Anda di halaman 1dari 10

Satir Kehidupan Kelas Sosial melalui Narasi Realisme Magis dalam

Kita Pergi Hari Ini karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Haura Zahidah
Program Studi Indonesia
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
(haura.zahidah@ui.ac.id)

ABSTRAK
Tahun 2000-an merupakan awal terjadinya fenomena penerbitan karya sastra populer secara
masif dalam lingkup ranah sastra Indonesia. Dalam ledakan sastra populer tersebut,
ditemukan beberapa karya yang menggunakan narasi realisme magis dalam gaya
penceritaannya. Indikasi karya realisme magis adalah penghadiran unsur fantasi atau mitos
dalam konteks masa kini, atau penggambaran dunia fenomenal di luar nalar. Indikasi-indikasi
tersebut terdapat dalam novel Kita Pergi Hari Ini karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.
Dalam tulisan ini, peneliti menggunakan novel tersebut untuk melihat bagaimana Ziggy
menggabungkan unsur-unsur magis dalam menceritakan peliknya problematika kehidupan
sosial masyarakat ekonomi kelas bawah. Penelitian ini menggunakan teori naratif realisme
magis Wendy B. Faris dengan pendekatan sosiologi sastra. Metode penelitian ini didasarkan
pada metode dekskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya representasi
kehidupan kelas sosial yang carut-marut dari segi jalan pikir akibat terdesak kondisi. Selain
itu, kadar realisme magis dalam novel ini terlihat dari penggabungan unsur tokoh hewan dan
manusia dalam bentuk interaksi sehari-hari, berbagai latar tempat dan waktu, hingga wujud
potret dunia fantasi di luar kebiasaan umum.
Kata kunci: kelas sosial, realisme magis, novel, sastra populer

Pendahuluan
Membludaknya karya sastra populer pada tahun 2000-an merupakan fenomena sastra
yang menarik untuk dikaji. Lantaran hakikat keberadaannya dipengaruhi oleh permintaan
(demand) atau pangsa pasar masyarakat itu sendiri, mengingat sastra populer menempatkan
unsur komersil sebagai pion utama. Sastra populer memiliki beberapa ciri, seperti yang
dipaparkan oleh Kaplan (dalam Damono, 1980) bahwa 1) bentuk sastra populer sederhana
dan merupakan pernyataan langsung tanpa kualifikasi, 2) sastra populer dikuasai sistem
“bintang” yang menyebabkan pemusatan cerita pada unsur-unsur tertentu; sistem bintang
tersebut dapat dilihat dari segi tokoh yang terliput, segi penulis atau pengarang, maupun tema
karya yang diangkat, serta 3) sastra populer mengharamkan kehadiran makna ganda karena
dianggap dapat membuat pembaca tidak tenteram.

1
Selain itu, adakalanya ditemukan talian benang merah antara sastra populer dengan
posmodernisme, yang dapat dikatakan sebagai fenomena budaya dan intelektual. Dalam
aliran posmodernisme, termuat berbagai narasi tertentu, salah satunya narasi realisme magis.
Kehadiran realisme magis dipandang sebagai respons atas modernisme yang mengungkapkan
cara pandang baru terhadap realitas (Andalas, 2017). Dalam narasinya, realisme magis
menggabungkan kombinasi ‘realisme’ dan ‘hal fantastis’ sehingga nampak mengagumkan—
bahkan terkadang dapat mengaburkan perbedaan antarkeduanya. Kombinasi atas narasi yang
riil dan fantastis, bersama dengan penyertaan tradisi budaya yang berbeda, berarti bahwa
realisme magis merefleksikan mode naratif dan lingkungan budaya keduanya, yakni alam
hibrid pada masyarakat poskolonial (Faris, 2004).
Salah satu pengarang karya sastra populer yang gemar memanfaatkan narasi realisme
magis tersebut adalah Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Ia terkenal sebagai pengarang fantasi
yang absurd dan nyeleneh. Karya-karyanya sering kali “menipu” pembaca karena nampak
seperti dongeng anak-anak biasa, ringan dan manis, meski sebenarnya begitu suram (dark)
bahkan mengganggu (disturbing) dan perlu pemahaman lebih untuk dapat mencerna apa yang
tengah disampaikan. Di balik semua itu, Ziggy juga gemar mengangkat isu-isu sensitif dari
berbagai permasalahan hidup yang kompleks, seperti kekerasan domestik, realitas hidup kelas
sosial, konsumerisme manusia, stigma atas gender, eksploitasi binatang, perkara kesehatan
jiwa, dan lain sebagainya, yang kerap disampaikan melalui perspektif anak-anak. Oleh karena
itu, “keanehan” yang ditawarkannya justru menarik para pembaca, khususnya penggemarnya
yang sudah hafal dengan gaya penulisan Ziggy.
Meski tidak pernah melabeli diri sebagai penulis buku anak, kegelisahan dalam karya
Ziggy begitu vokal didominasi oleh suara anak-anak yang polos—yang belum sepenuhnya
mengerti kekalutan hidup—dan/atau membahas ihwal dunia anak, seperti salah satunya novel
Kita Pergi Hari Ini (selanjutnya disingkat KPHI). Novel KPHI terbit pada 2021 lalu, dan
telah terjual hampir mencapai 1500 eksemplar dalam kurun waktu kurang dari 24 jam
pertama. Dengan menggunakan teknik prapesan (pre-order), Ziggy berhasil menggaet para
pembacanya untuk turut membeli karya ini. Apalagi dalam novel KPHI, Ziggy kembali
menyusupkan isu-isu “orang dewasa” di tengah-tengah polosnya dunia anak yang magis.
Sebuah kelindan isu sosial-budaya yang begitu kontras dengan kegemasan sampul depan dan
ilustrasi yang disajikan dalam gambaran cerita.
Novel KPHI membahas seputar pengasuhan anak, khususnya realitas masyarakat
ekonomi kelas bawah yang terpaksa meninggalkan anak-anak mereka yang masih sangat
kecil untuk pergi bekerja. Lantas jika tidak demikian, mereka tidak akan bisa menghidupi

2
keluarga sehari-hari. Dalam mengantarkan kisah ini, Ziggy membentuk dunia fantasi di luar
nalar di mana anak-anak Bapak Mo dan Ibu Mo harus diasuh oleh Nona Gigi, seekor Kucing
Luar Biasa. Kita Pergi Hari Ini atau tempat-tempat indah dalam mimpi-mimpi anak-anak
baik—bahasa Ziggy sendiri, yang terkenal boros-guna dalam bentuk majemuk—merupakan
kisah yang dibalut dengan kepolosan namun sarat akan kritik sosial. Sehubungan dengan itu,
tulisan ini akan berfokus pada persoalan tersebut, yakni wujud satir kehidupan kelas sosial
dalam narasi realisme magis pada novel KPHI.

Metode Penelitian
Metode penelitian adalah bentuk pengaman atau kerangka yang berfungsi untuk
membatasi ide-ide penelitian dalam suatu tahapan. Menurut Raco (2010) metode penelitian
merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh (general logic) dan gagasan teoritis
(theoretical perspectives). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah metode yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu, menurut perspektif peneliti
sendiri (Gunawan, 2013). Metode kualitatif lebih mendasarkan pada sistem fenomenologis
yang mengutamakan penghayatan (verstehen).
Bentuk penghayatan tersebut dilakukan melalui teknik studi pustaka. Tahapan pertama
diawali dengan pemilihan topik umum yang kemudian mengerucut pada topik yang lebih
spesifik, yakni isu kehidupan sosial masyarakat ekonomi kelas bawah yang tergambar dalam
novel Kita Pergi Hari Ini. Setelah itu dilakukan proses pembacaan karya sastra sebagai
sumber data utama, serta pemeriksaan buku-buku, berita, dan jurnal ilmiah sebagai sumber
tulisan pendukung. Karya sastra yang dipilih adalah novel Kita Pergi Hari Ini karya Ziggy Z.
Dari novel ini, diperoleh sudut pandang anak-anak polos yang mau tidak mau turut terpapar
pahit dan kejamnya kehidupan orang dewasa.
Setelah memperoleh pemahaman akan topik tersebut, peneliti memaparkan hal-hal
yang ditemukan tadi dalam bentuk analisis deskriptif, terutama yang berhubungan dengan
satir kehidupan sosial dalam narasi realisme magis. Peneliti juga menggunakan teori-teori
pendukung seputar kesenjangan sosial, stigma masyarakat, hingga absurditas dan bentuk
realisme magis dalam karya sastra itu sendiri, maupun teori utama, yakni sosiologi sastra.
Dari berbagai paparan konsep, teori, dan analisis tersebut, peneliti pun menyimpulkan hasil
penelitian yang ada. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman utuh tentang
bagaimana anak-anak dapat turut menjadi korban hitam-putih kehidupan orang tuanya yang
pelik, baik secara sadar maupun tidak sadar.

3
Kerangka Teori
Menurut Ian Watt (1964: 300—313), sosiologi sastra adalah pendekatan yang
menyoroti hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan timbal
balik tersebut berasosiasi dengan konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat,
dan fungsi sosial sastra. Sastra sebagai cermin masyarakat berarti hingga sejauh mana karya
sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat itu. Dalam beberapa kasus, sastra tidak
mutlak “mencerminkan” lantaran dipengaruhi faktor pemilihan fakta sosial yang ingin
ditampilkan pengarang. Maka dari itu, sastra seringkali merupakan sikap sosial suatu
kelompok tertentu, bukan sikap sosial seluruh masyarakat. Hal ini berlaku dalam novel Kita
Pergi Hari Ini, yang merupakan representasi kelompok masyarakat kelas ekonomi bawah
tertentu, namun bukan secara keseluruhan.
Selain sosiologi sastra, peneliti juga menggunakan kacamata karya realisme magis,
mengingat novel ini sarat akan hal-hal fantastis taknyata (surreal) dalam ceritanya. Realisme
magis merupakan istilah yang dicetuskan oleh kritikus seni Jerman bernama Frans Roh pada
tahun 1920-an, yang muncul dalam kaitannya dengan penilaian atas lukisan di Republik
Weimar, yang berusaha menangkap misteri kehidupan di balik kenyataan yang ada di
permukaan (Bowers, 2004: 2). Lebih lanjut, menurut Wendy B. Faris (2004), terdapat lima
karakteristik dari karya realisme magis, yaitu 1) elemen taktereduksi (the irreducible
element), 2) dunia fenomenal (the phenomenal world), 3) keraguan takberakhir (unsettling
doubts), 4) penggabungan alam (merging realms), dan 5) gangguan atas waktu, ruang, dan
identitas (disruptions of time, space, identity).
Faris (2004: 17—25) melanjutkan, elemen taktereduksi adalah hal-hal yang tidak
dapat dijelaskan menurut hukum alam sebagaimana diformulasikan dalam wacana empiris
Barat, yakni berdasarkan logika, pengetahuan umum, atau kepercayaan yang ada. Kedua,
karya realisme magis lazimnya menggambarkan secara rinci sebuah keberadaan kuat dari
dunia fenomenal (the phenomenal world). Ketiga, karya realisme magis memunculkan
keraguan takberakhir, yaitu pembaca tidak yakin tentang pemahaman bertentangan atas
peristiwa-peristiwa yang digambarkan. Keempat, penggabungan dua alam atau dua dunia.
Realisme magis membuka ruang antara (a space of the in-between) dan ruang ketidakpastian
(a space of uncertainty), yang berarti usaha menggabungkan dunia tradisional dengan dunia
modern. Terakhir, muncul gangguan atas waktu, ruang, dan identitas, yaitu “kemunculan
ruang dan waktu yang baru” karena homogenitas spasial realisme telah menghapus bentuk
lama-lama dari ruang sakral maupun ritual.

4
Pembahasan
Novel Kita Pergi Hari Ini karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie diterbitkan oleh PT
Gramedia Pustaka Utama pada 2021 lalu. Hingga Januari 2022, novel ini telah melalui
cetakan ketiganya. Bahkan, pada masa prapesan pertama, novel ini habis terjual hingga
ribuan eksemplar dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Ziggy lagi-lagi berhasil menggaet
para pembacanya untuk turut serta membeli novel ini—lantaran teknik prapesan lazimnya
berdampak pada keterbatasan jumlah buku yang akan dicetak. Serupa dengan karya-karyanya
yang lain, novel ini begitu menonjolkan unsur absurditas serta karakteristik khas gaya
penceritaannya, seperti gemar melakukan pemborosan pada kalimat majemuk (misal, tempat-
tempat indah dalam mimpi-mimpi anak-anak baik), membenturkan bentuk-bentuk hominim,
memberikan definisi tersendiri atas diksi tertentu, hingga memberikan catatan kaki (footnote)
nyeleneh karangan buah pikirannya sendiri. Hal-hal inilah yang menjadi ciri khas Ziggy,
yakni harus berpikir baik-baik ketika membaca.

Keranjang piknik adalah sebuah wadah berbentuk kotak yang ditutup dengan
dua papan yang bisa mengepak-ngepak seperti sayap Pelikan Pos. Isi dari
keranjang piknik adalah sosis, roti lapis, roti Prancis, klepon, dan jus lemon.5
——————
5
Variasi ini adalah variasi isi keranjang piknik khas Kota Suara. Isi keranjang
piknik khas Boyolali menggunakan wajik sebagai ganti klepon. Nasi tumpeng
dibawa sebagai ganti roti lapis saat perayaan adalah tradisi Jambi. Baca juga: 1001
Isi Keranjang Piknik Seluruh Dunia karya Gama Ukerja.
(Zezsyazeoviennazabrizkie, 2021: 15).

Novel Kita Pergi Hari Ini bercerita tentang Mi, Ma, dan Mo, juga Fufu dan Fifi
(tetangga mereka), yang hidup di Kota Suara, kota yang begitu bising hingga melupakan
nama aslinya. Bapak Mo dan Ibu Mo digambarkan sebagai golongan ekonomi kelas bawah
sehingga mereka mau tidak mau harus menitipkan anak-anaknya kepada Nona Gigi, seekor
Kucing Luar Biasa, ketika pergi bekerja—bekerja keras adalah suatu hal yang tak terelakkan
demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejak awal cerita, Ziggy telah menyinggung
persoalan masyarakat yang begitu mudah ditemui, yakni problematika multidimensi
kemiskinan yang berekses pada hal-hal buruk. Salah satunya berupa kecenderungan memiliki
banyak anak meski pada realitasnya tidak memiliki ketersediaan fasilitas untuk menghidupi,
baik dari segi finansial maupun tenaga. Hal ini dipaparkan melalui gambaran Kota Suara,
kota yang teramat ramai oleh suara anak-anak—populasi anak lebih dominan daripada orang
dewasa—hingga lupa dengan nama kota aslinya.

5
Banyak anak berarti banyak keributan. Masa itu, tempat itu, bukan main ribut
dengan segala macam suara yang ditimbulkan anak-anak. Ribut, sehingga,
akhirnya, pada suatu hari orang-orang melupakan nama kota mereka dan
mulai menyebutnya Kota Suara.
(Zezsyazeoviennazabrizkie, 2021: 4).

Konstruksi sosial yang digambarkan Ziggy sejalan dengan realitas di kehidupan


nyata. Hal ini terwakili melalui data garis kemiskinan dan jumlah presentase penduduk
miskin di daerah Jawa Barat pada tahun 2005 hingga 2007 (Nurwati, 2008: 4). Berdasarkan
data tersebut, nampak bahwa penduduk miskin justru memiliki kecenderungan memiliki
banyak anak. Hal ini didasari faktor persepsi masyarakat, yakni anak sebagai aset
ketersediaan tenaga kerja yang dapat membantu menambah pendapatan rumah tangga.
Nahasnya, fenomena tersebut masih kerap ditemui hingga kini. Padahal persepsi itu dapat
menjadi bumerang yang berdampak pada kesejahteraan hidup keluarga tersebut. Apalagi
tidak banyak alternatif lain yang dapat dilakukan ketika kondisi-kondisi mendesak silih
berganti memojokkan keluarga yang tidak berada.
Sama seperti keluarga ekonomi kelas bawah lainnya, kesulitan tersebut juga datang
menghampiri keluarga Mo. Untuk mengakali kondisi harus meninggalkan tiga orang anak,
Mi, Ma, dan Mo—yang masih sangat kecil—sendirian di rumah sembari kedua orang tuanya
pergi bekerja, Ibu Mo akhirnya meminta “bantuan” yang ia kirimkan melalui Pelikan Pos.
Bantuan ini berupa Cara Lain—ditulis dengan huruf kapital oleh Ziggy sebagai bentuk entitas
tersendiri—yakni pengasuh Kucing Luar Biasa yang dikirimkan dari Kota Terapung Kucing
Luar Biasa. Dalam hal ini, Ziggy mulai menyajikan salah satu karakteristik realisme magis,
yakni keberadaan dunia fenomenal yang begitu kontras dari dunia pada umumnya. Seperti
dijelaskan Ziggy, Kucing Luar Biasa berarti kucing yang di luar kebiasaan. Mereka
berpakaian, berpostur, hingga berlagak seperti manusia—membuatnya dapat mengerjakan
pekerjaan manusia pula. Kucing Luar Biasa yang dikirim itu bernama Nona Gigi. Ia bertugas
membantu mengasuh Mi, Ma, dan Mo sehari-hari.
Lika-liku perjalanan dunia realisme magis pun dimulai. Melalui Nona Gigi, mereka
mulai mengetahui banyak hal, seperti dari mana Kucing Luar Biasa berasal, bagaimana cara
mengunjungi tempat itu, betapa ajaibnya Ibu Kota Kota Terapung Kucing Luar Biasa, dan
lain sebagainya. Ziggy menyuguhkan dunia imajinasi yang terasa manis, disesuaikan dengan
imajinasi anak-anak. Mi Si Sulung Mo digambarkan sebagai anak laki-laki yang benar-benar
keren, Ma Anak Kedua Mo merupakan versi kontrasnya, yakni anak perempuan yang benar-
benar manis. Sementara Mo Yang Paling Kecil Mo adalah anak yang sulit dimengerti sebab

6
masih bayi dan tidak banyak orang dewasa yang mengerti bahasa bayi—dikatakan sebagai
bahasa Prancis dengan aksen sangat jelek. Semua terasa normal-normal saja, hanya beberapa
kali Ziggy menyinggung beberapa stigma masyarakat, seperti penempelan karakteristik yang
“seharusnya” terdapat pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini tergambar ketika ditemui
realitas buatan di mana stigma tersebut terpatahkan, pandangan aneh pun menjadi sulit untuk
dihindari. Bahkan, bagi perspektif anak sendiri.

Dan, ketika Fifi dan Fufu datang, Ma tahu bahwa mereka berdua memang
anak-anak yang benar-benar aneh. Yang pertama adalah karena Fifi adalah
anak laki-laki yang benar-benar manis dan Fufu adalah anak perempuan
yang benar-benar keren. Yang kedua adalah karena wajah mereka benar-
benar sama. Yang terakhir ini, seperti yang disimpulkan Mo di lain waktu,
barangkali adalah alasan kenapa Kemanisan dan Kekerenan masuk ke tubuh
anak yang salah.
(Zezsyazeoviennazabrizkie, 2021: 51).

Selain itu, sering kali dunia magis buatan Ziggy terasa tidak masuk akal jika ditelaah
menggunakan logika, bagaimana terdapat Wanita Cahaya yang dapat mengantarkan ke bulan,
hadirnya Sirkus Sendu yang dimanfaatkan orang-orang untuk menangis, transportasi Air
sebagai kendaraan terakhir yang harus dinaiki jika ingin pergi ke Kota Terapung Kucing Luar
Biasa, bahkan kota di mana kucing-kucing mengambil alih kuasa—tanpa hadirnya manusia
satu pun—itu sendiri. Semua terasa kian janggal ketika kali pertama Mi, Ma, dan Mo, juga
Fifi dan Fufu, diajak pergi mengunjungi “tempat-tempat menyenangkan”. Seperti disinggung
sebelumnya, untuk dapat sampai ke kota Nona Gigi berasal, mereka harus menggunakan
Kereta Air hingga stasiun terakhir. Dari sana, mereka harus mendatangi Sirkus Sendu agar
dapat bertemu Air—transportasi penutup perjalanan. Segala hal mulai terasa absurd, apalagi
jika dilihat dari bagaimana sejak awal Ziggy membangun dunia anak yang menggemaskan,
seketika dihadirkan suspensi menuju ketegangan.
Pembaca diajak mengalami pengalaman baru, yakni salah satu karakteristik realisme
magis lain, keraguan takberakhir (unsettling doubts). Keraguan dihadirkan melalui sinyal
salah-benar dalam diri manusia ketika dihadapkan dengan dua pemahaman yang saling
bertentangan. Misalnya, keberfungsian Sirkus Sendu yang disuguhkan dalam cerita. Sirkus,
sebagaimana diketahui secara umum, lazimnya dibangun untuk menghibur dan melahirkan
gelak tawa. Namun tidak demikian, Sirkus Sendu dibangun agar orang-orang mengeluarkan
isak tangis, bulihan-bulihan air mata yang begitu banyak dan memenuhi segala ruang hingga
puncak. “Karena setelah Sirkus Sendu berakhir, semua orang akan merasa sendu. Ketika
merasa sendu, orang-orang akan menangis. Dengan orang sebanyak ini, dan tangisan yang

7
sangat banyak, dalam tenda akan banjir, dan orang-orang yang tidak bisa berenang akan
mati.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2021: 81). Tangisan ini dianggap perlu, agar Air datang,
membawa “orang-orang terpilih” yang dapat melalui kemasygulan tiap-tiap penampilan
adegan sirkus—melibatkan aktivitas saling bunuh-membunuh—dan mengantarkan mereka ke
tujuan akhir, Kota Terapung Kucing Luar Biasa.
Tidak hanya itu, sebenar-benarnya kota ini juga terasa melenceng. Seiring berjalannya
waktu, diketahui bahwa kota tersebut merupakan tempat di mana orang tua “buang anak”,
yakni kondisi keterpaksaan akibat tidak mampu memberi makan mulut-mulut kecil mereka,
di luar harus menghidupi diri sendiri. Anak-anak dikirim ke sana untuk menjadi pembantu
Kucing-kucing Luar Biasa, ada yang dijadikan aktris panggung, kelasi dengan sistem kerja
rodi, hingga anak-anak lain yang kabur dan bersembunyi di gerbong kereta hingga ajal
menjemput dan tulang-belulang mereka didaur ulang. Bagi para Kucing Luar Biasa, setiap
bagian tubuh manusia—mulai dari hidup hingga mati—dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ketika hidup mereka dapat dipekerjakan sesuka hati dan ketika mati bagian-bagian tubuhnya
diolah menjadi banyak hal; gigi-gigi sebagai bahan dinding rumah, tulang-belulang sebagai
fondasi, rambut-rambut dirajut menjadi pakaian—begitu juga dengan kulit, hingga daging-
dagingnya dimasak untuk makanan sehari-hari.
Ziggy tengah membangun dunia magis yang sepenuhnya kontras dari kenyataan,
namun di waktu yang sama juga menggabungkan unsur-unsur realitas, fakta sosial pahit di
lapangan yang masih dapat ditemukan hingga saat ini. Ia berusaha mereorientasi kesadaran
pembaca tentang ruang dan waktu, juga karakteristik manusia yang serakah akan keputusan
yang dapat mempengaruhi hidup orang lain. Secara tidak langsung, Ziggy menggunakan gaya
satir, menginsinuasi masyarakat ekonomi kelas bawah untuk lebih baik menghindari beranak-
pinak jika tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Terutama dalam jumlah banyak dengan
gap umur terlalu dekat, lantaran Mi Si Sulung Mo digambarkan baru berumur 4 tahun, Ma
Anak Kedua Mo berumur 3 tahun, dan Mo Yang Paling Kecil Mo masih bayi. Kesulitan
mengurus tiga anak yang masih kecil-kecil, ditambah mengurus diri sendiri, merupakan
tantangan yang kemudian tidak dapat dihadapi oleh Bapak Mo dan Ibu Mo, membuat dampak
terbesar paling terasa pada anak-anak mereka.
Putusan untuk membuang anak kemudian lahir dari logika yang carut-marut, akibat
tidak mampu memilih jalan keluar lain. Hal ini juga dialami oleh tokoh Tetangga Sebelah,
yakni orang tua Fifi dan Fufu, yang juga memiliki maksud serupa ketika menitipkan
keduanya untuk bermain bersama anak-anak Mo di bawah asuhan Nona Gigi. Realitas nahas
ini terpusat pada lingkup kehidupan orang tidak berada, dan telah menjadi pengetahuan

8
umum bahwa mereka acapkali menghadapi kondisi pelik yang menyesakkan hidup rumah
tangga mereka. Perlu diketahui bahwa rumah tangga miskin pada umumnya berpendidikan
rendah dan terpusat di daerah pedesaan, berdampak pada produktivitas yang turut rendah
sehingga imbalan yang diperoleh tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, kesehatan, perumahan, maupun pendidikan (Nurwati, 2008). Akibatnya, secara
siklus mereka akan melahirkan keluarga miskin pula. Untuk menghidupi diri dan keluarga,
biasanya mau tidak mau mengambil kerja serabutan dengan upah begitu rendah—dampak
dari ketidakmampuan bersaing di pasaran kerja. Hal ini juga diwakili melalui penggambaran
Bapak Mo dan Ibu Mo yang tidak memiliki kualitas untuk bersaing, pun kekayaan untuk
hidup dengan tenang seperti keluarga lainnya.

Oh, sangat tidak adil kalau melimpahkan semua ini kepada orang lain yang
tidak seharusnya bertanggung jawab atas hasil produksimu.
(Zezsyazeoviennazabrizkie, 2021: 5).

Pada bagian akhir, diceritakan bahwa Ibu Mo dan Ibu Tetangga Sebelah menyesalkan
keadaan yang tidak berjalan sesuai mau mereka. Lantaran ketika berada di Kota Terapung
Kucing Luar Biasa, anak-anak ini dapat merasakan ada hal yang tidak beres tengah terjadi di
tempat itu—salah satunya ketika mengetahui Kucing Petugas Sampah tengah mengumpulkan
tulang-belulang anak-anak di gerbong kereta. Dalam diam, mereka menyepakati: “Yang tidak
dikatakan namun disepakati para anak adalah ini: Kita pergi hari ini.” (Zezsyazeoviennaza-
brizkie, 2021: 154). Usaha kabur yang dijalani pun tidak sepenuhnya berhasil, lantaran Fifi
tertangkap dan “diurus tuntas” di tempat. Sekembalinya dari Kota Terapung Kucing Luar
Biasa, mereka terbangun di Rumah Merah Nomor 17, rumah keluarga Mo. Apa-apa yang
mereka takutkan setengah mati—seperti peristiwa Fufu melihat secara langsung bahwa Fifi,
saudara kembarnya, dibunuh—tidak digubris sama sekali. Hanya decakan kecewa dan sesal
kegagalan yang diungkapkan oleh keduanya.

Bahkan di tengah bisikan lirihnya, Ma bisa mendengar, decakan kecewa dan


desisan keji yang keluar dari mulut kedua ibu: “Sial, hanya berkurang satu.”
(Zezsyazeoviennazabrizkie, 2021: 182).

Pada dasarnya ketika dihadang kondisi terdesak, manusia hanya akan memikirkan diri
sendiri. Tidak mau pusing memikirkan keadaan orang lain. Oleh sebab itu, Ziggy membuat
novel ini dalam bentuk sindiran halus bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi. Jika
tidak dapat mempertanggungjawabkannya, lebih baik dipikirkan sebelum akhirnya membuat
keputusan-keputusan di luar akal dan kepala.

9
Penutup
Fenomena sastra populer merupakan fenomena sastra Indonesia yang begitu terkenal
dan digandrungi hingga saat ini. Karya-karya sastra populer lazimnya memuat tema-tema
yang digemari masyarakat, mengingat kelahirannya dilandasi faktor minat pasar. Salah satu
karya sastra populer yang mengangkat isu dekat dengan masyarakat adalah novel Kita Pergi
Hari Ini karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Novel KPHI menggunakan gaya satir atas
kehidupan kelas sosial yang dinarasikan melalui dunia realisme magis. Melalui gambaran
kehidupan tokoh Mi, Ma, dan Mo, serta Fifi dan Fufu, Ziggy berusaha menunjukkan carut-
marut logika para orang tua masyarakat ekonomi kelas bawah yang sering kali mengorbankan
anak-anak mereka akibat desakan keadaan.
Anak-anak, khususnya dalam lingkup keluarga miskin, lazimnya terdampak menjadi
pihak yang dikesampingkan. Dalam artian, “dibuang”, dipekerjakan sesuka hati, dibawa pergi
kepada orang lain untuk “diurus”, dan lain-lain—yang penting dapat mengurangi beban hidup
mereka. Fakta sosial kehidupan yang demikian masih dapat ditemukan hingga saat ini. Hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa meski dibalut dunia fantasi yang menggugah, novel
Kita Pergi Hari Ini sarat akan kritik sosial berupa refleksi keadaan yang benar-benar terjadi.
Dengan demikian, wujud representasi peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan adanya
ketimpangan pola pikir yang seharusnya dapat dihindari, yakni dengan mengurangi jumlah
anak jika tidak bisa menyokong hidupnya.

Daftar Pustaka
Andalas, M.I. (2017). Narasi Realisme Magis dalam Puisi “Gong” Karya Nirwan
Dewanto. GENTA BAHTERA: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, 3(2), 147-
159.
Damono, S.D. (1980). Masalah Sastra Populer dalam Sosiologi Sastra: Sebuah Antologi.
Yogyakarta: KMSI Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Faris, W.B. (2004). Ordinary Enchantments: Magical Realism and The Remystification of
Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press.
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara 143.
Nurwati, N. (2008). Kemiskinan: Model Pengukuran, Permasalahan dan Alternatif
Kebijakan. Jurnal Kependudukan Padjadjaran, 10(1), 1.
Raco, Dr. J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Sarup, M. (2011). Postrukturalisme & Posmodernisme (dialihbahasakan dalam bahasa
Indonesia oleh Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jalasutra.
Watt, I. (1964). Literature and Society. The Arts in Society, 300—313.
Zezsyazeoviennazabrizkie, Z. (2021). Kita Pergi Hari Ini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

10

Anda mungkin juga menyukai