Anda di halaman 1dari 791

BU TEK ENGHIONG

(PENDEKAR TANPA TANDING)

Karya : TJOE BENG SIANG

Sumber : Indozone.net

Sinapsis :

Keramaian yang semulanya menghidupkan kota Tong-koan,


berangsur-angsur menjadi sepi, dan pada akhirnya merupakan
sebuah kota mati! Semua penduduk disungkupi perasaan gelisah
dan wajahnya membayangkan kecemasan dan ketakutan,
terutama bila malam tiba, tak seorangpun yang berani keluar pintu.
Kota ini menjadi lengang dan mati, tidak lain karena gangguan
gerombolan perampok yang bersarang di hutan Selatan kota, yang
dikepalai Houw-jiauw Lo Ban Kui si Cakar Harimau, dan
gerombolan bajak sungai Huang-ho, yang dipimpin oleh Ma Gu Lin
atau Huang-ho-sin-mo si Iblis Sakti Sungai Kuning.
1
Akhirnya penduduk Kota Tong-koan bersatu melawan Gerombolan
Perampok tersebut dengan membentuk organisasi Keamanan
Pauw-an-tui!

“Bunuh saja mereka……! Mereka telah banyak berbuat kejam


terhadap kita, maka sebaiknya kita jangan mengampuni jiwa anjing
mereka…..! Jatuhi hukuman potong kepala saja, beres……!!!”

“Saudara-saudaraku sekalian, aku mengerti betapa kemarahan


kalian terhadap mereka ini, karena selama ini telah banyak
merugikan, merusak dan melumpuhkan kehidupan kita, sehingga
pantaslah kalau mereka dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
kejahatan dan kekejaman mereka! Akan tetapi harus diingat bahwa
mereka hanya orang bodoh yang diperalat pemimpin mereka.
Sekarang setelah pemimpin-pemimpin mereka diganyang dan
mereka sudah menyatakan takluk, masih ada harapan bagi
mereka untuk menyadari perbuatan mereka yang sesat, untuk
kemudian diharapkan mereka dapat kembali kepada jalan yang
benar.”

Atas keberhasilan tersebut, ternyata pejabat negeri tersebut telah


memberi gelar Bu-tek Eng-hiong (Pendekar Tanpa Tandingan)
kepada pemuda itu sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selaku
ketua Pauw-an-tui!

2
Cerita ini merupakan hasil karya Tjoe Beng Siang, tahun 1960.

Semoga dapat bermanfaat dalam menambah khazanah


bacaan di bumi nusantara tercinta.

3
Kota Tong-koan yang terletak di pinggir sebelah barat dalam
propinsi Sam-say, merupakan sebuah pintu gerbang untuk berlalu
lintas antara Ho-nan dan San-see dua propinsi. Sungguhpun kota
ini hanya merupakan sebuah kota kecil saja, akan tetapi keadaan
dan suasananya ramai sekali. Selain banyak rumah-rumah gedung
baru, banyak pula toko-toko besar, rumah-rumah makan dan
penginapan-penginapan menjadi lambang betapa hidupnya kota
kecil ini.

Penduduknya memang sudah padat sehingga rumah-rumah


mereka seakan-akan berdesakan, ditambah lagi oleh banyaknya
para saudagar yang setiap hari mondar mandir antar tiga propinsi
yaitu dari barat propinsi Ho-nan, dari utara propinsi San-see dan
sebaliknya dari propinsi Sam-say sendiri, banyak yang menuju ke
barat maupun utara. Maka dapat dibayangkan, betapa ramainja
suasana kota kecil ini.

Akan tetapi, di alam yang fana ini tidak ada sesuatu yang kekal,
maka demikian pula dengan situasi kota Tong-koan ini. Beberapa
waktu sebelum cerita ini terjadi, telah mengalami perubahan
suasana yang sangat hebat!

Keramaian yang semulanya menghidupkan kota ini, berangsur-


angsur menjadi sepi, bahkan pada akhirnya merupakan sebuah

4
kota yang mati! Para saudagar yang semula mondar mandir, kini
tidak tampak lagi. Toko-toko, rumah-rumah makan dan
penginapan-penginapan sebagian besar menutup pintu mereka
rapat-rapat, dan kalaupun ada yang buka, hanya daun pintunya
saja yang dibuka.

Semua penduduk hatinya disungkupi perasaan gelisah dan wajah


mereka membayangkan kecemasan dan ketakutan yang amat
sangat. Terutama manakala malam tiba, tak seorangpun yang
berani keluar pintu sejak matahari mulai terbenam.

Mereka menutup pintu rapat-rapat dan dipalang kuat-kuat. Mereka


mengunci diri di dalam rumah dengan hati yang tak tenteram,
terutama para wanita bersembunyi di dalam kamar sambil
memeluk anak mereka dengan hati berdebar-debar dan ke dua
kaki lemas. Setiap kali mendengar suara gaduh di luar rumah,
seluruh tubuh mereka menggigil dan peluh dingin keluar
membasahi baju mereka!

Adapun yang menyebabkan kota ini menjadi sedemikian lengang


dan mati, tidak lain karena gangguan keamanan, yakni sering
diganggu oleh kaum garong yang sangat ganas dan kejam!

5
Sebagaimana sudah diterangkan, bahwa kota Tong-koan ini hanya
sebuah kota kecil saja, oleh karena di arah selatannya terdapat
bukit-bukit yang merupakan anak dari gunung Hoa-san, dimana
terdapat hutan belukar yang rungkut dan angker. Hutan ini tumbuh
memanjang ke barat hingga melintas perbatasan antara Sam-say
dan Ho-nan. Sedangkan di sebelah utara kota terdapat sebuah
sungai besar yang airnya berwarna kekuning-kuningan, yaitu yang
dinamakan sungai Huang-ho (Sungai Kuning), yang menjadi batas
antara Sam-say dan San-see.

Kota Tong-koan bukan saja menderita gangguan dari gerombolan


perampok yang bersarang di hutan belukar di sebelah selatan kota,
yang dikepalai oleh Houw-jiauw Lo Ban Kui si Cakar Harimau,
tetapi juga menderita gangguan dari pihak gerombolan lain, yakni
gerombolan kaum bajak sungai Huang-ho, yang agaknya
manakala mereka tidak berhasil membajak di sungai tersebut yang
sering dilalui oleh perahu-perahu kaum pedagang, mereka lalu
mengalihkan sasarannya ke darat, yakni ke kota Tong-koan.

Gerombolan bajak ini dipimpin oleh Ma Gu Lin dan yang


menamakan dirinya Huang-ho-sin-mo atau Iblis sakti Sungai
Kuning. Sarang mereka ini terletak di sebelah barat kota, persis di
tapal batas Sam-say dan Ho-nan di pinggir sungai di mana terdapat
bukit-bukit batu karang yang banyak ditumbuhi pohon Siong
6
sehingga tempat in dinamakan Siong-lim-nia atau bukit hutan
cemara.

Maka dapatlah ditaksir betapa hebat kerugian penduduk kota


Tong-koan setelah mengalami gangguan-gangguan yang terjadi
berulang-ulang dari dua komplotan kaum penjahat yang tidak
diketahui dari mana datangnya! Entah sudah berapa banyak
jumlah harta benda kaum hartawan yang dilicin-tandaskan!

Entah sudah berapa orang penduduk kota Tong-koan yang


dibunuh atau dianiaya karena membela dan mempertahankan hak
milik mereka ketika terjadi penggedoran. Dan entah sudah berapa
pula gadis-gadis atau wanita muda yang menjadi korban perbuatan
binatang dan diculik oleh dua komplotan kaum penjahat yang
seakan-akan bekerja sama itu.

Mereka melakukan “gerakan operasi” tidak saja malam hari,


bahkan di siang hari pun mereka acapkali beraksi juga dengan
beraninya. Oleh karena itu, maka usahawan-usahawan jadi tidak
berani membuka tokonya, kaum saudagar yang semula mondar
mandir melewati kota ini menjadi tidak kelihatan lagi setelah
beberapa puluh kaum pedagang yang kebetulan menginap di kota
ini dirampok habis-habisan, entah oleh gerombolan garong dari

7
komplotan perampok atau dari bajak sungai. Inilah sebabnya maka
kota Tong-koan menjadi sepi dan mati!

Pada masa itu keadaan di Tiongkok sangat kacau oleh karena


Kaisar yang memegang kampuk pemerintahan sangat lalim dan
hanya mementingkan pelesir dan berfoja-foja saja. Kaisar lalim ini
tidak atau sedikit sekali memperdulikan keadaan negara dan
rakyatnya sehingga dapat dikatakan ia telah melepaskan tangan
dari kemudi pemerintahan dan menyerahkannya kepada para
pembesar tinggi yang pandai mengambil muka dan yang berhati
palsu atau yang biasa disebut bermuka domba berhati serigala!

Dengan sifatnya yang menjilat-jilat, para durna dapat menempati


kedudukan-kedudukan baik dan mendapat kepercayaan kaisar
sehingga mereka dapat menina bobokkan kaisar itu yang
tenggelam dalam siraman arak wangi. Terlena dalam belaian
tangan-tangan halus lentik dari para selir yang cantik jelita dan
yang tidak terhitung banyaknya, ditambah pula dengan tari-tarian
dan nyanyi-nyanyian yang memabokkan dan membuat ia seakan-
akan hidup di dalam sorga!

Ia tidak tahu sama sekali betapa para durna itu menetapkan


bermacam-macam peraturan yang menambah beban rakyat
dengan pajak-pajak yang berat, dan tidak tahu sama sekali bahwa

8
di bawah matanya terjadi gejala-gejala yang membuat rakyatnya
tertindas dan amat sengsara. Para pembesar dari yang tinggi
sampai yang paling rendah meniru Kaisarnya, semua
mementingkan diri sendiri mengejar kesenangan tanpa
memperdulikan nasib rakyak jelata.

Demikian pula halnya dengan pembesar-pembesar negeri yang


waktu itu berkedudukan di kota Tong-koan. Mereka ini tidak
memperdulikan atau pura-pura tidak tahu, karena sampai sejauh
itu mereka mendiamkan saja peristiwa-peristiwa yang menimpa
warga kota Tong-koan. Pihak yang berwajib sedikitpun tidak
berusaha untuk mengatasinya, oleh karena itu maka makin berani
dan makin merajalelalah gerombolan-gerombolan si Cakar
Harimau dan si Iblis Sakti Sungai Kuning itu.

Kota Tong-koan ini dijadikan medan pesta pora, sehingga kota ini
menjadi lengang, sepi dan mati! Dan justeru keadaan dalam seperti
itulah cerita kita ini dimulai.

Sungguh terjadi di luar kebiasaan, karena kota Tong-koan yang


biasanya mati bersuasana lain pada hari itu, tampak seakan-akan
mendadak hidup kembali. Semenjak pagi hari kelihatan ramai dan
dan banyak orang tampak berbondong-bondong berjalan menuju

9
ke arah tengah kota. Pada wajah mereka jelas nampak bahwa ada
sesuatu yang menarik hati di kota itu.

Mereka bergegas-gegas dan kelihatan gembira seperti orang yang


hendak menonton sesuatu. Ternyata mereka itu menuju ke sebuah
gedung besar yang indah dan yang berpekarangan sangat luas.

Di tengah-tengah pekarangan ini, tepat di depan gedung tersebut,


telah didirikan orang sebuah panggung lui-tay yang tingginya tidak
kurang dari tiga tombak hingga kelihatan nyata dari jauh. Dan di
bawah panggung lui-tay inilah orang-orang yang berbondong-
bondong tadi berkumpul, berjubal-jubal mengitarinya bagaikan
sekawan semut merubung sebutir gula.

Di belakang panggung lui-tay, yakni yang menjadi emper depan


dari gedung tersebut, terdapat kursi-kursi yang berjejer dan
puluhan jumlahnya. Orang-orang yang berjejal-jejal itu tidak berani
menginjakkan kakinya ke situ.

Jejeran kursi-kursi ini ternyata dibagi menjadi dua bagian, yaitu


sebagian di sebelah kiri dan bagian lainnya sebelah kanan,
sehingga ditengah-tengahnya lowong dan merupakan garis
pemisah dan yang merupakan pula sebuah jalan kecil lurus dari
pintu gedung ke panggung lui-tay itu.

10
Rumah gedung besar dan indah adalah kepunyaau Cio wan-gwe
(hartawan she Cio) bernama Song Kang, salah seorang kaya raya
yang menjadi warga kota Tong-koan. Cio wan-gwe ini sebenarnya
bukan penduduk asli kota ini, melainkan seorang pendatang dan
tidak seorangpun yang mengetahui dari mana ia berasal.

Penduduk umumnya hanya mengetahui bahwa dua tahun yang


lalu hartawan ini datang ke situ dalam keadaan sudah kaya raya.
Ia membeli sebuah rumah gedung yang menjadi tempat tinggalnya
sekarang.

Sungguhpun usia Cio wan-gwe baru empatpuluh lima tahun, akan


tetapi ia telah menjadi seorang duda dan agaknya tidak bermaksud
untuk beristeri lagi. Sedangkan rumah gedung yang besar benar-
benar tak sesuai dengan jumlah penghuninya, karena hanya terdiri
dari dua orang saja, yakni Cio wan-gwe sendiri dan seorang
puteranya yang kini sudah berusia kurang lebih duapuluh tahun,
dan dikawani oleh beberapa orang pelayan.

Ketika dalam kota timbul kekacauan yang diperbuat oleh


gerombolan garong, gedung Cio wan-gwe inipun tak terkecuali
menjadi korban dan bahkan terjadi berulang-kali sehingga entah
beberapa besar kerugian yang dideritanya! Akan tetapi dasar ia
seorang hartawan, biarpun sudah berulang kali harta bendanya

11
digasak gerombolan, namun tampaknya tenang-tenang saja dan
sedikitpun tidak kelihatan berduka, ini mencerminkan bahwa ia
agaknya masih mempunyai bekal cadangan yang tak ternilai
jumlahnya!

Akan tetapi di balik sikapnya yang tenang itu sebenarnya Cio wan-
gwe diam-diam memutar otak mencari daya untuk mengatasi
kekacauan itu. Oleh karena betapapun kaya rayanya kalau terus-
terusan digarong pasti akhirnya kekayaannya akan ludas juga
bagaikan sebuah gunung yang terus-terusan dikeduk, akhirnya
pasti akan menjadi dempak.

Disamping itu, iapun merasa tidak sampai hati melihat penderitaan


rakyat kecil yang miskin dan sengsara itu. Kalau kota ini terus-
terusan bersuasana demikian keruh dan yang membuatnya pula
menjadi sepi seperti di pekuburan, dapat ia pastikan akan timbul
suatu malapetaka hebat dan menyedihkan, yakni akan banyak
orang yang mati kelaparan!

Ia mempunyai cita-cita ingin mengusir atau menumpas


gerombolan perampok dan kawanan bajak sungai yang ganas itu,
supaya para hartawan, termasuk ia sendiri, dapat hidup senang
dan tidur nyenyak tidak khawatir digarong lagi. Rakyat jelata dapat
diangkat dari jurang kesengsaraan sehingga mereka dapat

12
berusaha dan bekerja kembali tanpa dimomoki rasa gelisah dan
takut, dan suasana kota yang sudah mati ini akan hidup kembali
seperh dulu-dulu semasa ia datang dan menjadi penghuni kota
kecil ini.

Hasrat dan cita-cita Cio wan-gwe ini benar-benar patut dipuji dan
mencerminkan bahwa hartawan she Cio ini bersemangat gagah
dan berjiwa satria! Akan tetapi dengan jalan apa dan cara
bagaimana Cio wan-gwe akan melaksanakan maksudnya yang
luhur dan mulia ini? Entahlah, karena selama ini maksud Cio wan-
gwe selalu gagal……!

Kemudian teringatlah olehnya akan Can Po Goan dan Lu Sun Pin,


dua orang kauw-su (guru silat) yang membuka bu-koan (rumah
perguruan silat) dan masing-masing banyak mempunyai murid di
kota ini. Dua orang kauw-su ini, jauh sebelum kota Tong-koan
mendapat gangguan-gangguan dari para komplotan garong,
sudah saling bersaingan dan beberapa kali pernah terjadi
peristiwa-peristiwa kecil karena murid-murid mereka bentrok.

Hanya sampai sejauh itu, kedua kauw-su tersebut belum pernah


bentrok. Sungguhpun diam-diam keduanya sudah merasa panas
hati dan sama-sama mengandung maksud ingin mengadu
kepandaian ilmu silat untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

13
Teringat akan hal ini, timbullah di hati Cio wan-gwe sebuah ide
yang bagus. Alangkah baiknya apabila kedua guru silat ini bersama
murid-muridnya dipersatukan hingga menjadi sebuah perserikatan
untuk menjaga keamanan dan bahkan jika mungkin akan dapat
mengganyang gerombolan pengacau.

Oleh karena maka pada suatu hari ia mengundang kedua kauw-su


itu dan menyatakan maksud hatinya. Ternyata kedua orang guru
silat itupun setuju dengan ide hartawan Cio, bahkan keduanya
merasa malu dan mengakui sifat pengecut mereka karena mereka
masing-masing mau mengakui sebagai jago-jago silat kota Tong-
koan, belum pernah ada ingatan yang demikian baik dan seperti
yang menjadi ide Cio wan-gwe itu.

“Nah, itulah sebabnya mengapa hari ini aku mengundang jiwi


(kalian berdua) kemari,” kata Cio wan-gwe sambil tersenyum
girang. “Justeru selagi keadaan kota kita ini sedemikian gentingnya
dan sangat buruk. Alangkah baiknya jiwi dan murid-murid kalian
yang gagah-gagah itu menggalang semangat, bersatu-padu
dengan tekad menjaga dan memulihkan kembali keamanan kota
kita ini.

“Dengan demikian gerombolan-gerombolan itu akan mendapat


kenyataan, bahwa di kota ini sedikitnya terdapat dua orang jago

14
yang mampu menentang dan melawan bahkan sangat mungkin
melabrak mereka, sehingga mereka takkan selalu menganggap
penduduk kota ini bersemangat tahu dan bernyali tikus yang tinggal
mandah saja selama ini, sesudah kota kita dibikin mati, harta
benda kita mereka gasak, banyak gadis dan wanita-wanita muda
mereka culik atau perkosa, dan lain-lainnya lagi sebagaimana jiwi
sendiri sudah maklum!

“Oleh karena itu, kedua saudaraku yang baik, alangkah baiknya


kalau kalian dapat melaksanakan cita-citaku ini. Aku sudah lama
mendengar kabar bahwa antara murid-murid ji-wi sering terjadi
bentrokan yang membuat jiwi sendiri sebagai guru mereka, telah
saling mendendam dan ingin membuktikan siapa di antara jiwi
yang memiliki ilmu silat yang lebih tinggi, sehingga dengan
demikian, disengaja atau tidak, jiwi menimbulkan permusuhan di
antara kawan sendiri.

“Maka kini, setelah jiwi kuundang kemari dan jiwi sudah merasa
setuju dengan ideku tadi, menurut pendapatku jauh lebih baik dan
bijaksana, jikalau kalian mempergunakan kepandaian yang kalian
miliki dan wariskan kepada murid-murid kalian itu untuk mengatasi
kekacauan kota kita ini dari pada digunakan untuk saling
bermusuhan antara kawan sendiri.”

15
“Cayhe (aku yang rendah) mengerti akan maksud dan tujuan wan-
gwe ini,” ujar Lu kauw-su sambil mengangguk-angguk dan
wajahnya agak merah karena malu mendengar ucapan Cio wan-
gwe yang terakhir itu, serasa menyindir kepada dirinya.

“Dan dengan cara bagaimanakah hal ini akan diatur, Cio wan-
gwe?” tanya Can kauw-su yang sikapnya tampak tenang.

“Inilah yang akan kila rundingkan selanjutnya. Setelah jiwi dan


murid kalian berserikat menjadi satu, terjadilah sebuah organisasi
yang kelak akan menjadi sebuah organisasi massa yang sangat
kuat. Karena itu, sekarang kita perlu bertukar pikiran untuk
merancang, menyusun dan membentuk organisasi kita ini,” sahut
Cio wan-gwe.

Selanjutnya mereka sibuk dalam perundingan mereka, ke tiganya


mengeluarkan usul dan mengemukakan pendapat demi organisasi
mereka yang akan dibentuk itu agar supaya menjadi kokoh kuat,
berdisiplin dan tertib serta bernama baik.

Adapun panggung lui-tay yang dibangun di depan rumah gedung


Cio wan-gwe yang pada hari itu telah banyak dikerubungi manusia
sebagaimana telah dituturkan tadi adalah langkah pertama dari
hasil perundingan mereka itu. Panggung lui-tay itu dipergunakan

16
sebagai gelanggang pibu (bertanding silat), dan pibu ini memang
menarik hati terutama bagi mereka yang menyukai ilmu silat.

Itulah sebabnya mengapa hari itu kota Tong-koan yang biasanya


tampak mati itu seperti mendadak menjadi hidup. Karena
penduduk umumnya ingin menonton dan membuktikan siapa-
siapa orangnya yang akan menjadi jago untuk memimpin
organisasi keamanan kota mereka sebagaimana yang pernah
mereka dengar dari pembicaraan orang, yang tentu saja berasal
dari mulut kedua kauw-su itu yang memberitahukan kepada murid-
muridnya, dan dari mulut murid-murid ini berita itu lalu tersebar
sehingga meluas di seluruh kota dan dusun-dusun sekitarnya.

Ketika matahari sudah agak tinggi, dan cahayanya sudah mulai


terasa panas dan membakari orang-orang yang berjubal-jubal itu,
barulah tampak Lu Sun Pin bersama dengan semua murid-
muridnya yang berjumlah seratus orang datang. Dan kedatangan
rombongan ini disambut oleh Cio wan-gwe yang secepat itu
muncul dari rumahnya.

Lu Sun Pin lalu mengangguk kepada tuan rumah yang membalas


dengan ucapan selamat datang dan mempersilahkan guru silat itu
mengambil tempat duduk di atas kursi-kursi yang sudah tersedia

17
itu, yaitu kursi-kursi yang ditempatkan di sebelah kanan di depan
rumah Cio wan-gwe.

Lu kauw-su dan beberapa orang muridnya yang dianggap ilmu


silatnya sudah cukup tinggi, duduk di barisan kursi-kursi yang
paling depan, sedangkan murid-murid lainnya duduk di
belakangnya dan sebagian lagi cukup berdiri saja di bagian
belakang, karena persediaan kursi itu ternyata tidak mencukupi
lantaran jumlah rombongan ini terlalu banyak.

Sambil menunggu datangnya pihak Can Po Goan, para penonton,


yaitu orang-orang yang berjubel-jubel itu, menjadikan rombongan
Lu kauw-su itu menjadi tontonan. Umumnya mereka mengagumi
kegagahan Lu kauw-su, yang mengenakan pakaian silat yang
terbuat dari kain mahal sehingga tampak sangat mewah.

Umurnya paling banyak empatpuluh tahun, wajahnya tampak


keren, bentuk tubuhnya tegap kekar dan bibirnya selalu
memperlihatkan senyuman kebanggaan. Demikian juga murid-
muridnya yang duduk di sebelah kanan-kirinya yang masih muda-
muda tampaknya gagah-gagah dan mencerminkan bahwa dalam
tubuh mereka yang tegap-tegap itu berisikan tenaga kuat dan
kepandaian silat yang lihay!

18
Tidak lama kemudian, tampaklah dari suatu jurusan rombongan
Can Po Goan dan berbareng dengan terdengar suara riuh dari
orang yang berjubal-jubal itu bahkan di antara mereka ada yang
bersorak dan bertepuk tangan karena merasa gembira. Sebab
begitu pihak Can kauw-su ini datang, berarti pertandingan silat
yang sejak tadi mereka nantikan, akan segera dimulai.

Berlainan dengan pihak Lu kauw-su yang datang bersama semua


murid-muridnya, Can kauw-su ini hanya membawa dua orang
murid saja. Pakaian yang mereka kenakan terbuat dari kain-kain
murah sehingga tampaknya sangat sederhana.

Dan Can kauw-su sendiri yang usianya sudah agak tua yaitu
limapuluh tahun dan yang berjalan paling depan dari kedua orang
muridnya itu, berjalan dengan langkah kaki yang tenang.
Keningnya yang sudah agak berkeriput dikerutkan, kepalanya
menunduk dan memandang ke bawah seperti ada sesuatu yang
tengah dipikir dan dilamunkannya.

Memang sesungguhnyalah guru silat tua sedang melamun dan


mengenangkan kembali peristiwa beberapa bulan yang lalu, yaitu
peristiwa persengketaan antara Lu kauw-su dan dirinya sehingga
menimbulkan suatu permusuhan. Dan kini permusuhan tersebut
akan dibereskan berkat kecerdikan Cio wan-gwe, supaya dua guru

19
silat berikut murid-muridnya bekerja sama dengan bentuk sebuah
organisasi penjaga keamanan, dan untuk memilih siapa yang
menjadi pemimpin organisasi itu, maka diadakan pibu ini.

Sementara Can kauw-su masih berjalan dan belum sampai di


panggung lui-tay dimana kepandaian murid-muridnya dan ia
sendiri akan diuji untuk dibuktikan siapa yang mampu dan patut
menjadi pemimpin sebagaimana yang disarankan oleh Cio wan-
gwe tempo hari.

Baiklah kita menengok dulu keadaan dan peristiwa yang terjadi


kira-kira setengah tahun yang lalu, untuk mengetahui secara lebih
jelas sebab-sebab terjadinya persengketaan dan permusuhan
antara Lu Sun Pin dan Can Po Goan itu.

Sudah lima tahun lamanya Can Po Goan menjadi warga kota


Tong-koan, sedang sebelumnya ia adalah seorang tentara
berpangkat di kota raja. Sesudah ia bebas menetap di kota Tong-
koan di mana ia lalu membuka sebuah bu-koan sekedar
melewatkan waktunya.

Sebagai seorang bekas tentara berpangkat, tentu saja ia memiliki


ilmu silat tinggi, sehingga ketika ia membuka bu-koan ternyata
kemudian hasilnya sangat memuaskan baginya. Para muda,

20
bahkan ada juga yang sudah tua, datang belajar silat kepadanya,
oleh karena selain kauw-su bekas tentara ini sikapnya baik dan
ramah tamah, disamping ilmu silatnya yang tinggi, juga orangtua
ini tidak memasang tarip tertentu bagi para muridnya.

Siapa saja, asal mempunyai minat dan berbakat baik, boleh belajar
silat kepadanya dengan pembayaran menurut kemampuan murid
itu sendiri. Bahkan tak sedikit juga murid-murid yang berguru
kepadanya tanpa bayaran oleh karena mereka ini sangat miskin.

Namun Can kauw-su menerimanya dengan baik dan memberi


pelajaran tanpa perbedaan. Banyak sudah murid-muridnya yang
setelah tamat belajar mendapat pekerjaan yang layak, seperti
menjadi penjaga keamanan kota-kota lain, piauwsu-piauwsu, dan
penjaga gudang saudagar besar atau penjaga malam gedung
hartawan.

Kepandaian yang dimiliki Can Po Goan, berdasarkan ilmu silat dari


cabang Siauw-lim dan dia sangat mahir sekali dalam hal
memainkan golok sehingga semasa ia masih menjadi tentara, ia
mendapat julukan Toat-beng Sin-to atau Golok Sakti Pencabut
Nyawa. Disamping itu iapun memiliki ilmu gi-siauw (silat tanpa
senjata) yang tak kalah hebatnya, teristimewa pukulan kepalan
tangan kanannya yang sangat ampuh.

21
Semasa ia masih menjadi tentara, disamping banyak musuh yang
menjadi korban oleh goloknya, banyak juga dada dan kepala
musuh yang pecah oleh kepalannya yang sangat hebat dan
karenanya, disamping julukan si Golok Sakti Pencabut Nyawa,
iapun memperoleh julukan Po-thauw Sin-kun (Kepalan Sakti
Pemecah Kepala)! Dan berdasarkan ilmu pukulan inilah maka bu-
koannya ia beri nama Sin-kun Bu-koan (Rumah Perguruan Silat si
Tangan Sakti) dan papan merk ini terpancang di atas pintu depan
rumahnya.

Pada suatu hari, datanglah tiga orang perantau ke kota Tong-koan.


Mereka terdiri dari seorang setengah tua yang kemudian ternyata
adalah seorang ahli silat yang banyak pengalamannya, bernama
Lu Sun Pin beserta dua orang muridnya, yang masing-masing
bernama Sim Kang Bu dan So Ma Tek, dua orang pemuda yang
umurnya tidak lebih dari duapuluh tahun.

Kebetulan sekali Lu Sun Pin dan kedua muridnya di Tong-koan ini


bertemu dengan Cio Song Kang, yaitu Cio wan-gwe yang pembaca
sudah mengenalnya. Dan ternyata Cio wan-gwe dan orang she Lu
adalah kawan lama dan pada masa dulunya agaknya mempunyi
hubungan yang sangat akrab.

22
“Ah, setelah sekian lama kita berpisah dan kita kini berjumpa
kembali, aku mendapat kenyataan bahwa kau telah menjadi
seorang hartawan. Benar-benar kupuji cara kepandaianmu
membawa diri,” kata Lu Sun Pin ketika mereka duduk menghadpi
meja perjamuan yang dihidangkan oleh Cio wan-gwe ke dalam
gedungnya.

Cio wan-gwe tersenyum dan sambil mencapit sebutir bakso


dengan sumpitnya yang siap akan dimasukkan ke mulutnya, ia
berkata:

“Betapapun juga harus diakui, bahwa manusia hidup bergantung


pada nasib, dan nasib tergantung pada kelakuan kita sendiri.
Misalnya, manusia kebanyakan berjuang untuk memperoleh rejeki
dan dapat dikatakan setiap orang ingin menjadi kaya, akan tetapi
kalau bernasib buruk, hidupnya tetap konyol!

“Demikian juga kalau seorang yang telah mempunyai rejeki, akan


tetapi berkelakuan royal dan tak dapat mempergunakan rejekinya
secara layak, hal ini adalah kekeliruannya sendiri dan sama sekali
bukan nasib……”

“Ya, ya, seperti juga aku ini,” tukas Lu Sun Pin. “Aku harus merasa
malu atas kelakuanku sendiri sebagaimana yang kau katakan tadi,

23
sehingga rejeki yang dulu kita sama dapatkan dan sama
jumlahnya, menjadi ludes tidak keruan.”

“Ah, sudahlah Sun Pin, jangan kau terlalu menyesali dirimu.


Sekarang, setelah aku berjumpa denganmu, kuharapkan
selanjutnya kau dapat merubah hidupmu. Aku bersedia
membantumu, kawan!”

Kata-kata Cio wan-gwe ini sangat membesarkan hati Lu Sun Pin


dan ahli silat perantau itu sangat berterimakasih sekali.
Selanjutnya mereka makan minum sampai puas sambil
mempercakapkan hal-hal tetek bengek. Bahkan untuk beberapa
malam, Lu Sun Pin dan kedua orang muridnya menginap di gedung
kawan lamanya itu.

Kemudian Lu Sun Pin mendengar dari Cio wan-gwe bahwa di


Tong-koan terdapat seorang kauw-su yang membuka bu-koan.
Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Lu Sun Pin merasa tertarik
mendengar nama Can Po Goan yang menamakan rumah
perguruan silatnya dengan empat buah huruf yakni “Sin-kun Bu-
koan”! Maka, terdorong oleh perasaan ingin belajar kenal, pada
suatu pagi dengan membawa kedua muridnya, Lu Sun Pin pergi
mengunyungi rumah perguruan si Kepalan sakti itu.

24
Akan tetapi Lu Sun Pin merasa menyesal karena Can kauw-su
sedang pergi sehingga tidak dijumpainya dan ia hanya menjumpai
beberapa orang anak muda yang duduk mengobrol di dalam bu-
koan itu, yaitu murid-murid Can kauw-su. Oleh karena itu, Lu Sun
Pin lalu pulang kembali setelah menyampaikan pesan kepada
salah seorang murid Can kauw-su, bahwa nanti sore ia akan
datang lagi.

Adapun pada sore harinya, Lu Sun Pin hanya menyuruh Sim Kang
Bu, yakni salah seorang muridnya, pergi ke Sin-kun Bu-koan untuk
melihat apakah Can kauw-su sudah kembali dari bepergiannya
atau belum.

“Kang Bu, kalau ternyata Can kauw-su sudah datang, cepatlah kau
kembali dan nanti aku akan pergi kesana,” demikian pesan Lu Sun
Pin kepada muridnya yang segera berangkat.

Kang Bu melihat, bahwa pintu depan rumah perguruan itu tertutup.


Mula-mula ia mengetuknya dengan perlahan. Setelah mengetuk
beberapa kali masih belum juga terlihat atau terdengar tanda-tanda
bahwa pintu itu dibuka dari dalam, maka ia mengetuknya agak
keras dan lebih keras lagi dengan menggunakan tinjunya.

25
Pemuda yang beradat kasar ini lalu menjadi marah ketika masih
belum juga mendengar jawaban dari dalam. Akan tetapi ketika ia
mendengar suara ramai jauh di belakang rumah perguruan ini, ia
baru sadar bahwa orang-orang bu-koan sedang berlatih silat jauh
di belakang rumah sehingga tentu saja ketukannya tadi tidak
terdengar oleh mereka.

Maka akhirnya ia berjalan melalui sebuah jalan kecil yang terdapat


di samping rumah perguruan tersebut. Dan ketika ia sampai di luar
sebuah lapangan yang agak luas, yaitu lapangan di belakang Sin-
kun Bu-koan, yang sekitarnya di kelilingi pagar bambu, Kang Bu
melihat banyak para muda yang tengah berlatih silat di situ.

Sebenarnya, pada sore itu Can kauw-su masih belum datang dan
seperti biasa, bilamana sang guru sedang pergi, yang memimpin
dan memberi pelajaran silat adalah seorang murid tertua, yaitu
seorang pemuda yang bernama Tan Seng Kiat. Sore itu, Tan Seng
Kiat yang bertindak selaku wakil gurunya dan dibantu oleh Kwe
Bun, sutee (adik seperguruan)nya, sedang memberi pelajaran silat
kepada para sutee-sutee lainnya. Tan Seng Kiat memberi
pelajaran dengan cara yang sangat teliti dan seksama.

Dan ketika Sim Kang Bu mulai mengintai melalui celah-celah pagar


bambu dari luar lapangan, justeru Tan Seng Kiat sedang memberi

26
pelajaran terhadap sutee-suteenya yang masih baru. Pelajar baru
dari Sin-kun Bu-koan ini sebanyak tigapuluh orang, berdiri dan
berjajar rapih di tengah lapangan, tangan dan kaki mereka
bergerak-gerak teratur serta seluruh tubuh penuh terisi tenaga
yang dikerahkan dengan penuh perhatian mengikuti gerakan Tan
Seng Kiat yang memberi contoh di depan mereka.

Pelajarannya adalah semacam gerak badan untuk melemaskan


gerakan anggauta badan bagi para pelajar yang baru memasuki
perguruan silat, atau yang lazimnya disebut para murid tingkat
rendah. Kemudian, setelah pelajaran tingkat permulaan ini
dilakukan berulang-ulang sehingga seluruh tubuh si pelajar itu
mandi keringat, tiba giliran bagi murid-murid yang agak tinggi
tingkatnya.

Mereka ini disuruh bersilat berpasangan, saling memperlihatkan


ketangkasan masing-masing. Setelah tiba giliran bagi para murid
yang tingkatnya lebih tinggi lagi, mereka dilatih bertempur seorang
lawan seorang maupun seorang dikeroyok oleh beberapa orang.
Dan karena mereka ini terdiri dari para murid tingkat tinggi, maka
cara mereka berlatih dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga
kelihatannya mereka bertempur benar-benar, membuat debu di
lapangan itu mengebul dan beterbangan.

27
Demikianlah Tan Seng Kiat yang mewakili gurunya memberi
pelajaran dan melatih sutee-suteenya dengan sabar dan rajin.
Kesalahan yang kecilpun dalam melakukan serangan atau
pembelaan, selalu diketahui oleh Tan Seng Kiat yang segera
menegur dan memberi petunjuk-petunjuk.

Tiba-tiba terdengar suara kaki berdebuk ketika seorang pemuda


meloncati pagar dan turun memasuki lapangan itu. Para pelajar
silat menghentikan pergerakan mereka dan semuanya menengok,
tak terkecuali Tan Seng Kiat dan Kwe Bun memandang dengan
terperanjat kepada orang yang datang dengan jalan meloncati
pagar itu.

Sim Kang Bu menghampirinya dan langkah kakinya gagah dengan


dada terangkat.

Tan Seng Kiat maklum bahwa pemuda yang datang ini adalah
salah seorang yang pagi tadi mengunjungi bu-koannya. Tapi cara
“tamu” itu memasuki lapangan dengan jalan yang tidak pantas dan
berlagak kegagah-gagahan, membuat hati Tan Seng Kiat merasa
sebal.

28
Namun, karena ia memiliki watak sabar, maka tidak
diperlihatkannya perasaan hatinya. Hanya ia segera maju
menyambutnya sambil menjura memberi hormat:

“Selamat sore, saudara yang terhormat,” katanya. Tapi ‘tamu’ itu


hanya membalas dengan sebuah anggukan sombong.

“Adakah saudara ini hendak menjumpai guru kami?” tanya Tan


Seng Kiat dengan nada kata yang tetap sabar, setelah melihat
betapa sikap tamu itu demikian angkuh dan untuk sesaat lamanya
membungkam saja sambil menengok ke sana ke mari menatapi
orang-orang yang berada disitu seakan-akan seorang panglima
tengah memeriksa barisannya. Baru kemudian, bibir tamu itu
tampak menyeringai lebar.

“Benar, aku datang hendak menjumpai gurumu,” sahutnya dengan


suara berat dan lamban.

“Menyesal sekali, saudara, guru kami masih belum juga datang,”


balas Tan Seng Kiat sambil matanya menatap tajam seakan-akan
ia sedang menyelami dan mengukur kepandaian tamunya yang
jumawa itu.

Memang ketika Tan Seng Kiat sedang menaksir “isi” tamunya. Dan
ia maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian silat yang tak
29
boleh dipandang ringan, terbukti ia dapat meloncati pagar dengan
mudahnya.

Hanya Seng Kiat sekaligus dapat menarik kesimpulan bahwa


tingkat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) tamunya masih sangat
rendah. Karena cara orang itu menurunkan kakinya ketika
meloncat pagar tadi, telah mengeluarkan suara berdebukan,
menandakan bahwa orang itu masih belum dapat menguasai
keseimbangan badan.

“Kalau benar gurumu masih belum datang, biarlah, tidak apa.


Setelah aku menyaksikan betapa caramu memberi pelajaran silat
tadi pasti guruku yang hendak berkenalan dengan gurumu akan
merasa kecewa, sehingga kurasa tidak ada gunanya guruku
menjumpai gurumu!” kata Sim Kang Bu kemudian dan dari sinar
matanya tampak ia mengejek.

Tan Seng Kiat tertegun sejenak karena pemuda yang berwatak


sabar ini tengah mencoba menangkap apa maksud kata-kata yang
diucapkan oleh tamunya itu. Akan tetapi, Kwe Bun yang wataknya
tidak sesabar suhengnya, segera maju dan memberi teguran:

“Eh, kawan! Kau datang kemari tanpa kami undang dan caramu
memasuki lapangan ini, membuktikan bahwa kau seorang yang

30
pendidikannya mentah. Tambah lagi kata-katamu membuktikan
bahwa kau memandang rendah kepada kami teristimewa kepada
guru kami, sehingga kau mengatakan bahwa gurumu tidak ada
gunanya untuk berkenalan dengan guru kami! Maka demikian juga
bagi kami, kami pun merasa tak ada harganya berkenalan
denganmu maupun dengan gurumu……”

“Sutee, tahanlah kesabaranmu!” Tiba-tiba terdengar Tan Seng Kiat


menegur Kwe Bun, dan ia lalu bertanya kepada tamunya:

“Saudara, bolehkah aku bertanya, apakah maksudmu yang


sebenarnya datang kemari?”

Sebelum menjawab, Sim Kang Bu tertawa bergelak: “Maksudku


datang kemari adalah untuk memenuhi keinginan guruku yang
merasa tertarik sekali akan nama Can kauw-su yang membuka
Sin-kun Bu-koan ini, karena pada mulanya kami mengira bahwa
gurumu adalah seorang ahli silat tingkat tinggi.

“Akan tetapi setelah kusaksikan betapa caramu memberi pelajaran


silat kepada kawan-kawanmu, aku baru mendapat kenyataan
bahwa ilmu silat yang kau waris dari Can kauw-su itu tak lebih
hanya merupakan silat kampungan belaka! Nah, inilah sebabnya

31
mengapa tadi kukatakan bahwa tidak ada gunanya guruku
berkenalan dangan gurumu. Mengerti?”

Dada Kwe Bun serasa mau meledak mendengar kata-kata


tamunya yang terang-terangan menghina itu. Akan tetapi
kesabaran yang dimiliki oleh Tan Seng Kiat benar-benar harus
dipuji oleh karena sikap pemuda ini tetap tenang seakan-akan tidak
merasakan kekurang ajaran tamunya. Bahkan langgam suaranya
pun tetap seperti biasa, yakni sabar dan halus, dikala berkata:

“Ya, ya, aku mengerti maksudmu, saudara. Kalau memang kau


merasa gurumu tidak ada gunanya berkenalan dengan suhu tidak
menjadi apa kawan. Sebaliknya aku sendiri berani mengatakan
bahwa suhu kamipun belum tentu sudi berkenalan dengan
gurumu! Maka kini kupersilahkan kau meninggalkan tempat ini!”

Sungguhpun kata-kata Tan Seng Kiat ini diucapkan dengan suara


halus dan sikap sabar, akan tetapi di dalamnya mengandung
maksud pembalasan yang sangat jitu dan perkataan Tan Seng Kiat
sebagai imbalan ini terasa sangat mengena sekali bagi hati Sim
Kang Bu, yang ketika itu segera membalikkan diri hendak berlalu.

32
“Eh, nanti dulu, kawan!” seru Kwe Bun yang melangkah menyusul
sehingga Sim Kang Bu menghentikan langkah kakinya dan
menghadapinya dengan sinar mata berkilat-kilat.

“Kita tidak pernah bermusuhan maupun berkenalan, tapi


kedatanganmu kemari agaknya sengaja hanya untuk menghina
kami. Sebenarnya siapakah gurumu dan terutama sekali siapakah
kau ini?”

“Aku tak pernah menyembunyikan nama. Dengarlah, aku bernama


Sim Kang Bu murid seorang ahli silat kenamaan yang pernah
malang melintang di kalangan Kang-ouw, yakni Thiat-tha Lu Su
Pin, si Pagoda Besi!

Baik Kwe Bun maupun Tan Seng Kiat sendiri memang belum
mengenal nama Lu Sun Pin karena dari guru mereka belum pernah
mendengarnya, maka tanpa pikir lagi Kwe Bun mengejek:

“Oh, kiranya kau ini adalah murid dari locianpwee si Pagoda Besi,
pantas saja kau berani mengatakan ilmu silat kami adalah ilmu silat
kampungan. Akan tetapi aku belum tahu ilmu silat macam apakah
yang dimiliki olehmu? Ilmu silat pasaran ataukah ilmu silat
peseran?”

33
Merahlah wajah Sim Kang Bu karena marah mendengar ejekan itu.
Memang seorang yang berwatak kasar dan jumawa sehingga tidak
mempunyai kebijaksanaan untuk menimbang seperti Sim Kang Bu
ini, hanya dapat marah kalau diejek orang tanpa sadar bahwa
sebenarnya ia sendiri yang membuat gara-gara! Sebagai murid
dari seorang ahli silat Bu-tong-pay, tentu saja Sim Kang Bu merasa
marah sekali disebut ilmu silat pasaran, apalagi peseran!

“Ilmu silatku adalah dari cabang Bu-tong-pay! Untuk membuktikan


kehebatannya, sudikah kau melayaniku coba-coba barang
beberapa jurus!?” katanya setengah membentak sambil bersiap
memasang kuda-kuda.

“Bolehlah! Silahkan kau memberi pelajaran kepadaku yang kau


sebut ilmu silat kampungan ini!” tantang Kwe Bun yang sudah
bersiap pula.

Para pelajar lainnya yang berpuluh-puluh orang banyaknya itu,


yang memang sejak tadi merasa panas hati melihat lagak tamu
yang kurang ajar itu. Ketika melihat betapa Kwe Bun dan Sim Kang
Bu hendak bertempur, mereka lalu berdiri merupakan sebuah
bundaran sehingga di tengah-tengah mereka merupakan
gelanggang yang dipagari manusia.

34
“Sutee, jangan kau menanam bibit permusuhan! Sudahlah, sudahi
saja persoalan kecil ini dan kita persilahkan tamu kita untuk
berangkat pulang!” seru Tan Seng Kat sambil berdiri menyelak di
antara kedua orang jang sudah siap hendak saling mengunjukkan
kepandaian itu.

“Suheng, mundurlah dan biarkanlah aku akan mengukur


kehebatan tamu kita yang sombong dan berani menghina kita ini,”
sahut Kwe Bun.

“Suhu toh pernah memberi nasehat kepada kita, bahwa kalau kita
diperlakukan jahat oleh orang lain, kita tak perlu membalasnya.
Akan tetapi kalau kita dihina maka kita jangan menerima
penghinaan itu secara mentah-mentah oleh karena penghinaan
adalah sangat merugikan dan merusakkan kehormatan dan nama
baik kita, terutama nama baik suhu dan rumah perguruan kita!”

Pada detik berikutnya, tanpa Tan Seng Kiat dapat mencegah lagi,
Kwe Bun dan Sim Kang Bu sudah mulai saling serang. Sementara
orang-orang yang mengitarinya sudah terdengar bersorak-sorak
riuh sekali menyemangati Kwe Bun, hingga keadaan di situ kini
menjadi ramai dan tegang.

35
Yang mula-mula membuka serangan adalah Sim Kang Bu, karena
pemuda ini berwatak kasar dan berangasan maka tanpa memberi
peringatan lagi terhadap lawannya sebagaimana biasanya orang
gagah yang melakukan serangan terlebih dulu, segera maju dan
menubruk Kwe Bun sambil mengirim pukulan tangan yang
dimiringkan dan disabetkan ke arah leher lawan dengan
menggunakan gerak tipu Sian-ciu-san-hoa atau Tangan Dewa
Menyebar Bunga.

Kwe Bun mengelak ke samping akan tetapi dengan gerakan yang


amat gesit dan ganas sekali karena Sim Kang Bu ingin
merobohkan lawannya dengan cepat untuk membuktikan
kelihayannya, telah melanjutkan serangannya. Dengan tiba-tiba ia
merendahkan tubuhnya setengah berjongkok sambil kaki kirinya
dipindahkan selangkah ke depan, dan dengan gerakan secepat
kilat kaki kanannya diayun ke depan menyambar ke arah
selangkangan lawan.

Ternyata Kwe Bun tak kalah tangkas dan gesitnya. Menghadapi


serangan susulan lawan yang cepat dan tak terduga sebelumnya
itu, ia cepat melompat ke atas dan membalas dengan serangannya
sambil mempergunakan gerak tipu Ouw-liong-coan-tha (Naga
Hitam Membelit Menara), yakni tangan kanan kirinya membuat

36
gerakan menggunting kepala lawan, sedangkan kaki kirinya
menyambar ke arah lambung.

Sim Kang Bu terkejut berbareng kagum karena ternyata lawan nya


itu dapat berkelit. Sambil melancarkan serangan hebat, maka
cepat ia menarik kembali kakinya yang ditendangkan tadi sambil
menangkis serangan lawan yang menggunting itu dengan keras,
dan kemudian melakukan serangan balasan yang tak kalah
hebatnya.

Demikianlah, kedua orang muda itu mengerahkan seluruh tenaga


dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk dapat
mengalahkan lawannya. Yang seorang ingin membuktikan sifat
ketakaburannya dan yang seorang lagi, hendak membuktikan
bahwa ilmu silat yang dimilikinya tak boleh dihina dengan
seenaknya saja.

Kwe Bun dan Sim Kang Bu ternyata mempunyai tingkat


kepandaian yang tidak jauh bedanya, hanya kalau diadakan
ukuran, Sim Kang Bu memiliki tenaga yang lebih besar akan tetapi
sebaliknya, Kwe Bun memiliki kegesitan yang lebih cepat. Sampai
hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dengan seru sekali, dan
keduanya ternyata sama tangguhnya.

37
Sungguhpun ke duanya telah menerima pukulan dan tendangan
dari lawan, akan tetapi serangan-serangan ini ternyata belum
cukup kuat untuk merobohkannya oleh karena mereka keburu
mengelak sehingga pukulan dan tendangan itu hanya mengenai
kulit dan meleset saja, tanpa mengenai sasaran yang jitu untuk
dapat merobohkannya.

Hal ini menyebabkan Sim Kang Bu merasa penasaran sekali maka


ia lalu merobah pergerakannya dan kini ia mengeluarkan ilmu
silatnya yang diandalkan, yakni Pat-ciu-kun-hoat (Ilmu silat tangan
delapan), semacam ilmu berkelahi dari Bu-tong-pay yang baru saja
dipelajari dan diterima dari gurunya. Ilmu silat ini tidak saja
dipergunakan untuk memukul, akan tetapi lebih banyak
menggunakan tangan secara mencengkeram atau memukul
dengan jari-jari tangan terbuka dan mengarah urat-urat jalan darah
yang sangat berbahayanya apabila kena ditotok.

Selain gerakannya amat cepat, juga pelancaran serangannya


secara tidak terduga-duga karena kedua tangan Sim Kang Bu yang
memainkan ilmu silat ini selalu berobah-robah dengan cepat.
Sebentar ia menyerang dari kiri, lain saat dari kanan dan kemudian
dari atas dan bawah secara berantai sehingga benar-benar
serangan ini seperti dilakukan oleh tangan delapan secara
berbareng dan sangat membingungkan lawan.
38
Setelah Sim Kang Bu mempergunakan ilmu pukulan ini, maka
benar saja Kwe Bun menjadi terdesak hebat dan menjadi bingung
menghadapi serangan-serangan yang bertubi-tubi dan sambung
menyambung datangnya itu. Dan setelah dapat mempertahankan
diri sampai duapuluh jurus lagi, akhirnya pukulan tangan kiri dari
Sim Kang Bu dapat menghantam tulang pundak Kwe Bun yang
tanpa dapat mengelak atau keburu menangkis lagi, segera berseru
kesakitan dan setelah terhuyung-huyung sebentar, akhirnya ia
roboh sambil mengaduh-aduh.

“Ha, ha, ha! Baru sekarang kau dapat membuktikan dan


merasakan kelihayanku! Tapi, kalau kau masih belum puas,
baiklah kutambahi lagi!” Kata-kata Sim Kang Bu yang penuh
kemenangan disusul dengan tubrukan dan akan mengirim pukulan
yang terakhir supaya penderitaan lawannya itu terlebih hebat.

Akan tetapi ketika pemuda yang merasa benar sendiri ini tengah
mengangkat tinjunya yang segera akan dihantamkan ke lambung
Kwe Bun, tiba-tiba ia mendengar teriakan:

“Tahan!” Berbareng dengan itu, ia merasakan tangannya ada yang


menyampok dan menangkapnya dari belakang, yang lalu
menggentaknya sehingga tidak ampun lagi tubuh Sim Kang Bu tadi
jatuh ke belakang dalam keadaan terjengkang!

39
Yang menyebabkan Sim Kang Bu terjengkang itu adalah
perbuatan Tan Seng Kiat yang hendak menolong suteenya dari
bahaya maut,

“Saudara Sim, lawan yang sudah roboh dan tak dapat melawan
lagi, tidak boleh diserang lagi. Dan lagi kau harus ingat bahwa kita
belum pernah bermusuhan sehingga tidak semestinya kau berlaku
terlalu kejam,” kata Tan Seng Kiat sambil menghampiri suteenya
yang akan segera dibangunkan dan diperiksa luka pada
pundaknya itu.

Akan tetapi dasar Sim Kang Bu berwatak takbur, teguran Tan Seng
Kiat itu bahkan membuatnya menjadi salah terima dan cepat
bangkit sambil membentak marah: “Rupanya kau hendak
menggantikan suteemu? Bagus! Kaupun patut mendapat bagian
kelihayanku!” katanya dan tiba-tiba ia mengirim pukulan kepada
Tan Seng Kiat.

Tan Seng Kjat yang mendapat serangan tiba-tiba ini sedikit pun
tidak menjadi gugup, melainkan dengan sikapnya yang tetap
tenang, ia miringkan tubuhnya ke samping sehingga pukulan Sim
Kang Bu yang dilakukan sepenuh tenaga itu hanya menghantam
angin, dibarengi tangannya tiba-tiba menyabet dari samping

40
memukul lengan Sim Kang Bu tepat di bagian sikutnya dan “Krakk!”
yang dibarengi pekik kesakitan dari mulut Sim Kang Bu.

Ternyata sabetan tangan Tan Seng Kiat agaknya telah membuat


tulang sikut Sim Kang Bu terlepas dari sambungannya, sehingga
pemuda yang tidak tahu diri itu jadi menjerit karena ia merasakan
sikutnya sakit bukan main dan ia terhuyung-huyung sambil
meringis-ringis.

Tiba-tiba meledaklah tempik sorak dari para sutee Tan Seng Kiat
yang merasa puas dan gembira melihat betapa “tamu”nya itu
dibikin tidak berdaya oleh toa-suheng mereka dengan hanya
segebrakan saja.

Betapa dirinya disoraki demikian, Sim Kang Bu menggertakkan gigi


dan matanya berapi-api menatap tajam kepada Tan Seng Kiat.
Kemudian ia pergi tanpa pamit seperti ketika ia datang tadi tanpa
diundang.

Dan kalau datang tadi meloncati pagar bambu dengan gagah,


adapun kini, agaknya karena rasa sakit tulang sikutnya yang
terlepas dari sambungannya itu menyebabkan tidak dapat
meloncati pagar lagi. Hanya dengan wajah meringis menahan rasa
sakit dan lengan kanannya yang menderita itu tidak dapat

41
digerakkan sehingga tinggal menggantung saja dalam keadaan
lumpuh, ia memanjati pagar tersebut dan tampaknya sangat susah
payah.

Hal ini merupakan semacam pemandangan yang lucu bagi para


anak murid Sin-kun Bu-koan yang melihatnya, sehingga selain
mereka hiruk pikuk menyoraki, keluar juga ejekan-ejekan dari
mereka:

“Hai, sahabat sombong! Bagaimana rasanya sikutmu itu?


Enak…..!?” teriak seorang,

“Itulah hadiahnya bagi seorang yang sok aksi…..,” seru seorang


lagi.

“Hureh! Datangnya seperti harimau, tetapi perginya tidak beda


seperti anjing buduk yang kena pentungan!” demikian kata seorang
lainnya lagi yang tidak mau kalah suara dalam mengejek tamunya
yang sombong dan yang kini sudah menghilang dari penglihatan
mereka itu.

“Sudah! Sudahlah sutee-suteeku sekalian!” seru Tan Seng Kiat


kemudian sambil memberi tanda dengan kedua tangannya
sebagai isyarat supaya para suteenya itu menghentikan kehiruk
pikukannya, dan benar saja suasana mendadak menjadi sepi dan
42
mereka sama memandang kepada toa-suhengnya ini dengan
perasaan bangga dan kagum.

Sementara itu Tan Seng Kiat berkata lagi: “Sutee-suteeku, aku


maklum bahwa kalian merasa gembira dan puas melihat betapa
orang kurang ajar itu kebetulan sekali dapat dikalahkan olehku,
sehingga kalian jadi mengejek dan menyorakinya. Tetapi sutee-
suteeku, kau harus ingat bahwa ejekan dan sorakan dari kalian tadi
dapat tambah memperuncing keadaan dan aku yakin, bahwa
peristiwa yang semula hanya merupakan suatu hal remeh ini akan
berekor panjang. Ah, benar-benar kejadian ini harus disesalkan!”

Kemudian Tan Seng Kiat membangunkan Kwe Bun yang sampai


ketika itu masih rebah di tanah sambil merintih-rintih. Dibantu oleh
beberapa orang kawannya, tubuh Kwe Bun digotong ke dalam
rumah perguruan.

Dan ketika Tan Seng Kiat memeriksa pundak suteenya yang kena
pukul itu ternyata ia mendapatkan bahwa tulang pundak Kwe Bun
hanya nyengsol saja dan sama sekali tidak membahayakan
jiwanya. Akan tetapi oleh karena Tan Seng Kiat tidak paham untuk
membetulkan tulang, maka untuk menolong Kwe Bun mesti
menanti sampai gurunya kembali.

43
Adapun Sim Kang Bu berjalan setengah berlari sambil tangan
kirinya memegang-megang dan mengurut-urut sikut lengan
kanannya yang rasa sakitnya bukan main. Kemudian ketika ia
sampai di gedung Cio wan-gwe dan bertemu dengan suhunya
yang terkejut melihat keadaan muridnya ini, Sim Kang Bu lalu
mengadu bahwa ia telah dihina oleh murid dari Sin-kun Bu-koan.

Tentu saja pengaduan pemuda itu tidak dikatakan secara terus


terang, melainkan kesalahan ditimpahkan dan dilebih-lebihkan
kepada anak murid Sin-kun Bu-koan yang menyebabkan sehingga
tulang sikutnya menjadi teklok itu.

“Coba saja suhu bayangkan,” demikian kata Sim Kang Bu


menambahkan pengaduannya yang membuat gurunya menjadi
panas hati, “Sungguhpun teecu sudah memperkenalkan bahwa
teecu ini adalah murid suhu akan tetapi mereka ternyata secara
kurang ajar sekali menyebutkan bahwa ilmu silat kita ini adalah
ilmu silat pasaran dan peseran.

“Tentu saja teecu sangat penasaran dan karena itu teecu


memperlihatkan ilmu silat kita terhadap murid kedua dari Can
kauw-su itu, yang akhirnya berhasil dirobohkan oleh teecu. Akan
tetapi suhengnya, yaitu yang menjadi wakil guru mereka, secara

44
curang telah membokong teecu sehingga teecu menjadi
sedemikian dibuatnya.”

Lu Sun Pin yang terlalu memanjakan muridnya, menjadi marah


sekali: “Kurangajar! Maksudku yang baik ternyata dibalas dengan
penghinaan, aku harus menebus hinaan ini!” katanya dan segera
ia berangkat ke Sin-kun Bu-koan, sementara So Ma Tek muridnya
yang seorang lagi disuruh mengurut dan mengobati sikut Sim Kang
Bu.

Dengan langkah kakinya yang lebar-lebar, Lu Sun Pin berjalan


cepat sekali hingga sebentar kemudian ia sudah tiba di depan Bu-
koan yang ditujunya. Seperti juga ketika tadi Sim Kang Bu sampai
di situ, daun pintu rumah perguruan tersebut masih tetap tertutup.
Lu Sun Pin lalu menggedornya dengan kasar dan tak lama
kemudian daun pintu tersebut tampak dibuka dari dalam, yaitu oleh
Tan Seng Kiat.

“He, anak muda! Mana gurumu? Coba suruh dia keluar. Aku Lu
Sun Pin ada urusan hendak dibicarakan dengannya,” kata Lu Sun
Pin kasar dan sepasang matanya setelah menatap tajam ke wajah
Tan Seng Kiat, lalu mengawasi ke dalam bu-koan, di mana
terdapat para anak muda yang duduk mengelilingi Kwe Bun yang
rebah di atas dipan dan ketika itu masih merintih-rintih.

45
Tan Seng Kiat maklum, bahwa orang setengah tua kasar ini adalah
guru Sim Kang Bu dan ia sudah dapat menduga bahwa
kedatangan tamunya ini, merupakan kelanjutan peristiwa tadi.
Akan tetapi, oleh karena memang ia memiliki watak sabar,
sungguhpun sikap tamunya demikian memuakkan, Tan Seng Kiat
menjura memberi hormat sambil menjawab:

“Lu sianseng (tuan Lu), menyesal sekali guruku sampai sekarang


masih juga belum kembali dari bepergiannya. Akan tetapi kalau
misalnya sianseng ada keperluan, bolehkah siauwtee
mengetahuinya supaya nanti kalau suhu datang dapat siauwtee
menyampaikan maksud sianseng ini?”

“Boleh, boleh! Katakanlah kepadanya bahwa aku berpesan,


supaya gurumu selain mendidik murid-muridnya dalam hal ilmu
silat, juga harus dapat memberi pelajaran tentang budi pekerti
supaya muridnya mengenal tata cara kesopanan, sehingga jangan
sampai terjadi, peristiwa penghinaan seperti terhadap muridku
tadi!”

“Penghinaan? Penghinaan yang mana dan macam apakah yang


sianseng maksudkan?”

46
“Hm, hm! Pandai kau berpura-pura, anak muda! Akan tetapi aku
mendapat kepastian, kaukah orangnya yang menghina muridku
tadi?”

“Siauwtee tidak pernah menghina terhadap siapapun, akan tetapi


kalau siauwtee tadi memberi sedikit hajaran kepada murid
sianseng itulah tak lebih dari pada suatu peringatan akan
kekurangan dan kesombongannya dan juga sebagai pembalasan
atas perbuatannya melukai suteeku!”

“Bagus! Dan justeru kedatanganku hendak membalas sakit hati


muridku dan oleh karena kebetulan sekali gurumu sedang tiada,
maka baiklah kau mewakilinya menerima pembayaran hutang
dariku ini!”

Tiba-tiba seselesainya berkata, Lu Sun Pin mengulurkan


tangannya dan dengan jari-jari terbuka langsung mencengkeram
pundak Tan Seng Kiat.

Tan Seng Kiat memang sudah maklum bahwa kedatangan orang


ini adalah membawa maksud kurang baik, maka ia selalu berlaku
hati-hati dan waspada sehingga ketika ia menghadapi serangan
secara tiba-tiba cepat ia mengelak ke samping sambil melangkah
mundur tiga tindak ke belakang.

47
“Sabar sianseng! Ternyata kau sudah setua ini masih belum
mempunyai kebijaksanaan. Kau hanya memandang akibat dan
sama sekali tidak menyelidiki dahulu sebab-sebabnya!” kata Tan
Seng Kiat yang betapapun sabarnya, akhirnya darah mudanya
yang panas, meluap juga.

Ketika itu para murid Sin-kun Bu-koan yang duduk meriungi Kwe
Bun, kini sudah berkumpul dan berdiri di belakang Tan Seng Kiat
dan umumnya mereka ini merasa marah sekali terhadap si tamu
yang sangat kasar serta mau menang sendiri itu. Pantas saja
muridnya tadi begitu kurang ajar, kiranya gurunya ini adalah
seorang biadab, pikir mereka.

“Tutup bacotmu! Terima saja pembalasanku, habis perkara!” Lu


Sun Pin membentak sambil bergerak maju dan mengirim serangan
dalam gerak tipu Cio-po-thian-keng atau Batu Meledak Langit
Gempur, sebuah tipu pukulan yang dilakukan dengan tenaga
sepenuhnya hingga merupakan serangan berbahaya oleh karena
orang she Lu yang terlalu dikuasai nafsu hatinya ini ingin
merobohkan anak muda itu dengan sekali gebrak saja.

Tan Seng Kiat maklum bahwa kini ia menghadapi seorang ahli silat
tinggi, maka ia tidak berani menangkis, hanya dengan sebat
mengelak ke samping mempergunakan kelincahan tubuhnya, lalu

48
membarengi serangan balasan yang dilakukan dengan tangan
miring yakni dengan gerak tipu Heng-pay-koan-im (Memuja Koan-
im Dengan Tangan Miring). Tangan yang dimiringkan itu
disabetkan ke arah pinggang Lu Sun Pin yang segera berkelit
sambil ketawa mengejek.

Sungguh Tan Seng Kiat membuktikan bahwa ilmu silatnya, sangat


baik, akan tetapi oleh karena kini ia menghadapi seorang ahli silat
tinggi yang baik tenaga maupun kepandaian silatnya jauh lebih
unggul, tambahan lagi ia kalah pengalaman, maka dalam
beberapa jurus saja sudah terdesak hebat dan hanya dapat
menangkis atau mengelak saja tanpa mampu melawan sama
sekali. Hal ini membuat para sutee-suteenya menjadi gelisah dan
cemas.

Dan ketika pertempuran yang berat sebelah mencapai jurus


keduabelas, benar-benar Tan Seng Kiat sudah sangat kewalahan
sehingga pada suatu ketika, setelah ia berhasil menangkis tangan
kanan lawan yang akan menyodok ulu hatinya dan mengelak dari
tangan kiri lawan yang nyaris saja mematahkan tulang iganya, tiba-
tiba ia menjerit dan tubuhnya terpental sampai beberapa tombak
jauhnya!

49
Ternyata gerakan Lu Sun Pin sedemikian cepatnya sehingga tanpa
diduga sama sekali, lambung Tan Seng Kiat telah kena ditendang
dan pemuda ini terlempar dan jatuh dalam keadaan pingsan!

Lu Sun Pin tertawa bergelak: “Ha, ha, ha! Punahlah hutangku kini.
Dan kalau di antara kalian ada yang merasa penasaran,
katakanlah kepada guru kalian bahwa aku yang datang ini adalah
Lu Sun Pin si Pagoda besi. Untuk sementara aku berdiam di
gedung Cio wan-gwe, maka jika gurumu merasa perlu,
kupersilahkan datang kesana!”

Sesudah mengatakan yang pada hakekatnya mengandung


tantangan ini, Lu Sun Pin lalu melangkah lebar ke arah pintu. Dan
dengan cepat sekali lenyap dari penglihatan murid-murid Sin-kun
Bu-koan, yang bengong melongo karena kaget melihat betapa toa-
suheng mereka yang mereka ketahui ilmu silatnya paling tinggi di
antara mereka, telah dapat dirobohkan hanya dalam belasan jurus
saja.

Mereka pun merasa kagum akan kelihayan orang setengah tua itu.
Kemudian, setelah sadar dari kebengongannya, mereka lalu
menggotong Tan Seng Kiat yang pingsan itu dan
membaringkannya di atas sebuah pembaringan di sisi dipan,
dimana Kwe Bun berbaring.

50
Dikala cuaca senja sudah remang-remang hampir menjadi gelap,
barulah Can Po Goan datang. Dan alangkah kagetnya kauw-su ini
ketika melihat dua orang muridnya yang tercinta dalam keadaan
sedemikian rupa.

Tanpa memperdulikan pembicaraan murid-murid lainnya yang


agaknya memberi laporan secara dulu mendahului, hingga suara
mereka bising sekali karena mereka bicara bersama-sama. Can
kauw-su menggulung lengan baju dan membuka pakaian Tan
Seng Kiat yang ketika itu sudah siuman dari pingsannya.

Lambung yang kena tendangan tadi diperiksanya dan tampaklah


kulit bagian lambung itu matang biru, akan tetapi sungguhpun
demikian menurut anggapan Can kauw-su keadaan Tan Seng Kiat
tidak berbahaya meskipun untuk menjadi sembuh kembali mesti
makan waktu beberapa hari lamanya. Sedangkan pundak Kwe
Bun setelah diurut dan dibetulkan letak tulangnya yang nyengsol
itu segera sembuh kembali meskipun rasa nyerinya masih belum
hilang.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, Seng Kiat dan Kwe Bun?”
tanya Can kauw-su kemudian sambil tangannya bekerja membuat
obat yang terdiri dari ramuan dicampur arak untuk mengobati
kedua anak muda itu.

51
Tan Seng Kiat lalu menuturkan dengan sejujurnya seluruh
peristiwa yang telah dialaminya.

Selama mendengarkan cerita muridnya, Can Po Goan


mengerutkan keningnya, sebentar-sebentar menggelengkan
kepala dan sesaat kemudian ia mengangguk-angguk.

“Bahkan orang yang mengaku dirinya bernama Lu Sun Pin dengan


gelarnya si Pagoda Besi itu ketika ia akan meninggalkan tempat ini
sengaja berkata bahwa kalau suhu merasa perlu, dia menanti di
rumah Cio wan-gwe!” demikian Tan Seng Kiat mengakhiri
penuturannya.

“Ah, Lu Sun Pin, Lu Sun Pin!” Can kauw-su terdengar menggumam


sambil menghela napas dalam.

“Adakah suhu pernah kenal padanya?” Tan Seng Kiat bertanya.

Can kauw-su menggelengkan kepala dan menjawab:


“Sungguhpun aku belum mengenal dan bertemu dengan
orangnya, namun nama Lu Sun Pin si Pagoda Besi pernah
kudengar sejak lama sekali, yaitu seorang ahli silat yang
menempuh jalan penghidupan sesat! Sungguh tak kusangka, hari
ini ia datang ke mari dan agaknya sengaja hendak menjatuhkan
nama baik kita.”
52
“Adakah suhu bermaksud hendak mendatanginya di rumah Cio
wan-gwe?” tiba-tiba Kwe Bun bertanya dengan penuh harapan
bahwa gurunya akan melakukan pembalasan.

Can kauw-su kembali menggelengkan kepala: “Aku rasa tidak


perlu, tidak perlu dan sama sekali tidak ada faedahnya, hanya
menimbulkan permusuhan yang makin besar belaka. Kalian tahu
sendiri bahwa aku si orang tua ini paling tidak suka bermusuhan
oleh karena segala macam permusuhan dalam bentuk apapun
juga, bukanlah hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan.

“Sedangkan aku sudah lima tahun menjadi guru silat dan


menikmati hidup yang penuh ketenteraman. Apakah aku harus
menghancurkan ketenteraman ini hanya karena peristiwa ini,
peristiwa yang ditimbulkan oleh orang yang dipenuhi napsu
angkara murka?

“Ah, tidak……! Dan sudahlah, peristiwa yang telah terjadi ini


anggaplah sebagai pelajaran bagi kalian dan dapat merupakan
dorongan agar kalian lebih rajin melatih diri supaya jangan terlalu
mudah dikalahkan orang.”

Tan Seng Kiat yang berwatak sabar seperti suhunya diam-diam


mengakui kebenaran kata-kata orangtua yang bijaksana dan

53
berpikiran luas itu. Akan tetapi sebaliknya bagi Kwe Bun yang
beradat agak keras dan murid-murid lainnya yang sebagian besar
berdarah panas, merasa kecewa dan menganggap sikap suhu
mereka ini sebagai sikap pengecut dan takut!

Adapun Lu Sun Pin setelah melakukan peristiwa tersebut di atas


yang dalam anggapannya sebagai pembalasan yang dilakukan
oleh seorang gagah. Ahli silat Bu-tong-pay ini berjalan dengan
langkah lebar dan dada membusung, hatinya merasa bangga dan
bibirnya yang tebal dihiasi senyum kemenangan! Sedangkan
dalam pikirannya kini terbuka semacam jalan baru, bahwa
alangkah baiknya kalau akupun membuka bu-koan di kota ini,
pikirnya.

Oleh karena itu, ketika ia membicarakan “kemenangannya” di Sin-


kun Bu-koan tadi kepada Cio wan-gwe yang mendengarkannya
dengan agak terperanjat. Oleh karena hartawan ini cukup
mengenal bahwa Can Po Goan adalah seorang yang baik
sehingga tidak semestinya kawannya ini berbuat demikian
keterlaluan terhadap murid guru silat tersebut.

54
Akan tetapi sebagai seorang kawan baik Cio wan-gwe tidak
menyatakan penyesalannya oleh karena ia maklum bahwa
kawannya ini berwatak kasar dan dalam segala hal, sok mau
menang sendiri saja! Maka, ketika selanjutnya Lu Sun Pin
menyatakan keinginan hatinya hendak membuka bu-koan dan
mengharapkan bantuan Cio wan-gwe untuk mengabulkannya,
hartawan itu hanya dapat menyetujui saja.

Dan demikianlah, pada hari-hari selanjutnya Cio wan-gwe


membawa Lu Sun Pin kepada para hartawan di Tong-koan yang
memang banyak dikenalnya dan memperkenalkan kawannya ini
sambil menyatakan bahwa orang she Lu ini hendak membuka bu-
koan!

Ternyata keinginan Lu Sun Pin terkabul. Banyak para hartawan


berjanji akan mendukungnya dan demikianlah pada suatu hari,
bertempat di sebuah rumah besar yang sengaja disewa oleh Cio
wan-gwe untuk dipergunakan sebagai perguruan silat yang akan
dipimpin oleh kawannya itu, Lu Sun Pin membuka sebuah bu-koan,
yaitu sebuah bu-koan baru atau yang kedua setelah Sin-kun Bu-
koan yang sejak lama terdapat di kota Tong-koan.

Oleh karena bu-koan baru didukung oleh para hartawan kenalan


Cio wan-gwe dan terutama oleh Cio wan-gwe sendiri maka pada

55
hari pembukaannya diadakan perjamuan dan banyak dikunjungi
para hartawan yang diundang. Dan secara resmi bu-koan
pimpinan Lu Sun Pin dan yang dimodali oleh Cio wan-gwe serta
didukung oleh para hartawan-hartawan kenalan si kaya she Cio ini,
diberi nama “Tong-koan Te-it Bu-koan” atau Rumah Perguruan
Silat Nomor Satu di Kota Tong-koan!

Papan nama ini digantungkan di depan rumah sewaan tersebut


dalam bentuk sekeping papan berukuran lebar dan panjang, dicat
warna merah darah dan hurufnya yang terdiri dari enam buah itu
berwarna kuning emas sehingga tampaknya indah dan mentereng
sekali!

Mula-mula yang belajar pada perguruan ini hanya beberapa belas


orang saja, yaitu anak-anak dari para hartawan dan di antaranya
termasuk putera tunggal Cio wan-gwe yang bernama Cio Swi Ho.
Sistim pelajaran yang diberikan oleh Lu Sun Pin kapada murid-
murid barunya ini adalah apa yang dinamakannya sistim kilat.

Kalau seorang murid yang belajar di perguruan lain harus


memakan waktu bertahun-tahun maka bila belajar pada Lu Sun Pin
ini hanya beberapa bulan saja. Dan kepandaian yang diperoleh
oleh si murid, demikian menurut “propaganda” dari guru silat baru
she Lu ini, takkan kalah oleh murid didikan kauw-su yang manapun

56
juga, yaitu kauw-su yang memperpanjang waktunya dalam
memberi pelajaran secara “medit,” supaya si murid belajar lebih
lama dan dengan demikian ia lebih lama pula mendapat bayaran
dari si murid!

Tentu saja “propaganda” macam ini takkan masuk diakal bagi para
ahli silat tinggi, akan tetapi oleh karena para hartawan yang
menyekolahkan anak-anaknya kepada Lu Sun Pin ini umumnya
tidak mengerti silat, maka “propaganda” tersebut mereka telan saja
mentah-mentah dan bahkan mereka sangat sependapat dengan
guru silat baru yang diperkenalkan oleh Cio wan-gwe sebagai
pewaris silat tinggi dari Bu-tong-pay ini!

Adanya propaganda tersebut dan terutama sekali adanya sistim


kilat dari Lu Sun Pin ini, kemudian ternyata sangat menarik
perhatian orang banyak dan mereka belajar kepada perguruan silat
yang dianggapnya hebat ini.

Malah tak sedikit pula para murid Can kauw-su yang menganggap
guru tua ini sangat pengecut dan takut untuk melakukan
pembalasan terhadap Lu Sun Pin sehingga timbullah anggapan
pada mereka bahwa Lu Sun Pin si Pagoda Besi tentu lebih tinggi
ilmu silatnya dari pada guru mereka. Tanpa pamit lagi mereka lalu

57
meninggalkan perguruan Sin-kun Bu-koan dan pindah belajar di
Tong-koan Te-it Bu-koan ini.

Dengan demikian, Lu Sun Pin makin lama makin maju, muridnya


bertambah banyak dan terutama sekali dengan “sistim kilat” nya itu
orang berani membayar mahal teristimewa para hartawan.
Keadaan Lu Sun Pin kini benar-benar seperti apa yang diharapkan
oleh Cio wan-gwe semasa baru datang ke kota Tong-koan dulu,
yakni menjadi maju dan jauh lebih baik, sehingga bukan saja ia
mampu memperbaiki dan memperbesar bu-koan sewaannya,
membuat lan-bu-thia (ruang tempat belajar silat) yang luas,
menyediakan senjata-senjata perlengkapan silat yang baru dan
bagus, akan tetapi juga pakaian yang sehari-hari dikenakannya,
selalu indah dan mewah bagaikan seorang hartawan saja
tampaknya!

Dan belakangan Lu Sun Pin dapat membeli sebuah rumah


sehingga kini ia bersama dua orang muridnya yang semula, yakni
Sim Kang Bu dan So Ma Tek, tak menumpang lagi di gedung Cio
wan-gwe! Betapa cepat sang nasib merobah kehidupan si Pagoda
Besi ini, dapatlah dibayangkan……

Betapapun kasar dan takaburnya watak seseorang, seperti Lu Sun


Pin, namun si Pagoda Besi ini tenyata mempunyai rasa berhutang

58
budi yang sangat besar terhadap Cio wan-gwe. Karena
kemajuannya seperti sekarang ini, semata-mata adalah atas
bantuan dan jasa baik dari Cio wan-gwe, maka untuk budi yang
telah diterimanya, selain berterima kasih yang tak terhingga.

Juga dalam hal panggilan terhadap Cio wan-gwe yang tadinya


hanya cukup dengan sebutan “toako”, “kau” dan “aku” saja
sebagaimana lazimnya seorang kawan lama, kini dirobah menjadi
“Wan-gwe”, yakni bahasa sebutan atau panggilan terhadap orang
kaya dan bagi dirinya sendiri ia menggunakan istilah “cayhe” (aku
yang rendah). Cio wan-gwe tidak heran akan perobahan istilah ini,
karena ia maklum akan watak dan perangai kawannya, yakni selain
beradat kasar dan tinggi hati, juga mempunyai sifat menjilat……!

Ada sebuah peribahasa kuno yang menyatakan bahwa apabila si


guru kencing berdiri, maka si murid kencing berlari. Artinya ialah
kalau guru memberi contoh jelek, maka muridnia akan menirunya
dengan perbuatan yang lebih buruk lagi!

Hal ini sungguh tepat dengan keadaan Lu Sun Pin dan para
muridnya, ialah kesombongan dan ketakaburan Lu kauw-su yang
terang-terangan sering mengatakan dihadapan muridnya bahwa
Tong-koan Te-it Bu-koan ini benar-benar perguruan silat nomor

59
wahid. Dan secara berani sekali ia memburukkan nama Sin-kun
Bu-koan terutama nama Can Po Goan.

Maka para murid yang masih muda-muda dan berdarah panas itu
secara tak sadar telah kena di “suntik” oleh gurunya. Dan mereka
lalu merasa bahwa kepandaian yang mereka miliki sudah cukup
lihay serta menganggap murid-murid yang masih setia berguru
pada Can kauw-su itu tak lebih sebagai cacing pisang belaka,
sehingga karenanya tak jaranglah mereka manakala lewat di
depan Sin-kun Bu-koan, suka berteriak-teriak mengejek dengan
perkataan-perkataan yang kasar dan kotor.

Tentu saja hal ini sangat membakar hati para murid Can kauw-su
yang mendengarnya, terutama sekali Kwe Bun yang beradat
berangasan ketika melihat betapa bekas suteenya sendiri yang
sebagian besar sudah pindah berguru ke Tong-koan Te-it Bu-koan.
Dan kini mereka berani berteriak-teriak mengejek secara
menyebalkan sekali.

Hampir saja pada suatu kali ia melabraknya kalau tidak keburu


dicegah oleh Can kauw-su yang sabar, bahkan sambil tersenyum
guru tua ini berkata:

60
“Muridku, apa perlunya kau meladeni anak-anak yang berteriak-
teriak itu? Sungguhpun mereka mengejek kita, akan tetapi kuyakin
bahwa mereka itu hanya sebagai alat dari guru mereka yang ingin
mencari perkara pula dengan kita!

“Ketahuilah, kalau kucegah kau melabrak mereka tadi, bukan


sekali-sekali aku takut jika aku didatangi orang she Lu. Dan
memang sama sekali aku tidak merasa takut terhadap siapa pun,
asal aku berada di pihak yang benar.

“Seperti sering kukatakan, bahwa kita mempelajari ilmu silat ini


sama sekali bukan untuk berkelahi, melainkan sekedar untuk
menjaga diri dimana perlu dan apabila keadaan memaksa.
Seorang yang karena sudah memiliki ilmu silat lalu merasa atau
menantang orang seperti halnya orang she Lu itu yang secara tak
langsung menantang aku, mencerminkan bahwa dia adalah
seorang yang bodoh memperlihatkan dan menyombongkan
kepintarannya yang pada hakekatnya hanya memperlihatkan
kebodohannya saja!

“Oleh karena itulah, muridku, mengapa kularang kau menangani


mereka. Sebab mereka itu hanya sebagai alat belaka dan dari
pada disalahkan, aku lebih merasa sayang dan mengasihani
mereka.

61
“Sayang dan kasihan karena mereka, anak-anak muda itu secara
tak sadar telah dipengaruhi oleh unsur-unsur buruk dari guru
mereka. Dan pula anak-anak muda yang suka berteriak-teriak di
jalan, menandakan bahwa mereka berjiwa rendah dan seperti tidak
mengenal didikan.”

Demikianlah, berkat kesabaran dan kebijaksanaan Can Po Goan,


bentrokan antara murid dari ke dua bu-koan itu dapat dicegah dan
sementara itu Can Po Goan terus melatih muridnya, karena ia
merasa bahwa saingan ini akan menimbulkan suatu peristiwa yang
menentukan dan pihak Lu Sun Pin pun seolah-olah selalu
menantangnya.

Akan tetapi, dalam pada itu dengan diam-diam Kwe Bun yang
berangasan dan berdarah panas itu selalu mencari saat dan siasat
betapa caranya ia akan membalaskan kepenasaran hatinya. Anak
muda ini merasa tidak puas akan sikap gurunya uang seakan-akan
tak menghiraukan penghinaan-penghinaan dari pihak Lu Sun Pin
itu.

Dan begitulah pada suatu hari, di depan rumah perguruan orang


she Lu itu terjadilah satu kehebohan yang secara kebetulan sekali
dimana Kwe Bun dapat membalas rasa penasaran dihatinya.

62
Hari itu Kwe Bun seorang diri ada keperluan pribadi dan untuk
keperluan ini ia mesti berjalan melalui sebuah jalan dimana
terdapat Tong-koan Te-it Bu-koan itu. Sebelum ia sampai di depan
rumah perguruan tersebut, dari jauh ia melihat di muka bu-koan
banyak murid-murid berkerumun sambil bercakap-cakap dan
ketawa-ketawa dengan riang sekali.

Di antara mereka Kwe Bun melihat Sim Kang Bu yang sudah


dikenalnya dan yang selalu membuat dadanya panas. Memang,
ketika itu Sim Kang Bu tengah memberi ceramah tentang ilmu silat
kepada sutee-sutee nya sambil mengagulkan kepandaiannya
bahwa sudah sekian kali ia bertempur selalu ia menang saja,
sehingga para suteenya yang mendengarkannya merasa tertarik
dan gembira karena bangga bahwa toa-suheng mereka benar-
benar seorang jago muda yang gagah perkasa.

Biarpun dadanya berdebar tegang dan mempunyai hasrat hendak


membalas sakit hatinya, namun Kwe Bun menghentikan
langkahnya. Ia merasa ragu untuk terus berjalan dan melewati
mereka, bukan karena takut pada mereka, hanya ketika itu ia tiba-
tiba teringat akan pesan suhunya yang pernah melarangnya
membuat gara-gara.

63
Andaikata ia berjalan terus dan walaupun tidak membuat gara-
gara, akan tetapi pasti mereka itu akan mengejek dan
menghinanya, sehingga sukar baginya untuk menahan nafsu
amarahnya. Dan kalau sudah terjadi demikian, pastilah keributan
takkan dapat dicegah.

Akibatnya tentu saja dia akan mendapat penyesalan dari suhunya.


Sungguhpun ia sendiri sangat menyesalkan sikap suhunya, ia tidak
berani melanggar pesan orang tua itu.

Justeru dikala hati pikiran Kwe Bun sedang bertempur hebat antara
pesan suhunya dan kemauan hatinya yang panas itu sehingga
untuk sejenak ia berdiri dalam keraguan, tiba-tiba terdengar
teriakan:

“Awas! Awas! Kerbau gila! Minggir, minggir……!”

Berbareng dengan itu tampaklah seekor kerbau jantan yang besar


dan kuat lari mendekat dengan kepala menunduk dan sepasang
tanduknya yang tajam siap menerjang orang.

Teriakan-teriakan itu adalah dari orang-orang yang ketakutan dan


yang sambil lari tergopoh-gopoh, mereka minggir dan mencari
perlindungan. Akan tetapi agak jauh di belakang kerbau itu, tampak
seorang setengah tua lari mengejar sambil berseru:
64
“Tolong cegatkan kerbauku itu! Tolong tangkap……. Tangkap!”

Agaknya orang si pemilik kerbau gila itu. Akan tetapi tak


seorangpun yang berani menangkapkan maupun mencegat
kerbau itu, bahkan sebaliknya mereka mencari perlindungan
karena ketakutan.

Begitu juga Sim Kang Bu dan sutee-suteenya yang semula


berkerumun di pinggir jalan di depan bu-koannya. Ketika kerbau
gila tadi lari ke arah mereka, serta merta mereka berlari
berserabutan masuk ke dalam bu-koan seperti sekawanan
kambing melihat seekor harimau. Mungkin karena ketakutan,
murid-murid Lu Su Pin ini segera menutup daun pintu bu-koan itu
keras-keras sehingga menimbulkan suara gaduh.

Dan sungguh aneh, suara itu membuat si kerbau tiba-tiba


menghentikan larinya. Kepalanya yang tadi menunduk, dipalingkan
ke arah daun pintu yang tertutup dan yang diwarnai cat merah itu.

Agaknya bukan karena suara gaduh dari daun pintu yang


ditutupkan tadi yang membuat kerbau menghentikan larinya
secara tiba-tiba, melainkan warna merah itulah yang justeru
menarik perhatiannya dan membangkitkan marahnya.

65
Memang warna merah darah biasanya menakutkan kerbau biasa,
tetapi kalau warna ini terlihat oleh kerbau yang sedang mengamuk
apa lagi gila, maka ia akan tambah ngamuk dan gila lah ia! Dan
demikianlah kerbau gila itu, hidungnya mendengus-dengus,
sepasang matanya yang besar dan merah seakan-akan
mengeluarkan api ditatapkan terhadap warna merahnya daun pintu
dari Tong-koan Te-it Bu-koan yang kini sudah dihadapinya.

Pada saat itu si pemilik kerbau sudah datang dan tangannya


menangkap ekor kerbaunya. Akan tetapi pada saat itu pula si
kerbau tiba-tiba menggerakkan ke empat kakinya dan dengan
cepat sekali lari maju dan dengan tanduknya yang kuat, daun pintu
yang menjadi “musuh”nya itu, diterjangnya.

“Brakkk!” pecahlah daun pintu itu dan terlepas dari engselnya


sehingga terpental jauh sekali ke dalam bu-koan, menimbulkan
suara gaduh serta terdengarlah jeritan dan para murid yang
mengintai dari celah-celah papan pintu sehingga ketika secepat itu
si kerbau menerjangnya, mereka tak sempat menyingkirkan diri.
Tiga orang di antara mereka menjadi korban tertimpa daun pintu.
Mereka yang sial roboh di lantai sambil berteriak dan mengaduh-
aduh kesakitan.

66
Setelah mendobrak pintu, si kerbau gila itu terus berlari dan
langsung memasuki bu-koan. Si pemilik yang memegangi ekornya
tergusur dalam keadaan tak berdaya sama sekali; segala apa yang
menghalanginya diterjangnya sehingga sebentar saja tak
sedikitlah barang-barang yang rusak berantakan dibuatnya.

Sim Kang Bu dan sutee-suteenya keruan saja menjadi gugup,


bingung dan ketakutan dan masing-masing mencari akal untuk
menjelamatkan diri.

Ketika itu Kwe Bun berlari sudah ke arah bu-koan itu, ia berdiri di
ambang pintu dan melihat betapa yang terjadi dalamnya. Hatinya
merasa geli dan puas dan diam-diam pemuda ini merasa berterima
kasih sekali terhadap si kerbau gila itu yang seakan-akan menjadi
wakilnya untuk menuntut balas!

Si pemilik kerbau yang tergusur itu kini melepaskan pegangannya


dari ekor hewannya dan mungkin karena ia sangat lelah setelah
berlari mengejar-ngejarnya tadi. Ia kini tinggal menggeletak saja di
lantai dengan napas yang hampir habis dan matanya yang nanar
melihat betapa tindak tanduk kerbau miliknya itu.

Si kerbau mengamuk dan berlari-lari berputaran di ruang lan-bu-


thia di tengah-tengah bu-koan jang luas itu. Rak-rak tempat

67
menyimpan senjata-senjata sudah berantakan diterjangnya,
demikian juga meja dan kursi yang terdapat di situ, tak luput
mendjadi kurban.

Bahkan sebuah tiang juga ditanduknya, baiknya tiang tersebut


terbuat dari kayu besar dan kuat sekali sehingga tidak patah, hanya
tergetar saja. Akan tetapi ternyata getaran tersebut telah
menjebabkan beberapa puluh keping genting dari bu-koan itu
berjatuhan ke bawah!

Sim Kang Bu dalam kepanikannya marah sekali kepada kerbau


gila pengrusak itu, maka ia segera melompat dari tempat
persembunyiannya dan berteriak kepada sutee-suteenya:

“Ambil senjata dan bunuhlah kerbau setan ini!”

Serempak, bagaikan sepasukan perajurit yang mendapat


komando dari atasannya untuk menyerbu, murid-murid dari Tong-
koan Te-it Bu-koan itu berlompatan dari “perlindungan” mereka
dan mengambil kesempatan selagi si kerbau agak jauh atau
membelakangi mereka. Mereka segera memungut senjata yang
sudah berantakan itu dan demikianlah pada saat berikutnya. Sim
Kang Bu memimpin para suteenya mengepung kerbau itu.

68
Sebentar saja tubuh kerbau itu telah luka-luka akibat senjata-
senjata yang menghujani dari berbagai jurusan. Akan tetapi karena
senjata mereka tidak mengenai sasaran yang mematikan
melainkan hanya melukai di kulit saja, apalagi diserangkannya
secara kalang kabut dan asal kena saja, maka binatang itu tak
dapat ditundukkan dengan segera, bahkan menjadi makin
menggila!

Dengan dengusan hidungnja yang mengeluarkan uap, dan hampir


seluruh tubuhnya berlumuran darah, kerbau itu dengan ganasnya
menerjang segala apa yang terdapat di depannya. Empat orang
murid dengan berani menghadang dan hendak membunuh kerbau
dari depan.

Tetapi baru saja mereka mengayunkan senjatanja, tiba-tiba dua


orang dari mereka menjerit lalu roboh dalam keadaan luka berat
dan pingsan. Karena mereka yang memang ilmu silatnya masih
mentah tak keburu menghindarkan diri sehingga dengan sekali gus
mereka dihadjar oleh tanduk kerbau!

Makin marahlah Sim Kang Bu melihat betapa dua orang suteenya


menjadi kurban, maka ia segera melompat ke depan kerbau itu dan
ketika binatang itu hendak menyeruduknya, cepat ia mengelit ke

69
samping berbareng ruyung di tangannya ditimpakan ke arah
kepala kerbau itu.

“Pletakk!” ruyung Sim Kang Bu ternyata hanya menimpa sebuah


tanduknya saja dan membuat ruyung terpental.

Tiba-tiba si kerbau menggerakkan lehernya ke samping dan


“Dukk!” ternyata tanduknya yang tadi ditimpa ruyung itu melakukan
pembalasan. Dan karena Sim Kang Bu tidak menduga bahwa
“musuh”nya dapat menyerang secara demikian cerdik, biarpun ia
sudah berkelit tak urung pundak sebelah kanannya kena “disikut”
oleh tanduk itu.

Baiknya pemuda itu mempunyai tenaga dalam yang sudah


lumayan, sehingga sungguhpun ia rasakan pundaknya sakit bukan
main, namun tak sampai membuatnya pingsan! Akan tetapi
dengan demikian berarti bahwa tak mungkin ia dapat “turun
tangan” lagi karena lengan kanannya sudah menjadi lumpuh.

Ia segera berlari terhuyung-huyung dan sambil meringis-ringis


menahan rasa sakit, tangan kirinya menekan-nekan pundak
kanannya. Ia tinggal berdiri saja di balik sebuah tiang besar sambil
melihat kepanikan para suteenya yang hendak mengepung kerbau
itu dengan hati gelisah dan cemas!

70
Akhirnya kerbau itu seakan-akan sudah merasa puas dengan
perbuatannya atau lebih mungkin karena rasa nyeri di tubuhnya,
maka setelah berlari seputaran di ruangan lan-bu-thia mencari
jalan untuk keluar. Dan ketika ia melihat tempat terbuka yaitu pintu
dari mana ia masuk tadi segera ia menerjang keluar dan seorang
pemuda yang berdiri di ambang pintu, terus saja diseruduknya.

Pemuda itu, ialah Kwe Bun yang sejak tadi menonton di ambang
pintu itu, sungguhpun ia merasa gembira dan puas melihat betapa
kerbau itu merusak Tong-koan Te-it Bu-koan ini sedemikian rupa
dan ia merasa lebih puas lagi ketika melihat Sim Kang Bu
mengalami peristiwa seperti yang sudah diceritakan tadi. Namun
disamping itu, Kwe Bun pada hati kecilnya merasa berkewajiban
untuk turun tangan terhadap kerbau gila itu.

Karena kalau kerbau itu dibiarkan saja berlari keluar pasti akan
menimbulkan kerugian lagi dan bahkan, setelah tiga orang anak
murid bu-koan menjadi kurban, akan menimbulkan kurban yang
lainnya lagi. Maka, ketika kerbau itu sudah dekat sekali sehingga
hampir menyeruduknya, Kwe Bun hanya bergerak sedikit ke
samping dan gerakan ini cukup untuk mengelakkan diri dari
serudukan tanduk kerbau.

71
Dan sebelum kerbau itu berlari melewatinya, dengan cepat dan
tangkas sekali tangan kirinya menangkap salah sebuah tanduknya
dan tangan kanannya yang dikepalkan lalu diayunkan dan
dipukulkan ke arah yang tepat, yaitu ke bagian tulang batang
hidung si kerbau sekuat tenaga!

“Krakk!” demikian terdengar suatu suara yang ditimbulkan oleh


beradunya kepalan dan tulang batang hidung kerbau itu. Binatang
itu tampak berlari terhuyung-huyung dan dari mulutnya terdengar
suara menguak nyaring dan panjang seakan-akan suatu jeritan.

Kemudian ke empat kakinya yang menahan tubuh yang besar itu


menjadi lemas dan tergulinglah ia dengan suara berdebukan, ke
empat kakinya berkelojotan dan napasnya berdengus-dengus
dengan kuatnya. Tak lama kemudian kerbau itu diam tak bergerak
lagi. Mati!

Para murid Tong-koan Te-it Bu-koan pada lari keluar untuk melihat
kerbau yang sudah menggeletak dalam keadaan tak bernapas itu,
juga Sim Kang Bu sendiri sambil meringis-ringis, ketika dilihatnya
bahwa pemuda yang dengan sekali pukul saja dapat membuat
kerbau itu mati ternyata tidak lain dari Kwe Bun, bukan main
tercengangnya dan malunya!

72
Adapun yang paling belakangan sekali keluar dari rumah
perguruan itu ialah si pemilik kerbau tadi yang dengan terengah-
engah merangkapkan kedua tangannya di depan dada memberi
hormat kepada Kwe Bun sambil mengucapkan terima kasih.

Dan dengan singkat menceritakan bahwa kerbau itu sebenarnya


hendak dibawa ke pejagalan hendak disembelih. Tetapi ketika
kerbau melihat beherapa ekor kerbau lainnya sudah mati
disembelih dan banyak darah keluar dari lehernya, kerbau tiba-tiba
memberontak sehingga tali penyencangnya putus dan lalu lolos.
Kemudian terjadilah peristiwa di dalam rumah Tong-koan Te-it Bu-
koan itu.

“Untung kongcu berhasil membunuhnya sehingga tak sampai


menimbulkan kerugian lebih banyak lagi. Sedangkan kerusakan di
dalam bu-koan ini, bila tuan pemiliknya menuntut kerugian, biarlah
akan kuganti,” demikian si pemilik kerbau itu menutup ceritanya.

Sim Kang Bu dan para suteenya memeriksa kerbau itu, ternyata


tulang batang hidungnya remuk dan kedua lubang hidung serta
mulutnya mengeluarkan darah. Sim Kang Bu memandang kepada
Kwe Bun yang juga memandangnya sambil tersenyum mengejek.

73
Murid pertama dari Lu Sun Pin ini diam-diam merasa terkejut dan
malu. Terkejut karena ia seakan-akan tidak percaya pada
kenyataan bahwa pemuda itu dapat menyebabkan kerbau gila mati
dengan sekali pukul saja. Dan malu karena ia dan sutee-suteenya
meskipun mengeroyoki dengan bersenjata, namun tak dapat
mengatasi amukan kerbau itu.

Bahkan sebaliknya ia sendiri dan sutee-suteenya mendapat luka


akibat tendangan si kerbau! Sedangkan Kwe Bun, hanya
menggunakan kepalan tangan saja dan dengan mudahnya kerbau
dapat dirobohkan! Ah, benar-benar Sim Kang Bu dan juga para
suteenya, merasa malu!

Tiba-tiba Kwe Bun yang dibengongi Sim Kang Bu, tertawa bergelak
dan sambil tangannya menuding ke arah Sim Kang Bu yang masih
meringis-ringis itu, berkata mengejek: “Ha, ha, ha! Sungguh lucu
dan menggelikan. Sekian banyaknya murid-murid dari Tong-koan
Te-it Bu-koan tidak becus mengatasi amukan seekor kerbau.
Masih ada mukakah kau berlagak dan menyombongkan
kepandaianmu?! Ha, ha, benar-benar lucu dan menggelikan
sekali……”

Setelah ketawa mengejek lagi, Kwe Bun berjalan dan


meninggalkan mereka yang pada melongoh dengan wajah merah

74
karena malu dan marah. Sim Kang Bu sendiri bukan main
marahnya akan tetapi karena ia rasakan pundaknya sakit bukan
main sehingga tidak berdaya untuk menyerang Kwe Bun.

Ia tinggal berdiri saja sambil menatap Kwe Bun yang pergi itu
dengan sinar mata berapi-api. Rasa sakit hatinya jauh melebihi
rasa sakit di pundaknya!

Kwe Bun berjalan dengan langkah gagah dan perasaan puas.


Dengan terjadinya peristiwa tadi, berarti ia telah mengadakan
pembalasan, sehingga rasa penasaran yang membuat hatinya
selalu panas, kini punahlah sudah! Adapun ketika Kwe Bun
mengabarkan hal ini kepada suhunya, Can Po Goan berkata:

“Nah, Kwe Bun, sebagaimana pernah kukatakan bahwa orang


yang suka berlagak dan menyombongkan kepandaian pada
hakekatnya tak lebih hanya merupakan kebodohannya semata
seperti halnya murid orang she Lu yang pernah datang mengacau
dan memukulmu tempo hari itu. Buktinya ia tidak mampu
mengatasi seekor kerbau gila.

“Sebaliknya kau sendiri, setelah kau mempelajari beberapa ilmu


pukulan dariku, ternyata kau telah dapat mempergunakannya
dengan tepat. Memanglah, muridku, kalau kita menghadapi lawan

75
yang tubuh dan tenaganya jauh lebih besar dari kita, kita harus
menggunakan kecerdikan untuk mengirim pukulan dengan memilih
sasaran yang tepat, yaitu di bagian yang lemah dari tubuh lawan,
seperti halnya kau memukul bagian batang hidung kerbau itu.

“Memang itulah sasaran yang paling tepat. Ibarat manusia kalau


dipukul bagian keningnya, meskipun kepalanya tidak sampai
pecah, sedikitnya pasti akan membuat ia merasa pening. Akan
tetapi muridku, walaupun perbuatanmu dihadapan para murid
orang she Lu itu merupakan suatu perbuatan gagah, namun
kuyakin hal ini akan membuat guru mereka salah terima!”

Dan benar saja seperti apa yang dikatakan oleh Can Po Goan.
Ketika Lu Sun Pin mengetahui dan melihat betapa perabotan bu-
koannya rusak berantakan dan beberapa orang muridnya
mendapat luka karena amukan seekor kerbau gila dan kerbau ini
kemudian dipukul mati justeru oleh seorang murid Can kauw-su,
maka timbullah anggapan dalam hati guru silat dari cabang Bu-
tong-pay ini, bahwa kerbau itu tak lain adalah perbuatan pengecut
dari pihak Can kauw-su untuk membalas dendam.

“Bagus benar perbuatan orang she Can itu! Agaknya ia sengaja


melepaskan kerbau gila itu untuk mengacau dan merusak bu-koan
kita dan sengaja pula menyuruh seorang muridnya untuk

76
memukulnya dihadapan kita guna mengagulkan kepandaiannya!
Hal ini benar-benar berupa penghinaan yang tak dapat kudiamkan
saja!” katanya.

Semenjak itu ia melatih murid-muridnya dengan sungguh-sungguh


karena ia sadar bahwa para muridnya tidak dapat mengalahkan
seekor kerbau sedangkan seorang murid dari Can kauw-su dapat
membuat kerbau itu mati dengan hanya sekali pukul saja,
menandakan bahwa kepandaian murid-muridnya masih rendah.

Semenyak Kwe Bun secara kebetulan sekali dapat memukul mati


kerbau gila di depan Tong-koan Te-it Bu-koan dan dihadapan Sim
Kang Bu dan sutee-suteenya, dari mereka ini tidak terjadi lagi
peristiwa-peristiwa yang dapat memanaskan hati murid-murid Can
kauw-su. Seperti berteriak-teriak dan mengejek-ejek serta
menantang sebagaimana mereka sering lakukan di depan Sin-kun
Bu-koan tempo hari sehingga persengketaan antara murid dari
kedua bu-koan menjadi reda. Hal ini membuat Can Po Goan
menjadi puas dan menganggap bahwa orang she Lu dan murid-
muridnya kini tidak berani lagi menghinanya.

77
Sementara murid-murid dari kedua pihak tidak beraksi, di kota
Tong-koan timbul keonaran lain, yaitu keonaran yang ditimbulkan
oleh munculnya kawanan perampok yang kemudian diketahui
dikepalai oleh Houw-jiauw Lo Ban Kui dan yang bersarang di hutan
sebelah selatan kota. Dan dibarengi pula munculnya gerombolan
bajak sungai Huang-ho yang kemudian diketahui bersarang di
hutan Siong-lim-nia dan dikepalai oleh Huang-ho Sin-mo Ma Gu
Lim.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan dalam cerita ini, bahwa


gerombolan perampok dan bajak sungai seakan-akan
mengadakan kerjasama untuk mengeduk rejeki penduduk,
membakar rumah, menculik anak isteri orang dan membunuh
siapa yang berani melawan sehingga akhirnya suasana kota Tong-
koan sangat menyedihkan.

Dan selagi kota Tong-koan sedang berada dalam cengkeraman


dua komplotan gerombolan tersebut, pada suatu sore terjadilah
peristiwa yang tidak disangka-sangka, yaitu peristiwa
persengketaan antara murid-murid Tong-koan Te-it Bu-koan dan
Sin-kun Bu-koan, yang semenjak peristiwa di atas seakan-akan
sama-sama mengadakan “gencatan senjata”. Pada sore itu telah
saling hantam sehingga guru dari kedua pihak turun tangan dan
bertempur!
78
Ternyata dugaan Can Po Goan yang menganggap bahwa pihak Lu
Sun Pin dan murid-muridnya tidak akan berani menghinanya lagi
sama sekali meleset! Guru silat tua yang berwatak sabar ini sama
sekali tidak tahu bahwa selama murid-murid seterunya tidak
datang berteriak-teriak dan mengejek-ejek di depan bu-koan nya
itu adalah karena mereka sedang digembleng hebat oleh guru
mereka.

Lu Sun Pin menganggap bahwa peristiwa kerbau gila adalah


perbuatan Can kauw-su, karena itu ia ingin melakukan
pembalasan total!

Demikianlah sore itu, setelah beberapa pekan lamanya Lu Sun Pin


menggembleng para muridnya supaya kepandaian mereka
bertambah banyak sehingga dianggapnya cukup kuat untuk
mengadakan pembalasan terhadap pihak Sin-kun Bu-koan. Ia
memimpin murid-muridnya dan sambil membekal senjata, mereka
mendatangi Sin-kun Bu-koan.

Lu Sun Pin menyuruh para muridnya menggedor dan mendobrak


pintu rumah perguruan itu dan memerintahkan pula supaya segala
apa yang terdapat di dalamnya dirusak dan dihancurkan
sebagaimana bu-koan nya dirusak dan dihancurkan oleh kerbau
tempo hari. Lu Sun Pin ingin menghancurkan Sin-kun Bu-koan,

79
karena hatinya yang tamak menganggap adanya bu-koan asuhan
Can kauw-su ini hanya mendatangkan penyakit saja baginya.

Lu Sun Pin membiarkan murid-muridnya yang merupakan suatu


rombongan berjalan terlebih dulu dan ia sendiri berjalan jauh di
belakang mereka. Akan tetapi sungguh mereka tidak menduga,
bahwa sebelum mereka sempat menggedor dan mendobrak pintu
Sin-kun Bu-koan sebagaimana perintah suhu mereka, di depan bu-
koan itu mereka disambut oleh serombongan murid Can kauw-su
yang ketika itu kebetulan sedang berdiri dan berkerumun di situ, di
antaranya terdapat Kwe Bun dan Tan Seng Kiat.

Murid-murid Lu Sun Pin yang dikepalai oleh Sim Kang Bu dan So


Ma Tek tidak berani maju terus. Mereka menghentikan langkah dan
berdiri seakan-akan merasa ragu untuk melaksanakan tugas
gurunya dengan segera.

Sedangkan pihak Tan Seng Kiat dan Kwe Bun beserta beberapa
orang suteenya berdiam memandang mereka dengan sikap gagah
dan gaya tidak takut serta bersikap siaga. Karena maklum bahwa
kedatangan rombongan akan menimbulkan peristiwa yang tidak
diinginkan sungguhpun hal ini mereka sudah dapat menduga
sebelumnya.

80
Rombongan ini saling mengawasi dalam jarak yang agak jauh, dan
setelah sesaat mereka tinggal diam membisu dalam suasana
tegang, tiba-tiba dari jauh, yaitu dari belakang rombongan
pendatang itu terdengar seruan nyaring: “Serbu……..!!”

Seruan itu ternyata dari Lu Sun Pin. Dan serempak setelah


mendapat komando ini, para muridnya maju dan sambil
menggerakkan senjata yang mereka bawa mereka menyerang
rombongan murid Can kauw-su.

Biarpun rombongan murid Can kauw-su tidak bersenjata, akan


tetapi oleh karena mereka sudah bersiap siaga, maka dengan
berani sekali merekapun maju dan menyambut serangan itu.
Sedangkan sebagian lagi berlari masuk ke dalam bu-koan untuk
mengambil senjata!

Sim Kang Bu dan So Ma Tek menyerbu paling dulu dan menyerang


Tan Seng Kiat dan Kwe Bun. Tan Seng Kiat berkelit dari samberan
pedang Sim Kang Bu yang menyerang ke arah lehernya dan
sambil berkelit ini ia berhasil menendang seorang lawan lain dan
berhasil merampas goloknya. Kemudian dengan mempergunakan
golok rampasan ia balas menyerang Sim Kang Bu.

81
Adapun Kwe Bun ketika lambungnya diancam tombak yang
ditusukkan oleh So Ma Tek, ternyata pemuda ini berlaku cerdik.
Sambil berkelit dengan sedikit merendahkan badannya, tangannya
diam-diam meraup pasir dari bawah dan pasir yang sudah berada
dalam genggamannya segera ditebarkan ke arah mata So Ma Tek
sehingga karena tidak menyangka, So Ma Tek jadi kelabakan
karena sepasang matanya kemasukan pasir.

Dengan demikian Kwe Bun secara mudah sekali merampas


tombak dari tangan lawannya dan sekali kakinya bergerak, tubuh
So Ma Tek terguling karena kakinya di “sapu!” Kemudian Kwe Bun
mengamuk dan menghadapi Cio Swi Ho, putera tunggal Cio wan-
gwe, yang bersenjatakan sebilah golok.

Ketika itu, para murid Can kauw-su yang tadi masuk mengambil
senjata kini sudah keluar pula dan dengan gigih mereka terjun ke
dalam gelanggang pertempuran sehingga suasana di depan Sin-
kun Bu-koan itu menjadi ramai dan kacau.

Can Po Goan yang ketika itu berada di dalam bu-koan, begitu


mendengar ribut-ribut segera berlari keluar dan alangkah
terkejutnya guru silat tua ketika dilihatnya pertempuran itu. Segera
ia berseru: “Berhenti…….!!”

82
Seruan yang bernada menggeledek ini ternyata berpengaruh
sekali dan mampu mengatasi suasana pertempuran yang sudah
berlangsung sengit itu. Baik murid-murid Lu Sun Pin, maupun
murid-muridnya sendiri, serempak melompat mundur dan keluar
kalangan sehingga dalam sejenak saja pertarungan tersebut jadi
berhenti dan mata mereka memandang kepada guru silat tua yang
berjalan menghampiri mereka.

Sebelum sempat Can Kauw-su bertanya kepada muridmya


tentang sebab musabab pertempuran ini, tiba-tiba terdengar suara
ketawa bergelak-gelak. Dan ketika ia menengok ke jurusan dari
mana terdengarnya suara ketawa itu, ia melihat seorang setengah
tua, bertubuh tinggi besar dan sepasang matanya yang besar
seakan-akan mengeluarkan cahaya kilat.

Pakaian yang dikenakannya tampak mewah seperti seorang


hartawan, sedang berjalan mendatangi dengan langkah gagah.
Ketika orang ini sudah sampai di depan Can Kauw-su, ia
menghentikan langkahnya dan sambil bersenyum mengejek. Ia
merangkapkan kedua tangan yang terkepal di depan dada untuk
memberi hormat dan menjura.

“Ah, aku sungguh merasa beruntung sekali baru kini dapat bertemu
dengan Can kauw-su, maka terimalah penghormatanku sebagai

83
salam pertemuan kita ini,” ujar Lu Sun Pin sambil menjura kepada
Can kauw-su.

Akan tetapi orang she Lu tidak menjura dengan sewajarnya. Oleh


karena berbareng dengan gerakan menghormat itu, ia
mengerahkan tenaga dalamnya ke arah kepalan yang
dirangkapkan di depan dadanya dan menyerang dada Can Po
Goan yang berdiri sejarak kira-kira tiga langkah di depannya!

Pukulan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang kepandaiannya


sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena serangan macam
demikian hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-
kang yang disalurkan melalui kepalan-kepalan tangan yang
diletakkan di depan dada sehingga nampaknya seperti sedang
menjura itu.

Padahal dari ke dua kepalan itu keluar semacam tenaga yang tidak
kelihatan, yaitu yang disebut tenaga atau hawa pukulan yang
sangat dahsyat dan berbahaya sekali. Pukulan ini tidak perlu
mengenai tubuh orang, karena memang dimaksudkan untuk
menyerang orang dari jarak jauh. Dan orang yang berdiri sejauh
setombak lebih dapat dipukul oleh hawa pukulan ini dan
dirobohkan dengan menderita luka di bagian dalam tubuh!

84
Akan tetapi Can Po Goan berlaku waspada. Sebagai seorang ahli
silat tinggi ia mengerti bahwa dalam menjuranya Lu Sun Pin itu
mengandung serangan gelap terhadap dirinya, maka dengan
tersenyum sabar sebagaimana biasanya ia tersenyum apabila
mendapat penghormatan dari seorang tamu. Lalu merangkapkan
kedua kepalan tangannya di depan dada sambil membungkukkan
tubuhnya sedikit, lakunya bagaikan membalas penghormatan dari
Lu Sun Pin.

Dan dari gerakan “membalas penghormatan” ini, Can kauw-su


sekaligus dapat menangkis dan membuyarkan hawa pukulan Lu
Sun Pin yang menyerang ke arah dadanya.

“Ah, kiranya aku mendapat kunjungan tuan Lu yang terhormat,”


katanya kemudian. “Aku sangat menyesal sekali karena tadi aku
menyangka bahwa rombongan yang membuat gaduh di depan bu-
koanku ini kukira gerombolan perampok!

“Ternyata adalah murid-murid tuan dan tuan sendiri yang datang


memimpinnya. Ah, benar-benar aku menyesal dan kuharap tuan
sudi memberi maaf yang sebesar-besarnya atas prasangkaan
yang salah tadi!”

85
Kata-kata Can Po Goan ini, sungguhpun diucapkan dengan nada
kata sabar dan seperti benar-benar mengandung penyesalan,
akan tetapi dalam pada itu mengandung sindiran yang amat tajam.
Hal ini dimengerti oleh Lu Sun Pin sehingga jago dari Bu-tong-pay
yang memang berwatak berangasan ini menjadi merah kulit
mukanya.

Sungguhpun ia sangat marah mendengar ucapan Can kauw-su


yang seakan-akan menyatakan murid-murid yang ia pimpin tak
beda seperti gerombolan perampok. Akan tetapi ia tidak berani
segera turun tangan karena ia tidak mau disebut seorang yang
tidak tahu aturan menyerang lebih dahulu terhadap seorang lawan
yang sudah berusia tua. Hanya sepasang matanya saja berapi-api
menatap Can Po Goan dan guru silat tua inipun balas menatapnya
dengan sinar mata tajam.

Baru sekaranglah kedua guru silat yang belum pernah bertemu


muka dan diam-diam saling bermusuhan itu, berhadapan.
Keduanya saling memandang bagaikan dua ekor ayam jago yang
hendak berkelahi dan lebih dulu berlagak, menaksir dan menduga-
duga kekuatan lawan.

Setelah suasana sejenak sepi karena keduanya sama-sama


membisu sambil saling memandang. Kemudian Can Po Goan yang

86
dapat mengekang hawa nafsu berkat wataknya yang sabar,
terdengar bertanya:

“Maaf kalau aku yang tua ini boleh bertanya. Maksud apakah
sebenarnya yang membawa tuan dan murid-murid tuan membuat
gaduh di depan bu-koanku ini?”

“Hm, hm! Nyata pandai sekali Can kauw-su ini bersikap pura-pura,”
jawab Lu Sun Pin dengan suara nyaring dan tajam. “Sebaiknya kau
bicara secara terus terang saja karena aku paling benci kepada
orang yang suka berpura-pura!”

Can kauw-su menggeleng-gelengkan kepala dan setelah


menghela napas sekali, ia berkata: “Sungguh aneh sifatmu tuan.
Aku bertanya kepadamu dengan maksud sesungguhnya, akan
tetapi bukannya menjawab, bahkan kau mengatakan aku ini
bersikap pura-pura. Ah, sungguh tak nyana bahwa tuan yang
segagah ini tidak dapat menerima kebajikan yang kuberikan!”

“Kebajikan……?” Lu Sun Pin mengulang sambil sepasang bulu-


alisnya yang tebal itu terangkat naik, “Kebajikan apakah yang telah
kau berikan kepadaku? Apakah dengan melepas kerbau gila
perusak bu-koanku dan melukai murid-muridku tempo hari kau
namakan suatu kebajikan?!”

87
Mau tak mau Can kauw-su jadi tertawa kecil ketika mendengar Lu
Sun Pin menggugat soal kerbau gila itu sebagaimana ia telah
menduga bahwa hal itu akan menyebabkan Lu Sun Pin salah tafsir.
Dan kini benar-benar ia mendapat kenyataan bahwa dugaannya
sangat tepat, sehingga sebelum berkata ia jadi ketawa kecil karena
merasa geli hati.

“Ah, tuan sungguh salah tafsir! Kerbau gila itu sama sekali tidak
ada sangkut paut dengan kami, sedangkan seorang muridku yang
kebetulan sekali dapat menaklukkan kerbau itu sehingga bu-koan
tuan tidak sampai menjadi lebih rusak lagi dibuatnya.

“Dari pada tuan berterima kasih kepada kami karena kalau


misalnya waktu itu tidak datang muridku dan membunuh kerbau
gila itu sehingga kehancuran bu-koan dan kebinasaan murid-murid
tuan dapat dicegah, malah sebaliknya tuan mengangggap bahwa
kami sengaja melepas kerbau gila itu! Ha, ha, sungguh lucu dan
menggelikan sekali dan dengan demikian, kesimpulanku jadi
bertambah kuat bahwa tuan benar-benar tidak mengenal
kebajikan!”

“Persetan dengan segala apa yang kau sebut kebajikan dan


memang aku tidak butuh kebajikan darimu!” bentak Lu Sun Pin
marah. “Pendeknya, ketahuilah, bahwa aku datang bersama

88
murid-muridku ini kemari, hendak menuntut balas dari kekurang
ajaran murid-muridmu dan akan membikin beres persengketaan
antara kita ini!”

“Sabar Lu siangseng (tuan Lu), sabarlah! Untuk membikin beres


persengketaan kita memang maksudmu sangat baik dan justeru
yang selalu kuharapkan. Akan tetapi dengan cara dan jalan
bagaimanakah kau hendak membereskan persengketaan kita ini?

“Kalau dengan jalan damai, akan kuterima dengan hati gembira.


Dan sebaliknya kalau akan kau gunakan jalan kasar, menyesal
sekali aku tak dapat menerimanya.

“Karena aku yang sudah tua ini selalu ingat dan patuh kepada kata-
kata orang bijaksana yang menyatakan bahwa, segala persoalan
yang betapapun kecilnya kalau dibereskan dengan cara kasar,
yaitu

Menurutkan suara hati yang dipenuhi nafsu angkara murka,


dari pada menjadi beres bahkan besar kemungkinan akan
berakibat lebih buruk. Sedangkan persoalan yang betapapun
besarnya, jika dibereskan dengan halus, yaitu berdamai
dengan menggunakan persoalan besar itu akan dapat
diselesaikan dengan sempurna……”

89
“Phui!” tiba-tiba Lu Sun Pin meludah, “Aku merasa sebal dengan
kata-katamu yang bertele-tele dan memuakkan itu! Katakan saja
terus terang, bahwa kau merasa takut kepadaku karena memang
aku hendak membereskan soal persengketaan kita ini dengan
jalan kasar, yaitu dengan kepalan dan senjata bicara!”

Betapapun sabarnya watak Can Po Goan, akan tetapi kalau ia


sampai dikatakan orang bahwa dirinya merasa takut untuk
menghadapi pertempuran hati kecilnya tersinggung dan dadanya
mulai terasa panas. Karena hal ini baginya merupakan suatu
penghinaan.

Dan baru kinilah Can kauw-su yang selalu sabar itu harus menelan
kenyataan pahit dan yang membuatnya sadar bahwa kesabaran
yang ada padanya tidak selamanya mendatangkan ketenteraman
batin apabila ia mempergunakan kesabaran itu terhadap orang
yang tidak mengenal ke bajikan. Karena kesabaran yang
diperlihatkan kepada orang kasar dan dalam segala hal sok mau
menang sendiri saja seperti halnya Lu Sun Pin akan membuat
orang itu makin sombong dan makin berani menghinanya.

Oleh karena ini, maka suaranya terdengar tajam tatkala berkata:

90
“He, orang she Lu! Rupanya kau ini benar-benar seorang yang tak
dapat diajak berdamai! Kau kira aku takut? Hm, jangan takabur
kawan! Ketahuilah, aku tidak takut terhadap siapapun, apalagi
terhadapmu, asal saja aku berada di pihak yang benar dan demi
membela keadilan!

“Aku maklum, bahwa sejak kau datang kemari pertama kali kau
memang tidak membawa maksud baik! Maka majulah kau, orang
she Lu, kalau memang kau selalu menaruh rasa penasaran dan
dendam kepadaku! Akan tetapi ingat, bahwa kaulah yang
menghendaki dan menantang perkelahian, bukan aku yang
mencari permusuhan!”

“Sudahlah, kau jangan bicara seperti perempuan bawel. Memang


aku ingin mencoba kelihayanmu. Maka bersiaplah dan ambillah
senjata!” teriak Lu Sun Pin garang seraya menghunus golok yang
terselip di pinggangnya.

Can Po Goan hanya ketawa dingin dan mengejek: “Untuk meladeni


golokmu, aku rasa tak perlu bersenjata!”

“Bagus! Kau mencari mampus sendiri!” seru Lu Sun Pin dengan


penuh kemarahan, karena merasa dirinya dipandang rendah.
Maka sambil berteriak: “Jagalah lehermu!” ia menubruk maju

91
sambil goloknya digerakkan dengan tipu Go-houw-pok-yong atau
Macan Lapar Menerkam Kambing.

Serangan pertama yang sangat berbahaya ini disambut oleh Can


kauw-su dengan tenang. Dan ketika samberan golok yang
mendatangkan angin hampir menebas lehernya, maka segesit
binatang rusa guru silat tua ini berkelit ke samping dengan
tubuhnya sedikit dibungkukkan dan sambil berkelit ini, ia mengirim
serangan balasan dengan telapak tangan di miringkan disabetkan
ke arah lambung lawan.

Lu Sun Pin merasa kaget dan kagum karena lawannya dalam


berkelit sambil balas menyerang, itu suatu gerakan yang luar biasa
gesitnya. Dan sebelum telapak tangan Can kauw-su sampai
mengenai sasarannya, terlebih dahulu ia rasakan suatu hawa
pukulan yang sangat dahsyat.

Sungguh guru tua ini berbahaya sekali, pikirnya! Akan tetapi


sebagai seorang jago silat kenamaan Lu Sun Pin ketawa mengejek
dan sambil menarik kembali goloknya yang menyambar angin itu.

Ia cepat membalikkan tubuh ke kiri dan dengan kedudukan dirinya


membelakangi lawan, tangan kirinya yang juga telapaknya terbuka
dan dimiringkan, disabetkan ke belakang untuk menangkis pukulan

92
tangan dari Can Po Goan. Dan untuk kedua kalinya ia terkejut
karena ketika ke dua lengan dua jago silat saling bertumbuk,
keduanya sama merasakan semacam tenaga beradu dahsyat
sehingga keduanya jadi terpental sejauh satu tombak!

Dan justeru ketika ke dua jago silat ini memperbaiki posisi dirinya
untuk segera bertempur lebih lanjut, tiba-tiba dari arah selatan kota
terdengar jerit pekik disertai suara gaduh dan hiruk pikuk! Baik Lu
Sun Pin maupun Can Po Goan dan juga para anak murid mereka,
serempak menoleh ke arah terjadinya kegaduhan.

Dan alangkah kagetnya mereka. Di sana, di tempat yang tidak


berapa jauh dari mereka, tampak asap hitam mengepul ke angkasa
dan berbareng dengan itu, berpuluh-puluh orang yang berpakaian
serba hitam dan bersenjata tampak berlari mendatangi dalam
keadaan berbondong-bondong dan sambil berteriak-teriak!

Orang-orang yang sejak tadi berkumpul di depan Sin-kun Bu-koan


dan hendak menonton dua jago silat tadi bertarung, serempak
bagaikan mendapat komando mereka bubar dan lari berserabutan
lalu masuk ke rumah masing-masing sambil menutupkan pintu
rumah mereka kuat-kuat sehingga karena mereka menutup pintu
dalam waktu yang hampir sama, maka terdengarlah bunyi “brak-
brik-bruk” yang gaduh sekali!

93
Adapun mereka yang berpakaian serba hitam dan menghunus
senjata itu, ialah kawanan perampok yang untuk ke sekian puluh
kalinya melakukan “gerakan operasi kilat”. Biarpun hal ini bagi
penduduk kota tidak merupakan peristiwa aneh, akan tetapi
munculnya gerombolan perampok yang membuat kekacauan ini
menimbulkan kekagetan dan ketakutan bukan main!

Demikian juga halnya dengan ke dua jago silat yang sedang


bertempur tadi berikut para anak muridnya. Ketika melihat betapa
gerombolan perampok lari mendatangi sambil berteriak-teriak
seakan-akan air bah datang menyerang mereka menjadi kaget dan
ketakutan!

Kalau dibicarakan memang amat sukar dipercaya. Akan tetapi


sudah menjadi kenyataan bahwa baik Lu Sun Pin maupun Can Po
Goan yang masing-masing sebagai ahli silat tinggi dan para anak
murid mereka yang tadi begitu gagah dan garang, siap bertempur
mati-matian untuk membela kehormatan dan nama baik guru serta
bu-koan mereka.

Ketika melihat betapa gerombolan perampok datang, bukan saja


mereka tidak mengunjukkan kegagahan dan kegarangan yang
biasa mereka tonjolkan dan melabrak para perampok itu. Tetapi
juga dengan lucu sekali mereka meniru orang-orang yang “brak-

94
brik-bruk” tadi, yang bubar dan lari terbirit-birit mencari tempat
perlindungan!

Dan seperti biasa, gerombolan perampok itu terus beraksi,


beranjah dan menyikat harta benda penduduk, tanpa ada yang
berani meng-halang-halanginya. Can kauw-su dan para anak
muridnya lari memasuki bu-koan mereka, sementara Lu Sun Pin
dan murid-muridnya, juga lari menudiu ke bu-koan mereka.

Mereka ini, baik pihak Can kauw-su maupun Lu Sun Pin, yang
tadinya begitu galak dan garang kini setelah secara tiba-tiba
mereka “kepergok” oleh kawanan perampok yang mereka ketahui
kekejaman dan keberutalannya, semangat dan kegagahan mereka
seakan-akan lenyap dengan serempak, sehingga tingkah laku
mereka tak ubahnya seperti sekawanan kambing yang didatangi
harimau!

Dan sejak sore itulah, yaitu sejak pertempuran Lu Sun Pin dan Can
Po Goan “dibatalkan” oleh kedatangan gerombolan perampok
yang lalu berpesta pora, bentrokan-bentrokan antara anak murid
maupun guru-guru dari ke dua bu-koan itu tidak terjadi lagi.
Seakan-akan permusuhan mereka sudah habis hanya sampai di
sore itu saja.

95
Sebenarnya, betulkah situasi antara mereka ini sudah aman?
Tidak! Walaupun tidak terjadi lagi bentrokan, itu bukan berarti
permusuhan mereka sudah beres karena pada kenyataannya, Lu
Sun Pin menaruh dendam dan rasa penasaran yang semakin
hebat, sedangkan Can Po Goan maklum akan isi hati Lu Sun Pin.

Guru silat tua inipun sudah bertekad bulat, apabila dari pihak Lu
Sun Pin datang menyerbu lagi, ia akan memperlihatkan kepada
lawannya itu bahwa ia adalah seorang yang sungguhpun berwatak
sabar dan selalu mengalah, akan tetapi tidak boleh diperlakukan
semaunya saja! Demikianlah, untuk sementara waktu agaknya
mereka mengadakan “gencatan senjata” dan menanti suatu
kesempatan untuk membuktikan siapa yang lebih unggul!

Akan tetapi untuk selanjutnya ternyata bentrokan mereka itu benar-


benar tidak pernah terjadi. Sedangkan keadaan kota Tong-koan
kian hari bertambah menyedihkan. Kekacauan dan keonaran
selalu terjadi baik siang maupun malam.

Gerombolan perampok dan komplotan bajak sungai menjalankan


aksinya. Kalau semula mereka hanya berani beraksi di waktu
malam saja, sekarang siang haripun mereka acapkali
menunjukkan “kekuasaannya”, sehingga keadaan kota dan

96
penderitaan penduduk sangat menyedihkan sebagaimana sudah
dituturkan di bagian depan dari cerita ini.

<>

Dan kemudian, seperti sudah diceritakan pula di bagian depan


timbullah ide bagus dari Cio wan-gwe untuk mengganyang
komplotan perampok itu. Cio wan-gwe teringat akan Lu Sun Pin
dan Can Po Goan yang diketahuinya masing-masing mempunyai
anak murid yang tidak sedikit, dan yang sudah sekian lama saling
bersaingan.

Menurut pendapat hartawan Cio ini, alangkah baiknya kalau


mereka dipersatukan dan diorganisir untuk dijadikan barisan
penjaga keamanan. Maka kemudian, Cio wan-gwe lalu
mengundang Lu Sun Pin dan Can Po Goan dan ke tiganya lalu
berunding dan setuju untuk membentuk suatu badan atau barisan
penjaga keamanan sebagai konfrontasi menghadapi komplotan
garong yang sudah nyata sekali tak boleh dibiarkan saja terus
menerus ber”pesta pora” di kota Tong-koan ini.

Hasil dari perundingan tersebut ialah organisasi penjaga


keamanan itu mereka namakan “Pauw-an-tui” atau “Barisan
Penjaga Keamanan.” Segala biaya ditanggung oleh Cio wan-gwe

97
yang mendapat dukungan penuh dari para hartawan yang menjadi
kawannya.

Adapun sebagai pemimpin Pauw-an-tui ini sudah tentu harus


dipilih seorang yang berkepandaian tinggi. Dan untuk menentukan
hal ini, jalan satu-satunya yang paling baik dan adil ialah
mengadakan pibu.

Dalam perundingan tersebut Cio wan-gwe menambahkan


keterangan dan memberi penjelasan kepada dua orang jago silat
itu:

“Jiwi harap maklum, bahwa pibu ini bukan sekali-kali untuk


memperuncing keadaan antara kalian, akan tetapi sebaliknya
justeru setelah melalui pibu ini kita mengetahui siapa orangnya
yang berkepandaian tinggi sehingga pantas menjadi pang-cu atau
ketua. Aku yakin bahwa kalian dapat bekerja sama dengan baik,
tanpa ada persaingan maupun rasa penasaran.”

Demikianlah, untuk keperluan pibu itu Cio wan-gwe lalu


membangun sebuah panggung, lui-tay, di depan rumah
gedungnya. Dan seperti sudah diceritakan di bagian depan, bahwa
hari itu penduduk kota Tong-koan berbondong-bondong dan
kemudian berkumpul mengitari lui-tay itu untuk menyaksikan

98
pertandingan silat yang menurut ketentuan akan berlangsung
dengan acara pibu antara Lu Sun Pin dan Can Po Goan untuk
menentukan siapa yang lebih unggul dan untuk merebut
kedudukan selaku pang-cu.

Acara pibu ini disambut dengan gembira oleh Lu Sun Pin, oleh
karena dengan jalan ini berarti ia akan dapat menguji kepandaian
Can kauw-su secara terang-terangan. Jago silat dari Bu-tong-pay
ini yakin bahwa kedudukan pang-cu pasti akan didapatkan olehnya
dan dengan demikian ia akan membuktikan bahwa nama Tong-
koan Te-it Bu-koan yang dipimpinnya benar-benar sesuai dengan
kenyataannya!

Sedangkan Can Po Goan, sungguhpun guru silat tua ini maklum


bahwa pibu ini bukan untuk memperuncing persengketaan seperti
yang dikatakan oleh Cio wan-gwe, akan tetapi ia maklum bahwa
Lu Sun Pin yang bakal dihadapinya di sana akan berupaya sekuat
tenaga untuk mengalahkannya. Lu Sun Pin akan berusaha untuk
merebut jabatan pang-cu Pauw-an-tui.

Terdengarlah suara riuh dari orang yang berjubel-jubel mengitari


panggung lui-tay sejak tadi, bahkan di antara mereka ada yang
sorak dan bertepuk tangan karena merasa gembira, sebab

99
kedatangan pihak Can kauw-su ini, berarti bahwa pertandingan
silat yang sejak jadi mereka nantikan, kini akan segera dimulai.

Can Po Goan dan kedua muridnya disambut oleh Cio wan-gwe dan
rombongan yang jumlahnya sangat sedikit ini dipersilahkan
mengambil tempat duduk pada kursi-kursi yang sudah disediakan
untuk mereka. Ternyata si hartawan Cio Song Kang ini adalah
seorang yang sangat aktif, karena selain ia menjadi organisator
Pauw-an-tui, menjadi promotor pibu yang menentukan siapa-siapa
harus bertanding, juga dalam pertandingan silat ini ia bertindak
selaku panitia.

Can Po Goan dan ke dua muridnya lalu duduk. Dan ketika guru
silat tua ini melayangkan pandang ke arah rombongan Lu Sun Pin,
pemimpin Tong-koan Te-it Bu-koan kebetulan sekali sedang
melemparkan pandang kepadanya sehingga dalam sesaat dua
pasang mata dari dua jago silat bertemu.

Dan sungguhpun ke duanya sama-sama menganggukkan kepala


sambil tersenyum, sebagai tanda mereka sudah berkenalan dan
menandakan perhubungan mereka sudah baik berkat pertemuan
ramah tamah ketika mereka berunding dengan Cio wan-gwe

100
tempo hari. Akan tetapi sinar mata mereka tetap membayangkan
permu-suhan atau setidak-tidaknya mencerminkan bahwa di dada
mereka masih mengandung rasa penasaran yang belum
dilampiaskan!

Sementara itu, Cio wan-gwe tampak menaiki tangga dan menuju


ke atas panggung lui-tay. Dan orang-orang yang berjubel-jubel di
bawah panggung itu berdesakan maju dan keadaan menjadi riuh
karena penonton yang sekian banyaknya itu ada yang bertepuk
tangan, yang bersorak-sorak dan bersuit-suit karena gembira
pertandingan silat yang sangat menarik perhatian mereka ini, akan
dimulai!

Ketika ke dua lengan Cio wan-gwe diangkat ke atas sebagai isyarat


supaya para penonton tenang, maka serempak suara riuh dan
berbisik tadi lenyap dan keadaan menjadi sunyi. Semua mata
ditujukan kepada si hartawan yang bertubuh tinggi besar dan
beroman agak keren itu. Setelah keadaan tenang benar, maka Cio
wan-gwe menjura ke arah para penonton dan suaranya ternyata
nyaring dan lantang sekali tatkala berkata,

“Cuwi Lay-ping (para hadirin) yang terhormat. Sebagaimana cuwi


ketahui, pertandingan pibu yang diselenggarakan pada hari ini
ialah untuk memilih pemimpin atau ketua dari perkumpulan Pauw-

101
an-tui yang kita bentuk guna menjaga keamanan kota Tong-koan
ini.

“Sebagaimana kita sekalian sebagai penduduk kota Tong-koan


sudah sama merasakan, bahwa segala sesuatu yang kita miliki
sekarang, yaitu baik harta benda maupun raga dan jiwa kita,
seakan-akan sudah berada dalam cengkeraman tangan-tangan
jahat yang seperti kalian sudah maklum, yaitu gerombolan
perampok dan gerombolan bajak sungai! Kami merasa tidak perlu
menguraikan panjang lebar betapa keberutalan dan kekejaman
dua macam komplotan penjahat ini oleh karena bagi warga kota
Tong-koan umumnya, hal ini bukan rahasia lagi.

“Hanya yang kami rasa penting untuk disampaikan kepada


saudara-saudara sekalian sekarang ialah, bahwa mulai hari ini
dengan resmi kota Tong-koan ini telah mempunyai sebuah
organisasi yang kami namakan Pauw-an-tui atau Barisan Penjaga
Keamanan, yang gunanya untuk menjaga dan berusaha
memulihkan kembali keamanan kota kita ini. Dan dengan demikian
berarti bahwa Pauw-an-tui ini ialah suatu badan konfrontasi untuk
menghadapi komplotan-komplotan penjahat musuh kita yang
harus diganyang itu!

102
“Kami maklum, bahwa di kota Tong-koan ini banyak terdapat
orang-orang gagah, akan tetapi oleh karena tidak ada persatuan
maka pihak kita menjadi sangat lemah sekali sehingga seakan-
akan merupakan barang empuk yang dengan seenaknya dicaplok
oleh para serigala murtad itu. Oleh karena ini, maka setelah kami
mendapat wewenang dari pembesar negeri dan persetujuan
kawan-kawan, kami membentuk organisasi penjaga keamanan ini
dengan harapan setelah organisasi Pauw-an-tui ini berdiri akan
merupakan badan persatuan dimana para orang gagah akan turut
serta menjadi anggauta dan kita bekerja sama dengan haluan
bersatu padu, yaitu mengganyang komplotan penjahat…….!”

Tiba-tiba terdengarlah suara tempik sorak dari para penonton yang


menandakan bahwa mereka sangat setuju dan menyambut
dibentuknya Pauw-an-tui ini dengan gembira.

Setelah suara tempik sorak itu lenyap dan keadaan menjadi sepi
kembali maka Cio wan-gwe melanjutkan pengumumannya.

“Sebagaimana tadi telah kami katakan, bahwa


diselenggarakannya pibu ini adalah untuk memilih atau merebut
kedudukan pangcu. Jadi tegasnya pibu ini merupakan sayembara!

103
“Perlu kami umumkan bahwa pertama-tama yang mengikuti
sayembara terdiri dari kedua guru silat yang membuka bu-koan di
kota ini, ialah Lu Sun Pin, si Pagoda Besi, pemimpin dari Tong-
koan Te-it Bu-koan dan Can Po Goan, si Kepalan Sakti Pemecah
Kepala, kauw-su dari Sin-kun Bu-koan…….!”

Kembali terdengar pula tempik sorak dari para penonton sehingga


pidato Cio wan-gwe jadi terganggu dan dihentikan sebentar. Dari
para penonton yang sekian banyaknya terdengar teriakan-
teriakan:

“Hidup Lu kauw-su! Si Pagoda Besi pasti menang…….”

Dan dibarengi teriakan-teriakan dari mereka yang berpihak kepada


Can Po Goan:

“Hidup Can kauw-su dan pasti ia menjadi pangcu dari Pauw-an-tui


ini…….!”

Teriakan-teriakan ini membuat Lu Sun Pin jadi berseri-seri


wajahnya karena merasa bahwa daripada penonton ternyata ia
mendapat dorongan semangat yang hebat, berarti bahwa mereka
menaruh simpati kepadanya. Akan tetapi Can kauw-su yang
mendengar bahwa dirinya diseru-serukan oleh para penonton yang
berpihak kepadanya hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil
104
menghela napas karena baginya seruan-seruan mereka itu hanya
memperuncing suasana dan menyebabkan hati mereka yang
bersangkutan semakin panas!

Cio wan-gwe mengacungkan sepasang lengannya pula sebagai


isyarat supaya para penonton jangan gaduh, dan ketika suasana
sudah tenang kembali hartawan ini melanjutkan kata-katanya:

“Saudara-saudara sekalian, sebagai penduduk kota Tong-koan ini


tentu sudah maklum atau sedikitnya pernah mendengar bahwa
antara murid-murid dan guru dari kedua bu-koan ini telah terjadi
peristiwa-peristiwa bentrokan! Maka sayembara ini disamping
untuk mengakhiri bentrokan-bentrokan antara kawan sendiri dan
untuk memilih pang-cu, juga dapat diartikan bahwa
diselenggarakannya lumba yuda ini untuk menentukan siapakah
yang memiliki ilmu silat terbaik di kota Tong-koan ini, yang
dilakukan dalam suasana persahabatan, saling mengisi
kekurangan, menambah pengalaman guna kerja sama dalam
sebuah organisasi Pauw-an-tui ini!

“Adapun acara pibu ini dapat kami terangkan sepagai berikut:

“Pertandingan dilakukan tiga kali di antara tiga calon atau jago


yang diajukan dari kedua pihak. Dan pertandingan diserahkan

105
kepada mereka yang bertanding untuk mengadakan perjanjian
sendiri, hendak pakai senjata atau tangan kosong dan karena pibu
bersifat persahabatan dan bahkan justeru guna kerja sama dalam
sebuah organisasi maka bagi mereka yang bertanding tidak boleh
sampai menjatuhkan tangan maut!

“Menang atau kalah harus diakui sendiri misalnya siapa merasa


sudah tidak tahan menghadapi lawannya, harus secara gagah dan
jujur menyatakan kekalahannya dan mesti turun dari panggung ini
dengan segera. Dan siapa yang menang, dilarang keras
melakukan penyerangan terhadap lawannya yang sudah mengaku
kalah itu!

“Dari pihak Tong-koan Te-it Bu-koan akan keluar bertanding So Ma


Tek, Sim Kang Bu dan gurunya sendiri, ialah Lu Sun Pin sianseng!
Dan dari pihak Sin-kun Bu-koan ialah Kwe Bun, Tan Seng Kiat dan
Can Po Goan sianseng!

“Ke tiga calon atau jago dari kedua pihak ini akan berlumba
merebut kedudukan Pang-cu, dan selain ia berhak pula mendapat
gelar Tong-koan Hohan atau Orang gagah dari kota Tong-koan
ini…….!”

106
Kembali terdengar suara riuh pula dengan teriakan-teriakan dan
seruan-seruan seperti tadi, bahkan di antara mereka ada yang
berteriak supaya pibu ini segera dimulai! Agaknya ia merasa
jengkel dengan pidato Cio Wan-gwe yang dianggapnya
membuang-buang waktu itu.

Cio wan-gwe memberi tanda pula dengan lengannya meminta


ketenangan publik dan kemudian, hartawan ini menyatakan
pengumuman yang terakhir:

“Saudara-saudara sekalian! Sehubung dengan ini ada sebuah


pengumuman penting yang mesti kalian ketahui, ialah mengingat
bahwa organisasi Pauw-an-tui adalah untuk kepentingan kita
bersama, maka ujian untuk memilih pang-cu atau yang berhak
mendapat julukan Tong-koan Hohan ini tidak terbatas hanya bagi
ke dua pihak yang sudah kami sebutkan tadi. Akan tetapi terbuka
bagi umum, asal saja yang menjadi penduduk kota Tong-koan atau
dusun-dusun yang menjadi wilayahnya!

“Jadi tegasnya, nanti, manakala kedua pihak yang disebutkan tadi


sudah selesai bertanding dan siapa yang menjadi pemenang
terakhir, seperti misalnya Can sianseng maupun Lu sianseng,
maka jika di antara saudara-saudara sekalian ada yang berminat

107
menjadi pemimpin dari Barisan Penjaga Keamanan dan mendapat
gelar kehormatan Tong-koan Hohan, kami persilahkan.

“Dan justru inilah yang kami sangat harapkan, supaya naik ke


panggung ini dan coba-coba berolah raga, dengan harapan
barangkali saja menjadi pemenang terakhir dalam lomba yuda ini
sehingga benar-benar ia merupakan seorang yang berharga
menjadi ketua dan pantas mendapat gelar kehormatan Tong-koan
Hohan!

“Disamping itu, jika di antara kalian ada yang tidak mengerti ilmu
silat akan tetapi mempunyai minat menjadi anggauta Pauw-an-tui,
kami menyambutnya dengan gembira dan justru dengan jalan ini
kami serukan.

“Hai……. segenap penduduk daerah Tong-koan, kami minta


perhatian dan kesadaran saudara, mengingat bahwa Pauw-an-tui
adalah sebuah badan untuk kepentingan kita bersama, maka
kekuatan dan kelemahan Pauw-an-tui ini terletak dalam tangan
saudara sendiri!

“Tegasnya ialah kalau Pauw-an-tui beranggauta sedikit, maka


diselenggarakannya pibu untuk memilih pemimpin atau ketua ini

108
akan siapa saja ketua dan para anggautanya merupakan
dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan.

“Dapat kami tegaskan bahwa dalam segala apapun, lebih penting


anak buahnya dari pada kepalanya. Tanpa jenderal, sepasukan
perajurit masih merupakan kekuatan hebat. Tanpa pemimpin,
rakyat masih merupakan massa yang kuat!

“Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang tidak


berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang
sifatnya sebagai pemimpin.

“Dan demikian juga dengan Pauw-an-tui kita ini, biarpun


pemimpinnya gagah berani, akan tetapi kalau anggautanya hanya
sedikit sekali, maka kekuatan apakah yang ada padanya untuk
menanggulangi dan memulihkan kembali keamanan kota kita
daripada gangguan gerombolan penjahat yang beranak buah
demikian banyak itu?! Oleh karena itulah, maka sekali lagi kami
serukan kepada saudara-saudara bahwa Pauw-an-tui ini adalah
sebuah organisasi milik saudara, maka sudah sewajibnyalah bila
saudara-saudara mendukungnya!

“Bagi mereka yang berkepandaian ilmu silat, jangan melewatkan


saat ini untuk mengikuti sayembara guna menjadi pemimpin dan

109
mendapat gelar kehormatan Tong-koan Hohan. Sementara bagi
saudara-saudara yang tidak mengerti ilmu silat jadilah anggauta
Pauw-an-tui supaya organisasi kita ini benar-benar merupakan
sebuah Barisan Keamanan yang kuat dan dapat mengganyang
gerombolan penjahat musuh kita itu!

“Nah, sekarang pertandingan dapat dimulai dan seperti sudah


dijelaskan tadi, bahwa pibu ini selain untuk memilih pang-cu, juga
merupakan lomba yuda persahabatan untuk mengakhiri
persaingan antara pihak Tong-koan Te-it Bu-koan dan Sin-kun Bu-
koan. Dan setelah dari kedua pihak ini keluar pemenang terakhir
yang dapat juga disebut sebagai juara pertama, maka baru kami
persilahkan para hadirin untuk mengikuti sayembara ini! Jelas?!”

Dari para penonton terdengar teriakan-teriakan yang menyatakan


bahwa pidato dan pengumuman yang panjang lebar serta seruan
dari si hartawan itu telah jelas dan disetujui.

“Terima kasih!!!” kata Cio wan-gwe, sambil menjura dan sebelum


mengundurkan diri dari panggung, ia berkata lagi: “Maka sekarang
kami persilahkan calon atau jago dari kedua pihak yang akan
bertanding dahulu, naik ke panggung!”

110
Setelah itu, Cio wan-gwe membalikkan diri dan turun dari
panggung melalui tangga dari mana ia naik tadi. Lalu duduk si
sebuah kursi yang masih kosong, yaitu di deretan kursi dimana
Can Po Goan dan kedua muridnya duduk.

Dari pihak Lu Sun Pin keluarkan seorang peserta pibu, yaitu So Ma


Tek dibarengi munculnya Kwe Bun dari pihak Can Po Goan
sebagai pasangan yang akan bertanding dalam babak
pendahuluan. Kedua anak muda ini menaiki tangga dan terus ke
atas panggung dengan tindakan gagah yang disambut oleh para
penonton dengan sorakan dan tepuk tangan yang riuh sekali
karena lomba yuda yang mereka tunggu sejak tadi, kini dimulai
tentu saja mereka sangat gembira.

Ke dua orang muda itu saling berhadapan dan saling memberi


hormat sambil bersenyum mengejek.

“Saudara, kalau tak salah dugaanku. benarkah aku berhadapan


dengan Kwe Bun, murid kedua dari Can kauw-su?” demikian So
Ma Tek bertanya kepada calon tandingannya karena memang
kedua pemuda dalam peristiwa yang lalu, belum pernah saling
bertemu, kecuali ketika dari pihak Tong-koan Te-it Bu-koan
mengadakan penyerbuan tempo hari dimana So Ma Tek ada turut
serta.

111
“Benar! Dan kalau tak salah ingat, benarkah saudara ini bernama
So Ma Tek yang ketika kalian menyerbu kami tempo hari
menyerang dengan tombak kepadaku?” sahut Kwe Bun dengan
suara tandas oleh karena pemuda yang berwatak kurang sabar ini
merasa benci sekali terhadap orang-orang dari Tong-koan Te-it
Bu-koan.

“Tak salah, kawan,” balas So Ma Tek dengan suara kurang senang


karena hatinya merasa sangat tersinggung, karena dianggapnya
calon tandingannya ini membangkit-bangkit peristiwa yang
memalukan, “Saudara Kwe, aku tahu bahwa kau adalah murid
kepala kedua dari Sin-kun Bu-koan sehingga kedudukan kita jadi
setingkat, maka aku ingin mengetahui dalam pertandingan ini kita
menggunakan ataukah tanpa senjata?”

“Terserah kepadamu, saudara So. Aku selalu bersedia


melayanimu!” jawab Kwe Bun sambil sepasang kakinya
dipentangkan ke depan dan ke belakang, tubuhnya agak
dimiringkan, yaitu semacam posisi yang merupakan kuda-kuda
atau dapat juga disebut bahwa kedudukan demikian ini berarti
suatu tantangan.

“Bagus!” kata So Ma Tek yang sudah maklum akan sikap lawan,


“Karena kita naik tanpa membawa senjata, maka baiklah kita

112
berpibu tanpa senjata oleh karena memang aku ingin merasakan
kelihayan kepalanmu yang dapat memukul mati seekor kerbau itu!”

Kwe Bun memang mudah sekali marah, maka mendengar ucapan


yang agaknya memandang ringan ini, ia sudah naik pitam,
“Baiklah! Dan majulah, kau kawan!”

So Ma Tek cepat memasang kuda-kuda, kemudian berseru: “Awas


serangan!” sambil menubruk maju dengan tangan kanan yang
dikepalkan menyodok lambung, diberengi tangan kirinya dengan
jari-jari terbuka mengarah mata lawan.

Kwe Bun menyambut serangan ini dengan menggunakan


sepasang tangannya yang digerakkan ke atas dan ke bawah
sehingga serangan dari lawan yang dalam sekali gebrak mengarah
kedua sasaran itu, dapat ditangkisnya sekaligus, dan kemudian
pemuda ini lalu balas menyerang. Suara penonton yang tadinya
berisik menjadi diam dan sunyi karena kini semua mata dan
perhatian ditujukan ke arah mereka yang berkelahi di atas
panggung.

Ketika sepasang lengannya beradu dengan ke dua lengan Kwe


Bun yang menangkis, So Mak Tek merasa terkejut sekali karena
sama sekali tidak disangkanya bahwa lawannya benar-benar

113
memiliki tenaga hebat. Akibat beradunya lengan itu ia merasakan
kedua lengannya sakit sekali sehingga tanpa disadarinya,
wajahnya jadi meringis karena menahan rasa sakit.

Maka dalam jurus selanjutnya ia berlaku sangat hati-hati dan tidak


berani pula mengadu kekuatan tenaga karena ia maklum bahwa
tenaga lawan lebih besar dari tenaganya, sehingga kalau terus-
terusan ia mengadu tenaga, terang sekali ia akan rugi sendiri.
Dalam jurus-jurus berikutnya ia mempergunakan kegesitannya,
serangan-serangan yang dilancarkannya demikian gesit dan
tangkas dan apabila serangannya tampak akan ditangkis oleh
lawan, cepat ia menarik kembali tangan mau pun kakinya dan
berbareng dengan itu ia mengirim serangan pula dari lain jurusan
dengan menggunakan tangan atau kakinya yang menganggur.

Kwe Bun maklum bahwa lawannya ini berlaku cerdik, maka iapun
mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk meladeninya sehingga
keduanya bertempur secara sebat dan gesit serta seru sekali. Dan
ternyata kepandaian mereka sangat seimbang.

Setelah bertempur beberapa belas jurus, maka Kwe Bun


mendapat kenyataan bahwa So Ma Tek ini ternyata memiliki
kepandaian yang lumayan juga. Dan ketika ia melihat betapa
lawannya melakukan serangan dengan hebat dan bertubi-tubi

114
secara nafsu sekali, diam-diam ia merasa girang karena ia maklum
bahwa untuk menghadapi lawan yang bernafsu, ia mempunyai
siasat untuk melayaninya dan akan membuat lawan itu cepat
dikalahkan.

Memanglah, So Ma Tek sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang


tidak boleh dipandang ringan, kepandaiannya dengan Kwe Bun
adalah setingkat. Hanya sayang sekali So Ma Tek kurang tahan uji
dan dalam bertempur ia tak dapat mengekang hawa nafsu yang
ingin merobohkan lawan dengan secepat mungkin.

Ketika ia mengetahui bahwa Kwe Bun ternyata sangat sulit untuk


dapat dikalahkannya dengan segera ia melakukan serangan
dengan nekad dan bernafsu sekali dan justru inilah kesalahannya.

Melihat betapa So Ma Tek berkelahi secara nekad dan bernafsu


sekali, Kwe Bun sengaja menghadapinya tanpa membalas
serangannya. Akan tetapi secara cerdik sekali ia mengganti siasat,
yaitu hanya berkelit saja kian kemari sehingga serangan-serangan
lawan selalu mengenai angin saja.

Pada suatu kali, kaki So Ma Tek terpeleset setelah ia menubruk


tempat kosong karena lawannya yang akan diterkam telah
berpindah tempat, sehingga hampir saja ia terjatuh karenanya.

115
“Kau sungguh hebat, saudara So. Akan tetapi hati-hatilah, jangan
kau jatuh sendiri sebelum keinginanmu hendak merasakan
kelihayan kepalanku, kupenuhi!” Kwe Bun menyindir sambil
ketawa-tawa ketika melihat betapa lawannya itu hampir jatuh.

Untuk sejenak So Ma Tek kehilangan keseimbangan badan karena


terpeleset, ia mengira Kwe Bun akan menyerangnya dan celakalah
ia. Namun hatinya merasa lega karena lawannya tidak
mempergunakan kesempatan itu untuk menyerangnya dan diam-
diam ia sangat berterima kasih.

Akan tetapi ketika ia merasa disindir, ia menjadi malu dan sangat


marah sehingga segera saja ia mengirim serangan dahsyat yang
dilakukannya dengan sepenuh tenaga. Papan panggung itu
bergerak-gerak tergetar oleh gerakan kakinya yang cepat dan
berat.

Kwe Bun masih ketawa-tawa dan dengan kegesitannya ia


membuat lawannya berputar-putar karena ia selalu berkelit sambil
berputar-putar mengelilingi panggung itu. Setelah mengetahui
bahwa lawannya yang nekad dan bernafsu itu menjadi pusing, Kwe
Bun membesarkan ketawanya sehingga terdengar suaranya
bergelak-gelak nyaring dan ketika lawannya yang makin panas hati

116
itu memukul keras dari depan ke arah dadanya, ia meloncat ke
samping.

Dan sebelum So Ma Tek keburu menarik kembali kepalanya, Kwe


Bun sudah berada di belakangnya sambil mengayunkan
kepalannya ke arah punggung So Ma Tek, yaitu sebuah pukulan
yang keras sekali hingga terdengar suara “Buuukkk!”

Karena kepalanya telah pening dan kini ditambah lagi


punggungnya dijotos dengan dahsyatnya kini So Ma Tek benar-
benar merasakan kelihayan kepalan lawannya seperti .yang
kehendaknya dalam ketakburannya tadi. Pemuda ini terloncat ke
depan dan tidak ampun lagi tubuhnya terpelanting ke luar
panggung dan jatuh ke bawah dalam keadaan pingsan!

Terdengar tempik sorak gegap gempita menyambut kemenangan


Kwe Bun ini. Di bawah panggung, tubuh So Ma Tek digotong oleh
kawan-kawannya untuk kemudian diberi pertolongan dan
bersamaan dengan itu tampak berkelebatan sesosok tubuh yang
melayang ke atas panggung dan ketika sudah berdiri berhadapan,
ternyata yang melompat naik ini adalah murid kepala dari Lu Sun
Pin, yaitu Sim Kang Bu!

117
“Eh! Kwe Bun! Lupakah kau akan peraturan pibu ini yang telah
diumumkan oleh Cio Wan-gwe tadi bahwa dalam lomba yuda ini
tidak boleh saling mencelakakan?! Akan tetapi mengapa kau
berlaku begitu kejam terhadap suteeku?!” Demikian sambil
bertolak pinggang, Sim Kang Bu menegur Kwe Bun dengan sangat
marah!

Melihat sikap musuh lamanya ini Kwe Bun mengangkat dada dan
kemudian katanya: “Saudara Sim yang gagah. Kau datang-datang
menyalahkan aku dan kau menganggap bahwa aku melanggar
peraturan pibu yang sudah ditentukan?! Sungguh seenakmu saja
kau bicara! Tidakkah kau dengar tadi bahwa kepalanku mampir di
punggung suteemu itu adalah atas kehendaknya sendiri?!”

“Hm, sombong benar!” dengus Sim Kang Bu marah dan kemudian


ia membentak nyaring: “Orang she Kwe, kau harus mengerti akan
kekurang ajaranmu yang melanggar peraturan ini!”

Kemudian, tanpa memberi peringatan lagi terhadap lawannya


sebagaimana biasanya orang gagah yang mulai membuka
serangan, Sim Kang Bu mengirim serangan kilat dengan gerak tipu
Go-houw-pok-yong (Harimau lapar menubruk kambing)!

118
Akan tetapi sebelum serangannya ini dilanjutkan, tiba-tiba dari
bawah panggung terdengarlah seruan nyaring: “Kang Bu tahan!
Jangan serang dia!!!”

Seruan ternyata dari Lu Sun Pin dan mau tak mau Sim Kang Bu
harus mentaati seruan suhunya sehingga ia segera “mengerem”
serangannya dan memandang ke arah suhunya dengan sinar mata
heran.

Ketika Lu Sun Pin tampak menggapaikan tangannya sambil


berseru pula: “Kau turun dan kemari dulu, Kang Bu!”

Pemuda she Sim itu melompat turun dan mendapatkan suhunya


yang kemudian ternyata memberi teguran kepadanya karena
dalam babak kedua ini,

“Ia tidak boleh menyerang pemenang dari babak pertama, karena


kalau kau sampai menyerang pemenang babak pertama, berarti
kau sendiri melanggar peraturan! Lawan bertandingmu bukan
murid kedua si Kwe Bun itu, melainkan adalah murid kepala dari
pihak lawan, yaitu yang kedudukannya setingkat denganmu.”

Demikian dalam tegurannya itu Lu Sun Pin memberi keterangan


kepada muridnya.

119
Kini Sim Kang Bu mengerti mengapa ia dilarang menyerang Kwe
Bun dan ia merasa malu sekali karena telah berlaku keliru dalam
tata cara lomba yuda yang ditonton oleh masyarakat kota Tong-
koan ini.

Sementara itu Kwe Bun pun sudah turun dari panggung karena
pemuda ini juga dipanggil oleh gurunya supaya mengundurkan diri
dari gelanggang.

Ketika itu tampak Cio wan-gwe naik ke atas panggung dan sebagai
panitia yang merangkap juri dalam pertandingan yang
diselenggarakannya ia lalu menyatakan pengumuman dengan
suara nyaring:

“Saudara-saudara yang terhormat! Babak pertama sudah selesai


dengan kemenangan murid kedua dari Sin-kun Bu-koan sehingga
dengan demikian bu-koan tersebut menang satu biji atau tegasnya
kosong-satu untuk Sin-kun Bu-koan……”

Tiba-tiba pecahlah tempik sorak yang riuh sekali dari para


penonton yang berpihak kepada Can Po Goan sehingga
pengumuman Cio wan-gwe yang belum habis itu terputus
karenanya. Kemudian, setelah publik tenang kembali, Cio wan-
gwe berkata pula.

120
“Sekarang babak kedua segera akan dimulai maka kami
persilahkan murid kepala dari kedua pihak naik ke atas panggung!”
Setelah itu, Cio wan-gwe turun dan duduk lagi di tempatnya
semula.

Kemudian tampaklah Sim Kang Bu naik ke atas panggung.


Pemuda ini sekarang tidak meloncat biasa seperti tadi, akan tetapi
dari bawah, yaitu dari tempat dimana ia berdiri menerima
peringatan dari suhunya tadi.

Ia sengaja memperlihatkan aksinya dengan gaya lompat yang


indah sekali sambil mempergunakan gerak tipu Yan-cu-tui-oh
(Burung Walet Pulang ke Sarang). Tubuhnya melayang cepat dan
tiba di atas panggung dengan ringan bagaikan seekor burung
hinggap di atas cabang pohon.

Penonton menyambut demonstrasi ini dengan tepuk tangan


memuji. Ternyata kini Sim Kang Bu telah memiliki ginkang yang
lumayan dan jauh lebih baik daripada ketika ia pertama kali
meloncat pagar di belakang Sin-kun Bu-koan yang menjadi gara-
gara timbulnya permusuhan antara Can Po Goan dan Lu Sun Pin
ini.

121
“Yang hendak bertanding denganku, diminta naik dengan segera!”
kata Sim Kang Bu dengan suara jumawa dan sikap sombong
sambil memandang ke arah tempat duduk pihak Can kauw-su.

Sebagai jawabannya, tampak Tan Seng Kiat berdiri dari tempat


duduknya di samping Can kauw-su dan sekali sepasang kakinya
digerakkan, maka tubuhnya melompat ke atas panggung dengan
kedua tangan dipentang lebar. Kemudian selagi tubuhnya
mengapung dan sudah berada di atas panggung, ia melakukan
gerakan jungkir balik dua kali dan kakinya tiba di atas papan
panggung tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Gerak lompat
yang disebut Sin-liong-jip-hay (Naga sakti turun ke laut) ini
memang kelihatannya indah sekali, karena itu para penonton
kembali bertepuk tangan dan bersorak memuji ketangkasan
pemuda itu.

Begitu berhadapan dengan Sim Kang Bu, Seng Kiat


membungkukkan tubuhnya sedikit memberi hormat sambil
menjura dan berkata: “Selamat bertemu di gelanggang lomba yuda
ini, saudara Sim. Dan bagaimana, pundakmu yang kudengar
diseruduk kerbau gila itu, sudah baik?!”

Sim Kang Bu yang beradat berangasan, ketika mendengar


pertanyaan yang diucapkan dengan nada halus dan sikap

122
sungguh-sungguh akan tetapi mengandung ejekan itu, hatinya
mendongkol sekali dan ia menjadi marah, maka dengan sangat.
nyaring dan ketus ia berkata:

“Sudahlah, jangan banyak cakap! Marilah kita mulai untuk


menentukan ilmu silat siapa yang sebenarnya lebih unggul!?”

“Boleh! boleh! Dan karena kau yang ingin terburu-buru, maka


kupersilahkan kau maju dan membuka serangan terlebih dahulu!”
balas Tan Seng Kiat dengan tersenyum. Pemuda sabar ini sama
sekali tidak kelihatan memasang bhesi (kuda-kuda), sungguhpun
ia maklum bahwa lawannya itu akan segera maju menyerangnya.

Akan tetapi ternyata pemuda she Sim itu tidak segera menerjang,
melainkan berdiam diri saja seperti ragu. Memang, Sim Kang Bu
merasa sangsi untuk bertempur dengan tangan kosong karena
dalam ilmu silat ini, dahulu ia pernah merasakan kelihayan Tan
Seng Kiat. Oleh karena itu ia ingin bertanding dengan
mempergunakan senjata sekalian mencoba ilmu silat senjata
lawan.

“Sahabat! Mengapa kau diam saja?” tanya Tan Seng Kiat ketika
melihat sikap orang yang dihadapinya itu.

123
“Setelah pertandingan babak pertama tadi dilakukan dengan
tangan kosong, maka babak kedua bagi kita ini lebih baik dengan
bersenjata, karena Pauw-an-tui ini selain merupakan Barisan
Penjaga Keamanan merupakan barisan tempur karena harus
mengganyang gerombolan penjahat.

“Jadi tentu saja jauh lebih baik sambil mempergunakan senjata


daripada bertangan kosong. Untuk kepentingan kita bersama ini,
beranikah kau berpibu sambil memainkan senjata?”

Kini Tan Seng Kiat yang bersikap seperti ragu dan untuk sesaat ia
tidak menjawab, ia merasa ragu bukan karena takut berpibu
dengan senjata, melainkan karena pihaknya datang tanpa
membawa senjata dan ia tidak berani mengambil keputusan
sebelum mendapat izin dari suhunya, maka dari atas panggung ia
memandang ke arah suhunya dengan sinar mata minta keputusan.
Can kauw-su yang juga mendengar pertanyaan pemuda she Sim
tadi dan mengerti akan keraguan muridnya lalu berkata:

“Seng Kiat, berpibu sambil memainkan senjata yang memang


sangat penting sekali bagi kita sebagai anggauta Pauw-an-tui,
harus mau terima. Akan tetapi karena pihak kita datang kemari
sengaja tidak membawa senjata, maka kupikir pihak Lu sianseng
akan memberi pinjam senjata untuk kau pakai sebentar!”

124
Kata-kata Can Po Goan ini selain memberi jawaban kepada
muridnya, juga merupakan permintaan kepada Lu Sun Pin, yaitu
minta pinjam senjata.

Dan Lu Sun Pin ketika mendengar hal ini, segera berseru dari
tempat duduknya: “Boleh, boleh!” dan sambil mendongak
memandang ke arah Tan Seng Kiat yang berdiri di atas panggung,
ia bertanya: “Senjata apakah yang hendak kau gunakan, anak
muda?!”

Tan Seng Kiat membungkuk memberi hormat dan menjawab


dengan sopan: “Boanpwee (aku yang rendah) biasa menggunakan
senjata golok.”

“Bagus! Sebagai murid kepala dari si Golok Sakti Pencabut Nyawa


(Toat-beng Sin-to) tentu saja mewarisi ilmu golok dari gurunya dan
kebetulan sekali muridku, Sim Kang Bu juga mahir sekali
mempermainkan goloknya!”

Setelah berkata demikian, Lu Sun Pin menyuruh para muridnya


yang duduk di belakang untuk mengeluarkan dua batang golok,
dan setelah dua batang golok itu berada di dalam tangannya
segera ia berseru:

“Kang Bu, terimalah golok untukmu ini!”


125
Tangan kanannya bergerak dan sebatang golok yang dipegangnya
tadi, tampak melayang karena dilontarkan dengan gerakan Lutung
Sakti Melontar Buah. Dengan bagian pangkal terlebih dulu, golok
itu meluncur cepat ke arah muridnya.

Dan ketika Sim Kang Bu hendak menyambut golok yang melayang


di atas kepalanya itu, ia menggunakan gerakan Lutung Sakti
Menyanggap Buah sebagai imbangan gerak lontar dari suhunya.
Kaki kirinya, dengan sedikit dijingkikkan berdiri di atas papan
panggung dan kaki kanannya diangkat dan ditekuk ke depan,
sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka diletakkan di
depan dada, adapun tangan kanannya diulurkan ke atas dan
menangkap golok yang datang meluncur bagaikan anak panah
dan dengan cepat sekali, ia menangkap bagian pangkalnya!

Sorak sorai dan tepuk tangan memuji terdengar riuh sekali sebagai
pernyataan kagum akan caranya Sim Kang Bu menyambut golok
itu. Dan sementara itu, dari bawah panggung terdengar seruan Lu
Sun Pin yang hendak “mengirimkan” golok yang sebatang lagi
kepada Tan Seng Kiat:

“Tan siauw-ko (engko cilik she Tan), coba kaupun terima golok ini!”
lalu seperti tadi, golok dilontarkannya pula ke atas panggung dan
langsung mengarah Tan Seng Kiat, persis ke bagian ulu hatinya!

126
Para penonton menahan napas karena kaget dan bahkan berapa
orang kedengaran berseru ngeri. Karena golok yang dilontarkan
oleh Lu Sun Pin kali ini bukan bagian pangkalnya yang meluncur
terlebih dahulu, akan tetapi sebaliknya golok itu dilontarkan dengan
bagian ujungnya yang runcing dan tajam itu terlebih dulu hingga
tak ubahnya seperti sebatang tombak yang meluncur dan
menyerang.

Untuk menangkap golok terang sukar dan berbahaya dari pada


Sim Kang Bu tadi. Apalagi golok mengarahkan bagian ulu hati dan
bukan ke atas kepala seperti yang dilakukan terhadap Sim Kang
Bu tadi, inilah sebabnya maka para penonton merasa kaget dan
ngeri.

Can Po Goan Yang lihat muridnya diperlakukan demikian rupa oleh


Lu Sun Pin, maklum bahwa pihak lawan itu mempunyai dua
maksud. Pertama bermaksud menguji, akan tetapi kalau pemuda
yang “diuji” ternyata tak dapat menangkap atau berkelit dari
serangan golok itu, niscaya ia akan celaka, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Lu Sun Pin mempunyai maksud keji.

Namun sungguhpun Can Po Goan maklum betapa bahayanya


keselamatan muridnya ketika itu. Sama sekali ia tidak cemas,

127
bahkan sikapnya tetap tenang saja, karena guru silat tua ini yakin
bahwa muridnya itu dapat berbuat sebagaimana mestinya!

Benar saja, ketika melihat betapa golok itu dilontarkan kepadanya


secara demikian maka maklumlah Tan Seng Kiat bahwa dirinya
sedang diancam bahaya. Karena golok tersebut dilontarkan
dengan sepenuh tenaga oleh seorang ahli silat tinggi dan lagi
berjarak demikian dekat sehingga meluncurnya seperti kilat dan
sukar sekali untuk dikelit apalagi menangkapnya!

Akan tetapi Tan Seng Kiat harus merasa malu mengaku murid
kepala dari Can kauw-su kalau ia tidak mampu menyelamatkan diri
dari luncuran golok yang mengarah bagian ulu hatinya. Kalau
hanya berkelit saja, memang tidak susah, akan tetapi disamping
menyelamatkan diri ia harus menangkap golok.

Hal ini benar-benar tidak mudah dilakukan. Namun justru inilah


yang hendak didemonstrasikan oleh Tan Seng Kiat untuk
memperlihatkan kepandaiannya dan untuk mempertinggi gengsi
suhunya bagi mata pihak lawan dan masyarakat Tong-koan
umumnya.

Demikianlah, Tan Seng Kiat yang sikapnya selalu tenang namun


sangat waspada itu, ketika melihat golok meluncur cepat

128
mengarah dadanya, ia sekali-kali tidak menjadi gugup karena ia
sudah mempunyai perhitungan yang tepat untuk gerakan yang
dilakukannya. Ia tidak berusaha melompat atau berkelit, melainkan
dadanya sengaja dipentangkan seakan-akan hendak membiarkan
ujung golok itu menancap di ulu hatinya!

Akan tetapi ketika ujung golok yang tajam dan mengerikan hampir
menghunjam dadanya kira-kira sejengkal lagi, pemuda itu
membuat gerakan sedikit yang dilakukannya sangat cepat
sehingga tidak kelihatan. Tubuhnya digoyangkan ke arah kanan
dan lengan kirinya sebatas ketiak agak dipentangkan.

Oleh karena pergerakkannya yang sedikit ini maka golok yang


tadinya mengarah dada kini meluncur dan molos melewati ketiak
kiri yang lengannya tidak dipentangkan itu, dan tiba-tiba Tan Seng
Kiat merapatkan lengan kirinya sehingga luncuran golok jadi
“macet” dan terhenti di bawah jepitan ketiaknya! Ini suatu
perbuatan yang berani akan tetapi sangat tepat dan gerakan yang
dilakukan oleh Tan Seng Kiat ini disebut gerak tipu Dewa Mabok
Menggepit Guci Arak!

Para penonton yang tadi merasa cemas akan keselamatan Tan


Seng Kiat kini melihat betapa berani dan mengagumkannya
pemuda itu “menyambut” golok. Mereka gembira sekali dan tepik

129
sorak mereka lebih gemuruh menandakan bahwa pujian dan
kekaguman mereka terhadap Tan Seng Kiat lebih besar.

Memang diam-diam para penonton merasa simpati kepada Tan


Seng Kiat. Karena mereka mengetahui bahwa pemuda ini biarpun
memiliki kepandaian silat tinggi sikapnya tidak sombong dan
wataknya yang sabar itu menyebabkan orang menyukainya.

“Bagus!” tanpa terasa Lu Sun Pin juga turut memuji dan kemudian
ia merasa malu karena muridnya belum tentu dapat berbuat seperti
itu.

Kemudian rasa malunya bertambah lagi ketika ia melihat betapa


Tan Seng Kiat dari atas panggung memandang kepadanya dengan
sinar mata tajam dan bibir menyunggingkan senyuman sindir
tatkala pemuda itu berkata kepadanya sambil menjura dan golok
itu masih berada di dalam jepitan ketiak kirinya:

“Terima kasih atas kebaikanmu meminjamkan golok ini, tuan Lu!”

Kemudian tangan kanan Tan Seng Kiat mengambil golok yang


dijepitnya itu dan memandang ke arah Kang Bu yang ketika itu
ternyata sudah bersiap sedia sambil menimangkan goloknya di
depan dada.

130
“Marilah, kita mulai kawan!” katanya.

“Kau yang menantang, maka bergeraklah kau lebih dulu,” balas


Tan Seng Kiat dengan sikapnya yang tenang sekali dan bahkan
goloknya dipegang secara sembarangan saja seakan-akan tidak
akan bertempur.

Dan sebelum kedua orangmuda bergerak, tiba-tiba dari bawah


panggung terdengar seruan dari Cio wan-gwe yang memberi
peringatan:

“Kedua orang muda, ingatlah senjata yang kalian pegang itu tidak
bermata, maka kalian harus hati-hati, jangan sampai menimbulkan
kerugian antara kita sendiri!”

“Baik……! Baik!” jawab Sim Kang Bu dan Tan Seng Kiat hampir
bersamaan, tanda keduanya maklum akan peraturan pibu yang
sudah ditentukan. Dan pada detik berikutnya keduanya telah saling
serang.

Sim Kang Bu bergerak lebih dulu sambil berseru: “Awas serangan!”


goloknya disabetkan ke arah leher lawan.

Tan Seng Kiat menggerakkan goloknya dengan tenang dan


menangkis. Kemudian setelah menangkis itu, secepat kilat

131
goloknya disabetkan ke bawah menyambar ke arah kaki Sim Kang
Bu dan pemuda ini terkejut sekali karena dalam menangkis,
lawannya dapat melanjutkan gerakan goloknya sedemikian rupa,
sehingga kalau ia tidak cepat meloncat, pasti sepasang kakinya
akan terbabat putus!

Dan demikianlah selanjutnya, mereka sudah bertempur seru.


Masing-masing mengeluarkan geraktipu-geraktipu yang
berbahaya dan mematikan. Golok mereka berkelebatan
sedemikian rupa dan kadangkala ke dua senjata ini saling bentrok,
menimbulkan suara nyaring dan mengeluarkan bunga-bunga api
berpijar.

Bagi para penonton yang tidak mengerti ilmu silat, tentu saja
pertandingan ini membuat hati mereka berdebar dan cemas
karena khawatir kalau-kalau seorang di antara kedua pemuda itu
akan menjadi korban.

Setelah kedua pemuda itu bertempur selama duapuluh jurus lebih,


maka bagi mata Lu Sun Pin dan Can Po Goan dan juga Cio wan-
gwe yang melihat pertempuran itu, ternyata bahwa gerakan golok
Sim Kang Bu lebih kuat dan ganas, serangan-serangannya selalu
bersifat mematikan! Sedangkan Tan Seng Kiat bertempur dengan
tenang dan lebih banyak melakukan pertahanan daripada

132
menyerang, setiap gerakan goloknya selalu diatur dengan
perhitungannya yang tepat.

Akan tetapi hal ini tentu saja tidak diketahui oleh para penonton
yang tidak mengerti ilmu silat tinggi karena mereka hanya melihat
betapa sinar golok di tangan Sim Kang Bu sangat mengerikan,
bagaikan gelombang samudera yang bergulung-gulung memukul
pantai. Sedangkan golok di tangan Tan Seng Kiat berkelebatan
laksana halilintar dan bergulung bagaikan sebuah benteng
pertahanan yang kuat!

Kalau diukur, kepandaian kedua orang muda ini memang


seimbang. Sim Kang Bu boleh dikatakan menang tenaga, akan
terapi dalam hal ginkang, pemuda ini kalah oleh Tan Seng Kiat.
Oleh karena Sim Kang Bu beradat berangasan, melancarkan
serangan-serangannya secara bernafsu, beda dengan Tan Seng
Kiat yang berwatak sabar dan selalu tenang itu. Sengaja ia
mengambil kedudukan bertahan saja, karena ingin mengetahui
besar tenaga lawan dan siasatnya.

Melihat bahwa lawannya hanya bertahan saja, Sim Kang Bu


maklum bahwa ia sedang disiasati. Ia menjadi mendongkol dan
penasaran sekali, karena itu ia segera mengeluarkan tipu-tipu yang
paling diandalkan warisan dari suhunya.

133
Sambil berseru keras, pemuda ini tiba-tiba melakukan serangan
yang luar biasa ganasnya, yakni dengan gerak tipu Hong-sauw-
pay-yap atau Angin Menyapu Daun Rontok. Goloknya benar-benar
merupakan angin taufan yang menderu-deru dan menyambar-
nyambar dengan kuat serta cepat sekali sehingga golok itu seakan-
akan menjadi empat batang yang mengancam tubuh lawan dari
empat penjuru!

Melihat perobahan yang tiba-tiba dan hebat ini, diam-diam Tan


Seng Kiat merasa kagum, akan tetapi oleh karena ia memiliki sifat
tenang maka dalam menghadapi serangan ini ia tidak gugup.
Dengan ketenangan disertai kegesitannya yang mengagumkan
berkat gin-kangnya yang sudah tinggi, serangan lawan yang
dahsyat itu ditangkisnya dengan memainkan tipu silat dalam jurus
yang disebut Seng-siok-hut-si atau Musim Panas Mengebut Kipas.
Goloknya diputar bagaikan kitiran untuk melindungi seluruh
tubuhnya sehingga tiap tusukan atau babatan golok lawannya
selalu tertangkis dengan kuatnya.

Setelah merasa cukup mengetahut “isi” lawan, ia lalu mengganti


taktiknya. Kalau sejak tadi hanya bertahan saja, maka sekarang ia
mulai mengadakan serangan balasan. Dan demikianlah, tiba-tiba
Tan Seng Kiat berseru nyaring sambil melompat ke depan, golok

134
di tangannya berkelebat menyambar dengan serangan Hui-pau-
liu-coan atau Air terjun Bertebaran.

Dan benar saja, serangan ini membuat Sim Kang Bu terkejut dan
gugup dan justeru karena emosinya inilah sebentar saja pemuda
she Sim ini menjadi kewalahan dan mulai mundur, bertempur
sambil mundur berputar-putar. Tan Seng Kiat tidak memberi hati
lagi. Ia terus menghujani dengan serangan yang bertubi-tubi,
sehingga lawannya terdesak dan setiap saat bisa tergelincir jatuh
ke bawah panggung!

Para penonton yang menyaksikan pertandingan ini, menjadi


tegang dan cemas sekali. Biarpun tidak mengerti ilmu silat mereka
dapat merasakan bahwa pertandingan ke dua pemuda itu tidaklah
secara pibu lagi, melainkan sudah menjadi pertempuran yang
sungguh-sungguh dan tidak akan selesai kalau salah seorang
belum roboh.

Menurut aturan, Sim Kang Bu yang sudah terdesak itu semestinya


melompat dari kalangan dan mengaku kalah, akan tetapi karena ia
bersifat berangasan dan angkuh, maka baginya lebih baik mati di
bawah golok lawan dari pada ia mesti mengaku kalah.

135
Oleh karena inilah, maka biarpun sudah terdesak sehingga mundur
terus, namun ia terus saja mengadakan serangan secara nekad
dan mati-matian!

Tan Seng Kiat merasa penasaran dan gemas juga melihat


kebandelan lawan yang tidak tahu diri itu sehingga ia maklum
bahwa pertandingan ini tidak akan cepat selesai selama kawannya
ini belum dibikin luka atau dirobohkan. Dan karena serangan-
serangan Sim Kang Bu yang sambil mundur berputaran itu juga
amat berbahaya, maka terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga
dan kepandaiannya untuk mendesak lebih hebat sambil mengirim
serangan-serangan yang mematikan.

Akan tetapi, ternyata Sim Kang Bu terlalu keras hati. Meskipun


keadaannya sudah payah sekali dan napasnya terengah-engah,
sedangkan harapan menang dalam pibu ini sudah setipis kulit
bawang, namun ia pantang menyerah dan mengaku kalah, lakunya
bagaikan seorang pahlawan yang mempertahankan nyawanya
sampai titik darah terakhir!

Pada suatu saat, serangan Tan Seng Kiat demikian cepat


datangnya sehingga ketika Sim Kang Bu dengan terkejut
menangkis, api memancar keluar dari ke dua batang golok yang
saling bentur. Sim Kang Bu merasa betapa lengannya gemetar dan

136
telapak tangan yang mencekal gagang golok, terasa sakit dan
pedas!

Dan ketika ia hendak menggerakkan senjatanya untuk menyerang,


Tan Seng Kiat mendahuluinya dengan serangan kilat ke arah
batang leher! Sim Kang Bu masih dapat menangkis serangan ini,
akan tetapi karena ia sudah lelah maka ketika ia menggerakkan
goloknya untuk menangkis ia terhuyung hampir jatuh, sedangkan
pada saat itu Tan Seng Kiat tidak mau memberi hati dan menubruk
dengan goloknya yang berkelebat seperti halilintar!

Tepat dalam detik yang sangat berbahaya bagi Sim Kang Bu, tiba-
tiba terdengar suara keras: “Kang Bu, kau sudah kalah!”

Dan Tan Seng Kiat merasa betapa pundaknya ditolak orang hingga
ia terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan orang yang
datang memisah itu, sekali memegang tangan Sim Kang Bu telah
berhasil menarik pemuda itu turun dari panggung. Kemudian orang
yang memisah itu melompat kembali ke atas panggung dan berdiri
di muka Tan Seng Kiat sambil berkata:

“Siauw-ko, harap kau maafkan muridku yang ngotot itu!”

Tan Seng Kiat memandang dan setelah melihat bahwa orang itu
adalah Lu Sun Pin, maka ia menjura sambil berkata: “Terima kasih,
137
Lu Sianseng, aku merasa kagum akan kegagahan saudara Sim
itu!”

Setelah berkata demikian, Tan Seng Kiat melompat turun dan


duduk di dekat suhunya yang menyambutnya dengan wajah
gembira dan bangga. Lu Sun Pin juga sudah turun lagi dan
sementara itu, tempik sorak para penonton gegap gempita
membelah angkasa menyambut kemenangan Tan Seng Kiat,
pemuda yang mereka sangat sukai itu.

Kemudian sang juri, yaitu Cio wan-gwe tampil ke atas panggung


dan menyatakan bahwa pertandingan babak kedua sudah berakhir
dan dimenangkan oleh murid Can kauw-su pula, hingga dengan
demikian kedudukan berobah menjadi kosong-dua untuk
kemenangan pihak Sin-kun Bu-koan.

“Sekarang kami persilahkan peserta babak terakhir ini naik ke


panggung!” kata Cio wan-gwe selanjutnya.

Yang terlebih dulu tampil adalah Lu Sun Pin, guru silat dari Tong-
koan Te-it Bu-koan. Ia naik ke atas panggung dengan melakukan
gerak lompat Sin-eng Seng-thian atau Garuda sakti melayang ke
langit, sebuah gerakan yang amat indah dipandang. Sambil
melompat, ia membuka kedua tangannya ke kanan dan ke kiri

138
bagaikan sayap garuda, kedua kakinya ditekuk ke atas seakan-
akan cakar garuda hendak menyambar dan siap mencengkeram
mangsa, tubuhnya seakan-akan telungkup di udara.

Ketika tubuhnya yang tinggi besar itu turun ke atas papan


panggung, ke dua kakinya diturunkan dan hinggap di atas papan
demikian ringannya bagaikan seekor kupu-kupu yang menclok di
atas setangkai bunga mawar. Tentu saja gerakannya ini disambut
dengan tempik sorak penonton yang merasa kagum sekali.

Dengan lagak seorang jago nomor satu guru silat yang


menamakan bu-koannya Nomor Satu di kota Tang-koan ini
menjura ke arah para penonton. Kemudian berdiri mengangkat
dada, bertolak pinggang, menanti kedatangan lawan.

Setelah ditunggu sesaat lamanya, baru Can Po Goan kelihatan


berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkahnya yang tenang
ia mendekati panggung. Dan cara guru silat tua ini menaiki
panggung, sungguh di luar dugaan siapapun.

Ia bukan melompat sebagaimana yang diakukan oleh Lu Sun Pin


atau menaiki tangga seperti halnya Cio wan-gwe, melainkan
menggunakan tangan dan kakinya untuk memanjat balok tiang

139
yang tegak di sebuah sudut lui-tay itu. Seperti seekor monyet
memanjat pohon!

Tentu saja cara Can kauw-su ini kelihatannya lucu dan penonton
pada ketawa ramai. Tetapi mereka yang berpihak kepadanya
menjadi kecewa sekali karena kalau meloncat ke atas panggung
saja tidak becus, bagaimana pula hendak melawan kauw-su dari
Tong-koan Te-it Bu-koan yang benar-benar gagah itu?

Akan tetapi Lu Sun Pin dan Cio wan-gwe yang berdiri di atas
panggung, melihat gerakan yang dilakukan oleh Can Po Goan itu
menjadi kagum dan terkejut. Karena mereka mengetahui bahwa
guru silat tua itu sedang menunjukkan ilmu memanjat Pek-houw-
yu-chong (Cecak merayap tembok) yang hanya dapat dilakukan
oleh seorang yang sudah mempunyai tenaga lweekang tinggi!

Kedua telapak tangan dan kaki Can kauw-su bagaikan kaki tangan
binatang cecak dapat lengket di balok yang bundar licin itu tanpa
terpeleset sedikit juga! Ilmu ini sesungguhnya sepuluh kali lipat
lebih sukar dipelajari daripada meloncat panggung yang tingginya
dua kali panggung ini!

Setelah tiba di atas panggung, Can kauw-su berdiri menghadapi


Cio wan-gwe dan berkata: “Ah, Cio wan-gwe. Kau keterlaluan

140
sekali membuat panggung ini semakin tinggi, sehingga aku yang
sudah tua ini bersusah payah menaikinya!”

Para penonton yang berdiri di dekat panggung dan mendengar


ucapan ini, tertawa riuh rendah karena menganggap guru silat tua
itu sangat lucu dan benar-benar tidak bisa melompati panggung:

“Ah, Can toako, jangan kau terlalu merendahkan diri,” ujar Cio wan-
gwe. Kemudian hartawan ini berseru kepada para penonton:

“Saudara-saudara semua, seperti sudah kukatakan tadi, bahwa


pertandingan yang akan dilakukan antara kedua guru silat ini
adalah babak terakhir dari acara yang sudah ditentukan. Jadi
tegasnya, setelah keluar pemenang dari babak terakhir ini maka
pibu ini merupakan acara bebas, artinya siapa saja, asal warga
kota Tong-koan, dipersilahkan mengajukan diri untuk menandingi
si pemenang.

“Acara bebas ini diselenggarakan tanpa batas, atau jelasnya


dilakukan terus menerus selama satu hari ini sehingga akhirnya
terdapat orang yang benar-benar terpandai dan pantas menjadi
ketua Pauw-an-tui serta mendapat gelar Tong-koan Hohan! Nah,
sekarang Lu kauw-su dan Can kauw-su yang sudah tampil ini akan
segera berlomba yuda untuk membuktikan siapa yang lebih unggul

141
dan juga untuk mengakhiri persaingan dan permusuhan yang tiada
gunanya itu.

“Sekian, dan kini panggung ini kami serahkan ke dalam kekuasaan


Lu kauw-su dan Can kauw-su yang pasti akan menarik perhatian
saudara-saudara sekalian!” Akhirnya Cio wan-gwe turun, kini di
atas panggung tinggal Lu Sun Pin dan Can Po Goan yang sudah
saling berhadapan.

Semua penonton menahan napas. Semua mata dengan tegang


ditujukan ke arah dua jago silat yang hendak bertanding itu.

Kedua jago tua itu tampak saling menjura, dan seperti yang sudah
pernah terjadi dalam pada saling memberi hormat keduanya sudah
sama-sama menunjukkan kepandaian mereka. Hanya hal ini tidak
dapat dilihat oleh para penonton yang tidak paham ilmu silat tinggi.

Dalam saling “manjura” itu, diam-diam mereka sudah bergebrak


mengadu tenaga lweekang yang mereka kerahkan melalui
kepalan-kepalan tangan mereka yang bersikap seperti menjura itu.
Akan tetapi karena tenaga dalam mereka dapat dikatakan
seimbang dan serangan dari yang lain sebelum mengenai sasaran,
maka adu tenaga dalam ini tidak kelihatan oleh para penonton.

142
Yang mereka lihat hanya ialah kedua jago silat itu saling memberi
hormat biasa.

“Can kauw-su, mari kita tua sama tua mencari penentuan dari pibu
ini. Keluarkanlah senjatamu!” kata Lu Sun Pin kemudian dengan
sikap menantang.

Can Po Goan tersenyum sabar ketika menjawab: “Lu kauw-su,


terus terang kukatakan bahwa suara hatiku sangat berlawanan
dengan adanya pibu ini. Oleh karena kita yang sama-sama saling
menunjukkan kebodohan di atas panggung ini tidak ubahnya
seperti badut-badut sandiwara!

“Akan tetapi karena kuingat bahwa pibu ini demi kepentingan


Pauw-an-tui dan kepentingan kita penduduk kota ini semuanya
maka secara terpaksa sekali aku harus tunduk kepada syarat dan
saran yang sudah ditentukan Cio wan-gwe. Dan karena pibu ini
hanya bersifat persahabatan, maka sebaiknya kita bermain-main
dengan tangan kosong saja!”

Lu Sun Pin ketawa bergelak dan terang sekali mencemoohkan


kata-kata Can Po Goan itu, “Ah, agaknya kau ngeri terluka dan
takut mati, Can kauw-su,” katanya.

143
Dikatakan dirinya “takut mati.” Can kauw-su menghentikan
senyumnya.

“Sahabat Lu, kau jangan salah raba! Kau sebagai seorang ahli silat
tinggi tentu maklum bahwa bagi seorang yang masih rendah
kepandaiannya, kalau mematahkan sebatang kayu mesti
menggunakan golok atau kampak. Sebaliknya bagi orang yang
ilmunya sudah sempurna, kayu dapat dipatahkan tanpa
mempergunakan senjata tajam apa pun!

“Perkelahian dengan tangan kosong tidak kurang berbahayanya


daripada mempergunakan senjata, bahkan tidak jarang orang-
orang gagah di kalangan bulim (rimba persilatan) yang tewas
dengan menderita luka hebat di bagian dalam tubuhnya. Padahal
ia hanya diserang dengan tangan kosong saja!

Sahabat Lu, tadi kau mengatakan bahwa aku merasa ngeri


mendapat luka dan takut mati, dan kalau kau tetap menghendaki
pibu ini bersenjata, maka berani kukatakan bahwa masih rendah
sekali tingkat kepandaianmu. Dan sungguh memalukan kalau kau
menamakan bu-koanmu itu Tong-koan Te-it Bu-koan itu!”

Panas dada Lu Sun Pin mendengar kata-kata ini dan sambil


tersenyum masam ia berkata sebagai balasan:

144
“Oh, agaknya kau hendak mempertontonkan kepalan saktimu.
Baiklah, kita berpibu tanpa senjata dan kita buktikan kepada umum
kepalan siapa yang lebih ampuh. Memang aku ingin membuktikan
betapa hebatnya julukanmu Po-thauw Sin-kun itu! Maka, Can
kauw-su, majulah kau dan kita bertanding…….!”

“Tidak, Lu kauw-su dari Tong-koan Te-it Bu-koan yang berjuluk si


Pagoda Besi, sejak semula kau hendak menjajalku maka
semestinya kau yang mulai menyerang!” tukas Can kauw-su
sambil memasang bhesi yang biasa dilakukannya sejak masa
mudanya, yaitu kedua kaki dipentang ke kanan kiri, kedua
lengannya bersidakap di depan dada sambil menghadap lawan.

Melihat betapa lawannya telah memasang bhesi Gunung Thay-san


Menjulang Kokoh, Lu Sun Pin tidak sungkan lagi, maka sambil
berseru “Awas pukulan!” Ia majukan kakinya dan menyerang
dengan tipu pukulan Ki-hok-sauw-thian atau Mengangkat Obor
Membakar Langit!

Tangan kirinya mengacung ke atas seakan-akan sedang


memegang obor dan hendak membakar langit. Gerakan ini
sebenarnya sebuah pancingan belaka untuk mengalihkan
perhatian lawan supaya dicurahkan kepada tangan kirinya itu.

145
Akan tetapi berbareng dengan itu tangan kanannya dengan
telapak tangan terbuka membuat gerakan mendorong ke arah
tubuh lawan. Semacam dorongan yang mengandalkan lweekang
tinggi hingga sebelum tangan yang mendorong ini mengenai tubuh
yang menjadi sasaran, angin dorongan itu telah terasa
kekuatannya oleh Can Po Goan.

Guru silat she Can itu dapat memiringkan tubuhnya sedikit ke


samping dan sepasang lengannya yang bersidakap itu lalu
bergerak, yakni telapak tangan kanannya yang terbuka diletakkan
di depan dada untuk menolak hawa pukulan lawan, sedangkan
tangan kirinya juga dengan telapak dibuka membalas dengan
pukulan dalam gerak tipu Hong-tan-tiam-ci atau Burung Hong
Rentangkan Sebelah Sayap. Pukulan ini walaupun tampaknya
perlahan saja, akan tetapi di dalamnya mengandung tenaga
lweekang dahsyat yang menggetarkan dada Lu Sun Pin meski
pukulan itu belum mengenai tubuhnya!

Maklum bahwa lawannya juga membalas serangan dengan tenaga


lweekang hebat, Lu Sun Pin tidak berani berlaku ayal. Dengan
cepat ia mengelak dan mempergunakan tangan kirinya yang
diangkat ke atas tadi menyampok lengan kiri Can Po Goan.

146
“Dukk!” dua lengan yang sama-sama sebelah kiri dari dua jago silat
ini beradu dengan dahsyatnya yang menyebabkan mereka
terpental mundur sampai tiga langkah. Ke duanya terkejut dan
maklum akan kehebatan tenaga dalam lawan. Ke duanya
merasakan lengan kiri masing-masing sangat sakit dan linu!

Kemudian mereka saling serang dan saling gempur pula dengan


dahsyatnya dan karena ke duanya ahli silat tinggi, maka gerakan
mereka sangat sebat dan cepat dan makin lama makin sukar diikuti
oleh mata para penonton.

Bukan main ramai dan hebatnya pertempuran ini, sehingga murid-


murid ke dua pihak sendiri menjadi pening kepala, gelisah dan
tegang! Belum pernah mereka menyaksikan kelihayan suhu
masing-masing dalam sebuah pertempuran yang sungguh-
sungguh seperti kali ini.

Para penonton yang ketika menyaksikan pertandingan pibu babak


pertama tadi merasa gembira dan selalu bersorak-sorai. Dalam
babak kedua merasa ngeri karena pibu dilakukan dengan
bersenjata. Dalam babak ketiga ini, dilangsungkan tanpa senjata,
mereka tidak lagi bergembira dan bersorak, melainkan kini mereka
menonton dengan tidak bergerak, mata terbelalak, hati berdebar-
debar dan napas seakan-akan berhenti!

147
Sebagaimana sudah diketahui oleh pembaca, bahwa kepandaian
yang dimiliki oleh Lu Sun Pin si Pagoda Besi itu adalah ilmu silat
dari cabang Bu-tong dan karenanya, selain kaki dan tangannya
selalu merupakan bahaya dalam setiap gerakannya, terutama
sekali Lu Sun Pin sangat mahir dalam ilmu thiam-hoat (menotok
jalan darah) model cabang Bu-tong yang disebut Coat-meh-hoat.

Ilmu totok ini berbeda dengan thiam-hoat dari Siauw-lim-pay yang


disebut Thiam-hwe-louw atau dengan cabang persilatan lainnya
yang kalau digunakan harus mengarah sasaran pada jalan darah
yang penting, sedangkan ilmu totok Coat-meh-hoat dari cabang
Bu-tong tidak perlu mencari jalan darah yang tepat sehingga di
mana saja totokan ini mengenai tubuh akan melumpuhkan lawan.

Pertempuran itu sudah berlangsung limapuluh jurus dan selama


itu, Lu Sun Pin sudah tiga kali berhasil “memasukkan” ilmu
totoknya ke tubuh lawan. Akan tetapi ia merasa sangat kecewa,
terkejut dan juga kagum akan kekuatan tubuh lawan sehingga
Coat-meh-hoat yang terkenal ini seakan-akan hilang
keampuhannya.

Tentu saja Lu Sun Pin tidak mengetahui bahwa Can Po Goan,


seorang ahli silat bekas tentara yang mewarisi ilmu silat dari
cabang Siauw-lim. Selain mempunyai kepalan bertenaga dahsyat

148
yang pernah memecahkan banyak dada dan kepala musuh
semasa dalam peperangan dahulu sehingga ia mendapat julukan
Po-thauw Sin-kun atau Kepalan Sakti Pemecah Kepala disamping
julukan Toat-beng-sin-to atau Golok Sakti Pencabut Nyawa berkat
ilmu goloknya yang lihay dan hebat, juga guru silat tua ini memiliki
ilmu weduk yang disebut Tiat-pou-san (Baju besi) yang membuat
tubuhnya kebal menghadapi ilmu totokan dan hal ini sangat tepat
sekali untuk menghadapi ilmu totok dari Lu Sun Pin yang sangat
berbahaya itu!

Ilmu weduk Tiat-pou-san ini selain kebal terhadap totokan, juga


terhadap senjata tajam yang mengenai badannya, asal datangnya
tidak mengenai bagian badan yang lemah dan tidak dilakukan
dengan tenaga dalam yang tinggi! Dan karena itu, maka ilmu totok
dari Lu Sun Pin itu baginya tidak mendatangkan kelumpuhan
maupun rasa sakit, apa yang dirasakannya hanya sedikit
sesemutan saja!

Can Po Goan maklum bahwa lawannya telah berhasil


“memasukkan” tiga kali totokan terhadap dirinya dan sungguhpun
totokan itu tidak melukainya, namun dengan demikian berarti ia
kalah set atau kalah angka karena ia masih belum berhasil
memberi “hadiah” terhadap lawannya meski satu kalipun! Akan

149
tetapi dalam jurus-jurus berikutnya kekalahannya ini ternyata dapat
ditebusnya dengan baik.

Kepalan saktinya pernah dua kali mampir di pundak dan lambung


lawan, akan tetapi tidak mendatangkan akibat yang berarti karena
Lu Sun Pin yang menerima pukulan itu hanya terhuyung sebentar
dan kemudian sambil ketawa mengejek:

“Huh, hanya demikian macam saja kepalan saktimu itu?!” ia lalu


maju lagi.

Can Po Goan tidak terlalu heran akan kekuatan lawannya karena


ketika ia mengirim dua kali pukulan tadi, sengaja ia hanya
mengerahkan enam bagian saja dari tenaga dalamnya. Kalau
dilakukannya dengan sepenuh tenaga ia khawatir lawannya itu
akan menderita hebat atau bisa juga tewas.

Sebagai seorang yang berwatak sabar tentu saja ia tidak sampai


hati untuk membuat lawannya itu tewas! Akan tetapi, ketika
lawannya itu bahkan mengejek, betapapun juga sabarnya ia, tak
urung hatinya merasa mendongkol juga, maka ia berusaha pula
mencari kesempatan untuk mengirim pukulan yang benar-benar
akan mematikan lawannya itu!

150
Lu Sun Pin yang berangasan dan keras hati, yang ilmu totoknya
telah menjatuhkan banyak lawan semasa ia malang melintang
dalam dunia perantauan, dan yang belum pernah bertempur
sampai enampuluh jurus tanpa menjatuhkan lawan seperti
sekarang ini, jadi sangat gemas dan marah.

Demikian juga Can Po Goan, melihat lawannya demikian tangguh,


menjadi jengkel dan penasaran dan karena itu, maka keduanya
terus bertempur dan makin lama makin sengit! Setelah menjelang
jurus ketujuhpuluh dan mereka masih tetap sama-sama tangguh,
maka mereka maklum bahwa sukarlah merobohkan lawan tanpa
memberi pukulan yang mematikan dan yang berbahaya.

Kini mereka menyadari bahwa pertandingan pibu ini bukanlah


pengukuran tenaga dan kepandaian masing-masing lagi akan
tetapi lebih tepat disebut pertempuran mati-matian yang
dikendalikan oleh nafsu ingin membunuh lawan! Mereka merasa
sudah kepalang untuk mundur, karena siapa yang mundur berarti
mengaku kalah dan hal ini sama sekali tidak dikehendaki oleh dua
orang guru silat yang sedang membela nama dan kehormatan
masing-masing itu.

Apalagi bagi Si Pagoda Besi Lu Sun Pin, setelah dua orang


muridnya berturut-turut kalah dalam babak pertama dan kedua tadi

151
maka dalam babak terakhir ini. Ia ingin menebus kekalahan-
kekalahan muridnya, karena kalau dalam pertandingan ini ia
berhasil mengalahkan Can kauw-su si guru silat tua itu, maka
kekalahan murid-muridnya dapat ditutup dan ia takkan malu
mempunyai bu-koan yang namakannya nomor wahid di Tong-
koan.

Sedangkan Can Po Goan sendiri, biarpun sejak semula hatinya


sangat bertentangan dengan adanya pibu ini, kini ia bertempur
mati-matian, bukan untuk mencari nama, bukan karena ingin
menjadi ketua Pauw-an-tui dan mendapat gelar kehormatan Tong-
koan Hohan, melainkan ia berjuang guna menjaga nama dan
kehormatan semata. Supaya dirinya tidak dipandang rendah oleh
lawan dan kalau dalam pibu ini ia keluar sebagai pemenang, maka
nama rumah perguruan yang diasuhnya, — yang mengalami
kesuraman bagaikan sinar bulan yang menyuram dan lenyap
dikalahkan oleh sinar matahari berupa Tong-koan Te-it Bu-koan
yang baru muncul itu akan menjadi terang dan gemilang kembali!

Yah, hanya untuk inilah Can Po Goan bertempur. Bukan untuk


mencari nama, karena segala kedudukan dan gelar kosong itu
baginya yang sudah berumur setua itu sama sekali tidak berarti!

152
Pertempuran sudah memasuki jurus kesembilanpuluh dan pada
suatu saat, Can Po Goan dapat “mencuri” suatu kesempatan baik
dan berhasil mengirimkan pukulan dengan kepalan saktinya yang
dilakukan dengan sepenuh tenaga dalam gerak tipu Pay-in-cut-sui
atau Mendorong Awan Keluar Puncak! Pukulan kali ini benar-benar
tidak keburu ditangkis atau dikelit oleh Lu Sun Pin dan ia hanya
dapat mengerahkan segenap tenaga khi-kangnya ke bagian dada!

“Dukk!!” Demikian suara yang terdengar ketika kepalan, yang


berlweekang dahsyat menghantam dada yang berkhi-kang tinggi
itu! Can Po Goan yakin bahwa dengan pukulannya ini, lawannya
akan terpental jauh dan nyawanya akan sukar ditolong lagi! Akan
tetapi kenyataannya……? Benar-benar guru silat tua ini menjadi
kaget dan kagum.

Lu Sun Pin si Pagoda Besi itu benar-benar memiliki kekuatan tubuh


seperti pagoda besi karena setelah dadanya yang sama sekali
tanpa penjagaan itu dibentur oleh kepalan yang dilepas oleh Can
kauw-su dengan sepenuh tenaga dan yang mematikan. Ia sama
sekali tidak terpental maupun jatuh seperti yang diduga oleh guru
silat she Can tadi. Melainkan ia hanya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang dan setelah itu kelihatan limbung sesaat, tiba-
tiba ia melompat maju lagi biarpun kini wajahnya meringis-ringis.

153
Benar-benar Can kauw-su merasa kaget dan kagum melihat
kekuatan dan kegagahan lawannya ini, dan disamping itu iapun
sangsi. Apakah benar-benar lawannya demikian kuat sehingga
dapat bertahan terhadap pukulannya yang sedikitnya bertenaga
seratus kati ini tanpa terguling roboh? Ataukah tenaga kepalannya
sendiri yang sudah berkurang karena umurnya yang makin tua ini?

Akan tetapi Can kauw-su tak sempat berpikir terus. Oleh karena
sambil meringis-ringis itu dan setelah melompat maju mendekati,
tiba-tiba dan dengan kecepatan kilat dan sambil menggereng
seperti harimau terluka, Lu Sun Pin menyerang hebat dengan
tangan kanannya.

Karena serangan ini datangnya cepat sekali, maka dengan tak


kalah cepatnya, Can Po Goan menggerakkan tangan kanannya
yang tadi digunakan untuk memukul itu, ke atas dan menangkis
serta mencengkeram tangan lawan itu. Ternyata maksudnya pun
sama dengan maksud si Pagoda Besi yang merobah pukulannya
itu dengan sebuah cengkeraman serupa Eng-jiauw-kang (pukulan
cakar garuda)!

Maka secara tepat dan cepat sekali kedua, tangan kanan mereka
saling mencengkeram dan saling memegang hingga jari-jari
tangan mereka saling menggenggam. Karena gerakan ini

154
dilakukan berbareng, maka kini mereka tak dapat melepaskan
tangan lagi dan ke duanya mengerahkan tenaga lweekang untuk
menjatuhkan lawan!

Tubuh mereka diam bagaikan patung, tangan kiri diacungkan ke


atas guna mengimbangi tenaga dan ke dua mata mereka yang
seakan-akan mengeluarkan cahaya api, saling memandang
dengan tak berkedip! Kedua orang ini seperti sedang berpanco
sambil berdiri menunggu siapa yang menjerit lebih dulu karena jari-
jari dan telapak tangannya diremas oleh tangan yang ber lweekang
lebih tinggi!

Sungguh tegang dan mengkhawatirkan sekali keadaannya kedua


orang ahli silat tinggi yang sedang mengadu kepandaian dan
lweekang ini, sehingga semua orang yang melihatnya menahan
napas. Memang sukar bagi kedua pihak untuk mundur lagi, karena
kalau mengalah sedikit saja selain jari-jari dan telapak tangan
mereka akan hancur, bahkan akan menderita luka dalam yang
berbahaya!

Tiba-tiba Cio Wan-gwe melompat ke atas panggung, sambil


mengucapkan, “Maaf!” Ia berdiri ditengah-tengah dua jago yang
bertempur itu dan tahu-tahu Lu Sun Pin dan Can Po Goan
terhuyung mundur seperti ditolak oleh suatu tenaga besar!

155
Orang-orang yang melihat perbuatan Cio wan-gwe ini kaget dan
tercengang. Kaget karena keberaniannya menghampiri dan
memisah dua jago yang sedang bertempur mati-matian dan
tercengang karena mereka selama mengenal Cio wan-gwe, baru
kali ini mereka menyaksikan bahwa hartawan itu ternyata pandai
ilmu silat!

Memang, selama menjadi penduduk kota Tong-koan, Cio wan-gwe


baru kali ini memperlihatkan bahwa dirinya memiliki ilmu silat. Hal
ini agaknya dilakukannya tanpa disadarinya atau mungkin karena
terpaksa sebab ke dua jago silat itu kalau tidak dapat dilerai,
niscaya salah seorang akan celaka dan hal ini bertentangan
dengan maksud pibu.

Ketika ia melompat ke atas panggung, orang hanya melihat


bayangan berkelebat di antara ke dua orang yang bertanding itu
dan gerakan tangannya cepat sekali tatkala ia memisahkan,
sehingga tidak terlihat oleh para penonton!

Sebenarnya, dengan mempergunakan ilmu totok yang tinggi, Cio


wan-gwe telah melakukan penotokan dengan tangan kanan dan
kirinya ke pergelangan tangan masing-masing dan setelah itu, ke
dua lengannya mendorong tubuh yang bertempur itu ke belakang.
Baik Lu Sun Pin, maupun Can Po Goan ketika pergelangan mereka

156
ditotok merasa tenaga mereka lenyap dan tangan mereka yang
saling genggam dan saling cengkeram itu lumpuh tak bertenaga,
maka mudah saja mereka dipisahkan oleh Cio wan-gwe dan
didorong ke belakang hingga genggaman masing-masing terlepas.

“Maafkan kelancanganku mengetengahi dan memisahkan


perkelahian kalian ini. karena kulihat pertempuran kalian tidak
bersifat pibu, akan tetapi seperti dua harimau yang hendak saling
membunuh! Sedangkan sebenarnya, seorang di antara kalian ini
harus berlaku jujur dan mengaku kalah!” demikian kata Cio wan-
gwe terhadap kedua jago yang baru dipisahkannya itu.

Can Po Goan melihat kepada hartawan dengan sinar mata heran


karena guru silat tua pun merasa tercengang akan kepandaian si
hartawan yang baru kali ini dilihatnya. Dulu ia menyangka, seperti
juga sangkaan orang-orang lain, bahwa si hartawan itu tidak
mengerti ilmu silat. Diam-diam Can Po Goan merasa kagum dan
maklumlah ia bahwa Cio wan-gwe selama ini sengaja
menyembunyikan kepandaiannya.

Adapun Lu Sun Pin ketika itu, tiba-tiba menjura kepada Can kauw-
su dan berkata dengan suara seperti orang yang menahan rasa
sakit:

157
“Can kauw-su, kau benar-benar lihay dan aku Lu Sun Pin secara
jujur mengaku kalah!”

Kemudian tanpa menanti jawaban, dengan wajah meringis ia


melompat turun ke bawah panggung, akan tetapi sebelum tiba di
tempat duduknya, ia memuntahkan darah merah dan roboh
pingsan. Para muridnya bukan main kagetnya, mereka serempak
menghampirinya dan menolong guru mereka yang ternyata sudah
dikalahkan oleh Can kauw-su ini!

Cio wan-gwe pun terkejut melihat betapa Lu Sun Pin muntah


darah, maka ia cepat berseru kepada murid-murid kawannya itu,
“Cepat bawa ke dalam, ke kamar obat dan beri tiga butir kim-tan
(obat)!”

Tubuh Lu Sun Pin lalu digotong oleh para muridnya dan dibawa ke
dalam rumah gedung Cio wan-gwe di bagian kamar obat-obatan
dengan Cio Swi Ho, putera tunggal Cio Wan-gwe sebagai petunjuk
jalan dan juga yang mengambilkan obat dari lemari tempat obat.

Benar-benar obat kim-tan itu sangat mujarab. Sesaat kemudian


setelah tiga butir kim-tan itu dimasukkan ke dalam mulut dan
dibantu dengan semangkok air sehingga tertelan, maka Lu Sun Pin

158
siuman dari pingsannya. Wajahnya yang tadi pucat dan agak biru,
kini berangsur-angsur segar kembali.

“Suhu, agaknya suhu mendapat luka dalam. Dan atas kekalahan


suhu ini, perkenankanlah teecu membuat perhitungan terhadap si
guru tua itu.” Kata-kata ini diucapkan oleh Sim Kang Bu, murid
kepala dari Lu Sun Pin yang berwatak kasar dan yang marasa malu
dan panas hati sekali setelah ternyata dalam pibu itu pihaknya
kalah semua.

Akan tetapi alangkah tercengang dan kecewa hati Sim Kang Bu


dan juga sebagian para suteenya ketika mendengar suhunya
menyahut sambil membentak marah.

“Diam kau! Kau jangan membuat gara-gara dan hendak


memperpanjang lagi permusuhan yang tiada artinya itu.
Dengarlah, permusuhan ini sudah kita habisi melalui pibu yang adil
dan jujur, sehingga luka atau tewas sudah sewajarnya dan tak
perlu dibuat malu dan panas hati!

“Maka, mulai sekarang, setelah aku dikalahkan oleh Can kauw-su,


aku harus mengakui bahwa kepandaian Can kauw-su jauh tinggi
daripada kepandaianku dan karena ini, aku harus menerima
kekalahan ini dengan rela. Aku peringatkan kepadamu, Kang Bu

159
dan juga kepada kalian, murid-muridku semuanya, jangan
menaruh dendam dan rasa penasaran terhadap pihak Can kauw-
su, supaya peristiwa seperti yang sudah-sudah, jangan sampai
terulang lagi!”

Setelah berkata demikian, Lu Sun Pin bangkit dan berjalan menuju


panggung lui-tay 1alu duduk pula di kursinya yang tadi, diikuti oleh
para muridnya yang diam-diam merasa heran akan sikap guru
mereka yang di luar kebiasaan ini. Mereka pun memuji bahwa guru
mereka benar-benar seorang yang berhati jujur dan berjiwa gagah,
dapat menerima kekalahan dengan hati puas dan bahkan
melarang mereka menyimpan dendam maupun hati penasaran!

Ketika itu, Cio wan-gwe masih berdiri di atas panggung dan ketika
melihat Lu Sun Pin sudah hadir pula di tempatnya dalam keadaan
segar bugar berkat kemanjuran kim-tannya, maka ia mengangguk
sambil tersenyum dan berkata:

“Lu-tee (adik Lu), kau sudah baik?”

Lu Sun Pin hanya tersenyum sambil mengangguk dan Cio wan-


gwe yang agaknya maklum akan jawaban sambil membisu ini,
berkata pula:

160
“Syukurlah dan tadi, selagi kau berada di dalam, telah kuumumkan
bahwa pertandingan antara kau dengan Can kauw-su telah
dimenangkan oleh Can kauw-su. Bagaimana, kau setuju?”

Sambil tetap tersenyum, Lu Sun Pin kembali mengangguk dan


kemudian mata jago silat yang sudah mengakui kekalahannya
sendiri ini dipandangkan ke arah Can Po Goan, yang ketika itu
sedang duduk bersila, dikursinya. Ternyata guru silat she Can itu
setelah melihat lawannya tadi digotong ke dalam rumah Cio wan-
gwe dan mendengar dirinya dinyatakan menang, ia menjura
kepada hartawan itu sambil mengucapkan terima kasih dan
kemudian menjura kepada para penonton yang bersorak riuh
rendah menyambut kemenangannya.

Akhirnya ia turun dari panggung dan duduk bersila dikursinya,


kedua matanya dipejamkan dan kedua lengannya diletakkan di
atas pangkuannya. Dalam keadaan begini ia mengatur napas
untuk memulihkan kembali tenaganya yang telah banyak
dikerahkan.

Selama Can kauw-su beristirahat, Cio wan-gwe tinggal berdiri di


atas panggung dan kadang-kadang berjalan mondar mandir sambil
mendengarkan riuh dan ramainya pembicaraan para penonton
yang umumnya memuji kegagahan Can kauw-su.

161
Kemudian setelah dilihatnya Lu Sun Pin keluar lagi dalam keadaan
tidak kurang suatu apa dan dilihatnya pula Can Po Goan masih
duduk bersamadi, sedangkan suara para penonton yang berisik itu
kini sudah berkurang, maka Cio wan-gwe lalu menghadap ke arah
para penonton dan berkata lantang:

“Saudara-saudara sekalian yang terhormat! Seperti sudah kami


katakan tadi, bahwa apabila pertandingan babak ketiga selesai,
akan diadakan acara bebas, yakni memberi kesempatan kepada
orang gagah untuk turut serta dalam sayembara ini.

“Pibu bebas boleh diikuti oleh setiap orang dan harus ingat, asal
saja yang menjadi penduduk wilayah kota Tong-koan. Untuk
mempersingkat waktu kami beri ketentuan sebagai berikut:

“Barang siapa yang berhasil memperoleh kemenangan sampai tiga


kali maka ia diwajibkan bertanding dengan pemenang dari babak
ketiga tadi, yakni Can Po Goan sianseng. Kemudian,
pemenangnya nanti bila benar-benar tidak ada yang mengajukan
diri lagi untuk mencoba-coba, maka dengan secara mutlak dialah
yang berhak menjadi pang-cu Pauw-an-tui dan mendapat gelar
kehormatan Tong-koan Hohan atau Pahlawan gagah kota Tong-
koan yang dalam arti kata benar gagah dan tanpa tandingan di
daerah Tong-koan ini! Maka sekarang, kami persilahkan peserta

162
atau dapat juga disebut sebagai penantang pertama, naik ke
panggung!”

Setelah ditunggu sesaat, tiba-tiba terdengarlah suara gelak tertawa


dibarengi berkelebatnya bayangan hitam dan tahu-tahu seorang
laki-laki yang wajahnya menyeramkan, matanya yang besar
seperti mata ba-rong-say dan cambang bauknya yang tumbuh
seperti rumput-rumput liar di hutan. Pakaian juga hitam, dan
serangka golok yang tergantung di pinggangnya pun berwarna
gelap pula, telah berdiri di atas panggung dan berhadapan dengan
Cio wan-gwe, ia masih tertawa berkakakan!

“Ha, ha, ha! Akulah penantang pertama. Siapa yang hendak


berolahraga denganku dan coba-coba mengadu kepunsuan untuk
menjadi ketua Pauw-an-tui dan menjadi Tong-koan Ho-han, hayo,
naiklah!” demikian kata orang itu sambil bertolak pinggang
menghadap kepada para penonton dan matanya yang
menakutkan itu bergilar-gilar ke sana ke mari seakan-akan mencari
lawan yang ditantangnya.

Semua orang, yaitu para penonton, Cio wan-gwe, Lu Sun Pin dan
Can Po Goan, bukan main terkejutnya karena mereka umumnya
sudah mengenal bahwa orang itu adalah Ji Tay-ong (Raja Kedua)
atau wakil kepala dari gerombolan perampok, yang bernama Ciam

163
Tang berjuluk Srigala Hitam, yang sering memimpin anak buahnya
melakukan “operasi” di kota Tong-koan selama ini.

Seperti diketahui, gerombolan perampok yang bersarang di hutan


sebelah selatan dari kota Tong-koan dipimpin oleh Si Cakar
Harimau (Houw-jiauw) Lo Ban Kui. Adapun Si Srigala Hitam ini
adalah tangan kanannya atau selaku wakil yang setiap kali
melakukan “gerakan operasi” selalu turun gunung memimpin anak
buahnya, sehingga wajah yang menyeramkan dari si Srigala Hitam
ini sudah dikenal oleh sebagian besar penduduk daerah Tong-
koan, yaitu mereka yang pernah disatroni dan dimintai “sokongan”
dengan paksa!

Hari itu agaknya Cim Tang kebetulan melihat pertandingan pibu


tersebut, maka ketika diadakan acara pertandingan bebas, ia
sengaja naik ke panggung dan sesumbar karena ia yakin, bahwa
semua orang yang sudah mengenalnya pasti takut atau sedikitnya
tidak berani “main-main” dengannya.

Seperti diketahui, pibu itu diselenggarakan untuk membentuk dan


memilih ketua barisan keamanan yang pada hakekatnya guna
mengganyang gerombolan perampok dan gerombolan bajak
sungai. Maka ketika semua orang melihat Ciam Tang si wakil
kepala garong itu naik panggung dan sesumbar, mereka terkejut

164
karena kehadiran orang ini benar-benar diluar keinginan mereka.
Ciam Tang adalah musuh rakyat, karena terkenal kekejaman dan
kebiadabannya.

Namun kini ia berani terang-terangan muncul di atas lui-tay yang


justeru tengah mengadakan pemilihan ketua untuk memimpin
sebuah organisasi guna mengganyangnya. Hal ini membuktikan
betapa besar nyalinya si Srigala Hitam itu!

“Eh, sahabat! Bukankah kau ini wakil kepala garong yang bergelar
si Srigala Hitam?” demikian tegur Cio wan-gwe dengan dada
berdebar-debar, bukan karena merasa takut, akan tetapi karena
sangat marah melihat kekurang ajaran orang itu yang terang-
terangan menghinanya.

Ciam Tang menghentikan suara ketawanya dan sambil tetap


bertolak pinggang, ia menoleh tanpa menghadap, tatkala memberi
penyahutan: “Tak salah, tuan Cio yang terhormat dan kaya raya.
Aku merasa beruntung sekali berkesempatan mengikuti
sayembara pibu ini dan barangkali saja aku bisa menjadi ketua
Pauw-an-tui…… Ha, ha, ha!”

Sudah sikapnya menghina, kini jawabannya pun sangat menghina


pula, maka Cio Wan-gwe yang biasa menerima penghormatan dan

165
sanjungan dari orang, bukan main murkanya sehingga ia
membentak: “Bedebah! Siapa yang memberi kau izin mencampuri
urusanku ini?”

“Hahaha! Aduh galaknya tuan Cio ini kalau siang hari dan
dihadapan orang banyak, tapi kalau setiap kali aku bertamu ke
rumahmu, mengapa badanmu menggigil seperti orang diserang
penyakit demam mendadak……?

“Eh, tuan Cio, kau bertanya bahwa siapa yang memberi izin aku
turut serta dalam pibu ini? Lupakah bahwa kau tadi menyerukan
bahwa setiap penduduk dalam daerah Tong-koan, berhak menjadi
pang-cu dan Tong-koan Hohan melalui sayembara yang kau
selenggarakan ini. Karena akupun penduduk daerah Tong-koan,
maka aku pun berhak memperebutkan kedudukan pang-cu dan
gelar kehormatan yang hebat itu! Ha, ha, ha…….!”

Kemarahan Cio wan-gwe sudah sampai dipuncaknya dan


hartawan ini segera membuka jubah luarnya yang merah itu yang
lalu dilemparkan ke bawah panggung dan ditanggap oleh
puteranya, Cio Swi Ho yang kebetulan waktu itu sedang berdiri di
bawah panggung! Ternyata setelah baju luarnya ditanggalkan,
tampaklah pakaian hartawan itu serba ringkas yaitu pakaian

166
seorang ahli silat. Dan sambil bertolak pinggang, ia melampiaskan
hawa amarahnya:

“Manusia iblis! Kau dan kawan-kawanmu adalah musuh kami,


maka kau tidak berhak menyertai lomba yuda ini dan sebelum kau
kuusir, kuminta dengan hormat supaya kau turun panggung!”

Si Srigala Hitam yang bengis itu kembali ketawa bergelak. “Ha, ha,
ha! Cio wan-gwe, kenapa kau melanggar peraturan yang kau
keluarkan sendiri? Bukankah tadi telah kau katakan bahwa setiap
orang penduduk Tong-koan boleh turut serta dalam lomba yuda
tanpa pengecualian?!

“Kalau sejak tadi kau terangkan bahwa dalam hal ini ada
pengecualian, yakni tegasnya aku dan orang-orang dari golongan
kami tidak diperbolehkan, sudah tentu akupun tidak sudi naik
panggung sandiwara badut ini! Namun, sekarang, setelah aku
berdiri di atas lui-tay ini, tidak nanti aku mau turun begitu saja dan
agaknya kau sendiri hendak mengusirku? Boleh, cobalah……! Ha,
ha, ha!”

Saking marahnya terhadap orang yang terang-terangan datang


dengan membawa maksud tidak baik itu, Cio wan-gwe tidak

167
berkata pula. Melainkan dengan sebat ia mengirim tendangan kilat
ke arah selangkangan Ciam Tang sambil berseru:

“Enyahlah!!”

Kini secara terang-terangan Cio wan-gwe memperlihatkan bahwa


ia sebenarnya memiliki kepandaian silat dan tingkat
kepandaiannya memang lebih tinggi setingkat dari Lu Sun Pin.
Akan tetapi mengapa selama ini ia menyembunyikan
kepandaiannya itu, adalah sebuah rahasia yang menarik dan akan
diceritakan kemudian.

Tendangan yang dilakukan olehnya itu adalah semacam ilmu


tendang yang lihay dan berbahaya dari cabang Bu-tong yang
disebut Lian-hoan-twi. Tendangan ini dilakukan sambil melompat
dan gerakan kedua kakinya secara berantai.

Tendangan pertama yang dilakukan oleh Cio wan-gwe sambil


berseru, “Enyahlah!” tadi, merupakan gerakan kilat yang
dilancarkan oleh kaki kiri dengan lutut ditekuk, dan segera dengan
gerakan kilat pula disusul oleh samberan kaki kanan dan terus ke
dua kaki bergantian dan berulang-ulang melakukan tendangan
bertubi-tubi ditujukan ke arah anggauta berbahaya si Srigala Hitam
itu.

168
Inilah serangan pertama yang berbahaya dan sekali saja
tendangan ini mengenai sasaran, jiwa yang diserang sukar
ditolong lagi! Dilihat dari gerak tendangan Lian-hoan-twi ini, maka
jelaslah bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Cio Wan-gwe adalah
sama dengan Lu Sun Pin, yaitu dari cabang Bu-tong!

Terdengar kembali suara yang bergelak-gelak dari Ciam Tang


ketika menghadapi tendangan Cio Wan-gwe itu, “Ha, ha, ha!
Tendangan Kudamu sungguh hebat, Cio Wan-gwe,” katanya
sambil tiba-tiba ia merendahkan diri setengah berjongkok dan
ketika tendangan kaki si hartawan itu melayang ke arah mukanya,
Ciam Tang segera mengulurkan kedua tangannya dan secara
tepat sekali ia menangkap kaki Cio wan-gwe itu.

“Celaka……!” demikian terdengar Cio wan-gwe berseru karena


sama sekali tidak menduga bahwa Ciam Tang akan menerima
tendangannya secara demikian rupa, bukan berkelit atau balas
menyerang, akan tetapi justeru menangkap kakinya!

Dan sebelum Cio Wan-gwe sempat melakukan gerakan lain dan


dapat menguasai keseimbangan badan karena sebelah kakinya
ditangkap itu, tiba-tiba terdengar Ciam Tang berseru keras dan
ternyata orang ini setelah menangkap kaki yang menendang itu
lalu berdiri dan mendorongnya sekuat tenaga ke depan hingga Cio

169
wan-gwe tidak ampun lagi terlempar ke bawah panggung. Cio wan-
gwe sudah memiliki gin-kang tinggi dan ketika tubuhnya
dilontarkan, ia membuat salto di udara, sehingga ketika jatuh di
bawah panggung, ia dalam keadaan berdiri!

Bukan main kagetnya semua orang, apalagi Cio wan-gwe sendiri,


karena hanya dalam segebrakan saja ia dilemparkan oleh Ciam
Tang ke bawah panggung. Suatu bukti yang nyata bahwa si Srigala
Hitam itu berkepandaian sangat tinggi!

Biarpun Cio wan-gwe tidak mendapat celaka, namun terlempar ke


bawah panggung berarti bahwa ia sudah dikalahkan oleh lawan
maka sungguhpun hatinya sangat marah sekali, akan tetapi ia tidak
ada muka untuk naik ke atas lui-tay lagi. Hanya dengan wajah
pucat ia memandang Ciam Tang dengan rasa kaget, marah dan
juga kagum akan kelihayan lawan!

“Ha, ha, ha! Lawanku yang pertama sudah kuterbangkan ke bawah


panggung! Hayo, siapa yang hendak menjadi lawanku yang kedua,
naiklah……!” Ciam Tang sesumbar dan menantang, lagaknya
amat menyebalkan, akan tetapi wajahnya yang bengis itu sungguh
menakutkan.

170
Tiba-tiba tampak seorang pemuda melompat ke atas panggung,
tangannya memegang pedang dan berseru: “Eh, manusia biadab,
akulah lawanmu dalam babak kedua ini!”

Ciam Tang memandang pemuda ini dan setelah ketawa pula,


berkata: “Oh, kiranya yang muncul wan-gwe muda atau Cio Swi Ho
kongcu yang ketika tempo hari aku datang ke rumahmu meminta
derma, kencing di celana?!”

Benarlah pemuda itu adalah putera Cio wan-gwe. Dan meskipun


maklum bahwa ia bukan tandingan Ciam Tang, namun karena
melihat ayahnya dikalahkan hanya dalam segebrakan saja, maka
pemuda ini telah melupakan kepandaian sendiri, yang masih
rendah saking marahnya, dan tanpa memperdulikan cegahan
ayahnya, ia melompat ke atas panggung sambil tangan membawa
pedang!

Pada suatu kali rumahnya didatangi Ciam Tang dan kamrat-


kamratnya melakukan penggarongan, pemuda ini sangat
ketakutan sekali sehingga kaki tangannya menggigil hebat dan
celananya basah karena tanpa dirasa lagi, ia telah ngompol…..!
Maka ketika soal ngompol itu dikatakan oleh Ciam Tang di muka
umum, Cio Swi Ho merasa amat malu dan marah, maka tanpa

171
banyak cakap lagi ia maju menubruk sambil menyabetkan
pedangnya ke arah leher Ciam Tang.

“Ha, ha! Ayahnya harimau anaknya harimau pula, biarpun harimau


yang masih sangat muda dan belum bergigi dan tumbuh kukunya,
tapi nyata lagaknya ganas benar!” Ciam Tang mengejek dan
dengan tenang tapi amat cepat, ia miringkan tubuhnya dan ketika
tangan kirinya bergerak, ia telah menepuk pergelangan tangan
pemuda itu yang memegang pedang hingga pedang tersebut
terlepas dan lalu ditangkap oleh Ciam Tang yang mempergunakan
tangan kanannya.

Cio Swi Ho merasa betapa tangannya menjadi kaku karena


tepukan perlahan itu dan tahu-tahu pedangnya telah berpindah
tangan, maka maklumlah kalau Ciam Tang, mau dalam seketika
juga akan dibalas dengan serangan sambil mempergunakan
pedang rampasan itu. Ia melangkah mundur dengan kaget dan
tanpa melihat lagi kepada lawan, ia segera melompat turun dengan
wajah merah karena jengah dan lengan kanan dalam keadaan
setengah lumpuh!

“Ha, ha, ha! Segala macam cacing pisang, mana bisa bermain-
main denganku!” kata Ciam Tang dan tiba-tiba terdengar suara
“pletakk!” ternyata pedang yang dirampas tadi telah dipatahkan

172
menjadi dua potong dan yang hebat sekali, ia mematahkan pedang
itu hanya dengan menggunakan tekanan jari telunjuk dan ibu jari
saja.

Hal ini membuktikan bahwa Ciam Tang memiliki tenaga dalam


yang sangat tinggi! Ia lemparkan potongan pedang ini ke tempat
kosong di belakang panggung. sambil ketawa besar dan nyaring.

“Mana lawanku yang ketiga?” katanya dan matanya yang bergilar


liar itu melirik ke arah Can Po Goan.

Can Po Goan yang ketika itu sudah pulih kembali tenaga dan
semangatnya, maklum bahwa si Srigala Hitam itu sudah
menantangnya. Seperti sudah diterangkan, bahwa guru silat tua ini
tidak mempunyai maksud untuk merebut kedudukan ketua Pauw-
an-tui. Setelah mengalahkan Lu Sun Pin ia sudah merasa cukup
puas dan apabila dari pertandingan acara bebas yang menyusul ini
keluar seorang gagah dan bertanding dengannya, ia sengaja akan
mengalah!

Akan tetapi, kenyataannya kini yang selalu menang dari lomba


yuda bebas ini adalah seorang yang justeru menjadi musuh rakyat
dan kalau ia tidak dapat menjatuhkan orang ini pasti komplotan
garong akan lebih kurangajar lagi. Dia berdiam diri lagi sesaat

173
lamanya sambil menanti kalau-kalau ada orang lain yang akan
menghadapi si Srigala Hitam itu.

Tetapi ternyata tiada orang yang muncul ke atas lui-tay berarti tiada
orang yang berani bertanding dengan wakil kepala perampok yang
sudah diketahui kelihayannya ini, sedangkan sementara itu si
Srigala Hitam sudah berkali-kali melirik kepadanya yang
dimakluminya sebagai tantangan. Guru silat tua ini beranjak dari
tempat duduknya dan sekali saja tubuhnya bergerak, dalam
sekejap ia sudah berada di atas panggung dan berhadapan
dengan Ciam Tang yang menyambutnya dengan ketawa besar.

Ketika melihat Can kauw-su muncul, para penonton bersorak


dengan gembira dan dari mereka terdengar seruan-seruan seperti:
“Menanglah Can kauw-su! Bikin mampus si Srigala Hitam itu!
Ganyanglah segala bentuk kaum pengacau!!!”

“Oh, kiranya yang naik ini adalah Can locianpwee?! Mengapa kau
terburu-buru naik? Bukankah tuan panitia tadi menentukan bahwa
peserta lomba yuda bebas ini harus menangkan perkelahian dulu
sampai tiga kali, dan baru bertanding dengan Can locianpwee,
padahal aku baru saja bertanding dua kali?!”

174
Ciam Tang bertanya kepada Can kauw-su dengan sikap seperti
orang yang sungguh-sungguh menghormat. Sedangkan wajahnya
jelas sekali berseri-seri sombong.

“Sahabat she Ciam, kedatanganmu jelas sekali tidak membawa


maksud baik bagi kami.” Can kauw-su menjawab dengan suara
ketus karena merasa sebal akan sikap dan pembicaraan peserta
lomba yuda yang tidak diharapkan ini.

“Aku mengerti bahwa kau baru saja mendapat kemenangan dua


kali, akan tetapi karena untuk ketiga kalinya ini ternyata setelah
kutunggu tiada orang yang muncul menghadapimu, maka
terpaksalah aku si orang tua yang tak berguna ini coba-coba
bermain-main denganmu untuk membuktikan siapa sebenarnya
yang keluar menjadi juara dari pertandingan silat ini!”

“Bagus locianpwee! Biarpun sudah tua tapi ternyata kau masih


bersemangat muda, maka aku yang rendah ini merasa berterima
kasih sekali akan menerima pelajaran darimu. Nah, silahkan mulai,
Can locianpwee!”

Hati Can kauw-su berdebar tegang karena melihat gerakan orang


ini tadi sudah pasti ia berkepandaian sangat tinggi dan ia merasa
bahwa tak mungkin dapat merobohkannya. Akan tetapi Can kauw-

175
su bukan seorang pengecut, betapapun juga ia akan
mengandalkan kepandaian yang dimilikinya dan berusaha
merobohkan lawan yang sudah nyata sekali ketangguhannya itu,
demi kebaikan nama dan kehormatannya dan demi kepentingan
Pauw-an-tui!

“Tidak! Kau lebih muda dariku dan juga karena kau sebagai
penantang, maka sepantasnya kaulah yang maju lebih dulu!” balas
Can kauw-su sambil memasang kuda-kuda yang teguh.

Menyuruh lawan maju dan ia sendiri menanti, ini adalah tata cara
yang sopan dalam pibu maupun dalam saat memulai perkelahian.
Memberi kesempatan kepada lawan untuk bergerak lebih dulu
dianggap kelakuan sopan dan penghormatan, karena pada
umumnya di kalangan persilatan, yang menyerang lebih dulu
dianggap telah menang setingkat atau boleh juga disebut menang
set.

Akan tetapi bagi para yang sudah tinggi ilmu kepandaiannya, hal
ini bahkan sebaliknya. Mereka tahu bahwa sikap yang terbaik ialah
menanti lawan bergerak lebih dulu, oleh karena pihak yang
diserang dapat berlaku lebih waspada dan hati-hati, dapat melihat
permulaan gerakan lawan lebih dulu.

176
Sehingga dengan demikian, ia dapat membuat perhitungan secara
tepat betapa untuk menyambut serangan lawan itu, yaitu
menangkis, mengelak dan kemudian dapat melancarkan serangan
balasan yang lebih berbahaya karena sukar dijaga oleh si
penyerang yang bergerak lebih dulu itu. Hal ini diketahui baik oleh
Can kauw-su, ia selalu menyuruh pihak lawan membuka serangan
lebih dulu.

Ciam Tang kembali ketawa bergelak ketika melihat guru silat tua
itu sudah memasang kuda-kuda dan sambil tertawa-tawa
mengejek ia melangkah dua tindak mendekati Can kauw-su serta
mulai menyerang dengan pukulan tangan kanannya ke arah pelipis
orang tua itu, sambil membentak, “Awas pukulan geledekku!”

Can Po Goan dapat merobah kedudukan kuda-kudanya dan


merendahkan tubuh sambil mengangkat lengan kirinya menangkis
dan tangan kanannya yang mempunyai kepalan sakti itu
menyerang dengan sodokan ke arah perut Ciam Tang. Si Srigala
Hitam berlaku sebat dan mengelak dari kepalan sakti pembawa
maut itu dan kemudian ia menggunakan gerakan lain pula
menyerang.

177
Dan demikianlah, pada detik berikutnya ke dua orang itu sudah
terlibat dalam suatu pertempuran yang bukan sekadar mengukur
kepandaian, akan tetapi lebih tepat disebut usaha pembunuhan!

Can kauw-su bergerak lincah berkat gin-kangnya yang tinggi,


dengan semangat tuanya yang ulet dan dengan mengandalkan
kepalan saktinya yang ampuh. Ia bertempur secara gigih sekali.

Sebaliknya Ciam Tang lebih hebat lagi. Setiap serangannya sangat


ganas dan gerakannya lebih cepat daripada lawannya dan yang
hebat lagi, sambil bertempur ia dapat terus ketawa-tawa!

Ternyata pertempuran ini tidak berlangsung lama, oleh karena


ketika menjelang jurus kelimabelas, Can Po Goan sudah mulai
terdesak hebat dan sungguhpun guru silat ini sudah mengerahkan
seluruh kepandaian simpanannya dalam pertarungan yang
sebentar itu, akan tetapi kenyataannya ia harus mengakui bahwa
wakil kepala perampok itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian
yang sangat tinggi! Gerakan-gerakannya demikian cepat dan sukar
diduga dan pula sangat ganas sekali.

Can kauw-su maklum, bahwa selain ia kalah napas karena ia


sudah bertempur dengan Lu Sun Pin tadi sehingga membuatnya
cepat lelah, juga tingkat lweekangnya kalah jauh oleh lawannya.

178
Sudah beberapa kali ia mencoba mengukur tenaga dalam, dan
kenyataannya ia selalu terpental dan terhuyung-huyung!

Dalam pertempuran itu ternyata Ciam Tang lebih banyak


menggunakan totokan-totokan yang sangat hebat hingga ilmu
weduk yang dimiliki Can kauw-su seakan-akan lenyap daya
tahannya. Biarpun Can kauw-su seorang ahli silat tinggi dan sudah
banyak pengalaman, akan tetapi menghadapi ilmu silat dan
totokan dari si Srigala Hitam ini benar-benar ia merasa kewalahan
dan ia tidak tahu ilmu silat lawannya itu dari cabang mana!

Tiga jari Ciam Tang itu, yakni telunjuk, jari tengah dan jari
manisnya, baik dari tangan kanan maupun kiri, biarpun tidak
runcing akan tetapi dapat menembus kulit dan daging. Dan
celakalah Can kauw-su kalau sampai terkena secara telak oleh
totokan yang dapat menembus dinding bata dengan sekali tusuk
itu.

Apalagi Ciam Tang berhati kejam dan ganas sekali. Terbukti dari
serangan-serangannya yang selalu ditujukan ke bagian-bagian
yang berbahaya dari tubuh lawannya, yakni jari tangan yang kuat
itu ditusukkan secara bertubi-tubi ke arah leher, lambung, perut,
mata dan pusar secara sambung menyambung sehingga Can

179
kauw-su menjadi sibuk sekali menangkis, mengelak dan sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas.

Dan diam-diam orang tua ini hatinya mengeluh karena segala ilmu
kepandaian yang dimilikinya ternyata sama sekali tidak berdaya
menghadapi kelihayan Ciam Tang! Biarpun Can kauw-su sudah
kewalahan dan napasnya sudah terempas-empis dan ia terus
terdesak mundur, akan tetapi ia masih belum menerima kalah.
Juga tidak ada kesempatan untuk mengaku kalah, karena Ciam
Tang sambil tertawa-tawa mengejek terus mendesak dengan
serangan-serangan maut!

Akhirnya detik-detik yang sangat berbahaya bagi Can kauw-su


tibalah, yaitu ketika tusukan jari tangan dari Ciam Tang mengarah
matanya. Can kauw-su cepat mengelit akan tetapi ternyata kelitan
yang cepat ini masih kurang cepat karena jari-jari tangan si Srigala
Hitam yang kuat itu telah menyerempet pipinya sehingga kulit pipi
itu terobek-terobek dan darah merah segera memenuhi bagian pipi
yang terluka dan terus ngucur ke dagunya!

Can kauw-su terhuyung-huyung karena selain pipinya dirasakan


sakit dan perih. Juga totokan itu agaknya dikerahkan dengan
tenaga dalam yang dahsyat sehingga membuat kepalanya menjadi
pening dan pandangan matanya berkunang-kunang!

180
Akan tetapi Ciam Tang tidak mau berhenti dan terus maju
menyerang dengan tusukan jari tangan kanannya ke arah uluhati
yang tentu akan mendatangkan maut apabila terkena. Can kauw-
su cepat menjatuhkan dirinya untuk mengelak dari serangan maut
ini, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Ciam Tang menyamber
sehingga tubuh guru silat tua ini terguling di atas panggung.

Untung tendangan itu hanya mengenai pahanya, dan ia melihat


Ciam Tang maju mengejar dan hendak menendangnya pula, maka
cepat Can kauw-su mengadakan pembelaan diri. Ia bergulingan
dengan gerakan Naga bermain-main dengan mustika. Tubuhnya
bergulingan dengan cepat di atas papan panggung sehingga
sepakan-sepakan kaki Ciam Tang beberapa kali dapat dielakkan.

Akan tetapi Ciam Tang benar-benar kejam, sepatunya yang bersol


besi itu terus dilayangkan dan pada suatu saat, sambil tertawa-
tawa besar ia hendak mengirim tendangan yang terakhir, yaitu
hendak membuat tubuh Can kauw-su ditendangnya sampai
terlempar ke bawah panggung! Dan benar-benar, jiwa Can Po
Goan terancam hebat, karena tendangan itu ditujukan ke arah
lambungnya!

Para penonton menahan napas, bahkan ada yang berteriak karena


mengkhawatirkan keselamatan Can kauw-su!

181
Akan tetapi tiba-tiba Ciam Tang mengerang dan kakinya yang
ditendangkan itu sebelum mengenakan sasaran ditarik kembali.
Sambil menggigit bibir menahan sakit, ia melihat ke arah
sepatunya dan ia melihat bahwa sepatunya berlubang dan kakinya
luka, biarpun hanya luka kecil saja, akan tetapi mendatangkan rasa
sakit bukan main! Dan tidak jauh dari kakinya, ia melihat sebutir
batu kecil.

Ternyata tanpa diketahui oleh Ciam Tang dan semua orang,


kakinya telah disambit orang dan karena batu itu kecil sekali, maka
dapat menembus sepatu dan melukai kaki. Ciam Tang maklum
bahwa si penyambit tentulah seorang yang berkepandaian tinggi.

Kesempatan itu digunakan oleh Can Po Goan untuk cepat-cepat


melompat turun dari panggung.

Bukan main marahnya Ciam Tang. Mukanya yang menyeramkan


menjadi merah bagaikan warna kepiting direbus dan matanya
bergilar liar kepada para penonton.

“Bangsat keji yang curang!” ia memaki, “Orang yang menyambitku,


naiklah untuk membuat perhitungan denganku!”

Semua orang merasa bersyukur karena Can kauw-su telah


terhindar dari bahaya maut, akan tetapi sekarang Ciam Tang
182
menjadi demikian marah. Karena mereka maklum bahwa si wakil
kepala perampok itu bila sudah marah akan mengumbar
kekejaman dan kebengisannya!

Dan semua orang merasa heran sekali, mengapa si bengis itu tiba-
tiba menjadi marah?!

Sebagai sambutan pada makian Ciam Tang itu tiba-tiba dari bawah
panggung, yaitu dari para penonton, tampak bayangan biru
dengan gerakan gesit sekali seperti seekor burung walet. Dan
tahu-tahu di depan Ciam Tang telah berdiri seorang pemuda yang
tampan dan gagah.

Pakaian yang dikenakannya berwarna biru langit dan pinggangnya


diikat dengan tali pengikat semacam tali yang panjang dan
agaknya terbuat dari benang sutera berwarna kuning emas.
Topinya juga berwarna biru dihias ronce-ronce benang emas dan
pemuda ini sambil tersenyum lebar berdiri di depan Ciam Tang
yang memandangnya dengan mata terbelalak.

“Kaukah yang menyambitku dengan batu kerikil tadi?” tegur Ciam


Tang sambil memandang tajam wajah tampan dari pemuda yang
paling banyak berusia duapuluh tahun itu.

183
“Tidak salah dan memang akulah yang menyambitmu, Ji-tay-ong!”
jawab pemuda itu dan dengan wajahnya tetap berseri-seri berkata
lagi: “Ji-tay-ong, tadi kau memakiku dengan menyebut bangsat keji
yang curang, sebenarnya kekejian dan kecurangan manakah yang
telah kulakukan terhadapmu?!”

Bukan main herannya hati para penonton mendengar ucapan


pemuda yang luar biasa beraninya ini. Dan bukan main marahnya
hati Ciam Tang melihat sikap dan mendengar ucapan si anak muda
yang seakan-akan memandang rendah sekali kepadanya
sehingga ia menggertakkan gigi menahan marah.

“Hm! Kau bocah cilik ini benar-benar bernyali besar! Caramu


menyambit tadi bukankah sudah membuktikan perbuatan keji dan
curang yang pantas dilakukan oleh seorang, pengecut?!”

“Kau bicara dan memaki orang menurut seenaknya goyangan


lidahmu saja, Ji-tay-ong!” pemuda itu mengadakan bantahan
sambil mengedikkan kepalanya dengan gaya penuh ejekan.

“Baru kau kusambit dengan sebuah kerikil saja kau telah memakiku
curang, keji dan pengecut! Akan tetapi sebaliknya kau sendiri, yang
sok mengepalai perampokan, pembunuhan, pembakaran, dan

184
penculikan, dapatkah perbuatanmu itu disebut perbuatan gagah
dan terhormat?!”

“Bangsat kecil, jagalah mulutmu karena kalau aku sudah marah,


kepalamu bisa kuhancurkan!”

“Bangsat besar, jangan terlalu sombong, karena kalau aku sudah


marah bisa membikin si Srigala hitam menjadi si Srigala buntung!”

Orang-orang yang berada di sekelilingnya mulai merasa gembira


mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda yang lucu dan
berani itu. Dengan sikapnya yang lucu dan sama sekali tidak
memperdulikan kemarahan orang yang diganda senyum-senyum
mengejek saja itu, pemuda yang mereka belum kenal itu
melenyapkan suasana tegang dan menimbulkan kegembiraan
dalam hati para penonton.

Sungguhpun mereka sangat cemas akan keselamatan si pemuda


mengingat kelihayan dan kekejaman si Srigala hitam Ciam Tang
itu.

Selama menjadi wakil kepala perampok, belum pernah Ciam Tang


dihina dan diperlakukan kurangajar oleh seorang bocah cilik
seperti anak muda yang kini berdiri di hadapannya itu!

185
“Kau siapakah maka berani benar kau berlaku kurang ajar
terhadapku? Siapakah namamu?” bentak Ciam Tang dengan
tangan terkepal karena menahan marahnya.

Pemuda baju biru itu tersenyum lucu dan menjawab sambil


miringkan kepalanya dan memandang penuh ejekan:

“Kau ingin mengetahui namaku? Baiklah, aku bernama Souw Bun


Liong dan sebagai penduduk daerah Tong-koan, maka aku berhak
turut serta dalam sayembara pemilihan ketua Pauw-an-tui itu!

“Ketahuilah, ji-tay-ong, rakyat Tong-koan sudah bangkit


semangatnya untuk mengganyang gerombolanmu dan aku selaku
rakyat, terlebih dulu aku akan mengusirmu dari panggung ini,
karena kedatanganmu ke sini dan turut sertanya kau dalam acara
pibu ini sudah terang hanya mengandung maksud mengacau!”

“Bangsat kecil, rupanya kau mempunyai sedikit kepandaian hingga


kau berani menjual kesombongan di depanku!” Biarpun sangat
marah, akan tetapi karena memandang rendah terhadap pemuda
itu, maka Ciam Tang masih dapat mengejek sambil tertawa.

“Garong tua! Memang aku mempunyai sedikit kepandaian, karena


kalau tidak, sudah tentu takkan berani berdiri dihadapanmu
lantaran melihat wajahmu yang seperti ba-rong-say dan kedua
186
matamu yang besar seperti mata kerbau sudah cukup membuatku
lari ketakutan!”

Para penonton ketawa riuh karena hati mereka merasa gembira


sekali mendengar sindiran si pemuda yang sangat berani dan tepat
itu. Akan tetapi suara ketawa mereka serempak terhenti ketika tiba-
tiba terdengar bentakan yang nyaring sekali dari Ciam Tang:

“Bocah gila! Agaknya benar-benar kau sudah bosan hidup!”


bentakan ini disusul oleh tangannya yang mengirim serangan kilat.

Souw Bun Liong ketawa mengejek dan tangannya bergerak


menangkis. Kemudian dengan tangannya yang sebelah lagi ia
balas menyerang tanpa merobah kedudukan kakinya yang berdiri
tetap pada tempatnya yang tadi.

Si Srigala Hitam terus melancarkan serangan-serangan dengan


jari-jari tangannya dan seperti tadi ketika ia bertempur dengan Can
Po Goan, setiap serangannya sangat cepat, kuat dan ganas!
Dengan mengandalkan kepandaiannya yang lihay, Ciam Tang
yang sangat memandang rendah terhadap lawan mudanya yang
seperti anak sekolahan itu, tadinya hendak menjatuhkan lawannya
dalam waktu yang singkat.

187
Can kauw-su yang tangguh tadipun dapat dibikin tidak berdaya
hanya dalam belasan jurus saja, maka bocah yang masih ingusan
ini masak tidak dapat dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan
saja, pikirnya.

Akan tetapi, benar-benar Ciam Tang tidak mengerti dan juga tidak
mengenal ilmu silat apa yang dimainkan oleh pemuda itu. Memang
Souw Bun Liong cara bersilatnya aneh sekali.

Meskipun ia menghadapi serangan yang bertubi-tubi dan sangat


berbahaya sekali dari Ciam Tang, namun pemuda itu hanya
menggerakkan tubuh bagian atasnya saja, yaitu kedua tangannya
bergerak-gerak secara tidak keruan akan tetapi dapat melakukan
tangkisan atau sampokan dengan jitu sekali. Sedangkan sepasang
kakinya yang berdiri di atas papan panggung itu tanpa sedikitpun
berpindah dari tempat, kecuali hanya bergerak seperlunya untuk
melayani lawan yang melancarkan serangan sambil mengitari
tubuhnya itu.

Ciam Tang telah melakukan segala macam serangan yang serba


cepat, ganas dan mematikan. Akan tetapi selalu dapat ditangkis
dengan tepat oleh lawan mudanya yang tersenyum-senyum dan
karena anak muda ini tidak mau berpindah dari tempat berdirinya,
maka Ciam Tang harus selalu menghampirinya!

188
Ciam Tang, dengan segala kegesitannya tak ubahnya seperti
sedang melawan sebuah patung saja. Tidak bergerak, tidak
mengejar, namun tidak dapat didekati karena selain tangkisannya
yang selalu jitu, juga pukulan balasan yang dilakukan pemuda itu
sangat berbahaya sekali walaupun seakan-akan dilakukan sambil
berdiri diam saja!

Telah tiga kali Ciam Tang mencoba mengadu tenaga, ternyata ia


merasa betapa lengannya sesemutan! Ia terkejut dan maklum
bahwa anak muda ini ternyata ahli lweekeh yang mempunyai
tenaga lweekang sangat tinggi, maka setelah maklum bahwa
lawannya “berisi”, ia berlaku lebih hati-hati!

Sesudah sekian jurus berlangsung dan pemuda itu hanya


menangkis sambil berdiri hingga merupakan benteng yang amat
kokoh, Si Srigala Hitam menjadi gemas dan pikirnya kalau pemuda
itu menyerang, tentu akan ada kesempatan baginya untuk
merobohkannya. Kalau hanya bertahan, tentu saja anak muda itu
kuat sekali karena seluruh perhatian dan tenaganya dikerahkan
untuk bertahan dan membela diri.

Kalau ia membalas menyerang tentu harus bergerak kian kemari


sehingga sepasang kakinyapun mesti berpindah-pindah pula, dan
dengan demikian tenaga serta perhatiannya terpecah. Maka

189
setelah benaknya menelurkan siasat ini, Ciam Tang berseru
marah:

“He, anak sambel. Kenapa kau licik, tidak membalas menyerang


dan hanya menangkis saja?!”

“Oho! Jadi kau ingin kubalas?” balas pemuda itu sambil


mengangkat hidungnya, semacam sikap mengejek.

“Ya, balaslah menyerang, kalau kau benar-benar berani


melanjutkan pertempuran ini!”

Kembali Souw Bun Liong tersenyum tatkala menjawab: “Baiklah,


dan karena ini adalah permintaanmu, maka jangan menyesal kalau
sebentar lagi tubuhmu kubikin jatuh menggelinding ke bawah
panggung!” Begitu cepat ucapannya selesai, secepat itu pula
tubuhnya bergerak.

Sebentar saja ia berkelebat ke sana ke mari dengan kecepatan


yang melebihi lawannya sehingga si Srigala hitam menjadi terkejut
sekali. Dan tak lama kemudian, dengan menggunakan gerak tipu
Liok-tee-heng-houw (Menolak Perahu di Darat) Souw Bun Liong
berhasil mendorong dada lawannya sehingga sambil berseru
kaget, marah dan kesakitan Ciam Tang terdorong hingga tubuhnya

190
yang tinggi besar seperti raksasa itu bergulingan di atas panggung
kemudian menggelinding dan jatuh ke bawah!

Tetapi kerena ia memang berkepandaian tinggi, ketika tubuhnya


menggelinding ke bawah ia masih dapat menguasai
keseimbangan tubuh sehingga jatuh dalam keadaan berdiri. Ia
merasa kesakitan sambil tangannya mengusap-usap dadanya.
Dan setelah mengawasi pemuda itu sebentar dengan sinar mata
bernyala-nyala, ia berjalan menyelinap dan akhirnya menghilang di
antara orang banyak.

Gegap gempitalah suara sambutan dari para penonton melihat


kemenangan pemuda yang baru muncul secara tak disangka-
sangka ini. Can Po Goan dan Lu Sun Pin juga bersorak dan
bertepuk tangan di tempat duduknya, sementara Cio wan-gwe
cepat melompat ke atas panggung dan menjura kepada Souw Bun
Liong,

“Souw sicu, kau benar-benar gagah dan aku berterima kasih sekali
kau dapat mengalahkan si Srigala Hitam yang muncul ke sini
hendak mengacau upacara yang kita selenggarakan ini!”

191
Pemuda she Souw itu balas menghormati dan berkata, “Cio tayjin,
siauwtee tidak berani menerima pujian dan ucapan terima kasihmu
itu, oleh karena hal yang terjadi tadi hanya secara kebetulan saja.”

Cio wan-gwe merasa senang melihat pemuda yang tampan,


berkepandaian tinggi, tapi bersikap sopan dan sangat merendah
ini dan memang demikianlah seharusnya sifat yang dimiliki oleh
seorang gagah, sederhana, dan merendah.

“Ah, kau jangan berlaku sungkan dan terlalu merendah, karena


kepandaian tinggi yang tersimpan di dalam dirimu tidak dapat
disembunyikan, Souw sicu, Dan jika boleh aku bertanya, siapakah
yang menjadi guru dari Souw sicu ini?”

“Jangan tayjin terlalu memuji, oleh karena sebenarnya siauwtee


tak lebih hanya pernah mempelajari beberapa macam ilmu pukulan
kampungan warisan dari seorang tua yang tidak bernama.”

Jawaban ini yang bagi orang lain hanya berupa jawaban biasa saja
dari seorang pemuda yang tidak mau menyombongkan
kepandaian dan menonjolkan nama gurunya. Akan tetapi bagi
telinga Cio Wan-gwe, Can Po Goan dan Lu Sun Pin yang juga
mendengarnya, jelaslah pemuda itu sudah memberikan
penyahutan yang selengkapnya.

192
“Oh…… kiranya Souw sicu ini adalah murid dari Bu Beng
Locianpwee!” kata Cio wan-gwe menegaskan dengan wajah
berseri karena hatinya dipenuhi perasaan kagum, sambil menatap
wajah pemuda yang tampan itu.

“Tak salah, tayjin, Bu Beng Lojin (Orang tua tidak bernama) yang
Bu-pun-su (tidak berkepandaian) itu memang suhu siauwtee, maka
harap tayjin sudi memaafkan siauwtee yang bodoh telah lancang
turut serta dalam acara pibu bebas yang tayjin selenggarakan ini.”

Cio Wan-gwe ketawa bergelak karena hatinya gembira, ke dua


tangannya memegang ke dua pundak pemuda itu sambil tatapnya
baik-baik, lalu katanya:

“Souw sicu, sudah lama aku mendengar nama gurumu yang


pernah menggetarkan dunia kang-ouw pada beberapa belas tahun
yang lalu. Akan tetapi sebelum aku sempat bertemu dengan beliau,
ternyata beliau sudah mengundurkan diri dari pergaulan dunia
yang selalu penuh huru hara ini, sehingga hatiku merasa menyesal
sekali!

“Namun, sekarang, secara tidak dinyana aku sudah bertemu


dengan engkau dan sebagai murid dari Bu Beng Locianpwee,
maka sangat pantaslah kedudukan ketua Pauw-an-tui dan gelar

193
Tong-koan Hohan menjadi milikmu, Souw sicu! Hal ini benar-benar
akan membuat kami gembira bila kau tidak menampiknya.”

“Tayjin,” kata Souw Bun Liong setelah bungkam sejenak,


“Sebenarnya kelancangan siauwtee tampil ke atas lui-tay ini,
bukan maksud siauwtee ingin menjadi ketua Pauw-an-tui maupun
gelar yang mentereng itu. Kalau saja si Srigala Hitam tadi ada yang
mengatasi kecongkakannya, niscaya siauwtee yang bodoh ini
takkan berani mengunjukkan kebodohan. Maka sekali lagi
siauwtee harap tayjin memberi maaf se-banyak-banyaknya karena
siauwtee tidak berani menerima tawaran tayjin yang sangat mulia
ini.”

“Ah, kau jangan terlalu merendah selalu, Souw sicu! Kenyataan


sudah tak dapat dipungkiri dan berani kupastikan bahwa di dalam
wilayah Tong-koan ini, kepandaianmu sukar mendapat tandingan.

“Maka, Souw sicu, biarpun hatimu menampik kedudukan namun


sebagai seorang warga kota Tong-koan, pasti kau merasa
berkewajiban mendukung organisasi yang kami bentuk demi
kepentingan kita bersama ini, maka sekali lagi kuharapkan kau
jangan terlalu berlaku sungkan.”

194
Setelah berkata begitu dan sebelum Souw Bun Liong sempat
mengajukan sanggahan lebih jauh terhadap kata-kata si hartawan
yang bersifat menyanjung itu, Cio wan-gwe telah menghadap ke
arah para penonton dan berkata nyaring:

“Saudara-saudara sekalian! Seperti kalian sudah saksikan tadi


bahwa si Srigala Hitam yang terkenal tinggi ilmu kepandaiannya
dan sengaja hendak mengacau serta mempermainkan
pembentukan Pauw-an-tui ini, telah digulingkan oleh pemuda
gagah kawan kita ini. Maka menurut hemat kami, Souw sicu murid
dari Bu Beng Locianpwee ini pantaslah menjadi ketua Pauw-an-tui
dan mendapat gelar kehormatan Tong-koan Hohan! Bagaimana,
menurut pendapat dan pandangan saudara-saudara sekalian,
setujukah??!”

Serempak terdengar sambutan dari para penonton riuh rendah,

“Setuju…..! Setuju!! Akuur…….!!!”

“Bagus!!!” seru Cio Wan-gwe dengan hati puas dan tanpa menoleh
lagi kepada Souw Bun Liong yang berdiri di belakangnya, hartawan
itu lalu berpidato pula:

“Akan tetapi, saudara-saudara, sebelum kita mengangkat Souw


sicu menjadi ketua Pauw-an-tui dan memberikan gelar Tong-koan
195
Hohan dengan resmi. Demi menjaga dan untuk mencegah
kerewelan nantinya, yaitu kerewelan dari orang-orang yang masih
merasa penasaran karena belum menjajal kepandaian Souw sicu
ini.

“Maka baiklah sekarang kami membuka suatu kesempatan bagi


para ho-han yang hadir di sini untuk mengajukan diri dan coba
bermain-main dengan Souw sicu dengan harapan barang kali saja
dapat merebut kedudukan pang-cu dan mendapat gelar
kehormatan seperti yang sudah disebutkan berkali-kali tadi.

“Kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir, jadi pibu bebas


ini hanya tinggal satu babak lagi berhubung waktu yang sudah
kami tentukan, sudah hampir habis! Kami beri waktu dengan
sepuluh hitungan, yaitu dari satu sampai sepuluh dan apabila
hitungan sudah habis, namun tiada orang yang tampil dan berpibu
dengan calon pang-cu ini, maka pengangkatan ketua dan gelar
Tong-koan Hohan secara mutlak menjadi hak Souw sicu dan tak
dapat diganggu gugat lagi oleh siapapun.

“Kecuali kalau hal ini dikehendaki oleh Souw sicu sendiri dan
mendapat persetujuan kami selaku ketua panitia pembentukan
organisasi massa ini. Sekian, harap cuwi maklum dan sekarang
kami mulai menghitung: Satu…..! Dua…..!! Tiga…..!!!

196
Dan seterusnya Cio wan-gwe menghitung sambil menggerak-
gerakkan lengan kanannya ke atas dan ke bawah, seakan-akan
seorang wasit sedang menghitung bagi seorang petinju yang roboh
dalam keadaan semaput di atas gelanggang!

Dan, manakala Cio wan-gwe sudah meneriakkan kalimat:


“Sepuluh……!!!!!!” akan tetapi ternyata tiada orang yang muncul,
maka serempak hagaikan suara gunung roboh, para penonton
bersorak:

“Hidup Souw pang-cu!”

“Hidup Pauw-an-tui……!!!”

“Ganyang komplotan perampok…..!!”

“Hancurkan gerombolan bajak sungai……!!!”

Akan tetapi oleh karena seruan-seruan ini mereka lakukan dalam


waktu yang sama dan secara serempak pula, maka apa yang
terdengar hanya sorak-sorak saja yang gegap gempita
memekakkan anak telinga!

Souw Bun Liong maklum bahwa sorak sorai itu adalah berupa
pujian baginya, maka ia lalu menjura terhadap mereka. Akan tetapi,

197
mendadak, sorak sorai berhenti dan semua orang memandang ke
atas panggung dengan mulut setengah ternganga karena hati
mereka terkesiap dan terkejut!

Ternyata selagi para penonton bersorak-sorak itu, tiba-tiba tampak


berkelebat dua bayangan hitam dan tahu-tahu di depan Souw Bun
Liong dan Cio wan-gwe telah berdiri dua orang yang tak asing lagi
bagi penduduk Tong-koan.

Dua orang itu, yang seorang berbadan tinggi kurus dan berwajah
kecil lancip seperti potongan muka kambing gunung. Pakaiannya
serba hitam dan di pinggangnya menyoren pedang. Dan yang
seorang lagi, baik pakaian yang dikenakan maupun senjata yang
dibawanya sama seperti kawannya, hanya bedanya orang ini
tubuhnya tegap kekar dan wajahnya tampak angker apalagi karena
kulit mukanya berwarna sedemikian hitam seperti pantat kuali,
maka benar-benar orang ini tampaknya sangat menyeramkan!

Kedua orang, ini adalah dua tokoh dari bajak sungai yang
mempunyai nama julukan Huang-ho-ji-go (Sepasang Buaya
Sungai Kuning) dan masing-masing bernama Bu Kiam dan Bong
Pi. Huang-ho-ji-go ini dalam kedudukan “pangkat” dalam bajak
sungai, setingkat lebih bawah dari si Raja Bajak Huang-ho Sin-mo
Ma Gu Lim.

198
Dan sepasang Buaya Sungai Kuning ini dalam melakukan
“operasi”, tak kalah jahat, kejam dan tinggi ilmu silatnya dari pada
si Srigala Hitam Ciam Tang tadi! Itulah sebabnya. maka ketika
semua orang melihat dua orang penjahat ini muncul serempak
menghentikan sorak sorai mereka dan hati mereka terkesiap serta
terkejut!

Tampilnya si Huang-ho-ji-go ini tentu membawa maksud yang


sama dengan si Srigala Hitam tadi, yaitu hendak mengacau dan
membuat gara-gara pikir mereka.

Cio wan-gwe mundur setindak lalu menjura terhadap dua bajak


sungai itu: “Maaf, jiwi tampil terlambat, maka betapapun juga jiwi
tak dapat mengganggu gugat keputusan yang telah kami
jatuhkan!”

Bu Kiam si Muka Kambing balas menghormat dan menyahut:


“Kami mengerti bahwa sesudah hitungan tadi habis, kami tidak
berhak untuk coba-coba merebut kedudukan pangcu. Dan oleh
karena kami sendiri pun maklum bahwa betapapun juga kami
takkan diterima menjadi pangcu Pauw-an-tui lantaran kami justeru
terdiri dari kaum yang kalian musuhi dan akan diganyang.

199
“Maka tampilnya kami ke sinipun bukan bermaksud hendak
merebut sesuatu kedudukan, melainkan kami hanya ingin menjajal
betapa kosennya pangcu yang masih muda ini, maka inilah
sebabnya kami sengaja tampil sesudah hitungan wan-gwe tadi
habis!”

“Selain dari pada itu,” Bong Pi si Muka Hitam menyambung, “kami


anggap dalam pibu tadi ada sesuatu yang kurang adil, yaitu
kekalahan yang diderita oleh si Srigala Hitam tadi bukan semata-
mata karena kepandaiannya lebih rendah dari Souw sicu ini,
melainkan mungkin karena si Srigala Hitam sudah terlalu lelah
karena sebelum berhadapan dengan Souw sicu ini, ia sudah
berkempur dengan tiga lawan.

“Maka, supaya dapat dikatakan adil, Souw sicu ini seharusnya


bertempur menghadapi tiga lawan lagi dan kalau ternyata ia
menang, benar-benarlah ia seorang yang pantas mendapat
julukan Tong-koan Hohan! Bagaimana menurut pendapat wan-
gwe selaku panitia dan juri, gagasanku ini ceng-li (beralasan) atau
tidak?”

Cio wan-gwe tak dapat menjawab dengan segera, melainkan ia


berpaling kepada Souw Bun Liong dengan maksud menyerahkan
gagasan si muka hitam itu kepada pertimbangan pemuda itu

200
sendiri. Souw Bun Liong maklum akan apa yang dimaksud oleh
hartawan itu, maka dengan sinar mata tajam, ditatapkan kepada
kedua orang itu, ia berkata,

“Gagasanmu kuterima dengan hati gembira, saudara Bong. Dan


kalau tak salah dugaanku, penantangku adalah kalian berdua,
bukan?”

“Benar, saudara Souw yang gagah. Dan kalau kau benar-benar


dapat mengalahkan kami, baru kami mau mengakui bahwa kau
benar-benar pangcu yang gagah dan Tong-koan Hohan yang patut
disegani,” sahut Bu Kiam dengan pandang mata mengejek.

“Kita coba saja, saudara Bu,” balas Souw Bun Liong sambil bibir
mengunjukkan senyum sindir, “Dan supaya dikatakan benar-benar
adil seperti kata saudara Bong tadi, bahwa aku mesti bertempur
menghadapi tiga orang lawan lagi, maka untuk mempercepat
wakku, sebaiknya kau panggil seorang kawanmu lagi dan kalian
boleh maju bersama-sama!”

Cio wan-gwe merasa kaget juga mendengar tantangan Souw Bun


Liong yang biarpun diketahui berkepandaian tinggi, akan tetapi
menurut anggapannya pemuda itu terlalu sembrono oleh karena
maklum bahwa si Sepasang Buaya Sungai Kuning itu hebat sekali

201
ilmu pedangnya, apalagi bila mereka maju bersama-sama.
Demikian juga semua orang merasa tercengang dan hati mereka
menjadi cemas, karena mereka pun menganggap bahwa pemuda
itu terlalu gegabah.

“Souw sicu, menurut kabar, Huang-ho-ji-go ini hebat sekali ilmu


pedangnya apabila mereka maju berbareng, maka kau hati-hatilah
terhadapnya,” Cio wan-gwe berbisik di telinga Bun Liong.

“Terima kasih atas peringatanmu, tayjin,” ujar pemuda itu lalu


sambungnya: “Sebaliknya silahkan tayjin turun saja dan sambil
duduk beristirahat, tayjin boleh saksikan kebodohanku.”

Tanpa banyak cakap lagi Cio wan-gwe turun dari panggung lalu
duduk di kursi dengan perasaan tegang dan dada berdebar.

“Nah, Huang-ho-ji-mo yang terkenal akan kehebatan ilmu


pedangnya, sekarang kita boleh mulai main-main. Akan tetapi,
mana kawanmu yang seorang lagi?” tantang Bun Liong kemudian.

Bu Kiam ketawa mengejek sambil tangannya meraba gagang


pedangnya: “Kau jangan terlalu sombong dan takbur, anakmuda!
Jangankan kami maju bertiga atau berdua, sedangkan melawanku
seorang saja belum tentu kau dapat menjadi Tong-koan Hohan
yang patut dibanggakan! Hayo, keluarkanlah senjatamu kalau kau
202
benar-benar mempunyai kepandaian yang sesuai dengan
kesombonganmu!”

“Kebetulan sekali aku tidak membawa senjata, akan tetapi oleh


karena tangan dan kaki adalah senjata yang kita bawa sejak lahir
dan kegunaannya tidak kalah oleh pedang atau golok, maka
baiklah kugunakan tangan dan kaki saja untuk melayani
pedangmu!”

“Hm! Mentang-mentang kau sudah dinobatkan menjadi ketua


Pauw-an-tui dan berjuluk Tong-koan Hohan, maka kau merasa
paling pandai. Baiklah, dengan melupakan pantangan orang gagah
tidak boleh menghadapi lawan yang bertangan kosong dengan
bersenjata, aku hendak mencoba kemampuanmu. Nah, awas
serangan pedang!”

Bu Kiam merasa dihina sekali oleh pemuda itu, maka ketika ia


berbicara tadi, ia telah menghunus pedangnya dan begitu
ucapannya habis, ia segera mengirim serangan kilat dengan
tusukan pedang ke arah dada Bun Liong tanpa memperdulikan
bahwa pemuda itu masih belum mengadakan persiapan, yaitu
belum memasang kuda-kuda.

203
Akan tetapi ternyata Souw Bun Liong cukup waspada. Sambil
berseru, “Bagus!” secepat kilat ia miringkan tubuhnya ke kiri,
sehingga tusukan pedang Bu Kiam meleset di sisi tubuhnya. Dan
sambil dengan menggunakan dua jari tangannya yang terbuka,
yaitu jari telunjuk dan jari tengah, diluncurkan dengan gerakan
hendak mencokel ke dua mata Bu Kiam.

Melihat serangan balasan dari lawan yang dianggapnya sangat


remeh ini, Bu Kiam ketawa mengejek sambil menggunakan gerak
tipu Hong-hong-thiam-tauw (Burung Hong Menganggukkan
Kepala). Kepalanya ditundukkan ke bawah sehingga tusukan dua
jari tangan si pemuda yang hendak mencokel keluar biji matanya
itu jadi nyasar ke tempat kosong di atas kepalanya.

Dan ketika ia hendak menarik kembali pedangnya untuk


melanjutkan serangan berikutnya, tiba-tiba tangan Bun Liong yang
sebelah kanan telah bergerak cepat dan menghantam
pergelangan tangan Bu Kiam yang mencekal pedang, sambil
menggerakkan kaki kirinya, yaitu dengan menggunakan ujung
sepatunya yang runcing menotok jalan darah di bagian sambungan
tulang dengkul si Muka Kambing!

Maka terdengarlah tiga macam suara yang berbeda-beda, “Plak!


Trang!! Blug!!!”

204
Ternyata suara “Plak!” itu adalah suara tangan Bun Liong yang
menghantam pergelangan Bu Kiam secara jitu dan keras sekali
sehingga pedang terlepas dari cekalan si muka kambing dan jatuh
di atas papan panggung. Adapun suara “Blug” itu adalah tubuh Bu
Kiam yang jatuh dalam keadaan duduk sambil menggereng
nyaring dan tangannya mengurut-urut lutut yang di”cium” oleh
sepatu pemuda tadi.

Untuk sejenak suasana sepi saja oleh karena semua orang diam
keheranan. Mereka tidak mengerti bagaimana pemuda baju biru itu
hanya dalam segebrakan saja telah berhasil melepaskan pedang
lawan dari cekalan si pemiliknya dan bahkan membuat pula si
Muka Kambing yang terkenal kelihayannya itu jatuh sambil
mengurut dengkul.

Namun keadaan sepi itu hanya sebentar saja, karena pada detik
berikutnya, ketika melihat Bu Kiam mengurut-urut dengkulnya
dengan wajahnya yang seperti kambing meringis-ringis sehingga
kelihatan lucu sekali, maka pecahlah sorak sorai mereka disertai
suara ketawa yang terbahak-bahak.

Sambil berdiri dan “menggendong” tangan, dan badannya agak


dibungkukkan, Souw Bun Liong memandang kepada Bu Kiam dan
sambil senyum-senyum simpul, katanya:

205
“E-eh! Kenapa kau ini, saudara Bu? Agaknya kau pelelah benar,
sehingga baru bermain-main segebrakan saja kau sudah
melepaskan pedang dan duduk istirahat! Coba kalau kau menurut
kata-kataku tadi kau maju berdua, boleh jadi rasa lelahmu takkan
datang secepat ini!”

Orang-orang yang berada di dekat panggung dan mendengar


perkataan pemuda yang lucu ini jadi tertawa terpingkal-pingkal.
Memanglah kata-kata lucu itu sengaja diucapkan oleh Bun Liong
untuk mempermainkan lawannya. Dan sikapnya pun lucu sekali,
yaitu sambil menggendong tangan dan agak membungkuk,
seakan-akan lagaknya seorang kakek yang sedang memberi
teguran kepada cucunya yang bandel dan nakal.

Bu Kiam merasa malu sekali dan karena rasa malunya, ia telah


melupakan rasa sakit didengkulnya. Ia berdiri dan dengan tindakan
agak pincang ia berjalan dan memangut pedangnya. Tanpa malu-
malu lagi ia segera memberi tanda kepada kawannya dan si muka
hitam segera mencabut pedangnya. Sepasang Buaya Sungai
Kuning ini lalu mengambil kedudukan di kanan kiri pemuda itu.

Souw Bun Liong memandang kepada kedua lawannya berganti-


ganti dan kemudian katanya: “Bagus, dua buaya maju bersama-
sama pasti aku akan mendapat pelajaran yang berharga dan aku

206
akan membuktikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedang kalian
yang sudah tersohor itu. Nah! Mulailah!”

Muka Bu Kiam yang lancip kecil itu menjadi merah, mungkin saking
mendongkol atau marahnya. “Baiklah, orang muda she Souw, kami
berdua maju bersama-sama adalah atas kehendakmu dan bukan
karena kami ingin mengeroyokmu!”

Bun Liong ketawa menyindir karena kata-kata Bu Kiam itu


sebenarnya hanya untuk menutupi kelemahannya sendiri.
Kemudian terdengar Bu Kiam berseru dan pedangnya berkelebat
menyamber ke arah leher Bun Liong dengan maksud sekali tebas
ia hendak mendapatkan batang leher pemuda itu.

Dan dalam saat yang sama pula, pedang di tangan Bong Pi


mengirim serangan pula, yaitu ditujukan ke arah sepasang kaki
pemuda itu.

Dua macam serangan yang dilakukan dengan arah yang


berlawanan dan dalam waktu yang sama benar-benar tampaknya
sukar untuk dikelit, apalagi yang menghadapinya bertangan
kosong saja, maka benar-benar hal ini sangat mengerikan bagi
penonton.

207
Akan tetapi Souw Bun Liong sungguh tidak memalukan kalau ia
mendapat gelar Tong-koan Hohan. Karena sekalipun tidak
memasang kuda-kuda sebagaimana biasanya seorang ahli silat
hendak bertempur, ia sudah mempunyai perhitungan yang
seksama betapa untuk menghadapi serangan itu.

Guna mengelak dari dua serangan atas dan bawah itu, dengan
sesigap kijang melompat, ia melompat ke depan yang selain
hendak menyelamatkan diri dari ke dua serangan yang berbahaya
tadi. Juga ia bermaksud akan mengambil kedudukan berhadapan
dengan ke dua lawannya.

Karena menghadapi dua orang lawan secara berhadapan memang


jauh lebih praktis dan mudah daripada dua orang lawan berada di
kanan kirinya. Akan tetapi dengan cepat pula Bu Kiam melompat
ke sebelahnya dan kembali pemuda itu berada di tengah-tengah
Huang-ho-ji-go yang mengurungnya di kiri kanan.

Berkali-kali Bun Liong mencoba mengambil kedudukan seperti


yang dikehendakinya. Namun Bu Kiam dan Bong Pi ternyata tidak
mau melepaskan dan secara bergantian dan teratur sekali, mereka
selalu mengurung dari dua sisi pemuda itu sambil pedang mereka
terus melakukan serangan yang tak sama arahnya.

208
Kalau pedang Bu Kiam misalnya menyerang dari atas, maka
pedang Bong Pi menyerampang ke bawah, dan kalau yang
seorang mengarah dada, maka tentu yang lainnya menghantam
punggung dan demikianlah seterusnya, sehingga benar-benar
pemuda itu selalu terkurung serta dihujani serangan pedang yang
selalu hendak “menggunting” tubuhnya!

Memang inilah macam ilmu pedang yang mereka andalkan dan


terkenal kehebatannya apabila mereka berdua maju bersama
seperti sekarang ini. Bagi seorang yang berkepandaian biasa saja,
apalagi hanya bertangan kosong, maka sukarlah untuk lolos dari
kepungan kedua bajak sungai yang agaknya mempunyai ilmu
kepandaian dwi-tunggal ini.

Akan tetapi Souw Bun Liong akan mengecewakan hati suhunya


kalau ia tidak mampu menanggulangi ilmu pedang ke dua lawan
itu. Setelah maklum bahwa ilmu pedang yang dilakukan bersama-
sama oleh Bu Kiam dan Bong Pi tidak boleh dipandang enteng, ia
segera mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa sehingga
tubuhnya seakan-akan tubuh seekor burung walet yang amat
gesitnya, menyambar-nyambar di antara kedua sinar pedang yang
berkelebatan bagaikan dua ekor naga mengamuk dan yang tidak
memberi jalan keluar kepada lawannya yang amat lincah dan sebat
itu.
209
Para penonton menahan napas menyaksikan pertempuran hebat
ini. Mereka kagum sekali karena dengan tangan kosong saja
pemuda yang tampan itu berani menghadapi serangan dua batang
pedang yang demikian lihaynya, dan sebentar kemudian, yaitu
tatkala pemuda itu mulai mengerahkan gin-kangnya yang luar
biasa, para penonton menjadi melongo karena kini mereka tak
dapat melihat tubuh pemuda itu. Ia telah merubah menjadi sesosok
bayangan biru berkelebat kian kemari yang membuat penglihatan
menjadi kabur!

Kulit muka Bu Kiam semakin merah padam dan wajah Bong Pi


yang berwarna pantat kuali itu bertambah hitam. Karena hati si
Sepasang Buaya Sungai Kuning ini merasa penasaran sekali
karena setelah bertempur sampai duapuluh jurus lamanya, masih
belum juga dapat melukai atau menyentuh pemuda itu dengan
pedang mereka, apalagi merobohkannya!

Diam-diam mereka merasa menyesal sekali telah iseng ingin


menjajal kepandaian anak muda itu, yang ternyata bukan
“makanan empuk” baginya tapi mereka pun jadi merasa penasaran
sekali, maka keduanya lalu menyerang dengan lebih gencar dan
sengit. Akan tetapi setelah Bun Liong menggunakan gin-kangnya
berkelit ke sana ke mari dengan secara lincah dan gesit sekali,
maka Bu Kiam dan Bong Pi jadi rikuh sendiri.
210
Berkelebatnya bayangan biru dari tubuh pemuda yang luar biasa
gesitnya itu membuat penglihatan mereka kabur, kepala mereka
mulai pening dan karena itu maka cara mereka melancarkan
serangan pun kini menjadi tak teratur lagi! Akan tetapi dasar
Huang-ho-ji-go ini keras kepala, sudah mengetahui bahwa dan
hanya melakukan gerakan berkelit saja pemuda itu sudah
membikin mereka kewalahan, apalagi kalau pemuda itu
mengadakan perlawanan, agaknya sudah dari tadi mereka mesti
meninggalkan panggung ini dengan menanggung malu!

Namun karena melihat pemuda itu tidak bersenjata mereka


beranggapan bahwa pemuda itu tak mungkin mengalahkan
mereka, sedangkan mereka yang bersenjata dan mempergunakan
ilmu pedang yang paling mereka andalkan, mustahil sekali tak
dapat merobohkan pemuda itu! Demikian pikir dua tokoh bajak
sungai ini.

Ke dua orang ini lalu melancarkan serangan-serangan dengan


tipu-tipu yang mematikan. Mereka telah melupakan bahwa dalam
pertempuran ini, mereka hanya ingin menjajal ilmu kepandaian
pemuda she Souw itu saja!

Ternyata Souw Bun Liong pun bukan seorang muda yang bodoh.
Ia maklum bahwa kalau dalam pertempuran ini ia terus menerus

211
main berkelit saja, tentu sukar sekali akan mencapai kemenangan,
bahwa banyak sekali bahayanya ia akan terluka oleh pedang yang
menyerang bertubi-tubi bagaikan hujan lebat itu.

Sebenarnya kalau ia mau, sejak tadipun ia dapat memperoleh


kemenangan, tapi ia ingin mengukur sampai di mana tingkat
kepandaian kedua orang ini. Setelah ia mempergunakan kegesitan
dan gin-kangnya yang tinggi untuk meladeni kedua lawannya
sampai empatpuluh jurus, ke dua lawannya itu tampak sudah
keripuhan, maka hati pemuda ini menjadi girang.

Pada suatu ketika ia dapat “mencuri” satu kesempatan baik yang


digunakannya secara cepat dan tepat. Tiba-tiba terdengar ia
berseru nyaring:

“Kalian berdua, rebahlah…………!”

Sungguh sukar untuk dipercaya kalau diceritakan, akan tetapi


kenyataannya begitu terdengar seruan pemuda itu, tahu-tahu
tubuh Bu Kiam dan Bong Pi telah jatuh dan rebah di atas lantai
panggung dan pedang mereka terlepas pula!

Ternyata dengan gerakan yang seakan-akan melebihi kilat


cepatnya. Dalam “mencuri” kesempatan itu Bun Liong telah
mengerjakan ke dua tangannya, yaitu tangan kanannya berhasil
212
menotok jalan darah Ceng-pek-hiat di pinggang Bong Pi, dan
dalam waktu yang hampir sama, tangan kirinya menotok jalan
darah kian-keng-hiat di pundak kanan Bu Kiam.

Masih untung ke dua orang itu karena Bun Liong tidak bermaksud
mencelakakan mereka. Maka serangan yang seharusnya
dilakukan dengan kepalan ke dua tangannya itu telah sengaja
dirobah menjadi totokan yang jitu sekali mengenai sasarannya dan
membuat kedua “buaya” itu menjadi lemas dan seluruh tubuh
mereka seperti mendadak menjadi lumpuh.

Kedua orang ini walaupun tubuhnya roboh terguling di atas


panggung, namun tidak menderita luka-luka. Melainkan keadaan
mereka benar-benar tidak berdaya karena pengaruh totokan yang
dilakukan oleh pemuda itu tadi!

Para penonton yang sejak tadi menyaksikan pertempuran yang


mengerikan itu sambil menahan napas kini mereka bersorak-sorai,
lebih nyaring dan gegap-gempita daripada yang sudah-sudah.
Karena kemenangan si pemuda kali ini adalah kemenangan yang
terakhir!

Setelah suara tempik sorak agak reda dan sementara tubuh Bu


Kiam dan kawannya masih rebah di hadapan Bun Liong dan masih

213
dalam keadaan tidak dapat bergerak, maka Bun Liong yang
memang tidak bermaksud jahat terhadap ke dua “buaya” ini, lalu
menghampiri mereka. Dan dua kali tangannya bergerak menepuk
tubuh mereka di bagian yang ditotoknya tadi, maka Bu Kiam dan
Bong Pi lalu bangun sambil meringis-ringis.

Bukan main malunya ke dua tokoh bajak sungai yang selama


mereka malang melintang di dunia liok-lim belum pernah
mendapatkan tandingan sehingga julukan mereka Huang-ho-ji-go
jadi sangat dikagumi kawan dan ditakuti lawan. Akan tetapi
sekarang……? Mereka dibikin roboh oleh pemuda yang agaknya
baru saja lulus dari gemblengan gurunya, yang semula mereka
pandang ringan itu!

Alangkah malunya ke dua orang ini, terutama ketika mendengar


suara tempik sorak penonton yang menyambut kemenangan Bun
Liong dengan kagum dan gembira. Dengan menanggung malu
yang bukan main hebatnya seakan-akan wajah mereka dipopoki
najis, setelah dapat berdiri mereka lalu memungut pedang yang
terlepas dari pegangan mereka tadi dan kemudian dimasukkan ke
dalam serangka yang tergantung di punggung mereka dan Bu
Kiam menjura kepada Bun Liong.

214
“Souw sicu, kau sungguh gagah dan kepandaianmu benar-benar
lihay, maka pantaslah kau menempati kedudukan ketua Pauw-an-
tui dan menjadi Tong-koan Hohan! Kekalahan kami berdua kali ini,
kami terima dengan perasaan tidak menyesal sedikitpun, hanya
kami masih ingin mencoba dan menjajal pertempuran kita dalam
bentuk barisan, yaitu kami akan memimpin anak buah kami dan
kau memimpin anggauta Pauw-an-tui mu, kita akan bertemu dalam
suasana yang lebih ramai di tempat yang akan kami tentukan
kemudian.”

Setelah mengucapkan kata-kata yang bersifat menantang, dan


mengancam ini, ia lalu mengajak si muka hitam melompat turun
dan kemudian menghilang di antara orang banyak yang berjubel-
jubel itu.

Ketika itu tampak Cio wan-gwe, Can Po Goan dan Lu Sun Pin yang
melompat naik ke panggung untuk menyampaikan ucapan selamat
kepada Souw Bun Liong. Akhirnya setelah pemuda ini menerima
pesan dari Cio wan-gwe supaya pada keesokan harinya datang
lagi untuk mengadakan perundingan selanjutnya, dan setelah
diajak singgah dulu ke rumah gedung barang sebentar yang
ditolaknya dengan halus, maka pemuda itu lalu minta diri dan
meninggalkan mereka.

215
Souw Bun Liong berjalan pulang di antara sekian banyak orang
yang mulai bubar. Wajah mereka berseri-seri mencerminkan
harapan bahwa dengan terbentuknya Pauw-an-tui yang dikepalai
oleh seorang muda tampan serta berilmu kepandaian yang sangat
tinggi itu, mereka yakin bahwa kesulitan penghidupan dan
keamanan kota mereka yang sudah sangat menyedihkan akibat
dari gangguan gerombolan perampok dan bajak sungai, akan
segera dapat ditanggulangi!

<>

Souw Bun Liong berjalan dengan tindakan tenang menuju ke arah


barat, yaitu ke dusun Lo-kee-cun, di mana ia bersama ibunya
tinggal. Dari percakapan orang-orang yang berjalan searah
dengannya, yaitu orang-orang yang habis menyaksikan
pertandingan pibu tadi, Bun Liong mendengar banyak pujian-pujian
terhadap dirinya.

Namun karena mereka bercakap di antara mereka sendiri dan tidak


langsung berbicara dengan pemuda itu, maka Bun Liong pura-pura
tidak mendengarnya dan terus melangkahkan kakinya dengan
perlahan dan tenang, sungguhpun pujian-pujian itu sangat
membanggakan hatinya.

216
Akan tetapi ketika Bun Liong mendengar suara wanita yang
memanggil namanya, pemuda ini mau tak mau jadi menoleh. Dan
kemudian menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya
menghadap orang yang memanggilnya itu.

Ternyata yang memanggilnya itu adalah seorang wanita setengah


tua yang berpakaian seperti seorang perantau. Ia membawa
buntalan di punggungnya dan memandang kepada Souw Bun
Liong dengan wajah berseri-seri.

Pemuda ini sangat heran karena ia sama sekali belum pernah


mengenalnya. Di belakang wanita berdiri seorang dara muda yang
cantik, yang mengenakan pakaian serba putih.

Untuk sejenak Bun Liong seperti kesima karena heran dan kagum
akan kecantikan dara muda yang sedang tunduk seperti kemalu-
maluan itu. Ia heran karena dara muda yang secantik itu berani
mengunjukkan dirinya dengan terang-terangan di depan umum,
sedangkan para wanita muda di kota Tong-koan yang genting itu
umumnya selalu menyembunyikan diri karena takut oleh penjahat!

Bun Liong beranggapan bahwa wanita dan dara jelita itu tentu
bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak terlihat
membawa senjata diam-diam Bun Liong yakin bahwa mereka pasti

217
orang kang-ouw. Sebab kalau tidak, mereka tak mungkin akan
seberani itu memasuki kota.

Setelah hilang kesimanya dan sungguhpun sikapnya agak


canggung karena wajah jelita dari dara itu membuat hatinya
berdebar-debar, Souw Bun Liong memberi hormat kepada wanita
setengah tua itu:

“Pek-bo (Bibi), benarkah yang memanggilku barusan adalah pek-


bo?” tanyanya.

“Benar, Souw-sicu,” sahut wanita itu. “Dan maaf atas


kelancanganku yang telah berani mengganggumu karena kalau
boleh, aku hendak bertanya. Benarkah Souw-sicu yang gagah
putera dari Souw Cian Ho?”

Bun Liong diam sejenak seakan-akan merasa ragu, kemudian ia


menjawab: “Benar, pek-bo. Dan siapakah pek-bo ini?”

Wanita setengah tua itu makin berseri tanda bahwa hatinya merasa
lega dan puas.

“Ah, tentu kau lupa kepada kami karena kami pun, kalau tidak
mendengar bahwa yang merebut kedudukan ketua Pauw-an-tui
dan mendapat julukan Tong-koan Hohan bernama Souw Bun

218
Liong. Dan kemudian aku mendapat penjelasan darimu sendiri
bahwa kau adalah putera dari Souw Cian Ho, pasti takkan
mengenalmu lagi.

“Maka untuk menghilangkan keragu-raguanmu supaya kau dapat


segera mengenal kami, baiklah kuterangkan bahwa aku ini berasal
dari kota besar See-an dan semasa kau masih berusia sepuluh
tahun, rumahku sebelah menyebelah dengan rumahmu! Nah,
sekarang barangkali kau dapat mengingat kembali suami isteri
yang dahulu suka kau sebut dengan panggilan paman dan bibi Ho
serta seorang bocah perempuan kawanmu bermain……”

“Yang sering kuganggu rambut kucirnya itu?” Bun Liong segera


menyela dengan gembira karena setelah mendengar keterangan
dari wanita setengah tua itu, ia jadi ingat dan mengenalnya.

“Nah, sekarang kau mengenali kami, bukan?”

“Benar, bibi. Dan kalau tak salah, bocah perempuan yang cengeng
itu adalah nona yang berada di belakang bibi ini, bukan?”

“Benar, dia inilah kawan bermainmu dulu dan namanya tentu kau
masih ingat……”

219
“Ho Yang Hoa……” tiba-tiba saja, sehabis menyebut tiga suku kata
nama dari dara baju putih itu, Bun Liong menutup mulut dengan
telapak tangannya.

Pemuda ini merasa “kelepasan” omong menyebut nama gadis itu.


Oleh karena, menurut kegaliban, seorang pemuda seperti dia tidak
pantas menyebut nama gadis di depan gadis itu sendiri. Sebab hal
ini dianggap kurang sopan atau lancang, dan sangat mungkin akan
membuat hati si dara menjadi kurang senang.

Biarpun si gadis dulu semasa masih sama-sama kecil adalah


kawan bermain, akan tetapi setelah sekian lama berpisah dan kini
masing-masing sudah menjadi dewasa, maka bagi seorang gadis
yang umumnya berperasaan halus, sedikitnya tentu akan
menganggap Bun Liong kurang sopan. Inilah sebabnya, mengapa
pemuda itu segera menutup mulutnya karena ia merasa telah
terlalu lancang, dan ia sangat khawatir gadis itu akan marah!

Akan tetapi ternyata nona Ho Yang Hoa tidak marah dan gadis ini
hanya melempar kerling tajam terhadap pemuda bekas kawan
bermainnya itu. Seperti juga ibunya, agaknya dara ini merasa
gembira bertemu dengan pemuda kawan lamanya yang selain
berkepandaian tinggi, juga kawan yang dulu nakal dan jail suka

220
mengganggunya kini ternyata telah menjadi seorang pemuda
tampan dan gagah.

Kemudian setelah melempar kerling gadis ini kembali menunduk


dan menyembunyikan wajahnya yang menjadi agak kemerah-
merahan di balik punggung ibunya. Sementara matanya yang
mungil dan merah itu tampak menyungging senyuman kecil.

“Ah, maafkanlah kealpaanku, pek-bo,” kata Bun Liong akhirnya


setelah dapat menguasai debaran jantungnya karena menerima
kerlingan tajam dari gadis itu. “Dan sekarang, setelah aku bertemu
dengan kalian di sini maka tidak dapat tidak aku mesti minta kalian
supaya kalian mampir di pondokku. Ibuku pasti akan senang sekali
berjumpa dengan kalian.”

“Baiklah, Liong. Perjalanan kami dari See-an ini selain untuk


kepentingan kami sendiri, juga memang ingin mencari orang tuamu
dan sekarang secara kebetulan sekali aku bertemu denganmu. Ini
terang sekali keadaan dari Thian Yang Maha Kuasa, yang kasihan
kepada kami!”

Demikianlah, pertemuan ketika orang itu dilanjutkan sambil


berjalan beriringan menuju ke dusun Lo-kee-cun…..

221
“Pek-bo, kalian datang hanya berdua saja, mengapa tidak bersama
pek-hu (paman)?” tanya Bun Liong kemudian karena pemuda ini
heran melihat nyonya Ho dan puterinya ini mengadakan perjalanan
sejauh itu, yakni dari kota besar See-an ke Tong-koan, hanya
berdua saja.

Nyonya Ho yang sejak tadi wajahnya selalu berseri-seri saja, ketika


mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Bun Liong itu
mendadak berubah menjadi agak murung. Dan setelah menghela
napas dalam, menjawab dengan suara perlahan:

“Pamanmu telah meninggal dunia dengan membawa hati yang


penasaran, Liong. Karena inilah maka kami jadi terlunta-lunta
begini untuk……. ah, sudahlah, nanti saja kuceritakan di
rumahmu.”

Bun Liong tidak berani bertanya lebih jauh lagi dan diam-diam hati
pemuda ini merasa terkejut dan terharu sekali mendengar Ho Kim
Teng, yaitu suami nyonya ini telah meninggal dunia dalam keadaan
penasaran. Maka pemuda ini dapat segera menebak bahwa
nyonya dan puterinya sedang melakukan perantauan untuk
mencari musuh dari mendiang suaminya.

222
Walaupun sudah berpisah selama sepuluh tahun Bun Liong masih
ingat benar bahwa semasa mereka sama-sama bertinggal di kota
See-an dan bertetangga sebelah menyebelah. Ho Kim Teng
adalah seorang kawan karib dari ayahnya dan bahkan mereka
pernah mengadakan kerjasama membuka perusahaan pengantar
barang (piauw-kiok).

Hubungan antara Ho Kim Teng dan Souw Cian Ho, yakni ayah Bun
Liong, sangat erat sekali sehingga mereka telah saling
mengangkat saudara. Dan karenanya maka Bun Liong memanggil
Ho Kim Teng dengan sebutan paman dan bibi terhadap nyonya
Ho.

Terkenang akan eratnya tali persaudaraan antara Ho Kim Teng


dan ayahnya, maka tanpa disadarinya Bun Liong jadi teringat
kepada ayahnya……..

Kita tunda dulu nyonya janda Ho dan gadisnya yang berjalan


mengikuti Souw Bun Liong menuju ke dusun Lo-kee-cun. Dan
sekarang baiklah kita mengikuti alam kenangan Bun Liong, yang
adalah peran utama dari cerita ini, maka sudah sepantasnya kalau
kita mengenalnya lebih dekat.

223
Untuk ini, penulis merasa lebih baik menuturkan secara terperinci,
yaitu dimulai dari Souw Cian Ho masih menjadi piauw-su dan
betapa Souw Bun Liong mendapat gemblengan dari seorang
kakek sakti. Karena dalam hal ini selain banyak terjadi peristiwa-
peristiwa yang menarik hati dan menegangkan, juga mempunyai
sangkut paut yang sangat penting dengan kelanjutan cerita ini.

Seperti sudah diterangkan Souw Cian Ho pada waktu tinggal di


See-an, telah membuka perusahaan piauw-kiok dan kerjasama
dengan Ho Kim Teng. Dan sebagai piauwsu tentu saja kedua
orang saudara angkat itu mempunyai kepandaian silat tinggi
sehingga para perampok yang mengganggu dan hendak
merampas barang yang mereka kawal di tengah perjalanan selalu
dapat dirobohkan.

Maka tidak sedikitlah para hartawan dan saudagar yang


mempercayakan harta benda atau barang mereka yang dikirimkan
dari satu ke lain daerah dibawah pengawalan mereka, sehingga
perusahaan mereka mendapat nama baik dan maju dengan
pesatnya dan dalam berapa tahun saja. Keadaan keuangan
mereka boleh dikatakan sudah cukup kuat.

Kebetulan sekali dua saudara angkat ini masing-masing


mempunyai anak hanya seorang, yaitu dari keluarga Souw

224
seorang putera yang bernama Souw Bun Liong dan dari pihak Ho
Kim Teng, seorang puteri, nona Ho Yang Hoa. Pada waktu itu Bun
Liong baru berumur sepuluh tahun dan Yang Hoa dua tahun lebih
muda.

Sebagai tetangga, kedua anak bergaul rapat dan kalau ke sekolah


selalu bersama-sama. Yang Hoa semenjak kecil telah merupakan
seorang anak yang mungil dan manis, sedangkan Bun Liong,
selain menunjukkan bahwa kelak ia bakal menjadi seorang
pemuda tampan, juga mempunyai sifat nakal dan penggemas,
sehingga ia sering mengganggu Yang Hoa, yaitu menarik-narik
rambutnya yang dikucir atau pipi gadis kecil yang mungil itu dicubit-
cubitnya. Dan kalau nona cilik itu sampai menangis karena
kenakalan yang diperbuatnya, maka Bun Liong ketawa-tawa puas
dan disebutnya kawannya itu sebagai bocah cengeng!

Di Tiongkok pada masa itu berlaku satu kebiasaan bahwa orangtua


mempertunangkan anak-anak mereka yang masih kecil, dan
demikian juga dengan Souw Cian Ho dan Ho Kim Teng, yakni
mereka telah mempertunangkan Bun Liong dan Yang Hoa!

Kemudian, tibalah saat perpisahan bagi kedua saudara angkat itu,


yaitu Souw Cian Ho mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai
piauwsu dan ia membawa putera dan isterinya pindah ke kampung

225
asalnya, yaitu dusun Lo-kee-cun yang terletak di sebelah barat
kota Tong-koan. Adapun perusahaan piauw-kioknya telah diserah
terimakan kepada Ho Kim Teng yang terus melanjutkannya.

Di dusun Lo-kee-cun, sambil melewatkan hari tuanya Souw Cian


Ho mengerjakan pertanian di atas tanah yang disewanya dan
hasilnya ternyata lumayan juga. Terasalah olehnya betapa
tenteram dan menyenangkannya hidup di kampung halaman
sendiri sebagai petani, dari pada menjadi piauw-su yang sering
berpergian mengantar barang-barang berharga, dan selalu
menghadapi pertempuran-pertempuran dengan orang-orang jahat
dan perampok yang ingin merampas barang-barang yang berada
di bawah penjagaannya itu.

Waktu itu Souw Bun Liong telah berusia duabelas tahun. Semenjak
pindah dari See-an, di dusun Lo-kee-cun anak ini tidak bersekolah
lagi, maka disamping membantu pekerjaan ayahnya, ia menerima
latihan silat dari ayahnya dan ternyata anak ini mempunyai bakat
yang sangat baik.

Penduduk dusun Lo-kee-cun, disamping pekerjaan mereka yang


tetap setiap hari, mempunyai kesenangan berburu ke dalam hutan
di sebelah selatan dusun mereka. Hutan itu sangat liar dan angker

226
sekali, banyak terdapat binatang-binatang seperti babi hutan,
kijang dan sebagainya.

Kalau para pemburu sampai ke dalam hutan yang jauh lebih jauh
lagi, yaitu di dekat kaki gunung Hoa-san yang puncaknya tampak
menjulang tinggi kalau dilihat dari dusun Lo-kee-cun, maka para
pemburu sering menemukan harimau!

Bagi yang menggemari berburu adalah suatu hiburan yang sangat


menyenangkan. Betapapun angkernya hutan belukar yang mereka
masuki dan betapa ganas dan mengerikannya binatang yang
mereka kejar dan kepung, seperti harimau namun mereka hadapi
dengan bersemangat sambil bersorak-sorak gembira.

Demikianlah dengan Souw Cian Ho, semenjak ia tinggal di dusun


ini telah berhasil menangkap tiga ekor harimau, dagingnya dijual
kepada pengusaha obat, sedang kulitnya dibuat pajangan dinding
rumahnya. Berkat ilmu silatnya yang tinggi dan berkat
pengalamannya sebagai piauwsu maka dalam hal berburu Souw
Cian Ho lebih berhasil daripada kawan-kawannya!

Begitulah pada suatu hari yang cerah, untuk kesekian kalinya


Souw Cian Ho bersama sepuluh orang temannya yang biasa

227
bekerja sama dalam hal berburu, pergi berburu lagi. Dan seperti
biasanya Souw Bun Liong tidak pernah ketinggalan.

Akan tetapi hari itu agaknya merupakan hari sial bagi mereka,
karena setelah mereka menjelajahi hutan belukar sampai lewat
tengah hari, baru tiga ekor kelinci saja yang mereka dapatkan.
Sedangkan biasanya, di dalam hutan yang masih jauh dari kaki
gunung Hoa-san, sedikitnya mereka sudah memperoleh dua ekor
babi hutan atau kijang.

Mereka menyelajah terus dan akhirnya sampai di hutan di kaki


gunung Hoa-san yang mereka namakan Hutan sarang macan,
karena di situ mereka pernah memperoleh beberapa ekor harimau!
Mereka berjalan berindap-indap di antara semak-semak dengan
berpencaran dalam jarak yang tidak terlalu jauh, gerak-gerik
mereka sangat perlahan dan hati-hati, akan tetapi mereka sangat
waspada!

Tiba-tiba Souw Cian Ho yang mengepalai rombongan pemburu itu


mendengar pekik terkejut dari puteranya:

“Ayah! Tolong……!!”

Souw Cian Ho maklum bahwa puteranya yang sudah berjalan jauh


di depannya itu menghadapi bahaya, karena kalau tidak, maka
228
tidak nanti Bun Liong akan berteriak demikian, suatu teriakan yang
di luar kebiasaan! Maka tanpa berpikir lagi Souw Cian Ho segera
melompat ke depan dan hanya dengan beberapa kali lompatan
saja ia telah sampai ke tempat di mana puteranya berada.

Dan alangkah terkejutnya ia, ketika melihat seekor makhluk yang


aneh sekali. Makhluk itu tubuhnya seperti manusia, seluruh
tubuhnya berbulu hitam dan tinggi badannya agak jangkung dari
manusia biasa.

Matanya mengeluarkan cahaya kilat dan mulutnya yang agak


moncong itu tampak bergerak membuka dan menutup sehingga
giginya yang putih kelihatan dengan nyata, seakan-akan
menyeringai mengejek terhadap Souw Cian Ho yang baru muncul
dan memandangnya dengan terkejut dan maka terbelalak
keheran-heranan.

Adapun Bun Liong ketika itu sudah pingsan dan berada di dalam
pelukan sepasang lengan yang panjang dari makhluk itu. Agaknya
makhluk hitam yang ternyata lutung besar itu merasa kaget ketika
melihat ada orang yang tiba-tiba muncul di depannya, maka
dengan dipindahkannya tubuh anak lelaki itu ke atas pundaknya
dan sambil memanggul anak itu, ia membalikkan diri sehingga
tampaklah ekornya yang panjang dan melingkar ke atas.

229
Ketika Souw Cian Ho melihat makhluk hitam itu hendak
menyingkirkan diri sambil membawa anaknya. Hatinya yang tadi
terkejut kini menjadi marah dan terdengar ia mengeluarkan seruan
nyaring dan panjang sehingga bergema di udara hutan yang
angker dan sepi itu, dan tahu-tahu tubuhnya meloncat melayang
dan menubruk punggung makhluk itu dengan menggunakan gerak
tipu Macan Lapar Menubruk Kambing.

“Binatang hitam, lepaskan anakku!” bentaknya sambil mengirim


serangan dengan kepalan tangannya hendak menghantam kepala
makhluk itu, sedangkan tangan kirinya bergerak hendak
merampas anaknya.

Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya sebab makhluk itu


ternyata mempunyai gerakan yang gesitnya luar biasa. Belakang
kepalanya seakan-akan bermata sehingga melihat datangnya
serangan, karena ketika kepalan Souw Cian Ho hampir hingga di
sasarannya, dengan meloncat kesamping ia hindarkan pukulan itu,
sedangkan tangan kanannya bergerak menyampok cengkeraman
tangan kiri dari Souw Cian Ho yang hendak merampas anaknya
itu!

Ketika lengan tangan, mereka beradu, maka Souw Cian Ho


merasa bahwa tenaga makhluk itu tidak kalah besar dan kuatnya

230
dari tenaganya sendiri. Maka bukan main heran dan kagetnya ahli
silat bekas piauwsu ini, dan sebelum ia sempat melakukan gerakan
yang lebih jauh lagi tiba-tiba tubuhnya terguling dalam keadaan
terjengkang!

Ternyata, di luar dugaan Souw Cian Ho, makhluk itu telah


mengadakan serangan balasan, yaitu dengan ekornya yang
panjang membelit kedua kaki lawan dan dengan sekali gentak saja
tubuh Souw Cian Ho jatuh terjengkang! Cepat pada saat itu
kesepuluh orang kawannya tadi datang dan mereka segera
mengurung makhluk hitam dan secepat kilat pula Souw Cian Ho
dapat bangun kembali, dengan marah sekali, ia menghunus
pedangnya dan hendak menyerang, makhluk itu!

Akan tetap, tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan suara siulan seperti


suara burung tapi lebih keras sehingga mereka yang berada dekat
di situ menjadi pekak seketika, dan bersamaan dengan itu
tubuhnya melesat keluar dari kepungan ke sepuluh orang pemburu
tadi. Gerakan makhluk itu luar biasa cepatnya, ia terus berlari
sambil berloncatan lincah sekali menuju ke atas bukit.

Cian Ho dengan mengerahkan gin-kangnya yang baik berlari


mengejar dan di belakangnya, ke sepuluh kawannya turut
mengejar pula! Namun biarpun Souw Cian Ho mengejar sambil

231
mempergunakan ilmu lari cepatnya, ternyata sebentar saja ia
sudah ketinggalan jauh, apalagi ke sepulah orang kawannya yang
tidak memiliki kepandaian silat, mereka tertinggal jauh di belakang
sambil berlari-lari pontang-panting!

Makhluk hitam atau lutung besar itu terus berlari mendaki bukit dan
kemudian lenyap dari penglihatan Souw Cian Ho karena
menyelinap di antara pepohonan yang lebat dan rungkut.
Walaupun bingung, cepat putus asa dan terus saja lari ke atas bukit
yang merupakan kaki gunung Hoa-san itu karena betapapun juga
ia sudah nekad akan terus mencari dan bertempur mati-matian
dengan makhluk itu untuk membela putera tunggalnya.

Akhirnya ia sampai di tempat yang gelap di atasnya sehingga sinar


matahari tidak kuasa menembusnya. Ia menghentikan larinya dan
berdiri kebingungan melihat keadaan hutan yang sedemikian
menyeramkan itu. Ia tidak tahu ke arah mana harus mengejar
sedangkan lutung besar itu jejak kakinya pun yang biasa menjadi
pedoman bagi seorang pemburu, sudah tidak kelihatan lagi!

Memang demikian angker keadaan hutan itu. Ia belum pernah


berburu sampai ke tempat itu dan agaknya orang lainpun belum.
Tetumbuhan liar yang merimbun dan cuaca yang kegelap-gelapan
itu membuat Souw Cian Ho bergidik.

232
Keadaan di situ seakan-akan mati, tak tampak sesuatu yang
bergerak dan tiada terdengar sesuatu yang berbunyi. Benar-benar
hutan itu menyeramkan dan tak mudah diterka rahasia apakah
yang terkandung di dalamnya!

Kemudian dada Souw Cian Ho berdebar-debar karena ia melihat


serumpun tetumbuhan di depannya bergerak-gerak dan dalam
kesunyian yang lengang itu terdengar suara auman yang panjang
dan nyaring yang seakan-akan menggetarkan bumi. Dan pada
detik berikutnya, secara tiba-tiba saja, dari dalam rumpun itu keluar
bayangan yang besar tetapi yang mempunyai gerakan yang ringan
sekali menyambar menerkamnya!

Biarpun sedang bingung dan cemas bukan main, namun Souw


Cian Ho yang telah banyak pengalaman itu tak kurang waspada.
Ia cepat meloncat ke samping sambil berkelit sehingga bayangan
putih itu menerkam tempat kosong.

Sehabis itu ia cepat memperbaiki posisi dan menghunus pedang


untuk menghadapi segala kemungkinan yang ia maklum serba
berbahaya. Dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa
bayangan yang keluar melompat dan menerkamnya tadi ternyata
seekor harimau yang sangat besar sekali.

233
Berbeda dengan harimau yang lain atau harimau-harimau yang
pernah menjadi korban buruannya. Harimau itu bulunya berwarna
putih bersih seperti kapas dan karena binatang itu kini sudah berdiri
menghadap kepadanya, maka Souw Can Ho dapat melihat bahwa
mata binatang itu mengeluarkan sinar kuning yang berkilauan dan
memandang kepadanya sambil mengembang-ngempiskan
hidungnya dan memperlihatkan gigi serta taringnya yang tajam!

Ketika itu ke sepuluh orang kawan seperburuan tadi sudah tiba


pula di tempat itu secara susul menyusul dan dengan napas
terengah-engah. Waktu mereka melihat betapa Souw Cian Ho
telah berhadapan dengan seekor harimau yang besar dan aneh
bulunya, maka sebagai pemburu yang sudah berpengalaman,
mereka cepat mengatur formasi guna mengepung harimau itu.

Akan tetapi, biarpun binatang itu sudah maklum bahwa kini dirinya
dikepung oleh sekawanan manusia yang masing-masing
membawa senjata, namun sikapnya tenang-tenang saja dan
matanya melirik ke arah mereka dengan pandangan seperti acuh
tak acuh!

Sebaliknya dengan sikap Souw Cian Ho, karena kini ia melihat


kawan-kawannya sudah berada di situ dan sudah mengurung
binatang itu, maka ia menjadi besar hati dan tanpa ragu-ragu lagi

234
ia cepat meloncat ke depan sambil menyabetkan pedangnya ke
arah leher harimau itu.

Sungguh aneh dan benar-benar mengherankan harimau itu,


karena kalau harimau biasa jangankan dikepung dan diserang,
baru mencium bau manusia saja ia sudah beringas dan
mengunjukkan keganasannya. Akan tetapi harimau putih ini
agaknya binatang ajaib, di samping sikapnya yang tenang dan
seperti acuh tak acuh itu, juga ketika ia mendadak diserang oleh
Souw Cian Ho, ia tidak menjadi gugup dan juga tidak berkelit, tapi
ekornya yang panjang tiba-tiba bergerak ke atas kepalanya dan
menyampok pedang yang menyabet ke arah lehernya itu.

Souw Cian Ho mengeluarkan seruan tertahan karena kaget, ketika


pedangnya beradu dengan ekor harimau itu tangannya tergetar
dan senjata itu hampir saja terlepas dari cekalannya karena buntut
harimau itu demikian keras seperti sebatang toya saja! Kemudian
Souw Cian Ho menggerakkan pedangnya lagi dan menyerang
harimau itu, berbareng dengan itu, sepuluh orang kawannya
serempak maju sehingga sesaat kemudian binatang tersebut
dikeroyok oleh sebelas orang yang menghujamkan senjata mereka
dari segala jurusan!

235
Akan tetapi lagi-lagi Souw Cian Ho dan juga kawan-kawannya
menjadi heran, harimau dapat melayani serangan mereka secara
mengagumkan. Tubuhnya yang besar bergerak kian kemari
dengan dan ringan untuk mengelitkan setiap serangan, dan
disamping menyampok senjata mereka, juga kedua kaki depannya
dapat melakukan tangkisan secara jitu dan baik sekali!

Dalam gerak geriknya, binatang itu seperti yang paham ilmu silat
sehingga setiap serangan dari ke sebelas orang pengeroyok itu,
selalu dapat dielakan, disampok dan ditangkisnya!

Disamping heran dan kagum, Souw Cian Ho dan kawan-kawannya


juga merasa penasaran, maka otomatis mereka mengepung rapat,
rangsekan mereka makin hebat dan senjata-senjata mereka
berkelebatan bagaikan sebelas sinar halilintar yang menyambar
satu sasaran dengan sekaligus!

Setelah sekian lama harimau itu mempertahankan diri sambil


mempermainkan para pengeroyoknya, dan ketika melihat gejala-
gejala bahwa sekawanan manusia yang “tidak tahu diri” itu
menyerangnya makin bernapsu, maka timbullah amarah binatang
sakti itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara erangan yang bagi
telinga para pengeroyoknya terdengar bagaikan suara guntur, dan
tubuhnya yang besar itu tiba-tiba berputar bagaikan kincir.

236
Gerakan ini ternyata membawa akibat yang hebat sekali, tahu-tahu
sepuluh pengeroyoknya telah jatuh bergulingan dan tubuh mereka
terpental sejauh dua tombak! Hanya Souw Cian Ho seoranglah
yang tidak, karena dengan menggunakan gin-kangnya ia cepat
melompat ke belakang sehingga dirinya terhindar dari “dupakan”
harimau ajaib itu!

Dan pada detik berikutnya, sambil berseru keras Souw Cian Ho


menghentakkan kedua kakinya ke tanah dan tubuhnya melayang
ke depan dengan gerakan Ouw-liong-cut-tong atau Naga Hitam
Keluar Dari Guha. Dan tatkala dirinya sudah berada di atas
harimau itu, ia berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di
atas, dari atas ia meluncur turun sambil menyabetkan pedangnya
dengan gerak tipu Ceng-teng-pok-cui atau Binatang Capung
Menyamber Air yang diarahkan kepada bagian tengkuk binatang
itu.

Souw Cian Ho menggunakan kecerdikkannya karena maklum


bahwa binatang itu sangat kosen, ia melakukan serangan dari atas
dengan anggapan bahwa pasti serangannya kali ini akan berhasil.
Biarpun tidak sampai menewaskan, namun melukai harimau itu ia
merasa pasti dapat!

237
Akan tetapi ternyata ia kecele. Hanya dengan menggerakkan
kepalanya sedikit saja harimau itu sudah dapat mengelakkan
samberan pedang yang mengarah tengkuknya, dan sebelum kaki
Souw Cian Ho hinggap ke bumi, ketika tubuhnya melayang turun,
tiba-tiba ekor harimau itu bergerak dan dengan mempergunakan
ujungnya telah menotok dada.

Souw Cian Ho tidak dapat menggunakan pedangnya untuk


menangkis atau berkelit karena kedudukan dirinya justeru sedang
sulit, maka tak ampun lagi tubuhnya terbanting ke tanah dengan
mengeluarkan suara berdebukan dan dalam keadaan kaku kejang
seluruh anggauta badannya!

Ternyata ujung ekor harimau itu telah berhasil menotok jalan darah
touw-hing-hiatnya yang membuat seluruh tubuhnya kaku seketika!

Biarpun seluruh tubuhnya dalam keadaan kaku, Souw Cian Ho


masih tetap dalam keadaan sadar dan dengan tubuhnya telentang
kejang di atas bumi, ia dapat melihat betapa harimau itu dengan
tindakan perlahan dan ekornya yang lihay itu bergoyang-goyang,
lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu dan memasuki semak
belukar yang rungkut dan kegelap-gelapan itu!

238
Kesepuluh orang kawannya yang terpental dan berjatuhan tadi,
setelah melihat harimau itu pergi, baru berani bergerak dan
berusaha bangun, lalu menghampiri Souw Cian Ho. Mereka heran
karena sungguhpun keadaan orang ini sadar, namun seluruh
tubuhnya kejang seperti mayat dan tidak bisa berbicara pula,
hanya matanya saja yang berkedip-kedip dan biji matanya
bergerak-gerak kebingungan.

Mereka maklum bahwa Souw Cian Ho telah tertotok jalan


darahnya. Akan tetapi karena mereka tidak paham cara
memunahkannya, maka tanpa banyak cakap lagi segera mereka
beramai-ramai menggotong tubuh Souw Cian Ho dan dengan
berlari terbirit-birit karena merasa khawatir harimau putih tadi akan
muncul lagi, mereka kembali ke dusun mereka.

Memang kalau dilihat lucu sekali. Kesepuluh orang itu yang


biasanya tangkas dan gagah dan secara beramai-ramai dapat
menaklukkan harimau, ternyata hari itu mereka dibikin tidak
berdaya oleh seekor harimau putih yang baru sendiri.

Yang terkenal sebagai bekas piauwsu berkepandaian tinggi yang


pernah menjatuhkan banyak lawan, dan pernah membinasakan
tiga ekor harimau dengan ilmu silatnya yang hebat, kini digotong
sedemikian rupa seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan karena

239
jalan darahnya ditotok oleh…… buntut harimau! Sungguh lucu dan
menggelikan, akan tetapi patut juga ia dikasihani.

Yang sangat mengherankan mereka ialah, sungguhpun harimau


putih tadi demikian lihay, ia tidak ganas sebagaimana harimau
biasa. Buktinya, mereka yang didupak dan terpental itu, sedikitpun
tidak mendapat luka atau baret akibat cakarannya. Mereka hanya
babak belur dan benjut-benjut saja karena ketika mereka terpental
jatuh, tubuh mereka membentur tanah, atau batang pohon.

Dengan demikian mereka lalu menganggap bahwa binatang-


binatang yang mereka temukan hari itu, yaitu lutung yang dapat
merobohkan Souw Cian Ho dalam segebrakan saja dan membawa
lari Souw Bun Liong serta harimau putih tadi, bukanlah sembarang
binatang, melainkan hewan sakti!

Kekejangan yang diderita oleh Souw Cian Ho akibat totokan ekor


harimau putih tadi, kalau tidak ada yang dapat memulihkan jalan
darahnya, akan menjadi baik dengan sendirinya setelah selang
kira-kira dua jam. Dan demikianlah dengan pemburu bekas
piauwsu itu, setelah kurang lebih dua jam lamanya tubuhnya kaku
dan digotong oleh kawan-kawannya, maka kemudian tubuhnya
dapat bergerak kembali sebagaimana biasa sehingga dalam
perjalanan pulang ia tidak perlu digotong lagi.

240
Pengalaman para pemburu tadi menggemparkan segenap
penduduk dusun Lo-kee-cun, terutama isteri Souw Cian Ho. Ketika
mendengar betapa putera tunggalnya telah hilang dibawa lari oleh
seekor lutung besar, nyonya ini menangis sekeras-kerasnya
saking sedih dan bingungnya, ia menangis sampai terpingsan-
pingsan!

“Isteriku, sudahlah, kau tidak perlu terlalu sedih oleh karena belum
tentu Liong-ji mendapat bencana. Apalagi kalau diingat bahwa
lutung yang membawanya itu bukan lutung sembarangan dan
agaknya mengerti tipu-tipu ilmu silat seperti halnya harimau putih
itu, maka sangat mungkin Liong-ji berada dalam asuhan orang
sakti atau makhluk gaib penghuni hutan itu. Biarlah, kita berdoa
saja supaya, Liong-ji selamat dan cepat kembali.”

Demikian, Souw Cian Ho menghibur isterinya dan biarpun ia


sendiri juga sedih dan bingung, tapi karena ia lebih tabah, maka
kata-kata yang diucapkannya itu merupakan pelipur hati bagi
isterinya. Demikianlah, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan
dari tahun ke tahun, suami isteri itu selalu menanti putera tunggal
mereka yang hilang itu, akan tetapi yang tak kunjung datang.

Padahal selama itu, sudah beberapa kali Souw Cian Ho dan


kawan-kawannya pergi mencari anak itu, akan tetapi setiap kali

241
mereka tiba di hutan dimana peristiwa itu terjadi, mereka tidak
berani terus, melainkan dengan hati kecewa mereka kembali lagi.
Karena keadaan hutan yang angker dan seakan-akan
mengandung rahasia itu membuat mereka takut dan ngeri untuk
memasukinya lebih jauh.

Sekarang marilah kita tengok keadaan Souw Bun Liong si anak


yang baru berusia duabelas tahun yang dibawa lari oleh lutung
besar itu. Dia hanya pingsan sebentar saja, dan yang
menyebabkan pingsannya ini bukan karena kaget atau takut
melihat lutung besar yang belum pernah dilihatnya, akan tetapi ia
pingsan karena ditotok oleh jari tangan binatang itu di bagian jalan
darah pada tengkuknya.

Bun Liong berteriak minta tolong kepada ayahnya ketika tiba-tiba


dilihatnya seekor lutung besar melompat dari atas pohon dan
langsung menerkamnya. Dan sebelum anak itu berbuat sesuatu,
ia telah menjadi tak sadarkan diri oleh karena secepat kilat lutung
itu telah menolok jalan darah besar di tengkuknya!

Sesaat kemudian, yaitu setelah si lutung berlari jauh dari


pengejaran Souw Cian Ho, Bun Liong siuman kembali dan bukan

242
main terkejutnya ketika ia mengetahui bahwa dirinya berada dalam
panggulan lutung besar itu dan tubuhnya dipeluk dengan erat
sekali sehingga biarpun ia selalu memberontak berusaha
melepaskan diri, namun sia-sia belaka! Binatang itu
memanggulnya membawanya lari memasuki hutan-hutan yang liar
dan gelap dan perjalanan yang ditempuhnya sangat menanjak.

Kemudian Bun Liong merasakan lutung itu tiba-tiba menghentikan


larinya dan ia sangat terkejut karena di hadapan lutung itu terlihat
seekor harimau besar dan berbulu putih bersih seperti kapas.

“Celaka!” Bun Liong mengeluh karena dalam sangkaannya,


harimau itu pasti akan menerkam si luntung dan dirinya tentu akan
menemui bencana pula! Akan tetapi kemudian anak ini menjadi
tercengang karena ternyata sangkaannya tadi sama sekali
meleset.

Lutung itu menggerak-gerakkan lengan tangannya dan dituding-


tudingkan ke arah belakangnya, yaitu ke arah bawah bukit, seperti
seorang mandor bisu yang menyuruh pegawainya untuk
mengerjakan sesuatu di tempat yang ditunjuknya itu. Dan sebagai
“penyahutan” dari harimau putih itu, terdengar erangan perlahan
dan dengan sekali lompat ia telah menghilang ke bawah bukit.

243
Tentu saja, Bun Liong tidak tahu bahwa harimau itu kemudian
menghalangi ayahnya yang berusaha mengejarnya dan betapa
ayah serta kawan-kawannya kena dipermainkan sehingga tidak
berdaya!

Secepat harimau putih itu menghilang ke lembah bukit, secepat itu


pulalah si lutung berlari lagi mendaki bukit. Gerakan lutung ini
demikian ringan dan gesit, jurang-jurang kecil dilompatinya dengan
mudah dan kadang-kadang lengan tangan kanannya yang tidak
digunakan memeluk tubuh Bun Liong, menjangkau cabang-cabang
pohon yang membuatnya menggelantung dan berayun serta
melayang-layang, sehingga perjalanannya mendaki bukit menjadi
bertambah cepat!

Bun Liong merasa ngeri ketika tubuhnya dibawa berayun dan


melayang-layang sedemikian rupa di atas jurang-jurang kecil dan
batu-batu karang yang tajam. Sekali saja cabang pohon yang
dijadikan “ayunan” oleh lutung itu patah, pasti tubuhnya akan
terbawa jatuh ke dalam jurang dan akan hancur menimpa batu-
batu karang yang runcing dan tajam itu.

Memanglah, makin ke atas, makin banyak jurang-jurang kecil dan


batu-batu karang yang bentuknya beraneka-ragam dan
mengerikan. Tetumbuhan liar sudah mulai jarang tanda bahwa

244
tempat itu kini sudah berada di luar atau di atas hutan belukar yang
angker tadi.

Kini Bun Liong melihat banyak pohon-pohon yang-liu yang tumbuh


di sana sini dengan batang-batang pohonnya yang tinggi dan
lemas dan daun-daunnya yang halus dan menghijau bergerak-
gerak bagaikan seorang dara luwes sedang menari dengan
gerakan-gerakan lengan tangannya yang lemah gemulai di antara
tiupan angin gunung yang sejuk dingin dan menimbulkan suara
berdesir-desir.

Sebentar saja tempat itu dilaluinya karena lutung pembawa Bun


Liong terus saja berlari menuju ke arah puncak yang tertutup awan!
Pada saat selanjutnya mereka telah melewati bagian yang tertutup
halimun yang putih keruh dan kini mata Bun Liong tidak dapat
melihat apa-apa lagi kecuali uap putih yang membuat matanya
pedas dan seluruh tubuhnya dingin sekali.

Makin gelisah dan takutlah anak ini karena sama sekali tidak tahu
akan dibawa ke mana. Bun Liong hampir saja menangis karena
lemasnya, tetapi tidak berdaya, karena pelukan lutung itu sangat
erat. Akhirnya ia menyerahkan diri kepada nasib……

245
Setelah tempat yang diliputi halimun itu dilalui, sampailah mereka
di sebuah puncak dan di depan sebuah pondok kecil yang
sederhana yang terbuat dari bambu. Lutung itu menurunkan Bun
Liong dari panggulannya dan melepaskan pelukannya, sehingga
anak itu kini dapat bergerak lagi dengan leluasa, tapi di tempat
yang sangat asing baginya!

Ketika Bun Liong turun, hampir ia berteriak saking kagum dan


herannya dan untuk seketika ia lupa akan perasaan takut, gelisah
dan bingung yang sejak tadi menyiksa hatinya itu. Kini ia melihat
suatu pemandangan tamasya alam yang luar biasa indahnya
karena kini ia telah berada di puncak gunung Hoa-san!

Memang gunung Hoa-san itu benar-benar indah dan megah. Tidak


saja puncaknya menjulang tinggi menembus mega, tapi juga
dengan melayangkan pandangan mata ke empat penjuru dari
puncaknya seperti kini Bun Liong berbuat, maka akan
terbentanglah tamasya alam yang permai dan menarik hati yang
jarang terlihat di tempat lain.

Di lereng sebelah timur gunung ini penuh ditumbuhi bunga


beraneka macam dan berupa-rupa warna, menimbulkan
pemandangan yang indah sekali dan semerbaknya bunga di dalam
hembusan angin gunung yang sepoi-sepoi basah itu terasa sangat

246
menyegarkan. Di lereng sebelah barat banyak sekali tetumbuhan
yang sangat berkhasiat, baik bunga, daun, batang pohon maupun
akarnya yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan.

Di lereng sebelah selatan berupa jurang yang sangat curam, di


mana banyak terdapat batu-batu karang berbagai bentuk seakan-
akan sengaja diukir oleh tangan alam yang perkasa. Sedangkan di
sebelah utara pada lereng gunung ini penuh dengan hutan-hutan
liar dan pohon yang-liu yang daunnya tampak menghijau dan
berbentuk artistik, yaitu lereng dari mana Bun Liong dibawa oleh
lutung tadi.

Di sana sini banyak awan-awan putih berkelompok-kelompok


bagaikan gundukan-gundukan kapas yang melayang-layang
dengan perlahan. Suasana di sekitarnya sunyi sepi, menimbulkan
ketenteraman yang sukar dicari bandingannya.

Gunung Hoa-san memang merupakan tempat yang amat baik dan


cocok bagi para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
Gunung ini amat terkenal bukan karena keindahan bunga-bunga
yang menghias lereng timur saja, atau karena banyaknya
tetumbuhan bahan obat-obatan di lereng sebelah barat yang
sering didatangi para ahli pengobatan, atau keindahan tamasya
alam yang dapat dinikmati di puncak gunung itu, akan tetapi juga

247
karena gunung ini merupakan salah satu sumber semacam
cabang ilmu silat yang disebut Hoa-san-pay atau cabang ilmu silat
gunung Hoa-san.

Sebagaimana halnya pegunungan-pegunungan yang banyak


terdapat di seluruh daratan Tiongkok, seperti gunung, Thian-san,
Kun-lun-san, Go-bi-san dan lain-lainnya lagi yang pada umumnya
merupakan sumber cabang-cabang ilmu silat yang ternama.

Semenjak puluhan tahun yang lampau, banyak orang-orang sakti


yang bertapa di gunung Hoa-san amat tenar namanya sebagai
guru besar yang berkepandaian tinggi dan menghasilkan banyak
anak murid yang menjadi pendekar gagah perkasa dan malang
melintang di kalangan kang-ouw sebagai pembela keadilan dan
penegak kebenaran.

Adapun pada waktu cerita ini terjadi, yang bertapa di puncak Hoa-
san adalah seorang kakek tua yang menjuluki dirinya dengan nama
sebutan Bu Beng Lojin (Orang tua tidak bernama). Sebelum
menjadi penghuni dan bertapa di puncak Hoa-san, kakek ini
sebenarnya bernama Ong Kim Su, salah seorang pendekar yang
berkepandaian tinggi dan ilmu silatnya adalah warisan dari Lu-
liang-pay.

248
Semenjak muda sekali kakek ini sudah malang-melintang di dunia
persilatan. Selamanya ia tidak pernah membawa senjata dan
setiap pertempuran dihadapinya dengan mengandalkan kepalan
tangannya saja.

Dan karena itulah, maka nama julukannya Bu-tek-sin-kun atau si


Kepalan Dewa Tanpa Tandingan lebih terkenal dari pada namanya
sendiri. Ia pernah menggemparkan kalangan kang-ouw karena
kepalan dewa yang tanpa tandingan itu sehingga julukan Bu-tek-
sin-kun benar-benar sangat terkenal, dihormati kawan disegani
lawan!

Setelah umurnya lanjut, Bu-tek-sin-kun Ong Kim Su


mengundurkan diri dari dunia ramai dan bertapa dengan memilih
tempat di puncak gunung Hoa-san, karena ia sudah merasa bosan
dan jemu akan suasana dunia yang selalu membuat hatinya
mengkal dan ruwet. Dan sejak itulah, orang-orang di kalangan
kang-ouw kehilangan seorang pendekar gagah yang namanya
pernah tenar dan mengharum!

Sebagaimana kebanyakan orang-orang berkepandaian tinggi yang


tidak mau dikenal namanya dan seakan-akan merahasiakan
keadaan dirinya, maka demikianlah dengan Bu-tek-sin-kun Ong

249
Kim Su, semenjak menjadi pertapa ia menamakan dirinya dengan
Bu Beng Lojin.

Kira-kira sudah lima tahun Bu Beng Lojin bertapa di puncak Hoa-


san dan pada suatu hari ia berjalan-jalan seorang diri di dalam
hutan belukar yang angker dan liar di lereng sebelah utara gunung
Hoa-san. Tiba-tiba ia melihat suatu peristiwa yang sangat menarik
perhatian dan menggembirakan hatinya, yaitu pertempuran yang
dahsyat antara seekor lutung besar dan seekor harimau berbulu
putih yang bentuk badannya sangat besar pula.

Entah karena apa tadinya, ke dua binatang yang sama anehnya


dan jarang dijumpai telah bertempur begitu hebat, dan apa yang
mengagumkan hati Bu Beng Lojin, adalah cara dan gerakan-
gerakan bertempur dari kedua binatang itu.

Si lutung demikian lincah dalam gerak geriknya, baik ketika ia


berkelit maupun tatkala melakukan serangan dengan
menggunakan sepasang lengan tangan dan kedua kakinya yang
panjang itu. Sedangkan harimau putih itu, sambil menggereng-
gereng marah, menggunakan kuku-kukunya yang tajam untuk
menabok si lutung, mulutnya terbuka lebar sehingga gigi-gigi dan
siungnya tampak mengerikan sekali.

250
Dengan gerakan terkamannya yang kuat, harimau putih itu
menerjang lawannya. Namun si lutung selalu dapat
menyelamatkan diri dengan sebat dan lincah sekali dan bahkan ia
selalu berusaha membalas menyerang!

Pertempuran antara ke dua binatang itu menimbulkan ilham bagi


Bu Beng Lojin yang menyaksikannya, yakni ilham untuk
menciptakan semacam ilmu silat baru yang setiap gerak geriknya
berdasarkan gerakan-gerakan ke dua ekor binatang itu.
Kelincahan dan kegesitan si lutung merupakan gerakan seorang
yang sudah mempunyai gin-kang sempurna dan kedahsyatan
serta kegarangan harimau putih melambangkan seorang yang
bertenaga kuat dan kegagahan yang tiada taranya.

Alangkah baiknya kalau paduan gerakan dari kedua binatang ini


kujadikan ilmu silat baru, pikir kakek itu. Dan disamping timbulnya
ilham ini, Bu Beng Lojin pun ingat menangkap ke dua binatang
yang luar biasa itu, karena selain tertarik akan ke luar biasaannya,
juga ia bermaksud hendak memeliharakannya untuk dijadikan
teman sehari-hari di tempat pertapaannya!

Begitulah, berkat kelihayan, kesaktian dan dibantu dengan ilmu-


ilmu gaib yang dimilikinya, kedua binatang yang berkelahi itu dapat
ditangkapnya dengan mudah dan kemudian dibawanya ke puncak

251
gunung. Lutung dan harimau itu menjadi demikian jinak dan patuh
sekali kepada kakek itu, tak ubahnya bagaikan seekor kera dan
seekor kambing yang sudah lama dipelihara dan mengenal kasih
sayang orang yang memeliharanya.

Semenjak ditundukkan oleh kakek itu, ke dua binatang tersebut


dapat dikata telah merupakan dua mahluk yang dapat dijadikan
binatang permainan. Seringkali lutung dan harimau itu disuruhnya
berkelahi dan dalam pada itu, si kakek sering memberi petunjuk-
petunjuk betapa mereka harus berkelahi.

Aneh sekali, kedua binatang itu seperti mengerti ucapan si kakek


sehingga segala petunjuk-petunjuk itu segera dipahami dan dapat
dilaksanakan dengan sempurna!

Setelah lutung dan harimau putih itu ditundukkan, Bu Beng Lojin


kini mempunyai dua kawan yang luar biasa. Tetapi yang terutama
sekali kakek dapat memetik cara-cara kedua binatang itu
bertempur setelah diberinya petunjuk untuk menyempurnakan
gerakan-gerakan mereka, sehingga dengan demikian kakek sakti
ini sedikit demi sedikit dapat menyusun ilmu silat baru yang hendak
diciptakannya yang kemudian akan dicampur dengan ilmu silat asli
yang pernah dimilikinya, yakni ilmu silat dari cabang Lu-liang-pay.

252
Si Lutung dan harimau putih yang semula bermusuhan itu, kini
setelah dipelihara, dididik dan menerima “gemblengan” dalam hal
ilmu silat dari Bu Beng Lojin yang berpribawa menjadi kawan baik,
dapat dijadikan pesuruh yang amat taat dan bahkan dapat juga
dikatakan bahwa si Lutung dan si harimau ini menjadi dua murid
luar biasa dari seorang sakti seperti Bu Beng Lojin itu!

Kalau Bu Beng Lojin sedang berdiam di dalam pondok bambunya


baik tengah melakukan samadhi, maupun sedang menyusun ilmu
silat baru yang diciptakannya atau sedang beristirahat, kedua
binatang itu tidak pernah jauh dari luar pondoknya. Si lutung duduk
di atas cabang pohon Pek yang tumbuh di dekat pondok bambu
itu, sedangkan si harimau mendekam di depan pintu pondok.

Kedua binatang yang telah menjadi murid Bu Beng Lojin ini


seakan-akan menjaga dan mengawal guru atau majikan mereka
yang sedang berada di dalam pondok. Si lutung seakan-akan
mengintai dari atas pohon dan si harimau siap menerjang bila ada
suatu kemungkinan yang tak diharapkan!

Bertahun-tahun, dengan sabar dan tekun Bu Beng Lojin menyusun


dan mempelajari ilmu silat yang diciptakannya sehingga akhirnya
menjadi sempurna yang kemudian diberi nama Sin-wan Pek-houw
Kun-hoat (Ilmusilat Lutung Sakti dan Harimau Putih). Karena ilmu

253
silat yang diciptakannya ini berdasarkan gerakan-gerakan
pertempuran antara si lutung dan si harimau yang kini telah
menjadi pesuruh, penjaga dan murid-muridnya itu.

Akan tetapi, ada suatu hal yang sangat mengecewakan oleh Bu


Beng Lojin, ialah setelah bertahun-tahun lamanya ia bertapa di
puncak Hoa-san dan sudah pula berhasil menciptakan ilmu silat
Sin-wan Pek-houw Kun-hoat, ia masih belum berhasil
mendapatkan seorang murid guna diwarisi segala kepandaian dan
ciptaannya itu. Hal ini lalu dinyatakannya kepada dua “muridnya”
itu.

“Sin-wan (Lutung Sakti) dan juga kau Sin-houw (Harimau sakti),”


demikian Bu Beng Lojin pada suatu hari berkata kepada dua
binatang “murid”nya itu yang telah diberinya nama seperti yang
diucapkannya,

“Menurut ilmu palak (nujum) yang pernah kupelajari, sore ini hutan
lereng sebelah utara akan didatangi lagi para pemburu dan di
antara mereka terdapat seorang anak lelaki kecil. Sin-wan, cobalah
kau usahakan menangkap anak itu dan kau bawa kemari
sedangkan kau Sin-houw, setelah Sin-wan berhasil memperoleh
anak itu, cobalah kau menghalang-halangi mereka yang berusaha

254
mengejar. Tapi ingat, sama sekali kalian tidak boleh mencelakakan
mereka. Nah, pergilah!”

Setelah lutung dan harimau itu mendengar titah kakek itu, segera
melompat turun bukit. Si lutung berlari lebih dulu dengan
mempergunakan “gin-kang”nya yang patut dipuji, sedangkan si
harimau turun belakangan dengan lompatan yang cepat dan
ringan.

Kalau saja kedua ekor binatang luar biasa dapat berpikir seperti
manusia, pasti mereka akan maklum bahwa kakek pertapa itu
selain ilmu silatnya mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya,
ilmu bathinnya pun sudah sempurna, sehingga ia boleh disebut
orang sakti setengah dewa.

Memang kakek itu mempunyai kewaspadaan yang luar biasa,


panca inderanya sangat tajam. Segala sesuatu yang
dikehendakinya, seperti halnya ingin mengambil seorang anak
kecil dari rombongan pemburu itu dapat diketahuinya melalui
firasatnya yang jitu tanpa pindah dari tempat dia duduk
bersamadhi!

255
Sesudah melihat betapa Sin-wan dan Sin-houw pergi
melaksanakan perintahnya dengan taat dan segera, maka sambil
tersenyum-senyum Bu Beng Lojin memasuki pondoknya.

Selanjutnya, betapa lutung dan harimau itu menunaikan tugasnya,


yaitu si lutung menculik seorang anak kecil yang bernama Bun
Liong dan si harimau menghalang-halangi rombongan pemburu
maka kini Bun Liong sudah berada di puncak gunung Hoa-san.
Anak itu merasa terpesona sekali menyaksikan keindahan
tamasya alam yang terbentang di sekelilingnya.

Saking terpesonanya ia seakan-akan lupa di mana dirinya berada.


Bun Liong tentu akan berdiri terus di situ, memutar-mutar tubuhnya
memandang ke sekeliling puncak kalau saja ketika itu ia tidak
mendengar suara pertanyaan dari seseorang.

“Sin-wan, kau sudah kembali dan kau membawa oleh-oleh


untukku?”

Bun Liong sadar dari terpesonanya, dan cepat ia membalikkan


tubuh, melihat ke arah suara yang terdengar itu. Terlihatlah
olehnya seorang kakek bertubuh tinggi kurus mengenakan jubah
pertapa berwarna kuning, rambutnya yang sudah putih semua
dibiarkan terurai di atas pundaknya dan juga kumis serta

256
jenggotnya yang sewarna dengan rambutnya, tampak panjang dan
melambai-lambai di depan dadanya.

Kakek ini tampak keluar dari pintu pondoknya dan dengan tindakan
perlahan menghampirinya. Dan menegunkan langkahnya sejenak
ketika si lutung tiba-tiba duduk bersimpuh di depannya.

Bun Liong melihat lutung itu menggerak-gerakkan kedua lengan


tangannya dan sepuluh buah jarinya yang panjang-panjang
berbulu itu bergerak-gerak seperti seorang penari dan sebentar-
sebentar menuding ke arah Bun Liong yang berdiri di belakangnya.
Sementara si kakek memandangnya dengan penuh perhatian.

Agaknya dengan gerak-gerakan jari tangannya si lutung tengah


“menceritakan” betapa ia telah membawa anak itu dan yang
dipahami oleh si kakek. Sehabis si lutung “bercerita” orang tua itu
lalu memandang kepada Bun Liong, sinar matanya tampak jernih
dan tajam, bibirnya yang tertutup kumis yang panjang bagaikan
benang-benang perak itu tampak menyunggingkan senyuman.

“Bagus……. bagus,” ujar Bu Beng Lojin seperti menggumam


sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terpujilah Thian dan
sekalian ciptaannya. Sin-wan, kau telah bekerja baik dan tidak
salah pilih. Oleh-oleh yang kaubawa untukku ini benar-benar

257
merupakan anugerah Thian yang Maha Pengasih dan Maha
Adil…..” Sambil berkata demikian, kakek itu melangkah maju
menghampiri Bun Liong.

“Dan, engkau, anak baik, sudah lama sekali kuharap-harapkan


perjumpaan ini. Siapa namamu, nak?”

Kakek itu bertanya ketika sudah berdiri berhadapan dengan Bun


Liong. Irama katanya terdengar halus dan lemah lembut tetapi
mengandung suatu tenaga yang menggetarkan hati Bun Liong
yang mendengarnya.

Bun Liong adalah seorang anak yang cerdik, maka sekilas saja
maklumlah bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan,
bahkan sangat pasti orang tua ini adalah orang sakti seperti yang
sering kali diceritakan oleh ayahnya bahwa di dunia banyak sekali
orang-orang berkepandaian tinggi yang hidupnya mengasingkan
diri sebagai pertapa-pertapa. Dan kakek yang berdiri
dihadapannya ini agaknya salah seorang pertapa seperti yang
didongengkan ayahnya!

Biarpun Bun Liong sudah berkesan demikian dan betapapun wajah


dan sikap kakek ini menimbulkan rasa hormat di lubuk hatinya.
Akan tetapi kekerasan hatinya mau tak mau membuatnya merasa

258
kurang senang karena kakek menyuruh lutung peliharaannya
membawanya ke situ.

“Kakek, siapakah kakek ini dan mengapa kakek menyatakan


bahwa perjumpaan ini sudah lama sekali kakek harapkan,
sedangkan hal ini di luar harapanku sama sekali?”

Demikian, dengan suara lantang seperti ia bicara dengan ayah


ibunya. Bun Liong balas menanya sambil menatapkan matanya
yang bundar bening ditatapkan kepada kakek itu.

Jawaban ini sebenarnya agak lancang dan kurang ajar dan kalau
bagi orang lain agaknya akan menimbulkan rasa marah, akan
tetapi lain halnya dengan kakek itu yang sudah paham dan dapat
menyelami isi hati seorang anak kecil. Bahkan Bu Beng Lojin
ketawa senang tatkala menyahut:

“Ha, ha, selain kau berbakat baik, juga kau memiliki kekerasan hati
yang luar biasa dan memang hal ini sangat cocok dengan
keinginanku. Ketahuilah, aku ini pertapa di gunung dan aku
sengaja menyuruh Sin-wan mengambilmu kemari untuk kujadikan
muridku.”

259
Bun Liong tak segera berkata, melainkan matanya mengawasi
kakek itu dari kepalanya yang berambut putih sampai ke kakinya
yang telanjang. Sikapnya seperti sangsi akan kekosenan kakek itu.

Dulu ia senang membayangkan bahwa pertapa-pertapa yang


menjadi orang sakti dan bahkan menjadi setengah dewa seperti
yang diceritakan ayahnya adalah seorang yang gagah, bertubuh
kekar kuat, sebagaimana bentuk tubuh ayahnya yang
berkepandaian silat itu, kekar kuat, lengan dan kakinya besar dan
berotot, yang selain pernah merobohkan banyak penjahat juga
dengan mata kepala sendiri ia pernah menyaksikan bahwa
ayahnya itu pernah tiga kali berkelahi dengan harimau dan
membuat raja hutan yang galak itu mati!

Adapun kakek yang tua renta dan bertubuh kurus kering dan
kelihatannya loyo sekali ini mana mungkin berkepandaian tinggi
dan mana bisa menandingi kepandaian ayahnya? Jangankan
mampu berkelahi dengan harimau, tubuhnya yang kurus lemah itu
sekali saja tertiup angin agaknya akan terguling roboh! Demikian
pikir Bun Liong dalam keraguannya.

“Pelajaran apakah yang hendak kau berikan kepadaku, maka aku


harus menjadi muridmu, kakek?” tanyanya kemudian.

260
Pertanyaan ini terang sekali sangat sombong, akan tetapi Bu Beng
Lojin menerimanya sambil tersenyum ramah dan tatkala
menyahut, suaranya wajar saja, tak mencerminkan
kemendongkolan hatinya sedikitpun,

“Tergantung dari bakatmu sendiri. Tidak ada guru yang lebih


pandai dari pada watak dan bakat sendiri. Guru luar hanya sekedar
memberi petunjuk dan bimbingan belaka. Dan pada tubuhmu
kulihat bahan baik untuk belajar silat!”

“Belajar silat?” Bun Liong menegaskan sambil mengangkat alisnya


dan kemudian sambil menggelengkan kepala ia melanjutkan kata-
katanya:

“Tidak perlu, terus terang saja aku tidak perlu menjadi muridmu
kalau hanya sekedar belajar silat, karena ayahku sendiri juga
seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi dan aku sudah
mewarisi kepandaiannya!”

Pertapa itu kembali tersenyum, “Kalau benar demikian, cobalah


kau unjukkan ilmu silatmu itu!”

“Kau tak percaya dan mau kubuktikan, kakek? Baiklah. Nah,


lihatlah!” kata Bun Liong yang menjadi panas hati juga karena
menganggap kakek sangat memandang rendah sekali kepadanya.
261
“Baiklah kudemonstrasikan ilmu pukulanku warisan ayah dan nanti
akan kulihat, dapatkah kakek tua renta dan loyo ini melakukan
seperti yang kuperbuat?” demikian kata hati anak kecil yang baru
berusia duabelas tahun itu.

Bun Liong segera menghampiri sebatang pohon yang besarnya


sepelukan sebelah lengan tangannya dan tiba-tiba ia gerakkan
tangannya meninju batang pohon itu. Tinjunya yang kecil itu tiba di
batang pohon dengan keras sekali hingga batang pohon itu
bergoyang-goyang hebat dan tergetar seakan-akan ditumbuk oleh
terjangan seekor kerbau mengamuk.

Setelah itu ia peluk batang pohon tersebut dan sambil berseru


keras, ia mengerahkan tenaganya menjebol. Benar-benar patut
dikagumi kehebatan tenaga anak yang masih kecil ini, dengan
mengeluarkan suara keras akar-akar pohon itu terlepas dari tanah
dan pohon itu terangkat naik!

Bun Liong lalu melemparkan batang pohon itu sampai tiga tombak
jauhnya dan ketika terbanting mengeluarkan suara keras dan batu
karang yang tertimpanya hancur!

262
“Bagus! Tenaga kerbaumu memang hebat, tapi pukulanmu itu
hanya dapat dipergunakan menghantam benda mati!” kata kakek
itu memuji dan menyindir.

Bun Liong memandang kakek dengan mata setengah melotot dan


sindiran itu membuat hatinya amat mendongkol. Dan timbullah
keinginan untuk menguji tenaga kakek itu.

“Jangan kau mengejek, kakek! Cobalah, dapatkah kau berbuat


seperti aku?!”

Pertapa itu kembali tersenyum dan maklum bahwa untuk


menundukkan kekerasan hati anak yang disukainya ini, ia harus
membuktikan kemampuannya.

“Tentu saja aku bisa, anak bodoh!” ujarnya. “Bahkan aku dapat
mencabut sebatang pohon tanpa mengeluarkan tenaga hebat
seperti kau. Nah. Lihatlah! Pohon yang sejarak dua tombak dari
sini dapat kucabut dari tempatku berdiri ini!”

Bun Liong melihat kepada sebatang pohon yang ditunjuk si kakek


dan jaraknya dari si kakek memang ada kira-kira sejauh dua
tombak dan ukuran batang pohon itu jauh lebih besar dari pada
batang pohon yang ditumbangkannya tadi. Kemudian ia
memandang kepada si kakek dengan penuh rasa sangsi bahwa
263
benarkah orang setua renta dan sekurus itu dapat mencabut pohon
tanpa menjamahnya sama sekali?

Bu Beng Lojin mendoyongkan tubuhnya ke belakang dan sambil


berseru nyaring, tangan kanannya dengan telapak terbuka
digerakkan ke arah batang pohon seperti melakukan suatu
dorongan. Dan akibat dari pergerakannya ini benar-benar hebat
sekali sehingga membuat Bun Liong yang melihatnya menjadi
tercengang keheran-heranan.

Ternyata pohon seperti tercabut oleh tenaga gaib yang maha


dahsyat, telah jebol dengan akar-akarnya. Dan batang pohon itu
lalu melayang seperti terlontar jauh sekali dan akhirnya jatuh ke
tanah sambil menerbitkan suara gedubrakan!

“Nah, anak bodoh, kau sudah buktikan sendiri bahwa tidakkah aku
lebih pandai dari padamu?” ujar kakek itu kemudian sambil tetap
tersenyum dan memandang Bun Liong yang masih bengong
terlongong-longong sambil mulut ternganga lebar.

Benar-benar hebat dan sukar dipercaya, ayahku yang kuketahui


berkepandaian tinggi pun tidak dapat berbuat seperti kakek ini.
Agaknya benar-benar kakek ini seorang sakti setengah dewa,

264
pikirnya. Dan ia mulai yakin bahwa kakek tua renta yang kelihatan
loyo itu bukanlah orang sembarangan!

“Anakbodoh, bagaimana pikiranmu, maukah kau menjadi


muridku?”

“Akan tetapi, kakek…… Biarpun kau sudah membuktikan


kehebatan tenagamu yang benar-benar kukagumi, namun aku
ingin melihat dulu ketinggian ilmu silatmu. Adakah ilmu silatmu
lebih tinggi dari pada ayahku?”

“Setelah keras hati, kaupun cerdik sekali anak! Sesungguhnya aku


tidak berani mengakui bahwa kepandaianku lebih tinggi dari pada
ayahmu atau dari pada siapapun, oleh karena amat sukar untuk
mengatakan batas tinggi kepandaian seseorang.

“Puncak gunung Hoa-san sudah dapat dikatakan tinggi, akan tetapi


masih banyak puncak gunung lain yang lebih tinggi lagi dan
biarpun ada sebuah puncak yang paling tinggi di dunia ini. Namun
harus diingat bahwa di atas puncak itu terdapat yang lebih tinggi
lagi, yaitu cakrawala yang tidak terbatas tingginya.

“Demikianlah daya cipta dan kepandaian seseorang pun sungguh


sukar dikatakan batas tingginya! Akan tetapi oleh karena kau ingin
membuktikan ilmu silatku, maka baiklah akan kupenuhi
265
keinginanmu asal saja kau perlihatkan dulu kepandaian ilmu
silatmu yang kau pernah pelajari dari ayahmu itu.”

“Baiklah!” sahut Bun Liong bersemangat dan karena anak ini


memang sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan dari
ayahnya, lalu bersilat. Gerak dan langkah kakinya tetap dan kuat
serta pukulan-pukulan tangannya mendatangkan angin karena
setiap pergerakannya disertai pengerahan tenaga sepenuhnya.

Kakek itu memandangnya dengan penuh perhatian dan setelah


Bun Liong berhenti bersilat karena jurus yang
didemonstrasikannya itu sudah habis, napas anak kecil ini
terengah-engah kecapean!

“Bagus ilmu silatmu, tapi sayang sekali masih mentah dan ada
beberapa pukulan serta tendangan yang kau lakukan salah!” kata
kakek itu memuji serta mencela.

Mendengar ucapan si kakek, Bun Liong merasa penasaran sekali,


“Eh, kakek tua! Kenapa kau berani menyatakan ilmu silatku masih
mentah dan apa yang salah dengan pukulan dan tendanganku
tadi?!” tegurnya dengan suara tidak senang.

Si kakek memandangnya dengan mata berseri dan mulut tetap


memperlihatkan senyuman seperti tadi.
266
“Agaknya kau belajar silat belum dua tahun, bagaimana
kepandaianmu tidak dapat dikatakan masih mentah? Dan pukulan
serta tendanganmu yang kukatakan ada yang salah tadi, mungkin
untuk memukul dan menendang benda tak bergerak akan berhasil
baik, tetapi kalau untuk memukul dan menendang makhluk hidup
yang dapat bergerak serta melawan tentu takkan berhasil.”

Makin penasaran dan mendongkollah perasaan hati Bun Liong.


“Begitukah?! Dan dapatkah kau buktikan omonganmu ini, orang
tua?!”

“Kau mau bukti?” sahut si kakek dan kemudian ia memandang


lutung yang sejak tadi berada di sampingnya dan berkata: “Eh, Sin-
wan, cobalah kau layani anak muda ini bermain-main sebentar dan
sebelum kau mendapat perintahku, kau jangan melakukan
perlawanan!”

Si lutung yang agaknya sudah mengerti segala ucapan dari kakek


itu serta merta berjalan dan kemudian berdiri berhadapan dengan
anak itu. Diam-diam hati Bun Liong terasa agak gentar juga ketika
berhadapan dengan lutung yang tadi pernah membuatnya sama
sekali tidak berdaya itu.

267
Tapi dalam pada itu, tiba-tiba ia mempunyai anggapan lain bahwa
sangat mungkin sekali karena tadi ia terlalu kaget maka tak dapat
menghindari totokan dari si lutung yang agaknya paham ilmu silat
itu. Adapun sekarang, dalam keadaan sudah siap sedia dan
apalagi ia mendengar kakek itu memberi pesan kepada si lutung
bahwa jangan melakukan serangan, maka ia akan membuktikan
bahwa ilmu pukulan dan tendangannya itu adalah suatu gerakan
yang tidak pantas dicela.

“Nah, anak sombong, untuk membuktikan ilmu silat itu tidak


berguna, kau akan diuji oleh lutung peliharaanku ini dan dalam tiga
jurus saja kalau kau bersilat seperti tadi, pasti kau akan
membenarkan celaanku tadi! Nah, seranglah pengujimu dengan
geraktipu-geraktipu yang paling kau andalkan!”

Tanpa banyak cakap lagi Bun Liong pasang kuda-kuda lalu berseru
keras: “Awas pukulan!”

Ia memberi peringatan karena maklum bahwa lutung ini mengerti


bahasa manusia. Kakinya membuat gerakan melompat ke depan
dibarengi kepalan tangan kanannya menyambar ke arah kepala
lutung itu dan andaikata pukulan ini mengenai sasaran, niscaya
kepala lutung itu akan pecah dibuatnya.

268
Tetapi kenyataannya binatang yang pernah menerima
gemblengan dari Bu Beng Lojin benar-benar tidak boleh dipandang
ringan. Dengan sedikit mengedikkan kepalanya ke kanan, tinju Bun
Liong menyambar tempat kosong!

“Jurus kesatu……!” kakek itu berseru sambil ketawa bergelak-


gelak gembira sekali.

Tetapi Bun Liong dapat berlaku sebat. Setelah pukulan yang berarti
jurus pertama itu tidak berhasil, cepat ia menarik kembali tangan
kanannya dan menggirim serangan kilat dengan tangan kirinya
yang disodorkan ke arah iga binatang itu.

Kali ini kembali Bun Liong kecele, karena lawannya itu terlalu gesit
baginya sehingga serangan yang berarti jurus kedua inipun hanya
mengenai angin saja! Dan terdengarlah seruan si kakek yang
menghitung jurus itu: “Jurus kedua sudah lalu dan dalam jurus
ketiga ini kau harus waspada anak, karena si Sin-wan akan
memberi perlawanan terhadapmu!”

Peringatan dari Bu Beng Lojin membuat hati Bun Liong makin


merasa penasaran. Mukanya menjadi merah karena malu dan
dadanya serasa hendak meledak saking mendongkol dan

269
gemasnya, maka secepat jurus kedua tadi dilalui, secepat itu pula
ia susuli dengan jurus ketiga atau jurus terakhir.

Kini ia kerahkan semua tenaga pada kaki kanannya dan kaki ini
segera menyambar dengan sebuah tendangan geledek yang
ditujukan ke arah lambung si lutung. Akan tetapi jurus ketiga ini
benar-benar membuat si anak kecil itu merasa kaget dan malu
bukan main dan akhirnya ia benar-benar tunduk kepada kakek itu!

Untuk menghadapi tendangan yang mengandung tenaga yang


dapat menumbangkan sebatang pohon itu, ternyata lutung sakti itu
bergerak perlahan saja bahkan sangat lucu sekali. Sambil berkelit
ke samping menghindarkan tendangan, tangan kirinya menggaruk-
garuk kepalanya, agaknya di rambut kepalanya itu banyak kutu-
kutu yang membuatnya gatal.

Sementara tangan kirinya itu terus menggaruk-garuki kepalanya,


tangan kanannya dengan jari-jari tangan terbuka lebar menyampok
dan menangkap kaki Bun Liong yang menyambar di samping
tubuhnya. Kaki anak itu dapat ditangkapnya sedemikian cepat lalu
ditariknya ke atas terus didorong lagi ke belakang hingga tidak
ampun lagi tubuh Bun Liong melayang ke belakang beberapa kaki
dan jatuh terjungkal dan bergulingan!

270
“Hahaha! Anak sombong, sekarang sudah kau buktikan bahwa
celaanku tadi tidak terlalu salah. Bagaimana pendapat dan
pikiranmu, nak?!” kata Bu Beng Lojin setelah tertawa nyaring
sambil menghampiri Bun Liong yang ketika itu sedang berusaha
hendak bangkit sambil meringis-ringis dan mengaduh-aduh karena
tulang pundaknya terasa sakit bukan main.

Sambil merasakan sakitnya, sadar dan yakinlah Bun Liong bahwa


kakek itu benar-benar seorang pertapa sakti seperti yang pernah
diceritakan ayahnya. Baru lutung peliharaannya saja sudah
berkepandaian demikian hebat, apalagi si kakek itu sendiri. Sudah
lama Bun Liong bercita-cita menjadi seorang gagah berkepandaian
tinggi seperti halnya para pendekar yang sering kali diceritakan
ayahnya.

Teringat akan cita-citanya maka tanpa ragu-ragu lagi Bun Liong


segera berlutut di depan kakek dan berkata:

“Teecu (murid) bernama Souw Bun Liong mohon maaf yang


sebesar-besarnya oleh karena tidak dapat melihat gunung Thay-
san yang menjulang tinggi di depan mata. Teecu telah berlaku
lancang dan kurang ajar terhadap suhu yang mulia…….”

271
Bu Beng Lojin ketawa riang dan berkata menukas ucapan anak itu:
“Hahaha, baru kini kau mau memperkenalkan namamu dan baru
kini keangkuhan dan kekerasan hatimu dapat kutundukkan. Jadi
benarkah kau bersedia menjadi muridku, Liong?”

Sambil tetap berlutut, Bun Liong mengangguk-anggukkan


kepalanya berulang-ulang hingga jidatnya membentur-bentur
tanah, seraya katanya: “Teecu bersumpah bahwa sejak saat ini
teecu telah menjadi murid suhu dan teecu bersedia melakukan
segala perintah suhu.”

“Bagus! Maka bangunlah engkau, Liong dan marilah masuk ke


dalam pondokku,” ujar Bu Beng Lojin akhirnya dengan wajah
berseri-seri sambil membangunkan anak kecil yang masih berlutut
di bawah dengkulnya itu.

Kakek pertapa yang waspada ini tidak merasa ragu lagi tentang
kebaikan murid tunggal yang baru diangkatnya itu. Dan biarpun
pada mulanya anak itu berbuat lancang dan bahkan dapat dikata
sangat kurangajar sekali dengan kesombongan-kesombongannya.

Namun Bu Beng Lojin maklum dan yakin bahwa Bun Liong adalah
seorang anak yang tidak saja berhati keras, tetapi juga wataknya
jujur. Dan pada hakekatnya anak itu mempunyai bakat yang baik

272
sekali untuk kelak sesudah mencapai usia dewasa, menjadi
seorang gagah!

Memanglah, setelah Bun Liong merasa yakin bahwa kakek itu


adalah seorang sakti, segera saja ia membulatkan tekadnya untuk
menjadi murid dari pertapa kosen ini dan merasa rela biarpun
banyak berkorban, iapun harus berpisah dengan ayah ibu yang
mencintai dan memanjakannya entah sampai berapa tahun
lamanya……

Demikianlah, mulai saat itu Bun Liong telah menjadi penghuni


puncak gunung Hoa-san bersama suhunya, Bu Beng Lojin dan Sin-
wan si lutung sakti serta Sin-houw si harimau sakti yang berbulu
putih itu. Anak ini digembleng dengan hebat oleh Bu Beng Lojin,
karena pertapa yang waspada maklum bahwa kelak tenaga
pemuda murid tunggalnya amat dibutuhkan oleh negara dan
manusia.

Dia sendiri sudah meninggalkan segala urusan dunia dan tidak


mau mencampurinya, maka kini ia hendak mewariskan seluruh
ilmu kepandaian yang ada padanya kepada seorang pemuda yang
menjadi murid tunggalnya. Tidak saja kepandaian dalam hal ilmu
silat, yaitu Sin-wan Pek-houw Kun-hoat ciptaannya itu, bahkan
juga ilmu-ilmu batin yang tinggi, pengertian-pengertian yang

273
mendalam tentang manusia dan kehidupannya, telah dituangkan
semua oleh pertapa sakti kepada muridnya itu.

Pendeknya, Bun Liong menerima gemblengan lahir batin dari


gurunya, yakni gemblengan lahir berupa ilmu silat yang kelak akan
membuat ia gagah perkasa sebagai seorang pendekar pembela
keadilan dan pengganyang kejahatan.

Sedangkan gemblengan batin ialah dasar-dasar ilmu batin dan


pelajaran-pelajaran budi pekerti sehingga secara berangsur-
angsur ia mengerti dan terbuka mata batinnya bahwa di antara
segala ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah prilaku yang baik
agar jalan hidup tidak sampai tersesat!

Biarpun kadang-kadang Bun Liong merasa rindu akan kedua


orangtuanya akan tetapi hal ini tidak mengurangi kerajinan dan
keuletannya menerima dan mempelajari segala pelajaran yang
diberikan oleh gurunya. Bahkan rasa rindunya itu dapat terlupakan
sama sekali manakala ia sedang bermain-main dengan lutung dan
harimau putih yang kini menjadi kawan-kawan baiknya itu.

Bun Liong mempergunakan kedua binatang luar biasa itu sebagai


kawan berlatih silat. Dan oleh karena anak ini pada dasarnya
mempunyai bakat yang sangat baik, ditambah lagi otaknya cerdas

274
dan berkemauan keras, maka diam-diam ia dapat
menyempurnakan gerakan ilmu silatnya dengan meniru gerakan
dari kedua kawannya itu.

Tanpa disadarinya, ilmu silat Sin-wan Pek-houw Kun-hoat menjadi


lebih masak dan sempurna karena ia dapat memetik gerakan yang
asli dari ke dua binatang itu. Kemajuan yang dicapai oleh Bun
Liong sangat pesat, sehingga belum sampai setahun semenjak ia
menjadi murid Bu Beng Lojin, kepandaiannya sudah mengatasi si
lutung dan si harimau yang semula merupakan tandingan beratnya
itu dan hal ini sudah tentu sangat menggembirakan Bu Beng Lojin.

Pada suatu pagi hari dipermulaan musim Chun (Semi), dikala hawa
udara sedang sejuknya dan segala tanam-tanaman sedang
bersemi serta berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir
perlahan menghalau halimun tipis ke arah timur seakan-akan
menyongsong matahari yang baru muncul, di puncak gunung Hoa-
san tampaklah dua sosok tubuh sedang berdiri menghadap ke arah
timur, seakan-akan mereka sedang menjemur diri di bawah sinar
Sang Batara Surya, yang baru muncul itu.

275
Dua sosok tubuh itu, yang seorang adalah seorang tua
mengenakan jubah pertapa warna kuning dan yang seorang lagi
seorang anak muda berpakaian baju putih yang agak terlalu besar
bagi tubuhnya. Mereka ini adalah Bu Beng Lojin dan Souw Bun
Liong, yang pada pagi hari ini mengenakan baju pemberian dari
gurunya agaknya baju bekas pakaian gurunya dan agak terlalu
kedodoran!

“Liong, muridku. Ingatkah engkau sudah berapa lama kau berdiam


bersamaku di puncak gunung Hoa-san ini?” kata si kakek bertanya
kepada muridnya.

“Kalau teecu tidak salah ingat, teecu menjadi murid suhu sudah
empat kali musim semi, jadi sudah empat tahun, suhu,” Bun Liong
menjawab dengan wajah berseri dan mata bercahaya karena
mendapat pertanyaan ini dikiranya ia akan diperkenankan pulang
ke rumahnya.

“Benar, Liong. Dan selama itu kau hanya berlatih dengan Sin-wan
dan Sin-houw saja. Mulai sekarang, karena kepandaianmu kini
sudah jauh mengatasi ke dua binatang maka berarti sudah tiba
saatnya aku sendiri mengujimu secara langsung. Nah, bersiaplah!”

276
Untuk sejenak Bun Liong berdiri diam seperti patung, hati kecilnya
agak kecewa karena dugaannya tadi ternyata meleset. Namun,
oleh karena ia menaruh hormat dan patuh terhadap gurunya, dan
juga merasa takut sekali, maka ia tekan perasaan hatinya dan
mendengar perkataan suhunya yang sudah nyata sekali
menantang bertempur itu, anak ini menjadi bengong karena tidak
mengerti sikap suhunya yang lain dari biasanya itu.

“Eh, Liong! Mengapa kau diam saja?” tegur kakek itu dan katanya
pula setengah membentak: “Ayoh, bersiaplah dan lawanlah aku!”

Bibir Bun Liong bergerak dan terdengarlah ucapannya tergagap-


gagap: “Teecu…… ti…… tidak berani melawan suhu.”

“Apa katamu? Siapa bilang melawanku? Ini hanya latihan dan aku
sendiri hendak mengujimu, mengerti?!” balas Bu Beng Lojin dan
kemudian tanpa menanti anak itu mempersiapkan ancang-ancang,
kakek ini dengan secepat kilat menyerang.

Bun Liong sangat kaget dan sadar akan kebodohannya karena


merasa bahwa jawabannya salah. Bukankah selama empat tahun
ia hanya berlatih dengan Sin-wan dan Sin-houw saja dan gurunya
hanya mendidik dan membimbing belaka? Maka sesudah ke dua
binatang itu kini tak layak menjadi kawan berlatih lagi lantaran

277
kepandaiannya sudah jauh mengatasinya, bukankah sudah
sepatutnya kalau sang guru turun tangan melatih dan menguji?

Setelah maklum akan maksud kakek itu, hatinya menjadi gembira.


Maka ketika dilihatnya kakek itu bergerak mengirim serangan, ia
segera melompat mundur menghindari serangan itu dan
memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.

“Jangan sheji-sheji (sungkan), coba lawanlah aku!” kata Bu Beng


Lojin yang segera menggeserkan kakinya ke depan mendekati
muridnya sambil menyerang dengan gerak tipu sin-wan-tam-jiauw
(Lutung sakti mengulur kuku). Dengan berturut-turut ke dua
lengannya dengan jari-jari tangan yang merupakan cengkeraman
meluncur ke arah mata dan uluhati muridnya.

Menghadapi serangan hebat ini, Bun Liong segera menjatuhkan


diri berjungkir balik ke belakang dengan mempergunakan gerak
tipu Lutung Sakti Jungkir Balik.

Demikianlah selanjutnya guru itu menguji muridnya dengan


melancarkan serangan-serangan hebat dan Bun Liong
melayaninya dengan mengerahkan seluruh kepandaian yang
pernah dipelajarinya secara baik sekali sehingga gurunya kagum.
Selain berkelit untuk menghindarkan serangan-serangan dari

278
gurunya, pemuda itupun tanpa sungkan-sungkan berusaha
membalas menyerang, hanya saja semua serangan balasannya
selalu dapat dipatahkan oleh gurunya.

Lama-lama Bun Liong hanya dapat melayani sambil mundur saja


dan sebenarnya ia sudah merasa kewalahan sekali. Akhirnya ia
menarik napas lega ketika Bu Beng Lojin menghentikan
serangannya.

“Bagus Liong, sungguhpun kau mewarisi kepandaianku baru


seperempatnya saja, namun ternyata kau sudah lumayan. Maka
belajarlah kau lebih tekun dan lebih rajin lagi, supaya kau kelak
menjadi seorang yang memenuhi harapanku!” ujar kakek itu sambil
mengusap-usap jenggotnya. Sementara pada air mukanya tampak
sinar kebanggaan akan kemajuan yang telah dicapai oleh murid
tunggalnya itu.

“Apa?! Sudah empat tahun lamanya aku belajar silat dan guruku
mengatakan bahwa aku baru memiliki kepandaian seperempatnya,
maka harus berapa tahun lagikah aku berdiam disini sampai
kepandaianku sempurna dan kapankah kiranya aku diperbolehkan
pulang……?”

279
Demikian demi mendengar ucapan gurunya tadi diam-diam Bun
Liong mengeluh di hatinya dan rasa kangen akan ayah bundanya
yang sudah sekian lamanya berpisah, timbul kembali di lubuk
hatinya. Akan tetapi oleh karena kepatuhan terhadap gurunya jauh
lebih besar dari pada perasaan hatinya, dan pula memang sejak
dulu ia mempunyai cita-cita ingin mempunyai kepandaian tinggi,
maka emosi yang mencekam perasaan hatinya itu ditindasnya
sekuat mungkin dan ia berlutut di depan gurunya sambil berkata:

“Suhu, teecu mohon pelajaran lebih lanjut.”

“Tentu! Aku akan terus menggemblengmu sampai semua


kebodohan yang ada padaku kau milikinya, dan syarat penting
untuk ini, kau jangan terserang penyakit bosan, karena seorang
yang mudah terserang penyakit ini akan sukar mencapai
kemajuan.

“Dan juga kau jangan terlalu dipengaruhi oleh perasaan hatimu


yang selalu ingin pulang ke rumah, oleh karena hal inipun
merupakan penyakit yang akan mengganggu dan menghambat
pelajaranmu. Mengertikah engkau, Liong?”

280
“Teecu mengerti, suhu,” sahut Bun Liong sambil menunduk
menyembunyikan rasa malunya karena pemuda ini maklum bahwa
gurunya yang waspada itu telah dapat membaca isi hatinya.

“Nah, sekarang cobalah kita balap lari dan kau coba mengejarku!”
kata kakek kemudian dan sehabisnya berkata itu tubuhnya
bergerak dan berlari cepat sekali menuruni lereng sebelah barat di
mana banyak sekali terdapat tetumbuhan bahan obat-obatan.

Bun Liong maklum bahwa gurunya hendak menguji


kepandaiannya dalam ilmu lari cepat, maka dengan gembira ia
segera melompat dan berlari mengikuti gurunya. Dan demikianlah
sekejap kemudian mereka hanya merupakan dua sosok bayangan,
yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar mengejar
menuruni lereng.

Kemudian bayangan kuning itu membelokkan larinya ke arah


selatan dan melompat-lompat di antara tonjolan-tonjolan batu-batu
karang yang berbagai bentuk itu. Dan hal ini ditiru pula oleh
bayangan putih yang bergerak-gerak dan meloncat-loncat
dibelakangnya.

Sambil melompat-lompat dengan gerakan yang ringan sekali


sehingga bagaikan melayang-layang, Bu Beng Lojin sebentar-

281
sebentar menengok ke belakang melihat muridnya. Dan kakek ini
diam-diam merasa kagum karena biarpun gerak lompat muridnya
masih agak kaku sehingga loncatannya masih kelihatan berat,
namun anak ini telah dapat meniru contohnya dan seorang yang
berkepandaian silat biasa saja, belum tentu dapat melakukannya.

Ternyata, guru itu selain menguji ilmu lari cepat muridnya, juga
sekaligus melatih ilmu gin-kang (ilmu meringankan tubuh)!
Demikianlah, sambil berlompat-lompatan seperti bayangan kuning
melayang-layang bagaikan burung walet dari satu ke lain tonjolan
batu karang dan terus menanjak ke puncak gunung, diikuti oleh
bayangan putih yang bergerak-gerak laksana seekor kera yang
melompat-lompat dan berpindah-pindah berusaha mengejar
bayangan kuning yang sudah jauh sekali di depannya.

Akhirnya, bayangan kuning itu, sudah berdiri di puncak gunung dan


kakek ini memandang ke arah muridnya yang masih melompat-
lompati batu-batu karang di bawahnya. Beberapa saat kemudian
Bun Liong sudah tiba di sisi gurunya, sekujur tubuhnya dibasahi
peluh dan napasnya tersengal-sengal!

“Cape kau, Liong?” sapa kakek itu dengan tersenyum.

282
Sambil menyeka peluh di dahi dengan lengan bajunya, Bun Liong
hanya mengangguk tanpa menjawab, karena napasnya yang
memburu membuat dadanya terasa sesak sehingga tak dapat
mengucapkan kata-kata.

“Kelelahan yang kau rasa itu adalah disebabkan karena


kepandaianmu masih belum matang, maka kelak kalau
kepandaianmu sudah sempurna, perasaan yang menyiksamu kini
tentu takkan terasa lagi.”

Bun Liong memandang ke wajah gurunya dan ia mendapat


kenyataan yang sungguh mengagumkan, tampaknya orang tua itu
sedikitpun tidak merasa lelah. Napasnya wajar saja, seakan-akan
berlari-lari ke bawah lereng dan melompat-lompati batu-batu
karang kembali ke puncak gunung tadi, tidak membuatnya lelah
sedikitpun!

Ketika itu di dalam suasana puncak gunung yang selalu sunyi, tiba-
tiba terdengar suara auman harimau yang dibarengi suara siulan
yang nyaring sekali. Bun Liong maklum bahwa suara yang
terdengar dari bawah lereng sebelah utara itu adalah suara-suara
dari ke dua ekor binatang yang sangat dicintainya, yaitu si harimau
putih dan si lutung sakti. Tetapi suara mereka yang terdengar tidak

283
seperti biasanya, demikian ganjil dan seakan-akan teriakan minta
pertolongan.

Bu Beng Lojin mengerutkan dahinya sambil memiringkan


kepalanya ke arah datangnya suara yang sudah dikenalnya itu,
orang tua ini tengah memasang telinga dan kemudian berkata:

“Liong, rupanya si Sin-wan dan Sin-houw menghadapi bahaya,


cobalah kau pergi melihat dan kalau tidak salah terkaanku, rupanya
mereka diganggu oleh dua orang pendatang!”

Tanpa menghiraukan dirinya yang masih disiksa oleh perasaan


lelah, Bun Liong mentaati titah gurunya dan dengan sekali lompat
ia sudah pergi dari sisi gurunya, berlari turun ke arah lereng
sebelah utara.

Memang sesungguhnyalah, seperti apa yang diterka oleh Bu Beng


Lojin yang waspada itu, bahwasanya pada hari sepagi itu dari
lereng utara gunung Hoa-san telah didatangi oleh dua orang
pendatang. Yang seorang adalah seorang tua bertubuh seperti
potongan gentong arak karena gendutnya. Kepalanya yang besar
dan bulat seperti bal karet gundul kelimis dan mengkilat seakan-
akan diminyaki dan pakaian yang menutupi tubuh bundarnya
adalah pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang penghuni

284
kelenteng sehingga mudah ditebak bahwa orang tua gendut
berkepala gundul adalah seorang hweesio.

Adapun orang kedua, adalah seorang anak yang usianya sepantar


dengan Bun Liong, bertubuh sangat berlawanan dengan si
hweesio yakni kurus kering dan bermuka bopeng! Ke dua orang ini
berjalan cepat mendaki bukit dan agaknya mereka hendak menuju
ke puncak Hoa-san.

Biarpun tubuhnya demikian gendut dan tampaknya sangat berat


sekali, akan tetapi si hweesio ternyata dapat menanjak dengan
tindakan kaki yang ringan dan cepat sehingga bocah kurus yang
dibawanya supaya tidak ketinggalan dituntunnya dan setengah
diseret!

Akan tetapi ketika mereka menanjak sampai di tempat yang


banyak berbatu karang dan dimana banyak tumbuh pohon yang-
liu, langkah mereka terhenti tiba-tiba oleh karena tanpa mereka
ketahui dari mana munculnya, tahu-tahu di depan mereka
menghadang seekor lutung yang sangat besar sekali. Binatang itu
berdiri di depan mereka sambil mementangkan kedua lengannya
ke kanan ke kiri, menghalangi ke dua orang itu naik terus!

285
Sin-wan, lutung itu, memang sudah mendapat perintah dari Bu
Beng Lojin untuk menghadang dan melarang setiap orang yang
belum pernah dikenalnya naik ke puncak Hoa-san.

“Suhu, rupanya binatang macam inilah yang disebut orang hutan,


betulkah?” bocah kurus itu bertanya kepada si hweesio dengan
suara setengah berteriak, sambil menuding ke arah hidung yang
menghadangnya itu.

Hweesio bundar itu ketawa terkekeh dan tatkala menyahut,


suaranya ternyata sangat besar dan parau: “Anak goblok, ini bukan
orang hutan, melainkan binatang hutan!”

Kemudian ia membentak kepada lutung itu: “Eh, binatang alas!


Minggirlah dan beri aku jalan!” Sambil mengeluarkan bentakan itu,
ia menggerakkan lengan kanannya sehingga lengan bajunya yang
lebar itu berkebut dan mendatangkan angin yang menyerang ke
arah si lutung.

Pada sangka si hweesio, terkena angin pukulan dari lengan


bajunya pasti lutung itu akan roboh terguling dan kemudian akan
lari menyingkir dari depannya. Akan tetapi sungguh ia merasa
heran dan bahkan hatinya terkejut sekali, karena lutung itu ternyata
dapat berkelit sehingga dirinya terluput dari hawa pukulan dan

286
sambil berkelit lutung itu malah menggerakkan lengan tangannya
menjambret lengan baju yang mengebut itu.

“Breett!” demikian terdengar suara kain robek dan ternyata ujung


lengan baju telah dapat direnggut oleh si lutung sehingga sebagian
sobekan tercengkeram di dalam tangan binatang itu yang segera
melompat ke belakang!

Bukan main kagetnya hati hweesio gendut dan maklumlah ia,


bahwa lutung yang telah merobek lengan bajunya itu bukanlah
binatang sembarangan.

Sebagai seorang guru silat tinggi melihat betapa cara lutung itu
mengelak, sambil menjambret lengan bajunya sehingga robek dan
kemudian melompat menjauhkan diri dari padanya seakan-akan
untuk menghindari serangan yang tidak terduga, yang
kesemuanya dilakukan dengan gerakan-gerakan ilmu silat, maka
segera hweesio itu dapat menebak dengan jitu.

“Rupanya si Ong Kim Su (nama asli Bu Beng Lojin) yang kudengar


tinggal di puncak Hoa-san, tidak salah. Dan binatang ini agaknya
peliharaannya yang terlatih,” gumamnya seperti berkata kepada
diri sendiri lalu berkata kepada muridnya, bocah kurus yang
bermuka sisa penyakit cacar itu:

287
“Kui Lo, cobalah kau bermain-main sebentar dengan binatang itu
dan kalau dapat tangkap dia hidup-hidup!”

“Baik suhu! Teecu pasti takkan mengecewakan suhu,” sahut bocah


yang bernama Kui Lo sombong karena ia memandang ringan
sekali terhadap lutung itu. Lalu anak itu melompat maju sambil
berseru nyaring dan langsung menyerang si lutung.

Binatang peliharaan pertapa sakti di gunung Hoa-san ini lalu


menyambutnya sambil mengeluarkan dengusan marah! Belum
dua gebrakan Kui Lo dan lutung itu bertempur, tiba-tiba dari balik
sebuah batu karang yang besar tampak melompat sesosok
bayangan putih besar dan langsung menerkam anak itu yang
segera mengeluarkan pekikan yang mengerikan dan tubuhnya
terguling, batang lehernya hampir putus!

Ternyata bayangan besar putih itu adalah Sin-houw yang karena


mendengar dan kemudian melihat lutung bertempur dengan
seorang anak yang sangat asing baginya, menjadi marah sekali. Ia
segera menerjang membantu kawannya sehingga tanpa dapat
mengelak lagi Kui Lo dapat diterkamnya.

Karena anak itu memang sedang memusatkan segenap perhatian


dan tenaganya menghadapi si lutung dan kedatangan harimau

288
putih itu di luar dugaannya, maka tak ampun lagi anak itu menjadi
korban terkaman kuku-kuku dari ke dua kaki depan harimau itu
yang mencengkeram dan menembus batang lehernya, sehingga ia
terguling roboh dan setelah berkelonjotan, akhirnya ia tak bergerak
lagi, mati!

“Bedebah!!” hweesio itu membentak marah ketika melihat betapa


murid kesayangannya itu telah tak mampu berkutik lagi.

Memang ia tadi berlaku agak lengah sehingga kedatangan


harimau putih yang luar biasa cepatnya dan yang menyebabkan
muridnya mati seketika juga, mendatangkan rasa kaget bukan
main. Kejadian yang di luar dugaannya itu tentu saja membuat dia
marah sekali.

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring seperti nada halilintar


saking murkanya, ia menggerakkan ke dua lengan tangannya
dengan telapak tangan terbuka ke depan, yakni tangan kanan
ditujukan kepada harimau putih dan tangan kirinya ke arah si
lutung. Biarpun hweesio melakukan serangan pukulan dari tempat
yang agak jauh, akan tetapi ternyata mendatangkan akibat yang
luar biasa hebatnya.

289
Kedua belah telapak tangan yang digerakkan seperti mendorong
itu, telah mengeluarkan hawa pukulan yang sangat kuat sehingga
harimau putih dan lutung itu yang berjarak tidak kurang dari tiga
tombak, telah kena dihantam oleh hawa pukulan ini!

Biasanya, lutung dan harimau itu dapat berlaku cerdik, akan tetapi
kini menghadapi hawa pukulan dari hweesio itu ternyata mereka
tak berdaya sama sekali dan tubuh mereka jadi terlempar sejauh
lima kaki.

Harimau putih mengerang nyaring dan si lutung mengeluarkan


suara melengking bagaikan pekikan kesakitan, dan suara dari
kedua ekor binatang itu lalu lenyap dari pendengaran ketika tubuh
mereka yang terlempar itu bertumbukan dengan batu karang
secara dahsyat sekali sehingga pada saat itu juga kedua binatang
kesayangan pertapa gunung Hoa-san itu telah tidak bernyawa lagi.

Betapa tinggi ilmu kepandaian dan betapa hebat tenaga dalam dari
hweesio gendut ini, dapatlah dibayangkan!

“Huh! Satu nyawa muridku biarpun telah ditebus dengan dua


nyawa binatang peliharaan penghuni gunung ini, aku masih belum
puas! Aku baru akan merasa puas setelah bertemu dan bertanding

290
dengan majikan dari kedua binatang alas yang sudah mampus itu!”
kata hweesio itu seorang diri menyatakan kemengkalan hatinya.

Kemudian hweesio ini melangkah maju untuk menghampiri tubuh


muridnya yang sudah menggeletak dan tewas itu, akan tetapi ia
segera menahan tindakan kakinya ketika telinganya mendengar
bentakan nyaring dari atas bukit.

“Hei! Orang gundul, mengapa kau membunuh kedua kawanku itu?


Dan apakah maksudmu datang kemari?!”

Pembaca tentu sudah maklum, bahwa bentakan dan pertanyaan


ini diucapkan oleh Bun Liong yang ketika itu sudah sampai di sana
atas titah suhunya. Anak ini bukan main terkejut, sedih dan
marahnya demi dilihatnya harimau putih dan lutung sakti yang
selama ini menjadi kawannya, telah mati.

Hweesio gendut itu memandang ke depan dan terlihatlah olehnya


seorang anak lelaki yang tengah berdiri di atas sebuah batu karang
sambil bertolak pinggang.

“He, bocah setan! Anak siapakah engkau ini maka berani


kurangajar terhadap aku si Ceng-kin-ciu (Tangan Seribu Kati) Ci
Lun Hosiang?!” Hweesio itu balas bertanya dengan marah karena

291
anak itu dianggapnya sangar kurangajar berani menyebutnya
orang gundul.

Bun Liong tidak mengenal nama Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang, dan


oleh karena anak ini memang berhati jujur dan polos, maka ia
membantah makian “bocah setan” dari si hweesio itu dengan
memberi jawaban terus terang.

“Aku bukan bocah setan dan kalau kau ingin mengetahui siapa aku
ini, baiklah kuterangkan. Aku bernama Souw Bun Liong putera
tunggal dari Souw Cian Ho……”

“Apa?! Kau putera dari Souw Cian Ho?!” tukas Ci Lun Hosiang tiba-
tiba sebelum anak itu menjawab habis. “Bukankah Souw Cian Ho
dahulu pernah membuka perusahaan piauw-kiok di kota See-an?”

“Tidak salah!” Bun Liong mengaku terus terang karena hweesio ini
ternyata mengenal juga nama ayahnya. Diam-diam hatinya
merasa bangga karena ayahnya semasa menjadi piauwsu pernah
tenar namanya dan menggemparkan dunia liok-lim.

“Bagus! Memang aku sudah lama sekali ingin bertemu dengan


ayahmu dan sekarang, setelah aku secara kebetulan sekali
bertemu denganmu, maka kiranya kau dapat memberi keterangan

292
di manakah tempat tinggal ayahmu dan mengapa kau sendiri
berada di sini?”

Karena Bun Liong masih sangat muda dan belum mengetahui


bahwa orang-orang di kalangan kang-ouw disamping banyak yang
menjadi pendekar-pendekar gagah, tetapi tidak sedikit pula yang
menjadi penjahat-penjahat berkedok sebagai orang alim, yang
penuh siasat keji dan licin. Maka terhadap hweesio ini Bun Liong
sedikitpun tidak curiga sehingga secara jujur ia memberi
keterangan sejelasnya:

“Ayahku tinggal di dusun Lo-kee-cun dan aku berada di sini karena


sedang berguru pada seorang pertapa sakti di puncak gunung
Hoa-san.”

Ci Lun Hosiang menggerak-gerakkan biji matanya yang besar dan


bundar. “Terima kasih atas keteranganmu, anak baik! Dan
sekarang marilah aku hendak menjumpai gurumu!” Sehabis
mengucapkan kata-kata ini, Ci Lun Hosiang tiba-tiba
menggerakkan sepasang kakinya dan tubuhnya yang gemuk
seperti melesat menaiki bukit.

Bun Liong mencoba menghadangnya setelah dengan sebuah


lompatan mendahului si hweesio. “Nanti dulu! Kau tidak boleh

293
sembarangan naik bukit sebelum kau nyatakan dulu apa maksud
kedatanganmu, karena suhu tidak mau diganggu ketenangannya
oleh sembarang orang!”

Ci Lun Hosiang menghentikan langkah kakinya di depan anak yang


berdiri menghadangnya, “Maksudku tidak lebih hanya ingin
bertemu dengan gurumu, maka kau bocah yang tidak mempunyai
sangkut paut denganku tidak perlu banyak rewel dan minggirlah!”
katanya dan lengan bajunya yang lebar itu dikebutkan ke arah
dada Bun Liong.

Bun Liong sudah maklum bahwa hweesio berkepandaian tinggi


terbukti betapa mudahnya ia membunuh Sin-houw dan Sin-wan
seperti yang dilihatnya tadi. Tapi oleh karena anak ini masih belum
berpengalaman dan terlalu mengandalkan sedikit kepandaian
yang pernah dipelajarinya sehingga lakunya tak ubahnya seperti
seekor anak kerbau yang baru tumbuh tanduk, maka sambil
meneguhkan kuda-kuda pada kakinya, dengan berani sekali
disambutnya kebutan lengan baju hweesio, dengan dada terbuka!

Akan tetapi, bukan main kagetnya anak ini sebab kebutan lengan
baju itu ternyata mendatangkan hawa pukulan yang dapat
menggempur kedudukan kuda-kudanya, sehingga tanpa ampun
lagi tubuhnya jatuh terjengkang!

294
Untung hweesio itu tidak bermaksud mencelakakan dirinya dan
kebutan lengan baju itu hanya menjengkangkan dirinya belaka
tanpa mengakibatkan luka sedikitpun. Sungguhpun serangan itu
tidak berbahaya, namun karena jatuh terjengkang dan terbanting
di atas batu karang, anak ini merasa sakit-sakit juga.

Ci Lun Hosiang ketawa terkekeh dan kembali ia menggerakkan


sepasang kakinya, berlari menaiki bukit.

Bun Liong cepat bangkit dan berlari mengejar di belakang hweesio


itu. “Hei! Orang gundul, kau tidak boleh mengganggu suhu!”
teriaknya sambil menggertak gigi karena hati anak ini sudah mulai
gemas terhadap hweesio itu.

Kembali Ci Lun Hosiang menghentikan larinya dan berdiri tertegun,


hal ini bukan disebabkan oleh teriakan Bun Liong yang mengejar
di belakangnya itu, akan tetapi disebabkan di depannya tiba-tiba
dan tanpa terlihat sebelumnya, telah berdiri seorang kakek
berjubah kuning yang tidak lain adalah Bu Beng Lojin yang
langsung menegurnya dengan suara yang berpengaruh sekali:

“Penghuni dari kelenteng manakah gerangan yang membikin ribut-


ribut di tempat ini?!”

295
Ketika itu Bun Liong sudah sampai di situ dan anak ini menjadi
besar hati melihat gurunya telah muncul dan menegur si gundul itu.

“Suhu, orang ini telah membunuh Sin-houw dan Sin-wan dan juga
memukul teecu, harap suhu sudi turun tangan mengadilinya!” Bun
Liong berkata mengadu sambil berdiri di sisi kakek itu.

“Diam, Liong! Hal itu semua sudah kuketahui,” sahut Bu Beng Lojin
yang sangat mencintai murid tunggalnya itu dan mata kakek ini
memandang kepada Ci Lun Hosiang yang ketika itu sedang
menjura terhadapnya sambil berkata:

“Ong Kim Su, akhirnya pinceng dapat menemukan tempat


persembunyianmu setelah lama sekali pinceng mencari-carinya!”

Bu Beng mengerutkan dahinya yang sudah keriput dan matanya


tetap mengawasi tamunya dengan tajam sambil balas menjura,
lalu tanyanya: “Beng-yu (sahabat), maafkanlah aku yang sudah
lamur ini, sehingga aku tak dapat segera mengenalmu.
Sebenarnya siapa dan dari manakah beng-yu ini?”

Hweesio itu tertawa bergelak, nada suaranya keras dan nyaring


sehingga bergema dan suara ketawa ini sangat menggetarkan hati
Bun Liong. Demikian ganjil dan menyeramkan bagi
pendengarannya sehingga bulu kuduknya meremang!
296
“Ha, ha, ha!!! Agaknya memang kau sudah terlalu tua, sehingga
matamu sudah lamur dan ingatanmu pikun, Kim Su!” kata si
hweesio kemudian. “Kalau benar-benar kau masih belum
mengenal siapa pinceng dan ingin tahu maksud kedatanganku,
baiklah pinceng akan memberi penjelasan kepadamu!”

Setelah berkata demikian, hweesio ini lalu menengok ke arah


sebuah batu karang besar yang menonjol di belakangnya yang
segera dihampirinya. Lalu dengan jari telunjuk kanannya ia
mencorat coret batu karang itu.

Dan ternyata selain untuk memberi jawaban bagi si tuan rumah


dengan tulisan itu, juga hweesio ini sekaligus memperlihatkan
tenaga lweekangnya dapat menulis dengan hanya
mempergunakan jari telunjuknya pada batu karang yang keras itu
dan pada batu karang terlihat huruf-huruf bekas guratan-guratan
dari jari telunjuk itu.

“Nah, Kim Su, dengan membaca tulisan ini, kini kau pasti dapat
mengenalku dan juga mengetahui maksud kedatanganku!” kata
hweesio itu, setelah selesai menulis dan menunjuk batu.

Huruf-huruf yang seakan-akan terpahat di batu karang itu ternyata


berbunyi:

297
“Aku Coa Ci Lun Datang Untuk Melunaskan Perhitungan
Lama.”

Tulisan ini terlihat jelas dan terbaca oleh Bu Beng Lojin maupun
oleh Bun Liong.

Anak ini bukan main kagumnya dan diam-diam ia meleletkan lidah


sambil membayangkan betapa tinggi kepandaian hweesio itu yang
dalam anggapannya memiliki jari telunjuk setajam pahat hingga
dapat membuat tulisan pada batu karang yang keras itu! Akan
tetapi lain halnya dengan Bu Beng Lojin, demontrasi tenaga
lweekang dari si hweesio sama sekali tidak mengherankan
baginya. Kakek ini memicingkan sepasang matanya sampai lama
sekali. Dan akhirnya berkata:

“Ah, huruf-huruf itu terlalu kecil bagi mataku yang benar-benar


sudah lamur ini dan lagi batu karang terlalu jauh dariku, sedangkan
aku yang sudah setua dan loyo ini merasa malas untuk
mendekatinya. Oleh karena itu, maka tolong beng-yu bawa batu ke
dekatku sini.”

Bun Liong merasa heran sekali akan sikap dan kata-kata gurunya
itu, akan tetapi sebaliknya hweesio segera dapat menangkap
maksud dari Bu Beng Lojin.

298
“Baik, baiklah akan kudekatkan batu ini sampai di depan matamu
supaya mata lamurmu itu dapat membaca tulisanku. Nah,
sambutlah!”

Ci Lun Hosiang lalu berdiri di balik batu karang yang menonjol


setinggi dadanya itu dan dengan menggunakan kedua tangannya
mendorong batu karang ke arah Bu Beng Lojin yang berdiri dalam
jarak sejauh tiga tombak.

Bukan main hebatnya tenaga dorongan ini. Batu karang itu dengan
mengeluarkan bunyi berdetakan patah bagian bawahnya dan
bagian atasnya yang besar dan beratnya paling sedikit
delapanratus kati itu terlempar dan melayang ke arah Bu Beng
Lojin secara dahsyat sekali!

Bun Liong kaget dan ketakutan. Anak ini cepat melompat menjauhi
gurunya karena merasa khawatir akan tertimpa batu karang yang
dapat membikin gepeng tubuhnya dengan berseru nyaring ia
memberi peringatan kepada gurunya:

“Suhu, awas!!!”

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa kakek itu


sama sekali tidak mau mengelak, seakan-akan hendak
membiarkan batu karang sebesar tubuh kerbau datang menimpa
299
dan menggepengkan tubuhnya yang kurus kering dan tua renta itu!
Akan tetapi sedetik kemudian Bun Liong menjadi bengong karena
kagumnya ketika melihat betapa suhunya itu dengan tenang dan
amat mudah kelihatannya, mengulur kedua tangannya ke depan
dan menyanggap batu karang itu bagaikan menyanggap suatu
barang yang ringan saja!

Untuk sejenak Bu Beng Lojin seperti membaca tulisan di batu


karang seperti seorang yang tengah membaca tulisan dari sejilid
buku yang dipegang dengan kedua tangannya. Akhirnya batu
karang tersebut dilepaskan dari pegangannya dan jatuh di
depannya dengan ringan seakan-akan batu yang besar dan berat
itu diletakkan di situ oleh tenaga yang mujijat!

Kakek itu menghela napas dan berkata sambil memandang


kepada hweesio gemuk: “Dengan melihat bentuk tubuhmu dan
mendengar suara dan ketawamu, sejak tadipun aku sudah
menduga, bahwa kau adalah Coa Ci Lun. Kemudian aku
bertambah yakin ketika menyaksikan kau mendorong batu karang
ini dengan mempergunakan tenaga Ceng-kin-ciu.

“Yang membuat aku tidak dapat segera mengenalmu, ialah karena


kau kini telah salin rupa, yakni kepalamu gundul pelontos seperti
batu giok (kumala) yang baru digosok! Inilah yang menyebabkan

300
aku pangling dan kalau aku boleh bertanya, sejak kapankah kau
menjadi hweesio, Ci Lun…….?”

“Hahaha! Ternyata kau masih pandai berputar lidah seperti masa


dulu, Kim Su!” balas Ci Lun Hosiang sambil bertindak mendekati.

“Karena kau memang sudah lama sekali menyembunyikan diri


maka tentu saja kau tidak mengetahui perobahan hidupku, akan
tetapi karena hal ini tidak penting maka tak perlu kujelaskan. Dan
yang penting, sekarang kau tentu sudah mengetahui maksud
kedatangan pinceng ini, bukan?”

Bu Beng Lojin kembali menghela napas. “Ah, Ci Lun, ternyata kau


masih keras hati dan keras kepala seperti masa dahulu. Biarpun
sudah lama sekali aku mengundurkan diri dari dunia ramai dan
berdiam di sini sambil menanti umurku digerogoti keloyoan, kau
tetap memiliki semangat muda mencari aku sehingga hari ini kau
jumpai di sini. Benar-benar kupuji kejantananmu, kawan!”

“Nah, sekarang marilah kita menyelesaikan perhitungan lama atau


tegasnya, aku ingin menebus kekalahanku masa dahulu.
Bersiaplah, Kim Su!”

Sekali lagi. kakek yang ditantang itu menghela napas. Dan seraya
mengelus-elus jenggotnya, ia berkata dengan sabar:
301
“Ci Lun, rupanya sejak peristiwa dahulu kau memperdalam
kepandaianmu sehingga kini kulihat tenaga lweekang yang kau
pergunakan mendorong batu karang tadi sedemikian hebat dan
kulihat tubuhmu makin tua makin sehat dan makin gemuk saja!
Sedangkan aku makin tua makin loyo dan sebenarnya aku sudah
tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi. Akan tetapi karena kau
menaruh perhatian sedemikian besar terhadapku, maka
betapapun juga selaku tuan rumah aku harus manghargai
kunjungan tamunya.”

“Nah, bagus! Maka terimalah penebusan kekalahanku!” seru Ci


Lun Hosiang dan setelah ucapannya yang terakhir lenyap dari
pendengaran, hweesio gundul yang bertubuh bundar ini lalu
menubruk maju sambil kedua tangan dipentang seperti seorang
hendak menubruk dan menangkap seekor ayam yang minggat dari
kurungan!

Bu Beng Lojin maklum bahwa biarpun serangan si gendut itu


kelihatannya seperti sembarangan saja, tetapi hebatnya bukan
main oleh karena kedua tangan yang mula-mula dipentangkan dan
kemudian digerakkan ke arahnya itu mendatangkan hawa pukulan
yang sukar diukur kekuatannya, maka kakek ini cepat menggelak
ke kiri sambil berkata:

302
“Kuterima dan layani penebusan kekalahanmu yang kau
maksudkan ini, akan tetapi jangan menyesal kalau sekarang ini kau
mendapat kekalahan untuk kedua kalinya!”

Setelah mengelak, hawa pukulan dari Ci Lun Hosiang itu


menyambar di samping tubuhnya bagaikan angin taufan yang
dahsyat sekali dan menghantam sebatang pohon yang-liu di
belakang kakek itu. Dan bagaikan disamber petir pohon tersebut,
tumbang dengan mengeluarkan suara gedubrakan!

Tanpa membuang waktu, secepat setelah berkelit, Bu Beng Lojin


balas menyerang, juga dengan kedua tangannya seperti
melakukan dorongan ke arah tubuh si hweesio gendut itu.

Ci Lun Hosiang pun maklum bahwa serangan yang berdasarkan


pengerahan lweekang dan khikang dari kakek itu tidak boleh
dianggap enteng. Maka ia dapat mengelak dan hawa pukulan dari
Bu Beng Lojin menggempur batu karang yang berhuruf tadi
sehingga mencelat jauh dan kemudian menggelundung ke bawah
lereng dengan menimbulkan suara hiruk pikuk karena menerjang
dan menimpa batu-batu karang lainnya serta menumbangkan
pohon-pohon yang kebetulan menghalanginya!

303
Demikianlah seterusnya, dua ahli silat tinggi itu bertempur sengit
dan biarpun cara mereka bertempur itu tampaknya hanya seperti
saling dorong saja, namun sesungguhnya mereka bertempur mati-
matian. Hawa pukulan-pukulan mereka yang dapat
menumbangkan pohon dan menerbangkan batu karang dapatlah
dibayangkan betapa berbahayanya kalau misalnya mengenai
tubuh mereka!

Bun Liong menonton dari tempat yang agak jauh dengan dada
berdebar tegang. Anak ini baru untuk pertama kalinya
menyaksikan pertempuran yang terjadi antara dua orang ahli silat
tinggi.

Makin sengit gurunya dan hweesio gendut itu bertempur, Bun


Liong merasakan matanya menjadi kabur dan kepalanya pening
dan apa yang terlihat selanjutnya, hanya dua bayangan yang
berputar-putaran bagaikan menjadi satu bagaikan dua ekor burung
raksasa yang saling menerkam!

Bukan main hebatnya pertempuran itu. Tubuh Bu Beng Lojin


bergerak dan melompat ke sana ke mari selincah gerakan binatang
kijang, hawa pukulan-pukulan yang dilancarkan dari kedua telapak
tangannya sangat kuat dan dahsyat.

304
Sedangkan Ci Lun Hosiang, biarpun bertubuh bundar dan
kelihatannya berat, ternyata dapat bergerak amat gesit dan
tangkas dan serangan-serangan hawa pukulannya tak kalah hebat
dari lawannya! Beberapa tombak di sekeliling mereka seakan-akan
diserang angin taufan yang mengamuk dan berputar-putaran
sehingga daun-daun pohon rontok berhamburan serta beberapa
batang pohon menjadi jebol dan tumbang disertai mengebulnya
debu dari batu karang yang menjadi hancur berantakan!

Pertempuran ke dua ahli silat yang sudah sangat tinggi ilmu


kepandaiannya itu, Bun Liong tidak dapat mengetahui sudah
mencapai berapa puluh jurus, dan tahu-tahuia mendengar suara
suhunya yang berseru:

“Kena……!!”

Bun Liong tiba-tiba melihat tubuh si gundul itu terlempar jauh sekali
dan menggelundung ke bawah lereng bagaikan sebuah gentong
arak yang dilemparkan dari atas puncak! Tubuh bundar yang
menggelundung ke bawah lereng itu akhirnya terhenti ketika
menabrak sebuah batu karang dan terdengar suara benturan yang
keras sekali!

305
Bun Liong bersorak gembira atas kemenangan suhunya. Dan anak
ini merasa pasti bahwa tubuh si gundul yang dihajar oleh hawa
pukulan dari gurunya dan jatuh menggelundung ke bawah lereng
serta ditambah lagi menabrak dan membentur batu karang itu,
takkan mampu bergerak lagi dan terus mampus!

Akan tetapi bukan main herannya anak ini ketika melihat bahwa si
gemuk yang membentur batu karang itu tidak mampus, bukan
kepala gundulnya yang pecah, melainkan batu karang itu yang
menjadi hancur berantakan! Kemudian keheranan anak ini makin
bertambah pula demi dilihatnya tubuh gemuk yang tadi
disangkanya takkan mampu bergerak lagi itu, ternyata kini dapat
bangkit dan bahkan berdiri.

Sambil memandang ke atas di mana Bu Beng Lojin berdiri,


hweesio itu ketawa bergelak seraya katanya nyaring:

“Ha, ha, ha! Kim Su, benar-benar kau hebat sekali dan pinceng
mengaku kalah untuk ke dua kalinya! Biarlah pada lain waktu kita
bertemu dan mengadakan perhitungan lagi!”

Setelah berkata demikian ia lalu lari cepat menuruni lereng dan


menghampiri tempat di mana tubuh muridnya, harimau putih dan
lutung sakti itu berada, semuanya saling geletak tanpa nyawa lagi.

306
Sekali ia mendokel dengan kakinya, mayat muridnya terlempar ke
atas lalu disamber dengan tangan kirinya, dikempit di bawah
ketiaknya dan terus dibawa lari sehingga akhirnya hweesio yang
luar biasa itu menghilang di antara hutan belukar di bawah lereng!

Bu Beng Lojin mengebut-ngebutkan jubahnya yang penuh debu


dan Bun Liong mendengar kakek kosen ini berkata:

“Makin tua ternyata makin gagah dan makin lihay, dan entah
berapa banyaknya ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan
yang tak patut dipuji selama ini…..”

“Suhu, siapakah sebenarnya dia itu dan apa sebabnya dia datang
kemari mengadakan perhitungan dengan suhu?” Bun Liong
bertanya dengan perasaan tertarik dan ingin tahu akan hal ihwal si
hweesio yang berkepandaian tinggi dan bertubuh luar biasa
kuatnya itu.

Kakek itu menghela napas. “Nanti akan kuceritakan dan hal ini
memang sewajarnya kau ketahui, Liong. Dan sekarang ambillah
cangkul di sisi pondok dan kuburlah mayat Sin-houw dan Sin-wan
terlebih dulu.”

Bun Liong berlari ke puncak untuk mengambil cangkul dan


kemudian dengan dibantu oleh suhunya, dia menggali dua buah
307
lubang di tempat yang tidak berbatu karang dan bangkai lutung dan
harimau putih itu dikuburnya baik-baik. Sangat pilu dan sedih hati
Bun Liong ketika mengubur bangkai kedua binatang yang pernah
menjadi kawan baiknya selama empat tahun itu dan makin kuatlah
keyakinan anak ini bahwa hweesio terokmok tadi bukan manusia
baik!

Kemudian, setelah guru dan murid ini kembali ke puncak dan


duduk-duduk di dalam pondok, baru Bun Liong mengetahui dari
cerita gurunya. Bahwa Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang adalah
seorang tokoh besar berasal dari Tibet dan datang merantau ke
daratan Tiongkok dengan membawa kepandaiannya yang sangat
lihay sekali terutama ilmu pukulan dari Tangan Seribu Katinya yang
dapat menghancurkan batu karang itu!

Orang-orang takut dan segan kepadanya karena selain ilmu


silatnya tinggi dan lihay, juga tabiatnya buruk dan sukar dilayani.
Sungguh sayang bahwa kepandaian tinggi yang dipunyainya itu
tidak digunakan untuk kebaikan-kebaikan terhadap sesama
manusia, akan tetapi justeru sebaliknya dengan mengandalkan
ilmu silatnya yang tinggi itu, ia melakukan perbuatan-perbuatan
yang mengotori dunia!

308
Selama menjadi perantau di daratan Tiongkok, si Tangan Seribu
Kati ini banyak sekali mengangkat murid, dan murid-murid hasil
gemblengannya sebagian besar menempuh penghidupan dalam
kalangan hek-to atau menjadi penjahat!

Pada suatu masa, si Tangan Seribu Kati ini bertemu dengan


seorang tokoh dari Lu-liang-pay, yakni seorang pendekar
berkepandaian tinggi bernama Ong Kim Su yang mempunyai
nama julukan Bu-tek-sin-kun (Kepalan Dewa Tanpa Tandingan)
atau tegasnya Bu Beng Lojin di waktu muda dan jauh sebelum
menjadi pertapa di gunung Hoa-san ini.

Karena haluan mereka berlawanan, pertemuan itu mengakibatkan


permusuhan. Maka bertempurlah mereka dan akhirnya si Tangan
Seribu Kati harus mengakui keunggulan si Kepalan Dewa Tanpa
Tandingan!

“Demikianlah, muridku, sejak itu aku dan dia tidak pernah bertemu
lagi dan tahu-tahu hari ini ia datang kemari dengan kepala gundul
dan tubuh ditutupi jubah orang alim. Hanya mujur sekali bagiku
bahwa kali inipun aku berhasil mengalahkannya!

“Ah, dasar dia seorang berwatak buruk, aku yakin bahwa dia
sengaja mengubah dirinya menjadi hweesio dan di dunia ini tidak

309
sedikit orang-orang jahat yang berpura-pura menjadi orang suci!”
demikian Bu Beng Lojin mengakhiri penuturannya.

“Suhu, orang jahat semacam dia sudah sepatutnya dibikin


mampus saja agar dunia tidak makin kotor dibuatnya dan juga
supaya lain kali tidak merongrong suhu lagi, tetapi mengapa tadi
suhu tidak membunuhnya saja dan bahkan membiarkan dia lari
dengan menaruh dendam terhadap suhu?” tanya Bun Liong
karena menurut pendapatnya tindakan gurunya terhadap si gundul
tadi kurang tepat.

Bu Beng Lojin menarik napas panjang dan kakek ini agaknya


mengetahui isi hati muridnya.

“Bun Liong, kau belum tahu banyak tentang peraturan-peraturan di


dunia kang-ouw. Ketahuilah, membunuh seseorang walaupun
orang itu penjahat besar yang wajib diganyang, akan tetapi kalau
dia sudah mengaku kalah dari suatu perkelahian, seperti halnya si
Gendut Ci Lun, pendeta palsu tadi, bagi si pemenang tidak boleh
menurunkan tangan maut. Karena membunuh seorang lawan yang
sudah menyatakan takluk dan mengakui kekalahannya sendiri,
bukanlah perbuatan seorang gagah, melainkan perbuatan seorang
kejam dan keji!

310
“Memang, tadipun aku melancarkan serangan yang mematikan
dengan maksud menyingkirkan manusia jahat itu dari dunia, akan
tetapi ternyata dia mempunyai lweekang yang sudah sempurna
dan agaknya memiliki ilmu kebal yang luar biasa kuatnya, sehingga
seranganku yang tepat menghantam dadanya tidak membuat ia
mati. Dengan demikian berarti dia masih dapat melakukan
kejahatan yang entah bagaimana lagi,” kakek ini kembali menarik
napas seakan-akan menyesal karena pukulannya terhadap
lawannya tadi masih kurang ampuh.

Setelah hening sejenak, kakek itu bertanya kepada muridnya yang


duduk dihadapannya sambil menundukkan kepala.

“Liong, tadi kulihat dadamu diserang oleh pukulan lengan baju si


gendut itu, tidakkah dadamu terasa sakit?”

Bun Liong mengangkat kepalanya, memandang kakek itu dan


menjawab sejujurnya: “Tidak suhu……!”

“Syukurlah! Agaknya dia sengaja tidak mau mencelakakanmu.


Akan tetapi lain kali kau jangan gagabah, karena kalau serangan
macam tadi disertai pengerahan lweekang sepenuhnya dan pada
dadamu masih belum mempunyai daya tahan dari tenaga dalam
yang sempurna, maka kalau tidak tewas, sedikitnya di dalam

311
dadamu akan menderita luka hebat, lain halnya kalau kelak tenaga
dalammu sudah tinggi dan mempunyai daya tahan yang sangat
kuat……”

Bu Beng Lojin menghentikan kata-kata nasehat bagi muridnya itu,


dan tiba-tiba keningnya dikerutkan seperti ada sesuatu yang
diingatnya. Kemudian, sambil menatap muridnya, kakek ini
bertanya pula: “Liong, tadi kudengar bahwa si Ci Lun menanyakan
ayahmu dan kau telah menjawabnya terus-terang, bukan?”

“Benar, suhu,” sahut Bun Liong dan anak ini seperti mendapat
firasat kurang baik ketika melihat sinar mata gurunya seperti
mengandung penyesalan, maka tanyanya segera: “Mengapa suhu,
mungkinkah si gundul mempunyai maksud kurang baik terhadap
orang tua teecu……?”

“Agaknya begitulah, muridku. Namun betapapun juga kuharapkan


kekhawatiranku itu tidaklah terjadi dan mudah-mudahan ayahmu
dilindungi Thian Yang Maha Esa!”

Hati Bun Liong merasa agak lega mendengar sabda kakek sakti
yang terakhir itu. Dan demikianlah sejak saat itu, yaitu sejak
mereka didatangi oleh si Tangan Seribu Kati Ci Lun Hosiang,
makin hebatlah Bun Liong digembleng oleh gurunya.

312
Beberapa tahun kemudian kepandaian Bun Liong bertambah
hebat, ilmu silat Sin-wan Pek-houw Kun-hoat yang oleh gurunya
dikombinasikan dengan ilmu silat dari cabang persilatan Lu-lian-
pay dipelajarinya sehingga matang dan sempurna. Juga
kepandaian yang menjadi andalan Bu Beng Lojin yakni ilmu
pukulan yang disebut Lui-lek-ciang (Tangan Bertenaga Geledek)
yang dapat menghancurkan batu karang itu, diwarisinya dengan
baik.

Bahkan, akhirnya Bun Liong menerima pula pelajaran tambahan


berupa ilmu silat bersenjata, hanya senjata ini bukan merupakan
senjata tajam seperti pedang, tombak atau lain macamnya lagi,
melainkan berupa seuntai tali yang terbuat daripada serat rotan
gunung yang dililit benang emas, sehingga tali yang alot dan kuat
ini merupakan sebuah pecut dan dapat dijadikan senjata yang tak
kalah ampuh dan lihaynya daripada segala macam senjata tajam!

Ternyata disamping ilmu silat tanpa senjata yang lihay sekali dan
ilmu pukulan Lui-lek-ciang yang biarpun hanya berupa hawa
pukulannya saja dapat menghancurkan batu karang itu, juga Bu
Beng Lojin memiliki ilmu cambuk yang diberi nama Shan-kong-
joan-pian (Cambuk Lemas BerSinar Kilat) yang luar biasa
hebatnya!

313
Bun Liong menerima pelajaran ilmu silat bersenjatakan cambuk
dengan sangat sukar sekali. Karena pecut itu hanya berbentuk
seuntai tali yang lemas dan berbeda dengan senjata pedang
maupun barang lainnya yang kaku serta bersifat keras, maka pada
hekekatnya mempelajari ilmu silat bersenjatakan pecut ini lebih
sukar dan sulit!

Mula-mula Bun Liong mempelajari cambuk berupa seuntai tali


yang pendek saja dan yang harus ia gerakkan dengan lweekang
sehingga tali pendek bisa menjadi lemas atau kaku menurut aliran
tenaga dalamnya dan digunakan sesuai dengan keadaan.
Kemudian, ia mulai mendapat pelajaran ilmu cambuk Shan-kong-
joan-pian yang amat sulit gerakannya.

Tali yang panjangnya sampai dua tombak dapat dimainkan sesuka


hatinya, dapat digunakan untuk membetot, menangkis, membelit,
menotok jalan darah dan merampas senjata lawan. Juga, cambuk
ini dapat digunakan seperempat atau setengahnya saja, hingga
dapat digunakan sesuka hati pemegangnya, mau panjang atau
pendek hanya tinggal mengatur cara memegangnya saja
disesuaikan dengan jarak lawan yang dihadapi!

Juga waktu berlatih ilmu cambuk ini dengan gurunya, tidak jarang
Bun Liong menjadi bulan-bulanan dari cambuk suhunya. Oleh

314
karena dengan cambuk di tangan kanan dan tangan kirinya serta
melancarkan serangan-serangan hawa pukulan Lui-lek-ciang, Bu
Beng Lojin menyerang muridnya yang harus mengandalkan
kegesitan tubuh dan gin-kang untuk mengelak!

Mula-mula seluruh tubuh Bun Liong matang biru kena cambukan.


Akan tetapi lambat laun ia menjadi paham betapa caranya harus
menghadapinya sehingga dalam serentetan serangan yang tidak
kurang dari limapuluh jurus, hanya dua atau tiga kali saja terkena
pecutan cambuk suhunya!

Bahkan akhirnya sekali, Bun Liong berhasil melakukan serangan


balasan terhadap suhunya sehingga biarpun tubuh kakek kosen itu
tidak menjadi matang biru, namun kain jubah yang dikenakannya
tak urung menjadi robek-robek dibuatnya. Dan melihat kemajuan
yang dicapai oleh anak ini tentu saja hati kakek itu sangat gembira
dan bangga!

Musim salju baru tiba. Bunga salju kecil-kecil ringan bagaikan


kapas melayang-layang bertebaran memenuhi segala benda
dipermukaan bumi. Di sana-sini tampak benda-benda seakan-

315
akan diselimuti kapas sehingga pemandangan sangat
menyedapkan mata.

Memang, pada awal musim salju segala nampak indah, segala


benda nampak keputih-putihan bagaikan ditaburi bedak yang
ditebarkan dari angkasa raya. Akan tetapi segala keindahan itu
mendatangkan rasa jemu bagi orang oleh karena disamping itu,
hawa dingin terasa menusuk tulang.

Dinginnya hawa udara di musim salju memang sangat menusuk,


terutama di puncak gunung Hoa-san yang tinggi. Semua pohon di
hutan yang terdapat di lereng gunung itu, yang tadinya kehijauan
tertutup salju, daun-daun telah rontok dan cabang-cabang yang
gundul tampak putih-putih seperti dicat!

Burung-burung yang biasanya ramai berkicau berloncat-loncatan


dari satu cabang ke cabang yang lain dan binatang-binatang hutan
yang biasanya banyak terdapat dan berkeliaran di dalam hutan,
dalam musim salju itu tidak kelihatan. Agaknya dalam hawa yang
sedingin itu mereka lebih baik mengundurkan diri dan beristirahat
di dalam sarang-sarang mereka yang hangat!

Keadaan di gunung Hoa-san pada pagi hari itu seakan-akan mati


dan sunyi, agaknya tiada mahluk hidup yang berani keluar dari

316
sarangnya pada saat hawa udara sedingin itu. Akan tetapi tidak
demikian di dekat puncak gunung itu!

Sesosok bayangan orang tampak bergerak bagaikan melayang-


layang meluncur menuruni lereng sebelah utara dengan cepat
sekali, melompati batu-batu karang yang terjal, meloncati lembah-
lembah kecil yang curam dan menerjangi hutan-hutan yang
bersalju.

Sesosok bayangan itu adalah Souw Bun Liong yang sudah


mendapat izin dari gurunya sesudah delapan tahun lamanya
bermukim di puncak Hoa-san, untuk turun gunung dan kembali ke
dusunnya, menjumpai ayah ibunya yang sudah sekian lamanya
dirindukannya. Dan kemudian mempergunakan ilmu
kepandaiannya yang pernah dipelajarinya selama delapan tahun
di bawah gemblengan Bu Beng Lojin di puncak Hoa-san itu demi
kebaikan sesama manusia!

Souw Bun Liong kini telah menjadi dewasa. Usianya telah


mencapai duapuluh tahun dan ia merupakan seorang pemuda
yang amat sederhana baik pakaian pemberian suhunya maupun
sikapnya, akan tetapi tidak mengurangi kecakapan wajahnya dan
kegagahan sikapnya.

317
Wajahnya yang tampan membayangkan keagungan watak dan
kehalusan budi, sedangkan bibirnya yang selalu tersenyum-
senyum mencerminkan adatnya, yang sabar dan peramah dan
sinar matanya yang tajam menunjukkan sifat ksatrya yang gagah
berani.

Dengan bibirnya yang selalu tersenyum karena gembira sekali


akan segera berjumpa dengan ayah ibunya. Sepasang kaki Bun
Liong seakan-akan tidak menginjak tanah ketika dengan cepatnya
ia menuruni lereng itu untuk menuju ke dusun Lo-kee-cun.

Seakan-akan ia terbang saja ketika ia melompati jurang yang


menghadang di tengah perjalanannya. Sedangkan di dalam
telinganya, masih mendengung dan mengiang kata-kata pesan,
petuah serta nasehat dan doa restu dari suhunya beberapa saat
sebelum ia meninggalkan puncak gunung Hoa-san!

“Liong, muridku yang kukasihi. Hari ini kuperkenankan kau turun


gunung oleh karena selain aku tidak dapat mengajarkan apa-apa
lagi kepadamu lantaran semua ilmu yang ada padaku telah kau
pelajari sampai habis, juga kuserahkan tugas yang sangat berat di
atas pundakmu yang kecil ini.

318
“Sesampainya kau di dusunmu nanti, maka kau akan melihat
betapa keruh dan kacaunya keadaan dusunmu dan sekitarnya.
Yaitu kekeruhan dan kekacauan yang berupa huru-hara dan geger
yang ditimbulkan oleh manusia sendiri sehingga orang lemah
menjadi bingung dan kesengsaraan merajalela di antara rakyat
jelata.

“Oleh karena ini, muridku, aku percaya bahwa dengan


mempergunakan kepandaian yang telah kuwariskan kepadamu,
kau akan dapat berbuat sebagaimana mestinya, yakni membela
pihak yang lemah dan benar dan mengganyang segolongan
manusia yang menuntut penghidupan sewenang-wenang dan
melanggar segi-segi kesopanan dan prikemanusiaan!

“Inilah pesanku dan kuyakinkan kau dapat membuka malamu


lebar-lebar untuk melihat dunia dan kehidupan, buka telingamu
baik-baik untuk menangkap segala suara yang patut kau dengar.
Jadilah seorang bijaksana yang dapat menguasai diri, dengan
pengertian apabila menghadapi sesuatu hal jangan terlalu
menurutkan suara hati yang dikuasai nafsu, melainkan harus
bertindak atas dasar pertimbangan otak yang penuh kesadaran.

“Muridku, aku yakin bahwa kau akan dapat menyesuaikan dirimu


di dalam pergaulan masyarakat ramai. Akan tetapi di samping rasa

319
yakinku ini, aku rasa perlu juga memberi nasehat kepadamu bahwa
kau hendaknya selalu ingat akan dua buah hal yang akan
menghalangi kemajuanmu.

“Pertama-tama. Biarpun persoalan yang dihadapi itu sukar dan


rumit, janganlah cepat berputus asa karena rasa cepat putus asa
ini merupakan penyakit yang akan melemahkan semangat dan
memperkecil kemauan.

“Kedua, seperti berulangkali pernah kukatakan bahwa jangan


sekali-kali kau dihinggapi sifat sombong dan menganggap diri
sendiri paling pandai. Oleh karena sifat yang tak baik inipun
merupakan suatu penyakit yang dapat menyeretmu ke dalam
jurang kesesatan dan seorang yang suka menyombongkan
kepandaiannya pada hakekatnya menelanjangi kebodohannya
sendiri!

“Cepat berputus asa, sifat sombong dan terlalu suka menuruti


nafsu hati adalah pantangan terbesar, terutama bagi seorang yang
masih sangat muda seperti engkau ini yang akan mulai berenang
di lautan penghidupan yang bergelombang dan berbatu-batu
karang itu.

320
“Nah, muridku, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk pergi
turun gunung. Sampaikan salam dan maaf kepada orang tuamu
karena aku telah menahanmu di puncak ini selama delapan tahun
tanpa setahu dan seizin mereka terlebih dahulu. Terjunkanlah
dirimu di antara gelombang kehidupan dengan perasaan tanggung
jawab.

“Jadilah seorang kesatria yang selalu mengulurkan tangan


menolong sesama manusia yang ditimpa penderitaan. Semoga
segala tugas yang kuserahkan di atas pundakmu itu membawa
hasil yang gemilang, supaya jerih payahmu selama delapan tahun
mempelajari segala kebodohanku tidak akan sia-sia. Dan aku
sebagai gurumu, tidak akan kecewa mempunyai seorang murid
yang dapat melaksanakan kewajiban dengan sempurna…….!”

Demikianlah, dengan membawa pesan dan petuah dari kakek sakti


pertapa di puncak Hoa-san itu sebagai bekal hidupnya, Bun Liong
telah turun gunung. Ia mempergunakan ilmu lari cepatnya disertai
dengan gin-kangnya yang tinggi berlari menuruni lereng sehingga
sepasang kakinya seakan-akan tidak menginjak tanah yang
bersalju itu ketika ia menempuh perjalanan akan menuju ke dusun
Lo-kee-cun.

321
Hatinya berdebar-debar, karena pemuda ini yakin bahwa kedua
orangtuanya pasti akan terkejut dan gembira melihat
kedatangannya dengan membawa kepandaian yang sangat tinggi
ini. Maka dipercepatlah larinya.

Ketika mulai memasuki dusun Lo-kee-cun, Bun Liong


mendapatkan dusun ini dalam keadaan sunyi dan hal ini tidak
begitu mengherankan, oleh karena pada musim salju bagi
penduduk dusun umumnya, mereka lebih suka berdiam di rumah
sambil berdiang menghangatkan tubuh.

Demikian pula ketika pemuda ini tiba di depan pintu rumahnya, ia


melihat daun pintu rumah yang sudah delapan tahun lamanya
ditinggalkannya itu, tertutup rapat dan suasana di dalamnya, juga
sepi jempling! Dicobanya mendorong daun pintu itu dan ternyata
tidak dikunci sehingga dengan mudah dapat dibukanya dengan
menimbulkan suara menggerit.

“Siapakah yang masuk…….?” terdengar teguran seorang wanita


dari dapur dan Bun Liong mengenal bahwa itu adalah teguran
ibunya, maka segera ia masuk dan menghampirinya.

Didapatkannya ibunya sedang duduk berdiang di depan tungku


yang apinya membara, ia telah tua dan kurus.

322
Tanpa beranjak dari tempat duduknya, nyonya itu memandang
kepada Bun Liong yang kini sudah berdiri di hadapannya. Wajah
nyonya itu membayangkan keraguan hatinya dan nyonya itu
menatap dengan tajam.

Memang, nyonya ini sejak ditinggalkan oleh putera tunggalnya


delapan tahun yang lalu, sudah terlalu sering ditipu oleh
pendengarannya sendiri dan seringkali dipermainkan oleh
pandangan matanya sendiri. Sering kali ia mendengar suara orang
memanggil seperti suara puteranya dan melihat bayangan anak
laki-laki yang dikira puteranya pula.

Dan kali inipun, ketika dilihatnya seorang pemuda sederhana yang


berwajah seperti pernah dikenalnya. Nyonya ini merasa sangsi
karena ia tidak mau ditipu lagi oleh pandangan matanya, kalau saja
tidak segera mendengar suara pemuda itu yang meyakinkannya:

“Mama! Ini Bun Liong datang…….!” suara pemuda itu menggetar


dan kedua matanya berkaca-kaca ketika menubruk kaki ibunya
dan berlutut.

“Liong-ji, Liong-ji…… benarkah kau……?” Akhirnya nyonya Souw


menjerit dan menangis sambil merangkul pundak puteranya.

323
Didekapnya, kepala putera tunggalnya itu ke dadanya dengan
penuh rasa terharu dan gembira. Dielus-elusnya rambut puteranya
dengan penuh kasih sayang seperti dulu ketika anaknya masih
kecil.

Sampai lama ibu dan anak ini tidak dapat berkata-kata, hanya
saling peluk dengan air mata berlinang-linang. Kemudian Bun
Liong dapat mententramkan hatinya lebih dulu dan dengan hati-
hati sekali ia melepaskan diri dari pelukan ibunya, lalu berkata
menghibur,

“Mama……. jangan kau bersedih, bukankah kini anak sudah


kembali kepangkuanmu?”

Dengan perlahan Bun Liong membimbing tangan ibunya, mereka


masuk ke ruangan tengah dan mereka duduk di sebuah bangku
panjang yang sudah agak reyot.

Bun Liong memandang ruangan itu dengan seksama dan


terlihatlah dengan jelas bahwa isi rumahnya kini jauh berbeda
dengan dulu. Alat perlengkapan rumah tangga seperti meja, kursi,
lemari dan lain-lainnya yang dulu mengisi ruangan ini, kini tidak
tampak lagi sehingga ruangan tengah yang luas ini kosong!

324
Melihat keadaan rumahnya, yang demikian miskin itu, Bun Liong
sangat sedih. Tiba-tiba matanya terbelalak, wajahnya pucat ketika
dengan jelas dilihatnya sebuah meja abu yang terletak di dekat
dinding, karena adanya meja abu di situ berarti bahwa ayahnya
telah meninggal.

“Mama…… meja abu siapakah itu…….?” tanyanya dan hatinya


segera yakin bahwa ayahnya telah tiada lagi, karena pertanyaan
ini membuat ibunya menangis dengan sedih hingga sukarlah
baginya untuk mengeluarkan kata-kata.

“Mama, kalau benar terkaanku bahwa adanya meja abu itu suatu
bukti bahwa ayah telah meninggal dunia, tak perlu dibuat sedih
karena mati atau hidup kita tetap tidak berdaya terhadap kemauan
dan kekuasaan Thian!” kata Bun Liong yang telah dapat mengatasi
perasaan hatinya berkat gemblengan suhunya sehingga batinnya
kuat.

“Kau benar, Liong-ji……” sahut ibunya dengan tersedu sedan dan


nyonya ini berusaha menghentikan tangisnya. “Memanglah,
ayahmu telah meninggal…….!”

Sungguhpun jawaban ibunya itu membuatnya ingin menangis,


akan tetapi karena batinnya sudah kuat, maka Bun Liong dapat

325
bersikap tenang. Ia segera menghampiri meja abu itu dan berdiri
di depannya. Diambilnya tiga batang hio yang tersedia di atas meja
itu dan disulutnya. Lalu dengan penuh khidmat, ia bersembahyang
dan terdengar mengacapkan kata-kata dengan perlahan:

“Ayah, kini Liong telah kembali……. Ampunilah anakmu yang tidak


berbakti ini…….”

Setelah tiga batang hio itu ditancapkan di tempat abu, dan setelah
bersoja dan ber kui sebanyak tujuh kali, Bun Liong kembali ke
dekat ibunya dan bertanya:

“Mama, sudah berapa lamakah ayah meninggal dan apakah yang


menyebabkannya? Mungkinkah ayah meninggal karena mendapat
kecelakaan ketika berburu semasa anak diambil oleh pertapa sakti
di puncak Hoa-san delapan tahun yang lalu? Dan…… mengapa
pula keadaan rumah kita sampai menjadi miskin begini…….?”

Nyonya Souw Cian Ho menarik napas panjang sebelum menjawab


pertanyaan puteranya yang beruntung itu.

“Liong-ji, kira-kira empat tahun yang lalu telah terjadi suatu


peristiwa yang membuat hatiku amat penasaran sekali. Semenjak
kudengar dari ayahmu bahwa kau telah diculik oleh seekor lutung
dan pengejaran ayahmu dihalang-halangi oleh seekor harimau
326
putih, maka yakinlah kami bahwa engkau telah sengaja diambil
untuk dijadikan murid oleh orang berkepandaian tinggi. Sebab
lazimnya orang-orang pandai di dunia kang-ouw kalau hendak
mengambil murid sering melakukan penculikan.

“Oleh karena ini, meskipun kehilanganmu di tengah hutan belukar


itu sungguh menyedihkan dan menggelisahkan hati kami, namun
kami tidak terlalu cemas dan selalu mengharap bahwa dugaan
kami tidak salah.

“Kini kau kembali dan mengatakan bahwa kau telah diambil


menjadi murid oleh pertapa sakti di puncak Hoa-san, maka dugaan
kami telah menjadi kenyataan yang benar!”

Nyonya itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah


berat, agaknya perkataan yang terlalu banyak diucapkannya itu
membuatnya sangat cape.

“Mama, kau sakit……?” tanya Bun Liong sambil mengawasi ibunya


yang kelihatannya lebih tua daripada umurnya yang sebenarnya.

“Benar, Liong-jie, aku menderita sakit sesak napas sejak peristiwa


yang menimpa ayahmu itu terjadi, yaitu kira-kira empat tahun yang
lalu.”

327
Mulanya Bun Liong mengira bahwa kematian ayahnya itu
disebabkan oleh kecelakaan ketika ia dibawa lari oleh si Lutung
Sakti, tapi ibunya mengatakan bahwa ayahnya meninggal baru
kira-kira empat tahun yang lalu.

Pemuda yang memang cerdas sejak kecilnya ini segera dapat


menduga bahwa peristiwa yang membuat ibunya penasaran itu
tentu berhubungan dengan kematian ayahnya.

“Mama, ceritakanlah segera peristiwa apakah yang menyebabkan


ayah secepat itu meninggal dunia!”

Nyonya Souw Cian Ho sebenarnya sudah merasa terlalu engap


untuk bercerita banyak-banyak lagi karena penyakit sesak
napasnya itu, akan tetapi oleh karena kini anaknya telah kembali
dan menjadi seorang pemuda gagah, maka sudah sewajibnyalah
ia menceritakannya karena anaknya wajib pula mengetahuinya.

“Liong-jie, sebelum aku bercerita, katakanlah dulu apakah benar-


benar kau membawa pulang kepandaian tinggi? Jawablah
sejujurnya, anakku!” tanya ibu itu, dengan nada kata berat yang
dipaksakan di antara keengapan yang menyesaki rongga dadanya.

Dari pertanyaan ibunya ini, maklumlah Bun Liong bahwa ayahnya


telah dibunuh oleh seseorang dan ibunya mengharapkan supaya
328
ia menuntut balas. Suaranya tenang dan sabar tapi cukup
meyakinkan tatkala ia menjawab:

“Mama, kepandaian seseorang sukar diukur batas tingginya, akan


tetapi biarpun kepandaian yang anak bawa ini tak dapat
disombongkan, namun segala ilmu kepandaian yang telah
diwariskan dari suhu ini, tidak dapat dikatakan terlalu rendah!
Katakanlah, mama, siapakah orangnya, dan apakah yang telah
mendatangkan malapetaka ini?”

Wajah nyonya itu tampak berseri-seri dan matanya bersinar


terang. Ditatapnya tubuh anaknya yang tegap dan kekar itu,
sepasang lengan tangannya yang meskipun biasa saja besarnya
itu, namun ototnya yang menonjol membuktikan bahwa di
dalamnya tersimpan tenaga yang kuat.

Pakaian Bun Liong tipis dan sederhana, tapi nampaknya tidak


merasa dingin, padahal hawa udara sedemikian dinginnya
sehingga orang mesti mengenakan baju tebal dan berdiang di
depan tungku.

Maka maklum dan yakinlah nyonya itu bahwa anaknya benar-


benar telah menjadi seorang pemuda yang gagah! Hati orang tua

329
itu menjadi lega dan bangga, dan ia menceritakan peristiwa yang
menyebabkan suaminya meninggal dunia itu…….

<>

Sebagaimana pernah diterangkan di bagian depan dari cerita ini,


bahwa Souw Cian Ho, yakni ayah Souw Bun Liong, adalah seorang
bekas piauw-su. Oleh karena memang kepandaiannya cukup
tinggi, maka setelah berkali-kali para perampok yang mengganggu
dan hendak merampas barang kawalannya di tengah perjalanan
selalu roboh di tangannya, maka namanya menjadi terkenal dan
tidak ada orang jahat yang berani mengganggu barang yang
dikawalnya.

Disamping kepandaiannya yang cukup tinggi Souw Cian Ho adalah


seorang yang penuh belas kasihan. Biarpun terhadap penjahat,
hatinya tidak tega untuk membunuh sehingga sebagian besar para
perampok yang pernah mengganggunya di tengah perjalanan,
sedapat mungkin dirobohkannya dengan luka ringan saja.
Kemudian memberi peringatan keras, bahkan tidak jarang ia
memberi uang bekal pengobatan kepada penjahat yang
dirobohkannya itu.

330
Akan tetapi, apabila ia menghadapi seorang penjahat yang tinggi
ilmu silatnya, terpaksa ia menurunkan tangan maut. Menghadapi
lawan berat yang tidak banyak selisih tingkat kepandaiannya, amat
sukar unnuk mengalahkannya dengan hanya melukai ringan saja.

Maka dalam hal ini, pertempuran sudah berobah sifatnya, sudah


merupakan adu nyawa, saling mendahului merobohkan lawan
dengan pukulan atau serangan yang berbahaya. Kalau ia ragu-
ragu untuk merobohkan lawannya, sebaliknya ia sendirilah yang
akan dirobohkan. Maka terpaksa ia harus menurunkan tangan
maut sehingga lawannya itu roboh dan binasa!

Akan tetapi para penjahat yang pernah dirobohkannya sehingga


tewas, hanya sedikit saja. Di antara sekian banyak penjahat yang
pernah dikalahkannya tanpa ditewaskan, terdapat seorang
perampok tunggal yang berkepandaian tinggi, namanya Lauw Can
Tong. Terpaksa ia merobohkannya dengan pedangnya yang
mengakibatkan perampok itu melarikan diri dalam keadaan dalam
keadaan luka hebat, dadanya ditembus oleh pedang Souw Cian
Ho.

Souw Cian Ho tidak pernah menyangka bahwa Lauw Can Tong itu
akhirnya menemui ajalnya setelah bertemu dan menceritakan
kekalahan kepada gurunya dan minta supaya sang guru

331
membalaskan kekalahannya itu. Adapun guru dari perampok she
Lauw itu tidak lain dari Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang……!”

Ci Lun Hosiang berjanji kepada muridnya akan membalaskan


kekalahan ini. Dan begitulah pendeta gadungan yang berwatak
buruk ini lalu merantau selain untuk mencari Souw Cian Ho, juga
ia mencari musuh pribadi yang pernah mengalahkannya, yakni Bu-
tek-sin-kun Ong Kim Su yang pembaca sudah mengenalnya
sebagai pertapa sakti dengan nama samaran Bu Beng Lojin.

Ci Lun Hosiang mendatangi kota See-an karena dari Can Tong ia


mendengar bahwa Souw Cian Ho tinggal di kota tersebut, tetapi di
situ ia tidak menjumpai musuh muridnya yang dicarinya itu karena
sebenarnya Souw Cian Ho dan keluarganya sudah pindah ke
daerah kota Tong-koan, yakni di dusun Lo-kee-cun.

Kemudian, sebagaimana pembaca sudah ketahui, Ci Lun Hosiang


pergi ke gunung Hoa-san sambil membawa seorang anak murid
barunya yang bermuka bopeng, yang sebenarnya bocah jembel
yang dijumpainya di tengah perjalanannya. Dan sebelum hweesio
gendut ini bertemu dengan Bu Beng Lojin, pembaca tentu masih
ingat bahwa hweesio ini telah membunuh lutung sakti dan harimau
putih karena ke dua binatang tersebut telah menyebabkan murid

332
barunya itu mati konyol dan kemudian ia bertemu dengan Bun
Liong.

Dan dari Bun Liong yang tidak menaruh syak wasangka apapun
juga terhadap hweesio gundul teromok ini, maka Ci Lun Hosiang
mengetahui tempat tinggal Souw Cian Ho yang tengah dicari-
carinya itu. Dan akhirnya, setelah untuk kedua kalinya hweesio ini
dikalahkan oleh Bu-tek-sin-kun Ong Kim Su alias Bu Beng Lojin. Ci
Lun Hosiang mengubur muridnya yang mati konyol itu di dalam
hutan kemudian langsung menuju ke dusun Lo-kee-cun dan
menemukan rumah orang yang dicarinya.

Hari sudah sore ketika Ci Lun Hosiang sampai ke rumah Souw


Cian Ho dan di ambang pintu yang terbuka lebar, hweesio ini
berseru nyaring: “O-mi-to-hud……!”

Ketika itu Souw Cian Ho dan isterinya sedang makan di ruangan


tengah. Mendengar seruan tersebut, segera bekas piauw-su ini
meninggalkan meja makannya dan berjalan ke depan, menjumpai
hweesio gendut yang berdiri di ambang pintu rumahnya itu.

“Maaf, pinceng numpang tanya, benarkah rumah ini tempat tinggal


Souw Cian Ho yang berasal dari kota See-an?” hweesio itu

333
bertanya dengan sikap sopan yang kelihatannya sangat kaku, yaitu
sopan yang dibuat-buat.

Souw Cian Ho menjura, “Tak salah dan orang yang toa-suhu


maksudkan adalah siauwtee ini. Maaf dan kalau boleh siauwtee
mengetahui, ada keperluan apakah maka toa-suhu mencari
siauwtee?” Souw Cian Ho bertanya karena memang hweesio
terokmok yang berdiri diambang pintu itu belum pernah dikenalnya.

Ci Lun Hosiang menyeringai bagaikan seekor kuda yang makan


dedak yang terlalu kasar bagi mulutnya dan kepalanya yang gundul
kelimis itu mengangguk-angguk seperti batok gayung yang sudah
loncer dari gagangnya.

“Bagus, bagus, dan sangat kebetulan sekali,” ujarnya dan setelah


angguk-anggukkan kepalanya itu berhenti, katanya pula: “Terus
terang saja kedatangan pinceng kemari adalah untuk meminta
derma……”

Souw Cian Ho sudah biasa menjumpai hweesio yang meminta


uang derma, dan ia sendiri termasuk salah seorang yang
tangannya selalu “terbuka” dalam hal ini, maka lalu tanyanya
ramah:

334
“Baik, baik, dan toa-suhu ini dari kelenteng mana?” tanpa menanti
hweesio itu memberi keterangan sebagaimana biasanya si
pemungut derma lakukan, Souw Cian Ho merogoh saku bajunya
dan mengambil mata uang sebesar satu tail yang kemudian
disodorkan kepada hweesio itu.

Dengan telapak tangannya yang besar dan gemuk Ci Lun Hosiang


menerima mata uang itu dan sekali remas saja, hancurlah mata
uang yang terbuat dari logam dan hancurannya disebarkan ke
muka Souw Cian Ho.

Sebagai orang yang banyak pengalaman, Souw Cian Ho maklum


bahwa kedatangan pendeta gendut yang berkepandaian tinggi ini
membawa maksud yang tidak baik. Dan makin jelaslah ketika
mendengar hweesio itu berkata:

“Cian Ho, pinceng datang bukan minta derma berupa mata uang,
melainkan pinceng minta kepalamu!”

Merahlah wajah si tuan rumah karena marah, tapi ia masih dapat


menahan marahnya ketika bertanya, “Toa-suhu, ada hubungan
apakah antara aku dengan kau? Kita belum pernah hertemu,
apalagi bermusuhan, maka dengan alasan apakah kau minta
kepalaku?!”

335
“Hehe!” Ci Lun Hosiang ketawa mengejek. “Memang kau belum
pernah bertemu dan memang antara pinceng dan kau tidak
mempunyai sangkut paut langsung. Akan tetapi dengarlah!

“Seorang muridku, bernama Lauw Can Tong telah dibunuh


olehmu, dan karena ini maka untuk menebus kerugian pihakku,
pinceng hendak menagih hutang jiwa kepadamu!

“Nah, kalau benar-benar kau mempunyai kepandaian, ambillah


senjatamu dan sebelum tiba ajalmu untuk menemani arwah
muridku di neraka, kuberi kesempatan kau melawanku supaya kau
tidak mampus dengan hati penasaran!”

Souw Cian Ho tidak ingat lagi akan nama Lauw Can Tong karena
memang sudah banyak penjahat yang pernah dirobohkannya
sehingga mana mungkin dapat diingatnya nama seorang demi
seorang, namun karena hweesio mengatakan bahwa seorang
muridnya telah ditewaskan olehnya, maka disamping rasa marah,
ia menjadi heran juga.

“Toa-suhu, jangan mengobral kesombongan dulu,” katanya sambil


tetap menahan amarah. “Kalau benar seorang muridmu telah
ditewaskan oleh ujung pedangku, maka sudah pasti muridmu
seorang perampok, dan kalau hal ini toa-suhu anggap sebagai

336
hutang piutang sehingga kau datang menagihnya, aku bersedia
menanggung segala resikonya. Cuma yang kuherankan, baru
sekarang kudengar bahwa ada seorang pendeta yang mempunyai
murid perampok, maka pendeta apakah adanya toa-suhu ini?”

“Bangsat kecil! Kau berani kurang ajar terhadap aku si Tangan


Seribu Kati Ci Lun Hosiang?!” bentak si hweesio dengan marah
karena ucapan Souw Cian Ho yang terakhir itu benar-benar
merupakan sindiran yang amat tajam baginya.

Baik semasa aktif menjadi piauw-su, apalagi setelah


mengundurkan diri dan tinggal di dusun Lo-kee-cun ini, Souw Cian
Ho memang belum pernah mendengar nama hweesio gadungan
yang berasal dari Tibet ini, maka sedikitpun ia tidak merasa
terkejut. Bahkan mendapat kesimpulan bahwa kalau seorang
hweesio mempunyai murid berupa perampok, maka sudah pasti
pendeta ini hweesio yang jahat dan kalau tidak demikian, setidak-
tidaknya sudah pasti manusia gendut ini seorang penjahat besar
yang berpura-pura menjadi hweesio!

“Eh, toa-suhu! Mengapa kau memakiku dan mengatakan aku


kurang ajar terhadapmu? Sepatutnya, kalau benar-benar toa-suhu
ini seorang pendeta suci, niscaya akan dapat menimbang secara
bijaksana bahwa perkataanku tadi sangat beralasan! Tapi

337
anehnya, justeru toa-suhu menjadi marah dan karena ini, maka
teranglah bagiku bahwa kalau muridmu termasuk golongan burung
gagak, maka kau sebagai gurunya sudah terang termasuk burung
hantu!”

Merahlah wajah Ci Lun Hosiang mendengar kata-kata balasan


yang sangat berani itu, karena hatinya bukan main marahnya.
“Bedebah! Kau mempunyai kepandaian apa maka berani demikian
kurang ajar terhadapku? Dasar kau memang harus membayar
hutang jiwa muridku! Nah, mampuslah kau!”

Sambil membentak demikian, Ci Lun Hosiang mengibaskan lengan


bajunya ke arah dada Souw Cian Ho dan bekas piauw-su ini cepat
mengelak karena tahu akan lihaynya kibasan lengan baju si
hweesio ini. Sambil mengelak sehingga dada nya terluput dari
samberan angin dari lengan baju yang cukup berbahaya itu.

Souw Cian Ho menyambar pedangnya yang tergantung di dinding


dan dengan menggunakan senjata yang telah banyak merobohkan
orang-orang jahat ini, ia balas menyerang. Maka pada saat
berikutnya, keduanya bertempur!

Akan tetapi, karena pertempuran terjadi di dalam ruangan depan


yang tidak begitu lebar, maka Souw Cian Ho tidak dapat secara

338
leluasa menggerakkan pedangnya sehingga hal ini benar-benar
sangat merugikan baginya. Sebaliknya, karena Ci Lun Hosiang
bertempur dengan tangan kosong saja dan lagipula karena
memang si gundul ini berkepandaian jauh lebih tinggi daripada
lawannya, maka ruangan itu sedikitpun tidak mengurangi
kebebasan pergerakannya dan ia dapat bertempur dengan
leluasa!

Pertempuran ini meskipun kelihatannya berjalan sengit. Akan


tetapi pada hakekatnya sangat pincang dan berat sebelah. Karena
kalau Souw Cian Ho memainkan pedangnya dengan tipu-tipu yang
terlihay dan menghadapi si gundul teromok itu dengan nekad,
maka Ci Lun Hosiang yang ternyata memandang lawannya sangat
rendah sekali itu menghadapi pedang di tangan lawannya sambil
ketawa-tawa mengejek!

Sementara Kho In Hoa atau isteri Souw Cian Ho yang mendengar


pertengkaran antara suaminya dan seorang tamu yang tak dikenal
di ruangan depan lalu meninggalkan meja makannya dan kini
berdiri di pinggir ruangan itu menyaksikan pertempuran dengan
hati gelisah dan khawatir. Ia maklum bahwa suaminya menghadapi
lawan yang sangat berat dan yang memiliki kepandaian yang jauh
lebih tinggi sehingga suaminya berada dalam bahaya. Akan tetapi,

339
nyonya yang tidak mengerti ilmu silat ini tak dapat berbuat apa-apa
selain mengepal kedua tangannya dengan hati cemas.

Baru bertempur belasan jurus saja, Cian Ho sudah terdesak hebat


dan kemudian tiba-tiba terdengar Ci Lun Hosiang ketawa bergelak
dan Kho In Hoa melihat pedang suaminya telah terampas oleh
libatan ujung lengan baju si hweesio hingga senjata itu terlontar ke
lantai. Kemudian terdengar jeritan ngeri dan tubuh Souw Cian Ho
itu terlempar dengan keras sekali, kepalanya membentur tembok
dinding rumah. Dari kedua lubang hidung serta mulut bekas piauw-
su yang malang ini keluar darah, lalu tubuhnya terjungkal dan
roboh tertelungkup tak bergerak lagi!

Souw Cian Ho, bekas piauw-su yang gagah perkasa dan yang
pernah merobohkan banyak penjahat, telah meninggal dalam
keadaan yang amat mengerikan dan mengecewakan di bawah
tangan Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang si pendeta gadungan yang
berwatak buruk dan jahat!

Si Tangan Seribu Kati ketawa bergelak. “Nah, punahlah hutangmu


dan puaslah arwah muridku dengan pembayaranmu orang she
Souw!” katanya sambil melangkah hendak luar dari rumah itu.

340
“Bangsat keji, rasakan pembalasanku!” Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring Kho In Hoa, nyonya Souw Cian Ho, melompat
maju sambil mempergunakan pedang bekas suaminya yang telah
diambilnya dari lantai, disabetnya ke arah punggung hweesio itu!

Tapi Ci Lun Hosiang dengan tenang sekali dan tanpa menoleh ke


belakang, seakan-akan di belakang kepalanya yang gundul itu
bermata, tangan kanannya diulurnya ke belakang dan dengan
gerakan ini secara mudah sekali ia telah dapat merampas senjata
nyonya itu. Setelah itu, hweesio ini membalikkan tubuhnya dan
memandang nyonya Souw sambil menyengir.

“Souw-hujin (nyonya Souw)! Apakah yang harus engkau


dendamkan dalam hal hutang-piutang ini? Suamimu mempunyai
hutang jiwa muridku, maka sudah selayaknya aku kini datang dan
membereskan soal itu!” katanya sambil jari-jari tangannya
mematahkan pedang yang dirampasnya tadi dan setelah
melemparkan senjata yang sudah menjadi dua potong itu ke lantai,
hweesio gadungan ini meninggalkan tempat itu.

Karena tidak mampu berbuat apa-apa untuk melampiaskan


penasaran dan dendam hatinya, Nyonya Souw menangis dan
menubruk tubuh suaminya yang sudah menjadi mayat!

341
Betapa sakit dan sedihnya hati nyonya ini sukar dilukiskan! Setelah
empat tahun lamanya ia kehilangan putera tunggalnya sehingga ia
hampir setengah gila, kini kehilangan suaminya. Peristiwa ini
benar-benar telah menyiksa batin Kho In Hoa!

Semenjak peristiwa itu Kho In Hoa yang sudah menjadi janda ini,
benar-benar menyedihkan. Ia menderita sakit sesak napas yang
disebabkan karena ia terlalu menderita batin. Harta benda
peninggalan mendiang suaminya dan juga barang-barang
perabotan rumah tangga makin lama makin habis, dijual untuk
mengongkosi hidupnya sehari-hari yang sebatang kara!

Tubuh nyonya janda ini menjadi kurus kering karena setiap hari
dilanda siksaan batin dan penyakit sesak napasnya makin lama
makin berat. Ia kelihatan tua, padahal usianya belum mencapai
empatpuluh tahun.

Baiknya nyonya janda ini mempunyai iman yang cukup teguh


sehingga biarpun hidupnya menderita lahir batin, ia tetap ingin
berumur panjang karena masih terus mengharap-harap puteranya
yang hilang itu akan kembali pulang, sungguhpun harapannya
setipis kulit bawang!

◄Y►

342
“Bun Liong, anakku, terima kasih kuucapkan atas keadilan Thian
yang maha Kuasa telah melindungimu sehingga hari ini benar-
benar kau kembali pulang! Baiknya kau lekas kembali, nak, kalau
tidak, kiranya ibumu takkan tahan lebih lama lagi menderita hidup
seperti ini, tiada tali tempat bergantung, tiada dahan tempat
berpijak……” Demikian, Kho In Hoa atau ibu Bun Liong mengakhiri
ceritanya.

“Ah, mama, yang membuat si hweesio gadungan itu mengetahui


tempat tinggal ayah, sebenarnya adalah kecerobohanku juga,”
kata Bun Liong setelah menarik napas dalam karena teringat
bahwa dari dia sendirilah hweesio itu memperoleh petunjuk
tentang tempat tinggal orang tuanya, dan apa yang dikhawatirkan
oleh suhunya dulu, kini ternyata telah terjadi!

Nyonya itu memandang puteranya dengan perasaan heran:

“Jadi kau pernah bertemu dengan pendeta pembunuh ayahmu itu,


nak? Di mana kau pernah bertemu dengannya dan di mana saja
kau berada selama delapan tahun Liong?”

Kini giliran Bun Liong menceritakan semua pengalamannya dari


awal sampai akhir dan nyonya itu menjadi girang dan bangga

343
mendengar betapa puteranya telah menjadi murid dari seorang
pertapa sakti di gunung Hoa-san.

“Syukurlah, kalau kau benar-benar telah mendapat gemblengan


dari seorang sakti nak. Dengan demikian kuyakin dengan pasti
bahwa sakit hati ayahmu akan terbalas!”

“Mudah-mudahan Thian memberkati kita, mama. Dan kalau


sekiranya mama mengijinkan, saat inipun aku akan pergi mencari
manusia laknat itu,” kata Bun Liong sambil mengepalkan kedua
tinjunya karena perbuatan si Tangan Seribu Kati Ci Lun Hosiang
yang riwayatnya sudah ia ketahui dari penuturan suhunya itu
benar-benar membuat hati mudanya menjadi sakit, gemas dan
marah!

“Apa?! Kau akan pergi lagi meninggalkanku?” kata nyonya itu


setengah berseru dan cepat memegang lengan anaknya tanda
bahwa benar-benar ibu ini sangat takut akan segera ditinggalkan
lagi oleh putera kesayangannya yang baru saja muncul setelah
delapan tahun meninggalkannya.

“Bun Liong……. apakah kau tidak kasihan kepada ibumu yang


sudah disiksa penderitaan lahir batin selama ditinggalkan olehmu

344
ini? Kau tentu dapat membayangkan betapa perasaan hatiku
selama ini.

“Dan sekarang, baru saja kau datang sudah menyatakan hendak


pergi lagi berarti kesenangan yang baru hari ini kurasakan, akan
musnah pula. Liong, janganlah kau pergi lagi meninggalkan ibumu
kalau saja kau merasa kasihan kepadaku dan kalau kau tidak
menghendaki ibumu yang sudah seropoh ini cepat mati……!”

Bun Liong terharu dan cepat ia memeluk lutut ibunya sambil


menyatakan penyesalannya bahwa tadi ia berkata terburu-buru.
Bun Liong sudah cukup besar dan sudah cukup mengerti betapa
perasaan hati ibunya. Tentu saja ibunya akan sangat keberatan
kalau ia pergi meninggalkannya lagi. Biarpun hatinya amat marah
terhadap hweesio gadungan yang jahat itu dan yang kini entah
berada di mana.

Demikianlah sejak hari itu, Bun Liong berkumpul dengan ibunya


dan Kho In Hoa tidak merasa kesepian lagi dalam hidupnya yang
sangat prihatin itu. Matahari kini bersinar lagi sesudah ia berkumpul
dengan puteranya dan kalau tadinya keadaan nyonya ini amat
menyedihkan, hidup kesepian dan hampir putus harapan,

345
kedatangan Bun Liong merupakan obat penawar yang mustajab
dan mulailah terlihat senyum di wajah nyonya ini.

Dan sungguh ajaib, biarpun tidak diobati, penyakit sesak napas


yang diderita oleh nyonya ini setelah kedatangan Bun Liong, tidak
pernah menyerangnya lagi, sungguh pun belum dapat dikatakan
menjadi sembuh sama sekali. Karena tak tega melihat puteranya
tidak mempunyai pakaian, maka nyonya itu membeli kain dari
tetangganya yang baik budi dengan harga murah. Kain itu hanya
kain kasar saja dan berwarna biru, lalu dibuatnya pakaian untuk
Bun Liong dan hanya dikenakan apabila pemuda ini pergi keluar
rumah, sedangkan kalau tidak berpergian Bun Liong cukup
mengenakan pakaian mendiang ayahnya yang disimpan oleh
ibunya.

Kurang lebih dua pekan kemudian setelah Bun Liong kembali ke


rumahnya dan hidup di antara masyarakat ramai sesudah delapan
tahun lamanya hidup terasing di gunung Hoa-san, maka pemuda
ini mendapat kenyataan bahwa betapa buruknya keadaan kota
Tong-koan, termasuk dusun tempat tinggalnya sendiri, yaitu sering
diranjah dan diganggu oleh kawanan penjahat yang terdiri dari dua
komplotan. Yaitu gerombolan perampok yang bermarkas di hutan
sebelah selatan kota dan gerombolan bajak sungai Huang-ho dari
sebelah utara kota Tong-koan.
346
Pada suatu hari Bun Liong pergi berjalan-jalan ke kota, maka
terlihatlah olehnya betapa keadaan kota itu sangat menyedihkan,
demikian sunyi, lengang, sehingga merupakan kota yang mati.
Melihat situasi yang menyedihkan ini, teringatlah Bun Liong akan
kata-kata suhunya ketika ia mau turun gunung, bahwa
sesampainya di dusun tempat tinggalnya ia akan melihat
kekeruhan dan kekacauan yang berupa huru hara dan geger yang
ditimbulkan oleh manusia sendiri sehingga orang lemah menjadi
bingung dan kesengsaraan merajalela di antara rakyat jelata.

“Oleh karena ini, muridku, aku percaya bahwa dengan


mempergunakan kepandaian yang telah kuwariskan kepadamu,
kau akan dapat berbuat sebagaimana mestinya, yakni membela
orang-orang yang lemah dan benar dan mengganyang segolongan
manusia yang menuntut penghidupan sewenang-wenang dan
melanggar segi-segi kesopanan dan prikemanusiaan!”

Teringat akan pesan suhunya, kini mengertilah Bun Liong bahwa


ia harus menanggulangi situasi yang tidak wajar ini, yaitu harus
dapat memberantas gerombolan-gerombolan penjahat itu! Namun
Bun Liong masih bingung, betapa ia harus berbuat terhadap
gerombolan yang jahat dan berjumlah banyak itu?

347
Apalagi setelah ia mendengar, bahwa operasi gerombolan
perampok selalu dipimpin oleh si Srigala Hitam Ciam Tang yang
terkenal akan kekejaman dan kelihayan ilmu silatnya, serta dari
komplotan bajak sungai dipimpin oleh Bu Kiam bersama dengan
Bong Pi yang terkenal dengan julukannya Huang-ho-ji-go
(Sepasang Buaya Sungai Kuning) yang terkenal pula dengan
kehebatannya ilmu pedang mereka. Makin bingunglah Bun Liong
karena kalau hanya mengandalkan tenaga sendiri, bagaimana ia
akan dapat berbuat seperti yang ditugaskan oleh suhunya?

Kebingungan bukan karena Bun Liong merasa takut, akan tetapi


pemuda yang pada dasarnya mempunyai kecerdasan ini
berpendapat bahwa dalam segala hal yang dihadapi harus disertai
kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana layak
dilakukan oleh orang waspada dan berbudi akal. Menghadapi
segala hal dengan serampangan dan serudukan bagaikan kerbau
gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak
termasuk kegagahan, melainkan kebodohan dari orang yang
kurang pikir! Oleh karena itulah, maka untuk sementara Bun Liong
tidak dapat berbuat sesuatunya terhadap dua komplotan
gerombolan penjahat itu.

Kemudian, hati pemuda itu menjadi gembira ketika mendengar


bahwa di kota Tong-koan diselenggarakan pibu untuk membentuk
348
barisan keamanan yang bertujuan mengganyang komplotan
penjahat itu. Pada hari pibu itu diselenggarakan ia turut menonton
dan ia menyaksikan betapa pemilihan untuk ketua Pauw-an-tui itu
dilakukan sehingga kemudian muncullah Ciam Tang si Srigala
Hitam yang berlagak sombong dan jumawa sekali. Karena
agaknya tiada orang lagi yang berani menghadapinya setelah ia
mengalahkan Can kauw-su yang nyaris saja mendapat celaka
karena kekejaman Ciam Tang kalau saja tidak ditolong oleh Bun
Liong yang menyambitkan sebutir batu kecil ke arah kaki si Srigala
Hitam itu!

Setelah melihat betapa Ciam Tang marah-marah dan menantang


kepada si penyambit kakinya, dan mendapat kenyataan pula
bahwa tiada orang yang berani muncul ke atas panggung lui-tay
untuk menghadapi si Srigala Hitam yang terkenal kelihayannya
dan justeru karena melihat Ciam Tang ini berlagak seakan-akan
hendak merebut kedudukan pang-cu Pauw-an-tui, sedangkan
keadaan sesungguhnya manusia jahat ini justeru mesti diganyang
berikut komplotannya, maka bangkitlah semangat Bun Liong dan
ia segera melompat ke atas lui-tay dan dapat mengalahkan Ciam
Tang dengan mudah setelah dipermainkannya.

Setelah itu, betapa Bun Liong menghadapi pula Huang-ho-ji-go Bu


Kiam dan Bong Pi sehingga akhirnya pemuda ini dengan resmi
349
diangkat menjadi ketua Pauw-an-tui dan mendapat julukan Tong-
koan Ho-han. Hal ini sudah dikisahkan dengan jelas di bagian
depan dari cerita ini……..

Seperti sudah diketahui bahwa sebubarnya pibu ketika sedang


berjalan hendak pulang, Souw Bun Liong bertemu dengan nyonya
Ho Kim Teng bersama puterinya, yakni dara berbaju putih yang
cantik jelita bernama Ho Yang Hoa, yang bagaimana sudah
dituturkan bahwa kedua ibu dan anak ini ternyata kenalan lama dan
bahkan dengan suami nyonya tersebut, yakni Ho Kim Teng. Orang
tua Bun Liong pernah saling mengangkat saudara dan bahkan pula
semasa Bun Liong dan nona itu semasa masih kecil, keluarga Ho
dan Souw itu telah mempertunangkan anak-anak mereka.

Kemudian, atas ajakan Bun Liong, kedua wanita yang terlunta-


lunta datang dari kota See-an itu lalu bersama-sama pergi ke
dusun Lo-kee-cun, untuk menjumpai nyonya janda Souw Cian Ho,
yakni ibu dari Bun Liong yang pembaca sudah mengenalnya
bernama Kho In Hoa.

350
“Liong, kepandaianmu sungguh tinggi. Ilmu silat dari cabang
manakah yang kau pelajari dan siapakah gurumu?” demikian
sambil berjalan nyonya itu bertanya.

Dan Bun Liong memberi keterangan secara terus terang dan


sederhana sekali sambil bersikap merendah sehingga nyonya Ho
yang mendengarnya, setelah melihat betapa tinggi kelihayan,
ketampanan dan kesederhanaan sikap dari “calon mantu”nya
diam-diam di dalam hatinya merasa girang dan bangga.

Berbeda dengan ibunya, kalau nyonya itu banyak juga bertanya


tentang ini-itu kepada Bun Liong, adapun nona Ho Yang Hoa
sendiri tidak banyak bicara. Dara ini berjalan sambil menunduk
sehingga hal ini banyak memberi kesempatan pada Bun Liong
untuk mencuri pandang dari kecantikan yang dimiliki oleh dara
yang pada sepuluh tahun yang lalu pernah menjadi teman
bermainannya dan ditarik-tarik rambut kuncirnya.

Bun Liong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa dan sudah
lazimnya pemuda seperti dia hatinya merasa tertarik sekali akan
kecantikan wajah wanita. Apalagi ia baru saja turun gunung dimana
ia hanya hidup bersama gurunya saja sampai delapan tahun di
tempat yang sepi dan terasing dari pergaulan manusia.

351
Kini ia bertemu dengan bekas kawan bermainnya sewaktu kecil
yang kini memiliki tubuh ramping padat. Sepasang matanya
merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung,
mulutnya kecil mungil dengan bibir bagaikan gendewa dipentang
dan berwarna merah membasah.

Diam-diam Bun Liong merasakan dadanya berdebar aneh dan ia


merasa suka sekali kepada gadis itu sehingga selama dalam
perjalanan menuju ke rumahnya, entah sudah berapa puluh kali ia
melirik dan mengagumi wajah si nona itu. Dan apabila sesekali
mata Bun Liong yang menjadi sedemikian nakal itu bertemu
dengan sepasang mata indah dari nona itu yang entah sengaja
atau tidak mengerling juga kepadanya, maka makin berdebarlah
dadanya……

Nona Ho Yang Hoa sendiri biarpun berjalan sambil menunduk, ia


tahu benar bahwa dirinya sedang dikagumi oleh bekas kawan
bermainnya yang kini ternyata telah menjadi seorang pemuda
gagah dan tampan. Semenjak ia bersama ibunya meninggalkan
kota See-an dan pergi merantau, gadis ini sudah terlalu banyak
dan terlalu sering mengalami hal ini, dipandang dengan kagum dan
penuh gairah oleh mata pria. Baginya hal semacam ini sudah
lumrah dan boleh dikatakan sudah menjadi kemauan alam!

352
Di dalam kamus hatinya, nona yang sudah banyak merantau ini
sudah mencatat bahwa memang begitulah sifat mata kaum pria,
dan kalau ada mata yang tidak mengikuti dan mengagumi
kecantikan wajah wanita, baik terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi, maka bukan mata prialah itu! Biasanya hati Yang Hoa
suka muak dan mendongkol apabila melihat mata pria yang selalu
mengikutinya.

Sekarang, wajah dan dirinya selalu dilirik-lirik saja oleh pemuda


yang sudah dikenalnya semenjak masih sama-sama kecil itu, tapi
sedikitpun hatinya tidak merasa muak atau mendongkol, bahkan
sebaliknya, hati dara ini menjadi senang! Hal ini tak usah
diherankan, karena Yang Hoa pernah mendengar pernyataan
bahwa semenjak kecil ia sudah dipertunangkan dengan pemuda
ini!

Oleh karena itu, maka tentu saja dilirik-lirik sedemikian sering oleh
pemuda itu, hatinya merasa suka dan senang dan gadis manakah
yang takkan merasa senang kalau dirinya dikagumi oleh pemuda
yang sudah diketahui menjadi tunangannya. Apalagi pemuda itu
demikian tampan dan gagah serta ilmu silatnya begitu tinggi
sebagaimana pernah dilihatnya di atas panggung lui-tay tadi yang
membuat hatinya merasa kagum!

353
Adapun ibu Bun Liong sementara itu, sebelum puteranya datang
ke rumahnya, sudah mendengar dari para tetangganya yang telah
menonton penyelenggaraan pibu itu, bahwa puteranya pada hari
itu telah berhasil menempati kedudukan tinggi, yaitu terpilih
menjadi ketua Pauw-an-tui dan mendapat nama julukan Tong-
koan Ho-han, maka bukan main gembira dan bangganya hati
nyonya yang prihatin ini.

“Tak percumalah anakku menghilang sampai delapan tahun


lamanya, kalau kini ternyata telah membuktikan kepandaian yang
dimilikinya. Dan tidak sia-sialah cita-citaku karena kini benar-benar
puteraku telah membuktikan kepandaian yang dibawanya dari
gunung Hoa-san, mudah-mudahan dendam ayahnya bakal
terba1as…….” kata nyonya itu di dalam hatinya sambil tak lupa
mengucapkan syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan berkah pada putera
tunggalnya.

Demikianlah, ketika Kho In Hoa melihat puteranya telah pulang


bersama nyonya Ho dan puterinya, ibu itu menyambut puteranya
dengan pelukan, yang erat sebagai perluapan rasa bangganya,
dan kemudian menyambut tamu yang datang bersama puteranya
itu yang segera dapat dikenalinya. Ia tercengang dan heran karena
tidak disangkanya bahwa setelah sekian lamanya berpisah, kini
354
tiba-tiba berjumpa kembali dalam keadaan yang benar-benar
membuat nyonya janda ini bertanya-tanya dalam benaknya,

“Angin apakah yang membawamu datang ke mari dari See-an, adik


Eng?” kata In Hoa sambil tangannya memegang erat lengan
nyonya Ho sebagai pernyataan rasa kangennya.

Kemudian ia memandang kepada nona Yang Hoa yang tatkala itu


tengah memberi hormat kepadanya dengan bersoja. Melihat raut
muka yang cantik jelita itu, sekilas saja In Hoa lantas teringat
bahwa nona itu adalah puteri dari tamunya dan sekaligus teringat
pula bahwa nona ini ketika masih kecil telah dipertunangkan
dengan puteranya.

Maka In Hoa lantas melepaskan lengan nyonya Ho dari


pegangannya dan tanpa menanti jawaban yang diajukannya tadi
dari nyonya itu, In Hoa lalu memegang ke dua pundak dara itu dan
wajah yang jelita itu ditatapnya baik-baik dengan penuh
kekaguman sambil bertanya: “Benarkah engkau ini Yang Hoa?”

“Tak salah, cici,” kata nyonya Ho mewakili penyahutan puterinya


yang tak sempat menjawab sendiri karena nona itu menjadi tunduk
kemalu-maluan ketika dipandang sedemikian rupa seakan-akan

355
wajahnya sedang dinilai oleh orang tua yang ia ketahui sebagai
calon mertuanya.

“Benar-benar keadaan dan rupamu setelah menjadi dewasa


membuatku sangat pangling, Yang Hoa,” ujar nyonya janda Souw
sambil sekali lagi menatap wajah yang cantik dari dara itu.

“Kau demikian cantik jelita melebihi ibumu sewaktu muda.”

Pujian langsung dan yang diucapkan dengan sejujurnya ini,


membuat Yang Hoa makin malu sehingga gadis ini makin
menunduk saja seakan-akan menyembunyikan warna merah yang
menjalari mukanya dan bibirnya menyunggingkan sekulum
senyum tersipu-sipu.

Li Lan Eng atau nyonya Ho Kim Teng atau juga ibu dari Yang Hoa
kembali terdengar berkata mewakili puterinya yang “keripuhan” itu,
“Sebaiknya puteramu sendiripun demikian tampan dan gagah
perkasa, berkepandaian tinggi dan bahkan telah menjadi ketua
Pauw-an-tui serta mendapat julukan Tong-koan Ho-han, satu hal
yang benar-benar patut dibanggakan dan untuk ini aku turut
bersyukur serta gembira dan mengucapkan selamat.

“Kalau saja puteramu tadi di atas lui-tay tidak memperkenalkan diri


yang kebetulan sekali terdengar olehku, benar-benar aku takkan
356
dapat mengenalnya karena sangat pangling. Ah, enci Hoa, benar-
benar kau harus merasa beruntung dan bangga mempunyai putera
seperti anakmu ini…….!”

Kini Bun Liong yang wajahnya menjadi merah. Pemuda ini maklum
bahwa ucapan tamunya ini sebagai imbalan kata-kata ibunya
sehingga diam-diam ia merasa “tidak enak hati” mendengar pujian
dari seorang nyonya yang anak gadisnya sangat ia kagum dan
sukai. Akan tetapi Bun Liong dapat segera mencari jalan keluar dari
suasana yang membuat jantungnya berguncang dan
menyebabkan sikapnya menjadi agak kikuk ini, tatkala kemudian
ia berkata kepada ibunya:

“Ah, Mama ini bagaimana sih, menerima tamu yang datang dari
tempat jauh dibiarkan berdiri seperti patung saja!”

Teguran dari Bun Liong ini segera menyadarkan In Hoa sehingga


nyonya ini sambil tertawa-tawa mengajak tamu kenalan lamanya
itu memasuki rumah dan kemudian mereka berempat telah duduk
di ruang tengah dalam rumah itu.

Ketika nyonya tamu melihat keadaan rumah yang sedemikian


miskin dan melihat pula meja abu dari mendiang Souw Cian Ho, ia
menanyakan hal ikhwal Souw Cian Ho dan menyatakan herannya

357
karena rumah tangga Souw yang dahulu diketahuinya mewah itu,
kini nampak demikian miskin dan prihatin!

Pertanyaan ini dijawab oleh nyonya rumah dengan menarik napas


yang dalam terlebih dulu, kemudian diceritakannya segala
peristiwa yang menimpanya dengan singkat tetapi cukup jelas
sehingga nyonya bersama puterinya yang mendengarkannya
menjadi terharu.

Akhirnya hati kedua ibu dan anak gadis ini menjadi marah dan
penasaran sekali ketika mendengar bahwa Souw Cian Ho mati
dibunuh oleh Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang. Meskipun mereka
belum pernah bertemu dengan si gundul terokmok itu, namun
pernah mendengar bahwa si Tangan Seribu Kati itu adalah
seorang pendeta gadungan yang hidupnya menyeleweng dari
jalan yang benar.

“Baiknya, si Liong, yang telah menghilang selama delapan tahun


ini akhirnya kembali juga, dan inilah yang membuat aku merasa
betah lagi hidup di muka bumi yang penuh segala macam peristiwa
adik Eng…..,” ujar Kho In Hoa mengakhiri ceritanya.

“Ah, enci Hoa, ternyata nasib kita ini banyak persamaannya,” kata
Lan Eng sambil menghela napas panjang dan tiba-tiba air muka

358
nyonya ini tampak muram serta kedua matanya agak berkaca-
kaca.

Kata-kata nyonya itu membuat nyonya janda Souw tercengang,


“Apa adik Eng, kau bilang nasib kita banyak persamaannya?
Apakah suamimu juga sama nasibnya dengan suamiku…….?!”

“Tak salah dugaanmu, enci,” Lan Eng membenarkan, “dan justeru


hal itulah yang membuat kami berdua merantau dan terlunta-lunta
begini rupa, semata-mata untuk mencapai dua maksud. Pertama
untuk mencari pembunuh mendiang suamiku, dan kedua sengaja
kami datang kemari untuk melayat kalian dan kebetulan sekali kami
bertemu dengan Bun Liong sehingga kami tak perlu susah-susah
lagi mencari rumahmu.”

“Bibi,” Bun Liong yang sejak tadi membisu kini tiba-tiba berkata
karena hati pemuda ini ingin segera mendengar peristiwa yang
menimpa keluarga Ho yang dikatakan membuat nasib mereka
banyak persamaannya itu. “Ceritakanlah sebab apa dan oleh
siapakah paman Ho dibunuh? Barangkali saja aku dapat
membantu mencari si pembunuh yang kalian sedang cari itu dan
juga barangkali saja kepandaianku yang tak berarti ini sedikit
banyak dapat berguna untuk membantu maksud kalian.”

359
Li Lan Eng memandang kepada Bun Liong dengan sinar mata
berseri. Nyonya ini memang sejak melihat Bun Liong berlomba
yuda di atas panggung lui-tay tadi sudah merasa kagum dan suka
sekali terhadap pemuda itu yang biarpun memiliki kepandaian
tinggi, namun sikapnya sangat sederhana dan selalu merendahkan
diri. Dan kini Bun Liong menyatakan kesediaannya untuk
membantu mencari dan membalas sakit hati terhadap pembunuh
mendiang suaminya dengan kata-kata yang merendah pula, makin
mendalamlah rasa suka Lan Eng terhadap anak muda calon
menantunya itu.

“Terimakasih atas perhatian dan kesediaanmu Liong!” kata nyonya


itu kemudian. “Dan biarpun pembalasan dendam ini pada
hakekatnya ingin kami kerjakan sendiri dengan arti kata kami tidak
mau menyusahkan orang lain yang hendak membantunya, akan
tetapi mengingat kau sendiri bukan orang luar lantaran mendiang
ayahmu dan suamiku sudah saling mengangkat saudara sehingga
tentu saja kau telah kuanggap sebagai keponakanku, maka sudah
barang tentu kami tidak berani menampik bantuanmu.

“Apalagi setelah kini kudapatkan kenyataan bahwa kau memiliki


kepandaian tinggi, tentu saja bantuanmu itu sangat kubutuhkan
karena terus terang saja kuakui bahwa kepandaian yang kami
pelajari dalam waktu yang pendek ini, masih terasa belum cukup
360
kuat untuk mengatasi tingkat kepandaian yang dimiliki oleh musuh
kami itu.” Kemudian, nyonya ini menuturkan peristiwa duka yang
dialaminya.

Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan bahwa mendiang


Souw Cian Ho semasa tinggal di See-an membuka perusahaan
piauw-kiok (pengantar dan pengawal barang) dan mengadakan
kerjasama dengan kawannya Ho Kim Teng, kemudian mereka
mengangkat saudara. Akhirnya perusahaan tersebut diserahkan
kepada Ho Kim Teng, karena Souw Cian Ho dan keluarganya
pindah ke kampung halamannya, dusun Lo-kee-cun di wilayah
Tong-koan.

Sepeninggal Souw Cian Ho perusahaan piauw-kiok yang dipegang


Ho Kim Teng tetap berjalan lancar sebagaimana biasanya
sehingga kemudian Ho Kim Teng mendapatkan seorang pembantu
sebagai piauw-su, seorang ahli silat dari cabang Bu-tong bernama
Cio Leng Hwat. Piauw-su itu seorang duda karena menurut
katanya isterinya telah meninggal dunia dan ia hidup hanya dengan
seorang puteranya yang ketika itu baru berusia duabelas tahun.
Setelah menjadi pegawai Ho Kim Teng, orang she Cio dengan
puteranya itu, lalu menetap di kota See-an, menyewa sebuah

361
rumah kecil yang letaknya tidak berapa jauh dari tempat tinggal
majikannya.

Pada suatu hari, Ho Kim Teng menerima pekerjaan dari seorang


hartawan untuk mengantarkan barang-barang emas intan yang
tidak ternilai harganya ke kota Han-tiong-si, sebuah kota yang
letaknya jauh sekali di sebelah selatan propinsi Siam-say.

Demikianlah, pada hari itu Ho Kim Teng sendiri berangkat


memimpin pengantaran barang berharga tersebut, dibantu oleh
Cio Leng Hwat dan beberapa orang pembantu lainnya lagi yang
rata-rata mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Juga putera
Cio Leng Hwat yang pernah menerima latihan ilmu silat dari
ayahnya dan yang selalu tidak mau ditinggalkan oleh ayahnya
apabila pergi mengantar barang, turut serta dalam rombongan itu.

Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali bahwa


pengawalan barang berharga kali itu adalah pekerjaan yang
terakhir bagi Ho Kim Teng. Oleh karena di tengah perjalanan ketika
melalui sebuah hutan liar, rombongan piauw-su itu telah dicegat
oleh seorang perampok tunggal yang berkepandaian tinggi!

Dengan sikap garang perampok tunggal yang berusia kira-kira


tigapuluh lima tahun itu melintangkan goloknya dan menghadang

362
rombongan Ho Kim Teng sambil mengancam bahwa barang
kawalan itu harus diserahkan kepadanya.

Ho Kim Teng tentu saja marah sekali dan memandang ringan


terhadap perampok tunggal itu. Ia lalu meloncat dari kuda
tunggangannya sambil menghunus siang-kiam (sepasang
pedang)nya karena ia memang ahli dalam memainkan sepasang
senjata tersebut.

Tanpa banyak cakap lagi ia langsung menyerang perampok itu dan


alangkah kagetnya Ho Kim Teng setelah mengetahui bahwa ilmu
golok penjahat itu benar-benar tinggi dan hebat. Dan setelah
bertempur sampai belasan jurus, sepasang pedang Ho Kim Teng
selalu tertindih oleh golok itu dan ia sudah mulai terdesak.

Sebagai seorang yang paham ilmu silat, Ho Kim Teng segera


dapat mengenal bahwa ilmu golok yang dimainkan oleh penjahat
itu adalah ilmu golok dari cabang Bu-tong-pay dan karena maklum
bahwa ia takkan dapat menandingi kelihayan lawannya yang
benar-benar tinggi dan hebat itu, maka ia segera berteriak minta
bantuan pada kawan-kawannya! Serempak Cio Leng Hwat dan
para piauw-su maju dan dengan menggunakan senjata masing-
masing mereka membantu majikan mereka dan mengeroyok
perampok tunggal yang berkepandaian lihay itu.

363
Akan tetapi, benar-benar perampok itu sangat hebat. Melihat
dirinya dikeroyok, ia tertawa bergelak dengan nada menghina dan
goloknya diputar sedemikian rupa dan sebentar saja tiga orang
piauw-su menjerit dan roboh. Mereka berlumuran darah terkena
sabetan golok yang menyambar-nyambar bagaikan naga
mengamuk itu!

Sedangkan beberapa orang piauw-su yang belum terluka setelah


melihat tiga orang kawannya roboh, bagaikan telah berjanji mereka
serempak mundur dari kalangan pertempuran dan lari
menyembunyikan diri di antara semak belukar. Agaknya bagi
mereka keselamatan diri sendiri lebih penting daripada rasa
kesetiaan terhadap majikannya!

Dua orang, piauw-su lainnya dan putera Cio Leng Hwat yang tidak
ikut mengeroyok karena selain merasa kepandaian mereka terlalu
rendah, juga mereka merasa berkewajiban menjaga barang
kawalannya yang ditaruh di atas punggung keledai yang tali
kekangnya mereka pegang erat-erat. Wajah mereka sangat pucat
dan seluruh tubuh mereka menggigil bagaikan mendadak diserang
demam, menandakan bahwa mereka sangat ketakutan padahal
kaki mereka setapakpun tidak berkisar dari tempat mereka berdiri!

364
Mereka belum pernah mengalami peristiwa sehebat ini, berjumpa
dengan seorang perampok yang demikian lihay dan ganas dan
yang membuat majikan mereka terdesak hebat. Padahal majikan
itu dikenalnya sebagai piauw-thauw yang berilmu siang-kiam tinggi
dan sepanjang pengalaman sebagai piauw-su belum pernah
terkalahkan!

Kini yang masih membantu Ho Kim Teng hanya tinggal Cio Leng
Hwat saja. Dengan toyanya yang panjang dan berat Cio Leng Hwat
secara gagah sekali dapat menandingi golok lawan sehingga
biarpun tak dapat segera mendesak perampok itu, sedikitnya Ho
Kim Teng tidak terlalu kewalahan.

Akan tetapi lambat laun Ho Kim Teng bersama Cio Leng Hwat
berhasil mendesak lawannya sehingga perampok itu bertempur
sambil mundur. Diam-diam Ho Kim Teng merasa girang dan
kagum akan kehebatan ilmu toya kawannya, maka dengan
bersemangat ia menggerakkan siang-kiamnya karena hatinya
yang marah ingin cepat-cepat menjatuhkan lawan itu!

Tetapi akhirnya terjadilah suatu kejadian yang benar-benar di luar


persangkaan Ho Kim Teng. Setelah si perampok itu benar-benar
kewalahan, tiba-tiba terdengar perampok itu berseru, “Tahan!” dan
sambil berjungkir balik tiga kali ia melompat ke belakang, sehingga

365
sekejap kemudian ia telah berdiri sejauh tiga tombak lebih dari dua
orang pengeroyoknya.

Sambil melintangkan golok di depan dadanya sebagai tanda siap


siaga menghadapi lawan, perampok itu menatap Cio Leng Hwat
dengan sinar matanya yang tajam. Kemudian terdengar katanya,
“Saudara yang memegang toya, kalau tak salah penglihatanku
benarkah engkau ini Cio Leng Hwat bekas kawanku sehaluan?”

Ho Kim Teng tercengang dan kaget mendengar pertanyaan dari si


perampok yang diajukan kepada pegawainya itu. Tercengang
karena ia tidak mengira bahwa perampok tunggal yang
berkepandaian tinggi itu dapat mengenal Cio Leng Hwat dan kaget
karena mendengar perampok itu menyatakan bekas kawan
sehaluan.

Sehaluan? Sehaluan apakah yang dimaksudkan? Mungkinkah dari


hal ilmu silat mereka yang bersumber sama, yaitu dari cabang Bu-
tong-pay?! Demikian pikir Ho Kim Teng dan benaknya dipenuhi
teka teki yang tak dapat dipecahkannya dengan segera.

Cio Leng Hwat sendiripun agak tercengang ketika mendengar


ucapan si perampok itu yang ternyata mengenalnya. Ia tidak
segera menjawab, melainkan dengan pandangan menyelidik

366
ditatapnya wajah keren yang dipenuhi cambang bauk itu!
Kemudian agaknya wajah keren itu dapat dikenalnya dan
terdengar penyahutannya yang diucapkan dalam keadaan tak
sadar:

“Ah, kiranya engkau, kawan……! Sejak tadi memang aku sudah


agak mengenal suaramu dan mengenal pula permainan golokmu.
Kiranya aku telah bertempur dengan kawan sendiri……”

Sambil berkata demikian, Leng Hwat berjalan menghampiri


perampok itu dan kemudian kedua orang tersebut saling
berangkulan. Ini membuktikan bahwa dua orang ini adalah sahabat
lama yang baru bersua kembali setelah lama berpisah. Hal itu
benar-benar menyebabkan Ho Kim Teng yang menyaksikannya
makin tercengang dan heran.

“Bagaimana keadaanmu selama kita berpisah?” tanya Leng Hwat


kepada kawan lamanya itu dengan suara perlahan akan tetapi
cukup jelas terdengar oleh Kim Teng yang berdiri terpaku.

“Keadaanku tetap baik-baik saja dan kehidupanku pun tetap


sebagai perampok miskin,” sahut perampok itu dan kemudian
balas bertanya: “Adapun kau sendiri setelah kini menjadi piauw-su,

367
tentu keadaan kehidupan sudah berubah dan tentu kau sudah
kaya, bukan?”

“Ah, kau menyindir, kawan?” kata Leng Hwat setelah menarik


napas. “Kehidupanku memang berubah, karena kalau tadinya aku
menempuh kehidupan yang oleh umum dianggap sebagai
penjahat, maka sekarang aku menempuh hidup dengan jalan halal
dan jujur. Namun keadaanku tetap saja seperti dulu, miskim.
Karena aku bekerja sebagai piauw-su yang menerima upah
sekedarnya. Mana mungkin aku bisa menjadi kaya?”

Kini terjawablah teka teki dibenak Ho Kim Teng, kiranya istilah


“bekas kawan sehaluan” yang dikatakan oleh perampok itu tadi
telah memberi kenyataan baginya, bahwa Cio Leng Hwat yang
tidak diketahui asal usulnya dan yang telah menjadi pegawainya
itu adalah bekas perampok! Hal ini benar-benar tidak pernah
disangkanya!

Namun dalam pada itu Ho Kim Teng merasa agak lega juga karena
mengingat bahwa meskipun Cio Leng Hwat itu bekas perampok
tapi kenyataannya telah kembali menempuh jalan yang benar.

Kini ia bertemu dengan kawan “bekas seperjuangannya” yang


ternyata sangat lihay itu dan kedua orang itu beramah tamah.

368
Diam-diam Ho Kim Teng mengharapkan bahwa Leng Hwat akan
dapat berkompromi dengan sahabatnya itu.

Daripada bermusuhan dengan seorang lihay seperti perampok itu,


lebih baik mengambil sikap berkawan. Biarlah aku memberinya
sedikit uang, sebagian uang penyewa jalan asal saja barang-
barang antaran yang menjadi tanggung jawab bisa selamat,
pikirnya.

“Rupanya kita tidak bisa menjadi kaya,” terdengar perampok itu


berkata pula seakan-akan menyesali nasibnya. “Dan, masih
adakah cita-citamu seperti dahulu itu?”

“Cita-cita ingin menjadi seorang kaya……?” Cio Leng Hwat


menegas.

Si begal tunggal itu mengangguk.

Leng Hwat menghela napas dan berkata: “Cita-cita masih tetap


menyala di dada, akan tetapi apa daya sang nasib membatasi
keadaan diri……”

Tiba-tiba perampok itu tersenyum aneh dan matanya yang liar itu
melirik ke arah Ho Kim Teng sebentar, “Kenapa sekarang kau
menjadi begini pendek akal? Bukankah harta kekayaan bagi kita

369
sudah berada di depan mata? Bukankah barang yang kau kawal
itu cukup untuk membuat kita kaya mendadak?”

Bukan main kagetnya Ho Kim Teng mendengar kata-kata itu, dan


ia hanya menanti betapa sikap Cio Leng Hwat selanjutnya. Adapun
Cio Leng Hwat sendiri menjadi bengong, seketika mencerminkan
bahwa pikirannya sedang bekerja keras menganalisa ucapan
kawannya itu, lalu tanyanya: “Apa yang kau maksudkan…….?”

“Kita sikat saja barang itu lalu kita bagi dua, dengan demikian
bukankah cita-cita kita yang sejak dulu itu dapat tercapai?!?”

Cio Leng Hwat mengerutkan keningnya dan sesungguhnya hati


dan pikiran orang ini sedang bertempur hebat mempertimbangkan
saran perampok itu. Pikirannya yang sehat memang tidak
menyetujui, akan tetapi hatinya yang dipenuhi napsu ketamakan
merasa sangat setuju!

Betapapun juga, pikir Leng Hwat akhirnya disisihkan oleh suara


hatinya. Dan memang seorang manusia yang tidak bijaksana dan
tidak beriman teguh, lebih banyak mempergunakan suara hati
yang dikuasai nafsu jahat daripada pikiran, dari otak yang sehat.

Demikianlah dengan Leng Hwat, seorang bekas perampok yang


pada dasarnya memang berakhlak rendah, tentu saja saran dari
370
bekas kawan sehaluannya itu membangkitkan jiwa jahatnya!
Setelah keputusannya bulat, berkatalah ia dengan nyaring dan
bersemangat sehingga terdengar jelas oleh Ho Kim Teng yang
sejak tadi hatinya sudah berdebar-debar.

“Kau benar-benar berotak cerdas dan aku setuju dengan usulmu!


Mari sama-sama kita ganyang saja rejeki nomplok ini…..!”

“Manusia bedebah! Sungguh tak kusangka bahwa kau orang she


Cio ini adalah seorang berjiwa bejat!”

Makian ini terlompat dari bibir Ho Kim Teng sambil menudingkan


pedangnya ke arah Leng Hwat. Pengusaha piauw-kiok ini bukan
main marahnya setelah mengetahui bahwa orang she Cio itu, yang
tadinya ia harapkan dapat berkompromi dengan si penjahat,
ternyata kini berbalik haluan sampai seratus delapanpuluh derajat.
Tadi kawan kini terang-terangan menjadi lawan!

Cio Leng Hwat ketawa bergelak, ketawa yang tak pernah


diunjukkannya selama ia menjadi pekerja di perusahaan ekspedisi
itu. Lalu tanyanya dengan nada mengejek dan sikap menantang:

“Habis, sekarang kau hendak berbuat apa?!”

371
“Bajingan rendah she Cio! Aku telah bersumpah bahwa aku akan
menjaga nama perusahaanku, maka mengenai barang yang
dipercayakan kepadaku untuk mengantarnya ini sudah tentu akan
kujaga dan kubela dengan pertaruhan nya-waku!” balas Ho Kim
Teng yang dadanya sudah terasa panas bagaikan dibakar, karena
pengusaha piauwkiok ini benar-benar amarahnya sudah meluap
menghadapi sikap pegawainya yang khianat itu.

“Ah, saudara Cio……!” tiba-tiba si perampok tunggal itu menukas


sambil menyabetkan goloknya ke samping. “Mengapa kita mesti
banyak perang mulut seperti perempuan bawel? Lebih baik kita
cepat bekerja, bikin beres piauw-thauw yang kepala batu ini dan
sikat barang-barang itu! Tidak perlu membuang-buang waktu
percuma!”

“Kau betul! Marilah kita selesaikan!” sahut Cio Leng Hwat dan ke
dua orang yang memang dulunya merupakan dwi-tunggal ini tanpa
memberi peringatan lagi langsung menerjang, mengeroyok Ho Kim
Teng yang segera menggerakkan siang-kiamnya sambil berseru
marah, dan selanjutnya terjadilah pertempuran seru.

Golok di tangan perampok brewokan itu menyambar-nyambar


ganas sekali setiap sabetannya mendatangkan maut. Toya di
tangan Cio Leng Hwat pun tak kalah dahsyatnya dan memang

372
orang she Cio yang berakhlak brengsek seorang ahli toya yang
lihay sekali, sehingga toya itu bergulung-gulung laksana badai
taufan mengancam keselamatan diri majikan yang dikhianatinya!

Namun Ho Kim Teng adalah seorang yang berjiwa gagah dan


bersifat satria, meskipun ia maklum bahwa dua orang manusia keji
yang mengeroyoknya itu masing-masing berkepandaian jauh lebih
tinggi daripada kepandaiannya sendiri sehingga tentu bukan
tandingannya. Namun ia sudah berlaku nekad dan tidak mau
menyerah mentah-mentah karena ia sudah bertekad lebih baik
mati daripada hidup menanggung malu kalau ia tidak dapat
menjamin barang antaran yang telah orang percayakan di bawah
kawalannya ini.

Maka dengan sepasang pedangnya yang bagaikan kilat


menyambar-nyambar ia mengerahkan seluruh tenaga dan semua
kepandaiannya, mengadakan perlawanan secara gigih dan mati-
matian! Demikianlah sifat seorang gagah, baginya lebih baik mati
berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai.

Artinya bagi Ho Kim Teng selaku penguasa piauw-kiok yang


mempunyai rasa tanggung jawab penuh akan barang kawalannya,
lebih baik nyawa melayang bersama lenyapnya barang

373
tanggungannya itu dari pada hidup menanggung malu, karena
harga diri jatuh dan nama baik tercemar!

Akan tetapi betapapun Ho Kim Teng melawan dengan nekad dan


mati-matian, perlawanan yang dilakukannya hanya mampu
bertahan dalam waktu tigapuluh jurus saja. Menghadapi si
perampok tunggal seorang saja tadi sudah membuatnya
kewalahan sekali apalagi sekarang melawan dua orang yang
bermaksud membunuhnya, karuan saja membuatnya amat ripuh
dan payah.

Dan akhirnya piauw-su yang bernasib malang ini terdengar


menjerit ngeri dan tubuhnya roboh berlumuran darah serta
nyawanya melayang seketika itu juga! Ternyata Ho Kim Teng telah
menemui ajalnya karena selain lambungnya terbabat oleh golok si
brewok, juga tulang batok kepalanya pecah karena dihantam oleh
toya Cio Leng Hwat!

Setelah merobohkan korbannya, kedua manusia keji itu


memperdengarkan suara ketawa iblis dan mereka lalu menyambar
tali dua ekor keledai yang dibebani harta benda berharga itu. Dua
orang anggauta piauw-su yang menjaga dua ekor keledai tadi
sama sekali tidak berdaya ketika tubuh mereka dibikin terpental
sedemikian rupa karena ditendang oleh kedua perampok itu.

374
Mereka segera menuntun keledai-keledai itu dan kemudian
menghilang di antara hutan belukar, diikuti oleh putera Cio Leng
Hwat.

Adapun beberapa orang anggauta piauw-su yang bernyali tikus,


yaitu mereka yang berlari ketakutan dan menyembunyikan diri tadi,
setelah melihat dari tempat pengintaian mereka bahwa manusia
dwi-tunggal itu pergi, mereka baru berani keluar dari
persembunyiannya dan berlarian menghampiri tubuh majikannya
yang sudah menjadi mayat itu. Oleh mereka inilah mayat Ho Kim
Teng digotong dibawa kembali ke See-an dan diterima oleh nyonya
Ho bersama puterinya dengan tangis sedih yang mengharukan.

Kalau awak sedang sial, azab tidak kepalang dan demikianlah


dengan kemalangan yang menimpa nyonya Ho. Di samping
kematian suaminya yang merupakan pukulan hebat, ada lagi suatu
peristiwa yang membuat nyonya ini dan puterinya menjadi makin
sengsara.

Yaitu, baru saja jenazah Ho Kim Teng selesai dikebumikan, nyonya


Ho mendapat kunjungan si hartawan pengirim barang itu.
Hartawan ini ternyata tidak mau mengerti akan perampokan itu dan
ia bersikeras meminta ganti kerugian tanpa mempunyai rasa
kasihan sedikitpun terhadap keluarga piauw-su yang malang itu.

375
Akan tetapi nyonya Ho adalah seorang wanita yang bijaksana. Ia
merasa bertanggung jawab atas hilangnya barang-barang itu dan
ia ingin menjaga nama mendiang suaminya supaya tetap bersih.

Maka dengan hati ikhlas lalu dijualnya segala barang peninggalan


almarhum suaminya, termasuk rumah dan tanahnya. Dan uang
hasil penjualan ini kemudian diserahkan kepada si hartawan
tersebut yang menerimanya dengan puas walaupun menurut
anggapannya uang itu masih belum sesuai dengan harga barang
yang hilang itu.

Demikianlah, setelah kehilangan suaminya dan sekaligus menjadi


miskin benar-benar, nyonya janda Ho bersama puterinya yang
ketika itu baru berumur duabelas tahun, dengan membawa azab
yang tak terlukiskan, pada suatu hari meninggalkan kota See-an
dan pergi merantau tanpa arah tujuan. Kedua ibu dan anak ingin
mencari ke dua manusia pembunuh itu untuk melepaskan
dendamnya!

Andaikata berhasil bisa diketemukan, apa daya mereka terhadap


orang-orang jahat yang berkepandaian jauh lebih tinggi daripada
kepandaian mendiang suaminya? Sedangkan Li Lan Eng dan nona
Ho Yang Hoa hanyalah wanita-wanita lemah yang sedikitpun tak
mengerti ilmu silat!

376
Mereka terlunta-lunta sampai beberapa bulan. Ibu dan anak yang
belum pernah melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan jalan
kaki seperti ini, kaki mereka menjadi bengkak-bengkak. Beberapa
stel pakaian yang mereka bawa, satu demi satu telah dijualnya
untuk pengisi perut sehingga akhirnya tidak ada secabik pakaian
lagi yang tinggal, kecuali pakaian yang melekat di badan mereka,
dan ini tentu saja mereka tak dapat menjualnya.

Nyonya janda Ho atau Li Lan Eng sudah berusaha mencari


pekerjaan, akan tetapi tidak pernah berhasil sehingga akhirnya
keadaan mereka benar-benar menyedihkan. Pakaian mereka
compang camping dan kalau perut mereka terasa lapar terpaksa
mereka mencari makanan dari belas kasihan orang, yaitu
mengemis!

Perjalanan mereka dilakukan tanpa rencana dan tidak


memperhitungkan sama sekali sebelumnya, karena hanya
menurutkan pengaruh kedukaan dan pikiran gelap saja. Akhirnya
pada suatu hari mereka tiba di kaki bukit Tay-pak-san, suatu
tempat yang jauh sekali letaknya di sebelah utara See-an!

Waktu itu hari sudah senja dan mendung hitam bergulung-gulung


menutupi cakrawala dan disusul dengan hujan lebat yang turunnya
secara mendadak sekali! Nyonya janda Ho dan Yang Hoa dengan

377
terseok-seok berlari mencari tempat berteduh dan mereka
mendapatkan tempat yang terdekat, di bawah emper sebuah biara
wanita yang di atas pintunya terpancang papan bertuliskan tiga
buah huruf:

“Thian-an-si.”

Ketika kaki mereka menginjak emper tersebut kebetulan pintu kuil


tengah terbuka dan seorang biarawati tampak berdiri di ambang
pintu. Agaknya nikouw muda itu hendak menutup pintu supaya
percikan hujan yang lebat itu tidak masuk ke dalam kuil.

Dan benar saja! Ketika dilihatnya ke dua ibu dan anak yang
nampaknya seperti jembel itu mendatangi dan berteduh di emper
bio, biarawati muda itu buru-buru saja menutupkan pintunya,
seakan-akan takut kalau dua orang peneduh itu minta masuk dan
mengotori lantai kuil yang bersih dan mengkilap itu!

Sampai malam hari, hujan belum juga reda sehingga ke dua ibu
dan anak yang hidupnya sudah tidak mempunyai pegangan itu
masih tetap berdiam di situ. Lan Eng mendekap puterinya yang
kedinginan dan mereka berdiri di sebuah sudut emper untuk
menjauhi percikan air hujan yang terhembus angin malam yang
agak kencang.

378
Lan Eng mengharapkan hujan itu reda, supaya ia dan anaknya bisa
pergi dari situ dan mencari tempat berteduh lagi di lain emper yang
lebih luas, di mana mereka akan bisa tidur dengan berbaring.

Ketika malam sudah agak larut dan Lan Eng serta Yang Hoa masih
berada di situ, tiba-tiba pintu kuil itu dibukakan orang dari dalam
dan tampaklah oleh Lan Eng seorang nikouw tua menyembulkan
kepalanya dari ambang pintu dan memandang kepada mereka.
Lan Eng menduga pasti nikouw itu akan mengusirnya, akan tetapi
tak disangkanya sama sekali bahwa biarawati tua itu lalu
menegurnya dengan irama katanya yang ramah:

“Agaknya jiwi (kalian berdua) sudah sejak sore tadi berteduh di


sini?”

Lan Eng cepat memberi hormat sambil merangkapkan ke dua


tangannya dan menyahut: “Benar Suthay! Maafkanlah kami ibu
dan anak yang hina ini, karena hujan belum juga mereda terpaksa
kami lama sekali menumpang meneduh di sini dan agaknya kami
telah mengganggu Suthay.”

Melihat sikap yang begitu sopan dan mendengar kata-kata yang


diucapkan oleh nyonya itu demikian teratur, terlihatlah nikouw tua
itu tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil. Agaknya

379
maklumlah ia bahwa nyonya dan nona kecil yang kelihatannya
seperti jembel itu, bukanlah pengemis benar-benar.

Menurut penglihatannya yang tajam dan menurut firasat yang


berdasarkan batinnya yang sudah luhur, mereka itu adalah ibu dan
anak yang tertimpa nasib malang, sehingga menjadi sengsara dan
terlunta-lunta. Maka kemudian katanya:

“Tiada sesuatu yang mesti dimaafkan karena kalian sama sekali


tidak mengganggu pinni. Bahkan pinni keluar dan menemui kalian
untuk mengundang kalian masuk dan sebaiknya kalian menginap
saja di dalam bio kami. Mari, masuk…….!” Nikouw itu berdiri di sisi
ambang pintu sambil tangannya menggamiti Lan Eng dan
puterinya.

Untuk sesaat Lan Eng merasa ragu, sehingga kemudian nikouw itu
mengulangi ajakannya. Oleh karena Lan Eng merasa kurang baik
kalau menolak ajakan pendeta wanita yang baik budi itu, maka
dengan agak sungkan ia menuntun puterinya masuk ke dalam kuil
diiringi oleh nikouw itu setelah menutup kembali dan mengunci
pintu kuil dari dalam.

Mereka dibawa ke ruangan tengah dan dengan segala


keramahannya yang wajar, nikouw itu mempersilahkan mereka

380
duduk di bangku yang tersedia di situ. Dan nikouw itu sendiri juga
duduk menghadapi mereka.

“Kalau tak salah dugaan pinni, agaknya kalian datang dari tempat
jauh dan kalau boleh pinni selaku ketua kuil ini mengetahui, kalian
dari mana dan hendak pergi kemana?” tanya nikouw tua itu
membuka percakapan.

“Terima kasih banyak atas perhatian dan kebaikan Suthay


terhadap kami ini,” sahut Lan Eng sambil menekan perasaan
terharu di hatinya. Oleh karena selama mereka terlunta-lunta
sesungguhnya baru kali inilah mendapat kebaikan dan perhatian
dari nikouw ini, yang sudi mengajak bermalam di dalam kuil dan
bertanya pula tentang asal-usul serta maksud tujuan mereka.

“Tak salahlah dugaan Suthay, memang kami datang dari tempat


jauh, yaitu dari kota See-an. Sedangkan pertanyaan Suthay
hendak pergi kemana lagi setelah kami sampai di sini, yah,
entahlah…… karena perjalanan kami ini sesungguhnya tidak
mempunyai arah tujuan yang tentu. Kami hanya mengikuti ke dua
kaki kami saja……”

“Ah, agaknya kalian telah ditimpa peristiwa hebat yang membuat


hidupmu menjadi tanpa pegangan,” sela ketua biara itu.

381
“Benarlah, Suthay. Hidupku sudah tidak mempunyai pegangan dan
kalau aku tidak ingat dan sayang kepada anakku yang masih kecil
ini, agaknya akupun sudah menyusul suamiku ke alam baka.”

Nikouw itu mengangguk-angguk dan matanya yang tajam serta


bersinar penuh keagungan dipandangkan ke arah Yang Hoa yang
duduk menunduk disamping ibunya. Kemudian ia berkata:

“Memang di dunia ini banyak terjadi peristiwa yang membuat


manusia mendapat kebahagiaan, dan juga yang menyebabkan
manusia mendapat kesulitan. Dan bagi orang yang kurang kuat
imannya, kesulitan tersebut dapat membuatnya cepat putus asa.

“Seperti halnya dengan dirimu ini. Kau mengatakan bahwa kalau


tidak ingat dan sayang kepada puterimu yang masih kecil, kau
sudah menyusul suamimu ke alam baka. Dengan demikian pinni
dapat mengambil kesimpulan bahwa suamimu itu mati dibunuh
orang dan kau merasa putus asa sehingga ingin menyusulnya,
yaitu dengan melakukan perbuatan nekad atau tegasnya
membunuh diri, begitukah…….?”

“Memang begitulah, Suthay…….”

Nikouw itu menghela napas dalam sambil menggeleng-gelengkan


kepala dan kemudian katanya:
382
“Membunuh diri karena putus asa adalah suatu jalan yang paling
mudah untuk melepaskan diri dari kesulitan hidup. Akan tetapi
menghabiskan nyawa sendiri dalam cara demikian adalah
perbuatan rendah yang hanya dilakukan oleh seorang pengecut!

“Saudaraku yang baik, betapapun hebatnya peristiwa yang


menimpa kita, kita tidak boleh putus asa! Kalau ada sesuatu
peristiwa yang menyulitkan keadaan kita, kita harus berusaha
untuk memecahkannya, bukan dengan membunuh diri!

“Saudaraku, kau mengatakan sayang kepada anakmu yang masih


kecil ini dan justru dia inilah yang memberi daya tahan untuk hidup
bagimu sampai ini hari, akan tetapi mana buktinya rasa kasih
sayangmu terhadapnya? Apakah dengan membawa ia terlunta-
lunta tanpa tujuan ini kau anggap sebagai curahan kasih
sayangmu…….?”

Li Lan Eng yang pikirannya sudah sangat pekat, mendengar


ucapan biarawati yang merupakan penyesalan itu membuat
pikirannya menjadi makin bingung. Namun, dalam pada itu, karena
mengingat bahwa sekarang ia sedang berhadapan dengan
seorang nikouw yang sudah dikenal kebaikan hatinya, maka di
dalam lubuk hatinya timbullah sepercik harapan bahwa nikouw ini
akan dapat memberinya jalan keluar dari kesengsaraan lahir batin

383
ini, demi kebaikan hidupnya dan terutama demi kebaikan nasib
puterinya yang masih kecil itu.

“Maafkan aku, Suthay! Pikiranku benar-benar seperti sudah mati


sehingga aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk
melepaskan diri dari jepitan azab ini. Oleh karena aku sangat
mohon kemurahan hati Suthay memberi petunjuk supaya sisa
hidup yang aku masih jalani ini, tidak demikian gelap gulita…….”

Berserilah wajah biarawati yang sudah berumur kira-kira


empatpuluh tahun itu. “Pinni sangat bersyukur kepada Thian kalau
pinni dapat memberikan pertolongan berupa moril bagi siapa yang
benar-benar membutuhkan.

“Nah, sekarang ceritakanlah asal mula peristiwa yang menimpamu


yang menyebabkan keadaan hidup kalian menjadi tidak
semestinya ini. Kalau nyata kau sendiri tidak dapat memecahkan
kesulitan yang kalian hadapi, mudah-mudahan pinni akan dapat
membantumu.”

Legalah hati Lan Eng rasanya karena ternyata maksudnya


terkabul, maka kemudian ia menceritakan peristiwa yang
dialaminya dari awal sampai akhir yang didengarkan oleh biarawati
itu dengan penuh perhatian sambil sering-sering melirik dan

384
menatap kepada Yang Hoa yang ketika itu duduk sambil
menyandar kepada ibunya, melenggut karena ngantuk.

Ketika cerita Lan Eng sudah selesai nikouw itu menarik napas
sambil menyebut nama Budha Yang Agung dan Thian Yang Maha
Kuasa. Kemudian ujarnya:

“Jadi, dengan kematian suamimu itu di dalam dadamu menyala api


dendam terhadap orang she Cio, manusia berhati palsu dan begal
tunggal kawannya itu, bukan?”

“Demikianlah, Suthay. Akan tetapi, kami yang lemah tidak berdaya


ini bagaimana akan mampu membalas sakit hati ini dan justeru hal
inilah yang menyebabkan aku menjadi putus asa.”

“Bagus! Sekarang sudah jelas bagi pinni apa yang harus dilakukan
untuk memecahkan kesulitanmu. Nah, sekarang, karena hari
sudah terlalu malam, hal ini kita bicarakan lebih lanjut esok hari.
Kini pinni persilahkan kau dan anakmu pergi mandi, tukar pakaian,
makan dan tidur.”

Untuk sejenak Lan Eng bengong karena ia seperti tidak percaya


akan apa yang didengarnya. Ia merasa ucapan nikouw itu seperti
didengarnya di dalam mimpi karena sepanjang terlunta-luntanya
belum pernah ia mendengar dan mendapatkan ucapan dan
385
kebaikan seperti dari ketua kuil ini. Dalam bengongnya Lan Eng tak
mampu berkata sesuatu, hanya memandang kepada nikouw itu
dengan mata yang berlinang-linang karena terharu.

Demikianlah sejak saat itu, Lan Eng dan puterinya tinggal di kuil itu
dengan mendapat perawatan baik dan Goat Im Nionio, yaitu ketua
kuil yang baik hati itu. Penghidupan di dalam kuil dan pergaulan
dengan para nikouw mendatangkan rasa tenteram di hati Lan Eng.

Ia acapkali menerima pelajaran tentang kebatinan dari Goat Im


Nionio sehingga pukulan batin yang ia derita akibat peristiwa
rumah tangganya, terasa agak berkurang. Sungguhpun nyala api
dendam atas kematian suaminya, tak pernah kunjung padam dan
bahkan terasa selalu membakar rongga dadanya.

Kemudian Lan Eng mengetahui bahwa biarawati yang kini menjadi


ketua kuil Thian-an-si ini ketika mudanya adalah seorang pendekar
wanita dari Thian-san-pay, yang sepak terjangnya pernah
menggemparkan dunia kang-ouw sebagai pembela keadilan dan
penegak kebenaran.

Dan kini, sungguh pun ia sudah lama sekali mengundurkan diri dari
dunia kang-ouw dan menuntut penghidupan tenteram sebagai
386
ketua kuil, namun kalau mendengar sesuatu peristiwa yang tidak
adil, hatinya tergerak untuk menolong sesama manusia yang
tertindas.

Peristiwa duka yang menimpa Lan Eng dan keadaan ibu dan anak
yang demikian sengsara itu, disamping menimbulkan rasa iba di
hati Goat Im Nionio, juga jiwa dan semangat kependekaran ketua
kuil ini bangkit sehingga ia berjanji untuk membantu mencari jalan
keluar dari penderitaan yang diderita oleh Lan Eng dan juga
puterinya.

Goat Im Nionio yang sudah tinggi batinnya maklum akan hasrat


yang terkandung di dalam dada Lan Eng, maka pada suatu hari
biarawati tua ini berkata kepada Lan Eng, setelah ibu dan anak itu
sepekan lamanya tinggal di kuil itu.

“Toanio (nyonya), pinni pernah berjanji bahwa pinni akan


membantumu mencari jalan keluar dari penderitaanmu ini. Dari
sinar matamu pinni dapat membaca bahwa di hatimu tersimpan
rasa dendam terhadap pembunuh suamimu dan kau ingin
membalas peristiwa sakit hati ini, bukan?”

387
“Benar Suthay. Akan tetapi sebagaimana pernah kunyatakan
bahwa aku ini seorang perempuan lemah, bagaimana maksud
hatiku ini bisa terlaksana?”

“Ah, kau ternyata masih diliputi perasaan putus asa, toanio.


Bukankah kau sudah maklum, bahwa biarpun secara terbatas
sekali pinni pernah mempelajari ilmu silat, maka dengan wariskan
kebodohan pinni itulah yang pinni maksudkan membantu kepada
kalian, terutama pinni lihat puterimu memiliki bakat-bakat baik
untuk mempelajari ilmu silat.”

Hal ini memang diharapkan oleh Lan Eng, maka kini setelah
mendengar pernyataan Goat Im Nionio, tanpa banyak pikir lagi ia
segera menjatuhkan diri dihadapan nikouw itu seraya katanya:
“Suthay, aku sudah terlalu besar berhutang budi padamu, entah
bagaimana aku harus membayarnya kelak…….”

“Sudah, sudah. Tak perlu kau melakukan banyak peradatan dan


tak usah pula meributkan soal budi,” kata Goat Im Nionio sambil
mengangkat tubuh Lan Eng yang berlutut itu.

Dan ketika nyonya ini menoleh kepada puterinya yang tinggal


berdiri di sisi dengan wajah berseri-seri dan tidak turut berlutut

388
seperti yang ia lakukan terhadap nikouw itu, maka ia segera
menegurnya:

“Yang Hoa, mengapa kau tidak tahu aturan? Berlututlah kau


kepada penolong kita yang mulia ini. Karena beliau akan berkenan
memberi pelajaran ilmu silat kepada kita!”

Nona cilik itu memang sudah mendengar dari ibunya bahwa


perantauan yang mereka lakukan selama ini, disamping
perantauan tanpa tujuan, juga mengandung maksud mencari
orang pandai supaya dapat membalas dendam terhadap
pembunuh ayahnya yang curang dan keji itu. Maka kini setelah
mendengar teguran, perintah dan pernyataan dari ibunya bahwa
mereka akan diberi pelajaran silat oleh nikouw yang dapat dirasai
kebaikannya itu, segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata:

“Subo, teecu mohon petunjuk dan bimbingan…….”

Goat Im Nionio cepat membangunkannya, dipandangnya baik-baik


wajah gadis kecil yang sudah mengunjukkan kecantikannya dan
kemudian tubuh Yang Hoa dipeluknya erat-erat sambil berkata:

“Yang Hoa, sejak pinni bertemu dengan kalian pada malam hari itu,
pinni sudah melihat bahwa kau mempunyai bakat baik untuk
menjadi muridku, seorang murid yang sudah lama sekali pinni
389
inginkan. Sesungguhnya pinni sudah merasa tipis harapan untuk
mendapatkan seorang murid yang berbakat sebaik engkau,
sehingga sedikit kebodohanku agaknya akan musnah begitu saja
tanpa pewarisnya.

“Akan tetapi sekarang, harapanku terkabul dan pinni yakin bahwa


kau akan dapat menjadi muridku yang pertama disamping ibumu
yang kuanggap sebagai murid kedua, yang dapat memenuhi
segala harapanku……..”

Dan begitulah, secara singkat dapat diceritakan bahwa hari-hari


berikutnya, dengan amat teliti dan penuh kasih sayang Goat Im
Nionio memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran teori ilmu silat
dari permulaan kepada Lan Eng dan Yang Hoa. Menerangkan
cara-cara gerakan kaki tangan dan cara-cara bersamadhi
mengumpulkan tenaga dalam dan melatih pernapasan untuk
memperkuat lweekang. Latihan ini dapat diikuti oleh ibu dan anak
itu dengan tekun dan rajin dan beberapa bulan kemudian mereka
mulai diberi pelajaran ilmu silat pedang Thian-san-pay.

Bagi Lan Eng, pelajaran ilmu silat pedang ini dirasakan suatu
pelajaran yang amat berat dan tak mudah. Gerakan-gerakan
pedang yang diajarkan oleh Goat Im Nionio baginya dirasakan
amat sukar dan oleh karena memang nyonya ini tidak memiliki

390
bakat baik untuk diwarisi ilmu silat dan disebabkan hanya
terdorong oleh kemauannya yang keras untuk membalas dendam
terhadap pembunuh suaminya saja, maka sukarlah baginya untuk
mempelajarinya dengan sempurna.

Goat Im Nionio maklum akan hal ini dan maklum pula bahwa
tulang-tulang di dalam tubuh nyonya itu sudah terlalu kaku
sehingga tidak dapat menerima pelajaran seperti yang
diharapkannya. Oleh karena itu, maka Goat Im Nionio lalu memberi
palajaran dalam cara lain, yaitu ilmu menyambitkan senjata
rahasia.

Ternyata bagi Lan Eng ilmu menyambit piauw (senjata rahasia) ini
dapat dipelajari dengan lebih berhasil. Memang mempelajari ilmu
ini jauh lebih mudah daripada ilmu pedang yang banyak gerakan-
gerakannya yang sangat memusingkan kepalanya itu, maka ia
terus melatih diri dalam hal pelajaran menyambit piauw ini
sehingga akhirnya nyonya ini dapat dan pandai sekali
menyambitkan lima batang piauw sekali gus dan mengenai
sasarannya secara jitu!

Adapun Yang Hoa sendiri, ternyata penglihatan Goat Im Nionio


cukup tajam, maklum bahwa gadis kecil itu memiliki dasar yang
amat baik dan mempunyai bakat yang luar biasa sekali dalam hal

391
ilmu silat. Segala pelajaran yang dipelajarkan oleh Goat Im Nionio,
secara mudah sekali oleh gadis ini “dilalapnya!”

Apalagi setelah Goat Im Nionio memberikan kitab pelajaran ilmu


pedang yang bernama Thian-san-kiam-hoat. Yang Hoa yang
pandai membaca sejak kecil atas ajaran ibu dan mendiang
ayahnya dahulu, dapat menangkap inti sari ilmu pedang dari kitab
itu sehingga ia memperoleh kemajuan yang amat pesat dan hal ini
tentu saja sangat menggembirakan hati gurunya!

Di dalam kehidupan barunya, disamping memperhebat latihan


menyambit senjata rahasia dan sambil menyaksikan kemajuan-
kemajuan gin-kang, lweekang dan kiam-hoat (ilmu pedang) yang
telah dicapai puterinya, Lan Eng tak pernah melupakan bayangan
musuh besarnya, yaitu piauw-su khianat yang bernama Cio Leng
Hwat dan seorang konconya, seorang begal tunggal yang belum
diketahui namanya itu.

Selalu diingatnya baik-baik bagaimana bentuk tubuh dan corak


wajah kedua orang, musuh besarnya itu supaya kelak bilamana ia
bersama puterinya mengadakan perhitungan terhadap mereka,
tidak salah alamat. Pendeknya, selama berdiam di dalam kuil
Thian-an-si, Lan Eng diam-diam selalu membuat rencana dan

392
selalu menanti tibanya waktu untuk pergi mencari, menyelidik dan
memberi hajaran kepada kedua musuh besarnya itu.

Kitab Thian-san-kiam-hoat yang dipelajari oleh Yang Hoa dengan


tekun dan semangat itu, selain memuat pelajaran ilmu pedang,
juga di bagian terakhir dimuat pula pelajaran yang disebut
“mempersatukan pedang dengan diri” yakni bagian pelajaran yang
paling sukar dan sulit. Pelajaran ini selain harus sudah memiliki
ginkang yang tinggi, juga berdasarkan latihan lweekang yang amat
kuat dan disertai latihan siu-lan (samadhi) dan latihan napas.

Dengan ilmu ini, maka pedang yang dipegang di tangannya dan


dimainkannya, baginya seakan-akan tidak merupakan pedang lagi,
melainkan merupakan sebagian daripada tubuhnya, merupakan
anggauta tubuh seperti tangan dan kaki. Dengan penyaluran
tenaga lweekang dari gagang sampai ke ujung pedang yang
dipegangnya, maka gerakan pedang menjadi lebih hebat dan tepat
serta tiap serangan atau tangkisan pedang mengandung tenaga
lweekang sepenuhnya sehingga seakan-akan bukan pedang,
melainkan lengan tangan yang menyerang atau menangkis.
Bagian yang tersulit dari kitab Thian-san-kiam-hoat ini, dapat
dipelajari oleh Yang Hoa secara baik sekali!

393
Demikianlah dengan singkat dapat diceritakan bahwa kurang lebih
enam tahun kemudian setelah apa yang dituturkan di atas, maka
di dunia kang-ouw muncullah dua orang pendekar wanita baru
yang sering melakukan perbuatan mulia terhadap sesama
manusia yang hidupnya tertindas.

Dua pendekar wanita itu, yang seorang adalah wanita setengah


tua dan mahir sekali menyambitkan senjata rahasia dan yang
seorang lagi seorang dara jelita yang hebat sekali ilmu pedangnya.
Seperti pembaca tentu sudah menduganya bahwa kedua lihiap
yang baru muncul di dunia kang-ouw ini tidak lain daripada Lan Eng
dan Yang Hoa.

Setelah kurang lebih enam tahun bermukim di kuil Thian-an-si,


mendapat perawatan dan gemblengan ilmu silat dari Goat Im
Nionio, akhirnya mereka diperkenankan melanjutkan
perantauannya oleh karena sekarang selain Yang Hoa sudah
menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita, merupakan pula
dara perkasa yang mewarisi hampir seluruh kepandaian Goat Im
Nionio.

Disamping itu, biarpun Lan Eng tidak mewarisi ilmu kepandaian


setinggi puterinya, namun nyonya ini telah memiliki kepandaian
istimewa, yakni menyambitkan senjata rahasia yang sanggup

394
membidik seekor burung yang sedang terbang secara jitu! Dengan
demikian, Lan Eng sekarang tidak merupakan seorang wanita
lemah lagi seperti dahulu.

Dari Goat Im Nionio selain mereka dibekali nasihat-nasihat yang


berguna juga mereka menerima bekal berupa mata uang,
beberapa stel pakaian, beberapa potong senjata rahasia untuk Lan
Eng. Dan Yang Hoa menerima sebuah pedang pendek yang
bersinar hijau dan walaupun pedang pendek ini bukan pedang
mustika, namun mempunyai ketajaman luar biasa dan ringan
sehingga sangat serasi bagi dara itu sendiri.

“Toanio dan Yang Hoa, muridku. Hanya sekianlah bantuan yang


pinni pernah janjikan untuk menolong kalian. Semoga seperginya
kalian dari sini cita-cita kalian akan cepat terlaksana. Pinni doakan
supaya Thian selalu memberi berkah kepada kalian,” Ujar Goat Im
Nionio yang terakhir ketika mengantar mereka sampai di luar pintu
kuil.

Untuk yang terakhir kali, Lan Eng dan Yang Hoa berlutut untuk
penghormatan tanda pamit sambil menghaturkan terima kasih
yang tak terhingga dan berjanji pula bahwa kelak bilamana tugas
membalas sakit hati terhadap kedua pembunuh Ho Kim Teng

395
sudah selesai, mereka akan kembali berkunjung ke kuil Thian-an-
si lagi.

Begitulah, Nyonya Lan Eng dan nona Yang Hoa mulai melanjutkan
perantauannya lagi. Kalau dahulu mereka melakukan perantauan
tanpa arah tujuan yang tentu dan membawa azab sengsara yang
membuat mereka terlunta-lunta, adapun sekarang mereka
melakukan perjalanan dengan hati besar dan bersemangat karena
kini mereka bukan wanita-wanita lemah seperti dulu lagi!

Pula, kini mereka mempunyai tujuan. Karena akhir-akhir ini Lan


Eng teringat kepada seorang kenalan lamanya, yaitu keluarga
Souw Cian Ho yang telah pindah ke daerah Tong-koan, yaitu di
dusun Lo-kee-cun.

“Sebaiknya sekarang kita menjumpai dulu calon mertuamu, Yang-


jie, siapa tahu mereka akan dapat memberi bantuan kepada kita
dalam hal mencari musuh besar kita itu. Ah, kalau saja sedari dulu
kuingat kepada mereka, boleh jadi kita tidak sampai mengalami
nasib yang begitu sengsara!” kata Lan Eng mengutarakan
pikirannya dan menyesali tindakannya waktu dulu yang
dianggapnya keliru.

396
Yang Hoa tak dapat berbuat lain daripada menyetujui dan ketika ia
mendengar bahwa mereka akan menemui calon-mertuanya, tiba-
tiba wajah dara ini menjadi merah. Ho Yang Hoa kini telah menjadi
seorang gadis dewasa, hingga ia dapat menggunakan
pengertiannya dalam sesuatu masalah.

Maka ketika ia mendengar bahwa ibunya bermaksud hendak


menemui calon mertuanya, di samping hendak minta bantuan
dalam hal mencari musuh-musuh besar pembunuh ayahnya, juga
dara ini tahu pasti bahwa ibunya dengan keluarga Souw hendak
merundingkan suatu masalah, yaitu masalah pertunangan antara
dirinya dengan putera Souw Cian Ho. Pertunangan yang telah
dipertalikan ketika ia masih kecil yang sampai saat ini masih dapat
diingatnya.

Dengan adanya tujuan itulah, maka seperginya dari kuil Thian-an-


si, Lan Eng dan Yang Hoa langsung menuju ke arah kota Tong-
koan. Perjalanan ini biarpun jauh sekali, mereka tempuh tanpa
mengenal lelah.

Apalagi mereka sering menggunakan ilmu lari cepat yang pernah


dipelajarinya. Biarpun ilmu lari cepat Lan Eng jauh di bawah
kepandaian puterinya, namun perjalanan kali ini dapat mereka
lakukan jauh lebih cepat!

397
Sepanjang perjalanan yang jauh itu, tentu saja mereka selalu
memasang telinga dan membuka mata untuk mencari dan
menyelidik kalau-kalau saja mereka dapat menemukan musuh
besar mereka. Dan disamping itu tentu saja mereka acapkali
bertemu dengan penjahat-penjahat kecil yang mencoba
mengganggu mereka. Akan tetapi semua tantangan itu selalu
dapat diganyang oleh piauw Lan Eng dan terutama sekali diamuk
oleh pedang di tangan puterinya.

Yang Hoa ternyata seorang gadis yang keras hati dan telengas
terhadap para bicokok yang hendak mengganggunya. Hal ini
mungkin disebabkan karena ayahnya telah dibunuh oleh penjahat,
maka ia merasa benci dan gemas sekali terhadap kaum penjahat
umumnya, sehingga ia selalu mempergunakan pedangnya untuk
mengganyang mereka tanpa mengenal ampun lagi.

Akan tetapi, bilamana pedang itu tidak kelewat perlu digunakan,


maka senjata tersebut selalu disimpannya di dalam buntalan
pakaiannya, sehingga kadang-kadang mereka tidak kelihatan
seperti wanita-wanita yang memiliki ilmu kepandaian, melainkan
lebih mirip wanita biasa yang sedang melakukan perjalanan jauh!

Dan akhirnya, pada suatu hari mereka tiba di kota Tong-koan dan
kebetulan sekali pada hari tersebut penyelenggaraan pibu untuk

398
menghabiskan persaingan antara Can Po Goan dan Lu Sun pin
dan sekaligus untuk memilih ketua Pauw-an-tui, dilangsungkan.

Sebagai orang-orang yang mengerti ilmu silat, tentu saja


penyelenggaraan pibu itu merupakan pertunjukkan sangat
menarik. Maka Lan Eng dan Yang Hoa mau tak mau jadi turut
berdesak-desakan dangan orang banyak, untuk menonton.

Mereka menyaksikan penyelenggaraan pibu yang diadakan di


depan gedung Cio Song Kang atau yang lazimnya disebut Cio
wan-gwe dari awal sampai akhir, yaitu mulai dari Cio wan-gwe
selaku panitia menyampaikan kata pembukaan dan menyatakan
maksud dan tujuan pibu tersebut.

Lalu para murid dari kedua pihak yang bermusuhan itu bertempur,
kemudian si Pagoda besi Lu Sun Pin dikalahkan oleh Po-thauw-
sin-kun Can Po Goan. Sampai akhirnya pemuda Souw Bun Liong
dinyatakan sebagai ketua Pauw-an-tui dan mendapat gelar Tong-
koan Ho-han.

Kisah duka yang diceritakan oleh Lan Eng secara panjang lebar ini
didengarkan oleh nyonya janda Souw dengan sangat terharu,
sedangkan hati Bun Liong menjadi marah sekali mengingat
kecurangan Cio Leng Hwat yang mengkhianati Ho Kim Teng

399
sehingga menyebabkan ibu dan anak itu menjadi demikian
sengsara! Maka begitu Lan Eng selesai bercerita pemuda itu
segera bertanya:

“Bibi, dalam ceritamu tadi aku hanya mendengar nama Cio Leng
Hwat, sedangkan yang menjadi biang keladi dari manusia curang
itu, yaitu si begal tunggal itu, tak kudengar bibi menyebut namanya.
Siapakah nama si begal tunggal itu?”

Lan Eng menghela napas. “Kamipun sangat menyesal, karena


para anggauta piauw-su yang mengantarkan mayat suamiku dan
menceritakan hal tersebut kepadaku, juga tidak mengetahui
namanya. Mereka hanya menerangkan tentang bentuk tubuh dan
wajah si begal tunggal itu yang senantiasa kuingat dan bayangkan,
dan terutama sekali ilmu goloknya dari cabang Bu-tong, maka jika
aku bertemu dengan orangnya, rasanya tak sulit bagiku untuk
mengenalnya.”

Kini Bun Liong yang menarik napas, karena pemuda inipun turut
menyesal tidak mengetahui nama begal tunggal sehingga baginya
agak sulit untuk membantu mengadakan penyelidikan. “Yah, bibi,
mudah-mudahan Thian memberikan petunjuk pada kita, supaya
manusia-manusia durjana yang berhutang jiwa dari mendiang

400
paman Ho itu dapat kita ganyang. Aku berjanji akan membantu
mengamat-amati……..”

“Sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih atas kesediaanmu


untuk membantu kami Liong,” tukas Lan Eng yang lalu
melanjutkan: “Dan memang setelah kini kami bertemu dengan
kalian, kamipun bermaksud hendak melakukan penyelidikan di
daerah Tong-koan ini, barangkali saja kedua musuh besar kami itu
bersembunyi dan dapat kami jumpai di sini!”

“Kalau demikian,” tiba-tiba In Hoa berkata, “lebih baik kalian tinggal


di pondokku saja dulu. Pondokku cukup besar dan satu kamar
selalu kosong. Aku sangat gembira kalau kalian tidak menolak
permintaanku ini.”

“Tetapi, aku khawatir kehadiran kami ini akan merupakan


gangguan bagi enci…….”

“Huss! Mengapa kau begitu sungkan? Bukankah kita ini sudah


menjadi saudara sendiri sebagaimana halnya mendiang suami kita
saling mengangkat saudara? Nah, itulah sebabnya maka aku
berani meminta supaya kalian tinggal saja di pondokku sini kalau
kalian memerlukan banyak waktu untuk menyelidiki musuh-musuh

401
besarmu, siapa tahu kalau mereka benar-benar diam di dalam
daerah Tong-koan ini!”

Mendengar permintaan nyonya rumah yang demikian sungguh-


sungguh dan seperti memaksa, Lan Eng merasa kurang baik untuk
menampiknya. Dan lagi memang kedatangannya ke tempat ini, ia
mempanyai maksud hendak merundingkan suatu masalah
kekeluargaan dengan nyonya rumah itu, yakni untuk mendapat
ketegasan tentang tali pertunangan Bun Liong dan puterinya yang
sudah diikrarkan semenjak kedua anak muda itu masih kecil.

Oleh karena itu, maka dapatlah diceritakan bahwa Lan Eng dan
puterinya, mulai hari itu tinggal di rumah nyonya janda Souw.
Mereka menempati sebuah kamar tersendiri yang sejak dulu
memang dijadikan kamar tamu.

Hal ini tentu saja membuat hati Bun Liong bersorak saking
girangnya! Hati pemuda manakah yang takkan merasa girang
kalau di rumahnya yang menumpang dara jelita? Apalagi bagi Bun
Liong. Karena dara itu telah mencuri hatinya, maka pemuda ini
merasakan bahwa di rumahnya yang berkeadaan demikian miskin
dan prihatin itu seakan-akan mendadak kejatuhan rembulan…….!

402
Ketika senja menjelang malam, Bun Liong duduk seorang diri di
ruangan depan dengan punggung dan kepalanya disandarkan
pada dinding rumah. Ibu pemuda ini, ketika itu tengah asyik
bercengkerama di kamar tamu dengan Lan Eng dan Yang Hoa.

Sebenarnya Bun Liong sangat ingin turut serta, bercakap-cakap


dengan mereka. Akan tetapi oleh karena ia merasa kurang sopan
kalau masuk ke dalam kamar tamunya itu di mana terdapat
seorang dara, maka mau tak mau ia lalu duduk seorang diri di
ruangan depan.

Benak pemuda ini dipenuhi berbagai macam pikiran. Mula-mula ia


membayangkan pertemuan besar pada esok harinya dengan Cio
wan-gwe, Lu Sun Pin, Can Po Goan dan lain-lainnya.

Mereka tentu akan berkumpul untuk memperbincangkan dan


menyusun organisasi yang diberi nama Pauw-an-tui dengan tujuan
untuk berkonfrontasi dan mengganyang komplotan garong yang
menggentingkan daerah Tong-koan itu! Ia sudah terlanjur turut
serta dalam pertandingan pibu tadi siang sehingga ia terpilih dan
secara resmi oleh panitia diangkat menjadi ketua Organisasi
Barisan Penjaga Keamanan itu, maka maklumlah bahwa di atas
pundaknya terletak beban yang sangat berat!

403
Biarpun ilmu silatnya tinggi, namun Bun Liong dalam hal
pengalaman masih sangat mentah, apalagi sebagai ketua dari
organisasi massa, maka “jabatan” dan pekerjaan yang bakal
dihadapinya ini benar-benar menegangkan pikirannya!

Kemudian ia membayangkan pula, betapa hebatnya pertempuran-


pertempuran dengan komplotan garong yang bakal ia alami.
Sungguh suatu “jabatan” yang amat berat tanggung jawabnya,
berat pula pekerjaannya, karena selain memerlukan tenaga dan
pikiran, bahkan nyawapun menjadi taruhan!

Sungguhpun demikian, dan betapa pun berat dan berbahayanya


pekerjaan yang harus dihadapinya, namun ia berjanji pada diri
sendiri bahwa ia akan melakukan kewajiban ini dengan sungguh-
sungguh tanpa merasa kecil hati. Oleh karena pekerjaan ini adalah
demi kepentingan masyarakat dan juga harapan dari suhunya, Bu
Beng Lojin!

Kemudian bayangan pekerjaan dan tanggung jawab yang bakal


dihadapinya mulai hari besok itu buyar, karena dadanya tiba-tiba
berdebar-debar ketika teringat kembali kepada nona Yang Hoa
yang menginap dan yang akan tinggal di rumahnya untuk
sementara itu. Ah, alangkah gembiranya kalau ia dapat membantu
mendapatkan manusia-manusia jahat yang telah membunuh ayah

404
dara itu dan alangkah lebih senang hatinya kalau nona itu bukan
tinggal hanya untuk sementara saja di rumahnya, melainkan
untuk……. selama-lamanya!

Bun Liong kini sudah menjadi dewasa. Biarpun tiada orang yang
memberitahukan kepadanya, namun hatinya telah mendapat
bisikan bahwa meski baru sehari saja ia bertemu kembali dengan
bekas kawan bermainnya sewaktu kecil yang sudah berpisah
hampir sepuluh tahun lamanya, ia telah “jatuh hati” padanya.

Ia masih ingat benar, bahwa betapa manis dan akrabnya


persahabatan antara ia dan gadis itu semasa masih sama bocah
berusia tujuh delapan tahun. Dan memang, tiada kenangan yang
lebih indah dan menyenangkan daripada kenangan semasa kita
masih merupakan, bocah cilik yang belum tahu apa-apa tentang
keruwetan penghidupan!

Semenjak kecilnya, Bun Liong sudah mempunyai sifat gagah atau


sedikitnya bercita-cita ingin menjadi seorang gagah. Ia sering
meniru ayahnya menunggang kuda manakala orang tua itu pergi
mengawal barang, maka sering kali ia membuat kuda-kudaan dari
ranting pohon, lalu berlari-lari congklang sambil menunggangi
“kuda” itu dengan lagak seorang Piauw-su berangkat mengantar
barang kawalan, seperti ayahnya.

405
Ia lewat di depan rumah Yang Hoa dan apabila bocah perempuan
yang dikuncir rambutnya itu kebetulan berada di depan rumahnya,
ia melambai-lambaikan tangan kepada gadis cilik itu yang
membalasnya dengan lambaian tangan pula sambil tertawa-tawa
kecil.

Sering pula ia mengajak Yang Hoa untuk “dibonceng” di atas


“kuda” itu, nona cilik itu berdiri di belakangnya kedua tangannya
berpegang erat-erat kepada bahu Bun Liong karena takut jatuh dari
“kuda” yang mereka “tunggangi” itu. Kemudian berlari-larianlah
mereka hilir mudik dengan wajah berseri-seri dan napas terengah-
engah.

Tidak jarang ketika sedang berlarian seperti itu Yang Hoa benar-
benar jatuh dari “kuda”nya sehingga menangis menjerit-jerit dan
mengaduh, lalu Bun Liong memapah teman baiknya yang
mendapat “celaka” itu untuk dibawa ke rumahnya sambil
membujuk dan menghiburnya. Lalu meminta kepada orang tuanya
supaya mengobati baret kecil yang tampak menggores di lutut
nona itu.

Mungkin karena suka jatuh seperti itu, Yang Hoa kadang-kadang


tidak mau kalau diajak “membonceng” lagi, dan penolakan ini
membuat Bun Liong marah. Dengan gemas ia membetot kuciran

406
rambut Yang Hoa yang menyebabkan gadis cilik itu menangis
menjerit dan berlari ke dalam rumah untuk mengadu kepada orang
tuanya.

Kalau sudah demikian, Bun Liong merasa bersalah dan karena ia


takut kalau orang tua gadis cilik itu akan segera “membalas
dendam,” maka ia segera berlari pontang panting memasuki
rumahnya, dan bersembunyi di kolong tempat tidur sambil
menahan napas!

Teringat akan kenangan indah itu, Bun Liong jadi tersenyum


sendiri! Gadis yang dahulu suka ditarik-tarik rambut kucirnya itu
sekarang telah berada di rumahnya dan hatinya merasa suka
sekali kepada nona bekas kawan bermainnya itu. Ah, alangkah
senangnya hatiku kalau aku sekarang dapat bermain-main dengan
dara jelita itu seakrab dahulu, kata hatinya setengah mengeluh dan
kembali ia tersenyum-senyum.

“Eh, Liong! Mengapa kau tersenyum sendiri seperti orang


setengah gila?!”

Mendengar teguran yang tiba-tiba ini Bun Liong tersentak dari


lamunannya. Ia menjadi tergagap dan agak jengah ketika melihat

407
ibunya telah berdiri disampingnya, dan ia tak segera dapat
menjawab tegurannya yang bersifat menggoda itu.

Agaknya Kho In Hoa telah lama meninggalkan tamunya, dan ia


berdiri di situ sambil memperhatikan puteranya yang sedang asyik
melamun sambil tersenyum-senyum seorang diri. Tapi nyonya
janda ini cukup bijaksana dan dapat membaca apa yang sedang
dilamunkan oleh Bun Liong, maka dengan berpura-pura tidak
melihat kegagapannya, orang tua ini lalu duduk berhadapan
dengan putera tunggalnya itu.

“Liong, aku akan bertanya kepadamu, bagaimanakah kesan dan


pendapatmu tentang kedatangan kedua tamu kita yang pada
hakekatnya sudah bukan orang lain itu?” tanya nyonya itu
kemudian sambil matanya menatap kepada puteranya.

Dengan sejujurnya Bun Liong menjawab: “Sebagaimana halnya


Mama sendiri, akupun merasa gembira dengan kedatangan dan
kesudian mereka menginap di rumah kita ini.”

Nyonya janda itu tersenyum, “Memang aku merasa girang dapat


berjumpa kembali dengan mereka. Akan tetapi aku yakin, bahwa
perasaan gembira di hatimu jauh lebih besar dan mendalam
daripadaku, bukan……?”

408
Kata-kata ibunya ini benar-benar merupakan pukulan yang sangat
jitu bagi hati Bun Liong, sehingga pemuda ini untuk sejenak tak
dapat berkata-kata wajahnya kemerah-merahan karena malu.

Nyonya janda itu bersenyum tatkala berkata pula: “Liong,


sebenarnya aku mempunyai maksud penting yang ingin
kusampaikan kepadamu sekarang juga. Ketahuilah, semenjak kau
masih kecil, kami orang-orang tua telah mengadakan persetujuan
mempertunangkan kau dengan nona Yang Hoa dan persoalan ini
memang sama sekali belum pernah kukatakan kepadamu.

“Tapi sekarang kau sudah cukup besar, sedikitnya tentu sudah


dapat menerima dan mempertimbangkan persoalan-persoalan
yang layak dihadapi oleh orang yang sudah dewasa seperti kau ini,
maka dengan kedatangan bibimu yang sengaja membawa
puterinya kemari, kuanggap sudah tibalah saatnya persoalan
penting ini kubicarakan denganmu. Tadi aku dan bibimu berunding
dan kami telah bermufakat untuk menyandingkan kau dan nona
Yang Hoa sebagai suami isteri.”

Mendengar pernyataan yang demikian terus terang dan tanpa


tedeng aling-aling ini, Bun Liong hampir saja tidak percaya pada
pendengarannya sendiri dan ia khawatir kalau hal ini hanya terjadi

409
di dalam mimpi saja. Namun sekarang hal ini terjadi sebenarnya
dan memang ibunya bicara seperti apa yang didengarnya tadi.

Bun Liong tidak berani mungkir bahwa ia sudah jatuh hati atau
jelasnya merasa cinta kepada gadis itu dan tentu saja ia
mengharapkan bahwa kelak gadis itu bisa menjadi jodohnya. Apa
yang telah bersemi di lubuk hatinya, khayalan indah yang
mengganggunya sejak tadi kini menjadi kenyataan.

Hanya saja sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa kenyataan


ini akan terjadi demikian cepat dan tiba-tiba sehingga akan terjadi
demikian cepat dan karenanya, jalan pikirannya menjadi kalut.
Untuk sejenak ia membisu saja sambil menunduk, hatinya
berguncang keras karena……. girang!

“Liong, bukankah kau seorang laki-laki yang telah menerima


gemblengan lahir batin dari suhumu? Jawablah, bagaimana
pendapat dan pendirianmu tentang persoalan penting yang
kusuguhkan kepadamu ini?” ujar ibu itu yang agaknya telah dapat
menyelami emosi puteranya.

“Anakku, percayalah, aku sudah mengenal Yang Hoa sejak kecil


dan menurut penglihatanku, Yang Hoa adalah gadis yang baik
sekali baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu

410
silatnya. Pendapatku sangat cocok sekali dijadikan mantuku,
apalagi perjanjian pertunangan itu telah menjadi kemauan dari
mendiang ayah nona itu dan ayahmu sendiri dan yang tentu saja
telah mendapat persetujuan dari pihak para isterinya, yakni aku
sebagai ibumu dan bibimu, ibu dari Yang Hoa itu……

“Akan tetapi, Liong, walaupun aku maklum akan ketulusan dan


kebaktian hatimu terhadap ibumu ini, namun betapapun juga
sekali-kali aku takkan memaksa atau menyuruh kau untuk
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatimu
sendiri. Apalagi soal perjodohan, karena bukan aku yang akan
menjalani, melainkan kau sendiri yang bakal mengecap manis
pahitnya. Maka sebelum kau menyatakan betapa pendapat dan
pendirianmu, hatiku takkan merasa puas.”

Kini Bun Liong sudah dapat menguasai perasaan dan pikirannya


lagi. Ia mengerti bahwa gagasan ibunya yang sungguh-sungguh
dan setengah mendesak adalah berdasarkan rasa kasih sayang
orang tua yang ingin melihat anaknya berbahagia. Maka, biarpun
ia makin merasa jengah, akhirnya dapat juga menjawab dengan
suara agak gemetar dan sember,

“Mama, kalau hal ini sudah menjadi kehendak mendiang ayah dan
menjadi kehendakmu pula dan juga telah bermufakat dengan

411
keluarga paman Ho Kim Teng……. baiklah, anak….. anakmu ini
menerima gagasanmu dan merasa setuju serta……. merasa
berterima kasih……”

Berserilah wajah Kho In Hoa jadinya. “Bagus, Liong, demikianlah


sikap seorang kesatria, jujur dan terus terang. Dengan demikian,
terikrarlah sudah kehendak dari mendiang ayahmu,” katanya
kemudian dengan irama kata terharu karena nyonya ini tiba-tiba
teringat kepada mendiang suaminya.

“Tetapi, Mama…….” kata Bun Liong, “Tidakkah kita telah berlaku


keliru. Selagi keadaan kita begini miskin dan aku belum bisa
bekerja untuk mencari nafkah, kita sudah berani membiarkan soal
perjodohan? Mama, hidup kita demikian melarat dan sengsara dan
anakmu masih belum dapat menanggulangi keadaan kita ini.

“Kalau Yang Hoa menjadi isteriku, berarti beban kita makin berat
dan mungkinkah dia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kita
seperti ini? Ah, tidak! Aku takut kasihan kalau aku tak dapat
memberikan kebahagiaan kepadanya…….”

Hati Kho In Hoa makin terharu ketika mendengar ucapan Bun


Liong yang ternyata dapat berpikir panjang dan mempunyai rasa
tanggung jawab dalam hal kehidupan suami isteri yang bakal

412
dihadapinya. Akan tetapi, sebelum ibu yang bijaksana ini sempat
berkata untuk menghibur puteranya yang sangat berkecil hati
memikirkan hari depannya itu, tiba-tiba ia dan juga Bun Liong
tersentak kaget karena saat terdengar suara orang yang
menyahuti perkataan pemuda itu tadi.

Ketika ibu dan anak itu menoleh, ternyata Li Lan Eng telah muncul
dari ruangan dalam dan karena nyonya janda Ho ini mendengarkan
percakapan In Hoa dan Bun Liong, maka ketika ia mendengar
ucapan yang terakhir dari pemuda itu, yang mencerminkan bahwa
calon mantunya itu berkecil hati karena keadaannya yang miskin
dan sengsara, lantas saja nyonya ini menukas:

“Liong-jie, tak perlu kau berpikir begitu jauh dan tidak semestinya,”
kata Lan Eng sambil berjalan menghampirinya dan duduk di dekat
mereka, lalu lanjutnya: “Ketahuilah, pernikahan tergantung kepada
umur dan sekali-kali bukan bersandarkan kepada kaya miskin
keadaan seseorang. Ibarat bunga mekar pada musimnya, barulah
selaras dengan kemauan alam!

“Pula, bagiku dalam hal perjodohan tak perlu memandang keadaan


calon menantu, maksudku keadaan kekayaannya. Yang terpenting
adalah keadaan batinnya! Liong-jie, watak dan tabiatmu sudah

413
kukenal sejak kau masih kecil dan sekarang kupercaya bahwa kau
akan menjadi teman hidup Yang Hoa yang baik.

“Sekarang, setelah kudengar pernyataanmu yang menyetujui


maksud kami, benar-benar hatiku sangat puas dan merasa
berterima kasih. Tadinya, sebelum kudengar pernyataanmu itu,
aku sangat khawatir kau akan menampik anakku yang bodoh itu.
Tapi sekarang, ketegasan soal perjodohanmu dengan anakku ini,
ternyata sudah beres…….

“Mengenai rasa berat menanggung beban seperti yang


kaukatakan tadi, memang harus kuakui bahwa kalau orang sudah
beristeri, apalagi kalau sudah mempunyai anak, kewajiban dan
beban yang ditanggungnya menjadi bertambah berat. Akan tetapi
hal ini menurut pendapatku tak perlu kau pusingkan sekarang,
karena pernikahanmu boleh dilangsungkan kapan saja, misalnya
kelak setelah kau merasa mampu. Yang dipersoalkan sekarang,
tak lebih hanya penegasan ikatan jodoh saja.”

“Nah, Liong, kata-kata dan pendapat calon besanku ini sangat


benar dan bijaksana, tak usahlah kau terlalu berkecil hati
memikirkan masa depanmu,” kata Kho In Hoa membesarkan hati
puteranya, “Dan sekarang, kau tidak cepat memberi hormat
kepada calon ibumu, mertuamu ini, mau tunggu kapan lagi??”

414
Pikiran dan perasaan Bun Liong kini menjadi tenang dan lega
setelah mendengar ucapan Lan Eng tadi yang alasannya dapat
diterima. Tanpa ragu-ragu lagi dan bahkan dadanya berdebar-
debar girang, ia bangkit dari tempat duduknya dan berlutut
dihadapan Lan Eng sambil katanya; “Gak-bo (ibu mertua)!”

Lan Eng menerima penghormatan dari calon menantunya itu


dengan perasaan terharu dan bahagia. Ia membangunkan Bun
Liong dan menyuruhnya duduk kembali di tempatnya. Kemudian
dengan mata berlinang-linang namun wajahnya berseri bungah, ia
berkata kepada nyonya janda Souw,

“Ah, enci Hoa, arwah-arwah suami kita tentu merasa puas melihat
rencana mereka sudah kita laksanakan dengan lancar…….”

“Memang begitulah agaknya, adik Eng…….” sahut In Hoa, dan


mata nyonya janda inipun membasah pula, karena kata-kata calon
besannya itu mengingatkannya akan suaminya yang, sudah tiada.

Bun Liong pun merasa pilu juga hatinya, akan tetapi pemuda ini
segera menemukan jalan keluar dari pada suasana yang sedih itu,
dengan berkata,

“Ah! Gak-bo dan mama ini bagaimana sih? Masa persoalan


perjodohan ini hanya dilakukan antara kita bertiga saja dan kalian
415
hanya mendesak persetujuanku sepihak saja, sedangkan pihak
yang terpenting, yaitu adik Yang Hoa, sama sekali tidak didengar
persetujuannya. Adakah dia merasa setuju dijodohkan denganku
yang bodoh ini…….?”

“Kau benar Liong-jie,” sahut nyonya janda Ho. “Perkataanmu itu


dapat kutangkap maksudnya yaitu kau ingin mendengar sendiri
betapa reaksi dari calon isterimu dalam persoalan ini. Sungguhpun
ia sudah menurut dan sependapat denganku ketika kami
berunding di kamar tadi, namun untuk memunahkan rasa
sangsimu, baiklah kupangil dia kemari untuk kau buktikan sendiri.”
Dan nyonya ini memanggil puterinya yang masih “bersembunyi” di
kamarnya.

Terdengar suara daun pintu dikuak dan ditutup kembali dan


bersamaan dengan itu, terdengarlah suara tindakan kaki yang
perlahan. Hal ini membuat Bun Liong menahan napas dan lebih
dan tiga kali meneguk air liur, karena menahan kedak-dik-duk-an
hatinya.

Kemudian nona itu tampil di antara mereka dan berdiri menghadap


ibunya sambil menunduk seakan-akan untuk menyembunyikan
warna merah yang menjalari seluruh muka dan telinganya. Karena
ia sebenarnya sudah maklum akan maksud dari panggilan ibunya.

416
“Yang Hoa, seperti kau telah ketahui, perundingan kita dengan
nyonya rumah tadi adalah mengenai pertunanganmu dengan Bun
Liong. Sejak masih kecil kalian telah kami pertalikan.

“Kau tentunya sudah mendengar sendiri dari kamar tadi tentang


pernyataan setuju dari pemuda tunanganmu maka sekarang
wajiblah kau mengeluarkan pernyataanmu dihadapan kami.
Bagaimana pendapat dan pendirianmu mengenai soal ikatan jodoh
ini? Setujukah kau? Jawablah!”

Yang Hoa adalah seorang wanita, maka dalam hal ini tentu saja
baginya amat berat untuk menjawab. Biarpun sudah maklum
bahwa sejak kecil sudah dipertunangkan dengan Bun Liong,
kawan bermainnya dan meskipun kini ia mendapat kenyataan
bahwa bekas kawan bermainnya yang dahulu suka menarik-narik
rambut kucirnya itu telah menjadi seorang pemuda tampan, gagah
dan berkepandaian silat tinggi.

Dan ia telah mendengar pula suara pernyataan pemuda itu di


dalam kamarnya tadi dengan diam-diam, sehingga hatinya merasa
girang dan setuju dengan ikatan jodoh ini. Akan tetapi mulutnya tak
sanggup menyatakannya.

417
Ia hanya berdiri diam bagaikan patung, mukanya yang menjadi
makin merah ditundukkan, dan kalau saja jari-jari dari kedua
tangannya tidak bergerak memintal-mintal ujung sabuk pengikat
pinggangnya, ia akan benar-benar tampak seperti sebuah patung.
Sampai lama keadaan menjadi sunyi oleh karena semua orang,
terutama Bun Liong yang sudah menahan napas menanti jawaban
nona ini yang tak kunjung terdengar.

Namun akhirnya, Lan Eng ketawa terkekeh, wajah In Hoa berseri


dan Bun Liong hampir bersorak saking girangnya dan merasa
hendak menubruk dan memeluk tubuh calon isterinya itu ketika
melihat Yang Hoa yang biarpun dari mulutnya tidak terdengar
sepatah kata, namun telah mengunjukkan pernyataannya, yang
positip ketika gadis itu menjatuhkan diri berlutut dihadapan In Hoa!

“Nah, Liong-jie, jelaslah sudah bagimu kini apa jawaban dari


puteriku dengan memberi hormat kepada ibumu, bukan?” kata Lan
Eng sambil tersenyum puas kepada Bun Liong yang tak dapat
memberikan penyahutan karena rongga dadanya serasa sesak
saking…… girangnya!

Begitulah, sebagai peresmian pertunangan itu, pada malam


harinya mereka mengadakan pesta kecil. Mereka mengundang

418
beberapa orang tetangga yang terdekat untuk dijadikan saksi pada
peristiwa bahagia tersebut.

In Hoa dan Lan Eng menyatakan kepada para tamu, bahwa


perkawinan kedua orang muda itu masih belum dapat ditentukan
waktunya yang dijadikan patokan oleh mereka, perkawinan baru
dapat dilangsungkan setelah keamanan daerah Tong-koan pulih
kem bali. Jadi tegasnya, Bun Liong harus menyelesaikan dulu
pekerjaannya.

Dan apabila Pauw-an-tui yang dipimpinnya dapat berkonfrontasi


dan mengganyang komplotan penjahat sampai keakar-akarnya,
sehingga keadaan daerah Tong-koan normal kembali seperti
sediakala, barulah pernikahan itu dapat dilangsungkan.
Demikianlah sifat orang-orang gagah, kepentingan umum jauh
lebih utama daripada kepentingan diri sendiri!

Malamnya, setelah pesta kecil itu selesai dan para tetangga sudah
pada pulang, In Hoa, Lan Eng dan nona Yang Hoa membereskan
piring mangkok bekas perjamuan sederhana tadi. Adapun Bun
Liong yang seharusnya membantu mereka, pergi dan berjalan ke
arah belakang rumahnya.

419
Ketika ia hendak keluar dari pintu belakang, kebetulan ia bertemu
dengan calon isterinya yang membawa seember air yang
diambilnya dari perigi di belakang rumah itu. Untuk sejenak mereka
tertegun dan sepasang calon suami isteri ini saling berpandangan.
Bun Liong memandang dengan sinar mata yang penuh kasih
mesra dan berkata dengan suara perlahan:

“Yang-moay, bila pekerjaanmu sudah beres, sangat kuharapkan


kau dapat menjumpaiku di kebun belakang. Aku ingin bicara
denganmu dibawah empat mata.”

Sebagai jawaban Hoa hanya mengangguk sambil bibirnya


menyungging senyuman dan berjalan masuk membawa seember
air yang dijinjingnya itu. Agaknya gadis ini hendak mencuci segala
perabotan kotor bekas pesta kecil tadi.

Sementara Bun Liong berjalan seorang diri menuju halaman


belakang rumahnya. Halaman ini dulunya, semasa Souw Cian Ho
masih hidup, dijadikan kebun yang ditanami sayur mayur. Tapi
sekarang tanah itu menjadi kering karena sudah lama tidak terurus.
Bun Liong lalu duduk di bawah sebatang pohon siong.

Malam itu walaupun tidak berbulan, langit sangat cerah dan dihiasi
bintang-bintang gemerlapan bagaikan ribuan intan permata yang

420
tersebar. Bun Liong menengadah ke angkasa dan memandang
bintang-gemintang seakan-akan hendak mencari dan menilai
binang mana yang paling indah.

Akan tetapi ia tidak berhasil menemukan bintang yang paling indah


di langit karena bintang-bintang yang gemerlapan dan yang
sebenarnya sangat indah itu baginya tiada yang menarik dan
semuanya menjadi suram dalam penglihatannya. Karena
terkalahkan oleh keindahan bintang hatinya, yaitu nona Yang Hoa.

Pengalamannya di siang hari tadi, benar-benar merupakan


pengalaman yang patut dibanggakan dan paling indah. Pada hari
itu ia telah berhasil membuat nama besar di antara masyarakat
Tong-koan dan pada hari itu pula ia bertemu dengan seorang dara
jelita bekas kawan bermainnya semasa kecil.

Dan begitu bertemu ia sudah merasa jatuh hati, dan tahu-tahu


gadis itu adalah tunangannya dan kini dengan resmi telah menjadi
calon isterinya! Bukankah kejadian-kejadian yang sama sekali
tidak disangka ini, layak dibanggakan dan dianggap indah oleh
pemuda ini?

“Ah, betapa suhuku akan gemhira dan bangga kalau aku berhasil
menunaikan tugas yang diletakkan di pundakku ini, mengganyang

421
segolongan manusia yang menuntut penghidupan sewenang-
wenang, yaitu komplotan penjahat yang menimbulkan huru hara,
merusak dan merugikan rakyat jelata dan yang menyebabkan
daerah Tong-koan ini menjadi demikian tak aman dan genting! Dan
apabila komplotan penjahat sudah diganyang habis dan keadaan
menjadi aman kembali, maka aku dapat melangsungkan
perkawinanku dengan Yang Hoa, alangkah manisnya
hidupku…….”

Demikian Bun Liong berkata di dalam hatinya, sambil memandang


bintang-bintang di langit. Pemuda ini sedang dilamun khayalan
yang muluk-muluk.

Akan tetapi lamunan ini kemudian berganti dengan rasa cemas


ketika ia teringat bahwa betapa berat dan berbahayanya tugas
yang ia harus tunaikan, sehingga hatinya mengeluh,

“Bagaimana kalau dalam pekerjaanku yang tentunya penuh


dengan pertempuran-pertempuran hebat itu aku mendapat celaka
dan tewas…….?!”

“Ah, betapa takkan relanya hatiku harus meninggalkan Yang Hoa


yang sangat kucintai…..” Teringat akan hal yang sangat
mencemaskan hatinya ini, Bun Liong menghela napas panjang,

422
batinnya seakan-akan menjerit meminta perlindungan Tuhan,
supaya peristiwa yang sangat mengecilkan hatinya tidak sampai
terjadi.

Tiba-tiba terdengar suara lemah dan halus dibelakangnya:


“Koko..…..”

Bun Liong segera sadar dari lamunannya. Ia cepat berdiri dan


menengok ke belakang. Melihat gadis tunangannya telah datang
yang berarti telah memenuhi permintaannya tadi.

Bun Liong dapat segera menekan perasaan cemasnya dan ia


tersenyum sambil berkata lirih: “Yang-moay, agaknya kau sudah
lama datang dan berdiri diam-diam di belakangku…..?”

Dalam malam yang hanya disinari oleh cemerlangnya bintang-


bintang di angkasa cerah, mata Bun Liong yang memang sudah
terlatih untuk melihat di tempat gelap, melihat gadis tunangannya
yang mengenakan pakaian tidur berwarna putih tersenyum manis,
sebagian rambutnya terurai ke jidat menambah kemanisannya.

Kemudian terdengarlah dara itu menyahut:

423
“Lama sih belum, akan tetapi sempat juga kudengar kau mengeluh
demikian dalam. Apakah yang membuatmu mengeluh sedemikian
rupa, Koko?”

“Duduklah, Yang-moay!” kata Bun Liong dan mereka duduk


berdampingan di atas rumput hijau yang bagi mereka merupakan
permadani indah. Kemudian ia berkata: “Sebenarnya, yang
membuatku mengeluh, adalah karena aku membayangkan bahwa
kalau-kalau aku mendapat celaka dan tewas dalam pekerjaanku
itu…….”

“Agaknya kau takut mati koko…….?”

“Aku bukan takut mati, adik Yang! Bagi orang yang pernah
mempelajari ilmu silat seperti kita soal celaka dan tewas dalam
pertempuran adalah soal biasa saja.”

“Habis, apa yang kau keluhkan?”

“Aku mengeluh karena merasa sedih, kalau aku sampai


menemukan ajal, aku tidak jadi kawin denganmu…….”

Yang Hoa ketawa kecil dan berkata: “Jadi itulah yang membuatmu
mengeluh? Kukira…….”

424
“Kau kira apa, adikku?”

“Kukira bahwa kau……. tak suka dengan perkawinan kita yang


akan datang ini…….”

Tangan kanan Bun Liong bergerak dan cepat ia memegang lengan


Yang Hoa. Gadis itu agak terkejut oleh karena baru sekali inilah ia
merasakan tangannya dipegang oleh seorang pemuda. Mengingat
bahwa pemuda itu bukan orang lain tetapi justeru bakal suaminya,
maka Yang Hoa tinggal diam saja, sungguhpun ia merasa sangat
canggung dan dadanya berdebar-debar.

“Jangan kau menyangka yang, tidak-tidak, Yang-moay,” kata Bun


Liong. “Ketahuilah, ketika tadi ibuku membicarakan hal perjodohan
kita aku hampir bersorak kegirangan, karena sesungguhnya,
semenjak kita berjumpa siang tadi, aku…… aku sudah merasa
jatuh cinta kepadamu……”

Yang Hoa hanya menundukkan kepalanya dengan cara ini


agaknya ia hendak menyembunyikan rasa malu dan girang yang
membayang di wajahnya yang dalam pandangan Bun Liong yang
mencinta, cantik bagaikan bidadari.

“Dan, kau bagaimana adik Yang? Sukakah kau akan pilihan ibumu
ini?” tanya Bun Liong dengan irama kata menggetar dan
425
sementara tangannya yang memegangi tangan tunangannya,
digenggamkan semakin erat.

Perlahan-lahan Yang Hoa mengangkat kepalanya dan matanya


yang indah jeli bagaikan mata burung Hong menatap kepada Bun
Liong dengan pandangan penuh arti, kemudian ia menunduk
kembali sambil menyahut lemah:

“Koko, semenjak kusaksikan kesederhanaan, kesopanan dan


kegagahanmu di atas lui-tay siang tadi dan sementara itu belum
kuketahui bahwa kau adalah tunanganku sejak kecil, sebenarnya
hatiku sudah terpikat sehingga diam-diam aku merasa suka
kepadamu. Dan sekarang setelah aku mendapat kenyataan bahwa
kita sejak kecil sudah dipertunangkan oleh orang-orang tua kita,
maka sebagai seorang anak yang mencinta dan berbakti kepada
orang tua, tentu saja aku menurut kepada segala yang menjadi
kehendak orang tuaku, dan dalam perjodohan kita ini……. tentu
saja akupun setuju…..”

“Akan tetapi……. kalau pilihan orang tuamu jatuh kepada seorang


yang tidak kau sukai, apakah kau akan menurut juga?” tanya Bun
Liong seakan-akan ingin menyelami isi hati tunangannya.

426
Yang Hoa menggelengkan kepalanya dan suaranya penuh
kepastian tatkala ia berkata, “Tidak! Betapapun besarnya rasa
baktiku terhadap orang tua yang segalanya harus dipatuhi, akan
tetapi dalam hal perjodohan, kalau aku sendiri tidak setuju, pasti
kutentang!”

“Kalau begitu…… jadi…… jadi kau suka padaku?” tanya Bun Liong
sambil menggeserkan duduknya sehingga rapat dengan si gadis
dan pegangan tangannya tambah dipererat.

Kembali Yang Hoa menunduk.

Bun Liong tak sabar menunggu jawaban si nona yang hanya


menunduk dan membisu maka ia mendesak dengan suara
gemetar dan lirih: “Yang Hoa, adikku, bilanglah terus-terang.
Cintakah kau padaku? Jawablah dengan geleng atau angguk!”

Yang Hoa mengangkat mukanya lagi, matanya yang indah itu


ditatapkan kepada mata tunangannya dan kemudian ia
mengangguk perlahan.

“Betul-betulkah kau cinta padaku dan rela menjadi isteriku? Ingat


adikku, aku seorang miskin dan jika kau menjadi isteriku, maka kau
akan hidup serba kekurangan dan sengsara.”

427
“Koko, jangan kau berkata begitu! Apakah kau anggap aku ini gadis
mata duitan yang cintanya hanya berdasarkan atas harta
kekayaan? Koko, orang bijaksana pernah mengatakan bahwa
kebahagiaan rumah tangga tidak semata-mata bergantung pada
banyaknya harta kekayaan. Oleh karena itu, koko, biarpun akan
menderita hidup miskin, percayalah bahwa di sampingmu aku akan
berbahagia!”

Bun Liong menarik lengan Yang Hoa sehingga gadis itu tersentak
dan jatuh bersandar ke dadanya yang bidang.

Dengan sangat mesra ia berbisik di dekat telinga tunangannya,

“Adikku yang kucinta, adikku yang bijaksana dan berhati mulia!


Tahukah kau bahwa ketika tadi ibuku membicarakan perjodohan
kita ini aku merasa amat kecil hati karena takut kalau-kalau kau
akan sengsara. Sekarang, setelah kudengar pernyataanmu, hatiku
puas dan aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku,
aku berani menempuh gelombang penderitaan yang
bagaimanapun hebatnya…….”

Yang Hoa meramkan matanya, dan dengan hati berdebar-debar


penuh kebahagiaan, ia menyandarkan punggung dan kepalanya di
dada tunangannya.

428
Angin malam berhembus sepoi-sepoi basah, memberi kesejukan
kepada sepasang calon suami isteri yang duduk rapat
berdampingan dengan penuh kehangatan itu. Untuk beberapa saat
mereka tidak berkata-kata karena keduanya sedang hanyut dalam
alunan asmara, dibuai kasih yang mesra. Kedua teruna itu
membisu dalam seribu basa.

Si gadis bersandar di dada tunangannya sambil memeramkan


mata. Si perjaka duduk sambil tangan kanannya menggenggam
tangan si gadis dan jari-jari tangan mereka saling meremas,
sedangkan lengan kirinya dipelukkan kepada pinggangnya yang
ramping. Wajahnya menengadah ke angkasa cerah memandang
bintang-bintang yang berkilau-kilau.

Tetapi tiba-tiba Bun Liong tersentak kaget karena dilihatnya di ufuk


timur dari langit yang cerah itu, membayang cahaya merah seakan-
akan kaki langit terbakar!

“Adikku, lihatlah di kaki langit sebelah timur itu!” desisnya segera.

Yang Hoa yang sedang meram menikmati hikmahnya kemesraan


asmara, tersentak dan segera memandang ke arah timur.

“Kebakaran……. koko?”

429
“Benar! Rupanya gerombolan garong mendatangi kota Tong-koan
dan malam ini entah berapa rumah lagi yang dibumi hanguskan
oleh mereka!”

“Benar-benar komplotan garong itu harus segera diganyang!” desis


Yang Hoa sambil mengertakkan giginya mencerminkan hatinya
yang dipenuhi kegemasan.

“Ya, mulai besok, setelah Pauw-an-tui dibentuk dan barisannya


diatur, pengganyangan dapat segera dilakukan…..! Mudah-
mudahan kekuatan Pauw-an-tui akan dapat mengatasi kekuatan
komplotan manusia-manusia biadab itu……! Tetapi……” tiba-tiba
Bun Liong menghentikan kata-katanya dan ia mengeluarkan
keluhan…….

“Tetapi, apa koko? Dan mengapa pula kau mengeluh?” tanya Yang
Hoa yang merasa heran ketika melihat sikap tunangannya berubah
dan wajahnya tiba-tiba muram.

“Hatiku kembali merasa cemas seperti tadi, adikku. Kalau-kalau


aku tidak bisa kawin denganmu karena siapa tahu, kalau dalam
menjalankan tugas yang penuh bahaya itu, aku…….”

“Ah, kembali kau dimomoki oleh perasaan cemasmu,” tukas Yang


Hoa dan ia meneruskan kata-katanya untuk memberi semangat
430
dan membesarkan hati calon suaminya yang sangat menyintanya
itu: “Dan misalnya kau benar-benar sampai gugur di medan tugas
yang penuh bahaya maut itu, biarlah, kitapun akan mati bersama!”

“Apakah yang kau maksudkan, adikku?” tanya Bun Liong yang


belum mengerti maksud perkataan tunangannya. Ia memandang
wajah dara itu dengan mengerutkan dahinya.

“Kumaksudkan ialah, bahwa aku akan turut berjuang di


sampingmu. Besok, aku akan pergi bersamamu menghadap Cio
wan-gwe dan menyatakan bahwa aku akan menjadi anggauta
Pauw-an-tui.

“Siapa tahu, kalau disamping kusumbangkan sedikit kepandaianku


dalam perjuangan mulia ini, aku berhasil juga menemukan
pembunuh-pembunuh ayahku yang sangat boleh jadi terdapat di
antara gerombolan yang akan kita ganyang itu!”

“Tekadmu sangat kupuji, adikku!” kata Bun Liong gembira.


“Sungguh aku harus merasa bangga dan berterima kasih, karena
selain cantik jelita calon isteriku berhati bijaksana, bahkan
merupakan pula seorang lihiap (pendekar wanita) yang gagah
perkasa!”

431
Yang Hoa menyambut kegembiraan dan kebanggaan
tunangannya hanya dengan senyum manis.

Keesokan harinya, hari masih agak pagi ketika Souw Bun Liong
bersama Ho Yang Hoa sudah duduk dalam pertemuan dengan Cio
Song Kang wan-gwe, Can Po Goan kauw-su dan Lu Sun Pin si
Pagoda Besi. Mereka ini yang dapat disebut sebagai tokoh-tokoh
penting dalam organisasi yang dinamakan Pauw-an-tui, duduk
mengitari sebuah meja bundar di ruangan tamu dalam gedung Cio
wan-gwe yang besar dan mewah. Di atas meja bundar tersebut
sudah dihidangkan oleh beberapa orang pelayan hidangan-
hidangan pagi yang masih hangat dan persis di tengah-tengah
meja, terdapat sebuah guci, berisi arak wangi yang mahal.

Mula-mula ketiga orang tua itu heran melihat Bun Liong hadir
bersama seorang wanita yang masih begitu muda dan cantik jelita,
akan tetapi kemudian setelah Bun Liong menerangkan kepada
mereka bahwa gadis yang, kini duduk di sebelahnya itu adalah
calon isterinya yang juga ingin menyumbangkan tenaganya dalam
Pauw-an-tui, maka mereka menjadi gembira dan puas.

“Nona, aku merasa berterima kasih sekali atas perhatianmu


kepada organisasi ini yang akan segera kami bentuk supaya mulai
hari ini juga dapat segera bekerja. Mudah-mudahan turut sertanya

432
kau dalam Pauw-an-tui ini dapat menjadi teladan bagi para lihiap-
lihiap agar organisasi kita bertambah kuat,” demikian ujar Cio wan-
gwe selaku panitia, kepada Yang Hoa.

Yang Hoa yang sejak tadi memperhatikan wajah Cio wan-gwe, Lu


Sun Pin dan Can Po Goan karena pada kesempatan inipun nona
itu selalu mencoba mencari pembunuh ayahnya, ketika mendengar
perkataan Cio wan-gwe yang ditujukan kepadanya tadi, segera
bangkit dari duduknya dan memberi hormat dengan menjura.

“Tayjin yang mulia, tiada yang harus diterimakasihkan dengan turut


sertanya siauwli dalam Pauw-an-tui karena siauwli yang lemah
sangat mungkin sama sekali tidak berguna dalam menghadapi
konfrontasi dan mengganyang komplotan garong itu,” kata nona
itu.

Cio wan-gwe ketawa puas mendengar ucapan yang merendah dari


Yang Hoa, dan sebagai ahli silat yang mempunyai penglihatan
tajam, ia maklum bahwa dibalik kecantikannya, gadis itu memang
berisi.

Akan tetapi Lu Sun Pin yang mempunyai sifat jumawa berlainan


pendapat dengan Cio wan-gwe, si Pagoda Besi memandang

433
rendah sekali kepada Yang Hoa, dara yang tampaknya lemah
lembut sikapnya itu.

“Nona,” kata si Pagoda Besi, “Kalau memang kau sudah merasa


bakal tiada berguna dalam organisasi kami ini, maka kunasehatkan
bahwa sebaiknya kau tidak usah turut serta dalam pekerjaan kami
yang penuh bahaya ini.”

Dari cerita calon suaminya semalam, Yang Hoa sudah maklum


bahwa orang she Lu ini bertabiat kasar dan sombong. Maka ketika
mendengar ucapan si Pagoda Besi yang kedengarannya
menasehati dan bermaksud baik, namun disamping itu dapat juga
diartikan sangat menghinanya.

Yang Hoa yang memang berhati keras jadi agak mendongkol.


Tetapi dara ini dapat menekan perasaan hatinya dan menyahut
ramah:

“Lu sianseng, terimakasih atas nasehat dan rasa selempang dari


hatimu. Akan tetapi, siauwli akan merasa kecewa sekali kalau tak
dapat menjadi anggauta Pauw-an-tui dan turut berjuang bersama-
sama dengan calon suamiku.

“Tentang bahaya, memang telah kumaklumi, sehingga tak usahlah


Lu sianseng terlalu mengkhawatirkan.”
434
“Tetapi pekerjaan kami jadi tambah repot, oleh karena selain harus
bertempur dalam pengganyangan kaum gerombolan, kamipun
harus pula melindungimu, nona,” kata Lu Sun Pin yang tetap
memandang remeh kepada gadis itu.

Sementara itu Bun Liong sudah merasa khawatir kalau-kalau


tunangannya yang keras hati itu akan bentrok dengan si Pagoda
Besi yang mempunyai tabiat suka memandang rendah kepada
orang, akan tetapi tiba-tiba Can Po Goan, guru silat bekas tentara
yang jangkung kurus tampil ke depan dan berkata:

“Saudara Lu biarpun kata-katamu sangat beralasan, namun kurasa


kau tak usah terlampau selempang kepada nona calon isteri pang-
cu kita ini dan menurut pendapatku, percayalah, bahwa sebagai
calon isteri Souw sicu tentu tak kan sudi turut serta dalam
pekerjaan yang penuh bahaya, kalau ia tidak memiliki kepandaian
yang sudah dijadikan andalannya. Pula, aku percaya bahwa Souw
sicu sendiri akan sanggup melindungi calon isterinya.”

Bun Liong merasa lega dan Yang Hoa pun merasa berkurang
kemendongkolan hatinya karena ucapan Can kauw-su selain
memuji kepadanya secara tak langsung, berarti juga bantahan
yang amat mengena bagi bekas satrunya, Lu Sun Pin.

435
“Benar!” Cio wan-gwe nyeletuk, “Biarlah soal ini kita serahkan
kepada Souw sicu saja, disamping itu tentu saja kita harus merasa
gembira menerima bantuan dari seorang lihiap. Nah, sekarang kita
mulai mengadakan perundingan untuk menyusun dan mengatur
cara kerja perkumpulan kita, dan aku harap Souw sicu sebagai
ketua mengeluarkan saran-saran terlebih dahulu.”

“Maaf, Cio tayjin,” kata Bun Liong, “sesungguhnya siauwtee tak


dapat menempatkan diri sebagai ketua, dan istilah pang-cu
samasekali tidak cocok dengan siauwtee yang masih sangat hijau
ini.

“Kedudukan pang-cu yang cuwi berikan kepada siauwtee ini


sebenarnya hanya secara kebetulan saja karena kemarin siauwtee
kebetulan berhasil mengalahkan Ciam Tang si Srigala Hitam dan
Bong Pi serta Bu-kiam si Dua Buaya Sungai Kuning. Padahal
kepandaianku tidak jauh selisihnya dengan kepandaian dari kalian
tiga orang tua.

“Sedangkan dalam hal pengalaman, terus terang saja siauwtee


jauh kalah oleh sam-wi (kalian bertiga), terutama oleh Can lopeh
dan Lu sianseng yang sudah mempunyai nama besar dan amat
terkenal di kalangan kang-ouw. Oleh karena itu, maka kedudukan
ketua sama sekali tak sesuai ditempati olehku dan kuserahkan

436
kepada seorang di antara sam-wi saja, sedangkan siauwtee sendiri
lebih suka menjadi anggauta saja.”

Ke tiga orang tua itu agak tercengang dan mereka termenung


sejenak menganalisa gagasan pemuda itu dan betapapun juga
akhirnya mereka mengakui bahwa alasan Bun Liong memang
dapat dibenarkan, bahwa selaku ketua dari sebuah perkumpulan,
apalagi perkumpulan Pauw-an-tui yang merupakan organisasi
massa, tidak bergantung kepada tingginya ilmu silat saja,
melainkan harus mempunyai syarat-syarat lain lagi yang penting.

Melihat betapa ke tiga orangtua itu berdiam saja dan sama-sama


mengerutkan kening. Bun Liong segera berkata: “Siauwtee rasa,
karena organisasi kita dipelopori oleh Cio tayjin, maka yang paling
tepat Cio tayjinlah yang menjadi ketua.”

“Akur!”, kata Lu Sun Pin setengah berseru, “Memang Cio wan-gwe


lah yang paling tepat!”

Dan reaksinya, terdengarlah Cio wan-gwe membantah keras:


“Tidak bisa, tidak bisa! Mana ada aturan seperti ini? Biarpun
organisasi ini boleh dibilang aku yang menelurkan, tapi untuk
menjadi ketua, benar-benar aku merasa tak sanggup!”

437
Kembali semua orang diam. Bun Liong yang cerdik maklum bahwa
kedudukan ketua sebuah perkumpulan adalah sangat berat
tanggung-jawabnya, sehingga Cio wan-gwe juga tidak mau, sama
halnya dengan dia sendiri. Maka pemuda ini lalu berkata dan
sengaja ditujukan kepada si Pagoda Besi terlebih dulu: “Kalau
begitu, Lu sianseng saja kita angkat bersama menjadi pangcu.”

Tiba-tiba si Pagoda Besi itu mendelikkan matanya yang besar.

“Tidak, tidak! Untuk menjadi ketua orang harus memiliki


kebijaksanaan, kesabaran dan pemandangan yang luas! Aku
sama sekali tidak bijaksana, tidak mempunyai kesabaran,
berpemandangan cupat dan lagi tingkat kepandaianku berada di
bawah tingkat kepandaian saudara Can. Saudara Can orangnya
memiliki kesabaran, kebijaksanaan dan pengalamannya sebagai
bekas tentara tentu lebih masak daripada kita, maka kurasa tidak
ada orang lain di antara kita yang lebih cakap kecuali saudara Can
yang pantas menjadi ketua!”

Can Po Goan menggelengkan kepala sambil menarik napas


panjang, dan kemudian ujarnya: “Kemarin, dengan disaksikan oleh
khalayak ramai Souw sicu secara mutlak dinyatakan sebagai
ketua, maka kuanggap Souw sicu lah yang harus menjadi ketua
dan tidak bisa ingkar dari kedudukan ini.”

438
Diam-diam Yang Hoa merasa geli hati melihat dan mendengar
orang itu dan memang sanggah perbantahan dari satu terhadap
yang lain amat beralasan.

Setelah mendengar betapa Can kauwsu akhirnya melemparkan


kembali kedudukan ketua kepadanya, benar-benar kepala Bun
Liong sangat pusing. Karena pemuda ini menyadari bahwa dirinya
masih terlalu hijau dan sama sekali belum mengerti tentang
organisasi, apalagi harus menjabat kedudukan ketua!

Kalau dipaksakan juga menerima kedudukan ini, bagaimana kalau


nanti terjadi kekusutan karena salah urus, salah tindak, yang
akibatnya bukan saja merugikan perkumpulan, tapi juga dijadikan
buah cemoohan. Dan bahkan sangat mungkin ia akan mendapat
teguran keras dari gurunya!

Kemaren Bun Liong merasa gembira dan bangga dapat merebut


kedudukan ketua Pauw-an-tui dan gelar Tong-koan Ho-han. Akan
tetapi sejak semalam ia merundingkan soal ini dengan calon
isterinya yang biarpun masih sangat muda tapi ternyata
mempunyai kecerdasan luar biasa dan berpemandangan luas.

Maka sadarlah Bun Liong bahwa kebanggaan yang diperolehnya


sama sekali tak dapat dibenarkan. Karena, menjadi seorang ketua

439
atau pemimpin, — kata calon isterinya bukan saja berat tanggung
jawab, juga resikonya sangat besar, salah sedikit saja nama
baiknya akan jatuh ke dalam jurang yang memalukan!

Itulah sebabnya mengapa kini Bun Liong merasa keberatan


menjadi ketua Pauw-an-tui dan ia menyatakan lebih suka menjadi
anggauta saja. Akan tetapi kenyataannya, setelah ia menyerahkan
kedudukan ketua kepada Cio wan-gwe, kemudian kepada Lu Sun
Pin yang lalu menunjuk Can Po Goan yang akhirnya menunjuk
kepada dirinya pula, benar-benar Bun Liong merasa boh-wat
(hilang akal)!

Akan tetapi, biarpun Bun Liong sangat bingung, berkat


kecerdikannya dapat juga berkata sebagai pernyataan menerima
akan tetapi sekaligus merupakan tangkisan:

“Can lopeh amat licin sehingga soal ini dilempar kembali kepada
siauwtee!” ujarnya sambil tersenyum. “Dan kalau sam-wi benar-
benar memaksa siauwtee harus menduduki tempat ketua, baiklah,
siauwtee terpaksa harus menerimanya juga…….”

“Bagus! Bagus!” seru ke tiga orang tua itu dengan gembira karena
mereka bebas dari persoalan yang amat berat tanggung jawabnya
itu.

440
“Nanti dulu…….!” Bun Liong menukas segera sehingga ke tiga
orang tua yang baru saja kegirangan serempak memandang
dengan heran kepada pemuda ini.

“Dengarlah dan maafkanlah siauwtee karena secara terus terang


mesti menyatakan bahwa sam-wi ini tidak mau berpikir secara luas.
Sebagaimana pernah tadi siauwtee katakan, bahwa siauwtee ini
tak lebih dari seorang pemuda yang hijau, dan kalau kalian
memaksakan juga menjadi ketua, sam-wi sekalian harus berpikir,
bahwa kebaikan apakah yang dapat siauwtee lakukan?

“Paling-paling siauwtee akan berbuat serampangan menurutkan


pergolakan darah muda yang panas dan berdasarkan kebodohan
siauwtee. Dan kalau terjadi kekalutan dalam organisasi kita ini
sebagai akibat dari tak becusnya pucuk pimpinan dan andaikata
sampai terjadi hal yang sebaliknya misalnya organisasi kita yang
diganyang oleh komplotan penjahat itu siapakah yang
dipersalahkan dalam hal ini?

“Nah, inilah sebabnya maka siauwtee sangat mengharapkan sam-


wi sekalian mempertimbangkan masalah kedudukan ketua ini
masak-masak dan jangan mengambil keputusan serampangan
belaka sehingga kelak akan menyesal, rugi dan mendapat malu
besar!”

441
Kembali tiga orang tua itu diam dan saling berpandangan dengan
wajah bodoh. Benar juga gagasan pemuda she Souw ini, pikir
mereka. Keadaan di ruangan sepi, karena ke tiga orang tua itu
seperti terbentur pada jalan buntu!

Adapun nona Yang Hoa yang sejak tadi sudah merasa geli hati
melihat persoalan ketua ini yang agaknya amat membingungkan
bagi mereka yang bersangkutan, lalu berpaling kepada Bun Liong
yang duduk di sebelahnya dan pemuda itupun menoleh dan
memandang kepadanya.

Dari sinar mata tunangannya, Yang Hoa dapat membaca isi


hatinya bahwa ia meminta bantuan kepadanya untuk mencari jalan
keluar dari masalah yang amat sulit ini. Yang Hoa menggerakkan
alisnya ke atas seakan-akan ia bertanya kepada tunangannya
apakah ia boleh mengeluarkan pendapat untuk membantunya.

Dan sebagai jawaban Bun Liong menggedikkan kepala ke arah ke


tiga orang tua itu sebagai isyarat bahwa gadis tunangannya yang
mempunyai kecerdasan luar biasa ini boleh bicara. Yang Hoa
tersenyum manis dan ia berkata kepada ke tiga tokoh penting dari
Pauw-an-tui yang masih termangu-mangu itu.

442
“Sam-wi sekalian! Maafkanlah kalau siauwli berani bersikap
lancang, karena siauwli tahu bahwa seharusnya siauwli selaku
anggauta bawahan, turut duduk dan ikut bicara di sini. Akan tetapi,
mendengar persoalan kedudukan ketua ini yang membuat kalian
nampak kebingungan dan lagi siauwli mendapat isyarat dari
tunanganku yang minta bantuan unkuk mencari jalan keluar dari
kesulitan ini, maka perkenankanlah siauwli menyumbangkan
sedikit pendapat.”

Serempak, tiga orang tua itu memandang kepada gadis itu tanpa
berkata-kata dan hal ini dianggap oleh Yang Hoa sebagai isyarat
bahwa ia boleh bicara terus.

“Biarpun siauwli hanya seorang anak perempuan dusun dan bodoh


dan sama sekali belum mengerti urusan perkumpulan atau
organisasi, namun dari buku-buku yang siauwli pernah baca
(sengaja ia tidak menyebutkan bahwa buku-buku yang pernah
dibaca sebenarnya adalah kitab-kitab ketika ia bermukim di kuil
Thian-an-si), di antaranya siauwli masih ingat buku tentang
pedoman organisasi dan perkumpulan sehingga siauwli tahu
sedikit peraturan dan syarat-syaratnya.”

“Bagus, katakanlah segera!” Kata Cio wan-gwe dengan sinar mata


yang penuh harapan.

443
“Beginilah…….,” Yang Hoa melanjutkan ucapanya. “Tadi kudengar
bahwa seorang yang menjadi ketua harus memiliki kesabaran,
kebijaksanaan, berpemandangan luas dan ilmu silatnya tinggi, dan
pendapat kalian ini memang tepat sekali.

“Menjadi ketua harus memiliki kesabaran, kebijaksanaan dan


berpemandangan luas, sebenarnya sudah terdapat pada Can
lopeh. Pengalaman tempur yang dahsyat dan kegagahan, sudah
dimiliki oleh Lu sianseng yang berjuluk Pagoda Besi yang tentunya
sudah mempunyai pergaulan luas di dunia kang-ouw.

“Dan karena organisasi ini bersifat penjaga keamanan dan


bermaksud menumpas komplotan gerombolan, maka orang yang
menjadi ketuanya harus memiliki kepandaian yang sesuai dengan
sifat perkumpulan, yaitu kepandaian bu (silat) dan menurut apa
yang siauwli dengar tadi hal ini dimiliki oleh koko Bun Liong setelah
berhasil menjadi juara dari pertandingan pibu yang dilangsungkan
di depan gedung kemaren.

“Ke tiga macam syarat tadi sudah dimiliki oleh tiga orang di antara
cuwi dan sekarang menurut pengetahuan siauwli setelah tiga
syarat tadi harus ditambah lagi syarat keempat yaitu keuangan!
Sebuah perkumpulan atau organisasi harus cukup kuat
keuangannya agar perkumpulan yang dibentuknya pun kuat.

444
Apalagi di dunia ini segala sesuatu kekuatan dan kehormatan
selalu dipandang dari segi keuangan!

“Dan demikian juga bagi orang yang menjadi kepala atau pemimpin
dari sebuah perkumpulan, disamping harus memenuhi tiga syarat
yang telah disebutkan di atas, juga yang sangat penting, harus kuat
keuangannya, yakni tegasnya seorang hartawan, agar dihormati,
disegani dan badan yang dipimpinnya dapat bekerja lancar.

“Dan syarat keempat ini dimiliki oleh Cio tayjin. Dengan adanya ke
empat syarat yang sudah dimiliki oleh kalian berempat maka apa
sukarnya untuk mengatur siapa yang pantas menjadi pang-cu
Pauw-an-tui ini?

“Daripada saling tunjuk yang tiada putusnya, bukankah lebih baik


kalau sekarang dibentuk ketua gabungan yang terdiri dari empat
orang? Kalian berempat dapat memegang jabatan sebagai ketua
gabungan ini, selain lebih kuat, juga memperlambangkan
persatuan dan kerjasama yang baik dalam perkumpulan, memberi
tauladan kepada semua anggauta! Bagaimana pendapat dan
pikiran kalian dengan usul yang siauwli sumbangkan ini?”

Ke tiga orang tua itu saling berpandangan sebentar. Wajah Cio


wan-gwe nampak berseri, Lu Sun Pin memandang Yang Hoa

445
dengan matanya yang terbuka lebar seolah-olah ia tidak percaya
bahwa usul itu keluar dari mulut si nona, sedangkan Can Po Goan
mengangguk-angguk kecil.

“Aku sependapat dengan nona dan memanglah kalau di antara


masing-masing merasa keberatan menjadi ketua, maka lebih baik
kita berempat dijadikan ketua gabungan,” komentar Cio wan-gwe
kemudian dan hartawan ini lalu bertanya kepada Lu Sun Pin yang
duduk di sebelahnya: “Bagaimana pikiranmu, Lu-tee dan juga kau
Can kauw-su?”

“Aku setuju,” sahut si Pagoda Besi.

Dan Can Po Goan menyusul memberi suara: “Memanglah tiada


cara yang lebih sempurna selain kita harus menjadi ketua
gabungan!”

“Dan Souw sicu, bagaimana?” tanya Cio wan-gwe terhadap Bun


Liong yang diam-diam mengagumi kecerdasan tunangannya.

“Siauwtee merasa gembira dan berterima kasih kalau sam-wi


menyetujui usul dari Yang-moay ini,” jawab Bun Liong.

446
“Bagus!” ujar Cio wan-gwe gembira. “Kita harus berterima kasih
kepada nona calon isteri Souw sicu ini, karena kalau tiada dia di
sini, pasti kita akan terus saling tunjuk tiada putusnya seperti tadi.

“Nah, sekarang, setelah persoalan yang membingungkan kita tadi


itu dapat dipecahkan dengan hasil yang sempurna, maka marilah
kita merundingkan bersama bagaimana cara dan baiknya
mengatur anggauta-anggauta barisan keamanan kita ini supaya
gerombolan garong itu dapat di atasi kebrutalannya, bahkan tujuan
organisasi kita ini mengganyang mereka sampai habis! Dan tentu
saja kita sangat mengharapkan buah pikiran dan usul-usul dari
nona.”

Demikianlah, mereka berlima terus berunding dan dalam


perundingan ini ternyata rancangan dari Can Po Goan yang
mereka jadikan pedoman, karena guru silat bekas tentara ini
memang sangat paham tentang menyusun barisan, mempunyai
banyak siasat untuk membendung, mengepung dan menggempur
musuh!

Perundingan kilat yang dilakukan dalam musyawarah kecil itu


diakhiri oleh mereka sambil mengganyang santapan pagi yang
sudah terhidang itu sampai licin tandas, sebagai lambang bahwa

447
komplotan garong yang akan mereka ganyang itu, pasti terkikis
habis!

Sementara itu di luar gedung, di pelataran depan di mana kemaren


berdiri panggung lui-tay yang kini ternyata sudah dibongkar, telah
banyak berkumpul pemuda-pemuda yang datang dari seluruh
wilayah Tong-koan. Jumlah mereka sangat besar sekali dan jauh
lebih banyak dari jumlah orang-orang yang menonton pibu
kemaren. Mereka datang berbondong-bondong dan semuanya
sebagai sukarelawan untuk mendaftarkan diri menjadi anggauta
Pauw-an-tui.

Dan orang-orang yang sibuk mendaftarkannya, terdiri dari Tan


Seng Kiat, Kwe Bun (murid-murid dari Can kauw-su), Sim Kang Bu,
So Ma Tek (murid-murid dari Lu Sun Pin) dan dibantu oleh Cio Swi
Ho, putera tunggal Cio wan-gwe. Para anak muda yang tadinya
saling bermusuhan ini, sekarang bekerja sama dan sibuk mencatat
nama-nama para calon anggauta yang datang berbondong itu.

Mereka duduk menghadapi sebuah meja panjang dan


kelihatannya akur sekali seakan-akan sebelumnya tidak pernah
terjadi permusuhan yang hebat. Para anak muda ini, setelah
berakhirnya pibu kemaren dan melihat betapa guru-guru mereka
menjadi akur, maka merekapun mencontoh perbuatan gurunya

448
yang memang memberi nasehat pada mereka bahwa permusuhan
yang tidak semestinya itu harus diakhiri.

Para anak murid Can kauwsu maupun Lu Sun Pin memang sangat
mentaati guru-guru mereka, dan itulah sebabnya maka hari itu
mereka bekerja sebagai pencatat nama orang-orang yang
menyatakan diri menjadi anggauta Pauw-an-tui. Disamping
kesibukannya, mereka bekerja dengan wajah yang berseri-seri
karena mereka sadar bahwa kini mereka sudah sama-sama
menjadi kawan sehaluan untuk menggalang persatuan dan tekad
yang sama, yaitu mengganyang musuh-musuh mereka, musuh-
musuh masyarakat wilayah Tong-koan umumnya, yaitu
gerombolan garong dan komplotan bajak sungai!

◄Y►

Cahaya merah yang terlihat oleh Bun Liong dan Yang Hoa
semalam memang perbuatan komplotan penjahat tersebut yang
untuk kesekian kalinya kembali mengunjukkan keganasannya.
Beberapa rumah penduduk di pinggir kota Tong-koan telah
dibakar, harta benda rakyat jelata habis digasak, dan dua orang
gadis muda hilang diculik!

449
Peristiwa semacam ini memang bukan rahasia lagi bagi seluruh
penduduk wilayah Tong-koan, tapi peristiwa yang terjadi malam itu
agaknya disebabkan karena komplotan garong tersebut ingin
melampiaskan dendam mereka setelah Ciam Tang si Srigala
Hitam, Bu Kiam dan Bong Pi dikalahkan oleh Bun Liong di atas
panggung lui-tay pada siang harinya. Mereka mengunjukkan aksi
mereka sebelum barisan keamanan dibentuk dan beberapa orang
penduduk sempat mendengar teriakan-teriakan dan sesumbar
mereka:

“Mana Pauw-an-tui…….?!”

“Mana perlawanan dari mereka?!”

“Hahaha, Pauw-an-tui tahu empuk……!!”

Hal ini benar-benar merupakan tantangan dan penghinaan yang


hebat bagi Pauw-an-tui!

Itulah sebabnya, maka ketua gabungan yang merupakan Catur-


tunggal dari Pauw-an-tui, setelah selesai berunding pada pagi hari
itu merasa perlu untuk segera mengerahkan tenaga barisan
keamanan yang mereka pimpim mulai hari itu juga. Pemimpin
Catur-tunggal ini mengatur bagaimama wilayah Tong-koan harus
dijaga.
450
Tan Seng Kiat dan Sim Kang Bu serta para suteenya, diangkat
menjadi pemimpin regu. Para anggauta Pauw-an-tui yang ternyata
sangat banyak jumlahnya itu diatur dan diharuskan supaya
menjaga dusun-dusun tempat tinggal masing-masing dengan
dipimpin dan dibantu oleh kepala-kepala regu yang sudah ditunjuk
dan mereka diwajibkan mengadakan perlawanan apabila
komplotan musuh memperlihatkan batang hidungnya!

Demikianlah sejak hari dan malam itu seluruh pelosok wilayah


Tong-koan telah dijaga oleh anggauta-anggauta Pauw-an-tui.
Sebagian besar orang-orang lelaki dengan membekal senjata yang
ada pada mereka melakukan penjagaan dengan waspada dan siap
siaga.

Biarpun kebanyakan mereka terdiri dari penduduk biasa dan tidak


bisa main silat, akan tetapi oleh karena semuanya setuju dengan
tujuan organisasi Pauw-an-tui dan ditambah lagi mereka dipimpin
oleh kepala-kepala regu yang mengerti ilmu silat, maka semangat
dan keberanian mereka bangkit sehingga menimbulkan tekad yang
bulat untuk bertempur mati-matian dengan gerombolan musuh
mereka dan musuh seluruh masyarakat wilayah Tong-koan!

Semenjak masih sore, rumah-rumah telah menutup pintunya dan


semua orang lelaki berada di luar rumah melakukan penjagaan,

451
sedangkan para wanita dan anak-anak bersembunyi di dalam
rumah dengan hati berdebar-debar. Setiap bunyi gaduh yang
terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus maupun kucing, membuat
mereka pucat ketakutan.

Seluruh wilayah Tong-koan dalam keadaan tegang, karena kalau


biasanya gerombolan-gerombolan datang merajah hanya akan
menimbulkan kerugian bagi mereka. Kini pasti akan timbul
pertempuran hebat karena semua orang lelaki akan melakukan
perlawanan yang nekad!

Malam itu tidak terlalu gelap. Walaupun tidak berbulan, namun


ribuan bintang di langit cukup memberikan penerangan yang
remang-remang di muka bumi. Pemimpin Catur-tunggal dari Pauw-
an-tui yang dibantu oleh nona Yang Hoa yang tidak mau berpisah
dari calon suaminya dan yang tidak mau diam saja menghadapi
situasi genting ini, telah melakukan kewajiban mereka masing-
masing.

Cio wan-gwe yang pada malam itu telah mengenakan pakaian silat
yang serba ringkas, membekal senjata sebatang toya, dikawani
oleh Lu Sun Pin yang bersenjatakan golok besarnya dan Cio Swi
Ho, yakni putera tunggal Cio wan-gwe, yang membawa senjata

452
sebatang pedang, berjalan berkeliling dengan berpencar
melakukan perondaan di dalam kota.

Sedangkan Can kauw-su, Bun Liong dan Yang Hoa mendapat


tugas meronda di bagian luar kota! Menurut petunjuk dari Can
kauw-su, Bun Liong dan tunangannya harus berkeliling meronda di
pinggir wilayah Tong-koan bagian utara, sedangkan Can kauw-su
sendiri berkeliling meronda di pinggir bagian selatan.

Setiap kelilingnya mereka mesti bertemu di pinggir barat dan timur,


dan setelah itu, mereka berpisah pula untuk terus melakukan
perondaan, mengontrol para anggauta penjaga yang terdapat di
setiap pelosok dan memimpin mereka itu untuk melakukan
perlawanan apabila gerombolan musuh mereka datang
mengganggu! Baik Can kauw-su maupun Bun Liong atau Yang
Hoa, melakukan perondaan itu sambil memainkan kepandaian
ilmu lari cepat masing-masing, sehingga tubuh mereka hanya
nampak berkelebat bagaikan bayangan setan malam!

Akan tetapi sampai jauh malam dan entah sudah berapa belas kali
mereka bertemu di pinggir timur dan barat, sama sekali belum
terlihat gejala-gejala munculnya gerombolan garong itu.

453
“Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita
sudah melakukan penjagaan,” kata Can kauw-su ketika mereka
bertemu pula di atas wuwungan rumah di pinggir barat wilayah
Tong-koan.

“Benar-benar mereka sangat pengecut!” ujar Bun Liong gemas.

Sedangkan Yang Hoa ketika itu nampak sedang membereskan


segumpal rambut yang terjuntai di atas keningnya, yang terlepas
karena tiupan angin malam.

“Memang, tiada perbuatan penjahat yang tidak pengecut, dan


mereka tentu selalu mencari kesempatan dan keuntungan selagi
pihak kita lemah dan lengah. Oleh karena itu, maka betapapun
juga, jangan kita lekas merasa bosan dalam melakukan tugas kita
ini,” kata Can kauw-su setengah memberi semangat kepada dua
teruna itu.

Setelah beristirahat melepaskan lelah sejenak, mereka kembali


menjalankan tugas.

Sudah tiga malam berturut-turut mereka melakukan penjagaan dan


perondaan seperti itu, akan tetapi ternyata gerombolan penjahat
tidak muncul. Hal ini tentu saja membuat segenap para penjaga
jengkel dan lelah dan pula karena tiga malam terus menerus tidak
454
berani tidur dan selalu bergadang, maka semangat dan tubuh
mereka menjadi sangat lesu.

Gejala yang dapat melemahkan kedudukan penjagaan ini dapat


dimaklumi oleh pemimpin Catur-tunggal, dan Can kauw-su berkata
kepada Bun Liong dan tunangannya ketika mereka bertemu pula
di tempat biasanya, yaitu pada malam keempat.

“Kalau keadaan terus-terusan begini, dengan sendirinya


kedudukan kita pasti menjadi lemah dan hal ini sangat berbahaya
sekali, maka besok sebaiknya kita berunding lagi untuk merubah
taktik!”

“Kau benar, Can lopeh,” Bun Liong membenarkan. “Dan menurut


pendapat siauwtee lebih baik kita satroni saja sarang-sarang
mereka dari pada kita bekerja seperti ini yang sama sekali tidak
menguntungkan, bahkan kemungkinan besar kita bisa menderita
kerugian.”

“Ya, posisi bertahan kita agaknya mesti diubah dengan taktik


tempur, karena tujuan kita pun memang hendak mengganyang
habis mereka. Dan lagi…….” Can kauw-su tidak sempat
melanjutkan perkataannya, karena ketika itu tiba-tiba saja ia

455
melihat cahaya api berkobar dikejauhan, yaitu kira-kira di dalam
kota Tong-koan.

“Lihat, api…….! Kebakaran……!!” seruan ini keluar dari mulut Bun


Liong dan Yang Hoa hampir berbareng, karena kedua anak muda
yang selalu waspada inipun telah melihat pula cahaya merah yang
berkobar-kobar dalam waktu yang bersamaan.

“Keparat! Rupanya komplotan manusia biadab itu telah dapat


masuk ke dalam kota di luar tahu kita!” Can kauw-su berteriak
marah dan segera ia mengajak Bun Liong dan tunangannya: “Mari
kita cepat menuju ke sana!”

Maka dengan mengerahkan ilmu lari cepat, mereka segera


berlarian ke arah berkobarnya api itu. Pada waktu itu, tengah
malam telah lama lewat, bahkan telah mendekati fajar. Ketika
mereka sudah mulai memasuki kota, jelas tampak oleh mereka
bahwa cahaya api yang terlihat dari jauh tadi adalah rumah-rumah
di banyak tempat yang telah menjadi lautan api, dan ketika mereka
sudah masuk ke dalam kota, terdengarlah sorak sorai dan pekik
jerit yang campuh sekali!

Dan memanglah pada malam keempat dan setelah mendekati fajar


itu, komplotan perampok telah berhasil memasuki dan menyerbu

456
ke dalam kota Tong-koan tanpa dapat dibendung lagi oleh para
anggauta Pauw-an-tui yang menjaga di pinggir kota. Ternyata
komplotan perampok itu, yang belum diketahui dari pihak
gerombolan si Cakar Harimau atau anak buah dari si Sungai
kuning, atau sangat mungkin dari ke dua-duanya seperti yang
sudah-sudah, telah menyerbu dan memasuki wilayah Tong-koan
dari berbagai jurusan.

Siasat ini membuat para penjaga menjadi kacau-balau dan


kekuatan mereka menjadi terpecah-pecah. Lebih kacau lagi ketika
perampok-perampok dari luar dusun mempergunakan anak-anak
panah yang membawa api, sehingga dengan cepat dan mudah
beberapa buah pondok yang terdekat telah terbakar.

Sebenarnya, para penjaga di garis depan sudah melakukan


pertahanan dan perlawanan dengan bertempur nekad dan mati-
matian sehingga akibatnya, tidak sedikit juga para perampok yang
terluka dan tewas. Akan tetapi kawanan perampok jauh lebih kuat
dan lebih ganas, sehingga pertahanan para anggauta Pauw-an-tui
jadi kewalahan dan bobol.

Dengan demikian maka kawanan perampok bisa masuk dan


menyerbu ke dalam kota dan di sini mereka disambut pula oleh
Barisan Penjaga Keamanan yang mengadakan pertahanan dan

457
perlawanan secara gagah berani! Sebentar saja pertempuran
hebat segera terjadi dan beberapa rumah penduduk jadi terbakar
oleh anak-anak panah berapi yang dilepaskan oleh para
perampok!

Ketika Can kauw-su, Bun Liong dan Yang Hoa tiba di tempat
kekacauan keadaan benar-benar sudah sangat panik. Suara
robohnya rumah-rumah yang dibakar gerombolan demikian
gemuruh bagaikan bunyi bukit runtuh, jerit minta tolong dari wanita-
wanita dan anak-anak penghuni rumah yang terbakar bercampur
dengan teriak dan suara beradunya senjata dari orang-orang yang
bertempur!

“Can lopeh dan juga kau, Yang-moay, lebih baik kita berpencar dan
sebaiknya kalian pergi ke rumah Cio Tayjin, siapa tahu di sana
terbit kekacauan yang lebih hebat dan mereka memerlukan
bantuan! Di sini biarlah aku yang turun tangan!” kata Bun Liong.

Can kauw-su terkejut ketika teringat kepada rumah hartawan Cio


karena mengingat bahwa hartawan itu menjadi pelopor dari Pauw-
an-tui, maka sangat mungkin Cio wan-gwe dan gedungnya
menjadi sasaran utama dari para penjahat ini. Cepat Can kauwsu
berlari ke arah tempat yang dimaksud diikuti oleh nona Yang Hoa

458
setelah memberi pesan kepada tunangannya: “Koko, kau berhati-
hatilah!”

Can kauw-su dan Yang Hoa berlari cepat seperti terbang menuju
ke tempat tinggal Cio wan-gwe. Di tengah perjalanan mereka
membantu para anggauta Pauw-an-tui dan pedang-pedang
mereka membabat para perampok!

Can kauw-su merasa kagum melihat sepak terjang dan kegagahan


nona Yang Hoa yang mengamuk bagaikan singa betina. Setiap kali
pedangnya berkelebat, pasti seorang perampok menjerit dan
roboh, karena dalam jiwa nona ini sudah tertanam kebencian yang
mendalam terhadap segala macam orang jahat!

Sementara Bun Liong bertindak dan turun tangan ketika melihat


tidak jauh di depannya ada empat orang anggauta Pauw-an-tui
sedang mengeroyok dua orang yang berpakaian serba hitam, —
yang menjadi ciri khas dari kaum perampok — yang ilmu silatnya
cukup tinggi sehingga penjaga-penjaga itu terdesak hebat. Dua
orang perampok itu bersenjata golok besar dan ketika Bun Liong
baru saja muncul di antara mereka, seorang anggauta Pauw-an-tui
telah rebah berlumuran darah dan kawannya yang tiga orang lagi
itupun sudah kewalahan sekali.

459
Bun Liong maklum bahwa menghadapi pertempuran yang campuh
itu, lebih praktis ia menggunakan senjatanya. Maka sekali
tangannya merenggut tali pengikat pinggangnya, seutas tali yang
merupakan cambuk itu telah berada di tangannya dan sekali saja
tangannya bergerak, maka terdengarlah bunyi: “Tarrrr……!”

Dua golok di tangan perampok itu terlempar jauh dibuatnya karena


telah disamber, dibelit dan di “lempar”kan oleh cambuk itu. Kaki
dan tangan kirinya menyusul pula bergerak, dan akibatnya
sekaligus dua orang perampok roboh tidak berdaya!

Para penjaga menjadi girang, lalu tubuh kedua perampok itu


dijadikan bulan-bulanan kegemasan dan kemarahan mereka,
dengan dihujani bacokan, pentungan, gebukan dan tendangan
mereka, sehingga mayat musuh seluruh penduduk Tong-koan itu
menjadi hancur luluh dan mengerikan!

Bun Liong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang
perampok yang dikeroyok oleh para penjaga. Dua orang perampok
ini ternyata lebih lihay lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat
orang anggauta Pauw-an-tui yang menggeletak berlumuran darah,
sedangkan lima orang kawannya lagi yang masih mengeroyok,
sudah terdesak sekali.

460
“Serahkan mereka kepadaku!” teriak Bun Liong dan ke lima orang
anggauta Pauw-an-tui itu ketika melihat pemuda yang menjadi
pang-cu mereka datang, segera melompat mundur. Sebaliknya,
dua orang perampok ketika melihat Bun Liong, serempak maju
mengeroyok sambil mempergunakan golok-golok besar mereka.

Dengan mempergunakan kesebatannya Bun Liong berkelit


sehingga dengan mudah dia dapat menghindari serangan dua
batang golok yang seakan-akan hendak menggunting tubuhnya
dari kanan dan kiri itu. Dan berbareng dengan itu iapun
menyabetkan cambuknya memberi serangan balasan dan ternyata
dua orang perampok itu cukup gesit sehingga dapat melayani
untuk beberapa jurus.

Akan tetapi Bun Liong tidak mau membuang banyak waktu untuk
melayani mereka. Ia mainkan cambuknya dengan cepat dan dua
gebrakan kemudian cambuknya kembali telah merampas senjata
perampok tersebut dan pada waktu itu juga terdengar mereka
menjerit, karena yang seorang telah mendapat sodokan kilat dari
kaki Bun Liong yang menghantam lambungnya dan yang seorang
lagi, telah roboh dalam keadaan lemas karena jalan darah hian-hi-
hiat di bawah tenggorokannya telah kena ditotok oleh ujung
cambuk!

461
Para anggauta Pauw-an-tui bersorak gembira sambil menubruk
mereka dan tubuh perampok yang sudah tidak berdaya itu
dijadikan pelepas kemarahan mereka!

Bun Liong lalu melompat ke tempat lain di mana terdengar hiruk


pikuk dari orang-orang yang bertempur dan pemuda ini mendapat
kenyataan bahwa benar-benar komplotan perampok itu amat
cerdik. Mereka bergerak dengan berbareng pada waktu yang sama
sehingga Bun Liong yang baru sekali menghadapi pertempuran
campuh, agak bingung dan sukar sekali baginya untuk membagi-
bagi tenaganya.

Terpaksa ia bekerja cepat dan dengan mengerahkan ginkangnya


yang tinggi. Ia berlari kesana kemari untuk membantu para penjaga
yang terdesak oleh para perampok itu!

Para perampok yang sukar ditaksir jumlahnya itu ketika


mendengar bahwa pemuda yang menjadi pang-cu Pauw-an-tui
telah datang dan mengamuk sehingga banyak kawan mereka telah
jatuh menjadi korban, maka mereka lalu bersatu. Dan ketika Bun
Liong sedang menghadapi keroyokan tiga orang perampok di
dekat tumpukan puing yang masih menyala dari sebuah rumah
penduduk yang dibakar oleh salah seorang kawan mereka,
datanglah enam orang perampok lain dan sebentar saja Bun Liong

462
dikepung dan dikeroyok oleh sembilan orang perampok yang
bersenjata pedang, golok, tombak dan lain sebagainya!

Bun Liong sedikitpun tidak jerih, bahkan sambil menggertak gigi


karena menahan marah, ia segera memainkan ilmu cambuknya
Shan-kong-joan-pian. Cambuk di tangannya bergerak-gerak dan
memnyamber-nyamber bagaikan kilat sambil mengeluarkan suara
“Tar…! Tar….! Tar…..!!” bagaikan bunyi petir kecil yang membelah
suasana.

Dalam menghadapi sembilan orang lawan yang mengeroyoknya


ini, Bun Liong tidak berani berlaku sembarangan dan karena
memang ia ingin bekerja cepat, maka pemuda ini telah
mengeluarkan jurus-jurus dari ilmu cambuknya yang terlihay yaitu
gerak tipu yang disebut Kim-coa-hi-cuy atau Ular Emas Mandi Di
Air! Duakali terdengar bunyi “tar-tarr” dari cambuknya, menjeritlah
dua orang perampok karena muka kedua orang ini telah kena
dihajar oleh sabetan ujung cambuk yang membuat kulit muka
mereka amat sakit dan pedas dan kepala mereka jadi pening.

Senjata yang dipegangnya terlepas dengan sendirinya karena


kedua tangan mereka menutupi wajah mereka yang ternyata telah
pecah dan berdarah. Untuk sesaat mereka berdiri sambil berteriak-

463
teriak kesakitan dan akhirnya keduanya jatuh tersungkur sambil
terus mengaduh-aduh.

Bun Liong meneruskan serangannya. Cambuknya diulur sampai


panjang dan meluncur berlegat-legot seperti seekor ular emas
yang sedang bermain di air dan sekali disentakkan ke belakang,
ujung cambuk itu secara istimewa sekali telah melibat pinggang
tiga orang lawan dan ketika sekali lagi Bun Liong menarik cambuk
itu sambil berseru keras, maka tak ampun lagi tiga orang perampok
serempak roboh terguling saling bertindihan!

Empat orang perampok yang belum kebagian dihajar, seketika


menjadi melongo karena amat kagetnya. Sama sekali tidak mereka
sangka bahwa pemuda itu dalam dua gebrakan saja telah dapat
merobohkan lima orang kawannya. Tapi seorang diantaranya,
yang mempunyai keberanian sangat besar, segera melompat maju
dan golok di tangannya berkelebat bagaikan sambaran halilintar.

Perampok ini merasa pasti bahwa serangannya akan berhasil


karena ia menyerang dari arah belakang pemuda itu. Akan tetapi
ia kecele dan kaget, karena secepat kilat Bun Liong membalikkan
tubuh dan cambuknya terayun menyambut golok.

464
Perampok itu menyabetkan goloknya hendak membabat cambuk
dan ketika goloknya membentur ujung cambuk itu, ia rasakan
tangannya menggetar dan ternyata ujung cambuk itu tidak dapat
terputus oleh sabetan goloknya, bahkan sebelum ia sempat
mengelak, ujung cambuk secara istimewa sekali telah dapat
melibat pinggangnya!

Sebelum ita dapat meronta dan melepaskan diri, terdengarlah Bun


Liong berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya telah ditarik dan
melayang ke udara bagaikan dilontarkan oleh tenaga raksasa. Dan
sial sekali baginya, karena ketika tubuhnya jatuh kembali, persis
menimpa gundukan puing yang masih menyala sehingga ia
berteriak-teriak sambil meronta dan menggeliat, akhirnya ia
mampus dalam keadaan hangus!

Pengeroyok yang tinggal tiga orang lagi, setelah melihat bahwa


kelihayan pemuda itu benar-benar hebat, mereka jadi merasa jerih
dan serempak bagaikan mendapat perintah, ketiganya segera
menggunakan gerak tipu mengangkat kaki seribu alias, lari ngacir!

Tetapi Bun Liong yang sudah marah sekali terhadap musuh yang
dikonfrontasinya tidak mau membiarkan mereka mabur begitu
saja. Cambuknya yang panjang itu segera diayun ke depan dan
terdengar “tar-tar-tar!” tiga kali membuat ke tiga perampok

465
mengeluarkan lengkingan meninggi dan tubuh mereka dalam saat
yang sama jatuh tersungkur dengan hidung mencium tanah.

Selain baju bagian belakang mereka telah robek dan kulit


punggung mereka menjadi pecah dan berdarah terkena sabetan
ujung cambuk, juga ujung cambuk itu setelah menghajar
punggung-punggung mereka langsung meluncur dan berputar ke
bawah sehingga sekaligus membelit kaki-kaki mereka. Dan inilah
yang membuat mereka jatuh tersungkur!

Tentu saja para anggauta Pauw-an-tui menjadi girang luar biasa


melihat hal ini, mereka berebutan maju dan memberi hajaran
tambahan terhadap tubuh-tubuh dari delapan perampok itu! Tiada
hentinya para anggauta Pauw-an-tui memuji kegagahan pang-cu
mereka yang masih muda.

Akan tetapi Bun Liong yang dipuji sudah semenjak tadi pergi dari
tempat itu dan cepat berlari menuju ke gedung Cio wan-gwe, selain
untuk membantu hartawan itu sendiri bersama Lu Sun Pin, dan
Can kauw-su, juga pemuda ini merasa khawatir kalau tunangannya
mendapat bahaya!

Sementara itu Yang Hoa juga menghadapi lawan, bahkan


lawannya lebih berat daripada yang dihadapi Bun Liong. Benar

466
seperti yang menjadi dugaan Bun Liong tadi bahwa rumah Cio
wan-gwe tentu akan menjadi sasaran utama dari serbuan
komplotan perampok.

Dan memang begitulah kenyataannya, ketika Yang Hoa bersama


Can kauw-su tiba di situ mereka melihat pertempuran hebat di
depan gedung Cio wan-gwe! Lima orang perampok sedang
mengamuk dan biarpun Cio wan-gwe telah menjaga rumahnya
dengan sepuluh orang anggauta Pauw-an-tui pilihan yang terdiri
dari murid-murid Lu Sun Pin dan Can kauw-su, tetap tak berdaya
bahkan Yang Hoa melihat bahwa enam orang anggauta Pauw-an-
tui ketika itu sudah rebah sambil merintih-rintih!

Tidak jauh dari tempat pertempuran itu, tampak pula Cio wan-gwe
sedang bertempur mati-matian menghadapi seorang perampok
yang bertubuh tinggi besar. Perampok tinggi besar ini mudah
dikenal oleh siapapun, ialah Ciam Tang si Srigala Hitam yang
memimpin penyerbuan ini!

Ketika itu, permainan toya Cio wan-gwe sudah kacau dan ia sudah
terdesak hebat dan terus didesak oleh Ciam Tang yang
mengeluarkan ilmu goloknya yang benar-benar tinggi. Tidak jauh
dari tempat pertempuran kedua orang ini, tampaklah tubuh Lu Sun
Pin menggeletak berlumuran darah dan sudah tak berkutik.

467
Agaknya Pagoda Besi ini sudah dirobohkan terlebih dulu oleh
pemimpin gerombolan itu!

Tanpa banyak cakap Can kauw-su dan Yang Hoa segera maju dan
menyerbu. Kalau Can kauw-su menghadapi lima orang perampok
yang telah merobohkan enam orang anggauta Pauw-an-tui tadi,
maka Yang Hoa segera menyela di antara pertempuran Ciam Tang
dan Cio wan-gwe.

“Cio tayjin, serahkan bajingan rendah ini kepada siauwli!” seru


nona itu sambil menyabetkan pedang pendeknya ke arah Ciam
Tang.

Cio wan-gwe yang memang sudah terdesak itu girang mendapat


bantuan nona ini, maka segera melompat mundur dari kalangan
tapi bukan untuk istirahat, melainkan pergi membantu Can kauw-
su!

Sambil menggerakkan goloknya menangkis, Ciam Tang ketawa


bergelak.

“Hahaha…….! Pernah kudengar bahwa dalam organisasi Pauw-


an-tui ini terdapat seorang anggauta wanita yang cantik seperti
bidadari, dan kabar itu benar-benar tidak bohong karena
sesungguhnya kau lebih cantik dan lebih gagah dari segala macam
468
bidadari penghuni sorga!” katanya dan sepasang matanya yang
besar memandang kurang ajar.

“Jangan ngaco, manusia bedebah!” maki Yang Hoa marah dan


kembali pedang di tangannya berkelebat menyambar.

“Amboi, amboi, galak benar si manis ini!” balas Ciam Tang sambil
berkelit dan diam-diam ia merasa sayang kalau harus bertempur
dengan gadis secantik itu.

Seketika juga timbullah maksud jahatnya, yaitu ingin menangkap


Yang Hoa hidup-hidup dan menculiknya. Karena ia belum
mengetahui kepandaian si nona sehingga dianggapnya lawan
ringan dan menyenangkan, maka sambil berkelit itu, ia maju
setindak ke depan dan tangan kirinya secepat kilat mengulur
hendak menotok jalan darah di pinggul si nona.

Yang Hoa maklum maksud keji dari pemimpin gerombolan ini,


maka dengan marah ia menyabetkan pedangnya dan kalau saja
Ciam Tang tidak berlaku gesit dan cepat menarik kembali
tangannya, pasti tangan itu akan terbabat!

“Ciam Tang, manusia sesat! Apakah kau masih belum kapok


setelah dihajar adat oleh calon suamiku di atas panggung lui-tay
tempo hari sehingga kau jatuh dari panggung seperti seekor anjing
469
buduk kena tendang, maka kini kau membawa anak buahmu
datang lagi kemari hendak mencari mampus?!” Yang Hoa memaki
pula dan diam-diam ia mengagumi kegesitan si Srigala Hitam.

“Apa? Pemuda sombong itu calon suamimu?! Pantas, pantas!


Pantas saja calon isterinya pun demikian sombong, berlagak
seperti seorang pendekar wanita!!”

Ciam Tang, ketika bergelak dan katanya pula: “Bagus, kalau


ternyata kau calon isteri dari bocah ingusan yang sudah
menghinaku, maka kaupun berhak menerima pembalasanku!”

Kemudian ia mengeluarkan suara auman seperti seekor harimau


lapar sambil melompat maju dan goloknya yang besar mengirim
serangan dahsyat ke arah Yang Hoa! Memanglah, si Srigala Hitam
ini merasa sakit hati kepada Bun Liong dan penyerbuan malam
inipun hanya untuk melampiaskan dendamnya.

Karena ia belum bertemu dengan Bun Liong, sedangkan sekarang


berhadapan dengan calon isteri musuh besarnya itu, maka ia
merasa cukup pantas kalau nona galak ini menerima
pembalasannya mewakili calon suaminya. Kalau tadi ia bermaksud
menangkap nona ini dan menculiknya untuk kemudian dijadikan

470
permainan, kini maksud itu dibuangnya jauh-jauh dan diganti
dengan nafsu membunuh!

Yang Hoa yang melihat betapa si Srigala Hitam mulai membuka


serangan, cepat miringkan tubuhnya untuk berkelit dan secepat
kilat pedangnya digerakkan mengirim serangan balasan ke arah
kaki lawan sehingga pada detik berikutnya Ciam Tang dan gadis
ini telah terlibat dalam sebuah pertempuran hebat!

Serangan-serangan golok Ciam Tang dilancarkan demikian kuat,


cepat dan ganas! Setelah bertempur sampai belasan jurus ia
mengakui bahwa nona lawannya sangat gesit sehingga sukar
sekali untuk dijadikan sasaran bagi goloknya, maka ia mengganti
taktik dan kini ia selalu mengarahkan goloknya ke pedang si nona,
dengan maksud hendak mematikan pedang lawan alau membikin
pedang itu terlepas dari pegangan. Kalau sudah demikian, ia akan
lebih mudah mencapai kemenangan, pikirnya.

Akan tetapi, ternyata Ciam Tang kecele! Sudah lebih enam kali
goloknya sengaja diadukan dengan pedang Yang Hoa sehingga
menerbitkan bunyi “trang, traannng!” nyaring sekali dan bunga api
berpancaran keluar setiap kali dua batang senjata saling
membentur dengan hebatnya!

471
Disamping merasa kecele, Ciam Tang diam-diam hatinya terkejut
sekali karena bukan saja pedang gadis itu tidak terbabat putus atau
terpental, bahkan ia merasa telapak tangannya bergetar, sakit dan
pedas akibat sambutan tenga lweekang yang amat kuat dari gadis
itu. Untung tenaga gwa-kangnya cukup kuat dan iapun segera
menyalurkan tenaga lweekang agar goloknya tidak sampai
terlepas dari pegangannya, akan tetapi betapapun juga
pengalaman ini sudah cukup mengagetkannya.

Ciam Tang maklum bahwa gadis yang semula dipandang ringan


ini, kini ternyata tidak boleh dibuat sembarangan. Tetapi iapun jadi
penasaran dan marah sekali, maka sambil menggertak gigi ia
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dan memainkan
goloknya dengan lebih dahsyat!

Yang Hoa yang sudah menerima gemblengan matang dari Goat


Im Nionio tetap saja dapat mematahkan semua serangan
lawannya dengan kelincahan, ketangkasan dan ketenangannya
yang mengagumkan.

Ketika pertempuran sudah mencapai jurus ketigapuluh, Ciam Tang


melancarkan serangannya dengan geraktipu-geraktipu yang paling
lihay. Sambil mulutnya berseru keras, ia menggerakkan goloknya
dengan tipu Kim-so-tui-tee (Kunci Emas Jatuh Di Tanah), golok

472
yang besar dan mengkilap tajam itu setelah membuat gerakan
berputar ke atas, tiba-tiba meluncur ke bawah menyentuh tanah
sambil mengeluarkan bunyi “cring!” karena ujungnya yang runcing
mengenai sebutir batu, dan dari bawah golok itu membuat
serangan miring ke atas yang merupakan sabetan maut ke arah
dada Yang Hoa!

Melihat datangnya serangan hebat ini, Yang Hoa lalu miringkan


tubuhnya ke kiri dan pedangnya digerakkan dari arah kiri ke kanan
menangkis golok lawan yang meluncur ke arah dadanya itu,
sehingga kembali pedang dan golok beradu menerbitkan bunyi
nyaring dan bunga api berpijar. Akan tetapi gadis tidak berhenti
sampai di situ saja, karena dari pertemuan pedang dan golok itu ia
sengaja membuat pedangnya terpental untuk kemudian diteruskan
dengan menggunakan gerak tipu Duri Menusuk Dari Bawah
Bunga. Pedangnya berkelebat di bawah golok dan melesat ke arah
tenggorokan lawan dengan amat cepatnya!

Gerakan ini benar-benar di luar dugaan Ciam Tang yang menjadi


terkejut dan gugup sekali. Ia berseru keras untuk mengerahkan
tenaga dan sambil menarik kembali goloknya, ia mencoba
menjatuhkan dirinya ke belakang agar dirinya terhindar dari
serangan yang benar-benar berbahaya. Akan tetapi ia kurang

473
cepat dan ujung pedang Yang Hoa masih menyerempet pangkal
lengan kirinya!

Disamping menahan rasa sakit pada pangkal lengannya yang


terluka, kini Ciam Tang benar-benar terkejut dan gentar. Karena
selain sudah membuktikan bahwa gadis itu mempunyai
kepandaian yang jauh melampaui dugaannya semula, bahkan
pada hakekatnya ia merasa kalah unggul oleh gadis itu!

Pada saat itu, Ciam Tang mendengar teriakan-teriakan dan


pekikan-pekikan susul menyusul dan ketika ia mengerling ke arah
suara itu, anak buahnya telah roboh semua dihajar oleh Can kauw-
su bersama Cio wan-gwe! Hal ini benar-benar mematikan
semangat Ciam Tang karena belum pernah ia mengalami peristiwa
kehancuran seperti kali ini dan ia jadi mengakui bahwa dengan
terbentuknya Pauw-an-tui, benar-benar ia merasa “ketemu
batunya”!

Tetapi Yang Hoa tidak mau membuang kesempatan ini. Ia segera


melompat maju dan pedangnya mengirim serangan yang
mematikan, sehingga untuk menyelamatkan dirinya, Ciam Tang
kembali membuat tiga kali lompatan ke belakang dan ketika ia
sudah berdiri pula di tempat yang kira-kira sejauh lima tombak dari

474
si nona, si Srigala Hitam tiba-tiba bersuit nyaring dan ia melarikan
diri di dalam gelap!

Agaknya suitan itu sebagai isyarat bagi para anak buahnya supaya
segera angkat kaki. Akan tetapi ternyata tidak seorangpun anak
buahnya yang mentaati isyarat pemimpinnya ini, karena semuanya
telah menggeletak di tanah akibat pengganyangan organisasi
Pauw-an-tui yang untuk pertama kalinya telah mencatat
kemenangan!

“Bangsat rendah, hendak pergi ke mana?!” teriak Yang Hoa ketika


melihat pemimpin gerombolan itu melarikan diri dan segera
mengejar.

“Bagus, kejar dia jangan sampai lolos, Yang-moay!” seruan ini


adalah dari Bun Liong yang baru tiba ke tempat itu.

Ketika Yang Hoa mendengar ini menjadi girang hatinya karena


calon suaminya dalam kekacauan ini ternyata tidak kurang suatu
apa, maka dengan perasaan yang senang sekali ia terus berlari
mengejar Ciam Tang.

Bun Liong sendiripun, setelah melihat bahwa di tempat itu sudah


aman, segera berlari menyusul tunangannya untuk sama-sama
mengejar pemimpin gerombolan yang melarikan diri itu.
475
Tak lama kemudian para anggauta Pauw-an-tui berdatangan dari
berbagai pelosok untuk membantu kawan-kawannya di pusat
terjadinya penyerbuan kawanan perampok itu, tapi mereka
mendapatkan bahwa tempat itu sudah aman dan tidak seorang
perampokpun yang masih hidup.

Ketika mereka melihat Yang Hoa dan Bun Liong berlari mengejar
si Srigala Hitam yang mabur itu, merekapun tidak mau ketinggalan,
semuanya turut mengejar. Sambil berteriak-teriak, mereka berlari-
lari jauh di belakang Yang Hoa dan Bun Liong.

“Kejar……! Tangkap si bajingan keparat…..!! Jangan beri dia


hidup…..!! Bikin mampus saja……!! Ganyaaaang…….!!”

Akan tetapi, oleh karena pemimpin gerombolan itu menggunakan


ilmu lari cepat, demikian pula Yang Hoa dan Bun Liong, sebentar
saja para anggauta Pauw-an-tui tertinggal jauh dan menjadi
bingung karena ketiga orang itu tidak terlihat lagi sehingga mereka
tidak tahu ke jurusan mana harus mengejar!

Ternyata ilmu lari cepat dari Ciam Tang sudah cukup tinggi,
sehingga untuk beberapa lama, Yong Hoa dan Bun Liong belum
berhasil menyusulnya. Dalam kesempatan ini, biarpun tidak
pernah berjanji lebih dulu, telah digunakan oleh Yang Hoa dan Bun

476
Liong untuk saling menguji ilmu lari cepat masing-masing karena
memang kedua calon suami isteri ini belum pernah saling
mengunjukkan kepandaian masing-masing dalam keadaan yang
asli.

Hal ini pada dasarnya mempunyai dua macam kebaikan. Pertama,


mereka jadi mempunyai kesempatan untuk saling memperlihatkan
ilmu lari cepat yang dimilikinya dari satu kepada yang lain dan
kedua, mereka tambah mempercepat pengejaran terhadap si
Srigala Hitam yang sudah agak jauh di depannya itu!

Yang Hoa yang berlari terlebih dulu, telah mengerahkan seluruh


kepandaian dalam hal ilmu lari cepatnya, sehingga Bun Liong yang
menyaksikan betapa si nona berlari demikian cepat di depannya
dan sebentar-bentar menengok kepadanya seakan-akan
menantang supaya ia mengejarnya, maka dengan sendirinya ia
merasa bahwa dirinya hendak diuji dan diajak balap oleh calon
isterinya.

Ketika Yang Hoa mengerahkan ilmu larinya yang paling dibuat


andalan, yakni ilmu lari Liok-tee-hui-heng (Lari Terbang Di Atas
Bumi), tubuhnya melesat maju sedemikian cepatnya seakan-akan
terbangnya seekor burung walet.

477
Bun Liong pun segera mengerahkan ilmu larinya yang juga paling
diandalkan, yaitu Teng-peng-toh-cuy (Menginyak Rumput
Menyeberang Air), sehingga tubuhnya yang memang memiliki gin-
kang tinggi itu menjadi sedemikian ringan seakan-akan sehelai
daun kering yang tertiup angin santer, melesat ke depan dengan
kecepatan luar biasa dan menyusuI Yang Hoa!

Yang Hoa jadi terkejut dan kagum ketika tiba-tiba merasa angin
bertiup dari belakang dan tubuh Bun Liong cepat menyambar lewat
disampingnya. Diam-diam si nona jadi “panas hati”.

“Hm! Akupun bisa menyusulmu, lihatlah!” gumamnya di dalam hati


dan ia segera mengganti ilmu larinya dengan ilmu lompat yang
disebut Anak Panah Terlepas Dari Busurnya.

Dalam berlarinya, sekali saja sepasang kaki Yang Hoa menginjak


bumi, maka segera tubuhnya mencelat ke depan dalam suatu
gerak lompatan yang cepat sekali sehingga benar-benar seperti
meluncurnya sebatang anak panah dan benar saja. Dengan
mempergunakan ilmu lompat yang luar biasa ini, Yang Hoa
berhasil menyusul Bun Liong dan bahkan ia dapat melampauinya
jauh di depan dan ketika tubuhnya yang melayang turun lagi
dengan sepasang kakinya kembali menyentuh bumi, lalu
menengok ke belakang.

478
Ia jadi tersenyum kagum ketika dilihatnya betapa tubuh calon
suaminya itupun telah melayang mendatangi yang ternyata telah
mempergunakan ilmu lompat pula yang disebut Naga Sakti
Mengejar Mustika, dan tahu-tahu pemuda itu telah berada tepat di
sebelah kirinya!

Yang Hoa tersenyum manis sambil mengerling tajam, dibalas oleh


calon suaminya dengan senyum bahagia dan pandangan mata
yang penuh kasih mesra! Mereka terus berlari lagi dan ternyata
akibat dari balap lari itu, kini mereka sudah dapat menyusul Ciam
Tang dekat sekali!

Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan karena pagi itu tidak
ada halimun, maka sebentar saja keadaan menjadi terang. Hal ini
amat menggelisahkan hati Ciam Tang yang melarikan diri oleh
karena ketika ia sudah sampai jauh di luar perbatasan wilayah
Tong-koan dan hendak memasuki hutan, ke dua orang
pengejarnya terus mengejar dan tak mau melepaskannya, serta
keadaan yang mulai terang itu tidak memungkinkannya untuk
menyembunyikan diri.

“Ciam Tang! Tidak ada gunanya kau melarikan diri! Biarpun masuk
ke dalam tanah kau takkan terlepas dari tangan kami!” seru Yang
Hoa sambil melompat maju sehingga kini benar-benar ia berhasil

479
mendekati Ciam Tang dan pedangnya pun nampak berkelebat
membabat punggung pemimpin gerombolan itu.

Akan tetapi, ketika itu Ciam Tang mendadak membuat gerakan


yang tiba-tiba. Karena maklum bahwa pedang nona pengejarnya
itu mengancam punggungnya, secepat kilat ia membalikkan tubuh
dan goloknya disamberkan bukan untuk menangkis pedang lawan,
tetapi justeru ia sengaja hendak merabas pinggang si nona! Hal ini
sungguh mengagetkan Bun Liong yang melihatnya sehingga
pemuda ini segera berseru:

“Yang-moay, awas…….!!!!”

Namun, Yang Hoa sudah cukup waspada biarpun ia sendiri sangat


kaget karena gerakan Ciam Tang benar-benar di luar dugaannya.
Tapi berkat gin-kangnya yang sudah tinggi, nona ini dapat berlaku
sebat menjatuhkan diri bergulingan ke samping sehingga dirinya
terlepas dari serangan yang tiba-tiba itu dan kesempatan ini
digunakan oleh Ciam Tang untuk segera membalikkan tubuhnya
dan terus melarikan diri pula!

Akan tetapi sebelum pemimpin gerombolan ini berlari jauh dan


menghilang ke dalam hutan, tiba-tiba seutas tali meluncur ke arah
sepasang kakinya, tapi sebelum ujung cambuk dari Bun Liong ini

480
sempat menjerat sasarannya, tiba-tiba penjahat itu terdengar
berteriak dan tubuhnya roboh terguling berkelojotan!

Bun Liong heran karena cambuknya belum mengenakan sasaran


dan penjahat itu sudah mendahului berteriak dan roboh. Pemuda
yang waspada ini menaruh curiga kalau-kalau si Srigala Hitam itu
hanya berpura-pura belaka untuk kemudian memberi serangan
mendadak seperti barusan, maka ia meneruskan serangan ujung
cambuknya yang ditotokkan ke arah jalan darah yang-kwan-hiat di
punggung penjahat itu sehingga seketika itu juga si Srigala Hitam
jadi berhenti dari berkelojotannya dan tidak berkutik pula!

Ketika Bun Liong mendekati dan memeriksa tubuh si Srigala Hitam


yang telungkup, ia melihat bahwa punggung penjahat itu, telah
menjadi sasaran sebatang Piauw yang menancap tepat di tengah-
tengah dan ternyata piauw tersebut disambitkan oleh Yang Hoa
secara cepat dan jitu sekali!

Bun Liong maklum bahwa si Srigala Hitam telah menemui ajalnya


dan ia memandang kepada calon isterinya yang ketika itu sudah
berdiri di sisinya. “Sambitan senjata rahasiamu sungguh lihay
sekali, Yang-moay,” katanya memuji dengan sejujurnya.

481
Yang Hoa tersenyum, dan biarpun dara ini kelihatan amat letih,
namun wajahnya makin cantik dalam penglihatan Bun Liong.

“Liong-ko, tugas kita sudah selesai. Marilah kita kembali ke kota!”


katanya sambil membersihkan pedangnya dari noda-noda darah
bekas pertempuran di dalam kota tadi, kemudian pedang itu
dimasukkan ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggangnya.

“Mari, Yang-moay,” Bun Liong menyetujui sambil menggulung


cambuknya.

Akan tetapi, sebelum kedua anak muda ini sempat melangkahkan


kaki mereka dari tempat itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
kehiruk-pikukan suara sorak sorai dari dalam hutan dan serempak
banyak sekali orang-orang yang berpakaian serba hitam muncul
dan berlompatan keluar dari balik tetumbuhan liar, mereka ini
langsung menyerbu Bun Liong dan Yang Hoa!

Biarpun kedua anak muda ini amat terkejut tetapi hati mereka
cukup tabah. Mereka tidak takut bahkan sebaliknya mereka
menjadi sangat marah ketika dilihatnya bahwa penyerbuan itu
dipimpin oleh dua orang yang mereka sudah kenal, yaitu si
Sepasang Buaya Sungai Kuning, yang berlari paling depan dengan
senjata siap di tangan!

482
Agaknya gerombolan bajak sungai ini sengaja hendak menyerbu
ketika fajar baru menyingsing dan di tempat itu kebetulan sekali
mereka bertemu dengan Bun Liong dan seorang dara cantik. Hal
ini sangat menggirangkan hati Bong Pi dan Bu Kiam yang memang
hendak membalas sakit hati mereka terhadap pemuda yang
pernah mengalahkan mereka di atas panggung lui-tay tempo hari!

Kalau saja mereka kali ini berhasil membunuh pemuda yang


mereka sudah rasakan kelihayannya bukan saja rasa sakit hati
mereka terbalas, tapi juga sekaligus mereka dapat melenyapkan
ketua Pauw-an-tui, demikian pikir mereka! Oleh karena itu, maka
Sepasang Buaya Sungai Kuning ini segera mengepalai para anak
buahnya dan menyerbu hendak mengeroyok si pemuda yang
dianggap sebagai musuh besar mereka!

Sebentar saja Bun Liong dan Yang Hoa sudah dikurung, dan Bong
Pi serta Bu Kiam langsung menyerang Bun Liong. Sambil ketawa
mengejek, pemuda ini menyambut serbuan mereka dengan
ayunan cambuknya!

Adapun nona Yang Hoa setelah mencabut kembali pedangnya,


segera mengamuk laksana seekor singa betina dan kalau Bun
Liong sementara itu menghadapi Bong Pi dan Bu Kiam, maka nona
ini melawan para anak buah bajak sungai yang mengurungnya itu.

483
Yang Hoa yang sangat membenci segala kaum penjahat, telah
menggunakan pedangnya dengan tidak kepalang tanggung.

Walaupun dirinya dikurung, dan banyak senjata menyerang


bagaikan hujan dari segala jurusan, akan tetapi apakah arti para
anak buah bajak sungai yang terdiri dari manusia-manusia kasar
bagi dara perkasa ini?! Setiap kali pedangnya berkelebat, menjerit
dan robohlah tubuh seorang bajak sehingga sebentar saja sudah
tak kurang, dari lima orang anggauta bajak sungai yang
menggeletak luka atau tewas dan Yang Hoa terus menggerakkan
pedangnya bagaikan halilintar menyambar-nyambar menyabet
dan membabat sehingga jerit pekik dan robohnya tubuh-tubuh
pengeroyoknya susul menyusul!

Adapun Bong Pi dan Bu Kiam, dengan penuh nafsu membunuh


menggerakkan pedang mereka mengeroyok Bun Liong dan
tadinya mereka menganggap bahwa dengan pengeroyokan
beramai, mereka pasti dapat merobohkannya, tapi kini mereka
kecele! Mereka repot sendiri karena pedang-pedang mereka lebih
banyak dipergunakan untuk melindungi diri mereka dari sabetan-
sabetan cambuk Bun Liong, daripada untuk menyerang!

Kalau tempo hari mereka berdua menghadapi Bun Liong yang


hanya bertangan kosong saja sudah dibikin tidak berdaya, apalagi

484
sekarang pemuda itu menggunakan senjatanya yang istimewa,
maka keruan saja mereka jadi repot. Dan permainan pedang
mereka yang biasanya sangat dibanggakan karena mempunyai
sistim kerja sama dan taktik yang kompak, kini menjadi kacau
berantakan!

Kalau menurutkan hawa amarah, sebenarnya Bun Liong ingin


membunuh mereka secepat mungkin, tapi pemuda ini kurang puas
kalau tidak mempermainkan mereka lebih dulu! Sambil terenyum-
senyum cambuk di tangannya digerakkan dengan seenaknya saja,
tetapi akibatnya ternyata Bong Pi dan Bu Kiam terdesak hebat!
Pakaian mereka sudah compang camping dan kulit tubuh mereka
sudah pecah-pecah dan berdarah dilecut ujung cambuk Bun Liong!

“Hahh! Dua Buaya Sungai Kuning! Inikah agaknya yang kalian


maksudkan dengan serangan gelombang yang kalian ancamkan
kepadaku tempo hari? Eh……! Kenapa kalian menari-nari…….!”
kata Bun Liong mengejek ketika melihat betapa ke dua orang
lawannya berjingkrak-jingkrak kesakitan karena kaki-kaki mereka
kena dihajar pecutnya!

Ketika itu tiba-tiba terdengar pula suara sorak sorai dari lain
jurusan. Bun Liong dan Yang Hoa cepat melirik dengan terkejut
karena mengira bahwa kawanan gerombolan datang pula, tetapi

485
hati mereka serempak menjadi lega karena suara sorak sorai itu
adalah dari para anggauta Pauw-an-tui yang ikut mengejar Ciam
Tang tadi, akhirnya mereka sampai di situ!

Demi dilihatnya betapa pangcu mereka dan tunangannya sedang


dikeroyok oleh para penjahat maka tanpa komando lagi mereka
serempak maju dan membantu Bun Liong dan Yang Hoa yang
sebenarnya tidak perlu dibantu oleh mereka itu!

Maka tempat itu ramailah oleh suasana pertempuran yang ribut.


Para anggauta Pauw-an-tui yang gagah berani menggerakkan
senjata masing-masing sehingga gerombolan bajak sungat itu
dikepung dan tak diberi jalan lolos!

Melihat datangnya bala bantuan dari anggauta Pauw-an-tui ini


Bong Pi dan Bu Kiam yang benar-benar sudah merasa kewalahan
itu jadi kebingungan, akan tetapi berkat pengalamannya yang
banyak mereka tidak cepat putus asa, bahkan untuk
menyelamatkan diri dari kepungan yang berbahaya ini segera
mereka mengeluarkan serangan licik, yaitu serempak seperti
berjanji lebih dulu, Bong Pi dan Bu Kiam merogoh kantong baju
mereka dan pada detik berikutnya, dalam saat yang sama
berlesatanlah dari tangan mereka enam batang senjata rahasia ke
arah Bun Liong!

486
Bun Liong yang selalu waspada sudah maklum maksud mereka
ketika dilihatnya mereka merogoh kantong baju tadi, maka ketika
melihat dirinya diserang secara begitu tiba-tiba oleh enam batang
senjata rahasia sekaligus, sedikitpun ia tidak menjadi gugup. Akan
tetapi karena pihak penyerang sangat dekat dan senjata-senjata
rahasia itu meluncur sangat cepat sehingga ia tidak keburu untuk
menyampok atau menyambut enam batang piauw tersebut.

Maka jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari serangan


berbahaya ini, ia segera melompat ke atas dan tubuhnya membuat
salto tiga kali di udara dengan sangat indahnya sehingga enam
batang Piauw tadi mengenai tempat kosong dan berlesatan di
bawahnya! Akan tetapi celaka sekali, senjata-senjata rahasia yang
tidak mengenakan sasarannya ini langsung menghantam tiga
orang anggauta Pauw-an-tui yang kebetulan sekali berada tidak
jauh di belakang Bun Liong, sehingga tiga orang yang sial ini
terguling roboh sambil menjerit-jerit kesakitan!

Kesempatan yang demikian baik, yaitu ketika Bun Liong sedang


berjungkir balik di udara, telah digunakan oleh Bong Pi dan Bu
Kiam untuk melarikan diri sambil berseru nyaring: “Angin
kencang…….!!”

487
Inilah istilah rahasia bagi para anak buahnya untuk cepat melarikan
diri, dan setelah membobolkan kepungan dengan merobohkan
empat orang anggauta Pauw-an-tui yang mengurung dan
menghadangnya, Bong Pi dan Bu Kiam dapat melarikan diri dan
menghilang ke dalam hutan, diikuti oleh sisa anak buahnya yang
lari berserabutan!

“Kejar…….! Kejar!!!!” demikian teriakan para anggauta Pauw-an-


tui dengan bernafsu dan mereka lari mengejar.

“Jangan!! Kawan-kawan, jangan mengejar…….!” teriak Bun Liong


yang ketika itu sudah “jatuh” kembali dan berdiri di muka bumi.

Para anggauta Pauw-an-tui itu membatalkan pengejarannya dan


berjalan dengan sikap panasaran dan heran. Bun Liong maklum
apa yang dirasakan di hati mereka, maka ia berkata memberi
penyelasan:

“Saudara-saudaraku, musuh yang sudah melarikan diri ke dalam


hutan, jangan sekali-sekali kita kejar terus, sebab sangat
berbahaya sekali!”

Puaslah para anggauta Pauw-an-tui mendengar penjelasan ini dan


kemudian atas ajakan Bun Liong, mereka beramai-ramai kembali
ke kota sambil menggendong atau menggotong kawan-kawan
488
mereka yang luka, dan empat orang di antaranya ternyata telah
tewas!

Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan Cio wan-gwe dan


Can kauw-su yang agaknya hendak menyusul mereka. Ke dua
orang tua gagah ini menyatakan terima kasih kepada Bun Liong
dan Yang Hoa dan para anggauta Pauw-an-tui sekalian atas
bantuan mereka yang telah berhasil mengganyang komplotan
pengacau dan membunuh Ciam Tang, dan berhasil memberi
hajaran pula terhadap komplotan bajak sungai sebelum mereka
sempat membuat kerusuhan di dalam wilayah Tong-koan.

Tapi sebaliknya Bun Liong dan kawan-kawannya terkejut dan


berduka cita, setelah mendengar dari Cio wan-gwe bahwa Lu Sun
Pin telah tewas akibat pertempuran dengan si Srigala Hitam Ciam
Tang tadi. Hanya nona Yang Hoa saja yang bersikap lain
mendengar kematian si Pagoda Besi ini, daripada terkejut dan
berduka cita dara ini lebih banyak memperlihatkan kemenyesalan.

Demikianlah, dengan berbondong-bondong mereka berjalan


menuju ke kota dan di setiap dusun yang mereka lalui, mereka
disambut oleh para penduduk yang mengelu-elukan kemenangan
mereka. Para penduduk mengagumi Yang Hoa, selain mengagumi

489
kecantikannya, juga memuji keberanian dan kegagahan dara
perkasa itu!

Para anggauta Pauw-an-tui yang menderita luka ditampung di


rumah-rumah perguruan silat milik Can kauw-su dan mendiang Lu
Sun Pin, yang dijadikan rumah sakit darurat dimana sudah tersedia
jururawat-jururawat sukarelawan dan beberapa orang tabib.

Setelah mengubur para korban yang gugur sebagai pahlawan


termasuk jenazah Lu Sun Pin dan mengubur pula para anggauta
gerombolan yang mati konyol itu, semua anggauta Pauw-an-tui
lalu pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Para
anggauta Pauw-an-tui yang mendapat tugas jaga siang menempati
tempat-tempat penjagaan yang sudah ditentukan, untuk
menggantikan tugas kawan-kawannya yang semalam telah
bekerja berat!

Hari itu penduduk wilayah Tong-koan merayakan peristiwa


kemenangan semalam dengan gembira sekali disamping turut
belasungkawa atas kematian para anggauta Pauw-an-tui. Semua
penduduk wilayah Tong-koan memberi nama pujian bagi Yang
Hoa yakni Pauw-an-tui Sianli atau Dewi Pauw-an-tui!

490
Nama pujian ini memang tepat sekali karena bukan saja Yang Hoa
sudah membuktikan kegagahannya, akan tetapi juga merupakan
anggauta wanita yang satu-satunya dalam Barisan Penjaga
Keamanan itu. Bahkan sangat jelita pula, hingga serasilah kalau ia
disebut Dewi…….!

Ketika Bun Liong dan Yang Hoa sudah tiba di rumahnya, kedua
anak muda ini disambut oleh nyonya janda Souw dengan pelukan
kelegaan hati sedangkan nyonya janda Ho, menyambut
kedatangan mereka dengan wajah berseri-seri menandakan
bahwa hati orang tua ini merasa gembira melihat puteri dan calon
menantunya selamat dan bangga akan kegagahan dua orang
muda itu.

Kemudian Bun Liong dan Yang Hoa mendengar cerita dari nyonya
janda Souw bahwa semalaman rumah mereka telah didatangi oleh
tiga orang penjahat. Itu agaknya mempunyai maksud hendak
mengambil jiwa Bun Liong.

Akan tetapi sebelum mereka sempat bertindak dan baru saja


mengintai di atas genteng rumah, seorang demi seorang telah
dapat diganyang oleh nyonya janda Ho dengan menyambitkan tiga
batang Piauw dari dalam rumah. Biarpun ke tiga orang penjahat itu
terhalang oleh genteng sehingga nyonya ini tidak melihat sasaran

491
yang diarahnya dan hanya berdasarkan kira-kira saja tetapi
ternyata ke tiga batang piauw yang disambitkannya telah
mengenai sasarannya dengan sangat jitu sehingga ke tiga orang
penjahat itu, yang dapat dipastikan suruhan dari Ciam Tang,
berteriak dan jatuh dari atap rumah dan kemudian menemui
ajalnya di bawah gebukan dan bacokan orang-orang yang
memang sudah berjaga-jaga dan siap siaga!

“Hmmm! Kawanan penjahat sudah mengetahui tempat tinggal kita.


Hal ini sungguh berbahaya sekali!” kata Bun Liong seolah-olah
berkata pada diri sendiri.

“Liong-ko, tak usah kau berkecil hati. Selama ibuku berada di sini,
apakah yang mesti dikhawatirkan?”

Bun Liong menatap tunangannya dengan sikap berterima kasih


dan sinar matanya yang hanya Yang Hoa saja yang dapat
menangkap maknanya…….

Prakarsa dari Can kauw-su untuk menyerbu sarang kaum


gerombolan seperti yang pernah diutarakan kepada Bun Liong,
segera dikemukakan dalam pertemuan dengan Cio wan-gwe pada
keesokan harinya.
492
“Cio tayjin, setelah terjadi peristiwa kemarin malam, tidak mustahil
kalau pihak garong itu akan melakukan pembalasan kepada kita.
Maka aku beranggapan bahwa sudah seharusnya kita mendahului
memukul mereka di sarangnya. Hal ini kurasa lebih baik dan
daerah kita ini akan cepat aman dari pada kita harus selalu
berjaga-jaga tanpa mengetahui bila mereka akan bergerak
menyerang kita.”

Prakarsa ini, setelah dipertimbangkan masak-masak, disetujui oleh


Cio wan-gwe. Demikianlah pada hari itu juga persiapan untuk
menyerbu ke sarang gerombolan garong segera diatur, disamping
barisan untuk menjaga keamanan daerah pun diperkuat!

Sarang garombolan yang terletak di hutan sebelah selatan kota,


yaitu sarang komplotan perampok yang dikepalai oleh Houw-jiauw
Lo Ban Kui, diputuskan untuk diserbu lebih dulu mengingat pihak
komplotan perampok ini akan melakukan serangan pembalasan
besar-besaran setelah Ciam Tang berikut anak buahnya
diganyang sampai benar-benar ludas!

Barisan untuk penyerbuan telah diatur oleh Can kauw-su yang


lebih matang pengalamannya selaku bekas tentara. Bun Liong dan
Yang Hoa yang sudah diketahui kegagahannya, mendapat tugas
untuk mendatangi sarang gerombolan sebagai siasat pancingan,

493
sedangkan Can kauw-su sendiri memimpin sejumlah anggauta
Pauw-an-tui untuk menyusul belakangan dengan diam-diam dan
akan menyerbu sarang gerombolan dari lain jurusan!

Siasat penyerbuan ini telah diatur secara seksama dan cermat dan
Bun Liong serta Yang Hoa pun diberi petunjuk-petunjuk oleh guru
silat bekas tentara itu betapa sepasang anak muda ini harus
berbuat dalam penyerbuan ini!

Sementara itu, Cio wan-gwe sendiri memimpin barisan penjagaan


di dalam daerah untuk berjaga-jaga kalau-kalau sementara kawan-
kawannya pergi menyerbu, datang serangan mendadak dari pihak
gerombolan bajak sungai yang sarangnya akan diserbu pula
kemudian, setelah penyerbuan sarang komplotan perampok
berhasil!

Sebagaimana sudah diterangkan bahwa yang menjadi pemimpin


komplotan perampok penghuni hutan sebelah selatan kota Tong-
koan adalah Houw-jiauw Lo Ban Kui, seorang setengah tua yang
tinggi ilmu silatnya, terutama ilmu silat Houw-jiauw-kun-hoat (Ilmu
Silat Cakar Harimau), dengan kuku-kuku dari ke sepuluh buah jari
tangannya yang sengaja dipeliharanya sampai panjang dan
runcing serta beracun, sungguh berbahaya sekali!

494
Justeru dari kehebatan kuku-kuku jari-jari tangannya inilah maka ia
mendapat julukan si Cakar Harimau. Karena selain kuku-kuku itu
demikian kuat sehingga dapat merobek kulit tubuh, juga sedikit
atau berat luka di kulit yang disebabkan sentuhan kuku-kuku itu
berarti bahaya maut, kuku-kuku tersebut mengandung racun yang
sangat berbahaya!

Bentuk tubuh Lo Ban Kui tidak tinggi besar seperti kebanyakan


kepala perampok yang nampaknya menyeramkan, melainkan ia
bertubuh pendek kecil sehingga merupakan seorang kakek kerdil
dan punggungnya agak bungkuk. Rambut di kepalanya jarang
sekali sehingga ia kelihatan setengah botak, demikian juga kumis
dan jenggotnya, seutas demi seutas agaknya dapat dihitung
dengan mudah karena jarangnya seperti rumput tumbuh di tanah
yang tandus! Hanya matanya saja yang bersinar tajam dan bergilar
liar, mencerminkan sifat yang bengis dan kejam!

Kakek kerdil bungkuk ini mempunyai pembantu dua orang, yaitu si


Srigala Hitam Ciam Tang dan Tiat-pi-him (Beruang Lengan Besi)
Go Bang, seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mempunyai
tenaga luar biasa kuatnya!

Mereka bertiga merupakan tiga serangkai yang telah membuat


nama besar di daerah utara. Akan tetapi pada suatu hari, di utara

495
telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian
yang tinggi sekali.

Munculnya pendekar perantau yang tidak mau memperkenalkan


namanya ini, yang amat benci terhadap golongan liok-lim dan
kaum penjahat, telah membnat gempar di kalangan rimba hijau.
Banyak kepala perampok yang telah tewas dan roboh di tangan
pendekar tua ini.

Dan Houw-jiauw Lo Ban Kui beserta kawan-kawannya dapat


menyelamatkan diri dari pengganyangan pendekar tersebut
setelah sarang mereka diobrak-abrik dan tak sedikit anak buah
mereka menjadi korban!

Tiga serangkai kepala perampok ini bersama sisa anak buahnya


lalu lari ke selatan dan akhirnya memilih tempat di hutan sebelah
selatan kota Tong-koan dan di daerah ini mereka mengeduk rejeki
tanpa ada yang menghalang-halangi! Tapi pekerjaan mereka ini
mendapat saingan dari komplotan bajak sungai yang kebetulan
waktu itu melakukan operasi di kota dan daerah Tong-koan.

Hal ini bagi Lo Ban Kui dan anak buahnya bukan merupakan
penghalang, melainkan justeru merupakan “lawan usaha,”
sehingga mereka berlomba-lomba menggasak harta milik

496
penduduk Tong-koan. Berlomba membuat kekacauan dan
kekejaman, sehingga keadaan kota dan daerah Tong-koan sangat
menyedihkan.

Akan tetapi, dengan dibentuknya Pauw-an-tui yang anggauta-


anggautanya terdiri dari seluruh lapisan masyarakat wilayah Tong-
koan, mau tak mau mereka ini mesti mengakui bahwa mereka kini
menghadapi penghalang dan lawan yang kuat! Apalagi Houw-
jiauw Lo Ban Kui setelah Ciam Tang dan para anak buahnya
diganyang ludes oleh barisan penjaga keamanan tersebut.

Hal ini benar-benar baginya merupakan pukulan hebat dan diam-


diam ia mengakui kekuatan Pauw-an-tui! Namun, disamping itu,
hati si Cakar Harimau ini merasa panas dan penasaran, karena
dari anak buah penyelidiknya ia mendapat keterangan bahwa
ketua Pauw-an-tui itu hanya seorang pemuda yang masih muda
sekali dibantu oleh seorang dara cantik jelita yang berkepandaian
tinggi dan yang menyebabkan kematian Ciam Tang berikut para
anak buahnya.

“Hmm! Sepasang bocah macam apakah maka berani


berkonfrontasi dengan pihakku?! Rasakan pembalasanku!”
dengus Lo Ban Kui marah.

497
Terhadap para anak buahnya ia kemudian mengadakan peraturan
keras dan disiplin. Disamping mengandung maksud hendak
mengadakan pembalasan besar-besaran, juga sejak malam
kematian Ciam Tang, si Cakar Harimau ini mengatur penjagaan
sarangnya dengan amat kuat karena ia sudah dapat menduga
bahwa organisasi Pauw-an-tui itu suatu waktu pasti akan datang
menyerbu ke tempat mereka!

Dibuatnya jebakan-jebakan dan di setiap sudut hutan di sekitar


sarang yang dijadikan tempat takhta kerajaan si Cakar Harimau ini
dipagari dengan para anak buahnya yang sembunyi di balik
tumbuh-tumbuhan hutan. Maka ditugaskan sebagai penjaga dan
penyelidik sehingga karenanya, kedatangan Bun Liong dan nona
Yang Hoa ketempat ini, telah mereka ketahui dengan cepat!

Tiat-pi-him Go Bang yang mengepalai penjagaan mendapat


bisikan dari salah seorang anak buahnya yang bertindak selaku
penyelidik bahwa dua orang muda yang mendatangi adalah Souw
Bun Liong pang-cu Pauw-an-tui bersama tunangannya yang
bergelar Pauw-an-tui Sianli.

“Hahahaha……..!” Si Beruang Lengan Besi ketawa bergelak


setelah mendengar keterangan itu dan dengan irama kata
memandang rendah berkata: “Kukira ketua Pauw-an-tui yang

498
mendapat julukan Tong-koan Ho-han seorang pendekar besar
bertangan selusin. Tidak tahunya hanya bocah cilik yang masih
bau susu!

“Apa maksudnya kambing muda itu maka berani mendatangi


sarang macan?! Tapi, eh, bocah perempuan itu benar-benar cantik
sehinngga tidak terlalu berkelebihan kalau mendapat julukan Sianli
(dewi). Biarlah akan kutangkap hidup-hidup untuk hiburan di waktu
iseng, sedangkan kambing muda yang jantan itu boleh kita bikin
mampus saja!”

Sungguhpun Bun Liong dan Yang Hoa masih berada di tempat


yang agak jauh dari tempat persembunyian Go Bang dan anak
buahnya, namun karena kedua anak muda ini telinganya sudah
terlatih sehingga berpendengaran tajam, maka ucapan si Beruang
Lengan Besi mereka dengar dengan cukup jelas.

Yang Hoa yang beradat keras dan paling muak kalau mendengar
perkataan kurang ajar, apalagi ditujukan terhadap dirinya dan
diucapkan oleh perampok yang sangat dibencinya sejak kematian
ayahnya, maka nona ini dengan hati marah dan gemas
mempercepat langkah kakinya dan menuju ke arah suara si
Beruang Lengan Besi tadi.

499
Sedangkan Bun Liong mengikutinya di belakangnya. Pemuda ini
berlaku tenang dan sabar, hanya sinar matanya yang tajam saja
yang menunjukkan bahwa ia selalu waspada.

Ketika kedua anak muda ini tiba di tanjakkan sebuah bukit di mana
para perampok yang dipimpin oleh Go Bang telah menanti sambil
bersembunyi di balik semak belukar yang rungkut. Tiba-tiba dari
depan terdengar suara mengiuk dan tidak kurang dari lima batang
anak panah meluncur cepat dan mengarah ke kedua anak muda
itu.

Bun Liong masih bersikap tenang-tenang saja tampaknya, akan


tetapi Yang Hoa merasa marah sekali dan gadis ini secepat
gerakan kijang telah melompat ke depan sambil mencabut
pedangnya. Dan sekali saja senjata ini diputarkan, runtuhlah
semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya dan calon
suaminya, bagaikan air hujan yang terhalang payung!

“Bagus, Yang-moay!” sambil tersenyum bangga Bun Liong memuji


calon isterinya, yang membuat gerakan cepat dan tepat yang
dsebut gerak tipu Dewi Kwan-Im Membuka Payung!

“Perampok-perampok rendah dan hina dina! Becusnya menyerang


secara sembunyi saja! Kalau benar kalian laki-laki sejati, keluarlah

500
untuk menyambut kedatangan nonamu!” bentak Yang Hoa
nyaring.

Suara bentakan ini menggema di dalam kesepian hutan. Dan


belum lagi gema ini lenyap dari pendengaran, tiba-tiba dari balik
semak-semak dan belakang pohon-pohon besar berlompatan
keluar empat orang liauw-lo (anggauta rampok) yang bertubuh
beraneka bentuk dan masing-masing memegang golok di tangan.

Mereka ini langsung menubruk dengan golok terangkat yang


hendak disabetkan ke arah Yang Hoa. Tepat dikala itu yakni ketika
tubuh Yang Hoa yang berpotongan indah itu agaknya hampir
tercincang oleh ke empat bilah golok para liauw-lo tadi, tiba-tiba
terdengar seruan keras dari balik semak:

“Awas! Jangan sampai melukai si Dewi Kahyangan itu!” Inilah


seruan peringatan dari Tiat-pi-him Go Bang terhadap anak
buahnya, karena seperti pernah dikatakannya tadi, si Beruang
Lengan Besi ini menghendaki nona cantik itu ditangkap hidup-
hidup!

Akan tetapi, sebelum ke empat liuwlo itu sempat menahan gerakan


golok mereka untuk mentaati peringatan “atasan” mereka, ke
empat 1iauwlo kasar itu kalah cepat oleh gerakan yang dibuat

501
Yang Hoa. Karena gadis ini telah berseru keras sambil
menyabetkan pedangnya bagaikan sambaran halilintar sehingga
sekali tangkis saja ke empat golok lawannya terpental!

Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari agaknya akan
kembali ke tempat persembunyian mereka, akan tetapi tangan kiri
dan kaki kanan Yang Hoa bergerak cepat. Dan entah gadis ini
membuat gerakan bagaimana, tahu-tahu dua orang liauw-lo yang
lari paling belakang telah roboh dan mengaduh-aduh!

Sementara itu dua orang liauw-lo yang lari duluan telah menghilang
di antara semak-semak sehingga Yang Hoa merasa gemas sekali
tidak keburu memberi hajaran terhadap mereka.

Oleh karena itu, untuk melampiaskan kegemasan hatinya, nona


yang mempunyai sifat telengas ini setelah dengan cepat
menyarungkan kembali pedangnya. Segera kedua tangannya
menyambar lengan tangan kedua liauw-lo yang baru saja
dirobohkannya itu, dihela dan disentakkan ke atas sambil berseru:

“Perampok-perampok hina, terimalah kembali dua ekor anjing


budukmu ini!”

Sungguh luar biasa sekali, bagaikan seekor burung rajawali


menyambar dua ekor itik dengan mudah, dengan sekali ayun saja
502
Yang Hoa telah membuat kedua tubuh perampok melayang di
udara dan terlempar ke arah sebatang pohon besar di depan!
Dapat dipastikan dua orang liauw-lo sial itu akan mati dengan
kepala pecah atau tulang remuk membentur pohon kalau saja
ketika itu tidak terdengar seruan:

“Hebat dan ganas sekali!” dan berbareng dengan itu dari balik
semak-semak melayang keluar seorang lelaki bertubuh tinggi
besar dan bermuka hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya,
yang cepat menyambar tubuh kedua liauw-lo yang masih
melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon itu!

Begitu orang tinggi besar ini mengulurkan kedua tangannya, ia


berhasil menangkap dengan tepat leher baju kedua liauw-lo itu dan
tubuhnya melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Kemudian
ia mendorong tubuh kedua liauw-lo itu ke kanan dan ke kiri
sehingga keduanya jatuh terguling ke dalam semak!

Diam-diam Yang Hoa dan Bun Liong merasa terkejut dan kagum
melihat gerakan Garuda Sakti Menyambar Kelinci yang
diperlihatkan oleh orang tinggi besar itu untuk menolong kedua
kawannya tadi. Tubuh yang demikian tmggi besar tapi mempunyai
gerakan yang demikian cepat dan ringan, dan selagi ia melompat
keluar dari semak dapat menyanggap tubuh kedua kawannya

503
dengan tepat. Hal ini sudah membuktikan betapa tinggi
kepandaian orang tinggi besar itu!

“Hei! Sepasang kambing muda, apakah yang kalian kehendaki


maka datang-datang mengunjukkan lagak tengik?!” tegur orang
tinggi besar itu yang tidak lain adalah Tiat-pi-him Go Bang, sambil
bertolak pinggang dan matanya yang besar berapi-api. Sedangkan
goloknya yang besar dan tidak bersarung, nampak menggantung
dan bergoyang-goyang di pinggangnya, sehingga sangat
menyeramkan kelihatannya!

“Raksasa hitam! Enak saja kau pentang bacot! Sebaliknya


kuhendak bertanya apa maksudmu maka kedatangan kami yang
membawa maksud baik ini disambut dengan serangan anak
panah?!” Yang Hoa balas memaki dan juga sambil bertolak
pinggang.

Makin menghitamlah kulit muka Go Bang saking marahnya


mendengar dirinya dimaki “raksasa hitam” oleh nona itu. Tapi
sebelum ia dapat melampiaskan kemarahannya kepada nona itu,
tiba-tiba Bun Liong maju ke depan, sambil menjura di hadapan si
Beruang Lengan Besi pemuda ini berkata dengan berdiplomasi
sabar dan hormat,

504
“Tay-ong maafkanlah atas kelancangan kami yang datang
berkunjung ke tempatmu tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
Maksud sebenarnya kunjungan kami berdua ini, selaku utusan dari
Pauw-an-tui hendak bertemu dengan Houw-jiauw Lo Ban Kui
locianpwee untuk merundingkan suatu hal yang penting mengenai
kebaikan kita bersama. Benarkah yang berkenan berhadapan
dengan siauwtee ini adalah Houw-jiauw Lo Ban Kui locianpwee
yang kumaksudkan?”

Melihat sikap yang sopan dan mendengar tutur sapa yang teratur
penuh hormat dari Bun Liong, agak meredahlah kemarahan di hati
Go Bang sehingga si Beruang Lengan Besi ini menyeringai
senang. Dan biarpun tadi ia sudah tahu siapa sebenarnya
sepasang anak muda itu, dari pada menjawab pertanyaan yang
diajukan Bun Liong, sebaliknya ia balas menanya pura-pura tidak
tahu:

“Kau bilang kalian datang kemari selaku utusan dari Pauw-an-tui,


maka jelaskanlah siapa nama kalian dan menjabat kedudukan
apakah dalam Pauw-an-tui?”

Tanpa ragu-ragu dan sejujurnya Bun Liong menyahut:


“Sesungguhnya sangat memalukan sekali untuk dikatakan, akan
tetapi karena hal ini atas permintaan tay-ong, maka baiklah ku akui

505
bahwa siauwtee yang bodoh ini bernama Souw Bun Liong yang
secara kebetulan sekali mendapat kepercayaan selaku ketua
Pauw-an-tui.

“Dan adik ini…..” ia menunjuk kepada Yang Hoa yang berdiri di


sampingnya, “adalah pendekar wanita Ho Yang Hoa yang baru-
baru ini mendapat gelar kehormatan dengan julukan Pauw-an-tui
Sianli sebagai simpati dari seluruh rakyat jelata karena
kegagahannya…….”

“Cukup! Cukup obrolanmu!” bentak Go Bang dengan suara tidak


senang hingga perkataan Bun Liong terputus karenanya.
“Sekarang mari kalian kubawa menghadap tay-ong di
pasanggrahan dan kuberani pastikan bahwa tay-ong akan
menerima kalian secara baik dan penuh kehormatan!”

Setelah berkata demikian, Go Bang menggapai dengan jari


telunjuknya sebagai isyarat supaya kedua anak muda itu
mengikuti, lalu ia sendiri membalikkan tubuh dan berjalan mendaki
bukit.

Untuk sesaat Bun Liong dan calon isterinya saling berpandangan,


dan diam-diam hati mereka merasa geli sekali karena tadi mereka
menyangka bahwa perampok tinggi besar itu adalah raja

506
perampok sehingga Bun Liong telah memanggilnya dengan
sebutan “tay-ong” (raja besar, istilah “kehormatan bagi kepala
rampok), ternyata bukan dia orangnya! Bukan tay-ong sudah
memiliki kepandaian tinggi, pikir Bun Liong apalagi kepala
perampok itu sendiri, niscaya berkepandaian lebih tinggi lagi!

Namun Bun Liong dan Yang Hoa adalah sepasang calon suami
isteri yang mempunyai dasar cerdik sejak mereka kecil. Apalagi
setelah mereka menerima petunjuk-petunjuk dari Can kauw-su
bahwa mereka harus berdiplomasi dan bersiasat pada saat ini.

Biarpun mereka maklum bahwa ajakan dan kata-kata Go Bang


yang terakhir tadi adalah sebuah pancingan, namun sedikitpun
mereka tidak merasa takut. Sehingga tanpa ayal lagi sepasang
anak muda yang menunaikan dharma bhaktinya untuk
kepentingan masyarakat ini lalu berjalan mengikuti si Beruang
Lengan Besi.

Biarpun tidak merasa takut, namun perasaan Bun Liong dan Yang
Hoa tak urung diliputi ketegangan. Oleh karena keduanya maklum
bahwa di mana kaki-kaki mereka berpijak kini adalah tempat yang
sangat berbahaya sehingga mereka mesti selalu waspada dan
siap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang pasti akan
terjadi!

507
Tiat-pi-him Go Bang yang berjalan di depan, sebentar-sebentar
berpaling ke belakang melihat ke arah sepasang muda mudi itu
dan setelah melihat bahwa mereka mengikuti di belakangnya
bagaikan dua ekor kambing jinak membuntuti majikannya. Diam-
diam hatinya sangat girang karena ia merasa pancingannya
berhasil.

Memanglah si Beruang Lengan Besi sengaja mengajak Bun Liong


dan Yang Hoa yang sudah terkenal kelihayannya itu menghadap
Houw-jiauw Lo Ban Kui dengan maksud apabila sepasang
pendekar muda itu setelah berhadapan dengan si Cakar Harimau,
baru ia akan bertindak. Ia yakin bahwa dengan bantuan Lo Ban Kui
serta para anak buahnya yang saat itu diam-diam bersembunyi
mengurung di sekitarnya, niscaya dua ekor kambing muda itu akan
dapat dibikin beres dengan mudah!

Dan apabila sepasang kambing yang dikabarkan memiliki ilmu silat


hebat ini dapat dibekuk batang lehernya, maka organisasi Pauw-
an-tui itu pasti akan lumpuh dan dengan demikian, aku akan dapat
memimpin anak buahku beroperasi lagi dengan bebas dan leluasa!
Demikian kata-kata Go Bang dihatinya.

Akan tetapi, sebelum mereka tiba di pasanggrahan, tiba-tiba Tiat-


pi-him Go Bang berpikiran lain. Ia merasa malu sekali kalau untuk

508
menangkap dua ekor kambing muda itu saja harus menunggu
bantuan dari Lo Ban Kui.

Masakan aku sendiri tak dapat membereskan kedua bocah cilik


ini? Pikirnya. Biarpun ia sudah maklum bahwa kematian si Srigala
Hitam Ciam Tang yang berkepandaian lebih tinggi daripadanya
terutama disebabkan karena kelihayan kedua anak muda ini.

Namun Go Bang beranggapan lain. Ia menganggap bahwa hal itu


terjadi bukan karena kelihayan dua ekor kambing ini, melainkan
karena keroyokan anggauta-anggauta Pauw-an-tui yang banyak
membantunya.

Adapun sekarang, dua ekor kambing ini hanya berdua saja,


masakan ia tak mampu mengalahkan mereka? Dan kalau aku
kemudian ternyata dapat dikalahkan oleh mereka, demikian pikir
Go Bang lebih lanjut, apa yang harus kutakutkan karena anak
buahku pasti serempak akan membantuku?!

Karena pikiran inilah, maka tiba-tiba ia menghentikan langkah


kakinya dan tubuhnya yang besar membalik menghadapi Bun
Liong dan Yang Hoa sehingga kedua anak muda inipun otomatis
menghentikan langkah mereka sambil memandang dengan penuh

509
curiga ke arah si tinggi besar. Mereka seperti telah menduga apa
yang akan diperbuat oleh Go Bang terhadap mereka!

“Mengapa kau tiba-tiba menghentikan langkahmu, tay-ong?” tanya


Bun Liong, pura-pura bodoh dan sengaja masih menggunaan
panggilan “tay-ong”!

Go Bang mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sahutnya:


“Dengarlah! Sebenarnya kamu berdua tidak perlu dibawa
menghadap kepada tay-ong kami, karena kalau hanya untuk
membereskan kamu berdua saja, tak perlu mesti merepotkan tay-
ong kami.

“Aku Tiat-pi-him Go Bang sendiri cukup bertindak sebagai


wakilnya. Nah, bersiaplah untuk menerima kematian sebagai
pembalasan dari kematian Ciam Tang!” Bersamaan dengan
ucapannya yang terakhir itu, Go Bang mencabut goloknya dan
diputar-putar di atas kepalanya selaku tantangan dan ancaman.

“Kami selaku tamu akan selalu melayani apa yang menjadi


kehendak tuan rumah!” ujar Bun Liong tenang, “Majulah!”

Tiat-pi-him merasa mendapat kesempatan baik melihat lawan


mudanya yang lelaki itu sama sekali tidak kelihatan membawa
senjata. Memang ia sengaja hendak mengganyang pemuda ini
510
terlebih dulu, sedangkan kambing betina yang cantik jelita itu boleh
ia urus belakangan dan hal ini menurut anggapannya bukanlah
suatu pekerjaan yang terlalu sulit! Maka, sambil memperdengarkan
suara erangan seperti “suara kerbau menguap” si Beruang Lengan
Besi ini melompat maju menubruk Bun Liong seraya goloknya
menyambar ke arah pemuda itu!

Akan tetapi, sebelum Go Bang dapat menubruk sasarannya yaitu


selagi ia melompat itu, tiba-tiba ia dihadang oleh Yang Hoa yang
bergerak cepat dan dengan pedangnya menangkis golok itu
terpental dan tubuh Go Bang mundur terhuyung-huyung!

“Raksasa hitam keji! Kau tak tahu malu menyerang lawan yang
tiada bersenjata! Kalau benar kau hendak bertindak mewakili tay-
ong mu, biarlah aku yang bertindak selaku wakil dari pangcu Pauw-
an-tui menghadapimu! Pedangku akan melayani golok pemotong
babimu!”

Bun Liong yang tadinya sudah bersiap menyambut serangan Go


Bang, lalu mundur sambil tersenyum dan membiarkan calon
isterinya melampiaskan kemarahannya terhadap si Rakrasa Hitam
itu. Adapun Go Bang, mendengar ucapan Yang Hoa yang baginya
merupakan satu penghinaan, menjadi marah.

511
Untuk sejenak ia merasa terkejut karena hadangan gadis itu sudah
dapat mematahkan tubrukannya terhadap Bun Liong. Bahkan
tangkisan pedang dari gadis itu hampir saja menyebabkan
goloknya terlepas dari pegangannya, bahkan telapak tangannya
terasa pedas dan lengannya tergetar.

Hal ini membuktikan kepadanya, bahwa ilmu silat dan tenaga


dalam gadis itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan!
Meskipun sedikitnya sudah dapat membuktikan kelihayan gadis
itu, namun Tiat-pi-him Go Bang tidak menjadi gentar. Sebagai
seorang tokoh perampok yang sudah banyak pengalaman, takkan
mundur sebelum merasai sendiri keunggulan lawan.

Mengganyang Bun Liong atau gadis itu baginya sama saja, karena
kedua-duanya adalah musuh besar yang secepat mungkin mesti
dibikin beres! Apalagi ke dua bocah kurang ajar ini sekarang sudah
masuk ke dalam perangkapku, hanya kalau mereka dapat terbang
saja barangkali dapat lolos dari sini, maka biarpun mereka lihay,
apa yang mesti kugentarkan? Demikian pikir Go Bang sambil
membuat perhitungan.

Dengan mata melotot, Go Bang memandang marah kepada Yang


Hoa yang menantangnya dengan pandangan mengejek.

512
“Bocah sombong, rasakanlah ketajaman golokku karena hari ini
merupakan saat yang terakhir dari hidupmu!” serunya. Dengan
mengeluarkan angin bagaikan kebutan sayap burung garuda yang
besar, goloknya menyambar ke arah Yang Hoa.

“Raksasa hitam pemotong babi! Kaulah yang harus merasakan


ketajaman pedangku karena hari ini kau berikut semua kamrat-
kamratmu, akan kuhadapkan kepada Giam-lo-ong untuk diadili
dosa-dosa di sana dan kuharapkan kalian akan dihukum dalam
godokan timah di neraka jahanam!” Yang Hoa membalas memaki
sambil mengelak ke samping dan membalas serangan lawan
dengan pedangnya.

Cepat sekali gerakan Yang Hoa sehingga Go Bang sekali lagi


merasa terkejut dan tidak sempat membalas ejekan nona itu.
Goloknya diayun dengan sepenuh tenaga. Dengan mengandalkan
goloknya, yang tebal dan berat itu ia hendak menangkis pedang
lawan agar terlepas dari pegangan gadis itu.

Akan tetapi Yang Hoa terlalu lincah dan kalau tidak terpaksa sekali,
ia tidak mau membenturkan pedangnya dengan golok lawan.
Baginya rugi kalau membiarkan pedangnya yang tipis itu dihantam
oleh golok besar! Juga nona ini tidak mau mengandalkan
ketajaman pedangnya untuk membabat golok lawan.

513
Biarpun pedangnya itu sejenis pedang mustika yang sangat tajam
dan ampuh, tetapi tentu akan rusak juga kalau dipakai untuk
membabat golok Go Bang karena golok itu tebal dan berat. Juga
ada bahayanya yakni kalau ia kalah tenaga, pedangnya akan
terlepas dari pegangan.

Inilah sebabnya maka Yang Hoa selalu mencegah pedangnya


berbenturan dengan golok lawan. Gadis ini mengandalkan
kelincahan tubuhnya untuk mengelakkan serangan golok lawan,
dan dengan kegesitannya yang luar biasa, pedangnya selalu
mencari lowongan mengancam lawannya!

Ilmu golok Go Bang cukup hebat serta ganas. Dan dari pergerakan
kaki dan tangan kirinya yang kadang-kadang maju pula menyerang
dengan tendangan dan cengkeraman, dapat diduga bahwa ia
mempunyai ilmu silat dari utara yang dicampur ilmu berkelahi gaya
Mongol.

Bahkan yang mengejutkan dan mengagumkan Yang Hoa dan Bun


Liong adalah kehebatan lengan kiri Go Bang yang dapat
menangkis pedang lawan tanpa mendapat luka. Agaknya lengan
kiri itu mempunyai kewedukan yang luar biasa dan karena
keistimewaan inilah agaknya maka Go Bang mempunyai nama
julukan si Beruang Lengan Besi!

514
Dan yang lebih mengagumkan lagi, setiap kali setelah lengan kiri
itu membuat tangkisan serangan pedang lawan, secepat kilat dan
seperti gerakan otomatis tangan kirinya mengulur ke depan dan
hendak menangkap pedang yang pasti akan terampas oleh
cengkeraman jari-jari tangannya apabila Yang Hoa tidak cepat
menarik kembali senjatanya! Diam-diam Bun Liong memuji
kepandaian Go Bang ini, akan tetapi ia percaya akan ketangguhan
dan kehebatan calon isterinya.

Ditilik dari tingkat kepandaian, harus diakui bahwa Yang Hoa


memang kalah pengalaman dan kalah tenaga. Akan tetapi dalam
hal ilmu pedang, dara yang telah mewarisi ilmu pedang Thian-san-
pay dari Goat Im Nionio ini, ternyata masih menang setingkat.

Juga oleh karena lawannya sudah berusia setengah tua, dan


ditambah lagi tubuhnya yang tinggi besar itu membuat
kegesitannya berkurang sungguhpun setiap pergerakan Go Bang
selalu bersifat mematikan!

Berbeda dengan Yang Hoa, yang memiliki gin-kang yang cukup


sempurna sehingga tubuh dan pergerakannya begitu gesit yang
membuat gadis ini seperti seekor burung walet yang menyerang
seekor gajah yang berat tubuhnya dan lambat gerakannya!

515
Pertempuran itu sudah berlangsung kurang lebih tigapuluh jurus
dan Bun Liong melihat bahwa Yang Hoa sudah mulai mendesak
lawannya. Akan tetapi, oleh karena Go Bang bertempur dengan
nafsu besar dan kemarahan yang berapi-api sehingga
membuatnya nekad, maka untuk beberapa lama Yang Hoa belum
mendapat kesempatan merobohkannya.

Pada suatu saat, yaitu ketika pertempuran sudah menjelang jurus


yang keempatpuluh, sekali lagi lengan kiri Go Bang dijadikan
tameng menangkis sabetan pedang Yang Hoa sehingga pedang
itu untuk kesekian kalinya terpental seakan-akan membacok
sebatang karet yang kuat, sementara goloknya disabetkan ke arah
leher gadis itu.

Yang Hoa cepat menarik kembali pedangnya dan dengan gerakan


tidak terduga gadis ini berjongkok hingga sabetan golok lawan
menyamber di atas kepalanya. Dan sambil berjongkok demikian,
dengan luar biasa cepatnya si nona mengirim tusukan ke arah
perut lawannya!

Dan tak kalah cepat pula, Go Bang memutarkan gerakan goloknya


dari kiri ke kanan hendak menindih pedang si nona. Namun Yang
Hoa sudah mempunyai perhitungan masak mengenai untung
ruginya dalam gebrakan ini.

516
Ia cepat sekali mengalihkan pedangnya yang tadi hendak
ditusukkan ke perut lawan itu diputarkan ke samping sebelah kiri.
Dan karena ini, selain pedangnya terhindar dari babatan golok,
juga gadis ini mempunyai kesempatan yang tidak terduga oleh
lawan, yakni sambil berjongkok, dengkul kaki kiri ditekuk dan kaki
kanan agak diluruskan ke belakang, serentak pedang yang tadi
diputarkan ke sebelah kirinya disabetbalikkan lagi ke kanan,
membabat kaki Go Bang!

Sungguhpun Go Bang terkejut mendapat serangan kilat yang


sama sekali tidak diduganya ini, tapi karena ia memang ulung
maka tidak gugup. Dengan seenaknya saja ia mengangkat kedua
kakinya dengan sebuah loncatan kecil sehingga pedang Yang Hoa
mendesing dan membabat rumput-rumput di bawah kakinya!

Akan tetapi Yang Hoa sungguh terlalu cerdik dan cepat bagi Go
Bang. Selagi si Beruang Lengan Besi ini membuat loncatan kecil
tadi, tiba-tiba kaki kanan si nona melayang ke atas dan karena
gerak tendang ini demikian cepat seakan-akan melebihi kilat dan
pula terjadi di luar dugaan, maka tak ampun lagi ujung sepatu si
nona telah menghantam pergelangan lengan kanan Go Bang dan
terdengar bunyi “Krak…..!”

517
Terdengarlah Go Bang mengaduh kesakitan karena ternyata
tendangan kilat itu telah membuat tulang sambungan di
pergelangan tangan kanannya terlepas sehingga goloknya
terlepas dari pegangannya! Ketika ke dua kaki Go Bang telah
menginjak bumi lagi dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu
karena menahan rasa sakit yang luar biasa pada pergelangan
tangan kanannya, tahu-tahu Yang Hoa telah maju dan
menggerakkan tangan kirinya dengan jari telunjuk dan jari tengah
terbuka, menusuk ke arah mata lawan!

Sambil mengeluarkan seruan marah dan penasaran, Go Bang


mempergunakan lengan kirinya menangkis dan hendak
menangkap tangan si nona dengan cengkeraman jari-jari
tangannya, dibarengi kaki kanannya menggirim tendangan
geledek ke arah tubuh si nona yang begitu dekat berada di
depannya!

Akan tetapi Yang Hoa bukanlah seorang murid dari Goat Im Nionio
seorang tokoh silat dari Thian-san-pay yang berkepandaian tinggi
kalau ia tak dapat melepaskan diri dari serangan yang berbahaya
ini. Serangan Yang Hoa yang seakan-akan hendak menculik biji
mata lawannya tadi hanya sebuah gerakan pancingan belaka agar
lawan mencurahkan perhatian kepada serangannya itu, dan iapun

518
tidak begitu bodoh kalau dirinya begitu dekat dengan lawan tanpa
perhitungan yang matang.

Maka begitu tangan kirinya hendak ditangkap oleh tangan kiri Go


Bang yang berlengan kebal itu dan melihat kaki kanan lawan
bergerak menendang ke arah dirinya, nona Ho Yang Hoa cepat
menjatuhkan tubuhnya ke samping kanan sehingga tubuhnya
setengah bertiarap dan miring di atas tanah. Sambil
menghindarkan diri dari serangan lawan si nona tidak mau
membuang waktu percuma.

Karena di dalam gerakan menjatuhkan diri tadi, cepat ia mengirim


serangan dengan sabetan pedangnya ke arah paha kiri si Beruang
Lengan Besi itu. Dan serangan ini, Yang Hoa anggap adalah
serangan yang terakhir untuk merobohkan lawannya!

Akan tetapi ternyata Tiat-pi-him Go Bang berkepandaian tinggi,


biarpun ia sudah amat terdesak dan serangan dari gadis itu
membuatnya sangat terkejut, namun ia masih dapat mengelakkan
diri dengan cara yang benar-benar mengagumkan! Karena kini ia
sudah tidak bersenjata dan tak ada waktu lagi untuk menangkis
pedang si nona yang mengarah pahanya itu dengan
mempergunakan lengan kirinya yang luar biasa kebalnya, maka ia
terpaksa menjatuhkan diri ke samping kanan dan melakukan

519
jungkir balik tiga kali di atas tanah sehingga dirinya jadi terpisah
dengan Yang Hoa sejauh tiga tombak lebih!

Dan ketika ia berdiri lagi setelah berjungkir balik tadi, tepat ia


berada di dekat Bun Liong. Mungkin karena ia sudah merasa
kewalahan oleh si nona, maka ia hendak menyerang Bun Liong
secara mendadak, atau mungkin juga kemarahannya terhadap si
nona hendak ia timpakan kepada pemuda yang kelihatannya diam-
diam dan tenang-tenang saja itu!

Sekali samber saja tangan kirinya telah menangkap lengan kiri Bun
Liong dan terus diputarkannya ke belakang sehingga lengan
pemuda itu tersengkilit!

Karena sama sekali tidak menyangka bahwa si tinggi besar itu


akan menyerang dan menangkap lengannya sehingga tersengkilit
demikian rupa, Bun Liong tidak mempunyai kesempatan untuk
mengelak lagi. Dan ia terpaksa tinggal mandah saja.

Lengan kirinya terketuk di belakang punggungnya dengan bagian


pergelangannya dicekal oleh jari-jari tangan Go Bang yang
dirasakannya bagaikan sebuah jepitan baja dan mendatangkan
rasa sakit bukan main!

520
“Kambing muda, lebih baik kau menyerah saja dan serahkan
kambing betina galak itu kepadaku. Kalau tidak lenganmu ini akan
patah-patah,” kata Go Bang mengancam dan ia merasa yakin
pemuda itu sudah tidak berdaya, karena memang Bun Liong
kelihatannya seperti benar-benar tidak berdaya!

“Raksasa hitam busuk! Benar-benar kau tidak tahu selatan!”


seruan marah ini adalah dari Yang Hoa yang ketika itu sudah
meloncat dan agaknya gadis ini hendak menolong calon suaminya.

Akan tetapi gadis ini serentak menarik gerakan pedangnya yang


semula hendak disabetkan ke arah punggung si tinggi besar itu
ketika ia melihat isyarat dari Bun Liong yang mengedipkan
matanya, yang dapat ditangkap maksudnya bahwa pemuda itu
tidak perlu ditolong!

Oleh karena itu, Yang Hoa mau tak mau mesti mengindahkan
isyarat calon suaminya dan ia mundur ke belakang tiga langkah
dengan dada berdebar tegang. Karena meskipun percaya bahwa
calon suaminya berkepandaian tinggi namun tak urung hati dara ini
merasa cemas dan khawatir.

“Sebelum pedangmu dapat mendekati tubuhku, bakal suamimu ini


akan mampus dengan menderita lengannya terlepas dari

521
pundaknya. Mengerti?!” Go Bang mengancam lagi sambil tangan
kanannya yang sudah setengah lumpuh itu digerak-gerakkan ke
arah Yang Hoa sehingga nona ini jadi semakin cemas dan gelisah.

Apalagi ketika dilihatnya Bun Liong memperlihatkan wajah


meringis seakan-akan menderita kesakitan. Bukan main
bingungnya Yang Hoa, isyarat dari calon suaminya tadi
membuatnya serba salah.

Sambil menanti betapa perlawanan yang akan diperbuat oleh Bun


Liong, diam-diam gadis itu merogoh kantong bajunya dimana
selalu tersimpan beberapa batang senjata rahasia. Maksudnya ia
hendak mengirim serangan terhadap si tinggi besar itu dengan
menggunakan senjata rahasianya, kalau terpaksa!

“Heh! Kambing dogol, kenapa kau masih belum memberikan


penyahutan atas permintaanku tadi?! Apakah kau benar-benar
menginginkan tulang lenganmu remuk dan patah-patah?!” berkata
lagi Go Bang sambil ketawa penuh kemenangan.

Dan cekalan pada pergelangan tangan pemuda itu dipererat dan


sengkilitannya diperhebat sehingga tubuh Bun Liong jadi
membungkuk ke depan dan menggeliat-geliat! Go Bang ketawa
makin besar ketika melihat pergerakan pemuda seperti seekor

522
kelinci menggeliat-geliat dalam cengkeraman harimau. Ia merasa
yakin bahwa pemuda itu akan menyerah mentah-mentah di dalam
tangannya!

Benarkah Bun Liong demikian lemah tak berdaya? Benarkah


pemuda ini sama sekali tidak dapat melepaskan tangannya dari
cekalan si Beruang Lengan Besi itu?!

Tidak! Bun Liong bukanlah seorang murid tunggal dari Bu Beng


Lojin kalau ia tidak mampu berbuat sesuatu sebagai reaksi balasan
terhadap Go Bang. Jangankan si Beruang Lengan Besi itu hanya
mempergunakan tangan kirinya saja, meskipun kalau tangan
kanannya belum teklok ditendang oleh Yang Hoa tadi dan
mempergunakan sepasang tangannya meringkus Bun Liong,
pemuda ini tidak mungkin akan menyerah begitu saja!

Nah, lihatlah reaksi yang diperbuat dengan diam-diam oleh


pemuda itu!

Tiba-tiba suara ketawa besar Go Bang tadi berhenti. Berbareng


tangan kiri si tinggi besar ini melepaskan cekalannya dan ia
meloncat ke belakang seperti disengat kalajengking sambil
mulutnya mengeluarkan seruan kaget dan wajahnya yang hitam itu
nampak pucat!

523
Ia merasakan telapak tangannya yang tadi digunakan mencekal
pergelangan tangan pemuda itu sakit dan panas sekali bagaikan
mendapat sengatan berpuluh-puluh binatang kalajengking yang
berbisa dan seluruh lengan sampai ke pundaknya terasa sakit dan
panas pula! Ia menggerak-gerakkan lengan kirinya sambil
mengerahkan lweekang untuk coba memunahkan perasaan apa
yang dideritanya itu.

Akan tetapi pada detik berikutnya Go Bang sekali lagi


mengeluarkan seruan kaget dan setengah mengeluh dan keringat
dingin mengucur. Tulang-tulang jari tangannya mengeluarkan
bunyi berkerotokan dan di dalam lengan kirinya seperti banyak
sekali benda-benda tajam menusuk dan menyayat-nyayat
dagingnya.

Dan saat selanjutnya lagi, lengan-kirinya jadi tergantung saja di


bawah pundaknya tanpa dapat bergerak sedikitpun seperti sehelai
daun layu yang patah tangkainya. Tangan kanannya sudah teklok
dan lumpuh, ditambah lagi kini lengan kirinya seakan-akan sudah
menjadi mati, benar-benar bagi Go Bang merupakan penderitaan
hebat!

Inilah pukulan membalik dari tenaga cekalannya yang dihantam


oleh sin-kang yang disalurkan melalui pergelangan tangan Bun

524
Liong yang dicekalnya erat-erat tadi! Ternyata Bun Liong yang tadi
kelihatannya seperti tidak berdaya itu, telah mengirim serangan
balasan dengan diam-diam dan akibatnya hebat sekali!

Sebenarnya, selagi pergelangan tangannya ditangkap dan


lengannya ditekuk sengkilitkan sedemikian rupa oleh Go Bang
yang benar-benar memiliki tenaga raksasa tadi, tentu saja pemuda
ini dapat menghantam lawan yang berada di belakang
punggungnya itu dengan mudah. Dengan sebuah pukulan yang
mematikan, yaitu menggunakan pukulan Lui-lek-ciang dengan
tangan kanannya yang tinggal bebas ke arah belakang.

Tetapi ia tidak mau mengobral pukulan ampuhnya itu jika tidak


keliwat perlu. Sambil berpura-pura menggeliat dan kelihatannya
tidak berdaya sehingga Go Bang ketawa besar, pemuda ini diam-
diam mengerahkan sin-kangnya ke arah pergelangan tangan
kirinya yang membuat apa yang dicekal oleh lawannya itu menjadi
panas seperti baja membara dan bulu-bulu lengan menjadi tegak
berdiri serta mengeras bagaikan jarum!

Ilmu yang berdasarkan lweekang tinggi ini dinamakan ilmu pukulan


“Melepas Tulang dan Memutuskan Urat”. Warisan dari gurunya
yang baru pertama kali ini dipraktekkan oleh Bun Liong, yang
akibatnya telah dapat melepas-lepaskan tulang-tulang dari setiap

525
sambungannya dan memutuskan urat-urat dalam anggauta tubuh
yang berdekatan dengan bagian yang terkena serangan sin-kang
ini seperti halnya yang dialami Go Bang.

Selain tulang-tulang dari tangannya berlepasan dari


sambungannya, bahkan seluruh urat di dalam lengan kirinya putus
semua dan membuatnya lumpuh seketika itu juga!

Setelah serangan balasannya berhasil, dengan perlahan dan tetap


tenang seperti tidak pernah terjadi suatu peristiwa apapun yang
barusan mengancam keselamatannya, Bun Liong membalikkan
tubuh dan memandang kepada Go Bang yang berdiri dengan
wajah meringis, kedua lengannya menggantung terkulai seperti
lengan-lengan wayang yang tidak digerakkan oleh dalang.

“Eh, Beruang Lengan Besi, tadi kau bilang hendak meremuk dan
mematah-matahkan lengan tanganku, tapi mengapa kau tiba-tiba
membatalkannya?! Agaknya kau menaruh kasihan terhadapku,
sehingga atas kemurahan hatimu benar-benar aku merasa
berterima kasih kepadamu…….,” kata Bun Liong sambil tersenyum
menyindir dan wajahnya yang tampan sengaja ditunjukkannya
seperti seorang tolol!

526
Akan tetapi, baru saja kata-katanya itu habis, sebagai
penyahutannya Go Bang mengerang marah! Rasa sakit pada
kedua lengannya bagi Go Bang tidak seberapa kalau dibandingkan
rasa sakit di hatinya mendengar sindiran pemuda yang tidak
disangkanya memiliki ilmu kepandaian sedemikian tinggi dan
hebat itu!

Sindiran itu membuat dadanya sangat panas karena marah dan


hatinya merasa malu! Baginya sindiran pemuda itu merupakan
penghinaan dan oleh karena memang si Beruang Lengan Besi ini
selama malang melintang di kalangan Liok-lim belum pernah
dihina orang, apalagi oleh anak muda seperti Bun Liong, maka
daripada hidup menanggung malu dihina orang. Inilah sebabnya
maka ia mengerang marah dan menjadi nekad.

Sambil mengerang tiba-tiba Go Bang melompat maju dan


menubruk Bun Liong. Biarpun sepasang lengannya tidak mampu
bergerak lagi ternyata ia masih mempunyai ilmu silat simpanan
yang tak kepalang hebatnya!

Sambil melompat dan menubruk, Go Bang mengirim serangan


dengan kedua kakinya dalam gerakan Loan-hong-tui (Tendangan
Angin Puyuh)! Tubuhnya yang tinggi besar dari udara menubruk ke
bawah sambil kedua kakinya melakukan tendangan dahsyat

527
bertubi-tubi ke arah Bun Liong. Tendangan ini begitu hebat dan
mendatangkan angin seperti amukan angin puyuh, sekali saja
mengenai sasaran, berarti maut!

Menghadapi serangan dari lawan yang telah nekad ini, dan yang
sangat berbahaya, Bun Liong sudah mempunyai persiapan yang
sangat sempurna untuk menyambutnya. Pemuda ini tidak berkisar
dari tempatnya, dan juga tubuhnya sama sekali tidak berkelit,
melainkan dengan dada terpentang lebar seakan-akan sengaja
dibuka dan diumpankan bagi serangan lawan, ia menggerakkan
kedua tangannya, yang kiri dari atas dan yang kanan dari bawah.

Ketika tubuh Go Bang turun ke bawah dengan tubrukan


tendangannya, tahu-tahu kaki kirinya yang melakukan tendangan
telah ditangkap oleh tangan kanan Bun Liong dan tangan kiri
pemuda itu sudah memegang ikat pinggangnya. Kemudian,
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, tanpa menggerakkan
kedua kakinya, tubuh yang tinggi besar itu sudah diangkatnya ke
atas lalu dibanting ke bawah.

“Brukkk!” Saking kerasnya tenaga bantingan dan ditambah daya


berat dari tubuh yang dibantingkan, telah menimbulkan suara
dahsyat seperti gempuran seekor banteng ketika tubuh Go Bang

528
membentur sebatang pohon besar dan pada saat itu juga nyawa si
Beruang Lengan Besi sudah melayang meninggalkan raganya!

“Hebat dan luar biasa……!” Seruan memuji tetapi bernada marah


tiba-tiba menggema di hutan dan berbareng dengan itu, dari
belakang rumpun keluar tubuh seorang kakek kerdil yang
kelihatannya benar-benar menyeramkan. Bajunya terbuat dari kulit
macan loreng, celananya berwarna hitam dan kakinya tidak
mengeluarkan suara sedikitpun, benar-benar seperti gerakan
seekor harimau!

Ketika kakek ini sudah berdiri di depan Bun Liong dan Yang Hoa,
maka kedua orang muda ini maklumlah bahwa mereka
berhadapan dengan si Cakar Harimau Lo Ban Kui, yaitu si raja
perampok! Melihat rupa kakek itu diam-diam bulu kuduk Yang Hoa
meremang karena tampaknya benar-benar menyeramkan.

Punggung kakek itu agak bungkuk, kepalanya setengah botak dan


kumis serta jenggotnya jarang-jarang, hidungnya panjang bengkok
seperti paruh burung rajawali. Matanya bersinar sangat tajam dan
selalu bergilar liar seperti mata srigala lapar.

Dan yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena seluruh jari


tangannya itu berkuku panjang dan runcing serta berwarna coklat

529
kehitam-hitaman. Demikian juga kuku seluruh jari kakinya yang
telanjang itu, semuanya tajam dan panjang meruncing seperti
kuku-kuku kaki harimau!

Houw-jiauw Lo Ban Kui ketawa terkekeh aneh dan matanya yang


liar itu bergilar memandang kepada Bun Liong dan Yang Hoa,
kemudian ia berkata dengan suara yang besar dan parau:

“Dua ekor kerbau muda yang baru tumbuh tanduk, tunggu apa
lagi? Mengapa berhadapan denganku kalian tak cepat berlutut?”

Mendengar ucapan ini, Bun Liong bersikap tenang saja biarpun


dadanya berdebar tegang. Ia maklum bahwa kakek itu berilmu
tinggi, maka ia mesti berlaku hati-hati.

Akan tetapi Yang Hoa yang beradat keras, menjadi marah hingga
karenanya, tanpa mengucapkan sesuatu perkataan lagi, gadis
yang memiliki keberanian luar biasa ini melompat maju dan dengan
gerakan secepat kilat, pedangnya berkelebat menyerang kakek itu!
Serangan ini tidak boleh dibuat permainan, karena si nona
mempergunakan ilmu pedang Thian-san-pay yang lihay dengan
gerak tipu Naga Hijau Menyabetkan Ekor!

530
Si kakek hanya ketawa terkekeh lagi dan tangan kirinya bergerak
ke atas menyambut pedang si nona, dengan kuku jari telunjuknya
membuat sekali sentilan, pedang itu telah ditangkisnya.

“Criiiinnnggg……..!” demikian bunyi kuku yang menyentil pedang


itu.

Pedang di tangan Yang Hoa terpental dan gadis itu terkejut sekali
karena telapak tangannya yang memegang gagang pedang
menggetar seperti kesemutan. Namun Yang Hoa tidak gentar
karenanya, bahkan gadis yang berwatak keras ini cepat mengirim
serangan susulan.

Pedangnya meluncur ke depan hendak menusuk dada kakek itu,


dan kembali terdengar suara “criiinnggg!” Ternyata Lo Ban Kui,
tanpa mengisarkan kedua kakinya sedikitpun, telah menyentil pula
pedang itu dengan kuku jari tangan kanannya!

Bun Liong yang melihat itu, kagum sekali. Menangkis pedang yang
tajam hanya dengan sentilan kuku jari, benar-benar hanya mampu
dilakukan oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat
kepandaiannya. Ia maklum bahwa kakek kerdil itu merupakan
lawan berat, berbahaya dan terlampau tangguh bagi Yang Hoa,
maka ia segera berseru kepada calon isterinya,

531
“Yang-moay, jangan kau borong sendiri orang hutan ini, berilah
giliran bagiku untuk menghadapi monyet tua ini! Kau
istirahatlah…….!”

Houw-jiauw Lo Ban Kui mengerang seperti seekor harimau marah


mendengar dirinya disebut monyet tua oleh pemuda itu. Agaknya
ia hendak menyerang akan tetapi ia mesti meladeni serangan dari
Yang Hoa yang saat itu telah melancarkan pula serangan
selanjutnya.

Bun Liong sebenarnya menghendaki supaya nona itu


mengundurkan diri dari lawan yang lihay dan ia mengharapkan
agar si raja rimba hijau itu langsung menyerang terhadapnya.
Biarpun ia sendiri belum yakin benar dapat mengalahkan si Cakar
Harimau, namun dengan demikian berarti secara tidak langsung
menghindarkan diri calon isterinya dari lawan yang amat tinggi ilmu
silatnya itu.

Inilah pengorbanan dari hati yang mencinta. Biar bahaya dialihkan


kepadanya asal orang yang dicintainya terhindar dari malapetaka!

Akan tetapi, gadis seperti Ho Yang Hoa yang keras hati dan
sepanjang pertempuran yang pernah dialaminya belum pernah
dikalahkan, mana mau mengalah begitu saja? Pengalamannya

532
yang belum banyak dan ditambah lagi perangainya yang menaruh
benci terhadap kaum penjahat, membuat hatinya panas sehingga
seruan dari calon suaminya tadi sama sekali tidak dihiraukannya.

“Aku harus mampuskan macan jadi-jadian kaki dua ini!” serunya


dengan hati panas seperti terbakar karena pedangnya ditangkis
orang dua kali hanya dengan sentilan kuku jari saja, berarti bahwa
lawan itu memandangnya sangat rendah!

Pedangnya membuat gerakan memutar sehingga tampak


berkelebat dan berkilau bagaikan sambaran halilintar dan agaknya
hendak membabat pundak kakek bungkuk itu. Tetapi ketika lawan
lihay ini menggerakkan tangan kanannya hendak menangkis
pedang si nona dengan sentilan jari tangannya seperti tadi pula,
Yang Hoa telah cepat merubah gerakan pedangnya yang lalu
diluncurkan ke depan mengarah dada lawan.

Pedang itu umumnya menusuk secara lurus seperti luncuran


tombak, akan tetapi Yang Hoa tidak demikian cara
menusukkannya karena gadis ini membuat pedangnya bergerak
ke atas dan ke bawah. Gerakan ini dilakukan cepat sekali sehingga
ujung pedang itu kelihatannya seperti bercagak.

533
Maksudnya untuk membingungkan lawan supaya tidak
mengetahui bahwa ke mana pedang itu hendak menusuk, ke
tenggorokan atau ke arah ulu hati! Inilah sebuah jurus dari ilmu
pedang Thian-san-pay yang disebut gerak tipu Sian-li-yauw-san
(Dewi menggoyangkan kipas).

Akan tetapi Houw-jiauw Lo Ban Kui benar-benar bukan orang


sembarangan! Melihat tusukan pedang yang sekaligus mengarah
dua jurusan ini sama sekali tidak gugup bahkan dengan gerakan
wajar dan tenang sekali kedua tangannya membuat penjagaan.

Kesepuluh jari tangannya yang berkuku macan menjaga di depan


dada yang kiri menjaga tenggorokan dan yang kanan diletakkan di
depan ulu hatinya. Dan pada detik pedang si nona menerobos
benteng penjagaan itu menghunjam ulu hatinya, kakek ini
menggerakkan kuku jari tangan kanannya, menyentil.

“Cringgg…….!” Pedang terpental dan jadi mencong arahnya, akan


tetapi ujung pedang yang runcing dan tajam itu setelah kena
tangkisan istimewa barusan, kini menusuk tenggorokannya.

Kembali ia menangkis, tangkisan yang dilakukan dengan sentilan


kuku jari tangan kirinya yang sudah dipersiapkan itu. Begitu mudah

534
dan tepat ia menyentil, bagaikan menyentil daun telinga seorang
anak kecil saja layaknya.

“Cringgg…….!” Untuk keempat kalinya pedang di tangan Yang


Hoa terpental oleh sentilan kuku jari yang panjang dan kuat itu.

Ketika kuku jari tangannya menyentil pedang untuk keempat


kalinya ini, kaki kanan Ban Kui yang panjang dan berkuku panjang
melayang melakukan tendangan ke arah perut si nona. Tapi
baiknya Yang Hoa cukup gesit, sebelum tendangan berbahaya itu
mengenai perutnya, terlebih dulu ia telah mengerahkan tenaga
pada kedua kakinya dan sambil berseru keras, tubuhnya yang
langsing padat telah melesat ke atas dengan gerak tipu Sin-liong-
cui-cu (Naga Sakti Mengejar Mustika) sehingga karenanya,
tendangan Ban Kui hanya menghantam tempat kosong!

Ketika tubuhnya mumbul di udara, dara ini menukik dengan


lawannya menengadah melihat kepadanya, secepat garuda
menyambar Yang Hoa melayang turun dengan tubuhnya tetap
dalam keadaan menukik sedangkan pedangnya digerakkan
sedemikian rupa hingga sinarnya tampak bergulung merupakan
kitiran yang ditiup angin kencang menyambar-nyambar ke arah
lawannya dari atas!

535
Serangan yang dilakukan Yang Hoa kini lebih dahsyat dan ganas
daripada yang tadi. Karena gadis ini sudah marah sehingga
mengeluarkan jurus yang hebat dan yang disebut tipu Pak-hong-
pho-liu (Angin Utara Menyerang Cemara)!

Houw-jiauw Lo Ban Kui memperdengarkan seruan kaget karena ia


tidak menyangka bahwa dara lawannya itu dalam mengelak dari
tendangannya sekaligus dapat melakukan serangan demikian
hebat. Kini ia tidak dapat mempergunakan kuku-kuku jari
tangannya lagi untuk menangkis, karena maklum sambaran-
sambaran pedang si nona di atas kepalanya itu sangat berbahaya.

Juga untuk mengelak sukar sekali karena serangan datang dari


atas secara bertubi-tubi dan gulungan sinar pedang itu mengurung
dirinya, maka terpaksa ia menggulingkan tubuhnya ke tanah.
Sambil bergulingan ke dua tangannya bergerak-gerak ke atas
melindungi tubuh sehingga ketika Yang Hoa turun dan dengan
gemas sekali pedangnya membuat gerakan membabat,
membacok dan menusuk secara beruntun, kembali terdengar
suara nyaring “cring, cring, crinnng…..!” dan ternyata, pedang si
nona telah ditangkis pula oleh sentilan kuku jari kedua tangannya
dan kini pertemuan antara pedang dan kuku jari tangan itu bahkan
menimbulkan bunga api berpijar!

536
“Lihay sekali…….!” Bun Liong berkata perlahan dan disamping
rasa kagumnya akan kelihayan si kepala perampok itu, di dalam
hatinya sangat menyesalkan kebandelan calon isterinya.

Tetapi Yang Hoa yang berwatak keras dan tidak pernah mengenal
arti takut, hawa amarahnya telah memuncak sehingga gadis ini
menjadi nekad. Dan ketika melihat kesempatan dikala lawannya
masih bergulingan, kaki kirinya bergerak dan sebuah tendangan
yang disertai pengerahan tenaga lweekang menyamber ke arah
lambung Ban Kui!

Akan tetapi kakek bungkuk itu benar-benar lihay, biarpun sedang


bergulingan dan kelihatannya seperti terdesak, namun ketika
melihat kaki si nona ditendangkan ke arah lambungnya, sambil
berbaring miring menghadapi lawannya, sebelah kakinya bergerak
ke atas dan telapak kakinya yang telanjang itu cepat sekali
memapak tumit sepatu di kaki Yang Hoa yang menendang itu.

Beradunya dua kaki yang saling tendang ini hebat sekali akibatnya!
Tubuh Ban Kui jadi terpental dan tergulingan sejauh dua tombak,
sedangkan tubuh Yang Hoa jadi melayang ke belakang karena
kakinya yang menendang dan dipapak oleh telapak kaki lawannya
tadi seperti terkena tenaga dorongan yang kuat sekali yang

537
membuat tubuhnya mencelat ke atas seperti dilempar oleh tenaga
raksasa!

Baiknya nona ini memiliki gin-kang tinggi. Biarpun peristiwa ini


membuat hatinya kaget tetapi ia masih dapat mengatur
keseimbangan tubuhnya, sehingga di udara ia melakukan salto
tiga kali dan kemudian tubuhnya melayang turun dalam keadaan
berdiri.

Dan ketika ia memandang kepada lawannya, ternyata kakek itu


sudah berdiri sambil ketawa terkekeh-kekeh mengejeknya dan
jarak antara mereka itu kini ternyata kurang lebih sejauh lima
tombak!

Sejenak Yang Hoa menggerak-gerakkan kaki kirinya karena agak


sesemutan. Baiknya ia melakukan tendangan tadi disertai
pengerahan tenaga lweekang pada kakinya, sehingga setelah
beradu dengan tendangan dari kakek itu yang disertai tenaga
lweekang pula, tidak mendatangkan sesuatu akibat, kecuali terasa
kesemutan saja.

“Pauw-an-tui Sianli, benar-benar lihay, hehehe…..” kata si Cakar


harimau dalam tawa kekehnya sambil mengangkat sulingnya yang
bengkok itu dengan sikap mengejek.

538
Kalau hati sudah dikuasai nafsu amarah, sukar sekali bagi sang
otak untuk mempertimbangkan baik buruknya tindakan yang akan
dilakukannya. Demikianlah dengan Yang Hoa, karena marahnya,
gadis ini tak sadar bahwa kakek itu terlalu tangguh baginya,
bahkan sebaliknya kakek yang hanya melawan dengan sentilan-
sentilan belaka, dianggapnya memandang rendah padanya.

Pada hakekatnya, memanglah Houw-jiauw Lo Ban Kui terlalu


tangguh dan tingkat kepandaiannyapun jauh lebih tinggi dari Yang
Hoa, sehingga betapa pandainya nona itu memainkan pedangnya,
namun kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu kepandaian kakek
ini, boleh dikata Yang Hoa masih sangat hijau. Selain kalah
pengalaman, Yang Hoa mempunyai kelemahan, yakni adatnya
yang keras selalu membuat ia berlaku nekad dan seorang yang
telah nekad pikirannya jadi gelap dan berlaku ceroboh.

Baiknya bagi Yang Hoa, kebaikan yang tidak disadari oleh nona itu
sendiri, ialah bahwa kakek bungkuk kepala garong yang luar biasa
lihaynya itu masih menaruh rasa kasihan terhadapnya, sehingga
tidak melawan dengan sungguh-sungguh, hanya
mendemonstrasikan sentilan-sentilan kuku jari tangannya saja dan
sama sekali tidak balas menyerang.

539
Agaknya kalau Houw-jiauw Lo Ban Kui menghendaki kematian
nona itu, dalam dua gebrakan saja Yang Hoa akan roboh binasa.
Atau sedikitnya akan terkena cengkeraman kuku jari tangannya
yang beracun itu, yang akibatnya juga bisa mendatangkan maut!

Namun kakek ini hendak menangkap si nona hidup-hidup. Oleh


karena, seperti Tiat-pi-him Go Bang yang telah mampus tadi, kakek
inipun nafsu binatangnya telah bergolak melihat kecantikan nona
dan itu dan inilah alasan utama mengapa ia tidak mau
mencelakakan Yang Hoa.

Harus diketahui bahwa kuku-kuku jari tangan Ban Kui selain dapat
menangkis senjata lawan hanya dengan sentilan, juga dapat
mencengkeram dan merampas pedang lawan. Dan kalau
cengkeraman ini dilakukan terhadap pedang si nona tadi, sekali
renggut saja pedang itu pasti dapat dirampasnya!

Setelah kesemutan di kakinya tadi hilang, tanpa tidak membuang


waktu lagi nona yang dadanya telah dibakar api kegusaran ini
melompat maju pula dan pedangnya ditodongkan ke depan
mengarah Ban Kui yang ketika itu masih memperdengarkan suara
tawa ejekannya. Akan tetapi tiba-tiba:

540
“Traannng…….!” pedang Yang Hoa yang diacungkan ke depan itu
ada yang membentur dari samping. Dan seirama dengan itu, tahu-
tahu Yang Hoa telah dikurung oleh lima orang liauw-lo berdiri di
belakang, dua orang di kiri kanan dan yang seorang lagi
menghadang di depan si nona dan orang inilah yang barusan
membentur pedang si nona dengan goloknya.

Ke lima liauw-lo ini memang sejak tadi sudah mengintai di balik


semak-semak dan batang-batang pohon sekitar tempat itu. Dan
ketika mereka dari tempat pengintaiannya melihat tanda dari
pemimpin mereka, tanda yang tidak diketahui oleh orang luar,
maka serempak mereka berlompatan keluar dan kini mengurung
Yang Hoa dengan golok dipersiapkan di tangan dan sikapnya
sangat garang!

“Tangkap si cantik itu hidup-hidup dan aku hendak memberi


hajaran kepada kerbau jantan yang bernyali besar berani
memasuki sarang harimau ini!” seru Ban Kui kepada ke lima orang
anak buahnya dan waktu itu juga kakek ini melompat dan
menubruk Bun Liong dengan gerak tipu Macan Lapar Menerkam
Kambing.

Mendengar perintah dari Ban Kui, serempak lima orang liauw-lo


bergerak maju, tapi golok mereka tidak digerakkan hanya

541
kepungan mereka makin rapat. “Menyerahlah dan lepaskan
pedangmu, nona manis!” kata liauw-lo yang berdiri di depan Yang
Hoa sambil menyengir kuda.

Yang Hoa yang sudah marah, kini bertambah marah. Dan sebagai
jawaban, pedang dara ini bergerak ganas dan dipusatkan
sedemikian rupa ke sekitar dirinya.

Lima orang liauw-lo itu secara berbareng melompat mundur dan


ketika Yang Hoa hendak membabat seorang liauw-lo yang berada
paling dekat dengan dirinya, gadis ini terkejut dan terpaksa
menyabetkan pedangnya ke belakang karena telinganya yang
tajam mendengar ada dua batang golok yang menyerang
punggungnya!

“Trang, trang…..!” dua batang golok dari dua orang liauw-lo yang
menyerang di belakangnya itu ditangkis oleh pedangnya sehingga
menimbulkan bunga api berpijar dan dua liauw-lo tersebut cepat
melompat mundur!

Yang Hoa mendesak salah seorang yang melompat mundur itu


akan tetapi tiba-tiba pedangnya ditangkis oleh seorang perampok
yang berada di sebelah kirinya. Yang Hoa gemas dan kakinya
menendang ke lambung perampok ini, tetapi lagi-lagi ia mesti

542
mengurungkan serangannya oleh karena pada saat itu dua orang
lawan di belakangnya melakukan tubrukan sehingga gadis ini
cepat membalikkan diri dan menyabetkan pedangnya.

Kembali dua perampok yang disebut belakangan ini melompat


mundur menghindarkan diri dari samberan senjata si nona dan
begitulah selanjutnya. Setiap kali pedang Yang Hoa menyerang
seorang perampok yang berada di depannya, maka salah seorang
perampok yang berada di kiri atau kanannya menangkis
pedangnya dan dua atau tiga orang liauw-lo lainnya lagi, yang
berada di belakangnya, lalu menyerangnya dari belakang dengan
tubrukan karena hendak menangkap nona itu hidup-hidup
sebagaimana perintah pemimpin mereka!

Dalam marahnya, diam-diam Yang Hoa terkejut oleh karena tak


disangkanya sama sekali bahwa ke lima perampok ini memiliki
taktik tempur dan sistim mengepung sedemikian teratur,
dibandingkan dengan liauwlo-liauwlo yang pernah diganyangnya
tadi yang baginya merupakan makanan empuk. Adapun ke lima
orang anak buah perampok yang mengepungnya kini, membuat
gerakan pedangnya tidak leluasa dan tidak menurut ilmu pedang
secara semestinya disebabkan lain yang diserang, lain yang
menangkis dan lain pula yang melakukan serangan dari
belakangnya.
543
Belum pernah Yang Hoa menghadapi dengan taktik serangan
yang seaneh ini. Setiap serangannya selalu dipatahkan oleh lawan
yang berada disampingnya dan dibarengi dengan sedikitnya dua
serangan lain dari belakang, sungguh-sungguh merupakan
keroyokan yang amat berbahaya sekali!

Sudah dua kali Yang Hoa melompat tinggi dari atas tubuhnya
berjungkir balik dengan gerakan Sin-eng-coan-in (Garuda Sakti
Menembus Awan). Dan pedangnya diputarkan ke bawah
mengarah kepala ke lima lawan yang tetap mengadakan posisi
kepungan itu.

Akan tetapi tidak seorang lawanpun yang terkena sasaran


pedangnya dan bahkan ketika kakinya kembali berdiri di atas
tanah, justeru ia kembali dan berada di dalam kepungan ke lima
lawannya pula seperti semula! Oleh karena ini, Yang Hoa menjadi
bingung sekali dan sama sekali ia belum mengerti dan mengetahui
ilmu kepungan itu.

Ilmu kepungan dan taktik tempur dari ke lima orang perampok itu
ialah yang disebut Ngo-heng-tin dan ilmu sesungguhnya sangat
asing bagi Yang Hoa dan baru sekarang ia menghadapinya.
Ternyata Houw-jiauw Lo Ban Kui disamping mempunyai pembantu
si Srigala Hitam Ciam Tang dan Tiat-pih-im Go Bang, yang kedua-

544
duanya sudah pulang ke akherat, juga mempunyai anak buah yang
paham mainkan ilmu Ngo-heng-tin (Ilmu Kepung Lima Daya) yang
terdiri dari ke lima orang yang mengepung Yang Hoa itu.

Selain masing-masing memiliki kepandaian silat yang tidak boleh


dipandang rendah, mereka berlima kalau maju berbareng
melakukan penyerangan dan kepungan merupakan sebarisan
yang amat tangguh. Karena mereka menggunakan sistim
kerjasama secara berantai yang disebut Ngo-heng-tin itu.

Apabila mereka berlima bersama-sama mengepung dan


melakukan penyerangan, maka mereka merupakan barisan Lima
Daya yang mengepung lawan dari lima jurusan. Dan dalam
kedudukan mereka yang amat kuat ini, jarang sekali ada lawan
yang dapat meloloskan diri dari kepungan mereka.

Di samping bisa merobohkan lawan dengan senjata mereka, juga


Ngo-heng-tin ini dapat menangkap lawan hidup-hidup, yaitu
dengan menubruk dan menangkap lawan dari arah belakangnya.
Karena Yang Hoa hendak mereka tangkap hidup-hidup, maka
mereka menggunakan sistim serang yang disebut belakangan.

Dengan menggunakan sistem yang kedua ini, selama mereka


mengabdi kepada Houw-jiauw Lo Ban Kui sejak mereka masih di

545
daerah utara, tidak kurang dari lima orang pendekar wanita muda,
yang semula hendak mengobrak-abrik komplotan perampok ini
dibikin kewalahan dan akhirnya ditangkap hidup-hidup oleh barisan
Lima Daya ini. Kemudian setelah tawanan itu tidak berdaya, lalu
dijadikan barang permainan mereka secara bergilir!

Melihat betapa Yang Hoa tampak kebingungan dalam kepungan,


ke lima orang liauw-lo yang melakukan Ngo-heng-tin itu girang dan
mereka merasa pasti bahwa nona pendekar yang cantik inipun
akan dapat mereka tawan hidup-hidup! Akan tetapi Yang Hoa
adalah seorang gadis yang amat pemberani dan keras hati dan
ditambah lagi sekarang ia dalam keadaan marah, maka tanpa
mengingat keadaan diri sendiri, ia lalu mengamuk dan menyerang
membabi buta.

Siapa saja yang paling dekat dengan dirinya diserangnya dengan


hebat. Ia berusaha hendak menjatuhkan seorang lawan dulu yang
berada di depannya untuk kemudian menghadapi empat lawan.

Namun kelima liauw-lo pengepungnya itu telah dapat menangkap


maksudnya, maka mereka melakukan penjagaan keras. Dan dari
belakang gadis datanglah serangan bertubi-tubi seperti tubrukan,
pukulan atau totokan ke arah jalan darah tiap kali Yang Hoa
menggerakkan pedangnya ke depan.

546
Sehingga terpaksa dara ini tidak dapat mencurahkan seluruh
perhatian dan kepandaiannya karena ia harus pula menjaga diri
terhadap serangan yang datangnya dari belakang. Karena
terpecah-pecahnya perhatian dan tenaga ini, betapapun lincah dan
tingginya gin-kang Yang Hoa dan ditambah lagi dalam keadaan
kebingungan serta pula sebelum menghadapi lima orang liauw-lo
ini sudah bertempur dengan Go Bang dan Ban Kui, maka kini ia
menjadi cepat lelah dan seluruh pakaiannya sudah menjadi basah
kuyup oleh peluhnya!

Yang Hoa merasakan kepalanya pening ketika tiba-tiba terdengar


salah seorang pengepungnya berseru nyaring dan otomatis
mereka merubah cara mengepung dan menyerangnya. Kalau tadi
mereka mengepung dan menyerang dari lima jurusan dalam
kedudukan masing-masing, maka sekarang mereka mengepung
sambil berlari-lari mengitari si nona.

Yang membuat Yang Hoa pening adalah dikarenakan mereka


berlari mengelilinginya ia secara berlawanan, yakni tiga orang
berlari memutari gadis dengan arah dari kiri ke kanan, sedangkan
yang dua orang lagi berlari dari kanan memutar ke kiri. Dan
sementara itu, serangan mereka datangnya lebih gencar dan
kepungan makin rapat sehingga Yang Hoa jadi seperti terjepit
dalam sebuah lingkaran yang makin lama makin mengecil.
547
Keadaan gadis itu benar-benar sudah berbahaya sekali. Gerakan
pedangnya makin kacau, dan dalam keadaan demikian lima orang
pendekar wanita muda seperti yang sudah diterangkan tadi dapat
ditawan hidup-hidup karena lelah, bingung dan kepala pening
sehingga benar-benar tidak berdaya!

Walaupun kepalanya sudah pening dan tenaganya hampir habis,


namun hatinya yang keras membuat Yang Hoa tidak mau
menyerah begitu saja. Sambil menggigit bibir dan pedangnya
diputarkan dengan mengandalkan tenaga yang masih ada
padanya, ia mengambil keputusan untuk mengadu jiwa.

Demi membela nama Pauw-an-tui dan demi tugasnya untuk


kepentingan masyarakat ia rela mati dalam pertempuran ini asal
saja sedikitnya ia dapat membunuh dulu seorang atau dua di
antara lima pengepungnya. Akan tetapi ternyata usahanya selalu
sia-sia…….

Adakalanya seorang yang sudah sangat kebingungan dan putus


asa, tiba-tiba mendapat akal untuk lari dari penderitaan yang
menyiksanya dan demikian pula dengan Yang Hoa, yang agaknya
beberapa detik lagi akan jatuh menjadi korban dalam kepungan
yang benar-benar hebat itu. Tiba-tiba ia teringat akan senjata
rahasia yang dibawa dalam saku bajunya!

548
Mengapa tidak sejak tadi aku menggunakan piauw, demikian dara
itu menyesali dirinya. Meskipun menggunakan senjata rahasia itu
adalah cara yang curang, namun kalau sangat terpaksa kiranya
tidak pantas disebut satu perbuatan pengecut.

Apalagi perbuatan ke lima perampok itu. Lima orang lelaki


mengeroyok seorang wanita, lebih-lebih pengecut dan curanglah
perbuatan mereka!

Setelah mendapat pikiran ini sambil tangan kanan mengamukkan


pedangnya, diam-diam Yang Hoa merogoh saku bajunya. Dan
ketika pedangnya ditangkis oleh dua golok lawan yang berada di
depannya dan bersamaan dengan itu ia merasakan datangnya
serangan dari lawan-lawan yang berada di belakangnya.

Tiba-tiba ia berseru nyaring dan pedangnya diputarkan di sekitar


tubuhnya dengan menggunakan gerak tipu Thian-sang-sauw-seng
(Menyapu Bintang Di Atas Langit). Sambil memutarkan
pedangnya, tubuhnya turut berputar pula dan tangan kirinya
kelihatan tiga kali mengayun…….

Ke lima orang perampok yang dapat membentuk barisan kepung


sedemikian kuatnya itu, sama sekali tidak menyangka bahwa dara
yang mereka kepung itu akan melakukan penyerangan

549
mempergunakan senjata rahasia. Sehingga karena ini dua orang
di antara mereka dengan terkejut dapat berkelit dari samberan
pedang si nona yang digerakkan secara nekad itu, sedangkan tiga
orang lainnya lagi dalam waktu yang hampir bersamaan telah
mengeluarkan suara jeritan yang sama nyaringnya dan tubuh
mereka segera terjungkal roboh.

Karena tiga batang piauw yang disambitkan Yang Hoa barusan


telah bersarang di lambung, dada dan tenggorokan masing-
masing!

Setelah melihat akalnya berhasil sebagaimana yang diharapkan,


Yang Hoa merasa seperti mendapat semangat baru dan rasa
pening di kepalanya pun otomatis hilang setelah putaran “korsel”
yang memutari dirinya tadi berhenti.

Sedangkan dua orang liauw-lo sisa dari barisan Ngo-heng-tin itu,


setelah melihat betapa ke tiga kawannya telah roboh mampus
timbullah nyali tikusnya dan dalam waktu bersamaan bagaikan
mendapat komando. Serentak mereka membalikkan tubuh dan
lari.

Akan tetapi sebelum mereka menghilang ke dalam semak-semak,


mereka berpekik nyaring dan tubuh mereka terguling dengan

550
hidung mencium tanah dan di punggung mereka menancap dua
batang senjata rahasia yang di”tembak”kan oleh Yang Hoa! Nona
ini menarik nafas lega dan baru kini ia ingat kepada calon suaminya
yang lalu ditengoknya……. Dan ketika itu tiba-tiba, ia mendengar
suara suitan yang nyaring sekali…….

<>

Untuk melihat apa yang terjadi antara Bun Liong dan Ban Kui
sementara Yang Hoa dikepung tadi, marilah kita mundur sebentar.

Oleh karena pada waktu yang hampir bersamaan sejak Yang Hoa
dikepung oleh kelima liauw-lo yang membentuk barisan Ngo-heng-
tin itu, Bun Liong sudah bertempur sengit dengan kakek bungkuk
kepala rampok yang berilmu silat tinggi itu.

Seperti sesudah diceritakan bahwa setelah Ban Kui mengeluarkan


perintah kepada ke lima anak buahnya untuk menangkap Yang
Hoa hidup-hidup, ia sendiri lalu melompat dengan gerak tipu
Macan Lapar Menerkam Kambing, menerkam Bun Liong. Kakek ini
marah sekali terhadap pemuda itu karena ia dimakinya “monyet
tua”.

Selama menjadi kepala rampok belum pernah ia dimaki orang


sekurang ajar itu, apa lagi oleh seorang pemuda semuda Bun
551
Liong. Itulah sebabnya maka setelah ia melihat Yang Hoa sudah
berada dalam kepungan Ngo-heng-tin yang ia andalkan itu, maka
ia menubruk Bun Liong sambil menyerang seperti harimau marah!

Adapun Bun Liong pada saat itu sudah siap siaga. Ia tidak mau
membuat kesalahan dua kali, yaitu berlaku agak lengah sehingga
kena diterkam dan ditangkap seperti oleh Go Bang tadi, baiknya ia
memiliki kepandaian lebih unggul dari si Beruang Lengan besi,
kalau tidak, sejak tadi ia sudah celaka!

Sekarang ia maklum bahwa lawan yang menubruknya sangat lihay


sehingga ia harus berlaku hati-hati. Maka cepat ia mengelak ke
samping dengan satu loncatan, menghindari terkaman kakek itu.

Akan tetapi tak disangkanya bahwa gin-kang Ban Kui begitu tinggi
dan gerakkannya luar biasa. Tubuhnya yang seperti melayang
ketika melakukan tubrukan lurus ke arah pemuda itu tiba-tiba dapat
berganti haluan, membelok dan mengikuti ke arah tempat pemuda
itu berpindah, dan kedua tangannya yang berkuku panjang dan
runcing itu mencengkeram ke arah pundak dan leher.

Cepat sekali datangnya serangan ini sehingga Bun Liong tidak


sempat untuk mengelak lagi. Maka sambil mendoyongkan

552
tubuhnya sedikit ke belakang, kedua tangannya bergerak ke atas
menyambut serangan lawan yang datangnya dari udara itu!

“Plak!” tangan kiri Bun Liong dapat menangkis lengan kanan lawan
dengan sebuah kepretan sehingga cengkeraman yang semula
hendak menerkam pundaknya itu jadi nyeleweng. Sedangkan
tangan kanannya yang hanya mempergunakan jari telunjuk
menyambut cengkeraman kuku jari tangan Ban Kui yang
mengarah lehernya.

Melihat ini Ban Kui girang. Kuku jari tangan kirinya yang semula
diarahkan ke leher, kini sengaja mencengkeram dengan maksud
hendak mematahkan jari telunjuk pemuda itu.

Jari-jari tangan yang berkuku seperti harimau itu ternyata hanya


mencengkeram angin saja, karena tiba-tiba telunjuk Bun Liong
telah membuat gerakan memutar. Ketika jari tangan Ban Kui yang
tadi mengembang bagaikan cakar setan itu kini menutup
merupakan sebuah tinju dan hanya angin saja yang
dicengkeramnya, maka jari telunjuk Bun Liong setelah membuat
gerakan memutar tadi langsung ditotokkan ke arah pergelangan
tangan kiri lawan.

553
Dan pada detik berikutnya terdengarlah Ban Kui menjerit,
sedangkan tubuhnya terpental sejauh empat tombak. Akan tetapi
kakek itu benar-benar mempunyai gerakan luar biasa, karena
tubuhnya yang terpental itu, ketika jatuh, dalam keadaan berdiri!

Ternyata Bun Liong dalam waktu yang sama telah mendapat dua
kesempatan yang sangat menguntungkan baginya. Dengan
telunjuknya yang disertai pengerahan lweekang, pemuda itu
berhasil menotok jalan darah di pergelangan lawan, yaitu jalan
darah yang menjadi saluran ke arah nadi dan semua jalan darah
asli.

Dan bersamaan dengan itu, tubuh Ban Kui yang seperti melayang
di udara tadi ketika mulai turun dan kakinya hendak menginjak
bumi, telah disambut oleh sebuah tendangan geledek kaki kanan
Bun Liong yang tepat mengenai lambungnya. Itulah sebabnya
maka tak ampun lagi, Ban Kui menjerit dan tubuhnya terpental!

Hal ini terjadi selain karena ketabahan, keberanian dan kecerdikan


Bun Liong, juga karena Ban Kui terlalu memandang rendah
lawannya yang dikiranya tak beda dengan si nona yang dapat
dipermainkan dengan seenak hatinya, sehingga ia berlaku
ceroboh!

554
Totokan jari telunjuk Bun Liong yang mengenai jalan darah di
pergelangan lawan itu, akan mengakibatkan seluruh lengan
menjadi lumpuh seketika. Apalagi tendangan geledeknya yang
menyodok lambung lawan, kalau tidak putus nyawa karenanya,
maka sedikitnya pasti akan menderita luka di bagian dalam tubuh.

Akan tetapi Bun Liong benar-benar merasa heran dan kagum akan
kekuatan tubuh kakek bungkuk itu. Karena ternyata setelah
tubuhnya terpental dihantam tendangan yang sedikitnya
berkekuatan seratus kati, masih bisa mengatur keseimbangan
tubuhnya sehingga ia jatuh dalam keadaan berdiri tegak. Dan
anehnya, baik totokan maupun tendangan tadi, seakan-akan tidak
mendatangkan akibat sedikitpun bagi kakek itu!

Maklumlah Bun Liong bahwa Ban Kui memiliki sin-kang yang luar
biasa kuatnya! Dan yang lebih mengagumkan lagi, yaitu dengan
cepat Ban Kui dapat maju dan menyerang lagi.

Kini serangannya lebih hebat dan ganas. Karena sebelum


orangnya datang mendekat, hawa pukulannya sudah terasa
karena ia sudah maklum bahwa pemuda lawannya itu mempunyai
“isi” tidak memberi banyak kesempatan dan terus menyerang dan
merangkak dengan hebat.

555
Sepuluh kuku jari tangannya merenggang seperti cakar harimau
dan digerakkan cepat sekali pergi datang melakukan serangan
bertubi-tubi dan bergantian, mencakar dada, perut, leher dan muka
Bun Liong. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak-gerak
seperti cakar harimau, bahkan kedua kakinya yang telanjang serta
berkuku panjang dan runcing itupun menendang-nendang seperti
kaki harimau mencakar!

Setiap serangan yang dilakukan, dari kedua tangan dan kakinya


menyambar hawa pukulan yang amat kuat menandakan bahwa
serangan-serangan dilakukan dengan tenaga lweekang yang
tinggi.

Baiknya Bun Liong memiliki gin-kang yang sudah sempurna, maka


dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya pemuda ini mengelak
dan berkelit ke sana ke mari di bawah serangan lawan. Biarpun
Bun Liong berkepandaian tinggi akan tetapi ia masih kurang
pengalaman dan belum pernah melihat ilmu silat macam ini.

Memang ia pernah mendengar dari gurunya bahwa di dunia ini


terdapat ilmu bertempur yang tak dapat dihitung banyak
macamnya. Dan menghadapi seorang lawan yang
mempergunakan gaya serang yang belum dikenalnya, ia harus
berlaku hati-hati sekali!

556
Ia belum tahu bagaimana perubahan serangan ini dan dimana
letak kelihayan serta kelemahannya, maka sampai beberapa jurus
lamanya biarpun didesak terus. Ia main mundur dan mengelak saja
disamping ia memperhatikan gaya tempur lawan dengan seksama.

Tigapuluh jurus telah lewat dan dari tenggorokan Ban Kui mulai
terdengar suara gerengan-gerengan seperti suara harimau tulen.
Inilah menandakan bahwa kakek ini sudah marah sekali karena
merasa dipermainkan oleh pemuda itu yang selalu mengelak
belaka.

Padahal ia sangat mengharapkan serangan balasan atau


tangkisan dari pemuda seperti dalam permulaan pertempuran ini
tadi. Ia mengakui bahwa tadi ia telah berlaku terlalu ceroboh, tapi
kini ia ingin mencoba lagi mempergunakan ilmu cengkeramannya
tanpa berbuat kesalahan seperti tadi.

Biasanya jarang sekali ia merobohkan lawan dalam pertempuran


sampai melampaui duapuluh jurus! Ia selalu dapat merobohkan
lawan dalam kesempatan apabila tangannya beradu dengan
tangkisan lengan lawan, maka dengan gerakan dan kecepatan
yang tak dapat diduga oleh pihak lawan, ia dapat membalikkan
lengan dan mempergunakan cengkeramannya menangkap lengan
lawan dan celakalah lawan yang dapat dicengkeram lengannya!

557
Inilah keistimewaan ilmu silatnya, yaitu ilmu silat yang dinamakan
Houw-jiauw-kun-hwat dan karena Ban Kui sangat mahir dalam ilmu
silat ini, maka ia mendapat nama julukan si Cakar Harimau!

“Bangsat kecil! Kalau benar kau menjadi ketua Pauw-an-tui dan


mendapat nama julukan Tong-koan Ho-han, cobalah lawan
seranganku dan jangan main kelit saja seperti lakunya seekor
tikus!” Ban Kui membentak marah sambil terus memberondongkan
serangan-serangannya.

Dengan bentakan ini ia sengaja membuat pancingan untuk


memanaskan hati lawan yang ia harapkan balas menyerang.
Kakek ini memang sangat bernafsu ingin membunuh pemuda itu
yang dianggapnya sebagai Kepala barisan penghalang bagi
pekerjaannya, dan pula ia ingin membalas dendam terhadap
Pemuda itu atas kematian Ciam Tang berikut sejumlah anak
buahnya dan ditambah lagi kematian Go Bang tadi!

Serangan-serangannya makin diperhebat dan saking cepatnya ke


dua tangan dan sepasang kakinya itu seakan-akan berubah
menjadi banyak! Bahkan kedua telapak tangan kakek bungkuk ini
sekarang sudah berubah menghitam dan pukulan-pukulan yang ia
lancarkan kini mengandung hawa panas dan berbau amis
memuakkan yang keluar dari sepasang telapak tangan itu.

558
Bun Liong bukan main kagetnya. Ia pernah mendengar dari
gurunya tentang orang-orang ahli silat yang memiliki ilmu silat jahat
yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), Ang-see-ciang
(Tangan Pasir Merah) atau Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam)
yang berbahaya sekali.

Dari kedua telapak tangan yang kini berubah hitam serta angin
pukulannya mengandung hawa panas dan berbau amis itu
maklumlah Bun Liong bahwa lawannya memiliki tangan yang
“berisi”, yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk melakukan
pukulan istimewa yang berbisa, yang disebut Hek-tok-ciang!

Sungguhpun kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini sedikitpun


tidak gentar karena setelah memperhatikan gaya tempur dari
lawan yang semula sangat membingungkannya, kini ia telah dapat
menangkap intinya bahwa ilmu silat lawannya itu tidak jauh
bedanya dengan ilmu silat yang ia miliki sendiri, yaitu ilmu silat Sin-
wan-pek-houw-kun-hoat warisan dari gurunya Sin-kun Butek Ong
Kim Su atau Bu-beng Lojin.

Sejak tadi Bun Liong mainkan ilmu kelitnya yang disebut Sin-wan-
tiauw-bu (Lutung sakti menari) yang berhasil membuat lawannya
merasa seperti dipermainkan. Dan setelah ia mendengar
dampratan dari lawannya yang sudah panas perut dan disertai

559
pukulan Hek-tok-ciang, maka pemuda ini segera merubah
gerakannya.

Kalau tadi ia selalu main kelit saja, maka sekarang ia segera


mainkan ilmu Harimau Putih Mengunjukkan Lagak, mencoba
melakukan perlawanan dan melancarkan serangan balasan.
Ternyata Pek-houw-kun-hoat (Ilmu silat harimau putih) ini,
merupakan ilmu yang sesuai dan tepat untuk menghadapi ilmu
cakar harimau dari kakek bungkuk yang lihay luar biasa itu.

Sekarang pihak Ban Kui lah yang kaget, karena setiap serangan
yang dilancarkannya selalu dibayangi oleh gerakan-gerakan
pemuda yang dapat melakukan serangan-serangan dalam
gerakan yang hampir sama, sehingga dapat dikata lawannya itu
seolah-olah merupakan bayangannya sendiri. Bahkan ketika
lengan si Cakar Harimau ini beradu dengan lengan Bun Liong yang
melakukan tangkisan kakek ini kagetnya makin menjadi karena
dari benturan lengan lawan yang berkulit bertulang masih sangat
muda itu, ia merasai rasa panas yang menjalar terus ke kulit
lengannya sendiri sehingga kulit lengannya serasa terbakar!

Dalam beberapa jurus saja Bun Liong melakukan perlawanan, Ban


Kui jadi mengeluh dalam hatinya. Dan diam-diam ia mengakui
kepandaian ketua Pauw-an-tui yang masih sangat muda itu!

560
Akan tetapi Si Cakar Harimau yang sudah banyak pengalaman
merasa malu sekali kalau tidak dapat merobohkan pemuda
lawannya itu. Kakek ini bertekad mengadu jiwa dan dalam
kepenasaran dan kenekadannya ia terus bertempur mati-matian.

Bun Liong pun maklum bahwa kepala perampok lihay ini mesti
dihadapinya dengan pertarungan nyawa, pertempuran ini baru bisa
berakhir kalau salah seorang diantara mereka telah binasa. Maka
ia bertempur dengan hati-hati dalam kesengitannya, setiap
gerakan kaki tangannya merupakan perlawanan yang baik dan
berupa serangan maut bagi lawan.

Pertempuran tangan kosong antara Bun Liong dan Ban Kui ini tidak
kalah sengit dan serunya kalau dibandingkan dengan pertempuran
Yang Hoa yang ketika itu sedang dikurung dan dikeroyok oleh
barisan kepung Ngo-heng-tin. Pakaian biru Bun Liong di beberapa
bagian sudah koyak akibat cengkeraman kuku si Cakar Harimau.

Baiknya gin-kang dan kegesitan pemuda itu sudah sangat


sempurna sehingga cengkeraman kuku lawan yang berbisa tidak
sempat menyentuh kulit tubuhnya. Hanya berhasil menerkam
pakaiannya saja sampai robek-robek.

561
Kalau sekali saja kuku-kuku yang beracun itu menerkam kulitnya,
dapat dibayangkan betapa bahayanya! Untuk menghindarkan diri
dari serangan si Cakar Harimau, Bun Liong tetap memainkan
langkah-langkah dan gerakan Sin-wan-tiauw-bu dan karena ia
menguasai ilmu ini dengan sempurna tubuhnya demikian gesit dan
lincah sehingga sukar diserang lawan.

Akan tetapi setiap kali ada kesempatan, maka ilmu silat Harimau
Putihnya segera ia “suguhkan” kepada lawan. Namun pukulan atau
tonjokan yang disertai pengerahan tenaga lweekangnya, meskipun
mengenai sasarannya dengan tepat, Ban Kui hanya sedikit
terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali. Berarti belum cukup
kuat untuk merobohkannya atau mungkin juga disebabkan kakek
itu memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya.

Betapapun lihaynya Houw-jiaw Lo Ban Kui, namun karena ia sudah


tua dan juga karena kesehatan tubuhnya kurang dipelihara, maka
bertempur menghadapi lawan muda yang demikian licin, ulet dan
lihaynya akhirnya merasa letih juga. Ketika pertempuran
menjelang jurus yang keenampuluh, kakek ini bukan main
mendongkol dan gemasnya.

Karena selama ia bertualang di kalangan rimba hijau, belum


pernah ia menghadapi lawan yang sedemikian tangguhnya

562
sehingga sampai jurus yang keenampuluh masih belum dapat
dirobohkannya. Apalagi lawan yang masih demikian muda dan
yang dianggapnya seperti anak kerbau baru tumbuh tanduk!

Akan tetapi dalam jurus keenampuluh lima, Ban Kui melihat


kesempatan baik ketika anak muda itu berkelit dari serangannya.
Dengan sedikit menjengkangkan tubuh dan dadanya dalam
keadaan terbuka, maka ia segera mengirim serangan susulan
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.

Kakinya membuat lompatan mengarah Bun Liong yang tubuhnya


sedang mendoyong ke belakang itu. Tangan kirinya dipentang
hendak mencengkeram lehernya sedangkan tangan kanannya
mengirim pukulan Hek-tok-ciang ke arah dada dan dibarengi pula
kaki kanannya melakukan tendangan kilat kebagian selangkangan
pemuda itu.

Ternyata, dalam kemarahannya itu Ban Kui telah melancarkan tiga


serangan sekaligus, serangan yang terakhir dan mematikan!
Cengkeraman itu kalau mengenai leher, tentu akan
menghancurkan daging dan tulangnya.

Kalau pukulan Hek-tok-ciang itu mengenai dada, dapat dipastikan


bahwa nyawa si pemilik dada itu akan melayang seketika itu juga.

563
Dan kalau tendangan yang dilakukan dengan lweekang
sepenuhnya itu mengenai sasarannya, maka pemuda itu pasti
terlempar ke udara dengan anggauta badan di bagian
selangkangan pecah!

Akan tetapi Bun Liong benar-benar tidak mengecewakan


sebagaimana anak muda gemblengan Bu Beng Lojin. Tiga macam
serangan maut yang dilancarkan sekali gus itu tidak membuat
pemuda ini gugup.

Terlebih dulu Bun Liong menghindarkan tendangan kaki lawan


yang datangnya lebih cepat dari pada dua macam serangan
lainnya. Ia melompat ke atas dengan gerak kaki Sin-wan-tiauw-ki
(Lutung Sakti Loncati Cabang), kemudian tangan kirinya dengan
telapak tangan miringkan menyabet dan menindih lengan kiri
lawan yang semula hendak mencengkeram lehernya tadi.

Dan selaku imbalan pukulan Hek-tok-ciang dari lawan, maka


tangan kanannya dengan jari-jari terbuka membuat gerakan
seperti mendorong ke depan, yaitu mengirim pukulan Lui-lek-ciang
warisan gurunya yang paling diandalkan! Lengan kiri dari ke dua
pihak beradu, pukulan tangan kanan masing-masing yang sama-
sama mendatangkan tenaga raksasa dan mengandung hawa maut
saling bertumbukan.

564
Akibatnya, tubuh Bun Liong yang sedang melompat itu terpental
sejauh dua tombak dan jatuh dalam keadaan terhuyung-huyung.
Tetapi pemuda ini cepat mengatur pernapasan serta mengerahkan
sin-kang di dalam badannya.

Sebentar kemudian ia merasa lega karena benturan pukulan


dengan lawannya tadi tidak mendatangkan bahaya apa-apa
baginya. Sedangkan sementara itu, tubuh Ban Kui juga telah
terjengkang roboh ke belakang dan bergulingan di atas tanah
sampai empat tombak jauhnya.

Ternyata pukulan Hek-tok-ciang nya kalah kuat oleh hawa pukulan


Bun Liong sehingga selain hawa pukulan sendiri jadi membalik
sama halnya seperti “senjata makan tuan”, ditambah lagi dorongan
hawa pukulan dari lawannya yang demikian hebat dan dahsyatnya,
sehingga tubuhnya bergulingan sedemikian rupa! Akan tetapi Lo
Ban Kui benar-benar memiliki kekuatan yang luar biasa.

Hawa pukulan Lui-lek-ciang yang dapat menghancurkan batu


karang itu tidak demikianlah bagi kakek bungkuk yang lihay itu,
karena setelah bergulingan seperti sebatang balok menggelinding
tadi ia dapat segera bangun dan berdiri pula. Sungguhpun kedua
tangannya menekan dada dan melihat ke arah Bun Liong dengan
wajah meringis-ringis.

565
Melihat ini, Bun Liong dapat menduga bahwa kakek itu telah
menderita luka di dalam dadanya akibat pukulan ampuhnya tadi.
Pemuda ini menarik napas lega dan sambil menyusut peluh yang
membasahi wajahnya dengan lengan bajunya, dan matanya
ditatapkan kepada kakek yang berdiri agak didepannya itu, ia
berkata, “Monyet tua berbaju macan, ajalmu sudah berada di
depan mata dan…….”

Sebelum Bun Liong melanjutkan perkataannya, tiba-tiba Ban Kui


bersuit nyaring. Suara suitan inilah yang terdengar oleh Yang Hoa
tadi ketika ia menengok ke arah calon suaminya setelah
menghadapi kepungan Ngo-heng-tin. Seperti sudah diceritakan
tadi ke lima orang liauw-lo pengeroyoknya yang mengepung
dengan barisan Lima Daya itu akhirnya diganyang habis oleh
sambitan lima batang senjata rahasianya.

Suara suitan dari Ban Kui itu adalah aba-aba bagi para anak
buahnya yang sejak tadi tetap bersembunyi di balik semak-semak
belukar. Dan seirama dengan itu berlompatanlah dari tempat-
tempat rungkut berpuluh-puluh liauw-lo dan langsung menyerbu
Bun Liong dan Yang Hoa yang ketika itu berada di tempat yang
agak jauh dari calon suaminya.

566
Serbuan para liauw-lo yang entah berapa puluh orang banyaknya
itu terbagi menjadi dua dan terjadilah kepungan dan pengeroyokan
di dua tempat yang ramai sekali. Para liauw-lo yang mengepung
dan mengeroyok sambil berteriak-teriak riuh rendah tak seperti
datangnya air bah yang memecahkan bendungan, hingga suasana
di situ menjadi hiruk pikuk dan amat berisik!

Sambil menggigit bibir nona Yang Hoa lalu memutarkan


pedangnya menghadapi sebagian para perampok yang menyerbu
dirinya. Dan nona ini mendapat kenyataan bahwa kepungan yang
dihadapinya sekarang tidak teratur seperti Ngo-heng-tin tadi.
Mereka menyerang menurut kemauan masing-masing saja dan
karena ini, maka sejumlah orang-orang kasar itu merupakan
makanan empuk bagi si nona.

Dalam lima jurus saja Yang Hoa menggerakkan pedangnya,


robohnya lima orang perampok dengan menderita luka-luka hebat!
Hebatnya, para pengeroyok lainnya tidak menjadi gentar melihat
kelihayan dara itu. Seakan-akan mereka tidak takut mati atau
memang tolol.

Melihat kawan-kawan mereka sudah dirobohkan demikian cepat


dan mudah oleh pedang si nona, mereka tidak menjadi jerih,
bahkan sebaliknya bagaikan singa mencium darah, mereka makin

567
nekad dan merangkak terus. Benar-benar keadaan mereka tidak
beda seperti serombongan nyamuk yang tidak takut api, menyerbu
terus sampai akhirnya mereka roboh binasa.

Yang Hoa mengamuk bagaikan singa betina. Pedangnya


berkelebatan ke sana ke mari bagaikan samberan halilintar dan
membabat tubuh-tubuh para liauw-lo itu bagaikan membabat
rumput-rumput muda saja!

Adapun Bun Liong sementara sudah menghadapi keroyokan pula,


bahkan para pengeroyoknya jauh lebih banyak kalau dibandingkan
dengan para liauw-lo yang mengeroyok calon isterinya. Maklum
bahwa akan merepotkan sekali kalau meladeni sekian banyak
pengeroyok bersenjata itu hanya dengan tangan kosong saja,
maka Bun Liong mengeluarkan senjata istimewanya, yaitu seutas
cambuk yang merupakan tali pengikat pinggangnya itu.

Sekali renggut saja, tali pengikat pinggang itu sudah berada di


tangannya dan terdengar bunyi seperti suara petir kecil memecah
angkasa. Maka terdengarlah jerit pekik para liauw-lo yang
berdekatan dengannya karena dihantam lecutan cambuk itu yang
merobek dan memecahkan baju dan kulit tubuh mereka!

568
Cara Bun Liong menghadapi para pengeroyoknya sangat berbeda
dengan Yang Hoa. Kalau nona itu seperti seekor singa
menghadapi keroyokan sekawanan kambing, pedangnya
menyambar-nyambar dan setiap saat terdengar jerit kesakitan,
atau golok lawan terputus menjadi dua potong.

Adapun pemuda ini hanya melukai, menotok jalan darah atau


merampas senjata para pengeroyoknya dengan mempergunakan
ujung cambuknya saja oleh karena merasa tidak tega untuk
membunuh sekian banyak para liauw-lo yang pada hakekatnya
hanya diperalat oleh ketua mereka belaka.

Sambil menghadapi sekian banyak pengeroyoknya, Bun Liong


mencari-cari Houw-jiauw Lo Ban Kui dengan sudut matanya.
Akhirnya ia melihat kakek bungkuk itu sedang berdiri di atas
sebuah batu besar di tempat yang agak jauh, mulutnya berteriak-
teriak memberi aba-aba pada para anak buahnya.

Bun Liong maju mendesak dan hendak membobolkan bendungan


pengepungnya. Cambuknya melecut-lecut dan tangan kirinya pun
bergerak membuat dorongan atau pukulan terhadap liauw-lo yang
menghadangnya.

569
Akan tetapi usahanya hendak mendekati kepala rampok itu
ternyata tidak begitu mudah karena para pengeroyoknya amat
banyak. Roboh tiga orang maju penggantinya sehingga pemuda ini
terus menerus dikeroyok, tetapi setiap liauw-lo yang berani
mendekatinya itu roboh juga akhirnya.

Kemudian Bun Liong berhasil juga membobolkan bendungan


pengepungannya sehingga ia dapat mendekati Ban Kui. Akan
tetapi, kakek ini segera memberi aba-aba sehingga pemuda ini
tidak dapat segera mengirim serangan oleh karena kembali
dihadang dan dikeroyok oleh para liauw-lo yang begitu setia
kepada junjungannya.

Ketika mata Bun Liong melihat pula ke arah batu besar di mana
tadi Ban Kui berdiri, ternyata kakek itu tidak kelihatan lagi, sudah
pindah ke lain tempat yang tidak diketahui oleh Bun Liong. Dengan
hati gemas Bun Liong mencari-cari lagi dengan sudut matanya di
mana kakek itu berada, sehingga ia sempat melihat betapa ketika
itu calon isterinya sedang mengamuk, dan pekik kesakitan
terdengar saling susul dan tubuh para liauw-lo bergelimpangan
tumpang tindih!

Tiba-tiba terdengar suara Ban Kui memberi aba-aba!

570
“Mundur semua, turunkan balok-balok dan hujani anak panah!”

Bukan main terkejutnya Bun Liong mendengar aba-aba ini, karena


hal inilah yang mengkhawatirkannya. Selama ia dikeroyok oleh
para liauw-lo yang bersenjata, ia masih merasa aman karena tentu
saja ia tidak takut menghadapi serangan-serangan dari dekat dan
dapat merobohkan lawannya.

Akan tetapi kalau ia diserang oleh badai balok dan hujan anak
panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya, tanpa
dapat membalas sama sekali!

Para liauw-lo itu ternyata sudah terlatih dan setelah mendengar


aba-aba Ban Kui, serentak mereka mundur dan berlompatan
sambil membawa kawan-kawan mereka yang sudah tidak berdaya
ke tempat yang agak tinggi, meninggalkan Bun Liong dan Yang
Hoa yang ketika itu berada di sebuah lereng bukit.

Kemudian tiba-tiba dari kanan kiri datang balok-balok besar


menggelundung ke arah sepasang anak muda itu dibarengi
serangan anak panah yang datangnya dari empat penjuru! Bun
Liong berlaku cerdik menghadapi bahaya ini, ia cepat melompat ke
tempat yang agak tinggi sambil tangannya menjambret sebatang

571
pohon kecil yang banyak ranting-ranting dan daun-daunnya dan
bersembunyi di balik sebuah batu sebesar gubuk.

Balok-balok tidak sampai menggelundung ke tempat ini dan karena


belakangnya terlindung batu besar itu, maka ia hanya menghadapi
serangan anak panah dari satu jurusan saja. Anak panah-anak
panah itu dapat ia tangkis dan rontok semua oleh batang pohon di
tangannya yang diputarkan sedemikian rupa sehingga merupakan
benteng yang melindungi dirinya.

Akan tetapi lain halnya dengan nona Yang Hoa yang terlalu
mengandalkan kepandaian dan keberaniannya ketika menghadapi
serangan badai balok dan hujan anak panah itu. Nona ini berseru
keras dan tubuhnya mencelat ke udara dengan gerakan Ceng-
liong-cut-thong (Naga Hijau Keluar Gua) sambil pedangnya
diputarkan untuk melindungi tubuhnya dari hujan anak panah
dengan menggunakan gerak tipu Hek-hong-koan-goat (Bianglala
Hitam Menutup Bulan), sehingga balok-balok itu menggelundung
di bawahnya dengan mengeluarkan suara gemuruh dan hiruk
pikuk karena berbenturan dengan balok-balok yang mengelundung
dari lain jurusan.

Tempat itu menjadi penuh dengan balok-balok yang ternyata


batang-batang pohon besar yang telah disediakan oleh para

572
perampok itu untuk dipergunakan dalam keperluan seperti
peristiwa ini. Beberapa kali tubuh Yang Hoa naik turun, yaitu
setelah melompat dan tubuhnya meluncur ke bawah kembali,
kakinya menyentuh balok yang membuat tubuhnya mumbul ke
udara lagi selama balok-balok itu masih tetap membadai.

Sedangkan pedangnya terus diputarkan sehingga merupakan


segulungan sinar putih melindungi tubuhnya, membuat serangan
anak panah yang bagai hujan derasnya itu tersapu semua.
Akhirnya badai balok itu berhenti, agaknya persediaan balok-balok
itu sudah habis dan Yang Hoa berdiri tegak di atas tumpukan
balok-balok yang menggunung itu sambil bertolak pinggang.

“Perampok-perampok hina dina! Kenapa berlaku curang, kalau


kalian mengaku laki-laki keluarlah dan keroyoklah aku lagi, karena
pedangku ini masih haus darah!” teriaknya marah, menantang para
perampok yang kini telah bersembunyi lagi seperti tadi.

Sebagai jawaban dari tantangan si nona, tiba-tiba meluncurlah lima


batang anak panah menyerang si nona lagi dan karena serangan
kali ini datangnya hanya dari satu jurusan, maka sambil ketawa
mengejek Yang Hoa menggerakkan pedangnya dan tiga batang
anak panah dapat dibabatnya sekali gus, sebatang dapat ia
kelitkan dan yang sebatang ia tangkap dengan tangan kirinya.

573
Akan tetapi pada waktu itu juga anak panah dalam jumlah yang
sama menyerang dari belakangnya, dan detik berikutnya datang
lagi anak-anak panah dari kanan kirinya.

Kembali Yang Hoa membuat lompatan dan tubuhnya mumbul di


udara sehingga semua anak panah itu menancap pada balok-
balok di bawahnya. Akan tetapi ternyata para liauw-lo dari tempat
persembunyian mereka tidak melakukan serangan sebegitu saja,
melainkan secara beramai, maka ketika tubuh Yang Hoa tengah
mumbul di udara, kembali anak panah menghujani tubuh nona itu.

Terpaksa Yang Hoa memutarkan pedangnya lagi seperti tadi


sambil tubuhnya melakukan pok-say (salto) di udara. Akan tetapi
kali ini merupakan saat, yang sial baginya, oleh karena biarpun
pedangnya berhasil meruntuhkan sekian banyak anak-anak panah
itu, namun sebatang di antaranya telah menerobos gulungan sinar
pedangnya dan menancap di pundak kirinya bagian belakang!

Akibat tancapan sebatang anak panah itu Yang Hoa rasakan


pundaknya sakit dan panas bukan main dan ia cepat meluncurkan
tubuhnya ke bawah. Akan tetapi nona ini tidak kuasa menjejakkan
kedua kakinya terlalu lama, karena setelah mengeluarkan keluhan:

574
“Liong-ko…..!” yang berarti merupakan panggilan dan minta tolong
kepada calon suaminya, tubuhnya lalu roboh tak sadarkan diri…….

Terdengarlah sorak-sorak kemenangan dari para liauw-lo, dan


suara ketawa terkekehnya Ban Kui dari tempat persembunyiannya,
lalu terdengar aba-abanya: “Keluar, dan bawalah si dewi Pauw-an-
tui yang cantik jelita itu ke pasanggrahan…….!”

Dan berlompatanlah keluar beberapa orang liauw-lo, hendak


berebutan memondong tubuh si nona. Akan tetapi tiba-tiba
tampaklah bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu beberapa
liauw-lo itu roboh terjungkal sambil menjerit dan mengaduh-aduh
serta pada detik lainnya tubuh si nona telah disamber dan dibawa
oleh bayangan biru tadi ke balik sebuah batu besar!

Seperti pembaca tentu sudah menduga, bahwa bayangan biru


yang menolong Yang Hoa itu bukan lain adalah Bun Liong yang
ketika itu melihat calon isterinya mendapat celaka dan akan
ditawan oleh para perampok. Maka tanpa memikirkan bahaya yang
akan menimpa dirinya, pemuda ini dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya segera melompat dari balik batu pelindungnya dan
dengan sebatang pohon kecil yang banyak ranting dan daunnya itu
ia menyapu beberapa orang perampok tadi sekali gus.

575
Tubuh calon isterinya lantas dipondong dan ia berlari pula ke
tempat semula, yaitu di balik batu besar yang baginya merupakan
tempat perlindungan yang aman.

Bun Liong kaget sekali ketika dilihatnya wajah gadis itu menjadi
kebiruan, matanya mendelik dan mulutnya berbusa serta seluruh
tubuhnya amat panas! Sekali pandang saja maklumlah ia bahwa
calon isterinya itu telah menjadi korban racun yang berbahaya.

Tanpa memperdulikan suara sorak sorai dari para perampok yang


ketika itu tengah berlari-lari mendatangi dan hendak menyerbunya
atas perintah Ban Kui, Bun Liong segera membaringkan tubuh
Yang Hoa yang harus ditolong secepat mungkin sebelum
pengaruh racun itu mendatangkan maut.

Disamping mewarisi ilmu silat tinggi dari Bu Beng Lojin, Bun Liong
juga pernah mempelajari ilmu pengobatan sekalipun sangat
terbatas, maka ia cepat merobek baju di bagian pundak calon
isterinya yang tertancap anak panah, yang ternyata beracun. Bun
Liong bergidik setelah mengingat bahwa anak-anak panah yang
dilepaskan oleh para perampok itu tentunya beracun semua, racun
ini demikian keras sehingga menyebabkan Yang Hoa sebentar
saja menjadi pingsan dan keadaannya berbahaya sekali!

576
Ia cepat menotok jalan-jalan darah tertentu di beberapa bagian
tubuh nona itu untuk menutup aliran darah dan mencegah
rangsangan racun. Akan tetapi sebelum sempat ia mencabut anak
panah ini dari pundak si nona yang mesti dilakukan amat hati-hati
dan tidak boleh tergesa-gesa karena salah sedikit saja, mata anak
panah itu bisa menjadi patah dan tertinggal di dalam daging yang
mana akan tambah membahayakan, seakan-akan ia baru tersadar
bahwa bahaya maut mengancam dirinya ketika para perampok
yang dipimpin oleh Ban Kui sudah datang dan langsung
menyerbunya!

Tadinya memang Bun Liong berpikir bahwa lebih penting


menolong calon isterinya tanpa memperdulikan bahaya lain.
Andaikata ia tidak keburu menolong sehingga calon isterinya itu
mendahului mati, iapun rela mati bersama-sama calon isterinya di
tempat perjuangan ini.

Demikian besar rasa kasih Bun Liong kepada Yang Hoa, sehingga
ia rela berkorban untuk mati bersama. Oleh karena baginya apa
arti hidup ini kalau tanpa Yang Hoa?

Akan tetapi setelah ia menotok jalan-jalan darah di tubuh Yang Hoa


yang berarti kalaupun maut hendak merengut nyawa nona itu,
maka takkan terjadi begitu cepat seperti sebelum jalan-jalan

577
darahnya ditutup, masih ada kesempatan untuk kemudian
melanjutkan pertolongannya. Itulah sebabnya maka ketika para
perampok itu dengan ganas karena marah dan hendak melakukan
pembalasan sakit hati atas kematian kawan-kawan mereka tadi
sudah datang menyerbu, barulah ia insyaf bahwa pikirannya
seperti tadi itu sama sekali keliru.

Keinsyafannya menghidupkan kembali watak jantan dan


kegagahannya. Kini anggapannya berobah bahwa kalau mesti
mati di tempat ini ia tidak mau menerima kematian ini begitu saja.

Ia akan pertahankan nyawanya dan nyawa calon isterinya sampai


titik darah yang terakhir! Oleh karena itu maka sebelum senjata-
senjata dari para perampok itu sempat menyerang dirinya, dengan
cekatan sekali ia pangku tubuh Yang Hoa dan dipondong di atas
pundak kirinya. Pohon kecil tadi lalu digerakkan oleh tangan
kanannya, menyampok, menyapu dan menyabet para perampok
yang ketika itu sudah menyerang dan mengurung dirinya dengan
rapat sambil berteriak-teriak!

Demikianlah, dengan mempergunakan pohon kecil itu sebagai


senjata, Bun Liong mengamuk hebat. Biarpun daun-daunnya
sudah rontok semua dan ranting-rantingnya sebagian sudah

578
terbabat senjata lawan namun senjata istimewa itu masih cukup
ampuh untuk menghajar lawannya sampai menjerit!

Betapapun hebatnya Bun Liong mengamuk, namun karena ia


bertempur sambil memondong tubuh Yang Hoa, pergerakannya
jadi sangat tidak leluasa. Dan pula beban itu sangat memberatkan
sehingga cepat mendatangkan rasa lelah.

Sedangkan serangan senjata para perampok itu datangnya


bertubi-tubi, sedikit lengah atau kurang gesit akan celakalah Bun
Liong. Para perampok itu berlomba-lomba hendak merobohkan
pemuda itu seolah-olah mereka hendak mencari pahala.

Kepungan mereka makin rapat dan serangan-serangan senjata


yang mereka lancarkan makin dahsyat. Dan ditambah lagi Ban Kui
sendiri ikut mengeroyok dan saban-saban mengirim hawa pukulan
Hek-tok-ciang dari jarak dekat, hingga Bun Liong menjadi sangat
repot dan keadaannya benar-benar sangat berbahaya!

Namun keadaan Bun Liong benar-benar tidak mengecewakan


sebagai murid tunggal dari Bu Beng Lojin yang sakti itu. Biarpun ia
sudah merasa ripuh sekali dan tidak melihat jalan keluar dari
kepungan yang semakin lama tambah menjepit ini, sambil
menggigit bibir ia terus mempertahankan diri.

579
Sampai saat terakhir ia tidak sudi mengalah atau menyerah. Ia
sudah bertekad lebih baik mati sahid bersama calon isterinya
dalam menjalankan tugas perjuangannya ini!

Kalau saja Bun Liong tidak memundak Yang Hoa, pasti ia takkan
serepot ini jadinya, menghadapi pertempuran dan keroyokan
semacam ini ia pasti akan dapat mengatasinya dengan mudah.
Akan tetapi sekarang benar-benar Bun Liong sudah kewalahan.

Ia tak dapat mengerahkan kepandaiannya secara sempurna.


Biarpun gin-kangnya tinggi tapi karena memundak tubuh Yang
Hoa, gerakannya menjadi lambat! Dan kalau beberapa saat lagi
keadaannya terus seperti ini, pemuda itu pasti akan kehabisan
tenaga dan bersama calon isterinya ia akan mati dicincang para
lawan yang sudah tidak mengenal ampun itu!

Akan tetapi Thian Yang Maha Kuasa agaknya belum menghendaki


pemuda gagah-perkasa ini menemui kematiannya. Oleh karena
pada saat segenting itu, ketika nyawa Bun Liong seakan
menggantung pada seutas rambut, mendadak terdengarlah suara
sorak-sorai gegap-gempita dan suara derap-derap kaki yang
berlari gemuruh menyerbu ke situ dari segenap penjuru!

580
Hal ini bagi Bun Liong merupakan sambungan umur sehingga ia
merasa seperti mendapat tenaga baru. Sementara itu para
perampok menjadi kacau karena mereka yang tadinya enak-enak
mengeroyok pemuda itu kini mendapat gempuran hebat dari
belakang!

Dengan kaget dan marah, Ban Kui segera mengeluarkan aba-aba


supaya para anak buahnya melawan serbuan itu! Ternyata
rombongan Pauw-an-tui yang dipimpin oleh Can kauw-su
sebagaimana direncanakan semula akan datang belakangan dan
mengurung hutan sarang gerombolan dari segenap penjuru, telah
datang pada saat yang sangat tepat!

Maka terjadilah perang yang hebat antara para anggauta Pauw-


an-tui dan gerombolan itu. Suara beradunya senjata terdengar
trang-treng-trong membisingkan. Jerit pekik saling bersahutan dan
disusul dengan bergulingannya tubuh-tubuh yang terluka atau
binasa, baik di pihak gerombolan maupun di pihak anggauta-
anggauta Pauw-an-tui!

Bun Liong jadi terlepas dan bahaya maut karena para


pengeroyoknya kini telah kacau balau dan pecah berantakan.
Dengan mengerahkan tenaga yang masih ada padanya, pemuda

581
ini terus menghajar perampok-perampok yang dekat dengan
senjata istimewanya, yaitu sebatang pohon kecil tadi.

Tiba-tiba Bun Liong mendengar suara orang yang menasehatinya:


“Souw sicu, kau terlalu lelah, istirahatlah dan nyawa calon isterimu
perlu segera ditolong!”

Bun Liong menoleh dan ternyata orang yang berkata adalah Can
kauw-su, golok di tangannya telah merah dilumuri darah dan
setelah Bun Liong menyatakan, “Baik!” dengan perasaan terima
kasih yang tidak terhingga, orang tua jangkung kurus bekas tentara
yang berjuluk Toat-beng-sin-to (Golok Sakti Penyabut Nyawa itu
lantas melompat menceburkan diri ke dalam medan pertempuran!

Sambil menarik napas legaan, Bun Liong membawa tubuh Yang


Hoa yang sejak tadi terkulai di atas panggulannya itu ke tempat
yang teduh yang agak jauh dan tempat pertempuran itu. Di sini Bun
Liong merasa tenang karena selain kini kawan-kawannya sudah
datang yang jumlahnya jauh lebih besar dari para perampok, juga
di sekitar tempat ini di mana kini Bun Liong hendak menolong calon
isterinya, telah dijaga oleh tidak kurang duapuluh orang anggauta
Pauw-an-itui bersenjata lengkap untuk melindungi ia dari segala
kemungkinan!

582
Bun Liong menengkurapkan tubuh nona itu di atas rumput dan
kemudian memeriksa bagian pundak si nona di mana sebatang
anak panah beracun itu masih menancap. Ternyata kulit pundak
yang tadinya putih halus itu kini telah matang biru.

Tapi Bun Liong tidak terlalu cemas karena nadi si nona masih
berdenyut, sungguhpun denyutannya tidak normal. Ia merasa
beruntung karena tadi masih sempat menutup jalan-jalan darah
tertentu sehingga racun itu tidak sampai menjalar ke seluruh tubuh
si nona, kalau tidak, besar kemungkinan kini si nona sudah tidak
bernyawa!

Sebelum mencabut anak panah itu, terlebih dulu Bun Liong


membelek sedikit kulit dekat luka di mana anak panah menancap,
dengan menggunakan ujung golok yang dipinjamnya dari salah
seorang kawan yang menjaganya. Kemudian dengan hati-hati ia
mencabut anak panah itu karena sudah ada jalan dari belekan tadi,
maka anak panah tersebut berhasil dicabutnya dengan mudah.

Lalu diurut-urut dan dipijit-pijitlah sekitar bagian yang luka itu dan
darah yang kehijauan mengalir keluar. Ia terus mengurut-urut dan
memijit-mijit sampai darah yang mengandung racun keluar semua
dan akhirnya keluar darah yang berwarna merah.

583
Ia segera mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari saku bajunya,
lalu ditaburkan di lobang luka itu. Setelah itu, ia menempelkan
telapak tangan di punggung si nona dan mengerahkan hawa sin-
kang untuk memunahkan racun di tubuh Yang Hoa.

Perlahan-lahan suhu tubuh si nona yang tadinya sangat panas,


mulai menurun dan muka yang kebiruan berangsur-angsur
menjadi merah lagi dan Yang Hoa sudah dapat bergerak-gerak
sedikit.

Setelah yakin bahwa calon isterinya telah terhindar dari pengaruh


racun yang berarti bahwa bahaya telah lewat, lega dan tenteramlah
hati Bun Liong. Ia menarik kembali tangannya yang ditempelkan di
punggung si nona tadi, mengatur pernapasannya supaya pulih
kembali dan terdengarlah keluhan perlahan dari Yang Hoa yang
memanggilnya.

“Liong-ko…….!”

Ternyata Yang Hoa kini telah membuka matanya. Cepat akan


tetapi hati-hati, Bun Liong meraih dan mendudukkan si nona di
dalam pelukannya.

584
“Yang-moay, adikku sayang. Kau telah terhindar dari bahaya
maut,” bisiknya di dekat telinga gadis itu, dengan terharu dan
girang.

“Liong-ko, bagaimana kau sendiri, selamatkah…….?” Tanya gadis


itu berbisik, dan matanya menatap wajah calon suaminya dengan
pandangan sayu.

“Selamat, kita sama-sama selamat, Yang-moay…….”

Gadis itu menarik napas panjang. “Syukurlah……. Tapi aku haus


sekali, minta minum, Liong-ko........”

Bun Liong maklum betapa hausnya gadis itu setelah mengalami


rangsangan racun yang memanaskan tubuhnya tadi, tapi agak
bingung karena dari mana bisa mendapatkan air di hutan belantara
ini? Selagi ia kebingungan, tiba-tiba salah seorang kawan mereka
yang agaknya mendengarkan percakapan mereka itu
menghampirinya, memberikan sebotol air minum yang dibekalnya.

Pemuda ini ternyata Kwe Bun, anak muda yang pembaca sudah
kenal sejak bagian permulaan cerita yaitu murid kedua dari Can
kauw-su, yang ketika masih berselisih dengan murid-murid
mendiang Lu Sun Pin, dengan kepalannya pernah memukul pecah
kepala seekor kerbau gila yang mengamuk di depan Tong-koan
585
Te-it Bu-koan, yaitu rumah perguruan silat yang didirikan Lu Sun
Pin almarhum.

Sambil meminumkan air itu, Bun Liong memasukkan pula ke dalam


mulut calon isterinya tiga butir pil merah yang selalu dibawanya
bersama obat-obat lainnya. Obat-obat itu adalah pemberian dari
Bu Beng Lojin dan ternyata sangat berkhasiat dan luar biasa
mustajabnya, sehingga sebentar saja Yang Hoa telah kelihatan
segar kembali.

“Liong-ko, mana pedangku?” tanya Yang Hoa sambil celingukan


mencari senjata yang ditanyakannya.

Bun Liong ingat bahwa ketika nona itu jatuh pingsan tadi
pedangnya jatuh dan ketika ia menyambar tubuh calon isterinya ia
tidak sempat mengambil pedang itu. Maka setelah menyatakan
hendak mengambil pedang itu, pemuda itu melompat pergi dan
sebentar kemudian sudah datang lagi dengan membawa pedang
si nona yang diketemukannya di antara sela-sela tumpukan balok-
balok. Pedang itu dinodai darah yang sudah mengering.

Sambil menerimakan pedang itu, Bun Liong berkata: “Yang-moay,


kau tinggal dan istirahatlah di sini. Aku hendak membantu kawan-
kawan kita.”

586
“Akupun mau ikut, Liong-ko!”

“Jangan! Kau tidak boleh banyak bergerak dulu sebelum kau


sembuh benar. Diamlah di sini bersama-sama kawan-kawan kita
ini.” Setelah berkata begitu, tanpa memperdulikan wajah Yang Hoa
yang memperlihatkan rasa menyesal karena tidak diperbolehkan
ikut, Bun Liong sudah berkelebat pergi.

Ternyata selama Bun Liong mengobati dan menolong jiwa Yang


Hoa tadi, sebagian besar para perampok telah diganyang mampus
oleh labrakan para anggauta Pauw-an-tui yang gagah berani di
bawah pimpinan guru silat Can Po Goan. Hanya sedikit saja
liauwlo-liauwlo yang melemparkan senjata dan menyerah.

Mayat dari kedua belah pihak bergelimpangan tumpang tindih.


Rumput-rumput hutan yang tadinya hijau menjadi merah dibanjiri
darah. Keadaan sungguh mengerikan…….

Hanya si Cakar Harimau Lo Ban Kui sendiri saja yang masih


melawan dengan gigihnya. Biarpun kakek bungkuk ini sudah letih
dan menderita luka dalam akibat pukulan Lui-lek-ciang ketika ia
bertempur dengan Bun Liong tadi, namun ia masih dapat melawan
Can kauw-su dengan baik dan berlangsung sampai beberapa
puluh jurus lamanya.

587
Kalau tadi para liauw-lo mengepung dan mengeroyok Bun Liong,
maka sekarang Ban Kui dikepung oleh para anggautanya Pauw-
an-tui, akan tetapi mereka ini hanya berdiri mengitarinya sambil
berteriak-teriak dan senjata mereka diacung-acungkan ke atas,
sedangkan yang menghadapi Ban Kui bertempur adalah Can
kauw-su seorang.

Can kauw-su memainkan goloknya sedemikian hebat sehingga


patutlah ia mendapat julukan Toat-beng-sin-to (Golok Sakti
Pencabut Nyawa). Akan tetapi sebaliknya Ban Kui pun
melawannya mati-matian dengan cengkeraman kuku-kuku jari
tangan, dan rangsangan kuku-kuku jari kakinya yang beracun itu
sebagai senjata ampuhnya.

Kadang-kadang kakek lihay yang mempunyai daya kekuatan luar


biasa ini mengirim pukulan hek-tok-ciang terhadap Can kauw-su.
Kegagahan Ban Kui benar-benar patut dipuji karena meskipun
maklum bahwa di pihaknya hanya tinggal ia seorang dan
sembilanpuluh persen sudah terang bakal kalah, namun kakek ini
tidak sudi menyerah mentah-mentah!

Kalau dibuat perbandingan tingkat kepandaian antara Lo Ban Kui


dan Can kauw-su, sebenarnya dapat dikatakan sangat seimbang.
Akan tetapi karena Ban Kui sesungguhnya sudah terlalu lelah dan

588
menderita sakit di dalam dada yang ditahan-tahannya, sedangkan
Can kauw-su merupakan lawan baru yang mempunyai tenaga baru
baginya, maka kakek bungkuk ini akhirnya menjadi amat
kewalahan.

Pada suatu saat, tiba-tiba Can kauw-su melakukan serangan yang


luar biasa cepat dan kuatnya, goloknya menyambar bagaikan kilat
mengarah batang leher Ban Kui. Ketika itu kedudukan Ban Kui
justeru dalam posisi yang sulit, maka kakek ini terkejut sekali dan
cepat ia melakukan tangkisan dengan kipratan kuku jari tangan
kanannya yang disertai pengerahan tenaga lweekang
sepenuhnya.

Akan tetapi begitu senjata golok itu tertangkis, golok terpental


miring dan masih terus melanjutkan sambarannya ke arah
tenggorokannya! Ban Kui kali ini tak keburu menangkis lagi dan
cepat ia memular tubuh untuk mengelak, akan tetapi
terlambat…….!

“Bretttttt…….!” Golok Can kauw-su telah mencium pundak kirinya,


membabat kulit dan melukai daging pundak yang terobek bersama
dengan baju kulit majikannya. Akan tetapi bertepatan dengan itu
Ban Kui sempat mengirim hawa pukulan Hek-tok-ciang terhadap

589
lawannya. Baiknya Can kauw-su cukup waspada dan berlaku
gesit, cepat ia mengelak dengan tiga lompatan ke samping.

Hal ini merupakan kesempatan baik bagi Lo Ban Kui untuk


melarikan diri. Cepat kakek bungkuk itu membalikkan tubuh,
melompat sesigap gerakan macan tutul dan ketika dalam
lompatannya itu, ia meloncati sebuah batu karang, kuku-kuku jari
kedua tangannya mencengkeram batu karang itu.

Melihat betapa Ban Kui hendak meloloskan diri, para anggauta


Pauw-an-tui yang mengitari gelanggang pertempuran cepat
menggerakkan senjata mereka membendung lari kakek itu! Akan
tetapi sekali saja Ban Kui menggerakkan kedua tangannya ke arah
mereka yang menghadangnya, tidak kurang dari sepuluh orang
anggauta Pauw-an-tui menjerit bersama-sama dan selain mereka
jadi kelabakan kesakitan, bahkan sebagian ada juga yang roboh
terjungkal!

Ternyata bahwa Ban Kui mencengkeram batu karang tadi adalah


untuk keperluan ini. Batu karang itu dicengkeramnya hingga
hancur dan kini ia menggunakan hancuran batu karang itu untuk
menyerang para lawan yang mencegatnya.

590
Batu karang yang telah hencur dan merupakan kerikil-kerikil kecil
ini tidak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparannya
yang disertai tenaga lweekang sepenuhnya ini membuat kerikil-
kerikil kecil itu dapat menembus kulit dan daging. Dan setiap butir
kerikil kecil itu merupakan sebuah senjata rahasia yang lihay!

Itulah sebabnya, maka beberapa orang anggauta Pauw-an-tui itu


menjadi kelabakan terkena serangan kerikil-kerikil kecil yang
dihamburkan oleh kedua tangan Ban Kui. Senjata rahasia istimewa
itu ada yang mengenai mata, muka dan lain-lain anggauta tubuh
mereka, sedangkan mereka yang roboh terjungkal adalah karena
kerikil-kerikil kecil itu secara kebetulan mengenai jalan-jalan darah
yang mematikan!

Akhirnya Ban Kui bisa membobolkan bendungan itu dan melarikan


diri. Akan tetapi kembali ia dicegat oleh tiga orang anggauta Pauw-
an-tui lainnya. Seorang yang bersenjata tumbak menghadang di
depannya, sedangkan yang dua orang di kanan kiri, pedang dan
golok dari kedua orang ini membuat gerakan menggunting dari ke
dua sampingnya.

Tapi Ban Kui dengan enaknya dan mudah sekali dapat melewati
cegatan ke tiga orang yang bersenjata itu. Dengan gerakan yang
luar biasa cepatnya sehingga sukar dilihat, tahu-tahu ke tiga orang

591
anggauta Pauw-an-tui itu menjerit dan tubuh mereka roboh
berkelonjotan!

Penghadang di depan Ban Kui tadi tubuhnya telah terpental


dihantam tendangan geledek kakek itu. Lawan di kanan kirinya
setelah senjata-senjata mereka dikelitkan, kuku-kuku dari jari ke
dua tangan Ban Kui telah mencengkeram perut mereka, sekali saja
direnggutkan pecahlah kulit perut sehingga seluruh isi perut
berhamburan keluar dalam keadaan seperti dicabik-cabik!

Ketika Can kauw-su melompat dan mengejar, ternyata Ban Kui


telah lenyap, kakek itu telah melarikan diri memasuki kerungkutan
hutan belukar! Ketika beberapa orang anggauta Pauw-an-tui
hendak mengejar, Can kauw-su melarangnya sambil memberi
penjelasan bahwa menurut peraturan kang-ouw, lawan yang telah
melarikan diri ke dalam hutan, tidak boleh dikejar karena sangat
berbahaya bagi si pengejar.

Bukan main kaget dan sedihnya Can kauw-su tatkala kemudian ia


melihat korban yang terkoyak perutnya itu, karena seorang di
antaranya adalah muridnya yang paling ia sayangi, yaitu Tan Seng
Kiat, suheng dari Kwe Bun, pemuda yang memiliki watak sabar
seperti gurunya itu! Ketika Can kauw-su mendekati dan

592
memeriksa, ternyata nyawa murid kesayangannya itu telah putus,
seluruh kulit tubuhnya matang biru.

Kasihan, pemuda yang pembaca sudah mengenalnya sejak


bagian permulaan dalam cerita ini, kini telah menemui
kematiannya dalam keadaan yang mengerikan! Benar-benar
kasihan……..

Ketika Bun Liong tiba di tempat itu, hatinya menjadi masygul


melihat kawan-kawannya banyak yang menjadi korban dan ia lebih
menyesal lagi ketika mendengar keterangan Can kauw-su bahwa
Houw-jiauw Lo Ban Kui telah dapat melarikan diri.

Sementara Can kauw-su dengan sebagian anggauta Pauw-an-tui


merawat dan mengumpulkan kawan-kawannya yang menderita
luka dan yang gugur sebagai patriot, adapun Bun Liong bersama
sebagian kawan-kawannya lagi pergi ke atas bukit dan memeriksa
pesanggrahan kediaman gerombolan.

Setiap bangunan dan ruangan diperiksa dan digeledah. Dan dalam


operasi ini selain mereka menemukan empat buah peti berisi
barang-barang berharga hasil penggarongan dan ratusan kwintal
bahan makanan, juga mereka melepaskan sembilan orang wanita
muda dari sebuah kamar yang berterali besi.

593
Wanita-wanita itu cantik-cantik akan tetapi wajah mereka sangat
pucat dan tubuh mereka demikian kurus kering. Kemudian Bun
Liong mengetahui bahwa wanita-wanita itu adalah korban
penculikan dan dijadikan barang permainan para perampok.
Kiranya kesembilan wanita itu adalah sisa yang masih dapat
bertahan hidup, sedangkan selebihnya telah membunuh diri atau
dibunuh oleh para perampok karena mereka tidak mau melayani
keinginan manusia binatang itu.

Demikianlah akhirnya, setelah Bun Liong dan kawan-kawannya


membakar pasanggrahan itu dan mengubur mayat-mayat para
perampok, mereka pulang meninggalkan hutan itu sambil
bersorak-sorak kemenangan. Barang-barang hasil rampasan
mereka gotong, mereka yang tewas atau terluka diusung atau
digendong oleh kawan-kawannya, yaitu seperti Can kauw-su dan
Kwe Bun mengusung jenazah Tan Seng Kiat, dan Bun Liong
memondong Yang Hoa karena gadis ini masih terlalu lelah dan
lemah untuk berjalan sendiri menuruni bukit, akibat rangsangan
racun di dalam tubuhnya tadi…….

Perlu diterangkan, bahwa mayat-mayat anggauta Pauw-an-tui


yang gugur selaku patriot pembela rakyat kemudian dikebumikan
di sebidang tanah di sebelah barat kota Tong-koan. Tanah tersebut
milik seorang hartawan yang diberikan kepada Pauw-an-tui untuk
594
dijadikan tempat penguburan bagi para anggaula Pauw-an-tui
yang gugur, semacam taman pahlawan.

Sedangkan barang-barang berharga seperti emas permata sitaan


itu tadinya hendak diserah kembalikan kepada pemiliknya masing-
masing, tetapi setelah diadakan perundingan antara pemimpin
Pauw-an-tui dan mereka yang mengaku pemilik barang-barang itu,
akhirnya diputuskan bahwa barang-barang tersebut tidak
dikembalikan kepada mereka, melainkan mereka justeru
menyerahkannya kepada Pauw-an-tui.

Oleh Barisan Penjaga Keamanan barang-barang sebagian


dijadikan perbekalan, sebagian disumbangkan kepada sanak
keluarga para korban, dan selebihnya diamalkan kepada rakyat
miskin. Cara ini adalah berkat kebijaksanaan dari Cio Song Kang
wan-gwe!

Hari itu sungai Huang-ho mengalir tenang dan agak surut. Perahu-
perahu nelayan nampak di sana sini, akan tetapi hanya perahu-
perahu nelayan miskin tanpa layar. Ada juga di antaranya yang
memakai layar, akan tetapi lajar usang penuh tambalan.

595
Sebelum daerah Tong-koan diranjah gerombolan penjahat,
keadaan sungai Kuning ramai sekali, banyak dilalui perahu-perahu
para saudagar. Akan tetapi semenjak daerah Tong-koan menjadi
genting, dan sungai seakan-akan dikuasai bajak sungai yang
dikepalai oleh Ma Gu Lin si Iblis Sakti Sungai Kuning. Keadaan lalu
lintas di sungai ini menjadi mati, semati kota Tong-koan
sebagaimana pernah diterangkan dalam bagian permulaan dari
cerita ini.

Kini tidak ada perahu-perahu besar para saudagar yang berani


melintasi daerah ini, yang ada hanya perahu-perahu nelayan
miskin setempat. Dan merekapun tidak berani berperahu jauh-jauh
mudik, karena takut pada kawanan bajak yang bersarang di hutan
Siong-lim-nia yang terletak persis pada tapal batas Siam-say Ho-
nan, yaitu di sebelah barat kota Tong-koan.

Bagi penduduk di sepanjang tepian sungai, Huang-ho merupakan


sumber nafkah, mereka dapat menjala ikan sepuas-puasnya dan
ikan-ikan itu takkan habis selama air sungai itu masih mengalir.
Dan air sungai yang berwarna kekuning-kuningan itu membawa air
lumpur yang merupakan pupuk baik sekali bagi para petani,
menyuburkan tanaman-tanaman di sawah ladang mereka.

596
Para penduduk yang bertempat tinggal dan mempunyai sawah
ladang di sepanjang tepian sungai, sangat berterima kasih kepada
Huang-ho karena dari sungai ini mereka seperti mendapatkan
berkah bagi penghidupan mereka. Akan tetapi di samping itu
adakalanya mereka mengutuk sungai ini apabila airnya meluap
melewati batas sehingga menimbulkan banjir besar dan merusak
sawah ladang mereka.

Karena inilah maka orang mengatakan bahwa sungai Kuning


mempunyai pengaruh yang amat gaib, yaitu merupakan berkah
diwaktu tenang sehingga penduduk berterima kasih. Tapi
sebaliknya merupakan bencana besar diwaktu banjir sehingga
penduduk yang dirugikan mengutuknya!

Seperti sudah diceritakan tadi, bahwa hari itu air sungai Huang-ho
agak surut dan mengalir tenang. Di antara perahu-perahu nelayan
yang tengah menjala ikan itu tampaklah sebuah biduk kecil yang
maju mudik dengan cepatnya.

Biduk kecil itu dinaiki oleh dua orang, yaitu seorang laki-laki
setengah tua yang mengayuh dayung dan yang di kepalanya
mengenakan topi bambu berdaun lebar sebagaimana umumnya
topi nelayan, bergerak-gerak dan di dekat ujung depan biduk duduk
seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang putera

597
hartawan. Tangan kanannya memegangi gagang payung yang
menaungi tubuhnya dari sinar matahari yang sebenarnya masih
belum terik.

Adapun tangan kirinya memegang sejilid buku tebal yang asyik,


dibacanya. Dan di antara kedua orang yakni di tengah-tengah
biduk terletak sebuah peti besar berbentuk indah.

Setiap nelayan yang bertemu atau berpapasan dengan kedua


orang itu, mengangkat tangan memberi salam dan kakek
pendayung dan pemuda yang membaca buku itupun
membalasnya dengan lambaian tangan atau anggukan kepala.

Kakek setengah tua yang mendayung dan pemuda yang


berpakaian seperti seorang putera hartawan itu adalah Can kauw-
su dan Bun Liong yang hari itu, setelah dua hari berselang mereka
mengganyang kawanan garong, akan pergi mengganyang
komplotan bajak sungai di hutan Siong-lim-nia. Mereka menempuh
perjalanan melalui sungai dan membawa sebuah peti besar itu
adalah sesuai dengan rencana dan siasat.

Bila kemarin dulu Bun Liong pergi bersama Yang Hoa, maka kini
ia pergi bersama Can kauw-su karena Yang Hoa kesehatannya
belum pulih benar dan dicegah oleh Bun Liong, sungguhpun nona

598
itu sebenarnya ingin ikut serta dengan calon suaminya melakukan
tugas yang terakhir dalam rangka berkonfrontasi dan
mengganyang komplotan penjahat. Ternyata ada baiknya bagi Bun
Liong kali ini pergi bersama Can kauw-su, karena guru silat yang
kini menyamar sebagai nelayan ini selain sudah hapal akan letak
hutan Siong-lim-nia melalui perjalanan sungai juga sangat mahir
dalam hal mengemudikan biduk.

Perjalanan di atas biduk sangat menyenangkan hati Bun Liong,


apalagi kalau ia menaiki biduk bersama Yang Hoa maka akan
terasa lebih romantis.

Makin lama biduk kecil itu meluncur makin ke hulu dan perahu-
perahu nelayan tadi sudah tertinggal jauh di belakang. Di
permukaan air sungai di mana kini Bun Liong dan Can kauw-su
berada, tidak tampak lagi perahu-perahu nelayan karena tempat
itu sudah merupakan daerah genting dan sudah tidak berapa jauh
lagi dari hutan Siong-lim-nia.

Ternyata menempuh perjalanan dengan biduk di permukaan air


sungai ini tidak semudah perjalanan di darat, karena makin mudik,
selain keadaan makin sepi dan bentangan sungai makin sempit
lantaran diapit tebing batu karang di kedua tepinya yang tinggi, juga

599
disebabkan air sungai agak surut sehingga batu-batu karang besar
dan tajam tampak menonjol di permukaan air.

Bun Liong memandang ke depan dan mau tak mau pemuda ini
merasa ngeri melihat betapa berbahayanya perjalanan yang
ditempuhnya kini. Akan tetapi biduk itu meluncur dengan sangat
cepat melawan arus karena terus dikayuh oleh Can kauw-su yang
menggerakkan dayungnya disertai tenaga lweekang. Dan
kemudian Bun Liong pun membantu mendayung, sehingga biduk
kecil itu maju makin kencang bagaikan anak panah yang terlepas
dari busurnya.

Hati Bun Liong berdebar-debar bimbang karena pemuda yang baru


sekali ini melakukan perjalanan di atas air, merasa bingung betapa
biduk yang didudukinya dapat melewati batu-batu karang yang
makin ke depan makin banyak malang-melintang di tengah sungai.
Juga arus sungai terasa amat deras karena batu-batu itu telah
memecah-belahkan aliran sehingga terjadi aliran-aliran kecil
bagaikan solokan yang arusnya sangat kencang dan berbelok-
belok!

Selagi Bun Liong berpikir-pikir bagaimana caranya supaya


biduknya maju lebih lanjut di antara sela-sela batu-batu itu, tiba-

600
tiba ia mendengar Can kauw-su yang duduk dibelakangnya
berkata:

“Souw sicu, kau jangan mendayung, akan tetapi gunakanlah


dayungmu sedemikian rupa supaya biduk kita tidak terbentur pada
batu-batu itu!”

Walaupun Bun Liong sama sekali belum paham betapa mesti


mengendalikan biduk supaya tidak menabrak batu-batu itu, namun
perkataan Can kauw-su itu dapat segera ia tangkap maksudnya
dan ia mengerti betapa ia harus berbuat.

Maka sementara Can kauw-su terus mendayung untuk melawan


aliran air kencang yang bisa menghanyutkan biduk mereka ke hilir,
Bun Liong lalu menggunakan dayungnya untuk menolak batu-batu
di kanan kiri yang mengancam hulu biduk sehingga biduk sebentar
membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri. Berkat Bun Liong
yang “memegang stir” dan Can kauw-su yang “menancap gas”
akhirya biduk itu dapat melalui batu-batu penghalang itu.

Bun Liong menarik napas lega. Dan ia jadi mengerti bahwa menaiki
biduk tidak hanya mesti pandai mendayung saja, akan tetapi
apabila biduk harus menempuh arus di antara batu-batu
penghalang seperti tadi harus menggunakan akal, membutuhkan

601
ketabahan, kecekatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang
luar biasa.

Setelah mereka melewati batu-batu penghalang tadi, kembali


biduk mereka meluncur di atas arus sungai yang tenang dan
bentangan sungai pun tidak terlalu sempit seperti tadi. Akan tetapi
tebing di kanan kiri kini merupakan hutan dan jauh di depan mereka
tampak sebuah bukit kecil yang banyak ditumbuhi pohon siong dan
di bawah kerimbunan pohon-pohon itu terlihat banyak gubuk-
gubuk sehingga merupakan sebuah pedusunan kecil di atas dan di
lereng bukit itu.

“Souw sicu, itulah tempat tujuan kita,” kata Can Po Goan sambil
menunjuk ke depan, ke arah bukit itu.

Bun Liong mengangguk tanda mengerti dan berbareng dengan itu


tiba-tiba dari atas tebing sebelah kanan meluncur sebatang tombak
ke arah mereka. Akan tetapi Can kauwsu sangat waspada dan
memang mereka bukan tidak mengetahui bahwa puluhan pasang
mata mengintai di kedua tebing sungai, di atas batu-batu karang
yang tinggi di antara rungkutnya tumbuh-tumbuhan hutan.

Cepat Can Pa Goan menggerakkan dayungnya ke dalam air


sebelah kanan dari biduknya sehingga biduk itu jadi meluncur ke

602
samping seakan-akan terdorong dari sisi kanan oleh tenaga yang
kuat sekali. Tombak itu jadi meluncur dan masuk ke dalam air
karena biduk itu seperti berkelit! Dan Can Po Goan segera berbisik:

“Souw sicu, berbuatlah seperti apa yang kita telah rencanakan.”

Maka dengan suara nyaring Bun Liong berseru sambil


menengadah ke atas tebing dari mana tombak tadi datang:
“Sahabat yang baik di atas tebing, kalian jangan ganggu kami
karena aku adalah utusan dari seorang hartawan yang hendak
mengirim barang melalui sungai ini, dan kedatanganku ke mari tak
lain adalah hendak bertemu dengan Ma tay-ong!”

“Mengapa dan apa maksudmu hendak bertemu dengan tay-ong?!”


terdengar balasan yang merupakan pertanyaan dari atas tebing.

“Aku hendak memberikan ini,” sahut Bun Liong sambil menuding


ke peti yang dibawanya dengan biduk itu dan ia melanjutkan:
“Jelasnya, aku hendak membayar uang sewa jalan kepada Ma tay-
ong!”

Untuk beberapa saat sepi, agaknya laskar bajak di atas tebing


berunding dulu dengan kawan-kawannya, kemudian terdengar:
“Teruskan perahumu! Ma tay-ong ada di tempatnya, di bukit yang
di depan itu!”
603
“Kita berhasil lolos dari lobang jarum yang pertama, Souw sicu!”
bisik Can Pa Goan sambil menggerakkan dayungnya dan biduk
mereka meluncur lagi ke depan.

Ketika Bun Liong menoleh ke belakang, maksudnya hendak


membicarakan sesuatu kepada tukang perahu palsu itu. Pemuda
ini melihat enam orang laskar bajak yang menaiki dua buah
sampan, entah dari mana datangnya, tahu-tahu mereka telah
berada tidak jauh di belakang biduk.

“Ada dua sampan masing-masing dinaiki tiga orang laskar bajak


membuntuti kita, Can lopeh,” bisik Bun Liong dan perkataannya
jadi menyimpang dari maksud semula.

Can Po Goan mengangguk, “Agaknya mereka mencurigai kita,”


katanya tanpa menoleh ke belakang seakan-akan guru silat tua
yang bersemangat muda itu sudah maklum.

Ia terus mendayung dengan gerakan wajar dan sikapnya amat


tenang. Sedangkan Bun Liong yang biasanya bersikap tenang
dalam menghadapi bahaya kini berdebar tegang karena ia berada
di atas air, mengingat bahwa ia tidak bisa berenang, maka akan
celakah ia kalau dalam pertempuran yang bakal dihadapinya nanti

604
biduknya sampai digulingkan oleh para bajak dan ia akan mati
konyol tenggelam ke dalam air!

Memang para bajak itu telah dipesan kepalanya bahwa mereka


tidak boleh mengganggu para pembayar uang sewa jalan dan
bahkan harus melindunginya. Akan tetapi oleh karena sudah lama
sekali tidak ada saudagar hartawan yang berani melakukan
perjalanan melalui sungai yang menjadi daerah kekuasaan
mereka, maka mereka menaruh curiga terhadap penumpang biduk
kecil yang menyatakan hendak membayar uang sewa jalan itu!

Suatu hal yang untuk pertama kalinya terjadi lagi sejak beberapa
waktu yang sudah lama berselang. Maka mereka segera
menurunkan dua buah sampan dari atas tebing dan enam orang
membuntuti biduk kecil itu.

Kemudian, Bun Liong dan Can Po Goan dengan biduknya telah


tiba di tepi sungai di bawah bukit Siong-lim-nia itu.

Sebelum mereka sempat mengetepikan biduk, tiba-tiba mereka


mendengar suara siulan dari salah seorang laskar bajak yang
membuntuti mereka tadi dan bersamaan dengan itu, tahu-tahu di
depan biduk kini muncul dua buah sampan yang masing-masing
ditumpangi oleh tiga orang laskar bajak pula yang kesemuanya

605
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna serba hitam dan
berbekal senjata tajam yang berkilauan terkena sinar matahari.
Dua buah sampan ini dikayu secara melintang merupakan
penghadang dan mendekati biduk Bun Liong.

Bun Liong segera mengetahui bahwa di antara enam laskar bajak


itu terdapat Huang-ho-ji-go (Sepasang buaya Sungai Kuning) Bu
Kiam dan Bong Pi! Sepasang buaya Sungai Kuning itupun agaknya
dapat segera mengenal pemuda yang berpakaian seperti seorang
putera hartawan seorang pemuda yang pernah mengalahkan
mereka mula-mula di atas panggung lui-tay, kemudian bersama
seorang dara cantik (Yang Hoa) menghadang dan mengobrak-
abrik mereka ketika mereka hendak melakukan penyerbuan ke
dalam kota ketika fajar baru menyingsing pada beberapa hari yang
lalu!

Para komplotan bajak sudah mendengar bahwa kemarin dulu


sarang komplotan perampok sudah ditempur-ludaskan oleh
Barisan Penjaga Keamanan (Pauw-an-tui) di bawah pimpinan
pemuda yang sudah mereka rasakan kelihayannya itu. Maka
setelah mengenal siapa pemuda itu, Bu Kiam ketawa bergelak-
gelak.

606
“Hahaha……. kau, bocah yang menjadi jago Pauw-an-tui,
mengapa kau menyamar sebagai putera hartawan? Biarpun kau
menyamar sebagai siluman sekalipun, kedatanganmu kemari tetap
berarti mengantar nyawa! Hahaha……..!”

“Kau terburu nafsu, Bu Kiam,” balas Bun Liong sambil berdiri di


atas biduknya. “Kedatanganku kemari disamping kau anggap
mengantar nyawa, tapi juga mengantar isi peti yang kubawa untuk
Ma tay-ong, maka sebelum banyak bicara, terimalah dulu peti ini
dan sesudah Ma tay-ong melihat isinya, barulah kalian mengetahui
tentang maksud kedatanganku ini!”

Baik Bu Kiam maupun Bong Pi yang memang sudah banyak


pengalaman sudah mengetahui bahwa pemuda itu selain
berkepandaian lihay juga memiliki kecerdikan yang luar biasa
sehingga mereka tidak boleh berlaku ceroboh. Dan ketika itu tiba-
tiba salah seorang laskar bajak yang membuntuti biduk kecil itu
tadi, berkata nyaring, ditujukan kepada Bu Kiam dan Bong Pi,

“Jie-tay-ong dan Sha-tay-ong (Raja kedua dan ketiga), anak muda


tadi mengatakan bahwa ia selaku utusan hartawan yang akan
lewat di daerah ini hendak membayar uang sewa jalan!”

607
“Hmm…….!” Bu Kiam memperdengarkan suara dari hidungnya.
“Kau telah diingusi oleh setan cilik yang banyak tipu muslihatnya
ini……!”

Tiba-tiba perkataannya terputus oleh ucapan Bong Pi yang


mempunyai pikiran lain: “Bu-ko sebaiknya kita periksa dulu isi peti
itu, baru kemudian kita bertindak.”

Bu Kiam tidak cepat menjawab, agaknya benak di tempurung


kepalanya tengah membuat pertimbangan antara keragu-
raguannya. Akhirnya ia berkata:

“Jangan kita berlaku semberono, Bong-te! Betapapun juga setan


cilik itu adalah musuh besar kita, maka berbahaya sekali kalau kita
lekas percaya omongannya. Lebih baik maksud bohongnya ini
jangan kita hiraukan, dan seranglah dia!”

Kata-kata yang terakhir ini ternyata merupakan aba-aba karena


seiring dengan mereka berenam masing-masing melontarkan
sebatang tombak dalam waktu yang hampir bersamaan. Tiga
batang tombak mengarah Can kauw-su yang cepat berdiri di atas
biduknya dan yang tiga batang lagi mengarah Bun Liong dan enam
batang tombak itu meluncur luar biasa cepatnya!

608
Baik Bun Liong maupun Can Po Goan maklum bawa rencana
sebagaimana yang disiasatkan semula, berkat kewaspadaan Bu
Kiam, kini telah gagal. Tapi kejadian seperti inipun memang sudah
masuk perhitungan semula, maka begitu mereka diserang oleh
luncuran enam batang tombak berarti saat pertempuran sudah
tiba!

Can Po Goan memutarkan dayung di tangannya dan tiga batang


tombak ditangkisnya sekaligus sehingga tombak-tombak menjadi
patah dan jatuh ke air. Sementara Bun Liong ternyata tidak mau
berlaku sungkan. Pemuda itu sambil mengeluarkan makian keras:

“Kawanan bajak tak tahu diuntung…….!”

Sejilid buku yang dibacanya tadi dan kini dipegang di tangan kirinya
digunakan untuk menyampok luncuran tombak yang pertama
sehingga tombak mencong dan masuk ke dalam air. Tombak
kedua yang mengarah dadanya sambil miringkan tubuhnya sedikit
ke kiri ia tangkap dengan tangan kanannya dan tombak ketiga yang
menyerang perutnya ia tendang hingga terpental ke atas.

Dan ketika tombak ini meluncur turun, ia sabet dengan tombak


yang dipegang tangan kanannya tadi hingga meluncur cepat
kembali ke tempat pelepasnya. Dan terdengarlah pekikan

609
mengerikan dari seorang laskar bajak yang berada di sisi Bu Kiam
dan tubuhnya terjengkang dengan dada ditembus tombak dan
kecebur ke dalam air!

Tentu saja ketangkasan pemuda ini tak disangka laskar bajak,


kecuali Bu Kiam dan Bong Pi yang berkepandaian tinggi, maka
seorang laskar bajak tidak keburu berkelit sehingga ia dimakan
tombaknya sendiri.

“Bagus…….!” Can Po Goan berseru kagum dan ia sendiri


membalikkan tubuh menghadap ke belakang biduk untuk menjaga
serangan dari laskar bajak yang membuntutinya tadi.

Bu Kiam berseru marah: “Jahanam! Pembalasanku akan membuat


darahmu mengalir bersama air sungai ini!” Dan ia segera terjun ke
dalam air, berenang sambil menggigit pedangnya, menghampiri
biduk Bun Liong dengan cepat sekali.

Bun Liong kagum akan cara berenang orang ini, begitu cepat
sehingga benar-benar seperti gerakan seekor buaya berenang.
Pantaslah dijuluki Buaya Sungai Kuning!

Bun Liong cepat melemparkan sejilid buku yang dipegang tangan


kirinya tadi, diarahkan kepada kepala Bu Kiam yang berenang
mendatangi itu. Lemparan ini, biarpun yang disambitkan hanya
610
sejilid buku, tapi karena lemparannya dilakukan oleh seorang
berilmu silat tinggi seperti Bun Liong, maka bila mengenai
sasarannya, berarti suatu bahaya yang tidak kecil!

Akan tetapi ternyata Bu Kiam awas luar biasa. Ketika maklum


kepalanya disambit, ia cepat menyelam sehingga Bun Liong tidak
dapat melihat ke arah mana ia berenang karena dalamnya ia
menyelam.

Dikala itu Bong Pi sudah terjun pula mendatangi seperti lakunya


Bu Kiam. Dan bersamaan dengan itu pula sampan di depan tadi
sudah mendekat dan seorang laskar bajak sambil menghunus
golok lalu melompat ke atas biduk Bun Liong.

Dan pemuda ini segera dengan sebelah kakinya menekan kepala


perahu sehingga biduknya miring dan mencong ke samping,
membuat laskar bajak yang hendak melompat ke atas perahunya
jadi nyebur ke dalam sungai karena biduk kecil itu oleh perbuatan
Bun Liong seperti berkelit! Tetapi dilain saat, biduk itu terguncang-
guncang hebat dan di sisi biduk tampaklah kepala Bu Kiam yang
dengan menggunakan sepasang lengannya hendak membalikkan
biduk kecil itu.

611
“Celaka…….!” pikir Bun Liong karena apa yang dikhawatirkannya
tadi, yaitu bila biduknya digulingkan dan ia akan mati kelelap
karena tidak bisa berenang, ternyata kini sedang diusahakan oleh
Bu Kiam.

Namun sementara pemuda ini diamuk kekhawatiran, tiba-tiba


terdengar Bu Kiam berteriak, pegangan kedua tangannya di sisi
biduk dilepaskan dan ia segera menghilang lagi ke dalam air!
Ternyata jari-jari tangannya yang mengganduli pingiran biduk itu
telah dihantam oleh dayung di tangan Can Po Goan!

“Bagus, Can lopeh!” kini Bun Liong yang memuji kesigapan Can
kauw-su dan pemuda ini segera mengajak: “Mari kita mendarat!”

Ajakan ini disetujui oleh Can kauw-su dan setelah sekali lagi ia
mengemplang sebuah kepala yang tersembul dari dalam air di sisi
biduknya itu, yaitu kepala seorang bajak yang jatuh kecemplung
tadi. Mereka serta merta mendayung mengetepikan biduk.

Dan sebelum sampan para bajak sempat mengejarnya, kira-kira


biduk mereka tiga tumbak jauhnya dengan tepi sungai, Bun Liong
dan Can Po Goan telah dapat melompat ke darat. Dan tepat dikala
itu, biduk yang mereka tinggalkan itu terbalik sehingga peti yang
mereka bawa tenggelam, hal ini adalah perbuatan Bong Pi!

612
Para bajak itu segera mengetepikan sampan mereka dan
mengejar sambil berteriak-teriak. Bu Kiam dan Bong Pi juga sudah
mendarat dan berlari mengejar dengan pedang sudah siap di
tangan dalam keadaan basah kuyup.

Adapun Bun Liong bersama Can Po Goan berlari terus menaiki


lereng bukit Siong-lim-nia dan mereka menuju gubuk-gubuk
perumahan bajak sungai itu. Tengah berlari kebetulan sekali
mereka melewati sebuah api unggun yang masih menyala,
agaknya bekas menghangatkan tubuh para laskar bajak pagi tadi.

Seperti sudah berjanji lebih dulu Bun Liong dan Can kauw-su
menyambar sebatang kayu dari unggun itu yang apinya masih
menyala merupakan obor dan dengan menggunakan api itu
mereka lalu membakar gubuk-gubuk yang terdekat. Mereka
bermaksud hendak membakar gubuk-gubuk itu semua supaya
para bajak kacau karenanya.

Akan tetapi baru saja mereka sempat membakar empat buah


gubuk dan api mulai berkobar karena atap gubuk-gubuk itu terdiri
dari rumput alang-alang yang kering sehingga mudah dimakan api,
tiba-tiba sambil memperdengarkan suara teriakan-teriakan dan
bentakan-bentakan nyaring dari gubuk-gubuk lainnya berlompatan

613
banyak sekali laskar bajak dan serempak Bun Liong dan Can
kauw-su diserbu.

Can Po Goan lalu menghunus goloknya yang tadi disembunyikan


di dalam bajunya dan dengan goloknya ini ia mengamuk hebat.
Sedangkan Bun Liong sendiri juga tidak mau kalah mengunjukkan
kelihayannya. Ia mengeluarkan senjata cambuknya yang segera
memperdengarkan suara bagaikan petir berkali-kali.

Laskar bajak yang mengeroyoknya bergulingan sambil menjerit-


jerit sehingga sebentar saja di tempat itu ramai dengan suara
senjata beradu, teriakan-teriakan dan makian dari para laskar
bajak serta jeritan mereka yang terluka baik oleh golok Can kauwsu
yang mengamuk maupun terkena hajaran oleh cambuk di tangan
Bun Liong, disusul oleh tubuh mereka yang jatuh bergulingan ke
bawah lereng! Dan suara gubuk runtuh serta api yang berkobar-
kobar menambah kekacauan di tempat itu.

“Bunuh saja dua setan Pauw-an-tui ini!” bentak Bu Kiam yang


ketika itu sudah tiba di situ dan bersama Bong Pi lalu maju ke
depan, mengeroyok Bun Liong dan Can kauw-su dengan ilmu
pedang mereka yang hebat!

614
Dalam pengeroyokan itu Bun Liong dan Can kauw-su mengadakan
perlawanan gigih sambil saling membelakangi dengan demikian
cara mereka merupakan kerjasama yang baik sekali, tidak usah
menjaga diri terhadap serangan lawan yang datangnya dari
belakang.

Biarpun marah bukan main, namun si Sepasang Buaya Sungai


Kuning tidak berani menghadapi kedua lawannya itu terlalu dekat,
karena maklum akan kehebatan cambuk di tangan anak muda itu
dan golok di tangan Can kauw-su pun menyambar-nyambar
laksana halilintar. Dan setiap golok itu berkelebat berarti satu
nyawa laskar bajak melayang, sehingga tidak berkelebihanlah di
masa mudanya ia mendapat nama julukan Toat-beng-sin-to atau
si Golok Sakti Pencabut Nyawa!

Tiba-tiba dalam keributan terdengar suara bentakan nyaring,


bentakan ini begitu berpengaruh dan nadanya mengatasi kehiruk
pikukan!

“Tahan senjata dan kalian mundurlah…….!!!”

Para bajak yang mengeroyok Bun Liong dan Can kauw-su itu
melompat mundur, demikian juga Bu Kiam dan Bong Pi mentaati
perintah itu. Mereka berlompatan mundur mengurung dari

615
kejauhan dan memandang ke arah orang mengeluarkan bentakan
itu!

Bun Liong dan Can kauw-su pun menoleh ke arah suara bentakan
tadi dan mereka melihat seorang lelaki setengah tua bertubuh
tinggi besar berpakaian dan mengenakan kain pengikat kepala
berwarna serba hitam seperti laskar-laskar bajak tadi. Wajahnya
bersemu merah dengan cambang bauknya lebat sekali seperti
rumput hutan yang tumbuh semau-maunya, matanya tajam
berkilat-kilat mencerminkan kejahatan wataknya, tangan kanannya
memegang sebatang dayung besar yang terbuat dari besi.

Dengan langkah yang sangat antep, ia berjalan dari atas bukit dan
menghampiri Bun Liong dan Can kauw-su. Di belakangaja tampak
dua orang laskar bajak menggotong sebuah peti yang membuat
Bun Liong serta Can kauw-su heran, karena peti itu bukan lain
adalah peti yang mereka bawa, yang telah tenggelam ke dalam
sungai bersama biduknya tadi.

Mereka sangat heran bagaimana peti itu kini dibawa dari atas bukit.
Sebenarnya tidak perlu diherankan karena selagi mereka ribut
bertempur tadi, dua orang laskar bajak yang melihat peti itu
tenggelam segera berenang menyelam ke dalam sungai dan
mengangkat peti yang ternyata sangat berat sekali itu.

616
Lalu mereka membawanya ke atas bukit dengan melalui jalan di
luar kalangan pertempuran dan melaporkannya kepada Ma Gu Lin
yang ketika itu masih tidur di dalam gubuknya yang terletak paling
atas di puncak bukit Siong-lim-nia.

Setelah raja bajak itu mendengar keterangan dari anak buahnya


tentang hal ikhwal peti tersebut, ia hendak membukanya tapi
ternyata tutupnya terkunci. Dan akhirnya ia menyuruh anak
buahnya tadi membawa peti itu ke tempat pertempuran bersama
ia sendiri setelah mengambil senjatanya sebatang dayung besi
yang sangat berat.

Ma Gu Lin berdiri tegak di tengah-tengah gelanggang pertempuran


yang dihentikan oleh bentakannya tadi. Sekilas matanya yang
menyeramkan melirik ke arah Bun Liong dan Can Po Coan yang
berdiri tak jauh di depannya, kemudian ia menoleh ke arah Bu Kiam
dan Bong Pi dan kemudian terdengar tegurnya terhadap Huang-
ho-ji-go itu:

“Bu-te dan Bong-te, mengapa kau bertindak terhadap kedua orang


pembawa peti ini di luar perintahku?!” ujarnya dengan nada kata
angker dan berpengaruh.

617
Si Sepasang Buaya Sungai Kuning itu sebentar saling pandang
dan kemudian Bu Kiam memberi penyahutan: “Ma-ko, memang
kami bertindak tanpa seijinmu terlebih dulu. Akan tetapi kiranya
tindakan kami terhadap kedua orang ini tidaklah dapat terlalu
disalahkan, karena mereka adalah benggolan-benggolan dari
Pauw-an-tui musuh kita dan sudah terang sekali kedatangan
mereka ke mari tidak membawa maksud baik!”

Ma Gu Lin kembali melirik ke arah Bun Liong. Agaknya ia masih


kurang percaya bahwa pemuda yang berpakaian seperti putera
hartawan dan kelihayannya lemah itu bersama kawannya, seorang
kakek nelayan, adalah benggolan dari Pauw-an-tui seperti yang
dikatakan oleh Bu Kiam. Memang biarpun seorang kepala bajak
yang terkenal kejahatan dan kebengisannya, Ma Gu Lin adalah
seorang yang berwatak gagah.

Ia melarang para anak buahnya bertindak sembarangan tanpa


perintahnya yang biasanya direncanakannya dulu dengan
perhitungan masak. Oleh karena itu ia amat menyesalkan Bu Kiam
dan Bong Pi yang telah mengeroyok pemuda putera hartawan dan
kakek nelayan tanpa menyelidiki dulu maksud yang sebenarnya,
sedangkan menurut keterangan dua anak buahnya yang
melaporkannya tadi pemuda putera hartawan itu adalah selaku

618
utusan dari seorang hartawan yang akan membayar uang sewa
jalan.

“Heh, anak muda, siapakah sebenarnya kau ini?” tegur Ma Gu Lin


kemudian kepada Bun Liong.

Bun Liong cepat menjura dan dengan ketenangannya yang luar


biasa ia menjawab: “Maafkanlah kalau kedatangan siauwte berdua
kemari telah menimbulkan keributan yang sebenarnya diluar
kehendak kami. Dan sebenarnya, sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh saudara Bu tadi, kami berdua ini memang adalah
selaku utusan dari Pauw-an-tui dengan maksud selain hendak
menyampaikan bingkisan yang berupa isi peti itu sebagai salam
perkenalan dan tanda penghormatan terhadap tay-ong, lebih lanjut
kami ingin mengadakan perundingan dengan tay-ong demi
kebaikan kita bersama bagi hari-hari yang akan datang!”

“Jadi Pauw-an-tui hendak mengadakan kompromi denganku?” Ma


Gu Lin menegaskan dengan hati gembira karena bagi
anggapannya kalau Pauw-an-tui sudah mempunyai maksud
hendak “bersahabat” dengan pihaknya, ini berarti bahwa Pauw-an-
tui merasa jerih terhadapnya.

619
“Begitulah, tay-ong. Dan sebelumnya kami ucapkan banyak terima
kasih atas kemurahan tay-ong sekiranya tay-ong memahami
maksud kami,” sahut Bun Liong dengan sikap tetap menghormat
dan gaya sungguh-sungguh.

Ma Gu Lin kelihatan berpikir sejenak, entah apa yang


dipikirkannya. Lalu bertanya pula menyelidik, “Tapi, mengapa kau
tadi mengaku selaku utusan seorang hartawan yang hendak
melalui sungai daerahku ini dan tidak terus terang kau mengatakan
sebagai utusan dari Pauw-an-tui?!”

“Kalau tidak demikian, siauwte pasti tidak mungkin dapat bertemu


dengan tay-ong karena bawahan tay-ong niscaya akan
merintanginya, seperti halnya peristiwa yang baru saja terjadi.”

Akan tetapi Huang-ho-sin-mo bukanlah seorang bodoh dan


sebagai kepala bajak yang banyak pengalaman, tentu saja kurang
percaya akan omongan dari pemuda yang ia dengar sangat lihay
dan cerdik ini.

“Bolehkah kuperiksa dulu isi peti yang kau katakan berisi bingkisan
itu?” katanya mensiasati.

“Mengapa tidak?! Tentu saja boleh dan hal ini memang sudah
semestinya,” kata Bun Liong.
620
“Cobalah kau bukakan!” kepala bajak itu setengah menyuruh, “aku
sendiri tidak bisa membukanya karena dikunci!”

“Baik!” ujar Bun Liong sambil melangkah maju menghampiri peti itu
dan dari saku bajunya ia mengeluarkan sebuah anak kunci dan
dengan itu ia membuka tutup peti itu.

Sebelum tutup peti itu terbuka, Ma Gu Lin mundur ke belakang tiga


langkah karena ia menduga bahwa begitu tutupnya dibuka, dari
dalam akan melayang senjata-senjata rahasia yang dapat
mencelakakannya bila ia terlalu dekat. Akan tetapi kemudian
sepasang matanya jadi terbelalak lebar demi dilihatnya bahwa
begitu tutup peti tersebut dibuka oleh Bun Liong ternyata isinya
bukan senjata-senjata rahasia seperti yang ia duga.

Potongan-potongan uang mas bercampur batu-batu permata yang


tak ternilai harganya dan yang berkilauan terkena cahaya matahari
yang menembus daun-daun pohon siong sehingga menyilaukan
mata dan menarik hatinya.

Sesudah membuka tutup peti itu, Bun Liong lalu mundur dan
kembali ke tempat berdirinya semula. Wajah kepala bajak itu
berseri-seri dan kembali mendekati peti itu dan demikian juga Bu
Kiam dan Bong Pi menggoyang-goyang kepalanya sambil

621
memandang isi peti itu dengan mata tidak berkedip dan mulut
ternganga.

Tiba-tiba terdengar Ma Gu Lin ketawa bergelak-gelak seraya


katanya: “Hahaha……..! Bu Kiam dan Bong Pi, ternyata perbuatan
kalian kali ini tidak dapat kubenarkan! Orang mengantar rejeki dan
mengandung maksud baik, kalian telah berlaku salah
terima………”

“Akan tetapi tay-ong……. Siapa tahu kalau barang-barang dan


uang itu palsu dan ia menipu kita…….?” tukas Bu Kiam yang tetap
tidak mau percaya akan maksud kedatangan dari pemuda yang
sudah ia rasai kelihayannya itu.

Ma Gu Lin lalu mengulur tangannya dan mengambil beberapa


potong uang mas itu dan setelah ditelitinya dengan saksama, yang
ternyata semuanya adalah uang mas tulen dan permata-permata
asli, lalu berkata penuh keyakinan:

“Tidak, tidak palsu!”

Si Sepasang Buaya Sungai Kuning itu saling berpandangan


dengan wajah bengong dan mulut melongo! Sungguhpun mereka
percaya akan keyakinan raja bajak itu, namun disamping itu

622
mereka amat menyangsikan apakah mata si Iblis Sakti Sungai
Kuning itu tidak mendadak menjadi lamur?

Dengan kegembiraan yang luar biasa, Ma Gu Lin membenamkan


tangannya ke dalam peti yang penuh itu lebih dalam untuk meraup
guna mendapat kepastian bahwa harta itu tidak palsu semua dan
yang kemudian hendak diyakinkannya terhadap semua anak
buahnya yang ketika itu melihatnya dengan mata tak berkedip dan
berdiri seperti tonggak! Akan tetapi mereka menjadi terkejut ketika
melihat betapa Ma Gu Lin tiba-tiba menggulingkan tubuhnya
menjauhi peti itu sambil berteriak:

“Hayaaa………!”

Memanglah, di dalam peti itu, di bagian bawahnya, tersimpan


semacam senjata rahasia yang terbuat dari pegas. Apabila alat ini
tersentuh dapat bekerja secara otomatis dan menghamburkan
barang-barang yang ditaruh di atasnya dengan dahsyat sekali.

Alat ini dibuat secara istimewa oleh salah seorang ahli dari
anggauta-anggauta Pauw-an-tui. Dan maksud Bun Liong bersama
Can Po Goan membawa peti alat tersebut dengan di bagian
atasnya sengaja ditaruhi potongan-potongan uang mas dan
barang-barang permata sehingga memenuhi peti itu gunanya

623
untuk menipu dan menyerang Ma Gu Lin tanpa mereka turun
tangan.

Oleh karena itu, ketika si raja bajak tadi menyodokkan tangannya


ke dalam potongan-potongan uang mas dan butiran-butiran
permata itu, maka perkakas yang berupa pegas itu tersentuh dan
bekerja, membuat potongan-potongan uang mas dan butiran-
butiran permata yang sekian banyak itu tersembur dan
beterbangan merupakan senjata-senjata rahasia yang berbahaya
sekali!

Sebenarnya Ma Gu Lin sudah merasa curiga tentang isi peti itu,


akan tetapi ketika dilihatnya bahwa isi peti itu benar-benar barang
bingkisan yang tak ternilai harganya, hatinya demikian girang
sehingga ia jadi kurang waspada. Akan tetapi kepala bajak ini
ternyata mempunyai gerakan yang sangat gesit.

Begitu alat rahasia di dalam peti itu bekerja, ia cepat menarik


tangannya dan menggulingkan tubuhnya sambil mengeluarkan
seruan kaget dan marah! Potongan-potongan serta butiran-butiran
barang berharga itu beterbangan ke udara tanpa mengenai
sasaran dan yang kemudian jatuh bertebaran bagaikan hujan
lebat!

624
“Setan alas! Kau berani bermain-main dengan Huang-ho-sin-mo?
Rasakan senjataku!!” Ma Gu Lin membentak marah sambil bangun
dari bergulingnya dan tahu-tahu dayung besi di tangannya telah
menyambar ke arah kepala Bun Liong dengan dahsyat luar biasa.
Sekiranya dayung besi ini mengenai sasaran, maka pasti kepala
itu akan pecah!

“Bagus! Dua setan benggolan Pauw-an-tui ini mencari mampus


sendiri!” bentakan ini adalah ucapan Bu Kiam yang bersama Bong
Pi langsung menubruk Can Po Goan dengan serangan pedang
mereka.

Melihat Ma Gu Lin menyerang Bun Liong, si Sepasang Buaya


Sungai Kuning ini diam-diam merasa girang karena dengan
demikian berarti mereka hanya menghadapi Can kauw-su.
Melawan Bun Liong yang mereka sudah merasakan kelihayannya
di atas panggung lui-tay dulu, ada bahayanya menderita kalah,
akan tetapi menghadapi Can kauw-su yang mereka ketahui
kepandaiannya lebih rendah dari Bun Liong, sangat mustahil kalau
mereka sampai kalah, demikian pikir mereka.

Di lain pihak, baik Bun Liong maupun Can Po Goan memang sudah
siap siaga menghadapi serangan lawan yang tiba-tiba. Maka
begitu melihat Ma Gu Lin mengirim serangan dahsyat dengan

625
dayungnya yang mendatangkan angin santer, Bun Liong cepat
berkelit sambil balas membentak:

“Orang she Ma, kedatanganku justeru untuk mengganyang kau


dan kutu-kutu busuk kaki tanganmu!”

Sambil berkelit, cambuk di tangannya melecut nyaring, menyabet


dada lawannya. Dan ketika itu juga Can Po Goan sudah
memutarkan goloknya menyambut serangan bersama dari si
Sepasang Buaya Sungai Kuning!

Maka terjadilah pertempuran hebat dan para laskar bajak ramai


berteriak-teriak menyemangati pemimpin-pemimpin mereka sambil
berhadir mengelilingi gelanggang pertempuran. Ada beberapa
orang di antara mereka yang mulutnya turut ribut berteriak-teriak,
tetapi diam-diam mereka memunguti uang-uang mas dan butiran
permata yang berserakan di tanah, dan kemudian dimasukkan ke
dalam saku baju mereka!

Segera Bun Liong mendapat kenyataan bahwa Huang-ho-sin-mo


Ma Gu Lin itu ternyata seorang yang memiliki tenaga besar
sehingga dapat menggunakan dayung yang berat itu sebagai
senjata dengan tipu serangannya yang amat hebat. Hati Bun Liong
mengeluh karena ia sama sekali tidak berani menangkis dayung

626
itu dan cambuknya pun ternyata sedikit sekali gunanya, karena
setiap serangan cambuknya selalu dipatahkan oleh tangkisan
dayung yang berat itu.

Akan tetapi pemuda ini tidak merasa gentar sedikit pun. Berkat gin-
kangnya yang tinggi, ia selalu berhasil mengelakkan diri kadang-
kadang sambil membalas menyerang dengan cambuknya,
sekalipun serangan balasan ini selalu dipatahkan oleh dayung
lawannya.

Seperti ketika bertempur dengan Houw-jiauw Lo Ban Kui tempo


hari kali inipun Bun Liong hendak melihat dulu betapa inti gaya dari
serangan lawannya. Maka sambil matanya yang tajam
memperhatikan gerak gerik lawannya, ia selalu berloncat-loncatan
kian kemari, dan kadang-kadang juga ia main mundur.

Ma Gu Lin ketawa mengejek dan ia terus mendesak dengan


mengerahkan dayung besinya sedemikian hebat dan cepat hingga
setiap detik merupakan bahaya maut bagi pemuda itu. Ujung
dayung yang berat dan lebar itu kadang-kadang menghantam
tanah karena dapat dikelit oleh Bun Liong dan pemuda ini
merasakan betapa bumi yang kena hantaman dayung itu jadi
tergetar.

627
Bahkan, baru limabelas jurus pertempuran itu berlangsung sudah
ada dua batang pohon siong besar yang roboh terhantam oleh
senjata Ma Gu Lin. Benar-benar dayung di tangan kepala bajak itu
sangat lihay dan kekuatannya seperti seekor gajah mengamuk!

Bertubi-tubi Ma Gu Lin melancarkan serangan hebat dengan


dayungnya yang berat itu, akan tetapi selalu tidak mengenai
sasarannya oleh karena Bun Liong lincah sekali dan selalu
berusaha menjauhinya agar dapat mengirim serangan dari jarak
jauh dengan ujung cambuknya yang panjang itu.

Pada suatu saat Bun Liong berhasil memecutkan cambuknya


dengan tepat, yaitu ketika Gu Lin mengemplangkan dayungnya
dengan santer ke arah kepala pemuda itu dengan gerak tipu Pohon
Tumbang Menimpa Bukit. Pemuda itu cepat mengelak ke kanan
sambil mengayunkan cambuknya ke arah muka lawan!

Tangan kiri Gu Lin mencoba hendak menangkap ujung cambuk


yang menyabet ke arah mukanya. Akan tetapi cambuk itu tiba-tiba
bergerak sedemikian rupa seakan-akan mengelak dari tangkapan
dan melengkung ke atas seperti seekor ular hidup yang tidak mau
ditangkap, dan ujungnya yang panjang dan kecil itu berkelebat di
atas kepalanya dengan mengeluarkan bunyi nyaring yang
memekakkan anak telinga Gu Lin.

628
Kepala bajak itu cepat membungkukkan punggungnya dan tangan
kanannya menggerakkan dayungnya ke atas untuk menghalau
cambuk itu. Akan tetapi ia kalah cepat karena ujung cambuk itu
telah memecut punggungnya sehingga bajunya di bagian
punggung menjadi robek dan ia merasakan kulit punggungnya
sakit dan pedas sekali!

Kalau tadi Ma Gu Lin memandang rendah pemuda yang main


mundur saja itu sehingga ia terus mendesaknya, ada pun kini
setelah ia mendapat hajaran di punggungnya, sedangkan
dayungnya sama sekali belum berhasil mengenai tubuh lawannya
yang sangat lincah itu, menjadi penasaran dan amat marah. Maka
sambil mengerang gusar, kepala bajak yang tinggi besar ini
melancarkan serangan dayungnya dengan semakin ganas, dan
kadang-kadang lengan kirinya bergerak-gerak hendak menangkap
ujung cambuk untuk dibetot dan dirampasnya!

Akan tetapi, oleh karena Ma Gu Lin sudah tua dan dayung itu
sangat berat, tambahan lagi dalam melancarkan serangannya
sangat bernafsu, maka ketika pertempuran ini sudah memasuki
jurus yang kelimapuluh, kepala bajak ini sudah mulai lelah dan
gerakan-gerakan dayungnya tidak lagi sedahsyat tadi. Bahkan
dapat dikata berobah menjadi lambat disebabkan tenaganya
sudah berangsur-angsur surut.
629
Hal inilah yang dinanti-nantikan oleh Bun Liong. Setiap
menghadapi lawan tangguh, pemuda itu selalu main mengelak
saja pada permulaannya, disamping untuk meneliti taktik serang
lawan, juga untuk membuat lawannya kehabisan napas dan
tenaga. Melihat Ma Gu Lin sudah ripuh sendiri, hati Bun Liong
menjadi girang karena kini tiba gilirannya untuk melancarkan
serangan-serangan dengan ilmu cambuknya yang istimewa!

Sementara itu, Bu Kiam dan Bong Pi mengeroyok Can Po Goan.


Akan tetapi guru silat itu sangat gagah dan merupakan lawan berat
juga bagi mereka, sehingga apa yang mereka kira semula, yakni
bahwa guru silat itu akan mereka robohkan dengan mudah,
ternyata meleset!

Diam-diam mereka mengakui bahwa guru silat itu memiliki tenaga


lweekang yang lebih tinggi dari mereka, karena pedang-pedang
mereka apabila beradu dengan golok lawannya itu, pedang
mereka terpental dan telapak tangan mereka terasa sakit dan
pedas serta seluruh tangan yang mencekal pedang itu tergetar
hebat.

Akan tetapi Can Po Goan sendiri mengakui bahwa untuk dapat


merobohkan dengan segera kedua pemimpin bajak itupun tidak
mudah karena si Sepasang Buaya Sungai kuning itu bukanlah

630
orang-orang yang lemah, apabila ilmu pedang mereka yang
dimainkan secara kerjasama itu benar-benar amat mengagumkan!

Namun, Can Po Goan adalah seorang bekas tentara yang sudah


banyak pengalaman dan akan tidak tepatlah nama julukan si Golok
Sakti Penyabut Nyawa itu kalau ia sampai dirobohkan oleh si
Sepasang Buaya Sungai Kuning ini. Apalagi ia pernah melihat
mereka mengeroyok Bun Liong di atas panggung lui-tay, jadi ia
sudah dapat memahami betapa cara tempur si Sepasang Buaya
Sungai Kuning ini.

Maka kini meskipun ia mengakui ketangguhan kedua orang itu.


namun ia dapat menghadapinya dengan baik! Dengan tangkas ia
mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan ilmu golok dari
cabang Siauw-lim yang dimilikinya, untuk menahan serangan dari
kedua lawannya dan balas menyerang!

Golok di tangannya merupakan sambaran kilat yang mengundang


maut, membuat Bu Kiam dan Bong Pi terkejut dan perlahan-lahan
mereka menjadi kewalahan. Hati kedua pemimpin bajak ini mulai
gentar!

Ketika pertempuran ini menjelang jurus yang keempatpuluh, ketika


Bu Kiam dan kawannya hanya dapat mempertahankan dan

631
menjaga diri dari serangan guru silat yang lihay itu sehingga Can
Po Goan kini menjadi pihak penyerang, guru silat she Can yang
gagah ini telah berhasil merobohkan kedua lawannya dengan
sekaligus!

Yaitu ketika Bu Kiam yang berada di sebelah kirinya menyabetkan


pedangnya hendak dibabatkan ke arah pinggangnya, Can Po
Goan cepat menangkis dengan goloknya sehingga pedang
nyeleweng ke bawah dan tertindih oleh golok dan pada waktu itu
juga tinju tangan kiri guru silat ini melayang ke arah dada.

Bu Kiam gugup karena ia sama sekali tidak menyangka kalau


lawannya akan menggerakkan pedangnya karena senjata itu
justeru ditindih oleh golok lawan, maka untuk menyelamatkan diri
dari tonjokan ia lalu merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ia kalah
cepat dan justeru karena ia membuat kelitan dengan merendahkan
tubuhnya, maka tonjokan Can Po Goan jadi menghantam batok
kepalanya!

“Krakk……!!” Walaupun dilakukan dengan tangan kiri, pukulan tinju


Can Po Goan bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan
yang disertai pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya dan yang
telah mendapat julukan Pho-thauw-sin-kun (Pukulan sakti
Pemecah Kepala). Maka tak ampun lagi tubuh Bu Kiam roboh

632
terjungkal tanpa mengeluarkan jeritan, karena sebelum terjungkal
nyawanya sudah melayang, tulang batok kepalanya sudah remuk
dihantam pukulan sakti itu!

Ketika Can Po Goan merasakan angin serangan dari belakang


karena Bong Pi yang sudah marah itu menjadi nekad dan
menyerang. Dengan gerakan seenaknya Can Po Goan
menyabetkan goloknya ke belakang dan setelah pedangnya
membentur pedang lawan, sambil mengeluarkan bunyi nyaring
dan menimbulkan bunga api berpijar, guru silat yang sudah berada
“di atas angin” ini membalikkan tubuh.

Ketika itu Bong Pi sudah mengirim serangan susulan dengan


pedangnya, tapi satu tangkisan keras dari golok lawannya
membuat pedangnya terlepas dari cekalannya. Ia cepat mengelak
ke samping ketika melihat betapa golok lawan setelah menangkis
pedangnya tadi meneruskan serangan langsung berupa bacokan
yang mengarah pinggangnya.

Akan tetapi Can Po Goan tidak memberi kesempatan sama sekali,


ia cepat menubruknya sambil mengirim dua serangan sekali gus.
Tinju tangan kirinya menghantam dada sedangkan kaki kanannya
menendang lambung.

633
Bong Pi menjerit dan roboh tak bernapas lagi! Ternyata Can Po
Goan telah merobohkan kedua lawannya tanpa pertumpahan
darah!

Lalu guru silat ini menoleh ke arah Bun Liong, maksudnya hendak
membantu pemuda itu, akan tetapi ternyata lawan pemuda itupun
sudah roboh…….

Setelah Bun Liong memainkan ilmu cambuk Shan-kong-jwan-pian-


hoatnya Ma Gu Lin jadi repot sekali. Kalau tadi kepala bajak ini
dipermainkan oleh kelincahan Bun Liong yang memiliki gin-kang
tinggi, adapun setelah pemuda itu membalas menyerang, ia jadi
seperti dipermainkan lagi oleh cambuk lawannya yang masih muda
itu.

Seperti halnya yang terjadi satu kali ujung cambuk pemuda itu
menyabet ke arah kaki dan agaknya hendak menjerat kaki itu untuk
menggulingkan tubuh Gu Lin. Kepala bajak itu cepat
menendangkan kakinya sambil berseru keras dan sekalipun
kakinya tidak sampai terjerat oleh ujung cambuk akan tetapi tahu-
tahu sepatu kaki kanannya telah terlepas seakan-akan dikait oleh
ujung cambuk.

634
Bun Liong menggentakkan cambuknya sehingga ujungnya
meluncurkan ke atas sambil “membawa” sepatu itu dan kemudian
sepatu itu terlepas dari libatan ujung cambuknya. Tapi benda
tersebut tidak jatuh, melainkan terus melayang ke udara seperti
dilontarkan dan akhirnya nyangkut di antara ranting-ranting dan
daun-daun pohon siong!

Bun Liong tidak dapat menahan kegelian hatinya, ia ketawa sambil


berkata: “Hayaa……. lihay sekali…….! Jangankan si Iblis Sakti
Sungai Kuning sendiri, sedangkan sepatunya saja ternyata bisa
terbang dengan gerak tipu Burung Bangau Melesat Ke Angkasa
dan akhirnya hinggap dan bersarang di atas pohon siong!”

Mendengar ucapan yang lucu ini, para laskar bajak yang


mendengarnya mau tak mau mesti menahan rasa geli yang
mengitik-ngitik hati mereka. Akan tetapi Gu Lin menjadi amat
marah dan ia segera menubruk sambil menyodokkan dayungnya.
Akan tetapi terpaksa ia mesti cepat menarik kembali sodokan
dayungnya dan membuat gerakan memutar seperti kitiran untuk
menangkis cambuk lawannya yang ketika itu sudah melecut-lecut
di atas kepalanya.

Dayungnya menyampok cambuk yang disampok itu telah membelit


dayungnya dan Ma Gu Lin mengerahkan seluruh tenaganya untuk

635
menahan senjatanya yang dibetot oleh lawannya. Kepala bajak ini
berusaha keras untuk menarik kembali senjatanya yang hendak
dirampas oleh lawannya dengan libatan cambuknya yang luar
biasa itu, sebaliknya pemuda itu terus membetot cambuknya untuk
mempertahankan dan dengan demikian, terjadilah saling betot dan
mengadu tenaga lweekang!

Perlahan-lahan dayung yang semula tegak ke atas itu jadi


mendoyong ke depan, tertarik oleh cambuk dan hal ini
membuktikan bahwa tenaga lweekang pemuda itu lebih kuat. Tapi
kepala bajak itu tidak mau melepaskan senjatanya begitu saja, ia
terus berusaha hendak menarik kembali senjatanya sambil
mengerahkan segenap tenaga yang masih ada padanya.

Tiba-tiba saja Bun Liong melepaskan libatan cambuknya dan hal


ini sama sekali diluar dugaan Gu Lin, sehingga dayung yang
dibetotnya itu jadi tersendal membalik. Dan celaka sekali baginya
karena tanpa dapat dicegah lagi dayung besi yang besar serta
berat itu dengan keras sekali telah mementung jidatnya sendiri.

Dayung terlepas dari pegangannya dan jatuh ke tanah sambil


mengeluarkan suara berdebukan. Mata Ma Gu Lin mendelik ke
atas dan tubuhnya terhuyung-huyung, sesaat kemudian roboh
dalam keadaan semaput!

636
Adapun para laskar bajak yang sejak tadi mengurung dan
menonton pertempuran itu, tatkala melihat bahwa secara beruntun
dan dalam waktu yang hampir bersamaan kepala serta pemimpin-
pemimpin mereka telah dirobohkan oleh kedua orang itu, mereka
terkejut dan marah sekali. Dan bagaikan mendapat komando,
mereka serempak menyerbu Bun Liong dan Can Po Goan!

Baik Bun Liong maupun Can Po Goan merasa kagum akan


kegagahan para laskar bajak itu. Biarpun kepala dan pemimpin-
pemimpin mereka telah roboh, ternyata mereka tetap setia dan
membela kekalahan itu tanpa memperdulikan nyawa sendiri!

Terpaksa Bun Liong melecut-lecutkan lagi cambuknya dan Can Po


Goan juga mengerjakan goloknya menghadapi serbuan mereka.
Akan tetapi kedua orang pendekar ini sengaja tidak menurunkan
tangan maut, karena maklum bahwa para laskar bajak itu hanyalah
manusia-manusia kasar yang diperalat oleh pemimpin mereka!

“Setelah pemimpin-pemimpin kalian kami robohkan, kalian masih


tidak mau menyerah?!” Bun Liong membentak para anggauta
bajak itu yang terus merangsek sambil melancarkan serangan
secara membabi buta.

637
Sebagai jawaban, dua orang laskar bajak itu memperlihatkan
sesuatu ke arahnya, yakni benda bulat hitam. Bun Liong mengira
bahwa mereka mempergunakan senjata rahasia pelor besi dan
melihat sambitan pelor itu tidak kencang, Bun Liong ketawa
mengejek.

Ada tiga butir pelor besi yang menyambar ke arahnya. Pelor


pertama disanggapnya dengan tangan kirinya kemudian
dilemparkan dan secara tidak sengaja lemparannya ini membuat
pelor itu melayang ke arah tubuh Ma Gu Lin yang menggeletak
pingsan. Pelor yang kedua ia sambut dengan towelan jari tangan
kanannya, karena towelan ini disertai pengerahan tenaga
lweekang, maka pelor itu lalu meluncur kembali ke depan dan
membentur pelor yang ketiga!

“Darr! Darr! Darrr……!” Tiga ledakan keras yang hampir


bersamaan telah menggetarkan bukit Siong-lim-nia itu.

Ternyata pelor-pelor itu mengandung bahan peledak dan meletus


sambil mengeluarkan api apabila membentur benda-benda yang
keras! Pelor pertama tadi telah jatuh membentur tanah, persis di
dekat perut Ma Gu Lin yang menggeletak pingsan itu dan meledak
sehingga kulit perut kepala bajak itu pecah dan isinya ambrol!

638
Pelor kedua meledak bersama pelor ketiga yang saling bertumbuk
tak jauh di depan Bun Liong! Baiknya Bun Liong tadi hanya
menyanggap dan menowelnya saja, andaikata ia menyampok
dengan menggunakan tenaga kasar pasti pelor-pelor itu akan
meledak didekatnya dan celakalah ia.

Walaupun demikian, Bun Liong bukan main kagetnya. Ia


menggulingkan tubuh ketika merasa percikan hawa panas dan
pecahan-pecahan kecil berupa kepingan-kepingan besi yang
muncrat dari pelor-pelor yang meledak itu, menyambar ke arahnya,
sehingga kepingan-kepingan besi itu berlesatan di atas tubuhnya
dan ia selamat, tiada sekepingpun pecahan pelor itu yang
melukainya.

Can Po Goan pun mengalami nasib sama, bahkan ada lima butir
pelor besi yang dilontarkan ke arahnya. Akan tetapi guru silat ini
sudah berpengalaman ketika masih dinas dalam ketentaraan ia
sering menggunakan pelor-pelor besi semacam itu, maka sama
sekali ia tidak berani menyentuh pelor-pelor yang berbahaya itu.

Sepasang kakinya segera menghentak bumi yang dipijaknya dan


tubuhnya melesat ke udara dengan gerakan yang indah sekali.
Cara melompat guru silat ini benar-benar menakjubkan para laskar
bajak yang menyaksikannya, karena ia melompat demikian tinggi

639
dan tubuhnya melesat jauh, melayang di atas kepala-kepala para
bajak itu dan akhirnya ia turun di luar kepungan!

Dan karenanya, lima butir pelor besi tadi meledak di tempatnya tadi
dan sungguh mengerikan. Karena lima ledakan itu telah
menghancurkan mayat-mayat si Sepasang Buaya Sungai Kuning
yang berada di tempat itu!

Bun Liong jadi marah sekali. Tadinya ia masih merasa enggan dan
menaruh kasihan untuk membunuh para laskar bajak itu. Akan
tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa mereka berlaku curang
dengan mempergunakan senjata rahasia yang nyaris saja
mencelakakan dirinya.

Ia cepat bangkit dari “tiarapnya”, cambuknya digerak-gerakkan


sedemikian hebat sehingga merupakan seekor ular sakti yang
mengamuk dengan ganas. Terdengarlah jerit pekik susul menyusul
ketika seorang demi seorang laskar-laskar bajak itu terkena
sabetan dan totokan yang mematikan dari ujung cambuknya!

Ketika itu tiba-tiba terjadi keributan di atas bukit, gubuk-gubuk para


bajak telah menjadi lautan api dan seiring dengan itu terdengarlah
sorak sorai orang banyak di antara gemuruhnya gubuk-gubuk yang
terbakar itu. Ketika Bun Liong menoleh dan sekilas saja ia

640
memandang, kawan-kawannya, sebagaimana telah direncanakan,
telah datang!

Mereka berlari-lari dari atas bukit mendatangi. Akan tetapi apa


yang membuat pemuda ini sangat heran, di antara kawan-
kawannya yang baru datang itu, tampaklah olehnya calon isterinya
yang berlari bagaikan terbang mendatanginya mendahului kawan-
kawannya yang jauh tertinggal di belakangnya.

Datang-datang Yang Hoa mengamukkan pedang di tangannya


secara ganas sekali sehingga beberapa kali saja pedang itu
berkelebat, robohlah beberapa orang laskar bajak dengan tubuh
menderita luka hebat. Bahkan tiga orang di antaranya, menemui
ajalnya seketika itu juga, karena tubuh mereka telah terbabat putus
menjadi dua potong!

Melihat keganasan nona itu dan melihat betapa kawan-kawan dari


musuhnya telah muncul dalam jumlah yang sangat banyak
ditambah lagi gubuk-gubuk mereka sudah menjadi lautan api,
maka kacaulah semua laskar bajak itu, mereka kebingungan dan
ketakutan! Akan tetapi ada juga beherapa belas orang di antara
mereka yang hendak melarikan diri ke arah sungai, akan tetapi
kemudian mereka terpaksa mesti membatalkan maksud ini, karena
ketika itu juga dari sungai itu berlompatan ke darat sepasukan bala

641
bantuan Pauw-an-tui yang datang dengan sampan! Maka makin
bingung dan ketakutanlah semua anggauta bajak.

“Yang-moay! Jangan kau menyebar maut terlalu banyak, karena


pemimpin-pemimpin mereka telah kami robohkan!” seru Bun Liong
ketika melihat calon isterinya masih terus mengamuk.

Walaupun maklum bahwa nona itu sangat membenci segala


penjahat, namun pemuda ini merasa ngeri juga menyaksikan
sepak terjang calon isterinya. Kembali hatinya yang penuh belas
kasihan itu mempengaruhi perasaannya, sehingga seketika ia
melupakan kemarahannya terhadap kecurangan para lasykar
bajak tadi.

Nona itu melirik sebentar ke arah calon suaminya sambil


pedangnya menangkis golok seorang lasykar bajak yang nekad.

“Liong-ko, kejahatan adalah seperti tumbuh-tumbuhan liar dan


untuk membasminya kita harus membersihkannya sampai ke akar-
akarnya!” sahutnya sambil mengayunkan pedangnya memenggal
batang leher lasykar bajak yang nekad.

Dari luar kepungan, Can Po Goan juga melihat kekejaman nona itu
dan orang tua ini menganggap perbuatan si nona sangat
keterlaluan. Untuk melarangnya secara langsung ia merasa kurang
642
enak hati karena maklum bahwa si nona amat keras hati dan
khawatir kalau tersinggung karenanya. Maka ia cepat berseru
nyaring:

“Hai…….! Lasykar-lasykar bajak sekalian, pemimpin kalian sudah


mampus dan kalian tidak cepat menyatakan takluk, mau tunggu
apa lagi……..?!”

Seruan Can Po Goan ini terbukti “keampuhannya,” karena para


anak buah bajak yang masih hidup lalu melempar senjata mereka
dan berlutut, seorang di antaranya terdengar berkata memohon
ampun:

“San-tayhiap (Tiga pendekar besar), mohon sudi mengampuni jiwa


kami yang rendah dan hina ini!”

Yang Hoa menghentikan amukan pedangnya. Bun Liong


tersenyum lega sambil menyusut keringat di dahinya. Sedangkan
Can Po Goan manggut-manggut dengan wajah berseri karena
ternyata maksudnya berhasil. Ke tiga tokoh Pauw-an-tui ini merasa
gembira karena dengan demikian tugas mereka berarti sudah
selesai.

“Untung ada Can Lo-enghiong yang budiman, yang mencegah


amukan pedangku yang haus darah ini. Kalau tidak, boleh
643
dipastikan pedangku akan membuat nyawa kalian menyusul
nyawa-nyawa pemimpin kalian ke neraka!” kata Yang Hoa
kemudian terhadap para lasykar bajak yang bertekuk lutut itu.

Kemudian nona ini memandang kepada Can Po Goan sambil


berkata: “Can lopeh, hendak dibagaimanakan mereka ini.
Selanjutnya, kuserahkan kepada kebijaksanaanmu karena ku
yakin bahwa kau orang tua lebih mengerti betapa harus mengurus
mereka!”

Sebelum Can Po Goan menjawab, terdengarlah teriakan-teriakan


dari beberapa orang anggauta Pauw-an-tui yang merasa benci dan
gemas terhadap lasykar-lasykar bajak itu.

“Bunuh saja mereka……! Mereka telah banyak berbuat kejam


terhadap kita, maka sebaiknya kita jangan mengampuni jiwa anjing
mereka…..! Jatuhi hukuman potong kepala saja, beres……!!!”

Can Po Goan cepat mengangkat tangannya, sehingga teriakan-


teriakan kegemasan itu berhenti seketika.

“Saudara-saudaraku sekalian, aku mengerti betapa kemarahan


kalian terhadap mereka ini, karena memang selama ini mereka
telah banyak merugikan, merusak dan melumpuhkan kehidupan
kita, sehingga rasanya pantaslah kalau mereka dijatuhi hukuman
644
yang setimpal dengan kejahatan dan kekejaman mereka! Akan
tetapi kalian harus ingat bahwa mereka ini hanya orang bodoh
yang diperalat oleh pemimpin mereka.

“Dan sekarang setelah pemimpin-pemimpin mereka kami ganyang


ludas dan mereka sudah menyatakan takluk, masih ada harapan
bagi mereka untuk kapok dan menyadari perbuatan-perbuatan
mereka yang sesat, untuk kemudian sangat diharapkan mereka
dapat kembali kepada jalan yang benar.”

Untuk sejenak suasana di tempat itu sepi, semua orang mengakui


kebenaran kata-kata orang tua she Can itu. Tetapi di atas bukit
masih ramai dengan suara gubuk-gubuk yang runtuh menjadi
puing dan sorak-sorai beberapa anggauta Pauw-an-tui yang
menyuluti beberapa buah gubuk yang belum “dibereskan”!

Kemudian terdengar Can Po Goan berkata pula, kini ucapannya


ditujukan kepada para lasykar bajak:

“Hai, para anggauta bajak sekalian! Hari ini dan saat ini adalah
detik penentuan bagi nasib kamu sekalian. Bagaimanakah
pendirian kamu selanjutnya setelah para pemimpinmu yang
membuat kamu ikut dalam kesesatannya menemui nasib seperti
sekarang? Kalian mau insyaf dan merobah jalan hidup kalian,

645
ataukah mau tetap menjadi bajak-bajak dan perampok-
perampok?!”

Keadaan kembali sunyi, semua lasykar bajak membisu sambil


menunduk dalam berlututnya sehingga kemudian Can Po Goan
jadi membentak:

“Heh! Mengapa kamu diam saja?! Apakah kamu memang ingin


menemukan ajal seperti para pemimpinmu itu?!”

Semua bajak menjadi pucat karena betapapun juga mereka ini


masih menyayangi jiwa mereka, maka terdengar seorang di antara
mereka yang agaknya menjadi pemimpin bawahan, memberi
penyahutan dengan menggagap:

“San-tayhiap, hamba sekalian bersumpah akan meninggalkan


pekerjaan yang sesat ini.”

“Bagus!” seru Bun Liong menyela, “Kami percaya pada sumpah


kalian. Dan hendaknya kalian selalu ingat bahwa tiada kejahatan
yang akhirnya tidak mendapat hukuman. Tegasnya, orang jahat
tidak akan selamat hidupnya, seperti pribahasa setinggi-tinggi
terbang bangau, akhirnya akan jatuh ke tanah jua!

646
“Oleh karena itu, kalian harus sadar, bahwa lapangan penghidupan
masih membentang lebar di hadapan kalian dan banyak sekali
pekerjaan halal yang semestinya kalian lakukan. Pekerjaan halal
betapapun rendahnya tidak akan hina seperti penjahat dan
sebaliknya betapapun jayanya seorang penjahat ia tetap
merupakan seorang yang hina dan rendah!

“Nah, sekarang kalian harus bersyukur ada Can Lo-enghiong yang


murah hati dapat membebaskan kalian. Akan tetapi hati-hati, kalau
kalian kelak ternyata tidak merobah hidup kalian dan kami
mengetahuinya, pohon siong ini menjadi contohnya!” kata pemuda
ini sambil memperlihatkan kelihayannya, selaku ancaman.

Tangan kanannya bergerak seperti melakukan dorongan ke arah


sebatang pohon siong yang berjarak tiga tombak di depannya.
Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang karena patah
dihantam oleh hawa pukulan Lui-lek-ciang.

Semua mata bajak-bajak itu terbelalak lebar karena kaget dan


kagum, dan mereka mengangguk-angguk menyatakan taat pada
pesan pemuda yang sudah mereka ketahui kehebatannya itu.

“Hamba sekalian akan mentaati perintah tayhiap dan tidak berani


melanggarnya,” kata beberapa orang.

647
“Nah, ambillah uang mas dan permata-permata itu sebagai bekal
kalian untuk menempuh hidup baru dan sebelum meninggalkan
tempat ini kalian harus mengurus dulu mayat-mayat para
pemimpin yang menyesatkan kalian itu!” ujar Bun Liong akhirnya.

Para lasykar bajak itu pada bengong karena mereka seakan-akan


tidak percaya pada perkataan yang mereka dengar, selain
dibebaskan juga dihadiahi uang mas dan permata-permata?!
Sungguh ketua Pauw-an-tui yang masih muda belia ini, selain
gagah perkasa dan murah hati juga murah rejeki, pikir mereka.

Inilah sebabnya mengapa mereka jadi bengong. Bagi mereka


kejadian seperti ini dalam mimpipun tak mungkin terjadi!

Akan tetapi, sekali saja seorang di antara mereka bergerak


memungut barang-barang berharga tersebut yang kini tersebar di
atas tanah dan di sela-sela rumput, maka otomatis mereka
semuanya jadi bergerak pula. Dengan wajah berseri-seri mereka
berebutan memunguti barang-barang berharga bagaikan anjing-
anjing yang memperebutkan tulang-belulang.

Melihat perbuatan mereka itu, Can Po Goan menggeleng-


gelengkan kepala. Hati orang tua itu sama sekali tidak menyesali
keroyalan Bun Liong yang membuang-buang uang mas dan

648
permata-permata begitu saja, satu hal yang belum pernah dan
takkan terjadi dalam sejarah manapun! Keroyalan ini memang
sudah direncanakan oleh tokoh-tokoh Pauw-an-tui dalam
perundingan mereka sebelum mengadakan penyerbuan yang
terakhir ini.

Sebagaimana diketahui, Pauw-an-tui itu selain barisan penjaga


keamanan yang merupakan pasukan pengganyang musuh-musuh
rakyat, juga merupakan badan sosial yang sangat kuat. Tokoh-
tokoh Pauw-an-tui sependapat bahwa apabila menghendaki
memindahkan atau merobah pekerjaan segolongan orang yang
dianggap hina ke bidang pekerjaan lain yang dianggap patut dan
terhormat, harus disediakan bidang-bidang pekerjaan bagi
mereka. Atau kalau tidak, sedikitnya harus diberi uang, bekal untuk
nafkah sementara sebelum mereka mendapat pekerjaan, seperti
yang dilakukan terhadap para lasykar bajak itu!

Bun Liong tidak begitu memperdulikan tingkah laku para lasykar


bajak karena ia lalu menghampiri Yang Hoa dan bertanya heran:
“Mengapa kau memaksakan diri datang ke mari, bukankah
keadaanmu masih belum mengizinkan…….?”

Nona itu mengerling tajam ketika menjawab, “Aku khawatir kau


mendapat celaka, Liong-ko. Hatiku sangat gelisah melepasmu,

649
maka dengan melanggar pesanmu aku menyusul dan datang
bersama kawan-kawan. Tapi syukurlah, kau selamat dan tidak
kurang suatu apa, bukan?!”

Bun Liong mengangguk dan berbareng dengan anggukkan ini


semua orang jadi kaget, karena tiba-tiba terdengar suara ledakan
yang amat dahsyat di atas bukit yang membuat bumi jadi
terguncang hebat seketika dibarengi suara jeritan-jeritan yang
mengerikan. Semua orang cepat menengok ke arah bukit dan
terlihatlah sebuah gubuk hancur dalam keadaan terbakar dan
kepingan-kepingan bangunan itu beterbangan ke udara disertai
asap hitam yang membubung tinggi!

“Celaka! Gudang pelor meledak…….!!” kata seorang lasykar bajak


yang berada di dekat Bun Liong.

Bersama kawan-kawannya Bun Liong segera berlari ke tempat


ledakan tadi dan hati mereka sangat khawatir kalau-kalau kawan-
kawannya ada yang celaka, karena tadi terdengar suara jeritan-
jeritan yang mengerikan.

Ternyata tanah bekas ledakan itu kini merupakan lubang yang


sangat besar dan asap akibat ledakan membuat pernapasan
mereka sesak sehingga mereka terpaksa menutupi hidung. Lima

650
mayat dari anggauta Pauw-an-tui tampak bergelimpangan tak jauh
di sekitar lubang.

Dan keadaan mayat-mayat itu sungguh mengerikan, ada yang


tubuhnya koyak-koyak dan ada juga yang tinggal sebagian
anggauta tubuhnya saja. Ketika mayat-mayat yang tak keruan
rupanya itu mereka kumpulkan, Bun Liong dan kawan-kawannya
melihat bahwa dua di antara ke lima mayat itu yang masih dapat
dikenal mukanya, adalah ke dua murid kesayangan mendiang Lu
Sun Pin, yaitu Sim Kang Bu dan suteenya, So Ma Tek!

Gubuk yang meledak itu adalah tempat penyimpanan pelor-pelor


seperti yang dilemparkan kepada Bun Liong dan Can Po Goan.
Dan karena gubuk dibakar, pelor-pelornya meledak sehingga ke
lima anggauta Pauw-an-tui tersebut menjadi korban!

Sementara itu para anggauta Pauw-an-tui yang lain sudah


berkumpul di tempat bekas ledakan itu dan semua orang merasa
ngeri melihat mayat ke lima kawan mereka itu.

Yang Hoa menutup mukanya karena tak tahan melihat


pemandangan itu. Can Po Goan tak henti-hentinya menggeleng-
gelengkan kepala sedangkan Bun Liong menundukkan muka
sambil menggigit bibir.

651
Ketiga tokoh Pauw-an-tui ini agaknya sama-sama kecewa, tadinya
mereka merasa lega karena penyerbuan ke sarang bajak sungai
tidak sampai meminta korban seorangpun dari pihak mereka, akan
tetapi tahu-tahu kini lima orang telah menjadi korban ledakan!

“Sudahlah, tugas kita sudah beres. Bungkus dan usunglah kawan-


kawan yang gugur itu dan marilah kita pulang…..” ujar Can Po
Goan akhirnya.

Akan tetapi baru saja kata-kata ini habis diucapkan, terdengarlah


bentakan yang sangat mengejutkan mereka:

“Bangsat kurcaci, siapakah yang telah mengacau di tempat ini?!”

Serentak semua orang menegok ke arah datangnya suara


bentakan dengan siap siaga, akan tetapi apa yang mereka lihat
hanya segerombolan hutan siong yang kegelap-gelapan. Bun
Liong dan kawan-kawannya menjadi heran karena suara bentakan
itu tadi jelas terdengar dari arah itu dan kedengarannya pun jelas
sekali seakan-akan orang yang membentak berada di dekat telinga
mereka. Akan tetapi, mana orangnya?

“Souw sicu, waspadalah,” ujar Can Po Goan memperingatkan


karena orang tua yang sudah banyak pengalaman ini segera
maklum akan hal itu. “Orangnya masih berada di dalam hutan akan
652
tetapi suara bentakannya sudah terdengar dekat sekali. Ini
menandakan bahwa orang itu memiliki khi-kang tinggi, sehingga
dapat melakukan Coan-in-jip-bit (mengirim suara dari tempat jauh),
dan seorang yang sudah memiliki khi-kang tinggi, tentu saja ia
bukan orang sembarangan…….”

Mendengar keterangan ini, Bun Liong yang cerdik cepat


menangkap seorang lasykar bajak yang kebetulan turut berkumpul
disitu dan pemuda ini lalu mengajukan pertanyaan:

“Siapakah orang yang membentak dari dalam hutan itu? Jawablah


terus terang!”

Bajak itu meringis kesakitan karena lengannya yang dipegang oleh


pemuda itu serasa digencet jepitan besi dan dengan suara terbata-
bata karena menahan rasa sakit, bajak itu memberi keterangan:
“Beliau itu adalah ayah angkat dari bekas pemimpin kami Ma Gu
Lin…….”

“Namanya…….?” Bun Liong menukas dengan tak sabar.

“Namanya, hamba tidak tahu, kami mengenal dan memanggilnya


dengan sebutan tay-ong-hu (Ayah dari raja besar) dan……..”

653
Perkataan bajak ini jadi terputus sampai di situ karena dari hutan
siong yang kegelap-gelapan itu, tiba-tiba muncul seorang kakek
bertubuh tinggi besar dan sambil mengeluarkan teriakan buas,
kakek tersebut maju menyerang mereka dengan goloknya yang
digerak-gerakkan begitu cepat.

Beberapa orang anggauta Pauw-an-tui yang berdiri paling depan


mencoba menghadang kakek itu sambil menggerakkan senjata
mereka, akan tetapi sambil ketawa kakek memutarkan goloknya.
Dan sekali putar saja, terpental dan terbabat putuslah senjata-
senjata para penghadangnya dengan jeritan-jeritan mengerikan
dari tiga orang anggauta Pauw-an-tui yang kemudian roboh
berlumuran darah!

Bukan main terkejutnya Bun Liong, Yang Hoa dan Can Po Goan
melihat keganasan kakek itu. Untuk mencegah lebih hanyak
korban lagi bagi pihaknya, maka Can Po Goan cepat-cepat
berseru, “Minggir semua! Biar aku menghadapinya…….!”

Sambil mengucapkan kalimat itu, Can Po Goan melompat maju


dan goloknya menangkis golok si kakek yang buas. Akan tetapi
bukan main terkejutnya Can Po Goan ketika goloknya beradu
dengan golok di tangan kakek itu, bagaikan sebatang pohon pisang

654
melawan pisau tajam, golok Can Po Goan telah terbabat putus
menjadi dua!

Disamping kaget, Can Po Goan juga merasa heran karena


goloknya yang terbuat dari baja tulen itu dapat dibikin buntung oleh
golok kakek itu. Maka maklumlah bahwa golok si kakek itu adalah
sebilah golok mustika!

Kakek itu tertawa terbahak-bahak lagi dan tiba-tiba ia menubruk ke


arah Can Po Goan dengan serangan yang berbahaya. Akan tetapi
biarpun dalam kekagetan dan bertangan kosong, Can Po Goan
tidak menjadi gugup dan dapat mengelak dengan mudah.

Pada saat itu, Yang Hoa tak dapat tinggal diam. Melihat betapa
golok di tangan Can Po Goan telah menjadi buntung dan tak dapat
dipergunakan lagi, dara ini lalu berseru keras dan melompat
dengan pedang di tangan, menusuk lambung kakek lihay itu.
Kakek itu ketawa lagi dengan suara yang sangat ganjil sambil
menggerakkan goloknya menangkis tusukan pedang si nona.

“Trangggg…….!” Bunga api berpijar ketika pedang dan golok itu


beradu dan pedang Yang Hoa tahu-tahu terlempar ke udara karena
ketika sepasang senjata tadi bertemu tenaga yang besar membuat

655
tangan gadis itu tergetar sehingga pedangnya terlepas dari
cekalannya dan terpental ke atas.

Seiring dengan, itu si kakek dengan gerakan luar biasa cepatnya


membabatkan goloknya ke bawah ke arah kaki Yang Hoa. Tapi
nona ini dengan tak kalah cepatnya lalu melompat ke atas, di
samping menghindarkan kakinya dari sabetan golok ternyata tubuh
gadis ini terus melesat ke udara menyusul pedangnya yang
terpental tadi.

Dan sebelum pedang meluncur ke bawah, tangan kanannya telah


berhasil menyautnya, kemudian ia menurunkan tubuhnya di
tempat yang agak jauh dari kakek tadi. Pedangnya diperiksanya
dan ia merasa lega ketika melihat bahwa pedang itu sedikitpun
tidak rusak. Cepat ia melompat maju hendak menerjang kakek itu,
namun maksud ini diurungkannya karena ketika ia melihat Bun
Liong sudah bergebrak dangan kakek itu!

Ternyata ketika melihat pedang calon isterinya terlempar ke udara


dan tubuh nona itu melesat ke atas, Bun Liong telah berlaku sebat
dan sekali saja tubuhnya berkelebat, tahu-tahu pemuda ini sudah
berhadapan dengan kakek luar biasa itu

656
Sambil tertawa bergelak-gelak lagi si kakek menyambut
kedatangan pemuda itu dengan sabetan goloknya yang
diserangkan dari atas ke bawah, agaknya ia hendak membelah
tubuh pemuda itu menjadi dua keping. Bun Liong maklum bahwa
kakek itu lihay sekali, maka ia berlaku sangat hati-hati dan cermat
karena salah tindak sedikit dan sekali saja ia terkena samberan
golok yang luar biasa tajamnya….. berarti celakalah ia.

Ia cepat berkelit ke samping sambil tangan kanannya menyampok


pergelangan lengan si kakek yang memegang golok sedangkan
tangan kirinya menotok lambung. Gerakan ini adalah yang disebut
Sin-wan-ciat-koh (Lutung Sakti Memetik Buah), salah satu jurus
dari Sin-hwan-pek-houw Kun-hoat yang dimilikinya, yaitu tangan
kanannya hendak menyampok pergelangan tangan lawan supaya
golok lawan terlepas dan tangan kirinya mengirim totokan ke jalan
darah Giok-liong-hiat di bawah iga kakek itu.

Akan tetapi kakek itu benar-benar amat lihay. Dua macam


serangan yang berbahaya itu dapat dikelitinya dengan mudah dan
mengagumkan, yaitu dengan lutut kaki kanannya ditekuk sehingga
ia hanya berdiri menggunakan kaki kirinya saja dan berbareng
dengan itu, tubuhnya yang tinggi besar itu berputar ke kiri dan
dengan cepat ia berhadapan kembali dengan Bun Liong tanpa

657
sedikit pun tubuhnya disentuh lawan, dengan demikian dua
serangan pemuda itu hanya mengenai angin saja!

“Hebat…….!” seru Bun Liong. Ia heran dan kagum melihat gerakan


aneh dari kakek itu dan pemuda itu cepat berkelit pula karena
ketika itu si kakek sudah mengirim serangan lagi.

Benar-benar kakek itu sangat buas melebihi seekor singa marah,


ia tidak memberi ampun kepada siapa saja yang menghadapinya.
Goloknya digerakkan demikian cepat dan kuat, tidak memberi
kesempatan sedikit pun pada lawannya sehingga selanjutnya Bun
Liong mesti mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk berkelit kian
kemari dari serangan golok kakek yang melakukan serangan
bertubi-tubi?!

Diam-diam Bun Liong mengakui bahwa ilmu golok kakek itu hebat
sekali, hanya anehnya kelihatannya agak ngawur seakan-akan
telah melupakan ilmu silat aslinya! Dan yang lebih aneh lagi, sambil
melancarkan serangan kakek itu terus ketawa-tawa seperti
seorang yang otaknya kurang waras!

Betapapun hebatnya kakek itu mendesak dan seakan-akan tidak


memberi kesempatan pada Bun Liong untuk balas menyerang,
akan tetapi pemuda itu tidak menjadi kewalahan, melainkan

658
dengan mengandalkan seluruh gin-kangnya membuat tubuhnya
demikian gesit seperti seekor burung walet sehingga kakek itu
seakan-akan dipermainkannya. Biarpun kakek itu ilmu goloknya
hebat luar biasa, namun bagi Bun Liong lebih berat ketika
bertempur melawan Houw-jiauw Lo Ban Kui tempo hari.

Ketika pertempuran itu sudah berjalan sampai duapuluh jurus,


agaknya kakek itu mendongkol sekali karena lawannya yang
bertangan kosong itu belum dapat dirobohkannya. Tiba-tiba
terdengar ia membentak marah: “Bocah edan, lima jurus lagi
tubuhmu menjadi dua potong oleh golokku!”

Benar saja, sehabis mengucapkan ancaman ini, mendadak


gerakan goloknya berobah makin buas dan bertambah aneh.

Diam-diam Bun Liong terkejut juga melihat perobahan ini, semula


ia tidak bermaksud akan mencelakakan lawannya karena ia belum
tahu benar siapa sesungguhnya kakek aneh itu sungguhpun ia
tahu bahwa kakek itu adalah ayah-angkat Ma Gu Lin seperti yang
diceritakan oleh seorang lasykar bajak tadi. Namun ia belum yakin
apakah kakek itu mempunyai hubungan kejahatan dengan anak
angkatnya atau tidak! Karena keraguan ini Bun Liong tidak tega
untuk mencelakakan kakek yang agaknya berotak miring itu.

659
Akan tetapi, ketika melihat bahwa serangan kakek itu kini berobah
ganas dan Bun Liong merasa sulit sekali untuk mengalahkan
lawannya tanpa menjatuhkan tangan maut, maka pemuda yang
tabah ini lalu merobah pendiriannya. Betapapun juga, dari pada
dirinya celaka tentu lebih baik mencelakakan kakek itu!

Demikianlah, ketika memasuki jurus yang keduapuluh empat,


benar-benar golok kakek itu mengirim serangan yang mematikan.
Golok itu bergerak dan dalam gerakannya menggetar sehingga
kelihatannya seperti menjadi empat batang dan sukar sekali
diduga arah mana sebenarnya yang hendak diserang, dan tahu-
tahu golok itu menusuk ke dada Bun Liong.

Bun Liong berseru keras dan entah bagaimana cara pemuda ini
bergerak dan mengelak, karena tahu-tahu ia sudah berada di
belakang kakek itu dan tangannya telah menotok pundak
lawannya. Setelah bacokan goloknya yang mematikan itu ternyata
hanya menyambar angin saja, kakek itu marah sekali dan
berbareng dengan itu ia jadi terkejut ketika mengetahui pundaknya
dijadikan sasaran lawan.

Cepat ia menggerakkan goloknya untuk menangkis dan membabat


tangan lawan. Akan tetapi gerakan dan serangan Bun Liong yang

660
sudah mengambil putusan hendak merobohkan kakek itu dengan
segera, benar-benar luar biasa.

Tangan kirinya yang tadi hendak menotok pundak, tiba-tiba


merobah arah sasarannya menotok jalan darah di pergelangan
tangan kakek itu yang memegang golok, sambil tangan kanannya
melakukan sodokan ke arah lambung kakek itu!

Si kakek berteriak mengaduh dan goloknya terlepas dari


pegangannya, lengan kanannya mendadak menjadi lumpuh.
Berbareng dengan itu iapun amat terkejut ketika melihat serangan
sodokan mengarah lambungnya, cepat ia mengelak.

Akan tetapi ia kalah cepat karena Bun Liong benar-benar tidak mau
memberi kesempatan pada lawannya. Baru saja kakek itu
mengelak, ia telah dapat mengejar dengan tangan kiri dan
terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh si kakek yang tinggi
besar kena dihantam dadanya sehingga terlempar sampai
setombak lebih dan jatuh terjengkang!

Melihat peristiwa ini Yang Hoa merasa lega hatinya. Can Po Goan
memuji kehebatan pemuda itu sedangkan semua anggauta Pauw-
an-tui bersorak riuh rendah.

661
Kakek itu mengerang seperti harimau luka, ia berusaha hendak
bangkit tetapi kembali tubuhnya jatuh. Wajahnya meringis
menahan sakit dan tangan kirinya mendekap dada.

Ternyata pukulan Bun Liong di dadanya tadi telah menyebabkan


jantungnya terluka. Kakek aneh ini benar-benar memiliki kekuatan
luar biasa. Ia masih kuasa mempertahankan lawannya padahal
pukulan itu dapat menyebabkan orang mati seketika.

Dalam terlentangnya kakek itu terus mengaduh-aduh, agaknya ia


sedang bergulat dengan Malaikat maut. Akan tetapi kemudian
semua orang terkejut ketika kakek itu berseru dengan suara tinggi
dan luar biasa nyaringnya.

“Haiiii…….! Puteri-puteriku, ayahmu dicelakakan oleh sekawanan


manusia durjana dan gila. Kalian tolonglah aku, balaskanlah sakit
hatiku…….!”

Ternyata kata-kata permintaan tolong diucapkan dengan


pengerahan tenaga khi-kang yang amat tinggi, sehingga ke tiga
orang tokoh Pauw-an-tui mesti cepat-cepat menutup telinga
mereka supaya selaput alat pendengar di dalam telinga mereka
tidak pecah oleh getaran pengaruh khi-kang dari kakek itu.

662
Sedangkan beberapa orang anggauta Pauw-an-tui yang berada
terlalu dekat dengan kakek itu, menjadi limbung dan roboh
bergulingan. Karena pancaindera mereka tak kuat menerima
getaran pengaruh khi-kang yang luar biasa hebatnya dari kakek
yang terlentang tak berdaya itu.

Jantungnya sudah terluka, akan tetapi masih dapat berkata-kata


sambil mempergunakan suara coan-im-ji-bit yang meminta
pengerahan tenaga khi-kang sepenuhnya, benar-benar kakek itu
seorang yang hebat!

Akan tetapi, setelah mengucapkan kata-kata itu, kakek itu


keadaannya makin payah. Tubuh, kaki dan tangannya
menggelepar-gelepar seperti sedang sekarat!

Semua orang melihatnya dengan perasaan iba hati sambil menanti


apa reaksi dari kata-kata minta tolong dari si kakek tadi.
Mungkinkah ia minta tolong kepada sekawanan bajak yang masih
berada di tempat persembunyiannya? Selagi semua orang masih
menanti dan bertanya-tanya, terdengarlah suara sahutan dari
dalam hutan siong yang riuh rendah dan terdengarlah seperti suara
wanita semua!

663
Bun Liong dan kawan-kawannya menanti dengan hati berdebar-
debar dan heran. Mungkinkah akan muncul sekawanan bajak
sungai yang terdiri dari kaum wanita? pikir mereka. Dan keheranan
mereka makin menjadi ketika dari hutan siong itu muncul gadis-
gadis muda lagi cantik-cantik yang semuanya bersenjatakan golok.

Ketika dihitung, para dara itu ternyata berjumlah sepuluh orang.


Sambil berlari-lari mendatangi mereka menggerakkan goloknya
demikian ganas, yaitu seganas ilmu golok yang dimainkan oleh si
kakek tadi, dan dengan gaya yang nekad mereka langsung
menyerbu!

Yang Hoa cepat melompat maju memapaki mereka sambil


menggerakkan pedangnya, tetapi ketika terdengar seruan dari Bun
Liong: “Yang-moay, jangan melukai mereka……!”

Akan tetapi pada saat itu Yang Hoa sudah menggerakkan


pedangnya dan sekali tangkis saja, dua batang golok telah terlepas
dari pegangan dua orang dara yang penyerbu itu.

Mula-mula Yang Hoa merasa heran mendengar larangan dari


calon suaminya dan hatinya jadi cemburu karena ia menyangka
calon suaminya merasa tergiur oleh kecantikan dara-dara itu. Akan
tetapi salah tafsir ini hanya sekejap saja karena setelah ia

664
memperhatikan wajah para dara penyerbu itu, nona ini melihat
bahwa para dara yang cantik-cantik itu seakan-akan sedang
bergerak dalam mimpi!

Mata mereka bagaikan mata orang yang sedang mengigau dan tak
sadar. Air muka mereka seperti dipengaruhi suatu kekuatan gaib
dan wajah yang cantik-cantik itu kelihatannya seperti wajah tolol.
Hal ini menyebabkan bulu tengkuk Yang Hoa berdiri saking merasa
seramnya!

Para dara yang rupanya dalam keadaan tidak sadar itu, tidak saja
menyerang Yang Hoa, karena melihat Bun Liong berdiri di dekat
Yang Hoa, sebagian dan mereka lalu menyerang dan mengeroyok
pemuda itu tanpa banyak cakap lagi. Bun Liong yang tak kurang
herannya dari Yang Hoa, melihat dirinya diserbu dan agaknya
hendak dicincang oleh golok-golok di tangan para dara aneh itu,
cepat bergerak dan begitu ia menggerakkan kedua tangannya,
golok-golok itu dengan mudah terampas olehnya.

Sementara itu Yang Hoa juga sudah diserang oleh sebagian dara-
dara itu. Akan tetapi pertempuran ini tidak berjalan lama karena
sesaat kemudian setelah beberapa kali Yang Hoa menggerakkan
pedangnya, golok-golok di tangan lawannya itu terbang ke udara.

665
Ada yang patah dan ada juga yang terlempar setelah kena senggol
sedikit saja oleh pedangnya!

Dengan demikian, senjata-senjata sepuluh dara itu sebentar saja


telah dilucuti semua dan mereka dengan wajah tololnya nampak
kebingungan, mereka saling bertanya dengan suara yang hampir
berbareng:

“Mana ayah…..? Di mana ayah…….” Akhirnya seorang di antara


mereka dapat melihat kakek yang sedang sekarat itu dan sambil
menuding ia berkata nyaring: “Itulah dia……! Ayah kita di
situ…….!” Dan ia segera berlari menghampiri kakek itu diikuti oleh
ke sembilan kawannya yang berlari-lari kecil.

Bun Liong dan kawan-kawannya membiarkan saja perbuatan dara-


dara ketika mereka menubruk, memeluk, menciumi dan
mengguncang-guncang tubuh kakek itu sambil menangis dan
meratap: “Ayah, kenapa kau ayah…….? Ayah, jangan tinggalkan
kami………”

Kakek itu mengeluarkan suara gerengan dan ternyata suara ini


adalah suaranya yang terakhir karena berbareng dengan mulut si
kakek memuntahkan darah yang banyak sekali. Dan pada detik
berikutnya matilah kakek aneh itu!

666
Setelah kakek itu menghembuskan napasnya yang terakhir,
terjadilah suatu keanehan. Begitu tubuh kakek menjadi mayat,
sepuluh dara itu serempak seakan-akan menjadi sadar akan
keadaan yang sebenarnya.

Mereka bercelingukan saling pandang satu sama lain dan


kemudian mereka memandang ke arah orang-orang yang
mengelilingi dan memandang mereka! Yang mengherankan ialah,
wajah-wajah mereka tidak kelihatan tolol seperti tadi.

Kini tampak wajah asli mereka yaitu wajah orang sadar dan waras!
Melihat begitu banyak orang yang rata-rata membawa senjata,
mereka memperlihatkan sikap bingung dan ketakutan……….

Tiba-tiba Bun Liong teringat akan seorang lasykar bajak yang telah
memberi keterangan tentang si kakek aneh tadi, maka dicarinya
orang itu dan setelah diketemukan lalu dibawanya ke dekat Yang
Hoa dan Can Po Goan dan dimintai keterangan tentang hal-ikhwal
kesepuluh orang gadis itu. Lasykar bajak memberikan keterangan
sejelasnya.

“Kesepuluh orang dara yang cantik-cantik itu adalah penduduk


daerah Tong-koan yang telah diculik oleh kawanan lasykar bajak.

667
Akan tetapi kesucian mereka sama sekali tidak terjamah karena
dilarang keras oleh kakek aneh tadi.

“Kakek aneh tadi adalah seorang yang kurang waras otaknya, akan
tetapi karena ia berkepandaian tinggi dan tambahan lagi sebagai
ayah angkat Ma Gu Lin, maka semua lasykar bajak menghormati
dan menyeganinya sehingga tak ada yang berani melanggar
larangannya apalagi larangan diperkuat oleh Ma Gu Lin sendiri.

“Ia telah membuat semacam “undang-undang” bagi seluruh anak


buahnya yaitu bahwa mereka dalam menjalankan gerakan
operasinya boleh menggasak milik orang sepuasnya, membunuh,
membakar rumah, akan tetapi dengan keras sekali dilarang
memperkosa kaum wanita! “Undang-undang” ini sangat dipatuhi
oleh semua lasykar bajak karena mereka sangat patuh dan takut
kepada Ma Gu Lin!

Adapun mereka menculik ke sepuluh orang gadis itu tak lain hanya
untuk memenuhi keinginan si kakek gila itu sendiri. Kakek itu
mempunyai kesulitan mengumpulkan gadis-gadis yang cantik,
yang diperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti
terhadap puteri-puterinya sendiri.

668
Mula-mula para gadis itu tentu saja takut sekali kepada kakek gila
yang berada di sarang penjahat itu, akan tetapi karena kakek itu
memiliki ilmu hoat-sut (ilmu sihir), maka dengan kepandaiannya ini
ia menyihir “anak-anaknya” sehingga mereka jadi menurut dan
menganggapnya seperti ayah sendiri. Bersama “anak-anaknya”
kakek itu bertempat tinggal di sebuah gubuk yang terpencil dari
kelompok gubuk-gubuk para lasykar bajak dan di situ ia mengajar
ilmu golok kepada “anak-anaknya.”

Pengajaran ilmu golok itu juga dilakukan dengan ilmu silat


sehingga para gadis yang semula tidak mengerti ilmu silat sama
sekali otomatis jadi bisa bermain silat dan golok! Hanya saja,
karena dipengaruhi kekuatan sihir, maka biarpun ilmu golok yang
dimainkan oleh para gadis tak ingat itu cukup hebat, namun
mereka sama sekali tidak mempunyai isi dan hanya menggerakkan
golok seperti orang menari saja.

Itulah sebabnya maka tadi dalam segebrakan saja senjata-senjata


mereka telah dapat dilucuti dengan mudah. Dan itulah sebabnya
pula mengapa setelah si kakek gila itu mati sepuluh dara itu jadi
sadar kembali, karena yang selama ini menguasai mereka telah
lenyap bersama-sama lenyapnya nyawa si kakek itu.

669
Setelah mendengar keterangan ini, Can Po Goan menghampiri ke
sepuluh dara yang masih bingung dan ketakutan itu.

“Nona-nona sekalian,” katanya dengan suara ramah. “Kalian tidak


perlu merasa bingung dan takut melihat kami karena kedatangan
kami kemari, selain untuk membasmi komplotan penjahat di sini
juga untuk menolong kalian! Marilah kita pulang bersama-sama
dan akan kami antarkan kalian ke rumah masing-masing!”

Sepuluh dara itu kembali saling berpandangan. Karena kata-kata


Can Po Goan tadi agaknya mereka jadi teringat betapa mulanya
mereka diculik oleh komplotan bajak sungai dan kemudian
diserahkan kepada kakek yang membuat mereka selama hidup
seperti dalam mimpi, tidak ingat asal-usul mereka dan tidak ingat
sanak keluarga.

Satu-satunya yang dapat mereka ingat hanya si kakek itu saja yang
mereka anggap sebagai ayah kandung mereka. Kini setelah
keadaan mereka wajar kembali dan mendengar kata-kata Can Po
Goan yang mengajak mereka pulang, tentu saja mereka menjadi
girang dan terharu. Mereka lalu berlutut sambil mengucapkan
terimakasih yang tak terhingga kepada orang tua itu.

670
Demikianlah dengan singkat saja diceritakan bahwa setelah
matahari agak condong ke barat rombongan Pauw-an-tui
meninggalkan hutan Siong-lim-nia. Mereka pulang sambil
menyanyikan lagu kemenangan. Di setiap dusun yang mereka
lalui, mereka disambut oleh rakyat jelata yang merasa gembira dan
terimakasih atas berhasilnya perjuangan pahlawan-pahlawan
pemulih keamanan itu.

“Hidup Pauw-an-tui……!”

“Kita hidup kembali dalam suasana aman dan tenteram……!”

“Nyenyaklah kembali tidur kita setiap malam…….!”

“Komplotan manusia durjana sudah dilumpuh ludaskan……!”

“Hura! Hidup Pauw-an-tui…….!”

Demikianlah sorak-sorai kegembiraan di segenap pelosok


menyambut kemenangan Pauw-an-tui. Peristiwa yang amat
penting dan bersejarah bagi seluruh penduduk daerah Tong-koan
ini disambut dengan semeriah-meriahnya.

671
Terpujilah Pauw-an-tui. Disanjung-sanjunglah nama tokoh-tokoh
dari barisan keamanan ini terutama nama pangcunya Souw Bun
Liong, yang sangat besar jasanya dan paling banyak
mengeluarkan tenaga dan kepandaiannya dalam peristiwa
memulihkan keamanan ini.

Nama pemuda itu menjadi pujaan seluruh masyarakat Tong-koan


dan menjadi buah bibir para dara yang mengagumi kegagahan dan
ketampanannya. Selain itu, nama Cio Song Kang juga dijunjung
tinggi karena hartawan ini adalah otak penggerak, seorang tokoh
dan pencipta Pauw-an-tui yang sosiawan…….

Tiga hari kemudian, di kota Tong-koan khususnya dan di segenap


pelosok dusun umumnya, rakyat merayakan pesta pulihnya
keamanan. Perayaan tersebut diselenggarakan dengan semeriah-
meriahnya.

Di setiap dusun perayaan diselenggarakan di setiap rumah Cung-


cu (kepala kampung) yang selain mengadakan perjamuan-
perjamuan, menanggap tetabuhan dan pertunjukan kesenian-
kesenian daerah juga mengadakan pibu (pertandingan silat) untuk
memilih juara dusun. Hal ini disebabkan karena kemenangan
Pauw-an-tui dan kegagahan pahlawan-pahlawannya terutama

672
kehebatan ilmu silat Bun Liong membuat seluruh penduduk baik
tua maupun muda menjadi silat minded!

Adapun bagi penduduk kota Tong-koan khususnya, yang menarik


perhatian adalah rumah gedung Cio wan-gwe. Rumah gedung
yang besar dan indah dihias sedemikian rupa sehingga
kelihatannya makin indah, mewah dan meriah.

Hari itu, sejak pagi rumah Cio wan-gwe sudah ramai dikunjungi
para undangan dan ternyata selain Cio wan-gwe merayakan pesta
pulihnya keamanan seperti yang diselenggarakan di seluruh dusun
atas seruannya, juga sekalian merayakan pesta perkawinan putera
tunggalnya yaitu Cio Swi Ho, dengan seorang gadis puteri
hartawan di kota itu juga.

Selain para anggauta Pauw-an-tui dan para tamu undangan yang


turut meramaikan pesta itu, juga seorang yang terpenting di kota
Tong-koan, yaitu Ti-koan, berkenan pula datang menghadiri.
Bahkan pejabat negeri yang berpangkat tinggi dan mempunyai
wewenang penuh atas daerah Tong-koan berkenan pula memberi
kata sambutan, yaitu selain mengucapkan selamat kepada
sepasang mempelai, juga menyampaikan rasa terima kasihnya
yang tidak terhingga kepada tokoh-tokoh serta para anggauta

673
Pauw-an-tui yang telah berjasa besar memulihkan keamanan
dalam walajah kekuasaannya.

Dan akhirnya Ti-koan ini memberikan hadiah kepada Bun Liong,


yaitu sebuah panji kecil yang terbuat dan sutera hijau bersulamkan
benang emas.

Sulaman benang-emas itu merupakan huruf-huruf yang sangat


indah yang berbunyi,

Bu-tek Enghiong!

Ternyata pejabat negeri tersebut telah memberi gelar Bu-tek


Enghiong (Pendekar Tanpa Tandingan) kepada pemuda itu
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selaku ketua Pauw-an-tui!

Dengan perasaan terharu Bun Liong menerima piagam tersebut


akan tetapi hati kecilnya merasa tak setuju dengan gelar yang
dianggapnya berlebih-lebihan itu. Ia maklum bahwa di dunia ini
amat banyak orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya
suhunya sendiri maka terlampau berlebih-lebihanlah kalau sampai
diberi nama julukan sebagai Pendekar Tanpa Tandingan. Akan
tetapi mengingat bahwa yang memberikan nama julukan ini bukan
orang sembarangan, melainkan justeru seorang pejabat negeri

674
yang sangat dihormati dan disegani, maka pemuda ini tidak berani
menyatakan perasaan hatinya!

Namun sebaliknya Cio Song Kang menganggap hal itu sangat


patut dibanggakan dan ia amat gembira. Saking gembiranya
hartawan ini lalu berkata nyaring, terhadap para tamu yang
memenuh sesak gedungnya yang besar itu. Ia mengumumkan
bahwa sejak hari itu, Souw Bun Liong mendapat nama julukan Bu-
tek Enghiong!

“Pengumuman kilat” dari Cio wan-gwe ini disambut oleh semua


orang dengan sorak sorai gembira dan setuju. Bahkan orang-orang
yang berada di luar gedung pun turut pula bersorak karena
pengumuman Cio wan-gwe yang diucapkan dengan bersorak
nyaring tadi terdengar jelas oleh mereka.

Menghadapi peristiwa ini Bun Liong jadi merah mukanya karena


malu dan kurang enak hati. Sedangkan Yang Hoa yang berada di
sisinya berseri-seri gembira dan sedikit pun dara ini tidak
menyadari betapa jalan pikiran dan perasaan hati calon suaminya!

Ketika sorak sorai itu sudah mulai menyepi, tiba-tiba terdengar


suara ketawa yang bergelak-gelak di depan gedung diiringi ucapan
yang nyaring sekali:

675
“Hahaha…….! Bu-tek Enghiong……?! Orang macam apakah yang
mendapat nama julukan sangat hebat ini…….?!”

Bun Liong mengerutkan keningnya, belum apa-apa sudah


mendapat ejekan orang, keluhnya dalam hati. Ketika itu Cio wan-
gwe sudah melangkah keluar untuk menjumpai orang yang
mengejek tadi.

Melihat hartawan itu melangkah keluar, Bun Liong mengikutinya


karena betapapun juga ia ingin melihat orang itu. Juga Yang Hoa
berjalan di belakang calon suaminya, akan tetapi berlainan dengan
Bun Liong yang tetap tenang, nona ini sudah merasa panas hati
karena nama julukan calon suaminya mendapat ejekan.

“Orang dari manakah yang begitu kurang ajar…….!” Gumamnya


sambil menggertak gigi. Dan semua orangpun lalu berjalan
mengikuti mereka.

Ketika mereka sudah sampai di luar, tampaklah di pekarangan


depan gedung lima orang yang belum mereka kenal dan apa yang
sedang dikurung oleh sekawanan anggauta Pauw-an-tui yang
agaknya marah sekali terhadap ke lima orang itu! Sedangkan ke
lima orang yang dikurung itu hanya ketawa-tawa saja.

676
“Kawan-kawan! Apakah yang telah terjadi?!” Cio wan-gwe
bertanya.

Kwe Bun yang turut mengurung ke lima orang itu segera


menghadap ke depan Cio wan-gwe dan berkata memberi laporan,
“Lima orang asing menghina dan mentertawakan nama julukan
Souw pang-cu, maka kami tentu saja tidak mau menerima
penghinaan ini dengan begitu saja! Mohon perintah untuk
mengganyang mereka!”

“Sabar, Kwe Bun. Sebelum mengetahui maksud mereka yang


sebenarnya, kalian jangan main ganyang saja,” ujar Cio wan-gwe
dan hartawan yang disegani oleh seluruh penduduk daerah Tong-
koan ini lalu melangkah menghampiri ke lima orang yang tak
dikenal itu diikuti Bun Liong dan Yang Hoa dan di belakang sekali
tampak Can Po Goan.

Ketika mereka sudah dekat dengan ke lima orang itu, Cio wan-gwe
menjura dan penghormatan ini disambut oleh seorang lelaki tinggi
besar yang bajunya tidak dikancingkan sehingga dadanya yang
lebar dan penuh bulu kelihatan nyata.

677
“Ngo-wi sianseng (tuan-tuan berlima), kalau tidak salah
penglihatanku, kalian ini bukan orang-orang sini. Betulkah?” Cio
wan-gwe bertanya dengan ramah.

“Tidak salah,” sahut orang yang dadanya berbulu itu dan suaranya
ternyata besar dan parau. “Kami berasal dari Shan-tung dan di
daerah kami, berlima ini terkenal dengan julukan Shan-tung-ngo-
hiap (Lima pendekar dari Shan-tung). Dalam perantauan kami
mendengar suatu peristiwa yang amat mengagumkan, yaitu
tentang kegagahan pasukan Pauw-an-tui yang dalam waktu
singkat telah berhasil membasmi gerombolan penjahat. Kami
beruntung sekali hari ini kami datang ke mari karena justeru
sedang dirayakan pesta kemenangan!”

Nama Shan-tung-ngo-hiap memang belum pernah didengar oleh


Cio wan-gwe maupun kawan-kawannya, akan tetapi karena Cio
wan-gwe adalah seorang bijaksana, maka ia pura-pura sudah
mendengar lima pendekar dari Shan-tung itu dan berkata,

“Oh, kiranya kalian adalah Shan-tung-ngo-hiap yang namanya


sudah menggemparkan daerah timur. Menyesal sekali kedatangan
Ngo-wi tak kami ketahui sebelumnya oleh kawan-kawanku semua.
Hal ini harap Ngo-wi maafkan dan kini marilah masuk ke pondokku

678
untuk bercakap-cakap dengan leluasa sambil menikmati jamuan
sederhana yang terdiri hanya dari air mentah dan sayur kasar.”

Orang yang berbulu itu merasakan ketajaman kata tuan rumah


yang meskipun kedengarannya sangat merendah dan
menghormat, akan tetapi pada hakekatnya mengandung sindiran
atas perbuatannya sendiri yang dilakukannya tadi, yaitu mengejek
nama julukan Bu-tek Enghiong. Biarpun wajahnya tampak merah
karena malu atas kelancangan, namun ia pandai menyusun kata-
kata dan dengan suara ramah menjawab:

“Terima kasih atas kebaikanmu, sahabat! Kalau kami tak dapat


menemui ajakanmu adalah karena kami tidak berani merepotkan
kalian. Yang menyebabkan kami datang dan mampir di sini ialah
karena tertarik akan kegagahan pang-cu Pauw-an-tui yang kami
dengar.

“Akan tetapi yang manakah di antara kalian yang menjadi ketua


Pauw-an-tui dan yang baru saja mendapat nama julukan luar biasa
hebatnya itu? Bolehkah kami berkenalan…….?”

Cio wan-gwe sudah menduga bahwa kunjungan ke lima orang


yang mengaku Shan-tung-ngo-hiap ini adalah untuk mengadu
kepandaian dengan Bun Liong. Hal ini sudah menjadi kebiasaan

679
bagi orang-orang kang-ouw bahwa apabila mendengar ada
seorang yang memiliki kepandaian tinggi lalu disatroninya untuk
diajak “berkenalan”, atau tegasnya untuk diajak mengadu
kepandaian. Cio wan-gwe tidak berani memberi penyahutan atas
pertanyaan orang itu, melainkan dengan isyarat matanya ia
menyerahkannya kepada Bun Liong yang berada di sampingnya.

Bun Liong maklum akan hal itu, maka pemuda ini lalu maju dan
memberi hormat kepada orang tinggi besar itu.

“Siauwtee lah yang Lo-enghiong maksudkan. Siauwtee sangat


berterima kasih telah diakui oleh Ngo-wi orang-orang gagah dari
Shan-tung yang telah menaruh perhatian kepada siauwtee yang
bodoh……” kata Bun Liong dengan sikap aslinya yang sopan.

Akan tetapi ucapannya yang sebenarnya belum habis ini menjadi


terputus sampai di situ karena tiba-tiba orang itu berkata dengan
tertahan.

“Hahhh…….? Jadi…… kaukah orangnya yang dijuluki Pendekar


Tanpa Tandingan itu……!”

Sepasang matanya yang besar mendelik seperti kaget dan


memandang kepada pemuda itu dengan sikap tidak percaya.

680
“Tak salah, orang tua gagah. Akulah orangnya!” sahut Bun Liong
sambil balas memandang orang yang bersikap kurang
menyenangkan itu.

Orang itu manggut-manggut, tapi kemudian menggelengkan


kepala tatkala berkata, “Kalau aku tidak melihat sendiri orangnya,
sungguh aku takkan percaya bahwa engkau yang masih semuda
ini telah mendapat julukan yang demikian hebat kedengarannya!”

“Percaya atau tidak terserah kepadamu dan tak seorangpun yang


memaksa kau untuk mau percaya,” balas Bun Liong yang mulai
jengkel.

Betapapun sabarnya hati pemuda ini, namun melihat sikap orang


itu seperti mengejek, ia jadi merasa sebal hati juga. Sungguhpun
ia sudah menduga bahwa kedatangan lima orang dari Shan-tung
ini, hendak menguji kepandaiannya.

“Aku mau percaya, mau percaya, asal saja……. membuktikan


sendiri kepandaianmu! Bersediakah engkau anak muda?”

Sebelum Bun Liong menjawab, tiba-tiba terdengar suara orang


yang berkata: “Souw sicu, terimalah penghormatan ini, dan
buktikanlah bahwa julukan pemberian kami bukanlah julukan
kosong!”
681
Bun Liong berpaling ke arah orang yang menganjurkan itu dan
ternyata bahwa orang itu adalah pembesar Ti-koan yang memberi
nama julukan tadi. Bun Liong maklum bahwa pembesar ini ingin
melihat kepandaiannya, maka ia lalu menjura kepada pembesar itu
dan berkata:

“Kalau kiranya tayjin ingin melihat kebodohan cayhe, baiklah akan


cayhe penuhi. Akan tetapi harap tayjin jangan menyesal karena
julukan hadiah tayjin tadi sesungguhnya sangat berlebihan dan
menjadi bahan tertawaan orang bagi cayhe yang bodoh ini.”

Setelah berkata demikian ia kembali menghadapi orang dari Shan-


tung itu dalam sekilas saja matanya yang tajam dapat meneliti
wajah-wajah dan sikap-sikap ke lima orang tersebut.

Ke lima orang itu memang merupakan orang-orang gagah dari


daerah Shan-tung dan nama-nama mereka amat terkenal terutama
di propinsi Shan-tung sendiri pendekar-pendekar pembela
kebenaran dan keadilan. Mereka merupakan panca tunggal karena
mereka berlima telah mengangkat saudara dan selain mereka
memiliki kelihayan ilmu silat masing-masing, juga mereka berlima
telah mempelajari ilmu silat yang mereka namakan Ngo-seng-kun
(Ilmu Silat Bintang Lima).

682
Mereka merupakan pendekar-pendekar petualang dan melakukan
perantauan bersama. Tentu saja sepanjang petualangannya
mereka telah banyak melakukan kebajikan dan karena kegagahan
mereka lalu terkenal sebagai Shan-tung-ngo-hiap.

Yang tertua dari Shan-tung-ngo-hiap ini adalah seorang setengah


umur bertubuh tinggi besar dan bernama Li Kay, yaitu orang tinggi
besar yang setengah tidak percaya kepada kepandaian Bun Liong
yang mendapat nama julukan Bu-tek Enghiong tadi. Kepandaian
istimewa Li Kay adalah permainan senjata cambuk panjang yang
amat lihay, selain itu iapun mahir sekali dalam ilmu berkelahi gaya
Mongol yang mengandalkan bantingan-bantingannya yang hebat.

Orang kedua adalah adik seperguruannya dan bernama Lo Kin


yang juga amat lihay dan menduduki tempat kedua dalam
persaudaraan itu oleh karena ia pandai sekali bersilat dengan
sebatang golok tipis. Berkat gin-kangnya yang sudah tinggi dan
boleh dikata paling tinggi di antara saudara-saudaranya, maka
ilmusilat goloknya mempunyai gerakan-gerakan cepat luar biasa.

Sedangkan orang ketiga biarpun bukan pengemis, ia selalu


berpakaian penuh tambalan seperti jembel dan senjatanya pun
sesuai sekali dengan apa yang selalu dibawa oleh pengemis, yakni
sebatang tongkat yang terbuat dari bambu kuning. Namanya Lim

683
Cu dan ilmu silat tongkatnya di daerah Shan-tung tiada yang dapat
menandingi.

Dan orang yang keempat dan kelima adalah sepasang saudara


kembar bernama Ho Kim dan Ho Kun. Mereka adalah yang
termuda di antara ke lima orang itu. Ho Kim bersenjata sebatang
tombak dan Ho Kun mahir sekali bersilat dengan senjata berupa
kampak yang bergagang panjang.

Shan-tung-ngo-hiap ini selain memiliki kepandaian khusus, mereka


berlima merupakan sebarisan yang amat tangguh sekali. Apabila
mereka bertempur bersama-sama dan melakukan ilmu silat Ngo-
seng-kun, yaitu secara teratur dan beramai mereka menyerang
lawan yang dikepungnya apabila lawan itu ternyata amat tangguh
sehingga tak dapat ditandingi oleh kepandaian khusus masing-
masing dan terpaksa mereka mengadakan kerja sama dengan
ilmu silat Bintang Lima ini.

Ketika mereka merantau dari Shan-tung ke propinsi Ho-nan yang


memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Dan sewaktu perjalanan
mereka mendekati batas sebelah barat Ho-nan, mereka
mendengar orang-orang bercerita bahwa di kota Tong-koan, yakni
sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan sebelah barat
propinsi Ho-nan, telah terjadi suatu peristiwa yang amat menarik

684
perhatian mereka, yaitu adanya barisan Pauw-an-tui yang telah
berhasil mengganyang komplotan penjahat dalam waktu yang
singkat!

Semenjak mereka mendekati perbatasan antara Ho-nan dan Siam-


say, Shan-tung-ngo-hiap ini memang sudah mendengar bahwa
kota Tong-koan tidak aman. Sebagai pendekar-pendekar gagah,
tentu saja mereka tidak mau tinggal diam dan mereka bermaksud
hendak coba menanggulangi keamanan kota tersebut.

Akan tetapi kedatangan mereka di situ ternyata terlambat karena


ketika mereka memasuki kota Tong-koan, kota itu sedang
melangsungkan pesta kemenangan. Dan hati mereka jadi kagum
dan tertarik sekali ketika mendengar bahwa yang menjadi ketua
Pauw-an-tui adalah seorang pemuda yang masih muda belia!

Ketika mereka turut berdesak-desakan di antara orang banyak


yang tidak mereka ketahui bahwa sebagian besar terdiri dari
anggauta-anggauta Pauw-an-tui yang turut meramaikan pesta
kemenangan yang sekaligus merupakan perayaan pernikahan
putera Cio wan-gwe di halaman depan gedung hartawan itu.
Mereka mendengar pengumuman bahwa pangcu Pauw-an-tui ini
telah menerima hadiah dari pihak penguasa pemerintah setempat
berupa nama julukan Bu-tek Enghiong!

685
Li Kay, orang tertua dari Shan-tung-ngo-eng adalah seorang yang
berwatak jujur akan tetapi mempunyai sifat berangasan. Ketika
mendengar nama julukan yang benar-benar hebat menjadi sangat
penasaran hatinya.

Orang macam apakah dan betapa tinggi kepandaian yang dimiliki


si ketua Pauw-an-tui sehingga memperoleh nama julukan begitu
luar biasa? pikirnya dengan hati penasaran. Ia ingin berkenalan
dan menguji kepandaian si Pendekar Tanpa Tandingan itu. Akan
tetapi untuk memasuki gedung itu begitu saja mereka tidak berani
karena takut disebut tamu-tamu yang tak diundang.

Kemudian Li Kay mempunyai akal untuk memancing supaya si Bu-


tek Enghiong keluar dan begitulah seperti pernah diceritakan tadi.
Li Kay sengaja ketawa berkakakan sambil mengucapkan
perkataan yang bersifat mengejek, sebagaimana yang terdengar
oleh Cio wan-gwe dan Bun Liong serta kawan-kawannya di dalam
gedung tadi.

Akan tetapi alangkah kagetnya hati Li Kay dan saudara-


saudaranya ketika tiba-tiba mereka dikurung oleh sekian banyak
orang yang rata-rata memperlihatkan sikap marah terhadap
mereka!

686
Baiknya Cio wan-gwe cepat keluar menemui mereka dan
kemudian, seperti sudah diceritakan tadi, Li Kay jadi berhadapan
dengan Bun Liong, si Bu-tek Enghiong yang dimaksudkannya
itu……..

Ketika melihat Bun Liong berdiam saja dan mata pemuda seperti
menaksir-naksir mereka, Li Kay lalu berkata pula:

“Anak muda yang gagah alias Bu-tek Enghiong, bagaimana


pendapatmu tentang maksud kami?”

Perkataan “Bu-tek Enghiong” yang diucapkan Li Kay terasa


sebagai sindiran tajam bagi Bun Liong, tapi pemuda yang bersikap
tenang dan memiliki watak sabar ini dapat menekan perasaan
hatinya yang mau marah.

“Pendekar-besar dari Shan-tung dan terutama kau orang tua yang


baik sekali. Tentu saja aku tidak berani menantang akan
maksudmu dan kalau ternyata kau orang tua gagah hendak
memberi petunjuk kepadaku yang muda dan bodoh, harap
jelaskan dulu tentang cara dan syarat-syaratnya,” sahut Bun Liong.

Li Kay mengangguk-angguk sambil tersenyum. Sikap pemuda itu


amat menarik perhatiannya karena biarpun sikapnya sederhana
dan seperti orang bodoh, namun di dalam kesederhanaannya
687
terbayang kegagahan, keberanian dan kecerdikan yang tiada
taranya.

“Caranya adalah aku hendak menjajal kepandaianmu dan kalau


ternyata aku dapat kau kalahkan, kau hendak kukepung dalam
Ngo-seng-kun bersama saudara-saudaraku. Syaratnya, menang
atau kalah dalam pibu persahabatan ini tidak menjadi persoalan
atau jelasnya, bilamana kemudian ternyata kau yang menang,
kami tidak akan menyimpan dendam karena dalam hal ini memang
kami tidak bermaksud mencari permusuhan.

“Demikian pula sebaliknya misalnya kau kami kalahkan,


hendaknya kau beranggapan seperti kami! Jelas dan setujukah?”

“Cukup jelas dan aku amat setuju! Silahkan kau memberi


petunjuk…….” kata Bun Liong sambil mengedikkan kepala,
semacam sikap sebagai tantangan halus.

“Bagus! Keluarkanlah senjatamu, anak muda!” seru Li Kay gembira


sambil mengeluarkan senjata rantainya yang diikatkan di
pinggangnya.

Akan tetapi ketika melihat pemuda itu masih berdiri diam saja dan
tak kelihatan mengeluarkan senjata, hanya menghadapinya
dengan tangan kosong, Li Kay bertanya pula:
688
“Anak muda, kau tidak membawa senjata, maukah kami pinjami
senjata untuk kau pakai?!”

Dengan sikap tenang sekali Bun Liong menggelengkan kepala,


dan bibirnya menyungging senyum tatkala menjawab: “Aku ingin
diberi petunjuk dalam ilmu silat tangan kosong dulu, dan kalau
terlalu perlu, gampang kemudian aku mempergunakan senjataku.”

Karena ucapan ini merupakan tantangan untuk berpibu dengan


tangan kosong, Li Kay tentu saja merasa malu untuk menolak.
Sesungguhnya, seperti sudah diterangkan tadi, Li Kay memiliki
ilmu berkelahi gaya Mongol, disamping permainan cambuk
rantainya yang lihay, akan tetapi karena ia merasa lebih mahir
dalam permainan senjata cambuk rantainya, ia tadi mengeluarkan
senjata ini.

Sekarang setelah mengetahui bahwa pemuda itu menghendaki


bertempur dengan tangan kosong, ia lalu melibatkan kembali
senjatanya di pinggangnya. Dan diam-diam hatinya merasa girang
karena beranggapan bahwa pemuda itu tak mungkin dapat
menandingi gi-siaw gaya Mongolnya?

“Baiklah, mari kita bermain-main sebentar tanpa senjata!” ujarnya


kemudian dan otomatis memasang kuda-kuda sambil menghadapi

689
Bun Liong. Tubuhnya membungkuk dengan muka ke bawah dan
matanya mendelik mengawasi pemuda yang berdiri di depannya.

Kedua lengannya ditekuk sebatas siku dan jari-jari tangannya


dikembangkan merupakan cengkeraman yang diletakkan di depan
dadanya. Kedua kakinya terpentang ke kanan kiri dengan lutut
sedikit ditekuk dalam bentuk bhesi yang teguh sekali.

Sementara itu semua orang yang merubunginya telah mundur ke


belakang sehingga di situ telah merupakan suatu gelanggang yang
cukup luas untuk bertanding dan tentu saja karena orang-orang
berpihak kepada Bun Liong, maka ramailah mereka bersorak-
sorak dengan ucapan-ucapan seperti:

“Hidup Bu-tek Enghiong…….!”

“Ganyang Shan-tung-ngo-hiap…….!!!”

“Majulah kau orang tua gagah!” seru Bun Liong dan pemuda ini
sama sekali tidak memasang bhesi.

Melihat ini Li Kay jadi sedikit ragu dan bertanya:

“Kau masih belum bersiap, anak muda?”

“Aku sudah bersiap. Hayo, mulailah!!”


690
Menurut peraturan persilatan dalam hal pibu, tidak boleh
menyerang lawan sebelum lawan itu mengadakan persiapan. Akan
tetapi kalau lawan itu sudah mengatakan boleh maju walaupun
sama sekali tidak memasang bhesi, hal ini sama artinya bahwa
lawan sudah menantang.

Maka ketika Li Kay melihat Bun Liong berbuat seperti itu, yakni
menantang dalam kedudukan tidak memasang bhesi, hatinya agak
mendongkol karena dianggapnya pemuda itu sombong sekali dan
karenanya segera ia berseru, “Awas serangan!” sambil melompat
maju melakukan tubrukan.

Tubrukan seperti ini dapat menangkap dan membikin seekor


harimau tidak berdaya. Agaknya dengan sekali serang saja Li Kay
bermaksud hendak merobohkan lawannya yang masih muda itu.

Bun Liong sengaja tidak berkelit dan menggunakan kedua


lengannya untuk menangkis serangan karena ia hendak menguji
kepandaian lawan.

Dua pasang lengan beradu dan terkejutlah Li Kay. Ia maklum


dalam hal lweekang ia kalah jauh karena ia rasakan sepasang
lengannya menggetar dan kesemutan.

691
Akan tetapi karena ia adalah orang yang tertua dan menduduki
tempat pertama dalam Shan-tung-ngo-hiap sehingga tentu saja
kepandaiannya sangat tinggi, maka cepat jari-jari tangannya
mencengkeram. Dan sebelum Bun Liong sempat menghindari
serangan yang tidak diduga ini, pinggang pemuda itu telah dapat
ditangkap dan tahu-tahu tubuh pemuda itu telah diangkat di atas
kepala.

Lalu diputar-putarkan dan akhirnya, sambil berseru keras Li Kay


melemparkan tubuh Bun Liong! Ternyata Li Kay telah
menggunakan kecepatan seorang ahli gulat untuk melempar dan
membanting lawannya.

Semua orang anggauta Pauw-an-tui mengeluarkan seruan


tertahan melihat betapa tubuh Bun Liong dilempar dan
dibantingkan. Akan tetapi kenyataannya Bun Liong tidak mendapat
celaka karenanya, sebab meskipun tubuhnya terlempar sampai
sejauh tiga tombak, namun ia jatuh dalam keadaan berdiri!

Akan tetapi baru saja kedua kaki pemuda menyentuh tanah, Li Kay
telah datang dan dengan gerakan cepat mengirim serangan lagi
dan kembali ia hendak mencengkeram ke dua lengan pemuda itu.
Namun sebelum serangan yang kedua kali ini berhasil, Bun Liong
sudah mendahuluinya mendorong dengan ke dua tangannya.

692
Biarpun dorongan tidak menyentuh dadanya, namun
kenyataannya Li Kay yang bertubuh tinggi besar jadi terhuyung
mundur sampai lima langkah!

Li Kay terkejut dan heran akan tenaga dorongan dari pemuda itu,
tapi ia jadi penasaran dan segera ia maju dan menubruk lagi.
Tubrukan yang ketiga kalinya ini dapat dielakkan oleh Bun Liong
dan sebelum Li Kay membalikkan tubuh, pemuda itu sekali lagi
telah mendorongnya, kini dari samping.

Dan sekali lagi orang tua itu terkejut dan heran karena merasakan
ada angin yang kuat sekali mendorong lambungnya sehingga tidak
saja ia jadi terhuyung-huyung dibuatnya. Bahkan kalau ia tidak
cepat-cepat melompat, pasti ia akan roboh terguling!

Bukan main herannya Li Kay menghadapi tenaga dorongan yang


aneh ini. Ia tidak tahu bahwa ilmu pukulan ini sebetulnya adalah
Lui-lek-ciang.

Hanya saja Bun Liong mengirim pukulan ampuhnya itu tidak


dengan tenaga sepenuhnya, yaitu hanya empat bagian dari
tenaganya saja karena tidak hermaksud membunuh. Dan kalau
sekiranya ia melakukan pukulan dengan tenaga sepenuhnya, pasti
nyawa lawannya akan melayang!

693
Biasanya memang Bun Liong jarang sekali mainkan ilmu pukulan
ampuh itu kalau tidak terlalu perlu. Akan tetapi karena kini ia bakal
menghadapi lima lawan dari Shan-tung maka menghadapi Li Kay
ia sudah mengeluarkan ilmu simpanannya supaya cepat
memperoleh kemenangan dan menghemat tenaga!

Ilmu pukulan Lui-lek-ciang yang dikeluarkan hanya


mempergunakan empat bagian dari tenaganya saja, tapi sudah
cukup membuat lawannya terhuyung-huyung. Maka tahulah Bun
Liong, bahwa saudara tertua dari Shan-tung-ngo-hiap merupakan
lawan yang empuk.

“Hati-hati Lo-enghiong, kau jangan sampai terjatuh sendiri,” kata


Bun Liong ketika melihat lawannya nyaris saja terjungkal.

Ucapan ini ternyata bagi Li Kay dirasakan sebagai ejekan, maka


makin penasaranlah ia dan segera menyerang lagi. Tetapi
serangannya kali ini dilakukan hati-hati, tidak main tubruk seperti
tadi, melainkan sekarang setelah ia berdiri dekat sekali di depan
pemuda itu, dengan gerakan kilat tiba-tiba tangan kirinya dengan
telapak tangan dimiringkan menyabet mengarah leher lawannya
berbareng tangan kanannya hendak menangkap sebelah kaki
pemuda itu.

694
Maksudnya sabetan tangan kirinya sebagai pancingan yang
diharapkan pemuda itu menaruh perhatian terhadap serangan ini
dan menangkis. Padahal serangan yang sesungguhnya adalah
hendak menangkap kaki pemuda itu dan ia yakin bahwa kali ini
akan dapat membanting lawannya.

Akan tetapi gerakan Bun Liong jauh lebih cepat lagi. Melihat dua
serangan sekaligus akan tetapi serangan ke arah kaki kirinya itu
ternyata lebih cepat datangnya daripada serangan yang menyabet
ke arah lehernya itu, maka Bun Liong menggerakkan kaki kirinya
sedikit sehingga tangan kanan Li Kay yang hendak menangkapnya
itu tadi mencengkeram angin.

Dan sebelum tangan kiri Li Kay yang hendak menyabet lehernya


itu mengenai sasarannya, Bun Liong telah memapaknya dengan
tangan kanannya yang terbuka menyambut datangnya lengan
lawan serta menangkapnya persis dipergelangan tangannya dan
sekali gus ia mengerahkan tenaga sambil berseru keras.

Tubuh Li Kay yang tinggi besar itu tahu-tahu jadi nyelonong ke


depan dan “Bluunng……!” tubuh si tinggi besar itu jatuh dalam
keadaan tengkurap!

695
Semua orang yang melihat ini, kecuali ke empat saudara Li Kay
tentunya, menjadi gembira dan mereka bersorak-sorak bertepuk
tangan!

Dengan wajah merah seperti batok kepiting direbus karena malu


dan mungkin juga karena marah, Li Kay cepat bangun, akan tetapi
sebelum ia menghampiri Bun Liong tiba-tiba di depan pemuda itu
telah berdiri Lo Kin, saudara yang menduduki tempat kedua di
antara Shan-tung-ngo-hiap, dengan senjata golok tipisnya sudah
siap di tangan.

“Kawan muda! Sekarang cobalah kau tandingi golok tipisku ini!”


katanya sambil menggerak-gerakkan senjatanya yang berarti
menantang.

Akan tetapi sebelum Bun Liong memberi penyahutan, Li Kay


menyelak dan Lo Kin dibentaknya, “Sute, mundurlah! Benar aku
telah dikalahkan dalam pertandingan tangan kosong, akan tetapi
aku masih belum mencobanya dengan senjata!”

Mendengar teguran suhengnya ini segera Lo Kin mundur dan


kembali kepada saudara-saudaranya. Sedangkan Li Kay lalu
berkata kepada Bun Liong:

696
“Souw sicu, dengan sejujurnya aku menerima kalah bertanding
dengan tangan kosong. Akan tetapi hatiku belum puas kalau kau
belum melayani aku dengan bersenjata. Nah, marilah kita bermain-
main lagi. Keluarkanlah senjatamu!”

Sambil berkata demikian, Li Kay membuka ikatan rantai besi dari


pinggangnya dan ternyata cambuk rantai cukup panjang dan ia
memegang di tengah-tengahnya.

Melihat caranya memegang rantai itu, Bun Liong maklum Li Kay


memainkan senjata rantai itu tidak seperti ia memainkan
cambuknya, yaitu dipegang pada satu ujung dan ujungnya yang
lain dipergunakan untuk menyerang. Tapi Li Kay dapat memainkan
rantainya dengan kedua ujungnya.

Karena dipegang di bagian tengah-tengahnya, maka seuntai


cambuk rantai menjadi dua senjata untuk menyerang. Bun Liong
memang ingin mencoba dan melihat permainan senjata cambuk
rantai Li Kay yang belum pernah dilihatnya, maka ia menjawab,

“Tak usah aku bersenjata dulu, karena aku ingin mencoba ilmu
rantaimu dengan mengandalkan ke dua tanganku saja dulu.”

Li Kay sangat marah karena ia merasa dipandang rendah, maka


setelah ke dua tangannya memegang senjatanya di bagian tengah
697
dan jarak dari tangan kiri ke tangan kanan kira-kira setengah depa
sehingga kedua ujung rantai di kanan kirinya terjuntai kurang lebih
sedepa panjangnya. Sambil berseru, “Awas senjata…….!” ia
segera mulai menyerang!

Dan ternyata ketika ia menggerakkan tangan kanan dan kirinya,


rantai itu menyambar sambil mengeluarkan angin bendesing-
desing. Ujung rantai yang digerakkan oleh tangan kirinya meluncur
ke atas dan menyambar ke arah tenggorokan hendak menotok
jalan darah di leher lawan.

Sebenarnya gerakan ini hanya untuk memecah pertahanan Bun


Liong belaka, karena yang lebih berbahaya adalah ujung rantai
yang digerakkan oleh tangan kanannya yang menyabet ke bawah
hendak membelit kaki pemuda itu. Tetapi Bun Liong yang
menghadapi dua serangan rantai dengan hanya bertangan kosong
benar-benar sangat mengagumkan, baik pihak kawan maupun
pihak lawan karena gerakan pemuda ini lebih luar biasa dan juga
lebih cepat!

Dengan berbareng, tangan kanan dan kaki kirinya bergerak.


Tangan kanan menyampok ke bawah ujung rantai yang akan
menotok tenggorokannya, sedangkan kaki kirinya menendang
untaian rantai yang hendak membelit kakinya itu dan karenanya,

698
ujung rantai yang disampok jadi mencong ke bawah dan ujung
rantai yang dipapaki tendangannya lalu mental ke atas!

Terdengarlah suara gemerincing nyaring dan Li Kay terkejut sekali


karena tahu-tahu senjatanya telah saling tangkis sendiri. Dan Li
Kay tambah terkejut lagi karena pada saat itu, tahu-tahu jari tangan
Bun Liong telah meluncur ke arah lehernya untuk balas menotok
jalan darah!

Akan tetapi Li Kay adalah seorang yang berkepandaian paling


unggul di dalam Shan-tung-ngo-hiap, maka biarpun amat terkejut,
ia tak menjadi gugup. Ia cepat melompat ke belakang untuk
menghindarkan totokan jari tangan pemuda itu sambil kaki
kanannya menendang untuk memapaki tubuh lawan yang datang
menerjang.

Dan berbareng dengan itu, senjata rantainya digerakkan dari


kanan dan kiri dan kedua ujung rantai itu jadi menyambar dari
sebelah kanan dan kiri Bun Liong dengan gerakan menggunting!

Terdengar Bun Liong berseru nyaring dan Li Kay menjadi girang


hatinya karena ia mengira bahwa pemuda itu telah kena dihajar
oleh rantainya. Tetapi pada saat berikutnya kembali ia terkejut

699
ketika ia melihat pemuda itu telah lenyap dari depannya dan tiba-
tiba ia merasa ada angin yang menyambar di atas kepalanya.

Maklumlah ia bahwa pemuda itu berseru keras bukan kena dihajar


rantainya, melainkan telah melompat ke atas dan kini dengan
kecepatan luar biasa telah berada di atas kepalanya dan
melakukan serangan. Maka tanpa melihat lagi ke arah sasaran ia
segera mengayunkan rantai kanan kirinya ke atas kepala.

Akan tetapi sabetan ini ternyata terlambat karena pada saat Bun
Liong sudah turun ke bawah, dan kini sudah berdiri di belakangnya
dan kedua tangannya pemuda sudah menotok jalan darah Kian-
keng-hiat di kedua pundak Li Kay! Ketua Lima pendekar dari Shan-
tung merasakan sepasang lengannya menjadi kaku kejang.

Akan tetapi berkat lweekangnya yang tinggi sehingga sesaat saja


jalan darahnya pulih kembali. Namun sungguhpun demikian, ia
tidak keburu menahan ketika dengan sebat sekali Bun Liong
memberat dan merampas rantainya dari belakang!

Seperti sudah diterangkan, Li Kay walaupun adatnya berangasan,


tapi memiliki watak jujur dan meskipun ia merasa malu dikalahkan
oleh lawannya yang masih begitu muda, namun berkat
kejujurannya ia menerima kekalahan dengan hati rela. Ia menarik

700
napas panjang sambil membalikkan tubuh dan memberi hormat
kepada Bun Liong.

“Souw sicu, kau benar-benar gagah dan aku merasa tunduk oleh
kegagahanmu,” katanya.

Bun Liong cepat menjura dan mengulurkan tangannya yang


memegang rantai itu. Ia mengembalikan senjata itu kepada
pemiliknya sambil berkata:

“Shan-tung lo-enghiong, kau jangan terlalu memuji aku yang muda


karena sebenarnya kau sendirilah yang banyak mengalah dan
sengaja memberi kesempatan bagiku untuk merampas senjatamu
Lo-enghiong, maafkanlah atas kelancangank….”

Sambil menerima senjatanya, Li Kay ketawa bergelak. “Haha,


sudah terang berkepandaian tinggi, tapi masih merendah, inilah
watak seorang gagah perkasa dalam arti sesungguhnya!”

Sekali lagi Bun Liong menjura dan katanya: “Maaf, lo-enghiong,


aku tak dapat menerima pujianmu…….!” ucapan pemuda ini jadi
terputus karena pada saat itu tiba-tiba terdengar orang menukas:

“Suheng, ijinkanlah sutemu untuk bermain-main dengan si Bu-tek


Enghiong…….”

701
Bun Liong memandang kepada orang yang agaknya masih mau
mengejeknya itu dan Li Kay pun menoleh. Ternyata orang itu
adalah Lo Kin yang sudah merasa gatal tangan melihat betapa
kakak seperguruannya dikalahkan dengan begatu mudah oleh
pemuda itu.

Lo Kin maklum bahwa suhengnya itu berkepandaian sangat lihay,


tapi ia merasa heran mengapa dapat dikalahkan dengan semudah
itu. Ia menganggap bahwa Li Kay dalam pertandingan pertama tadi
terlalu ceroboh dan dalam pertandingan kedua yang baru saja
berakhir, ia berpendapat bahwa suheng berlaku terlalu sungkan.

Dan karena anggapan dan pendapat inilah ia menjadi penasaran!


Masakan ilmu golokku tak dapat mengalahkan bocah itu? pikirnya
dengan hati panas!

“Sute, aku sendiri dapat dikalahkan oleh Souw sicu, apalagi


kau…….?” kata Li Kay memberi peringatan kepada sutenya
dengan harapan sutenya tidak memperbesar rasa malu mereka.

Di antara Lima Pendekar dari Shan-tung itu Lo Kin terkenal selain


berhati keras juga mempunyai perangai sombong, maka ketika
mendengar perkataan Li Kay hatinya sangat tidak puas dan
sahutnya,

702
“Betapapun juga, aku ingin mencoba kepandaian Bu-tek
Enghiong!”

“Silakan maju, dan aku sangat berterima kasih kalau kau dapat
memberi pelajaran ilmu golokmu kepadaku!” kata Bun Liong yang
makin sebal melihat sikap orang kedua dari Shan-tung-ngo-hiap ini
dan ia lalu menyilahkan Li Kay supaya mundur.

Li Kay lalu mundur dan berkumpul di antara kawan-kawannya


sambil tak henti-hentinya menggeleng-gelengkan kepala. Agaknya
ia amat menyesalkan kekerasan hati dan kejumawaan adik
seperguruannya itu.

“Sudah bersiapkah kau anak muda?” Lo Kin bertanya sambil


menggerakkan alisnya ke atas, seperti seorang ayah menanyakan
sesuatu kepada anaknya yang masih kecil.

Bun Liong mengedikkan kepala sebagai sikap balasan. “Persiapan


apakah yang mesti kulakukan kalau hanya menghadapi permainan
sebatang golok saja?” katanya menimpali kesombongan orang itu.

Ketika itu tiba-tiba Yang Hoa tampil dan langsung berkata kepada
calon suaminya, “Liong-ko biarlah aku mewakilimu untuk mencoba
kehebatan ilmu goloknya. Sudah pernah kudengar bahwa ilmu

703
golok keluaran Shan-tung hebat sekali, maka kesempatan yang
sebaik ini berikanlah kepadaku!”

Bun Liong memandang calon isterinya, “Yang-moay, bagaimana


kalau kau dikalahkan?”

Dengan lantang dara yang keras hati itu menjawab:

“Menang atau kalah dalam pibu yang jujur adalah soal wajar.
Menang bagiku bertambahnya pengalaman dan kalah berarti
tambah pelajaran. Kau rela bukan memberi giliran kepadaku?”

Sambil mengucapkan perkataan yang terakhir yang


kedengarannya bernada manja ini Yang Hoa menggerak-gerakan
alis mata sebelah kanannya.

Bun Liong maklum bahwa gerakan alis itu adalah sebagai isyarat
baginya. Bahwa ia lebih baik mengaso dulu dan sambil mengaso
ia memperhatikan permainan silat orang itu sehingga kalau calon
isterinya sampai kalah, ia akan dapat mengalahkan orang itu, yang
permainan goloknya masih amat asing baginya karena ia sudah
mempunyai kesempatan untuk memperhatikan sepak terjang dan
perkembangan ilmu golok orang itu.

704
Tanpa menunggu jawaban dari Bun Liong, Yang Hoa telah
menghadapi Lo Kin dan sambil mencabut pedangnya, ia berkata
menantang: “Tuan dari Shan-tung yang gagah, karena Bu-tek
Enghiong tidak biasa bersenjata, maka ilmu golokmu takkan dapat
dilayaninya secara memuaskan bagimu. Oleh karena itu, marilah
kita bermain-main sebentar!”

Lo Kin memandang dara itu dengan mata kesima. Ia kesima


melihat kecantikan dan kegagahan gadis itu, “Nona, siapakah
kau…..? Atau…. kalau tak salah, kaukah yang kudengar dijuluki
Pauw-an-tui Sianli…..?”

“Benar…….” sahut si nona singkat, akan tetapi diam-diam hati


nona ini merasa bangga bahwa nama julukannya sudah didengar
oleh orang dari Shan-tung ini.

“Bagus, disamping ingin menjajal kepandaian si Bu-tek Enghiong,


tiada buruknya kalau aku mencoba juga ilmu pedang si Dewi
ini……. Nah, mulailah! Awas golok…….!!”

Lo Kin mulai menyerang tanpa sungkan-sungkan dan ilmu golok


dari cabang Shan-tung benar-benar hebat. Karena gin-kangnya
sudah tinggi maka gerakan tubuh dan permainan goloknya amat
cepat.

705
Memang benar kata orang bahwa golok yang dimainkan oleh
tangan seorang ahli, merupakan raja senjata yang berbahaya
sekali. Golok yang tipis dan lebar itu setelah dimainkan oleh Lo Kin
lenyap bentuk goloknya dan berubah menjadi sinar putih yang
bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengeluarkan angin
dan suara bersuitan!

Menyaksikan kehebatan ilmu golok orang Shan-tung ini, sambil


memperhatikan perkembangan dan gaya ilmu goloknya, diam-
diam Bun Liong jadi khawatir akan keselamatan Yang Hoa.
Sanggupkah calon isterinya itu menghadapi permainan golok
sehebat ini?

Akan tetapi Yang Hoa adalah seorang gadis berbakat yang telah
mendapat gemblengan cukup dari subonya, ditambah lagi dara itu
telah mendapat pelajaran tambahan dari Bun Liong, maka gadis
yang keras hati ini sedikitpun tidak merasa gentar. Ia memainkan
pedangnya dengan sama cepatnya dan mempergunakan gin-
kangnya untuk berkelebat ke sana ke mari dengan gesit sekali
menghindarkan diri dari sambaran golok dan membalas dengan
serangan-serangan yang cukup kuat dan cepat.

Makin lama gerakan mereka makin cepat sehingga akhirnya


semua mata yang menyaksikannya menjadi berkunang-kunang

706
dan kabur karena tubuh kedua orang itu telah lenyap terbungkus
gulungan sinar golok dan pedang. Hanya bunyi golok beradu
dengan pedang serta bunga api yang berhamburan menyatakan
kepada mereka bahwa di dalam gulungan sinar golok dan pedang
itu terdapat dua orang yang sedang mengadu kepandaian.

Hanya kedua orang yang sedang bertempur itu saja yang maklum
bahwa dalam hal kepandaian silat, ilmu kepandaian silat, ilmu
kepandaian Lo Kin lebih tinggi tingkatnya dan permainan goloknya
lebih matang, dan tenaganya pun lebih besar sehingga setiap
serangan goloknya sangat kuat dan mantap! Akan tetapi Lo Kin
harus mengakui bahwa biarpun paling tinggi di antara saudara-
saudaranya, namun kalau dibandingkan dengan lawannya, ia
kalah.

Sebentar saja, pertempuran itu sudah mencapai limapuluh jurus


dan sementara itu Lo Kin merasa kagum sekali melihat kegagahan
lawannya karena selama dalam perantauannya belum pernah ia
menyaksikan kelihayan seorang muda seperti gadis ini. Ia
memperhebat gerakan goloknya sambil mengeluarkan tipu-tipu
yang lihay sehingga karenanya Yang Hoa terpaksa main mundur
dan melindungi diri dengan putaran pedangnya dan gin-kangnya.

707
Tiba-tiba Lo Kin merobah gerakan goloknya dan memainkan Tee-
tong-to, yakni permainan golok sambil bergulingan di atas tanah.
Sambil bergulingan, goloknya membabat ke arah kaki lawan.

Melihat serangan yang cepat dan berbahaya ini, Yang Hoa terkejut
sekali, hingga ia terpaksa melompat tinggi dengan maksud
membalas serangan dari atas dengan kaki di atas dan kepala di
bawah. Akan tetapi Lo Kin ternyata memiliki kegesitan yang hebat
sehingga sebelum gadis itu dapat berjungkir balik di udara, telah
melompat berdiri dan menggunakan gagang golok untuk memukul
kaki Yang Hoa.

“Celaka……..!” Yang Hoa berseru kaget dan karena kedudukan


tubuhnya dalam keadaan yang sulit, ia tak dapat menghindarkan
kakinya dari pukulan gagang golok itu.

Akan tetapi sebelum gagang golok itu menghantam tulang kering


di kakinya, tiba-tiba berkelebat bayangan biru melerai mereka dan
tahu-tahu golok itu telah terpental karena terlepas dari tangan Lo
Kin dan orang Shan-tung ini melompat mundur karena ia rasakan
tubuhnya terdorong oleh sesuatu yang kuat sekali dan lengan
tangan kanannya menjadi lumpuh seketika!

708
“Yang-moay, ternyata kau kalah tangguh dan kekalahan ini harap
kau anggap sebagai penambah pelajaran bagimu seperti yang kau
katakan tadi,” ujar bayangan biru pemisah itu yang tak lain dari Bun
Liong.

Yang Hoa Yang ketika itu sudah berdiri pula menjadi merah
wajahnya, akan tetapi ia tersenyum tatkala menyatakan
kekalahannya. “Aku menerima kalah dan benar-benar aku memuji
kehebatan Shan-tung-to-hoat (ilmu golok Shan-tung)! Sekarang
giliranmu untuk merasakan kehebatannya, Liong-ko!” Dara ini
kemudian mengundurkan diri setelah alis matanya yang sebelah
kanan bergerak-gerak pula.

Bun Liong memungut golok Lo Kin yang menggeletak di tanah dan


sambil memberikan golok itu kepada pemiliknya, berkata
“Terimalah golokmu dan maaf aku telah berlaku lancang membuat
golokmu terlepas dari tanganmu. Dan kuharap kemenanganmu
tadi dapat memuaskan hatimu!”

Lo Kin menerima senjatanya dengan tangan kanannya, karena


kelumpuhannya tadi sudah sembuh kembali, berkat pengerahan
lweekangnya yang tinggi, dalam sesaat saja jalan darahnya
menjadi normal kembali. Akan tetapi sikap dan penyahutannya

709
sungguh di luar dugaan Bun Liong ketika orang, Shan-tung yang
jumawa itu berkata,

“Apa? Memuaskan hatiku kau bilang…..!? Bagaimana hatiku bisa


puas kalau hanya mengalahkan seorang gadis muda yang memiliki
ilmu pedang tak berapa tingginya?!”

Jelas sekali Lo Kin menghina Yang Hoa. Dan karena calon


isterinya dihina, tentu saja hati Bun Liong jadi kurang senang,
sungguhpun ia harus mengakui bahwa tingkat kepandaian si nona
masih jauh di bawah tingkat kepandaian orang kedua dari Shan-
tung-ngo-hiap yang sombong dan kasar ini.

“Habis, apa yang kau kehendaki supaya hatimu menjadi puas?”


tanya Bun Liong memancing.

“Aku baru bisa merasa puas apabila sudah dapat


mengalahkanmu!”

“Ah, sayang sekali. Rasanya akupun takkan dapat memberi


kepuasan padamu karena kepandaianku juga tak berapa tinggi.
Apalagi aku sama sekali tak bisa memainkan senjata.”

Lo Kin ketawa bergelak. Ternyata sindiran pemuda itu telah disalah


tafsirkan artinya. Dianggapnya pemuda itu berlaku cerdik untuk

710
menghindarkan pertempuran dengannya. Kemudian sambil
menyarungkan goloknya ia berkata:

“Anak muda, kalau kau merasa takut mengadu kepandaian


denganku, ya sudahlah, akupun takkan memaksamu!” Lalu ia
membalikkan tubuh hendak meninggalkan pemuda itu.

Bagi seorang gagah, dikatakan takut adalah penghinaan yang


paling besar dan demikianlah dengan Bun Liong, pemuda ini
merasakan dadanya sangat panas.

“Nanti dulu!” serunya.

Lo Kin kembali membalikkan tubuh menghadapinja.

“Cabutlah kembali golokmu! Golok tumpul penyembelih babi.


Apanya yang mesti kutakutkan?! Marilah kita saling menguji
kepandaian barang beberapa jurus, walaupun aku hanya
bertangan kosong saja, aku sanggup merampas golok dari
tanganmu dan membuat tubuhmu terguling-guling!”

“Bocah sombong, kekanglah ketakburanmu!” bentak Lo Kin marah


dan hatinya telah kena dibakar oleh perkataan pemuda itu. “Aku
baru kali ini menemukan orang semuda engkau bermulut besar

711
berani melawan golokku dengan tangan kosong! Benar-benar aku
harus mengajar adat kepadamu!”

“Atas kebaikanmu memberi ajar adat kuucapkan banyak terima


kasih sebelumnya! Akan tetapi marilah kita sama-sama
membuktikan siapakah sebenarnya yang diberi ajar adat atau
adatnya yang dihajar?!” kata Bun Liong dengan kasar karena
dadanya panas, padahal selamanya tak pernah ia bicara sekasar
itu.

Dada Lo Kin serasa hampir meledak karena marahnya sehingga


tak mampu berkata lagi ketika ia mulai maju dan menerjang. Mula-
mula ia menggerakkan goloknya di atas kepala, lalu secepat kilat
ia membacok dengan gerak tipu Geledek Menyambar di Atas
Kepala.

“Haha, bagus sekali gerakan si jagal mengayunkan golok


menyembeli babi ini!” Bun Liong mengejek sambil melompat ke
pinggir dan mengelak dengan cepat sekali, “Cobalah jurus kedua,
gerakan apakah akan kau lakukan…….?!”

Melihat bacokannya tak berhasil, ditambah diejek pula, Lo Kin


berseru marah dan menyerang lagi lebih hebat. Kini dengan gerak
tipu Pat-hong-hong-i (Hujan Angin di Delapan Penjuru), gerakan

712
goloknya benar-benar cepat, dahsyat dan ganas karena ia ingin
merobohkan pemuda itu dengan segera.

Ia telah lupa bahwa pertempuran ini hanya untuk saling menguji


kepandaian belaka, sehingga gerakan goloknya dilakukan dengan
nafsu membunuh, kedua matanya berapi-api.

Kembali Bun Liong mengelak amat cepatnya sambil mengejek:


“Sayang sekali, gerakan jurus kedua ini hanya patut dilakukan
untuk menebang pohon pisang!”

Keruan saja Lo Kin jadi bertambah marah. Lalu ia mengirim


serangan susulan dan ia mulai mengeluarkan jurus-jurus yang
terlihay dari Shan-tung-to-hoat! Dan karena kini serangan golok itu
benar-benar hebat serta cepat sekali, maka Bun Liong tak sempat
mengejeknya dan pemuda ini lalu mengandalkan gin-kangnya
sehingga tubuhnya lincah dan gesit sekali, berkelebatan di bawah
gulungan sinar golok yang menyambar-nyambar bagaikan seekor
naga sakti mengamuk!

Yang Hoa yang melihat betapa tubuh calon suaminya terkurung di


dalam gulungan sinar golok lawan, sangat mengkhawatirkan
keselamatan pemuda itu. Karena ia sudah merasakan sendiri
kehebatan ilmu golok Lo Kin.

713
Akan tetapi Bun Liong takkan berani berkata takbur kalau saja ia
tak merasa lebih lihay dari pada Lo Kin yang sudah “dicuri” taktik
permainannya tadi. Begitulah berkat gin-kangnya yang sudah
mencapai tingkat tinggi dan tentu saja jauh lebih tinggi daripada
gin-kang Lo Kin, maka selama duapuluh jurus ia bisa
mempermainkan lawannya dengan seenaknya, bagaikan seekor
tikus yang gesit sekali mempermainkan seekor kucing tua yang
lambat gerakkannya!

Kalau dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran yang


sudah dialaminya, Bun Liong mengakui bahwa Lo Kin ini
merupakan lawan yang paling tangguh karena ilmu goloknya
benar-benar hebat dan ia belum pernah menemukan ilmu golok
hebat seperti yang dimiliki oleh lawannya dari Shan-tung ini.

Sementara itu Lo Kin makin gemas dan marah karena biarpun ia


sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang
hebat dari ilmu goloknya, namun sama sekali ia belum berhasil
menyentuh tubuh pemuda itu dengan goloknya. Padahal ia
memainkan goloknya demikian gencar dan melancarkan
serangan-serangan yang amat berbahaya.

714
Sambaran-sambaran dan bebatan-bebatan golok dari Lo Kin itu
seakan-akan menyerang sehelai bulu yang ringan sehingga yang
diserang telah melayang pergi sebelum samberan goloknya tiba!

Dan betapa takkan makin gemas dan marahnya hati Lo Kin karena
sambil mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa Bun Liong
sempat juga mengirim serangan-serangan balasan, yaitu pada
satu saat, setelah mengelak cepat dari sebuah sambaran golok,
tangan kanan pemuda itu menyambar dan “plak!” pipi kiri Lo Kin
telah kena ditamparnya!

Lo Kin merasakan betapa pipinya panas dan pedas sedangkan


mulutnya terasa asin tanda bahwa lidahnya mencecap darah yang
keluar dari bibirnya yang pecah akibat tamparan itu.

Sambil menggerang seperti harimau mengamuk ia mengirim


serangan dengan makin dahsyat, ingin sekali ia membacok tubuh
lawannya itu sampai hancur seperti bakso! Akan tetapi sambaran
goloknya yang dahsyat lagi-lagi menyambar angin saja karena
pemuda itu telah dapat mengelak dengan hanya merendahkan
tubuh sedikit saja.

Dan sebelum Lo Kin sempat menarik kembali goloknya untuk


kemudian mengirim serangan, Bun Liong telah bergerak luar biasa

715
cepatnya. Kaki kanan pemuda itu telah menyambar bagaikan
sambaran kilat dan “buk!!”

Dada Lo Kin kena ditendangnya sehingga ia terhuyung-huyung ke


belakang. Lo Kin merasa dadanya sakit sekali dan napasnya agak
sesak, akan tetapi Bun Liong memang tidak bermaksud
mencelakakannya sehingga tendangannya itu tidak mendatangkan
luka berat.

Namun, dasar Lo Kin berwatak sombong dan jumawa sekali, maka


tamparan dan tendangan tadi yang seharusnya memperingatkan
ia bahwa lawannya tidak bermaksud kejam, bahkan diterimanya
dengan salah dan dianggapnya bahwa lawannya itu tidak memiliki
tenaga yang cukup besar!

Dianggapnya bahwa biarpun ia terkena pukulan tendang berkali-


kali kalau tenaga lawannya hanya sedemikian saja, ia takkan roboh
dan sebaliknya bila sekali saja ia berhasil membalas, akan
mampuslah pemuda itu. Maka ia tidak mundur atau gentar, bahkan
dengan nekad ia lalu mendesak maju sambil melancarkan
serangan-serangan maut!

Sekali ia mempergunakan gerak tipu Penebang Pohon Membelah


Kayu, goloknya menyabet dari atas ke bawah secara menyerong

716
dengan maksud hendak membelah tubuh pemuda itu menjadi dua
keping!

Melihat kebandelan orang kedua dari Shan-tung-ngo-hiap ini, Bun


Liong menjadi sebal dan penasaran juga. Ia maklum bahwa orang
dari Shan-tung ini sekarang bukan bermaksud pibu lagi, melainkan
terang sekali hendak membunuhnya.

Maka begitu melihat datangnya bacokan golok, ia cepat menotol


kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga sebelum golok
itu datang membabat, tubuhnya sudah mencelat ke atas bagaikan
seekor burung terbang dan gayanya indah sekali.

Inilah gerakan Lompatan si Lutung Sakti, satu jurus cara mengelak


dari Sin-wan-pek-houw Kun-hoat yang diwarisinya!

Lo Kin memang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang tinggi


sehingga ia dapat bergerak cepat dan begitu dilihatnya lawannya
melompat ke udara, dengan sigap ia melompat pula menyusul dan
goloknya digerakkan hendak membabat kaki lawannya selagi
lawan itu masih berada di udara! Benar-benar serangan ini
berbahaya sekali bagi Bun Liong!

Akan tetapi begitu melihat lawannya melompat menyusul dan


kakinya hendak dibabat, Bun Liong mementangkan kedua
717
tangannya untuk menguasai keseimbangan tubuh. Ke dua kakinya
ditekuk sebatas dengkul dan ketika golok menyambar datang tepat
di bawah kakinya, kaki kanannya tiba-tiba bergerak mengirim
tendangan menyerang yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala
lawannya, akan tetapi sesungguhnya menendang ke arah golok!

Seorang yang tidak memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa


tingginya tidak mungkin melakukan tendangan selagi tubuhnya
masih berada di udara. Dan kalau tidak mengandalkan lweekang
yang hebat serta keberanian yang luar biasa dan perhitungan yang
tepat, juga tidak mungkin orang akan berani menendang golok
yang justeru sedang disambetkan!

Akan tetapi pemuda Souw Bun Liong sebagai murid tunggal dari
Bu Beng Lojin, yang telah menjadi ketua Pauw-an-tui dengan
mendapat nama julukan Tong-koan Ho-han dan kini mendapat
nama julukan baru Bu-tek Enghiong dari Ti-koan sebagai
penghargaan atas jasa-jasa dan kegagah-beraniannya benar-
benar memperlihatkan kelihayannya yang patut dipuji!

Tendangan kakinya tepat mengenai pinggiran golok dan pada saat


itu terdengar seruan kaget dari Lo Kin dan golok itu terlepas dari
pegangannya terus meluncur ke bawah dan menancap di tanah
sampai setengahnya! Adapun tubuh Lo Kin sempoyongan ke

718
belakang akan tetapi berkat gin-kangnya yang tinggi, ia tidak
sampai jatuh terjengkang!

Ternyata Bun Liong telah melakukan dua macam serangan sekali


gus, yakni selain kakinya menendang golok, tangan kanannya pun
mengirim hawa pukulan Lui-lek-ciang ke arah dada lawan. Dan
karena pemuda ini tidak bermaksud membuat lawannya celaka,
maka pukulan ampuhnya itu hanya ia lakukan dengan sedikit
tenaga saja! Itulah sebabnya maka tubuh Lo Kin jadi
sempoyongan!

Tetapi Lo Kin yang bandel itu masih juga belum mengakui


keunggulan pemuda itu. Begitu dilihatnya lawannya sudah berdiri
lagi di depannya, ia lalu menerjangnya dengan cepat!

Tingkah laku Lo Kin ini benar-benar membuat Bun Liong sangat


gemas, orang ini benar-benar sangat bandel dan kalau tidak
dihajar sampak roboh bergulingan kiranya tidak akan kapok,
pikirnya.

Laku Lo Kin benar-benar seperti kerbau gila. Sambil menubruk,


tangan kanannya dikepalkan menyodok ke arah lambung dan
tangan kirinya menyusul mengirim serangan dengan telapak
tangan dimiringkan menyabet leher Bun Liong!

719
Kalau dengan ilmu goloknya yang hebat Lo Kin tidak dapat
mengalahkan Bun Liong dan bahkan sebaliknya ia telah
dipermainkan, apalagi dengan bertangan kosong! Hal ini benar-
benar merupakan “makanan enak” bagi Bun Liong.

Sambil tersenyum mengejek Bun Liong menyambut serangan Lo


Kin. Pertama ia menyampok sodokan kepalan lawannya yang
mengarah lambungnya itu dengan sebuah kipratan jari-jari tangan
kirinya. Dan sambil merendahkan tubuh sedikit untuk mengelakkan
serangan tangan kiri lawan yang menyabet lehernya, tinju tangan
kanannya disodokan perlahan ke perut Lo Kin.

“Ngekk!” demikianlah terdengar suara tertahan yang keluar dari


mulut dan hidung Lo Kin yang wajahnya meringis karena perutnya
sakit dan mules sekali!

Serangan Bun Liong tak sampai di situ saja karena ia sangat


gemas dan ingin membuat lawannya benar-benar kapok maka
cepat ia menangkap lengan tangan kiri Lo Kin yang masih menjulur
di atas kepalanya. Lengan itu ditariknya ke bawah dan karenanya
tubuh lawannya yang berada di belakangnya jadi merapat di
punggungnya.

720
Bun Liong mengerahkan tenaga sambil membungkuk dan lengan
kiri lawan terus ditariknya ke depan. Dan tak ampun lagi tubuh Lo
Kin jadi melayang ke depannya lalu jatuh terbanting dan
bergulingan di atas tanah!

Pecahlah tempik sorak dari para penonton yang melihat Lo Kin


telah dibanting oleh Bun Liong itu! Lo Kin ditolong oleh Ho Kim dan
Ho Kun si sepasang saudara kembar.

Dan ternyata Lo Kin tidak menderita luka apa-apa akibat bantingan


itu. Ia dapat bangun lagi dengan segera, sungguhpun ia rasakan
kepalanya sangat pening, punggungnya sakit dan perutnyapun
masih mules!

“Kau benar-benar hebat, Souw sicu!” kata Li Kay yang ketika itu
sudah berdiri di depan Bun Liong. “Kepandalan kami perseorangan
sudah terang sekali tak mungkin dapat menandingimu, maka yang
terakhir sekarang marilah kau coba menghadapi Ngo-seng-kun
yang akan kami mainkan lima saudara bersama-sama?!”

Sungguhpun Li Kay berkata sejujurnya dan bersikap menghormat


akan tetapi oleh karena hati Bun Liong sudah merasa jengkel maka
ia lalu menantangnya:

721
“Bagus! Peristiwa yang banyak membuang-buang waktu percuma
ini lebih cepat berakhir lebih baik. Nah, kalian berlima mulailah dan
mudah-mudahan kau akhirnya akan mendapat kepuasan!”

“Baiklah!” balas Li Kay sambil tersenyum dan jelas sekali


senyumannya ini membayangkan ejekan. Dan sekali saja orang
tua ini memberi tanda, maka serempak saudara-saudaranya sudah
menyamber goloknya yang tertancap di tanah tadi dan dengan
senjata sudah siap di tangan ia memandang, kepada Bun Liong
dengan mata berapi-api.

Akan tetapi sebelum mereka bergerak, lagi-lagi Yang Hoa maju


menyelak dan berkata kepada calon suaminya: “Liong-ko, sebelum
kau memberi kepuasan pada mereka, baiklah aku mencoba dulu
kehebatan Ngo-seng-kun dari Shan-tung-ngo-hiap ini!”

Bun Liong maklum apa yang disiasati oleh nona ini ketika ia melihat
alis calon isterinya bergerak-gerak. Tapi ia merasa kurang enak
hati kalau-kalau siasat ini dapat diketahui oleh Lima Pendekar dari
Shan-tung itu.

Tentu mereka akan mengatakannya licik kalau sebelum melawan


mereka, terlebih dulu ia memperhatikan dan “mencuri” gaya

722
tempur mereka. Hal ini sungguh memalukan baginya. Maka ia
cepat berkata:

“Yang-moay, yang mereka maksudkan adalah aku, bukan kau.


Maka sebaiknya kau mundur dan menontonlah.”

“Benar!” seru Li Kay setengah membentak, “Kami hanya ingin


menjajal kepandaian si Bu-tek Enghiong, dan bukan ingin bermain-
main denganmu!”

Bukan main panasnya dada Yang Hoa mendengar ucapan Li Kay


itu dan sebelum ia menyemprotkan kemarahannya, tiba-tiba
terdengar Lo Kin ketawa mengejek:

“Haha! Dengan kepandaianmu yang serendah itu kau masih


hendak berlagak?! Melawanku seorang saja kau sudah tak becus,
mana mungkin kau mampu menghadapi kami berlima?!”

“Manusia sombong!” bentak Yang Hoa marah sambil menudingkan


pedangnya kepada Lo Kin. “Siapa bilang aku tidak becus
menangkan ilmu golok tumpulmu? Aku tadikan belum kalah. Kalau
kau masih penasaran, marilah kita bertempur sekali lagi dan siapa
yang roboh menjadi ketentuan!”

723
“Sabar Yang-moay kau harus menghormati tamu-tamu kita ini yang
bermaksud hendak saling menguji kepandaian, bukan untuk
menanam bibit permusuhan,” ujar Bun Liong menukas, untuk
menyabarkan dara yang keras hati itu.

Yang Hoa memandang calon suaminya, bibirnya yang merah dan


mungil itu tampak bergerak-gerak hendak berkata, tetapi didahului
oleh ucapan Li Kay.

“Souw sicu, biarlah kami berlima melayani dulu lihiap yang galak
ini dan kuminta dengan hormat supaya kau mundur dulu!”

Bun Liong merasa serba salah. Kalau ia mundur, ia sangat


menguatirkan keselamatan calon isterinya karena betapa pun juga
ia merasa kurang yakin bahwa nona itu akan dapat menandingi
Shan-tung-ngo-hiap itu.

Masih mending kalau si nona kalah tanpa mendapat celaka. Tapi


akan celakalah kalau si nona itu sampai melukai ke lima orang itu
dan kalau hal ini terjadi, maka berarti tertanam bibit permusuhan
dengan mereka!

Sebaliknya kalau ia tidak mundur, ia akan dianggap tidak berterima


kasih oleh calon isterinya yang sudah demikian baiknya dengan
memberi kesempatan kepadanya supaya ia memperhatikan jalan
724
dan gaya ilmu silat bintang lima itu, agar nanti dengan mudah ia
menghadapinya. Selagi ia masih bimbang dan belum memperoleh
keputusan, ia mendengar ucapan Yang Hoa yang berkata dengan
nada tidak sabar:

“Liong-ko, mengapa kau masih tegak seperti patung saja?


Keberatankah hatimu kalau aku hendak menambah pelajaran dan
pengalaman?!”

Bun Liong menghela napas, ia menyesali adat calon isterinya yang


seperti batu, tapi disamping itu ia merasa kagum akan sikap si
nona yang gagah itu. Maka setelah memesan; “Yang-moay, hati-
hatilah kau……!” mau tak mau ia lalu mundur meninggalkan
kalangan dan menonton dengan berdebar-debar.

“Nah, mulailah…….!” bentak si nona kemudian dan tiba-tiba


pedangnya berkelebat menyambar ke arah leher Lo Kin karena
selain orang ini berada paling dekat di depannya, juga Yang Hoa
merasa marah sekali terhadap orang ini.

Lo Kin berkelit ke samping dan Yang Hoa merasa aneh karena


orang yang diserangnya itu tidak mempergunakan goloknya
menangkis dan selagi ia merasa keheranan ini, tahu-tahu
pedangnya ditangkis oleh senjata rantai yang diayunkan Li Kay.

725
“Nona, sabar dulu!” kata kepala Shan-tung-ngo-hiap itu, “Kita
belum mengadakan perjanjian.”

Yang Hoa menarik pedangnya dan balas menanya: “Perjanjian


apakah…..?” Irama katanya terdengar ketus sekali.

“Kita harus mengadakan perjanjian dulu. Kami berlima akan


mengeroyokmu dan kita bermain-main selama seratus jurus!
Ketentuannya ialah, kalau sebelum seratus jurus kau sudah kami
robohkan, berarti kau kalah dan sebaliknya kami berarti kalah
bilamana kau dapat membobolkan kepungan ilmu silat Bintang
Lima yang kami mainkan. Setuju……..?”

Tanpa banyak pikir, Yang Hoa menyahut: “Setuju!”

“Nah, mari kita mulailah!” seru Li Kay dan tiba-tiba rantainya


disabetkan ke arah si nona.

Yang Hoa cepat menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi


berbareng dengan gerakannya ini tiba-tiba golok tipis di tangan Lo
Kin telah menyambar ke arah kakinya dan pada saat itu pula
tongkat Lim Cu, orang ke tiga dari Lima Pendekar Shan-tung yang
berpakaian seperti pengemis itu, sudah hendak menotok
lambungnya.

726
Yang Hoa terkejut dan ia dapat menangkis golok Lo Kin,
sedangkan tongkat Lim Cu ia kelit dengan mempergunakan gin-
kangnya. Akan tetapi baru saja kedua serangan dapat ia patahkan,
dari arah belakangnya tiba-tiba senjata kampak dari Ho Kun
membacok pinggangnya, Ho Kim menyerampang kakinya dengan
tombaknya panjang dan dari samping kanan rantai Li Kay sudah
meluncur dengan gerakan hendak membela lehernya!

Kewaspadaan dan kecepatan gerakan Yang Hoa sungguh


mengagumkan karena dengan tangkas dan terampil ia dapat
mematahkan lagi tiga macam serangan yang dilakukan oleh tiga
lawan dan datangnya dari tiga jurusan ini.

Kampak Ho Kun ia tangkis dengan pedangnya, dan kaki kanannya


menendang batang tombak Ho Kim. Rantai dari Li Kay yang
hendak membelit lehernya tadi ia kelitkan dengan sedikit
membungkukkan punggung.

Dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya ia balas


menyerang, pedangnya berkelebat mengarah pundak Lo Kin! Akan
tetapi sekali lagi Yang Hoa merasa heran karena yang diserang
hanya berkelit saja tanpa menangkis atau balas menyerang,
sedangkan yang menangkis pedangnya adalah tongkat Lim Cu si
pengemis dari samping kirinya dan ketika itu ia sudah diserang

727
pula oleh kampak dan tombak dari Ho Kun dan Ho Kim dari lain
jurusan!

Sadarlah Yang Hoa bahwa ke lima lawannya itu melakukan


serangan secara teratur dan berantai. Hal ini mengingatkannya
pada pertempuran dengan lima perampok anak buah Houw-jiauw
Lo Ban Kui yang mengeroyoknya dengan ilmu silat Ngo-heng-tin,
yang mempunyai dasar yang hampir serupa yaitu apabila yang
seorang diserang, yang lain menangkis dan tiga orang lainnya
penyerangan lawan jadi tiada putusnya!

Mereka mengurung dari lima sudut dan kedudukan mereka selalu


berobah-obah. Li Kay bertindak sebagai komando.

Yang Hoa segera melihat bahwa Ngo-seng-kun ini daya tempurnya


tidak banyak berbeda dengan Ngo-heng-tin. Hanya tentu saja daya
kepung dan gempur yang dilakukan oleh Lima Pendekar Shan-
tung ini jauh lebih hebat, apalagi senjata-senjata mereka beraneka
macam sehingga Yang Hoa benar-benar merasa tidak mudah
untuk melayani dengan hanya sebatang pedang.

Akan tetapi Yang Hoa adalah seorang dara pendekar yang


pantang mundur sebelum mendapat kekalahan yang mutlak.
Biarpun ia sudah merasa repot sekali menghadapi keroyokan

728
mereka, dan biarpun ia yakin takkan menang, namun sambil
menggertak gigi ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
terus bertahan dan ia selalu berusaha untuk membobolkan
kurungan sebelum sampai seratus jurus!

Lima perampok yang mengeroyok dengan Ngo-heng-tin tempo


hari, Yang Hoa dapat mengalahkannya dengan jalan
menyerangnya secara menggelap, yaitu dengan mempergunakan
senjata rahasia. Akan tetapi terhadap Shan-tung-ngo-hiap ini tentu
saja ia tidak berani berbuat licik dengan mempergunakan senjata
piauwnya karena mereka bukan musuh-musuh yang harus
dibasmi, melainkan justeru merupakan lawan-lawan yang
bermaksud saling menguji kepandaian, sehingga betapapun juga
ia harus menghadapinya secara jujur!

Pertempuran baru saja berlangsung empatpuluh jurus dan Yang


Hoa sudah merasa kewalahan sekali. Ia terus dihujani senjata-
senjata dari ke lima lawannya sehingga jangankan mempunyai
kesempatan untuk balas menyerang, untuk menjaga diri saja ia
sudah sangat ripuh!

Dan begitulah, ketika menjelang jurus yang kelimapuluh, tiba-tiba


senjata rantai Li Kay telah meluncur dan membelit ke dua kakinya.
Yang Hoa menggerakkan pedangnya menyabet ke arah rantai,

729
tetapi golok Lo Kin menangkis pedangnya itu dan tongkat Lim Cu
sudah menyamber menotok iganya.

Dan ketika Li Kay membetot rantainya sambil berseru keras, maka


tak dapat dicegah lagi tubuh Yang Hoa terguling dan pedangnya
terlepas dari pegangan!

“Hahaha! Nona manis, baru bertempur setengah jalan saja kau


sudah bertiduran di tanah! Bangkitlah dan aku anjurkan supaya kau
belajar lagi ilmu silat sedikitnya sepuluh tahun!” seru Lo Kin
mencemoohkan.

Dengan wajah merah Yang Hoa bangkit dan mengambil


pedangnya, kemudian ia menghampiri Bun Liong yang berdiri di
luar kalangan. Bun Liong merasa lega karena biarpun Lima
Pendekar Shan-tung itu kelihatan kasar-kasar, tapi mereka
ternyata berlaku jujur, merobohkan Yang Hoa tanpa melukainya!

Sementara itu terdengar Li Kay mengajukan tantangan: “Souw


sicu, kemarilah! Sekarang, giliranmu…….!!”

Bun Liong menghampiri dengan langkah tenang dan bertanya:


“Perjanjian apakah yang kini berlaku bagiku?”

730
“Dengan Ngo-seng-kun kau akan kami uji selama limapuluh jurus!”
sahut Li Kay dan cerdik. Ia sengaja memperpendek waktu
pertempuran karena maklum akan kelihayan pemuda itu.

“Baik! Sebagai tuan rumah, aku terima kehendakmu. Nah,


mulailah…..!”

Shan-tung-ngo-hiap memang sudah bersiap, maka sekali saja Li


Kay yang bertindak selaku komando memberi tanda, serempak
mereka melakukan serangan terhadap Bun Liong yang sudah
dikepung ditengah-tengah mereka!

Ternyata Lima Pendekar Shan-tung sekarang menghadapi


pemuda itu gaya serangnya tidak dimulai dari jurus permulaan
seperti mereka lakukan terhadap Yang Hoa tadi, melainkan
mereka mulai dengan jurus yang kelimapuluh satu. Jadi jurus
selanjutnya dari taktik tempur tadi!

Tentu saja siasat cerdik ini sama sekali diluar dugaan Yang Hoa
dan Bun Liong sendiri. Sehingga diam-diam Yang Hoa yang
menyaksikannya jadi mengeluh, kiranya sia-sia saja ia cape-cape
bertempur tadi untuk memberi “contoh” pada calon suaminya!

Bun Liong juga merasa terkejut dan ia jadi maklum bahwa Shan-
tung-ngo-hiap ini agaknya sudah mengetahui apa yang disiasatkan
731
oleh calon isterinya tadi. Tadinya Bun Liong bermaksud hendak
melayani mereka dengan bertangan kosong saja, akan tetapi
setelah mengetahui bahwa Shan-tung-ngo-hiap itu bersiasat cerdik
sehingga ia merasa kalau dengan bertangan kosong saja tak
mungkin dapat menang, maka cepat ia merenggut tali di
pinggangnya dan pada detik berikutnya senjata cambuknya sudah
berada di tangan!

Akan tetapi seperti biasa kalau ia menghadapi pertempuran tidak


segera balas menyerang, hanya mengandalkan gin-kangnya
mengelak ke sana ke mari sambil memperhatikan perkembangan
taktik gempur dari ke lima lawannya. Maklum bahwa lima lawannya
melancarkan serangan-serangan secara dahsyat dan bertubi-tubi,
maka untuk “mengocok” lima lawannya karena mereka hendak
merobohkannya dalam waktu sesingkat mungkin.

Bun Liong memainkan ilmu silat Sin-wan Kun-hoat dicampur


dengan Pat-kwa Kun-hoat. Sin-wan Kun-hoat membuat
gerakannya selincah seekor lutung, sedangkan gerakan-gerakan
atau langkah-langkah kakinya disesuaikan dengan kedudukan pat-
kwa (segi delapan), dan akibatnya ternyata hebat sekali!

Kelima orang Shan-tung itu terkejut sekali dan kagum akan


kehebatan ilmu gin-kang pemuda itu. Serangan mereka yang

732
cukup teratur berangsur-angsur menjadi kacau-balau karena
mereka seakan-akan melihat pemuda itu menjadi delapan orang
yang bergerak-gerak di antara senjata-senjata mereka dengan luar
biasa gesitnya!

Bukan mereka berlima yang mengurung, bahkan kini mereka


merasa seperti terkurung oleh delapan orang! Nampaknya pemuda
itu berada di depan, akan tetapi baru saja mau diserang, yang
kelihatan hanya kelebatnya bayangan biru dan tahu-tahu pemuda
itu sudah berada di belakang atau disampingnya. Pemuda itu
seakan-akan dapat memecahkan dirinya menjadi delapan orang!

Berkali-kali Li Kay berseru memberi komando keoada saudara-


saudaranya supaya kepungan dan taktik Ngo-seng-kun tidak
sekacau itu. Akan tetapi sia-sia saja karena barisan kepungnya
selalu berantakan.

Kini Bun Liong berada di tengah-tengah keroyokan biasa yang


kacau balau. Setiap serangan yang dihadapinya hanya
mengandalkan kekuatan dan kepandaian para pengeroyok
masing-masing. Jauh bedanya dengan penyerangan Ngo-seng-
kun yang amat teratur dan kuat seperti yang dihadapi oleh Yang
Hoa tadi!

733
“Souw sicu, bukalah mata kami dengan seranganmu!”

Li Kay berkata keras selama ini tidak melihat serangan dari


pemuda itu. Ia merasa amat penasaran dan hendak melihat
bagaimana hebatnya pemuda itu kalau menyerang.

Sebagai jawabannya, terdengarlah suara lecutan cambuk tiga kali


yang disusul oleh teriakan-teriakan tiga orang di antara mereka!

Ternyata Bun Liong telah menggerakkan pecutnya dengan luar


biasa. Sekali sapu saja ia telah berhasil merampas tiga macam
senjata dari tangan ke tiga lawannya yang dianggapnya paling
lemah dengan menggunakan belitan ujung cambuknya!

Ternyata ujung cambuknya yang lihay itu dalam waktu yang sama
telah melibat tombak di tangan Ho Kim, kampak Ho Kun dan
tongkat Lim Cu. Sekali Bun Liong menyentakkan cambuknya ke
atas, senjata yang tiga macam itu terlepas dari pegangan mereka
dan diterbangkan ke udara di dalam belitan ujung cambuk itu!

Lim Cu dan si Sepasang saudara kembar she Ho cepat melompat


mundur. Dan mereka melihat dengan heran betapa Bun Liong
membuat senjata-senjata mereka kini berjatuhan ke bawah dan
jatuhnya mengarah kepala Li Kay dan Lo Kin.

734
Dengan kaget kedua orang itu mengelak dan dalam kesempatan
ini mereka langsung menyerang pemuda itu. Biarpun senjata tiga
kawannya sudah dirampas, itu belum berarti kalah, maka mereka
merasa berhak untuk terus menyerang!

Golok Lo Kin membacok ke arah lehernya, sementara rantai Li Kay


yang dimainkan oleh tangan kanan dan kirinya disabetkan dengan
gerakan menotok ke arah iga dan kaki pemuda itu. Bun Liong
menyambut dua serangan ini dengan gerakan cepat. Ia melompat
ke samping, lalu kaki kanannya menendang pergelangan tangan
Lo Kin yang menyabetkan golok.

Lo Kin cepat menarik tangannya akan tetapi terlambat karena


pergerakan hendak menarik tangannya ini, ujung sepatu pemuda
itu jadi menghantam jari-jari tangan yang mencekal golok. Golok
itu terpental dan terdengar teriakan kesakitan dari Lo Kin yang
segera melepaskan goloknya, dan ternyata tulang dari dua buah
jari tangannya telah remuk akibat serempetan ujung sepatu Bun
Liong.

Karena Bun Liong melakukan tendangan maka otomatis ujung


rantai yang mengarah kakinya itu jadi dielakkan. Sedang ujung
rantai yang hendak menotok iganya, Bun Liong tangkap dengan
tangan kirinya.

735
Li Kay mengerahkan tenaga untuk membetot. Dan untuk sesaat ia
dan pemuda itu jadi saling mengadu tenaga lweekang tenaga
dalam, saling menarik rantai itu.

Tiba-tiba Bun Liong melepaskan tarikannya dan cambuknya


dipecutkan ke arah Li Kay. Dan karena tidak menduga, Li Kay jadi
terjengkang sambil berteriak kesakitan karena ia rasakan dadanya
sakit dan pedas dihajar cambuk pemuda itu dan baju di bagian
dadanya robek pula!

“Maafkan kelancanganku, Shan-tung-ngo-hiap!” kata Bun Liong


sambil melompat meninggalkan mereka.

Di bawah suara tempik sorak yang gemuruh Li Kay cepat bangun


dari terjengkangnya dan ke lima pendekar dari Shan-tung itu saling
berpandangan dengan wajah pucat. Belum pernah mereka
mengalami kekalahan yang demikian mutlak dan mereka seakan-
akan kurang mempercayai peristiwa yang baru saja mereka alami.

Akan tetapi akhirnya Li Kay menghadap ke arah Bun Liong, sambil


tersenyum puas dan menjura, ia berkata:

“Souw sicu, kami benar-benar merasa puas dengan kegagahan


dan kelihayanmu, dan sepantasnyalah kalau kau mendapat nama

736
julukan Bu-tek Enghiong. Terima kasih atas pelayananmu dan
selamat tinggal…….!”

Melihat mereka memungut senjata-senjata mereka yang terlepas


tadi, Cio wan-gwe selaku tuan rumah yang mengadakan pesta itu
lalu berkata:

“Ngo-wi (Tuan berlima), jangan tergesa-gesa pergi. Marilah ngo-wi


mampir ke pondokku bercakap-cakap sebentar, untuk mempererat
tali persahabatan kita!”

Akan tetapi, ke lima orang tersebut sudah tak kelihatan lagi, pergi
dengan jalan menyelinap di antara orang banyak.

Gemuruhlah suara orang banyak itu membicarakan kelihayan


Souw Bun Liong. Dan sejak hari itu, nama Souw Bun Liong tambah
tenar, pemuda ini menjadi pujaan dan kebanggaan seluruh
penduduk wilajah Tong-koan dan nama julukan Bu-tek Enghiong,
mereka anggap cukup pantas dan sesuai dengan kelihayan
pemuda itu!

◄Y►

Setelah keamanan dipulihkan, keadaan kota Tong-koan


berangsur-angsur hidup kembali seperti sedia kala. Para saudagar

737
banyak datang dan singgah di kota yang merupakan pintu gerbang
antara tiga propinsi ini!

Toko-toko banyak yang sudah dibuka lagi dan hotel-hotel sudah


banyak menerima tamu-tamu yang menjadi langganan mereka
dahulu! Pendeknya dapat dikatakan bahwa kota Tong-koan yang
untuk beberapa waktu mengalami kematian, akhirnya sudah
menjadi hidup kembali dengan segala keramaian dan
kesibukannya.

Pada suatu hari, dua bulan kemudian sejak pemulihan keamanan,


dusun Lo-kee-cun berada dalam suasana gembira, yakni
merayakan pemikahan Souw Bun Liong dengan Ho Yang Hoa.

Rumah keluarga Souw itu dihiasi dengan kertas-kertas berwarna,


bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari
para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang
jumlahnya.

Sebagaimana kebiasaan dalam setiap pesta yang diadakan orang


pada masa itu, ruang bagi para tamu terbagi dalam beberapa
bagian. Para pembesar setempat bersama dengan para hartawan
sahabat-sahabat Cio wan-gwe, ditempatkan di ruang depan rumah

738
itu yang sudah dirombak sehingga cukup luas, mereka ini disambut
oleh Cio wan-gwe sendiri yang bertindak sebagai wakil tuan rumah.

Sedangkan tamu-tamu yang dianggap sebagai “tamu biasa”


karena terdiri dari rakyat jelata dan sebagian besar adalah
anggauta-anggauta Pauw-an-tui sehingga dianggap sebagai
“orang sendiri”, mendapat tempat di halaman depan rumah yang
sudah diperlengkapi dengan atap darurat yang khusus dibangun
untuk keperluan pesta itu. Dan tamu golongan ini cukup disambut
oleh Can Po Goan dan Kwe Bun.

Sepasang pengantin duduk bersanding di ruangan depan di mana


tamu-tamu golongan pertama tadi ditempatkan. Sepasang
pengantin ini sebentar-sebentar harus berdiri karena harus
menyambut dan menerima ucapan selamat dari para tamu yang
baru datang.

Pengantin pria yang tampan itu berseri-seri gembira dan bahagia,


sedangkan pengantin wanita yang cantik jelita itu lebih sering
menundukkan muka karena malu. Disamping mereka, duduk ibu-
ibu mereka, yakni nyonya janda Souw dan nyonya janda Ho atau
jelasnya Kho In Hoa dan Li Lan Eng.

739
Di sebuah sudut kiri dari tempat duduk mereka, yaitu di pojok
ruangan, bertumpuk-tumpuk barang sumbangan memenuhi
sebuah meja panjang dan besar. Dan barang-barang hantaran
lainnya lagi yang berupa pigura-pigura berisikan lukisan indah atau
tulisan “Lian” (semacam sajak yang merupakan doa restu bagi
kebahagiaan, kerukunan pengantin) dipajang di dinding ruangan
tersebut dan jumlahnya banyak sekali, sehingga merupakan
pameran lukisan dan lian!

Di antaranya, ada sebuah yang istimewa dan ukurannya pun paling


besar. Yang istimewa ini hanya berupa sekeping papan berukuran
besar dan tak beda dengan papan nama toko. Papan besar ini
dasarnya dicat merah darah dan berisi empat buah hurup besar
berwarna emas yang berbunyi:

Bu-tek-eng-hiong!

Papan ini digantung di atas ambang pintu dan ini adalah hadiah
dari Ti-koan kota Tong-koan yang memberi nama julukan pada Bun
Liong pada dua bulan yang lalu itu.

Pesta itu berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan-


hidangan lezat dikeluarkan dan arak wangi yang mahal dituang ke

740
dalam cawan para tamu berkali-kali sehingga makin lama makin
riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai mabok!

Pesta pernikahan ini lebih besar dan lebih meriah kalau


dibandingkan dengan pesta pernikahan putera tunggal Cio wan-
gwe pada dua bulan yang lalu.

Bun Liong dulu tidak pernah mengira bahwa hari pernikahannya


bakal dirayakan sedemikian meriah dan royal. Ia sangat berterima
kasih kepada Cio wan-gwe karena dialah yang menanggung biaya
pesta ini.

Akan tetapi, di antara kemeriahan itu ada hal yang mengecewakan


kedua mempelai, yaitu tiada hadirnya guru-guru mereka dalam
pesta ini. Beberapa hari sebelumnya, Yang Hoa sudah pergi
sendiri ke kuil Thian-an-si untuk memberitahukan tentang
pernikahannya kepada Gwat Im Nionio dan mengharapkan
kedatangan nikouw itu.

Akan tetapi pendeta wanita itu menyatakan kemenyesalannya


karena ia tidak bisa hadir dan hanya memberikan doa restunya
saja sehingga nona ini menjadi sedih dan kecewa.

Bun Liong sendiri juga sudah pergi ke gunung Hoa-san dan


alangkah besar hati pemuda itu karena Bu Beng Lojin selain
741
memudji dan kagum akan kelihayan Bun Liong yang sudah dapat
memulihkan keamanan sebagaimana yang diharapkannya. Juga ia
janji akan turun gunung guna menyaksikan hari pernikahan murid
kesayangannya ini.

Akan tetapi, mengapa orang tua sakti itu belum muncul juga? Hari
sudah begitu siang. Itulah sebabnya maka di samping kesibukan
menerima ucapan selamat dari para tamu, Bun Liong sebentar-
sebentar melayangkan pandang ke arah pintu.

Ia sangat mengharapkan kehadiran gurunya. Akan tetapi apa yang


diharapkan tak kunjung tiba, bahkan sebaliknya apa yang tidak
diharapkan dan di luar dugaan, tiba-tiba terjadi!

Selagi pesta itu sedang dipuncak kemeriahannya, tiba-tiba semua


orang dikejutkan oleh suara barang jatuh. Dan ternyata papan yang
tergantung di atas ambang pintu, yaitu papan yang berukiran huruf
Bu Tek Eng Hiong tadi, telah jatuh dan pecah menjadi beberapa
keping! Bahkan kalau Cio wan-gwe yang berdiri di bawahnya tidak
cepat mengelak dengan sebuah lompatan, kepalanya tertimpa!

Selagi kekagetan orang belum hilang terdengar ucapan: “O-mi-to-


hud…!” dan seiring dengan itu seorang hwesio kepala gundul dan
tubuhnya bundar seperti bal karet, telah berdiri di ambang pintu,

742
tepat dihadapan Cio wan-gwe! Semua orang, yaitu para tamu,
tercengang melihat kedatangan hwesio gendut yang tiba-tiba ini.

Bun Liong segera bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut


kedatangan tamu yang tak diundang itu, yang ternyata sudah lama
dikenalnya karena hwesio teromok itu adalah si pendeta gadungan
Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang! Akan tetapi sebelum mempelai ini
berbuat sesuatu dan baru saja beranjak dari tempat duduknya,
tiba-tiba terdengar seruan dari nyonya janda Souw:

“Liong-ji! Itulah ia si hwesio keparat pembunuh ayahmu…….!”

Ci Lun Hosiang ketawa bergelak mendengar ini. “Nyonya, ternyata


matamu masih awas dan ingatanmu masih tajam! Memang benar,
aku adalah pembunuh suamimu dan sekarang tahukah kau apa
maksud kedatanganku ke mari?”

“Maksud kedatanganmu kemari adalah untuk mengantar nyawa,


pendeta gadungan!” Bun Liong membentak karena selain ia
menyimpan dendam terhadap hwesio atas kematian ayahnya, juga
merasa marah sekali karena hari bahagianya telah diganggu oleh
kedatangan musuh besarnya ini yang datang-datang telah
menjatuhkan papan yang bertuliskan “Bu-tek Enghiong” tadi!

743
“Bocah sombong! Menyesal sekali dalam perjumpaan pertama
waktu dulu pinceng tidak memuntirkan batang lehermu! Kiranya
dengan mengandalkan kepandaian warisan si Ong Kim Su kau
sudah berbuat ugal-ugalan membunuh kedua orang muridku dan
seorang suhengku.

“Bahkan kau sudah menebar maut pula terhadap cucu-cucu


muridku! Kalau kau mengatakan kedatangan pinceng ini untuk
mengantar nyawa, sebaliknya pinceng sendiri hendak mencuci
dosa-dosamu!”

Bukan main terkejutnya Bun Liong, juga para hadirin, mendengar


ucapan si pendeta gadungan ini, dan maklumlah mereka bahwa
para pemimpin penjahat yang sudah diganyang habis itu adalah
anak-anak murid si hwesio murtad ini!

Akan tetapi Bun Liong adalah seorang pemuda yang cerdik, ia ingin
mendapat penjelasan dan bertanya:

“Hwesio! Siapakah yang kau maksudkan kedua murid dan seorang


suhengmu itu?”

“Kau jangan berlagak pilon, bocah sombong! Akan tetapi agar


penebusan dosamu tidak menjadi penasaran, baiklah
kuterangkan. Bahwa kedua muridku itu adalah Houw-jiau Lo Ban
744
Kui dan Huang-ho-sin-mo Ma Gu Lin, suhengku adalah ayah
angkat dari Ma Gu Lin……”

“Oh, begitu…….?!” Bun Liong cepat menukas dan pemuda ini


dengan suara lantang cepat pula melanjutkan perkataannya
ditujukan kepada para tamu:

“Cuwi-lay-ping (para hadirin yang terhormat) dan saudara-


saudaraku sekalian. Dengarlah! Hwesio ini adalah dedengkot dari
komplotan penjahat musuh kita. Tindakan apa yang harus kita
perbuat terhadap Pendeta palsu ini?!”

Serempak terdengar seruan-seruan dari para anggauta Pauw-an-


tui yang berada di halaman depan:

“Ganyang! Kirimkan saja hwesio gulungan kasur ini ke neraka


jahanam supaya berkumpul dengan kambrat-kambratnya!”

Air muka Ci Lun Hosiang jadi beringas dan tiba-tiba ia mendapat


serangan kilat dari Cio wan-gwe yang berdiri didekatnya! Cio wan-
gwe telah melancarkan tendangan geledek ke arah lambung si
gendut akan tetapi sebelum kaki yang menendang itu mengenai
sasaran, tahu-tahu Cio wan-gwe menjerit dan tubuhnya terpental
jauh sekali.

745
Sekali saja mengebutkan lengan jubahnya, Ci Lun Hosiang telah
mengirim serangan ke arah dada si hartawan itu. Dan serangan
yang segebrakan ini ternyata telah mendatangkan maut, karena
tubuh Cio Song Kang jadi terpental dan napasnya seketika itu juga
jadi terhenti!

Berbareng dengan serangan yang mematikan Cio wan-gwe itu,


tangan kanan Ci Lun Hosiang melancarkan serangan ke lain
jurusan, yaitu ke arah Bun Liong, dengan pukulan Ceng-kian-ciu
yang amat hebat! Bun Liong maklum bahwa pukulan ini sangat
berbahaya dan ia sudah tahu bahwa pukulannya saja dapat
menghancurkan batu karang. Maka ia cepat melompat ke
samping.

Juga Yang Hoa sudah dapat menghindarkan diri dari serangan ini
dengan sebuah kebutan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan dan
tahu-tahu tubuh Kho In Hoa, ibu Bun Liong yang duduk disamping
kursi penganten, telah roboh terjengkang berikut kursi yang
didudukinya!

Ternyata, hawa pukulan Ci Lun Hosiang yang telah berhasil


dielakkan oleh Bun Liong dan isterinya, telah menghantam nyonya
yang tidak mengerti ilmu silat itu! Peristiwa ini tentu saja membuat
kemarahan Bun Liong dan Yang Hoa jadi memuncak!

746
Sementara itu para anggauta Pauw-an-tui yang dipimpin oleh Can
Po Goan telah maju mengeroyok Ci Lun Hosiang, sedangkan para
tamu lainnya yang tidak mengerti ilmu silat telah lari berserabutan
dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dengan sangat
ketakutan! Keadaan di tempat itu kini menjadi ribut dan kacau
balau!

Menghadapi keroyokan para anggauta Pauw-an-tui yang tidak


bersenjata itu, karena memang untuk menghadiri pesta
perkawinan ini mereka tidak membawa senjata, Ci Lun Hosiang
ketawa mengejek. Dan beberapa kali saja ia mengebutkan kedua
lengan jubahnya, robohlah beberapa orang pengeroyoknya!

Juga Can Po Goan yang langsung berhadapan sambil


mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-kun-hoatnya, biarpun sudah
melancarkan serangan-serangan gigih dengan tipu-tipu yang
paling diandalkan, akhirnya jadi roboh juga dalam keadaan
pingsan karena kepalanya telah ditampar oleh kebutan ujung
lengan jubah si dedengkot kaum penjahat yang luar biasa lihaynya
itu!

Sementara itu Bun Liong, sudah menanggalkan baju pengantinnya


sehingga ia tinggal mengenakan baju biasanya yang berwarna
serba biru. Juga Yang Hoa meniru perbuatan suaminya, pakaian

747
pengantinnya ditanggalkannya dan setelah menyambar
pedangnya yang tergantung di dinding ruangan tengah. Ia
melompat keluar mengikuti suaminya diikuti oleh ibunya yang
sudah mempergunakan senjata-senjata rahasianya di tangan!

“Saudara-saudaraku, mundurlah…….!” teriak Bun Liong yang


ketika itu sudah menerjang musuh besarnya sambil melancarkan
pukulan Lui-lek-ciang!

Betapapun juga Ci Lun Hosiang jadi terkejut karena ia tidak


menyangka sama sekali bahwa pemuda itu memiliki ilmu pukulan
yang berdasarkan lweekang tinggi. Hawa pukulannya saja sudah
mendatangkan angin yang sangat kuat!

Ia dapat mengelak ke samping akan tetapi gerakannya mengelak


ini justeru dipapak oleh pedang Yang Hoa yang membacok kepala
gundulnya!

“Pletaakkk…….!” pedang Yang Hoa telah membacok kepala


gundul itu. Akan tetapi bukan main terkejutnya isteri Bun Liong ini,
karena pedangnya kembali terpental seakan-akan mengenai
kepala yang terbikin dari baja saja!

Ci Lun Hosiang ketawa mengejek. Akan tetapi sebelum hwesio


gadungan sempat mengirim serangan balasan kepada sepasang
748
pengantin baru itu, tiba-tiba lima batang senjata rahasia yang
dilepaskan oleh nyonya Li Lan Eng telah meluncur bagaikan kilat
ke arah lima jalan darahnya yang berbahaya!

Akan tetapi luar biasa sekali gerakan yang dilakukan Ci Lun


Hosiang ketika menyambut luncuran lima batang piauw yang
datangnya secara berbareng itu. Ujung lengan jubahnya yang
sebelah kiri dikebutkan untuk menangkis serangan Bun Liong yang
ketika itu sudah mengirim serangan susulannya pula.

Kakinya melangkah ke depan dua tindak untuk menghindarkan


pedang Yang Hoa yang semula hendak menusuk lambungnya.
Sedangkan ujung lengan jubah sebelah kanannya membuat
gerakan memutar dan sekali gus lima batang senjata rahasia dari
Lan Eng itu dapat digulung lengan jubahnya.

Dan sebagai gerakan lanjutan, ia mengebutkan lengan jubahnya


ke depan dan hebat sekali. Ke lima batang piauw yang ditangkap
oleh gulungan lengan jubahnya tadi meluncur kembali ke arah
penyambitnya!

Ibu Yang Hoa itu terkejut sekali dan meskipun ia sudah mencoba
berkelit dengan cepat, namun sebatang senjata rahasia telah
menancap tepat di dada sebelah kirinya! Nyonya itu menjerit,

749
tubuhnya roboh berkelojotan dan tewas seketika itu juga karena
senjata rahasia tersebut bukan saja menancap di dada kirinya,
bahkan telah menembus sampai ke punggungnya!

Yang Hoa berteriak dan dengan amarah yang meluap-luap nyonya


muda ini memutarkan pedangnya sedemikian hebat. Pedang di
tangannya telah merupakan segulungan sinar putih menyambar-
nyambar ke arah tubuh Ci Lun Hosiang.

Begitu pula Bun Liong, pemuda yang biasanya dapat berlaku


tenang ini setelah melihat bahwa hwesio itu sudah menewaskan
ibu dan mertuanya, jadi berlaku nekad karena marahnya. Pukulan
Lui-lek-ciang telah dilancarkannya secara tak segan-segan karena
maklum bahwa musuh besarnya ini merupakan lawan yang luar
biasa tangguhnya!

Benar-benar ilmu kepandaian hwesio gadungan itu luar biasa


hebatnya dan memang jauh lebih tinggi dari kepandaian Bun Liong.
Apalagi kalau dibandingkan dengan Yang Hoa.

Ci Lun Hosiang menang tenaga, menang pengalaman dan


karenanya ia dapat menghadapi keroyokan ke dua orang muda itu
sambil terus ketawa-tawa mengejek. Dan setelah pertempuran
mencapai tigapuluh jurus, dengan hanya mempergunakan

750
kebutan-kebutan ujung lengan jubahnya yang lebar, ia sudah mulai
mendesak kedua lawannya!

Semua orang yang melihat kenyataan ini mulai merasa cemas dan
bingung. Akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk
membantu karena kepandaian mereka sama sekali tak berarti
untuk menghadapi hwesio yang lihay itu!

Kemudian terdengar Ci Lun Hosiang ketawa bergelak ketika ujung


lengan jubahnya berhasil membelit pedang Yang Hoa. Dan
berbareng dengan itu ujung lengan jubah yang satunya lagi
dikebutkan dengan gerakan menotok ke bagian ulu hati Yang Hoa.

Dengan kaget Yang Hoa berkelit sambil membalikkan tubuh, akan


tetapi justeru dengan demikian ujung lengan jubah si hwesio itu jadi
menyabet punggungnya. Yang Hoa menjerit. Pakaian di bagian
punggungnya robek dan tubuhnya terhuyung-huyung, lalu roboh
mulutnya memuntahkan darah!

Peristiwa ini tentu saja menyebabkan hati Bun Liong bukan main
kaget, sedih, marah dan bingungnya. Maka ia terus mengirim
serangan-serangan maut, seluruh kepandaian yang ada padanya
dikeluarkan semua untuk merobohkan musuh besarnya.

751
Akan tetapi, setelah merobohkan Yang Hoa, Ci Lun Hosiang kini
dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada pemuda lawannya
itu dan sambil tak henti-hentinya ketawa mengejek dan
memperolok-olokkan ia melancarkan serangan balasan. Kedua
ujung lengan jubahnya menyambar-nyambar mendatangkan angin
taufan yang kuat sekali dan manakala dilihatnya kesempatan, ia
melancarkan pukulan Ceng-kin-ciu yang dahsyat bertubi-tubi!

Bun Liong terdesak terus dan berkat gin-kangnya yang tinggi


tubuhnya bergerak seperti seekor burung walet yang gesit
mengelak kian kemari, lincah sekali akan tetapi terus terdesak!
Adakalanya ia sempat juga mengirim pukulan geledeknya, akan
tetapi hasilnya nihil belaka karena sebelum hawa pukulannya ini
mendekati tubuh yang gendut itu, telah patah di tengah jalan
karena kena digempur oleh hawa pukulan Ci Lun Hosiang yang
lebih kuat!

Keadaan Bun Liong benar-benar berbahaya sekali. Kalau pemuda


ini hatinya tidak begitu sedih dan bingung karena malapetaka yang
menimpa ibu, ibu mertua dan isterinya karena kekejaman musuh
besar ini, biarpun ia takkan dapat mengalahkan lawannya namun
sedikitnya ia tak mungkin akan terdesak secepat itu!

752
Melihat keadaan pemuda itu Ci Lun Hosiang menjadi gembira
sekali.

“Hahaha…….! Hanya sebegini saja kepandaian warisan si Kim


Su……?! Cuma demikian saja kebecusan si Bu-tek
Enghiong…….?! Hahaha, lucu, lucu dan menggelikan
sekali…….!!”

Ia mendesak terus dengan serangan yang bertubi-tubi, walaupun


gerakan pemuda itu sangat gesit mengelak ke sana ke mari, tetapi
Ci Lun Hosiang tak kalah gesitnya. Tubuhnya yang bundar itu
seperti menggelundung ke sana ke mari mengejar dan terus
mendesak pemuda itu!

Bun Liong menggigit bibirnya sehingga berdarah. Pemuda gagah


perkasa ini sudah yakin bahwa bakal roboh, namun ia tidak mau
menyerah mentah-mentah sungguhpun ia merasa lelah sekali
karena ia sudah terlalu banyak menghamburkan tenaga
lweekangnya dalam melakukan pukulan Lui-lek-ciang yang sia-sia
itu!

Akhirnya sebuah serangan dan Ci Lun Hosiang mengenai pundak


Bun Liong. Hebat sekali pukulan ini karena dilakukan dari jarak
yang tidak berapa jauh dan ketika itu tubuh Bun Liong masih dalam

753
keadaan miring untuk mengelakkan serangan yang lebih dulu
sehingga ia tidak sempat mengelak, maka tubuh pemuda itu
terpental dan jatuh bergulingan di atas tanah!

Lagi-lagi Ci Lun Hosiang ketawa mengejek dan tubuhnya


“menggelundung” maju mengejar Bun Liong sambil mengirim
pukulan lagi yang hawa pukulannya mengenai pungggung pemuda
itu. Akan tetapi, biarpun keadaannya sudah payah sekali karena
tenaganya sudah hampir habis dan merasakan pundaknya sakit
sekali, Bun Liong masih dapat memaksakan diri mengerahkan
tenaga lweekangnya untuk mencegah pukulan musuhnya itu
melukai tubuh bagian dalam!

Bahkan ketika Ci Lun Hosiang menubruknya, pemuda itu masih


dapat menyelamatkan diri sambil melompat bangun. Akan tetapi
baru saja berdiri, Ci Lun Hosiang sudah mengirim serangan lagi,
kini dengan tenaga Ceng-kin-ciu sepenuhnya dan pukulan
ditujukan ke arah kepalanya.

Untuk menghindari serangan yang berbahaya dan mematikan ini


tiada jalan lain lagi bagi Bun Liong, kecuali cepat menggulingkan
tubuhnya di atas tanah.

754
Ci Lun Hosiang merasa heran dan penasaran sekali. Biasanya,
sekali pukulannya mengenai lawan, pasti lawan itu akan roboh
binasa. Akan tetapi kini, biarpun pukulannya sudah dua kali
mengenai pundak dan punggung Bun Liong, pemuda ini masih
dapat bergerak cukup gesit.

Diam-diam ia mengagumi kekuatan yang dimiliki oleh lawan


mudanya itu! Dan, keadaan Bun Liong benar-benar berbahaya
sekali ketika hwesio ini maju menubruk pula!

Bun Liong merasakan dirinya sudah terlalu lemah dan payah dan
dalam keadaan tidak berdaya ini. Ia sudah rela untuk menerima
kematian di bawah tangan pendeta gadungan yang murtad itu!

Akan tetapi, sebelum tubrukan Ci Lun Hosiang mengenai


sasarannya, tiba-tiba berkelebatlah sesosok bayangan
menyambar di depannya. Ci Lun Hosiang merasakan ada tenaga
terjangan yang kuat sekali menghadang di depannya.

Juga tangan kanannya yang sudah terulur ke depan untuk


mengirim pukulan terakhir kepada pemuda yang sudah tidak
berdaya itu, telah disampok oleh tenaga yang luar biasa kuatnya.
Dan karenanya, ia cepat melompat mundur dengan hati kaget.

755
“Suhu……! Kau datang…….!” seru Bun Liong yang ketika itu
sedang merangkak berusaha bangun dan ia sangat besar hati
melihat suhunya datang menolong!

Memang sesosok bayangan yang menghadang dan menolak


pukulan Ci Lun Hosiang tadi tidak lain dari guru Bun Liong, Bu
Beng Lojin, si kakek sakti yang entah dari mana datangnya jahu-
jauh telah berada di situ pada waktu yang tepat bagi keselamatan
muridnya.

“Liong, kau jangan banyak bicara dan bergerak, beristirahatlah


dengan bersamadhi!” ujar kakek itu kepada muridnya.

Perintah ini ditaati oleh Bun Liong yang segera duduk bersila dan
bersamadhi untuk memulihkan tenaganya.

Bu Beng Lojin lalu menghadapi Ci Lun Hosiang dan menegur:

“Ci Lun, pertama-tama aku mengucapkan selamat bertemu


kembali dengan perjumpaan kita di tempat ini. Dan dua, terpaksa
aku harus menyatakan bahwa kau hendak membunuh seorang
lawan yang sudah tidak berdaya itu bukanlah perbuatan seorang
gagah!”

756
Setelah melihat bahwa orang di depannya itu adalah Bu Beng Lojin
dan setelah mendengar perkataannya, tiba-tiba Ci Lun Hosiang
ketawa bergelak-gelak:

“Hahaha, Kim Su, sungguhpun tubuhmu makin tua makin kurus


kering seperti tubuh seorang pemadatan, tetapi aku melihat dan
merasakan bahwa tenagamu makin kuat. Selamat bertemu,
kawan, dan pertemuan kita ini sungguh menggembirakan hatiku
karena dengan demikian pinceng tidak usah susah-susah ke
gunung Hoa-san untuk mencarimu!”

“Kaupun makin tua makin gendut seperti tubuh kerbau kebiri saja
dan kepalamu makin licin seperti batok binatang penyu!” balas
kakek itu dan nada suaranya terdengar sangat tandas ketika
melanjutkan perkataannya:

“Hanya sayang sekali, dengan kepalamu yang licin dan jubah yang
menutupi tubuh terokmokmu, perbuatanmu telah mencemarkan
para alim ulama yang menjalankan ibadah suci!”

Mendengar sindiran yang tajam ini, Ci Lun Hosiang ketawa pula


dan berkata: “Kim Su, datang-datang kau sudah memaki pinceng.
Apakah sangkut pautnya aku ini dengan engkau sehingga kau
begitu usil terhadap diriku?!”

757
Kakek yang kelihatan tua renta itu tersenyum tatkala berkata:

“Ci Lun, biarpun segala perbuatanmu tidak mempunyai sangkut


paut dengan aku pribadi, akan tetapi ketahuilah bahwa segala
sepak terjangmu sungguh mengotorkan dunia yang memang
sudah sangat kotor ini! Aku tidak tahu betapa tingginya sudah
dosa-dosa yang kau tumpuk, yang kutahu hanyalah kau menjadi
pendeta palsu sudah merupakan dosa yang pertama.

“Kemudian dengan jubah hwesio dan kepala gundulmu kau


mengikuti jalan kehidupan yang sesat. Ini sudah merupakan
dosamu yang kedua.

“Dan belakangan ini, menurut pengakuanmu yang kudengar tadi,


kau adalah guru dari para pemimpin penjahat dan kau hendak
menuntut balas atas kematian para muridmu itu. Jadi berarti kau
adalah biang keladi segala penjahat!

“Biangkeladi penjahat tentu saja lebih jahat dari pada seorang


penjahat. Ah, Ci Lun, air sesungai Huang-ho sekalipun agaknya
takkan dapat mencuci bersih dosa-dosamu, kecuali kalau kau
dilenyapkan dari muka bumi ini…….!”

“Bagus!” Ci Lun Hosiang berseru marah: “Ocehanmu yang panjang


lebar itu kiranya hanya merupakan tantangan terhadapku!
758
“Kebetulan sekali, karena pinceng sendiri pun memang
mempunyai niat hendak menebus dua kali hinaan waktu dulu!
Pinceng berjanji bahwa kalau sekali ini pinceng dikalahkan lagi
olehmu, pinceng akan kembali ke Tibet!”

“Oh, ya, baru kuingat bahwa kau berasal dari Tibet. Akan tetapi
sebelum kau datang merantau ke daratan Tiongkok ini, pernah
kudengar cerita tentang seorang budak tukang sapu di dalam kuil
yang melakukan perbuatan kotor memperkosa seorang gadis di
dalam tempat suci itu sehingga mendapat hukuman dari para
pendeta Lhama.

“Kuil yang sudah dikotori oleh budak tukang sapu itu dibakar dan
budak murtad itu sendiri lalu diusir dan tidak diakui lagi sebagai
bangsa Tibet. Tidak tahu apa hubungan budak cabul itu dengan
kau!?”

Merahlah wajah Ci Lun Hosiang yang bundar itu mendengar


sindiran si kakek yang mengungkat perbuatannya sewaktu ia
masih muda itu. Saking marahnya ia tidak bisa berkata-kata lagi.
Ia hanya mampu berseru keras dan secara tiba-tiba sekali ia
mengirim pukulan Ceng-kin-ciu ke arah kakek itu.

759
Bu Beng Lojin sudah maklum betapa lihay dan berbahayanya
pukulan dari si Tangan Seribu Kati ini. Akan tetapi ia tidak
mengelak atau berkelit, bahkan menyambutnya dengan tubuh
agak direndahkan dan kemudian kedua tangannya dengan telapak
tangan terbuka mendorong ke depan sambil berseru keras.

Dua macam hawa pukulan bertenaga raksasa dari dua pihak ini
beradu. Ci Lun Hosiang mundur terhuyung-huyung dan Bu Beng
Lojin juga sempoyongan karena mereka telah dihantam hawa
pukulan sendiri yang terpukul membalik!

Memang hebatlah kalau dua orang yang sama tinggi


berkepandaiannya bertempur, baru segebrakan saja merupakan
jangkauan maut!

Para anggauta Pauw-an-tui yang sejak tadi mengelilingi tempat itu


pada bubar dan mereka menonton dari tempat jauh. Karena takut
terkena hawa pukulan yang nyasar.

Selanjutnya mereka menyaksikan dua datuk persilatan yang


berilmu tinggi itu bertempur hebat. Akan tetapi mereka tak dapat
melihat bagaimana cara kedua orang itu bertempur karena yang
mereka dapat lihat hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat
ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang berhantam.

760
Tak terdengar suara tangan atau kaki saling beradu, akan tetapi di
sekitar tempat pertempuran itu bertiup angin keras dan debu
mengebul menggelapkan penglihatan! Kemudian mereka melihat
betapa kedua bayangan yang tadi berkelebatan itu berhenti
bergerak.

Dan ternyata ketika itu kedua tangan Bu Beng Lojin dan Ci Lun
Hosiang saling menempel dan saling mendorong! Tubuh kedua
orang itu tidak bergerak, akan tetapi tampaknya benar-benar
menegangkan.

Pertempuran yang dilakukan dengan tangan, kaki, bahkan dengan


senjata sekalipun, masih belum begitu menegangkan seperti
pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Bu
Beng Lojin dan Ci Lun Hosiang pada saat itu. Sedikit saja kalah
tenang, penyerangan dari lawan berarti membahayakan jiwanya.

Dan dalam hal adu lweekang ini kalah menang hanya diputuskan
oleh kematian seorang di antaranya!

Seluruh tubuh Ci Lun Hosiang yang bundar itu tampak menggigil


menandakan bahwa ia sedang mengerahkan segenap tenaga
dalamnya. Wajahnya merah dan sikapnya sangat nekad.

761
Akan tetapi Bu Beng Lojin benar-benar seorang sakti setengah
dewa. Sikapnya tampak tenang seperti biasa, bahkan kakek kosen
ini masih dapat bicara, padahal kalau sedang mengadu tenaga
dalam seperti ini, berbicara adalah suatu pantangan yang paling
besar!

“Ci Lun, insyaflah kau akan kesesatan-kesesatanmu dan kalau kau


benar-benar akan kembali ke negara asalmu aku akan memberi
pengampunan padamu!”

Sambil berkata dennkian Bu Beng Lojin sengaja mengendurkan


tenaga dorongannya, untuk memberi kesempatan kepada hwesio
itu supaya menarik tenaga dorongannya dan mengakhiri
pertempuran ini sebelum maut merenggut nyawa!

Kalau saja Ci Lun Hosiang bukan seorang sombong yang


mempunyai dasar buruk, tentu ia segera mengetahui bahwa
kepandaiannya jauh lebih rendah dari lawannya. Dalam pergulatan
mengadu tenaga lweekang ini saja dia sudah mengerahkan
seluruh tenaga yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Beng
Lojin masih dapat berkata-kata dengan seenaknya. Hal ini
membuktikan bahwa tenaga kakek sakti yang dikerahkan dalam
pergulatan itu paling banyak hanya setengahnya saja!

762
Akan tetapi Ci Lun Hosiang tidak mau menerima usul Bu Beng
Lojin itu. Ia maklum bahwa dengan mengakhiri pertempuran itu
begitu saja dan menerima usul lawannya, sama halnya dengan
mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Beng Lojin mengurangi tenaganya, Ci Lun


Hosiang yang curang itu hendak mengambil keuntungan dari
kesempatan baik ini. Benar ia menarik kembali tenaga
dorongannya, akan tetapi secara tidak diduga ia tiba-tiba
melakukan serangan mendadak!

Dalam gerakan kilat kaki kirinya menendang ke arah selangkangan


dibarengi tangan kanannya dengan gerakan eng-jiauw-kang atau
Cengkeraman Kuku Garuda menyerang ke arah dada kakek itu!
Kalau salah satu dari kedua serangan ini mengenai sasaran
dengan tepat, orang yang diserang pasti mati seketika!

Ci Lun Hosiang yakin bahwa serangan mendadak yang dilakukan


dalam jarak berdekatan dengan lawannya ini salah satu akan
mengenai sasaran!

“Kau bandel dan curang…….!” Bu Beng Lojin berseru marah.

Dengan gerakan yang sama cepatnya, kakek ini mengirim pukulan


yang dilakukan dengan pengerahan lweekang sepenuhnya ke arah
763
kepala gundul itu. Dan tangan kirinya menyampok tendangan kaki
lawan dengan sebuah sentakan ke samping, sedangkan
cengkeraman pada dadanya tidak dihiraukan sama sekali!

Dua hal yang aneh dan hebat terjadi dalam waktu yang sama.
Ketika cengkeraman hwesio itu mengenai sasaran, yang kena
dicengkeram hanya kain baju yang menjadi robek saja sedangkan
dada yang dicengkeramnya itu, dadanya sudah tidak berdaging
atau berkulit yang dapat dicengkeram, agaknya kulitnya sudah
mengeras dan rata dengan tulang sehingga keras sekali!

Hal ini tak lain disebabkan Bu Beng Lojin mengerahkan tenaga sin-
kangnya ke arah dada untuk menahan cengkeraman. Melihat
serangannya tidak berhasil, Ci Lun Hosiang merubah
cengkeramannya menjadi sebuah pukulan yang dilakukan dalam
gerakan lanjutan tanpa menarik tangannya terlebih dulu!

Sementara itu, pukulan Bu Beng Lojin dengan jitu sudah


menghantam kepala gundul itu. Beradunya pukulan dengan kepala
gundul itu mengeluarkan suara keras.

Akan tetapi anehnya kepala gundul itu tidak pecah, bahkan tiba-
tiba kepalan tangannya meleset seakan-akan kepala itu terbuat
dari baja yang dilumuri minyak, sangat keras dan licin. Akan tetapi,

764
dua serangan dari dua pihak yang masing-masing dibentengi oleh
kekuatan sin-kang yang terjadi pada saat yang sama itu
mendatangkan akibat yang hebat sekali!

Tubuh Bu Beng Lojin karena dadanya ditumbuk oleh pukulan


tangan Ci Lun Hosiang, yang kurus kering itu jadi terhuyung-
huyung. Dan tubuh Ci Lun Hosiang yang bunder terokmok itu
karena akibat kepala pelontosnya dihantam oleh kepalan kakek itu
dan kakinya disentakkan ke samping oleh tenaga sampokan
lawannya yang luar biasa kuatnya, jadi berpusing seperti gangsing!

“Suhu! Biarlah teecu yang menghabiskan riwayat kotor si gundul


durjana itu!” Seru Bun Liong yang pada saat itu segenap tenaganya
sudah pulih kembali setelah bersamadhi selama pertempuran
antara si gundul dan gurunya tadi berlangsung.

Bu Beng Lojin tidak menjawab. Akan tetapi sambil batuk-batuk


kakek ini lalu menubruk tubuh Ci Lun Hosiang yang masih berputar
itu dan tahu-tahu ia telah berhasil menangkap tubuh lawannya.

Dan dengan gerakan yang luar biasa diangkatnya ke atas. Lalu


sambil berseru keras tubuh bundar yang beratnya sedikitnya
duaratus kati itu dilemparkan ke arah Bun Liong yang berada
sejauh kurang lebih enam tombak!

765
Ci Lun Hosiang sebenarnya masih keadaan setengah pingsan
karena pukulan Bu Beng Lojin yang menghantam kepalanya tadi
dan yang membuat tubuhnya berputar seperti gangsing. Itulah
sebabnya maka ia sama sekali tak berdaya ketika tubuhnya tiba-
tiba ditangkap, diangkat dan kemudian dilemparkan oleh
lawannya!

Bun Liong ketika itu sudah berdiri tegak dan siap menyambut tubuh
besar yang melayang ke arahnya seakan-akan hendak
menimpanya. Kedua tangannya diulurkan ke atas dan pada lain
saat tangan kanannya secara tepat sekali menangkap tengkuk Ci
Lun Hosiang dan tangan kirinya dengan jari-jari tangan
dikembangkan menyanggap pinggul yang penuh daging dan gajih
itu.

Kemudian sambil mengerahkan tenaga barunya, ia berseru keras.


Tubuh hwesio gadungan musuh besarnya itu didorongkan ke
udara sehingga terlempar dan melayang kembali ke arah Bu Beng
Lojin.

Ketika tubuh yang seperti gulungan kasur itu masih melayang di


udara menuju Bu Beng Lojin yang masih batuk-batuk. Kakek ini
menahan batuknya lalu menggunakan tangan kanannya
melakukan gerakan seperti mendorong ke udara.

766
Dan sebelum tubuh Ci Lun Hosiang sampai di tangannya, tubuh itu
telah kena didorong oleh tenaga hebat yang keluar dan telapak
tangan kakek sakti itu dan terpental kembali ke arah muridnya!
Inilah tenaga khi-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi hingga
tenaga dorongan yang keluar dari telapak tangan kakek itu cukup
hebat untuk mementalkan kembali tubuh Ci Lun Hosiang yang
begitu besar dan berat!

Pada saat itu tenaga Bun Liong sudah pulih kembali dan ia segera
mencontoh perbuatan gurunya. Iapun menggunakan khi-kangnya
dalam serangan melancarkan pukulan Lui-lek-ciang yang
dilakukan oleh tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka
untuk mendorong tubuh yang masih berada di udara itu sehingga
terpental kembali ke arah gurunya!

Semua orang yang menyaksikan peristiwa hebat itu, yang belum


pernah mereka lihat, jadi bersorak-sorak riuh rendah. Mereka
merasa gembira melihat kemenangan kakek itu dan baru sekarang
mereka mengetahui bahwa kakek itu sebenarnya guru pang-cu
mereka. Yang menarik perhatian mereka adalah pertunjukan
istimewa dan luar biasa itu.

Ci Lun Hosiang yang sial itu agaknya memang sudah ditakdirkan


mengalami peristiwa malang seperti itu. Yaitu seakan-akan

767
menjadi sebuah bola yang dipermainkan dan dilemparkan pulang
balik oleh Bu Beng Lojin dan Bun Liong!

Dan ketika tubuh Ci Lun Hosiang sudah dipulang-pergikan sampai


lima kali pada suatu ketika selagi tubuh si hwesio itu berada di
udara di tengah-tengah antara Bu Beng Lojin dan Bun Liong, guru
dan murid ini telah melakukan dorongan dalam waktu yang sama.
Dan karenanya tubuh Ci Lun Hosiang untuk seketika jadi berhenti
di udara karena digencet oleh hawa pukulan dari dua jurusan!

Akhirnya tubuh itu jatuh ke bawah dengan mengeluarkan suara


berdebuk. Dan ternyata Ci Lun Hosiang sudah tidak bernyawa lagi
dalam keadaan genjor-genjor seperti buah pepaya yang terlalu tua!

Bun Liong segera berlutut di depan gurunya. “Suhu, terima kasih


atas pertolongan suhu. Kalau suhu tidak keburu datang pada waktu
yang tepat, selain teecu takkan dapat membalas dendam atas
kematian ayah terhadap si pendeta sesat itu, juga entah apa
jadinya dengan diri teecu ini!”

Bu Beng Lojin kembali batuk-batuk dan membangunkan muridnya.


“Liong muridku, maafkanlah aku yang terlambat menolongmu.
Padahal, sebenarnya sudah sejak tadi aku datang, sebelum si
gundul murtad itu datang mengacau!”

768
“Benarkah…….?” Bun Liong bertanya heran, “Tapi mengapa teecu
tidak melihat suhu?”

“Karena aku merasa segan untuk memasuki sebuah rumah yang


di atas ambang pintunya terdapat papan yang tertuliskan Bu-tek
Enghiong! Dan aku merasa terlalu rendah untuk turut menghadiri
pernikahan seorang Pendekar Tanpa Tandingan!”

Bun Liong maklum bahwa gurunya menyindir dan menyesalinya,


maka cepat ia berlutut pula, “Suhu, maafkanlah teecu karena nama
julukan itu sesungguhnya bukan keinginan teecu, dan juga papan
itu adalah pemberian dari…….”

“Sudah, sudahlah! Aku sudah maklum semua persoalannya,” ujar


kakek itu menukas. “Sekarang marilah kita memeriksa dan
menolong para korban perbuatan manusia sesat itu!”

Bun Liong baru teringat bahwa Ci Lun Hosiang tadi sudah


merobohkan Cio wan-gwe, ibunya, Can Po Goan, ibu mertuanya
dan isterinya serta beberapa orang kawannya. Maka cepat ia
bangkit dan bersama gurunya yang masih batuk-batuk.

Can Po Goan hanya pingsan saja dan setelah mendapat


pertolongan dari Bu Beng Lojin, guru silat yang hanya menderita
luka ringan itu segera siuman. Begitu juga Yang Hoa, ia hanya
769
pingsan saja, akan tetapi lukanya ternyata sangat berat karena
sudah menderita luka dalam sehingga tak dapat dibikin siuman
dengan segera.

Adapun Kho In Hoa, Lan Eng, dan Cio Song Kang wan-gwe
ternyata sudah tidak bernyawa lagi!

Betapa sedihnya hati Bun Liong melihat peristiwa malapetaka ini!


Sebenarnya ia ingin menangis sekeras-kerasnya, akan tetapi tentu
saja hal itu tak dapat dilakukannya sehingga ia tinggal bengong
saja untuk beberapa saat lamanya.

Kemudian penglihatannya berkunang-kunang dan kabur,


kepalanya pening, tubuhnya lemas seperti tak bertulang dan
akhirnya ia roboh pingsan! Ketika ia sadar kembali karena
pertolongan suhunya, ia mendengar kakek itu berkata:

“Liong aku dapat memaklumi betapa hancurnya hatimu dengan


terjadinya peristiwa malang ini, tetapi hadapilah dengan keteguhan
dan ketabahan! Mana kekuatan batin yang pernah kuajarkan
kepadamu?”

“Maafkanlah atas kelemahan teecu, suhu,” kata Bun Liong dengan


suara sember karena menahan kesedihannya, “Selanjutnya teecu
mohon petunjuk suhu…….”
770
Dengan matanya yang mulai membasah dan dadanya turun naik
karena menahan sedu sedan, ia memandang wajah gurunya yang
penuh keriputan tapi membayangkan keagungan itu.

“Liong, hanya isterimu perlu cepat ditolong, serangan pada


punggungnya tadi telah melukai jantungnya! Maukah kau
membawa isterimu ke tempatku dan kita mengobatinya di sana?”
tanya kakek itu yang sangat mengasihi muridnya.

“Tentu saja teecu bersedia!”

“Mari, kita sekarang berangkat dan bawalah isterimu!”

Sebentar Bun Liong ragu, dilihatnya mayat ibu, ibu mertuanya dan
Cio Song Kang itu. “Tapi bagaimana dengan jenazah-jenazah ini,
suhu? Bukankah perlu diurus dulu?”

“Yang sudah mati biarlah diurus oleh kawan-kawanmu, dan


menolong isterimu yang masih mempunyai kemungkinan hidup
perlu segera kita lakukan. Cobalah minta pertolongan kawan-
kawanmu untuk mengurus dan mengubur jenazah-jenazah itu
sebagaimana layaknya!”

Bun Liong menurut nasehat gurunya. Biarpun hatinya merasa


berat sekali akan tetapi iapun sependapat dengan gurunya bahwa

771
menolong isterinya adalah lebih penting. Maka dengan suara
penuh permohonan ia lalu berkata kepada Can Po Goan yang
berdiri di depannya dengan muka pucat dan sedih.

“Can lopeh dan saudara-saudaraku sekalian. Aku memohon


pertolongan dan bantuan dari kalian supaya mengurus dan
mengubur jenazah ibu dan ibu mertuaku sebagaimana mestinya.

“Untuk biayanya Can lopeh ambillah uangku seadanya yang


disimpan di bawah kasur di dalam kamarku. Dan jenazah Cio Song
Kang wan-gwe, bawalah ke Tong-koan dan sampaikanlah ucapan
dukacita dan kemenyesalanku kepada putera dan menantunya.

“Aku sekarang juga akan pergi ke gunung Hoa-san membawa


isteriku yang akan dirawat dan diobati oleh guruku ini di sana.
Kuminta doa dari kalian untuk keselamatan isteriku dan lain hari
mungkin kami akan kembali kepada kalian…….” Perkataan ini
diucapkan dengan suara pilu dan mata membasah.

Bu Beng Lojin menambahkan: “Juga mayat manusia yang


hidupnya penuh kesesatan itu harus dikubur!” katanya sambil
menunjuk ke arah mayat Ci Lun Hosiang yang terkapar di tanah
itu.

772
“Kita boleh membenci kejahatan dan keburukan tingkah lakunya,
akan tetapi raganya yang hanya menjadi alat itu harus kita
kembalikan kepada asalnya.” Setelah berkata begitu kakek ini
mengajak muridnya.

“Liong, marilah kita berangkat…….!”

Kemudian kakek itu melangkah perlahan dan tindakan kakinya


seperti terseok-seok. Akan tetapi sebentar saja ia sudah pergi jauh
dan lenyap dari penglihatan semua orang.

Sementara itu Bun Liong sudah memanggul tubuh isterinya dan


berlari cepat menyusul gurunya

Hari sudah senja tatkala Bu Beng Lojin dan Bun Liong tiba di
puncak gunung Hoa-san. Dengan seijin gurunya yang terus batuk-
batuk Bun Liong membaringkan tubuh isterinya di dalam sanggar
pertapaan kakek itu.

“Liong, baiknya tubuhmu cukup kuat sehingga tidak menderita apa-


apa atas pukulan si Ci Lun tadi,” ujar kakek itu sambil duduk
bersila.

773
“Berkat latihan yang teecu terima dari suhu maka teecu tidak
menderita luka apa-apa, hanya tubuh teecu terasa sakit-sakit,”
sahut Bun Liong.

Tapi alangkah kagetnya hati pemuda ini ketika ia menoleh kepada


kakek yang duduk bersila itu. Ia melihat wajah gurunya demikian
pucat dan meringis-ringis, sedangkan batuknya makin menjadi dan
kedua tangannya menekan-nekan dadanya.

“Suhu, suhu mendapat luka?!” tanya Bun Liong, kaget dan cemas.

Kakek itu mengangguk dan di antara batuknya ia menjawab: “Ya,


dadaku sangat sakit sekali. Agaknya pukulan si Ci Lun tadi
mengakibatkan aku menderita luka dalam.”

“Suhu…….!” Bun Liong berlutut di depan kakek itu, “Apa yang


teecu harus perbuat untuk menolong suhu?”

“Kau jangan terlalu bingung, tenanglah Liong! Aku hendak


beristirahat dulu,” kata kakek itu dan kemudian sepasang matanya
dipejamkan hendak mulai bersamadhi.

Akan tetapi batuk-batuknya selalu mengganggunya, tapi


sungguhpun begitu Bun Liong tidak berani mengganggunya.
Beberapa saat kemudian suara batuk-batuk itu berhenti dan kakek

774
kosen yang sudah menderita luka dalam amat parah itu, kakek itu
dapat bersemadi dengan tenang.

Bun Liong mendekati tubuh isterinya dan kebetulan sekali ketika


itu Yang Hoa mulai siuman. Mula-mula sepasang pelupuk matanya
membuka perlahan-lahan kemudian manik matanya melirik ke
kanan kiri. Akan tetapi tiba-tiba matanya ditutupkan lagi, wajahnya
meringis dan pucat agak kebiru-biruan, dari mulutnya keluar suara
keluhan yang tertahan oleh rasa nyeri yang sangat hebat!

Melihat isterinya mulai siuman, hati Bun Liong merasa lega, akan
tetapi ia jadi amat bingung melihat perobahan isterinya itu. Ia
maklum bahwa isterinya juga menderita luka dalam.

Lalu ia memangku tubuh isterinya, kepalanya disandarkan pada


lengan kirinya. Sementara tangan kanannya menotok jalan-jalan
darah di beberapa bagian tubuh isterinya, dengan harapan supaya
isterinya tidak terlalu merasakan kenyerian penderitaannya.

Dan benar saja sesaat kemudian Yang Hoa membukakan kembali


pelupuk matanya. Setelah matanya melirik-lirik lagi ke kanan ke
kiri, ia menatap ke wajah suaminya dan terdengar suara
pertanyaannya yang perlahan setengah berbisik dan terputus-
putus:

775
“Liong-ko, dimanakah kita berada kini…….?”

“Kita berada di tempat pertapaan guruku, di puncak gunuug Hoa-


san, Yang-moay. Apa yang kau rasakan sakit, Yang-moay?” tanya
Bun Liong lirih.

Yang Hoa menggigit bibirnya dan wajahnya meringis pula. Akan


tetapi tatkala kemudian ia berkata, kata-katanya bukan jawaban
atas pertanyaan suaminya, melainkan justeru balik bertanya:
“Bagaimana jadinya dengan si Hwesio jahat musuh besarmu itu?”

“Ia sudah dibikin mampus oleh guruku…….”

Yang Hoa menarik napas. ”Syukurlah…… Tapi……


Bagaimanakah…… dengan ibu-ibu kita dan Cio wan-gwe. Can
lopeh yang sudah diserang oleh manusia jahat itu…….?”

“Can lopeh selamat, Cio wan-gwe tewas dan……..” Bun Liong


ragu-ragu untuk berkata lebih lanjut, karena kalau berkata terus
terang ia takut akan mengagetkan isterinya yang keadaannya
sangat mengkhawatirkan ini.

Akan tetapi Yang Hoa seperti dapat menduga, “Dan…… dan ibumu
dan ibuku juga tewas bukan…….?”

776
Bukan main bingungnya Bun Liong. Untuk sesaat lamanya ia
membisu saja, sehingga suasana di tempat itu yang memang
hening semakin sunyi.

Keheningan di puncak gunung Hoa-san itu tentu saja akan terasa


sangat menenteramkan, kalau saja Bun Liong tidak sedang
menghadapi keadaan yang demikian mengecilkan hatinya.

“Liong-ko. mengapa kau diam saja dan tidak membenarkan


dugaanku…….?” Yang Hoa mendesak.

Bun Liong menekan perasaan hatinya dan sebagai jawaban, ia


hanya mengangguk perlahan. Disangkanya isterinya itu akan
menangis dan pingsan lagi.

Akan tetapi kenyataannya sungguh mengherankan Bun Liong


karena sama sekali Yang Hoa tidak menangis seperti lajimnya
seorang anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Yang Hoa
hanya memeramkan kedua matanya sebentar kemudian
membukanya lagi tatkala berkata,

“Hal ini sudah kuduga karena sebelum aku dirobohkan oleh hwesio
jahat tadi, aku seperti mendapat pirasat bahwa ibu-ibu kita sudah
tak mungkin hidup lagi mengingat hebatnya kelihayan hwesio jahat

777
itu. Dan biarpun aku sendiri akan menyusul mereka, aku dapat
menerima kematian dengan hati puas…….”

“Yang-moay, isteriku!” Bun Liong cepat menutup mulut isterinya.


“Kau jangan berkata begitu! Apakah kau akan meninggalkan aku
sendiri dengan hati puas…..?

“Tidak! Kau tidak boleh meninggalkan aku. Kau pasti sembuh dan
sehat kembali…….! Kau harus ingat bahwa musuh-besarmu, Cio
Leng Hwat dan si perampok tunggal yang membunuh ayahmu,
masih belum mampus…….”

Yang Hoa menyingkirkan tangan suaminya yang menutupi


mulutnya dengan menggerakkan tangan kirinya yang lemah. Bun
Liong heran sekali ketika melihat isterinya tiba-tiba tersenyum,

“Mereka, musuh besarku, sebenarnya sudah mampus…….”


katanya.

“Apa?” tanya Bun Liong dengan sangat terperanjat. “Apakah kau


maksudkan bahwa manusia penghianat she Cio dan si perampok
tunggal itu sudah kau ganyang!?”

Yang Hoa menggeleng-gelengkan kepala, “Sungguhpun kematian


mereka itu tidak langsung oleh tuntutan balasku, namun artinya

778
sama juga, arwah mereka pasti akan menerima pembalasan dari
arwah ayahku…….”

“Yang-moay, bicaramu tidak jelas. Jelaskanlah persoalan yang


sebenarnya!”

Karena tak mengerti Bun Liong mendesak dan ia lupa bahwa


isterinya sedang menderita sakit payah.

Yang Hoa meringis sambil menggigit bibir. Agaknya luka dalamnya


kembali terasa nyeri. Dan sesaat kemudian, setelah rasa nyeri itu
agaknya lenyap dengan sendirinya, ia berkata dan kini suaranya
sangat lemah dan parau:

“Liong-ko. Sebenarnya aku dan ibuku sudah mengadakan


penyelidikan yang seksama. Pada hari diselenggarakannya pibu
dimana kemudian kau menjadi ketua Pauw-an-tui, kami sudah
menemukan musuh besar yang kami cari itu! Akan tetapi waktu itu
kami, yaitu aku dan ibuku, belum berani segera turun tangan
karena kami belum yakin benar dan takut keliru.

“Setelah kami selidiki, ibuku dapat mengenal wajah si piauwsu


penghianat ini dan juga potongan tubuh serta raut muka si
perampok tunggal tepat seperti yang pernah digambarkan oleh

779
pegawai-pegawai mendiang ayahku. Tak salah lagi mereka adalah
kedua orang yang sedang kami cari.

“Tapi mengingat keadaan mereka, terutama kebaikan orang she


Cio itu, kami tidak berani turun tangan…….” Ia berhenti sebentar
dan kini napasnya sangat sesak.

Bun Liong menunggunya, hatinya sangat tertarik akan lanjutan


penuturan isterinya.

Dan kemudian Yang Hoa meneruskan: “Liong-ko. Suboku, Goat Im


Nionio pernah mengatakan bahwa seorang yang tadinya jahat dan
merupakan musuh besar kita, akan tetapi kemudian ia insaf dan
merobah hidupnya ke arah jalan yang benar, maka ia disebut tidak
boleh penjahat lagi. Begitu juga dengan yang membunuh ayahku
itu.

“Ketika kujumpai ia sudah menjadi orang baik, menjadi pelopor dari


organisasi massa dan terkenal dengan jiwanya yang besar dan
kesosialannya, bahkan menanggung segala biaya perkawinanku
pula. Karena itu, aku jadi tidak berani membunuhnya dan aku serta
ibuku bahkan jadi merasa berhutang budi yang sangat besar
kepadanya……..”

780
Tiba-tiba Bun Liong menukas: “Apakah kau maksudkan Cio Song
Kang wan-gwe, Yang-moay…….?”

“Tak salah! Cio Song Kang yang sekarang menjadi seorang


hartawan dan memiliki jiwa besar itu sebenarnya tak lain dari pada
Cio Leng Hwat, si piauwsu penghianat yang merampok barang
kawalan tanggungan ayahku dan pembunuh ayahku…….!”

Bun Liong mendadak merasakan kepalanya amat pening.


Pembukaan rahasia itu benar-benar membuat pikirannya kalut dan
hampir saja ia tak mau percaya atas keterangan isterinya itu.

“Liong-ko, suamiku, keteranganku sangat mengejutkan hatimu,


bukan?!”

Bun Liong menghela napas dan sambil menggoyang-goyangkan


kepala ia menyahut: “Ah……. Kalau saja penjelasan ini bukan dari
engkau, tentu aku tak mau percaya. Hal ini benar-benar sangat
mengejutkan hatiku, Yang-moay, karena aku sama sekali tak
pernah menyangka bahwa Cio Leng Hwat itu adalah Cio wan-
gwe…….”

Kembali ia menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas


pula. Kemudian ia balik bertanya: “Dan konconya, yaitu si
perampok tunggal itu, bagaimana dan siapakah orangnya?”
781
“Dia sudah mampus lebih dulu, mampus di bawah golok si Serigala
Hitam Ciam Tang ketika terjadi keributan di dalam kota Tong-
koan…… Dia adalah Lu Sun Pin si Pagoda Besi!”

Makin bertambah peninglah kepala Bun Liong.

“Hatimu sungguh mulia, isteriku. Melihat perobahan hidup musuh-


musuh besarmu, kau sudah dapat membatalkan maksud dan
tujuanmu semula……. Di dunia ini jarang manusia yang berhati
semulia engkau……” ujarnya setengah berbisik sambil mengecup
kening isterinya dengan penuh rasa bangga, penuh rasa kasih
sayang sebagai pengantin baru dan penuh rasa haru yang
menyayat-nyayat kalbu.

Akan tetapi Yang Hoa ketika keningnya dikecup oleh suaminya,


mukanya meringis-ringis pula, kaki dan tangannya menggeliat-
geliat dan gemetar, dan dari mulutnya terdengar rintihan yang
tertahan…….

Bun Liong seakan-akan baru sadar bahwa dalam keadaan seperti


itu isterinya tak boleh banyak bicara. Ia merasa bersalah telah
membiarkan dan bahkan mengajak isterinya bicara terlalu banyak.

782
Selagi ia menyesali perbuatannya dan kebingungan karena tidak
mengetahui apa yang ia mesti perbuat untuk menolong isterinya,
tiba-tiba ia mendengar suara suhunya: “Liong…….!”

Ia cepat menoleh dan tampaklah gurunya yang masih duduk


bersila itu memandang kepada ia dan isterinya, ia melihat bibir
kakek itu seperti menggigil tatkala berkata lebih lanjut:

“Pergilah cepat ke kebun obat dan petiklah daun Ang-cauw (rumput


merah) sebanyak lima genggam, buah Houw-bak (mata harimau)
sepuluh biji dan kembang Kim-hoa (bunga emas) tujuh tangkai.
Biarlah isterimu dibaringkan dulu dan aku menjaganya…….”

Tanpa banyak membuang waktu lagi Bung Liong melepaskan


isterinya dari pangkuannya dan membaringkannya dengan
perlahan. Ia maklum bahwa suhunya menyuruh mengambil bahan-
bahan obat itu adalah untuk mengobati dan menolong isterinya.
Maka ia segera keluar sambil mengingat-ingat bahan-bahan obat
yang dikatakan suhunya tadi.

Tanpa menghiraukan tubuhnya yang sangat letih dan sakit-sakit


serta perutnya yang lapar, ia berlari cepat ke arah lereng sebelah
selatan, di mana banyak terdapat tetumbuhan bahan obat-obatan.
Bun Liong sudah hapal akan bentuk dan warna bahan-bahan obat

783
yang mesti dipetiknya karena ketika ia tinggal di gunung ini, ia
sering diberitahu oleh gurunya tentang jenis-jenis bahan obat dan
faedahnya.

Akan tetapi untuk mengambilnya ternyata memakan waktu lama


juga karena bahan-bahan obat itu tumbuhnya terpisah-pisah
sedangkan hutan obat-obatan ini luas sekali hampir sepanjang dan
seluas lereng sebelah selatan sehingga sangat sukar mencarinya.
Apalagi ketika itu hari hampir gelap, maka makin sukarlah.

Ketika bahan-bahan obat yang diperlukan itu sudah semua


diambilnya dan dibungkus menjadi satu dalam kain pengikat
kepalanya, Bun Liong cepat berlari kembali ke atas puncak.
Napasnya terengah-engah karena jalan yang sangat nanjak yang
ditempuh dengan berlari tergesa-gesa itu sungguh melelahkan
tubuhnya yang sudah letih.

Ia mesti berhenti beberapa kali untuk mengumpulkan napas dan


tenaganya, sungguhpun sebenarnya ia sangat ingin lekas-lekas
menyerahkan bahan-bahan obat itu kepada gurunya, supaya
isterinya cepat diobati. Ia percaya bahwa gurunya ahli dalam
pengobatan dan ia percaya pula bahwa nyawa isterinya pasti
tertolong.

784
Akhirnya ia tiba di gubuk gurunya itu. Walaupun ketika itu sudah
setengah gelap, namun ia masih dapat melihat dengan jelas bahwa
gurunya masih duduk bersila di tempatnya semula dan matanya
dipejamkan.

Bun Liong tidak berani mengganggu gurunya yang masih


bersamadhi, maka diletakkannya bungkusan bahan-bahan obat itu
di depan kakek itu. Dan kemudian ia menghampiri isterinya yang
masih berbaring.

Dirabahnya kening isterinya sambil dipanggil-panggilnya perlahan,


akan tetapi Yang Hoa diam saja seakan-akan sedang tidur
nyenyak. Kemudian ia merasai detik nadi di pergelangan tangan
isterinya.

Ia jadi bengong sesaat karena, nadi itu sudah tidak berdetak lagi!
Pada detik berikutnya Bun Liong jadi menangjs tersedu-sedu
sambil memeluk tubuh isterinya yang ternyata sudah tidak
bernyawa itu……

Ia maklum bahwa isterinya menderita luka dalam yang hebat, akan


tetapi sama sekali ia tidak menyangka bahwa isterinya akan mati
begitu cepat! Betapa hancur luluhnya perasaan pemuda ini.

785
Dapatlah dibayangkan dan tak terlalu berlebihanlah kalau
dikatakan bahwa dunia ini seperti mendadak kiamat baginya…….

Kemudian pemuda yang sangat malang itu seperti menjadi kalap.


Ia melepaskan tubuh isterinya yang tadi dipeluk-peluknya, dan
sambil meratap seperti anak kecil ia menghampiri gurunya yang
masih duduk bersila itu.

Ia hendak memprotes dan menyalahkan kakek itu mengapa tidak


menolong isterinya. Untuk sekali ini dengan membuta ia berani
melanggar larangan suhunya yang bersamadhi.

“Suhu…….! Mengapa kau membiarkan isteriku melepaskan


nyawa? Suhu…..! Tolonglah isteriku barangkali saja masih dapat
ditolong…….!” katanya nyaring di antara sedu sedannya sambil
berlutut di depan kakek itu.

Akan tetapi, kakek itu diam saja dan hal ini benar-benar membuat
Bun Liong yang pikirannya seperti mendadak gila itu bertambah
nekad. Dipegangnya kedua pundak kakek itu dan diguncang-
guncangkannya sambil meratap dan memohon:

“Suhu…….! Tolonglah isteriku…….!”

786
Akan tetapi Bun Liong tiba-tiba jatuh tersungkur dan menindih
tubuh gurunya yang tiba-tiba terguling menjengkang! Dan makin
hebatlah tangis Bun Liong setelah diketahuinya bahwa kakek yang
tadi duduk bersila seperti sedang bersamadhi itu, ternyata hanya
tinggal raganya saja…….!

Kesunyian di puncak gunung Hoa-san yang sudah mulai gelap itu


dipecahkan oleh suara tangis yang mengharukan dari seorang
pemuda yang meratapi nasibnya yang sangat malang. Hari itu
adalah hari perkawinannya, akan tetapi juga merupakan hari
naasnya yang luar biasa, hari kematian ibu, ibu mertua, isteri dan
gurunya…….

Tapi, suara tangis itu hanya sebentar saja dan pada saat
selanjutnya suasana menjadi benar-benar sepi, karena ketika itu
Bun Liong sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar
menggeletak di antara mayat isteri dan gurunya di dalam gubuk itu.
Kesadaran pemuda ini sudah tak kuasa lagi menerima pukulan
batin yang luar biasa hebatnya itu!

Pada keesokan harinya, ketika sang Surya baru saja muncul di


ufuk timur, tampaklah seorang pemuda yang berwajah kuyu
berjalan dengan langkah-langkah lesu dari puncak gunung Hoa-
san menuju ke arah lereng sebelah timur. Sambil melangkah,

787
sebentar-sebentar ia membalikkan kepalanya melihat ke arah
puncak yang makin lama makin jauh ditinggalkannya.

Air matanya berlinang-linang membasahi ke dua belah pipinya


yang pucat dan dari kerongkongannya terdengar suara sedu sedan
yang ditahan-tahan. Makin lama ia berjalan makin ke bawah dan
akhirnya menghilang di antara semak belukar dalam hutan yang
mulai ramai dalam suara kicau burung-burung dan kokok-kokok
ayam hutan yang menyambut datangnya sang pagi…….

Pemuda itu adalah Bun Liong. Ia pergi meninggalkan gunung Hoa-


san setelah mengubur mayat-mayat isteri dan gurunya di dalam
hutan yang penuh ditumbuhi pohon-pohon yang-liu, penguburan
itu dilakukannya ketika fajar baru menyingsing.

Ia pergi dengan membawa kesedihan dan pikirannya seperti


kurang beres. Kalau ia hendak kembali ke dusun Lo-kee-cun, ia
harus menempuh lereng sebelah utara, sedangkan ia justeru
menuju ke lereng sebelah timur dan entah akan kemana ia
seterusnya…….

Sementara itu Can Po Goan dan kawan-kawannya telah mengubur


jenasah-jenasah ibu dan ibu mertua Bun Liong di pekarangan
788
belakang dari rumah keluarga Souw. Penguburan itu didahulukan
sebagaimana mestinya.

Sedangkan mayat Ci Lun Hosiang dikubur di pinggir hutan. Dan


karena semua orang merasa benci terhadap mayat gendut ini,
maka mayat itu dikubur tanpa peti dan hanya dikubur begitu saja
seperti mengubur bangkai anjing.

Rumah keluarga Souw serta bekas pesta perkawinan itu tidak


seorangpun yang berani mengganggu, semua pintu-pintunya
tinggal terbuka dan orang tak berani memasukinya. Rumah itu
terus dijaga oleh anggauta Pauw-an-tui siang malam secara
bergiliran sambil menanti kedatangan Bun Liong.

Akan tetapi setelah menanti sampai sepekan lamanya dan pemuda


itu masih belum muncul juga, akhirnya pada suatu hari mereka
mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke gunung Hoa-san.
Namun mereka kecewa karena di gunung itu tak seorangpun yang
mereka jumpai, yang mereka dapatkan di puncak gunung itu hanya
sebuah gubuk sederhana yang kosong.

Mereka menunggu di situ sampai tiga hari tiga malam sambil terus
berusaha mencari di hutan-hutan. Akan tetapi baik Bun Liong
maupun Yang Hoa atau kakek sakti itu tetap tak dapat mereka

789
jumpai dan karena itu, akhirnya mereka kembali pulang dengan
kecewa dan sedih.

Can Po Goan memutuskan untuk membereskan segala perabotan


rumah tangga di dalam rumah keluarga Souw itu. Pintu rumahnya
dikunci dan terus dijaga.

Bahkan papan yang bertuliskan “Bu-tek Enghiong” yang telah


pecah itu mereka perbaiki dan dipancangkan pula di atas ambang
pintu rumah yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya itu!

Walaupun Pangcu mereka sudah tidak ada, namun organisasi


Pauw-an-tui terus berdiri dipimpin oleh Can Po Goan dengan
dibantu muridnya, Kwe Bun. Pauw-an-tui tetap bekerja aktif,
walaupun keadaan sudah aman, namun organisasi keamanan ini
terus mempertinggi kewaspadaan dan memperkuat penjagaan
supaya keamanan seluruh wilayah Tong-koan tetap terjamin.

Dan mereka, terutama Can Po Goan, tetap menunggu Bun Liong


dan Yang Hoa kembali. Akan tetapi harapan mereka hanya
merupakan harapan kosong belaka karena mereka sama sekali
tidak mengetahui bahwa Pauw-an-tui Sianli Ho Yang Hoa sudah
meninggalkan dunia yang fana ini. Bun Liong entah pergi ke mana

790
karena pemuda itu sampai saat cerita ini berakhir, tidak pernah
datang kepada mereka yang selalu mengharap-harapkannya……..

TAMAT

791

Anda mungkin juga menyukai