Sumber : Indozone.net
Sinapsis :
2
Cerita ini merupakan hasil karya Tjoe Beng Siang, tahun 1960.
3
Kota Tong-koan yang terletak di pinggir sebelah barat dalam
propinsi Sam-say, merupakan sebuah pintu gerbang untuk berlalu
lintas antara Ho-nan dan San-see dua propinsi. Sungguhpun kota
ini hanya merupakan sebuah kota kecil saja, akan tetapi keadaan
dan suasananya ramai sekali. Selain banyak rumah-rumah gedung
baru, banyak pula toko-toko besar, rumah-rumah makan dan
penginapan-penginapan menjadi lambang betapa hidupnya kota
kecil ini.
Akan tetapi, di alam yang fana ini tidak ada sesuatu yang kekal,
maka demikian pula dengan situasi kota Tong-koan ini. Beberapa
waktu sebelum cerita ini terjadi, telah mengalami perubahan
suasana yang sangat hebat!
4
kota yang mati! Para saudagar yang semula mondar mandir, kini
tidak tampak lagi. Toko-toko, rumah-rumah makan dan
penginapan-penginapan sebagian besar menutup pintu mereka
rapat-rapat, dan kalaupun ada yang buka, hanya daun pintunya
saja yang dibuka.
5
Sebagaimana sudah diterangkan, bahwa kota Tong-koan ini hanya
sebuah kota kecil saja, oleh karena di arah selatannya terdapat
bukit-bukit yang merupakan anak dari gunung Hoa-san, dimana
terdapat hutan belukar yang rungkut dan angker. Hutan ini tumbuh
memanjang ke barat hingga melintas perbatasan antara Sam-say
dan Ho-nan. Sedangkan di sebelah utara kota terdapat sebuah
sungai besar yang airnya berwarna kekuning-kuningan, yaitu yang
dinamakan sungai Huang-ho (Sungai Kuning), yang menjadi batas
antara Sam-say dan San-see.
7
komplotan perampok atau dari bajak sungai. Inilah sebabnya maka
kota Tong-koan menjadi sepi dan mati!
8
di bawah matanya terjadi gejala-gejala yang membuat rakyatnya
tertindas dan amat sengsara. Para pembesar dari yang tinggi
sampai yang paling rendah meniru Kaisarnya, semua
mementingkan diri sendiri mengejar kesenangan tanpa
memperdulikan nasib rakyak jelata.
Kota Tong-koan ini dijadikan medan pesta pora, sehingga kota ini
menjadi lengang, sepi dan mati! Dan justeru keadaan dalam seperti
itulah cerita kita ini dimulai.
9
ke arah tengah kota. Pada wajah mereka jelas nampak bahwa ada
sesuatu yang menarik hati di kota itu.
10
Rumah gedung besar dan indah adalah kepunyaau Cio wan-gwe
(hartawan she Cio) bernama Song Kang, salah seorang kaya raya
yang menjadi warga kota Tong-koan. Cio wan-gwe ini sebenarnya
bukan penduduk asli kota ini, melainkan seorang pendatang dan
tidak seorangpun yang mengetahui dari mana ia berasal.
11
digasak gerombolan, namun tampaknya tenang-tenang saja dan
sedikitpun tidak kelihatan berduka, ini mencerminkan bahwa ia
agaknya masih mempunyai bekal cadangan yang tak ternilai
jumlahnya!
Akan tetapi di balik sikapnya yang tenang itu sebenarnya Cio wan-
gwe diam-diam memutar otak mencari daya untuk mengatasi
kekacauan itu. Oleh karena betapapun kaya rayanya kalau terus-
terusan digarong pasti akhirnya kekayaannya akan ludas juga
bagaikan sebuah gunung yang terus-terusan dikeduk, akhirnya
pasti akan menjadi dempak.
12
berusaha dan bekerja kembali tanpa dimomoki rasa gelisah dan
takut, dan suasana kota yang sudah mati ini akan hidup kembali
seperh dulu-dulu semasa ia datang dan menjadi penghuni kota
kecil ini.
Hasrat dan cita-cita Cio wan-gwe ini benar-benar patut dipuji dan
mencerminkan bahwa hartawan she Cio ini bersemangat gagah
dan berjiwa satria! Akan tetapi dengan jalan apa dan cara
bagaimana Cio wan-gwe akan melaksanakan maksudnya yang
luhur dan mulia ini? Entahlah, karena selama ini maksud Cio wan-
gwe selalu gagal……!
13
Teringat akan hal ini, timbullah di hati Cio wan-gwe sebuah ide
yang bagus. Alangkah baiknya apabila kedua guru silat ini bersama
murid-muridnya dipersatukan hingga menjadi sebuah perserikatan
untuk menjaga keamanan dan bahkan jika mungkin akan dapat
mengganyang gerombolan pengacau.
14
yang mampu menentang dan melawan bahkan sangat mungkin
melabrak mereka, sehingga mereka takkan selalu menganggap
penduduk kota ini bersemangat tahu dan bernyali tikus yang tinggal
mandah saja selama ini, sesudah kota kita dibikin mati, harta
benda kita mereka gasak, banyak gadis dan wanita-wanita muda
mereka culik atau perkosa, dan lain-lainnya lagi sebagaimana jiwi
sendiri sudah maklum!
“Maka kini, setelah jiwi kuundang kemari dan jiwi sudah merasa
setuju dengan ideku tadi, menurut pendapatku jauh lebih baik dan
bijaksana, jikalau kalian mempergunakan kepandaian yang kalian
miliki dan wariskan kepada murid-murid kalian itu untuk mengatasi
kekacauan kota kita ini dari pada digunakan untuk saling
bermusuhan antara kawan sendiri.”
15
“Cayhe (aku yang rendah) mengerti akan maksud dan tujuan wan-
gwe ini,” ujar Lu kauw-su sambil mengangguk-angguk dan
wajahnya agak merah karena malu mendengar ucapan Cio wan-
gwe yang terakhir itu, serasa menyindir kepada dirinya.
“Dan dengan cara bagaimanakah hal ini akan diatur, Cio wan-
gwe?” tanya Can kauw-su yang sikapnya tampak tenang.
16
sebagai gelanggang pibu (bertanding silat), dan pibu ini memang
menarik hati terutama bagi mereka yang menyukai ilmu silat.
17
itu, yaitu kursi-kursi yang ditempatkan di sebelah kanan di depan
rumah Cio wan-gwe.
18
Tidak lama kemudian, tampaklah dari suatu jurusan rombongan
Can Po Goan dan berbareng dengan terdengar suara riuh dari
orang yang berjubal-jubal itu bahkan di antara mereka ada yang
bersorak dan bertepuk tangan karena merasa gembira. Sebab
begitu pihak Can kauw-su ini datang, berarti pertandingan silat
yang sejak tadi mereka nantikan, akan segera dimulai.
Dan Can kauw-su sendiri yang usianya sudah agak tua yaitu
limapuluh tahun dan yang berjalan paling depan dari kedua orang
muridnya itu, berjalan dengan langkah kaki yang tenang.
Keningnya yang sudah agak berkeriput dikerutkan, kepalanya
menunduk dan memandang ke bawah seperti ada sesuatu yang
tengah dipikir dan dilamunkannya.
19
silat berikut murid-muridnya bekerja sama dengan bentuk sebuah
organisasi penjaga keamanan, dan untuk memilih siapa yang
menjadi pemimpin organisasi itu, maka diadakan pibu ini.
20
bahkan ada juga yang sudah tua, datang belajar silat kepadanya,
oleh karena selain kauw-su bekas tentara ini sikapnya baik dan
ramah tamah, disamping ilmu silatnya yang tinggi, juga orangtua
ini tidak memasang tarip tertentu bagi para muridnya.
Siapa saja, asal mempunyai minat dan berbakat baik, boleh belajar
silat kepadanya dengan pembayaran menurut kemampuan murid
itu sendiri. Bahkan tak sedikit juga murid-murid yang berguru
kepadanya tanpa bayaran oleh karena mereka ini sangat miskin.
21
Semasa ia masih menjadi tentara, disamping banyak musuh yang
menjadi korban oleh goloknya, banyak juga dada dan kepala
musuh yang pecah oleh kepalannya yang sangat hebat dan
karenanya, disamping julukan si Golok Sakti Pencabut Nyawa,
iapun memperoleh julukan Po-thauw Sin-kun (Kepalan Sakti
Pemecah Kepala)! Dan berdasarkan ilmu pukulan inilah maka bu-
koannya ia beri nama Sin-kun Bu-koan (Rumah Perguruan Silat si
Tangan Sakti) dan papan merk ini terpancang di atas pintu depan
rumahnya.
22
“Ah, setelah sekian lama kita berpisah dan kita kini berjumpa
kembali, aku mendapat kenyataan bahwa kau telah menjadi
seorang hartawan. Benar-benar kupuji cara kepandaianmu
membawa diri,” kata Lu Sun Pin ketika mereka duduk menghadpi
meja perjamuan yang dihidangkan oleh Cio wan-gwe ke dalam
gedungnya.
“Ya, ya, seperti juga aku ini,” tukas Lu Sun Pin. “Aku harus merasa
malu atas kelakuanku sendiri sebagaimana yang kau katakan tadi,
23
sehingga rejeki yang dulu kita sama dapatkan dan sama
jumlahnya, menjadi ludes tidak keruan.”
24
Akan tetapi Lu Sun Pin merasa menyesal karena Can kauw-su
sedang pergi sehingga tidak dijumpainya dan ia hanya menjumpai
beberapa orang anak muda yang duduk mengobrol di dalam bu-
koan itu, yaitu murid-murid Can kauw-su. Oleh karena itu, Lu Sun
Pin lalu pulang kembali setelah menyampaikan pesan kepada
salah seorang murid Can kauw-su, bahwa nanti sore ia akan
datang lagi.
Adapun pada sore harinya, Lu Sun Pin hanya menyuruh Sim Kang
Bu, yakni salah seorang muridnya, pergi ke Sin-kun Bu-koan untuk
melihat apakah Can kauw-su sudah kembali dari bepergiannya
atau belum.
“Kang Bu, kalau ternyata Can kauw-su sudah datang, cepatlah kau
kembali dan nanti aku akan pergi kesana,” demikian pesan Lu Sun
Pin kepada muridnya yang segera berangkat.
25
Pemuda yang beradat kasar ini lalu menjadi marah ketika masih
belum juga mendengar jawaban dari dalam. Akan tetapi ketika ia
mendengar suara ramai jauh di belakang rumah perguruan ini, ia
baru sadar bahwa orang-orang bu-koan sedang berlatih silat jauh
di belakang rumah sehingga tentu saja ketukannya tadi tidak
terdengar oleh mereka.
Sebenarnya, pada sore itu Can kauw-su masih belum datang dan
seperti biasa, bilamana sang guru sedang pergi, yang memimpin
dan memberi pelajaran silat adalah seorang murid tertua, yaitu
seorang pemuda yang bernama Tan Seng Kiat. Sore itu, Tan Seng
Kiat yang bertindak selaku wakil gurunya dan dibantu oleh Kwe
Bun, sutee (adik seperguruan)nya, sedang memberi pelajaran silat
kepada para sutee-sutee lainnya. Tan Seng Kiat memberi
pelajaran dengan cara yang sangat teliti dan seksama.
26
pelajaran terhadap sutee-suteenya yang masih baru. Pelajar baru
dari Sin-kun Bu-koan ini sebanyak tigapuluh orang, berdiri dan
berjajar rapih di tengah lapangan, tangan dan kaki mereka
bergerak-gerak teratur serta seluruh tubuh penuh terisi tenaga
yang dikerahkan dengan penuh perhatian mengikuti gerakan Tan
Seng Kiat yang memberi contoh di depan mereka.
27
Demikianlah Tan Seng Kiat yang mewakili gurunya memberi
pelajaran dan melatih sutee-suteenya dengan sabar dan rajin.
Kesalahan yang kecilpun dalam melakukan serangan atau
pembelaan, selalu diketahui oleh Tan Seng Kiat yang segera
menegur dan memberi petunjuk-petunjuk.
Tan Seng Kiat maklum bahwa pemuda yang datang ini adalah
salah seorang yang pagi tadi mengunjungi bu-koannya. Tapi cara
“tamu” itu memasuki lapangan dengan jalan yang tidak pantas dan
berlagak kegagah-gagahan, membuat hati Tan Seng Kiat merasa
sebal.
28
Namun, karena ia memiliki watak sabar, maka tidak
diperlihatkannya perasaan hatinya. Hanya ia segera maju
menyambutnya sambil menjura memberi hormat:
Memang ketika Tan Seng Kiat sedang menaksir “isi” tamunya. Dan
ia maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian silat yang tak
29
boleh dipandang ringan, terbukti ia dapat meloncati pagar dengan
mudahnya.
“Eh, kawan! Kau datang kemari tanpa kami undang dan caramu
memasuki lapangan ini, membuktikan bahwa kau seorang yang
30
pendidikannya mentah. Tambah lagi kata-katamu membuktikan
bahwa kau memandang rendah kepada kami teristimewa kepada
guru kami, sehingga kau mengatakan bahwa gurumu tidak ada
gunanya untuk berkenalan dengan guru kami! Maka demikian juga
bagi kami, kami pun merasa tak ada harganya berkenalan
denganmu maupun dengan gurumu……”
31
mengapa tadi kukatakan bahwa tidak ada gunanya guruku
berkenalan dangan gurumu. Mengerti?”
32
“Eh, nanti dulu, kawan!” seru Kwe Bun yang melangkah menyusul
sehingga Sim Kang Bu menghentikan langkah kakinya dan
menghadapinya dengan sinar mata berkilat-kilat.
Baik Kwe Bun maupun Tan Seng Kiat sendiri memang belum
mengenal nama Lu Sun Pin karena dari guru mereka belum pernah
mendengarnya, maka tanpa pikir lagi Kwe Bun mengejek:
“Oh, kiranya kau ini adalah murid dari locianpwee si Pagoda Besi,
pantas saja kau berani mengatakan ilmu silat kami adalah ilmu silat
kampungan. Akan tetapi aku belum tahu ilmu silat macam apakah
yang dimiliki olehmu? Ilmu silat pasaran ataukah ilmu silat
peseran?”
33
Merahlah wajah Sim Kang Bu karena marah mendengar ejekan itu.
Memang seorang yang berwatak kasar dan jumawa sehingga tidak
mempunyai kebijaksanaan untuk menimbang seperti Sim Kang Bu
ini, hanya dapat marah kalau diejek orang tanpa sadar bahwa
sebenarnya ia sendiri yang membuat gara-gara! Sebagai murid
dari seorang ahli silat Bu-tong-pay, tentu saja Sim Kang Bu merasa
marah sekali disebut ilmu silat pasaran, apalagi peseran!
34
“Sutee, jangan kau menanam bibit permusuhan! Sudahlah, sudahi
saja persoalan kecil ini dan kita persilahkan tamu kita untuk
berangkat pulang!” seru Tan Seng Kat sambil berdiri menyelak di
antara kedua orang jang sudah siap hendak saling mengunjukkan
kepandaian itu.
“Suhu toh pernah memberi nasehat kepada kita, bahwa kalau kita
diperlakukan jahat oleh orang lain, kita tak perlu membalasnya.
Akan tetapi kalau kita dihina maka kita jangan menerima
penghinaan itu secara mentah-mentah oleh karena penghinaan
adalah sangat merugikan dan merusakkan kehormatan dan nama
baik kita, terutama nama baik suhu dan rumah perguruan kita!”
Pada detik berikutnya, tanpa Tan Seng Kiat dapat mencegah lagi,
Kwe Bun dan Sim Kang Bu sudah mulai saling serang. Sementara
orang-orang yang mengitarinya sudah terdengar bersorak-sorak
riuh sekali menyemangati Kwe Bun, hingga keadaan di situ kini
menjadi ramai dan tegang.
35
Yang mula-mula membuka serangan adalah Sim Kang Bu, karena
pemuda ini berwatak kasar dan berangasan maka tanpa memberi
peringatan lagi terhadap lawannya sebagaimana biasanya orang
gagah yang melakukan serangan terlebih dulu, segera maju dan
menubruk Kwe Bun sambil mengirim pukulan tangan yang
dimiringkan dan disabetkan ke arah leher lawan dengan
menggunakan gerak tipu Sian-ciu-san-hoa atau Tangan Dewa
Menyebar Bunga.
36
gerakan menggunting kepala lawan, sedangkan kaki kirinya
menyambar ke arah lambung.
37
Sungguhpun ke duanya telah menerima pukulan dan tendangan
dari lawan, akan tetapi serangan-serangan ini ternyata belum
cukup kuat untuk merobohkannya oleh karena mereka keburu
mengelak sehingga pukulan dan tendangan itu hanya mengenai
kulit dan meleset saja, tanpa mengenai sasaran yang jitu untuk
dapat merobohkannya.
Akan tetapi ketika pemuda yang merasa benar sendiri ini tengah
mengangkat tinjunya yang segera akan dihantamkan ke lambung
Kwe Bun, tiba-tiba ia mendengar teriakan:
39
Yang menyebabkan Sim Kang Bu terjengkang itu adalah
perbuatan Tan Seng Kiat yang hendak menolong suteenya dari
bahaya maut,
“Saudara Sim, lawan yang sudah roboh dan tak dapat melawan
lagi, tidak boleh diserang lagi. Dan lagi kau harus ingat bahwa kita
belum pernah bermusuhan sehingga tidak semestinya kau berlaku
terlalu kejam,” kata Tan Seng Kiat sambil menghampiri suteenya
yang akan segera dibangunkan dan diperiksa luka pada
pundaknya itu.
Akan tetapi dasar Sim Kang Bu berwatak takbur, teguran Tan Seng
Kiat itu bahkan membuatnya menjadi salah terima dan cepat
bangkit sambil membentak marah: “Rupanya kau hendak
menggantikan suteemu? Bagus! Kaupun patut mendapat bagian
kelihayanku!” katanya dan tiba-tiba ia mengirim pukulan kepada
Tan Seng Kiat.
Tan Seng Kjat yang mendapat serangan tiba-tiba ini sedikit pun
tidak menjadi gugup, melainkan dengan sikapnya yang tetap
tenang, ia miringkan tubuhnya ke samping sehingga pukulan Sim
Kang Bu yang dilakukan sepenuh tenaga itu hanya menghantam
angin, dibarengi tangannya tiba-tiba menyabet dari samping
40
memukul lengan Sim Kang Bu tepat di bagian sikutnya dan “Krakk!”
yang dibarengi pekik kesakitan dari mulut Sim Kang Bu.
Tiba-tiba meledaklah tempik sorak dari para sutee Tan Seng Kiat
yang merasa puas dan gembira melihat betapa “tamu”nya itu
dibikin tidak berdaya oleh toa-suheng mereka dengan hanya
segebrakan saja.
41
digerakkan sehingga tinggal menggantung saja dalam keadaan
lumpuh, ia memanjati pagar tersebut dan tampaknya sangat susah
payah.
Dan ketika Tan Seng Kiat memeriksa pundak suteenya yang kena
pukul itu ternyata ia mendapatkan bahwa tulang pundak Kwe Bun
hanya nyengsol saja dan sama sekali tidak membahayakan
jiwanya. Akan tetapi oleh karena Tan Seng Kiat tidak paham untuk
membetulkan tulang, maka untuk menolong Kwe Bun mesti
menanti sampai gurunya kembali.
43
Adapun Sim Kang Bu berjalan setengah berlari sambil tangan
kirinya memegang-megang dan mengurut-urut sikut lengan
kanannya yang rasa sakitnya bukan main. Kemudian ketika ia
sampai di gedung Cio wan-gwe dan bertemu dengan suhunya
yang terkejut melihat keadaan muridnya ini, Sim Kang Bu lalu
mengadu bahwa ia telah dihina oleh murid dari Sin-kun Bu-koan.
44
curang telah membokong teecu sehingga teecu menjadi
sedemikian dibuatnya.”
“He, anak muda! Mana gurumu? Coba suruh dia keluar. Aku Lu
Sun Pin ada urusan hendak dibicarakan dengannya,” kata Lu Sun
Pin kasar dan sepasang matanya setelah menatap tajam ke wajah
Tan Seng Kiat, lalu mengawasi ke dalam bu-koan, di mana
terdapat para anak muda yang duduk mengelilingi Kwe Bun yang
rebah di atas dipan dan ketika itu masih merintih-rintih.
45
Tan Seng Kiat maklum, bahwa orang setengah tua kasar ini adalah
guru Sim Kang Bu dan ia sudah dapat menduga bahwa
kedatangan tamunya ini, merupakan kelanjutan peristiwa tadi.
Akan tetapi, oleh karena memang ia memiliki watak sabar,
sungguhpun sikap tamunya demikian memuakkan, Tan Seng Kiat
menjura memberi hormat sambil menjawab:
46
“Hm, hm! Pandai kau berpura-pura, anak muda! Akan tetapi aku
mendapat kepastian, kaukah orangnya yang menghina muridku
tadi?”
47
“Sabar sianseng! Ternyata kau sudah setua ini masih belum
mempunyai kebijaksanaan. Kau hanya memandang akibat dan
sama sekali tidak menyelidiki dahulu sebab-sebabnya!” kata Tan
Seng Kiat yang betapapun sabarnya, akhirnya darah mudanya
yang panas, meluap juga.
Ketika itu para murid Sin-kun Bu-koan yang duduk meriungi Kwe
Bun, kini sudah berkumpul dan berdiri di belakang Tan Seng Kiat
dan umumnya mereka ini merasa marah sekali terhadap si tamu
yang sangat kasar serta mau menang sendiri itu. Pantas saja
muridnya tadi begitu kurang ajar, kiranya gurunya ini adalah
seorang biadab, pikir mereka.
Tan Seng Kiat maklum bahwa kini ia menghadapi seorang ahli silat
tinggi, maka ia tidak berani menangkis, hanya dengan sebat
mengelak ke samping mempergunakan kelincahan tubuhnya, lalu
48
membarengi serangan balasan yang dilakukan dengan tangan
miring yakni dengan gerak tipu Heng-pay-koan-im (Memuja Koan-
im Dengan Tangan Miring). Tangan yang dimiringkan itu
disabetkan ke arah pinggang Lu Sun Pin yang segera berkelit
sambil ketawa mengejek.
49
Ternyata gerakan Lu Sun Pin sedemikian cepatnya sehingga tanpa
diduga sama sekali, lambung Tan Seng Kiat telah kena ditendang
dan pemuda ini terlempar dan jatuh dalam keadaan pingsan!
Lu Sun Pin tertawa bergelak: “Ha, ha, ha! Punahlah hutangku kini.
Dan kalau di antara kalian ada yang merasa penasaran,
katakanlah kepada guru kalian bahwa aku yang datang ini adalah
Lu Sun Pin si Pagoda besi. Untuk sementara aku berdiam di
gedung Cio wan-gwe, maka jika gurumu merasa perlu,
kupersilahkan datang kesana!”
Mereka pun merasa kagum akan kelihayan orang setengah tua itu.
Kemudian, setelah sadar dari kebengongannya, mereka lalu
menggotong Tan Seng Kiat yang pingsan itu dan
membaringkannya di atas sebuah pembaringan di sisi dipan,
dimana Kwe Bun berbaring.
50
Dikala cuaca senja sudah remang-remang hampir menjadi gelap,
barulah Can Po Goan datang. Dan alangkah kagetnya kauw-su ini
ketika melihat dua orang muridnya yang tercinta dalam keadaan
sedemikian rupa.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi, Seng Kiat dan Kwe Bun?”
tanya Can kauw-su kemudian sambil tangannya bekerja membuat
obat yang terdiri dari ramuan dicampur arak untuk mengobati
kedua anak muda itu.
51
Tan Seng Kiat lalu menuturkan dengan sejujurnya seluruh
peristiwa yang telah dialaminya.
53
berpikiran luas itu. Akan tetapi sebaliknya bagi Kwe Bun yang
beradat agak keras dan murid-murid lainnya yang sebagian besar
berdarah panas, merasa kecewa dan menganggap sikap suhu
mereka ini sebagai sikap pengecut dan takut!
54
Akan tetapi sebagai seorang kawan baik Cio wan-gwe tidak
menyatakan penyesalannya oleh karena ia maklum bahwa
kawannya ini berwatak kasar dan dalam segala hal, sok mau
menang sendiri saja! Maka, ketika selanjutnya Lu Sun Pin
menyatakan keinginan hatinya hendak membuka bu-koan dan
mengharapkan bantuan Cio wan-gwe untuk mengabulkannya,
hartawan itu hanya dapat menyetujui saja.
55
hari pembukaannya diadakan perjamuan dan banyak dikunjungi
para hartawan yang diundang. Dan secara resmi bu-koan
pimpinan Lu Sun Pin dan yang dimodali oleh Cio wan-gwe serta
didukung oleh para hartawan-hartawan kenalan si kaya she Cio ini,
diberi nama “Tong-koan Te-it Bu-koan” atau Rumah Perguruan
Silat Nomor Satu di Kota Tong-koan!
56
juga, yaitu kauw-su yang memperpanjang waktunya dalam
memberi pelajaran secara “medit,” supaya si murid belajar lebih
lama dan dengan demikian ia lebih lama pula mendapat bayaran
dari si murid!
Tentu saja “propaganda” macam ini takkan masuk diakal bagi para
ahli silat tinggi, akan tetapi oleh karena para hartawan yang
menyekolahkan anak-anaknya kepada Lu Sun Pin ini umumnya
tidak mengerti silat, maka “propaganda” tersebut mereka telan saja
mentah-mentah dan bahkan mereka sangat sependapat dengan
guru silat baru yang diperkenalkan oleh Cio wan-gwe sebagai
pewaris silat tinggi dari Bu-tong-pay ini!
Malah tak sedikit pula para murid Can kauw-su yang menganggap
guru tua ini sangat pengecut dan takut untuk melakukan
pembalasan terhadap Lu Sun Pin sehingga timbullah anggapan
pada mereka bahwa Lu Sun Pin si Pagoda Besi tentu lebih tinggi
ilmu silatnya dari pada guru mereka. Tanpa pamit lagi mereka lalu
57
meninggalkan perguruan Sin-kun Bu-koan dan pindah belajar di
Tong-koan Te-it Bu-koan ini.
58
budi yang sangat besar terhadap Cio wan-gwe. Karena
kemajuannya seperti sekarang ini, semata-mata adalah atas
bantuan dan jasa baik dari Cio wan-gwe, maka untuk budi yang
telah diterimanya, selain berterima kasih yang tak terhingga.
Hal ini sungguh tepat dengan keadaan Lu Sun Pin dan para
muridnya, ialah kesombongan dan ketakaburan Lu kauw-su yang
terang-terangan sering mengatakan dihadapan muridnya bahwa
Tong-koan Te-it Bu-koan ini benar-benar perguruan silat nomor
59
wahid. Dan secara berani sekali ia memburukkan nama Sin-kun
Bu-koan terutama nama Can Po Goan.
Maka para murid yang masih muda-muda dan berdarah panas itu
secara tak sadar telah kena di “suntik” oleh gurunya. Dan mereka
lalu merasa bahwa kepandaian yang mereka miliki sudah cukup
lihay serta menganggap murid-murid yang masih setia berguru
pada Can kauw-su itu tak lebih sebagai cacing pisang belaka,
sehingga karenanya tak jaranglah mereka manakala lewat di
depan Sin-kun Bu-koan, suka berteriak-teriak mengejek dengan
perkataan-perkataan yang kasar dan kotor.
Tentu saja hal ini sangat membakar hati para murid Can kauw-su
yang mendengarnya, terutama sekali Kwe Bun yang beradat
berangasan ketika melihat betapa bekas suteenya sendiri yang
sebagian besar sudah pindah berguru ke Tong-koan Te-it Bu-koan.
Dan kini mereka berani berteriak-teriak mengejek secara
menyebalkan sekali.
60
“Muridku, apa perlunya kau meladeni anak-anak yang berteriak-
teriak itu? Sungguhpun mereka mengejek kita, akan tetapi kuyakin
bahwa mereka itu hanya sebagai alat dari guru mereka yang ingin
mencari perkara pula dengan kita!
61
“Sayang dan kasihan karena mereka, anak-anak muda itu secara
tak sadar telah dipengaruhi oleh unsur-unsur buruk dari guru
mereka. Dan pula anak-anak muda yang suka berteriak-teriak di
jalan, menandakan bahwa mereka berjiwa rendah dan seperti tidak
mengenal didikan.”
Akan tetapi, dalam pada itu dengan diam-diam Kwe Bun yang
berangasan dan berdarah panas itu selalu mencari saat dan siasat
betapa caranya ia akan membalaskan kepenasaran hatinya. Anak
muda ini merasa tidak puas akan sikap gurunya uang seakan-akan
tak menghiraukan penghinaan-penghinaan dari pihak Lu Sun Pin
itu.
62
Hari itu Kwe Bun seorang diri ada keperluan pribadi dan untuk
keperluan ini ia mesti berjalan melalui sebuah jalan dimana
terdapat Tong-koan Te-it Bu-koan itu. Sebelum ia sampai di depan
rumah perguruan tersebut, dari jauh ia melihat di muka bu-koan
banyak murid-murid berkerumun sambil bercakap-cakap dan
ketawa-ketawa dengan riang sekali.
63
Andaikata ia berjalan terus dan walaupun tidak membuat gara-
gara, akan tetapi pasti mereka itu akan mengejek dan
menghinanya, sehingga sukar baginya untuk menahan nafsu
amarahnya. Dan kalau sudah terjadi demikian, pastilah keributan
takkan dapat dicegah.
Justeru dikala hati pikiran Kwe Bun sedang bertempur hebat antara
pesan suhunya dan kemauan hatinya yang panas itu sehingga
untuk sejenak ia berdiri dalam keraguan, tiba-tiba terdengar
teriakan:
65
Memang warna merah darah biasanya menakutkan kerbau biasa,
tetapi kalau warna ini terlihat oleh kerbau yang sedang mengamuk
apa lagi gila, maka ia akan tambah ngamuk dan gila lah ia! Dan
demikianlah kerbau gila itu, hidungnya mendengus-dengus,
sepasang matanya yang besar dan merah seakan-akan
mengeluarkan api ditatapkan terhadap warna merahnya daun pintu
dari Tong-koan Te-it Bu-koan yang kini sudah dihadapinya.
66
Setelah mendobrak pintu, si kerbau gila itu terus berlari dan
langsung memasuki bu-koan. Si pemilik yang memegangi ekornya
tergusur dalam keadaan tak berdaya sama sekali; segala apa yang
menghalanginya diterjangnya sehingga sebentar saja tak
sedikitlah barang-barang yang rusak berantakan dibuatnya.
Ketika itu Kwe Bun berlari sudah ke arah bu-koan itu, ia berdiri di
ambang pintu dan melihat betapa yang terjadi dalamnya. Hatinya
merasa geli dan puas dan diam-diam pemuda ini merasa berterima
kasih sekali terhadap si kerbau gila itu yang seakan-akan menjadi
wakilnya untuk menuntut balas!
67
menyimpan senjata-senjata sudah berantakan diterjangnya,
demikian juga meja dan kursi yang terdapat di situ, tak luput
mendjadi kurban.
68
Sebentar saja tubuh kerbau itu telah luka-luka akibat senjata-
senjata yang menghujani dari berbagai jurusan. Akan tetapi karena
senjata mereka tidak mengenai sasaran yang mematikan
melainkan hanya melukai di kulit saja, apalagi diserangkannya
secara kalang kabut dan asal kena saja, maka binatang itu tak
dapat ditundukkan dengan segera, bahkan menjadi makin
menggila!
69
samping berbareng ruyung di tangannya ditimpakan ke arah
kepala kerbau itu.
70
Akhirnya kerbau itu seakan-akan sudah merasa puas dengan
perbuatannya atau lebih mungkin karena rasa nyeri di tubuhnya,
maka setelah berlari seputaran di ruangan lan-bu-thia mencari
jalan untuk keluar. Dan ketika ia melihat tempat terbuka yaitu pintu
dari mana ia masuk tadi segera ia menerjang keluar dan seorang
pemuda yang berdiri di ambang pintu, terus saja diseruduknya.
Pemuda itu, ialah Kwe Bun yang sejak tadi menonton di ambang
pintu itu, sungguhpun ia merasa gembira dan puas melihat betapa
kerbau itu merusak Tong-koan Te-it Bu-koan ini sedemikian rupa
dan ia merasa lebih puas lagi ketika melihat Sim Kang Bu
mengalami peristiwa seperti yang sudah diceritakan tadi. Namun
disamping itu, Kwe Bun pada hati kecilnya merasa berkewajiban
untuk turun tangan terhadap kerbau gila itu.
Karena kalau kerbau itu dibiarkan saja berlari keluar pasti akan
menimbulkan kerugian lagi dan bahkan, setelah tiga orang anak
murid bu-koan menjadi kurban, akan menimbulkan kurban yang
lainnya lagi. Maka, ketika kerbau itu sudah dekat sekali sehingga
hampir menyeruduknya, Kwe Bun hanya bergerak sedikit ke
samping dan gerakan ini cukup untuk mengelakkan diri dari
serudukan tanduk kerbau.
71
Dan sebelum kerbau itu berlari melewatinya, dengan cepat dan
tangkas sekali tangan kirinya menangkap salah sebuah tanduknya
dan tangan kanannya yang dikepalkan lalu diayunkan dan
dipukulkan ke arah yang tepat, yaitu ke bagian tulang batang
hidung si kerbau sekuat tenaga!
Para murid Tong-koan Te-it Bu-koan pada lari keluar untuk melihat
kerbau yang sudah menggeletak dalam keadaan tak bernapas itu,
juga Sim Kang Bu sendiri sambil meringis-ringis, ketika dilihatnya
bahwa pemuda yang dengan sekali pukul saja dapat membuat
kerbau itu mati ternyata tidak lain dari Kwe Bun, bukan main
tercengangnya dan malunya!
72
Adapun yang paling belakangan sekali keluar dari rumah
perguruan itu ialah si pemilik kerbau tadi yang dengan terengah-
engah merangkapkan kedua tangannya di depan dada memberi
hormat kepada Kwe Bun sambil mengucapkan terima kasih.
73
Murid pertama dari Lu Sun Pin ini diam-diam merasa terkejut dan
malu. Terkejut karena ia seakan-akan tidak percaya pada
kenyataan bahwa pemuda itu dapat menyebabkan kerbau gila mati
dengan sekali pukul saja. Dan malu karena ia dan sutee-suteenya
meskipun mengeroyoki dengan bersenjata, namun tak dapat
mengatasi amukan kerbau itu.
Tiba-tiba Kwe Bun yang dibengongi Sim Kang Bu, tertawa bergelak
dan sambil tangannya menuding ke arah Sim Kang Bu yang masih
meringis-ringis itu, berkata mengejek: “Ha, ha, ha! Sungguh lucu
dan menggelikan. Sekian banyaknya murid-murid dari Tong-koan
Te-it Bu-koan tidak becus mengatasi amukan seekor kerbau.
Masih ada mukakah kau berlagak dan menyombongkan
kepandaianmu?! Ha, ha, benar-benar lucu dan menggelikan
sekali……”
74
karena malu dan marah. Sim Kang Bu sendiri bukan main
marahnya akan tetapi karena ia rasakan pundaknya sakit bukan
main sehingga tidak berdaya untuk menyerang Kwe Bun.
Ia tinggal berdiri saja sambil menatap Kwe Bun yang pergi itu
dengan sinar mata berapi-api. Rasa sakit hatinya jauh melebihi
rasa sakit di pundaknya!
75
yang tubuh dan tenaganya jauh lebih besar dari kita, kita harus
menggunakan kecerdikan untuk mengirim pukulan dengan memilih
sasaran yang tepat, yaitu di bagian yang lemah dari tubuh lawan,
seperti halnya kau memukul bagian batang hidung kerbau itu.
Dan benar saja seperti apa yang dikatakan oleh Can Po Goan.
Ketika Lu Sun Pin mengetahui dan melihat betapa perabotan bu-
koannya rusak berantakan dan beberapa orang muridnya
mendapat luka karena amukan seekor kerbau gila dan kerbau ini
kemudian dipukul mati justeru oleh seorang murid Can kauw-su,
maka timbullah anggapan dalam hati guru silat dari cabang Bu-
tong-pay ini, bahwa kerbau itu tak lain adalah perbuatan pengecut
dari pihak Can kauw-su untuk membalas dendam.
76
memukulnya dihadapan kita guna mengagulkan kepandaiannya!
Hal ini benar-benar berupa penghinaan yang tak dapat kudiamkan
saja!” katanya.
77
Sementara murid-murid dari kedua pihak tidak beraksi, di kota
Tong-koan timbul keonaran lain, yaitu keonaran yang ditimbulkan
oleh munculnya kawanan perampok yang kemudian diketahui
dikepalai oleh Houw-jiauw Lo Ban Kui dan yang bersarang di hutan
sebelah selatan kota. Dan dibarengi pula munculnya gerombolan
bajak sungai Huang-ho yang kemudian diketahui bersarang di
hutan Siong-lim-nia dan dikepalai oleh Huang-ho Sin-mo Ma Gu
Lim.
79
karena hatinya yang tamak menganggap adanya bu-koan asuhan
Can kauw-su ini hanya mendatangkan penyakit saja baginya.
Sedangkan pihak Tan Seng Kiat dan Kwe Bun beserta beberapa
orang suteenya berdiam memandang mereka dengan sikap gagah
dan gaya tidak takut serta bersikap siaga. Karena maklum bahwa
kedatangan rombongan akan menimbulkan peristiwa yang tidak
diinginkan sungguhpun hal ini mereka sudah dapat menduga
sebelumnya.
80
Rombongan ini saling mengawasi dalam jarak yang agak jauh, dan
setelah sesaat mereka tinggal diam membisu dalam suasana
tegang, tiba-tiba dari jauh, yaitu dari belakang rombongan
pendatang itu terdengar seruan nyaring: “Serbu……..!!”
81
Adapun Kwe Bun ketika lambungnya diancam tombak yang
ditusukkan oleh So Ma Tek, ternyata pemuda ini berlaku cerdik.
Sambil berkelit dengan sedikit merendahkan badannya, tangannya
diam-diam meraup pasir dari bawah dan pasir yang sudah berada
dalam genggamannya segera ditebarkan ke arah mata So Ma Tek
sehingga karena tidak menyangka, So Ma Tek jadi kelabakan
karena sepasang matanya kemasukan pasir.
Ketika itu, para murid Can kauw-su yang tadi masuk mengambil
senjata kini sudah keluar pula dan dengan gigih mereka terjun ke
dalam gelanggang pertempuran sehingga suasana di depan Sin-
kun Bu-koan itu menjadi ramai dan kacau.
82
Seruan yang bernada menggeledek ini ternyata berpengaruh
sekali dan mampu mengatasi suasana pertempuran yang sudah
berlangsung sengit itu. Baik murid-murid Lu Sun Pin, maupun
murid-muridnya sendiri, serempak melompat mundur dan keluar
kalangan sehingga dalam sejenak saja pertarungan tersebut jadi
berhenti dan mata mereka memandang kepada guru silat tua yang
berjalan menghampiri mereka.
“Ah, aku sungguh merasa beruntung sekali baru kini dapat bertemu
dengan Can kauw-su, maka terimalah penghormatanku sebagai
83
salam pertemuan kita ini,” ujar Lu Sun Pin sambil menjura kepada
Can kauw-su.
Padahal dari ke dua kepalan itu keluar semacam tenaga yang tidak
kelihatan, yaitu yang disebut tenaga atau hawa pukulan yang
sangat dahsyat dan berbahaya sekali. Pukulan ini tidak perlu
mengenai tubuh orang, karena memang dimaksudkan untuk
menyerang orang dari jarak jauh. Dan orang yang berdiri sejauh
setombak lebih dapat dipukul oleh hawa pukulan ini dan
dirobohkan dengan menderita luka di bagian dalam tubuh!
84
Akan tetapi Can Po Goan berlaku waspada. Sebagai seorang ahli
silat tinggi ia mengerti bahwa dalam menjuranya Lu Sun Pin itu
mengandung serangan gelap terhadap dirinya, maka dengan
tersenyum sabar sebagaimana biasanya ia tersenyum apabila
mendapat penghormatan dari seorang tamu. Lalu merangkapkan
kedua kepalan tangannya di depan dada sambil membungkukkan
tubuhnya sedikit, lakunya bagaikan membalas penghormatan dari
Lu Sun Pin.
85
Kata-kata Can Po Goan ini, sungguhpun diucapkan dengan nada
kata sabar dan seperti benar-benar mengandung penyesalan,
akan tetapi dalam pada itu mengandung sindiran yang amat tajam.
Hal ini dimengerti oleh Lu Sun Pin sehingga jago dari Bu-tong-pay
yang memang berwatak berangasan ini menjadi merah kulit
mukanya.
86
dapat mengekang hawa nafsu berkat wataknya yang sabar,
terdengar bertanya:
“Maaf kalau aku yang tua ini boleh bertanya. Maksud apakah
sebenarnya yang membawa tuan dan murid-murid tuan membuat
gaduh di depan bu-koanku ini?”
“Hm, hm! Nyata pandai sekali Can kauw-su ini bersikap pura-pura,”
jawab Lu Sun Pin dengan suara nyaring dan tajam. “Sebaiknya kau
bicara secara terus terang saja karena aku paling benci kepada
orang yang suka berpura-pura!”
87
Mau tak mau Can kauw-su jadi tertawa kecil ketika mendengar Lu
Sun Pin menggugat soal kerbau gila itu sebagaimana ia telah
menduga bahwa hal itu akan menyebabkan Lu Sun Pin salah tafsir.
Dan kini benar-benar ia mendapat kenyataan bahwa dugaannya
sangat tepat, sehingga sebelum berkata ia jadi ketawa kecil karena
merasa geli hati.
“Ah, tuan sungguh salah tafsir! Kerbau gila itu sama sekali tidak
ada sangkut paut dengan kami, sedangkan seorang muridku yang
kebetulan sekali dapat menaklukkan kerbau itu sehingga bu-koan
tuan tidak sampai menjadi lebih rusak lagi dibuatnya.
88
murid-muridku ini kemari, hendak menuntut balas dari kekurang
ajaran murid-muridmu dan akan membikin beres persengketaan
antara kita ini!”
“Karena aku yang sudah tua ini selalu ingat dan patuh kepada kata-
kata orang bijaksana yang menyatakan bahwa, segala persoalan
yang betapapun kecilnya kalau dibereskan dengan cara kasar,
yaitu
89
“Phui!” tiba-tiba Lu Sun Pin meludah, “Aku merasa sebal dengan
kata-katamu yang bertele-tele dan memuakkan itu! Katakan saja
terus terang, bahwa kau merasa takut kepadaku karena memang
aku hendak membereskan soal persengketaan kita ini dengan
jalan kasar, yaitu dengan kepalan dan senjata bicara!”
Dan baru kinilah Can kauw-su yang selalu sabar itu harus menelan
kenyataan pahit dan yang membuatnya sadar bahwa kesabaran
yang ada padanya tidak selamanya mendatangkan ketenteraman
batin apabila ia mempergunakan kesabaran itu terhadap orang
yang tidak mengenal ke bajikan. Karena kesabaran yang
diperlihatkan kepada orang kasar dan dalam segala hal sok mau
menang sendiri saja seperti halnya Lu Sun Pin akan membuat
orang itu makin sombong dan makin berani menghinanya.
90
“He, orang she Lu! Rupanya kau ini benar-benar seorang yang tak
dapat diajak berdamai! Kau kira aku takut? Hm, jangan takabur
kawan! Ketahuilah, aku tidak takut terhadap siapapun, apalagi
terhadapmu, asal saja aku berada di pihak yang benar dan demi
membela keadilan!
“Aku maklum, bahwa sejak kau datang kemari pertama kali kau
memang tidak membawa maksud baik! Maka majulah kau, orang
she Lu, kalau memang kau selalu menaruh rasa penasaran dan
dendam kepadaku! Akan tetapi ingat, bahwa kaulah yang
menghendaki dan menantang perkelahian, bukan aku yang
mencari permusuhan!”
91
sambil goloknya digerakkan dengan tipu Go-houw-pok-yong atau
Macan Lapar Menerkam Kambing.
92
tangan dari Can Po Goan. Dan untuk kedua kalinya ia terkejut
karena ketika ke dua lengan dua jago silat saling bertumbuk,
keduanya sama merasakan semacam tenaga beradu dahsyat
sehingga keduanya jadi terpental sejauh satu tombak!
Dan justeru ketika ke dua jago silat ini memperbaiki posisi dirinya
untuk segera bertempur lebih lanjut, tiba-tiba dari arah selatan kota
terdengar jerit pekik disertai suara gaduh dan hiruk pikuk! Baik Lu
Sun Pin maupun Can Po Goan dan juga para anak murid mereka,
serempak menoleh ke arah terjadinya kegaduhan.
93
Adapun mereka yang berpakaian serba hitam dan menghunus
senjata itu, ialah kawanan perampok yang untuk ke sekian puluh
kalinya melakukan “gerakan operasi kilat”. Biarpun hal ini bagi
penduduk kota tidak merupakan peristiwa aneh, akan tetapi
munculnya gerombolan perampok yang membuat kekacauan ini
menimbulkan kekagetan dan ketakutan bukan main!
94
brik-bruk” tadi, yang bubar dan lari terbirit-birit mencari tempat
perlindungan!
Mereka ini, baik pihak Can kauw-su maupun Lu Sun Pin, yang
tadinya begitu galak dan garang kini setelah secara tiba-tiba
mereka “kepergok” oleh kawanan perampok yang mereka ketahui
kekejaman dan keberutalannya, semangat dan kegagahan mereka
seakan-akan lenyap dengan serempak, sehingga tingkah laku
mereka tak ubahnya seperti sekawanan kambing yang didatangi
harimau!
Dan sejak sore itulah, yaitu sejak pertempuran Lu Sun Pin dan Can
Po Goan “dibatalkan” oleh kedatangan gerombolan perampok
yang lalu berpesta pora, bentrokan-bentrokan antara anak murid
maupun guru-guru dari ke dua bu-koan itu tidak terjadi lagi.
Seakan-akan permusuhan mereka sudah habis hanya sampai di
sore itu saja.
95
Sebenarnya, betulkah situasi antara mereka ini sudah aman?
Tidak! Walaupun tidak terjadi lagi bentrokan, itu bukan berarti
permusuhan mereka sudah beres karena pada kenyataannya, Lu
Sun Pin menaruh dendam dan rasa penasaran yang semakin
hebat, sedangkan Can Po Goan maklum akan isi hati Lu Sun Pin.
Guru silat tua inipun sudah bertekad bulat, apabila dari pihak Lu
Sun Pin datang menyerbu lagi, ia akan memperlihatkan kepada
lawannya itu bahwa ia adalah seorang yang sungguhpun berwatak
sabar dan selalu mengalah, akan tetapi tidak boleh diperlakukan
semaunya saja! Demikianlah, untuk sementara waktu agaknya
mereka mengadakan “gencatan senjata” dan menanti suatu
kesempatan untuk membuktikan siapa yang lebih unggul!
96
penderitaan penduduk sangat menyedihkan sebagaimana sudah
dituturkan di bagian depan dari cerita ini.
<>
97
yang mendapat dukungan penuh dari para hartawan yang menjadi
kawannya.
98
pertandingan silat yang menurut ketentuan akan berlangsung
dengan acara pibu antara Lu Sun Pin dan Can Po Goan untuk
menentukan siapa yang lebih unggul dan untuk merebut
kedudukan selaku pang-cu.
Acara pibu ini disambut dengan gembira oleh Lu Sun Pin, oleh
karena dengan jalan ini berarti ia akan dapat menguji kepandaian
Can kauw-su secara terang-terangan. Jago silat dari Bu-tong-pay
ini yakin bahwa kedudukan pang-cu pasti akan didapatkan olehnya
dan dengan demikian ia akan membuktikan bahwa nama Tong-
koan Te-it Bu-koan yang dipimpinnya benar-benar sesuai dengan
kenyataannya!
99
kedatangan pihak Can kauw-su ini, berarti bahwa pertandingan
silat yang sejak jadi mereka nantikan, kini akan segera dimulai.
Can Po Goan dan kedua muridnya disambut oleh Cio wan-gwe dan
rombongan yang jumlahnya sangat sedikit ini dipersilahkan
mengambil tempat duduk pada kursi-kursi yang sudah disediakan
untuk mereka. Ternyata si hartawan Cio Song Kang ini adalah
seorang yang sangat aktif, karena selain ia menjadi organisator
Pauw-an-tui, menjadi promotor pibu yang menentukan siapa-siapa
harus bertanding, juga dalam pertandingan silat ini ia bertindak
selaku panitia.
Can Po Goan dan ke dua muridnya lalu duduk. Dan ketika guru
silat tua ini melayangkan pandang ke arah rombongan Lu Sun Pin,
pemimpin Tong-koan Te-it Bu-koan kebetulan sekali sedang
melemparkan pandang kepadanya sehingga dalam sesaat dua
pasang mata dari dua jago silat bertemu.
100
tempo hari. Akan tetapi sinar mata mereka tetap membayangkan
permu-suhan atau setidak-tidaknya mencerminkan bahwa di dada
mereka masih mengandung rasa penasaran yang belum
dilampiaskan!
101
an-tui yang kita bentuk guna menjaga keamanan kota Tong-koan
ini.
102
“Kami maklum, bahwa di kota Tong-koan ini banyak terdapat
orang-orang gagah, akan tetapi oleh karena tidak ada persatuan
maka pihak kita menjadi sangat lemah sekali sehingga seakan-
akan merupakan barang empuk yang dengan seenaknya dicaplok
oleh para serigala murtad itu. Oleh karena ini, maka setelah kami
mendapat wewenang dari pembesar negeri dan persetujuan
kawan-kawan, kami membentuk organisasi penjaga keamanan ini
dengan harapan setelah organisasi Pauw-an-tui ini berdiri akan
merupakan badan persatuan dimana para orang gagah akan turut
serta menjadi anggauta dan kita bekerja sama dengan haluan
bersatu padu, yaitu mengganyang komplotan penjahat…….!”
Setelah suara tempik sorak itu lenyap dan keadaan menjadi sepi
kembali maka Cio wan-gwe melanjutkan pengumumannya.
103
“Perlu kami umumkan bahwa pertama-tama yang mengikuti
sayembara terdiri dari kedua guru silat yang membuka bu-koan di
kota ini, ialah Lu Sun Pin, si Pagoda Besi, pemimpin dari Tong-
koan Te-it Bu-koan dan Can Po Goan, si Kepalan Sakti Pemecah
Kepala, kauw-su dari Sin-kun Bu-koan…….!”
105
kepada mereka yang bertanding untuk mengadakan perjanjian
sendiri, hendak pakai senjata atau tangan kosong dan karena pibu
bersifat persahabatan dan bahkan justeru guna kerja sama dalam
sebuah organisasi maka bagi mereka yang bertanding tidak boleh
sampai menjatuhkan tangan maut!
“Ke tiga calon atau jago dari kedua pihak ini akan berlumba
merebut kedudukan Pang-cu, dan selain ia berhak pula mendapat
gelar Tong-koan Hohan atau Orang gagah dari kota Tong-koan
ini…….!”
106
Kembali terdengar suara riuh pula dengan teriakan-teriakan dan
seruan-seruan seperti tadi, bahkan di antara mereka ada yang
berteriak supaya pibu ini segera dimulai! Agaknya ia merasa
jengkel dengan pidato Cio Wan-gwe yang dianggapnya
membuang-buang waktu itu.
107
menjadi pemimpin dari Barisan Penjaga Keamanan dan mendapat
gelar kehormatan Tong-koan Hohan, kami persilahkan.
“Disamping itu, jika di antara kalian ada yang tidak mengerti ilmu
silat akan tetapi mempunyai minat menjadi anggauta Pauw-an-tui,
kami menyambutnya dengan gembira dan justru dengan jalan ini
kami serukan.
108
akan siapa saja ketua dan para anggautanya merupakan
dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan.
109
mendapat gelar kehormatan Tong-koan Hohan. Sementara bagi
saudara-saudara yang tidak mengerti ilmu silat jadilah anggauta
Pauw-an-tui supaya organisasi kita ini benar-benar merupakan
sebuah Barisan Keamanan yang kuat dan dapat mengganyang
gerombolan penjahat musuh kita itu!
110
Setelah itu, Cio wan-gwe membalikkan diri dan turun dari
panggung melalui tangga dari mana ia naik tadi. Lalu duduk si
sebuah kursi yang masih kosong, yaitu di deretan kursi dimana
Can Po Goan dan kedua muridnya duduk.
111
“Benar! Dan kalau tak salah ingat, benarkah saudara ini bernama
So Ma Tek yang ketika kalian menyerbu kami tempo hari
menyerang dengan tombak kepadaku?” sahut Kwe Bun dengan
suara tandas oleh karena pemuda yang berwatak kurang sabar ini
merasa benci sekali terhadap orang-orang dari Tong-koan Te-it
Bu-koan.
112
berpibu tanpa senjata oleh karena memang aku ingin merasakan
kelihayan kepalanmu yang dapat memukul mati seekor kerbau itu!”
113
memiliki tenaga hebat. Akibat beradunya lengan itu ia merasakan
kedua lengannya sakit sekali sehingga tanpa disadarinya,
wajahnya jadi meringis karena menahan rasa sakit.
Kwe Bun maklum bahwa lawannya ini berlaku cerdik, maka iapun
mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk meladeninya sehingga
keduanya bertempur secara sebat dan gesit serta seru sekali. Dan
ternyata kepandaian mereka sangat seimbang.
114
secara nafsu sekali, diam-diam ia merasa girang karena ia maklum
bahwa untuk menghadapi lawan yang bernafsu, ia mempunyai
siasat untuk melayaninya dan akan membuat lawan itu cepat
dikalahkan.
115
“Kau sungguh hebat, saudara So. Akan tetapi hati-hatilah, jangan
kau jatuh sendiri sebelum keinginanmu hendak merasakan
kelihayan kepalanku, kupenuhi!” Kwe Bun menyindir sambil
ketawa-tawa ketika melihat betapa lawannya itu hampir jatuh.
116
itu memukul keras dari depan ke arah dadanya, ia meloncat ke
samping.
117
“Eh! Kwe Bun! Lupakah kau akan peraturan pibu ini yang telah
diumumkan oleh Cio Wan-gwe tadi bahwa dalam lomba yuda ini
tidak boleh saling mencelakakan?! Akan tetapi mengapa kau
berlaku begitu kejam terhadap suteeku?!” Demikian sambil
bertolak pinggang, Sim Kang Bu menegur Kwe Bun dengan sangat
marah!
Melihat sikap musuh lamanya ini Kwe Bun mengangkat dada dan
kemudian katanya: “Saudara Sim yang gagah. Kau datang-datang
menyalahkan aku dan kau menganggap bahwa aku melanggar
peraturan pibu yang sudah ditentukan?! Sungguh seenakmu saja
kau bicara! Tidakkah kau dengar tadi bahwa kepalanku mampir di
punggung suteemu itu adalah atas kehendaknya sendiri?!”
118
Akan tetapi sebelum serangannya ini dilanjutkan, tiba-tiba dari
bawah panggung terdengarlah seruan nyaring: “Kang Bu tahan!
Jangan serang dia!!!”
Seruan ternyata dari Lu Sun Pin dan mau tak mau Sim Kang Bu
harus mentaati seruan suhunya sehingga ia segera “mengerem”
serangannya dan memandang ke arah suhunya dengan sinar mata
heran.
119
Kini Sim Kang Bu mengerti mengapa ia dilarang menyerang Kwe
Bun dan ia merasa malu sekali karena telah berlaku keliru dalam
tata cara lomba yuda yang ditonton oleh masyarakat kota Tong-
koan ini.
Sementara itu Kwe Bun pun sudah turun dari panggung karena
pemuda ini juga dipanggil oleh gurunya supaya mengundurkan diri
dari gelanggang.
Ketika itu tampak Cio wan-gwe naik ke atas panggung dan sebagai
panitia yang merangkap juri dalam pertandingan yang
diselenggarakannya ia lalu menyatakan pengumuman dengan
suara nyaring:
120
“Sekarang babak kedua segera akan dimulai maka kami
persilahkan murid kepala dari kedua pihak naik ke atas panggung!”
Setelah itu, Cio wan-gwe turun dan duduk lagi di tempatnya
semula.
121
“Yang hendak bertanding denganku, diminta naik dengan segera!”
kata Sim Kang Bu dengan suara jumawa dan sikap sombong
sambil memandang ke arah tempat duduk pihak Can kauw-su.
122
sungguh-sungguh akan tetapi mengandung ejekan itu, hatinya
mendongkol sekali dan ia menjadi marah, maka dengan sangat.
nyaring dan ketus ia berkata:
Akan tetapi ternyata pemuda she Sim itu tidak segera menerjang,
melainkan berdiam diri saja seperti ragu. Memang, Sim Kang Bu
merasa sangsi untuk bertempur dengan tangan kosong karena
dalam ilmu silat ini, dahulu ia pernah merasakan kelihayan Tan
Seng Kiat. Oleh karena itu ia ingin bertanding dengan
mempergunakan senjata sekalian mencoba ilmu silat senjata
lawan.
“Sahabat! Mengapa kau diam saja?” tanya Tan Seng Kiat ketika
melihat sikap orang yang dihadapinya itu.
123
“Setelah pertandingan babak pertama tadi dilakukan dengan
tangan kosong, maka babak kedua bagi kita ini lebih baik dengan
bersenjata, karena Pauw-an-tui ini selain merupakan Barisan
Penjaga Keamanan merupakan barisan tempur karena harus
mengganyang gerombolan penjahat.
Kini Tan Seng Kiat yang bersikap seperti ragu dan untuk sesaat ia
tidak menjawab, ia merasa ragu bukan karena takut berpibu
dengan senjata, melainkan karena pihaknya datang tanpa
membawa senjata dan ia tidak berani mengambil keputusan
sebelum mendapat izin dari suhunya, maka dari atas panggung ia
memandang ke arah suhunya dengan sinar mata minta keputusan.
Can kauw-su yang juga mendengar pertanyaan pemuda she Sim
tadi dan mengerti akan keraguan muridnya lalu berkata:
124
Kata-kata Can Po Goan ini selain memberi jawaban kepada
muridnya, juga merupakan permintaan kepada Lu Sun Pin, yaitu
minta pinjam senjata.
Dan Lu Sun Pin ketika mendengar hal ini, segera berseru dari
tempat duduknya: “Boleh, boleh!” dan sambil mendongak
memandang ke arah Tan Seng Kiat yang berdiri di atas panggung,
ia bertanya: “Senjata apakah yang hendak kau gunakan, anak
muda?!”
Sorak sorai dan tepuk tangan memuji terdengar riuh sekali sebagai
pernyataan kagum akan caranya Sim Kang Bu menyambut golok
itu. Dan sementara itu, dari bawah panggung terdengar seruan Lu
Sun Pin yang hendak “mengirimkan” golok yang sebatang lagi
kepada Tan Seng Kiat:
“Tan siauw-ko (engko cilik she Tan), coba kaupun terima golok ini!”
lalu seperti tadi, golok dilontarkannya pula ke atas panggung dan
langsung mengarah Tan Seng Kiat, persis ke bagian ulu hatinya!
126
Para penonton menahan napas karena kaget dan bahkan berapa
orang kedengaran berseru ngeri. Karena golok yang dilontarkan
oleh Lu Sun Pin kali ini bukan bagian pangkalnya yang meluncur
terlebih dahulu, akan tetapi sebaliknya golok itu dilontarkan dengan
bagian ujungnya yang runcing dan tajam itu terlebih dulu hingga
tak ubahnya seperti sebatang tombak yang meluncur dan
menyerang.
127
bahkan sikapnya tetap tenang saja, karena guru silat tua ini yakin
bahwa muridnya itu dapat berbuat sebagaimana mestinya!
Akan tetapi Tan Seng Kiat harus merasa malu mengaku murid
kepala dari Can kauw-su kalau ia tidak mampu menyelamatkan diri
dari luncuran golok yang mengarah bagian ulu hatinya. Kalau
hanya berkelit saja, memang tidak susah, akan tetapi disamping
menyelamatkan diri ia harus menangkap golok.
128
mengarah dadanya, ia sekali-kali tidak menjadi gugup karena ia
sudah mempunyai perhitungan yang tepat untuk gerakan yang
dilakukannya. Ia tidak berusaha melompat atau berkelit, melainkan
dadanya sengaja dipentangkan seakan-akan hendak membiarkan
ujung golok itu menancap di ulu hatinya!
Akan tetapi ketika ujung golok yang tajam dan mengerikan hampir
menghunjam dadanya kira-kira sejengkal lagi, pemuda itu
membuat gerakan sedikit yang dilakukannya sangat cepat
sehingga tidak kelihatan. Tubuhnya digoyangkan ke arah kanan
dan lengan kirinya sebatas ketiak agak dipentangkan.
129
sorak mereka lebih gemuruh menandakan bahwa pujian dan
kekaguman mereka terhadap Tan Seng Kiat lebih besar.
“Bagus!” tanpa terasa Lu Sun Pin juga turut memuji dan kemudian
ia merasa malu karena muridnya belum tentu dapat berbuat seperti
itu.
130
“Marilah, kita mulai kawan!” katanya.
“Kedua orang muda, ingatlah senjata yang kalian pegang itu tidak
bermata, maka kalian harus hati-hati, jangan sampai menimbulkan
kerugian antara kita sendiri!”
“Baik……! Baik!” jawab Sim Kang Bu dan Tan Seng Kiat hampir
bersamaan, tanda keduanya maklum akan peraturan pibu yang
sudah ditentukan. Dan pada detik berikutnya keduanya telah saling
serang.
131
goloknya disabetkan ke bawah menyambar ke arah kaki Sim Kang
Bu dan pemuda ini terkejut sekali karena dalam menangkis,
lawannya dapat melanjutkan gerakan goloknya sedemikian rupa,
sehingga kalau ia tidak cepat meloncat, pasti sepasang kakinya
akan terbabat putus!
Bagi para penonton yang tidak mengerti ilmu silat, tentu saja
pertandingan ini membuat hati mereka berdebar dan cemas
karena khawatir kalau-kalau seorang di antara kedua pemuda itu
akan menjadi korban.
132
menyerang, setiap gerakan goloknya selalu diatur dengan
perhitungannya yang tepat.
Akan tetapi hal ini tentu saja tidak diketahui oleh para penonton
yang tidak mengerti ilmu silat tinggi karena mereka hanya melihat
betapa sinar golok di tangan Sim Kang Bu sangat mengerikan,
bagaikan gelombang samudera yang bergulung-gulung memukul
pantai. Sedangkan golok di tangan Tan Seng Kiat berkelebatan
laksana halilintar dan bergulung bagaikan sebuah benteng
pertahanan yang kuat!
133
Sambil berseru keras, pemuda ini tiba-tiba melakukan serangan
yang luar biasa ganasnya, yakni dengan gerak tipu Hong-sauw-
pay-yap atau Angin Menyapu Daun Rontok. Goloknya benar-benar
merupakan angin taufan yang menderu-deru dan menyambar-
nyambar dengan kuat serta cepat sekali sehingga golok itu seakan-
akan menjadi empat batang yang mengancam tubuh lawan dari
empat penjuru!
134
di tangannya berkelebat menyambar dengan serangan Hui-pau-
liu-coan atau Air terjun Bertebaran.
Dan benar saja, serangan ini membuat Sim Kang Bu terkejut dan
gugup dan justeru karena emosinya inilah sebentar saja pemuda
she Sim ini menjadi kewalahan dan mulai mundur, bertempur
sambil mundur berputar-putar. Tan Seng Kiat tidak memberi hati
lagi. Ia terus menghujani dengan serangan yang bertubi-tubi,
sehingga lawannya terdesak dan setiap saat bisa tergelincir jatuh
ke bawah panggung!
135
Oleh karena inilah, maka biarpun sudah terdesak sehingga mundur
terus, namun ia terus saja mengadakan serangan secara nekad
dan mati-matian!
136
telapak tangan yang mencekal gagang golok, terasa sakit dan
pedas!
Tepat dalam detik yang sangat berbahaya bagi Sim Kang Bu, tiba-
tiba terdengar suara keras: “Kang Bu, kau sudah kalah!”
Dan Tan Seng Kiat merasa betapa pundaknya ditolak orang hingga
ia terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan orang yang
datang memisah itu, sekali memegang tangan Sim Kang Bu telah
berhasil menarik pemuda itu turun dari panggung. Kemudian orang
yang memisah itu melompat kembali ke atas panggung dan berdiri
di muka Tan Seng Kiat sambil berkata:
Tan Seng Kiat memandang dan setelah melihat bahwa orang itu
adalah Lu Sun Pin, maka ia menjura sambil berkata: “Terima kasih,
137
Lu Sianseng, aku merasa kagum akan kegagahan saudara Sim
itu!”
Yang terlebih dulu tampil adalah Lu Sun Pin, guru silat dari Tong-
koan Te-it Bu-koan. Ia naik ke atas panggung dengan melakukan
gerak lompat Sin-eng Seng-thian atau Garuda sakti melayang ke
langit, sebuah gerakan yang amat indah dipandang. Sambil
melompat, ia membuka kedua tangannya ke kanan dan ke kiri
138
bagaikan sayap garuda, kedua kakinya ditekuk ke atas seakan-
akan cakar garuda hendak menyambar dan siap mencengkeram
mangsa, tubuhnya seakan-akan telungkup di udara.
139
yang tegak di sebuah sudut lui-tay itu. Seperti seekor monyet
memanjat pohon!
Tentu saja cara Can kauw-su ini kelihatannya lucu dan penonton
pada ketawa ramai. Tetapi mereka yang berpihak kepadanya
menjadi kecewa sekali karena kalau meloncat ke atas panggung
saja tidak becus, bagaimana pula hendak melawan kauw-su dari
Tong-koan Te-it Bu-koan yang benar-benar gagah itu?
Akan tetapi Lu Sun Pin dan Cio wan-gwe yang berdiri di atas
panggung, melihat gerakan yang dilakukan oleh Can Po Goan itu
menjadi kagum dan terkejut. Karena mereka mengetahui bahwa
guru silat tua itu sedang menunjukkan ilmu memanjat Pek-houw-
yu-chong (Cecak merayap tembok) yang hanya dapat dilakukan
oleh seorang yang sudah mempunyai tenaga lweekang tinggi!
Kedua telapak tangan dan kaki Can kauw-su bagaikan kaki tangan
binatang cecak dapat lengket di balok yang bundar licin itu tanpa
terpeleset sedikit juga! Ilmu ini sesungguhnya sepuluh kali lipat
lebih sukar dipelajari daripada meloncat panggung yang tingginya
dua kali panggung ini!
140
sekali membuat panggung ini semakin tinggi, sehingga aku yang
sudah tua ini bersusah payah menaikinya!”
“Ah, Can toako, jangan kau terlalu merendahkan diri,” ujar Cio wan-
gwe. Kemudian hartawan ini berseru kepada para penonton:
141
dan juga untuk mengakhiri persaingan dan permusuhan yang tiada
gunanya itu.
Kedua jago tua itu tampak saling menjura, dan seperti yang sudah
pernah terjadi dalam pada saling memberi hormat keduanya sudah
sama-sama menunjukkan kepandaian mereka. Hanya hal ini tidak
dapat dilihat oleh para penonton yang tidak paham ilmu silat tinggi.
142
Yang mereka lihat hanya ialah kedua jago silat itu saling memberi
hormat biasa.
“Can kauw-su, mari kita tua sama tua mencari penentuan dari pibu
ini. Keluarkanlah senjatamu!” kata Lu Sun Pin kemudian dengan
sikap menantang.
143
Dikatakan dirinya “takut mati.” Can kauw-su menghentikan
senyumnya.
“Sahabat Lu, kau jangan salah raba! Kau sebagai seorang ahli silat
tinggi tentu maklum bahwa bagi seorang yang masih rendah
kepandaiannya, kalau mematahkan sebatang kayu mesti
menggunakan golok atau kampak. Sebaliknya bagi orang yang
ilmunya sudah sempurna, kayu dapat dipatahkan tanpa
mempergunakan senjata tajam apa pun!
144
“Oh, agaknya kau hendak mempertontonkan kepalan saktimu.
Baiklah, kita berpibu tanpa senjata dan kita buktikan kepada umum
kepalan siapa yang lebih ampuh. Memang aku ingin membuktikan
betapa hebatnya julukanmu Po-thauw Sin-kun itu! Maka, Can
kauw-su, majulah kau dan kita bertanding…….!”
145
Akan tetapi berbareng dengan itu tangan kanannya dengan
telapak tangan terbuka membuat gerakan mendorong ke arah
tubuh lawan. Semacam dorongan yang mengandalkan lweekang
tinggi hingga sebelum tangan yang mendorong ini mengenai tubuh
yang menjadi sasaran, angin dorongan itu telah terasa
kekuatannya oleh Can Po Goan.
146
“Dukk!” dua lengan yang sama-sama sebelah kiri dari dua jago silat
ini beradu dengan dahsyatnya yang menyebabkan mereka
terpental mundur sampai tiga langkah. Ke duanya terkejut dan
maklum akan kehebatan tenaga dalam lawan. Ke duanya
merasakan lengan kiri masing-masing sangat sakit dan linu!
147
Sebagaimana sudah diketahui oleh pembaca, bahwa kepandaian
yang dimiliki oleh Lu Sun Pin si Pagoda Besi itu adalah ilmu silat
dari cabang Bu-tong dan karenanya, selain kaki dan tangannya
selalu merupakan bahaya dalam setiap gerakannya, terutama
sekali Lu Sun Pin sangat mahir dalam ilmu thiam-hoat (menotok
jalan darah) model cabang Bu-tong yang disebut Coat-meh-hoat.
148
yang pernah memecahkan banyak dada dan kepala musuh
semasa dalam peperangan dahulu sehingga ia mendapat julukan
Po-thauw Sin-kun atau Kepalan Sakti Pemecah Kepala disamping
julukan Toat-beng-sin-to atau Golok Sakti Pencabut Nyawa berkat
ilmu goloknya yang lihay dan hebat, juga guru silat tua ini memiliki
ilmu weduk yang disebut Tiat-pou-san (Baju besi) yang membuat
tubuhnya kebal menghadapi ilmu totokan dan hal ini sangat tepat
sekali untuk menghadapi ilmu totok dari Lu Sun Pin yang sangat
berbahaya itu!
149
tetapi dalam jurus-jurus berikutnya kekalahannya ini ternyata dapat
ditebusnya dengan baik.
150
Lu Sun Pin yang berangasan dan keras hati, yang ilmu totoknya
telah menjatuhkan banyak lawan semasa ia malang melintang
dalam dunia perantauan, dan yang belum pernah bertempur
sampai enampuluh jurus tanpa menjatuhkan lawan seperti
sekarang ini, jadi sangat gemas dan marah.
151
maka dalam babak terakhir ini. Ia ingin menebus kekalahan-
kekalahan muridnya, karena kalau dalam pertandingan ini ia
berhasil mengalahkan Can kauw-su si guru silat tua itu, maka
kekalahan murid-muridnya dapat ditutup dan ia takkan malu
mempunyai bu-koan yang namakannya nomor wahid di Tong-
koan.
152
Pertempuran sudah memasuki jurus kesembilanpuluh dan pada
suatu saat, Can Po Goan dapat “mencuri” suatu kesempatan baik
dan berhasil mengirimkan pukulan dengan kepalan saktinya yang
dilakukan dengan sepenuh tenaga dalam gerak tipu Pay-in-cut-sui
atau Mendorong Awan Keluar Puncak! Pukulan kali ini benar-benar
tidak keburu ditangkis atau dikelit oleh Lu Sun Pin dan ia hanya
dapat mengerahkan segenap tenaga khi-kangnya ke bagian dada!
153
Benar-benar Can kauw-su merasa kaget dan kagum melihat
kekuatan dan kegagahan lawannya ini, dan disamping itu iapun
sangsi. Apakah benar-benar lawannya demikian kuat sehingga
dapat bertahan terhadap pukulannya yang sedikitnya bertenaga
seratus kati ini tanpa terguling roboh? Ataukah tenaga kepalannya
sendiri yang sudah berkurang karena umurnya yang makin tua ini?
Akan tetapi Can kauw-su tak sempat berpikir terus. Oleh karena
sambil meringis-ringis itu dan setelah melompat maju mendekati,
tiba-tiba dan dengan kecepatan kilat dan sambil menggereng
seperti harimau terluka, Lu Sun Pin menyerang hebat dengan
tangan kanannya.
Maka secara tepat dan cepat sekali kedua, tangan kanan mereka
saling mencengkeram dan saling memegang hingga jari-jari
tangan mereka saling menggenggam. Karena gerakan ini
154
dilakukan berbareng, maka kini mereka tak dapat melepaskan
tangan lagi dan ke duanya mengerahkan tenaga lweekang untuk
menjatuhkan lawan!
155
Orang-orang yang melihat perbuatan Cio wan-gwe ini kaget dan
tercengang. Kaget karena keberaniannya menghampiri dan
memisah dua jago yang sedang bertempur mati-matian dan
tercengang karena mereka selama mengenal Cio wan-gwe, baru
kali ini mereka menyaksikan bahwa hartawan itu ternyata pandai
ilmu silat!
156
ditotok merasa tenaga mereka lenyap dan tangan mereka yang
saling genggam dan saling cengkeram itu lumpuh tak bertenaga,
maka mudah saja mereka dipisahkan oleh Cio wan-gwe dan
didorong ke belakang hingga genggaman masing-masing terlepas.
Adapun Lu Sun Pin ketika itu, tiba-tiba menjura kepada Can kauw-
su dan berkata dengan suara seperti orang yang menahan rasa
sakit:
157
“Can kauw-su, kau benar-benar lihay dan aku Lu Sun Pin secara
jujur mengaku kalah!”
Tubuh Lu Sun Pin lalu digotong oleh para muridnya dan dibawa ke
dalam rumah gedung Cio wan-gwe di bagian kamar obat-obatan
dengan Cio Swi Ho, putera tunggal Cio Wan-gwe sebagai petunjuk
jalan dan juga yang mengambilkan obat dari lemari tempat obat.
158
siuman dari pingsannya. Wajahnya yang tadi pucat dan agak biru,
kini berangsur-angsur segar kembali.
159
dan juga kepada kalian, murid-muridku semuanya, jangan
menaruh dendam dan rasa penasaran terhadap pihak Can kauw-
su, supaya peristiwa seperti yang sudah-sudah, jangan sampai
terulang lagi!”
Ketika itu, Cio wan-gwe masih berdiri di atas panggung dan ketika
melihat Lu Sun Pin sudah hadir pula di tempatnya dalam keadaan
segar bugar berkat kemanjuran kim-tannya, maka ia mengangguk
sambil tersenyum dan berkata:
160
“Syukurlah dan tadi, selagi kau berada di dalam, telah kuumumkan
bahwa pertandingan antara kau dengan Can kauw-su telah
dimenangkan oleh Can kauw-su. Bagaimana, kau setuju?”
161
Kemudian setelah dilihatnya Lu Sun Pin keluar lagi dalam keadaan
tidak kurang suatu apa dan dilihatnya pula Can Po Goan masih
duduk bersamadi, sedangkan suara para penonton yang berisik itu
kini sudah berkurang, maka Cio wan-gwe lalu menghadap ke arah
para penonton dan berkata lantang:
“Pibu bebas boleh diikuti oleh setiap orang dan harus ingat, asal
saja yang menjadi penduduk wilayah kota Tong-koan. Untuk
mempersingkat waktu kami beri ketentuan sebagai berikut:
162
atau dapat juga disebut sebagai penantang pertama, naik ke
panggung!”
Semua orang, yaitu para penonton, Cio wan-gwe, Lu Sun Pin dan
Can Po Goan, bukan main terkejutnya karena mereka umumnya
sudah mengenal bahwa orang itu adalah Ji Tay-ong (Raja Kedua)
atau wakil kepala dari gerombolan perampok, yang bernama Ciam
163
Tang berjuluk Srigala Hitam, yang sering memimpin anak buahnya
melakukan “operasi” di kota Tong-koan selama ini.
164
karena kehadiran orang ini benar-benar diluar keinginan mereka.
Ciam Tang adalah musuh rakyat, karena terkenal kekejaman dan
kebiadabannya.
“Eh, sahabat! Bukankah kau ini wakil kepala garong yang bergelar
si Srigala Hitam?” demikian tegur Cio wan-gwe dengan dada
berdebar-debar, bukan karena merasa takut, akan tetapi karena
sangat marah melihat kekurang ajaran orang itu yang terang-
terangan menghinanya.
165
sanjungan dari orang, bukan main murkanya sehingga ia
membentak: “Bedebah! Siapa yang memberi kau izin mencampuri
urusanku ini?”
“Hahaha! Aduh galaknya tuan Cio ini kalau siang hari dan
dihadapan orang banyak, tapi kalau setiap kali aku bertamu ke
rumahmu, mengapa badanmu menggigil seperti orang diserang
penyakit demam mendadak……?
“Eh, tuan Cio, kau bertanya bahwa siapa yang memberi izin aku
turut serta dalam pibu ini? Lupakah bahwa kau tadi menyerukan
bahwa setiap penduduk dalam daerah Tong-koan, berhak menjadi
pang-cu dan Tong-koan Hohan melalui sayembara yang kau
selenggarakan ini. Karena akupun penduduk daerah Tong-koan,
maka aku pun berhak memperebutkan kedudukan pang-cu dan
gelar kehormatan yang hebat itu! Ha, ha, ha…….!”
166
seorang ahli silat. Dan sambil bertolak pinggang, ia melampiaskan
hawa amarahnya:
Si Srigala Hitam yang bengis itu kembali ketawa bergelak. “Ha, ha,
ha! Cio wan-gwe, kenapa kau melanggar peraturan yang kau
keluarkan sendiri? Bukankah tadi telah kau katakan bahwa setiap
orang penduduk Tong-koan boleh turut serta dalam lomba yuda
tanpa pengecualian?!
“Kalau sejak tadi kau terangkan bahwa dalam hal ini ada
pengecualian, yakni tegasnya aku dan orang-orang dari golongan
kami tidak diperbolehkan, sudah tentu akupun tidak sudi naik
panggung sandiwara badut ini! Namun, sekarang, setelah aku
berdiri di atas lui-tay ini, tidak nanti aku mau turun begitu saja dan
agaknya kau sendiri hendak mengusirku? Boleh, cobalah……! Ha,
ha, ha!”
167
berkata pula. Melainkan dengan sebat ia mengirim tendangan kilat
ke arah selangkangan Ciam Tang sambil berseru:
“Enyahlah!!”
168
Inilah serangan pertama yang berbahaya dan sekali saja
tendangan ini mengenai sasaran, jiwa yang diserang sukar
ditolong lagi! Dilihat dari gerak tendangan Lian-hoan-twi ini, maka
jelaslah bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Cio Wan-gwe adalah
sama dengan Lu Sun Pin, yaitu dari cabang Bu-tong!
169
wan-gwe tidak ampun lagi terlempar ke bawah panggung. Cio wan-
gwe sudah memiliki gin-kang tinggi dan ketika tubuhnya
dilontarkan, ia membuat salto di udara, sehingga ketika jatuh di
bawah panggung, ia dalam keadaan berdiri!
170
Tiba-tiba tampak seorang pemuda melompat ke atas panggung,
tangannya memegang pedang dan berseru: “Eh, manusia biadab,
akulah lawanmu dalam babak kedua ini!”
171
banyak cakap lagi ia maju menubruk sambil menyabetkan
pedangnya ke arah leher Ciam Tang.
“Ha, ha, ha! Segala macam cacing pisang, mana bisa bermain-
main denganku!” kata Ciam Tang dan tiba-tiba terdengar suara
“pletakk!” ternyata pedang yang dirampas tadi telah dipatahkan
172
menjadi dua potong dan yang hebat sekali, ia mematahkan pedang
itu hanya dengan menggunakan tekanan jari telunjuk dan ibu jari
saja.
Can Po Goan yang ketika itu sudah pulih kembali tenaga dan
semangatnya, maklum bahwa si Srigala Hitam itu sudah
menantangnya. Seperti sudah diterangkan, bahwa guru silat tua ini
tidak mempunyai maksud untuk merebut kedudukan ketua Pauw-
an-tui. Setelah mengalahkan Lu Sun Pin ia sudah merasa cukup
puas dan apabila dari pertandingan acara bebas yang menyusul ini
keluar seorang gagah dan bertanding dengannya, ia sengaja akan
mengalah!
173
lamanya sambil menanti kalau-kalau ada orang lain yang akan
menghadapi si Srigala Hitam itu.
Tetapi ternyata tiada orang yang muncul ke atas lui-tay berarti tiada
orang yang berani bertanding dengan wakil kepala perampok yang
sudah diketahui kelihayannya ini, sedangkan sementara itu si
Srigala Hitam sudah berkali-kali melirik kepadanya yang
dimakluminya sebagai tantangan. Guru silat tua ini beranjak dari
tempat duduknya dan sekali saja tubuhnya bergerak, dalam
sekejap ia sudah berada di atas panggung dan berhadapan
dengan Ciam Tang yang menyambutnya dengan ketawa besar.
“Oh, kiranya yang naik ini adalah Can locianpwee?! Mengapa kau
terburu-buru naik? Bukankah tuan panitia tadi menentukan bahwa
peserta lomba yuda bebas ini harus menangkan perkelahian dulu
sampai tiga kali, dan baru bertanding dengan Can locianpwee,
padahal aku baru saja bertanding dua kali?!”
174
Ciam Tang bertanya kepada Can kauw-su dengan sikap seperti
orang yang sungguh-sungguh menghormat. Sedangkan wajahnya
jelas sekali berseri-seri sombong.
175
su bukan seorang pengecut, betapapun juga ia akan
mengandalkan kepandaian yang dimilikinya dan berusaha
merobohkan lawan yang sudah nyata sekali ketangguhannya itu,
demi kebaikan nama dan kehormatannya dan demi kepentingan
Pauw-an-tui!
“Tidak! Kau lebih muda dariku dan juga karena kau sebagai
penantang, maka sepantasnya kaulah yang maju lebih dulu!” balas
Can kauw-su sambil memasang kuda-kuda yang teguh.
Menyuruh lawan maju dan ia sendiri menanti, ini adalah tata cara
yang sopan dalam pibu maupun dalam saat memulai perkelahian.
Memberi kesempatan kepada lawan untuk bergerak lebih dulu
dianggap kelakuan sopan dan penghormatan, karena pada
umumnya di kalangan persilatan, yang menyerang lebih dulu
dianggap telah menang setingkat atau boleh juga disebut menang
set.
Akan tetapi bagi para yang sudah tinggi ilmu kepandaiannya, hal
ini bahkan sebaliknya. Mereka tahu bahwa sikap yang terbaik ialah
menanti lawan bergerak lebih dulu, oleh karena pihak yang
diserang dapat berlaku lebih waspada dan hati-hati, dapat melihat
permulaan gerakan lawan lebih dulu.
176
Sehingga dengan demikian, ia dapat membuat perhitungan secara
tepat betapa untuk menyambut serangan lawan itu, yaitu
menangkis, mengelak dan kemudian dapat melancarkan serangan
balasan yang lebih berbahaya karena sukar dijaga oleh si
penyerang yang bergerak lebih dulu itu. Hal ini diketahui baik oleh
Can kauw-su, ia selalu menyuruh pihak lawan membuka serangan
lebih dulu.
Ciam Tang kembali ketawa bergelak ketika melihat guru silat tua
itu sudah memasang kuda-kuda dan sambil tertawa-tawa
mengejek ia melangkah dua tindak mendekati Can kauw-su serta
mulai menyerang dengan pukulan tangan kanannya ke arah pelipis
orang tua itu, sambil membentak, “Awas pukulan geledekku!”
177
Dan demikianlah, pada detik berikutnya ke dua orang itu sudah
terlibat dalam suatu pertempuran yang bukan sekadar mengukur
kepandaian, akan tetapi lebih tepat disebut usaha pembunuhan!
178
Sudah beberapa kali ia mencoba mengukur tenaga dalam, dan
kenyataannya ia selalu terpental dan terhuyung-huyung!
Tiga jari Ciam Tang itu, yakni telunjuk, jari tengah dan jari
manisnya, baik dari tangan kanan maupun kiri, biarpun tidak
runcing akan tetapi dapat menembus kulit dan daging. Dan
celakalah Can kauw-su kalau sampai terkena secara telak oleh
totokan yang dapat menembus dinding bata dengan sekali tusuk
itu.
Apalagi Ciam Tang berhati kejam dan ganas sekali. Terbukti dari
serangan-serangannya yang selalu ditujukan ke bagian-bagian
yang berbahaya dari tubuh lawannya, yakni jari tangan yang kuat
itu ditusukkan secara bertubi-tubi ke arah leher, lambung, perut,
mata dan pusar secara sambung menyambung sehingga Can
179
kauw-su menjadi sibuk sekali menangkis, mengelak dan sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas.
Dan diam-diam orang tua ini hatinya mengeluh karena segala ilmu
kepandaian yang dimilikinya ternyata sama sekali tidak berdaya
menghadapi kelihayan Ciam Tang! Biarpun Can kauw-su sudah
kewalahan dan napasnya sudah terempas-empis dan ia terus
terdesak mundur, akan tetapi ia masih belum menerima kalah.
Juga tidak ada kesempatan untuk mengaku kalah, karena Ciam
Tang sambil tertawa-tawa mengejek terus mendesak dengan
serangan-serangan maut!
180
Akan tetapi Ciam Tang tidak mau berhenti dan terus maju
menyerang dengan tusukan jari tangan kanannya ke arah uluhati
yang tentu akan mendatangkan maut apabila terkena. Can kauw-
su cepat menjatuhkan dirinya untuk mengelak dari serangan maut
ini, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Ciam Tang menyamber
sehingga tubuh guru silat tua ini terguling di atas panggung.
181
Akan tetapi tiba-tiba Ciam Tang mengerang dan kakinya yang
ditendangkan itu sebelum mengenakan sasaran ditarik kembali.
Sambil menggigit bibir menahan sakit, ia melihat ke arah
sepatunya dan ia melihat bahwa sepatunya berlubang dan kakinya
luka, biarpun hanya luka kecil saja, akan tetapi mendatangkan rasa
sakit bukan main! Dan tidak jauh dari kakinya, ia melihat sebutir
batu kecil.
Dan semua orang merasa heran sekali, mengapa si bengis itu tiba-
tiba menjadi marah?!
Sebagai sambutan pada makian Ciam Tang itu tiba-tiba dari bawah
panggung, yaitu dari para penonton, tampak bayangan biru
dengan gerakan gesit sekali seperti seekor burung walet. Dan
tahu-tahu di depan Ciam Tang telah berdiri seorang pemuda yang
tampan dan gagah.
183
“Tidak salah dan memang akulah yang menyambitmu, Ji-tay-ong!”
jawab pemuda itu dan dengan wajahnya tetap berseri-seri berkata
lagi: “Ji-tay-ong, tadi kau memakiku dengan menyebut bangsat keji
yang curang, sebenarnya kekejian dan kecurangan manakah yang
telah kulakukan terhadapmu?!”
“Baru kau kusambit dengan sebuah kerikil saja kau telah memakiku
curang, keji dan pengecut! Akan tetapi sebaliknya kau sendiri, yang
sok mengepalai perampokan, pembunuhan, pembakaran, dan
184
penculikan, dapatkah perbuatanmu itu disebut perbuatan gagah
dan terhormat?!”
185
“Kau siapakah maka berani benar kau berlaku kurang ajar
terhadapku? Siapakah namamu?” bentak Ciam Tang dengan
tangan terkepal karena menahan marahnya.
187
Can kauw-su yang tangguh tadipun dapat dibikin tidak berdaya
hanya dalam belasan jurus saja, maka bocah yang masih ingusan
ini masak tidak dapat dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan
saja, pikirnya.
Akan tetapi, benar-benar Ciam Tang tidak mengerti dan juga tidak
mengenal ilmu silat apa yang dimainkan oleh pemuda itu. Memang
Souw Bun Liong cara bersilatnya aneh sekali.
188
Ciam Tang, dengan segala kegesitannya tak ubahnya seperti
sedang melawan sebuah patung saja. Tidak bergerak, tidak
mengejar, namun tidak dapat didekati karena selain tangkisannya
yang selalu jitu, juga pukulan balasan yang dilakukan pemuda itu
sangat berbahaya sekali walaupun seakan-akan dilakukan sambil
berdiri diam saja!
189
setelah benaknya menelurkan siasat ini, Ciam Tang berseru
marah:
190
yang tinggi besar seperti raksasa itu bergulingan di atas panggung
kemudian menggelinding dan jatuh ke bawah!
“Souw sicu, kau benar-benar gagah dan aku berterima kasih sekali
kau dapat mengalahkan si Srigala Hitam yang muncul ke sini
hendak mengacau upacara yang kita selenggarakan ini!”
191
Pemuda she Souw itu balas menghormati dan berkata, “Cio tayjin,
siauwtee tidak berani menerima pujian dan ucapan terima kasihmu
itu, oleh karena hal yang terjadi tadi hanya secara kebetulan saja.”
Jawaban ini yang bagi orang lain hanya berupa jawaban biasa saja
dari seorang pemuda yang tidak mau menyombongkan
kepandaian dan menonjolkan nama gurunya. Akan tetapi bagi
telinga Cio Wan-gwe, Can Po Goan dan Lu Sun Pin yang juga
mendengarnya, jelaslah pemuda itu sudah memberikan
penyahutan yang selengkapnya.
192
“Oh…… kiranya Souw sicu ini adalah murid dari Bu Beng
Locianpwee!” kata Cio wan-gwe menegaskan dengan wajah
berseri karena hatinya dipenuhi perasaan kagum, sambil menatap
wajah pemuda yang tampan itu.
“Tak salah, tayjin, Bu Beng Lojin (Orang tua tidak bernama) yang
Bu-pun-su (tidak berkepandaian) itu memang suhu siauwtee, maka
harap tayjin sudi memaafkan siauwtee yang bodoh telah lancang
turut serta dalam acara pibu bebas yang tayjin selenggarakan ini.”
193
Tong-koan Hohan menjadi milikmu, Souw sicu! Hal ini benar-benar
akan membuat kami gembira bila kau tidak menampiknya.”
194
Setelah berkata begitu dan sebelum Souw Bun Liong sempat
mengajukan sanggahan lebih jauh terhadap kata-kata si hartawan
yang bersifat menyanjung itu, Cio wan-gwe telah menghadap ke
arah para penonton dan berkata nyaring:
“Bagus!!!” seru Cio Wan-gwe dengan hati puas dan tanpa menoleh
lagi kepada Souw Bun Liong yang berdiri di belakangnya, hartawan
itu lalu berpidato pula:
“Kecuali kalau hal ini dikehendaki oleh Souw sicu sendiri dan
mendapat persetujuan kami selaku ketua panitia pembentukan
organisasi massa ini. Sekian, harap cuwi maklum dan sekarang
kami mulai menghitung: Satu…..! Dua…..!! Tiga…..!!!
196
Dan seterusnya Cio wan-gwe menghitung sambil menggerak-
gerakkan lengan kanannya ke atas dan ke bawah, seakan-akan
seorang wasit sedang menghitung bagi seorang petinju yang roboh
dalam keadaan semaput di atas gelanggang!
“Hidup Pauw-an-tui……!!!”
Souw Bun Liong maklum bahwa sorak sorai itu adalah berupa
pujian baginya, maka ia lalu menjura terhadap mereka. Akan tetapi,
197
mendadak, sorak sorai berhenti dan semua orang memandang ke
atas panggung dengan mulut setengah ternganga karena hati
mereka terkesiap dan terkejut!
Dua orang itu, yang seorang berbadan tinggi kurus dan berwajah
kecil lancip seperti potongan muka kambing gunung. Pakaiannya
serba hitam dan di pinggangnya menyoren pedang. Dan yang
seorang lagi, baik pakaian yang dikenakan maupun senjata yang
dibawanya sama seperti kawannya, hanya bedanya orang ini
tubuhnya tegap kekar dan wajahnya tampak angker apalagi karena
kulit mukanya berwarna sedemikian hitam seperti pantat kuali,
maka benar-benar orang ini tampaknya sangat menyeramkan!
Kedua orang, ini adalah dua tokoh dari bajak sungai yang
mempunyai nama julukan Huang-ho-ji-go (Sepasang Buaya
Sungai Kuning) dan masing-masing bernama Bu Kiam dan Bong
Pi. Huang-ho-ji-go ini dalam kedudukan “pangkat” dalam bajak
sungai, setingkat lebih bawah dari si Raja Bajak Huang-ho Sin-mo
Ma Gu Lim.
198
Dan sepasang Buaya Sungai Kuning ini dalam melakukan
“operasi”, tak kalah jahat, kejam dan tinggi ilmu silatnya dari pada
si Srigala Hitam Ciam Tang tadi! Itulah sebabnya. maka ketika
semua orang melihat dua orang penjahat ini muncul serempak
menghentikan sorak sorai mereka dan hati mereka terkesiap serta
terkejut!
199
“Maka tampilnya kami ke sinipun bukan bermaksud hendak
merebut sesuatu kedudukan, melainkan kami hanya ingin menjajal
betapa kosennya pangcu yang masih muda ini, maka inilah
sebabnya kami sengaja tampil sesudah hitungan wan-gwe tadi
habis!”
200
sendiri. Souw Bun Liong maklum akan apa yang dimaksud oleh
hartawan itu, maka dengan sinar mata tajam, ditatapkan kepada
kedua orang itu, ia berkata,
“Kita coba saja, saudara Bu,” balas Souw Bun Liong sambil bibir
mengunjukkan senyum sindir, “Dan supaya dikatakan benar-benar
adil seperti kata saudara Bong tadi, bahwa aku mesti bertempur
menghadapi tiga orang lawan lagi, maka untuk mempercepat
wakku, sebaiknya kau panggil seorang kawanmu lagi dan kalian
boleh maju bersama-sama!”
201
ilmu pedangnya, apalagi bila mereka maju bersama-sama.
Demikian juga semua orang merasa tercengang dan hati mereka
menjadi cemas, karena mereka pun menganggap bahwa pemuda
itu terlalu gegabah.
Tanpa banyak cakap lagi Cio wan-gwe turun dari panggung lalu
duduk di kursi dengan perasaan tegang dan dada berdebar.
203
Akan tetapi ternyata Souw Bun Liong cukup waspada. Sambil
berseru, “Bagus!” secepat kilat ia miringkan tubuhnya ke kiri,
sehingga tusukan pedang Bu Kiam meleset di sisi tubuhnya. Dan
sambil dengan menggunakan dua jari tangannya yang terbuka,
yaitu jari telunjuk dan jari tengah, diluncurkan dengan gerakan
hendak mencokel ke dua mata Bu Kiam.
204
Ternyata suara “Plak!” itu adalah suara tangan Bun Liong yang
menghantam pergelangan Bu Kiam secara jitu dan keras sekali
sehingga pedang terlepas dari cekalan si muka kambing dan jatuh
di atas papan panggung. Adapun suara “Blug” itu adalah tubuh Bu
Kiam yang jatuh dalam keadaan duduk sambil menggereng
nyaring dan tangannya mengurut-urut lutut yang di”cium” oleh
sepatu pemuda tadi.
Untuk sejenak suasana sepi saja oleh karena semua orang diam
keheranan. Mereka tidak mengerti bagaimana pemuda baju biru itu
hanya dalam segebrakan saja telah berhasil melepaskan pedang
lawan dari cekalan si pemiliknya dan bahkan membuat pula si
Muka Kambing yang terkenal kelihayannya itu jatuh sambil
mengurut dengkul.
Namun keadaan sepi itu hanya sebentar saja, karena pada detik
berikutnya, ketika melihat Bu Kiam mengurut-urut dengkulnya
dengan wajahnya yang seperti kambing meringis-ringis sehingga
kelihatan lucu sekali, maka pecahlah sorak sorai mereka disertai
suara ketawa yang terbahak-bahak.
205
“E-eh! Kenapa kau ini, saudara Bu? Agaknya kau pelelah benar,
sehingga baru bermain-main segebrakan saja kau sudah
melepaskan pedang dan duduk istirahat! Coba kalau kau menurut
kata-kataku tadi kau maju berdua, boleh jadi rasa lelahmu takkan
datang secepat ini!”
206
akan membuktikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedang kalian
yang sudah tersohor itu. Nah! Mulailah!”
Muka Bu Kiam yang lancip kecil itu menjadi merah, mungkin saking
mendongkol atau marahnya. “Baiklah, orang muda she Souw, kami
berdua maju bersama-sama adalah atas kehendakmu dan bukan
karena kami ingin mengeroyokmu!”
207
Akan tetapi Souw Bun Liong sungguh tidak memalukan kalau ia
mendapat gelar Tong-koan Hohan. Karena sekalipun tidak
memasang kuda-kuda sebagaimana biasanya seorang ahli silat
hendak bertempur, ia sudah mempunyai perhitungan yang
seksama betapa untuk menghadapi serangan itu.
Guna mengelak dari dua serangan atas dan bawah itu, dengan
sesigap kijang melompat, ia melompat ke depan yang selain
hendak menyelamatkan diri dari ke dua serangan yang berbahaya
tadi. Juga ia bermaksud akan mengambil kedudukan berhadapan
dengan ke dua lawannya.
208
Kalau pedang Bu Kiam misalnya menyerang dari atas, maka
pedang Bong Pi menyerampang ke bawah, dan kalau yang
seorang mengarah dada, maka tentu yang lainnya menghantam
punggung dan demikianlah seterusnya, sehingga benar-benar
pemuda itu selalu terkurung serta dihujani serangan pedang yang
selalu hendak “menggunting” tubuhnya!
Ternyata Souw Bun Liong pun bukan seorang muda yang bodoh.
Ia maklum bahwa kalau dalam pertempuran ini ia terus menerus
211
main berkelit saja, tentu sukar sekali akan mencapai kemenangan,
bahwa banyak sekali bahayanya ia akan terluka oleh pedang yang
menyerang bertubi-tubi bagaikan hujan lebat itu.
Masih untung ke dua orang itu karena Bun Liong tidak bermaksud
mencelakakan mereka. Maka serangan yang seharusnya
dilakukan dengan kepalan ke dua tangannya itu telah sengaja
dirobah menjadi totokan yang jitu sekali mengenai sasarannya dan
membuat kedua “buaya” itu menjadi lemas dan seluruh tubuh
mereka seperti mendadak menjadi lumpuh.
213
dalam keadaan tidak dapat bergerak, maka Bun Liong yang
memang tidak bermaksud jahat terhadap ke dua “buaya” ini, lalu
menghampiri mereka. Dan dua kali tangannya bergerak menepuk
tubuh mereka di bagian yang ditotoknya tadi, maka Bu Kiam dan
Bong Pi lalu bangun sambil meringis-ringis.
214
“Souw sicu, kau sungguh gagah dan kepandaianmu benar-benar
lihay, maka pantaslah kau menempati kedudukan ketua Pauw-an-
tui dan menjadi Tong-koan Hohan! Kekalahan kami berdua kali ini,
kami terima dengan perasaan tidak menyesal sedikitpun, hanya
kami masih ingin mencoba dan menjajal pertempuran kita dalam
bentuk barisan, yaitu kami akan memimpin anak buah kami dan
kau memimpin anggauta Pauw-an-tui mu, kita akan bertemu dalam
suasana yang lebih ramai di tempat yang akan kami tentukan
kemudian.”
Ketika itu tampak Cio wan-gwe, Can Po Goan dan Lu Sun Pin yang
melompat naik ke panggung untuk menyampaikan ucapan selamat
kepada Souw Bun Liong. Akhirnya setelah pemuda ini menerima
pesan dari Cio wan-gwe supaya pada keesokan harinya datang
lagi untuk mengadakan perundingan selanjutnya, dan setelah
diajak singgah dulu ke rumah gedung barang sebentar yang
ditolaknya dengan halus, maka pemuda itu lalu minta diri dan
meninggalkan mereka.
215
Souw Bun Liong berjalan pulang di antara sekian banyak orang
yang mulai bubar. Wajah mereka berseri-seri mencerminkan
harapan bahwa dengan terbentuknya Pauw-an-tui yang dikepalai
oleh seorang muda tampan serta berilmu kepandaian yang sangat
tinggi itu, mereka yakin bahwa kesulitan penghidupan dan
keamanan kota mereka yang sudah sangat menyedihkan akibat
dari gangguan gerombolan perampok dan bajak sungai, akan
segera dapat ditanggulangi!
<>
216
Akan tetapi ketika Bun Liong mendengar suara wanita yang
memanggil namanya, pemuda ini mau tak mau jadi menoleh. Dan
kemudian menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya
menghadap orang yang memanggilnya itu.
Untuk sejenak Bun Liong seperti kesima karena heran dan kagum
akan kecantikan dara muda yang sedang tunduk seperti kemalu-
maluan itu. Ia heran karena dara muda yang secantik itu berani
mengunjukkan dirinya dengan terang-terangan di depan umum,
sedangkan para wanita muda di kota Tong-koan yang genting itu
umumnya selalu menyembunyikan diri karena takut oleh penjahat!
Bun Liong beranggapan bahwa wanita dan dara jelita itu tentu
bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak terlihat
membawa senjata diam-diam Bun Liong yakin bahwa mereka pasti
217
orang kang-ouw. Sebab kalau tidak, mereka tak mungkin akan
seberani itu memasuki kota.
Wanita setengah tua itu makin berseri tanda bahwa hatinya merasa
lega dan puas.
“Ah, tentu kau lupa kepada kami karena kami pun, kalau tidak
mendengar bahwa yang merebut kedudukan ketua Pauw-an-tui
dan mendapat julukan Tong-koan Hohan bernama Souw Bun
218
Liong. Dan kemudian aku mendapat penjelasan darimu sendiri
bahwa kau adalah putera dari Souw Cian Ho, pasti takkan
mengenalmu lagi.
“Benar, bibi. Dan kalau tak salah, bocah perempuan yang cengeng
itu adalah nona yang berada di belakang bibi ini, bukan?”
“Benar, dia inilah kawan bermainmu dulu dan namanya tentu kau
masih ingat……”
219
“Ho Yang Hoa……” tiba-tiba saja, sehabis menyebut tiga suku kata
nama dari dara baju putih itu, Bun Liong menutup mulut dengan
telapak tangannya.
Akan tetapi ternyata nona Ho Yang Hoa tidak marah dan gadis ini
hanya melempar kerling tajam terhadap pemuda bekas kawan
bermainnya itu. Seperti juga ibunya, agaknya dara ini merasa
gembira bertemu dengan pemuda kawan lamanya yang selain
berkepandaian tinggi, juga kawan yang dulu nakal dan jail suka
220
mengganggunya kini ternyata telah menjadi seorang pemuda
tampan dan gagah.
221
“Pek-bo, kalian datang hanya berdua saja, mengapa tidak bersama
pek-hu (paman)?” tanya Bun Liong kemudian karena pemuda ini
heran melihat nyonya Ho dan puterinya ini mengadakan perjalanan
sejauh itu, yakni dari kota besar See-an ke Tong-koan, hanya
berdua saja.
Bun Liong tidak berani bertanya lebih jauh lagi dan diam-diam hati
pemuda ini merasa terkejut dan terharu sekali mendengar Ho Kim
Teng, yaitu suami nyonya ini telah meninggal dunia dalam keadaan
penasaran. Maka pemuda ini dapat segera menebak bahwa
nyonya dan puterinya sedang melakukan perantauan untuk
mencari musuh dari mendiang suaminya.
222
Walaupun sudah berpisah selama sepuluh tahun Bun Liong masih
ingat benar bahwa semasa mereka sama-sama bertinggal di kota
See-an dan bertetangga sebelah menyebelah. Ho Kim Teng
adalah seorang kawan karib dari ayahnya dan bahkan mereka
pernah mengadakan kerjasama membuka perusahaan pengantar
barang (piauw-kiok).
Hubungan antara Ho Kim Teng dan Souw Cian Ho, yakni ayah Bun
Liong, sangat erat sekali sehingga mereka telah saling
mengangkat saudara. Dan karenanya maka Bun Liong memanggil
Ho Kim Teng dengan sebutan paman dan bibi terhadap nyonya
Ho.
223
Untuk ini, penulis merasa lebih baik menuturkan secara terperinci,
yaitu dimulai dari Souw Cian Ho masih menjadi piauw-su dan
betapa Souw Bun Liong mendapat gemblengan dari seorang
kakek sakti. Karena dalam hal ini selain banyak terjadi peristiwa-
peristiwa yang menarik hati dan menegangkan, juga mempunyai
sangkut paut yang sangat penting dengan kelanjutan cerita ini.
224
seorang putera yang bernama Souw Bun Liong dan dari pihak Ho
Kim Teng, seorang puteri, nona Ho Yang Hoa. Pada waktu itu Bun
Liong baru berumur sepuluh tahun dan Yang Hoa dua tahun lebih
muda.
225
asalnya, yaitu dusun Lo-kee-cun yang terletak di sebelah barat
kota Tong-koan. Adapun perusahaan piauw-kioknya telah diserah
terimakan kepada Ho Kim Teng yang terus melanjutkannya.
Waktu itu Souw Bun Liong telah berusia duabelas tahun. Semenjak
pindah dari See-an, di dusun Lo-kee-cun anak ini tidak bersekolah
lagi, maka disamping membantu pekerjaan ayahnya, ia menerima
latihan silat dari ayahnya dan ternyata anak ini mempunyai bakat
yang sangat baik.
226
sekali, banyak terdapat binatang-binatang seperti babi hutan,
kijang dan sebagainya.
Kalau para pemburu sampai ke dalam hutan yang jauh lebih jauh
lagi, yaitu di dekat kaki gunung Hoa-san yang puncaknya tampak
menjulang tinggi kalau dilihat dari dusun Lo-kee-cun, maka para
pemburu sering menemukan harimau!
227
bekerja sama dalam hal berburu, pergi berburu lagi. Dan seperti
biasanya Souw Bun Liong tidak pernah ketinggalan.
Akan tetapi hari itu agaknya merupakan hari sial bagi mereka,
karena setelah mereka menjelajahi hutan belukar sampai lewat
tengah hari, baru tiga ekor kelinci saja yang mereka dapatkan.
Sedangkan biasanya, di dalam hutan yang masih jauh dari kaki
gunung Hoa-san, sedikitnya mereka sudah memperoleh dua ekor
babi hutan atau kijang.
“Ayah! Tolong……!!”
Adapun Bun Liong ketika itu sudah pingsan dan berada di dalam
pelukan sepasang lengan yang panjang dari makhluk itu. Agaknya
makhluk hitam yang ternyata lutung besar itu merasa kaget ketika
melihat ada orang yang tiba-tiba muncul di depannya, maka
dengan dipindahkannya tubuh anak lelaki itu ke atas pundaknya
dan sambil memanggul anak itu, ia membalikkan diri sehingga
tampaklah ekornya yang panjang dan melingkar ke atas.
229
Ketika Souw Cian Ho melihat makhluk hitam itu hendak
menyingkirkan diri sambil membawa anaknya. Hatinya yang tadi
terkejut kini menjadi marah dan terdengar ia mengeluarkan seruan
nyaring dan panjang sehingga bergema di udara hutan yang
angker dan sepi itu, dan tahu-tahu tubuhnya meloncat melayang
dan menubruk punggung makhluk itu dengan menggunakan gerak
tipu Macan Lapar Menubruk Kambing.
230
dari tenaganya sendiri. Maka bukan main heran dan kagetnya ahli
silat bekas piauwsu ini, dan sebelum ia sempat melakukan gerakan
yang lebih jauh lagi tiba-tiba tubuhnya terguling dalam keadaan
terjengkang!
231
mempergunakan ilmu lari cepatnya, ternyata sebentar saja ia
sudah ketinggalan jauh, apalagi ke sepulah orang kawannya yang
tidak memiliki kepandaian silat, mereka tertinggal jauh di belakang
sambil berlari-lari pontang-panting!
Makhluk hitam atau lutung besar itu terus berlari mendaki bukit dan
kemudian lenyap dari penglihatan Souw Cian Ho karena
menyelinap di antara pepohonan yang lebat dan rungkut.
Walaupun bingung, cepat putus asa dan terus saja lari ke atas bukit
yang merupakan kaki gunung Hoa-san itu karena betapapun juga
ia sudah nekad akan terus mencari dan bertempur mati-matian
dengan makhluk itu untuk membela putera tunggalnya.
232
Keadaan di situ seakan-akan mati, tak tampak sesuatu yang
bergerak dan tiada terdengar sesuatu yang berbunyi. Benar-benar
hutan itu menyeramkan dan tak mudah diterka rahasia apakah
yang terkandung di dalamnya!
233
Berbeda dengan harimau yang lain atau harimau-harimau yang
pernah menjadi korban buruannya. Harimau itu bulunya berwarna
putih bersih seperti kapas dan karena binatang itu kini sudah berdiri
menghadap kepadanya, maka Souw Can Ho dapat melihat bahwa
mata binatang itu mengeluarkan sinar kuning yang berkilauan dan
memandang kepadanya sambil mengembang-ngempiskan
hidungnya dan memperlihatkan gigi serta taringnya yang tajam!
Akan tetapi, biarpun binatang itu sudah maklum bahwa kini dirinya
dikepung oleh sekawanan manusia yang masing-masing
membawa senjata, namun sikapnya tenang-tenang saja dan
matanya melirik ke arah mereka dengan pandangan seperti acuh
tak acuh!
234
ia cepat meloncat ke depan sambil menyabetkan pedangnya ke
arah leher harimau itu.
235
Akan tetapi lagi-lagi Souw Cian Ho dan juga kawan-kawannya
menjadi heran, harimau dapat melayani serangan mereka secara
mengagumkan. Tubuhnya yang besar bergerak kian kemari
dengan dan ringan untuk mengelitkan setiap serangan, dan
disamping menyampok senjata mereka, juga kedua kaki depannya
dapat melakukan tangkisan secara jitu dan baik sekali!
Dalam gerak geriknya, binatang itu seperti yang paham ilmu silat
sehingga setiap serangan dari ke sebelas orang pengeroyok itu,
selalu dapat dielakan, disampok dan ditangkisnya!
236
Gerakan ini ternyata membawa akibat yang hebat sekali, tahu-tahu
sepuluh pengeroyoknya telah jatuh bergulingan dan tubuh mereka
terpental sejauh dua tombak! Hanya Souw Cian Ho seoranglah
yang tidak, karena dengan menggunakan gin-kangnya ia cepat
melompat ke belakang sehingga dirinya terhindar dari “dupakan”
harimau ajaib itu!
237
Akan tetapi ternyata ia kecele. Hanya dengan menggerakkan
kepalanya sedikit saja harimau itu sudah dapat mengelakkan
samberan pedang yang mengarah tengkuknya, dan sebelum kaki
Souw Cian Ho hinggap ke bumi, ketika tubuhnya melayang turun,
tiba-tiba ekor harimau itu bergerak dan dengan mempergunakan
ujungnya telah menotok dada.
Ternyata ujung ekor harimau itu telah berhasil menotok jalan darah
touw-hing-hiatnya yang membuat seluruh tubuhnya kaku seketika!
238
Kesepuluh orang kawannya yang terpental dan berjatuhan tadi,
setelah melihat harimau itu pergi, baru berani bergerak dan
berusaha bangun, lalu menghampiri Souw Cian Ho. Mereka heran
karena sungguhpun keadaan orang ini sadar, namun seluruh
tubuhnya kejang seperti mayat dan tidak bisa berbicara pula,
hanya matanya saja yang berkedip-kedip dan biji matanya
bergerak-gerak kebingungan.
239
jalan darahnya ditotok oleh…… buntut harimau! Sungguh lucu dan
menggelikan, akan tetapi patut juga ia dikasihani.
240
Pengalaman para pemburu tadi menggemparkan segenap
penduduk dusun Lo-kee-cun, terutama isteri Souw Cian Ho. Ketika
mendengar betapa putera tunggalnya telah hilang dibawa lari oleh
seekor lutung besar, nyonya ini menangis sekeras-kerasnya
saking sedih dan bingungnya, ia menangis sampai terpingsan-
pingsan!
“Isteriku, sudahlah, kau tidak perlu terlalu sedih oleh karena belum
tentu Liong-ji mendapat bencana. Apalagi kalau diingat bahwa
lutung yang membawanya itu bukan lutung sembarangan dan
agaknya mengerti tipu-tipu ilmu silat seperti halnya harimau putih
itu, maka sangat mungkin Liong-ji berada dalam asuhan orang
sakti atau makhluk gaib penghuni hutan itu. Biarlah, kita berdoa
saja supaya, Liong-ji selamat dan cepat kembali.”
241
mereka tiba di hutan dimana peristiwa itu terjadi, mereka tidak
berani terus, melainkan dengan hati kecewa mereka kembali lagi.
Karena keadaan hutan yang angker dan seakan-akan
mengandung rahasia itu membuat mereka takut dan ngeri untuk
memasukinya lebih jauh.
242
main terkejutnya ketika ia mengetahui bahwa dirinya berada dalam
panggulan lutung besar itu dan tubuhnya dipeluk dengan erat
sekali sehingga biarpun ia selalu memberontak berusaha
melepaskan diri, namun sia-sia belaka! Binatang itu
memanggulnya membawanya lari memasuki hutan-hutan yang liar
dan gelap dan perjalanan yang ditempuhnya sangat menanjak.
243
Tentu saja, Bun Liong tidak tahu bahwa harimau itu kemudian
menghalangi ayahnya yang berusaha mengejarnya dan betapa
ayah serta kawan-kawannya kena dipermainkan sehingga tidak
berdaya!
244
tempat itu kini sudah berada di luar atau di atas hutan belukar yang
angker tadi.
Makin gelisah dan takutlah anak ini karena sama sekali tidak tahu
akan dibawa ke mana. Bun Liong hampir saja menangis karena
lemasnya, tetapi tidak berdaya, karena pelukan lutung itu sangat
erat. Akhirnya ia menyerahkan diri kepada nasib……
245
Setelah tempat yang diliputi halimun itu dilalui, sampailah mereka
di sebuah puncak dan di depan sebuah pondok kecil yang
sederhana yang terbuat dari bambu. Lutung itu menurunkan Bun
Liong dari panggulannya dan melepaskan pelukannya, sehingga
anak itu kini dapat bergerak lagi dengan leluasa, tapi di tempat
yang sangat asing baginya!
246
menyegarkan. Di lereng sebelah barat banyak sekali tetumbuhan
yang sangat berkhasiat, baik bunga, daun, batang pohon maupun
akarnya yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan.
247
karena gunung ini merupakan salah satu sumber semacam
cabang ilmu silat yang disebut Hoa-san-pay atau cabang ilmu silat
gunung Hoa-san.
Adapun pada waktu cerita ini terjadi, yang bertapa di puncak Hoa-
san adalah seorang kakek tua yang menjuluki dirinya dengan nama
sebutan Bu Beng Lojin (Orang tua tidak bernama). Sebelum
menjadi penghuni dan bertapa di puncak Hoa-san, kakek ini
sebenarnya bernama Ong Kim Su, salah seorang pendekar yang
berkepandaian tinggi dan ilmu silatnya adalah warisan dari Lu-
liang-pay.
248
Semenjak muda sekali kakek ini sudah malang-melintang di dunia
persilatan. Selamanya ia tidak pernah membawa senjata dan
setiap pertempuran dihadapinya dengan mengandalkan kepalan
tangannya saja.
249
Kim Su, semenjak menjadi pertapa ia menamakan dirinya dengan
Bu Beng Lojin.
250
Dengan gerakan terkamannya yang kuat, harimau putih itu
menerjang lawannya. Namun si lutung selalu dapat
menyelamatkan diri dengan sebat dan lincah sekali dan bahkan ia
selalu berusaha membalas menyerang!
251
gunung. Lutung dan harimau itu menjadi demikian jinak dan patuh
sekali kepada kakek itu, tak ubahnya bagaikan seekor kera dan
seekor kambing yang sudah lama dipelihara dan mengenal kasih
sayang orang yang memeliharanya.
252
Si Lutung dan harimau putih yang semula bermusuhan itu, kini
setelah dipelihara, dididik dan menerima “gemblengan” dalam hal
ilmu silat dari Bu Beng Lojin yang berpribawa menjadi kawan baik,
dapat dijadikan pesuruh yang amat taat dan bahkan dapat juga
dikatakan bahwa si Lutung dan si harimau ini menjadi dua murid
luar biasa dari seorang sakti seperti Bu Beng Lojin itu!
253
silat yang diciptakannya ini berdasarkan gerakan-gerakan
pertempuran antara si lutung dan si harimau yang kini telah
menjadi pesuruh, penjaga dan murid-muridnya itu.
“Menurut ilmu palak (nujum) yang pernah kupelajari, sore ini hutan
lereng sebelah utara akan didatangi lagi para pemburu dan di
antara mereka terdapat seorang anak lelaki kecil. Sin-wan, cobalah
kau usahakan menangkap anak itu dan kau bawa kemari
sedangkan kau Sin-houw, setelah Sin-wan berhasil memperoleh
anak itu, cobalah kau menghalang-halangi mereka yang berusaha
254
mengejar. Tapi ingat, sama sekali kalian tidak boleh mencelakakan
mereka. Nah, pergilah!”
Setelah lutung dan harimau itu mendengar titah kakek itu, segera
melompat turun bukit. Si lutung berlari lebih dulu dengan
mempergunakan “gin-kang”nya yang patut dipuji, sedangkan si
harimau turun belakangan dengan lompatan yang cepat dan
ringan.
Kalau saja kedua ekor binatang luar biasa dapat berpikir seperti
manusia, pasti mereka akan maklum bahwa kakek pertapa itu
selain ilmu silatnya mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya,
ilmu bathinnya pun sudah sempurna, sehingga ia boleh disebut
orang sakti setengah dewa.
255
Sesudah melihat betapa Sin-wan dan Sin-houw pergi
melaksanakan perintahnya dengan taat dan segera, maka sambil
tersenyum-senyum Bu Beng Lojin memasuki pondoknya.
256
jenggotnya yang sewarna dengan rambutnya, tampak panjang dan
melambai-lambai di depan dadanya.
Kakek ini tampak keluar dari pintu pondoknya dan dengan tindakan
perlahan menghampirinya. Dan menegunkan langkahnya sejenak
ketika si lutung tiba-tiba duduk bersimpuh di depannya.
257
merupakan anugerah Thian yang Maha Pengasih dan Maha
Adil…..” Sambil berkata demikian, kakek itu melangkah maju
menghampiri Bun Liong.
Bun Liong adalah seorang anak yang cerdik, maka sekilas saja
maklumlah bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan,
bahkan sangat pasti orang tua ini adalah orang sakti seperti yang
sering kali diceritakan oleh ayahnya bahwa di dunia banyak sekali
orang-orang berkepandaian tinggi yang hidupnya mengasingkan
diri sebagai pertapa-pertapa. Dan kakek yang berdiri
dihadapannya ini agaknya salah seorang pertapa seperti yang
didongengkan ayahnya!
258
kurang senang karena kakek menyuruh lutung peliharaannya
membawanya ke situ.
Jawaban ini sebenarnya agak lancang dan kurang ajar dan kalau
bagi orang lain agaknya akan menimbulkan rasa marah, akan
tetapi lain halnya dengan kakek itu yang sudah paham dan dapat
menyelami isi hati seorang anak kecil. Bahkan Bu Beng Lojin
ketawa senang tatkala menyahut:
“Ha, ha, selain kau berbakat baik, juga kau memiliki kekerasan hati
yang luar biasa dan memang hal ini sangat cocok dengan
keinginanku. Ketahuilah, aku ini pertapa di gunung dan aku
sengaja menyuruh Sin-wan mengambilmu kemari untuk kujadikan
muridku.”
259
Bun Liong tak segera berkata, melainkan matanya mengawasi
kakek itu dari kepalanya yang berambut putih sampai ke kakinya
yang telanjang. Sikapnya seperti sangsi akan kekosenan kakek itu.
Adapun kakek yang tua renta dan bertubuh kurus kering dan
kelihatannya loyo sekali ini mana mungkin berkepandaian tinggi
dan mana bisa menandingi kepandaian ayahnya? Jangankan
mampu berkelahi dengan harimau, tubuhnya yang kurus lemah itu
sekali saja tertiup angin agaknya akan terguling roboh! Demikian
pikir Bun Liong dalam keraguannya.
260
Pertanyaan ini terang sekali sangat sombong, akan tetapi Bu Beng
Lojin menerimanya sambil tersenyum ramah dan tatkala
menyahut, suaranya wajar saja, tak mencerminkan
kemendongkolan hatinya sedikitpun,
“Tidak perlu, terus terang saja aku tidak perlu menjadi muridmu
kalau hanya sekedar belajar silat, karena ayahku sendiri juga
seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi dan aku sudah
mewarisi kepandaiannya!”
Bun Liong lalu melemparkan batang pohon itu sampai tiga tombak
jauhnya dan ketika terbanting mengeluarkan suara keras dan batu
karang yang tertimpanya hancur!
262
“Bagus! Tenaga kerbaumu memang hebat, tapi pukulanmu itu
hanya dapat dipergunakan menghantam benda mati!” kata kakek
itu memuji dan menyindir.
“Tentu saja aku bisa, anak bodoh!” ujarnya. “Bahkan aku dapat
mencabut sebatang pohon tanpa mengeluarkan tenaga hebat
seperti kau. Nah. Lihatlah! Pohon yang sejarak dua tombak dari
sini dapat kucabut dari tempatku berdiri ini!”
“Nah, anak bodoh, kau sudah buktikan sendiri bahwa tidakkah aku
lebih pandai dari padamu?” ujar kakek itu kemudian sambil tetap
tersenyum dan memandang Bun Liong yang masih bengong
terlongong-longong sambil mulut ternganga lebar.
264
pikirnya. Dan ia mulai yakin bahwa kakek tua renta yang kelihatan
loyo itu bukanlah orang sembarangan!
“Bagus ilmu silatmu, tapi sayang sekali masih mentah dan ada
beberapa pukulan serta tendangan yang kau lakukan salah!” kata
kakek itu memuji serta mencela.
267
Tapi dalam pada itu, tiba-tiba ia mempunyai anggapan lain bahwa
sangat mungkin sekali karena tadi ia terlalu kaget maka tak dapat
menghindari totokan dari si lutung yang agaknya paham ilmu silat
itu. Adapun sekarang, dalam keadaan sudah siap sedia dan
apalagi ia mendengar kakek itu memberi pesan kepada si lutung
bahwa jangan melakukan serangan, maka ia akan membuktikan
bahwa ilmu pukulan dan tendangannya itu adalah suatu gerakan
yang tidak pantas dicela.
Tanpa banyak cakap lagi Bun Liong pasang kuda-kuda lalu berseru
keras: “Awas pukulan!”
268
Tetapi kenyataannya binatang yang pernah menerima
gemblengan dari Bu Beng Lojin benar-benar tidak boleh dipandang
ringan. Dengan sedikit mengedikkan kepalanya ke kanan, tinju Bun
Liong menyambar tempat kosong!
Tetapi Bun Liong dapat berlaku sebat. Setelah pukulan yang berarti
jurus pertama itu tidak berhasil, cepat ia menarik kembali tangan
kanannya dan menggirim serangan kilat dengan tangan kirinya
yang disodorkan ke arah iga binatang itu.
Kali ini kembali Bun Liong kecele, karena lawannya itu terlalu gesit
baginya sehingga serangan yang berarti jurus kedua inipun hanya
mengenai angin saja! Dan terdengarlah seruan si kakek yang
menghitung jurus itu: “Jurus kedua sudah lalu dan dalam jurus
ketiga ini kau harus waspada anak, karena si Sin-wan akan
memberi perlawanan terhadapmu!”
269
gemasnya, maka secepat jurus kedua tadi dilalui, secepat itu pula
ia susuli dengan jurus ketiga atau jurus terakhir.
Kini ia kerahkan semua tenaga pada kaki kanannya dan kaki ini
segera menyambar dengan sebuah tendangan geledek yang
ditujukan ke arah lambung si lutung. Akan tetapi jurus ketiga ini
benar-benar membuat si anak kecil itu merasa kaget dan malu
bukan main dan akhirnya ia benar-benar tunduk kepada kakek itu!
270
“Hahaha! Anak sombong, sekarang sudah kau buktikan bahwa
celaanku tadi tidak terlalu salah. Bagaimana pendapat dan
pikiranmu, nak?!” kata Bu Beng Lojin setelah tertawa nyaring
sambil menghampiri Bun Liong yang ketika itu sedang berusaha
hendak bangkit sambil meringis-ringis dan mengaduh-aduh karena
tulang pundaknya terasa sakit bukan main.
271
Bu Beng Lojin ketawa riang dan berkata menukas ucapan anak itu:
“Hahaha, baru kini kau mau memperkenalkan namamu dan baru
kini keangkuhan dan kekerasan hatimu dapat kutundukkan. Jadi
benarkah kau bersedia menjadi muridku, Liong?”
Kakek pertapa yang waspada ini tidak merasa ragu lagi tentang
kebaikan murid tunggal yang baru diangkatnya itu. Dan biarpun
pada mulanya anak itu berbuat lancang dan bahkan dapat dikata
sangat kurangajar sekali dengan kesombongan-kesombongannya.
Namun Bu Beng Lojin maklum dan yakin bahwa Bun Liong adalah
seorang anak yang tidak saja berhati keras, tetapi juga wataknya
jujur. Dan pada hakekatnya anak itu mempunyai bakat yang baik
272
sekali untuk kelak sesudah mencapai usia dewasa, menjadi
seorang gagah!
273
mendalam tentang manusia dan kehidupannya, telah dituangkan
semua oleh pertapa sakti kepada muridnya itu.
274
dan berkemauan keras, maka diam-diam ia dapat
menyempurnakan gerakan ilmu silatnya dengan meniru gerakan
dari kedua kawannya itu.
Pada suatu pagi hari dipermulaan musim Chun (Semi), dikala hawa
udara sedang sejuknya dan segala tanam-tanaman sedang
bersemi serta berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir
perlahan menghalau halimun tipis ke arah timur seakan-akan
menyongsong matahari yang baru muncul, di puncak gunung Hoa-
san tampaklah dua sosok tubuh sedang berdiri menghadap ke arah
timur, seakan-akan mereka sedang menjemur diri di bawah sinar
Sang Batara Surya, yang baru muncul itu.
275
Dua sosok tubuh itu, yang seorang adalah seorang tua
mengenakan jubah pertapa warna kuning dan yang seorang lagi
seorang anak muda berpakaian baju putih yang agak terlalu besar
bagi tubuhnya. Mereka ini adalah Bu Beng Lojin dan Souw Bun
Liong, yang pada pagi hari ini mengenakan baju pemberian dari
gurunya agaknya baju bekas pakaian gurunya dan agak terlalu
kedodoran!
“Kalau teecu tidak salah ingat, teecu menjadi murid suhu sudah
empat kali musim semi, jadi sudah empat tahun, suhu,” Bun Liong
menjawab dengan wajah berseri dan mata bercahaya karena
mendapat pertanyaan ini dikiranya ia akan diperkenankan pulang
ke rumahnya.
“Benar, Liong. Dan selama itu kau hanya berlatih dengan Sin-wan
dan Sin-houw saja. Mulai sekarang, karena kepandaianmu kini
sudah jauh mengatasi ke dua binatang maka berarti sudah tiba
saatnya aku sendiri mengujimu secara langsung. Nah, bersiaplah!”
276
Untuk sejenak Bun Liong berdiri diam seperti patung, hati kecilnya
agak kecewa karena dugaannya tadi ternyata meleset. Namun,
oleh karena ia menaruh hormat dan patuh terhadap gurunya, dan
juga merasa takut sekali, maka ia tekan perasaan hatinya dan
mendengar perkataan suhunya yang sudah nyata sekali
menantang bertempur itu, anak ini menjadi bengong karena tidak
mengerti sikap suhunya yang lain dari biasanya itu.
“Eh, Liong! Mengapa kau diam saja?” tegur kakek itu dan katanya
pula setengah membentak: “Ayoh, bersiaplah dan lawanlah aku!”
“Apa katamu? Siapa bilang melawanku? Ini hanya latihan dan aku
sendiri hendak mengujimu, mengerti?!” balas Bu Beng Lojin dan
kemudian tanpa menanti anak itu mempersiapkan ancang-ancang,
kakek ini dengan secepat kilat menyerang.
277
kepandaiannya sudah jauh mengatasinya, bukankah sudah
sepatutnya kalau sang guru turun tangan melatih dan menguji?
278
gurunya, pemuda itupun tanpa sungkan-sungkan berusaha
membalas menyerang, hanya saja semua serangan balasannya
selalu dapat dipatahkan oleh gurunya.
“Apa?! Sudah empat tahun lamanya aku belajar silat dan guruku
mengatakan bahwa aku baru memiliki kepandaian seperempatnya,
maka harus berapa tahun lagikah aku berdiam disini sampai
kepandaianku sempurna dan kapankah kiranya aku diperbolehkan
pulang……?”
279
Demikian demi mendengar ucapan gurunya tadi diam-diam Bun
Liong mengeluh di hatinya dan rasa kangen akan ayah bundanya
yang sudah sekian lamanya berpisah, timbul kembali di lubuk
hatinya. Akan tetapi oleh karena kepatuhan terhadap gurunya jauh
lebih besar dari pada perasaan hatinya, dan pula memang sejak
dulu ia mempunyai cita-cita ingin mempunyai kepandaian tinggi,
maka emosi yang mencekam perasaan hatinya itu ditindasnya
sekuat mungkin dan ia berlutut di depan gurunya sambil berkata:
280
“Teecu mengerti, suhu,” sahut Bun Liong sambil menunduk
menyembunyikan rasa malunya karena pemuda ini maklum bahwa
gurunya yang waspada itu telah dapat membaca isi hatinya.
“Nah, sekarang cobalah kita balap lari dan kau coba mengejarku!”
kata kakek kemudian dan sehabisnya berkata itu tubuhnya
bergerak dan berlari cepat sekali menuruni lereng sebelah barat di
mana banyak sekali terdapat tetumbuhan bahan obat-obatan.
281
sebentar menengok ke belakang melihat muridnya. Dan kakek ini
diam-diam merasa kagum karena biarpun gerak lompat muridnya
masih agak kaku sehingga loncatannya masih kelihatan berat,
namun anak ini telah dapat meniru contohnya dan seorang yang
berkepandaian silat biasa saja, belum tentu dapat melakukannya.
Ternyata, guru itu selain menguji ilmu lari cepat muridnya, juga
sekaligus melatih ilmu gin-kang (ilmu meringankan tubuh)!
Demikianlah, sambil berlompat-lompatan seperti bayangan kuning
melayang-layang bagaikan burung walet dari satu ke lain tonjolan
batu karang dan terus menanjak ke puncak gunung, diikuti oleh
bayangan putih yang bergerak-gerak laksana seekor kera yang
melompat-lompat dan berpindah-pindah berusaha mengejar
bayangan kuning yang sudah jauh sekali di depannya.
282
Sambil menyeka peluh di dahi dengan lengan bajunya, Bun Liong
hanya mengangguk tanpa menjawab, karena napasnya yang
memburu membuat dadanya terasa sesak sehingga tak dapat
mengucapkan kata-kata.
Ketika itu di dalam suasana puncak gunung yang selalu sunyi, tiba-
tiba terdengar suara auman harimau yang dibarengi suara siulan
yang nyaring sekali. Bun Liong maklum bahwa suara yang
terdengar dari bawah lereng sebelah utara itu adalah suara-suara
dari ke dua ekor binatang yang sangat dicintainya, yaitu si harimau
putih dan si lutung sakti. Tetapi suara mereka yang terdengar tidak
283
seperti biasanya, demikian ganjil dan seakan-akan teriakan minta
pertolongan.
284
kelenteng sehingga mudah ditebak bahwa orang tua gendut
berkepala gundul adalah seorang hweesio.
285
Sin-wan, lutung itu, memang sudah mendapat perintah dari Bu
Beng Lojin untuk menghadang dan melarang setiap orang yang
belum pernah dikenalnya naik ke puncak Hoa-san.
286
sambil berkelit lutung itu malah menggerakkan lengan tangannya
menjambret lengan baju yang mengebut itu.
Sebagai seorang guru silat tinggi melihat betapa cara lutung itu
mengelak, sambil menjambret lengan bajunya sehingga robek dan
kemudian melompat menjauhkan diri dari padanya seakan-akan
untuk menghindari serangan yang tidak terduga, yang
kesemuanya dilakukan dengan gerakan-gerakan ilmu silat, maka
segera hweesio itu dapat menebak dengan jitu.
287
“Kui Lo, cobalah kau bermain-main sebentar dengan binatang itu
dan kalau dapat tangkap dia hidup-hidup!”
288
putih itu di luar dugaannya, maka tak ampun lagi anak itu menjadi
korban terkaman kuku-kuku dari ke dua kaki depan harimau itu
yang mencengkeram dan menembus batang lehernya, sehingga ia
terguling roboh dan setelah berkelonjotan, akhirnya ia tak bergerak
lagi, mati!
289
Kedua belah telapak tangan yang digerakkan seperti mendorong
itu, telah mengeluarkan hawa pukulan yang sangat kuat sehingga
harimau putih dan lutung itu yang berjarak tidak kurang dari tiga
tombak, telah kena dihantam oleh hawa pukulan ini!
Biasanya, lutung dan harimau itu dapat berlaku cerdik, akan tetapi
kini menghadapi hawa pukulan dari hweesio itu ternyata mereka
tak berdaya sama sekali dan tubuh mereka jadi terlempar sejauh
lima kaki.
Betapa tinggi ilmu kepandaian dan betapa hebat tenaga dalam dari
hweesio gendut ini, dapatlah dibayangkan!
290
dengan majikan dari kedua binatang alas yang sudah mampus itu!”
kata hweesio itu seorang diri menyatakan kemengkalan hatinya.
291
anak itu dianggapnya sangar kurangajar berani menyebutnya
orang gundul.
“Aku bukan bocah setan dan kalau kau ingin mengetahui siapa aku
ini, baiklah kuterangkan. Aku bernama Souw Bun Liong putera
tunggal dari Souw Cian Ho……”
“Apa?! Kau putera dari Souw Cian Ho?!” tukas Ci Lun Hosiang tiba-
tiba sebelum anak itu menjawab habis. “Bukankah Souw Cian Ho
dahulu pernah membuka perusahaan piauw-kiok di kota See-an?”
“Tidak salah!” Bun Liong mengaku terus terang karena hweesio ini
ternyata mengenal juga nama ayahnya. Diam-diam hatinya
merasa bangga karena ayahnya semasa menjadi piauwsu pernah
tenar namanya dan menggemparkan dunia liok-lim.
292
di manakah tempat tinggal ayahmu dan mengapa kau sendiri
berada di sini?”
293
sembarangan naik bukit sebelum kau nyatakan dulu apa maksud
kedatanganmu, karena suhu tidak mau diganggu ketenangannya
oleh sembarang orang!”
Akan tetapi, bukan main kagetnya anak ini sebab kebutan lengan
baju itu ternyata mendatangkan hawa pukulan yang dapat
menggempur kedudukan kuda-kudanya, sehingga tanpa ampun
lagi tubuhnya jatuh terjengkang!
294
Untung hweesio itu tidak bermaksud mencelakakan dirinya dan
kebutan lengan baju itu hanya menjengkangkan dirinya belaka
tanpa mengakibatkan luka sedikitpun. Sungguhpun serangan itu
tidak berbahaya, namun karena jatuh terjengkang dan terbanting
di atas batu karang, anak ini merasa sakit-sakit juga.
295
Ketika itu Bun Liong sudah sampai di situ dan anak ini menjadi
besar hati melihat gurunya telah muncul dan menegur si gundul itu.
“Suhu, orang ini telah membunuh Sin-houw dan Sin-wan dan juga
memukul teecu, harap suhu sudi turun tangan mengadilinya!” Bun
Liong berkata mengadu sambil berdiri di sisi kakek itu.
“Diam, Liong! Hal itu semua sudah kuketahui,” sahut Bu Beng Lojin
yang sangat mencintai murid tunggalnya itu dan mata kakek ini
memandang kepada Ci Lun Hosiang yang ketika itu sedang
menjura terhadapnya sambil berkata:
“Nah, Kim Su, dengan membaca tulisan ini, kini kau pasti dapat
mengenalku dan juga mengetahui maksud kedatanganku!” kata
hweesio itu, setelah selesai menulis dan menunjuk batu.
297
“Aku Coa Ci Lun Datang Untuk Melunaskan Perhitungan
Lama.”
Tulisan ini terlihat jelas dan terbaca oleh Bu Beng Lojin maupun
oleh Bun Liong.
Bun Liong merasa heran sekali akan sikap dan kata-kata gurunya
itu, akan tetapi sebaliknya hweesio segera dapat menangkap
maksud dari Bu Beng Lojin.
298
“Baik, baiklah akan kudekatkan batu ini sampai di depan matamu
supaya mata lamurmu itu dapat membaca tulisanku. Nah,
sambutlah!”
Bukan main hebatnya tenaga dorongan ini. Batu karang itu dengan
mengeluarkan bunyi berdetakan patah bagian bawahnya dan
bagian atasnya yang besar dan beratnya paling sedikit
delapanratus kati itu terlempar dan melayang ke arah Bu Beng
Lojin secara dahsyat sekali!
Bun Liong kaget dan ketakutan. Anak ini cepat melompat menjauhi
gurunya karena merasa khawatir akan tertimpa batu karang yang
dapat membikin gepeng tubuhnya dengan berseru nyaring ia
memberi peringatan kepada gurunya:
“Suhu, awas!!!”
300
aku pangling dan kalau aku boleh bertanya, sejak kapankah kau
menjadi hweesio, Ci Lun…….?”
Sekali lagi. kakek yang ditantang itu menghela napas. Dan seraya
mengelus-elus jenggotnya, ia berkata dengan sabar:
301
“Ci Lun, rupanya sejak peristiwa dahulu kau memperdalam
kepandaianmu sehingga kini kulihat tenaga lweekang yang kau
pergunakan mendorong batu karang tadi sedemikian hebat dan
kulihat tubuhmu makin tua makin sehat dan makin gemuk saja!
Sedangkan aku makin tua makin loyo dan sebenarnya aku sudah
tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi. Akan tetapi karena kau
menaruh perhatian sedemikian besar terhadapku, maka
betapapun juga selaku tuan rumah aku harus manghargai
kunjungan tamunya.”
302
“Kuterima dan layani penebusan kekalahanmu yang kau
maksudkan ini, akan tetapi jangan menyesal kalau sekarang ini kau
mendapat kekalahan untuk kedua kalinya!”
303
Demikianlah seterusnya, dua ahli silat tinggi itu bertempur sengit
dan biarpun cara mereka bertempur itu tampaknya hanya seperti
saling dorong saja, namun sesungguhnya mereka bertempur mati-
matian. Hawa pukulan-pukulan mereka yang dapat
menumbangkan pohon dan menerbangkan batu karang dapatlah
dibayangkan betapa berbahayanya kalau misalnya mengenai
tubuh mereka!
Bun Liong menonton dari tempat yang agak jauh dengan dada
berdebar tegang. Anak ini baru untuk pertama kalinya
menyaksikan pertempuran yang terjadi antara dua orang ahli silat
tinggi.
304
Sedangkan Ci Lun Hosiang, biarpun bertubuh bundar dan
kelihatannya berat, ternyata dapat bergerak amat gesit dan
tangkas dan serangan-serangan hawa pukulannya tak kalah hebat
dari lawannya! Beberapa tombak di sekeliling mereka seakan-akan
diserang angin taufan yang mengamuk dan berputar-putaran
sehingga daun-daun pohon rontok berhamburan serta beberapa
batang pohon menjadi jebol dan tumbang disertai mengebulnya
debu dari batu karang yang menjadi hancur berantakan!
“Kena……!!”
Bun Liong tiba-tiba melihat tubuh si gundul itu terlempar jauh sekali
dan menggelundung ke bawah lereng bagaikan sebuah gentong
arak yang dilemparkan dari atas puncak! Tubuh bundar yang
menggelundung ke bawah lereng itu akhirnya terhenti ketika
menabrak sebuah batu karang dan terdengar suara benturan yang
keras sekali!
305
Bun Liong bersorak gembira atas kemenangan suhunya. Dan anak
ini merasa pasti bahwa tubuh si gundul yang dihajar oleh hawa
pukulan dari gurunya dan jatuh menggelundung ke bawah lereng
serta ditambah lagi menabrak dan membentur batu karang itu,
takkan mampu bergerak lagi dan terus mampus!
Akan tetapi bukan main herannya anak ini ketika melihat bahwa si
gemuk yang membentur batu karang itu tidak mampus, bukan
kepala gundulnya yang pecah, melainkan batu karang itu yang
menjadi hancur berantakan! Kemudian keheranan anak ini makin
bertambah pula demi dilihatnya tubuh gemuk yang tadi
disangkanya takkan mampu bergerak lagi itu, ternyata kini dapat
bangkit dan bahkan berdiri.
“Ha, ha, ha! Kim Su, benar-benar kau hebat sekali dan pinceng
mengaku kalah untuk ke dua kalinya! Biarlah pada lain waktu kita
bertemu dan mengadakan perhitungan lagi!”
306
Sekali ia mendokel dengan kakinya, mayat muridnya terlempar ke
atas lalu disamber dengan tangan kirinya, dikempit di bawah
ketiaknya dan terus dibawa lari sehingga akhirnya hweesio yang
luar biasa itu menghilang di antara hutan belukar di bawah lereng!
“Makin tua ternyata makin gagah dan makin lihay, dan entah
berapa banyaknya ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan
yang tak patut dipuji selama ini…..”
“Suhu, siapakah sebenarnya dia itu dan apa sebabnya dia datang
kemari mengadakan perhitungan dengan suhu?” Bun Liong
bertanya dengan perasaan tertarik dan ingin tahu akan hal ihwal si
hweesio yang berkepandaian tinggi dan bertubuh luar biasa
kuatnya itu.
Kakek itu menghela napas. “Nanti akan kuceritakan dan hal ini
memang sewajarnya kau ketahui, Liong. Dan sekarang ambillah
cangkul di sisi pondok dan kuburlah mayat Sin-houw dan Sin-wan
terlebih dulu.”
308
Selama menjadi perantau di daratan Tiongkok, si Tangan Seribu
Kati ini banyak sekali mengangkat murid, dan murid-murid hasil
gemblengannya sebagian besar menempuh penghidupan dalam
kalangan hek-to atau menjadi penjahat!
“Demikianlah, muridku, sejak itu aku dan dia tidak pernah bertemu
lagi dan tahu-tahu hari ini ia datang kemari dengan kepala gundul
dan tubuh ditutupi jubah orang alim. Hanya mujur sekali bagiku
bahwa kali inipun aku berhasil mengalahkannya!
“Ah, dasar dia seorang berwatak buruk, aku yakin bahwa dia
sengaja mengubah dirinya menjadi hweesio dan di dunia ini tidak
309
sedikit orang-orang jahat yang berpura-pura menjadi orang suci!”
demikian Bu Beng Lojin mengakhiri penuturannya.
310
“Memang, tadipun aku melancarkan serangan yang mematikan
dengan maksud menyingkirkan manusia jahat itu dari dunia, akan
tetapi ternyata dia mempunyai lweekang yang sudah sempurna
dan agaknya memiliki ilmu kebal yang luar biasa kuatnya, sehingga
seranganku yang tepat menghantam dadanya tidak membuat ia
mati. Dengan demikian berarti dia masih dapat melakukan
kejahatan yang entah bagaimana lagi,” kakek ini kembali menarik
napas seakan-akan menyesal karena pukulannya terhadap
lawannya tadi masih kurang ampuh.
311
dadamu akan menderita luka hebat, lain halnya kalau kelak tenaga
dalammu sudah tinggi dan mempunyai daya tahan yang sangat
kuat……”
“Benar, suhu,” sahut Bun Liong dan anak ini seperti mendapat
firasat kurang baik ketika melihat sinar mata gurunya seperti
mengandung penyesalan, maka tanyanya segera: “Mengapa suhu,
mungkinkah si gundul mempunyai maksud kurang baik terhadap
orang tua teecu……?”
Hati Bun Liong merasa agak lega mendengar sabda kakek sakti
yang terakhir itu. Dan demikianlah sejak saat itu, yaitu sejak
mereka didatangi oleh si Tangan Seribu Kati Ci Lun Hosiang,
makin hebatlah Bun Liong digembleng oleh gurunya.
312
Beberapa tahun kemudian kepandaian Bun Liong bertambah
hebat, ilmu silat Sin-wan Pek-houw Kun-hoat yang oleh gurunya
dikombinasikan dengan ilmu silat dari cabang persilatan Lu-lian-
pay dipelajarinya sehingga matang dan sempurna. Juga
kepandaian yang menjadi andalan Bu Beng Lojin yakni ilmu
pukulan yang disebut Lui-lek-ciang (Tangan Bertenaga Geledek)
yang dapat menghancurkan batu karang itu, diwarisinya dengan
baik.
Ternyata disamping ilmu silat tanpa senjata yang lihay sekali dan
ilmu pukulan Lui-lek-ciang yang biarpun hanya berupa hawa
pukulannya saja dapat menghancurkan batu karang itu, juga Bu
Beng Lojin memiliki ilmu cambuk yang diberi nama Shan-kong-
joan-pian (Cambuk Lemas BerSinar Kilat) yang luar biasa
hebatnya!
313
Bun Liong menerima pelajaran ilmu silat bersenjatakan cambuk
dengan sangat sukar sekali. Karena pecut itu hanya berbentuk
seuntai tali yang lemas dan berbeda dengan senjata pedang
maupun barang lainnya yang kaku serta bersifat keras, maka pada
hekekatnya mempelajari ilmu silat bersenjatakan pecut ini lebih
sukar dan sulit!
Juga waktu berlatih ilmu cambuk ini dengan gurunya, tidak jarang
Bun Liong menjadi bulan-bulanan dari cambuk suhunya. Oleh
314
karena dengan cambuk di tangan kanan dan tangan kirinya serta
melancarkan serangan-serangan hawa pukulan Lui-lek-ciang, Bu
Beng Lojin menyerang muridnya yang harus mengandalkan
kegesitan tubuh dan gin-kang untuk mengelak!
315
akan diselimuti kapas sehingga pemandangan sangat
menyedapkan mata.
316
sarangnya pada saat hawa udara sedingin itu. Akan tetapi tidak
demikian di dekat puncak gunung itu!
317
Wajahnya yang tampan membayangkan keagungan watak dan
kehalusan budi, sedangkan bibirnya yang selalu tersenyum-
senyum mencerminkan adatnya, yang sabar dan peramah dan
sinar matanya yang tajam menunjukkan sifat ksatrya yang gagah
berani.
318
“Sesampainya kau di dusunmu nanti, maka kau akan melihat
betapa keruh dan kacaunya keadaan dusunmu dan sekitarnya.
Yaitu kekeruhan dan kekacauan yang berupa huru-hara dan geger
yang ditimbulkan oleh manusia sendiri sehingga orang lemah
menjadi bingung dan kesengsaraan merajalela di antara rakyat
jelata.
319
yakinku ini, aku rasa perlu juga memberi nasehat kepadamu bahwa
kau hendaknya selalu ingat akan dua buah hal yang akan
menghalangi kemajuanmu.
320
“Nah, muridku, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk pergi
turun gunung. Sampaikan salam dan maaf kepada orang tuamu
karena aku telah menahanmu di puncak ini selama delapan tahun
tanpa setahu dan seizin mereka terlebih dahulu. Terjunkanlah
dirimu di antara gelombang kehidupan dengan perasaan tanggung
jawab.
321
Hatinya berdebar-debar, karena pemuda ini yakin bahwa kedua
orangtuanya pasti akan terkejut dan gembira melihat
kedatangannya dengan membawa kepandaian yang sangat tinggi
ini. Maka dipercepatlah larinya.
322
Tanpa beranjak dari tempat duduknya, nyonya itu memandang
kepada Bun Liong yang kini sudah berdiri di hadapannya. Wajah
nyonya itu membayangkan keraguan hatinya dan nyonya itu
menatap dengan tajam.
323
Didekapnya, kepala putera tunggalnya itu ke dadanya dengan
penuh rasa terharu dan gembira. Dielus-elusnya rambut puteranya
dengan penuh kasih sayang seperti dulu ketika anaknya masih
kecil.
Sampai lama ibu dan anak ini tidak dapat berkata-kata, hanya
saling peluk dengan air mata berlinang-linang. Kemudian Bun
Liong dapat mententramkan hatinya lebih dulu dan dengan hati-
hati sekali ia melepaskan diri dari pelukan ibunya, lalu berkata
menghibur,
324
Melihat keadaan rumahnya, yang demikian miskin itu, Bun Liong
sangat sedih. Tiba-tiba matanya terbelalak, wajahnya pucat ketika
dengan jelas dilihatnya sebuah meja abu yang terletak di dekat
dinding, karena adanya meja abu di situ berarti bahwa ayahnya
telah meninggal.
“Mama, kalau benar terkaanku bahwa adanya meja abu itu suatu
bukti bahwa ayah telah meninggal dunia, tak perlu dibuat sedih
karena mati atau hidup kita tetap tidak berdaya terhadap kemauan
dan kekuasaan Thian!” kata Bun Liong yang telah dapat mengatasi
perasaan hatinya berkat gemblengan suhunya sehingga batinnya
kuat.
325
bersikap tenang. Ia segera menghampiri meja abu itu dan berdiri
di depannya. Diambilnya tiga batang hio yang tersedia di atas meja
itu dan disulutnya. Lalu dengan penuh khidmat, ia bersembahyang
dan terdengar mengacapkan kata-kata dengan perlahan:
Setelah tiga batang hio itu ditancapkan di tempat abu, dan setelah
bersoja dan ber kui sebanyak tujuh kali, Bun Liong kembali ke
dekat ibunya dan bertanya:
327
Mulanya Bun Liong mengira bahwa kematian ayahnya itu
disebabkan oleh kecelakaan ketika ia dibawa lari oleh si Lutung
Sakti, tapi ibunya mengatakan bahwa ayahnya meninggal baru
kira-kira empat tahun yang lalu.
329
itu menjadi lega dan bangga, dan ia menceritakan peristiwa yang
menyebabkan suaminya meninggal dunia itu…….
<>
330
Akan tetapi, apabila ia menghadapi seorang penjahat yang tinggi
ilmu silatnya, terpaksa ia menurunkan tangan maut. Menghadapi
lawan berat yang tidak banyak selisih tingkat kepandaiannya, amat
sukar unnuk mengalahkannya dengan hanya melukai ringan saja.
Souw Cian Ho tidak pernah menyangka bahwa Lauw Can Tong itu
akhirnya menemui ajalnya setelah bertemu dan menceritakan
kekalahan kepada gurunya dan minta supaya sang guru
331
membalaskan kekalahannya itu. Adapun guru dari perampok she
Lauw itu tidak lain dari Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang……!”
332
barunya itu mati konyol dan kemudian ia bertemu dengan Bun
Liong.
Dan dari Bun Liong yang tidak menaruh syak wasangka apapun
juga terhadap hweesio gundul teromok ini, maka Ci Lun Hosiang
mengetahui tempat tinggal Souw Cian Ho yang tengah dicari-
carinya itu. Dan akhirnya, setelah untuk kedua kalinya hweesio ini
dikalahkan oleh Bu-tek-sin-kun Ong Kim Su alias Bu Beng Lojin. Ci
Lun Hosiang mengubur muridnya yang mati konyol itu di dalam
hutan kemudian langsung menuju ke dusun Lo-kee-cun dan
menemukan rumah orang yang dicarinya.
333
bertanya dengan sikap sopan yang kelihatannya sangat kaku, yaitu
sopan yang dibuat-buat.
334
“Baik, baik, dan toa-suhu ini dari kelenteng mana?” tanpa menanti
hweesio itu memberi keterangan sebagaimana biasanya si
pemungut derma lakukan, Souw Cian Ho merogoh saku bajunya
dan mengambil mata uang sebesar satu tail yang kemudian
disodorkan kepada hweesio itu.
“Cian Ho, pinceng datang bukan minta derma berupa mata uang,
melainkan pinceng minta kepalamu!”
335
“Hehe!” Ci Lun Hosiang ketawa mengejek. “Memang kau belum
pernah bertemu dan memang antara pinceng dan kau tidak
mempunyai sangkut paut langsung. Akan tetapi dengarlah!
Souw Cian Ho tidak ingat lagi akan nama Lauw Can Tong karena
memang sudah banyak penjahat yang pernah dirobohkannya
sehingga mana mungkin dapat diingatnya nama seorang demi
seorang, namun karena hweesio mengatakan bahwa seorang
muridnya telah ditewaskan olehnya, maka disamping rasa marah,
ia menjadi heran juga.
336
hutang piutang sehingga kau datang menagihnya, aku bersedia
menanggung segala resikonya. Cuma yang kuherankan, baru
sekarang kudengar bahwa ada seorang pendeta yang mempunyai
murid perampok, maka pendeta apakah adanya toa-suhu ini?”
337
anehnya, justeru toa-suhu menjadi marah dan karena ini, maka
teranglah bagiku bahwa kalau muridmu termasuk golongan burung
gagak, maka kau sebagai gurunya sudah terang termasuk burung
hantu!”
338
leluasa menggerakkan pedangnya sehingga hal ini benar-benar
sangat merugikan baginya. Sebaliknya, karena Ci Lun Hosiang
bertempur dengan tangan kosong saja dan lagipula karena
memang si gundul ini berkepandaian jauh lebih tinggi daripada
lawannya, maka ruangan itu sedikitpun tidak mengurangi
kebebasan pergerakannya dan ia dapat bertempur dengan
leluasa!
339
nyonya yang tidak mengerti ilmu silat ini tak dapat berbuat apa-apa
selain mengepal kedua tangannya dengan hati cemas.
Souw Cian Ho, bekas piauw-su yang gagah perkasa dan yang
pernah merobohkan banyak penjahat, telah meninggal dalam
keadaan yang amat mengerikan dan mengecewakan di bawah
tangan Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang si pendeta gadungan yang
berwatak buruk dan jahat!
340
“Bangsat keji, rasakan pembalasanku!” Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring Kho In Hoa, nyonya Souw Cian Ho, melompat
maju sambil mempergunakan pedang bekas suaminya yang telah
diambilnya dari lantai, disabetnya ke arah punggung hweesio itu!
341
Betapa sakit dan sedihnya hati nyonya ini sukar dilukiskan! Setelah
empat tahun lamanya ia kehilangan putera tunggalnya sehingga ia
hampir setengah gila, kini kehilangan suaminya. Peristiwa ini
benar-benar telah menyiksa batin Kho In Hoa!
Semenjak peristiwa itu Kho In Hoa yang sudah menjadi janda ini,
benar-benar menyedihkan. Ia menderita sakit sesak napas yang
disebabkan karena ia terlalu menderita batin. Harta benda
peninggalan mendiang suaminya dan juga barang-barang
perabotan rumah tangga makin lama makin habis, dijual untuk
mengongkosi hidupnya sehari-hari yang sebatang kara!
Tubuh nyonya janda ini menjadi kurus kering karena setiap hari
dilanda siksaan batin dan penyakit sesak napasnya makin lama
makin berat. Ia kelihatan tua, padahal usianya belum mencapai
empatpuluh tahun.
◄Y►
342
“Bun Liong, anakku, terima kasih kuucapkan atas keadilan Thian
yang maha Kuasa telah melindungimu sehingga hari ini benar-
benar kau kembali pulang! Baiknya kau lekas kembali, nak, kalau
tidak, kiranya ibumu takkan tahan lebih lama lagi menderita hidup
seperti ini, tiada tali tempat bergantung, tiada dahan tempat
berpijak……” Demikian, Kho In Hoa atau ibu Bun Liong mengakhiri
ceritanya.
343
mendengar betapa puteranya telah menjadi murid dari seorang
pertapa sakti di gunung Hoa-san.
344
ini? Kau tentu dapat membayangkan betapa perasaan hatiku
selama ini.
345
kedatangan Bun Liong merupakan obat penawar yang mustajab
dan mulailah terlihat senyum di wajah nyonya ini.
347
Apalagi setelah ia mendengar, bahwa operasi gerombolan
perampok selalu dipimpin oleh si Srigala Hitam Ciam Tang yang
terkenal akan kekejaman dan kelihayan ilmu silatnya, serta dari
komplotan bajak sungai dipimpin oleh Bu Kiam bersama dengan
Bong Pi yang terkenal dengan julukannya Huang-ho-ji-go
(Sepasang Buaya Sungai Kuning) yang terkenal pula dengan
kehebatannya ilmu pedang mereka. Makin bingunglah Bun Liong
karena kalau hanya mengandalkan tenaga sendiri, bagaimana ia
akan dapat berbuat seperti yang ditugaskan oleh suhunya?
350
“Liong, kepandaianmu sungguh tinggi. Ilmu silat dari cabang
manakah yang kau pelajari dan siapakah gurumu?” demikian
sambil berjalan nyonya itu bertanya.
Bun Liong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa dan sudah
lazimnya pemuda seperti dia hatinya merasa tertarik sekali akan
kecantikan wajah wanita. Apalagi ia baru saja turun gunung dimana
ia hanya hidup bersama gurunya saja sampai delapan tahun di
tempat yang sepi dan terasing dari pergaulan manusia.
351
Kini ia bertemu dengan bekas kawan bermainnya sewaktu kecil
yang kini memiliki tubuh ramping padat. Sepasang matanya
merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung,
mulutnya kecil mungil dengan bibir bagaikan gendewa dipentang
dan berwarna merah membasah.
352
Di dalam kamus hatinya, nona yang sudah banyak merantau ini
sudah mencatat bahwa memang begitulah sifat mata kaum pria,
dan kalau ada mata yang tidak mengikuti dan mengagumi
kecantikan wajah wanita, baik terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi, maka bukan mata prialah itu! Biasanya hati Yang Hoa
suka muak dan mendongkol apabila melihat mata pria yang selalu
mengikutinya.
Oleh karena itu, maka tentu saja dilirik-lirik sedemikian sering oleh
pemuda itu, hatinya merasa suka dan senang dan gadis manakah
yang takkan merasa senang kalau dirinya dikagumi oleh pemuda
yang sudah diketahui menjadi tunangannya. Apalagi pemuda itu
demikian tampan dan gagah serta ilmu silatnya begitu tinggi
sebagaimana pernah dilihatnya di atas panggung lui-tay tadi yang
membuat hatinya merasa kagum!
353
Adapun ibu Bun Liong sementara itu, sebelum puteranya datang
ke rumahnya, sudah mendengar dari para tetangganya yang telah
menonton penyelenggaraan pibu itu, bahwa puteranya pada hari
itu telah berhasil menempati kedudukan tinggi, yaitu terpilih
menjadi ketua Pauw-an-tui dan mendapat nama julukan Tong-
koan Ho-han, maka bukan main gembira dan bangganya hati
nyonya yang prihatin ini.
355
wajahnya sedang dinilai oleh orang tua yang ia ketahui sebagai
calon mertuanya.
Li Lan Eng atau nyonya Ho Kim Teng atau juga ibu dari Yang Hoa
kembali terdengar berkata mewakili puterinya yang “keripuhan” itu,
“Sebaiknya puteramu sendiripun demikian tampan dan gagah
perkasa, berkepandaian tinggi dan bahkan telah menjadi ketua
Pauw-an-tui serta mendapat julukan Tong-koan Ho-han, satu hal
yang benar-benar patut dibanggakan dan untuk ini aku turut
bersyukur serta gembira dan mengucapkan selamat.
Kini Bun Liong yang wajahnya menjadi merah. Pemuda ini maklum
bahwa ucapan tamunya ini sebagai imbalan kata-kata ibunya
sehingga diam-diam ia merasa “tidak enak hati” mendengar pujian
dari seorang nyonya yang anak gadisnya sangat ia kagum dan
sukai. Akan tetapi Bun Liong dapat segera mencari jalan keluar dari
suasana yang membuat jantungnya berguncang dan
menyebabkan sikapnya menjadi agak kikuk ini, tatkala kemudian
ia berkata kepada ibunya:
“Ah, Mama ini bagaimana sih, menerima tamu yang datang dari
tempat jauh dibiarkan berdiri seperti patung saja!”
357
karena rumah tangga Souw yang dahulu diketahuinya mewah itu,
kini nampak demikian miskin dan prihatin!
Akhirnya hati kedua ibu dan anak gadis ini menjadi marah dan
penasaran sekali ketika mendengar bahwa Souw Cian Ho mati
dibunuh oleh Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang. Meskipun mereka
belum pernah bertemu dengan si gundul terokmok itu, namun
pernah mendengar bahwa si Tangan Seribu Kati itu adalah
seorang pendeta gadungan yang hidupnya menyeleweng dari
jalan yang benar.
“Ah, enci Hoa, ternyata nasib kita ini banyak persamaannya,” kata
Lan Eng sambil menghela napas panjang dan tiba-tiba air muka
358
nyonya ini tampak muram serta kedua matanya agak berkaca-
kaca.
“Bibi,” Bun Liong yang sejak tadi membisu kini tiba-tiba berkata
karena hati pemuda ini ingin segera mendengar peristiwa yang
menimpa keluarga Ho yang dikatakan membuat nasib mereka
banyak persamaannya itu. “Ceritakanlah sebab apa dan oleh
siapakah paman Ho dibunuh? Barangkali saja aku dapat
membantu mencari si pembunuh yang kalian sedang cari itu dan
juga barangkali saja kepandaianku yang tak berarti ini sedikit
banyak dapat berguna untuk membantu maksud kalian.”
359
Li Lan Eng memandang kepada Bun Liong dengan sinar mata
berseri. Nyonya ini memang sejak melihat Bun Liong berlomba
yuda di atas panggung lui-tay tadi sudah merasa kagum dan suka
sekali terhadap pemuda itu yang biarpun memiliki kepandaian
tinggi, namun sikapnya sangat sederhana dan selalu merendahkan
diri. Dan kini Bun Liong menyatakan kesediaannya untuk
membantu mencari dan membalas sakit hati terhadap pembunuh
mendiang suaminya dengan kata-kata yang merendah pula, makin
mendalamlah rasa suka Lan Eng terhadap anak muda calon
menantunya itu.
361
rumah kecil yang letaknya tidak berapa jauh dari tempat tinggal
majikannya.
362
rombongan Ho Kim Teng sambil mengancam bahwa barang
kawalan itu harus diserahkan kepadanya.
363
Akan tetapi, benar-benar perampok itu sangat hebat. Melihat
dirinya dikeroyok, ia tertawa bergelak dengan nada menghina dan
goloknya diputar sedemikian rupa dan sebentar saja tiga orang
piauw-su menjerit dan roboh. Mereka berlumuran darah terkena
sabetan golok yang menyambar-nyambar bagaikan naga
mengamuk itu!
Dua orang, piauw-su lainnya dan putera Cio Leng Hwat yang tidak
ikut mengeroyok karena selain merasa kepandaian mereka terlalu
rendah, juga mereka merasa berkewajiban menjaga barang
kawalannya yang ditaruh di atas punggung keledai yang tali
kekangnya mereka pegang erat-erat. Wajah mereka sangat pucat
dan seluruh tubuh mereka menggigil bagaikan mendadak diserang
demam, menandakan bahwa mereka sangat ketakutan padahal
kaki mereka setapakpun tidak berkisar dari tempat mereka berdiri!
364
Mereka belum pernah mengalami peristiwa sehebat ini, berjumpa
dengan seorang perampok yang demikian lihay dan ganas dan
yang membuat majikan mereka terdesak hebat. Padahal majikan
itu dikenalnya sebagai piauw-thauw yang berilmu siang-kiam tinggi
dan sepanjang pengalaman sebagai piauw-su belum pernah
terkalahkan!
Kini yang masih membantu Ho Kim Teng hanya tinggal Cio Leng
Hwat saja. Dengan toyanya yang panjang dan berat Cio Leng Hwat
secara gagah sekali dapat menandingi golok lawan sehingga
biarpun tak dapat segera mendesak perampok itu, sedikitnya Ho
Kim Teng tidak terlalu kewalahan.
Akan tetapi lambat laun Ho Kim Teng bersama Cio Leng Hwat
berhasil mendesak lawannya sehingga perampok itu bertempur
sambil mundur. Diam-diam Ho Kim Teng merasa girang dan
kagum akan kehebatan ilmu toya kawannya, maka dengan
bersemangat ia menggerakkan siang-kiamnya karena hatinya
yang marah ingin cepat-cepat menjatuhkan lawan itu!
365
sekejap kemudian ia telah berdiri sejauh tiga tombak lebih dari dua
orang pengeroyoknya.
366
ditatapnya wajah keren yang dipenuhi cambang bauk itu!
Kemudian agaknya wajah keren itu dapat dikenalnya dan
terdengar penyahutannya yang diucapkan dalam keadaan tak
sadar:
367
tentu keadaan kehidupan sudah berubah dan tentu kau sudah
kaya, bukan?”
Namun dalam pada itu Ho Kim Teng merasa agak lega juga karena
mengingat bahwa meskipun Cio Leng Hwat itu bekas perampok
tapi kenyataannya telah kembali menempuh jalan yang benar.
368
Diam-diam Ho Kim Teng mengharapkan bahwa Leng Hwat akan
dapat berkompromi dengan sahabatnya itu.
Tiba-tiba perampok itu tersenyum aneh dan matanya yang liar itu
melirik ke arah Ho Kim Teng sebentar, “Kenapa sekarang kau
menjadi begini pendek akal? Bukankah harta kekayaan bagi kita
369
sudah berada di depan mata? Bukankah barang yang kau kawal
itu cukup untuk membuat kita kaya mendadak?”
“Kita sikat saja barang itu lalu kita bagi dua, dengan demikian
bukankah cita-cita kita yang sejak dulu itu dapat tercapai?!?”
371
“Bajingan rendah she Cio! Aku telah bersumpah bahwa aku akan
menjaga nama perusahaanku, maka mengenai barang yang
dipercayakan kepadaku untuk mengantarnya ini sudah tentu akan
kujaga dan kubela dengan pertaruhan nya-waku!” balas Ho Kim
Teng yang dadanya sudah terasa panas bagaikan dibakar, karena
pengusaha piauwkiok ini benar-benar amarahnya sudah meluap
menghadapi sikap pegawainya yang khianat itu.
“Kau betul! Marilah kita selesaikan!” sahut Cio Leng Hwat dan ke
dua orang yang memang dulunya merupakan dwi-tunggal ini tanpa
memberi peringatan lagi langsung menerjang, mengeroyok Ho Kim
Teng yang segera menggerakkan siang-kiamnya sambil berseru
marah, dan selanjutnya terjadilah pertempuran seru.
372
orang she Cio yang berakhlak brengsek seorang ahli toya yang
lihay sekali, sehingga toya itu bergulung-gulung laksana badai
taufan mengancam keselamatan diri majikan yang dikhianatinya!
373
tanggungannya itu dari pada hidup menanggung malu, karena
harga diri jatuh dan nama baik tercemar!
374
Mereka segera menuntun keledai-keledai itu dan kemudian
menghilang di antara hutan belukar, diikuti oleh putera Cio Leng
Hwat.
375
Akan tetapi nyonya Ho adalah seorang wanita yang bijaksana. Ia
merasa bertanggung jawab atas hilangnya barang-barang itu dan
ia ingin menjaga nama mendiang suaminya supaya tetap bersih.
376
Mereka terlunta-lunta sampai beberapa bulan. Ibu dan anak yang
belum pernah melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan jalan
kaki seperti ini, kaki mereka menjadi bengkak-bengkak. Beberapa
stel pakaian yang mereka bawa, satu demi satu telah dijualnya
untuk pengisi perut sehingga akhirnya tidak ada secabik pakaian
lagi yang tinggal, kecuali pakaian yang melekat di badan mereka,
dan ini tentu saja mereka tak dapat menjualnya.
377
terseok-seok berlari mencari tempat berteduh dan mereka
mendapatkan tempat yang terdekat, di bawah emper sebuah biara
wanita yang di atas pintunya terpancang papan bertuliskan tiga
buah huruf:
“Thian-an-si.”
Dan benar saja! Ketika dilihatnya ke dua ibu dan anak yang
nampaknya seperti jembel itu mendatangi dan berteduh di emper
bio, biarawati muda itu buru-buru saja menutupkan pintunya,
seakan-akan takut kalau dua orang peneduh itu minta masuk dan
mengotori lantai kuil yang bersih dan mengkilap itu!
Sampai malam hari, hujan belum juga reda sehingga ke dua ibu
dan anak yang hidupnya sudah tidak mempunyai pegangan itu
masih tetap berdiam di situ. Lan Eng mendekap puterinya yang
kedinginan dan mereka berdiri di sebuah sudut emper untuk
menjauhi percikan air hujan yang terhembus angin malam yang
agak kencang.
378
Lan Eng mengharapkan hujan itu reda, supaya ia dan anaknya bisa
pergi dari situ dan mencari tempat berteduh lagi di lain emper yang
lebih luas, di mana mereka akan bisa tidur dengan berbaring.
Ketika malam sudah agak larut dan Lan Eng serta Yang Hoa masih
berada di situ, tiba-tiba pintu kuil itu dibukakan orang dari dalam
dan tampaklah oleh Lan Eng seorang nikouw tua menyembulkan
kepalanya dari ambang pintu dan memandang kepada mereka.
Lan Eng menduga pasti nikouw itu akan mengusirnya, akan tetapi
tak disangkanya sama sekali bahwa biarawati tua itu lalu
menegurnya dengan irama katanya yang ramah:
379
maklumlah ia bahwa nyonya dan nona kecil yang kelihatannya
seperti jembel itu, bukanlah pengemis benar-benar.
Untuk sesaat Lan Eng merasa ragu, sehingga kemudian nikouw itu
mengulangi ajakannya. Oleh karena Lan Eng merasa kurang baik
kalau menolak ajakan pendeta wanita yang baik budi itu, maka
dengan agak sungkan ia menuntun puterinya masuk ke dalam kuil
diiringi oleh nikouw itu setelah menutup kembali dan mengunci
pintu kuil dari dalam.
380
duduk di bangku yang tersedia di situ. Dan nikouw itu sendiri juga
duduk menghadapi mereka.
“Kalau tak salah dugaan pinni, agaknya kalian datang dari tempat
jauh dan kalau boleh pinni selaku ketua kuil ini mengetahui, kalian
dari mana dan hendak pergi kemana?” tanya nikouw tua itu
membuka percakapan.
381
“Benarlah, Suthay. Hidupku sudah tidak mempunyai pegangan dan
kalau aku tidak ingat dan sayang kepada anakku yang masih kecil
ini, agaknya akupun sudah menyusul suamiku ke alam baka.”
383
ini, demi kebaikan hidupnya dan terutama demi kebaikan nasib
puterinya yang masih kecil itu.
384
menatap kepada Yang Hoa yang ketika itu duduk sambil
menyandar kepada ibunya, melenggut karena ngantuk.
Ketika cerita Lan Eng sudah selesai nikouw itu menarik napas
sambil menyebut nama Budha Yang Agung dan Thian Yang Maha
Kuasa. Kemudian ujarnya:
“Bagus! Sekarang sudah jelas bagi pinni apa yang harus dilakukan
untuk memecahkan kesulitanmu. Nah, sekarang, karena hari
sudah terlalu malam, hal ini kita bicarakan lebih lanjut esok hari.
Kini pinni persilahkan kau dan anakmu pergi mandi, tukar pakaian,
makan dan tidur.”
Demikianlah sejak saat itu, Lan Eng dan puterinya tinggal di kuil itu
dengan mendapat perawatan baik dan Goat Im Nionio, yaitu ketua
kuil yang baik hati itu. Penghidupan di dalam kuil dan pergaulan
dengan para nikouw mendatangkan rasa tenteram di hati Lan Eng.
Dan kini, sungguh pun ia sudah lama sekali mengundurkan diri dari
dunia kang-ouw dan menuntut penghidupan tenteram sebagai
386
ketua kuil, namun kalau mendengar sesuatu peristiwa yang tidak
adil, hatinya tergerak untuk menolong sesama manusia yang
tertindas.
Peristiwa duka yang menimpa Lan Eng dan keadaan ibu dan anak
yang demikian sengsara itu, disamping menimbulkan rasa iba di
hati Goat Im Nionio, juga jiwa dan semangat kependekaran ketua
kuil ini bangkit sehingga ia berjanji untuk membantu mencari jalan
keluar dari penderitaan yang diderita oleh Lan Eng dan juga
puterinya.
387
“Benar Suthay. Akan tetapi sebagaimana pernah kunyatakan
bahwa aku ini seorang perempuan lemah, bagaimana maksud
hatiku ini bisa terlaksana?”
Hal ini memang diharapkan oleh Lan Eng, maka kini setelah
mendengar pernyataan Goat Im Nionio, tanpa banyak pikir lagi ia
segera menjatuhkan diri dihadapan nikouw itu seraya katanya:
“Suthay, aku sudah terlalu besar berhutang budi padamu, entah
bagaimana aku harus membayarnya kelak…….”
388
seperti yang ia lakukan terhadap nikouw itu, maka ia segera
menegurnya:
“Yang Hoa, sejak pinni bertemu dengan kalian pada malam hari itu,
pinni sudah melihat bahwa kau mempunyai bakat baik untuk
menjadi muridku, seorang murid yang sudah lama sekali pinni
389
inginkan. Sesungguhnya pinni sudah merasa tipis harapan untuk
mendapatkan seorang murid yang berbakat sebaik engkau,
sehingga sedikit kebodohanku agaknya akan musnah begitu saja
tanpa pewarisnya.
Bagi Lan Eng, pelajaran ilmu silat pedang ini dirasakan suatu
pelajaran yang amat berat dan tak mudah. Gerakan-gerakan
pedang yang diajarkan oleh Goat Im Nionio baginya dirasakan
amat sukar dan oleh karena memang nyonya ini tidak memiliki
390
bakat baik untuk diwarisi ilmu silat dan disebabkan hanya
terdorong oleh kemauannya yang keras untuk membalas dendam
terhadap pembunuh suaminya saja, maka sukarlah baginya untuk
mempelajarinya dengan sempurna.
Goat Im Nionio maklum akan hal ini dan maklum pula bahwa
tulang-tulang di dalam tubuh nyonya itu sudah terlalu kaku
sehingga tidak dapat menerima pelajaran seperti yang
diharapkannya. Oleh karena itu, maka Goat Im Nionio lalu memberi
palajaran dalam cara lain, yaitu ilmu menyambitkan senjata
rahasia.
Ternyata bagi Lan Eng ilmu menyambit piauw (senjata rahasia) ini
dapat dipelajari dengan lebih berhasil. Memang mempelajari ilmu
ini jauh lebih mudah daripada ilmu pedang yang banyak gerakan-
gerakannya yang sangat memusingkan kepalanya itu, maka ia
terus melatih diri dalam hal pelajaran menyambit piauw ini
sehingga akhirnya nyonya ini dapat dan pandai sekali
menyambitkan lima batang piauw sekali gus dan mengenai
sasarannya secara jitu!
391
ilmu silat. Segala pelajaran yang dipelajarkan oleh Goat Im Nionio,
secara mudah sekali oleh gadis ini “dilalapnya!”
392
selalu menanti tibanya waktu untuk pergi mencari, menyelidik dan
memberi hajaran kepada kedua musuh besarnya itu.
393
Demikianlah dengan singkat dapat diceritakan bahwa kurang lebih
enam tahun kemudian setelah apa yang dituturkan di atas, maka
di dunia kang-ouw muncullah dua orang pendekar wanita baru
yang sering melakukan perbuatan mulia terhadap sesama
manusia yang hidupnya tertindas.
394
membidik seekor burung yang sedang terbang secara jitu! Dengan
demikian, Lan Eng sekarang tidak merupakan seorang wanita
lemah lagi seperti dahulu.
Untuk yang terakhir kali, Lan Eng dan Yang Hoa berlutut untuk
penghormatan tanda pamit sambil menghaturkan terima kasih
yang tak terhingga dan berjanji pula bahwa kelak bilamana tugas
membalas sakit hati terhadap kedua pembunuh Ho Kim Teng
395
sudah selesai, mereka akan kembali berkunjung ke kuil Thian-an-
si lagi.
Begitulah, Nyonya Lan Eng dan nona Yang Hoa mulai melanjutkan
perantauannya lagi. Kalau dahulu mereka melakukan perantauan
tanpa arah tujuan yang tentu dan membawa azab sengsara yang
membuat mereka terlunta-lunta, adapun sekarang mereka
melakukan perjalanan dengan hati besar dan bersemangat karena
kini mereka bukan wanita-wanita lemah seperti dulu lagi!
396
Yang Hoa tak dapat berbuat lain daripada menyetujui dan ketika ia
mendengar bahwa mereka akan menemui calon-mertuanya, tiba-
tiba wajah dara ini menjadi merah. Ho Yang Hoa kini telah menjadi
seorang gadis dewasa, hingga ia dapat menggunakan
pengertiannya dalam sesuatu masalah.
397
Sepanjang perjalanan yang jauh itu, tentu saja mereka selalu
memasang telinga dan membuka mata untuk mencari dan
menyelidik kalau-kalau saja mereka dapat menemukan musuh
besar mereka. Dan disamping itu tentu saja mereka acapkali
bertemu dengan penjahat-penjahat kecil yang mencoba
mengganggu mereka. Akan tetapi semua tantangan itu selalu
dapat diganyang oleh piauw Lan Eng dan terutama sekali diamuk
oleh pedang di tangan puterinya.
Yang Hoa ternyata seorang gadis yang keras hati dan telengas
terhadap para bicokok yang hendak mengganggunya. Hal ini
mungkin disebabkan karena ayahnya telah dibunuh oleh penjahat,
maka ia merasa benci dan gemas sekali terhadap kaum penjahat
umumnya, sehingga ia selalu mempergunakan pedangnya untuk
mengganyang mereka tanpa mengenal ampun lagi.
Dan akhirnya, pada suatu hari mereka tiba di kota Tong-koan dan
kebetulan sekali pada hari tersebut penyelenggaraan pibu untuk
398
menghabiskan persaingan antara Can Po Goan dan Lu Sun pin
dan sekaligus untuk memilih ketua Pauw-an-tui, dilangsungkan.
Lalu para murid dari kedua pihak yang bermusuhan itu bertempur,
kemudian si Pagoda besi Lu Sun Pin dikalahkan oleh Po-thauw-
sin-kun Can Po Goan. Sampai akhirnya pemuda Souw Bun Liong
dinyatakan sebagai ketua Pauw-an-tui dan mendapat gelar Tong-
koan Ho-han.
Kisah duka yang diceritakan oleh Lan Eng secara panjang lebar ini
didengarkan oleh nyonya janda Souw dengan sangat terharu,
sedangkan hati Bun Liong menjadi marah sekali mengingat
kecurangan Cio Leng Hwat yang mengkhianati Ho Kim Teng
399
sehingga menyebabkan ibu dan anak itu menjadi demikian
sengsara! Maka begitu Lan Eng selesai bercerita pemuda itu
segera bertanya:
“Bibi, dalam ceritamu tadi aku hanya mendengar nama Cio Leng
Hwat, sedangkan yang menjadi biang keladi dari manusia curang
itu, yaitu si begal tunggal itu, tak kudengar bibi menyebut namanya.
Siapakah nama si begal tunggal itu?”
Kini Bun Liong yang menarik napas, karena pemuda inipun turut
menyesal tidak mengetahui nama begal tunggal sehingga baginya
agak sulit untuk membantu mengadakan penyelidikan. “Yah, bibi,
mudah-mudahan Thian memberikan petunjuk pada kita, supaya
manusia-manusia durjana yang berhutang jiwa dari mendiang
400
paman Ho itu dapat kita ganyang. Aku berjanji akan membantu
mengamat-amati……..”
401
besarmu, siapa tahu kalau mereka benar-benar diam di dalam
daerah Tong-koan ini!”
Oleh karena itu, maka dapatlah diceritakan bahwa Lan Eng dan
puterinya, mulai hari itu tinggal di rumah nyonya janda Souw.
Mereka menempati sebuah kamar tersendiri yang sejak dulu
memang dijadikan kamar tamu.
Hal ini tentu saja membuat hati Bun Liong bersorak saking
girangnya! Hati pemuda manakah yang takkan merasa girang
kalau di rumahnya yang menumpang dara jelita? Apalagi bagi Bun
Liong. Karena dara itu telah mencuri hatinya, maka pemuda ini
merasakan bahwa di rumahnya yang berkeadaan demikian miskin
dan prihatin itu seakan-akan mendadak kejatuhan rembulan…….!
402
Ketika senja menjelang malam, Bun Liong duduk seorang diri di
ruangan depan dengan punggung dan kepalanya disandarkan
pada dinding rumah. Ibu pemuda ini, ketika itu tengah asyik
bercengkerama di kamar tamu dengan Lan Eng dan Yang Hoa.
403
Biarpun ilmu silatnya tinggi, namun Bun Liong dalam hal
pengalaman masih sangat mentah, apalagi sebagai ketua dari
organisasi massa, maka “jabatan” dan pekerjaan yang bakal
dihadapinya ini benar-benar menegangkan pikirannya!
404
dara itu dan alangkah lebih senang hatinya kalau nona itu bukan
tinggal hanya untuk sementara saja di rumahnya, melainkan
untuk……. selama-lamanya!
Bun Liong kini sudah menjadi dewasa. Biarpun tiada orang yang
memberitahukan kepadanya, namun hatinya telah mendapat
bisikan bahwa meski baru sehari saja ia bertemu kembali dengan
bekas kawan bermainnya sewaktu kecil yang sudah berpisah
hampir sepuluh tahun lamanya, ia telah “jatuh hati” padanya.
405
Ia lewat di depan rumah Yang Hoa dan apabila bocah perempuan
yang dikuncir rambutnya itu kebetulan berada di depan rumahnya,
ia melambai-lambaikan tangan kepada gadis cilik itu yang
membalasnya dengan lambaian tangan pula sambil tertawa-tawa
kecil.
Tidak jarang ketika sedang berlarian seperti itu Yang Hoa benar-
benar jatuh dari “kuda”nya sehingga menangis menjerit-jerit dan
mengaduh, lalu Bun Liong memapah teman baiknya yang
mendapat “celaka” itu untuk dibawa ke rumahnya sambil
membujuk dan menghiburnya. Lalu meminta kepada orang tuanya
supaya mengobati baret kecil yang tampak menggores di lutut
nona itu.
406
rambut Yang Hoa yang menyebabkan gadis cilik itu menangis
menjerit dan berlari ke dalam rumah untuk mengadu kepada orang
tuanya.
407
ibunya telah berdiri disampingnya, dan ia tak segera dapat
menjawab tegurannya yang bersifat menggoda itu.
408
Kata-kata ibunya ini benar-benar merupakan pukulan yang sangat
jitu bagi hati Bun Liong, sehingga pemuda ini untuk sejenak tak
dapat berkata-kata wajahnya kemerah-merahan karena malu.
409
di dalam mimpi saja. Namun sekarang hal ini terjadi sebenarnya
dan memang ibunya bicara seperti apa yang didengarnya tadi.
Bun Liong tidak berani mungkir bahwa ia sudah jatuh hati atau
jelasnya merasa cinta kepada gadis itu dan tentu saja ia
mengharapkan bahwa kelak gadis itu bisa menjadi jodohnya. Apa
yang telah bersemi di lubuk hatinya, khayalan indah yang
mengganggunya sejak tadi kini menjadi kenyataan.
410
silatnya. Pendapatku sangat cocok sekali dijadikan mantuku,
apalagi perjanjian pertunangan itu telah menjadi kemauan dari
mendiang ayah nona itu dan ayahmu sendiri dan yang tentu saja
telah mendapat persetujuan dari pihak para isterinya, yakni aku
sebagai ibumu dan bibimu, ibu dari Yang Hoa itu……
“Mama, kalau hal ini sudah menjadi kehendak mendiang ayah dan
menjadi kehendakmu pula dan juga telah bermufakat dengan
411
keluarga paman Ho Kim Teng……. baiklah, anak….. anakmu ini
menerima gagasanmu dan merasa setuju serta……. merasa
berterima kasih……”
“Kalau Yang Hoa menjadi isteriku, berarti beban kita makin berat
dan mungkinkah dia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kita
seperti ini? Ah, tidak! Aku takut kasihan kalau aku tak dapat
memberikan kebahagiaan kepadanya…….”
412
dihadapinya. Akan tetapi, sebelum ibu yang bijaksana ini sempat
berkata untuk menghibur puteranya yang sangat berkecil hati
memikirkan hari depannya itu, tiba-tiba ia dan juga Bun Liong
tersentak kaget karena saat terdengar suara orang yang
menyahuti perkataan pemuda itu tadi.
Ketika ibu dan anak itu menoleh, ternyata Li Lan Eng telah muncul
dari ruangan dalam dan karena nyonya janda Ho ini mendengarkan
percakapan In Hoa dan Bun Liong, maka ketika ia mendengar
ucapan yang terakhir dari pemuda itu, yang mencerminkan bahwa
calon mantunya itu berkecil hati karena keadaannya yang miskin
dan sengsara, lantas saja nyonya ini menukas:
“Liong-jie, tak perlu kau berpikir begitu jauh dan tidak semestinya,”
kata Lan Eng sambil berjalan menghampirinya dan duduk di dekat
mereka, lalu lanjutnya: “Ketahuilah, pernikahan tergantung kepada
umur dan sekali-kali bukan bersandarkan kepada kaya miskin
keadaan seseorang. Ibarat bunga mekar pada musimnya, barulah
selaras dengan kemauan alam!
413
kukenal sejak kau masih kecil dan sekarang kupercaya bahwa kau
akan menjadi teman hidup Yang Hoa yang baik.
414
Pikiran dan perasaan Bun Liong kini menjadi tenang dan lega
setelah mendengar ucapan Lan Eng tadi yang alasannya dapat
diterima. Tanpa ragu-ragu lagi dan bahkan dadanya berdebar-
debar girang, ia bangkit dari tempat duduknya dan berlutut
dihadapan Lan Eng sambil katanya; “Gak-bo (ibu mertua)!”
“Ah, enci Hoa, arwah-arwah suami kita tentu merasa puas melihat
rencana mereka sudah kita laksanakan dengan lancar…….”
Bun Liong pun merasa pilu juga hatinya, akan tetapi pemuda ini
segera menemukan jalan keluar dari pada suasana yang sedih itu,
dengan berkata,
416
“Yang Hoa, seperti kau telah ketahui, perundingan kita dengan
nyonya rumah tadi adalah mengenai pertunanganmu dengan Bun
Liong. Sejak masih kecil kalian telah kami pertalikan.
Yang Hoa adalah seorang wanita, maka dalam hal ini tentu saja
baginya amat berat untuk menjawab. Biarpun sudah maklum
bahwa sejak kecil sudah dipertunangkan dengan Bun Liong,
kawan bermainnya dan meskipun kini ia mendapat kenyataan
bahwa bekas kawan bermainnya yang dahulu suka menarik-narik
rambut kucirnya itu telah menjadi seorang pemuda tampan, gagah
dan berkepandaian silat tinggi.
417
Ia hanya berdiri diam bagaikan patung, mukanya yang menjadi
makin merah ditundukkan, dan kalau saja jari-jari dari kedua
tangannya tidak bergerak memintal-mintal ujung sabuk pengikat
pinggangnya, ia akan benar-benar tampak seperti sebuah patung.
Sampai lama keadaan menjadi sunyi oleh karena semua orang,
terutama Bun Liong yang sudah menahan napas menanti jawaban
nona ini yang tak kunjung terdengar.
418
beberapa orang tetangga yang terdekat untuk dijadikan saksi pada
peristiwa bahagia tersebut.
Malamnya, setelah pesta kecil itu selesai dan para tetangga sudah
pada pulang, In Hoa, Lan Eng dan nona Yang Hoa membereskan
piring mangkok bekas perjamuan sederhana tadi. Adapun Bun
Liong yang seharusnya membantu mereka, pergi dan berjalan ke
arah belakang rumahnya.
419
Ketika ia hendak keluar dari pintu belakang, kebetulan ia bertemu
dengan calon isterinya yang membawa seember air yang
diambilnya dari perigi di belakang rumah itu. Untuk sejenak mereka
tertegun dan sepasang calon suami isteri ini saling berpandangan.
Bun Liong memandang dengan sinar mata yang penuh kasih
mesra dan berkata dengan suara perlahan:
Malam itu walaupun tidak berbulan, langit sangat cerah dan dihiasi
bintang-bintang gemerlapan bagaikan ribuan intan permata yang
420
tersebar. Bun Liong menengadah ke angkasa dan memandang
bintang-gemintang seakan-akan hendak mencari dan menilai
binang mana yang paling indah.
“Ah, betapa suhuku akan gemhira dan bangga kalau aku berhasil
menunaikan tugas yang diletakkan di pundakku ini, mengganyang
421
segolongan manusia yang menuntut penghidupan sewenang-
wenang, yaitu komplotan penjahat yang menimbulkan huru hara,
merusak dan merugikan rakyat jelata dan yang menyebabkan
daerah Tong-koan ini menjadi demikian tak aman dan genting! Dan
apabila komplotan penjahat sudah diganyang habis dan keadaan
menjadi aman kembali, maka aku dapat melangsungkan
perkawinanku dengan Yang Hoa, alangkah manisnya
hidupku…….”
422
batinnya seakan-akan menjerit meminta perlindungan Tuhan,
supaya peristiwa yang sangat mengecilkan hatinya tidak sampai
terjadi.
423
“Lama sih belum, akan tetapi sempat juga kudengar kau mengeluh
demikian dalam. Apakah yang membuatmu mengeluh sedemikian
rupa, Koko?”
“Aku bukan takut mati, adik Yang! Bagi orang yang pernah
mempelajari ilmu silat seperti kita soal celaka dan tewas dalam
pertempuran adalah soal biasa saja.”
Yang Hoa ketawa kecil dan berkata: “Jadi itulah yang membuatmu
mengeluh? Kukira…….”
424
“Kau kira apa, adikku?”
“Dan, kau bagaimana adik Yang? Sukakah kau akan pilihan ibumu
ini?” tanya Bun Liong dengan irama kata menggetar dan
425
sementara tangannya yang memegangi tangan tunangannya,
digenggamkan semakin erat.
426
Yang Hoa menggelengkan kepalanya dan suaranya penuh
kepastian tatkala ia berkata, “Tidak! Betapapun besarnya rasa
baktiku terhadap orang tua yang segalanya harus dipatuhi, akan
tetapi dalam hal perjodohan, kalau aku sendiri tidak setuju, pasti
kutentang!”
“Kalau begitu…… jadi…… jadi kau suka padaku?” tanya Bun Liong
sambil menggeserkan duduknya sehingga rapat dengan si gadis
dan pegangan tangannya tambah dipererat.
427
“Koko, jangan kau berkata begitu! Apakah kau anggap aku ini gadis
mata duitan yang cintanya hanya berdasarkan atas harta
kekayaan? Koko, orang bijaksana pernah mengatakan bahwa
kebahagiaan rumah tangga tidak semata-mata bergantung pada
banyaknya harta kekayaan. Oleh karena itu, koko, biarpun akan
menderita hidup miskin, percayalah bahwa di sampingmu aku akan
berbahagia!”
Bun Liong menarik lengan Yang Hoa sehingga gadis itu tersentak
dan jatuh bersandar ke dadanya yang bidang.
428
Angin malam berhembus sepoi-sepoi basah, memberi kesejukan
kepada sepasang calon suami isteri yang duduk rapat
berdampingan dengan penuh kehangatan itu. Untuk beberapa saat
mereka tidak berkata-kata karena keduanya sedang hanyut dalam
alunan asmara, dibuai kasih yang mesra. Kedua teruna itu
membisu dalam seribu basa.
“Kebakaran……. koko?”
429
“Benar! Rupanya gerombolan garong mendatangi kota Tong-koan
dan malam ini entah berapa rumah lagi yang dibumi hanguskan
oleh mereka!”
“Tetapi, apa koko? Dan mengapa pula kau mengeluh?” tanya Yang
Hoa yang merasa heran ketika melihat sikap tunangannya berubah
dan wajahnya tiba-tiba muram.
431
Yang Hoa menyambut kegembiraan dan kebanggaan
tunangannya hanya dengan senyum manis.
Keesokan harinya, hari masih agak pagi ketika Souw Bun Liong
bersama Ho Yang Hoa sudah duduk dalam pertemuan dengan Cio
Song Kang wan-gwe, Can Po Goan kauw-su dan Lu Sun Pin si
Pagoda Besi. Mereka ini yang dapat disebut sebagai tokoh-tokoh
penting dalam organisasi yang dinamakan Pauw-an-tui, duduk
mengitari sebuah meja bundar di ruangan tamu dalam gedung Cio
wan-gwe yang besar dan mewah. Di atas meja bundar tersebut
sudah dihidangkan oleh beberapa orang pelayan hidangan-
hidangan pagi yang masih hangat dan persis di tengah-tengah
meja, terdapat sebuah guci, berisi arak wangi yang mahal.
Mula-mula ketiga orang tua itu heran melihat Bun Liong hadir
bersama seorang wanita yang masih begitu muda dan cantik jelita,
akan tetapi kemudian setelah Bun Liong menerangkan kepada
mereka bahwa gadis yang, kini duduk di sebelahnya itu adalah
calon isterinya yang juga ingin menyumbangkan tenaganya dalam
Pauw-an-tui, maka mereka menjadi gembira dan puas.
432
kau dalam Pauw-an-tui ini dapat menjadi teladan bagi para lihiap-
lihiap agar organisasi kita bertambah kuat,” demikian ujar Cio wan-
gwe selaku panitia, kepada Yang Hoa.
433
rendah sekali kepada Yang Hoa, dara yang tampaknya lemah
lembut sikapnya itu.
Bun Liong merasa lega dan Yang Hoa pun merasa berkurang
kemendongkolan hatinya karena ucapan Can kauw-su selain
memuji kepadanya secara tak langsung, berarti juga bantahan
yang amat mengena bagi bekas satrunya, Lu Sun Pin.
435
“Benar!” Cio wan-gwe nyeletuk, “Biarlah soal ini kita serahkan
kepada Souw sicu saja, disamping itu tentu saja kita harus merasa
gembira menerima bantuan dari seorang lihiap. Nah, sekarang kita
mulai mengadakan perundingan untuk menyusun dan mengatur
cara kerja perkumpulan kita, dan aku harap Souw sicu sebagai
ketua mengeluarkan saran-saran terlebih dahulu.”
436
kepada seorang di antara sam-wi saja, sedangkan siauwtee sendiri
lebih suka menjadi anggauta saja.”
437
Kembali semua orang diam. Bun Liong yang cerdik maklum bahwa
kedudukan ketua sebuah perkumpulan adalah sangat berat
tanggung-jawabnya, sehingga Cio wan-gwe juga tidak mau, sama
halnya dengan dia sendiri. Maka pemuda ini lalu berkata dan
sengaja ditujukan kepada si Pagoda Besi terlebih dulu: “Kalau
begitu, Lu sianseng saja kita angkat bersama menjadi pangcu.”
438
Diam-diam Yang Hoa merasa geli hati melihat dan mendengar
orang itu dan memang sanggah perbantahan dari satu terhadap
yang lain amat beralasan.
439
atau pemimpin, — kata calon isterinya bukan saja berat tanggung
jawab, juga resikonya sangat besar, salah sedikit saja nama
baiknya akan jatuh ke dalam jurang yang memalukan!
“Can lopeh amat licin sehingga soal ini dilempar kembali kepada
siauwtee!” ujarnya sambil tersenyum. “Dan kalau sam-wi benar-
benar memaksa siauwtee harus menduduki tempat ketua, baiklah,
siauwtee terpaksa harus menerimanya juga…….”
“Bagus! Bagus!” seru ke tiga orang tua itu dengan gembira karena
mereka bebas dari persoalan yang amat berat tanggung jawabnya
itu.
440
“Nanti dulu…….!” Bun Liong menukas segera sehingga ke tiga
orang tua yang baru saja kegirangan serempak memandang
dengan heran kepada pemuda ini.
441
Kembali tiga orang tua itu diam dan saling berpandangan dengan
wajah bodoh. Benar juga gagasan pemuda she Souw ini, pikir
mereka. Keadaan di ruangan sepi, karena ke tiga orang tua itu
seperti terbentur pada jalan buntu!
Adapun nona Yang Hoa yang sejak tadi sudah merasa geli hati
melihat persoalan ketua ini yang agaknya amat membingungkan
bagi mereka yang bersangkutan, lalu berpaling kepada Bun Liong
yang duduk di sebelahnya dan pemuda itupun menoleh dan
memandang kepadanya.
442
“Sam-wi sekalian! Maafkanlah kalau siauwli berani bersikap
lancang, karena siauwli tahu bahwa seharusnya siauwli selaku
anggauta bawahan, turut duduk dan ikut bicara di sini. Akan tetapi,
mendengar persoalan kedudukan ketua ini yang membuat kalian
nampak kebingungan dan lagi siauwli mendapat isyarat dari
tunanganku yang minta bantuan unkuk mencari jalan keluar dari
kesulitan ini, maka perkenankanlah siauwli menyumbangkan
sedikit pendapat.”
Serempak, tiga orang tua itu memandang kepada gadis itu tanpa
berkata-kata dan hal ini dianggap oleh Yang Hoa sebagai isyarat
bahwa ia boleh bicara terus.
443
“Beginilah…….,” Yang Hoa melanjutkan ucapanya. “Tadi kudengar
bahwa seorang yang menjadi ketua harus memiliki kesabaran,
kebijaksanaan, berpemandangan luas dan ilmu silatnya tinggi, dan
pendapat kalian ini memang tepat sekali.
“Ke tiga macam syarat tadi sudah dimiliki oleh tiga orang di antara
cuwi dan sekarang menurut pengetahuan siauwli setelah tiga
syarat tadi harus ditambah lagi syarat keempat yaitu keuangan!
Sebuah perkumpulan atau organisasi harus cukup kuat
keuangannya agar perkumpulan yang dibentuknya pun kuat.
444
Apalagi di dunia ini segala sesuatu kekuatan dan kehormatan
selalu dipandang dari segi keuangan!
“Dan demikian juga bagi orang yang menjadi kepala atau pemimpin
dari sebuah perkumpulan, disamping harus memenuhi tiga syarat
yang telah disebutkan di atas, juga yang sangat penting, harus kuat
keuangannya, yakni tegasnya seorang hartawan, agar dihormati,
disegani dan badan yang dipimpinnya dapat bekerja lancar.
“Dan syarat keempat ini dimiliki oleh Cio tayjin. Dengan adanya ke
empat syarat yang sudah dimiliki oleh kalian berempat maka apa
sukarnya untuk mengatur siapa yang pantas menjadi pang-cu
Pauw-an-tui ini?
445
dengan matanya yang terbuka lebar seolah-olah ia tidak percaya
bahwa usul itu keluar dari mulut si nona, sedangkan Can Po Goan
mengangguk-angguk kecil.
446
“Bagus!” ujar Cio wan-gwe gembira. “Kita harus berterima kasih
kepada nona calon isteri Souw sicu ini, karena kalau tiada dia di
sini, pasti kita akan terus saling tunjuk tiada putusnya seperti tadi.
447
komplotan garong yang akan mereka ganyang itu, pasti terkikis
habis!
448
yang memang memberi nasehat pada mereka bahwa permusuhan
yang tidak semestinya itu harus diakhiri.
Para anak murid Can kauwsu maupun Lu Sun Pin memang sangat
mentaati guru-guru mereka, dan itulah sebabnya maka hari itu
mereka bekerja sebagai pencatat nama orang-orang yang
menyatakan diri menjadi anggauta Pauw-an-tui. Disamping
kesibukannya, mereka bekerja dengan wajah yang berseri-seri
karena mereka sadar bahwa kini mereka sudah sama-sama
menjadi kawan sehaluan untuk menggalang persatuan dan tekad
yang sama, yaitu mengganyang musuh-musuh mereka, musuh-
musuh masyarakat wilayah Tong-koan umumnya, yaitu
gerombolan garong dan komplotan bajak sungai!
◄Y►
Cahaya merah yang terlihat oleh Bun Liong dan Yang Hoa
semalam memang perbuatan komplotan penjahat tersebut yang
untuk kesekian kalinya kembali mengunjukkan keganasannya.
Beberapa rumah penduduk di pinggir kota Tong-koan telah
dibakar, harta benda rakyat jelata habis digasak, dan dua orang
gadis muda hilang diculik!
449
Peristiwa semacam ini memang bukan rahasia lagi bagi seluruh
penduduk wilayah Tong-koan, tapi peristiwa yang terjadi malam itu
agaknya disebabkan karena komplotan garong tersebut ingin
melampiaskan dendam mereka setelah Ciam Tang si Srigala
Hitam, Bu Kiam dan Bong Pi dikalahkan oleh Bun Liong di atas
panggung lui-tay pada siang harinya. Mereka mengunjukkan aksi
mereka sebelum barisan keamanan dibentuk dan beberapa orang
penduduk sempat mendengar teriakan-teriakan dan sesumbar
mereka:
“Mana Pauw-an-tui…….?!”
451
sedangkan para wanita dan anak-anak bersembunyi di dalam
rumah dengan hati berdebar-debar. Setiap bunyi gaduh yang
terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus maupun kucing, membuat
mereka pucat ketakutan.
Cio wan-gwe yang pada malam itu telah mengenakan pakaian silat
yang serba ringkas, membekal senjata sebatang toya, dikawani
oleh Lu Sun Pin yang bersenjatakan golok besarnya dan Cio Swi
Ho, yakni putera tunggal Cio wan-gwe, yang membawa senjata
452
sebatang pedang, berjalan berkeliling dengan berpencar
melakukan perondaan di dalam kota.
Akan tetapi sampai jauh malam dan entah sudah berapa belas kali
mereka bertemu di pinggir timur dan barat, sama sekali belum
terlihat gejala-gejala munculnya gerombolan garong itu.
453
“Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita
sudah melakukan penjagaan,” kata Can kauw-su ketika mereka
bertemu pula di atas wuwungan rumah di pinggir barat wilayah
Tong-koan.
455
melihat cahaya api berkobar dikejauhan, yaitu kira-kira di dalam
kota Tong-koan.
456
ke dalam kota Tong-koan tanpa dapat dibendung lagi oleh para
anggauta Pauw-an-tui yang menjaga di pinggir kota. Ternyata
komplotan perampok itu, yang belum diketahui dari pihak
gerombolan si Cakar Harimau atau anak buah dari si Sungai
kuning, atau sangat mungkin dari ke dua-duanya seperti yang
sudah-sudah, telah menyerbu dan memasuki wilayah Tong-koan
dari berbagai jurusan.
457
perlawanan secara gagah berani! Sebentar saja pertempuran
hebat segera terjadi dan beberapa rumah penduduk jadi terbakar
oleh anak-anak panah berapi yang dilepaskan oleh para
perampok!
Ketika Can kauw-su, Bun Liong dan Yang Hoa tiba di tempat
kekacauan keadaan benar-benar sudah sangat panik. Suara
robohnya rumah-rumah yang dibakar gerombolan demikian
gemuruh bagaikan bunyi bukit runtuh, jerit minta tolong dari wanita-
wanita dan anak-anak penghuni rumah yang terbakar bercampur
dengan teriak dan suara beradunya senjata dari orang-orang yang
bertempur!
“Can lopeh dan juga kau, Yang-moay, lebih baik kita berpencar dan
sebaiknya kalian pergi ke rumah Cio Tayjin, siapa tahu di sana
terbit kekacauan yang lebih hebat dan mereka memerlukan
bantuan! Di sini biarlah aku yang turun tangan!” kata Bun Liong.
458
setelah memberi pesan kepada tunangannya: “Koko, kau berhati-
hatilah!”
Can kauw-su dan Yang Hoa berlari cepat seperti terbang menuju
ke tempat tinggal Cio wan-gwe. Di tengah perjalanan mereka
membantu para anggauta Pauw-an-tui dan pedang-pedang
mereka membabat para perampok!
459
Bun Liong maklum bahwa menghadapi pertempuran yang campuh
itu, lebih praktis ia menggunakan senjatanya. Maka sekali
tangannya merenggut tali pengikat pinggangnya, seutas tali yang
merupakan cambuk itu telah berada di tangannya dan sekali saja
tangannya bergerak, maka terdengarlah bunyi: “Tarrrr……!”
Bun Liong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang
perampok yang dikeroyok oleh para penjaga. Dua orang perampok
ini ternyata lebih lihay lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat
orang anggauta Pauw-an-tui yang menggeletak berlumuran darah,
sedangkan lima orang kawannya lagi yang masih mengeroyok,
sudah terdesak sekali.
460
“Serahkan mereka kepadaku!” teriak Bun Liong dan ke lima orang
anggauta Pauw-an-tui itu ketika melihat pemuda yang menjadi
pang-cu mereka datang, segera melompat mundur. Sebaliknya,
dua orang perampok ketika melihat Bun Liong, serempak maju
mengeroyok sambil mempergunakan golok-golok besar mereka.
Akan tetapi Bun Liong tidak mau membuang banyak waktu untuk
melayani mereka. Ia mainkan cambuknya dengan cepat dan dua
gebrakan kemudian cambuknya kembali telah merampas senjata
perampok tersebut dan pada waktu itu juga terdengar mereka
menjerit, karena yang seorang telah mendapat sodokan kilat dari
kaki Bun Liong yang menghantam lambungnya dan yang seorang
lagi, telah roboh dalam keadaan lemas karena jalan darah hian-hi-
hiat di bawah tenggorokannya telah kena ditotok oleh ujung
cambuk!
461
Para anggauta Pauw-an-tui bersorak gembira sambil menubruk
mereka dan tubuh perampok yang sudah tidak berdaya itu
dijadikan pelepas kemarahan mereka!
462
dikepung dan dikeroyok oleh sembilan orang perampok yang
bersenjata pedang, golok, tombak dan lain sebagainya!
463
teriak kesakitan dan akhirnya keduanya jatuh tersungkur sambil
terus mengaduh-aduh.
464
Perampok itu menyabetkan goloknya hendak membabat cambuk
dan ketika goloknya membentur ujung cambuk itu, ia rasakan
tangannya menggetar dan ternyata ujung cambuk itu tidak dapat
terputus oleh sabetan goloknya, bahkan sebelum ia sempat
mengelak, ujung cambuk secara istimewa sekali telah dapat
melibat pinggangnya!
Tetapi Bun Liong yang sudah marah sekali terhadap musuh yang
dikonfrontasinya tidak mau membiarkan mereka mabur begitu
saja. Cambuknya yang panjang itu segera diayun ke depan dan
terdengar “tar-tar-tar!” tiga kali membuat ke tiga perampok
465
mengeluarkan lengkingan meninggi dan tubuh mereka dalam saat
yang sama jatuh tersungkur dengan hidung mencium tanah.
Akan tetapi Bun Liong yang dipuji sudah semenjak tadi pergi dari
tempat itu dan cepat berlari menuju ke gedung Cio wan-gwe, selain
untuk membantu hartawan itu sendiri bersama Lu Sun Pin, dan
Can kauw-su, juga pemuda ini merasa khawatir kalau tunangannya
mendapat bahaya!
466
seperti yang menjadi dugaan Bun Liong tadi bahwa rumah Cio
wan-gwe tentu akan menjadi sasaran utama dari serbuan
komplotan perampok.
Tidak jauh dari tempat pertempuran itu, tampak pula Cio wan-gwe
sedang bertempur mati-matian menghadapi seorang perampok
yang bertubuh tinggi besar. Perampok tinggi besar ini mudah
dikenal oleh siapapun, ialah Ciam Tang si Srigala Hitam yang
memimpin penyerbuan ini!
Ketika itu, permainan toya Cio wan-gwe sudah kacau dan ia sudah
terdesak hebat dan terus didesak oleh Ciam Tang yang
mengeluarkan ilmu goloknya yang benar-benar tinggi. Tidak jauh
dari tempat pertempuran kedua orang ini, tampaklah tubuh Lu Sun
Pin menggeletak berlumuran darah dan sudah tak berkutik.
467
Agaknya Pagoda Besi ini sudah dirobohkan terlebih dulu oleh
pemimpin gerombolan itu!
Tanpa banyak cakap Can kauw-su dan Yang Hoa segera maju dan
menyerbu. Kalau Can kauw-su menghadapi lima orang perampok
yang telah merobohkan enam orang anggauta Pauw-an-tui tadi,
maka Yang Hoa segera menyela di antara pertempuran Ciam Tang
dan Cio wan-gwe.
“Amboi, amboi, galak benar si manis ini!” balas Ciam Tang sambil
berkelit dan diam-diam ia merasa sayang kalau harus bertempur
dengan gadis secantik itu.
470
permainan, kini maksud itu dibuangnya jauh-jauh dan diganti
dengan nafsu membunuh!
Akan tetapi, ternyata Ciam Tang kecele! Sudah lebih enam kali
goloknya sengaja diadukan dengan pedang Yang Hoa sehingga
menerbitkan bunyi “trang, traannng!” nyaring sekali dan bunga api
berpancaran keluar setiap kali dua batang senjata saling
membentur dengan hebatnya!
471
Disamping merasa kecele, Ciam Tang diam-diam hatinya terkejut
sekali karena bukan saja pedang gadis itu tidak terbabat putus atau
terpental, bahkan ia merasa telapak tangannya bergetar, sakit dan
pedas akibat sambutan tenga lweekang yang amat kuat dari gadis
itu. Untung tenaga gwa-kangnya cukup kuat dan iapun segera
menyalurkan tenaga lweekang agar goloknya tidak sampai
terlepas dari pegangannya, akan tetapi betapapun juga
pengalaman ini sudah cukup mengagetkannya.
472
yang besar dan mengkilap tajam itu setelah membuat gerakan
berputar ke atas, tiba-tiba meluncur ke bawah menyentuh tanah
sambil mengeluarkan bunyi “cring!” karena ujungnya yang runcing
mengenai sebutir batu, dan dari bawah golok itu membuat
serangan miring ke atas yang merupakan sabetan maut ke arah
dada Yang Hoa!
473
cepat dan ujung pedang Yang Hoa masih menyerempet pangkal
lengan kirinya!
474
si nona, si Srigala Hitam tiba-tiba bersuit nyaring dan ia melarikan
diri di dalam gelap!
Agaknya suitan itu sebagai isyarat bagi para anak buahnya supaya
segera angkat kaki. Akan tetapi ternyata tidak seorangpun anak
buahnya yang mentaati isyarat pemimpinnya ini, karena semuanya
telah menggeletak di tanah akibat pengganyangan organisasi
Pauw-an-tui yang untuk pertama kalinya telah mencatat
kemenangan!
Ketika mereka melihat Yang Hoa dan Bun Liong berlari mengejar
si Srigala Hitam yang mabur itu, merekapun tidak mau ketinggalan,
semuanya turut mengejar. Sambil berteriak-teriak, mereka berlari-
lari jauh di belakang Yang Hoa dan Bun Liong.
Ternyata ilmu lari cepat dari Ciam Tang sudah cukup tinggi,
sehingga untuk beberapa lama, Yong Hoa dan Bun Liong belum
berhasil menyusulnya. Dalam kesempatan ini, biarpun tidak
pernah berjanji lebih dulu, telah digunakan oleh Yang Hoa dan Bun
476
Liong untuk saling menguji ilmu lari cepat masing-masing karena
memang kedua calon suami isteri ini belum pernah saling
mengunjukkan kepandaian masing-masing dalam keadaan yang
asli.
477
Bun Liong pun segera mengerahkan ilmu larinya yang juga paling
diandalkan, yaitu Teng-peng-toh-cuy (Menginyak Rumput
Menyeberang Air), sehingga tubuhnya yang memang memiliki gin-
kang tinggi itu menjadi sedemikian ringan seakan-akan sehelai
daun kering yang tertiup angin santer, melesat ke depan dengan
kecepatan luar biasa dan menyusuI Yang Hoa!
Yang Hoa jadi terkejut dan kagum ketika tiba-tiba merasa angin
bertiup dari belakang dan tubuh Bun Liong cepat menyambar lewat
disampingnya. Diam-diam si nona jadi “panas hati”.
478
Ia jadi tersenyum kagum ketika dilihatnya betapa tubuh calon
suaminya itupun telah melayang mendatangi yang ternyata telah
mempergunakan ilmu lompat pula yang disebut Naga Sakti
Mengejar Mustika, dan tahu-tahu pemuda itu telah berada tepat di
sebelah kirinya!
Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan karena pagi itu tidak
ada halimun, maka sebentar saja keadaan menjadi terang. Hal ini
amat menggelisahkan hati Ciam Tang yang melarikan diri oleh
karena ketika ia sudah sampai jauh di luar perbatasan wilayah
Tong-koan dan hendak memasuki hutan, ke dua orang
pengejarnya terus mengejar dan tak mau melepaskannya, serta
keadaan yang mulai terang itu tidak memungkinkannya untuk
menyembunyikan diri.
“Ciam Tang! Tidak ada gunanya kau melarikan diri! Biarpun masuk
ke dalam tanah kau takkan terlepas dari tangan kami!” seru Yang
Hoa sambil melompat maju sehingga kini benar-benar ia berhasil
479
mendekati Ciam Tang dan pedangnya pun nampak berkelebat
membabat punggung pemimpin gerombolan itu.
“Yang-moay, awas…….!!!!”
480
sempat menjerat sasarannya, tiba-tiba penjahat itu terdengar
berteriak dan tubuhnya roboh terguling berkelojotan!
481
Yang Hoa tersenyum, dan biarpun dara ini kelihatan amat letih,
namun wajahnya makin cantik dalam penglihatan Bun Liong.
Biarpun kedua anak muda ini amat terkejut tetapi hati mereka
cukup tabah. Mereka tidak takut bahkan sebaliknya mereka
menjadi sangat marah ketika dilihatnya bahwa penyerbuan itu
dipimpin oleh dua orang yang mereka sudah kenal, yaitu si
Sepasang Buaya Sungai Kuning, yang berlari paling depan dengan
senjata siap di tangan!
482
Agaknya gerombolan bajak sungai ini sengaja hendak menyerbu
ketika fajar baru menyingsing dan di tempat itu kebetulan sekali
mereka bertemu dengan Bun Liong dan seorang dara cantik. Hal
ini sangat menggirangkan hati Bong Pi dan Bu Kiam yang memang
hendak membalas sakit hati mereka terhadap pemuda yang
pernah mengalahkan mereka di atas panggung lui-tay tempo hari!
Sebentar saja Bun Liong dan Yang Hoa sudah dikurung, dan Bong
Pi serta Bu Kiam langsung menyerang Bun Liong. Sambil ketawa
mengejek, pemuda ini menyambut serbuan mereka dengan
ayunan cambuknya!
483
Yang Hoa yang sangat membenci segala kaum penjahat, telah
menggunakan pedangnya dengan tidak kepalang tanggung.
484
sekarang pemuda itu menggunakan senjatanya yang istimewa,
maka keruan saja mereka jadi repot. Dan permainan pedang
mereka yang biasanya sangat dibanggakan karena mempunyai
sistim kerja sama dan taktik yang kompak, kini menjadi kacau
berantakan!
Ketika itu tiba-tiba terdengar pula suara sorak sorai dari lain
jurusan. Bun Liong dan Yang Hoa cepat melirik dengan terkejut
karena mengira bahwa kawanan gerombolan datang pula, tetapi
485
hati mereka serempak menjadi lega karena suara sorak sorai itu
adalah dari para anggauta Pauw-an-tui yang ikut mengejar Ciam
Tang tadi, akhirnya mereka sampai di situ!
486
Bun Liong yang selalu waspada sudah maklum maksud mereka
ketika dilihatnya mereka merogoh kantong baju tadi, maka ketika
melihat dirinya diserang secara begitu tiba-tiba oleh enam batang
senjata rahasia sekaligus, sedikitpun ia tidak menjadi gugup. Akan
tetapi karena pihak penyerang sangat dekat dan senjata-senjata
rahasia itu meluncur sangat cepat sehingga ia tidak keburu untuk
menyampok atau menyambut enam batang piauw tersebut.
487
Inilah istilah rahasia bagi para anak buahnya untuk cepat melarikan
diri, dan setelah membobolkan kepungan dengan merobohkan
empat orang anggauta Pauw-an-tui yang mengurung dan
menghadangnya, Bong Pi dan Bu Kiam dapat melarikan diri dan
menghilang ke dalam hutan, diikuti oleh sisa anak buahnya yang
lari berserabutan!
489
kecantikannya, juga memuji keberanian dan kegagahan dara
perkasa itu!
490
Nama pujian ini memang tepat sekali karena bukan saja Yang Hoa
sudah membuktikan kegagahannya, akan tetapi juga merupakan
anggauta wanita yang satu-satunya dalam Barisan Penjaga
Keamanan itu. Bahkan sangat jelita pula, hingga serasilah kalau ia
disebut Dewi…….!
Ketika Bun Liong dan Yang Hoa sudah tiba di rumahnya, kedua
anak muda ini disambut oleh nyonya janda Souw dengan pelukan
kelegaan hati sedangkan nyonya janda Ho, menyambut
kedatangan mereka dengan wajah berseri-seri menandakan
bahwa hati orang tua ini merasa gembira melihat puteri dan calon
menantunya selamat dan bangga akan kegagahan dua orang
muda itu.
Kemudian Bun Liong dan Yang Hoa mendengar cerita dari nyonya
janda Souw bahwa semalaman rumah mereka telah didatangi oleh
tiga orang penjahat. Itu agaknya mempunyai maksud hendak
mengambil jiwa Bun Liong.
491
yang diarahnya dan hanya berdasarkan kira-kira saja tetapi
ternyata ke tiga batang piauw yang disambitkannya telah
mengenai sasarannya dengan sangat jitu sehingga ke tiga orang
penjahat itu, yang dapat dipastikan suruhan dari Ciam Tang,
berteriak dan jatuh dari atap rumah dan kemudian menemui
ajalnya di bawah gebukan dan bacokan orang-orang yang
memang sudah berjaga-jaga dan siap siaga!
“Liong-ko, tak usah kau berkecil hati. Selama ibuku berada di sini,
apakah yang mesti dikhawatirkan?”
493
sedangkan Can kauw-su sendiri memimpin sejumlah anggauta
Pauw-an-tui untuk menyusul belakangan dengan diam-diam dan
akan menyerbu sarang gerombolan dari lain jurusan!
Siasat penyerbuan ini telah diatur secara seksama dan cermat dan
Bun Liong serta Yang Hoa pun diberi petunjuk-petunjuk oleh guru
silat bekas tentara itu betapa sepasang anak muda ini harus
berbuat dalam penyerbuan ini!
494
Justeru dari kehebatan kuku-kuku jari-jari tangannya inilah maka ia
mendapat julukan si Cakar Harimau. Karena selain kuku-kuku itu
demikian kuat sehingga dapat merobek kulit tubuh, juga sedikit
atau berat luka di kulit yang disebabkan sentuhan kuku-kuku itu
berarti bahaya maut, kuku-kuku tersebut mengandung racun yang
sangat berbahaya!
495
telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian
yang tinggi sekali.
Hal ini bagi Lo Ban Kui dan anak buahnya bukan merupakan
penghalang, melainkan justeru merupakan “lawan usaha,”
sehingga mereka berlomba-lomba menggasak harta milik
496
penduduk Tong-koan. Berlomba membuat kekacauan dan
kekejaman, sehingga keadaan kota dan daerah Tong-koan sangat
menyedihkan.
497
Terhadap para anak buahnya ia kemudian mengadakan peraturan
keras dan disiplin. Disamping mengandung maksud hendak
mengadakan pembalasan besar-besaran, juga sejak malam
kematian Ciam Tang, si Cakar Harimau ini mengatur penjagaan
sarangnya dengan amat kuat karena ia sudah dapat menduga
bahwa organisasi Pauw-an-tui itu suatu waktu pasti akan datang
menyerbu ke tempat mereka!
498
mendapat julukan Tong-koan Ho-han seorang pendekar besar
bertangan selusin. Tidak tahunya hanya bocah cilik yang masih
bau susu!
Yang Hoa yang beradat keras dan paling muak kalau mendengar
perkataan kurang ajar, apalagi ditujukan terhadap dirinya dan
diucapkan oleh perampok yang sangat dibencinya sejak kematian
ayahnya, maka nona ini dengan hati marah dan gemas
mempercepat langkah kakinya dan menuju ke arah suara si
Beruang Lengan Besi tadi.
499
Sedangkan Bun Liong mengikutinya di belakangnya. Pemuda ini
berlaku tenang dan sabar, hanya sinar matanya yang tajam saja
yang menunjukkan bahwa ia selalu waspada.
Ketika kedua anak muda ini tiba di tanjakkan sebuah bukit di mana
para perampok yang dipimpin oleh Go Bang telah menanti sambil
bersembunyi di balik semak belukar yang rungkut. Tiba-tiba dari
depan terdengar suara mengiuk dan tidak kurang dari lima batang
anak panah meluncur cepat dan mengarah ke kedua anak muda
itu.
500
untuk menyambut kedatangan nonamu!” bentak Yang Hoa
nyaring.
501
Yang Hoa. Karena gadis ini telah berseru keras sambil
menyabetkan pedangnya bagaikan sambaran halilintar sehingga
sekali tangkis saja ke empat golok lawannya terpental!
Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari agaknya akan
kembali ke tempat persembunyian mereka, akan tetapi tangan kiri
dan kaki kanan Yang Hoa bergerak cepat. Dan entah gadis ini
membuat gerakan bagaimana, tahu-tahu dua orang liauw-lo yang
lari paling belakang telah roboh dan mengaduh-aduh!
Sementara itu dua orang liauw-lo yang lari duluan telah menghilang
di antara semak-semak sehingga Yang Hoa merasa gemas sekali
tidak keburu memberi hajaran terhadap mereka.
“Hebat dan ganas sekali!” dan berbareng dengan itu dari balik
semak-semak melayang keluar seorang lelaki bertubuh tinggi
besar dan bermuka hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya,
yang cepat menyambar tubuh kedua liauw-lo yang masih
melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon itu!
Diam-diam Yang Hoa dan Bun Liong merasa terkejut dan kagum
melihat gerakan Garuda Sakti Menyambar Kelinci yang
diperlihatkan oleh orang tinggi besar itu untuk menolong kedua
kawannya tadi. Tubuh yang demikian tmggi besar tapi mempunyai
gerakan yang demikian cepat dan ringan, dan selagi ia melompat
keluar dari semak dapat menyanggap tubuh kedua kawannya
503
dengan tepat. Hal ini sudah membuktikan betapa tinggi
kepandaian orang tinggi besar itu!
504
“Tay-ong maafkanlah atas kelancangan kami yang datang
berkunjung ke tempatmu tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
Maksud sebenarnya kunjungan kami berdua ini, selaku utusan dari
Pauw-an-tui hendak bertemu dengan Houw-jiauw Lo Ban Kui
locianpwee untuk merundingkan suatu hal yang penting mengenai
kebaikan kita bersama. Benarkah yang berkenan berhadapan
dengan siauwtee ini adalah Houw-jiauw Lo Ban Kui locianpwee
yang kumaksudkan?”
Melihat sikap yang sopan dan mendengar tutur sapa yang teratur
penuh hormat dari Bun Liong, agak meredahlah kemarahan di hati
Go Bang sehingga si Beruang Lengan Besi ini menyeringai
senang. Dan biarpun tadi ia sudah tahu siapa sebenarnya
sepasang anak muda itu, dari pada menjawab pertanyaan yang
diajukan Bun Liong, sebaliknya ia balas menanya pura-pura tidak
tahu:
505
bahwa siauwtee yang bodoh ini bernama Souw Bun Liong yang
secara kebetulan sekali mendapat kepercayaan selaku ketua
Pauw-an-tui.
506
perampok sehingga Bun Liong telah memanggilnya dengan
sebutan “tay-ong” (raja besar, istilah “kehormatan bagi kepala
rampok), ternyata bukan dia orangnya! Bukan tay-ong sudah
memiliki kepandaian tinggi, pikir Bun Liong apalagi kepala
perampok itu sendiri, niscaya berkepandaian lebih tinggi lagi!
Namun Bun Liong dan Yang Hoa adalah sepasang calon suami
isteri yang mempunyai dasar cerdik sejak mereka kecil. Apalagi
setelah mereka menerima petunjuk-petunjuk dari Can kauw-su
bahwa mereka harus berdiplomasi dan bersiasat pada saat ini.
Biarpun tidak merasa takut, namun perasaan Bun Liong dan Yang
Hoa tak urung diliputi ketegangan. Oleh karena keduanya maklum
bahwa di mana kaki-kaki mereka berpijak kini adalah tempat yang
sangat berbahaya sehingga mereka mesti selalu waspada dan
siap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang pasti akan
terjadi!
507
Tiat-pi-him Go Bang yang berjalan di depan, sebentar-sebentar
berpaling ke belakang melihat ke arah sepasang muda mudi itu
dan setelah melihat bahwa mereka mengikuti di belakangnya
bagaikan dua ekor kambing jinak membuntuti majikannya. Diam-
diam hatinya sangat girang karena ia merasa pancingannya
berhasil.
508
menangkap dua ekor kambing muda itu saja harus menunggu
bantuan dari Lo Ban Kui.
509
curiga ke arah si tinggi besar. Mereka seperti telah menduga apa
yang akan diperbuat oleh Go Bang terhadap mereka!
“Raksasa hitam keji! Kau tak tahu malu menyerang lawan yang
tiada bersenjata! Kalau benar kau hendak bertindak mewakili tay-
ong mu, biarlah aku yang bertindak selaku wakil dari pangcu Pauw-
an-tui menghadapimu! Pedangku akan melayani golok pemotong
babimu!”
511
Untuk sejenak ia merasa terkejut karena hadangan gadis itu sudah
dapat mematahkan tubrukannya terhadap Bun Liong. Bahkan
tangkisan pedang dari gadis itu hampir saja menyebabkan
goloknya terlepas dari pegangannya, bahkan telapak tangannya
terasa pedas dan lengannya tergetar.
Mengganyang Bun Liong atau gadis itu baginya sama saja, karena
kedua-duanya adalah musuh besar yang secepat mungkin mesti
dibikin beres! Apalagi ke dua bocah kurang ajar ini sekarang sudah
masuk ke dalam perangkapku, hanya kalau mereka dapat terbang
saja barangkali dapat lolos dari sini, maka biarpun mereka lihay,
apa yang mesti kugentarkan? Demikian pikir Go Bang sambil
membuat perhitungan.
512
“Bocah sombong, rasakanlah ketajaman golokku karena hari ini
merupakan saat yang terakhir dari hidupmu!” serunya. Dengan
mengeluarkan angin bagaikan kebutan sayap burung garuda yang
besar, goloknya menyambar ke arah Yang Hoa.
Akan tetapi Yang Hoa terlalu lincah dan kalau tidak terpaksa sekali,
ia tidak mau membenturkan pedangnya dengan golok lawan.
Baginya rugi kalau membiarkan pedangnya yang tipis itu dihantam
oleh golok besar! Juga nona ini tidak mau mengandalkan
ketajaman pedangnya untuk membabat golok lawan.
513
Biarpun pedangnya itu sejenis pedang mustika yang sangat tajam
dan ampuh, tetapi tentu akan rusak juga kalau dipakai untuk
membabat golok Go Bang karena golok itu tebal dan berat. Juga
ada bahayanya yakni kalau ia kalah tenaga, pedangnya akan
terlepas dari pegangan.
Ilmu golok Go Bang cukup hebat serta ganas. Dan dari pergerakan
kaki dan tangan kirinya yang kadang-kadang maju pula menyerang
dengan tendangan dan cengkeraman, dapat diduga bahwa ia
mempunyai ilmu silat dari utara yang dicampur ilmu berkelahi gaya
Mongol.
514
Dan yang lebih mengagumkan lagi, setiap kali setelah lengan kiri
itu membuat tangkisan serangan pedang lawan, secepat kilat dan
seperti gerakan otomatis tangan kirinya mengulur ke depan dan
hendak menangkap pedang yang pasti akan terampas oleh
cengkeraman jari-jari tangannya apabila Yang Hoa tidak cepat
menarik kembali senjatanya! Diam-diam Bun Liong memuji
kepandaian Go Bang ini, akan tetapi ia percaya akan ketangguhan
dan kehebatan calon isterinya.
515
Pertempuran itu sudah berlangsung kurang lebih tigapuluh jurus
dan Bun Liong melihat bahwa Yang Hoa sudah mulai mendesak
lawannya. Akan tetapi, oleh karena Go Bang bertempur dengan
nafsu besar dan kemarahan yang berapi-api sehingga
membuatnya nekad, maka untuk beberapa lama Yang Hoa belum
mendapat kesempatan merobohkannya.
516
Ia cepat sekali mengalihkan pedangnya yang tadi hendak
ditusukkan ke perut lawan itu diputarkan ke samping sebelah kiri.
Dan karena ini, selain pedangnya terhindar dari babatan golok,
juga gadis ini mempunyai kesempatan yang tidak terduga oleh
lawan, yakni sambil berjongkok, dengkul kaki kiri ditekuk dan kaki
kanan agak diluruskan ke belakang, serentak pedang yang tadi
diputarkan ke sebelah kirinya disabetbalikkan lagi ke kanan,
membabat kaki Go Bang!
Akan tetapi Yang Hoa sungguh terlalu cerdik dan cepat bagi Go
Bang. Selagi si Beruang Lengan Besi ini membuat loncatan kecil
tadi, tiba-tiba kaki kanan si nona melayang ke atas dan karena
gerak tendang ini demikian cepat seakan-akan melebihi kilat dan
pula terjadi di luar dugaan, maka tak ampun lagi ujung sepatu si
nona telah menghantam pergelangan lengan kanan Go Bang dan
terdengar bunyi “Krak…..!”
517
Terdengarlah Go Bang mengaduh kesakitan karena ternyata
tendangan kilat itu telah membuat tulang sambungan di
pergelangan tangan kanannya terlepas sehingga goloknya
terlepas dari pegangannya! Ketika ke dua kaki Go Bang telah
menginjak bumi lagi dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu
karena menahan rasa sakit yang luar biasa pada pergelangan
tangan kanannya, tahu-tahu Yang Hoa telah maju dan
menggerakkan tangan kirinya dengan jari telunjuk dan jari tengah
terbuka, menusuk ke arah mata lawan!
Akan tetapi Yang Hoa bukanlah seorang murid dari Goat Im Nionio
seorang tokoh silat dari Thian-san-pay yang berkepandaian tinggi
kalau ia tak dapat melepaskan diri dari serangan yang berbahaya
ini. Serangan Yang Hoa yang seakan-akan hendak menculik biji
mata lawannya tadi hanya sebuah gerakan pancingan belaka agar
lawan mencurahkan perhatian kepada serangannya itu, dan iapun
518
tidak begitu bodoh kalau dirinya begitu dekat dengan lawan tanpa
perhitungan yang matang.
519
jungkir balik tiga kali di atas tanah sehingga dirinya jadi terpisah
dengan Yang Hoa sejauh tiga tombak lebih!
Sekali samber saja tangan kirinya telah menangkap lengan kiri Bun
Liong dan terus diputarkannya ke belakang sehingga lengan
pemuda itu tersengkilit!
520
“Kambing muda, lebih baik kau menyerah saja dan serahkan
kambing betina galak itu kepadaku. Kalau tidak lenganmu ini akan
patah-patah,” kata Go Bang mengancam dan ia merasa yakin
pemuda itu sudah tidak berdaya, karena memang Bun Liong
kelihatannya seperti benar-benar tidak berdaya!
Oleh karena itu, Yang Hoa mau tak mau mesti mengindahkan
isyarat calon suaminya dan ia mundur ke belakang tiga langkah
dengan dada berdebar tegang. Karena meskipun percaya bahwa
calon suaminya berkepandaian tinggi namun tak urung hati dara ini
merasa cemas dan khawatir.
521
pundaknya. Mengerti?!” Go Bang mengancam lagi sambil tangan
kanannya yang sudah setengah lumpuh itu digerak-gerakkan ke
arah Yang Hoa sehingga nona ini jadi semakin cemas dan gelisah.
522
kelinci menggeliat-geliat dalam cengkeraman harimau. Ia merasa
yakin bahwa pemuda itu akan menyerah mentah-mentah di dalam
tangannya!
523
Ia merasakan telapak tangannya yang tadi digunakan mencekal
pergelangan tangan pemuda itu sakit dan panas sekali bagaikan
mendapat sengatan berpuluh-puluh binatang kalajengking yang
berbisa dan seluruh lengan sampai ke pundaknya terasa sakit dan
panas pula! Ia menggerak-gerakkan lengan kirinya sambil
mengerahkan lweekang untuk coba memunahkan perasaan apa
yang dideritanya itu.
524
Liong yang dicekalnya erat-erat tadi! Ternyata Bun Liong yang tadi
kelihatannya seperti tidak berdaya itu, telah mengirim serangan
balasan dengan diam-diam dan akibatnya hebat sekali!
525
sambungannya dan memutuskan urat-urat dalam anggauta tubuh
yang berdekatan dengan bagian yang terkena serangan sin-kang
ini seperti halnya yang dialami Go Bang.
“Eh, Beruang Lengan Besi, tadi kau bilang hendak meremuk dan
mematah-matahkan lengan tanganku, tapi mengapa kau tiba-tiba
membatalkannya?! Agaknya kau menaruh kasihan terhadapku,
sehingga atas kemurahan hatimu benar-benar aku merasa
berterima kasih kepadamu…….,” kata Bun Liong sambil tersenyum
menyindir dan wajahnya yang tampan sengaja ditunjukkannya
seperti seorang tolol!
526
Akan tetapi, baru saja kata-katanya itu habis, sebagai
penyahutannya Go Bang mengerang marah! Rasa sakit pada
kedua lengannya bagi Go Bang tidak seberapa kalau dibandingkan
rasa sakit di hatinya mendengar sindiran pemuda yang tidak
disangkanya memiliki ilmu kepandaian sedemikian tinggi dan
hebat itu!
527
bertubi-tubi ke arah Bun Liong. Tendangan ini begitu hebat dan
mendatangkan angin seperti amukan angin puyuh, sekali saja
mengenai sasaran, berarti maut!
Menghadapi serangan dari lawan yang telah nekad ini, dan yang
sangat berbahaya, Bun Liong sudah mempunyai persiapan yang
sangat sempurna untuk menyambutnya. Pemuda ini tidak berkisar
dari tempatnya, dan juga tubuhnya sama sekali tidak berkelit,
melainkan dengan dada terpentang lebar seakan-akan sengaja
dibuka dan diumpankan bagi serangan lawan, ia menggerakkan
kedua tangannya, yang kiri dari atas dan yang kanan dari bawah.
528
membentur sebatang pohon besar dan pada saat itu juga nyawa si
Beruang Lengan Besi sudah melayang meninggalkan raganya!
Ketika kakek ini sudah berdiri di depan Bun Liong dan Yang Hoa,
maka kedua orang muda ini maklumlah bahwa mereka
berhadapan dengan si Cakar Harimau Lo Ban Kui, yaitu si raja
perampok! Melihat rupa kakek itu diam-diam bulu kuduk Yang Hoa
meremang karena tampaknya benar-benar menyeramkan.
529
kehitam-hitaman. Demikian juga kuku seluruh jari kakinya yang
telanjang itu, semuanya tajam dan panjang meruncing seperti
kuku-kuku kaki harimau!
“Dua ekor kerbau muda yang baru tumbuh tanduk, tunggu apa
lagi? Mengapa berhadapan denganku kalian tak cepat berlutut?”
Akan tetapi Yang Hoa yang beradat keras, menjadi marah hingga
karenanya, tanpa mengucapkan sesuatu perkataan lagi, gadis
yang memiliki keberanian luar biasa ini melompat maju dan dengan
gerakan secepat kilat, pedangnya berkelebat menyerang kakek itu!
Serangan ini tidak boleh dibuat permainan, karena si nona
mempergunakan ilmu pedang Thian-san-pay yang lihay dengan
gerak tipu Naga Hijau Menyabetkan Ekor!
530
Si kakek hanya ketawa terkekeh lagi dan tangan kirinya bergerak
ke atas menyambut pedang si nona, dengan kuku jari telunjuknya
membuat sekali sentilan, pedang itu telah ditangkisnya.
Pedang di tangan Yang Hoa terpental dan gadis itu terkejut sekali
karena telapak tangannya yang memegang gagang pedang
menggetar seperti kesemutan. Namun Yang Hoa tidak gentar
karenanya, bahkan gadis yang berwatak keras ini cepat mengirim
serangan susulan.
Bun Liong yang melihat itu, kagum sekali. Menangkis pedang yang
tajam hanya dengan sentilan kuku jari, benar-benar hanya mampu
dilakukan oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat
kepandaiannya. Ia maklum bahwa kakek kerdil itu merupakan
lawan berat, berbahaya dan terlampau tangguh bagi Yang Hoa,
maka ia segera berseru kepada calon isterinya,
531
“Yang-moay, jangan kau borong sendiri orang hutan ini, berilah
giliran bagiku untuk menghadapi monyet tua ini! Kau
istirahatlah…….!”
Akan tetapi, gadis seperti Ho Yang Hoa yang keras hati dan
sepanjang pertempuran yang pernah dialaminya belum pernah
dikalahkan, mana mau mengalah begitu saja? Pengalamannya
532
yang belum banyak dan ditambah lagi perangainya yang menaruh
benci terhadap kaum penjahat, membuat hatinya panas sehingga
seruan dari calon suaminya tadi sama sekali tidak dihiraukannya.
533
Maksudnya untuk membingungkan lawan supaya tidak
mengetahui bahwa ke mana pedang itu hendak menusuk, ke
tenggorokan atau ke arah ulu hati! Inilah sebuah jurus dari ilmu
pedang Thian-san-pay yang disebut gerak tipu Sian-li-yauw-san
(Dewi menggoyangkan kipas).
534
dan tepat ia menyentil, bagaikan menyentil daun telinga seorang
anak kecil saja layaknya.
535
Serangan yang dilakukan Yang Hoa kini lebih dahsyat dan ganas
daripada yang tadi. Karena gadis ini sudah marah sehingga
mengeluarkan jurus yang hebat dan yang disebut tipu Pak-hong-
pho-liu (Angin Utara Menyerang Cemara)!
536
“Lihay sekali…….!” Bun Liong berkata perlahan dan disamping
rasa kagumnya akan kelihayan si kepala perampok itu, di dalam
hatinya sangat menyesalkan kebandelan calon isterinya.
Tetapi Yang Hoa yang berwatak keras dan tidak pernah mengenal
arti takut, hawa amarahnya telah memuncak sehingga gadis ini
menjadi nekad. Dan ketika melihat kesempatan dikala lawannya
masih bergulingan, kaki kirinya bergerak dan sebuah tendangan
yang disertai pengerahan tenaga lweekang menyamber ke arah
lambung Ban Kui!
Beradunya dua kaki yang saling tendang ini hebat sekali akibatnya!
Tubuh Ban Kui jadi terpental dan tergulingan sejauh dua tombak,
sedangkan tubuh Yang Hoa jadi melayang ke belakang karena
kakinya yang menendang dan dipapak oleh telapak kaki lawannya
tadi seperti terkena tenaga dorongan yang kuat sekali yang
537
membuat tubuhnya mencelat ke atas seperti dilempar oleh tenaga
raksasa!
538
Kalau hati sudah dikuasai nafsu amarah, sukar sekali bagi sang
otak untuk mempertimbangkan baik buruknya tindakan yang akan
dilakukannya. Demikianlah dengan Yang Hoa, karena marahnya,
gadis ini tak sadar bahwa kakek itu terlalu tangguh baginya,
bahkan sebaliknya kakek yang hanya melawan dengan sentilan-
sentilan belaka, dianggapnya memandang rendah padanya.
Baiknya bagi Yang Hoa, kebaikan yang tidak disadari oleh nona itu
sendiri, ialah bahwa kakek bungkuk kepala garong yang luar biasa
lihaynya itu masih menaruh rasa kasihan terhadapnya, sehingga
tidak melawan dengan sungguh-sungguh, hanya
mendemonstrasikan sentilan-sentilan kuku jari tangannya saja dan
sama sekali tidak balas menyerang.
539
Agaknya kalau Houw-jiauw Lo Ban Kui menghendaki kematian
nona itu, dalam dua gebrakan saja Yang Hoa akan roboh binasa.
Atau sedikitnya akan terkena cengkeraman kuku jari tangannya
yang beracun itu, yang akibatnya juga bisa mendatangkan maut!
Harus diketahui bahwa kuku-kuku jari tangan Ban Kui selain dapat
menangkis senjata lawan hanya dengan sentilan, juga dapat
mencengkeram dan merampas pedang lawan. Dan kalau
cengkeraman ini dilakukan terhadap pedang si nona tadi, sekali
renggut saja pedang itu pasti dapat dirampasnya!
540
“Traannng…….!” pedang Yang Hoa yang diacungkan ke depan itu
ada yang membentur dari samping. Dan seirama dengan itu, tahu-
tahu Yang Hoa telah dikurung oleh lima orang liauw-lo berdiri di
belakang, dua orang di kiri kanan dan yang seorang lagi
menghadang di depan si nona dan orang inilah yang barusan
membentur pedang si nona dengan goloknya.
541
kepungan mereka makin rapat. “Menyerahlah dan lepaskan
pedangmu, nona manis!” kata liauw-lo yang berdiri di depan Yang
Hoa sambil menyengir kuda.
Yang Hoa yang sudah marah, kini bertambah marah. Dan sebagai
jawaban, pedang dara ini bergerak ganas dan dipusatkan
sedemikian rupa ke sekitar dirinya.
“Trang, trang…..!” dua batang golok dari dua orang liauw-lo yang
menyerang di belakangnya itu ditangkis oleh pedangnya sehingga
menimbulkan bunga api berpijar dan dua liauw-lo tersebut cepat
melompat mundur!
542
mengurungkan serangannya oleh karena pada saat itu dua orang
lawan di belakangnya melakukan tubrukan sehingga gadis ini
cepat membalikkan diri dan menyabetkan pedangnya.
Sudah dua kali Yang Hoa melompat tinggi dari atas tubuhnya
berjungkir balik dengan gerakan Sin-eng-coan-in (Garuda Sakti
Menembus Awan). Dan pedangnya diputarkan ke bawah
mengarah kepala ke lima lawan yang tetap mengadakan posisi
kepungan itu.
Ilmu kepungan dan taktik tempur dari ke lima orang perampok itu
ialah yang disebut Ngo-heng-tin dan ilmu sesungguhnya sangat
asing bagi Yang Hoa dan baru sekarang ia menghadapinya.
Ternyata Houw-jiauw Lo Ban Kui disamping mempunyai pembantu
si Srigala Hitam Ciam Tang dan Tiat-pih-im Go Bang, yang kedua-
544
duanya sudah pulang ke akherat, juga mempunyai anak buah yang
paham mainkan ilmu Ngo-heng-tin (Ilmu Kepung Lima Daya) yang
terdiri dari ke lima orang yang mengepung Yang Hoa itu.
545
daerah utara, tidak kurang dari lima orang pendekar wanita muda,
yang semula hendak mengobrak-abrik komplotan perampok ini
dibikin kewalahan dan akhirnya ditangkap hidup-hidup oleh barisan
Lima Daya ini. Kemudian setelah tawanan itu tidak berdaya, lalu
dijadikan barang permainan mereka secara bergilir!
546
Sehingga terpaksa dara ini tidak dapat mencurahkan seluruh
perhatian dan kepandaiannya karena ia harus pula menjaga diri
terhadap serangan yang datangnya dari belakang. Karena
terpecah-pecahnya perhatian dan tenaga ini, betapapun lincah dan
tingginya gin-kang Yang Hoa dan ditambah lagi dalam keadaan
kebingungan serta pula sebelum menghadapi lima orang liauw-lo
ini sudah bertempur dengan Go Bang dan Ban Kui, maka kini ia
menjadi cepat lelah dan seluruh pakaiannya sudah menjadi basah
kuyup oleh peluhnya!
548
Mengapa tidak sejak tadi aku menggunakan piauw, demikian dara
itu menyesali dirinya. Meskipun menggunakan senjata rahasia itu
adalah cara yang curang, namun kalau sangat terpaksa kiranya
tidak pantas disebut satu perbuatan pengecut.
549
mempergunakan senjata rahasia. Sehingga karena ini dua orang
di antara mereka dengan terkejut dapat berkelit dari samberan
pedang si nona yang digerakkan secara nekad itu, sedangkan tiga
orang lainnya lagi dalam waktu yang hampir bersamaan telah
mengeluarkan suara jeritan yang sama nyaringnya dan tubuh
mereka segera terjungkal roboh.
550
hidung mencium tanah dan di punggung mereka menancap dua
batang senjata rahasia yang di”tembak”kan oleh Yang Hoa! Nona
ini menarik nafas lega dan baru kini ia ingat kepada calon suaminya
yang lalu ditengoknya……. Dan ketika itu tiba-tiba, ia mendengar
suara suitan yang nyaring sekali…….
<>
Untuk melihat apa yang terjadi antara Bun Liong dan Ban Kui
sementara Yang Hoa dikepung tadi, marilah kita mundur sebentar.
Oleh karena pada waktu yang hampir bersamaan sejak Yang Hoa
dikepung oleh kelima liauw-lo yang membentuk barisan Ngo-heng-
tin itu, Bun Liong sudah bertempur sengit dengan kakek bungkuk
kepala rampok yang berilmu silat tinggi itu.
Adapun Bun Liong pada saat itu sudah siap siaga. Ia tidak mau
membuat kesalahan dua kali, yaitu berlaku agak lengah sehingga
kena diterkam dan ditangkap seperti oleh Go Bang tadi, baiknya ia
memiliki kepandaian lebih unggul dari si Beruang Lengan besi,
kalau tidak, sejak tadi ia sudah celaka!
Akan tetapi tak disangkanya bahwa gin-kang Ban Kui begitu tinggi
dan gerakkannya luar biasa. Tubuhnya yang seperti melayang
ketika melakukan tubrukan lurus ke arah pemuda itu tiba-tiba dapat
berganti haluan, membelok dan mengikuti ke arah tempat pemuda
itu berpindah, dan kedua tangannya yang berkuku panjang dan
runcing itu mencengkeram ke arah pundak dan leher.
552
tubuhnya sedikit ke belakang, kedua tangannya bergerak ke atas
menyambut serangan lawan yang datangnya dari udara itu!
“Plak!” tangan kiri Bun Liong dapat menangkis lengan kanan lawan
dengan sebuah kepretan sehingga cengkeraman yang semula
hendak menerkam pundaknya itu jadi nyeleweng. Sedangkan
tangan kanannya yang hanya mempergunakan jari telunjuk
menyambut cengkeraman kuku jari tangan Ban Kui yang
mengarah lehernya.
Melihat ini Ban Kui girang. Kuku jari tangan kirinya yang semula
diarahkan ke leher, kini sengaja mencengkeram dengan maksud
hendak mematahkan jari telunjuk pemuda itu.
553
Dan pada detik berikutnya terdengarlah Ban Kui menjerit,
sedangkan tubuhnya terpental sejauh empat tombak. Akan tetapi
kakek itu benar-benar mempunyai gerakan luar biasa, karena
tubuhnya yang terpental itu, ketika jatuh, dalam keadaan berdiri!
Ternyata Bun Liong dalam waktu yang sama telah mendapat dua
kesempatan yang sangat menguntungkan baginya. Dengan
telunjuknya yang disertai pengerahan lweekang, pemuda itu
berhasil menotok jalan darah di pergelangan lawan, yaitu jalan
darah yang menjadi saluran ke arah nadi dan semua jalan darah
asli.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh Ban Kui yang seperti melayang
di udara tadi ketika mulai turun dan kakinya hendak menginjak
bumi, telah disambut oleh sebuah tendangan geledek kaki kanan
Bun Liong yang tepat mengenai lambungnya. Itulah sebabnya
maka tak ampun lagi, Ban Kui menjerit dan tubuhnya terpental!
554
Totokan jari telunjuk Bun Liong yang mengenai jalan darah di
pergelangan lawan itu, akan mengakibatkan seluruh lengan
menjadi lumpuh seketika. Apalagi tendangan geledeknya yang
menyodok lambung lawan, kalau tidak putus nyawa karenanya,
maka sedikitnya pasti akan menderita luka di bagian dalam tubuh.
Akan tetapi Bun Liong benar-benar merasa heran dan kagum akan
kekuatan tubuh kakek bungkuk itu. Karena ternyata setelah
tubuhnya terpental dihantam tendangan yang sedikitnya
berkekuatan seratus kati, masih bisa mengatur keseimbangan
tubuhnya sehingga ia jatuh dalam keadaan berdiri tegak. Dan
anehnya, baik totokan maupun tendangan tadi, seakan-akan tidak
mendatangkan akibat sedikitpun bagi kakek itu!
Maklumlah Bun Liong bahwa Ban Kui memiliki sin-kang yang luar
biasa kuatnya! Dan yang lebih mengagumkan lagi, yaitu dengan
cepat Ban Kui dapat maju dan menyerang lagi.
555
Sepuluh kuku jari tangannya merenggang seperti cakar harimau
dan digerakkan cepat sekali pergi datang melakukan serangan
bertubi-tubi dan bergantian, mencakar dada, perut, leher dan muka
Bun Liong. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak-gerak
seperti cakar harimau, bahkan kedua kakinya yang telanjang serta
berkuku panjang dan runcing itupun menendang-nendang seperti
kaki harimau mencakar!
556
Ia belum tahu bagaimana perubahan serangan ini dan dimana
letak kelihayan serta kelemahannya, maka sampai beberapa jurus
lamanya biarpun didesak terus. Ia main mundur dan mengelak saja
disamping ia memperhatikan gaya tempur lawan dengan seksama.
Tigapuluh jurus telah lewat dan dari tenggorokan Ban Kui mulai
terdengar suara gerengan-gerengan seperti suara harimau tulen.
Inilah menandakan bahwa kakek ini sudah marah sekali karena
merasa dipermainkan oleh pemuda itu yang selalu mengelak
belaka.
557
Inilah keistimewaan ilmu silatnya, yaitu ilmu silat yang dinamakan
Houw-jiauw-kun-hwat dan karena Ban Kui sangat mahir dalam ilmu
silat ini, maka ia mendapat nama julukan si Cakar Harimau!
558
Bun Liong bukan main kagetnya. Ia pernah mendengar dari
gurunya tentang orang-orang ahli silat yang memiliki ilmu silat jahat
yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), Ang-see-ciang
(Tangan Pasir Merah) atau Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam)
yang berbahaya sekali.
Dari kedua telapak tangan yang kini berubah hitam serta angin
pukulannya mengandung hawa panas dan berbau amis itu
maklumlah Bun Liong bahwa lawannya memiliki tangan yang
“berisi”, yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk melakukan
pukulan istimewa yang berbisa, yang disebut Hek-tok-ciang!
Sejak tadi Bun Liong mainkan ilmu kelitnya yang disebut Sin-wan-
tiauw-bu (Lutung sakti menari) yang berhasil membuat lawannya
merasa seperti dipermainkan. Dan setelah ia mendengar
dampratan dari lawannya yang sudah panas perut dan disertai
559
pukulan Hek-tok-ciang, maka pemuda ini segera merubah
gerakannya.
Sekarang pihak Ban Kui lah yang kaget, karena setiap serangan
yang dilancarkannya selalu dibayangi oleh gerakan-gerakan
pemuda yang dapat melakukan serangan-serangan dalam
gerakan yang hampir sama, sehingga dapat dikata lawannya itu
seolah-olah merupakan bayangannya sendiri. Bahkan ketika
lengan si Cakar Harimau ini beradu dengan lengan Bun Liong yang
melakukan tangkisan kakek ini kagetnya makin menjadi karena
dari benturan lengan lawan yang berkulit bertulang masih sangat
muda itu, ia merasai rasa panas yang menjalar terus ke kulit
lengannya sendiri sehingga kulit lengannya serasa terbakar!
560
Akan tetapi Si Cakar Harimau yang sudah banyak pengalaman
merasa malu sekali kalau tidak dapat merobohkan pemuda
lawannya itu. Kakek ini bertekad mengadu jiwa dan dalam
kepenasaran dan kenekadannya ia terus bertempur mati-matian.
Bun Liong pun maklum bahwa kepala perampok lihay ini mesti
dihadapinya dengan pertarungan nyawa, pertempuran ini baru bisa
berakhir kalau salah seorang diantara mereka telah binasa. Maka
ia bertempur dengan hati-hati dalam kesengitannya, setiap
gerakan kaki tangannya merupakan perlawanan yang baik dan
berupa serangan maut bagi lawan.
Pertempuran tangan kosong antara Bun Liong dan Ban Kui ini tidak
kalah sengit dan serunya kalau dibandingkan dengan pertempuran
Yang Hoa yang ketika itu sedang dikurung dan dikeroyok oleh
barisan kepung Ngo-heng-tin. Pakaian biru Bun Liong di beberapa
bagian sudah koyak akibat cengkeraman kuku si Cakar Harimau.
561
Kalau sekali saja kuku-kuku yang beracun itu menerkam kulitnya,
dapat dibayangkan betapa bahayanya! Untuk menghindarkan diri
dari serangan si Cakar Harimau, Bun Liong tetap memainkan
langkah-langkah dan gerakan Sin-wan-tiauw-bu dan karena ia
menguasai ilmu ini dengan sempurna tubuhnya demikian gesit dan
lincah sehingga sukar diserang lawan.
Akan tetapi setiap kali ada kesempatan, maka ilmu silat Harimau
Putihnya segera ia “suguhkan” kepada lawan. Namun pukulan atau
tonjokan yang disertai pengerahan tenaga lweekangnya, meskipun
mengenai sasarannya dengan tepat, Ban Kui hanya sedikit
terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali. Berarti belum cukup
kuat untuk merobohkannya atau mungkin juga disebabkan kakek
itu memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya.
562
sehingga sampai jurus yang keenampuluh masih belum dapat
dirobohkannya. Apalagi lawan yang masih demikian muda dan
yang dianggapnya seperti anak kerbau baru tumbuh tanduk!
563
Dan kalau tendangan yang dilakukan dengan lweekang
sepenuhnya itu mengenai sasarannya, maka pemuda itu pasti
terlempar ke udara dengan anggauta badan di bagian
selangkangan pecah!
564
Akibatnya, tubuh Bun Liong yang sedang melompat itu terpental
sejauh dua tombak dan jatuh dalam keadaan terhuyung-huyung.
Tetapi pemuda ini cepat mengatur pernapasan serta mengerahkan
sin-kang di dalam badannya.
565
Melihat ini, Bun Liong dapat menduga bahwa kakek itu telah
menderita luka di dalam dadanya akibat pukulan ampuhnya tadi.
Pemuda ini menarik napas lega dan sambil menyusut peluh yang
membasahi wajahnya dengan lengan bajunya, dan matanya
ditatapkan kepada kakek yang berdiri agak didepannya itu, ia
berkata, “Monyet tua berbaju macan, ajalmu sudah berada di
depan mata dan…….”
Suara suitan dari Ban Kui itu adalah aba-aba bagi para anak
buahnya yang sejak tadi tetap bersembunyi di balik semak-semak
belukar. Dan seirama dengan itu berlompatanlah dari tempat-
tempat rungkut berpuluh-puluh liauw-lo dan langsung menyerbu
Bun Liong dan Yang Hoa yang ketika itu berada di tempat yang
agak jauh dari calon suaminya.
566
Serbuan para liauw-lo yang entah berapa puluh orang banyaknya
itu terbagi menjadi dua dan terjadilah kepungan dan pengeroyokan
di dua tempat yang ramai sekali. Para liauw-lo yang mengepung
dan mengeroyok sambil berteriak-teriak riuh rendah tak seperti
datangnya air bah yang memecahkan bendungan, hingga suasana
di situ menjadi hiruk pikuk dan amat berisik!
567
nekad dan merangkak terus. Benar-benar keadaan mereka tidak
beda seperti serombongan nyamuk yang tidak takut api, menyerbu
terus sampai akhirnya mereka roboh binasa.
568
Cara Bun Liong menghadapi para pengeroyoknya sangat berbeda
dengan Yang Hoa. Kalau nona itu seperti seekor singa
menghadapi keroyokan sekawanan kambing, pedangnya
menyambar-nyambar dan setiap saat terdengar jerit kesakitan,
atau golok lawan terputus menjadi dua potong.
569
Akan tetapi usahanya hendak mendekati kepala rampok itu
ternyata tidak begitu mudah karena para pengeroyoknya amat
banyak. Roboh tiga orang maju penggantinya sehingga pemuda ini
terus menerus dikeroyok, tetapi setiap liauw-lo yang berani
mendekatinya itu roboh juga akhirnya.
Ketika mata Bun Liong melihat pula ke arah batu besar di mana
tadi Ban Kui berdiri, ternyata kakek itu tidak kelihatan lagi, sudah
pindah ke lain tempat yang tidak diketahui oleh Bun Liong. Dengan
hati gemas Bun Liong mencari-cari lagi dengan sudut matanya di
mana kakek itu berada, sehingga ia sempat melihat betapa ketika
itu calon isterinya sedang mengamuk, dan pekik kesakitan
terdengar saling susul dan tubuh para liauw-lo bergelimpangan
tumpang tindih!
570
“Mundur semua, turunkan balok-balok dan hujani anak panah!”
Akan tetapi kalau ia diserang oleh badai balok dan hujan anak
panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya, tanpa
dapat membalas sama sekali!
571
pohon kecil yang banyak ranting-ranting dan daun-daunnya dan
bersembunyi di balik sebuah batu sebesar gubuk.
Akan tetapi lain halnya dengan nona Yang Hoa yang terlalu
mengandalkan kepandaian dan keberaniannya ketika menghadapi
serangan badai balok dan hujan anak panah itu. Nona ini berseru
keras dan tubuhnya mencelat ke udara dengan gerakan Ceng-
liong-cut-thong (Naga Hijau Keluar Gua) sambil pedangnya
diputarkan untuk melindungi tubuhnya dari hujan anak panah
dengan menggunakan gerak tipu Hek-hong-koan-goat (Bianglala
Hitam Menutup Bulan), sehingga balok-balok itu menggelundung
di bawahnya dengan mengeluarkan suara gemuruh dan hiruk
pikuk karena berbenturan dengan balok-balok yang mengelundung
dari lain jurusan.
572
perampok itu untuk dipergunakan dalam keperluan seperti
peristiwa ini. Beberapa kali tubuh Yang Hoa naik turun, yaitu
setelah melompat dan tubuhnya meluncur ke bawah kembali,
kakinya menyentuh balok yang membuat tubuhnya mumbul ke
udara lagi selama balok-balok itu masih tetap membadai.
573
Akan tetapi pada waktu itu juga anak panah dalam jumlah yang
sama menyerang dari belakangnya, dan detik berikutnya datang
lagi anak-anak panah dari kanan kirinya.
574
“Liong-ko…..!” yang berarti merupakan panggilan dan minta tolong
kepada calon suaminya, tubuhnya lalu roboh tak sadarkan diri…….
575
Tubuh calon isterinya lantas dipondong dan ia berlari pula ke
tempat semula, yaitu di balik batu besar yang baginya merupakan
tempat perlindungan yang aman.
Bun Liong kaget sekali ketika dilihatnya wajah gadis itu menjadi
kebiruan, matanya mendelik dan mulutnya berbusa serta seluruh
tubuhnya amat panas! Sekali pandang saja maklumlah ia bahwa
calon isterinya itu telah menjadi korban racun yang berbahaya.
Disamping mewarisi ilmu silat tinggi dari Bu Beng Lojin, Bun Liong
juga pernah mempelajari ilmu pengobatan sekalipun sangat
terbatas, maka ia cepat merobek baju di bagian pundak calon
isterinya yang tertancap anak panah, yang ternyata beracun. Bun
Liong bergidik setelah mengingat bahwa anak-anak panah yang
dilepaskan oleh para perampok itu tentunya beracun semua, racun
ini demikian keras sehingga menyebabkan Yang Hoa sebentar
saja menjadi pingsan dan keadaannya berbahaya sekali!
576
Ia cepat menotok jalan-jalan darah tertentu di beberapa bagian
tubuh nona itu untuk menutup aliran darah dan mencegah
rangsangan racun. Akan tetapi sebelum sempat ia mencabut anak
panah ini dari pundak si nona yang mesti dilakukan amat hati-hati
dan tidak boleh tergesa-gesa karena salah sedikit saja, mata anak
panah itu bisa menjadi patah dan tertinggal di dalam daging yang
mana akan tambah membahayakan, seakan-akan ia baru tersadar
bahwa bahaya maut mengancam dirinya ketika para perampok
yang dipimpin oleh Ban Kui sudah datang dan langsung
menyerbunya!
Demikian besar rasa kasih Bun Liong kepada Yang Hoa, sehingga
ia rela berkorban untuk mati bersama. Oleh karena baginya apa
arti hidup ini kalau tanpa Yang Hoa?
577
darahnya ditutup, masih ada kesempatan untuk kemudian
melanjutkan pertolongannya. Itulah sebabnya maka ketika para
perampok itu dengan ganas karena marah dan hendak melakukan
pembalasan sakit hati atas kematian kawan-kawan mereka tadi
sudah datang menyerbu, barulah ia insyaf bahwa pikirannya
seperti tadi itu sama sekali keliru.
578
terbabat senjata lawan namun senjata istimewa itu masih cukup
ampuh untuk menghajar lawannya sampai menjerit!
579
Sampai saat terakhir ia tidak sudi mengalah atau menyerah. Ia
sudah bertekad lebih baik mati sahid bersama calon isterinya
dalam menjalankan tugas perjuangannya ini!
Kalau saja Bun Liong tidak memundak Yang Hoa, pasti ia takkan
serepot ini jadinya, menghadapi pertempuran dan keroyokan
semacam ini ia pasti akan dapat mengatasinya dengan mudah.
Akan tetapi sekarang benar-benar Bun Liong sudah kewalahan.
580
Hal ini bagi Bun Liong merupakan sambungan umur sehingga ia
merasa seperti mendapat tenaga baru. Sementara itu para
perampok menjadi kacau karena mereka yang tadinya enak-enak
mengeroyok pemuda itu kini mendapat gempuran hebat dari
belakang!
581
ini terus menghajar perampok-perampok yang dekat dengan
senjata istimewanya, yaitu sebatang pohon kecil tadi.
Bun Liong menoleh dan ternyata orang yang berkata adalah Can
kauw-su, golok di tangannya telah merah dilumuri darah dan
setelah Bun Liong menyatakan, “Baik!” dengan perasaan terima
kasih yang tidak terhingga, orang tua jangkung kurus bekas tentara
yang berjuluk Toat-beng-sin-to (Golok Sakti Penyabut Nyawa itu
lantas melompat menceburkan diri ke dalam medan pertempuran!
582
Bun Liong menengkurapkan tubuh nona itu di atas rumput dan
kemudian memeriksa bagian pundak si nona di mana sebatang
anak panah beracun itu masih menancap. Ternyata kulit pundak
yang tadinya putih halus itu kini telah matang biru.
Tapi Bun Liong tidak terlalu cemas karena nadi si nona masih
berdenyut, sungguhpun denyutannya tidak normal. Ia merasa
beruntung karena tadi masih sempat menutup jalan-jalan darah
tertentu sehingga racun itu tidak sampai menjalar ke seluruh tubuh
si nona, kalau tidak, besar kemungkinan kini si nona sudah tidak
bernyawa!
Lalu diurut-urut dan dipijit-pijitlah sekitar bagian yang luka itu dan
darah yang kehijauan mengalir keluar. Ia terus mengurut-urut dan
memijit-mijit sampai darah yang mengandung racun keluar semua
dan akhirnya keluar darah yang berwarna merah.
583
Ia segera mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari saku bajunya,
lalu ditaburkan di lobang luka itu. Setelah itu, ia menempelkan
telapak tangan di punggung si nona dan mengerahkan hawa sin-
kang untuk memunahkan racun di tubuh Yang Hoa.
“Liong-ko…….!”
584
“Yang-moay, adikku sayang. Kau telah terhindar dari bahaya
maut,” bisiknya di dekat telinga gadis itu, dengan terharu dan
girang.
Pemuda ini ternyata Kwe Bun, anak muda yang pembaca sudah
kenal sejak bagian permulaan cerita yaitu murid kedua dari Can
kauw-su, yang ketika masih berselisih dengan murid-murid
mendiang Lu Sun Pin, dengan kepalannya pernah memukul pecah
kepala seekor kerbau gila yang mengamuk di depan Tong-koan
585
Te-it Bu-koan, yaitu rumah perguruan silat yang didirikan Lu Sun
Pin almarhum.
Bun Liong ingat bahwa ketika nona itu jatuh pingsan tadi
pedangnya jatuh dan ketika ia menyambar tubuh calon isterinya ia
tidak sempat mengambil pedang itu. Maka setelah menyatakan
hendak mengambil pedang itu, pemuda itu melompat pergi dan
sebentar kemudian sudah datang lagi dengan membawa pedang
si nona yang diketemukannya di antara sela-sela tumpukan balok-
balok. Pedang itu dinodai darah yang sudah mengering.
586
“Akupun mau ikut, Liong-ko!”
587
Kalau tadi para liauw-lo mengepung dan mengeroyok Bun Liong,
maka sekarang Ban Kui dikepung oleh para anggautanya Pauw-
an-tui, akan tetapi mereka ini hanya berdiri mengitarinya sambil
berteriak-teriak dan senjata mereka diacung-acungkan ke atas,
sedangkan yang menghadapi Ban Kui bertempur adalah Can
kauw-su seorang.
588
menderita sakit di dalam dada yang ditahan-tahannya, sedangkan
Can kauw-su merupakan lawan baru yang mempunyai tenaga baru
baginya, maka kakek bungkuk ini akhirnya menjadi amat
kewalahan.
589
lawannya. Baiknya Can kauw-su cukup waspada dan berlaku
gesit, cepat ia mengelak dengan tiga lompatan ke samping.
590
Batu karang yang telah hencur dan merupakan kerikil-kerikil kecil
ini tidak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparannya
yang disertai tenaga lweekang sepenuhnya ini membuat kerikil-
kerikil kecil itu dapat menembus kulit dan daging. Dan setiap butir
kerikil kecil itu merupakan sebuah senjata rahasia yang lihay!
Tapi Ban Kui dengan enaknya dan mudah sekali dapat melewati
cegatan ke tiga orang yang bersenjata itu. Dengan gerakan yang
luar biasa cepatnya sehingga sukar dilihat, tahu-tahu ke tiga orang
591
anggauta Pauw-an-tui itu menjerit dan tubuh mereka roboh
berkelonjotan!
592
memeriksa, ternyata nyawa murid kesayangannya itu telah putus,
seluruh kulit tubuhnya matang biru.
593
Wanita-wanita itu cantik-cantik akan tetapi wajah mereka sangat
pucat dan tubuh mereka demikian kurus kering. Kemudian Bun
Liong mengetahui bahwa wanita-wanita itu adalah korban
penculikan dan dijadikan barang permainan para perampok.
Kiranya kesembilan wanita itu adalah sisa yang masih dapat
bertahan hidup, sedangkan selebihnya telah membunuh diri atau
dibunuh oleh para perampok karena mereka tidak mau melayani
keinginan manusia binatang itu.
Hari itu sungai Huang-ho mengalir tenang dan agak surut. Perahu-
perahu nelayan nampak di sana sini, akan tetapi hanya perahu-
perahu nelayan miskin tanpa layar. Ada juga di antaranya yang
memakai layar, akan tetapi lajar usang penuh tambalan.
595
Sebelum daerah Tong-koan diranjah gerombolan penjahat,
keadaan sungai Kuning ramai sekali, banyak dilalui perahu-perahu
para saudagar. Akan tetapi semenjak daerah Tong-koan menjadi
genting, dan sungai seakan-akan dikuasai bajak sungai yang
dikepalai oleh Ma Gu Lin si Iblis Sakti Sungai Kuning. Keadaan lalu
lintas di sungai ini menjadi mati, semati kota Tong-koan
sebagaimana pernah diterangkan dalam bagian permulaan dari
cerita ini.
596
Para penduduk yang bertempat tinggal dan mempunyai sawah
ladang di sepanjang tepian sungai, sangat berterima kasih kepada
Huang-ho karena dari sungai ini mereka seperti mendapatkan
berkah bagi penghidupan mereka. Akan tetapi di samping itu
adakalanya mereka mengutuk sungai ini apabila airnya meluap
melewati batas sehingga menimbulkan banjir besar dan merusak
sawah ladang mereka.
Seperti sudah diceritakan tadi, bahwa hari itu air sungai Huang-ho
agak surut dan mengalir tenang. Di antara perahu-perahu nelayan
yang tengah menjala ikan itu tampaklah sebuah biduk kecil yang
maju mudik dengan cepatnya.
Biduk kecil itu dinaiki oleh dua orang, yaitu seorang laki-laki
setengah tua yang mengayuh dayung dan yang di kepalanya
mengenakan topi bambu berdaun lebar sebagaimana umumnya
topi nelayan, bergerak-gerak dan di dekat ujung depan biduk duduk
seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang putera
597
hartawan. Tangan kanannya memegangi gagang payung yang
menaungi tubuhnya dari sinar matahari yang sebenarnya masih
belum terik.
Bila kemarin dulu Bun Liong pergi bersama Yang Hoa, maka kini
ia pergi bersama Can kauw-su karena Yang Hoa kesehatannya
belum pulih benar dan dicegah oleh Bun Liong, sungguhpun nona
598
itu sebenarnya ingin ikut serta dengan calon suaminya melakukan
tugas yang terakhir dalam rangka berkonfrontasi dan
mengganyang komplotan penjahat. Ternyata ada baiknya bagi Bun
Liong kali ini pergi bersama Can kauw-su, karena guru silat yang
kini menyamar sebagai nelayan ini selain sudah hapal akan letak
hutan Siong-lim-nia melalui perjalanan sungai juga sangat mahir
dalam hal mengemudikan biduk.
Makin lama biduk kecil itu meluncur makin ke hulu dan perahu-
perahu nelayan tadi sudah tertinggal jauh di belakang. Di
permukaan air sungai di mana kini Bun Liong dan Can kauw-su
berada, tidak tampak lagi perahu-perahu nelayan karena tempat
itu sudah merupakan daerah genting dan sudah tidak berapa jauh
lagi dari hutan Siong-lim-nia.
599
disebabkan air sungai agak surut sehingga batu-batu karang besar
dan tajam tampak menonjol di permukaan air.
Bun Liong memandang ke depan dan mau tak mau pemuda ini
merasa ngeri melihat betapa berbahayanya perjalanan yang
ditempuhnya kini. Akan tetapi biduk itu meluncur dengan sangat
cepat melawan arus karena terus dikayuh oleh Can kauw-su yang
menggerakkan dayungnya disertai tenaga lweekang. Dan
kemudian Bun Liong pun membantu mendayung, sehingga biduk
kecil itu maju makin kencang bagaikan anak panah yang terlepas
dari busurnya.
600
tiba ia mendengar Can kauw-su yang duduk dibelakangnya
berkata:
Bun Liong menarik napas lega. Dan ia jadi mengerti bahwa menaiki
biduk tidak hanya mesti pandai mendayung saja, akan tetapi
apabila biduk harus menempuh arus di antara batu-batu
penghalang seperti tadi harus menggunakan akal, membutuhkan
601
ketabahan, kecekatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang
luar biasa.
“Souw sicu, itulah tempat tujuan kita,” kata Can Po Goan sambil
menunjuk ke depan, ke arah bukit itu.
602
samping seakan-akan terdorong dari sisi kanan oleh tenaga yang
kuat sekali. Tombak itu jadi meluncur dan masuk ke dalam air
karena biduk itu seperti berkelit! Dan Can Po Goan segera berbisik:
604
biduknya sampai digulingkan oleh para bajak dan ia akan mati
konyol tenggelam ke dalam air!
Suatu hal yang untuk pertama kalinya terjadi lagi sejak beberapa
waktu yang sudah lama berselang. Maka mereka segera
menurunkan dua buah sampan dari atas tebing dan enam orang
membuntuti biduk kecil itu.
605
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna serba hitam dan
berbekal senjata tajam yang berkilauan terkena sinar matahari.
Dua buah sampan ini dikayu secara melintang merupakan
penghadang dan mendekati biduk Bun Liong.
606
“Hahaha……. kau, bocah yang menjadi jago Pauw-an-tui,
mengapa kau menyamar sebagai putera hartawan? Biarpun kau
menyamar sebagai siluman sekalipun, kedatanganmu kemari tetap
berarti mengantar nyawa! Hahaha……..!”
607
“Hmm…….!” Bu Kiam memperdengarkan suara dari hidungnya.
“Kau telah diingusi oleh setan cilik yang banyak tipu muslihatnya
ini……!”
608
Baik Bun Liong maupun Can Po Goan maklum bawa rencana
sebagaimana yang disiasatkan semula, berkat kewaspadaan Bu
Kiam, kini telah gagal. Tapi kejadian seperti inipun memang sudah
masuk perhitungan semula, maka begitu mereka diserang oleh
luncuran enam batang tombak berarti saat pertempuran sudah
tiba!
Sejilid buku yang dibacanya tadi dan kini dipegang di tangan kirinya
digunakan untuk menyampok luncuran tombak yang pertama
sehingga tombak mencong dan masuk ke dalam air. Tombak
kedua yang mengarah dadanya sambil miringkan tubuhnya sedikit
ke kiri ia tangkap dengan tangan kanannya dan tombak ketiga yang
menyerang perutnya ia tendang hingga terpental ke atas.
609
mengerikan dari seorang laskar bajak yang berada di sisi Bu Kiam
dan tubuhnya terjengkang dengan dada ditembus tombak dan
kecebur ke dalam air!
Bun Liong kagum akan cara berenang orang ini, begitu cepat
sehingga benar-benar seperti gerakan seekor buaya berenang.
Pantaslah dijuluki Buaya Sungai Kuning!
611
“Celaka…….!” pikir Bun Liong karena apa yang dikhawatirkannya
tadi, yaitu bila biduknya digulingkan dan ia akan mati kelelap
karena tidak bisa berenang, ternyata kini sedang diusahakan oleh
Bu Kiam.
“Bagus, Can lopeh!” kini Bun Liong yang memuji kesigapan Can
kauw-su dan pemuda ini segera mengajak: “Mari kita mendarat!”
Ajakan ini disetujui oleh Can kauw-su dan setelah sekali lagi ia
mengemplang sebuah kepala yang tersembul dari dalam air di sisi
biduknya itu, yaitu kepala seorang bajak yang jatuh kecemplung
tadi. Mereka serta merta mendayung mengetepikan biduk.
612
Para bajak itu segera mengetepikan sampan mereka dan
mengejar sambil berteriak-teriak. Bu Kiam dan Bong Pi juga sudah
mendarat dan berlari mengejar dengan pedang sudah siap di
tangan dalam keadaan basah kuyup.
Seperti sudah berjanji lebih dulu Bun Liong dan Can kauw-su
menyambar sebatang kayu dari unggun itu yang apinya masih
menyala merupakan obor dan dengan menggunakan api itu
mereka lalu membakar gubuk-gubuk yang terdekat. Mereka
bermaksud hendak membakar gubuk-gubuk itu semua supaya
para bajak kacau karenanya.
613
banyak sekali laskar bajak dan serempak Bun Liong dan Can
kauw-su diserbu.
614
Dalam pengeroyokan itu Bun Liong dan Can kauw-su mengadakan
perlawanan gigih sambil saling membelakangi dengan demikian
cara mereka merupakan kerjasama yang baik sekali, tidak usah
menjaga diri terhadap serangan lawan yang datangnya dari
belakang.
Para bajak yang mengeroyok Bun Liong dan Can kauw-su itu
melompat mundur, demikian juga Bu Kiam dan Bong Pi mentaati
perintah itu. Mereka berlompatan mundur mengurung dari
615
kejauhan dan memandang ke arah orang mengeluarkan bentakan
itu!
Bun Liong dan Can kauw-su pun menoleh ke arah suara bentakan
tadi dan mereka melihat seorang lelaki setengah tua bertubuh
tinggi besar berpakaian dan mengenakan kain pengikat kepala
berwarna serba hitam seperti laskar-laskar bajak tadi. Wajahnya
bersemu merah dengan cambang bauknya lebat sekali seperti
rumput hutan yang tumbuh semau-maunya, matanya tajam
berkilat-kilat mencerminkan kejahatan wataknya, tangan kanannya
memegang sebatang dayung besar yang terbuat dari besi.
Dengan langkah yang sangat antep, ia berjalan dari atas bukit dan
menghampiri Bun Liong dan Can kauw-su. Di belakangaja tampak
dua orang laskar bajak menggotong sebuah peti yang membuat
Bun Liong serta Can kauw-su heran, karena peti itu bukan lain
adalah peti yang mereka bawa, yang telah tenggelam ke dalam
sungai bersama biduknya tadi.
Mereka sangat heran bagaimana peti itu kini dibawa dari atas bukit.
Sebenarnya tidak perlu diherankan karena selagi mereka ribut
bertempur tadi, dua orang laskar bajak yang melihat peti itu
tenggelam segera berenang menyelam ke dalam sungai dan
mengangkat peti yang ternyata sangat berat sekali itu.
616
Lalu mereka membawanya ke atas bukit dengan melalui jalan di
luar kalangan pertempuran dan melaporkannya kepada Ma Gu Lin
yang ketika itu masih tidur di dalam gubuknya yang terletak paling
atas di puncak bukit Siong-lim-nia.
617
Si Sepasang Buaya Sungai Kuning itu sebentar saling pandang
dan kemudian Bu Kiam memberi penyahutan: “Ma-ko, memang
kami bertindak tanpa seijinmu terlebih dulu. Akan tetapi kiranya
tindakan kami terhadap kedua orang ini tidaklah dapat terlalu
disalahkan, karena mereka adalah benggolan-benggolan dari
Pauw-an-tui musuh kita dan sudah terang sekali kedatangan
mereka ke mari tidak membawa maksud baik!”
618
utusan dari seorang hartawan yang akan membayar uang sewa
jalan.
619
“Begitulah, tay-ong. Dan sebelumnya kami ucapkan banyak terima
kasih atas kemurahan tay-ong sekiranya tay-ong memahami
maksud kami,” sahut Bun Liong dengan sikap tetap menghormat
dan gaya sungguh-sungguh.
“Bolehkah kuperiksa dulu isi peti yang kau katakan berisi bingkisan
itu?” katanya mensiasati.
“Mengapa tidak?! Tentu saja boleh dan hal ini memang sudah
semestinya,” kata Bun Liong.
620
“Cobalah kau bukakan!” kepala bajak itu setengah menyuruh, “aku
sendiri tidak bisa membukanya karena dikunci!”
“Baik!” ujar Bun Liong sambil melangkah maju menghampiri peti itu
dan dari saku bajunya ia mengeluarkan sebuah anak kunci dan
dengan itu ia membuka tutup peti itu.
Sesudah membuka tutup peti itu, Bun Liong lalu mundur dan
kembali ke tempat berdirinya semula. Wajah kepala bajak itu
berseri-seri dan kembali mendekati peti itu dan demikian juga Bu
Kiam dan Bong Pi menggoyang-goyang kepalanya sambil
621
memandang isi peti itu dengan mata tidak berkedip dan mulut
ternganga.
622
mereka amat menyangsikan apakah mata si Iblis Sakti Sungai
Kuning itu tidak mendadak menjadi lamur?
“Hayaaa………!”
Alat ini dibuat secara istimewa oleh salah seorang ahli dari
anggauta-anggauta Pauw-an-tui. Dan maksud Bun Liong bersama
Can Po Goan membawa peti alat tersebut dengan di bagian
atasnya sengaja ditaruhi potongan-potongan uang mas dan
barang-barang permata sehingga memenuhi peti itu gunanya
623
untuk menipu dan menyerang Ma Gu Lin tanpa mereka turun
tangan.
624
“Setan alas! Kau berani bermain-main dengan Huang-ho-sin-mo?
Rasakan senjataku!!” Ma Gu Lin membentak marah sambil bangun
dari bergulingnya dan tahu-tahu dayung besi di tangannya telah
menyambar ke arah kepala Bun Liong dengan dahsyat luar biasa.
Sekiranya dayung besi ini mengenai sasaran, maka pasti kepala
itu akan pecah!
Di lain pihak, baik Bun Liong maupun Can Po Goan memang sudah
siap siaga menghadapi serangan lawan yang tiba-tiba. Maka
begitu melihat Ma Gu Lin mengirim serangan dahsyat dengan
625
dayungnya yang mendatangkan angin santer, Bun Liong cepat
berkelit sambil balas membentak:
626
itu dan cambuknya pun ternyata sedikit sekali gunanya, karena
setiap serangan cambuknya selalu dipatahkan oleh tangkisan
dayung yang berat itu.
Akan tetapi pemuda ini tidak merasa gentar sedikit pun. Berkat gin-
kangnya yang tinggi, ia selalu berhasil mengelakkan diri kadang-
kadang sambil membalas menyerang dengan cambuknya,
sekalipun serangan balasan ini selalu dipatahkan oleh dayung
lawannya.
627
Bahkan, baru limabelas jurus pertempuran itu berlangsung sudah
ada dua batang pohon siong besar yang roboh terhantam oleh
senjata Ma Gu Lin. Benar-benar dayung di tangan kepala bajak itu
sangat lihay dan kekuatannya seperti seekor gajah mengamuk!
628
Kepala bajak itu cepat membungkukkan punggungnya dan tangan
kanannya menggerakkan dayungnya ke atas untuk menghalau
cambuk itu. Akan tetapi ia kalah cepat karena ujung cambuk itu
telah memecut punggungnya sehingga bajunya di bagian
punggung menjadi robek dan ia merasakan kulit punggungnya
sakit dan pedas sekali!
Akan tetapi, oleh karena Ma Gu Lin sudah tua dan dayung itu
sangat berat, tambahan lagi dalam melancarkan serangannya
sangat bernafsu, maka ketika pertempuran ini sudah memasuki
jurus yang kelimapuluh, kepala bajak ini sudah mulai lelah dan
gerakan-gerakan dayungnya tidak lagi sedahsyat tadi. Bahkan
dapat dikata berobah menjadi lambat disebabkan tenaganya
sudah berangsur-angsur surut.
629
Hal inilah yang dinanti-nantikan oleh Bun Liong. Setiap
menghadapi lawan tangguh, pemuda itu selalu main mengelak
saja pada permulaannya, disamping untuk meneliti taktik serang
lawan, juga untuk membuat lawannya kehabisan napas dan
tenaga. Melihat Ma Gu Lin sudah ripuh sendiri, hati Bun Liong
menjadi girang karena kini tiba gilirannya untuk melancarkan
serangan-serangan dengan ilmu cambuknya yang istimewa!
630
orang-orang yang lemah, apabila ilmu pedang mereka yang
dimainkan secara kerjasama itu benar-benar amat mengagumkan!
631
menjaga diri dari serangan guru silat yang lihay itu sehingga Can
Po Goan kini menjadi pihak penyerang, guru silat she Can yang
gagah ini telah berhasil merobohkan kedua lawannya dengan
sekaligus!
632
terjungkal tanpa mengeluarkan jeritan, karena sebelum terjungkal
nyawanya sudah melayang, tulang batok kepalanya sudah remuk
dihantam pukulan sakti itu!
633
Bong Pi menjerit dan roboh tak bernapas lagi! Ternyata Can Po
Goan telah merobohkan kedua lawannya tanpa pertumpahan
darah!
Lalu guru silat ini menoleh ke arah Bun Liong, maksudnya hendak
membantu pemuda itu, akan tetapi ternyata lawan pemuda itupun
sudah roboh…….
Seperti halnya yang terjadi satu kali ujung cambuk pemuda itu
menyabet ke arah kaki dan agaknya hendak menjerat kaki itu untuk
menggulingkan tubuh Gu Lin. Kepala bajak itu cepat
menendangkan kakinya sambil berseru keras dan sekalipun
kakinya tidak sampai terjerat oleh ujung cambuk akan tetapi tahu-
tahu sepatu kaki kanannya telah terlepas seakan-akan dikait oleh
ujung cambuk.
634
Bun Liong menggentakkan cambuknya sehingga ujungnya
meluncurkan ke atas sambil “membawa” sepatu itu dan kemudian
sepatu itu terlepas dari libatan ujung cambuknya. Tapi benda
tersebut tidak jatuh, melainkan terus melayang ke udara seperti
dilontarkan dan akhirnya nyangkut di antara ranting-ranting dan
daun-daun pohon siong!
635
menahan senjatanya yang dibetot oleh lawannya. Kepala bajak ini
berusaha keras untuk menarik kembali senjatanya yang hendak
dirampas oleh lawannya dengan libatan cambuknya yang luar
biasa itu, sebaliknya pemuda itu terus membetot cambuknya untuk
mempertahankan dan dengan demikian, terjadilah saling betot dan
mengadu tenaga lweekang!
636
Adapun para laskar bajak yang sejak tadi mengurung dan
menonton pertempuran itu, tatkala melihat bahwa secara beruntun
dan dalam waktu yang hampir bersamaan kepala serta pemimpin-
pemimpin mereka telah dirobohkan oleh kedua orang itu, mereka
terkejut dan marah sekali. Dan bagaikan mendapat komando,
mereka serempak menyerbu Bun Liong dan Can Po Goan!
637
Sebagai jawaban, dua orang laskar bajak itu memperlihatkan
sesuatu ke arahnya, yakni benda bulat hitam. Bun Liong mengira
bahwa mereka mempergunakan senjata rahasia pelor besi dan
melihat sambitan pelor itu tidak kencang, Bun Liong ketawa
mengejek.
638
Pelor kedua meledak bersama pelor ketiga yang saling bertumbuk
tak jauh di depan Bun Liong! Baiknya Bun Liong tadi hanya
menyanggap dan menowelnya saja, andaikata ia menyampok
dengan menggunakan tenaga kasar pasti pelor-pelor itu akan
meledak didekatnya dan celakalah ia.
Can Po Goan pun mengalami nasib sama, bahkan ada lima butir
pelor besi yang dilontarkan ke arahnya. Akan tetapi guru silat ini
sudah berpengalaman ketika masih dinas dalam ketentaraan ia
sering menggunakan pelor-pelor besi semacam itu, maka sama
sekali ia tidak berani menyentuh pelor-pelor yang berbahaya itu.
639
dan tubuhnya melesat jauh, melayang di atas kepala-kepala para
bajak itu dan akhirnya ia turun di luar kepungan!
Dan karenanya, lima butir pelor besi tadi meledak di tempatnya tadi
dan sungguh mengerikan. Karena lima ledakan itu telah
menghancurkan mayat-mayat si Sepasang Buaya Sungai Kuning
yang berada di tempat itu!
Bun Liong jadi marah sekali. Tadinya ia masih merasa enggan dan
menaruh kasihan untuk membunuh para laskar bajak itu. Akan
tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa mereka berlaku curang
dengan mempergunakan senjata rahasia yang nyaris saja
mencelakakan dirinya.
640
memandang, kawan-kawannya, sebagaimana telah direncanakan,
telah datang!
641
bantuan Pauw-an-tui yang datang dengan sampan! Maka makin
bingung dan ketakutanlah semua anggauta bajak.
Dari luar kepungan, Can Po Goan juga melihat kekejaman nona itu
dan orang tua ini menganggap perbuatan si nona sangat
keterlaluan. Untuk melarangnya secara langsung ia merasa kurang
642
enak hati karena maklum bahwa si nona amat keras hati dan
khawatir kalau tersinggung karenanya. Maka ia cepat berseru
nyaring:
“Hai, para anggauta bajak sekalian! Hari ini dan saat ini adalah
detik penentuan bagi nasib kamu sekalian. Bagaimanakah
pendirian kamu selanjutnya setelah para pemimpinmu yang
membuat kamu ikut dalam kesesatannya menemui nasib seperti
sekarang? Kalian mau insyaf dan merobah jalan hidup kalian,
645
ataukah mau tetap menjadi bajak-bajak dan perampok-
perampok?!”
646
“Oleh karena itu, kalian harus sadar, bahwa lapangan penghidupan
masih membentang lebar di hadapan kalian dan banyak sekali
pekerjaan halal yang semestinya kalian lakukan. Pekerjaan halal
betapapun rendahnya tidak akan hina seperti penjahat dan
sebaliknya betapapun jayanya seorang penjahat ia tetap
merupakan seorang yang hina dan rendah!
647
“Nah, ambillah uang mas dan permata-permata itu sebagai bekal
kalian untuk menempuh hidup baru dan sebelum meninggalkan
tempat ini kalian harus mengurus dulu mayat-mayat para
pemimpin yang menyesatkan kalian itu!” ujar Bun Liong akhirnya.
648
permata-permata begitu saja, satu hal yang belum pernah dan
takkan terjadi dalam sejarah manapun! Keroyalan ini memang
sudah direncanakan oleh tokoh-tokoh Pauw-an-tui dalam
perundingan mereka sebelum mengadakan penyerbuan yang
terakhir ini.
649
maka dengan melanggar pesanmu aku menyusul dan datang
bersama kawan-kawan. Tapi syukurlah, kau selamat dan tidak
kurang suatu apa, bukan?!”
650
mayat dari anggauta Pauw-an-tui tampak bergelimpangan tak jauh
di sekitar lubang.
651
Ketiga tokoh Pauw-an-tui ini agaknya sama-sama kecewa, tadinya
mereka merasa lega karena penyerbuan ke sarang bajak sungai
tidak sampai meminta korban seorangpun dari pihak mereka, akan
tetapi tahu-tahu kini lima orang telah menjadi korban ledakan!
653
Perkataan bajak ini jadi terputus sampai di situ karena dari hutan
siong yang kegelap-gelapan itu, tiba-tiba muncul seorang kakek
bertubuh tinggi besar dan sambil mengeluarkan teriakan buas,
kakek tersebut maju menyerang mereka dengan goloknya yang
digerak-gerakkan begitu cepat.
Bukan main terkejutnya Bun Liong, Yang Hoa dan Can Po Goan
melihat keganasan kakek itu. Untuk mencegah lebih hanyak
korban lagi bagi pihaknya, maka Can Po Goan cepat-cepat
berseru, “Minggir semua! Biar aku menghadapinya…….!”
654
melawan pisau tajam, golok Can Po Goan telah terbabat putus
menjadi dua!
Pada saat itu, Yang Hoa tak dapat tinggal diam. Melihat betapa
golok di tangan Can Po Goan telah menjadi buntung dan tak dapat
dipergunakan lagi, dara ini lalu berseru keras dan melompat
dengan pedang di tangan, menusuk lambung kakek lihay itu.
Kakek itu ketawa lagi dengan suara yang sangat ganjil sambil
menggerakkan goloknya menangkis tusukan pedang si nona.
655
tangan gadis itu tergetar sehingga pedangnya terlepas dari
cekalannya dan terpental ke atas.
656
Sambil tertawa bergelak-gelak lagi si kakek menyambut
kedatangan pemuda itu dengan sabetan goloknya yang
diserangkan dari atas ke bawah, agaknya ia hendak membelah
tubuh pemuda itu menjadi dua keping. Bun Liong maklum bahwa
kakek itu lihay sekali, maka ia berlaku sangat hati-hati dan cermat
karena salah tindak sedikit dan sekali saja ia terkena samberan
golok yang luar biasa tajamnya….. berarti celakalah ia.
657
sedikit pun tubuhnya disentuh lawan, dengan demikian dua
serangan pemuda itu hanya mengenai angin saja!
Diam-diam Bun Liong mengakui bahwa ilmu golok kakek itu hebat
sekali, hanya anehnya kelihatannya agak ngawur seakan-akan
telah melupakan ilmu silat aslinya! Dan yang lebih aneh lagi, sambil
melancarkan serangan kakek itu terus ketawa-tawa seperti
seorang yang otaknya kurang waras!
658
dengan mengandalkan seluruh gin-kangnya membuat tubuhnya
demikian gesit seperti seekor burung walet sehingga kakek itu
seakan-akan dipermainkannya. Biarpun kakek itu ilmu goloknya
hebat luar biasa, namun bagi Bun Liong lebih berat ketika
bertempur melawan Houw-jiauw Lo Ban Kui tempo hari.
659
Akan tetapi, ketika melihat bahwa serangan kakek itu kini berobah
ganas dan Bun Liong merasa sulit sekali untuk mengalahkan
lawannya tanpa menjatuhkan tangan maut, maka pemuda yang
tabah ini lalu merobah pendiriannya. Betapapun juga, dari pada
dirinya celaka tentu lebih baik mencelakakan kakek itu!
Bun Liong berseru keras dan entah bagaimana cara pemuda ini
bergerak dan mengelak, karena tahu-tahu ia sudah berada di
belakang kakek itu dan tangannya telah menotok pundak
lawannya. Setelah bacokan goloknya yang mematikan itu ternyata
hanya menyambar angin saja, kakek itu marah sekali dan
berbareng dengan itu ia jadi terkejut ketika mengetahui pundaknya
dijadikan sasaran lawan.
660
sudah mengambil putusan hendak merobohkan kakek itu dengan
segera, benar-benar luar biasa.
Akan tetapi ia kalah cepat karena Bun Liong benar-benar tidak mau
memberi kesempatan pada lawannya. Baru saja kakek itu
mengelak, ia telah dapat mengejar dengan tangan kiri dan
terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh si kakek yang tinggi
besar kena dihantam dadanya sehingga terlempar sampai
setombak lebih dan jatuh terjengkang!
Melihat peristiwa ini Yang Hoa merasa lega hatinya. Can Po Goan
memuji kehebatan pemuda itu sedangkan semua anggauta Pauw-
an-tui bersorak riuh rendah.
661
Kakek itu mengerang seperti harimau luka, ia berusaha hendak
bangkit tetapi kembali tubuhnya jatuh. Wajahnya meringis
menahan sakit dan tangan kirinya mendekap dada.
662
Sedangkan beberapa orang anggauta Pauw-an-tui yang berada
terlalu dekat dengan kakek itu, menjadi limbung dan roboh
bergulingan. Karena pancaindera mereka tak kuat menerima
getaran pengaruh khi-kang yang luar biasa hebatnya dari kakek
yang terlentang tak berdaya itu.
663
Bun Liong dan kawan-kawannya menanti dengan hati berdebar-
debar dan heran. Mungkinkah akan muncul sekawanan bajak
sungai yang terdiri dari kaum wanita? pikir mereka. Dan keheranan
mereka makin menjadi ketika dari hutan siong itu muncul gadis-
gadis muda lagi cantik-cantik yang semuanya bersenjatakan golok.
664
memperhatikan wajah para dara penyerbu itu, nona ini melihat
bahwa para dara yang cantik-cantik itu seakan-akan sedang
bergerak dalam mimpi!
Mata mereka bagaikan mata orang yang sedang mengigau dan tak
sadar. Air muka mereka seperti dipengaruhi suatu kekuatan gaib
dan wajah yang cantik-cantik itu kelihatannya seperti wajah tolol.
Hal ini menyebabkan bulu tengkuk Yang Hoa berdiri saking merasa
seramnya!
Para dara yang rupanya dalam keadaan tidak sadar itu, tidak saja
menyerang Yang Hoa, karena melihat Bun Liong berdiri di dekat
Yang Hoa, sebagian dan mereka lalu menyerang dan mengeroyok
pemuda itu tanpa banyak cakap lagi. Bun Liong yang tak kurang
herannya dari Yang Hoa, melihat dirinya diserbu dan agaknya
hendak dicincang oleh golok-golok di tangan para dara aneh itu,
cepat bergerak dan begitu ia menggerakkan kedua tangannya,
golok-golok itu dengan mudah terampas olehnya.
Sementara itu Yang Hoa juga sudah diserang oleh sebagian dara-
dara itu. Akan tetapi pertempuran ini tidak berjalan lama karena
sesaat kemudian setelah beberapa kali Yang Hoa menggerakkan
pedangnya, golok-golok di tangan lawannya itu terbang ke udara.
665
Ada yang patah dan ada juga yang terlempar setelah kena senggol
sedikit saja oleh pedangnya!
666
Setelah kakek itu menghembuskan napasnya yang terakhir,
terjadilah suatu keanehan. Begitu tubuh kakek menjadi mayat,
sepuluh dara itu serempak seakan-akan menjadi sadar akan
keadaan yang sebenarnya.
Kini tampak wajah asli mereka yaitu wajah orang sadar dan waras!
Melihat begitu banyak orang yang rata-rata membawa senjata,
mereka memperlihatkan sikap bingung dan ketakutan……….
Tiba-tiba Bun Liong teringat akan seorang lasykar bajak yang telah
memberi keterangan tentang si kakek aneh tadi, maka dicarinya
orang itu dan setelah diketemukan lalu dibawanya ke dekat Yang
Hoa dan Can Po Goan dan dimintai keterangan tentang hal-ikhwal
kesepuluh orang gadis itu. Lasykar bajak memberikan keterangan
sejelasnya.
667
Akan tetapi kesucian mereka sama sekali tidak terjamah karena
dilarang keras oleh kakek aneh tadi.
“Kakek aneh tadi adalah seorang yang kurang waras otaknya, akan
tetapi karena ia berkepandaian tinggi dan tambahan lagi sebagai
ayah angkat Ma Gu Lin, maka semua lasykar bajak menghormati
dan menyeganinya sehingga tak ada yang berani melanggar
larangannya apalagi larangan diperkuat oleh Ma Gu Lin sendiri.
Adapun mereka menculik ke sepuluh orang gadis itu tak lain hanya
untuk memenuhi keinginan si kakek gila itu sendiri. Kakek itu
mempunyai kesulitan mengumpulkan gadis-gadis yang cantik,
yang diperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti
terhadap puteri-puterinya sendiri.
668
Mula-mula para gadis itu tentu saja takut sekali kepada kakek gila
yang berada di sarang penjahat itu, akan tetapi karena kakek itu
memiliki ilmu hoat-sut (ilmu sihir), maka dengan kepandaiannya ini
ia menyihir “anak-anaknya” sehingga mereka jadi menurut dan
menganggapnya seperti ayah sendiri. Bersama “anak-anaknya”
kakek itu bertempat tinggal di sebuah gubuk yang terpencil dari
kelompok gubuk-gubuk para lasykar bajak dan di situ ia mengajar
ilmu golok kepada “anak-anaknya.”
669
Setelah mendengar keterangan ini, Can Po Goan menghampiri ke
sepuluh dara yang masih bingung dan ketakutan itu.
Satu-satunya yang dapat mereka ingat hanya si kakek itu saja yang
mereka anggap sebagai ayah kandung mereka. Kini setelah
keadaan mereka wajar kembali dan mendengar kata-kata Can Po
Goan yang mengajak mereka pulang, tentu saja mereka menjadi
girang dan terharu. Mereka lalu berlutut sambil mengucapkan
terimakasih yang tak terhingga kepada orang tua itu.
670
Demikianlah dengan singkat saja diceritakan bahwa setelah
matahari agak condong ke barat rombongan Pauw-an-tui
meninggalkan hutan Siong-lim-nia. Mereka pulang sambil
menyanyikan lagu kemenangan. Di setiap dusun yang mereka
lalui, mereka disambut oleh rakyat jelata yang merasa gembira dan
terimakasih atas berhasilnya perjuangan pahlawan-pahlawan
pemulih keamanan itu.
“Hidup Pauw-an-tui……!”
671
Terpujilah Pauw-an-tui. Disanjung-sanjunglah nama tokoh-tokoh
dari barisan keamanan ini terutama nama pangcunya Souw Bun
Liong, yang sangat besar jasanya dan paling banyak
mengeluarkan tenaga dan kepandaiannya dalam peristiwa
memulihkan keamanan ini.
672
kehebatan ilmu silat Bun Liong membuat seluruh penduduk baik
tua maupun muda menjadi silat minded!
Hari itu, sejak pagi rumah Cio wan-gwe sudah ramai dikunjungi
para undangan dan ternyata selain Cio wan-gwe merayakan pesta
pulihnya keamanan seperti yang diselenggarakan di seluruh dusun
atas seruannya, juga sekalian merayakan pesta perkawinan putera
tunggalnya yaitu Cio Swi Ho, dengan seorang gadis puteri
hartawan di kota itu juga.
673
Pauw-an-tui yang telah berjasa besar memulihkan keamanan
dalam walajah kekuasaannya.
Bu-tek Enghiong!
674
yang sangat dihormati dan disegani, maka pemuda ini tidak berani
menyatakan perasaan hatinya!
675
“Hahaha…….! Bu-tek Enghiong……?! Orang macam apakah yang
mendapat nama julukan sangat hebat ini…….?!”
676
“Kawan-kawan! Apakah yang telah terjadi?!” Cio wan-gwe
bertanya.
Ketika mereka sudah dekat dengan ke lima orang itu, Cio wan-gwe
menjura dan penghormatan ini disambut oleh seorang lelaki tinggi
besar yang bajunya tidak dikancingkan sehingga dadanya yang
lebar dan penuh bulu kelihatan nyata.
677
“Ngo-wi sianseng (tuan-tuan berlima), kalau tidak salah
penglihatanku, kalian ini bukan orang-orang sini. Betulkah?” Cio
wan-gwe bertanya dengan ramah.
“Tidak salah,” sahut orang yang dadanya berbulu itu dan suaranya
ternyata besar dan parau. “Kami berasal dari Shan-tung dan di
daerah kami, berlima ini terkenal dengan julukan Shan-tung-ngo-
hiap (Lima pendekar dari Shan-tung). Dalam perantauan kami
mendengar suatu peristiwa yang amat mengagumkan, yaitu
tentang kegagahan pasukan Pauw-an-tui yang dalam waktu
singkat telah berhasil membasmi gerombolan penjahat. Kami
beruntung sekali hari ini kami datang ke mari karena justeru
sedang dirayakan pesta kemenangan!”
678
untuk bercakap-cakap dengan leluasa sambil menikmati jamuan
sederhana yang terdiri hanya dari air mentah dan sayur kasar.”
679
bagi orang-orang kang-ouw bahwa apabila mendengar ada
seorang yang memiliki kepandaian tinggi lalu disatroninya untuk
diajak “berkenalan”, atau tegasnya untuk diajak mengadu
kepandaian. Cio wan-gwe tidak berani memberi penyahutan atas
pertanyaan orang itu, melainkan dengan isyarat matanya ia
menyerahkannya kepada Bun Liong yang berada di sampingnya.
Bun Liong maklum akan hal itu, maka pemuda ini lalu maju dan
memberi hormat kepada orang tinggi besar itu.
680
“Tak salah, orang tua gagah. Akulah orangnya!” sahut Bun Liong
sambil balas memandang orang yang bersikap kurang
menyenangkan itu.
682
Mereka merupakan pendekar-pendekar petualang dan melakukan
perantauan bersama. Tentu saja sepanjang petualangannya
mereka telah banyak melakukan kebajikan dan karena kegagahan
mereka lalu terkenal sebagai Shan-tung-ngo-hiap.
683
Cu dan ilmu silat tongkatnya di daerah Shan-tung tiada yang dapat
menandingi.
684
perhatian mereka, yaitu adanya barisan Pauw-an-tui yang telah
berhasil mengganyang komplotan penjahat dalam waktu yang
singkat!
685
Li Kay, orang tertua dari Shan-tung-ngo-eng adalah seorang yang
berwatak jujur akan tetapi mempunyai sifat berangasan. Ketika
mendengar nama julukan yang benar-benar hebat menjadi sangat
penasaran hatinya.
686
Baiknya Cio wan-gwe cepat keluar menemui mereka dan
kemudian, seperti sudah diceritakan tadi, Li Kay jadi berhadapan
dengan Bun Liong, si Bu-tek Enghiong yang dimaksudkannya
itu……..
Ketika melihat Bun Liong berdiam saja dan mata pemuda seperti
menaksir-naksir mereka, Li Kay lalu berkata pula:
Akan tetapi ketika melihat pemuda itu masih berdiri diam saja dan
tak kelihatan mengeluarkan senjata, hanya menghadapinya
dengan tangan kosong, Li Kay bertanya pula:
688
“Anak muda, kau tidak membawa senjata, maukah kami pinjami
senjata untuk kau pakai?!”
689
Bun Liong. Tubuhnya membungkuk dengan muka ke bawah dan
matanya mendelik mengawasi pemuda yang berdiri di depannya.
“Ganyang Shan-tung-ngo-hiap…….!!!”
“Majulah kau orang tua gagah!” seru Bun Liong dan pemuda ini
sama sekali tidak memasang bhesi.
Maka ketika Li Kay melihat Bun Liong berbuat seperti itu, yakni
menantang dalam kedudukan tidak memasang bhesi, hatinya agak
mendongkol karena dianggapnya pemuda itu sombong sekali dan
karenanya segera ia berseru, “Awas serangan!” sambil melompat
maju melakukan tubrukan.
691
Akan tetapi karena ia adalah orang yang tertua dan menduduki
tempat pertama dalam Shan-tung-ngo-hiap sehingga tentu saja
kepandaiannya sangat tinggi, maka cepat jari-jari tangannya
mencengkeram. Dan sebelum Bun Liong sempat menghindari
serangan yang tidak diduga ini, pinggang pemuda itu telah dapat
ditangkap dan tahu-tahu tubuh pemuda itu telah diangkat di atas
kepala.
Akan tetapi baru saja kedua kaki pemuda menyentuh tanah, Li Kay
telah datang dan dengan gerakan cepat mengirim serangan lagi
dan kembali ia hendak mencengkeram ke dua lengan pemuda itu.
Namun sebelum serangan yang kedua kali ini berhasil, Bun Liong
sudah mendahuluinya mendorong dengan ke dua tangannya.
692
Biarpun dorongan tidak menyentuh dadanya, namun
kenyataannya Li Kay yang bertubuh tinggi besar jadi terhuyung
mundur sampai lima langkah!
Li Kay terkejut dan heran akan tenaga dorongan dari pemuda itu,
tapi ia jadi penasaran dan segera ia maju dan menubruk lagi.
Tubrukan yang ketiga kalinya ini dapat dielakkan oleh Bun Liong
dan sebelum Li Kay membalikkan tubuh, pemuda itu sekali lagi
telah mendorongnya, kini dari samping.
Dan sekali lagi orang tua itu terkejut dan heran karena merasakan
ada angin yang kuat sekali mendorong lambungnya sehingga tidak
saja ia jadi terhuyung-huyung dibuatnya. Bahkan kalau ia tidak
cepat-cepat melompat, pasti ia akan roboh terguling!
693
Biasanya memang Bun Liong jarang sekali mainkan ilmu pukulan
ampuh itu kalau tidak terlalu perlu. Akan tetapi karena kini ia bakal
menghadapi lima lawan dari Shan-tung maka menghadapi Li Kay
ia sudah mengeluarkan ilmu simpanannya supaya cepat
memperoleh kemenangan dan menghemat tenaga!
694
Maksudnya sabetan tangan kirinya sebagai pancingan yang
diharapkan pemuda itu menaruh perhatian terhadap serangan ini
dan menangkis. Padahal serangan yang sesungguhnya adalah
hendak menangkap kaki pemuda itu dan ia yakin bahwa kali ini
akan dapat membanting lawannya.
Akan tetapi gerakan Bun Liong jauh lebih cepat lagi. Melihat dua
serangan sekaligus akan tetapi serangan ke arah kaki kirinya itu
ternyata lebih cepat datangnya daripada serangan yang menyabet
ke arah lehernya itu, maka Bun Liong menggerakkan kaki kirinya
sedikit sehingga tangan kanan Li Kay yang hendak menangkapnya
itu tadi mencengkeram angin.
695
Semua orang yang melihat ini, kecuali ke empat saudara Li Kay
tentunya, menjadi gembira dan mereka bersorak-sorak bertepuk
tangan!
696
“Souw sicu, dengan sejujurnya aku menerima kalah bertanding
dengan tangan kosong. Akan tetapi hatiku belum puas kalau kau
belum melayani aku dengan bersenjata. Nah, marilah kita bermain-
main lagi. Keluarkanlah senjatamu!”
“Tak usah aku bersenjata dulu, karena aku ingin mencoba ilmu
rantaimu dengan mengandalkan ke dua tanganku saja dulu.”
698
ujung rantai yang disampok jadi mencong ke bawah dan ujung
rantai yang dipapaki tendangannya lalu mental ke atas!
699
ketika ia melihat pemuda itu telah lenyap dari depannya dan tiba-
tiba ia merasa ada angin yang menyambar di atas kepalanya.
Akan tetapi sabetan ini ternyata terlambat karena pada saat Bun
Liong sudah turun ke bawah, dan kini sudah berdiri di belakangnya
dan kedua tangannya pemuda sudah menotok jalan darah Kian-
keng-hiat di kedua pundak Li Kay! Ketua Lima pendekar dari Shan-
tung merasakan sepasang lengannya menjadi kaku kejang.
700
napas panjang sambil membalikkan tubuh dan memberi hormat
kepada Bun Liong.
“Souw sicu, kau benar-benar gagah dan aku merasa tunduk oleh
kegagahanmu,” katanya.
701
Bun Liong memandang kepada orang yang agaknya masih mau
mengejeknya itu dan Li Kay pun menoleh. Ternyata orang itu
adalah Lo Kin yang sudah merasa gatal tangan melihat betapa
kakak seperguruannya dikalahkan dengan begatu mudah oleh
pemuda itu.
702
“Betapapun juga, aku ingin mencoba kepandaian Bu-tek
Enghiong!”
“Silakan maju, dan aku sangat berterima kasih kalau kau dapat
memberi pelajaran ilmu golokmu kepadaku!” kata Bun Liong yang
makin sebal melihat sikap orang kedua dari Shan-tung-ngo-hiap ini
dan ia lalu menyilahkan Li Kay supaya mundur.
Ketika itu tiba-tiba Yang Hoa tampil dan langsung berkata kepada
calon suaminya, “Liong-ko biarlah aku mewakilimu untuk mencoba
kehebatan ilmu goloknya. Sudah pernah kudengar bahwa ilmu
703
golok keluaran Shan-tung hebat sekali, maka kesempatan yang
sebaik ini berikanlah kepadaku!”
“Menang atau kalah dalam pibu yang jujur adalah soal wajar.
Menang bagiku bertambahnya pengalaman dan kalah berarti
tambah pelajaran. Kau rela bukan memberi giliran kepadaku?”
Bun Liong maklum bahwa gerakan alis itu adalah sebagai isyarat
baginya. Bahwa ia lebih baik mengaso dulu dan sambil mengaso
ia memperhatikan permainan silat orang itu sehingga kalau calon
isterinya sampai kalah, ia akan dapat mengalahkan orang itu, yang
permainan goloknya masih amat asing baginya karena ia sudah
mempunyai kesempatan untuk memperhatikan sepak terjang dan
perkembangan ilmu golok orang itu.
704
Tanpa menunggu jawaban dari Bun Liong, Yang Hoa telah
menghadapi Lo Kin dan sambil mencabut pedangnya, ia berkata
menantang: “Tuan dari Shan-tung yang gagah, karena Bu-tek
Enghiong tidak biasa bersenjata, maka ilmu golokmu takkan dapat
dilayaninya secara memuaskan bagimu. Oleh karena itu, marilah
kita bermain-main sebentar!”
705
Memang benar kata orang bahwa golok yang dimainkan oleh
tangan seorang ahli, merupakan raja senjata yang berbahaya
sekali. Golok yang tipis dan lebar itu setelah dimainkan oleh Lo Kin
lenyap bentuk goloknya dan berubah menjadi sinar putih yang
bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengeluarkan angin
dan suara bersuitan!
Akan tetapi Yang Hoa adalah seorang gadis berbakat yang telah
mendapat gemblengan cukup dari subonya, ditambah lagi dara itu
telah mendapat pelajaran tambahan dari Bun Liong, maka gadis
yang keras hati ini sedikitpun tidak merasa gentar. Ia memainkan
pedangnya dengan sama cepatnya dan mempergunakan gin-
kangnya untuk berkelebat ke sana ke mari dengan gesit sekali
menghindarkan diri dari sambaran golok dan membalas dengan
serangan-serangan yang cukup kuat dan cepat.
706
dan kabur karena tubuh kedua orang itu telah lenyap terbungkus
gulungan sinar golok dan pedang. Hanya bunyi golok beradu
dengan pedang serta bunga api yang berhamburan menyatakan
kepada mereka bahwa di dalam gulungan sinar golok dan pedang
itu terdapat dua orang yang sedang mengadu kepandaian.
Hanya kedua orang yang sedang bertempur itu saja yang maklum
bahwa dalam hal kepandaian silat, ilmu kepandaian silat, ilmu
kepandaian Lo Kin lebih tinggi tingkatnya dan permainan goloknya
lebih matang, dan tenaganya pun lebih besar sehingga setiap
serangan goloknya sangat kuat dan mantap! Akan tetapi Lo Kin
harus mengakui bahwa biarpun paling tinggi di antara saudara-
saudaranya, namun kalau dibandingkan dengan lawannya, ia
kalah.
707
Tiba-tiba Lo Kin merobah gerakan goloknya dan memainkan Tee-
tong-to, yakni permainan golok sambil bergulingan di atas tanah.
Sambil bergulingan, goloknya membabat ke arah kaki lawan.
Melihat serangan yang cepat dan berbahaya ini, Yang Hoa terkejut
sekali, hingga ia terpaksa melompat tinggi dengan maksud
membalas serangan dari atas dengan kaki di atas dan kepala di
bawah. Akan tetapi Lo Kin ternyata memiliki kegesitan yang hebat
sehingga sebelum gadis itu dapat berjungkir balik di udara, telah
melompat berdiri dan menggunakan gagang golok untuk memukul
kaki Yang Hoa.
708
“Yang-moay, ternyata kau kalah tangguh dan kekalahan ini harap
kau anggap sebagai penambah pelajaran bagimu seperti yang kau
katakan tadi,” ujar bayangan biru pemisah itu yang tak lain dari Bun
Liong.
Yang Hoa Yang ketika itu sudah berdiri pula menjadi merah
wajahnya, akan tetapi ia tersenyum tatkala menyatakan
kekalahannya. “Aku menerima kalah dan benar-benar aku memuji
kehebatan Shan-tung-to-hoat (ilmu golok Shan-tung)! Sekarang
giliranmu untuk merasakan kehebatannya, Liong-ko!” Dara ini
kemudian mengundurkan diri setelah alis matanya yang sebelah
kanan bergerak-gerak pula.
709
sungguh di luar dugaan Bun Liong ketika orang, Shan-tung yang
jumawa itu berkata,
710
menghindarkan pertempuran dengannya. Kemudian sambil
menyarungkan goloknya ia berkata:
711
berani melawan golokku dengan tangan kosong! Benar-benar aku
harus mengajar adat kepadamu!”
712
goloknya benar-benar cepat, dahsyat dan ganas karena ia ingin
merobohkan pemuda itu dengan segera.
713
Akan tetapi Bun Liong takkan berani berkata takbur kalau saja ia
tak merasa lebih lihay dari pada Lo Kin yang sudah “dicuri” taktik
permainannya tadi. Begitulah berkat gin-kangnya yang sudah
mencapai tingkat tinggi dan tentu saja jauh lebih tinggi daripada
gin-kang Lo Kin, maka selama duapuluh jurus ia bisa
mempermainkan lawannya dengan seenaknya, bagaikan seekor
tikus yang gesit sekali mempermainkan seekor kucing tua yang
lambat gerakkannya!
714
Sambaran-sambaran dan bebatan-bebatan golok dari Lo Kin itu
seakan-akan menyerang sehelai bulu yang ringan sehingga yang
diserang telah melayang pergi sebelum samberan goloknya tiba!
Dan betapa takkan makin gemas dan marahnya hati Lo Kin karena
sambil mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa Bun Liong
sempat juga mengirim serangan-serangan balasan, yaitu pada
satu saat, setelah mengelak cepat dari sebuah sambaran golok,
tangan kanan pemuda itu menyambar dan “plak!” pipi kiri Lo Kin
telah kena ditamparnya!
715
cepatnya. Kaki kanan pemuda itu telah menyambar bagaikan
sambaran kilat dan “buk!!”
716
dengan maksud hendak membelah tubuh pemuda itu menjadi dua
keping!
Akan tetapi pemuda Souw Bun Liong sebagai murid tunggal dari
Bu Beng Lojin, yang telah menjadi ketua Pauw-an-tui dengan
mendapat nama julukan Tong-koan Ho-han dan kini mendapat
nama julukan baru Bu-tek Enghiong dari Ti-koan sebagai
penghargaan atas jasa-jasa dan kegagah-beraniannya benar-
benar memperlihatkan kelihayannya yang patut dipuji!
718
belakang akan tetapi berkat gin-kangnya yang tinggi, ia tidak
sampai jatuh terjengkang!
719
Kalau dengan ilmu goloknya yang hebat Lo Kin tidak dapat
mengalahkan Bun Liong dan bahkan sebaliknya ia telah
dipermainkan, apalagi dengan bertangan kosong! Hal ini benar-
benar merupakan “makanan enak” bagi Bun Liong.
720
Bun Liong mengerahkan tenaga sambil membungkuk dan lengan
kiri lawan terus ditariknya ke depan. Dan tak ampun lagi tubuh Lo
Kin jadi melayang ke depannya lalu jatuh terbanting dan
bergulingan di atas tanah!
“Kau benar-benar hebat, Souw sicu!” kata Li Kay yang ketika itu
sudah berdiri di depan Bun Liong. “Kepandalan kami perseorangan
sudah terang sekali tak mungkin dapat menandingimu, maka yang
terakhir sekarang marilah kau coba menghadapi Ngo-seng-kun
yang akan kami mainkan lima saudara bersama-sama?!”
721
“Bagus! Peristiwa yang banyak membuang-buang waktu percuma
ini lebih cepat berakhir lebih baik. Nah, kalian berlima mulailah dan
mudah-mudahan kau akhirnya akan mendapat kepuasan!”
Bun Liong maklum apa yang disiasati oleh nona ini ketika ia melihat
alis calon isterinya bergerak-gerak. Tapi ia merasa kurang enak
hati kalau-kalau siasat ini dapat diketahui oleh Lima Pendekar dari
Shan-tung itu.
722
tempur mereka. Hal ini sungguh memalukan baginya. Maka ia
cepat berkata:
723
“Sabar Yang-moay kau harus menghormati tamu-tamu kita ini yang
bermaksud hendak saling menguji kepandaian, bukan untuk
menanam bibit permusuhan,” ujar Bun Liong menukas, untuk
menyabarkan dara yang keras hati itu.
“Souw sicu, biarlah kami berlima melayani dulu lihiap yang galak
ini dan kuminta dengan hormat supaya kau mundur dulu!”
725
“Nona, sabar dulu!” kata kepala Shan-tung-ngo-hiap itu, “Kita
belum mengadakan perjanjian.”
726
Yang Hoa terkejut dan ia dapat menangkis golok Lo Kin,
sedangkan tongkat Lim Cu ia kelit dengan mempergunakan gin-
kangnya. Akan tetapi baru saja kedua serangan dapat ia patahkan,
dari arah belakangnya tiba-tiba senjata kampak dari Ho Kun
membacok pinggangnya, Ho Kim menyerampang kakinya dengan
tombaknya panjang dan dari samping kanan rantai Li Kay sudah
meluncur dengan gerakan hendak membela lehernya!
727
pula oleh kampak dan tombak dari Ho Kun dan Ho Kim dari lain
jurusan!
728
mereka, dan biarpun ia yakin takkan menang, namun sambil
menggertak gigi ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
terus bertahan dan ia selalu berusaha untuk membobolkan
kurungan sebelum sampai seratus jurus!
729
tetapi golok Lo Kin menangkis pedangnya itu dan tongkat Lim Cu
sudah menyamber menotok iganya.
730
“Dengan Ngo-seng-kun kau akan kami uji selama limapuluh jurus!”
sahut Li Kay dan cerdik. Ia sengaja memperpendek waktu
pertempuran karena maklum akan kelihayan pemuda itu.
Tentu saja siasat cerdik ini sama sekali diluar dugaan Yang Hoa
dan Bun Liong sendiri. Sehingga diam-diam Yang Hoa yang
menyaksikannya jadi mengeluh, kiranya sia-sia saja ia cape-cape
bertempur tadi untuk memberi “contoh” pada calon suaminya!
Bun Liong juga merasa terkejut dan ia jadi maklum bahwa Shan-
tung-ngo-hiap ini agaknya sudah mengetahui apa yang disiasatkan
731
oleh calon isterinya tadi. Tadinya Bun Liong bermaksud hendak
melayani mereka dengan bertangan kosong saja, akan tetapi
setelah mengetahui bahwa Shan-tung-ngo-hiap itu bersiasat cerdik
sehingga ia merasa kalau dengan bertangan kosong saja tak
mungkin dapat menang, maka cepat ia merenggut tali di
pinggangnya dan pada detik berikutnya senjata cambuknya sudah
berada di tangan!
732
cukup teratur berangsur-angsur menjadi kacau-balau karena
mereka seakan-akan melihat pemuda itu menjadi delapan orang
yang bergerak-gerak di antara senjata-senjata mereka dengan luar
biasa gesitnya!
733
“Souw sicu, bukalah mata kami dengan seranganmu!”
Ternyata ujung cambuknya yang lihay itu dalam waktu yang sama
telah melibat tombak di tangan Ho Kim, kampak Ho Kun dan
tongkat Lim Cu. Sekali Bun Liong menyentakkan cambuknya ke
atas, senjata yang tiga macam itu terlepas dari pegangan mereka
dan diterbangkan ke udara di dalam belitan ujung cambuk itu!
734
Dengan kaget kedua orang itu mengelak dan dalam kesempatan
ini mereka langsung menyerang pemuda itu. Biarpun senjata tiga
kawannya sudah dirampas, itu belum berarti kalah, maka mereka
merasa berhak untuk terus menyerang!
735
Li Kay mengerahkan tenaga untuk membetot. Dan untuk sesaat ia
dan pemuda itu jadi saling mengadu tenaga lweekang tenaga
dalam, saling menarik rantai itu.
736
julukan Bu-tek Enghiong. Terima kasih atas pelayananmu dan
selamat tinggal…….!”
Akan tetapi, ke lima orang tersebut sudah tak kelihatan lagi, pergi
dengan jalan menyelinap di antara orang banyak.
◄Y►
737
banyak datang dan singgah di kota yang merupakan pintu gerbang
antara tiga propinsi ini!
738
itu yang sudah dirombak sehingga cukup luas, mereka ini disambut
oleh Cio wan-gwe sendiri yang bertindak sebagai wakil tuan rumah.
739
Di sebuah sudut kiri dari tempat duduk mereka, yaitu di pojok
ruangan, bertumpuk-tumpuk barang sumbangan memenuhi
sebuah meja panjang dan besar. Dan barang-barang hantaran
lainnya lagi yang berupa pigura-pigura berisikan lukisan indah atau
tulisan “Lian” (semacam sajak yang merupakan doa restu bagi
kebahagiaan, kerukunan pengantin) dipajang di dinding ruangan
tersebut dan jumlahnya banyak sekali, sehingga merupakan
pameran lukisan dan lian!
Bu-tek-eng-hiong!
Papan ini digantung di atas ambang pintu dan ini adalah hadiah
dari Ti-koan kota Tong-koan yang memberi nama julukan pada Bun
Liong pada dua bulan yang lalu itu.
740
dalam cawan para tamu berkali-kali sehingga makin lama makin
riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai mabok!
Akan tetapi, mengapa orang tua sakti itu belum muncul juga? Hari
sudah begitu siang. Itulah sebabnya maka di samping kesibukan
menerima ucapan selamat dari para tamu, Bun Liong sebentar-
sebentar melayangkan pandang ke arah pintu.
742
tepat dihadapan Cio wan-gwe! Semua orang, yaitu para tamu,
tercengang melihat kedatangan hwesio gendut yang tiba-tiba ini.
743
“Bocah sombong! Menyesal sekali dalam perjumpaan pertama
waktu dulu pinceng tidak memuntirkan batang lehermu! Kiranya
dengan mengandalkan kepandaian warisan si Ong Kim Su kau
sudah berbuat ugal-ugalan membunuh kedua orang muridku dan
seorang suhengku.
Akan tetapi Bun Liong adalah seorang pemuda yang cerdik, ia ingin
mendapat penjelasan dan bertanya:
745
Sekali saja mengebutkan lengan jubahnya, Ci Lun Hosiang telah
mengirim serangan ke arah dada si hartawan itu. Dan serangan
yang segebrakan ini ternyata telah mendatangkan maut, karena
tubuh Cio Song Kang jadi terpental dan napasnya seketika itu juga
jadi terhenti!
Juga Yang Hoa sudah dapat menghindarkan diri dari serangan ini
dengan sebuah kebutan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan dan
tahu-tahu tubuh Kho In Hoa, ibu Bun Liong yang duduk disamping
kursi penganten, telah roboh terjengkang berikut kursi yang
didudukinya!
746
Sementara itu para anggauta Pauw-an-tui yang dipimpin oleh Can
Po Goan telah maju mengeroyok Ci Lun Hosiang, sedangkan para
tamu lainnya yang tidak mengerti ilmu silat telah lari berserabutan
dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dengan sangat
ketakutan! Keadaan di tempat itu kini menjadi ribut dan kacau
balau!
747
pengantinnya ditanggalkannya dan setelah menyambar
pedangnya yang tergantung di dinding ruangan tengah. Ia
melompat keluar mengikuti suaminya diikuti oleh ibunya yang
sudah mempergunakan senjata-senjata rahasianya di tangan!
Ibu Yang Hoa itu terkejut sekali dan meskipun ia sudah mencoba
berkelit dengan cepat, namun sebatang senjata rahasia telah
menancap tepat di dada sebelah kirinya! Nyonya itu menjerit,
749
tubuhnya roboh berkelojotan dan tewas seketika itu juga karena
senjata rahasia tersebut bukan saja menancap di dada kirinya,
bahkan telah menembus sampai ke punggungnya!
750
kebutan-kebutan ujung lengan jubahnya yang lebar, ia sudah mulai
mendesak kedua lawannya!
Semua orang yang melihat kenyataan ini mulai merasa cemas dan
bingung. Akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk
membantu karena kepandaian mereka sama sekali tak berarti
untuk menghadapi hwesio yang lihay itu!
Peristiwa ini tentu saja menyebabkan hati Bun Liong bukan main
kaget, sedih, marah dan bingungnya. Maka ia terus mengirim
serangan-serangan maut, seluruh kepandaian yang ada padanya
dikeluarkan semua untuk merobohkan musuh besarnya.
751
Akan tetapi, setelah merobohkan Yang Hoa, Ci Lun Hosiang kini
dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada pemuda lawannya
itu dan sambil tak henti-hentinya ketawa mengejek dan
memperolok-olokkan ia melancarkan serangan balasan. Kedua
ujung lengan jubahnya menyambar-nyambar mendatangkan angin
taufan yang kuat sekali dan manakala dilihatnya kesempatan, ia
melancarkan pukulan Ceng-kin-ciu yang dahsyat bertubi-tubi!
752
Melihat keadaan pemuda itu Ci Lun Hosiang menjadi gembira
sekali.
753
keadaan miring untuk mengelakkan serangan yang lebih dulu
sehingga ia tidak sempat mengelak, maka tubuh pemuda itu
terpental dan jatuh bergulingan di atas tanah!
754
Ci Lun Hosiang merasa heran dan penasaran sekali. Biasanya,
sekali pukulannya mengenai lawan, pasti lawan itu akan roboh
binasa. Akan tetapi kini, biarpun pukulannya sudah dua kali
mengenai pundak dan punggung Bun Liong, pemuda ini masih
dapat bergerak cukup gesit.
Bun Liong merasakan dirinya sudah terlalu lemah dan payah dan
dalam keadaan tidak berdaya ini. Ia sudah rela untuk menerima
kematian di bawah tangan pendeta gadungan yang murtad itu!
755
“Suhu……! Kau datang…….!” seru Bun Liong yang ketika itu
sedang merangkak berusaha bangun dan ia sangat besar hati
melihat suhunya datang menolong!
Perintah ini ditaati oleh Bun Liong yang segera duduk bersila dan
bersamadhi untuk memulihkan tenaganya.
756
Setelah melihat bahwa orang di depannya itu adalah Bu Beng Lojin
dan setelah mendengar perkataannya, tiba-tiba Ci Lun Hosiang
ketawa bergelak-gelak:
“Kaupun makin tua makin gendut seperti tubuh kerbau kebiri saja
dan kepalamu makin licin seperti batok binatang penyu!” balas
kakek itu dan nada suaranya terdengar sangat tandas ketika
melanjutkan perkataannya:
“Hanya sayang sekali, dengan kepalamu yang licin dan jubah yang
menutupi tubuh terokmokmu, perbuatanmu telah mencemarkan
para alim ulama yang menjalankan ibadah suci!”
757
Kakek yang kelihatan tua renta itu tersenyum tatkala berkata:
“Oh, ya, baru kuingat bahwa kau berasal dari Tibet. Akan tetapi
sebelum kau datang merantau ke daratan Tiongkok ini, pernah
kudengar cerita tentang seorang budak tukang sapu di dalam kuil
yang melakukan perbuatan kotor memperkosa seorang gadis di
dalam tempat suci itu sehingga mendapat hukuman dari para
pendeta Lhama.
“Kuil yang sudah dikotori oleh budak tukang sapu itu dibakar dan
budak murtad itu sendiri lalu diusir dan tidak diakui lagi sebagai
bangsa Tibet. Tidak tahu apa hubungan budak cabul itu dengan
kau!?”
759
Bu Beng Lojin sudah maklum betapa lihay dan berbahayanya
pukulan dari si Tangan Seribu Kati ini. Akan tetapi ia tidak
mengelak atau berkelit, bahkan menyambutnya dengan tubuh
agak direndahkan dan kemudian kedua tangannya dengan telapak
tangan terbuka mendorong ke depan sambil berseru keras.
Dua macam hawa pukulan bertenaga raksasa dari dua pihak ini
beradu. Ci Lun Hosiang mundur terhuyung-huyung dan Bu Beng
Lojin juga sempoyongan karena mereka telah dihantam hawa
pukulan sendiri yang terpukul membalik!
760
Tak terdengar suara tangan atau kaki saling beradu, akan tetapi di
sekitar tempat pertempuran itu bertiup angin keras dan debu
mengebul menggelapkan penglihatan! Kemudian mereka melihat
betapa kedua bayangan yang tadi berkelebatan itu berhenti
bergerak.
Dan ternyata ketika itu kedua tangan Bu Beng Lojin dan Ci Lun
Hosiang saling menempel dan saling mendorong! Tubuh kedua
orang itu tidak bergerak, akan tetapi tampaknya benar-benar
menegangkan.
Dan dalam hal adu lweekang ini kalah menang hanya diputuskan
oleh kematian seorang di antaranya!
761
Akan tetapi Bu Beng Lojin benar-benar seorang sakti setengah
dewa. Sikapnya tampak tenang seperti biasa, bahkan kakek kosen
ini masih dapat bicara, padahal kalau sedang mengadu tenaga
dalam seperti ini, berbicara adalah suatu pantangan yang paling
besar!
762
Akan tetapi Ci Lun Hosiang tidak mau menerima usul Bu Beng
Lojin itu. Ia maklum bahwa dengan mengakhiri pertempuran itu
begitu saja dan menerima usul lawannya, sama halnya dengan
mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.
Dua hal yang aneh dan hebat terjadi dalam waktu yang sama.
Ketika cengkeraman hwesio itu mengenai sasaran, yang kena
dicengkeram hanya kain baju yang menjadi robek saja sedangkan
dada yang dicengkeramnya itu, dadanya sudah tidak berdaging
atau berkulit yang dapat dicengkeram, agaknya kulitnya sudah
mengeras dan rata dengan tulang sehingga keras sekali!
Hal ini tak lain disebabkan Bu Beng Lojin mengerahkan tenaga sin-
kangnya ke arah dada untuk menahan cengkeraman. Melihat
serangannya tidak berhasil, Ci Lun Hosiang merubah
cengkeramannya menjadi sebuah pukulan yang dilakukan dalam
gerakan lanjutan tanpa menarik tangannya terlebih dulu!
Akan tetapi anehnya kepala gundul itu tidak pecah, bahkan tiba-
tiba kepalan tangannya meleset seakan-akan kepala itu terbuat
dari baja yang dilumuri minyak, sangat keras dan licin. Akan tetapi,
764
dua serangan dari dua pihak yang masing-masing dibentengi oleh
kekuatan sin-kang yang terjadi pada saat yang sama itu
mendatangkan akibat yang hebat sekali!
765
Ci Lun Hosiang sebenarnya masih keadaan setengah pingsan
karena pukulan Bu Beng Lojin yang menghantam kepalanya tadi
dan yang membuat tubuhnya berputar seperti gangsing. Itulah
sebabnya maka ia sama sekali tak berdaya ketika tubuhnya tiba-
tiba ditangkap, diangkat dan kemudian dilemparkan oleh
lawannya!
Bun Liong ketika itu sudah berdiri tegak dan siap menyambut tubuh
besar yang melayang ke arahnya seakan-akan hendak
menimpanya. Kedua tangannya diulurkan ke atas dan pada lain
saat tangan kanannya secara tepat sekali menangkap tengkuk Ci
Lun Hosiang dan tangan kirinya dengan jari-jari tangan
dikembangkan menyanggap pinggul yang penuh daging dan gajih
itu.
766
Dan sebelum tubuh Ci Lun Hosiang sampai di tangannya, tubuh itu
telah kena didorong oleh tenaga hebat yang keluar dan telapak
tangan kakek sakti itu dan terpental kembali ke arah muridnya!
Inilah tenaga khi-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi hingga
tenaga dorongan yang keluar dari telapak tangan kakek itu cukup
hebat untuk mementalkan kembali tubuh Ci Lun Hosiang yang
begitu besar dan berat!
Pada saat itu tenaga Bun Liong sudah pulih kembali dan ia segera
mencontoh perbuatan gurunya. Iapun menggunakan khi-kangnya
dalam serangan melancarkan pukulan Lui-lek-ciang yang
dilakukan oleh tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka
untuk mendorong tubuh yang masih berada di udara itu sehingga
terpental kembali ke arah gurunya!
767
menjadi sebuah bola yang dipermainkan dan dilemparkan pulang
balik oleh Bu Beng Lojin dan Bun Liong!
768
“Benarkah…….?” Bun Liong bertanya heran, “Tapi mengapa teecu
tidak melihat suhu?”
Adapun Kho In Hoa, Lan Eng, dan Cio Song Kang wan-gwe
ternyata sudah tidak bernyawa lagi!
Sebentar Bun Liong ragu, dilihatnya mayat ibu, ibu mertuanya dan
Cio Song Kang itu. “Tapi bagaimana dengan jenazah-jenazah ini,
suhu? Bukankah perlu diurus dulu?”
771
menolong isterinya adalah lebih penting. Maka dengan suara
penuh permohonan ia lalu berkata kepada Can Po Goan yang
berdiri di depannya dengan muka pucat dan sedih.
772
“Kita boleh membenci kejahatan dan keburukan tingkah lakunya,
akan tetapi raganya yang hanya menjadi alat itu harus kita
kembalikan kepada asalnya.” Setelah berkata begitu kakek ini
mengajak muridnya.
Hari sudah senja tatkala Bu Beng Lojin dan Bun Liong tiba di
puncak gunung Hoa-san. Dengan seijin gurunya yang terus batuk-
batuk Bun Liong membaringkan tubuh isterinya di dalam sanggar
pertapaan kakek itu.
773
“Berkat latihan yang teecu terima dari suhu maka teecu tidak
menderita luka apa-apa, hanya tubuh teecu terasa sakit-sakit,”
sahut Bun Liong.
“Suhu, suhu mendapat luka?!” tanya Bun Liong, kaget dan cemas.
774
kosen yang sudah menderita luka dalam amat parah itu, kakek itu
dapat bersemadi dengan tenang.
Melihat isterinya mulai siuman, hati Bun Liong merasa lega, akan
tetapi ia jadi amat bingung melihat perobahan isterinya itu. Ia
maklum bahwa isterinya juga menderita luka dalam.
775
“Liong-ko, dimanakah kita berada kini…….?”
Akan tetapi Yang Hoa seperti dapat menduga, “Dan…… dan ibumu
dan ibuku juga tewas bukan…….?”
776
Bukan main bingungnya Bun Liong. Untuk sesaat lamanya ia
membisu saja, sehingga suasana di tempat itu yang memang
hening semakin sunyi.
“Hal ini sudah kuduga karena sebelum aku dirobohkan oleh hwesio
jahat tadi, aku seperti mendapat pirasat bahwa ibu-ibu kita sudah
tak mungkin hidup lagi mengingat hebatnya kelihayan hwesio jahat
777
itu. Dan biarpun aku sendiri akan menyusul mereka, aku dapat
menerima kematian dengan hati puas…….”
“Tidak! Kau tidak boleh meninggalkan aku. Kau pasti sembuh dan
sehat kembali…….! Kau harus ingat bahwa musuh-besarmu, Cio
Leng Hwat dan si perampok tunggal yang membunuh ayahmu,
masih belum mampus…….”
778
sama juga, arwah mereka pasti akan menerima pembalasan dari
arwah ayahku…….”
779
pegawai-pegawai mendiang ayahku. Tak salah lagi mereka adalah
kedua orang yang sedang kami cari.
780
Tiba-tiba Bun Liong menukas: “Apakah kau maksudkan Cio Song
Kang wan-gwe, Yang-moay…….?”
782
Selagi ia menyesali perbuatannya dan kebingungan karena tidak
mengetahui apa yang ia mesti perbuat untuk menolong isterinya,
tiba-tiba ia mendengar suara suhunya: “Liong…….!”
783
yang mesti dipetiknya karena ketika ia tinggal di gunung ini, ia
sering diberitahu oleh gurunya tentang jenis-jenis bahan obat dan
faedahnya.
784
Akhirnya ia tiba di gubuk gurunya itu. Walaupun ketika itu sudah
setengah gelap, namun ia masih dapat melihat dengan jelas bahwa
gurunya masih duduk bersila di tempatnya semula dan matanya
dipejamkan.
Ia jadi bengong sesaat karena, nadi itu sudah tidak berdetak lagi!
Pada detik berikutnya Bun Liong jadi menangjs tersedu-sedu
sambil memeluk tubuh isterinya yang ternyata sudah tidak
bernyawa itu……
785
Dapatlah dibayangkan dan tak terlalu berlebihanlah kalau
dikatakan bahwa dunia ini seperti mendadak kiamat baginya…….
Akan tetapi, kakek itu diam saja dan hal ini benar-benar membuat
Bun Liong yang pikirannya seperti mendadak gila itu bertambah
nekad. Dipegangnya kedua pundak kakek itu dan diguncang-
guncangkannya sambil meratap dan memohon:
786
Akan tetapi Bun Liong tiba-tiba jatuh tersungkur dan menindih
tubuh gurunya yang tiba-tiba terguling menjengkang! Dan makin
hebatlah tangis Bun Liong setelah diketahuinya bahwa kakek yang
tadi duduk bersila seperti sedang bersamadhi itu, ternyata hanya
tinggal raganya saja…….!
Tapi, suara tangis itu hanya sebentar saja dan pada saat
selanjutnya suasana menjadi benar-benar sepi, karena ketika itu
Bun Liong sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar
menggeletak di antara mayat isteri dan gurunya di dalam gubuk itu.
Kesadaran pemuda ini sudah tak kuasa lagi menerima pukulan
batin yang luar biasa hebatnya itu!
787
sebentar-sebentar ia membalikkan kepalanya melihat ke arah
puncak yang makin lama makin jauh ditinggalkannya.
Mereka menunggu di situ sampai tiga hari tiga malam sambil terus
berusaha mencari di hutan-hutan. Akan tetapi baik Bun Liong
maupun Yang Hoa atau kakek sakti itu tetap tak dapat mereka
789
jumpai dan karena itu, akhirnya mereka kembali pulang dengan
kecewa dan sedih.
790
karena pemuda itu sampai saat cerita ini berakhir, tidak pernah
datang kepada mereka yang selalu mengharap-harapkannya……..
TAMAT
791