Anda di halaman 1dari 8

Menunggu

Osamu Dazai

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan judul ―Matsu‖ pada
tahun 1942

Diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Angus Turvill


dan diterbitkan oleh Japanese Publishing and Promotion Center pada tahun
2007

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh M. Al Mukhlishiddin dari versi


terjemahan bahasa Inggris pada tahun 2015

Diterbitkan di TerjemahAl pada tahun 2016

Sampul edisi ini disesuaikan dari sampul edisi bahasa Inggris

Perancang sampul: Holly Esparrago


2

Tiap hari aku pergi ke stasiun kecil untuk menemui

seseorang. Siapakah orang itu, entahlah.

Aku selalu pergi ke sana tiap kali pulang ke rumah

dari pasar. Aku duduk di bangku dingin, memangkukan

keranjang, dan memandang gerbang cek karcis. Tiap kali

sebuah kereta tiba—kereta ke hulu atau kereta ke hilir—

penumpang menghambur keluar dari pintu gerbong dan

berduyun-duyun ke gerbang. Dengan raut gusar mereka

menunjukkan kartu masuk, menyerahkan karcis. Lalu,

dengan tatapan lurus ke depan, mereka bergegas. Mereka

melewati bangkuku menuju ruang terbuka di depan

stasiun, lalu berceraiberai ke tujuannya masing-masing.

Aku cuma duduk di sini. Bagaimana kalau nanti ada

seseorang yang tersenyum dan mengajakku berbincang?

Oh, tidak, jangan! Pikiran ini membuatku sangat gugup.

Memikirkannya saja membuatku bergidik, seperti kalau

air dingin diguyurkan ke punggungku—aku merasa sesak.


3

Tapi tetap saja aku menunggu seseorang, tiap hari.

Siapakah gerangan orang yang kutunggu itu? Orangnya

macam apa? Tapi mungkin juga bukan seorang manusia.

Aku tak suka orang-orang! Lebih tepatnya, mereka

membuatku takut. Berhadapan dengan seseorang,

mengatakan hal yang sebenarnya tak kuinginkan, seperti

―apa kabar?‖ atau ―udaranya makin dingin, ya?‖—

ngomong cuma asal ngomong belaka. Aku benci itu. Aku

jadi merasa seperti seorang pembohong, seakan-akan tiada

pembohong lebih besar di dunia ini. Aku jadi ingin mati

saja. Dan orang yang berbicara denganku, karena terlalu

waspada terhadapku, memberi pujian tak jelas,

menguraikan pendapatnya padahal sebenarnya dia tak

punya pendapat. Aku mendengarkan mereka dan merasa

sedih, sedih karena kewaspadaan penuh prasangka

mereka. Itu membuatku makin makin tidak menyukai

dunia—aku tak tahan. Apakah orang-orang selalu begini


4

—seumur hidup saling menjemukan dengan obrolan kaku

penuh curiga? Aku tak suka berkumpul bersama orang-

orang! Jadi, kecuali kalau keadaannya benar-benar tidak

biasa, aku tak pernah melakukan apa pun yang seperti

mengunjungi teman. Sejak dulu aku lebih merasa nyaman

di rumah, diam merajut bersama ibuku, kami berdua saja.

Tapi lalu perang pecah dan keadaan menjadi sangat tegang

sampai-sampai aku merasa tak boleh jadi satu-satunya

orang yang tiap hari cuma diam di rumah. Aku merasa tak

nyaman. Aku tak bisa santai sama sekali. Aku jadi ingin

bekerja sekeras mungkin, berkontribusi secara langsung.

Aku jadi malu dengan cara hidupku selama ini.

Aku tak tahan duduk diam di rumah. Tapi kalaupun

aku mau bepergian, aku mesti pergi ke mana? Jadi aku

berbelanja saja, dan di jalan pulang aku pergi ke stasiun

dan duduk di bangku dingin ini. Aku ingin ―seseorang itu‖

datang: ―Ah, seolah-olah mereka memang akan tiba-tiba


5

muncul!‖ Tapi aku juga khawatir: ―Bagaimana kalau

mereka benar-benar datang? Aku mesti bagaimana?‖

Bersamaan dengan itu, aku telah memutuskan akan

pasrah: ‗Jika mereka datang aku akan mengabdikan diri

untuk mereka. Momen itu akan menentukan nasibku.‘

Perasaan-perasaan ini berkelindan dengan aneh –perasaan

ini dan khayalan memalukan. Hatiku terusik: benar-benar

membebani, nyaris menyesakkan. Dunia jadi sunyi.

Orang-orang yang datang dan pergi di stasiun tampak jauh

dan kecil, seolah-olah aku meneropongnya dengan

teleskop terbalik. Rasanya tidak nyata, seakan aku dalam

lamunan, seakan aku tak bisa memastikan aku hidup atau

mati. Oh, apakah yang kutunggu itu? Barangkali aku cuma

perek yang kotor. Segala sesuatu tentang perang dan

ketidaknyamanan, keinginan untuk bekerja sekeras

mungkin, keinginan untuk berkontribusi langsung –

mungkin semua itu cuma bohong belaka. Barangkali aku


6

cuma membuat-buat alasan yang terdengar baik.

Barangkali aku cuma berusaha mencari-cari celah untuk

mewujudkan khayalanku yang seenaknya. Aku duduk di

sini dengan wajah menatap kosong, tapi jauh di lubuk hati

aku merasa melihat suatu percik, suatu kobaran yang

keterlaluan memikat.

Lantas siapakah yang kutunggu? Aku sama sekali tak

tahu –hanya bayangan samar di tengah kabut pikiranku.

Tapi tetap saja aku menunggu. Tiap hari sejak perang

dimulai, di tengah perjalanan pulang dari belanja aku

datang ke stasiun, duduk di bangku dingin ini, dan

menunggu. Bagaimana kalau nanti ada seseorang yang

tersenyum dan mengajakku berbincang? Oh, tidak, jangan!

Bukan kamu yang kutunggu. Lantas, siapa kalau begitu?

Siapakah yang kutunggu? Seorang suami? Bukan. Seorang

kekasih? Tentu saja bukan. Seorang teman? Oh, bukan.

Uang? Konyol. Sesosok hantu? Oh, oh tidak!


7

Sesuatu yang lebih menyenangkan, cerah dan ceria,

sesuatu yang menakjubkan. Entahlah apa. Sesuatu yang

seperti musim semi. Bukan, bukan itu. Daun segar. Bulan

Mei. Air jernih dan sejuk yang mengaliri ladang gandum.

Bukan, sama sekali bukan itu. Oh, meskipun begitu, aku

tetap saja menunggu, jantungku berdegup. Orang-orang

mengalir lewat di depanku. Bukan dia. Bukan juga dia.

Sambil memeluk keranjang belanja, aku menggigil. Aku

menunggu. Dengan segenap hatiku, aku menunggu. Aku

memohon padamu, tolong, tolong jangan lupakan aku –

gadis yang datang tiap hari ke stasiun untuk menemuimu

dan lalu pulang dengan sedih. Tolong, tolong ingat aku,

dan jangan menertawakanku. Aku tak akan

memberitahukan nama stasiun kecil ini. Tak perlu: suatu

kali kau pasti pernah melihatku, bahkan kalaupun aku tak

melihatmu.

Anda mungkin juga menyukai