil kaleng dari tangan Wulan Srindi lalu letakkan caping bambu di atas kepala Si gadis.
Wulan diam sebentar, kemudian mulai melangkah sambil merasa-rasa.

"Aneh. tidak gatal lagi." kata sang dara pula. "Pasti kakekmu itu mempermainkan kita." Wulan
Srindi melirik ke arah bawah pinggang Wiro.

"Apa yang kau lirik?" tanya murid Sinto Gendeng.

Si gadis tersenyum. "Hati-hati kau meletakkan gulungan kain itu. Nanti ada bagian tubuhmu
sebelah bawah yang Jadi gatal. Di depanku kau pasti sulit dan malu mau menggaruk!"

"Kau benar-benar gadis centil! Bengal!"

"Sudah, ayo Jalan!" Wulan Srindi tarik tangan Wiro.

Wiro berjalan sambil otaknya berpikir dan hatinya bertanya-tanya. Jangan-jangan ucapan
Wulan Srindi tadi bisa saja betul adanya. Ada orang yang hendak menikahkan mereka di 113
Lorong Kematian. Hatinya bimbang. Apakah dia perlu meneruskan perjalanan menuju 113
Lorong Kematian? Kalau dia membatalkan, lalu bagaimana naSib Dewa Tuak serta para tokoh
lain yang diculik. Dan yang paling kasihan adalah perempuan-perempuan hamil yang disekap di
sana. "Gadis satu ini! Dia membuat pikiranku kacau saja!" Wiro mengomel dalam hati sambil
garuk kepala dan melirik ke arah Wulan Srindi.

Dalam keadaan Wulan Srindi berjalan sambil senyum-senyum dan Wiro berpikir-pikir seperti itu
tiba-tiba!

"Dicari lama tidak bersua! Sekarang muncul bersama seorang dara. Rejekiku besar nian! Kalau
urusan sudah selesai bolehlah aku bersuka-suka dengan Si hitam manis ini! Ha….ha!"

Satu suara keras yang ditutup dengan tawa bergelak, menggelegar di tempat itu. Siapapun
adanya orangnya pasti dia memiliki tenaga dalam tinggi sekali!

WULAN Srindi melompat ke kiri. Wiro geser kaki kanan lalu cepat membalik. Di hadapan
mereka saat itu berdiri seorang tinggi besar, jubah putih menjela tanah, kain penutup kepala
tinggi putih. Sepasang mata di balik dua lobang kecil tampak berkilat, memandang menyorot ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Manusia pocong!" ucap Wiro.

"Wiro," bisik Wulan Srindi. "Mahluk ini yang muncul di pondok tempat aku disekap penjahat
bernama Warok Jangkrik. Aku yakin dia juga yang kemudian menculik Bidadari Angin Timur."
(Baca Episode sebelumnya berjudul "Rumah Tanpa Dosa")

"Mahluk tolol pocongan!" hardik Wiro.

"Sembunyikan wajah di balik kain putih penutup kepala! Kau suka pada temanku ini? Aneh!
Setahuku manusia jelek macammu hanya senang pada perempuan-perempuan bunting!"

"Anak manusia bernama Wiro Sableng! Yang pernah kesasar ke Negeri LatanahSilam! Apakah
kau tidak mengenali diriku?!" Orang tinggi besar berjubah dan berpenutup kepala kain putih
keluarkan ucapan sambil bertolak pinggang.

Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget Tidak banyak orang yang tahu riwayjt beradanya
dia di negeri 1200 tahun Silam. (Baca kisah Wiro di negeri LatanahSilam terdiri dari 18 Episode
mulai dari "Bola Bola Iblis" diakhiri "Istana Kebahagiaan")

"Jahanam satu ini Siapa dia sebenarnya?" Wiro berpikir, menduga-duga.

"Lihat sepasang mataku!" Tiba-tiba orang itu membentak.

Wiro dan juga Wulan Srindi arahkan pandangan ke arah dua lobang di kain putih penutup
kepala. Tiga pasang mata saling bentrokan.

Denyut jantung Pendekar 212 Wiro Sableng mendadak menjadi cepat. Dadanya berdebar keras.
Sepasang mata membeliak tak berkesip. Lain hal dengan Wulan Srindi. Sebelumnya gadis ini
pernah melihat mahluk itu. namun tidak sempat memperhatikan keadaan sepasang matanya.

Dua mata di balik dua lobang kecil itu ternyata berbentuk aneh. Dua bola mata yang semustinya
bulat berbentuk segi tiga berwarna hijau!

"Astaga, dia…" desis Wiro. "Sejak kapan dia jadi manusia pocong? Rupanya dia yang jadi
pemimpin mahluk-mahluk jahanam itu!"

"Kau masih belum bisa mengenali diriku dari sepasang mataku?!," Si jubah putih mendengus.

"Lihat!"

Orang itu tutup ucapannya dengan menarik tinggi-tinggi bagian atas kain putih penutup kepala.
Begitu wajahnya terSingkap, dia membuat gerakan berputar. Lalu kain dilepas. Kepala dan
wajahnya tertutup kembali.
"Hantu Muka Dua!" ucap Wiro dengan satu kaki tersurut

Sementara itu Wulan Srindi seperti melihat hantu beneran di Siang bolong. Tengkuknya dingin,
kaki bergetar. Bagaimanakan tidak! Orang yang barusan menyingkap kain putih penutup
kepalanya itu ternyata memiliki dua muka. Satu di sebelah depan sebagaimana wajarnya. Lalu
ada satu muka atau wajah lagi di sebelah belakang. Kalau kulit wajah sebelah depan putih
kekuningan maka wajah sebelah belakang hitam keling berkilat.

"Wiro, Siapa adanya mahluk mengerikan ini?" bisik Wulan Srindi.

Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede tidak perdulikan pertanyaan Si gadis. Saat itu dia
berlaku waspada dan sangat hati-hati. Di Negeri LatanahSilam, mahluk ini dikenal dengan nama
Hantu Muka Dua dan merupakan musuh besar, musuh bebuyutan Wiro. Tidak dinyana sewaktu
Istana Kebahagiaan meledak hancur, mahluk satu ini ikut terpesat ke tanah Jawa.

Hantu Muka Dua memiliki sepasang bola mata berbentuk segi tiga warna hijau. Masing-masing
sudut segi tiga merupakan perlambang tiga sifat dirinya yaitu Segala Keji. Segala Tipu dan
Segala Nafsu.

"Kau rupanya yang jadi dedengkot mahlukmahluk terkutuk Barisan Manusia pocong Seratus .
Tiga Belas Lorong Kematian!"

Mahluk di depan Wiro keluarkan suara mendengus lalu tertawa bergelak.

"Manusia pocong Hantu Muka Dua! Dosa besarmu mungkin bisa berkurang jika kau membawa
kami ke markasmu. Membebaskan semua tawanan. Perempuan-perempuan hamil dan para
tokoh rimba persilatan."

Hantu Muka Dua kembali umbar tawa bergelak.

"Dari dulu sifatmu tidak berubah. Keras kepala.

Mau menang sendiri! Sombong dan selalu meremehkan orang lain! Bukan kau yang
memerintahku, tapi aku yang akan memaksa kehendak atas dirimu!"

"Begitu?" Wiro balas tertawa sambil mulutnya dipencong-pencongkan.

"Kau menghancurkan Istanaku! Lebih dari itu kau membuat aku terpesat ke negeri celaka ini!
Aku datang untuk membuat perhitungan atas segala dendam kesumat sakit hati semasa kau
berada di LatanahSilam!"

"Ha…ha! Aku mau tahu bagaimana hitunghitungannya!" kata Wiro sambil rangkapkan dua
tangan di depan dada. "Dua ditambah tiga atau lima dikurang tiga atau bagaimana?"
"Setan alas! Terima kematianmu! Bangkaimu akan jadi lumpur busuk! Arwahmu akan melayang
tersiksa sampai ke negeri Seribu dua ratus tahun Silam" Hantu Muka Dua berteriak marah. Kaki
kanannya dihentakkan hingga tanah bergetar. Dari sepasang matanya yang tersembunyi dibalik
kain putih penutup kepala melesat dua larik Sinar hijau. Setiap ujung Sinar berbentuk segitiga
lancip.

"Hantu Hijau Penjungkir Roh! Wulan, lekas menyingkir!" teriak Wiro yang pernah tahu
keganasan ilmu kesaktian Hantu Muka Dua itu. Walau tahu kalau Hantu Muka Dua tidak akan
membunuh Wulan Srindi karena konon mahluk dari negeri 1200 tahun Silam ini mempunyai
pantangan membunuh perempuan Wiro yang tetap merasa kawatir, cepat mendorong bahu Si
gadis sehingga Wulan Srindi terpental jauh.

"Wusss! Wusss!"

Dua larik Sinar hijau angker berkiblat mengeluarkan suara menggidikkan. Ilmu kesaktian yang
dimiliki Hantu Muka Dua dan dipergunakan untuk menyerang Wiro saat itu bernama Hantu
Hijau Penjungkir Langit. Menurut riwayat di Negeri LatanahSilam, ilmu kesaktian ini dulunya
adalah milik seorang tokoh bernama Hantu Lumpur Hijau. Secara licik Hantu Muka Dua berhasil
merampas ilmu itu dari sang pemilik. Benda apa saja yang kena hantaman serangan itu,
termasuk manusia, ujudnya akan hancur meleleh lunak, berubah hijau seperti lumpur. (Baca
riwayat petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terpesat ke negeri 1200 tahun Silam
LatanahSilam. mulai dari Episode "Bola Bola Iblis" s/d "Istana Kebahagiaan")

Untuk selamatkan diri dari serangan maut yang luar biasa ganasnya itu Pendekar 212 Wiro
Sableng secepat kilat jatuhkan diri. Telapak tangan kiri bersitekan ke tanah. Tangan kanan
diangkat ke arah mulut. Mulut meniup telapak tangan. Saat itu juga pada telapak tangan Wiro
muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Masih setengah jalan dua larik Sinar sakti
Hantu Hijau Penjungkir Roh berkiblat di udara ke arah Wiro. murid Sinto Gendeng dorongkan
tangan kanannya ke depan. Dia menghantam tanpa mengerahkan tenaga dalam sama sekali
karena semua kekuatan justru berada didalam pukulan sakti yang dilepas!

"Desss! Desss!"

"Blaarr! Blaarr!"

Gelombang angin sakti tanpa warna yang keluar dari telapak tangan Wiro yang disebut sebagai
Pukulan Harimau Dewa menyongsong dan menghantam dua larik Sinar hijau ilmu kesaktian
Hantu Penjungkir Roh. Ilmu pukulan langka ini didapat Wiro dari seorang kakek sakti di Pulau
Andalas bernama Datuk Rao Basaiuang Amen. (Baca serial Wiro Sableng Episode "Wasiat Iblis"
s/d Episode "Kiamat Di Pangandaran")
Dua letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar seperti digoncang lindu Angin deras bertiup
laksana topan. Wulan Srindi pegangi caping di atas kepala agar tidak melayang lepas. Wajah
gadis ini nampak pucat. Dadanya turun naik.

Sosok Hantu Muka Dua tampak tergontai-gontai. Kepalanya yang tertutup kain putih bergoyang
miring ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya terdengar suara hembusan nafas panjang pendek
berulangulang.

Wiro sendiri terhempas ke tanah. Celakanya dua larik Sinar hijau serangan lawan yang tadi
berhaSil dihantam ke atas dan dibuat buyar kini bertaut lagi, menukik melesat, kembali
menyerang ke arah dirinya!

"Wiro awas!" teriak Wulan Srindi.

Wiro gulingkan diri di tanah sampai tubuhnya tenggelam masuk ke dalam serumpun semak
belukar. Dua larik Sinar hijau sakti melabrak tanah hingga terbongkar meninggalkan dua lobang
dalam dan lebar, lalu menghantam bagian bawah sebuah pohon besar. Pohon terbongkar
bersama akarakarnya, tumbang bergemuruh. Sesaat setelah pohon besar ini menyentuh tanah,
keadaannya berubah. Seluruh pohon mulai dari akar sampai ke ujung-ujung ranting menjadi
hijau pekat, leleh gemburseperti lumpur! Bisa dibayangkan kalau sampai tubuh Pendekar 212
Wiro Sableng yang jadi sasaran! Wulan Srindi sampai terbelalak dan merinding bulu tengkuknya
menyakSikan kejadian itu.

"Manusia sombong! Kau masih mengenali ilmu kesaktianku tadi! Apakah kau juga mengenali
yang satu ini?!" Hantu Muka Dua keluarkan ucapan sambil berkacak pinggang.

Habis berkata begitu Hantu Muka Dua perlahanlahan angkat tangan kanan ke atas. Di balik kain
putih penutup kepala mulutnya komat kamit melafalkan sesuatu. Tiba-tiba tangan yang di atas
kepala diputar setengah lingkaran. Sinar merah menderu terang.

"Ilmu jahat Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi! Siapa takut!" teriak Wiro
menyebut nama pukulan sakti yang hendak dilepaskan lawan. Dalam melengak kaget
mendengar Wiro mengetahui dan menyebut ilmu pukulannya. Hantu Muka Dua penuh geram
menghantam ke depan.

Satu gelombang angin luar biasa derasnya dan memancarkan cahaya merah melabrak ke arah
Pendekar Wiro Sableng.

"Wulan! Lekas menyingkir!" teriak Wiro lalu secepat kilat melompat setinggi satu tombak.
Walau dia punya kemampuan untuk menangkis serangan lawan namun kawatir Simbahan
cahaya merah akan melanda Wulan Srindi.

"Wusss’"
Gelombang Sinar merah lewat ganas di bawah sepasang kaki Wiro. Di belakang sana satu
gundukan batu besar meledak hancur seperti disambar petir. Pecahannya bertabur merah ke
udara lalu luruh ke tanah membakar semak belukar Sebuah pohon berketinggian tiga kali
manusia dan besar dua pemelukan tangan kelihatan merah laksana dipanggang lalu berubah
menjadi kerangka hitam dan akhirnya tumbang ke tanah!

Lolos dari pukulan "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi" yang barusan dilepas
Hantu Muka Dua, Pendekar 212 melayang turun dengan tengkuk berkeringat dingin. Dia tahu.
kalau sampai dirinya terkena hantaman pukulan sakti itu maka sekujur tubuhnya mulai dari
ubun-ubun sampai ke telapak kaki akan terkelupas, tinggal tulang belulang memutih!

"Hantu Muka Dua!" Berseru Wiro begitu dua kakinya menjejak tanah. "Aku memberimu
kesempatan satu kali lagi! Antar kami ke dalam lorong kematian! Bebaskan perempuan-
perempuan hamil dan para tokoh rimba persilatan! Perkara dlantara kita akan selesai sampai d’
Sini!"

Hantu Muka Dua tertawa bergelak.

"Perkara antara kita hanya selesai setelah tubuhmu jadi bangkai busuk dan rohmu melayang
tersiksa sampai langit ke tujuh!"

"Setan geblek!" maki Wiro.

Selesai keluarkan ucapan Hantu Muka Dua angkat dua tangan lurus-lurus ke atas. Tubuhnya
membuat gerakan berputar. Mula-mula perlahan lalu berubah cepat dan makin cepat. Keadaan
dirinya tak ubah seperti gaSing. Sementara dua tangan kelihatan melambai-lambai di udara,
gerakannya seperti orang memanggil-manggil. Wiro merasa tubuhnya menjadi gontai.
Pandangan mata agak berkunang. Dua kaki terseret ke depan. Dia cepat kerahkan tenaga
dalam. Daya putaran tubuh Hantu Muka Dua luar biasa dahsyat. Wiro merasa tubuhnya seperti
disedot!

"Jahanam, ilmu kesaktian apa yang hendak dikeluarkan setan alas ini!" Maki murid Sinto
Gendeng.

"Bless! Blesss!"

Karena berusaha mempertahankan diri dari daya sedotan, dua kaki Wiro amblas masuk ke
dalam tanah sampai sebatas mata kaki. Tapi hanya sesaat. Di lain kejap dua kaki serta tubuhnya
kembali tersedot ke arah putaran tubuh Hantu Muka Dua! Tangan Hantu Tanpa Suara. Itulah
ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Hantu Muka Dua untuk menghabisi Wiro.

"Kurang ajar! Kau mau menyedot tubuhku?!" Wiro memaki geram. Dia lipat gandakan aliran
tenaga dalam ke kaki. "Hantu Muka Dua! Apa kau kira kau saja yang punya ilmu kepandaian
seperti itu! Lihat tanah!"
Kaki kanan digeser ke depan seperti membuat guratan garis tebal dan dalam. Mulut merapal
cepaL Dilain kejap rrrreettttttt! Tanah di depan kaki Wiro terbelah menguak. Belahan tanah
mengejar ke arah dua kaki Hantu Muka Dua.

Putaran tubuh Hantu Muka Dua mendadak sontak berhenti. Dari mulutnya menggelegar suara
keras. Dia cepat melompat ke udara. Namun terlambat. Sepasang kakinya laksana disedot satu
kekuatan dahsyat tertarik masuk ke dalam belahan tanah! Sebelum tubuhnya amblas sampai ke
paha. tiba-tiba mengumandang satu suitan keras. Tiga buah benda yang bukan lain tiga
Bendera Darah adanya menyambar ke arah Wiro. mengarah kepala dada dan perut!

Selagi murid Sinto Gendeng berusaha selamatkan diri dari serangan tiga bendera, satu
bayangan putih berkelebat dari kiri. Secepat kilat menotok urat besar di punggung Hantu Muka
Dua. Dalam keadaan tertotok kaku, tubuh Hantu Muka Dua diboyong dibawa kabur dari tempat
itu.

"Kurang ajar! Mau dibawa kemana calon bangkai itu?!" teriak Wiro mengejar. Namun dari arah
depan sekonyong-konyong ada sambaran tiga cahaya menggidikkan. Wiro cepat melompat
selamatkan diri. Ketika tiga cahaya lewat dan dia memandang ke depan, sosok Hantu Muka Dua
dan mahluk yang melarikannya tak tampak lagi.

"Wulan! Ikuti aku!" teriak Wiro seraya lari mengejar ke arah lenyapnya HanM Muka Dua yang
diboyong orang

"Tunggu!"

"Ada apa?!" tanya Wiro dan terpaksa hentikan lari, berpaling ke arah Wulan Srindi. Dilihatnya Si
gadis berdiri dengan muka pucat bingung. Caping yang tadi menempel di atas kepalanya kini tak
ada lagi!

"Ap i yang terjadi? Mana capingmu?!" tanya Wiro.

Wulan Srindi goleng-goleng kepala. "Waktu tadi kau mengejar ke sana. aku berlaku lengah. Aku
hanya melihat sekilas satu bayangan putih. Tahutahu capingku sudah lenyap!"

"Manusia pocong! Ayo ikuti aku! Kejar mereka sebelum lari jauh!"

Berlari sampai akhirnya mereka mencapai lembah batu, bayangan orang yang dikejar tidak
terlihat sama sekail. Wiro berhenti, berdiam di atas satu batu hitam, memutar pandangan mata
ke dalam dan seberang lembah.

"Seratus Tiga Belas Lorong Kematian ada di seberang sana. Di daerah berbukit batu itu…."
Wulan Srindi memberi tahu sambil monunjuk ke arah bukit batu di seberang lembah. Dia tahu
karena sebelumnya pernah diculik dan disekap di markas Manusia pocong.
"Aku sudah menduga," wihut Wiro. "Kita harus segera ke sana. Tapi ada beberapa pertanyaan
yang mengganjal dalam benakkul Mungkin kita bisa bertukar pikiran."

"Bertukar pikiran bernrti kepalaku ditukar dengan kepalamu! Aku tidak maui Bisa kacau!"

"Jangan konyol! Bukan saatnya bergurau!" kata Wiro dengan mata melotot karena kesal.

Wulan Srindi tersenyum lebar

"Mahluk dan negeri LatanahSilam bernama Hantu Muka Dua itu. Dia mengenakan pakaian
Manusia pocong. Berarti dia adalah anggota Barisan Manusia pocong Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Bisa jadi dia yang jadi pimpinan atau salah satu pentolannya."

"Bisa jadi begitu," jawab Wulan Srindi. "Lalu?"

Wiro menggaruk kepala.

"Dua Manusia pocong muncul. Satu merampas capingmu, satunya menyelamatkan Hantu Muka
Dua." Wiro diam, garuk kepala kembali baru meneruskan ucapan. "Perlu apa pocong yang satu
merampas caping?"

"Mudah saja jawabnya. Dia ingin mendapatkan benda yang ada di dalam caping. Gulungan kain
putih yang kini kau sembunyikan dalam kantung hitam di pinggangmu itu."

Wiro mendadak merasa gatal di bagian bawah perutnya. Tak sadar dia usap kantong hitam lalu
menggaruk-garuk bagian bawah tubuhnya. Wulan Srindi senyum-senyum dan putar kepala ke
jurusan lain.

"Aku masih belum yakin," ucap Wiro sambil terus menggaruk karena rasa gatal kini jadi
merembet-rembet.

"Kalau bicara, bicara saja. Jangan menggaruk terus! Nanti bisa lecet!"

"Ahhh!" Wiro sadar, menyeringai lalu cepat-cepat keluarkan tangan kirinya dari balik celana.

"Apanya yang belum yakin?" Tanya Wulan Srindi pula.

"Manusia pocong yang satu. Apa benar dia

muncul untuk menolong menyelamatkan Hantu Muka Dua, yang berarti Hantu Muka Dua
memang anggota komplotan atau salah seorang pimpinan Barisan Manusia pocong Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian. Atau! Atau mungkin sebenarnya dia justru jadi korban penculikan.
Berarti Hantu Muka Dua bukan orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."
"Kurasa hal yang kedua itu yang betul." Kata Wulan Srindi pula. "Pertama guruku Dewa Tuak
diculik. Lalu kakekmu yang segala tahu itu juga lenyap. Semua jelas pekerjaan orang-orang
lorong kematian."

"Wulan, kita harus segera masuk ke dalam lorong. Kau pernah berada di sana waktu dirimu
diculik.

Kau jalan duluan."

"Maksudmu kita masuk ke markas manusia pocong lewat pintu goa di bukit batu sana?"

"Kau yang lebih tahu."

"Bahaya! Terlalu berbahaya. Kita mudah saja melewati pintu lorong. Tapi begitu sampai di
dalam kita akan kesasar."

"Belum tentu. Kalau kita berusaha pasti bisa tembus. Ayo jalan."

Selagi Wulan tak menjawab karena diselimuti kebimbangan, Wiro tarik tangan gadis itu lalu
diajak menuruni lembah batu. Wulan Srindi senang saja dipegangi lengannya seperti Itu.
Namun dia ingat sesuatu.

"Wiro, apa kau lupa petunjuk gurumu Eyang Sinto Gendeng?"

Wiro diam saja. Pandangannya tertuju ke depan, ke arah lembah batu yang mereka daki.

"Malam itu gurumu berkata. Ilmu rotan Jangan dipakai. Karena tidak ada lobang masuk tak ada
lobang keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang
keluar."

Wiro garuk-garuk kepala. Terus pegang lengan Wulan Srindi dan terus mendaki lembah ke arah
bukit batu di atas sana.

"Kau diam saja." Wulan Srindi berkata sambil sentakkan sedikit tangannya yang dipegang Wiro.
Perlahan-lahan Wiro lepaskan pegangannya.

"Ah, menyesal aku menyentakkan tangan. Kini dia tidak memegang lenganku lagi. Padahal
maksudku tadi hanya agar dia ingat pesan gurunya," kata Wulan Srindi dalam hati. Lalu
didengarnya Wiro berkata.

"Terus terang, sampai saat ini aku masih belum bisa mencerna ucapan nenek itu. Kalau ada
jalan masuk yang jelas dan bisa cepat sampai ke markas manusia pocong itu, mengapa tidak
ditempuh saja?"
"Jangan jadi orang tolol. Gurumu sudah memberi petunjuk. Nenek itu pasti sudah menduga
bahaya besar yang bakal dihadapi Siapa saja yang masuk ke dalam lorong lewat pintu depan
yaitu mulut goa di dinding batu. Dia tahu ada jalan lain masuk ke dalam lorong. Kita bisa saja
masuk ke dalam lorong menurut caramu. Tapi tanggung sendiri akibatnya. Gurumu memberi
petunjuk. Masuk ke dalam rumah tidak selalu hanya dari pintu depan. Kalau ada pintu belakang
yang lebih aman mengapa tidak dilakukan?" Sekarang terserah kamu. Kalau kita celaka, Sia-Sia
semua jerih payah inil. Sekali kita tertangkap, kita akan menjadi boneka hidup budak manusia-
manusia pocong! Dengar Wiro. Kalau mereka menangkapi para tokoh rimba persilatan, berarti
mereka juga mengincar dirimu. Aku merasa ada satu rahasia besar, busuk keji dan sangat jahat
dibalik semua kejadian ini."

Wiro diam saja. Sesekali menggaruk kepala. Akhirnya meraka sampai di atas bibir lembah dan
berada di bukit batu.

"Di sebelah sana ada satu pedataran. Di balik sebuah batu besar, disitu terletak mulut goa yang
menuju ke dalam lorong." Menerangkan Wulan Srindi. "Mau terus ke sana?"

Wiro anggukkan kepala.

"Kau keras kepala."

Wiro tertawa lalu mendahului memasuki kawasan bukit batu. Seperti yang dikatakan Wulan
Srindi, dia menemukan sebuah pedataran. Di Situ ada tiga batu besar. Dua berdampingan,
satunya di sebelah tengah agak ke depan.

"Mulut goa dibalik batu sebelah tengah," ucap Wulan Srindi agak perlahan karena dirinya mulai
terasa tegang.

Pendekar 212 melangkah ke pedataran, bergerak ke balik batu besar. Sepasang matanya
langsung membentur goa di dinding batu.

"Sunyi dan tenang-tenang saja," kata Wiro. "Kita masuk?"

"Kau saja, aku tidak mau mati konyol."

"Dewa Tuak yang katanya gurumu itu ada di dalam sana. Kau tak berniat untuk
membebaskannya?"

"Tentu saja aku ingin sekali menolongnya. Tapi aku harus pakai ini!" Wulan menunjuk ke arah
kepalanya sendiri. Maksudnya pakai otak.

"Kalau aku masuk apa yang bakal kau lakukan?"


"Menunggu di satu tempat Jika sampai malam kau tidak muncul berarti kau sudah kena
ditawan Manusia pocong."

"Rasa kawatirmu terlalu berlebihan. Ingat lelaki muda bernama Loh Gatra yang pergi lebih dulu
dari kita bersama Anggini? Mereka mungkin sudah lebih dulu sampai dan berada dalam markas
Manusia pocong."

"Boleh jadi mereka sudah ada di dalam sana.

Tapi sebagai tawanan," jawab Wulan Srindi pula.

Wiro garuk kepala. Dia melangkah lebih dekat

kemulut goa. memandang menyelidik ke dalam. Dia melihat satu lorong panjang yang suram.
Lalu lebih ke dalam tampak cabang lorong di kiri kanan. Angker memang. Ada hawa aneh keluar
dari dalam lorong terasa di jangat dan tercium di rongga hidung. Wiro mundur tiga langkah.
Sepasang mata menatap tak berkesip ke dalam goa.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Wulan Srindi melihat gerak gerik aneh sang pendekar. Wiro
memberi isyarat dengan gerakan tangani agar Si gadis diam.

Perlahan-lahan Wiro alirkan darah dan hawa sakti ke sekitar matanya. Lalu dua mata
dikedipkan. Wiro tengah mengerahkan ilmu yang disebut Menembus Pandang. Dengan ilmu
langka yang didapatnya dari Ratu Duyung ditambah dengan peningkatan kemampuan daya lihat
yang diperoleh dari Datuk Rao Basaluang Ameh, sebelum masuk ke dalam lorong lewat pintu
goa Wiro ingin lebih dulu menyelidik keadaan Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.

Dia bisa melihat dengan jelas lorong lurus di depannya. Lalu cabang-cabang lorong banyak
sekali di kiri kanan lorong utama. Di dalam sana cabang lorong semakin banyak. Dalam dia
bingung arah lorong mana yang harus diikuti, tiba-tiba dari dalam lorong menderu satu angin
aneh. Wiro merasa ada satu kekuatan keras menghantam dadanya. Tanpa dia bisa berbuat
sesuatu tubuhnya terpental dan nyaris terbanting jatuh ke tanah kalau tidak cepat dirangkul
oleh Wulan Srindi.

"Wiro! Ada apa?l" tanya Si gadis cemas karena melihat wajah Wiro agak pucat dan keringat
dingin membasahi tubuhnya.

"Aku tak apa-apa." jawab Wiro sambil pegangi dadanya yang masih bergetar akibat hantaman
hawa aneh. "Barusan aku berusaha menyelidik keadaan di dalam lorong. Mendadak ada hawa
aneh menghantamku" Wiro menatap ke dalam lorong, tapi tidak berani lagi mengerahkan ilmu
Menembus Pandang.
"Seratus Tiga Belas Lorong Kematian sangat panjang, penuh cabang. Aku tidak bisa menduga
apakah Ketua Barisan Manusia pocong itu demikian hebatnya hingga mampu melancarkan
serangan jarak jauh ke arahmu…."

"Kekuatan yang menghantamku luar biasa. Tidak pernah aku mendapat serangan seperti ini.
Untung aku tidak mengalami luka dalam. Aku…"

Murid Eyang Sinto Gendeng hentikan ucapan.

Telinganya menangkap sesuatu.

"Kau mendengar sesuatu?" tanya Wiro.

"Ya. Suara menyanyi. Suara perempuan. Aneh, bagaimana mungkin di tempat angker begini
rupa ada perempuan bernyanyi. Jangan-jangan dedemit perempuan." ujar Wulan Srindi dengan
suara dan wajah tercekat. "Sebaiknya kita lekas tinggalkan tempat ini. Kedatangan kita pasti
sudah diketahui manusia-manusia pocong. Ikuti petunjuk gurumu. pasti ada jalan lain menuju
ke dalam lorong."

‘Wulan, selain suara perempuan menyanyi itu aku mendengar suara lain."

"Heh. suara apa?"

"Kurasa ada binatang di sekitar ini. Dari baunya aku dapat meyakinkan binatangnya seekor
kuda."

Wulan Srindi pasang telinga, mata berputar, memandang berkeliling. Tiba-tiba di balik batu
besar sebelah kanan dia melihat sesuatu berwarna coklat melambai-lambai.

"Buntut kuda!" ucap Wulan. Dia melompat. Wiro mengikuti.

Benar adanya. Di balik batu besar kedua orang itu menemukan seekor kuda coklat. tegak diam.
kepala menunduk dan ekor bergerak-gerak. Wulan memperhatikan dengan seksama lalu
mengusapusap kepala binatang itu.

"Hai! Bukankah ini kuda milik Anggini yang dibawa kabur oleh gadis berambut pirang malam
tadi?"

Wiro terkejut. Garuk-garuk kepala. "Matamu tajam, ingatanmu kuat. Memang tidak salah. Ini
kuda milik Anggini."

"Berarti Si rambut pirang bernama Bidadari Angin Timur itu ada di sekitar Sini. Ayo kita cari"
Kembali Wulan Srindi menarik lengan Wiro.
"Kurasa tidak perlu. Kalaupun dia ada di sini pasti tidak sendiri."

"Aku tahu. Maksudmu dia bersama pemuda botak berwajah dan bertubuh kuning itu.
Hemm….kau cemburu ya?!"

Wiro tertawa. "Cemburu? Sama Siapa? Perlu apa cemburu segala?"

"Jangan dusta. Kau cemburu pada Si botak itu karena kau suka pada Bidadari Angin Timur.
Betulkan?! Ah jeleknya nasibku.." Wulan Srindi unjukkan wajah memelas. "Aku suka tapi orang
tertambat pada yang lain.

Air muka Pendekar 212 jadi bersemu merah. Namun kemudian meledak tawanya.

Wulan Srindi cepat tekap mulut Wiro dengan telapak tangan kiri.

"Geblek apa! Tertawa di tempat seperti ini!"

“Dengar, kita kembali ke mulut lorong."

"Buat apa?" tanya Wulan Srindi.

"Aku ingin mencoba sekait lagi. Masuk ke dalam lorong lewat mulut goa itu," kata Wiro. Wiro
bermaksud masuk ke dalam lorong dengan mempergunakan Ilmu Meraga Sukma. Namun saat
itu Wulan Srindi berbisik.

"Aku tahu kau punya banyak ilmu kepandaian. Tapi saat ini jangan dulu berusaha mencoba-
coba. Aku tak ingin kita celaka di tempat ini. Sesuai petunjuk gurumu kita harus menemukan
jalan masuk ke dalam lorong dari arah belakang."

Wiro garuk kepala. Wulan Srindi lepaskan rangkulannya. Kalau saja dalam keadaan lain mungkin
gadis ini tidak ingin cepat-cepat melepaskan pelukannya di tubuh sang pendekar.

"Terima kaSih, kau telah menolongku. Kalau tidak kau pegang pasti aku tadi jatuh terbanting ke
tanah," kata Wiro sambil pegang bahu Si gadis.

Dipegang seperti itu Wulan Srindi merasa seperti di kayangan. Ditatapnya dalam-dalam
sepasang mata Wiro. Yang ditatap jadi salah langkah. Sambil garuk kepala dia berkata. " Kau
jalan duluan. Aku mengikuti."

Wulan Srindi mengangguk. Dia pegang lengan kiri Wiro lalu menariknya dan melangkah cepat
tinggalkan tempat itu. Walau saat itu tengah menghadapi urusan besar namun sang dara berlari
dengan wajah tersenyum cerah. Dalam hati malah dia berkata. "Gadis rambut pirang! Kalau kau
memang masih ada di sini, sembunyi mengintip aku dan Wiro, hatimu pasti seperti ditusuk duri!
Cemburu akan menjadi api dalam dadamu!"
8

TAK SELANG berapa lama setelah Wiro dan Wulan Srindi meninggalkan pedataran kecil di
depan mulut goa yang merupakan jalan masuk ke dalam 113 Lorong Kematian, dari balik
gundukan batu lebar di bibir lembah muncul dua kepala. Satu botak kuning, satu lagi berambut
pirang. Kedua orang ini bukan lain adalah Jatilandak dan Bidadari Angin Timur.

Seperti dituturkan sebelumnya, malam itu Bidadari Angin Timur tinggalkan tempat pertemuan
para tokoh rimba persilatan dengan menunggang kuda milik Anggini. Jatilandak, pemuda
berkulit kuning dari Negeri Latanahsilam berusaha mengejar sambil terus-terusan berteriak
memanggil nama Si gadis. Dalam kesalnya terhadap Wulan Srindi dan Wiro, Bidadari Angin
Timur seperti tidak mendengar teriakan Jatilandak. Kalaupun sesaat dia sadar dan mendengar
maka dia sama sekali tidak perduli.

Bagaimanapun tingginya ilmu lari yang dimiliki Jatilandak, namun mengejar orang yang memacu
kuda dalam pikiran kacau dan hati panas galau, hanyalah merupakan satu kesia-siaan. Tapi
Jatilandak tidak putus asa. Walau nafas menyesak dada. sepasang kaki laksana mau tanggal,
terus saja pemuda ini berlari kencang mengejar Si gadis berambut pirang.

"Sahabat! Bidadari Angin Timur Tunggu Berhenti dulu!"

Jatilandak terus berteriak memanggil. Yang dikejar dan dipanggil-panggil jangankan menjawab.
Menolehpun tidak. Apa lagi hentikan kuda yang dipacu seperti diamuk setan.

Kemampuan Jatilandak ada batasnya. Manakala dua kakinya terasa seperti hancur dan tak
mampu lagi diajak berlari, ketika nafasnya menyengat mencekik leher. Jatilandak akhirnya
melosoh jatuh ditengah jalan. Dalam keadaan megap-megap pemuda ini beringsut lalu
rebahkan diri di tanah. Sekujur tubuh mandi keringat. Mata menatap sayu ke langit kelam. Saat
itulah ingatannya kembali ke LatanahSilam. Berada seorang diri di tempat itu dia merasa jauh
dan sangat terpencil. Entah bagaimana tiba-tiba saja terbayang wajah ibunya. Sepasang mata
Jatilandak mulai berkaca-kaca. Dirinya larut dalam kenangan penuh duka. Lalu didengarnya
langkah-langkah kaki kuda disusul suara perempuan menyebut namanya.

"Jatilandak…?"

"Ibu…?" Meluncur kata-kata itu dari mulut Jatilandak. Pemuda kepala botak berkulit kuning itu
cepat bangkit dan duduk. Dia terkejut karena membayangkan kehadiran sang ibu ternyata yang
muncul adalah orang lain.

"Bidadari Angin Timur, engkau rupanya…" Jati’andak berusaha tersenyum, namun bayangan
kesedihan tetap kentara.
Orang yang menegur turun dan kuda, menatap wajah kuning itu beberapa saat, diam tanpa
suara. Hanya hati yang membatin. "Wajahnya seperti sedih. Pandangan mata sayu. Barusan dia
memanggilku dengan sebutan ibu. Apa yang ada dalam hati dan pikiran pemuda ini?"

"Aku gembira kau kembali. Tapi mengapa?"

Bidadari Angin Timur tidak segera menjawab. Masih terheran-heran. Tadi ketika dikejar
pemuda itu, dia menggebrak kudanya habis-habisan. Namun sewaktu suara Jatilandak yang
memanggil-manggil tidak terdengar lagi sang dara tersadar. Dia hentikan kuda, memandang ke
belakang. Hanya kegelapan malam yang menyelubung. Sosok Jatilandak tidak kelihatan.
Suaranyapun tidak terdengar lagi. Kawatir sesuatu terjadi dengan pemuda Itu, mungkin saja
diserang manusia pocong. Bidadari Angin Timur putar kuda, kembali ke arah sebelumnya.
Akhirnya dia menemukan Jatilandak terbaring di tanah. menatap ke langit kelam.

"Seumur hidup baru kali ini aku melihat lelaki menangis," Bidadari Angin Timur keluarkan
ucapan ketika memperhatikan sepasang mata Jatilandak yang berkaca-kaca. Rasa herannya
semakin bertambah.

Jatilandak masih memandang ke langit. Dia tidak tahu apakah ucapan gadis itu merupakan
teguran, rasa prihatin atau ejekan. Dengan suara perlahan Jatilandak berkata.

‘Ternyata aku seorang lemah." Si pemuda usap kedua matanya. "Tapi. ketahuilah sahabatku. Air
mata adalah tanda abadi dari kejujuran yang memancar dari dalam hati yang berSih. Air mata
tidak pernah berdusta."

Bidadari Angin Timur kerenyltkan kening, mulut terkancing diam. "Mengapa orang ini tiba-tiba
berubah Sifat jadi aneh begini rupa? Ucapannya seperti seorang penyair yang sedang bersedih
hati. Pancaran wajahnya memperlihatkan hal itu. Ditambah mata yang berkaca-kaca."

"Tadi aku mengejarmu bukan karena apa-apa. Kita tengah menghadapi urusan besar. Kawasan
ini tidak aman. Aku tidak ingin kau menghadapi bahaya sendirian."

Bidadari Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Anggukkan kepala dan berkata. "Terima kaSih kau
memperhatikan diriku. Saat itu pikiranku sedang kacau.’

"Aku tahu." jawab Jatilandak. "Kacau pikiran hal yang biasa. Bisa dialami semua orang. Tapi
jangan sampai pikiran yang kacau itu membuat kacau pula hati nurani."

"Apa maksudmu, Jatilandak? Kau sendiri wajahmu tampak seperti sedih. Barusan kau
menangis. Kau memanggil diriku ibu. Aneh. kali ini kau kelihatan begitu aneh."

Pemuda dari LatanahSilam itu tersenyum.


"Ketika kau datang tadi. aku tengah merenung diri. Rasa-rasanya akulah mahluk yang paling
buruk nasibnya di Negeri LatanahSilam yang kemudian terpesat ke negeri ini."

Bidadari Angin Timur duduk di tanah, terpisah dua langkah di depan Jatilandak.

"Aku belum lama mengenalmu. Ada hutang budi dalam diriku padamu, ketika kau
menyelamatkan diriku dari mahluk jahat berjubah putih itu. Kalau kau memang punya riwayat
hidup yang menyedihkan, ceritakan padaku…"

"Siapa yang mau mendengar cerita orang buruk sepertiku ini?"

"Aku," jawab Bidadari Angin Timur sambil menyentuh lengan Si pemuda. "Aku mau
mendengarkan."

"Sungguh?"

Sang dara anggukkan kepala.

"Terima kaSih ada yang mau mendengar kisah naSibku. Mudah-mudahan penuturan ini bisa
mengurangi sedikit derita batin yang selama ini kubawa kemana-mana selama bertahun-
tahun." Jatilandak bangkit dari berbaringnya, duduk di tanah, menatap sesaat ko wajah jelita di
hadapannya.

"Aku dilahirkan dari perkawinan yang tidak direstui oleh para Peri di Negeri LatanahSilam. Di
LatanahSilam para Peri mempunyai kekuasaan luar biasa. Mereka bisa menghukum. Bahkan
menjatuhkan kutuk dan malapetaka. Ayahku konon bernama Lahambalang. ibuku bernama
Luhmintari. Akibat kutuk para Peri, aku dilahirkan dengan ujud tubuh seperti seekor landak.
Ayah malu besar. Rasa malu berubah menjadi amarah. Aku dibuang di sebuah pulau, terdampar
dalam rimba belantara Lahitam kelam. Seharusnya aku menemui ajal karena tidak ada yang
memelihara dan memberi makan. Namun tidak disangka di pulau itu ada seorang kakek yang
tubuhnya bersisik, bernama Tringgiling Liang Batu. Kakek ini hidup di pulau bersama dua ekor
landak yang dianggap sebagai anak sendiri. Aku kemudian dipelihara, dianggap sebagai cucu. Di
pulau itu pula kemudian aku bertemu dengan Wiro. Semula atas perintah seorang jahat
bernama Hantu Muka Dua aku dan Tringgiling Liang Batu harus membunuh Wiro. Namun hal
itu berhasil digagalkan dan aKhirnya kami bersahabat. Hanya sayang… saat ini agaknya ada
hubungan yang terjungkal antara aku dengan Wiro. Kalau saja aku bisa bertemu dan memberi
keterangan…" (mengenai kisah Jatilandak dari Negeri Latanah Siam harap baca Episode berjudul
"Hantu Jatilandak").

Jatilandak terdiam. Bidadari Angin Timur membisu.

"Aku tak pernah mengenal ayah ataupun ibuku," Jatilandak meneruskan ceritanya. "Ada yang
menceritakan padaku, setelah ibu menemui kematian sewaktu melahirkan diriku, ayah
membawa dan meninggalkan mayatnya di puncak sebuah bukit. Para Peri merasa kawatir kalau
mayat ibuku akan menimbulkan malapetaka di Negeri Atas Langit, negeri kediaman para Peri.
Mereka kembali menurunkan kutuk, ibuku berubah jadi patung batu. Seorang Peri yang baik
hati kemudian memindahkan patung ibuku ke sebuah goa. Aku rindu ingin bertemu ibu. Walau
ujudnya hanya sebuah patung. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Di Sini aku sebatang kara.
Wiro teman baik satu-satunya yang aku kenal sejak di Negeri LatanahSilam kini menjadi orang
yang tidak menyukai diriku. Atau mungkin-mungkin memang aku yang salah…"

Bidadari Angin Timur gelengkan kepala.

"Tidak, kau tidak bersalah. Kau tidak punya salah apapun. Justru aku yang merasa diri ini telah
berbuat kekeliruan…"

"Keliru ketika Wiro memergoki kita berdua-dua begitu dekat di mata air…? Lalu keliru ketika aku
mendukungmu sewaktu kau menangis?" (baca Episode sebelumnya berjudul "Bendera Darah")

"Aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika dia melihat kita berdua-dua di mata
air. Aku ingin bicara padanya. Ingin menerangkan. Namun tak ada kesempatan. Dia pergi begitu
saja. Aku masih sempat melihat wajahnya saat itu…" ucap Bidadari Angin Timur.

"Aku orang buruk ini telah merusak hubungan baikmu dengan Wiro. Aku merasa sangat
bersalah. Namun hatiku berSih. Tidak ada maksud mengkhianati Siapapun. Apa lagi pemuda
sahabatku itu."

Bidadari Angin Timur memandangi wajah kuning Jatilandak. Ada perasaan hiba di hati gadis
berambut pirang ini. Seperti yang pernah dirasakannya dahulu, kalau saja pemuda ini tidak
memiliki kulit cacat kuning begitu rupa. pastilah dia seorang pemuda yang tampan. Gagah dan
baik hati.

Malam yang mendekati pagi terasa dingin.

"Aku ingat sesuatu." berucap Bidadari Angin Timur.

"Apa?"

"Aku punya seorang sahabat. Entah dimana dia sekarang. Tubuhnya gendut luar biasa. Suka
pakai baju terbalik. Pakai peci hitam kupluk. Wajahnya seperti bocah tolol. Tapi ilmu
kepandaiannya luar biasa. Dia dijuluki Bujang Gila Sakti . Sepasang tangannya memiliki
kesaktian hebat. Dia mampu mengobati luka. Orang yang cidera akan sembuh tanpa kelihatan
bekasnya sedikitpun. Kalau saja aku bisa mempertemukan kau dengan Bujang Gila. Siapa tahu
dia bisa melenyapkan warna kuning kulitmu."

Jatilandak tersenyum. "Aku gembira mengetahui ada niat baik dalam hatimu. Tapi kupikir,
buruk rupa begini saja hidupku sudah susah, apalagi kalau aku bisa hidup wajar, kulitku tidak
kuning lagi. Ah, rasanya orang-orang yang tidak suka padaku pasti akan tambah tidak senang."
Bidadari Angin Timur tarik nafas panjang dan dalam. "Negeri LatanahSilam, aku tidak dapat
membayangkan bagaimana keadaannya. Juga tidak pernah mengerti bagaimana Wiro bisa
terpesat ke sana. Lalu kau sendiri terpesat ke Sini."

"Kau tidak bakal percaya kalau tidak berada sendiri di sana. Ketika Wiro pertama kali muncul di
negeri LatanahSilam bersama dua orang sahabatnya, sosok mereka sangat kecil dibanding
dengan orang-orang LatanahSilam. Seorang kakek sakti kemudian menolong mereka hingga
tubuh mereka jadi besar. menyamai orang-orang LatanahSilam…"

"Selama disana. apa saja yang dilakukan Wiro?"

tanya Bidadari Angin Timur sambil lipatkan lutut, letakkan dua tangan di atas lutut lalu dagu
diletakkan di atas tangan. Dua mata menatap wajah kuning Jatilandak.

"Dia banyak bersahabat Banyak orang sakti yang suka padanya. Dia pernah mendapatkan
beberapa ilmu kesaktian dari mereka. Dia dan temantemannya banyak menolong orang. Dia
bersahabat dengan para Peri "

"Yang disebut Peri itu, apakah mereka cantikcantik?"

Jatilandak tersenyum. "Namanya mahluk. pasti ada yang buruk rupa macamku, namun juga ada
yang cantik. Salah seorang dari mereka bernama Peri Angsa Putih. Cantik sekali. Sepasang bola
matanya berwarna biru."

"Peri Angsa Putih ini. apakah dia bersahabat dengan Wiro?"

"Wiro orangnya baik. Mudah bersahabat dengan semua orang di Negeri LatanahSilam.
termasuk Peri Angsa Putih. Malah kalau aku tidak salah dengar dia sempat melakukan
perkawinan dengan seorang perempuan bernama Hantu Santet Laknat…"

Bidadari Angin Timur terkejut. Kepala diangkat. air muka berubah, dada berdebar, mata
menatap lekat-lekat ke arah Jatilandak.

"Di Negeri LatanahSilam Wiro kawin dengan hantu?"

"Seperti kataku tadi, Negeri LatanahSilam penuh dengan segala macam kutuk. Yang bernama
Hantu Santet Laknat itu sebenarnya adalah seorang gadis bernama Luhrembulan."

Bidadari Angin Timur terdiam. Lemas.

"Kabarnya upacara perkawinan itu dilakukan di sebuah bukit bernama Bukit Batu Kawin.
Namun aku tidak tahu bagaimana akhir peristiwanya karena kalau tak salah saat itu muncul
badai luar biasa hebatnya."
Untuk beberapa lamanya Bidadari Angin Timur masih diam membisu. Kemudian meluncur
perlahan ucapannya. "Jadi Wiro pernah kawin rupanya. Dia tidak perjaka lagi…"

"Kuharap kau tidak menjadi gelisah, sahabatku. Semua hal itu hanya kudengar. Bagaimana yang
terjadi sesungguhnya aku tidak tahu." Kata Jatilandak pula yang tiba-tiba saja merasa menyesal
karena terlanjur bercerita mengenai riwayat perkawinan Wiro di Neger LatanahSilam.

"Ada Bukit Batu Kawin. Ada gadis bernama Luhrembulan. Semuanya jelas…" Ucap Bidadari
Angin Timur. Perlahan-lahan gadis berambut pirang ini bangkit berdiri, melangkah ke kuda yang
ditinggalkannya dekat pepohonan. (Mengenai perkawinan Wiro dengan Luhrembulan dapat
dibaca dalam riwayat di Negeri LatanahSilam berjudul "Rahasia Perkawinan Wiro")

"Kau mau kemana?" tanya Jatilandak seraya berdiri pula.

Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia naik ke atas kuda lalu tinggalkan tempat itu.
Jatilandak cepat mengejar. Namun kemudian hentikan larinya. "Kalau orang ingin pergi, kalau
orang tak mau jalan bersamaku, perlu apa aku mengikuti?"

Di depan sana Bidadari Angin Timur hentikan kuda. menoleh ke belakang.

"Jatilandak, kau tak ingin pergi bersamaku?"

Si pemuda tercengang, tak menyangka sang dara akan berkata begitu.

"Kita menuju kemana?" tanya Jatilandak pula.

"Lurus-lurus ke arah timur. Kawasan bukit batu sarangnya manusia-manusia pocong. Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian."

"Aneh,’ kata Jatilandak dalam hati. "Tadi dia meninggalkan Wiro. pergi tanpa tujuan. Kini dia
sengaja mau menuju ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Tempat yang juga bakal didatangi
Wiro. Apakah ceritaku tadi merubah hati dan pikiran gadis ini? Sengaja menunggu Wiro disana
untuk menanyai pemuda itu? Ah. seharusnya tadi aku tidak keteiepasan bicara."

Bidadari Angin Timur menunggangi kudanya perlahan-lahan. Jatilandak mengikuti dari


belakang.

***

KEESOKAN harinya Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sampai di kawasan bukit batu di
seberang lembah Setelah memberSihkan diri di sebuah kali kecil keduanya menyadari betapa
laparnya mereka. Beruntung keduanya menemukan pohon jambu hutan yang cukup lebat
buahnya.
Melanjutkan perjalanan ke arah bukit batu. Bidadari Angin Timur sengaja tidak menunggangi
kudanya Binatang ini di tuntun dari sebelah kanan sementara Jatilandak berjalan di sebelah kiri.

Di satu tempat Bidadari Angin Timur Angin Timur hentikan langkah. Dia memberi tanda pada
Jatilandak lalu cepat menarik kuda kebalik serumpunan semak belukar lebar di belakang
sederetan pohon besar.

"Aku sudah tahu," biSik Jatilandak. "Ada orang mendatangi ke jurusan Sini."

"Dua orang," biSik Bidadari Angin Timur.

Si gadis dan pemuda kulit kuning cepat bersembunyi dan menunggu. Tak selang berapa lama
dua orang berlari cepat melewati tempat itu. Mereka bukan lain adalah Wiro dan Wulan Srindi.
Jatilandak menoleh, memperhatikan ke arah Bidadari Angin Timur.

"Agaknya mereka tengah menuju ke bukit dimana terletak markas manusia pocong. Tujuan kita
sama. Bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka?"

Bidadari Angin Timur serta meria gelengkan kepala.

"Jika kau suka jalan bersama mereka Silahkan saja. Aku memilih jalan sendiri. Mungkin aku
tidak akan pergi memasuki lorong itu."

"Aku tidak memaksa. Bagaimanapun Wiro pernah menjadi sahabatku. Aku ingin melihat apa
yang akan mereka lakukan dan memberi pertolongan bila dibutuhkan. Sebagai orang rimba
perSilatan, apakah kau akan pergi begitu saja? Padahal kau tahu Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian adalah pusat segala kejahatan keji yang harus kita musnahkan. Termasuk manusia-
manusia pocong itu. Sahabat, apapun yang kau rasakan saat ini. jangan sekali-kali mengacaukan
hati dan pikiranmu. Aku akan kesana. Kau ikut?"

Bidadari Angin Timur diam saja. Namun ketika Jatilandak melangkah pergi dia akhirnya beranjak
juga mengikuti. Kuda yang tadi jadi tunggangannya dibiarkan begitu saja.

Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sengaja menempuh jalan tertutup pohon dan semak
belukar agar jangan sampai diketahui Wiro dan Wulan Srindi. Di atas satu tempat ketinggian
mereka bisa melihat jelas ke bawah, termasuk melihat Wiro dan Wulan Srindi Segala apa yang
terjadi di bawah sana. yaitu bagaimana Wiro dan Wulan Srindi tampak begitu akrab tertawa-
tawa dan sesekali berpegangan tangan sempat disaksikan oleh Bidadari Angin Timur. Rasa
cemburu seolah kobaran api membakar dirinya.

"Kita pergi saja. Tak ada gunanya berada di tempat ini," kata Si gadis pada Jatilandak. Pemuda
dari Negeri LatanahSilam ini terpaksa hendak mengikuti ajakan Bidadari Angin Timur. Dia tahu
Si gadis sangat terpukul dengan apa yang disaksikannya di bawah sana. Lebih terpukul lagi
karena mungkin merasa sebelumnya dia telah melakukan hal yang sama. bermesraan dan
tertangkap basah oleh Wiro. Kini. yang disaksikannya itu apakah berupa balasan?

Belum sempat Bidadari Angin Timur melangkah pergi tanpa mencari kuda coklat
tunggangannya yang entah berada di mana, belum sempat pula Jatilandak bergerak mengikuti,
seperti yang diceritakan sebelumnya, di tempat itu muncullah orang berjubah dan berpenutup
kepala kain putih yang bukan lain adalah Hantu Muka Dua.

"Jatilandak! Lihat!" seru Bidadari Angin Timur. "Mahluk berpakaian dan bertutup kepala serba
putih itulah yang hendak melakukan kekejian terhadapku beberapa waktu lalu sebelum kau
datang menolong! Jahanam Aku akan membunuhnya saat ini juga!"

"Jangan! Tunggu! Lihat! Aku merasa akan terjadi perkelahian hebat antara orang berpakaian
serba putih dengan Wiro. Kalau Wiro terdesak, baru kita keluar membantu."

"Aku akan tetap di Sini Siapa sudi membantu orang seperti dia. Turut ceritamu kini aku tahu
manusia belang macam apa dia adanya!"

"Jangan berkata begitu." ujar Jatilandak sambil pegang lengan Si gadis.

Dibawah sana perkelahian berlangsung hebat. Ketika Wiro mengetuai kan ilmu yang membuat
tanah terbelah dan Siap menyedot amblas sosok Hantu Muka Dua, tiba-tiba melesat tiga
Bendera Darah. menyerang tiga bagian tubuh Pendekar 212. Selagi murid Sinto Gendeng
berusaha selamatkan diri. berkelebat seorang manusia pocong yang langsung menotok Hantu
Muka Dua lalu membawanya kabur.

Jatilandak yang memperhatikan jalannya perkelahian, tersentak kaget dan berucap. "Wiro
mengeluarkan ilmu yang disebut Membelah Bumi Menyedot Arwah. Di Negeri LatanahSilam
hanya Hantu Santet Laknat alias Luh Rembulan yang memiliki ilmu kesaktian itu. Berarti
Luhrembulan telah memberikan ilmu kesaktian itu pada Wiro. Tidak disangka begitu jauh
hubungan mereka…"

"Mengapa heran?" ucap Bidadari Angin Timur dengan wajah unjukkan rasa tidak senang.
Menurut ceritamu, kalau perempuan itu sudah menjadi isterinya. apapun akan diberikannya
kepada Wiro."

Setelah manusia pocong yang membawa kabur Hantu Muka Dua lenyap. Wiro dan Wulan Srindi
melanjutkan perjalanan mendaki bukit batu hingga akhirnya sampai di satu pedataran yang ada
tiga buah batu besar. Di tempat ini kembali Bidadari Angin Timur melihat Wiro dan Wulan Srindi
saling bercanda. Malah berpelukan segala. Hati Bidadari Angin Timur serasa luluh, darahnya
seperti aliran api. Diluar dugaan, kuda tunggangan Bidadari Angin Timur tahu-tahu muncul
dibalik salah satu batu besar dan terlihat oleh Wiro serta Wulan Srindi. Si gadis segera
mengenali kalau kuda itu adalah milik Anggini yang ditunggangi oleh Bidadari Angin Timur.
Berarti Bidadari Angin Timur, mungkin juga bersama Jatilandak, ada di sekitar tempat itu.
"Pasti mereka melihat bagaimana aku bersenda gurau dengan Wulan. Tapi gadis ini malah
memeluk diriku sewaktu hampir jatuh dilabrak hawa aneh dari dalam lorong," membatin Wiro.
"Biar saja," katanya sambil menggaruk kepala. "Mudah-mudahan sekarang dia bisa merasakan
bagaimana rasanya sakit hati sewaktu aku melihat dia bermesraan dengan Jatilandak!" Sang
pendekar tersenyum lalu garuk-garuk kepala sementara Bidadari Angin Timur yang takut kalau
kehadirannya sampai diketahui Wiro dan Wulan Srindi cepat-cepat mengajak
Jatilandaktinggalkan tempat itu.

CERMIN bulat sakti di tangan Ratu Duyung mulai bergetar. Kebeningan di permukaan cermin
perlahan-lahan berubah redup. Sesaat kemudian malah menjadi gelap. Ratu Duyung
tambahkan tenaga dalam. Sepasang mata biru tak berkesip menatap cermin. Getaran ditangan
semakin keras. Tiba-tiba ada guratan-guratan terang. Ratu Duyung merasa heran, juga cemas.

"Wiro, dimana kau…" ucap gadis jelita yang berasal dari kawasan pantai selatan ini. "Mengapa
setiap aku mencoba memantau dimana dia berada, cermin ini memperlihatkan tanda-tanda
aneh. Apakah cermin ini telah hilang kesaktiannya? Beberapa malam lalu ketika aku coba
memantau pemuda itu. aku melihat pemandanganpemandangan aneh. Lalu ada suara genta
dahsyat sekali. Aku terpental. Kini cermin ini kembali menunjukkan keanehan…"

Seperti diceritakan sebelumnya. Ratu Duyung bersama Sutri Kaliangan meninggalkan Gedung
Kepatihan di Kotaraja. Keduanya dengan menunggang kuda akan mencari Wiro sekaligus
menyelidiki tempat-tempat aneh yang terlihat dalam cermir secara samar. Tujuan paling utama
adalah menemukan markas manusia pocong yang disebut 113 Lorong Kematian. (Baca Episode
sebelumnya berjudu "Rumah Tanpa Dosa")

Dalam perjalanan Sutri Kaliangan berusaha bahkan setengah memaksa agar Ratu Duyung mau
mampir ke rumah milik orang tuanya yang terletak di Jatipurno. Rupanya puteri Patih Kerajaan
itu mempunyai maksud tertentu mengajak’Ratu Duyung Singgah di Jatipurno. Di malam hari itu
dia ingin bercinta dengan gadis jelita bermata biru itu. Ternyata Sutri Kaliangan mempunyai
kelainan. Yakni hanya berhasrat pada sesama jenis. Ratu Duyung berhasil melarikan diri dan
sembunyi dalam sebuah gerobak.

Saat itu ada dua orang manusia pocong melakukan pengintaian di atap rumah, melihat Sutri
Kaiiangar dalam keadaan bugil. Yang satu berhasrat hendak menggagahi putri Patih Kerajaan
itu. Manusia pocong satunya yang tidak mau mencari perkara kembali ke sarang mereka di 113
Lorong Kematian.

Sewaktu manusia pocong hampir berhasil hendak memperkosa Sutri Kaliangan yang berada
dalam keadaan tertotok muncul Naga Kuning bersama nenek sakti berjuluk Gondoruwo Patah
Hati Naga Kuning meremas hancur kemaluan manusia pocong yang hendak memperkosa Sutri
Kaliangan.
Ratu Duyung coba mengejar manusia pocong yang hancur kemaluannya dan melarikan diri
dengan membedal salah seekor kuda yang ditambatkan di halaman rumah. Dia coba
mengerahkan ilmu Menembus Pandang agar bisa lebih mudah mengejar manuSia pocong yang
melarikan diri. Ternyata dia hanya mampu melihat kudanya saja sementara manusia pocong
yang menunggangi tidak kelihatan sama sekali. Agaknya ada satu kekuatan hebat melindungi
manusia pocong itu. (Baca Episode berjudul "Bendera Darah")

Ratu Duyung tenangkan hati cemas, jernihkan pikiran yang kacau lalu kembali menambah
kekuatan tenaga dalam pada sepasang tangan yang memegang cermin bulat.

"Ah…" gadis bermata biru ini tarik nafas agak lega. Walau agak samar namun kini dia bisa
melihat bayangan rimba belantara di dalam cermin Lalu sebuah lembah, menyusul bukit batu.
Dua sosok manusia muncul dalam cermin. Satu lelaki, satu perempuan.

"Yang lelaki pasti Wiro. Aku tak bisa menduga Siapa yang perempuan. Anggini atau Wulan
Srindi? Mungkin juga Bidadari Angin Timur?"

Bayangan dua manusia di dalam cermin pupus. Berganti dengan bangunan aneh terdiri dari
loronglorong yang jumlahnya banyak sekali. "Aku pernah melihat lorong ini sebelumnya dalam
cermin," membatin Ratu Duyung. Sepasang mata Ratu Duyung tak berkesip. Dadanya
mendadak berdebar. Bayangan lorong di cermin lenyap. Muncul pemandangan sebuah rumah
tua. Lalu sebuah bangunan berwarna putih. Saat itu pula ada suara aneh, seperti suara genta
luar biasa kerasnya. Membuat telinga Ratu Duyung mengiang kesakitan. Dua tangannya
bergetar hebat. Lalu ada satu kekuatan dahsyat yang tak kelihatan. Karena pernah mengalami
kejadian seperti ini sebelumnya waktu di Gedung Kepatihan. sambil berteriak keras Ratu
Duyung cepat melompat setinggi dua tombak. Satu tangan mengangkat cermin bulat tinggi-
tinggi ke atas. tangan yang lain dipukulkan ke bawah guna meredam hantaman hawa aneh yang
menyerangnya.

"Rumah putih itu… Agaknya disana letak semua sumber kekuatan." Ucap Ratu Duyung begitu
melayang turun dan jejakkan dua kaki di tanah. "Aku harus mencari bangunan itu. Aku harus
menuju kesana. Bukan mustahil itulah sarangnya para manusia pocong."

Ratu Duyung Simpan cermin saktinya di balik pakaian. Ketika dia hendak melangkah pergi dari
samping berkelebat satu bayangan disertai menebarnya bau pesing santar sekali. Semula gadis
ini menyangka nenek sakti dari Gunung Gede Sinto Gendeng yang muncul. Ternyata kakek
berkuping lebar, berbaju lusuh, bercelana basah oleh air kencing. Setan Ngompol!

"Ratu Duyung, senang bisa berjumpa kau lagi."

"Kau sendirian?" tanya sang dara.


"Sama seperti dirimu," jawab Setan Ngompol lalu kedipkan mata dan tertawa mengekeh.
"Sobatku Si Naga Kuning tengah berleha-leha dengan kekasihnya Si Gondoruwo Patah Hati.
Entah berada dimana mereka saat ini. Tadinya aku bersama Bidadari Angin Timur. Gadis itu
pergi begitu saja meninggalkan aku bersama pemuda botak berkulit kuning. Kurasa kau juga
tahu, sebelumnya sudah disusun rencana untuk mencari sarang manusia pocong di satu bukit
batu. Aku mengira saat ini kau juga tengah menuju kesana.”

Ratu Duyung mengiyakan dengan anggukkan kepala.

“Kalau begitu apakah kita boleh jalan berbarengan?”

“Asal kau tidak jahil dan jangan dekat-dekat,” jawab Ratu Duyung bercanda.

“Aku tidak pernah jahil. Paling-paling Cuma ngompol saja,” jawab Si kakek lalu serrr! Air
kencingnya terpancar dan dia tertawa gelak-gelak.

***

DI DALAM Lorong Kematian.

Yang Mulia Ketua berdiri di tepi ranjang sambil usap-usap dua telapak tangan satu sama lain.
Seringai mesum tersungging di wajahnya yang tersembunyi dibalik kain putih penutup kepala.

"Cantik sekali… cantik sekali. Aku pernah mendengar, mungkin juga pernah melihatmu
sebelumnya. Tapi tidak sedekat seperti sekarang ini. Anggini. itu namamu? Bagus nama cantik
orangnya. Alur nasib akhirnya membawa kita pada pertemuaan ini. Ha…ha…ha!"

Di atas tempat tidur. Anggini terbaring tak bergerak akibat totokan ujung rambut Yang Mulia Sri
Paduka Ratu. Mata melotot, dadanya turun naik. Takutnya tentu saja bukan kepalang. Dia rela
menghadapi mati bagaimanapun caranya dari pada dinisak kehormatan dan dibiarkan hidup
seumurumur dalam keadaan menanggung derita sengsara tak berkeputusan. Namun murid
Dewa Tuak ini tidak mau unjukkan rasa takut. Karena jalan suaranya tidak ikut ditotok, dia
segera membuka mulut.

"Jadi ini mahluknya yang disebut manusia pocong! Kau pimpinan di tempat ini?!"

"Betul sekali," jawab Yang Mulia Ketua. Dia membungkuk sedikit, membelai wajah Si gadis
dengan tangan kanan lalu tertawa gelak-gelak.

"Pengecut’" Hardik Anggini.

Tawa Yang Mulia Ketua semakin keras.

"Kau tahu Siapa aku?!" Kembali Anggini membentak.


"Oo-o! Siapa tidak tahu gadis cantik terkenal sepertimu ini. Namamu Anggini. Kau murid Dewa
Tuak. Kau juga adalah kekasih Pendekar 212 Wiro Sableng!"

"Kalau sudah tahu Siapa aku mengapa tidak segera melepas diriku? Apa aku harus mengambil
nyawamu lebih dulu? Atau kau mau orang-orang yang barusan kau sebut namanya itu akan
mencincangmu sampai lumat?!"

"Aha! Bicaramu hebat! Aku suka gadis macammu" Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kemitian itu duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya enak saja memegang paha Anggini.

"Manusia jahanam! Jangan berani menyentuh Diriku” Teriak Anggini.

Sang Ketua mendongak, tertawa panjang lalu berkata.

"Aku akan membebaskan dirimu, jika aku sudah merasa puas menerima pelayananmu! Ha…ha…
ha!"

"Mahluk keparat! Jika kau punya maksud berbuat keji padaku, lebih baik kau bunuh aku
sekarang juga! Aku tidak takut mati!"

"Kau gadis pemberani. Kau memang hebat! Tapi dengar dulu. Kita akan bersenang-senang.
Kekasihmu pemuda sableng itu, jika sudah kena diringkus akan aku bawa ke dalam kamar ini.
Dia akan ikut menyaksikan bagaimana mesranya kau melayani diriku. Setelah itu kau sendiri
yang akan membunuhnya! Ha…ha…ha!"

"Setan keparat! Siapa kau sebenarnya? Permusuhan apa antara kau dengan Wiro hingga punya
rencana sangat keji?!"

"Saat ini aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu. Bila sampai waktunya, kau akan tahu
sendiri. Sekarang biar aku menanggalkan pakaianmu.

"Jahanam! Tidak! Jangan!"

Tangan Sang Ketua meluncur ke dada pakaian Anggini. Ketika jari-jarinya hendak merenggut
robek pakaian itu tiba-tiba dikejauhan terdengar suara genta. Lantai dan dinding kamar batu
bergetar. Di lain saat ada ketukan di pintu.

"Setan alas! Apa yang terjadi?’ Siapa berani menggangu?!"

Walau marah besar kesenangannya terganggu. Yang Mulia Ketua turun dari tempat tidur,
melangkah ke pintu. Begitu pintu dibuka, tampak berdiri wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.

"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Saya datang untuk memberi laporan sangat penting.
Mulut Sang Ketua berkomat kamit menahan amarah. "Bicara!" bentaknya.

"Saya dan anak buah berhasil menawan seorang tokoh berkepandaian tinggi. Berasal dari
negeri 1200 tahun Silam. Dia tidak mau memberi tahu nama. Tapi dari pembicaraannya yang
dilakukannya di satu tempat diketahui dia bernama Hantu Muka Dua. Sesuai namanya,
kepalanya memang memiliki dua wajah. Satu di sebelah depan, satu lagi di belakang. Mahluk
satu ini sungguh luar biasa. Sepasang matanya bisa menyemburkan dua larik Sinar hijau. Hal ini
saya saksikan sewaktu dia berkelahi melawan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng."

"Jadi pendekar sableng itu sudah berada di sekitar kawasan lorong?" tanya Yang Mulia Ketua.

"Benar sekali Yang Mulia. Dia muncul bersama seorang gadis bernama Wulan Srindi Gadis ini
dulu pernah disekap di lorong tapi berhaSil kabur setelah merayu seorang anggota kita."

"Aku ingat peristiwa itu." kata Yang Mulia Ketua pula

"Harap Yang Mulia Ketua mau menyempatkan diri untuk melihatnya sendiri. Juga memberi
petunjuk apa yang akan kita lakukan."

"Mahluk aneh dari 1200 tahun Silam. Hemmm…" Yang Mulia Ketua usap kain penutup
kepalanya. "Aku pernah mendengar kabar tentang manusiamanusia aneh yang muncul di tanah
Jawa, entah datang dari mana. Jadi kita berhaSil menawan seorang diantara mereka. Bernama
Hantu Muka Dua. Memiliki dua wajah! Luar biasa! Tentu, aku ingin sekail melihatnya. Siapa
tahu dia pantas menjadi anggota barisan manusia pocong. Kita sedang kekurangan orang."

“Terus terang saya punya usul lain. Yang Mulia Ketua. Selain hebat dan luar biasa mahluk ini
sangat berbahaya. Dia bisa menjadi musuh dalam selimut. Bagaimana kalau kita hadapkan pada
Yang Mulia Ketua Sri Paduka Ratu?"

"Akan aku putuskan nanti. Apakah mahluk itu sudah dicekoki minuman selamat datang?"

"Sudah Yang Mulia. Dua cangkir besar. Sama sekali tidak ada bekas. Tidak ada pengaruh. Dia
memiliki kekuatan aneh yang punya daya tolak luar biasa. Saat ini dia berada dalam keadaan
tertotok. Namun saya kawatir dia punya kemampuan untuk membuyarkan totokan itu."

"Begitu?" Yang Mulia Ketua usap-usap dua tangannya satu sama lain.’ Antarkan aku ke tempat
mahluk itu disekap "

Sebelum keluar dari kamar, Yang Mulia Ketua mendekati Anggini yang masih terbaring di atas
ranjang. Diciumnya pipi gadis itu seraya berkata. "Harap kau sabar menunggu. Nanti kau harus
melayaniku sampai puas." ‘

"Mahluk jahanam! Pergilah ke neraka! Jangan kembali lagi" Maki Anggini.


***

KAMAR batu dimana Hantu Muka Dua disekap dijaga oleh dua orang Satria Pocong. Ketika Sang
Ketua masuk, keadaan Hantu Muka Dua masih berpakaian lengkap yaitu jubah dan penutup
kepala kain putih. Sang Ketua tidak menyangka kalau orang itu mengenakan pakaian dan
berpenampilan seperti manusia pocong. Dia memberi isyarat agar Wakil Ketua membuka kain
penutup kepala. Begitu kain putih penutup kepala dibuka. Yang Mulia Ketua sempat melengak
kaget, sepasang mata menyipit, kening mengerenyit. Orang yang tegak di depannya. seperti
keterangan Wakil Ketua tadi. ternyata memang memiliki dua wajah. Satu di depan berwarna
putih kekuningan, satu lagi di belakang berwarna hitam berkilat. Selain itu. yang juga dahsyat
adalah sepasang bola matanya yang berbentuk segi tiga hijau.

"Namamu Hantu Muka Lua?" tegur Yang Mulia Ketua.

"Apa maumu?! Kalau bicara padaku apa kau tidak berani membuka kain penutup kepala?"

"Nyalimu hebat juga!" Ucap Yang Mulia Ketua. Dia perhatikan gerakan urat besar di leher kiri
Hantu Muka Dua. Ada bagian urat yang mengembung dan bergerak cepat pertanda Hantu
Muka Dua tengah berusaha melepaskan diri dari totokan. Yang Mulia Ketua cepat luruskan dua
jari tangan kanannya dan dess! Dua jari menotok urat besar di pangkal leher kanan hantu Muka
Dua. Yang ditotok langsung menjadi tambah kaku tak punya kemungkinan lagi untuk
memusnahkan totokan yang menguasai dirinya.

"Benar kabar yang mengatakan kau mahluk dari negeri 1200 tahun Silam?"

"Aku tidak mau bicara apapun denganmu. Lepaskan totokanku! Baru nanti kita bicara. Jika aku
suka. mungkin saja kita bisa bersekutu."

Sang Ketua tidak perdulikan ucapan orang. Dia perhatikan sepasang mata yang berbentuk segi
tiga hijau. Menurut Wakil Ketua, sepasang mata orang ini bisa menyemburkan dua larik Sinar
hijau

‘Kau merasa aneh melihat dua mataku yang berbentuk segi tiga?"

Ketika Sang Ketua tidak menyahut. Hantu Muka Dua tertawa bergelak.” Tiga sudut sepasang
mataku adalah pelambang Sifat diriku. Hantu Segala Keji. Segala Tipu, Segala Nafsu!"

Yang Mulia Ketua sampai tersentak kepalanya mendengar ucapan Hantu Muka Dua

"Mahluk satu itu memang bisa berbahaya. Bisa menimbulkan bencana bagi diriku. Malapetaka
bagi kelangsungan Partai Bendera Darah Seratus Tiga Belas Lorong Kematian yang hendak aku
dirikan," ucap Yang Mulia Ketua dalam hati. Dia berpaling pada Wakil Ketua, memberi isyarat
agar mendekat. Begitu Wakil Ketua berada di sampingnys. Sang Ketua berkata perlahan.
"Hadapkan mahluk satu ini pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Perintahkan Sri Paduka Ratu
untuk menyedot semua kesaktian yang dimilikinya."

"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dflakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!" Wakil Ketua keluarkan ucapan Mu bersama seorang anak buahnya cepat-cepat
menggotong sosok Hantu Muka Dua keluar dari kamar sekapan.

Ketika Yang Mulia Ketua kembali ke kamarnya, dia dapatkan Anggini tidak ada lagi diatas
tempat tidur. Ledakan amarah membuat Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian ini berteriak tak karuan. Wakil Ketua yang tengah membawa Hantu Muka Dua
ke Rumah Tanpa Dosa tempat kediaman Yang Mulia Sri Paduka Ratu terpaksa mendatangi.

"Geledah semua tempat! Periksa semua orang! Temukan gadis itu! Kalau tidak kalian semua
akan menerima hukuman berat!”

Wakil Ketua membungkuk hormat. "Selesai membawa Hantu Muka Dua ke hadapan Yang Mulia
Sri Paduka Ratu, perintah Yang Mulia Ketua akan saya laksanakan. Saya akan memeriksa Dewa
Tuak terlebih dulu Karena kakek itu adalah guru Anggini."

Yang Mulia Ketua menjawab dengan menghantamkan tiniu kanannya ke dinding batu hingga
din-ding berlobang besar dan pecahan batu bertaburan.

TAMAT

Eps 140 Misteri Pedang Naga Suci 212

Wakil Ketua melangkah cepat memanggul tubuh Hantu Muka Dua. Setelah melewati sebuah
pintu besi, dia hentikan langkah dan berpaling pada Satria Pocong yang berjalan mengikutinya.

“Untung tadi Yang Mulia Ketua tidak sampai Menanyakan soal caping milik Kakek Segala Tahu.
Kau sempat memeriksa benda itu ?“

“Sudah, tapi saya tidak menemukan gulungan kain putih yang kita cari.”

“Apa ucapanmu bisa kupercaya?“ tanya wakil ketua barisan manusia pocong 113 lorong
kematian sambil dua matanya menatap lurus dan tajam pada sepasang mata anak buahnya.

“Saya tidak berdusta. Saya tidak punya keperluan apa apa atas benda itu.” Menjawab Satria
Pocong.
“Yang Mulia Ketua pernah bilang benda itu luar biasa penting. Menyangkut kelangsungan masa
depan seratus tiga belas lorong kematian dan rencana pembentukan sebuah partai yang bakal
menguasai seantero rimba persilatan tanah Jawa dan tanah seberang.”

“Saya pernah mendengar hal itu…” ucap Satria Pocong.

Lalu dan balik jubah putihnya orang ini keluarkan caping milik Kakek Segala Tahu. “Silahkan
Wakil Ketua memeriksa sendiri”

“Simpan saja. Saat ini aku mempercayai semua ucapanmu. Kalau kemudian kau ternyata
berdusta, aku akan merajam dirimu tiga hari tiga malam sebelum nyawamu kucabut! Camkan
itu baik baik!”

“Saya mengerti Wakil Ketua.” Satria Pocong masukkan kembali caping bambu ke balik
jubahnya.

Wakil Ketua serahkan tubuh Hantu Muka Dua pada anak buahnya. “Tunggu aku di depan
Rumah Tanpa Dosa. Jangan melakukan apapun sampai aku datang!”

“Wakil Ketua mau kemana?” tanya Satria Pocong.

“Sesuai perintah Yang Mulia Ketua, aku akan menemui Dewa Tuak di ruangannya. Aku harus
memeriksa tua bangka satu itu. Gadis muridnya lenyap dan kamar Yang Mulia Ketua. Mungkin
dia yang punya pekerjaan.”

Satria Pocong mengangguk. Panggul sosok Hantu Muka Dua di bahu kiri lalu cepat cepat
tinggalkan tempat itu. Wakil Ketua menyusuri lorong di mana terdapat deretan ruang batu. Di
depan sebuah pintu besi dia berhenti. Ada satu jendulan di batu ini. Pintu besi terbuka.
Engselnya keluarkan suara berkereketan.

Di sudut kamar, di atas satu tempat tidur terbuat dan batu, duduk seorang kakek berpakaian
putih lusuh. Wajah pucat, tubuh kelihatan lemas. Rambut putih acak acakan. Janggut dan kumis
putih tidak karuan. Di lantai ruangan, dekat kepala tempat tidur batu, teronggok helai jubah
dan kain putih penutup kepala. Orang tua ini yang bukan lain adalah Dewa Tuak adanya
pandangi sosok manusia pocong yang masuk lalu berkata.

“Lagi lagi kau datang berhampa tangan. Kukira kau membawa tuak kayangan untukku!”

Wakil Ketua tutup pintu besi, perhatikan orang tua di atas tempat tidur batu seraya berucap
dalam hati.

“Seingatku dia sudah dicekoki Iebih dan empat cangkir minuman pelupa diri pelupa ingatan.
Nyatanya ingatannya tidak sepenuhnya leleh. Dia masih ingat pada minuman kesayangannya
itu. Tidak heran Yang Mulia Ketua masih terus menyekapnya di tempat ini. Manusia satu ini
masih berbahaya. Aku akan menyuruh orang untuk memberi minuman tambahan padanya.”

Sejurus kemudian Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong berkata.

“Selama kau belum mau mengenakan jubah dan kain putih penutup kepala, jangan harap aku
akan memberikan tuak padamu!”

“Aku sudah bilang, jubah dan penutup kepala tidak pantas jadi dandanan tua bangka sepertiku!
Para gadis cantik tidak dapat melihat wajahku yang walau sudah keriputan ini tapi masih
merangsang! Ha.. ha. .ha!”

“Tua bangka edan. Alasan tolol!” bentak Wakil Ketua.

Dewa Tuak menyeringai. Kepala didongakkan. Mulut dibuka. Dua tangan diangkat ke atas
seolah memegang sebuah benda panjang. Sikap si kakek seperti seseorang yang meneguk
minuman sungguhan. Mata meram melek dan dari tenggorokannya yang bergerak naik turun
keluar suara gluk…gluk…gluk!

“Gila! Bagaimana mungkin!” ujar Wakil Ketua dalam hati.

Dewa Tuak tertawa bergelak. Belakang telapak tangan kirinya dipakai mengusap mulut, seperti
orang yang barusan benar benar habis meneguk minuman enak.

“Tuakku terasa tawar. Tapi lumayan. Daripada meneguk air comberan….” Dewa Tuak kembali
tertawa sambil mengusap usap perutnya yang kempes.

Wakil Ketua hentakkan kaki kanannya ke lantai hingga ruangan batu itu bergetar. “Dewa Tuak!
Jangan bertingkah macam macam yang membuatku jengkel!”

“Oala! Sampeyan jengkel rupanya. Mana aku tahu! Padahal aku tidak macam macam. Cuma
satu macam! Ha…ha…ha!”

“Aku datang untuk menanyakan perihal muridmu!”

“OaIa, kapan aku punya murid? Aku lupa.”

“Muridmu, gadis bernama Anggini lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua! Ini pasti kau punya
pekerjaan. Kau sembunyikan dimana gadis itu?”

Dewa Tuak pentang lebar lebar matanya.


“Aku tidak pernah ingat kalau punya murid. Aku tidak kenal siapa gadis bernama Anggini itu. Di
tempat ini mana mungkin aku main sembunyi sembunyian. Pintu celaka itu selalu dikunci.
Bagaimana mungkin aku bisa keluar?”

“Beberapa waktu lalu ketika ada seorang tokoh rimba persilatan dijebloskan kedalam Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian, kau diberi kebebasan keluar kamar ini. Kesempatan itu pasti kau
pergunakan untuk melarikan dan menyembunyikan muridmu!”

Dewa Tuak tertawa. Dia kembali membuat sikap seperti orang tengah meneguk minuman dan
dalam sebuah bumbung.

“Gluk! Gluk…gluk!”

“Mengurusi diriku saja, aku tak mampu, apalagi mengurusi orang lain! Sudah, pergi sana! Lama
lama aku muak melihatmu. Aku mau kentut!”

“Kakek jahanam! Jangan kau berani main main padaku!”

“Aku tidak main main. Aku memang mau kentut sungguhan!” Habis berkata begitu Dewa Tuak
turun dan tempat tidur batu, badannya membungkuk dan pantat disonggengkan. Lalu!

“Buuuttt……. Buuutt……. buttttttt!”

Dewa Tuak keluarkan kentut, tiga kali berturut turut, panjang dan keras. Selagi pantatnya
keluar suara kentut, dan mulutnya si kakek keluarkan suara mengekeh.

Ruangan batu itu buncah oleh bau kentut luar biasa busuk “Jahanam kurang ajar!”

Wakil Ketua angkat kaki kanannya dan bukkk!

Satu tendangan mendarat di pantat Dewa Tuak. Suara tawa mengekeh si kakek berubah jadi
jeritan keras. Tubuhnya terlempar, kening membentur dinding batu itu hingga benjut besar. Si
kakek melingkar tak bergerak di lantai, mata terpejam, mulut meringis kesakitan.

“Kalau aku kembali dan kau masih belum mengenakan jubah serta penutup kepala itu, akan aku
patahkan batang lehermu!” Wakil Ketua lalu keluar dan kamar, pintu besi dibanting keras.

Dewa Tuak usap usap pantatnya. “Untung tidak remuk tulang bokongku! Edan! Tendangan
bangsat itu keras juga! Weleh…!”

Dewa Tuak buka sepasang mata. Pandangannya membentur onggokan jubah dan kain putih
penutup kepala. Si kakek mencibir. “Mungkin sudah saatnya aku harus mengenakan pakaian
dan penutup kepala sialan ini! Dari pada ditendang lagi, apa lagi kalau sampai dipatahkan
Ieherku. Hik…hik…hik. Sebelum mengenakan jubah dan penutup kepala itu, aku mau minum
tuak dulu ah!” Lalu Dewa Tuak dongakkan kepala, buka mulut dan dua tangan dikeataskan,
mata merem melek dan leher naik turun. “Gluk…gluk. . .gluk!”

***

Satria Pocong berdiri tak bergerak di hadapan Rumah Tanpa Dosa. Sepasang matanya sesekali
melirik ke arah bangunan, menatap ke bagian atas. Setiap berada di dekat rumah itu dia selalu
merasa takut. Kini dia berada di situ dengan beban tubuh Hantu Muka Dua di bahu kiri.

Yang disebut Rumah Tanpa Dosa ini adalah sebuah rumah panggung terletak di seberang
Iembah kecil. Di sebelah atas ada sebuah pintu dan delapan jendela dalam keadaan tertutup.
Mulai dari atap yang terbuat dan ijuk sampai tiang penyangga bangunan dan tangga berputar
menuju ke atas, semua berwarna putih. Di bawah atap, dekat tangga setengah Iingkaran,
menjulai ke bawah hampir menyentuh tanah seutas tali besar. Tali ini berhubungan dengan
sebuah genta atau lonceng besar yang terletak di depan pintu bangunan.

Di dalam rumah panggung putih yang disebut Rumah Tanpa Dosa inilah diam Yang Mulia Sri
Paduka Ratu, seorang gadis berambut hitam panjang yang hidup dengan nyawa kedua setelah
mendapat satu kekuatan majis aneh dan benda berupa batu yang disebut Aksara Batu
Bernyawa. Sang Ratu yang memiliki kesaktian luar biasa ini berada di bawah kekuasaan Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.

Walau cukup lama memanggul tubuh Hantu Muka Dua, Satria Pocong di halaman rumah Tanpa
Dosa tetap berdiri tak bergerak. Setiap dua kakinya terasa capai atau bahunya terasa pegal
maka cepat cepat ia mengucap. “Hanya penintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”

Satu bayangan putih berkelebat. Satria Pocong lepaskan nafas lega. Wakil Ketua akhirnya
muncul dan tegak di sampingnya.

“Tidak ada kejadian apa apa di tempat ini?” Wakil Ketua bertanya.

“Sepi sepi saja.” Jawab Satria Pocong.

Wakil Ketua memperhatikan arah delapan jendela dan pintu rumah pintu.

“Saatnya kita minta Yang Mulia Sri Paduka Ratu keluar,” kata Wakil Ketua pula lalu melangkah
mendekati tali besar yang menjulai ke permukaan tanah. Ada sedikit debaran di dada manusia
pocong ini ketika jari jaritangan kanannya menyentuh dan menggenggam tali. Terlebih ketika
dia menggerakan tangan menarik tali. Saat itu juga genta di bawah atap mengeluarkan suara
berkumandang. Tanah di halaman Rumah Tanpa Dosa bergetar. Tiang rumah panggung
berderak. Satria Pocong merasakan dua kakinya goyah dan tubuhnya sebelah atas gontai
seperti ditiup angin. Wakil Ketua Ietakkan tangan kiri di depan dada lalu mendongak dan
berseru.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kami diutus oleh Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian untuk satu permintaan yang harus kau laksanakan!”

Wakil Ketua menanik genta sekali lagi. Lalu menunggu. Sementara itu di selatan bukit batu tak
jauh dari jalan masuk ke dalam 113 lorong kematian, Ratu Duyung tercekat ketika mendengar
suara menggema dari kejauhan. Tanah yang dipijaknya seperti dialiri getaran aneh. Ratu
Duyung berpaling pada Setan Ngompol yang tegak di sampingnya sambil memegangi bagian
bawah perut agar tidak membersit air kencingnya.

“Kek, kau dengar suara aneh itu?”

Setan Ngompol anggukkan kepala. “Seperti suara lonceng besar.”

Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Sepasang matanya yang biru memperhatikan
tak berkesip. Setan Ngompol ulurkan kepala ikutan melihat Mula mula tampak tebaran asap
tipis.

“Jangan jangan tak mempan lagi….” Ucap Ratu Duyung dalam hati agak khawatir. Namun
perlahan lahan asap tipis dalam cermin bulat berangsur lenyap. Kini muncul satu bangunan
berwarna putih. Ratu Duyung berpaling pada si kakek.

“Rumah putih itu pernah muncul sebelumnya dalam cermin beberapa waktu lalu. Bangunan
penuh rahasia menyimpan satu kekuatan dahsyat.”

Baru saja Ratu Duyung berucap begitu tiba tiba di sebelah utara kembali terdengar gema suara
aneh. Cermin bulat bergetar. Satu hawa aneh berkekuatan hebat tiba tiba menghantam Ratu
Duyung. Gadis ini terpekik, terjajar beberapa langkah dan jatuh duduk di tanah. Wajahnya
tampak pucat. Setan Ngompol sudah lebih dulu terjengkang di tanah dan kucurkan kencing.

“Rumah putih itu…“ desisnya dengan dada turun naik “Aku yakin itu tempatnya markas
manusia pocong.”

***

Kapak Maut Naga Geni 2122

Setelah berdiam diri sesaat untuk menenangkan hati dan mengatur jalan darahnya, Ratu
Duyung berdiri. Sebenarnya melalui cermin sakti dia ingin memantau lagi. Menjajagi dimana
beradanya Wiro. Namun khawatir akan diserang kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan Ratu
Duyung simpan cermin saktinya di balik pakaian lalu tinggalkan tempat itu sambil memberi
isyarat pada si kakek di sebelahnya untuk mengikuti.

“Kita mau kemana?” tanya Setan Ngompol.


“Aku yakin markas manusia pocong ada di arah utara. Kita menuju ke sana.”

Setan Ngompol raba telinga kanannya yang terbalik, peras celananya yang basah oleh air
kencing lalu cepat cepat mengikuti Ratu Duyung yang telah jalan duluan.

***

Kembali ke halaman Rumah Tanpa Dosa. Belum lenyap gema suara genta, belum hilang getaran
di tanah, delapan jendela rumah putih terpentang. Ada hembusan angin aneh keluar lewat
jendela yang terbuka disertai tebaran asap putih. Sesaat kemudian pintu bangunan ikut
terbuka.

“Siapa di luar sana?”

Tiba tiba suara perempuan bertanya. Keluar dan bagian atas rumah panggung putih.

“Saya Wakil Ketua bersama seorang Satria Pocong. Kami diutus Yang Mulia Ketua untuk satu
keperluan yang harus dilaksanakan oleh Yang Mulia Sri Paduka Ratu!” Wakil Ketua memberi
jawaban dengan berteriak.

Sunyi beberapa saat ketika pada saat Yang Mulia Sri Paduka Ratu diharapkan keluar, justru dari
dalam rumah panggung putih terdengar suara orang bernyanyi.

Kematian datang tidak disangka

Di dalam bukit batu

Ada seratus tiga belas lorong

Siapa masuk akan tersesat

Tidak ada jalan keluar

Sampai kematian datang menjemput

Di dalam lembah

Ada Rumah Tanpa Dosa

Inilah tempatnya…

Di halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian
berteriak keras.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Yang Mulia Ketua telah berulangkali memperingatimu agar tidak
menyanyi! Jangan membuat Yang Mulia Ketua gusar dan marah!”

Sunyi lagi. Lalu satu bayangan putih muncul di pintu. Tampak satu sosok tinggi semampai
dibalut jubah terbuat dan kain putih lembut dan halus berkilat. Di bawah kain putih penutup
kepala menjulai rambut hitam panjang hampir menyentuh pinggul. Pada bagian kening dan kain
penutup kepala melingkar sebuah mahkota kecil berwarna hijau memancarkan cahaya berkilau.
Di depan pintu sosok ini berhenti sebentar. Dua mata memandang ke bawah. Menatap ke arah
Wakil Ketua, lalu ke arah sosok berjubah putih di atas panggulan bahu Satria Pocong.

“Yang Mulia Ketua mengutusmu ke sini untuk satu urusan. Wakil Ketua, harap katakan urusan
apa?” Sosok di atas rumah panggung putih yaitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu ajukan pertanyaan.

“Kami membawa seorang tawanan. Yang Mulia Ketua meminta agar Yang Mulia Sri Paduka Ratu
menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiIikinya.”

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!”

“Jangan membuang waktu. Harap Yang Mulia Sri Paduka Ratu segera melaksanakan perintah!”
kata Wakil Ketua pula.

Untuk turun ke bawah Sri Paduka Ratu bisa mempergunakan tangga setengah Iingkaran. Tapi
dia tidak melakukan hal itu. Dengan satu gerakan enteng tanpa suara sama sekali, seperti
seekor burung besar, dalam gerakan yang begitu indah Sri Paduka Ratu melompat, melayang
turun ke tanah. Di lain saat dia telah berdiri di hadapan Wakil Ketua dan Satria Pocong.

“Ini manusia yang akan disedot ilmu kesaktiannya?” tanya Sri Paduka Ratu sambil menatap
tubuh yang tergeletak di bahu kiri Satria Pocong.

“Pakaian dan kain penutup kepalanya hampir sama dengan kalian berdua.”

“Dia bukan anggota Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian,” menjelaskan
Wakil Ketua.

Wakil Ketua memberi isyarat. Anak buahnya turunkan sosok Hantu Muka Dua dan bahu kiri lalu
ditegakkan di tanah. Karena dalam keadaan tertotok tanpa bisa bergerak ataupun berbicara,
Hantu Muka Dua tegak kaku seperti patung. Hanya dua matanya yang aneh berbentuk segi tiga
menatap angker ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

“Dari matanya yang aneh aku bisa memaklumi manusia ini memang memiliki ilmu kesaktian
yang luar biasa. Tapi baunya aneh. Dia seperti bukan mahluk alam sini. Beri tahu siapa
namanya.”
“Nama aslinya kami tidak tahu. Orang orang yang kenal menyebut dia Hantu Muka Dua! Konon
dia bukan mahluk alam kita. Tapi berasal dan alam seribu dua ratus tahun silam. Silahkan Yang
Mulia Sri Paduka Ratu menyaksikan dan menyelidik sendiri!” Selesai berucap Wakil Ketua
tanggalkan kain yang menutupi kepala Hantu Muka Dua.

Orang lain mungkin akan terkesiap kaget bahkan ngeri melihat keadaan kepala Hantu Muka
dua. Betapa tidak. Kepala itu memiliki dua wajah. Satu di sebelah depan, satunya di bagian
belakang. Wajah sebelah depan berkulit putih kekuningan sedang bagian belakang hitam
berkilat. Keduanya mewujudkan wajah seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan.

Di balik kain penutup kepala walau kening mengerenyit dan mata menyipit namun air muka
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak memperlihatkan rasa gentar. Dengan tenang ia melangkah
mendekati Hantu Muka Dua. Dari mulutnya keluar ucapan.

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”

Di hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dua wajah Hantu Muka Dua tiba tiba berubah.
Warnanya yang tadi hitam dan putih kini sama sama menjadi merah. Tampang itu bukan
berwujud manusia biasa tapi lebih menyerupai tampang raksasa. Mulut berbibir tebal, taring
mencuat. Cambang hijau berubah merah. Sesuai ujud dan sifatnya iniIah satu pertanda bahwa
Hantu Muka Dua berada dalam kemarahan luar biasa!

Kalau Wakil Ketua dan Satria Pocong tercekat kaget melihat perubahan dua wajah Hantu Muka
Dua, sebaliknya Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa pendek.

“Mungkin ini mahluk jejadian yang kesasar dan rimba belantara. Mungkin kau memang
memiliki ilmu kesaktian setinggi langit sedalam samudera! Namun semua kehebatanmu itu
berakhir hari ini! Harus kau serahkan padaku! Mulai yang ada di batok kepala sampai yang ada
di telapak kakimu!”

Tenggorokan Hantu Muka Dua turun naik. Bola matanya yang berbentuk segi tiga warna hijau
pantulkan cahaya bergidik tapi tidak punya kemampuan untuk melancarkan serangan berupa
sinar maut. Raja Diraja dari segala Hantu dari Negeri Latanahsilam ini berusaha kerahkan
tenaga dan hawa sakti untuk memusnahkan totokan yang menguasai dirinya, namun sia sia.

Sementara itu bersamaan dengan akhir ucapannya, sosok Yang Mulia Sri Paduka Ratu tiba tiba
melayang ke atas. Serentak dengan itu tangan kanannya menyambar ke atas batok kepala
Hantu Muka Dua. Telapak tangan menempel pada ubun ubun mahluk dari Negeri Latanahsilam
ini.

“Dess! Dess! Dess!


Sekujur tubuh Hantu Muka Dua bergetar hebat. Sepasang mata mendelik. Tenggorokan
mengeluarkan suara seperti sapi digorok. Untuk kedua kalinya wajahnya depan belakang
berubah mengerikan. Tampang raksasa lenyap, berganti dengan wajah kakek keriput pucat
pasi. Ini merupakan pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada dalam keadaan kaget dan takut
besar.

Dari batok kepala Hantu Muka Dua mengepui asap kelabu. Lalu ada cahaya biru mengalir dari
telapak kaki, menjalar ke atas dan akhirnya keluar dari ubun ubun. Cahaya biru itu disedot,
melesat masuk ke dalam tangan kanan Yang Mulia Sri Paduka Ratu, terus menjalar ke seluruh
jalan darah dalam tubuhnya. Begitu cahaya biru mencapai bagian kepala, kelihatan kain
penutup kepala serta mahkota kecil memancarkan sinar biru sangat benderang.

Hantu Muka Dua yang sebeiumnya dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak bisa bersuara,
keluarkan suara raungan keras mengerikan. Tubuh seperti benang basah, terkulai iemah.
Wajahnya yang tua keriputan, depan belakang semakin putih. Ketika sosoknya hampir roboh ke
tanah tiba tiba ada suara mengiang di kedua telinganya kiri kanan. Kepala Hantu Muka Dua
tersentak.

Seperti ada kekuatan aneh yang masuk ke dalam tubuhnya lewat suara mengiang itu mendadak
bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi tiga pancarkan cahaya berkilat aneh,
menatap Sri Paduka Ratu. Malah tangan kirinya yang menunjuk nunjuk kini bergerak berusaha
hendak memegang tubuh perempuan itu. Dari mulutnya keluhan suara hek…hek…hek
berkepanjangan disertai lelehan air liur berwarna biru!

“Sreettt!”

Tangan kiri Hantu Muka Dua berhasil menggapai Jubah putih Sri Paduka Ratu.

“Ihh!”

Yang Mulia Sri Paduka Ratu cepat mundur satu langkah Lalu hentakkan kaki kanannya. Tanah
bergetar hebat. Hantu Muka Dua tergelimpang roboh. Tangan kirinya yang tadi sempat
menyentuh pakaian Sri Paduka Ratu kelihatan berwarna putih dan mengepulkan asap. Satria
Pocong cepat memeriksa keadaan Hantu Muka Dua. Tubuh itu dingin sekali. Ketika diraba urat
besar di leher terasa denyutan.

“Wakil Ketua, orang ini masih hidup!” Satria Pocong memberi tahu. “Biar saya selesaikan
sekalian!” Satria Pocong angkat tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala Hantu
Muka Dua yang tergelimpang tak berdaya.

“Ajalnya hanya tinggal beberapa kejapan mata. Buang dia ke dalam jurang di belakang lorong,”
perintah Wakil Ketua. “Biar dia tersiksa lebih dulu sebelum menemui kematian!”
Satria Pocong segera panggul tubuh Hantu Muka Dua. Aneh sosok orang itu kini terasa sangat
enteng seolah dia memanggul batangan bambu.

“Wakil Ketua, aku sudah melaksanakan perintah. Aku akan kembali masuk ke dalam Rumah
Tanpa Dosa. Harap kau tidak berlama lama berada di sekitar tempat ini.”

Wakil Ketua tidak segera berlalu. Mulutnya keluarkan suara berdecak. Dia berkata, “Seorang
gadis tawanan, bernama Anggini, lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua. Mungkin melarikan diri.
Jika Yang Mulia Sri Paduka Ratu melihatnya harap memberi tahu kami Kalau bisa tangkap
sekalian dan serahkan padaku!”

Sri Paduka Ratu putar tubuh, melangkah ke arah tangga setengah Iingkaran. Sebelum melesat
ke atas rumah panggung ia berhenti sebentar dan berpaling pada Wakil ketua lalu mendongak
dan berkata.

“Yang barusan kau katakan bukan penintah Yang Mulia Ketua. Kau dan anak buahmu
berkewajiban mencari tawanan yang kabur itu. Bukan aku!”

“Ck…ck…ck…” Mulut Wakil Ketua berdecak berulang kali.

Walaupun telinganya panas mendengar ucapan itu namun dia segera saja angkat kaki dan
halaman Rumah Tanpa Dosa. Tapi dalam hati dia berkata, “Lihat saja, Kalau aku punya
kesempatan dan berhasil mencuri rahasia dirimu akan aku sedot habis seluruh ilmu
kesaktianmu lewat lubang paling bawah di tubuhmu! Setelah itu kau akan jadi budak pemuas
nafsuku!”

Begitu menginjakkan kaki di lantai atas rumah panggung, Yang Mulia Sri Paduka Ratu berpaling
memperhatikan sosok Hantu Muka Dua yang dilarikan Satria Pocong dari halaman Rumah
Tanpa Dosa. Sang Ratu usapkan tangannya dan dada sampai perut.

“Aneh,” ucapnya dalam hati. “Mahluk satu itu benar benar luar biasa. Memiliki dua wajah yang
bisa berubah ubah. Orang lain pasti sudah leleh tubuhnya kusedot begitu rupa.

” Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali mengusap tubuhnya sebelah depan. “Matanya itu…. Apa
yang dilihatnya, apa yang diperhatikannya?”

Satria Pocong yang memanggul Hantu Muka Dua lenyap di kejauhan. Sri Paduka Ratu putar
tubuh lalu masuk ke dalam bangunan. Tak lama kemudian sayup sayup terdengar suaranya
menyanyi.

Kehidupan muncul secara aneh

Kematian datang tidak disangka


Di dalam bukit batu

Ada seratus tiga belas lorongSiapa masuk akan tersesat

Tidak ada jalan keluar

Sampai kematian datang menjemput…

***

Kapak Maut Naga Geni 2123

Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di pinggir timur jurang batu. Memandang ke bawah tak
terlihat dasar jurang karena tertutup pohon pohon besar berdaun lebat dan rimbunan pohon
bambu. Sayup sayupWiro mendengar suara air mengalir ke bawah berarti di dasar jurang yang
tak kelihatan itu ada genangan air atau semacam telaga.

Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Wulan Srindi yang tegak di sebelahnya. “Apa
kataku. Ini jadinya mengikuti petunjuk nenek bau pesing itu!”

“Wiro, jangan kau berkata begitu. Nenek itu adalah gurumu sendiri!”

“Siapa bilang dia bukan guruku? Tapi Wulan, kau saksikan tak ada jalan masuk lewat bagian
belakang bukit bukit batu yang jadi markas manusia pocong itu! Kau percaya pada ucapan
Eyang Sinto Gedeng. Inilah jadinya! Pakai ilmu bambu. Setiap ada jalan masuk dari depan pasti
ada jalan masuk dan belakang. Ilmu bambu…Huh! Di dalam jurang aku lihat banyak pohon
bambu. Makan saja bambu itu!”

Sambil tersenyum Wulan Srindi pegang punggung Wiro.

“Saat ini kita berada di bagian terpendek dan lebarnya jurang. Bagaimana kalau kita bergerak ke
arah barat, menyusuri panjangnya pinggiran jurang. Mungkin kita akan menemukan sesuatu.”

“Sudah setengah nyasar, biar nyasar benaran. Aku mengikuti apa katamu saja,” ucap Wiro
masih kesal.

Cukup lama mereka menyusuri pinggiran jurang di belakang bukit batu. Di satu tempat
ketinggian Wiro dan Wulan Srindi berhenti. Saat itu mereka berada di deretan pohon pohon
tinggi berbatang sebesar pemelukan tangan.

“Wiro lihat!” Tiba tiba Wulan Srindi keluarkan ucapan sambil menyibakkan semak belukar di
depannya.
Wiro sibakkan pula semak belukar di sebelah depan yang menutupi pemandangan. Dua mata
terpentang lebar. Di seberang jurang, gundukan batu hitam berjejer bertumpuk tumpuk,
membentuk dinding hitam kokoh dan tinggi. Di bagian tengah dinding, antara dua buah batu
menyerupai tiang hitam tumbuh dua buah pohon berdaun lebat. Di sebelah belakang ada
tumbuhan merambat, melekat ke dinding agak terlindung oleh dua pohon berdaun lebat. Di
belakang pohon terdapat satu tangga batu seratus undak menuju ke dinding yang ditutupi
tumbuhan merambat.

Sepasang mata Wiro memperhatikan tak berkesip.

“Kalau ada tangga berarti ada pintu, berarti ada jalan masuk. Tapi aku tidak melihat sebuah
pintupun di bagian atas tangga batu….” Ucap Wiro.

“Pintu yang kau cari terhalang daun pohon lebat dan tertutup tumbuhan merambat”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Wiro penasaran. Lalu dia hendak mengerahkan ilmu menembus
pandang. Tapi tidak jadi. Khawatir kekuatan gaib akan menghantam dirinya lagi seperti yang
sudah sudah.

“Petunjuk gurumu bukan isapan jempol. Di sebelah depan satu satunya jalan masuk ke dalam
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian adalah mulut goa. Siapa masuk lewat goa itu akan tersesat
seumur umur sampai akhirnya menemui ajal. Di sebelah belakang tenyata ada pintu masuk lain.
Terlindung oleh daun dan tumbuhan merambat.”

“Kalau di situ memang ada pintu berarti Eyang Sinto betul,” kata Wiro menyeringai dan sambil
garuk kepala.

“Yang jadi pertanyaan sekarang apakah pintu itu memang dipergunakan untuk jalan keluar
masuk. Kau lihat sendiri. Tangga batu itu menuju pinggiran jurang. Buntu! Lalu apa kegunaan
pintu kalau memang di dinding itu ada pintu tersembunyi?”

“Betul, apa kegunaan pintu itu.” Mengulang Wulan Srindi. “Kalau orang membuat pintu, lantas
tidak ada kegunaannya, buat apa?”

“Bisa saja sebagai jebakan,” kata Wiro pula.

Wulan Srindi pegang lengan Wiro. Menarik pemuda itu melangkah sepanjang pinggiran jurang
dan berhenti tepat di jurusan dinding batu yang ada tangganya. Si gadis memperhatikan ke arah
kejauhan. Lalu memperhatikan ke arah kakinya sendiri. Pandangan terus melebar ke arah
sekitarnya. Wiro ikuti perbuatan Wulan Srindi. Dua orang ini kemudian sama sama melepas
nafas tercekat.

“Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Wiro.


“Apa yang ada dalam benakmu?” balik bertanya Wulan Srindi.

“Aku melihat batu di pinggiran jurang sebelah sini agak kurang lumutnya.” Kata Wiro pula.

“Itu yang pertama. Yang kedua nyaris tidak ada semak belukar di sekitar sini. Berarti ada yang
pernah merambasnya. Berarti tempat ini, yang jika ditarik garis lurus berhadap hadapan dengan
bagian dinding batu yang aku kira ada pintunya itu. Wiro, keras dugaanku tempat ini sering
dilalui orang.”

“Wulan, yang jadi pertanyaan jika banyak orang lewat sini, apakah mereka pergi dan datang ke
dinding batu? Lalu bagaimana caranya? Tidak mungkin melompat, apa lagi terbang. Siapapun
orang sakti dan memiliki ilmu meringankan tubuh hebat sekalipun tak mungkin sanggup
melompat dari sini sampai ke sana atau sebaliknya.”

“Apapun kesulitannya kita harus mampu menyeberang dan menyelidik bagian dinding batu
yang ditutupi tumbuhan merambat itu.”

“Jarak dua pinggiran jurang terlalu jauh. Kita tidak mungkin melompat atau turun ke bawah lalu
naik lagi di sebelah sana. Jurang ini terlalu dalam. Kita tidak tahu ada apa di dasarnya. Mungkin
ular atau binatang buas lainnya. Mungkin juga ada dedemit penghuni jurang….”

“Kita harus mencari akal,” kata Wulan sambil menggigit bibir. Pandangannya diarahkan ke
berbagai jurusan. Ketika dia memperhatikan ke arah tiga pohon tinggi yang tumbuh tak jauh di
sisi kanan, gadis ini tersenyum.

“Aku tahu apa yang ada dalam benakmu. Kau ingin menumbangkan salah satu pohon itu untuk
dijadikan jembatan dan sini ke dinding seberang sana. Menurut perhitunganku kelebaran
jurang paling sedikit lima puluh kaki. Tinggi pohon ini sampai ke pucuknya paling banyak empat
puluh kaki.”

“Jarak yang terpaut sekitar sepuluh kaki bisa kita atasi dengan melompat.” Setelah
memperhatikan akar pohon, Wulan Srindi melanjutkan. “Akar pohon ini dari jenis yang melebar
ke samping, bukan menghujam ke dalam tanah. Wiro, keluarkan kapak saktimu. Akar pohon
harus diputus baru bisa ditumbangkan.”

“Enak saja kau bicara. Kapak saktiku bukan alat untuk menebang pohon!”

“Kalau begitu kita berdua harus pergunakan kekuatan tenaga dalam. Tunggu apa lagi? Dorong
batang pohon yang di tengah. Kalau akarnya terbongkar pasti pohonnya tumbang.”

Wiro dan Wulan mencari bagian batang yang baik untuk tempat meletakkan dua telapak tangan
dan selanjutnya mulai mendorong pohon iu. Namun sampai tangan mereka licin oleh keringat
walau batang pohon bergerak, akarnya tidak terbongkar dari tanah. Kedua orang itu terus
mencoba sambil kerahkan tenaga dalam yang mereka miliki.
“Preettt!”

“Pendekar kurang ajar!” maki Wulan Srindi seraya melompat menjauhi Wiro. “Mendorong
pohon saja sampai keluar kentut!”

“Siapa yang kentut?” tukas Wiro dengan mata mendelik.

“Kalau bukan kamu apa ada setan yang kentut di tempat itu!” Wulan Srindi semakin marah.
“Kalaupun ada setan aku belum pernah mendengar ada setan bisa kentut!”

Wiro gosok gosok pantatnya sendiri. Tangannya kemudian ditempelkan ke hidung. “Kalau aku
memang kentut pasti bau! Nyatanya tanganku tidak bau! Kau mau cium?”

Wulan Srindi mencibir.

“Ayo kita dorong sekali lagi pohonnya,” kata Wiro.

Wulan Srindi menggeleng. “Percuma, pohon tidak tumbang malah kentutmu yang
bermuncratan!”

“Kalau begitu biar aku pergunakan pukulan sakti saja.”

Kata Wiro Jadi jengkel mendengar kata kata si gadis.

“itu lebih baik. Dan pada kau nanti kentut lagi!” jawab Wulan Srindi.

“Sial! Jangan bicara soal kentut lagi! Pokoknya aku tidak kentut! Sumpah!” Murid Sinto
Gendeng mundur menjauhi pohon. Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan menyiapkan
pukulan “Dewa Topan Menggusur Gunung”. Diarahkan ke bagian paling bawah pohon tinggi di
depan.

“Wiro, tunggu!” tiba tiba Wulan Srindi berseru.

“Ada apa?”

“Lihat!”

Wulan Srindi menunjuk ke seberang jurang.

“Astaganaga…” Wiro mengucap setengah berolok.

Saat itu bagian dinding yang tertutup tumbuhan merambat kelihatan bergeser ke samping
hingga membentuk sebuah celah tinggi dan lebar.
“Apa kataku! Kau lihat sendiri! Ternyata memang ada pintu di dinding itu!” kata Wulan Srindi.

“Pintu rahasia,” ucap Wiro.

Sesaat kemudian dan ruang agak gelap di balik pintu yang barusan terbuka keluarlah manusia
pocong memanggul sosok besar seorang berjubah tanpa kain putih penutup kepala. Si manusia
pocong menuruni tangga batu yang memiliki seratus undakan dan membawanya ke tepi jurang.

“Wiro! Si manusia pocong melemparkan orang yang dipanggulnya ke dalam jurang!” ucap
Wulan Srindi.

“Aneh!”

“Tidak aneh kalau orang itu memang anggota barisan manusia pocong yang sudah mati,” kat
Wiro pula.

“Kalau begitu yang jadi pertanyaan mengapa orang itu mati. Dibunuh?”

Manusia pocong yang barusan melemparkan orang berjubah ke dalam jurang untuk beberapa
lama masih berdiri di tepi jurang. Dia mengomel sendiri karena orang yang dilempar ternyata
menyangsrang di antara kerapatan ranting dan kelebatan daun pohon di dalam jurang, juga
tertahan oleh sebuah cabang cukup besar. Sebelum tinggalkan tepian jurang, sepasang
matanya melirik ke seberang. Di balik kain penutup kepala mukanya menyeringai. Dalam hati
dia berkata,

“Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua pasti senang jika kulapori sudah ada dua tokoh rimba
persilatan menyelinap ke bagian belakang markas.”

Tak ama kemudian Wiro dan Wulan melihat manusia pocong tadi menaiki tangga, masuk ke
dalam pintu. Setelah itu pintu rahasia di dinding batu tertutup kembali.

“Saatnya kita menyeberang ke sana.” Kata Wiro. Dia melangkah mendekati pohon besar yang
akan ditumbangkan dan dipergunakan sebagai jembatan untuk menyeberang. Tenaga dalam
dialirkan. Hawa sakti disalurkan ke tangan. Wiro lalu hantam bagian bawah pohon dengan
pukulan “Dewa Topan Menggusur Gunung”…

“Wuttt!”

“Braakkk!”

“Reeetttttt! Bummmm!”
Pukulan sakti pemberian Tua Gila dan Pulau Andalas itu menghancurkan bagian bawah pohon
besar, membongkar akar yang menjalar ke enam bagian tanah lalu masuk dengan suara
bergemuruh tumbang melintas di atas jurang.

Seperti yang diperhitungkan Wiro, ujung pohon ternyata tidak sampai menyentuh pinggiran
jurang batu di seberang sana. Selain itu karena tumbangnya miring, jarak yang terpaut menjadi
Lebih jauh dan sepuluh langkah.

“Kau siap?” tanya Wiro.

Wulan Srindi mengangguk. Kedua orang itu kerahkan ilmu meringankan tubuh dan segera
meniti batang pohon yang melintang di atas jurang batu. Menjelang akan sampai ke ujung
pohon Wiro menyempatkan memandang ke bawah kanan, ke arah orang yang tadi dilempar
dan menyangsrang di atas pohon. Jaraknya hanya terpisah sekitar dua jangkauan tangan. Dia
bisa melihat sosok dan wajah orang itu. Gerakan kakinya yang tengah meniti batang pohon
serta merta terhenti. Wulan Srindi hampir menabrak tubuhnya.

“Apa yang kau lakukan? Mengapa berhenti mendadak? Gila! Kita bisa sama sama jatuh!” teriak
Si gadis.

“Orang itu.” Ucap Wiro.

“Aku…aku mengenalinya. Dia Hantu Muka Dua, mahluk dari negeri seribu dua ratus silam. Coba
kau perhatikan kepalanya. Di memiliki dua wajah. Satu di depan satu di belakang. Saat ini
wajahnya seperti kakek. itu bukan wajah aslinya. Dia dalam ketakutan luar biasa.”

“Turut keteranganmu, dia adalah musuh besarmu sewaktu berada di alam lain. Dia muncul di
alam kita untuk mengejar dan membunuhmu! Aku pernah cerita dan punya dugaan kalau
bangsat itu yang hendak memperkosa Bidadari Angin Timur! Lalu dia pula yang menyeranq kita
waktu di bukit batu.”

“Wulan, semua yang kau katakan betul adanya.”

“Lalu mengapa kau berhenti? Apa yang hendak kau lakukan?”

“Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Jika manusia pocong melemparkannya ke
dalam jurang berarti dia bukan anggota barisan manusia pocong.”

“Belum tentu. Bisa saja dia anggota yang berbuat salah besar lalu dibunuh dan mayatnya
dibuang ke dalam jurang.”

“Wulan, manusia itu masih belum jadi mayat. Lihat, tangan kanannya bergerak gerak. Dia
berusaha mengangkat tangan, berusaha melambai ke arah kita. Mungkin dia ingin minta
tolong…”
“Perduli setan! Orang jahat seperti dia kenapa diperdulikan? Biar dia mati nyangsrang di atas
pohon itu. Ayo jalan, Wiro! Kalau kita terus terusan berdiri di sini lama lama batang pohon ini
bisa melengkung dan roboh. Kita berdua bakalan mati konyol jatuh ke dalam jurang!”

“Aku tidak tega meninggalkannya. Aku bisa menolongnya.”

“Jangan terlalu berbaik budi dengan seorang musuh besar. Keselamatan kita saja tidak ada yang
menjamin. Kau mau mauan menolong orang! Sudah gila apa!”

Wulan mendorong bahu Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk kepala. Sesaat jadi bingung.

“Wulan, Hantu Muka Dua pernah masuk ke dalam lorong kematian. Maksudku kita bisa
menanyainya. Mungkin dan dia kita bisa mendapat keterangan yang besar manfaatnya.”

“Aku pernah masuk ke lorong jahanam itu! Aku sudah ceritakan semua yang aku ketahui! Di
dalam lorong kematian ada beberapa tokoh yang perlu diselamatkan. Kau akan ke lorong atau
mau menolong bangsat satu itu?”

Wiro tidak menjawab. Tiba tiba pemuda ini menjatuhkan diri ke bawah, bergayut pada batang
pohon.

“Benar benar sableng! Apa yang kau lakukan, Wiro?” teriak Wulan Srindi.

“Aku memberi jalan padamu! Lewatlah cepat! Tunggu aku di tangga batu.”

“Pendekar goblok! Seumur hidup baru hari ini aku menyaksikan seorang pendekar mau maunya
menolong musuh besarnya! Kau akan mati karena ketololanmu sendiri!” Dengan kesal Wulan
Srindi tinggalkan Wiro, meniti batang pohon, bergerak hati hati di sela sela ranting dan begitu
sampai di ujung pohon dia Iesatkan diri, membuat lompatan sejauh lima belas kaki lebih dan
berhasil mendarat di undakan tangga batu ke tiga.

Setelah memperhatikan Wulan Srindi sebentar Wiro putar tubuhnya sedemikian rupa hingga
kini dia berada dalam keadaan duduk di cabang pohon. Dengan cepat dia buka baju putihnya.
Pakaian ini dibuntal demikian rupa hingga membentuk tali sepanjang lebih sepuluh jengkal.

“Hantu Muka Dua!” Wiro berteriak. “Kalau aku lemparkan ujung pakaian padamu, cepat
tangkap! Pegang kuat kuat. Aku akan menarikmu ke batang pohon ini!”

Hantu Muka Dua tidak menjawab karena jalan suaranya berada dalam keadaan ditotok. Wiro
lemparkan pakaian putihnya yang kini berbentuk tali. Ujung pakaiannya jatuh tepat di bahu kiri
Hantu Muka Dua
“Hantu Muka Dua! Tunggu apa lagi? Lilitkan ujung pakaian ke lenganmu. Pegang kuat kuat! Kau
akan aku tarik!”

Hantu Muka Dua dengan wajah masih berupa kakek keriput hanya bisa menatap ke arah
Pendekar 212. Dua tangannya terkulai lemah di kedua sisi, sama sekali tidak bisa digerakkan.

“Hantu Muka Dua! Kau mendengar teriakanku! Cepat pegang ujung pakaian!” Wiro kembali
berteriak. Tak ada jawaban. Tak ada gerakan.

“Jangan jangan mahluk itu sudah jadi mayat,” pikir Wiro.

“Tapi tadi salah satu tangannya mampu digerakkan membuat lambaian. Atau mungkin dia
sudah pasrah, tak mau ditolong.” Di atas pohon sosok Hantu Muka Dua bergoyang goyang
menyangsrang terlentang. Penasaran Wiro tarik pakaiannya. Dalam hati ia berkata.

“Lebih baik aku mengikuti ucapan Wulan Srindi. Buat apa susah susah menolong mahluk satu
ini.” Perlahan lahan Wiro berdiri di atas cabang pohon.

Sebelum beranjak pergi untuk terakhir kalinya dia melihat ke arah Hantu Muka Dua. Saat itu
dilihatnya tangan kanan mahluk dan negeri Lahtanahsilam itu bergerak sedikit. Jari terkembang,
telapak melambai.

“Edan!” maki murid Sinto Gendeng. Namun rasa kasihan kembali muncul dalam hatinya. Ujung
pakaian dibuhul membentuk simpul cukup lebar. Simpul ini menyebabkan kepanjangan tali
buatan itu jadi berkurang. Wiro memperhatikan. Bagian tubuh Hantu Muka Dua yang paling
dekat adalah kaki kanannya yang terangkat ke atas. Wiro lemparkan ujung tali berbentuk
simpul ke anah tangan kiri itu. Meleset. Tali jatuh ke bawah. Sekali lagi dicoba. Ujung tali tepat
jatuh di kaki kiri Hantu Muka Dua tapi simpul tidak masuk ke kaki. Wiro goyang goyangkan
ujung tali yang dipegangnya. Simpul bergerak turun. Begitu mencapai pergelangan kaki kiri,
dengan cepat Wiro menyentakkan hingga simpul menjerat keras.

“Mudah mudahan saja tali dan baju butut ini cukup kuat untuk menahan tubuh tinggi besar
Hantu Muka Dua. Kalau sampai putus tamat riwayatnya.”

“Hantu Muka Dua. Aku akan menarik tubuhmu!” Wiro berteriak memberi tahu. Duduk di atas
batang dengan dua kaki disilang merangkul batang pohon kuat kuat, Wiro mempergunakan dua
tangan untuk menarik Hantu Muka Dua. Jelas bukan pekerjaan mudah melakukan hal itu. Salah
salah Wiro sendiri bisa terseret oleh beban berat dan amblas jatuh di dalam jurang. Namun
herannya murid Sinto Gendeng ini dapatkan ternyata tubuh Hantu Muka Dua yang besar dan
tinggi itu enteng sekali. Dia seperti menarik sebatang ranting pohon kering.

Begitu sosok Hantu Muka Dua berada di dekatnya, Wiro sentakkan tangan kanannya hingga
Hantu Muka Dua terbetot dan jatuh tepat di atas bahu kanannya. Lagi lagi Wiro dibuat heran.
Tubuh Hantu Muka Dua yang tinggi besar itu terasa ringan hingga Wiro mampu bergerak dan
berdiri di atas batang pohon. Tidak ada waktu untuk mencari tahu keanehan itu Wiro cepat
meniti batang pohon yang membelintang di atas jurang. Di ujung pohon dia membuat
lompatan, melesat di udara dan melayang turun di samping kin tangga batu seratus undak.
Ketika memperhatikan ke arah tangga batu di samping kanan, Wiro tersentak kaget. Wulan
Srindi yang tadi dilihatnya berada di undakan tangga batu ketiga kini tidak ada lagi di tempat
itu!

“Gadis bengal. Pergi kemana dia?” pikir Wiro. “Wulan!”

Wiro berteriak memanggil. Tak ada jawaban.

“Wulan!” terlak Wiro lebih keras hingga suaranya menggema ke seantero tempat dan bergaung
di dalam jurang. Tetap tak ada jawaban. Wiro baringkan tubuh Hantu Muka Dua di samping
tangga batu. Dia lalu melompat ke atas tangga, memandang berkeliling, mencari cari. Sekali lagi
dia berteriak memanggil Wulan Srindi. Tak ada jawaban, apalagi kelihatan sosoknya. Selagi Wiro
kebingungan tiba tiba terdengar suara suitan di kejauhan. Suara suitan ini disahuti oleh suitan
lain dan arah yang berbeda.

“Orang orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian sudah mengetahui kehadiranku…” ucap Wiro
dalam hati. Dia melompat turun dari tangga batu, menghampiri Hantu Muka Dua.

Rasa cemas mulai menggerayangi diri murid Sinto Gendeng ini. “Tidak mungkin Wulan Srindi
pergi begitu saja. Kalau orang orang lorong membawanya kabur masakan aku tidak melihat.
Masakan dia tidak melakukan perlawanan…” Wiro memperhatikan bagian dinding batu yang
tertutup tumbuhan rambat. Lalu menyelidik ke tepi jurang di depan tangga batu seratus undak.

“Gila! Apa yang terjadi dengan gadis itu!” pikir Wiro.

Sambil garuk garuk kepala dia mendekati Hantu Muka Dua kembali.

“Mahluk Latanahsilam Hantu Muka Dua! Kita bertemu pada saat yang tidak karu karuan! Apa
yang terjadi denganmu?” Wiro ajukan pertanyaan.

Tenggorokan Hantu Muka Dua bergerak turun naik.

Namun dan mulutnya tak ada suara yang keluar. Tubuh tergeletak kaku. Wajah depan belakang
masih berupa wajah kakek keriput. Pertanda dirinya masih berada dalam ketakutan besar.
Mungkin sekali saat itu dia takut kalau Wiro akan menghabisi dirinya. Maklum saja, silang
sengketa permusuhan dan dendam kesumat dia dengan Wiro sewaktu masih berada di negeri
1200 tahun silam luar biasa hebatnya. Tambahan lagi beberapa waktu lalu dia sengaja hendak
merusak kehormatan Bidadari Angin Timur karena diketahuinya gadis itu adalah kekasih musuh
besarnya itu. Perbuatan keji yarg tidak kesampaian itu adalah salah satu cara dia membalaskan
dendam kesumat sakit hati terhadap Wiro. Dan kini dalam keadaan dirinya tidak berdaya Wiro
muncul di hadapannya. Selain takut amat sangat juga ada tanda tanya besar dalam hati Hantu
Muka Dua. Mengapa pemuda musuh besarnya itu mau menyelamatkan dirinya.

***

Kapak Maut Naga Geni 2124

Hantu Muka Dua menatap Wiro dengan pandangan kosong. Mukanya depan belakang yang
berwujud kakek keriput tetap menunjukkan rasa takut amat sangat.

“Aku bertanya kau tak menjawab. Apa kau tuli atau gagu?!” Wiro kembali membuka mulut.

Hantu Muka Dua masih tidak keluarkan jawaban.

Wiro sandarkan mahluk dan negeri 1.200 tahun silam itu ke dinding batu. Karena kesal waktu
menyandarkan Wiro sengaja menghempaskan punggung Hantu Muka Dua ke dinding batu.
Tetap saja Hantu Muka Dua tidak bersuara tidak bergerak, kecuali tenggorokannya yang turun
naik. Wiro lalu perhatikan sekujur tubuh mahluk itu. Periksa bagian leher serta singkapkan
jubah putih di bagian dada orang. Tak ada tanda tanda bekas totokan.

“Heran, apa yang terjadi dengan mahluk sialan ini!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia ingat. Tubuh
Hantu Muka Dua selain tinggi juga besar kekar. Namun mengapa keadaannya luar biasa
enteng? Untuk beberapa lama Wiro melangkah mundar mandir sambil matanya terus
mengawasi Hantu Muka Dua. Karena agak tertutup rambut tanda itu nyaris tidak kelihatan
kalau dia tidak memperhatikan dengan teliti. Tanda itu menyerupai bekas telapak tangan
dengan jari jari yang mengembang.

“Tanda aneh”, ucap Wiro dalam hati.

“Kalau ada orang sakti memukul kepalanya pasti kepala ini sudah hancur! Banyak hal ingin aku
tanyakan padanya. Bagaimana caraku membuat dia mampu bicara!”

Wiro berlutut di hadapan Hantu Muka Dua. Dua jari tangannya ditusukkan ke beberapa bagian
tubuh mahluk dan negeri Latanahsilam itu. Sosok Hantu Muka Dua hanya meliuk sedikit lalu
kembali diam. Saking kesalnya Wiro kemudian pukul batok kepala mahluk itu.

“Desss!”

Suara seperti benda gembos terdengar bersamaan dengan mengkeretnya tubuh Hantu Muka
Dua. Kepala yang dipukul jatuh ke dada. Dada turun ke perut dan bagian perut melosoh ke
pangkal paha. Sesaat kemudian seperti lenturnya karet, kepala, dada dan perut itu naik ke atas
dan bentuknya kembali seperti semula. Murid Sinto Gendeng sampai terperangah dan terduduk
di tanah saking kagetnya melihat apa yang terjadi.
“Mahluk geblek! Ada yang tak beres dengan dirimu!” ucap Wiro. Lalu dia bangkit berdiri.

“Aku tak punya waktu lama lama mengurusi dirimu!” Wiro hendak melompat ke alas tangga
batu.

“Huk…huk…hukkk…”

Tiba tiba mulut Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti orang mau muntah.

“Nah, nah! Akhirnya kau bersuara juga!”

“Hukkk…huk…hukkk…”

“Apa yang terjadi dengan dirimu. Aku lihat kau dipanggul keluar dan balik dinding balu ini lalu
dilempar ke jurang. Apakah kau anggota Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian?!”

“Hukk…hukk! Hukkk…”

“Tubuhmu enteng sekali! Apakah…”

“Hukkk…huukkk…hukk!”

“Setan alas! Apa kau lak bisa bicara lain selain hukk…hukk…hukk melulu?!” Saking kesalnya
Wiro tampar pipi kanan Hantu Muka Dua.

Saat itu juga wajah Hantu Muka Dua depan belakang mendadak sontak berubah menjadi wajah
raksasa lengkap dengan taring mencuat. lnilah kehebatan dan keangkeran mahluk dan negeri
1.200 tahun silam. Dua mukanya depan belakang bisa berubah sesuai dengan perasaan yang
menguasai dirinya yaitu muka wajar, muka takut, muka marah dan muka nafsu.

“Nah, nah! Kau ternyata masih punya perasaan! Tampangmu depan belakang berubah jadi
muka raksasa tanda kau lagi marah! marah padaku! Ha…ha…ha!” Wiro tertawa sambil garuk
garuk kepala.

“Hukkk…hukkkkk!” Lagi lagi Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti orang mau muntah
sementara wajahnya perlahan lahan kembali berubah menjadi wajah kakek kakek dengan
sepasang mata memandang ke depan. Bersamaan dengan itu Wiro melihat mahluk ini berusaha
mengangkat tangan kanannya. Walau tergontai gontai, gerakan tangan itu seperti berusaha
menggapai sesuatu. Dua mata menatap ke depan, sayu tidak berkesip.

Wiro garuk garuk kepala. Dia memandang ke belakang, ke samping sambil bertanya tanya
dalam hati.
“Apa yang diperhatikan mahluk ini? Ada sesuatu yang hendak dipegangnya. Apa?”

"Hantu Muka Dua! Kau menghabiskan waktuku saja!”

Wiro akhirnya melompat ke atas tangga batu, menaikinya hingga mencapai bagian dinding yang
tertutup tumbuhan merambat. Dia meraba kian kemari.

“Aneh, jelas di bagian ini aku tadi melihat dinding batu terbuka menyerupai pintu! Mengapa
rata semua, tidak ada tanda tandanya?” Dengan jari jari tangannya Wiro merenggut tumbuhan
merambat dan kini dia berhadapan dengan dinding batu hitam, kotor berlumut.

“Kalau di sini ada pintu, berarti disini ada jalan masuk! Seberapa tebalnya dinding batu ini.
Kalau kuhantam dengan pukulan sakti masakan tidak jebol!”

Pendekar 212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan. Pukulan sakti yang hendak
dikeluarkannya adalah Segulung Ombak Menerpa Karang dengan pengerahan tenaga dalam
setengah dan yang dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh Lima. Dua kaki tegak
merenggang. Dua tangan perlahan lahan diangkat dan arah pinggang ke atas lalu dihantamkan
ke arah dinding batu hitam, tepat pada bagian yang diperkirakannya merupakan pintu rahasia.

“Wutttt! Wuttt!”

“Bummm! Bummm!

Dinding batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti menyebabkan gelegar panjang di dalam jurang.
Namun dinding batu tetap berdiri kokoh. Pukulan sakti yang dilepaskan Wiro untuk menjebol
dinding malah berbalik menghantam ke arahnya. Pendekar 212 berteriak kaget.

Darah menyembur dan mulut. Tubuh mencelat mental ke belakang, ditunggu jurang batu yang
dalam!

Lapat lapat dikejauhan terdengar suara perempuan bernyanyi.

Di dalam lorong ada kesepian

Di dalam kesepian ada kehidupan

Di dalam lorong ada kesunyian

Di dalam kesunyian ada kematian

Belum lagi suara nyanyian sirap mendadak ada suara “Preett!” Suara orang kentut! Dan seperti
ada yang mendorong dan belakang, tubuh Pendekar Pendekar 212 yang akan amblas masuk ke
dalam jurang batu mental ke depan, jatuh terkapar di undakan tangga batu ke delapan puluh
dan delapan puluh satu. Wiro merasa sekujur tubuhnya sebelah depan seperti remuk. Untuk
beberapa saat lamanya dia hanya bisa tergeletak tak bergerak. Mulut meringis menahan sakit,
mata setengah terpejam. Ketika merasa ada cairan hangat dan asin di dalam mulut, murid Sinto
Gendeng ini sadar kalau dirinya telah terluka di dalam!

“Gila! Kekuatan setan apa yang membalikkan pukulanku!” Walau menahan sakit namun otak
sang pendekar masih bisa bekerja.

Kekuatan daya pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik menghantam dirinya itulah yang
membuat tubuhnya sebelah depan serasa remuk dan terluka di sebelah dalam. Namun aneh
dorongan keras dan arah belakang yang tak kalah hebatnya sama sekali tidak membuatnya
cidera.

“Ada kekuatan Jahat dan arah depan menghantam tubuhku. Pasti datangnya dan arah Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian. Lalu kekuatan dan belakang yang menyelamatkan diriku! Siapa?
Orang yang kentut tadi?”

Wiro memandang berkeliling. Tak ada siapa siapa kecuali Hantu Muka Dua yang masih duduk
tersandar ke dinding batu. Masih bisa garuk garuk kepala.

Wiro semburkan ludah campur darah. Dengan menahan sakit dia berusaha bendiri dan
berteriak. “Siapa yang barusan kentut?!” Tak ada jawaban. Diperhatikannya

Hantu Muka Dua. Mahluk ini masih tetap tak bergerak dan tempatnya semula, tersandar ke
dinding batu.

“Jelas tadi aku mendengar suara orang kentut! Tak mungkin mahluk sialan satu ini yang
keluarkan angin!”

Wiro mendadak sadar. Dia harus melakukan sesuatu untuk meredam luka dalam yang
dialaminya. Sang pendekar duduk bersila di tangga. Alirkan hawa sakti ke bagian dada dan tarik
nafas dalam lalu dilepaskan lagi.

Demikian dilakukan berulang kali. Setelah itu sambil mengusap dada Wiro alihkan pandangan
ke dinding batu yang barusan dihantamnya dengan pukulan sakti. Mau tak mau ada rasa
bergidik di dalam hatinya. Pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang tidak mampu membobol
dinding batu itu. Bahkan membekas sedikitpun tidak! Kekuatan apa sebenarnya yang
tersembunyi di balik dinding? Lalu suara perempuan menyanyi tadi? Wiro berpikir pikir akan
menghantam dinding batu dengan Pukulan Sinar Matahari namun ada rasa kawatir, kekuatan
gaib seperti tadi akan membalikkan pukulan sakti itu lalu menghantam dirinya sendiri! Dia bisa
benar benar celaka! Malah mungkin mati konyol dengan sekujur tubuh hangus!

“Apa yang harus aku lakukan? Bagaimanapun juga aku harus bisa masuk ke dalam sana! Dewa
Tuak ada di sana. Orang tua itu harus kuselamatkan. Kakek Segala Tahu dan juga Wulan Srindi
mungkin sekali ada di sana. Jahanam! Siapa sebenarnya penguasa lorong kematian itu? Apakah
ilmunya setinggi langit sedalam samudera?! Berbahaya dan sulit dijajagi!”

Wiro garuk garuk kepala berulang kali.

“Mungkin aku harus menunggu sampai pintu rahasia terbuka dan ada orang keluar dan dalam
sana. Tapi sampai berapa lama aku musti menunggu sementara para tokoh dan sahabat di
dalam terancam keselamatannya? Gila betul! Wiro meludah lagi. Ludahnya masih merah
bercampur darah.

“Satu satunya cara mungkin aku harus pergunakan ilmu itu. Sebelumnya aku pernah kucoba.
Tapi terhalang oleh Wulan Srindi Tak ada jalan lain. Rasanya saat ini aku harus mengeluarkan
ilmu itu” Wiro melompat turun dan tangga. Dia memilih berdiri di sebelah kanan sementara
Hantu Muka Dua berada di sebelah kiri tangga batu.

Duduk bersila di tanah Wiro pejamkan mata. Dua tangan diletakkan di atas paha kiri kanan.
Perlahan lahan dia mulai mengosongkan pikiran. Bersamaan dengan itu jalan
pendengarannyapun mulai ditutup. Dalam hati Wiro melafal Basmallah tiga kali berturut turut.
Lalu disusul dengan ucapan Meraga Sukma juga sebanyak tiga kali. Apa yang tengah dilakukan
oleh Pendekar 212 saat itu adalah menerapkan imu kesaktian yang disebut “Meraga Sukma”.
Dengan ilmu kesaktian ini raga atau ujud kasarnya akan tetap tinggal sebagaimana biasa namun
roh atau sukmanya akan keluar dan dalam tubuh kasar. Sukma ini selanjutnya akan memiliki
kemampuan untuk masuk kemana saja walaupun terhalang dinding tebal. Atau menerobos
masuk ke satu tempat melalui lobang atau celah sekecil apapun.

Sebelumnya Wiro hendak menerapkan iImu kesaktian ini ketika berada di depan goa yang
merupakan jalan masuk ke dalam 113 Lorong Kematian. Namun Wulan Srindi yang tidak
sabaran saat itu mengajaknya cepat cepat berlalu. Seperti diceritakan dalam serial Wiro
Sableng berjudul “Meraga Sukma” ilmu kesaktian langka ini didapat Pendekar 212 dan! seorang
sàkti di kawasan samudera selatan yang dikenal dengan nama Nyi Roro Manggut.

Sesaat setelah Wiro mengucapkan kata kata Meraga Sukma dalam hati, sekujur tubuhnya
terasa bergetar. Tidak seperti yang pernah kejadian sebelumnya, keringat membasahi wajah
dan badan. Beberapa saat berlalu. Di bawah tanah yang didudukinya seolah ada bara api
membakar. Wiro merasa pening. Ujud gaib atau sukmanya tidak mampu keluar dan dalam
tubuh kasar. Beberapa saat berlalu. Saputan angin tencium menebar bau setanggi! Wiro
merasa bulu tengkuknya merinding. Akhirnya sang pendekar buka sepasang mata.

“Apa yang terjadi? Aku tidak mampu menerapkan ilmu kesaktian itu. Mungkin ilmu itu sudah
lenyap, tak lagi aku miliki? Mengapa tengkukku terasa meninding? Biar kucoba sekali lagi.”

Wiro kembali duduk bersila penuh khidmat, kosongkan pikiran dan pendengaran.
Mengucapkan Basmallah dan Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Wiro merasa tubuhnya enteng
sekali. Mengira ilmu kesaktian itu akan berhasil dikeluarkannya mendadak harumnya bau
setanggi membucah seantero tempat. Lalu satu kekuatan dahsyat, laksana angin topan datang
dan arah dinding batu, menggemuruh melabrak dirinya!

Pendekar 212 berteriak kaget. Jatuhkan diri ke tanah tapi tetap saja kena disapu hantaman
angin hingga terguling kencang ke arah jurang. Sesaat lagi dirinya akan tercebur ke dalam
jurang, seperti tadi ada satu kekuatan aneh mendorong tubuhnya hingga dia terlempar kembali
ke depan dan terhenyak di tanah!

“Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa aku tidak sanggup menerapkan ilmu kesaktian itu.
Siapa yang barusan menolongku,” ucap Wiro dengan dada turun naik dan nafas tersengal.

Seperti tadi ada rasa asin dalam mulutnya. Ketika dia meludah, ludahnya merah kental
bercampur darah. Dia terluka di bagian dalam kembali! Berubahlah paras murid Sinto Gendeng
ini. Hantaman kekuatan gaib tadi telah membuat dirinya cidera di sebelah dalam untuk kedua
kali!

“Dari pada penasaran biar aku coba sekali lagi!” Kata Wiro dalam hati. Dia sengaja pindah
duduk ke bagian depan lain dan dinding batu. Dua tangan diletakkan di ujung lutut. Mata
dipejamkan. Pikiran dikosongkan dan jalan pendengaran ditutup. Baru saja dia hendak
melafalkan Basmallah, tiba tiba di depannya terdengar suara angin menderu, lebih keras dan
lebih dahsyat dan yang tadi menghantam dirinya.

“Bocah tolol! Memangnya kau punya nyawa berapa berani mengadu jiwa?!’ Tiba tiba ada suara
perempuan berteriak disusul tawa cekikikan. Bersamaan dengan itu Wiro merasa rambut
gondrongnya dijambak. Di lain saat dia sudah pindah duduk di atas tangga batu pada undakan
ke dua puluh empat. Ketika jambakan di kepalanya terlepas, Wiro cepat berpaling. Dia tak
melihat siapa siapa!

Tiba tiba dia mendengar suara tawa cekikikan perempuan. Berpaling ke kanan Wiro tersentak
kaget ketika melihat siapa yang ada di arah sana.

“Nyi Roro Manggut!” Seru Pendekar 212.

Seruan Wiro disambut suara tawa cekikikan.

“Hik…hik…hik! Pemuda sableng! Kau masih mengenali diriku! Heran, kenapa kau kelayapan
sampai jauh jauh kesini dan berpakaian cuma tinggal sepotong celana?!”

“Bajuku dijadikan tali untuk menolong orang”, jawab Wiro. Lalu dia menimpali “Nek, aku juga
heran! Ngapain Nyi Roro sendiri ikutan keluyuran bersamaku sampai di sini!”

Ucapan Wiro disambut orang dengan tawa panjang.

“Weleh! Siapa yang ikutan kamu datang kesini”


Walau luka dalamnya cukup parah dan sekujur tubuh sakit bukan main, Wiro yang tidak mau
melupakan sopan santun serta peradatan cepat melompat turun dan atas tangga batu,
terbungkuk bungkuk menjura di hadapan satu sosok nenek bertubuh cebol. Sepasang matanya
besar jernih tapi juling. Muka yang berkulit keriput dihias sebuah hidung pesek hampir sama
rata dengan pipi.

“Nyi Roro, terima salam hormatku. Apa kau yang tadi menolongku tapi juga sekaligus menebar
kentut prat pret prat pret?!”

“Enak saja kau bicara! Kentutnya bau apa tidak?” Si nenek bertanya sambil kepalanya
termanggut manggut.

Wiro garuk kepala lalu mendongak, hidung mengendus endus.

“Tidak Nyi Roro. Kentutnya tidak bau,” jawab Wiro pula.

“Kalau kentutku pasti bau! Berarti bukan aku yang kentut!”

“Lalu…?!”

***

Kapak Maut Naga Geni 2125

Nenek berambut putih yang disanggul di atas kepala sunggingkan senyum. Kepala mengangguk
angguk seperti orang kesedakan. IniIah Nyi Roro Manggut. Orang kepercayaan Nyi Roro Agung,
penguasa samudera kawasan selatan. Nenek sakti inilah yang memberikan ilmu Iangka Meraga
Sukma kepada Wiro dengan Ratu Duyung yang sebelumnya juga adalah penghuni samudera
selatan.

“Yang menolongmu memang aku! Tapi soal kentut jangan menuduh diriku!” Si nenek
menjawab.

Wiro garuk kepala. “Berarti kakek yang punya dua muka itu yang kentut?!”

Nyi Roro Manggut menoleh ke arah Hantu Muka Dua yang sampai saat itu masih menjelepok di
tanah, duduk tersandar ke dinding batu.

“Bau mahluk itu terasa aneh. Menyembunyikan banyak rahasia. Aku mencium bahaya besar
dibalik dua wajahnya yang menyeramkan. Matanya menatap kosong namun dibalik kekosongan
itu dia seolah melihat sesuatu. Jari jari tangan kanannya bergetar. Ingin digerakkan, ingin
diangkat karena hendak berusaha mengambil sesuatu. Dia orang yang katamu kau tolong
dengan mengorbankan baju bututmu?!”
“Kau suka padanya?”

“Bocah geblek!” Nyi Roro Manggut berteriak marah.

Matanya sampai mendelik besar.

Wiro tertawa dan seenaknya menggoda lagi. “Dia bukan mahluk sembarangan, Nek. Kalau
mukanya dua berarti anunya juga dua. Siapa yang ha ha hi hi dengan dia pasti puas!”

“Anak kurang ajar! Apa maksudmu dengan kata kata ha ha hi hi itu?!”

“Maaf Nek,” jawab Wiro sambil nyengir. “Aku hanya bergurau.”

“Benar benar sableng! Kau tengah menghadapi urusan besar! Masih bisa bergurau!” Kepala si
nenek tersentak sentak, dagunya manggut manggut. Wiro garuk garuk kepala.

“Nyi Roro, apakah kau tahu kita berada di mana?”

“Kau yang akan menerangkan padaku.” Jawab Nyi Roro Manggut.

“Di balik dinding batu ini ada satu tempat yang disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Lorong ini merupakan sarang dan gerombolan orang yang dikenal sebagai manusia pocong….”

“Manusia ya manusia. Pocong ya pocong! Mana ada manusia sekaligus pocong….”

“Maksudku….”

“Sudahlah, aku lebih tahu dari kamu!” potong Nyi Roro Manggut.

“Kalau begitu kau bisa menolongku”, kata Wiro cepat.

Kepala si nenek menggangguk angguktapi ini bukan merupakan gerakkan tanda dia mengiyakan
ucapan Wiro.

“Aku muncul di sini bukan untuk menolongmu!”

“Lalu….?” tanya Wiro sambil garuk kepala.

“Aku mencari seseorang.”

“Siapa Nyi Roro?”

“Apa perlumu mencari tahu?!” sentak si nenek.


“Bukan maksudku lancang, Nyi Roro. Tapi… sudahlah. Walau kau tak mau memberi tahu aku
sudah bisa menduga siapa orang yang kau cari itu.”

“Siapa?” Kini Nyi Roro Manggut yang balik bertanya.

“Apa perlu aku memberi tahu?!” Wiro menggoda sambil senyum senyum.

Dan balik pinggang celananya Wiro mengeluarkan sebuah kaleng butut lalu digoyang hingga
mengeluarkan suara berkerontang. Berubahlah paras Nyi Roro Manggut.

“Kau memegang kaleng miliknya. Orangnya dimana?”

Suara si nenek agak tercekat ketika mengajukan pertanyaan. Wiro lalu menuturkan riwayat
bagaimana dia mendapatkan kaleng milik Kakek Segala tahu itu. Termasuk penemuan kuburan
tak jauh dan sebuah jurang. Air muka Nyi Roro Manggut menunjukkan rasa kawatir. Terlebih
setelah Wiro mengatakan dugaan bahwa besar kemungkinan Kakek Segala Tahu telah diculik
oleh orang orang 113 Lorong Kematian.

“Aku kawatir apakah dia masih hidup. Berikan kaleng itu padaku.” Kata Nyi Roro Manggut pula.

Wiro serahkan kaleng milik Kakek Segala Tahu kepada si nenek dan Nyi Roro Manggut lalu
memegang kaleng itu dengan kedua tangan. Mata dipejamkan, kepala yang termanggut
manggut sedikit diangkat ke atas. Sesaat kemudian mulutnya berucap perlahan.

“Aku merasa ada sedikit hawa hangat. Dia masih hidup. Tapi keadaannya sangat sengsara…” Nyi
Roro Manggut tarik nafas panjang lalu buka kedua matanya. Sesaat dia pandangi yang ada di
dalam pegangan tangan kanannya. Kaleng berisi batu batu kerikil digoyang. Wiro hendak
mencegah tapi terlambat. Suara kerontangan kaleng menggema ke suluruh penjuru,
menggaung sampai ke dalam jurang. Tanah, dinding dan tangga batu seratus undak bergetar!

Tiba tiba Nyi Roro Manggut terpekik. Satu sambaran angin keras membuat kaleng yang
dipegangnya mencelat mental dan jatuh ke dalam jurang. Si nenek sendiri ikut tersapu
terpental namun dengan jungkir balik di udara sambil dorongkan dua tangan ke depan dia
berhasil menahan hantaman angin dahsyat dan melayang turun, injakkan kaki di tanah.

“Luar biasa kekuatan gaib itu”, ucap si nenek bertubuh cebol ini.

“Nyi Roro, kita berdua harus bisa masuk ke dalam lorong….”

Nyi Roro Manggut menggeleng. “Aku terlalu jauh berada dan dalam asalku. Selain itu kekuatan
gaib yang ada di dalam lorong tak mungkin kusentuh….”

“Kalau kau saja berkata begitu bagaimana aku?” ujar Wiro pula.
“Tadi aku mencoba mengeluarkan ilmu Meraga Sukma untuk bisa menembus masuk ke dalam
lorong. Tapi gagal. Aku mencium bau setanggi. Malah ada satu kekuatan dahyat kemudian
menghantamku. Apakah aku telah kehilangan ilmu yang kudapat darimu itu Nyi Roro?”

Si nenek menggeleng.

“Tidak, kau masih memiliki ilmu kesaktian itu. Namun seperti penjelasanku dulu sewaktu ilmu
itu aku berikan. Ada kemungkinan suatu saat kau tidak bisa menerapkan ilmu itu. Ingat, semua
apa yang kita miliki, semua kepandaian dan kesaktian yang dipunyai manusia keampuhannya
sangat tergantung pada kuasa dan ridhonya Gusti Allah. Selain itu di tempat ini ada satu
kekuatan dahsyat dan alam lain yang sulit ditandingi. Kekuatan itu merupakan kekuatan roh!
Dan roh paling suka bau setanggi!”

“Kalau begitu tidak ada yang bakal bisa menembus masuk ke dalam lorong kematian untuk
menyelamatkan perempuan perempuan hamil dan para tokoh yang diculik. Aku kawatir Wulan
Srindi saat ini juga menuju ke sini. Aku tidak tahu berada dimana mereka sekarang. Jangan
jangan….”

Nyi Roro Manggut terdiam sesaat. Kemudian mulutnya berucap perlahan.

“Kekuatan roh hanya bisa ditandingi oleh roh pula. Tapi, mungkin ini semua sudah kehendak
Gusti Allah….”

“Tidak bisa! Kita tidak bisa berkata seperti itu Nyi Roro! Apapun yang terjadi aku harus bisa
masuk ke dalam lorong. Kalau tidak bisa lewat jalan rahasia di tempat ini aku akan kembali ke
bagian depan bukit batu dan memasuki lorong dan mulut gua. Tidak perduli aku akan tersesat
dan menemui ajal di dalam lorong!”

Melihat Nyi Roro Manggut diam saja Wiro jadi penasaran.

“Nyi Roro, kau orang sakti. Mustahil kau tidak bisa memberi pertolongan. Atau mungkin cuma
berupa petunjuk. Tadi kau sendiri telah menyelidiki. Kakek Segala Tahu ada dalam lorong.
Keadaannya mengawatirkan. Apakah kau tidak ingin menolongnya?”

Bukannya menjawab si nenek malah balik bertanya.

“Ketika kau berkunjung ke tempatku di dasar samudera. Setelah aku memberikan Ilmu Meraga
Sukma, sebelum kau pergi aku pernah menitipkan sebuah kipas padamu. Dengan pesan agar
diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Apakah kipas itu sudah kau berikan padanya?” (Baca serial
Wiro Sableng berjudul “Meraga Sukma”)
Wiro terkejut. Dia meraba pinggang celana sebelah kanan. Lalu beralih ke pinggang kiri. Dia
menemukan benda yang dicarinya. Sebuah kipas kayu cendana dikeluarkannya dan balik
pinggang celana. Wiro garuk garuk kepala.

“Anu Nek, kipasnya masih ada padaku. Aku tidak ingat. Tapi kalau tidak keliru sampai saat ini
aku belum sempat bertemu dengan Kakek Segala Tahu. Kau ingin mengambil kipas ini
kembali?”

Nyi Roro Manggut kelihatan kecewa tapi masih bisa tersenyum.

“Kemarikan, biar kupegang sebentar kipas itu,” katanya.

Kipas kayu cendana diambil lalu dikembangkan. Di sebelah dalam kipas itu penuh dengan
ukiran bagus sekali. Di bagian tengah kipas ada gambar seorang pemuda gagah dan seorang
gadis cantik. Nyi Roro letakkan kipas itu di atas kening, mata dipejam dan mulut komat kamit
entah merapal apa. Tiga larik sinar biru berpijar lima kali berturut turut dari kepala Nyi Roro ke
badan kipas. Kipas kemudian diserahkan kembali pada Wiro.

“Simpan saja, kalau bertemu berikan pada orangnya.”

“Nyi Roro, maafkan aku karena lalai memenuhi pesanmu…” Wiro masukkan kipas kayu cendana
ke balik pinggang celana.

“Huk…huk…huk…huk!”

Di dinding batu sebelah sana Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti mau muntah. Nyi Roro
melirik, Wiro berpaling.

“Nyi Roro, tadi kau berkata. Orang itu melihat sesuatu dan ingin mengambil sesuatu itu.
Sebelumnya aku memang melihat sikapnya yang aneh itu. Kalau kau mau menerangkan apakah
yang dilihatnya itu.”

“Mengapa tidak kau tanyakan sendiri padanya?”

“Tubuhnya kaku, mulutnya gagu”.

“Dia tidak gagu. Hanya lidahnya kena dikancing orang.”

“Maksud Nyi Roro?”

“Sudahlah….”

“Nyi Roro, maukah Nyi Roro menyempatkan diri memeriksa keadaan orang itu barang
sebentar? Nyi Roro saksikan sendiri walau tubuhnya terkulai lemah perawakannya tinggi dan
besar. Tapi ketika aku menolong dan memanggulnya, tubuhnya seenteng kertas! Kalau dia bisa
dibikin bicara mungkin banyak rahasia di dalam lorong yang bisa kita ketahui…”

“Begitu….?”

Nyi Roro manggut manggut lalu melangkah mendekati Hantu Muka Dua. Wiro mengikuti. Di
hadapan Hantu Muka Dua nenek cebol itu berdiri memperhatikan. Dia melihat tanda berupa.

Telapak dan jari jari tangan di atas kepala Hantu Muka Dua. Si nenek geleng geleng kepala.

“Turut apa yang aku lihat, orang ini bukan mahluk dan alam kita…”

“Kau benar Nyi Roro, dia datang dan negeni seribu dua ratus tahun silam…”

“Dia memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Tapi sekarang ilmunya itu sudah lenyap. Dirampas
orang dengan cara menyedot lewat kepala. Lihat tanda telapak tangan dan lima jari di kulit
kepalanya. itu menyebabkan tubuhnya sekujur tubuhnya menjadi sangat lemah dan berubah
menjadi enteng. Mahluk lain pasti sudah amblas nyawanya disedot begini rupa.”

“Kau tahu siapa yang menyedot ilmu kesaktiannya itu, Nyi Roro?” tanya Wiro.

Si nenek cebol tidak menjawab. Melainkan ulurkan tangan kiri dan cekik tenggorokan Hantu
Muka Dua kuat kuat.

“Hueekkkk!”

Mulut Hantu Muka Dua terbuka lebar seperti mau muntah. Mata mendelik. Lidahnya terjulur.
Pendekar 212 Wiro Sableng melengak kaget sampai tersurut satu langkah! Lidah yang terjulur
panjang itu ternyata berada dalam keadaan terbuhul!

“Itu yang membuat dia tidak bisa bicara!” Menjelaskan Nyi Roro Manggut.

“Bagaimana sampai lidahnya jadi seperti ini?”

“Akibat sedotan dahsyat di kepalanya.”

Nyi Roro Manggut cabut jepitan kayu pada rambutnya yang dikonde hingga konde terlepas dan
rambutnya yang putih sepinggang tergerai ke bawah. Dengan jepitan kayu itu kemudian
mengait lidah Hantu Muka Dua sampai terlepas. Tenggorokan Hantu Muka Dua turun naik.
Mulutnya mengeluarkan suara mendesah panjang berulang kali. Lidahnya terluka. Mukanya
depan belakang berubah ubah beberapa kali. Sesaat merupakan wajah kakek keriput, dilain
kejap berupa muka raksasa bercaling.
Nyi Roro buang ke tanah jepitan kayu bernoda darah yang tadi dipakai membuka buhulan lidah
Hantu Muka Dua.

“Nyi Roro, kau tahu siapa yang melakukan penyedotan itu?” Wiro ulangi pertanyaannya tadi.

“Roh?” Wiro mengulang heran sambil garuk kepala.

“Benar. Dan kau akan kawin dengan roh itu!”

Murid Sinto Gendeng tersentak kaget.

“Nyi Roro, jangan kau bergurau. Mana ada manusia kawin dengan roh.”

Si nenek cebol tersenyum.

“Aku tahu, kau menyimpan secarik kain di dalam kantong hitam yang tergantung di
pinggangmu. Kau pernah membacanya…,”

“Eh, bagaimana kau tahu perihal kain itu?’ Wiro menggaruk kepala. “Kain itu memang ada
tulisannya. Aku pernah membacanya….”

“Sudah keluarkan saja dan baca sekali lagi apa yang tertulis disitu.” Kata Nyi Roro dengan
kepala terangguk angguk.

***

Kapak Maut Naga Geni 2126

Wiro mengeruk kantong kain di pinggang yang dipergunakan sebagal tempat menyimpan batu
sakti hitam pasangan Kapak Naga Geni 212. Di kantong itu pula dia menyimpan secarik kain
putih yang di dapatnya terselip di bawah caping milik Kakek Segala Tahu.

“Baca yang keras biar aku bisa mendengar,” kata Nyi Roro Manggut pula.

Wiro mulai membaca.

Batas antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan

Kehidupan yang terjadi tanpa Izin Yang Kuasa

Akan menimbulkan bencana malapetaka dimana mana

Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan


Rimba persilatan akan kiamat

Dalam kiamat tangan tangan jahat akan menjadi penguasa

Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan

Nyawa tiada artinya lagi

Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat

Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan

Nikahkan dia dengan seorang perjaka

Jika pemilik nyawa kedua seorang laki laki

Nikahkah dia dengan seorang perawan

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral

Dalam kesakralan ada kesucian

Dalam kesucian ada jalan untuk selamat

Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan

“Bagaimana?” tanya Nyi Roro Manggut.

“Apanya yang bagaimana, Nek?” balik bertanya Wiro.

Nenek cebol tertawa lebar hingga hidungnya yang pesek penyet benar benar jadi sama rata
dengan pipi kiri kanan.

“Kau sudah siap?” Kembali Nyi Roro bertanya yang membuat Wiro tambah heran.

“Siap? Siap apa?”

Nyi Roro tertawa cekikian. “Aku bertanya apa kau sudah siap nikah dengan roh?”

Wiro terperangah. Sambil garuk garuk kepala murid Sinto Gendeng ini berkata.

“Dengan gadis manusia


sungguhan saja aku belum sempat dan belum tentu mau nikah. Apalagi dengan roh!” Lalu sang
pendekar tertawa sendiri.

“Kau tahu, tulisan di atas kain putih itu bukan sembarangan tulisan dan dibuat oleh orang yang
juga bukan sembarangan. Seseorang telah memberikan kain itu pada Kakek Segala Tahu. Aku
tidak tahu siapa orangnya! Tapi semua tujuan adalah untuk memusnahkan mahluk mahluk
jahat yang gentayangan seperti pocong! Kain itu menjadi rebutan beberapa tokoh, termasuk
manusia manusia pocong penguasa Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Mereka ingin tahu apa
yang tertera di situ lalu mencari penangkalnya. Bocah sableng. Kau tahu, satu satunya jalan
untuk menghancurkan mereka adalah melalui pernikahanmu dengan roh yang ada di dalam
lorong…”

“Roh perempuan…?” tanya Wiro.

“Tentu saja roh perempuan! Apa kau mau kawin dengan laki laki sejenismu juga?” tukas Nyi
nora Manggut lalu tertawa cekikikan.

Wiro garuk garuk kepala.

“Maksudku masuk ke dalam lorong adalah untuk menyelamatkan perempuan perempuan yang
diculik. Termasuk para sahabat dan para tokoh.”

“Kau tidak akan mampu melakukan itu karena kau tidak sanggup menghadapi kekuatan roh.
Buktinya kau tidak sanggup menjebol dinding batu yang ada pintu rahasianya itu! Dengar bocah
sableng, satu satunya cara adalah melumpuhkan roh itu hanya dengan cara menikahinya.”

“Gila! Aku tidak mau!” ucap Wiro sambil mengusap tengkuknya yang mendadak menjadi dingin
dan merinding.

“Jadi kau tidak mau masuk ke dalam lorong? Membatalkan semua rencana?”

“Bukan tidak mau masuk ke dalam lorong! Tapi tidak mau nikah dengan roh!”

“Anggap saja nikah dengan gadis sungguhan.”

Wiro tak bisa menjawab lagi. Malah kini dia jadi tertawa gelak gelak.

“Syukur “ katanya Nyi Roro Manggut pula.

“Syukur apa Nek?”

“Kau tertawa gelak gelak. Tandanya kau senang dan suka nikah dengan roh!”

Wiro mencibir dan keluarkan suara seperti orang kentut dari mulutnya.
“Prett!”

Ada yang membalas. Dengan kentut sungguhan! Wiro kaget, memandang berkeliling. Dia tidak
melihat orang lain di tempat itu, Nyi Roro tertawa cekikikan. Wiro pandangi nenek ini. Dia tahu
bukan Nyi Roro yang barusan kentut. Lalu siapa?

“Sudah, segala kentut kau urusi.” Kata Nyi Roro pula.

“Kau tidak punya waktu banyak. Kau harus segera masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Tadi kau bertanya padaku mengenai mahluk bermuka dua itu. Walau tubuhnya
sangat lemah, kurasa sekarang dia sudah bisa bicara.”

“Aku memang banyak pertanyaan untuknya,” sahut Wiro lalu mendatangi Hantu Muka Dua.
Begitu sampai di hadapan Hantu Muka Dua Wiro bukannya ajukan pertanyaan tapi justru
mendamprat mahluk dan negeri latanahsilam itu.

“Nenek itu sudah menolong membuka buhul lidahmu! Apakah kau tidak punya adat tidak tahu
diri untuk mengucapkan terima kasihmu padanya?”

Hantu Muka Dua batuk batuk. Mukanya depan belakang masih berupa muka kakek kakek
keriput pertanda masih ada rasa takut menghinggapi dirinya. Mendengar kata kata Wiro tadi ia
segera menggeser tubuh, lalu masih dalam keadaan duduk dia bungkukkan tubuh ke arah Nyi
Roro Manggut dan keluarkan ucapan.

“Nyi Roro, aku Hantu Muka Dua dan negeri Latanahsilam sangat berterima kasih padamu. Kau
telah melepaskan siksa diriku dan lidah yang terkancing.”

Walau sudah bisa bicara namun suara Hantu Muka Dua perlahan sekali karena tubuhnya sangat
lemah. Nyi Roro Manggut pencongkan mulut lalu melirik pada Wiro.

Hantu Muka Dua kemudian putar tubuhnya menghadap ke arah Wiro. Kembali dia
membungkukkan badan lalu berkata

“Aku juga sangat berterima kasih padamu. Aku sudah tewas kalau bukan kau yang menolongku.
Mengingat perseteruan kita di negeri Latanahsilam, aku sungguh tidak mengerti mengapa kau
mau mengorbankan nyawa menyelamatkanku.”

“Semua silang sengketa di negerimu sudah berlalu. Kau sekarang berada di alam lain.” Jawab
Wiro.

“Ketika kau terdesak melawanku, dua manusia pocong muncul menolongmu. Kau dilarikan ke
dalam lorong. Apakah kau salah seorang dari mereka? Mungkin juga kau biang kerok pimpinan
Barisan Manusia Pocong mahluk celaka itu!”
Hantu Muka Dua gelengkan kepala. Tampang kakek keriputnya tampak tegang. “Aku bukan
anggota Barisan Manusia Pocong. Apalagi pimpinannya. Mereka menculik aku…”

“Perlu apa mereka menculik dirimu?” yang bertanya Nyi Roro Manggut.

“Semula aku juga tidak mengerti. Ternyata mereka punya maksud jahat. Mereka membawa aku
menemui seseorang yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu.”

Wiro dan Nyi Roro saling pandang.

“Jadi Yang Mulia Sri Paduka Ratu itu rupanya yang jadi pimpinan Barisan Manusia Pocong.” Ujar
Wiro sambil rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Nyi Roro tegak angguk anggukkan
kepala.

“Turut apa yang aku lihat sang Ratu bukanlah pimpinan Barisan Manusia Pocong. Ilmunya
memang luar biasa tapi dia berada di bawah kekuasaan dan perintah yang disebut Yang Mulia
Ketua. Selain itu ada lagi yang dipanggil dengan sebutan Wakil Ketua. Dia punya kebiasaan
mengeluarkan suara berdecak ck. . .ck.. .ck.”

“Kau melihat wajah wajah semua orang itu? Tahu siapa mereka?”

Hantu Muka Dua gelengkan kepala. Semua mahluk yang ada dalam lorong mengenakan jubah
putih dan kain penutup kepala putih. Termasuk yang dipanggil dengan sebutan Ratu.

“Kau dibawa menghadap Ratu. Apa yang kemudian terjadi?”

“Ratu menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang ada di tubuhku’” jawab Hantu
Muka Dua.

Lalu dia tundukkan kepala memperlihatkan bekas telapak tangan dan jari jari sang Ratu di kulit
kepalanya.

Murid Sinto Gendeng raba tengkuknya sendiri, lalu berbisik pada Nyi Roro.

“Kalau yang namanya Ratu itu kerjanya hanya menyedot tenaga dalam dan kesaktian orang,
dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang kini dimilikinya.
Sudah berapa orang saja yang kena disedotnya? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Dia
bukan pimpinan Barisan Manusia Pocong. Mengapa disuruh menyedot tenaga dalam dan ilmu
kesaktian orang?”

“Aku punya dugaan, di balik semua kejadian ini ada satu rahasia besar. Ada satu kejadian luar
biasa yang akan meluluh Iantakkan rimba persilatan tanah Jawa. Tokoh Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian mempergunakan tangan orang untuk melaksanakan hal itu. Mungkin Yang
Mulia Sri Paduka Ratu itu. Dan firasatku mengatakan Ratu itulah yang bakal jadi calon jodoh
untuk dinikahkan dengan dirimu!”

“Apa Nek?” tanya Wiro dengan mata terbelalak. Nyi Roro hanya senyum senyum.

“Turut keteranganmu tadi yang akan nikah dengan aku adalah sebangsa roh. Sekarang ternyata
malah muncul seorang Ratu.”

“Bocah tolol. Yang namanya Roh itu bisa saja nyangsrang di pohon, nempel di batu, main air di
sungai atau masuk ke dalam tubuh manusia hidup atau yang sudah mati, atau nemplok di
pantatmu! Hi…hik…hik!”

“Aku tidak mengerti…” Wiro garuk garuk kepala. Dia mendekati Hantu Muka Dua dan bertanya.
“Setelah Ratu menyedot tenaga dalam dan kesaktianmu, apa yang kemudian terjadi?”

“Wakil Ketua memerintah seorang Satria Pocong membuang diriku ke dalam jurang di belakang
markas. Masih untung aku tidak amblas jatuh sampai ke dasar jurang. Tubuhku tersangkut
menyangsrang di pohon sampai kau muncul menyelamatkan diriku. Sekali lagi aku sangat
berterima kasih padamu…”

“Aku sempat melihat kau dipanggul keluar dan pintu rahasia di dinding sana. Apa yang kau
ketahui mengenal pintu itu?” tanya Wiro pula.

“Pintu batu penuh rahasia. Hanya bisa dibuka dan dalam lewat satu kekuatan gaib. Tidak ada
satu kekuatan lain yang bisa membuka pintu dan menjebol pintu itu dan luar…”

“Selain Ketua, Wakil Ketua dan Ratu ada berapa banyak manusia pocong di dalam lorong?”

“Aku tidak tahu pasti. Mungkin beberapa orang saja. Bolak balik aku hanya melihat Wakil Ketua
dan seorang bawahannya.” Jawabnya Hantu Muka Dua.

Wiro garuk garuk kepala.

“Coba kau ingat ingat. Selama kau berada di dalam lorong mungkin ada hal atau peristiwa lain
yang terjadi? Atau mungkin kau bertemu orang lain yang jadi tawanan. Mungkin juga melihat
perempuan perempuan bunting?”

“Waktu aku dibawa dan dijebloskan dalam ruangan batu, aku melihat deretan kamar berpintu
besi. Lalu masuk seorang perempuan bunting. Dia mencekoki aku dengan sejenis minuman.
Kalau aku tidak salah minuman itu disebut Minuman Selamat Datang. Konon siapa saja yang
meneguk minuman itu akan lupa diri dan akan tunduk seperti kerbau dipasung. Dalam setiap
hal mereka selalu mengumandangkan ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Ternyata minuman itu tidak
mempan padaku. Aku lalu ditotok. Aku berada dalam keadaan kaku ketika Ratu menyedot
tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang ada dalam diriku”

***

Kapak Maut Naga Geni 2127

Wiro geleng geleng kepala. Nyi Roro manggut manggut.

“Sudah? Hanya itu saja yang bisa kau ceritakan? Atau. ..“

“Ada satu kejadian lain,” kata Hantu Muka Dua pula.

“Sewaktu aku dipanggul dalam perjalanan ke tempat Ratu…”

“Tunggu,” memotong Nyi Roro. “Kau bilang dibawa ke tempat Ratu. Apakah tempat itu di
dalam markas, di dalam lorong atau Ratu punya tempat tersendiri?”

“Ratu punya kediaman sendiri. Letaknya di seberang sebuah lembah kecil. Berbentuk satu
rumah panggung berwarna putih. Di bawah atapnya ada sebuah genta besar…”

“Ah. . .Suara genta itu rupanya suara aneh yang pernah aku dengar beberapa kali…” Ucap Wiro.
“Hantu Muka Dua, teruskan keteranganmu.”

“Sewaktu aku dipanggul menuju tempat kediaman Ratu, di dalam lorong terjadi satu
kehebohan. Seorang gadis culikan lenyap dan kamar ketiduran Ketua Barisan Manusia Pocong.”

Air muka murid Sinto Gendeng jadi berubah.

“Kau tahu siap adanya gadis itu?”

“Turut ucapan Wakil Ketua dan seorang bawahannya gadis itu adalah murid seorang tokoh silat
yang diculik. Tokoh itu kalau aku tidak salah berjuluk Dewa Tuak.”

“Anggini!” seru Wiro.

“Gadis itu pasti Anggini! Kurang ajar! Kalau manusia manusia pocong itu berani menyentuh
Anggini aku bersumpah akan membunuh dan mencincang lumat tubuh mereka semua!”

“Wiro, waktu kita tidak banyak. Ada lagi yang ingin kau tanyakan padanya?”

“Aku memperhatikan gerak gerikmu. Nyi Roro tadi juga menyebutkan. Kau pernah bersikap
seperti melihat sesuatu. Tanganmu berusaha menggapai. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sepasang mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segi tiga hijau berputar. Setelah batuk batuk
beberapa kali dan mukanya menjadi merah, baru mahluk ini keluarkan ucapan.

“Keselamatan diriku. Aku melihat sebuah benda yang bisa menyelamatkan diriku dari keadaan
seperti sekarang ini.” Suara Hantu Muka Dua perlahan sekali sehingga Wiro terpaksa
membungkuk dan dekatkan telinganya ke mulut orang.

“Kau melihat benda yang bisa menyelamatkan dirimu. Benda apa? Dimana kau melihatnya?”
Tanya Wiro sementara Nyi Roro Manggut memperhatikan sambil rangkapkan dua tangan di
atas dadanya.

“Berbentuk cahaya putih…”

Wiro menggaruk kepala. “Kau tidak tahu benda apa itu?”

“Tidak jelas karena mataku silau terkena cahayanya. Tampaknya seperti… mungkin seperti ikat
pinggang dalam keadaan tergulung.”

“Benda putih. Bercahaya. Seperti gulungan ikat pinggang…” Wiro ulangi ucapan Hantu Muka
Dua. Sulit dia menduga benda apa yang sebenarnya dilihat Hantu Muka Dua itu. Kalau cuma
sebuah ikat pinggang, kesaktian apa yang ada di dalamnya hingga mampu menyelamatkan
Hantu Muka Dua dan keadaannya yang sekarang.

“Kau melihat benda itu dimana?” Wiro ajukan pertanyaan.

“Di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Jangankan memiliki jika aku bisa menyentuh saja
benda itu, semua tenaga dalam dan kesaktianku yang hilang akan kembali.”

“Luar biasa,” ucap Wiro.

“Katakan di sebelah mana Seratus Tiga Belas Lorong Kematian kau melihat benda bercahaya
putih itu? Aku akan masuk ke sana. Aku akan berusaha menemukan benda itu dan memberikan
padamu…” Wiro mengiming iming agar orang mau bicara terus.

“Benda itu bukan berada di satu ruangan atau di satu tempat. Tapi di.. .di. . .di dalam rongga.
Aku hanya sempat menggapai. Robek! Lihat jari jaritangan kiriku. Cidera. Putih semua…”

“Hantu Muka Dua, keteranganmu tidak jelas. Apa yang kau maksud dengan rongga. Kau
menggapai, menggapai apa? Apa yang robek?” tanya Wiro mencecar.

“Yang robek pakaian….”

“Pakaian? Pakaian siapa? Lalu rongga yang kau sebut itu, rongga apa?”
“Di dalam tu…“

Belum sempat Hantu Muka Dua menyelesaikan ucapannya tiba tiba tubuhnya tampak
menggigil hebat. Lalu tidak terduga, entah dan mana datangnya berkiblat satu cahaya putih,
menyambar ke arah mahluk dari negeri 1200 tahun silam itu. Karena Wiro berada dekat sekali
dengan Hantu Muka Dua sangat mungkin cahaya putih itu akan melabrak dirinya pula.

“Wiro awas!” teriak Nyi Roro Manggut lalu kebutkan ujung lengan kanan pakaiannya. Selarik
sinar biru melesat, memotong jalan cahaya putih.

Wiro berpaling. Dia masih sempat melihat sambaran cahaya putih. Secepat kilat Pendekar 212
jatuhkan diri ke tanah. Pukulan yang memancarkan cahaya biru yang dilepas Nyi Roro Manggut
sempat menabrak cahaya putih hingga mengeluarkan suara dentuman keras diserta letupan
api. Namun sebagian dari cahaya putih itu masih sempat menghantam Hantu Muka Dua.
Mahluk ini menjerit keras. Sosoknya terkapar pucat dekat tangga seratus undak. Bagian kiri
jubah putih yang dikenakannya kelihatan hangus dan mengepulkan asap kelabu.

“Ada kekuatan gaib yang tidak ingin mahluk ini membuka mulut memberi keterangan.” Berkata
Nyi Roro Manggut.

“Kekuatan roh?” tanya Wiro.

“Bagus kalau kau sudah bisa menduga.” Sahut Nyi Roro Manggut pula. “Sekarang lekas ikuti
aku.”

“Kau mau mengajakku kemana, Nyi Roro? Aku masih penasaran tentang benda bercahaya putih
yang dilihat Hantu Muka Dua itu. Mungkin di situ letak seluruh kekuatan gaib penguasa Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian.”

“Jangan banyak tanya. Ikut saja!”

Wiro akhirnya melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut. Tiba tiba ada satu bayangan kuning
berkelebat dan arah pohon besar yang membentang di tengah jurang disertai suara menegur.

“Nyi Roro sahabatku, tadi kita datang bersama. Apa kau tidak ingin aku bertemu dulu dengan
pemuda itu sebelum dia kau ajak pergi?”

Nyi Roro Manggut hentikan langkah. Wiro berpaling dan terkejut bukan alang kepalang. Di
hadapan Wiro dan Nyi Roro Manggut saat itu berdiri seorang nenek yang keadaannya serba
kuning. Mulai dan rambut, wajah dan juga pakaian. Selain itu si nenek juga mengenakan hiasan
tiga tusuk konde, giwang, beberapa untai kalung yang kesemuanya juga berwarna kuning. Salah
satu dari gandulan kalung berbentuk aneh yaitu berupa sebuah sendok emas.
“Luhkentut! Pantas aku mendengar suara orang kentut beberapa kali sebelumnya. Ternyata
kau! Pasti kau dan nenek satu itu sudah lama di sini!” berseru Pendekar 212 dan segera
mendatangi lalu pegang dua Si nenek seperti orang kangen. Diam diam Hantu Muka Dua juga
terkejut melihat kemunculan nenek serba kuning itu. Hatinya mendadak jadi tidak enak. Karena
Luhkentut adalah juga mahluk dan negeri 1200 tahun silam. Dan antara mereka tidak terjalin
hubungan baik.

“Prett!” Nenek yang dipanggil dengan sebutan Luhkentut pancarkan kentut keras. Membuat
Wiro lepaskan dekapannya dan bersurut dua langkah.

“Penyakit kentutmu masih belum lenyap. Jauh jauh kau bawa ke sini. Padahal di negeri
Latanahsilam kau sudah makan tujuh puluh kibul ayam!”

Si nenek berujud serba kuning tertawa cekikikan.

“Untung kau anjurkan aku menelan kibul ayam itu. Aku sekarang cuma kentut sekali sekali saja.
Kalau tidak penyakit kentutku tidak akan sembuh sembuh. Aku akan terus kentut mulai pagi
sampai malam. Dan malam sampai pagi lagi. Hik …hik … hik..”

“Ya, … ya, dalam tidurpun kau masih bisa kentut!” kata Wiro menggoda yang membuat tawa Si
nenek semakin panjang. (Mengenai nenek bernama Luhkentut ini harap baca kisah Wiro di
negeri Latanahsilam berjudul “Hantu Langit Terjungkir”).

Luhkentut dikenal juga dengan julukan Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa angin. Sebagai
salah seorang tokoh berkepandaian tinggi di Negeri Latanahsilam nenek ini memiliki berbagai
ilmu kesaktian langka.

Kepada Wiro dia telah memberikan ilmu kesaktian yang disebut Menahan Darah Memindah
Jazad. Dengan ilmu kesaktian ini seseorang bisa memindahkan bagian tubuh manusia ke tempat
mana saja yang disukainya.

“Luhkentut, kau ingat sahabatku bernama Setan Ngompol?”

“Kakek bau pesing itu dimana dia? Apa masih suka kencing di celana?” tanya si nenek muka
kuning.

“Dia pasti gembira kalau bertemu denganmu. Bukankah dulu kau memindah telinga kanannya.
Sewaktu kau kembalikan kembali daun telinga itu kau pasang terbalik! Sampai sekarang
keadaannya masih seperti itu!”

Luhkentut tertawa gelak gelak.

“Luhkentut, bagaimana kau bisa muncul di tempat ini?”


Wiro ingin tahu. “Apakah kau punya maksud baik menolongku menumpas manusia manusia
pocong itu?”

“Tak sengaja dalam perjalanan aku bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Begitu berkenalan kami
saling cocok. Dia mengajak aku ke tempat ini. Aku mau saja karena katanya dia akan
menemuimu di sini. Ternyata memang benar.”

“Kau mau ikutan aku mencari jalan masuk ke dalam lorong?”

“Aku sudah kebagian tugas dari Nyi Roro.” Si nenek mendekati Wiro lalu berbisik, “Aku harus
menjaga Hantu Muka Dua sampai manusia manusia pocong itu dimusnahkan. Ada sesuatu yang
dikawatirkan Nyi Roro.”

“Apa?”

“Dia tidak mengatakan padaku,” jawab si nenek.

“Luhkentut, sewaktu di Latanahsilam aku mendapat Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah
dari Hantu Santet Laknat. Menurutmu dengan ilmu itu apakah aku bisa membongkar dinding
batu ini lalu menerobos masuk ke dalam markas manusia pocong?”

“Jangan mencari penyakit. Dirimu belum berada di tingkat roh. Nyi Roro sudah mengatakan
padamu bahwa ada kekuatan roh di dalam lorong sana. Dan roh hanya bisa dilawan dengan roh
pula.”

Wiro menggaruk kepala. “Kalau begitu aku akan tanyakan pada Nyi Roro apa maksudnya
ucapannya itu.”

“Sahabat Luhkentut, kami berdua akan pergi. Seperti yang sudah kita bicarakan di perjalanan
harap kau tetap di sini.” Nyi Roro berkata.

Luhkentut anggukkan kepala. Dia tepuk tepuk bahu Wiro dan berkata.

“Anak muda, jika semua urusan sudah selesai kita ketemu lagi. Banyak cerita yang bisa kita
bicarakan. Dari pagi sampai malam.”

“Sambil kentut!”

Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut tertawa cekikan. Wiro tinggalkan nenek dari negeri
Latanahsilam itu. Melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut.

“Nyi Roro, kau mau bawa aku kemana?”


“Dekat dekat sini saja,” jawab Nyi Roro seraya berjalan terus dan baru berhenti begitu sampai
di pinggiran jurang. Wiro berdiri di samping si nenek.

“Nyi Roro, aku mohon petunjuk tentang ucapanmu roh harus dilawan roh.”

“Apakah kau pernah kenal dengan seseorang dari alam roh?” Nyi Roro balik bertanya. “Cobalah
berhubungan dengan dia.”

Wiro garuk garuk kepala.

“Aku coba mengingat ingat dulu. Rasanya… Tapi Nek, katamu aku bisa menghancurkan
kekuatan dahsyat di dalam lorong yang berasal dan roh jika aku nikah dengan roh. Sekarang
mengapa kau meminta aku menghubungi seseorang dan alam roh?”

“Karena orang itulah yang mungkin akan jadi juru nikahmu” Jawaban Nyi Roro Manggut
membuat Wiro tercengang diam, mulut terbuka.

“Nek,” Wiro garuk garuk kepala. “Selain urusan dengan gerombolan manusia pocong ini, aku
punya dua perkara atau dua tugas besar dan guruku Eyang Sinto Gendeng.”

“Hemmmm, urusan apa?” tanya Nyi Roro pula.

“Aku harus mencari dua benda pusaka langka yang lenyap dicuri orang. Pertama sebilah pedang
sakti mandraguna bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Yang kedua sebuah buku keramat
bernama Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus menemukan kedua benda pusaka itu. Apa kau
pernah mendengan dan punya petunjuk?”

Nyi Roro geleng geleng kepala. Dipegangnya lengan Wiro. Ditariknya seraya berkata, “Berdiri
Lebih dekat ke sini!”

Wiro mengikuti ucapan si nenek.

“Coba kau memandang ke dalam jurang. Apa yang kau lihat?”

Wiro memperhatikan ke bawah. Ke dalam jurang.

“Aku hanya melihat pepohonan. Selainnya redup gelap.”

“Kau tidak melihat dasar jurang?”

“Tidak, nek.”

“Menurutmu apakah jurang ini dalam?”


“Dalam sekali,” jawab Wiro

“Heran, mengapa kau bertanya seperti itu Nyi Roro? Orang gila mana yang mau mauan
mengukur dalamnya jurang.”

“Kalau begitu aku sarankan agar kau mengukur dalamnya sekarang juga!”

Selagi murid Eyang Sinto Gendeng terheran heran karena tidak mengerti semua ucapan si
nenek, tiba tiba Nyi Roro Manggut dorong punggung Pendekar 212 kuat kuat. Tak ampun lagi
Wiro terlempar jatuh ke dalam jurang.

“Nyi Roro!” Wiro berteriak keras. Suara teriakannya menggaung di seantero tempat, bergelegar
di dalam jurang.

Di pinggir jurang, Nyi Roro Manggut tetawa panjang. Lalu berkelebat lenyap ke arah pohon
besar yang membelintang di atas jurang. Dekat dinding batu Luhkentut si nenek muka kuning
ikutan tertawa. Hantu Muka Dua menyaksikan apa yang terjadi dengan perasaan tercekat. Jika
nenek bernama Nyi Roro Manggut itu tega teganya membunuh Wiro berarti dirinya tidak bakal
lama akan dihabisi pula!

Belum lama Nyi Roro Manggut lenyap dan tempat itu, belum lama pula suara gaung teriakan
Wiro sirna tiba tiba dinding batu di depan anak tangga seratus undak bergeser membuka.
Bersamaan dengan itu, dan pintu rahasia yang terbuka melesat keluar sebuah benda aneh
berbentuk papan panjang. Papan ini meluncur begitu hingga mencapai dan membelintang pada
dua pertiga lebarnya jurang.

Tak selang berapa lama, dua orang manusia pocong berkelebat keluar dan pintu rahasia,
langsung meniti sepanjang papan. Diberati dua sosok tubuh papan itu kelihatan bergoyang
goyang turun naik. Mendekati ujung papan, dua manusia pocong berhenti, memandang
berkeliling.

“Aneh, orang orang kita memberi tahu ada beberapa orang di tempat ini. Salah satunya adalah
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Nyatanya tak ada satu orangpun di tempat ini.”

“Mereka sudah kabur entah kemana. Lihat pohon yang membellntang di atas jurang! Jelas
mereka sebelumnya ada di tempat ini, Wakil Ketua.”

“Tadi aku mendengar suara teriakan. Lalu suara perempuan tertawa. Sepengetahuanku tak ada
setan atau dedemit di sekitar sini. Lalu siapa yang berteriak, siapa yang menjerit?” Orang yang
bicara ternyata Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Dia memandang
berkeliling sekali lagi. Pandangannya membentur dua buah batang kayu kering yang tergeletak
di tanah, di samping kiri tangga batu.
“Mungkin salah aku menduga. tapi seingatku dulu tidak ada dua batang kayu kering di tempat
itu,” ucap Wakil Ketua.

Dia mengangkat bahu lalu berkata, “Sudah kita kembali saja ke dalam lorong. Banyak urusan
yang harus kita lakukan.”

Dua manusia pocong itu berbalik, meniti papan panjang yang melesat masuk kembali ke arah
pintu rahasia. Namun sebelum masuk ke dalam pintu Wakil Ketua hentikan larinya. Di balik kain
putih penutup kepalanya dia menyeringai. Tangan kanannya melepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi dua kali berturut turut.

Pohon besar yang melintang di atas jurang patah dua lalu bergemuruh masuk ke dalam jurang.

“Siapapun mahluk yang coba sembunyi mengelabui diriku tak bakal punya jalan keluar. Dia akan
mati kelaparan di tempat ini! Ha … ha… ha…!”

Wakil Ketua dan anak buahnya berkelebat masuk. Pintu rahasia tertutup kembali. Dinding batu
itu kembali pada ujudnya semula seolah tak ada apa apadi tempat itu. Dua onggok batang kayu
kering yang tergeletak di samping kiri tangga batu. Secara aneh perlahan lahan berubah bentuk
menjadi sosok nenek berpakaian serba kuning serta sosok kakek berjubah putih.

“Luhkentut, terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dengan ilmu kesaktianmu hingga kita
berdua berubah bentuk jadi batang kayu kering tak berguna. Kalau sampai dua manusia pocong
tadi itu sempat melihat kita di sini, Jangan harap saat ini kita masih bisa bernafas.”

Nenek Selaksa Angin alias Luhkentut cuma menyeringai dingin mendengar kata kata Hantu
Muka Dua itu.

“Luhkentut, kalau aku boleh bertanya. Mengapa nenek cebol tadi membunuh pemuda bernama
Wiro itu?”

Sambil bertanya sepasang mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segitiga memperhatikan
kalung berbentuk sendok yang tergantung di leher si nenek.

“Siapa yang membunuh?” ujar Luhkentut pula.

“Kau menyaksikan sendiri. Nenek itu mendorong Wiro hingga masuk ke dalam jurang. Kau juga
aku lihat tertawa. Rahasia apa yang ada di balik semua kejadian aneh ini?”

Luhkentut kembali menyeringai dingin dan tidak memberikan jawaban apa apa. Pandangan
Hantu Muka Dua ini tertuju ke arah jurang. Pohon yang tadi membelintang tak tampak Iagi
karena sudah dihancurkan oleh Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
Hatinya merasa cemas. Bagaimana dia bisa tinggalkan tempat itu. Melirik ke samping si nenek
dilihatnya tenang tenang saja.

***

Kapak Maut Naga Geni 2128

Teriak kemarahan Pendekar212 menggelegar di dalam jurang. “Nenek cebol keparat! Apa
salahku! Kau pasti kaki tangan kompiotan manusia pocong!”

Namun rasa marah itu dalam sekejap berubah menjadi rasa takut Iuar biasa. Tubuhnya yang
melayang jatuh dengan deras, sesekali tersangkut cabang pepohonan. Cabang cabang pohon
berpatahan dan dia kembali amblas ke bawah. Sekujur tubuhnya sebelah atas yang tidak
berpakaian penuh goresan luka. Sebuah patahan ranting menancap di punggung. Rasa sakit
membuat tubuhnya bergetar. Pipi kiri mengucurkan darah akibat luka sewaktu membentur
pohon bambu. Bagaimanapun juga rasa saki dan luka luka itu tidak seberapa dibanding rasa
takut bahwa di bawah sana batu batu besar menunggu kejatuhan tubuhnya di dasar jurang!
Dalam keadaan seperti itu Wiro masih berusaha menyelamatkan diri. Kaki dipentang mencari
tahanan, tangan menggapai mencari pegangan. Namun bobot tubuhnya yang berat membuat
dia tidak berdaya menahan kejatuhan. Semakin dia berusaha mencari selamat, semakin deras
tubuhnya jatuh ke bawah.

Akhirnya dia hanya bisa pasrah. Agaknya Tuhan memang sudah menakdirkan dia menemui
kematian dengan cara begini. Dia tahu dalam hitungan kejapan mata tubuhnya akan
menghantam batu di dasar jurang. Remuk dan hancur! Kematian baginya bukan apa apa
dibanding dengan beban tanggung jawab untuk menyelamatkan para tokoh, para gadis serta
perempuan perempuan hamil yang disekap dalam 113 Lorong Kematian. Pada saat saat
menunggu ajal itu Pendekar 212 berulang kali memanggil nama Gusti AIlah.

“Byuuurrr!”

“Hik hik! Ada dedemit kecebur!”

Wiro merasakan tubuhnya amblas dalam air luar biasa dingin. Saat tubuhnya tenggelam ke
dalam air rasa sakit perih mencengkeram wajah dan sekujur tubuhnya yang penuh goresan
luka.

“Astaga! Berada dimana aku ini?! Masih hidup atau sudah mati?!”

Wiro kembangkan dua tangan ke samping dan gerakkan sepasang kaki. Perlahan lahan
kepalanya muncul di permukaan air. Dalam keadaan mengambang yang hampir tak bisa
dipercaya.
Wiro dapatkan dirinya berada di tengah sebuah telaga besar berair luar biasa dingin, dikelilingi
kerimbunan pepohonan dan deretan batu batu besar membentuk dinding tinggi seperti
lingkaran. Kabut tipis menggantung di permukaan air. Wiro berenang sejauh lima belas tombak
lebih mencapai tepian telaga terdekat. Susah payah dia berhasil menggapai deretan batu
berlumut, naik ke atas dan duduk di atas batu. Wiro alirkan hawa hangat yang berpusat di perut
untuk melawan gigilan rasa dingin. Lalu dia memandang berkeliling.

Di hadapannya terbentang telaga besar berair biru gelap. Kabut menutupi sebagian
pemandangan. di sebelah kanan ada cahaya terang. Ketika diperhatikan ternyata terdapat
sebuah celah besar berbentuk goa antara dua dinding batu. Sayup sayupdia mendengar suara
aliran air.

“Apa yang ada di balik celah itu,” pikir Wiro. Rasa nyeri di punggung membuat dia meraba ke
belakang. Tangannya membentur patahan ranting yang menancap di punggung. Sambil gigit
bibir Wiro cabut patahan ranting. Darah mengucur dan luka yang menganga. Wiro cepat totok
urat besar di bahu kiri. Kucuran darah serta merta berhenti.

“Nyi Roro …“ ucap Wiro begitu dia ingat nenek cebol itu.

“Permainan jahat apa yang kau lakukan padaku! Kau sengaja mendorong diriku ke dalam
jurang. Maksudmu hendak membunuhku atau bagaimana? Apa kau memang sudah tahu di
dasar jurang ini ada telaga hingga kalaupun jatuh aku tidak bakal menemui kematian?”

Wiro garuk garuk rambutnya yang basah. “Kalau ini hanya siasatmu lalu apa tujuanmu?
Mencelakai diriku atau ..?“ Wiro usap goresan luka di dada kiri. Sekujur tubuhnya basah, dingin
dan sakit. “Nenek itu, tidak mungkin dia berniat jahat terhadapku …“ ucap Wiro dalam hati.
Otak diputar.

“Nyi Roro, apakah kau hendak menunjukkan sesuatu padaku?” Wiro memeriksa beberapa
benda yang disimpan di balik pinggang celana.

Kaleng butut milik Kakek Segala Tahu masih ada. Juga kipas kayu cendana dari Nyi Roro
Manggut yang harus diserahkannya pada kakek itu. Batu hitam sakti pasangan Kapak Naga Geni
212 masih ada dalam kantong kain. Begitu juga gulungan kecil kain putih. Lalu sapu tangan biru
muda pemberian Wulan Srindi, juga masih ada. Dan tentunya Kapak Naga Geni 212 yang
tersembul di atas pinggang celana sebelah kiri.

Tiba tiba saja Wiro ingat. Waktu dirinya jatuh ke dalam telaga tadi dia sempat mendengar suara
tawa cekikikan serta ucapan “Ada dedemit kecebur.” Siapa yang tertawa, siapa yang berucap?

“Suara anak anak. Aku yakin betul itu suara anak anak,” kata Wiro dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Tidak melihat apa apa, kecuali air telaga, batu batu yang mengelilingi dan
pepohonan.
“Jangan jangan ada Setan anak anak di sini. Sebangsa tuyul … Tempat apa ini sebenarnya?
Telaga apa ini sebenarnya? Tempat mandi mahluk halus?” Wiro mengusap usap tengkuknya.
Sekali lagi dia memandang berkeliling. Kali ini ada yang membuatnya jadi tercekat. Tadi
permukaan telaga tertutup kabut. Kini ketika kabut naik ke atas, di arah kiri dia melihat sebuah
perahu kayu terapung apung di tepi telaga, ditambatkan pada sebuah tiang yang menancap di
tebing batu. Lalu di sebelah sana kelihatan ada tangga kecil merambat ke atas sepanjang
dinding batu yang terjal.

“Nyi Roro,” Wiro kembali menyebut nama nenek cebol itu.

“Aku menaruh sangka buruk padamu. Kini aku mengerti kau menceburkan aku ke dalam jurang
adalah untuk menemukan tempat dan jalan rahasia ini.” Wiro garuk garuk kepala. Dia ingat
gurunya dan berucap lagi dalam hati.

“Eyang Sinto, sebelumnya aku mengejekmu. Ternyata ucapanmu betul. Pakai ilmu bambu. Ada
jalan masuk ada jalan keluar…“

Perlahan lahan Wiro bangkit berdiri. Celah terang di samping kanan lebih dekat dari perahu
kayu yang tertambat. Wiro benjalan di atas batu batu di sepanjang tepi telaga. Dia harus
kerahkan ilmu meringankan tubuh agar tidak terpeleset ketika menginjak batu licin berlumut.

Begitu sampai di celah terang dan berdiri di atas batu besar, Wiro melihat sebuah sungai berair
jernrh kebiruan terbentang di depannya. Di seberang sungai menghadang rimba belantara.
Wiro perhatikan batu besar yang dipijaknya. Dia melihat sesuatu. Wiro membungkuk agar bisa
memperhatikan Iebih dekat. Walau tanda tanda sangat samar, dia merasa yakin sebelumnya
ada orang di tempat itu. Murid Sinto Gendeng bersikap lebih waspada. Bukan mustahil ada
orang saat itu tengah memperhatikan gerak geriknya. Dia melingkari telaga. Tak kelihatan
bayangan orang, tak tampak gerakan. Kecuali perahu kayu yang terapung dan bergoyang
perlahan.

Wiro akhirnya mencebur memasuki telaga dan berenang menuju perahu. Pada saat tangan
kanannya menggapai pinggiran perahu, dua kepala bergerak naik dari dalam perahu. Ketika
Wiro keluarkan kepala dan tubuh atasnya dan dalam air pada saat itu pula ada dua tangan
berkelebat. Satu menjambak rambut gondrong basah sang pendekar, tangan kedua mendorong
perutnya.

Wiro berteriak kaget. Jantungnya seperti mau copot! Selagi tubuhnya melayang ke udara Wiro
mendengar dua suara tawa bergelak. Satu suara anak lelaki, satu lagi suara tawa perempuan.
Setelah jungkir balik di udara Wiro melayang turun dan injakkan kaki di atas batu. Di saat
hampir bersamaan dua sosok melesat keluar dan dalam perahu kayu, mengumbar tawa haha
hihi lalu berkelebat ke hadapan Pendekar 212.

Tidak tunggu Lebih lama sebelum dua sosok itu menginjak batu murid Sinto Gendeng segera
pukulkan dua tangan ke depan.
“Hai ini aku!” Suara anak kecil berteriak nyaring.

“Oala! Apa kau tidak mengenali diriku lagi? Hik … hik!”

Menimpali suara perempuan yang disertai tawa cekikikan!

Wiro terkesiap dan cepat tarik dua tangannya yang sudah diisi kekuatan tenaga dalam tinggi.
Mata mendelik dan begitu dia mengenali siapa dua orang yang berdiri di hadapannya Iangsung
saja mulutnya memaki.

“Bocah kurang ajar! Kau rupanya. Dan kau nenek jahil!”

Dua orang yang dimaki semakin keras gelak tawanya.

“Setan keblinger! Kalian masih bisa tertawa! Bagaimana kalian bisa muncul di sini?” Bentak
murid Sinto Gendeng.

“Kami lagi jalan jalan. Saking enaknya jalan jalan kesasar sampai ke sini. Kami berdua mau
mandi bugil bugilan di telaga waktu kau muncul! Takut diintip bugil kami lantas sembunyi di
dalam perahu!”

“Bocah sialan! Apa kau dan nenek kekasihmu itu tahu berada dimana saat ini?”

Dua orang di hadapan Wiro tertawa haha hihi.

Orang pertama anak lelaki berpakaian hitam berambut jabrik bukan lain adalah Naga Kuning
bernama asli Gunung. Pada dada pakaiannya tergurat gambar seekor naga bergelung, kulit
kuning mata merah. Seperti diketahul ujud asli anak lelaki ini adalah seorang kakek berusia
lebih dari seratus tahun, yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Kiai Paus
Samudera BInu. Di punggung Naga Kuning terikat sebuah bumbung bambu yang sudah pecah.

Di samping Naga Kuning tegak seorang nenek berambut tebal kelabu berwajah angker. Bahkan
waktu tertawa atau tersenyum sekalipun tampangnya tetap mengerikan. Lima jari tangan yang
menyembul di balik lengan jubah hitam memiliki kuku runcing berwarna hitam pekat. Siapa
gerangan nenek ini?

Nama asli semasa mudanya adalah Ning Intan Lestari. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dia
kemudian dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati. Konon si nenek tengah berusaha
mendapatkan satu llmu kesaktian yang disebut Ilmu Kuku Api. Namun karena banyak masalah
besar yang dihadapi dalam dunia persilatan, ilmu tersebut sampai saat ini masih belum dapat
dirampungkan. Diriwayatkan dalam beberapa Episode serial Wiro Sableng sebelumnya, di masa
muda antara Gunung dan Ning Intan Lestari terjalin hubungan tali kasih. Nasib membuat
mereka berpisah selama puluhan tahun dan ketika bertemu kembali keduanya sudah berusia
sangat lanjut. Namun hubungan cinta yang selama ini seolah terputus kini bersambung kembali
dengan segala kehangatannya. Sejak beberapa lama belakangan ini kemana mana mereka
selalu berduaan.

“Wiro,” kata Naga Kuning menjawab pertanyaan Pendekar 212 tadi.

“Kami dua insan yang sedang dimabuk cinta. Mana perduli dimana kami berada saat ini?”

“Cinta gila bisa membuat kalian mati konyol di tempat ini!” tukas Wiro.

“Nyatanya kau juga ada di sini. Apa juga mau ikutan mati konyol? Kalau begitu silahkan mati
konyol duluan!” ucap si nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa gelak gelak.

“Kalian berdua sama saja gebleknya!” Wiro mengomel kesal. Sebaliknya Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati malah tertawa haha hihi.

Wiro perhatikan bumbung bambu di puggung Naga Kuning. Dia mengenali benda itu adalah
bumbung bambu milik Dewa Tuak yang pernah ditemukannya di sebuah pondok di tengah
hutan tempat dimana Wulan Srindi hampir jadi korban perkosaan manusia pocong.

“Anak kurang ajar! Bagaimana bumbung bambu itu bisa ada padamu?” Wiro bertanya.

“Kami menemukannya di sebuah gubuk ambruk di tengah hutan,” yang menjawab Gondoruwo
Patah Hati.

“Melihat bentuk dan bau yang masih menempel di bumbung itu, kami menduga keras
bumbung itu adalah milik tokoh silat bernama Dewa Tuak. Kalau bumbung miliknya ditinggal
begitu rupa dalam keadaan pecah sedang orangnya tidak kelihatan, kami menaruh curiga
sesuatu telah terjadi dengan kakek itu. Apa lagi melihat keadaan gubuk jelas ada tanda tanda
terjadinya penkelahian hebat di sana. Kami juga melihat percikan darah.”

“Bagaimana pun juga dia adalah sahabat kita semua,” menyambung Naga Kuning.

“Pantas saja kami berusaha menyelidik apa yang terjadi dengan kakek itu, dimana dia berada
saat ini. Apa lagi kami menyirap kabar bahwa di salah satu bagian kawasan ini terdapat lorong
maut yang dikenal dengan nama Seratus Tga Betas Lorong Kematian, markas manusia manusia
jahat yang menamakan diri Barisan Manusia Pocong. Waktu pertemuan kita terakhir kali tempo
hari, kami berdua berniat bergabung dengan kalian di Kotaraja, di gedung kediaman Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Tapi kami tidak menemukan dirimu dan tuan rumah. Juga
tidak melihat bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Terakhir kami sempat melihat
Ratu Duyung di sebuah rumah di Jatipurno. Ada manusia pocong yang hendak memperkosa
Sutri Kaliangan! Nasibnya jelek. Kemaluannya aku gebuk sampai amblas!”
“Kami juga mendapat kabar bahwa selain menculik perempuan perempuan hamil ternyata
orang orang Seratus Tiga Betas Lorong Kematian juga menculik para tokoh silat serta orang
orang berkepandaian tinggi. Apa maksud mereka perlu diwaspadai. Di masa muda aku sering
berkeliaran di tempat ini. Aku tahu kalau ada sebuah telaga di bawah bukit batu. Aku dan Naga
Kuning menyusuri sungai dengan perahu. Beberapa jauh dari sini perahu kami kandas. Kami
masih bisa berenang dan berhasil menemukan telaga ini. Ternyata di sini kami menemul
kejutan!”

“Kejutan apa?” tanya Wiro pula pada Gondoruwo Patah Hati.

“Di telaga kami menemukan sebuah perahu. Lalu dinding batu ini kini memiliki sebuah tangga
menuju ke atas. Berarti ada pintu di atas sana. Paling tidak ujung tangga ini berhubungan
dengan sebuah ruangan. Karena telaga berada di bawah bukit batu tempat terletaknya Seratus
Tiga Betas Lorong Kematian kami berdua yakin ini semua adalah pekerjaan manusia manusia
pocong penghuni lorong!”

Wiro garuk garuk kepala mendengar semua ucapan Naga Kuning itu.

Gondoruwo Patah Hati memandang ke bagian tangga sebelas atas. Lalu berkata, ”Aku dan Naga
Kuning tengah memeriksa perahu ketika kau jatuh dan kecemplung masuk ke dalam telaga.”

“Yang aku heran, mengapa kau kini cuma tinggal mengenakan celana. Kemana baju putih
bututmu?” bertanya Naga Kuning. Lalu ia meneruskan,

“Jangan jangan ada anak gadis orang yang kau kerjakan di atas sana. Gadis itu berontak dan
mendorongmu ke dalam jurang! Betul!?”

“Anak Setan bermulut jahil. Enak saja kau menuduh yang bukan bukan!” damprat murid Sinto
Gendeng. Lalu dia cenitakan yang terjadi dijurang.

“Jadi nenek cebol yang suka manggut manggut itu yang melemparkanmu ke dalam jurang?”
ujar Naga Kuning.

“Tadinya aku menduga buruk. Ternyata dia sengaja ingin mengirim aku ke tempat ini. Untuk
menunjukkan bahwa ada jalan rahasia menuju Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Saat itu aku
ingin cepat cepat menerobos ke atas. Tapi ingat pada petunjuk Nyi Roro Manggut aku harus
berlaku waspada. Di dalam lorong ada satu kekuatan luar biasa. Kekuatan roh!”

“Kau jangan menakut nakuti aku!” kata Naga Kuning.

Wiro menyeringai.

“Kita akan masuk ke sana. Kau akan lihat sendiri apa aku menakuti dirimu atau tidak. Nyi Roro
minta aku berhubungan dengan roh agar bisa menghadapi kekuatan yang ada di dalam lorong.
Aku jadi bingung. Mau menghubungi roh siapa? Bagaimana caranya? Salah salah aku bisa
dipencet roh sampai mati mencelet!”

“Kenapa bingung?” ujar Naga Kuning pula.

“Setahuku kau punya kekasih. Seorang gadis dan alam roh!”

“Astaga!” Wiro terkejut.

“Anak kurang ajar! Kau betul!”

lalu Pendekar 212 sibuk menggeledah sekitar pinggangnya. Semua benda yang disimpan di balik
pinggang kecuali Kapak Naga Geni 212 dikeluarkan. Yaitu sapu tangan biru muda pemberian
Wulan Srindi, kipas cendana pemberian Nyi Roro Manggut, kaleng rombeng milik Kakek Segala
Tahu, batu hitam serta gulungan kain putih kecil. Namun benda yang dicarinya tidak ditemukan.
Wiro jadi bingung. Diperiksanya sekali lagi. Pinggang celana ditarik ke depan, di betot ke
samping.

“Ada apa? Apa yang kau cari?” tanya Naga Kuning.

“Burungmu lenyap?!”

“Hik…hik…hik.” Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikan.

“Jangan bergurau! Aku mencari benda yang sangat menentukan mampu tidaknya kita
menghadapi kekuatan roh di dalam lorong! Celaka, jangan jangan benda itu ada di saku baju
putihku! Itu satu satunya benda yang bisa menghubungkan aku dengan gadis dan alam roh!”

Naga Kuning menunjuk ke batu di depan kaki kiri Wiro. Ketika Wiro sibuk mencari cari seputar
pinggang celananya, anak ini melihat sebuah benda meluncur dari kaki celana kiri Wiro.

“Benda itu yang kau cari?”

Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Naga Kuning. Mata membesar, mulut menyeringai. Dia
menjadi lega dan cepat cepat mengambil benda yang ada di atas batu di depan kakinya.

***

Kapak Maut Naga Geni 2129

Benda yang dipungut Wiro itu ternyata adalah sekuntum kembang kenanga yang telah
mengering dan kini menjadi layu karena kebasahan air telaga. Wiro mengeringkan bunga basah
itu dengan kedua tangannya sambil meniup niup. Setelah itu Wiro pegang kembang kenanga itu
diantara ibu jari dan jari tengah tangan kanan. Mata dipejamkan. Sambil menggosok perlahan
bunga di antara dua jarinya Wiro berucap.

“Bunga, datanglah. Aku membutuhkan pertolonganmu. Bunga datanglah…“

Wiro menunggu dengan dada berdebar. Tidak terjadi apa apa. dia mengulang Iagi. Kembang
kenanga digosok gosok. Mulut berucap, ”Bunga, aku memerlukanmu. Datanglah ….“

Naga Kuning dekatkan mulutnya ke telinga Gondroruwo Patah Hati dan berbisik, “Apa yang
dilakukannya? Bicara sendiri sambil mengusapusap kembang kenanga …“

Si nenek meilntangkan jari telunjuknya di atas bibir.

“Jangan berisik. aku tahu apa yang dilakukannya. Aku tahu siapa yang dipanggilnya.”

Naga Kuning masih bandel.

“Maksudmu dia tengah memanggii kekasihnya gadis dan alam roh itu? Mana aku tahu kalau
caranya begitu. Aku ….“ Anak lelaki itu baru hentikan bicaranya ketika tiba tiba dia mencium
harumnya bau kembang kenanga santar sekali. Si nenek juga sudah mencium bau itu dan dalam
keadaan tercekat dia sama sekali tidak kedipkan mata. Tiba tiba dan arah batu yang terang
terasa ada sambaran angin. Cahaya terang untuk sesaat seperti terhalang. Suasana di sekitar
telaga menjadi redup. Ketika cahaya dan luar kembali memasuki telaga terdengar satu suara
berucap.

“Wiro, aku di sini.”

Wiro berpaIing ke arah datangnya suara. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati melakukan
hal yang sama. Di situ, di atas perahu tampak segulung asap yang perlahan lahan berubah
menjadi sosok seorang gadis mengenakan kebaya putih berkancing besar. Dia duduk di lantai
perahu. Dua kaki yang disilang terlindung oleh celana putih sebatas betis. Di tangan kanannya
dia memegang sehelai baju putih. Wajahnya cantik namun pucat seperti tidak berdarah. Inilah
gadis dan alam roh bernama Suci yang oleh Wiro dipanggil dengan sebutan Bunga.

Dalam serial Wiro Sableng benjudul “Dewi Bunga Mayat” dikisahkan bahwa Suci menemui
kematian akibat diracun oleh Sadewo, bekas kekasihnya sendiri atas suruhan Suntini, adik tiri
Suci. Antara Wiro dan Suci kemudian terjalin satu hubungan mesra. Suci yang menyadari
keadaan dirinya yang berbeda alam dengan Wiro dan tak mungkin hidup berdampingan dengan
pemuda itu lebih banyak mengalah dan sengaja menjauhkan diri. Namun dia memberikan
sekuntum kembang kenanga pada Wiro. Jika Wiro ingin bertemu dengan dirinya Wiro harus
mengusap kembang kenanga itu sambil memanggil namanya.

Dalam girangnya melihat kemunculan Bunga, Pendekar 212 melompat dari atas batu. Di dalam
perahu, Bunga bangkit berdiri, kembangkan dua tangan lalu melesat ke udara menyambut
kedatangan Wiro. Untuk beberapa saat keduanya seperti menghambang dan saling
berangkulan di udara.

“Wiro, aku rindu padamu. Rindu sekali” bisik Bunga.

Wiro memeluk erat erat gadis dari alam roh itu. Bunga menggerakkan kakinya. Dia membawa
Wiro melayang turun ke atas batu.

“Aku juga rindu padamu, Bunga. Tapi saat ini ada perkara besar yang tengah aku hadapi. Aku
butuh bantuanmu.”

“Dalam alamku, aku sudah tahu kesulitan apa yang tengah kau hadapi. Tapi seperti yang pernah
aku jelaskan, aku tidak bisa keluar dan alamku. Kecuali kau mengusap kembang kenanga itu dan
menyebut namaku. Untung kau masih menyimpan kembang itu. Dulu kuberi satu pernah kau
hilangkan.”

Wiro tersenyum.

“Maafkan aku Bunga. Dua orang temanku ada di sini. Mari kuperkenalkan kau pada mereka.”

“Biar dulu, aku masih kangen. Aku masih ingin memelukmu,” jawab Bunga dan tidak mau
melepaskan pelukannya.

Naga Kuning kembali keluar jahilnya. Dia mendehem berulang kali sampai akhirnya Wiro dan
Bunga lepaskan pelukan masing masing. Bunga tersenyum manis dan lambaikan tangan pada
Naga Kuning. Pada Gondowuro Patah Hati dia anggukkan kepala lalu membungkuk. Si nenek
balas penghormatan Bunga dengan kedip kedipkan sepasang matanya.

Bunga angsurkan tangannya yang memegang baju putih.

“Di alamku aku melihat kau tidak mengenakan baju. Pakailah ini, mudah mudahan cocok.”

Wiro mengambil baju yang diberikan Bunga lalu memakainya dan ternyata cocok dengan besar
tubuhnya.

“Terima kasih …“ bisik Wiro sambil membelai pipi gadis dan alam roh itu.

“Bunga, seorang nenek sakti bernama Nyi Roro Manggut memberi tahu bahwa kau akan
menjadi juru nikahku. Kau akan mengawinkan aku dengan roh yang berada dalam Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian. Setelah itu baru kekuatan jahat yang ada di lorong dapat
dimusnahkan.”

Wiro hendak mengeluarkan gulungan kain putih dari dalam kantong kain yang terikat di
pinggangnya. Bunga tersenyum.
“Tidak usah dikeluarkan. Tulisan di atas kain putih itu aku yang menulisnya. Dan alam gaib aku
kirim ke dalam alammu. Diterima oleh tokoh silat berjuluk Dewa Sedih. Selanjutnya kain itu
sampai di tangan Raja Penidur yang kemudian diserahkan pada Kakek Segala Tahu dan akhirnya
jatuh ke tanganmu.”

Kaget Wiro bukan olah-olah. Mulutnya sampai menganga dan sepasang mata terbuka lebar tak
berkesiap.

“Bunga, kau merencanakan pernikahan bagi diriku,” ucap Wiro perlahan.

“Aku …“

Bunga tundukkan kepala.

“Aku mengerti apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Perasaan kasihku padamu ingin
menolak hal itu. Namun aku merasa punya tanggung jawab untuk menolong dirimu serta rimba
persilatan dimana kau berada. Hanya pernikahan itu yang akan menyelamatkan dirimu dan
semua orang yang disekap di dalam lorong. Hanya pernikahan itu satu satunya jalan yang bisa
menyelamatkan rimba persilatan. Kalau saja nasib diriku bukan sebagai mahluk dan alam roh,
sudah lama aku ingin bersimpuh di depan kakimu untuk dapat kau terima sebagai teman
pendamping hidupmu. Namun ….“ Bunga tidak meneruskan katakatanya.

“Maafkan aku Wiro. Aku tidak dapat menahan perasaanku. Tidak seharusnya aku mengeluarkan
kata kata tadi.”

Kalau saja di situ tidak ada Naga Kuning dan Gondowuro Patah hati, ingin sekali Wiro memeluk
gadis dari alam roh itu kembali. Masih bingung Wiro kembali ajukan pertanyaan.

“Pernikahan itu, apakah memang benaran? Maksudku apakah aku betul betul akan terikat
dalam satu tali perkawinan? Gila! aku tidak dapat membayangkan!”

“Aku juga tidak dapat membayangkan. Aku hanya menjalankan sesuatu yang tersirat dan
tersurat sebagaimana petunjuk yang aku dapat dari alamku.”

Wiro garuk garuk kepala.

“Bunga sebenarnya apa tujuan manusia pocong penghuni lorong dengan segala perbuatan keji
mereka itu?” tanya Wiro pula.

“Mereka ingin menguasai dan menjadi raja diraja rimba persilatan. Caranya dengan
menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki para tokoh persilatan melalui satu ilmu sesat.
Memanfaatkan kekuatan nyawa kedua atau memperalat kekuatan roh yang saat ini bisa
mereka kuasai.”
“Nyawa kedua? Aku tidak mengerti.” Murid Sinto Gendeng lagi lagi garuk garuk kepala.

“Seseorang yang sudah mati dihidupkan kembali. Rohnya yang mengapung diantara langit dan
bumi dimasukkan kembali ke dalam jazadnya lalu dikuasai. Dialah yang disebut dengan
panggilan Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Mahluk dengan nyawa kedua dan alam roh ini akan
melakukan apa saja segala yang diperintahkan oleh orang yang menguasainya. Dan orang ini
adalah penguasa atau pimpmnan Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”

“Kau tahu siapa orangnya?”

Bunga gelengkan kepala.

“Sebelum aku masuk ke dalam lorong sulit aku menduga siapa adanya mahluk dengan nyawa
kedua dan alam roh itu.”

“Luar biasa. Mengerikan ….“ ucap Wiro.

“Wiro, jika sampai di dalam lorong, berlaku hati hati. Orang orang di dalam lorong telah
mengetahui kedatanganmu dan dua sahabatmu itu.”

“Aku sudah menduga hal itu,” jawab Wiro.

“Satu hal lagi, Wiro. Di dalam lorong sahabat bisa menjadi musuh yang dapat membunuhmu.”

“Terima kasih, kau telah mengingatkan aku…“ kata Wiro sambil meremas jari jari tangan Bunga.

“Sebelum kau pergi, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”

Bunga anggukkan kepala.

“Di atas jurang sana ada seorang kakek dari negeri seribu dua ratus tahun silam. Dia menjadi
korban keganasan penghuni lorong. Seluruh tenaga dalam dan kesaktiannya disedot oleh
mahluk yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Menurut Nyi Roro dialah yang akan
dinikahkan dengan diriku. Apa yang dikatakan Nyi Roro sama dengan yang kau jelaskan.”

“Lalu?” tanya Binga pula.

“Kakek itu bercerita. Waktu di dalam lorong dia melihat sebuah benda putih bercahaya.
Katanya jika saja dia bisa menyentuh benda itu maka seluruh tenaga dalam dan kesaktiannya
yang lenyap akan kembali. Bunga, kau tahu benda apa yang dilihat kakek itu?”

Bunga diam sejenak, seperti merenung.


“Wiro, aku barusan mendapat petunjuk. Benda itu adalah salah satu dan dua benda pusaka
yang lenyap.”

Habis keluarkan ucapan itu sekujur tubuh Bunga mendadak bergetar hebat. Mukanya seputih
kain kafan. Dua kakinya yang menginjak batu kepulkan asap putih.

“Bunga!” seru Wiro kaget dan cepat hendak memeluk gadis alam roh itu sambil alirkan hawa
sakti untuk menjaga segala kemungkinan. Wiro merasa ada hawa panas menyengat dirinya.
Cepat dia kerahkan tenaga dalam untuk membentengi diri. Hawa panas yang menyengat
perlahan lahan hilang.

“Tenang Wiro. Aku masih dapat menguasai diri. Kekuatan roh di dalam lorong melancarkan
serangan gaib agar aku tidak bicara.”

“Benda itu Bunga, apakah Pedang Naga Suci Dua Satu Dua atau Kitab Seribu Pengobatan?”
tanya Wiro.

“Aku tidak dapat memastikan sebelum masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Saat ini aku hanya bisa menduga duga. Benda yang dilihat kakek itu mungkin Pedang Naga Suci
212.”

“Doss! Doss! Doss!”

Tiga letupan keras menggema di tempat itu. Dua tepat di bawah kaki Bunga hingga gadis alam
roh ini terpekik dan terlempar ke udara. Dua kaki celananya kelihatan hangus hitam. Letupan ke
tiga terjadi di atas kepala Bunga. Untuk menghindari cidera akibat letupan di atas kepalanya,
gadis alam roh hantamkan tangan kanan ke atas.

“Bummmmm!”

Satu ledakan dahsyat menggelegar. Permukaan air telaga sampai muncrat. Perahu kayu
bergoyang keras dan terangkat sepuluh jengkal di atas permukaan air telaga. Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati saling berpegangan karena batu yang mereka pijak bergeletar keras.
Wiro tegak tergontai gontai dengan wajah pucat. Bunga hampir jatuh terduduk. Ketika dia
berhasil berdiri, sekujur tubuhnya bergetar dan keringat kebiruan memercik di wajahnya yang
pucat pasi.

Setelah keadaan gadis dari alam roh itu tenang, Wiro berkata, “Bunga, boleh aku mengajukan
satu pertanyaan lagi?”

Bunga anggukkan kepala.

“Menurut kakek tadi, dia melihat , dia melihat benda itu di dalam rongga. Bunga, mungkin kau
tahu rongga apa?”
Bunga tersenyum. Gadis alam roh ini kembali merenung. Sesaat kemudian dia gelengkan
kepala.

“Maafkan aku Wiro. Aku bisa menjawab pertanyaanmu itu. Tapi jika kuberitahu tempat ini akan
runtuh. Aku bisa selamatkan diri. Kau dan tiga temanmu tak mungkin lolos dari maut!”

Wiro garuk kepala lalu berkata, “Aku bisa menduga rongga apa yang dimaksudkan kakek itu”

“Wiro! Jangan kau sebutkan! Kita bisa mati semua!”

Bunga cepat memberi ingat sambil menekap mulut Wiro dengan jari jari tangan kanannya. Wiro
hanya bisa mengangguk angguk.

“Maaf, aku masih punya satu pertanyaan,” kata Wiro pula. Bunga tersenyum dan anggukkan
kepala.

“Aku pernah mengerahkan beberapa ilmu kesaktian bahkan menghantam dinding batu jalan
masuk ke dalam lorong. Aku pernah menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Tapi semua itu membalik
menghantam diriku sendiri ….“

“Kau atau siapapun selaku manusia tidak mungkin menghadapi kekuatan roh secara langsung.
Justru disitulah letak pantangannya. Roh di dalam lorong memiliki kekuatan luar biasa. Dan roh
itu menyedot kekuatan yang kau keluarkan untuk kembali dihantamkan pada dirimu. Pada
siapa saja yang berani menghadapinya secara langsung. Apapun yang terjadi, dimanapun,
jangan sekali kali berani melakukan adu kekuatan secara langsung dalam satu garis lurus
dengan roh.”

“Kalau begitu tidak seorangpun, tidak satu kekuatanpun yang bisa menghadapi sang Ratu.”

“Kaulah yang akan menghadapinya Wiro. Dengan pernikahan itu. Dengan menikahi dirinya. Aku
hanya bertindak sebagai pembantu.”

Wiro garuk garukkepala sementara tengkuknya terasa merinding.

“Ada satu hal yang perlu aku jelaskan padamu, Wiro,” kata Bunga pula.

“Di dalam lorong terdapat sebuah benda berupa batu pipih hitam persegi. Batu inilah yang jadi
pangkal sebab segala bencana. Kau harus mendapatkan batu itu dan menghancurkannya. Dan
petunjuk yang aku lihat di alam gaib, batu itu berada di tangan pimpinan manusia pocong.”

“Tambah lagi satu pekerjaan …“ ucap Wiro sambil garuk garuk kepala.
“Aku pergi sekarang. Aku akan membukakan pintu rahasia di atas tangga sana untukmu dan
teman teman. Sebelum pergi aku akan memberikan sesuatu padamu.”

Dan balik kebaya putihnya Bunga keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dan kain putih.

“Ambil, simpan baik baik. Dalam keadaan terdesak jika kau harus berhadapan dengan kekuatan
roh di dalam lorong usap wajah dan tubuhmu dengan benda ini. Sebagian tebarkan di
depannya.”

“Benda apa yang ada di dalam kantong mi?” tanya Wiro.

“Serbuk Setanggi.”

“Eh, dimana sebelumnya aku mencium bau Setanggi?” Wiro bertanya tanya pada diri sendiri.
Lalu dia ingat.

“Bunga, sewaktu aku hendak mencoba masuk ke dalam lorong menerapkan Ilmu Meraga
Sukma, ada kekuatan dahsyat menghantam diriku disertai menebarnya bau Setanggi.”

“Kekuatan dahsyat itu adalah kekuatan roh. Datang dan dalam lorong bersama tebaran bau
setanggi.”

Menerangkan Bunga. Gadis dan alam roh ini memegang lengan sang pendekar dan berkata,

“Aku pergi sekarang. Hati hatilah! Keselamatan semua orang yang diculik dan berada di dalam
lorong kematian serta masa depan rimba persilatan berada di tanganmu…“

Wiro menggaruk kepala, “Aku selalu ketiban pulung hal yang tidak enak…“ ucapnya.

Bunga lepaskan pegangannya di lengan Pendekar 212. Sosok gadis alam roh itu melesat ke atas
dan lenyap dan pemandangan, meninggalkan bau harum bunga kenanga yang membuat Naga
Kuning, Gondoruwo Patah Hati dan Wiro jadi tercekat.

Setelah Bunga tinggalkan tempat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati datangi Wiro. Si
bocah pegang lengan sahabatnya.

“Wiro, apa aku barusan tidak salah dengar. Gadis alam roh sahabatmu itu bilang kau akan
dikawinkan dengan roh yang ada di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Kawin dengan
gadis benaran saja kau belum pernah. Sekarang kau mau kawin dengan roh! Apa otakmu sudah
berubah pindah ke dengkul, lalu turun ke pantat?”

Wajah Pendekar 212 tampak memerah. Namun enak saja dia menjawab.

“Sahabatku bocah berambut jabrik,” kata Wiro pula.


“Kau memang tidak salah dengar. Karena kau belum torek, belum budek. Tapi kau keliru
menyebut. Aku bukannya mau dikawinkan. Tapi dinikahkan…“

“Lalu apa bedanya?” tanya Naga Kuning.

“Tentu ada beda. Kalau nikah pakai niat. Kalau kawin pakai urat!” jawab murid Sinto Gendeng
lalu tertawa gelak gelak dan melompat ke arah tangga batu.

***

Kapak Maut Naga Geni 21210

Kembali ke kawasan jurang di sebelah belakang bukit batu dimana terletak 113 Lorong
Kematian. Tak lama setelah Pendekar 212 didorong jatuh ke dalam jurang Nyi Roro Manggut
tinggalkan tempat itu dengan melintas di atas tumbangan pohon. Tak selang berapa lama ketika
setelah Wakil Ketua dan anak buahnya muncul dari pintu rahasia lalu menghancurkan pohon
yang melintang di atas jurang dan kembali masuk ke dalam lorong lewat pintu rahasia di
dinding batu, dua orang melayang turun dari atas satu pohon besar berdaun rimbun. Rupanya
sudah cukup lama mereka sembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua kejadian di tempat
itu. Kedua orang ini ternyata gadis cantik Bidadari Angin Timur dan Jatilandak, pemuda berkulit
kuning dan negeri 1200 tahun silam.

“Aku mengkhawatirkan Wiro. Kalau sampai dia menemui ajal di dasar jurang…“

Bidadari Angin Timur bersikap dingin saja mendengar ucapan Jatilandak.

“Kau tidak khawatir?” tanya Jatilandak sewaktu Bidadari Angin Timur dilihatnya hanya berdiam
diri.

“Sebelumnya kau sudah tahu, aku tidak ingin ke tempat ini. Tapi kau membujuk…“

“Maksudku baik. Ingin membantu para sahabat yang menghadapi urusan besar,” sahut
Jatilandak.

“Umur manusia di tangan Tuhan. Kalau pemuda itu harus menemui kematian di dasar jurang,
apa yang perlu dikawatirkan?”

“Sahabatku, kau menyaksikan sendiri nenek itu mendorong Wiro masuk ke dalam jurang.
Tidakkah kau ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu?”

“Mungkin saja nenek itu punya silang sengketa dengan Wiro. Mungkin pula si nenek adalah kaki
tangan orang orang penghuni lorong atau salah seorang dari mereka yang sengaja muncul
untuk mencelakai Wiro. Pemuda itu karena tidak tahu gelagat dan tidak waspada akhirnya jadi
korban. Dalam rimba persilatan segala sesuatunya bisa terjadi. Kematian bisa berlangsung
karena seribu satu macam sebab. Wiro telah menemukan penyebab kematiannya…”

“Kalau Wiro benar benar menemui ajal di dasar jurang, apakah kau tidak punya rasa hiba?
Bukankah antara kau dan dia…“

Jatilandak tidak teruskan ucapannya. Bidadari Angin Timur sendiri berdiri sambil rangkapkan
dua tangan di atas dada dan kepala memandang ke langit yang terlihat di sela sela kerimbunan
daun pepohonan. Bibirnya digigit gigit.

“Jatilandak,” sang dara akhirnya keluarkan ucapan.

“Aku tak ingin lagi membicarakan pemuda itu. Aku mengikutimu cukup hanya sampai di sini.
Kau silahkan meneruskan perjalanan seorang diri”.

Jatilandak menatap lekat lekat ke wajah cantik itu.

“Sahabat, aku sedih sekali mendengar semua ucapanmu. Seandainya kau benci pada seseorang
akulah orangnya. Karena sebenarnya akulah yang telah berlaku keliru. Kalau Wiro menemui
kematian tanpa aku sempat memberi keterangan padanya tentang hubungan kita, aku akan
menyesal seumur hidup…“

“Kita tidak punya hubungan apa apa. Seandainya dia nanti ditemui dalam keadaan hidup, tidak
ada yang perlu diterangkan. Bukankah dia sudah berbahagia dengan sahabat barunya, gadis
bernama Wulan Srindi itu?” kata Bidadari Angin Timur pula.

Di dalam hati Jatilandak bertanya tanya apa sebenarnya yang membuat gadis berambut pirang
itu selalu berubah ubah pikiran serta menunjukkan kebencian mendalam terhadap Pendekar
212 Wiro Sableng. Hanya karena rasa cemburu yang berubah menjadi kebencian semata?

“Aku ingin pergi. Kau mau ikut bersamaku?” Bidadari Angin Timur bertanya. Dia bertanya
dengan kepala dipalingkan ke jurusan lain. Untuk menyembunyikan sepasang matanya yang
berkaca kaca.

“Aku ingin pergi kemana kau pergi. Tapi saat ini kita menghadapi urusan besar. Aku…“

Bidadari Angin Timur angkat tangan kirinya memberi tanda agar Jatilandak hentikan ucapan.

“Aku ingin membawamu menemui seorang tokoh rimba persilatan. Namanya Bujang Gila Tapak
Sakti. Dia memiliki ilmu yang bisa merubah warna kulitmu yang kuning.”

“Sahabatku Bidadari Angin Timur, terima kasih kau memperhatikan diriku. Soal keadaan kulit
tubuhku yang kuning kalaupun tidak bisa disembuhkan bagiku tidak menjadi apa. Saat ini ada
hal lain yang lebih penting dari diriku. Yaitu menyelamatkan rimba persilatan dari manusia
manusia pocong lorong kematian. Kau tahu sendiri banyak perempuan hamil yang diculik.
Beberapa tokoh silat yang tersesat ke dalam lorong tidak diketahui bagaimana keadaannya. Kita
harus berbuat sesuatu.”

“Kau orang baik. Budimu sangat luhur. Satu saat kau akan mengerti. Kepentingan orang banyak
tidak selalu diatas kepentingan diri pribadi. Selamat tinggal Jatilandak. Selamat berbakti pada
rimba persilatan.”

Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Jatilandak
memanggil dan hendak mengejar. Namun ragu. Sudah dua kali dengan ini si gadis bersikap
seperti itu. Akhirnya pemuda berkepala botak kuning ini duduk di tanah, bersandar ke batang
pohon. Menatap ke seberang jurang, di arah mana Luhkentut dan Hantu Muka Dua berada.

Bidadari Angin Timur Iari cukup jauh. Gadis ini baru berhenti berlari ketika sampai di pinggiran
rimba belantara. Dia duduk di tanah, bersandar pada tumbangan batang pohon yang telah
kering. Wajah dibenamkan di atas telapak tangan. Pundaknya bergetar pertanda dia berusaha
menahan isak. Sebelum isakan berubah menjadi tangis, tiba tiba dua bayangan berkelebat dan
berdiri di kiri kanannya. Sang dana mencium bau pesing santar sekali.

“Sinto Gendeng,” pikir Bidadari Angin Timur. Wajahnya masih dibenamkan di atas dua telapak
tangan akhirnya telinganya mendengar suara perempuan menegur.

“Bidadari Angin Timur, sahabatku, apa yang kau buat di sini?”

Bidadari Angin Timur terkejut. Dia mengenali suara itu. Dua tangan yang menutupi wajah
diturunkan.

Dihadapannya berdiri Ratu Duyung dan kakek berjuluk Setan Ngompol.

“Ah, kalian berdua rupanya. Aku gembira bisa bertemu dengan kalian lagi.”

Ratu Duyung tersenyum, anggukkan kepala lalu bertanya,

“Kau seorang diri di tempat ini. Raut wajah dan sinar matamu menunjukkan hati dan
perasaanmu sedang tergoncang. Maukah kau berbagi rasa menceritakan padaku apa yang
terjadi?”

Bidadari Angin Timur usap kedua matanya, tersenyum lalu tertawa.

“Ratu Duyung, terima kasih kau punya perhatian begitu baik terhadapku. Tapi apa perlunya kau
mengkawatirkan orang seperti diriku? Urusanmu sendiri begitu banyak.”

Dalam hati Bidadari Angin Timur berkata, “Aku tidak punya silang sengketa apa apa dengan
gadis bermata biru ini. Tapi entah mengapa aku tidak suka padanya. Hubungannya dengan Wiro
sangat dekat. Aku heran, mengapa aku masih mencemburui orang lain. Padahal aku sendiri
ingin berpaling diri dari pemuda itu. Mana mungkin aku menghargai seorang pemuda yang
punya kekasih dimana mana. Yang pernah kawin dengan seorang gadis dari alam lain…“

Ratu Duyung pegang bahu Bidadari Angin Timur lalu berkata, “Kau sahabatku, susah senangmu
susah senangku juga. Ayo katakan apa yang terjadi?”

Bidadari Angin Timur masih tersenyum. Dia melirik pada Setan Ngompol. Si kakek kedip
kedipkan mata lalu cepat cepat pegang bagian bawah perutnya agar kencing tidak terpancar.

“Di tengah jalan kakek Setan Ngompol ini bilang padaku kau pengi bersama pemuda bernama
Jatilandak. Dimana dia sekarang?”

Bidadari Angin Timur sisir rambut pirangnya dengan jari jari tangan.

“Dia pergi ke arah sana. Mungkin tengah menuju bukit batu sarang manusia manusia pocong.
Untuk sementara aku menunggu di sini”

“Aneh, mengapa mereka tidak pergi sama sama?” pikir Ratu Duyung.

“Kau tahu dimana Wiro berada?”

“Itulah…”

“Itulah apa?” tanya Ratu Duyung ketika Bidadari Angin Timur tidak teruskan ucapannya.

“Di belakang bukit batu, ada sebuah jurang. Wiro berada di sana. Seorang nenek cebol
mendorongnya masuk ke dalam jurang. Sulit aku menduga apakah pemuda itu masih hidup
atau…”

Ratu Duyung menatap wajah Bidadari Angin Timur. Ketika pertama kali berjumpa tadi dia
melihat paras gadis berambut pirang itu lesu sedih dan sepasang mata yang balut seperti mau
menangis. Tapi agaknya bukan lenyapnya Wiro ini yang menjadi ganjalan kesedihan hatinya.

Ratu Duyung tidak rnenunggu Bidadari Angin Timur menyelesai kan kalimatnya. Gadis bermata
biru dari samudera selatan ini memberi tanda pada Setan Ngompol, lalu berkelebat pergi
tinggalkan tempat itu.

Sambil berlari cepat Ratu Duyung berkata, “Aku melihat sikap aneh Bidadari Angin Timur. Kalau
dia tahu Wiro didorong orang masuk jurang mengapa dia masih bisa duduk tenang tenang di
tempat itu?”

“Aku melihat matanya balut sedih seperti habis menangis. Mungkin meratapi kematian Wiro,”
ujar Setan Ngompol.
“Jangan kau bicara seolah Wiro sudah mati. Kita belum tahu kenyataan sebenarnya…“

“Kau bisa pergunakan cermin sakti untuk menyelidiki”

“Sebelumnya telah beberapa kali aku mempergunakan cermin itu. Namun satu kekuatan gaib
menghantam diriku dengan dahsyat. Aku khawatir… Nanti saja kalau kita sampai di jurang aku
akan mencoba…“

“Kau bisa menduga siapa nenek cebol yang disebutkan Bidadari Angin Timur tadi?”

“Mungkin aku bisa menduga. Tapi mustahil dia mau berbuat sejahat itu” jawab Ratu Duyung.

Sambil terus berlari Ratu Duyung berkata, “Aku tadi memperhatikan. Ketika Bidadari Angin
Timur melirik ke arahmu, ada sesuatu di balik lirikan itu.”

“Maksudmu dia menaruh hati padaku?” ujar Setan Ngompol.

“Tua bangka geblek!” maki Ratu Duyung hingga Setan Ngompol tersentak kaget lalu tertawa
mengekeh dan kucurkan air kencing.

“Air mukanya menunjukkan ada sesuatu yang dikhawatirkan…“

“Benar sekali. Dia kawatir kalau aku jatuh cinta pada gadis lain! Ah, kasihan kalau Bidadari
Angin Timur sampai patah hati karena ulahku,” sahut Setan Ngompol kembali bergurau dan
tertawa gelak gelak.

Kedua orang itu sampai di tepi jurang di sebelah belakang bukit batu markas manusia pocong.
Mereka tidak menemukan Jatilandak. Namun di seberang jurang, dekat dinding batu mereka
melihat seorang kakek dan seorang nenek berwajah angker. Ratu Duyung bertanya perihal
kedua orang yang tidak dikenalnya itu. Setan Ngompol yang pernah tersesat ke negeri 1200
tahun silam bersama Naga Kuning dan Wiro segera saja mengenali.

“Si kakek yang memiliki dua muka di kepalanya itu berjuluk Hantu Muka Dua. Jahatnya selangit
tembus, si nenek bernama Luhkentut karena kentut melulu. Keduanya memiliki ilmu
kepandaian sangat tinggi. Mereka sama sama berasal dan negeri seribu dua ratus tahun silam.
Tapi heran dari sini aku lihat Hantu Muka Dua hanya duduk menjelepok di tanah seperti kakek
pikun tiada daya. Mengapa mereka berdua bisa berada di seberang jurang sana? Tak mungkin
melompat sejauh ini walau ilmu mereka setinggi langit sekalipun. Nenek jelek itu. Aku benci
padanya. Dia yang membaIikkan daun telingaku sebelah kanan! Nanti akan kubalas!” Si kakek
pegang daun telinga sebelah kanannya yang lebar tapi terbalik.

“Dan tanda tanda di sekitar sini,” ucap Ratu Duyung sambil sepasang matanya yang biru
memperhatikan berkeliling.
“Memang jelas ada beberapa orang berada di tempat ini sebelumnya. Lalu pada kemana
mereka?”

“Bidadari Angin Timur memberi tahu, seorang nenek cebol mendorong pemuda itu ke dalam
jurang. Saatnya kau mempergunakan cermin untuk menyelidik.” kata Setan Ngompol sambil
menahan kencing.

Ratu Duyung sesaat merasa ragu. “Aku kawatir kejadian itu akan terulang kembali. Saat ini kita
justru berada dekat sekali dengan markas manusia pocong.”

“Kalau kau takut, biar aku yang pegang kacanya. Kau yang melihat ke dalam cermin,” kata Setan
Ngompol pula sambil seka tangan kanannya yang basah oleh air kencing ke dada.

Ratu Duyung tersenyum. Dan balik pakaiannya yang bagus dia keluarkan cermin sakti bulat.
Cermin dipegang di tangan kanan. Untuk menjaga segala kemungkinan Ratu Duyung alirkan
tenaga dalam ke kaki hingga dua kaki itu laksana di pantek ke tanah. Sebagian tenaga dalam
juga dialirkan ke tangan kiri. Tangan ini kemudian diangkat sebatas dada untuk membentengi
diri. Dengan dada berdebar Ratu Duyung kemudian mulai arahkan pandangannya ke dalam
cermin. Pikirannya dipusatkan pada jurang di hadapannya. Tak ada getaran pada tangan kanan
dan cermin yang dipegangnya. Tak ada hawa aneh mempengaruhi. Sepasang matanya melihat
hamparan kabut muncul di dalam cermin. Sesaat kemudian kabut lenyap. Dalam kejernihan
permukaan cermin dia melihat jurang di bawah sana. Mula mula yang tampak adalah rimbunan
pepohonan dari bebatuan. Lalu genangan air muncul sebuah benda berbentuk perahu.

“Ada sebuah telaga dalam cermin. Hai, apa ini ….? Di salah satu dinding ada tangga batu
menuju ke atas. Aku melihat seorang anak menaiki tangga. Aku seperti mengenalinya. Pakaian
hitam, rambut tegak lurus seperti ijuk”

“Itu pasti Naga Kuning!” seru Setan Ngompol.

“Kau tidak melihat yang lain lain? Wiro, Anggini, Wulan Srindi, Jatilandak?”

Ratu Duyung gelengkan kepala.

“Tunggu. Astaga, apa ini?! Ada seekor binatang melompat lompat menaiki tangga mengikuti
bocah itu. Seekor tikus besar. Tapi bulunya panjang tebal dan runcing…“

“Gila, apakah Wiro telah berubah menjadi tikus besar?” ujar Setan Ngompol sambil menahan
kencing.

“Ratu, kalau bocah itu Naga Kuning, bersamanya pasti ada seorang nenek jelek ….“

“Aku tak melihat orang lain,” ucap Ratu Duyung.


“Kalaupun Wiro sudah menemui ajal di dasar jurang, pasti aku bisa melihat sosoknya lewat
cermin ini. Aneh, tidak terjadi apa apa. Tidak ada kekuatan gaib menyerangku.”

Perlahan lahan dia gerakkan cermin sakti di tangan kanan. Gerakan mi membuat dia mampu
melihat bagian atas tangga batu. Namun saat itu tangannya mulai bergetar.

“Serangan itu datang kembali…“ membatin Ratu Duyung. Dengan cepat dia turunkan cermin,
tegak tak bergerak sambil kerahkan tenaga dalam.

Mendadak sontak menggelegar satu dentuman dahsyat. Seantero kawasan bergetar.

Ratu Duyung hampir terjungkal ke dalam jurang. Setan Ngompol masih sempat memegang
pinggang pakaiannya. Kedua orang ini terbanting jatuh ke tanah. Setan Ngompol pancarkan air
kencing. Sambil pegangi kupingnya yang mengiang dia bertanya. Di seberang jurang nenek
Latanahsilam Luhketut terhempas ke tanah. Hantu Muka Dua mencelat ke udara dan jatuh
bergedebuk.

Di dalam jurang terdengar suara teriakan teriakan beberapa orang disusul benda benda yang
berjatuhan kecebur masuk ke dalam telaga.

“Apa yang terjadi ….?“ Setan Ngompol keluarkan suara bergetar.

Ratu Duyung duduk bersila di tanah. dia coba melihat ke dalam cermin kembali. Tak kelihatan
apa apa kecuali kabut tebal.

“Aneh, sewaktu aku memantau ke dalam jurang tidak terjadi apa apa. Ketika aku merubah arah
cermin pandangan ke dinding batu sebelah kiri letak markas manusia pocong itu tanganku
bergetar. Lalu ada letusan keras itu…“ Ratu Duyung geleng geleng kepala.

“Sesuatu terjadi di bawah sana. Aku kawatir. Kita harus bisa turun ke dasar jurang. Tapi
bagaimana caranya?” Ratu Duyung usap keringat yang memericik di kening. Setan Ngompol
usap celananya yang kuyup oleh air kencing.

“Ratu, waktu ledakan menggelegar aku mendengar suara teriakan. Coba kau menyelidik lagi
lewat cermin. Perhatikan ke arah jurang, jangan melenceng ke arah dinding batu…“

Ratu Duyung ikuti ucapan Setan Ngompol. Dia angkat cermin sakti ke depan wajahnya lalu
memperhatikan dengan seksama. Kabul menutupi pandangan di permukaan cermin. Kabut
lenyap berganti dengan pohon pohon lebat. Lalu muncul telaga di dasar jurang.

“Astaga, aku melihat mereka!” seru Ratu Duyung.

“Siapa saja?”
“Wiro, Naga Kuning, nenek berpakaian serba hitam. Lalu tikus besar itu … Mereka berada di
telaga. Mereka berenang menuju salah satu tepian. Hai!”

“Ada apa?” Naga Kuning coba melihat ke dalam cermin. Namun dia tidak melihat apa apa.

“Aku tidak melihat apa apa. Kau melihat apa? Apa yang barusan mengejutkanmu?”

“Setibanya di pinggir teiaga di arah tangga batu, tikus besar tadi berubah menjadi kepulan asap.
Lalu muncul sosok seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala botak dan berkulit kuning.”

“Itu pasti Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam. Ah, aku tahu ilmu yang dipakainya.
Untuk turun ke bawah dia merubah diri ke bentuk aslinya. Seekor landak besar!”

Satu suara tercekat terdengar di belakang kedua orang itu. Ratu Duyung dan Setan Ngompol
berpaling. Di situ berdiri Bidadari Angin Timur dengan wajah pucat. Dua tangan memegangi
pangkai leher. Apa yang diucapkan Setan Ngompol tadi membuatnya sangat terkejut. Ternyata
perwujudan asli pemuda bernama Jatilandak itu adalah seekor landak besar.

“Bidadari Angin Timur,” tegur Ratu Duyung. “Kami gembira akhirnya kau mau menyusul ke sini.
Kami tengah memikirkan bagaimana cara turun ke dalam jurang. Wiro dan beberapa orang
terlihat lewat cermin saktiku. Mereka berada di dasar jurang yang ada telaganya…“

Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Hanya sepasang matanya menatapi Ratu Duyung lalu
beralih pada Setan Ngompol. Perlahan lahan dua butir air bening menggelinding dan kelopak
mata sebelah bawah gadis berambut pirang ini. Kepalanya digelengkan. Mulutnya terbuka.
Suaranya berucap perlahan.

“Nasib diriku buruk sekali…“

“Sahabatku, kau menyesali apa?” tanya Ratu Duyung seraya mendekat.

Bidadari Angin Timur gelengkan kepala lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.

“Lagi lagi dia menunjukkan sitat aneh…“ ucap Ratu Duyung.

***

BUNGA gadis dari alam roh sampai di anak tangga teratas. Mata manusia biasa tidak akan
melihat celah sehalus rambut membentuk bagian empat persegi pada dinding batu.

"Ada celah. Ternyata mereka tidak sepandai yang aku sangka…“ ucap Bunga dalam hati.
Gadis dan alam roh ini goyangkan kepala. Saat itu juga sosoknya berubah menjadi samar,
berubah lagi menjadi asap tipis lalu bergerak menembus celah halus di dinding batu. Sesaat
kemudian Bunga telah berada di bagian dalam dinding batu. Ujudnya yang seperti asap kembali
membentuk sosok seorang gadis berkebaya putih. Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya
berada di satu ruangan cukup besar. Di sebelah depan ada satu lorong pendek. Di ujung lorong
kelihatan sebuah tangga menuju ke atas. Bunga balikkan tubuh, menatap ke arah dinding yang
barusan dilewatinya melalui celah halus. Samar samar dia melihat ada cahaya kuning pada
bagian dinding batu yang berada dalam celah sehalus rambut.

“Cahaya itu, pertanda satu kekuatan roh dahsyat Membentengi batu. Apakah aku sanggup
menembusnya? Aku harus bertindak cepat sebelum roh di dalam lorong mengetahui
kehadiranku…“

Tiba tibasetiup angin berhembus disertai menebarnya bau setanggi.

“Celaka, mahluk penguasa lorong telah mengetahui kehadiranku,” Baru saja Bunga membatin
seperti itu tiba tiba satu suara halus seolah datang dan kejauhan mengiang di telinga Bunga.

“Roh dari alam gaib. Kau datang membawa bencana. Terima kematianmu sebelum kau
menimbulkan malapetaka!”

Mendengar suara halus itu Bunga cepat menyahuti.

“Bencana ada dalam hatimu. Malapetaka ada dalam benakmu! Aku datang membawa
kebaikan. Aku akan berindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas dirimu kembali bebas
alammu. Dunia bukan tempat kediamanmu. Di dalam lorong ada manusia jahat yang
memperalatmu!”

“Ahai! Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Aku mau lihat apakah kau
masih bisa berkata kata sesudah aku menjatuhkan kematian kedua padamu!”

Dari arah lorong di depan sana kembali bertiup serangkum angin, menyusul munculnya cahaya
kuning. Bunga cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala. Mulut terkancing rapat.
Sepasang mata menatap tajam ke arah cahaya kuning yang datang menyambar.

“Roh dari alam gaib, aku mewakili semua roh dari alammu. Berikan kekuatanmu padaku!
Hancurkan pintu itu!” Bunga gerakkan tangan kanannya ke depan. Sejenis bubuk menebar di
udara. Bubuk setanggi. Bau harum semakin santar di tempat itu. Dan jauh mendadak terdengar
suara pekikan.

Sosok Bunga laksana kilat berubah menjadi asap melesat ke atas. Di ujung lorong kemudian
terdengar satu teriakan keras.
“Jangan!”

Cahaya kuning berkiblat. Menghantam dinding batu. Tebaran setanggi yang masih melayang di
udara berubah menjadi percikan bunga api terang benberang.

“Bummm! Byaaarr!”

Satu letusan dahsyat berdentum mengguncang seantero tempat. Dinding batu di depan sana
hancur berantakan. Sebuah lobang berupa pintu empat persegi terpentang.

Bunga kembali membentuk ujud nyatanya. Gadis dari alam roh ini berseru :“Terima kasih! Kau
telah membuka pintu untuk calon suamimu!”

Satu pekikan panjang terdengar di kejauhan. Begitu suara pekikan sirna, mendadak terdengar
suara genta tujuh kali berturut turut. Terguncang ke kiri ke kanan. Bunga lari ke arah pintu.

“Wiro, cepat!”

Di bawah sana Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning dan Jatilandak baru saja keluar dari
dalam telaga. Keempatnya cepat menaiki tangga menuju ke atas.

“Cepat, ikuti aku!” kata Bunga begitu keempat orang itu sampai dihadapannya. Di kejauhan
genta terdengar lagi tujuh kali berturut turut. Kawasan 113 Lorong Kematian seperti diguncang
gempa.

TAMAT

Eps 141 Kematian Kedua

DENGAN mengubah diri menjadi asap, Bunga si gadis alam roh, berhasil menyelinap masuk ke
dalam bukit batu markas barisan manusia pocong lewat sebuah celah sehalus rambut. Suara
genta mendadak menggema mengguncang seantero tempat. Menyadari bahwa
kemunculannya telah diketahui penghuni 113 Lorong Kematian, dia harus bertindak cepat. Bau
setanggi mendadak memenuhi ruangan. Lalu satu suara halus mengiang di telinga Bunga.

“Roh dari alam gaib. Kau datang membawa bencana. Terima kematianmu sebelum kau
menimbulkan malapetaka!”

Bunga tidak tinggal diam. Dia segera menyahuti suara yang datang dari jauh itu.

“Bencana ada dalam hatimu. Malapetaka ada dalam benakmu! Aku datang membawa
kebaikan.
Aku akan bertindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas kau agar bisa kembali bebas ke alam
asal.

Dunia bukan tempat tinggalmu. Di dalam lorong ada manusia jahat memperalat dirimu!”

“Ahai! Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan.

Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai! Aku mau lihat apakah kau masih bisa berkata-kata sesudah aku
menjatuhkan kematian kedua padamu!”

Bunga terkesiap mendengar ucapan dari kejauhan itu. Bukan perihal kematian kedua atas
dirinya, tapi kata-kata menyangkut diri Yang Mulia. “Apakah mahluk bernama Sang Ratu itu
telah bercinta dengan Ketua Barisan Manusia Pocong? Apakah Sang Ketua telah menggauli
dirinya? Celaka kalau hal itu sampai terjadi!

Berarti dia telah menguasai ilmu kesaktian luar biasa dahsyatnya!”

Bunga tak sempat berpikir lebih jauh. Dari arah lorong di depannya bertiup serangkum angin.

Menyusul muncul cahaya kuning menggidikkan.

Bunga cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala. Mulut terkancing rapat, Sepasang
mata menatap tajam ke arah cahaya kuning yang datang menyambar. “Roh alam gaib, aku
mewakili semua roh dari alammu. Berikan seluruh kekuatan dan kesaktianmu padaku!
Hancurkan pintu itu!”

Bunga gerakkan tangan kanan ke depan.

Sejenis bubuk menebar di udara. Bau harum setanggi semakin santar di tempat itu. Dari jauh
mendadak terdengar suara pekikan.

Sosok bunga laksana kilat berubah menjadi asap dan melesat ke atas. Di ujung lorong kemudian
terdengar satu teriakan keras.

“Jangan! Aahh!”

Ada satu kekuatan berusaha mencegah tapi terlambat. Cahaya kuning berkiblat. Cahaya maut
yang seharusnya menghantam Bunga, lolos lalu melabrak dinding batu. Tebaran setanggi yang
melayang di udara berubah menjadi percikan bunga api terang benderang.

Bumm! Byaarr!
Satu letusan keras berdentum mengguncang bukit batu. Dinding batu di depan sana hancur
berantakan. Sebuah lobang berbentuk pintu empat persegi panjang terpentang.

Bunga kembali membentuk ujud nyatanya.

Gadis dari alam roh ini tertawa panjang lalu berseru. “Terima kasih! Kau telah membukakan
pintu untuk calon suamimu!”

Satu pekikan dahsyat dan panjang menggelegar di kejauhan. Begitu suara pekikan sirna, tiba-
tiba terdengar suara genta bergema tujuh kali berturut-turut. Terguncang ke kiri dan ke kanan,
Bunga lari ke arah pintu.

“Wiro, cepat!”

Di bawah sana di dasar jurang, Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning dan Jatilandak baru
saja keluar dari dalam telaga. Melihat Bunga muncul dan berteriak, keempatnya segera menaiki
tangga batu menuju ke atas dan sampai di satu ruangan beratap dan berdinding batu tapi
berlantai tanah keras. Bukan pekerjaan mudah menaiki tangga terjal itu sementara bukit batu
digoncang oleh suara genta.

“Cepat, ikuti aku!” kata Bunga begitu keempat orang tersebut sampai di hadapannya. Di
kejauhan genta terdengar berdentang lagi tujuh kali berturut-turut. Kawasan 113 Lorong
Kematian seperti diguncang gempa. Ada kekuatan dahsyat ingin melampiaskan kemarahannya.
Bahaya besar mengancam Bunga dan empat orang yang telah menerobos masuk ke dalam
bukit batu di mana terletak 113 Lorong Kematian, markas barisan manusia pocong.

Masuk sejauh belasan tombak menyelusuri lorong yang masih harum oleh bau setanggi, di kiri
kanan muncul dua cabang lorong. Wiro dan Naga Kuning yang berada di sebelah depan tahan
lari masing-masing.

“Lurus!” teriak Bunga yang berada di belakang Naga Kuning.

Wiro dan Naga Kuning, diikuti Gondoruwo Patah Hati dan Jatilandak segera menggebrak lurus
ke depam. Baru bergerak sepuluh langkah tiba-tiba dari arah berlawanan terdengar suara
menderu dahsyat disusul kiblatnya cahaya kuning datang menyapu.

“Awas!” seru Pendekar 212.

“Jatuhkan diri ke tanah!” teriak Bunga. Sebelumnya dia telah melihat keganasan cahaya kuning
itu. Dia khawatir tak seorangpun akan sanggup menghadapinya. Karena itu dia
memperingatkan agar semua orang jatuhkan diri ke lantai lorong. Bunga sendiri sehabis
berteriak melesat ke atas, tempelkan tubuh sama rata dengan atap lorong.

Wuuuttt! Wussss!
Ketika cahaya kuning menderu di atas punggung mereka, Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga
Kuning, dan Jatilandak merasa seperti disambar api. Untuk beberapa lamanya mereka hanya
mampu menelungkup di lantai lorong sebelum tersentak oleh suara benda runtuh jauh
dibelakang sana. Yaitu suara hancurnya salah satu bagian dinding bukit batu akibat hantaman
cahaya kuning tadi.

“Gila! Hampir leleh tubuhku!” ucap Naga Kuning sambil usap-usap rambutnya yang jabrik.

“Makanya anak kecil jangan berani-beranian di depan.” Kata Gondoruwo Patah Hati. “Sini, di
belakangku saja!” Lalu si bocah ditarik ke belakangnya.

Naga Kuning menggerutu lalu meledek. “Bilang saja kau takut, mau dekat-dekat aku.”

“Huh!” Gondoruwo Patah Hati yang sebenarnya adalah kekasih Naga Kuning pencongkan
mulut.

Seperti yang diketahui, ujud sebenarnya Naga Kuning adalah seorang kakek yang biasa disebut
dengan nama Kiai Paus Samudera Biru dan bernama asli Gunung. Sementara Gondoruwo Patah
Hati yang perwujudannya sehari-hari adalah seorang nenek berwajah jelek dan angker
sebenarnya adalah seorang perempuan cantik bernama Ning Intan Lestari dan merupakan
puteri angkat dari seorang kakek sakti yang dianggap setengah dewa yaitu Kiai Gede Tapa
Pamungkas.

“Ikuti aku,” Bunga berkata lalu berjalan cepat mendahului di sebelah depan. Bau setanggi masih
tercium di dalam lorong. Di depan sana lorong yang mereka tempuh bercabang ke kanan.
Bunga hentikan langkah. Tangan kanan diangkat memberi tanda agar semua orang berhenti.
Mendadak dari balik lorong sebelah kanan terdengar suara orang tertawa bergelak. Di lain saat
muncullah sosok seorang manusia pocong. Mahluk ini keluarkan ucapan.

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua seorang yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!”

Semua orang hentikan langkah. Naga Kuning justru maju ke depan. Dia pelototi sosok manusia
berjubah dan bertutup kepala serba putih itu.

“Wow! Jadi ini mahluknya yang bernama manusia pocong. Ternyata cuma seorang lelaki yang
bercinta dengan Yang Mulia Ketua. Tidak sangka kalau kau cuma budak nafsu seorang lelaki
yang doyan sesama jenis!” Habis berkata

begitu Naga Kuning lalu tertawa tergelak-gelak.


Sepasang mata di balik dua lobang kecil kain penutup kepala pancarkan sinar amarah.
Tenggorokan keluarkan suara menggembor. Dada menggembung. “Bocah tolol, kau dan kawan-
kawanmu akan mampus mengenaskan. Kau akan kubuat paling sengsara!”

“Sombongnya!” ejek Naga Kuning lalu putar tubuh dan songgengkan pantat.

Marah sekali, manusia pocong bergerak dan tendangkan kaki kanan. Pendekar 212 Wiro
Sableng yang sudah tidak sabaran cepat menarik Naga Kuning lalu melompat ke hadapan
manusia pocong. Tangan kanannya sudah dialiri tenaga dalam tinggi siap melepas pukulan
maut.

“Mahluk edan! Jangan banyak bicara di hadapan kami! Lekas antarkan kami ke tempat kalian
mengurung para tokoh dan perempuanperempuan hamil. Atau tubuhmu kubuat gosong saat ini
juga!”

Manusia pocong sambuti ancaman Wiro dengan rangkapkan dua tangan di depan dada lalu
berkata. “Pendekar 212 Wiro Sableng! Kedatanganmu dan kawan-kawan memang sudah lama
ditunggu. Aku bisa saja mendapatkan pahala, menggiring kalian ke hadapan Yang Mulia Ketua.

Tapi aku ingin membuat pahala yang lebih besar!

Membunuh empat temanmu ini dan membawamu hidup-hidup ke hadapan Yang Mulia Ketua!”

“Kalau begitu apa yang kau tunggu?!” bentak Pendekar 212 sambil perlahan-lahan angkat
tangan kanan ke atas. Sebatas siku ke bawah tangan itu telah berubah warna menjadi putih
keperakan.

“Kau hendak melepas Pukulan Sinar Matahari yang tersohor itu?” ucap manusia pocong dengan
suara mengejek.

Wiro terkesiap karena orang kenali ilmu kesaktiannya. “Di sini bukan tempatnya untuk
memamerkan kehebatan. Karena kalian tak lebih dari sampah yang siap untuk digusur dan
dimasukkan ke dalam keranjang sampah!”

“Puah!” Naga Kuning semburkan ludah. Gondoruwo Patah Hati dekati bocah ini, merunduk dan
berbisik. “Aku seperti mengenali suara mahluk celaka ini. Kau ingat sesuatu?” Naga Kuning
menggeleng.

Tiba-tiba manusia pocong di depan sana berteriak.

“Dengar! Kematian sudah jadi takdir kalian semua! Sebelum mati kalian harus menyerahkan
semua ilmu kepandaian kalian pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun aku bisa memberikan
sedikit kenyamanan pada kalian agar mampus seperti nyenyaknya orang tidur. Syaratnya,
nenek berpakaian serba hitam berambut kelabu itu harus mau ikut aku hidup-hidup!”
Semua orang jadi terkejut mendengar ucapan manusia pocong itu. Terutama Gondoruwo Patah
Hati. Si nenek maju ke hadapan manusia pocong, memandang lekat-lekat seolah mau
menembus kain penutup kepala. Dia perhatikan sepasang mata yang berkilat namun tetap saja
dia belum dapat menduga pasti siapa adanya mahluk itu dan mengapa justru inginkan dirinya.

“Mahluk salah urus! Kalau kau inginkan diriku katakan siapa kau sebenamya!” hardik si nenek.

Manusia pocong jawab hardikan orang dengan tertawa panjang. “Siapa diriku itulah yang aku
tidak tahu. Tapi percayalah, kau tidak akan kecewa bila ikut bersamaku. Hanya perintah Yang
Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya…”

“Setan alas kentut busuk! Kalau tidak mau menerangkan diri sekarang lekas buka topengmu!”

Laksana kilat tangan kanan Gondoruwo Patah Hati yang berkuku hitam melesat ke atas hendak
menarik lepas kain penutup kepala manusia pocong.

Manusia pocong tertawa pendek. Geser dua kaki dan hentakkah kepala ke belakang. Sambaran
tangan si nenek luput. Saking kesalnya Gondoruwo Patah Hati segera menerjang. Tangan kanan
yang berkuku panjang kembali berkelebat.

Kuku-kuku berwarna hitam setengah jalan berubah menjadi merah menyala. Inilah ilmu Kuku
Api, salah satu dari sekian banyak ilmu kesaktian yang dimiliki si nenek. Kali ini serangannya
bukan untuk menarik lepas kain penutup kepala, tapi membeset ke arah dada. Jika serangan ini
menemui sasaran, daging dan tulang dada manusia pocong bisa jebol. Bahkan jantungnya bisa
dibeset hancur atau dibetot lepas.

“Ilmu Kuku Api. Jurus Lima Cakar Langit!”

teriak manusia pocong sambil melompat mundur.

Untuk kedua kalinya dia berhasil lolos dari serangan si nenek. Sebenarnya bukan kecepatan
lompatan mundur ini yang menyelamatkan diri nya, melainkan satu gelombang angin keras
yang tiba-tiba menghantam ke arah Gondoruwo Patah Hati. Tubuh si nenek terpental dua
langkah.

Ketika berdiri sosok Gondoruwo Patah Hati masih tergontai goyang dan wajah angkernya
berubah pucat.

“Jahanam, dia mengenali ilmu kesaktian dan jurus seranganku,” Gondoruwo Patah Hati memaki
dalam hati.

“Intan, kau tak apa-apa?” Tanya Naga Kuning penuh khawatir.


“Ada satu kekuatan luar biasa datang dari dalam lorong membentengi mahluk celaka ini!”
jawab Gondoruwo Patah Hati.

“Mahluk dari alam roh yang ada di dalam lorong yang mengirimkan kekuatan gaib membantu
manusia pocong,” kata Bunga memberi tahu.

Anggota Barisan Manusia Pocong umbar tawa lalu berkata. “Kalau sudah tahu ada kekuatan
yang tidak bisa kalian tembus, mengapa tidak segera saja bunuh diri serahkan nyawa. Kecuali
nenek satu itu! Aku tak bakal melepaskannya!” Naga Kuning tak dapat menahan diri lagi.

Sekali tubuhnya bergerak selarik sinar biru melesat dari tangan kanannya. Sebelum tubuhnya
sampai ke hadapan manusia pocong, sinar biru itu telah menyambar ke arah kepala orang.

“Aha! Aku sudah lama mendengar kehebatan jurus Naga Murka Merobek Langit!” seru manusia
pocong menyebut jurus serangan yang dilancarkan Naga Kuning. “ternyata jurus ini tidak ada
apa-apanya!”

Sekali ini si manusia pocong kecele. Walau dia berhasil selamatkan diri dari jurus Naga Murka
Merobek Langit namun dia tidak mengira dan tidak melihat kalau di saat yang sama tangan kiri
Naga Kuning ikut bergerak. Sesaat tangan ini akan mendarat di kening sebelah kanan manusia
pocong, tiba-tiba ada cahaya kuning menyambar dari ujung lorong, mengarah pada bocah
rambut jabrik itu.

Naga Kuning tidak menyangka bakal mendapat serangan begitu rupa berseru kaget, terlambat
selamatkan diri. Bunga cepat mengeruk setanggi di dalam kantong putih di balik baju kebaya
panjangnya. Secepat kilat setanggi ditebarkan ke arah sambaran cahaya kuning.

Bummm!

Taarrr… tarr!

LEDAKAN dahsyat disertai letusan menebar bunga api memercik di udara. Tiga orang
berkaparan di tanah, yaitu Naga Kuning, Bunga, dan Gondoruwo Patah Hati. Wiro jatuh
terduduk sementara Jatilandak yang berdiri agak jauh terbanting ke dinding.

Manusia pocong keluarkan tawa mengejek.

“Manusia-manusia geblek! Ajal sudah di depan mata masih saja berlaku tolol!”

Bunga dan Gondoruwo Patah Hati cepat bergerak bangkit. Wiro menyusul dan Jatilandak
menjauh dari dinding. Hanya Naga Kuning yang masih terkapar di tanah. Namun saat itu terjadi
keanehan atas dirinya. Sosok dan wajah bocahnya telah berubah menjadi seorang kakek
berjubah biru dan berambut putih panjang menjulai. Inilah sosok asli Naga Kuning yaitu seorang
kakek usia 120 tahun. Perlahan-lahan si kakek bangkit berdiri lalu melangkah ke arah manusia
pocong.

“Ha… ha!” seru manusia pocong. “Naga Kuning!

Rupanya kau inginkan mati dalam ujud aslimu sebagai Kiai Paus Samudera Biru! Aku siap
membantumu mencari jalan ke akhirat sekarang juga!”

Sementara Naga Kuning heran mahluk di hadapannya tahu riwayat dirinya, si manusia pocong
kebutkan dua lengan jubah. Dua larik angin keras menderu ke arah Kiai Paus Samudera Biru.
Serangan ini ternyata hanyalah satu tipuan belaka, karena begitu lawan mengelak, manusia
pocong lesatkan tubuh ke depan sambil sekaligus hantamkan jotosan tangan kanan ke batok
kepala Kiai Paus Biru. Ketika Kiai Paus Biru balas menggebrak menangkis serangan lawan
dengan tangan kiri sementara tangan kanan laksana kilat menyusup ke dada lawan, tiba-tiba
ada kekuatan lain datang dari belakang manusia pocong.

“Kiai! Cepat menyingkir!” teriak Bunga.

Tapi terlambat. Dua lengan sudah beradu.

Manusia pocong menjerit keras dan terpental empat langkah. Kiai Paus Samudera Biru
mengeluh tinggi. Tubuhnya terlontar ke belakang hampir satu tombak pertanda dia kalah
tenaga luar maupun tenaga dalam. Kalah kesaktian!

Gondoruwo Patah Hati berseru tegang. Tak percaya dia kalau kekasihnya itu bisa dihantam
lawan begitu rupa. Sebelum si kakek jatuh terjengkang di tanah, nenek ini cepat merangkul
pinggangnya.

“Gunung…” Gondoruwo Patah Hati sebut nama asli Naga Kuning.

“Aku tidak apa-apa,” ucap Kiai Paus Samudera Biru. Mukanya pucat dan ada keringat memercik
di keningnya. Dada turun naik sedang nafas menyengal. Ketika si nenek memperhatikan lengan
jubah kiri kekasihnya itu ternyata ada bagian berwarna hitam hangus akibat benturan dengan
lengan manusia pocong. Cepat-cepat Gondoruwo Patah Hati membawa Kiai Paus Samudera
Biru ke tempat yang lebih aman.

“Gunung, kau tunggu di sini. Aku akan habisi bangsat yang mencelakai dirimu itu!”

“Nek, biar aku menunggui kakek ini,” kata Jatilandak.

“Hati-hati Intan. Ada kekuatan gaib dan dahsyat yang membantu manusia pocong itu.” Kiai Paus
Samudera Biru mengingatkan dan perlahanlahan ujudnya kembali ke bentuk Naga Kuning,
seorang bocah berambut jabrik berpakaian serba hitam. Walau kini pakaiannya bukan lagi
sehelai jubah, namun pada lengan kiri baju hitam anak itu juga terlihat ada bagian yang hangus.

“Perduli setan! Akan kupecahkan kepalanya!” jawab si nenek lalu melompat ke hadapan
manusia pocong.

“Ah, seorang kekasih ingin menolong kekasih!

Sungguh setia dan luar biasa budimu. Sekarang kau mau memukulku? Silahkan! Aku tidak akan
melawan! Kalau kau sudah puas menghajarku aku tetap berharap bisa dapatkan dirimu!”
Manusia pocong berkata sambil maju satu langkah seolah menyerahkan diri untuk dihantam.

Wiro dan Bunga saling pandang sesaat. Lalu murid Sinto Gendeng ini berbisik “Bunga, ada yang
tidak beres. Tidak masuk akal mahluk keparat itu mau serahkan diri dihantam begitu saja tanpa
melawan. Ini satu tipuan. Si nenek bisa terjebak mati konyol. Aku harus melakukan sesuatu.”
Wiro berkata sambil tangannya siap mengambil kantong kain berisi setanggi yang diberikan
Bunga.

Gadis dari alam roh ini cepat berkata. “Aku tahu apa yang ada di benakmu! Biar aku yang
mengerjakan. Kau awasi nenek itu.”

Begitu selesai berucap sosok Bunga berubah menjadi seperti bayang-bayang dan melesat ke
atas melewati kepala Gondoruwo Patah Hati.

Ketika lewat di atas kepala manusia pocong, mahluk ini berusaha memukul, namun dia seperti
menghantam asap. Di lain kejap Bunga telah berada di lorong di sebelah belakangnya. “Apa
yang hendak dilakukan setan perempuan itu?”

pikir manusia pocong. Namun perhatiannya segera kembali pada Gondoruwo Patah Hati yang
kini tegak dekat sekali di hadapannya. Sesaat padangan mata si manusia pocong mengeluarkan
cahaya dan dadanya berdebar.

“Tunggu apa lagi? Kenapa tidak segera memukul?”

Ditantang begitu rupa, apalagi setelah kekasihnya dicederai, Gondoruwo Patah Hati keluarkan
suara mendengus. Tanpa banyak bicara lagi tangan kanan dihantamkan ke dada manusia
pocong. Tangan si nenek saat itu telah berubah biru dan keras seperti batu.

“Pukulan Batu Naroko,” ucap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia pernah melihat orang lain
mengeluarkan ilmu ini, malah menghadapinya sendiri. Yaitu ketika terlibat dalam perkelahian
hidup mati melawan seorang pemuda bernama Damar Wulung alias Adisaka yang adalah
seorang murid Gondoruwo Patah Hati sendiri. (Baca: Wiro Sableng — Senandung Kematian)
Kalau saja Wiro tidak memiliki ilmu Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao
Basaluang Ameh, dalam kejadian itu kemungkinan sudah tamat riwayatnya. Paling tidak hancur
luluh tangan kanannya sampai ke siku. Konon Damar Wulung alias Adisaka mendapat ilmu
pukulan sakti itu dengan cara mencuri, tidak diajarkan atau diwariskan oleh Gondoruwo Patah
Hati. Kalau sang murid sudah demikian luar biasa tingkat kehebatan dalam penggunaan ilmu
pukulan sakti itu, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya jika itu dilakukan oleh pemiliknya
sendiri. Dan pukulan inilah yang dihantamkan si nenek pada manusia pocong di hadapannya.

Manusia pocong yang hendak dihajar berdiri tenang, tidak bergerak, tidak berkesip. Ada satu
keyakinan dalam dirinya bahwa pukulan lawan tidak akan menciderainya. Malah dia ulurkan
kepala sedikit dan keluarkan ucapan berbisik.

“Intan, aku tidak ingin kau celaka. Lekas tarik pulang pukulanmu!”

Si nenek heran tapi tidak perdulikan ucapan orang yang merupakan satu keanehan. Malah dia
perhebat aliran tenaga dalam ke tangan kanan.

Wuuuttt!

Pukulan Batu Naroko menderu ke arah dada manusia pocong. Seperti yang diduga Wiro dan
Bunga pada saat yang bersamaan ketika tangan Gondoruwo Patah Hati mulai bergerak, dari
ujung lorong menderu angin dahsyat disertai berkiblatnya cahaya kuning.

Tangan kanan Bunga bergerak menebar setanggi. Tangan kiri melempar tiga buah benda kuning
yang bukan lain adalah tiga kuntum kembang kenanga.

Bummm!

Blaarr… tarr… tarr!

Seperti kejadian sebelumnya, begitu tebaran setanggi bersentuhan dengan cahaya kuning,
dentuman dahsyat menggelegar disertai kerlapan bunga api menyilaukan mata. Dua kembang
kenanga hancur berantakan, satunya lolos dan melesat lenyap ke arah ujung lorong.

Ketika dentuman mengguncang seantero tempat. Wiro cepat menarik Gondoruwo Patah Hati
ke belakang sambil berbisik. “Tahan dulu seranganmu, nek!”

Di sebelah depan manusia pocong sesaat terkesiap menyadari apa yang terjadi. Kekuatan gaib
yang tadi membentengi dan melipatgandakan kekuatan yang dimilikinya tidak muncul karena
keburu dihadang oleh Bunga. Saat itu, walau sanggup mementahkan kekuatan gaib yang
dahsyat, tak urung Bunga tergontai-gontai sambil pegangi dada. Walau cuma sebentar dan
kemudian sirna, di sudut bibir gadis alam roh ini kelihatan cairan kental, bukan darah merah
tapi cairan berwarna biru.

Wiro tepuk bahu Gondoruwo Patah Hati dan berkata. “Sekarang Nek!”
Gondoruwo Patah Hati berpaling pada sang pendekar. “Sekarang?”

Wiro kedipkan mata dan anggukkan kepala. Si nenek menyeringai.

Tahu gelagat kalau dirinya bakal diserang, si manusia pocong segera mendahului. Tangannya
kiri kanan naik ka atas lalu menghantam dalam gerakan menggunting. Yang diarah adalah
batang leher si nenek. Inilah jurus serangan yang disebut Gunting Iblis. Gondoruwo Patah Hati
tertawa pendek. Lengan kiri melesat ke atas menangkis kemplangan tangan kanan lawan. Kini
kedua orang itu sama-sama mengerahkan kehebatan ilmu milik sendiri.

Kraak!

Manusia pocong menjerit keras ketika benturan dua tangan membuat tulang lengan kanannya
patah. Selain itu bentrokan yang hebat menyebabkan tubuhnya terputar hingga pukulan tangan
kiri hanya mengenai angin. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu untuk selamatkan diri, Pukulan
Batu Naroko sudah mendarat di dadanya!

Jeritan manusia pocong tertahan oleh darah yang menyembur keluar dari mulutnya. Tubuh
terpental ke dinding dan tertegun di sana seolah menempel. Di balik kain penutup kepala
sepasang matanya mendelik mencelet. Mulut menganga dan lidah terjulur. Noda darah
membasahi kain penutup kepala dan leher pakaian sementara bagian dada jubah putihnya
tampak bolong hangus biru mengerikan. Asap mengepul dari dada yang kena hantaman
Pukulan Batu Naroko.

Di kejauhan suara genta menggema bertalutalu disertai suara aneh seperti raungan anjing di
malam buta. Lorong batu bergetar hebat. Manusia pocong batuk-batuk beberapa kali lalu jatuh
tergelimpang. Ketika tubuhnya tertelungkup di tanah, bagian punggungnya kelihatan bolong.

Ternyata Pukulan Batu Naroko tembus dari dada sampai ke punggung!

Naga Kuning tinggalkan Jatilandak yang menungguinya. Melompat ke arah sosok manusia
pocong. Dengan kaki kirinya dia balikkan tubuh tanpa nyawa yang tertelungkup itu. Lalu
ditariknya kain putih yang menutupi kepala.

Begitu kepala dan wajah tersingkap, walau mata mencelet dan lidah terjulur, siapa dirinya
masih bisa dikenali. Gondoruwo Patah Hati tersurut dua langkah. Wiro dan Naga Kuning sama-
sama keluarkan suara tercekat. Manusia pocong ternyata adalah seorang kakek berambut,
berkumis, dan berjanggut putih. Diduga sudah jadi mayat ternyata megap-megap masih hidup.

Malah masih bisa keluarkan ucapan walau terpatah-patah dan kelu.

“Intan, aku ber… bahagia mati di tangan… mu.

Sam… pai ka… panpun aku tetap men… cintaimu.


Ak… aku akan me… nunggumu di pintu akhirat…”

“Manusia keparat! Kalau kau mau ke akhirat silahkan jalan duluan!” Makian keras keluar dari
mulut Naga Kuning. Marah sekali, bocah ini tendang kepala manusia pocong hingga remuk dan
tubuhnya mental menghantam dinding lorong lalu terkapar di tanah. Kini nyawanya benar-
benar putus sudah!

Bunga yang telah pulih keadaannya dekati Wiro dan berbisik. “Siapa adanya manusia pocong
itu?”

“Namanya Rana Suwarte. Dia pernah jadi kaki tangan Kerajaan yang hendak menangkap diriku.

Setahuku di masa muda dia tergila-gila pada si nenek. Tapi kalah saing dengan bocah konyol
berambut jabrik itu. Antara mereka sampai pernah terjadi perkelahian. Rana Suwarte
menghindar ketika tahu siapa adanya Naga Kuning. Dia menyadari ilmu kesaktiannya tak akan
mampu menghadapi bocah itu. Tadi dia berani menantang karena ada kekuatan sakti luar biasa
yang menolongnya. Kalau kau tidak menghadang kekuatan itu niscaya si nenek tamat
riwayatnya. Paling tidak celaka berat.”

“Heran,” Jatilandak berkata sambil melihat ke arah mayat Rana Suwarte. “Jika dia seorang
tokoh rimba persilatan, apa lagi alat Kerajaan, mengapa sampai jadi anggota barisan manusia
pocong?”

“Mungkin dia mendapat imbalan besar. Mungkin juga merupakan salah satu korban penculikan.
Yang jelas aku merasa otaknya tidak bekerja wajar.” Menjawab Bunga. Gadis dari alam roh ini
menarik nafas dalam. “Masalah cinta tak pernah habis-habisnya di dunia ini. Membuat banyak
manusia menemui ajal dalam penasaran bahkan kesesatan.” Gadis dari alam roh itu berucap
perlahan. Dia ingat akan nasib dirinya yang berkenaan seperti itu, mati dibunuh karena cinta
sesat. (Baca: Wiro Sableng — Misteri Dewi Bunga Mayat)

“Wiro, kita harus segera keluar dari sini. Kita harus menemui calon istrimu.”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu…?” ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala.

Bunga tersenyum lalu mengangguk. “Ikuti aku,” katanya dan siap memimpin rombongan itu
masuk makin jauh ke dalam perut bukit markas Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.

Namun Jatilandak mendahului.

“Biar aku yang di depan,” kata pemuda berkulit kuning kepala botak dari negeri 1200 silam itu.
Sebelum Bunga membantah, pemuda itu lalu goyangkan tubuh. Asap mengepul. Serta merta
ujudnya berubah menjadi sosok seekor landak besar. Namun sewaktu bicara suaranya tetap
seperti manusia.

“Aku tidak merendahkan kemampuan para sahabat di sini, termasuk Bunga. Namun dengan
ujud seperti ini aku memiliki penciuman dan pendengaran lebih tajam dari kalian.” Jatilandak
lalu berlari cepat di sepanjang lorong.

Wiro pandangi sosok Jatilandak. sebenarnya dia ingin sekali bertanya pada pemuda ini di mana
beradanya Bidadari Angin Timur. Namun karena masih ada ganjalan dia memutuskan untuk
tidak melakukan hal itu. Seperti diketahui antara Pendekar 212, Jatilandak, dan Bidadari Angin
Timur telah terjadi satu ganjalan besar. Dimulai ketika Wiro memergoki Bidadari Angin Timur
dianggapnya bermesraan dengan Jatilandak. (Baca: Wiro Sableng — Bendera Darah).

RUANG Bendera Darah di dalam 113 Lorong Kematian. Sebuah bendera besar berlumur darah
setengah kering menancap di dinding batu. Inilah bendera yang merupakan salah satu benda
sakral milik Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian, disebut Induk Bendera Darah.

Bau amis darah yang menebar dari bendera besar ini tidak mampu ditindih oleh bau kemenyan
dari pendupaan yang terletak di empat sudut ruangan.

Di kursi batu di tengah ruangan duduk satu sosok tinggi besar, kepala tegak, sepasang mata di
balik kain penutup kepala putih menatap tak berkesip ke arah dinding di depannya di mana
terdapat sebuah pintu rahasia. Tanpa berpaling pada manusia pocong yang berdiri tak bergerak
di sampingnya, yang juga memiliki perawakan tinggi kokoh, orang yang duduk di atas kursi batu
berkata.

“Wakil Ketua, anak buahmu bekerja lambat!

Kalau mereka datang apa aku perlu mengepruk kepala mereka sampai hancur?”

“Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Salah seorang dari mereka baru saja melakukan tugas
pengintaian…”

“Tugas pegintaian? Kita sudah tahu siapa saja yang berhasil menyelinap masuk ke dalam lewat
telaga di dasar jurang lalu masuk ke bagian belakang lorong lewat tangga seratus undak! Kau
memberi tahu telah menyiapkan sambutan hingga semua akan berlangsung sesuai rencana.
Menurut keteranganmu mereka adalah Pendekar 212, seorang nenek berpakaian hitam, lalu
seorang bocah lelaki berambut jabrik, dan seekor landak besar! Aku mengharapkan Ratu
Duyung dan Bidadari Angin Timur muncul bersama mereka.
Ternyata tidak! Padahal aku ingin dua gadis cantik itu dapat kau ringkus lalu ikut menyaksikan
kematian Pendekar 212! Mengapa masih ada yang diberi tugas mengintai?”

“Yang Mulia Ketua, keadaan mendadak berubah…”

“Apa maksudmu?” Tanya Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.

“Seperti rencana, kita ingin menjebak mereka masuk lewat pintu lorong sebelah depan.
Ternyata mereka bisa tembus lewat jalan rahasia di bukit sebelah belakang.”

“Aku tidak perduli mereka mau masuk dari mana. Yang penting sekarang mereka sudah masuk
ke dalam lorong kematian dan bakal menemui ajal mengenaskan di tempat ini! Dan Partai
Bendera Darah akan menjadi satu-satunya partai yang berkuasa di rimba persilatan negeri ini!”

Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong membungkuk dalam-dalam. “Hanya perintah yang Mulia
Ketua yang harus dilaksanakan!” Manusia pocong ini membungkuk sekali lagi lalu teruskan
ucapannya. “Namun Yang Mulia, perlu saya beritahu. Keadaan berubah. Ada sesuatu yang tidak
terduga. Pendekar 212 dan kawan-kawannya masuk ke dalam lorong ditemani seorang mahluk
aneh.”

“Jangankan satu orang, seribu mahluk aneh akan menemui ajalnya di dalam lorong ini! Apa
yang kau takutkan?”

“Saya bukannya takut Yang Mulia…”

Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian angkat tangan kirinya. “Ada
yang datang,” katanya. Lalu dia menekan sebuah tonjolan batu di ujung lengan kanan kursi batu
yang didudukinya. Terdengar suara desiran halus.

Secara aneh bagian dinding di seberang sana bergerak turun ke bawah membentuk sebuah
pintu besar. Seorang Satria Pocong berdiri di ambang pintu, memanggul sosok seorang manusia
pocong.

“Lemparkan orang itu dan pergi dari sini!”

Satria Pocong segera lakukan apa yang diperintahkan Yang Mulia Ketua. Orang yang dipanggul
dilempar ke dalam Ruang Bendera Darah, menggelinding di lantai dan berhenti tepat di depan
kursi batu. Dinding yang tadi turun kini bergerak naik kembali.

“Buka kain penutup kepalanya!”

Wakil Ketua dekati sosok manusia pocong lalu tarik lepas kain putih yang menutupi kepalanya.
Kelihatan satu wajah tua dengan rambut, kumis, dan janggut putih menjulai dada. Dua mata
dalam keadaan terpejam.

“Tua bangka konyol! Jangan berpura-pura tidur!” Yang Mulia Ketua memaki marah. Bangkit dari
kursinya lalu tendang tubuh orang tua itu hingga mencelat, terduduk di lantai tersandar ke
dinding. Sesaat sepasang mata masih terpejam.

Lalu mulut terbuka menguap lebar.

“Aahhhh. Enak-enak tidur, siapa yang membangunkan? Padahal baru mimpi mau menunggangi
perempuan cantik. Ha… ha… ha! Eh, masih malam atau sudah siang?” Orang tua itu menggeliat
dan jilat-jilat bibirnya sendiri dengan ujung lidah.

Plaakk! Plaaakk!

Dua tamparan Yang Mulia Ketua mendarat di pipi kiri kanan si orang tua itu hingga tubuhnya
terguncang dan melosoh ke lantai.

“Bukannya diberi tuak malah dihajar dengan tamparan. Mana bumbung tuakku…”

Wakil Ketua jambak rambut putih orang tua itu hingga kembali terduduk di lantai. Pipi kirinya
kelihatan bengkak akibat tamparan. Di sudut bibir sebelah kanan ada lelehan darah.

“Dewa Tuak! Kau harus menjawab pertanyaan Yang Mulia Ketua! Setelah itu nyawamu tak ada
artinya lagi!”

Tanpa membuka mata si kakek yang adalah Dewa Tuak sahuti ucapan orang. “Bagaimana kalau
aku mati dulu baru menjawab pertanyaan?

Ha… ha… ha!”

“Tua bangka jahanam! Kau minta mampus lebih cepat!” Teriak Wakil Ketua. Kaki kanannya
diangkat. Siap ditendangkan ke kepala Dewa Tuak dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

Yang Mulia Ketua angkat tangan kiri memberi isyarat agar wakilnya tidak segera membunuh
kakek itu.

Perlahan-lahan Dewa Tuak buka kedua matanya. Sesaat dia menatap ke arah depan ke arah
Yang Mulia Ketua, lalu pejamkan mata kembali. Dua tangan diangkat ke depan mulut, kepala
didongakkan. Lalu, glukk… glukkk… glukk, tenggorokannya turun naik dan keluarkan suara
seperti orang sungguhan minum tuak yang mengucur dari bumbung.

Kali ini Wakil Ketua tidak dapat lagi menahan kesabarannya.


“Tua bangka setan alas! Berani berlaku kurang ajar di hadapan Yang Mulia Ketua!”

Plaakkk!

Tamparan Wakil Ketua ke muka Dewa Tuak membuat orang tua ini terjerembab ke lantai tapi
cepat dijambak kembali dan disandarkan ke dinding. Darah meleleh dari sudut bibir kiri kanan.
Tak kelihatan ringis kesakitan. Dewa Tuak perlahan-lahan buka lagi dua matanya. Memandang
berkeliling.

“He… he. Berada di mana aku ini? Ada bendera besar, ada dua manusia pocong, bau kemenyan,
bau anyir… Huek! Kuburan? Neraka atau kawasan comberan?”

Di balik kain penutup kepala, rahang Yang Mulia Ketua menggembung. Tangan mengepal
kencang. Saat itu ingin sekali dia memukul pecah batok kepala si kakek.

“Dewa Tuak, katakan di mana kau menyembunyikan gadis yang bernama Anggini, muridmu
itu!”

Dewa Tuak menatap sosok Yang Mulia Ketua.

Lalu menguap lebar-lebar. “Ngantuk. Aku masih ngantuk. Disuguhi pertanyaan. Pertanyaan itu
lagi! Itu lagi!” Dewa Tuak lalu jilat lelehan darah di sudut bibirnya. “Aku sudah bilang aku tidak
punya murid. Anggini… Huh, siapa dia? Tikus atau meong…?”

Sang Ketua berpaling kepada wakilnya lalu bertanya. “Aku melihat keanehan. Dia masih ingat
pada tuak minuman kesayangannya. Apakah minuman pencuci otak yang kita cekoki itu
benarbenar telah berhasil memusnahkan ingatan dan daya pikirnya?”

“Saya rasa begitu,” jawab Wakil Ketua. “Saya menyuruh orang memberinya tambah dua cangkir
lagi. Enam cangkir semuanya.”

“Kalau begitu tak ada guna ditanyai lagi. Bawa dia ke halaman Rumah Tanpa Dosa sekarang
juga.

Minta Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktiannya
sebelum Pendekar 212 dan penyusup lainnya masuk lebih jauh di dalam lorong! Anggota kita
saat ini hanya tinggal empat orang. Satu-satunya andalan kita adalah Yang Mulia Sri Paduka
Ratu, mahluk sakti pemilik nyawa kedua dengan selangit ilmu kesaktian.”

Wakil Ketua membungkuk, tidak mengeluarkan ucapan apa-apa. Karena dalam benaknya
sendiri saat itu ada satu pikiran lain.

Yang Mulia Ketua melangkah ke kursi batu di tengah ruangan. Jari tangan menekan tonjolan
batu di lengan kursi. Dinding batu bergerak turun ke bawah.
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!” Wakil Ketua berucap, lalu menyarungkan kain putih ke kepala Dewa Tuak
lalu membawa kakek itu keluar dari Ruang Bendera Darah. Lewat sebuah pintu rahasia lainnya
yang tembus ke sebuah lorong di mana terdapat beberapa buah kamar. Yang Mulia Ketua
tinggalkan Ruang Bendera Darah. Di dalam kamar, di atas sebuah ranjang telah menunggu
seorang perempuan muda dalam keadaan hamil hampir delapan bulan. Begitu melihat
kemunculan Yang Mulia Ketua perempuan ini segera turun dari atas ranjang, bungkukkan
badan seraya berkata.

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!”

Habis berkata begitu perempuan hamil itu tanggalkan seluruh pakaiannya lalu naik kembali ke
atas ranjang. Dua tangan direntang ke atas, dua kaki direnggang.

Yang Mulia Ketua tanggalkan kain penutup kepala. Ketika melirik wajah tampan itu, perempuan
hamil di atas ranjang kembali keluarkan ucapan. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai. Saya siap melayani Yang
Mulia Ketua.”

Yang Mulia Ketua tanggalkan jubah putihnya.

Namun belum kesampaian tiba-tiba matanya melihat tombolan batu merah di dinding kiri
kamar mengeluarkan cahaya. “Tanda bahaya! Apa yang terjadi?” membatin Yang Mulia Ketua
dengan mata mendelik menahan nafsu sekaligus menahan amarah. Dia cepat mengenakan
kembali jubah dan kain penutup kepala lalu keluar dari kamar.

Ketika pintu dibuka seorang manusia pocong berdiri di ambang pintu, membungkuk dalam-
dalam seraya berucap. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan…”

“Satria Pocong! Kau mengganggu kesenanganku! Cepat katakan ada apa!” Membentak Yang
Mulia Ketua.

“Yang Mulia Ketua, mohon maafmu. Saya melapor. Satria Pocong bernama Rana Suwarte
menemui ajal di tangan musuh yang masuk dari bagian belakang lorong…”

“Keparat! Bagaimana ini bisa terjadi?”

“Saya…”

“Sudah! Jangan banyak mulut! Hadang mereka semua. Habisi semuanya kecuali Pendekar 212
Wiro Sableng. Yang Mulia Sri Paduka Ratu akan kuminta membantumu!”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”

RATU Duyung dan Setan Ngompol berdiri di tepi jurang. “Kita menghadapi jalan buntu,” kata si
kakek sambil usap-usap perutnya.

“Bagaimana kalau kita kembali dan masuk melalui mulut lorong di sebelah selatan?”

“Selain membuang waktu kita mungkin tak mampu menembus sampai ke sarang penguasa
lorong,” jawab Ratu Duyung. “Ada satu hal yang aku pikirkan.”

“Apa?” Tanya Setan Ngompol sambil mengusap bagian bawah perut.

“Menurut Bidadari Angin Timur, Wiro didorong seorang nenek cebol masuk ke dalam jurang.

Sayang aku lupa menanyakan ciri-ciri nenek cebol itu. Aku punya dugaan… tapi, sudahlah.
Waktu kupantau melalui cermin sakti, Wiro ternyata masih hidup dan menaiki tangga batu
bersama Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati, dan Jatilandak. Di dasar jurang ada telaga. Itulah
yang menyelamatkan Wiro dari kematian.”

“Jatilandak, Gondoruwo Patah Hati, serta Naga Kuning. Mereka tidak didorong nenek cebol
masuk ke dalam jurang. Tapi bagaimana bisa berada bersama-sama Wiro? Pasti ada jalan
masuk lain ke dalam lorong…”

“Kau betul,” jawab Ratu Duyung. “Waktu aku memantau ke arah telaga lewat cermin aku
melihat ada lobang besar di salah satu dinding batu yang mengelilingi telaga. Di luar lobang ada
sungai mengalir. Aku yakin Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati datang lewat sungai, masuk
ke telaga melalui lobang di dinding.

Mengenai Jatilandak, ini yang jadi pertanyaan.

Tapi… dia bukan manusia biasa. Dia mahluk dari alam lain. Dia punya banyak ilmu untuk
berbuat apa saja.” Ratu Duyung diam sebentar baru meneruskan ucapannya. “Saat ini Wiro dan
yang lain mungkin telah menemui jalan masuk ke dalam markas mahluk yang disebut manusia
pocong itu. Kita harus segera menyusul mereka.”

Dua tangan Setan Ngompol langsung menekan bagian bawah perut menahan kencing. Mulut
dipencongkan. “Tadi kita mendengar suara-suara aneh. Seperti suara lonceng raksasa. Tanah
bergetar. Lalu ada suara jeritan-jeritan. Suara raungan serta letusan-letusan hebat…”

“Kau takut? Bilang saja begitu!” Potong Ratu Duyung.

“Siapa bilang aku takut!” jawab Setan Ngompol.


“Yang aku pikirkan bagaimana caranya kita ikut masuk ke dalam lorong kematian menyusul
teman-teman. Dengan cara tepat tapi aman.”

“Gampang saja.” Jawab Ratu Duyung enteng sambil senyum-senyum.

“Enak saja kau bicara. Gampang bagaimana?” Tanya si kakek biang kencing penasaran.

“Melompat ke dalam jurang!”

Serrrr!

Air kencing Setan Ngompol langsung terpancar!

Ketika Ratu Duyung melangkah mendekati, si kakek cepat bergerak mundur.

“Ratu Duyung, jangan kau berani macammacam!” mengancam Setan Ngompol.

“Siapa macam-macam. Aku justru mau jadikan kau satu macam!” Habis berkata begitu Ratu
Duyung sambar lengan kiri Setan Ngompol lalu secepat kilat melompat ke arah jurang. Si kakek
menjerit keras ketika tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang di sela-sela ranting dan cabang
pohon. Pakaian robek-robek. Kencingnya muncrat habis-habisan. Sementara Setan Ngompol
takut setengah mati, Ratu Duyung tertawa cekikikan.

Saat itu gadis cantik bermata biru ini masih mencekal lengan kiri Setan Ngompol. Entah saking
takut entah memang punya niat nakal, tiba-tiba kakek ini gelungkan tangan kanannya. Dua kaki
dikembang lalu disilang ke tubuh Ratu Duyung.

Keadaan Setan Ngompol saat itu tidak ubahnya seperti tengah digendong belakang oleh Ratu
Duyung.

“Kakek kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini!” Teriak Ratu Duyung.

Setan Ngompol tertawa tergelak-gelak.

“Kau membuat aku ketakutan setengah mati!

Tapi saat ini aku senang. Kapan lagi ada kesempatan memelukmu seperti ini!” Lalu serrr! Air
kencing si kakek mengguyur hangat punggung Ratu Duyung membuat gadis ini berteriak marah.

Tangan kirinya dijambakan ke tengkuk baju Setan Ngompol. Sementara tubuhnya melayang ke
bawah, Ratu Duyung membuat gerakan jungkir balik. Tengkuk baju dihentakkan keras.
Bersamaan dengan itu tangan kanan melepas cekalan di lengan kiri. Tak ampun Setan Ngompol
terpelanting ke bawah. Byuurrr!
Setan Ngompol kecebur dalam telaga, Ratu Duyung menyusul sesaat kemudian. sebenarnya dia
mampu membuat gerakan melesat ke arah tepi telaga. Tapi gadis ini memilih menceburkan diri
lebih dulu ke dalam air telaga untuk membersihkan tubuh dan pakaiannya dari kencing Setan
Ngompol.

Ketika Setan Ngompol muncul megap-megap di permukaan air, dilihatnya Ratu Duyung berdiri
di tepi telaga, tak jauh dari sebuah perahu kayu, bertolak pinggang, unjukkan raut wajah marah.

Kakek ini meledek lambaikan tangan seraya berseru. “Kapan-kapan kalau mau lompat lagi ke
dalam telaga, jangan lupa mengajak aku! Ha ha ha…!”

Clepp!

Suara tawa Setan Ngompol mendadak lenyap.

Di atas sana terdengar suara genta yang membuat seantero telaga bergetar hebat. Sosok Ratu
Duyung tergontai-gontai. Lalu ada suara letusanletusan dan jerit pekik.

“Suara genta!” ucap Ratu Duyung. Dia ingat.

“Rumah putih di dalam cermin!” Gadis ini ingat lagi. “Aku harus cepat ke sana. Aku punya
firasat bahaya besar mengancam para sahabat yang sudah masuk ke dalam lorong!” Tanpa
menunggu lebih lama Ratu Duyung putar tubuh lalu melesat ke arah tangga batu di dinding
telaga.

“Hai! Kau mau ke mana? Tunggu!” teriak Setan Ngompol. Cepat-cepat dia berenang ke tepi
telaga.

Ketika keluar dari dalam air, ternyata celana luarnya yang memang longgar dan kini menjadi
berat karena basah kuyup oleh air, telah merosot sampai ke paha!

Dan di balik celana luar itu si kakek tidak punya celana dalam!

“Kakek sial!” maki Ratu Duyung yang tak sengaja melihat perabotan Setan Ngompol yang
tersingkap polos!

***

Wakil Ketua berlari cepat sepanjang lorong.

Sosok Dewa Tuak ada di atas bahu kirinya. Di satu tempat di mana lorong bercabang dua, untuk
pergi ke rumah putih yang merupakan pusat kekuatan gaib luar biasa, seharusnya dia
membelok ke kanan. Tapi manusia pocong ini justru mengambil arah memasuki lorong sebelah
kiri. Di satu tempat Wakil Ketua hentikan langkah. Telapak tangan kanan ditekankan pada salah
satu bagian dinding batu. Dinding bergeser ke samping.

Menjorok ke dalam ada sebuah pintu besi berwarna merah. Dewa Tuak diturunkan lalu
didudukkan di lantai antara dinding batu dan pintu merah. Wakil Ketua menutup kembali
bagian dinding batu yang terbuka lalu menekan alat

rahasia lain untuk membuka pintu merah. Begitu pintu terbuka dia cepat menyelinap masuk. Di
sebelah dalam ternyata ada sebuah ruangan tidur.

Di atas sebuah ranjang terbaring sosok seorang gadis berpakaian ringkas warna ungu. Rambut
panjang acak-acakan tapi justru membuat wajahnya tambah cantik. Wakil Ketua mendekati
ranjang lalu berkata pada gadis yang terbaring dalam keadaan tertotok. “Gurumu ada di luar.
Aku diperintahkan Yang Mulia Ketua untuk membunuhnya! Jika kau mau menuruti kemauanku,
aku akan menyelamatkannya. Permintaanku cuma satu. Jika semua persoalan di tempat ini
selesai, kau harus sedia jadi istriku!”

“Mahluk setan jahanam busuk!” teriak gadis di atas ranjang. Rupanya hanya tubuhnya yang
ditotok sementara jalan suara dibiarkan terbuka.

“Aku sudah minta agar kau segera membunuhku!

Siapa sudi jadi istri mahluk setan sepertimu! Tapi sebelum aku mati di tanganmu tunjukkan
kejantananmu! Buka kain penutup kepalamu. Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!”

Wakil Ketua keluarkan suara mendecak. “Gadis keras kepala. Kalau kau memang ingin mati
mudah saja bagiku melakukannya. Tapi sebelum mati sesuai dengan permintaanmu aku akan
tunjukkan kejantananku padamu.”

Wakil Ketua naik ke atas ranjang lalu menarik turun celana si gadis. Pakaian dalamnya tersibak.

Si gadis menjerit keras. Penuh nafsu Wakil Ketua menarik lagi celana luar si gadis. Namun
sebelum celana itu merosot sampai ke bawah pinggul tibatiba ada bayangan berkelebat, dan,
bukkk! Satu tendangan menghantam pinggang Wakil Ketua.

Tendangan itu tidak berapa kencang. Tubuh Wakil Ketua hanya tergontai-gontai. Ketika
berpaling dia dapatkan Dewa Tuak berdiri di depannya, terbungkuk-bungkuk lalu tengadahkan
kepala dan tertawa mengekeh.

“Guru!” seru gadis di atas ranjang. Kaget juga marah melihat wajah gurunya yang bengkak.

“Siapa yang mencideraimu?”

Dewa Tuak cuma lambaikan tangan, berpaling pada Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Mahluk keparat! Jadi kau yang punya pekerjaan!

Menculik muridku Anggini. menyekapnya di tempat ini! Berpura-pura sibuk mencari. Kini kau
hendak berbuat bejat atas dirinya! Jahanam betul!

Tanganku sudah gatal mau mematahkan batang lehermu! Tapi biar aku melepas dahaga dulu.

Setelah itu aku akan menemui pimpinanmu, memberi tahu apa yang telah kau lakukan!”

Si kakek dongakkan kepala. Dua tangan dinaikkan di atas mulut. Lalu, glukk… glukk… gluk…
Dewa Tuak seperti orang yang betul-betul tengah minum tuak.

Di atas ranjang gadis yang memang Anggini, murid Dewa Tuak adanya menarik nafas dalam.

“Tendangannya tadi tidak membuat cidera. Sikapnya menunjukkan kelainan. Pasti guru sudah
dicekok dengan obat terkutuk itu.” Membatin sang murid.

“Tua bangka setan alas!” teriak Wakil Ketua marah. Dia sama sekali tidak menyangka kakek
yang telah dicekok dengan minuman pencuci otak itu masih mampu melancarkan serangan.

sebenarnya ilmu kepandaian dan kesaktian Dewa Tuak memang masih ada di dalam dirinya
namun pengaruh obat membuat sekujur badannya lemas.

Dia tidak mampu mengalirkan tenaga dalam, tidak dapat mengeluarkan kesaktian. Bahkan
tenaga luarnya waktu menendang tadi lemah sekali.

“Dewa Tuak! Aku ingin cepat-cepat membawamu ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Tapi
sebelum kau mampus aku ingin kau menyaksikan apa yang akan aku lakukan terhadap
muridmu!”

Wakil Ketua melompat ke arah Dewa Tuak.

Sarangkan satu jotosan ke perut kakek itu hingga Dewa Tuak terlipat ke depan, lalu roboh di
lantai ruangan, mengeluh tinggi. Mata melotot ke arah ranjang. Mulut komat-kamit tapi tak
mampu keluarkan suara.

“Jahanam pengecut! Beraninya hanya pada orang tua yang tidak berdaya!” Anggini memaki
marah.

Wakil Ketua menyeringai di balik kain putih penutup kepala lalu melompat ke atas ranjang.

Dengan gelegak nafsu serta amarah dia kembali menarik turun celana luar dan pakaian dalam
Anggini.
Pada saat itulah tiba-tiba menggema suara genta. Ruangan tidur bergetar hebat. Di luar ada
teriakan-teriakan keras. Ada suara orang-orang lari melewati lorong di depan kamar.

Wakil Ketua tekap telinga kanannya. Di antara suara genta mengiang suara perempuan. Tidak
jelas, namun Wakil Ketua sudah maklum siapa yang bicara. Dalam hati dia memaki. “Jahanam!

Mengapa setiap aku hendak melakukan hal ini selalu ada suara mengganggu! Mengapa jika
Ketua yang berbuat tidak terjadi apa-apa! Mungkin karena dia memegang batu keramat itu?
Aksara Batu Bernyawa!”

Di kejauhan suara genta semakin menjadi-jadi.

“Suara genta sekali ini tidak seperti biasanya.

Ada sesuatu yang tidak beres di luar sana!” Wakil Ketua berpaling ke arah ranjang. Hatinya
bimbang. Akhirnya dia buka pintu besi merah, jambak rambut putih si kakek.

“Manusia pocong terkutuk! Kalau kau membunuh guruku aku bersumpah memenggal kepala,
menguliti dan mencincang tubuhmu!”

“Ckk… ckkk… ckkk!” Wakil Ketua berdecak leletkan lidah lalu tertawa bergelak. “Jangan bicara
tolol! Kau tak akan mampu membebaskan diri!

Tidak ada satu orangpun yang akan menolongmu!

Aku menginginkan kau jadi istriku! Itu satu kehormatan luar biasa bagimu! Tapi kau justru
malah memilih mati! Apa sulitnya bagiku?

Kunikmati tubuhmu lalu kuhabisi nyawamu! Dan aku akan mengajak serta gurumu ikut
bersamamu ke alam kematian! Ha… ha… ha!”

“Di alam kematian aku akan menyaksikan dirimu jadi kemasukan setan” gadis ini menjerit
keras.

Wakil Ketua yang hendak menutup pintu merah hentikan gerakan lalu melangkah ke arah
ranjang. Sepasang matanya memandang berkilat ke arah bagian bawah tubuh Anggini. Tiba-tiba
dia ulurkan tangan. Menarik lepas selendang ungu yang tergelung di pinggang si gadis lalu
memasukkannya ke balik jubah putih.

“Mahluk pocong keparat! Kembalikan selendang itu!”


Wakil Ketua membungkuk, membuat gerakan seperti hendak mengembalikan selendang.
Namun yang dilakukannya adalah melampiaskan nafsu binatangnya. Menciumi wajah dan dada
Anggini. Lalu mulutnya berucap.

“Kekasihmu pemuda sableng itu akan mati berdiri jika mengetahui apa yang nanti aku lakukan
padamu. Kalau saja kematiannya tidak lebih dahulu dari kematianmu!”

“Mahluk setan! Aku ingin sekali melihat muka anjingmu! Ada permusuhan apa antara kau dan
Wiro hingga memperlakukan diriku seperti ini?”

Wakil Ketua dongakkan kepala lalu tertawa perlahan. Setelah keluarkan suara berdecak dia
berkata.

“Tunggu saja. Kelak kau bakal menyaksikan wajahku! Aku tidak kalah ganteng dari pemuda
edan itu! Kau benar-benar akan menyesal sampai di alam kematian karena menolak kujadikan
istri!”

JATILANDAK yang membentuk diri menjadi seekor landak raksasa berlari sepanjang lorong yang
bergetar akibat hantaman suara genta dari arah Rumah Putih kawasan 113 Lorong Kematian. Di
sebelah belakang menyusul Wiro, Bunga, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning.

Kalau yang lain-lain merasa sakit kuping mereka dan berlari terhuyung-huyung, Jatilandak tidak
terpengaruh oleh suara genta itu. Larinya malah dipercepat. Empat kaki berkuku panjang serta
duri-duri tebal lancip di tubuh sama sekali tidak mengeluarkan suara bergemerisik. Sepuluh
langkah di depan sana, lorong bercabang dua.

Jatilandak hentikan lari. Angkat kepala lalu meng hirup udara dalam-dalam. Dua bola mata
coklat pekat bergerak ke kiri dan ke kanan. Duri panjang tebal dan runcing yang menutupi
tubuh berjingkrak.

“Aku mencium ada bahaya di lorong kiri dan lorong kanan. Bahaya di lorong kanan lebih
dahsyat. Aku dan para sahabat harus bergerak memasuki lorong kiri.”

Setelah mengambil keputusan begitu rupa Jatilandak memberi isyarat pada orang-orang di
belakangnya lalu mendahului bergerak memasuki lorong sebelah kiri. Baru dua langkah
memasuki lorong sebelah kiri tiba-tiba belasan bendera merah disertai cipratan air berbau
busuk berkelebat di udara “Bendera Darah! Awas!” teriak Jatilandak.

Secepat kilat dia melompat ke udara, duri yang menutupi tubuhnya bergerak ke depan
membentuk tameng. Mulut keluarkan suara melengking lalu meniup. Di sebelah belakang Wiro
lepaskan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Bunga melesat ke atas, dua tangan didorongkan. Dua gelombang angin menderu.

Luar biasa! Walau dihantam tiupan angin sakti dari mulut Jatilandak, didera pukulan
berkekuatan tenaga dalam tinggi yang dilepas Wiro dan Bunga, hanya sembilan Bendera Darah
yang menyerang ganas sanggup dirontokkan. Tiga lainnya tembus. Yang pertama berhasil
menyusup di sela duri-duri lalu menancap di bahu kiri Jatilandak. Jatilandak terbanting ke
tanah.

mengerang sebentar lalu patahkan gagang Bendera Darah dengan cara menggigitnya.

Bendera Darah Kedua walau agak goyang berhasil menyusup dan menyambar di atas kepala
Gondoruwo Patah Hati, menyerempet luka kulit kepalanya. Cairan merah darah membasahi
sebagian rambut. Seujung kuku saja gagang bendera menyambar ke bawah niscaya menancap
di kening si nenek!

“Jahanam kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan! Lekas unjukkan diri!” Teriak Gondoruwo
Patah Hati sambil kibaskan rambut. Sementara di belakang, Naga Kuning meringis karena
Bendera Darah ketiga menancap di lengan baju sebelah kanan, menyerempet melukai daging
bahunya cukup dalam. Untung tidak sampai menancap.

Dari arah tikungan lorong di sebelah depan membahana suara tawa bergelak. Di lain saat
muncul sosok seorang manusia pocong. Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan
diletakkan di depan dada.

“Sayang hanya diberi wewenang membunuh tiga di antara kalian! Padahal tanganku sudah
gatal untuk mengorek jantungmu!” Manusia pocong satu ini tutup ucapannya sambil tudingkan
telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri sekitar tujuh
langkah di hadapannya.

“Kunyuk, jejadian setan putih!” bentak murid Sinto Gendeng tapi mukanya tidak unjukkan hawa
marah malah menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala. “Aku kepingin tahu, mau melihat
ilmu apa yang kau miliki hingga bisa-bisanya mengorek jantungku? Ha… ha… ha! Kalau ilmu
mengorek yang aku punya cuma ilmu mengorek kuping!”

Lalu Wiro masukkan kelingking kirinya ke telinga kiri dan digoyang-goyang. Mulut dipencongkan
dan mata dimerem-melekkan.

“Dasar otak miring! Siap mampus masih mau guyonan!” Maki manusia pocong.

“Hai! Tunggu! Aku rasa-rasanya mengenal suaramu!” Wiro berseru.

“Pemuda sinting! Jangan banyak mulut!

Menghindar kalau tidak mau kubunuh sekalian bersama tiga temanmu!”


“Sombongnya! Ayo perlihatkan ilmu korek kupingmu!” kata Wiro mengejek lalu menerjang ke
depan sambil lepaskan jotosan Kepala Naga Menyusup Awan. Gerakan tangan sang pendekar
perlahan saja seperti penari. Namun tahu-tahu kepalan tangan kanan itu telah melesat ke
bawah dagu manusia pocong!

“Mampus kau!” teriak Naga Kuning yang sudah merasa pasti mahluk serba putih tidak sanggup
mengelak.

Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Sosok manusia pocong seperti terangkat
ke atas. Begitu dagunya selamat dari pukulan Kepala Naga Menyusup Awan, kaki kanannya
tiba-tiba melesat ke depan. Wiro berkelit ke samping. Tendangan lawan hanya lewat seujung
kuku dari depan perutnya. Dengan geram Wiro balas menyerang. Juga dengan gerakan
menendang. Yang jadi sasaran adalah kaki kiri manusia pocong sementara kaki kanan masih
berada di udara. Seperti serangan pukulan ke dagu tadi, hampir tendangan Wiro akan menemui
sasaran mendadak tubuh manusia pocong terangkat ke atas. Begitu melayang turun dia
menyerbu dengan dua tangan kosong sekaligus.

Seperti sepasang pedang atau golok, dua tangan itu membeset, menusuk, dan membacok.

Traangg!

Serangan tangan kiri manusia pocong dalam gerakan membacok ke arah kepala Wiro meleset,
menghantam dinding batu, mengeluarkan suara berdentang seolah yang beradu dengan
dinding itu adalah sebilah senjata tajam, bukan tangan manusia! Dan luar biasanya lagi dinding
batu yang terkena hantaman tangan kelihatan benarbenar pecah gompal berantakan!

“Gila!” ucap murid Sinto Gendeng, mata melotot. “Tangannya seperti golok betulan! Kalau tidak
segera dihabisi aku bisa konyol!”

Tidak menunggu lebih lama Pendekar 212 segera menyerbu manusia pocong dengan jurusjurus
mematikan yang dipadu dengan pukulanpukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi.

Namun seperti ditahan satu tembok kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, semua serangan
Wiro tidak satupun mampu menyentuh lawan.

Malah dua tangan manusia pocong itu berkelebat semakin ganas dan mengeluarkan suara deru
angin luar biasa keras. Wiro terdesak hebat. Kalau sampai kepala kena hantam pasti terbelah.
Kalau leher yang kena sasaran niscaya kuntung putus laksana ditebas golok atau pedang!

Bunga memperhatikan tanpa berkesip. Dua kali tadi dia melihat ada cahaya kuning sangat tipis
yang menyelubungi sosok putih manusia pocong.
Yaitu ketika dua kali Wiro hampir berhasil menjotos dagu dan menendang kaki kirinya. Lalu
setiap melancarkan serangan, cahaya kuning tipis berubah lebih jelas. Dari sekian banyak
pasang mata yang ada di tempat itu, hanya Bunga sendiri yang mampu melihat keberadaan
cahaya kuning.

Ketika mereka berhadapan dengan Rana Suwarte, Bunga tidak melihat ada lapisan cahaya
kuning seperti ini. Itu sebabnya walau cukup sulit namun akhirnya Rana Suwarte berhasil juga
ditamatkan riwayatnya dengan Pukulan Batu Naroko oleh Gondoruwo Patah Hati. Agak aneh.
Apakah mahluk luar biasa pengirim kekuatan gaib itu memiliki ketentuan sendiri untuk
menentukan jenis perlindungan yang diberikan. Dari apa yang dilihatnya, yaitu sejak memasuki
gunung batu di bagian belakang 113 Lorong Kematian, Bunga maklum kalau kehebatan tenaga
pelindung berbeda untuk manusia pocong satu dengan manusia pocong lainnya. Mengapa?

“Tingkat ilmu silat dan kesaktian manusia pocong satu ini mungkin tidak seberapa. Cahaya
kuning tipis. Itulah kekuatan gaib luar biasa yang melindunginya dari jauh. Bukan cuma
melindungi. Sekaligus memberikan kekuatan sakti untuk membunuh lawan! Luar biasa
berbahaya!”

Bunga bergerak cepat ke samping Pendekar 212. “Wiro, hati-hati. Mahluk ini mendapat
lindungan dan kekuatan dari alam gaib. Tahan serangan. Aku akan coba menahan kekuatan
pelindungnya. Kalau aku berteriak memberi tanda, baru hantam!”

Bunga renggangkan dua kaki. Tubuh dibungkukkan sambil dua tangan diangkat datar di depan
dada. Dua telapak terkembang. Ketika jarijari tangan kiri kanan dijentikkan, pada masingmasing
tangan kelihatan sekuntum bunga kenanga kuning. Begitu dua tangan didorong dan kaki kanan
dihentakkan ke lantai, hawa aneh bergeletar di lantai ruangan, menyengat ke arah sepasang
kaki manusia pocong. Di balik kain penutup kepala mahluk ini mengerenyit menahan sakit.
Tubuhnya terlonjak. Cahaya kuning yang membungkus sekujur tubuhnya kelihatan meredup.
Sekali lagi Bunga hentakkan kaki kanannya.

Si manusia pocong terdorong satu langkah ke belakang. Cahaya kuning lenyap.

Di kejauhan sayup-sayup ada suara menggerung panjang lalu caci maki penuh amarah.

Menyusul suara menderu. Ada gelombang angin dengan deras menuju ke tempat itu.

“Wiro! Cepat hantam!” Bunga gadis dari alam roh berteriak memberi tanda.

Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak tak kalah kerasnya. Tubuh melesat ke depan. Tangan
kanan melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Ini adalah ilmu pukulan
jurus kedua yang diwarisi Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca: Wiro Sableng —
Delapan Sabda Dewa).

Bukkk!
Selagi manusia pocong berusaha mengimbangi diri, pukulan sakti yang dilepaskan Wiro
mendarat telak di pertengahan dadanya. Kesaktian pukulan ini satu tingkat di atas pukulan Batu
Naroko milik Gondoruwo Patah Hati yang telah menewaskan Rana Suwarte. Jangankan dada
manusia, tembok baja sekalipun tidak akan mampu menahan kehebatan pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang itu. Manusia pocong terpental empat langkah, terjengkang di tanah.

“Tamat riwayatmu!” ucap Naga Kuning.

Bersamaan dengan itu dari arah belakang manusia pocong, suara gelombang angin semakin
deras. Lalu tampak cahaya kuning berkiblat. Hawa panas memenuhi seantero tempat.

“Semua tiarap!” teriak Bunga. Dua kembang kenanga di tangan kiri kanan dilemparkan ke arah
cahaya kuning. Dari balik pakaian dia mengambil setanggi lalu melemparkan ke udara.

Buuummmm!

Blaarrr!

Taarr! Taarr! Taarr!

Dentuman dahsyat, goncangan keras serta letusan-letusan yang disertai percikan bunga api
berkiblat dalam ruangan. Tempat itu laksana diguncang gempa. Angin kuning panas
menyambar ganas. Semua orang merasa punggung masing-masing terbakar melepuh. Untuk
beberapa lama mereka menelungkup tak bergerak. Wiro angkat kepala. Berpaling ke belakang.
Bunga, gadis dari alam roh duduk tersandar di dinding batu. Ada lelehan cairan berwarna biru
di salah satu sudut bibirnya. Mukanya yang putih lebih pucat dari biasanya.

BUNGA!” seru Wiro ketika melihat keadaan gadis dari alam roh itu. Dia cepat berdiri.

Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati ikut mendatangi. Hanya Jatilandak yang masih tak
bergerak di tempatnya. Karena berada di sebelah depan, sapuan angin panas bercahaya kuning
menyapu–nya lebih dulu dan lebih keras.

Membuat separuh dari duri-duri yang menutupi tubuhnya terpang–gang hangus dan untuk
beberapa lama kelihatan membara merah!

Wiro usap lelehan cairan biru di sudut bibir Bunga. Gadis alam roh ini pegang lengan si pemuda.
Matanya menatap mesra ke dalam mata Wiro. Senyum menyeruak di bibir.

“Terima kasih, Wiro. Aku tak apa-apa…”


“Lelehan cairan biru. Kau terluka di dalam.” Kata Wiro pula.

Bunga mengangguk. “Dalam waktu beberapa saat luka dalamku akan sembuh sendiri. Kau tak
usah mengkhawatirkan diriku. Justru aku mengkhawatirkan dirimu dan para sahabat. Lorong
Kematian agaknya benar-benar akan menjadi timbungan kuburan bagi kita semua kalau kita
tidak bertindak cepat. Kita harus segera menemukan mahluk yang disebut Sri Paduka Ratu
itu…”

“Yang akan kau nikahkan dengan diriku!” ujar Wiro pula.

“Kodrat menentukan itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri kita semua serta
malapetaka besar rimba persilatan.”

“Aku punya firasat…” kata Wiro pula sambil menggaruk kepala.

“Firasat apa?” Tanya Bunga.

“Ya, ya. Katakan firasat apa?” Naga Kuning menimpali.

“Baik atau buruk?” ikut bersuara Gondoruwo Patah Hati.

“Buruk. Agaknya diriku yang jadi sasaran utama. Aku bakal menemui ajal paling sengsara, paling
mengenaskan…”

“Jangan berkata seperti itu!” tukas Gondoruwo Patah Hati. “Kami teman-temanmu, masa akan
hanya berpangku tangan.”

“Aku tahu. Tapi…” Ucapan murid Sinto Gendeng terputus.

Dalam keadaan begitu rupa mendadak terdengar suara tawa bergelak! Semua orang
memandang ke depan.

“Astaga gila! Aku kira sudah mampus dia!” ucap Naga Kuning seraya berdiri. Yang lain-lain ikut
bergerak bangkit.

Di depan sana sosok manusia pocong yang tadi tergeletak di tanah kelihatan bergerak bangkit,
perlahan-lahan berdiri. Di balik kain penutup kepala, mulutnya kemudian berucap.

“Nyawaku dilindungi nyawa kedua. Tidak satupun dari kalian bisa membuatku mati!”

“Setan alas, takabur sekali!” maki Naga Kuning.


“Apa aku boleh ikut minta perlindungan nyawa kedua?” Jatilandak yang sejak tadi diam tak
bergerak maupun bersuara tiba-tiba keluarkan kata-kata. Begitu ucapannya selesai, tubuhnya
digoyang keras. Duri-duri yang masih bersisa di tubuhnya dikibas.

Sett! Settt! Settt!

Duapuluh bulu landak tebal, kuat, dan runcing melesat ke arah duapuluh bagian tubuh manusia
pocong. Yang diserang cepat menyingkir sambil lepaskan pukulan tangan kosong. Hebat! Tak
satupun duri landak yang seolah berubah menjadi senjata rahasia itu sanggup menyentuh
tubuh manusia pocong. Tiga dari sekian banyak bulu landak yang dibikin mental menancap di
dinding batu.

Walau selamat dari serangan bulu landak, namun manusia pocong ini sempat dibikin kaget,
kelabakan selamatkan diri. Tadi dia menyangka binatang landak itu telah meregang nyawa.
Pada saat inilah justru Jatilandak melesat di udara, menyerang ke arah manusia pocong. Mahluk
dari lorong kematian terlambat mengelak. Empat kaki Jatilandak mencengkeram di bahu dan
dada.

Mulut dengan deretan gigi panjang lancip menancap di batang lehernya! Kain penutup kepala
yang menjuntai sampai ke leher bawah kelihatan berwarna merah!

Tiba-tiba ada suara genta menggema keras di kejauhan. Lalu dari arah belakang menderu dan
berkiblat cahaya kuning.

Jatilandak yang sudah siap untuk merobek leher manusia pocong dengan gigitan mautnya
angkat kepala sedikit dan menjawab. “Kawankawan!

Aku siap mati bersama mahluk iblis ini!”

Jatilandak lalu merobek leher manusia pocong dengan gigitan ganas.

“Jangan tolol!” teriak Bunga “Cahaya kuning itu akan melindungi dan memberi kekuatan pada
musuhmu! Kau sendiri bisa terpanggang gosong!”

Jatilandak menduga gigitannya pada leher manusia pocong akan menewaskan mahluk itu.

Didahului suara menggembor keras dia melompat dari tubuh manusia pocong. Cahaya kuning
menyapu. Sosok manusia pocong yang tadi sudah menghuyung sambil pegangi luka menganga
di lehernya, kini berdiri tegap kembali. Malah mampu melangkah ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Ternyata cahaya kuning itu menjadi sumber kekuatan dan penolong bagi dirinya.

Sebaliknya malapetaka bagi Wiro dan kawankawan.

Namun gerakan si manusia pocong tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
“Satria Pocong, lekas kembali ke markas. Kau sudah bertindak dan keluarkan ucapan terlalu
jauh. Yang harus kau bunuh adalah tiga orang itu.

Tapi kau justru memusatkan tangan maut pada Pendekar 212 Wiro Sableng! Otakmu sudah
dicuci!

Mengapa dendam masih menguasai dirimu? Ingat tugas utamamu! Juga jangan kau berani
menyentuh pemuda itu. Nyawanya tegas-tegas bagian Yang Mulia Ketua! Segera kembali ke
markas!

Datang langsung ke Rumah Putih! Tenagamu dibutuhkan di tempat itu!”

Manusia pocong tundukkan kepala sedikit lalu lantangkan ucapan. “Hanya perintah Yang Mulia
Ketua yang wajib dilaksanakan!” Setelah keluarkan ucapan tadi dia maju satu langkah
mendekati Wiro. “Kalian semua tidak satupun yang bakal selamat!”

Manusia pocong palingkan tubuh. Tangan kanan menggapai ke arah cahaya kuning yang ada di
atas kepalanya, seperti menangkap sebuah bola kecil. Lalu tangan kanan itu dihantamkan ke
arah Wiro dan kawan-kawan. Untuk kesekian kalinya keempat orang yang mendapat serangan
menjadi kalang kabut selamatkan diri. Begitu terhindar dari serangan cahaya kuning yang
ganas, Wiro dan kawan-kawan dapatkan si manusia pocong tak ada lagi di tempat itu.

Jatilandak hendak mengejar ke ujung lorong tapi cepat dicegah oleh Bunga.

“Aneh!” kata Jatilandak. “Aku rasa aku sudah mengoyak lehernya lebih dari setengah! Darah
jelas mengucur! Mengapa dia masih bisa hidup?”

“Mahluk itu mendapat perlindungan dan kekuatan dari mahluk alam gaib yang ada di dalam
Lorong Kematian. Kita harus mampu menghancurkan pusat kekuatan mereka!” menjelaskan
Bunga.

“Lalu apa maksudnya dengan kata-kata nyawa kedua?” ujar Wiro pula.

“Itulah biang segala bencana yang diperalat oleh Ketua Barisan Manusia Pocong. Kita akan
saksikan sendiri nanti.” Jawab Bunga lalu dia memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan.

Namun belum sampai melangkah tiga tindak mendadak di belakang ada suara angin berkelebat.

Begitu berpaling, kelihatan sosok tinggi besar seorang manusia pocong. Dari bentuk tubuhnya
yang tinggi besar jelas dia bukan manusia pocong yang tadi.
Manusia pocong bertubuh tinggi ini sama sekali tidak keluarkan ucapan. Sepasang mata di balik
kain penutup kepala memandang ke arah Pendekar 212. Tiba-tiba dalam kecepatan luar biasa
dia kibaskan lengan jubah sebelah kiri tiga kali berturut-turut.

Dess… dess… desss!

Buntalan asap berwarna putih kekuningan serta-merta memenuhi tempat itu.

“Asap beracun! Tutup jalan pernafasan!” teriak Bunga. Gadis dari alam roh ini melesat ke
udara.

Menghantam ke arah manusia pocong yang menebar asap beracun.

Wuttt! Braakk!

PUKULAN sakti Bunga hanya menghancurkan dinding batu. Sementara manusia pocong sudah
lenyap entah ke mana. Bunga berpaling ke arah Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning.
Wajah mereka tampak pucat.

Dengan cepat satu persatu ketiga orang itu ditotoknya di bagian pangkal leher sehingga untuk
beberapa saat mereka mengalami sulit bernafas.

Ini adalah untuk menghindari menghirup hawa beracun yang sangat berbahaya itu. Ketika
hendak menotok Jatilandak, Bunga jadi bingung. Seluruh leher Jatilandak tertutup duri tebal
dan rapat.

“Balikkan tubuhmu! Aku akan menotok bagian leher sebelah bawah!”

Sepasang mata Jatilandak menatap sayu ke arah gadis alam roh.

“Lekas!” Bunga berusaha membalikkan tubuh Jatilandak dengan kedua tangannya. Tapi
pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berada dalam perujudan seekor landak itu
gelengkan kepala.

“Terima kasih kau mau berbaik hati menolongku. Sayang sudah terlambat…”

“Terlambat bagaimana?” Tanya Naga Kuning sambil membungkuk lalu mendorong tubuh
Jatilandak. Ternyata tubuh itu berat sekali. Seolah batu ratusan kati!

“Aku telah menghirup hawa beracun itu,” menerangkan Jatilandak. Mata semakin kuyu dan
empat kakinya terentang lunglai di tanah.
“Kita semua memang sempat menghirup. Tapi kadarnya cuma sedikit. Kita masih bisa selamat.

Gerakkan kepalamu ke samping biar aku bisa melihat lehermu!” Bunga siap untuk menotok.

Namun lagi-lagi jawaban Jatilandak terdengar memelas.

“Kalian dan aku berbeda. Asap beracun itu mengandung belerang. Aku tidak boleh bersentuhan
dengan belerang dalam bentuk apapun.

Kawan-kawan, pergilah. Tinggalkan aku di sini.

Aku akan menemui jalanku sendiri. Pergilah, aku doakan agar kalian berhasil menghancurkan
markas manusia pocong itu. Hati-hati.”

Semua orang terkejut. Wiro tercekat dan ingat riwayat hidup Jatilandak semasa di Negeri
Latanahsilam. Pemuda yang terlahir dari perkawinan yang tidak direstui oleh para Peri ini
dibuang ke sebuah pulau. Di pulau ini dia dipelihara oleh seseorang yang memiliki tubuh penuh
sisik bernama Tringgiling Liang Batu. Sebelum kedatangan Jatilandak, Tringgiling Liang Batu
telah memelihara sepasang landak. Baik Tringgiling Liang Batu maupun dua landak
peliharaannya sangat tidak tahan terhadap belerang.

Jangankan sampai tersentuh, mencium baunya saja bisa mengakibatkan kematian!


Keberpantangan terhadap belerang ini ternyata juga diwarisi dan diindap oleh Jatilandak.
Bahaya racun belerang yang mematikan itulah kini tengah dihadapi pemuda dari Negeri
Latanahsilam ini. (Baca: Wiro Sableng — Hantu Jatilandak).

“Kami tidak akan pergi tanpa kau!” kata Bunga, sementara Wiro tegak tertegun.

“Betul. Kita datang bersama pergi harus bersama.” Kata Naga Kuning sambil melintangkan di
atas dada bumbung bambu milik Dewa Tuak yang masih terus dibawanya lalu melirik pada Wiro
yang sejak tadi bersikap diam saja.

“Jangan risaukan diriku. Kalian lekas pergi sebelum terlambat…” kata Jatilandak.

Tiba-tiba di kejauhan lagi-lagi genta membahana. Tempat itu kembali berguncang bergeletar.

Lapat-lapat seperti ada suara orang menyanyi yang diakhiri dengan tawa panjang
menggidikkan.

“Kita tidak bisa menunggu lebih lama,” berkata Bunga seraya menatap ke arah Jatilandak.

Pemuda yang berujud landak ini berkedip sayu matanya tanda mengerti. Bunga berpaling pada
Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning.
“Kalau memang tak ada jalan lain kita terpaksa harus meninggalkannya…” si nenek terpaksa
berkata perlahan.

Bunga tidak berlama-lama lagi. Gadis dari alam roh ini segera berkelebat ke jurusan lenyapnya
manusia pocong yang tadi dirobek lehernya oleh Jatilandak. Naga Kuning menyusul, lalu Wiro,
dan di belakang sekali Gondoruwo Patah Hati. Sementara berlari Wiro merasa hatinya galau.
Kalau dia ingat apa yang telah terjadi dia tak mau perduli.

Tapi kalau menyadari bahwa dia memiliki jiwa kesatria, kebimbangan menggalau sanubarinya.

Sementara itu totokan yang tadi dilakukan Bunga masih menguasai Wiro, Naga Kuning, dan
Gondoruwo Patah Hati. Nafas dan dada yang sesak membuat mereka tak mampu berlari cepat.

Menjelang sebuah tikungan rasa sesak turun kebawah, membuat perut membuncah mulas
seperti terdesak buang air besar.

“Celaka! Aku mau berak!” kata Naga Kuning sambil pegangi perut. Mukanya kelihatan merah.

Butir-butir keringat memercik di keningnya. Si nenek Gondoruwo Patah Hati kalang kabut. Dia
juga mengalami hal yang sama. Demikian pula dengan Wiro. Bunga yang telah menghentikan
larinya memperhatikan sambil senyum-senyum.

“Enaknya saja kau mesem-mesem!” ucap Gondoruwo Patah Hati.

“Sudah! Berak saja barengan di sini!” kata Naga Kuning. Bocah berambut jabrik ini siap
dodorkan celana ke bawah.

Tiba-tiba secara aneh, rasa mulas di perut ketiga orang itu lenyap, berpindah naik ke atas.

Ada hawa panas di dada. Rasa seperti tercekik.

Lalu, hueekkk…! Wiro, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati sama-sama semburkan muntah
berupa cairan berwarna kekuning-kuningan. Bersamaan dengan itu rasa sesak hilang, jalan
pernafasan sesaat masih megap-megap lalu kembali berubah wajar. Ketiga orang itu terduduk
di tanah.

Muka merah basah oleh keringat.

“Edan.” Naga Kuning masih bisa keluarkan suara. “Untung cuma muntah barengan. Kalau
sampai berak barengan!”

Gondoruwo Patah Hati jambak rambut Naga Kuning tapi sambil tawa cekikikan. Bunga memberi
isyarat agar mereka segera meneruskan masuk ke dalam lorong.
Wiro yang ingatannya masih terpaut pada Jatilandak berkata. “Kalian pergilah duluan. Aku
segera menyusul.”

“Memangnya kau mau ke mana?” Tanya Bunga heran.

“Jangan-jangan sembunyi mau berak!” kata Naga Kuning pula.

“Jatilandak…” ucap Pendekar 212.

“Jatilandak? Apa yang ada di pikiranmu, Wiro?” Bertanya Bunga.

“Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”

“Aahhh…” Gadis dari alam roh menghela nafas.

Menatap ke sepasang mata Pendekar 212 dia seperti bisa membaca apa yang ada di dalam
pikiran dan hati pemuda ini.

“Sebenarnya, bukankah dia sendiri yang minta ditinggalkan? Dia menyadari keadaan,” kata
Naga Kuning pula.

“Aku…” Wiro mengusap dagu, tidak teruskan ucapannya.

“Ada sesuatu yang hendak kau lakukan?” Tanya Gondoruwo Patah Hati.

Wiro tidak menjawab. Malah mendorong Naga Kuning ke samping lalu lari ke arah tadi dia dan
rombongan datang. Ketika sampai di tempat Jatilandak tergeletak, Wiro terkejut. Sosok yang
tadinya berbentuk landak kini telah berubah menjadi sosok manusia berkulit kuning,
tertelungkup mengenaskan di tanah. Pakaian coklatnya hancur hangus, menyembulkan
punggung yang terpanggang merah.

Dua tangan dan dua kaki pemuda itu terbentang di lantai. Sepasang mata tertutup. Wiro tidak
dapat memastikan apakah Jatilandak masih hidup. Namun kemudian dari sela bibir Jatilandak
yang terbuka dia mendengar suara erangan halus.

Mendengar langkah kaki orang mendatangi lalu berdiri di dekatnya, pemuda dari negeri 1200
tahun silam ini perlahan-lahan buka sepasang matanya.

“Wiro, kenapa kau kembali?” Suara Jatilandak perlahan sekali.

“Kami tidak bisa meninggalkan kau sendirian di sini.”

“Lalu…”
Wiro membungkuk. Membuat empat kali totokan, satu di belakang kepala, tiga di bagian tubuh
Jatilandak. Sesaat kemudian pemuda dari Latanahsilam itu sudah berada di bahu kirinya lalu
dibawa lari kembali ke arah lorong dari mana tadi mereka datang.

“Wiro, aku berterima kasih kau punya maksud menolong diriku. Tapi menolong orang yang
segera akan menemui kematian tidak ada gunanya. Lebih baik kau segera bergabung dengan
para sahabat.

Mereka lebih membutuhkan dirimu. Kau tak mungkin membawa aku ke mana kau pergi…”

“Kau betul. Tapi aku bisa mencarikan tempat yang lebih baik dan lebih aman bagimu.”

Wiro membawa Jatilandak ke telaga di dasar jurang. Susah payah dia menuruni tangga terjal di
dinding batu. Jatilandak dibaringkan di tepi telaga.

“Untuk sementara kau aman di sini. Aku harus pergi. Kalau semua urusan dengan mahluk setan
itu selesai, kami akan kembali menemuimu di sini.”

Jatilandak ulurkan tangan memegang lengan kiri Pendekar 212 erat-erat.

“Aku sangat berterima kasih. Hatimu seputih kapas, budimu semurni emas. Wiro, aku tidak
akan bertahan lama. Aku tidak ingin mati dengan meninggalkan duga dan sangka yang menjadi
beban berat dalam perjalananku ke alam lain. Aku ingin kau tahu. Antara aku dan Bidadari
Angin Timur tidak ada apa-apa. Tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Budinya setinggi
langit, sejuk hatinya sedalam lautan. Aku sangat menghormatinya…”

Wiro terdiam sesaat lalu berdiri.

“Wiro, gadis itu mencintai dirimu setulus hatinya…,” Jatilandak lepaskan pegangannya di tangan
Wiro.

Pendekar 212 garuk kepala, menatap wajah Jatilandak sesaat lalu pandangannya membentur
ujung patahan gagang kayu Bendera Darah yang masih menancap di bahu kiri pemuda berkulit
kuning itu. Wiro ingat apa yang telah dilakukan Eyang Sinto Gendeng ketika keluarkan Kapak
Naga Geni 212. Salah satu mata kapak ditempelkan ke patahan kayu gagang bendera. Wiro
kerahkan tenaga dalam. Kapak Naga Geni 212 pancarkan cahaya menyilaukan disertai hawa
panas.

Cessss!

Jatilandak mengernyit menahan sakit. Daging bahunya mengepulkan asap. Gagang Bendera
Darah serta merta berubah hitam, hangus gosong menjadi bubuk.
Wiro berbalik lalu tinggalkan tempat itu. Dia terharu mendengar ucapan Jatilandak tadi. Namun
semua itu tidak dapat melenyapkan ganjalan yang ada di dalam hatinya. Ganjalan yang
seolaholah telah menyatu menjadi batu. Sulit untuk dipupus.

Di belakang sana terdengar suara Jatilandak berucap perlahan.

“Wiro, terima kasih. Aku mendoakan keselamatan bagimu dan kawan-kawan…”

***

Di dalam lorong, Naga Kuning tampak seperti orang bingung. Sebentar-sebentar dia usap
bagian bawah perutnya. Bibir digigit-gigit. Dia memandang berkeliling, melirik pada Gondoruwo
Patah Hati dan Bunga. “Kalau saja keduanya laki-laki aku tidak malu-malu melakukannya di
sini,” kata si bocah dalam hati.

“Intan,” Naga Kuning menyebut nama asli si nenek.

“Kau mau ke mana?” Tanya Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi memperhatikan Naga
Kuning.

“Aku mau menyusul Wiro. Aku khawatir kalau dia pergi sendirian…”

“Hai…”

Naga Kuning tidak perdulikan seruan Gondoruwo Patah Hati. Langsung saja bocah ini berlari
cepat ke arah lorong yang tadi ditempuh Wiro sewaktu membawa Jatilandak. Di satu tikungan
dia hentikan lari. Nafas mengengah.

“Gila, aku tidak tahan lagi. Betul-betul kebelet!

Sudah, di sini rasanya bisa kulakukan. Tak ada yang melihat,” Lalu anak ini dodorkan celana
hitamnya ke bawah. Tapi dia bingung sendiri. “Ah, apa langsung saja di sini? Kalau tempat ini
banyak mahluk halusnya bagaimana? Bisa kapiran aku kalau sampai anuku dipencet.” Dia
melirik pada bumbung bambu yang tersembul di kepitan tangan kiri. “Baiknya kumasukkan
dalam bumbung ini saja. Nanti kalau ada kesempatan baru aku buang…”

Naga Kuning ambil bumbung bambu kosong, dekatkan ke bagian bawah perutnya lalu, seerrr!

Bocah ini pancarkan air kencingnya ke dalam bumbung bambu. Selesai kencing dia menarik
nafas lega. Dari balik pakaian dia keluarkan sehelai sapu tangan butut lalu disumpalkan ke ujung
bambu.

8
BANGUNAN serba putih yang dikenal dengan nama Rumah Tanpa Dosa memancarkan cahaya
berkilau terkena sinar terik sang surya. Suara bahana genta baru saja lenyap.

Kesunyian membungkus delapan penjuru angin sampai ke lembah kecil yang terletak tak jauh di
sebelah utara Rumah Tanpa Dosa.

Sambil memanggul tubuh Dewa Tuak, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kematian berlari cepat melewati rumah tua berbentuk panggung beratap ijuk hitam. Lampion
kain putih di bawah atap bangunan membersit keluar bau busuk antara amis dan bau bangkai.

Selewatnya, sebuah lembah kecil yang lebih banyak tertutup batu daripada tetumbuhan, Wakil
Ketua akhirnya sampai di halaman satu rumah panggung serba putih, mulai dari atap ijuk
sampai tiang-tiang penyanggah bangunan serta tangga setengah lingkaran. Sebuah genta besar
tergantung di bawah atap ijuk putih. Tali genta menjulai ke bawah, hampir menyentuh tanah.
Dua buah benda yaitu dua kuntum kembang kenanga menancap di atas pintu putih. Kayu di
sekitar dua kembang itu kelihatan hangus menghitam, terdapatlah dua kembang kenanga yang
dilempar Bunga sewaktu berusaha menahan serangan kekuatan gaib yang dilepas Sri Paduka
Ratu dari Rumah Tanpa Dosa.

“Sial, Yang Mulia Ketua selalu memberi perintah berubah-ubah dan mendadak. Kalau saja dia
tidak menyuruh aku menebar hawa beracun di lorong, urusanku sudah selesai dari tadi. Segala
rencana jadi tak karuan. Aku harus bertindak cepat!”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Aku Wakil Ketua datang menjalankan perintah Yang Mulia Ketua.

Lekas keluar dan laksanakan perintah!” Suara keras seruan Wakil Ketua menggema panjang lalu
lenyap. Tak ada gerakan, tak ada jawaban dari dalam Rumah Tanpa Dosa.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Kita tidak punya waktu banyak! Para penyusup sudah berada di
dalam lorong sebelah selatan!” Wakil Ketua berteriak lagi.

“Wakil Ketua! Aku tidak tuli! Mengapa berteriak tidak karuan seolah kau lebih kuasa dari Yang
Mulia Ketua?” Tiba-tiba ada suara perempuan dari dalam bangunan putih, mendesing keras
seolah sambaran angin.

“Perempuan keparat! Kau akan rasakan bagianmu nanti! Kau akan menyembah di kakiku
sebelum tubuhmu kembali ke alam bangkai busuk!” Wakil Ketua memaki dalam hati.

Tidak sabaran Wakil Ketua menarik tali genta tiga kali berturut-turut. Suara keras menggelegar.

Tanah bergeletar. Rumah Tanpa Dosa mengeluarkan suara berderik. Wakil Ketua
terhuyunghuyung dan cepat kerahkan tenaga sebelum tubuhnya terbanting ke tanah.
Ketika suara genta berhenti, dari dalam Rumah Tanpa Dosa terdengar suara perempuan
tertawa.

Pintu putih di ujung atas tangga setengah lingkaran terbuka. Sesaat kemudian muncul satu
sosok putih, melangkah dalam gerakan kaku.

Sosok putih ini mengenakan kain penutup kepala yang pada bagian atas melingkar sebuah
mahkota kecil berwarna hijau. Jubah putih yang menutupi tubuh begitu tipis menerawang
hingga bentuk aurat di sebelah dalam nyaris jelas. Ada satu kejanggalan. Jubah putih itu robek
di bagian perut. Di sebelah belakang, di bawah kain penutup kepala menjulai rambut panjang
hitam sampai sepinggang.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu,” Wakil Ketua berseru. “Yang Mulia Ketua minta kau menyedot
tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Harap kau lakukan dengan cepat!”

Habis berkata begitu Wakil Ketua turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya. Si kakek,
dalam keadaan lemah tegak terhuyung, dua tangan terkulai lunglai, dua lutut agak tertekuk dan
sepasang mata terpejam.

Sepasang mata di balik dua lobang pada kain penutup kepala bermahkota menatap tak berkesip
ke arah Wakil Ketua dan kakek yang tegak di sampingnya.

“Wakil Ketua, kau menunjukkan perilaku sangat setia dalam menjalankan perintah Yang Mulia
Ketua. Tapi kau tidak bisa menipu diriku!”

Wakil Ketua terkejut. “Perasaanku jadi tidak enak. Apa dia mengetahui semua rencanaku?

Berbahaya. Aku benar-benar harus bertindak cepat. Mudah-mudahan Ketua masih sibuk dalam
melampiaskan nafsu bejatnya.”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apa maksud Yang Mulia dengan ucapan tadi?” Wakil Ketua ajukan
pertanyaan.

“Berapa kali aku menegur agar kau tidak berbuat cabul di tempat ini?”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, saya tidak mengerti…”

Sang Ratu yang masih berdiri di ujung atas tangga putih tertawa panjang.

“Kau menculik dan menyekap seorang gadis.

Punya maksud hendak mencabulinya. Apakah kau tidak takut mendapat hukuman berat?”
Ucapan sang Ratu kembali membuat Wakil Ketua terkejut. “Bagaimana dia bisa tahu aku
menculik dan menyekap gadis itu?”

“Sri Paduka Ratu, jangan kau percaya pada segala kabar angin. Tugasku banyak. Mana ada
waktu untuk segala urusan culik menculik, sekap menyekap.”

Sosok putih di depan pintu tertawa panjang.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kau rupanya selalu memperhatikan gerak-gerikku. Padahal yang
berbuat cabul di tempat ini bukan cuma aku…”

Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali tertawa.

“Apakah engkau hendak mengatakan Yang Mulia Ketua juga melakukan perbuatan cabul tapi
mengapa aku tidak memperdulikan dan tidak menegur? Beraninya kau punya pikiran dan
keluarkan ucapan seperti itu. Apa tidak khawatir Yang Mulia Ketua mendengar?”

“Perempuan setan!” maki Wakil Ketua tapi diam-diam hatinya kecut juga. Dia memandang
berputar ke arah kejauhan. Belum kelihatan tanda-tanda Yang Mulia Ketua akan segera muncul.

Di atas tangga Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali membuka mulut.

“Kau lupa pada ucapan kesetiaan bahwa hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”

Dalam hati Wakil Ketua kembali memaki. Lalu dia berkata dengan suara keras. “Kehadiranku di
sini bukan untuk mendengar segala bicara panjang lebar. Aku membawa tugas dari Yang Mulia
Ketua. Kau diperintahkan untuk menyedot tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Laksanakan
saja tugasmu! Jangan banyak bicara!”

Sri Paduka Ratu tertawa panjang. Sekali kakinya digerakkan, seperti terbang tubuhnya
melayang ke bawah dan tegak di halaman Rumah Tanpa Dosa, terpisah lima langkah di hadapan
Dewa Tuak dan Wakil Ketua.

“Aku mencium bau aneh di tubuh kakek ini.

Wakil Ketua, harap kau menerangkan siapa dia adanya.”

Wakil Ketua tanggalkan kain putih penutup kepala orang yang tegak terbungkuk di sampingnya.
Kelihatan satu wajah tua berambut putih dengan sepasang mata dalam keadaan terpejam.

“Julukannya Dewa Tuak. Kuberitahupun kau tidak tahu apa-apa!” jawab Wakil Ketua pula.
Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyeringai lalu melangkah mendekati Dewa Tuak yang masih
berdiri terhuyung-huyung. Tiba-tiba kakek ini buka matanya yang sejak tadi terpejam. Begitu
melihat siapa yang berdiri di depannya, dua

matanya langsung dikedap-kedipkan.

“Aku harap tidak bermimpi. Tidak menduga bakal bertemu seorang manusia pocong betina di
tempat ini! Ada mahkota di kepalamu! Ha… ha… ha! Kau pasti bukan mahluk sembarangan.

Sayang wajahmu tertutup kain putih. Tapi aku yakin pasti wajahmu secantik bidadari. Ha… ha…
ha!”

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Lekas laksanakan tugasmu! Cepat sedot tenaga dalam dan
kesaktiannya!” Wakil Ketua sudah tidak sabaran.

“Eh, apa?” Dewa Tuak angkat kepalanya sedikit. Tangan kiri digelungkan di belakang daun
telinga kiri. Lagaknya seperti orang mau mendengar lebih jelas. “Kalau mau menyedot jangan
tenaga dalam dan kesaktianku. Aku rela memberikan bagian tubuhku yang lain untuk disedot!
Kau pasti merasa enak! Aku juga enak!

Sama-sama enaklah kita! Ha… ha… ha!”

“Tua bangka kurang ajar!” Sri Paduka Ratu memaki marah. Tangan kanan diangkat ke atas.

Telapak membuka, lima jari menekuk seperti mencengkeram. Cahaya kuning kemudian muncul
di lima jari. Ketika tangan itu diputar ke kanan lalu disusul dengan gerakan seperti membetot,
Dewa Tuak menjerit keras. Tubuhnya yang tadi membungkuk bergoncang keras. Dari mulutnya
menyembur darah segar!

“Ratu! Jangan berlaku tolol! Kau mau membunuh kakek ini sebelum melaksanakan perintah
Yang Mulia Ketua?” berteriak Wakil Ketua.

“Diam!” bentak Sang Ratu. “Aku tahu apa yang aku lakukan!”

Lalu Sri Paduka Ratu pegang kuat-kuat bahu kanan Dewa Tuak dengan tangan kiri sementara
telapak tangan diletakkan di atas batok kepala si kakek.

Kasihan Dewa Tuak. Bukan saja seluruh tenaga dalam serta kesaktiannya akan tersedot masuk
ke dalam tubuh Sri Paduka Ratu, tapi nyawanyapun tidak akan tertolong.

Begitu Sri Paduka Ratu meletakkan telapak tangan kanan di atas kepala Dewa Tuak, Wakil Ketua
cepat beranjak dan kini dia sengaja tegak di samping sang Ratu, sedikit ke belakang, terpisah
kurang dari dua langkah. Dua jari tangannya yang sebagian tertutup di balik lengan jubah,
diamdiam bergerak lurus dalam sikap siap untuk menotok. Siapa yang akan ditotoknya? Jelas
bukan Dewa Tuak!

TANGAN kanan Sri Paduka Ratu yang berada di atas ubun-ubun kepala Dewa Tuak tampak ber–
getar pertanda dia mulai melakukan penyedotan tenaga dalam dan kesaktian si kakek. Sangat
cepat getaran menjalar ke tubuh korban.

Dess! Dess! Dess!

Asap tipis kelabu mengepul dari batok kepala si kakek. Kalau sewaktu menyedot tenaga dalam
dan kesaktian Hantu Muka Dua kelihatan ada cahaya biru di kaki mahluk dari Latanahsilam itu
dan terus menjalar ke atas, maka pada diri Dewa Tuak yang kelihatan adalah cahaya putih. Ini
pertanda bahwa tenaga dalam dan kesaktian yang dimilikinya adalah murni dari golongan
putih.

Pada saat sangat genting, yaitu ketika cahaya putih di kaki Dewa Tuak kelihatan mulai bergerak
naik ke atas, tiba-tiba empat bayangan berkelebat dari arah utara halaman Rumah Tanpa Dosa.

Menyusul seruan nyaring suara perempuan.

“Mahluk alam roh! Hentikan perbuatan terkutukmu!”

Bersamaan dengan itu empat gelombang angin menderu ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
membuatnya terkejut, menjerit keras. Cepat dia tarik tangan kanannya dari atas kepala Dewa
Tuak lalu melompat mundur. Walau semua gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat namun
empat gelombang angin masih sempat menyerempetnya. Untuk kedua kalinya sang Ratu
menjerit keras. Kali ini bukan jeritan kaget, tapi Jeritan penuh marah.

Empat gelombang angin yang menghantam tubuhnya berasal dari pukulan tangan kosong jarak
jauh mengandung tenaga dalam tinggi serta ilmu kesaktian bukan sembarangan.

Blaar! Blaar! Blaar! Blaar!

Jangankan tubuh manusia, tembok batu sekalipun pasti ambruk berkeping-keping. Tetapi luar
biasa, Sri Paduka Ratu hanya tergontaigontai.

Itupun cuma seketika. Apa yang terjadi?

Sesaat sebelum empat pukulan sakti jarak jauh menghantam, serangkum cahaya kuning muncul
melindungi dirinya mulai dari kepala sampai kaki.

Hantaman empat angin pukulan sakti hanya menimbulkan suara dentangan aneh.
“Jahanam berani mati! Siapa kalian?” Yang Mulia Sri Paduka Ratu berteriak marah. Dua tangan
di balik jubah putih dipukulkan ke depan.

“Lekas menyingkir!” Seseorang berteriak.

“Selamatkan Dewa Tuak!” Ada suara lain ikut berseru.

Wutttt! Wuttt!

Dua larik angin dahsyat memancarkan cahaya kuning panas berkiblat. Namun empat orang
yang hendak dijadikan bangkai gosong tak ada lagi di tempat semula. Bahkan Dewa Tuak yang
tadi ada di dekat mereka ikut lenyap! Dua gelombang angin kuning menderu jauh memapas
udara kosong lalu menghantam pinggiran lembah. Bebatuan di tubir lembah sebelah atas
hancur bertaburan, berubah menjadi bara menyala. Tanah dan pasir beterbangan ke udara.

Memandang berkeliling, dua belas langkah di sebelah kiri, Sri Paduka Ratu melihat Dewa Tuak
berada dalam gendongan seorang pemuda berambut gondrong. Sepasang mata Sri Paduka
Ratu menyipit, kening mengerenyit. Saat itu si pemuda tengah menurunkan kakek yang
digendongnya ke tanah. Dewa Tuak tegak terbungkuk sambil pegangi dadanya yang mendenyut
sakit. Noda darah membasahi bagian depan jubah putih yang dikenakannya. Sepasang mata si
kakek berputar.

Pandangannya berhenti pada sosok Naga Kuning yang tegak sambil memegang bumbung
bambu.

Dua bola mata si kakek membesar. Mulut menganga, tenggorokan turun naik.

“Bocah! Bumbung bambu itu! Kau dapat di mana? Rasa-rasanya. Ah, aku jadi haus!” Si kakek
lalu duduk menjelepok di tanah. Kepala didongakkan. Dua tangan diangkat ke atas.
Menggantung di udara. Satu di atas kening, satu di dekat mulut.

Kalau sudah begitu biasanya tenggorokan si kakek akan mengeluarkan suara gluk, gluk, gluk,
seperti melahap minuman benaran. Tapi sekali ini hal itu tidak terjadi. Malah perlahan-lahan
dia turunkan dua tangan. “Apa nikmatnya minum bohongan terus-terusan,” kata si kakek
perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning, menatap ke arah bumbung bambu. “Bocah jabrik!
Berikan bumbung bambu itu padaku!”

Naga Kuning jadi bingung.

Gondoruwo Patah Hati berkata, “Lekas serahkan. Mengapa kau diam saja?”

“Aku…”
“Kakek itu seperti kurang waras. Siapa tahu kalau memegang bumbung bambu ingatannya
kembali pulih. Kita butuh dia. Sebentar lagi tempat ini bakal jadi ajang sabung nyawa.”

“Tapi, Nek. Kau, kau tidak tahu…”

Tidak sabaran Gondoruwo Patah Hati rampas bumbung bambu dari tangan Naga Kuning. Saat
itu dia merasakan kalau dalam tabung ada cairan.

“Eh, setahuku waktu kau temukan bumbung ini kosong. Mengapa sekarang ada cairannya? Ada
kain penyumpal?” si nenek menatap Naga Kuning.

“Sudah, kalau kau ingin menyerahkannya pada Dewa Tuak. Serahkan saja…” kata Naga Kuning
pula. Lalu dalam hati bocah konyol ini berkata “Gila! Kalau di luar sadar Dewa Tuak sampai
menenggak isi bumbung itu dan satu ketika dia tahu apa sebenarnya isinya, aku bisa celaka…”

Dewa Tuak tertawa penuh gembira ketika menyambuti bumbung bambu yang diserahkan
Gondoruwo Patah Hati. Untuk beberapa lamanya bumbung itu diletakkan di pangkuan dan
diusapusap.

Wiro yang berdiri di sebelah Bunga berbisik, “Manusia pocong betina itu, luar biasa sekali. Dia
mampu menahan empat hantaman kita sekaligus!

Agaknya benar ucapan orang di luaran. Sekali masuk ke dalam lorong kematian, tidak ada jalan
keluar hidup-hidup.”

“Wiro, apa kau sudah mati semangat?”

Wiro terdiam. Matanya memperhatikan robekan di perut jubah putih Yang Mulia Sri Paduka
Ratu.

“Bunga, kau lihat robekan di bagian perut manusia pocong itu? Hantu Muka Dua tidak bohong.
Ketika bertemu mahluk pocong ini dia melihat sesuatu di dalam perutnya, berusaha mengambil
tapi hanya sanggup menggapai robek jubahnya…”

“Tadi aku sempat mencoba melihat tembus.

Memang ada sesuatu di dalam perutnya. Tapi aku cuma melihat samar. Sewaktu aku paksakan
mataku terasa sangat perih. Sebelum satu kekuatan hebat melabrakku aku hentikan melihat
tembus…”

“Coba aku periksa,” kata Wiro pula. Lalu dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang
didapatnya dari Ratu Duyung.
“Wiro, jangan! Kau bisa celaka!” mengingatkan Bunga. Tapi terlambat, Wiro telah keburu
mengerahkan ilmu melihat tembus pandang ke dalam perut Sri Paduka Ratu.

“Bunga, aku… aku bisa melihat lebih jelas. Itu gulungan Pedang Naga… Ah!” Satu kekuatan tak
terlihat tiba-tiba muncul menerpa Pendekar 212.

Wiro terjajar lalu terjengkang di tanah. Kepala bergetar sakit seperti mau rengkah! Mata terasa
sangat perih. Dia coba menggosok. Ketika matanya dibuka kembali dia tersentak kaget. Dia
hanya melihat kegelapan. “Celaka! Aku tak bisa melihat apa-apa! Buta! Aku buta!”

Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa panjang.

Bunga cepat dekati Wiro. Mengusap kedua matanya dengan tangan kiri. “Cepat berdiri. Kau
hanya buta sementara. Kerahkan hawa sakti pada dua matamu. Sesaat lagi penglihatanmu akan
pulih!”

Apa yang dikatakan Bunga benar adanya.

Hanya selang beberapa ketika setelah dia mengerahkan tenaga dalam dan aliran hawa sakti
pada kedua matanya, dia sudah mampu melihat seperti semula. “Gila…” ucap Wiro sambil
mengusap keningnya yang keringatan.

“Bunga, kita menghadapi satu kekuatan yang sulit ditandingi…”

“Aku sudah tahu jauh sebelumnya. Aku sudah bilang padamu. Kekuatan alam gaib itu berpusat
di rumah putih. Di dalam rumah putih penghuninya adalah manusia pocong perempuan ini.

Seperti diriku dia datang dari alam roh. Namun dia datang dibekali kesesatan. Dialah sumber
dan pusat segala kekuatan ilmu kesaktian di tempat ini. Tapi dia berada di bawah kendali
seseorang.

Hampir pasti si pengendali adalah Ketua Barisan Manusia Pocong. Selain itu ingat, kita harus
menemukan satu batu pipih hitam. Dugaanku benda itu berada di tangan penguasa lorong
kematian. Jika batu tidak berhasil dirampas, kejahatan yang sama dapat terulang kembali.”

“Mana dia sang ketua. Aku belum melihat batang hidungnya…”

“Mungkin dia tidak akan pernah muncul. Dia cukup mengendalikan Sang Ratu untuk menghabisi
kita. Sebelum itu terjadi kita harus sanggup menghancurkan kekuatannya. Kekuatan itu hanya
bisa dihancurkan jika kau menikahi manusia pocong yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Kita tak punya waktu banyak. Ikuti aku!”
Bunga lalu menarik tangan Wiro, melangkah ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Wakil
Ketua yang berada di dekat tempat itu cepat menghadang. Sepasang mata berkilat pada Wiro
Sableng.

Wiro balas memperhatikan. Dari potongan tubuh orang ini Wiro segera tahu kalau dia adalah
manusia pocong yang muncul menebar asap beracun di dalam lorong. Wiro cepat alirkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari disiapkan.

Manusia pocong di hadapan Wiro tertawa perlahan. “Kalaupun kau punya sepuluh tangan dan
menghantamkan sepuluh pukulan Sinar Matahari sekaligus, kau tak akan mampu
mengalahkanku. Sayang nyawamu sudah ada yang punya. Kalau tidak, saat ini kepalamu tidak
ada lagi di atas leher!”

“Omongan hebat! Tapi siapa percaya ucapan manusia jelek macam kau. Yang hanya berani
melepas hawa beracun lalu kabur! Aku menduga ilmumu hanya secetek comberan. Tapi
bermulut besar karena mendapat lindungan dan andalan ilmu kesaktian dari pocong betina ini.”

Di balik kain putih penutup kepala, rahang manusia pocong menggembung. Nafasnya
mendengus. Tubuh bergeletar. Lima jari tangan kiri kanan ditekuk sampai mengeluarkan suara
berkeretek.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lekas pergi kerumah panggung beratap ijuk hitam! Jangan keluar
kalau tidak ada yang memberi perintah.

Monyet-monyet kesasar ini serahkan padaku.”

“Wakil Ketua, beraninya kau memerintah diriku? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”

“Perintah itu berasal dari Yang Mulia Ketua! Apa kau berani membantah?”

“Ha… ha! Monyet berjubah putih ini Wakil Ketua rupanya!” Tiba-tiba Wiro berseru.

“Oala!” menimpali Gondoruwo Patah Hati yang tegak di samping Dawa Tuak. Si kakek masih
saja mengusap-usap bumbung bambu di pangkuannya. “Wakil sudah muncul! Ketuanya mana?”

“Mungkin lagi berak!” menyahuti Naga Kuning lalu tertawa cekikikan.

“Ckkk… cekk… cekkk!” Wakil Ketua berdecak leletkan lidah. “Luar biasa beraninya kalian
berbicara! Apakah cukup berani menghadapi kematian?”

“Ckk… ckkk… ckkk!” Naga Kuning balas berdecak. “Bagaimana kalau kita mati barengan?!”

“Bocah jahanam! Kau akan kubunuh duluan!” teriak Wakil Ketua.


“Mati barengan boleh saja,” ujar Wiro. “Tapi mahluk setan ini harus lebih dulu menunjukkan di
mana perempuan-perempuan muda itu disekap.

Di mana Anggini, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu!”

Wakil Ketua yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya karena diamuk amarah mendorong
bahu Yang Mulia Sri Paduka Ratu. “Tunggu apa lagi? Lekas pergi ke rumah panggung ijuk hitam!
Itu perintah Yang Mulia Ketua!”

“Rumah busuk itu! Tempat para bayi dan ibunya mati dibunuh! Mengapa aku harus ke sana?”
Tanya Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

“Tempat kediamanku adalah rumah putih ini. Rumah Tanpa Dosa!”

“Sri Paduka Ratu! Jangan kau berani menolak perintah Yang Mulia Ketua.”

Tapi Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak perdulikan bentakan Wakil Ketua. Sekali berkelebat
tubuhnya melayang mengikuti tangga putih setengah lingkaran. Secara aneh pintu putih
terbuka.

Sosok Sri Paduka Ratu lenyap ke dalam rumah putih. Pintu putih tertutup kembali.

Sesaat sebelum Sri Paduka Ratu masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kematian keluarkan suitan nyaring dua kali berturut-turut. Tak
selang berapa lama, tiga manusia pocong berkelebat di tempat itu. Salah seorang di antara
mereka kelihatan robek kain penutup kepalanya di bagian leher dan ada noda darah di jubah.

“Pocong bangsat satu itu yang menyerang kita di dalam lorong. Yang dikoyak lehernya oleh
Jatilandak. Gila. Masih hidup dia!” ucap Naga Kuning.

Manusia pocong keempat muncul dengan tubuh huyung langkah terseok-seok seperti mau
jatuh. Dari mulutnya keluar suara ha… hu… ha… hu tiada henti. Tangan kanan diacung-acungkan
ke atas. Sungguh aneh penampilan manusia pocong satu ini dibanding dengan teman-teman
nya yang lain, yang bergerak serba cepat dan bersikap galak ganas.

Sesaat kemudian dari atas rumah panggung serba putih mengumandang suara nyanyian.

10

KEHIDUPAN muncul secara aneh

Kematian datang tidak disangka


Di dalam bukit batu

Ada seratus tiga belas lorong

Siapa masuk akan tersesat

Tidak ada jalan keluar

Sampai kematian datang menjemput

Di dalam lembah

Ada Rumah Tanpa Dosa

Inilah tempat tenteram bagi mahluk tidak berdosa

Bendera Darah lambang kematian

Tiada daya menentang ajal

Darah suci bayi yang dilahirkan

Pembawa kehadiran Nyawa Kedua

Sambungan hidup insan tak bernyawa

Di dalam lorong ada kesepian

Di dalam kesepian ada kehidupan

Di dalam lorong ada kesunyian

Di dalam kesunyian ada kematian

Di halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua memaki dalam hati. “Ratu gila! Dalam keadaan
seperti ini masih sempat-sempatnya menyanyi!”

Wakil Ketua berpaling kepada tiga manusia pocong yang ada di seberang sana lalu berteriak.

“Bunuh bocah, nenek, dan gadis itu. Si gondrong biar aku yang menangani!”

Begitu perintah berucap, tiga manusia pocong segera berkelebat.

Wakil Ketua berpaling pada manusia pocong yang muncul dengan langkah terseok-seok.
“Kau!” teriak Wakil Ketua. “Tugasmu membunuh kakek yang memegang bumbung bambu!
Lakukan cepat!”

“Gawat!” ucap Bunga. “Ikuti aku! Kita harus segera masuk ke dalam rumah putih. Pernikahan
harus segera dilangsungkan!”

“Empat manusia pocong itu hendak menghabisi kawan-kawan! Bagaimana mungkin kita
meninggalkan mereka?”

“Wiro, ini keadaan yang terpaksa harus kita hadapi. Harus ada yang berkorban demi
musnahnya malapetaka rimba persilatan. Kalau kita bertindak terlambat tak ada yang bisa
ditolong.

Nyawamupun tidak akan terselamatkan!”

“Aku memilih menghadapi mahluk-mahluk keparat itu. Aku akan menghajar Wakil Ketua itu
lebih dulu!”

“Jangan tolol! Ikuti aku! Siapkan setanggi yang aku berikan padamu!” Habis berkata begitu
Bunga cekal lengan kanan Wiro. Tahu-tahu Wiro merasakan dirinya melesat ke udara. Bunga
berkelebat ke arah pintu putih. Sementara dari dalam rumah putih kembali terdengar suara Sri
Paduka Ratu kembali menyanyi.

Braakkk!

Bunga dan Wiro tersungkur di depan pintu.

Tadi Bunga mencoba menjebol pintu itu dengan tendangan kaki kanan. Ternyata pintu tidak
bergeming. Malah dia dan Wiro jatuh terbanting di depan tangga.

“Luar biasa!” ucap Bunga. Wajah putih pucatnya tampak keringatan. Gadis dari alam roh ini
keluarkan kantong berisi serbuk setanggi lalu ditebar di papan pintu. Di dalam rumah suara
nyanyian terputus. Berganti jeritan panjang menyerupai setengah raungan setengah tangisan.

Rumah putih bergoncang keras. Genta bergoyang keluarkan suara membahana.

Di halaman rumah putih Wakil Ketua terkesiap ketika melihat bagaimana Bunga dan Wiro
mampu melesat ke atas Rumah Tanpa Dosa. Selama ini, termasuk dirinya dan juga Ketua
Barisan Manusia Pocong, tak mampu naik ke atas bangunan putih itu. Konon, siapa saja
manusia yang telah tersentuh dosa tidak mungkin bisa berada di atas rumah putih. Lalu apakah
gadis berkebaya putih dan Pendekar 212 Wiro Sableng merupakan insaninsan tanpa dosa?
Bubuk apa yang ditebarkan gadis bermuka sepucat mayat itu? Memikir sampai ke situ Wakil
Ketua berteriak pada manusia pocong keempat yang masih tertegun-tegun di sebelah sana.
Padahal tadi sudah diperintahkan membunuh Dewa Tuak.

“Tua bangka sial! Lupakan kakek itu! Tugasmu sekarang adalah masuk ke dalam Rumah Tanpa
Dosa. Selamatkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dari dua penyusup! Bawa ke dalam rumah
panggung beratap ijuk! Cepat laksanakan! Yang Mulia Paduka Ratu akan memberi kekuatan
padamu!”

Selarik cahaya kuning melesat dari arah rumah putih itu lalu membungkus manusia pocong
yang dimaki tua bangka sial. Mahluk ini balikkan badan. Keadaannya mendadak sontak
berubah.

Sekali dia menggenjotkan kaki, sosoknya melesat sebat ke udara, melayang di atas tangga putih
setengah lingkaran. Namun hampir sampai di bagian atas tangga, tiba-tiba ada satu kekuatan
menolak kehadirannya. Kekuatan ini menghantam tubuhnya begitu rupa hingga terpental dan
jatuh terguling-guling di tangga, terbanting ke tanah.

“Gila!” maki Wakil Ketua dengan mata mendelik tak percaya. “Ratu memberi kekuatan, tapi kini
dia sendiri yang menghantam. Aku mengira kakek itu bersih dari segala dosa. Dosa apa yang
dimilikinya di masa muda?”

Sementara itu, di depan pintu putih Rumah Tanpa Dosa.

“Sekarang Wiro!” kata Bunga begitu selesai menebarkan bubuk setanggi di pintu putih.

Keduanya mundur beberapa langkah lalu samasama menghantam dengan pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Wuuut! Wuuuut!

Braakkk!

Pintu putih Rumah Tanpa Dosa hancur berantakan. Bunga dan Wiro melompat masuk.

Begitu sampai di dalam keduanya menjadi kaget.

Walau di luar terang benderang namun cahaya tidak mampu menembus masuk ke dalam. Dan
sungguh tidak terduga. Bagian dalam Rumah Tanpa Dosa ternyata kelam gelap gulita!
Jangankan melihat keadaan sekeliling. Tangan di depan matapun tidak kelihatan! Dalam
keadaan seperti itu ada suara menggerung dari salah satu bagian bangunan. Bunga mencium
bahaya. Wiro merasa tegang luar biasa. Sebenarnya dari beberapa orang sakti yang pernah
ditemuinya, Wiro mendapat ilmu mampu melihat lebih terang dalam gelap.
Namun saat ini kemampuan ilmu itu tidak sanggup menembus kegelapan. Dia kerahkan Ilmu
Menembus Pandang dari Ratu Duyung. Juga siasia!

Bunga sendiri yang telah lebih dulu mencoba mengandalkan ilmu tembus pandangnya juga tak
berdaya. Tiba-tiba gadis dari alam roh ini ingat.

“Wiro, pupuri mukamu dengan bubuk setanggi!”

Kedua orang itu segera mengambil setanggi yang mereka bawa lalu membedaki wajah
masingmasing.

Saat itu juga suara menggerung dari salah satu sudut rumah berubah menjadi teriak
kemarahan. Ada letupan-letupan keras disertai dengan memancarnya bunga api. Dan luar
biasanya, di saat itu pula ruang dalam Rumah Tanpa Dosa yang tadinya gelap gulita kini menjadi
terang benderang. Memandang ke sudut kanan ruangan, Wiro terkesiap kaget. Bunga
mengerenyit memandang tajam. Keduanya sama tersurut satu langkah.

Mahluk roh yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu tegak di sudut ruangan, di atas tebaran
puluhan batu sebesar tinju, merah menyala!

Cahaya kuning tipis membungkus sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.

“Gila! Bagaimana mungkin! Jubahnya tidak terbakar, kakinya tidak melepuh menginjak batu
api!” ucap Wiro.

“Tenang, Wiro. Jangan pikiranmu dikacaukan oleh apa yang kau lihat!” bisik Bunga.

Di sudut ruangan Sri Paduka Ratu memandang ke langit-langit ruangan, meraung panjang lalu
raungan berganti dengan suara tawa cekikikan.

Bunga tidak menunggu lebih lama.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, aku datang membawa pengantin lelaki calon suamimu. Upacara
pernikahanmu dengan pemuda bernama Wiro Sableng ini harus dilaksanakan saat ini juga!”

Suara tawa Yang Mulia Sri Paduka Ratu terhenti. Tapi cuma sebentar. Gelak tawanya disambung
kembali. Lebih keras dari tadi. Tibatiba sang Ratu hentakkan kaki kanan. Belasan batu merah
menyala sebesar tinju melesat ke arah Wiro dan Bunga!

11

BUNGA berseru keras, melesat ke udara sambil ubah ujudnya menjadi asap.

Sembilan batu menyala menyambar ganas.


Wutt! Wutt!

Wuss! Wusss!

Bunga terpekik. Dua buah batu menyerempet kebaya putih gadis alam roh itu di bagian bahu
kanan dan lengan kiri.

Di bagian lain Wiro yang juga berusaha selamatkan diri dengan melompat sambil melepaskan
pukulan tangan kosong juga berteriak kaget.

Tujuh batu menyala menyambar ke arahnya. Tiga berhasil dikelit, dua dipukul mental. Batu
keenam menyambar selangkangan celananya hingga hangus bolong.

Tengkuk sang pendekar merinding. “Sedikit lagi ke atas amblas perabotanku!” katanya dalam
hati.

Namun dia tidak bisa merasa lega. Karena batu ketujuh melesat ke samping kiri kepala.
Rambutnya yang gondrong serta merta berkobar. Kalang kabut Wiro berhasil memadamkan
nyala api yang membakar rambutnya.

Semua batu yang tidak mengenai sasaran menghantam dinding Rumah Tanpa Dosa. Tujuh
lobang hitam kelihatan di dinding putih.

“Wiro! Lekas keluarkan ilmu Angin Es. Batu menyala itu harus dipadamkan! Aku akan
menghadang kalau sang Ratu menyerang!”

Ilmu Angin Es adalah salah satu dari sekian banyak ilmu kesaktian yang didapat Wiro dari Eyang
Sinto Gendeng. Dengan cepat dia rangkapkan dua tangan di atas dada. Sepasang mata menatap
tajam ke tebaran batu-batu bernyala.

Settt!

Tangan yang dirangkapkan dibuka, telapak tangan yang bergetar diarahkan pada batu-batu
menyala. Serta merta Rumah Tanpa Dosa dikungkung hawa dingin sekali. Satu persatu batu
menyala menjadi padam mengepulkan asap dingin seolah berubah menjadi es! Namun belum
sampai setengah dari puluhan batu itu dipadamkan, Yang Mulia Sri Paduka Ratu berteriak
keras. Bahunya digoyangkan. Cahaya kuning yang menutupi tubuhnya melesat ke arah Bunga
dan Wiro.

“Tebarkan setanggi!” teriak Bunga Dua tangan serta merta menebarkan bubuk setanggi. Selain
menebar bubuk setanggi, Bunga juga melemparkan sekuntum kembang kenanga ke arah Sri
Paduka Ratu. Yang di arah adalah urat besar di pangkal leher sebelah kiri. Jelas maksudnya
untuk melumpuhkan lawan dengan cara menotok. Sang Ratu mendengus. Lalu membuat sikap
sengaja memasang badan. Kembang kenanga menembus kain putih penutup kepala lalu
dengan telak menghajar urat besar di pangkal leher kiri!

“Lumpuh!” ucap Bunga dalam hati.

Tapi Sang Ratu justru keluarkan tawa mengikik.

Dess!

Kembang kenanga mencelat mental, berbalik menyerang pada pemiliknya! Tidak menduga akan
mendapat serangan balik begitu rupa Bunga terpekik kaget. Dan terlambat mengelak. Untung
saja kembang kenanga hanya menyerempet dan menggores sedikit pipi kirinya.

Letupan-letupan keras disertai percikan bunga api memenuhi Rumah Tanpa Dosa.
Perlahanlahan Yang Mulia Sri Paduka Ratu turun dari tumpukan batu menyala.

“Wiro, serahkan padaku gulungan kain putih! Cepat!”

Pendekar 212 Wiro Sableng jadi sibuk memeriksa ke balik pinggang pakaian. Untung benda
yang diminta Bunga masih terselip di bawah kipas kayu cendana milik Nyi Roro Manggut yang
harus diserahkannya pada Kakek Segala Tahu. Wiro cepat berikan gulungan kain putih pada
Bunga.

Gadis dari alam roh buka gulungan kain yang berada dalam keadaan basah. Begitu gulungan
terbuka dia segera membaca baris-baris tulisan yang tertera di situ.

Batas antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan

Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa akan menimbulkan bencana malapetaka di mana-
mana

Jika kehidupan kedua tidak dimusnahkan rimba persilatan akan kiamat

Dalam kiamat tangan-tangan jahat akan jadi penguasa

Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan

Nyawa tiada artinya lagi

Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi Tumbal penyelamat

Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan,

nikahkan dia dengan…


Setiap kalimat yang dibacakan Bunga membuat Yang Mulia Sri Paduka Ratu undur selangkah
demi selangkah. Dada berdebar, tubuh melemas.

Hati kacau, pikiran galau. Dari balik penutup kepala terdengar suara nafas memburu. Lalu
berubah jadi suara sesenggukan. Namun sebelum Bunga sempat menyelesaikan membaca
seluruh tulisan yang tertera di kain putih basah, tiba-tiba dari pintu yang terpentang lebar
melesat satu bayangan putih.

“Hanya perintah Yang Mulia yang harus dilaksanakan! Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Tutup
pendengaranmu! Ikuti aku! Cepat!”

Yang Mulia Sri Paduka Ratu seperti orang baru sadar diri memandang ke arah manusia pocong
yang barusan masuk. Dari suaranya jelas manusia pocong satu ini adalah perempuan. Walau
suara itu agak lain namun Wiro rasa-rasa mengenalinya.

Ketika manusia pocong perempuan membalikkan badan dan menghambur ke pintu, Sri Paduka
Ratu secepat kilat berkelebat mengikuti.

“Wiro! Jangan biarkan mereka kabur!” teriak Bunga.

Pendekar 212 menghadang pocong perempuan yang bergerak ke arahnya. Tanpa ragu murid
Sinto Gendeng ini segera hantamkan satu jotosan ke arah dada orang. Tidak tanggung-tanggung
dia menghantam dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan
keempat dari enam jurus dan ilmu pukulan sakti yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh.

Satu cahaya kuning menderu dari tubuh Sri Paduka Ratu memasuki tubuh manusia pocong.

Bukkk!

Manusia pocong menangkis. Lengan beradu lengan. Tenaga luar dan tenaga dalam manusia
pocong perempuan itu ternyata tidak di bawah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget ketika
bentrokan lengan membuat tubuhnya terangkat ke atas.

Kepala hampir menghantam langit-langit bangunan. Lengan baju putihnya hangus menghitam
dan mengepulkan asap. Lengan itu terasa hancur kutung!

Sambil menahan sakit, di udara Wiro membuat gerakan jungkir balik. Saat melayang turun
tangan kirinya dipukulkan ke batok kepala pocong perempuan. Tapi luput. Tak sengaja dia
hanya mampu menarik tanggal kain putih penutup kepala. Pocong perempuan menjerit keras,
tutupi wajah dengan dua tangan lalu meluncur ke bawah lewat pegangan tangga putih
setengah lingkaran. Lari ke arah lembah di sebelah utara.

Pendekar 212 tersentak kaget.


Walau pocong perempuan itu menutupi wajah dengan kedua tangan namun Wiro masih
sempat mengenalinya.

“Wulan Srindi!” seru Pendekar 212. Benarbenar tak dapat dipercaya!

Di saat yang hampir bersamaan Bunga coba menghadang Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun
kalah cepat. Sri Paduka Ratu melompat ke arah pintu setelah terlebih dulu melesatkan dua larik
cahaya kuning dari sepasang matanya. Cahaya pertama mencuat ke atas, ke arah langit-langit.

Wusss! Bummm!

Satu ledakan dahsyat menggelegar. Atap Rumah Tanpa Dosa serta merta dilamun kobaran api!

Cahaya kuning menyambar ke arah kepala Bunga. Gadis alam roh ini berseru kaget. Cepat
jatuhkan diri sama rata dengan lantai. Di belakangnya sebagian tangga putih setengah lingkaran
hancur berantakan. Kayu-kayu yang berpentalan berubah menjadi kuntungan api. Bunga masih
sempat melihat sosok Sri Paduka Ratu melesat di atasnya. Secepat kilat gadis ini kirimkan
tendangan ke arah kaki lawan.

“Kepandaian cuma sejengkal! Beraninya kau mengadu kekuatan! Rasakan!” Sri Paduka Ratu
balas tendangan dengan tendangan.

Bunga menjerit keras. Tubuhnya terpental jauh, meliuk di udara.

“Bunga!” teriak Wiro. Lalu melompat, cepat menangkap pinggang gadis dari alam roh itu dan
sama-sama jatuh bergulingan di tanah. Wiro bangun duluan dan tersentak kaget ketika melihat
kaki kanan bunga yang tersingkap berwarna hitam kebiruan mulai dari ujung jari sampai ke
betis. Wajahnya sangat pucat. Kedua matanya tertutup.

“Bunga!” seru Wiro sambil pegang bahu si gadis.

Bunga buka sepasang matanya. Astaga! Bagian putih kedua mata si gadis kelihatan hitam
kebiruan.

“Bunga, kakimu, matamu berwarna hitam kebiruan! Kau keracunan! Aku akan menotok jalan
darahmu!” ucap Wiro khawatir.

Bunga memberi tanda dengan mengangkat tangan kanan lalu perlahan-lahan bangun dan
duduk di tanah sambil mulutnya berucap. “Aku tahu…” Si gadis perhatikan keadaan kakinya.

“Ilmu kesaktian mengandung bubuk besi beracun, hanya dimiliki oleh seorang kakek sakti
bernama Ki Wesi Ireng. Pasti pocong betina itu telah merampas ilmu jahat itu dari si kakek
dengan cara menyedot. Aku masih untung punya kekuatan hingga racun tidak menjalar ke
jantung dan otak.

Tapi mataku sakit sekali…”

“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu!” ucap Wiro pula.

“Aku bisa mengobati diriku sendiri. Aku hanya minta agar kau berjaga-jaga. Jangan sampai ada
yang membokong selagi aku memusnahkan racun jahat.”

Wiro cepat berdiri dan segera kerahkan hawa sakti pada kedua tangannya. Di depannya Bunga
menggigit bibir sendiri hingga darah mengucur.

Sebagian dari darah itu disemburkan ke kaki kanannya yang hitam kebiruan. Sebagian lagi
disapukan pada kedua matanya. Asap hitam berbau busuk mengepul keluar dari kaki dan mata.
Ketika kepulan asap sirna, warna hitam kebiruan pada kaki dan matanya ikut lenyap.

Bunga menarik nafas lega. Saat itu dia masih memegang carikan kain putih di tangan kanan.

“Untung kita masih memiliki kain ini. Wiro bantu aku berdiri…”

Selagi Wiro membantu Bunga berdiri tiba-tiba di belakang terdengar satu ledakan dasyat luar
biasa. Wiro jatuhkan diri dan bersama Bunga berguling sejauh mungkin. Di belakang mereka,
Rumah Tanpa Dosa meledak hancur berkepingkeping.

Lidah api, kepulan asap serta serpihan kayu melesat ke udara sampai belasan tombak.

“Aku melihat cahaya tiga warna menghantam rumah putih. Ada yang sengaja menghancurkan
bangunan itu!” kata Bunga pula. Memandang berkeliling Wiro dan Bunga dapatkan asap tebal
menyungkup halaman Rumah Tanpa Dosa. Untuk beberapa saat pemandangan keduanya jadi
terhalang.

“Wiro, kita harus mengejar sang Ratu.

Pernikahanmu dengan dia belum terlaksana!

Rimba persitatan masih dalam bahaya besar!”

“Kalian tidak akan ke mana-mana! Serahkan kain putih itu padaku!”

Satu suara membentak garang. Walau asap tebal namun Bunga masih sempat melihat ada dua
bayangan putih berkelebat. Salah satu menyambar ke arah kain putih yang masih tergenggam
di tangan kanannya.
“Ihhh!”

Bunga terpekik. Kalau tidak cepat dia jatuhkan diri dan berguling di tanah niscaya gulungan kain
putih kena dirampas orang.

Ketika kepulan asap menipis dan keadaan menjadi lebih terang, Wiro dan Bunga dapatkan tiga
manusia pocong berdiri di hadapan mereka.

Dua memiliki badan sama-sama besar, samasama tinggi. Salah satu dari mereka pastilah si
Wakil Ketua. Lalu siapa satunya? Sang Ketua?

Manusia pocong ketiga adalah yang tadi muncul terhuyung-huyung, langkah terseok dan dimaki
dengan sebutan tua bangka sial oleh Wakil Ketua.

“Wiro, tetap waspada. Walau rumah putih sudah hancur tapi sumber segala kekuatan dan
kesaktian masih berpusat di tangan mahluk itu.”

“Bunga, Sang Ratu. Aku mendadak punya firasat aneh… ”ucap Wiro.

“Sekarang bukan saatnya bicara tentang firasat. Kita harus mengejar Ratu. Pernikahan harus
segera dilaksanakan. Tapi aku tidak yakin tiga pocong setan ini akan melepaskan kita begitu
saja. Bersiaplah untuk mengadu jiwa.”

“Kalau aku harus mati di sini apa boleh buat,” jawab Wiro sambil menyeringai dan garuk kepala.

Tiba-tiba salah seorang dari manusia pocong tinggi besar berkata.

“Wakil Ketua lekas kerjakan apa yang tadi aku katakan. Dua cecunguk kesasar mencari mati ini
biar kami berdua yang menangani!”

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!” Wakil Ketua keluarkan ucapan
lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah utara.

“Bunga, apa kau tidak merasa ada keanehan? Dua manusia pocong tinggi besar itu. Yang satu…”

Belum sempat Bunga menjawab, manusia pocong yang disebut tua bangka sial melompat ke
hadapan Bunga. Berusaha merampas gulungan lembaran kain putih. Wiro cepat menghadang.

Perkelahian serta merta pecah di antara mereka.

Walau sebelumnya dia berpenampilan loyo terseok-seok tapi ternyata ketika menggebrak Wiro
manusia pocong itu memiliki kegesitan serta kekuatan luar biasa.
“Wiro, hati-hati… Aku melihat cahaya kuning tipis membungkus tubuhnya. Berarti kekuatan
gaib berbahaya itu masih ada. Melindunginya…”

Manusia pocong tinggi besar melangkah mendekati Bunga. “Aku sudah lama mendengar
kehadiran dan kehebatanmu sebagai seorang gadis dari alam roh. Kau bercinta dengan pemuda
tolol ini. Aku merasa iri. Aku Yang Mulia Ketua, apakah bisa bercinta dan tidur denganmu jika
semua urusan ini selesai. Aku akan membuat kau hidup bahagia di alam nyata ini. Itu lebih baik
bagimu dari pada kembali ke alam asalmu!”

Bunga keluarkan suara mendengus lalu tertawa cekikikan.

“Terima kasih atas pujianmu. Tapi kau salah mengira. Aku datang justru hendak membawamu
ke alam gaib. Di situ rohmu akan tergantung antara langit dan bumi. Kau pasti betah karena
banyak sekali temanmu di sana! Kita berangkat sekarang?”

“Iblis celaka!” bentak Ketua Barisan Manusia Pocong. Didahului dengan melepas satu pukulan
jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi, Sang Ketua menerjang ke arah gadis alam roh itu.

Bunga sambut serangan orang dengan tawa cekikikan. Matanya tidak melihat cahaya kuning
membungkus sosok Sang Ketua. Apakah dia memiliki ilmu kesaktian luar biasa sehingga tidak
perlu mendapat perlindungan dari Yang Mulia Sri Paduka Ratu?

Di lain pihak sebenarnya Wiro ingin menghadapi langsung Ketua Barisan Manusia Pocong 113
lorong kematian itu. Kebenciannya selangit tembus. Bukan saja karena perbuatan kejinya
menculik perempuan-perempuan hamil, tapi karena sampai saat itu dia belum mengetahui di
mana beradanya Anggini, Dewa Tuak, serta Kakek Segala Tahu. Namun Pendekar 212 keburu
mendapat serangan anak buah Sang Ketua. Dan ternyata kepandaian manusia pocong yang
terlihat loyo ini sungguh luar biasa. Jurus-jurus silatnya sangat berbahaya. Kemudian Wiro
mendengar teriakan Bunga.

“Wiro hati-hati! Lawanmu dilindungi kekuatan gaib alam roh!”

Pendekar 212 Wiro Sableng mulai terdesak.

12

SEPERTI diceritakan dalam Bab 10, Wakil Ketua memerintahkan manusia pocong yang dipanggil
dengan sebutan kakek sial untuk membunuh Dewa Tuak yang duduk menjelepok di tanah
sambil usap-usap bumbung bambu. Namun ketika Wiro dan Bunga melesat coba masuk ke
dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua merasa perlu untuk selamatkan sang Ratu lebih dulu.
Anak buahnya itu diperintah untuk menghalangi.
Ter–nyata kekuatan gaib yang keluar dari rumah putih membuat manusia pocong ini terpental
dan jatuh terbanting di tanah. Ini satu pertanda bahwa dia memiliki dosa dan tidak mungkin
masuk ke dalam bangunan putih.

Bangkit berdiri manusia pocong tertawa geli, tepuk-tepuk dan bersihkan debu serta tanah yang
melekat di jubah putihnya.

Setelah Rumah Tanpa Dosa meledak hancur berkeping-keping, manusia pocong itu
diperintahkan untuk merampas kain putih yang ada dalam pegangan Bunga. Namun Wiro
menghadang dan selanjutnya terjadi perkelahian hebat. Wiro terdesak.

Sementara Wiro bertempur melawan manusia pocong, Yang Mulia Ketua berhadapan dengan
Bunga.

Di bagian lain Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati bertempur tak kalah hebat melawan tiga
manusia pocong. Seorang di antaranya adalah yang lehernya sempat digigit Jatilandak.

Kita ikuti dulu perkelahian antara Wiro dengan manusia pocong yang disebut kakek sialan.
Beberapa kali jotosan atau tendangan nyaris mendarat di tubuh Wiro, padahal gerakan lawan
walau gesit dan cepat tapi kelihatan gerabak-gerubuk tak karuan. Seringkali dia melihat lawan
mengangkat kepala menatap ke langit, seperti memasang telinga.

Wiro walau telah keluarkan seluruh kepandaian silatnya tetap saja terdesak hebat. “Gendeng!
Aku seperti berhadapan dengan orang gila tapi punya selangit ilmu kepandaian!”

Akhirnya murid Sinto Gedeng memutuskan untuk hadapi lawan dengan ilmu silat yang
didapatnya dari Tua Gila. Jurus-jurus silat Tua Gila memang aneh. Gerakannya seperti orang
mabok atau orang gila, namun sangat mantap dalam melancarkan serangan dan bertahan
membentengi diri.

Manusia pocong lawan Pendekar 212 tiba-tiba keluarkan tawa mengekeh. “Lihat serangan!”
serunya sambil kepala mendongak ke atas. Begitu dia merangsak maju, terkejutlah murid Sinto
Gendeng. “Gila! Bagaimana mungkin! Dia menyerang dengan jurus-jurus yang aku mainkan!”

Wiro mundur menjaga jarak namun entah bagaimana tahu-tahu lawan sudah berada di
samping kiri. Siap menghantamkan satu jotosan.

Begitu Wiro berkelit sambil balas menghantam dengan pukulan Dewa Topan Menggusur
Gunung, manusia pocong lenyap dan mendadak telah berada di samping kanan melancarkan
serangan cepat tak terduga. Tangan kiri menggelung pinggang, tangan kanan menjotos ke arah
kepala!

“Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa!”


seru Wiro kaget. Jurus serangan yang dilancarkan lawan adalah salah satu dari jurus silat Tua
Gila!

Wiro cepat jatuhkan diri ke bawah sambil sodokkan sikut ke perut manusia pocong. Dia berhasil
selamatkan diri. Lawan tertawa mengekeh. Wiro garuk kepala. “Bagaimana mungkin!
Janganjangan manusia ini Tua Gila.” Pikir Pendekar 212.

Lalu dia berseru. “Pocong setan, siapa kau sebenarnya?”

Yang ditanya tertawa mengekeh. “Siapa aku itulah yang aku tidak tahu,” jawabnya lalu menatap
ke langit, kepala dimiringkan.

Untuk pertama kali Wiro menatap tajam ke arah dua lobang kain penutup kepala, di belakang
mana terletak sepasang mata manusia pocong.

Wiro tersentak. Dua mata orang itu dilihatnya putih. Buta!

“Astaga! Kek! Kakek Segala Tahu! Kaukah ini?”

Dalam kaget dan ajukan pertanyaan Wiro berlaku lengah. Pukulan Kilat Menyambar Puncak
Gunung juga merupakan jurus silat Tua Gila, mendarat di perutnya dengan telak. Tak ampun
lagi murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Jatuh terbanting di tanah, mengerang
kesakitan dan kucurkan darah kental dari mulutnya. Beberapa benda yang disimpan di balik
pinggang pakaiannya jatuh ke tanah. Salah satu di antaranya adalah kaleng rombeng milik
Kakek Segala Tahu.

Seperti diketahui, kaleng ini ditemukan Wiro di suatu tempat dalam perjalanan menuju 113
Lorong Kematian. Ketika tubuhnya didorong jatuh dalam jurang, kaleng ini kemudian dilihat
Wiro mengapung di permukaan telaga lalu diambilnya.

Untuk beberapa lama Wiro tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Mata terbelalak memandang
langit. Bernafas saja sekujur tubuhnya terasa sakit. Sambil tertawa mengekeh, si manusia
pocong melangkah mendekati Wiro.

“Tamat riwayatku!” ucap Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti untuk
bisa membebaskan diri dari rasa sakit dan kaku yang membuat tubuhnya seperti ditotok.

Tak sengaja kaki manusia pocong menendang kaleng yang tergeletak di tanah hingga
mengeluarkan suara berkerontangan. Sepasang mata si kakek mendelik, berputar ke kiri ke
kanan. Lalu dia melangkah sambil kaki kanan dijulur-julurkan lebih dulu, mencari kaleng yang
tadi tertendang.
Saat itu Wiro sudah mampu bergerak. Sambil pegangi perut yang masih sakit, dia berusaha
bangkit. Kaleng rombeng diambil lalu melangkah mendekati manusia pocong. Tahu dirinya
didatangi musuh, si manusia pocong segera siap

hendak menghantam.

“Kek, tahan seranganmu!” teriak Wiro. Kaleng butut di tangan kanan diangkat tinggi-tinggi lalu
digoyang kuat-kuat. Suara kerontangan keras menggema di tempat itu.

Si manusia pocong dongakkan kepala. Mata putih berputar. “Bunyi setan apa itu?” Mulutnya
berucap.

“Kek, kalau kau memang Kakek Segala Tahu, kau pasti tahu benda apa ini. Ini kaleng rombeng
milikmu!” Wiro lalu lemparkan kaleng ke arah manusia pocong yang secara acuh tak acuh
menangkapnya dengan tangan kiri. Kaleng didekatkan ke hidung lalu terdengar suaranya
mendengus berulang kali.

“Bau tai kotok! Benda jelek! Tapi lucu juga untuk mainan! Ha… ha… ha!” Manusia pocong ini
lalu tinggalkan Wiro begitu saja sambil tangannya tiada henti menggoyang kaleng yang
dipegang.

Suara gelegar kaleng rombeng menggetarkan semua kuping yang ada di tempat itu.
Membahana jauh sampai ke dalam lembah.

Sambil bersihkan darah yang mengotori pipi dan dagunya Wiro pandangi manusia pocong yang
berjalan ke arah lembah. “Walau suaranya berubah lain, aku yakin dia Kakek Segala Tahu.

Hanya dia yang mampu menggoyang kaleng hingga menimbulkan suara seperti itu. Tapi
bagaimana mungkin dia tidak mengenali kaleng kesayangannya sendiri? Bau tahi kotoklah!
Malah dia menghajarku begini rupa! Sesuatu terjadi dengan dirinya. Apakah dia sudah dicekoki
minuman pencuci otak seperti yang terjadi pada Rana Suwarte dan Hantu Muka Dua sebelum
tenaga dalam dan kesaktiannya disedot?”

Wiro ingat pada kipas kayu cendana titipan Nyi Roro Manggut yang dipesan harus diserahkan
pada Kakek Segala Tahu. Dia segera hendak mengejar manusia pocong berwarna putih itu,
namun terpaksa batalkan niat karena pada saat itu dilihatnya Naga Kuning dan Gondoruwo
Patah Hati berada dalam bahaya, terdesak hebat oleh keroyokan tiga manusia pocong. Yang
paling berbahaya adalah manusia pocong yang lehernya digigit Jatilandak. Agaknya dia
mendapat kekuatan perlindungan lebih besar dari dua pocong lainnya.

Untuk menghadapi serangan ganas tiga lawan yang mendapat kekuatan serta perlindungan
tenaga gaib dari alam roh yang bersumber dari Yang Mulia Sri Paduka Ratu, Gondoruwo Patah
Hati sengaja keluarkan ilmu barunya yang disebut Ilmu Kuku Api. Dalam rimba persilatan tanah
Jawa, ilmu langka ini sangat ditakuti, terutama oleh para tokoh silat golongan hitam. Sepuluh
kuku jarinya yang berwarna hitam berubah menjadi merah. Setiap sepuluh jari dijentikkan,
sepuluh larik sinar merah menderu angker dan ganas. Jangankan manusia, batu besarpun bisa
dibuat bolong sebelum hancur hangus berkepingkeping.

Namun tak satu larikpun sinar merah mampu mengenai sosok tiga manusia pocong. Kekuatan
gaib yang melindungi mereka membuat sepuluh serangan sinar melenceng ke mana-mana!

Penuh geram si nenek berambut kelabu bermuka seram ini pusatkan serangan pada dua
manusia pocong yang dianggap lebih rendah ilmu kepandaiannya dan pocong yang pernah
mencelakai Jatilandak. Dengan Lima Jari Langit si nenek berhasil menotok salah satu dari
mereka. Namun selagi dia hendak menghantam manusia pocong kedua dengan Pukulan Batu
Naroko, manusia pocong yang tadi ditotok telah bergerak kembali.

Rupanya dia punya kemampuan untuk memusnahkan totokan si nenek yang selama ini tidak
mungkin dilakukan oleh pendekar manapun.

Sesuai namanya totokan, Lima Jari Langit bukan cuma memutus jalan darah pada satu titik atau
dua titik tertentu. Tapi pada lima titik sekaligus!

Terkejut karena tidak menyangka lawan masih bisa lepas dari totokannya, Gondoruwo Patah
Hati berlaku lengah. Nyaris dada si nenek hampir kena hantam jotosan manusia pocong kedua
kalau tubuhnya tidak cepat ditarik oleh Naga Kuning.

“Gunung,” ucap Gondoruwo Patah Hati menyeru nama asli Naga Kuning. “Rasanya kita tidak
bisa bertahan lama. Saatnya kau mengeluarkan Naga Hantu Langit Ke Tujuh.”

“Aku sudah mencoba tadi. Sia-sia…” jawab Naga Kuning. “Kekuatan gaib yang menguasai
tempat ini sungguh luar biasa! Padahal kau saksikan sendiri bangunan putih itu sudah hancur!”

“Bangunan itu hanya merupakan tempat kediaman. Sumber segala kekuatan dan kesaktian ada
di tangan penghuninya, Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Barusan dia kabur mengikuti seorang gadis
yang lari menjerit-jent sambil tutupi wajahnya. Aku rasa-rasanya pernah melihat gadis itu.” Si
nenek hentikan ucapannya. Menatap-sayu ke wajah Naga Kuning. Naga Kuning balas
memandang. Wajah si nenek sesaat terlihat dalam ujud aslinya. Perempuan muda berkulit
putih cantik. Si nenek pegang tangan Naga Kuning.

“Gunung, apakah kita akan mati bersama di tempat ini?”

“Jangan bicara seperti itu!” jawab Naga Kuning.

“Pasti ada cara untuk menghadapi dan mengalahkan mereka! Segala mahluk jahat boleh punya
sejuta kuasa dan kesaktian. Tapi Gusti Allah adalah yang paling kuasa dan paling sakti.”

“Gunung, agaknya kita memang bakalan menemui ajal di tempat ini…”


“Eh, mengapa kau bicara ngacok seperti itu?”

“Biasanya orang baru ingat Tuhan ketika kematian menampakkan diri…” jawab Gondoruwo
Patah Hati.

“Intan, kau membuat aku merinding! Kita harus berusaha. Harus mencari akal. Mencari jalan.”

“Sebelum menemukan jalan, kita sudah konyol duluan!” ucap Gondoruwo Patah Hati. Naga
Kuning tercekat bingung.

13

SERANGAN tiga manusia pocong semakin menggila. Agaknya sepasang kekasih Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati hanya mampu bertahan dua tiga jurus saja.

“Gunung, sementara mencari akal, bagaimana kita mencari selamat lebih dulu?” Gondoruwo
Patah Hati berkata sambil jentikkan sepuluh jarinya ke arah manusia pocong yang menyerbu
dari samping kiri.

“Apa yang ada dalam benakmu?” Tanya Naga Kuning.

“Aku akan menabur asap penutup pandang.

Kita ambil kesempatan untuk bersembunyi dulu di satu tempat…”

Sebelum Naga Kuning sempat menjawab, Wiro telah berkelebat mendatangi. Dia tahu sekali
Naga Kuning si bocah konyol bukan anak sembarangan.

Bocah ini sesungguhnya adalah seorang kakek sakti. Lalu si nenek Gondoruwo Patah Hati
merupakan momok perempuan yang ditakuti orang-orang rimba persilatan golongan hitam
karena ilmunya yang tinggi.

“Aku tidak yakin tiga manusia pocong itu memiliki kemampuan ilmu silat tinggi. Mereka
mendapat perlindungan dan bantuan kekuatan gaib alam roh…” Wiro meraba pinggang celana
di mana masih tersimpan kantong kain berisi setanggi pemberian Bunga. “Tadi kulihat Sang
Ratu melarikan diri ke arah utara sana. Jelas-jelas sumber kekuatan itu datang dari dirinya. Aku
harus memotong jalur…”

“Kawan-kawan, bertahan terus. Aku akan membantu!” teriak Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng
ini melesat ke udara. Sambil melayang turun dia sebarkan bubuk setanggi di udara. Pada
ketinggian tertentu dari tanah, tiba-tiba bubuk setanggi pancarkan bunga api disertai suara
letupan-letupan hebat. Tubuh Wiro bergoncang keras, lalu ada rasa sakit seolah dicengkeram
tangan raksasa. Wiro kerahkan tenaga dalam jungkir balik satu kali. Walau berhasil turun di
tanah namun dia hampir terbanting jatuh duduk.

Dadanya berdenyut sakit. Mata terasa perih! Cepat dia atur alirkan darah dan kerahkan hawa
sakti lalu bangkit berdiri.

Di kejauhan terdengar suara orang berteriak marah. Gerakan tiga manusia pocong yang tengah
mendesak hebat Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mendadak terlihat aneh dan berubah
lamban.

“Ini saatnya!” pikir Wiro. Dia melompat ke arah manusia pocong yang mencelakai Jatilandak.

Serangan pertama berupa pukulan ke arah kepala dapat dielakkan lawan. Wiro membuat
gerakan berputar setengah lingkaran. Kaki menendang ke arah punggung lawan. Tahu
bahayanya serangan, manusia pocong melompat ke atas. Punggungnya memang selamat
namun kini tendangan Wiro mendarat di bagian tubuh yang lain.

Kraakk!

Tendangan menghantam telak di pinggang manusia pocong. Tulang pinggang patah berderak.

Tubuh manusia pocong terpental hampir satu tombak. Jatuh tertelungkup di tanah. Tak mampu
bergerak.

“Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati, tunggu apa lagi! Habisi mereka!” teriak Wiro sambil
berlari ke tempat manusia pocong yang tergeletak mengerang di tanah.

Mendengar teriakan Wiro, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati tersentak sadar. Si nenek
segera jentikkan sepuluh jari. Manusia pocong di seberang sana coba balikkan badan siap untuk
melarikan diri. Namun kasip. Begitu sepuluh sinar merah melabrak, tubuhnya berubah jadi
saringan.

Darah memancur dari sepuluh lobang menganga akibat hantaman Ilmu Kuku Api! Sesaat
kemudian tubuh manusia pocong itu meledak. Potongan daging dan serpihan tulang
berpelantingan ke udara. Luar biasa mengerikan.

Manusia pocong ketiga tidak berusaha kabur.

Rupanya dia tidak menyadari kalau saat itu hubungannya dengan sumber pemberi
perlindungan dan kekuatan telah terputus karena terhalang oleh bubuk setanggi yang tadi
ditebar Wiro. Mahluk satu ini justru menerjang ke arah Naga Kuning dengan satu serangan
maut berupa pukulan sakti jarak jauh. Tapi setengah jalan gerakannya berubah gontai.

“Apa yang terjadi dengan diriku?” Manusia pocong bertanya cemas pada diri sendiri.
Saat itulah Naga Kuning menyerbu dengan pukulan Naga Murka Merobek Langit. Selarik sinar
biru melesat keluar dari tangan kanan Naga Kuning. Membeset tubuh manusia pocong hingga
mengepulkan asap. Manusia pocong ini masih bisa menjerit satu kali, lalu roboh ke tanah tanpa
nyawa lagi! Naga Kuning hampiri mayat manusia pocong lalu tarik kain penutup kepala.
Kelihatan satu wajah angker berwarna biru. Rambut, kumis, dan berewok jadi satu, awut-
awutan, juga berwarna biru. Dua mata mencelet. Yang sangat menyeramkan ialah mukanya
nyaris terbelah seperti dibacok golok besar.

“Siapa bangsat ini? Kau mengenalinya?” Tanya Naga Kuning.

Wiro menggeleng.

Gondoruwo Patah Hati buka suara. “Setahuku dia dijuluki Iblis Siluman Biru. Berasal dari tanah
Jawa sebelah barat.

Yang Mulia Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian yang tengah bertempur melawan Bunga
tersentak kaget. “Apa yang terjadi? Tiga Satria Pocong dihajar begitu mudah? Apa Ratu tidak
memberikan perlindungan?”

Saat itu Wiro telah sampai di dekat manusia pocong yang dihantamnya dengan tendangan
hingga patah pinggang dan tergeletak mengerang di tanah. Dengan tangan kiri dia menarik
lepas kain putih penutup kepala manusia pocong.

“Gila! Apa aku tidak salah lihat?” ucap Wiro setengah berseru, sementara Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati mendatangi.

“Astaga! Wiro! Bukankah manusia ini Sidik Mangkurat, Adipati Magetan?” ucap Naga Kuning
setengah berseru.

“Geblek betul dia mau-mauan jadi kaki tangan komplotan manusia pocong!” rutuk Gondoruwo
Patah Hati.

“Pasti dia salah satu dari sekian banyak tokoh korban penculikan.” Kata Wiro. Dia mencangkung
di samping sosok manusia pocong yang tengah sekarat dan dikenal sebagai Adipati Magetan
itu.

Wiro raba urat besar di leher sang Adipati. Masih ada denyutan halus pertanda masih hidup.
Wiro lalu telentangkan tubuh Adipati itu.

“Adipati, apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa mau-mauan kau menjadi anggota barisan
manusia pocong?”
Sidik Mangkurat menatap kuyu ke arah Pendekar 212. Mulutnya terbuka. Dia berucap, tapi
bukan menjawab pertanyaan Wiro. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.

Hanya Yang Mulia Ketua seorang…”

“Setan alas! Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya mengucapkan kata-kata edan itu!”

Plaak!

Setelah memaki, Wiro tampar keras-keras muka Sidik Mangkurat. Bibir pecah, mulut terbatuk-
batuk beberapa kali.

“Aku diculik. Aku dicekoki minuman setan.

Yang Mulia Ketua inginkan aku mendapatkan kembali cambuk sakti Pecut Sewu Geni yang
dirampas Kiai Teguh Pambudi dari Banten. Itu sebabnya aku dibiarkan hidup. Diberi kekuatan
ilmu kesaktian. Aku…”

Tiba-tiba ada cahaya kuning memancar dari kaki Adipati Sidik Mangkurat. Cahaya itu perlahan-
lahan naik ke atas.

“Wiro awas! Dia dapatkan kembali kekuatan pelindungnya!” Teriak Gondoruwo Patah Hati.

Apa yang dikatakan si nenek betul adanya.

Ketika Wiro menebar setanggi, hubungan antara Sidik Mangkurat dengan pelindungnya yaitu
Yang Mulia Sri Paduka Ratu terputus. Namun begitu setanggi sirna dan baunya lenyap,
hubungan kembali tersambung.

“Hantam sekarang sebelum kekuatannya pulih penuh!” teriak Naga Kuning.

Wiro langsung menggebuk kepala Sidik Mangkurat dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam
Tanah. Ini adalah pukulan keenam dari enam pukulan sakti pemberian Datuk Basaluang Ameh
yang termaktub dalam Kitab Putih Wasiat Dewa.

Bukkk!

Praaakkk!

Kepala Adipati Sidik Mangkurat pecah. Darah, daging, otak, dan tulang batok kepala muncrat
mengerikan. Wiro sendiri sampai merinding mau muntah, mundur beberapa langkah. Keadaan
Adipati Magetan itu tidak beda seperti mayat tanpa kepala. Karena walau kepalanya hancur,
tubuhnya yang sudah sempat dialiri cahaya kuning masih mampu bergerak, malah berdiri
kembali.
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati ikutan menghantam Sidik Mangkurat, namun
terlambat.

Pukulannya mendarat setelah tubuh Sidik Mangkurat mendapat perlindungan cahaya kuning.

Begitu dipukul, kekuatan gaib yang ada pada tubuh tanpa kepala itu berikan perlawanan. Naga
Kuning dan si nenek terpental satu tombak. Dada mendenyut sakit, aliran darah kacau balau.
Masih untung keduanya tidak cidera.

“Edan! Sulit dipercaya!” kata Naga Kuning sambil usap-usap dada.

Sosok Sidik Mangkurat tegak agak terbungkuk.

Berputar beberapa kali lalu melangkah ke arah barat.

Menyaksikan apa yang terjadi atas diri Sidik Mangkurat, Ketua Barisan Manusia Pocong yang
tengah menempur Bunga jadi bergetar nyalinya.

Lebih-lebih sewaktu Wiro, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati melangkah mendatanginya.

“Kalian mengaku pendekar rimba persilatan.

Apakah begitu pengecut hendak mengeroyokku beramai-ramai? Sungguh memalukan!”

Naga Kuning berkacak pinggang. “Jangan coba menipu kami dengan bicara seperti orang gagah!
Silahkan pilih salah satu di antara kami!”

14

BUNGA berbisik pada Wiro. “Kita harus mengejar sang Ratu sebelum dia menghilang atau
dihilang–kan. Aku rasa Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati sanggup menghabisi pocong
satu ini. Ayo ikuti aku.”

Wiro menggeleng. “Bangsat satu ini bagianku! Dia harus mati di tanganku…”

“Kalau dia adalah Ketua Barisan Manusia Pocong, sebelum kau bunuh harus lebih dulu bisa
mengorek keterangan di mana beradanya Anggini, Kakek Segala Tahu, dan perempuan-
perempuan hamil yang diculik…”

“Aku mengerti.” jawab Wiro. “Bunga, aku tidak melihat ada cahaya kuning membungkus tubuh
manusia pocong satu ini. Coba kau periksa. Aku khawatir salah melihat keliru menduga.”
Bunga segera menatap tajam-tajam sosok Ketua Barisan Manusia Pocong. Mulai dari kepala
sampai ke kaki. Lalu berbisik. “Memang tidak ada cahaya kuning melindunginya. Tapi aku
melihat dia memiliki dasar ilmu silat dan kesaktian tinggi.

Cukup sulit bagimu untuk menghadapinya seorang diri. Apa lagi jika sampai ada kiriman
kekuatan gaib ke dalam tubuhnya. Terus terang aku khawatir. Aku akan meminta Gondoruwo
Patah Hati menemanimu. Aku dan Naga Kuning segera mengejar sang Ratu. Kau masih memiliki
persediaan bubuk setanggi?” Wiro mengangguk.

“Jika tubuh lawanmu memancarkan cahaya kuning, taburkan bubuk setanggi ke tubuhnya.”

Wiro mengangguk lagi. “Pergilah cepat. Hatihati.

Ada satu permintaanku…”

“Apa?” Tanya Bunga.

“Apapun yang terjadi, jika kalian bertemu gadis bernama Wulan Srindi itu, jangan kalian bunuh
dia.”

Bunga tersenyum. “Kau mencintainya?”

Wiro tertawa lebar. “Ini urusan budi dibalas budi. Kau tahu hatiku. Kau banyak menolong…”

“Jangan khawatir Wiro. Gadis itu akan aku jaga baik-baik. Tapi satu hal aku ingatkan. Dia bukan
pasangan yang baik untukmu.” Habis berkata begitu, Bunga tarik tangan Naga Kuning.

Begitu kedua orang itu pergi, Ketua Barisan Manusia Pocong batuk-batuk. “Kalian rupanya
masih punya harga diri, walaupun cuma sedikit.

Jadi sekarang yang namanya Pendekar 212 Wiro Sableng dan nenek jelek ini yang harus aku
layani?”

“Mahluk setan! Kalau kau merasa tampangmu segagah dewa di kayangan, lebih bagus dari
wajahku, mengapa tidak berani unjukkan muka?

Jangan-jangan mukamu bopengan, bibir sumbing, gigi tonggos!”

Didahului tawa cekikikan Gondoruwo Patah hati langsung menyerang dengan jurus Lima Cakar
Langit. Tangan kiri berkelebat ke arah kepala sang ketua. Lima kuku hitam siap merobek.

Yang Mulia Ketua mendengus dari balik kain penutup kepala. Dia sengaja tidak membuat
gerakan mengelak. Tapi tiba-tiba tangan kiri menyusup ke dada si nenek dalam gerakan luar
biasa cepatnya. Kalau si nenek meneruskan serangan, walau dia mampu merobek kain kepala
atau wajah sang ketua, namun dia sendiri tidak akan sanggup mengelakkan jotosan yang
mengarah dadanya itu!

“Nek, awas. Mundur cepat!” teriak Wiro yang menyaksikan kejadian berbahaya itu.

Gondoruwo Patah Hati memang dengan cepat berusaha selamatkan diri. Tapi dia tidak
mengikuti ucapan Wiro. Nenek ini bukan melompat mundur melainkan berkelebat ke samping
sambil sapukan lima jari tangan kirinya yang berkuku hitam ke arah perut Sang Ketua.

“Perempuan setan!” maki Yang Mulia Ketua.

Dengan terpaksa kini dia harus melompat mundur menghindari serangan lima kuku jari yang
sanggup merobek perut membusai usus.

“Nek, cukup kau bermain-main dengan setan pocong ini. Biar kini aku yang menghadapi!” Wiro
berseru lalu melompat ke hadapan Sang Ketua.

Manusia pocong ini memperhatikan Pendekar 212 dari kepala sampai ke kaki. Lalu berkacak
pinggang dan tertawa gelak-gelak.

“Pendekar sinting! Kalau mau berkelahi melawanku ganti dulu celanamu yang robek! Apa kau
sengaja mau mempertontonkan barangmu?

Ha… ha… ha!”

Wiro terkejut. Memandang ke bawah dia melihat celananya memang robek besar di bagian
selangkangan. Yaitu akibat sambaran batu menyala serangan Sri Paduka Ratu sewaktu di rumah
putih tadi.

“Gila! Dari tadi rupanya perabotanku nongol. Kenapa tidak ada teman yang memberitahu?

Sialan!” Maki Wiro. Dia segera tanggalkan baju putihnya. Bagian depan ditutupkan ke bawah
perut, bagian belakang diikat erat-erat.

Tawa bergelak Yang Mulia Ketua serta merta berhenti begitu Wiro menerjang dan langsung
menghantam dengan jurus-jurus serangan mematikan. Baku hantam selama lima jurus Sang
Ketua mulai merasa tekanan lawan.

“Kurang ajar. Manusia ini masih saja perkasa. Aku harus mengeluarkan pukulan andalan.

Atau…”

Dalam keadaan seperti itu ada suara mengiang di telinga kiri sang Ketua. “Lekas datang ke
rumah panggung atap ijuk!”
Untuk dapat lolos dari kurungan serangan Pendekar 212, Yang Mulia Ketua membuat dua
gerakan kilat. Pertama menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi lalu menebar asap beracun.

Ketika Wiro dan Gondoruwo Patah Hati terpaksa mundur menjauh, Sang Ketua pergunakan
kesempatan untuk tinggalkan kalangan pertempuran. Wiro berteriak marah dan memburu
nekad.

Sepuluh langkah di depan sana Yang Mulia Ketua berhenti dan balikkan badan. Tangan kiri
diangkat. Dari balik lengan jubah kiri terdengar suara halus. Sreett! Ketika tangan kiri
dipukulkan maka cahaya tujuh warna menyambar dahsyat ke arah Wiro. Jangankan Wiro yang
diserang, Gondoruwo Patah Hati yang menyaksikan kejadian itu ikut tercekat kaget.

Sambil jatuhkan diri berlutut di tanah, Pendekar 212 sambut serangan ganas Yang Mulia Ketua
dengan Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih menyilaukan disertai hamparan hawa panas
berkiblat di udara. Cahaya tujuh warna amblas berhamburan sedang cahaya putih Pukulan Sinar
Matahari terpental ke udara, menimbulkan ledakan beberapa kali.

Wiro terpental. Si nenek coba menahan agar pemuda itu tidak jatuh. Namun daya pentalan
demikian deras sehingga kedua orang itu terguling-guling di tanah. Ketika gulingan berhenti, si
nenek berada di bawah, Wiro di atas. Dan entah bagaimana bibir keduanya saling bertempelan
satu sama lain. Si nenek pejamkan mata seolah menikmati hal itu. Wiro cepat berdiri sambil
hendak menyeka bibirnya yang basah, tetapi Gondoruwo Patah Hati cepat memegang
tangannya dan berkata.

“Awas kalau kau berani mengusap bibirmu.

Apa bibirku begitu menjijikkan? Mulutku bau?”

Wiro menggeleng. “Nek…”

“Dengar. Ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan dada jika tidak aku katakan
padamu. Kalau saja aku tidak keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu, kaulah yang
jadi penggantinya.” Si nenek bicara sambil memagut leher Wiro hingga murid Sinto Gendeng ini
tak bisa berdiri. Wiro terkejut bukan kepalang.

“Nek, kau ini bicara apa. Lepaskan pelukanmu.”

Si nenek tersenyum. Pelukannya malah makin diperkencang. Wajahnya didekatkan ke muka


Wiro. Saat itu Wiro bukan melihat wajah tua berkeriput angker, tapi wajah seorang perempuan
cantik berkulit putih. Sang pendekar tidak mampu mengelak ketika Gondoruwo Patah Hati
mengecup bibirnya kembali lekat-lekat dan lama.
“Nek!” Wiro kelagapan.

Wiro tahan bahu Gondoruwo Patah Hati lalu cepat-cepat berdiri. Dia memandang berkeliling.

“Siapa yang kau cari?” Tanya si nenek.

“Kalau sampai ada orang melihat apa yang kau lakukan tadi, kita berdua bisa celaka!” Pandang
Wiro membentur Dewa Tuak yang saat itu masih duduk menjelepok di tanah sambil terus
mengusap-usap bumbung bambu di pangkuannya.

“Bagaimana kalau kakek itu melihat apa yang kau lakukan?” ucap Wiro.

“Apa yang kita lakukan, bukan apa yang aku lakukan,” kata si nenek pula sambil tersenyum
membuat wajah Pendekar 212 bersemu merah.

“Kau tak usah khawatir. Kakek itu terlalu sibuk dengan bumbung bambunya. Mana sempat dia
memperhatikan kita. Wiro, apa yang lalu ya sudah. Aku tak akan mengkhianati Naga Kuning
lebih dari itu.”

Memandang berkeliling, Yang Mulia Ketua Barisan Pocong ternyata tidak ada lagi di tempat itu.

Si nenek lalu balikkan tubuh dan lari ke arah utara. Wiro mengikuti beberapa langkah di
belakang. Tangan kanan bergerak hendak menyeka bibirnya yang tadi dikecup lumat-lumat oleh
si nenek. Tapi di saat yang sama Gondoruwo Patah Hati menoleh ke belakang. Wiro turunkan
tangan, tak jadi mengusap bibirnya.

“Sial!” rutuk Pendekar 212 sambil garuk kepala.

Ketika melewati Dewa Tuak yang duduk di tanah dan masih terus mengusapi bumbung bambu
di pangkuannya, Wiro mendengar kakek itu tertawa perlahan. Murid Sinto Gendeng acuh saja.

Tapi dia jadi kaget ketika mendengar si kakek berucap.

“Enak mana minum tuak sama minum bibir.

Hik… hik… hik.”

Wiro garuk kepala habis-habisan. “Nenek sialan! Nenek sialan!” maki Wiro sambil meludah
berulang kali.

15

SEBELUM mendorong masuk Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke dalam rumah panggung beratap
ijuk hitam melalui pintu paling ujung kiri, Wakil Ketua berpaling pada Wulan Srindi. “Sementara
kami di dalam, tugasmu menjaga di luar. Jangan perbolehkan siapapun masuk ke dalam. Beri
tanda jika ada bahaya mengancam. Sebentar lagi akan ada beberapa Satria Pocong datang
mem–bantumu.”

Wulan Srindi yang masih mengenakan jubah putih tanpa kain penutup kepala membungkuk
dalam-dalam.

“Perintah Wakil Ketua akan saya perhatikan.” Ucap gadis yang sewaktu berada di dinding batu
dekat jurang bersama Hantu Muka Dua secara tiba-tiba ditarik masuk ke dalam lorong oleh
seorang manusia pocong melalui pintu rahasia.

Tidak lama Sri Paduka Ratu dan Wakil Ketua masuk ke dalam rumah panggung beratap ijuk
hitam, dari arah pedataran batu di seberang rumah panggung muncul dua orang. Yang pertama
gadis cantik bermata biru yang bukan lain

adalah Ratu Duyung. Di sampingnya melangkah seorang manusia pocong yang tubuhnya
menebar bau pesing. Jubahnya tampak basah.

“Siapa kalian?” bentak Wulan Srindi.

“Gadis comel! Jangan berlaku galak kepada kami! Aku anggota Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian, mengenakan jubah dan penutup kepala utuh! Kau masih berani
mempertanyakan diriku? Aku yang layak bertanya siapa dirimu?

Mana kain penutup kepalamu?”

Wulan Srindi terdiam sesaat. Namun kembali balas membentak. “Anggota Barisan Manusia
Pocong tidak ada yang bau pesing sepertimu! Kau manusia pocong palsu!”

“Kurang ajar berani menghina! Siapa yang ada di dalam rumah panggung!”

“Itu bukan urusanmu!” jawab Wulan Srindi.

Dia menatap tajam pada Ratu Duyung. “Aku banyak mendengar cerita tentang dirimu.

Bukankah kau yang dipanggil dengan sebutan Ratu Duyung?”

“Terima kasih kau mengenali diriku. Sekarang mari kita bersahabat. Katakan siapa di dalam
rumah.”

“Aku bilang itu bukan urusanmu! Lekas berlalu dari tempat ini!”
Ratu Duyung tersenyum. Dia kerahkan ilmu menembus pandang dan jadi terkejut ketika
melihat di dalam rumah kayu ada dua manusia pocong. Satu lelaki satu perempuan. Ratu
Duyung berbisik pada manusia pocong di sampingnya.

“Layani gadis itu, aku akan menerobos masuk ke dalam rumah panggung!”

Baru saja Ratu Duyung hendak bergerak, sekonyong-konyong muncul seorang manusia pocong,
melangkah terseok-seok tapi tahu-tahu sudah sampai di depan rumah panggung. Tangan kanan
memegang kaleng rombeng. Ketika kaleng itu digoyang, menggema suara berkerontang luar
biasa kerasnya. Si kakek tertawa ha-ha hi-hi.

“Kakek Segala Tahu! Manusia pocong satu ini pasti dia. Lihat matanya yang putih!” Berseru Ratu
Duyung.

Manusia pocong itu masih terus tertawa. Tibatiba dia berkelebat ke arah manusia pocong yang
datang bersama Ratu Duyung langsung menyerang.

“Pocong sialan! Kau berani menyerang kawan sendiri!”

“Kalau kau memang kawanku, buka kain penutup kepala! Mungkin ada baiknya mulutmu
kusumpal dengan kaleng rombeng ini!”

Ratu Duyung berkata pada manusia pocong bau pesing. “Aku harus segera masuk ke dalam
rumah. Kau terpaksa melayani manusia pocong yang membawa mainan kaleng rombeng dan
gadis itu…”

“Tunggu, ada yang datang!” ucap manusia pocong bau pesing.

Sesaat kemudian muncul Naga Kuning bersama Bunga.

Ratu Duyung segera menghampiri. “Di dalam rumah ada pocong lelaki hendak mencabuli
pocong perempuan…” Ratu Duyung memberi tahu.

“Bunga, ikut aku menyerbu ke dalam.”

Bunga terkejut mendengar kata-kata Ratu Duyung. “Pasti Wakil Ketua dan Sri Paduka Ratu.

Tapi bagaimana mungkin?”

“Sri Paduka Ratu? Siapa dia? Mana Wiro?” Tanya Ratu Duyung pula.

“Nanti kujelaskan. Ada yang janggal. Tapi yang jelas Wakil Ketua tengah berusaha hendak
menyedot tenaga dalam dan seluruh kesaktian sang Ratu dengan cara mesum! Kita harus
mencegah sebelum hal itu terjadi! Malapetaka besar bagi rimba persilatan!”
“Kalau begitu apa yang kita tunggu?” Ratu Duyung, Bunga, dan Naga Kuning siap untuk
menerobos masuk ke dalam rumah panggung berpintu dua belas. Namun pada saat itu muncul
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong.

“Seharusnya dia yang melakukan hal itu. Mengapa Wakil Ketua…?” membatin Bunga.

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!” Wulan Srindi dan manusia pocong
yang memegang kaleng rombeng pentang suara keras.

Yang Mulia Ketua menatap ke arah manusia pocong di samping Ratu Duyung.

“Kau bukan anak buahku! Unjukkan tampangmu manusia pocong penipu!” Habis berkata begitu
Yang Mulia Ketua kebutkan lengan jubah kiri.

Sreett. Ada suara halus seperti benda bergesek.

Lalu, wuuttt! Tujuh cahaya angker menderu ke arah manusia pocong bau pesing. Yang diserang
berseru kaget. Pancarkan air kencing, jatuhkan diri tunggang langgang. Ratu Duyung cepat
keluarkan cermin saktinya. Selarik sinar menyilaukan membabat ke arah sinar tujuh warna.
Walau selamat tapi kain penutup kepala manusia pocong bau pesing itu kena disambar hingga
terlepas mental dan hangus jadi bubuk di udara.

Yang Mulia Ketua tertawa tergelak begitu melihat tampang kakek berkepala botak yang salah
satu daun telinganya terbalik.

“Setan Ngompol! Bukankah itu nama panggilanmu?”

Terkencing-kencing si kakek yang memang Setan Ngompol adanya bangkit berdiri. “Mahluk
terkutuk! Giliranmu unjukkan tampang!”

Setan Ngompol menghantam dengan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit. Sambil
menyerang sambil pancarkan air kencing.

Yang Mulia Ketua ganda tertawa. Dia melompat ke udara setinggi dua tombak lalu kembali
kebutkan lengan jubahnya. Pada saat tujuh cahaya menderu ke arah Setan Ngompol, manusia
pocong yang memegang kaleng rombeng serta Wulan Srindi ikut menyerbu. Naga Kuning dan
Ratu Duyung tidak tinggal diam, cepat membantu memapaki serangan lawan dengan melepas
pukulan sakti. Di saat yang sama dari arah samping belakang berkiblat cahaya putih perak dan
lima larik sinar merah.

Blaar!

Bummm!
Halaman rumah panggung laksana diguncang gempa ketika beberapa pukulan sakti beradu di
udara. Setan Ngompol terbanting ke tanah. Kencingnya muncrat ke mana-mana. Wulan Srindi
menjerit, jatuh terduduk dengan muka pucat.

Tubuhnya gemetar. Yang Mulia Ketua sesaat tampak tergontai-gontai. Hanya manusia pocong
yang memegang kaleng rombeng masih tegak terbungkuk dan tertawa ha-ha hi-hi.

Dalam keadaan seperti itu Wiro dan Gondoruwo Patah Hati sampai pula di tempat itu.

“Syukur kalian cepat datang. Kita bisa membagi tugas.” Kata Bunga. “Aku dan Ratu Duyung
serta Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati akan menyerbu masuk ke dalam rumah. Wiro,
kau bersama Setan Ngompol menghadapi tiga orang itu!”

Ketika Bunga melirik ke arah manusia pocong yang memegang kaleng rombeng, dia melihat ada
cahaya kuning membungkus sosok orang itu.

“Celaka! Apakah kekuatan kiriman itu masih bersumber dari sang Ratu, atau hasil sedotan
Wakil Ketua yang ada di dalam rumah. Berarti dia sudah sempat…”

Tidak tunggu lebih lama Bunga segera melesat, melabrak salah satu pintu rumah panggung.
Ratu Duyung, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati segera menyusul melakukan hal yang
sama.

***

Bagian dalam rumah kayu panggung yang memiliki dua belas pintu itu menebar bau busuk yang
menyengat. Lantai dan dinding penuh dengan noda darah yang telah mengering. Hanya ada
dua perabotan di dalam rumah kayu itu.

Sebuah meja kecil di atas mana terletak sebuah bokor perak serta dua bilah pisau besar berlapis
darah kering. Lalu sebuah tempat tidur beralas kain merah yang juga penuh dengan noda darah
yang telah mengering.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kita tidak punya waktu banyak. Aku membawamu ke tempat ini
untuk menyelamatkan dirimu dari tangan jahat mahluk alam roh yang menyusup. Cepat
tanggalkan seluruh pakaianmu. Naik ke atas tempat tidur!”

“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Dan kau bukan Yang Mulia Ketua.

Kau hanya Wakilnya!”

“Jangan banyak bicara! Yang Mulia Ketua memerintahkan aku melakukan tugas ini!”
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa perlahan.

“Apa yang ingin kau lakukan? Wakil Ketua, rasanya ada kelainan dengan…”

“Jangan membuat aku tidak sabar. Tanggalkan seluruh pakaianmu. Naik ke atas tempat tidur!”

“Wakil Ketua, sekali lagi aku bertanya. Apa yang hendak kau lakukan?”

“Aku ingin menyetubuhimu!”

“Apa? Kau lupa! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Kau hendak menyedot
tenaga dalam dan ilmu kesaktianku dengan jalan menyetubuhiku! Kau mahluk keji pengkhianat!

Kau ingin merebut kekuasaan! Kau hendak menguasai 113 Lorong Kematian!”

Wakil Ketua habis sabarnya. Dari balik jubah putih dia keluarkan sebuah benda. Benda ini
ternyata adalah sebuah batu pipih hitam berukuran satu jengkal persegi. Inilah Aksara Batu
Bernyawa.

Yang Mulia Sri Paduka Ratu tersurut mundur. Di balik kain penutup kepala wajahnya berubah
pucat.

“Setahuku batu sakti itu berada di tangan Yang Mulia Ketua. Katakan siapa kau sebenarnya!”

“Kalau kau masih banyak mulut, roh tumpangan nyawa keduamu akan aku kembalikan ke alam
asal! Kau akan menderita sengsara selama jagad terbentang. Jika kau menurut, kau akan jadi
pendamping abadiku di alam ini!”

Di luar terdengar suara berkerontangan kaleng keras sekali. Lalu suara bentakan-bentakan
disusul suara perkelahian.

“Aku akan melaporkan perbuatanmu ini pada Yang Mulia Ketua!”

Ada dentuman dahsyat di luar sana yang membuat rumah panggung bergetar hebat.

“Bagus! Sekarang terima kematianmu!” Wakil Ketua angkat tinggi-tinggi Aksara Batu Bernyawa
lalu didekatkan ke muka Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Hawa sangat panas memancar dari batu
sakti. Sri Paduka Ratu cepat melangkah mundur.

Kakinya tertahan pada ujung tempat tidur. Sekali Wakil Ketua mendorong, sang Ratu jatuh
tertelentang di atas tempat tidur kayu. Wakil Ketua cepat letakkan Aksara Batu Bernyawa di
atas kening Sri Paduka Ratu. Batu tipis kecil seolah sebuah batu besar menghimpit kepalanya
sehingga Sri Paduka tidak mampu bergerak. Tiba-tiba ada cahaya kuning memancar di tubuh Sri
Paduka Ratu.
“Kalau kau nekad mengeluarkan kesaktianmu, kau akan hancur bersama Aksara Batu
Bemyawa.”

Cahaya kuning di tubuh Sri Paduka Ratu meredup. Melihat Sri Paduka Ratu mulai tidak berdaya
dan berada di bawah kuasanya, Wakil Ketua segera mengambil Aksara Batu Bernyawa,
menyimpan benda ini di saku jubahnya, lalu

dengan gerakan sangat cepat dia membuka kancing-kancing serta ikat pinggang di bagian
depan jubah Sang Ratu.

“Wakil Ketua, aku ingin kau menanggalkan jubahmu juga. Juga kain penutup kepalamu…”

“Ahhh. Akhirnya kau meminta juga…”

“Apakah aku boleh membuka kain penutup kepalamu?”

“Jangan lakukan itu!”

Wakil Ketua tanggalkan jubah yang dikenakannya. Jubah diletakkan di tepi tempat tidur. Namun
dia tidak mau menanggalkan kain putih penutup kepalanya. Ketika dia hendak naik ke atas
tempat tidur, di luar rumah kembali terdengar dentumandentuman keras. Rumah panggung
bergoyanggoyang.

Wakil Ketua merutuk dalam hati. Tak ada waktu untuk berpikir. Dia harus melanjutkan dan
menyelesaikan pekerjaan saat itu juga. Pada saat perbuatan keji itu hampir terlaksana tiba-tiba
empat dari dua belas pintu rumah panggung terpentang hancur berantakan.

16

EMPAT orang berkelebat masuk. Tiga langsung menerjang ke arah Wakil Ketua yang berada
dalam keadaan bugil. Hanya kain putih yang masih menutup kepalanya. Yang seorang lagi
selamatkan Sri Paduka Ratu dengan cara menariknya dari atas tempat tidur lalu dilarikan ke luar
rumah. Wakil Ketua coba menghalangi, tapi tiga serangan yang datang menghantam tidak
mungkin dibiar–kan begitu saja. Bahkan Wakil Ketua tidak sempat mengambil jubah di mana di
dalam salah satu kantongnya tersimpan Aksara Batu Bernyawa. Ketika dia masih nekad
berusaha hendak mengambil jubah itu, satu tendangan menghajar tangannya yang terjulur.

Wakil Ketua mengeluh tinggi lalu berteriak marah. “Manusia-manusia jahanam! Aku mengadu
jiwa dengan kalian!”

Wakil Ketua putar tubuhnya satu lingkaran penuh. Sambil berputar tangan kiri kanan melepas
dua pukulan sakti yang luar biasa hebatnya.
Tiga larik sinar berwarna kuning, hitam, dan merah menderu dari tangan kanan. Bersamaan
dengan itu tangan kiri mengebut gelombang angin panas.

“Lekas menyingkir!” teriak Bunga. Sri Paduka Ratu ada dalam panggulannya. Dia melesat ke kiri
melabrak dinding kayu hingga jebol. Di bagian lain Naga Kuning, Ratu Duyung, serta Gondoruwo
Patah Hati mencari jalan selamat sendiri-sendiri.

Hanya sesaat setelah orang-orang itu berada di luar rumah panggung, bangunan itu meledak
hebat. Atap runtuh, dinding ambruk. Dua belas tiang kayu penyangga rumah hancur. Lidah api
mencuat sampai lima tombak. Samar-samar, tak ada satu orangpun yang sempat melihat, satu
sosok melesat ke udara dan lenyap.

Bunga membawa Sri Paduka Ratu sejauh mungkin dari reruntuhan rumah panggung. Di satu
tempat ketika baru saja dibaringkan di tanah, tiba-tiba Sang Ratu keluarkan suara tawa
bergelak, dan, buukkk! Bunga terpental. Pertengahan dadanya terasa hancur. Cairan biru
meleleh di sela bibirnya.

“Gadis sesat dari alam roh! Selamat jalan ke alam kematian kedua!” Yang Mulia Sri Paduka Ratu
angkat kaki kanannya yang memancarkan cahaya kuning. Kaki itu dihujamkan ke perut Bunga.
Bunga tahan kaki yang hendak menginjak dengan tangan kanan sementara tangan kiri dengan
cepat mengeluarkan setanggi, lalu diusapkan keras-keras ke kaki kanan sang ratu.

Desss! Wusss!

Sri Paduka Ratu menjerit keras. Kaki kanannya melepuh sampai sebatas mata kaki. Namun luar
biasa hebatnya, sebentar saja kaki itu pulih kembali begitu ada cahaya kuning membungkus.

Bunga bergulingan di tanah. Di tempat yang dirasakannya cukup aman dia cepat berdiri lalu
berteriak ke arah Pendekar 212 yang saat itu tengah bertempur melawan Yang Mulia Ketua
Barisan Manusia Pocong sementara Naga Kuning dan Setan Ngompol menghadapi manusia
pocong yang pergunakan kaleng rombeng sebagai senjata.

Dari telinga Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak mengalir cairan merah. Darah! Kedua
orang ini lama-lama tidak sanggup menahan kerasnya suara kerontangan kaleng. Jika nekad
terus menghadapi manusia pocong itu, gendanggendang telinga mereka pasti pecah!
Gondoruwo Patah Hati yang melihat kejadian itu segera terjun ke kalangan pertempuran
membantu Naga Kuning dan Setan Ngompol.

“Wiro! Cepat kemari!” Bunga berteriak.

Pendekar 212 menjadi bingung. Saat itu dia tengah bertempur habis-habisan menghadapi Yang
Mulia Ketua. Untung Ratu Duyung cepat melompat seraya berkata. “Lekas temui Bunga.

Biar aku yang menghadapi manusia puntung neraka ini!”


Yang Mulia Ketua tertawa. “Gadis cantik bermata biru. Apa untungnya kau bertempur
melawanku. Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Mencari tempat lain yang baik untuk menjalin
kasih!”

“Ajakan mesummu aku terima! Tapi harap kau mau menerima bingkisan tanda kasih ini terlebih
dahulu,” sahut Ratu Duyung pula. Sepasang mata birunya membesar berkilat. Kepala
disentakkan.

Wuuuss! Wuuss!

Dua larik sinar biru melesat keluar dari sepasang mata Ratu Duyung. Yang Mulia Ketua
tersentak kaget. Cepat kebutkan lengan jubah kirinya. Cahaya tujuh warna menderu menangkis
serangan Ratu Duyung.

Wusss! Bumm!

Dua kekuatan sakti bentrokan di udara menimbulkan gelegar dentuman keras. Baik Ratu
Duyung maupun Yang Mulia Ketua sama-sama tergontai. Ratu Duyung pulih lebih dulu. Gadis
dari samudera selatan ini berkata, “Tujuh Sinar Pelangi! Aku tahu siapa dirimu!”

Yang Mulia Ketua terkesima. “Aku harus membunuh gadis ini atau kabur dari sini.” Katanya
dalam hati.

***

Ketika Wiro sampai di hadapannya, Bunga segera keluarkan kain putih yang disimpannya di
balik dada pakaian. Lalu dia dekati Yang Mulia Sri Paduka Ratu sambil pentang kain putih di
depan kain penutup kepala. Sri Paduka Ratu mundur dua langkah. Sepasang mata mendelik.
Ketika dia membuat gerakan seperti hendak menyerang, Bunga keluarkan bubuk setanggi lalu
dengan cepat membaca keras-keras tulisan yang tertera di atas kain putih.

Yang Mulia Sri Paduka Ratu meratap halus ketika bacaan Bunga sampai pada kalimatkalimat

Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat

Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan, nikahkan dia dengan seorang perjaka

Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang laki-laki, nikahkan dia dengan seorang perawan

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral

Dalam kesakralan ada kesucian


Dalam kesucian ada jalan untuk selamat

Maka, kematian abadi,

akan menjadi jalan keselamatan

Yang Mulia Sri Paduka Ratu tercekat, letakkan dua tangan di bawah leher lalu mundur sampai
punggungnya tertahan batang pohon. Dari balik kain penutup kepala terdengar suara tarikan
nafas panjang yang berubah menjadi suara sesenggukan.

Bunga berpaling pada Wiro.

“Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu?”

Wiro garuk kepala dan berbisik. “Bunga, ini pernikahan bohong-bohongan bukan?”

“Jangan konyol! Ini soal keselamatan umat rimba persilatan termasuk dirimu sendiri!” Bunga
membentak halus. “Aku akan bertanya sekali lagi.

Jawab saja kau bersedia.” Wiro garuk kepala lalu mengangguk.

“Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu?”

“Siap, aku bersedia.” Jawab Wiro menatap tak berkesip pada Sang Ratu dan sambil garuk-garuk
kepala.

Bunga berpaling pada Sri Paduka Ratu.

“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng?”

Sang Ratu keluarkan suara mendesah. Menarik nafas panjang. Melirik ke kain putih dan
setanggi di tangan Bunga. Menatap Wiro.

“Aku menerima nasib. Aku bersedia.” Sang Ratu akhirnya keluarkan ucapan. Lalu sesenggukan
seperti menahan tangis.

Bersamaan dengan selesainya ucapan sang Ratu tiba-tiba di langit kilat menyambar. Suaranya
menggelegar sampai ke dalam tanah.
“Petir di siang bolong…” ucap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berpaling ke arah Sri Paduka
Ratu. Tepat pada saat itu, sosok Sang Ratu yang tersandar ke pohon kelihatan bergoncang
keras.

Mulut keluarkan jeritan keras menggidikan. Dari ubun-ubun, liang telinga, lobang hidung, dan
mulut, melesat keluar asap kelabu, lalu hitam, biru, dan terakhir asap merah, menembus kain
putih penutup kepala yang berubah menjadi hitam legam! Seluruh tenaga dalam dan semua
kesaktiannya musnah sudah!

Sekali lagi, insan malang yang sebenarnya sudah lama meninggal itu menjerit keras. Setelah itu
perlahan-lahan tubuhnya terkulai lemas.

Sebelum jatuh, Wiro cepat memeluk sosok Sang Ratu, duduk di tanah dan membaringkannya di
atas pangkuannya.

“Wiro. Sekarang apakah kau tidak ingin melihat wajah istrimu?” Tanya Bunga. Habis berkata
begitu gadis alam roh ini lalu tinggalkan kedua orang itu.

Perlahan-lahan Wiro menarik lepas kain putih bermahkota yang telah menjadi hitam yang
selama ini menutupi kepala Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

Tersembul satu wajah cantik tapi pucat. Ada guratan luka di pipi kiri. Sepasang alis hitam
menekuk menaungi dua mata yang terpejam.

Pendekar 212 berteriak keras ketika mengenali wajah itu.

“Puti Andini! Ahhh… jadi kau rupanya. Ya Tuhan. Mengapa semua ini bisa terjadi. Kasihan
sekali… Kasihan sekali…” Sepasang mata Pendekar 212 berkaca-kaca.

Kepalanya ditundukkan hingga hidungnya menyentuh kening gadis yang selama hidupnya
dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Gadis ini pula yang pernah menyelamatkan Wiro
dari racun jahat yang hampir menamatkan riwayatnya. (Baca: Wiro Sableng — Wasiat Dewa).

Ketika Wiro mengangkat kepalanya, dua mata Puti Andini yang terpejam perlahan-lahan
terbuka. Bening, bagus sekali. Bibir mengukir senyum. Mulut ucapkan suara halus dan mesra.

“Wiro, aku bahagia karena kau mau mengantar diriku ke alam kematian kedua. Selamat tinggal
suamiku…” Bibir merapat, mata kembali terpejam.

Wiro dekap tubuh Puti Andini kuat-kuat ke dadanya. Butiran-butiran air mata jatuh membasahi
pipinya. Suaranya bergetar ketika mengucapkan kata-kata. “Puti, aku bersumpah akan
membunuh orang yang membuatmu sengsara begini rupa.”
Ketika Wiro membaringkan jenazah Puti Andini kembali ke atas pangkuannya, mata sang
pendekar menjadi silau oleh satu cahaya. Cahaya ini bersumber dari sebuah benda yang
tersembul tepat di bagian jubah putih Puti Andini yang robek, yaitu di bagian perut. Wiro
terkesiap. Benda yang memancarkan sinar terang menyilaukan itu seperti sebuah ikat pinggang
dalam keadaan tergulung.

“Astaga!” Wiro ingat keterangan Hantu Muka Dua. Ingat pula ucapan Bunga. Dan lebih dari itu
dia memang pernah melihat benda tersebut sebelumnya.

“Pedang Naga Suci 212.”(Baca: Wiro Sableng — Pedang Naga Suci 212) ucap Wiro memegang
benda keramat itu. Namun belum sempat tersentuh tiba-tiba pedang sakti melesat ke udara. Di
ketinggian lima tombak, srett! Gulungannya terbuka.

Pedang Naga Suci 212 mengapung utuh di udara. Memancarkan cahaya menyilaukan serta
menebar hawa dingin. Wiro letakkan sosok Puti Andini di tanah. Lalu berdiri dan berusaha
menyambar gagang senjata sakti itu. Namun Pedang Naga Suci 212 melesat seolah hendak
menembus langit. Di tengah jalan satu bayangan putih tibatiba berkelebat. Satu tangan
menangkap gagang senjata sakti yang terbuat dari gading berbentuk kepala naga betina itu.

Wiro mendongak kaget, memandang dengan mata tak berkesip.

Yang menangkap gagang senjata mustika itu ternyata adalah seorang kakek berselempang kain
putih. Rambut putih panjang, kumis dan janggut menjela menutupi sebagian wajahnya. Orang
tua ini seolah berdiri di atas awan.

“Kakek,” Wiro menyapa. “Saya pernah mendengar cerita tentang dirimu dari Eyang Sinto
Gendeng. Maaf kalau saya menduga. Kakek ini bukankah Kiai Gede Tapa Pamungkas dari
Gunung Gede?”

Orang tua di atas sana tersenyum. Usap janggut putih panjang lalu berkata, “Anak muda, terima
kasih kau mengenali diriku. Berarti kau tahu riwayat asal muasalnya pedang sakti yang ada
dalam genggamanku ini. Pedang sakti dan

suci ini tidak boleh berada di tangan seseorang yang tidak suci. Sekali jatuh ke tangan orang
jahat, dunia persilatan akan geger banjir darah.

Sampai aku menemukan orang yang cocok untuk memegangnya, untuk sementara senjata ini
akan aku bawa kembali ke Gunung Gede…”

“Kiai, kalau saya boleh berbuat bakti, saya ingin menyerahkan senjata itu pada guru saya Eyang
Sinto Gendeng…”

Kiai Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelengkan kepala. “Sinto Gendeng, dia adalah muridku.
Puluhan tahun silam dia belum mempunyai kelayakan untuk memiliki senjata ini. Setelah
puluhan tahun berlalu, sampai saat ini dia semakin tidak mungkin mendapatkannya. Walau
sableng kau murid baik. Selamat tinggal anak muda!”

Kiai Tapa Gede Pamungkas acungkan Pedang Naga Suci 212 ke udara.

Wussss!

Cahaya putih berkiblat.

Pedang dan sosok si kakek melesat tinggi ke udara dan lenyap seolah ditelan langit. Wiro cuma
bisa melongo dan menggaruk kepala.

17

SELAGI Wiro menangisi kematian kedua Puti Andini8, Bunga tinggalkan tempat itu untuk mem–
bantu Ratu Duyung dan yang lainlainnya.

Sesuai pesan Wiro, gadis alam roh ini selamatkan Wulan Srindi dengan jalan menotoknya. Tidak
sulit bagi Bunga untuk melumpuhkan gadis ini. Selain tingkat kepandaian Wulan Srindi berada
jauh di bawahnya, Wulan Srindi tidak lagi mendapat kekuatan dan perlindungan dari kesaktian
Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

Beberapa peristiwa aneh terjadi bersamaan dengan kematian kedua yang dialami Puti Andini.

Di dalam 113 Lorong Kematian, semua perempuan hamil yang telah dicekoki minuman pencuci
otak mendadak menjadi sadar akan keadaan diri masing-masing. Mereka saling berpekikan,
bertangisan lalu berusaha mencari jalan ke luar.

Di pinggir jurang di belakang lorong, Hantu Muka Dua mendadak merasakan tubuhnya panas.
Darah mengalir cepat. Tubuhnya yang semula enteng perlahan-lahan kembali menjadi berat
seperti semula. Awaknya yang terasa lemas kini menjadi kuat lagi.

“Sesuatu telah terjadi di dalam lorong. Mungkin penguasa lorong sudah menemui ajal,” pikir
mahluk dari alam 1200 tahun silam ini. Dia bangkit berdiri.(Baca: Wiro Sableng — Makam Ke
Tiga)

Luhkentut cepat berdiri. “Kau mau ke mana?” Tanya nenek yang doyan kentut ini. Seperti
diceritakan sebelumnya, nenek yang juga berasal dari negeri Latanahsilam ini ditugaskan oleh
Nyi Roro Manggut untuk menjaga dan mengawasi Hantu Muka Dua. Si nenek memperhatikan
dengan penuh heran perubahan diri Hantu Muka Dua.
“Aku akan mencari orang-orang yang telah menolongku. Mereka ada di dalam lorong. Mereka
mungkin dalam bahaya. Mereka telah menolongku. Sekarang giliranku membalas budi ganti
menolong.”

Luhkentut terdiam heran. “Apa ucapan mahluk satu ini bisa dipercaya?” tanyanya dalam hati.

Saat itu dilihatnya Hantu Muka Dua melompat ke tangga batu. Lalu dengan tangan kanan dia
menghantam dinding batu di arah mana sebelumnya ada pintu rahasia. Braakk! Blaaarr!

Dinding batu hancur berantakan. Sebuah lobang besar menganga.

“Hantu Muka Dua benar-benar telah pulih keadaannya. Apakah ini berarti suatu berkah atau
sebuah malapetaka?” Luhkentut berkata dalam hati.

“Luhkentut! Kau ikut aku atau tetap tinggal di luar sana? Nanti kau masuk angin dan kentut
terus-terusan!” Hantu Muka Dua berseru lalu menerobos masuk ke dalam lobang besar di
dinding.

“Eh, dia pandai bergurau sekarang. Mungkin dia benar-benar telah berubah?” Luhkentut tidak
berpikir lebih panjang. Prettt! Nenek ini pancarkan kentut lebih dulu baru melesat masuk ke
dalam lobang batu.

Kembali ke halaman rumah kayu beratap ijuk yang telah hancur lebur. Di arah timur Bunga
melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi. Gadis ini langsung memeluk Bunga dan menangis
tersedu-sedu.

Sementara manusia pocong yang memegang kaleng rombeng dan tengah bertempur melawan
Gondoruwo Patah Hati, Setan Ngompol, dan Naga Kuning, mendadak sontak hentikan gerakan,
memandang berkeliling, mendongak ke langit, goyangkan kaleng rombeng, lalu jatuh terduduk
di tanah.

Gondoruwo Patah Hati cepat hampiri manusia pocong ini tanggalkan kain penutup kepala.

Tersembul kepala seorang kakek bermata putih buta, berambut dan berkumis serta berjanggut
putih. Tenyata seperti yang diduga banyak orang, dia memang adalah Kakek Segala Tahu.

“Di mana aku ini, siapa kalian ini semua. Aku mencium bau tai kotok, bau pesing, bau… Ha…
ha… ha!” Si kakek memegang kepalanya. “Hai, mana capingku?”

Kakek ini yang sebelumnya telah jadi korban sedotan Sri Paduka Ratu, selain kembali seluruh
kekuatan dan kesaktiannya, juga ingatannya ikut pulih. Dia layangkan pandangan mata putih
butanya berkeliling. Memasang telinga. Mendengar suara orang berkelahi lalu goleng-
golengkan kepala dan akhirnya tertawa mengekeh.
Hal yang sama terjadi pula dengan Yang Mulia Ketua yang saat itu tengah digempur
habishabisan oleh Ratu Duyung. Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan jalannya pertempuran.
Saat itu Yang Mulia Ketua berada dalam keadaan terdesak hebat. Kehebatan ilmu kepandaian
yang seharusnya dimiliki sebagai penguasa 113 Lorong Kematian seolah luntur, tidak ada apa-
apanya. Ini merupakan akibat kematian kedua Yang Mulia Sri Paduka Ratu.

Wiro bergerak mendekati kalangan pertempuran. Di saat yang tepat dia berkelebat masuk.

Seperti orang kemasukan setan, Wiro menyerang Yang Mulia Ketua bertubi-tubi. Ratu Duyung
terpaksa menjauh, memberi kesempatan sang pendekar untuk melampiaskan segala dendam
kesumatnya. Satu saat ketika Yang Mulia Ketua lancarkan serangan dengan kebutan lengan
jubah yang melesatkan gelombang angin tujuh warna, dengan ilmu Kopo (mematahkan tulang)
yang didapatnya dari seorang nenek sakti di pegunungan Shikoku, Wiro tangkapkan lengan kiri
lawan.

Lalu kraak! Lengan itu dibuat patah. Yang Mulia Ketua menjerit keras. Dari balik lengan jubah
kirinya jatuh ke tanah sebuah benda, ternyata sebuah kipas.

Yang Mulia Ketua tidak mampu mengelak sewaktu dengan gerakan kilat jurus Kepala Naga
Menyusup Awan Wiro berhasil merenggut lepas kain putih penutup wajahnya.

Begitu wajahnya terpentang, beberapa orang yang mengenali sama-sama keluarkan seruan
kaget.

“Adimesa!”

“Pendekar Kipas Pelangi!”

“Oala! Siapa yang menyangka dia bangsatnya yang jadi Yang Mulia Ketua pimpinan Barisan
Manusia Pocong! Betul-betul manusia bejat!” si bocah berambut jabrik Naga Kuning hantamkan
tinjunya ke perut Sang Ketua hingga orang ini terjajar dua langkah dan batuk-batuk menahan
sakit. Wajahnya tampak pucat.

“Aku… aku bukan Ketua Barisan Manusia Pocong sebenarnya.” Katanya coba menerangkan.

“Saat-saat terakhir kami mengubah panggilan. Ini siasat Yang Mulia Ketua…”

“Lalu siapa sebenarnya pocong setan biadab yang jadi ketua itu?” Tanya Wiro dengan rahang
menggembung dada bergejolak panas menahan amarah.

“Pangeran Matahari…” jawab Adimesa polos.

Beberapa orang keluarkan seruan tertahan. Wiro delikkan mata.


“Mengapa kau mau melakukan semua ini?” Tanya Ratu Duyung pada Adimesa alias Pendekar
Kipas Pelangi.

“Aku menaruh dendam pada Wiro. Dia membunuh kakak kandungku, Adisaka. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh Pangeran Matahari yang juga punya sejuta dendam terhadap Wiro. Kami
berserikat untuk membunuhnya sambil menyusun rencana mendirikan Partai Bendera Darah
untuk menguasai rimba persilatan tanah Jawa. Saat ini Pangeran Matahari pasti sudah kabur.
Dia selalu berlaku licik.”

“Tapi kau masih di sini untuk mempertanggung-jawabkan segala dosa besarmu…” sahut Wiro.

“Apakah kau akan membunuhku?” Tanya Adimesa. “Bukankah aku pernah menyelamatkan
nyawamu sewaktu hendak dibunuh Momok Dempet Tunggul Gono?”(Baca: Wiro Sableng –.
Kembali Ke Tanah Jawa)

Wiro tersenyum lalu angguk-anggukkan kepala.

“Kau menanam budi dalam diriku. Aku tidak melupakan hal itu.” Kata Wiro pula. Murid Sinto
Gendeng melangkah ke dekat pohon. Sambil menggendong jenazah Puti Andini lalu dia
mendekati Gondoruwo Patah Hati.

“Nek, seorang pemuda bernama Adisaka(Baca: Wiro Sableng — Senandung Kematian) adalah
kakak kandung pemuda bernama Adimesa itu. Aku tahu Adisaka adalah muridmu. Tapi kau
berlaku bijaksana dan tidak pernah mendendam walau akulah yang membunuh muridmu.
Kurasa saat ini kaulah satu-satunya orang yang paling tepat untuk memberi hukuman padanya.”

Gondoruwo Patah Hati pencongkan mulut, mata menatap ke langit lalu pandangan diarahkan
pada Adimesa. Perlahan-lahan nenek ini dekati pemuda itu.

“Nek, apa yang hendak kau lakukan?” Tanya Adimesa dengan suara bergetar dan wajah tambah
pucat.

“Aku kasihan padamu, anak muda. Sayang kau tersesat terlalu jauh.”

“Tapi Nek…” Kata-kata Adimesa hanya sampai di situ. Tinju kanan Gondoruwo Patah Hati
melesat ke depan.

Adimesa hanya keluarkan suara teriakan setinggi langit lalu terjengkang terkapar tak bergerak
di tanah. Dadanya bolong hangus. Si nenek menghantam dengan pukulan Batu Naroko. Setelah
menarik nafas dalam, Gondoruwo Patah Hati mengambil kipas sakti milik Adimesa dan
menyimpan di balik baju hitamnya.

***
Ketika Wiro dan Setan Ngompol bersiap-siap menggali kubur untuk Puti Andini, Bunga berkata
pada Pendekar 212. “Aku harap jenazah itu jangan kau kuburkan sebelum kami kembali.”

Wiro tidak berkata apa-apa, hanya menjawab dengan anggukan. Sementara Pendekar 212 Wiro
Sableng dibantu Setan Ngompol menggali kubur untuk jenazah Puti Andini, Ratu Duyung dan
yang lain-lainnya dengan bantuan cermin sakti masuk ke dalam 113 Lorong Kematian. Mereka
menemukan dan membebaskan Anggini serta menolong semua perempuan hamil yang tersesat
di dalam lorong. Anehnya, mereka tidak menemukan Jatilandak yang menurut Wiro dibaringkan
dan ditinggalkannya di tepi telaga.

Cukup lama ditunggu akhirnya Bunga muncul. Di sampingnya melangkah Anggini, diiringi enam
perempuan-perempuan hamil.

Ketika melihat tebaran jenazah manusia pocong, Anggini segera mencari mayat Wakil Ketua.
Dari balik jubah orang ini dia menemukan kembali selendang ungu miliknya. Pendekar 212 yang
diam-diam memperhatikan gerak-gerik Anggini merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati
mengapa selendang itu berada pada Adimesa alias Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.

Pemakaman jenazah Puti Andini diiringi keharuan dan isak tangis. Naga Kuning sembunyikan
muka sambil mengusut air mata. Bocah ini memandang berkeliling. Dia ingat seseorang.

“Hai, aku tidak melihat Dewa Tuak. Ke mana kakek itu? Tadi waktu kita ke sini dia masih duduk
di tanah mengusapi bumbung bambunya.”

Tiba-tiba, gluk… gluk… gluk. Ada suara lahap orang meneguk minuman dari balik pohon besar.

Semuanya lari ke balik pohon dan menyaksikan bagaimana Dewa Tuak yang juga sudah terlepas
dari minuman pencuci otak asyik menenggak cairan yang ada di dalam bumbung bambu.

“Guru, kau baik-baik saja?” tegur Wulan Srindi lalu bersimpuh di depan si kakek. Membuat
Anggini yang semua hendak dekati gurunya jadi batalkan niat. Beberapa orang ada di tempat
itu merasa kurang senang dengan sikap Wulan Srin

di. Namun mereka diam saja. Sementara Dewa Tuak acuh tak acuh terus saja melahap
minumannya. Naga Kuning merasa tengkuknya merinding.

Melirik ke samping dia melihat Gondoruwo Patah Hati tengah memandangnya dengan mata
melotot.

“Ah, sudah tahu dia rupanya…” pikir Naga Kuning. Anak ini merasa kecut lalu jatuhkan diri di
depan si kakek.

“Kek, aku mohon ampunmu kek. Aku mohon ampun!” Si bocah berkata sambil menempelkan
keningnya berulang kali ke tanah, pantat menungging-nungging ke atas.
“Eh, apa-apaan kau ini? Memang dosa apa yang telah kau perbuat pada Dewa Tuak?”

bertanya Setan Ngompol sambil pegangi perut menahan kencing. Sampai saat itu dia masih
mengenakan jubah pocong(Baca: Wiro Sableng — Rumah Tanpa Dosa) yang ditemuinya di
rumah janda gemuk di Bantul.

Naga Kuning melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. Lalu pelan sekali dia berkata. “Cairan
dalam bambu itu bukan tuak. Tapi air kencingku!”

Serrr!

Air kencing Setan Ngompol terpancar. “Untung bukan air kencingku…” ucap si kakek kemudian
sambil menahan tawa cekikikan, tapi tidak sanggup menahan pancaran air kencingnya,
Beberapa orang yang sempat mendengar terkesiap kaget.

“Benar-benar bocah kurang ajar!” kata Gondo ruwo Patah Hati, sedang yang lain-lain setelah
kagetnya hilang mulai senyum-senyum. Ada yang menutup mulut menahan ketawa.

“Kek, aku mohon ampunanmu. Kau mau mengampuniku kan kek?” Kembali Naga Kuning
keluarkan ucapan sambil pulang balik tempelkan jidat ke tanah di depan Dewa Tuak.

Si kakek hentikan minumnya. Menatap si bocah seketika.

“Sedap sekali tuak ini. Baunya harum luar biasa,” katanya. “Minum sedikit saja sudah kenyang.
Rasa hauspun hilang. Belum pernah aku meneguk tuak seperti ini. Luar biasa!” Bumbung
bambu dikocok-kocok. “Wah, masih banyak isinya.” Si kakek ulurkan tangan mengusap rambut
jabrik Naga Kuning. Dia tidak menjambak.

Tapi ketika tangannya diangkat ke atas, kepala si bocah ikut terangkat. “Cah bagus, kau pasti
haus juga. Aku tidak rakus minum sendirian. Aku suka berbagi rejeki dengan sobat kecilku ini.
Cah bagus, ayo habiskan tuaknya.” Lalu Dewa Tuak sorongkan bumbung bambu ke mulut Naga
Kuning.

Anak ini tak mampu menolak.

Gluk… gluk… gluk! Air kencingnya sendiri yang ada di dalam bumbung mengucur masuk ke
dalam mulutnya. Semua orang yang menyaksikan itu tak dapat menahan tawa. Dewa Tuak ikut
tertawa terkekeh-kekeh. Sebaliknya Naga Kuning gelagapan merasa mual lalu semburkan
muntah campur air kencing!

TAMAT

Eps 142 Kitab Seribu Pengobatan


MATAHARI belum lama tenggelam. Kegelapan malam terasa begitu cepat menghantui
permukaan bumi. Dalam waktu singkat kawasan bukit batu 113 Lorong Kematian tenggelam
dalam kepekatan menghitam. Kesunyian yang menyelimuti tempat itu merubah suasanaseperti
sunyinya pekuburan. Sebelumnya tempat ini telah menjadi ajang ertempuran antara Pendekar
212 Wiro Sableng dan kawan-kawan melawan kelompok manusia pocong di bawah pimpinan
Yang Mulia Ketua. Manusia jahat luar biasa ini kemudian diketahui ternyata Pangeran Matahari
adanya. Musuh bebuyutan Pendekar 212 dan para tokoh silat golongan putih.

Ketika angin dari arah utara bertiup agak kencang dan debu yang membumbung ke udara tidak
sanggup memecah kesunyian, sekonyong konyong seperti hantu laiknya, dari reruntuhan pintu
rahasia di selatan 113 Lorong Kematian muncul satu sosok lelaki mengerikan. Orang ini nyaris
tidak mengenakan pakaian. Kulit wajah dan tubuhnya yang bugil menghitam gosong. Di
beberapa bagian kelihatan daging mengelupas kemera han. Rambut di atas kepala awut-
awutan, kotor berdebu dan menebar bau sangit akibat terbakar.

Di tangan kanan, orang ini memegang sebuah bendera besar berbentuk segi tiga, bergagang
besi berujung runcing, hampir menyerupai sebatang tombak. Sesekali dari mulutnya keluar
suara erangan halus, mungkin tak tahan oleh rasa sakit pada sekujur tubuh yang melepuh.
Selain itu setiap menghembuskan nafas, kepulan asap ke merahan keluar dari dua lobang
hidung. Siapakah gerangan mahluk mengerikan ini? Dialah Pangeran Matahari! Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya (Kematian Kedua), di dalam rumah panggung beratap
ijuk hitam yang terletak di bagian belakang 113 Lorong Kematian, Yang Mulia Sri Paduka Ratu
(Puti Andini) hendak diperkosa oleh Wakil Ketua yang sesungguhnya adalah Yang Mulia Ketua
dan bukan lain adalah Pangeran Matahari. Dengan menyebadani Sri Paduka Ratu, Pangeran
Matahari akan berhasil menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian luar biasa yang ada
dalam diri Sri Paduka Ratu. Namun niat keji Pangeran Matahari tidak kesampaian. Karena di
saat itu pula Bunga bersama Naga Kuning, Ratu Duyung, dan Gondoruwo Patah Hati datang
menyerbu.

Pangeran Matahari menyambut serangan ke empat orang itu dengan dua pukulan sakti yaitu
Gerhana Matahari dan Telapak Matahari. Rumah kayu langsung tenggelam dalam kobaran api
lalu meledak hancur luluh. Yang Mulia Sri Paduka Ratu berhasil diselamatkan, namun Pangeran
Matahari sendiri tanpa diketahui Wiro dan kawankawan melesat loloskan diri dari bangunan
yang meledak dalam keadaan hampir keseluruhan tubuh hangus terbakar.

Manusia yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, dan Segala
Congkak ini, begitu berhasil setamatkan diri segera menyelinap masuk ke dalam 113 Lorong
Kematian lewat pintu belakang. Dia tahu, kalaupun musuh-musuhnya melihat, mereka tidak
akan berani memasuki lorong. Pangeran Matahari yang tidak memikirkan lagi keadaan dirinya,
tidak berusaha mencari pakaian untuk menutupi aurat, yang perlu segera didapatkannya saat
itu adalah bendera keramat yang ada di Ruang Bendera Darah. Setelah berhasil mendapatkan
Bendera Darah, Pangeran Matahari duduk bersila di dalam lorong, mengatur jalan darah untuk
mengurangi rasa sakit di sekujur badan. Sekaligus berusaha menguras habis hawa beracun yang
ada dalam tubuhnya dengan cara meniupkan nafas panjang panjang berulang kali.

“Aksara Batu Bernyawa…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Manusia paling jahat dalam
rimba persilatan ini khawatir berat. Ketika Bunga dan tiga tokoh silat lainnya menyerbu, dia
tidak sempat mengambil batu mustika yang saat itu masih berada dalam salah satu saku jubah
putih nya. “Aku harus mendapatkan batu itu kembali.

Harus! Jahanam betul!”

Aksara Batu Bernyawa memang merupakan sebuah batu sakti luar biasa. Dengan batu itulah
Puti Andini yang telah menemui kematian, rohnya dapat dihadirkan kembali, masuk ke dalam
tubuh dan membuat gadis yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Dewi Payung
Tujuh itu mampu dihidupkan kembali. Seandainya Puti Andini tidak menemui kematian kedua
dan sang Pangeran berhasil menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiliki gadis itu, rimba
persilatan akan jatuh ke dalam cengkereman Partai Bendera Darah sebagaimana yang telah
direncanakan ber dirinya oleh Pangeran Matahari.

Cukup lama Pangeran Matahari berada di dalam 113 Lorong Kematian sebelum akhirnya
bangkit berdiri lalu sambil membekal Bendera Darah berlari cepat ke arah goa di bagian
belakang lorong. Di mulut goa yang porak poranda dia hentikan langkah. Sepasang mata
menatap ke arah pedataran berbatu-batu. Sunyi dan gelap.

Telinga dipasang tajam-tajam. Mulut menyeringai.

Dia menangkap suara banyak orang bicara di ujung pedataran batu.

“Belum pergi. Mereka masih di ujung pedataran sana. Apa yang dilakukan manusia-manusia
keparat itu?” pikir Pangeran Matahari. Dia gulung Bendera Darah seputar gagang besi lalu
berkelebat ke pedataran berbatu-batu. Bersembunyi di balik sebuah batu besar, Pangeran
Matahari memperhatikan Wiro dan kawan-kawan berdiri mengelilingi satu gundukan tanah
merah. “Hemmm… mereka telah menguburkan gadis itu.” Sepasang mata sang Pangeran
memancarkan sinar berkilat.

Dendamnya terhadap Wiro setinggi langit sedalam lautan. “Kali ini aku gagal. Tapi sebelum
rimba persilatan kiamat, aku bersumpah akan menghancurkanmu!” Rahang Pangeran Matahari
menggembung. Selagi semua orang di depan sana masih mengelilingi makam Puti Andini dalam
suasana penuh kesedihan, Pangeran Matahari pergunakan kesempatan untuk menyelinap,
berkelebat ke arah lorong rahasia di bagian selatan yaitu jalan masuk melewati jurang yang
ditempuh Wiro, Bunga dan kawan-kawan waktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Dari bagian
atas tangga batu yang melingkar di dinding jurang, Pangeran Matahari memandang ke bawah.
Gelap. Dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa walau ada seberkas cahaya suram masuk ke dasar
jurang melalui sebuah lobang di dinding batu. Meski tubuhnya hangus serta masih ada hawa
beracun yang menyekat di jalan pernafasannya namun Pangeran Matahari tidak kehilangan
ilmu kesaktian asli yang dimilikinya. Dengan gerakan cepat dan enteng dia berkelebat menuruni
tangga di dinding jurang. Begitu sampai di dasar jurang di mana terdapat sebuah telaga,
Pangeran Matahari siap menerobos lobang di dinding batu yang akan menghubunginya dengan
satu kawasan persawahan. Mendadak sontak sang Pangeran hentikan gerakan. Dua bola
matanya membesar, memandang lekat-lekat ke arah tepi telaga di seberang kanan. Di tepi
telaga sana, terbujur tak ber gerak satu sosok tubuh berwarna kuning.

“Setahuku bangsat aneh satu ini adalah sahabat Pendekar 212. Mengapa berada di tempat ini?
Sudah mampus?”

Tidak tunggu lebih lama lagi Pangeran Matahari dengan tiga kali lompatan saja sudah berada di
samping sosok yang terbujur di tepi telaga. Mata melotot tak berkesip, dada turun naik, suara
nafas menyengal. Orang ini bukan lain adalah Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam negeri 1200
tahun silam. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya, ketika ikut menyerbu ke dalam 113
Lorong Kematian, Jatilandak telah keracunan hawa mengandung belerang yang merupakan
pantangan besar bagi dirinya. Dalam keadaan sekarat Pendekar 212 Wiro Sableng
memindahkan Jatilandak ke tempat yang lebih aman yakni di dasar jurang di tepi telaga.
Sebelum meninggalkan pemuda malang itu Wiro berjanji bila semua urusan di 113 Lorong
Kematian selesai dia dan kawan-kawan akan kembali menjemput Jatilandak.

Pangeran Matahari pandangi wajah dan sosok Jatilandak. Mulutnya menyeringai.

“Mahluk buruk! Kau korban pertama dendam kesumatku terhadap Pendekar 212 Wiro
Sableng!”

Sepasang mata Jatilandak tetap mendelik tak berkesip. Namun bibirnya tampak bergerak.

Mungkin hendak mengucapkan sesuatu namun tidak ada suara yang mampu keluar.

Pangeran Matahari angkat tinggi-tinggi Bendera Darah yang dipegang di tangan kanan. Ujung
lancip bendera yang terbuat dari besi diarahkan ke dada kiri, tepat di jurus jantung Jatilandak.

Didahului tawa bergelak Pangeran Matahari lalu hunjamkan gagang Bendera Darah!

Hanya satu jengkal lagi ujung lancip besi gagang bendera akan menembus dada kiri Jati landak,
tiba-tiba ada cahaya gemerlap melesat melewati lobang di dinding kiri telaga. Lalu selarik sinar
biru menyusul berkiblat ke arah ujung lancip gagang bendera.

Bunga api memercik ketika terjadi benturan antara sinar biru dengan ujung lancip gagang
bendera. Ada satu kekuatan dahsyat siap membuat mental bendera. Pangeran Matahari kerah
kan tenaga dalam untuk bertahan. Dua kakinya goyah, tubuh bergetar keras. Dia pergunakan
tangan kiri membantu pegangan tangan kanan agar Bendera Darah tidak terlepas mental. Tapi!

Desss!
Asap mengepul. Pangeran Matahari berteriak marah ketika melihat sebagian ujung atas
Bendera Darah mengepul hangus. Belum sirna gaung teriakannya, satu kekuatan dahsyat yang
bersumber pada sinar biru melanda keras, membuat tubuh nya terpental, jungkir balik di udara
dan jatuh tercebur ke dalam telaga.

Dinginnya air telaga terasa sebagai sengatan menyakitkan di wajah dan sekujur tubuh Pange
ran Matahari yang hangus akibat luka bakar.

Sewaktu memunculkan kepala di permukaan air telaga, Pangeran Matahari jadi tersentak kaget
ketika melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya.

Sosok Jatilandak yang tadi hendak dihabisinya kini berada dalam gendongan mahluk aneh
berbentuk bayang-bayang dan memancarkan cahaya bergemerlap.Walau berupa bayangan dan
cahaya, namun jelas dapat dilihat sosok aneh itu berbentuk seorang perempuan muda
berwajah cantik, rambut panjang terurai.

Mahluk bayangan itu memandang ke arah Pangeran Matahari sesaat lalu balikkan tubuh siap
bergerak ke arah lobang besar di dinding batu sebelah kiri.

“Hantu perempuan!” Bentak Pangeran Matahari. “Mau kau bawa ke mana pemuda itu?”

“Mau aku bawa ke mana apa urusanmu?” Mahluk yang ditanya menjawab. Suaranya perlahan
saja dan sikapnya tenang. Lalu dengan sikap tidak perdulikan orang dia melangkah ke tepi
telaga menuju lobang di depan sana.

“Bangsat perempuan! Lagakmu congkak sekali!

Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa!”

“Siapa dirimu apa untungnya aku mengetahui!

Yang kulihat kau adalah sosok gosong tak lebih berharga dari sepotong kayu hangus!”

Dihina begitu rupa marahlah Pangeran Matahari. Serta merta dia berkelebat menghadang si
cantik mahluk bayangan.

“Mahluk jahanam! Hantu atau apapun kau adanya akan kukembalikan kau ke alam asalmu!”

Pangeran Matahari menerjang ke depan sambil tusukkan ujung besi runcing gagang Bendera
Darah ke arah leher perempuan bayangan.

Saat itu juga sosok yang diserang pancarkan cahaya bergemerlap berwarna kebiruan disertai
munculnya kekuatan memiliki daya dorong kuat.
Pangeran Matahari terhuyung-huyung begitu kekuatan aneh itu menerpa ke arahnya. Dia cepat
imbangi diri dan kembali menyerang. Kali ini serangannya dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya sehingga ujung runcing gagang Bendera Darah bergetar hebat dan
pancarkan sinar kehitaman.

Wuttt!

Ujung runcing gagang besi menusuk ke arah kepala perempuan bayangan. Namun setengah
jalan tak terduga mendadak sontak berubah menyambar ke arah kepala Jatilandak. Mahluk
yang menggendong Jatilandak menyeringai.

“Serangan bagus! Tapi licik!” serunya. Bahu kiri kanan digoyang. Cahaya biru bergemerlap,
memancar terang benderang seperti percikan ratusan bunga api, menyambar ganas ke arah
Pangeran Matahari.

Tersentak kaget, Pangeran Matahari berseru keras, terpaksa tarik pulang serangannya dan
melompat mundur sambil putar tangan kanan yang memegang Bendera Darah.

Bettt! Bettt! Bettt!

Bendera Darah yang sejak tadi tergulung pada gagang mengembang lebar, membentuk tameng,
melindungi diri Sang Pangeran dari serangan ratusan bunga api. Percikan air campur darah
bermuncratan. Bau busuk menebar. Bersamaan dengan itu Pangeran Matahari hantamkan
tangan kiri melepas pukulan sakti Telapak Matahari.

Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sambaran angin luar biasa dahsyat datang melabrak
hingga tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh tergelimpang. Masih untung tidak kecebur
ke dalam telaga untuk kedua kalinya.

Ketika Pangeran Matahari bangkit berdiri sosok perempuan bayangan dan Jatilandak tidak ada
lagi di tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara panjang tawa perempuan seolah
mengejek sang Pangeran!

“Jahanam!” rutuk Pangeran Matahari sambil perhatikan Bendera Darah. Tampang gosong
manusia congkak itu langsung berubah. Mata mendelik. Bendera Darah kini penuh dengan
puluhan lobang sebesar ujung jari kelingking!

“Keparat setan alas!” kembali Pangeran Mata hari memaki. Tangan kiri mengepal, rahang
menggembung dan mata seperti dikobari api. Saking marahnya dia tendangkan kaki kanan.
Braakk!

Sebuah gundukan batu di tepi telaga hancur berantakan. “Siapa adanya mahluk perempuan itu!
Jelas dia bukan gadis dari alam roh bernama Bunga, gendak Pendekar 212!”
2

DI TIKUNGAN sungai yang gelap, di bawah naungan batang-batang bambu, mahluk perempuan
berbentuk bayangan turunkan tubuh Jatilandak lalu dibaringkan di atas sebuah batu besar.
Tiupan angin membuat daun-daun bambu bergemerisik. Air sungai yang mengalir melewati
sela-sela gundukan batu mengeluarkan suara deru panjang tak berkeputusan.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar kepakan sayap burung disusul suara kicau nyaring
panjang. Perempuan bayangan berpaling. Di atas cabang rendah pohon waru di tepi sungai
hinggap seekor burung gagak hitam. Setelah me natap burung itu sesaat, perempuan cantik
berupa bayangan membuka mulut. Suaranya begitu halus ketika berkata.

“Sahabat, terima kasih untuk bantuanmu hari ini. Sekarang pulanglah. Jika aku memerlukanmu
lagi, aku akan memberi tanda…”

Seolah mengerti akan ucapan perempuan bayangan, gagak hitam di cabang pohon waru
angguk-anggukan kepala, menguik dua kali, rentangkan sayap lalu melesat ke udara dan lenyap
dalam kegelapan.

Perempuan di atas batu besar duduk bersimpuh. Menatap Jatilandak yang terbaring tak
bergerak. Tangan kiri diulurkan meraba kening lalu dipindah dan diletakkan di atas urat besar di
pangkal leher sebelah kiri. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam, tubuhnya pancarkan cahaya
bergemerlapan, dan dari dua lobang hidungnya keluar kepulan tipis asap kuning.

“Racun belerang…” ucap perempuan bayangan.

“Dia terkena racun belerang. Apakah aku masih bisa menyelamatkannya?” Mahluk cantik
berambut panjang dekatkan mulutnya ke telinga kiri Jatilandak. “Jatilandak, apakah kau bisa
mende ngar suaraku?”

Orang yang diajak bicara terbujur tak bergerak.

Dua mata terpentang lebar menatap ke langit hitam. Mulut terbuka sedikit. Bibir bergetar.

“Aku melihat setitik harapan. Mudah-mudahan kekuatan putih dan baik di atas langit mau
menolong.”

Habis berkata begitu perempuan bayangan turun ke dalam sungai. Sosoknya mengapung di
belakang batu besar tepat di ujung dua kaki Jatilandak. Dua telapak tangan dirapatkan satu
sama lain lalu diletakkan di atas kepala. Sesaat kemudian terjadi satu keanehan. Aliran sungai
yang melewati tubuh perempuan bayangan bersibak ke samping dan mengeluarkan suara
seperti mendidih disertai mengepulnya asap putih.
Pada saat suara mendidih terdengar bertambah keras dan kepulan asap putih semakin banyak,
perempuan bayangan turunkan dua tangan. Ibu jari kiri. kanan ditempelkan ke telapak kaki
kanan kiri Jatilandak.

“Pergi, bersih kembali!” Perempuan bayangan berucap halus. Dua ibu jari ditekan kuat-kuat.

Dess! Dess!

Asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tubuh Jatilandak terangkat setengah tombak ke
atas lalu melesat di udara. Dalam kegelapan malam, di atas sungai tubuh itu berputar-putar
beberapa kali. Setiap berputar, dari lobang hidung, mulut, serta liang telinga menyembur asap
kuning menebar bau busuk belerang. Setelah dua belas kali berputar, semburan asap kuning
mulai berkurang. Pada saat asap kuning itu lenyap sama sekali, sosok Jatilandak perlahan-lahan
melayang turun dan terbaring kembali di atas batu besar. Di dalam sungai, aliran air di sekitar
tubuh perempuan bayangan kelihatan berubah kekuningkuningan.

Perempuan bayangan melesat keluar dari dalam sungai. Tidak ada setetespun air menempel di
tubuhnya yang aneh itu. Dia kembali duduk di samping Jatilandak. Setelah memandang pemuda
itu beberapa saat. perempuan bayangan berkata.

“Jatilandak, kau selamat dari kematian akibat racun belerang. Kau mampu bergerak. Bangkitlah
dan duduk menghadap ke arahku.”

Sepasang mata Jatilandak yang sejak tadi membeliak tak berkedip kini mampu bergerak.

Perlahan-lahan dia bangkit duduk di atas batu lalu berputar menghadap ke arah orang yang
barusan bicara. Jatilandak lalu terkesiap. Dia tidak menyangka kalau orang di hadapannya

memiliki tubuh seperti bayang-bayang. Dalam ketidak-percayaannya Jatilandak ulurkan tangan


kanan ke arah bahu kiri mahluk yang duduk bersimpuh di depannya. Astaga! Walau sosok itu
seperti bayang-bayang, namun Jatilandak merasa tidak beda seperti menyentuh dan
memegang tubuh manusia biasa!

Perlahan-lahan Jatilandak tarik tangannya.

Mata menatap tak berkesip, mulut lalu berucap.

“Walau tadi mata tak dapat melihat namun perasaan memberi tahu bahwa kau telah menyela
matkan diriku. Aku sangat berterima kasih padamu. Kalau aku boleh mengetahui, siapakah
engkau adanya? Mengapa ujud keadaanmu seperti ini?”

Perempuan cantik di hadapan Jatilandak usap usapkan rambutnya yang tergerai panjang. Untuk
beberapa lamanya dia pandangi pemuda berkulit kuning itu. Jatilandak melihat ada sekelumit
senyum di wajah jelita itu, namun samar-samar ada bayangan kesedihan atau semacam
ganjalan.

“Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Jatilandak “Aku tidak tahu harus memanggilmu apa.
Namun karena kau telah menyelamatkan jiwaku, apa yang harus aku lakukan untuk membalas
budi besarmu itu? Aku bersedia berbuat apa saja untukmu.”

Senyum di wajah cantik perempuan bayangan tampak lebih kentara.

“Jatilandak…”

“Hai, bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanya Jatilandak penuh heran.

Mahluk bayangan hanya tersenyum. Tidak menjawab pertanyaan si pemuda.

Jatilandak menarik nafas panjang. “Kau masih belum menerangkan siapa dirimu. Mengapa
ujudmu seperti ini?”

Si cantik di hadapan Jatilandak tersenyum.

“Aku memang datang dari alam tidak nyata…”

“Maksudmu kau sebangsa roh…”

Perempuan cantik berujud bayangan palingkan wajahnya ketika Jatilandak menatap lekat-lekat
ke arahnya. Lalu dia berucap halus. “Terserah kau mau menyebutku aku ini apa. Namun siapa
diriku tidak penting. Ada hal lain yang lebih penting.”

“Apa?”

“Aku perlu keterangan.”

“Keterangan? Keterangan apa?”

“Tentang sebuah kitab. Dalam rimba persilatan tanah Jawa kitab itu dikenal dengan nama Kitab
Seribu Pengobatan. Kau pernah mendengar?

Mungkin juga tahu di mana beradanya? Aku ingin mendapatkan kitab itu. Paling tidak untuk
membacanya lalu mengembalikan kepada siapapun yang jadi pemiliknya.”

“Aku pernah mendengar sedikit tentang kitab itu. Kalau tidak salah kitab itu adalah kitab yang
harus dicari Pendekar 212 Wiro Sableng. Konon kitab itu telah dicuri orang dari tempat
kediaman gurunya di satu puncak gunung.”
“Siapa itu Pendekar 212 Wiro Sableng?” tanya perempuan bayangan.

“Seorang pendekar paling terkenal di tanah Jawa ini.” jawab Jatilandak. Tadinya dia ingin
menambahkan bahwa antara dia dengan Wiro terjalin suatu persahabatan, namun belakangan
ada ganjalan dan kesalahpahaman di antara mereka.

Perempuan bayangan terdiam sesaat. Tampaknya seperti memikirkan sesuatu. “Apakah aku
harus mencari pendekar itu?” ucapnya perlahan.

“Jika mau silahkan saja. Namun kitab itu tidak berada di tangannya…”

“Aku gembira mendapat penjelasan darimu.

Berarti benar berita yang aku sirap. Kitab itu berada di tanah Jawa ini. Maukah kau menolong
mencarikannya untukku?” kata perempuan bayangan.

“Aku berhutang nyawa padamu. Apapun yang kau pinta akan aku lakukan. Namun kalau aku
boleh bertanya, apa perlunya kitab itu bagimu?”

“Bukan untukku, tapi bagi seorang lain,” jawab si cantik bayangan.

“Kalau kelak kitab itu aku temukan, di mana aku harus mencarimu untuk menyerahkan?”
Bertanya Jatilandak.

“Kau tak perlu bersusah payah. Aku yang akan mendatangimu. Sekarang aku harus pergi. Jaga
dirimu baik-baik…” Perempuan bayangan pegang lengan kanan Jatilandak. Pemuda ini merasa
ada hawa sangat sejuk mengalir ke dalam tubuhnya.

Sosok berupa bayangan di hadapannya tiba-tiba memancarkan cahaya biru bergemerlap. Lalu
secepat kilat berkiblat, secepat itu pula tubuh itu melesat lenyap.

Untuk beberapa saat lamanya Jatilandak duduk termangu di atas batu besar di tikungan sungai
yang gelap itu. Kemudian terbayang kembali sosok serta wajah perempuan cantik aneh

tadi. Pemuda ini geleng-geleng kepala. Dia berucap perlahan. “Banyak keanehan di
Latanahsilam.

Tapi tanah Jawa ini punya segudang keanehan.”

***

Naga Kuning berjalan paling depan, menuruni tangga batu sambil membawa obor. Di belakang
nya menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng, Gondo ruwo Patah Hati, lalu Anggini yang juga
membawa obor, Dewa Tuak, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu, dan Bunga. Di belakang sekali
sambil membawa obor, berjalan Luhkentut, nenek sakti dari Negeri Latanahsilam.

Ratu Duyung dan Setan Ngompol tidak bersama rombongan karena kedua orang ini harus
mengurusi delapan perempuan hamil yang sebelumnya disekap dalam 113 Lorong Kematian.

Dengan pertolongan cermin sakti milik Ratu Duyung mereka berhasil keluar di pintu utara
lorong batu. Sebelumnya kesaktian cermin itu tidak mampu mengatasi kehebatan kesaktian
penguasa 113 Lorong Kematian. Namun begitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kematian
kedua, Wakil Ketua menemui ajal, dan Yang Mulia Ketua babak belur melarikan diri, cermin
sakti dengan mudah mampu memantau keadaan di sekitar lorong mana yang harus dilalui
hingga akhirnya keluar di mulut lorong sebelah utara.

Sekeluarnya dari 113 Lorong Kematian bukan merupakan hal mudah bagi Ratu Duyung dan
Setan Ngompol mengadakan perjalanan membawa delapan perempuan yang sedang hamil, apa
lagi malam hari begitu rupa. Jelas tidak mungkin mengantarkan perempuan-perempuan hamil
itu satu persatu ke tempat kediaman masing-masing.

Karenanya begitu sampai di sebuah desa kecil, Ratu Duyung menemui Kepala Desa untuk di
mintai bantuannya mengurusi perempuan-perempuan malang itu. Setelah Ratu Duyung dan
Setan Ngompol pergi, Kepala Desa itu masih terteguntegun.

Tidak percaya malam buta begitu rupa dia bakal mendapat tugas menangani delapan
perempuan hamil!

Di jalan kecil yang menuju keluar desa, Ratu Duyung berkata. “Kakek sahabatku, sebentar lagi
pagi akan datang. Aku rasa aku tidak perlu kembali ke lorong.”

“Mengapa pikiranmu berubah?” tanya Setan Ngompol sambil mengusap-usap perut. Dia
merasa tenang karena sejak tadi belum kucurkan air kencing. “Bukankah kita sudah berjanji
dengan para sahabat akan bertemu di telaga?”

“Semua urusan sudah selesai…”

“Siapa bilang semua urusan sudah selesai?”

tukas Setan Ngompol dengan mata didelikkan.

“Pangeran Matahari kabur dan…”

“Sudahlah, kau saja yang pergi menemui teman-teman.”

“Ah, rasa-rasanya aku tahu mengapa kau tidak mau bergabung dengan para sahabat.” Berkata
Setan Ngompol dan kali ini sambil senyum senyum.
“Apa yang ada dalam benakmu, kakek bau pesing?”

Setan Ngompol usap-usap daun telinganya yang lebar lalu masih sambil senyum-senyum dia
berkata. “Menyangkut urusan jodoh. Kau punya banyak saingan berat di sana.”

“Saingan berat? Maksudmu apa?” tanya Ratu Duyung.

“Di sana ada Anggini yang konon adalah kekasih lama Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu ada
Wulan Srindi yang mengaku-aku murid Dewa Tuak sekaligus berjodoh dengan Wiro. Kemudian
masih ada Bunga, gadis dari alam roh yang semua orang tahu sangat mengasihi pemuda itu.
Nah, nah, bukankah kau menghadapi saingan-saingan berat? Masih untung si pirang bernama
Bidadari Angin Timur tidak ada di sana!”

“Kakek konyol! Mulut usil tak karuan! Kau pergi saja sana! Aku tidak akan bergabung dengan
mereka! Alasan yang kau katakan tadi tidak betul!”

Setan Ngompol pegang lengan Ratu Duyung.

“Sahabatku cantik bermata biru. Kita sudah berjanji untuk bergabung dengan teman-teman.

Apa yang akan kukatakan pada mereka jika aku kembali tidak bersamamu?”

“Katakan saja penguasa pantai laut selatan memerintahkan aku datang menghadap.”

“Bisa saja aku ngomong begitu. Padahal mereka semua tahu. Bukankah kau sendiri yang jadi
penguasa di pantai selatan?”

“Jangan bicara melantur!”

Setan Ngompol geleng-geleng kepala. “Aku tidak memaksa. Mungkin juga kau tidak suka jalan
bersamaku. Kakek jelek, bau pesing…”

“Lain kali kita berkumpul lagi dengan para sahabat. Lain kali kita jalan lagi sama-sama,” kata
Ratu Duyung. Lalu, plaak! Setan Ngompol merasa kan satu tepukan di pantatnya. Dia tersentak
kaget. Memandang ke depan Ratu Duyung tak ada lagi di tempat itu.

Sambil usap-usap pantatnya Setan Ngompol berkata. “Pantatku ditepuk. Aku terkejut. Tapi
aneh, mengapa kali ini aku tidak kucurkan air kencing? Ratu Duyung seharusnya kau menepuk
pantatku sebelah depan, bukan sebelah belakang!

Hik… hik… hik. Ah…”

Mendadak serrr! Setan Ngompol kucurkan air kencing.


“Oala! Muncrat juga kamu! Kukira sudah mampet! Ha… ha… ha!”

SAMPAI di tepi telaga Naga Kuning angkat obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bocah berambut
jabrik ini memandang sekeliling telaga lalu berpaling pada Wiro.S “Katamu Jatilandak kau
tinggalkan di tepi telaga sini. Kau lihat sendiri tidak ada mahluk hidup atau mahluk mati di
tempat ini, kecuali perahu kayu di tepi telaga sebelah sana.” Wiro garuk-garuk kepala.

“Ini aneh. Aku tidak berdusta. Tubuhnya aku baringkan di tepi telaga sebelah sana. Dia
kutinggalkan dalam keadaan hidup.”

“Mungkin dia kecebur, jatuh tenggelam ke dalam telaga,” kata Wulan Srindi.

“Bisa jadi,” ujar Wiro masih garuk-garuk kepala

“Musti ada yang menyelidik masuk ke dalam telaga.” Wiro sambung ucapan sambil
memandang pada Naga Kuning dan kedipkan mata.

Bocah berambut jabrik ini tertawa. “Aku tahu kau ingin agar aku masuk ke dalam telaga. Malam
buta dingin begini. Ih! Enak kamu sial di aku!

Bukankah kau punya ilmu menembus pandang?

Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk menyelidiki telaga sampai ke dasarnya?”

“Bocah konyol tapi cerdik. Aku sendiri sampai lupa kalau memiliki ilmu kepandaian itu!” kata
Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini menatap ke arah telaga. Hawa sakti dialirkan ke kepala.

Mata dikedipkan dua kali. Walau tidak terlalu jelas, saat itu Wiro mampu melihat isi telaga
sampai ke dasarnya.

“Kosong, telaga itu kosong. Jangankan manusia, ikan bahkan kodok seekorpun tidak ada di
dalamnya.” Wiro memberi tahu.

“Lalu ke mana lenyapnya pemuda itu?” Anggini keluarkan ucapan.

“Mungkin ada seseorang datang lalu menolongnya.” Kata Naga Kuning pula.

“Siapa?” menimpali Gondoruwo Patah Hati.

Naga Kuning berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kek, coba kau selidiki…”
Kakek Segala Tahu dongakkan kepala. Tangannya yang memegang kaleng rombeng yang
sebelumnya lenyap dan ditemukan Wiro digoyang hingga menimbulkan suara berisik di
seantero telaga sampai ke atas jurang. Setelah diam sejurus kakek bermata putih buta ini
berkata, “Kali ini aku tidak bisa memberi keterangan. Mungkin aku masih dipengaruhi minuman
setan itu. Aku hanya melihat satu bayangan aneh sosok perempuan seperti asap
mengambang.”

Wiro berpaling pada nenek berambut dan berpakaian serba kuning di sampingnya, “Nek, kau
dan pemuda itu sama-sama berasal dari Negeri Latanahsilam. Mungkin kau bisa mengira-ngira
apa yang terjadi dengan Jatilandak?”

Nenek berambut kuning yaitu Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin pencongkan mulutnya. “Aku
punya beberapa dugaan,” katanya. “Pertama, pemuda itu mungkin mampu mengatasi racun
belerang lalu tinggalkan tempat ini. Kedua, mungkin ada orang yang menemuinya,
membunuhnya, lalu membuang mayatnya di tempat lain…”

“Pangeran Matahari!” ucap Gondoruwo Patah Hati.

“Siapa dia? Aku tak kenal manusia itu,” kata Luhkentut. “Dugaan ketiga, dugaanku yang
terakhir. Ada seseorang menolongnya membawanya ke suatu tempat.”

“Siapa si penolong itu? Mustahil ada orang lain di tempat ini,” kata Pendekar 212 pula.

“Bidadari Angin Timur,” kata Wulan Srindi.

Beberapa orang berpaling ke arah gadis berkulit hitam manis itu. Kening berkerut mata
menatap tak berkesip. Anggini yang sejak pertama kali kenal tidak menyukai gadis ini, langsung
menanggapi. “Kau menyebut nama gadis sahabatku itu.

Apakah kau punya bukti bahwa dia yang menolong Jatilandak?”

“Aku memang tidak punya bukti. Juga tidak melihat sendiri kejadiannya memang begitu. Tapi
apa salahnya menduga-duga? Lebih baik bicara mengemukakan pendapat daripada cuma diam
melongo seperti patung kayu yang sudah lapuk dan busuk! Tapi jeleknya kalau sudah ada orang
lain bicara lebih dahulu, langsung mendebat sengit!”

“Beraninya kau menghina aku sebagai patung kayu lapuk busuk!” Anggini marah besar. Wajah
nya kelihatan merah. Dia melangkah mendekati Wulan Srindi tapi Bunga cepat memegang
tangannya.

Wiro kembali berpaling pada Luhkentul. “Nek, ada sesuatu yang akan kau beri tahu?”

Luhkentut usap rambutnya yang kuning. “Aku membaui sesuatu. Bau manusia dari negeri
seribu dua ratus tahun silam…”
“Hantu Muka Dua!” kata Wiro Sableng. “Aku khawatir jangan-jangan dia telah membunuh
Jatilandak. Semasa di Negeri Latanahsilam, dia telah punya niat jahat hendak menghabisi
pemuda itu di sebuah pulau.” Tiba-tiba Wiro ingat. “Nek, bukankah Hantu Muka Dua
bersamamu di tepi jurang. Waktu itu Nyi Roro Manggut yang datang bersamamu meminta agar
kau mengawasi manusia satu itu. Apa yang terjadi dengan dirinya? Dimana dia sekarang?”

Luhkentut tak segera menjawab. Mulutnya yang ditutup rapat dipencong-pencong.

“Nek, ada apa? Mengapa kau tidak menjawab?”

“Jangan-jangan nenek ini punya penyakit ayan.

Mau kumat…” kata Naga Kuning yang segera terdiam begitu dipelototi Gondoruwo Patah Hati.

“Sebentar. Aku…, aku lagi nahan kentut. Nah, sekarang sudah lewat jadi angin. Hik… hik… hik.”

Luhkentut menjawab sambil mesem-mesem. Lalu nenek sakti dari Latanahsilam ini
menerangkan.

“Tak lama setelah terdengar letusan-letusan dahsyat di dalam lorong, aku melihat terjadi
perubahan pada diri Hantu Muka Dua. Tubuhnya yang lunglai seperti mendapatkan kekuatan
dan kesaktiannya kembali. Saat itu dia berkata mungkin penguasa lorong telah menemui ajal.
Lalu dia berdiri. Aku mengikuti dan bertanya dia mau kemana. Katanya dia akan mencari orang-
orang yang telah menolongnya. Mungkin mereka dalam bahaya. Dia ingin membalas budi
dengan ganti menolong. Aku sendiri merasa heran. Apa ucapan nya bisa dipercaya. Hantu Muka
Dua melompat ke tangga batu. Dia menghancurkan dinding batu di mana terdapat pintu
rahasia. Dia berteriak agar aku segera mengikuti. Namun sewaktu aku bergerak masuk, langit-
langit lorong di hadapanku runtuh. Aku terhalang. Ketika aku berhasil menerobos. Hantu Muka
Dua tidak kelihatan lagi. Aku berteriak berulang kali memanggil, namun tidak ada jawaban. Aku
kemudian bertemu dengan rombongan yang masuk ke dalam lorong untuk membebaskan
perempuan-perempuan hamil serta gadis bernama Anggini ini.”

Kesunyian menggantung beberapa saat ditempat itu.

“Mungkin dia tersesat di dalam lorong,” kata Wiro.

“Mungkin juga kabur untuk mengatur siasat jahat baru,” kata Anggini.

Wiro garukkan kepala dan berkata. “Jika Hantu Muka Dua masuk ke dalam lorong, berarti
bukan dia yang mencelakai atau menolong Jatilandak.

Kita akan tetap di sini sampai Setan Ngompol dan Ratu Duyung datang.”
Dewa Tuak yang sejak tadi diam saja keluarkan suara batuk-batuk lalu berucap. “Aku tidak bisa
berlama-lama di tempat ini. Tenggorokanku panas haus! Aku terpaksa meninggalkan kalian
untuk mencari tuak!”

Habis berkata begitu kakek berambut dan berjanggut putih ini melirik ke arah Wiro, kedipkan
mata dan berkata. “Aku mau cari tuak benaran, bukan mencari bibir…” Si kakek tertawa gelak-
gelak, membungkuk lalu menepuk permukaan air telaga. Tepukan ini bukan saja menyebabkan
air telaga muncrat tinggi ke atas tapi juga membuat perahu kayu yang tertambat di tepi telaga
putus tali pengikatnya lalu melesat ke arah lobang besar di dinding batu.

“Ha… ha… Perahuku sudah menunggu di sungai. Selamat tinggal para sahabat. Kuharap kalian
baik-baik saja!”

Dewa Tuak siap melompat ke arah lobang di dinding. Namun tiba-tiba Wulan Srindi mendahului
bergerak dan jatuhkan diri di hadapan si kakek. Dengan suara memelas gadis ini berkata.

“Guru, sebagai murid perkenankan saya ikut mengantar ke mana guru pergi…”

“Ngaconya kumat lagi!” kata Anggini dengan wajah sebal. Yang lain sama-sama terdiam,
menungggu apa jawaban si kakek.

Setelah menatap Wulan Srindi beberapa saat, sambil usap janggut putihnya Dewa Tuak berkata.

“Gadis bawel, memang baiknya kau tidak berada di tempat ini. Kau boleh menumpang
perahuku tapi nanti harus mau turun di tengah jalan.”

“Murid akan ikuti apa kata guru,” kata Wulan Srindi sambil matanya melirik ke arah Anggini
karena merasa menang. Tidak terduga gadis ini kemudian melangkah ke hadapan Pendekar 212
Wiro Sableng dan berkata. “Selama ikatan jodoh telah terjalin antara kita, perpisahan hanyalah
untuk berbagi rindu dan menguji kesetiaan…”

Merah padam wajah Anggini mendengar ucapan Wulan Srindi itu. Yang lain-lain tampak
terkesiap sementara Bunga hanya tersenyum simpul.

Wiro sendiri tegak melongo sambil golang-golengkan kepala. Dia tidak sempat menarik
lengannya sewaktu Wulan Srindi menyalami dan mencium punggung tangannya. Sekali lagi
Wulan Srindi melirik ke arah Anggini, sunggingkan senyum penuh arti lalu melesat ke arah
perahu di belakang dinding batu!

“Guru! Murid sudah berada di perahu menunggumu!”

Dewa Tuak menghela nafas panjang. Dia melangkah biasa saja namun di lain kejap sudah
berada di dalam perahu, duduk di sebelah depan.
Sebelum perahu bergerak, Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu melompat
ke lobang di dinding batu. Kepala dijulurkan.

“Apa masih ada tempat dalam perahu untuk tubuh rongsokan ini?”

“Kakek Segala Tahu, jika kau sudi jalan bersama kami silahkan masuk ke dalam perahu.”

Yang menjawab adalah Wulan Srindi.

Kakek Segala Tahu berpaling ke arah orangorang yang tegak di tepi telaga. Dia lambaikan
tangan.

“Selamat tinggal para sahabat. Kalau umur sama panjang kita pasti akan bertemu lagi.”

“Kek, tunggu!” Tiba-tiba Wiro berseru dan melompat ke hadapan Kakek Segala Tahu.

“Kau mau ikutan? Rupanya kau tak mau ditinggal gadis itu. Ha… ha… ha! Tapi kalau tak salah,
mataku yang buta melihat agaknya perahu sudah sempit,” kata Kakek Segala Tahu. Lalu
goyangkan kaleng butut di tangan kirinya hingga suara berisik kembali menggema di tempat itu.

“Tidak, aku bukan mau ikut. Ada satu titipan amanat orang yang kelupaan aku serahkan
padamu. Aku mohon maafmu.”

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kipas kayu cendana yang pernah dititipkan oleh Nyi Roro
Manggut dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Wiro susupkan kipas kayu
cendana itu ke dalam pegangan jari-jari tangan kanan Kakek Segala Tahu.

“Eh, benda apa ini?” tanya si kakek. Lalu mencium harumnya bau kayu cendana. Wajah tuanya
tampak berubah.

“Kipas, Kek,” kata Wiro setengah berbisik.

“Titipan dari Nyi Roro Manggut.”

“Ah…” Kakek Segala Tahu menarik nafas panjang. Dia goyangkan tangan kanan. Sreettt!

Kipas kayu cendana terkembang. Si kakek dekat kan kipas ke wajahnya. Walau dia tidak bisa
melihat namun dia tahu, pada badan kipas tertera gambar sepasang muda mudi. Kakek buta
mata putih itu tempelkan kipas kayu di keningnya. Lalu kipas disimpan baik-baik di balik pakaian
rombengnya.

“Pendekar 212,” kata Kakek Segala Tahu pula.


“Kalau kipas ini kau serahkan sewaktu masih dalam lorong, mungkin kita bisa lebih cepat
menghancurkan manusia-manusia pocong durjana itu.

Tapi semua berjalan sesuai kehendak Gusti Allah.

Terima kasih kau mau bersusah payah menyampaikan kipas ini.” Kakek Segala Tahu berpaling
kearah perahu. “Sobatku Dewa Tuak. Harap maafan. Aku tak jadi ikut denganmu. Aku harus
menemui seseorang…”

Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. “Aku tahu riwayat kipas kayu cendana itu. Jika kau bertemu
orang yang memberikan sampaikan pesanku padanya…”

“Akan aku lakukan,” jawab Kakek Segala Tahu Dewa Tuak tepukkan tangan kirinya ke dalam air
sungai. Perahu yang ditumpanginya bersama Wulan Srindi serta merta melesat dan lenyap
dalam kegelapan malam.

***

Ketika pagi tiba, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati pergi ke kawasan persawahan di
seberang sungai. Mereka menangkap hampir selusin burung belibis lalu memanggang dan

menyantapnya bersama yang lain-lain. Menjelang tengah hari Setan Ngompol muncul. Wiro
merasa kecewa karena Ratu Duyung tidak datang bersama kakek itu. Banyak hal yang ingin
ditanyakan pada gadis cantik bermata biru itu. Ketika ditanya pada Setan Ngompol, sesuai
pesan yang dipesan Ratu Duyung, si kakek memberi tahu bahwa gadis itu diperintahkan
penguasa pantai selatan untuk datang menghadap.

“Aku tahu, kau dan juga gadis itu berdusta,”

kata Wiro yang membuat kencing Setan Ngompol jadi terpancar. Setelah merenung sejenak,
murid Sinto Gendeng lalu berkata, “Para sahabat, aku sangat berterima kasih atas semua
bantuan kalian dalam menghancurkan gerombolan manusia sesat 113 Lorong Kematian. Aku
akan mencari dan mengejar Pangeran Matahari. Selain itu aku masih punya satu tugas dari
Eyang Sinto Gendeng.

Mencari dan menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Aku tidak tahu para sahabat mau ke mana
dan apa yang hendak kalian lakukan. Saat bisa berkumpul bersama seperti ini entah kapan lagi
bisa terjadi.”

“Wiro, aku ikut bersamamu,” kata Setan Ngompol.

Wiro tersenyum. “Terima kasih,” katanya perlahan.


“Aku dan Gondoruwo Patah Hati ada sedikit urusan di pantai utara. Jika ada kesempatan aku
akan bergabung denganmu,” kata Naga Kuning.

Wiro anggukkan kepala.

“Aku akan mencari Hantu Muka Dua,” berkata Luhkentut yang merasa bersalah atas lenyapnya
dedengkot rimba persilatan dari Negeri Latanahsiam itu.

Wiro memandang ke arah Anggini. Dalam hati dia ingin gadis itu ikut bersamanya karena
banyak hal yang akan dibicarakan. Namun murid Sinto Gendong merasa kecewa sekali ketika
Anggini berkata.

“Mungkin sudah saatnya aku menjenguk guruku Nyanyuk Amber di Danau Maninjau Pulau
Andalas…”

Gadis ini memandang berkeliling. Wajahnya nampak redup. “Para sahabat, aku mohon diri lebih
dulu.” Tanpa perhatian atau pandangan khusus, bahkan tanpa satu lirikan pun kepada

Wiro, Anggini berkelebat ke arah lobang besar di dinding batu. Naga Kuning dan Gondoruwo
Patah Hati menyusul pergi. Juga Luhkentut.

Setan Ngompol duduk di tepi telaga, menatap ke arah Wiro. Dia merasa kasihan terhadap
pemuda itu. Lalu si kakek berpaling pada Bunga, gadis dari alam roh. “Apakah kau juga akan
meninggal kan kami?” Bertanya Setan Ngompol.

Bunga tersenyum. “Apakah kau tidak suka aku berada lama-lama di tempat ini?” Gadis ini lalu
melangkah mendekati Wiro. Dipegangnya lengan kiri sang pendekar seraya berkata. “Ingat ujar-
ujar yang mengatakan jangan hati mempengaruhi pikiran, jangan pikiran mengacaukan hati.
Orangorang yang barusan pergi itu tidak perlu kau risaukan. Jika umur sama panjang kau pasti
akan bertemu dengan mereka. Justru ada seorang lain yang harus mendapat perhatian lebih
darimu…”

“Aku mengerti. Aku akan lebih banyak memperhatikan dirimu…”

“Kau tidak mengerti. Orang yang kumaksudkan tidak ada di tempat ini…”

“Maksudmu Bidadari Angin Timur?”

“Kau masih tidak mengerti. Mungkin kau lupa akan ucapanku tempo hari bahwa hanya ada satu
orang yang cocok menjadi pendamping dirimu…”

“Kalau yang kau maksudkan Ratu Duyung, rasanya aku. banyak membagi perhatian untuknya.
Sebaliknya kau ketahui sendiri, dia tidak kembali ke sini…”
“Disitulah letak kebesaran jiwanya. Dia bersedia. mengalah walau mungkin hatinya perih. Dia
tidak ingin mengganggu pertemuanmu dengan Anggini, atau Wulan Srindi, atau pun diriku…”

Wiro terdiam beberapa lama lalu tertawa lebar.

Bunga mengulurkan tangan kanan, menyerahkan sesuatu pada Wiro. “Aku tahu kau tidak
memiliki lagi kembang kenanga. Ambil yang sekuntum ini.

Seperti yang sudah-sudah, kembang ini satu-satunya alat penghubung antara kita.”

Wiro ambil kembang kenanga kuning yang diserahkan Bunga.

“Apakah kau juga berniat pergi?”

“Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Selain itu matahari telah tinggi. Sudah terlalu lama aku
keluar dari alamku…”

“Apa yang hendak kau lakukan kalau aku boleh tahu?” tanya Wiro.

“113 Lorong Kematian…” jawab Bunga. “Tempat itu harus dimusnahkan. Jangan sampai
dipergunakan oleh orang lain untuk berbuat kejahatan.

Bukan mustahil Pangeran Matahari akan kembali ke bekas markasnya itu.”

Wiro garuk-garuk kepala. “Otakku tidak berpikir sampai ke sana,” kata murid Sinto Gendeng
pula. Lalu dipegangnya bahu gadis alam roh itu.

“Terima kasih untuk segala-galanya. Kalau saja aku bisa masuk ke dalam alammu, ikut bersama
mu…”

“Aku senang mendengar kata-katamu itu, Wiro.

Alammu dan alamku hanya terpisah sebatas cahaya sang surya pada siang hari, sebatas tiupan
angin pada malam hari dan sebatas embun sejuk pada pagi hari. Lagi pula dengan kembang
kenanga itu, kau bisa memanggilku setiap saat kau memerlukan diriku…”

Wiro mengangguk. Dia membungkukkan kepala mencium kening Bunga lama sekali. Si gadis
memeluknya erat-erat. Selagi kedua orang itu berangkulan, Setan Ngompol berdiri mendekati
gundukan batu setinggi orang di tepi telaga. Kakek ini lalu memeluk gundukan batu itu.

“Kakek Setan Ngompol, apa enaknya memeluk batu basah dan dingin!” Suara Bunga menggema
di tempat itu. “Kau mau perempuan sungguhan?

Nah lihat dan peluklah yang kuat!”


Setan Ngompol terkejut. Batu yang dipeluknya tiba-tiba berubah menjadi sosok seorang
perempuan muda berwajah cantik, bertubuh montok mengenakan kemben dengan dada
membusung putih. Kali ini saking kagetnya si kakek semburkan air kencing. Sosok sintal
perempuan muda cantik itu dipagutnya erat-erat. Ketika hidungnya hendak ditempelkan ke
dada yang putih besar, mendadak sosok perempuan muda cantik itu kembali ke ujud semula
yaitu batu hitam basah dan dingin. Setan Ngompol terduduk jatuh, beser habis-habisan! Di
dasar jurang suara tawa Bunga menggema panjang dan akhirnya sirna bersama lenyapnya ujud
kasarnya dari tempat itu.

PANGERAN Matahari berlari laksana terbang dalam kegelapan malam. Terpaan angin membuat
sekujur permukaan tubuhnya yang gosong sakit seperti dikikis. Di sebelah dalam tulang
belulangnya seolah bertanggalan. Namun kesengsaraan badaniah itu tidak berarti apa-apa
dibandingkan tumpukan rasa sakit hati dan dendam kesumat akibat semua malapetaka yang
dialaminya.

Pertama, tergusurnya dia dari 113 Lorong Kematian yang sekaligus memusnahkan rencana
besarnya untuk mendirikan satu partai rimba persilatan bernama Partai Bendera Darah.
Dendam kesumat dan sakit hatinya terhadap Wiro dan kawan-kawan bukan alang kepalang.

Kedua, semua ilmu kesaktian luar biasa yang tadinya siap akan didapat dari sosok nyawa kedua
Puti Andini alias Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kegagalan karena gadis yang hidup
dengan nyawa tumpangan itu keburu menemui kematian.

Ketiga, Bendera Darah yang dianggap sebagai bendera keramat mengalami kerusakan. Ini
dianggap sebagai suatu pertanda tidak baik.

Lalu yang keempat ialah sakit hati atas kekalahannya ketika menghadapi mahluk halus
berbentuk perempuan cantik yang menolong Jatilandak, Walau dia tidak berhasil menyedot dan
mendapatkan ilmu kesaktian yang ada dalam diri Yang Mulia Sri Paduka Ratu namun dia
berharap masih memiliki ilmu kesaktian asli yang tidak bisa dibuat main-main. Seluruh tokoh
rimba persilatan tanah Jawa merasa ngeri menghadapinya. Mengapa dengan sosok berbentuk
perempuan bayangan itu dia bisa dipecundangi? Apakah dia juga telah kehilangan keampuhan
ilmu kesaktian sakti yang didapatnya dari mendiang gurunya, Si Muka Bangkai? Kalau saja ada
orang lain di hadapannya saat itu ingin sekali dia membunuh untuk menjajal salah satu pukulan
sakti yang dimilikinya.

“Mahluk jahanam itu! Kalau dia bukan gadis alam roh kekasih Pendekar 212, mungkin sekali dia
adalah mahluk yang datang dari alam yang sama dengan pemuda kulit kuning itu. Lalu apa
hubungannya dengan Jatilandak? Gurunya atau kekasihnya? Ilmu kesaktiannya luar biasa.
Edan!
Bagaimana aku harus menghadapinya kalau bertemu lagi?” Sosok tubuh berbentuk
bayangbayang wajah cantik yang samar, muncul dipelupuk mata Pangeran Matahari.

Selewat satu bukit kecil, Pangeran Matahari lari ke arah timur memasuki rimba belantara.
Keluar dari hutan dia sampai di satu pedataran tinggi ditumbuhi pohon-pohon jati berusia
puluhan tahun. Di satu tempat dia hentikan lari. Jatuhkan diri ke tanah, berbaring menelentang
menatap langit kelam lalu pejamkan mata. Sakit hati dan dendam kesumat masih menggumpal
di rongga dadanya.

Pangeran Matahari bangkit berdiri dan siap untuk tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau harum lalu telinganya menangkap suara
orang menghela nafas berulang kali. Suara itu datang dari bagian tanah rendah di sebelah kiri.
Perlahanlahan, tanpa suara dia, melangkah ke arah sumber suara. Tepat pada bagian tanah
yang menurun, Pangeran Matahari menyelinap ke balik satu pohon jati besar. Sepasang mata
menyipit, lalu membesar. Mulut sunggingkan seringai.

“Ahh… dia rupanya. Sungguh tidak disangka…”

Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Dada berdebar, aliran darah mengencang dan memanas.

Untuk sesaat rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya luar dalam tidak terasa. “Hampir tak
percaya aku akan penglihatanku sendiri! Pantas sewaktu para jahanam itu menyerbu lorong
aku tidak melihat yang satu ini. Ternyata dia ada di sini. Kelihatannya tengah bersedih. Seperti
mau menangis. Ha… ha! Nasibmu tidak akan lebih baik dari saudara kembarmu! Pendekar 212!
Saat ini aku punya satu kesempatan untuk membuat dirimu hidup dengan hati sengsara
seumur-umur sampai akhirnya aku mengirimmu ke neraka!”

Apa atau siapakah yang telah dilihat Pangeran Matahari saat itu? Sejarak sepuluh langkah dari
balik pohon jati tempat dia bersembunyi, ada sebuah gubuk tak berdinding, beratap rumbia
berlantai papan. Di sisi kiri gubuk, di pinggiran lantai papan, tangan kiri menopang kening,
duduk menyamping seorang dara berpakaian biru. Rambutnya yang pirang tergerai lepas,
bergerak perlahan dimainkan hembusan angin malam. Angin malam pula yang menebar bau
harum tubuh dan pakaiannya.

Pangeran Matahari sandarkan Bendera Darah ke batang pohon lalu perlahan sekali, tanpa
mengeluarkan suara dia melangkah mendekati sang dara.

“Bidadari Angin Timur, malam sunyi dan dingin begini rupa, apa yang kau perbuat seorang diri
di tempat ini?”

Mendengar suara orang, gadis berambut pirang yang duduk di lantai papan tersentak kaget.
Lebih kaget lagi ketika dia melihat sosok nyaris telanjang berwajah gosong luar biasa
mengerikan tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Didahului pekikan keras si cantik di dalam
gubuk melompat bangkit.
Namun, dess… dess!

Dua totokan kilat dengan hebat menusuk pangkal lehernya kiri kanan, membuat gadis ini jatuh
terduduk di lantai papan. Tak bisa bicara, tak mampu bergerak, dua mata membeliak! Dia cepat
kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti keleher. Walau memiliki kekuatan dahsyat namun si
gadis hanya sanggup membuyarkan totokan yang menutup jalan suara. Totokan yang membuat
dia tak mampu bergerak, tidak dapat dimusnahkan.

Gadis di lantai gubuk yang bukan lain memang Bidadari Angin Timur adanya kembali menjerit
keras lalu membentak.

“Setan! Mahluk siapapun kau adanya lepaskan totokan di tubuhku!”

Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Nasibku memang buruk,” katanya. “Sekujur tubuh dan
wajah hitam gosong. Pakaian penuh robek nyaris telanjang. Tidak heran kalau kau tidak
mengenali diriku!”

Pangeran Matahari perlahan-lahan berjongkok di hadapan Bidadari Angin Timur.

“Perhatikan kepala dan tubuhku! Gosong terbakar! Lihat wajahku! Lihat! Hidung miring ke kiri.

Pipi kiri melesak, rahang amblas. Mata kiri terbenam! Ada cacat luka di kening kiri! Lihat jari
kelingking tangan kiriku yang buntung! Apa kau masih belum mengenali diriku, hah?”

Pangeran Matahari ulurkan kepalanya dekatdekat hingga hampir menyentuh wajah Bidadari
Angin Timur. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit keras.

“Mahluk jahanam! Lepaskan totokan di tubuhku!”

“Kau tahu, semua penderitaan ini, semua kesengsaraan ini adalah akibat perbuatan kekasihmu
si keparat Pendekar 212 Wiro Sableng!”

Sesaat Bidadari Angin Timur terbeliak kaget “Mahluk terkutuk! Siapa percaya ucapanmu!

Jangan kau berani bermulut lancang! Aku bukan kekasih Pendekar 212!”

“Ha… ha…! Kalau begitu aku benar-benar mendapat peluang! Malam ini aku Pangeran Matahari
akan menjadi kekasihmu! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik,
segala congkak! Ha… ha… ha!” Habis mengumbar tawa Pangeran Matahari ulurkan tangan
kanan membelai wajah sang dara.

“Jangan kau berani menyentuh diriku!” teriak Bidadari Angin Timur sambil matanya membeliak
menatap ke arah wajah mengerikan di hadapannya. Sulit dia mempercayai mahluk bugil
menyeramkan itu adalah Pangeran Matahari. Tapi suaranya. Dia pernah mendengar suara
Pangeran Matahari sebelumnya. Memang ada kesamaan.

Pangeran Matahari tundukkan kepala, mencium pipi Bidadari Angin Timur, menjilat telinga si
gadis lalu berbisik. “Saudara kembarmu pernah menjadi kekasihku. Ah, dia gadis hebat. Luar
biasa di atas ranjang. Tapi aku rasa kau lebih hebat dari dia walau alas ketiduran kita saat ini
hanya lantai papan.”

“Setan! Mahluk terkutuk! Pergi kau!”

Bidadari Angin Timur kembali menjerit ketika Pangeran Matahari mendorong tubuhnya hingga
terbaring terlentang tak berdaya di lantai gubuk.

“Jahanam! Jangan lakukan ini padaku! Demi Tuhan jangan!” teriak Bidadari Angin Timur
sewaktu Pangeran Matahari mulai merobek dan melucuti pakaiannya sebelah atas, dilanjutkan
dengan merobek dan menyingkap pakaiannya sebelah bawah.

“Jahanam! Lebih baik kau bunuh diriku!”

Pangeran Matahari tertawa bergelak.

“Kekasihku, bukankah sejak lama sebenarnya kita saling memendam cinta? Sekarang ada
kesempatan kita menikmati hidup ini. Mengapa malah minta dibunuh?”

Bidadari Angin Timur memaki habis-habisan lalu meludahi muka Pangeran Matahari. Yang
dimaki dan diludahi cuma menyeringai. Sepasang mata sang Pangeran berkilat-kilat, dikobari
api amarah, dendam kesumat dan yang paling hebat adalah kobaran nafsu bejat terkutuk!
Apalagi seumur hidup belum pernah dia melihat aurat perempuan semulus dan seindah serta
sekencang seperti yang terbaring di hadapannya saat itu. Di puncak gelegak nafsunya, tubuhnya
sebelah bawah yang tidak mengenakan apa-apa lagi lang sung dirapatkan ke aurat paling
terlarang Bidadari Angin Timur.

Crasss!

Darah menyembur!

Pangeran Matahari keluarkan teriakan dahsyat ketika dari arah kegelapan satu sinar merah
melesat ke bagian bawah perutnya. Tubuhnya terjengkang, terguling ke samping, beberapa
lama berkelojotan seperti disengat bara api! Darah mengalir di lantai papan. Dia berusaha
bangkit. duduk dan memeriksa bagian bawah perutnya. Ketika melihat luka besar yang
menyemburkan darah pada kemaluannya langsung dia menjerit setinggi langit berulang kali
seperti orang gila! Bagaimana tidak, kemaluan itu nyaris putus!
Tubuh gemetar menahan amarah dan rasa sakit luar biasa, Pangeran Matahari cepat totok urat
besar di pangkal paha kiri kanan. Darah dari luka di kemaluan berhenti mengucur namun rasa
sakit tidak bisa hilang.

“Pembokong jahanam! Pengecut! Kau hendak menghancurkan hidupku! Aku Pangeran


Matahari tidak bisa dihancurkan! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala
licik, segala congkak! Tidak ada yang bisa hancurkan diriku!

Perlihatkan dirimu!”

Pangeran Matahari memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.
Bidadari Angin Timur masih tergeletak di lantai papan dalam keadaan nyaris bugil, antara sadar
dan tidak.

Gilanya, dalam keadaan terluka parah seperti itu nafsu bejat Pangeran Matahari kembali
berkobar.

Dia segera membungkuk hendak mengangkat tubuh Bidadari Angin Timur. Rencananya gadis
itu akan dipanggul dan dibawa lari ke tempat lain di mana dia akan melanjutkan niat
terkutuknya.

Namun sebelum sempat menyentuh tubuh sang dara untuk kedua kalinya, kembali selarik sinar
merah melesat dari kegelapan.

Pangeran Matahari menjerit kesakitan ketika lengan kanannya terluka dan kucurkan darah.

Nafsu bejat sang Pangeran serta merta sirna berubah menjadi amarah. Terbungkuk-bungkuk
dia keluar dari dalam gubuk, tertatih-tatih ke arah pohon besar di mana dia menduga
bersembunyi nya orang yang membokong. Sejarak sepuluh langkah dari pohon itu Pangeran
Matahari hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti.

Sinar kuning, merah, dan hitam berkelebat dalam kegelapan malam. Itulah pukulan sakti
bernama Gerhana Matahari. Di seberang sana, pohon besar yang terkena hantaman berderak

hancur, tumbang ke tanah dalam keadaan terbakar. Semak belukar sekitar pohon tenggelam
dalam kobaran api, hancur bertaburan, beterbangan ke udara. Bersamaan dengan tumbang
dan terbakarnya pohon, melengking satu jeritan keras.

“Rasakan! Mampus kau!” ucap Pangeran Matahari yang menyangka pukulan saktinya tadi telah
berhasil mengenai si pembokong. Terhuyunghuyung menahan rasa sakit pada luka besar di
kemaluannya dia melangkah ke balik tumbangan pohon. Namun alangkah terkejutnya dia
ketika tidak menemukan siapa-siapa. Padahal jelas-jelas tadi ada suara orang menjerit keras
sekali di tempat itu. Suara jeritan lelaki!
“Setan dari mana yang tengah mempermainkan diriku?” rutuk Pangeran Matahari.
“Mungkinkah mahluk perempuan berujud bayangan di telaga itu? Tapi yang menjerit tadi jelas
suara lelaki!”

Mendadak terdengar suara tawa melengking dari arah gubuk beratap rumbia. Kali ini suara
tawa perempuan! Membuat Pangeran Matahari melengak kaget, merutuk habis-habisan.
Segera dia mengambil Bendera Darah yang tadi disandarkannya di batang pohon lalu secepat
langkah yang bisa dilakukannya, sambil terus menahan sakit, dia berjalan menuju gubuk.
Setengah jalan langkahnya tertahan. Dia jadi terkejut luar biasa, karena selain tidak melihat
siapa orang yang tertawa, sosok Bidadari Angin Timur yang sebelum nya tergeletak di lantai
gubuk tak ada lagi di tempat itu!

Pangeran Matahari terdongak kaget ketika mendadak terdengar suara tawa perempuan. Kali ini
datangnya dari atas atap gubuk.

“Setan perempuan! Kali ini tamat riwayatmu!”

bentak Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia mengerahkan
tenaga dalam penuh. Ketika tangan itu dihantamkan ke atas selarik sinar merah menderu
dahsyat. Tidak kepalang tanggung karena sang Pangeran berniat benar-benar ingin menghabisi
orang yang tertawa di atas atap, dia lepaskan pukulan Merapi Meletus.

Bilamana lawan yang terkena hantaman pukulan ini mampu bertahan maka umurnya tidak
akan lama. Isi dada dan isi perut laksana dibetot berbusaian keluar. Jalan darah berhenti.
Sekujur tubuh hilang kekuatan dan akhirnya leleh!

Atap gubuk yang terbuat dari ijuk tenggelam dalam kobaran api, hancur berantakan. Pangeran
Matahari melompat keluar dari dalam gubuk.

Untuk beberapa lama kesunyian menggantung di udara.

“Kurang ajar!” Pangeran Matahari merutuk sambil matanya memandang ke arah atas gubuk
yang kini tidak beratap, lalu memperhatikan berkeliling. “Lolos lagi!” katanya dengan rahang
menggembung. Sulit dipercaya karena selama dia memiliki pukulan sakti itu hanya para tokoh
rimba persilatan cabang atas saja yang mampu menyelamatkan diri. “Perempuan yang tertawa
itu!

Sampai di mana kehebatannya? Apakah dia salah satu tokoh rimba persilatan tanah Jawa?”

Baru saja Pangeran Matahari selesai berucap, mendadak kembali suara tawa perempuan
melengking keras. Kali ini hanya beberapa langkah saja di depannya. Dalam kaget dan
marahnya Pangeran Matahari tusukkan ujung gagang Bendera Darah yang lancip ke depan.

Wuttt!
Bendera Darah melesat deras. Tapi karena tak ada siapa-siapa di hadapannya ujung runcing
gagang Bendera Darah hanya menembus udara kosong!

Bagaimanapun angkuh congkaknya sang Pangeran namun saat itu nyalinya jadi ciut juga.

Tengkuk mulai terasa dingin. Tidak tunggu lebih lama lagi dia segera tinggalkan tempat itu.

Semula dia punya niat kembali ke kawasan 113 Lorong Kematian untuk mencari Aksara Batu
Bernyawa. Namun saat itu dia lebih mementingkan keselamatan diri dan berusaha mencari
seseorang yang bisa mengobati luka parah yang dideritanya pada alat kelaminnya.

Belum jauh Pangeran Matahari meninggalkan hutan jati tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
bergemuruh dahsyat laksana gunung batu runtuh. Untuk beberapa saat lama tubuhnya
tertegun gontai. Kepala dipalingkan ke arah selatan.

“113 Lorong Kematian…” desisnya. Wajah berubah tercekat. “Suara gemuruh itu datang dari
arah sana. Apa yang terjadi?” Rasa khawatir muncul dalam hati Pangeran Matahari. Dia ingin
sekali menyelidik. Namun keadaan dirinya tidak me mungkinkan.

CAHAYA matahari pagi menyeruak di selasela dedaunan, sebagian jatuh tepat di permukaan
wajah pucat Bidadari Angin Timur.

Kehangatan cahaya sang surya membuat sepa sang mata si gadis yang sekian lama tertutup kini
tampak bergetar lalu perlahan-lahan membuka.

Yang pertama kali dilihatnya adalah langit biru lepas. Lalu dia mendengar suara kicau burung
dan sayup-sayup di kejauhan ada suara menderu tak berkeputusan. Suara air jatuh. Ada air
terjun di sekitar situ.

Sedikit demi sedikit daya ingatan Bidadari Angin Timur mulai bekerja.

“Di mana aku saat ini? Bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Bukankah…?” Gadis beram but
pirang ini raba dadanya dengan tangan kanan.

Dia sadar, bukankah sebelumnya dia berada dalam keadaan tertotok? Siapa yang melepaskan
totokannya?

Di atas tubuh Bidadari Angin Timur dapatkan sehelai kain menutupi. Ini membuat dia tambah
tak mengerti.
Tiba-tiba satu wajah menyeramkan muncul di pelupuk matanya. Muka lelaki gosong, rambut
terbakar, mata dan pipi kiri melesak, hidung miring.

Pangeran Matahari!

Bidadari Angin Timur menjerit keras. Tubuh tersentak bangkit dan terduduk di tanah. Kain yang
menutupi auratnya merosot jatuh ke pangkuan. Saat itulah dia menyadari betapa pakaian
birunya robek tak karuan hingga keadaannya nyaris telanjang. Kejadian malam tadi! Ada rasa
sakit di bagian bawah perutnya. Sekujur tubuh si gadis menggigil. Mukanya seputih kain kafan.

Dengan tangan gemetar dia sibakkan kain yang menutupi tubuhnya sebelah bawah. Sepasang
mata Bidadari Angin Timur terbeliak besar ketika melihat ada noda darah setengah mengering
di kedua pangkal pahanya!

Untuk kedua kalinya Bidadari Angin Timur menjerit keras. Lalu ratap mengenaskan meluncur
keluar dari mulutnya.

“Tuhan! Teganya engkau membiarkan manusia dajal itu merampas kehormatanku! Tak ada
gunanya lagi hidup ini! Lebih baik mati daripada hidup bercermin bangkai!”

Didahului satu jeritan panjang, Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Tanpa memperhatikan
kemana dia menuju gadis ini berlari sambil terus menjerit dan menjerit. Mendadak larinya
tertahan.

Di hadapannya terbentang satu jurang batu luar biasa dalamnya. Di salah satu sisi jurang mengu
cur deras air terjun. Sang dara tertegun.

Ada bisikan halus dalam lubuk hatinya. “Bidadari Angin Timur, jangan kau menempuh jalan
sesat…”

Si gadis terkesiap. Tapi cuma seketika. Ada bisikan lain dalam dirinya. “Apa kau sanggup
bertahan hidup. Hamil karena diperkosa lalu melahirkan seorang anak haram…”

Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergetar.

“Tuhan! Berikan kematian saat ini juga padaku!

Aku tak sanggup bertahan hidup dalam keadaan ternoda seperti ini! Tuhan, jika sudah mati aku
rela menjadi setan untuk mencari dan membunuh manusia terkutuk Pangeran Matahari!”

Bidadari Angin Timur menjerit lagi satu kali.

Suara jeritan itu bergaung panjang menggidikkan ketika dengan segala kenekatan gadis cantik
bernasib malang ini menghambur jatuhkan diri ke dalam jurang. Ketika gaung jeritan sirna yang
terdengar kini hanya suara curahan air terjun. Langit pagi yang tadi biru bersih tiba-tiba
berubah gelap.

Mendung menggumpal di mana-mana. Di udara, kilat menyambar disusul gemuruh suara


gelegar guntur. Sesaat kemudian hujan turun luar biasa hebatnya. Lapat-lapat di kejauhan
terdengar suara raungan binatang. Alam seolah ikut meratapi nasib malang yang menimpa
seorang anak manusia yang terlahir bernama Pandan Wangi dan dalam rimba persilatan tanah
Jawa dikenal dengan sebutan Bidadari Angin Timur.

***

Dua orang berpakaian pasukan Kerajaan memacu kuda masing-masing dalam gelapnya malam.
Menempuh jalan mendaki dan berliku-liku.

Mereka bukannya memperlambat lari kudanya, malah menggebrak binatang-binatang itu agar
berlari lebih kencang. Dari kecekatan mereka me nunggang kuda jelas keduanya orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Selewatnya satu tikungan tajam, entah dari mana munculnya, tiba-tiba satu sosok hitam
berkelebat jungkir balik satu kali di udara. Ketika berdiri di tengah jalan tangan kiri berkacak
pinggang, tangan kanan tancapkan sebatang besi ketanah. Tampangnya garang walau ada
bayangan seperti menahan sakit.

Dua kuda besar meringkik keras. Dua kaki depan naik ke atas Tubuh sebelah belakang
terbanting ke samping. Kalau dua penunggangnya tidak cepat merangkul leher kuda masing-
masing dengan kuat, niscaya mereka sudah terlempar jatuh!

“Jahanam! Anjing kurap dari mana berani menghadang perjalanan orang!” Penunggang kuda di
sebelah kanan membentak marah. Namun kalau tadi dia belum begitu jelas melihat sosok
orang yang menghadang di tengah jalan, kini setelah lebih memperhatikan dengan jelas orang
di depannya, tengkuknya mendadak menjadi dingin.

Penunggang kuda satunya terkesiap tak berkedip.

“Aku tidak dapat memastikan. Apakah mahluk di depanku ini manusia atau setan adanya,”

ucapnya dalam hati. Dia rapatkan kuda mendekati temannya. “Surojantra, kalau mahluk ini
hantu benaran, aku tidak takut. Tapi kalau dia manusia, berarti kita menghadapi perkara besar.
Mungkin rahasia urusan kita telah bocor?”

Sang teman yang tadi membentak menjawab.

“Baunya seperti kayu hangus. Ada asap tipis kemerahan keluar dari hidung dan mulutnya. Dia
menancapkan besi gulungan bendera ke tanah.
Aku yakin dia manusia seperti kita walau tubuh nyaris telanjang. Gosong dari kepala sampai ke
kaki. Tampang memang seperti setan. Bukan mustahil dia suruhan orang-orang Keraton
Kaliningrat untuk mencegat kita. Jaliteng, aku akan menghadapinya. Jika perkara tidak bisa
dielakkan kau harus cepat tinggalkan tempat ini. Selamatkan barang bawaan!”

Habis berkata begitu Surojantra menggerakan kuda mendekati orang yang menghadang di
tengah jalan.

“Sampeyan siapa? Ada urusan apa menghadang perjalanan kami?”

Orang di tengah jalan yang bukan lain Pangeran Matahari adanya tertawa bergelak.

“Aneh, bicaramu sekarang jadi sopan. Sekarang kau memanggil aku sampeyan segala! Ha… ha…
ha! Padahal kau tadi menyebut aku anjing kurap!”

“Maaf kalau tadi aku keterlepasan bicara kasar karena kaget oleh kemunculanmu yang tiba-
tiba.

Aku tidak punya waktu banyak bicara panjang lebar dengan setan jejadian sepertimu. Lekas
menyingkir!”

“Kalau aku tidak mau menyingkir?” tantang Pangeran Matahari sambil dongakkan kepala penuh
sombong padahal masih menahan sakit, “Kaki kudaku akan menghancurkan batok kepalamu!
Dan kau akan jadi setan benaran!” kata Surojantra pula.

Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Aku mau lihat bagaimana caramu memecahkan batok
kepalaku!” Lalu dia sengaja ulurkan kepalanya seolah menantang minta digebuk.

Surojantra jadi berang. Dia tepuk pinggul kanan kuda tunggangannya. Secara bersamaan tangan
kiri menyentak tali kekang. Didahului ringkikan keras kuda besar menyepakkan kaki kanan
sebelah depan ke arah kepala Pangeran Matahari. Cepat, ganas mematikan! Walau cukup
terkesiap melihat datangnya serangan luar biasa itu namun sang Pangeran masih bisa
mengumbar tawa mengejek. Kepala dirundukkan. Lutut dilipat.

Tiang Bendera Darah yang terbuat dari besi dan saat itu menancap di tanah secepat kilat
dicabut.

Wuuttt! Wuuuttt!

Kraakk! Kraak!

Dua kaki depan kuda besar tunggangan Suro jantra hancur patah. Binatang ini meringkik
dahsyat lalu roboh ke tanah. Sekali lagi tongkat Bendera Darah berkelebat.
Praakk!

Kali ini gagang bendera menghantam remuk kepala kuda. Binatang ini melosoh ke tanah,
melejang dua kali lalu rebah tak berkutik lagi.

Surojantra yang terpental dari punggung kuda, dengan berjumpalitan berhasil selamatkan diri.

Namun baru saja dua kakinya menginjak tanah, ujung lancip gagang Bendera Darah melesat
dan amblas menancap ke ulu hatinya, tembus sampai ke punggung!

Melihat Surojantra menemui ajal menggidikkan begitu rupa, Jaliteng serta merta memedal
kudanya. Namun Pangeran Matahari lebih cepat menggebukkan gagang Bendera Darah ke
perut Jaliteng. Tubuh lelaki ini terlipat ke depan lalu terguling-guling di tanah. Darah
menyembur dari mulut. Secepat kilat Pangeran Matahari melesat keatas punggung kuda
Jaliteng dan memacu binatang ini ke arah timur.

“Prajurit-prajurit tolol! aku hanya mau minta kuda! Tapi kalian malah sengaja serahkan nyawa!”

***

Ki Tambakpati bersemedi sejak tengah malam tadi demi untuk mendapat petunjuk Yang Maha
Kuasa. Gubuk kecil kediamannya di puncak bukit diterangi obor redup di empat sudut. Di tanah
di depan tempat dia duduk bersila terdapat sebuah belanga tanah. Di dalam belanga ada
ramuan tulang belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan serta cairan yang menebar kepulan
asap sengak serta mengeluarkan suara mendidih. Padahal di bawah belanga sama sekali tidak
ada api yang menyala!

Hebatnya, sekaligus menggidikkan, di manamana dalam gubuk itu terdapat tulang belulang
manusia. Bahkan lima tengkorak kepala manusia yang sudah lumutan tergeletak di lantai tanah.

Empat obor di sudut gubuk yang biasanya dibuat dari potongan bambu, terbuat dari tulang kaki
manusia. Di salah satu bagian gubuk, merapat kedinding, terdapat sebuah ketiduran terbuat
dari tulang belulang manusia di alas tikar jerami kering. Di samping kiri Ki Tambakpati
terbentang sehelai tikar kulit kambing.

Tidak terduga, khidmat khusus semedi Ki Tambakpati mendadak terganggu. Bagaimanapun dia
berusaha tetap saja dia tidak mampu menutup jalan pendengaran serta menghindari getaran
pada kelopak matanya.

“Ada malapetaka menuju ke sini…” ucap Ki Tambakpati dalam hati. Lalu terdengar suara derap
kaki kuda di kejauhan. Makin kencang makin keras pertanda mendekat mendatangi ke arah
gubuk di puncak bukit itu. Lalu, braak!
6

PINTU gubuk terpentang jebol. Satu sosok tubuh hitam gosong melesat masuk, tegak tergontai-
gontai sambil berpegangan pada besi gagang bendera. Bau sengak dalam gubuk kini bercampur
dengan bau amis darah setengah kering.

“Malapetaka telah datang,” kata Ki Tambakpati dalam hati. Perlahan-lahan dia buka kedua
mata nya yang sejak tadi terpejam. Walau rasa bergidik membuat sekujur tubuh Ki Tambakpati
menggigil bergetar, namun orang tua yang berusia lebih tujuhpuluh tahun ini berusaha
tenangkan diri, menatap sosok mengerikan di hadapannya dengan pandangan mata redup tak
berkesip. Tubuh gosong tanpa pakaian sama sekali. Setiap menghembuskan nafas, dari mulut
serta lobang hidung keluar asap tipis kemerahan.

Meskipun wajah orang di hadapannya gosong hitam, namun Ki Tambakpati mengetahui bahwa
tamu yang muncul menunggang kuda, masuk menjebol rusak pintu gubuknya adalah seorang
lelaki berusia muda. Mahluk mengerikan ini berdiri gontai sambil tangan kiri terus-terusan
mendekap kemaluannya.

“Welas asih dan kesejahteraan untuk semua orang.” Ki Tambakpati menyalami. “Anak muda,
apakah kau tidak keliru terpesat datang kemari?”

“Siapa bilang aku keliru! Aku tidak pernah keliru!” sang tamu menjawab teguran Ki Tambakpati
dengan suara keras dan sikap congkak lalu tancapkan gagang besi bendera ke lantai tanah.

“Ah, syukurlah kalau begitu…” kata Ki Tambakpati pula.

“Orang tua, bukankah kau bernama Ki Tambakpati, berjuluk Tangan Penyembuh. Jangan berani
berdusta!”

“Anak muda, kau betul. Aku memang Ki Tambakpati. Seumur hidupku yang lebih dari tujuh
puluh tahun, dengan kuasa serta petunjuk Gusti Allah aku belum pernah berdusta. Mengenai
julukan, itu hanya sekedar pemberian orang banyak yang aku sendiri sebenarnya risih sekali
untuk menerima. Anak muda, katakan…”

“Orang tua!” sang tamu membentak memotong ucapan orang. “Dengar, jangan panggil aku de
ngan sebutan anak muda!”

Dibentak begitu rupa Ki Tambakpati jadi kaget namun cepat tenang kembali. “Harap maafkan.

Aku harus memanggilmu bagaimana?”

“Panggil aku Pangeran! Kau dengar Ki Tambak pati? Pangeran!”


Kening si orang tua berkerut. “Seorang Pangeran muncul dengan berkeadaan seperti ini. Sulit
dipercaya. Pangeran dari mana dia gerangan?”

kata Ki Tambakpati dalam hati. Kemudian merebak senyumnya. “Ah, aku yang tua ini telah
berlaku lancang. Tidak tahu kalau berhadapan dengan seorang Pangeran. Maafkan diriku.” Ki
Tambakpati bungkukkan dadanya sampai tiga kali.

Ketika kepala diangkat dia bertanya. “Pangeran, ada keperluan apa Pangeran datang ke
gubukku yang hina ini?” Mata si orang tua melirik ke bagian bawah perut tamu di hadapannya
yang sejak tadi ditekap dan ditutupi dengan tangan kiri. Di antara sela-sela jari tangan itu dia
melihat ada lelehan darah.

“Aku ingin kau menolong menyembuhkan luka yang aku derita.”

“Luka? Luka apa, Pangeran?”

Orang di hadapannya perlahan-lahan membuka tekapan tangan kirinya. Melihat aurat yang kini
tersingkap itu, merinding bulu tengkuk Ki Tambakpati. Seumur hidup belum pernah dia melihat
luka mengerikan seperti itu. Kemaluan orang dihadapannya itu mengalami luka yang amat
hebat, nyaris putus!

“Pangeran, apa yang terjadi?” tanya Ki Tambak pati.

“Kau tak layak bertanya! Apa yang terjadi bukan urusanmu! Kewajibanmu adalah
menyembuhkan luka ini!”

Ki Tambakpati terdiam sesaat lalu berkata. “Ah, lancangnya diriku dalam bertanya. Tapi
Pangeran, kau datang ke tempat yang salah. Aku memang punya sedikit ilmu pengobatan.
Namun hanya khusus dalam pengobatan orang-orang yang patah tulang. Aku tak mungkin
menyembuhkan luka yang kau derita. Kau harus mencari seorang lain yang mampu mengobati
dan memberi kesembuhan.”

“Aku datang dari jauh untuk selamatkan nyawa! Sampai di sini kau berani menolak mengobati
lukaku! Kau ingin aku mati berdiri!”

“Pangeran, bukannya aku menolak. Tapi diriku memang tidak punya kemampuan untuk
mengobatimu…”

“Kalau aku mati karena luka ini, lebih baik kita mati sama-sama saat ini juga!” Sang Pangeran
mengancam. Lalu tangan kirinya yang berlumuran darah bergerak menjangkau tengkorak
kepala manusia yang tergeletak di lantai gubuk. Sekali jari-jarinya meremak, kraaakk! Tengkorak
kepala itu remuk hancur! Belum cukup sang Pangeran hantamkan tangan kanan, Braaakk!
Dinding gubuk di belakang Ki Tambakpati hancur berantakan. Belasan tulang belulang yang
tergantung di dinding itu ikut mental ke dalam kegelapan di luar sana.

“Anak mud… Pangeran. Dengar…” Rasa takut mulai menjalari diri Ki Tambakpati.

“Dukun keparat! Kau yang harus mendengar!

Obati lukaku atau aku pecahkan kepalamu saat ini juga!”

Ki Tambakpati geleng-geleng kepala sambil berulang kali menyebut nama Tuhan.

“Kalau kau memaksa, aku hanya bisa mencoba. Soal kesembuhan kita serahkan pada Gusti
Allah Yang Maha Kuasa.” Orang tua itu bangkit berdiri.

“Pangeran, berbaringlah di atas tikar kulit kambing itu.”

Sang Pangeran berdiri. Dia bukannya berjalan ke arah tikar kulit kambing tapi melangkah dan
baringkan diri di atas tempat tidur yang terbuat dari tulang belulang beralaskan tikar jerami
kering.

“Kau jangan berani menghinaku, Ki Tambakpati. Seorang Pangeran apa layak tidur di tikar
rombeng kulit kambing? Di atas tempat tidur inipun sebenarnya sangat tidak layak bagiku!”

“Maafkan aku Pangeran,” kata Ki Tambakpati.

Lalu dia melangkah ke salah satu sudut gubuk yang masih utuh. Sepasang mata dipejamkan,
dua telapak tangan saling dirapatkan, dua lengan diluruskan ke atas. Saat itu pula perlahan-
lahan tubuhnya terangkat ke atas hingga kedua kakinya yang kurus tidak lagi menginjak lantai
tanah gubuk.

“Daun sirih pembersih luka.” Ki Tambakpati berucap. Secara aneh dari sela-sela dua telapak
tangannya menyembul keluar tiga helai daun sirih.

Daun-daun ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.

“Kunyit putih perekat luka.” Ki Tambakpati kembali berucap disusul melesatnya tiga butir benda
putih. Seperti tiga helai daun sirih tadi, tiga benda putih ini melesat masuk ke dalam belanga.

“Alang-alang dewa penyambung otot dan urat”

Kembali si orang tua berseru. Tiga lembar alangalang sepanjang dua jengkal melesat keluar dari
sela dua telapak tangan, melayang di udara lalu masuk ke dalam belanga tanah.
“Kemenyan pemohon keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Penyayang lagi
Maha Penyembuh!”

Untuk kesekian kalinya dari sela telapak tangan Ki Tambakpati melesat keluar benda yang
disebutkan. Kali ini berupa serbuk kemenyan kasar berkilauan. Serbuk ini melesat masuk ke
dalam belanga tanah. Suara mendidih di dalam belanga terdengar makin keras. Kepulan asap
bertambah tebal. Bau harum cendana kini bertukar dengan bau obat aneh.

Memperhatikan semua yang terjadi, orang yang tergeletak di atas ranjang tulang yang tentu
saja adalah Pangeran Matahari, berkata dalam hati.

“Sulap atau sihir apa yang dilakukan tua bangka ini! Kalau dia menipuku, kupecahkan
kepalanya!”

Untuk beberapa lama tubuh Ki Tambakpati masih mengapung di udara. Mulut berkomatkamit.

Mata masih terpejam. Pangeran Matahari memperhatikan dengan tidak sabar. Tak selang
berapa lama perlahan-lahan sosok orang tua itu bergerak turun ke tanah. Pada saat kedua
kakinya menginjak lantai tanah gubuk, obor yang tinggal dua di sudut ruangan berkelap-kelip.
Udara terasa dingin. Belanga tanah bergerak-gerak seolah digoyang oleh tangan yang tidak
kelihatan. Ki Tambakpati dongakkan kepala. Perlahanlahan mata yang terpejam dibuka,
perlahan-lahan kepala ditundukkan kembali. Lalu dari dinding gubuk dia mengambil sebuah
gayung terbuat dari tulang. Dengan gayung tulang si orang tua men ciduk cairan obat dalam
belanga tanah lalu dimasukkan ke dalam cangkir tulang. Di dalam cangkir tulang, cairan itu
masih terus mendidih dan kepulkan asap.

Ki Tambakpati melangkah mendekati ranjang tulang. Dia membungkuk di samping ranjang,


susupkan tangan ke belakang kepala Pangeran Matahari lalu kepala diangkat sedikit.

“Pangeran, harap kau suka meminum obat ini.

Teguk perlahan-lahan sampai habis.”

“Orang tua gila! Kau menyuruh aku minum cairan panas mendidih! Kau menipuku! Kau mau
membunuhku!” bentak Pangeran Matahari.

Ki Tambakpati tersenyum. “Kalau cairan di dalam cangkir tulang panas, mana mungkin jarijari
tua ini sanggup memegangnya? Kau tak usah khawatir. Minumlah…”

Sesaat Pangeran Matahari terdiam. “Kau benaran Ki Tambakpati?”

“Pangeran, sebelumnya kau berkata tidak pernah keliru. Kau yakin bahwa aku memang Ki
Tambakpati. Apa lagi sekarang yang merisaukanmu?” Orang tua itu dekatkan cangkir tulang ke
mulut Pangeran Matahari. Walau masih agak ragu namun karena ingin sembuh akhirnya
Pangeran Matahari teguk juga obat di dalam cangkir.

Anehnya, ternyata cairan obat itu terasa sejuk.

“Bagus, sekarang berbaringlah kembali. Kembangkan paha lebar-lebar.” Ki Tambakpati


lemparkan cangkir ke arah tumpukan tulang belulang lalu mengangkat belanga tanah. Ketika
dia berdiri di kaki ranjang tulang, orang tua ini berkata.

“Pangeran aku akan menyiramkan cairan obat ini ke auratmu sebelah bawah. Rasanya akan
sakit sekali. Aku percaya kau sanggup menahannya.

Berdoalah pada Gusti Allah agar kau mendapat kesembuhan…”

“Seumur hidup aku tidak pernah berdoa kepada Gusti Allah. Apa perlunya jika kau memang
dapat menolong?”

Terkesiap Ki Tambakpati mendengar ucapan itu. “Congkak dan takabur sekali manusia satu ini!”
katanya dalam hati. “Semoga Tuhan mengampunimu.” Lalu tanpa banyak menunggu Ki
Tambakpati guyurkan cairan obat di dalam belanga ke atas kemaluan Pangeran Matahari yang
terluka parah. Seperti besi panas menyala tersiram air begitulah keadaannya.

Cesss! Cessss!

Pangeran Matahari menjerit setinggi langit.

“Kau mau membunuhku! Kau mau membunuhku!” teriaknya berulang kali. Kaki kanannya
menendang.

Byaarrr!

Belanga tanah yang dipegang Ki Tambakpati hancur berantakan. Orang tua ini terjajar ke
belakang beberapa langkah. Seperti seekor harimau luka, Pangeran Matahari melompat. Dua
tangan mencekik leher Ki Tambakpati hingga lidahnya mencelet keluar. Nafas menyengal.
Namun sebe lum Pangeran Matahari sempat membunuh orang tua ini mendadak sosoknya
menjadi lemas.

Perlahan-lahan dia melosoh lalu jatuh terguling di lantai tanah.

Ki Tambakpati usap-usap lehernya yang bekas dicekik. Dia menarik nafas panjang berulang kali.

Memandang pada sosok Pangeran Matahari, orang tua ahli pengobatan tulang ini geleng-
geleng kepala, “Apa yang terjadi dengan orang ini hingga dia mengalami luka begini parah?
Siapa dia sebenarnya? Pangeran? Seorang Pangeran sungguhan?
Dari keraton mana?”

Ki Tambakpati memandang ke luar gubuk lewat pintu dan dinding yang jebol. Sunyi dan gelap.

Lalu dia mendengar suara sesuatu. Ki Tambakpati segera keluar. Di halaman gubuk, tak jauh
dari serumpunan semak belukar dia melihat seekor kuda besar tengah merumput dalam
kegelapan. Ki Tambakpati dekati binatang ini. Usap-usap tengkuknya. Ada sebuah kantong kulit
besar di samping pelana kuda. Ki Tambakpati bukan seorang yang usil suka memeriksa barang
yang bukan miliknya. Namun entah mengapa sekali ini dia merasa begitu ingin melihat apa yang
ada di dalam kantong kulit itu. Dia lalu buka buhulan tali penutup kantong. Ketika penutup
dibuka, terlihat selapis kain hitam. Kain ini disingkap. Ada tumpukan barang aneh berbentuk
lempenganlempengan dibungkus kertas warna merah gelap.

Ki Tambakpati ambil satu lempengan benda berwarna coklat. Ki Tambakpati memeriksa benda
itu dengan teliti, lalu dicium. Seperti disengat kalajengking begitulah kagetnya orang tua ini.

“Madat…” ucap Ki Tambakpati mendesis. Orang tua ini berpaling ke arah gubuk. “Dia datang
dengan kuda ini. Berarti benda haram dajal ini adalah miliknya. Apa yang harus aku lakukan?

Aku tak mau mencari perkara. Dia harus segera pergi dari sini. Tapi dia baru sadar besok.

Menjelang tengah hari esok baru pulih. Selain itu pengobatanku masih belum selesai.” Ki
Tambakpati menarik nafas panjang berulang kali. Dia merasa serba salah. Setelah
menambatkan kuda ke sebatang pohon dia masuk kembali ke dalam gubuk. Langkahnya kali ini
agak bergetar terhuyung.

TAK LAMA setelah Pangeran Matahari merampas kuda Jaliteng di jalan mendaki yang berbatu-
batu, dua orang laksana setan malam berkelebat di kegelapan. Keduanya masih muda-muda
dan bertampang sangar, memiliki bobot tubuh sama-sama tinggi dan tegap. Samasama
mengenakan pakaian ringkas serta blangkon warna hitam. Di dada kiri baju masing-masing ada
sulaman kuning rumah berbentuk joglo. Di sebelah bawah ada sulaman lain berupa dua bilah
keris telanjang saling bersilangan.

Hampir berbarengan, dua orang itu berkelebat sampai di depan kuda milik Surojantra.

“Ini kudanya! Mana orangnya? Aku tidak melihat kantong perbekalan di pelana kuda.” Lelaki di
sebelah kiri keluarkan ucapan.

Temannya memandang berkeliling lalu menunjuk ke depan. “Di sana! Ikuti aku!”
Kedua orang itu berkelebat melewati tikungan jalan. Di satu tempat mereka menemukan sosok
seorang lelaki berpakaian anggota pasukan Kerajaan yang sudah jadi mayat. Menemui ajal
dengan luka terkuak di perutnya.

“Surojantra! Mati. Mengenakan pakaian pasukan Kerajaan. Tidakkah ini aneh? Bagaimana
menurutmu Galirenik?”

Orang bernama Galirenik masih perhatikan mayat Surojantra beberapa ketika baru menjawab,
“Bangsat ini punya ilmu cukup tinggi. Siapapun orang yang telah membunuhnya berarti punya
kepandaian sukar dijajagi. Mengenai pakaian pasukan Kerajaan yang dipakainya aku rasa dia
sengaja melakukan penyamaran.”

“Setahu kita dia bersama Jaliteng. Mungkin orang itu jadi musuh dalam selimut. Membunuh
Surojantra dan melarikan barang bawaan!”

“Berarti kita harus menemukan bangsat satu itu! Barang yang kita cari pasti ada padanya!

Aku…”

Rakadanu, teman Galirenik angkat tangan kiri, memberi tanda agar Galirenik berhenti bicara.

Telapak tangan kanan dikembangkan di belakang daun telinga sebelah kanan agar
pendengarannya bertambah jelas.

“Aku mendengar sesuatu. Suara orang mengerang…” Rakadanu menunjuk ke depan. Lalu
melompat ke arah yang ditunjuknya. Galirenik mengikuti.

Kedua orang berpakaian serba hitam itu menemukan orang yang mereka cari terkapar di tanah
jalanan dalam keadaan megap-megap sekarat. Mereka tidak melihat kuda tunggangan

milik Jaliteng.

“Muka kelimis, tubuh utuh…” Rakadanu membungkuk lalu sibakkan pakaian Jaliteng. “Perutnya
pecah! Aku tidak dapat memastikan apakah nyawanya masih bisa tertolong!” Rakadanu
berbisik pada Galirenik lalu cepat menotok beberapa bagian tubuh Jaliteng.

“Seperti Surojantra, dia juga mengenakan pakaian pasukan Kerajaan,” kata Galirenik sambil
tekapkan telapak tangan kirinya ke dada Jaliteng untuk alirkan hawa sakti.

“Jaliteng, kami akan menyelamatkan nyawamu!

Sebagai imbalan, katakan di mana beradanya barang yang kau bawa dalam kantong kulit
besar?” Rakadanu ajukan pertanyaan.
Dada Jaliteng turuh naik pertanda dia sulit bernafas. Mukanya mendadak jadi pucat sekali.

Namun telinganya masih bisa mendengar. Mata bergerak, menatap dalam gelap. Dia hendak
mengatakan sesuatu tapi mulutnya tak bisa dibuka.

“Percuma, dia tak bisa bicara. Kita cari saja kudanya. Mungkin ada di sekitar sini.”

Galirenik dan Rakadanu menghabiskan waktu cukup lama untuk memeriksa kawasan itu.

Namun kuda tunggangan milik Jaliteng tidak ditemukan.

“Kita sudah kedahuluan orang,” ucap Galirenik perlahan tapi penuh geram.

“Bagaimana kita mempertanggung-jawabkan tugas ini kepada penguasa di Keraton


Kaliningrat?” kata Rakadanu pula. Nada suara dan raut wajahnya menunjukkan kerisauan
hatinya.

“Kita kembali saja. Laporkan apa adanya.” Jawab Galirenik.

Rakadanu gelengkan kepala. “Pengejaran kita sudah sangat jauh. Apapun yang terjadi harus kita
lanjutkan. Mudah-mudahan ada tanda-tanda yang bisa kita pakai sebagai pencari jejak.
Bagaimana?”

“Kalau kau mau meneruskan pencarian, aku hanya mengikut saja,” jawab Galirenik pula.

Kedua orang dari Keraton Kaliningrat ini segera tinggalkan tempat itu.

Sekian lama berdiam diri, satu ketika Galirenik berkata. “Seingatku, masih cukup jauh di depan
sana ada satu bukit kecil tempat kediaman seorang ahli pengobatan. Dia dijuluki si Tangan
Penyembuh. Mungkin ada baiknya kita mampir di sana sekaligus menyelidik. Siapa tahu orang
yang mencuri barang itu pernah singgah di sana.”

Rakadanu menyetujui ajakan kawannya itu.

Keduanya lalu mempercepat lari masing-masing.

***

Di puncak bukit udara malam terasa luar biasa dingin. Dari kejauhan telah terlihat gubuk
kediaman Ki Tambakpati alias Si Tangan Penyembuh.

Rakadanu dan Galirenik mendatangi hampir tanpa suara, padahal lari keduanya luar biasa
cepat.
Galirenik langsung hendak menuju gubuk tapi segera dicegah oleh Rakadanu yang perhatiannya
lebih dulu tertuju ke tempat lain. Lelaki ini pegang lengan temannya dan berkata perlahan.

“Di bawah pohon sana ada seekor kuda besar tertambat. Di dekat pelana ada sebuah kantong
kulit.”

Galirenik palingkan kepala ke arah yang dikatakan temannya. “Astaga…”

Rakadanu cepat tekap mulut Galirenik seraya berkata. “Jangan bicara keras-keras. Kita tidak
tahu siapa yang ada di dalam gubuk. Kalau Surojantra dan Jaliteng yang berilmu tinggi bisa
dibuat mati konyol, berarti si pembunuh memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Kau pergi ke
arah pohon. Ambil kantong kulit, biarkan kuda tetap tertambat. Tunggu aku di sana. Aku akan
meng intai ke dalam gubuk.”

“Raka, tunggu dulu.” kata Galirenik. “Apakah kau tidak melihat kejanggalan?”

“Kejanggalan apa?”

“Barang di dalam kantong kulit itu nilainya selangit tembus. Bagaimana mungkin orang yang
merampas membiarkannya di luar begitu saja, malam buta begini rupa pula!”

“Kawan, kau benar. Lekas kau ambil kantong kulit itu. Periksa isinya. Aku tetap akan mengintai
ke dalam gubuk.” Habis berkata begitu Rakadanu segera melangkah ke gubuk sedang Galirenik
cepat-cepat bergerak ke arah kuda yang ter tambat.

Dari arahnya datang Rakadanu telah melihat kerusakan pada pintu dan dinding belakang gubuk.
Pertanda sebelumnya telah terjadi tindak kekerasan di tempat itu. Lelaki tinggi besar dari
Keraton Kaliningrat ini mengintai dari pinggiran pintu. Nyala dua api obor yang walau redup
berkelip masih cukup menerangi gubuk kecil itu dan Rakadanu dapat melihat jelas keadaan di
dalam gubuk. Seorang tua duduk bersila di atas sehelai tikar kulit kambing. Dua tangan
bersilang di dada. Mata terpejam entah tidur entah tengah bersemedi. Di atas sebuah ranjang
yang terletak merapat ke dinding terbaring satu sosok hitam hangus dalam keadaan bugil. Dia
tidak dapat melihat wajah orang ini. Dua kakinya terkangkang dan Rakadanu jadi mengerenyit
ketika melihat kemaluan orang itu disarungi sebuah benda berwarna putih kekuningan. Merasa
tidak ada gunanya dia berada lebih lama di tempat itu Rakadanu segera temui Galirenik yang
berdiri di samping kuda memanggu! kantong kulit di bahu kirinya.

“Kau sudah memeriksa isi kantong ini?” tanya Rakadanu pada temannya.

“Isinya utuh!” jawab Galirenik dengan seringai bergumam dan mata bersinar. “Apa yang kau
lihat di dalam gubuk?” Galirenik balik bertanya.

“Tidak penting apa atau siapa yang ada dalam gubuk. Barang sudah kita dapat. Kita segera
kembali ke Keraton. Banyak keanehan di tempat ini.
Kita harus pergi sebelum keanehan itu berubah menjadi bahaya mengancam keselamatan
kita!”

Sebagaimana mereka datang tanpa suara.

begitu pula ketika menyelinap pergi. Kedua orang berpakaian serba hitam itu raib ditelan
kegelapan malam membawa 50 kati madat yang nilainya cukup untuk membangun lima istana
besar.

***

Ketika kokok ayam pertama kali terdengar di kejauhan, Ki Tambakpati hela nafas panjang dan
buka kedua matanya yang sejak tadi malam terpicing. Memandahg ke samping dia lihat Sang
Pangeran masih terbujur di atas ranjang tulang.

Lalu dia ingat pada kantong kulit di luar sana.

Cepat-cepat orang tua ini bangkit berdiri, melangkah ke pintu, terus ke halaman menuju kuda
yang masih tertambat di pohon. Hanya tinggal dekat akan mencapai binatang itu, langkah Ki
Tambakpati mendadak terhenti. Matanya membesar.

Dadanya berdebar keras. Kantong kulit besar yang sebelumnya tergantung di samping pelana
lenyap, tak ada lagi di tempatnya semula.

“Tak mungkin kantong dan isinya raib kalau tidak ada yang mengambil. Aku mungkin berlaku
salah. Seharusnya kantong itu aku bawa masuk ke dalam gubuk. Dia pasti akan
mempersalahkan diriku. Bisa-bisa begitu sadar dan mengetahui barang itu tak ada lagi, aku
pasti akan dibunuhnya.

***

Sebelum matahari naik tinggi keesokan paginya ternyata Pangeran Matahari telah siuman dari
pingsannya. Dia mencoba duduk di tepi ranjang tulang. Begitu duduk pandangannya langsung di
tujukan pada auratnya sebelah bawah. Dia dapatkan kemaluannya telah bersarung sepotong
tulang menyerupai pipa.

“Ki Tambakpati!” teriak Pangeran Matahari.

“Aku di sini.” Terdengar jawaban dari samping.

Pangeran Matahari palingkan kepala. Ki Tambakpati berdiri dengan wajah menunjukkan


keletihan, memandang kepadanya.
“Apa yang kau lakukan padaku? Apa ini?”

“Itu merupakan pengobatan tahap terakhir.

Agar luka pada daging dapat bertaut sempurna, lalu agar urat dan otot bisa bersambung aku
sengaja menyarungkan alat kelaminmu dengan potongan tulang berbentuk pipa. Antara
tujuhpuluh sampai seratus hari tulang itu akan hancur dengan sendirinya. Saat itu lukamu
sudah bertaut dan kau akan mendapatkan kesembuhan.”

“Begitu…?” Pangeran Matahari berdiri. “Aku perlu pakaian!” katanya kasar.

“Sudah aku siapkan Pangeran,” jawab Ki Tambakpati lalu menunjuk ke kepala ranjang. Di situ
terletak seperangkat pakaian terdiri dari baju warna putih dan celana hitam.

“Aku tidak suka baju warna putih!”

“Maaf, Pangeran. Hanya itu baju yang ada.”

jawab Ki Tambakpati. Orang tua ini diam-diam mulai merasa jengkel. Sudah ditolong, banyak
pinta pula.

Dengan cepat Pangeran Matahari kenakan baju dan celana. Lalu keluar dari gubuk lewat
dinding belakang yang jebol. Di pinggir sebuah sumur dilihatnya ada satu gentong besar. Kulit
wajahnya terasa perih ketika dia mencuci muka dengan air gentong. Begitu juga bibir serta
lidahnya ketika dia minum air gentong beberapa teguk.

“Aku harus pergi. Apakah aku perlu mengucap kan terima kasih padamu karena telah menolong
diriku?” Pangeran Matahari bertanya sambil sunggingkan seringai.

Ki Tambakpati balas tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Binatang saja jika ditolong masih bisa
berterima kasih dengan caranya sendiri. Seorang anak manusia berlaku seperti ini. Sungguh luar
biasa. Dosa apa yang telah aku lakukan hingga bertemu dengan orang seperti ini?”

“Kau tidak mau menjawab?” Pangeran Matahari gembungkan rahang.

“Kewajibanku menolong siapa saja sesuai dengan kemampuan. Soal berterima kasih tidak
menjadi hal yang penting bagiku. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Namun ada satu hal perlu
aku sampaikan.”

“Kau minta bayaran Ki Tambakpati?”

Si orang tua menggeleng lalu berkata. “Paling lambat empatpuluh hari dari sekarang lukamu
akan sembuh. Namun kesembuhan itu adalah kesembuhan luar dan dalam. Yakni
bersambungnya bagian luar dan bagian dalam batang kelaminmu.
Namun tidak bisa kujamin setelah sembuh kau masih memiliki kejantanan sebagai laki-laki.”

Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik besar. Pelipis bergerak-gerak dan dari hidung serta
mulutnya keluar asap tipis berwarna kemerahan.

“Orang tua! Kau bicara apa?” Menghardik Pangeran Matahari.

“Alat kelaminmu yang hampir putus itu memiliki ratusan, atau mungkin ribuan syaraf. Walau
kelaminmu dapat disambung kembali namun syaraf-syaraf yang begitu halus itu tidak mungkin
bersambung kembali. Ini berarti kau akan kehilangan kejantananmu seumur hidup.”

“Orang tua keparat! Kau sengaja tidak menyembuhkan diriku secara sempurna.”

“Pangeran, aku sudah berusaha sesuai kemampuanku. Kemaluanmu kelak akan bersambung
kembali dan lukamu akan sembuh. Tapi soal kerusakan syaraf itu, aku tidak mampu me

nyembuhkannya.”

“Jahanam! Tidaaakkk!” teriak Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Ki Tambakpati


cepat menahan bahunya sehingga sang Pangeran tidak sampai roboh ke tanah. “Kalau kau
sudah tahu hal itu, mengapa kau menolongku? Lebih baik kau membiarkan aku mati! Matiii!”
Pangeran Matahari berteriak lagi sambil memukuli kepala dan dadanya. “Kau harus
menyembuhkan aku.

Kau harus menolongku!”

“Maafkan aku, Pangeran. Kemampuanku terbatas. Bisa menolong menyembuhkan lukamu saja
sudah satu mukjizat bagiku…”

“Kalau kau tidak bisa menolong lalu siapa yang bisa? Katakan! Beritahu aku!”

“Aku tidak bisa memberitahu karena memang tidak tahu siapa orangnya yang ahli dalam
penyembuhan syaraf yang rusak. Namun aku pernah menyirap sebuah kabar. Ada satu ilmu

pengobatan berdasarkan petunjuk sebuah kitab.”

“Kitab apa?”

“Apa kau pernah mendengar? Dalam rimba persilatan ada sebuah kitab keramat bernama Kitab
Seribu Pengobatan. Di dalam kitab itu ada bagian yang menerangkan obat serta cara

penyembuhan untuk keadaan atau penyakit yang bakal kau alami.”


“Di mana aku bisa menemukan kitab celaka itu!” tanya Pangeran Matahari pula.

“Konon, kitab itu dimiliki dan disimpan oleh seorang nenek sakti yang diam di puncak Gunung
Gede. Namanya Sinto Gendeng…”

“Cukup!” bentak Pangeran Matahari. Lalu ter tawa tergelak-gelak.

Ki Tambakpati tegak terheran-heran. Tak ada yang lucu yang barusan diucapkannya. Kalau
otaknya tidak miring lantas mengapa manusia ini sampai tertawa gelak-gelak?

“Ki Tambakpati, aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Belakangan aku dengar kitab itu
lenyap dicuri orang.”

“Ah, sayang sekali. Kurasa kitab itu satusatunya harapan penyembuhan bagi dirimu.”

“Aku akan mencarinya sampai dapat. Walau harus keluar masuk seribu pintu neraka! Begitu
dapat, akan kubawa ke sini agar kau bisa melaku kan pengobatan atas diriku!”

Ketika Pangeran Matahari balikkan badan hendak berlalu, Ki Tambakpati cepat berkata. “Ada
satu hal lagi, Pangeran.”

Pangeran Matahari tahan langkahnya. “Apa?”

“Dalam tubuhmu mengindap sejenis racun yang membuat dari hidung dan mulutmu selalu
keluar asap tipis berwarna kemerahan. Obat yang kau minum tadi malam ternyata tidak bisa
mele nyapkan racun itu. Aku sarankan agar kau berusaha mengunyah dan menelan daun sirih
serta bawang putih sebanyak yang bisa kau lakukan.

Itu obat yang paling mudah dicari untuk bisa memusnahkan racun. Selama racun jahat hanya
mendekam sebatas leher ke bawah tidak ada bahayanya bagimu. Namun jika sempat naik
kekepala bisa merusak otak. Kau bisa gila.”

Pangeran Matahari pandangi wajah orang tua di depannya sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Aku
memang sudah gila! Kau ikutan membuatku gila!”

Habis berkata begitu Pangeran Matahari ambil Bendera Darah yang masih menancap di lantai
gubuk lalu tinggalkan tempat itu.

Sesaat setelah sang Pangeran lenyap di kejauhan, Ki Tambakpati baru ingat pada kuda yang
masih tertambat di pohon halaman depan gubuk.

“Aneh, mustahil dia tidak ingat pada binatang itu. Lebih mustahil lagi jika dia tidak ingat pada
kantong kulit berisi madat yang tergantung dekat pelana. Apa arti semua ini? Mungkin kuda itu
bukan miliknya. Dia merampas di tengah jalan, tanpa sadar ada barang luar biasa berharga di
atas kuda itu. Berarti kantong kulit berisi madat itu juga bukan miliknya. Atau seperti katanya
mungkin dia sudah benar-benar gila hingga tidak ingat lagi dengan kuda dan kantong kulit?”

WALAU jelas ngorok, namun dalam tidur lelapnya kakek berjuluk Setan Ngompol itu tiada henti
usap-usap daun telinga kanannya yang lebar dan terbalik. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang
mengejutkan dia tersentak bangun. Duduk di lantai dangau, tangan kanan masih mengusap
daun telinga sedang tangan kiri menekap bagian bawah perut yang perlahanlahan mulai
kucurkan air kencing.

Gerakan bangun dan duduknya Setan Ngompol membuat lantai yang terbuat dari bambu reyot
keluarkan suara berderik. Suara ini menyebabkan Pendekar 212 Wiro Sableng yang juga ada di
dangau itu terbangun dari tidurnya.

“Kek, ada apa? Bangun-bangun kau seperti orang bingung?” tegur Wiro.

“Anu, aku mau ke telaga. Mau cuci muka.”

Agak jauh dari situ memang ada sebuah telaga di bagian pedataran berbentuk ceguk.

“Masih pagi, dingin dan gelap. Kenapa mau cuci muka?”

“Aku barusan mimpi.” Jawab Setan Ngompol.

“Kalau mimpi basah bukan mukamu yang di cuci tapi perabotanmu yang sudah rongsokan itu!”

kata Wiro pula lalu bangkit dan duduk di samping si kakek.

“Sialan. Siapa bilang aku mimpi basah. Aku mimpi tentang orang mati!”

“Siapa yang mati?” tanya Pendekar 212 pula.

“Kau bakalan kaget kalau aku sebutkan nama orangnya.”

Wiro tertawa lebar. “Mungkin aku kaget tapi kau yang bakalan kucurkan air kencing. Siapa yang
kau mimpikan mati itu Kek?”

“Bidadari Angin Timur,” jawab Setan Ngompol.

Dan benar saja, habis menyebut nama gadis itu sikakek langsung semburkan air kencing.

Wiro terdiam. Tatap wajah Setan Ngompol beberapa lama lalu berkata. “Aku lihat tampangmu
tidak bohong. Ceritakan mimpimu itu Kek.”
“Aku berada di tepi sebuah jurang. Udara cerah, langit biru polos. Tiba-tiba keadaan berubah.
Mendung tebal di mana-mana. Dalam kege lapan mendadak jauh di depanku ada cahaya
terang. Makin lama cahaya itu makin dekat.

Ketika kuperhatikan cahaya itu ternyata adalah sosok Bidadari Angin Timur yang mengenakan
pakaian dan berdandan seperti pengantin. Dada nya penuh dengan kalungan bunga tujuh
warna.

Sayup-sayup aku mendengar suara gamelan di tabuh serta suara sinden menyanyi. Bidadari
Angin Timur tersenyum padaku. Lambaikan salah satu tangannya. Lalu hujan lebat turun.
Bersamaan dengan itu sosok Bidadari Angin Timur melayang menjauh dan akhirnya lenyap.”

Wiro terdiam beberapa ketika lalu berkata.

“Kau bermimpi melihat Bidadari Angin Timur berdandan dan berpakaian seperti seorang
pengantin.

Lalu mengapa kau mengatakan gadis itu mati?”

“Dengar anak muda. Dalam pengertian orang tua-tua, jika kita mimpi melihat seseorang jadi
pengantin, lelaki atau perempuan, maka orang itu telah tiada alias mati, atau akan segera
menemui kematian.”

“Kau membuat hatiku jadi tidak enak, Kek…”

“Aku mau cuci muka dulu di telaga.”

Wiro tarik bahu pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini tidak bisa bergerak turun dari dangau.

“Kek, terakhir sekali kau berada bersama gadis itu. Dia tidak pernah muncul sewaktu para
sahabat menyerbu 113 Lorong Kematian. Kau masih ingat saat-saat terakhir bersamanya.
Mungkin kau juga tahu ke mana perginya gadis itu?”

“Semua kekacauan itu hingga urusan jadi kapiran begini adalah gara-garamu…”

“Enaknya kau menyalahkan diriku…”

“Waktu terakhir kali aku bersamanya yaitu menjelang keberangkatan menuju lorong kematian,
Bidadari Angin Timur dapatkan beberapa gadis cantik sudah ada di tempat itu. Dia langsung
cemburu. Dia merasa apa perlunya berada di tempat itu dan ikutan ke lorong kematian…”

“Siapapun yang ada di sana waktu itu, termasuk para gadis, mereka adalah sahabatku.
Seharusnya Bidadari Angin Timur tidak mengambil sikap seperti itu,” kata Wiro sambil garuk-
garuk kepala. “Lalu kau tahu ke mana dia pergi dari tempat itu? Kau masih tidak mau cerita di
mana dan bagaimana terakhir kali kau bertemu dengan Bidadari Angin Timur?”

“Aku dan Ratu Duyung,” kata Setan Ngompol pula. “menemui Bidadari Angin Timur di satu
hutan kecil tak jauh dari jurang di bagian belakang bukit batu markas manusia pocong. Dia
duduk di tanah, sandarkan diri pada sebatang tumbangan pohon. Sepertinya dia baru habis
menangis. Kami menanyakan apa yang terjadi. Namun gadis itu tidak menjawab dan alihkan
pembicaraan pada hal lain. Katanya sebelumnya dia bersama Jati landak. Pemuda itu kemudian
pergi seorang diri menuju 113 Lorong Kematian. Dia juga mencerita kan melihat dirimu
didorong masuk ke dalam jurang oleh seorang nenek cebol. Aku tidak mengada-ada. Tapi di
wajahnya yang murung tidak terlihat bayangan rasa khawatir. Aku dan Ratu Duyung justru
melihat ada bayangan rasa tidak enak dalam dirinya terhadap kehadiran kami. Aku dan Ratu
Duyung lalu tinggalkan gadis itu. Nah, itu kali terakhir aku bertemu dengan Bidadari Angin
Timur.”

Lama Wiro terdiam mendengar penuturan Setan Ngompol itu.

“Aku ingat, satu kali kami bertemu, Bidadari Angin Timur pernah memberi semacam petunjuk.

Katanya dia mungkin bisa menduga di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Saat itu aku
kurang menaruh perhatian karena tengah menghadapi urusan besar dengan manusia-manusia
pocong 113 Lorong Kematian. Agaknya saat ini aku harus mencari gadis itu untuk mendapat
keterangan lebih lanjut.”

“Tapi bagaimana kalau dia memang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Seperti yang tersirat dalam
mimpiku,” kata Setan Ngompol pula.

“Tidak baik berucap seperti itu,” kata Wiro pula sambil pelintir telinga kiri si kakek hingga yang
dipelintir meringis kesakitan. Ketika Setan Ngompol turun dari dangau menuju ke telaga, Wiro
tidak lagi mencegah, namun tak selang berapa lama tiba-tiba Setan Ngompol muncul kembali
dengan muka pucat nafas terengah. Dia tarik tangan Wiro Sableng, hingga pemuda ini terpaksa
turun dari dangau.

“Ada apa? Kau seperti melihat setan!” ucap Wiro.

“Mungkin! Tapi aku berdoa mereka bukan setan benaran. Tapi manusia betulan. Soalnya
keduanya cantik-cantik…”

“Kau lagi ngaco atau bagaimana, Kek?”

“Dengar, aku hanya melihat kepala. Aku tidak dapat melihat badan mereka. Apa punya badan
atau tidak, aku belum tahu. Aku mengajakmu sama-sama nyebur ke dalam telaga.”
Wiro pegang lagi telinga lebar si kakek, dipelintir sedikit hingga orang tua itu kembali meringis
kesakitan dan pancarkan air kencing.

“Bicara yang betul. Jangan sepotong-potong membuat aku tidak mengerti!”

Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya. Setelah muncratkan air kencing dua kali
berturut-turut dia lalu berkata. “Waktu aku mau mencuci muka di telaga, mendadak aku lihat
ada dua kepala mengapung di permukaan air. Semula kukira kepala setan. Ternyata kepala dua
perempuan muda cantik-cantik. Rambut dikonde apik diatas kepala, wajah dipoles bedak dan
gincu merah di bibir. Sepasang alis hitam kereng. Di dalam air aku lihat keduanya bicara
berbisik-bisik. Sebentar-sebentar sepasang mata mereka memandang ke arah pinggiran telaga.
Mungkin mereka sudah tahu kehadiranku di tempat itu tapi malu memanggil mengajak mandi
bersama. Hik… hik… hik! Kau mau ikut aku ke telaga? Berkenalan dan mandi sama-sama dua
perempuan cantik itu?”

“Kek, pergunakan otak warasmu. Mana ada perempuan cantik malam buta menjelang pagi
begini mau mandi berendam dalam air telaga yang dinginnya seperti es. Pasti mereka mahluk
jejadian. Kalau kau tidak percaya silahkan pergi sendiri.

Masuk ke dalam telaga, dekati keduanya.”

“Ah, kau membuat aku takut saja. Padahal ini satu kesempatan. Kasihan keduanya kedinginan.
Kalau bersama kita pasti bisa berhangat-hangat. Hik… hik… hik.”

Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba ulurkan tangan menutup mulut si kakek hingga suara tawa
cekikikannya serta merta berhenti. Wiro lalu tarik kakek ini ke balik semak belukar di samping
kiri dangau.

“Ada apa…?” bisik si kakek sambil muncratkan air kencing.

Wiro goyangkan kepalanya ke depan. Setan Ngompol berpaling tepat pada saat dua orang
berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul berkelebat dan berdiri sepuluh langkah di depan
dangau.

“Aku barusan mendengar seperti ada orang tertawa…” lelaki tinggi besar di sebelah kanan
berkata sambil memandang berkeliling.

Kawannya yang memanggul sebuah kantong kulit ikut pula memperhatikan keadaan sekitarnya.
“Suara angin di tempat sepi begini bisa menyerupai suara orang bahkan suara setan tertawa,”
katanya. “Rakadanu, lihat di sana ada dangau. Bagaimana kalau kita istirahat barang sebentar.
Bahuku pegal sekali membawa lari beban seberat ini.”
“Sobatku Galirenik, kita tengah menjalani tugas luar biasa penting. Ayal sedikit saja bisa
mengundang bahaya. Jika kau letih biar aku yang ganti membawa barang itu. Yang penting kita
harus segera sampai di keraton secepatnya!”

Walau mengkal tapi orang bernama Galirenik terpaksa ikuti ucapan temannya. Namun kedua
nya hanya sempat melanjutkan lari sekitar duapuluh langkah. Ketika sampai di sisi telaga,
sekonyong-konyong air telaga muncrat ke atas. Dua buah benda melesat ke udara
menyipratkan air lalu sttt… stttt! Di lain kejap dua benda itu yang bukan lain dua perempuan
muda yang tadi dilihat Setan Ngompol berendam dalam telaga tahu-tahu sudah berdiri di
hadapan dua orang lelaki berpakaian dan berblangkon serba hitam yakni Rakadanu dan
Galirenik.

Tentu saja kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget. Hentikan lari dan mengambil
sikap penuh waspada. Namun ketika menyadari yang menghadang mereka ternyata adalah dua
orang gadis berwajah cantik, keduanya segera saja menebar senyum. Apa lagi pakaian basah
menem pel ketat di tubuh mereka membuat liuk liku tubuh dua gadis itu terlihat jelas.

“Sahabatku Raka,” kata Galirenik. “Agaknya kita memang perlu istirahat dulu barang sebentar.”

“Kalau begini urusannya, istirahat sampai pagi pun aku tidak menampik!” jawab Rakadanu. Lalu
kedua orang lelaki itu tertawa gelak-gelak.

Ketika mereka hentikan tawa, gadis di sebelah kiri yang mengenakan pakaian merah
mengangkat dagu sedikit lalu membuka mulut.

“Apakah kalian sudah puas tertawa?”

Ditanya begitu Rakadanu dan Galirenik saling pandang lalu kembali tertawa. Malah lebih keras.

Dua orang gadis cantik berpakaian basah tetap tak bergerak di tempat, tenang-tenang saja
memperhatikan polah tingkah dua lelaki tinggi besar yang tengah tertawa. Sesaat kemudian
suara tawa dua lelaki itu berubah perlahan dan akhirnya sirap sama sekali.

“Hemmm… sudah puas mereka tertawa.” Kini dara berpakaian biru keluarkan ucapan ditujukan
pada temannya si baju merah.

“Ketahuilah!” gadis berpakaian merah menyambung ucapan si biru. “Tawa kalian berdua tadi
adalah tawa terakhir sebelum kalian menjadi mayat!”

“Oo hebatnya!” teriak Rakadanu.

“Mati barengan satu kubur dengan kalian aku pasrah saja!” kata Galirenik pula. Lalu kembali
umbar tawa bergelak.
“Ah, rupanya masih ada tawa tambahan. Tidak apa. Ada satu syarat menguntungkan bagi
kalian.

Kalian tidak akan jadi mayat malam ini asalkan menyerahkan kantong kulit itu pada kami!”

Kini kagetlah Rakadanu dan Galirenik. Mereka benar-benar tidak percaya kalau ada dua gadis
cantik di malam buta inginkan barang sangat berharga yang mereka bawa.

Rakadanu berucap cerdik. “Kantong kulit itu hanya berisi pakaian bekas. Apa ada gunanya bagi
kalian?”

“Tidak apa. Pakaian baru atau bekas serahkan saja pada kami!”

Dua lelaki dari Keraton Kaliningrat itu mulai mencium ada yang tidak beres. Galirenik yang
membawa kantong kulit di bahu kiri berkata keras. “Kau inginkan pakaian? Tanggalkan dulu
pakaian kalian! Bertelanjang dulu di hadapan kami! Nanti kami berikan pakaian pengganti yang
bagus-bagus! Kalian mau berapa pasang?”

Dua gadis gelengkan kepala sambil leletkan lidah. Si merah berkata, “Kami tidak suka guyonan
cabul. Letakkan kantong kain di tanah lalu lekas minggat dari tempat ini. Itu menyelamatkan
kalian dari kematian!”

“Gadis-gadis keparat! Kau yang kami bantai lebih dulu! Sudah jadi mayatpun kami tidak kecewa
menggauli kalian! Ha… ha… ha!”

“Ah, sahabatku Galirenik memang suka bicara jorok! Dua gadis cantik harap maafkan kalau
kami agak lancang. Mungkin kalian belum tahu siapa kami. Perkenankan kami memperkenalkan
diri!”

Kata Rakadanu pula.

“Tidak perlu! Dari gambar joglo dan keris bersilang di baju kalian kami sudah tahu siapa kalian
berdua!” ucap gadis berpakaian biru. Konde dikepala dilepas. Sekali kepala digoyang rambutnya
yang panjang hitam tergerai ke punggung, menambah cantik wajahnya. “Kalian adalah dua
monyet kesasar dari Keraton Kaliningrat! Apa salah aku berucap?”

Dua lelaki tinggi besar karuan saja jadi terkejut. Namun mereka pandai sembunyikan
keterkejutan masing-masing.

“Rakadanu,” bisik Galirenik. “Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres. Sebaiknya kita tinggal
kan tempat ini.”

“Sahabat, jangan jadi pengecut. Dua santapan enak sudah terhidang di depan mata. Kau mau
pergi begitu saja?” balas Rakadanu juga berbisik.
Lalu dia berpaling pada gadis berpakaian biru.

“Dengar,” katanya. “Jika kalian sudah tahu siapa kami, maka dengan segala kerendahan hati
kami mengundang kalian berdua untuk ikut ke Keraton Kaliningrat! Kalian akan kami perlakukan
lebih terhormat dari sepasang puteri Kerajaan!”

“Apakah undangan untuk kedua muridku juga berlaku bagi diriku?” Tiba-tiba satu suara
menggema dalam udara dingin dan gelap.

Di lain saat, dari atas sebuah pohon besar melesat satu bayangan hitam disertai kepulan asap
panjang berwarna hitam, biru, dan merah. Ketika sosok itu menjejak tanah dan berdiri tepat di
antara dua gadis cantik, Rakadanu dan Galirenik langsung tersurut sampai dua langkah.
Tampang masing-masing berubah mengkeret.

Di samping dangau Setan Ngompol pancarkan air kencing sementara Pendekar 212 Wiro
Sableng tertegun melongo, mata terbuka tak berkedip.

“Kek, kau kenal siapa adanya mahluk dahsyat yang barusan muncul ini?”

Setan Ngompol mana sempat menjawab. Saat itu terbungkuk-bungkuk dia sibuk pancarkan air
kencing.

ORANG yang barusan muncul dan berdiri diantara dua gadis jelita ternyata adalah seorang
nenek berpakaian baju dan celana panjang hitam ringkas. Kemeja bajunya dihias dengan
sulaman bunga warna putih. Meskipun sudah tua, mungkin berusia sekitar tujuhpuluh, si nenek
berdandan menor. Sepasang alis hitam kereng. Bedak tebal licin dan pipi diberi merahmerah.

Bibir yang runcing dilapis pewarna merah mencorong. Dahsyatnya, di atas batok kepala nenek
ini, di antara rambut yang riap-riapan, menancap sepotong bambu kuning setinggi satu

setengah jengkal. Dari lobang bambu mengepul keluar asap berwarna hitam, biru, dan merah
disertai suara seperti perapian di tungku atau anglo pandai besi. Setiap dia membuka mulut
atau menyeringai kelihatan barisan gigi memancarkan warna berkilau.

“Hantu Malam Bergigi Perak!” Rakadanu dan Galirenik keluarkan seruan hampir berbarengan.

Si nenek tertawa cekikikan. Matanya yang belok berputar beberapa kali. “Bagus kalian masih
mengenali diriku. Sekarang katakan, cara mati bagaimana yang kalian inginkan setelah berani
memperhinakan dua muridku?”
Rakadanu dan Galirenik buru-buru jatuhkan diri berlutut di tanah. Kelihatan kedua orang ini
begitu takut terhadap si nenek yang disebut dengan Hantu Malam Bergigi Perak.

Rakadanu membungkuk berulang kali lalu berkata. “Hantu Malam Bergigi Perak, kami berdua
mohon maaf dan ampun. Kami tidak pernah tahu kalau kedua gadis cantik itu adalah murid-
muridmu. Kami berjanji tidak akan mengusik keduanya lagi…”

“Bagus! Kalian berdua mendapat pengampunanku!” kata si nenek pula yang membuat terkejut
kedua muridnya.

“Guru, mengapa…” gadis berpakaian biru berkata tapi ucapannya terputus oleh isyarat gerak
tangan si nenek.

“Terima kasih Nek, terima kasih…” kata Rakadanu dan Galirenik berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk.

Si nenek tertawa cekikikan.

“Pengampunan itu tidak kalian dapat percuma!

Dasar manusia-manusia tolol!”

Rakadanu dan Galirenik tegakkan dada. Muka langsung pucat.

“Dua muridku telah meminta kantong kulit itu.

Mengapa kalian tidak mau memberikan?”

Perlahan-lahan dua orang dari Keraton Kaliningrat itu bangkit berdiri.

“Gali,” bisik Rakadanu. “Murid dan guru sama saja. Ujung-ujungnya mereka minta barang
bawaan kita.”

Galirenik maju satu langkah, membungkuk dalam lalu berkata. “Hantu Malam Bergigi Perak,
barang dalam kantong kulit itu bukan milik kami.

Kami berdua hanya orang suruhan untuk membawanya.”

“Nah, nah! Kalau barang bukan milik kalian lebih enak lagi kalian memberikannya kepada
kami!” ujar si nenek lalu tertawa terkekeh-kekeh.

“Tapi, Nek,” kata Rakadanu pula. “Barang ini sama saja dengan nyawa kami berdua. Mana
mungkin kami memberikan?”
Si nenek geleng-geleng kepala. “Jalan pikiran kalian tidak waras! Barang itu kalian anggap
sebagai nyawa. Lalu nyawa kalian benaran di mana? Dalam dubur kalian? Hik… hik… hik…”

“Nek, kami tidak mungkin memberikan barang ini. Kalau saja kau meminta yang lain…”

“Ah… Baik, baik! Sekarang aku minta kalian mencongkel jantung masing-masing dan
menyerahkan padaku!” kata si nenek sambil berkacak pinggang dan delikkan mata.

“Tua bangka sinting!” maki Rakadanu tapi cuma dalam hati.

“Hantu Malam Bergigi Perak,” Galirenik yang bicara. “Kalau… kalau kau kelewat mendesak dan
tidak memberi jalan lain, kami berdua terpaksa mengadu jiwa.” Kantong kulit diikatkannya
eraterat ke punggung. Rakadanu bersiap-siap.

“Kalian sudah mengambil keputusan!” si nenek angguk-anggukkan kepala. “Murid-muridku,


habisi dua kaki tangan pemberontak itu! Jangan ada yang bersisa dari tubuh mereka. Amankan
kantong kulit dan isinya.”

Mendengar perintah sang guru, dua gadis cantik segera siap menerjang. Namun tiba-tiba ada
satu bayangan melesat ke tengah kalangan disertai mengumbarnya bau pesing.

Si nenek dan dua muridnya sampai tersurut beberapa langkah sementara Rakadanu dan
Galirenik tak kalah kagetnya.

“Nenek berwajah cantik, biar aku dan temanku mewakili murid-muridmu menangkapi kedua
orang ini!”

Hantu Malam Bergigi Perak maju satu langkah.

Leher dipanjangkan, mata belok dibuka lebih lebar dan hidung dipencet menutup penciuman.

“Kakek bau pesing! Kau mengganggu kesenanganku dan murid-murid. Apa kepentinganmu
mencampuri urusan orang lain? Siapa kau?”

“Maaf kalau aku bertindak lancang. Namaku sudah lama tidak kuingat lagi. Orang-orang
memanggilku Setan Ngompol. Nama besarmu sejak lama ada dalam ingatanku. Sungguh satu
kebahagiaan kalau saat ini aku bisa bertemu denganmu.

Sebagai salah seorang pengagummu, apa salahnya aku membantu menyelesaikan urusanmu
dengan dua cecunguk ini.”

“Kakek kuping terbalik! Dengar! Aku tidak butuh pengagum. Apa lagi pengagum yang celana
nya lepek basah oleh air kencing. Menebar bau pesing ke mana-mana. Apa sangkut pautmu
dengan si nenek bau pesing bernama Sinto Gendeng?”
“Dia sahabatku. Sama-sama tua bangka,” kata Setan Ngompol pula.

“Oo begitu…?”

“Muridnya ada di sini. Masih malu unjukkan diri!” sambung Setan Ngompol pula.

“Oo… Di mana dia bersembunyi?” tanya Hantu Malam Bergigi Perak sambil layangkan
pandangan ke tempat gelap.

Selagi nenek dan kakek itu asyik bicara, Rakadanu dan Galirenik pergunakan kesempatan untuk
kabur tinggalkan tempat itu. Tapi belum bergerak sampai dua langkah tiba-tiba satu bayangan
putih berkelebat menghadang. Pendekar 212 Wiro Sableng!

Dalam kaget dan juga marah karena tidak menyangka ada orang lain lagi menghalangi gerakan
mereka, Rakadanu dan Galirenik serentak lancarkan serangan. Rakadanu memukul ke arah
pangkal leher sebelah kanan sedang Galirenik menghantam ke arah pangkal leher sebelah kiri.

Serangan yang dilancarkan dua pentolan Keraton Kaliningrat itu luar biasa berbahayanya yang
disebut Keris Silang Memangkas Puncak Gunung.

Jangankan leher manusia, batu sekalipun akan buntung pupus dibuatnya!

Murid Sinto Gendeng turunkan bahunya sedikit, dua kaki menekan tanah. Bersamaan dengan
itu dua lengan melesat ke atas.

Bukkk! Bukkkk!

Rakadanu dan Galirenik walau terjajar tiga langkah namun sama sekali tidak mengalami cidera.
Dengan cepat keduanya mengimbangi diri.

Didahului teriakan keras keduanya kirimkan tendangan ke arah Wiro yang akibat bentrokan
pukulan tadi jatuh terduduk di tanah, lengan kiri kanan laksana dihantam pentungan.

Wutt!

Wutt!

Dua tendangan sama-sama mencari sasaran dikepala Pendekar 212 Wiro Sableng.

Wiro putarkan tubuhnya demikian rupa lalu jatuhkan diri ke tanah. Dua tendangan lawan lewat
di samping kepalanya. Tidak disangka oleh Rakadanu dan Galirenik, dalam keadaan berbaring
Wiro tendangkan kaki kiri kanan ke belakang.
Bukkk!

Kaki kiri mendarat di kening Rakadanu.

Dukkk!

Kaki kanan menghantam telak dada Galirenik.

Kedua orang yang kena tendang itu tak ampun lagi terpental dan terguling di tanah. Tapi luar
biasanya bukan saja kepala dan dada mereka tidak cidera barang sedikitpun, malah sambil
menyeringai keduanya bangkit berdiri lalu sama melangkah mendekati Wiro dengan mata
menyala marah.

“Kakek bau pesing!” nenek Hantu Malam Bergigi Perak menegur Setan Ngompol. “Apa pemuda
berpakaian putih itu yang kau sebut sebagai murid Sinto Gendeng?”

“Benar!” jawab Setan Ngompol. “Namanya Wiro,” menambahkan si kakek sambil melirik kearah
dua gadis yang saat itu tengah mengerling memperhatikan Wiro.

“Dia akan mati konyol kalau tidak tahu kelemahan ilmu kebal dua lawannya!”

“Kalau begitu saatnya aku membantu!” ucap Setan Ngompol.

“Kaupun akan mereka lumat sampai kekantong menyanmu!” kata si nenek pula.

Serrr! Setan Ngompol tekap bagian bawah perut tapi tak urung air kencingnya terpancar juga.

“Nek, kalau begitu tolong beritahu rahasia kelemahan mereka!”

“Puah! Siapa sudi! Enak betul! Cari sendiri!” jawab Hantu Malam Bergigi Perak. Lalu dia
berpaling pada kedua muridnya yakni sepasang gadis cantik berpakaian merah dan biru.
“Perlihatkan pada dua orang yang katanya tokoh rimba persilatan tanah Jawa ini bagaimana
kalian menghabisi dua lawan!”

Dua gadis membungkuk hormat. Lalu didahu lui teriakan nyaring si merah dan si biru melesat
ke udara. Selagi tubuh melayang di udara kedua nya hantamkan tendangan ke arah punggung
Rakadanu dan Galirenik yang tengah mendekati Wiro.

Mendengar ada sambaran angin di belakang, Rakadanu dan Galirenik cepat membalik sambil
hantamkan dua tangan sekaligus.

Duukkk!

Duuukkk!
Dua tendangan yang tadinya akan menghantam punggung, kini lewat sela-sela lengan,
mendarat telak di dada Rakadanu dan Galirenik, tepat diarah jantung! Kedua lelaki tinggi besar
ini terlontar sampai satu setengah tombak. Mulut semburkan darah segar. Tubuh masing-
masing kemudian terbanting ke tanah. Melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak bergerak
lagi!

Pendekar 212 Wiro Sableng setengah melongo garuk-garuk kepala. Tadi dia jelas-jelas
menendang kepala dan dada kedua orang itu. Tapi jangankan mati, cidera sedikitpun tidak!

Setan Ngompol bertindak cepat. Dia gulingkan tubuh Galirenik lalu membetot lepas kantong
kulit. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Hantu Malam Bergigi Perak.

“Terima kasih,” kata si nenek. “Tapi jangan terlalu dekat. Nanti pakaianku kebasahan air
kencingmu!”

Setan Ngompol cuma bisa tersipu-sipu.

“Kedua orang berpakaian dan berbelangkon serba hitam itu. Siapa mereka?” bertanya si kakek.

Kudengar tadi kau menyebut mereka sebagai kaki tangan pemberontak. Murid-muridmu
menyebut mereka orang-orang Keraton Kaliningrat. Aku tidak pernah mendengar nama
Keraton itu.”

Si nenek tidak segera menjawab. Dia memandang ke langit memperhatikan gugus


bintangbintang lalu berpaling pada dua muridnya. “Kalian berdua pergilah lebih dulu. Tak lama
lagi pagi segera datang.”

“Kami siap pergi,” menyahuti gadis berbaju merah. “Tapi, Nek, kalau kami boleh menunggu
barang beberapa ketika, bukankah kita tengah mencari sebuah benda. Di sini ada orang yang
punya hubungan dekat dengan pemilik benda itu.”

Si baju merah lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Kau betul,” kata si nenek pula. Dia menatap wajah dua muridnya yang cantik itu, lalu
tersenyum penuh arti, membuat wajah dua gadis cantik bersemu merah. Si nenek lalu
lambaikan tangan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Anak muda, kemarilah sebentar! Ada
yang hendak aku tanyakan padamu.”

Wiro mendekat dan berhenti empat langkah di depan si nenek. Sambil menatap wajah
perempuan tua itu hatinya berkata. “Melihat dandanan nya yang begini mencorong, nenek satu
ini pasti sudah genit dari sejak mudanya.”
“Hai, apa yang kau ucapkan dalam hati?” tibatiba Hantu Malam Bergigi Perak membentak,
membuat Wiro jadi tergagau dan berpura batukbatuk.

Sambil senyum dan garuk kepala murid Sinto Gendeng merunduk unjukkan sikap hormat lalu
bertanya. “Nek, apa yang hendak kau tanyakan padaku?”

“Apa betul kau murid Sinto Gendeng?”

“Pasti kakek kuping lebar itu yang bilang padamu,” sahut Wiro pula.

“Aku dan dua muridku tengah mencari sebuah kitab. Namanya Kitab Seribu Pengobatan.
Menurut kabar yang aku sirap, kitab itu adalah milik gurumu. Kami telah menghabiskan hampir
tiga ratus hari dan sempat pergi ke puncak Gunung Gede tapi gurumu tak ada di sana. Kami cari
dia dimana-mana tapi dia seperti cacing tanah, amblas tidak kelihatan, sulit dicari.”

“Kitab Seribu Pengobatan itu tak ada lagi padanya.” Menjelaskan Wiro.

“Maksudmu, anak muda?”

“Hilang dicuri orang.”

Si nenek unjukkan wajah risau. Dua muridnya juga nampak gelisah.

“Menatap wajahmu dan mendengar nada suaramu aku tahu kau tidak berdusta. Kau tahu siapa
pencurinya?” tanya Hantu Malam Bergigi Perak.

Wiro menggeleng. Lalu berkata. “Seseorang pernah bilang kalau dia tahu di mana beradanya
kitab itu.”

“Berarti dialah pencurinya!” kata si nenek pula tanpa tedeng aling-aling.

“Tapi orangnya sudah mati.” menyelutuk Setan Ngompol.

Wiro sodokkan sikunya ke perut Setan Ngompol hingga kakek ini mengeluh kesakitan dan
pancarkan air kencing. Wiro menyengir. “Nek, sangkaan mu bahwa orang yang memberi tahu
itu adalah pencuri kitab tidak mungkin. Selain dia seorang baik, dia juga sahabatku paling
dekat.”

Hantu Malam Bergigi Perak rangkapkan dua tangan di depan dada. Suara seperti tungku api
yang keluar dari bambu kuning di atas kepalanya mengeras lalu kembali meredup.

“Dalam kehidupan ini, suatu kejahatan kerap kali dilakukan oleh orang-orang di dekat kita. Sulit
dipercaya, tapi itulah kenyataan! Kalau kau mau memberi tahu siapa orangnya, aku dan
muridku akan mencari pencuri itu.”
“Aku tak mau ada yang kesalahan tangan. Biar aku sendiri yang mencari kitab itu. Eyang Sinto
Gendeng telah menugaskan hal itu padaku.” Lalu dia bertanya pada si nenek. “Apa pentingnya
kitab itu bagi kalian?”

“Namanya saja kitab pengobatan. Apa ada tujuan lain?”

“Siapa di antara kalian yang sakit? Aku lihat kalian bertiga sangat ceria dan sehat-sehat saja,”
kata Setan Ngompol.

Si nenek ataupun dua muridnya tidak menjawab. Wiro garuk-garuk kepala.

“Nek, tadi sahabatku kakek tukang ngompol ini menanyakan beberapa hal bersangkutan
dengan dua orang yang sudah jadi mayat itu. Bahwa mereka kaki tangan pemberontak Murid-
muridmu menyebut mereka orang-orang dari Keraton Kaliningrat. Aku tak pernah mendengar
letak Keraton itu. Di mana letaknya?”

“Cerdiknya kau mengalihkan pembicaraan.”

Ucap si nenek. Namun dia memberi penjelasan juga. “Yang namanya Keraton Kaliningrat itu
hanya merupakan keraton bayangan. Letaknya bisa di mana-mana. Di sana bergabung orang-
orang pandai yang hendak menumbangkan tahta Kerajaan, termasuk dua manusia itu. Mereka
mengenakan pakaian dan belangkon hitam. Di dada pakaian ada gambar rumah joglo serta
sepasang keris bersilang. Mereka memiliki semacam ilmu kebal. Buktinya pukulan dan
tendanganmu sama sekali tidak mempan! Sementara dua muridku dengan mudah berhasil
menghabisi mereka.”

“Berarti kalian mengetahui cara memusnahkan ilmu kebal mereka,” kata Wiro. “Kau mau
memberi tahu pada kami?”

“Aku tidak akan memberi tahu padamu!” jawab si nenek.

Wiro tertawa. “Kalau kau inginkan kitab pengobatan itu, kau harus membantu. Bukan mustahil
kitab itu ada di tangan orang-orang Keraton Kaliningrat.”

Sesaat si nenek terdiam berpikir-pikir. Ucapan Wiro ada betulnya. Namun dia tetap tidak mau
memberi tahu. “Kau dan kakek itu dua tokoh rimba persilatan. Punya ilmu selangit punya
pengalaman seluas samudera. Kurasa jika mau kalian bisa mencari sendiri kelemahan ilmu
kebal orang-orang Keraton Kaliningrat.”

“Kalau kau bilang begitu Nek, kalau kitab itu aku temukan, aku tidak akan memberikannya
padamu,” ucap Wiro pula.
“Bagaimana dengan kau?” kata si nenek sambil berpaling pada Setan Ngompol dan kedap-
kedipkan matanya serta senyum-senyum genit. “Jika kau yang menemukan, apa juga tidak akan
mau memberikan padaku?”

Si kakek kesemsem dan tekap dulu bagian bawah perutnya baru menjawab. “Itu bisa kita atur,
bisa kita atur.”

Hantu Malam Bergigi Perak tertawa lebar.

Nenek ini dekati Setan Ngompol lalu membisikkan sesuatu. Wajah Setan Ngompol tampak
mengerenyit lalu kakek ini tertawa-tawa sendiri sambil goleng-goleng kepala.

Karena si nenek tidak mau memberi tahu kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton
Kaliningrat Wiro alihkan percakapan dengan bertanya.

“Kantong kulit yang ada di punggungmu itu. Apa isinya hingga kau begitu ingin memilikinya?”

“Madat!” jawab si nenek dengan suara keras dan polos.

Setan Ngompol langsung terkencing mendengar jawab si nenek. Wiro melongo garukkan
kepala.

“Jadi kau merampasnya untuk dipakai sendiri?”

Si nenek tersenyum sementara dua muridnya menutup mulut menahan tawa cekikikan. “Kalau
aku pakai sendiri, sampai dua ratus tahun baru madat ini habis! Hik… hik! Orang-orang Keraton
Kaliningrat telah lama memburu madat ini. Asal muasalnya rampasan dari sebuah kapal Cina
yang berlabuh di Tuban. Mereka bermaksud menjual barang setan ini. Hasil penjualan untuk
membiayai perjuangan sesat mereka merebut tahta Kerajaan.”

“Siapa orang dibalik rencana pemberontakan itu Nek. Biasanya pasti ada pentolan atau dedeng
kotnya. Kau tahu?”

“Aku tidak tahu namanya. Ada yang menyebut dia seorang pangeran tua yang punya pertalian
darah sangat dekat dengan Sri Baginda. Mungkin salah seorang adik tiri Sri Baginda.”

Si nenek untuk kedua kalinya menatap ke langit lalu memberi tanda pada dua muridnya.

Sebelum tinggalkan tempat itu pada Wiro dia berkata.

“Jika kau dapatkan kitab itu, aku bersedia memberikan madat satu kantong ini padamu!”

“Oala…!” ucap Setan Ngompol setengah berseru sementara Wiro cuma garuk-garuk kepala.
Sekali berkelebat si nenek lenyap dalam gelapnya malam.
Hanya cahaya kepulan asap yang keluar dari potongan bambu di atas kepalanya yang masih
kelihatan di kejauhan. Dua orang gadis cantik murid si nenek untuk beberapa lama masih
berada di tempat itu. Menatap ke arah Wiro.

“Hai! Kalian mengapa masih belum bergerak?”

Di kejauhan terdengar suara Hantu Malam Bergigi Perak.

“Kami segera menyusul!” jawab gadis berpakaian biru. Dia berpaling pada si merah.

Gadis berpakaian merah dekati Wiro lalu berkata. “Kami berdua sangat mengharapkan kau bisa
mendapatkan kitab pengobatan itu secepat nya.”

“Kalau begitu mengapa tidak ikut bersama kami?” ujar Setan Ngompol.

“Kami mempunyai keterbatasan,” jawab si merah pula.

“Keterbatasan apa?” tanya Pendekar 212.

“Kami tidak bisa memberitahu” jawab si merah.

Lalu ditariknya lengan gadis berpakaian biru.

Setelah dua gadis cantik pergi Wiro dekati Setan Ngompol dan bertanya. “Apa yang tadi
dibisikkan nenek ganjen itu padamu?”

Setan Ngompol nyengir. Tekap dulu bagian bawah perutnya baru menjawab. “Dia bilang, kalau
aku menyerahkan kitab pengobatan padanya, dia akan memberikan satu gigi perak di mulutnya
padaku.”

“Kau mau?” tanya Wiro.

“Mauku dia memberikan gigi di mulut bawah perut, bukan gigi atas!” Habis berkata begitu
Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh dan serrrr.

Kencingnya langsung muncrat.

10

PERLAHAN-LAHAN sang surya menyembul di.

ufuk timur. Setan Ngompol baru saja kembali dari telaga. Dilihatnya Wiro sudah bangun dan
duduk di pinggiran lantai dangau. Si kakek duduk di samping sang pendekar.
“Aku masih ingat-ingat saja pada dua gadis cantik murid Hantu Malam Bergigi Perak…” kata
Setan Ngompol.

“Kau ingat muridnya atau gurunya? Bukankah kau sudah kecantol sama si nenek yang
berdandan menor itu? Apa lagi kau dijanjikan mau diberikan gigi! Pasti sedap kalau kau
berciuman dengan nenek itu, Kek!”

Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kencingnya mengucur banyak. Celananya yang tadi
sudah dicuci di telaga kini kembali bau pesing air kencing.

“Aku yang tua bangka ini masih tahu diri.

Masakan naksir sama dua gadis yang pantas jadi cicitku. Kalau dapatkan si nenek saja rasanya
sudah seabrek-abrek. Hik… hik… hik! Menurutmu apakah aku cocok menjadi pendamping
Hantu Malam Bergigi Perak?”

“Kau tanyakan saja sendiri nanti kalau bertemu dia,” jawab Wiro.

“Menurutku dua gadis cantik itu kelihatannya ingin sekali ikut bersamamu. Demi untuk
mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Namun si merah mengatakan mereka punya
keterbatasan. Keterbatasan apa? Selain itu aku merasa heran. Di mana ada manusia apa lagi
dua gadis cantik, merendam diri dalam air telaga malam-malam buta.”

“Kitab Seribu Pengobatan,” ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Ke mana aku harus
mencarinya?”

“Menurutmu, apakah ucapan Hantu Malam Bergigi Perak ada benarnya? Bahwa orang yang
memberitahumu itu adalah si pencuri kitab?”

Setan Ngompol malah balik bertanya.

“Kek, orang yang memberi tahu itu adalah Bidadari Angin Timur. Aku pernah menceritakannya
padamu. Semalam mulutmu enak saja nyelonong mengatakan gadis itu sudah mati! Atas dasar
itu apakah seseorang lantas bisa menuduhnya begitu saja sebagai pencuri kitab? Apa
kepentingannya mencuri kitab itu? Apa lagi mencuri sesuatu yang dia ketahui adalah milik
guruku Eyang Sinto Gendeng. Bidadari Angin Timur pernah beberapa kali diselamatkan oleh
guruku.

Seandainya pun aku dan dia ada permusuhan, kurasa Bidadari Angin Timur tidak akan sejahat
itu.”

“Kau pernah mendengar rasa cemburu bisa lebih panas dari bara api? Rasa cemburu bisa lebih
jahat dari setan kepala tujuh?”
“Hebat sekali bicaramu. Tapi aku tidak mengerti maksudmu Kek,” kata Wiro pula.

“Satu saat kau akan mengerti. Aku tidak mau bicara banyak. Takut kau salah menduga dan
marah…”

“Sudahlah, kita harus melanjutkan perjalanan.

Aku tidak tahu kita mau menuju ke mana.

Kurasa…” Wiro berhenti bicara. Dari tikungan jalan muncul berlari seseorang.

Begitu mengenali orang ini, Setan Ngompol keluarkan ucapan. “Si centil satu ini. Bukankah
sebelumnya dia pergi bersama Dewa Tuak? Me ngapa sekarang tahu-tahu bisa muncul di sini?”

Yang datang dan kini berdiri di hadapan Wiro dan Setan Ngompol adalah Wulan Srindi. Seperti
dituturkan sebelumnya, sewaktu semua orang mulai meninggalkan jurang batu di 113 Lorong
Kematian, gadis ini ikut naik perahu bersama Dewa Tuak. Apa yang terjadi?

Karena Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terdiam seperti melongo melihat kehadirannya,
Wulan Srindi lantas keluarkan ucapan.

“Ada mayat dua lelaki dekat telaga. Apakah kalian mengetahui?”

Wiro berpaling pada Setan Ngompol sambil kedipkan mata kiri, memandang kembali ke arah
Wulan Srindi lalu gelengkan kepala. Setan Ngompol ikutan gelengkan kepala.

“Semalaman kami tidur di dangau. Pagi ini belum ke mana-mana,” kata si kakek pula berdus ta.

“Sudahlah, soal dua mayat itu akupun tidak perduli. Ada satu hal lain yang jauh lebih penting.”

Kata Wulan Srindi. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kain panjang. “Kalian mengenal
pemilik kain ini?”

Wiro menggeleng. Setan Ngompol juga menggeleng.

Wulan Srindi campakkan kain panjang ke tanah. Kembali dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan beberapa carik robekan kain biru halus.

“Kalian mengenali robekan kain ini? Harap diperiksa dan coba cium baunya.”

Si gadis melemparkan dua potongan robekan kain biru itu ke arah Wiro dan satu robekan lagi
kepada Setan Ngompol. Wiro perhatikan dua robekan kain biru itu.
Tanpa mendekatkan ke hidung, dia sudah dapat mencium bau harum yang tak asing lagi
baginya. Air muka Pendekar 212 serta merta berubah. Di sampingnya Setan Ngompol menciumi
potongan kain biru berulang kali. Mata kakek yang sudah belok ini bertambah mendelik. Dia
berpaling pada Wiro, hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang keluar, hanya
bibirnya saja yang kelihatan bergetar.

“Wulan, dari mana kau dapatkan robekan kain itu?” Bertanya Wiro

“Kalian bisa mengenali?” Balik bertanya Wulan Srindi.

“Dari kehalusan kain, warna serta bau harum nya aku merasa yakin ini adalah robekan pakaian
Bidadari Angin Timur.” Ucap Wiro.

“Betul,” membenarkan Setan Ngompol.

“Aku sudah menduga. Itulah yang membuat aku khawatir kalau-kalau telah terjadi sesuatu
dengan Bidadari Angin Timur,” kata Wulan Srindi pula.

Baik Wiro maupun Setan Ngompol mendugaduga apakah ucapan si gadis keluar dari hati yang
tulus. Karena sebelumnya di hadapan Sinto Gendeng Wulan Srindi berani membakar hati dan
perasaan para gadis cantik sahabat Wiro.

“Cukup jauh dari sini terdapat sebuah jurang yang ada air terjunnya. Robekan pakaian biru serta
kain panjang itu aku temui di sebelah barat jurang. Hatiku merasa tidak enak. Kain dan robekan
pakaian aku ambil. Aku cukup kenal kawasan ini dan tahu kalau ada sebuah telaga tak jauh dari
jurang. Ketika aku sampai ke telaga, kulihat dua mayat tergeletak di tanah. Ada bekas-bekas
perkelahian. Aku coba menyusuri jejak yang datang dari arah sini. Ternyata aku menemui kalian
berdua di dangau ini…”

“Tunggu dulu,” Wiro memotong ucapan Wulan Srindi. “Sebelumnya bukankah kau ikut bersama
Dewa Tuak? Mengapa tahu-tahu bisa muncul di tempat ini?”,

“Wiro, pertanyaanmu terasa mengandung kecurigaan,” kata Wulan Srindi datar tapi dengan
mulut tersenyum. “Sesuai perjanjian, Dewa Tuak menurunkan aku di satu tempat. Guruku itu
meneruskan perjalanan, aku tak tahu ke mana.

Tapi beliau berjanji akan bersedia menemuiku lagi pada hari ke sepuluh bulan muka.”

“Di mana?” tanya Wiro. Dia tidak suka Wulan Srindi selalu menyebut-nyebut Dewa Tuak
sebagai gurunya.

“Saat ini aku belum bersedia memberi tahu padamu. Tapi jika kau, suka kita bisa pergi
samasama ke tempat itu,” jawab sang dara.
Wiro tidak perdulikan kata-kata si gadis.

“Wulan, antarkan kami ke tempat kau menemukan kain dan potongan pakaian ini.”

“Ikuti aku,” si gadis berkata lalu balikkan badan.

Pada saat matahari sudah mulai meninggi, mereka akhirnya sampai di sekitar jurang yang
diceritakan Wulan Srindi. Si gadis kemudian menunjukkan tempat di mana dia menemui kain

panjang dan robekan-robekan kain biru. Tempat ini merupakan satu pedataran kecil ditumbuhi
rumput liar dan ada sebatang pohon berdaun rindang.

“Jika ini memang benar potongan pakaian Bidadari Angin Timur, sulit aku menduga apa yang
terjadi,” kata Wiro sambil memandang berkeliling.

“Ketika kita ramai-ramai memasuki lorong kematian, gadis itu tidak kelihatan, tidak diketahui di
mana beradanya.”

Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya.

“Kalau binatang buas mencelakai Bidadari Angin Timur, darah akan berceceran di mana-mana.

Sisa-sisa tubuhnya pasti ada yang tertinggal di tempat ini. Yang aku takutkan…”

Setengah berlari Wiro mendekati tepi jurang.

Wulan dan Setan Ngompol mengikuti. Jurang batu itu ternyata dalam sekali. Di salah satu
sisinya menderu air terjun. Jatuhan air terjun pada bebatuan di dasar jurang membuat air
seolah berubah menjadi asap dan membumbung naik ke atas sampai ketinggian satu tombak.

“Jurang ini tak ubahnya seperti satu tabung panjang. Aku tidak melihat ke mana mengalirnya
curahan air terjun. Kalau tidak ada tempat mengalir, pasti sejak lama jurang ini sudah berubah
menjadi sebuah danau atau telaga.” Wiro berucap, memberitahu jalan pikirannya kepada Setan
Ngompol dan Wulan Srindi. Lalu dia menambahkan. “Kalau ada orang jatuh ke dalam jurang,
pasti mayatnya akan terapung berputar-putar di dasar sana.”

“Apa yang ada dalam benakmu, Wiro?” tanya Setan Ngompol sambil pegangi perut.

“Tiba-tiba saja aku punya firasat buruk. Aku khawatir, satu malapetaka telah menimpa Bidadari
Angin Timur. Seseorang telah memperkosanya lalu membunuh dan membuang mayatnya ke
dalam jurang.”

“Ingat waktu aku menceritakan mimpiku tentang Bidadari Angin Timur padamu? Saat itu aku
katakan Bidadari Angin Timur telah menemui ajal.
Lalu menurutmu jika ada yang berbuat jahat terhadapnya, siapa orangnya? Pangeran Matahari,
kurasa bukan…” ujar Setan Ngompol pula.

“Hantu Muka Dua,” kata Wiro. “Dia pernah mencoba merusak kehormatan Bidadari Angin
Timur. Untung Jatilandak muncul dan menyelamatkan gadis itu.”

“Waktu di lorong kematian, Luhkentut pernah memberi tahu bahwa ada perubahan pada diri
Hantu Muka Dua. Dia bahkan ingin mencarimu karena telah menyelamatkan dirinya…”

“Yang namanya hantu, siapa percaya ucapan nya!” jawab Wiro. Lalu dia tegak tak bergerak. Dua
tangan disilang di depan dada. Mata diarahkan ke dasar jurang. Dia mulai mengerahkan ilmu
Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Cukup lama Wiro meneliti keadaan
dasar jurang yang bisa dilihatnya cukup jelas. Namun dia tidak menemukan sosok manusia.
Wiro menghela nafas panjang.

“Kau melihat sesuatu?” tanya Setan Ngompol.

Wiro menggeleng. “Aku harus menyelidik, turun ke dalam jurang. Kalian berdua harap
menunggu di sini.”

“Bagaimana caranya kau turun ke bawah?”

tanya Wulan Srindi. “Jurang itu dalam sekali. Tak ada tempat untuk menjejak kaki, tak ada
pohon untuk bergantung. Kalaupun kau bisa turun ke dasar jurang, apakah kau mampu naik lagi
ke sini?”

Murid Sinto Gendeng tidak menjawab. Dia duduk bersila di tepi jurang. Dua tangan diletakkan
bersilang di atas dada. Mata dipejamkan dan jalan pendengaran ditutup dengan cara
mengalirkan hawa sakti ke liang telinga. Perlahan-lahan Wiro mulai kosongkan pikiran. Lalu
hatinya melafalkan kata Basmallah tiga kali berturut-turut disusul dengan ucapan Meraga
Sukma.

“Ah… Ilmu Meraga Sukma…” ujar Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencing ketika
melihat dari tubuh Pendekar 212 bergerak keluar sosok samar. hampir menyerupai bayangan.
Perlahan-lahan sosok ini berubah berbentuk utuh dan melangkah ke jurang.

Setan Ngompol tak sanggup menahan pancaran kencingnya, sementara Wulan Srindi
memperhatikan semua yang terjadi dengan mata membeliak besar. “Ilmu Meraga Sukma?”
ucapnya dalam hati.

Tanpa keraguan sama sekali, sosok sukma Pendekar 212 Wiro Sableng seperti seekor burung
besar melayang turun ke dalam jurang batu, lenyap di balik curahan air terjun.
Setan Ngompol terduduk di tanah. Masih kucurkan air kencing. Dia sudah lama tahu kalau Wiro
memiliki kesaktian yang sangat langka itu.

Namun baru sekali ini menyaksikan. Sementara Wulan Srindi yang tidak pernah tahu
keberadaan ilmu itu dan bahwa Wiro memilikinya, sampai sekian lama masih saja tegak di tepi
jurang, memandang dengan mata tak berkesip mulut ternganga. Ada rasa khawatir dalam diri
gadis ini.

Apalagi setelah ditunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul. Hingga dia bertanya pada
Setan Ngompol.

“Kek, aku khawatir sesuatu terjadi dengan Wiro di dasar jurang sana. Bagaimana kita
menolongnya?”

“Kau tak usah khawatir. Dia pasti akan kembali ke sini.”

“Kek, setahuku Eyang Sinto Gendeng tidak memiliki yang disebut ilmu Meraga Sukma. Dari
mana Wiro mewarisinya?”

“Aku sendiri tidak tahu,” jawab Setan Ngompol.

“Dia anak baik. Suka menolong orang. Tidak mustahil banyak orang pandai yang berkenan
memberikan ilmu kesaktian padanya.”

Baru saja Setan Ngompol berkata begitu tibatiba dari dalam jurang melayang naik sosok sukma
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sosok ini melangkah mendekati Wiro asli yang sejak tadi masih
duduk bersila di tanah. Sosok samar perlahanlahan masuk dan menyatu dengan tubuh yang
duduk bersila. Begitu kesadaran memasuki alam pikirannya, Wiro ucapkan Basmallah lalu
katakata Meraga Sukma Kembali Pulang masing-masing sebanyak tiga kali.

Begitu Wiro buka kedua matanya, Wulan Srindi segera mendekati dan Setan Ngompol
bertanya.

“Bagaimana?”

“Aku tidak menemukan tanda-tanda adanya orang jatuh ke dalam jurang. Di dinding dasar
jurang di hadapan air terjun ada satu celah berbentuk cegukan. Aku menerobos masuk,
mengikuti aliran air. Di balik dinding batu ada sebuah kolam kecil. Air kolam yang berasal dari
air terjun mengalir deras menuju sebuah anak sungai.”

“Aku berharap segala dugaan kita atas diri Bidadari Angin Timur tidak benar. Mudahmudahan
gadis itu berada dalam keadaan selamat,” kata Wulan Srindi pula.
Wiro memandang pada Setan Ngompol. “Aku harus mencari gadis itu sampai dapat. Apa lagi
kalau kitab yang aku cari memang ada padanya…”

“Wiro, sambil mencari Bidadari Angin Timur, dalam perjalanan kita bisa mampir ke tempat
guruku Dewa Tuak berjanji untuk bertemu…”

“Maaf Wulan, aku tidak punya kesempatan memenuhi permintaanmu.”

“Tapi nanti akan ada pembicaraan sangat penting antara aku, kau, dan Dewa Tuak. Menyangkut
soal perjodohan kita.”

Wiro tertawa lebar tapi hatinya terasa panas mendengar ucapan si gadis. “Kalau kau memang
ingin memaksa dan mau cepat-cepat mencari jodoh, kawin saja dengan Dewa Tuak!” Wiro
sampai keluarkan ucapan tidak enak saking kesalnya.

“Tunggu dulu Wiro,” kata Wulan Srindi sambil memegangi lengan pemuda itu ketika dilihatnya
Wiro hendak berlalu. “Apakah sapu tangan yang pernah aku berikan padamu masih kau
simpan?”

Pendekar 212 jadi sengit dan meraba ke balik pakaiannya. Sesaat kemudian dia keluarkan
sehelai sapu tangan biru muda. Seperti diceritakan dalam Episode berjudul Pernikahan Dengan
Mayat, karena bicara usil, Sinto Gendeng sampai menampar muka Wiro hingga bibirnya luka
dan mengucurkan darah. Wulan Srindi kemudian mengusap darah itu dengan sehelai sapu
tangan biru muda. Sapu tangan ini kemudian diselipkannya di pinggang Wiro.

“Kau inginkan sapu tangan ini kembali? Ambillah!” kata Wiro pula lalu susupkan sapu tangan
biru muda ke dalam genggaman Wulan Srindi.

Tanpa banyak bicara lagi Wiro kemudian tinggalkan tempat itu.

Setan Ngompol tampak bingung. “Ah, kenapa urusan jadi tak karuan begini? Aku…” Si kakek
tekap bagian bawah perutnya lalu lari terbungkuk-bungkuk tinggalkan si gadis.

Wulan Srindi tampak tenang saja malah gadis cantik berkulit hitam manis ini mengulum
senyum. Sambil mengibas-ngibas sapu tangan biru muda dia. berkata seorang diri. “Siapa yang

ingin meminta kembali sapu tangan ini. Aku hanya ingin tahu apakah dia masih memegangnya.

Ternyata dia masih menyimpannya. Pertanda dia tidak melupakan diriku…” Gadis ini
campakkan sapu tangan biru muda bernoda darah ke dalam jurang lalu masih senyum-senyum
dia tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya Wiro dan Setan Ngompol.

Namun baru berlari kurang dari lima puluh langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar suara
kuda dipacu menyusul bentakan keras.
“Perempuan berpakaian hijau! Hentikan larimu!

Jangan berani bergerak!”

Dalam kejutnya Wulan Srindi yang memang mengenakan pakaian hijau perlambat larinya.

Baru saja dia berhenti di pinggir jalan, dua kuda besar yang ditunggangi dua lelaki berpakaian
hitam dan belangkon hitam berhenti di hadapannya.

Di atas dua ekor kuda tunggangan mereka kelihatan melintang dua orang yang juga berpakaian
hitam. Wulan Srindi segera mengenali, dua sosok itu adalah dua mayat yang ditemuinya tak
jauh dari telaga.

“Apa kepentingan kalian memerintahkan aku berhenti?” tanya Wulan Srindi sambil berkacak
pinggang.

“Ah, ternyata seorang gadis cantik! Bukan main!” ucap lelaki di sebelah kanan.

“Aku suka gadis galak!” kata lelaki di samping kiri.

Seperti dua mayat, pada dada kiri baju kedua orang itu terdapat sulaman rumah joglo dan dua
keris bersilang. Orang-orang dari Keraton Kaliningrat.

“Kami lihat kau memiliki ilmu lari cukup tinggi.

Dua teman kami mati dibunuh orang. Hanya orang berkepandaian tinggi yang sanggup
menghabisi mereka. Kami tidak menuduh kau pembunuhnya. Paling tidak kau mungkin
mengetahui siapa si pembunuh!”

“Aku sedang ada urusan! Kalian berdua hanya menghabisi waktuku dengan pertanyaan edan!

Siapa pembunuh kedua temanmu mana aku tahu? Mana aku perduli? Tanyakan pada setan di
jurang air terjun sana!” Wulan Srindi mencibir lalu berkelebat untuk lanjutkan perjalanan.
Namun dalam gerakan cepat salah seorang dari kedua lelaki berhasil mencekal lengannya.

“Dua temanku ini membawa satu kantong kulit.

Kau melihat kantong itu?” tanya lelaki yang mencekal lengan Wulan Srindi.

“Tanyakan pada setan air terjun!” jawab Wulan Srindi. Dia berusaha menarik lepas tangannya
yang dicekal. Tapi tidak mampu!

11
WULAN SRINDI kerahkan tenaga dalam lalu sentakkan tangan orang yang mencekal lengannya.
Bersamaan dengan itu dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung anak murid
Perguruan Silat Lawu Putih ini sodokkan siku kanannya ke lambung orang. Bukkk!

Kuntorandu, orang yang kena hantam, terjajar dua langkah dan terpaksa lepaskan cekalannya.

Namun tak ada kerenyit kesakitan di wajahnya.

Pekik Ireng, orang dari Keraton Kaliningrat satunya tertawa mencemoohkan Kuntorandu.

“Menghadapi seorang gadis jelita saja kau tak mampu. Memalukan! Atau kau memang sengaja
mengalah?”

Melihat lawan kena dihantam Wulan Srindi jadi bersemangat. Dia teruskan serangannya
dengan jurus Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.

Tangan kiri menggebuk ke arah dada, tangan kanan menjotos mencari sasaran di kepala lawan.

Bukkk! bukkkt

Dua pukulan Wulan Srindi mendarat telak di dada dan rahang Kuntorandu. Namun lelaki ini
hanya menyeringai. Tiba-tiba Kuntorandu kembangkan kedua tangannya. Wulan Srindi
tenggelam dalam rangkulan Kuntorandu. Penuh nafsu lelaki ini ciumi wajah, leher, dan dada si
gadis. Dia tidak perdulikan sama sekali pukulan yang mendera perut serta punggungnya. Dalam
keadaan bergelantungan, dua kaki tidak menginjak tanah, tiba-tiba Wulan Srindi gigit dagu
Kuntorandu hingga luka dan mengucurkan darah. Kuntorandu menjerit kesakitan, lepaskan
pukulan.

Plaakk!

Kuntorandu daratkan tamparan keras ke wajah Wulan Srindi. Selagi gadis ini melintir kesakitan,
dari belakang Pekik Ireng memeluk tubuh gadis itu kuat-kuat. Dari arah depan Kuntorandu
tusukkan dua jari tangan ke pertengahan dada, tepat di antara dua payudara. Wulan Srindi
mengeluh tinggi. Nafasnya sesak. Tubuhnya tak bisa bergerak lagi.

Pekik Ireng tertawa bergelak. “Di situ ada dangau. Kita bawa dia ke sana!”

Kuntorandu segera menggendong Wulan Srindi dan membaringkannya di lantai dangau. “Aku
duluan! Kau jauh-jauh dulu dari sini!”

Pekik Ireng tertawa lebar. “Jangan tertalu lama. Jangan dihabisi semua! Ha… ha… ha!”
Sebelum melangkah pergi, Pekik Ireng mendengar suara pakaian robek dilucuti lalu suara pekik
jerit Wulan Srindi tiada henti!

***

Jatilandak, pemuda dari alam 1200 tahun silam melangkah tanpa tujuan. Dia hanya tahu kalau
saat itu malam hari dan dia ada di tepi sungai, berjalan sepembawa kaki menyusuri sungai.

Pikiran dan ingatannya tidak pupus dari apa yang baru dialaminya. Perempuan cantik berupa
bayang-bayang yang telah menolong dirinya itu, siapa dia sebenarnya? Mengapa dia
menginginkan Kitab 1000 Pengobatan? Apakah dia akan bertemu lagi? Apakah dia dapat
membalas budi baiknya yang telah menolong dan menyelamatkan jiwanya?

“Aneh, kenapa aku ingin sekali bertemu dengan dia. Mengapa tiba-tiba ada kerinduan dalam
hatiku terhadapnya. Kitab Seribu Pengobatan. Dia menginginkan kitab itu. Aku harus berusaha
keras untuk mendapatkan dan memberikan pada perempuan muda bayangan itu.”

Jatilandak juga ingat pada Bidadari Angin Timur, Wiro, Naga Kuning, Anggini, serta semua orang
yang mendatangi 113 Lorong Kematian. Di mana mereka sekarang?

Ketika malam berganti pagi dan matahari mulai naik, Jatilandak masih saja berjalan menyusuri
tepi sungai ke arah hulu. Sampai pada satu ketika langkahnya terhenti karena di depannya
menju lang satu dinding bukit batu yang tinggi. Di kiri kanan sungai mengapit rimba belantara.

“Sungai aneh. Airnya seolah keluar dari dalam dinding batu…” kata Jatilandak dalam hati sambil
memperhatikan aliran air sungai yang deras. Di balik dinding batu Jatilandak mendengar suara
menderu tak berkeputusan.

“Sepertinya ada air mencurah di balik dinding batu. Air terjun…”

Memandang ke depan pemuda dari negeri Latanahsilam ini melihat ada tebing terjal di sebelah
kiri dinding batu yang menjulang tinggi.

Cukup lama berada di tempat itu Jatilandak tibatiba saja merasa hatinya tidak enak. Seperti ada
orang yang memperhatikan gerak-geriknya dari tempat tersembunyi. Dia memandang
berkeliling.

Tak terlihat ada orang di sekitar situ. Tidak tampak hal-hal yang mencurigakan. Kemudian,
diantara deru air yang mencurah di balik bukit batu, sayup-sayup Jatilandak mendengar suara
sesuatu.

“Seperti suara jeritan orang minta tolong. Atau mungkin salah pendengaranku? Mungkin desau
suara angin?”
Jatilandak akhirnya terjun menyeberangi sungai lalu mendaki tebing curam di sebelah kiri
dinding batu. Walau dia memiliki kepandaian tinggi serta ilmu meringankan tubuh namun
cukup susah juga baginya untuk mencapai bagian mendaki lamping batu yang sangat terjal itu.
Di bagian atas dia menemukan sebuah pedataran, lalu sebuah telaga. Ketika berada di tepi
telaga inilah kembali dia mendengar suara teriakan orang minta tolong. Kini dia dapat
mengenali. Suara teriakan itu adalah suara teriakan perempuan. Datangnya dari balik tikungan
jalan di kiri pendataran. Jatilandak segera berlari ke arah datangnya suara.

Cukup jauh setelah melewati tikungan terlihat sebuah dangau. Di atas dangau inilah tampak
tergeletak sesosok tubuh perempuan. Perempuan inilah yang berteriak dan kini suara
teriakannya terdengar melemah parau.

Begitu sampai di dangau, kejut Jatilandak

bukan olah-olah. Dia cepat membuka bajunya dan dipakai menutupi tubuh perempuan yang
tergeletak dalam keadaan miring di lantai dangau. Pakaiannya robek serta tersingkap tak
karuan, membuatnya nyaris telanjang.

“Tolong… tolong…”

Tubuh itu bisa bersuara tapi tak bisa bergerak.

Perlahan-lahan Jatilandak balikkan sosok perempuan itu. Dia melihat satu wajah perempuan
muda penuh bengkak dan berdarah bekas pukulan.

Dalam keadaan seperti itu Jatilandak masih bisa mengenali siapa adanya perempuan itu.

“Wulan Srindi. Kaukah ini…? Betul…?”

Suara mengerang berhenti. Perempuan muda itu yang memang Wulan Srindi adanya berusaha
membuka dua matanya yang sembab namun dia tidak mampu melihat jelas. “Siapapun kau ada
nya, tolong… Orang telah menganiaya diriku. Aku ditotok di pertengahan dada… Tolong…”

Jatilandak singkapkan sedikit bagian dada yang tertutup pakaian. Dia melihat ada tanda merah
di antara dua payudara Wulan Srindi. Jatilandak bertindak cepat. Pemuda dari negeri 1200
tahun silam ini basahi ibu jari tangan kanannya dengan ujung lidah. Lalu ibu jari itu ditempelkan
pada bagian dada Wulan Srindi yang berwarna merah bekas totokan. Jatilandak alirkan tenaga
dalam serta hawa sakti yang dimilikinya.

Dess!

Bagian tubuh yang ditekan keluarkan asap.


Beginilah cara Jatilandak memusnahkan totokan di tubuh Wulan Srindi. Begitu dirinya lepas dari
totokan, Wulan Srindi menggeliat, menjerit keras lalu gelungkan kedua tangannya ke leher
Jatilan dak, bergayut di tubuh pemuda itu beberapa lama.

Jatilandak cepat pegang tubuh Wulan Srindi agar tidak jatuh.

“Tidak! Jahanam! Jangan sentuh tubuhku!”

Teriak Wulan Srindi tiba-tiba. Dalam keadaan nyaris tidak melihat dia melompat dari dangau
lalu berlari kencang ke arah timur sambil terus menjerit-jerit.

Jatilandak berusaha mengejar namun dia men dengar ada suara mencurigakan di balik
semaksemak tak jauh di samping kirinya. Dia hentikan larinya dan memperhatikan. Semak-
semak itu kelihatan bergoyang. Ketika dia mendekati, Jatilandak tidak menemukan siapa-siapa.
Namun matanya yang tajam dapat melihat tanda-tanda kalau sebelumnya ada seseorang
bersembunyi di tempat itu.

Jatilandak cepat berbalik dan mengejar ke arah larinya Wulan Srindi. Mudah baginya untuk
mengetahui ke arah mana larinya si gadis karena sambil lari Wulan Srindi terus berteriak-teriak.

Sekonyong-konyong teriakan itu lenyap. Jatilandak mengejar terus dan baru berhenti ketika dia
menyadari telah kehilangan jejak.

“Wulan! Wulan Srindi! Kau di mana?” teriak Jatilandak berulang kali memanggil Wulan Srindi.

Namun tak ada jawaban.

“Aneh, tak mungkin dia bisa melenyapkan diri begitu saja. Suara jeritannya lenyap. Di mana dia
berada saat ini? Apa yang terjadi?”

Jatilandak akhirnya sandarkan badan ke sebatang pohon sambil menyeka keringat yang
bercucuran di kening dan dadanya yang telanjang.

“Wulan Srindi… kasihan. Gadis itu agaknya telah diperkosa. Siapa manusia bejat yang tega
melakukan? Kalau si pemerkosa menotok Wulan Srindi berarti dia adalah orang dari rimba
persilatan. Seingatku ketika aku dan kawan-kawan menerobos masuk ke dalam lorong kematian
Wulan Srindi merupakan salah satu gadis yang diculik. Bagaimana dia bisa berada di dangau?

Pasti para sahabat membebaskannya atau dia berhasil kabur melarikan diri.”

Saat itu kembali terbayang wajah cantik perem puan muda berbentuk bayangan di pelupuk
mata Jatilandak. “Aku telah berjanji padanya untuk mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan itu.
Aku harus mencari kitab itu. Mungkin pertama sekali aku harus mencari Wiro lebih dulu. Tapi
antara aku dan dia ada ganjalan besar. Apakah dia bersedia menolongku? Bidadari Angin Timur,
di mana kau berada saat ini?”

12

MALAM HARI, dalam sebuah rimba belantara di tenggara Gunung Lawu. Setan Ngompol atur
tumpukan kayu perapian.

“Ini malam ketiga perjalanan kita. Mencari Bidadari Angin Timur seperti mencari seekor ikan
dalam lautan. Petunjuk di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan sedikitpun belum kita
dapat kan.”

“Perjalanan ini bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Sebenarnya ada beberapa


orang yang bisa kita temui untuk mendapatkan petunjuk. Pertama guruku sendiri Eyang Sinto
Gendeng.”

Setan Ngompol pencongkan mulut lalu gelengkan kepala. “Gunung Gede jauh sekali dari sini.

Belum tentu nenek itu ada di sana pada saat kita datang. Lagi pula menurutku dia tidak punya
petunjuk apa-apa. Kalau tahu di mana kitab itu beradanya pasti sudah diberitahukan
kepadamu.”

“Eyang Sinto pernah menyatakan kecurigaan nya pada Dewa Tuak. Sebelum kitab hilang, Dewa
Tuak pernah mampir di Gunung Gede.”

“Aku tidak percaya kalau kakek itu yang jadi pencuri…”

“Terus terang aku juga tidak percaya,” kata Wiro pula. “Ketika sama-sama di lorong kematian,
aku menyesal tidak banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu.”

“Kita harus mencari kakek buta itu. Ingat sewaktu kau menyerahkan kipas kayu cendana, dia
merubah niatnya naik perahu ikut bersama Dewa Tuak dan Wulan Srindi. Kau bisa menduga ke
mana perginya kakek itu?”

“Ke mana lagi kalau bukan menemui si pemberi kipas, Nyi Roro Manggut di pantai selatan. Aku
memang punya niat menemui Nyi Roro Manggut.

Siapa tahu sekalian bisa menemui Kakek Segala Tahu. Tapi untuk pergi ke sana tidak sembarang
waktu dan sulitnya bukan main. Aku harus minta bantuan Ratu Duyung. Gadis itupun lenyap
entah ke mana. Pada siapa aku benar-benar bisa men dapatkan pertolongan…?”

“Bagaimana kekasihmu yang dari alam roh itu?” tanya Setan Ngompol pula sambil usap mata
nya yang belok jereng.
“Maksudmu Bunga?” Wiro tertawa, “Aku harus tahu diri Kek. Baru beberapa hari lalu kita
mendapat pertolongan dari dia sewaktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Sekarang mau minta
tolong lagi…”

Si kakek usap-usap kepalanya yang setengah botak. “Menurutku dalam bercinta, kekasih adalah
segala-galanya. Jangankan pertolongan, nyawa pun akan diberikan…”

“Ucapanmu mengada-ada. Dari mana kau tahu aku bercinta dengan gadis alam roh itu?”

Setan Ngompol tertawa lebar lalu terbatukbatuk beberapa kali. “Kalian saling peluk di telaga,
saling…”

Wiro julurkan kakinya ke arah bagian bawah perut si kakek, Setan Ngompol cepat-cepat
bersurut mundur sambil menahan kencing.

“Yang membuat aku khawatir, bukan cuma kita yang menginginkan kitab keramat itu. Ingat
Hantu Malam Bergigi Perak dan dua muridnya? Mereka juga menginginkan. Wiro, kita harus
berhati-hati dalam bicara dan menebar kabar. Semakin banyak orang yang tahu kitab itu hilang
semakin banyak yang ingin mencari dan mendapatkannya.”

Lama Wiro terdiam dan merenung. Akhirnya murid Sinto Gendeng keluarkan Kapak Naga Geni
212 dari balik pinggang. Mata kapak diusap-usap sesaat. Lalu perlahan-lahan kapak diangkat,
gagang yang berbentuk kepala naga didekatkan kebibir. Jari-jari tangan ditempelkan pada
lubanglubang di batang gagang kapak yang menyerupai seruling. Wiro meniup seruling Kapak
Naga Geni 212 dengan penuh perasaan dan mata dipejamkan. Mula-mula perlahan saja,
kemudian mulai keras namun tetap dalam irama naik turun meng alun lembut. Siapa
mendengar tiupan seruling dengan berhiba-hiba itu pasti akan tercenung dan ikut terbawa larut
perasaannya.

Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja memainkan seruling kapak untuk berusaha membebaskan
dirinya dari pikiran serta perasaan yang menghimpit. Kemudian dia juga berharap ada
seseorang yang mendengar suara tiupan seruling itu, yakni Bidadari Angin Timur, dan datang
menemuinya.

Namun lain dengan diharapkan lain pula yang datang. Di bawah nyala perapian yang mulai
redup, berkelebat satu bayangan. Di lain kejap bayangan ini telah berdiri di hadapan Wiro dan
Setan Ngompol.

“Jatilandak!” ucap Setan Ngompol setengah berseru begitu dia mengenali siapa adanya yang
datang dan berdiri di hadapannya tanpa baju. Pemuda dari negeri 1200 tahun silam itu
membung kuk sedikit memberi hormat pada si kakek.

“Kek, aku senang bisa bertemu denganmu kembali.”


“Sewaktu di lorong kematian, kami berusaha mencari. Kau lenyap entah ke mana tahu-tahu
muncul di sini dalam keadaan cuma pakai celana, tidak mengenakan baju.”

“Aku terpaksa menyerahkan bajuku untuk menolong seseorang,” jawab Jatilandak.

Perlahan-lahan suara tiupan seruling bergema perlahan dan akhirnya lenyap. Pendekar 212
buka sepasang matanya. Pandangannya saling berbenturan dengan tatapan Jatilandak.

“Wiro, aku gembira dapat menemui lebih cepat dari yang aku duga. Ada yang perlu kita
bicarakan…”

Wiro susupkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu berkata. “Saat di lorong kematian,
aku meninggalkanmu di tepi telaga. Aku berjanji akan kembali untuk menjemputmu. Tapi ketika
aku dan kawan-kawan kembali ke telaga di dasar jurang, kau tak ada lagi di situ.”

“Wiro, sekali lagi terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku. Ada hal lain yang ingin
kubicarakan agar lenyap kesalahpahaman antara kita…”

“Jika yang hendak dibicarakan soal hubunganmu dengan Bidadari Angin Timur, kurasa semua
sudah jelas. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Aku menerima keadaan apa adanya.”

“Kau salah mengerti Wiro…”

Pendekar 212 tersenyum dan gelengkan kepala.

Jatilandak akhirnya memutuskan untuk tidak membicarakan hal itu. Maka dia mengalihkan
pembicaraan. “Tak lama setelah kau meninggalkan aku di tepi telaga, ada satu mahluk
perempuan aneh berbentuk bayang-bayang menolongku keluar. Aku dibawa ke sungai dan
racun belerang dalam tubuhku dikuras keluar. Sebelum pergi mahluk itu minta agar aku
mencarikan Kitab Seribu Pengobatan. Jika dapat dia ingin meminjamnya barang beberapa lama.
Karena aku sudah menerima budi maka permintaannya itu aku luluskan. Aku berjanji akan
mencarikan kitab tersebut dan menyerahkannya. Wiro, aku tahu kitab itu adalah milik gurumu.
Aku juga tahu kitab itu lenyap dicuri orang. Jika kau punya petunjuk aku akan melakukan apa
saja untuk dapatkan kitab itu.”

Wiro diam saja. Yang bersuara adalah Setan Ngompol. “Satu-satunya orang yang punya
petunjuk tentang kitab itu adalah Bidadari Angin Timur.

Kini gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, laksana asap ditelan udara.”

Jatilandak terdiam. Ketika dia hendak mengatakan sesuatu tiba-tiba belasan orang berkelebat
dalam kegelapan. Sesaat kemudian dua belas obor besar menyala menerangi rimba belantara
itu, membentuk lingkaran lapis luar. Sepuluh orang pada lapis terdepan ikut merangsak maju,
juga dalam bentuk lingkaran. Semua bersenjatakan golok telanjang. Orang kesebelas yang tidak
mencekal senjata melangkah mendekati Jatilandak.

Usianya masih muda, bertubuh tinggi langsing.

Keseluruhan ada 23 orang mengurung tempat itu.

Semua berseragam pakaian serta ikat kepala berwarna biru tua.

“Jatilandak! Berlututlah agar kepalamu bisa aku penggal dengan cepat!” Habis berkata begitu
tahu-tahu sebilah golok sudah tergenggam di tangan kanan pemuda tinggi langsing.

Kejut Jatilandak bukan alang kepalang. Orang tahu namanya sementara dia tidak mengenal
satupun di antara mereka. Setan Ngompol kucurkan air kencing, perlahan-lahan bangkit berdiri
sambil pegangi bagian bawah perut.

“Orang tua! Tetap di tempatmu atau kau bakal mampus duluan!” bentak pemuda tinggi
langsing.

Si kakek terpaksa duduk menjelepok di tanah kembali. Pendekar 212 Wiro Sableng
tenangtenang saja malah garuk-garuk kepala.

“Ada apa ini? Apa salahku? Siapa kalian?” tanya Jatilandak.

Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan tudingkan ujung golok ke muka Jatilandak
pemuda tinggi langsing keluarkan ucapan.

“Aku Yuda Paranglangit. Murid ketiga mewakili mendiang Ketua Perguruan Silat Lawu Putih.
Dua hari lalu kau memperkosa kakak seperguruan kami Wulan Srindi di sebuah dangau!”

“Tuduhan palsu! Aku tidak pernah melakukan kejahatan itu. Aku malah…”

“Tutup mulutmu!” teriak Yuda Paranglangit.

Golok di tangan kanannya diputar demikian rupa hingga, craass! Rambut kuning di kepala
Jatilandak putus ujungnya. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tersentak kaget dan jadi marah.

Sekali melompat tinju kanannya menghantam kedada Yuda Paranglangit. Namun serangan
terpaksa di tahan karena pada saat itu juga tujuh golok malah menempel di kepala, leher, dan
tubuhnya.

“Kakang Yuda, perlu apa bicara panjang lebar.


Kita cincang saja bangsat ini sekarang juga!”

“Lakukan!” teriak Yuda Paranglangit. Tangannya yang memegang golok bergerak mendahului
sepuluh golok lainnya!

“Tunggu!” Tiba-tiba satu bentakan menggelegar.

Semua anak murid Perguruan Lawu Putih merasa bagaimana bentakan dahsyat itu
menggetarkan tanah yang mereka pijak. Membuat mereka jadi terkesiap dan palingkan kepala.

Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan keluarkan bentakan berdiri di hadapan Yuda Parang
langit. “Sahabat, aku kenal baik dengan kakak seperguruanmu Wulan Srindi. Aku juga kenal baik
dengan pemuda berkulit kuning ini. Dia tidak mungkin melakukan perbuatan bejat itu terhadap
Wulan Srindi!”

“Gondrong! Kau membela pemuda bejat berkulit kuning ini! Apa kepentinganmu!” Seorang
anak murid Perguruan Lawu Putih melintangkan golok di leher Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu garukgaruk kepala. “Jangan main-main dengan senjata
tajam. Salah-salah kau bisa terluka!” Sambil bicara, dengan kecepatan yang sulit terlihat mata
Wiro pergunakan tangan kiri untuk menotok urat di pinggang pemuda itu. Lalu sekali tangan
kanan bergerak, golok yang dipegang orang sudah berpindah tangan.

“Senjata seperti ini sesekali harus disimpan baik-baik karena bisa mencelakai orang!” Wiro lalu
hujamkan golok yang dipegangnya ke tanah hingga amblas tak kelihatan.

Kini Yuda Paranglangit dan saudara seperguruannya baru menyadari kalau saat itu mereka
berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi.

Jelas melebihi tingkat kepandaian kakak seperguruan dan ketua mereka. Namun karena amarah
dendam kesumat terjadinya pemerkosaan atas diri kakak seperguruan, semua anak murid
Perguruan Lawu Putih tidak unjukkan rasa jerih.

“Kita semua bersahabat. Mengapa tidak bicara baik-baik? Aku yakin kau tidak sembarang
tuduh.

Bukan menfitnah kawanku ini.” Kata Wiro pula sambil pegang bahu kiri Yuda Paranglangit. Saat
itu juga Yuda Paranglangit merasa seperti ada batu sangat besar menindih tubuhnya hingga dia
bergeletar dan kucurkan keringat dingin.

“Siapa sembarang tuduh? Siapa melakukan fitnah? Kami punya saksi!” Habis berkata begitu
Yuda Paranglangit berteriak. “Warok Jangkrik!

Lekas datang kesini!”


Dari arah kegelapan muncul seorang lelaki berkulit hitam berkilat. Kepala menyerupai jangkrik
ketiongan. Pakaian dan ikat kepala serba hitam.

Janggut dan kumis lebat kasar. Pada telinga dan cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah
giwang emas. Tangan kanannya buntung sebatas lengan. Inilah Warok Jangkrik, manusia jahat
yang pernah menjadi pimpinan rampok hutan Sarnigalih.Beberapa waktu sebelumnya sebagai
mana diceritakan dalam Episode Bendera Darah, Warok Jangkrik pernah menculik Wulan Srindi.

Beruntung Bidadari Angin Timur dan Jatilandak yang melakukan pengejaran berhasil
selamatkan gadis itu. Sebagai hukuman dan peringatan agar Warok Jangkrik sadar serta kembali
ke jalan yang benar, Bidadari Angin Timur menabas putus lengan kanan gembong rampok ini.

Melihat Warok Jangkrik, Jatilandak jadi geram sekali. Dengan suara lantang dia berkata. “Kau
pernah menculik Wulan Srindi. Aku dan Bidadari Angin Timur memergokimu ketika hendak
merusak kehormatan gadis itu. Sekarang kau bersaksi bahwa aku memperkosa Wulan Srindi!
Jangan berani bersaksi dusta!”

Sebenarnya saat itu nyali Warok Jangkrik agak menciut karena tidak menyangka di tempat itu
ada pemuda yang dikenalinya sebagai Pendekar 212. Dia melihat juga seorang kakek bermata
belok jereng berkuping lebar yang pasti juga seorang berkepandaian tinggi. Namun Warok
Jangkrik juga punya dendam kesumat pada Jatilandak yang mengakibatkan tangan kanannya
sampai cacat begitu rupa.

“Warok Jangkrik! Katakan kesaksianmu!” perintah Yuda Paranglangit.

“Siang itu, aku kebetulan lewat dekat sebuah dangau. Aku mendengar ada perempuan
berteriak-teriak minta tolong. Dari balik semak belukar aku lihat pemuda berkulit kuning ini
baru saja memperkosa seorang gadis yang aku ketahui adalah Wulan Srindi, murid kedua
Perguruan Lawu Putih…”

“Fitnah busuk! Jahanam keparat!” Jatilandak berteriak marah. Ketika dia berusaha hendak
menggebuk Warok Jangkrik, Yuda Paranglangit tahan dada Jatilandak dengan ujung golok.

“Jatilandak, biarkan dia meneruskan kesaksiannya! Kalau kau memang tidak melakukan
perbuatan keji itu mengapa harus takut? Tenang saja!” Wiro yang berdiri di samping Jatilandak
keluarkan ucapan.

“Warok! Teruskan keteranganmu!” kata Yuda Paranglangit.

“Selesai memperkosa dia membuka bajunya lalu ditutupkan ke tubuh Wulan Srindi. Waktu dia
mau menggendong gadis itu, Wulan Srindi berhasil melarikan diri.”
“Kalian lihat sendiri! Pemuda berkulit kuning ini tidak mengenakan baju! Itu satu bukti bahwa
apa yang dikatakan Warok Jangkrik bukan fitnah!”

“Aku bersumpah! Aku tidak pernah memperkosa Wulan Srindi. Aku membuka bajuku untuk
dapat menolong menutupi auratnya. Ketika aku sampai di dangau keadaannya nyaris tanpa
pakai an. Dia berteriak-teriak. Sekujur tubuhnya tak bisa bergerak karena ditotok…”

“Kalau kau mau bersumpah, bersumpahlah di hadapan setan neraka!” ucap Yuda Paranglangit.

Dia berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Gondrong, kau masih membela manusia bejat ini?”

“Aku juga membelanya. Aku yakin pemuda ini tidak melakukan perbuatan keji itu!” Setan Ngom
pol yang berikan jawaban.

Yuda Paranglangit menyeringai. Tiba-tiba dia berteriak. “Kawan-kawan! Mari kita berebut
pahala menghabisi manusia mesum keparat ini! Siapapun yang ingin membelanya akan
menemui ajal di tempat ini.”

Teriakan Yuda Paranglangit disambut dengan teriakan keras oleh semua anak murid Perguruan
Lawu Putih. Belasan golok berkelebat. Wiro menghantam. Dua orang penyerang roboh
terjungkal.

Setan Ngompol menyikut membuat seorang murid Perguruan Lawu Putih mencelat dan
menjerit karena patah tulang iganya. Namun serangan datang laksana banjir. Apa lagi dua belas
orang yang memegang obor kini cabut senjata masingmasing dan ikut menyerbu.

“Kalau kalian tidak hentikan serangan jangan salahkan banyak yang bakal cidera!” Setan
Ngompol memperingatkan sementara Wiro sudah siap untuk menyapu serbuan lawan dengan
pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.

Namun anak murid Perguruan Lawu Putih yang sudah seperti kemasukan setan karena amarah
dendam kesumat itu tidak perdulikan ucapan sikakek. Mereka terus merangsak membabat,
menusuk dan membacok dengan senjata masingmasing ke arah Jatilandak.

Desss! Traang! Traang! Traang!

Didahului suara berdesis keras, sosok Jatilandak lenyap. Kini berdiri angker binatang berujud
seekor landak raksasa. Bacokan, babatan maupun tusukan senjata yang mengenai tubuhnya
disambut dengan bulu landak yang berjingkrak sebat.

Semua anak murid Perguruan Lawu Putih menjadi geger. Terlebih ketika landak raksasa ini
memutar tubuh demikian rupa, mereka serta merta selamatkan diri berhamburan. Ternyata
Jatilandak yang telah mengubah diri ke ujud aslinya tidak ingin mencelakai lawan yang rata-rata
masih muda belia itu. Yang jadi incarannya adalah Warok Jangkrik. Selagi manusia hitam
berkilat ini berusaha kabur, sang landak gelindingkan diri ditanah dan berhasil menangkap kaki
tangan Warok Jangkrik. Bekas pentolan rampok ini berteriak kesakitan dan ketakutan setengah
mati.

Kraakkk!

Sambungan lutut kanan Warok Jangkrik hancur. Tubuhnya kemudian dilempar mental keudara,
jatuh di atas pohon besar dan terkapar melintang di salah satu cabang. Darah menyem

bur dari lehernya yang koyak kena cakaran landak. Mulut menganga seperti hendak
menyuarakan sesuatu namun yang keluar adalah nafas nya yang terakhir. Setan Ngompol
terduduk di tanah, tak sanggup menahan pancaran air kencing. Jatilandak yang telah merubah
dirinya menjadi pemuda berkulit kuning duduk di samping sikakek sementara Pendekar 212
Wiro Sableng berdiri memperhatikan ke arah murid-murid Perguruan Lawu Putih yang
tinggalkan tempat itu dengan membawa kawan mereka yang cidera.

Sesaat kemudian Jatilandak berdiri lalu mendekati Wiro. “Mungkin kau merasa tidak enak kalau
aku terlalu lama di tempat ini. Aku akan berusaha mencari Bidadari Angin Timur untuk
dapatkan keterangan tentang kitab yang hilang.

Jika aku berhasil menemukan, aku akan meminjamkannya beberapa lama. Aku berjanji akan
mengembalikan buku itu padamu…”

“Sebelum kau kembalikan, berikan dulu padaku. Aku juga memerlukan kitab itu!” satu suara
perempuan menggema di tempat itu disusul suara cekikikan.

“Hantu Malam Bergigi Perak!” seru Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.

“Ah, jangan-jangan dia mau memberikan giginya!”

Setan Ngompol buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.

Betul saja, sesaat kemudian dari kegelapan keluar sosok si nenek yang berdandan menor.

“Kalian berdua lihat sendiri. Sebelum aku dapatkan kitab itu, aku tidak akan pernah jauh-jauh
dari kalian.” ucap si nenek.

“Mana dua muridmu si merah dan si biru?” tanya Setan Ngompol.

“Kau menanyakah orang-orang yang tidak ada.

Apakah diriku kurang menarik di matamu yang belok?”


“Ah…” Setan Ngompol tersenyum gembira.

Sambil kedip-kedipkan mata dia dekati si nenek.

“Eit! Kalau mau dekat denganku kau harus mandi kembang di tujuh sumur agar bau pesing mu
hilang! Hik… hik… hik!”

Si nenek gerakkan tangan kirinya. Walau tidak menyentuh dada namun Setan Ngompol merasa
seperti didorong keras hingga terjajar dan jatuh terduduk di tanah. Walau pantat terasa sakit
namun si kakek tertawa terkekeh.

“Disuruh mandi aku mau saja. Siapa takut!

Apalagi kalau kau ikut menemani, mandi berbugilria bersamaku! Ha… ha… ha… ! Dan kau
jangan lupa membawa madat satu kantong tempo hari.

Sambil menyedot madat pasti mandinya tambah asyiik. Apa lagi sambil usap-usap gigi
bawahmu.

Ha… ha… ha!”

Wajah berdandan medok si nenek berubah.

“Kakek kurang ajar, apa maksudmu usap-usap gigi bawahku?”

“Maaf, jangan salah mengerti. Aku tidak bicara kurang ajar. Maksudku aku suka mengusap gigi
dimulutmu pada deretan sebelah bawah. Aku tidak tahu kalau kau punya gigi lain di sebelah
bawah.

Ha… ha… ha!” Habis berkata begitu Setan Ngompol lalu menyelinap ke balik semak belukar,
sembunyi di tempat gelap, takut digebuk Hantu Malam Bergigi Perak.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai