Anda di halaman 1dari 39

DAFTAR ISI

Fahruddin Al Mustofa
Warisan Amarah Achilles - 7
Dilema Ashoka - 9
Orang tua yang Membakar Kesumat - 12
Desahan Jam Malam - 15
Inas Pramoda
Memancing Lele - 17
Mira yang Merana - 20
Sebuah Seminar tentang Jurnalisme - 23
Di Pangkuan Mas Wanda - 26
Izzul Millah
Putri Daedalus - 29
Akibat Covid-19 dari dalam Selimut - 32
Harga Kejujuran - 35
Kemal Fasas
Rutinitas Pagi - 37
Seperti Menanam Api - 40
Muhammad Sajid
Free Wifi - 43

6
Warisan Amarah Achilles
Fahruddin Al Mustofa

Rumah-rumah para penggembala hanya tinggal abu. Pembantaian


terjadi di mana-mana. Ketakutan menyelimuti jengkal tanah dewa.
Achilles dan pasukannya mengamuk membantai apa saja yang di-
lihatnya.
Sementara ternak-ternak penduduk dicuri. Mereka mengang­
gap segala hal yang dimiliki kaum miskin adalah milik mereka juga.
Para pasukan dibekali keyakinan, bahwa sapi, kambing, anggur,
telur, gandum, perahan susu, dan hasil panen para petani ada-
lah hak mereka. Jadi kapan pun ketika mereka mau dan butuh,
langsung bisa rebut tanpa pandang bulu.
Bangsa Arya menjuluki diri mereka kemuliaan dan keagungan.
Selain mereka adalah bangsa rendahan. Nazi mewarisinya dengan
cukup piawai, baik itu dalam kecongkakan atau kebengisan. Lewat
gerakan tangan, Hittler menjelma Dewa Annuki yang memerintah
kerajaan langit dan bumi. Sekaligus dewa perang yang disembah
atas nama darah yang mengalir dan kepuasan tiada tara.
Dari tepian sungai Tigris, penyair dekil merangkum kisah-ki-
sah kebrutalan itu. Ia mulai menulis puisi dengan darah kelinci
yang ia temukan tergeletak di dekat bangkai manusia. Bagaimana
ia menyaksikan hewan dan manusia adalah sama. Sama-sama mati
konyol, berlumur darah dan tentunya pemuja dewa-dewa alter ego
kekuasaan dan kekerasan.
Ia tidak melihat tawa anak kecil, alunan musik dari alat-alat
7
pertanian, atau siulan merdu para penggembala yang riang men-
cari rumput. Peperangan hanya menyisakan bau maut yang berte-
baran di atas tumpukan jerami, sisa-sisa gandum basah yang mulai
bau bercampur tai kuda ras murni. Kelaparan adalah resiko yang
harus dibayar tatkala lumbung dibakar, alat bercocok tanam di-
rampas serta darah yang menggenang menjadi penanda bahwa
penindasan begitu berarti sekaligus sia-sia.
Penyair dekil masih terus mencatat apa yang ia lihat. Sam-
bil bersembunyi di balik bebatuan. Hanya menunggu nasib buruk
datang menghampiri, ketika prajurit dengan pedang dan tongkat
berikat batu karang memergokinya seraya menghantam batok
kepalanya hingga hancur. Semua itu ia rekam menjadi naskah-nas-
kah paling dibenci oleh bangsa Arya setelah berabad-abad kemu-
dian. Menelanjangi sejarah kekejaman yang mengalir dalam darah
mereka.
Orang-orang gila adalah orang paling selamat. Mereka yang
berperang adalah mereka yang waras. Darah yang berjatuhan ada-
lah kebajikan yang paling didambakan. Kita tak tahu, sampai ka-
pan kita menyakini hal ini. Bahkan hingga zaman ketika teknologi
menggantikan tempat ibadah dan bilik-bilik daring tiada lain tem-
pat paling spiritual. Kita masih saja, membunuh dan membunuh.
Demi nilai-nilai, demi perut, dan demi kejantanan paling absurd
sekalipun.

Casablanca, 2020

8
Dilema Ashoka
Fahruddin Al Mustofa

“Berhentilah. Sudahi perang penuh kebodohan ini!”

Teriak Ashoka yang bahkan tak dapat menghentikan hempas-


an pedang musuh yang mengarah tepat pada jantungnya. Dalam
sepersekian detik ia lengah, segera tamat riwayatnya. Kata-katanya
tak mungkin dibicarakan, ajarannya takkan dikenang dan prasasti
monumental miliknya tentunya takkan pernah ada.
Medan perang telah menjadi kuburan dengan altar akbar
tanpa liang lahat. Tidak ada upacara penghormatan sama seka-
li. Mayat-mayat hanyalah saksi bisu betapa nafsu untuk berkuasa,
kestabilan ekonomi para aristokrat kerajaan, atau bagi beberapa
prajurit hanya sebagai medan uji adrenalin demi kepuasan sesaat.
Pemberontakan kecil para petani Kalingga dengan persen-
jataan seadanya dihadapkan serangan brutal dari prajurit terlatih
berhasil menewaskan ratusan ribu manusia yang bahkan tak tahu
untuk apa mereka mati. Ashoka melihat itu semua. Menimbulkan
goncangan hebat dalam jiwanya.
Apakah dalam peperangan mengandung kebenaran? Akankah
mayat-mayat yang membusuk ini akan menerima kedamaian di
alam lain? Benarkah kemuliaan hadiah yang diperoleh bagi para
pemenang perang? Kemegahan istana, stabilitas ekonomi, kea-
manan negara dan harga diri prajurit hasil yang harus dibayar se-
timpal dengan lautan darah di medan pertempuran.
9
Pertanyaan-pertanyaan ini tak hanya sumber kegelisah-
an Ashoka, tapi menjelma dilema peradaban itu sendiri. Be-
rabad-abad setelahnya masih dibahas, kita bahkan mulai mengkul-
tuskan perang dengan jubah agama. Perang Salib, Palestina,
Suriah, Timor, Papua, Genosida, Holocaust, dan berbagai macam
pertumpahan darah setelahnya, adalah efek dari ketiadaan jawa-
ban yang memuaskan atas dilema peradaban di atas. Peradaban
tak mungkin selamanya beradab. Begitulah ironi usang yang sering
kita dengar secara membabi-buta.
Ashoka memutuskan untuk menghentikan segala serangan
militer. Ia mulai membangun rumah sakit, menanam pohon-po-
hon agar menjadi tempat berteduh hewan dan manusia, berhenti
menindas petani dan rakyat kecil. Ia tidak memilih hidup menye-
pi bagai petapa gunung yang mencari hakikat spiritualitas sejati,
tapi memilih tetap mempertahankan tahtanya seraya menjalankan
ahimsa semampunya. Karena ia berpikir, jika kekuasaan berada
di tangan seorang lalim, tentu kebiadaban dan penderitaan rakyat
kecil akan menjadi alunan lagu sumbang menghibur duka abadi.
Ternyata hal ini tidak bertahan lama, sejak saat itulah ia mene­
mukan kesadaran baru bahwa kekerasan harus tetap ada di muka
bumi. Selain untuk menghukum mereka yang melanggar hak
orang lain, mempertahankan harga diri kerajaan, atau urusan-uru-
san keagamaan yang mulai menyatu dalam darah dan perang, ke-
kerasan adalah keniscayaan. Bahkan, Ashoka harus menghukum
mati para begundal dan pemberontak miskin yang dinilai mengin-
jak wibawa kekuasaannya.
Hingga akhir hayatnya Ashoka terus menanamkan kebajikan
demi kebajikan kepada anak-anak negerinya. Sekaligus menyemai
benih-benih kebengisan yang harus mereka panen di saat benar-be-
nar matang dan demi kemaslahatan kemanusiaan. Ia mengakhiri

10
umurnya seraya berkata:
“Berdamai itu lebih baik.” Dengan hati penuh kemasygulan,
ia melanjutkan sisa napasnya. “Sehingga setiap orang dapat mema-
hami prinsip satu sama lain.”

Casablanca, 2020

11
Orang Tua yang Membakar Kesumat
Fahruddin Al Mustofa

Setiap pukul lima sore hari, aku selalu memanaskan air, merajang
beberapa tanaman obat, dari bentuk dedaunan, biji-bijian, hing-
ga rempah-rempah. Apapun itu, kiranya kupelajari di sel tahanan
sekitar 32 tahun yang lalu. Kalau tak salah ingat, Sapikal mengajari-
ku, seorang ahli tanaman herbal tradisional, yang masuk bui hanya
gara-gara membuat ramuan dari daun ganja khas tanah rencong
untuk mengobati beberapa orang di desanya. Begitulah tuturnya
kepadaku sebelum ia mati lantaran sesak napas akut di kubangan
jamban yang dikelilingi pohon singkong.
Ingat betul aku tatkala tentara menggerebek kamar kosku
atas dasar informasi yang mereka terima entah dari mana sumber­
nya, yang mengatakan bahwa aku terlibat rapat gelap menuntut
turunnya Bung Jenderal. Lagi asik-asiknya boker, dengan lancang­
nya mereka menggedor pintu kamar mandi dan menangkapku
dengan muka paling konyol. Bahkan mereka tak memberi waktu
untuk membersihkan sisa kotoran yang lengket di sela-sela lubang
pantatku.
Dua orang lain, lengkap dengan baret hijau tua dan laras pan-
jangnya menggeledah seisi kamar kosku. Keduanya membongkar
lemari baju, dipan, dan rak buku, mengambil beberapa buku seni-
man lekra, manuskrip fotokopian karangan Pram, dan buku puisi
Sitor Situmorang, Agam Wispi, Soebagyo Sastrowardoyo, kum-
pulan resep masak, cerita silat Koo Ping Hoo dan Si Buta dari
12
Gua Hantu, serta koleksi kesayanganku berupa kumpulan stensi-
lan. Tak lupa beberapa botol minuman ikut diangkut dan sesekali
mereka teguk sambil tertawa penuh bahagia. Semua ini dilakukan
untuk barang bukti. Kebohongan terbesar yang bodohnya kuper-
cayai dengan polos.
Setelah sampai di ruang kosong dengan kelambu hitam
semua, mereka mulai menginterogasi. Menanyakan perihal ra-
pat-rapat gelap. Kukatakan bahwa aku hanya ikut sekali saja. Itu
pun diajak oleh teman dalam keadaan mabuk. Tidak ada yang saya
kenal selain temanku tadi. Mereka tak percaya sedikitpun. Malah
tubuhku jadi samsak tinju dadakan. Dengan brutal mereka meng-
hajarku sampai mampus. Ketika membuka mata, tubuhku sudah
berada di dalam jeruji besi. Tanpa pengadilan. Tanpa basa-basi.
Aku bebas, setelah mendekam selama 12 tahun, tak lain ber-
kat amarah rakyat yang turun ke jalan, musuh-musuh politik Bung
Jenderal, atau pedagang asong dan warung-warung yang mengirim
makanan, minuman, dan berbagai keperluan logistik untuk maha-
siswa yang sedang berdemo. Tepat setelah Bung Jenderal mengun­
durkan diri, tibalah tiga orang berpakaian rapi, kuingat wajah dua
di antaranya adalah dua kopral yang mencuri minumanku saat
malam laknat kala itu. Keduanya sekarang berpangkat letnan.
Mere­ka berkata kepadaku, “Kau bebas. Maafkan kami waktu itu.
Kalau engkau tidak memaafkan itu hakmu. Kebencianmu mem-
buat kami bertambah kuat.”
Ingin kuhantam saja kepala mereka dengan cangkul yang ku-
gunakan selama menjalani kerja paksa. Kemudian mereka bertiga
membawaku. Menandatangani berkas-berkas. Namaku dibersih-
kan dari catatan hitam. Mereka menyuruh untuk lapor diri setelah
bebas nanti. Tapi tak pernah kulakukan hingga wedang hangat ini
kuseduh menghangatkan sekujur tubuh. Mereka takkan pernah

13
tahu kebencian macam apa yang selalu bergejolak dalam diriku
pada negara. Alih-alih lenyap, setiap kali kubakar sampah, kuingat
wajah-wajah tentara yang memukuli dan menyiksaku. Itulah ne­
raka dalam kepalaku. Kepingan ingatan yang datang tak tahu malu
merupakan siksaan sendiri.
Ingin juga kubakar tubuh mereka bersamaan dengan bangkai
tikus yang mampus membusuk, bungkus mie instan, sisa-sisa ko-
toran ayam, daun kering, dua kain gombal bekas mengelap oli, dan
juga kesumat yang tak pernah padam dalam jiwaku.

Casablanca, 2020

14
Desahan Jam Malam
Fahruddin Al Mustofa

Jalan-jalan tak bertuan. Tepat pukul 6 sore diberlakukan jam


malam. Polisi, tentara, dan aparat keamanan mulai turun ke jalan,
menggebuk siapa saja yang masih nakal keluar rumah. Jika masih
melawan, pilihannya hanya dua, babak belur atau langsung diten-
dang menuju kandang jeruji besi. Dari balik jendela, dua pasang
mata menyala. Tubuh mereka berpeluh. Mengamati tentara me-
nenteng laras panjang dengan mulut tertutup masker, berkeliling
memeriksa kiranya ada yang masih bengal keluar apapun alasan­
nya. Sementara sirine mobil patroli dan barakuda menambah
gairah percumbuan empat mata tanpa jeda mendesah.
Semesta sedang sakit. Burung-burung mulai bermigrasi ke
hutan. Kuda liar, kera, gorila, pinguin, badak, zebra, babi, dan
kawanan hewan dari hutan mulai menghirup udara segar dan ma-
suk ke perkampungan. Melewati trotoar, menaiki ekskalator, men-
coba mesin penyeduh kopi, berkaca di aquarium raksasa, mene­
ngok­rumah lama mereka yang kini makin asing. Tumbuhan dan
hutan tak lagi merasa ketakutan akan kebakaran hebat yang meng-
hancurkan mereka.
Beginilah cara kerja semesta merebut ruang hidup makh-
luk lain yang telah dirampas manusia. Mengajarkan penting­nya
menyegarkan kembali pemikiran tentang alam semesta. Agar
manusia mencintai alamnya. Cinta pertama yang dilupakan ha­
nya karena lalai dari mana ia berasal. Pagebluk ini membuka mata
15
manusia urban akan kelemahan teknologi yang mereka puja dan
ketidakberdayaan mereka di hadapan takdir Tuhan. Kematian
menampakkan wujudnya dalam bentuk paling aneh. Lewat keta-
kutan, beban mental, kebersihan, dan urusan cuci tangan.
Jam menunjukkan pukul dua satu tiga lima. Sementara kita
hanya merayakan nasib rebahan di dalam rumah. Kebebasan ada-
lah hal berharga yang kita rindukan. Dan tak pernah kita sadari,
kekerasan mulai ramai dilakukan dengan alasan menjaga keterti-
ban di masa pandemi macam ini. Kita secara sadar dan naif, mem-
bayangkan kesembuhan semesta, memaklumi kekerasan atas nama
keamanan, mendambakan bumi lekas pulih, mengharapkan kebe-
basan menjadi napas, dan sekali lagi diam-diam kita kehilangan
seluruhnya, tanpa pernah berpikir masih adakah harapan untuk
hari esok?
Dua sejoli kasmaran itu masih saja saling menghajar dalam
telanjang. Tak peduli lagi moncong senjata akan memberondong
dada mereka. Desahan keduanya menyatu dalam harmoni malam
penuh cemas. Yang ada dalam benak mereka: dunia berputar da-
lam gelora cinta.
“Lempar senjatamu ke tong sampah, segeralah bercinta
dengan liar hingga kemanusiaan menggila dalam damai.” Pesan
keduanya sebelum aparat memborgol mereka karena dirasa meng-
ganggu keamanan, kenyamanan, dan berahi tetangga.

Casablanca, 2020

16
Memancing Lele
Inas Pramoda

Di depan gang rumahku ada lapangan terbang seluas hampir dua


ratus hektar. Yang memisahkannya dari gang-gang pemukiman
warga adalah jalan raya dua arah yang pas untuk dua mobil saling
bersalipan. Batas lapangan terbang itu ditandai dengan pagar jeruji
besi setinggi dua setengah meter. Anak-anak yang biasa menjarah
layangan putus yang menyangkut di pohon atau genteng rumah
akan mudah sekali memanjatnya. Hanya saja padang ilalang di
balik pagar tak meninggalkan kesan penasaran untuk dilompati.
Orang-orang merasa cukup menikmati lapangan terbang itu dari
luar pagar.
Dulu semasa Perang Pasifik, konon Angkatan Udara Kera-
jaan Inggris mempersiapkan lapangan terbang itu untuk meng­
hadang serangan Jepang. Era perang kini sudah berakhir, tapi lapa-
ngan terbang di depan gang rumahku tetap dipakai untuk latihan
TNI, latihan kalau-kalau ada perang lagi. Karena bukan bandar
udara komersial, tempat itu jadi lebih menyenangkan untuk taman
hiburan. Warga bisa menonton gratis latihan terjun payung TNI.
Dan bocah-bocah TK akan bergaya seolah-olah Rambo menem-
baki orang-orang yang berjatuhan itu. Sementara bocah-bocah di
tempat lain mungkin hanya bisa mengejar pesawat terbang sambil
meminta-minta uang jajan dari langit.
Belakangan ada tren baru di kalangan warga selain menon-
ton atraksi dari para prajurit. Awalnya aku mengira di balik pagar
17
itu yang terhampar langsung adalah padang ilalang, tetapi tidak.
Ada parit-parit yang digali berdampingan dengan pagar jeruji
besi. Ilalang menyamarkan ceruk-ceruk tanah itu. Setelah sekian
kali musim hujan, parit tadi menampung sisa-sisa genangan jadi
kolam, lalu menjelma rawa-rawa berlumut. Dan entah siapa yang
mengawalinya, benih-benih ikan lele sudah memakmurkan kolam
terlantar tadi. Maka ini hari, lapangan terbang di depan gang ru-
mahku menjadi kolam pemancingan lele.
Sejak berita penyakit mematikan datang, jalan raya yang me-
misahkan gang rumahku dan lapangan terbang jadi sepi. Terakhir
kali jalan raya itu bisa kubuat tiduran adalah saat bulan puasa 17 ta-
hun lalu, waktu itu kendaraan hanya lewat tiap setengah jam sekali.
Siapa yang menyangka akan datang hari-hari seperti itu lagi. Na-
mun yang mengejutkan, orang-orang tetap berjajar di depan pagar
jeruji besi, menenteng ember plastik yang seperempatnya diisi air,
sambil mengulur kail dengan nikmatnya. Mereka memancing lele.
Saat terakhir kali lewat depan lapangan terbang untuk mem-
beli beras, aku tak bisa menahan-nahan rasa untuk menghampiri
Pak Yasin yang sendirian memegang benang pancing. Ia dulu­nya
tukang ojek pangkalan di gang rumahku, sekarang jadi tukang
parkir. Pak Yasin bukan orang asli sini, ia perantau dari Jawa Timur.
Embernya masih kosong. Saat melihatku, ia nyengir menampak-
kan sebaris giginya yang tak rapi.
“Apa tidak takut ketularan penyakit, Pak?”
“Ya… takut.”
“Terus kenapa tidak pulang saja?”
Pak Yasin diam sejenak, jari-jarinya yang dililit kain gesit
menarik benang pancing saat umpannya ditangkap, sayang lele itu
melarikan diri. Ia menghela napas berat lalu memasangkan um­
pan­kembali di kail. “Pernah dengar cerita orang Lamongan tidak

18
makan lele?”
“Belum.”
“Seperti sapi di India, sebagian orang di Lamongan percaya
lele itu hewan suci, hewan pelindung.”
“Kedengarannya cerita yang menarik.”
“Bukan, cerita yang bodoh. Tapi gara-gara cerita itu, selama
43 tahun saya tidak makan lele. Baru setelah tahun kemarin, saya
mulai mancing di sini. Kamu tahu kenapa?”
Aku menggeleng.
“Di tahun ke-44 baru saya sadar, semua kepercayaan jadi
cerita bodoh saat perut kelaparan.” Ia mengekeh tanpa kupahami
maksudnya. “Kamu tahu apa yang lucu?”
Aku menggeleng lagi.
“Daging lele ternyata empuk dan enak. Hahaha.” Pak Yasin
ketawa hingga dua gigi geraham atas-bawahnya yang tanggal terli-
hat. “Saya menyesal tidak makan lele dari dulu.”

Pondok Cabe, 2020

19
Mira yang Merana
Inas Pramoda

Namanya Amir, ia anak bibi yang membantu pekerjaan rumah.


Bibi dari Sukabumi, dan ia sudah bertahun-tahun bekerja dengan
orang tuaku. Amir sepantaranku, tetapi sejak lulus SMP ia tak lagi
lanjut sekolah. Ia hanya ikut membantu bibi, dan ketelatenannya
mengurus rumah hampir sama dengan ibunya. Ia bangun lebih
awal, menyapu dan mengepel lantai, lalu dapur akan ramai de­ngan
suara minyak panas dan pisau beradu dengan talenan.
Masakan bibi enak sekali, ia juga bisa memasak nasi mandi
sebab pernah lama di Arab Saudi. Sementara masakan Amir tiap
hari makin enak saja. Dari yang dulu masih belajar memotong tan-
pa melukai jari, hingga aku lihat Amir bisa memotong bawang dan
segala macam sambil menonton tv dari dapur. Aku malah tak bisa
lagi membedakan mana masakan bibi, mana masakan Amir. Kare-
na aku anak tunggal, Amir menjadi teman karib yang menyenang-
kan. Meski ia selalu enggan-engganan bila kuajak bermain bola.
“Aku tidak kuat panas-panasan,” begitu alasannya selalu.
Maka kami lebih sering main di rumah, beradu gaple, main
congklak, atau bekel. Yang terakhir itu Amir selalu mendominasi.
Jari-jarinya lentik dan cekatan menguasai biji-biji bekel. Saat se-
dang fokus bermain, ia mesti mengikat rambutnya dengan karet
agar tak berkibaran di depan matanya. “Kalau repot begitu kenapa
tidak dipotong saja?” tanyaku. Amir bakal menggeleng lalu bilang,
“Aku suka rambut panjang.”
20
Amir adalah teman karibku, maka di suatu hari ia menemani
bibi pulang karena sakit, aku merasa kehilangan. Aku merasa umur
bibi tak akan lama lagi, dan aku merasa Amir tak akan kembali.
Sementara bibi kekeh ingin pulang melihat anak-anak­nya yang ma-
sih kecil, adik-adik Amir. “Hubungi aku, ya?” ucapku setelah me­
ngantar mereka berdua ke terminal. Amir memberi isya­rat dengan
senyumnya. Sebelum ia masuk ke dalam, aku meneriakinya dari
belakang, “Mir!” Ia menoleh, aku melontarkan ikat rambut warna
cokelat tepat ke mukanya, ia tertawa saja lalu pergi.
Dasar demit, Amir menghilang begitu saja tanpa ada kabar.
Bertahun-tahun telah lewat sejak hari itu, aku malah hampir tak
peduli lagi. Aku menikah, bekerja di perusahaan yang bagus, dan
sudah mulai mencicil rumah. Peduli setan dengan Amir. Dan di
saat namanya mulai samar-samar menghilang dari memoriku itu,
ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. “Halo?” tak ada jawa-
ban. Kuulangi lagi sekali, “Halo?” masih hening. Begitu akan kutu-
tup, tiba-tiba saja ia menyahut, “Ram?” Entahlah ini sua­ra laki-laki
atau perempuan, tapi hanya satu orang yang kukenal memanggil
namaku Umar dengan dibalik. “Amir?” Dan ini yang membuatku
terheran-heran, ia menangis, menangis dengan dalam.
Itu bukan panggilan yang lama, tapi tidak sebentar juga. Amir
meminta maaf tak pernah menghubungi selama ini, dan ia bi­lang
sudah beberapa tahun bekerja di Jakarta, aku bilang bahwa ia harus
main ke rumah, ia meminta alamatku dan berjanji akan berkun-
jung kalau sempat. Aku tak ingin bertanya mengapa ia baru meng­
hubungi, dan sepertinya ia tak ingin juga menjelaskan apa-apa se-
lain meminta maaf. Sebelum panggilan berakhir, sayup-sayup ia
berkata, “Ram, panggil aku Mira.” Aku tersenyum. “Bagus juga,
kalau begitu sampai jumpa, Mira.”
Namanya Mira, ia adalah teman karibku. Setelah panggilan­

21
nya yang terakhir, ia tak pernah berkunjung ke rumah. Dan seper-
tinya aku tahu alasannya. Dua minggu lalu ada berita yang kubaca
di koran, seorang waria tewas di rumah sakit karena luka bakar
yang parah di kepala dan tubuh bagian atasnya. Waria itu dituduh
mencuri dompet seorang supir truk, lalu preman-preman kam-
pung memanggilnya ke sebuah gudang untuk disidang. Ia tidak
mencuri, ia enggan mengaku.
“Saya sudah dapat cukup uang dari menjual diri, kenapa ha-
rus mencuri?” waria itu berdalih. Seorang preman menyiram wa-
jahnya dengan bensin, seorang yang lain menakut-nakutinya den-
gan korek api, namun ia tetap tak bergeming. Mereka yang teguh
pada pendiriannya selalu dilihat menjengkelkan, maka ia dibakar.
Waria yang meregang nyawa setelah merasakan neraka itu berna-
ma: Mira.

Pondok Cabe, 2020

22
Sebuah Seminar tentang Jurnalisme
Inas Pramoda

Tahun lalu aku mengikuti sebuah seminar, seminar yang rasanya


belum juga selesai hingga hari ini. Tidurku terus terganggu sejak
hari itu, maka kuputuskan untuk menuliskannya. Itu sebuah semi­
nar tentang jurnalisme di salah satu kampus negeri. Yang mengisi
adalah seorang wartawan senior yang aktif puluhan tahun di pers,
dan tahun ini usianya genap 70.
Begini judul seminarnya: Pelatihan Jurnalisme, Sembilan Elemen
Dasar. Yang sejenak mengingatkanku dengan buku garapan Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel. Girang betul aku saat seorang teman
dari pers mahasiswa mengabarkan tentang seminar itu. Begitu gi-
rangnya hingga aku sampai di lokasi sejam lebih dulu sebelum aca-
ra dimulai.
Moderator memperkenalkan narasumber sebagai penulis
buku biografi tersohor dan mantan pemimpin redaksi yang berha-
sil mengkader banyak wartawan muda. Orang-orang seaula menyi­
mak, aku sudah siap dengan buku catatan dan pulpen warna biru.
Ujung pulpen kutekankan ke kertas saat mik beralih ke wartawan
senior itu, dengan tekad aku takkan melewati poin-poin penting
yang bakal ia utarakan. Seperempat jam pertama ia membicarakan
dirinya sendiri, bagaimana ia memulai karier sampai pensiun di
umur 54, magnum opusnya yang ia sanjung-sanjung telah mem-
buka kebenaran besar, dan lain-lain.
Seperempat jam berikutnya agak sentimental, ia bercerita
23
tentang istrinya yang meninggal setahun lalu, betapa ia di usianya
yang hampir kepala tujuh sangat kesepian, dan suaranya menangis
tersalur jelas dari mik ke pelantang. Sementara aku masih menung-
gu sembilan elemen dasar, pelatihan jurnalisme, kapan dimulai?
Setelah ia merampungkan nostalgianya, aku menegakkan
punggung lagi. Inilah waktunya, pikirku. Namun ia mulai berbi­
cara tentang sawit baik, industri sawit yang lesu dan mengancam
ekonomi masyarakat, dan pemerintah yang sedang menggenjot
harga sawit biar naik. Ia berbicara tentang sawit hampir setengah
jam, lebih lama dan menggebu-gebu daripada saat mengenang is-
trinya.
Ia baru berhenti setelah seorang peserta berdiri dan mende-
sak ingin bertanya. “Kenapa Bapak tidak menyinggung konflik
antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan sawit besar?
Misal­nya pembagian lahan yang timpang dengan perbandingan
80:20. Belum lagi saat panen lahan milik warga sengaja digarap
terakhir, imbasnya harga sawit mereka anjlok dari per kilogram
bisa 1500 rupiah, jadi 800 sampai 500. Bagaimana dengan lahan
milik warga yang dijual tanpa sepengetahuan mereka oleh peme­
rintah ke perusahaan? Lalu, kapan dimulai pelatihan jurnalisme­
nya, Pak?”
Wartawan senior itu menjawab hampir seperempat jam, dan
betapa aku kagum bagaimana ia bisa berbicara begitu banyak dan
dalam waktu yang sama tidak menjawab apa-apa. Lalu peserta
yang sama kembali bertanya, “Bagaimana pendapat Bapak tentang
wartawan yang mati karena meliput masalah sensitif seperti ini?”
Lelaki yang hampir berusia 70 tahun itu menjawab, “Kalau
kata orang kampung saya ndak pandai mailak, tidak pandai menge-
lak, itu saja, dan kurang beruntung.” Setelah mendengarnya, pe-
serta yang bertanya tadi segera berdiri, meringkas barang-barang-

24
nya ke dalam tas, dan beranjak keluar. Wartawan senior yang masih
memegang mik itu menyelanya sebelum sampai pintu. “Hei, kamu
mau ke mana? Saya baru mau mulai pelatihannya.”
Dan ini yang ia lakukan sebelum pergi, yang membuat tidurku
tidak tenang malam itu. Pemuda itu berbalik mendekat ke pang­
gung­, mengambil mik yang dipegang wartawan senior, dan dengan
satu kali napas ia bilang, “Karena ayah saya tidak pandai mengelak
dan kurang beruntung. Terima kasih untuk pelatihannya.”

Pondok Cabe, 2020

25
Di Pangkuan Mas Wanda
Inas Pramoda

Namaku Aruna, suamiku pasti marah kalau aku bercerita tentang


ini. Jadi tolong rahasiakan. Hidupku bahagia, tinggal di rumah
sendiri, punya suami yang perhatian, lengkap dengan dua put­ri
yang ma­nis-manis. Tak kurang suatu apapun, dan tak ada yang
harus disesali. Namun terkadang ingatan-ingatan dari masa lalu
suka menyelinap, untunglah tidak sampai menginap. Apalagi saat
sedang bersantai di ruang tengah, dan kepalaku beralaskan le­ngan­
sofa yang agak keras, tiba-tiba saja aku membayangkan se­perti
dulu saat tertidur di pangkuan Mas Wanda.
Mas Wanda adalah satu-satunya mantanku sebelum menikah.
Dan pahanya tak lebih empuk dari lengan sofa di ruang tengah.
Aku sering tidur di pangkuannya, di kamar kosnya yang sempit.
Kami berdua bertemu di lembaga pers mahasiswa. Dia orang yang
pendiam, terlalu pendiam malah, mungkin karena itu ia banyak
menulis. Sayangnya ia ditendang dari kampus sebab meliput skan-
dal pelecehan oleh dosen. Situasinya rumit dan panjang. Sejak
itu aku mulai tertarik, mungkin namanya darah muda. Kami ber-
hubungan selama 4 tahun, dan aku sering bermain ke tempatnya.
Kamu mungkin berpikiran kotor, sudah semestinya. Tapi
duh, Mas Wanda… hal paling kotor yang pernah ia lakukan kepa-
daku hanya mencium bibir. Dan sungguhlah ia tak pandai dalam
hal itu, sekalinya kami berciuman, bibirku kena gigit. Setelahnya
ia tak pernah melakukan apa-apa lagi. Aku pernah bertanya suatu
26
hari, “Apa aku kurang menarik sebagai wanita?” Mas Wanda diam
lama, aku juga diam, rasanya canggung sekali. “Aku yang mena­
han diri,” ucapnya, “Setelah kamu pulang, aku sering berpikir ma-
cam-macam.” Mungkin itu maksudnya bahwa aku menarik.
Maka hal paling jauh yang kulakukan saat bermain ke tempat-
nya adalah tidur di pangkuan Mas Wanda. Dan yang ia lakukan si-
buk menggunting koran dan menyusun kliping. Kamarnya penuh
dengan klipingan, dan sejujurnya itu sangat membantu beberapa
tugasku. Aku memperhatikan wajahnya dari bawah, hidungnya,
matanya, napasnya, sambil menceritakan segala hal yang kulewati
di kampus, di kamar, di rumah, lalu tertidur. Saat terbangun, ia
masih membuat kliping dengan tekun.
“Mas, ada yang datang ke rumah,” kataku suatu saat, ia hanya
diam, pahanya tak bergerak. “Datang melamar,” lanjutku. Barulah
ia meletakkan gunting dan korannya ke pinggiran, lalu melihat ke
mataku. “Aku belum jawab, kemarin juga baru dikabarin ibu.”
“Nunggu apa lagi?”
“Mas, kamu gak mau datang ke rumah?”
“Run.” Ia diam sejenak, seperti mengumpulkan bahan-bahan
kliping di kepalanya. “Aku ini drop out. Kerja belum ajek, untuk
pacaran aja susah, apalagi menikah,” katanya dengan hati-hati.
“Kalau belum siap sekarang, aku tunggu.”
“Kamu mau punya anak?”
“Hm?” kenapa tiba-tiba saja, pikirku, jujur aku heran dita­
nya seperti itu. “Iya, aku mau punya anak,” dan dengan ragu-ragu
kulanjutkan, “Mas mau hamilin aku?” Lalu ia tak bisa menahan
tawanya yang singkat, aku malu sekali.
“Kalau kamu mau jadi ibu, ada baiknya menikah tahun ini.
Tahun depan umurmu sudah 27. Biar nanti anakmu pas kuliah,
kamu masih kuat kerja. Seandainya nikah umur 30-an, anakmu

27
kuliah, umurmu hampir 50. Anak kedua dan ketiga mungkin su-
dah jadi nenek-nenek.“
Mendengarnya aku jengkel, sungguh pecundang Mas Wanda,
mengelak seperti itu, tak berani datang ke rumah, tak mau menika-
hiku. “Mas serius ngomong begitu?” Aku bangun dari pangkuan-
nya, menatap sekali lagi tepat di matanya, ia tak berkata-kata. Aku
segera pergi sebelum tampak bodoh dengan menangis di sana.
Kamu bisa menebak kelanjutannya, aku menikah, punya dua putri
yang manis-manis, dan bisa terus bercinta.
Sering juga aku bermanja-manja di pangkuan suamiku, tetapi
terasa berbeda. Mas Wanda selalu mendengarkan apa saja ceritaku,
sementara suamiku lebih banyak bicara. Kedua-duanya baik, tapi
tolong agar ini jadi rahasia saja.

Pondok Cabe, 2020

28
Putri Daedalus
Izzul Millah

Sekolah Taman Anggrek atau Orchideeëntuin adalah sekolah khusus


putri bangsawan di sebuah tanah lapang milik keluarga Wilhelmi-
na. Sekolah itu punya lapangan besar, sebuah danau pribadi, dan
gedung bertingkat dengan fasilitas yang luar biasa mewah. Keluar­
ga Wilhelmina membangun sekolah itu untuk membina putri-pu-
tri bangsawan menjadi bangsawan seutuhnya. Mereka diajari ber-
dansa, menyanyi, cara makan, cara berjalan, cara berbicara, dan
segala hal yang lekat dengan sikap seorang bangsawan Belanda.
Isabela menghabiskan masa sekolahnya di sana. Ia memiliki
Aistocratische Houding, sikap bangsawan terbaik yang pernah dimili-
ki oleh sekolah itu. Jelas saja, ia salah satu kerabat dari Raja Willem,
raja pertama dari kerajaan Belanda. Isabela menanggung beban
berat nama keluarga di pundaknya, ia harus terlihat sempurna.
“Goedenavond, Putri Isabela,” sekelompok putri menyapanya
saat berpapasan di lorong. Kelas sore ini sudah usai.
“Goedenavond, Nona Taylor dan kawan-kawan.” Ia mem-
bungkukkan badan dan menarik roknya untuk memberi salam.
Mereka lalu berjalan ke asrama masing-masing.
Sesampainya di kamar, Isabela langsung menenggelam-
kan kepalanya dalam bantal. Di samping bantal itu, tergeletak
sepi boneka beruang pemberian ayahnya. Ia menangis! Benar, ia
menangis!
Isabela sudah capek dengan kehidupan bangsawan. Sikap
29
bangsawan yang kaku itu, yang bertopeng itu. Seolah saling meng-
hormati padahal dalam hati ada kedengkian tiada tara. Rasa iri
karena tidak dilahirkan dari keluarga bangsawan kelas atas. Tiap
senyum dalam sapaan mereka adalah kebohongan yang terlalu
jelas baginya. Isabela lelah dengan semua itu. Ia ingin berhenti
menjadi bangsawan dan menjalani kehidupan seperti orang biasa.
Hari ini ada kelas dansa, dan hanya di kelas ini kehormatan
Isa­bela jatuh. Ia tidak bisa berdansa sama sekali. Semua putri di
kelas menolak menjadi pasangan dansanya. Mereka tahu Isabela
buruk dalam hal berdansa. Biasanya jika tinggal Isabela seorang, ia
akan duduk sebagai pianis saja. Namun hari ini berbeda, sebab ada
seorang siswi baru yang masuk kelas.
Saat memasuki aula dansa, siswi baru itu lebih memancarkan
aura seorang pangeran ketimbang putri. Rambutnya merah de­ngan
cukuran pendek, gaunnya berwarna biru. Ia memandang para put­
ri satu persatu, lalu mengucapkan salam tanpa membungkuk.
“Goedemorgen, mulai hari ini saya akan mengikuti kelas dansa.
Nama saya Emi. Frederik Emi.”
Melihat Isabela sendirian, Emi langsung menghampiri dan
memegang tangannya. Tanpa sepatah kata pun, mereka mulai ber-
dansa. Isabela memandang lekat pasangannya, dan tanpa sengaja
ia menginjak kaki Emi dengan keras. Gadis berambut merah itu
berteriak kesakitan dan mereka berdua harus mengakhiri kelas
dansa itu. Isabela memaki dirinya sendiri.
“Maafkan saya, Nona. Saya buruk dalam berdansa,” ucap Isa-
bela saat menjenguk Emi di klinik sekolah. Kaki kanannya terkilir.
“Tidak apa-apa, Isabela. Jujur saja, aku juga buruk dalam ber-
dansa.” Emi tersenyum memandang Isabela yang terheran-heran.
Baru kali ini ada seorang putri yang menggunakan kata “aku”
dan memanggilnya tanpa embel-embel nona. Bangsawan seperti

30
apa ia? Apakah ia tahu tentang dunia luar? Apakah ia punya ceri-
ta-cerita menarik seperti di novel? Pikirannya langsung melayang
ke kehidupan yang bebas.
Malam itu Isabela tidak tidur di kamarnya, ia menemani Emi
di klinik. Ia ingin mendengar cerita tentangnya lebih banyak. Na-
mun pertemuan pertama mereka berakhir dengan buruk, Isabela
merasa tak enak untuk langsung menanyakan hal-hal yang bersifat
pribadi dan bersikap sok akrab.
“Kamu ingin mendengar ceritaku? Ceritaku sebelum men-
jadi putri seorang bangsawan?” Isabela kaget mendengarnya, se­
akan pikirannya sedang dibaca. “Aku bisa tahu dari matamu. Aku
pernah melihat pandangan yang sama dari matamu. Dari seorang
bangsawan yang sekarang mengadopsiku, Lewis Freder. Kau per-
nah mendengar namanya? Ia ayahku sekarang.”
Isabela kembali kaget. Lewis Freder adalah nama pengarang
dari buku-buku yang biasa ia baca. Buku-buku itu bercerita tentang
seorang putri yang hidup di jalanan. Mencuri, berdagang, hidup
bersama pengemis, tidur di ranjang yang kumuh, dan berbahagia
dengan itu semua adalah hidup tokoh putri dalam cerita tersebut.
Isabela mengangguk. Ia ingin mendengar langsung cerita
tersebut. Cerita seorang putri yang bebas. Tidak terkekang oleh
Aistocratische Houding yang kaku. Putri yang bahagia dengan ke-
hidupannya. Putri yang berani. Putri yang anggun dengan caranya.
Dan putri itu sekarang ada di hadapannya. Dia adalah Frederik
Emi.
“Sebenarnya aku tak punya nama belakang.” Dia menggaruk
kepalanya. “Namaku Emi, dan aku adalah Icarus dalam wujud
put­ri. Putri Daedalus.”

Tetouan, 2020

31
Akibat Covid-19 dari dalam Selimut
Izzul Millah

Aku bangun dengan kepala pusing. Temanku menanyakan hari


padaku, kujawab Rabu, dia tertawa. “Ini hari Jumat, tolol!” Aku
kesal, seketika kulempar bantal yang kubuat tidur dan meminta­
nya kembali. Dia memberinya dengan senyum getir nan aneh. Aku
kembali tiduran, menutup diriku dari dunia luar dengan selimut
merahku.
Sekarang aku sudah tidak bisa membedakan hari. Entah ini
hari ke-berapa sejak mengurung diri di rumah karena Covid-19.
Semua orang ketakutan. Semua orang saling curiga. Ketakutan dan
kecurigaan itu berguna untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Semua orang bersikap realistis agar terhindar dari kematian. Ha-
nya kematian yang membuat mereka sadar bahwa manusia patut
dicurigai dan ketakutan adalah hal yang lumrah.
Dulu, orang yang ketakutan dicerca. Saling mencurigai di-
anggap tabu. Mereka berlaku optimis terhadap diri mereka dan
orang lain. Pesimis adalah sifat yang harus dijauhi. Sekarang semua
berkebalikan. Dunia sedang berubah. Bumi sedang berbenah.
Ada pula mereka yang celaka, melakukan hal bodoh dengan
berbohong saat diperiksa dokter dan menyebabkan sang dokter
ketularan. Cih! Mereka hanya memikirkan hidup mereka sendiri.
Dalam kegelapan selimut, lockscreen di layar hp-ku menunjuk-
kan lima panggilan tidak terjawab. Tiga dari ibuku, satu dari pa-
carku, dan satunya lagi dari teman sebangku kuliah. Kulihat pesan
32
dari ibu, menanyakan keadaan di rantau dan menyuruhku untuk
tidak keluar kecuali dalam keadaan darurat. Aku bilang bahwa aku
baik-baik saja, toh aku memang anak rumahan dari dulu. Lalu ku-
lihat pesan dari pacarku. “Aku bosannnnnnnn!” tulisnya. Tidak
perlu kusebutkan pesan dari temanku, isinya sama. Mereka me-
mintaku menemaninya yang sedang bosan di rumah saja.
Seperti yang kukatakan pada kalian, dunia sedang berubah.
Banyak yang berubah. Seperti—entah disadari atau tidak—kita
bertindak sebagai makhluk sosial yang membutuhkan adanya ma-
nusia lain untuk melawan kesepian masing-masing. Kita semua
membutuhkan teman. Teman bicara lebih tepatnya. Memikirkan
ini membuatku tertawa dalam selimut sendiri. Temanku kaget
mendengar tawaku lalu berteriak.
“Ngapain kau ketawa-ketawa sendiri, bangke?! Bagi-bagilah!”
“Nanti aku ceritain!” balasku dari dalam selimut.
Persepsi di atas lebih-lebih untuk mereka yang memang suka
kumpul, bergaul secara fisik. Ketiadaan orang di sekitar mereka
membuat kesepian. Maka mereka selalu mencari teman ngobrol.
Tiba-tiba ada yang ngirim tautan Zoom lah; tiba-tiba minta nel-
ponlah; tiba-tiba video call group lah. Itu semua guna menghilang-
kan rasa ke­sepian mereka karena tidak ada teman. Walaupun ada
keluarga atau saudara di rumah, rasanya berbeda dan topik yang
dibicarakan pun berbeda.
Aku bangun dari selimut, meminum air di sampingku
dan menuju kamar mandi. Saat aku mencoba meneruskan pe-
mikiran-pemikiranku dalam selimut sambil kencing, temanku ber-
teriak dari kamar dengan kencang.
“Fa! Ada go-food tuh!”
“Berisik! Iya bentar!” segera kutuntaskan kencingku.
Sekeluarnya dari kamar mandi aku baru bertanya-tanya, siapa

33
yang mengirim go-food? Aku yakin tidak memesannya. Ada dua
bungkus nasi padang atas nama Riska. Ah… dari pacarku ternya-
ta. Kuucapkan terima kasih dan memberi tip 10 ribu untuk abang
gojek.
Selain kesadaran yang kupikirkan tadi, ada kesadaran lain un-
tuk berbuat baik dengan berbagai cara. Salah satunya mengirim
nasi padang dari tempat yang jauh seperti ini. Kukirimkan foto
nasi padang dan ucapan terima kasih untuk pacarku dengan emoji
hati. Semoga dia senang.
“Ceritha lhah. Au bosen nih maen cacing mulu,” kata temanku
dengan mulut penuh nasi padang.

Tetouan, 2020

34
Harga Kejujuran
Izzul Millah

Kata orang, komunikasi adalah hal terpenting dalam sebuah


hubungan. Aku mengamininya sekaligus menolaknya. Aku meng­
amininya karena selama empat tahun aku berpacaran, kami berdua
selalu menjaga hubungan dengan saling menelepon saat aku ulang
tahun atau pacarku ulang tahun.
Iya, kami berhubungan hanya dua hari itu selama setahun.
Aku mengambil keputusan itu karena kuliahku berantakan. Aku
tidak bisa fokus kuliah hanya karena dia selalu curhat masalah
apapun kepadaku. Saat aku meminta izin karena ada keperluan
kuliah, dia marah. Aku tidak paham dengannya.
Dia setuju dengan keputusanku, tapi dengan syarat: saat kami
berhubungan lewat telepon atau pesan, kami berdua mengatakan
segalanya. Curhat, sedang berhubungan dengan siapa, ada ma­
salah apa, apakah kuliah lancar, dan sebagainya. Segalanya tentang
hi­dup masing-masing kami utarakan sejujur-jujurnya. Aku menyu-
kai konsep itu. Akhirnya kami bisa saling terbuka. Dan aku akan
tahu dia dekat dengan siapa, begitu pula dia.
Awalnya kami baik-baik saja, hal ini sudah berjalan lancar se-
lama tiga tahun lamanya, sampai pada akhirnya dia marah karena
aku dekat dengan salah satu temanku di kampus. Oh ya, aku dan
pacarku, Ana, sedang LDR-an. Dia kuliah di Solo, aku di Jakarta.
Bukankah dia juga sama, saat mengatakan sedang dekat de­
ngan pria manapun, aku tidak mempermasalahkannya. Namun ke-
35
napa sekarang saat aku bilang dekat dengan temanku dia marah?
Kenapa ada timbal balik yang tidak adil seperti ini? Ah! Aku malas
mengurusi semuanya. Kami pada akhirnya juga akan kembali pada
rutinitas masing-masing, dan akan berkomunikasi lagi saat ulang
tahunnya, empat bulan lagi, pada tanggal 4 Juni.
Aku sedikit khawatir dengan hubungan kami ini, apakah
kuakhiri saja? Dia terlihat sakit hati begitu. Sudahlah, biar dia
yang menentukan. Aku sudah pernah sekali menentukan jalannya
hubungan kami, untuk seterusnya, biar dia yang menentukan.
Tibalah hari ulang tahunnya, dia mengirimi paket sebuah ja-
ket gunung. Katanya itu hadiah. Aku bingung, kenapa malah dia
yang memberiku hadiah, bukannya aku?
“Buat yang terakhir, Mad.”
Ah, jadi begitu. Inilah akhir hubungan kami. Sudah empat ta-
hun berlalu, lebih tepatnya tiga tahun delapan bulan. Bukan waktu
yang sebentar untuk menjalani hubungan. Mungkin dia bosan atau
dia merasa tersakiti karena sikapku. Ya sudahlah. Aku juga tidak
ingin membuatnya lebih sakit lagi.
Mungkin komunikasi yang terlalu terbuka malah membuat
hubungan kami renggang dan dia tidak menerima itu semua. Keju-
juran memang pahit, entah bagi yang mengatakan atau yang men-
dengarkan. Ada kalanya kebohongan juga diperlukan. Bodohnya
aku, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tidak tahu cara
tepat berkomunikasi dengan pacarnya sendiri.

Tetouan, 2020

36
Rutinitas Pagi
Kemal Fasas

Di pagi hari setelah aku mati, aku menemukan Alina tidak di sam­
pingku. Aku coba meraba sekitar selimutnya yang kusut, tidak ada.
Tempat ia biasa tertidur terasa dingin. Aku mulai beranjak dan me-
lihat sekali lagi tempat tidur kami, apa yang telah Alina tinggalkan
untukku pagi itu adalah sisir yang selalu dipakainya, tergeletak di
kasur. Sisir yang terbuat dari kayu dengan corak bunga berwarna
merah menghiasinya. Sering aku bilang bahwa sisir itu lebih seper-
ti barang antik, beli yang lebih layak saja, kataku.
“Entahlah, aku hanya sangat suka dengan sisir ini,” jawab
Alina waktu itu. Panas matahari mulai terasa, lalu aku keluar dari
kamar dan mulai menyiapkan sarapan. Hari ini libur, tidak ada
yang perlu aku lakukan. Lagi pula, kemarin aku sudah mati. Bagi
beberapa orang, tidak ada yang benar-benar terjadi. Semua hanya
lewat begitu saja, dan dengan sekejap di menit kemudian kau su-
dah mati.
Kulkas hanya menyisakan bau ayam, tiga butir telur, botol
kosong, dan mangkuk kotor yang biasa Alina pakai. Sepertinya
ia lupa lagi mencucinya kemarin malam, atau malah ini mangkuk
bekas minggu kemarin? Aku tidak terlalu ingat. Nanti saja aku men-
cucinya. Untuk sekarang, yang perlu kupikirkan adalah bagaimana
aku mengisi perut terlebih dahulu.
Dentingan antara sendok dengan piring seperti lebih leluasa.
Wajar, pagi ini Alina tidak ada di depanku sambil mengoceh hal-
37
hal yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya. Tidak terasa
makanan sudah habis. Dipikir-pikir lagi sarapan kali ini terasa cu­
kup asing. Aku meninggalkan tempat makan dan beranjak keluar
untuk melanjutkan rutinitas pagiku, sedikit jalan pagi.
Kalau boleh jujur, aku benci rutinitas jalan pagi ini. “Kau
tidak boleh begitu, Sayang. Setidaknya seminggu sekali kamu usa­
hakan olahraga,” kata Alina mengingatkanku di suatu pagi. Aku
lupa kapan tepatnya. Dan semenjak itu rutinitas jalan pagi untukku
dan Alina dimulai. Sebenarnya aku tidak perlu repot-repot jalan
pagi. Rutinitas ini aku lakukan begitu saja tanpa perlu memikirkan-
nya dua kali.
Sehabisnya aku mengitari kampung untuk mencari udara se-
gar, Mpok Imeh masih mendagangkan jajanan pagi di seberang
rumah. Biasanya sehabis pulang dari jalan pagi, Alina akan mem-
beli beberapa. Aku makan sedikit dan sisanya Alina yang habiskan,
kelihatannya ia menyukainya. Perlu mengambil beberapa momen
kembali untuk aku menemukan bahwa setelah kematianku dunia
tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Matahari sudah mulai panas, dan aku sudah mulai kedingi-
nan di luar rumah. Aku masuk dan menyeduh secangkir kopi lalu
duduk di ruang makan. Biasanya aku buat untuk dua gelas; satu
untukku dan satu untuk Alina. Alina tidak suka kopinya pahit, aku
tambahkan gula lebih banyak atau menambahkan susu ke cang­
kirnya. “Kalau tidak pahit bukan kopi namanya, Alina,” kataku
dan dijawab dengan muka kesalnya yang imut, aku merasa kami
berdua mulai mengenal satu sama lain lebih jauh lagi.
Namun akhir-akhir ini aku semakin tidak tahu apa yang Ali-
na pikirkan, ia pulang semakin malam, percakapan kami seperti
satu arah, seperti selama ini aku hanya mengenal orang asing yang
kebetulan aku nikahi. Sekarang mataku memandang lepas ke arah

38
dinding yang hampa. Aku melihat di seberangku tidak ada Alina.
Ini membuatku kesal. Aku tidak pernah sekesal ini. Kena-
pa harus Alina? Kenapa aku harus mati? Atau mungkin memang
sejak awal tidak pernah ada kenapa, dan aku harus terperangkap
dalam pertanyaan ini. Aku tidak akan bisa menemukannya. Orang
mati adalah mereka yang sudah terlanjur mengucapkan selamat
tinggal kepada apa yang mereka tahu dan kenang.
Di pagi hari setelah aku mati, sepertinya aku mencintai Alina
kembali. Aku ingin bangun di pagi hari dan menemukan Alina di
sampingku, aku ingin menyiapkan sarapan bersamanya, aku ingin
melakukan jalan pagi bersamanya, aku ingin membuatkan kopi
untuknya. Namun untuk saat ini, setidaknya aku ingin bangun di
pagi hari dan menemukan Alina di sampingku terlebih dahulu,
selebihnya aku hanya tinggal menunggu, dan melihat seperti apa
hari yang akan kami lalui, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.
Lalu aku kembali menyesapi kopiku dengan pelan. “Aku sela-
lu benci pahit,” pungkasku.

Marrakech, 2020

39
Seperti Menanam Api
Kemal Fasas

Semua berawal dari satu percikan kecil, kemudian menjadi api, dan
memarak.
Suatu sore di hari Sabtu aku mendapatkan kabar dari kakak
bahwa ayah meninggal. Tidak jelas apa penyebab kematiannya, ia
ditemukan tergeletak di kamar tidur. “Besok kita akan memulai
pemakaman, sempatkan datang, Safar,” tutup kakakku di ujung
telepon, lalu kumatikan pembicaraan kami.
Belum terlalu lama, sekitar tiga tahun yang lalu, ibu juga
meninggal. Kira-kira, butuh berapa teguk racun tikus untuk mem-
buat seisi lambungmu berantakan? Buatku cukup dengan segelas
berita duka mengenai kematian ibu. Kabar datang secara menda-
dak dan di menit kemudian aku sudah lupa di mana berpijak. Aku,
kakakku, dan beberapa keluarga besar ikut melayat dan yasinan
di rumah waktu itu. Selepas acara, dari dalam rumah aku melihat
ayah datang terlambat dengan berantakan.
Ketika ia menghampiri, sebelum ia sempat berkata, aku me-
layangkan satu pukulan keras dan amarah besar tepat di wajah­
nya hingga tumbang. Dilanjutkan dengan tinju kedua di perut agar
ia tahu apa yang selama ini aku rasakan. Sebelum pukulan ketiga
yang kulayangkan ke mukanya yang menjijikkan itu lagi, dari be-
lakang kakakku menghentikan ayunan tanganku dan memisahkan
kami berdua.
Aku tidak terlalu ingat setelah itu, semua terasa kabur. Satu
40
hal yang aku ingat adalah ketika beranjak pulang, api itu masih saja
ada, api kecil yang sudah ada entah sejak kapan. Seingatku, dari
kecil kami selalu tinggal seperti ini; asap memenuhi ruang tamu
dan menjalar lebih ke dalam, tidak ada pemadam kebakaran yang
pernah datang, tidak ada jalan keluar bagi asap kecuali jendela dan
pintu depan. Dari dalam ruang tamu, api itu menyala di samping
ayah yang sedang duduk dan terdiam. Aku membalikkan tubuh
dan pergi.
Siang kali ini mendung, tetapi angin masih saja kering seperti
minggu lalu. Tidak terlalu banyak yang menghadiri pemakaman.
Di samping ibu, ayah dikuburkan. Sesampainya di rumah ayah—
rumah di mana kami dibesarkan—aku dan kakak duduk di ruang
tamu. “Aku balik duluan, mau aku antar sampai stasiun?” ia ber-
tanya. “Tidak perlu, Mas. Aku mau di sini dulu,” jawabku.
Api itu masih di sana, di ruang tamu, panas dan menyala.
Kakakku tidak menghiraukannya, atau mungkin dia memang ti-
dak bisa melihatnya? Lalu pintu ditutup, asap mulai berkumpul.
Tinggal aku sendiri, lalu kesunyian datang. Meskipun sudah ber-
tahun-tahun tinggal di sini, aku masih merasa asing. Aku tidak
i­ng­at­kapan terakhir kali merasa damai seperti ini. Sepanjang aku
menghabiskan hidup di rumah ini, hanya suara piring pecah, pintu
terbanting, dan cacian ayah yang terdengar. Namun setelah ibu
dan ayah meninggal, akhirnya aku bisa mendengar suara burung
berkicau di luar.
Aku beranjak dan melihat foto yang menggantung di dinding
ruang tamu, foto keluarga pertama dan terakhir yang pernah kami
punya. Di dalam bingkai ada aku, kakak, ibu, dan bapak. Sepaket
komplit keluarga yang terlihat bahagia. Api kecil itu mulai membe-
sar dari belakang punggungku, asap mulai membuat pandanganku
tidak jelas. Aku masih ingin melihat foto ini lebih lama, tapi tanpa

41
kusadari api kecil itu sudah membesar, dan meluas. Merambat dari
sekujur ruang tamu menuju ke dalam. Aku sudah tidak tahan, aku
akan keluar. Lalu pintu kubuka secara paksa, dan aku berdiri di
halaman depan, menatap rumah yang mulai terbakar.
Aku terdiam dan duduk melihat bagaimana api bekerja mela-
hap rumah dan seisinya. Dalam beberapa menit aku tidak sadar
sudah menangis, lalu dari kejauhan bunyi sirine mendekat dan su-
ara bantingan pintu mobil terdengar.
“Safar! Safar! Pergi dari situ!” teriak kakakku dari gerbang,
lalu berlari mengangkatku menjauhi api yang mengganas.
“Kamu bisa melihat api itu, Mas?” tanyaku.
“Apa? Tentu saja bodoh! Kamu sudah gila?”
Aku melihatnya sekali lagi. Api itu mulai menari terbang ke
atap, meruntuhkan dan melahap segalanya; perabotan, dinding,
dan kenangan kami semua. Aku baru menyadari, bahwa betapa
indah rumah kami selama ini.
“Mas, aku ingin ke pemakaman ayah dan ibu habis ini. Mau
ikut?”

Marrakech, 2020

42
Free Wifi
Muhammad Sajid

Paijo baru saja membuka warung kopinya di pinggir jalan yang


cukup ramai, Jalan Cocod. Jalan Cocod merupakan jalur utama
yang menghubungkan Kota Cicodot dengan Cilambe. Lokasi war-
kop Paijo dekat dengan pasar tradisional Cocod, dan di sebelah
kanannya ada swalayan yang cukup ramai.
“Nasib memang sedang berpihak padaku,” pikir Paijo, “Mana
ada tempat sedemikan strategis dengan harga yang miring begini?
Meski tempatnya kecil, tapi untuk sekadar warkop sih it’s ok.”
Paijo mempersiapkan segala sesuatu demi kesuksesan bisnis­
nya itu, mulai dari perabotan warkop, meja-kursi, sampai nama
yang cocok untuk warkopnya. Untuk nama warkopnya ini, Pai-
jo mendapat pencerahan ketika sedang buang air besar di sebuah
masjid dekat kontrakannya. Tiba-tiba saja terbesit di kepalanya,
“Aha, Cocote Tangga sepertinya nama yang bagus untuk sebuah
warkop.” Ya karena warkop adalah tempat paling santai untuk
ngob­rolin apa saja, termasuk ngomongin kehidupan tetangga.
Orang yang lagi marahan pun bisa selow kalau diajak duduk-duduk
sambil ngopi. Paijo memang jenius.
Spanduk besar bikinan Paijo nangkring di depan warkop.
Tulisan “Warkop Cocode Tangga” dibentuk sedemikian rupa
menggunakan gaya grafiti oleh percetakan. Nama-nama menu­
nya menggunakan bahasa beken, es teh manis diganti ice tea, kopi
tubruk diganti black coffee, tak lupa dibubuhkan juga tulisan Free
43
WiFi, biar lebih waw.
Awalnya warkop Paijo direncanakan buka tepat tanggal 1
Januari 2020. Supaya pas momennya, tahun baru. Namun apa mau
dikata, penyanyi bilang mah roda nasib memang berputar, begitulah
yang terjadi. Warkopnya kerendam air setinggi lutut setelah seha-
rian Kota Cocod dan sekitarnya diguyur hujan lebat, ditambah air
sungai Cibanyu meluap-luap liar. Bagi Paijo itu salah pemerintah,
tidak mampu menanggulangi sampah dengan baik, tidak mampu
membuat tata kota yang baik. Akhirnya Paijo mengundurkan open-
ing warkopnya jadi tanggal 6 Januari.
Suatu hari aku mampir ke warkop Paijo itu, entah di hari
yang ke berapa setelah ia buka. Warkopnya masih tampak sepi,
tapi ya wajar bagi pembuka usaha baru. Paijo juga pasti mahfum
betul masalah ini, pengalamannya di dunia usaha sudah tidak per-
lu diragukan lagi. Sebelumnya ia juga pernah buka angkringan di
daerah Cikampret selama belasan tahun.
Aku memesan kopi tubruk atau black coffee yang merupa-
kan favoritku. Paijo terlihat cekatan ketika menyiapkan kopi, tapi
masih tampak kebingungan ketika mengambil sendok dan gelas,
maklum mungkin dia belum hafal betul letak barang-barang itu.
Setelah menyeruput kopi beberapa teguk, aku tanyakan password
wifi-nya, karena sebenarnya alasan utamaku mampir ke warkop
Paijo ini ya karena wifi gratis.
“Loh, sampean tidak baca itu Mas? Itu ada tulisan Free WiFi,
artinya wifi kosong alias gak ada. Gini-gini aku pernah belajar ba-
hasa Inggris, Mas. Free itu artinya ya bebas atau kosong. Bebas asap
rokok, artinya gak ada asap rokok toh? Huu, sampean ini.”

Pondok Aren, 2020

44

Anda mungkin juga menyukai