Anda di halaman 1dari 166

METEOR, KUPU-KUPU DAN PEDANG I

Semasa hidupnya, Gu Long pernah mengakui bahwa dirinya sangat terpengaruh oleh para
pengarang Barat, antara lain Mario Puzo dengan Godfathernya, Ian Fleming dengan James
Bond, dan Agatha Cristie dengan kisah teka-teki pembunuhannya.
Ramuan dari para pengarang Barat itulah yang bisa kita rasakan dari karya-karyanya di luar
kisah Pendekar Binal (Jue Dai Shuang Jiou/The Remarkable Twins/Legendary Sibling) yang
masih terbawa pakem cersil lama ala Jin Yong atau Liang Yusheng.
Dari para pengarang Barat itu Gu Long meracik resep, melahirkan karya yang sangat
digemari pembaca dan kemudian menjadi genre baru dunia cersil, sekaligus menjadi
trade mark-nya
Meteor, Butterfly, and Sword (Liu Xing Hu Die Jian, 1974) merupakan salah satu karya
masterpiece Gu Long, yang juga telah membawa ketenaran dirinya di kalangan elit
perfilman Hong Kong. Kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul Killer Clans (Shaw
Brothers, 1976)
Meteor, Butterfly, and Sword adalah cerita yang kelam, sarat dengan intrik, konspirasi, tipu
muslihat, darah, sex, dan kekerasan. Di sini Gu Long sangat terpegaruh oleh gambaran
seorang Godfather ala Mario Puzo. Konon, mantan Presiden Soeharto (alm) sangat menyukai
kisah ini dan menonton filmnya berkali-kali.
PARA TOKOH
Kisah ini akan melibatkan banyak tokoh. Sulit membedakan mana kawan mana
lawan. Untuk memudahkan pembaca, berikut ini diberikan daftar para tokoh yang
akan di-update sesuai kemunculan pada setiap babnya.

Meng Xin Hun


Pembunuh bayaran berdarah dingin yang mulai jenuh dengan profesinya.
Pedangnya sangat mematikan.

Gao Lao Da
Kakak tertua. Di usia tiga belas ia telah membuat empat keajaiban. Ia
menyelamatkan empat nyawa: Ye Xiang, Shi Qun, Xiao He, dan Meng Xin Hun.
Dalam melakukan segala sesuatu, Gao Lao Da memang hanya menuruti hati kecil.
Ia tidak tahu batasan benar dan salah karena tidak seorang pun memberitahunya.
Pokoknya, asalkan bisa bertahan hidup, perbuatan apa pun boleh dilakukan.

Ye Xiang
Pembunuh bayaran yang sudah tiga kali gagal dan kini hanya bisa bermabukkan. Ia
sangat mengkhawatirkan nasib Meng Xin Hun.

Sun Yu Bo
Ia senang membantu orang, dan orang-orang memanggilnya Paman Bo. Ia bangga
dan senang membantu seperti ia menyukai bunga-bunga yang bermekaran.

Han Tang
Ia galak tapi sopan, matanya selalu memancar dingin. Tidak ada yang mau
berteman dengannya. Ia sendiri tidak mau dekat dengan orang lain. Ia sudah
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan orang, juga tidak akan ada orang
lagi yang akan melakukannya

Sun Jian
Anak Sun Yu Bo. Seperti ayahnya, ia juga senang menolong. Sifat Sun Jian sangat
keras seperti bara, berangasan, setiap saat dapat meledak. Sifat seperti ini sering
membuatnya salah langkah. Karena itu juga ia sering kehilangan teman.
Lu Xiang Chuan
Tangan kanan Sun Yu Bo, sekaligus sudah dianggap anak sendiri. Ia tidak
memerlukan senjata karena sanjatanya adalah senjata rahasia. Ia terlihat sangat
terpelajar, terkadang musuh meremehkannya, menganggap ia tidak bisa apa-apa.
Ini adalah kesalahan sepele yang bisa berakibat fatal.

Wan Peng Wang


Musuh terbesar dan terkuat Sun Yu Bo. Sebelum berumur tujuh belas, tidak ada
yang tahu asalnya. Sesudah berumur tujuh belas, ia sudah bekerja pada sebuah
perusahaan. Setengah tahun kemudian, ia sudah naik jabatan. Pada umur sembilan
belas, ia membunuh bos perusahaannya dan menjadi bos perusahaan itu. Setahun
kemudian ia menjual perusahaan dan menjadi seorang polisi. Dalam tiga tahun, ia
menangkap dan membunuh sejumlah penjahat. Semenjak itu, ia punya dua puluh
satu pembantu yang sangat setia padanya. Waktu berumur dua puluh empat, ia
keluar dari kepolisian dan mendirikan perkumpulan Da Peng. Mula-mula hanya
memimpin 100 orang, tapi sekarang anak buahnya sudah mencapai puluhan ribu
orang. Kekayaanya sudah tidak terhitung lagi.

Xiao Tie
Gadis setan arak, sangat cantik. Biasanya gadis cantik yang tahu dirinya cantik
selalu menebar pesona pada sekelilingnya. Tapi gadis ini tidak seperti gadis lain,
seakan ia tidak perduli dirinya cantik atau tidak.

Xiao He
Paling kecil di antara empat bocah yang diselamatkan Gao Lao Da. Waktu Gao Lao
Da mengangkat tiga bocah lain, ia iri dan marah, dan karenanya sering mengadu
domba mereka.

1. Meng Xin Hun


1. Meng Xin Hun
Meski cahaya meteor hanya singkat, tak satu pun isi semesta yang mampu
menandingi pendar gemilangnya. Manakala meteor muncul ke permukaan,
bahkan bintang abadi yang paling terang pun tak mampu menandingi
kemilaunya.
Hidup seekor kupu-kupu begitu rapuh, bahkan lebih rapuh dari setangkai
bunga yang luruh. Kupu-kupu hanya hidup di musim semi. Ia begitu indah,
bebas melayang kemana pun terbang. Dalam usianya yang singkat,
kupu-kupu tetap abadi dikenang.
Hanya pedang yang sejatinya mendekati keabadian. Hidup mati seorang
pendekar sangat tergantung pada pedangnya. Jika pedang memiliki perasaan,
haruskah hidup mati seorang pendekar sesingkat meteor?
Tatkala meteor jatuh, ia sedang berbaring di atas sebuah batu cadas.
Ia senang berjudi dan minum arak. Pun ia senang main perempuan. Selama
ini dalam hidupnya ia sudah mencicipi berbagai macam perempuan. Juga
membunuh orang.
Namun manakala meteor muncul ke permukaan, ia tidak pernah
melewatkannya. Ia selalu berbaring di sana menanti meteor membelah
angkasa.
Selama ia bisa merasakan pendar cahayanya, menikmati kilatan pesonanya,
ia akan berbaring di sana.
Itulah saat terindah bagi dirinya.
Ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu sedikit pun karena itu merupakan
satu-satunya kesenangan dalam hidupnya.
Pernah ia bermimpi menangkap meteor. Mimpi itu sudah lama berselang.
Sekarang mimpinya sudah tidak banyak lagi, malah hampir tidak ada. Karena
kini bagi orang semacamnya, bermimpi semata perbuatan yang menggelikan
dan sia-sia.
Dan di sinilah ia tengah berbaring, di atas sebuah cadas di puncak bukit,
tempat terdekat bagi jatuhnya meteor.
Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih menyala. Saat
bayu berhembus, sayup-sayup terdengar suara tawa dan orang bersulang
terbawa angin.
Itulah rumah kayunya, araknya, juga perempuannya. Namun ia lebih suka
berbaring di sini, memilih menyendiri di tempat ini.
Cahaya meteor sudah lama menghilang. Air di pinggiran batu masih
mengembang. Waktu sudah lewat untuk bersenang-senang. Sekarang ia
harus kembali menjadi dingin dan tenang. Benar-benar dingin dan tenang.
Sebab, sebelum membunuh, seseorang memang harus bersikap dingin dan
tenang.
Dan ia harus membunuh orang.
Tapi ia tidak suka membunuh orang. Setiap kali pedangnya menusuk jantung
dan darah menetes di ujung pedangnya, ia tidak merasa senang.
Ia justeru menderita.
Walau ia sangat menderita, ia berusaha menahannya karena ia harus
membunuh. Bila tidak membunuh, ia yang akan dibunuh.
Terkadang manusia hidup bukan untuk menikmati kesenangan, melainkan
menanggung penderitaan, karena hidup adalah sebuah perjuangan. Juga
tanggung jawab.
Siapa pun tidak ada yang bisa lari dari tangung jawab itu!
Maka ia pun mulai mengenang saat pertama membunuh orang.
Luo Yang. Sebuah kota besar.
Di kota itu terdapat berbagai macam orang. Ada pahlawan, ada pesilat. Ada
orang orang kaya, ada orang miskin. Ada berbagai macam perkumpulan dan
nama besar lainnya.
Namun nama-nama mereka tidak ada yang seperti Jin Qiang Li, Li si Tombak
Emas.
Orang yang bagaimana kaya pun belum tentu bisa menyamai setengah dari
kekayaan Jin Qiang Li. Juga tidak ada yang bisa menahan jurus Qi-qi-si-shi-jiu
dari Jin Qiang Li. Musuhnya sangat banyak hingga Jin Qiang Li sendiri sulit
mengingatnya.
Tapi selama ini tidak ada yang berani mencoba membunuh Jin Qiang Li.
Bahkan sekedar berpikir untuk membunuhnya pun tidak ada yang berani.
Anak buah Jin Qiang Li sangat tangguh, kungfu mereka sangat terkenal, juga
terdapat dua raksasa berbadan sangat besar yang selalu membopong tandu
Jin Qiang Li si Tombak Emas ke mana pun pergi. Dan masih ada lagi:
tubuhnya selalu dibalut pakaian yang kebal dari pedang dan parang.
Maka mustahil untuk membunuhnya.
Jadi, walau kungfumu lebih hebat dari Jin Qiang Li, tapi bila ingin
membunuhnya, kau harus melewati tujuh lapis penjagaan dari para penjaga
yang memiliki kungfu teramat tinggi.
Supaya berhasil, sekali menyerang kau harus mengarah tenggorokannya dan
harus sekaligus membunuhnya. Bila meleset, kau tidak punya kesempatan
untuk membunuh lagi, dan bahkan kaulah yang akan terbunuh.
Maka tidak ada seorang pun yang coba membunuhnya. Tidak seorang pun
yang sanggup untuk membunuhnya. Kecuali, satu orang.
Orang itu adalah Meng Xin Hun.
Meng Xin Hun menghabiskan waktu setengah bulan pertama untuk sekedar
menyelidiki kehidupan Jin Qiang Li. Semua gerak geriknya diamati, semua
tindak tanduknya dicatat dengan teliti.
Selanjutnya Meng Xing Hun menghabiskan waktu satu bulan untuk bisa
mendapatkan kesempatan memasuki rumah Jin Qiang Li, menyamar sebagai
tukang pikul air di belakang dapur.
Setelah itu pun Meng Xing Hun masih harus menghabiskan waktu setengah
bulan lagi untuk menanti waktu yang paling tepat, saat yang benar-benar tepat!
Setelah terlaksana, semua terdengar akan begitu mudah. Tapi, menunggu dan
menentukan waktu yang tepat, benar-benar tidaklah mudah.
Sungguh Jin Qiang Li ibarat perawan dingin, tidak memberi kesempatan untuk
didekati. Saat mandi atau ke kamar kecil pun selalu ada yang menemani.
Namun bila sabar menunggu, kesempatan itu pasti datang.
Bukankah perawan, betapa pun dinginnya, bila waktunya tiba juga harus
menjadi isteri dan ibu?
Setelah menunggu dan menanti, akhirnya kesempatan itu datang juga.
Pada suatu hari, angin bertiup sangat kencang dan membuat topi Jin Qiang Li
terlepas. Empat orang pengawal berebut mengambil topinya.
Pandangan Jin Qiang Li mengkuti kemana topi itu terbang terbawa angin.
Di saat tidak ada yang memperhatikan, itulah satu-satunya kesempatan,
karena kecerobohan para pengawalnya mereka meninggalkan sang majikan
begitu saja, merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Di saat itulah Meng Xing Hun sudah berada di belakang Jin Qiang Li dan
langsung menusuknya.
Hanya satu kali tusukan. Tidak lebih tidak kurang. Satu tusukan.
Tusukannya langsung menikam dari belakang leher dan keluar dari
tenggorokan. Ketika pedang dicabut, darah muncrat seperti kabut.
Kabut darah menutupi pandang setiap orang. Kilat pedang mencabut nyawa
satu orang.
Nyawa Jin Qiang Li.
Begitu kabut darah menghilang, Meng Xin Hun sudah jauh dari para pengawal
Jin Qiang Li. Tidak ada yang bisa melukiskan kecepatan tangan dan
pedangnya.
Menurut cerita, ketika Jin Qiang Li dimasukan ke dalam peti mati, matanya
masih terbuka dan menyorotkan rasa curiga tak percaya. Ia tidak percaya
dirinya bisa mati dan ia tidak percaya bahwa ada yang mampu membunuhnya.
Kematian Jin Qiang Li menggegerkan dunia persilatan. Tapi, nama Meng Xin
Hun tidak ada yang mengetahui.
Karena tidak ada yang mengetahui siapa yang membunuh Jin Qiang Li, maka
tidak ada yang berani bersumpah akan membalaskan dendam bagi Jin Qiang
Li.
Sebaliknya, ada pula yang menganggap pembunuh Jin Xiang Li bintang
penyelamat. Begitu menemukan mereka berjanji akan berlutut mencium
kakinya untuk berterima kasih karena telah menyingkirkan seorang penjahat.
Juga ada sejumlah pesilat muda yang ingin terkenal mencari nama, coba
menemukan pembunuh Jin Qiang Li untuk bertarung membuktikan pedang
siapa yang paling cepat.
Tapi semua tidak diperdulikan oleh Meng Xin Hun.
Sesudah membunuh ia biasanya seorang diri berlari ke pondok kayunya yang
kecil di kaki bukit dan bersembunyi di pojok sana sambil menangis dan
mengeluarkan segala isi perutnya.
Muntah!
Tapi sekarang ia sudah tidak menangis lagi. Air matanya sudah lama
mengering. Namun setiap kali habis membunuh orang dan melihat darah yang
tersisa di ujung pedangnya, ia masih terus lari sembunyi.
Dan muntah.
Sebelum membunuh, ia tampak dingin dan tenang. Namun setelah
membunuh, ia tidak lagi bisa bersikap dingin dan tenang.
Maka ia harus berjudi, minum arak hingga mabuk, kemudian mencari
perempuan guna melupakan kejadian saat ia mencabut nyawa. Namun tetap
sulit baginya untuk melupakan dan terus terbayang setiap memejamkan mata.
Karenanya ia harus terus berjudi, terus mabuk, dan terus main perempuan,
hingga membunuh lagi.
Dan setelah itu ia akan kembali melarikan diri ke gunung, berbaring di sebuah
batu cadas, tidak mau memikirkan apa-apa, tidak mau berpikir apa-apa.
Ia hanya memaksakan diri untuk tenang dan siap membunuh lagi.
Orang yang ia bunuh tidak ia kenal, juga tidak ada dendam, bahkan seringkali
belum pernah bertemu. Orang itu hidup atau mati tidak ada hubungan
dengannya. Namun, ia tetap harus membunuhnya.
Ia harus membunuh karena begitulah perintah Gao Lao Da.

2. Gou Lou Da
Ia memanggilnya Kakak Tertua Gou, Gou Lou Da.
Saat pertama ia bertemu Gou Lou Da, usianya baru enam tahun. Waktu itu ia
sudah tidak makan selama tiga hari tiga malam. Rasa lapar bagi anak berusia
enam tahun lebih mengerikan daripada kematian.
Sebagai anak berusia enam, ia telah tahu bagaimana rasanya kematian. Ia
terkapar lapar hingga pingsan di tengah jalan.
Waktu itu ia merasa sudah benar-benar mati. Mungkin ia memang sebaiknya
mati.
Namun ia tidak mati karena ada sepasang tangan yang menolongnya,
sepasang tangan yang berbentuk indah walau agak sedikit kebesaran. Tangan
itu memberinya setengah kerat bakpau karena setengah kerat lagi tetap
dimakan oleh sang pemilik tangan.
Sepasang tangan milik Gou Lou Da.
Bakpau itu dingin lagi keras. Begitu ia menerima sepotong bakpau dari tangan
Gou Lau Da, air matanya bercucuran seperti mata air di musim semi,
membasahi bakpau itu. Selamanya ia tidak akan pernah melupakan rasa air
mata yang asin dan pahit bercampur dengan rasa bakpau yang keras dan
dingin.
Ia pun selamanya tidak akan pernah melupakan tangan Gou Lou Da.
Kelak kemudan hari, sepasang tangan itu tidak lagi semata memberi sekerat
bakpau keras dan dingin, melainkan uang, emas, dan permata. Berapa pun
yang ia minta, apa pun yang ia minta, asalkan dirinya meminta, Gou Lou Da
pasti akan memberikan.
Dan terkadang sepasang tangan itu juga memberinya secarik kertas. Di atas
kertas biasanya tertulis nama orang, tempat, dan jangka waktu
Kertas itu adalah kertas tagihan nyawa.
Kali ini kertas itu berbunyi: Sun Yu Bo, Shu Zhou, 4 Bulan.
Artinya, dalam empat bulan Sun Yu Bo dari kota Shu Zhou harus mati di
tangan Meng Xin Hun.
Semenjak Meng Xin Hun membunuh Jin Qiang Li, ia tidak perlu menghabiskan
waktu hingga tiga bulan untuk mencabut nyawa orang.
Sejak membunuh Jin Qiang Li, waktu terlama yang ia perlukan sebagai
malaikat pencabut nyawa cukup 41 hari. Tidak kurang, tidak lebih.
Itu bukan berarti karena pedangnya cepat, tapi karena hatinya dingin.
Dan tangannya terlebih dingin lagi.
Sejak itu ia tahu, sebagai pembunuh berdarah dingin tidak perlu
menghabiskan waktu tiga bulan dalam menyelesaikan pekerjaan. Dan Gou
Lou Da pun mengetahui itu.
Namun sekarang waktu yang diberikan Gou Lou Da padanya adalah empat
bulan. Artinya, Sun Yu Bo adalah orang yang hebat. Membunuh orang ini pasti
sangat sulit.
Nama Sun Yu Bo bagi Meng Xin Hun tidaklah terlalu asing lagi. Setiap orang di
dunia persilatan pasti tahu siapa Sun Yu Bo. Bagi yang tidak mengenal Sun Yu
Bo, ibarat pengikut Budha yang tidak mengenal Dewa Ru Lai.
Dalam pandangan para tokoh dunia persilatan, Sun Yu Bo adalah Dewa Ru
Lai, dewa kematian, dalam wujud manusia. Bila ia sedang baik, ia bisa
mengemong dengan sabar seorang anak yang tidak ia kenal selama tiga hari
tiga malam. Akan tetapi di kala murka, dalam tiga hari ia bisa meratakan tiga
buah gunung.
Namun nama Sun Yu Bo yang terkenal itu bagi Meng Xin Hun tiada arti.
Karena, baginya, nama itu hanya berarti satu kata: mati!
Terbayang oleh Meng Xin Hun saat pedangnya menusuk jantung Sun Yu Bo.
Ia pun dapat merasakan pedang Sun Yu Bo menusuk jantungnya. Bila bukan
Sun Yu Bo yang mati, maka dirinyalah yang mati. Baginya tidak ada pilihan,
membunuh atau dibunuh.
Siapa yang akan mati, ia tidak terlalu perduli.
Subuh tiba.
Ia masih berbaring di atas cadas.
Matahari mulai datang menyapu bintang dan rembulan. Di ufuk timur,
cahayanya semakin gemilang. Kabut pagi terlihat menggumpal, perlahan
menipis buyar terhembus angin dan matahari yang menyinarinya.
Tak seorang pun tahu asap kabut itu akan menghilang ke mana, seperti juga
tak seorang pun tahu kabut itu datang dari mana.
Apakah kehidupan Meng Xin Hun pun seperti kabut? Entah datang dari mana
dan menghilang entah kemana?
Di antara kabut tipis yang tersisa perlahan ia berdiri di atas cadas, berjalan
perlahan menuruni kaki bukit.
Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih tetap menyala.
Saat bayu berhembus, sayup-sayup terdengar tawa dan suara orang
bersulang terbawa angin.
Itulah rumahnya, araknya, juga perempuannya.
Orang di dalam rumah itu tidak mengetahui bahwa kegembiraan mereka
sudah akan berakhir mengikuti hilangnya malam yang telah berganti pagi,
menghadirkan kesedihan nyata mengikuti datangnya hari ini.
Meng Xin Hun mendorong pintu, berdiri di sana, dan melihat sekitarnya.
Mereka yang berada di dalam tinggal empat atau lima orang. Sebagian hampir
telanjang, sisanya sudah sepenuhnya telanjang. Ada yang tertidur, ada yang
meniduri, ada yang mabuk, ada juga yang termenung semata.
Saat melihat kedatangannya, orang yang mabuk mulai setengah sadar, yang
tidur tetap tertidur, yang meniduri berhenti meniduri, yang termenung tidak lagi
termenung.
Dua perempuan telanjang berlari menghampiri Men Xin Hun. Dua pasang
payudara yang hangat kenyal menempel ke tubuhnya. Mereka sangat cantik
lagi muda, payudaranya putih lagi besar. Sedemikian putih dan kenyalnya
hingga urat-urat darah yang kebiruan samar membayang indah mengikuti
setiap geletarnya. Bagi mereka, menjual diri bukan hal memalukan, pun
memamerkan keindahan tubuh justeru membanggakan. Karenanya, tanpa
sungkan mereka tertawa riang berlompatan menimbulkan geletar yang
menggairahkan.
Kemana saja? Kami di sini tak bisa minum tanpamu, kata salah seorang
perempuan itu dengen kenes.
Meng Xin Hun memandangnya dingin.
Wanita-wanita ini sengaja datang ke rumahnya untuk bertemu dengannya.
Demi wanita-wanita ini uang Meng Xin Hun mengalir sederas air.
Setengah hari yang lalu mungkin ia masih bisa memeluk para gadis itu, bagai
seseorang pembaca buku cerita-cerita manis yang bahkan ia sendiri pun tidak
mempercayainya.
Tapi sekarang ia hanya ingin berkata satu patah saja. Keluar! bentaknya.
Lelaki yang tadi meniduri dan masih berbaring di atas ranjang tiba-tiba berdiri.
Tubuhnya yang telanjang seperti tembaga, berkilau layaknya ikan. Pakaiannya
telah terlempar entah ke mana.
Namun di sisinya nampak sebilah golok.
Seperti tubuh telanjangnya, golok itu berwarna tembaga, batang goloknya
berkilauan seperti sisik ikan, sementara kelelakiannya telah separuh tertidur
masih berkilat kelelahan. Bagi lelaki itu, mengenakan atau tidak mengenakan
pakaian sama saja. Malahan jika sebilah golok tidak berada di tangannya, ia
juseru merasa telanjang.
Meng Xin Hun dingin menatapnya, sesaat kemudian bertanya, Kau siapa?
Lelaki itu tertawa kemudian menjawab, Kau sudah mabuk. Aku ini siapa pun
kau lupa. Aku adalah tamu yang kau udang. Kita awalnya minum arak lalu
berkenalan. Kau sendiri yang mengajakku ke mari. Tiba-tiba seperti teringat
sesuatu ia murka dan berkata, Aku ke sini karena ada perempuanmu.
Mengapa pula kau usir mereka?
Dingin tatapan Meng Xin Hun. Kau pun keluar!
Wajah lelaki itu berubah seketika. Tangannya yang besar dan kasar seketika
menarik goloknya keluar.
Apa kau bilang? bentaknya sangat marah. Begitu cahaya golok diayun,
orangnya sudah meloncat dan berteriak, Bila kau mabuk dan melupai aku itu
tidak mengapa. Tapi, jangan lupakan golok sisik ikanku!
Golok sisik ikan bukan golok sembarangan, harganya mahal, pun golok itu
sangat berat. Hanya orang kaya yang bisa memilikinya, hanya pesilat tangguh
yang bisa menggunakannya.
Di seantero dunia persilatan hanya tiga orang yang menggunakan golok
semacam itu. Tapi Meng Xin Hun tidak perduli siapa orang ini. Meng Xin Hun
hanya bertanya, Apa pernah kau gunakan golokmu membunuh orang?
Ya!
Sudah berapa membunuh orang?
Dengan sombong orang itu menjawab, Dua puluh, mungkin lebih! Tidak ada
gunanya mengingat hal itu.
Men Xin Hun mendelik padanya. Tubuhnya serasa terbakar mendengar
jawaban itu. Meng Xin Hun merasa membunuh merupakan hal menyedihkan.
Ia tidak mengerti mengapa ada manusia yang sudah membunuh pun masih
merasa bangga dan begitu angkuh. Ia membenci orang seperti itu seperti ia
membenci seekor ular beracun.
Wajah seperti tembaga itu tertawa dingin. Hari ini aku sedang tidak ingin
membunuh, apalagi tadi aku sudah minum arak dan main dengan tiga
perempuanmu.
Meng Xing Hun seketika meloncat ke depan lelaki itu. Begitu orang sadar
bahwa Meng Xin Hun sudah di depannya, sebuah kepalan keras telah
menghajar wajahnya.
Para gadis menjerit ketakutan. Lelaki itu seketika merasa langit runtuh, tanah
terbelah. Ia tidak lagi merasakan pukulan kedua. Bahkan sakit dan takut pun
sementara ia tidak rasakan lagi.
Setelah lama ia baru merasakan angin dingin menerpa wajahnya. Angin itu
terasa seperti jarum menusuk tulang dan menyengat otaknya. Tidak sengaja ia
meraba mulutnya, terasa lembut seperti sepotong daging yang remuk; tapi
tidak teraba bentuk bibir, juga tidak gigi, tidak pula hidung.
Sekarang ia baru merasa takut. Rasa takut yang keluar dari hatinya yang
paling dalam. Kemudian ia berteriak sekerasnya.
Teriakannya sedemikian menyayat seperti lolong anjing hutan yang digorok
pisau pemburu.
*
Di rumah kecil itu kini tinggal ia seorang serta sebotol arak di atas meja.
Meng Xin Hun meraihnya, membawanya berbaring di ranjang, kemudian
menaruh botol itu di dada dengan posisi miring ke tepi bibirnya.
Arak secara perlahan mengalir ke mulutnya, setengah lagi mengalir seperti
sungai tumpah ke dadanya.
Arak yang pahit mencecap lidah, naik ke tenggorokan, dan terus hingga
menendang ke kepala. Seketika seperti dirinya tenggelam di lautan arak.
Pun tiba-tiba ia merasa pening.
Sebelum membunuh, Meng Xing Hun selalu berada dalam keadaan sadar dan
tidak pernah mabuk.
Namun kali ini berbeda.
Ia merasa tidak sanggup membunuh Sun Yu Bo.
Ia merasa Sun Yu Bo akan membawa kesialan baginya.
*
Tujuh poci arak sudah ia minum. Mata perempuan itu semakin besar dan
berbinar.
Orang yang meminum arak bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, bila
sudah meminum arak matanya jadi merah dan suram. Kebanyakan orang
adalah tipe seperti ini.
Namun perempuan itu tidak seperti kebanyakan orang, tidak masuk kategori
pertama. Begitu ia meminum poci kesembilan, matanya semakin seperti
bintang. Jelas ia masuk kategori kedua.
Di rumahnya ada enam hingga tujuh orang sedang melempar dadu. Suara
dadu di kocok seperti genta bertalu.
Lampu terbuat dari perak. Cahaya lampu menyinari baran-barang antik dan
mewah di seluruh ruangan, juga menyinari meja besar yang seluruhnya
terbuat dari giok itu. Wajah-wajah mereka berkeringat di bawah cahaya lampu.
Dan perempuan itu merasa sangat puas.
Iniah rumahnya. Semua barang mewah di rumah ini miliknya. Dan semua ini
hanya sebagian dari kekayaannya.
Mereka yang berada di rumahnya adalah orang-orang kaya, ternama, dan
berpengaruh. Dulu mereka sama sekali tidak memandang sebelah mata
padanya. Tapi sekarang mereka semua adalah temannya.
Perempuan itu tahu, begitu ia membuka mulut, mereka akan rela memenuhi
segala permintaannya. Karena, mereka pun sering meminta bantuan
kepadanya. Kapan pun, ia siap meladeni permintaan mereka, yang paling
aneh sekali pun.
Orang yang duduk di dekat pintu adalah lelaki setengah baya. Kota ini
bernama Lu Dong. Dan lelaki itu adalah orang paling kaya dan berpengaruh di
Lu Dong.
Pernah suatu kali di kala mabuk lelaki itu berkata, Semua makanan pernah
kucicipi, hanya belum pernah kumakan daging unta yang utuh dipanggang.
Hari kedua ketika membuka mata, ia melihat empat orang masuk menggotong
sarapannya, yaitu seekor unta utuh yang sudah matang dipanggang.
Di rumah perempuan itu siapa pun boleh meminta yang aneh-aneh, dan
barang sekali pun ia tidak pernah mengecewakan.
Sepuluh tahun yang lalu perempuan itu tidak memiliki apa-apa. Pakaian utuh
pun ia tidak punya. Ia terpaksa membiarkan mata lelaki melihat bagian-bagian
tubuhnya yang tidak tertutup sempurna.
Waktu itu siapa pun yang memberinya selembar pakaian pasti akan mendapat
semua miliknya, yang paling berharga sekali pun.
Namun sekarang ia sudah memiliki segalanya.
*
Bila mata perempuan itu sudah semakin terang berarti ia sudah banyak
meminum arak.
Bila dadu terus berdenting berarti barang taruhan pun semakin banyak.
Melihat wajah orang-orang itu ia merasa lucu. Lelaki yang biasanya terlihat
sangat sopan manakala sudah berjudi dan main perempuan seketika berubah
menjadi segerombolan anjing dan babi.
Ingin muntah ia melihatnya.
Tiba-tiba ada yang berteriak, Aku yang jadi bandar, apakah Nyonya Besar
ingin bertaruh?
Perempuan itu menghampiri dan menaruh selembar cek di atas meja.
Yang menjadi bandar adalah seorang kaya. Biasanya ia selalu memamerkan
tubuhnya yang tinggi besar di hadapan para perempuan. Juga sering
memamerkan cincin gioknya yang mahal. Ia melakukan semua itu untuk
membuktikan bahwa dirinya adalah seorang kaya raya bertubuh kekar.
Perempuan itu tahu lelaki ini sedang menggodanya.
Ia sudah sering digoda, tapi itu dulu. Sekarang ialah yang memilih lelaki,
bukan lelaki yang memilihnya. Ia yang menggoda lelaki, bukan lelaki yang
menggodanya.
Lelaki bandar itu melempar dadu, yang keluar angka sebelas. Ia tertawa
seperti anjing lapar hingga terlihat giginya berwarna kuning dan hitam.
Perempuan itu mengambil dadu, mengocoknya, dan yang keluar angka 4
merah.
Dalam keterpaksaannya, sang Bandar masih coba tertawa. Ia kalah total!
Ketika ia meraih cek di atas meja, angka yang tertulis adalah 50.000 tail.
Wajah lelaki itu berubah lebih hitam dan lebih kuning daripada giginya.
Perempuan itu tertawa renyah. Katanya, Janganlah terlalu dibuat serius, ini
hanya permainan. Bila Tuan tidak cukup membawa uang, cukuplah diganti
dengan dua kali gongngongan anjing. Semua kami di sini pasti senang.
Siapa pun rela mengganti 50.000 tail dengan dua kali salakan anjing asalkan
dianggap lunas.
Namun dengan cepat perempuan itu membuka pintu dan segera berlalu.
Ia takut jika tetap di ruangan itu akan muntah di hadapan tamu-tamunya.
*
Subuh tiba.
Matahari mulai datang menyapu bintang dan rembulan. Di ufuk timur,
cahayanya semakin gemilang. Kabut pagi yang terlihat menggumpal perlahan
menipis buyar terhembus angin dan matahari yang menyinarinya.
Tak seorang pun tahu asap kabut itu akan menghilang ke mana. Seperti juga
tak seorang pun tahu kabut itu datang dari mana.
Perempuan itu menelusuri jalan kecil membelah kabut, melewati pegunungan,
hingga akhirnya tiba di sebuah rumah kayu di kaki bukit.
Begitu masuk, ia menjumpai sosok Meng Xin Hun yang berbaring entah
tertidur entah mabuk. Perlahan perempuan itu menghampiri dan mengulurkan
tangannya.
Sebenarnya Meng Xin Hun tidak tertidur, juga tidak mabuk. Ia hanya tidak mau
tahu akan keadaan sekitarnya.
Mendengar langkah orang ia membuka sedikit mata dan melihat tangan
perempuan itu, sepasang tangan berbentuk indah walau agak sedikit
kebesaran. Pemilik tangan seperti itu pasti mempunyai sikap yang keras, hati
yang keras.
Siapa pun tidak akan percaya bahwa tangan itu pernah menggali tanah untuk
mendapat ubi jalar, juga pernah bekerja di tambang batu bara.
Perempuan itu menatap Meng Xing Hun dan mengamil botol arak dari
dadanya. Kau tidak boeh minum terlalu banyak, katanya.
Suara perempuan itu lembut namun nadanya memerintah. Memang hanya
perempuan ini yang bisa memerintah Meng Xin Hun. Perempuan itulah yang
pernah menolong jiwanya ketika berusia enam, ketika sekerat bakpau dingin
lagi keras lebih mewah daripada emas permata.
Itulah jaman perang saat banyak orang mati kelaparan. Di masa itu lumrah jika
ada orang mati kelaparan. Sebaliknya, jika ada yang tidak mati kelaparan,
itulah kejadian luar biasa.
Tanpa rumah, tidak ada ayah, tidak ada ibu, namun anak berusia enam tahun
bisa bertahan hidup benar-benar suatu mukjizat yang luar biasa.
Mukjizat itu diciptakan oleh Gao Lao Da.
Gao Lao Da bukan berarti kakak lelaki paling besar, melainkan kakak
perempuan paling besar.
Ia menciptakan empat mukjizat.
Empat anak telah ia selamatkan dan mengikutinya. Yang paling kecil berusia
lima tahun, sementara usia Gao Lao Da saat itu baru 13 tahun.
Demi menghidupi empat anak dan dirinya, semua pekerjaan sudah pernah ia
kerjakan. Ia pernah mencuri, mencopet, menipu.
Ia juga pernah menjual diri.
Saat usianya 14 tahun, ia tukar keperawanannya dengan dua kilo daging. Ia
tidak pernah melupakan wajah si tukang daging.
Lima belas tahun kemudian ia datang kembali ke tukang daging itu dan
memasukkan sebilah pedang panjang.
Tepat ke dalam rongga mulutnya.
3. Dewi Musim Semi
Matahari terus merangkak semakin tinggi di permukaan.
Seiring halimun yang menguap terbakar matahari, silau cahayanya
menerawangi kertas jendela.
Dan Gao Lao Da menarik tirai jendela. Ia tidak menyukai cahaya matahari,
karena cahaya matahari selain membuat kulit cepat tua juga memperjelas
garis-garis yang mulai muncul di wajahnya.
Tiba-tiba Meng Xing Hun bertanya, Kau datang untuk memerintahkanku
melakukan hal itu?
Gou Lou Da tertawa. Kau tidak perlu diperintah, karena kutahu kau tidak akan
mengecewakanku
Namun kali ini
Mengapa kali ini?
Kalau aku tidak pergi, bagaimana?
Gao Lao Da sejenak memelototi Meng Xin Hun, tanyanya, Kenapa? Apa kau
takut pada Sun Yu Bo?
Meng Xing Hun tidak menjawab, sebab ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia
semata terdiam, mencoba mencari jawab pada diri sendiri.
Kau takut? ulang Gao Lao Da lagi.
Sekarang ia sudah tahu jawabannya: ia tidak takut! Ia tidak takut mati karena
ia sudah pernah mati saat berusia enam. Kalau seseorang sudah tidak takut
mati, apa lagi yang harus ditakuti?
Jawaban yang benar adalah: kejenuhan! Kejenuhan yang sudah merasuk
tulang dan bercampur dengan darah. Ya, bukan kematian yang
menakutkannya, tapi kejenuhan yang merasuki dirinya. Kejenuhan yang telah
menghilangkan segala semangat dan gairah pada kehidupan.
Aku tidak mau pergi! ucap Meng Xin Hun lirih.
Gao Lao Da membeku, sesaat kemudian baru berkata. Tidak bisa, kau harus
pergi! Kau tahu, Shi Qun sedang di Utara, Xiao He ada di Ibu Kota. Dua
saudara-mu itu tidak bisa pulang. Maka, hanya kau saja yang bisa
melakukannya. Hanya kau yang bisa menghadapi Sun Yu Bo.
Gao Lao Da saat berusia 13 tahun sudah membuat empat keajaiban, empat
anak telah ia selamatkan dan mengikutinya hingga sekarang.
Bagaimana dengan Ye Xiang? tanya Meng Xin Hun.
Ye Xiang sekarang hanya bisa membopong anak.
Ye Xiang dulu bisa melakukan ini!
Tapi Ye Xiang dulu tidak sama dengan Ye Xiang sekarang, ujar Gao Lao Da
keras. Tapi perlahan ia mulai melembut, katanya, Aku sudah memberinya
kesempatan tiga kali, tapi tiga kali pula dia mengecewakanku.
Wajah Meng Xin Hun tetap tanpa ekspresi, tapi mata kanannya mulai
berkedut. Manakala ia merasa sakit di hati atau marah, sudut mata kanannya
selalu berkedut.
Hubungannya dengan Shi Qui, Xiao He, dan Ye Xiang ibarat saudara
sekandung. Sebenarnya Ye Xiang adalah pemimpin di antara mereka empat
lelaki. Usianya paling tua, paling pintar, paling kuat. Tapi, sekarang
Aku lelah kata Meng Xin Hun lirih memejam mata.
Gao Lao Da menarik nafas, kemudian duduk merapatkan diri di sisinya. Aku
tahu kau sudah lelah, sudah jemu. Tapi kehidupan memang begini. Bila kita
ingin bertahan hidup, kita tidak boleh berhenti.
Hidup? Siapa yang perduli dengan hidup? Tapi ia tahu, dalam hidup tetap ada
hal yang harus diperdulikan. Maka ia berkata dengan terpejam, Baiklah, jika
kau menyuruhku pergi, aku akan pergi.
Gao Lao Da memegang lengan Meng Xin Hun. Kutahu kau tidak akan
mengecewakanku.
Tangan Gao Lao Da terasa lembut dan hangat. Sejak Meng Xin Hun berusia
enam, tangan itu sudah memegang lengannya. Gao Lao Da adalah temannya,
kakak perempuannya, juga merangkap ibunya.
Namun sekarang ia merasa sepasang tangan itu menggenggam tidak seperti
biasa.
Tak tahan ia membuka mata, melihat sepasang tangan yang indah walau agak
kebesaran, masih tangan Kakak Gao yang dulu. Kemudian pandangannya
perlahan beralih naik ke pangkal lengan, dan terus ke atas pada dadanya,
hingga akhirnya bertemu mata Kakak Gao.
Sepasang mata itu begitu jernih dan terang.
Tapi wajah Meng Xin Hun justeru muram seperti pelita kehabisan minyak.
*
Matahari sudah lama bersinar terang. Lampulampu entah kapan sudah mati
kehabisan minyak.
Meng Xin Hun tiba-tiba merasa Kakak Gao-nya seperti orang yang lain.
Seorang perempuan yang cantik dan lain.
Saat itu Kakak Gao juga sedang menatapnya. Setelah lama baru berkata
perlahan, Kau sudah bukan anak kecil lagi.
Meng Xin Hun memang bukan anak kecil lagi. Sejak usia tiga belas, ia sudah
bukan anak-anak lagi.
Kutahu, kau sering mencari perempuan
Benar, banyak sekali, jawabnya.
Apa kau pernah menyukai mereka?
Tidak pernah,
Jika kau tidak menyukai mereka, artinya mereka tidak bisa memuaskanmu.
Bila lelaki selalu tidak puas, lama-lama ia pasti akan jenuh Kakak Gao
tertawa, begitu lembut dan feminin. Perlahan ia melanjutkan, Sebagai lelaki
mungin kau tidak memahami perempuan, seperti juga kau tidak tahu betapa
perempuan bisa mendukung dan memotivasi lelaki
Meng Xin Hun tidak bicara, ia hanya menatap Kakak Gao
Kakak Gao berdiri perlahan, gerakannya anggun, begitu lembut menawan.
Lengannya bergerak ke dada, mulai membuka kancingnya satu persatu. Gao
Lao Da membiarkan pakaiannya tanggal, jatuh ke bawah.
Ia memang tidak muda lagi, tapi juga tidak seperti wanita yang telah
kehilangan masa remaja, ia tahu bagaimana cara merawat tubuh.
Berdiri di bawah matahari pagi yang mengintip dari balik jendela, ia seperti
Dewi Musim Semi. Dadanya yang terbuka membusung indah dengan
putik-putik pada pucuknya telah mengeras kaku. Nafasnya selembut angin
musim semi membawa harum memabukkan.
Apakah Gao Lao Da sudah mabuk dengan araknya?
Mabuk atau tidak mabuk, tidakkah ia tetap wanita?
Dan Meng Xin Hun adalah lelaki!
*
Angin menderu. Dedaunan berterbangan.
Apakah musim gugur sudah tiba? Ataukah itu sekedar pertanda hujan yang
akan tiba? Akankah cerahnya matahari hari ini berlalu begitu saja?
Meng Xin Hun berlari sekencangnya membelah deru angin pagi seperti hewan
yang terluka mengejar matahari.
Ia terus berlari dan berlari seakan enggan berhenti, sementara air matanya
terus mengalir seperti ribuan mutiara menetes terbang ke belakang terbawa
angin.
Ia ingin. Ia mau.
Tapi, ia tidak bisa!
Pernah saat mereka masih berkelana dulu, di umurnya yang baru tiga belas
itu, mereka harus beristirahat di sebuah gudang entah milik siapa.
Musim semi baru tiba. Cuaca terasa begitu panas dan gerah. Sedemikian
gerah dan panasnya hingga ia terbangun di tengah malam dan tanpa sengaja
melihat Kakak Gao sedang mandi di pojok gudang sana.
Sinar bulan mengintip dari jendela, menyinari tubuh putih halus yang basah
tersiram air segayung demi segayung.
Tubuh itu berkilauan.
Air itu mengalir pada setiap lekuknya, pada celah bukit dadanya, menetes
melalui perut dan pusarnya, pada lembah subur di bawah sana, sebelum
akhirnya membasahi jenjang paha dan betisnya.
Seketika Meng Xin Hun merasa bara api di perutnya, atau lebih tepat lagi: di
bawah perutnya! Membuat ia memejam mata, namun keringat sudah
membasahi pakaiannya.
Usianya tiga belas.
Tapi sejak itu ia menjadi lelaki!
Mulai saat itu ia sering memikirkan Kakak Gao, memikirkan kilau tubuhnya,
lekuk tubuhnya, keindahan yang terpampang di hadapannya.
Dewi Musim Semi!
Sejak itu pula setiap tidur malam ia selalu membalik tubuh ke arah tembok,
tidak berani sembarang memejam mata. Karena setiap kali matanya terpejam,
yang terbayang adalah Dewi Musim Semi.
Manakala bayangan itu datang padanya ia merasa berdosa, melarang dirinya
membayangkan hal itu lagi. Hingga akhirnya ia menyimpan sebuah jarum.
Setiap kali bayangan itu datang padanya, ia mengambil jarum guna menusuk
kakinya.
Usianya semakin bertambah. Bekas tusukan jarum di kakinya pun semakin
bertambah. Hingga ahirnya ia memiliki wanitanya sendiri. Tapi, tetap saja
manakala matanya terpejam di atas tubuh wanita itu, yang terbayang adalah
Kakak Gao.
Dan akhirnya di hari ini ia benar-benar bisa mendapatkan Kakak Gao.
Sungguh ia tidak pernah menduganya, tidak percaya. Walau tidak percaya, ia
harus percaya.
Ia ingin.
Ia mau.
Tapi, ia tidak bisa!
Sewaktu Meng Xin Hun berlari dari rumah kayu itu ekspresi wajah Kakak Gao
seperti ditampar kencang sekali. Bagi seorang wanita, ditinggal lelaki seperti
itu adalah penghinaan terbesar.
Dan Meng Xin Hun tahu perasaan Kakak Gao.
Tapi ia tetap harus menolaknya.
Baginya, Kakak Gao adalah kakak perempuannya, ibunya, temannya. Ia tidak
mau merusak hubungannya dengan Kakak Gao. Juga tidak mau menggeser
kedudukan Kakak Gao di hatinya.
Tempat di hati itu tidak akan pernah tergeser oleh siapa pun.
Siapa pun!
4. Ye Xiang
Meng Xin Hun masih berlari sekencangnya membelah angin seperti hewan
yang terluka mengejar matahari hingga ia kelelahan dan akhirnya berhenti.
Sebatang pohon besar berkulit kasar berdiri kekar di sana.
Ia menangis menggerung memeluk pohon itu erat-erat, menggosokkan
wajahnya ke kulit pohon kuat-kuat. Ia merasa wajahnya basah, entah oleh air
mata atau darah?
Matahari semakin tinggi. Mendung hilang entah kemana. Di luar hutan tampak
sebuah rumah di sisi kali. Pemandangan begitu menawan. Seindah lukisan.
Seakan di dunia ini tak ada yang lebih indah selain pemandangan di tempat
itu.
Ke tempat itu bermacam orang dari berbagai lokasi datang bertandang, ibarat
lalat melihat segumpal darah di atas sekerat daging telanjang, berbondong
menghampiri.
Di situ mereka rela menghabiskan uang sebanyak-bayaknya karena itulah
sebuah rumah pelesiran.
Di tempat itu kau bisa membeli arak, memilih perempuan yang paling cantik,
juga membeli mimpi yang tidak bisa kau raih. Bahkan bila kau berani
mengeluarkan banyak uang, kau bisa membeli nyawa seseorang.
Di sana tidak ada barang yang tidak bisa dibeli. Pun tidak ada barang yang
bisa dibeli tanpa uang. Pokoknya, setiap orang yang datang harus membawa
uang, tanpa pengecualian, termasuk Meng Xin Hun.
Itulah rumah milik Gao Ji Ping, biasa dipangil Gao Lao Da.
Hidup berkelana selama 20 tahun mengajarkan Gao Lo Da satu hal: lebih baik
mempunyai uang daripada mempunyai anak. Tidak ada yang bisa
menyalahkan Gao Lao Da atas prinsipnya.
Pengalaman telah mengajarkan padanya, kehidupan yang miskin lebih
menyakitkan daripada memotong sekerat daging sendiri.
*
Beberapa lelaki terlihat ke luar dari rumah plesiran itu.
Mereka memeluk pinggang perempuan masing-masing sambil membicarakan
hasil perjudian tadi.
Berjudi semalam suntuk terkadang lebih melelahkan daripada pertarungan
hidup dan mati.
Meng Xin Hun mengenali lelaki yang pertama keluar, bermarga Qing, tengah
memeluk wanita yang lebih cocok menjadi cucunya.
Orang bermarga Qing itu bertubuh kuat, masih terawat, semangatnya masih
menggebu. Setiap musim gugur ia datang ke tempat itu dan menginap selama
beberapa hari.
Meng Xin Hun bertanya dalam hati, Tidak banyak yang mampu membeli
nyawa Sun Yu Bo, diakah salah satunya?
Nyawa Sun Yu Bo berharga sangat tinggi. Dulu setiap Meng Xin Hun
membunuh orang, ia tidak perduli siapa yang membeli. Tapi kali ini lain, ia
ingin tahu.
Sepertinya malam tadi Qing menang besar, tawanya keras tergelak-gelak, tapi
tiba-tiba terhenti. Ia melihat seseorang melintas mendatangi.
Orang itu bertubuh tinggi besar, gagah, mengenakan jubah panjang berwarna
hijau, rambutnya mulai memutih, dan tangannya memegang dua lempengan
besi.
Dari posisi Meng Xin Hun di tepi hutan di belakang sana, ia tidak bisa melihat
wajah lelaki itu dan hanya bisa melihat wajah si Qing.
Di dunia persilatan marga Qing lumayan terkenal, namun begitu melihat wajah
lelaki yang mendatangi dari depannya, seketika si Qing berubah hormat,
menyingkir ke tepi, memberi jalan sambil membungkuk.
Lelaki itu hanya menganguk, mengucapkan dua kata, dan terus berlalu.
Siapakah dia? Meng Xin Hun ingin tahu, tapi tidak bisa!
Di tempat itu Meng Xin Hun ibarat setan tanpa bayangan. Ia tidak boleh
mempunyai nama maupun marga, tidak boleh mengenal orang, juga tidak
boleh dikenal orang.
Gao Lao Da telah memerintahkannya agar tidak seorang pun boleh
mengenalnya.
Maka, ia tidak boleh memiliki perasaan, teman, dan juga kehidupan pribadi.
Bahkan, nyawa sendiri pun bukan miliknya. Ia hanya mempunyai tugas.
Tugasnya hanya satu: mencabut nyawa.
*
Meng Xin Hun coba berdiri tegak dengan tetap memeluk pohon itu.
Tiba-tiba dari atas pohon terjulur sebuah tangan, gemetar menawarkan seguci
arak, diikuti datangnya sebuah suara serak. Sepagi ini sudah bangun, bukan
hal yang baik, mari minum bersama!
Meng Xin Hun menyambut guci arak tanpa menengadah. Walau ia tidak
mengenal suara seraknya, tapi ia bisa mengenali sepasang tangannya.
Tangan itu sangat besar dan tipis, artinya bisa memegang benda apa pun
dengan kuat dan cepat. Maka, bila tangan itu memegang pedang, pastilah
tiada seorang pun yang luput dari pedangnya.
Itulah tangan Ye Xiang.
Namun tangan itu sudah lama tidak memegang pedang. Pedangnya sudah
lama ia gantungkan.
Dulu, sekali pedang Ye Xiang berkelebat, selamanya mengenai sasaran
dengan tepat.
Gao Lao Da mempercayai Ye Xiang. Ye Xiang pun penuh percaya diri. Tapi
sekarang untuk memegang seguci arak pun tangannya terlihat gemetar.
Di tangan itu tampak bekas luka yang panjang dan dalam, luka yang ia dapat
saat terakhir bertugas membunuh orang.
Orang itu bernama Yang Yu Ling, seorang kroco yang tidak terkenal.
Sebelumnya, semua yang dibunuh Ye Xiang jauh lebih lihai daripada Yang Yu
Ling.
Gao Lao Da menyuruh Yeng Xiang membunuh Yang Yu Ling semata untuk
memulihkan kepercayaan dirinya karena ia sudah dua kali gagal.
Tapi kali ini pun ia tetap gagal. Yang Yu Ling nyaris memotong putus tangan
Ye Xiang.
Semenjak itu Ye Xiang tidak pernah membunuh lagi, kerjanya seharian hanya
bermabukan semata.
*
Arak itu terasa pahit dan pedas.
Hanya sekali tenggak, alis Meng Xin Hun langsung berkerut.
Ye Xiang tertawa, Ini memang bukan arak bagus, tapi tidak ada arak bagus
tetap lebih baik daripada tanpa arak. Ia kembali tergelak sebelum
melanjutkan, Gao Lao Da masih mengijinkanku meminum arak pun sudah
suatu kebaikan. Orang sepertiku pantasnya menenggak kencing kuda!
Meng Xin Hun tidak tahu harus berkata apa, sementara Ye Xiang sudah
melorot turun dari pohon dan tersenyum memandangnya.
Namun Meng Xing Hun tidak mau melihatnya. Ia tidak tega. Orang yang
pernah mengenal Ye Xiang pasti tidak tega melihat ia berubah drastis seperti
ini.
Sebenarnya Ye Xiang adalah lelaki yang ganteng dan kuat, tenaganya besar,
suaranya berat berwibawa. Tapi sekarang pedangnya sudah berkarat,
wajahnya kuyu, suaranya berubah serak.
Ye Xiang menenggak araknya lagi sambil menghela nafas. Sekarang semakin
jarang kita berjumpa. Biar pun kau menghina diriku, itu pantas bagiku. Bila
tidak ada dirimu, aku sudah mati di tangan Yang Yu Ling.
Terakhir kali Gao Lao Da menyuruh Ye Xiang membunuh orang, ia menyuruh
Meng Xin Hun menguntit dari belakang.
Ye Xiang tertawa. Sebenarnya hari itu kutahu kau ada di belakangku, karena
itu
Meng Xing Hun seketika menyela, Seharusnya aku memang tidak pergi!
Kenapa? tanya Ye Xiang.
Gao Lao Da menyuruhku mengikutimu karena ia menghawatirkanmu. Kau
tahu itu! Karena itu, kau tidak percaya diri. Bila saat itu aku tidak mengikutimu,
kau pasti bisa membunuh Yang Yu Ling.
Ye Xiang tertawa sedih. Kau salah! Waktu aku gagal membunuh Lei Lao San,
aku tahu selamanya tidak bisa membunuh lagi. Lei Lao San adalah kegagalan
pertamanya.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang dalam-dalam. Lei Lao San seorang
tengkulak, biasanya kau paling benci orang macam ini. Aku heran, kenapa kau
tidak bisa membunuhnya?
Ia tertawa kecut. Aku pun tidak tahu mengapa, yang kutahu aku merasa
sangat lelah. Sedemikian lelahnya hingga enggan melakukan apa pun.
Setelah terdiam sesaat, Ye Xiang menghela nafas, Kau tidak akan pernah
mengerti perasaan seperti ini
Lelah! Kata itu tajam menusuk ulu hati Meng Xin Hun, sudut matanya mulai
berkedut. Lama ia baru berkata, Aku mengerti!
Kau mengerti apa?
Aku sudah membunuh sebelas orang!
Kau tahu berapa orang yang kubunuh?
Meng Xin Hun tidak tahu. Kecuali Gao Lao Da tidak ada yang tahu. Setiap kali
menjalankan tugas, itulah misi rahasia, tidak ada orang lain yang boleh tahu.
Aku sudah membunuh tiga puluh orang. Tidak lebih tidak kurang, tiga puluh!
Tangannya gemetar, ia cepat-cepat menenggak araknya. Kau pun akan
membunuh dalam jumlah banyak, mungkin lebih banyak dariku. Karena jika
tidak, kau akan menyerupai nasibku
Lagi, seolah tendangan keras menghantam ulu hati Meng Xin Hun. Ia sudah
benar-benar merasa mual, ingin muntah: Ye Xiang adalah cermin dirinya.
Sementara Ye Xiang melanjutkan berkata, Setiap orang memiliki nasib dan
takdirnya sendiri, jarang ada yang bisa menghindari dan mengubahnya.
Sebetulnya aku pernah memiliki kesempatan untuk mengubah takdirku
Kau pernah miliki kesempatan itu?
Ye Xiang membuang pandang jauh-jauh. Pernah suatu kali aku bertemu
dengan seorang wanita, ia membantuku sepenuh hati. Kalau waktu itu aku
bertekad pergi dengannya, mungkin hidupku tidak begini. Seandainya pun
mati, matiku jauh lebih baik daripada begini
Kenapa kau tidak pergi dengannya?
Mata Ye Xiang menyorot sedih, perlahan ia berkata lirih, Karena aku seorang
bodoh. Sangat goblok. Goblok sekali! Aku tidak berani
Bukannya tidak berani, Meng Xin Hun menatap penuh simpati, mungkin
karena kau tidak tega.
Tidak tega pun suatu kebodohan! hentaknya. Kuharap kau tidak sebodoh
diriku. Ia memegang tangan Meng Xin Hun, menatapnya dalam-dalam.
Kesempatan hanya datang sekali. Jika sudah lewat, ia tidak akan kembali.
Dalam hidup setiap orang pasti akan datang satu kesempatan! Karena itu
kumohon padamu, bila kesempatan itu datang padamu, janganlah kau
sia-siakan.
Sehabis berkata ia membalik tubuh, ia tidak mau Meng Xin Hun melihat air
matanya.
Ia mengucapkan semua itu bukan hanya demi Meng Xin Hun, tapi juga untuk
dirinya. Ia tahu seumur hidupnya sudah tidak punya kesempatan lagi,
karenanya ia berharap Meng Xin Hun dapat melanjutkan hidup dengan lebih
baik daripada dirinya.
Sementara Meng Xin Hun hanya terdiam. Ia tidak bicara karena tidak bisa
mengutarakan isi hatinya. Perasaannya pada Gao Lao Da hanya dirinya yang
tahu. Demi Kakak Gao, ia rela mati.
Ye Xiang kembali bertanya, Apa kau akan membunuh lagi?
Meng Xin Hun mengangguk.
Kali ini siapa yang akan kau bunuh?
Sun Yu Bo.
Itulah rahasianya. Tapi, dihadapan Ye Xiang, ia tidak bisa menyimpan rahasia
itu.
Sun Yu Bo? Apakah Sun Yu Bo yang tinggal di Jiang Nan?
Kau mengenalnya? Meng Xin Hun balik bertanya.
Aku pernah bertemu dengannya!
Dia seperti apa?
Tidak ada yang tahu dia seperti apa. Aku hanya mengetahui satu hal saja.
Apa?
Jika aku adalah kau, aku tidak akan pergi membunuhnya.
Meng Xin Hun menghela nafas, berkata perlahan, Aku juga hanya
mengetahui satu hal saja.
Apa?
Aku harus membunuhnya!
5. Lao Bo
Ketika Fang You Ping pulang, ia sudah mabuk seperti melayang. Ia tidak ingat
di mana minum arak, juga tidak tahu bagaimana ia bisa pulang. Yang pasti,
jika ia tidak mabuk, ia tidak akan pulang.
Sebenarnya ia punya keluarga yang hangat dan bahagia. Tapi tujuh bulan
yang lalu rumah tangganya tidak hanya hangat, melainkan sudah sangat
panas. Sedemikian panasnya hingga ibarat neraka membuatnya enggan
pulang.
Ketika malam ini ia pulang, seisi rumah sudah tertidur lelap. Di tangannya
masih ada setengah botol arak yang masih ia coba tenggak. Belum lagi
terminum, ia malah muntah. Setelah muntah ia jadi agak sadar.
Sebenarnya ia tidak mau sadar. Setelah sadar, keadaannya malah lebih
runyam daripada mabuk. Karenanya, ia memilih mabuk daripada sadar. Ia
segera menenggak setengah botol arak yang tersisa di tangannya.
Sesungguhnya ia lelaki yang punya uang dan nama. Lelaki yang punya uang
dan nama pasti memiliki istri yang mempesona.
Istrinya memang cantik, sangat cantik malah. Boleh dikata, kecantikan istrinya
begitu menggoda.
Tapi ia paling tidak tahan jika kaum lelaki memandang istrinya dengan mesum,
serasa ingin ia cungkil setiap pandangan lelaki seperti itu.
Sayangnya, ia pasti tidak akan sanggup melakukannya. Karena kalau ia
sanggup, entah berapa banyak mata lelaki yang harus ia cungkil.
Namun istrinya sangat suka dengan pandangan binal seperti itu, suka bila
lelaki menatapnya dengan mesum. Semakin mesum, semakin baik malah.
Walau di luaran wajah istrinya sedingin es, tapi ia tahu di dalam hati istrinya
sedang membayangkan naik ranjang bersama lelaki yang memandang mesum
itu.
Pada malam pertama pernikahannya, ia hampir mencekik mati sang istri. Tapi
begitu melihat sepasang mata yang besar dan lincah, memandangi mulut yang
ranum merekah, tangannya yang terjulur mencekik seketika berubah jadi
pelukan.
Ia hanya bisa menangis di dada istrinya.
Entah berapa banyak lelaki yang sudah naik ke ranjang sebelum dirinya, ia
tidak mau tahu. Tapi belakangan yang ia tahu hanya satu: jika istrinya tidak
ada di tempat tidur, berarti tengah berada di tempat tidur lelaki lain.
Begitu sadar ia pasti mengingat hal itu. Maka Fang You Ping segera lari ke
ruang tamu, setengah arak tersisa tidak cukup membuatnya mabuk. Ia
mencari sebotol arak lagi, itu pun kalau masih ada.
Tiba-tiba terdengar suara di luar jendela, kibar pakaian diterpa angin.
Sebelum menikah dengannya, istrinya adalah seorang maling perempuan
yang lumayan ternama, bernama Zhu Qing. Ilmu meringankan tubuh isterinya
bahkan lebih lihai daripadanya.
Setelah menikah ternyata ilmu meringankan tubuh Zhu Qing tetap berguna, ia
bisa keluar dari jendela kapan pun mau dan pulang menjelang pagi.
Sejak menikah, Zhu Qing tidak lagi mencuri barang karena suaminya sudah
cukup menyediakan barang. Ia hanya perlu mencuri lelaki.
Lilin hampir padam. Fang You Ping sudah separuh mabuk separuh sadar.
Tiba-tiba Zhu Qing muncul dengan pandangan menghina.Wajahnya terlihat
pucat, bola matanya hitam, penampilannya dingin tapi anggun.
Kau dari mana? tanya Fang You Ping. Sebetulnya ia sudah tahu
jawabannya, tapi tetap bertanya.
Zhu Qing menjawab dengan nada menghina, Mencari seseorang.
Mencari siapa?
Mencari Mao Wei.
Di kota itu semua kenal Mao Wei. Harta Mao Wei sangat banyak. Dalam
hitungan sepuluh orang, paling sedikit enam di antaranya membeli pakaian di
toko Mao Wei. Beras pun dibeli dari toko Mao Wei. Kalau berjalan entah ke
mana, tanah yang kau pijak mungkin masih dimiliki Mao Wei. Bila kau melihat
seorang perempuan cantik, kemungkinan perempuan itu milik Mao Wei atau
sudah pernah dipermainkan Mao Wei.
Pokoknya, di tempat itu, apa pun yang kau lakukan, apa pun yang kau lihat,
seputar mata memandang, pasti ada hubungan dengan Mao Wei.
Wajah Fang Yao Ping terlihat merah, marah ia bertanya, Untuk apa kau cari
Mao Wei?
Kau mau tahu jawabnya? Mata Shu Qin menyorot sinar menggoda.
Wajahnya yang pucat mulai memerah, kemudian melanjutkan berkata, Ia juga
minum arak sepertimu. Tapi, tidak sepertimu, walau mabuk ia masih bisa
melakukannya.
Tiba-tiba Fang You Ping meloncat dan mencekik leher Zhu Qing. Kubunuh
kau! teriaknya.
Meledak tawa Zhu Qing. Ia cekikikan, Silahkan bila ingin membunuhku, tidak
ada yang kubuat kagum padamu. Bila kau memarahi Mao Wei, barulah
kukagum padamu.
Fang Yaou Ping tidak berani memarahi Mou Wei, juga tidak berani mencekik
mati istrinya karena Mao Wei pasti akan mencarinya. Dalam keadaan mabuk
pun ia tidak berani melakukannya!
Tangan Fang You Ping gemetaran kemudian ia mulai melonggarkan
cekikannya. Namun begitu melihat wajah Zhu Qing yang menghina, tangannya
kembali mencengkram erat.
Tiba-tiba Zhu Qing berteriak, Jangan memukuli wajahku! Walau ia berteriak,
tapi tidak terlihat ketakutan dalam nadanya, malah terdengar tawa dalam
suaranya.
Fang You Ping memukul perut Zhu Qing hingga terjatuh.
Zhu Qing mengait leher Fang You Ping, menariknya supaya ikut terbaring di
lantai dan membiarkan Fang You Ping menghirup aroma tubuhnya.
Fang You Ping terus memukuli dada Zhu Qing yang kenyal. Tapi, ia memukul
terlalu ringan.
Zhu Qing malah tertawa cekikikan, ia mengangkat gaun panjangnya
tinggi-tinggi, mengeluarkan sepasang kakinya yang jenjang dan putih, juga
menunjukkan bahwa ia tidak mengenakan apa-apa lagi di balik gaunnya.
Fang You Ping seperti sapi yang terengah. Ia membenamkan wajahnya
dalam-dalam di sana. Menghirup seluruh aroma kewanitaan istrinya.
Kemudian ia mengangkat tubuhnya, meletakkan persis di bawahnya. Dan
Fang You Ping mulai coba memasuki diri istrinya. Ia merasa betapa
kewanitaan istrinya sudah begitu basah.
Namun betapa pun mencoba, ia tetap tidak mampu.
Akhirnya ia berguling dari atas tubuh Zhu Qing, jatuh ke samping persis pada
bekas muntahnya sendiri.
Ia kembali ingin muntah, tapi tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis.
Zhu Qing perlahan berdiri, merapikan rambutnya yang kusut. Hanya dalam
waktu sekejap ia berubah dari perempuan genit menjadi perempuan anggun.
Dengan dingin ia menatap Fang You Ping. Aku tahu, sekali mabuk kau tak
dapat melakukannya dan selalu mengecewakanku. Sekarang aku mau tidur,
jangan coba ganggu, karena aku harus tidur nyenyak supaya besok punya
tenaga buat menemui Mao Wei.
Ia membalik tubuh, masuk ke kamar tidur. Sebelum masuk ia masih sempat
berkata, Kecuali kau membunuh Mao Wei, setiap malam aku akan tetap
mencari dia.
Fang You Ping mendengar pintu dikunci.
Dan ia terus menangis.
Hingga akhirnya nama itu melintas dalam benaknya. Seseorang dapat
membantunya. Ya, hanya seorang saja yang bisa membantunya.
Lao Bo!
Begitu teringat nama Lao Bo, hatinya seketika tentram karena ia tahu Lao Bo
akan membereskan masalahnya.
Hanya Lao Bo.
Tidak ada yang lain!
*
Zhang Lao Tou, si Pak Tua Zhang, berdiri di dekat tempat tidur memandangi
anak perempuannya yang cantik dengan air mata bercucuran.
Ia adalah seorang tua yang memiliki penghidupan susah, seumur hidup
membantu orang bekerja di sawah, saat panen pun hasilnya masih milik orang
lain.
Hanya anak perempuan satu-satunyalah yang bisa membahagiakannya, yang
ia banggakan dan perlakukan sebagai putri raja. Namun sekarang putrinya
telah dirusak oleh segerombolan bejat.
Semenjak pulang kemarin malam putrinyanya pingsan dan belum sadarkan diri
hingga sekarang.
Sewaktu di gendong ke dalam, semua pakaiannya sobek, memperlihatan kulit
putih mulus yang penuh lebam.
Mengapa ia bisa mengalami kejadian seperti ini?
Zhang Lao Tou tidak habis pikir. Ia pun tidak tega memikirkannya.
Sewaktu megambil air kemarin anak itu masih tampak polos dan gembira,
masih punya mimpi-mimpi indah. Tapi saat ia pulang kehidupannya sudah
berubah menjadi mimpi buruk.
Sebelum pingsan ia masih sempat menyebut nama dua orang: Jiang Feng dan
Jiang Ping.
Zhang Lao Tou ingin mencekik leher mereka, namun ia tidak sanggup.
Jiang Feng dan Jiang Ping adalah tamu dari Xu Qing Song yang kaya raya. Xu
Qing Song adalah teman baik ayah kedua pemuda itu.
Selain itu, kedua kakak beradik ini lumayan punya nama di dunia persilatan.
Mereka pernah membunuh harimau tanpa senjata.
Rasanya mustahil bagi Zhang Lao Tou yang miskin dan renta untuk
membalaskan dendamnya.
Namun Xu Qing Song dikenal sebagai orang yang sangat adil. Karenanya,
Zhang Lao Tou datang kepadanya. Ia percaya Xu Qing Song pasti akan
membela dirinya.
Xu Qing Song tengah berdiri di depan Jiang bersaudara. Mukanya merah. Ia
menggulung lengan baju seakan ingin mencekik mati kedua pemuda itu.
Walaupun Jiang bersaudara menunduk sangat dalam, tapi dari sorot mata
mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa takut sama sekali.
Jiang yang lebih muda menunduk melihat sepatunya sendiri yang ternoda
darah perawan putri Zhang Lao Tou. Ia merasa sayang karena sepatu itu baru
dibeli di Ibu Kota
Binatang jahat! Maki Zhang Lao Tou dalam hati, ia gemetar menahan geram,
namun tetap mencoba menahan diri karena percaya Xu Qing Song akan
memberi keadilan padanya.
Suara Xu Qing Song sangat tegas ketika berkata, Apa kalian yang melakukan
ini? Jawab dengan jujur!
Jiang bersaudara mengangguk.
Xu Qing Song sangat marah dan membentak, Tidak kusangka kalian bisa
melakukan hal ini. Apa kalian melupakan begitu saja ajaran orangtua? Aku
adalah sahabat orangtua kalian, paling sedikit harus menggantikan dia
menghajar kalian! Apa kalian bisa menerima?
Jiang bersaudara mengiyakan.
Wajah Xu Qing Song tidak marah lagi dan berkata, Kelakuan kalian walau
sangat memalukan tapi masih mau mengakui kesalahan. Di depanku pun
kalian berkata jujur. Anak muda seperti kalian karena sudah mengaku
bersalah, tentu masih bisa ditolong dan dimaafkan. Untunglah Nona Zhang
lukanya tidak seberapa
Zhang Lao Tou seketika pening. Kata-kata Xu Qing Song sulit didengarnya
lagi.
Xu Qing Song masih melanjutkan berkata, Sekarang kutanya pada kalian,
kelak apa masih berani melakukan perbuatan seperti ini?
Jiang bersaudara mengeluarkan senyum licik, mereka tahu masalah sudah
beres. Dengan cepat si kakak berkata, Tidak berani Tidak berani lagi.
Xu Qing Song melanjutkan, Karena kalian baru pertama melakukannya dan
berani mengakui kesalahan, maka hukumannya agak ringan. Kalian dihukum
selama tujuh hari di rumahku, dan semua upah kalian diberikan kepada Nona
Zhang. Xu Qing Song sejenak merapikan lengan bajunya. Kalau lain kali
kalian masih berani melakukan hal ini, aku tidak akan mengampuni lagi!
Zhang Lao Tou merasa darahnya terhisap habis, untuk marah pun ia tidak
bisa. Ia hanya terkulai lemas.
Bila sehari mendapat tiga tail perak, dalam tujuh hari ada dua puluh satu tail.
Dua puluh satu tail bagi Jiang bersaudara seperti setitik debu, dan itulah nilai
yang ditukar untuk membeli kebahagiaan anak perempuannya seumur hidup.
Jiang bersaudara berjalan sambil menunduk dan terus keluar. Saat melalui
Zhang Lao Tou mereka meliriknya, penuh kemenangan.
Zhang Lao Tou orang yang sabar, selama hidup menanggung kesulitan. Ia
tetap sabar ketika menerima banyak siksaan dan penghinaan, namun sekali ini
ia tidak kuat menanggungnya.
Zhang Lau Tou menggeram. Ia berlari menghampiri dan menjambak baju di
dada Jiang Feng. Aku juga punya dua pulus satu tail perak, bawa adik
perempuanmu ke sini. Aku juga mau melakukanya!
Jiang Feng dingin menatapnya, tidak bergerak sedikit pun. Pukulan Zhang Lau
Tou di dadanya seperti lalat menggoyang penglari.
Dua orang pelayan datang menarik tangan Zhang Lao Tou dan langsung
menyeretnya pergi, membuat ia merasa diperlakukan seperti seekor monyet.
Seumur hidup ia biasa dihina, tapi tidak pernah terhina seperti ini.
Xu Qing Song justeru marah dan berkata, Kalau bukan anak peremuanmu
yang menggoda duluan, mana mungkin Jiang bersaudara akan melakukan hal
itu? Mengapa mereka tidak melakukannya pada perempuan lain? Perempuan
di desa ini bukan hanya anakmu saja, tahu! Xu Qing Song mengebas
tangannya. Cepat pulang, ajari anak perempuanmu. Jangan marah-marah
seperti orang gila di sini!
Zhong Lau Tou merasa air pahit keluar dari tenggorokannya, ia ingin muntah
tapi tidak bisa.
Maka ia mengikat tali di atas penglari rumah.
Ia marah karena dirinya tidak berguna, marah pada dirinya karena tidak bisa
mencari keadilan bagi anaknya yang diperkosa.
Ia rela mengorbankan segalanya demi sang anak, tapi sekarang ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Bila hidup seperti ini, tidakkah lebih baik mati?
Ia mengikat tali dan memasukkan kepala pada lubang simpulnya. Saat itulah ia
melihat di pojok ruangan beberapa labu dan setumpuk anggur.
Setiap panen musim gugur ia akan memilih labu yang paling besar dan anggur
yang paling manis, kemudian mengantarkannya kepada orang itu.
Ia melakukan karena rasa hormat dan cinta pada orang itu. Dan sekarang ia
memikirkan nama itu.
Lao Bo!
Begitu teringat Lao Bo, hatinya seketika tentram karena ia percaya Lao Bo
akan mengembalikan keadilan untuknya.
Hanya Lao Bo.
Tidak ada yang lain!
*
Tujuh Pemberani, itulah gelar mereka.
Mereka tujuh pemuda, berani, dan penuh tenaga kehidupan. Tapi mereka
sendiri tidak begitu mengerti makna kata berani pada gelar mereka.
Yang mereka tahu, mereka berani mengatakan dan melakukan apa pun.
Mereka tidak tahun bahwa berani berkata dan berbuat pun suatu kebodohan.
Yang tertua di antara ketujuh pemuda pembrani itu adalah Tie Cheng Gang. Ia
berbeda dengan keenam pemuda lainya, ia bukan anak piatu. Persamaan
dirinya dengan keenam pemuda lainnya adalah mereka senang berpetualang.
Salah satu petualangan yang mereka suka adalah berburu. Dan musim gugur
merupakan saat tepat untuk berburu.
Hari itu Tie Cheng Gang membawa keenam temannya buat berburu. Mereka
baru mendapat dua ekor rusa, seekor kucing gunug, dan beberapa kelinci.
Tiba-tiba mereka melihat sebuah rumah terbakar di kaki bukit. Rumah Duan Si
Ye.
Duan Si Ye adalah paman Tie Cheng Gang.
Ketika mereka tiba, api sudah besar melalap rumah. Tidak tampak seorang
pun yang berusaha memadamkannya. Ke mana tujuh puluh hingga delapan
puluhan penghuninya?
Mereka berlari masuk ke dalam rumah dan menemukan jawabannya. Di rumah
itu semua lelaki, perempuan, tua, muda, semua sudah jadi mayat.
Total, tujuh puluh sembilan mayat, dan salah satunya adalah mayat Duan Si
Ye.
Tombak perak yang biasa digunakan Duan Si Ye telah putus menjadi dua.
Ujung tombak menancap di dadanya, namun gagang tombak tidak ada di
tangannya.
Sepasang tangan Duan Si Ye justeru mengepal dengan keras, hingga
urat-urat nadi di tangannya merongkol seperti ular mati berwarna hijau
kebiruan.
Barang apa yang digenggam Duan Si Ye begitu erat hingga mati pun ia tidak
rela melepaskannya?
Tidak ada yang tahu, bahkan sepertinya Duan Si Ye pun tidak memiliki
kesempatan untuk mengetahuinya hingga mati pun ia tidak sempat menutup
mata.
Melihat keadaan mayat sang paman, hati Tie Cheng Gang sakit sekali,
lambung pun terasa menciut.
Ia berjongkok dan menutup kelopak mata Duan Si Ye, kemudian berusaha
membuka genggaman tangan sang paman.
Gengaman itu sangat sulit dibuka. Tangan Duan Si Ye menggengam terlalu
erat, dan kini otot dan tulangnya sudah mengeras kaku.
Api semakin mendekat, mulai memanggang wajah Tie Cheng Gang. Dari
rambutnya pun mulai tercium bau hangus.
Teman-temannya berteriak, Cepat lari! Kita keluar dulu baru bicara lagi!
Dengan menggigit bibir Tie Cheng Gang mencabut golok dan memengal
sepasang tangan pamannya untuk kemudian ia simpan dalam pakaiannya
serta berlari ke luar sana.
Sesampai di luar, teman-temanya merasa heran. Jika kau ingin melihat apa
yang digengamnya kenapa tidak kau bopong saja tubuhnya keluar?
Tie Cheng Gang mengeleng kepala. Mending paman sekalian dikremasi
saja.
Ia tidak pernah berbohong pada teman-temannya, tapi kali ini ia tidak
mengatakan yang sejujurnya.
Sebetulnya ia merasa firasat tidak enak, membuatnya memutuskan
membiarkan mayat pamannya tetap di dalam.
Teman-temannya menatap dengan heran, Apa kita biarkan keadaan seperti
ini?
Habis bagaimana lagi? Tien Cheng Gang balik bertanya.
Paling sedikit kita harus tahu siapa yang membakar rumah ini.
Tie Cheng Gang belum menjawab, ia melihat kedatangan tiga biksu
mengenakan baju berwarna biru. Di pedang mereka terlihat pita berwarna
kuning berkibar tertiup angin seiring dengan jengot mereka yang belang dan
juga terkibarkan angin.
Mereka sepeti tiga dewa yang baru turun dari langit. Ketiganya pasti bukan
pembunuh.
Entah mengapa melihat mereka hati Tie Cheng Gang terasa berat.
Sebaliknya, teman-temannya malah merasa senang.
Huang Shan San You sudah datang. Asalkan ada tiga biksu sepuh itu semua
masalah pasti beres.
Huang Shan San You adalah sebutan untuk Yi Shi, Yi Yun, dan Yi Qiang.
Walau mereka adalah biksu, namun ilmu pedangnya sangat tinggi. Mereka
juga sangat adil. Tidak heran jika banyak anak muda yang belajar pedang
mengidolakan mereka.
Tidak terduga wajah Huang Shan San You terlihat marah. Begitu berhadapan,
Yi Qiang si Satu Mata Air berseru, Kalian sangat berani!
Yi Yun si Satu Awan menyahuti, Kutahu kalian biasa melakukan hal-hal
yang berani, tidak disangka kalian juga berani melakukan ini!
Yi Shi si Satu Batu selalu jarang bicara. Ia diam seperti sebongkah batu.
Lebih keras dan lebih dingin daripada batu.
Enam orang dari Tujuh Pemberani itu wajahnya sudah berubah. Mereka bukan
takut, tapi kaget setengah mati.
Memangnya kami sudah melakukan apa? tanya salah satunya, sementara
yang lain berkata, Perbuatan ini bukan kami yang melakukan!
Yi Qiang murka, Kalian masih berani menyangkal?
Yi Yun pun marah, Bila bukan kalian, lantas siapa? Darah di pisau kalian pun
belum dibersihkan!
Keenam pemuda dari kaget menjadi heran dan gelisah. Mata Huang Shan San
You begitu jeli, masakah tidak bisa membedakan darah manusia atau hewan?
Tapi Tie Cheng Gang terlihat tenang, ia sudah melihat permasalahanya dan
tahu bahwa tiada seorang pun yang bisa membela mereka dari tuduhan itu.
Ia tidak mau mati sebagai kambing hitam. Lebih-lebih ia tidak mau keenam
kawan setianya menemaninya mati. Karena itu, ia harus tenang.
Yi Qiang bertanya, Apa lagi yang ingin kalian bicarakan?
Tie Cheng Gang tiba-tiba menukas, Aku semua yang lakukan ini! Mereka
tidak tahu apa-apa.
Apa kau suruh aku melepas mereka? tanya Yi Qiang.
Tie Cheng Gang menjawab, Asal kalian melepas mereka, kujamin satu patah
pun tak kan kubantah!
Mata Yi Shi menyipit. Satu pun tidak bisa dilepaskan. Bunuh semua!
Pedangnya lebih cepat daripada suaranya. Saat kilatan pedang berayun, satu
nyawa sudah melayang.
Tujuh Pemberani tidak seperti orang lain. Mereka bersatu bukan karena teman
sekedar minum arak dan daging. Di antara mereka benar-benar terjalin
perasaan yang erat. Bila ada yang mati, yang lain matanya akan memerah
karena marah.
Sekarang mata mereka sudah merah karena marah. Walau mereka tahu
bukan tandingan Huang Shan San You, mereka tidak takut mati.
Mereka adalah anak muda yang darahnya mudah bergolak, tidak mengerti arti
kehidupan dan makna selembar nyawa yang mahal. Mereka juga tidak
mengerti ketakutan dan kematian. Karenanya, mereka pantang lari dari
masalah.
Tie Cheng Gang adalah yang tertua di antara mereka. Tiba-tiba ia justeru
membalikkan tubuh dan lari masuk ke dalam kobaran api.
Ia lari bukan karena takut mati, ia hanya tidak mau mati tanpa tahu penyebab
kematiannya.
Ia juga tahu, jika ia mati, Tujuh Pemberani akan dicap sebagai pembunuh
yang membakar rumah Duan Si Ye. Nama buruk Tujuh Pemberani tidak akan
bisa dibersihkan dan pembunuh sebenarnya akan tetap bebas berkeliaran.
Ia pun tahu, Huang Shan San You tidak akan membiarkannya lolos, karenanya
ia berlari masuk ke dalam kobaran api.
Yi Shi sangat marah, beteriak, Jangan biarkan dia lolos! Bunuh dia! Lima
orang ini cukup kuhadapi sendiri saja.
Ia mengayunkan pedangnya dari kiri ke kanan, kemudian dari atas ke bawah.
Jalur yang dilalui pedangnya seketika menyembur darah.
Sementara Yi Qiang dan Yi Yun menerjang kobaran api mengejar Tie Cheng
Gang. Walau api sudah lama berkobar, nyalanya masih besar.
Jenggot mereka yang belang sudah habis terbakar, tubuh pun di beberapa
tempat juga hangus terbakar.
Kehidupan Huang Shan San You biasanya sangat tenang dan damai.
Pembawaannya pun selalu anggun seperti dewa. Tapi sekarang keadaan
mereka tampak kacau begini.
Mengapa mereka mengangap nyawa Tie Cheng Gang begitu penting dan
berharga?
Yi Qiang berteriak, Tie Cheng Gang, apa kau tidak mendengar jerit
teman-temanmu? Apa kau tidak perduli dengan mereka? Teman macam apa
kau?
Tidak ada sahutan. Yang terdengar hanya gemeretak kayu terbakar api.
Yin Yun sudah tidak tahan lagi kemudian berkata, Kita mundur dulu, Tie
Cheng Gang tidak mungkin lolos.
Walau pun Tie Cheng Gang bisa lolos dari api, tapi ia tidak akan bisa lolos dari
pedang Huang Shan Sou You. Bila tetap bertahan di kobaran api, ia akan mati
terpanggang.
Api sudah padam.
Huang Shan San You mulai membersihkan sisa-sisa kebakaran. Mayat-mayat
pun sudah seluruhnya hangus terbakar.
Ada berapa mayat? tanya Yi Shi.
Delapan puluh lima, jawab Yi Qiang.
Wajah Yi Shi langsung berubah. Setelah lama ia baru berkata, Tie Cheng
Gang belum mati!
Yi Qiang menganguk. Benar dia belum mati.
Dia harus mati! kata Yi Shi.
Yi Qiang menganguk dan mereka mulai mencari lagi.
Akhirnya mereka menemukan sebuah jalan bawah tanah di reruntukan puing
bekas kebakaran itu.
Wajah Yi Qiang terlihat semakin marah. Tie Cheng Gang sudah lari lewat
jalan ini.
Dia masih keluarga Duan, tentu sudah pernah ke sini. Ia pasti tahu jalan ini.
Mari kita kejar.
Yi Qiang berkata dingin, Harus dikejar ke mana pun pergi, tidak boleh
dibiarkan lolos!
Tiga malam berlalu. Jangkrik berderik.
Tie Cheng Gang menelungkup di semak-semak berduri, tidak berani bergerak
sama sekali.
Tubuhnya terluka tusukan duri-duri semak. Darah masih mengalir. Ia juga
sudah tiga hari tiga malam tidak makan dan minum.
Ia lapar hingga matanya lamur. Pun bibirnya sudah pecah kekeringan. Namun
ia tetap tidak berani bergerak.
Ia tahu ada orang yang mengejarnya. Pendekar Zhao Xiong sudah
memerintahkan seluruh anak buah untuk menangkapnya.
Sesungguhnya Zhao Xiong adalah teman baik ayahnya. Tie Cheng Gang
datang ke tempat itu untuk meminta pertolongan, perlindungan, serta keadilan.

Nyatanya, Zhao Xiong lebih mendengar kata-kata Huang Shan Sao You. Jika
Tie Cheng Gang tidak keburu tahu bahwa Zhao Xiong sudah bersekongkol
dengan ketiga pendeta itu, mungkin sekarang ia sudah mati.
Zhao Xiong tidak percaya padanya. Lantas kepada siapa lagi ia dapat
percaya?
Orang-orang dunia persilatan tidak ada yang mau melindunginya pun tidak
ingin bermusuhan dengan Huang San Sao You.
Wajah Tie Cheng Gang menempel ke tanah yang basah oleh air matanya.
Ia tidak mudah menangis. Mati pun ia tidak mau menangis. Namun sekarang
ia justeru menangis karena sedih dan putus asa.
Sepasang tangan yang kering dan keriput itu masih ada di dalam pakaiannya.
Tangan yang menggengam suatu barang itu adalah bukti yang kuat buat ia
membela diri.
Tapi ia tidak bisa mengeluarkan bukti itu kepada orang lain karena tidak ada
yang mempercayainya.
Orang lain pasti akan membawa sepasang tangan itu kepada Huang Shan
Sao You dan mereka pasti akan memusnahkan bukti itu. Kalau situasi sudah
begini, Tie Cheng Gang mati pun sudah tidak ada tempat lagi.
Saat ini ia seperti anjing liar. Sedih, tiada yang mau membantunya. Dingin.
Lapar.
Bahkan kehidupan anjing liar mungkin lebih baik daripada dirinya.
Ia membalik tubuh, menelentang, menatap langit.
Bintang-bintang bertebaran di angkasa.
Begitu terang. Begitu indah.
Sinar bintang selalu memberi harapan.
Tiba-tiba ia terpikir nama seseorang.
Lao Bo!
Satu-satunya orang yang bisa ia percaya di dunia ini dan memecahkan
masalahnya hanya Lao Bo.
Tidak ada yang lain!
*
Tempat itu sangat indah, rumput sangat hijau, pemandangan begitu
mempesona.
Berbaring di tepat itu siapa pun bisa melihat gunung yang hijau, awan yang
bergerak perlahan, juga bisa melihat pemandangan kota yang indah di kaki
gunung.
Itulah sebuah kota tua.
Kota itu sudah hancur sepuluh tahun yang lalu, tapi Wan Peng Wang
memperbakinya dan menjadikannya hidup kembali.
Berkat jasanya, kota itu sudah menjadi pusat perkumpulan Shi Er Fei Pang
Bang dengan ketuanya Wan Peng Wang.
Ia tinggal di kota itu.
Orang-orang di dunia persilatan tidak ada yang berani sembarangan di sana,
bahkan merusak sehelai rumput pun mereka tidak berani.
Sekarang bunga-bunga berguguran dan rerumputan mulai menguning.
Namun dua sejoli itu tidak perduli.
Asalkan bisa berkumpul bersama hal lain mereka tidak perdulikan lagi.
Walau bunga mekar atau layu, entah musim semi atau gugur, asalkan bisa
b e r s a m a
mereka bahagia.
Mereka masih muda dan saling mencinta.
Yang lelaki berusia delapan belas, sang gadis berusia hampir sama, berbaring
di pelukannya. Bagi mereka, angin begitu halus dan hujan begitu lembut.
Wajah si gadis selalu tersenyum puas. Ia berterima kasih atas kehidupan yang
begitu indah.
Tapi bila ia melihat rumah kokoh di bawah gunung sana, keceriaannya
seketika menghilang. Matanya dikabuti kesedihan.
Si Gadis menghela nafas, Xiau Wu sebenarnya kau tidak boleh mencintaiku
dan tidak boleh memperlakukanku begini baik.
Tangan Xiau Wu lembut merapikan rambutnya, Kenapa?
Karena aku tidak pantas menerimanya.
Mata gadis itu mulai memerah dan air mata mengalir. Kau tahu, aku hanya
seorang pelayan, tubuhku milik orang lain. Jika orang menyuruhku mati pun
aku tidak bisa hidup lagi.
Xiao Wu memeluknya erat. Dai Dai, janganlah kau berkata begitu. Hatimu
adalah milikku, hatiku pun milikmu. Jangan takut. Ia memeluk begitu erat
membuat si gadis luluh.
Tapi air mata Dai Dai terus mengalir. Dengan sedih ia berkata, Aku tidak takut
dengan yang lain, hanya kuatir hubungan kita diketahui orang lain.
Ia sangat takut karena pernah melihat majikannya marah. Majikannya adalah
Wan Peng Wang. Bila Wan Peng Wang marah, tidak seorang pun yang bisa
menahannya.
Gadis itu membalas pelukan Xiao Wu. Majikanku tidak akan mengijinkan kita
bersama. Dia selalu bertindak kejam pada pelayan-pelayannya. Kalau dia
tahu
Xiao Wu tiba-tiba menutup mulut Dai Dai dengan mulutnya, tidak
mengijinkannya melanjutkan kata-kata.
Tapi bibir Xiao Wu sendiri terasa dingin dan gemetar. Sesaat ia melepaskan
gadisnya dan berkata, Aku tidak akan mengijinkan siapa pun memisahkan
kita. Tidak pernah
Ia menghentikan kata-katanya karena merasa tubuh Dai Dai tiba-tiba
mengejang kaku. Ia segera membalik tubuh dan melihat Wan Peng Wang
sudah berdiri di sana.
Di mata setiap orang, Wan Peng Wang bagaikan dewa. Bila benar ada dewa,
dewa itulah Wan Peng Wang.
Orang ini tubuhnya seolah lebih besar dan tinggi daripada dewa. Wajahnya
lebih berwibawa daripada dewa. Walau ia tidak bisa membuat petir, sekali
tangannya mengayun bisa secepat angin dan sekeras petir.
Xiao Wu adalah seorang pelajar, namun kungfunya lumayan lihai. Tapi begitu
tangan Wan Peng Wang mengayun, ia tidak mampu menahan dan
mengelakkannya.
Ia hanya bisa mendengar suara tulang retak. Dalam keadaan separuh sadar ia
mendengar tangis Dai Dai serta langkah suara Wan Peng Wang yang
mendekati.
Aku tahu kau adalah anak Wu Lao Dao, ia pernah bekerja padaku, kata Wan
Peng Wang pada Xiou Wu, Hari ini aku tidak membunuhmu, tapi lain kali
kalau berani datang kemari akan kubuh kau dengan cara ditarik lima ekor
kuda.
Bila Wan Peng Wang sudah berkata begitu, setiap orang pasti
mempercayainya. Bila ia mengatakan akan membunuh dengan cara ditarik
lima ekor kuda, ia tidak akan menggunakan cara lain untuk membunuh.
Gotong dia pulang! Beritahu kepada Wu Lao Dao jika ingin anaknya selamat,
jangan biarkan keluar rumah!
Semenjak itu Wu Lao Dao tidak pernah mengijinkan anaknya keluar rumah
karena ia sangat menyayangi anaknya.
Tapi ia juga tidak sanggup melihat anaknya semakin hari semakin kurus dan
merana. Maka ia mendatangi Wan Peng Wang agar Dai Dai bisa menikah
dengan anaknya.
Jawaban yang ia dapat hanyalah sebuah gaplokan.
Bila Wan Peng Wang menolak, ia hanya akan menolak satu kali saja karena
tidak ada yang berani meminta untuk kedua kali.
Saat panen musim gugur, nyawa Xiao Wu hampir berahir.
Xiao Wu tidak mau makan dan minum, tidak mau tidur dan tetap terjaga.
Dalam jaganya, setiap hari ia seperti linglung terus menerus menyebut nama
Dai Dai.
Hati Wu Lao Dao serasa hancur mendengar tangis anaknya. Ia rela
mengorbankan segalanya demi sang anak, tapi sekarang ia tidak bisa berbuat
apa-apa.
Ia hanya bisa pasrah melihat anaknya mati perlahan. Ia sendiri sudah tidak
mau hidup lagi.
Di saat itulah ia menerima sebuah undangan perayaan ulang tahun, datang
dari temannya sejak kecil.
Walau umurnya tidak jauh berbeda, tapi ia memanggilnya, Lao Bo. Hanya
dua kata itu saja.
Lao Bo, berarti Paman Bo, itu sudah menunjukkan betapa Wu Lao Dao
sangat menghormati Lao Bo. Ia sangat benci pada dirinya karena tidak sedari
kemarin teringat nama itu.
Satu-satunya orang yang bisa menjadi dewa penolong anaknya hanyalah Lao
Bo.
Tidak ada yang lain!
Lao Bo adalah Sun Yu Bo.
*
Dunia ini memang tidak adil dan banyak orang yang mengalami ketidakadilan
itu.
Untunglah selain Thian, masih ada orang bernama Sun Yu Bo.
Walau kau sangat miskin tetapi manakala kau mengalami suatu ketidakadilan
dan datang padanya, maka ia akan mengangap masalahmu sebagai
masalahnya dan akan memikirkan cara untuk memecahkannya.
Sun Yu Bo tidak akan mengecewakan orang yang datang padanya.
Kau tidak perlu membayar apa pun, semua pasti akan ditolongnya, entah ia
teman atau bukan, miskin atau kaya, ia tetap akan membantumu. Karena, ia
senang menegakkan keadilan dan membenci segala ketidakadilan seperti
petani membenci hama.
Walau ia tidak menerima bayaran, secara tidak sengaja orang-orang sudah
memberi sesuatu kepadanya. Bayaran itu berupa penghormatan dan
persahabatan. Karena itu pula mereka memanggilnya Lao Bo, Paman Bo.
Dan ia bangga dengan panggilan itu.
*
Ia memang senang membantu orang seperti ia menyukai bunga yang
bermekaran.
Karenanya tidaklah mengherankan jika tempat tinggal Lao Bo bagai sebuah
kota bunga.
Di setiap musim berbeda pasti ada jenis bunga yang berbeda keindahan dan
berbeda waktu mekarnya. Dan Lao Bo selalu berada di tempat di mana bunga
mekar sedang indah-indahnya.
Bunga yang paling banyak mekar saat ini adalah chrysan, maka Lao Bo pun
berada di sana sambil menjamu para tamunya.
Tamu-tamu Lao Bo datang dari berbagai daerah dan wilayah, membawa
berbagai macam bingkisan, mulai dari yang mahal hingga buah dan sayuran,
atau hanya sekedar membawa diri dan perasaan hati yang tulus.
Lao Bo menganggap mereka sama, ia tetap akan melayani setiap tamunya
dengan cara yang sama. Terutama pada hari ini, ia lebih ramah daripada
biasanya karena hari ini istimewa.
Inilah hari ulang tahunnya.
Sebenarnya tubuh Lao Bo tidak tinggi, tapi orang-orang bilang tubuh Sun Yu
Bo terlihat paling tinggi.Wajahnya selalu tersenyum, tapi keramahannya tidak
mengurangi wibawanya. Semua orang tetap menghormatinya.
Di samping Lao Bo berdiri Sun Jian yang lebih muda. Jelas terlihat mereka
lebih menghormati Sun Yu Bo daripada Sun Jian.
Sun Jian bertubuh tidak begitu tinggi, tapi dari keseluruhan posturnya seperti
mengandung tenaga besar yang tidak ada habisnya
Sun Jian adalah putra Lao Bo. Seperti ayahnya, ia juga senang menolong
orang. Ia sering melepas bajunya buat membantu siapa pun. Tapi orang selalu
menganggap ia tidak seperti ayahnya.
Sifat Sun Jian sangat keras seperti bara, setiap saat dapat meledak. Sifat
seperti itu sering membuatnya salah langkah. Karena itu juga ia sering
kehilangan teman.
Orang lain bukan tidak mau mendekatinya, melainkan takut pada sifatnya itu.
Tapi kaum perempua adalah pengecualian.
Walau perempuan takut padanya, tapi sulit menolak daya tariknya. Banyak
perempuan rela mengikutinya.
Sekarang Sun Jian berdiri di luar taman chrysan menemani ayahnya
menyambut tamu.
Ia kesal karena sudah lama berdiri di sana. Untungnya sekarang sudah
waktunya makan dan sudah cukup banyak tetamu yang hadir.
Di antara para tetamu ada yang ia kenal, tapi banyak juga yang tidak ia kenal.
Salah seorang di antaranya adalah pemuda yang mengenakan pakain
sederhana dan berwajah dingin. Pemuda itu datang membawa bingkisan yang
tidak terlalu mahal juga tidak terlalu murah.
Namun ayah dan anak Sun tidak mengenalnya. Tentu hal ini tidak masalah
karena mereka senang berteman. Pintu rumah Lao Bo selalu terbuka untuk
semua orang. Asal kau datang, Lao Bo pasti senang.
Apalagi pemuda asing itu terlihat menyenangkan. Ayah dan anak Sun sangat
senang menyambutnya.
Sun Jian juga suka berteman. Karenanya ia sengaja melihat kartu nama yang
tertera pada bingkisan yang dibawa pemuda itu.
Namanya Chen Zhi Ming. Nama yang sangat biasa.
Mata Sun Yu Bo sangat awas dalam mengenali bakat dan perbawa
seseorang, segera ia bisiki anaknya, Apa kau pernah mendengar nama ini?
Tidak, balas berbisik Sun Jian.
Sun Yu Bo mengerut dahi. Dua tahun belakangan ini kau senang berkelana,
masakah tidak mengetahui nama ini?
Kemungkinan nasibnya kurang mujur, jadi namanya tidak dikenal.
Sun Yu Bo berfikir sebentar kemudian katanya, Nanti kau harus tanya Lu
Xiang Chuan, mungkin ia tahu siapa pemuda ini.
Baiklah, jawab Sun Jian.
Walau Sun Jian berjanji untuk bertanya, namun ia tidak sempat
menanyakannya ke Lu Xiang Chuan karena tamu yang berdatangan semakin
banyak dan ia segera melupakan kejadian tadi.
Seandainya Sun Jian tidak lupa pun belum tentu ia akan bertanya ke Lu Xiang
Chuan. Ia menganggap Lu Xiang Chuan kebanci-bancian dan ia tidak suka
lelaki seperti itu.
Seandainya ia mengikuti nasihat ayahnya guna mencari tahu siapa pemuda
itu, mungkin banyak hal yang akan membuat darah bergolak dan air mata
mengalir bisa dicegah.
Sebetulnya pemuda itu bukan bernama Chen Zhi Ming, ia datang ke tempat itu
hanya untuk membunuh orang, dan orang yang ingin ia bunuh adalah Sun Yu
Bo.
Nama asli Chen Zhi Ming adalah Meng Xin Hun.
6. Han Tang
Bila Sun Jian sempat bertanya kepada Lu Xiang Chuan, ia pasti akan
menyelidiki pemuda itu. Jika tidak berhasil, ia tidak akan puas begitu saja dan
akan terus mencari hingga menemukan jawaban.
Lu Xiang Chuan sebenarnya tidak seperti perempuan, tapi ia seorang yang
teliti, sedemikian teliti dan hati-hatinya sehingga melebihi perempuan.
Lu Xiang Chuan dan Sun Jian memiliki sifat yang bertolak belakang, wajah
mereka pun berbeda.
Sun Jian berwajah gagah, beralis tebal, bermata besar, berkulit coklat terbakar
matahari. Saat ia memelototi dirimu maka kau tidak akan bisa mengalihkan
pandanganmu kepada orang lain dan tidak akan punya kekuatan untuk
memandang yang lain.
Lu Xiang Chuan berwajah pucat, terlihat sangat terpelajar, terkadang musuh
meremehkannya, menganggap ia tidak bisa apa-apa. Dan ini merupakan
kesalahan sederhana yang bisa berakibat fatal.
Lu Xiang Chuan adalah tangan kanan Sun Yu Bo. Ia pesilat tangguh yang
tidak memerlukan pedang, golok, pisau, atau parang, karena ia menggunakan
senjata rahasia. Seseorang yang di balik tubuhnya penuh dengan senjata
rahasia tentu tidak memerlukan senjata lain.
Senjata rahasianya sangat menakutkan, mungkin di dunia ini tidak ada yang
bisa menandinginya. Ia bisa mengeluarkan senjata rahasinya kapan pun ia
mau.
*
Sun Yu Bo melihat labu dan anggur di dalam keranjang. Ia tahu Zhang Lao
Tou sudah datang.
Dalam setahun Zhang Lao Tou rajin bekerja, jarang memiliki waktu luang,
jarang menikmati hidup. Hanya saat berkunjung ke tempat Lao Bo ia bisa
bersenang-senang, menikmati makanan dan hiburan yang tidak pernah ia
nikmati di tempat lain.
Karena itu setiap kali Zhang Lao Tou datang pasti terlihat riang. Tapi kali ini ia
datang dengan air mata bercucuran.
Dengan kasih sayang Lao Bo membawa Zhang Lao Tou ke perpustakaan,
memberinya secangkir arak dan pipa rokok agar Zhang Lao Tou bisa lebih
tenang.
Ruang itu hening dan kedap suara dengan privasi tinggi, siapa pun yang
bercakap di dalamnya tidak akan terdengar orang lain.
Akhirnya Zhang Lao Tou menceritakan kemalangan putrinya yang diperkosa
Jian bersaudara. Setelah mendengar cerita itu Lao Bo marah hingga wajahnya
kehijauan.
Walau Sun Yu Bo tidak menjanjikan apa pun, tapi Zhang Lao Tou tahu ia pasti
akan menyelesaikan masalah dan menghukum dua binatang itu dengan adil.
Sewaktu Zhang Lao Tou meninggalkan perpustakaan, hatinya tenang dan
sangat berterima kasih.
Demikian pula halnya dengan Fang You Ping yang menceritakan hubungan
istrinya dengan Mao Wei, juga Wu Lao Dou yang mengadukan nasib anaknya,
Xiao Wu.
Kemudian ada pula beberapa tetamu yang meminjam uang dan permasalahan
lain. Mereka pulang dengan puas.
Siapa pun yang meminta keadilan pada Lao Bo pasti tidak akan kecewa.
*
Setelah para tetamu yang berkeluh kesah pergi, Lao Bo memangil Lu Xiang
Chuan.
Lu Xiang Chuan tahu Sun Yu Bo akan memberi tugas padanya. Perintan Sun
Yu Bo biasanya sangat sederhana.
Lao Bo mengusulkan agar dalam tiga hari sudah ada yang mendatangi rumah
Qu Xing Song guna mencari Jiang bersaudara dan memberi pelajaran pada
keduanya. Tidak usah sampai mencabut nyawa, tapi cukup agar mereka
terkapar selama tiga bulan.
Lu Xiang Chuan setelah berpikir lalu berkata, Bagaimana kalau menugaskan
Wei Hu dan Wei Bao? Mereka sangat berpengalaman mengurus hal ini.
Sun Yu Bo mengangguk. Kemudian ia beralih pada kasus Fang You Ping.
Setelah menjelaskan permasalahannya, Lao Bo berkata, Mao Wei harus
dihadapi langsung oleh Sun Jian.
Lu Xiang Chuan tertawa, ia sudah mengetahui maksud Lao Bo. Jika ia
menyuruh putranya menghadapi seseorang, berarti kiamat bagi orang itu.
Sun Yu Bo berlanjut pada permasalahan Xiao Wu. Sebaiknya yang
menyelesaikan masalah ini kau sendiri. Wan Peng Wang orang yang sangat
menyusahkan, kuharap kau pulang membawa anak gadis bernama Dai Dai
itu.
Lao Bo hanya memerintah, tidak menjelaskan. Ia menyuruhmu melaksanakan
perintahnya dan tidak boleh gagal. Bagaimana kau melakukan dan dengan
cara apa menyelesaikannya itulah urusanmu sendiri.
Lu Xiang Chuan tahu tugas ini sangat sulit, namun wajahnya tidak
menampakkan kesusahan. Semua orang tahu, demi Lao Bo, Lu Xiang Chuan
mau melakukan apa pun. Lao Bo memberi tugas yang paling sulit padanya,
artinya Lao Bo mempercayainya.
Memikirkan hal ini Lu Xiang Chuan tersenyum sendiri.
Lao Bo seperti bisa membaca isi hatinya, ia menepuk pundak Lu Xiang Chuan.
Kau anak baik, kuharap kau adalah anak lelakiku sendiri.
Lu Xiang Chuan menahan gejolak hatinya.
Setelah pembagian tugas selesai, akhirnya Lu Xiang Chuan berkata, Han
Tang sudah datang, ia sudah lama menunggu di luar. Ia ingin berpamitan pada
Tuan.
Mendengar nama Han Tang wajah Lao Bo seketika membeku. Seharusnya ia
jangan datang.
Lu Xiang Chuan tidak berkata apa-apa karena ia tidak tahu Han Tang orang
macam apa. Lu Xiang Chuan jarang bertemu Han Tang, namun kala bertemu
ia hanya bisa bergidik ngeri. Mengapa bisa begitu, Lu Xiang Chuan sendiri
tidak memahami.
Han Tang tidak galak tapi sopan, matanya selalu memancar dingin. Tidak ada
yang mau berteman dengannya. Ia sendiri tidak mau dekat dengan orang lain.
Bila ada yang mendekatinya, ia segera menjauh.
Di depan Lao Bo pun Han Tang jarang membuka mulut. Sepertinya, ia hanya
menggunakan isyarat untuk mengutarakan maksudnya.
Lu Xiang Chuan melihat di antara Han Tang dan Lao Bo seperti tidak ada
persahabatan, hanya rasa hormat.
Akhirnya Lao Bo menghela nafas. Jika ia sudah datang, persilahkan masuk.
Begitu Han Tang memasuki perpustakaan, ia langsung berlutut, mencium kaki
Lao Bo.
Kelakuan ini sungguh berlebihan, membuat orang tertawa. Namun bila yang
melakukan Han Tang, tidak seorang pun yang tertawa. Walau ia melakukan
sesuatu yang lucu, orang tidak akan tertawa. Karena ia adalah Han Tang. Dan
Han Tang selalu mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati.
Kesungguhannya membuat orang ikut terpengaruh, malah terkadang takut.
Sun Yu Bo menerima penghormatan itu tanpa basa-basi. Hal ini jarang terjadi.
Selamanya Lao Bo tidak mau ada yang berlutut untuknya. Lu Xiang Chuan
tidak mengerti mengapa Han Tang merupakan pengecualian.
Kau baik-baik saja? tanya Lao Bo.
Ya. jawab Han Tang.
Apa sudah punya kekasih? tanya Lao Bo lagi.
Belum.
Kau harus mencari perempuan.
Aku tidak percaya perempuan.
Lao Bo tergelak. Terlalu percaya perempuan tidak baik, tidak percaya
perempuan pun tidak baik. Perempuan bisa menyenangkan lelaki.
Perempuan juga bisa membuat lelaki gila, jawab Han Tang.
Kau sudah melihat si cantik Xiao Fang?
Ia tidak melihatku.
Lao Bo mengangguk seperti menyetujui pernyataan itu.
Han Tang tiba-tiba berkata, Walau melihatku, ia pasti tidak mengenaliku.
Setelah menyatakan itu matanya yang dingin sedikit terlihat ekspresi, seperti
menertawakan sesuatu. Lu Xiang Chuan tidak pernah melihat ekspresi itu di
mata orang lain.
Kau boleh pergi, kata Lao Bo, tahun depan tidak perlu kemari. Aku sudah
mengerti isi hatimu.
Han Tang menunduk, setelah lama baru berkata, Tahun depan aku tetap
akan datang. Tiap tahun aku hanya keluar sekali.
Di dalam hati Lao Bo merasa kasihan padanya, tapi ia tidak menunjukkan itu.
Hanya Lao Bo yang mengerti kesulitan Han Tang. Namun Lao Bo tidak mau
membantunya, ia juga tidak dapat membantunya. Karena itukah Lao Bo
enggan bertemu Han Tang?
Han Tang sudah membalik tubuh, siap beranjak keluar ruangan.
Lu Xiang Chuan tidak tahan berseru penuh simpati, Kamarku kosong, tidak
ada orang lain, bila kau mau, bisa tinggal sehari dua hari buat mengobrol
denganku.
Han Tang menggeleng kepala, langsung keluar.
Lu Xiang Chuan tiba-tiba merasa Lao Bo menatap tidak senang padanya.
Setelah Han Tang berlalu, Lao Bo baru bertanya, Kau kasihan padanya?
Lu Xiang Chuan menunduk kepala, menganguk.
Bila kau merasa kasihan pada orang, itulah suatu kebaikan. Tapi, jangan kau
merasa kasihan padanya.
Lu Xiang Chuan ingin bertanya tapi tidak berani.
Akhirnya Lao Bo sendiri yang menjelaskan, Bila kau kasihan padanya, dia
bisa gila.
Lu Xiang Chuan tidak mengerti.
Lao Bo menarik nafas. Sebenarnya dari dulu dia sudah gila dan sebenarnya
dia sudah mati. Tapi sekarang dia masih bertahan hidup karena dia merasa
semua orang tidak ada yang baik padanya. Karena itu, jangan berbaik
padanya!
Lu Xiang Chuan tetap tidak mengerti, akhirnya bertanya, Sebenarnya dia
macam apa? Apa pula yang sudah dia lakukan?
Wajah Lao Bo terlihat gusar. Kau tidak perlu tahu dia macam apa! Banyak hal
yang tidak perlu kau ketahui!
Lu Xiang Chuan menunduk dan berkata, Ya.
Lao Bo akhirnya menarik nafas. Biarlah kuberitahu sedikit. Dia sudah
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan orang, juga tidak akan ada
orang lagi yang akan melakukannya.
Memangnya apa yang sudah dilakukan Han Tang?
Lu Xiang Chuan masih menunduk kepala. Saat ia keluar ruangan, tiba-tiba
terjadi keributan besar.
Banyak orang berteriak.
*
Yang membuat heboh ternyata Tie Cheng Gang. Ia terlihat sangat
menakutkan.
Sekujur tubuhnya penuh luka, rambutnya habis terbakar, wajahnya hangus
hingga berubah bentuk, matanya merah seperti darah, bibirnya kering dan
pecah seperti padang tandus.
Ia menerobos masuk layaknya binatang liar yang dikejar pemburu. Dari
tenggorokannya keluar suara terengah dan berteriak. Hampir tidak ada yang
bisa menangkapnya, padahal yang ia teriakkan hanya satu nama: Lao Bo.
Ketika itu Sun Jian sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Ia tidak
tahu siapa perempuan itu, yang pasti perempuan itu bukan istri orang dan
bukan perempuan baik-baik. Saat itulah ia melihat Tie Cheng Gang.
Ia sudah lama mengenal Tie Cheng Gang, namun sekarang ia hampir tidak
mengenalinya. Sun Jian mendekati Tie Cheng Gang kemudian memapahnya
ke dalam.
Kenapa kau seperti ini? tanya Sun Jian sambil mengayun tangan meminta
arak. Setelah arak datang ia meminumkannya pada Tie Cheng Gang.
Sekarang Tie Cheng Gang sedikit tenang, namun masih belum bisa bicara.
Sorot matanya sangat ketakutan.
Tidak perlu takut, kata Sun Jian, Bila sudah di sini, kau tidak perlu takut.
Tidak akan ada yang berani melukaimu lagi!
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar orang berkata, Kalimat terahir itu
tidak boleh diucapkan!
Yang bicara adalah Yi Qiang. Ternyata Huang Shan San You sudah mengejar
Tie Cheng Gang hingga ke sini.
Kenapa tidak boleh? tanya Sun Jian.
Mungkin kau belum tahu, ia seorang pembunuh. Yang dibunuh adalah
pamannya sendiri, kata Yi Qiang.
Aku hanya tahu ia adalah temanku, kata Sun Jian gusar, Sekarang ia terluka
dan kutahu ia percaya padaku, karenanya datang ke sini. Tiada seorang pun
yang bisa membawanya dari sini.
Yi Qiang marah. Suruh ayahmu ke luar, kami ingin bicara dengannya.
Urat dahi Sun Jian seketika menonjol. Omongan ayah akan sama denganku.
Siapa pun tidak ada yang bisa membawanya dari sini!
Kau sangat lancang! Ayahmu pun tidak berani sembarangan dengan kami!
Tiba-tiba terdengar jawaban, Kau salah! Ia lancang karena itulah sifat turunan.
Bahkan ayahnya lebih lancang lagi!
Kata-kata itu terdengar sangat tenang, berwibawa.
Yi Qiang bertanya, Bagaimana kau tahu
Aku pasti tahu, karena aku ayahnya.
Yi Qiang melengak. Ia hanya pernah mendengar nama Lao Bo, tapi belum
pernah bertemu dengannya.
Yi Yun ikut bicara, Mungkin Tuan Sun tidak mengenal kami, maka bicara
begitu.
Andai pun kukenal kalian, kata Sun Yu Bo, perkataanku sama saja!
Yi Qiang marah sekali. Sudah lama kudengar bahwa Sun Yu Bo orang yang
sangat adil, kenapa hari ini melindungi seorang pembunuh?
Seandainya ia pembunuh pun kita harus menunggu lukanya sembuh, baru
bertanya, kata Sun Yu Bo, Apalagi, tidak ada yang bisa membuktikan bahwa
ia pembunuh.
Kami melihat dengan mata kepala sendiri, apa itu tidak cukup? tanya Yi Yun.
Sun Yu Bo menanggapi, Kalian melihat sendiri, tapi aku tidak melihatnya. Aku
hanya tahu bila ia seorang pembunuh, ia tidak akan berani menemuiku.
Memang tidak ada yang berani menipu Lao Bo. Jika ada yang berani tidak
jujur pada Lao Bo, sama dengan mencari kubur sendiri.
Yi Yun berteriak, Apakah kata-kata Huang Shan San You kau tidak percaya?
Huang Shan San You manusia, Tie Cheng Gang juga manusia. Semua orang
punya hak bicara. Sekarang aku mau dengar apa yang ingin ia katakan.
Sekuat tenaga Tie Cheng Gang berteriak, Mereka adalah pembunuh, aku
punya buktinya. Mereka tahu aku memiliki bukti itu, karenanya mereka ingin
melenyapkanku.
Mana buktinya? tanya Sun Yu Bo.
Tie Cheng Gang dengan payah berusaha duduk, dari pakaiannya ia keluarkan
sepasang tangan yang sudah kering.
Melihat sepasang tangan itu wajah Huang Shan San You berubah. Yi Shi
berteriak, Pembunuh ini harus mati, tidak perlu banyak bicara lagi, bunuh dia!
Pedangnya lebih cepat daripada suaranya, secepat kilat menusuk tenggorokan
Sun Yu Bo. Pedang Yi Qiang dan Yi Yun pun tidak kalah cepat, yang mereka
arah adalah Tie Cheng Gang dan Sun Jian.
Lao Bo tidak bergerak. Jari-jarinya pun tidak bergerak. Semua orang merasa
marah dan berlari ke arah Sun Yu Bo untuk melindungi.
Saat pedang Yi Shi baru menusuk, ia sudah terjatuh dan tersungkur.
Tangannya yang memegang pedang sudah penuh dengan paku.
Paku-paku itu senjata rahasia.
Yi Shi tidak melihat senjata rahasia itu datang dari mana. Ia hanya melihat
seorang pemuda terpelajar berdiri di belakang Sun Yu Bo mengayun lengan
perlahan. Tiba-tiba, senjata rahasia telah menusuk tangannya.
Rasa sakit tidak ia rasakan karena tiba-tiba mati rasa.
Di sat itu Sun Jian mengamuk seperti singa, ia menerkam Yi Qiang. Ia tidak
perduli kalau Yi Qiang masih memegang pedang yang bisa mencabut
nyawanya.
Bila ia sedang marah, walau ada bahaya di depan mata, ia tetap akan
menerjang musuhnya.
Yi Qiang tidak pernah berpikir di dunia ini ada orang semacam ini. Saat ia
terkejut, pedangnya sudah dicengkram sebuah tangan. Itulah sebuah tangan
yang hidup. Hanya terdengar suara krek! Dan pedang yang terbuat dari baja
murni itu putus menjadi dua.
Dari tangan Sun Jian mengalir darah merah.
Bagi Sun Jian, darah yang tumpah tidak menakutkannya. Baginya, asalkan
bisa mengalahkan lawan, apa pun ia tidak perduli
Yin Yun yang berada di sisi Yi Qiang turut terkejut, gerakannya sedikit
melambat.
Di saat itulah datang berkelebat seseorang memasuki arena pertempuran.
Begitu cepat, tidak ada yang bisa melihat, yang terlihat hanyalah lelaki itu
mengenakan jubah kelabu.
Walau tidak jelas sosoknya, setiap orang jelas mendengar ucapannya, Siapa
yang tidak hormat pada Lao Bo harus mati!
Mengucapkan kata-kata itu tidak membutuhkan waktu yang panjang. Begitu
selesai ucapannya, Huang Shan San You sudah menjadi tiga mayat.
Ketiga biksu itu dalam waktu bersamaan sudah putus nyawa.
*
Tidak ada yang bisa melihat jelas kejadian tadi. Namun jika diputar dalam
adegan lamban kurang lebih terlihat begini:
Ketika lelaki berjubah kelabu itu menerjang, belati yang dipegang di tangan
kirinya sudah menusuk ketiak Yi Qiang. Begitu berhasil menusuk, tangannya
melepaskan belati.
Segera terdengar suara kepalan tangan memukul hidung Yi Shi, tangan
kanannya pun mencekal ikat pinggang Yi Yun.
Yi Yun sangat terkejut dan mengayunkan pedangnya. Pedang belum sempat
diayunkan, namun orangnya sudah terlempar. Kepalanya remuk membentur
batu.
Semua orang bisa mendengar suara tengkorak yang retak.
Sewaktu tangan kanannya melempar Yi Yun, ia segera melumuri wajahnya
dengan tangan kiri yang telah bersimbah darah Yi Shi, hingga orang sulit
mengenalinya.
Sebenarnya ia tidak perlu melakukan itu, karena semua orang dalam keadaan
terkejut, tidak sempat memperhatikan wajahnya.
Yang datang ke tempat itu tokoh-tokoh dunia persilatan. Namun mereka tetap
terkejut dengan tindakan tadi.
Membunuh dua hingga tiga orang bagi kaum persilatan bukan hal yang aneh,
yang menakutkan justeru cara lelaki jubah kelabu itu membunuhnya. Cepat.
Tepat. Kejam. Sangat telengas.
Tidak seorang pun yang pernah melihat cara membunuh secepat, setepat,
sekejam, dan setelengas itu.
Sebelum kejut orang-orang hilang, lelaki jubah kelabu sudah pergi entah
kemana.
*
Sepasang tangan kering dan keriput akhirnya dengan paksa berhasil
direntang. Itulah sepasang tangan yang dibawa Tie Cheng Gang.
Barang yang digengam erat ternyata separuh pita kuning serta secarik kain
biru yang terdapat kancing berwarna kuning.
Pita pedang itu dengan pita pedang Huang Shan San You sama. Perca kain
dengan pakaian mereka pun sama.
Namun bukti itu tidak penting. Pokoknya, mereka sudah tidak sopan kepada
Lao Bo. Karenanya, Huang Shan San You harus mati!
Kata-kata itu pasti disetujui semua orang. Kata-kata itu pun tidak akan
dilupakan semua orang, termasuk Meng Xing Hun.
Ketika Huang Shan San You tewas, Meng Xing Hun sudah meninggalkan
taman crysan itu.
Ia tidak perlu ada di sana lagi karena sudah cukup melihat dan mendengar. Ia
pun sekarang cukup tahu kekuatan Lao Bo: seorang putra, seorang tangan
kanan, lelaki jubah kelabu, dan entah apa lagi?
Profesinya adalah pembunuh. Tugasnya membunuh orang. Langkah pertama
yang harus dilakukan seorang pembunuh bayaran adalah mengetahui
kekuatan target sasarannya.
Itulah yang terpenting, hal lain bisa menunggu lain hari. Ia tidak tergesa.
Batas waktu yang diberikan Kakak Gao masih 113 hari lagi.
*
Sun Jian paling benci pada orang yang kerjanya tidak tegas, pun ia tidak suka
mengulur-ulur waktu.
Dalam mengerjakan segala sesuatu, ia lebih menyukai cara langsung, tepat
menuju sasaran, dan tidak mau dihalangi sebelum mencapai tujuan.
Ketika Lao Bo menyuruhnya mencari Mao Wei, tanpa banyak kata ia langsung
menuju rumah Mao Wei.
Mao Wei sedang duduk di ruang tamu, minum-minum ditemani anak-anak
buahnya.
Ketika itulah penjaga pintu menghantarkan kertas putih yang bertuliskan dua
huruf sangat besar: Sun Jian.
Mao Wei mengerut alis. Siapa pernah dengar nama ini?
7. Sun Jian
Sepertinya dia anak Sun Yu Bo, jawab salah seorang anak buahnya.
Maksudmu Sun Yu Bo yang biasa dipangil Lao Bo itu?
Benar, ia senang dipanggil Lao Bo.
Ada apa anaknya mencariku?
Kata orang, Lao Bo senang berteman. Mungkin dia datang buat berteman
dengan Tuan.
Sesungguhnya anak buah Mao Wei tahu mengapa Sun Jian datang, mereka
hanya memilih kata-kata yang enak didengar majikannya.
Mao Wei tertawa. Kalau begitu, persilahkan masuk.
Sun Jian tidak perlu dipersilahkan masuk, ia sudah masuk sendiri sebab tidak
suka menunggu terlalu lama di luar. Mereka yang melarangnya sudah terkapar
dan tidak dapat bangun.
Mao Wei berdiri dan memelototinya.
Sun Jian tidak berlari, juga tidak melompat, namun hanya dengan dua tiga
langkah ia telah berada di hadapan Mao Wei. Tidak ada yang bisa melukiskan
kecepatan geraknya.
Mao Wei mulai takut. Apa Tuan yang bernama Sun?
Sun Jian hanya mengangguk, balik bertanya, Dan kau adalah Mao Wei?
Apa maksud Tuan ke sini? tanya Mao Wei.
Apa kau mengenal istri Fang You Ping? Sun Jian balas bertanya, Benarkah
kau berhubungan gelap dengannya?
Pertanyaannya cekak aos, langsung ke permasalahan, membuat wajah Mao
Wei seketika berubah. Anak buahnya pun sudah berada di dekatnya. Satu di
antaranya yang berwajah bopeng mendekati Sun Jian, bermaksud mendorong
dada putra Lao Bo itu.
Sun Jian membentak, Kau berani?!
Bila Sun Jian marah dari tubuhnya memancar tenaga yang sulit ditakar
kekuatannya. Tangan si Bopeng segera ditarik kembali.
Menjadi tukang pukul memang tidak mudah, harus siap menjual nyawa demi
majikan. Beberapa tahun belakangan Mao Wei semakin terkenal, sehingga si
Bopeng jarang mengeluarkan tenaga guna menjalankan tugas.
Sudah beberapa tahun ini si Bopeng keenakan hidup, ia tidak ingin kehilangan
pekerjaan. Segera ia mengepal tangan memukul dada Sun Jian.
Sun Jian tiba-tiba memegang pergelangannya, membalikan telapaknya, dan
seketika memukul punggungnya.
Si Bopeng berteriak. Bersamaan dengan teriakan si Bopeng, terdengar tulang
retak. Begitu ia roboh, tubuhnya langsung lemas seperti lumpuh.
Sun Jian melakukannya dengan tuntas, ia tidak ingin terlalu banyak berurusan
dengan kroco seperti ini.
Anak buah yang tadi bersama-sama si Bopeng garang mengurung Sun Jian,
sekarang tidak ada yang berani menyerang. Mereka sadar, melaksanakan
tugas memang penting, tapi kalau harus menyerahkan nyawa begitu saja,
mereka harus berpikir ulang.
Sun Jian enggan berurusan dengan mereka. Ia terus memelototi Mao Wei.
Pertanyaanku tadi sudah kau dengar?
Wajah Mao Wei sudah merah dan nadi di leher sudah merongkol keluar. Apa
hubungannya denganmu? tanyanya.
Sekali tangan Sun Jian mengayun langsung menghajar rusuk Mao Wei. Ini
bukan jurus yang istimewa, tapi sangat cepat dan tepat, sama sekali tidak
memberi kesempatan Mao Wei mengelak.
Teriakan Mao Wei lebih histeris daripada si Bopeng. Sudah puluhan tahun ia
tidak kena pukul orang.
Kali ini kau beruntung, tidak kupukul wajahmu. Lain kali, aku tidak akan
sungkan lagi.
Wajah Mao Wei sudah mengerut kejang menahan sakit, tapi ia masih
berusaha mengangguk.
Sekarang aku bertanya, dan kau harus jawab sejujurnya, mengerti? tanya
Sun Jian sambil menjambak baju di dada Mao Wei. Ia memelototinya dengan
tajam.
Mao Wei hanya bisa mengangguk.
Betulkah kau menggoda istri Fang You Ping?
Mao Wei mengganguk lagi.
Apa kau masih ingin berselingkuh dengannya?
Mao Wei menggeleng kepala. Tiba-tiba dari tenggorokkannya keluar teriakan
bercampur erangan, Perempuan itu anjing betina, dia pelacur!
Sun Jian melihat Mao Wei begitu marah. Sudah tentu kelak ia tidak akan
berselingkuh lagi dengan perempuan itu. Mao Wei pasti menilai bahwa
siksaan yang ia terima saat ini gara-gara perempuan itu.
Mao Wei, seperti kebanyakan orang yang bersalah, saat mengalami masalah
cenderung menyalahkan orang lain. Ia sama sekali tidak merasa bersalah dan
tidak mau disalahkan.
Sun Jian merasa sangat puas. Baiklah, bila kau berjanji tidak akan
berselingkuh lagi dengannya, umurmu lebih panjang.
Mao Wei menarik nafas, mengira urusan selesai.
Ternyata Sun Jian masih berkata, Kelak bila perempuan itu berselingkuh lagi
dengan orang lain, aku tetap akan mencarimu.
Mao Wei terkejut. Ia langsung protes, Perempuan itu sudah terlahir sebagai
pelacur, mana bisa kuawasi dia?
Kupikir kau pasti punya cara yang baik, dingin jawaban Sun Jian.
Sesat Mao Wei tertegun, akhirnya berkata, Baiklah, aku mengerti!
Pertama kali Mao Wei melihat senyum di wajah Sun Jian saat ia berkata,
Betul, perempuan itu memang sudah ditakdirkan sebagai pelacur, kapan pun
ia bisa berselingkuh lagi. Kau sudah mempunyai cara. Bila dijalankan, semakin
cepat semakin baik.
Aku tahu, kata Mao Wei patuh.
Tiba-tiba tangan Sun Jian kembali bergerak, kali ini menghantam tepat ulu hati
Mao Wei.
Mao Wei langsung terbungkuk. Sayur dan arak yang tadi dimakannya tumpah
semua.
Wajah Sun Jian tetap tersenyum. Ini bukan untuk memberi pelajaran,
melainkan hanya kenang-kenangan saja.
Sekali Sun Jian memukul orang, sekurangnya setengah bulan tidak bisa
bangun. Barusan ia bilang, itu bukan pukulan sesunguhnya, membuat Mao
Wei tertawa tidak menangis pun tidak.
Tapi ia tahu, setiap kata Sun Jian harus didengar!
Sun Jian mendekati meja dan menghabiskan arak yang tersisa. Seketika ia
mengerut dahi. Dasar Orang Kaya Baru, tidak bisa membedakan arak bagus
atau jelek, mana bisa membedakan perempuan baik atau tidak?
Mao Wei menanggapi. Walau perempuan itu pelacur, tapi sungguh
perempuan yang menarik.
Bagaimana dengan istri-istrimu?
Mereka tidak dapat menandinginya.
Sun Jian memelototi Mao Wei, kemudian mengeleng-geleng kepala. Aku tidak
percaya kata-katamu. Arak saja tidak bisa kau bedakan, apalagi perempuan!
Belum habis perkataannya, ia sudah berkelebat masuk ke bagian dalam
rumah karena melihat di balik tirai banyak perempuan yang mengintip. Begitu
masuk ke dalam, Sun Jian langsung memilih yang tercantik dan
membopongnya.
Perempuan itu sangat terkejut, tidak berani bergerak.
Mao Wei pun terkejut. Kau apa yang kau lakukan?
Tidak melakukan apa-apa, hanya melakukan yang biasa kau lakukan, jawab
Sun Jian. Dengan sebelah tangan ia membopong perempuan itu, sebelah
tangan lainnya menarik Mao Wei dan membentak, Hayo, antar aku keluar.
Ia tidak ingin di tengah jalan bercapai lelah menghadapi para pengawal Mao
Wei. Bukannya takut, hanya malas direpotkan saja.
Terpaksa Mao Wei mengantarkannya keluar. Air matanya hampir menetes.
Asal kau mau melepaskan Feng Jian, akan kuberi kau 1.000 tail emas.
Sun Jian mengedip mata sambil menepuk pantat perempuan yang
digendongnya. Apa harga Feng ini begitu mahal?
Mao Wei tidak menjawab.
Apa kau menyukainya?
Tetap tidak menjawab.
Sun Jian tertawa. Lain kali kalau kau ingin berselingkuh dengan istri orang,
kau pikir dulu istri sendiri.
*
Seekor kuda tinggi besar berada di depan pintu. Itulah kuda yang sangat
bagus.
Begitu Sun Jian keluar pintu, ia langsung meloncat ke atas kuda, tidak
memberi kesempatan Mao Wei bertindak.
Itulah pelajaran yang diberikan Sun Jian.
Sun Jian tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya sulit
dilupakan.
Kuda sudah menempuh jarak puluhan kilometer, perempuan yang berada di
pundak Sun Jian tiba-tiba tertawa.
Sun Jian turut tertawa. Tanyanya, Kau tidak pingsan?
Feng Jian tetap tertawa. Aku? Tidak! Sebenarnya sudah sedari tadi kuingin
mengikutimu pergi.
Kenapa?
Karena kau lelaki jantan, kusangat tertarik padamu.
Apa perlakukan Mao Wei baik padamu?
Ia punya banyak uang, sangat pelit, tapi cukup baik padaku. Kalau tidak,
mana mau ia mengeluarkan 1.000 tail emas?
Sun Jian mengangguk, tidak bicara lagi.
Feng Jian justeru berkata, Aku di punggungmu, sungguh tidak nyaman, lebih
baik turunkan aku. Aku ingin duduk di pangkuanmu.
Sun Jian menggeleng-geleng kepala. Tadi ia memilih perempuan ini karena
punya alasan sendiri, terutama karena tatapan perempuan ini yang begitu
binal padanya.
Feng Jian menghela nafas. Kau memang lelaki aneh.
Sun Jian membedal kuda lebih cepat lagi. Di depan tampak hutan yang luas.
Begitu sepi, tidak ada orang.
Kemana kau mau membawaku? tanya Feng Jian.
Ke suatu tempat yang tak terpikir olehmu.
Feng Jian tertawa genit. Kutahu kau tertarik padaku. Sebenarnya mau di sini
atau di sana, di mana saja, ya sama saja Karena tidak mendapat tangapan,
ia melanjutkan, Aku mengenal seorang perempuan bernama Zhu Qing.
Oh! hanya itu reaksi Sun Jian.
Perempuan itu memang ditakdirkan sebagai pelacur. Tiap hari kerjanya hanya
begituan melulu. Bila menyuruhnya tidak selingkuh, seperti berharap matahari
terbit dari utara. Aku tidak mengerti dengan cara apa Mao Wei akan
menghukumnya.
Sun Jian berkata dingin, Pelacur yang mati tidak akan bisa selingkuh lagi.
Seiring ucapannya, tangan yang tadi membopong Feng Jian tiba-tiba dilepas
begitu saja.
Seketika perempuan itu jatuh seperti kantung terigu.
Ada apa denganmu? teriak Feng Jian.
Kuda Sun Jian sudah berlari beberapa meter ke depan sana, kini kembali lagi.
Dingin tatapan Sun Jian dari atas kuda.
Feng Jian mengulur tangan. Cepatlah tarik aku ke atas.
Tanya Sun Jian, Bila aku menarikmu naik, buat apa kubiarkan kau jatuh?
Tadinya Feng Jian masih ingin bersikap genit, tapi sekarang wajahnya telah
kaku karena takut.
8. Lu Xiang Chuan
Dengan berteriak, Feng Jian berkata, Kau menculikku! Apa kau membawaku
ke sini hanya untuk dilempar begitu saja?
Sedikit pun tidak salah.
Apa maksudmu?
Sun Jian tertawa dan ia membedal kuda meninggalkan Feng Jian. Ia merasa
tidak perlu menjelaskan perbuatannya.
Feng Jian marah dan memaki. Seluruh perkataan kotor keluar dari mulutnya,
kemudian menangis tersedu.
Ia menangis bukan karena tulangnya sakit terjatuh tadi, bukan pula karena
harus pulang jalan kaki. Ia menangis karena tahu Mao Wei tidak akan
mempercayai kata-katanya, juga tidak percaya bahwa Sun Jian tidak
melakukan apa-apa padanya.
Bila Sun Jian benar-benar melakukannya, Feng Jian malah merasa tidak sakit
hati.
Memang terkadang di dunia ini terdapat semacam perempuan yang tidak bisa
membedakan antara harga diri dan penghinaan.
Feng Jian adalah perempuan semacam itu. Jika orang lain menghinanya, ia
malah senang. Jika tidak menghinanya, harga dirinya malah terganggu.
Ya, mengapa Sun Jian tidak melakukannya?
Harga diri Feng Jian sungguh terusik. Selamanya ia tidak bisa mengerti
maksud Sun Jian.
Padahal, Sun Jian melakukan itu hanya ingin agar Mao Wei tahu bagaimana
rasanya bila istri diculik orang. Ia pun sengaja menculik Feng Jian, sekali
pandang ia bisa mengenali istri macam apa perempuan itu. Karenanya, ia
perlu memberi pelajaran.
Sekali tepuk dua nyawa!
*
Hutang darah bayar darah, pikir Sun Jian. Bukankah itu yang diajarkan Lao
Bo?
Lao Bo menggunakan cara seperti ini untuk membunuh penjahat, pikirnya
dalam hati. Sun Jian tidak bisa memikirkan cara yang lebih baik lagi, karena
memang tidak ada cara yang lebih baik daripada caranya itu. Memikir apa
yang telah ia lakukan, Sun Jian tertawa sendiri.
Lao Bo tidak pernah memberi petunjuk cara membereskan masalah. Sun Jian
percaya, jika Lao Bo sendiri yang melakukannya, belum tentu akan lebih baik
daripada caranya tadi.
Dalam beberapa tahun ini Sun Jian sedikit demi sedikit merasa sudah bisa
meniru cara dan teknik Lao Bo memecahkan masalah.
Dan Sun Jian merasa sangat puas.
*
Senja.
Lao Bo masih berada di taman bunga.
Ia sedang membuang ulat yang berada pada sekuntum chrysan serta
menggunting dedaunan yang layu.
Itulah bagian dari pekerjaannya. Lao Bo senang melakukan pekerjaan itu
sendiri. Itu adalah hiburan dan hobinya, dan karenanya ia tidak memberi
pekerjaan membuang ulat dan menggunting daun pada orang lain.
Di saat itu Wen Hu dan Wen Bao bersaudara masuk. Lao Bo meletakkan
gunting yang dipegangnya.
Menghadapi anak buah pun bagian dari pekerjaannya. Ketika bekerja, ia akan
lakukan dengan sepenuh hati. Begitu pula saat ia melaksanakan hobi dan
kesenangannya. Lao Bo tidak mencampuradukkan kedua tugas itu.
Wen Hu dan Wen Bao, dua pemuda sangat pemberani, sering melakukan
tugas berat. Wajah mereka mulai keriput, apakah karena tugas yang dipikul
terlalu berat?
Wajah itu kali ini pun terlihat lelah. Dua hari ini mereka telah bekerja keras.
Tapi hanya dengan melihat senyum Lao Bo, kelelahan itu seketika lenyap.
Sambil tersenyum, Lao Bo bertanya, Apa tugas kalian sudah selesai?
Wen Hu menjawab penuh hormat, Ya.
Ceritakanlah padaku, perintah Lao Bo dengan gembira.
Kami sudah menyelidiki, ternyata Xu Qing Song punya seorang putri, dan
kami pun menculiknya. kata Wen Hu langsung pada masalah.
Tanya Lao Bo, Berapa usia Nona Xu? Apa sudah menikah?
Putri Xu Qing Song dua puluh satu tahun, jawab Wen Hu, dan belum
menikah, wajah maupun sifatnya sangat buruk. Konon, Nona Xu pernah
bertunangan, tapi ia mengusir calon mertuanya.
Teruskan ceritamu, Lao Bo mengangguk.
Sebelumnya, kami berkenalan dulu dengan Jiang bersaudara, mencekok
mereka dengan arak sampai mabuk, lalu membawa kehadapan Nona Xu,
jelas Wen Hu.
Wen Bao melanjutkan cerita kakaknya dengan bangga, Jiang bersaudara
selagi mabuk seperti lalat melihat darah, tidak perduli siapa pun perempuan
itu. Begitu bertemu Nona Xu, mereka segera melakukan pekerjaan bejat itu.
Giliran Wen Hu meneruskan, Begitu selesai melakukannya, kami beri mereka
pelajaran.
Kata Wen Bao, Kami menghajar mereka dengan hati-hati, selalu menghindari
kepala bagian belakang supaya tidak sampai gegar otak. Tapi dalam dua tiga
bulan, berani jamin, mereka tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Wen Hu dan Wen Bao memiliki jurus lihai, yang satu bernama Jurus Memukul
Harimau, satunya lagi Jurus Telapak Tangan Besi. Kungfu mereka pun
seperti anak buah Lao Bo yang lain, tidak ada yang aneh-aneh, tapi kecepatan
dan kekuatannya sangat dahsyat.
Lao Bo selalu berkata, kungfu bukan untuk dipamerkan. Jadi, tidak perlu
aneh-aneh.
Kalau Jiang bersaudara tidak mabuk, barangkali masih bisa menahan
serangan mereka. Tapi karena sudah mabuk, yang terdengar hanya jerit
kesakitan. Jiang bersaudara tidak bisa apa-apa lagi.
Kemudian kami menyewa tandu, mengantarkan mereka pada Xu Qing Song,
jelas Wen Hu.
Sayang kami tidak bisa melihat ekspresi Xu Qing Song, lanjut Wen Bao.
Penjelasan Wen bersaudara sangat singkat. Begitu habis cerita, mereka
langsung berhenti. Mereka tahu, Lao Bo tidak suka bertele-tele.
Nyatanya, mendengar sampai di sini, senyum Lao Bo hilang.
Hati Wen bersaudara seketika tengelam. Melihat ekspresi Lao Bo, mereka
menduga telah berbuat salah. Dan siapa melakukan kesalahan harus
dihukum, begitu prinsip Lao Bo.
Setelah lama, Lao Bo berkata gusar, Kalian tahu sudah melakukan kesalahan
apa?
Wen bersaudara menunduk kepala.
Kata Lao Bo, Jiang bersaudara tidak bisa bangun dalam tiga bulan itu tidak
masalah, ketidakadilan Xu Qing Song pun pantas diberi ganjaran. Untuk kedua
hal ini kalian sudah melakukan tugas dengan baik. Tiba-tiba nada bicara Lao
Bo semakin tegas, Lantas, apa kesalahan Nona Xu hingga kalian
memperlakukannya seperti itu?
Wen bersaudara seketika berkeringat dingin. Mereka hanya bisa tertunduk.
Bila Lao Bo sedang marah, siapa pun tidak berani memandangnya.
Setelah lama, kemarahan Lao O sedikit reda. Ini ide siapa? tanyanya.
Wen bersaudara menjawab bersamaan, Aku!
Lao Bo melihat keduanya, kemarahannya semakin berkurang. Perlahan ia
berkata, Wen Hu lebih jujur, pasti bukan idenya.
Tunduk Wen Bao semakin dalam. Sejak awal kakak sudah tidak setuju
dengan ideku ini.
Lao Bo menatap Wen Bao, Apa kau sudah menikah?
Belum, jawab Wen Bao.
Segera ambil undanganku. Kita kerumah Xu Qing Song melamar Nona Xu.
Kaki Wen Bao seperti digigit ribuan semut. Tapi tapi
Lao Bo kembali marah, Tidak ada tapi-tapian, segera lamar Nona Xu. Idemu
sudah mencelakai orang, kau harus bertanggung jawab. Biar pun sifat Nona
Xu tidak begitu baik, kau tetap harus mengalah.
Siapa pun melakukan kesalahan harus dihukum. Sepertinya hanya Lao Bo
yang bisa memikirkan cara menghukum Wen Bao.
Bila Tuan Xu tidak mengijikan, bagaimana? tanya Wen Bao.
Tuan Xu pasti mengijinkan. Apalagi, sekarang, jawab Lao Bo.
Siapa pun bisa menduga, Xu Qing Song pasti setuju, takut putrinya tidak bisa
menikah lagi, pun Wen Bao pemuda yang baik.
*
Lao Bo menggunting dedaunan yang berlebihan. Ia tidak suka bunga yang
terlalu banyak daun karena merusak keindahan.
Ia juga tidak suka melihat hal yang rumit, karena kerumitan adalah sesuatu
yang berlebihan dan harus bisa disederhanakan.
Anak buah Lao Bo yang benar-benar bisa diandalkan tidak terlalu banyak, tapi
ia percaya setiap anak buahnya punya kemampuan tinggi dan sangat setia
padanya.
Lao Bo selalu puas pada anak buahnya. Ia pun tahu mereka selalu
melaksanakan tugas dengan baik. Karenanya, sudah lama Lao Bo tidak turun
tangan langsung di lapangan.
Walau ia lama tidak turun tangan, Lao Bo yakin masih punya kekuatan yang
cukup untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Sewaktu pedang Yi Shi menyerang, Lao Bo sudah membaca kekurangan ilmu
pedang lawan. Biar pun tidak dilindungi anak buah, ia tetap bisa mengalahkan
Yi Shi.
Dalam bertempur, Lao Bo selalu menunggu kesempatan terakhir mengalahkan
lawan, karena di saat itulah lawan berada dalam keadaan lengah dan lelah,
tenaga belum sepenuhnya pulih. Lawan-lawannya selalu mengira, kesempatan
terakhir pasti berhasil. Di saat terakhir yang sangat menetukan itu, Lao Bo
biasanya melakukan serangan balik.
Serangan balik yang mematikan.
Hanya saja menunggu dan menentukan saat tepat melancarkan serangan
balik yang mematikan tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keberanian,
ketenangan, serta pengalaman yang luas.
Sampai di sini, Lao Bo menghela nafas. Ia tahu Lu Xiang Chuan bukan anak
kandungnya, tapi kesetiaannya melebihi Sun Jian anak kandung sendiri.
Lao Bo sangat percaya dan suka pada Lu Xiang Chuan. Ia membagi separuh
harta dan usahanya kepada Lu Xiang Chuan karena sifatnya sangat tenang
dan lincah.
Sifat ini sangat berlawanan dengan Sun Jian yang ceroboh dan pemarah.
Bisnis Lao Bo sangat luas dan besar, ia harus memiliki anak buah semacam
Lu Xiang Chuan untuk menjaga dan meneruskan usahanya. Apalagi ketika
dulu di awal mendirikan bisnis, tidaklah mudah.
Perjuangan awal membutuhkan curahan tenaga, air mata, dan jiwa-jiwa muda
pemberani seperti Lu Xiang Chuan.
Tiba-tiba Lao Bo teringat lelaki berjubah kelabu.
Di hadapan anak buahnya ia tidak pernah membicarakan lelaki ini, tapi anak
buahnya bisa menduga lelaki jubah kelabu pernah muncul dalam kehidupan
Lao Bo.
Demi Lao Bo, si Jubah Kelabu rela melakukan hal yang orang lain belum
pernah lakukan.
Sesungguhnya Lao Bo menyadari, jika membiarkan si Jubah Kelabu tetap
hidup, bisa menambah kesulitan. Dalam melakukan pekerjaannya, lelaki itu
selalu menggunakan kekerasan. Sementara Lao Bo punya cara yang lebih jitu
daripada menempuh jalan kekerasan.
Dalam kematangan usianya sekarang, Lao Bo bukan ingin melenyapkan
nyawa orang, melainkan ingin mendapatkan kesetiaan dan penghormatan.
Sebab, bagi Lao Bo, membunuh tidak ada gunanya sama sekali. Tapi,
mendapatkan penghormatan dan kesetiaan akan lebih bermanfaat.
Alasan dan kemauan Lao Bo ini tidak dimengerti Sun Jian yang masih muda,
apalagi lelaki jubah kelabu itu.
Lao Bo menarik nafas. Sungguh, ia tidak suka cara-cara yang ditempuh si
Jubah Kelabu.
*
Setiap orang yang menjalankan bisnis pasti memiliki rahasia, karenanya
disebut rahasia bisnis. Tapi dengan si Jubah Kelabu, rahasia bisnis tidak bisa
lagi disebut rahasia.
Si Jubah Kelabu mengetahui terlalu banyak rahasia Lao Bo.
Seperti pada kebanyakan orang, jika rahasianya diketahui terlalu banyak,
mungkin sudah sejak dulu si Jubah Kelabu dilenyapkan. Tapi, Lao Bo bukan
kebanyakan orang. Karena itu, si Jubah Kelabu tidak ia lenyapkan.
Itulah perbedaan Lao Bo dengan orang lain.
Dalam mencapai tujuan, terkadang Lao Bo menghalalkan segala cara. Namun
dalam segala cara yang halal itu sedapat mungkin ia mengharamkan
pembunuhan. Lao Bo sangat menghargai jiwa orang dan sangat lapang dada
serta berjiwa besar.
Tidak ada yang bisa membantah ini.
Seberapa banyak dan besarnyakah bisnis Lao Bo? Dalam bidang apa saja
usahanya?
Ini adalah rahasia. Kecuali Lao Bo sendiri, mungkin tidak ada yang tahu. Yang
pasti, usahanya begitu banyak sehingga harus melibatkan begitu banyak
orang.
Karenanya, Lao Bo terus mencari tenaga-tenaga muda berbakat. Dalam hal
ini, matanya sangat trampil menilai seseorang.
Dalam penilaiannya itulah nama Chen Zhi Ming muncul ke perhatiannya.
Lao Bo sangat menyukai pemuda bernama Chen Zhi Ming. Ia merasa, asalkan
diarahkan dan dilatih, sebentar saja pemuda itu akan menjadi pembantu yang
berguna. Tapi sayang semenjak hari ulang tahunnya pemuda itu tidak muncul
lagi.
Sepertinya aku sudah semakin tua, banyak hal tidak bisa dijalankan
sempurna, sampai lupa meminta alamatnya, sesal Lao Bo dalam hati.
Lao Bo menarik nafas dan menepuk-nepuk pinggang sendiri. Ia memandang
matahari yang terbenam. Apakah dirinya sudah seperti matahari itu, sebentar
lagi harus tenggelam?
Sesaat ia teringat Lu Xiang Chuan. Tiap kali Lu Xiang Chuan menjalankan
tugas, Lao Bo tidak pernah khawatir.
Tapi kali ini Lao Bo tidak setenang biasanya. Lao Bo tahu kekuatan Wan Peng
Wang dan juga sangat tahu cara apa yang biasa dipakai Wan Peng Wang.
Terlalu menghawatirkan anak buah menjalankan tugas adalah perasaan
seorang tua, Lao Bo menghela nafas. Mungkin ia memang sudah tua.
Di bawah mentari senja ia berjalan menuju rumah. Sesaat melintas dalam
benak Lao Bo untuk melepas segala kegiatan bisnisnya.
Mungkin sudah waktunya pensiun?
Tapi itu hanya pemikiran sesaat. Begitu matahari terbit esok pagi, Lao Bo akan
mengubah pikirannya lagi.
Di dunia ini ada semacam orang yang tidak bisa dikalahkan oleh apa pun,
termasuk tua dan kematian.
Orang semacam itu tidak banyak, dan Lao Bo salah satunya.
*
Sewaktu Lu Xiang Chuan berada di dalam kereta, yang dipikirkannya bukan
bagaimana cara memperlakukan Wan Peng Wang. Yang dipikirkannya adalah
si Pembunuh Berjubah Kelabu yang membunuh orang seperti memotong
rumput.
Sewaktu si Jubah Kelabu mencabut nyawa Huang Shan San You, Lu Xiang
Chuan tidak sempat melihat wajah yang sudah langsung dilumuri darah itu.
Tapi sepertinya ia bisa menebak siapa orang ini. Namun Lu Xiang Chuan tidak
berani bertanya pada Lao Bo.
Hal yang Lao Bo tidak mau bicarakan, tidak ada yang berani memaksanya.
Jika Lao Bo tidak mau membicarakan, bertanya pun sia-sia.
Perasaan Lu Xiang Chuan menyatakan, si Jubah Kelabu adalah Han Tang.
Cara orang ini membunuh sangat kejam dan cepat. Lu Xiang Chuan
selamanya belum pernah melihat orang membunuh secepat dan sekejam itu.
Lao Bo pernah bilang pada Lu Xiang Chuan, pekerjaan Han Tang tidak pernah
dilakukan orang lain, nanti pun tidak ada orang yang bisa melakukannya.
Kedudukan Lu Xiang Chuan semakin tahun semakin tinggi, kekuasaannya
semakin besar. Ia sudah memimpin banyak bawahan. Tapi ia tahu, biar pun
memakai semua cara guna mencari tahu tentang Han Tang, percuma saja.
Meteor, Kupu-kupu dan Pedang I -2
By admin Nov 1st, 2008 Category: 2. Silat China, KL - Meteor, Kupu-kupu
dan Pedang
Semua orang pasti punya masa lalu, tapi Han Tang sepertinya tidak memiliki
masa lalu.
*
Kereta kuda yang dinaiki Lu Xiang Chuan sangat indah.
Kereta itu seperti sebuah tempat tidur yang nyaman, begitu empuk, getaran
pun hampir tidak terasa.
Bila Lu Xiang Chuan menjalankan tugas, ia akan melakukannya dengan
sepenuh hati dan konsentrasi. Selain apa yang harus ia kerjakan, hal lain tidak
terlintas di benaknya.
Yang ia tahu, tugas kali ini teramat sulit.
Lelaki harus seperti lelaki, kata-katanya harus seperti lelaki, kerjanya pun
harus seperti lelaki, begitu kalimat yang sering diucapkan Lao Bo.
Dan masalah antara Lao Bo dan Wan Peng Wang adalah masalah lelaki.
Orang lain akan merasa aneh, karena urusan sepele Lao Bo sampai
bermusuhan dengan Wan Peng Wang.
Hanya Lu Xiang Chuan yang mengerti maksud Lao Bo.
Sasaran misi Lao Bo sebenarnya adalah Wan Peng Wang sendiri. Jika kali ini
Wan Peng Wang merestui hubungan Dai Dai dengan Xiao Wu, berarti ia
sudah tunduk pada Lao Bo dan ia akan berteman dengan Lao Bo. Bila tidak, ia
akan menjadi musuh Lao Bo.
Lao Bo pernah berkata, Aku tidak begitu mengerti orang. Bagiku, di dunia ini
hanya ada dua jenis manusia. Kalau dia bukan musuh berarti dia adalah
teman. Apakah ingin menjadi musuh atau teman, tergantung diri sendiri. Tidak
ada pilihan lain!
Lu Xiang Chuan tahu, dalam prakteknya, Lao Bo tidak pernah memberi
kesempatan pada orang lain untuk memilih. Karena siapa pun yang memilih
jadi musuh Lao Bo, pasti mati.
Masalahnya, Wan Peng Wang bukanlah seorang penakut. Pilihan yang ia
ambil mungkin tidak sama dengan orang lain. Kalau ia memilih jadi musuh Lao
Bo, banjir darah pasti terjadi.
Seandainya hal ini benar terjadi, begitu pikir Lu Xiang Chuan, barangkali Lao
Bo masih bisa menang meski resikonya sangat tinggi.
9. Wan Peng Wang
Lu Xiang Chuan sangat teliti. Sebelum menjalankan tugas, ia sudah
menyelidiki Wan Peng Wang sedetil mungkin.
Wan Peng Wang tidak bermarga Wan, juga tidak bermarga Wang. Konon, ia
anak haram yang tidak jelas bapak dan dibuang ibunya. Tapi, tidak ada yang
bisa membuktikan cerita ini.
Sebelum berumur tujuh belas, tidak ada yang tahu asalnya. Sesudah berumur
tujuh belas, ia sudah bekerja pada sebuah perusahaan. Setengah tahun
kemudian, ia sudah naik jabatan. Pada umur sembilan belas, ia membunuh
bos perusahaannya kemudian menjadi bos perusahaan itu.
Tapi, setahun kemudian ia menjual perusahaan dan menjadi seorang polisi.
Dalam tiga tahun, ia sudah menangkap dua puluh sembilan penjahat,
membunuh delapan orang, sisanya ia lepaskan.
Semenjak itu, ia punya dua puluh satu pembantu yang sangat setia padanya.
Waktu berumur dua puluh empat, ia keluar dari kepolisian dan mendirikan
perkumpulan Da Peng. Mula-mula hanya memimpin 100 orang, tapi sekarang
anak buahnya sudah mencapai puluhan ribu orang. Kekayaanya sudah tidak
terhitung lagi.
Dulu, tidak ada yang perduli pada kata-katanya. Sekarang, kata-katanya
adalah perintah.
Semua kejayaan dan kekayaannya tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui
pertarungan hidup mati.
Apalagi beberapa tahun ini terdengar kabar Wan Peng Wang telah
mendapatkan sebuah rahasia kungfu aneh yang ia beri nama Fei Peng Si Shi
Jiu Shi. Ilmu telapak tangan itu sangat dahsyat, jarang ada yang bisa
menandingi.
Lu Xiang Chuan merasa tugasnya sangat berat. Apakah pertarungan antara
Lao Bo dengan Wan Peng Wang tidak bisa dihindari? Bagaimana akhirnya?
Lu Xiang Chuan tidak berani memastikannya.
Sungguh, bila bukan terpaksa, Lu Xiang Chuan tidak ingin pertentangan ini
terjadi!
*
Lu Xiang Chuan khawatir, Wan Peng Wang tidak sudi bertemu dengannya,
maka ia sengaja mengajak Nan Gong Yuan.
Nan Gong Yuan adalah turunan keluarga Nan Gong terakhir. Ia seorang
terpelajar, juga pesilat dan play boy yang terkenal. Orang sepertinya sangat
senang menghamburkan uang. Kekayaan keluarganya semakin lama semakin
menipis dan serkarang ia sering meminjam uang pada Lao Bo.
Lu Xiang Chuan percaya, Nan Gong Yuan tidak akan mau kehilangan teman
seperti Lao Bo. Karenanya, pasti akan membantunya.
Kebetulan Nan Gong Yuan juga teman Wan Peng Wang.
Wan Peng Wang seorang lelaki berduit. Semakin tinggi kedudukannya,
hobinya semakin banyak. Ia senang perempuan, suka berjudi dan berkuda,
juga senang mempelajari etika.
Kebetulan kesenangannya sama seperti Nan Gong Yuan, dan Nan Gong Yuan
adalah ahli di bidang itu. Karena itulah mereka bisa berteman.
*
Kereta kuda berhenti di luar hutan.
Seseorang berdiri di tepi hutan bertubuh tinggi dan gagah, memakai baju
seputih salju.
Di bawah pohon tersedia meja, kursi, kecapi, dan arak. Juga seekor kuda yang
tinggi dan bagus.
Lelaki itu dari jauh terlihat masih sangat muda, tapi sudah terlihat keriput di
sudut matanya. Ia tampak begitu dewasa dan luwes, sulit dibandingkan
dengan siapa pun.
Lu Xiang Chuan turun dari kereta dan mendekati Nan Gong Yuan. Melihat
wajah Nan Gong Yuan yang terlihat kesal, ia menghentikan langkah.
Nan Gong Yuan justeru menghampiri.
Apa ia tidak mau bertemu denganku? tanya Lu Xiang Chuan.
Nan Gong Yuan menghela nafas, Ia menolak bertemu denganmu.
Kau sudah jelaskan maksud Lao Bo?
Ia tidak pernah berhubungan dengan Lao Bo, kelak pun tidak akan
berhubungan dengannya!
Bisakah ia berubah pikiran?
Tidak ada yang bisa mengubah pikirannya.
Lu Xiang Chuan tidak bertanya lagi. Ia sudah tahu, jika terus bertanya pun
akan sia-sia.
Wajah Lu Xiang Chuang tanpa ekspresi, tapi hatinya kusut dan ia tidak punya
cara mengurai benang kusut itu. Padahal baginya misi ini harus berhasil, tidak
boleh gagal. Jika gagal, bisa berakibat fatal.
Saat ia tercenung, tiba-tiba Nan Gong Yuan berkata, Tiap tanggal satu setiap
bulan, Wan Peng Wang selalu membeli barang antik dan kuno.
Besok tangal satu, gumam Lu Xiang Chuan.
Nan Gong Yuan menghel nafas panjang. Waktu begitu cepat berlalu, hari
berganti bulan, dulu masih muda sekarang rambut sudah memutih. Kehidupan
manusia seperti mimpi, tiap hari menghabiskan waktu, entah untuk apa
Lu Xiang Chuan tertawa kecil, dari dalam saku ia mengeluarkan sebuah
amplop. Mungkin untuk ini, jawabnya.
Apa itu?
Ini cek 5,000 tail emas. Inilah penghormatan dari Lao Bo.
Nan Gong Yuan memandang amplop itu, tertawa sinis. Orang sepertiku tidak
pantas diberi penghormatan.
Seketika Nan Gong Yuan membalik tubuh, berjalan ke meja, dan mulai
memainkan kecapi.
Hidup ibarat mimpi
Manakala tersadar dari mimpi
Kan kita hadapi kenyataan?
Tiap hari sibuk, apalah kegunaan?
Lagu yang sedih. Denting kecapi terdengar menyayat hati. Matahari sore
menyinari tepi hutan itu.
Tiba-tiba hening.
Bumi dan langit begitu sepi. Lu Xiang Chuan perlahan berdiri. Kedudukan dan
keberhasilannya lebih tinggi daripada Nan Gong Yuan, entah mengapa ia
merasa ada sesuatu yang kurang pada diri sendiri.
Mungkinkah kekurangannya adalah masa lalu?
Apakah karena Lu Xiang Chuan hanya memiliki masa sekarang dan masa
depan, sementara Nan Gong Yuan memiliki masa lalu?
Betapa pun kau memiliki uang dan kedudukan, kau tidak bisa membeli masa
lalumu!
Tiba-tiba Lu Xiang Chuan terkenang masa lalunya yang sulit. Seketika
kemarahan membakar dadanya.
Ia meletakkan amplop itu, sepatah demi sepatah berkata, Mimpiku selamanya
tidak akan pernah terbangun sebab aku tidak pernah bermimpi.
Nan Gong Yuan tidak mengangkat kepala, hanya menjawab, Sebenarnya kau
pun tahu, terkadang orang tetap harus bermimpi.
Lu Xiang Chuan tahu itu. Tapi ia punya semacam penyakit. Penyakitnya ialah
tidak bisa bermimpi dan karenanya ia merasa tegang.
Ketegangan yang membuatnya lelah.
Lantas, kalau begini, apakah sudah seharusnya ia bermimpi? Memiliki
mimpinya sendiri?
Semua itu adalah pilihan. Dan pilihan itu ada pada dirinya!
Denting kecapi sudah berhenti.
Lu Xiang Chuan melangkah ke kereta kuda, memberi perintah singkat, Ke Gu
Huang Xian.
*
Tanggal satu.
Semua pedagang antik sudah tiba di kaki bukit. Mereka datang dari berbagai
lokasi, bahkan ada yang datang dari tempat yang sangat jauh.
Ini adalah hari Wan Peng Wang memilih barang antik, dan ia adalah pembeli
sekaligus kolektor yang baik.
Di antara para pedagang itu terlihat seorang pemuda yang sangat tenang tapi
tidak dikenal para pedagang lain yang umumnya sudah saling mengenal.
Pemuda itu konon datang dari Gu Huang Xian. Dan ia adalah Lu Xiang Chuan.
Sebelumnya Lu Xiang Chuan pergi ke Gu Huang Xian terlebih dulu dan baru
masuk ke kota ini.
Awan putih berarak.
Rumah Wan Peng Wang di atas bukit seperti istana di atas awan, sangat
tinggi dan seolah tidak terjangkau.
Terdengar suara lonceng seperti keluar dari balik awan.
Para pedagang berjalan beriringan menuju rumah Wan Peng Wang.
Lu Xiang Chuan sangat terkejut ketika melihat Wan Peng Wang untuk pertama
kalinya. Ia belum pernah melihat orang seperti Wan Peng Wang.
Wan Peng Wang seperti raksasa di dalam dongeng. Saat ia duduk, tingginya
hampir setinggi orang normal yang berdiri.
Ada yang bilang, Semakin besar tubuh seseorang, semakin sederhana
otaknya.
Namun hal ini tidak berlaku bagi Wan Peng Wang.
Pandangannya sangat dingin, tajam, dan kuat, memancarkan kecerdasan dan
keteguhannya. Ia juga penuh percaya diri, membuat orang tidak berani
sembarangan dengannya.
Telapak tangannya lebar, besar, dan tebal. Setiap saat ia mengepalkan tangan
dengan erat seakan ingin memukul orang.
Saat Lu Xiang Chuan mendekati, mata Wan Peng Wang tiba-tiba menyorot
setajam pisau, seolah menguliti Lu Xiang Chuan.
Setelah lama pelan-pelan Wan Peng Wang bertanya, Apa kau dari Gu Huang
Xian?
Saat itu juga Lu Xiang Chuan tahu sulit mengelabui orang semacam Wan
Peng Wang. Sepertinya anak buah Wan Peng Wang telah mendata setiap
pedagang yang akan masuk ke rumahnya, ataukah itu justru Nan Gong Yuan
yang membocorkan rahasianya?
Apa pun, Lu Xiang Chuan adalah orang yang sangat cerdas dan fleksibel.
Seketika ia mengubah rencana dan berkata jujur.
Bukan, jawab Lu Xiang Chuan.
Wan Peng Wang pun tertawa senang. Baiklah, kau orang yang pintar! Bosmu
pasti lebih pintar lagi. Tawa Wan Peng Wang perlahan berhenti. Ia kembali
memelototi Lu Xiang Chuan dan bertanya, Bukankah bosmu Sun Yu Bo?
Ditanya seperti itu, seketika timbul rasa hormat di wajah Lu Xiang Chuan.
Perlahan ia maju ke muka membawa sebuah piring dan berkata, Piring giok
ini dari dinasti Han, di atasnya adalah sebuah guci yang dibuat di masa dinasti
Qing. Barang ini pemberian Lao Bo untuk Ketua Bang sebagai rasa hormat
beliau. Harap Ketua menerimanya.
Setiap kali Lao Bo meminta bantuan, selalu menghantarkan hadiah yang
mewah. Maknanya adalah ia ingin menjalin persahabatan. Bila hadiahnya
ditolak, berarti menolak persahabatan. Berarti pula, kau telah menantang Lao
Bo!
Namun kali ini bukan maksud Lao Bo menghantar hadiah. Semua ini adalah
ide Lu Xiang Chuan. Ia berharap semua permasalahan ini bisa diselesaikan
dengan damai.
Mata Wan Peng Wang yang semula menatap wajah Lu Xiang Chuan kini
memperhatikan piring itu. Namun sesungguhnya ia sedang berpikir. Setelah
lama Wan Peng Wang baru membuka mulut, Kudengar Wu Lao Dao adalah
perantauan dari Jiang Bei dan tiga puluh tahun yang lalu menetap di Jiang
Nan. Wan Peng Wang mengangkat kepala dan memelototi Lu Xiang Chuan,
Sun Yo Bo pun demikian, apa benar begitu?
Lu Xiang Chuan membenarkan, Lao Bo dan Wu Lao Dao berasal dari desa
yang sama. Mereka sama-sama menetap di Jiang Nan.
Lu Xiang Chuan tahu Wan Peng Wang sudah mengetahui maksud
kedatangannya sehingga tidak perlu menutup-nutupi lagi. Seketika ia merasa
Wan Peng Wang lebih menakutkan daripada yang ia bayangkan.
Wan Peng Wang gusar berkata, Sun Yu Bo menyuruhmu datang ke sini
apakah untuk kepentingan anak lelaki Wu Lao Dao?
Lao Bo mengetahui masalah hubungan lelaki dan perempuan. Ketua pasti
bisa mengijinkan mereka bersama, apalagi gadis itu hanyalah seorang
pelayan.
Kata-kata Lu Xiang Chuan sangat sopan dan tidak langsung pada sasaran,
namun menjelaskan keuntungan dan kerugian masalah ini, bahwa demi
seorang pelayan harus bermusuhan dengan Lao Bo adalah tidak sebanding.
Tapi Wan Peng Wang marah menjawab, Ini bukan sekedar masalah lelaki
perempuan, tapi adalah aturan perkumpulan di sini. Siapa pun dilarang
melanggar aturan ini!
Hati Lu Xiang Chuan serasa tenggelam, ia melihat harapannya semakin
menipis. Namun sebelum benar-benar pupus, ia tidak akan melepaskannya
begitu saja.
Lao Bo senang berteman, kalau Ketua bisa berteman dengannya, semua
akan gembira menyambutnya.
Wan Peng Wang tidak menjawab. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, Ikut aku!
Lu Xiang Chuan tidak tahu akan dibawa ke mana, pun tidak bisa menebak
maksud Wan Peng Wang membawanya. Seketika rasa takut menyelimuti
dirinya. Tapi belakangan ia berpikir, jika Wan Peng Wang ingin membunuhnya,
saat ini pun dirinya sudah menjadi mayat.
Maka Lu Xiang Chuan mengikuti Wan Peng Wang keluar dari ruangan. Ia baru
memperhatikan kemegahan dan kemewahan kediaman Wan Peng Wang. Dan
ia pun mulai menyadari, sekelilingnya tidak terlihat penjagaan.
Sedemikian sepi dan lengangnya seolah menunjukan pengawalan yang
lemah. Tapi Lu Xiang Chuan tidak berfikir seperti itu. Ia mengerti, jika rumah ini
terlihat banyak penjaga justeru akan memperlihatkan sosok Wan Peng Wang
yang sebenarnya.
Orang seperti Wan Peng Wang tidak begitu saja mau memamerkan
kekuatannya.
Begitu juga Lao Bo.
Lebih baik musuh tidak mengetahui dan tidak bisa memperhitungkan
kekuatanmu karena, bila tidak, sebaiknya kau tidak memiliki musuh, begitu
prinsip Lao Bo.
Prinsip itu sepertinya juga dianut Wan Peng Wang. Hanya orang kaya baru
saja yang akan memamerkan seluruh harta di tubuhnya!
*
Beranda tampak gelap dan sunyi.
Di ujung beranda terdapat sebuah pintu yang tidak terkunci. Di sana terlihat
sebuah ruangan yang sepertinya kosong.
Bila pintu dibuka kau akan menyadari bahwa tebakanmu keliru.
Ruangan itu penuh barang kuno dan antik. Di istana Kota Raja pun belum
tentu ada barang antik sebanyak dan selengkap ini. Lu Xiang Chuan tidak tahu
harus mulai melihat dari mana.
Wan Peng Wang membawanya berkeliling, baru berkata, Silahkan ambil dua
macam barang, hitung-hitung membalas pemberian Lao Bo.
Lu Xiang Chuan tidak menolak. Terkadang ada permintaan yang ditolak pun
tidak ada gunanya. Maka, ia benar-benar memilih dua macam barang.
Yang ia pilih adalah lempengan giok dan sebuah pisau dari Persia. Nilai kedua
barang ini hampir sama dengan hadiah yang diberikan Lu Xiang Chuan pada
Wan Peng Wang.
Ini artinya Lu Xiang Chuan bisa menilai barang bagus dan juga menunjukkan
bahwa dirinya tidak ingin mengambil keuntungan dengan mengambil barang
yang lebih mahal.
Benar saja, mata Wan Peng Wang mengekpresikan pujian. Kapan pun kau
sudah tidak bekerja pada Sun Yu Bo atau bertengkar dengannya, datanglah
padaku dan aku pasti akan menerimamu.
Terima kasih, jawab Lu Xiang Chuan.
Diperhatikan seorang seperti Wan Peng Wang, sedikit banyak Lu Xiang Chuan
merasa bangga. Namun hatinya juga semakin dingin. Karena ia tahu makna
ucapan itu: Wan Peng Wang tidak memberinya kesempatan lagi.
*
Mereka kembali melalui jalan yang lain. Begitu keluar dari pekarangan,
terdengar ringkik kuda.
Wan Peng Wang menghentikan langkahnya. Mau melihat kuda-kudaku?
tawarnya.
Untuk pertama kalinya Lu Xiang Chuan melihat entah rasa senang atau
bangga memancar dari diri Wan Peng Wang. Ia merasa undangan ini tidak
ada maksud lain seperti seorang tuan rumah memanggil putra putrinya untuk
menemui tetamu agar sang tamu memuji anaknya.
Sementara memuji orang pun merupakan keahlian Lu Xiang Chuan. Karena
itu, tidak ada salahnya mengikuti tawaran Wan Peng Wang.
Dengan memuji, kau bisa membuat seseorang senang dan kemudian dapat
mengambil keuntungan. Memang, tidak ada salahnya untuk memberi sebuah
pujian. Hanya saja saat ini Lu Xiang Chuan belum mengetahui keuntungan
apa yang akan ia peroleh.
Istal kuda itu terlihat begitu panjang dan bersih. Hampir semuanya kuda pilihan
terbaik.
Lu Xiang Chuan melihat sekor kuda memiliki kandang yang paling besar.
Bulunya mengkilat dan tampak licin. Walaupun hanya seekor kuda, tapi
perbawanya sangat angkuh dan anggun, seakan tidak ingin bersahabat
dengan manusia. Total harga seluruh kuda yang telah dilihat sebelumnya tidak
akan bisa membandingi harga seekor kuda ini.
Lu Xiang Chuan langsung memuji. Kuda ini sangat istimewa dan sempurna,
apakah keturunan Han Xue?
Wan Peng Wang tertawa polos dan sangat bangga. Kau sangat mengetahui
barang berkualitas.
Untuk pertama kalinya Lu Xiang Chuan melihat Wan Peng Wang seperti itu.
Walau Wan Peng Wang berdiri di tengah rumah yang penuh dengan
kekayaannya, ia tidak pernah berekspresi seperti itu.
Tiba-tiba melintas di hati Lu Xiang Chuan sebuah harapan. Terpikir olehnya
sebuah cara yang mungkin bisa membuat Wan Peng Wang tunduk.
Ia tidak tahu seberapa efektifkah caranya itu.
Tapi, jika tidak dicoba, bagaimana ia bisa tahu?
Karena itu, tidak ada salahnya jika mencoba.
10. Kibaran Bendera Perang
Tengah malam.
Angin menderu bertiup dari barat. Derunya seperti setan mengayun cambuk,
melecut hati mereka yang ingin pulang. Tapi Wu Lao Dao tidak bisa pulang, ia
harus mengikuti Lu Xiang Chuan pergi ke sana.
Malam hening. Sepi. Mati.
Wu Lao Dao tidak tahu akan dibawa kemana. Lu Xiang Chuan meski muda
tapi sangat sopan, membuat Wu Lao Dao enggan bertanya.
Sejak awal ia melihat pemuda ini berbeda, persis seperti Lao Bo semasa
muda, begitu bercahaya, namun Lu Xiang Chuan lebih sulit ditebak hati dan
kemauannya.
Masa depan pemuda ini pasti berbeda dengan Lao Bo, pikir Wu Lau Dao,
Akankah ia lebih bersinar?
Entah sejak kapan angin berhenti. Namun papan nama rumah makan itu
masih terayun sisa terpaan angin. Di keremangan malam, samar-samar
terbaca: Ba Xian Lao.
Itulah rumah makan terbesar di kota ini.
Seluruh jendela rumah makan besar itu tertutup rapat, terlihat gelap,
mungkinkah para pelayan sudah terlelap?
Lu Xiang Chuan mendorong pintu. Tidak terkunci.
Wu Lao Dao mengikuti melangkah ke dalam. Di lantai atas terlihat lampu
menyala benderang.
Lantas kenapa dari luat terlihat begitu gelap?
Wu Lao Dao segera menyadari, tiap jendela dipasangi gorden tebal dan hitam,
membuat setitik pun cahaya tidak bisa menerobos keluar.
Ternyata telah banyak orang berkumpul di sana.
Menilik cara berpakain, mereka pasti datang dari berbagai kalangan. Walau
latarbelakang mereka tampak berbeda, tapi ada satu persamaan. Mereka
terlihat sangat tenang, tubuh sehat terawat, mata mencorong, serta memiliki
sepasang tangan yang cekatan dan bertenaga.
Mereka bukan orang sembarangan. Kelihatannya pun mereka tidak saling
kenal, tapi begitu melihat Lu Xiang Chuan, seketika membungkuk memberi
hormat.
Sepertinya Lu Xiang Chuan telah mengumpulkan begitu banyak orang. Kini
mereka semua datang.
Wu Lao Dao sudah tinggal lebih dari dua puluh tahun di kota ini, tapi hanya
mengenali sebagian dari mereka, di antaranya adalah bos rumah makan itu.
Lelaki inilah yang pertama menyambut Lu Xiang Chuan.
Wu Lao Da sudah mengenal si Bos selama dua puluh tahun, tapi tidak pernah
mengetahui hubungannya dengan Lao Bo. Sekarang jelas, lelaki itu anak buah
Lao Bo. Jangan-jangan, rumah makan ini pun salah satu bisnis Lao Bo?
Saat itu juga Wu Lao Dao menyadari, kekuasaan Lao Bo ternyata lebih
menakutkan daripada yang ia bayangkan.
Lu Xiang Chuan sangat hormat dan bersikap ramah pada si Bos, layaknya
seorang raja yang menghadapi perdana menteri yang berprestasi.
Si Bos bernama Yu Bai Le, membungkuk badan dan berkata sopan, Kecuali
beberapa orang yang berada di luar kota, semua sudah tiba. Silahkan
memberi perintah.
Lu Xiang Chuan tersenyum dan mengangguk. Saudara-saudara, silahkan
duduk. Lao Bo mengirim salam untuk kalian.
Semua orang membungkuk dan berkata, Hamba pun selalu mendoakan dan
mengingat Lao Bo. Apa Lao Bo sehat-sehat saja?
Lu Xiang Chuan tertawa. Yang Mulia seperti benda terbuat dari besi. Kalian
teman lama beliau, pasti lebih tahu daripadaku: bila Dewa Penyakit bertemu
dengannya, pasti lari ketakutan.
Semua tertawa.
Lu Xiang Chuan melanjutkan, Hari ini pertamakali aku bertemu kalian,
seharusnya kita bisa minum-minum. Tapi, aku khawatir Bos Yu sakit hati kita
habiskan araknya.
Semua kembali tertawa.
Setelah tawa mereda, sikap Lu Xiang Chuan berubah serius. Kali ini kudatang
ke sini karena tugasku sangat berat. Kalau masalah ini tidak bisa dibereskan,
aku malu bertemu Lao Bo kembali.
Tiba-tiba ada yang bertanya, Tuan Lu punya kesulitan apa? Kekurangan uang
atau kekurangan orang, silahkan utarakan.
Terima kasih, jawab Lu Xiang Chuan. Ia menunggu perhatian mereka
terfokus padanya, baru melanjutkan, Yang kuinginkan hanya satu, ia
menetap wajah mereka satu persatu, yaitu, kuda Wan Peng Wang!
*
Hari semakin malam.
Wu Lao Dao dan Lu Xiang Chuan berangkat pulang.
Sekarang Wu Lao Dao lebih hormat lagi pada pemuda ini. Teknik berbicaranya
lebih bagus daripada tetua persilatan mana pun serta memiliki perbawa yang
membuat orang menghormatinya.
Pengalaman Wu Lao Dao selama bertahun-tahun menunjukkan, mendapatkan
hormat seperti itu sangat sulit.
Yang membuat Wu Lao Dao terharu, walau kedudukan Lu Xiang Chuan
setinggi itu, namun ia tetap ingat bahwa Lao Bo adalah atasannya.
Tiba-tiba Lu Xiang Chuan bertanya, Apa ada yang ingin kau tanyakan?
Wu Lao Dao sedikit ragu, di hadapan pemuda ini ia memilih untuk berhati-hati
bicara, tapi akhirnya bertanya juga, Apa kau benar-benar menginginkan kuda
itu?
Seumur hidup Lao Bo tidak pernah bohong, kata Lu Xiang Chuan, Aku
sangat setia pada Lao Bo. Hal lain aku tidak bisa menandinginya. Walau
begitu, untuk pekerjaan ini paling sedikit aku bisa melakukannya.
Wu Lao Dao dalam kegelapan mengacungkan jempol. Setelah lama baru
bertanya lagi, Penjagaan rumah Wan Peng Wang sangat ketat, harus mencuri
seekor kuda yang bisa meringkik dan berlari jelas bukan hal yang mudah.
Walau penjaga kuda itu berhutang budi pada Lao Bo, tetap sulit.
Memang sulit, malah boleh dikata: mustahil! jawab Lu Xiang Chuan sambil
tertawa, Tapi aku tidak bilang akan membawa kuda itu hidup-hidup, bukan?
Wu Lao Dao terperangah, wajahnya seketika berubah. Maksudmu, kuda itu
akan dikeluarkan entah hidup atau mati?
Memang, begitulah maksudku.
Wan Peng Wang menganggap kuda itu bagian terpenting dari seluruh
kekayaannya. Bila kita membunuh kuda itu, akibatnya sungguh fatal.
Bila tidak dibunuh akibatnya pun tetap fatal, tegas Lu Xiang Chuan.
Kenapa? tanya Wu Lao Dao.
Kau tahu, Lao Bo tidak suka penolakan. Lao Bo wanti-wanti sudah berpesan
padaku, asal Wa Peng Wang mau melepaskan kekasih anakmu, ia tidak
perduli hal lain! Lu Xiang Chuan menepuk-nepuk pundak Wu Lao Dao,
Teman Lao Bo sangat banyak, namun teman Lao Bo sedari kecil bisa dihitung
dengan jari. Ia bersedia mengorbankan segalanya karena tidak ingin
membuatmu kecewa dan bersedih.
Wu Lao Dao merasa dadanya panas, tenggorokkan pun serasa tersekat.
Perlahan ia berkata, Apakah demi diriku Lao Bo akan melawan Wan Peng
Wang?
Kami sudah mempersiapkan semuanya, jelas Lu Xiang Chuan.
Kata-kata Lu Xiang Chuan sangat ringan, seolah bukan masalah berat. Tapi
Wu Lao Dao mengetahui kekuatan Wan Peng Wang. Karenanya, ia juga
memahami pengorbanan Lao Bo. Tak tahan air mata Wu Lao Dao mengalir.
Aku pun tidak mengharapkan pertarungan, kata Lu Xiang Chuan, karena itu
kutempuh cara ini.
Wu Lao Dao menghapus air mata, ingin bicara, tapi kata-katanya tidak keluar.
Lu Xiang Chuan melanjutkan, aku hanya berharap, tindakan ini bisa
mengejutkan Wan Peng Wang dan dia akan melepaskan gadis itu.
Wu Lao Dao hanya mengangguk. Hatinya diliputi rasa berterima kasih.
Aku sengaja memilih kuda itu, jelas Lu Xiang Chuan, Jika tidak terpaksa,
aku tidak ingin melukai orang. Sesaat ia terdiam, perlahan melanjutkan.
Kutahu, apabila barang kesayangan kita rusak, selain marah dan sedih, kita
juga akan takut dan lemah.
Namun Wan Peng Wang bukan orang yang lemah dan mudah takut, lirih
suara Wu Lao Dao.
Lu Xiang Chuan tertawa. Sudah kuperhitungkan segala akibat yang timbul
dari tindakan ini. Kita sudah siap menghadapinya.
Wu Lao Dao menunduk. Hatinya terasa berat. Sunguh ia menyesal
mengadukan masalah ini pada Lao Bo. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Cepat
atau lambat, pertarungan akan terjadi.
Banjir darah tidak bisa dihindari.
*
Pagi.
Setiap Wan Peng Wang bangun kebiasaannya selalu marah-marah. Semua
gadis yang tidur dengannya pasti mencari kesempatan kabur sepagi mungkin.
Setelah sarapan, baru emosi Wan Peng Wang mereda.
Makanan Wan Peng Wang berbeda dengan kebanyakan orang. Sarapannya
adalah sepanci kuah dimasak dengan ayam betina muda dan jamur.
Kemudian dicampur daging ham. Masih harus ditambah sepuluh butir telur
ayam dan dua puluh bakpau.
Sarapan seperti itu pasti mengejutkan banyak orang.
Namun, pagi ini sarapannya tidak sama. Begitu Wan Peng Wang membuka
tutup panci, wajahnya menghijau.
Di dalam panci tidak ada jamur, daging ham, juga tidak ada kepala ayam.
Yang ada hanya kepala kuda yang masih berdarah.
Wa Peng Wang mengenali kepala kuda itu. Lambungnya seketika keram dan
menciut seperti dipukuli puluhan orang.
Rasa keram seketika berganti kemarahan membara. Sepertinya ia ingin
meloncat dari tempat tidur dan mencekik mati siapa pun orang pertama yang
ia temui, lalu mencekik mati semua pengurus kudanya, dan mencekik mati
hingga sepuluh kali pelayan yang sudah mengantar panci itu.
Nyatanya semua tidak ia lakukan. Wan Peng Wang mampu menahan
kemarahan. Padahal, biasanya, hal sepele saja bisa mendatangkan
kemurkaannya.
Kali ini ia tahu masalahnya tidak sederhana. Untuk masalah sebesar ini, ia
harus berpikir tenang dan jernih. Karena jika ia sampai kehilangan kendali,
justeru akan menghancurkan dirinya.
Ia paham siapa yang melakukan ini.
Lao Bo sudah melakukan gebrakan awal!
Sejak penolakannya ia sudah memperhitungkan, Lao Bo pasti akan melakukan
serangan. Tapi, ia tidak menyangka Lao Bo melakukannya secepat ini.
Sungguh, ia tidak menyangka Lu Xiang Chuan berani melakukan hal ini.
*
Bila ingin melakukan serangan, kau harus mengunakan kesempatan pertama.
Bila tidak, kau harus menanti kesempatan terakhir, yaitu saat musuh sudah
lengah. Menunggu dan menanti kesempatan terakhir harus memiliki kesabaran
tinggi, begitu ajaran Lao Bo.
Lu Xiang Chuan tidak pernah melupakan ajaran itu. Karenanya, ia sudah
menggunakan kesempatan pertama saat lawan belum siap.
*
Bila Wan Peng Wang sedang sarapan, tidak ada yang berani dekat-dekat
dengannya.
Wan peng Wang tidak menyukai orang melihatnya sedang makan dengan
rakus. Maka, di kamar itu tidak ada orang, hanya Wan Peng Wang sendiri.
Karenanya, ia dapat berpikir tenang. Sekarang ia sadar, Lao Bo benar-benar
lawan yang sangat menakutkan, sepuluh kali lebih menakutkan daripada yang
ia sangka semula.
Satu anak buah Lao Bo bernama Lu Xiang Chuan sudah begini, masih
adakah yang lain? pikir Wan Peng Wang sambil menutup panci perlahan.
Saat keluar kamar wajahnya tanpa ekspresi. Ia hanya berpesan satu kalimat,
Segera antarkan Dai Dai ke rumah Wu Lao Dao!
*
Sebuah penginapan.
Meng Xin Hun berbaring di tempat tidur. Ia sudah berbaring selama tujuh
delapan jam.
Ia tidak makan, tidak bergerak, juga tidak tidur.
Sekarang batas waktu yang diberikan Gao Lao Da tinggal sembilan puluh hari
lagi.
11. Xiao Tie
Sembilan puluh hari lagi.
Tapi keadaannya masih sama seperti dua puluh sembilan hari yang lalu,
informasi tentang Lao Bo masih sangat terbatas.
Entah bagaimana kelihaian Lao Bo, seperti apa pula ilmu silatnya, Meng Xin
Hun tidak tahu.
Pada serangan di hari ulang tahun itu, jemari Lao Bo sama sekali tidak
bergerak. Ketenangan yang sungguh menakutkan.
Berapa banyakkah anak buah Lao Bo? Seberapa tangguhkah mereka?
Meng Xin Hun tidak tahu.
Ia hanya melihat seorang pemuda berdiri di belakang Lao Bo, sangat
terpelajar, dan di balik bajunya tersimpan entah berapa banyak senjata
rahasia.
Juga ada Sun Jian, putra Lao Bo, pemuda dengan semangat tempur seperti
api membara mengerikan.
Ia mendapat kabar, keduanya sudah meninggalkan kota. Apakah di sisi Lao
Bo masih ada pelindung lain setangguh mereka?
Siapa pula si Jubah Kelabu? Di mana ia sekarang?
Meng Xin Hun seorang pembunuh berdarah dingin, berhati dingin, bertangan
dingin. Tapi ia menilai si Jubah Kelabu terlebih kejam dan dingin lagi.
Ketika melihat cara membunuh sekejam dan secepat itu, timbul rasa takut di
hati Meng Xin Hun.
Meng Xin Hun sudah pernah coba mencari tahu tentang si Jubah Kelabu.
Hasilnya nihil, ia tidak mendapat apa-apa.
Kebiasaan dan kehidupan sehari-hari Lao Bo pun ia tidak tahu, juga tidak tahu
di mana tempat tinggal Lao Bo.
Taman chrysan itu begitu luas, di dalamnya terdapat tujuh belas ruangan. Di
ruangan mana Lao Bo tinggal?
Pun taman bunga Lao Bo tidak hanya chrysan itu saja, masih terbentang
taman-taman lain: taman bunga mei, mawar, mudan, belum lagi kebun bambu.
Setiap taman saling berhubungan. Meng Xin Hun tidak punya informasi
seberapa luas total keseluruhan taman bunga Lao Bo.
Kabarnya, jika seseorang berjalan dengan cepat mengelilingi seluruh taman,
satu hari pun tidak cukup.
Sejak hari ulang tahun itu, Meng Xin Hun tidak pernah melihat Lao Bo lagi.
Sepertinya, Lao Bo tidak pernah menginjakkan kaki di luar daerah
kekuasaannya.
Bagaimana penjagaan di taman itu? Berapa banyak penjaga dan jebakannya?
Meng Xin Hun tidak tahu.
Untuk order membunuh kali ini, begitu banyak hal menyangkut target sasaran
yang belum ia ketahui.
Ia tidak mau gegabah.
*
Waktu makan malam.
Ia ingin makan, sederhana saja dan tidak berlebihan, karena ia beranggapan
terlalu banyak makan bisa membuat pikiran dan pergerakan lamban.
Mungkin karena pengalaman masa kecilnya yang prihatin, berhari-hari tidak
makan, dan kini profesinya selaku pembunuh, ia merasa tubuhnya jadi seperti
hewan.
Terkadang ia merasa seperti kelelawar; pagi tidur, malam keluar. Atau seperti
ular; makan hanya sekali, kemudian berhari-hari baru makan lagi.
Tapi sekarang ia lapar.
Meng Xin Hun memilih rumah makan yang tidak teralu besar, tidak terlalu
kecil, tidak begitu sepi, juga tidak begitu ramai.
Ia selalu memilih tempat yang tidak mencolok, tidak memancing perhatian.
Beberapa orang keluar masuk dari rumah makan. Ada lelaki, ada perempuan,
ada yang muda, juga ada yang berpenampilan kaya raya. Meng Xin Hun
berharap ia bisa seperti mereka.
Tidak seperti Lu Xiang Chuan, Meng Xin Hun tidak iri. Juga tidak seperti Lu
Xiang Chuan, masa lalu yang kelam pun tidak membuatnya sakit hati.
Terdengar tawa sangat keras. Hari ini siapa yang minumnya paling banyak?
orang itu menjawab sendiri, Yang paling banyak adalah Xiou Tie! Jarinya
menunjuk seorang gadis berbaju merah.
Tiba-tiba seorang pemuda memasuki rumah makan, membawa satu guci arak
dan memberikanya pada Xiao Tie.
Xiao Tie tidak bicara, juga tidak menolak. Ia hanya tersenyum, langsung
menghabiskan seguci arak seperti setan arak.
Gadis setan arak tidak banyak, Meng Xin Hun juga setan arak, maka ia
memperhatikan Xiao Tie lebih teliti.
Semakin diperhatikan, terlihat semakin istimewa.
Ia sangat cantik. Biasanya gadis cantik yang tahu dirinya cantik selalu
menebar pesona pada sekelilingnya. Tapi gadis ini tidak seperti gadis lain,
seakan ia tidak perduli dirinya cantik atau tidak.
Meski di tengah keramaian, ia seakan sedang sendirian, seolah berada di
tengah lapangan yang dingin dan sepi.
Malam semakin larut.
Kereta kuda datang silih berganti. Orang-orang datang dan pergi. Tertinggal
hanya Xiao Tie dan pemuda berbaju hitam.
Pemuda itu sangat tampan, badannya tinggi, sarung pedangnya berkilauan;
sangat pantas menjadi pendamping gadis secantik Xiao Tie.
Kini tersisa satu kereta kuda di pinggir jalan.
Mari naik kereta, ajak si pemuda.
Xiao Tie menggeleng kepala.
Masih ingin minum? tanya si pemuda.
Xiao Tie menggeleng kepala.
Pemuda itu tertawa, Kau mau di sini semalaman?
Xiao Tie kembali menggeleng kepala. Aku ingin jalan-jalan, jawabnya.
Baiklan, ayo kutemani.
Mereka terlihat akrab, juga tidak khawatir orang memperhatikan mereka. Si
pemuda memegang tangannya, dan Xiao Tie membiarkan.
Aku ingin jalan-jalan sendiri, boleh? pinta Xiao Tie.
Pemuda itu terpaku, perlahan melepaskan genggamannya. Besok boleh
k u t e m a n i m u
lagi?
Kalau ada waktu, kenapa tidak? balik tanya Xiao Tie.
Setelah itu Xiao Tie tidak bicara lagi, terus berjalan. Biar pun jalannya lamban,
akhirnya hilang di kegelapan.
Biasanya anak gadis takut kegelapan, tapi Xiao Tie tidak.
Meng Xin Hun tidak mengenal Xiao Tie, apalagi pemuda baju hitam itu. Ia
merasa keduanya sangat serasi.
Begitu melihat si gadis pergi sendiri, hati Meng Xin Hun entah mengapa
merasa senang sekali.
Pemuda itu masih terlongong memandangi bayangan Xiao Tie yang
menghilang di kegelapan. Sesaat kemudian baru berkata kepada pemilik
rumah makan, Beri aku seguci arak yang paling besar!
Dan Meng Xin Hun memutuskan pergi dari situ.
Saat keluar dari pintu, ia masih mendengar pemuda itu meracau, Xiao Tie
Xiao Tie Apa kau mencintaiku? Sungguh kau membuatku penasaran
Di depan kegelapan semata.
Inilah jalan yang tadi dilalui Xiao Tie. Tidak sengaja, Meng Xin Hun juga
berjalan ke arah yang sama.
Walau Meng Xin Hun tidak mengakui, sesungguhnya ia berharap bisa bertemu
gadis itu lagi.
Tapi gadis itu seperti setan gentayangan hilang di kegelapan malam.
Dan Meng Xin Hun memutuskan pulang ke penginapan.
*
Malam semakin larut.
Pekarangan itu sunyi lagi sepi.
Kamar yang ia sewa pun tidak ada cahaya lampu.
Meng Xin Hun tidak pernah menyalakan lampu karena di tengah kegelapan ia
merasa lebih aman.
Waktu ia pergi, pintu dan jendela sudah ditutup. Sebelum melangkah masuk,
tiba-tiba ia berhenti.
Seperti seekor anjing pemburu yang terlatih, ia mencium bahaya mengancam.
Tubuh Meng Xin Hun meloncat tinggi dan berhenti di pekarangan belakang.
Jendela belakang masih tertutup. Ia mengetuk jendela dan mendadak
melompat lagi ke halaman depan. Gerakannya ringan dan cepat seperti
kelelawar.
Saat itu ia melihat sesosok bayangan melesat keluar dari jendela depan.
Gerakan orang itu sangat cepat. Meng Xin Hun segera mengikuti kemana pun
bayangan pergi.
Akhirnya Meng Xin Hun berkata, Untung kau adalah Xiao He, kalau tidak,
sudah kubunuh kau!
Bayangan itu terdiam. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan kembali
berkelebat ke kamar Meng Xin Hun.
Setelah lampu kamar dinyalakan, Meng Xin Hun langsung duduk di depan
Xiao He. Ia menatap Xiao He, tapi Xiao He tidak menatapnya.
Ia sudah mengenal Xiao He lebih dari dua puluh tahun, tapi tetap tidak bisa
memahaminya.
*
Meng Xin Hun, Shi Qun, Ye Xiang, dan Xiao He semua anak yatim piatu.
Mereka bisa bertahan hidup karena Gao Lao Da.
Di antara mereka berempat, umur Xiao He paling kecil. Xiao He yang pertama
bertemu Gao Lao Da dan selalu menganggap Gao Lao Da sebagai kakak
sendiri.
Waktu Gao Lao Da mengangkat tiga bocah lain sebagai anaknya, ia iri dan
marah, dan karenanya sering mengadu domba mereka.
Ia mengangap ketiga bocah lainnya merebut makanan Gao Lao Da, juga
merebut kasih sayang Gao Lao Da darinya. Bila tidak ada ketiga bocah itu, ia
merasa hidupnya akan lebih nyaman dan makan lebih kenyang.
Sejak awal ia sudah menggunakan berbagai cara agar Gao Lao Da mengusir
mereka.
Saat itu usianya baru enam tahun, ia sudah bisa berbuat licik, jalan pikirannya
sudah jahat.
Pernah suatu kali Gao Lao Da menyuruh Xiao He memberi tahu tiga
saudara-nya untuk berkumpul di sebelah barat kota. Namun Xioa He malah
bilang berkumpul di sebelah timur.
Tiga bocah itu menunggu di sebelah timur kota selama dua hari dan hampir
mati kelaparan. Kalau Gao Lao Da tidak terus menerus mencari, mereka
mungkin sudah mati.
Masih ada lagi. Suatu hari Xiao He memberi tahu patroli polisi bahwa mereka
bertiga pencuri dan sengaja meletakkan barang yang dicuri ke dalam pakaian
mereka.
Jika bukan Gao Lao Da yang menyogok polisi, mereka bertiga sudah mati di
lempar ke sungai.
Saat itu penjara penuh, sehingga bukannya dimasukkan kepenjara, banyak
penjahat yang dilempar mati polisi ke sungai.
Masih banyak lagi akal bulus Xiao He guna mencelakakan tiga saudara-nya.
Walau Gao Lao Da memarahi, tapi tidak sampai mengusir Xiao He. Gao Lao
Da menilai, usia Xiao He terlalu kecil, sehingga kesalahannya masih bisa
dimaafkan.
Dalam melakukan segala sesuatu, Gao Lao Da memang hanya menuruti hati
kecil. Ia tidak tahu batasan benar dan salah karena tidak seorang pun
memberitahunya. Pokoknya, asalkan bisa bertahan hidup, perbuatan apa pun
boleh dilakukan.
Sudah dua puluh tahun berlalu, Xiao He terus melakukan hal yang merugikan
saudara-nya. Cara-caranya pun semakin lihai dan sulit dilacak.
Apalagi terhadap Meng Xin Hun, ia sangat iri.
Saat berlatih kungfu bersama, Meng Xin Hun selalu lebih unggul darinya.
Kini, posisi Meng Xin Hun di mata Gao Lao Da semakin penting.
Itu semua membuat Xiao He semakin membencinya.
*
Meng Xin Hun memandang wajah Xiao He.
Namun saat ini Xiao He sedang marah. Wajahnya menjadi hijau, sepasang
tangannya tampak gemetar, membuat Meng Xin Hun merasa tidak enak.
Biar bagaimana Xiao He teman sedari kecil, usianya dua tahun lebih muda
darinya, ia menganggap Xiao He adik sendiri.
Meng Xin Hun tertawa terpaksa, Tidak kusangka kau yang datang,
seharusnya memberi tahu lebih dulu.
Memangnya, siapa yang kau sangka? tanya Xiao He.
Orang semacam kita selayaknya ekstra hati-hati! jawab Meng Xin Hun.
Xiao He tidak senang. Apa kau pikir sembarang orang bisa datang ke sini?
Apa selain Gao Lao Da masih ada yang tahu kau berada di sini?
Tawa Meng Xin Hun seketika lenyap. Apa Gao Lao Da yang menyuruhmu ke
sini?
Xiao He diam.
Diam berarti mengakui.
Wajah Meng Xin Hun mendadak tanpa ekspresi. Namun dari matanya terlihat
bayangan gelap. Sudut mata kanannya mulai berkedut.
Pada saat melaksanakan tugas, Gao Lao Da tidak pernah mengikutinya,
bertanya pun tidak. Ga Lao Da sangat mempercayainya.
Namun sekali ini sepertinya berbeda.
Meng Xin Hun teringat, Gao Lao Da pernah menyuruhnya menguntit Ye Xiang
karena meragukannya.
Itukah yang terjadi sekarang?
Xiao He diam-diam memperhatikan Meng Xin Hun, matanya tiba-tiba menyorot
sinar seakan sudah menebak apa yang ada di pikiran Meng Xin Hun.
Xiao He tertawa. Bukannya Gao Lao Da tidak mempercayaimu, ia hanya
meyuruhku menyampaikan pesan.
Tawa Xiao He terdengar sangat rahasia sekaligus menyebalkan. Siapa pun
yang mendengar tahu bahwa tawanya mengandung niat jahat. Ia memang
sengaja membuat Meng Xin Hun merasa seperti itu.
Meng Xin Hun lama terdiam, baru bertanya, Apa pesan Gao Lao Da padaku?
Dua anak buah Sun Yu Bo yang paling lihai sedang keluar melaksanakan
tugas, apa kau tahu?
Mereka adalah Sun Jian dan Lu Xiang Cuang? balas tanya Meng Xin Hun.
Xiao He tertawa. Ternyata kau sudah tahu. Gao Lao Da khawatir kau belum
tahu.
Khawatir belum tahu artinya Gao Lao Da sudah tidak mempercayaimu!
Meng Xin Hun mengerti arti kata-kata itu. Xiao He pun tahu bahwa Meng Xin
Hun sudah mengerti.
Dua anak buah terpercaya sudah pergi, Sun Yu Bo ibarat kehilangan dua
tangan, Kalau orang sudah kehilangan tangan kiri dan kanan, tentu tidak
menakutkan lagi! dingin pernyataan Xio He.
Meng Xin Hun hanya diam.
Sekarang sudah waktumu bergerak, kenapa masih belum beraksi? tanya
Xiao He dingin.
12. Xiao He
Kemarahan Meng Xin Hun seketika timbul. Yang melakukan tugas ini aku
atau kau? bentaknya.
Tentu saja kau.
Bila aku yang melakukan, tentu akan kugunakan caraku sendiri!
Aku hanya bertanya, tidak ada maksud apa-apa, ejek Xiao He sambil
melanjutkan, Gao Lao Da selalu bilang, kepalamu paling dingin. Tidak
kusangka, ternyata kau cepat marah.
Meng Xin Hun seketika merasa dipecut. Sebetulnya ia tidak boleh marah.
Marah adalah sejenis emosi. Seorang pembunuh profesional tidak boleh
memiliki emosi. Apa pun bentuknya, emosi bagi profesi seperti Meng Xin Hun
adalah racun.
Meng Xin Hun merasa ujung-ujung jarinya mendingin.
Xiao He menatapnya. Kau kenapa, tidak biasanya begini?
Meng Xin Hun membuang pandang. Seluruh otot-ototnya seperti hilang. Ia
sendiri pun tidak tahu megapa sekarang jadi begini. Lama baru ia berkata,
Aku lelah
Mendengar perkataan ini, Xiao He malah senang. Aku boleh tanya?
Apa?
Mata Xiao He berputar jahil. Lebih baik tidak jadi kutanya.
Hampir naik kembali darah Meng Xin Hun. Sedapatnya ia menekan emosi.
Bicaralah!
Puas mempermainkan Meng Xin Hun, Xiao He berkata simpati, Dua tahun
sejak kau mengganti posisi Ye Xiang, sudah waktunya kau beristirahat.
Nadanya penuh perhatian, Kalau kau tidak mau melakukan tugas ini, biar aku
yang menggantikan.
Lirih suara Meng Xin Hun. Kau tahu Sun Yu Bo macam apa?
Kau kira aku tidak bisa membunuhnya?
Kemungkinan aku juga tidak bisa membunuhnya!
Kalau kau tidak bisa membunuhnya, kau pikir aku juga tidak bisa? Wajah
Xiao He menghijau marah. Kungfumu memang lebih tinggi dariku. Untuk
membunuh tidak hanya memerlukan kungfu, tapi juga semangat dan
kemauan!
Kalau kau ingin menggantikanku, pergilah. Meng Xin Hun merasa begitu
lelah.
Lelah membuatnya malas bicara, juga membuatnya malas melakukan apa
pun.
Tapi masih ada satu kalimat yang ia ucapkan. Sebelum melakukannya, kau
harus tahu, tugas ini sangat berbahaya.
Xiao He langsung menjawab, Aku tidak takut karena aku sudah
memperhitungkannya.
Bahaya tidak akan membuat Xiao He mundur. Kesempatan ini sudah lama ia
tunggu. Asal bisa melaksanakan tugas ini dengan baik, maka Xiao He bisa
mengganti posisi Meng Xin Hun. Itulah ambisinya.
Namun Meng Xin Hun tidak perduli. Walau kedudukannya terancam direbut
Xiao He, ia tidak perduli.
Ia hanya ingin istirahat. Lain-lainnya ia tidak mau tahu. Ia hanya ingin tidur,
kalau bisa tidak usah bangun lagi.
Nyatanya sampai dini hari pun ia tidak bisa memejam mata.
*
Ayam berkokok.
Kabut mengambang di permukaan begitu tebal. Sedemikian tebalnya bahkan
telapak tangan sendiri pun sulit terlihat
Meng Xin Hun berjalan ke pinggir kota. Entah berjalan ke mana ia tidak
perduli. Berjalan sampai kapan pun ia tidak mau tahu. Pokoknya, ia
membiarkan kakinya melangkah semaunya.
Pikirannya hampa, sehampa hatinya.
Suara air mengalir.
Sungai kecil.
Ia menghampiri dan duduk di tepi kali.
Ia suka mendengar suara air mengalir. Walau air bisa saja mengering, tapi air
tidak pernah berhenti mengalir. Air sepertinya tidak mengenal lelah. Begitu
bersemangat, tidak pernah berubah.
Mungkin di semesta ini hanya manusia yang bisa merasa lelah, bosan, dan
berubah?
Meng Xin Hun menghela nafas.
*
Kabut mulai menipis.
Ketika itulah Meng Xin Hun baru menyadari sesosok bayangan duduk di atas
batu di seberang sana. Kini sosok itu bangkit mendatanginya.
Seorang gadis berbaju merah. Wajahnya terlihat pucat, mungkin menahan
dingin?
Matanya sangat benderang, seakan menembus kepekatan kabut.
Mata itu memandang Meng Xin Hun penuh simpati.
Ia seperti kasihan kepada kebodohan manusia dan juga bersimpati pada
manusia yang tidak mengerti arti kehidupan. Karena ia bukan manusia,
melainkan dewi.
Dewi yang baru keluar dari sungai.
Tenggorokan Meng Xin Hun tercekat. Ia merasa darahnya bergolak, membuat
matanya berbinar terang.
Meng Xin Hun mengenali gadis itu dan mengetahui bahwa ia bukan dewi.
Mungkin ia memang lebih cantik daripada dewi, lebih misterius daripada dewi.
Tapi ia bukan dewi.
Ia manusia biasa bernama Xiao Tie.
Xiao Tie masih memandang Meng Xin Hun, perlahan bertanya, Kau ingin
bunuh diri?
Pertama kali Meng Xin Hun mendengarnya bicara, suaranya lebih merdu
daripada air yang mengalir di musim semi.
Meng Xin Hun ingin bicara tapi tidak sanggup.
Xiao Tie bicara lagi, Kalau kau ingin mati, aku tidak akan melarangmu. Aku
hanya ingin bertanya satu kalimat saja.
Meng Xin Hun mengangguk.
Tiba-tiba pandangan Xiao Tie beralih ke tempat jauh, sangat jauh di sana, ke
tempat tertutup kabut. Ia bertanya, Apa kau pernah mengalami kehidupan?
Meng Xin Hun tidak menjawab karena ia tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya.
Apa kau pernah menjalani kehidupan? tanya Xiao Tie sekali lagi. Apa
kehidupanmu termasuk normal?
Meng Xin Hun membalik badan, ia takut air matanya menetes.
Saat membalik tubuh, suara Xiao Tie seperti menjauh. Seseorang bila belum
pernah menjalani kehidupan tapi sudah memikirkan kematian, bukankah
sangat bodoh?
Meng Xin Hun ingin memukul gadis itu dan balik bertanya, Apa kau sendiri
juga punya kehidupan?
Nyatanya Meng Xin Hun tidak bertanya, juga tidak perlu bertanya karena gadis
itu masih begitu belia, begitu cantik, pasti ia punya kehidupan.
Tapi jika gadis itu punya kehidupan, kenapa memilih tempat yang sunyi ini?
Apakah ia ke sini untuk menikmati kesepian?
Setelah lama, Meng Xin Hun baru membalik tubuh, tapi gadis itu sudah pergi
entah ke mana. Datang seperti kabut, hilang pun seperti kabut.
Tidakkah kesepian terkadang juga bisa dinikmati?
Pertemuan begitu singkat.
Tapi entah mengapa di dalam hati Meng Xin Hun serasa ia sudah mengenal
gadis itu begitu lama. Sepertinya sebelum ia dilahirkan sudah mengenalnya.
Gadis itu seperti juga sudah lama menunggunya. Kehidupan Meng Xin Hun
pun seperti hanya untuknya.
Apakah ini pertemuan terakhir?
Meng Xin Hun tidak tahu jawabnya. Tidak ada yang tahu ia datang dari mana
dan akan pergi ke mana.
Meng Xin Hun memandang ke kejauhan, tiba-tiba hatinya hampa.
Kabut semakin menipis.
*
Beberapa hari berlalu.
Tidak ada kabar dari Xiao He.
Xiao He seperti lenyap ditelan bumi. Meng Xin Hun tidak punya kegiatan apa
pun.
Satu-satunya kegiatan yang ia lakukan hanya berusaha melupakan Xiao Tie.
Namun entah mengapa hari ini ia teringat Xiao He.
Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan untuk kembali ke Kuai Huo Yuan.
*
Orang-orang di dalam Kuai Huo Yuan selalu berwajah gembira.
Gao Lao Da selalu tersenyum manis. Saat melihat Meng Xin Hun pulang,
tawanya semakin manis.
Tapi sejak kejadian hari itu, Gao Lao Da belum pernah benar-benar menatap
Meng Xin Hun. Meng Xin Hun pun tidak berani menatap Gao Lao Da secara
langsung.
Gao Lao Da selalu ingin melupakan kejadian hari itu, tapi ia tidak sanggup.
Meng Xin Hun hanya menunduk kepala.
Kau sudah pulang? tanya Gao Lao Da.
Meng Xin Hun sudah berada di sini, dengan sendirinya sudah pulang.
Tapi Meng Xin Hun justeru menggeleng kepala karena ia tahu yang ditanya
Gao Lao Da sebetulnya apakah pekerjaannya sudah selesai.
Jika ia sudah berani pulang seharusnya tugasnya sudah rampung.
Gao Lao Da mengerut dahi. Mengapa tugasmu belum selesai?
Meng Xin Hun lama terdiam, baru perlahan bertanya, Di mana Xiao He?
Xiao He? Kenapa kau tanya dia? Dia tidak punya tugas, mana kutahu dia ada
di mana?
Hati Meng Xin Hun serasa tenggelam. Aku pernah bertemu dengannya.
Di mana? tanya Gao Lao Da heran.
Dia datang mencariku.
Kenapa dia mencarimu? Gao Lao Da terlihat marah.
Meng Xin Hun tidak menjawab.
Apa kau tahu dia di mana?
Meng Xin Hun tidak bisa menjawab.
Gao Lao Da semakin marah, ia sangat tahu sifat Xiao He, anak itu suka
menyombongkan diri dan cari perkara.
Meng Xin Hun membalik tubuh, beranjak keluar, karena sudah tidak ada lagi
yang ingin ia tanyakan.
Sekarang ia bisa menduga kejadiannya: entah bagaimana Xiao He
mengetahui ke mana ia pergi dan sengaja mencarinya.
Maksud Xiao He hanya satu, yaitu menjatuhkan rasa percaya diri Meng Xin
Hun supaya bisa menggantikan posisinya.
Hal seperti ini sering dilakukan Xiao He. Hanya saja kali ini ia salah, dan
kesalahannya sangat fatal. Xiao He tidak tahu, Lao Bo adalah orang yang
sangat menakutkan.
Jangan pergi cegah Gao Lao Da, Aku ingin tahu, apa Xiao He
menggantikanmu mencari Lao Bo?
Lama terdiam, Meng Xin Hun mengangguk kepala.
Apa kau membiarkan dia pergi begitu saja?
Dia sudah pergi!
Gao Lao Da marah berkata, Kau tahu seperti apa Sun Yu Bo! Kau sendiri
paling banter hanya tujuh puluh persen berhasil. Kalau Xiao He yang pergi,
berarti mengantar nyawa. Kenapa kau tidak mencegahnya?
Meng Xin Hun membalik tubuh. Ia juga marah, berkata, Kenapa ia bisa tahu
aku ada di sana?
Mulut Gao Lao Da seketika tersumpal.
Tugas Meng Xin Hun adalah rahasia. Kecuali Meng Xin Hun dan Gao Lao Da,
tidak ada yang tahu.
Tapi kenapa Xiao He bisa tahu?
Akhirnya Gao Lao Da menarik nafas. Aku tidak menyalahkanmu, hanya
menghawatirkan Xiao He. Siapa pun dia aku tetap akan menghawatirkannya.
Meng Xin Hun menunduk kepala.
Di depan orang lain kepala Meng Xin Hun tidak pernah menunduk, tapi di
hadapan Gao Lao Da keadaannya tidak sama. Ia tidak akan pernah
melupakan budi Gao Lao Da.
Mau ke mana? tanya Gao Lao Da melihat Meng Xin Hun mulai beranjak.
Ke tempat aku seharusnya berada.
Kau sudah tidak bisa ke sana lagi!
Kenapa?
Bila benar Xiao He sudah ke tempat Sun Yu Bo, hidup atau mati, Sun Yu Bo
akan lebih waspada. Kalau kau pergi, hanya mengantar nyawa.
Meng Xin Hun tertawa. Setiap menjalankan tugas pun aku sudah siap
menghantarkan jiwa.
Kali ini tidak sama!
Kali ini tetap sama! Karena saat menjalankan tugas, selamanya kulakukan
sebaik mungkin.
Kalau kau tetap memaksa, kata Gao Lao Da, sebaiknya menunggu situasi
tenang lebih dulu.
Bila menunggu situasi tenang, tubuh Xioa He sudah dingin.
Sekarang pun mungkin badannya sudah dingin. jawab Gao Lao Da.
Paling sedikit, aku harus melihat-lihat!
Tidak bisa! Aku tidak mengijinkan kau pergi demi siapa pun.
Mata Meng Xin Hun berekspresi aneh. Apa demi Xiao He pun hal ini tidak
bisa?
Gao Lao Da tetap berkeras. Demi dia juga tidak bisa! Aku tidak bisa demi
seseorang yang sudah mati mengorbankan orang yang masih hidup.
Tapi dia adalah saudara kita.
Saudara dan tugas tidak bisa dicampur aduk. Kalau kita tidak bisa
membedakan tugas dan saudara, di hari mendatang mungkin yang mati
adalah kita! Mata Gao Lao Da menjadi sangat berat. Perlahan ia melanjutkan,
Jika kita semua mati, tidak akan ada yang mengubur mayat kita.
Meng Xin Hun sesaat menjublak. Ia merasa Gao Lao Da sudah berubah dan
terus berubah.
Gao Lao Da kini jadi sangat dingin dan kejam, berubah menjadi orang yang
tidak punya perasaan.
Sejak Ye Xiang gagal menjalankan tugas, Meng Xin Hun sudah merasakan
perubahan Gao Lao Da.
Tapi kenapa Gao Lao Da tidak takut Xiao He membocorkan rahasia?
*
Terdengar ketukan pintu.
Itulah pintu rahasia Gao Lao Da.
Bila bukan hal yang sangat penting, tidak ada yang berani mengetuknya.
Gao Lao Da membuka jendela kecil pada pintu itu. Ada apa?
Terdengar jawaban dari luar, Tuan Tu mengajak Nona minum arak.
Apakah dia yang bernama Tu Cheng? tanya Gao Lao Da.
Suara di luar menjawab, Betul.
Baiklah aku segera menemuinya. Gao Lao Da memandang Meng Xin Hun.
Tu Cheng adalah pedagang besar. Ia juga anak buah Wan Peng Wang,
malah kabarnya ia adalah tangan kanannya.
Meng Xin Hun bertanya, Apa Tu Cheng itu yang bernama asli Tu Da Peng?
Betul, jawab Gao Lao Da.
Kau pasti tahu Sun Yu Bo menyuruh Lu Xiang Chuan pergi. Tidak ada yang
tahu tujuan penugasannya. Bisakah kau mencari tahu? tanya Meng Xin Hun.
Ia tidak pernah menanyakan hal yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan.
Lu Xiang Chuan orang kepercayaan Lao Bo. Kalau bukan hal yang sangat
penting, Lao Bo tidak akan menyuruh Lu Xiang Chuan pergi.
Meng Xin Hun mengangguk. Ia pun merasa Lu Xiang Chuan tidak bisa
dipandang remeh.
Gao Lao Da tertawa. Kalau Sun Yu Bo berkelahi dengan Wan Peng Wang,
akan lebih menguntungkan kita. Tu Cheng keluar sarangnya pasti terkait
dengan Sun Yu Bo. Gao lao Da langsung membuka pintu, berjalan keluar.
Lebih baik kau tunggu di sini, biar aku mencari kabar sebentar.
Berita yang diperoleh Gao Lao Da selalu sangat cepat, karena cara kerjanya
pun sangat tepat.
Tapi Meng Xin Hun tidak mau sekedar duduk menunggu, ada juga berita yang
ingin ia cari sendiri.
13. Pembunuh Sejati
Ye Xiang berbaring di bawah pohon rindang di padang rumput yang gersang.
Rumput-rumput berwarna kuning kekeringan. Ia melemaskan tangan dan
kakinya.
Sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal ini karena tidak punya cukup waktu
buat bersantai.
Sekarang keadaannya sudah berbeda, sudah tidak ada lagi yang harus
dikhawatirkan, ia bisa lebih santai menjalani hidup.
Ternyata kegagalan pun ada hikmahnya, orang sukses belum tentu bisa
menikmati hidup seperti dirinya. Ye Xiang tertawa kecut.
Tiba-tiba terdengar suara langkah berjalan di atas rumput, begitu ringan
seperti kucing yang mengendap.
Ye Xiang tetap berbaring. Tanpa berpaling pun ia tahu siapa yang datang.
Itu langkah Meng Xin Hun, kecuali Meng Xin Hun tidak ada yang melangkah
seperti itu.
Kapan kau pulang? tanya Ye Xiang tetap berbaring.
Baru saja, jawab Meng Xin Hun.
Tawa Ye Xiang pecah. Kau baru pulang tapi langsung mencariku,
benar-benar sahabat yang baik.
Seketika jengah wajah Meng Xin Hun. Selama dua tahun ini banyak yang
menjauhi Ye Xiang, termasuk dirinya.
Ye Xiang menepuk-nepuk rumput kering di sampingnya. Duduklah! Minumlah
dulu, baru katakan maksudmu mencariku
Meng Xin Hun duduk di tempat yang ditunjuk Ye Xiang, menenggak arak
sambil berjanji dalam hati, kelak bila kembali dengan selamat akan
memperlakukan Ye Xiang lebih baik, minum berdua lebih sering lagi.
Harus diakui, hari-hari lalu ia sempat menjauhi Ye Xiang. Bukan karena
sombong, melainkan karena takut. Manakala ia melihat Ye Xiang, seolah ia
bercermin melihat diri sendiri.
Apa yang membawamu ke sini? tanya Ye Xiang.
Kau pernah bilang, di dunia ini ada dua macam orang. Pertama, orang yang
membunuh dan, kedua, orang yang dibunuh. jawab Meng Xin Hun sambil
mengembalikan botol arak ke tangan Ye Xiang setelah sekali lagi
menenggaknya.
Ye Xiang tertawa. Tidak seorang pun yang bisa membagi jenis orang dengan
cara sama! Mungkin caraku membagi pun salah.
Kau bisa membagi dengan cara seperti itu, karena sesunguhnya kau memang
bukan tipe pembunuh, sahut Meng Xin Hun.
Ye Xiang menenggak araknya sambil tersenyum. Kebanyakan pembunuh
akhirnya mati dibunuh juga.
Apa tidak ada pengecualian? tanya Meng Xin Hun.
Maksudmu, apa ada pembunuh tapi akhirnya tidak terbunuh? Ye Xiang balik
bertanya.
Meng Xin Hun mengangguk.
Sesaat Ye Xiang termangu. Sesungguhnya, sangat jarang orang seperti itu.
Sangat jarang berarti tetap ada, bukan? Kau kenal orang seperti itu? kejar
Meng Xin Hun.
Setelah lama termangu, Ye Xiang menjawab, Aku adalah salah satunya.
Nadanya menjadi kecut, Sekarang sudah tidak ada yang berniat
membunuhku.
Meng Xin Hun tidak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba Ye Xiang terduduk, memandang Meng Xin Hun dalam-dalam. Dia
seperti apa?
Meng Xin Hun tahu, Ye Xiang kini sudah menangkap maksud kedatangan dan
arah pertanyaannya.
Orangnya sangat biasa, jawab Meng Xin Hun, Tidak tinggi, juga tidak
pendek. Tidak gemuk, juga tidak kurus.
Apa kau pernah melihat wajahnya?
Tidak.
Kenapa?
Karena setelah membunuh, ia mengoleskan darah korban ke wajahnya.
Wajah Ye Xiang berubah kaku. Lama baru ia berkata, Aku tahu orang
semacam ini. Di dunia ini hanya ada satu orang semacam ini! Tidak ada
kecualinya. Hanya saja , Ye Xiang berubah menjadi sangat serius menatap
Meng Xin Hun, kalau kau bertemu dengannya, larilah sejauh mungkin.
Semakin jauh semakin baik.
Kenapa? Meng Xin Hun tidak mengerti.
Pembunuh bukan hanya kita berdua! jawab Ye Xiang.
Oh? Meng Xin Hun semakin tidak paham.
Pembunuh adalah pekerjaan yang tidak biasa, jelas Ye Xiang sambil
menatap Men Xin Hun.
Meng Xin Hun mengangguk, balik menatap Ye Xiang, dan berkata. Kau
pernah bilang, menjadi pembunuh tidak bisa memiliki nama! Bila kau punya
nama, berarti kau bukan pembunuh profesional.
Ye Xiang menghela nafas. Ya, itulah pengorbanan kita atas profesi ini. Nama
baik, keluarga, teman, semua tidak bisa kita miliki. Sesaat ia terdiam, baru
melanjutkan, Karena itu, tidak seorang pun mau menjalani pekerjaan seperti
kita, terkecuali orang gila!
Kecut senyum Meng Xin Hun. Walau sekarang belum gila, lambat laun pasti
gila.
Ye Xiang menenggak araknya lagi. Tapi tetap saja ada orang yang memang
ditakdirkan jadi pembunuh! Orang seperti itulah sejatinya seorang pembunuh.
Pada waktu membunuh, dia benar-benar membunuh tanpa perasaan.
Selamanya dia tidak akan merasa jenuh atau lelah untuk membunuh, hati dan
tangan pun tidak dapat berhenti untuk terus membunuh.
Men Xin Hun hanya diam, menatap botol arak di tangan Ye Xiang.
Asal kau tahu, Ye Xiang melanjutkan, Orang yang kau maksud adalah salah
satu pembunuh paling gila yang pernah kutahu!
Meng Xin Hun mengambil botol arak dari tangan Ye Xiang dan langsung
menenggaknya. Apa dia pembunuh terbaik? tanya Meng Xin Hun setelah
beberapa saat.
Benar, di dunia ini tidak ada yang lebih hebat daripadanya, jawab Ye Xiang.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang, ia tahu perkataannya belum selesai.
Ye Xiang melanjutkan, Kau tidak akan bisa menandinginya! Bisa jadi kau lebih
tenang, lebih dingin, dan lebih pintar darinya. Mungkin pula gerakanmu lebih
cepat darinya. Tapi kau tidak mungkin bisa menjadi pembunuh nomor satu
kalau kau bukan seorang yang gila.
Meng Xin Hun mengembalikan botol arak ke tangan Ye Xiang. Setelah lama,
Meng Xin Hun baru bertanya, Apa kau pernah melihat saat dia membunuh?
Kecuali melihat dengan mata kepala sendiri, tidak ada yang bisa
menggambarkan caranya membunuh. Pada waktu membunuh, dia tidak
menganggap lawannya manusia.
Mungkin, saat membunuh, dia tidak menganggap dirinya manusia! Meng Xin
Hun menatap jauh ke sana.
Seperti tidak mendengar Meng Xin Hun, Ye Xiang perlahan berkata, Ada yang
bilang dia sudah pensiun, tiba-tiba Ye Xiang menatap Meng Xin Hun
dalam-dalam, Di mana kau menemuinya?
Di taman bunga Sun Yu Bo!
Siapa yang dibunuh olehnya?
Huang Shan San You.
Kenapa dia membunuh Huang Shan San You?
Karena mereka berlaku tidak sopan pada Sun Yu Bo.
Mendengar jawaban ini Ye Xiang menghela nafas. Sudah kuduga Sun Yu Bo
punya pelindung yang kuat. Tapi tidak kusangka dialah pelindungnya.
Sekarang ia memegang tangan Meng Xin Hun kuat-kuat, Lupakanlah niatmu
untuk membunuh Sun Yu Bo, ucapnya begitu sungguh-sungguh
Aku tidak bisa melupakannya!
Ye Xiang tampak sangat serius. Tetap berusahalah untuk melupakannya!
Kalau tidak, aku khawatir, kau akan mati dalam waktu dekat. Walau kau bisa
membunuh Sun Yu Bo, dia akan mencarimu kemana pun pergi dan akhirnya
berhasil membunuhmu!
Meng Xin Hun menghela nafas. Betapa pun, akan kucari cara agar tidak
seorang pun tahu siapa yang membunuh Sun Yu Bo.
Orang lain mungkin tidak bisa, geleng Ye Xiang, Tapi, percayalah, orang ini
pasti bisa melacaknya!
Meng Xin Hun perlahan bertanya, Apa orang ini mengenalmu?
.
Ye Xiang mengangguk. Dia mengenaliku. Begitu dia melihatku, dia tahu siapa
aku.
Orang lain mungkin tidak mengerti ucapan Ye Xiang. Tapi, Meng Xin Hun
paham maksudnya. Seperti juga Ye Xiang, si Jubah Kelabu dan Meng Xin Hun
juga manusia.
Walau mereka adalah pembunuh, sehari-hari sedapat mungkin mereka tampil
tidak berbeda dengan orang lain, pun sedapatnya tidak memancing keributan
dengan orang lain.
Namun pembunuh adalah pembunuh. Seorang pembunuh sejati sekali melihat
pasti bisa mengenali siapa dirimu!
Meng Xin Hun bertanya lagi, Bila dia bisa mengenalimu, apakah dia juga
mengenaliku?
Ya, Ye Xiang balik menatap Meng Xin Hun, Walau waktu itu dia tidak
melihatmu, tapi
Meng Xin Hun diam, menunggu kelanjutan ucapannya.
percayalah, dia sudah mengenalimu! Bila Sun Yu Bo mati, dia pasti akan
datang mencarimu.
Meng Xin Hun bergidik ngeri, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu, Ye Xiang
masih belum selesai.
Barang kali ia tidak langsung membunuhmu, lanjut Ye Xiang, Tapi, kalau
kau sudah dicurigai olehnya, dia akan selalu menguntitmu, menunggumu, ikut
pergi ke mana pun kau pergi
Meng Xin Hun membulatkan tekad. Aku lebih dulu harus membunuhnya!
Ye Xiang terkejut mendengar kesungguhannya. Kau mau membunuhnya?
Apa kau bisa membunuhnya?
Betapa pun, dia manusia! jawab Meng Xin Hun.
Selama manusia, pasti bisa mati! Tapi Ye Xiang menggeleng-geleng kepala.
Dia manusia macam apa kau sendiri tidak tahu, bagaimana bisa
membunuhnya?
Tapi ada kau yang bisa memberi tahuku dia macam apa.
Aku? Ye Xiang menggoyang-goyang kedua tangan. Tidak! Aku tidak tahu.
Meng Xin Hun masih menatap Ye Xiang begitu dalam. Sesaat ia menghela
nafas, kemudian berdiri, bersiap meninggalkan tempat itu.
Ia tidak memaksa Ye Xiang untuk mengatakannya. Bila Ye Xiang tidak ingin
mengatakan, ia tidak mau memaksa.
Tiba-tiba Ye Xiang berseru, Tunggu sebentar!
Meng Xin Hun menghentikan langkah.
Setelah lama Ye Xiang baru berkata, Dia membunuh bukan karena dia tidak
menyukai manusia, melainkan karena dia sangat menyukai darah!
Darah? Meng Xin Hun tidak mengerti.
Tanpa juntrungan, Ye Xiang melanjutkan, Dia juga tidak suka makan ikan,
tapi dia suka memelihara ikan. Orang yang suka memelihara ikan tetapi tidak
makan ikan tidaklah banyak.
Meng Xin Hun masih ingin bertanya tapi Ye Xiang sudah menutup mulut
sendiri dengan botol arak.
Matahari senja menyinari pepohonan dan muka Ye Xiang. Wajahnya sudah
berubah, ia seperti tertidur.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang dengan sorot penuh terima kasih.
Meng Xin Hun tahu, tidak seorang pun bisa memaksa Ye Xiang mengatakan
hal yang tidak ingin ia katakan.
Tapi, tetap ada pengecualian.
Jika Meng Xin Hun yang meminta, Ye Xiang pasti bicara.
Meng Xin Hun adalah teman Ye Xiang.
Juga saudaranya.
*
Sewaktu Meng Xin Hun kembali, Gao Lao Da sudah menanti.
Kelihatannya Ga Lao Da sedang gembira. Namun begitu melihat Meng Xin
Hun, ia jadi marah, Kenapa tidak menungguku?
Aku tidak kemana-mana, jawab Meng Xin Hun, hanya menemui Ye Xiang.
Sepertinya antara kau dan Ye Xiang begitu banyak yang ingin dibicarakan,
jengek Gao Lao Da. Setelah terdiam sesaat, ia melanjutkan, Aku sudah tahu
kemana Sun Yu Bo menugaskan Lu Xiang Chuan.
Oh ya?
Ia menugaskan Lu Xiang Chuan menemui Wan Peng Wang, jawab Gao Lao
Da.
Untuk apa? tanya Meng Xin Hun lagi.
Teman lama Sun Yu Bo bernama Wu Lao Dao. Anak lelaki Wu Lao Dao
mencintai pelayan Wan Peng Wang, namun Wan Peng Wang tidak merestui.
Karena itu, Sun Yu Bo memerintahkan Lu Xiang Chuan meminta restunya.
Walau Gao Lao Da seorang perempuan, ia bisa menjelaskan masalah ini
secara cepat dan sederhana.
Lantas? tanya Meng Xin Hun.
Akhirnya Wan Peng Wang merestui mereka dan dia pun menyediakan semua
tetek bengek untuk pernikahan gadis itu.
Kembali tanya Meng Xin Hun, Dengan begitu, masalah selesai?
Belum! Malah baru dimulai! Gao Lao Da tertawa senang, Orang semacam
Wan Peng Wang tentu tidak menyerah begitu saja.
Meng Xin Hun tidak bertanya lagi karena ia tidak mengenal Wan Peng Wang.
Gao Lao Da berkata, Menurutku, Wan Peng Wang sengaja melakukan itu
agar Sun Yu Bo lengah. Di saat itulah dia akan menyerang Sun Yu Bo. Gao
Lao Da berkeplok gembira. Bila Wan Peng Wang mulai menyerang, pasti
akan sangat dahsyat!
Karena itu dia memanggil Tu Da Peng? Meng Xin Hun bertanya sekaligus
menyimpulkan, teringat pada anak buah Gao Lao Da yang mengetuk pintu
tadi.
Gao Lao Da mengangguk. Selain Tu Da Peng, ia juga sudah memanggil Ji
Peng dan Nu Peng. Sekarang mereka dalam perjalanan menuju markas pusat
Wan Peng Wang.
Mereka akan menyerang Sun Yu Bo?
Benar! Saat mereka mulai menyerang, itulah kesempatan emasmu, senyum
Gao Lao Da begitu puas.
Kalau begitu, aku harus menguntit Tu Da Peng!
Ya, kau harus mencermati gerak-gerik mereka dan menunggu kesempatan
baik. Namun, kau tidak boleh membiarkan orang lain mengambil kesempatan
emas itu. Kau harus membunuh Sun Yu Bo dengan tanganmu sendiri.
Aku mengerti.
Meng Xin Hun memang mengerti bahwa harus dirinya yang membunuh Sun
Yu Bo. Kalau tidak, Gao Lao Da tidak akan menerima honor. Selain itu,
tidakkah ia juga harus menjaga reputasi Gao Lao Da?
Berapa orang yang ikut dengan Tu Da Peng? tanya Meng Xin Hun.
Mereka hanya bertiga, menunjukkan bahwa gerak-gerik mereka sangat
rahasia.
Siapa kedua lainnya?
Yang satu bernama Wang Er Dai. Dai yang berarti bodoh. Walau
penampilannya tampak bodoh, tapi dia tidak bodoh. Ini sekedar upaya
mengelabui orang.
Satunya lagi? tanya Meng Xin Hun.
Yang satu lagi bernama Ye Mao Zi, si Kucing Malam, sesuai namanya ia
adalah pencuri ulung dan ahli membius orang. Tu Da Peng sudah
memanggilnya, pasti ada penugasan khusus buatnya.
Kapan mereka berangkat?
Gao Lao Da tertawa puas. Walau Tu Da Peng tergesa, tapi ia tidak akan
segera berangkat, Jin Er sekarang masih menemaninya di kamar. Sayangnya,
Jin Er hanya bisa menahannya satu hari lagi.
Meng Xin Hun terlihat berpikir.
Apa yang kau pikirkan? tanya Gao Lao Da.
Orang yang bisa dirayu untuk tinggal satu hari lagi tidak akan pernah bisa
menjadi anak buah Wan Peng Wang yang utama.
Gao Lao Da tertawa manis. Sepertinya semakin hari kau semakin cerdas.
Karena aku memang harus menjadi lebih pintar, jawab Meng Xin Hun dingin.
14. Pembalasan Wan Peng Wang
Wu Lao Dao sudah mulai mabuk.
Ia sangat berterima kasih pada Lao Bo. Inilah hari pernikahan putranya, ia
berharap Lao Bo bisa menghadiri pesta ini. Namun, ia paham, Lao Bo tidak
mungkin datang.
Walau Wu Lao Dao kecewa, tapi tidak seberapa sedih karena Lu Xiang Chuan
hadir di pesta ini.
Setelah pesta usai, Lu Xiang Chuan baru pulang. Ia meninggalkan dua
jagonya, Wen Hu dan Wen Bao, guna menjaga Wu Lao Dao.
Para tamu sudah pulang. Pelayan sedang minum-minum, beristirahat dan
bercengkrama di dapur. Sepasang pengantin pun sudah masuk kamar.
Di ruang tamu hanya tinggal Wu Lao Dao sendiri. Melihat lilin yang hampir
habis, pikiranya melayang senang sekaligus sedih.
Anak lelakiku sudah menikah, aku memang semakin tua, pikirnya dalam hati
sambil mulai merencanakan tempat tenang dan sepi guna menghabiskan
masa tua.
Saat itu ia mendengar suara langkah kaki mendekati.
Orang itu sepertinya sudah mabuk, lebih mabuk daripada Wu Lao Dao, datang
dari taman menuju ruang tamu. Ia bukan hanya mabuk, juga terlihat bodoh,
penampilannya sangat lugu, langsung menghampiri Wu Lao Dao.
Tapi Wu Lao Dao tidak mengenalinya. Di antara teman-teman Wu Lao Dao
tidak ada yang bodoh dan lugu seperti ini.
Apa kau mencari Lao Song? Mereka sedang di dapur. Wu Lao Dao menduga
lelaki itu teman juru masaknya.
Lelaki itu menggeleng, dengan suara mabuk bergumam, Yang kucari adalah
kau.
Mencariku? Ada urusan apa?
Sebelum sempat mengatakan apa pun, lelaki itu ambruk, tapi masih sempat
melambaikan tangan.
Kau ingin menyampaikan sesuatu?
Susah payah orang itu mengangguk.
Terpaksa Wu Lao Dao menghampiri dan membungkukkan badan, Bicaralah!
Lelaki itu berkata terengah, Aku ingin
Suaranya serak dan mabuk. Wu Lao Dao tidak mendengar cukup jelas.
Terpaksa ia lebih mendekatkan diri dan bertanya, Apa yang ingin kau
sampaikan?
Aku ingin nafasnya begitu berat.
Posisi mereka begitu dekat. Tapi saat orang itu bicara, tidak tercium bau arak
dari mulutnya.
Wu Lao Dao tertegun. Hanya sedetik, namun sudah terlambat.
Lelaki itu menyelesaikan ucapannya tepat di sisi telinga Wu Lao Dao,
membunuhmu!
Saat perkataan terahir terucap, seutas tali sudah menjerat leher Wu Lao Dao.
Saat tali ditarik, sebilah pisau sudah menggorok lehernya.
Nafas Wu Lao Dao seketika tersekat, ia seperti ikan yang meloncat ke
permukaan jatuh ke darat, menggelepar untuk diam selamanya.
Lelaki itu berdiri tegak, beberapa saat menatap Wu Lao Dao. Aku sudah
bilang ingin membunuh, ya kubunuh kau. Aku, Wang Er Dai, tidak pernah
bohong!
Dai yang berarti bodoh.
Tapi ia tidak bodoh.
*
Pasangan pengantin, Xiao Wu dan Dai Dai, saling berpelukan. Begitu erat,
seakan tidak terpisahkan.
Kau milikku. Lembut Xiao Wu mengecup bibir Dai Dai sambil memejam
mata.
Nafas Dai Dai begitu harum. Sedemikian harumnya, membuatnya jadi
mengantuk.
Seketika Xiao Wu merasa sesuatu yang tidak beres. Ia meronta bangun, tapi
kaki dan tangan tidak mengikuti perintahnya. Pikiran pun terasa melompong.
Xiao Wu coba membuka mata. Pandangannya terasa kabur.
Antara sadar dan tidak, ia seperti melihat seraut wajah. Wajah itu meringis
seperti kucing.
Di tengah malam begini kenapa ada kucing?
Pengantinmu sekarang milikku, kata si Kucing Malam, Ye Mao Zi.
Xiao Wu ingin bangkit, tapi segalanya berubah menjadi kabut dan akhirnya
gelap semata.
Ia pingsan.
*
Meng Xin Hun bertekad menguntit Tu Da Peng. Tapi Tu Da Peng tidak ke
mana-mana. Yang bergerak justeru dua anak buahnya.
Kini Meng Xin Hun berada di atap rumah di seberang kediaman Wu Lao Dao.
Ia melihat Wang Er Dai memasuki rumah Wu Lao Dao seperti seorang idiot.
Tidak lama kemudian ia melihat Ye Mao Zi mengendap seperti kucing di sisi
jendela kamar pengantin.
Mereka tidak masuk secara bersamaan, tapi keluar bersamaan.
Ketika keluar, Wang Er Dai masih terlihat seperti orang idiot, tapi di pundaknya
memanggul sesosok mayat. Tidak lama Ye Mao Zi juga keluar membopong
bungkusan besar, sedemikian besarnya sehingga tampak kerepotan.
Tiba-tiba datang kereta, berhenti tepat di depan mereka.
Pintu terbuka, Wang Er Dai dan Ye Mao Zi masing-masing melempar
bawaannya ke dalam kereta. Mereka pun masuk ke dalam dan segera
menghilang di kepekatan malam.
Semua terjadi begitu singkat. Rumah Wu Lao Dao tetap senyap seakan tidak
terjadi apa-apa.
Tapi Meng Xin Hun tahu, Wan Peng Wang sudah memukul Sun Yu Bo dengan
telak. Meng Xin Hun juga tahu, Sun Yu Bo tidak akan tinggal diam dan akan
membalas Wan Peng Wang lebih kejam lagi.
*
Setelah mendengar penjelasan Lu Xiang Chuan, wajah Lao Bo menjadi sangat
serius.
Lu Xiang Chian tidak mengerti kenapa Lao Bo jadi begitu. Ia telah melakukan
tugas dengan sangat sempurna dan sukses. Arak pengantin pun masih terasa
manis di bibirnya.
Biasanya, Lao Bo langsung memuji.
Tapi sekarang Lu Xiang Chuan justeru melihat tangan Lao Bo menggenggam
kancing baju dengan kencang seperti memencet mati seekor binatang. Bila
Lao Bo begini, berati ia sedang marah. Dan siap menyerang.
Siapa yang akan ia serang?
Tiba-tiba Lao Bo berdiri dan berkata pada pengawal yang menjaga di sudut
sana.
Beri kabar pada Kelompok Merpati agar semua anggotanya bersiaga mencari
Sun Jian. Di mana pun Sun Jian berada, suruh dia pulang, jangan sampai
terlambat!
Siap! jawab salah seorang pengawal.
Siapkan juga Kelompok Elang, lanjut Sun Yu Bo lagi.
Kelompok Merpati bertangung jawab memberi dan mencari kabar. Kelompok
Elang bertugas menjaga keamanan.
Lao Bo jarang mengerahkan kelompok ini. Jika dua kelompok ini sudah
digerakkan, berarti masalah yang dihadapi sangat serius.
Apa sudah timbul masalah besar? pikir Lu Xiang Chuan.
Ia kini memikirkan kata-kata yang sering diucapkan Lao Bo. Buatlah musuh
salah tafsir padamu, tapi kau tidak boleh salah menafsir musuh, begitu petuah
Lao Bo pada nya.
Lu Xian Chuan menggaruk kepala.
Apakah Lu Xiang Chuan telah salah menafsir Wan Peng Wang? Tidakkah
tugasnya berjalan terlalu lancar? Sedemikian lancarnya sehingga menjadi
tidak wajar? Dengan reputasi Wan Peng Wang, benarkah ia takluk begitu
saja?
Lu Xiang Chuan merasa punggungnya basah.
Lao Bo bertanya, Kau sudah mengerti?
Ia tidak marah pada Lu Xiang Chuan karena tahu orang seperti Lu Xiang
Chuan tidak perlu dimarahi. Lu Xiang Chuan pasti tidak akan mengulangi
kesalahan sama!
Lu Xiang Chuan sangat berterima kasih pada Lao Bo, juga merasa sangat
malu. Tiba-tiba ia berdiri. Aku harus bertemu Wu Lao Dao, mungkin ia dalam
bahaya.
Tidak perlu! jawab Lao Bo.
Kenapa?
Karena Wu Lao Dao pasti sudah mati.
Lu Xiang Chuan merasa hatinya dingin. Barangkali
Lao Bo menukas perkataannya. Tidak ada barangkali! Wan Peng Wang biasa
membuat musuh tidak merasa dalam bahaya, tapi kemudian segalanya sudah
terlambat!
Lu Xiang Chuan duduk kembali. Hatinya serasa tenggelam ke dasar jurang
yang dalam. Ia tidak tahu bagaimana harus memperbaiknya. Entah pula
bagaimana menebusnya.
Ketika itulah seseorang datang terburu-buru memasuki pintu.
Lelaki itu masih sangat muda dan tampan, sayangnya hidungnya bengkok
seperti baru dihajar, sudut matanya pun sudah dipukul hingga sobek, tangan
kirinya lunglai menggantung seperti selembar kain.
Begitu masuk, pemuda itu langsung terkapar tidak bangun lagi. Jelas terlihat,
pemuda itu habis menjalani penyiksaan berat.
Sudah lama Lao Bo tidak menyukai kekerasan. Tapi kali ini merupakan
pengecualian. Sepertinya, pemuda itu telah melakukan kesalahan yang tidak
termaafkan.
Siapa dia? tanya Lu Xiang Chuan.
Tidak tahu, jawab Lao Bo.
Lu Xiang Chuan heran. Sepertinya pemuda ini tahan siksaan, karena terlihat
masih bisa bertahan.
Barangkali ia takut jika membocorkan rahasia, siksaan yang diterimanya akan
lebih dahsyat? Di belakangnya, jangan-jangan ada tokoh lebih menakutkan?
pikir Lu Xiang Chuan.
Sepertinya Lao Bo bisa menduga benak Lu Xiang Chuan. Dia tidak mau
bicara bukan karena takut. Kalau kita terus menyiksanya, dia pasti pingsan.
Apa kesalahannya? tanya Lu Xiang Chuan.
Dia mau membunuhku, jawab Lao Bo.
Lu Xiang Chuan sangat terkejut. Yang berani membunuh Lao Bo pasti orang
gila. Jika bukan gila, pasti orang yang sangat berani.
Cobalah, barangkali kau punya cara menggali informasi darinya, kata Lao
Bo.
Lu Xiang Chuan berdiri, memilih arak yang paling keras, dan langsung
mencekokkannya pada pemuda itu. Bukankah dalam keadaan mabuk orang
berkata lebih jujur?
Wajah pemuda itu mulai memerah, begitu juga sepasang matanya. Betapa
pun jagonya pemuda itu minum, apabila dicekok sebanyak itu, pasti mabuk.
Lu Xiang Chuan mulai menginterogasi. Apa margamu?
Mabuk, pemuda itu hanya bergumam. Margaku He.
Siapa namanu?
Margaku He.
Berapa kali ditanya pun jawabannya hanya begitu, tidak ada yang lain.
Orang yang mengutus pemuda ini sangat terlatih hingga bisa melatih
anakbuahnya seperti ini, kata Lao Bo.
Lu Xiang Chuan berpikir. Kau menyangka orang itu adalah
Lao Bo mengangguk.
Lu Xiang Chuan tidak menyebut nama, begitu juga Lao Bo, seolah mereka
sudah mengerti siapa yang dimaksud.
Dengan suara rendah Lu Xiang Chuan bertanya, Apa sebaiknya dia kita antar
pulang?
Lao Bo menggeleng kepala. Lepaskan saja
Antar pulang dan lepaskan saja artinya tidak sama. Antar pulang artinya
pulang dalam keadaan mati. Lepaskan berarti pulang dalam keadaan hidup.
Setelah lama baru Lu Xiang Chuan memahami maksud Lao Bo.
Lao Bo memang selalu membereskan masalah secara cepat dan tepat.
*
Di depan taman bunga adalah hutan yang lebat.
Meng Xin Hun memilih pohon yang paling rindang, memanjatnya, kemudian
seperti burung hantu sembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
Sebetulnya Meng Xin Hun tidak ingin mengelilingi taman bunga Lao Bo, ia
tidak mau menanggung resiko bahwa sebelum melaksanakan tugas
gerak-geriknya sudah terbaca.
Namun sekarang masalah berbeda. Ia tahu Lao Bo mulai bergerak.
Taman bunga itu sepi, sama sekali tidak terdengar suara, seakan tidak ada
kegiatan. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar.
Di saat Meng Xin Hun mulai putus asa, dari kerimbunan bunga muncul
sesosok bayangan.
Sosok itu memiliki gerak yang cukup cepat, namun langkah sempoyongan,
dan sebelah tanggannya seperti putus. Pakaian yang lengket di tubuhnya
entah berwarna ungu, biru, atau merah oleh darah? Bajunya compang
camping.
Meng Xin Hun merasa mengenali pakain itu. Ketika itulah sosok itu
mengangkat wajah, coba mengenali arah.
Sinar bulan menyorot wajahnya.
Xiao He!
Hampir Meng Xin Hun berteriak, Xiao He ternyata masih hidup dan bisa
melarikan diri.
Wajahnya lelah dan kesakitan, tapi sinar matanya begitu sombong, kagum
pada diri sendiri.
Melihat wajah Xiao He, Meng Xin Hun tahu ia belum membocorkan rahasia
Gao Lao Da. Tapi Meng Xin Hun juga tahu, di dunia ini tidak ada yang bisa
lolos dari cengkraman Lao Bo.
Lantas kenapa Xiao He bisa lari hingga di sini?
Meng Xin Hun berpikir dan segera memahami apa yang diinginkan Lao Bo.
Lao Bo sengaja melepas Xiao He melarikan diri, kemudian diam-diam
mengikutinya untuk menyelidiki siapa dalang di balik ini.
Memikirkan hal itu, seketika Meng Xin Hun berkeringat dingin. Ia tidak akan
membiarkan Xiao He pulang. Tapi, ia tidak bisa mencegah Xiao He pulang.
Seseorang pasti sudah menguntit di belakang Xiao He, dan tidak mungkin
Meng Xin Hun membocorkan rahasianya sendiri.
Xiao He terlihat sudah bisa membedakan arah, tanpa pikir langsung berlari ke
sana. Larinya begitu cepat, seolah dalam satu hari akan tiba di Kuai Huo Ling.
Meng Xin Hun sangat marah dan benci, serasa ingin memukul hidung dan
kepala sendiri dan bertanya kenapa Xiao He begitu bodoh.
Sebenarnya Xiao He orang yang pintar, terutama dalam mencelakai orang,
tapi kenapa sekarang jadi begitu bodoh?
*
Jika ingin mencegah Xiao He membocorkan rahasia Gao Lao Da ada satu
cara: Bunuh dia!
Tapi Meng Xin Hun tidak ingin melakukan cara ini, ia pun tidak tega. Untung ia
masih bisa memikirkan cara kedua, yakni bukannya membunuh Xiao He, tapi
membunuh orang yang menguntit Xiao He.
Meng Xin Hun terus menunggu.
Betul saja, dari kegelapan muncul sesosok bayangan, berlari mengikuti Xiao
He.
Tapi Meng Xin Hun tetap mendekam di atas pohon.
Benar saja, tidak lama muncul sesosok lagi, juga mengikuti arah yang tadi
ditempuh Xiao He dan satu temannya terdahulu.
Meng Xin Hun tetap mendekam.
Lagi, sesosok bayangan muncul dan langsung mengikuti arah yang di tempuh
Xiao He dan dua temannya terdahulu.
Menguntit dengan cara ini, bila satu orang ketahuan, yang lain masih bisa
menjalankan tugas.
Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda munculnya penguntit
berikutnya, Meng Xin Hun melesat dari tempat sembunyinya.
Ketiga orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh sangat lihai, tugas mereka
selamanya menguntit orang. Yang dituju Meng Xin Hun adalah orang terakhir.
Setelah cukup lama, Meng Xin Hun baru bisa mengejarnya. Ringan, Meng Xin
Hun menepuk pundaknya.
Lelaki itu terkejut dan menoleh, tapi Meng Xin Hun langsung menotoknya
secepat kilat.
Meng Xin Hun memperlakukan dua lagi penguntut Xiao He dengan cara sama.
Cara yang sangat sederhana. Sering kali cara sederhana adalah cara yang
paling efektif.
Sebetulnya cara-cara Lao Bo pun sama seperti Meng Xin Hun: sederhana dan
efektif. Orang yang berpengalaman biasanya menempuh cara-cara sederhana.
Xiao He terus berlari melalui kota Huang Shi yang sepi.
*
Toko kelontong di Huang Shi sudah hampir tutup. Xiao He berlari melalui toko
itu.
Sejenak kemudian mencul dua lelaki dari balik toko dan berbisik, Itu dia!
Satunya lagi menyahut, Kita harus terus menguntitnya.
Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, pun tanpa ragu
mereka mengerahkan seluruh kemampuan, tidak takut kehabisan tenaga
karena tahu di kota berikutnya akan ada yang menggantikan.
Ternyata Lao Bo menggunakan cara yang lebih rumit.
Orang berpengalaman menggunakan cara sederhana. Tapi orang yang lebih
berpengalaman menggunakan cara yang lebih rumit.
Biar bagaimana, bila menggunakan dua cara salah satu pasti berhasil.
Jika Lao Bo menginginkan satu hal, ia pasti menggunakan lebih dari satu cara.
Karenanya, hingga saat ini Lao Bo selalu sukses dan tidak pernah gagal.
*
Begitu terbangun, Sun Jian merasa sangat lelah.
Ia bukan manusia berotot kawat bertulang besi, apalagi perempuan yang tidur
di sisinya sangat pandai memuaskan lelaki.
Sebenarnya ia masih ingin tinggal di sini dua hari lagi, tapi ia telah mendengar
suara aneh di luar jendela.
Suara itu seperti seruling yang membuat kobra menari, setelah berbunyi dua
kali baru berhenti.
Sun Jian langsung bisa membedakan, itulah tanda darurat yang dikirim Lao
Bo.
Jika kau mendengar tanda itu tapi tidak langsung pulang, kau bisa menyesal
seumur hidup! Tidak ada yang berani membangkang, termasuk Sun Jian.
Segera ia bangun dari tempat tidur, mengenakan baju, celana, dan sepatu.
Perempuan telanjang yang berada di tempat tidur membalik tubuh, menarik
tangan Sun Jian langsung ke dadanya. Kau mau pergi?
Ya, jawab Sun Jian.
Kau tega meninggalkanku? katanya lagi sambil menggesek-gesekkan tangan
Sun Jian guna merasakan sepasang putiknya yang mulai mengeras kaku.
Namun jawabannya hanya tamparan.
Sun Jian tidak suka perempuan yang terlalu mengekangnya.
*
Matahari baru terbit.
Tapi Sun Jian sudah melarikan kudanya sejauh 200 km.
Ia sungguh cemas karena sudah lama Lao Bo tidak pernah mengeluarkan
tanda darurat ini. Ia pun tidak bisa menebak apa yang sudah terjadi.
Setelah lama memacu kuda, ia lapar sekali. Di kiri kanan jalan yang dilalui
terlihat bermacam penganan. Ada yang menjual kue, daging, juga arak. Tapi ia
tidak berhenti.
Lao Bo adalah ayahnya. Juga temannya. Demi Lao Bo ia rela mati.Maka, di
dunia ini tidak ada yang bisa menghentikannya.
Matahari semakin tinggi, mencorong menyinari jalanan. Batu-batu jalanan
terbakar matahari sudah panas seperti di kuali. Terkadang matahari musim
gugur memang lebih menyengat daripada musim panas.
Sun Jian melepas topi, mengelap keringat. Walau ia masih bisa bertahan, tapi
kudanya sudah kelelahan. Ia sadar, sudah saatnya mengganti kuda.
Ketika ia mencari tempat mengganti kuda, tiba-tiba seseorang melemparnya
dengan sebuah batu berbungkus kertas.
Sigap Sun Jian menangkapnya.
Setelah diperhatikan, di atas kertas tertulis: Apa kau ingin tahu siapa
membunuh Lao Bo?
Sun Jian seketika menghentikan kuda, meloncat turun. Ia memutar pandang,
yang terlihat justeru beberapa orang di bawah pohon. Dan ia mengenali
mereka.
Sun Jian tidak tahu siapa yang melemparnya, dan pasti bukan mereka.
Orang-orang di bawah pohon itu adalah Kelompok Anjing dari organisasi Lao
Bo, tugasnya menguntit orang, jumlah anggotanya tidak banyak, tapi ilmu
meringankan tubuh kelompok ini paling tinggi.
Sun Jian melambai tangan, memanggil ketua kelompok dan bertanya, Siapa
yang kau ikuti?
Lelaki itu tidak mau sembarangan membocorkan tugas, tapi juga tahu sifat
jelek Sun Jian. Apalagi Sun Jian bukan orang lain, melainkan putra Lao Bo.
Lelaki itu memandang ke seberang sana.
*
Xiao He sedang duduk makan kue berbungkus daging sapi. Ia sedikit kesulitan
menggigit kue karena tangannya hanya berfungsi sebelah.
Walau Xiao He ingin secepatnya pulang, tapi sulit baginya terus berlari
mengandalkan ginkan di tengah siang bolong begini.
Apalagi ia juga sudah mulai haus, lapar, dan kelelahan. Untung masih ada sisa
uang di kantungnya.
Sebetulnya ia ingin menyewa kereta kuda, sehingga begitu terbangun, sudah
sampai di Kuai Huo Ling.
Tapi ia takut dikuntit orang dan memilih lebih memanfaatkan ginkannya buat
melarikan diri.
Walau Lao Bo sudah tahu dia kabur dan memerintahkan anakbuah buat
mengejarnya, ia yakin gerakan mereka tidak secepat dirinya. Sungguh, ia
merasa pelarian ini sangat seru.
Mereka kira aku sudah mabuk! Sedikit pun tidak curiga meninggalkanku
sendiri di kamar yang tidak terkunci, pikir Xiao He dalam hati, Sekarang
mereka baru tahu betapa pintar dan mampunya aku!
Entah kenapa, orang yang licik seperti Xiao He ternyata tidak dewasa. Licik
dan dewasa sepertinya dua hal bertentangan.
Xiao He benar-benar senang dan hampir tertawa sendiri. Belum sempat
tertawa, ia melihat seseorang menghampiri. Belum pernah ia melihat orang
sebesar ini.
Saat lelaki itu berjalan, seakan bebatuan jalan hancur diinjaknya. Ditambah
lagi sepasang mata seperti dua bola yang terbakar itu langsung menatapnya.
Margaku Sun bernama Jian, katanya.
Wajah Xiao He seketika berubah. Daging yang tengah digigit jatuh ke tanah
tanpa sempat dikunyah.
Sun Jian tertawa sinis. Siapa yang berlaku tidak sopan pada Lao Bo harus
mati!
Tiba-tiba Xiao He meloncat, tangannya yang tinggal sebelah mencekik leher
Sun Jian. Kungfunya dan Meng Xin Hun satu aliran. Sangat kejam, cepat, dan
tepat.
Sayang ia masih kalah cepat, atau tepatnya: kurang kuat?
Betapa pun cepat lengan Xiao He, Sun Jian tidak mengelak, sebaliknya malah
maju menghadang dan mengadu tangan.
Seketika Xioa He mendengar suara lengan patah. Ia tidak berteriak, karena
sebelah tangan Sun Jian yang lain sudah memukul wajahnya. Ia tersungkur.
Dan sebuah pukulan telak menghajar punggungnya.
Terdengar tulang retak. Semua gigi Xiao He rontok. Tulang wajah serta
punggungnya remuk.
*
Semua yang menyaksikan sangat terkejut. Kecuali satu orang: si Pelempar
Batu.
Orang itu adalah Gao Lao Da.
Semua kejadian sudah dalam perhitungannya. Dan ia sangat percaya diri.
Melihat Xiao He, sedikit banyak ia merasa kasihan. Tapi ia tahu, lelaki seperti
Xiao He tidak pantas dicintai, lebih-lebih tidak pantas dikasihani.
Gao Lao Da berniat secepatnya melupakan Xiao He. Semakin cepat semakin
baik.
Dulu ia tidak begitu kejam. Tapi belakangan ia tahu, jika seseorang ingin hidup
lebih baik, ia harus memiliki hati yang keras. Semakin keras semakin baik.
Kekayaan dan kemauan laksana cuka dan air. Bila air ditambah cuka pasti
berubah asam. Bila telah memiliki dan mengejar kekayan, hati dan kemauan
seseorang pasti berubah kejam.
*
Sun Jian membanting Xioa He ke tanah seperti membanting karung.
Karung dalam posisi berdiri, namun karena tulang lengan dan punggung Xioa
He sudah remuk, ia rubuh seperti karung kosong ke tanah.
Lao Bo hanya memandang Sun Jian, wajahnya tanpa ekspresi.
Lu Xiang Chuan seketika menghawatirkan Sun Jian. Bila wajah Lao Bo seperti
itu, berarti ia sedang gusar.
Namun Sun Jian seperti tidak menyadari keadaan, wajahnya tampak senang
dan bangga. Aku sudah menangkap dan membawa pulang orang ini.
Di mana kau menemukannya? tanya Lao Bo.
Di jalan, jawab Sun Jian.
Di jalan begitu banyak orang, kenapa tidak kau tangkap semua dan bawa
pulang?
Melengak Sun Jian mendengarnya. Sesaat kemudian baru berkata, Aku tahu
orang ini ingin membunuhmu, dia juga melarikan diri dari sini.
Bagaimana kau bisa tahu?
Ada yang memberi tahu.
Siapa?
Sun Jian memperlihatan batu berbungkus kertas.
Lao Bo hanya melirik sejenak, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Hanya ingin
kutanya padamu, siapa yang pernah melarikan diri dari sini?
Tidak seorang pun.
Kalau bisa lari dari sini, artinya dia macam apa?
Pasti sangat lihai.
Bila dia sangat lihai, apa tidak terpikir olehmu kau bisa merubuhkannya hanya
sekali pukul?
Sun Jian menjublak. Ia menilai Xiao He memang bukan orang yang sangat
lihai. Seketika ia sadar bahwa dirinya sudah diperalat orang lain.
Sun Jian berharap Lao Bo marah padanya atau setidaknya memukulnya
seperti waktu kecil dulu, sehingga perasaannya jadi lebih baik.
Nyatanya Lao Bo tidak perduli. Dan ini merupakan bentuk hukuman dari Lao
Bo.
Bagi Sun Jian, hukuman seperti ini lebih menyakitkan.
*
Saat berdua dengan Lu Xiang Chuan, Lao Bo menjelaskan alasannya. Walau
Sun Jian sudah melakukan kebodohan, tapi bukan berarti tidak ada gunanya.
Lu Xiang Chuan hanya menutup mulut. Dalam keadaan ini, memang lebih baik
menutup mulut.
Ia tidak ingin mencampuri urusan ayah dan anak, selain itu juga sudah
memahami maksud Lao Bo.
Lao Bo sengaja ingin membuat Sun Jian marah. Saat Sun Jian marah,
kekuatan yang terpancar darinya sangat menakutkan. Bahkan Lao Bo pun
takut dibuatnya.
Kekuatan, kemarahan, dan semangat Sun Jian sangat bermanfaat untuk
menghadapi musuh sekarang ini.
*
Pagi.
Sepagi ini sudah ada empat peti mati hadiah untuk Lao Bo dari Wan Peng
Wang.
Empat peti mati berisi empat mayat dan satu manusia hidup.
Empat mayat itu adalah Wen Hu, Wen Bao, Wu Lao Dao, dan Dai Dai.
Satu-satunya yang hidup hanya Xiao Wu.
Tubuh Xiao Wu dijadikan satu peti dengan Dai Dai yang telanjang bulat.
Jelas pengantin wanita habis diperkosa beramai-ramai.
15. Jebakan di Pemakaman
Begitu peti dibuka, Lao Bo melihat sepasang mata Xiao Wu. Ia masih hidup,
tapi tulang di sekujur tubuhnya remuk.
Xiao Wu sangat menyesal, hanya dirinya yang masih hidup, bahkan harus
menyaksikan Dai Dai diperkosa beramai-ramai di hadapannya sebelum
dibunuh.
Biji mata Xiao Wu melotot seperti ikan mati, memandangi Lao Bo. Tidak ada
yang bisa menggambarkan kesedihan dan kemarahan yang terpancar di sana.
Seumur hidup Lao Bo sering melihat manusia meregang ajal, tapi sekali ini ia
merinding, keringat dingin membasahi tangan dan kakinya.
Apalagi Lu Xiang Chuan, hampir muntah. Tapi ia mengagumi Lao Bo.
Dalam keadaan itu, Lao Bo masih bisa membungkuk berbisik di telinga Xiao
Wu, Aku akan membalaskan dendammu.
Mendengar perkatan itu, mata Xiao Wu perlahan terpejam. Wajahnya terlihat
tenang. Ia percaya Lao Bo akan membuktikan ucapannya. Nafasnya berhenti.
Empat mayat kini menjadi lima.
Melihat kondisi kelima mayat itu, Lu Xiang Chuan akhirnya benar-benar
muntah.
Saat itu Lao Bo berkata dingin, Paling tidak sekarang terbukti pemuda marga
He itu bukan suruhan Wan Peng Wang.
Lu Xiang Chuan hanya bisa bertanya dengan matanya.
Dengan mengirim empat peti ini, Wan Peng Wang secara terang-terangan
mengajakku perang, jelas Lao Bo, Ia tidak perlu bercapai lelah melempar
batu sembunyi tangan guna membungkam mulut pemuda He itu!
Lu Xiang Chuan terkejut. Jika bukan Wan Peng Wang, lantas siapa tokoh di
belakang pemuda itu? Apa ada musuh lain?
Lao Bo menghela nafas. Sebenarnya kita masih bisa menyelidiki siapa orang
itu. Tapi, sayang, dingin Lao Bo memandang Sun Jian.
Nadi di dahi Sun Jian seketika bermunculan.
Lu Xiang Chuan cepat menukas, Kita masih bisa menyelidikinya
Biar kita bicarakan hal itu nanti! kata Lao Bo, Sekarang sebaiknya
memikirkan cara menyerang balik Wan Peng Wang.
Biar aku ke sana! teriak Sun Jian, berniat menyatroni kediaman Wan Peng
Wang.
Untuk apa? tukas Lao Bo, Ia pasti sudah menunggumu mengantar nyawa!
Sun Jian mengatup geraham kuat-kuat. Orang di luar pintu pun bisa
mendengar gemeretak giginya.
Wan Peng Wang pasti menanti kita. Tapi kita tidak perlu ke sana. Biarkan dia
menunggu, kita harus lebih sabar daripadanya.
Benar, jawab Lu Xiang Chuan. Ia tahu, menunggu memang pekerjaan
menjemukan, bahkan menguras energi.
Lao Bo merapihkan lengan bajunya. Besok hari pemakaman enam dari Tujuh
Pemberani, Tie Cheng Gang sudah menguar undangan. Wan Peng Wang
tahu kita pasti mengirim orang guna mengucap balasungkawa. Kita pancing ia
melakukan serangan, kita buat ia salah perhitungan.
Belum habis perkataan Lao Bo, Sun Jian bergegas keluar ruangan dengan
langkah lebar.
Lao Bo tidak menggubrisnya. Lu Xiang Chuan pun sibuk berpikir.
Entah apa yang dipikirnya, mungkin cara menghadapi Wan Peng Wang?
Malam semakin larut.
Lao Bo bertanya, Apa sudah menemukan cara menghadapi pemakaman
besok?
Banyak pelayat akan datang, jawab Lu Xiang Chuan, Di antara pelayat,
mungkin menyusup orang-orang Wan Peng Wan.
Lao Bo mengangguk.
Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang
membaca doa kita ganti dengan orang kita semua, usul Lu Xiang Chuan,
Sehingga, kalau benar Wan Peng Wang menyusupkan orang di antara para
tetamu melakukan serangan, kita bisa lakukan pengepungan. Yang
kuhawatirkan, Wan Peng Wang malah tidak melakukan apa pun.
Kehadiran Sun Jian pasti membuat Wan Peng Wang bergerak, sahut Lao
Bo.
Lu Xiang Chuan paham maksud Lao Bo. Sebagai putra Sun Yu Bo, dengan
sendirinya Sun Jian merupakan umpan yang sangat menarik bagi musuh,
ibarat cahaya yang mengundang laron-laron berdatangan. Kematian Sun Jian
pasti pukulan telak bagi Lao Bo dan organisasinya.
Tapi, apa kita tidak meresikokan nyawanya? tanya Lu Xiang Chuan.
Kalau semua sudah orang kita, apalagi harus dikhawatirkan? Lagi pula,
kutahu kemampuan Sun Jian. Tapi Lao Bo meremas kancing bajunya,
walau Sun Jian di sana, kuduga Wa Peng Wang tidak akan turun tangan
sendiri. Karena itu, belum waktuku untuk muncul di depan umum.
Aku ingin ke sana melihat-lihat, usul Lu Xiang Chuan.
Sikap Lao Bo tegas. Kau tidak perlu pergi! Begitu mereka melihatmu, mereka
pasti menduga kita merencanakan sesuatu. Biarkan Sun Jian yang hadir,
semua tahu Tie Cheng Gang sahabatnya, sewajarnyalah dia di sana. Selain
itu pandangan Lao Bo beralih pada Xiao He yang sekarat, kau masih
punya tugas lain.
Lu Xiang Chuan hanya mengangguk.
Lao Bo melanjutkan, Biar aku yang menghadapi Wan Peng Wang. Tugasmu
menelusuri siapa bos anak ini, dengan cara apa pun! Tapi, jangan libatkan
orang lain selain kita berdua.
Lu Xiang Chuan kembali mengangguk, memandang Xiao He. Aku tidak akan
membiarkan dia mati. Seandainya mati pun pasti akan kupikirkan cara lain.
*
Pagi.
Luka Tie Cheng Gang belum sembuh, tapi semangatnya sudah kembali.
Di hadapan Tie Cheng Gang, berjajar peti mati teman-temannya, enam dari
Tujuh Pemberani.
Ia tidak meneteskan air mata, begitu tabah. Banyak pelayat datang
berbalasungkawa, tapi Tie Cheng Gang tidak terlalu memperdulikan mereka.
Ia terus termenung memandangi jejeran peti mati itu.
Ketika pelayat sudah semakin banyak, tiba-tiba Tie Cheng Gang membalik
tubuh, menghadapi tetamu yang datang.
Perlahan ia berkata, Teman-temanku dibunuh dan difitnah, tapi aku justeru
melarikan diri seperti anjing.., begitu ia memulai pidato, tanpa ucapan terima
kasih pada tetamu atau ungkapan kata sedih.
Tidak ada yang tahu maksud dan arah pembicaraannya. Karena itu, semua
diam mendengarkan.
Tie Cheng Gang terus berkata, Aku melarikan diri bukan karena takut mati,
melainkan menunggu hari ini untuk membersihkan nama baik mereka.
Sekarang, nama baik sudah pulih, aku tidak punya alasan untuk hidup lebih
jauh lagi
Begitu habis perkataan, ia langsung mengeluarkan pisau menggorok leher
sendiri. Seperti air mancur, darah segar menyembur dari tenggorokannya yang
terbelah.
Perubahan itu begitu cepat. Sedemikian cepatnya sehingga tidak bisa dicegah
siapa pun.
Kepalanya jatuh menggelinding ke samping, tapi tubuhnya masih gagah
berdiri. Setelah lama baru terkulai roboh ke atas salah satu peti mati.
Seketika orang-orang tersadar dan berteriak-teriak. Panik. Terkejut. Ada yang
mundur, ada yang maju. Hanya Sun Jian yang diam tegak berdiri.
Di tengah kehebohan, empat lelaki bergerak berlarian. Kalau Sun Jian tidak
menghindar, mereka pasti menabraknya.
Tiba-tiba empat lelaki itu menghunus pisau, dari empat arah berbarengan
menusuk Sun Jian.
Ujung pisau hampir mengenai Sun Jian, tahu-tahu kepalan tangannya
bergerak, cepat dan kuat, membuat keempat penyerangnya seketika terkapar.
Dari kerumunan tiba-tiba terdengar teriakan, Awas, hati-hati dengan orang
yang mengenakan tali putih di tangan kanan!
Sesuai kebiasaan, kebanyakan pelayat mengenakan tali putih di tangan kiri.
Empat yang tewas di tangan Sun Jian semua mengenakan tali putih di lengan
kanan. Dan sekarang masih ada 20 pelayat lagi yang mengenakan tali putih di
tangan kanan.
Seketika kerumunan bubar ke samping, tertinggal 20 orang itu di
tengah-tengah.
Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang
membaca doa sudah diganti dengan orang kita semua, begitu yang
disampaikan Lu Xiang Chuan pada Lao Bo semalam.
Maka penggotong peti, penggali lubang, dan para biksu langsung menghadapi
20 tetamu yang mengenakan kain putih di tangan kanan.
Seketika terdengar teriakan menyayat. Dalam waktu singkat, dari 20 tetamu itu
hanya tertinggal tiga saja yang berada di dekat Sun Jian.
Mereka sengaja meninggalkan ketiga lelaki itu untuk Sun Jian. Sementara Sun
Jian gusar memandangi mereka.
Ketiga lelaki itu gemetar, baju pun basah berkeringat dingin. Salah satu di
antaranya terbungkuk. Seketika tercium bau pesing menyengat. Ia sudah
terkencing-kencing.
Aku bukan salah satu dari mereka lelaki itu terbata.
Kata-katanya belum selesai, lelaki kedua sudah mengayun pisau memenggal
kepalanya.
Darah menyembur seperti bunga salju berceceran. Kepala lelaki pertama
menggelinding ke samping, matanya masih terbuka meneteskan airmata.
Kini Sun Jian menatap lelaki kedua.
Mati ya mati, tidak perlu disesali! Seketika lelaki kedua mengayun pisau
menggorok leher sendiri.
Tiba-tiba Sun Jian menjulurkan tangan, tahu-tahu ia sudah memegang lengan
lelaki itu.
Tulang tangan lelaki itu hancur seketika, pisaunya terjatuh.
Kenapa? Aku tidak boleh mati? tanyanya penasaran.
Tidak boleh! tegas Sun Jian sambil tetap memegang lengannya.
Tidak terduga, lelaki ketiga menyambit pisau ke arah Sun Jian. Dengan gesit,
Sun Jian menjatuhkan diri, melepas tangan yang menggenggam lelaki kedua.
Jarak begitu dekat, terlambat sedikit pasti kena.
Pisau meluncur beberapa senti di bawah ketiak Sun Jian, melayang terus ke
sana, menancap tepat di dada lelaki kedua yang tangannya diremukkan Sun
Jian.
Cepat Sun Jian berdiri tegak menyusun kuda-kuda, tapi lelaki ketiga sudah
mengepruk kepala sendiri.
*
Pagi.
Aku lebih dulu harus membunuhnya! begitu pernah Meng Xin Hun berkata
pada Ye Xiang.
Selama beberapa waktu lalu, Meng Xin Hun sudah mencari tahu tempat
kediaman si Jubah Kelabu, dan pagi ini ia benar-benar membulatkan tekad.
Daripada si Jubah Kelabu memburunya karena telah membunuh Lao Bo,
maka lebih baik membunuh si Jubah Kelabu terlebih dahulu sebelum ia
waspada, baru setelah itu membunuh Lao Bo!
*
Si Jubah Kelabu tidak mirip orang yang senang memelihara ikan. Namun pada
kenyataannya, ia memang senang memelihara ikan.
Ikan yang dipeliharanya cukup banyak. Ada yang di dalam akuarium, ada juga
yang di dalam mangkuk arak.
Ia banyak menghabiskan waktunya di sisi kolam, atau di depan akuarium
memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik.
Di saat seperti itu, ia bisa melupakan segala masalah dan kesulitan hidup. Ia
merasa seperti ikan yang berenang tenang.
Sebetulnya ia pernah memiliki keinginan memelihara burung. Burung dapat
bebas kemana pun terbang dibanding ikan yang hanya berenang di air tenang.

Sayangnya, ia tidak bisa memelihara burung di alam bebas. Bila burung di


kurung di dalam sangkar, akan hilang kebebasannya. Maka, burung itu bukan
lagi burung yang bebas.
Karenanya, ia lebih suka memelihara ikan.
Orang yang suka memelihara ikan biasanya orang yang kesepian. Ia pun
demikian.
Ia tidak punya teman, tidak punya pelayan, tidak punya keluarga. Ia tidak mau
mendekati orang, juga tidak mau didekati orang. Karena, ia menganggap tidak
ada yang bisa dipercaya. Kecuali, Lao Bo.
Tidak ada yang setia pada Lao Bo melebihi dirinya. Bahkan bila mempunyai
ayah, demi Lao Bo, ia rela membunuh ayah kandung sendiri.
Ia senang memancing.
Cara memancingnya sama seperti orang lain, hanya tujuannya berbeda.
Ia senang melihat ikan menggelepar di ujung pancingnya, sama senangnya
melihat orang menggelepar menjelang ajalnya.
Sampai saat ini, ia belum menemukan orang yang mampu menghadapi ajal
tanpa takut. Mungkin, hanya Lao Bo yang mampu menghadapi kematian tanpa
gentar.
Di hatinya, Lao Bo bagaikan dewa. Apa pun yang dilakukan Lao Bo, ia anggap
benar. Apa pun perlakuan Lao Bo atas dirinya, ia terima. Terkadang, ia tidak
tahu kenapa Lao Bo memperlakukannya begitu, tapi ia percaya Lao Bo pasti
memiliki cukup alasan.
Ada satu perbedaan mendasar antara dirinya dengan Lao Bo. Ia senang
membunuh, tapi Lao Bo tidak senang membunuh.
Karenanya, ia sering melampiaskan kesenangannya membunuh pada ikan.
Terkadang ia menaruh seekor ikan di dalam sangkar, menjemurnya di bawah
matahari. Ia sangat menikmati saat-saat ikan itu menggelepar menjelang ajal,
saat ikan itu megap-megap kehabisan nafas, dan mati pelan-pelan. Begitu
juga perasaannya pada manusia yang meregang ajal.
Hanya ada satu orang seperti itu di dunia ini, tidak ada yang lain. Orang itu
adalah dirinya, si Jubah Kelabu.
Dan si Jubah Kelabu adalah Han Tang.
*
Orang yang senang memelihara ikan adalah orang yang aneh. Mencari orang
yang aneh tidaklah sulit bagi Meng Xin Hun.
Siang.
Sinar matahari menyinari kolam ikan. Kemilaunya menyilaukan mata.
Di sisi kolam sana ia melihat Han Tang baru saja menarik keluar pancingnya.
Di ujungnya, seekor ikan menggelepar. Dan Han Tang tampak sangat
menikmati setiap gelepar itu.
Meng Xin Hun berhari-hari sudah memikirkan cara menghadapi Han Tang.
Tapi tidak satu pun cara memuaskan yang berhasil ia temukan.
Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan satu cara yang paling mudah dan
langsung, yaitu mendatangi Han Tang.
Kalau memiliki kesempatan, ia akan membunuh. Kalau tidak ada kesempatan,
ia yang akan dibunuh.
Apa pun hasilnya, Meng Xin Hun tidak terlalu perduli. Membunuh orang seperti
Han Tang harus berani mempetaruhkan nyawa. Bila tidak, cara apa pun yang
ditempuh pasti tidak berguna.
Sekarang Meng Xin Hun sudah menemui Han Tang dan langsung
menghampirinya.
*
Siang.
Sinar matahari menyinari mayat-mayat bergelimpangan. Kemilaunya
menyilaukan mata.
Darah sudah meresap ke dalam tanah. Mayat-mayat berubah menjadi kaku.
Tujuh Pemberani seluruhnya sudah mati.
Walau mayat Tie Cheng Gang tertelungkup di atas salah satu peti mati, dalam
perasaan Sun Jian seolah ia masih tegak berdiri.
Tie Cheng Gang adalah teman sejatinya. Walau Tie Cheng gang sudah mati,
namun kepahlawannnya akan tetap dikenang dunia persilatan.
Para penggotong peti mati, penggali lubang, para biksu pembaca doa, serta
sebagian tetamu masih berjaga khidmat di sekitar Sun Jian.
Sementara Sun Jian masih berdiri menjublak entah berapa lama, tiba-tiba ia
merasa air matanya begitu penuh.
Perlahan, ia berlutut.
Seumur hidupnya, ia belum pernah berlutut. Entah orang itu hidup atau mati, ia
belum pernah berlutut.
Sekarang ia rela berlutut. Karena hanya dengan berlutut, ia bisa memberikan
penghormatannya pada Tie Cheng Gang.
Sun Jian menutup mata, berdoa.
Baru saja memejam mata buat berdoa, tiba-tiba ia mengendus wewangian
yang aneh sekali.
Wewangian itu keluar dari dalam peti mati di mana tubuh Tie Cheng Gang
tertelungkup.
Asap pembius!
Sun Jian murka. Ia mengayun tangan coba mengepruk tutup peti mati hingga
hancur.
Walau Sun Jian coba mengelak asap dengan menahan nafas, tapi terlambat.
Ia sudah kadung menghirup asap pembius. Tubuhnya lemas tanpa tenaga.
Dari dalam peti mati, sebilah pedang berkelebat menusuk dada Sun Jian,
tembus hingga ke punggung.
Darah segar muncrat. Mengalir di ujung pedang.
Seperti kebanyakan orang, darah Sun Jian berwarna merah segar. Matanya
melotot marah pada sosok di dalam peti mati.
Lelaki di dalam peti meninggalkan pedang di dada Sun Jian, berusaha
meloloskan diri.
Dari sudut matanya, lelaki itu masih sempat melihat Sun Jian roboh, tapi
tiba-tiba ia pun merasa lengannya lemas.
Saat rasa lemasnya hilang, ia sudah melihat cahaya pisau berkelebat,
memotongnya menjadi daging cincang.
Semua berlangsung begitu cepat. Tidak ada yang mengeluarkan suara, tidak
ada yang bergerak. Semua terperangah, nafas pun ikut terhenti, terbelalak
memandang mayat Sun Jian.
Mereka merasa tangan dan jari menjadi dingin. Keringat juga menetesi
punggung.
Sun Jian benar-benar sudah mati. Ternyata orang sekuat Sun Jian pun bisa
mati.
Tidak ada yang percaya, tapi semua harus percaya, karena mereka melihat
dengan kepala sendiri.
Siapa lelaki di dalam peti mati? Mengapa ia bisa bersembunyi di sana?
Itu tidak mungkin, karena mulai dari penggali lubang, penggotong peti, hingga
pembaca doa sudah diganti dengan orang Lao Bo.
Maka mereka mulai mengalihkan pandang kepada para penggotong peti mati.
Tiba-tiba dua di antaranya berteriak ketakutan Ini bukan ide kami. Sungguh,
ini semua bukan idea kami Ini semua ide
Belum habis ucapannya, di antara kerumunan orang-orang terdengar teriakan,
Bunuuuhhh!
*
Lao Bo seperti patung.
Di depannya, sebuah peti. Di dalamnya, jazad putra tunggalnya. Pedang
masih menempel di dada Sun Jian.
Lao Bo sangat paham anaknya. Sungguh, ia sama sekali tidak percaya di
dunia ini ada yang bisa menusuk dada Sun Jian dengan pedang.
Siapa yang menusuk Sun Jian? Siapa yang memiliki kepandaian begitu tinggi?
Sebenarnya apa yang sudah terjadi di pemakaman para pemberani itu?
Tidak ada yang tahu. Semua yang hadir di sana tidak satu pun yang hidup.
Lao Bo masih mematung, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tiba-tiba di sudut
matanya menggenang setitik air.
Lu Xiang Chuan pun menunduk.
Organisasi Lao Bo sebenarnya sangat sempurna. Sedemikian sempurnanya,
seperti sebuah telur. Tapi sekarang organisasi ini ada celahnya. Walau
celahnya hanya setitik jarum, tapi putih dan kuning telur dapat menetes terus.
Bila telah menetes habis, telur akan kosong. Walau tidak pecah, telur itu tidak
berharga lagi.
Lao Bo harus mencari celah itu.
Tapi, sekarang ia belum bisa menemukannya. Yang pasti, setiap orang di
dalam organisasi ini mungkin membuat celah itu.
Hanya satu yang bisa dipercaya.
Panggil Han Tang! perintah Lao Bo singkat sambil membalik tubuh.
16. Han Tang v Meng Xin Hun
Saat Meng Xin Hun mendekati Han Tang, hatinya sangat tegang sekaligus
bergairah layaknya prajurit yang baru pertama bertempur di medan perang.
Meng Xin Hun ingin mencabut nyawa Han Tang bukan semata menuntaskan
order Gao Lao Da membunuh Lao Bo, tapi juga untuk diri sendiri.
Umumnya setiap orang mencari makna hidupnya. Walau selalu mencari
sesuatu dalam hidup, Meng Xin Hun tidak tahu apa yang dicarinya. Terus
menerus mencari, tentu menjemukan. Ia sudah lelah mencari, berharap
setelah membunuh Han Tang akan kembali seperti dulu.
Agar hidup bisa bergairah, setiap orang pasti membutukan tantangan,
menginginkan lawan yang kuat. Untuk itu, ia rela mengorbankan apa pun.
Langkah Meng Xin Hun begitu ringan seperti kucing yang mengendap. Ia
sudah biasa melatih langkah seperti itu, hingga menjadi kebiasaannya.
Kebiasan yang terus menerus diulangi akhirnya menjadi karakternya. Maka,
tanpa disadari pun ia sudah melangkah seperti itu.
Han Tang diam di tempat, tetap memandangi pelampung pancingnya yang
mengapung di permukaan kolam.
Kau datang buat membunuhku? tiba-tiba Han Tang bertanya tanpa
berpaling.
Seketika Meng Xin Hun menghentikan langkah.
Han Tang tidak menoleh. Langkah Meng Xin Hun seringan kucing yang
mengendap. Ia pun belum menegur Han Tang. Apakah pendengaran Han
Tang sedemikian tajam?
Han Tang kembali bertanya, Sudah berapa yang kau bunuh?
Sangat banyak, jawab meng Xin Hun.
Pasti sangat banyak, kalau tidak langkahmu tidak seringan itu.
Han Tang tidak suka bertele-tele, langsung memuji. Namun di balik pujiannya,
justeru terkandung celaan.
Hanya orang yang berhati tenang bisa memiliki langkah yang ringan.
Orang yang ingin membunuh, hatinya pasti tidak tenang. Meng Xin Hun datang
untuk membunuh, dengan sendirinya jantungnya berdebar dan hati tidak
tenang.
Walau Han Tang tidak mengutarakan celaannya, Meng Xin Hun tahu
maksudnya. Seketika telapak tanganya menjadi basah. Han Tang sungguh
orang yang menakutkan.
Apa kau tahu siapa aku? tanya Han Tang.
Aku tahu, jawab meng Xin Hun.
Tiba-tiba Han Tang mengutarakan sesuatu yang tak terduga. Baiklah, kalau
begitu mari kita memancing.
Undangan yang aneh, jarang seseorang mengundang orang yang ingin
membunuhnya.
Lantas, mana ada orang yang mau menerima?
Nyatanya Meng Xin Hun justeru menerima, berjalan menghampiri Han Tang,
duduk beberapa meter darinya.
Han Tang mengambil sebuah galah pancing di sisinya, memegangnya
beberapa saat, sebelum akhirnya melemparkannya.
Meng Xin Hun sigap menangkap. Terima kasih.
Umpan apa yang biasa kau gunakan? tanya Han Tang.
Aku memakai dua macam umpan, jawab Meng Xin Hun.
Umpan macam apa?
Yang satu umpan yang paling disukai ikan. Satunya lagi, umpan yang paling
kusukai.
Han Tang mengangguk. Keduanya sangat baik.
Lebih baik lagi tidak menggunakan umpan, biarkan itu yang memancingku.
Han Tang terdiam.
Hingga saat ini ia tidak melihat Meng Xin Hun dan sama sekali tidak ada niat
buat melihat Meng Xin Hun.
Sebaliknya Meng Xin Hun ingin melihat Han Tang.
Wajah Han Tang sangat biasa. Hidung, mata, mulut pun biasa. Ia seperti
orang biasa yang sehari-hari Meng Xin Hun temui.
Wajah yang biasa ini bila dipasang di tubuh orang lain tidak akan diperhatikan
siapa pun. Tapi karena dipasang di tubuh Han Tang, maka hal yang biasa
menjadi luar biasa.
Melihat Han Tang, jantung Meng Xin Hun berdebar kencang, hampir
membuatnya tidak bisa bernafas. Guna mengusir tegang, ia melempar pancing
ke air.
Pelampung mengapung di permukaan.
Kau lupa memasang umpan, tiba-tiba Han Tang berkata.
Meng Xin Hun terkejut. Setelah lama, baru menyahut, Aku sudah bilang, bila
memancing aku tidak memasang umpan.
Kau salah! Jika tidak ada umpan, tidak akan ada ikan.
Dapat atau tidak dapat ikan, tidaklah masalah. Setidaknya, aku bisa
memancing.
Betul juga, sahut Han Tang mengangguk. Tiba-tiba ia membalik tubuh,
menatap Meng Xin Hun.
Pandangan Han Tang seperti paku menghujam Meng Xin Hun hingga ke
daging dan tulangnya. Meng Xin Hun merasa wajahnya kaku.
Siapa yang menyuruhmu ke sini? tanya Ha Tang.
Aku sendiri yang mau.
Apa kau ingin membunuhku?
Benar, jawab Meng Xin Hun.
Kenapa?
Meng Xin Hun tidak menjawab karena memang tidak perlu menjawab. Han
Tang sendiri pasti mengerti.
Setelah lama Han Tang mengangguk. Aku tahu kau siapa.
Meng Xin Hun terperanjat. Oh?
Dalam beberapa tahun belakangan ini muncul seorang pembunuh yang
sangat menakutkan, dia membunuh orang yang paling sulit untuk dibunuh.
Oh?
Yang pasti, pembunuh itu adalah kau!
Meng Xin Hun hanya diam. Diam berarti mengakui.
Han Tang berkata lagi, Walau kau ingin membunuhku, tapi sekarang kau
belum bisa membunuhku.
Kenapa?
Pembunuh jarang ada yang pintar. Sementara kau sangat pintar. Cara
berpikirmu sangat tingi dan cenderung aneh.
Meng Xin Hun terus mendengarkan.
Karena cara berpikirmu begitu aneh dan tinggi, kata Han Tang, maka kau
tidak bisa menjadi pembunuh yang baik. Seorang pembunuh tidak boleh terlalu
pintar, tahunya hanya membunuh dan tidak perlu memikirkan hal lain.
Kenapa begitu?
Karena orang yang terlalu pintar dan banyak berfikir pada saat membunuh
akan merasa takut.
Bila takut, aku tidak akan ke sini, jawab Meng Xin Hun.
Datang ke sini adalah satu hal, takut adalah hal lainnya lagi, kata Han Tang.
Kau menganggapku takut? Siapa bilang kutakut?
Pandangan Han Tang sangat tajam. Kau memang takut! Karena itu, kau
sudah melakukan dua kesalahan.
Kesalahan apa? Meng Xin Hun penasaran.
Pertama, kau lupa memasang umpan. Kedua, kau tidak melihat pancingmu
sudah terpasang umpan.
Telapak tangan Meng Xin Hun seketika dingin. Ia merasa pancingnya
bergoyang, artinya ada ikan yang terpancing. Ikan tidak mungkin terpancing
jika tidak ada umpan.
Kalau pancingnya memang sudah berumpan, dan Meng Xin Hun tidak
memperhatikan, artinya ia benar-benar takut. Kalau ia tidak takut, ia pasti
melihat pancingnya sudah terpasang umpan.
Seorang pembunuh tidak boleh melakukan kesalahan, apalagi kau sudah
melakukan dua kesalahan, kata Han Tang.
Meng Xin Hun tertawa. Melakukan satu kesalahan sudah fatal. Apalagi dua
kesalahan, berarti mati!
Kematian seharusnya jangan dibuat mainan, jengek Han Tang.
Meng Xin Hun hanya tertawa.
Kenapa tertawa? tanya Han Tang.
Aku tertawa karena kau pun sudah melakukan kesalahan!
Oh? sahut Han Tang.
Meng Xin Hun melanjutkan, Seharusnya kau tidak usah mengutarakan dua
kesalahanku. Ketika kau menyatakannya, maka kau melakukan kesalahan.
Di mana kesalahanku? tanya Han Tang.
Ketika kau mengutarakan itu, seketika aku tahu, kau tidak yakin bisa
membunuhku, yang kau lakukan hanya coba menggertakku! Karena, kalau
tidak, kau pasti sudah turun tangan membunuhku!
Pancing Han Tang bergerak, namun ia tidak mengangkatnya. Entah pancing
itu bergerak karena ikan atau karena tangannya yang gemetar.
Meng Xin Hun berkata lagi, Pengalamanmu lebih banyak, hatimu pun lebih
kejam dariku. Pada saat menyerang, aku tidak secepatmu. Semua sudah
kuperhitungkan.
Kalau sudah kau pikirkan, kenapa masih datang ke sini?
Karena aku masih punya kelebihan.
Oh?
Aku lebih muda darimu, kata Meng Xin Hun.
Lebih muda bukan kelebihan, melainkan kekurangan, sahut Han Tang.
Meng Xin Hun membantah, Anak muda memiliki stamina dan tenaga yang
lebih kuat.
Stamina? tanya Han Tang.
Pembunuh profesional tidak akan melakukan hal yang tidak bisa ia lakukan.
Kau belum bertindak membunuhku karena kau belum yakin bisa
membunuhku!
Han Tang tertawa dingin. Wajah Han Tang tidak pernah menunjukkan emosi,
yang ada hanya tawa dingin. Tapi tertawa dingin pun hakikatnya sebuah
emosi.
Bila Han Tang sudah mengungkap emosinya, artinya perkataan yang diucap
Meng Xin Hun sungguh tepat, paling tidak sudah mengena titik lemahnya.
Meng Xin Hun melanjutkan, Sesungguhnya kau menantikanku lengah. Saat
aku lengah, kau akan menyerang. Namun aku tidak akan lengah, tidak akan
memberimu kesempatan itu. Karena itu, kita harus saling menunggu. Dalam
menunggu, kita adu stamina. Siapa yang lebih kuat, dia yang menang. Karena
itu
Ya?
Karena aku lebih muda darimu, aku pasti menang!
Han Tang terdiam lama, baru berkata, Sekarang kau coba menggertakku?
Tak kusangka, kau sungguh seorang yang menarik!
Menarik?
Aku belum pernah membunuh orang sepertimu.
Pastinya belum pernah, karena orang sepertimu tidak akan sanggup
membunuh orang sepertiku.
Aku memang belum pernah membunuh orang sepertimu, tapi aku pernah
mengenal orang sepertimu.
Oh?
Orang sepertimu memang tidak banyak, tapi benar aku pernah mengalahkan
orang sepertimu, dan aku tidak sedang menggertakmu!
Siapa?
Ye Xiang! jawab Han Tang.
Ternyata benar Ye Xiang mengenal Han Tang. Ini sudah diduga Meng Xin
Hun, tapi ia tetap tidak bisa menduga bagaimana mereka saling mengenal dan
bagaimana bentuk hubungan di antara mereka.
Dia sangat tenang, cepat, dan pemberani, kata Han Tang, Siapa pun yang
dibunuhnya, sekali pukul jiwa pasti melayang. Dalam hal membunuh, tidak ada
yang lebih baik darinya.
Meng Xin Hun menyetujui. Dia memang seperti itu.
Apa kau mengenalnya? tanya Han Tang.
Meng Xin Hun mengangguk, tidak ingin berbohong, karena ia tahu Han Tang
tidak suka dibohongi.

Meteor, Kupu-kupu dan Pedang I [tamat]


By admin Nov 2nd, 2008 Category: 2. Silat China, KL - Meteor, Kupu-kupu
dan Pedang
Sekarang Han Tang adalah musuhnya. Entah kenapa, Meng Xin Hun merasa
harus menyatakan kebenaran. Orang yang bisa membuat Meng Xin Hun
menyatakan kebenaran sebenarnya tidak banyak.
Kalian pasti saling kenal, aku sudah menduganya. Dan kalian datang dari
tempat yang sama, kata Han Tang.
Bagaimana kau tahu kami dari mana? Kau tanya padanya? tanya Meng Xin
Hun.
Han Tang menggeleng. Aku belum pernah menanyakannya, karena kutahu
dia tidak akan mengatakannya.
Di mana kau mengenalnya? tanya Meng Xin Hun.
Dia satu-satunya yang bisa lolos dari tanganku! jawab Han Tang dingin.
Aku percaya itu, tanggap Meng Xin Hun setelah beberapa saat.
Aku tidak membunuhnya bukan karena tidak sanggup, melainkan karena aku
tidak ingin membunuhnya.
Kenapa?
Orang yang pekerjaannya membunuh bukan hanya kita saja. Di dunia ini,
pembunuh profesional tidak banyak. Ye Xiang salah satunya.
Kau membiarkan Ye Xiang hidup supaya ia membunuh dan membunuh lebih
banyak lagi? tanya Meng Xin Hun.
Ya.
Kau salah!
Apa yang salah?
Sekarang ia sudah tidak berani membunuh lagi.
Kenapa?
Karena kau sudah menghancurkan rasa percaya dirinya, jawab Meng Xin
Hun. Sekarang ia sadar kenapa Ye Xiang berubah seperti itu.
Han Tang seakan tidak percaya. Benarkah ia sudah tidak sanggup
membunuh lagi? Kalau begitu, seharusnya dulu kubunuh saja! katanya
menyesal. Setelah terdiam Han Tang memandang Meng Xin Hun dingin, Hari
ini aku takkan membuat kesalahan yang sama. Kau takkan kubiarkan hidup!
Aku takkan menyalahkanmu, sahut Meng Xin Hun, Tapi aku pun tak kan
membiarkanmu hidup.
Tiba-tiba Meng Xin Hun menutup mulut. Han Tang pun seperti membeku.
Seketika mereka mencium gerakan yang membawa hawa darah.
METEOR, KUPU-KUPU, DAN PEDANG
17. Banjir Darah di Tepi Danau
Senja tiba.
Han Tang dan Meng Xin Hun melihat dua lelaki mendatangi dengan sekujur
tubuh bernoda darah.
Walau tubuh bersimbah darah, tapi mereka masih bisa dikenali; yang satu
lelaki berbaju kelabu dan lainnya berwarna putih.
Sepertinya mereka bisa sampai ke sini semata kemauan terus bertahan hidup.
Bukankah terkadang kemauan manusia mampu membuatnya melakukan hal
yang paling mustahil?
Begitu tiba di depan Han Tang, mereka roboh ke tanah.
Han Tang masih memegang pancingnya, tidak bereaksi, tidak mengangkat
kepala, mengerling pun tidak.
Seakan langit runtuh pun ia tidak perduli.
Lelaki baju putih dengan sorot mata menghiba terbata berkata, Tolong
sembunyikan kami ada yang mengejar
Temannya ikut berkata, Kami suruhan Lao Bo karena suatu kecerobohan,
anak lelaki Lao Bo mati terbunuh
Mendengar ini Meng Xin Hun terkejut. Sun Jian sudah mati! Ia menduga Han
Tang akan bertanya lebih jauh.
Nyatanya Han Tang tetap tidak perduli, seolah orang bisu tuli yang tidak
mendengar ucapan mereka.
Lelaki baju kelabu kembali berkata, kami harus memberi kabar ini ke Lao
Bo
Temannya melanjutkan, asal Tuan mau membantu, Lao Bo pasti sangat
berterima kasih Tuan tahu, Lao Bo sangat suka berteman
Han Tang tetap tidak bereaksi.
Seketika Meng Xin Hun takjub pada ketenangan Han Tang.
Ketika itu datang lagi tiga orang yang seketika membuat dua lelaki yang
terluka panik ketakutan.
*
Senja semakin larut.
Di keremangan senja, orang pertama berteriak, Sudah kubilang, kemana pun
pergi, kalian tidak akan lolos!
Orang kedua menyahuti, Kami sudah sampai ke sini, paling sedikit harus
berkenalan dengan pemilik kolam.
Orang pertama kembali berkata, Siapa pun tuan rumahnya, tidak jadi
masalah. Asalkan dua pelarian itu diserahkan, kalian pasti selamat.
Orang kedua kembali berkata, Mereka anak buah Lao Bo, sudah membunuh
orang-orang kami, yang kami cari hanya mereka berdua!
Lelaki berbaju kelabu yang terbaring di tanah seketika memberontak bangkit
buat melarikan diri.
Apa yang kalian inginkan? bentak Han Tang tiba-tiba pada tiga lelaki
pendatang baru.
Sorot mata dua lelaki yang terluka itu sangat berterima kasih.
Begitu membuka mulut, Meng Xin Hun tahu Han Tang segera bertindak.
Sekali betindak, ketiga orang itu tidak akan hidup lebih lama lagi.
Ya, kami ingin membawa mereka, jawab orang pertama.
Baiklah! jawab Han Tang.
Selesai perkataannya, ia sudah turun tangan.
Pruk!
Tidak ada yang melihat bagaimana Han Tang bergerak, tahu-tahu kepala dua
lelaki yang terluka itu pecah seketika.
Cepat bawa mereka pergi! bentak Han Tang.
Ketiga orang itu tekejut.
Wajah mereka seakan bertanya, kenapa Han Tang membunuh dua anak buah
Lao Bo?
Tapi Meng Xin Hun tahu alasannya.
Kedua lelaki itu lukanya tidak separah sebagaimana terlihat dari luar. Meng Xin
Hun bisa melihat, di balik lengan baju mereka menyimpan senjata rahasia.
Itu sekedar tipuan yang ditujukan pada Han Tang. Jika Han Tang percaya
mereka anak buah Lao Bo, maka Han Tang masuk dalam jebakan dan pasti
mengalami kesulitan.
Tapi ada satu hal yang Meng Xin Hun tidak paham. Ia tidak mengerti
bagaimana Han Tang bisa mengetahui karena sama sekali tidak mengangkat
wajah memandang mereka.
Ketiga orang itu serba salah. Akhirnya salah satu berkata, Kami datang buat
mengejar mereka, sekarang sudah mati. Sekarang kami permisi pulang.
Habis perkatan, berbarengan mereka bergerak mundur.
*
Bulan begitu terang.
Saat itu berkelebat sebuah cahaya, begitu indah membelah malam.
Itu bukan cahaya bulan, bukan pula meteor, melainkan cahaya golok.
Ketiga lelaki berteriak menyayat hati.
Tiga kepala melayang terbang ke udara.
Golok yang sangat cepat.
Golok itu begitu bersih, bahkan setelah memenggal kepala tidak terlihat noda
sedikit pun.
Golok itu berada dalam genggaman lelaki bertubuh tegap berjubah mewah.
Tanpa golok di tangan, perbawa yang dimiliki lelaki itu bisa membuat orang
gemetar. Hawa membunuh yang memancar dari dirinya begitu kuat.
Apalagi golok yang begitu cepat ada di tangannya.
Meng Xin Hun menyimpulkan, lelaki ini bukan teman Lao Bo.
Mereka semua anak buah Wan Peng Wang, kata lelaki jubah mewah itu,
sengaja membuat sandiwara ini buat menipumu. Seharusnya kau jangan
membiarkan mereka melarikan diri.
Hati Men Xin Hun seketika tenggelam.
Lelaki ini teman Lao Bo. Jika ia bersatu dengan Han Tang, maka nasib dirinya
sudah bisa disimpulkan sejak sekarang.
*
Bulan bertahta di cakrawala.
Malam terang benderang.
Kau mengenal Lao Bo? tanya Han Tang.
Lao Bo pernah membantuku. Aku selalu mencari kesempatan membalas
budinya. Kutahu Lao Bo sedang berselisih dengan Wan Peng Wang, karena
itu selalu mengawasi pergerakan anak buahnya.
Terima kasih, sahut Han Tang.
Saat Han Tang mengucapkan terima kasih, Meng Xin Hun merasa sesuatu
yang janggal.
Han Tang bukan orang yang bisa mengucapkan terima kasih.
Perlahan Han Tang melempar pancingnya.
Benang pancingannya melayang terbang, seketika melilit leher lelaki berjubah
mewah.
Sepertinya Han Tang akan membunuh semua orang malam ini.
Tali pancing melilit leher lelaki itu begitu kuat dan erat.
Nafas serasa berhenti.
Hanya sekali pukul Han Tang pasti memukul mati lelaki itu.
Begitu jugalah cara Meng Xin Hun membunuh. Efektif dan efisien.
Tapi sepertinya sekali ini Han Tang salah hitung.
Golok kilat masih berada di tangan si lelaki jubah mewah. Sekali ayun, tali
yang melilit lehernya putus.
Lelaki itu melompat ke belakang dan lenyap di kegelepan rimbun pepohonan.
Pertama kali Meng Xin Hun melihat wajah Han Tang berubah.
*
Beberapa saat berlalu.
Seperti bayangan setan, dari kegelapan datang lagi empat orang. Dua dari
kanan, dua dari kiri.
Saat mereka tiba, Han Tang sudah kembali tenang.
Salah satu dari lelaki itu langsung bertanya, Bagaimana kau tahu mereka
semua bohong? Sekali ini kujamin tidak bohong, kami datang buat
membunuhmu!
Kalian semua sama saja, anak buah Wan Peng Wang! kata Han Tang dingin.
Aku Tu Da Peng, jawab orang itu.
Aku Jin Peng, sahut lelaki kedua.
Aku Yin Peng, lanjut lelaki ketiga.
Aku Nu Peng, kata lelaki keempat.
Meng Xin Hun teringat, Gao Lao Da pernah berkata Tu Da Peng sudah
memanggil Jin Peng dan Nu Peng.
Gao Lao Da juga bilang Jin Er berhasil menahan Tu Da Peng satu hari lagi,
dan karena itu dirinya menyimpulkan bahwa Tu Da Peng bukan anak buah
Wan Peng Wang yang utama.
Ternyata Gao Lao Da salah. Dirinya pun salah! Begitu simpul Meng Xin Hun
dalam hati.
Tu Da Peng bertahan satu hari lagi bukan karena Jin Er, tapi menanti Yin
Peng.
Dalam pekerjaan seperti dirinya, satu informasi yang keliru bisa berakibat fatal.

Dan ia merasa keringat dingin menetes di punggungnya.


*
Sandiwara telah usai.
Mereka tidak berbohong lagi. Apalagi sejak awal mereka gagal menipu Han
Tang.
Mata Han Tang menyipit. Ia mengenali nama besar keempat orang ini dan
juga tahu kehebatan mereka.
Perlahan mereka mulai bergerak menjepit Han Tang.
Meng Xin Hun tiba-tiba merasa posisinya serba runyam. Ia datang buat
membunuh Han Tang. Tapi sekarang Tu Da Peng berempat pasti
menganggap ia adalah teman Han Tang.
Bila bukan teman, bagaimana mungkin memancing bersama?
Mereka berempat pasti tidak akan melepas dirinya begitu saja.
Satu-satunya cara buat Meng Xin Hun bertahan hidup adalah membantu Han
Tang membunuh keempat lelaki itu.
Tapi Meng Xin Hun tidak bisa melakukan itu. Ia tidak bisa memperlihatkan
kungfunya di depan orang lain, paling tidak untuk saat ini. Ia pun belum tentu
sanggup membunuh keempat orang itu agar tutup mulut.
Mereka semakin menjepit mempersempit ruang gerak Han Tang dan Meng Xin
Hun.
Bulan tertutup awan.
Akankah tepi danau ini dibanjiri lebih banyak darah lagi? Darah siapakah yang
akan mengalir? Mengapa begitu banyak darah harus tertumpah dalam
perseteruan ini?
18. Matinya Seorang Pembunuh
Tu Da Peng, si lelaki berjubah mewah bergolok kilat, mulai bicara. Ucapannya
berturut-turut disahuti Nu Peng, Yin Peng, dan Jin Peng.
Kau tahu kenapa kami harus membunuhmu? Karena kau teman baik Sun Yu
Bo. Saat ini Wan Peng Wang sedang bermusuhan dengan Sun Yu Bo.
Kau pasti bertanya-tanya kenapa kami tahu hubunganmu dengan Sun Yu Bo?
Jawabnya, karena ada yang memberi tahu kami! Sayangnya, seumur hidup
kau tidak bisa menebak siapa orang ini.
Sun Yu Bo selalu menganggap semua anak buahnya sangat setia. Namun
sekarang orang yang paling dia percaya sudah menjualnya.
Sun Yu Bo ibarat pohon yang akarnya sudah lapuk, tinggal menunggu
tumbangnya saja!
Tapi kujamin kau akan mati dengan tenang. Sun Yu Bo pun segera akan
menyusulmu.
Seandainya kau bisa mengalahkan kami berempat, di belakang kami masih
ada satu rombongan yang siap membantaimu!
Ia tidak semata menggertak, di belakang sana samar-samar terlihat banyak
bayangan orang, golok dan pedang berkilauan.
Sepertinya Wan Peng Wang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk
membunuh Han Tang.
Sejauh ini Han Tang semata hanya mendengar, terlihat sangat tenang.
Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun seakan seluruh otot wajahnya
sudah membeku.
Meng Xin Hun paham kenapa Tu Da Peng terus bicara, mereka berusaha
memecah konsentrasi Han Tang atau sekurangnya berusaha membuatnya
tegang.
Bila Han Tang tegang, sebagaimana layaknya semua orang, otot akan
menegang kaku, membuat gerakan menjadi lamban. Jika benar begitu, maka
kematian Han Tang bisa diramalkan.
Namun Han Tang bukan kebanyakan orang. Han Tang adalah Han Tang.
Menyadari usahanya sia-sia, tiba-tiba Tu Da Peg menggapai memanggil Meng
Xin Hun.
Meng Xin Hun terlihat gemetar, datang menghampiri.
Walau Meng Xin Hun tidak pernah mendengar nasihat-nasihat Lao Bo, namun
ia tahu bagaimana harus membuat musuh salah tafsir dan memandang enteng
padanya.
Mata Tu Da Peng seperti pecut menatapnya tajam. Kau ke sini buat
memancing?
Meng Xin Hun mengangguk.
Kau kenal Han Tang?
Meng Xin Hun menggeleng.
Kalau dia tidak mengenalmu, bagaimana kau bisa memancing di sini?
Karena aku adalah pemancing, jawab Meng Xin Hun sekenanya, sadar
bahwa kalimatnya sungguh tidak masuk akal, sama sekali bukan jawaban
yang bagus!
Tidak terduga, Tu Da Peng justeru mengangguk. Benar juga, karena kau
seorang pemancing, Han Tang menganggapmu bukan ancaman dan
karenanya mengijinkanmu memancing di sini.
Kurasa memang begitu, Meng Xin Hun mengangguk.
Tapi sayang, kau tidak tuli, Tu Da Peng menyesali.
Memangnya kenapa? tanya Meng Xin Hun.
Kalau tuli, kami pasti melepaskanmu. Tapi kau sudah mendengar terlalu
banyak, jadi kau harus mati, kata Tu Da Peng sangat ramah. Suaranya begitu
lembut, Kau bisa kungfu?
Meng Xin Hun menggeleng.
Kalau bisa kungfu, kau punya peluang hidup. Di antara kami berempat, kau
bisa memilih satu lawanmu. Kalau bisa menang melawannya walau satu jurus,
akan kubiarkan kau pergi.
Tawaran yang menarik!
Tu Da Peng menatap Meng Xin Hun, tidak terlihat hawa membunuh di
matanya,
Meng Xin Hun menunduk. Setelah lama, tiba-tiba ia berteriak, Kupilih kau!
Meng Xin Hun menubruk Tu Da Peng, seakan tidak melihat ujung golok yang
terhunus persis pada arah tubrukannya.
*
Kenapa ia begitu bodoh? Apakah sedemikian takutnya, maka ia bertindak
ceroboh?
Yang pasti, ujung golok menusuk dada Meng Xin Hun begitu cepat dan licin
seperti ikan yang selulup masuk ke dalam air.
Meng Xin Hun berteriak keras dan panjang, jatuh tengkurap dan tidak bangun
lagi.
Begitu wajah terbenam ke tanah, teriakannya terhenti.
Darah mengalir di ujung golok Tu Da Peng, perlahan menetes ke bawah.
Tu Da Peng melihat Meng Xin Hun roboh seperti ikan yang mati. Perlahan ia
menghela nafas, Anak ini benar-benar tahunya hanya memancing!
Nu Peng pun menggeleng. Aku tidak mengerti kenapa dia memilihmu.
Tu Da Peng menyimpulkan, Karena ia memang ingin mati!
Saat berkata mati, tubuh Tu Da Peng sudah melompat seperti panah dilepas
dari busurnya.
Begitu juga dengan Jin Peng, Yin Peng, dan Nu Peng.
Mereka mengunakan cara sama, dengan kecepatan sama, dan sasaran yang
sama: Han Tang.
Selanjutnya kejadian berlangsung sangat cepat. Cepat sekali. Tapi jika dilihat
dalam adegan lambat kurang lebih begini:
Begitu Tu Da Peng mendekati, Han Tang sudah menggunakan beberapa
jurus. Tiap jurus yang digunakannya sangat mematikan.
Han Tang ingin mereka menganggap dirinya siap mati bersama. Bahwa bila
dirinya tidak dapat hidup, mereka harus mati bersamanya.
Dengan begitu, Han Tang berharap bisa membuat mereka gentar atau
sekurangnya gugup.
Di antara mereka, jika dua saja sudah gentar atau gugup, maka gerakan akan
melambat. Jika sudah begitu, menurut hitungan Han Tang, dirinya akan punya
peluang buat melarikan diri atau memenangkan pertarungan ini.
Tu Da Peng adalah orang pertama yang gerakannya melambat, agak gentar.
Hal ini tidak mengheranan karena sebelumnya ia pernah berhadapan dengan
Han Tang hingga lehernya terlilit pancing.
Orang kedua yang melambat adalah Yin Peng. Sebenarnya ia bertarung
menggunakan golok, tapi sekali ini karena gugup goloknya telah terlepas jatuh
ke tanah.
Han Tang merasa puas. Dua dari empat musuhnya sudah pasti bisa ia
kalahkan. Karenanya, ia ingin mengalahkan dua lainnya.
Maka gerakan Han Tang berubah lagi. Kini ia berhadapan dengan Jin Peng
dan Nu Peng.
Di sini Han Tang salah perhitungan. Yang paling lambat gerakannya ternyata
adalah yang paling cepat serangannya.
Sayangnya, ia tidak punya waktu mengubah pukulan, sehingga terpaksa
melanjutkan serangan ke Jin Peng.
Kruk!
Serangan Han Tang tepat menghajar ulu hati Jin Peng.
Jin Peng kesakitan, tapi diluar dugaan ia melakukan gerakan yang tidak akan
dilakukan ahli kungfu mana pun karena tidak bisa disebut kungfu. Ia memeluk
dan menggigit pundak Han Tang hingga berdarah.
Walau tangan dan pergerakan Han Tang menjadi sedikit lambat, ia berputar
dan tetap dapat memukul rusuk Nu Peng.
Diluar dugaan, Nu Peng tidak menghindar. Ia membiarkan tulang rusuknya
patah, tapi menjepit Han Tang dengan tangan kanan sekuatnya membuat
persendian Han Tang terkunci.
Walau Nu Peng mendengar tulang sendiri retak, mati pun ia tidak akan
melepas tangan itu.
Di saat itu, golok Tu Da Peng dari arah depan sudah menembus dada Han
Tang.
Seluruh otot Han Tang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Dengan melenguh
panjang ia meregang nyawa.
Angin berhembus dingin.
Bulan muncul dari balik awan.
Jin Peng masih membungkuk seperti udang. Karena kesakitan, wajahnya
sangat pucat. Di mulutnya masih tersisa daging pundak Han Tang. Demikian
pula dengan Nu Peng, ia jatuh berlutut ke tanah.
Sementara Tu Da Peng masih tercengang, berdiri dengan wajah pucat. Bukan
karena sakit, melainkan takut melihat keadaan Han tang dan dua temannya.
Han Tang tidak langsung roboh, ia masih tersandar pada golok Tu Da Peng
yang menembus dadanya.
Semua kejadian berlangsung sangat cepat.
Tapi Meng Xin Hun melihat semua kejadian dengan jelas.
Ia belum mati.
*
Kenapa Meng Xin Hun belum mati?
Bagaimana kejadiannya hingga ia tidak mati?
Untuk jelasnya, ada baiknya adegan diputar ulang saat Tu Da Peng berkata
pada Meng Xin Hun:
Kalau bisa kungfu, kau punya peluang hidup. Di antara kami berempat, kau
bisa memilih satu lawanmu. Kalau bisa menang melawannya walau satu jurus,
akan kubiarkan kau pergi.
Tawaran yang menarik!
Tu Da Peng ringan menatap Meng Xin Hun, tapi tidak terlihat hawa membunuh
di matanya,
Meng Xin Hun menunduk. Otaknya bekerja cepat.
Sungguh sulit menolak tawaran ini. Tapi bila menerima tawaran ini, ia akan
seperti ikan yang menelan umpan bulat-bulat menjemput ajal.
Taruh kata ia bisa mengalahkan satu dari mereka berempat, tapi di sebelah
sana samar-samar terlihat banyak bayangan orang, golok dan pedang
berkilauan.
Tu Da Peng tidak bohong, Wan Peng Wang telah mengerahkan tenaga
sepenuhnya untuk membunuh Han Tang.
Sepertinya Han Tang yang senang memancing ikan kini sudah menjadi ikan
yang berada di dalam jala.
Haruskah dirinya ikut menjadi ikan dan mati terpancing dalam jala?
Satu-satunya cara buat bertahan hidup adalah membantu Han Tang
membunuh keempat lelaki itu berikut gerombolan kawanan di belakang sana.
Tapi ia tidak bisa melakukannya.
Dengan membantu Han Tang menghadapi Tu Da Peng dan kawan-kawan,
maka Han Tang akan melihat kungfunya.
Orang seperti Han Tang pasti bisa mempelajari kungfu Meng Xin Hun
sehingga peluangnya buat membunuh Han Tang menjadi nihil.
Maka, tawaran Tu Da Peng sungguh menarik karena membuka satu jalan
keluar di mana hanya Meng Xin Hun yang mampu memikirkannya.
Han Tang menilai cara berfikir Meng Xin Hun sangat tinggi dan aneh.
Ia memang tidak keliru menilai.
Pun Meng Xin Hun buka orang bodoh yang mau menubrukkan diri ke golok
lawan begitu saja.
Meng Xin Hun sering membunuh orang. Ia tahu bagaimana cara membunuh
dengan satu tusukan mematikan.
Sebaliknya ia juga tahu cara menusuk yang tidak mematikan.
Karena itu ia lebih suka bila menusukkan diri sendiri ke ujung golok Tu Da
Peng.
Meng Xin Hun membiarkan golok Tu Da Peng menusuk bagian tubuhnya yang
tidak berbahaya walau bagian itu sangat dekat dengan jantungnya.
Meng Xin Hun dengan cepat merebahkan dirinya, ia tidak ingin ujung golok
terlalu dalam menusuk dada.
Ia menjatuhkan diri dengan tengkurap, wajah menghadap tanah, karena ia
tidak ingin terlalu banyak darah keluar.
Tapi ia tetap ingin tahu cara mereka membunuh Han Tang.
Ia juga ingin tahu apakah Han Tang bisa membunuh mereka.
Dengan melukai diri seperti ini, maka ia mendapat keuntungan dan beberapa
kemungkinan.
Kemungkinan pertama, Han Tang bisa membunuh mereka. Dengan begitu, ia
bisa mencuri lihat kungfu Han Tang dan memikirkan cara buat kelak
membunuhnya.
Kedua, kalau Han Tang yang tewas, maka ia telah meminjam tangan Tu Da
Peng. Selain itu, ia telah mencuri lihat kungfu Tu Da Peng berempat.
Barangkali kelak ia harus menghadapi mereka.
Ketiga, ia tidak perlu beresiko mengadu jiwa dengan rombongan lain di
belakang sana yang tidak jelas jumlah dan kekuatannya.
Maka, tidak ada salahnya bagi Meng Xin Hun buat melukai diri sendiri.
Ketika Meng Xin Hun roboh ke tanah, Nu Peng pun menggeleng kepala. Aku
tidak mengerti kenapa dia memilihmu.
Tu Da Peng menyimpulkan, Karena ia memang ingin mati!
Saat berkata mati, tubuh Tu Da Peng sudah melompat seperti panah dilepas
dari busurnya.
Begitu juga dengan Jin Peng, Yin Peng, dan Nu Peng.
Mereka mengunakan cara sama dengan kecepatan sama menubruk Han
Tang.
Tidak ada yang bisa lolos dari keempat mata panah itu.
Begitu juga Han Tang.
*
Cahaya golok menghilang dengan cepat.
Pertarungan yang seru usai begitu cepat.
Meng Xin Hun mengikuti semua kejadian dengan cermat.
Jika tidak dalam posisi tengkurap, mungkin ia sudah muntah.
Tu Da Peng lama terdiam, perlahan dengan suara serak dan tegang berkata di
sisi telinga Han Tang yang masih tegak tertancap di gagang goloknya, Kutahu
kau tidak rela mati seperti ini. Mati pun kau akan penasaran.Tapi sebaiknya
kau jangan mencari kami, tapi carilah orang yang sudah menjualmu.
Tentu Han Tang sudah tidak dapat mendengar kata-katanya itu. Ataukah Tu
Da Peng menujukan kata-katanya pada orang lain?
Cepat kita pergi, kata Tu Da Peng mendorong mayat Han Tang dari
goloknya.
Mayat Han Tang seketika jatuh terlentang.
Jin Peng yang tidak mampu berjalan akhirnya dipapah. Ia membuka mulut,
memuntahkan daging punggung Han Tang ke danau yang langsung
diperebutkan ikan-ikan. Demikian pula Nu Peng, harus dipapah.
Jika Han Tang masih hidup apakah terpikir olehnya ikan kesukaannya
akhirnya memakan daging dan darahnya?
Han Tang suka memelihara ikan, tapi ia tidak makan ikan.
Nyatanya, sekarang ikanlah yang memakannya.
Dulu ia membunuh orang. Sekarang orang membunuhnya.
Beginikah akhir hidup setiap pembunuh?
Bulan di atas danau
Suasana begitu sepi.
Tu Da peng dan gerombolannya sudah pergi.
Tapi angin yang berhembus seakan masih membawa anyir darah.
Meng Xin Hun masih menelungkup. Tubuhnya basah kuyup, entah oleh darah
atau keringat dingin yang bercucuran?
Yang pasti, hari ini ia tidak tewas. Semua sesuai perhitungannya yang tepat.
Dan juga sedikit kemujuran.
Tapi, benarkah ia mujur? Benarkah perhitungannya tepat?
Meng Xin Hun berfikir keras, dan sadar bahwa ini bukan kemujuran. Bukan
juga perhitungan yang tepat!
Melihat cara Tu Da Peng membunuh Han Tang, terlihat bahwa setiap gerakan
lelaki itu sudah sangat terlatih dan terencana serta akurat.
Tapi mengapa golok Tu Da Peng bisa meleset dan dirinya tidak tewas?
Ia merasa curiga, dan sekarang sudah mengerti.
Ia baru mengerti saat Tu Da Peng berkata di sisi telinga Han Tang, Kutahu
kau tidak rela mati seperti ini. Mati pun kau akan penasaran.Tapi sebaiknya
kau jangan mencari kami, tapi carilah orang yang sudah menjualmu.
Tentu Han Tang sudah tidak bisa mendengar kata-kata itu. Tu Da Peng tidak
menunjukkan perkataannya pada Han Tang, tapi pada dirinya.
Ia tidak tewas sebab Tu Da Peng belum menginginkannya tewas.
Tu Da Peng mengira ia adalah teman Han Tang. Teman Han Tang berarti
anak buah Sun Yu Bo.
Tu Da Peng membiarkannya hidup agar ia melapor pada Sun Yu Bo bahwa
yang menjual Han Tang adalah orang yang paling dipercaya.
Dan orang yang paling dipercaya Sun Yu Bo adalah Sun Jian dan Lu Xiang
Chuan.
Karena Sun Jian sudah mati, maka orang itu tinggal Lu Xiang Chuan.
Begitulah otak Meng Xin Hun coba menganalisis seluruh kejadian. Sambil
menahan sakit, antara sadar dan tidak, analisisnya terus berlanjut.
Lu Xiang Chuan mungkin bukan penghianat!
Wan Peng Wang ingin Sun Yu Bo sendiri yang membunuh Lu Xiang Chuan,
sehingga dengan begitu kekuatan Lao Bo semakin lemah.
Meng Xin Hun menarik nafas. Rencana ini sangat licik dan kejam, pikirnya
dalam hati.
Sekarang Meng Xin Hun menyadari kedudukan dan pentingnya Lu Xiang
Chuan dalam organisasi Lao Bo dan karenanya menjadi target Wan Peng
Wang.
Sun Jian dan Han Tang sudah tewas.
Dalam kekuatan Lao Bo, yang tersisa hanyalah Lu Xiang Chuan!
Atau masih adakah yang lain?
*
Meng Xin Hun senang berpikir, tapi ia sudah tidak bisa berpikir lagi karena
kelelahan.
Dan juga kedinginan.
Sepertinya jika ia memejam mata pasti akan tertidur.
Tapi ia tahu, sekali tertidur ia akan mati. Karenanya, ia tidak berani memejam
mata walau barang sebentar.
19. Akar
Darah segar menetes dari lukanya seakan enggan berhenti.
Ia hanya punya sedikit tenaga buat membalik tubuh. Dengan payah akhirnya
susah Meng Xin Hun berhasil terlentang menantang langit.
Begitu banyak bintang? Ataukah bintang sebanyak itu semata hanya karena
mata yang berkunang?
Ia tidak lagi kuat berpikir, juga tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Matanya
begitu berat, kesadaran mulai meninggalkan raganya.
Samar-samar antara sadar dan tidak ia mengenali seraut wajah.
Ye Xiang!
*
Lembab.
Rumah itu jarang terkena sinar matahari.
Di sudut ruangan teronggok kursi yang tinggi. Bila duduk di kursi itu siapa pun
pasti merasa tidak nyaman.
Ini memang bukan rumah yang nyaman. Langit-langit pun rusak, pintunya
kotor sedekil pantat kuali.
Tapi inilah rumah Han Tang.
Dan itu kursinya.
Di kursi itu Han Tang bisa duduk berlama-lama.
Ia tidak suka kenyamanan, tidak suka kenikmatan, tidak suka kesenangan.
Seakan dunianya hanya penderitaan.
Tapi itulah dunia Han Tang, siapa pun sulit memahaminya.
Dan sekarang Ye Xiang menduduki kursi itu.
Meng Xin Hun bercerita, Ye Xiang semata hanya mendengar, tidak berkata
sepatah pun.
Setelah Meng Xin Hun mengakhiri seluruh kisahnya, Ye Xiang baru berkata,
Kau melakukan hal yang sangat bodoh!
Meng Xin Hun tertawa kecut, Ya, seharusnya aku tidak menghantar diri ke
ujung goloknya. Dari matanya seharusnya kutahu ia tidak berniat
membunuhku.
Kau memang tidak seharusnya mengucur darah, Ye Xiang gegetun.
Tidak seharusnya juga Tu Da Peng membiarkanku hidup! Meng Xin Hun
tertawa. Sesudah Sun Yu Bo mengetahui Han Tang tewas, dengan sendirinya
ia akan mencurigai Lu Xiang Chuan.
Dalam situasi seperti ini, siapa pun pasti dipenuhi rasa curiga, menganggap
semua orang tidak bisa dipercaya.
Ye Xiang menghela nafas, Curiga adalah luka yang mematikan. Situsasi
sesulit apa pun sebetulnya tidak mematikan! Yang mematikan justeru rasa
curiga yang tumbuh di hati. Entah, apakah Sun Yu Bo juga begitu?
Meng Xin Hun meringis. Bila ia benar-benar membunuh Lu Xiang Chuan,
maka Sun Yu Bo akan tinggal sendiri.
Kau salah, Ye Xiang menggeleng.
Kenapa salah?
Jika sebatang pohon telah tumbuh besar, akarnya pasti sudah tersebar dan
menancap dalam.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang, minta penjelasan.
Maksudku, akar pohon sebesar itu pasti telah merambat kemana-mana tanpa
terlihat di permukaan, kata Ye Xiang.
Setelah lama Meng Xin Hun bertanya, Apa Sun Yu Bo masih punya anak
buah yang lain? Anak buah yang bergerak di bawah dan sejauh ini belum
terlihat di permukaan?
Ye Xiang mengangguk. Sekurangnya masih ada dua orang lagi!
Dua orang tidak bisa mengalahkan dua belas orang, sanggah Meng Xin Hun.
Tapi dua orang ini lebih menakutkan daripada dua belas ribu orang!
Siapa mereka? Meng Xin Hun ingin tahu.
Yang satu bernama Lu Chung.
Apa Lu Chung yang kau maksud adalah Lu Man Tian?
Benar.
Apa hubungannya dengan Sun Yu Bo?
Mereka sahabat sejak muda. Lu Man Tian juga paman Lu Xiang Chuan.
Oh!
Gerakan bawah tanah Sun Yu Bo terbagi dalam dua bagian, dia salah
satunya.
Satunya lagi?
Yi Qian Long, jawab Ye Xiang, Kau pasti mengenalnya.
Kalangan persilatan memang banyak mengenal nama ini.
Di sepanjang sungai Chang Jian berkeliaran banyak gerombolan penjahat.
Mereka bergerak di air dan darat. Yi Qian Long adalah kepala dari segala
begal air dan darat itu.
Apa Sun Yu Bo mampu memerintah mereka? Meng Xin Hun tidak percaya.
Ia mampu dan bisa memerintah mereka! jawab Ye Xiang, Dalam beberapa
tahun ini, Sun Yu Bo berusaha menjalankan organisasinya dengan lurus dan
benar, tidak ingin terlihat bergaul dengan para penjahat kalangan hitam itu.
Tapi jika Sun Yu Bo menghadapi bahaya dan meminta bantuan, mereka pasti
meluruk datang menolongnya.
Meng Xin Hun menghela nafas, menggeleng sulit percaya.
Sekarang kelihatannya Wan Peng Wang di atas angin, tapi pertarungan yang
sesungguhnya belum usai. Sampai saat ini belum bisa disimpulkan siapa
menang siapa kalah. Ye Xiang menatap Meng Xin Hun dalam-dalam, Kau
sudah mengerti maksudku? tanyanya.
Meng Xin Hun mengangguk.
Apa benar-benar kau sudah mengerti? tanya Ye Xiang lagi.
Meng Xin Hun balik bertanya, Apa kau ingin aku melepas tugas membunuh
Sun Yu Bo?
Ye Xiang menghela nafas. Aku tidak bisa memaksamu, hanya bisa
menasehatimu untuk lebih berhat-hati mempertaruhkan nyawa.
Aku mengerti, jawab Meng Xin Hun.
Ia benar-benar mengerti dan juga paham maksud lain Ye Xiang: seluruh
hidupnya sudah hancur dan hanya bisa mengandalkan diri dan bertumpu pada
Meng Xin Hun saja.
Tapi ada satu hal yang ia tidak mengerti. Sepertinya kau sangat mengenal
Sun Yu Bo? tanyanya.
Ye Xiang tiba-tiba terdiam.
Bagaimana kau bisa mengenal Sun Yu Bo begitu jelas? tanya Meng Xin Hun
lagi.
Ye Xiang diam.
Karena Ye Xiang tetap diam, Meng Xin Hun tidak bertanya lagi.
Jika Ye Xiang tidak menjawab pertanyaannya, pasti memiliki cukup alasan.
Dan Meng Xin Hun bisa memahami itu.
Setelah lama, Meng Xin Hun berkata perlahan, Aku mengerti maksudmu, tapi
aku tidak bisa melepas tugas ini. Aku tetap akan menjalankannya.
Kenapa?
Karena aku masih memiliki kesempatan.
Benarkah kau masih memiliki kesempatan?
Meng Xin Hun mengangguk. Jika dua pihak betarung, pihak ketigalah yang
akan memetik keuntungan. Dan aku tidak akan melepas kesempatan itu begitu
saja.
Apa keuntunganmu jika berhasil membunuh Sun Yu Bo?
Aku sendiri tidak tahu, mata Meng Xin Hun menerawang jauh ke sana, Yang
pasti kereta sudah melaju, dan aku berada di dalamnya, ke mana pun akan
kuikuti kereta itu.
Ye Xiang terlihat sedih. Ia memahami Meng Xin Hun, betapa terkadang kita
berada dalam situasi apa boleh buat dan terpaksa menjalani hidup yang
mungkin kita sendiri pun tidak mau
Lama Ye Xiang baru bertanya, Karena itu kau akan menunggu terus di sini?
Meng Xin Hun tertawa kecut. Menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan.
Tapi, betapa pun, akan kutunggu kesempatan itu.
Menunggu apa? Menunggu kematian atau menunggu hingga kau mati?
jengek Ye Xiang.
Meng Xin Hun menatap dalam-dalam. Beritahu Gao Lao Da, jika dalam waktu
yang ditentukan aku masih belum bisa membunuh Sun Yun Bo, aku tidak akan
pulang!
Ye Xiang menunduk, baru mengangguk. Aku mengerti maksudmu, seumur
hidup kau abadikan dirimu buat Gao Lao Da. Aku mengerti, karena dulu pun
aku begitu.
Sekarang bagaimana?
Sekarang? Apa sekarang aku masih bisa dikatakan hidup?
*
Sebuah cangkir teh di atas meja, terlihat penuh terisi.
Ye Xiang merasa mulutnya pahit.
Ia meneguk isi cangkir itu, sudah lama tidak meminuh teh. Mungkin
bagaimana rasa teh pun ia sudah lupa.
Tapi ia keliru.
Cangkir berisi arak, bahkan sangat keras, bukan berisi teh seperti yang
dikiranya.
Ye Xiang tertawa. Tak kusangka Han Tang juga tahu bersenang-senang, ia
ternyata meminum arak. Memang aku akan heran kalau Han Tang sama sekali
tidak meminum arak.
Meng Xin Hun menukas, Kau pun rupanya sangat mengenal Han Tang? Ia
tidak berharap pertanyaannya akan dijawab.
Tidak terduga, Ye Xiang justeru menjawab, Memang, aku sangat
mengenalnya, karena aku sangat mengenal diriku sendiri.
Kau dan Han Tang tidak sama, Meng Xin Hun tidak sepaham.
Ye Xiang terlihat kecut. Apa bedanya? Aku dan dia hidup demi orang lain.
Karena itu aku tidak ingin kau seperti aku dan dia, hidup semata demi orang
lain!
Di luar sana terdengar lolong srigala. Begitu kesepian. Tapi betapa pun
kesepiannya seekor srigala, ia tetap makhluk yang bebas. Hidup untuk diri
sendiri.
Ye Xiang melanjutkan, Seseorang harus hidup untuk dirinya sendiri, walau
hanya untuk setahun, itu tidak mengapa. Aku merasa hidupku tidak pernah
untuk diriku sendiri.
Benar tidak ada barang sehari pun? tanya Meng Xin Hun.
Mata Ye Xiang tiba-tiba berbinar. Cahaya di matanya berkelebat seperti
meteor. Hanya singkat, tapi sangat gemilang.
Ia pernah mengalami satu hari itu.
Itulah hari paling benderang dalam kehidupan Ye Xiang.
Di hari itu jiwanya terbakar.
Tiba-tiba Ye Xiang membalik tubuh, keluar rumah meninggalkan Meng Xin
Hun begitu saja.
*
Meng Xin Hun tepekur memikirkan Ye Xiang.
Walau telah lama saling mengenal, sekarang ia sadar begitu banyak misteri
meliputi diri Ye Xiang. Bahwa ia sebetulnya tidak mengenal Ye Xiang.
Antara Ye Xiang, Han Tang, dan Sun Yu Bo pasti ada hubungan yang
istimewa.
Ye Xiang muncul di sini. Apakah kehadiran Ye Xiang untuk dirinya ataukah
karena Han Tang?
Memikirkan semua ini, tiba-tiba ia merasa lelah dan ingin tidur.
Saat terbangun nanti, pasti Sun Yu Bo sudah mendapat kabar kematian Han
Tang dan pasti sudah menyusun recana berikutnya.
Setiap manusiai pernah membuat kesalahan. Sun Yu Bo adalah manusia.
Maka ia pasti melakukan kesalahan
Kesalahan yang dilakukan Sun Yu Bo sejauh ini sudah fatal.
Entah mengapa, Meng Xin Hun berharap Sun Yu Bo tidak melakukan
kesalahan lagi.
*
Jalan di depan Ye Xiang sangat gelap.
Tapi ia tidak perduli. Sekali pun matanya ditutup, ia tetap akan mengenali jalan
itu.
Pernah ia menunggu berhari-hari sambil berjongkok di sini, menanti si dia yang
pernah membakar hidupnya.
Waktu itu ia rela mengorbankan segala demi bertemu dengannya. Asalkan
bisa bertemu, mati pun ia rela.
Tapi sekarang, mati pun ia tidak ingin berjumpa dengannya lagi. Ia merasa
dirinya tidak pantas! Dan berharap si dia bisa hidup tenang dan bahagia.
Langit mendung berawan.
Alam begitu gulita.
Di ujung jalan itulah taman bunga Sun Yu Bo.
20. Akar Pertama
Ia sangat mengenali jalan ini karena sering mengintip ke arah taman bunga itu.

Tapi ia tidak pernah bertemu dengan orang yang ingin ia temui dan hanya bisa
meratapi nasib sendiri.
Tiba-tiba terdengar derap kuda berlari memecah kesenyapan malam.
Sigap, Ye Xiang bergerak cepat bersembunyi di balik semak di tepi jalan. Baru
saja menyembunyikan diri, ia melihat empat ekor kuda berlari menarik sebuah
kereta yang melaju menuju taman bunga Lao Bo.
Sayup-sayup, sesekali di antara derap kuda terdengar lempengan besi beradu
seperti lonceng berdentang.
Kalangan persilatan tahu, manakala terdengar dentang seperti itu, Lu Man
Tian pasti di sana.
Dentang terdengar dari dalam kereta, maka bisa dipastikan penumpang kereta
adalah Lu Man Tian.
Ye Xiang menghela nafas, sepertinya Sun Yu Bo telah menarik satu akarnya
keluar ke permukaan.
*
Lu Man Tian biasanya selalu terang-terangan. Kemana pun pergi, ia selalu
memberi tahu kedatangannya.
Tapi malam ini sepertinya berbeda.
Jalan yang dilaluinya sangat sepi, waktunya pun saat malam gelap tanpa
cahaya gemintang.
Maka ada dua kemungkinan mengenai hal ini.
Pertama, ia memang datang sembunyi-sembunyi atau, kedua, Sun Yu Bo
mengeluarkan panggilan mendesak sehingga ia harus datang selarut ini.
Apa pun alasannya, sifatnya yang terang-terangan sulit ia tinggalkan.
Lempengan besi dalam genggamannya tetap saja sesekali beradu
berdentang, memberi tahu keberadaannya.
Derap kaki-kaki kuda menghentaki kulit bumi semakin menjauh.
*
Ye Xiang keluar dari tempat sembunyinya.
Semula ia datang buat melihat seberapa besar peluang Sun Yu Bo untuk
menang.
Sekarang ia tahu, pembalasan yang akan dilakukan Sun Yu Bo pasti lebih
kejam dan dahsyat dari apa yang ia bayangankan. Lu Man Tian telah datang.
Tapi, betapa pun, Wan Peng Wang bukan lawan ringan!
Maka ia hanya bisa berharap semoga seluruh kekacauan ini segera berakhir
dan jangan sampai melukai si dia.
Untuk itu, ia sungguh berharap Lao Bo tidak membuat kesalahan lagi,
termakan jebakan Wan Peng Wang untuk mencurigai Lu Xiang Chuan!
Tanpa Lu Xiang Chuan, kekuatan Lao Bo pasti melemah dan peluang
kalahnya menjadi sangat besar.
*
Arak di atas meja.
Sun Yu Bo duduk di kursinya.
Sebenarnya ia ingin berbincang dan minum dengan santai, tapi ia tidak bisa.
Hatinya sangat berat.
Lu Man Tian perlahan bertanya, Apa kau bisa membuktikan Han Tang dan
Sun Jian tewas oleh Wan Peng Wang?
Cangkir di tangan Sun Yu Bo pecah tiba-tiba, ia menggenggam terlalu keras.
Ya, jawabnya.
Kau sudah memanggil Yi Qian Long?
Kelak akan kupanggil dia, tidak perlu tergesa, karena Lao Bo terlihat
sangat lelah. Sambil memandang pecahan cangkir di tangannya, ia
melanjutkan, karena aku harus bicara denganmu.
Setelah lama termangu, Lu Man Tian menyahut, Aku mengerti, masalah Lu
Xiang Chuan akulah yang bertanggung jawab.
Wajah Lao Bo semakin lelah. Aku selalu menganggap dia sebagai anak
kandungku. Terkadang aku lebih mempercayainya ketimbang anakku sendiri.
Tapi sekarang aku mencurigainya, katanya pedih.
Mencurigai orang yang paling kita percaya memang suatu kenyataan yang
sangat menyakitkan.
Wajah Lu Man Tian tanpa ekspresi. Akan kuyakinkan kau agar tidak lagi
mencurigainya. Perkataannya begitu tenang dan ringan, tidak seorang pun
bisa menangkap maksudnya.
Tapi Lao Bo mengerti, hanya orang mati yang tidak lagi dicurigai. Sudut mulut
Lao Bo mengedut beberapa kali. Ibunya adalah adik perempuanmu, katanya.
Lu Man Tian menenggak araknya. Walau begitu, organisasi kita tidak bisa
mentolerir setitik pun kecurigaan, ibarat dalam mata tidak boleh ada sebutir
pasir pun.
Lao Bo berdiri, berjalan mundar mandir.
Sebagai teman seperjuangan sejak dulu, Lu Man Tian tahu begitulah
kebiasaan Lao Bo jika memikirkan masalah besar.
Agak lama Lao Bo baru berhenti melangkah. Sekarang ia menatap Lu Man
Tian. Berapa persen kau mencurigai Lu Xiang Chuan? tanyanya.
Pertanyaan yang singkat. Jawabannya pun singkat.
Tapi Lu Man Tian tahu, ia tidak boleh salah menjawab walau hanya satu kata
karena jawabannya akan menentukan mati hidup Lu Xiang Chuan.
Hari menjelang pagi.
Sayup-sayup terdengar kokok ayam di kejauhan.
Lu Man Tian lama berpikir. Akhirnya perlahan ia bertanya, Pada hari
pemakaman enam dari Tujuh Pemberani itu, apa Lu Xiang Chuan yang
merencanakannya?
Lao Bo mengangguk.
Dan semua anak buah dia yang mengaturnya?
Lao Bo kembali mengangguk.
Apa tindakan Lu Xiang Chuan pula yang membuat kau bermusuhan dengan
Wan Peng Wang?
Lao Bo tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
Lu Man Tian merasa bahwa pertanyaannya memang sulit dijawab. Maka ia
mengubah pertanyaannya, Benarkah bila bukan dia yang mengatur, Wan
Peng Wang tidak akan begitu cepat menyerang kita?
Kali ini Lao Bo menjawab, Benar, walau antara kita dan Wan Peng Wang
terjadi pertarungan, tapi jika kita yang menyerang terlebih dulu mungkin
kerugian kita tidak sebegini parah.
Lu Man Tian terdiam.
Lao Bo memandangnya. Aku masih menanti kesimpulanmu, katanya.
Mengambil kesimpulan ini sangat sulit dan menyakitkan, tapi Lu Man Tian
tidak punya pilihan lain.
Perlahan ia menghela nafas, Paling sedikit aku mencurigainya lima puluh
persen.
Lima puluh berbanding lima puluh, itu adalah vonis mati bagi Lu Xiang Chuan!
Walau hanya 10% kecurigaan, Lu Xiang Chuan tetap harus mati.
Lao Bo terdiam lama, ia mulai menggeleng-geleng kepala, Tidak mungkin!
Sama sekali tidak mungkin!
Apa yang tidak mungkin? tanya Lu Man Tian.
Lama Lao Bo terdiam, baru berkata Aku tidak ingin kau membunuhnya.
Apa kau sendiri yang ingin membunuhnya?
Aku tidak sanggup membunuhnya! Lao Bo membuang pandang ke luar sana,
perlahan melanjutkan, Kalau bukan aku dan kau yang membunuhnya, hanya
Yi Qian Long yang bisa menghadapinya.
Kungfu Lu Xiang Chuan memang sangat tinggi.
Lu Man Tian tertawa dingin, jengeknya, Yi Qian Long hampir lima belas tahun
tidak pernah menggerakkan badan, mungkin tangannya sudah sangat lemah
seperti perempuan, paling-paling ia hanya bisa mengelus pantat perempuan.
Lao Bo tertawa, ia merasa lucu melihat hubungan Lu Man Tian dengan Yi Qian
Long, tapi ia tidak berusaha menyatukan mereka.
Seorang pemimpin bila ingin mengatur anak buah dengan baik, terkadang
harus menggunakan cara ini: memakai ketidakcocokan mereka.
Apa Lu Xiang Chuan sudah tahu kita mencurigainya? tanya Lu Man Tian.
Lao Bo menggeleng. Mungkin ia belum tahu.
Kalau begitu, kita harus segera bertindak, jangan menunggu sampai ia
waspada. Kalau sampai ia waspada, pasti akan menyulitkan kita.
Sekarang belum waktunya bertindak.
Kenapa?
Kita harus memberinya satu ujian lagi buat menilai kesetiaannya.
Bagaimana mengujinya?
Lao Bo tidak langsung menjawab, ia mencari gelas dan mengisinya dengan
teh, bukan arak. Gerakannya menunjukkan bahwa ia sudah kembali tenang
dan sedang menyusun rencana berikutnya.
Perlahan ia meneguk minumannya dan berkata, Orang kita yang sebelumnya
kuutus mencari Han Tang ada di bawah koordinasi Feng Hao, kau kenal dia?
Aku ingat Feng Hao, kalau tidak salah dulu akulah yang membawanya ke
organisasi ini, jawab Lu Man Tian.
Lao Bo tertawa. Kelihatannya kau sudah bisa menekan keinginanmu minum
dan main perempuan, karena itu daya ingatmu masih baik dan tidak buyar.
Lu Man Tian mengangkat cawan araknya walau sesungguhnya tidak ingin
minum, ia hanya ingin menyembunyikan wajah agar Lao Bo tidak melihat
ronanya yang memerah.
Dalam beberapa tahun ini hobinya minum arak dan main perempuan
berkurang. Lu Man Tian merasa otot-ototnya mulai mengendur, nalurinya
berkurang. Maka ia ingin tampil lebih waspada.
Namun mengenai Feng Hao ia memang tidak melupakannya, karena anak
buak Lao Bo ini satu desa dengannya. Dan ia juga tahu, orang ini tidak begitu
tangguh tapi kesetiannya tidak ada yang menandingi.
Apa Feng Hao juga diatur oleh Lu Xiang Chuan? tanya Lu Man Tian.
Lao Bo menghela nafas. Aku sudah banyak memberi tugas padanya dan
sejauh ini belum pernah mengecewakanku. Sekarang ia tertawa, Feng Hao
ini begitu mendengar kematian Han Tang langsung ke sini dan sekarang
masih menunggu di depan.
Apa benar berita kematian Han Tang belum tersebar?
Lao Bo mengangguk. Ya, kecuali aku dan orang yang membunuh Han Tang.
Apa Lu Xiang Chuan tahu?
Bila dia tidak bersekongkol dengan Wan Peng Wang, dia tidak akan tahu.
Oleh karena itu Lao Bo menyeruput tehnya baru melanjutkan, oleh karena
itu, aku akan mencari dan memberi penugasan pada Lu Xiang Chuan.
Lu Man Tian tidak mengerti maksud Lao Bo.
Lao Bo kembali bertanya, Apa kau mengenal Fang Gang?
Apa dia anak buang Wan Peng Wang yang juga bernama Tie Peng?
Kudengar dia sudah keluar dari tempatnya dan tidak ada yang tahu dia
kemana.
Wajah Lao Bo sangat puas, berharap semua anak buahnya seperti Lu Man
Tian, selalu memantau setiap perkembangan.
Sudah tiga hari Tie Peng alias Fang Gang ini keluar sarangnya, besok dia
akan sampai di Hang Zhou dan akan tinggal di penginapan. Di sanalah Wan
Peng Wang mengirim utusannya buat bertemu Fang Gang.
Apa berita ini bisa dipercaya?
Lao Bo tertawa. Tujuh tahun yang lalu sudah kutanam orang di organisasi
Wan Peng Wang, dia bernama Rang Gong.
Lu Man Tian sangat kagum pada Lao Bo. Lao Bo bukan tipe orang yang bila
mau makan buah pir baru menanamnya. Tapi lama sudah ia menanam bibit,
dan bibit itu sekarang sudah menjadi pohon yang siap dipetik buahnya.
Kau sudah mengerti maksudku? tanya Lao Bo.
Jadi, kau suruh Lu Xiang Chuan pergi mencari Han Tang?
Benar, jika Lu Xiang Chuan tidak bersekongkol dengan Wan Peng Wang, dia
tidak akan tahu kabar kematian Han Tang dan juga kabar perjalanan Fang
Gang. Maka, dia pasti pergi Lao Bo menatap Lu Man Tian dalam-dalam,
tapi dia pergi karena perintahku bukan untuk mencari Han Tang, tapi
membunuh Han Tang! Tempatnya adalah penginapan Fang Gang, dan kita
lihat apakah mereka akan beradu pedang?
*
Lu Xiang Chuan sangat terkejut ketika mendengar perintah untuk membunuh
Han Tang.
Lao Bo dengan tegas berkata, Aku sudah menjelaskannya, apa kau masih
belum mengerti?
Lu Xiang Chuan menunduk kepala, tidak berani bertanya lagi. Perintah dari
Lao Bo belum pernah ia curigai.
21. Merpati
Hari menjelang petang ketika Lu Xiang Chuan dipanggil menghadap Lao Bo.
Aku menyuruhmu membunuh Han Tang karena sudah lama ia tidak
menyukaiku, kata Lao Bo
Sebetulnya tanpa penjelasan apa pun, jika Lao Bo memerintahkannya
membunuh orang, tanpa banyak tanya orang itu pasti akan ia bunuh.
Lao Bo melanjutkan, Han Tang menganggapku meremehkannya, sekarang
dia berniat bekerja buat orang lain.
Lu Xiang Chuan marah, Apa dia mau bekerja untuk Wan Peng Wang?
Lao Bo menggangguk. Benar, Han Tang sudah berjanji bertemu dengan anak
buah Wan Peng Wang bernama Tie Peng alias Fang Gang. Mereka akan
bertemu di Penginapan Da Fang di Hang Zhou besok malam.
Lu Xiang Chuan mengangguk memahami. Apa boleh kubawa anak buahku?
tanyanya.
Jangan, Lao Bo menggeleng. Di dalam organisasi kita ada pengkhianat.
Gerakanmu kali ini sangat rahasia, tidak boleh diketahui siapa pun.
Lu Xiang Chuan tidak bertanya lagi. Baiklah, aku segera berangkat.
Sedari tadi Lu Man Tian hanya mendengar, tapi sesungguhnya
memperhatikan ekspresi Lao Bo saat bicara. Ia sungguh kagum dan merasa
beruntung tidak melakukan sesuatu yang membuat Lao Bo curiga padanya.
Siapa pun yang membohongi Lao Bo berarti tengah menggali lubang kuburnya
sendiri. Lu Man Tian menghela nafas, berharap Lu Xiang Chuan bisa
membawa pulang kepala Fang Gang alias Tie Peng. Dengan begitu, ia bisa
membuktikan kesetiaannya pada Lao Bo.
Biar bagaimana Lu Xiang Chuan adalah keponakannya. Setiap paman pasti
punya pemikiran seperti dirinya.
Malam tiba.
Tidak seperti kemarin yang mendung, malam ini langit benderang penuh
bintang.
Sebuah meteor membelah angkasa.
*
Lu Xiang Chuan tidak menyadari adanya meteor yang membelah angkasa.
Perlahan ia mendorong pintu rumah dan melihat Lin Xiu.
Kapan pun saat mendorong pintu rumah, ia pasti melihat Lin Xiu.
Lin Xiu adalah istrinya, mereka sudah lama menikah, tapi kemesraannya
masih seperti dulu.
Lu Xiang Chuan tidak pernah meragukan kesetiaan istrinya. Biar pun ia pergi
jauh dan lama, istrinya tidak pernah marah.
Rumah mereka berada di taman bunga Lao Bo sehingga setiap saat Lao Bo
memanggilnya, Lu Xiang Chuan bisa langsung datang menghadap.
Mengenai hal ini, istrinya tidak pernah mengeluh.
Seperti juga Lu Xiang Chuan, istrinya sangat menghormati Lao Bo walau dulu
pernikahan mereka tidak langsung disetujui Lao Bo karena Lin Xiu orang
Selatan.
Lao Bo pernah berharap istri Lu Xiang Chuan satu desa dengannya.
*
Lin Xiu tersenyum, menyambut suaminya. Kau sudah pulang, kukira tidak
makan di rumah. Sebaiknya segera kusiapkan ayam dimasak sayur
kesukaanmu.
Habis bicara ia sudah membalik tubuh buat mempersiapkan makanan, tidak
sempat melihat ekspresi suaminya.
Lu Xiang Chuan hanya memandangi pinggang Lin Xiu.
Pinggang itu tidak selangsing dulu. Tapi bagi seorang perempuan yang sudah
lama menikah, ini masih lumayan. Tiba-tiba Lu Xiang Chuan memeluk
pinggang istrinya.
Lin Xiu tertawa, Lepaskan dulu, kumau lihat apa kuah ayam sudah dingin
Aku tidak mau makan ayam, aku mau memakanmu, Lu Xiang Chuan
memotong ucapan istrinya.
Wajah Lin Xiu memerah malu. Paling sedikit, pintunya harus ditutup dulu.
Di mata orang lain, Lu Xiang Chuan seorang yang dingin dan kejam. Tapi
hanya Lin Xiu yang tahu bahwa Lu Xiang Chuan adalah suami yang hangat.
Tapi malam ini Lin Xiu merasa gerakan suaminya berbeda, sepertinya Lu
Xiang Chuan kurang berkonsentrasi. Ia membuka mata.
Betul juga, Lu Xiang Chuan memang tidak berkonsentrasi.
Kau mau pergi? tanya Lin Xiu karena sangat memahami suaminya.
Lu Xiang Chuan tertawa kecil, mengangguk.
Jangan khawatir, aku akan menunggumu pulang.
Lu Xiang Chuan memeluknya mesra.
Dan Lin Xiu bisa merasa penyesalan sang suami yang akan meninggalkannya
seorang diri. Lembut ia memandang wajah Lu Xiang Chuan.
Dengan sekali pandang ia tahu tugas yang diemban suaminya kali ini sangat
berat dan membahayakan.
Walaupun takut, ia tidak menanyakannya. Biasanya Lu Xiang Chuan akan
bercerita dengan sendirinya.
Hanya di depan drinya, Lu Xiang Chuan akan mengungkap semua rahasia.
*
Setelah menunggu lama, Lu Xiang Chuan bertanya, Apa kau tahu penginapan
Da Fang di Hang Zhou?
Lin Xiu pasti mengingatnya. Di awal pernikahan, pernah mereka berjalan-jalan
ke sana.
Tidak jauh dari penganapan Da Fang terdapat Xi Hu, sebuah danau dengan
pemandangan indah. Ke sanalah mereka berbulan madu.
Hari ini aku harus ke sana untuk membunuh orang bernama Han Tang,
katanya.
Lin Xiu mengerut dahi. Sepertinya orang ini tidak begitu ternama, belum
pernah kudengar namanya. Apa harus kau sendiri yang menghadapinya?
Orang yang menakutkan belum tentu ternama, jawab Lu Xiang Chuan.
Apa dia sangat menakutkan? tanya Lin Xiu.
Dia orang yang paling menakutkan!
Lin Xiu melihat Lu Xiang Chuan begitu ketakutan. Ia tahu, suaminya tidak mau
pergi. Walau tidak mau pergi, ia tetap harus pergi karena itu perintah Lao Bo
yang mutlak harus dilaksanakan.
Setelah lama, Lin Xiu baru berkata, Mau minum kuah ayam sebelum pergi?
Lu Xiang Chuan menggeleng. Aku tidak bisa, katanya menyesal.
Begitu habis perkataannya, Lu Xiang Chuan sudah beranjak, seakan tidak
tega melihat tatapan Lin Xiu.
Itulah pandangan yang membuat lelaki kehilangan keberaniannya.
Begitu Lu Xiang Chuan keluar, Lin Xiu berteriak, Kau bisa pulang lusa?
Jangan lupa, itu hari ulang tahunku.
Lu Xiang Chuan tidak menjawab, hanya saja ia langsung berbalik lagi,
memeluk Lin Xiu sekuatnya.
Itukah pelukan terakhir?
Setelah lama, Lu Xiang Chuan melepaskannya. Jangan lupa, antarkan dua
pasang merpati untuk Feng Hao. Dia sudah memintanya, katanya perlahan.
Itukah pesan terakhirnya?
*
Lin Xiu membawa merpati berikut sangkar-sangkarnya.
Air matanya masih terlihat menetes.
Entah ia menangis karena kepergian suami ataukah karena harus
menyerahkan merpati?
Merpati itu piaraan kesukaannya. Walau tidak rela memberikan merpati yang
susah payah ia pelihara, tapi permintaan suami wajib ia turuti.
Feng Hao menerima merpati itu dengan senang. Kenapa harus Nyonya
sendiri yang menghantarkan?
Lin Xiu tertawa terpaksa. Sebelum Lu Xiang Chuan pergi, ia sudah berpesan
begitu padaku.
Apakah Tuan Muda sudah pergi? tanya Feng Hao menanyakan Lu Xiang
Chuan.
Dia baru saja pergi.
Feng Hao mengerut dahi. Aneh kenapa malam-malam begini? Kenapa begitu
tergesa?
Apa kau mencarinya?
Tuan Muda memerintahkanku mencari orang, seharusnya dia menunggu
khabar dariku baru pergi.
Siapa dia?
Marganya Han.
Apakah Han Tang?
Nyonya mengenalnya?
Lin Xiu menggeleng kepala.
Feng Hao tertawa kecut. Waktu aku ke sana, Han Tang sudah mati.
Sebenarnya tugasnya sangat rahasia. Tapi karena ia sudah selesai
menjalankan tugas, tentu bukan rahasia lagi. Apalagi Lin Xiu istri Lu Xiang
Chuan, karenanya tidak ada salahnya mengungkap hal ini.
Apa Lao Bo tahu Han Tang sudah mati? tanya Lin Xiu heran.
Tentu saja, Lao Bo sudah kukabari sejak kemarin.
Begitu mendengar jawaban Feng Hao, wajah Lin Xiu berubah, tubuhnya
gemetar.
Feng Hao terkejut. Nyonya kenapa?
Lin Xiu seperti tidak mendengar, hanya meracau, Han Tang sudah mati,
kenapa Lao Bo menyuruh membunuhnya? Kenapa? Kenapa?
Tiba-tiba ia membalik tubuh, seperti hewan mendadak terluka terkena panah,
Lin Xiu berlari ke sana.
Feng Hao terkejut, menjublak di tempat.
*
Lao Bo sedang berjalan santai di antara perdu bunganya.
Malam belum terlalu larut. Ribuan lentera seputar taman bunga itu terang
benderang memberi kesan dramatis yang sangat indah.
Melihat sangkar yang dipegang Feng Hao, Lao Bo bertanya, Apa malam ini
kau akan memasak merpati sambil minum arak?
Feng Hao cepat membungkuk tubuh, memberi hormat. Sepasang merpati ini
tidak bisa dimakan, katanya tersenyum.
Kenapa tidak bisa dimakan?
Karena merpati yang dipelihara Nyonya Lu ini jenis merpati pos. Jika
kumasak, Nyonya Lu pasti marah padaku.
Mata Lao Bo mengecil, tapi tetap tanpa ekspresi. Aku tidak tahu kalau dia
suka memelihara merpati. katanya.
Ini hobi baru Nyonya Lu, jelas Feng Hao, Merpati pertama dibawa Tuan Lu
dari Utara.
Lao Bo terlihat berpikir, sejenak kemudian bertanya, Apa hubungan suami istri
ini baik?
Urusan rumah tangga tentu orang luar tidak tahu pasti. Tapi pertanyaan Lao
Bo harus dijawab. Sangat baik, seperti baru menikah, jawab Feng Hao atas
apa yang sehari-hari ia lihat.
Jika hubungan suami istri baik, apa pun pasti diceritakan, bukan?
Feng Hao belum punya istri, maka ia hanya bisa menjawab sekenanya,
Betul.
Menurutmu, apakah Lu Xiang Chuan akan memberitahu istrinya ke mana dia
akan pergi?
Kata-kata ini tidak bisa lagi dijawab secara umum. Jika Feng Hao salah
menjawab, bisa berakibat fatal.
Lama Feng Hao berpikir, baru menjawab, Aku pikir tidak akan memberi
tahu Nyonya karena Tuan Lu pasti tahu bahwa tugas kita sangat rahasia. Ia
pasti tidak akan mengutarakannya pada siapa pun.
Lao Bo mengangguk, puas atas jawaban ini, dan siap mengakhiri percakapan.
Dengan tertawa Feng Hao berkata, Kalau toh Tuan Lu mengatakan sesuatu
pada istrinya, pasti bukan hal yang sebenarnya. Nyonya baru saja mengira
Tuan Lu pergi membunuh Han Tang.
Tiba-tiba Lao Bo merasa diri seperti diguyur es sangat dingin.
Sudah lama ia tidak punya perasaan ini karena lama tidak melakukan
kesalahan.
Kesalahan kali ini mungkin sangat mematikan karena ia menyadari telah keliru
mencurigai Lu Xiang Chuan.
Lao Bo merasa telapak tangannya berkeringat dingin. Nyonya Lu sekarang di
mana?
Dia pergi tergesa, sepertinya ingin pulang.
Lao Bo menggulung lengan baju, melangkah ke luar, dengan suara rendah
berkata, Ikuti aku!
Belum habis ucapannya, bayangannya sudah menghilang.
Feng Hao tidak segera mengikuti karena sangat terkejut.
Untuk pertama kali ia melihat kungfu Lao Bo.
Belum pernah ia melihat orang mampu meloncat setinggi dan secepat itu.
22. Mata-mata
Tempat tinggal Lu Xiang Chuan seperti bajunya, bersih, sederhana, dan
tampak biasa.
Ia tidak suka berlebihan, tidak suka mengenakan baju yang aneh-aneh, juga
kata-katanya pun apa adanya. Ia beranggapan sesuatu yang berlebihan
adalah pemborosan.
Hanya orang bodoh yang melakukan pemborosan. Dan orang bodoh pada
akhirnya jadi pecundang.
Rumah Lu Xian Chuan sangat sepi, tidak terlihat Lin Xiu, hanya dua pembantu
sedang menjahit baju diterangi pelita yang benderang.
Begitu melihat Lao Bo, mereka sangat terkejut.
Secepat kilat Lao Bo masuk dan bertanya, Di mana Nyonya kalian?
Kedua pembantu gemetar menjawab, Di kandang kuda.
Malam-malam di kandang kuda, untuk apa?
Setiap pesilat suka kuda yang bagus. Demikian juga Lao Bo.
Tapi ia tidak menganggap kuda sebagai mainan, melainkan alat transportasi,
karena itu Lao Bo jarang mengurusi kuda-kudanya dan menyerahkan pada
ahlinya. Perawat kudalah yang melakukan hal itu membuat kuda-kuda Lao Bo
terawat baik.
Perawat kuda bertugas merawat kuda. Penjaga kuda menjaga kuda. Kalau
malam tentu tidak ada perawat kuda, adanya penjaga kuda. Lao Bo bertanya
padanya, Apa istri Lu Xiang Chuan ke mari?
Nyonya Lu baru saja kelar, membawa kuda dari pintu samping.
Wajah Lao Bo masih tanpa ekspresi. Tiba-tiba ia memangil, Feng Hao! Ia
tidak membalik tubuh karena tahu Feng Hao pasti ada di sana.
Benar saja, terdengar jawaban, Siap!
Kejar dia dan bawa kembali!
Feng Hao mengerti maksud Lao Bo.
Bawa dia kembali artinya hidup atau mati harus membawa dia kembali.
*
Itu seperti selembar kertas biasa.
Tapi itu bukan kertas biasa, di atasnya tertulis sejumlah data.
Lin Xiu: orang Hang Zhou, anak tunggal.
Ayah: Lin Zhing Yang, menguasai kungfu Shaolin, senang berjudi. Punya dua
istri dan satu adik lelaki bernama Lin Zhong He.
Ibu: Li Qi, sudah meninggal
Perlahan Lu Man Tian mengembalikan kertas itu pada Lao Bo yang langsung
menyimpannya di dalam sebuah buku.
Lao Bo banyak memiliki buku seperti itu. Lu Man Tian tahu, selama seseorang
belum mati, Lao Bo pasti memiliki data orang itu.
Pernah Lao Bo berkata padanya, Selain kungfu dan anak buah yang setia,
informasi adalah kekuatan utama organisasi kita.
Sekarang Lao Bo membuka catatan yang lain dan menyodorkannya pada Lu
Man Tian.
Lin Zhong He: Orang tua sudah meninggal, punya seorang kakak lelaki
bernama Lin Zhing Yang. Hobi suka berjudi, menguasai kungfu Shaolin,
banyak hutang, dan tiba-tiba bisa melunasi hutang-hutangnya dalam dua
tahun. Yang melunasinya, Wan Peng Wang melalui Jin Peng.
Tangan Lu Man Tian tiba-tiba membeku, seperti sedang memegang
bongkahan es.
Lao Bo tetap memandangnya, menanti pendapatnya.
Akhirnya Lu Man Tian bisa berkata, Apa istri Lu Xiang Chuan mata-mata?
Menggunakan merpati untuk menyampaikan khabar lebih baik daripada
memasaknya menemani minum arak, jawab Lao Bo.
Apa Lu Xiang Chuan mengetahuinya?
Lao Bo tidak langsung menjawab, setelah lama terdiam baru berkata, Yang
pasti, mata-matanya bukan Lu Xiang Chuan. Kalau dia mata-mata, pasti tidak
akan mengatakannya pada Lin Xiu.
Lu Man Tian paham maksudnya.
Ke mana dia pergi? Perempuan yang serakah belum tentu perempuan yang
pintar! kata Lao Bo lagi.
Lu Man Tian menghela nafas. Kita sudah salah paham pada Lu Xiang Chuan,
ternyata dia bukan orang semacam itu.
Aku tidak menyangka dia bisa begitu percaya pada perempuan!
Semoga dia bisa mengalahkan Tie Peng, Lu Man Tian berharap.
Lao Bo menggeleng. Masalahnya, selain Tie Peng masih banyak tokoh lain di
penginapan itu. Sepertinya ini umpan Wan Peng Wang agar aku menghantar
Lu Xiang Chuan ke sana.
Bergidik Lu Man Tian membayangkan mereka telah menyodorkan Lu Xiang
Chuan ke tangan musuh. Katanya dengan melompat, Aku akan pergi, tidak
akan kubiarkan dia mati!
Kali ini aku yang turun tangan, kata Lao Bo tenang.
Berubah wajah Lu Man Tian. Kau mau turun tangan sendiri? Sebaiknya
jangan kau yang turun tangan menghadapi semua bahaya ini.
Semua orang bisa turun tangan sendiri, kenapa aku tidak bisa?
Wan Peng Wang sudah memasang umpan. Mungkin umpan itu bukan untuk
Lu Xiang Chuan, melainkan untukmu.
Maka biarlah mereka berhadapan langsung denganku. Akan kutunjukkan
bahwa seorang Lao Bo tidak mudah dikalahkan.
*
Tubuh Lin Xiu menempel seakan ia bagian dari kuda itu.
Kuda yang ditungganginya adalah kuda tercepat di antara tiga kuda terbaik di
kandang Lao Bo.
23. Cinta Seorang Istri
Sejak berusia lima, Lin Xiu sudah mahir menunggang kuda.
Waktu itu ayah dan pamannya senang berjudi, terkadang mereka menang dan
membawa pulang banyak uang.
Kehidupannya pernah begitu baik, sedemikian baiknya hingga ia bisa dihadiahi
seekor kuda yang gagah dan indah. Selain itu, kandang di rumahnya pun
penuh terisi beragam kuda.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Judi seperti rawa-rawa. Sekali melangkah ke
dalamnya, kau tidak bisa keluar dan akan menghisapmu hingga mati.
Maka akhirnya di dalam kandang sudah tidak ada seekor kuda pun. Dan ia
sudah tidak lagi merasa senang dan bahagia.
Yang ditinggalkan oleh ayahnya kemudian hanya hutang semata. Ia telah
menasehati ayahnya hingga lelah. Tapi hasilnya sama saja, bahkan hutang
semakin menumpuk.
Karena itu ia menikahi Lu Xiang Chuan.
Tapi Lin Xiu tidak pernah menyesali pernikahannya dengan Lu Xian Chuan.
Sebab ia adalah suami terbaik, teman terakrab, kekasih tercinta.
Seandainya Lin Xiu mati dan hidup kembali, sungguh ia berharap dalam
kehidupannya kelak tetap bisa mendapat suami bernama Lu Xiang Chuan.
Tangannya sudah basah berkeringat dingin. Air matanya terus mengalir dan
menetes terbang terbawa angin seiring derap kuda yang dipacunya.
Sungguh ia menghawatirkan suami tercinta.
Entah apa ia bisa menyusulnya? Sungguh ia takut tungganganya keburu mati
kelelahan sebelum mampu menyusul sang suami memberi tahu khabar ini:
Han Tang sudah mati!
Ia sungguh ketakutan. Takut kudanya keburu roboh dan tidak bisa bangun lagi.
Tiba-tiba kuda tunggangannya benar-benar roboh. Seakan palu raksasa dari
langit menghajarnya hingga tumbang.
Lin Xiu terjatuh dari kuda. Begitu pusing dan pening. Ia merasa asin di sudut
bibirnya.
Darah?
Lin Xiu berusaha bangun. Tapi seketika itu juga ia menjerit melihat kuda
tunggangannya.
Kuda itu tadinya berbulu putih. Tapi sekarang bulu putihnya sudah kehitaman.
Darah yang keluar dari mulut dan hidung kuda itu pun kehitaman.
Kuda segagah itu tiba-tiba mati, pasti diracun!
Kenapa kuda itu diracun? Siapa yang meracuni?
Memikirkan ini tubuh Lin Xiu tiba-tiba menjadi dingin. Han Tang sudah mati
tapi Lu Xiang Chuan ditugaskan membunuh Han Tang.
Dan sekarang kuda ini!
Apakah sudah ada yang merencanakan dan mengetahui bahwa ia akan
menunggangi kuda itu?
Jika ya, rencana siapakah ini?
Maka ia berlari sekencangnya.
*
Purnama tertutup awan.
Belum jauh berlari, tiba-tiba ia menabrak seseorang.
Tubuh orang itu sangat keras, membuatnya terjengkang.
Dari bawah ia menengadah menatap lekaki itu.
Tawa sosok itu begitu menyeramkan.
Sekarang ia mengerti. Semua ini adalah bagian dari rencana busuk lelaki itu.
Yang meracuni kudanya pun pasti lelaki itu.
Di bawah temaram purnama Lin Xiu akhirnya mengenali sosok berdiri di
hadapannya.
Feng Hao!
Tapi untuk apa Feng Hao menyusun rencana ini?
*
Kebanyakan perempuan ditakdirkan pandai bersandiwara. Begitu pula Lin Xiu.
Perlahan ia berdiri. Wajahnya yang ketakutan dan penuh kemarahan sudah
tidak terlihat lagi. Sebaliknya, ia terlihat senang dan ceria.
Lin Xiu tertawa manis. Tidak kusangka bisa bertemu denganmu di sini, pasti
ini hari keberuntunganku.
Feng Hao memandangnya, menggeleng, Bukan, ini bukan hari
keberuntunganmu.
Lin Xiu menarik nafas, Seharusnya tidak kupilih kuda ini.
Sebenarnya, di dalam kandang hanya kuda ini yang sudah dipasangi pelana.
Lin Xiu mengela nafas. Tadinya aku sempat merasa beruntung sudah ada
kuda terpasang pelana, juga sempat bersyukur kuda berpelana ini bisa berlari
begitu cepat. Ia melirik tunggangan Feng Hao. Tanpa pelana. Kuda yang kau
tunggangi apakah kuda tercepat di kandang itu?
Hanya kuda tercepat yang bisa mengejar kuda cepat lainnya, jawab Feng
Hao dingin.
Kau sengaja mengejarku?
Feng hao mengangguk.
Kenapa?
Lao Bo menyuruhmu pulang.
Lin Xiu tertawa renyah. Sebetulnya aku juga ingin pulang, tapi belakangan ini
aku sedang bosan dan kesal. Karena itu, kutunggangi kuda buat
berjalan-jalan. Tidakkah kau tahu aku senang berkuda? Lin Xiu
membersihkan tanah dan debu dari bajunya. Lantas, bagaimana kita pulang?
Menunggang satu kuda berdua?
Sepertinya begitu.
Lin Xiu perlahan mendekati Feng Hao. Sejak dulu aku hanya berkuda berdua
dengan Lu Xiang Chuan, apa kau mau membuatnya cemburu? Tiba-tiba ia
berlari ke sana. Lebih baik aku pulang sendiri menunggang kudamu.
Sebaiknya kau pulang saja belakangan. Belum habis kata-katanya, ia sudah
di atas kuda, siap melarikan diri.
Tiba-tiba tangannya telah dipegang seseorang.
Sekali tarik ia jatuh terbanting ke tanah.
Sungguh kau tidak sopan padaku! teriak Lin Xiu hampir menangis.
24. Kambing Hitam
Dingin Feng Hao menatapnya. Aku tidak mau melayani sandiwaramu.
Sandiwara? Maksudmu?
Kau tahu maksud kedatanganku, seperti aku pun tahu maksud kepergianmu!
Kenapa kau tidak membiarkanku pergi? Lu Xiang Chuan sudah berbaik hati
padamu. Aku ingatkan kau agar tidak melakukan kebodohan.
Apa yang diperintahkan Lao Bo bukan suatu kebodohan, jengek Feng Hao.
Tapi, kali ini tidak sama. Han Tang sudah mati, kenapa Lao Bo masih
memerintah Lu Xiang Chuan buat membunuhnya?
Aku hanya melaksanakan tugas dan tidak pernah menanyakan hal lainnya.
Kali ini ia memerintahkanku membawamu pulang, maka yang kutahu hanya
membawamu pulang!
Lin Xiu mulai terisak. Kau bisa bilang padanya, tidak berhasil menemukanku!
Kenapa aku harus lakukan itu?
Karena karena aku akan membalas kebaikanmu, lirih Lin Xiu menahan
isak.
Dengan cara apa kau akan membalas kebaikanku?
Asal aku bisa bertemu suamiku, apa pun yang kau minta pasti kuberi.
Setelah mengucap ini, Lin Xiu menyesali diri.
Feng Hao terseyum. Senyumnya mengandung niat yang tidak baik. Ia
memperhatikan dengan cermat tubuh Lin Xiu yang masih padat, putih dan
mulus itu. Sekata demi sekata berkata, Betul akan kau berikan semua
padaku?
Walau Lin Xiu telah lama menikah tapi tubuhnya masih menggairahkan. Ia
memang selalu merawat dan membanggakan tubuhnya, membuat suami
selalu bergairah padanya.
Tapi semua ia lakukan semata demi suami. Ia tidak pernah memikirkan lelaki
lain. Di matanya hanya ada Lu Xiang Chuan; dan tidak pernah membayangkan
lelaki lain menyentuhnya. Sampai mati pun ia akan menjaga kesuciannya.
Tapi tawa Feng Hao membuat Lin Xiu memikirkan ini: bila seorang perempuan
demi suami mengorbankan kesucian, bisakah dimaafkan?
Yang lebih penting adalah: apakah kelak bila suami mengetahui perbuatannya,
bisakah memaafkan dirinya?
*
Feng Hao diam memandanginya. Menanti jawaban.
Lin Xiu menggigit bibir. Kalau aku memenuhi permintaanmu, apa kau mau
melepaskanku?
Feng Hao mengangguk.
Ia menggigit sedemikian keras hingga bibirnya berdarah. Sambil menelan
darah itu ia berkata, Kapan kau menginginkannya?
Sekarang. Sehabis berkata, Feg Hao langsung beranjak menuju semak di
sebelah sana.
Lin Xiu mengepalkan tangan, tahu melarikan diri pun tak mungkin, maka
perlahan ia mengikuti Feng Hao ke balik semak itu.
Pohon itu besar dan rimbun, menghalangi sinar rembulan yang benderang.
Di bawah kerimbunan pohon dan cahaya rembulan yang remang, Lin Xiu bisa
melihat Feng Hao telah menanti di sana. Tanpa mengenakan apa-apa.
Pakaiannya teronggok di atas rumput yang mengering.
Feng Hao menggapai padanya.
Gemetar Lin Xiu mendekati Feng Hao, sedapatnya ia menekan emosi.
Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, menganggap Feng Hao
adalah anjing.
Siapa pun sekali waktu bisa digigit anjing.
Nafas Feng Hao begitu memburu. Bagaimana kalau di sini? Kujamin kau
belum pernah menikmati hal seperti ini.
Aku bukan anjing, maki Lin Xiu.
Lambat laun kau akan mengerti bahwa terkadang lebih baik menjadi anjing
daripada manusia. Kasar ia menarik Lin Xiu ke pelukannya.
Tubuh Lin Xiu kaku seperti kayu. Ia menggigit bibir hingga kembali berdarah.
Cepat selesaikan, dan aku akan pergi!
Tangan lelaki itu sudah menyusup ke balik pakaiannya, meremas di sana,
memulir dan memainkan pucuknya.
Tangan itu kasar dan gemetar.
Tubuh Lin Xiu gemetar.
Ia harus menahan penghinaan ini. Harus!
Tapi ia tidak bisa.
Ia tidak sanggup menahannya lagi.
Ia mendorong tubuh Feng Hao sekuatnya dan menamparnya.
Feng Hao menjublak.
Lin Xiu mendorongnya kuat-kuat, mundur terus dan terus mundur, hingga
punggungnya terhalang sebatang pohon.
Dengan kedua tangan Lin Xiu berusaha menutup payudara sedapatnya. Lebih
baik kau bawa aku pulang menghadap Lao Bo, isaknya.
Feng Hao memandangnya. Dari matanya memancar kemarahan. Ia tertawa
sinis, Pulang? Apa kau masih punya kesempatan pulang?
Lin Xiu terpaku. Kau ingin membunuhku?
Kau harus mati!
Kenapa?
Kami memerlukan kambing hitam!
Ia tidak mengerti dan tidak percaya. Kambing hitam? Siapa?
Kau!
Sekujur tubuh Lin Xiu seketika dingin. Tapi hati dan wajahnya panas luar
biasa.
Kalau begitu, kenapa kau masih ingin melakukannya padaku? isaknya penuh
kebencian.
Kalau lelaki punya kesempatan, kenapa tidak?
Lin Xiu marah. Marah sekali. Sedemikian marahnya hingga ia menjerit
menghampiri Feng Hao buat mencekik mati lelaki itu.
Tapi sayang Feng Hao lebih cepat darinya, kepalan sekeras besi menghajar
hidungnya, membuatnya nanar separuh sadar.
Entah apa yang ia rasa?
Sakit atau sedih? Marah atau terhina?
Lin Xiu hanya bisa meraung sekerasnya kala Feng Hao merenggut pakaiannya
satu-satu dan merentang kedua pahanya begitu kasar.
Ia coba menendang dan mencakar sedapatnya.
Hanya ada satu keinginannya.
Mati!
Makin cepat makin baik.
Tapi ia tidak bisa melupakan suami. Suami yang telah begitu baik padanya.
Ia hanya ingin suaminya tahu betapa ia sangat mencintainya.
Pun ia hanya tahu satu hal, bahwa demi suami ia rela menerima semua
penghinaan dan siksaan ini.
Entah apa Lu Xiang Chuan bisa memahami?
Ia terus meracau menyebut nama suami kala gerak Feng Hao di atas
tubuhnya semakin cepat dan tidak beraturan.
Bulan tertutup awan.
*
Sepiring ayam di atas meja.
Lu Xiang Chuan termangu menatapnya.
Ayam itu masih mengepul hangat.
Sebetulnya ia sangat menyukai hidangan ini. Apalagi jika ayam itu dicampur
jamur.
Itulah lauk yang sering dimasak istrinya. Semata untuknya.
Setiap kali Lu Xiang Chuan mengalami kesulitan dalam pekerjaan atau galau
di hati, istrinya selalu menyediakan hidangan ini.
Dan sekarang ia terkenang pada sang istri.
Entah mengapa, ia menghela nafas.
Sepuluh tahun lalu sangat sulit baginya untuk bisa memakan sekerat ayam.
Bahkan di waktu itu, asal bisa makan sekedarnya sudah merupakan suatu
keberuntungan dan kemewahan tersendiri.
Semenjak kecil Lu Xiang Chuan tidak punya orang tua.
Akhirnya ia tinggal di desa bersama pamannya, Lu Man Tian.
25. Penginapan Da Fang
Walau tinggal bersama Lu Man Tian, dalam satu tahun ia jarang bertemu
pamannya.
Manakala pamannya pulang, pasti tergesa, bahkan seringkali pulang dengan
parah terluka.
Ia tidak tahu apa kerja pamannya.
Hingga akhirnya suatu hari ia diajak menghadap Lao Bo dan dipekerjakan
sebagai salah seorang pelayan di sana.
Dari sanalah ia mulai mengerti jenis aktivitas yang mereka lakukan dan mulai
terlibat dalam perkumpulan itu.
Ia tidak menyukai pekerjaannya, tapi meyakini bahwa apa yang ia lakukan
kelak akan menjadikannya orang sukses dan terkenal.
Karenanya ia terus bekerja. Tekun dan rajin. Walau begitu, tetap saja sulit
baginya menikmati sekerat daging ayam setiap hari.
Maka ia tidak pernah menceritakan masa-masa sulit penuh derita lalunya itu
pada orang lain, dan menyimpannya semata untuk diri sendiri.
Bahkan untuk mengenangnya pun ia sungguh tak sudi.
*
Sekarang, setiap hari ia bisa memakan ayam bahkan memilih jenis lauk apa
pun yang ia suka.
Ayam dan lauk pauk itu tidak datang begitu saja, melainkan hasil jerih payah,
perjuangan, kerja keras, derita, dan airmatanya.
Petang menjelang di Penginapan Da Fang.
Sepiring ayam masih terletak di atas meja.
Tapi, ia tidak bisa menikmatinya.
Inikah karma? Ataukah karena ia memiliki firasat sesuatu yang buruk akan
terjadi padanya?
Ataukah ia merasa kedudukannya terancam? Atau mustahil untuk bertemu istri
lagi?
Ia telah menunggu seharian, tapi Tie Peng alias Fang Gang belum juga
muncul.
Apalagi Han Tang!
Kenapa belum juga muncul? Apa rencana telah berubah? Apa mereka tahu
dirinya sudah menunggu di sini?
Lu Xiang Chuan percaya siapa pun tidak akan bisa mengenalinya karena ia
sudah menyamar, merias wajah dengan menambahkan kumis dan jenggot
palsu, membuatnya terlihat dua puluh tahun lebih tua dan seperti kakek
penyakitan.
Ketika tiba tadi, tamu-tamu sudah memenuhi dua meja. Saat makan siang,
ruangan penuh terisi. Tapi sekarang hanya tinggal empat meja saja yang
masih diisi para tetamu.
Dari tempatnya ia bisa mengawasi orang yang masuk dan keluar.
Malam tiba.
Lampu-lamu mulai dinyalakan.
Saat bertugas Lu Xiang Chuan tidak suka minum arak. Bila seseorang harus
menunggu lama tanpa memesan arak tentu menimbulkan curiga. Maka walau
tidak suka terpaksa ia memesan arak.
Pun ia juga tidak suka menunggu. Tapi ia tetap harus menunggu.
*
Kereta kuda melaju di jalan raya.
Kereta ditarik kuda pilihan. Kusirnya pun pilihan. Kereta melaju sangat cepat
ke arah Da Fang.
Lu Man Tian duduk santai di dalam kereta, lempengan besi yang dipegangnya
terus berbunyi.
Lao Bo memandanginya, Kau sedang melamun?
Lu Man Tian hanya tertawa.
Kutahu apa yang kau pikirkan, kata Lao Bo.
Oh?
Kau sedang mengenang saat dulu kita sengsara?
Lu Man Tian mengangguk, dugaan Lao Bo tidak salah. Dulu kehidupan
mereka sangat susah.
Dan mereka telah melakukan banyak hal.
Lao Bo memandang ke luar jendela. Kau ingat saat kita menghadapi Yuan
Lao Da?
Lu Man Tian tentu saja tidak melupakannya. Sampai mati pun ia tetap
mengingat kejadian itu.
Yuan Lao Da adalah ketua organisasi yang menguasai dan mengendalikan
pedagang-pedagang kaya sepanjang Chan Jiang.
Jika Yuan Lao Da mampu menguasai daerah kaya dan strategis itu tentu
karena kungfunya tinggi.
Jurus yang dikembangkannya bernama Tinju Mayat .
Kalangan dunia persilatan menilai kungfunya begitu misterius dan
menakutkan, bahkan mengangap itu bukan kungfu melainkan ilmu gaib.
Maka tidak seorang pun bersedia menantangnya, karena siapa yang mau
menggunakan darah dan tubuh sendiri buat berhadapan dengan ilmu setan?
Kecuali Lao Bo!
Maka Lao Bo menantang Yuan Lao Da bertarung.
Yuan Lao Da percaya Lao Bo akan menunggunya pada waktu dan tempat
yang telah disepakati bersama.
Tapi di saat Yuan Lao Da belum bersiap, Lao Bo telah menyatroni
kediamannya. Menariknya telanjang bulat dari bawah selimut dan
memanteknya di pintu besar rumahnya sendiri.
Menjelang kematian, Yuan Lao Da hanya bisa berkata, Kalian datang sangat
cepat!
Benar-benar cepat! Hingga lawan tidak punya persiapan dan tidak sempat
melawan.
Dan itulah rahasia Lao Bo membawa sukses organisasinya dalam waktu
singkat.
*
Cepat!
Itulah kata yang begitu mudah diucap. Tapi seumur hidup Lu Man Tian tahu
hanya satu orang yang benar-benar bisa melaksanakannya.
Tapi itu sudah berlangsung puluhan tahun lalu. Masihkah Lao Bo memiliki
kecepatan seperti dulu?
Lao Bo sekarang tersenyum padanya. Hari-hari yang lalu memang tidak enak
tapi sangat menyenangkan, katanya.
Itulah masa-masa periode penaklukan, menegangkan tapi begitu
menggairahkan.
Lu Man Tian menanggapi, Kau masih ingat saat kita menghadapi si Jenggot
Chao?
Waktu itu gerakan mereka juga sangat cepat. Mereka berdua belas, dengan
cepat langsung meluruk masuk ke jantung kekuasaan si Jenggot Chao.
Tapi ketika keluar, mereka hanya berdua! Dan Lu Man Tian harus beristirahat
di tempat tidur selama dua bulan.
Tentu kuingat, Lao Bo mengangguk, sejak itu aku bertekad tidak akan
melakukan kesalahan yang sama!
Bagaimana kali ini? tanya Lu Man Tian.
Lao Bo hanya tertawa.
Tapi tawanya begitu kering dan kaku.
*
Lu Xiang Chuan tidak mengenal Fang Gang karena ia belum pernah bertemu
dengannya.
Tapi begitu memasuki Penginapan Da Fang, Lu Xiang Chuan langsung
mengenalinya.
Fang Gang adalah Tie Peng, ia betul-betu terlihat seperti terbuat dari besi.
Baju yang ia pakai berwarna putih. Begitu bersih. Tapi bagian tubuh yang tidak
tertutup baju putihnya terlihat hitam seperti besi.
Di bawah sinar lampu, tubuhnya berkilauan dan tampak berkilat.
Pandangannya begitu tajam, mulutnya selalu terkatup. Cara berjalannya pun
sangat aneh, setiap kali melangkah sepertinya menggunakan tenaga yang
besar hingga rumah terasa bergetar.
Lu Xiang Chuan belum pernah bertemu dengan orang yang begitu kuat dan
kokoh seperti ini selain Sun Jian.
Saat Fang Gang memasuki penginapan, semua hadirin menahan nafas,
tiba-tiba udara terasa sesak.
Masih ada sejumlah orang di depannya. Tidak perlu ditanya, mereka semua
pengawal Fang Gang yang merupakan anak buah pilihan.
Kemana pun melangkah, ia selalu menjadi sorotan mata orang-orang
sekitarnya.
Fang Gang segera duduk setelah memilih tempat yang menurutnya strategis.
Secara otomatis, para pengawal berdiri di belakangnya.
Biasanya pada saat ia duduk semua orang berdiri, merasa tidak setara untuk
duduk semeja dengannya.
Lu Xiang Chuan teringat perkataan Sun Jian yang pernah bertemu Fang Gang,
Bila Fang Gang minum, ia selalu mengangkat kepala dan saat itu pula
matanya mengamati sekelilingnya.
Dan orang pertama yang dilihat Fang Gang adalah Lin Zhong He.
Orang yang belajar kungfu shaolin selalu terlihat berotot. Lin Zhong He pun
demikian. Namun beberapa tahun belakangan ini hidupnya membaik, karena
hutangnya sudah lunas, maka perutnya lebih maju daripada dadanya.
Begitu memasuki penginapan, Lin Zong He segera menghadap Fang Gang,
membungkuk memberi hormat.
Apa kau Lin Zhong He? tanya Fang Gang.
Ya, aku Lin Zhong He.
Fang Gang mengangkat gelasnya. Kau jago minum?
Lin Zhong He tertawa. Kalau dua gelas arak lagi sih aku masih sanggup. Ia
memindahkan kursi mendekati Fang Gang kemudian menuang arak ke dalam
gelas.
Tiba-tiba Fang Gang menyiram arak ke wajah Lin Zhong He. Sinis ia bertanya,
Kau ini siapa? Apa kau pikir pantas minum arak semeja denganku?
Lin Zhong He terpaku, wajahnya memerah.
Jika Fang Gang meminum arak dengan mengangkat kepala, Lu Xiang Chuan
justeru minum dengan menunduk kepala, seakan yang menarik baginya
semata hanya arak yang berada di gelasnya.
26. Pertarungan di Da Fang
Lu Xiang Chuan perlahan meminum araknya.
Fang Gang pun dengan sekali tenggak menghabiskan araknya
Di Hang Zhou, Lin Zhong He memang bukan orang terkenal. Tapi saat masih
banyak hutang sekali pun, belum pernah ada yang memperlakukannya sehina
ini
Fang Gang mengusirnya kasar, Keluar kau! Keluar!
Lin Zhong He tiba-tiba menggebrak meja, meloncat marah. Siapa kau, berani
mengusirku?
Baru saja kata-katanya habis diucapkan, perutnya sudah kena hajar Fang
Gang.
Kepalan tangan Fang Gang sekeras besi, perut Lin Zhong He selembek pantat
bayi.
Lin Zhong He kesakitan setengah mati, terbungkuk-bungkuk mengeluarkan
segala isi perutnya.
Fang Gang belum berhenti, menjungkalkan meja di depannya.
Kuah panas seketika mengguyur kepala Lin Zhong He, membuat para
pengawal Fang Gang terbahak.
Lu Xiang Chuan sedapatnya menahan berang, biar bagaimana Lin Zhong He
paman istrinya, Lin Xiu.
Dingin Fang Gang memberi perintah, Bawa orang ini ke luar! Tinggalkan di
hutan. Sebelum hari terang, jangan biarkan pulang!
Segera dua pengawal menyeret Lin Zhong He ke luar ruangan.
Walau perut Lin Zhong He lembek, sekurangnya ia masih punya dua kepalan
dan pernah belajar kungfu Shaolin.
Meski kedua orang yang menyeretnya sangat kuat, namun sekali menghentak,
ia mampu melepas tangannya dari cekalan, bahkan bisa menjatuhkan satu
dari dua orang yang menyeretnya. Dengan cepat ia membalik tubuh, memukul
pengawal satunya lagi.
Tiba-tiba Lin Zong He melompat ke hadapan Lu Xiang Chuan. Terengah ia
berkata, Pergi! Cepatlah pergi! Mereka datang ke sini buat membunuhmu.
Entah bagaimana Lin Zhong He bisa mengenali Lu Xiang Chuan. Apakah
karena Lu Xiang Chuan masih terhitung saudara?
Dingin Lu Xiang Chuan berkata, Aku tidak mengenalmu.
Jangan bodoh, saat kau tiba di sini mereka sudah mengenalimu
Belum habis kalimatnya, dua pengawal yang tadi dijatuhkannya sudah
bergerak menghampiri.
Seorang melayangkan pukulan, satunya lagi mengangkat kursi dan akan
mengeprukkannya ke kepala Lin Zhong He.
Di saat bersamaan, Fang Gang membentak, Hai, kau yang bermarga Lu, mari
bertarung denganku! Mulut masih bicara, orangnya sudah seperti macan
bergerak memburu ke arah Lu Xiang Chuan.
Perubahan itu begitu mendadak, mengejutkan semua orang.
Sepertinya Lu Xiang Chan belum siap menghadapi, ia masih anteng duduk di
kursi.
Tapi saat cakar harimau Fang Gang hampir mengenai, tubuh Lu Xiang Chuan
tiba-tiba melorot ke bawah.
Seperti ikan, ia meluncur melewati kolong meja. Seketika itu, tangannya sudah
memegang kaki lelaki yang paling dekat dengannya.
Itulah kaki pengawal yang akan mengeprukkan meja ke kepala Lin Zhong He.
Tiba-tiba sepasang lengan menarik kakinya. Dalam sekejab lelaki itu sudah
melayang terbang ke sana.
Hanya beberapa detik, giliran sebelah kaki Lu Xiang Chuan melayang
menendang tulang kering pengawal satunya lagi.
Terdengar lolong kesakitan, lelaki itu jatuh terlentang. Ia sudah tidak sanggup
berdiri. Keringat dingin dan air mata menetes keluar, tahu seumur hidup tidak
akan bisa berdiri lagi.
Sigap Lu Xiang Chuan menarik Lin Zhong He yang terjatuh. Cepat, cari Lao
Bo! katanya.
Lin Zhong He mengangguk, berlari ke luar sana.
Sayangnya ia kalah cepat, dua pengawal bergolok berkilauan sudah
menghadangnya.
Ia mundur selangkah demi selangkah.
Tiba-tiba seberkas cahaya hitam meluncur melalui dirinya.
Dua pengawal yang menghadangnya roboh seketika, tertampak hanya kerlip
besi menancap persis di masing-masing dahi.
Senjata rahasia Lu Xiang Chuan!
*
Lu Xiang Chuan tidak pernah terlihat membawa senjata karena senjatanya
adalah senjata rahasia.
Senjata rahasianya bukan hanya mengarah dua pengawal yang menghadang
Lin Zhong He, tapi juga menyasar Fang Gang dan para pengawal lainnya.
Awas! teriak Fang Gang memperingati sambil mengangkat kursi di depannya
sebagai perisai.
Tapi dua anak buahnya tidak sempat menghindar, jatuh terjengkang.
Lu Xiang Chuan berdiri anggun menatap Fang Gang.
Angin berhembus kencang dari jendela yang terbuka, mengibarkan jubah dan
jenggot serta kumis palsunya.
Ia tidak lagi terlihat sebagai kakek penyakitan, melainkan dewa yang siap
mencabut nyawa.
*
Suasana mendadak senyap.
Perlahan ia mulai melangkah mendekati Fang Gang seperti kalajengking siap
menyengat. Untung kau selamat, tapi kau tetap harus berhati-hati dengan
senjata rahasiaku!
Fang Gang sangat marah, menggerung sekerasnya sambil melempar kursi
yang dijadikan perisai dari tangannya. Ia meloncat menerjang Lu Xiang Chuan.
Dingin Lu Xiang Chuan mengulum senyum, Sudah kubilang, hati-hati dengan
senjata rahasiaku.
Sekali merubah posisi, kursi itu melayang jatuh di tempat berdirinya tadi.
Kini tubuh Fang Gang terlihat terbuka melayang di udara menerjang Lu Xiang
Chuan. Begitu cepat. Sangat kuat.
Lu Xiang Chuan sangat tenang. Ia merasa pasti menang. Tubuh itu sangat
besar, tidaklah sulit menyasarnya dengan senjata rahasia.
Saat senjata rahasia siap dilontarkan, senyum Lu Xiang Chuan mendadak
lenyap.
Sepasang tangan memeluk pinggang Lu Xiang Chuan dari belakang.
*
Sepasang tangan yang kuat.
Seumur-umur, belum pernah ada lawan yang berhasil menyergapnya dari
belakang.
Ia selalu waspada pada setiap lawannya.
Tapi kali ini berbeda. Ia tidak siaga.
Tangan itu begitu kuat, terlatih kungfu Shaolin, mengangkat dan membanting
Lu Xiang Chuan.
Itulah sepasang tangan Lin Zhong He.
Tanpa ampun Lu Xiang Chuan jatuh terlentang.
Di saat itu, Fang Gang sudah mendarat tiba, kakinya telak menghajar dada Lu
Xiang Chuan sekerasnya.
Darah segar muncrat.
Muntah. Berwarna merah.
*
Seperti pemburu menginjak kambing hutan, Fang Gang gagah berdiri, sebelah
kaki menginjak dada Lu Xiang Chuan.
Wajah hitam itu tertawa penuh kemenangan. Hai, kau lelaki bermarga Lu,
katanya banyak akal, nyatanya begini saja sudah kuakali mentah-mentah!
Mata Lu Xiang Chuan sekeras batu. Seharusnya kau yang berterima kasih
padaku.
Kenapa harus berterima kasih padamu?
Kalau bukan karena saudaraku, apa kau bisa menang?
Fang Gang terbahak. Benar, kau punya saudara yang baik. Sangat baik
malah. Seharusnya kau hati-hati memilih istri.
Lin Zhong He perlahan berdiri, sorot matanya penuh penyesalan. Jangan
salahkan aku bekerja untuknya.
Kalau jadi dirimu pun akan kulakukan hal yang sama, kata Lu Xiang Chuan
ringan. Tapi ada yang tidak kumengerti.
Apa?
Dalam organisasi Wan Peng Wang banyak orang kuat, kenapa kau pilih
keledai bodoh ini jadi temanmu dan membiarkannya menghina dirimu?
Fang Gang meraung murka. Kau bilang apa? Siapa yang kau maksud?
Kecuali dirimu, tiada keledai bodoh yang kedua.
Gusar, Fang Gang menjejakkan kaki sekerasnya di dada Lu Xiang Chuan.
Sedapatnya Lu Xiang Chuan menutup mulut menahan erang. Tapi tubuhnya
sudah gemetar, berkeringat dingin.
Bagaimana rasanya? tanya Fang Gang.
Lu Xiang Chuan menelan darah yang hampir termuntah. Kau kelihatannya
pintar, tapi kalau bertarung seperti perempuan.
Fang Gang sungguh murka. Ia meloncat setingginya, mendaratkan kedua kaki
tepat di rusuk Lu Xiang Chuan.
Terdengar tulang remuk.
Muntah. Darah
*
Lu Xiang Chuan terpejam menahan sakit.
Tapi Fang Gang tidak berhenti menghajar rusuk dan perut Lu Xiang Chuan
berkali-kali.
Tiba-tiba ia menahan diri dan tertawa. Aku mengerti maksudmu!
Apa keledai bodoh sepertimu bisa mengerti maksud orang?
Wajah Fang Gang berubah beberapa kali, sedapatnya menahan emosi. Kau
sengaja membuatku marah agar cepat mati?
Lu Xiang Chuan menutup mulut serapatnya.
Tenanglah, kau tidak akan mati semudah itu. Akan kubuat kau menyesal
karena pernah hidup!
Kau salah.
Kenapa?
Kalau membiarkanku hidup, kaulah yang akan menyesal, kata Lu Xiang
Chuan dingin.
Mata Fang Gang berputar, sesaat tertawa. Kau sengaja mengulur waktu?
Menunggu ada yang menolongmu? Ketahuilah, aku memang berharap ada
yang datang menolongmu. Siapa pun yang datang, akan kujadikan landak!
Fang Gang melirik dinding kiri dan kanan, ia juga memandang para pengawal
yang tersisa.
Tertinggal empat orang.
Keempat orang ini tidak menunjukkan ekpresi apa pun. Sorot mata
keempatnya berbeda dengan pengawal lain yang sudah menggeletak mati.
Jelas keempat lelaki ini bukan orang biasa.
Mungkin sejatinya keempat lelaki ini pun bukan pengawal, perbawa mereka
setara Fang Gang.
Mereka jelas bersiaga jika sewaktu-waktu ada yang datang menolong Lu
Xiang Chuan.
*
Lu Xiang Chuan memejam mata; apakah berharap Lao Bo jangan datang?
Fang Gang menarik sebuah kursi, duduk di sana. Sepertinya aku harus
menunggu untuk melihat
Belum habis perkataannya, sebuah kereta kuda membobol dinding menerjang
masuk.
Fang Gang tidak perlu menanti terlalu lama.
Bantuan Lu Xiang Chuan telah tiba.
27. Lelaki Sejati
Kusir kereta memecut dua kudanya.
Mereka datang! teriak Fang Gang.
Di antara teriakannya, terdengar suara lempengan besi berdentang.
Dari dinding kiri dan kanan tiba-tiba keluar lima puluhan lubang terpasang
busur. Panah-panah seperti hujan berhamburan dari lubang-lubang itu.
Seketika itu juga si kusir berubah menjadi landak. Kedua kuda yang menarik
kereta juga menjadi landak.
Tapi kedua kuda masih kuat berlari bersimbah darah, meringkik menerjang
dinding. Kereta terguling terbalik.
Setelah sempat berlari beberapa langkah lagi, akhirnya kedua kuda roboh
juga.
Lampu-lampu berjatuhan. Kobaran api segera membesar. Roda kereta yang
terjungkal masih berputar-putar.
Fang Gang mengayun tangan mengatur komando. Panah tak terhitung
jumlahnya seketika berhenti. Sebagian langit-langit dan penglari runtuh. Api
berkobar. Kereta mulai terbakar.
Bila penumpang kereta tidak segera keluar, pasti mati terbakar. Tapi jika
keluar, pasti menjadi landak. Walau pesilat setanggguh apa pun, pasti tidak
akan lolos dari hujan panah serapat itu.
Terdengar tawa Fang Gang menggema. Wahai Sun Yu Bo, kau tidak akan
bisa kemana-mana!
Tapi tawa Fang Gang tidak berlangsung lama. Dinding mendadak terbelah
dua. Terdengar teriakan orang-orang sekarat. Busur-busur terlempar keluar.
Darah muncrat ke mana-mana. Mayat-mayat terpental ke udara, jatuh
bergelimpangan.
Wajah Fang Gang berubah. Ia menghampiri salah satu mayat yang terpental
jatuh dekat kakinya.
Tidak tertampak luka di luar tubuh, tapi darah keluar dari mulut seakan
tumpah. Pasti terkena hajaran tenaga dalam sangat tinggi.
Di balik tembok ada lima puluh delapan pemanah. Sekarang semuanya roboh
dengan isi dada dan perut hancur, mulut bersimbah darah, kebanyakan
tumpah membasahi baju di bagian dada.
Fang Gang menendang meja di dekatnya.
Meja melayang ke kereta penumpang di tengah kobaran api, remuk bersama
dengan kereta yang dihajarnya, menimbulkan pijar seperti kembang api.
Di antara reruntukan kereta tidak terlihat seorang pun.
Fang Gang tahu tertipu, berteriak lantang, Hai Sun Yu Bo, bila sudah datang
kenapa tidak segera keluar?
Dari balik dinding yang hancur, terdengar tawa dan suara lempengan besi
beradu.
Fang Gang memburu dan menghajar dinding itu hingga tidak bersisa. Siapa
pun yang sembunyi di sana pasti luluh lantak.
Tapi di balik dinding kosong semata.
Asap sejenak menipis. Tiba-tiba datang seorang lelaki dengan langkah tenang
membelah kobaran api, seperti tetamu memasuki rumah makan menuju meja
pesanannya.
Siapa kau? bentak Fang Gang.
Lelaki itu membuka telapak tangan, memperlihatkan lempengan besi legam
berkilauan.
Kau Lu Man Tian? tanya Fang Gang.
Memangnya kau tahu siapa aku? Lu Man Tian balik bertanya.
Di mana Sun Yu Bo?
Mau bertemu dengannya?
Sejak dulu aku ingin bertemu dengannya.
Kau tidak takut padanya?
Apa yang perlu kutakuti?
Kalau begitu, kenapa tidak membalik tubuh saja, dia tepat di belakangmu!
Fang Gang terkejut, cepat membalik tubuh.
*
Api masih berkobar.
Puing-puing berserakan.
Di antara reruntukan debu dan asap api terlihat sosok lelaki berumur,
menunjukkan telah melalui perjalanan hidup yang panjang. Wajahnya tanpa
ekspresi. Dilihat dari pakaiannya, ia seperti petani desa yang lugu. Tapi dari
matanya menyorot wibawa luar biasa.
Tanpa sadar Fang Gang melangkah surut ke belakang. Kau Sun Yu Bo?
Lao Bo mengangguk.
Fang Gang tiba-tiba mendekati Lu Xiang Chuan yang masih terkapar di sana.
Kalian masih ingin dia hidup?
Tentu saja, jawab Lao Bo.
Jika ingin dia hidup, jangan macam-macam! ancam Fang Gang.
Jika berani melukai selembar rambutnya, kucabut nyawamu! sahut Lao Bo
tenang.
Fang Gang sinis, Memangnya aku tidak berani melukainya? Ia bermaksud
menendang Lu Xiang Chuan.
Sekonyong-konyong Lao Bo sudah berada di hadapannya. Seumur hidup ia
belum pernah melihat orang yang bisa bergerak begitu cepat.
Dingin Fang Gang menantang, Kau berani bertarung satu lawan satu
denganku?
Lao Bo tidak menjawab, berjalan semakin mendekati Fang Gang.
Tiba-tiba Lin Zhong He berteriak, menunjuk salah satu dari empat anak buah
Fang Gang. Awas, hati-hati dengan dia!
Lu Xiang Chuan bisa menduga bahwa di antara anak buah Fang Gang pasti
ada orangnya Lao Bo, karena kalau tidak bagaimana Lao Bo bisa mengetahui
jebakan Fang Gang ini. Tapi ia terkejut juga menyadari bahwa satu dari empat
orang itu ternyata anak buah Lao Bo.
Fang Gang melengak. Ternyata kau mata-mata! katanya pada satu anak
buahnya yang termuda di antara mereka.
Secara bersamaan keempat lelaki itu mengeluarkan senjata, ada yang sangat
pendek bahkan ada yang sangat panjang.
Lelaki yang menjadi mata-mata Lao Bo memiliki senjata paling panjang di
antara mereka, merapat ke arah Lao Bo.
Lao Bo tiba-tiba bergerak, cepat sekali jarinya menotok tenggorokan Fang
Gang.
Di saat sama Lu Man Tian juga bergerak. Tiga orang lainnya pun mengalami
nasib sama dengan pimpinannya.
Itulah kehebatan kungfu Lao Bo dan Lu Man Tian.
Tidak ada yang bisa menggambarkan kecepatan mereka selain satu kata:
cepat!
Cepat hingga tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Cepat hingga tidak dapat
ditahan. Cepat hingga tiada yang bisa melihat perubahannya.
Kungfu Lu Man Tian cepat.
Kungfu Lao Bo lebih cepat lagi.
Sejak awal hingga akhir hanya terdengar satu teriakan saja.
Itulah teriakan Fang Gang yang terjatuh ke arah kereta yang terbakar. Begitu
jatuh, ia tidak bisa keluar lagi.
Kau mau membakar mati aku, kubakar mati dirimu. Itulah hukum Lao Bo.
*
Chrysan itu masih rajin berbunga.
Setelah tujuh hari beristirahat, Lu Xiang Chuan baru bisa berjalan lagi. Dengan
tertatih dan tubuh penuh balutan obat rempah, ia menemui Lao Bo dan
berlutut.
Lu Xiang Chuan pertamakali berlutut tujuh belas tahun lalu.
Sekarang adalah kali kedua.
Lao Bo tidak suka orang berlutut padanya. Bagi Lao Bo, berlutut membuat
anak buahnya kehilangan wibawa dan ia tidak mau anak buahnya hilang
wibawa di hadapannya.
Hanya orang bersalah yang berlutut di hadapan Lao Bo.
Lao Bo mengangkat Lu Xiang Chuan berdiri. Dari sorot matanya terpancar
kebijaksanaan. Kau tidak bersalah.
Aku terlalu ceroboh, karenanya masuk perangkap. Entah bagaimana dengan
Han Tang. Lu Xiang Chuan menunduk kepala.
Biar bagaimana Han Tang sudah mati, tidak perlu disesali.
Lu Xiang Chuan seperti terkejut baru mengetahui kematian Han Tang, tapi ia
tidak bertanya.
Setelah lama terdiam, Lao Bo melanjutkan, Walau kau terluka, tapi kita juga
sudah mendapatkan hasil.
Lu Xiang Chuan mengangguk.
Paling sedikit kita sudah memberi pelajaran pada Wan Peng Wang. Mulai
sekarang seharusnya ia tidak berani macam-macam lagi.
Lu Xiang Chuan lirih bertanya, Bagaimana dengan kita?
Sementara ini kita tidak perlu bergerak dulu.
Kenapa sudah di atas angin tapi memutuskan tidak bergerak? Ini bukan
kebiasaan Lao Bo. Tapi Lu Xiang Chuan tidak bertanya.
Lao Bo menghela nafas, mencoba menjelaskan. Karena biar bagaimana
kerugian di pihak kita juga sangat besar. Sekarang waktunya memulihkan diri.

Lu Xiang Chuan menunduk, tapi merasa Lao Bo menyembunyikan sesuatu.


Apa yang disembunyikannya?
Lao Bo membalik tubuh, menatap taman bunga chrysan di luar sana. Perlahan
ia berkata, Musim gugur akan berahir, musim dingin segera tiba.
Kenapa sampai sekarang Yi Qian Long belum datang juga? tanya Lu Xiang
Chuan setelah lama terdiam.
Dia tidak akan datang, jawab Lao Bo
Pertamakalinya wajah Lu Xiang Chuan mengedut. Apakah ketakutan?
Ia tahu kedudukan dan posisi Yi Qian Long dalam organisasi Lao Bo. Lantas,
apa maksud perkataan Lao Bo? Apakah Yi Qian Long sudah keluar dari
organisasi ini?
Jika Yi Qiang Long keluar, maka organisasi Lao Bo ibarat rumah besar yang
ditingal satu tiang penyangganya.
Lao Bo perlahan berkata, Sekarang aku sedang menyuruh pamanmu mencari
tahu kenapa dia tidak datang ke sini. Aku percaya dia punya alasan yang
tepat.
Lu Xiang Chuan tetap curiga. Kalau dia tidak mau mengatakannya,
bagaimana?
Lao Bo sedang membalik tubuh, memandang ke luar sana hingga Lu Xiang
Chuan tidak bisa menatap wajahnya, hanya melihat tangan Lao Bo mengepal.
Setelah lama Lao Bo membuka kepalan tangannya. Lukamu belum sembuh,
beristirahatlah dulu. Jika tidak penting, tidak perlu mencariku.
Baik, jawab Lu Xiang Chuan.
Tugasmu sekarang hanya beristirahat dan menyembuhkan diri secepatnya.
Tugasmu berikutnya akan semakin banyak.
Kalimat ini menunjukkan kedudukan Lu Xiang Chuan sudah semakin tinggi
dan penting, juga menunjukkan kepercayaan Lao Bo yang semakin besar.
Lu Xiang Chuan sangat berterima kasih. Aku bisa menjaga diri, Tuan
Tiba-tiba Lao Bo tertawa sambil membalik tubuh. Siapa bilang aku sudah mau
pensiun? Aku belum tua. Kau lihat caraku menghadapi Fang Gang?
Lu Xiang Chuan juga tertawa. Ada sebagian orang yang selamanya tidak
pernah tua. Mungkin mereka akan mati, tapi selamanya tidak akan pernah
tua. Sejenak ia terdiam baru melanjutkan, Aku berharap Yi Qiang Long punya
alasan yang tepat, kalau tidak
Kalau tidak, bagaimana?
Dulu ia sangat baik padaku. Jika tidak, aku harus mengurus pemakamannya
kalau dia mati.
Lao Bo hanya tertawa.
Apakah tawanya terdengar sedih?
Kau beirtirahatlah, kata Lao Bo akhirnya.
Baik, jawab Lu Xiang Chuan membalik tubuh, beranjak keluar.
Tunggu sebentar, tiba-tiba Lao Bo menahannya.
Lu Xiang Chuan berhenti.
Apakah kau masih ingin menanyakan sesuatu?
Lu Xiang Chuan menunduk. Aku tidak punya pertanyaan lagi.
Apa kau tidak ingin tahu kemana Lin Xiu pergi? Lao Bo ingin tahu.
Lu Xiang Chuan lama terdiam, baru berkata, Aku tidak ingin tahu dia pergi
kemana. Namun jika dia pergi, pasti punya alasan yang tepat.
Lao Bo menatap Lu Xiang Chuan sambil tertawa. Akhirnya kau menjadi
seorang lelaki sejati. Kau tidak mengecewakanku.

28. Akhir Sebuah Awal


Lelaki sejati!
Itulah pujian Lao Bo.
Pujian tertinggi Lao Bo pada seseorang.
Lu Xiang Chuan menyadarinya. Karena itu, saat keluar pintu, ia mengulum
senyum.
Pada saat keluar, Feng Hao sudah menunggu. Mereka sudah berjanji minum
arak bersama malam ini.
Dan sebagai teman minum arak, mereka memasak burung merpati.
Merpati pos.
Sesungguhnya itulah tanah pekuburan.
Tapi tanah itu tampak rata tidak seperti kuburan.
Lao Bo menyuruh orang memindahkan bunga chrysan dan menanamnya di
sana.
Ia sendiri yang menanam pohon pertama.
Ia tahu bunga-bunga yang tumbuh di tanah ini akan mekar lebih cerah dan
indah karena tanah ini sangat subur.
Saat bunga-bunga ditanam, Lao Bo masih terlihat tersenyum. Namun di dalam
hati ia merasa sakit sekali.
Anak lelaki satu-satunya dan teman-temannya yang paling setia dikubur di
dasar tanah ini. Walau mayat mereka membusuk, namun jiwa mereka akan
tenang abadi selamanya.
Lao Bo tidak ingin orang lain mengganggu mereka. Karenanya, ia tidak ingin
orang lain tahu di mana kubur mereka.
Kelak saat chrysan bermekaran, pasti akan banyak yang memuji
keindahannya. Tapi tidak akan ada orang yang tahu dan selamanya tidak
pernah ada yang tahu kekuatan yang membuat bunga-bunga itu lebih cerah
daripada tempat lainnya.
Lao Bo telah menyatukan roh anak dan teman-temannya di taman ini.
Hari mulai gelap.
Para pelayan yang diperintah menanam bunga sudah pulang.
Air mata Lao Bo mulai mengembang.
Sun Jian, Han Tang, Wen Hu, Wen Bao, Wu Lao Dao dan lainnya sudah pergi
ke Langit Barat. Lao Bo merasa sangat kesepian dan tahu dirinya semakin tua.

Kecuali diri sendiri, ia tidak akan membiarkan orang lain mengetahui


perasaannya.
Selamanya, tidak akan!

End of Episode-1

Ini hanya akhir sebuah awal.


Berhasilkah Meng Xin Hun membunuh Lao Bo?
Siapakah mata-mata yang ada di organisasi Lao Bo?
Bagaimana akhir perseteruan Sun Yu Bo v Wan Peng Wang?

Anda mungkin juga menyukai