Fahruddin Al Mustofa
Warisan Amarah Achilles - 7
Dilema Ashoka - 9
Orang tua yang Membakar Kesumat - 12
Desahan Jam Malam - 15
Inas Pramoda
Memancing Lele - 17
Mira yang Merana - 20
Sebuah Seminar tentang Jurnalisme - 23
Di Pangkuan Mas Wanda - 26
Izzul Millah
Putri Daedalus - 29
Akibat Covid-19 dari dalam Selimut - 32
Harga Kejujuran - 35
Kemal Fasas
Rutinitas Pagi - 37
Seperti Menanam Api - 40
Muhammad Sajid
Free Wifi - 43
6
Warisan Amarah Achilles
Fahruddin Al Mustofa
Casablanca, 2020
8
Dilema Ashoka
Fahruddin Al Mustofa
10
umurnya seraya berkata:
“Berdamai itu lebih baik.” Dengan hati penuh kemasygulan,
ia melanjutkan sisa napasnya. “Sehingga setiap orang dapat mema-
hami prinsip satu sama lain.”
Casablanca, 2020
11
Orang Tua yang Membakar Kesumat
Fahruddin Al Mustofa
Setiap pukul lima sore hari, aku selalu memanaskan air, merajang
beberapa tanaman obat, dari bentuk dedaunan, biji-bijian, hing-
ga rempah-rempah. Apapun itu, kiranya kupelajari di sel tahanan
sekitar 32 tahun yang lalu. Kalau tak salah ingat, Sapikal mengajari-
ku, seorang ahli tanaman herbal tradisional, yang masuk bui hanya
gara-gara membuat ramuan dari daun ganja khas tanah rencong
untuk mengobati beberapa orang di desanya. Begitulah tuturnya
kepadaku sebelum ia mati lantaran sesak napas akut di kubangan
jamban yang dikelilingi pohon singkong.
Ingat betul aku tatkala tentara menggerebek kamar kosku
atas dasar informasi yang mereka terima entah dari mana sumber
nya, yang mengatakan bahwa aku terlibat rapat gelap menuntut
turunnya Bung Jenderal. Lagi asik-asiknya boker, dengan lancang
nya mereka menggedor pintu kamar mandi dan menangkapku
dengan muka paling konyol. Bahkan mereka tak memberi waktu
untuk membersihkan sisa kotoran yang lengket di sela-sela lubang
pantatku.
Dua orang lain, lengkap dengan baret hijau tua dan laras pan-
jangnya menggeledah seisi kamar kosku. Keduanya membongkar
lemari baju, dipan, dan rak buku, mengambil beberapa buku seni-
man lekra, manuskrip fotokopian karangan Pram, dan buku puisi
Sitor Situmorang, Agam Wispi, Soebagyo Sastrowardoyo, kum-
pulan resep masak, cerita silat Koo Ping Hoo dan Si Buta dari
12
Gua Hantu, serta koleksi kesayanganku berupa kumpulan stensi-
lan. Tak lupa beberapa botol minuman ikut diangkut dan sesekali
mereka teguk sambil tertawa penuh bahagia. Semua ini dilakukan
untuk barang bukti. Kebohongan terbesar yang bodohnya kuper-
cayai dengan polos.
Setelah sampai di ruang kosong dengan kelambu hitam
semua, mereka mulai menginterogasi. Menanyakan perihal ra-
pat-rapat gelap. Kukatakan bahwa aku hanya ikut sekali saja. Itu
pun diajak oleh teman dalam keadaan mabuk. Tidak ada yang saya
kenal selain temanku tadi. Mereka tak percaya sedikitpun. Malah
tubuhku jadi samsak tinju dadakan. Dengan brutal mereka meng-
hajarku sampai mampus. Ketika membuka mata, tubuhku sudah
berada di dalam jeruji besi. Tanpa pengadilan. Tanpa basa-basi.
Aku bebas, setelah mendekam selama 12 tahun, tak lain ber-
kat amarah rakyat yang turun ke jalan, musuh-musuh politik Bung
Jenderal, atau pedagang asong dan warung-warung yang mengirim
makanan, minuman, dan berbagai keperluan logistik untuk maha-
siswa yang sedang berdemo. Tepat setelah Bung Jenderal mengun
durkan diri, tibalah tiga orang berpakaian rapi, kuingat wajah dua
di antaranya adalah dua kopral yang mencuri minumanku saat
malam laknat kala itu. Keduanya sekarang berpangkat letnan.
Mereka berkata kepadaku, “Kau bebas. Maafkan kami waktu itu.
Kalau engkau tidak memaafkan itu hakmu. Kebencianmu mem-
buat kami bertambah kuat.”
Ingin kuhantam saja kepala mereka dengan cangkul yang ku-
gunakan selama menjalani kerja paksa. Kemudian mereka bertiga
membawaku. Menandatangani berkas-berkas. Namaku dibersih-
kan dari catatan hitam. Mereka menyuruh untuk lapor diri setelah
bebas nanti. Tapi tak pernah kulakukan hingga wedang hangat ini
kuseduh menghangatkan sekujur tubuh. Mereka takkan pernah
13
tahu kebencian macam apa yang selalu bergejolak dalam diriku
pada negara. Alih-alih lenyap, setiap kali kubakar sampah, kuingat
wajah-wajah tentara yang memukuli dan menyiksaku. Itulah ne
raka dalam kepalaku. Kepingan ingatan yang datang tak tahu malu
merupakan siksaan sendiri.
Ingin juga kubakar tubuh mereka bersamaan dengan bangkai
tikus yang mampus membusuk, bungkus mie instan, sisa-sisa ko-
toran ayam, daun kering, dua kain gombal bekas mengelap oli, dan
juga kesumat yang tak pernah padam dalam jiwaku.
Casablanca, 2020
14
Desahan Jam Malam
Fahruddin Al Mustofa
Casablanca, 2020
16
Memancing Lele
Inas Pramoda
18
makan lele?”
“Belum.”
“Seperti sapi di India, sebagian orang di Lamongan percaya
lele itu hewan suci, hewan pelindung.”
“Kedengarannya cerita yang menarik.”
“Bukan, cerita yang bodoh. Tapi gara-gara cerita itu, selama
43 tahun saya tidak makan lele. Baru setelah tahun kemarin, saya
mulai mancing di sini. Kamu tahu kenapa?”
Aku menggeleng.
“Di tahun ke-44 baru saya sadar, semua kepercayaan jadi
cerita bodoh saat perut kelaparan.” Ia mengekeh tanpa kupahami
maksudnya. “Kamu tahu apa yang lucu?”
Aku menggeleng lagi.
“Daging lele ternyata empuk dan enak. Hahaha.” Pak Yasin
ketawa hingga dua gigi geraham atas-bawahnya yang tanggal terli-
hat. “Saya menyesal tidak makan lele dari dulu.”
19
Mira yang Merana
Inas Pramoda
21
nya yang terakhir, ia tak pernah berkunjung ke rumah. Dan seper-
tinya aku tahu alasannya. Dua minggu lalu ada berita yang kubaca
di koran, seorang waria tewas di rumah sakit karena luka bakar
yang parah di kepala dan tubuh bagian atasnya. Waria itu dituduh
mencuri dompet seorang supir truk, lalu preman-preman kam-
pung memanggilnya ke sebuah gudang untuk disidang. Ia tidak
mencuri, ia enggan mengaku.
“Saya sudah dapat cukup uang dari menjual diri, kenapa ha-
rus mencuri?” waria itu berdalih. Seorang preman menyiram wa-
jahnya dengan bensin, seorang yang lain menakut-nakutinya den-
gan korek api, namun ia tetap tak bergeming. Mereka yang teguh
pada pendiriannya selalu dilihat menjengkelkan, maka ia dibakar.
Waria yang meregang nyawa setelah merasakan neraka itu berna-
ma: Mira.
22
Sebuah Seminar tentang Jurnalisme
Inas Pramoda
24
nya ke dalam tas, dan beranjak keluar. Wartawan senior yang masih
memegang mik itu menyelanya sebelum sampai pintu. “Hei, kamu
mau ke mana? Saya baru mau mulai pelatihannya.”
Dan ini yang ia lakukan sebelum pergi, yang membuat tidurku
tidak tenang malam itu. Pemuda itu berbalik mendekat ke pang
gung, mengambil mik yang dipegang wartawan senior, dan dengan
satu kali napas ia bilang, “Karena ayah saya tidak pandai mengelak
dan kurang beruntung. Terima kasih untuk pelatihannya.”
25
Di Pangkuan Mas Wanda
Inas Pramoda
27
kuliah, umurmu hampir 50. Anak kedua dan ketiga mungkin su-
dah jadi nenek-nenek.“
Mendengarnya aku jengkel, sungguh pecundang Mas Wanda,
mengelak seperti itu, tak berani datang ke rumah, tak mau menika-
hiku. “Mas serius ngomong begitu?” Aku bangun dari pangkuan-
nya, menatap sekali lagi tepat di matanya, ia tak berkata-kata. Aku
segera pergi sebelum tampak bodoh dengan menangis di sana.
Kamu bisa menebak kelanjutannya, aku menikah, punya dua putri
yang manis-manis, dan bisa terus bercinta.
Sering juga aku bermanja-manja di pangkuan suamiku, tetapi
terasa berbeda. Mas Wanda selalu mendengarkan apa saja ceritaku,
sementara suamiku lebih banyak bicara. Kedua-duanya baik, tapi
tolong agar ini jadi rahasia saja.
28
Putri Daedalus
Izzul Millah
30
apa ia? Apakah ia tahu tentang dunia luar? Apakah ia punya ceri-
ta-cerita menarik seperti di novel? Pikirannya langsung melayang
ke kehidupan yang bebas.
Malam itu Isabela tidak tidur di kamarnya, ia menemani Emi
di klinik. Ia ingin mendengar cerita tentangnya lebih banyak. Na-
mun pertemuan pertama mereka berakhir dengan buruk, Isabela
merasa tak enak untuk langsung menanyakan hal-hal yang bersifat
pribadi dan bersikap sok akrab.
“Kamu ingin mendengar ceritaku? Ceritaku sebelum men-
jadi putri seorang bangsawan?” Isabela kaget mendengarnya, se
akan pikirannya sedang dibaca. “Aku bisa tahu dari matamu. Aku
pernah melihat pandangan yang sama dari matamu. Dari seorang
bangsawan yang sekarang mengadopsiku, Lewis Freder. Kau per-
nah mendengar namanya? Ia ayahku sekarang.”
Isabela kembali kaget. Lewis Freder adalah nama pengarang
dari buku-buku yang biasa ia baca. Buku-buku itu bercerita tentang
seorang putri yang hidup di jalanan. Mencuri, berdagang, hidup
bersama pengemis, tidur di ranjang yang kumuh, dan berbahagia
dengan itu semua adalah hidup tokoh putri dalam cerita tersebut.
Isabela mengangguk. Ia ingin mendengar langsung cerita
tersebut. Cerita seorang putri yang bebas. Tidak terkekang oleh
Aistocratische Houding yang kaku. Putri yang bahagia dengan ke-
hidupannya. Putri yang berani. Putri yang anggun dengan caranya.
Dan putri itu sekarang ada di hadapannya. Dia adalah Frederik
Emi.
“Sebenarnya aku tak punya nama belakang.” Dia menggaruk
kepalanya. “Namaku Emi, dan aku adalah Icarus dalam wujud
putri. Putri Daedalus.”
Tetouan, 2020
31
Akibat Covid-19 dari dalam Selimut
Izzul Millah
33
yang mengirim go-food? Aku yakin tidak memesannya. Ada dua
bungkus nasi padang atas nama Riska. Ah… dari pacarku ternya-
ta. Kuucapkan terima kasih dan memberi tip 10 ribu untuk abang
gojek.
Selain kesadaran yang kupikirkan tadi, ada kesadaran lain un-
tuk berbuat baik dengan berbagai cara. Salah satunya mengirim
nasi padang dari tempat yang jauh seperti ini. Kukirimkan foto
nasi padang dan ucapan terima kasih untuk pacarku dengan emoji
hati. Semoga dia senang.
“Ceritha lhah. Au bosen nih maen cacing mulu,” kata temanku
dengan mulut penuh nasi padang.
Tetouan, 2020
34
Harga Kejujuran
Izzul Millah
Tetouan, 2020
36
Rutinitas Pagi
Kemal Fasas
Di pagi hari setelah aku mati, aku menemukan Alina tidak di sam
pingku. Aku coba meraba sekitar selimutnya yang kusut, tidak ada.
Tempat ia biasa tertidur terasa dingin. Aku mulai beranjak dan me-
lihat sekali lagi tempat tidur kami, apa yang telah Alina tinggalkan
untukku pagi itu adalah sisir yang selalu dipakainya, tergeletak di
kasur. Sisir yang terbuat dari kayu dengan corak bunga berwarna
merah menghiasinya. Sering aku bilang bahwa sisir itu lebih seper-
ti barang antik, beli yang lebih layak saja, kataku.
“Entahlah, aku hanya sangat suka dengan sisir ini,” jawab
Alina waktu itu. Panas matahari mulai terasa, lalu aku keluar dari
kamar dan mulai menyiapkan sarapan. Hari ini libur, tidak ada
yang perlu aku lakukan. Lagi pula, kemarin aku sudah mati. Bagi
beberapa orang, tidak ada yang benar-benar terjadi. Semua hanya
lewat begitu saja, dan dengan sekejap di menit kemudian kau su-
dah mati.
Kulkas hanya menyisakan bau ayam, tiga butir telur, botol
kosong, dan mangkuk kotor yang biasa Alina pakai. Sepertinya
ia lupa lagi mencucinya kemarin malam, atau malah ini mangkuk
bekas minggu kemarin? Aku tidak terlalu ingat. Nanti saja aku men-
cucinya. Untuk sekarang, yang perlu kupikirkan adalah bagaimana
aku mengisi perut terlebih dahulu.
Dentingan antara sendok dengan piring seperti lebih leluasa.
Wajar, pagi ini Alina tidak ada di depanku sambil mengoceh hal-
37
hal yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya. Tidak terasa
makanan sudah habis. Dipikir-pikir lagi sarapan kali ini terasa cu
kup asing. Aku meninggalkan tempat makan dan beranjak keluar
untuk melanjutkan rutinitas pagiku, sedikit jalan pagi.
Kalau boleh jujur, aku benci rutinitas jalan pagi ini. “Kau
tidak boleh begitu, Sayang. Setidaknya seminggu sekali kamu usa
hakan olahraga,” kata Alina mengingatkanku di suatu pagi. Aku
lupa kapan tepatnya. Dan semenjak itu rutinitas jalan pagi untukku
dan Alina dimulai. Sebenarnya aku tidak perlu repot-repot jalan
pagi. Rutinitas ini aku lakukan begitu saja tanpa perlu memikirkan-
nya dua kali.
Sehabisnya aku mengitari kampung untuk mencari udara se-
gar, Mpok Imeh masih mendagangkan jajanan pagi di seberang
rumah. Biasanya sehabis pulang dari jalan pagi, Alina akan mem-
beli beberapa. Aku makan sedikit dan sisanya Alina yang habiskan,
kelihatannya ia menyukainya. Perlu mengambil beberapa momen
kembali untuk aku menemukan bahwa setelah kematianku dunia
tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Matahari sudah mulai panas, dan aku sudah mulai kedingi-
nan di luar rumah. Aku masuk dan menyeduh secangkir kopi lalu
duduk di ruang makan. Biasanya aku buat untuk dua gelas; satu
untukku dan satu untuk Alina. Alina tidak suka kopinya pahit, aku
tambahkan gula lebih banyak atau menambahkan susu ke cang
kirnya. “Kalau tidak pahit bukan kopi namanya, Alina,” kataku
dan dijawab dengan muka kesalnya yang imut, aku merasa kami
berdua mulai mengenal satu sama lain lebih jauh lagi.
Namun akhir-akhir ini aku semakin tidak tahu apa yang Ali-
na pikirkan, ia pulang semakin malam, percakapan kami seperti
satu arah, seperti selama ini aku hanya mengenal orang asing yang
kebetulan aku nikahi. Sekarang mataku memandang lepas ke arah
38
dinding yang hampa. Aku melihat di seberangku tidak ada Alina.
Ini membuatku kesal. Aku tidak pernah sekesal ini. Kena-
pa harus Alina? Kenapa aku harus mati? Atau mungkin memang
sejak awal tidak pernah ada kenapa, dan aku harus terperangkap
dalam pertanyaan ini. Aku tidak akan bisa menemukannya. Orang
mati adalah mereka yang sudah terlanjur mengucapkan selamat
tinggal kepada apa yang mereka tahu dan kenang.
Di pagi hari setelah aku mati, sepertinya aku mencintai Alina
kembali. Aku ingin bangun di pagi hari dan menemukan Alina di
sampingku, aku ingin menyiapkan sarapan bersamanya, aku ingin
melakukan jalan pagi bersamanya, aku ingin membuatkan kopi
untuknya. Namun untuk saat ini, setidaknya aku ingin bangun di
pagi hari dan menemukan Alina di sampingku terlebih dahulu,
selebihnya aku hanya tinggal menunggu, dan melihat seperti apa
hari yang akan kami lalui, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.
Lalu aku kembali menyesapi kopiku dengan pelan. “Aku sela-
lu benci pahit,” pungkasku.
Marrakech, 2020
39
Seperti Menanam Api
Kemal Fasas
Semua berawal dari satu percikan kecil, kemudian menjadi api, dan
memarak.
Suatu sore di hari Sabtu aku mendapatkan kabar dari kakak
bahwa ayah meninggal. Tidak jelas apa penyebab kematiannya, ia
ditemukan tergeletak di kamar tidur. “Besok kita akan memulai
pemakaman, sempatkan datang, Safar,” tutup kakakku di ujung
telepon, lalu kumatikan pembicaraan kami.
Belum terlalu lama, sekitar tiga tahun yang lalu, ibu juga
meninggal. Kira-kira, butuh berapa teguk racun tikus untuk mem-
buat seisi lambungmu berantakan? Buatku cukup dengan segelas
berita duka mengenai kematian ibu. Kabar datang secara menda-
dak dan di menit kemudian aku sudah lupa di mana berpijak. Aku,
kakakku, dan beberapa keluarga besar ikut melayat dan yasinan
di rumah waktu itu. Selepas acara, dari dalam rumah aku melihat
ayah datang terlambat dengan berantakan.
Ketika ia menghampiri, sebelum ia sempat berkata, aku me-
layangkan satu pukulan keras dan amarah besar tepat di wajah
nya hingga tumbang. Dilanjutkan dengan tinju kedua di perut agar
ia tahu apa yang selama ini aku rasakan. Sebelum pukulan ketiga
yang kulayangkan ke mukanya yang menjijikkan itu lagi, dari be-
lakang kakakku menghentikan ayunan tanganku dan memisahkan
kami berdua.
Aku tidak terlalu ingat setelah itu, semua terasa kabur. Satu
40
hal yang aku ingat adalah ketika beranjak pulang, api itu masih saja
ada, api kecil yang sudah ada entah sejak kapan. Seingatku, dari
kecil kami selalu tinggal seperti ini; asap memenuhi ruang tamu
dan menjalar lebih ke dalam, tidak ada pemadam kebakaran yang
pernah datang, tidak ada jalan keluar bagi asap kecuali jendela dan
pintu depan. Dari dalam ruang tamu, api itu menyala di samping
ayah yang sedang duduk dan terdiam. Aku membalikkan tubuh
dan pergi.
Siang kali ini mendung, tetapi angin masih saja kering seperti
minggu lalu. Tidak terlalu banyak yang menghadiri pemakaman.
Di samping ibu, ayah dikuburkan. Sesampainya di rumah ayah—
rumah di mana kami dibesarkan—aku dan kakak duduk di ruang
tamu. “Aku balik duluan, mau aku antar sampai stasiun?” ia ber-
tanya. “Tidak perlu, Mas. Aku mau di sini dulu,” jawabku.
Api itu masih di sana, di ruang tamu, panas dan menyala.
Kakakku tidak menghiraukannya, atau mungkin dia memang ti-
dak bisa melihatnya? Lalu pintu ditutup, asap mulai berkumpul.
Tinggal aku sendiri, lalu kesunyian datang. Meskipun sudah ber-
tahun-tahun tinggal di sini, aku masih merasa asing. Aku tidak
ingatkapan terakhir kali merasa damai seperti ini. Sepanjang aku
menghabiskan hidup di rumah ini, hanya suara piring pecah, pintu
terbanting, dan cacian ayah yang terdengar. Namun setelah ibu
dan ayah meninggal, akhirnya aku bisa mendengar suara burung
berkicau di luar.
Aku beranjak dan melihat foto yang menggantung di dinding
ruang tamu, foto keluarga pertama dan terakhir yang pernah kami
punya. Di dalam bingkai ada aku, kakak, ibu, dan bapak. Sepaket
komplit keluarga yang terlihat bahagia. Api kecil itu mulai membe-
sar dari belakang punggungku, asap mulai membuat pandanganku
tidak jelas. Aku masih ingin melihat foto ini lebih lama, tapi tanpa
41
kusadari api kecil itu sudah membesar, dan meluas. Merambat dari
sekujur ruang tamu menuju ke dalam. Aku sudah tidak tahan, aku
akan keluar. Lalu pintu kubuka secara paksa, dan aku berdiri di
halaman depan, menatap rumah yang mulai terbakar.
Aku terdiam dan duduk melihat bagaimana api bekerja mela-
hap rumah dan seisinya. Dalam beberapa menit aku tidak sadar
sudah menangis, lalu dari kejauhan bunyi sirine mendekat dan su-
ara bantingan pintu mobil terdengar.
“Safar! Safar! Pergi dari situ!” teriak kakakku dari gerbang,
lalu berlari mengangkatku menjauhi api yang mengganas.
“Kamu bisa melihat api itu, Mas?” tanyaku.
“Apa? Tentu saja bodoh! Kamu sudah gila?”
Aku melihatnya sekali lagi. Api itu mulai menari terbang ke
atap, meruntuhkan dan melahap segalanya; perabotan, dinding,
dan kenangan kami semua. Aku baru menyadari, bahwa betapa
indah rumah kami selama ini.
“Mas, aku ingin ke pemakaman ayah dan ibu habis ini. Mau
ikut?”
Marrakech, 2020
42
Free Wifi
Muhammad Sajid
44