Anda di halaman 1dari 9

| Kisah Gang Toki (Pendahuluan)

Legenda mengatakan bahwa pada zaman dahulu, ketika manusia yang rapuh dan
berumur pendek belum menyeberangi laut ke tanah ini, Inazuma adalah tanah milik
tanuki. Dan sejarah manusia muncul karena keisengan seekor tanuki yang mabuk.
Selamat datang di Gang Toki — tempat di mana sejarah dan legenda terjalin.

Pendahuluan: Riwayat Singkat Inazuma Pada Zaman Tanuki


Dahulu kala, ketika manusia fana masih lemah, berumur pendek, dan belum mampu
menyeberangi lautan, Inazuma pernah menjadi negeri bangsa Tanuki.
Bangsa Tanuki terlahir malas dan punya banyak perubahan wujud. Mereka tidak
pernah pusing akan hari esok, juga tidak pernah membawa urusan hari ini ke tempat
tidur. Kala itu, Inazuma adalah surga yang menyenangkan bagi mereka, dan hari-
hari pun dilalui layaknya festival yang meriah.
Demikianlah menurut para tetua bangsa Tanuki.
Kemudian, datanglah bangsa Kitsune dari sebrang lautan. Mereka berperang
dengan bangsa Tanuki delapan ratus ditambah delapan ratus tahun lamanya. Kedua
pihak pun habis-habisan sampai akhirnya terpaksa merundingkan perdamaian.
Sampai hari ini, bangsa Tanuki adalah kaum bermulut tajam yang tak mau kalah.
Namun mereka akhirnya menyerahkan pohon Thunder Sakura yang sangat sangat
besar itu untuk bangsa Kitsune.
Namun, Kitsune juga sama-sama makhluk yang licik dan mampu berubah wujud.
Menurut legenda, selama perang delapan ratus ditambah delapan ratus tahun itu
berlangsung, banyak di antara kaum Kitsune dan Tanuki yang cukup sial dan
termakan oleh perubahan wujud mereka sendiri, sampai akhirnya lupa akan asal
dan jati dirinya.
Demikianlah manusia fana yang bingung lahir dari siluman yang linglung.
Kisah ini kudengar dari seorang Tengu yang doyan membual.

 Kisah Gang Toki


Tengu besar hanyalah pembual nakal dan brutal, apalagi saat sedang mabuk! —
Tafsiran Sejarah Tanuki

Kisah Yoichi
Tengu itu bernama Yoichi. Ia tinggal di Gang Toki , sebuah jalan kecil di pinggiran
Hanamizaka. Di sana, dia buka toko arak dan melewati hari-harinya yang santai.
"Santai" itu kalau pakai bahasa yang diperhalus. Sebenarnya lebih tepat disebut
"berantakan".
Teorinya, tukang minum tentunya paham soal minuman. Begitu pula hukumnya
dengan siluman.
Kalau mau terus terang, selera alkohol Yoichi tidak bagus, otak bisnisnya pun
kurang. Yang lebih parah lagi, dia masih memelihara kebiasaan buruknya sebagai
Tengu dari masa ketika dia belum turun gunung: suka cari masalah dengan siluman
lain, menculik muda-mudi yang sedang bersenang-senang di festival, membuat
keributan sepanjang malam, kadang menerobos masuk ke teater dan sekonyong-
konyong naik ke panggung sandiwara lalu menghajar pemeran utamanya... dan itu
semua hanya sedikit dari bermacam ulahnya yang lain.
Kalau bukan karena statusnya yang terpandang di kalangan siluman dan koneksi
yang dia punya, pribadi seperti Yoichi ini pasti sudah lama dipensiunkan paksa oleh
seorang pahlawan di kaki gunung manalah itu.
Namun, baik kalangan siluman maupun manusia fana di Gang Toki memandangnya
berbeda. Bahkan para Tuan Besar pun merasa dia tidak pernah memicu keributan
besar, sehingga mereka belum pernah menjatuhkan sanksi yang berarti padanya.
Meski bersifat arogan dan ceroboh, jati dirinya sebagai siluman yang paling hebat
(katanya) menyebabkan Yoichi tidak pelit kalau menyangkut materi. Uangnya biasa
dihabiskan untuk minum-minum atau beli novel di Yae Publishing house. Novel-
novel itu kebanyakan cuma dibaca setengah jalan lalu dilempar begitu saja ke
jendela. Oleh sebab itulah, rumahnya selalu terlihat seperti kapal pecah.
Singkatnya, dia tidak punya harta benda apa pun... satu-satunya kepunyaannya
yang boleh dibilang berharga adalah kipas kertas warna emas yang selalu
menempel di pinggangnya.
Bangsa Tengu pada awalnya adalah bangsa siluman yang hidup berkelana ke
banyak dunia, jadi tidak aneh kalau mereka menghias tubuh mereka dengan pernak-
pernik yang masing-masing memiliki cerita unik di belakangnya. Demikian pula
halnya dengan kipas kertas ini.
Malam waktu itu cerah diterangi rembulan, dan Yoichi yang mabuk, dengan bajunya
yang sudah terbuka, membualkan cerita ini padaku...
Di salah satu dunia yang pernah dia singgahi, Yoichi menjelma menjadi seorang
pemanah muda angkuh yang melayani seorang Shogun yang angkuh pula. Di
bawah pimpinan Shogun itu, dia dengan penuh kebanggaan menggunakan
busurnya untuk menembak jatuh lawan yang tak terhitung jumlahnya. Panah
miliknya telah menumbangkan samurai gendut, tanuki yang menyamar jadi ninja,
dan bahkan setan pemangsa manusia Jikininki yang bertubuh besar, semuanya
tidak berdaya dihadapan busur dan panah Yoichi.
"Hahahahaha! Prajurit hebat! Prajurit hebat! Pandanganmu secepat kilat, persis
seperti Tengu!"
Di usia segitu, Shogun yang angkuh masih saja suka tertawa keras terbahak-bahak
sambil mengelus janggut. Sangat tidak sopan.
Sejak hari itu, Yoichi semakin banyak berkontribusi untuk sang Shogun, memenggal
banyak monster dan juga manusia yang malang. Soal cerita mana yang asli dan
mana yang bualan, tak perlu dibahas. Tapi, yang akhirnya menjadikan Yoichi sohor
adalah pertempuran terakhirnya di dunia yang telah dia tinggali selama satu abad.
Di pertempuran laut itu, sang Shogun dan para pemberontak bersitegang di antara
selat-selat, sambil diiringi badai yang mengamuk di atas mereka. Ada delapan juta
ditambah delapan juta siluman yang dikerahkan oleh kedua pihak; dan lagi Samurai
yang luar biasa jumlahnya, setidaknya puluhan juta. Belum lagi, ada delapan ratus
ribu kapal yang tenggelam di pertempuran itu. Angka-angka menakjubkan ini dia
hitung sendiri dari sisi jendela sampai muntah, sebelum akhirnya kulanjutkan.
Seperti diceritakan di kisah-kisah lainnya, kedua pasukan yang seimbang dari segi
kekuatan bertempur hingga mencapai titik buntu. Para pahlawan dari kedua pihak
memenggal kepala lawan seperti memotong rumput, mengubah laut menjadi merah
sewarna darah. Para Shogun yang keras kepala masih diam mengelus janggut,
tidak bersedia mundur barang sejengkal pun, dan tidak sudi membiarkan prajurit
mereka pulang dan tidur.
Akhirnya, pada suatu malam yang dingin, sebuah perahu kecil hanyut keluar dari
formasi musuh. Terlihat sebuah sosok di atasnya, melambai-lambai layaknya
bayangan di atas air. Di sisinya ada tiang bendera yang mengkilap, dengan kipas
kertas di ujungnya, memancarkan cahaya keemasan di bawah terang rembulan.
"Kurang ajar! Kurang ajar! Terang-terangan mencari keributan, tak boleh dibiarkan!"
Sang Shogun menyipitkan matanya, melihat kipas yang berkilauan dari kejauhan,
dan seketika itu juga tersulut amarahnya.
Yoichi tidak mengerti mengapa harga diri Sang Shogun begitu rapuh, namun tidak
ingin repot-repot memahami martabat manusia fana yang tak ada harganya. Saat
itu, dia menatap sosok di atas kapal dengan mata Tengunya yang tajam.
Dia melihat seorang wanita, yang sama sekali berbeda dari wanita lainnya.
Sesaat kemudian, anak panah terbang melintasi bulan, merobek langit malam.
"Haha, bagus!"
Sorakan Sang Shogun pun tenggelam ditelan sorak-sorai pasukannya.
"Jika dua paman itu tahu apa yang mereka buang, aku yakin pembuluh darah
mereka akan pecah!"
Yoichi pun menyeringai seperti orang mabuk. Air muka Tengu yang bejat tak lagi ia
sembunyikan, sungguh menjijikan.
Ternyata saat anak panah dilepaskan, Yoichi sudah mengepakan sayapnya dan
terbang melintasi selat. Ketika melewati perahu itu, dia mengambil kipas kertas
emas sekaligus wanita cantik yang memegangnya. Menunggangi angin yang
bertiup, dia mendorong sang Shogun yang sedang berteriak-teriak kasar di bawah,
kemudian terbang meninggalkan medan perang.
Pertunjukan apik tentang Tengu yang merebut wanita cantik.
Sayangnya—
"Kamu pun tahu, wanita jelmaan kucing itu mencakariku sepanjang perjalanan..."
Yoichi menjulurkan lidahnya dan mendesah dengan kesal.
"Oh benar juga, ini sedang musim ikan kakap. Bungkuslah beberapa dan bawa balik
sekalian."
"Hah, Tengu pelit sepertimu masi punya nurani ya?"
"Aku sedang membicarakan wanita itu!"
Melihat tatapan mengancam dari Tengu yang mabuk, aku segera membungkus ikan
kakapnya dan buru-buru pergi dari situ.

| Kisah Gang Toki


Ibu pernah mengajarkan bahwa wanita berparas cantik jauh lebih pintar menipu. Jika
dia cantik seperti cahaya rembulan, dia pasti roh rubah, atau bake-neko tua yang
berilmu tinggi. — Tafsiran Sejarah Tanuki

Kisah Senny
Ikuti jalan dari tempat Yoichi tinggal lalu belok ke gang sempit untuk melihat sebuah
rumah. Seorang nenek tua tinggal di sana.
Saat malam sudah larut dan sang rembulan sudah di puncak kediamannya, para
Tanuki pun terbangun.
Manusia fana bilang kalau kucing yang telah hidup ratusan, tidak, ribuan tahun dapat
menjelma menjadi seorang gadis cilik yang suka memancing orang untuk bertidak
bodoh, atau mengejar-ngejar orang untuk balas dendam. Nyatanya, itu semua
hanyalah angan-angan mereka semata.
Kucing itu hanya akan mengambil wujud gadis cilik saat marah. Mereka lebih suka
berubah wujud menjadi orang yang tua renta, karena dirasa lebih cocok dengan
pembawaan mereka yang cerdik dan antik. Wujud ini juga membantu mereka ketika
berpura-pura lembut pada siapa pun yang melintas.
"Ini tidak gratis!"
Mengikuti suara itu dan memandang ke atap, terlihat ada seorang gadis yang
sepertinya sudah menunggu agak lama. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan,
samar-samar terlihat seberkas senyum dan sepasang mata yang menyala hijau
keemasan. Terang bulan menyinari bahunya yang terbuka, dan mengalir turun
mengikuti gaunnya, membingkai kakinya yang semulus porselen. Gadis itu terlihat
melamun sambil memainkan Kendama di tangannya.
Nenek tua ini sudah gila...
"Kamu terlambat lagi hari ini."
"Ah, iya... ma-maaf."
Nyamuk mengerubungi lampion, yang terus berkedip-kedip dengan malasnya.
Bulan membawa angin yang lembab, meredam nyanyian jangkrik di rerumputan.
Gadis itu menurunkan rambutnya sambil terus memainkan mesin pemintalnya,
menyunggingkan senyuman yang aneh.
Bahkan Tanuki sepertiku yang bisa dengan santai bersulang dengan Tengu, tetap
harus bersikap hormat di hadapan siluman kucing Bake-Neko.
Singkatnya, lebih baik berlutut dan minta maaf atas pelanggaran barusan.
"Sudahlah. Berhubung ikannya masih segar, kamu boleh bangun."
Badan Tanuki-ku yang bulat dan gemuk susah sekali untuk balik ke posisi duduk
yang benar. Gadis itu pun perlahan-lahan berubah menjadi seorang nenek tua, yang
tersenyum ramah namun aneh.
"Terima kasih, tante Sen."
"Tante? Panggil aku Senny!"
Lega rasanya.
Tapi tetap saja binung.
"Hahahaha, ngomong-ngomong, gimana kabar si bodoh itu?"
*gleg* Senny menelan ikannya utuh-utuh, termasuk ekornya.
Antara orang ini dan si Tengu, ada cerita yang lucu sekaligus pahit. Yoichi sudah
menceritakan kisah ini dari sudut pandangnya, yang sangat berbeda sekali dengan
apa yang Bake-Neko ini ceritakan.
Senny bukan berasal dari dunia ini, dia lahir di dunia yang manusianya ganas.
Suatu malam di sebuah hutan bambu, Senny muda tertangkap oleh seorang biksu
pengelana dan dijual. Setelah sekian lama berpindah-pindah tangan, akhirnya dia
dibeli oleh Shogun untuk dijadikan Bake-Neko penghalau bala.
Dia sama sekali tak ingat tentang hari-hari itu, hanya merasa bingung kenapa orang-
orang besar di dunia fana suka sekali mengganggunya dan bermain dengannya.
Setiap hari dia disuruh mencakar dan mencabik-cabik musuh, atau dipaksa ikut
permainan membosankan yang mereka senangi.
Demikianlah hari-hari panjang yang mengikis kewarasan itu berlalu. Namun, Bangsa
siluman panjang umur dan juga panjang sabar, tidak sebanding dengan manusia
fana.
Belakangan, pertempuran antara Shogun dan pemberontak dimulai, dan Senny
kelmbali menjadi ninja,
"Versi ini lebih membosankan..."
Saat bicara, Senny menyipitkan mata dan menguap besar sampai ujung mulutnya
menyentuh telinganya.
Kemudian, pada malam ketika pertempuran di laut mulai, Shogun mendapat sebuah
ide bagus—
Dia menyuruh Aqian mengambil wujud wanita cantik, lalu berdiri di atas perahu
sambil membawa kipas emas, untuk menghina para pemberontak agar tidak berani
mendekat. Lagipula, kalau mereka gegabah maju, Bake-Neko berusia seribu tahun
ini akan memberi mereka pelajaran.
Tapi kemudian, Yoichi yang ada di barisan lawan...
"Tapi kemudian, si bodoh itu tiba-tiba berdiri, lalu meneriakkan kalau dia bisa
menembak jatuh kipasnya dengan satu anak panah saja."
Kemudian, Tengu itu...
"...terpeleset, lalu jatuh ke laut."
Nenek tua jelmaan kucing itu pun tidak bisa lagi menahan tawanya.
"Begitu mabuknya dia malam itu sampai mengira dia ada di tengah lautan badai.
Padahal, waktu itu bulan redup dan angin tidak bertiup."
"Namun, aku sudah sekian ratus tahun tidak bertemu makhluk konyol dan bodoh
begitu. Jadi, kuputuskan untuk memberi dia muka. Aku turunkan sendiri kipasnya
sambil menahan tawa, dan seketika itu juga terdengarlah sorak-sorai menggelora
dari sebrang sana... Lucu sekali kalau diingat-ingat..."
Kemudian, Tengu besar itu merentangkan sayapnya dan melompat ke udara, seperti
awan gelap yang menghalangi terang bulan, lalu melesat ke arah wanita cantik itu—
"Tiba-tiba, dia lepas kendali dan jatuh ke laut lagi, seperti landak. Aku pun jadi tak
sanggup lagi berpura-pura cuek dan langsung tertawa terbahak-bahak."
Senny menarik Tengu sial itu dari laut sambil tertawa. Kemudian, dia terbang
melintasi kapal-kapal perang kedua pihak sambil membawa Tengu itu dan terus
tertawa terbahak-bahak, membuat para Shogun di bawah naik pitam.
Orang bilang dia melintasi delapan kapal sekaligus lalu menghilang tanpa jejak.
Tawa Bake-Neko pun bergema selama lebih dari tiga hari setelah pertempuran usai.
"Aku tidak bisa berhenti tertawa, jadi aku lebih kuat memegangnya... Tapi kalau
teringat betapa malunya dia tadi, semakin kuat kupegang semakin keras aku
tertawa, hahahahahaha..."
Nenek jelmaan kucing itu tidak bisa berhenti tertawa.
"Setelah itu, aku dibawa ke dunia ini. Dia memperlakukan aku macam piala!"
Wajah nenek tua itu menggembung dan *pof* berubah menjadi wajah gadis muda
yang cemberut. Namun, rona merah bekas tawanya tadi belum hilang, dan dia
terlihat lucu karenanya.
"Aku bukan piala!"
"Mungkin itu sebabnya dia tidak berani mengunjungi aku."
Bake-Neko tua berwujud gadis muda pun menghela nafas dan tersenyum licik.
"Kamu pergilah. Biarkan saja pintunya. Balik lagi ke sini nanti saat bulan purnama."
"Sekalian, bawa jubah jerami ini dan kasih ke teman lama kita."

 Kisah Gang Toki


"Sedia payung sebelum hujan" mungkin artinya sama dengan mendapatkan mantel
hujan dari bake-neko tua sebelum berjalan di tengah lebatnya hujan. Konon ketika bel
berbunyi saat sedang hujan, pasti ada seorang kenalan lama yang datang tanpa
diundang. — Tafsiran Sejarah Tanuki

Kisah Nenek Ame


Setelah pergi dari rumah Osen, aku belok ke kiri, kemudian ke kanan, menelusuri
gang yang berliku hingga sampai ke sebuah taman yang lembap. Lalu aku pun
sampai di rumah Nenek Ame.
Di taman yang indah ini, bahkan jangkrik pun terdiam tak bersuara. Hanya terdengar
suara tetesan air dari suikinkutsu, ditemani oleh suara hentakan shishi-odoshi yang
berirama.
Zaman dahulu kala, di dalam pegunungan dan hutan di mana para yokai bisa hidup
dengan tenang, seorang wanita yang bisa mengubah kabut menjadi hujan adalah
teman baik tanuki dan kitsune.
Tentu saja, kami para yokai berbeda dengan manusia. Kami tidak memiliki masalah
rumit yang mengganggu pikiran kami, dan kami juga tidak memiliki perbedaan status
dan kelas. Tapi di pegunungan yang diselimuti kabut dan hujan, Ameonna yang
bersuara lembut selalu mendapat hormat dan pujaan yang lebih banyak.
Kemudian, orang-orang mulai tunduk pada Tuan Besar Gongen. Momen baik untuk
para manusia fana pun tiba, dan yokai harus hidup bersembunyi di berbagai tempat,
sebelum menjadi sasaran penghancuran dan penyegelan. Nenek Ame-lah yang
berpindah ke Gang Toki. Sebagai rasa simpati, Lady Guuji — Kitsune dari Kuil
Agung Narukami memberikannya rumah besar ini.
Kehilangan dan kesedihan seperti apakah yang membuat Lady Guuji merawat
Nenek Ame secara khusus? Aku sungguh penasaran.
Aku pun menyaksikan bulan sabit dan bayangannya yang beriak di kolam, terhening
di dalam taman, kemudian mendengarkan semilir angin sejuk yang mengantarkan
suaranya ke telinga.
"Mohon maaf karena sudah membuat Anda menunggu."
Saat aku berpaling, kulihat Ameonna berdiri di dekat pintu. Dia bermandikan cahaya
pucat rembulan, dan mengenakan gaun putih panjang yang embunnya berkilauan.
Sosoknya yang muda dan ramping memancarkan aura yang tua dan menyedihkan.
Aku pun menunduk ke bawah dan buru-buru menyerahkan mantel hujan yang
diberikan Osen, tidak berani menengadahkan kepala untuk menatap sepasang mata
abu-abu yang pucat.
Ada desas-desus bahwa mata Ameonna yang menyedihkan berwarna abu-abu putih
seperti warna mata orang-orang yang tenggelam. Siapa pun yang menatap
langsung mata itu akan menghilang selamanya dalam kabut hujan yang sulit
dijelaskan.
Tentu saja itu hanyalah cerita konyol di antara manusia. Tapi etiket dasar seperti
"Jangan menatap mata Ameonna yang sedih" memang merupakan aturan tidak
tertulis di kalangan yokai.
"Terima kasih."
Suara Nenek Ame selembut biasanya, seperti embun pagi di dalam kabut.
Dia tidak mengundangku masuk, dan dia juga tidak menceritakan kisahnya.
Dia hanya menyerahkan sebuah kotak kayu, dan itulah yang aku perlu ketahui.
Jadi, saat bulan masih bersinar terang, aku pun diam-diam meninggalkan taman itu.

 Kisah Gang Toki


Saat berteduh di atap yang sama dengan teman bermata rubah, berhati-hatilah dengan
lelucon tak terduga yang mungkin terjadi. Ajaran tanuki ini sudah diajarkan selama
beribu-ribu tahun. — Tafsiran Sejarah Tanuki

Kisah Gonbei
Gonbei berusia 76 tahun, dan dia adalah satu-satunya manusia di Gang Toki.
Dia pernah menjadi petani, samurai, dan pengrajin.
Kotak di tanganku ini adalah hasil karyanya. Permukaan pernis hitam yang halus
dipenuhi dengan mutiara warna-warni, kerajinan ini dipelajarinya dari para nelayan di
Pulau Watatsumi.
"Terima kasih untuk kerja kerasmu."
Orang tua di depanku menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Meski aku sendiri merasa bahwa manusia memang sudah seharusnya menghormati
yokai seperti itu, namun aku tetap merasa kasihan pada kesedihan yang
meliputinya.
Menurut perkataan Gonbei — yang bertentangan dengan legenda populer, dia
pernah berteman dekat dengan Ameonna yang berkeliaran di gunung dan hutan.
Saat itu Gonbei hanyalah remaja yang mencoba membawakan hujan untuk ladang-
ladang yang kering kerontang di kampung halamannya. Karena ucapan para tetua
desa, dia pun pergi mencari Ameonna untuk meminta pertolongannya.
Saat itu Nenek Ame tidaklah muda. Beliau sangat memahami setiap perubahan
dalam dunia. Bila dibandingkan dengan manusia, makhluk gunung dan hutan selalu
berpikiran lebih sederhana dan naif.
Hmm, apa yang terjadi kemudian? Gonbei muda telah membuat kesalahan yang
sulit diungkapkan kata-kata, yakni menipu makhluk gunung dan laut. Sampai hari ini
pun, dia masih bersikeras bahwa penipuannya ini adalah untuk menyelamatkan
kampung halamannya.
Dan desanya memang mengalami momen panen yang langka karena curah hujan
yang tinggi.
Setelah itu, Gonbei yang merasa sangat malu, menghindari gunung dan tinggal di
kota untuk waktu lama.
"Aku mohon maaf." Manusia yang menua tersebut menundukkan kepalanya, namun
tidak mengambil kotak kayu itu.
Aku meninggalkan rumahnya sebelum cahaya bulan ditutupi awan gelap.

 Kisah Gang Toki


Selalu ada waktu untuk berpesta. Rubah yang licik selalu mengerti makna "kehilangan",
tetapi dalam hal ini, mereka yang berkuasa di atas orang lain tidak lebih baik dari anak-
anak. — Tafsiran Sejarah Tanuki

Intermeso
Dahulu kala ketika manusia fana masih lemah, berumur pendek, dan belum mampu
menyeberangi lautan, Inazuma pernah menjadi bangsa bangsa Tanuki.
Bangsa Tanuki terlahir malas dan berubah-ubah. Mereka tidak pernah pusing akan
hari esok, juga tidak pernah membawa urusan hari ini ke tempat tidur. Kala itu,
Inazuma adalah surga yang menyenangkan bagi mereka, dan hari-hari pun dilalui
layaknya festival yang meriah.
Demikianlah menurut para tetua bangsa Tanuki.
Kemudian, datanglah bangsa Kitsune dari seberang lautan. Mereka berperang
dengan bangsa Tanuki selama delapan ratus tahun, lalu delapan ratus tahun lagi.
Kedua pihak pun bertempur habis-habisan sampai akhirnya merundingkan
perdamaian. Bangsa Tanuki adalah kaum bermulut tajam , dan sampai hari ini pun
tidak sudi mengakui kekalahannya. Namun pada akhirnya, mereka menyerahkan
pohon Thunder Sakura raksasa itu untuk bangsa Kitsune.
Namun, Kitsune juga sama, merupakan makhluk yang licik dan pandai berubah
wujud. Menurut legenda, selama perang delapan ratus tahun, lalu delapan ratus
tahun lagi, banyak di antara kaum Kitsune dan Tanuki yang cukup sial dan tertipu
oleh perubahan wujud mereka sendiri, yang kemudian lupa akan asal usul dan jati
dirinya.
Demikianlah, manusia fana yang malang pun terlahir dari yokai yang bingung.
Aku menelusuri jalan dan gang yang berkelok-kelok sambil mengingat kembali kisah
lama tanuki.
Dan akhirnya, aku tidak menemukan satu pun restoran yang buka.
Kurasa ini berarti, aku harus pulang.
Sambil berpikir seperti itu, aku pun berdiri dan merenggangkan tubuh di depan kedai
soba Paman Kitsune.
Pada detik itu juga, tercium aroma yang familier dari belakang —

Anda mungkin juga menyukai