Anda di halaman 1dari 130

UfO di Kushiro (cerpen Haruki Murakami)

LIMA hari berturut-turut perempuan itu menghabiskan waktunya di depan televisi, mengamati
reruntuhan bank dan rumah sakit, toko-toko yang terbakar, rel kereta api dan jalan raya yang
terhambat. Ia tak mengucapkan satu kata pun. Terbaring di bantal sofa, mulutnya terkatup rapat.
Ia tak menjawab ketika Komura mengajaknya bicara. Ia tak menggelengkan kepala ataupun
mengangguk. Komura bahkan tak yakin suaranya itu sampai di telinga perempuan itu.

Perempuan itu berasal dari utara jauh di Yamagata dan, sejauh yang Komura tahu, istrinya itu tak
punya keluarga atau kerabat yang mungkin menjadi salah satu korban gempa bumi di Kobe.
Meskipun begitu, perempuan itu terus berada di depan televisi dari pagi hingga malam. Dalam
pengamatan Komura, perempuan itu tak meminum atau memakan apa pun selama itu, dan tak
juga beranjak ke kamar mandi. Kecuali untuk mengambil remote dan memindahkan channel, ia
nyaris tak bergerak sedikit pun. Komura sendiri mulai terbiasa menyiapkan kopi dan roti
bakarnya sendiri sebelum berangkat ke kantor. Setibanya di rumah malam harinya, ia akan
mengatasi rasa laparnya dengan camilan yang ia temukan di lemari es; memakannya sendiri.
Istrinya itu masih saja mengamati berita-berita di televisi ketika Komura memasuki kamar dan
memutuskan untuk tidur. Sebuah dinding sunyi yang tinggi seperti mengelilingi perempuan itu,
dan Komura akhirnya menyerah untuk merobohkan dinding tersebut.

Ketika ia tiba di rumah sehabis kerja pada hari Minggu itu, hari ketujuh, istrinya menghilang.

KOMURA adalah seorang salesman di salah satu toko peralatan elektronik tertua di "Kota
Elektronik" Akihabara, Tokyo. Ia menangani barang-barang paling mahal dan mendapatkan
komisi yang sangat lumayan setiap kali ia berhasil menjual salah satunya. Kebanyakan kliennya
adalah dokter, pebisnis kaya, dan pegawai pemerintahan. Ia telah melakukan hal ini selama
delapan tahun dan memiliki pendapatan yang baik dari sejak ia memulainya. Perekonomian
sendiri memang sedang bagus; harga-harga real-estate meningkat dan Jepang sedang kelebihan
uang. Dompet orang-orang dipenuhi lembaran puluhan ribu Yen, dan mereka gemas sekali untuk
segera membelanjakannya. Barang paling mahal jadi barang pertama yang habis terjual.

      Komura orang yang tinggi-langsing dan ia seseorang yang peduli pada penampilannya.
Interaksinya baik dengan orang-orang di sekitarnya. Di masa lajangnya ia bahkan berkencan
dengan banyak perempuan. Namun sehabis menikah, pada usia dua puluh enam, ia menemukan
bahwa hasratnya akan petualangan seksual seperti itu secara misterius lenyap. Begitu saja
lenyap. Ia tak pernah tidur dengan perempuan mana pun selain istrinya selama lima tahun
pernikahan mereka. Bukan berarti kesempatan itu tak pernah ada, namun memang yang
dirasakan Komura adalah lenyapnya hasratnya itu. Ia tak lagi tertarik pada hubungan singkat dan
seks-semalam. Ia lebih memilih untuk pulang cepat, makan dengan santai bersama istrinya,
berbicara dengan perempuan itu beberapa lama ketika mereka berada di sofa, lalu masuk ke
kamar dan bercinta. Semua itu telah memuaskannya.

      Teman-teman Komura dibuat bingung oleh pernikahannya itu. Dibandingkan dengan


sosoknya yang bersih dan menarik, istrinya justru biasa-biasa saja. Perempuan itu pendek dengan
lengan agak besar, dan penampilannya tidak menggairahkan. Dan bukan hanya secara fisik: tak
ada juga yang menarik dari kepribadiannya. Perempuan itu jarang bicara dan selalu
menunjukkan raut muka masam.

      Meskipun begitu, entah bagaimana menjelaskannya, Komura selalu merasa gairahnya


meluap saat ia sedang menghabiskan waktu bersama istrinya di rumah; itu adalah satu-satunya
saat di mana ia bisa benar-benar merasa rileks. Tidurnya lelap ketika ia bersamanya, tak terusik
oleh mimpi aneh yang pernah membuatnya kesulitan di masa silam. Ereksinya sendiri bagus;
kehidupan seksnya hangat. Ia tak lagi mencemaskan kematian atau penyakit kelamin atau
luasnya alam semesta.

      Istrinya, di sisi lain, tidak menyukai keramaian Tokyo dan merindukan Yamagata. Ia
merindukan orang tua dan dua kakak perempuannya, dan ia akan pergi mengunjungi mereka
kapan pun ia merasa membutuhkannya. Orangtuanya sukses mengelola sebuah penginapan, di
mana dengan itulah kondisi keuangan mereka nyaman-nyaman saja. Ayahnya sangat menyukai
anak perempuan terkecilnya itu dan dengan senang hati membayarkannya uang perjalanan
pulang-pergi. Beberapa kali, Komura tiba di rumah sehabis kerja dan menemukan istrinya itu tak
ada dan sebuah memo diletakkan istrinya itu di meja dapur, memberitahunya bahwa istrinya itu
sedang mengunjungi orangtuanya untuk beberapa lama. Ia tak pernah menentang apa yang
dilakukan istrinya itu. Ia hanya menunggu perempuan itu kembali, dan selalu, setelah seminggu
atau sepuluh hari, perempuan itu kembali, dengan suasana hati yang baik.

      Tapi memo yang ditinggalkan istrinya ketika perempuan itu lenyap lima hari setelah gempa
bumi itu berbeda: Aku tak akan kembali, tulisnya, lalu beralih ke penjelasan, sederhana tapi jelas,
mengapa ia tak ingin lagi hidup bersamanya.

      Masalahnya adalah kau tak pernah memberiku apa pun, tulisnya. Atau, lebih tepatnya, kau
tak punya sesuatu dalam dirimu yang bisa kau berikan padaku. Kau baik dan tampan, tapi
hidup bersamamu seperti hidup dengan segumpal udara. Bukan salahmu tentunya. Ada banyak
perempuan yang akan jatuh cinta padamu. Tapi tolong, jangan hubungi aku. Bereskan saja
semua barangku yang tersisa.

      Faktanya, perempuan itu tak menyisakan banyak hal. Pakaian-pakaiannya, sepatu-sepatunya,


payungnya, gelas kopinya, hair dryer-nya, semua lenyap. Ia pastilah telah mengemasnya dalam
kardus dan mengirimkannya setelah Komura meninggalkan rumah pagi itu. Satu-satunya benda
yang tersisa yang bisa dikategorikan sebagai "miliknya" adalah sepeda yang biasa digunakan
perempuan itu berbelanja, dan beberapa buku. CD The Beatles dan Bill Evans yang telah
Komura kumpulkan sejak masa lajangnya pun ikut lenyap.

      Hari berikutnya, Komura mencoba menelepon kediaman orang tua istrinya di Yamagata. Ibu
mertuanya menjawab teleponnya dan mengatakan padanya bahwa istrinya itu tak ingin bicara
dengannya. Nada suaranya terdengar seperti ia tengah meminta maaf. Dikatakannya juga bahwa
mereka akan mengirim formulir-formulir yang diperlukan dan bahwa Komura harus
menandatangani formulir-formulir tersebut dan mengirimnya balik.

 
Komura berkata bahwa ia mungkin tak akan bisa mengirim balik formulir-formulir itu
"secepatnya". Ini adalah sesuatu yang penting, dan ia meminta waktu untuk memikirkannya.

      "Kau boleh memikirkannya selama yang kau mau, tapi tak akan ada yang berubah," jawab
ibu mertuanya.

      Mungkin ia benar, pikir Komura. Tak peduli berapa lama ia memikirkan dan menunggunya,
segalanya akan tetap sama. Ia yakin itu. Segera setelah mengirim balik formulir-formulir yang
telah ditandatanganinya itu, Komura mengajukan cuti satu minggu. Atasannya tahu sedikit-
banyak tentang apa yang baru saja menimpanya, dan mengingat Februari bukanlah waktu sibuk
di perusahaan itu, ia pun memberi Komura apa yang diinginkannya. Ia tampak akan mengatakan
sesuatu kepada Komura, tapi akhirnya tak mengatakan apa pun.

      Sasaki, teman sekampus Komura dulu, menghampirinya di jam makan siang, dan berkata,
"Aku dengar kau mengambil cuti. Kau berencana melakukan sesuatu?"

      "Entahlah," jawab Komura. "Apa yang semestinya  kulakukan?"

      Sasaki masih lajang dan usianya tiga tahun di bawah Komura. Ia punya rambut pendek yang
tertata dan terawat, dan mengenakan kacamata berbingkai emas. Banyak orang berpikir ia terlalu
banyak bicara dan cenderung arogan tapi bersama Komura yang easy going, ia akrab-akrab saja.

      "Apa maksud pertanyaanmu itu? Sementara kau memikirkannya, bagaimana kalau kau
melakukan perjalanan?" 

      "Boleh juga," jawab Komura.

      Sambil mengelap kacamatanya dengan sapu tangan, Sasaki menatap Komura seakan-akan
sedang mencari semacam petunjuk.

      "Pernah ke Hokkaido?" tanyanya.

      "Belum."

      "Mau ke sana?"

      "Kenapa memangnya?"

 Sasaki memicingkan matanya dan membersihkan tenggorokannya.

      "Sebenarnya, aku punya paket kecil yang ingin kukirimkan ke Kushiro, dan aku harap kau
mau membawakannya ke sana. Kau akan sangat membantuku, dan aku akan dengan senang hati
membayarkan tiket pulang-pergimu ke sana. Aku bisa menyediakan kamar hotel di sana juga,
untukmu."      

"Paket kecil?"
      "Seperti ini," ujar Sasaki, membentuk kubus ukuran empat inchi dengan kedua tangannya.
"Tidak berat kok."

      "Berhubungan dengan pekerjaan?"

      Sasaki menggeleng. "Sama sekali tidak," katanya. "Sifatnya personal. Aku hanya tak mau ia
rusak di jalan, sehingga aku tak bisa mengirimkannya via jasa pengiriman. Aku ingin kau
menyampaikannya ke tujuan dengan tanganmu, jika itu mungkin. Aku tadinya benar-benar
berpikir untuk melakukannya sendiri, tapi aku tak punya waktu untuk terbang ke Hokkaido."

 "Sebegitu pentingnya kah?"

      Sasaki mengangguk.

      "Bukan benda pecah-belah, dan tak ada 'bahan-bahan berbahaya' di dalamnya. Kau tak perlu
cemas. Kau tak akan diminta berhenti saat paket itu melalui pemeriksaan sinar-X di bandara.
Aku bersumpah tak akan membuatmu terlibat dalam suatu masalah. Dan beratnya pun bukan
apa-apa. Yang kuminta darimu hanyalah kau membawanya ke sana sebagaimana kau membawa
hal-hal lain ke sana. Satu-satunya alasan aku tak menggunakan jasa pengiriman adalah aku
merasa tak ingin melakukannya."

      Hokkaido di bulan Februari akan sangat dingin. Komura tahu itu. Tapi saat itu, dingin atau
panas baginya sama saja.

      "Jadi, kepada siapa paket itu harus kuberikan?"

      "Adikku. Adik perempuanku. Ia tinggal di sana."

      Komura akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permintaan Sasaki itu. Ia belum


memikirkan bagaimana ia akan menghabiskan liburan satu minggunya, dan menyusun rencana
saat itu menurutnya akanlah sangat merepotkan. Selain itu, ia tak punya alasan untuk tak pergi ke
Hokkaido. Sasaki pun menelepon jasa travel dan memesan tiket ke Kushiro. Jadwal
penerbangannya adalah lusa sore.

  KEESOKAN harinya di tempat kerja, Sasaki memberikan kepada Komura semacam kotak


yang biasa digunakan untuk menyimpan abu jenazah, hanya saja lebih kecil, terbungkus kertas
manila. Dari rasanya—saat disentuh, ia tampaknya terbuat dari kayu. Seperti yang dikatakan
Sasaki sebelumnya, beratnya bukanlah apa-apa. Plester besar-polos-transparan menyelimuti
kertas manila itu. Komura mencoba memegangnya dan mengamatinya beberapa saat. Ia
menggoyangnya sedikit namun tak merasakan atau mendengar apa pun bergerak di dalamnya.

      "Adikku akan menjemputmu di bandara. Dan ia akan menyiapkan kamar untukmu," ujar
Sasaki. "Yang perlu kau lakukan hanyalah berdiri di luar gerbang dengan paket itu di tanganmu
di mana ia bisa melihatnya. Jangan khawatir, bandara di sana tidak begitu besar."
      Komura meninggalkan rumah dengan kotak itu dalam kopernya, terbungkus kaos dalam
tebal. Pesawat yang ia tumpangi rupanya jauh lebih padat daripada yang ia kira. Ia bertanya-
tanya mengapa orang-orang itu pergi dari Tokyo ke Kushiro di pertengahan musim dingin—
seperti dirinya.

      Koran pagi hari itu penuh dengan laporan dan berita tentang gempa bumi. Ia membaca mulai
dari awal hingga akhir penerbangan. Jumlah korban yang bertambah. Banyak kawasan masih
tanpa air dan listrik, dan tak terhitung banyaknya orang yang kehilangan rumah. Masing-masing
artikel melaporkan beberapa tragedi baru, tapi hal itu tak menarik bagi Komura. Semua itu
seperti menjangkaunya sebagai gema yang jauh, dan monoton. Satu-satunya yang dipikirkan
Komura saat itu hanyalah istrinya. Perempuan itu telah berada pada jarak yang lebih jauh lagi
darinya.

      Layaknya mesin ia membaca berita-berita tentang gempa bumi itu, sesekali berhenti untuk
memikirkan istrinya, lalu kembali ke berita-berita itu. Setelah merasa lelah melakukannya, ia
memejamkan mata dan terlelap. Dan ketika ia terbangun, ia memikirkan istrinya lagi. Mengapa
ia begitu sungguh-sungguh mengamati berita-berita gempa bumi di televisi, dari pagi hingga
malam, tanpa makan ataupun tidur? Apa kira-kira yang sudah ia lihat di tayangan-tayangan itu?
pikirnya.

      Dua perempuan muda dengan mantel berdesain mirip menghampiri Komura di bandara.
Yang satu kuning-langsat dan mungkin tingginya lima atau enam kaki, dengan rambut pendek.
Ruang antara hidung dan bibirnya yang penuh cukup lebar dan itu membuat Komura berpikir
tentang ungulata berbulu pendek. Temannya di sampingnya mungkin tepat lima kaki tingginya
dan akan sangat cantik jika saja hidungnya tak begitu kecil. Rambut panjangnya jatuh tergerai di
bahunya. Kedua telinganya tampak, dan ada dua tahi lalat di cuping telinga kanannya yang
dipertegas oleh anting-anting yang ia kenakan. Kedua perempuan itu tampak berada di
pertengahan dua puluhan. Mereka mengajak Komura ke kafe di bandara itu.

      "Aku Keiko Sasaki," kata perempuan yang lebih tinggi. "Kakakku memberitahuku betapa
kau sudah sangat membantunya. Ini temanku, Shimao."

      "Senang bertemu denganmu," ujar Komura.

      "Hai," kata Shimao.

      "Kakakku memberitahuku kalau istrimu baru saja meninggal," kata Sasaki dengan raut muka
penuh hormat.

      Komura terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Tidak. Dia tidak meninggal."

      "Kemarin lusa aku baru saja bicara dengan kakakku. Aku yakin sekali waktu itu dia bilang
kau kehilangan istrimu."

      "Ya, memang. Dia menceraikanku. Tapi sejauh yang kutahu, dia masih hidup dan sehat-sehat
saja."
      "Itu aneh. Aku tak mungkin salah dengar tentang sesuatu sepenting itu."

      Perempuan itu tampak kecewa. Komura memasukkan sejumlah kecil gula ke dalam kopinya
dan mengaduknya sebentar sebelum meminumnya. Kopi itu sangat cair, tanpa cita rasa yang bisa
dibicarakan; lebih berupa tanda ketimbang subtansi. Apa yang sedang kulakukan di sini? pikir
Komura.

       "Ya, mungkin aku memang salah dengar. Aku tak tahu lagi penjelasan yang masuk akal
selain itu," ujar Keiko Sasaki; kali itu tampak puas. Ia menarik napas dalam-dalam dan
menggigit bibir bawahnya. "Maafkan aku. Aku sudah sangat kasar."

      "Jangan khawatir. Bagaimanapun, dia pergi."

      Shimao tak berkata apa pun selama Komura dan Keiko bicara, tapi ia kerap tersenyum dan
terus mengarahkan matanya pada Komura. Tampaknya perempuan itu menyukainya. Komura
bisa tahu itu dari raut muka dan bahasa tubuhnya. Kesunyian yang singkat seperti jatuh dan hadir
di antara mereka bertiga.

      "Ngomong-ngomong, ini paket penting yang kubawa untukmu," kata Komura. Ia membuka
kopernya dan mengeluarkan kotak itu dari kaos dalam tebal yang membungkusnya. Sesuatu lalu
melintas di benaknya: Seharusnya aku memegang kotak ini saat turun dari pesawat. Dengan cara
itulah kedua perempuan ini akan mengenaliku. Bagaimana bisa mereka tahu tanpa aku
melakukannya?

      Keiko Sasaki mengulurkan tangannya ke seberang meja; matanya yang tanpa ekspresi tertuju
pada paket itu. Setelah memeriksa beratnya, ia melakukan apa yang dilakukan Komura dan
menggoyangnya sedikit sambil mendengarkannya. Ia tersenyum seolah-olah memberitahu bahwa
semuanya dalam keadaan baik, lantas memasukkan kotak itu ke dalam tas yang dibawanya.

      "Aku harus menelepon," ujarnya. "Tak apa kutinggal sebentar?"

      "Sama sekali tidak," jawab Komura. "Santai saja."

      Keiko membawa tas itu di punggungnya dan berjalan menghampiri telepon umum di tempat
yang jauh. Komura mengamati cara ia berjalan. Bagian atas tubuhnya seperti tak bergerak,
sementara segala sesuatu dari paha ke bawah membuat gerakan-gerakan yang kentara, lembut
maupun mekanis. Ia seakan-akan tengah menyaksikan sejumlah momen di masa lalu, yang
muncul di masa kini akibat kesekonyong-konyongan acak yang ada.

      "Pernah ke Hokkaido sebelumnya?" tanya Shimao. 

      Komura menggeleng.

      "Ya, aku tahu. Jauh sekali dari sana."


      Komura mengangguk, lalu memperhatikan keadaan di sekitarnya. "Lucu sekali," ujarnya,
"duduk di sini seperti ini, aku tak merasa telah melakukan sebuah perjalanan yang jauh."

      "Itu karena kau terbang. Pesawat tadi sangatlah cepat. Pikiranmu kalah cepat dengan
tubuhmu."

      "Mungkin begitu."

      "Kau memang sedang ingin melakukan perjalanan jauh?"

      "Kurasa begitu."

      "Karena istrimu meninggalkanmu?"

      Ia mengangguk.

      "Tak peduli seberapa jauh kau pergi, kau tak akan bisa melarikan diri dari dirimu sendiri,"
ujar Shimao.

      Sedari tadi Komura membiarkan matanya tertuju pada mangkuk gula di meja ketika
perempuan itu bicara, tapi kemudian ia balas mengangkat matanya dan menatap perempuan itu.

      "Kau benar," ujar Komura. "Tak peduli seberapa jauh kau pergi, kau tak akan bisa melarikan
diri dari dirimu sendiri. Seperti bayangan, ia mengikutimu ke mana pun kau pergi."

      Shimao menatap Komura dengan sungguh-sungguh. "Kau pasti mencintainya, ya? "

      Komura berusaha mengelak dari pertanyaan itu. "Kau temannya Keiko Sasaki?"

      "Ya. Kami teman baik. Kami melakukan banyak hal bersama-sama."

      "Hal-hal seperti apa?"

      Alih-alih menjawab, Shimao justru bertanya, "Kau lapar?"

      "Bagaimana ya?" ujar Komura. "Kupikir, antara lapar dan tidak."

      "Ayo kita pergi dan makan sesuatu yang hangat. Kita bertiga. Itu pasti akan membantumu
untuk rileks."

      Shimao mengendarai mobil Subaru kecil. Dari sisa baterenya, mobil itu punya cukup bahan
bakar untuk seratus ribu mil perjalanan. Bumper belakang mobil itu penyok. Keiko Sasaki duduk
di samping Shimao, dan Komura punya ruang yang cukup untuknya duduk.

      Tak ada yang salah dengan cara menyetir Shimao, tapi bunyi di bagian belakang mobil
sangatlah buruk, dan suspensinya seperti akan rusak. Transmisi otomatisnya menghantam roda
setiap kali menurun, dan pemanasnya terus berganti panas dan dingin. Sambil memejamkan
mata, Komura merasa dirinya tengah terpenjara dalam sebuah mesin cuci. 

      Tak ada salju yang dibiarkan teronggok di jalan-jalan di Kushiro, tapi gumpalan tanah yang
kotor dan ber-es bisa ditemui di beberapa bagian di sisi jalan. Awan padat menggantung rendah
dan, meski matahari belum terbenam, segala sesuatunya tampak gelap dan sunyi. Angin
membasahi kota seperti jerit tajam. Tak ada pejalan kaki. Bahkan lampu lalu lintas tampak
membeku.

      "Ini bagian Hokkaido yang tak begitu banyak saljunya," tutur Keiko Sasaki dengan suara
keras, menoleh kepada Komura. "Kita berada di pesisir dan anginnya kencang, jadi apa pun yang
teronggok pasti akan terbang. Dingin, pastinya. Teramat dingin. Kadang-kadang rasanya kedua
telingamu seperti diambil."

      "Kau tentu pernah mendengar para pemabuk yang membeku hingga tewas terbaring di jalan,"
ujar Shimao.

      "Ada beruang di sekitar sini?" tanya Komura.

      Keiko terkekeh-kekeh dan menatap Shimao. "Beruang, katanya." 

      Shimao ikut terkekeh-kekeh.

      "Aku tak tahu banyak tentang Hokkaido," ujar Komura, menjelaskan.

      "Aku tahu sebuah cerita menarik tentang beruang," ujar Keiko. "Iya, kan, Shimao?"

      "Cerita yang luar biasa menarik!" jawab Shimao.

      Tapi percakapan mereka terhenti di situ. Tak seorang pun bicara tentang cerita beruang itu.
Komura sendiri tak meminta mereka menceritakannya. Segera mereka tiba di tempat tujuan,
sebuah restoran mie yang besar di jalan raya. Mereka memarkir mobil di sebidang tanah dan
masuk. Komura memesan sekaleng bir dan semangkuk mie ramen. Tempat itu kotor dan kosong,
dan meja-kursinya reyot, tapi ramennya enak sekali, dan seusai makan, Komura merasa, jelas
sekali, sedikit lebih rileks.

      "Katakan padaku, Komura-san," ujar Keiko Sasaki, "kau punya sesuatu yang ingin dilakukan
di Hokkaido? Kakakku bilang kau akan menghabiskan waktu di sini seminggu."

      Komura memikirkannya sejenak, tapi ia tak juga tahu apa yang memang ia ingin lakukan—di
Hokkaido.

      "Bagaimana kalau pemandian air panas? Ingin berendam lama di bak mandi? Aku tahu
sebuah tempat tak jauh dari sini."

      "Boleh juga," ujar Komura.


      "Kau pasti menyukainya. Tempatnya enak. Tak ada beruang atau apa pun."

      Dua perempuan itu saling menatap dan tertawa lagi.

       "Tak keberatan kalau aku bertanya tentang istrimu?" tanya Keiko.

      "Tidak."

      "Kapan dia pergi?"

      "Hmm... lima hari setelah gempa bumi. Jadi, sudah lebih dari dua minggu sekarang ini."

      "Ada hubungannya dengan gempa bumi itu?"

      Komura menggeleng. "Rasanya tidak. Tidak ada hubungannya, kupikir."

      "Tapi tetap saja, apakah memang dua hal semacam itu tak berhubungan satu sama lain," ujar
Shimao sambil sedikit memiringkan kepalanya.

      "Ya," sahut Keiko. "Kau hanya tidak bisa melihat keterhubungan dua hal itu."

      "Betul," cetus Shimao. "Hal-hal semacam itu banyak terjadi."

      "Hal-hal semacam itu?" tanya Komura.

      "Ya, katakanlah, sesuatu yang terjadi dengan seseorang yang kukenal," jawab Keiko.

      "Maksudmu Saeki-san?" tanya Shimao.

      "Ya," jawab Keiko. "Orang ini, Saeki, tinggal di Kushiro. Usianya sekitar empat puluh.
Seorang penata rambut. Istrinya melihat UFO tahun lalu, di musim gugur. Dia berkendara di
ujung kota dan melihat UFO besar mendarat di lapangan. Whoosh! Seperti di Close Encounters.
Seminggu kemudian, dia pergi dari rumah. Mereka tak punya masalah rumah tangga atau
semacamnya. Dia pergi begitu saja dan tak pernah kembali."

      "Lenyap ke udara," ujar Shimao.

 "Dan itu disebabkan UFO itu?" tanya Komura.

      "Entahlah ya," kata Keiko. "Dia pergi begitu saja. Tak ada memo atau apa pun. Dan dia
punya dua orang anak di Sekolah Dasar. Seminggu sebelum kepergiannya itu, yang
dilakukannya adalah bercerita kepada orang-orang tentang UFO itu. Tak ada yang bisa
menghentikannya. Dia akan terus bercerita dan bercerita tentang betapa besar dan indahnya UFO
itu."

      Ia mengambil jeda, membiarkan ceritanya itu tenggelam.


      "Istriku meninggalkan memo," ujar Komura. "Dan kami tak punya anak."

      "Kalau begitu situasimu sedikit lebih baik daripada Saeki," ujar Keiko.

      "Ya. Keberadaan anak membuat perbedaan besar," sahut Shimao, mengangguk.

      "Ayah Shimao meninggalkan rumah saat usia Shimao tujuh tahun," jelas Keiko,
mengerutkan dahi. "Kabur dengan adik perempuan ibunya."

      "Tiba-tiba. Suatu hari," tambah Shimao, tersenyum.

      Kesunyian menyelimuti mereka.

      "Mungkin istrinya Saeki-san tidak pergi tapi ditangkap oleh alien-alien di UFO itu," ujar
Komura, dengan maksud bercanda.

      "Mungkin saja," kata Shimao, dengan raut muka muram. "Konon hal-hal semacam itu pernah
terjadi."

      "Maksudmu sesuatu seperti kau-berjalan-sendirian-di-jalan-dan-seekor-beruang-


memakanmu?" tanya Keiko. Kedua perempuan itu tertawa lagi.

      Mereka bertiga meninggalkan restoran mie itu dan menuju love hotel terdekat. Hotel tersebut
terletak di ujung kota, di sebuah jalan di mana love hotel silih berganti dengan penjual nisan.
Hotel yang telah dipilih Shimao adalah sebuah bangunan aneh, terkonstruksi seperti  kastil
Eropa. Bendera berbentuk segitiga berkibar-kibar di menara tertingginya.

      Keiko mengambil kunci dari meja resepsionis, dan mereka bertiga memasuki lift. Jendela
kamar itu kecil, dibandingkan dengan tempat tidurnya yang luar biasa besar. Komura
menggantung jaketnya di hanger dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian ketika
ia keluar, kedua perempuan itu memutuskan untuk memasuki kamar mandi, meredupkan lampu,
mengecek panasnya, menyalakan televisi, memeriksa menu antaran dari restoran lokal, mengetes
tombol lampu di samping tempat tidur, dan mengecek isi minibar.

      "Pemilik hotel ini adalah teman-temanku," kata Keiko. "Aku meminta mereka menyiapkan
kamar terbesar yang ada. Ini memang love hotel, tapi jangan terlalu memikirkannya. Kau tak
merasa terganggu dengan itu, kan?"

      "Sama sekali tidak," jawab Komura.

      "Kupikir ini jauh lebih pantas daripada membiarkanmu terjebak di sebuah kamar murah dan
kecil di dekat stasiun."

      "Mungkin kau benar," ujar Komura.

      "Mau mandi? Sudah kuisi bak mandinya."


      Komura pun mandi. Bak mandi itu begitu besar. Ia merasa ganjil berendam di sana seorang
diri. Pasangan yang memasuki hotel ini mungkin berendam bersama-sama, pikirnya. 

      Keluar dari kamar mandi, ia terkejut menemukan Keiko Sasaki telah pergi. Shimao masih di
sana, meminum bir dan menonton televisi.

      "Keiko pulang," kata Shimao. "Dia memintaku menyampaikan padamu permintaan maafnya
dan memberitahumu kalau besok pagi dia akan kembali ke sini. Tak apa aku di sini lebih lama
dan minum bir?"

      "Tak apa," jawab Komura.

      "Yakin tak apa-apa? Jangan-jangan, kau sedang ingin sendiri, atau kau susah merasa rileks
kalau ada orang lain di dekatmu?"

      Komura berkata bahwa ia tak masalah dengan itu. Sambil meminum bir dan mengeringkan
rambutnya dengan handuk, ia menonton televisi bersama Shimao. Yang sedang tayang adalah
berita khusus tentang gempa bumi di Kobe. Gambar-gambar yang biasa muncul kembali muncul
dan muncul: gedung-gedung yang miring, jalan-jalan yang melengkung, perempuan-perempuan
tua menangis, rasa bingung dan marah yang tanpa tujuan. Ketika tayangan dijeda iklan, Shimao
mengambil remote dan mematikan televisi.

      "Kita ngobrol saja," ujarnya, "mumpung kita masih di sini."

      "Oke," jawab Komura.

      "Hmm.. apa ya yang harus kita obrolkan?"

      "Di mobil tadi, kau dan Keiko bicara sesuatu soal beruang. Ingat? Kau bilang itu cerita yang
menarik."

      "Oh ya," ujarnya, mengangguk. "Cerita tentang beruang."

      "Mau menceritakannya?"

      "Tentu saja. Kenapa tidak?"

      Shimao mengambil bir segar dari minibar dan mengisi gelas mereka berdua.

      "Ini sedikit gila," katanya. "Tak apa-apa?"

      Komura menggeleng.

      "Maksudku, beberapa lelaki tak suka mendengar seorang perempuan menceritakan hal
tertentu."
       "Aku tak seperti itu."

      "Ini sesuatu yang benar-benar terjadi padaku, jadi sebenarnya agak memalukan."

      "Aku ingin mendengarnya jika kau tak keberatan."

      "Aku tak keberatan, selama kau tak keberatan."

      "Aku tak keberatan," ujar Komura.

      "Tiga tahun lalu—saat itu aku seorang mahasiswa baru—aku berkencan dengan orang ini.
Dia setahun lebih tua dariku, mahasiswa juga. Dia orang pertama yang bercinta denganku. Suatu
hari kami berdua pergi mendaki—di sebuah gunung di utara."

      Dia menenggak birnya.

      "Saat itu musim gugur, dan bukit-bukit penuh beruang. Saat itu adalah saat di mana para
beruang tengah bersiap-siap melakukan hibernasi, jadi mereka keluar mencari makanan dan
mereka sedang sangat berbahaya. Kadang-kadang mereka menyerang manusia. Mereka
melakukan sesuatu yang buruk terhadap seorang pendaki tepat tiga hari sebelum kami mendaki.
Karena itulah seseorang memberi kami sebuah lonceng untuk dibawa—seukuran lonceng-di-
depan-pintu-rumah. Kau harus menggoyang-goyangkannya ketika kau berjalan sehingga para
beruang tahu bahwa di sana ada manusia dan mereka tak akan keluar. Beruang tak menyerang
manusia dengan sengaja. Maksudku, mereka sesungguhnya 'vegetarian'. Mereka tak harus
menyerang manusia. Yang kerap terjadi adalah mereka menemukan manusia di daerah
kekuasaan mereka dan mereka merasa terkejut dan marah dan menyerang secara refleks. Jadi
kalau kau berjalan sambil membunyikan loncengmu, mereka akan menghindarimu. Paham,
kan?"

      "Paham."

      "Jadi itulah yang kami lakukan: berjalan dan membunyikan lonceng. Kami lalu sampai di
sebuah tempat di mana tak ada siapa pun di sekitar kami, dan tiba-tiba saja dia berkata dia ingin
melakukan.... itu. Aku suka idenya itu. Jadi aku menyetujuinya dan kami bergerak ke tempat
bersemak di mana tak akan ada orang yang melihat kami, dan kami menghamparkan beberapa
helai plastik di sana. Tapi aku takut beruang. Maksudku, betapa buruknya jika seekor beruang
menyerangmu dari belakang dan membunuhmu saat kau sedang berhubungan seks. Aku tak mau
mati dengan cara seperti itu. Kau mau?"

      Komura sepakat bahwa ia pun tak ingin mati dengan cara seperti itu.

      "Jadi akhirnya kami membunyikan lonceng itu dengan satu tangan dan berhubungan seks.
Kami melakukannya dari awal hingga akhir. Ting-ting-ting! Ting-ting-ting!"

      "Siapa yang membunyikan lonceng?"


      "Bergantian. Kami menyerahkan lonceng ketika tangan kami lelah. Rasanya aneh,
membunyikan lonceng selama kami melakukannya. Aku memikirkannya sewaktu-waktu
sekarang, saat aku berhubungan seks, dan aku mulai tertawa."

      Komura sedikit tertawa.

      Shimao menepukkan kedua tangannya. "Oh, bagus sekali," ujarnya. "Kau bisa tertawa juga
ternyata!"

      "Tentu saja aku bisa tertawa," ujar Komura. Tapi setelah ia pikir-pikir, itu kali pertamanya ia
tertawa sejak beberapa lama. Kapan terakhir kali ia tertawa?

      "Aku boleh mandi juga?" tanya Shimao.

      "Silakan," jawab Komura.

      Sementara perempuan itu mandi, Komura menonton vairety show yang dipandu beberapa
komedian bersuara keras. Ia tak merasa itu lucu, tapi juga tak bisa memastikan apakah acaranya
yang salah ataukah dirinya yang salah. Ia meminum bir dan membuka sebungkus kacang dari
minibar. Shimao menghabiskan waktu di kamar mandi begitu lama.

      Akhirnya Shimao keluar dengan hanya mengenakan handuk dan duduk di ujung tempat tidur.
Menjatuhkan handuknya, ia berbaring di seprai layaknya kucing, dan menatap Komura. 

      "Kapan terakhir kali kau melakukannya dengan istrimu?" tanyanya.

      "Akhir Desember, kalau tak salah."

      "Tak pernah lagi setelah itu?"

      "Tak pernah."

      "Tak pernah dengan siapa pun?"

      Komura memejamkan mata, dan menggeleng.

      "Kau tahu apa yang kupikirkan," ujar Shimao. "Kupikir kau perlu sedikit santai dan
menikmati hidup. Maksudku, pikirkan hal ini: besok bisa saja ada gempa bumi; kau bisa saja
diculik alien; kau bisa saja dimakan beruang. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi."

      "Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi," gumam Komura.

      "Ting-ting-ting," ujar Shimao.

 SETELAH beberapa kali gagal mencoba berhubungan seks dengan Shimao, Komura menyerah.
Hal seperti ini tak pernah terjadi padanya sebelumnya.
      "Kau pasti memikirkan istrimu," ujar Shimao.

      "Ya," ujar Komura. Namun sejujurnya apa yang baru saja dipikirkannya adalah gempa bumi.
Gambaran-gambaran tentang gempa itu telah berdatangan padanya satu per satu, seperti dalam
slide show, muncul di layar dan memudar dan lenyap. Jalan raya, api, asap, reruntuhan gedung,
retakan di jalan. Ia tak bisa memutuskan rantai gambaran-gambaran itu.

      Shimao menekankan telinganya di dada telanjang Komura.

      "Hal-hal semacam ini kadang terjadi," katanya.

      "Ya."

      "Jangan biarkan ia mengganggumu."

      "Akan kucoba," jawab Komura.

      "Para lelaki selalu membiarkan hal-hal semacam ini mengganggu mereka."

       Komura tak mengatakan apa pun.

      Shimao bermain-main dengan putingnya.

      "Kau bilang istrimu meninggalkan memo, kan?"

      "Ya."

      "Apa yang dia katakan?"

      "Bahwa hidup denganku seperti hidup dengan segumpal udara."

      "Segumpal udara?" Shimao memiringkan kepalanya untuk menatap Komura. "Apa artinya
itu?"

      "Bahwa tak ada apa pun di dalam diriku, kupikir."

      "Benarkah itu?"

      "Bisa jadi," jawab Komura. "Meskipun aku tak yakin. Bisa saja di dalam diriku memang tak
ada apa pun. Tapi, apa yang mungkin—dan semestinya—ada di sana?"

      "Ya, benar juga, kalau dipikir-pikir. Apa yang mungkin dan semestinya ada di sana? Ibuku
penggila kulit salmon. Dia selalu berharap ada ikan salmon yang terdiri hanya dari kulit. Jadi
mungkin ada kasus-kasus tertentu di mana justru akan lebih baik jika tak ada apa pun di
dalamnya. Bagaimana menurutmu?"
      Komura mencoba membayangkan seperti apa seekor ikan salmon yang terdiri hanya dari
kulit. Tapi kalaupun ada sesuatu semacam itu, bukankah itu artinya di dalam kulit itu ada
sesuatu, yakni kulit juga? Komura menarik napas dalam-dalam, mengangkat dan kemudian
menurunkan kepala Shimao dari dadanya.

      "Ini menurutku saja," ujar Shimao, "Aku tak tahu apakah kau mempunyai sesuatu dalam
dirimu atau tidak, tapi kau luar biasa. Kupikir dunia ini dihuni banyak perempuan yang akan bisa
memahamimu dan jatuh cinta padamu."

      "Itu juga yang dikatakan memo itu."

      "Memo dari istrimu itu?"

      "Ya."

      "Oh, yang benar saja," ujar Shimao, menurunkan lagi kepalanya ke dada Komura. Komura
merasakan anting Shimao menekan kulitnya seperti objek rahasia.

      "Ngomong-ngomong," ujar Komura, "apa isi kotak yang kubawa ke sini itu?"

      "Itu mengganggumu?"

      "Tidak sebelumnya. Tapi sekarang, entahlah, mulai menggangguku."

      "Sejak kapan?"

      "Baru saja."

      "Tiba-tiba?"      

"Ya, tiba-tiba, begitu aku mulai memikirkannya."

      "Kenapa ya itu mulai mengganggumu sekarang, tiba-tiba?"

      Komura menengadah menatap langit-langit beberapa saat. "Entahlah."

      Mereka menyimak erangan angin. Angin itu: ia datang dari suatu tempat yang tak diketahui
Komura, dan menerbangkan masa lalu ke suatu tempat yang juga tak diketahui Komura.

      "Akan kuberitahu kenapa," ujar Shimao, pelan. "Itu karena kotak itu berisi sesuatu yang
berada dalam dirimu. Kau tak tahu itu ketika kau membawanya ke sini dan memberikannya
kepada Keiko dengan kedua tanganmu. Sekarang, kau tak akan pernah mendapatkannya lagi."

      Komura bangkit dari tempat tidur dan menatap perempuan itu. Hidung mungil, tahi lalat di
cuping telinga. Dalam kamar yang betapa sunyi, jantungnya berdetak dengan bunyi yang
kencang dan kering. Tulang-tulangnya bergemeretak ketika ia bersandar. Untuk beberapa detik
yang ganjil, Komura sadar dirinya tengah berada di ambang melakukan sesuatu yang buruk
terhadap perempuan itu.

      "Cuma bercanda," kata Shimao ketika dilihatnya raut muka Komura. "Aku hanya
mengucapkan sesuatu yang melintas di benakku. Itu lelucon yang buruk. Maafkan aku. Cobalah
untuk tidak terganggu dengan itu. Aku tak bermaksud menyakitimu."

      Komura memaksa dirinya untuk kembali tenang dan, setelah mengamati seisi kamar, ia
membenamkan lagi kepalanya ke bantal. Tempat tidur yang besar itu teregang di sekitarnya,
seperti laut malam hari. Ia mendengar angin yang membeku. Degupan jantungnya yang dahsyat
seperti memukul-mukul tulang-tulangnya.

      "Kau mulai sedikit merasa telah melakukan sebuah perjalanan jauh?" tanya Shimao.

      "Hmm... sekarang aku merasa telah menempuh sebuah perjalanan yang sangat jauh," jawab
Komura.

      Shimao menggambar sesuatu yang rumit di dada Komura, seolah-olah tengah menyusupkan
mantra sihir ke dalamnya.

      "Tapi sungguh," ujar Shimao, "kau baru saja memulai."(*)

Cerpen ini termaktub dalan kumpulan cerpen kedua Haruki Murakami, After the Quake (2002);
diterjemahkan oleh Ardy Kresna Crenata dari terjemahan Bahasa Inggris oleh Jay Rubin.

Tahun spagheti

Seribu sembilan ratus tujuh puluh satu adalah Tahun Spagheti.

Pada 1971, aku memasak spagheti untuk hidup dan hidup untuk memasak spagheti. Uap yang
menguap dari panci adalah uap kebanggaan dan kesenanganku, saus tomat yang mendidih di
dalam teflon adalah harapan terbesarku dalam hidup.

Aku telah pergi ke toko khusus peralatan memasak dan membeli sebuah kitchen timer serta
sebuah panci aluminium yang besar, cukup pula jika digunakan untuk memandikan seekor anjing
pemburu. Setelah itu aku berjalan berkeliling ke semua supermarket yang melayani orang asing
untuk mengumpulkan rempah-rempah yang langka. Aku mengambil sebuah buku masak untuk
jenis masakan berbahan tepung di toko buku, lantas membeli selusin tomat. Aku bisa membuat
semua jenis spagheti dengan kedua tanganku, pun semua saus yang pernah dikenal manusia.
Aroma campuran dari bawang putih, bawang merah dan minyak zaitun berputar-putar di udara,
membentuk sebuah kepulan asap yang harmonis hingga mencapai setiap sudut di apartemen
kecilku, merembesi lantai dan langit-langit serta dinding, pakaian, buku-buku, catatan-catatan,
raket tenis, bundelan dan surat-surat lamaku. Aroma serupa ini adalah jenis keharuman yang
hanya akan dapat dibaui oleh seseorang di kanal-kanal air di kota Roma zaman dulu.

Inilah kisah dari tahun spaghetti, 1971 Masehi.

Sebagai kebiasaan, aku memasak spaghetti dan memakannya sendiri. Aku meyakini spaghetti
adalah jenis makanan yang paling lezat jika dinikmati sendiri. Aku tidak bisa menjelaskan secara
rinci mengapa aku merasa seperti itu, tapi begitulah adanya.

Aku selalu minum teh dengan spaghettiku dan memakan salad mentimun dan daun sla. Aku
harus memastikan terlebih dahulu jumlah keduanya cukup banyak. Aku hamparkan semua
dengan rapi di atas meja dan menikmati satu per satu dengan santai, sambil membaca sekilas isi
koran di sampingku ketika menyantap. Dari hari minggu hingga hari sabtu, satu Hari Spaghetti
mengikuti Hari spaghetti lain. Dan setiap Hari Minggu yang baru, dimulailah suatu Minggu
spaghetti yang benar-benar baru pula.

Setiap ketika aku duduk di depan sepiring spaghetti_terutama pada suatu senja yang
berhujan_aku mempunyai perasaan yang nyata seseorang sedang mengetuk pintu depan. Orang
yang kubayangkan yang akan mengunjungiku adalah berbeda-beda setiap waktu. Kadang-kadang
ia orang asing, kadang-kadang seseorang yang kukenal. Pernah pula, seorang gadis dengan betis
langsing, gadis yang pernah kupacari di SMA, dan pernah pula diriku sendiri, dari beberapa
tahun sebelumnya datang berkunjung. Kala lain, ia adalah Willian Holden bersama Jeniffer Jobes
yang bergelayutan di lengannya.

William Holden?

Sesungguhnya, tak satu pun dari orang-orang ini yang bertandang masuk ke dalam apartemenku.
Mereka hanya berdiri di luar pintu, tanpa mengetuk, seperti fragmen ingatan yang lama
kemudian pergi berlalu.

*****

Musim semi, musim panas, dan musim gugur, aku hanya memasak dan memasak, seola-olah
memasak spaghetti adalah tindakan balas dendam. Seperti seorang gadis kesepian, penolak cinta
yang sedang melemparkan surat-surat cinta ke dalam tungku perapian, aku mengaduk-aduk
setangan penuh spaghetti ke dalam panci setelah setangan penuh spaghetti lain.

Aku mengumpulkan bayangan-bayangan waktu yang terinjak, mengadoni mereka menjadi


bentuk seekor anjing pemburu Jerman, mengaduk-aduk mereka ke dalam air yang berputar, dan
menaburi mereka dengan garam. Kemudian aku akan menuggu di dekat panci, dengan supit
besar di tangan, sampai timer membunyikan nadanya yang lirih.

Helai-helai spaghetti harus disatukan dengan keahlian tertentu, dan aku tidak bisa
membiarkannya lepas dari pantuanku. Jika aku membalik punggungku, bisa saja mereka tumpah
pada tepi panci kemudian lenyap dalam malam. Malam terbentang dalam sergapan senyap yang
tiba-tiba, berupaya untuk menghalangi pemborosan helaian-helaian spaghetti.
Spaghetti alla parmigiana

Spaghetti alla napoletana

Spaghetti al cartoccio

Spaghetti aglio e olio

Spaghetti alla carbonara

Spaghetti della pina

Dan kemudian ada pula spaghetti yang menyedihkan, sisa spaghetti tak bernama yang
dilemparkan secara serampangan ke dalam peti es.

Tersaji dalam keadaan hangat, helai-helai spaghetti mengaliri arus 1971 lantas menghilang
lenyap.

Aku turut berduka cita untuk mereka semua, semua spaghetti dari tahun 1971.

***

Ketika telepon berbunyi pada pukul 15:20, aku sedang berbaring terlentang di atas tatami,
memandang pada langit-langit. Sekolam sinar matahari musim dingin terbentuk pada tempat aku
berbaring. Seperti seekor lalat yang mati aku berbaring di sana, melamun hampa,dalam sorotan
suatu titik cahaya desember.

Pada mulanya aku tidak mengenali bunyi itu sebagai bunyi telepon. Ia lebih mirip memori yang
terasa asing, ragu-ragu terselip di antara lapis-lapis udara. Akhirnya, suara itu mulai mewujud
dan kemudian tak diragukan lagi, ia adalah sejenis bunyi telepon. Seratus persen, itu adalah
bunyi telepon dalam seratus persen udara murni. Masih dalam posisi terlentang, aku berusaha
menggapai dan meraih gagang telepon.

Di ujung sana adalah seorang gadis, gadis yang tidak begitu bisa kuingat, yang mungkin pada
usia empat puluh tiga akan lenyap seutuhnya. Dia adalah mantan pacarku dari salah satu
temanku. Sesuatu telah menyatukan mereka, laki-laki temanku dan si gadis yang tidak begitu
kuingat, dan sesuatu telah pula menyebabkan mereka putus. Aku akui, dengan tak begitu antusias
aku telah memainkan peran dalam menyatukan mereka untuk berpacaran.

“Maaf mengganggumu,” katanya, “Tapi apa kau tau di mana dia sekarang?”

Aku melihat pada pesawat telepon, kemudian menggerakan pandangan mataku pada sepanjang
kabelnya. Kabel itu, dengan sangat nyata, tersambung pada pesawat telepon. Aku memberikan
jawaban yang tidak tegas. Ada sesuatu masalah dalam suara gadis itu, dan apa pun masalah yang
tengah mengancamnya, aku pastikan bahwa aku tidak ingin terlibat.
“Tak seorang pun yang mau memberitahuku di mana dia berada,” katanya dalam nada yang tidak
bersahabat. “Semua orang pura-pura tidak tahu. Padahal suatu hal penting harus kuberitahu
padanya, jadi kumohon_beritahu aku di mana dia? Aku berjanji tidak akan melibatkanmu ke
dalam masalah ini. Di mana dia?”

“Sejujurnya aku tidak tahu,” kubilang padanya, “Aku sudah lama tidak melihatnya.”

Suaraku tidak berbunyi seperti milikku yang sesungguhnya. Aku telah mengatakan kebenaran
tentang tidak bertemu dengannya dalam waktu yang lama, tetapi tidak di bagian lain_ketika aku
sebenarnya tahu alamat dan nomor teleponnya. Kapan pun aku mengatakan sebuah kebohongan,
sesuatu yang aneh pasti terjadi pada suaraku.

Tidak komentar darinya.

Telepon menjelma menjadi pilar es.

Kemudian semua objek di sekelilingku berubah menjadi pilar-pilar es, seolah-olah berada dalam
kisah fiksi ilmiah karya JG Ballard.

“Aku sungguh-sunggu tidak tahu,” aku mengulang, “Dia pergi sudah lama, tanpa mengatakan
sepatah kata pun.”

Si gadis tertawa. “Tunggu dulu. Dia tidak seperti itu. Kita tengah membicarakan seorang laki-
laki yang cerewet dalam segala hal.”

Dia benar. Laki-laki itu memang banyak mulut.

Aku sudah akan memberitahunya di mana laki-laki itu berada. Tapi, jika melakukannya, lain
waktu aku akan bertemu dengan laki-laki itu di telepon, yang akan menumpahkan rasa
keberatannya. Aku sudah bosan terlibat dalam masalah orang lain. Aku sudah menggali sebuah
lubang di taman belakang dan menguburkan semua yang perlu di kubur di dalamnya. Tak
seorang pun yang bisa menggali untuk mengeluarkannya lagi.

“Maafkan aku,” ujarku.

“Kamu tidak menyukaiku bukan?” katanya tiba-tiba.

Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku tidak pernah secara khusus membencinya. Aku tidak
pula mempunyai kesan khusus padanya sama sekali. Adalah suatu yang sulit memiliki suatu
kesan yang buruk pada seseorang yang tidak berkesan sama sekali bagiku.

“Maafkan aku,” kataku lagi. “aku sedang memasak spaghetti sekarang.”

“Apa?”

“Kubilang aku sedang memasak spaghetti.” Aku berbohong.


Aku tak tahu harus mengatakan apa pun. Tapi kebohongan telah menjadi bagian dari diriku dan
sejauh ini, paling tidak pada saat ini, rasa-rasanya kebohonganku bukanlah suatu jenis
kebohongan dalam arti yang sesungguhnya.

Aku melangkah maju dan mengisi sebuah panci imajiner dengan air imajiner, menghidupkan
kompor imajiner dengan korek api yang imajiner.

“Jadi?” ia bertanya.

Aku menaburkan garam imajiner ke dalam air mendidih imajiner, perlahan-lahan memasukan
segenggam spaghetti imajiner ke dalam panci imajiner, mengatur kitchen timer yang imajiner
pada setelan waktu: delapan menit.

“Jadi, aku tidak bisa mengobrol lagi. Spaghettinya akan gosong.”

Dia tidak mengatakan apa pun.

“Aku sungguh minta maaf, tapi memasak spaghetti adalah suatu pekerjaan yang sulit.”

Si gadis diam. Telepon di tanganku mulai membeku lagi.

“Jadi, bisakah kau menghubungiku di waktu lain saja?” aku buru-buru menambahkan.

“Karena kamu sedang memasak spaghetti?” tanyanya.

“Yah.”

“Apakah kamu membuatnya untuk seseorang atau akan memakannya sendiri?”

“Aku akan memakannya sendiri,” kataku.

Dia menahan napas untuk waktu yang terhitung lama, kemudian perlahan mengembuskannya.

“Tidak seharusnya kamu mengetahui ini, tapi aku benar-benar dalam masalah. Aku tidak tahu
apa yang harus kuperbuat.”

“Maaf aku tidak bisa membantumu,” kataku.

“Terkait dengan masalah uang juga.”

“Oh, begitu?”

“Dia meminjam uang padaku, “ katanya, “Aku meminjamkannya beberapa….Seharusnya tidak


kupinjamkan, tapi sudah terlanjur kupinjamkan.”
“aku diam beberapa menit, pikiranku bergerak menuju spaghetti. “maafkan aku,” kataku, “Aku
masih memasak spaghetti, jadi…”

Ia memberikan sebuah tawa lemah.

“Selamat tinggal,” katanya, “Sampaikan salamku pada spaghettimu. Aku berharap dia menjadi
spaghetti yang lezat.”

“Bye,” kataku.

Ketika aku menutup telepon, lingkaran cahaya di lantai bergeser seinci atau dua. Aku berbaring
lagi dalam kolam cahaya itu dan kembali menatap langit-langit.

Memikirkan spaghetti yang direbus secara abadi tapi tidak pernah terjadi adalah suatu kesedihan,
suatu hal yang sedih.

Sekarang aku agak menyesal karena tidak mengatakan apa pun pada gadis itu. Mungkin aku
harus mengatakan. Maksudku, bekas pacarnya bukanlah orang yang layak diajak menjalin
hubungan karena dia adalah sebuah kerang berkuli indah, tapi kosong di dalamnya, laki-laki
dengan kepura-puraan artistik milik seorang pencerita ulung yang tidak pernah bisa dipercayai
oleh siapa pun. Suara gadis itu menunjukan bahwa dia benar-benar membutuhkan uang, dan
apapun situasinya, apa pun yang diutang memang harus dibayar.

Kadang aku berpikir, apa yang telah terjadi pada gadis itu_pikiran yang selalu masuk ke
kepalaku ketika aku berhadapan dengan sepiring panas spaghetti yang mengepul. Setelah dia
menutup telepon, apakah dia hilang untuk selamanya, terhisap ke dalam bayang-bayang yang ada
pada pukul 16:30? Apakah aku seharusnya disalahkan?

Aku berharap Anda memahami posisiku, bagamanapun. Pada saat itu, aku tidak ingin terlibat
dengan siapa pun. Karena itulah aku tetap memasak spaghetti, sendiri. Dalam panci yang besar
itu, cukup besar untuk memandikan seekor anjing pemburu Jerman.

Durum semolina, gandum emas berterbangan di ladang-ladang Italia. Bisakah kau bayangkan
betapa terkejutnya orang-orang Itali jika mereka tahu bahwa apa yang mereka ekspor pada 1971
itu sesungguhnya wujud dari sebentuk kesepian?

Haruki Murakami yang lahir di Kyoto pada 12 Januari 1949 adalah seorang penulis Jepang
kontemporer yang sangat terkenal. Ia mulai mendapatkan pengakuan internasional pada 1987
ketika memublikasikan novel Norwegian Wood, suatu kisah nostalgia tentang kehilangan. Novel
ini terjual jutaan kopi di Jepang dan sebagian besar pembacanya adalah anak muda. Pada 1986 ia
meninggalkan Jepang, berpesiar ke seluruh Eropa untuk kemudian tinggal di Amerika Serikat
sampai sekarang. Cerpen ”Tahun Spaghetti” diterjemahkan dari ”The Year of Sphagetti”,
terjemahan dari bahasa Jepang oleh Philip Gabriel yang dimuat dalam Majalah The New Yorker.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rama Dira J.
Hari yang Sempurna untuk Kangguru
By crenata011

Cerpen Haruki Murakami (Koran Tempo, 9 Juni 2013)

Ada empat kangguru di kandang_satu jantan, dua betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru
yang baru lahir.

Aku dan pacarku berdiri di depan kandang kangguru. Kebun binatang ini tidak terlalu populer di
pagi hari senin seperti ini, jumlah binarangnya melebihi jumlah pengunjung. Tidak ada yang
menarik di kebun binatang ini.

Hal yang menarik kami mendatangi kebun binatang ini adalah bayi kangguru. Maksudku, apa
lagi coba yang bisa dilihat di kebun binatang ini?

Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik koran lokal, kami tak sengaja membaca sebuah
pemberitahuan tentang lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah
menunggu-nunggu sebuah pagi yang sempurna untuk mengunjungi bayi kangguru tersebut.
Namun bagaimanapun juga, hari yang tepat tidak juga datang. Suatu pagi, turun hujan deras, dan
kami cukup yakin hujan bakal turun lagi di hari-hari berikutnya, dan angin pun berembus-embus
kencang untuk dua hari berturut. Suatu pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi yang lain
aku punya urusan yang harus aku selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak membuat
pernyataan yang dibesar-besarkan di sini, namun aku berani untuk mengatakan bahwa: inilah
kehidupan.

Jadi bagaimana pun juga satu bulan itu waktu yang singkat.

Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak pernah benar-benar mengingat
sesuatu yang sudah kulakukan selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah aku sudah
melakukan banyak hal, namun sewaktu-waktu yang lain aku merasa tidak menyelesaikan satu
hal pun. Satu hal yang membuatku sadar kalau satu bulan telah berlalu adalah ketika lelaki yang
mengantarkan koran harian datang ke rumah untuk menagih uang langganan.

Ya, itulah hidup.

Pada akhirnya, pagi yang kami tunggu-tunggu untuk melihat bayi kangguru datang juga. Kami
bangun dari tidur pada pukul enam pagi, membuka gorden, dan yakin hari itu adalah hari yang
sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri, sarapan, memberi makan kucing,
buru-buru mencuci baju lalu mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun
berangkat.

“Apa kau pikir bayi kangguru itu masih hidup?” pacarku bertanya saat kami di kereta.
“Aku yakin ia masih hidup. Tak ada satu berita pun yang mengabarkan bahwa bayi kangguru itu
mati. Jika saja ia mati, aku yakin kita sudah membacanya di koran.”

“Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja ia sakit dan dirawat di rumah sakit.”

“Ya, tapi kalau pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.”

“Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan bersembunyi di sudut kandang?”

“Apa bayi kangguru punya rasa takut?”

“Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin ia mengalami trauma dan menyudutkan diri bersama
bayinya di kandang yang gelap.”

Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Trauma?
Trauma macam apa coba yang bisa menyerang seekor kangguru?

“Jika aku tak melihat bayi kangguru hari ini, aku pikir aku tidak akan punya kesempatan untuk
melihatnya lagi,” katanya.

“Kupikir juga begitu.”

“Maksudku, pernahkah kau melihat bayi kangguru?”

“Tidak, aku tak pernah melihatnya.”

“Apa kau yakin kau bakal punya kesempatan lain untuk melihat bayi kangguru?”

“Aku tak tahu.”

“Nah, karena itulah aku gelisah.”

“Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah melihat seekor jerapah
melahirkan, atau bahkan melihat hiu yang berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi
kangguru?”

“Ya karena ia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.”

Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan halaman koran. Aku tidak pernah satu kali pun
menang-argumen dengan seorang perempuan.

 
BAYI kangguru itu, sesuai perkiraan, masih hidup dan sehat, ia (entah jantan atau betina) terlihat
tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan gambarnya yang dimuat di koran, bahkan ia
melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru
mini. Pacarku pun kecewa.
“Ia bukan bayi lagi,” katanya.

“Tentu saja ia masih bayi,” kataku mencoba menghiburnya.

Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia


cuma menggelengkan kepala. Aku ingin berbuat sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa pun yang
kukatakan tidak bakal mengubah kenyataan bahwa si bayi kangguru ternyata sudah besar. Jadi
aku cuma diam.

Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua cokelat es krim, dan ketika aku kembali
ia masih bersandar menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekat-lekat.

“Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.”

“Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim.

“Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.”

Aku mengangguk dan menjilat es krimku.

“Tapi yang ini tidak lagi berada di kantung induknya.”

Kami berusaha mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah untuk dilihat, ia tampak paling
besar dan begitu tenang di antara lainnya. Layaknya seorang komposer yang bakatnya telah
memudar, ia hanya diam saja, menatapi dedaunan yang menjadi makanannya. Dua kangguru
lainnya adalah betina, terlihat dari bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu
si bayi kangguru.

“Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu lagi bukan,” kataku berkomentar.

“Um.”

“Jadi yang mana yang bukan ibunya?”

“Aku tak tahu,” katanya.

Kami tak sadar bahwa ternyata bayi kangguru itu melompat-lompat di pagar kandang, lalu
sesekali mengorek-ngorek tanah untuk alasan yang tidak jelas. Ia (entah jantan atau betina)
tampaknya menemukan cara untuk membuat dirinya sibuk. Si bayi kangguru melompat-lompat
di sekitar bapaknya berdiri, mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur,
mengganggu kangguru betina, lalu berbaring di tanah, berdiri lalu melompat-lompat lagi.

“Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?”

“Agar bisa melarikan diri dari musuh?”


“Musuh apa?”

“Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan bumerang dan menyantap mereka.”

“Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?”

“Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri bersama ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari
cepat.”

“Jadi mereka terlindungi?”

“Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.”

“Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?”

Aku sadar aku seharusnya membaca beberapa hal tentang kangguru di sebuah ensiklopedia
sebelum kami bertamasya kecil seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah
seharusnya aku perkirakan.

“Sebulan sampai dua bulan, aku bayangkan.”

“Tapi bayi itu cuma berumur sebulan sekarang,” katanya seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi
mestinya ia masih di kantung ibunya.”

“Ya, aku pikir juga begitu.”

Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa mendengar teriakan anak-anak di kolam
renang di dekat kami. Sepotong awan putih melintasi kami.

Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang dibentuk layaknya sebuah minivan
dengan beberapa kotak pengeras suara yang mengedarkan alunan suara Stevie Wonder dan Billy
Joel saat aku menunggu hotdog yang tengah dimasak.

Saat aku kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru berkata, “Lihat!” menjerit, seraya
menunjuk satu di antara kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong ibunya!”

Aku cukup yakin bayi kangguru itu sudah meringkuk di kantung ibunya (anggap saja kangguru
betina itu adalah benar-benar ibunya). Kantung kangguru betina itu benar-benar terisi penuh, dan
sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor mengintip dari balik kantungnya. Ini benar-
benar pemandangan yang luar biasa dan benar-benar membuat tamasya kami tak sia-sia.

“Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam kantung,” katanya.

“Jangan khawatir, kangguru itu hewan yang kuat.”

“Betul begitu?”
“Ya, tentu. Karena itulah mereka bertahan hidup.”

Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak menderita. Pacarku terlihat layaknya
seorang perempuan yang baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di sekitar
wilayah Aoyama yang indah, dan tengah bersantai istirahat menikmati secangkir kopi di warung
kopi.

“Ibu kangguru itu benar-benar melindungi bayinya, bukan?”

“Ya.”

“Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.”

“Ya, mungkin saja.”

 
KAMI menyantap hotdog dan meminum kola seraya berjalan meninggalkan kandang kangguru.

Saat kami pergi, sang ayah kangguru masih menatapi makanannya seolah mencari sesuatu yang
hilang. Sang ibu kangguru dan bayinya menyatu, istirahat di antara aliran waktu yang tenang,
ketika satu kangguru misterius lainnya melompat-lompat di pagar seolah-olah ingin melarikan
dirinya dari kandang.

Hari itu rupanya jadi hari yang panas, hari yang panas pertama bagi kami setelah beberapa waktu
yang lama.

“Hei, kau ingin minum bir?” tanya pacarku.

“Ayo.”(*)

Petaka Pertambangan
Temanku punya kebiasaan mendatangi kebun binatang saat sedang terjadi badai taifun. Ia
melakukannya sejak sepuluh tahun lalu. Saat orang-orang menutup semua celah dalam rumah
mereka, bergegas menyimpan air bersih dan memeriksa kembali apakah radio dan lentera badai
mereka berfungsi, temanku malah mengenakan poncho era perang Vietnam, memasukkan
beberapa kaleng bir ke dalam saku, lalu pergi. Jarak antara kebun binatang dan rumahnya hanya
lima belas menit berjalan kaki
Jika ia tidak beruntung, kebun binatang akan ditutup ‘karena cuaca buruk’ dan gerbangnya
terkunci. Bila ini terjadi, ia akan duduk di patung tupai dari batu di sebelah pintu masuk, minum
bir hangat, lalu beranjak pulang.

Jika masih bisa masuk, ia akan membayar tiket, menyalakan rokok setengah basah, kemudian
meninjau binatang-binatang dalam kandang, satu per satu. Hampir semua binatang meringkuk
jauh di dalam kandang. Beberapa menatap kosong pada hujan. Yang lain malah lebih riang,
meloncat berputar bersama badai. Ada juga yang ketakutan karena tekanan udara turun
mendadak; sementara yang lain menjadi buas.

Temanku mengawali kebiasaan itu dengan meminum bir pertamanya di depan kandang macan
India. (Macan India bereaksi paling buas terhadap badai.) Lalu ia akan meneruskan bir keduanya
di depan kandang gorila. Seringkali gorila-gorila itu seperti tidak terganggu dengan datangnya
badai. Mereka akan tenang memandangi temanku itu yang duduk seperti duyung di atas lantai
semen sambil menyesap bir, dan kau akan yakin gorila-gorila itu seperti kasihan dengan
temanku.

“Rasanya seperti berada di dalam lift yang mendadak rusak dan kau terjebak bersama orang-
orang yang tidak kau kenal di dalamnya,” ujar temanku.

Tanpa kebiasaannya saat badai, temanku itu memang berbeda dari orang kebanyakan. Ia bekerja
di sebuah perusahaan ekspor yang mengurusi investasi asing. Bukan perusahaan terbaik,
memang. Tapi lumayan lah. Ia tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil dan rapih dan selalu
berganti pacar setiap enam bulan. Mengapa dia ngotot sekali berganti pacar setiap enam bulan
(dan selalu tepat enam bulan) aku tak pernah tahu alasannya. Semua perempuan itu terlihat sama,
seakan-akan mereka adalah klon sempurna dari pacar sebelumnya. Aku tak bisa membedakan
mereka satu sama lain.

Temanku memiliki sebuah mobil bekas kecil dan bagus, mengoleksi tulisan-tulisan Balzac,
setelan jas hitam, dasi hitam dan sepatu hitam yang merupakan pakaian sempurna untuk
menghadiri pemakaman. Setiap ada kenalan maupun kerabat yang meninggal, aku
menghubunginya untuk meminjam pakaian itu meskipun sepatunya kebesaran satu nomor.
“Maaf, aku merepotkanmu lagi,” kataku ketika terakhir aku menghubunginya. “Ada pemakaman
lagi, nih.”

“Kemarilah. Kau pasti terburu-buru,” jawabnya. “Sekarang juga tidak mengapa.”

Setiba di sana, setelan jas dan dasi hitam sudah terhampar di meja dan sudah disetrika, sementara
sepatu hitam sudah disemir dan kulkasnya penuh bir impor. Lelaki seperti itulah dia.

“Beberapa hari yang lalu aku melihat seekor kucing di kebun binatang,” katanya sambil
membuka sebotol bir.

“Kucing?”

“Iya. Dua minggu lalu. Waktu itu aku ke Hokkaido untuk urusan bisnis dan mampir ke kebun
binatang dekat hotel. Ada seekor kucing tidur di dalam kandang dengan teralis bertuliskan
“Kucing”.”

“Kucing seperti apa?”

“Kucing biasa. Belang-belang coklat, buntut pendek. Dan gendut sekali. Kucing itu seperti
teronggok begitu saja dalam kandang.”

“Mungkin di Hokkaido jarang ada kucing.”

“Kau bercanda ya?” tanyanya, terkejut. “Ya pasti ada lah kucing di Hokkaido. Tidak mungkin di
sana jarang kucing.”

“Ya… Begini saja: mengapa memangnya jika ada kucing di kebun binatang?” kataku.
“Kucing kan binatang juga.”

“Anjing dan kucing itu jenis binatang yang biasa kabur. Mana ada orang yang mau membayar
hanya untuk melihat kucing atau anjing?” tukasnya. “Lihat saja di sekelilingmu—mereka ada di
mana-mana. Sama seperti manusia.”
Ketika kami telah selesai menghabiskan sepaket bir berisi enam botol, kutaruh jas dan dasi serta
kotak sepatu ke dalam satu tas kertas besar.

“Maaf ya, selalu merepotkanmu begini,” kataku. “Harusnya aku membeli setelan jas sendiri, tapi
aku tak pernah berhasil melakukannya. Aku merasa jika aku membeli setelan khusus untuk
menghadiri pemakaman, sepertinya aku mengamini setiap ada orang meninggal.”

“Tidak masalah,” jawabnya. “Aku juga tidak memakainya. Akan lebih baik bila setelan itu
dipakai orang ketimbang digantung saja dalam lemari, bukan?”

Dan begitulah kenyataannya karena selama tiga tahun ia memiliki setelan itu, dia hampir tidak
pernah mengenakannya.

“Anehnya, sejak aku membeli setelan itu, tidak satu pun orang yang kukenal meninggal dunia,”
ujarnya.

“Yah… Begitulah.”

“Ya. Mungkin memang begitu adanya.” Tukasnya.

Di sisi lain, bagiku tahun itu adalah Tahun Pemakaman. Teman dan mantan teman meninggal
satu demi satu, seperti biji jagung layu tertiup angin kemarau. Usiaku dua puluh delapan. Semua
temanku hampir seusia—dua puluh tujuh, dua puluh delapan, dua puluh sembilan. Sungguh,
bukan usia yang tepat untuk mati.

Seorang penyair mungkin saja mati di usia dua puluh satu, seorang aktivis revolusioner atau
bintang rock mati di usia dua puluh empat. Namun setelah itu kau akan menganggap semua baik-
baik saja. Kau berhasil melalui Tikungan maut dan kau berada di ujung terowongan, menjelajah
lurus ke arah tujuan melalui jalan tol berjalur enam—mungkin sesuai keinginanmu, mungkin
tidak. Kau cukur rambut, cukur jenggot dan kumis tiap pagi. Kau bukan lagi seorang penyair
atau aktivis maupun bintang rock. Kau tidak lagi mabuk dan tertidur di boks telepon umum atau
memasang The Doors kencang-kencang pukul empat pagi. Alih-alih kau membeli asuransi jiwa
dari perusahaan tempat temanmu bekerja, minum di bar hotel, dan memegang tagihan dokter gigi
erat-erat demi pengurangan pajak. Pada usia dua puluh delapan, itu sangat wajar sekali.
Namun disitulah sebenarnya pembantaian tak terduga dimulai. Seperti serangan mendadak pada
suatu hari di musim semi yang malas—semacam ada seseorang yang berada di atas bukit
metafisik mengokang senapan mesin metafisik dan menembakkan runtunan peluru ke arah kita.
Saat kita sedang berganti pakaian, di menit berikutnya pakaian itu sudah tidak cukup lagi di
badan: kerahnya terbalik dengan sebelah kaki di celana yang satu dan kaki lainnya di celana lain.
Benar-benar berantakan.

Tapi begitulah kematian. Kelinci tetaplah kelinci entah dia keluar dari topi atau berlarian di
ladang gandum. Oven panas tetaplah oven panas, dan asap hitam yang keluar dari cerobong asap
ya cuma itu—asap hitam yang keluar dari cerobong asap.

Orang pertama yang mengangkangi perbedaan antara kenyataan dan imajinasi (atau imajinasi
dan kenyataan) adalah seorang kawan dari universitas yang mengajar Bahasa Inggris di SMP. Ia
telah menikah selama tiga tahun, dan istrinya sedang berada di rumah orangtuanya di Shikoku
untuk melahirkan.

Pada suatu Minggu siang yang tidak biasanya hangat di bulan Januari, ia pergi ke pasar swalayan
untuk membeli dua kaleng krim cukur dan pisau buatan Jerman yang cukup besar untuk
memotong telinga seekor gajah. Ia kembali ke rumah lalu menyalakan air di bak mandi.
Kemudian ia ambil beberapa bongkah es dari lemari pendingin, mabuk dengan sebotol Scotch,
naik ke bak mandi lalu menyayat nadinya sendiri. Ibunya yang menemukan jenazah, dua hari
kemudian. Polisi datang dan mengambil gambarnya dari berbagai sudut. Darah mewarnai air
mandi yang jadi seperti jus tomat. Polisi menyatakan kejadian itu sebagai bunuh diri. Lagi pula,
semua pintu terkunci dan, tentu saja, almarhum membeli pisaunya sendiri. Tapi mengapa dia
membeli dua kaleng krim cukur yang tidak akan ia gunakan? Tak seorang pun tahu.

Mungkin ketika masih berada di pasar swalayan ia tidak sadar bahwa dalam beberapa jam ia
akan mati. Atau dia khawatir kasir di sana akan tahu ia akan bunuh diri.

Ia tidak meninggalkan wasiat atau surat perpisahan. Di meja dapur hanya ada gelas, botol wiski
kosong dan mangkuk es, serta dua kaleng krim cukur. Sambil menunggu air mandinya siap
sambil minum bergelas-gelas Haig dicampur bongkahan es, mungkin ia menatap dua kaleng
krim cukur itu dan berpikir semacam aku tidak harus bercukur lagi.
Seorang lelaki yang mati di usia dua puluh delapan adalah kesedihan yang sama seperti hujan
yang turun di musim dingin.

Dua belas bulan berikutnya ada empat orang lagi yang meninggal.

Salah satunya meninggal bulan Maret dalam sebuah kecelakaan ladang minyak di Arab Saudi
atau Kuwait, dan dua yang lain meninggal bulan Juni—satu serangan jantung, yang satu lagi
kecelakaan. Dari Juli hingga November kedamaian berjaya, namun bulan Desember seorang
teman lagi meninggal, kecelakaan mobil.

Tidak seperti temanku yang pertama, yang bunuh diri, teman-teman yang lain tidak sadar mereka
sekarat. Bagi mereka mungkin seperti menaiki tangga yang telah mereka lakukan jutaan kali dan
mendadak tersadar satu anak tangga hilang.

“Tolong rapihkan tempat tidur untukku,” pinta teman yang kena serangan jantung pada istrinya.
Ia adalah seorang desainer furnitur. Saat itu pukul sebelas pagi. Ia terbangun pukul sembilan,
bekerja sebentar di ruangannya, dan berkata ia mengantuk. Lalu ia pergi ke dapur, membuat kopi
dan meminumnya. Namun kopi tidak membantu. “Kurasa aku harus tidur sebentar,” katanya.
“Aku seperti mendengar bunyi berdenging di belakang kepala.” Ternyata itu adalah kata-kata
terakhir. Ia meringkuk di kasur, tidur, dan tak pernah bangun lagi.

Teman yang meninggal di bulan Desember adalah yang termuda dan satu-satunya perempuan.
Usianya dua puluh empat, seperti aktivis dan bintang rock. Suatu malam berhujan sebelum Natal,
ia terjepit secara tragis di tempat yang sangat biasa, di antara truk pengantar bir dan tiang telepon
dari semen.

Beberapa hari kemudian setelah pemakaman terakhir, aku mengunjungi apartemen temanku
untuk mengembalikan setelan yang baru saja kuambil dari penatu, sekaligus memberi sebotol
wiski sebagai ucapan terimakasih.

“Terima kasih. Aku sangat menghargainya,” kataku


Seperti biasa, kulkasnya penuh dengan bir dingin dan pada sofa nyaman dalam ruangan ada
sedikit bias sinar matahari. Di atas meja kopi terdapat asbak bersih dan satu pot tanaman
pointsettia Natal.

Ia mengambil pakaian yag masih terbungkus plastik dengan gerakan santai—seperti beruang
yang baru saja bangun dari tidur hibernasi—lalu menyimpannya tanpa suara.

“Kuharap setelanmu tidak berbau kematian,” ujarku.

“Pakaian tidaklah penting. Yang penting adalah yang ada di dalamnya.”

“Hm…” aku bergumam.

“Satu pemakaman disusul pemakaman lain tahun ini,” katanya sambil meregangkan tubuh di
sofa lalu menuang bir ke dalam gelas. “Berapa pemakaman jadinya?”

“Lima,” jawabku sambil membuka jemari telapak tangan kiri. “Kurasa sudah.”

“Kau yakin?”

“Sudah cukup banyak orang meninggal.”

“Ini seperti Kutukan Piramid dan semacamnya,” ujarnya lagi. “Aku ingat, aku pernah
membacanya entah dimana. Kutukan itu akan terus berlangsung hingga tercapai tumbal dengan
jumlah tertentu. Atau sampai terlihat bintang merah di langit dan bayangan bulan menutupi
matahari.”

Setelah kami menghabiskan sepaket bir isi enam botol, kami mulai membuka wiski. Matahari
musim dingin menukik lembut ke dalam ruangan.

“Kau terlihat murung belakangan ini,” katanya.

“Begitukah?” jawabku.
“Kau pasti banyak berpikir tentang sesuatu di tengah malam,” ujarnya lagi. “Aku berhenti
memikirkan banyak hal di malam hari.”

“Bagaimana kau melakukannya?”

“Saat aku merasa tertekan, aku bersih-bersih. Bahkan pukul dua atau tiga pagi. Aku cuci piring,
mengelap kompor, mengepel lantai, memberi pemutih pada lap, merapihkan laci meja,
menyetrika semua pakaian yang terlihat mata,” jelasnya sambil mengaduk minuman dengan jari.
“Kulakukan itu sampai aku benar-benar lelah, minum, lalu tidur. Paginya aku bangun dan hingga
aku akan mengenakan kaus kaki, aku bahkan tidak ingat apa yang semalam kupikirkan.”

Aku kembali melihat sekeliling. Seperti biasa, ruangan itu bersih dan rapih.

“Orang memikirkan berbagai hal pada pukul tiga pagi. Kita semua begitu. Karena itulah kita
harus melakukan sesuatu untuk melawannya.”

“Mungkin kau benar,” jawabku.

“Bahkan binatang pun berpikir pada pukul tiga pagi,” sahutnya, dengan wajah seperti sedang
mengingat sesuatu. “Kau pernah ke kebun binatang pukul tiga pagi?”

“Tidak,” jawabku lirih. “Tentu saja tidak.”

“Aku pernah sekali. Seorang temanku bekerja di kebun binatang dan kuminta padanya untuk
membolehkanku masuk saat dia kebagian jaga malam. Tapi sungguh, jangan pernah kau
lakukan.” Ia mengguncang gelasnya. “Pengalaman yang aneh. Aku tidak bisa menjelaskannya,
namun aku merasa seperti tanah terbelah tanpa suara dan ada sesuatu yang merayap keluar dari
dalam. Lalu seperti ada sesuatu tak kasat mata mengamuk dalam gelap. Dinginnya malam seperti
mengental. Aku tidak dapat melihatnya tapi aku merasakannya, dan binatang-binatang di sana
juga merasakannya. Semua membuatku berpikir jangan-jangan tanah yang kupijak sebenarnya
mengarah ke inti bumi, dan tiba-tiba aku sadar bahwa inti bumi itu telah menghisap banyak
sekali waktu.”

Aku membisu.
“Ngomong-ngomong, aku tidak ingin pergi ke sana lagi—ke kebun binatang tengah malam,
maksudku.”

“Kau lebih memilih ke sana saat badai?”

“Oh, ya,” tukasnya. “Beri aku badai kapan pun.”

Telepon berdering dan ia pergi ke kamar tidur untuk mengangkatnya. Ternyata dari pacar
klonnya, dengan panggilan klon telepon tanpa akhir. Aku sudah ingin pamit, namun ia
menelepon lama sekali. Akhirnya aku malah menyetel televisi. Sebuah TV berwarna dua puluh
tujuh inci dengan remote control yang saking sensitifnya, kau hanya perlu sedikit menyentuhnya
untuk mengganti channel. TV itu dilengkapi dengan enam speaker dan suaranya jernih. Aku
belum pernah melihat TV sekeren itu.

Aku mengganti-ganti channel hingga dua kali putaran sebelum akhirnya membiarkan acara
berita tertampil di layar. Pertikaian di perbatasan, kebakaran, turun-naiknya nilai mata uang,
pembatasan impor mobil, pertemuan renang luar ruang di musim dingin, bunuh diri keluarga.
Semua kepingan-kepingan berita seperti berkaitan satu sama lain, seperti orang-orang yang kau
lihat dalam foto kelulusan SMA.

“Ada berita menarik?” Tanya temanku sekembalinya ia ke dalam ruangan.

“Tidak begitu,” jawabku.

“Kau sering nonton TV?”

Aku menggeleng. “Aku tidak punya TV.”

“Setidaknya ada satu hal bagus pada TV,” ujarnya setelah beberapa saat. “Kau bisa
mematikannya sesukamu. Dan tidak ada seorang pun yang  mengeluh.”

Ia memencet tombol Off di remote. Mendadak layar kosong. Ruangan senyap. Di luar jendela,
lampu-lampu di gedung lain mulai menyala.
Kami duduk selama lima menit, minum wiski dan tidak bicara. Telepon berbunyi lagi, namun ia
berpura-pura tidak mendengar. Ketika telepon berhenti berdering, ia memencet tombol On.
Spontan, gambar kembali muncul, dan seorang komentator berdiri di depan grafik dan menunjuk
dengan pointer sambil menjelaskan perubahan harga minyak.

“Kau lihat? Dia bahkan tidak sadar saat kita mematikannya selama lima menit.”

“Kalau begitu kamu benar.”

“Hei.. Kau kenapa?”

Aku merasa terlalu berat untuk berpikir, jadi, aku menggeleng.

“Ketika kau mematikan TV, salah satu pihak menjadi tiada. Ini antara dia yang ada di TV atau
kita. Kau pencet satu tombol dan komunikasi menghilang. Mudah sekali.”

“Itu salah satu caramu memikirkannya,” kataku.

“Ada jutaan cara berpikir. Di India mereka menumbuhkan pohon kelapa. Di Argentina tahanan
politik dijatuhkan dari helikopter yang sedang terbang.” Ia kembali mematikan televisi. “Aku
tidak ingin mengatakan apapun tentang orang lain,” katanya lagi. “Tapi kau harus pertimbangkan
adanya cara mati yang lain yang tidak berakhir di pemakaman. Jenis kematian yang tidak dapat
kau cium baunya.”

Aku hanya mengangguk dan tidak berkata sepatahpun. Kurasa aku tahu apa maksud
perkataannya. Namun di saat yang sama aku juga tidak paham apa maksudnya. Aku lelah dan
sedikit bingung. Aku hanya duduk dan memain-mainkan lembar dedaunan hijau poinsetta di atas
meja.

“Aku punya sampanye,” ujarnya, jujur. “Aku membawanya dari perjalanan bisnis ke Perancis
tempo hari. Aku tidak begitu mengerti tentang sampanye, tapi harusnya ini enak. Kau mau?
Sampanye sepertinya sesuatu yang sangat cocok setelah kau menghadiri beberapa pemakaman.”
Ia membawa sebotol sampanye dingin dan dua gelas bersih kemudian meletakkannya di meja,
lalu tersenyum dengan licik. “Sampanye ini sebenarnya sangat tidak berguna, tahu,”
sambungnya. “Satu-satunya hal yang menyenangkan adalah ketika kau membuka gabus
penutupnya.”

“Aku setuju denganmu,” sahutku.

Kami membuka tutupnya dan bicara untuk beberapa saat tentang kebun binatang di Perancis dan
hewan-hewan apa yang tinggal di sana. Sampanye itu rasanya enak sekali.

Selalu ada pesta tiap akhir tahun, pesta Malam Tahun Baru di sebuah bar di Roppongi yang
tempatnya khusus disewa untuk acara itu. Ada trio piano bermain dan banyak makanan dan
minuman enak tersedia. Saat aku bertemu seseorang yang kukenal, aku ngobrol sebentar
dengannya. Pekerjaan mengharuskan aku hadir di acara-acara tersebut. Aku tidak suka pesta,
namun yang ini mudah kutangani. Aku tidak punya acara apapun di Malam Tahun Baru dan aku
tahan berdiri sendirian berjam-jam di sudut ruangan, santai, minum beberapa gelas, dan
menikmati musik. Tak ada orang berperangai buruk yang teriak-teriak, tak perlu bertemu orang
asing dan mendengar celotehan mereka selama satu setengah jam tentang bagaimana pola hidup
vegetarian dapat menyembuhkan kanker.

Namun malam itu aku diperkenalkan oleh seorang perempuan. Setelah berbincang sedikit seperti
sebuah perkenalan pada umumnya, aku beranjak kembali ke sudut tempatku sebelumnya. Tapi
perempuan ini mengikutiku hingga ke kursi tempatku duduk dengan gelas berisi wiski di tangan.

“Aku yang meminta dikenalkan olehmu,” katanya, ramah.

Perempuan ini bukan jenis perempuan yang dapat membuatmu menoleh dua kali meskipun dia
menarik. Gaun sutranya yang mahal berwarna hijau dan kukira usianya sekitar tiga puluh dua.
Dia dapat membuat penampilannya terlihat lebih muda dengan sangat mudah, namun mungkin
dia tidak ingin repot-repot melakukannya. Tiga cincin menghias jemarinya dan senyum samar
membayang di bibir.
“Kamu mirip sekali dengan seseorang yang kukenal,” ujarnya. “Garis wajahmu, punggungmu,
caramu bicara, keseluruhan pembawaanmu—persamaan yang menakjubkan. Aku telah
mengawasimu sejak kau masuk ke dalam ruangan.”

“Jika memang ia benar-benar mirip denganku, ingin sekali aku bertemu dengan lelaki ini,”
kataku. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa.

“Sungguh?”

“Aku ingin tahu bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang sungguh-sungguh mirip
denganku.”

Senyumnya makin dalam seketika, lalu berubah lembut. “Itu tidak mungkin,” ujarnya. “Ia
meninggal lima tahun yang lalu. Saat itu mungkin usianya sama denganmu sekarang.”

“Benarkah?”

“Aku membunuhnya.”

Trio pianis dalam ruangan baru saja menyelesaikan musik set kedua dan orang-orang bertepuk
tangan setengah hati.

“Kau suka musik?” Tanya si perempuan.

“Ya, jika musik itu indah dan berada dalam dunia yang indah,” kataku.

“Di dunia yang indah tidak ada musik indah,” jawabnya, seakan sedang mengungkap rahasia
terdalam. “Di dunia yang indah, udara tidak bergetar.”

“Oh, begitu…” Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku tak tahu harus bagaimana menanggapinya.

“Kau pernah menonton film dimana Warren Beatty bermain piano di sebuah kelab malam?”

“Belum.”
“Elizabeth Taylor adalah salah satu tamu di kelab tersebut. Dia sangat miskin dan
menyedihkan.”

“Hmmm…”

“Lalu Warren Beatty bertanya pada Elizabeth Taylor apakah dia ingin meminta lagu untuk
dimainkan.”

“Lalu? Apa jawabnya?”

“Aku lupa. Film itu sudah sangat tua sekali.” Jemarinya berkilau ketika ia meminum wiskinya.
“Aku benci permintaan. Membuatku tidak bahagia. Seperti ketika aku mengambil buku dari rak
perpustakaan. Begitu kubuka lembar pertama dan mulai membaca, yang kupikirkan adalah kapan
buku itu selesai.”

Ia ambil sebatang rokok dan diletakkan di sela bibir. Kuambil korek dan kunyalakan rokoknya.

“Jadi,” sambungnya. “Tadi kita bicara tentang seseorang yang mirip denganmu.”

“Bagaimana kau membunuhnya?”

“Aku dorong dia ke sarang lebah.”

“Kamu bercanda kan?”

“Ya,” sahutnya.

Aku tidak menghembuskan napas lega namun malah meneguk wiskiku sendiri. Bongkahan es di
dalamnya telah leleh dan rasa wiskinya hampir hilang.

“Secara hukum, tentu saja aku bukan pembunuh,” ujarnya. “Secara moral juga bukan.”

“Bukan pembunuh secara hukum dan secara moral.” Meskipun aku tidak menginginkannya, aku
mengulas poin-poin yang barusan ia sampaikan. “Namun kau telah membunuh seseorang.”

“Betul sekali.” Ia mengangguk riang. “Seseorang yang mirip sekali denganmu.”


Di seberang ruangan seorang lelaki tertawa terbahak-bahak. Orang-orang di sekitarnya juga
tergelak. Gelas-gelas berdenting. Suara mereka jauh namun jelas sekali terdengar. Aku tidak tahu
mengapa, namun jantungku berdetak cepat seakan membesar dan turun-naik. Aku merasa seperti
sedang berjalan di atas tanah yang mengapung di air.

“Kurang dari lima detik,” ujarnya. “Untuk membunuhnya.”

Kami membisu sesaat. Ia memanfaatkan waktunya, mereguk kebisuan.

“Kau pernah berpikir tentang kebebasan?” Ia bertanya.

“Kadang-kadang,” jawabku. “Mengapa kau bertanya?”

“Kau bisa menggambar bunga daisy?”

“Sepertinya. Apakah ini semacam tes kepribadian?”

“Hampir.” Ia tertawa.

“Lantas? Apakah aku lulus?”

“Ya,” tukasnya. “Kau akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Intuisiku
mengatakan kau akan hidup sampai tua sekali.”

“Terima kasih,” jawabku.

Band mulai memainkan lagu ‘Auld Lang Syne’.

“Sebelas lima lima,” ujarnya, menatap sekilas pada jam emas yang tergantung sebagai liontin
kalung. “Aku suka sekali ‘Auld Lang Syne’. Kamu?”

“Aku lebih suka “Home on the Range”. Tentang kijang dan antelop.”

Perempuan itu tersenyum. “Kau pasti pecinta binatang.”


“Memang,” kataku. Dan aku berpikir tentang kawanku yang menyukai kebun binatang dan
setelan jas pemakaman miliknya.

“Aku senang bicara denganmu. Sampai nanti.”

“Selamat tinggal,” jawabku.

Mereka mematikan lampu untuk menghemat udara dan kepekatan melingkupi. Tiada satu pun
angkat bicara. Yang dapat mereka dengar di kegelapan hanyalah suara air menetes dari langit-
langit setiap lima detik.

“Baiklah. Semuanya, usahakan jangan bernapas terlalu banyak. Kita tidak punya cukup udara
tersisa,” kata seorang penambang tua. Ia berbisik, namun bahkan bisikannya membuat pilar
kayu di atas langit-langit terowongan berderik samar. Dalam kegelapan para penambang
berangkulan rapat, mempertajam telinga untuk dapat mendengar bunyi. Suara beliung. Suara
kehidupan.

Mereka menunggu dan menunggu selama berjam-jam. Kenyataan mulai mengabur dalam
kepekatan. Semuanya terasa seperti terjadi lama sekali, di sebuah dunia yang sangat jauh. Atau
mungkin terjadi di masa depan, di sebuah dunia yang sama sekali berbeda?

Di luar orang-orang menggali lubang, mencoba meraih mereka. Semua seperti adegan dalam
sebuah film.

Judul Bahasa Inggris New York Mining Disaster diterjemahkan dari Bahasa Jepang oleh Phillip
Gabriel dari buku Blind Willow, Sleeping Woman, Haruki Murakami.

Dia Yang Sempurna


Haruki Murakami

Suatu pagi yang cerah di bulan April, di pinggiran jalan sempit di Harajuku, sebuah area
perbelanjaan di Tokyo, aku berjalan melewati seorang gadis yang 100% sempurna.

Sejujurnya, dia tidak terlalu cantik. Dia juga tidak terlalu menyolok. Pakaian yang dikenakannya
tidak terlalu spesial. Dan rambutnya masih menyisakan jejak ranjang seolah tak disisir merata.
Dia juga tidak terlalu muda—kuperkirakan usianya sekitar 30 tahun, dan sebenarnya tidak cocok
dipanggil dengan kata ‘gadis’. Meski begitu, aku tahu saat melihatnya dari kejauhan 0.05
kilometer: bahwa dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku. Begitu aku melihatnya, ada
gemuruh yang timbul di dadaku, lalu mulutku mendadak kering seperti padang pasir.

Mungkin Anda punya tipe gadis favorit—dan dia mungkin memiliki pergelangan kaki yang
ramping, atau sepasang mata yang besar, atau jemari yang lentik, atau Anda menyukai seorang
gadis yang selalu menghabiskan waktu lama sekali untuk bersantap, entah kenapa. Aku juga
punya tipeku sendiri. Sesekali, saat aku ada di sebuah restoran, aku sering curi-curi pandang ke
arah gadis yang duduk di meja sebelahku hanya gara-gara aku menyukai bentuk hidungnya.

Namun bagi seorang laki-laki yang hatinya telah kepincut, maka gadis yang 100% sempurna itu
takkan ada tandingannya. Walau aku suka memperhatikan bentuk hidung orang, namun aku tidak
ingat bentuk hidung gadis yang sempurna itu—atau apakah dia tidak punya hidung sama sekali.
Yang kuingat dengan pasti adalah gadis itu bukan gadis tercantik sedunia. Aneh, kan?

“Kemarin, di jalan, aku melewati seorang gadis yang 100% sempurna,” ujarku pada seseorang.

“Masa?” sahut orang itu. “Cantik?”

“Tidak juga.”

“Kalau gitu dia tipe kesukaanmu?”

“Entahlah. Aku bahkan tidak ingat terlalu banyak hal tentang dia—seperti bentuk matanya atau
ukuran dadanya.”
“Aneh.”

“Aneh sekali.”

“Lantas,” tutur lawan bicaraku yang mulai bosan. “Apa yang kau lakukan? Menyapanya? Atau
membuntutinya?”

“Tidak. Aku hanya numpang lewat di hadapannya.”

Gadis itu berjalan dari arah timur ke barat, sedangkan aku dari barat ke timur. Sungguh pagi
yang cerah di bulan April.

Seandainya saja aku bisa menyapa dia. Aku hanya butuh setengah jam: untuk bertanya tentang
siapa dia, lalu aku kan memberitahukan siapa aku, dan—yang sangat ingin kulakukan—
menjelaskan kepadanya tentang betapa rumitnya cara kerja takdir untuk mempertemukan aku
dan dia di pinggiran jalan di area Harajuku di sebuah pagi yang cerah di bulan April tahun 1981.
Kejadian ini tentunya melibatkan banyak rahasia yang tidak kita ketahui; seperti jam antik yang
dibuat saat perang dunia usai.

Setelah mengajaknya bicara, kami akan pergi makan siang bersama, lalu menonton film besutan
Woody Allen di bioskop, dan dilanjutkan dengan acara minum-minum di bar hotel. Bila
keberuntungan ada di pihakku, kami akan mengakhiri kebersamaan ini di atas ranjang.

Kemungkinan-kemungkinan yang belum terjamah itu mengetuk pintu hatiku.

Sekarang jarak di antara kami menyempit jadi 0.013 kilometer.

Bagaimana sebaiknya aku mendekati dia? Apa yang harus kukatakan?

“Selamat pagi, nona. Maukah kau menyisihkan waktu selama setengah jam untuk berbincang?”

Konyol. Aku terdengar seperti salesman asuransi.

“Permisi, apakah kau tahu tempat cuci baju yang buka sepanjang malam di sekitar sini?”
Tidak, sama saja konyolnya. Aku juga tidak bawa baju kotor. Siapa yang akan percaya?

Mungkin aku harus jujur. “Selamat pagi. Kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

Tidak, dia takkan percaya. Atau bila dia percaya, dia mungkin takkan mau berbincang denganku.
Maaf, dia akan berkata padaku, aku mungkin gadis yang 100% sempurna untukmu, tapi kau
bukan pemuda yang 100% sempurna untukku. Bisa saja kan? Dan jika aku berada dalam situasi
itu, hatiku pasti hancur. Aku takkan pernah bisa mengatasinya. Usiaku 32 tahun—dan di usia
sepertiku seharusnya aku bisa menerima penolakan dengan dada lapang.

Kami melewati sebuah toko bunga. Udara pagi berembus ringan dan membelai kulitku dengan
kehangatan. Lapisan aspal di bawah kakiku tampak lembap dan aku mencium sekelebat wangi
bunga. Aku tidak berani menyapa gadis itu. Ia mengenakan sebuah sweater berwarna putih dan
di tangan kanannya ada secarik amplop putih yang hanya butuh perangko saja untuk diposkan.
Jadi: gadis itu sudah menulis surat untuk seseorang, mungkin menghabiskan waktu semalaman
menulisnya, apalagi melihat matanya yang berat karena kantuk. Di dalam amplop itu mungkin
saja terselip seluruh rahasia hidupnya.

Aku mengambil beberapa langkah ke depan, lalu membalikkan badan: gadis itu menghilang di
tengah keramaian.

Sekarang aku baru tahu bagaimana seharusnya aku menyapa gadis itu. Tentunya aku harus
memberikan pidato panjang; terlalu panjang untuk kusampaikan dengan baik. Semua ide yang
ada di kepalaku memang tidak ada yang praktis.

Oh well. Tadinya aku akan memulai pidato itu dengan kalimat “Pada suatu hari” dan diakhiri
dengan “Cerita yang sedih, bukan?”

Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas
tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu
cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun
mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk
mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.

Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.

“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak
mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti
pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”

Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka
masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan
ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya
menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat,
sebuah pertanda.

Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di
dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?

Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis
itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna
untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu
terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain,
maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”

“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”

Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah
barat.

Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang
benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah
sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang
takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.

Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-
mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja
mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.

Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan usaha keras mereka berhasil
membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka
juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat;
yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup
jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.

Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si
gadis 30 tahun.

Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si
pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos,
melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di
sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu
sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati
mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:

Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.

Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.

Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti
empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun,
mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.

Cerita yang sedih, bukan?

*
Ya, itu dia. Seharusnya itu yang kukatakan padanya. FL

2013 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Haruki Murakami. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun
ditukar.

—————-

# CATATAN:

> Cerpen ini berjudul On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning karya
HARUKI MURAKAMI dan disertakan dalam koleksi cerita pendek berjudul The Elephant
Vanishes (Random House, 1993).

>> HARUKI MURAKAMI adalah seorang penulis dan penerjemah asal Jepang yang telah
menerbitkan sejumlah novel, koleksi cerita pendek dan esai. Beberapa karyanya yang telah
mendunia, termasuk di antaranya: Kafka on the Shore, The Wind-Up Bird Chronicle, Norwegian
Wood, dan—yang terakhir—IQ84. Karya non-fiksi yang ia terbitkan termasuk di antaranya:
Underground: The Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche dan What I Talk About When I
Talk About Running.

# POIN DISKUSI:

1. ‘Cinta yang muram’ adalah komentar salah satu kritikus karya Haruki Murakami mengenai cerita
ini. Menurut kamu?
2. Apa pendapat kamu tentang struktur cerita? Serta penggunaan efek ‘cerita dalam cerita’?
3. Apa kesan kamu saat membaca ending cerita?
4. Simbol apa yang kamu tangkap dari dalam cerita ini + apa tafsiran kamu?

Navigasi tulisan
← Natal Adalah Hari Muram Bagi Orang Miskin

Satu Hari Dalam Hidup Pria Bertato →


27 pemikiran pada “Dia Yang Sempurna”

1. Muji Sasmito

Januari 13, 2013 pada 2:39 am Balas

untuk saat ini hanya bisa bilang: bagus.

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:24 am Balas

Hi Muji. Terima kasih ya Semoga suka dengan posting2 lainnya.

2. wendyfermana

Januari 13, 2013 pada 5:46 pm Balas

1. Haruki Murakami memang pemberontak sastra Jepang, dia bercerita tentang Jepang
dan dunia hari ini dengan kisahan yg hanya ingin berkisah, kadang karakternya sulit
dipahami dan kadang ceritanya hanya menampilkan sekumpulan karakter yg
membingungkan, tapi gaya tuturan Murakami menarik sekali.
2. Strukturnya nampak bertele-tele tapi ini upaya Murakami bermain-main dgn teks
cerita.
3. Dalam hati bilang, nah lho, ha-ha.
4. Aku belum bisa nangkep simbol yang diajukan Murakami, Mbak Maggie, mau berbagi
padaku?

Sebenarnya aku merasa sensasi yg sama spt saat aku baca Sleeping Beauty and The
Airplane-nya Marquez, Mbak. Membuktika cerita cinta bisa jadi picisan atau menarik,
tergantung pengarang maunya apa, he-he.

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:25 am Balas


Hi Wendy. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Aku juga suka
sekali dengan penuturan Murakami yang tidak bertele-tele dalam menyampaikan
cerita yang sebenarnya sederhana namun bernafas “kompleks”. Untuk simbol-
simbolnya sudah ada pembaca yang berbagi juga di sini. Bisa ditanggapi
mungkin?

3. atmo

Januari 14, 2013 pada 2:46 am Balas

….seperti kata pepatah kalo jodoh takkan lari kemana…cerita yg keren ^^

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:25 am Balas

Hi Atmo. Terima kasih ya. Semoga suka dengan posting2 lainnya juga

4. Feby Dwi Hani

Januari 14, 2013 pada 8:00 am Balas

Salam kenal Mbak Maggie…salut untuk Fiksi Lotusnya….aku suka banget cerpen
ini….akhir2 ini memang lagi suka karya Penulis Jepang spt Beauty and Sadnessnya
Yasunara Kawabata…..ok aku akan coba komen:
1. Ya saya kurang lebih setuju dengan komentar tsb. Cerita cinta tak kesampaian yang
muram namun juga sering kita lihat di film-film dan kehidupan sehari-hari. bagusnya
Haruki Murakami menguraikan dengan gamblang tntg alasannya : mengapa seorang laki-
laki bisa tidak mengungkapkan perasaan cinta trsbt.

2. Cerita dalam ceritanya memperkuat kesan karakter si pria yang ‘pengecut’ dan
pesimis. Karena ia cuma bisa berangan-angan mengatakan cerita ini.

3. Kesannya……greget dan sedih. karena mereka sepertinya ditakdirkan jodoh satu sama
lain tapi mereka tidak jadi…
4. Nah, kl Mbak Maggie ga bahas simbol dan tafsir aku ga bakal nyangka ada tafsiran
lain di balik cerita ini. Jadinya aku penasaran tntg simbolnya. Mungkin ya mbak…..ini
adalah simbol dari pemikiran ala ‘Barat’ dan ‘Timur’ yang ga pernah nyambung
(disimbolkan dengan si gadis yang pergi dari barat ke timur dan si lelaki yang pergi dari
timur ke barat) . Sebetulnya pemisahan pemikiran a la Barat- Timur itu tidak pernah ada (
disimbolkan oleh pertemuan si gadis dan pemuda itu ketika remaja, ketika mereka yakin
bahwa mereka 100% ditakdirkan satu sama lain). Namun karena ada beberapa pihak dari
kubu ‘Barat’ dan ‘Timur’ yang keukeuh memperuncing perbedaan di antara mereka,
maka pemikiran tsb pun tidak pernah menyatu dan melengkapi satu sama lain…..

kl menurut Mbak Maggie gmana?

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:27 am Balas

Hi Feby. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Aku setuju dengan
tafsiran kamu atas simbol2 dalam cerita ini. Arah Barat-Timur yang hadir di sini
memang menunjukkan perbedaan antara kedua tokoh utama dalam cerita ini,
meski keduanya yakin mereka 100% diciptakan untuk satu sama lain.

5. tikadwilestari

Januari 15, 2013 pada 6:15 am Balas

kok saya merasa ada unsur komedi yang ingin ditampilkan pengarangnya ya?

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:29 am Balas

Hi Tika. Menurutku tulisan Murakami memang sering menyertakan unsur komedi


gelap yang berbaring tepat di bawah permukaan cerita. Jadi lebih nendang ya?
Terima kasih sudah mampir kemari ya.
 tikadwilestari

Februari 3, 2013 pada 4:44 pm

tolong banyakin lagi karya Murakami ya.. terima kasih kembali

6. sulamit

Januari 15, 2013 pada 3:28 pm Balas

1. bisa saja begitu, saya memang menemukan banyak kemuraman dan ketakberujungan
dalam karya Murakami. tapi yang saya suka dari Murakami, melalui kesinisan dan
kepesimisan-nya dia cukup jujur terhadap hidup modern yang banyak mengubah
hubungan antar manusia dan pola pikir terhadap sesuatu.
2. menurut saya, cerita dalam cerita itu selain digunakan Murakami sebagai cara berkisah
secara tak langsung, juga digunakan untuk memperkuat karakter si tokoh yang kini sudah
berusia 32 tahun dan tidak lagi memiliki pikiran yang jernih dalam memandang cinta.
3. Cerita yang sedih, bukan? (haha begitulah )
4. simbol “flu yang terjangkit di mana-mana” yang merupakan simbol kondisi terpuruk
yang dialami semua orang–tak hanya dua tokoh perempuan dan laki-laki itu. saya
menangkapnya sebagai perubahan masyarakat dari masa depresi ke masa kemakmuran
yang memberi konsekuensi tertentu yang kemudian dijelaskan dengan simbol lain yaitu
“celengan baru” yakni tentang hidup yang kosong lalu kemudian berisi, tentang
kehidupan yang membaik, dan tentang kemampuan jatuh cinta hingga 80%. namun saya
menangkapnya sebagai kondisi pulih yang tidak pernah sama seperti semula.

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:30 am Balas

Hi Sulamit. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Aku setuju,
teknik metafiksi Murakami untuk menjalin cerita dalam cerita sangat efektif di
sini. Simbol-simbol yang kamu tafsirkan juga menarik. Terutama tentang
“celengan baru” yang melambangkan sebuah harapan baru.
7. Iqbal

Januari 15, 2013 pada 5:20 pm Balas

salam kenal, ini fiksi untuk yang request Haruki Murakami di arsip kan?

1. Sepertinya bukan cinta yang muram. Tokoh utama hanya tidak mampu
mengungkapkan isi pikirannya dan terus memikirkan skenario untuk memulai
perkenalan.

2. Penggunaan cerita dalam cerita memperlihatkan dalamnya imajinasi tokoh utama.


Lebih mengarahkan bahwa pembelaan diri mengapa ia tidak berani menyapa gadis itu.
Mungkin iya merasa seperti tokoh cerita tersebut. Merasa terlaluk muluk untuk bertemu
dengan gadis impiannya.

3. Cuma menghela nafas.

4. Amplop putih tampa perangko yang dipegang gadis tersebut dengan pikiran yang
seperti celengan baru. Tapi masih tidak tahu artinya apa.

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:31 am Balas

Hi Iqbal. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi ya. Aku suka poin
ke-empat yang kamu sampaikan tentang amplop putih sebagai salah satu simbol
yang disematkan Murakami dalam cerita ini. Menarik!

8. Ayu

Januari 22, 2013 pada 9:21 pm Balas

Suka sekali dengan cerpen ini. Jujur berkat Fiksi Lotus saya semakin tertarik untuk
memperdalam pengetahuan saya akan sastra asing, khususnya di bidang cerpen.
1. Dari dulu saya selalu suka dengan cerita cinta yang muram. Dan saya setuju dengan
kritikus cerpen ini. Cinta dalam cerpen ini terasa muram, namun juga manis. Ada
kegetiran yang mengendap seusai membacanya.
2. Saya suka dengan struktur ceritanya. Penggunaan efek cerita dalam cerita membuat
cerpen ini menjadi semakin menarik, dan juga dramatis.
3. Sempurna! Entah mengapa sayup-sayup saya merasakan kegetiran, mungkin terdengar
berlebihan. Tapi begitulah kenyataannya
4. Saya suka dengan kalimat : Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu
mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%. Terkadang kita juga pernah
berpapasan dengan dia yang sempurna 100% entah karena alasan apa kita
menganggapnya sempurna. Dia seperti orang yang selama ini kita cari, namun kita
memilih untuk melangkahkan kaki ke depan, tanpa keberanian (atau keinginan) untuk
mengenal lebih dalam dia yang 100% sempurna agar dia tetap menjadi yang tersempurna
agar pertengkaran atau konflik yang terjadi antara kita dan dia (jika saja kita dan dia
saling mengenal lalu akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan) tidak melunturkan
cinta yang 100 % sempurna, biarlah dia yang sempurna menjadi kenangan manis yang
kita lewati dalam perjalanan hidup.

o Maggie Tiojakin

Januari 31, 2013 pada 9:33 am Balas

Hi Ayu. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Cerita Murakami
selalu berhasil menghantarkan ironinya kehidupan dengan elemen-elemen tak
terduga, namun tetap familiar bagi pembaca (menurutku). Ditunggu komentar2
lainnya ya

9. agusjay55

Januari 23, 2013 pada 10:17 am Balas

Mbak Maggie, terima kasih sudah menyajikan karya Haruki Murakami di sini! Saya coba
ikut berdiskusi..
1. Cerita ini memang terasa yang muram. “Aku” lagi-lagi tak bisa mengungkapkan
perasaannya kepada perempuan yang disukainya. Ia harus menuntaskan rasa
penasarannya dengan membicarakan momen-bertemu-gadis-itu kepada orang lain.
Bahkan setelah beberapa waktu berlalu, ketika cerita itu ditulis, “aku” masih merancang
apa yang seharusnya ia lakukan untuk mendapatkan kesempatan berbicara kepada si
gadis.

Dan yang paling menarik di sini: dalam ending kisah pidato yang digagas si “aku”, tokoh
perempuan dan laki-laki terlalu lemah ingatannya untuk mengenali satu sama lain.
Ending tidak saling mengenal ini seolah-olah menyiratkan bahwa, seandainya pun bisa
menyampaikan pidato itu kepada si gadis, “aku” tetap tidak ingin harapannya untuk
berkenalan terlalu kentara, demi berjaga-jaga apabila gadis itu tidak tertarik dengannya.
Jadi, betapa sepi si “aku”: ia selalu berjaga-jaga terhadap kemungkinan gadis itu tidak
menginginkannya.

2. Struktur cerita dan efek cerita dalam cerita menguatkan citra kesepian si “aku”, namun
anehnya teknik itu tampil dengan cara yang ‘kalem’ sehingga tidak mengganggu
pembaca. (saya suka merasa, kadangkala cerita yang dipaksakan menggunakan teknik
tertentu malah mengaburkan tokoh cerita dan justru menonjolkan senyum sombong si
penulis)

3. Ending cerita mengantarkan saya untuk menyimpulkan nuansa batin si “aku”: bahwa
dia kesepian, bahwa dia seringkali menyukai seorang gadis namun tak tahu harus berbuat
apa, dan bahwa dia kemudian menyesal karena telah kehilangan kesempatan untuk
berkenalan.

4. Simbol-simbolnya:
– Tempat cuci baju: si “aku” masih lajang.
– sweater berwarna putih dan amplop putih: di mata “aku, tubuh (hati) si gadis dalam
sweater putih sama rahasianya dengan lembaran surat dalam amplop putih.

o Maggie Tiojakin
Januari 31, 2013 pada 9:35 am Balas

Hi Agus. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi ya! Wah, benar
sekali poin yang kamu sampaikan tentang simbol “tempat cuci baju” —
menunjukkan narator yang lajang dan kesepian. Ditunggu komentar2 lainnya ya

10. Indira

Februari 5, 2013 pada 10:22 am Balas

1. Keren.. Memang cinta yang muram dan cerita yang sedih.


2. Cerita dalam cerita sempat membuat saya bingung, saya mengira cerita yang berbeda
dan sempat berusaha mengulang membaca dari awal.
3. Ending cerita membuat saya berharap mereka memiliki kesempatan untuk bertemu
lagi.
4. Simbol? Hmm… tidak menemuakan nya..

o Maggie Tiojakin

Maret 30, 2013 pada 1:43 pm Balas

Hi Indira. Terima kasih atas komentarnya ya. Ditunggu komentar2 lainnya

11. Rika Riyanti

Februari 11, 2013 pada 1:35 pm Balas

1. ‘Cinta yang muram’ adalah komentar


salah satu kritikus karya Haruki Murakami
mengenai cerita ini. Menurut kamu?
Cinta yang tidak pernah bersatu. Jodoh yang tak pernah bertemu, seperti itu menurutku.
Dan, rasanya kasihan banget sama para tokohnya
2. Apa pendapat kamu tentang struktur cerita?
Serta penggunaan efek ‘cerita dalam
cerita’?
Benar-benar cerita yang keren! Nggak pernah terpikirkan untuk menulis yang seperti ini!
Bahkan dari awal, dari awal baca, nebak-nebak ending, malahan yang ketemunya… It so
cool!
3. Apa kesan kamu saat membaca ending
cerita?
Eh? Seriusan udah selesai? Apa ada yang kelewat? *balik lagi ke awal cerita*
4. Simbol apa yang kamu tangkap dari dalam
cerita ini + apa tafsiran kamu?
Kurang mengerti, ya. Nggak bisa nangkap, ini. Maklum, pemula. Hehehe…

o Maggie Tiojakin

Maret 30, 2013 pada 1:49 pm Balas

Hi Rika. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Memang cerita ini
penuh dengan kejutan, terbungkus dalam misteri yang kocak, sekaligus puitis.
Ditunggu komentarnya di diskusi lainnya

12. Patrick 137

Maret 2, 2013 pada 5:23 pm Balas

Cerita ini selalu membuatku berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan di masa lalu


yang tidak dilakukan dan terlewatkan untuk dilakukan. Luar biasaaaa….

o Maggie Tiojakin

Maret 30, 2013 pada 1:56 pm Balas

Hi Patrick. Thanks ya buat komentarnya. Ditunggu komentar2 berikutnya

13. kristo.vandro

April 12, 2013 pada 2:48 am Balas


Reblogged this on So, endure, encourage, enjoy and commented:
Mengutip tulisan karena terlalu malas menulis.

14. Agus

Mei 30, 2013 pada 4:00 am Balas

Halo Mbak Maggie, saya mau isi komentar di sini lagi.

Saya baru baca di sini*, bahwa cikal-bakal novel 1Q84 adalah cerpen ini. (Saya sendiri
belum pernah baca 1Q84 tapi sepertinya itu masterpiece Murakami.) Menurut Mbak
Maggie, apakah yang harus diperhatikan ketika kita ingin mentransformasi sebuah cerpen
ke dalam novel? Terima kasih.

*) http://www.nytimes.com/2011/10/23/magazine/the-fierce-imagination-of-haruki-
murakami.html?pagewanted=all&_r=0

Monyet Shinagawa [I]
Akhir-akhir ini seorang perempuan mengalami kesulitan mengingat nama sendiri. Biasa terjadi
ketika seseorang mendadak bertanya. Misalnya, saat berada di butik dan ia ingin memendekkan
lengan blus ia pilih, pegawai butik tiba-tiba bertanya, “Nama Anda, Bu?” Semacam itu. Atau
ketika sedang bekerja, saat harus bicara di telepon, orang di ujung sana menanyakan nama, dan
pikirannya mendadak kosong. Untuk menjawabnya, ia akan mengeluarkan SIM dari dalam
dompet dan membuat penanya terheran-heran. Jika kebetulan sedang menelepon, akan ada
beberapa detik kebisuan canggung saat perempuan itu harus mengobrak-abrik tas tangannya
demi selembar SIM dan membuat lawan bicaranya bertanya-tanya.

Ia tidak menemui kesulitan saat harus memperkenalkan diri. Asalkan ia bisa mngira-ngira apa
yang akan terjadi, ingatannya lancar tanpa masalah. Namun saat sedang sedang terburu-buru,
atau mendadak seseorang bertanya nama, seperti ada sikring mati mendadak dalam kepalanya
yang membuat benaknya benar-benar hampa. Semakin ia berusaha mengingat, semakin
kekosongan itu mengambil alih dan dia jadi sama sekali lupa dengan nama apa ia biasa
dipanggil.

Si perempuan ini masih dapat mengingat hal lain. Tidak pernah ia lupa nama-nama orang di
sekitarnya. Alamatnya, nomor teleponnya, ulang tahun, nomor paspor dan angka bukanlah
sesuatu yang menyulitkan. Dengan mudah ia dapat menyebut nomor telepon kawan-kawannya
atau nomor telepon klien-klien penting. Ingatannya tentang hal lain tak pernah menyusahkan—
hanya namanya sendiri yang terlupa. Masalah ini dimulai setahun sebelumnya, dan kali pertama
hal-hal semacam ini terjadi padanya.

Ia bernama Mizuki Ando setelah menikah, sementara nama gadisnya adalah Ozawa. Kedua nama
tersebut hanya nama biasa, tak ada yang istimewa maupun dramatis, dan itu mengapa ia tak bisa
mengingat nama sendiri di tengah kesibukannya.

Ia adalah Mizuki Ando pada musim semi tiga tahun lalu, saat ia menikah dengan lelaki bernama
Takashi Ando. Awalnya ia canggung menyandang nama barunya. Huruf dan bunyinya aneh.
Namun setelah ia merasakan nama itu di mulutnya berulang-ngulang, beberapa kali
menandatangani dokumen dengan nama baru, ternyata tidak jelek-jelek amat. Bayangkan
kemungkinan lainnya—Mizuki Mizuki atau Mizuki Miki atau apapun lah (ia pernah berkencan
dengan pemuda bernama Miki selama beberapa waktu)—Mizuki Ando kedengarannya lumayan
bagus. Membutuhkan waktu, memang, agar ia nyaman menyandang nama baru akibat
pernikahan.

Namun nama tersebut mulai sedikit terlupakan setahun belakangan. Awalnya hanya terjadi
sebulan sekali, makin lama makin sering ia melupa. Sekarang, paling sedikit, malah sekali
seminggu. Saat ‘Mizuki Ando’ terlupakan, ia sebatang kara di dunia, tidak menjadi siapa-siapa,
hanya perempuan tanpa nama. Selama tas tangan masih di genggaman, ia merasa aman—cukup
mengambil SIM untuk mengingat ia siapa. Namun jika tasnya hilang, dia tidak akan tahu siapa
namanya. Bukan berarti keseluruhan dirinya menghilang, tidak—kehilangan nama bukan berarti
dia tidak eksis. Dia masih ingat alamat dan nomor teleponnya sendiri. Kelupaannya bukan
amnesia total yang biasa terdapat di film-film. Sungguh-sungguh alpa nama sendiri adalah
sesuatu yang menyebalkan. Kehidupan tanpa nama menurutnya seperti mimpi dimana kau tidak
akan pernah terbangun lagi.

Mizuki pergi ke toko perhiasan, membeli gelang tipis sederhana bergravir nama sendiri: Mizuki
(Ozawa) Ando. Tidak ada alamat, tidak ada nomor telepon, hanya namanya. Aku merasa menjadi
seekor kucing atau anjing, ujarnya sambil mendesah. Ia tidak akan keluar rumah tanpa gelang
itu. Ia tinggal melirik ke gelang tersebut jika lupa namanya sewaktu-waktu. Tidak perlu repot
mencari SIM dan tidak akan ada lagi raut wajah bertanya-tanya dari orang lain.

Tak bisa ia bercerita pada suami. Lelaki itu pasti akan berkata itu bukti ia tidak bahagia dengan
kehidupan pernikahan. Suaminya adalah orang yang memandang segala hal dengan sangat logis.
Ia tidak bermaksud menyakiti istrinya. Sudah sifatnya seperti itu, membuat teori untuk apapun
yang ada di bawah langit. Memandang melalui mata sang suami bukan menjadi bakat Mizuki.
Suaminya agak cerewet, tidak akan berhenti bicara jika sedang mengutarakan satu topik. Jadi,
Mizuki mengatasi semuanya dalam diam.

Namun ucapannya—atau apa yang akan ia ucapkan seandainya si suami tahu—tidaklah benar. Ia
bukannya tidak bahagia dengan pernikahan mereka. Tak ada yang perlu dikeluhkan dari si suami
selain cara berpikirnya yang terlalu logis, dan ia pun tak punya perasaan negatif terhadap mertua.
Ayah si suami adalah dokter yang memiliki klinik kecil di Kota Sakata, ujung utara perfektur
Yamagata. Mertuanya adalah pasangan yang sangat konservatif, dan suaminya adalah anak lelaki
kedua. Karena itulah mereka tidak terlalu direpotkan oleh orangtua yang suka turut campur.
Mizuki sendiri berasal dari Nagoya, dan ia pun merasa beku saat musim dingin tiba di Sakata.
Tetapi kunjungan mereka ke sana setahun sekali membuatnya mulai menyukai tempat tersebut.
Setelah dua tahun menikah mereka mengambil hipotek dan membeli kondo di salah satu gedung
baru di Shinagawa. Suaminya sekarang berusia tiga puluh, bekerja pada sebuah lab di
perusahaan farmasi. Mizuki, dua puluh enam, bekerja di dealer Honda. Tugasnya adalah
menjawab telepon, membimbing pelanggan menuju ruang tunggu, membuatkan kopi, membuat
salinan fotokopi jika diperlukan, mengelola catatan dan pembaruan daftar pelanggan yang sudah
terkomputerisasi.
Paman Mizuki, seorang eksekutif di Honda, memberinya pekerjaan setelah lulus dari universitas
khusus perempuan di Tokyo. Tidak begitu mengasyikkan, memang. Namun perusahaan
memberinya tanggungjawab dan bayarannya lumayan. Tugasnya tidak termasuk menjual mobil,
namun jika seorang penjual pergi, ia yang mengambil alih. Mizuki selalu melaksanakannya
dengan baik melalui jawaban yang diberikan pada pelanggan. Ia belajar dari memperhatikan para
penjual bekerja, memahami informasi teknis dengan cepat, dan celah dalam menjual mobil. Ia
mengingat jarak tempuh semua model mobil dalam ruang pameran dan dapat meyakinkan
siapapun tentang, misalnya, bagaimana mengendarai Odyssey itu sebenarnya hanya seperti
saloon biasa dan tidak seperti mengendarai minivan. Mizuki sendiri adalah seorang pembicara
yang baik dengan senyum yang selalu membuat pelanggan menjadi santai. Ia juga dapat
menyesuaikan taktik menjual menurut kepribadian calon pembeli. Namun, sayangnya, dia tidak
punya kewenangan memberi rabat, negosiasi harga tukar-tambah, atau memberi pilihan sehingga
jika seorang pelanggan sampai hampir menandatangani surat pembelian, Mizuki harus
mengalihkannya ke staf yang bertanggungjawab. Dia yang melakukan hampir semua pekerjaan,
namun semua itu akan diambil-alih salah seorang penjual yang malah akan mendapat komisi.
Satu-satunya penghargaan yang didapat Mizuki hanya beberapa kali traktiran makan malam dari
penjual yang beruntung mendapatkan komisi dari usaha Mizuki.

Mizuki sering berpikir andai mereka membolehkannya menjual mobil, maka dealer tersebut akan
menjual lebih banyak dan rekor dealer secara keseluruhan akan meningkat. Jika para penjual
muda yang baru saja lulus kuliah benar-benar fokus pada tujuan tersebut, mereka akan mencapai
dua kali lebih banyak. Namun tak ada satu pun yang mendorongnya dan berkata bahwa ia juga
bisa menjual dan menghabiskan waktu di belakang meja hanyalah sia-sia. Dan tidak satu pun
yang mengusulkan agar ia dipindah ke bagian penjualan. Begitulah perusahaan bekerja. Divisi
penjualan dan staf kantor adalah dua hal yang berbeda, kecuali dalam beberapa kasus yang
sangat jarang, keduanya memiliki batas tak tertembus. Lagipula, Mizuki tidak terlalu ambisius
untuk meningkatkan karir dengan cara seperti itu. Ia lebih memilih bekerja delapan jam, pukul
sembilan hingga lima, mengambil jatah liburnya, dan bersenang-senang mengisi waktu.

Mizuki masih menggunakan nama gadisnya di kantor. Jika ia ingin menggantinya secara resmi,
maka semua data terkait dalam sistem komputer harus dia ubah sendiri. Sangat merepotkan, dan
Mizuki terus menunda-nunda, hingga ia putuskan untuk tetap menggunakan nama gadisnya.
Untuk tujuan pajak, statusnya memang menikah, namun namanya tidak berubah. Ia tahu itu tidak
benar, namun tidak ada satu pun orang di kantor yang rewel tentang hal itu (mereka terlalu sibuk
untuk khawatir pada hal sedetail itu), hingga akhirnya ia masih menjadi Mizuki Ozawa. Dan
begitulah nama yang tercantum pada kartu nama, kartu pegawai, kartu absen. Semua orang
memanggilnya dengan Ozawa-san atau Ozawa-kun, Mizuki-san, atau yang lebih akrab, Mizuki-
chan. Ia bukannya menghindari menggunakan nama pernikahannya. Hanya saja, akan terlalu
banyak yang harus dilakukan untuk mengganti dokumen, jadi, ia juga tak menyanggah
panggilan-panggilan tersebut. Jika ada seseorang yang mau melakukan input untuk mengubah itu
semua, pikirnya, ia lebih senang dikenal sebagai Mizuki Ando.

Suaminya tahu bahwa Mizuki dipanggil dengan nama gadisnya di kantor (ia sering sekali
menelepon Mizuki pada jam kerja), tidak masalah. Menurutnya, nama apapun yang digunakan
sang istri di tempat kerja hanya perihal kenyamanan saja. Asalkan diyakinkan dengan logika, ia
tidak akan mengeluh. Untuk urusan ini, suami Mizuki memang sangat santai.

Mizuki mulai khawatir jika ia sampai sama sekali melupakan nama sendiri, itu mungkin gejala
penyakit serius. Mungkin gejala awal Alzheimer’s. Dunia ini dipenuhi penyakit parah yang tak
diinginkan. Dia bahkan baru tahu ada penyakit bernama myasthenia dan Huntington’s. Pasti ada
banyak sekali penyakit yang namanya saja ia tidak pernah dengar. Dan dengan semua penyakit
itu, gejala awal yang dia alami hampir tak terlihat. Tidak biasa, mungkin. Namun gejala awal
yang ringan seperti… melupakan nama sendiri? Ketika Mizuki mulai memikirkannya, ia
khawatir adanya sebuah penyakit aneh yang menggerogoti tubuh.

Mizuki mengunjungi sebuah rumah sakit besar dan menceritakan gejala penyakit yang
dideritanya. Dokter muda yang bertugas—yang saking pucat dan letih ia malah terlihat sebagai
pasien daripada dokter—tidak menganggapnya serius. “Ada lagi yang kau lupa selain namamu
sendiri?” tanyanya. Tidak, jawab Mizuki. Untuk sementara ini hanya namaku. “Hmmm…
sepertinya kasus ini lebih tepat dibawa ke psikiater,” ujarnya, tanpa ada nada simpati sedikitpun
pada suaranya. “Jika kau lupa hal yang lain selain namamu, silahkan datang kembali. Lalu kita
lakukan beberapa tes.” Sekarang kami disibukkan dengan pasien yang berpenyakit lebih parah
daripada kamu, dan begitulah maksud jawabannya. Sesekali lelupa nama sendiri bukan sesuatu
yang harus repot-repot diurusi.

Suatu hari di artikel buletin kantor yang datang bersama surat dikabarkan tentang akan
dibukanya pusat konseling. Artikel itu kecil saja, jenis artikel yang biasa terabaikan. Pusat
konseling itu akan diadakan rutin seminggu sekali dan digawangi oleh professional. Klien
ditangani satu per satu dengan tarif yang amat sangat terjangkau. Semua penghuni Kawasan
Shinagawa yang berusia di atas delapan belas bebas menggunakan jasa tersebut, dan semua data
dan informasi akan dijaga kerahasiaannya. Begitu kata artikelnya. Mizuki agak ragu apakah jasa
konseling yang disponsori kawasan perkantoran itu akan bermanfaat, namun dia penasaran.
Mencoba sekali saja kan tak masalah, pikirnya. Dealer tempatnya bekerja memang sangat sibuk
di akhir pekan. Tapi cuti sehari di tengah minggu tidaklah sulit. Ia bisa menyesuaikan jadwalnya
dengan jadwal konseling. Tidak realistis bagi para pekerja pada umumnya. Pusat konseling itu
menyarankan agar calon klien membuat janji temu terlebih dahulu, jadi, Mizuki segera
menelepon. Satu sesi berdurasi tiga puluh menit sama dengan dua ribu yen. Masih sangat
terjangkau bagi Mizuki. Akhirnya ia mendapat jadwal temu pukul 1 siang Rabu besok.

Setibanya di pusat konseling yang terletak di lantai tiga gedung tempat Mizaki bekerja, ia adalah
satu-satunya klien. “Program ini memang dimulai agak mendadak,” kata si resepsionis. “Banyak
yang belum tahu. Tapi jika sudah tersebar, pasti banyak orang yang akan datang. Sekarang
jadwal kami sangat senggang. Anda beruntung.”

Konselornya bernama Tetsuko Sakaki. Ia adalah perempuan menyenangkan berperawakan besar


dan pendek pada akhir empatpuluhan. Rambutnya dicat coklat terang dan wajahnya berhias
senyum yang terlalu lebar. Ia mengenakan celana dari bahan ringan yang biasa dikenakan pada
musim panas, blus sutra mengkilap, kalung mutiara palsu dan sepatu berhak rendah.
Tampangnya tidak seperti konselor. Ia lebih seperti tetangga sebelah yang ramah dan ringan
tangan.

“Suami saya bekerja di lingkungan kantor sini. Dia kepala seksi Departemen Pekerjaan Publik,”
ujarnya, memperkenalkan diri secara bersahabat. “Karena itulah kami mendapat dukungan dan
akhirnya dapat membuka pusat konseling. Anda adalah klien pertama saya dan saya senang
sekali bertemu Anda hari ini. Tidak ada lagi janji temu seharian ini. Jadi, kita bebas untuk bicara
apapun dari hati ke hati.” Perempuan itu bicara lambat-lambat. Semua hal yang ada pada dirinya
adalah pelan dan hati-hati.

Saya juga senang bertemu Anda, Mizuki membalas. Dan ia bertanya-tanya pada diri sendiri
apakah perempuan ini bisa membantu memecahkan masalahnya.

“Saya konselor berijazah dengan pengalaman bertahun-tahun dalam dunia konseling. Jadi,
serahkan semua pada saya,” sahutnya seakan-akan membaca pikiran Mizuki.

Ibu Sakaki duduk di belakang meja kerja logam sederhana. Mizuki duduk di sebuah sofa kuno
kecil yang seperti baru saja diseret dari gudang. Pegasnya menonjol di bawah lapisan penutup
dan bau apak yang menguap membuat hidung Mizuki gatal.

“Tadinya saya pikir saya bisa menemukan sofa nyaman agar ruangan ini seperti kantor konselor
pada umumnya. Untuk sekarang keadaannya memang agak memprihatinkan. Kami harus
berhubungan dengan Dewan Kota untuk bisa berkantor di sini. Jadi, jangan ditanya birokrasi
berbelit apa saja yang sudah kami lalui. Saya berjanji, lain waktu kita bertemu lagi, Anda akan
dapati tempat duduk yang lebih baik. Tapi untuk sementara saya harap Anda tak keberatan.”

Mizuki menghempaskan tubuh ke sofa tua tipis tersebut dan mulai menjelaskan bagaimana ia
sering sekali melupa nama sendiri. Ibu Sakaki hanya mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya dan
tidak tampak terkejut. Ia bahkan hening, tanpa suara-suara yang menandakan bahwa ia
menyimak ucapan Mizuki. Ibu Sakaki hanya memperhatikan dalam diam sambil sesekali
mengerutkan kening seakan sedang memikirkan sesuatu. Raut wajahnya datar. Senyumnya
samar seperti bulan senja di musim semi, tak berubah.

“Menggravir nama Anda di gelang adalah ide bagus,” komentarnya setelah Mizuki
menyelesaikan cerita. “Aku kagum pada cara Anda menangani masalah. Hal pertama yang Anda
lakukan adalah menyelesaikannya secara praktis dan meminimalisir ketidaknyamanan. Memang
lebih baik mengantisipasinya dengan cara realistis daripada tersiksa oleh rasa bersalah, meratapi
nasib atau bingung tak berujung. Saya perhatikan, Anda cukup cerdas. Dan gelang itu cantik
sekali. Terlihat bagus di tangan Anda.”
“Menurut Anda melupa nama sendiri itu apa ada hubungannya dengan penyakit serius? Apa
pernah ada kasus seperti ini?” Mizuki bertanya.

“Saya rasa tidak ada penyakit yang gejala awalnya seperti yang Anda sebut,” sahut Ibu Sakaki.
“Namun saya agak khawatir karena keadaannya memburuk setahun ini. Ada kemungkinan gejala
awal ini akan mengarah pada gejala lainnya, atau hilangnya ingatan Anda akan meluas ke hal
lain. Jadi, kita harus membahasnya langkah demi langkah dan mencari akar masalahnya. Saya
bisa bayangkan. Karena Anda bekerja di luar rumah, melupakan nama sendiri pasti menimbulkan
banyak masalah.”

Ibu Sasaki mulai menanyakan hal-hal mendasar tentang kehidupan Mizuki saat ini. Sudah berapa
lama menikah? Apa pekerjaan Anda? Bagaimana kesehatan Anda? Ibu Sasaki kemudian beralih
ke pertanyaan-pertanyaan tentang masa kecil, keluarga, sekolah. Kegiatan yang ia suka, kegiatan
yang ia tidak suka. Berbagai hal yang ia kuasai, dan yang tidak ia kuasai. Mizuki mencoba
menjawab setiap pertanyaan sejujur mungkin, secepat mungkin, dan seakurat mungkin.

Mizuki dibesarkan dalam sebuah keluarga biasa dengan sepasang orangtua dan kakak
perempuan. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan asuransi besar, dan meskipun mereka tidak
sepenuhnya berkecukupan, ia tidak ingat kapan mereka benar-benar kesusahan. Ayah Mizuki
adalah seorang lelaki serius, sementara ibunya lembut dan sedikit rewel. Kakaknya selalu jadi
unggulan di sekolah, meskipun menurut Mizuki ia sedikit dangkal dan licik. Ia tak pernah
bermasalah dengan keluarga dan selama ini akur-akur saja. Mereka tidak pernah bertengkar
hebat. Mizuki sendiri adalah anak yang tidak menonjol. Ia selalu sehat, tidak pernah sakit, namun
bukan jenis anak yang atletis. Mizuki juga tidak terlalu cantik, dan tidak seorang pun yang
pernah memujinya cantik. Mizuki menganggap dirinya juga tidak pintar-pintar amat. Nilai-
nilainya sedang saja. Jika kau mencari namanya diantara daftar ujian, akan lebih cepat jika kau
mencari dari atas dan bukan dari bawah. Ia punya beberapa sahabat di masa sekolah, namun
mereka telah pindah ke daerah lain setelah menikah dan mereka sangat jarang sekali kontak.

Tak ada keluhan tentang kehidupan pernikahan. Awalnya, ia dan suami memang melakukan
beberapa kesalahan yang biasa dilakukan pasangan baru, namun mereka dapat mengatasinya
setelah beberapa waktu. Suaminya memang tidak sempurna, dilihat dari sudut mana pun
(ditambah sifatnya yang selalu argumentatif dan ketiadaan selera dalam berpakaian), namun ia
memiliki banyak sifat positif—baik, bertanggungjawab, bersih, tidak pilih-pilih makanan dan tak
pernah mengeluh. Ia tak pernah bermasalah dengan siapapun di tempat kerja, dan hubungannya
baik dengan rekan maupun atasan. Di tempat suami Mizuki bekerja ada beberapa kejadian tidak
menyenangkan, memang. Konsekuensi tak terhindarkan jika kau bekerja dan dekat dengan orang
yang sama tiap hari, namun ia tidak pernah merasa tertekan karenanya.

Ketika Mizuki menanggapi semua pertanyaan Ibu Sasaki, ia terkejut mendapati betapa hidupnya
terlalu biasa saja. Tak ada sedikit pun hal dramatis yang pernah menyentuhnya. Jika hidup adalah
film, maka Mizuki adalah jenis film dokumenter berbujet rendah yang akan membuatmu tertidur.
Isinya hanya bentangan tanpa akhir pemandangan alam sehabis hujan pada saujana. Tanpa
perubahan gambar, tanpa close up, tak ada yang menarik, hanya pengalaman datar tanpa ada
sesuatu pun yang membuatmu terperanjat atau larut di dalamnya. Tak ada ancaman, tak ada
apapun yang mencetuskan ide. Sekali waktu mungkin sudut kamera berubah sedikit, seperti
tesenggol dari kepuasannya. Mizuki paham bahwa tugas seorang konselor adalah mendengarkan
klien, dan ia merasa kasihan pada Ibu Sasaki yang harus mendengarkan cerita yang begitu
membosankan tentang hidup seseorang. Ia tak mungkin tahan selamanya tak menguap. Menurut
Mizuki, jika peran mereka ditukar dan Mizuki harus mendengar kisah hidupnya sendiri, ia pasti
akan mati bosan.

Namun Tetsuko Sasaki menyimak semua perkataan Mizuki sambil membuat catatan-catatan
ringkas. Ia akan bertanya dengan cepat sekali waktu dan menggunakan sebagian besar waktunya
untuk mendengar. Beberapa kali saat harus bicara, suaranya sama sekali tidak mengisyaratkan
kebosanan, namun malah kehangatan, menandakan kekhawatiran yang tulus. Mendengar suara
Ibu Sasaki yang lambat dengan hurup vokal dipanjangkan, anehnya, membuat Mizuki tenang.
Dan Mizuki baru sadar. Tak ada satu pun yang pernah mendengarkannya dengan sabar.
Pertemuan mereka yang sejam lebih sedikit itu akhirnya berakhir, dan Mizuki merasa beban
berat terangkat dari bahunya.

“Bu Ando, bisakah Anda datang lagi Rabu depan?” tanya Ibu Sasaki dengan senyum lebar di
wajahnya.
“Ya, tentu,” jawab Mizuki. “Anda tidak apa-apa jika saya datang lagi?”

“Tentu saja tidak. Selama tidak merepotkan Anda. Konseling harus melewati beberapa sesi
sebelum akhirnya kita melihat adanya kemajuan. Hal seperti ini tidak seperti konsultasi radio
dimana Anda dengan mudah menyimpulkan segala sesuatu dan berkata “Kau bisa bertahan!”
Sesi konsultasi seperti ini akan lama, tapi kita berdua kan seperti tetangga karena sama-sama
berasal dari Shinagawa. Jadi, mengapa kita tidak memanfaatkan waktu dan saling bekerjasama?”

“Saya penasaran. Apakah Anda pernah mengalami sesuatu yang ada hubungannya dengan
nama?” tanya Ibu Sasaki pada sesi kedua mereka. “Mungkin nama Anda, nama orang lain, nama
binatang peliharaan, nama tempat yang pernah Anda kunjungi, atau nama panggilan, mungkin?
Apapun yang ada kaitannya dengan nama. Jika Anda bisa mengingat apapun yang berhubungan
dengan nama, saya ingin mendengar.”

“Yang ada hubungannya dengan nama?”

“Nama, penamaan, tanda tangan, daftar gaji… Mungkin ada sesuatu yang penting asalkan ada
kaitannya dengan nama. Cobalah untuk mengingat-ingat.”

Untuk beberapa saat Mizuki berpikir.

“Rasanya saya tidak memiliki ingatan khusus tentang nama,” jawab Mizuki pada akhirnya. “Saat
ini tidak ada satu pun hal seperti itu yang saya ingat. Oh, tapi saya pernah mengalami sesuatu
dengan tanda pengenal.”

“Tanda pengenal? Bagus. Lanjutkan.”

“Tapi tanda pengenal itu bukan milik saya,” tukas Mizuki. “Itu tanda pengenal orang lain.”

“Tak masalah. Ayo, ceritakan,” ujar Ibu Sakaki.

“Seperti yang saya katakan minggu kemarin, saya bersekolah di sekolah swasta khusus
perempuan selama SMP dan SMA.” Mizuki mulai bercerita. “Saya berasal dari Nagoya dan
sekolah itu terletak di Yokohama. Saya tinggal di asrama dan pulang akhir pekan. Tiap Jumat
malam saya akan menumpang kereta Shinkansen dan kembali pada Minggu malam. Cuma dua
jam dari Nagoya. Jadi, saya tidak terlalu merasa kesepian.”

Ibu Sakaki mengangguk. “Bukannya di Nagoya juga banyak sekolah swasta khusus perempuan?
Mengapa Anda harus meninggalkan rumah dan pergi ke Yokohama?”

“Itu sekolah ibu saya dulu. Ia ingin salah satu putrinya juga sekolah di sana. Saya pikir, mungkin
tinggal terpisah dari orang tua adalah ide bagus. Sekolah itu dikelola misionaris namun lumayan
liberal. Saya punya beberapa sahabat di sana. Mereka semua hampir sama seperti saya. Dari
daerah berbeda dan ibu yang juga lulusan sana. Itu adalah enam tahun menyenangkan selama
bersekolah. Walau makanannya payah.”

Ibu Sakaki tersenyum. “Anda bilang Anda punya kakak perempuan?”

“Ya, benar. Dia dua tahun lebih tua dari saya.”

“Mengapa bukan dia yang bersekolah di sana?”

“Dia anak rumahan. Lagi pula kondisinya rapuh sejak kecil. Ia sekolah di dekat rumah dan
tinggal di rumah. Makanya, ibu kami meminta saya yang pergi. Saya selalu dalam kondisi sehat
dan lebih bisa mandiri ketimbang kakak. Ketika saya lulus SD dan orangtua saya meminta saya
bersekolah di Yokohama, saya langsung mengiyakan. Saya sudah bayangkan betapa
menyenangkan pergi dengan Shinkansen tiap akhir pekan.”

“Maaf, saya menginterupsi tadi,” tukas Ibu Sakaki sambil tersenyum. “Silahkan dilanjutkan.”

“Sebagian besar anak-anak harus berbagi kamar di asrama. Namun ketika mereka sudah senior
maka mereka akan menempati kamar sendiri. Saya tinggal di salah satu kamar, sendirian, saat
kejadian ini berlangsung. Karena saya sudah senior, mereka menunjuk saya menjadi perwakilan
siswa di asrama tersebut. Ada sebuah papan dengan cantelan di pintu masuk asrama untuk
menggantungkan tanda pengenal tiap siswa yang tinggal di sana. Bagian depan tanda pengenal
itu adalah nama siswa yang dicetak berlatar hitam, bagian belakangnya berwarna merah. Jika
siswa pergi dari kamar, dia harus membalikkan tanda pengenal yang digantung, dan
dikembalikan seperti semula jika sudah pulang. Jadi, jika nama orang tersebut tercetak hitam
berarti dia ada, dan jika warnanya merah, dia sedang keluar. Jika seorang siswa menginap di
suatu tempat atau berencana untuk pergi selama beberapa hari, tanda pengenalnya akan dicopot
sementara dari papan. Para siswa bergiliran menjaga meja resepsionis dekat papan. Jika ada
panggilan telepon untuk salah satu siswa, akan mudah bagi yang bertugas untuk melirik ke papan
dan menentukan apakah siswa tersebut ada atau tidak. Sistem yang memudahkan, memang.”

Ibu Sakaki menanggapi agar Mizuki terus bercerita.

“Dan ini terjadi di bulan Oktober, sebelum jam makan malam dan saya sedang berada di kamar,
mengerjakan PR, ketika salah seorang junior, Yuko Matsunaka, masuk. Ia adalah gadis tercantik
di seluruh asrama—kulit halus, rambut panjang, ayu, dan wajahnya seperti boneka. Orangtua
Yuko adalah pemilik sebuah penginapan bergaya Jepang di Kanazawa dan sangat terkenal. Kami
tidak pernah sekelas, tapi banyak yang bilang nilainya bagus-bagus. Dengan kata lain, ia selalu
menarik perhatian dari mana pun. Beberapa adik kelas terang-terangan memujanya. Namun
Yuko sangat ramah dan sama sekali tidak sombong. Ia gadis pendiam yang tidak terlalu
menunjukkan apa yang ia rasakan. Gadis yang baik, tapi terkadang saya tak mengerti jalan
pikirannya. Memang banyak adik kelas yang memujanya, tapi saya tidak yakin dia punya
teman.”

BERSAMBUNG.

Prosa karya Haruki Murakami berjudul A Shinagawa Monkey. Diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh Philip Gabriel. Naskah asli dalam bentuk pdf dapat diunduh di sini.

Monyet Shinagawa [II]
Posted on September 18, 2010 by Bitch, The

Mizuki menghadap meja belajar, mendengar radio di dalam kamar saat terdengar ketukan
lembut. Ketika pintu dibuka, Yuko Matsunaka berdiri di hadapannya, mengenakan kaos polo
ketat yang dikancing hingga leher dan celana jins. Aku ingin bicara denganmu, kata Yuko, jika
kau ada waktu. “Tentu,” jawab Mizuki, jelas-jelas terkejut. “Aku sedang senggang kok.” Mizuki
belum pernah sekali pun bicara berdua saja dengan Yuko. Ia juga tak pernah menyangka Yuko
akan datang ke kamarnya dan meminta pendapatnya tentang sesuatu. Mizuki memintanya duduk
dengan gerakan lembut kemudian membuat teh dari air panas dalam termos yang ada di kamar.

“Mizuki, kau pernah merasa cemburu?” tanya Yuko memulai percakapan.

Mizuki terkejut dengan pertanyaan mendadak ini, namun ia tetap serius mencari jawabannya.

“Tidak, kurasa tidak pernah,” jawabnya.

“Tidak sekali pun?”

Mizuki menggelengkan kepala. “Setidaknya jika kau bertanya mendadak seperti tadi, aku tidak
ingat sama sekali. Cemburu… Maksudmu yang seperti apa?”

“Misalnya ketika kau mencintai seseorang tapi dia mencintai orang lain. Saat kau menginginkan
sesuatu dengan amat sangat namun sulit kau miliki, orang lain dengan mudah mendapatkannya.
Atau ada yang ingin sekali kau lakukan tapi tak bisa dan orang lain dengan mudah
melakukannya… Hal-hal semacam itu.”

“Rasanya… tidak pernah,” ujar Mizuki. “Kau pernah?”

“Sering.”

Mizuki tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin seorang gadis seperti Yuko
menginginkan sesuatu yang lebih lagi? Ia cantik, kaya, nilai-nilainya bagus, dan populer.
Orangtuanya begitu sayang pada Yuko. Menurut gosip, Yuko berkencan dengan mahasiswa
tampan. Jadi, bagaimana mungkin ia menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang ia miliki
sekarang?

“Misalnya apa?”

“Aku tidak mau menjawab,” sahutnya, berhati-hati memilih kata. “Lagipula, itu tidak penting.
Aku hanya ingin bertanya satu hal tadi—apakah kau pernah merasa cemburu.”
“Sungguh?”

“Ya.”

Mizuki bingung menghadapi Yuko, namun ia berusaha menjawab sejujurnya. “Kurasa aku tidak
pernah mengalami hal seperti itu,” ujar Mizuki memulai penjelasannya. “Aku tidak mengerti,
kupikir-pikir memang agak aneh. Maksudku, bukan berarti aku memiliki percaya diri tinggi. Dan
aku juga tidak selalu mendapat apa yang kuinginkan. Seharusnya sih, ada banyak hal yang
membuatku frustasi, namun untuk alasan apapun, semua itu tidak dapat membuatku cemburu
terhadap orang lain. Itu membuatku heran.”

Yuko Matsunaka tersenyum samar. “Kurasa cemburu tidak ada hubungannya dengan kondisi
yang sesungguhnya. Bukan seperti “jika kau beruntung, kau tidak akan merasa cemburu; namun
jika kau tidak diberkahi dengan keberuntungan, maka kau akan merasa cemburu.” Tidak, bukan
seperti itu cara kerjanya cemburu. Cemburu itu seperti tumor yang diam-diam tumbuh dalam
tubuh, makin besar dan besar sampai tak terhingga. Bahkan jika kau tahu tumor itu ada di sana,
tak ada yang bisa kau lakukan untuk membuatnya berhenti tumbuh. Seperti kau bilang “orang
beruntung tidak mengidap tumor sementara mereka yang tidak bahagia akan lebih mudah
terjangkit”—tapi itu bohong, kan? Sebenarnya dua hal itu sama saja.”

Mizuki hanya mendengarkan tanpa berkata apa-apa. Seumur hidupnya, baru kali ini Yuko
banyak bicara dalam sekali waktu.

“Sulit menjelaskan apa itu cemburu pada seseorang yang tak pernah merasakannya. Satu hal
yang aku tahu adalah tidak mudah hidup dengan kecemburuan. Kau seakan memanggul neraka
kecilmu sendiri kemana-mana, setiap hari. Kau harusnya bersyukur tak pernah merasa seperti
itu.”

Yuko berhenti bicara dan memandang Mizuki dalam-dalam dan tatapannya itu membentuk
lengkungan samar di bibirnya. Anak ini memang cantik, begitu pikir Mizuki. Baju bagus, dada
indah. Bagaimana ya rasanya menjadi dia, menjadi perempuan yang bisa membuat jalanan macet
setiap ia melintas? Apakah ini sebuah berkah yang patut dibanggakan? Atau hanya menjadi
kutukan?
Terlepas dari apa yang dipikirkan, Mizuki tak pernah sekalipun iri pada Yuko.

“Aku akan pulang nanti,” ujar Yuko, memandangi tangannya yang terlipat di pangkuan. “Salah
satu kerabatku meninggal dunia dan aku harus menghadiri upacara pemakaman. Aku sudah
mendapat izin dari kepala asrama. Mungkin aku akan kembali Senin pagi. Sementara itu, apakah
aku boleh menitipkan tanda pengenalku padamu?”

Yuko menarik tanda pengenal dari saku dan menyerahkannya pada Mizuki—yang sama sekali
tidak mengerti apa maksudnya.

“Aku tak keberatan dititipi,” Mizuki berkomentar. “Tapi apakah tidak lebih baik jika kau
menyimpannya dalam laci? Mengapa harus repot-repot datang ke kamarku?”

Yuko menatap lebih dalam ke sepasang mata Mizuki dan membuatnya resah.

“Aku ingin kau menyimpannya sekali ini saja,” tukas Yuko terus-terang. “Ada sesuatu yang
membuatku terganggu dan aku tak ingin menyimpannya di kamarku.

“Aku tidak keberatan,” jawab Mizuki.

“Aku tak ingin tanda pengenalku dicuri monyet saat aku tak di sini,” sahut Yuko.

“Rasanya tidak ada monyet seekor pun di sekitar sini,” tukas Mizuki riang. Tidak, Yuko tidak
bergurau. Lalu Yuko meninggalkan kamar Mizuki, meninggalkan tanda pengenalnya, secangkir
teh tak tersentuh, serta kehampaan di tempat Yuko berada sebelumnya.

“Yuko belum juga kembali di hari Senin,” kata Mizuki melanjutkan cerita pada konselornya, Ibu
Sakaki. “Wali kelasnya khawatir lalu menghubungi orangtua Yuko. Ternyata gadis itu tak pernah
sampai rumah. Tak ada seorang pun kerabatnya berpulang, dan tak ada satu pun upacara
pemakaman yang harus didatangi. Yuko berbohong tentang semuanya lalu menghilang. Mereka
menemukan mayatnya seminggu kemudian, di akhir pekan. Aku mendengar beritanya sekembali
dari pulang mingguan di Nagoya. Ia bunuh diri di sebuah hutan dengan mengiris nadi. Yuko
telah wafat ketika mereka menemukannya berkubang darah sendiri. Tak ada yang tahu mengapa
ia melakukan itu. Ia tidak meninggalkan surat perpisahan, dan tidak jelas motifnya apa. Teman
sekamarnya bilang Yuko tidak berlaku aneh-aneh sebelum ia pergi. Semuanya seperti biasa, dan
ia tidak terlihat resah atau terganggu karena sesuatu. Yuko bunuh diri tanpa mengatakan apapun
pada siapapun.”

“Namun bukankah Nona Matsunaka ini mencoba mengatakan sesuatu kepada Anda?” tanya Ibu
Sakaki. “Itu sebabnya ia mendatangi Anda dan meninggalkan tanda pengenalnya. Dan bicara
tentang cemburu.”

“Memang benar dia membicarakan bagaimana cemburu itu dengan saya. Tapi saya tak begitu
paham maksudnya saat itu, walaupun kemudian saya baru sadar pasti ada yang ingin
disampaikan sebelum ia tiada.”

“Apakah Anda pernah bicara pada orang lain tentang Yuko yang mendadak datang pada Anda
sebelum meninggal?”

“Tidak. Tidak pernah.”

“Mengapa?”

Mizuki menelengkan kepala. Dari wajahnya ia terlihat sedang berpikir keras. “Jika saya
menceritakan hal ini pada orang lain, mereka akan mulai berpikir ada yang salah dengan saya.
Gadis seperti Yuko tak punya alasan untuk merasa iri. Semua orang pasti akan bingung, lalu
mereka akan berpikir macam-macam. Jadi, lebih baik saya tutup mulut. Anda dapat bayangkan
bagaimana suasana di asrama perempuan—jika saya mengucapkan satu kata saja, maka itu
seperti menyalakan korek dalam ruangan berisi gas.”

“Apa yang terjadi dengan tanda pengenal tersebut?”

“Saya masih memilikinya. Di dalam kotak, di tumpukan barang-barang lain dalam lemari,
bersama tanda pengenal milik saya sendiri.”

“Mengapa Anda masih menyimpannya?”


“Di sekolah terjadi kekacauan setelah itu, dan saya tidak punya kesempatan mengembalikan
tanda pengenal Yuko ke tempatnya. Semakin lama saya menunggu, semakin sulit bagi saya
untuk menaruh tanda pengenal itu ke tempatnya semula. Namun saya juga tidak bisa
membuangnya begitu saja. Lagipula, mungkin Yuko ingin saya menyimpannya. Karena itulah ia
datang ke kamar saya sebelum bunuh diri dan meninggalkannya pada saya. Mengapa ia memilih
saya, saya juga tidak tahu.”

“Agak aneh. Anda dan Yuko tidak begitu dekat, kan?”

“Jika Anda tinggal di sebuah asrama kecil, wajar sekali jika Anda akhirnya mengenal siapa
teman-teman Anda,” kata Mizuki. “Kadang kami ngobrol sedikit. Tapi saya dan Yuko beda
angkatan dan belum pernah bicara secara pribadi sampai saat itu. Mungkin alasannya menemui
saya karena saya adalah perwakilan siswa di asrama. Mengapa ia memilih saya, saya juga tak
mengerti.”

“Mungkin Yuko tertarik pada Anda karena alasan lain. Mungkin ada sesuatu di diri Anda yang
membuatnya mendekati Anda.”

“Kalau itu… Saya tidak tahu juga.”

Ibu Sakaki terdiam menatap Mizuki lama-lama, seolah ingin memastikan sesuatu.

“Setelah semua yang terjadi, Anda tidak pernah merasa cemburu? Tidak sekali pun di hidup
Anda?”

Mizuki tidak langsung menjawab. “Sepertinya tidak. Tidak pernah sedikitpun.”

“Jadi, Anda tak bisa memahami apa itu cemburu?”

“Secara umum saya rasa saya paham—setidaknya apa yang menyebabkan perasaan cemburu.
Tapi saya tidak mengerti bagaimana rasanya. Bagaimana kecemburuan itu begitu menguasai,
sampai berapa lama, dan bagaimana menderitanya mereka yang mengalami.”
“Anda benar,” tukas Ibu Sakaki. “Ada beberapa tahapan dalam rasa cemburu, sebagaimana
semua emosi dan perasaan manusia. Jika tidak terlalu serius, mereka menyebutnya resah atau iri.
Mungkin intensitasnya berbeda, namun sebagian besar orang merasakan emosi-emosi tersebut
meskipun sedikit. Misalnya, jika salah seorang rekan kerja mendapat promosi terlebih dahulu,
atau salah satu teman di kelas menjadi kesayangan guru. Atau ada tetangga yang menang lotere.
Semua itu hanya rasa iri. Kelihatannya tidak adil, dan Anda jadi sedikit marah. Reaksi ini alami
sekali. Anda yakin tak pernah merasakannya? Anda tak pernah merasa iri pada siapapun?”

Mizuki berpikir sejenak. “Sepertinya tidak. Memang banyak orang yang lebih beruntung
daripada saya. Tapi itu bukan berarti saya harus iri dengan mereka. Saya sadar hidup orang
punya jalannya sendiri-sendiri.”

“Karena hidup tiap orang berbeda, maka Anda sulit membandingkannya?”

“Sepertinya begitu.”

“Sudut pandang yang menarik…” ujar Ibu Sakaki. Tangannya saling menggenggam di atas meja
dan suaranya yang santai menyiratkan sedikit perasaan senang. “Ngomong-ngomong, ini hanya
kasus ringan: iri, seperti yang sudah kita ketahui. Jika ada hubungannya dengan kecemburuan
menghebat, semua tidak akan sederhana lagi. Kecemburuan seperti parasit yang menghunjamkan
akarnya ke hati Anda. Dan seperti yang dikatakan teman Anda, kecemburuan itu menjadi kanker
yang menggerogoti jiwa. Dalam beberapa kasus, perasaan cemburu itu bahkan dapat
menimbulkan kematian. Mereka tidak bisa mengendalikannya, dan kehidupan menjadi neraka
bagi mereka.”

Sesampai Mizuki di rumah, ia mengambil kotak karton terbungkus pita dari dalam lemari. Ia
menaruh tanda pengenal Yuko di dalamnya, beserta tanda pengenalnya sendiri yang ia masukkan
ke dalam amplop. Harusnya benda-benda itu masih ada di sana. Semua pernak-pernik kenang-
kenangan dalam hidup Mizuki berjejalan dalam kardus itu—surat-surat lama ketika ia masih
SMA, buku harian, album foto, rapor. Sudah sejak lama ia ingin membuangnya, namun Mizuki
terlalu sibuk. Jadi, ia membawanya ke mana pun ia pindah. Namun amplop itu tidak ada di situ
dan di manapun. Ia tumpahkan isi kotak dan disortirnya satu per satu, namun tak juga
ditemukannya. Mizuki heran. Pertama kali ia pindah ke apartemen, ia telah mengecek isi kotak
dan ingat betul telah melihat amplopnya, dan tidak membuka-buka kotak tersebut sampai saat
ini. Jadi, harusnya amplop masih ada. Kemana amplop itu menghilang?

Sejak Mizuki rutin mengunjungi pusat konseling yang disponsori kawasan perkantorannya
seminggu sekali dan bicara dengan Ibu Sakaki, ia tidak terlalu khawatir tentang melupakan
nama. Ia memang masih sering melupa seperti sebelumnya, namun gejalanya sudah stabil
sekarang, dan tak ada lagi yang diam-diam menghilang dari ingatannya. Sejak ia mengenakan
gelang, tak ada lagi saat-saat memalukan. Mizuki bahkan kerap merasa bahwa melupakan nama
adalah hal yang alami.

Mizuki merahasiakan sesi konsultasinya dari sang suami. Ia tidak bermaksud


menyembunyikannya juga, namun ia merasa akan lebih menyulitkan untuk menjelaskan
semuanya alih-alih mendatangkan manfaat bagi mereka. Mizuki tahu benar sifat suaminya, dan
ia pasti menuntut penjelasan secara terperinci. Lagipula, melupakan namanya sendiri dan
menemui jasa konseling sekali seminggu tidak mengganggu si suami sama sekali. Karena
biayanya sangat sedikit.

Dua bulan berlalu. Tiap Rabu Mizuki pergi mengunjungi kantor di lantai tiga untuk sesi
konselingnya. Jumlah klien telah bertambah dan mereka harus mematuhi jadwal pertemuan yang
berdurasi tiga puluh menit itu. Waktu yang berkurang tidak begitu merepotkan mereka berdua
karena mereka telah berada dalam frekuensi yang sama dan dapat memanfaatkan waktu yang
sedikit sebaik-baiknya. Terkadang Mizuki ingin mereka bicara lebih lama. Namun dengan biaya
yang amat sangat rendah, ia tidak dapat meminta lebih.

“Ini sesi kita yang ke sembilan,” ujar Ibu Sakaki, lima menit sebelum waktu mereka berakhir.
“Anda tidak lebih sering melupakan nama dan kejadian ini tidak semakin buruk, kan?”

“Tidak,” jawab Mizuki. “Gejalanya sudah tetap sekarang.”


“Baguslah kalau begitu,” tukas Ibu Sakaki. Ia menutup pulpen, menaruhnya kembali ke dalam
saku, lalu menangkupkan tangan di atas meja. Ia berhenti sejenak. “Mungkin—ini baru mungkin
lho, ya—jika Anda kembali ke sini minggu depan, kita akan membuat kemajuan dalam
pembahasan beberapa minggu ini.”

“Maksud Anda tentang bagaimana saya melupakan nama sendiri?”

“Tepat. Jika semua berjalan lancar, kita akan dapat menentukan penyebab definitif dan mungkin
saya dapat menunjukkannya pada Anda.”

“Alasan mengapa saya melupakan nama sendiri?”

“Tentu.”

Mizuki tidak begitu dapat mencerna apa yang dikatakan Ibu Sakaki. “Anda mengatakan
‘penyebab definitif’, apakah itu berarti… sesuatu yang kasat mata?”

“Tentu saja, dan Anda dapat melihatnya,” jawab Ibu Sakaki sambil menggosok-gosok tangan
tanda puas. “Ini sesuatu yang dapat Anda letakkan di meja sambil berkata “Ini, lho!” Saya tak
bisa mengatakannya secara terperinci hingga minggu depan. Pada titik ini, saya tidak begitu
yakin apakah semua akan berjalan secara semestinya atau tidak. Saya harap bisa lancar. Dan jika
harapan saya terkabul, jangan khawatir. Saya akan jelaskan semuanya pada Anda.”

Mizuki mengangguk.

“Yang ingin saya katakan adalah, kita telah berputar-putar membicarakan hal ini, namun
akhirnya kita melihat satu titik terang. Anda tahu kan, pepatah lama, tentang hidup itu terkadang
mundur dua langkah untuk maju tiga langkah? Jadi, jangan khawatir. Percayalah pada Sakaki tua
ini. Sampai jumpa minggu depan kalau begitu. Dan jangan lupa untuk membuat janji temu di
resepsionis depan.”

Ibu Sakaki menegaskan sambil mengedipkan sebelah mata dan tersenyum.

*
Pukul satu siang pada minggu berikutnya, ketika Mizuki masuk ke ruang konseling, Ibu Sakaki
duduk di belakang meja dengan senyum paling lebar yang pernah dilihat Mizuki.

“Sepertinya saya sudah menemukan alasan mengapa Anda bisa lupa nama sendiri,” katanya,
mengumumkan dengan bangga. “Dan kami telah menemukan solusinya.”

“Jadi, nanti saya tidak akan lupa lagi?” tanya Mizuki.

“Tepat sekali. Anda tidak akan lagi melupakan nama sendiri. Kami telah menemukan
masalahnya dan berhasil mengatasinya.”

“Apa akar masalahnya kalau begitu?” tanya Mizuki ragu-ragu.

Dari dalam tas enamel berwarna hitam di sampingnya, Ibu Sakaki mengambil sesuatu dan
meletakkannya di atas meja.

“Saya rasa ini milik Anda.”

Mizuki bangkit dari sofa tempatnya duduk berjalan menuju meja. Di atas meja tersebut terdapat
dua tanda pengenal. Salah satunya bertuliskan ‘Mizuki Ozawa’ sementara yang lain ‘Yuko
Matsunaka’. Wajah Mizuki mendadak pucat. Ia menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa,
sejenak tak bisa berkata-kata. Kedua tangannya menutupi mulut, seolah menahan agar kata-kata
tidak berhamburan keluar.

“Saya tidak heran jika Anda sangat terkejut,” ujar Ibu Sakaki. “Tapi jangan khawatir. Saya akan
jelaskan semuanya. Santai saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Tapi bagaimana Anda—?” Mizuki bertanya, kebingungan.

“Bagaimana saya mendapatkan tanda pengenal Anda di masa sekolah?”

“Ya. Saya tidak—”

“Anda tidak mengerti?”


Mizuki mengangguk.

“Saya menemukannya untuk Anda,” ujar Ibu Sakaki. “Tanda pengenal tersebut dicuri, karena
itulah Anda kesulitan mengingat nama sendiri. Jadi, kami harus mencari dan menemukan tanda
pengenal itu agar Anda tidak lupa lagi.”

“Tapi siapa yang—”

“Siapa yang masuk ke dalam rumah dan mencuri kedua tanda pengenal ini? Dan untuk tujuan
apa?” ujar Ibu Sakaki. “Daripada saya yang menjawab, akan lebih baik jika Anda mendengar
sendiri dari pelakunya.”

“Pelakunya ada di sini?” tanya Mizuki, masih terkejut.

“Tentu saja. Kami menangkapnya dan merebut kembali kedua tanda pengenal tersebut. Saya
tidak mencokoknya sendiri, tentu. Semua dilakukan oleh suami saya dan salah satu anak
buahnya. Anda ingat kan, saya pernah cerita bahwa suami saya bekerja sebagai Kepala Seksi
Kantor Pekerjaan Umum Shinagawa?”

Mizuki mengangguk tanpa berpikir.

“Jadi, bagaimana kalau kita pergi sekarang dan bertemu si pencuri? Anda bisa mengomelinya
langsung jika sudah bertemu muka.”

Mizuki membuntuti Ibu Sakaki keluar kantor konseling, berjalan di sepanjang lorong lalu
bebelok ke lift. Mereka turun di basement, menyusuri koridor panjang dan sepi dan berhenti di
ujung, di depan sebuah pintu. Ibu Sakaki mengetuk. Terdengar suara lelaki memintanya masuk
sebelum Ibu Sakaki membuka pintu.

Di dalam ruangan tersebut ada seorang pria tinggi dan kurus berusia limapuluhan dan lelaki lain
bertubuh lebih besar berusia awal duapuluhan. Mereka mengenakan baju kerja warna krem
muda. Lelaki yang lebih tua mengenakan tanda pengenal bertuliskan ‘Sakaki’, sementara satunya
‘Sakurada’ dengan tongkat pemukul di tangannya.
“Anda pasti Ibu Mizuki Ando, ya?” tanya Pak Sakaki. “Saya Yoshio Sakaki, suami Tetsuko.
Saya kepala seksi Kantor Pekerjaan Umum di sini. Dan ini Sakurada, rekan kerja saya.”

“Senang bertemu Anda,” sahut Mizuki.

“Apa si penjahat itu merepotkanmu?” tanya Bu Mizuki pada suaminya.

“Tidak. Dia seperti sedang merenungkan situasi ini, kurasa,” jawabnya. “Sakurada ini yang
mengawasi sepanjang pagi, dan tampaknya dia tidak menyulitkan sama sekali.”

“Dia tenang kok,” Sakurada menanggapi, seperti kecewa. “Sekali saja dia berulah, saya akan
memberinya pelajaran. Sayangnya tidak.”

“Sakurada ini kapten tim karate di Universitas Meiji dan orangnya sangat tangkas,” tukas Pak
Sakaki.

“Jadi—siapa yang masuk ke rumah saya dan mencuri tanda pengenal itu?” Mizuki bertanya.

“Wah, kalau begitu, mari kita perkenalkan Ibu Mizuki padanya,” sahut Ibu Sakaki.

Ada pintu lain di ruang belakang. Sakurada membuka pintu dan menyalakan lampu. Ia menyapu
ruangan dengan tatapannya sebelum menoleh ke orang-orang di belakangnya. “Sepertiya aman.
Ayo masuk.”

Pak Sakaki masuk terlebih dahulu, diikuti istrinya kemudian Mizuki mengekor di belakang.

Ruangan itu seperti gudang. Tak ada perabotan, hanya sebuah kursi tempat seekor monyet
duduk. Untuk ukuran monyet, dia tak bisa dibilang normal—lebih kecil dari ukuran manusia
dewasa namun lebih besar dari anak usia sekolah. Rambutnya lebih panjang dari rambut monyet
pada umumnya dan berbintik abu-abu. Sulit menebak umurnya, tapi bisa dipastikan ia tidak lagi
muda. Tangan dan kaki si monyet terikat erat ke kursi kayu. Ekornya terjuntai hingga lantai. Saat
Mizuki memasuki ruangan, monyet itu melirik sejenak ke arahnya lalu kembali terpekur.

“Seekor monyet?” Mizuki bertanya, kaget.


“Benar,” jawab Ibu Sakaki. “Seekor monyet lah yang mencuri tanda pengenal dari dalam
rumahmu.”

Aku tak ingin tanda pengenalku dicuri monyet saat aku tak di sini, kata Yuko dulu. Jadi, apa
yang dikatakannya sama sekali bukan lelucon konyol. Yuko tahu itu. Mendadak, Mizuki merasa
hawa dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya.

“Tapi bagaimana Anda—?”

“Bagaimana saya tahu semua ini? Kan saya sudah bilang pertama kali kita bertemu, saya
profesional. Praktisi berlisensi dengan banyak pengalaman. Jangan menilai orang dari luarnya.
Jangan dikira jasa konseling di kantor kecil dengan bayaran sangat murah kurang terampil
ketimbang yang berada di kantor-kantor megah.”

“Tidak, bukan itu. Saya hanya terkejut, dan saya—”

“Ah, saya kan cuma bercanda!” Ibu Sakaki tertawa. “Sejujurnya, saya tahu saya memang sedikit
aneh. Karena itulah organisasi psikologi, akademia dan saya tidak pernah sejalan. Saya memilih
jalan sendiri di tempat seperti ini. Karena, seperti yang Anda lihat sendiri, cara saya melakukan
sesuatu memang sangat tidak ortodoks.”

“Namun efektif,” timpal suaminya.

“Jadi… Monyet ini mencuri tanda pengenal?” tanya Mizuki.

“Ya. Dia menyusup ke dalam rumah Anda dan mencuri tanda pengenal dari dalam lemari.
Waktunya kira-kira berbarengan dengan ketika Anda mulai melupakan nama. Setahun lalu,
bukan?”

“Ya, kira-kita begitu.”

“Aku minta maaf,” ujar si monyet, angkat bicara untuk pertama kalinya. Suaranya rendah namun
bersemangat, hampir berirama seperti musik.

“Dia bisa bicara!” teriak Mizuki, kaget.


“Ya, memang,” sahut si monyet dengan ekspresi datar tak berubah. “Ada hal lain lagi yang
membuatku harus minta maaf. Ketika aku menyusup ke rumahmu untuk mencuri tanda pengenal
itu, aku mencuri pisang. Tadinya aku tak berniat mengambil apapun kecuali tanda pengenal
tersebut, tapi aku lapar sekali waktu itu. Dan meskipun aku tahu itu tidak pantas, aku tak dapat
menahan diri untuk tidak mengambil dua buah pisang di atas meja. Pisang-pisang itu terlalu
menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja.”

“Punya nyali juga bangsat ini,” tukas Pak Sakurada sambil memukul-mukulkan tongkat ke
telapak tangannya. “Siapa yang tahu barang-barang apa lagi yang telah dia curi? Anda ingin saya
memerah informasi darinya?”

“Tenang. Toh dia mengaku sendiri telah mencuri pisang,” ujar Pak Sakaki. “Lagipula, dia bukan
jenis mahluk brutal. Jangan lakukan apapun yang mengejutkan sampai kita mendengar sendiri
beberapa fakta lainnya. Jika sampai orang-orang tahu kita memperlakukan binatang secara
semena-mena dalam kantor kawasan, kita akan mendapat masalah besar.”

“Mengapa kau curi tanda pengenalku?” tanya Mizuki pada monyet tersebut.

“Karena memang begitulah sifatku. Aku monyet yang mengambil nama orang,” sahut si monyet.
“Itu semacam penyakit yang kuderita. Kalau aku menyukai satu nama, aku tidak bisa menahan
diri. Tapi bukan sembarang nama. Jika kulihat nama yang menarik, nama seseorang, aku harus
memilikinya. Diam-diam aku akan menyusup ke dalam rumah dan mencuri nama tersebut. Aku
tahu itu salah. Tapi aku tidak bisa mengendalikan diri.”

“Apakah kau juga yang berusaha mendobrak masuk ke dalam asrama dan mencuri tanda
pengenal Yuko?”

“Benar. Aku jatuh cinta setengah mati pada Nona Matsunaka. Belum pernah aku tertarik pada
siapapun sebelumnya. Namun aku tidak bisa memilikinya. Aku merasa remuk redam sebagai
seekor monyet, karena aku tidak bisa berbuat apapun. Jadi, kuputuskan, apapun yang terjadi,
setidaknya aku harus bisa memiliki namanya. Jika saja aku bisa membuat namanya jadi milikku,
aku akan puas. Apa lagi yang bisa dilakukan seekor monyet? Tapi sebelum aku bisa menjalankan
niatku, Yuko keburu tiada.”
“Apa kau ada hubungannya dengan kejadian bunuh dirinya?”

“Tidak.” Si monyet menggeleng pelan, berempati. “Aku sama sekali tidak terlibat dengan
peristiwa itu. Yuko dikuasai oleh kegelapan dari dalam dirinya dan tidak ada seorang pun yang
bisa menyelamatkannya.”

“Tapi setelah bertahun-tahun, bagaimana kau tahu tanda pengenal Yuko ada di apartemenku?”

“Butuh waktu yang tidak sebentar, memang, untuk mencari jejaknya. Segera setelah Nona
Matsunaka wafat, aku mencoba mengambil tanda pengenalnya, tapi ternyata hilang. Aku mati-
matian mencarinya, namun betapapun kerasnya aku mencari, tak dapat juga kutemukan. Tak
terpikir olehku bahwa Nona Matsunaka menitipkannya padamu karena kalian tidak begitu
dekat.”

“Itu benar,” jawab Mizuki.

“Namun suatu hari aku seperti mendapat inspirasi bahwa mungkin—hanya mungkin—ia
menitipkan tanda pengenalnya padamu. Itu musim semi tahun lalu. Sangat lama mencari jejakmu
—akhirnya aku tahu kau sudah menikah, namamu menjadi Mizuki Ando, dan kau tinggal di
apartemen daerah Shinagawa. Menjadi monyet memperlambat penyelidikan, seperti yang bisa
kau bayangkan. Singkatnya, aku temukan alamatmu, menyusup ke apartemenmu, kemudian
mencurinya.”

“Tapi kenapa kau curi juga tanda pengenalku? Mengapa bukan milik Yuko saja? Aku sangat
menderita akibat perbuatanmu. Aku tidak bisa mengingat namaku sendiri!”

“Aku menyesal dan karena itu aku minta maaf,” sahut si monyet. Kepalanya tertunduk menahan
malu. “Jika aku melihat nama yang kusuka, aku harus merebutnya. Ini agak memalukan
sebenarnya, tapi namamu menyentuh hatiku. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya,
hasratku ini seperti penyakit. Aku tidak bisa mengendalikannya. Aku tahu ini salah, tapi aku
tetap melakukannya. Aku amat sangat menyesal dan memohon maaf untuk semua kesulitan yang
timbul akibat tindakanku.”
“Monyet ini bersembunyi di saluran pembuangan Shinagawa,” tukas Ibu Sakaki. Jadi, saya minta
suami untuk menangkapnya bersama beberapa rekan kerja. Semua berjalan lancar, karena suami
saya memang kepala seksi Kantor Pekerjaan Umum dan mereka yang bertanggungjawab
terhadap saluran pembuangan.”

“Sakurada muda ini yang mengerjakan hampir semuanya,” sahut Pak Sakaki.

“Kantor Pekerjaan Umum harus selalu sigap jika ada mahluk meragukan seperti ini bersembunyi
di saluran pembuangan,” sahut Sakurada bangga. “Monyet ini sepertinya punya tempat
persembunyian di bawah Takanawa yang dia gunakan sebagai markas operasi ke seluruh
Tokyo.”

“Di kota, tak ada tempat bagi kami bertahan hidup,” sahut si monyet. “Tak banyak pepohonan
dan tempat teduh di siang hari. Jika kami berjalan-jalan, orang-orang kota akan berkerumun dan
berusaha menangkap kami. Anak-anak melempari kami dengan batu atau menembak kami
dengan pistol-pistolan. Anjing-anjing besar mengejar kami. Jika kami tidur di pepohonan, kru
televisi akan menyorot kami dengan lampu besar menyilaukan. Kami tak pernah istirahat,
karenanya kami harus sembunyi di bawah tanah. Tolong, maafkan aku.”

“Tapi bagaimana caranya Anda bisa tahu ada monyet yang bersembunyi di tempat
pembuangan?” tanya Mizuki ke Ibu Sakaki.

“Sebagaimana yang telah kita bicarakan selama dua bulan ini, banyak hal yang sedikit demi
sedikit menjadi jelas, seperti kabut yang menghilang,” jawab Ibu Sakaki. “Akhirnya saya sadar,
mungkin ada sesuatu yang memang suka mencuri nama. Dan apapun itu, dia pasti sembunyi di
bawah tanah di sekitar sini. Dan jika kita bicara “daerah bawah tanah perkotaan”, itu akan
memperkecil kemungkinan—antara kereta bawah tanah atau saluran pembuangan. Jadi, saya
bilang ke suami. Sepertinya ada mahluk bukan manusia bersembunyi di saluran pembuangan dan
memintanya untuk mencari mahluk tersebut. Dan betul saja, mereka akhirnya berhasil
menangkap monyet ini.”

Sesaat Mizuki tak bisa berkata apa-apa. “Tapi—Bagaimana mungkin, Anda hanya
mendengarkan cerita saya tapi Anda bisa berpikir seperti itu?”
“Mungkin bukan kapasitas saya, sebagai suaminya, untuk bicara,” tukas Pak Sakaki, menatap
serius. “Istri saya adalah orang istimewa dengan kemampuan tidak biasa. Selama dua puluh dua
tahun kami menikah, saya sering menyaksikan berbagai kejadian aneh. Makanya saya berusaha
keras membuka pusat konseling di kantor kawasan sini. Saya langsung tahu, selama ia memiliki
tempat sendiri dan mempergunakan kekuatannya untuk kebaikan, penduduk Shinagawa akan
mendapat manfaatnya dari situ. Dan saya benar-benar senang kita dapat memecahkan misteri ini.
Saya akui, saya sangat lega.”

“Apa yang akan Anda lakukan dengan monyet ini,” tanya Mizuki.

“Kami tak bisa membiarkannya hidup,” ujar Sakurada dengan santai. “Dengan dalih dan janji
apapun, jika kebiasaannya memang seburuk ini, dia pasti akan kembali melakukannya. Itu sudah
pasti. Lebih baik kita binasakan dia. Itu yang terbaik. Suntik mati saja, selesai.”

“Tidak,” tukas Bu Sakaki. “Apapun alasan kita, jika para aktivis kemanusiaan sampai tahu kita
membunuh seekor monyet, mereka akan menuntut dan membuat kita kewalahan. Ingat kan,
waktu kita menembaki gagak dan bagaimana kerasnya reaksi mereka? Saya tidak ingin
mengulanginya.”

“Aku mohon, jangan bunuh aku,” ujar si monyet dengan kepala makin tertunduk. “Yang
kulakukan memang salah, dan aku sangat mengerti itu. Aku menyebabkan banyak kesulitan
untuk manusia. Aku tidak bermaksud membantah hal itu, namun ada hal baik yang terjadi karena
tindakanku.”

“Apa hal baik yang mungkin terjadi dari tindakan mencuri nama orang? Jelaskan!” Pak Sakaki
bertanya dengan suara tajam.

“Aku memang mencuri nama, dan kalian sudah tahu itu. Namun saat aku melakukannya, aku
juga menghilangkan elemen negatif yang melekat pada nama-nama yang kucuri. Aku tidak
bermaksud membual, tapi jika nama Yuko Matsunaka berhasil kucuri sebelumnya, dia mungkin
tidak akan bunuh diri.”

“Apa maksudmu?”
“Jika aku berhasil mencuri namanya, aku mungkin mengambil kegelapan yang tersembunyi di
dalam dirinya,” sahut si monyet. “Aku ambil kegelapannya, bersama namanya yang kucuri,
kembali ke dunia bawah tanah.”

“Terlalu berbunga-bunga. Aku tidak percaya,” tukas Sakurada. “Hidup monyet ini ada di ujung
tanduk. Dia akan menggunakan taktik selicik apapun untuk menyelamatkan lehernya.”

“Mungkin tidak,” sanggah Ibu Sakaki setelah berpikir beberapa lama. Tangannya bersedekap di
dada. “Mungkin monyet ini ada benarnya.” Tatapannya berbalik ke si monyet. “Jadi, ketika kau
mencuri nama orang, kau mengambil sifat baik dan buruk mereka?”

“Benar,” ujar si monyet. “Aku tidak punya pilihan lain. Jika ada hal-hal jahat dalam nama
tersebut, kami, para monyet, tak punya pilihan kecuali menerima semuanya dalam satu paket
sebagaimana mestinya. Aku mohon, jangan bunuh aku. Aku memang monyet dengan kebiasaan
sangat jelek, aku tahu, tapi dengan itu jasaku juga berguna.”

“Jadi… Kira-kira hal buruk apa yang terdapat dalam namaku?” tanya Mizuki ke si monyet.

“Akan lebih baik jika aku tidak mengatakannya,” jawab si monyet.

“Tolong, katakan padaku,” Mizuki memaksa. “Jika kau mengatakannya, aku akan
mengampunimu. Dan aku akan meminta orang-orang yang ada di sini untuk berbuat hal yang
sama.”

“Kau bersungguh-sungguh?”

“Jika monyet ini mengatakan yang sebenarnya, maukah kalian mengampuninya?” Mizuki
bertanya ke Pak Sakaki. “Dia sebenarnya tidak jahat. Dia menderita, jadi, dengarlah apa yang dia
katakan lalu Anda bisa membawanya ke Gunung Takao atau kemana pun dan melepaskannya.
Saya rasa dia tidak akan mengganggu kita lagi. Bagaimana?”

“Saya tidak keberatan jika Anda memintanya,” ujar Pak Sakaki. Ia beralih ke si monyet.
“Bagaimana? Bisakah kau berjanji jika kami melepasmu di gunung kau tidak akan kembali ke
wilayah Tokyo lagi?”
“Ya, Pak. Saya berjanji tidak akan kembali lagi,” sahut si monyet dengan raut wajah pasrah.
“Aku tidak akan merepotkan kalian lagi. Aku tidak akan keluyuran di saluran pembuangan lagi.
Aku sudah bisa dibilang tua, jadi, sepertinya ini kesempatan yang baik untuk memulai hidup dari
awal.”

“Untuk memastikan, sepertinya kita harus mencap punggungnya dengan besi panas agar kita bisa
mengenalinya,” kata Sakurada. “Sepertinya kita punya besi dengan cap bertuliskan Kawasan
Shinagawa.”

“Tolong, aku mohon dengan sangat, jangan lakukan itu!” Si monyet memohon, ketakutan.
Matanya berair. “Jika Anda memberi cap aneh pada punggung saya, monyet-monyet lain tidak
akan mau menerima saya lagi. Saya akan katakan apapun yang kalian semua ingin tahu, tapi
tolong, jangan cap saya!”

“Kalau begitu, kita lupakan dulu capnya,” tukas Pak Sakaki, berusaha meluruskan. “Jika kita
harus menggunakan penanda Kawasan Shinagawa, maka kita yang harus bertanggungjawab
nanti.”

“Anda benar,” sahut Sakurada. Suaranya bernada kecewa.

“Baiklah. Sekarang katakan padaku, hal jahat seperti apa yang melekat di namaku?” Mizuki
bertanya sambil menantap langsung ke sepasang mata si monyet yang kecil dan merah.

“Jika kukatakan padamu, aku takut kau terluka.”

“Aku tak peduli. Ayo.”

Si monyet berpikir beberapa saat. Dahinya berkerut membuat lekukan dalam. “Kurasa akan lebih
baik jika kau tidak mendengarnya.”

“Sudah kubilang tidak apa-apa. Aku sungguh-sungguh ingin tahu.”

“Baiklah,” sahut si monyet, akhirnya. “Kalau begitu, akan kukatakan. Ibumu tidak mencintaimu.
Tak pernah sekalipun dia mencintaimu, bahkan ketika kau masih kecil. Aku tak tahu mengapa,
tapi begitulah adanya. Kakakmu juga sama. Dia tidak pernah suka padamu. Ibumu
menyekolahkanmu ke Yokohama karena dia ingin mengenyahkanmu. Ibu dan kakakmu ingin
membuangmu sejauh mungkin. Ayahmu memang bukan orang yang jahat, namun dia bukan
orang yang bisa memaksa, dan dia tidak pernah membelamu. Dengan alasan-alasan inilah kau
tidak pernah merasakan cinta sejak kecil. Kurasa kau sudah bisa menghubung-hubungkan semua
itu sedari awal, namun kau cenderung membuang muka. Kau simpan kenyataan menyakitkan itu
dalam-dalam di tempat paling gelap dan paling tersembunyi di hatimu lalu kau tutup rapat-rapat,
berusaha tidak memikirkannya sama sekali. Kau berusaha menekan perasaan negatif, apapun itu.
Sikap defensif ini telah menjadi bagian dari dirimu. Dan karena itulah kau tidak mampu
mencintai orang lain habis-habisan tanpa syarat.”

Mizuki membisu.

“Kehidupan pernikahanmu sepertinya bahagia dan jauh dari masalah. Mungkin memang begitu
adanya. Tapi kau tak pernah benar-benar mencintai suamimu. Aku benar kan? Bahkan jika kau
punya anak, jika semua hal masih seperti itu, kau juga tidak akan berubah.”

Mizuki tak mampu berkata-kata. Tubuhnya luruh ke lantai dengan mata terpejam. Setiap jalinan
yang membentuk dirinya seperti mengurai. Kulitnya, organ dalamnya, belulangnya, luluh lantak.
Yang dapat ia dengar hanya suara napasnya sendiri.

“Lumayan kejam untuk omongan seekor monyet,” ujar Sakurada sambil menggeleng-gelengkan
kepala. “Pak Kepala, saya sudah tidak tahan lagi. Mari kita pukuli dia sampai mati!”

“Tahan,” Mizuki berteriak. “Yang dikatakan monyet ini benar. Aku sudah lama tahu dan selalu
berusaha lari dari kenyataan. Aku selalu menutup mata dan telingaku. Monyet ini berkata jujur.
Ampuni dia. Bawa dia ke gunung dan lepaskan dia di sana.”

Ibu Sakaki menyentuh bahu Mizuki dengan lembut. “Kau yakin kau tidak keberatan dengan hal
ini?”

“Aku tidak keberatan asal kudapat namaku kembali. Mulai sekarang aku akan berani hidup
bersama kenyataan. Itu namaku dan itu hidupku.”
Ibu Sakaki beralih ke suaminya. “Sayang, akhir pekan besok, sepertinya ide bagus jika kita
bermobil ke Gunung Takao dan melepaskan si monyet. Bagaimana?”

“Kurasa tak masalah,” sahut Pak Sakaki. “Kami baru saja membeli mobil dan jalan-jalan seperti
itu akan baik untuk menjajal kenyamanannya.”

“Saya sangat bersyukur. Saya tak tahu harus bagaimana berterimakasih pada Anda,” ujar si
monyet.

“Kau tidak mabuk darat, kan?” tanya Ibu Sakaki.

“Tidak, saya akan baik-baik saja,” sahut si monyet. “Saya janji saya tidak akan muntah atau
buang air kecil di dalam mobil baru Anda. Saya akan bersikap baik sepanjang jalan. Saya tak
akan mengganggu sama sekali.”

Ketika Mizuki mengucapkan selamat tinggal pada si monyet, ia menyerahkan tanda pengenal
Yuko Matsunaka.

“Lebih baik kau simpan saja,” kata Mizuki. “Kau menyukainya, kan?”

“Ya. Aku sangat menyukainya.”

“Jaga baik-baik namanya. Dan jangan mencuri nama orang lain lagi.”

“Aku akan menjaganya baik-baik. Dan aku tindak akan pernah mencuri lagi, aku janji,” sahut si
monyet dengan raut wajah serius.

“Tapi mengapa Yuko memilih meninggalkan tanda pengenalnya padaku sebelum ia meninggal?
Mengapa dia meninggalkannya padaku?”

“Aku tidak tahu jawabannya,” jawab si monyet. “Namun karena apa yang ia lakukan itu,
setidaknya kita bisa berbincang-bincang seperti ini. Kurasa… Ini takdir.”

“Kau benar,” kata Mizuki.


“Apakah kau terluka dengan apa yang kukatakan?”

“Ya,” jawab Mizuki. “Sangat.”

“Maafkan. Tadinya aku tidak berniat mengatakannya.”

“Tidak mengapa. Jauh di dalam hati aku sudah tahu semuanya. Sepertinya ini memang sesuatu
yang harus aku hadapi sewaktu-waktu.”

“Aku lega mendengarnya,” sahut si monyet.

“Selamat tinggal,” ujar Mizuki. “Kurasa kita tidak akan bertemu lagi.”

“Jaga dirimu baik-baik,” sahut si monyet. “Dan terima kasih telah menyelamatkan mahluk
sepertiku.”

“Akan lebih baik jika kau tidak memunculkan wajahmu di sekitar Shinagawa lagi,” tukas
Sakurada, memperingatkan sambil kembali memukul-mukulkan tongkat ke telapak tangannya
sendiri. “Kali ini kami memberimu kelonggaran karena Pak Kepala yang memintanya. Jika kami
memergokimu lagi, kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”

Monyet itu langsung tahu bahwa ucapannya bukan sekedar ancaman kosong.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan besok minggu?” tanya Bu Sakaki sekembalinya mereka ke
pusat konseling. “Apakah Anda masih punya hal lain yang ingin didiskusikan dengan saya?”

Mizuki menggeleng. “Tidak. Karena usaha Anda, saya rasa masalah saya terselesaikan sudah.
Saya sangat berterima kasih untuk semua yang telah Anda lakukan untuk saya.”

“Anda tidak mau membiacarakan apa yang telah dikatakan si monyet pada Anda?”

“Tidak. Saya harus bisa mengatasinya sendiri. Ini masalah yang harus saya hadapi.”
Bu Sakaki mengangguk. “Anda mampu mengatasinya kok. Anda hanya harus mencuri sedikit
waktu dan berpikir tentang hal itu. Anda akan menjadi seorang bermental baja.”

“Namun jika tidak, apakah saya masih boleh datang ke sini?” tanya Mizuki.

“Tentu saja!” sahut Ibu Sakaki. Wajahnya yang lentur berubah menjadi senyum lebar. “Kita akan
selalu bisa bicara.”

Keduanya berjabat tangan lalu saling mengucapkan kata petpisahan.

Sesampai di rumah, Mizuki mengambil tanda pengenal bertuliskan ‘Mizuki Ando’ dan gelang
bergravir ‘Mizuki (Ozawa) Ando’, memasukkannya ke dalam amplop resmi berwarna coklat lalu
meletakkannya dalam kardus kecil di dalam lemari. Akhirnya ia mendapatkan namanya dan
kehidupannya kembali normal. Mungkin semua hal akan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Mungkin tidak. Tapi setidaknya ia punya nama, nama yang jelas-jelas miliknya,
namanya sendiri.

Manusia Es

Cerpen Haruki Murakami (Jawa Pos, 26 Desember 2010)

AKU menikahi Manusia Es.

Pertama bertemu dengannya di sebuah hotel di ski resort, tempat paling sempurna untuk
menemukan Manusia es, memang. Lobi hotel begitu riuh dengan anak muda, tapi Manusia Es
duduk sendiri di kursi sudut yang letaknya paling jauh dari perapian, diam membaca buku
sendirian. Meski sudah hampir malam, tapi cahaya dingin pagi awal winter terlihat berpendar
mengitarinya.

“Lihat! Itu si Manusia Es,” bisik temanku.


Waktu itu, aku sungguh tak tahu makhluk apa itu manusia es. Temanku juga. “Dia pasti terbuat
dari es. Itu sebabnya orang-orang menyebutnya Manusia Es.” Temanku mengatakan hal tersebut
dalam nada serius seolah dia sedang membicarakan hantu atau seseorang dengan penyakit
menular.

Manusia Es tinggi, tampak muda, tegap, sedikit bagian rambutnya tampak putih seperti
segenggam salju yang tak meleleh. Tulang pipinya tajam meninggi seperti batu yang beku, dan
jarinya embun beku putih yang seolah abadi. Meski begitu, Manusia Es terlihat seperti manusia
normal. Dia tidak seperti lelaki yang bisa kau sebut tampan memang, tapi dia terlihat begitu
menarik—tergantung dari bagaimana kau melihatnya. Dalam suatu kesempatan, sesuatu tentang
dia menusukku sampai ke hati. Aku merasakan hal tersebut terutama saat memandang matanya.
Tatapannya senyap dan transparan seperti serpih cahaya dalam untaian tetes salju di pagi musim
dingin. Seperti kilatan kehidupan dalam tubuh makhluk buatan.

Aku berdiri beberapa saat memperhatikan si Manusia Es dalam jarak dekat. Dia tak menoleh.
Dia hanya duduk diam, tak bergerak. Membaca bukunya seakan tiada seorang pun yang ada di
sana selain dirinya….

Keesokan paginya, Manusia Es masih berada di tempat yang sama, membaca buku dengan cara
yang persis sama. Ketika aku melangkah ke ruang makan untuk makan siang, dan ketika aku
kembali dari bermain ski dengan teman-teman pada malam tersebut, dia masih ada di sana,
mengarahkan tatapan yang sama pada halaman-halaman buku yang sama. Hal serupa terjadi
sehari setelah itu. Bahkan ketika matahari tenggelam rendah, dan jam terlambat tumbuh, ia
duduk di kursinya, setenang adegan musim dingin di luar jendela.

Pada sore di hari keempat, aku me-reka berbagai alasan supaya bisa tidak turut keluar menelusur
lereng. Aku tinggal di hotel sendiri dan mondar-mandir di lobi yang sekosong kota hantu. Udara
di lobi terasa hangat dan lembab, dan ruangan itu memiliki bau aneh yang sedih mematahkan
hati—bau salju yang terlacak di dalam sol sepatu yang sekarang tengah mencair di depan
perapian.

Aku menatap keluar jendela, berdesir saat melihat halaman-halaman surat kabar, dan sekonyong
mendekat ke Manusia Es, mengumpulkan keberaniann untuk berbicara.
Aku cenderung pemalu dengan orang asing, kecuali memiliki alasan yang sangat bagus, aku
biasanya tak mudah berbicara dengan orang yang tak kukenal. Tapi dengan Manusia Es aku
merasa memiliki dorongan untuk berbincang, tak peduli tentang apa pun itu. Ini malam
terakhirku di hotel tersebut, dan jika kubiarkan kesempatan ini pergi, aku takut aku takkan punya
kesempatan lagi untuk bisa berbicara dengan dia: pria es, si Manusia Es itu….

“Nggak main ski?” tanyaku padanya, sesantai mungkin.

Dia memalingkan wajah perlahan seolah mendengar suara di kejauhan. Dia menatapku, lalu
dengan tenang menggeleng. “Aku tidak bermain ski,” ucapnya. “Hanya ingin duduk di sini,
membaca dan melihat salju.”

Kata-katanya membentuk awan putih di atas kepala, seperti balon-balon kata keterangan di
komik strip. Aku benar-benar bisa melihat kata-kata itu mengambang di udara, sampai ia
menggosok mereka pergi dengan jarinya yang beku. Aku tak tahu lagi apa yang harus dikatakan
selanjutnya. Aku hanya tersipu dan berdiri di sana.

Manusia Es menatap mataku dan tampak sedikit tersenyum. “Mau duduk?” tanyanya. “Kau
tertarik padaku, kan? Ingin tahu apa itu Manusia Es?” Ia tertawa. “Tenang, tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Nggak akan pilek kok kalau cuma bicara denganku….”

Kami duduk berdampingan di sofa di sudut lobi dan menyaksikan butiran-butiran salju menari di
luar jendela. Aku memesan cokelat panas dan meminumnya, sedang Manusia Es tidak memimun
apa-apa. Rupanya dia tidak lebih jago dalam bercakap-cakap dari aku. Dan bukan hanya itu,
kami juga tak memiliki kesamaan apa pun untuk dijadikan bahan obrolan. Awalnya, kami
berbincang tentang cuaca. Lalu kami ngobrol tentang hotel.

“Anda di sini sendirian?” tanyaku pada si Manusia Es.

“Ya,” jawabnya.

Dia bertanya, apakah aku suka main ski? “Nggak terlalu,” kataku. “Aku hanya datang karena
teman-temanku ngotot mengajakku. Sesungguhnya aku benar-benar jarang main ski….”
Ada banyak hal yang sebenarnya sangat ingin aku tahu dari Manusia Es. Benarkan tubuhnya
sungguh-sungguh terbuat dari es? Apa yang dia makan? Di mana dia tinggal di musim panas?
Apakah dia punya keluarga? Ya, hal-hal semacam itulah. Tetapi Manusia Es tidak bicara tentang
dirinya, dan itu membuatku menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan
pribadi. Sebaliknya, Manusia Es malah berbicara tentang aku. Rasanya sulit dipercaya, tetapi
entah bagaimana ia tahu semuanya. Dia tahu anggota keluargaku, dia tahu umurku, tahu apa
yang kusuka dan yang tidak, tahu keadaan kesehatanku, tahu sekolah yang kumasuki dan tahu
juga teman-teman yang biasa kukunjungi. Dia bahkan tahu hal-hal yang telah terjadi begitu jauh
di masa lalu yang aku sendiri telah lupa.

“Saya tak mengerti,” kataku, bingung. Aku merasa seakan-akan aku telanjang di depan orang
asing. “Bagaimana kamu bisa tahu begitu banyak tentang saya? Bisa baca pikiran orang ya…?”

“Nggak, saya nggak bisa baca pikiran atau apa pun yang semacam itu. Cuma tahu saja,” ucap si
Manusia Es. “Saya tahu begitu saja. Seakan-akan saya jauh melihat ke dalam es, dan, ketika saya
melihat Anda seperti ini, hal-hal tentang Anda menjadi terlihat begitu jelas bagi saya.”

Lalu aku bertanya, “Bisakah kamu melihat masa depan?”

“Saya nggak bisa melihat masa depan,” kata Manusia Es perlahan. “Saya sama sekali nggak
mampu mengambil keuntungan dari masa depan. Lebih tepatnya…, saya nggak punya konsep
masa depan karena es tak memiliki masa depan. Semuanya hanya masa lalu yang terlampir di
dalamnya. Dengan cara yang sangat bersih dan jelas, es bisa mengawetkan banyak hal dan
membuatnya seolah-olah masih hidup, meskipun itu masa lalu. Itulah esensi es,” terangnya.

“Itu bagus,” ucapku sambil tersenyum. “Benar-benar lega mendengarnya. Setelah ini… aku pun
sungguh-sungguh tak ingin tahu bagaimana masa depanku.”

***

Kami bertemu lagi beberapa kali setelah aku kembali ke kota. Akhirnya, kami mulai berkencan.
Kami tidak pergi ke bioskop, atau ke café. Kami bahkan tidak pergi ke restoran. Manusia Es
jarang makan. Kita paling sering duduk-duduk di bangku taman dan berbincang tentang banyak
hal selain tentang Manusia Es sendiri.

“Kenapa begitu?” Sekali aku pernah bertanya. “Mengapa kamu tidak mau bicara tentang dirimu?
Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Di manakah kamu dilahirkan? Seperti apa rupa orang
tuamu? Bagaimana ceritanya hingga kamu menjadi Manusia Es?”

Manusia Es menatapku sekejap lalu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,” katanya pelan
dan jelas, mengembuskan embusan gelembung kata putih ke udara. “Aku tahu banyak tentang
masa lalu hal-hal lain, tapi aku sendiri tidak punya masa lalu. Aku tidak tahu di mana aku lahir,
atau seperti apa orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu apakah aku memiliki orang tua. Aku juga
tidak tahu berapa umurku, dan bahkan aku tidak tahu apakah aku memiliki umur.” Manusia Es
ternyata sesepi gunung es di malam muram….

***

Aku serius jatuh cinta pada Manusia Es. Manusia Es pun mencintaiku apa adanya—di masa kini,
tanpa masa depan. Pada gilirannya aku pun mencintai Manusia Es apa adanya—di masa
sekarang, tanpa masa lalu. Kami bahkan mulai berbicara tentang pernikahan.

Aku baru berusia dua puluh, dan Manusia Es adalah lelaki pertama yang benar-benar kucintai.
Saat itu, aku tidak bisa membayangkan apa artinya mencintai seorang Manusia Es. Tapi bahkan
jika aku jatuh cinta pada pria normal sekalipun, aku ragu akankah aku bisa memiliki ide yang
jelas tentang cinta?

Ibu dan kakak perempuanku tentu saja menentang ide menikahi Manusia Es.

“Kamu terlalu muda untuk menikah,” kata mereka. “Selain itu, kamu juga tidak tahu apa-apa
tentang latar belakangnya. Kamu bahkan tidak tahu di mana Manusia Es dilahirkan dan kapan ia
lahir. Bagaimana mungkin kita bisa bilang ke saudara dan kerabat kita kalau kamu menikahi
orang semacam itu? Lagi pula, yang kita bicarakan ini Manusia Es! Apa yang akan kamu
lakukan jika tiba-tiba ia mencair, hah? Kamu nggak paham kalau pernikahan itu memerlukan
komitmen yang ‘riil’?!”
Biar bagaimanapun, kekhawatiran mereka tidak beralasan. Karena pada akhirnya, Manusia Es
tidak pernah benar-benar terbuat dari es….

***

Dia tidak akan meleleh, tak peduli betapa hangat kondisi sekitar di mana ia berada. Dia disebut
Manusia Es karena tubuhnya sedingin es, tapi apa yang membuatnya begitu, jelas bukan es. Itu
bukan jenis dingin yang bisa menghapus panas orang lain. Jadi… kami menikah.

Tidak ada yang memberkati pernikahan itu. Tidak ada teman atau kerabat yang berbahagia untuk
kami. Kami tidak mengadakan upacara, dan, ketika datang waktunya bagiku untuk memiliki
nama keluarga yang terdaftar, Manusia Es tak memilikinya. Kami hanya memutuskan bahwa
kami berdua menikah. Kami membeli kue kecil dan makan bersama, dan itulah pernikahan kami
yang sederhana.

Kami menyewa sebuah apartemen kecil, dan Manusia Es mencari nafkah dengan bekerja di
sebuah fasilitas penyimpanan daging dingin. Dia bisa mengambil sejumlah rasa dingin dari sana,
dan tak pernah merasa lelah tak peduli seberapa keras ia bekerja. Majikan suamiku sangat
menyukainya, dan membayar gaji Manusia Es lebih tinggi dari karyawan lain.

Kami berdua hidup bahagia tanpa mengganggu atau diganggu siapa pun. Ketika kami bercinta
dan Manusia Es menggumuliku, aku melihat dalam pikiranku, sepotong es yang kuyakin ada di
suatu tempat di kesendirian yang tenang.

Kupikir Manusia Es mungkin tahu di mana es tersebut berada. Es yang dingin, beku, dan keras,
sebegitu kerasnya hingga kupikir tidak ada yang bisa melebihi kekerasannya. Itulah lempengan
es terbesar di dunia. Terletak di suatu tempat yang sangat jauh, dan rupanya manusia Es tengah
membagikan kenangan tersebut padaku dan pada dunia.

Awalnya, aku kerap bingung bila Manusia Es mengajak bercinta. Tapi, setelah beberapa waktu,
aku menjadi terbiasa. Aku bahkan mulai menyukai bercinta dengan Manusia Es.

Pada malam hari, diam-diam kami berbagi potongan es terbesar di dunia, di mana ratusan juta
tahun masa lalu dunia, tersimpan di dalamnya.
***

Dalam kehidupan pernikahan kami, tidak ada masalah untuk “berbicara”. Kami saling mencintai
begitu dalam, dan tak ada yang lebih penting dari itu.

Kami ingin punya anak, tapi itu tampaknya tak mungkin. Ini lebih karena, mungkin… gen
manusia dan gen Manusia Es tidak bisa digabungkan dengan mudah. Dalam kasus semacam ini,
karena kami tidak memiliki anak, aku memiliki lebih banyak waktu.

Aku menyelesaikan semua pekerjaan rumah di pagi hari, dan kemudian tidak ada lagi yang bisa
kukerjakan. Aku tidak punya teman untuk bicara atau pergi bersama, dan aku tak memiliki
banyak hal yang bisa dilakukan dengan para tetangga. Ibu dan kakak perempuanku masih marah
dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bertemu denganku lagi. Dan meskipun bulan-bulan
berlalu, dan orang-orang di sekitar kami mulai berbicara dengan Manusia Es, jauh di dalam hati,
mereka masih belum bisa menerima keberadaan Manusia Es atau aku—yang telah menikahinya.
Kami berbeda dari mereka, dan tak ada jumlah waktu yang dapat menjembatani kesenjangan itu.
Jadi, sementara suamiku Manusia Es bekerja, aku tinggal sendiri di rumah, membaca buku dan
mendengarkan musik.

Biar bagaimanapun aku cnderung lebih suka tinggal di rumah dan aku tak keberatan sendirian.
Hanya saja aku masih muda, dan melakukan hal yang sama hari demi hari akhirnya mulai terasa
mengganggu. Bukan kebosanan yang menyakitkan, tapi pengulangan. Itu sebabnya suatu hari
aku berkata pada suamiku, “Bagaimana kalau kita pergi berdua? Sebuah perjalanan. Untuk ganti
suasana saja….”

“Sebuah perjalanan?” tukas Manusia Es. Dia menyipitkan mata dan menatapku. “Untuk apa kita
melakukan perjalanan? Tidakkah kau bahagia di sini bersamaku?”

“Bukan itu,” kataku. “Tentu saja aku senang bersamamu, tapi aku bosan. Aku merasa ingin pergi
ke suatu tempat yang jauh dan melihat hal-hal yang belum pernah kulihat. Aku ingin tahu
bagaimana rasanya menghirup udara baru. Kamu mengerti kan maksudku? Lagi pula… kita
belum berbulan madu. Kita punya tabungan dan kamu punya hari libur yang harus kamu isi.
Bukankah ini cuma masalah waktu saja? Kita akan pergi ke suatu tempat, dan segalanya akan
mudah serta menyenangkan.”

Manusia Es menghela napas bekunya dalam-dalam. Napas beku yang mengkristal di udara
diiringi sedikit suara gemerincing. Dia menyusurkan jejarinya yang panjang bersama-sama di
lutut. “Baiklah, jika kamu benar-benar ingin melakukan perjalanan, aku tak keberatan. Aku akan
turut pergi ke mana pun kamu pergi andai itu membuatmu bahagia. Tapi, kamu tahu ke mana
kamu mau pergi?”

“Bagaimana kalau kita mengunjungi Kutub Selatan?” kataku. Kupilih Kutub Selatan karena aku
yakin bahwa Manusia Es akan tertarik pergi ke suatu tempat yang dingin. Dan, jujur saja, aku
memang selalu ingin melakukan perjalanan ke sana. Aku ingin mengenakan mantel bulu yang
bertopi indah, aku ingin melihat aurora australis dan juga kawanan penguin yang sibuk bermain.
Namun, saat kukatakan hal tersebut, suamiku menatapku lekat, tanpa berkedip, dan aku merasa
seolah-olah sebongkoah es menusukku, menembus bagian belakang kepalaku.

Manusia Es diam sejenak, dan akhirnya berkata dengan suara yang seperti salju berdentingan,
“Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Mari kita pergi ke Kutub Selatan…. Kau sungguh-
sungguh yakin ini yang kau inginkan?”

Entah kenapa aku tak bisa segera menjawab. Suamiku, Manusia Es, menatapku begitu lama,
sedang di dalam kepalaku, aku seperti mati rasa. Lalu aku mengangguk.

***

Seiring waktu berlalu, aku mulai menyesali gagasan pergi ke Kutub Selatan. Aku tak tahu
persisnya kenapa, tapi begitu aku mengucapkan kata “Kutub Selatan”, sesuatu berubah dalam
diri suamiku. Matanya menjadi lebih tajam, napas yang keluar jadi lebih putih, dan jejarinya
terlihat semakin beku. Setelah itu dia tak berbicara padaku lagi dan ia juga berhenti makan
sepenuhnya. Semua itu tentu saja membuatku merasa sangat tidak nyaman.

Lima hari sebelum waktu berangkat, kubangun keberanian dan kukatakan pada suamiku, “Mari
kita lupakan Kutub Selatan. Ketika kupikir hal itu sekarang, aku sadar kalau saat ini akan
menjadi sangat dingin di sana, dan itu tidak bagus untuk kesehatanku. Jadi aku mulai berpikir
mungkin lebih baik kalau kita pergi ke suatu tempat yang lebih biasa. Bagaimana kalau Eropa?
Mari kita liburan di Spanyol. Kita bisa minum anggur, makan paella, dan melihat adu banteng
atau sesuatu yang….”

Tapi suamiku tak menaruh perhatian, ia menatap angkasa beberapa lama lalu berkata, “Tidak,
aku tidak terlalu ingin pergi ke Spanyol. Spanyol terlalu panas bagiku dan kotanya terlalu
berdebu. Makanannya terlalu pedas. Selain itu, kita sudah membeli tiket ke Kutub Selatan. Dan
kita punya mantel bulu, dan sepatu boot berbulumu sudah berbaris. Tak mungkin kita
membuangnya ke tempat sampah. Sekarang kita sudah sejauh ini, kita tidak bisa tidak pergi….”

Alasan sesungguhnya aku mengajukan ide Eropa adalah bahwa sebenarnya aku takut. Aku
memiliki firasat bahwa jika kami pergi ke Kutub Selatan sesuatu akan terjadi, dan sesuatu itu tak
akan mungkin bisa di-undo. Tidak bisa diulang-kembalikan lagi.

Belakangan aku mengalami mimpi buruk, dan itu terjadi berulang-ulang. Selalu mimpi yang
sama. Aku keluar berjalan-jalan sendiri lalu terjatuh begitu saja ke jurang yang dalam. Jurang
terbuka di dasar tanah. Tak seorang pun menemukanku. Aku membeku di bawah sana. Diam
dalam es, menatap nyalang ke langit di atas permukaan. Aku sadar, tapi aku tidak bisa bergerak,
bahkan untuk menggerakkan jari pun aku tak mampu. Dari waktu ke waktu aku sadar aku telah
menjadi masa lalu. Aku seolah ada dalam adegan yang bergerak mundur, menjauh dari mereka;
orang-orang tersebut. Lalu sekonyong aku terbangun, dan saat terbangun, aku menemukan
Manusia Es terbaring tidur di sampingku.

Suamiku, Manusia Es yang selalu tidur tanpa bernapas, Manusia Es yang seperti manusia
mati….

***

Kini aku merindukan Manusia Es yang dulu pernah kutemui di ski resort. Di sini tak mungkin
lagi keberadaannya menjadi perhatian siapa pun. Semua orang di Kutub Selatan menyukai
Manusia Es, dan anehnya, orang-orang itu tak mengerti sepenggal pun kata yang kuucapkan.
Sambil menguapkan napas putih mereka, mereka akan saling menceritakan lelucon dan berdebat
serta menyanyikan lagu dalam bahasa mereka yang tak kumengerti, sementara aku duduk
sendirian di kamar kami, memandang langit abu-abu yang sepertinya tak mungkin akan menjadi
cerah dalam beberapa bulan mendatang. Pesawat terbang yang membawa kami ke sana sudah
lama hilang, dan landasan pesawat kini tertutup lapisan es keras, sekeras hatiku.

“Musim dingin telah datang,” ujar suamiku. “Ini akan menjadi musim dingin yang sangat
panjang. Takkan lagi ada pesawat atau kapal. Semuanya telah membeku. Kelihatannya kita harus
tinggal di sini sampai musim semi berikutnya,” begitu ucapnya.

Sekitar tiga bulan setelah kami tiba di Kutub Selatan, aku baru sadar kalau aku hamil. Anak yang
akan kulahirkan pastilah Manusia Es kecil, si junior—aku tahu itu! Rahimku sudah beku dan
cairan ketubanku adalah lumpur es. Aku bisa merasakan dingin dalam diriku. Anakku akan
menjadi seperti ayahnya, memiliki mata seperti tetesan air beku dan jejari yang juga kaku beku.
Keluarga baru kami tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di luar Kutub Selatan.

O, aku baru tersadar. Masa lalu abadi, teramat berat dan melampaui semua pemahaman,
mencengkeram begitu erat. Kita tak akan mampu mengguncangnya.

Sekarang… hampir tak ada hati tertinggal padaku. Kehangatanku telah pergi teramat jauh, dan
terkadang aku bahkan lupa kalau kehangatan itu pernah ada. Di tempat ini, aku lebih kesepian
dari siapa pun di dunia. Dan ketika aku menangis, suamiku sang Manusia Es akan mendekat dan
mencium pipiku. Mengubah air mataku menjadi es. Dan dengan lembut dia akan mengambil air
mata yang membeku di tangannya itu dan meletakkannya di ujung lidah, “Lihat betapa aku
mencintaimu,” katanya.

Dia mengatakan hal yang sesungguhnya, tapi angin menyapunya ke ketiadaan, meniupkan kata-
kata putihnya kembali dan kembali ke masa lalu…. (*)

(Hadiah ultah ke-25 untuk seseorang….)


Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Richard L. Peterson. Lalu,
diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Ucu Agustin.

Man-Eating-Cats*
Aku membeli surat kabar di pelabuhan dan menemukan berita mengenai seorang perempuan tua
yang dimakan kucing-kucing. Perempuan 70 tahun itu tinggal sendirian di pinggiran kota Athena
—hidup sunyi nan sempit, hanya ia dan tiga kucingnya di sebuah kamar apartemen. Suatu hari ia
tiba-tiba terjungkal dengan wajah menghantam sofa—sepertinya serangan jantung. Tidak
seorang pun tahu berapa lama waktu antara ia terkapar hingga menemui ajalnya. Tak ada sanak
saudara atau sahabat karib yang berkunjung secara reguler, dan kunjungan terakir terjadi
seminggu sebelum tubuhnya yang membusuk diketemukan. Jendela dan pintu tertutup dan
kucing-kucingnya terjebak di dalam apartemen itu tanpa makanan apapun. Memang, mungkin
ada sesuatu di dalam freezer, tetapi kucing-kucing itu tidak juga berevolusi hingga satu titik yang
memungkinkan mereka membuka kulkas. Di ambang kelaparannya, mereka dipaksa melahap
daging tuannya.

Aku membacakan berita itu untuk Izumi yang duduk di depanku. Di hari yang cerah, kami
berjalan menuju pelabuhan, membeli surat kabar Atena berbahasa Inggris, memesan kopi di kafe
yang terletak di sebelah kantor pajak, dan aku merangkumkan dalam bahasa Jepang apa pun
yang menarik yang mungkin kutemui. Itulah kebiasaan kami di pulau ini. Jika ada suatu hal yang
menarik minat, kami saling bertukar pendapat sejenak. Bahasa Inggris Izumi sangat baik dan ia
dapat membaca berita-berita dengan mudah. Tetapi aku tak pernah melihatnya meraih koran.

“Aku ingin memiliki seseorang yang dapat membacakannya untukku,” jelasnya. “ini mimpiku
dari dulu. Aku masih kecil—duduk di tempat cerah dengan langit atau laut, dan ada seseorang
yang membaca keras-keras untukku. Aku tak peduli apa yang mereka baca—suratkabar, buku,
novel. Bukan masalah. Tetapi tak seorang pun membacakannya untukku sebelumnya. Jadi, ku
kira kamu melakukannya untuk semua kesempatan yang hilang itu. Di samping itu, aku
menyukai suaramu.”
Baiklah, di sini kami punya langit dan laut. Kunikmati juga membaca keras-keras itu. Saat di
Jepang, aku sering membacakan buku bergambar dengan suara yang keras bagi anak laki-lakiku.
Membaca dengan keras berbeda dari membaca kalimat-kalimat dengan matamu. Sesuatu yang
diam tidak membangkitkan kepalamu, sedangkan sebuah resonansi yang tak terjelaskan,
mustahil untuk ditolak.

Sambil sesekali menyeruput kopi pahit, ku baca perlahan berita itu untuk Izumi. Kubaca
beberapa baris bagi diri sendiri, mempertimbangkan penempatan mereka dalam Bahasa Jepang,
lalu menerjemahkannya keras-keras. Beberapa ekor lebah muncul entah dari mana untuk
menjilat selai yang tercecer di meja. Mungkin oleh pengunjung sebelumnya. Mereka
menghabiskan beberapa waktu untuk menjilat, lantas, seakan teringat sesuatu, terbang ke udara
dengan seremoni dengungan, sejenak berputar-putar di atas meja, dan kemudian—lagi-lagi bagai
ada sesuatu menyentak ingatan mereka—turun sekali lagi pada permukaan meja. Setelah aku
selesai membaca berita, Izumi duduk, tak bergerak, sikutnya bertumpu pada meja. Ujung jemari
tangan kanannya disilangkan dengan yang kiri membentuk telungkup. Aku meletakkan surat
kabar di pangkuan dan menatap tangannya yang mungil itu. Ia menatapku melalui celah
jemarinya.

“Lalu apa yang terjadi?” tanyanya.

“Hanya itu,” jawabku dan melipat suratkabar. Aku mengambil saputangan dari saku dan
menyeka bekas kopi di bibirku, “setidaknya hanya itu yang dikatakan.”

“Tapi apa yang terjadi pada kucing-kucing itu?”

Aku memasukkan kembali saputangan ke saku. “Aku tidak tahu, nggak dijelasin di situ.”

Izumi mengerutkan bibir ke samping, sebuah kebiasaan kecilnya. Kapanpun ia hendak


menyatakan pendapat yang selalu berbentuk deklarasi kecil, ia mengerutkan bibirnya demikian,
sama seperti jika ia hendak melicinkan selimut dari kerut. Saat pertama kali bertemu dengannya,
aku telah menemukan kebiasaannya yang mempesonakan ini.
“Surat kabar semuanya sama, di mana pun kamu pergi,” ia akhirnya bersuara, “mereka tak
pernah mengatakan padamu apa yang benar-benar ingin kamu tahu.”

Ia mengambil sebatang Salem dari kotak, memasukkan ke mulutnya, dan menyalakan korek api.
Ia menghabiskan sebungkus Salem tiap hari—tidak lebih, tidak kurang. Ia membuka sebungkus
yang baru pada pagi hari dan menghisapnya sampai habis hingga akir hari. Aku tidak merokok.
Istriku membuatku berhenti lima tahun lalu ketika ia mengandung.

“Yang benar-benar ingin ku tahu.” Izumi memulai, asap rokoknya menggelung sunyi di udara,
“adalah apa yang terjadi pada kucing-kucing setelah itu. Apakah polisi membunuh mereka
karena mereka telah makan daging manusia? Atau mereka mengatakan, ‘hei, kalian telah
melewati masa yang sulit,’ memasangkan topi pada kepala mereka, dan melepaskan mereka?
Bagaimana menurutmu?”

Aku menatap lebah yang mengambang di atas meja dan memikirkan hal itu. Sekilas, lebah kecil
menjilat selai dan tiga kucing yang menyantap daging perempuan tua muncul dalam kepalaku.
Dari kejauhan terdengar lengking burung camar yang mengeluh bertubrukan dengan dengung
lebah-lebah, dan dalam satu atau dua detik kesadaranku tersasar di batas antara yang nyata dan
tidak. Di mana aku? Apa yang kulakukan di sini? Aku tak dapat menghitung situasi. Aku
menarik napas dalam-dalam, menatap langit, lalu Izumi.

“Aku tak tahu.”

“Pikirkan itu. Jika kamu adalah Wali Kota atau Komandan Polisi, apa yang akan kamu lakukan
terhadap kucing-kucing itu?”

“Bagaimana dengan memasukkan mereka dalam sebuah panti rehabilitasi?” kataku. “Membuat
mereka menjadi vegetarian.”

Izumi tidak tertawa. Ia menarik rokoknya dan perlahan menghembuskan asap. “Kisah ini
mengingatkanku pada pelajaran yang kudengar ketika baru memulai sekolah menengah
Katolikku. Pernahkan aku bercerita bahwa dulu aku bersekolah pada sekolah Katolik yang kaku?
Tepat setelah memulai upacara, para biarawati mengumpulkan kami semua di auditorium,
kemudian seorang biarawati naik podium memberi ceramah mengenai doktrin Katolik. Ia
mengatakan pada kami tentang banyak hal, tapi apa yang paling ku ingat? Sebenarnya, satu-
satunya hal yang kuingat, adalah cerita tentang terdampar pada sebuah pulau sunyi bersama
seekor kucing.”

“Terdengar menarik,” aku berkata.

“’Anda ada dalam kapal karam,’ ia berkata pada kami. ‘Satu-satunya yang berhasil sampai ke
sekoci penyelamat adalah Anda dan seekor kucing. Sekoci kalian terdampar di sebuah pulau tak
dikenal nan sunyi dan tak ada apapun untuk dimakan. Yang kalian punya hanyalah air
secukupnya dan biskuit yang cukup untuk satu orang selama sepuluh hari.’ Ia berkata, ‘baiklah.
Saya ingin semua dari kalian membayangkan dirinya berada dalam situasi ini. Tutup mata dan
coba bayangkan hal itu. Anda sendirian di sebuah pulau sunyi, hanya Anda dan seekor kucing.
Anda hampir tak punya makanan sama sekali. Mengerti? Anda lapar, haus dan sebentar lagi akan
mati. Apa yang harus Anda lakukan? Haruskah Anda membagi persediaan makanan yang tak
cukup itu dengan kucing? Tidak. Kalian seharusnya tidak melakukannya. Itu kesalahan. Kalian
semua berharga, dipilih oleh Tuhan. Kucing tidak. Itu sebabnya kalian harus memberi makan diri
kalian.’ Biarawati itu nampak sangat mematikan. Aku sedikit terkejut. Bagaimana mungkin
menceritakan kisah seperti itu pada anak-anak yang baru mau memulai sekolah? Aku berpikir,
wah, ada di tempat macam apa aku ini?”

Izumi dan aku tinggal di sebuah apartemen murah di sebuah pulau kecil Yunani. Saat itu musim
sepi dan pulau ini bukanlah tempat wisata sehingga biaya sewanya murah. Kami berdua pernah
mendengar pulau ini sebelum ke mari. Pulau itu terletak di perbatasan dengan Turki dan ketika
hari cerah kamu bisa memandang pegunungan Turki yang hijau. Ketika hari berawan, lelucon
lokal berkata, kamu bisa mencium aroma shish kebab. Lelucon lain, pulau kami dekat pantai
Turki, pulau terdekat Yunani, dan—menjulang tepat di depan mata kita—adalah Asia Minor.

Di alun-alun kota ada sebuah patung pahlawan kemerdekaan Yunani. Ia telah memimpin sebuah
huru-hara di pulau itu dan merencanakan pemberontakan melawan orang-orang Turki yang
menguasai pulau itu. Tetapi orang-orang Turki menangkap dan membunuhnya. Mereka
mendirikan tiang eksekusi di alun-alun sebelah pelabuhan, menelanjangi pahlawan itu, dan
meletakannya tepat di ujung atas tiang itu. Berat badannya mendorong tiang pancang itu masuk
melalui anusnya dan terus sepanjang tubuhnya hingga akhirnya keluar dari mulut. Sebuah proses
penyiksaan yang sangat lambat dan menakjubkan hingga mati. Patung itu dibangun tepat di
tempat kejadian. Saat dibangun pertama kali, patung itu tentu sangat mengesankan, tetapi
sekarang, dengan angin laut, debu, dan kotoran burung-burung camar, hampir tak terlihat fitur
manusianya. Penduduk lokal memandang sekilas patung lusuh itu, dan bagian tubuh pahlawan
itu nampak seolah-olah berbalik membelakangi orang-orang, pulau, dunia.

Saat Izumi dan aku duduk di bagian luar kafe, menenggak kopi atau bir, menatap kosong perahu
di pelabuhan atau bukit-bukit Turki di kejahuan, kami sesungguhnya tengah duduk di tepi Eropa.
Anginnya adalah angin ujung dunia. Warna masa lalu yang tak terelakkan memenuhi tempat itu,
membuatku merasa seperti ditelan alien, sesuatu yang asing atau tak terjangkau, dan anehnya
samar-samar. Dan bayangan dari substansi keasingan itu mewarnai wajah, mata, dan kulit orang-
orang yang berkumpul di pelabuhan.

Terkadang, aku tak bisa memahami kenyataan bahwa aku adalah bagian dari adegan ini. Tak
peduli seberapa banyak aku menjadi bagian dari pemandangan sekitar, tak peduli seberapa
banyak udara yang ku hirup. Tidak ada kaitan organik antara aku dan semuanya.

Dua bulan sebelumnya, aku tinggal bersama istri dan anak laki-laki kami yang berumur empat
tahun di apartemen berkamar tiga di Unoki, Tokyo. Tidak terlalu lapang namun cukup. Sebuah
apartemen fungsional. Istriku dan aku dengan kamar tidur kami, anak laki-laki kami dengan
kamarnya, dan sisanya adalah ruang kerjaku. Apartemen begitu tenang dengan pemandangannya
yang bagus juga. Pada akhir pekan, kami bertiga berjalan di sepanjang Sungai Tama. Pada
musim semi, pohon-pohon ceri di tepi sungai mulai mekar dan aku membonceng anak laki-
lakiku dengan sepeda dan kami menonton latihan musim semi tim Liga Minor Baseball “Tokyo
Giants”.

Aku bekerja pada sebuah perusahaan desain kelas menengah dan khusus menangani layout
majalah. Menyebutku sebagai “designer” terdengar melebih-lebihkan pekerjaanku
sesungguhnya, karena pekerjaanku hanyalah memotong dan itu membosankan. Tak ada sesuatu
yang flamboyan atau imajinatif. Sebagian besar waktu kuhabiskan di kantor. Jadwal kami sedikit
padat dan beberapa kali dalam sebulan ku habiskan malam di kantor. Beberapa pekerjaan
membuatku bosan untuk menangis. Namun, aku tak ambil pusing soal pekerjaan, perusahaan
adalah tempat bersantai. Karena aku termasuk senior, aku bisa memilih tugasku dan mengatakan
apa yang kuinginkan. Bosku baik-baik saja dengan hal itu dan aku punya asisten. Gajiku tak
terlalu buruk. Jadi jika tidak terjadi apa-apa, aku mungkin akan menetap di perusahaan itu untuk
waktu-waktu yang akan datang. Dan hidupku, seperti Sungai Moldau—atau, lebih tepatnya, air
tak bernama yang mengaliri Sungai Moldau—akan terus mengalir, sangat cepat; menuju lautan.

Tapi kemudian aku bertemu Izumi.

Izumi sepuluh tahun lebih muda dariku. Kami bertemu di sebuah pertemuan bisnis. Sesuatu
dalam pandangan mata kami pada pertemuan pertama itu mengklikan kami. Ini bukan hal yang
sering terjadi. Kami bertemu beberapa kali setelahnya untuk membahas rincian proyek itu. Aku
mampir ke kantornya atau ia ku antar ke kantornya. Pertemuan kami selalu singkat dengan
keterlibatan orang lain dan selalu dalam urusan bisnis. Saat proyek kami berakhir, kesepian yang
mengerikan menerpaku; seperti sesuatu yang sangat penting telah direbut paksa dari
genggamanku. Aku tak pernah merasakan hal seperti itu dalam beberapa tahun. Dan menurutku,
ia merasakan hal yang sama.

Seminggu kemudian, ia menelepon ke kantorku membicarakan hal-hal sepele dan kami terlibat
sedikit perbincangan. Aku melucu dan ia tertawa. “Mau pergi minum?” aku bertanya. Kami pun
akhirnya pergi ke sebuah bar kecil dan minum sedikit. Aku tidak dapat mengingat secara persis
apa pembicaraan kami, tetapi kami menemukan jutaan topik dan dapat berbincang selamanya.
Dengan sebuah kejelasan yang sekejap, aku dapat menangkap apapun yang ingin ia katakan.
Yang mengejutkanku, banyak hal yang tak dapat ku jelaskan pada siapapun dapat ia tangkap
dengan persis. Kami masing-masing sudah menikah dan tak ada persoalan besar dalam
kehidupan pernikahan kami. Kami mencintai pasangan kami dan menghargai mereka. Namun,
apakah hal ini adalah keajaiban kecil? Berpapasan dengan seseorang yang dengannya kamu
dapat mengekspresikan perasaanmu dengan jelas, dengan lengkap. Banyak orang hidup tanpa
bertemu seorang seperti itu. Ini merupakan sebuah masalah berlabel “cinta”. Ini lebih mirip
sebagai empati total.
Kami mulai keluar untuk minum secara rutin. Suaminya berkerja hingga larut, sehingga ia bebas
untuk datang dan pergi sesuka hati. Saat kami bersama, waktu menguap begitu saja. Kami
melihat jam tangan dan mengetahui bahwa kami harus mengejar kereta terakhir. Mengatakan
selamat tinggal selalu menjadi hal yang sulit untukku. Terlalu banyak hal yang ingin kami
ceritakan satu sama lain.

Tidak ada satu pun di antara kami tertarik pada ranjang, tapi kami mulai tidur bersama. Saat itu
kami berdua setia kepada pasangan kami, tetapi kadang kami tidak merasa bersalah, untuk alasan
sederhana kami melakukannya. Membuka pakaiannya, membelai kulitnya, memeluknya lekat,
tergelincir masuk, datang—itu hanyalah kelanjutan natural dari percakapan kami. Alamiahnya
persetubuhan kami tidak bersumber pada kesenangan fisik; hanya sebuah ketenangan, tindakan
menyenangkan, dilucuti dari kepura-puraan. Yang terbaik dari semua adalah percakapan
perlahan kami di tempat tidur setelah bercinta. Aku membelai kulit tubuh telanjangnya, dan ia
meringkuk dalam pelukanku, dan kami membisikkan rahasia dalam bahasa kami sendiri.

Kami bertemu setiap kali kami bisa. Cukup aneh, atau boleh jadi tak terlalu aneh, kami sangat
yakin hubungan kami bisa berlangsung selamanya tanpa masalah dengan kehidupan pernikahan
di satu sisi. Kami yakin bahwa perselingkuhan kami tak akan menemukan titik terang. Tentu
kami berhubungan seksual, tetapi bagaimana itu menyakiti seseorang? Suatu malam, aku tidur
dengan Izumi. Aku pulang terlambat dan harus membohongi istriku. Aku merasakan keperihan
nurani, tetapi itu tak pernah nampak sebagai suatu pengkhianatan yang sesungguhnya. Izumi dan
aku memiliki hubungan intim yang penuh dengan garis pemisah yang tegas.

Dan jika tidak terjadi apa-apa, mungkin kami akan meneruskan selamanya, menyesap vodka-
dan-tonic, menyelip di antara selimut kapanpun kami bisa. Atau mungkin kami akan lelah
berbohong pada pasangan kami dan memutuskan untuk membiarkan perselingkuhan berakhir
dengan kematian yang alami sehingga kami dapat kembali nyaman dengan gaya hidup
sederhana. Di sisi lain, aku tidak memikirkan hal-hal yang buruk. Aku tak mampu
membuktikannya; aku hanya punya firasat. Namun takdir—tak terelakkan, dalam retrospeksi—
turut campur. Suami Izumi mengendus hawa perselingkuhan kami. Setelah bertengkar hebat
dengan Izumi, ia menerobos masuk ke rumahku, benar-benar di luar kendali. Seperti nasib yang
juga berpihak, istriku sedang sendiri pada waktu itu dan segala hal menjadi sangat buruk. Saat
aku pulang, ia memintaku menjelaskan apa yang terjadi. Izumi telah mengakui semuanya,
sehingga aku tidak bisa mengarang cerita. Aku mengatakan pada istriku apa yang sesungguhnya
terjadi. “Ini tak seperti aku sedang jatuh cinta,” aku menjelaskan. “Ini sebuah hubungan
istimewa, tetapi sangat berbeda dari apa yang kumiliki denganmu. Seperti malam dan siang.
Kamu tak merasakan apapun saat terjadi, kan? Itu membuktikan bahwa ini bukanlah sejenis
perselingkuhan yang kamu bayangkan.”

Tapi istriku menolak untuk mendengar. Ini sangat mengejutkan. Ia membeku dan benar-benar
tidak bicara sepatah kata pun padaku. Keesokan harinya, ia mengemasi semua barang ke dalam
mobil dan meluncur ke rumah orang tuanya, di Chigasaiki, membawa anak laki-laki kami. Aku
menghubunginya berkali-kali, tetapi ia tak menjawab telepon. Sebagai gantinya, ayahnya datang.
“Aku tak ingin mendengar apapun alasan lemahmu,” ia memperingatkan, “dan tidak ada lagi
jalan untuk membiarkan anak perempuanku kembali pada bajingan seperti mu.” Ia mati-matian
menghalangi pernikahan kami sedari awal, dan intonasi suaranya mengatakan bahwa ia terbukti
benar.

Pada kehilangan yang sempurna, aku meliburkan diri beberapa hari dan berbaring kesepian
seorang diri di tempat tidur. Izumi meneleponku. Ia sendirian juga. Suaminya meninggalkannya
tetapi tidak sebelum menamparnya. Ia menggunting setiap jahitan baju yang Izumi miliki. Dari
mantel hingga pakaian dalamnya, semuanya menjadi compang-camping. Ia tak tahu ke mana
suaminya pergi. “Aku lelah,” katanya. “Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.” Semuanya
hancur dan tak akan bisa kembali sama lagi. Ia tak akan kembali.” Ia mengisak di ujung telepon.
Ia dan suaminya berpacaran sejak duduk di sekolah menengah. Aku ingin menghiburnya tapi apa
yang dapat kukatakan?

“Ayo pergi ke mana saja dan minum,” ia akhirnya memberi usul. Kami pergi ke Shibuya dan
minum sepanjang malam di bar. Vodka buatku, Daiquiris buatnya. Aku tak tahu berapa banyak
kami minum. Tak banyak yang bisa kami katakan sedari awal pertemuan kami itu. Kami akirnya
meninggalkan minuman keras, berjalan menyusuri Harajuku, tempat kami menyesap kopi dan
sarapan di Denny’s. Itulah saat ia memberi ide untuk pergi ke Yunani.

“Yunani?” aku bertanya,


“Kita tidak bisa terus tinggal di Jepang,” ia berkata, menatap dalam pada mataku.

Dalam benakku, aku mulai membayangkan. Yunani? Otakku yang terendam vodka tak bisa
mengikuti jalan pikirnya.

“Aku selalu ingin pergi ke Yunani,” katanya. “itu adalah mimpikku. Aku ingin ke sana untuk
bulan maduku, tetapi kami tak punya uang cukup. Jadi, ayo ke sana? Kita berdua. Dan hanya
tinggal di sana, kamu tahu, dengan tanpa kekuatiran akan apapun. Menetap di Jepang hanya akan
membuat kita gila dan tidak ada yang baik dari itu.”

Aku tidak memiliki ketertarikan terhadap Yunani, tapi aku setuju dengannya. Kami menghitung
berapa uang yang kami punya. Ia punya dua setengah juta yen di tabungan, sementara aku punya
satu setengah juta. Empat juta yen berdua—sekitar empat puluh ribu dollar.

“Empatpuluh ribu dollar tentu bisa untuk beberapa tahun di pedesaan Yunani,” kata Izumi.
“Tiket pesawat yang diskon membuat kami mendapatkan harga empat ribu dollar. Lembaran-
lembaran tiga puluh enam. Sekitar seribu dalam sebulan dan itu cukup untuk tiga tahun. Dua
setengah untuk jaga-jaga. Apa lagi yang mau kamu katakan? Ayo pergi. Kita biarkan hal-hal lain
terjadi setelahnya.”

Aku melihat sekeliling. Pagi-pagi di Denny’s penuh sesak dengan pasangan-pasangan muda.
Kami satu-satunya pasangan tigapuluhan. Dan tentu satu-satunya pasangan yang memakai semua
uang yang kami punya untuk melarikan diri ke Yunani setelah bencana perselingkuhan. Kacau
betul, pikirku. Aku menatap telapak tanganku dalam waktu yang lama. Apa ini benar-benar jalan
hidupku selanjutnya?

“Baiklah,” aku berkata. “Ayo kita reguk.”

Keesokannya di kantor, aku menyerahkan surat pengunduran diri. Atasanku sudah mendengar
desas-desus itu dan memutuskan bahwa yang terbaik adalah memberiku waktu cuti yang lebih
panjang. Kolegaku terkejut ketika mendengar aku ingin keluar, tetapi tak seorang pun mencoba
menghalangiku. Setelah semuanya, ke luar dari pekerjaan tak terlalu sulit, aku tahu. Saat kamu
memikirkannya, tak ada satupun yang bisa membuatmu menghapusnya. Dan sekali waktu kamu
melemparkannya keluar, kamu menemukan dirimu ingin mengenyahkan semua. Itu seperti jika
kamu mempertaruhkan semua uangmu dan memutuskan, peduli setan, aku akan menelan
semuanya nanti. Terlalu banyak masalah yang melekat.

Aku mengemasi semua yang terpikir dan kubutuhkan, memasukan ke dalam koper Samsonite
biru ukuran medium. Izumi mengambil bagasi dalam jumlah yang kira-kira sama.

Saat kami terbang melewati Mesir, aku tiba-tiba dicekam rasa takut sekiranya ada orang yang
salah mengambil bagasiku. Ada puluhan dari ribuan koper Samsonite biru yang identik di dunia
ini. Mungkin saat aku sampai Yunani, membuka koper, aku mendapatkan barang-barang milik
orang lain. Kecemasan yang parah menerpaku. Jika koper hilang, tidak satupun yang dapat
menghubungkanku dengan kehidupanku. Hanya Izumi. Tiba-tiba aku merasa diriku lenyap. Ini
perasaan yang paling aneh. Orang yang duduk tak jauh dariku. Otakku berpikir sembarangan
tentang sesuatu yang nampak seperti diriku. Pikiranku kacau. Aku harus kembali ke Jepang dan
masuk kembali ke tubuhku yang sebenarnya.

Tapi ini di dalam pesawat, melintas di atas Mesir, dan tidak ada jalan untuk kembali. Daging ini
kurasakan sebagai tempat sementara yang terbuat dari gips. Jika aku menggores luka pada diriku,
potongan-potongannya akan menyerpih. Aku mulai menggigil tak terkendali, dan aku tak dapat
menghentikannya. Aku tahu bahwa jika getarannya berlangsung lebih lama lagi tubuhku akan
hancur dan menjadi butiran debu. Pesawatnya ber-AC tapi keringatku mengucur. Kausku lengket
pada kulit. Dan aroma tak sedap muncul dari tubuhku. Sementara itu, Izumi memegang erat
tanganku dan sesekali memeluk. Ia tidak mengeluarkan satu kata pun padaku, tapi dia tahu apa
yang kurasakan. Getaran berlangsung setengah jam; aku ingin mati—menempelkan pistol
revolver pada telingaku dan menarik pelatuk, lalu otak dan dagingku menghambur menjadi debu.

Setelah getaran mereda, aku tiba-tiba merasa lebih ringan. Aku meregangkan keteganganku dan
membiarkan diri mengikuti aliran waktu. Aku tidur dengan nyenyak dan ketika aku membuka
mata, yang ada di bawahku adalah birunya air Aegean.

Masalah terbesar yang kami hadapi di pulau itu adalah hampir tidak ada yang dapat kami
lakukan. Kami tak bekerja, kami tak punya kawan-kawan. Di pulau itu tidak ada gedung teater
atau lapangan tenis atau buku-buku untuk dibaca. Kami meninggalkan Jepang dengan tiba-tiba
dan lupa sama sekali untuk membawa serta buku-buku. Dua novel yang kubeli di bandara sudah
kubaca.

Izumi membawanya. Aku sudah membaca dua kali. Untuk melayani wisatawan, kios-kios di
pelabuhan menyediakan beberapa edisi Bahasa Inggris, tapi tidak ada yang menarik mataku.
Membaca adalah sesuatu yang menyenangkan bagiku, dan aku selalu membayangkan jika aku
punya waktu luang aku akan berkubang di antara buku-buku. Tapi ironisnya, kini aku—dengan
seluruh waktu di dunia dan tak ada yang bisa dibaca.

Izumi mulai mempelajari Bahasa Yunani. Ia mengambil buku berbahasa Yunani, dan membuat
daftar kata kerja konjugasi dan ia membawanya ke mana-mana, membaca kata kerja-kata kerja
dengan suara keras seperti mantra. Ia akirnya dapat berbicara dengan penjaga toko dalam Bahasa
Yunani yang patah-patah, dan kepada pelayan-pelayan saat kami melangkah di kafe, sehingga
kami pun berhasil punya kenalan. Tak mau kalah, aku menggunakan Bahasa Perancis. Ku pikir
ini akan berguna suatu saat nanti, tapi pada pulau kecil yang kumuh ini aku tidak menemukan
seorang pun yang berbahasa Perancis. Di kota, kami cukup dengan berbahasa Inggris. Beberapa
orang tua bisa berbahasa Itali dan Jerman. Perancis, tak ada gunanya.

Dengan tak banyak hal yang dapat dilakukan, kami berjalan ke mana saja. Kami mencoba
memancing di pelabuhan, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Masalahnya adalah jumlah ikan yang
sedikit; airnya terlalu jernih. Ikan dapat melihat dengan jelas dari kail hingga wajah orang yang
berusaha menangkapnya. Kamu harus menjadi ikan cantik yang bodoh untuk tertangkap dengan
cara seperti itu. Aku membeli buku sketsa dan satu set cat air di toko sekitar dan bertualang
sekeliling pulau untuk membuat sketsa pemandangan dan orang-orang. Izumi duduk di
sebelahku, melihat lukisanku, mengingat-ingat Bahasa Yunani-nya. Orang-orang sekitar sering
datang untuk melihat sketsaku. Untuk membunuh waktu, aku menggambar foto mereka, yang
nampak sebagai sesuatu yang keren. Jika aku memberikan mereka gambar, mereka menjamu
kami bir. Sekali waktu, seorang nelayan memberi kami gurita.

“Kamu bisa hidup dengan melukis,” kata Izumi, “kamu melakukannya dengan baik, dan kamu
dapat membuat usaha kecil-kecilan dengan melukis. Tunjukkan bahwa kamu adalah seniman
Jepang. Tak banyak yang begitu di sini.”
Aku tertawa, tapi ekspresi wajahnya serius. Aku melukis perjalanan, seorang diri aku
mengelilingi pulau-pulau kecil Yunani; mengisi waktu luang dengan menggambar potret,
menikmati bir gratis sesekali. Bukan ide buruk, kurasa.

“Dan aku akan menjadi koordinator bagi wisatawan Jepang,” Izumi melanjutkan. “Seharusnya
mereka ada lebih banyak lagi seiring berjalannya waktu, dan ini akan menolong mereka. Dan itu
artinya, aku tentu harus serius belajar Bahasa Yunani.”

“Apakah kamu benar-benar berpikir bahwa kita dapat menjalani dua setengah tahun lagi tanpa
berbuat apapun?” aku bertanya.

“Selama kita tidak dirampok atau sakit atau apalah. Kecuali dengan tak terduga, kita berpisah.
Tentu, selalu baik untuk bersiap atas apa yang tak terduga.”

Hingga saat ini, aku hampir tak pernah pergi ke dokter, aku bilang padanya.

Izumi menatap lurus padaku, mengerutkan bibirnya, dan menggerakkan ke satu sisi.

“Taruhlah aku hamil,” dia mulai berkata. “Apa yang akan kamu lakukan? Kamu melindungi
dirimu dengan cara terbaik, tetapi orang bisa berbuat salah. Dan jika itu terjadi, uang kita akan
habis dalam waktu yang cepat.”

“Jika itu terjadi, kita mungkin harus kembali ke Jepang,” aku berkata.

“Kamu tak bisa melakukannya. Ya kan?” ia berkata pelan. “Kita tak akan bisa kembali ke
Jepang.”

Izumi melanjutkan pelajaran Bahasa Yunani-nya, aku dengan lukisanku. Ini adalah waktu paling
damai dalam hidupku. Kami makan sederhana dan minum anggur paling murah sedikit-sedikit.
Setiap hari kami mendaki bukit. Desa kecil ini terletak di atas dan dari sana kami dapat melihat
pulau-pulau lain di kejauhan. Dengan seluruh udara segar dan latihan berkali-kali, aku
menemukan bentuk yang baik. Setelah matahari terbenam di pulau, kamu tidak dapat mendengar
suara apa pun. Dan dalam keheningan Izumi dan aku bercinta dengan sunyi dan membicarakan
banyak hal. Tak ada lagi kekuatiran untuk mengejar kereta terakhir, atau datang dengan
kebohongan yang kami katakan kepada pasangan masing-masing. Dan itu indah melampaui apa
yang bisa dipikirkan. Musim gugur perlahan-lahan makin dalam, dan awal musim dingin mulai
datang. Angin menusuk, dan buih ombak memutih di laut.

Saat ini, saat kami membaca kisah mengenai man-eating cats. Dalam suratkabar yang sama, ada
laporan mengenai kaisar Jepang yang kondisinya makin buruk, tetapi kami membelinya hanya
untuk mengetahui tingkat pertukaran kurs. Mata uang Yen terus melawan. Menguatnya mata
uang yen penting untuk kami. Itu berarti makin banyak uang yang kami punya.

“Omong-omong tentang kucing,” kataku. Beberapa hari setelah kami membaca berita itu, “saat
aku kanak-kanak, aku punya kucing yang hilang dengan cara yang paling aneh.”

Izumi nampak ingin mendengar lebih jauh. Ia mengangkat wajahnya dari daftar konjugasinya
dan melihat padaku. “Bagaimana bisa begitu?”

“Aku waktu itu kelas dua, mungkin kelas tiga. Kami tinggal di rumah perusahaan dengan
halaman yang luas. Di kebun ada pohon pinus tua, sangat tinggi sampai kamu tak bisa melihat
bagian atasnya. Suatu hari, aku duduk membaca buku di beranda, sementara kucing berkulit
kura-kura itu bermain-main di kebun. Kucing itu melompat-lompat sendiri, sesuatu yang biasa
dilakukannya. Semua berjalan begitu saja. Tak sadar aku memperhatikannya. Makin lama aku
melihat, makin takut aku dibuatnya. Kucing itu nampak menarik perhatian, melompat-lompat,
ujung-ujung bulunya berdiri. Seolah-olah itu sesuatu yang tak bisa ku lakukan. Akhirnya, kucing
itu mulai berlari mengitari pohon pinus, seperti harimau di ‘Little Black Sambo’. Kemudian tiba-
tiba kucing itu memekik dan memanjat pohon hingga cabang-cabang tertinggi. Aku dapat
melihat wajah kecilnya naik ke puncak cabang. Kucing itu tetap begairah dan tegang. Ia
bersembunyi di antara cabang-cabang, melihat sesuatu. Aku memanggil namanya, tapi ia berlaku
seolah tak mendengar panggilanku.”

“Siapa nama kucing itu?” tanya Izumi.

“Aku lupa,” kataku. “Lama-lama malam makin pekat. Aku kuatir dan sejenak menunggu kucing
itu turun. Akhirnya malam benar-benar gelap dan kami tak pernah melihat kucing itu lagi.”
“Tak begitu luar biasa,” kata Izumi. “Kucing-kucing sering menghilang seperti itu. Terutama
saat mereka kepanasan. Mereka bersemangat berlebihan dan kemudian tak ingat untuk pulang.
Kucing itu pasti turun dari pohon pinus dan pergi entah ke mana ketika kau tak melihatnya.”

“Ku kira juga begitu,” aku berkata, “tapi aku masih kanak-kanak saat itu, dan aku yakin bahwa
kucing itu memutuskan untuk hidup di atas pohon. Itulah alasan kenapa kucing itu tidak turun.
Tiap hari, aku duduk di beranda dan melihat ke atas pohon pinus, berharap melihat kucing
mengintip dari sela cabang pohon.”

Izumi terlihat kehilangan minat. Ia menyalakan Salem kedua, kemudian memalingkan wajahnya
dan melihat padaku.

“Apakah terkadang kamu memikirkan anakmu?” tanyanya.

Aku tak tahu bagaimana meresponnya. “Terkadang aku memikirkannya,” jawabku jujur. “Tapi
tidak sepanjang waktu. Biasanya saat sesuatu mengingatkanku.”

“Apa kamu ingin melihatnya?”

“Kadang aku ingin,” kataku. Aku berbohong. Aku hanya berpikir itulah yang seharusnya kurasa.
Saat aku tinggal dengan anak laki-lakiku, ia adalah hal yang termanis yang pernah kulihat. Saat
aku pulang terlambat sampai di rumah, aku selalu masuk ke kamar anak laki-lakiku terlebih
dahulu, melihat wajahnya yang sedang tertidur. Kadang aku dilingkupi oleh hasrat mendekapnya
erat-erat sampai ia mungkin megap-megap. Sekarang semua tentangnya—wajahnya, suaranya,
tingkah lakunya—ada di daratan yang jauh. Semua yang dapat kuingat dengan jelas adalah
aroma sabunnya. Aku suka mandi dengannya dan menggosok-gosok tubuhnya. Kulitnya sensitif,
jadi istriku selalu menyediakan sabun batangan khusus untuknya. Semua yang dapat kuingat
tentang anak laki-lakiku adalah aroma sabun itu.

“Jika kamu mau kembali ke Jepang, jangan biarkan aku menghambatmu,” kata Izumi, “Jangan
kuatirkan aku. Aku dapat mengatasinya. Bagaimana pun itu.”

Aku mengangguk. Tapi aku tahu itu tak kan terjadi.


“Aku kuatir jika anakmu berpikir tentangmu saat ia bertumbuh dewasa,” kata Izumi. “seperti
kamu adalah seekor kucing yang menghilang pada sebuah pohon pinus.”
Aku tertawa. “Bisa jadi,” kataku.

Izumi menghancurkan rokoknya pada asbak dan menghembuskan napas panjang. “Ayo pulang
dan bercinta, oke?” katanya.

“Ini masih pagi”, kataku.

“Apa yang salah dengan itu?”

“Tidak ada,” kataku.

Kemudian, ketika aku terbangun di tengah malam, Izumi tidak ada. Aku melihat jam yang ada di
sebelah tempat tidur. Dua belas tiga puluh; aku meraba-raba lampu, menghidupkan, dan melihat
sekeliling kamar. Semuanya sunyi seperti jika seseorang merampok saat aku tidur dan butir-butir
debu sepi di sekeliling. Dua puntung Salem bengkok ada di asbak, sebuah bungkus rokok kosong
di sampingnya. Aku membuka pintu dan melihat ke halaman depan. Hanya sepasang kursi malas
vinil bermandikan sinar rembulan yang indah. “Izumi,” aku memanggilnya dengan suara pelan.
Tak ada. Aku memanggilnya lagi, kali ini dengan lebih keras. Jantungku berdebar. Apakah ini
suaraku? Ini terdengar terlalu keras, tidak wajar. Tetap tak ada jawab. Angin sepoi-sepoi dari laut
berdesir di ujung padang rumput. Aku menutup pintu; kembali ke dapur, dan menuang setengah
gelas anggur merah untuk menenangkan diri.

Sinar rembulan berseri-seri tertuang lewat jendela dapur, melemparkan bayangan aneh, dinding
dan lantai. Seluruh benda nampak seperti seperangkat pertanda dalam permainan avant garde.
Tiba-tiba aku ingat; malam ketika kucing menghilang di pohon pinus tepat seperti saat ini, bulan
purnama dengan tanpa segumpal pun awan. Setelah makan malam, aku beranjak ke beranda lagi
untuk mencari kucing. Seperti malam yang makin lekat, cahaya bulan makin terang. Untuk
sejumlah alasan tak terjelaskan, aku tak dapat melepaskan mataku dari pohon pinus. Dari waktu
ke waktu aku yakin menemukan mata kucing, bersinar di antara cabang-cabang. Tapi itu cuma
ilusi.
Aku menarik-narik sweter tebal dan celana jins, menyambar koin-koin di atas meja,
memasukkannya ke dalam saku, dan pergi ke luar. Izumi pasti tak bisa tidur dan pergi keluar
untuk berjalan-jalan. Pasti itu yang terjadi. Angin telah benar-benar mereda. Yang bisa ku dengar
adalah suara sepatu tenisku beradu dengan kerikil, seperti dalam soundtrack film yang
berlebihan. Izumi pasti pergi ke pelabuhan, aku memutuskan. Hanya ada satu jalan menuju
pelabuhan, sehingga aku tak akan selisih jalan dengannya. Penerangan di rumah-rumah
sepanjang jalan sudah padam semua, sinar rembulan mewarnai tanah jadi keperakan. Nampak
seperti dasar laut.

Sekitar setengah jalan menuju pelabuhan, aku mendengar suara samar-samar musik dan tertegun.
Pada awalnya aku pikir apakah itu halusinasi? Seperti saat tekanan udara berubah dan kamu
mendengar denging di telinga. Tapi saat mendengarkan seksama, aku menangkap sebuah melodi.
Aku menghentikan napas dan mendengarkannya sebisa mungkin. Tak diragukan lagi, itu suara
musik. Seseorang memainkan instrumennya. Langsung. Tanpa ampli. Tapi jenis instrumen
macam apa? Instrumen mandolin saat Anthony Quinn menari di ‘Zorba the Greek’? Petikan
bouzuki? Tapi siapa yang memainkan bouzouki di tengah malam begini? Dan di mana?

Alunan musik sepertinya datang dari desa di atas bukit yang kami daki setiap hari untuk berlatih.
Aku berdiri di persimpangan jalan, bingung apa yang harus dilakukan, mana arah yang harus
dipilih. Izumi pasti mendengar musik yang sama di tempat yang sama. Dan aku memiliki
perasaan nyata bahwa jika ia mendengar ia akan mendatanginya.

Aku mengambil resiko dan belok ke kanan persimpangan jalan, menuju lereng yang ku kenal
dengan baik. Tak ada pohon di sisi jalan, hanya semak-semak berduri setinggi lutut di bayang-
bayang jurang terjal. Semakin jauh aku berjalan, suara alunan musik makin keras dan jelas. Aku
bisa mengenali melodi lebih jernih. Juga ada kemeriahan di sana. Aku membayangkan semacam
pesta yang diadakan di desa atas bukit. Lalu aku ingat bahwa awal hari tadi, di pelabuhan, kami
melihat prosesi pernikahan yang meriah. Ini pasti pesta pernikahan, berlangsung hingga larut
malam.

Saat itu—tanpa peringatan—aku menghilang.


Mungkin sinar rembulan, atau musik tengah malam itu. Dengan tiap langkah yang ku ayun, aku
merasakan diriku tenggelam makin dalam pada pasir hisap di mana identitasku lenyap; ini adalah
perasaan yang sama seperti saat di pesawat, melintas di atas Mesir. Bukan aku yang berjalan di
bawah rembulan. Bukan aku yang berdiri melainkan gips yang memakai baju. Aku menggosok
tangan pada wajahku. Tapi ini bukan wajahku. Dan ini bukan tanganku. Jantungku berdebar di
dalam dada, mengaliri darah ke seluruh tubuh dengan kecepatan gila. Tubuh ini adalah boneka
gips, boneka voodoo yang ditiupkan kehidupan oleh si penyihir. Cahaya kehidupan yang
sebenarnya hilang. Pengganti sementaraku, otot palsu hanya melakukan gerakan-gerakan. Aku
adalah boneka, yang menjadi semacam korban.

Jadi di mana aku yang sebenarnya? Aku heran.

Tiba-tiba, suara Izumi datang entah dari mana. Kamu yang sebenarnya telah dimakan kucing-
kucing. Saat kamu berdiri di sini, sejumlah kucing lapar menyantap dirimu—memakan mu habis.
Dan yang tinggal hanya tulang-tulang.

Aku melihat sekeliling. Tentu saja itu cuma ilusi. Semua yang dapat kulihat batu-batu yang
bertebaran di tanah, semak-semak pendek dan bayangan-bayangan kurusnya. Suara itu ada di
kepalaku.

Berhentilah memikirkan pikiran-pikiran kelam, aku berkata sendiri. Seperti berusaha


menghindari gelombang besar, aku memegang sebuah karang di dasar laut dan mengatur
napasku. Gelombang pasti akan lewat. Kamu hanya lelah, aku berkata sendiri, dan kelelahan
sendiri. Tangkap apa yang nyata. Tak peduli apapun. Tangkap saja sesuatu yang nyata. Aku
meraih saku dan mengambil koin-koin. Mereka menyebabkan keringat di telapak tanganku.

Aku berusaha keras berpikir tentang sesuatu yang lain. Bagian belakang apartemenku yang cerah
di Unoki. Koleksi rekaman yang kutinggalkan di sana. Koleksi kecil rekaman jazzku yang
menyenangkan. Aku khusus pada pianis-pianis white jazz tahun ‘50an dan ‘60an. Lennie
Tristano, Al Haig, Claude Williamson, Lou Levy, Russ Freeman.. Kebanyakan album sudah tak
dibuat lagi, perlu waktu yang lama dan uang yang banyak untuk mengumpulkannya. Aku rajin
berkeliling toko musik, bertukar dengan kolektor lain, pelan-pelan melengkapi milikku.
Kebanyakan penampilan bukanlah yang kamu sebut sebagai “nomor satu”.
Tapi aku menyukai keunikan, suasana akrab disampaikan oleh rekaman-rekaman tua yang bau
apak. Dunia akan menjadi sebuah tempat yang cantik dan membosankan jika hanya terdiri dari
hal-hal yang nomor satu, kan? Setiap detil sampul rekaman kembali padaku, berat dan bobot
album-album di tanganku.

Tapi sekarang semuanya pergi selamanya. Dan aku dilenyapkan mereka sendiri. Tak akan lagi
dalam hidupku, aku mendengar rekaman-rekaman itu.

Aku ingat aroma tembakau saat mengecup Izumi. Rasa bibir dan lidahnya. Aku menutup mataku.
Aku ingin ia ada di sebelahku. Aku ingin ia menggenggam tanganku, seperti detik waktu kami
terbang di atas Mesir, dan tidak pernah membiarkannya pergi.

Gelombang itu akhirnya melewati ku dan pergi; dengan musiknya.

Apakah mereka berhenti bermain? Tentu saja itu mungkin. Lagi pula, hampir pukul satu. Atau
mungkin tak pernah ada musik yang mengalun. Itu juga mungkin. Aku tak lagi percaya
pendengaranku. Aku menutup mata lagi dan tenggelam dalam kesadaranku. Menjatuhkan ke
dalam kekelaman. Tapi aku tak dapat mendengar apapun. Bahkan gema.

Aku melihat jam tanganku. Dan menyadari aku tak mengenakannya. Kumasukan kedua
tanganku ke saku dan melepaskan nafas panjag. Aku tak betul-betul peduli tentang waktu. Aku
memandang ke langit. Bulan adalah batu dingin, kulitnya dihabisi oleh kekejaman tahun-tahun.
Bayangan di permukaannya seperti kanker yang meluas mengerikan. Sinar rembulan
memperdaya benak manusia. Dan membuat kucing menghilang. Mungkin juga membuat Izumi
menghilang. Mungkin itu semua adalah koreografi, dimulai dengan malam yang panjang itu.

Aku meregang, lenganku yang bengkok, jemariku. Haruskah aku meneruskannya, atau kembali
ke jalan awalku? Ke mana Izumi pergi? Tanpanya, bagaimana aku harus terus hidup, dengan
diriku sendiri pada pulau di balik laut? Ia satu-satunya yang bisa menggengam bersama
kerapuhanku sementara ini.

Aku terus mendaki ke atas bukit. Aku datang sejauh ini dan mungkin mencapai puncak. Apakah
benar ada alunan musik di sana? Aku harus melihatnya sendiri, bahkan jika hanya ada petunjuk
yang samar-samar. Dalam waktu lima menit, aku mencapai puncak. Ke arah selatan, lereng bukit
menuju lautan, pelabuhan, dan kota yang tertidur. Lampu jalanan yang menyebar menerangi
pesisir. Sisi lain gunung dibungkus kegelapan. Tidak ada tanda apapun bahwa baru saja ada pesta
meriah di sini.

Aku kembali ke pondok dan menenggak segelas brandy. Aku mencoba tidur, tak bisa. Hingga
langit timur mulai terang, aku dalam genggaman rembulan. Kemudian, tiba-tiba aku melihat
kucing-kucing, kelaparan hampir mati dalam apartemen yang terkunci. Aku—aku yang nyata—
telah mati, dan mereka hidup, memakan dagingku, mencabik jantungku, menghisap darahku,
melahap penisku. Dari kejauhan, aku dapat mendengar mereka menggedor-gedor otakku. Seperti
pesihir Macbeth, tiga kucing lincah mengelilingi kepala pecahku, menyeruput sup kental di
dalamnya. Ujung lidah mereka menjilat lembut lipatan-lipatan dalam kepalaku. Dan semuanya
menjilat kesadaranku yang berkedip-kedip seperti nyala api dan memudar.

* Cerita Pendek karya Haruki Murakami; diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris-Philip
Gabriel; diedit oleh Berto Tukan, si kekasih.

Penyerangan Toko Roti Kedua


AKU masih tidak yakin apakah sudah membuat keputusan yang tepat, saat kuceritakan kepada
istriku tentang penyerangan ke sebuah toko roti yang dulu sekali pernah kulakukan. Lalu
kusadari, keputusan yang telah kubuat barangkali tidak perlu dipertanyakan tepat atau tidaknya.
Maksudku, terkadang keputusan yang salah sekali pun bisa jadi berujung pada hasil yang tepat;
atau, malah sebaliknya. Sudah lama aku berpendapat begini:kenyataannya, kita tidak pernah
benar-benar memutuskan apa pun sejak awal. Pilihan yang kita punya cuma dua. Sesuatu
terjadi; atau, tidak pernah terjadi.

Bisa disimpulkan bahwa segala sesuatunya terjadi begitu saja ketika kuceritakan kepada istriku
tentang penyerangan ke sebuah toko roti yang dulu sekali pernah kulakukan. Kutegaskan saja,
ya, aku sendiri sama sekali tidak pernah bermaksud utuk mengungkit kejadian itu—bahkan, aku
sudah lama melupakannya.

Hal apa yang kemudian mengingatkanku pada kejadian itu adalah rasa lapar yang tak
tertahankan—yang menyerangku bahkan sebelum jam menunjukkan pukul dua pagi. Seingatku,
malam sebelumnya kami menyelesaikan santap-makan terakhir pada pukul enam, beranjak ke
tempat tidur pada pukul sembilan-tigapuluh, kemudian tertidur lelap setelahnya. Untuk alasan
yang tidak kami ketahui, aku dan istriku bangun pada saat bersamaan. Beberapa menit
setelahnya, rasa lapar yang-terlalu-tibatiba menyerang secepat tornado dalam kisah The Wizard
of Oz. Benar-benar rasa lapar yang keterlaluan.

Di dalam kulkas sama sekali tidak ada satu pun bahan persediaan yang layak dinamakan sebagai
makanan. Sebotol bumbu selada dan mentega dan enam kaleng bir dan dua siung bawang merah
yang telah layu dan sekotak pengharum kulkas. Dua minggu usia pernikahan tapi sekali pun
kami sama belum benar-benar menentukan pola hidup diet bagaimana yang seharusnya kami
jalani. Dalam waktu dua minggu ini, sepertinya kami hanya sepakat untuk satu: biarlah segala
sesuatunya berlalu dengan sendirinya, seolah kami sepasang manusia yang asing bagi satu
sama lain.

Sampai saat ini aku bekerja di sebuah kantor pengacara, sedang istriku bekerja sebagai seorang
sekretaris di sebuah sekolah seni rupa. Usiaku (yang entah kenapa, tidak bisa kuingat secara
pasti) rentang duadelapan-duasembilan, dan usianya dua tahun delapan bulan lebih muda dari
aku. Dan bahan persediaan makan sehari-hari adalah hal terakhir yang mungkin akan kami ingat.

Terlalu lapar untuk kembali tidur. Lebih menyebalkannya lagi, rasa lapar tidak mengizinkan
kami hanya untuk sekadar berbaring di atas kasur. Tapi. Kami sepakat, kami masih merasa
terlalu lapar bahkan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat sekali pun. Hingga akhirnya,
setelah beberapa lama berdiam diri, kami sama-sama memutuskan untuk beranjak dari kasur,
berjalan tanpa tujuan ke dapur, dan berakhir dengan saling duduk berhadapan di depan meja.
Kadang, kuduga-duga, hal apa, ya, kira-kira yang bisa menyebabkan rasa lapar yang begitu
menyebalkan seperti ini.

Bergantian, kami membuka-melihat-menutup pintu kulkas sambil berharap-harap. Tapi. Tak


peduli berapa kali pun membuka-melihat-menutup pintu kulkas, isi di dalamnya tidak pernah
berganti sedikit pun. Bir dan bawang merah, mentega dan bumbu selada, dan pengharum.
Sebenarnya, mungkin saja, sih, menyatai bawang merah dengan baluran mentega, namun sama
sekali tidak ada harapan kalau-kalau dua siung bawang merah yang sudah layu bisa mengisi
perut keroncongan kami. Bawang merah memang tidak cocok dimakan dengan baluran mentega,
dan keduanya bukanlah jenis makanan yang dapat kaumakan untuk memuaskan nafsu makan.

“Apa Madame mau menyantap satai bawang merah berbalur bumbu selada dengan tambahan
pengharum?”

Kuharap dia tidak menghiraukan upayaku untuk melucu, dan benar saja, dia memang
melakukannya. “Ayo masuk ke dalam mobil,” kataku. “Kita cari restoran yang buka hingga
tengah malam. Pasti ada satu restoran yang masih buka di pusat kota.”

“Tidak bisa,” katanya, menolak saranku. “Tidak seharusnya kan kita keluar rumah hanya untuk
mencari tempat makan, bahkan setelah lewat tengah malam seperti ini.” Ah, istriku, dia benar-
benar terlihat kolot kalau sudah seperti itu.

Kuhela napas, lalu bilangku, “Bukan begitu.”


Kapan pun istriku ingin balas menyampaikan pendapatnya, entah kenapa, perkataannya akan
bergaung dan bergaung dan terus bergaung di telingaku seolah-olah dia baru saja
mengungkapkan sebuah rahasia yang teramat penting. Atau, memang beginilah lazimnya yang
dialami oleh pengantin baru. Tapi. Saat dia mengatakan hal tadi kepadaku, aku mulai berpikiran
kalau rasa lapar yang kami alami adalah rasa lapar yang tidak biasa, rasa lapar yang seolah tidak
akan ada seorang pun di antara kami yang bisa terpuaskan hanya dengan pergi makan ke salah
satu restoran yang masih buka hingga tengah malam di pusat kota.

Rasa lapar yang tidak biasa. Wah, pikirku, rasa lapar apa, ya, namanya?

Kira-kira, kalau digambarkan menjadi sebuah film, beginilah gambaran yang sedang kami alami:

Satu, aku sedang berada di dalam perahu motor kecil, mengapung di atas permukaan laut yang
tenang. Dua, kulihat ke bawah laut, dan di dalam sana kutemukan puncak sebuah gunung berapi
yang sedang menyembur, dari dasar laut. Tiga, puncak gunungnya terlihat sangat dekat dengan
permukaan laut, tapi, anehnya, aku tidak bisa bilang seberapa dekat.Empat, poin ketiga yang tadi
kukatakan—sebenarnya—terjadi karena laut yang terlalu transparan telah mengaburkan jarak
pandangku.

Begitulah pengandaian yang, setidaknya, cukup mendekati, yang bisa kusampaikan untuk
menggambarkan bayangan di dalam kepalaku selama dua atau tiga detik di jeda antara ketika
istriku menolak untuk pergi mencari restoran yang masih buka hingga tengah malam dan ketika
aku membilang ‘Bukan begitu’. Tidak perlu menjadi Sigmund Freud, bahkan tidak perlu analisa
dengan berbagai macam teori rumit sekali pun, aku bisa memastikan pertanda macam apa, kira-
kira, yang ingin disampaikan oleh rasa lapar yang-terlalu-tibatiba ini. Perlahan, setelah dipikir-
pikir lagi, aku setuju dengan penolakan istriku.

Akhirnya, kami hanya melakukan satu-satunya hal yang bisa kami lakukan: membuka
bir.Setidaknya, minum bir jauh lebih masuk akal daripada makan satai bawang merah. Karena
istriku tidak begitu menyukai bir, kami membagi bir: dua untuknya, empat untukku. Ketika aku
sedang membuka lalu meminum bir pertamaku, dia memilih untuk mengecek almari di dapur
seperti tupai kecil di bulan Nopember. Dia menemukan sebuah bungkusan yang di dalamnya ada
empat keping biskuit mentega. Empat keping biskuit mentega yang terasa lembut dan basah;
masing-masing kami memakan dua keping, menyantapnya habis, bahkan hingga ke remah-
remahnya.

Sayangnya, tetap saja percuma. Rasa lapar yang kami rasakan semakin menjadi-jadi, dan tak
tertahankan seperti Sinai Peninsula, sementara itu biskuit menteganya sudah habis dan birnya
kian berkurang.

Waktu berjalan dengan lambat. Tanpa alasan khusus, aku memilih untuk membaca tulisan yang
ada di kaleng aluminium bir dan memerhatikan arloji dan melihat pintu kulkas dan membolak-
balik lembar surat kabar kemarin. Menggunakan pinggiran kartu pos, kukumpulkan remah-
remah biskuit di atas meja.
“Kautahu? Aku tidak pernah merasa selapar ini seumur hidupku, lho,” dia berkata. “Atau jangan-
jangan ada hubungannya dengan pernikahan kita, ya?”

“Mungkin saja iya,” aku berkata. “Atau mungkin juga tidak.”

Sementara dia mencari lagi makanan lain yang bisa dimakan, aku bersandar ke pinggiran perahu
motor di kepalaku, memandang ke dasar laut, dan di bawah sana masih dapat kulihat puncak
gunung berapi. Ketransparanan dasar lautnya membuat perasaanku tak menentu, seolah ada
lubang kosong yang terkuak entah di mana di belakang Solar Plexus-ku—serasa ada gua terkunci
yang tertutup begitu rapat, gua yang secara tiba-tiba tercipta (gua yang sama sekali tidak ada
pintu masuk ataupun pintu keluarnya) di dalam perutku. Entah kenapa, perasaan ini terasa begitu
janggal—seperti terasa ada sekaligus tiada pada saat bersamaan—bayangkan kau sedang
memanjat puncak sebuah bangunan yang teramat landai, kau memanjatnya dengan begitu berani,
lalu mendadak kausadar, saat melihat jauh ke bawah, kau merasa ketakutan. Seperti itulah
perasaan yang kini kualami. Perasaan yang tak pernah kualami sebelumnya. Kombinasi
sempurna antara rasa lapar yang tak tertahankan dan trauma acrophobia.

Rasa-rasanya rasa lapar yang sedang menyerang ini juga pernah kualami sebelumnya. Entah
kapan. Perutku terasa begitu lapar lalu.. kapan, ya?.. ah, aku ingat, aku pernah mengalaminya
saat—

“Penyerangan toko roti,” Kudengar diriku, tanpa sadar, mengatakannya.

“Penyerangan toko roti? Penyerangan seperti apa, sih, maksudmu?”

Dan begitulah awal mula segala sesuatunya.

“Aku pernah melakukan penyerangan ke sebuah toko roti. Dulu sekali. Bukan toko roti besar.
Bukan toko roti terkenal. Bahkan, rotinya tidak istimewa. Walau tidak buruk-buruk amat juga,
sih. Salah satu dari sekian banyak toko roti kecil dan biasa-biasa saja di tengah sebuah kawasan
pertokoan. Pemiliknya seorang pria tua yang melakukan segala sesuatunya sendiri. Memanggang
roti pada pagi hari, dan ketika semua rotinya terjual habis, dia akan menutup tokonya sepanjang
hari.”

“Lalu, kalau memang mau menyerang toko roti, kenapa harus toko roti yang itu?”

“Karena memang tidak ada alasan khusus kenapa harus menyerang toko roti yang lebih besar.
Yang kami inginkan pada saat itu hanyalah roti, bukan uang. Lagipula, kami sama sekali bukan
perampok ataupun maling betulan. Kami cuma mau roti. Itu saja.”

“Kami? Maksudmu kau tidak sendirian?”

“Lebih tepatnya, aku dan seorang teman baikku. Kami. Sepuluh tahun lalu. Saat itu kami
begitu kere, bahkan beli pasta gigi pun kami tak sanggup. Kami tidak pernah punya bahan
persediaan makanan yang cukup. Kami melakukan beberapa hal yang sangat memalukan hanya
untuk mendapatkan makanan. Menyerang toko roti, salah satunya.”
“Aku masih belum mengerti,” katanya dengan suara seperti melamun, sambil memandangku.
Sepasang matanya seakan sedang mencari bintang yang mulai redup cahayanya di langit saat
fajar. “Kenapa kalian tidak mencari pekerjaan saja? Kalian tentu bisa mendapatkan pekerjaan,
begitu lulus sekolah. Lebih mudah dan lebih baik daripada harus menyerang toko roti.”

“Kami tidak ingin bekerja sama sekali pada saat itu. Dan kami sama-sama sepakat untuk itu.”

“Tapi, sekarang kau sudah bekerja, kan?”

Aku mengangguk, lalu menenggak birku. Kuusap wajahku berulang kali. Kurasakan, bir yang
kuminum sedang mengacaukan kerja otakku dan menghalau rasa laparku secara perlahan.

“Waktu berganti. Orang-orang berganti,” kubilang. “Ayo kita tidur. Kita harus bangun pagi lebih
awal.”

“Aku sudah tidak mengantuk. Aku mau mendengarkan lebih banyak tentang penyerangan toko
roti yang pernah kaulakukan itu.”

“Nggak ada yang perlu kuceritakan lagi. Penyerangannya batal. Jadi, memang tidak pernah ada
penyerangan toko roti, sebenarnya.”

“Penyerangannya gagal?”

Aku menyerah. Kuputuskan untuk menunda tidur, lalu kubuka satu kaleng bir lagi. Begitu
tertarik pada sebuah cerita, dia harus mendengarkan ceritanya secara keseluruhan. Begitulah
istriku.

“Perampokannya gagal. Tapi. Pada saat bersamaan, bisa dibilang juga berhasil. Kami
mendapatkan apa yang kami inginkan. Yang terjadi sesungguhnya: si pemilik toko roti
memberikan roti-roti panggangannya sebelum kami mencoba untuk mengambilnya secara
paksa.”

“Diberikan secara cuma-cuma?”

“Wah, bukan begitu. Gimana, ya, harus kubilang.” Aku menggeleng beberapa kali. “Si pemilik
toko roti ternyata seorang penggila musik klasik, dan kebetulan sekali ketika kami mencoba
untuk melakukan penyerangan, pria tua itu sedang mendengarkan albumoverture-nya Wagner.
Jadi, dia membuat sebuah kesepakatan dengan kami. Dia bilang, kalau kami mau mendengarkan
rekaman satu album penuh Wagner, kami boleh mengambil roti sebanyak yang kami mau.
Kubilang hal itu kepada teman baikku, kami coba bicarakan berdua, kami pun sepakat. Baiklah,
kami bilang. Lagipula, dengan begitu, tidak akan ada seorang pun yang harus melukai ataupun
dilukai. Jadi, kami memasukkan belati ke dalam tas, mengambil dua bangku, lalu
mendengarkan overture Wagner: Tannhauser dan The Flying Dutchman.”

“Dan sesudahnya, kalian mendapatkan rotinya?”


Begitulah, kataku kepadanya. “Kami mengambil hampir seluruh roti yang ada di toko pria tua
itu. Kami isi tas kami dengan berbagai macam roti, lalu kami pulang. Selama empat-lima hari,
kuyakin, kami tidak perlu repot-repot lagi memikirkan makanan.” Kuminum birku sedikit demi
sedikit. Seperti ombak tenang yang tercipta karena guncangan gunung berapi di dasar laut sana,
rasa kantuk memaksa perahu motor di dalam kepalaku terombang-ambing di lautan secara
perlahan-lahan.

“Tentu saja, saat itu, pada akhirnya kami mendapatkan apa yang kami inginkan. Kami
mendapatkan roti, dan tidak ada seorang pun yang bisa bilang bahwa kami sudah melakukan
sebuah tindak kejahatan. Apa yang terjadi tidak lebih dari sebuah transaksi. Kesepakatan. Kami
mendengarkan album rekaman Wagner bersama si pemilik toko, dan kami mendapatkan roti-
nya. Singkat kata: kesepakatan kerja yang saling menguntungkan kedua belah pihak.”

“Tapi, mendengarkan album rekaman Wagner bukanlah sebuah pekerjaan,” dia menegaskan.

“Oh, tidak, tentu saja tidak. Kalau saja si pemilik toko roti meminta kami untuk mencuci piring-
piringnya atau membersihkan jendela-jendelanya atau melakukan hal lain—selain mendengarkan
sebuah album rekaman, kami pasti akan menyerangnya sebagaimana mestinya. Tapi. Yang
dimintanya dari kami hanyalah mendengarkan rekaman albumoverture Wagner—dari awal
hingga akhir. Tidak ada seorang pun dari kami yang menduga hal itu. Maksudku—Wagner?
Entahlah, namun, aku merasa kalau si pemilik toko roti sedang memberi kami semacam kutukan
saat itu. Dan sekarang, setelah kupikir-pikir lagi, seharusnya kami tolak saja tawarannya. Kami
bekuk si pria tua itu dengan belati sebelum dia menawarkan kesepakatan dengan album Wagner
sialannya, lalu mengambil persediaan rotinya. Dan takkan ada masalah apa pun setelahnya.”

“Kau bermasalah dengan tawaran itu?

“Sedikit. Tapi. Tidak ada gunanya juga memikirkan hal itu lagi, sebetulnya. Segala sesuatunya
perlahan berubah semenjak kejadian itu, seolah aku baru saja mengalami titik balik dalam
hidupku. Setelahnya, aku meneruskan studi di universitas, lalu aku lulus—diwisuda, lalu aku
mulai bekerja di sebuah perusahaan pengacara, lalu aku bertemu denganmu dan menikah. Aku
sama sekali tidak pernah lagi melakukan hal yang mungkin bisa sangat memalukan diriku
sendiriku. Dan tidak ada lagi yang namanya penyerangan ke toko roti.”

“Hanya itu?” tanyanya, seakan mengharapkan sesuatu yang lebih besar.

“Hanya itu.” Kuminum bir terakhirku. Enam kaleng bir sudah kutandaskan. Enam besi-penutup-
kaleng-bir terkumpul di asbak rokok seperti sisik-sisik putri duyung.

Yah, sebenarnya, bohong, sih, kalau kukatakan tidak ada satu pun hal yang terjadi semenjak
penyerangan toko roti itu. Ada cukup banyak hal yang terjadi setelahnya, tapi aku sama sekali
sedang tidak ingin membicarakan hal itu dengannya.

“Jadi, apa yang teman baikmu itu lakukan sekarang?”


“Entahlah. Sesuatu terjadi—sesuatu yang tak perlu dijelaskan lebih rinci—dan setelahnya kami
tidak lagi saling berbicara. Aku bahkan tidak pernah melihatnya. Aku tak tahu apa yang
dilakukannya sekarang.”

Selama beberapa saat, istriku tidak mengatakan apa pun. Kuyakin, dia sudah merasa kalau aku
tidak menceritakan keseluruhan ceritanya. Tapi. Untungnya, dia juga tidak terlihat bermaksud
memaksaku untuk lanjut bercerita.

Tapi, kata istriku, kurasa alasan mengapa kalian berdua putus hubungan, pasti berhubungan
dengan penyerangan toko roti itu, kan?

Bisa jadi, kataku kepadanya, kupikir-pikir lagi, apa yang sebetulnya sedang terjadi pada saat itu
tidak sesederhana yang kami duga. Kami berdua, lanjutku, mempertanyakan kaitan antara
Wagner dan roti selama beberapa hari sejak saat itu. Berulang kali kami memastikan apa benar
kami sudah membuat keputusan yang tepat. Sayangnya, tidak ada satu pun dari kami yang yakin.
Walaupun, ya, tentu saja, dari sudut pandang orang normal, kami telah membuat keputusan yang
bisa dibilang tepat. Tidak ada seorang pun yang harus melukai ataupun dilukai, kataku,
mengingatkan istriku. Setiap orang mendapatkan apa yang diinginkan. Si pemilik toko roti—
meski hingga kini aku sendiri masih belum tahu kenapa dia melakukan apa yang dia lakukan
pada saat itu—tentu saja telah berhasil dengan propaganda Wagner-nya. Dan kami berhasil
dengan persediaan roti empat-lima hari kami.

Setelah diam beberapa saat, akhirnya aku mengaku, “Meskipun begitu, kami punya firasat bahwa
kami telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dan entah mengapa, kesalahan ini melekat di diri
kami, tak terselesaikan, seakan menjelma sesosok bayangan kelam yang terus saja menghantui
sepanjang hidup kami. Itulah permasalahan yang kumaksud. Kutukan si pemilik toko roti. Benar-
benar kutukan yang sebenarnya.”

“Dan kaupikir, kutukan itu masih kaurasakan?”

Kuambil keenam besi-penutup-kaleng-bir dari asbak rokok, lalu menyusunnya ke dalam


lingkaran aluminium—seukuran gelang tangan.

“Siapa yang tahu? Berani bertaruh, dunia ini penuh dengan berbagai macam kutukan. Sulit untuk
benar-benar tahu kutukan mana yang membuat sesuatu menjadi tidak sebagaimana semestinya,
dalam hidup kita.”

Kau salah, bilangnya sambil menatapku. “Kau harus menghancurkan kutukan yang kaupikir
sedang melekat pada dirimu. Sebab, bila tidak, kutukannya akan terus kaurasakan seperti rasa
sakit gigi. Kutukan itu akan menempel kepadamu sampai kau mati. Dan bukan hanya kau saja.
Kurasa, kutukanmu telah menular kepadaku.”

“Kau?”

“Begini, sekarang aku adalah teman baikmu, ya, kan? Pikirmu, kenapa kita berdua merasakan
kelaparan bersama-sama? Kuingatkan, ya, tidak pernah sekali pun aku merasa selapar ini seumur
hidupku. Tidak, sampai akhirnya kita menikah. Tidakkah kaupikir ini janggal? Kutukanmu
menular kepadaku.”

Aku mengangguk. Kemudian kuremas cincin besi-penutup-kaleng-bir, membuangnya ke dalam


asbak rokok. Aku sendiri tidak yakin kalau-kalau apa yang dia bilang benar adanya. Tapi. Di sisi
lain perasaanku bilang, apa yang dikatakan dia sama sekali tidak salah.

Mendadak, rasa lapar melilit perutku lebih kuat dari sebelumnya, bahkan kepalaku sampai terasa
pening dibuatnya. Semakin lama, rasa lapar yang kurasakan semakin menyebalkan, menyerang
kepala dan perutku tanpa henti seakan di dalam tubuhku telah dijejali berbagai macam peralatan
mesin yang rumit.

Kuperhatikan lagi gunung berapi bawah lautnya. Permukaan air—dan isinya—bahkan terlihat
lebih jernih dari sebelumnya—jauh lebih jernih. Kalau saja tidak memerhatikannya secara
saksama, aku pasti tidak akan sadar kalau ada gunung berapi di dasar laut sana. Perasaanku
bilang, perahu motor yang kunaiki seolah sedang melayang-layang di udara—padahal tidak ada
satu pun yang menyokong perahu motorku. Malah, aku serasa mampu melihat setiap detail
bebatuan yang ada di dasar laut. Apa yang seharusnya kulakukan, sebenarnya sederhana: aku
hanya perlu melompat dari perahu, menyentuh segala yang ada, laut-gunung berapi-bebatuan-
dan-dasar-lautnya.

“Barangkali sampai saat ini kita memang masih hidup bersama selama dua minggu,” katanya,
“tapi, selama dua minggu ini pula aku selalu merasa ada sesuatu yang janggal yang sedang
terjadi.” Sepasang matanya menatap lekat kepadaku. Kedua tangannya diangkatnya ke atas meja;
jemarinya saling bertautan. “Sampai tadi, tentu saja, aku tidak tahu kalau kejanggalan yang
kurasakan adalah sebuah kutukan. Sekarang semuanya jelas sudah. Kau masih dikutuk. Dan
kutukan itu menular kepadaku.”

“Kejanggalan seperti apa yang kaumaksud?”

“Rasanya seperti menemukan gordin berat yang penuh debu—seolah tidak pernah dicuci selama
bertahu-tahun—menggantung, menutupi kisi-kisi ruangan.”

“Tapi.. bisa saja kan yang kaursakan itu bukan kutukan. Kau sama sekali tidak pernah dikutuk.
Hanya aku.” kataku, sambil tersenyum.

Tapi dia tidak tersenyum sedikit pun.

Bukan hanya kau, katanya, seolah menegaskan.

Baiklah, baiklah, ucapku, anggaplah kau benar, anggaplah ini kutukan, jadi apa yang harus
kulakukan?

Penyerangan toko roti kedua, bilangnya—masih tidak tersenyum. Saat ini juga. Sekarang. Hanya
ini satu-satunya jalan keluar.
Sekarang? seruku, terkaget.

Ya, sekarang, serunya, saat kau masih merasa sangat lapar. Kau harus menyelesaikan apa yang
belum kauselesaikan.

“Tapi, sekarang sudah lewat tengah malam. Memangnya, apa masih ada toko roti yang buka jam
segini?”

“Pasti ada. Tokyo kota yang besar. Pasti masih ada satu toko roti yang buka hingga lewat tengah
malam.”

KINI kami sudah berada di dalam mobil Corolla tuaku, mengelilingi jalanan kota Tokyo pada
pukul dua-tigapuluh pagi tanpa arah dengan satu tujuan pasti: toko roti. Di sinilah kami berdua.
Aku; yang berada di bangku kemudi, memeluk stir mobil. Istriku; yang berada tepat di
sebelahku. Berdua, kami menelusuri jalanan sambil mengawasi setiap sudut jalan seperti elang
yang sedang mencari mangsa. Tergeletak di bangku belakang, sepanjang dan sekaku bangkai
ikan, sepucuk senapan otomatis Remington. Sarung senapannya disimpan oleh istriku ke dalam
kantong jaket hujannya. Di dalam laci mobil, sudah tersedia sepasang topeng hitam, yang biasa
dipakai oleh pemain ski es. Apa kira-kira alasan mengapa istriku memiliki sepucuk senapan
otomatis, masih menjadi rahasia tersendiri. Atau, kenapa juga dia punya topeng untuk bermain
ski es, padahal tak seorang pun di antara kami yang bermain ski es. Tapi. Dia sama sekali tidak
mencoba untuk menjelaskan dan aku sama sekali tidak mencoba untuk menanyakannya.
Kehidupan pascapernikahan memang aneh, pikirku.

Sayangnya, walau perlengkapan telah sesempurna mungkin, kami belum melihat satu pun toko
roti yang masih buka. Kukemudikan mobil menelusuri jalanan kosong. Dari Yoyogi ke Shinjuku,
lalu ke Yotsuya dan Akasaka, lalu Aoyama dan Hiroo, lalu Roppongi dan Daikanyama, lalu
Shibuya. Ada berbagai jenis orang dan toko saat Tokyo sudah lewat tengah malam begini. Tapi.
Tidak ada satu pun toko roti.

Dua kali, kami sempat berpapasan dengan mobil patrol. Mobil patrol pertama sedang berhenti di
sisi jalan, para polisi di dalam mobil itu berjaga sambil mencoba untuk tidak terlihat mencolok
(mungkin untuk mengelabui siapa pun yang ingin berbuat tindak kriminal saat tengah malam).
Mobil patroli kedua melaju dengan lambat, perlahan mendekat dari belakang mobil kami,
melewati kami, dan pada akhirnya melaju jauh di depan meninggalkan kami. Dan di kedua
waktu itu aku bisa merasakan tanganku sangat basah. Hebatnya, perhatian istriku sama sekali
tidak terusik. Dia masih berkonsentrasi mencari toko roti.

“Lebih baik kita lupakan saja,” kataku, akhirnya. “Tidak akan ada satu pun toko roti yang masih
buka di jam segini. Kau—“

“Berhenti!”

Kupijak rem secara mendadak.


“Itu dia,” katanya.

Kuperhatikan sekitar. Pertokoan di sepanjang jalan di depan sana memiliki pintu toko jenis yang
biasa dibuka-ditutup dengan menaik-turunkan. Lingkungan pertokoan yang minim pencahayaan,
dan jarak antara satu toko dengan toko lain dibatasi oleh dinding kaku. Sebuah plang nama
tukang cukur menggelantung di kegelapan. Sekitar duaratus yard di depan, kulihat ada sebuah
plang berlampu lengkap dengan logo Mc Donald.

“Mana? Aku sama sekali tidak melihat ada toko roti di sekitar sini.”

Tanpa berkata-kata, dia membuka laci mobil, mengeluarkan satu gulungan lakban hitam. Masih
menggenggam lakban, dia keluar dari mobil, dan aku mengikutinya dari belakang. Berlutut di
depan mobil, dia menyobek lakban, melekatkannya ke nomor plat kendaraan mobil kami,
mencoba menyamarkan platnya. Kemudian, dia berpindah ke belakang mobil, berlutut, lalu
melakukan hal sama seperti sebelumnya. Langkah-langkah dan gerakan-gerakannya betul-betul
efisien dan terlatih. Aku hanya berdiri, berdiam, menatapnya tak percaya.

“Kita akan menyerang Mc Donald,” sahutnya, dengan suara sedingin seperti ketika dia
mengatakan menu apa yang akan kami santap sebagai makan malam.

“Mc Donald bukan toko roti,” sahutku, mengingatkannya.

“Lebih tepatnya mirip sebuah toko roti,” tandasnya. “Kadang kau harus berkompromi bila
dibutuhkan. Sudahlah, ayo.”

Kukemudikan mobil menuju Mc Donald, memarkir mobil di tempat parkiran. Diserahkannya


selimut yang membungkus senapan kepadaku.

“Aku belum pernah menggunakan senapan sekali pun seumur hidupku,” protesku.

“Dan kau memang tidak harus menggunakan senapannya. Cukup pegang saja. Mengerti?
Lakukan sesuai instruksiku. Kita masuk ke sana, dan begitu mereka mengucapkan ‘Selamat
datang di Mc Donald’, kita akan langsung mengenakan topeng. Mengerti, kan?”

“Tentu aku mengerti. Tapi tetap saja—“

“Bagus kalau kau sudah mengerti. Berapa banyak hamburger, ya, yang kita perlukan?
Tigapuluh?”

“Bisa jadi.” Menghela napas, kuraih senapan, membalikkan selimutnya sedikit. Senapannya
seberat karung pasir dan segelap langit malam.

“Apa kita memang harus melakukannya?” tanyaku, kepadanya dan kepada diriku sendiri.

“Tentu saja.”
Memakai topi Mc Donald, seorang gadis di belakang meja konter di dekat pintu masuk,
menyambut kami dengan senyuman khas Mc Donald dan sapaan ‘Selamat datang di Mc
Donald’-nya. Aku sama sekali tidak menyangka kalau-kalau masih ada seorang gadis yang
bekerja di Mc Donald hingga larut malam begini, alhasil, untuk beberapa saat, melihat gadis itu,
aku sempat merasa gugup. Tapi. Hanya beberapa saat kegugupan, setelahnya, segera kukenakan
topeng yang telah disediakan. Berhadapan secara mendadak dengan sepasang manusia
bertopeng, apalagi saat tengah malam begini, gadis itu terkejut dengan pandangan tak percaya.

Dapat dimengerti, tentu saja. Pasti standart operasional pekerjaan Mc Donald sama sekali tidak


pernah menjelaskan sedikit pun kalau-kalau kau mengalami hal seperti ini. Bisa kubayangkan,
sesaat setelah melihat kami, gadis itu sudah bersiap-siap akan mengatakan apa sesudah ucapan
‘Selamat datang di Mc Donald’-nya itu. Tapi. Kini bibirnya terlihat begitu kaku, dan tidak ada
sepatah kata pun yang mampu dia ucapkan. Meskipun begitu, kuakui, bagai bulan sabit di tengah
malam, lengkung senyum Mc Donald-nya masih menghiasi bibirnya.

Secepat mungkin, kukeluarkan senapan dari balutan selimut, mengarahkannya ke jejeran meja
pengunjung Mc Donald, sampai kemudian kusadari kalau satu-satunya pengunjung yang ada
hanyalah sepasang remaja—pelajar, kurasa—yang wajah keduanya menelungkup di atas meja
plastik Mc Donald, seperti sedang tertidur saja. Sepasang kepala dan dua gelas susu kocok
strawberry tersusun berjajar di atas meja seperti barisan patung Avant-garde. Mereka tampak
tertidur pulas seolah onggokan mayat. Dan mereka sama sekali tidak terlihat akan memberikan
ancaman yang berarti. Jadi, kuayunkan senapanku, mengacungkannya ke meja konter Mc
Donald.

Keseluruhan, ada tiga pegawai Mc Donald. Gadis Mc Donald yang berada di balik meja konter,
Manajer Mc Donald—seorang pria berkulit nyaris pucat dengan wajah bulat telur, yang
kuperkirakan berusia akhir duapuluhan—dan seorang pemuda Mc Donald yang semestinya
berada di dapur—tipe pemuda yang selalu saja memasang wajah tanpa ekspresi. Mereka berdiri
berjejer di belakang mesin kasir, menatap moncong senapan seperti sekumpul wisatawan yang
terpesona melihat sumur Incan. Tak seorang pun yang berteriak, dan tak seorang pun yang
membuat gerakan mencurigakan. Senapannya betul-betul berat, jadi kusandarkan tubuh senapa
di atas mesin kasir, sementara jariku mengunci pelatuknya.

“Aku akan memberikan seluruh uang yang ada,” sahut si Manager; suaranya terdengar bergetar.
“Tapi, sungguh, uang di mesin kasir mungkin tidak banyak, dan kalian boleh mengambil
semuanya. Kujamin.”

“Turunkan penutup toko dan matikan lampu plang Mc Donald-nya,” sahut istriku, seakan tak
mendengar perkataan si Manajer.

“Sebentar,” kata si Manajer, “kami tidak bisa melakukan hal itu. Akan bermasalah kalau toko
ditutup tanpa izin.”

Istriku mengulangi perintahnya, perlahan—lambat-lambat—seakan mengancam. Kontan, wajah


si Manajer terlihat pucat.
“Sebaiknya kalian melakukan apa yang dia perintahkan,” kataku, mengingatkan.

Si Manajer Mc Donald menatap moncong senapan di atas mesin kasir, lalau menatap istriku, lalu
menatap untuk kali kesekian ke moncong senapan. Akhirnya, si Manajer menyerah—mungkin
dia sudah sadar, dia tidak akan bisa bernegosiasi apa pun. Dia mematikan lampu plang Mc
Donald, menekan tombol pada panel—yang membuat pintu toko segera menutup otomatis.
Kuperhatikan pria itu hati-hati, jaga-jaga kalau-kalau dia menghidupkan alarm anti maling,
sampai akhirnya kusadari, kalau ternyata Mc Donald tidak pernah memasang alarm anti maling.
Mungkin, sebelum-sebelumnya Mc Donald sama sekali tidak pernah kerampokan atau,
seenggaknya, diserang. Setidaknya, sampai sebelum kami datang.

Saat menutup, pintu tokonya terdengar begitu berisik, menimbulkan suara bising yang cukup
mengganggu seperti ember kosong yang dipukul-pukul berulang kali dengan batbaseball. Tapi,
tetap saja pasangan remaja yang tertidur dengan wajah menelungkup di sana masih tertidur
pulas, memperdengarkan suara dengkuran yang kencang. Omong-omong suara dengkuran, aku
tidak pernah mendengar suara dengkur sekencang itu selama bertahun-tahun.

“Tigapuluh hamburger Big Mac—untuk dibawa pulang,” bilang istriku, tiba-tiba.

“Dengar, kalau kalian mau, aku bisa memberikan kalian semua uang yang ada,” bilang si
Manajer, suaranya terdengar serius. “Aku bahkan akan memberikan lebih dari yang dibutuhkan,
jadi kalian bisa membeli makanan entah di mana. Mungkin hal ini akan mengacaukan neraca
pendapatan kami tapi—“

“Sebaiknya kalian melakukan apa yang dia minta,” bilangku, lagi, mengingatkan.

Mereka bertiga pun pergi ke dapur (area kerja dapur Mc Donald memungkinkan pengunjung
untuk melihat cara kerja mereka, jadi bisa kuyakin mereka tidak akan melakukan tindakan
mencurigakan). Si pemuda Mc Donald  mempersiapkan hamburger, si Manajer Mc
Donald  memasukkan hamburger ke dalam kantong, dan si gadis Mc Donaldmembungkus
hamburger—siap untuk dibawa pulang. Dan selama mereka bekerja, tidak ada seorang pun yang
berbicara.

Kusandarkan tubuhku pada mesin pendingin yang sangat besar di dekatku, masih sambil
mengacungkan senapan ke meja penggorengan. Di atasnya, irisan tipis daging ham disusun
berjejer, membuat meja penggorengan menjadi pola polkadot. Aroma irisan tipis daging yang
sedang dipanggang menguar ke udara, bertiup ke tubuhku seperti serangan sekumpulan serangga
berukuran sangat kecil, menyusup ke dalam tubuhku—ke seluruh bagian celah tubuh, memenuhi
setiap sudutnya, lalu menyebar hingga ke pusat rasa lapar di dalam perutku.

Tumpukan burger yang telah dibungkus semakin banyak di depanku. Sebisanya kutahan diriku
untuk tidak menyambar dan menyobek bungkusan burger Big Mac-nya. Aku harus belajar
menunggu, kataku kepada diriku sendiri. Panas dari meja penggorengan membuatku mulai
berkeringat.
Sekilas, kuperhatikan, para pegawai Mc Donald  melirik moncong senapanku. Kugaruk kedua
mataku dengan ujung jari kelingking kiri. Mataku memang selalu terasa perih kalau sedang
gugup. Menggarukkan ujung jari kelingking kiri ke kedua mataku, aku malah terlihat seperti
berniat mengayunkan leher senapan ke atas dan ke bawah berulang kali, sehingga membuat
mereka merasa terganggu. Tapi. Rasa perihnya masih belum hilang karena benang wool topeng
yang kupakai. Untungnya mereka bertiga tidak tahu tentang hal ini dan aku sendiri tidak
bermaksud untuk memberitahukan hal ini kepada mereka.

Istriku menghitung hamburger yang telah disajikan dan siap untuk dibawa pulang, lalu
memasukkannya ke dalam tas belanja yang telah disediakannya sedari awal. Limabelas burger
dalam satu tas belanja.

“Kenapa kalian harus melakukan hal ini?” si gadis Mc Donald bertanya kepadaku. “Kenapa
kalian tidak mengambil uangnya saja? Kalian kan bisa membeli makanan apa pun yang kalian
suka. Memang, apa enaknya makan tigapuluh hamburger Big Mac?”

Aku mengangguk, membenarkan.

Tanpa diminta, istriku langsung menjelaskan, katanya, “Kami benar-benar minta maaf, sungguh.
Tapi sudah tidak ada lagi toko roti yang masih buka jam segini. Kalau saja masih ada, kami pasti
akan lebih memilih toko roti itu, alih-alih Mc Donald.”

Entah bagaimana, tapi, mereka terlihat lega. Ya, setidaknya mereka tidak bertanya-tanya lagi.
Setelahnya, istriku memesan dua kola ukuran besar, lalu memberikan beberapa yenkepada si
gadis Mc Donald.

“Kami hanya menginginkan roti-roti itu. Tidak ada yang lain,” jelasnya. Sementara itu, si
gadis Mc Donald  mencoba menanggapi perkataan istriku dengan gerakan kepala yang rumit—
setidaknya, terlihat begitu. Dia seperti ragu antara ingin mengangguk atau menggeleng. Atau
bisa saja, sebenarnya dia ingin mengangguk dan menggeleng pada saat bersamaan. Rasa-rasanya
aku paham betul apa yang dirasakan si gadis Mc Donald.

Setelah memastikan ketigapuluh Big Mac tersaji, istriku mengeluarkan sebuah gulungan tali


tambang dari kantung jaketnya—jangan lupa, dia sudah mempersiapkan segalanya—lalu
mengikat ketiga pegawai Mc Donald semahir dia menjahit kancing baju. Dia bertanya berulang
kali kalau-kalau ikatannya terlalu kencang atau kalau-kalau ada yang mau pergi ke toilet terlebih
dulu, tapi tidak seorang pun berbicara. Kubungkus kembali senapan ke dalam selimut, sementara
istriku mengambil tas belanjanya, dan kami pun bergegas keluar. Kedua remaja di sana masih
terlelap seperti sepasang ikan mati. Wah, pikirku, apa, ya, yang harus dilakukan untuk
membangunkan keduanya dari tidur pulas mereka.

Kami berkendara selama hampir setengah jam, sampai akhirnya menemukan tempat parkiran
yang kosong di sebuah gedung, lalu kami pun memutuskan untuk berhenti. Di sana kami
menyantap hamburger dan menikmati kola. Aku memakan enam Big Mac dan istriku memakan
empat. Duapuluh hamburger Big Mac yang tersisa kami letakkan di bangku belakang. Rasa
laparnya—rasa lapar yang kupikir tidak akan pernah terpuaskan—hilang seperti sinar matahari
pertama yang meruah saat fajar menyingsing. Cahaya matahari menimpa dinding bangunan,
membuat warna dinding menjadi abu-abu, membuat menara iklan SONY BETA berukuran besar
di seberang kami menjadi begitu bercahaya. Suara decitan ban mobil di jalanan seakan
bersusulan dengan kicau burung-burung. RadioAmerican Armed Force sedang memutar
musik cowboy. Kami berdua berbagi rokok. Setelahnya, dia menyandarkan kepalanya ke bahuku.

“Apa kaupikir, apa yang kita lakukan tadi benar-benar perlu?” tanyaku.

“Tentu saja.” Dengan satu tarikan napas yang teramat dalam, dia tertidur di sampingku. Kalau
sudah begitu, dia terlihat sangat lembut dan manis seperti seekor anak kucing.

Sekarang aku benar-benar sendiri. Kurebahkan badanku ke pinggir perahu motor di dalam
kepalaku, melihat ke bawah laut, dan kusadari kalau gunung berapinya sudah lenyap. Permukaan
air laut memantulkan angkasa biru di atasnya. Ombak mungil—seperti baju tidur sutra yang
ditiup perlahan oleh nyiur angin di suatu sore—mengombang-ambingkan perahu motorku
perlahan, perlahan—sangat perlahan. Benar-benar sore yang tenang di tengah lautan.

Kurentangkan tubuh-kaki-tangan, kusandarkan tubuh ke lambung perahu motor, kupejamkan


mata sambil menanti ombak laut berikutnya yang akan membawaku entah ke mana.

-diterjemahkan secara bebas oleh: Dedek Fidelis Sinabutar

*Catatan: Cerpen ‘Penyerangan Toko Roti Kedua’ tergabung dalam buku kumpulan cerpen


Haruki Murakami yang berjudul ‘Elephant Vanishes’ dengan judul asli ‘Pan’ya Saishūgeki’.
Dalam versi bahasa Inggris sendiri, cerpen ini dialihbasakan menjadi ‘The Second Bakery
Attack’  oleh Jay Rubin. 

Anda mungkin juga menyukai