Anda di halaman 1dari 14

KUMIS

( Guy De Maupassant)
Lucie sayang, tak ada berita baru. Kegiatan kami hanyalah duduk-duduk diruang tamu sambil
memandang hujan turun. Dalam cuaca yang sangat buruk ini, kami tidak bisa keluar sama sekali,
karena itu kami main komedi. Ya ampun, sahabatku sayang, ternyata koleksi naskah yang ada
sekarang untuk dipertunjukkan diruang tamu itu konyol-konyol semuanya. Semua serba
dipaksakan, serba kasar dan berat. Leluconnya seperti peluru meriam yang ditembakkan,
mengacaukan semua. Tak berjiwa, tidak alami, tidak segar, tidak anggun sama sekali.
Keterlaluan sekali para pengarang itu, mereka tidak tahu apa-apa tentang dunia. Mereka sama
sekali tidak tahu bagaimana orang dikalangan kita berpikir dan bagaimana mereka berbicara.
Boleh saja mereka memperolok-olokkan kebiasaan kita, tetapi paling tidak mereka harus
memahaminya. Agar lebih menarik mereka bermain kata-kata, yang mungkin lucu untuk
menggelitik tawa tangis serdadu. Agar lebih gembira, mereka membuat lelucon yang diambil
dari jalanan, dari bar-bar para seniman. Sejak lima puluh tahun mereka mengulang-ulang lelucon
mahasiswa yang itu-itu juga.
Pendek kata kami bermain komedi. Karena di rumah kami hanya ada dua orang perempuan,
suamiku mengisi peran sebagai pelayan, dan untuk itu kumisnya harus dicukur. Lucie sayang,
tidak dapat kamu bayangkan, betapa hal itu membuatnya berubah! Aku tidak mengenalnya
lagi.... baik siang maupun malam. Jika ia tidak membiarkan kumisnya segera tumbuh kembali,
bisa-bisa nantinya aku akan berselingkuh karena begitu tidak suka melihat tampangnya seperti
itu.
Sungguh lho, laki-laki tanpa kumis bukanlah laki-laki. Aku tidak begitu suka janggut, soalnya
janggut hampir selalu memberi kesan wajah yang tidak acuh, tetapi kumis, oh, kumis! Sangat
diperlukan oleh wajah yang jantan. Tidak, kamu tidak mungkin membayangkan betapa sikat
berbulu di atas bibir itu berguna untuk mata dan ... untuk... hubungan suami istri. Dalam hal ini
banyak hal yang muncul dalam kepalaku tetapi aku tidak berani menuliskan disini untukmu. Mau
saja aku mengatakannya nanti kepadamu ... tetapi dengan berbisik. Sulit sekali menemukan kata-
kata untuk menerangkan hal tertentu. Beberapa diantara kata-kata itu, yang tidak mungkin
digantikan, jika ditulis di atas kertas kesannya begitu jelek, sehingga aku tidak dapat
menuliskannya. Tambahan lagi, soalnya begitu sulit, begitu peka, begitu tidak pantas sehingga
diperlukan pengetahuan luas untuk dapat membahasnya tanpa bahaya.
Begitulah! Apa boleh buat jika kamu tidak mengerti. Yang penting, sahabatku sayang,
berusahalah sedikit untuk memahami apa yang tersirat.
Nah, ketika suamiku menghampiriku setelah bercukur, yang pertama kusadari adalah bahwa aku
tidak pernah tergoda oleh seorang aktor murhan, tidak juga oleh seorang juru khotbah, bahkan
oleh oleh pastor Didon, yang paling tampan dari semuanya! Tahu, ketika tidak beberapa lama
kemudian aku berdua saja bersamanya (bersama suamiku), lebih celaka lagi. Aduh, Lucie
sayang, jangan pernah membiarkan dirimu dicium oleh pria tak berkumis, ciumannya benar-
benar hambar, hambar, hambar! Ciumannya tidak lagi mengandung daya tarik, keempukan
dan ... smacam merica ... ya, semacam merica dari ciuman yang sebenarnya. Kumis adalah
cabainya.
Bayangkan jika pada bibirmu ditempelkan kertas kulit yang kering ... atau lembab. Itulah
sentuhan bibir pria yang tak berkumis! Tentunya tak lagi mengasyikkan.
Jadi dari mana asalnya daya tarik kumis, tanyamu? Memangnya aku tahu? Mula-mula, kumis
menggelitik dengan cara yang menyenangkan. Orang merasakannya sebelum sampai ke mulut.
Kumis menimbulkan getaran yang membahagiakan di seluruh tubuh sampai ke ujung kaki.
Kumislah yang membelai, yang menggetarkan, yang merangsang kulit, dan yang menjadikan
syaraf bergetar nikmat dan mendorong orang mendesah perlahan “oh” seolah-olah sedang sangat
kedinginan.
Dan sentuhan di leher! Ya, tidak pernahkah kamu merasakan kumis menyentuh lehermu?
Sentuhan itu mmbuatmu mabuk dan tegang, getarannya terasa turun dari punggung sampai ke
ujung jari. Badan menggeliat, bahu bergetar, kepala terkulai kebelakang. Kita ingin melarikan
diri dan sekaligus tetap tinggal. Ciuman itu menyenangkan dan sekaligus menimbulkan rasa
sakit! Tetapi betapa nikmat rasanya!
Dan lagi ... benar lho, aku hampir tidak berani meneruskan! Seorang suami yang benar-benar
mencintaimu, yang benar-benar lho, bisa menemukan banyak sekali sudut-sudut kecil untuk
menyembunyikan kecupan, sudut-sudut yang kita sendiri tidak menyadarinya. Nah, tanpa kumis,
ciuman-ciuman itu menjadi hambar, belum lagi ditambah kesan yang tidak layak yang
ditimbulkannya! Kamu boleh membahasnya semaumu! Sedangkan bagiku, inilah alasan yang
kutemukan: bibir tanpa kumis itu telanjang seperti badan tanpa baju; dan badan harus selalu
berpakaian, walaupun sangat minim, terserahlah, tetapi harus berpakaian!
Sang pencipta  (aku sama sekali tidak berani menulis kata lain untuk membicarakan hal ini), sang
pencipta dengan cara itu telah sengaja melindungi bagian-bagian tubuh kita, tempat cinta
tersembunyi. Mulut yang baru dicukur bagiku kelihatan seperti kayu yang ditebang di sekeliling
air mancur tempat orang minum dan tidur.
Tidak ada cinta sama sekali tanpa kumis!
Dari sudut pandang yang lain, kumis penting sekali. Ia menentukan raut muka. Kumis dapat
membuat wajahmu manis, lembut, garang, menakutkan, tukang foya-foya, berani! Lelaki
berjanggut,ia yang membiarkan bulu tumbuh di pipinya, wajah tidak pernah berpenampilan
lembut karena garis-garis wajahnya tersembunyi. Bentuk rahang dan dagu menunjukkan banyak
hal bagi yang dapat melihatnya.
Lelaki berkumis menunjukkan kepribadian dan sekaligus juga kelembutan.
Betapa banyak aspek yang dimiliki kumis-kumis ini! Terkadang melengkung, ikal, dan genit.
Yang begitu tampaknya sangat menyukai perempuan lebih dari apa pun! Kadang kumis itu
runcing, tajam seperti jarum, dan menantang. Yang begitu lebih menyukai anggur, kuda dan
peperangan. Kadang kumis itu sangat tebal, menurun, dan sangat menakutkan. Yang berkumis
tebal seperti itu umunya menyembunyikan karakternya yang baik sekali, kebaikan yang
cenderung merupakan kelemahan dan kelembutan yang menutupi rasa malu.
Kumis itu membuat bangga, galak, dan berani. Kumis dapat menjadi basah oleh minuman namun
tetap bagus dan dengan kumis orang bisa tetap tertawa dengan anggunnya, sedangkan rahang
yang berjenggot tebal memberi kesan berat, apapun yang dilakukannya.
Aku salah telah menceritakan ini padamu. Jadinya aku sedih sekarang dan tidak dapat mengobrol
lebih lama lagi. Baiklah, Lucie, sampai bertemu lagi. Salam hangatku untukmu. Hidup kumis!

CAHAYA BULAN

Cerpen Guy de Maupassant

Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henriette
Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss.
Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette mengizinkan
suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena ada beberapa urusan
bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya.
Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca dengan
pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar suara.

Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal. Dan tanpa
salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan
pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar,
keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk
melepas jaket dan topinya.

Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian, dia
acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi.
Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan
tampak ketakutan.

Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut itu tampak
hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisiran keperakan yang
menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan
tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss.

Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata
menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada
kakaknya.

Dia bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette?"


Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang patah hati,
Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang memperhatikan rambut
putihku ini?"

Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulangi
pertanyaannya lagi.
"Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu berbohong, aku
pasti akan mengetahuinya."

Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah hendak pingsan,
meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Adiknya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab aku!"

Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, "Aku … aku punya seorang
kekasih."
Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, dia memasrahkan
kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk
menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya.
Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa di sudut
ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat
untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan.
"Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku sendiri,
dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah, adikku, berhati-hatilah
dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah
dan jatuh. Cukup satu momen kelembutan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara
ribuan kerinduan untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu
pun akan dengan mudah jatuh.

Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang matang
dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita. Dia selalu sama,
selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna. Oh! Betapa kadang-kadang aku
berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya lalu memberiku ciuman lembut yang
manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah,
sehingga dia merasa membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku.

Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu. Apa daya
kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku. Sekarang terjadi, tanpa
cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir
Danau Lucerne itu.

Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya
yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa puitisku. Ketika
kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit, ketika dua ekor kuda saling
bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang lembah, hutan, sungai dan
pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata kepadanya: ’Betapa indahnya, wahai
suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku!’ Dia hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: ’Tidak
ada alasan bagi kita untuk saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini.’

Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai,
mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang indah. Aku
membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau botol yang tersegel rapat.

Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala,
Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di
pinggir danau itu.

Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di
atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna
perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan
kehangatan yang merasukiku sampai seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa
pun. Tetapi, betapa peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan
emosiku semakin kuat.
Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu, seolah-
olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak
terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah
menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan
saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah
bibirku mengecap dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan
Tuhan untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-
bayang cahaya bulan di malam musim panas ini?

Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku. Dan
seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku, dia mengenaliku
dan berkata, ’Kamu menangis, nyonya?’
Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya
seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Kujawab saja
bahwa aku sedang sakit.

Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku
tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata.
Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku
sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat,
aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan
cahaya bulan tengah bernyanyi untukku.

Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi.

Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya lagi.
Dia memberiku sebuah kartu!"

Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis
sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan
lembut, "Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai,
tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu." ***

Catatan: Judul asli Moonlight karya Guy de Maupassant. Cerpen ini diterjemahkan oleh Ribut
Wahyudi, penulis dan pengelola penerbitan di Jogja. Guy de Maupassant adalah cerpenis
kelahiran Chateau de Miromesniel, Dieppe pada 5 Agustus 1850. Selama hidupnya, dia telah
menulis lebih dari 300 cerita pendek, enam novel, tiga buku perjalanan, dan sebuah kumpulan
puisi. Maupassant sudah menderita sifilis semenjak usia 20 tahun. Pada 2 Januari 1892, dia
berusaha bunuh diri dengan menusuk tenggorokannya sendiri. Dia meninggal pada 6 Juli 1893.
HARGA SEUNTAI KALUNG
(The Necklace – Oleh Guy de Maupasant)
 
Dia adalah salah satu di antara sekian gadis cantik dan menarik yang, terkadang karena
kesalahan takdir, terlahir di tengah keluarga juru tulis. Dia tidak memiliki mas kawin, harapan-
harapan, sarana untuk terkenal, dipahami, dicintai, atau dinikahi oleh seorang pria kaya dan
terhormat. Dan dia pasrah hanya dinikahi oleh seorang juru tulis biasa yang bekerja di
Kementerian Penerangan.

Dandanannya sederhana saja karena dia memang tidak bisa berdandan lebih bagus lagi. Tapi dia
bersedih seakan-akan dirinya memang sungguh-sungguh terjatuh dari statusnya yang semestinya,
karena dia menjadi seperti wanita kebanyakan pada umumnya.

Dia tak pernah berhenti merasa menderita, dia merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati segala
keempukan dan kemewahan. Dia menderita karena rumahnya yang sangat sederhana, dindingnya
yang buruk, kursi-kursi yang sudah usang, dan tirai-tirai yang sudah jelek. Segala hal itu, yang
bagi wanita lain yang sederajat dengannya dianggap biasa saja, telah membuatnya sangat kesal.

Dia melamunkan ruang depan yang tenang, di mana dinding-dindingnya dipasangi permadani
oriental, serta diterangi dengan kandil perunggu yang panjang. Dan juga adanya dua orang
pelayan bertubuh kekar bercelana pendek yang tertidur di kursi-kursi berlengan. Mereka
terkantuk oleh kehangatan udara dari perapian.

Dia pun melamunkan ruang tamu panjang yang dihiasi sutera kuno, mebel-mebel yang antik, dan
kamar rias yang semerbak dengan aroma wewangian yang menggoda untuk tempat
bercengkerama setiap pukul lima sore dengan teman-teman dekat, atau dengan pria-pria terkenal
dan digandrungi, di mana wanita-wanita yang lain akan merasa cemburu karena ingin mendapat
perhatian seperti itu juga.

Tiga hari yang lalu ketika sedang duduk makan malam di depan meja bundar yang berlapis
taplak, di depan suaminya yang  membuka mangkuk sup dan berkata penuh kekaguman, “Ah,
daging sup yang lezat! Tak ada yang lebih enak daripada ini”. Wanita itu justru sedang
melamunkan makan malam yang mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani
yang memenuhi dinding dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka dari masa lalu dan burung-
burung aneh yang beterbangan di antara rimbunnya hutan yang ada di negeri dongeng. Dia pun
melamunkan hidangan-hidangan lezat yang disajikan di piring yang elok, dan mendengarkan
bisikan-bisikan menggoda sambil mengulum senyum ketika sedang menyantap daging ikan trout
yang berwarna pink atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun-gaun, perhiasan-perhiasan, tidak memiliki apa-apa. Dan tak ada yang
disukainya kecuali itu, dia merasa dirinya adalah untuk itu. Dia begitu ingin dirinya bahagia,
dicemburui, menarik, dan membuat orang lain tergila-gila.
Dulu ketika masih bersekolah di biara dia memiliki seorang teman yang kaya. Tapi dia tidak mau
lagi mengunjunginya, karena dia begitu merasa menderita setelah pulang dari rumah temannya
itu.

Namun suatu sore suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan dan
membawa sebuah amplop besar di tangannya.

“Ini,” katanya. “Ada sesuatu untukmu.”

Wanita itu segera merobeknya dan menarik selembar kartu bertuliskan:

Menteri Penerangan dan Nyonya Georges Ramponneau dengan hormat mengundang Tuan dan
Nyonya Loisel di Gedung Kementerian pada hari Senin sore tanggal delapan belas Januari.

Bukannya gembira seperti yang diharapkan oleh suaminya, tapi malah dilemparkannya undangan
itu begitu saja di atas meja. Dengan suara lirih dia berkata:

“Apa yang kau inginkan dariku dengan undangan itu?”

“Tetapi, Sayang, kupikir kau akan senang. Kau kan tidak pernah pergi-pergi, dan ini adalah
kesempatan yang bagus. Aku telah bersusah payah mendapatkannya. Setiap orang ingin datang,
ini sangat diseleksi, dan mereka tidak memberikan banyak undangan untuk para juru tulis.
Semua pejabat akan hadir di sana.”

Dia memandang suaminya dengan tatapan pedih dan berkata dengan gusar:

“Dan menurutmu aku harus memakai apa?”

Suaminya tidak terpikir ke situ, ia berkata dengan gagap:

“Kenapa, gaun yang dulu kau pakai ke teater, bagiku gaun itu cukup bagus.”

Suaminya terdiam, bingung, melihat istrinya menangis. Air matanya jatuh dari kedua ujung
matanya dan mengalir perlahan-lahan sampai ke ujung mulutnya. Suaminya berkata gagap:

“Ada apa? Ada apa?”

Tapi dengan usaha yang keras wanita itu segera dapat mengatasi kesedihannya, dan dia
menjawab dengan suara yang tenang sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah:

“Tak apa-apa. Hanya aku tidak punya gaun dan oleh sebab itu aku tidak bisa berangkat ke pesta.
Berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang istrinya lebih
baik dandanannya daripada aku.”
Suaminya putus asa. Ia melanjutkan:

“Ayo kita bahas, Mathilde. Berapa harganya sebuah gaun yang pantas, yang nanti bisa kau pakai
lagi untuk kesempatan lainnya, gampang kan?”

Istrinya berpikir beberapa detik, membuat kalkulasi harga sambil memperkirakan jumlah yang
dapat diajukannya. Jumlah yang dapat diterima serta tidak mengejutkan untuk perekonomian
seorang juru tulis.

Akhirnya dia berkata dengan ragu-ragu:

“Aku tidak tahu pasti, tapi kurasa aku bisa mengatasinya dengan empat ratus franc.”

Suaminya agak pucat, karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk membeli
sebuah bedil yang akan digunakannya berburu di musim panas nanti di dataran Nanterre dengan
beberapa orang teman yang pada hari Ahad lalu menembak burung-burung lark di sana
bersamanya.

Tapi ia berkata:

“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus franc. Dan usahakan untuk mendapat sebuah gaun
yang cantik.”

Hari penyelenggaraan pesta itu sudah semakin dekat, tapi Nyonya Loisel tampak murung dan
gelisah. Padahal gaunnya sudah siap. Suatu sore suaminya berkata kepadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau kelihatan begitu ganjil tiga hari terakhir ini.”

Istrinya menjawab:

“Aku bingung karena tidak memiliki sebuah perhiasan pun, tidak ada sebutir permata, tidak ada
yang bisa dipakai. Aku akan kelihatan payah sekali. Lebih baik tidak usah pergi saja.”

Suaminya berkata:

“Kau bisa memakai hiasan dari bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang jadi mode. Dengan
sepuluh franc kau bisa memperoleh dua atau tiga bunga mawar yang indah.”

Tapi istrinya tidak bisa diyakinkan.

“Tidak, tak ada yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara wanita-wanita lain yang
kaya.”

Tapi suaminya berseru:


“Bodohnya kamu! Pergilah ke rumah temanmu, Nyonya Forestier, dan mintalah kepadanya
untuk meminjamimu beberapa perhiasan. Kau cukup akrab dengannya untuk melakukan itu.”

Wanita itu berseru gembira:

“Betul! Aku tak pernah memikirkannya.”

Hari berikutnya dia pergi mengunjungi temannya dan menceritakan kesulitannya.

Nyonya Forestier berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berpintu kaca, mengambil sebuah
kotak besar berisi perhiasan, membawanya kembali, membukanya, dan berkata kepada Nyonya
Loisel:

“Pilihlah, sayangku.”

Pertama kali dipandanginya semua gelang, kemudian seuntai kalung mutiara, lalu salib Venesia,
emas dan batu-batu perhiasan hasil karya para seniman yang luar biasa. Dia mencoba perhiasan-
perhiasan itu di depan cermin sambil terkagum-kagum. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi,
mengembalikannya lagi. Dia selalu bertanya:

“Apakah kau masih punya yang lain?”

“Kenapa, tentu saja. Lihatlah. Aku tak tahu mana yang kausukai.”

Tiba-tiba dia menemukan, di dalam sebuah kotak satin berwarna hitam, seuntai kalung permata
yang luar biasa indah, dan jantungnya pun mulai berdebar kencang. Kedua tangannya gemetar
saat mengambilnya. Dipasangnya kalung itu ke lehernya, di luar gaunnya yang sampai ke leher.
Dan perasaannya terombang-ambing di awang-awang ketika dia menatap dirinya di depan
cermin.

Kemudian dia meminta dengan ragu dan memelas:

“Dapatkah kau meminjamkan yang ini, hanya yang ini saja?”

“Kenapa? Ya, tentu saja.”

Dia melompat meraih leher temannya, menciuminya penuh nafsu, lalu berlari dengan
perhiasannya.

Hari pesta itu pun tiba. Nyonya Loisel meraih kemenangan besar. Dia adalah satu-satunya wanita
tercantik di antara mereka semua. Anggun, sangat ramah, selalu tersenyum dan sangat gembira.
Semua pria meliriknya, menanyakan namanya, dan berusaha berkenalan. Semua atase kabinet
ingin berdansa dengannya. Bahkan menteri sendiri juga mengajaknya berdansa.

Dia berdansa dengan penuh suka cita. Melupakan semuanya, dalam keunggulan kecantikannya,
kesuksesan yang gemilang, serta kegembiraan yang terdiri atas segala pujian, segala kekaguman,
segala keinginan yang terbangkitkan, dan atas perasaan kemenangan yang sempurna yang begitu
manis dalam hati seorang wanita.

Dia baru selesai sekitar pukul empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam tadi di
sebuah ruang depan yang sepi bersama tiga orang pria lainnya yang istri-istri mereka juga
bersenang-senang. Pria itu lalu melampirkan selembar selendang yang telah dibawanya sejak tadi
ke bahu istrinya, selendang biasa saja, yang mana saking sederhananya sangat kontras dengan
gaun pesta yang dipakainya. Wanita itu merasakannya, dan ingin menghindar sehingga dirinya
tidak menjadi bahan pembicaraan wanita-wanita lain yang membungkus tubuh-tubuh mereka
dengan mantel bulu yang mahal.

Loisel menahan punggung istrinya.

“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan pergi memanggil sebuah taksi.”

Tapi tak dihiraukannya suaminya, dan dengan cepat dia menuruni tangga. Ketika sudah berada di
jalan mereka tidak menemukan kendaraan, dan mereka mulai mencarinya. Mereka berteriak ke
arah sopir-sopir taksi yang kendaraannya melaju dari kejauhan.

Mereka berjalan menurun menuju Seine, dalam keputusasaan, menggigil kedinginan. Akhirnya
di sebuah dermaga mereka mendapatkan sebuah mobil kuno yang tertutup dan berpintu dua,
yang hanya muncul di Paris ketika malam telah turun.

Kendaraan itu mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah di Rue des Martyrs, dan sekali
lagi, dengan sedih, mereka berjalan pulang ke rumah. Segalanya telah berakhir, bagi wanita itu.
Dan bagi sang suami, ia berpikir bahwa ia sudah harus berada di kementerian pada pukul
sepuluh.

Wanita itu melepas selendang yang membungkus bahunya di depan cermin, sehingga sekali lagi
ingin melihat dirinya dalam segala kejayaannya. Tapi tiba-tiba dia menjerit. Kalungnya tidak lagi
berada di lehernya!

Suaminya yang sedang melepas pakaian bertanya:

“Ada apa denganmu?”

Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya.

“Aku … aku … aku telah menghilangkan kalungnya Nyonya Forestier.”

Suaminya bangkit, kalut.

“Apa?! Bagaimana? Mustahil!”

Dan mereka berdua mencari di antara lipatan-lipatan gaunnya, dalam lipatan-lipatan mantelnya,
dalam dompet-dompetnya, di mana saja. Tapi mereka tidak menemukannya.
Suaminya bertanya:

“Kau yakin tadi masih memakainya ketika meninggalkan pesta?”

“Ya, aku masih merasakannya di ruang depan gedung.”

“Tapi jika kau menghilangkannya di jalan, kita mestinya mendengar bunyinya ketika jatuh.
Jangan-jangan di dalam mobil.”

“Ya, mungkin saja. Apakah kau mencatat nomornya?”

“Tidak. Dan kau, apakah kau memperhatikannya?”

“Tidak.”

Bagai disambar petir, mereka saling memandang. Akhirnya Loisel mengenakan kembali
pakaiannya.

“Aku akan kembali menelusuri jalan tadi dengan berjalan kaki,” katanya, “ke seluruh rute yang
telah kita lalui untuk memeriksa kalau-kalau dapat menemukannya.”

Lalu ia pun pergi ke luar. Sedangkan istrinya menunggu di kursi dengan gaun pestanya, tanpa
ada tenaga untuk pergi ke tempat tidur, tak berdaya, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali lagi sekitar pukul tujuh pagi. Ia tidak menemukan apa-apa.

Kemudian laki-laki itu pergi lagi ke kantor-kantor polisi, kantor-kantor surat kabar, untuk
menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke perusahaan-perusahaan taksi,
ke mana saja, sesungguhnya, ke mana dirinya terdorong oleh seberkas harapan.

Istrinya menunggu sepanjang hari, dalam kecemasan yang sama seperti sebelum petaka itu
terjadi.

Malamnya Loisel pulang dengan lemah dan pucat. Ia kembali tak menemukan apa-apa.

“Kau harus menulis surat kepada temanmu,” katanya, “bahwa kau telah merusak jepitan kalung
itu sehingga kau harus membetulkannya. Dengan demikian kita masih punya kesempatan untuk
mengembalikannya.”

Dia menulis mengikuti dikte dari suaminya.

Pada akhir dari pekan itu mereka telah kehilangan semua harapan.

Dan Loisel, yang tampak semakin cepat bertambah tua lima tahun, memutuskan:

“Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengganti perhiasan itu.”
Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung itu menuju ke toko perhiasan yang namanya
tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya.

“Bukan saya yang menjual kalung itu, Nyonya.”

Kemudian mereka pergi dari satu toko perhiasan menuju ke toko perhiasan yang lain untuk
mencari kalung seperti itu. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu
sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita.

Akhirnya di sebuah toko di Palais Royal mereka menemukan seuntai kalung permata yang
benar-benar mirip dengan yang mereka cari. Kalung itu berharga empat puluh ribu franc. Mereka
bisa menawarnya sampai tiga puluh enam ribu.

Mereka meminta kepada penjual kalung itu untuk tidak menjualnya kepada orang lain selama
tiga hari ini. Dan mereka menawarkan bahwa si penjual tadi bisa membeli kembali kalungnya
seharga tiga puluh empat ribu franc seandainya mereka berdua bisa menemukan kalung yang
hilang sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan belas ribu franc dari peninggalan ayahnya. Ia harus meminjam sisanya.

Ia pun mencari pinjaman. Meminta seribu franc dari seseorang, lima ratus franc dari yang
lainnya, lima louis di sini, tiga louis di sana. Ia memberi surat utang, mengambil utang-utang
yang berbunga tinggi, membuat persetujuan dengan para rentenir dan semua orang yang biasa
meminjamkan uang. Ia mempertaruhkan sisa hidupnya, mempertaruhkan tanda-tangannya tanpa
mengetahui apakah ia nanti mampu memenuhi janjinya atau tidak. Tanpa menyadari halangan
dan musibah yang akan menimpanya, dan kemungkinan tekanan-tekanan batin yang harus
ditanggungnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung yang baru, membayar dulu kepada penjualnya
tiga puluh enam ribu franc.

Ketika Nyonya Loisel mengembalikan kalung itu, Nyonya Forestier berkata dingin kepadanya:

“Seharusnya kau kembalikan lebih cepat, mungkin aku akan memakainya.”

Dia tidak membuka kotaknya, karena temannya tampak begitu ketakutan. Seandainya dia
mengetahui penggantian itu, apa yang akan dipikirnya, apa yang akan dikatakannya? Apakah dia
tidak akan menuduh Nyonya Loisel sebagai pencuri?

Kini Nyonya Loisel mengerti betapa mengerikannya kemiskinan. Dia terjun ambil bagian,
dengan tiba-tiba, secara heroik. Utang-utang yang mengerikan itu harus dibayar. Dan dia akan
membayarnya. Mereka memulangkan pembantu, mengubah tata ruang tempat tinggal mereka
dan menyewakan ruangan di loteng.

Kini dia merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia
mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan periuk yang
berminyak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan lap-lap, yang kemudian dijemur pada
seutas tali. Dia membuang air limbah setiap pagi ke jalanan, lalu mengambil air bersih,
kemudian berhenti untuk menarik napas setiap kali sampai. Dan, berdandan seperti wanita
kebanyakan pada umumnya. Dia pergi berbelanja ke tukang buah, grosir, tukang daging,
membawa keranjang, melakukan tawar-menawar, menahan hinaan, mempertahankan uangnya
yang sedikit sou demi sou.

Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain lagi,
mengulur waktu.

Suaminya pada petang hari bekerja membuat salinan untuk beberapa catatan dari pedagang, dan
pada larut malam ia sering menyalin berkas-berkas dengan upah lima sou per lembar.

Dan kehidupan seperti ini berakhir setelah sepuluh tahun. Dan sesudah sepuluh tahun berlalu,
mereka telah membayar semuanya, semua utang dengan bunga-bunganya.

Nyonya Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan
biasa. Kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut tak teratur rapi, rok miring, dan tangan yang
merah. Dia berbicara dengan lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya
bunyi air. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping
jendela, dan mengenang malam indah yang telah berlalu dulu. Tentang pesta itu, di mana dirinya
begitu cantik dan begitu mempesona.

Apa yang terjadi seandainya dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang
tahu? Betapa kehidupan ini begitu aneh dan mudah berubah-ubah! Betapa mudahnya kita
kehilangan sesuatu atau tetap memilikinya!

Namun, pada suatu hari Ahad, ketika sedang berjalan-jalan di Champs Elysees untuk
menyegarkan pikirannya dari pekerjaan rutin selama sepekan, dia tiba-tiba mengenali seorang
wanita yang sedang membimbing seorang anak kecil. Wanita itu adalah Nyonya Forestier. Dia
terlihat masih muda, cantik, dan tetap memikat.

Nyonya Loisel merasakan kepiluan di hatinya. Akankah dia mengajaknya berbicara? Ya, pasti.
Dan sekarang karena dirinya telah melunasi semuanya, dia akan menceritakan kepada wanita itu
tentang segala yang telah terjadi. Kenapa tidak?

“Selamat sore, Jeanne.”

Wanita yang disapa terperanjat atas keramahan dari seorang ibu rumah tangga yang sederhana
itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap:

“Tapi, Nyonya, saya tidak kenal. Anda pasti keliru?”

“Tidak. Aku adalah Mathilde Loisel.”

Kawannya itu memekik kecil.

“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kenapa kau bisa berubah sampai seperti ini?”
“Ya, aku telah melewati hari-hari yang berat, sejak aku mengunjungimu dulu, hari-hari yang
sangat buruk. Dan semua itu karena engkau!”

“Karena aku?! Bagaimana mungkin?”

“Apakah kau masih ingat tentang kalung permata yang telah kau pinjamkan kepadaku dulu untuk
pergi ke pesta di kementerian?”

“Ya. Lalu?”

“Yeah, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Bukankah kau telah mengembalikannya?”

“Yang kukembalikan kepadamu dulu itu adalah gantinya yang benar-benar persis dengan itu.
Dan untuk itu kami harus membayarnya selama sepuluh tahun. Engkau tentu tahu bahwa hal itu
tidaklah mudah bagi kami, kami yang tidak punya apa-apa ini. Akhirnya berlalulah sudah, dan
aku sangat senang.”

Nyonya Forestier menghentikan langkahnya.

“Kau mengatakan bahwa kalian telah membeli kalung permata untuk mengganti milikku itu?”

“Ya, dan kau tidak pernah memperhatikannya! Kedua kalung itu memang benar-benar serupa.”

Dia pun tersenyum gembira dengan perasaan bangga dan naif sekaligus.

Nyonya Forestier merasa sangat iba, dipegangnya kedua belah tangan temannya itu.

“Oh, Mathilde-ku yang malang! Mengapa? Kalungku itu hanyalah imitasi. Harganya paling
mahal cuma lima ratus franc saja!”

GUY DE MAUPASANT (1850-1893) adalah anak seorang pialang saham di Paris. Ia menjadi
anak baptis dari Gustav Flaubert yang juga menjadi guru sastranya. Sejak usia tiga puluh tahun
kepiawaiannya di bidang cerita pendek sudah mendapat pengakuan. Judul asli cerita ini La
Parure. Alih bahasa Syafruddin HASANI.

Anda mungkin juga menyukai